ent update - unud

33
Volume 01, No.1 Maret 2017 ENT UPDATE Publikasi Ilmiah Program Studi THT-KL FK Udayana Editor : dr. I DG Arta Eka Putra Sp.THT-KL (K) dr. I Putu Yupindra Pradiptha PROGRAM STUDI THT-KL FK UNUD/RSUP SANGLAH DENPASAR

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

2 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: ENT UPDATE - UNUD

Volume 01, No.1 Maret 2017

ENT UPDATE Publikasi Ilmiah Program Studi THT-KL FK Udayana

Editor : dr. I DG Arta Eka Putra Sp.THT-KL (K)

dr. I Putu Yupindra Pradiptha

PROGRAM STUDI THT-KL FK UNUD/RSUP SANGLAH DENPASAR

Page 2: ENT UPDATE - UNUD

KATALOG DALAM TERBITAN

ENT UPDATE

Publikasi Ilmiah Program studi THT-KL FK Udayana

Editor :

dr. I DG Arta Eka Putra, Sp.THT-KL(K)

dr. I Putu Yupindra Pradiptha

ISBN : 978-602-1672-81-5

Vi x 198 halaman, 21 x 29,7

Penerbit :

PT. Percetakan Bali, Jl. Gajah Mada I/1 Denpasar 80112,

Telp. (0361) 234723, 235221

NPWP.01.126.5-904.000, Tanggal pengukuhan DKP : 01 Juli 2006

Page 3: ENT UPDATE - UNUD

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa sehingga ENT

UPDATE Publikasi Ilmiah Program Studi THT-KL FK Udayana dapat diselesaikan

dengan baik. Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada seluruh pihak yang telah

membantu penyusunan buku ini. Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberi balasan atas

segala bantuan yang telah diberikan.

Kami menyadari bahwa buku yang telah disusun masih jauh dari sempurna

sehingga kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan. Akhir kata, semoga buku

ini bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Denpasar, Maret 2017

Editor

Page 4: ENT UPDATE - UNUD

DAFTAR ISI

Kata Pengantar…………………………………………….……………………………3

Daftar Isi……………………………………………………….………………………...4

Abses Peritonsil Pada Anak……………………………………….……………………5

Richard P. Simbolon, I DG Arta Eka Putra

Peranan Vitamin D Pada Rinitis Alergi…….……………………….………………..25

U Tei Dominica Fredlina, I Made Sudipta

Faktor Prognosis dan Stadium Klinis Karsinoma Nasofaring………………..……..55

Eka Arie Yuliani, I Gde Ardika Nuaba

Neuroblastoma Pada Sistem Saraf Pusat Yang Meluas Sampai Ke Kavum Nasi

Pada Pasien Dewasa……………………………...……………………………………77

Luh Witari Indrayani, I Ketut Suanda

Tuli Sensorineural Mendadak Pasca Kateterisasi Jantung…………...……………107

Luh Witari Indrayani, Eka Putra Setiawan

Penatalaksanaan Abses Septum Nasi Pada Anak…...………………………………128

U Tei Dominica Fredlina, Luh Made Ratnawati

Penatalaksanaan Benda Asing Button Battery di Telinga………………………….146

U Tei Dominica Fredlina, Komang Andi Dwi Saputra

Penatalaksanaan Neuritis Vestibuler……………………………….……………..…161

Richard P. Simbolon, I Made Wirandha

Diagnosis dan Penatalaksanaan Silent Sinus Syndrome………….………………...176

Richard P. Simbolon, Sari Wulan Dwi Sutanegara

Abses Ruang Submandibula Sinistra Dengan Perluasan Ke Ruang

Submental……………………………………...………………………………………199

I GA Trisna Dewi, I Wayan Sucipta

Efektivitas Continous Positive Airway Pressure (CPAP) Pada Obstructive Sleep

Apnea (OSA)…………………………………………………………………………..222

Putu Mayestika Sesarini, Agus Rudi Astutha

Diagnosis dan Penatalaksanaan Sindrom Dehisensi Kanalis Semisirkularis Superior

……………………………………………………….…………………………………250

Richard P. Simbolon, Wayan Suardana

Page 5: ENT UPDATE - UNUD

PERANAN VITAMIN D PADA RINITIS ALERGI

Oleh

U Tei Dominica Fredlina, I Made Sudipta

Bag/SMF Ilmu Kesehatan THT-KL

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RS Sanglah Denpasar

I. PENDAHULUAN

Rinitis alergi (RA) merupakan suatu masalah kesehatan yang seringditemukan

yang disebabkan oleh reaksi inflamasi yang diperantarai oleh sistem imun akibat paparan

satu atau lebih alergen. Meskipun kondisi ini tidak mengancam nyawa tetapi pada

kebanyakan kasus rinitis alergi dapat menyebabkan gangguan pada aktifitas hidup sehari-

hari yang pada akhirnya menyebabkan beban pada masalah ekonomi dan kesehatan. Di

Amerika Serikat, 17-25% populasinya, kira-kira 39 juta jiwa, didiagnosa menderita rinitis

alergi. Prevalensi di tiap negara berbeda-beda disebabkan karena kondisi geografis dan

perbedaan alergennya.1,2

Beberapa tahun terakhir ini peningkatan penyakit-penyakit alergi di dunia

dihubungkan dengan kadar vitamin D yang rendah dalam darah. Schauber dkk pada

tahun 2008 menyatakan bahwa hubungan antara kadar vitamin D serum yang rendah

dalam darah dan peningkatan gangguan imunitas bukanlah merupakan suatu kebetulan.

Pertumbuhan populasi menyebabkan orang-orang menghabiskan lebih banyak waktu di

dalam ruangan yang menyebabkan kurangnya paparan sinar matahari dan kurangnya

produksi vitamin D kulit. 1,2

Vitamin D dapat berasal dari makanan, tapi dapat juga diproduksi dari molekul

prekusor di dalam tubuh. Pada awalnya vitamin D diketahui hanya berperan pada

metabolisme tulang, namun saat ini diketahui bahwa vitamin D juga memiliki peran

dalam sistem imun tubuh. Secara umum vitamin D mengatur aktivitas berbagai sel yang

terlibat dalam sistem imun diantaranya monosit, sel dendritik, limfosit T dan limfosit B,

dan juga sel epitel.3

Berbagai penelitian tentang vitamin D terus berkembang. Awalnya penelitian

dilakukan hanya pada penyakit autoimun dan infeksi saja, namun saat ini banyak

penelitian yang berkembang mencari peranan vitamin D pada beberapa penyakit atopi,

Page 6: ENT UPDATE - UNUD

dengan hasil yang masih kontroversial. Matheu dkk tahun 2003 mengatakan bahwa

pemberian vitamin D secara terus menerus akan mempengaruhi perkembangan dari

respon imun limfosit Th2, dan mempunyai dampak yang menguntungkan pada jalan

nafas yang banyak mengandung eosinofil. Suatu studi longitudinal kohort tahun 2011

yang meneliti dampak pemberian vitamin D selama masa kehamilan menunjukkan

penurunan risiko anaknya akan mengalami mengi di usia dini. Sehingga pemberian

suplemen vitamin D akan memberikan dampak menguntungkan pada keadaan atopi. 4

Tinjauan pustaka ini akan membahas peranan vitamin D pada penyakit atopi di

bidang THT khususnya rinitis alergi.

II. KAJIAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Hidung

Hidung luar berbentuk piramid dan dibentuk oleh kerangka tulang dantulang

rawan yang dilapisi kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk

melebarkan atau menyempitkan lubang hidung (Gambar 1).5

Gambar 1: Anatomi hidung luar5

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang

dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kiri dan kanan.

Page 7: ENT UPDATE - UNUD

Lubang masuk kavum nasi di bagian depan disebut nares anterior, sedangkan yang di

belakang disebut nares posterior (koana). Bagian kavum nasi yang letaknya sesuai

dengan ala nasi, tepat dibelakang nares anterior disebut vestibulum yang dilapisi oleh

kulit yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut

vibrise (Gambar 2).5

Dinding medial hidung ialah septum nasi, yang dibentuk oleh tulang dan tulang

rawan. Septum dilapisi oleh perikondium pada bagian tulang rawan dan periosteum pada

bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi oleh mukosa hidung (Gambar 3).

Pada dinding lateral terdapat konka. Di antara konka dan dinding lateral hidung

terdapat rongga sempit yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus ada 3 meatus

yaitu meatus inferior, media dan superior. Dinding inferior merupakan dasar rongga

hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os palatum. Dinding superior atau atap hidung

sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribiformis, yang memisahkan rongga tengkorak

dari rongga hidung.5

Gambar 2.Dinding Lateral Hidung.5

1. Sinus frontal, 2. Konka media, 3. Meatus nasi media, 4. Ager nasi, 5. Atrium konka nasi media, 6. Limen, 7. Vestibulum, 8. Meatus nasi inferior 9.kanal incisivus, 10. Procesus palatina os maksila, 11. Palatum molle, 12. Resesus faringeal, 13. Orifisium tuba Eustachius, 14. Torus tubarius, 15. Adenoid, 16. Sinus Sfenoid, 17. Muara Sinus sfenoid, 18. Resesus sfenoetmoidal, 19. Konka inferior, 20. Meatus superior, 21. Konka superior, 22. Os palatum

Page 8: ENT UPDATE - UNUD

Gambar 3. Septum nasi.5

1. Perpendicular plate, 2.lamina kribosa, 3.krista Galli, 4. Os frontal, 5. Os nasal, 6. Kartilago nasi, 7.crus medial, 8. Spina anterior, 9. Kanal incisivus, 10. Prosesus palatina, 11 Perpendikular, 12. Spina postnasal, 13. Horizontal, 14. Tulang lapisan perpendicular, 15. Pterygoid medial, 16. Sinus sfenoid, 17. Puncak hidung, 18. Korpus hidung

Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari arteri etmoid anterior dan

posterior yang merupakan cabang dari arteri oftalmika dari arteri karotis interna. Bagian

bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang arteri maksilaris interna,

diantaranya ialah ujung arteri palatina mayor dan arteri sfenopalatina. Bagian depan

hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri fasialis. Pada bagian depan

septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang arteri sfenopalatina, arteri etmoid

anterior, arteri labialis superior dan arteri palatina mayor yang disebut pleksus

Kiesselbach. Vena-vena pada hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan

berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara

ke vena oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus.5

Persarafan sensoris bagian depan dan atas rongga hidung berasal dari nervus

etmoidalis anterior yang merupakan cabang dari nervus nasosiliaris yang berasal dari

nervus oftalmikus (N.V1). Rongga hidung lainnya sebagian besar mendapat persarafan

sensoris dari nervus maksila melalui ganglion sfenopalatina. Ganglion sfenopalatina

selain memberikan persarafan sensoris juga memberikan persarafan vasomotor atau

otonom untuk mukosa hidung. Fungsi penghidu berasal dari nervus olfaktorius.5

Page 9: ENT UPDATE - UNUD

2.2 Rinitis Alergi 2.2.1 Definisi

Menurut Allergic Rinitis and its Impact on Asthma (ARIA) tahun 2008, rinitis

alergi merupakan suatu kelainan simptomatik pada hidung yang timbul akibat paparan

alergen melalui reaksi inflamasi yang diperantarai oleh imunoglobulin E (IgE), dengan

gejala seperti pilek encer, bersin-bersin, hidung tersumbat, gatal pada hidung, mata dan

telinga maupun palatum.5,6,7

2.3 Epidemiologi

Prevalensi yang pasti dari RA sulit diketahui dengan pasti disebabkan oleh beberapa alasan, termasuk perbedaan bagaimana cara penegakan diagnosa. Secara umum

RA sering terjadi pada 10-30% orang dewasa dan hampir 40% pada anak-anak. Di

beberapa negara lebih dari 50% remaja dilaporkan menderita keluhan rinitis. Di Amerika

Serikat sebuah survei kesehatan yang dilakukan oleh Centersfor Disease Control (CDC)

pada tahun 2009 mendapatkan 8,2 juta anak-anak(11%) dilaporkan menderita keluhan

pernafasan terkait alergi dalam 12 bulan terakhir. Disebutkan pula bahwa di Amerika

Serikat, RA merupakan penyebab kedua terbanyak dari penyakit kronis yang mengenai

hampir 60 juta penduduk Amerika, dimana kira-kira terdapat 1 orang diantara 4 rumah

tangga. Dari yang menderita tersebut lebih dari setengahnya memiliki gejala RA lebih

dari 10 tahun.7,8

1) Klasifikasi Rinitis Alergi

Menurut ARIA World Health Association (WHO), rinitis alergi dibagi dalam dua kelompok yaitu intermiten dan persisten sesuai dengan lamanya waktu

serangan, sedangkan berdasarkan beratnya gejala dibagi menjadi ringan dan sedang-

berat. Rinitis alergi intermiten apabila gejala timbul kurang dari 4 hari perminggu dan

berlangsung selama kurang dari 4 minggu. Rinitis alergi persisten apabila gejala timbul

lebih dari 4 hari perminggu dan berlangsung lebih dari 4 minggu.6,7

Gejala disebut ringan apabila tidak mempengaruhi aktifitas sehari-hari dan aktifitas

tidur, sedangkan gejala sedang-berat apabila ada satu atau lebih gangguan aktifitas

sehingga kualitas hidup pasien menurun.6,7

Page 10: ENT UPDATE - UNUD

2.4 Patofisiologi

Reaksi hipersensitifitas yang diperantarai oleh IgE (Reaksi tipe I Gel dan Coombs) mendasari penyakit-penyakit alergi. Suatu alergen dikenali oleh

AntigenPresenting Cell (APC) dan kemudian akan dipresentasikan kepada sel limfosit

Thyang membutuhkan reseptor Human Leukosit Antigen (HLA). Sel Th2 akan

mempresentasikan alergen ke limfosit B yang mempunyai reseptor khusus terhadap

alergen tersebut. Interleukin 4 (IL4) dan sitokin lainnya dapat menginduksi limfosit B

menjadi sel plasma yang akan menghasilkan IgE. IgE kemudian beredar dalam sirkulasi

dan berikatan pada reseptornya di basofil dan sel mast di seluruh tubuh. Pada paparan

kembali alergen tersebut menyebabkan degranulasi basofil dan sel mast yang diperantarai

oleh IgE, melepaskan mediator-mediator inflamasi diantaranya histamin, IL-2, IL-5, dan

leukotrien. Histamin berikatan dengan reseptornya pada sel endotel dan otot polos

pembuluh darah menyebabkan terjadinya vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas,

sehingga pasien akan mengalami keluhan pilek encer, bersin-bersin dan hidung

tersumbat. IL-5 dan leukotrien akan mencetuskan reaksi inflamasi fase lambat. Reaksi

inflamasi tersebut akan dibatasi oleh IL10 dan sel T regulator.5,7,8

2.5 Diagnosis

Diagnosis awal diperoleh dari anamnesis (riwayat penyakit) yang teliti dan pemeriksaan fisik yaitu inspeksi, pemeriksaan rinoskopi anterior dan nasoendoskopi.

Selanjutnya diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan yang menunjukkan adanya IgE

baik di kulit maupun di darah (tes alergi). Pemeriksaan lain yang perlu dilakukan yaitu

pemeriksaan eosinofil sekret hidung, tes transpor mukosilier, tes buntu hidung, tes

penciuman dan pemeriksaan radiologi (CT scan dan MRI).7

Gejala klinis pasien yang menderita RA biasanya sangat spesifik yaitu bersin-

bersin, pilek encer, hidung buntu, gatal di hidung disertai mata gatal dan berair. Rinitis

alergi merupakan penyakit kronis dan berlangsung terus menerus, dan untuk

memudahkan dalam melakukan anamnesis, maka dapat dibuatkan daftar pertanyaan yang

perlu ditanyakan kepada pasien dan keluarga pasien. Ketika diagnosis RA ditegakkan,

pertanyaan apakah penderita RA juga menderita asma diperlukan, demikian halnya

mengenai gejala atopi lainnya seperti alergi makanan dan eksema. Beberapa studi

Page 11: ENT UPDATE - UNUD

menyebutkan hampir 80% penderita asma juga menderita rinitis, dan 10%-40% penderita

rinitis juga menderita asma.6,7

Pada pemeriksaan fisik dijumpai adanya allergic shinners, allergic salute,nasal

crease, facial grimacing, Dennie's line. Pemeriksaan rinoskopi anterior atauendoskopi

hidung dilakukan untuk menilai apakah konka udem, warnanya pucat, ada sekret encer,

kondisi meatus medius, nasofaring dan apakah ada kelainan anatomi (septum deviasi dan

polip).6,7

Untuk menunjang diagnosis perlu dilakukan tes alergi untuk menilai IgE secara in

vivo maupun invitro. Tes kulit (skin prick test) atau tes intradermal (intradermal test)

dilakukan untuk menilai IgE secara in vivo, sedangkan pemeriksaan Radio Allergo

Sorbent Test (RAST) untuk menilai IgE secara in vitro.6,7

Menurut KODI Alergi dan Imunologi Perhati-KL, diagnosis RA dimulai dari

anamnesis adanya pilek yang tidak sembuh-sembuh ≥ 3 bulan disertai dengan keluhan

hidung gatal, bersin-bersin, pilek encer, buntu hidung hilang timbul, adanya riwayat

alergi di organ tubuh yang lain dan adanya riwayat alergi pada keluarga. Pasien kemudian

dilakukan rinoskopi anterior dan nasoendoskopi, dinilai warna mukosa hidung apakah

pucat atau ada sekret hidung yang encer.6

Kemudian pasien dilakukan pemeriksaan eosinofil hidung, apabila ada gejala tetapi

hasilnya negatif, maka perlu diulang sampai 3x. Apabila pemeriksaan eosinofil hidung

positif pasien selanjutnya dilakukan tes alergi yaitu tes kulit cukit. Bila hasil tes kulit

positif maka perlu dievaluasi apakah ada keluhan komorbid, baru ditentukan

diagnosisnya menurut ARIA WHO.6

2.6 Penatalaksanaan

Penderita RA yang dibiarkan dengan gejala tanpa diobati secara adekuat

akan mengalami penurunan kualitas hidup, antara lain berupa gangguan proses belajar,

produktivitas kerja, dan stabilitas emosi. Menurut American Collage ofAllergy, Asthma

and Immunology (ACAAI, 2005) penatalaksanaan RA antara lain allergen avoidance

(eliminasi alergen), farmakoterapi, imunoterapi danpembedahan.7,9

Eliminasi alergen masih merupakan terapi utama dalam penatalaksanaan RA, akan

tetapi dalam prakteknya tidaklah mudah untuk dilaksanakan. Di negara tropis seperti

Page 12: ENT UPDATE - UNUD

Indonesia, yang sangat berperan pada rinitis alergi adalah tungau debu rumah, bulu

binatang dan alergen kecoa. Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menghindari

tercetusnya RA yaitu membungkus kasur dan bantal dengan bahan khusus, atau mencuci

alas tidur, sarung bantal dan selimut seminggu sekali, bila mungkin dengan air panas

(>55oC).

7,8,9,10

Farmakoterapi diperlukan karena penderita RA tidak bisa secara total menghindari

paparan alergen terutama alergen inhalan dan harus memenuhi kriteria: aman dan efikasi

tinggi, mudah pemberiannya, absorbsi cepat, cara kerja cepat, tidak ada efek samping dan

mempunyai aktivitas ‘anti-alergenik tinggi’. Farmakoterapi yang dapat diberikan meliputi: anti histamin, kortikosteroid intranasal,

dekongestan, stabilisator sel mast, anti kolinergik intranasal, anti leukotrien dan anti IgE

antibodi. Pemilihan obat yang diberikan harus bijaksana dan selektif dengan

memperhatikan keluhan yang dirasakan oleh penderita. Obat yang dipilih disesuaikan

dengan keluhan penderita baik berupa obat tunggal maupun kombinasi.7,8,9

Imunoterapi spesifik adalah memberikan alergen yang sesuai dengan hasil tes kulit,

dosisnya secara bertahap dinaikkan sampai dosis maksimal yang tidak menimbulkan

serangan/gejala alergi. Tujuannya supaya penderita berkurang simptomnya pada paparan

alergen penyebab. Secara klinik imunoterapi pada rinitis alergi terbukti efektif. Terdapat

beberapa cara imunoterapi yaitu injeksi sub kutan, pernasal, sub lingual, oral dan lokal.

Injeksi sub kutan lebih banyak dipraktekkan, sedangkan imunoterapi sublingual/peroral

masih banyak diteliti dan mulai banyak dipakai.7,8,10

Berdasarkan WHO-ARIA tahun 2008 terapi medikamentosa pada pasien dengan

RA persisten sedang-berat sesuai urutan adalah kortikosteroid topikal, anti histamin H1

atau leukotrien receptor antagonist (LTRA) bila disertai dengan asma, dan keputusan

untuk melakukan tindakan pembedahan adalah setelah terapi medikamentosa gagal.

Sebagian besar penelitian memasukkan kriteria inklusi gagalnya terapi medikamentosa

untuk rinitis alergi selama 1 bulan lebih dulu, sebelum pasien dilakukan pembedahan.

Terapi pembedahan dilakukan bertujuan mengurangi sumbatan hidung untuk

melapangkan aliran udara di hidung. Terapi pembedahan yang ada diantaranya reduksi

konka, reseksi submukosa, septoplasti, BSEF, dan neurektomi saraf vidianus. Konka

inferior terbukti menjadi penyebab terpenting sumbatan hidung pada pasien RA. Sebelum

Page 13: ENT UPDATE - UNUD

menjalani intervensi bedah, sangat penting untuk memastikan bahwa segala terapi

medikamentosa telah dilakukan secara maksimal, karena intervensi bedah mungkin tidak

efektif pada pasien yang seharusnya masih dapat diterapi medikamentosa.11

Adapun diagnosis dan terapi dari RA menurut KODI Alergi dan Imunologi Perhati-

KL dapat dilihat pada bagan berikut ini (Gambar 4):11

Page 14: ENT UPDATE - UNUD

Gambar 4. Guideline Diagnosis dan Pengobatan Rinitis Alergi12

Page 15: ENT UPDATE - UNUD

Penatalaksanaan RA berdasarkan ARIA-WHO dapat dilihat pada bagan berikut

(Gambar 5):8,9

Gambar 5. Algoritma penatalaksanaan rinitis alergi berdasarkan ARIA-WHO8,9

2.7 Vitamin D

Vitamin D merupakan suatu nutrien dan juga suatu hormon. Konsentrasinya dalam darah tergantung dari asupan makanan dan paparan radiasi sinar ultraviolet B (UV-

B, biasanya sinar matahari). Vitamin D adalah suatu secosteroid yang memiliki sebuah

struktur yang serupa dengan struktur steroid kecuali adanya perbedaan dimana terdapat

kerusakan pada dua dari empat cincin B atom karbon (C9 dan C10) akibat sinar UV-B,

seperti dapat dilihat pada gambar di bawah ini (Gambar 6).13,14,15

Page 16: ENT UPDATE - UNUD

Gambar 6. Struktur Vitamin D13

Sumber utama vitamin D adalah sintesis de novo yang terjadi di kulit dengan

bantuan sinar matahari. Rata-rata, paparan sinar matahari dengan cara berjemur selama

sedikitnya 20 menit akan menghasilkan 15.000-20.000 IU vitamin D. Meskipun vitamin

D juga banyak terkandung dalam bahan makanan, mengandalkan kebutuhan hanya dari

asupan diet saja tidaklah cukup, sebab hanya menyumbang sebanyak 20% dari kebutuhan

tubuh. Vitamin D tidak banyak terdapat dalam bahan makanan tumbuhan (misalnya

sayuran, buah-buahan, atau biji-bijian) dan hanya sedikit terkandung dalam daging dan

sumber hewani lainnya, kecuali pada minyak hati ikan.13,14

Rekomendasi suplementasi

asupan vitamin D adalah 400 IU/hari untuk bayi selama tahun pertama kelahiran, dan 800

IU/hari untuk semua populasi.14

Berikut adalah kandungan vitamin D pada beberapa bahan makanan sehari-hari

(Tabel 1):

Page 17: ENT UPDATE - UNUD

Tabel 1. Kandungan Vitamin D pada Beberapa Bahan Makanan14

.

Jenis Makanan µg/100g IU/100g

Minyak ikan:

Minyak hati ikan cod 250 10.000

Minyak ikan sarden 8,3 332

Ikan-ikan:

Salmon 16,0 640

Ikan hering 13,1 524

Salmon kaleng 12,0 480

Sarden 11,0 440

Daging dan produk daging:

Kepala ikan 0,91 36,4

Hati ayam, sosis sapi 0,41 16,4

Daging sapi muda, hati 0,33 13,2

Sosis kalkun 0,16 6,4

Telur:

Kuning telur 5,6 224

Telur bubuk 5,0 200

Telur ayam, segar atau direbus 2,9 116

Susu:

Susu pasteurisasi (3,5% lemak susu) 0,09 3,6

Susu mentah (3,7% lemak susu) 0,07 2,8

Susu steril (1,6% lemak susu) 0,03 1,2

Susu kambing mentah (3,9% lemak 0,25 10

susu)

Susu manusia 0,07 2,8

Minuman sayuran:

Minuman dari kacang kedelai 1,4 56

Minuman dari beras yang diperkaya 1,1 44

Vitamin D memiliki dua bentuk dan beberapa metabolit. Kedua bentukvitamin D

itu adalah vitamin D2 (ergokalsiferol), dan D3 (kolekalsiferol). Keduabentuk vitamin D

tersebut akan mengalami metabolisme yang serupa. Beberapabukti menunjukkan bahwa

vitamin D2 akan dimetabolisme lebih cepat daripadavitamin D3, namun dengan adanya

asupan makanan sehari-hari keduanya berada dalam konsentrasi yang seimbang. Kedua

bentuk vitamin D diabsorbsi di usushalus dan kemudian akan dikonversi menjadi 25-

hidroksi vitamin D [25(OH)D] didalam hati. Absorbsinya dipengaruhi oleh kandungan

lemak dalam makanan yangakan merangsang terbentuknya lipase pankreas dan asam

Page 18: ENT UPDATE - UNUD

empedu. Kadarnyadalam serum digunakan dalam menentukan status adekuasi vitamin D

seseorang.13,14

Beberapa laboratorium menggunakan satuan unit konvensional (ng/ml) dalam

pengukuran kadar vitamin D serum, sedangkan yang lainnya menggunakan satuan sistem

internasional (nmol/l). Faktor konversi diantara kedua satuan tersebut adalah 1ng/ml =

2,496 nmol/l. Satuan lain yang juga sering digunakan adalah unit internasional (IU),

dimana 1ug = 40 IU. Beberapa kebijakan atau rekomendasi internasional

mengelompokkan kadar vitamin D serum menjadi tiga tingkatan, yaitu: defisiensi (<25

nmol/l atau ng/mL), insufisiensi (25-50 nmol/l atau ng/mL), dan adekuat (>50 nmol/l

atau ng/mL). Secara umum, tidak disarankan menaikkan kadar vitamin D dalam serum

sampai melebihi 125 nmol/l, dimana efek samping dan tingkat keamanan dari kadar

berlebih tersebut dalam jangka panjang sampai saat ini masih belum diketahui.14

Di dalam ginjal, 25(OH)D akan dihidroksilasi menjadi 1,25 di-hidroksi vitamin D

[1,25(OH)2D] atau calcitriol, yang mana merupakan satu-satunya bentuk metabolit aktif

dari vitamin D. Bentuk aktif ini akan bekerja terutama di duodenum meningkatkan

absorbsi kalsium dalam makanan. Bentuk aktif vitamin D ini juga bekerja pada sel

tulang, osteoblas dan osteoklas, untuk memobilisasi kalsium tulang. Sintesis dari

1,25(OH)2D diatur dengan sangat ketat dan distimulasi terutama oleh kadar hormon

paratiroid dalam serum. Ekskresi metabolit vitamin D terutama lewat empedu, dan sedikit

lewat urine setelah melalui proses katabolisme oleh enzym 25 hidroksivitamin D-24

hidroksilase (CYP24) yang menonaktifkan kedua bentuk vitamin D.13,15,16,17

Metabolisme vitamin D dapat dilihat pada gambar berikut (Gambar 7):

Page 19: ENT UPDATE - UNUD

Gambar 7. Metabolisme Vitamin D dalam Tubuh13

2.7. Vitamin D dan Sistem Imun Manusia

Aktifitas biologis vitamin D saat ini sudah jauh berubah dan diketahui tidak hanya berperan pada keseimbangan kalsium dalam tubuh dan metabolisme tulang, yaitu

semenjak ditemukannya reseptor vitamin D (Vitamin D Receptor/VDR). VDR ditemukan

pertama kali pada tahun 1988 dan termasuk ke dalam keluarga reseptor inti/nuklear. VDR

diekspresikan pada banyak sel dan jaringan di seluruh tubuh, termasuk pada sel

mononuklear darah tepi (peripheral blood mononuclearcells/PBMCs) dan limfosit T

aktif. VDR juga terdapat pada sel dendritik, suatu selyang penting dalam

mempresentasikan antigen. VDR juga diketahui berpengaruh pada perubahan 3% genom

manusia.17,18

Distribusi VDR dalam tubuh manusia dapat dilihat pada tabel 2 di bawah ini:

Page 20: ENT UPDATE - UNUD

Tabel 2. DistribusiVitamin D Receptordalam Tubuh Manusia18

Distribusi VDR pada jaringan dan sel

Jaringan adiposa Ovarium Sel β pankreas Adrenal Tiroid Paratiroid

Tulang, osteobas Insang (ikan) Parotis

Otak, secara umum Usus halus Hipotalamus

Otak, amigdala Ginjal Plasenta

Otak, hipotalamus Hati Prostat

Otak, sel glia Paru-paru Retina

Mammae Limfosit (B,T) Kulit

Kartilago Sel mast Sperma

Colon Monosit/makrofag Lambung

Sel dendritik Otot, jantung Testis

Folikel rambut Otot, embrionik Timus

Eggshell gland Otot, polos Epididimis, tubula

Uterus Sel Ovum seminiferus

Penelitian lebih jauh juga menemukan bahwa vitamin D memiliki banyakefek pada

modulasi sitokin melalui beberapa sel yang berbeda pada sistem imun Tsoukas dkk

(1984) membuktikan bahwa konsentrasi pikomolar dari

1,25dihidroksi-vitamin D menurunkan aktifitas IL-2 dan menghambat

proliferasilimfosit-limfosit yang diaktifasi oleh mitogen. Mahon dkk (2003)

menemukanbahwa sel CD4 dan sel limfosit T aktif, mengekspresikan VDR. Lebih

jauh lagidiketahui bahwa 1,25 dihidroksivitamin D menurunkan proliferasi sel

limfositTh1 dan Th2, dan juga menurunkan produksi IFN-gamma, IL-2, dan

IL-5.Kebalikannya, produksi IL-4 oleh sel limfosit Th2 meningkat. Boonstra

dkk(2001) membuktikan bahwa vitamin D menghambat produksi IFN-gamma

danmerangsang terbentuknya IL-4, IL-5, dan IL-10 pada tikus percobaan.

Penelitian-penelitian tersebut menggambarkan bahwa kondisi kekurangan vitamin

D akanmeningkatkan respon dari limfosit Th1, sedangkan kondisi vitamin D yang

cukupdalam darah akan menekan efek limfosit Th1 dan meningkatkan respon

sellimfosit Th2. Pada sel limfosit B, vitamin D memiliki efek menghambat sintesis

IgE secara invitro.17,18

Page 21: ENT UPDATE - UNUD

Efek vitamin D pada sistem imun secara singkat dapat dirangkum sepertipada

gambar berikut (Gambar 8):

Gambar 8. Peran Vitamin D dalam Imunomodulasi19

Vitamin D juga mempengaruhi sistem imun melalui regulasi terhadap cathelicidin,

yang merupakan satu-satunya peptida yang bersifat antimikroba yangdiproduksi oleh

manusia. Cathelicidin diproduksi oleh neutrofil, makrofag, dan sel-sel yang membentuk

epitel permukaan kulit, saluran pernafasan, dan saluran cerna, lokasi-lokasi dimana sering

terjadi paparan terhadap patogen. Cathelicidin memiliki aktifitas antimikroba yang luas

terhadap bakteri Gram positif dan negatif, dan juga terhadap virus maupun jamur. Terapi

pemberian vitamin D akan meningkatkan produksi cathelicidin mRNA pada sel dan

kultur termasuk juga meningkatkan produksi keratinosit, neutrofil dan makrofag, seperti

yang dapat dilihat pada gambar berikut (Gambar 9):19

Page 22: ENT UPDATE - UNUD

Gambar 9. Vitamin D Menstimulasi Aktifitas AntimikrobaCathelicidin19

2.9 Peranan Vitamin D pada Rinitis Alergi

Meskipun studi-studi pada manusia sejauh ini masih menunjukkan hasil yang bervariasi mengenai hubungan langsung antara vitamin D dengan penyakit-penyakit

alergi, studi secara invitro telah memberikan bukti adanya hubungan tersebut. Secara

umum calcitriol dikatakan mengaktifkan respon imun bawaan dan menekan sistem imun

didapat. Studi oleh Hart dkk menunjukkan bahwa calcitriol memiliki efek langsung

terhadap berbagai sel imun tubuh sepertimonosit, makrofag, sel dendritik, sel limfosit T

dan limfosit B seperti yang ditunjukkan pada tabel 3.15

Page 23: ENT UPDATE - UNUD

Tabel 3. Efek calcitriol pada sel leukosit myeloid dan limfoid secara invitro15

Efek pada sel myeloid

Meningkatkan Menghambat

Monosit - Antimicrobial peptides: - Co-stimulatory molecules:

Cathelicidin dan β-defensin 2 CD40, CD80, CD86, HLA-DR

Makrofag - Antimicrobial peptides: - Sitokin: Cathelicidin dan β-defensin 2 IL-1, IL-6, IL-8, IL-12, dan

- Fagositosis TNF

- Activin A

Sel dendritik - ILT3 - Co-stimulatory molecules: - Sitokin: CD1a, CD14, CD40, CD83,

TGF-β dan IL-10 CD86

- Diferensiasi sel T regulator - Sitokin:

IL-12 dan IL-23

- Diferensiasi sel Th1 dan Th17

Efek pada sel limfoid

Sel T CD4+ - Diferensiasi sel T regulator: - Diferensiasi sel Th1 dan Th17

FOXP3, IL-10, CTLA4, - Sitokin: TLR9, OX40L IL-17, IL-21, IL-2, IFN-γ

- Sel T CD4+

pada tempat - Sel T CD4+pada limfonodi:

inflamasi: CD621,CCR7 CCR5, CXCR3, CXCR6

- Sel T CD4+

pada kulit: CCR4, CCR10

Sel B - Sel B pada kulit: - Perkembangan sel plasma CCR10 - Sekresi antibodi

- Diferensiasi sel B memori

Penelitian oleh Mulligan (2011) dan beberapa peneliti lainnya telah

membuktikan bahwa kadar vitamin D yang rendah dalam darah berhubungandengan

tingginya jumlah sel-sel dendritik dibandingkan dengan kelompok control (kelompok

dengan kadar vitamin D normal atau tinggi melalui suplementas vitamin D).Sel-

sel dendritik memiliki peran penting langsung pada

prosesdiferensiasi sel Th menjadi subset sel Th1 atau Th2, dimana tanpa vitamin

D (ata pada kondisi kadar vitamin D yang rendah dalam darah) respon inflamasi akan

menjadi kacau dimana subset Th1 akan menjadi lebih dominan

yangmenyebabkan terjadinya proses inflamasi yang kronis dan seseorang akan

menjadilebih sensitif terhadap alergen lewat pembentukan imunoglobulin-E. Peneliti

Page 24: ENT UPDATE - UNUD

jugamembuktikan kadar vitamin D yang rendah juga akan meningkatkan kadar mediator-

mediator inflamasi (kemokin) seperti IL-2, IL-5, leukotrien.19,20

Peningkatan aktifitas Th1, serta sitokin-sitokin inflamasi akan meningkatkan resiko

seseorang yang memiliki riwayat atopi untuk timbul keluhan seperti rinitis alergi. Jelas

terlihat pada penjelasan di atas, bahwa vitamin D memiliki peran dalam menghambat

atau mencegah terjadinya rinitis alergi melalui aktifitas penekanan efek limfosit Th1 dan

meningkatkan respon sel limfosit Th2, meningkatkan cathelicidin, menekan produksi

sitokin inflamasi (IL-2, IL-5), meningkatkan IL-10, dan pada sel limfosit B, vitamin D

juga akan menghambat sintesis IgE secara invitro.19,20,21

III. PEMBAHASAN

Penelitian yang berusaha mencari hubungan antara kadar vitamin D serumdengan

kejadian penyakit rinitis alergi ataupun penyakit atopi lainnya masih belum banyak

dipublikasikan, dan masih terus dilakukan untuk mengetahui efek pleiotropik dari

vitamin D ini, terutama pada perkembangan toleransi sistem imun dan integritas dari

fungsi penghalang (barrier) epitel.22

Camargo dkk pada tahun 2007 di Amerika Serikat mengamati adanya suatu

perbedaan peningkatan permintaan autoinjeksi epinephrine (EpiPens) di negara-negara

belahan bumi utara dibandingkan negara belahan bumi selatan atau tropik, yang

mengindikasikan adanya hubungan antara kadar vitamin D yang rendah dengan

meningkatnya kejadian penyakit-penyakit alergi. Penelitian terbaru oleh National Health and Nutrition Examination Survey tahun 2005-2006 di AmerikaSerikat

mendapatkan bahwa kadar vitamin D yang rendah (<15 ng/mL) berhubungan dengan

sensitisasi IgE yang lebih tinggi terhadap alergen makanan dan juga lingkungan baik itu

pada anak-anak maupun orang dewasa.22

Hata dkk pada tahun 2008 di Vietnam mempublikasi penelitiannya dimana

suplementasi vitamin D dapat meningkatkan kadar cathelicidin dalam serum pasien-

pasien dengan penyakit atopi (rinitis dan dermatitis).22

Namun demikian studi-studi mengenai suplementasi vitamin D pada penderita

rinitis alergi masih belum menunjukkan hasil yang seragam. Beberapa

Page 25: ENT UPDATE - UNUD

penelitian menunjukkan adanya perbaikan klinis gejala rinitis alergi dengan

meningkatnya kadar vitamin D darah, namun ada juga penelitian yang tidak mendapatkan

hubungan antara keduanya.

Yao dkk tahun 2014 di Taiwan meneliti hubungan antara kadar vitamin D serum

1315 anak-anak usia 5-18 tahun dengan insiden penyakit rinitis alergi, asma, eksim, dan

kadar IgE total. Studi ini adalah studi berbasis populasi terbesar yang dilakukan di Asia.

Ternyata pada studi ini peneliti tidak mendapatkan hubungan yang bermakna antara

kadar vitamin D serum dengan variabel tergantung yang diteliti. Diduga karena kurang

banyaknya jumlah sampel pada kelompok anak dengan kadar vitamin D serum yang

normal, sehingga mempengaruhi analisis. Namun peneliti mendapatkan bahwa kadar

vitamin D yang rendah secara bermakna berhubungan dengan usia anak yang semakin

tua, jenis kelamin perempuan, indeks massa tubuh yang lebih tinggi, musim dingin

dibandingkan dengan musim panas, serta perokok pasif. Namun demikian temuan

tersebut memberi masukan pada bidang kesehatan masyarakat dimana penyuluhan dan

suplementasi vitamin D dapat diberikan pada kelompok-kelompok yang beresiko

tersebut.23

Penelitian oleh Lee tahun 2013-2014 di Korea mendapatkan hasil yang berbeda

dengan Yao. Lee meneliti hubungan antara kadar vitamin D serum dengan kejadian

rinitis alergi dan vasomotor pada 164 anak di Kyungpook National University Children’s Hospital, dan mendapatkan kadar vitamin Dserum secara

bermakna lebih rendah pada kelompok anak dengan rinitis alergi dibandingkan rinitis

vasomotor. Kadar IgE total yang lebih tinggi juga secara bermakna didapatkan pada anak

dengan rinitis alergi.24

Penelitian lain di Mesir pada tahun 2011 oleh El-Menem dkk, mendapatkan adanya

hubungan yang bermakna antara kadar vitamin D yang rendah pada 60 anak-anak dengan

beratnya serangan asma dan peningkatan penggunaan kortikosteroid nasal maupun

inhalasi.25

Penelitian yang menggunakan sampel usia dewasa dilakukan oleh Arias dkk di

Costa Rica pada tahun 2011, dengan menggunakan 121 penderita asma usia rata-rata 48

tahun. Peneliti mendapatkan hasil bahwa didapatkan hubungan yang

Page 26: ENT UPDATE - UNUD

bermakna antara kadar vitamin D serum yang rendah dengan beratnya serangan asma.

Namun demikian peneliti disini tidak mencari hubungan antara kadar vitamin D serum

dengan kadar IgE total serum.26

Penelitian Kose dkk tahun 2014 di Korea menyebutkan bahwa sebagian besar

subyek penelitian yang menunjukkan RA mengalami defisiensi vitamin D yaitu dari 200

pasien dengan rinitis alergi didapatkan 68% mengalami defisiensi vitamin D. Oleh karena

itu akan sangat baik bila pengukuran level serum vitamin D dilakukan rutin pada pasien

RA .27

Columbo dan Rohr pada tahun 2013-2014 di Amerika Serikat meneliti kadar

vitamin D serum penderita rinitis alergi berusia di atas 65 tahun dan meneliti hubungan

antara keduanya. Peneliti hanya menggunakan 15 sampel dan memberikan suplementasi

kapsul vitamin D 4000iu/hari selama 6 minggu. Sampel kemudian diminta untuk mengisi

kuesioner terkait keluhan rinitis alerginya yaitu Rinitis Related Quality of Life Questionnaire (RQLQ) pada lima kesempatan yaituawal

penelitian, minggu ke-3, 6, 9, serta 12. Pemberian suplementasi vitamin D secara

bermakna meningkatkan kadar vitamin D serum, namun tidak berhubungan secara

bermakna dengan durasi rinitis maupun kualitas hidup yang dinilai dengan RQLQ.

Jumlah sampel yang kecil dianggap oleh peneliti sebagai kelemahan yang mempengaruhi

hasil penelitian tersebut.28

Beberapa penelitian pada subjek wanita hamil terkait vitamin D dan penyakit atopi

juga memberikan hasil yang berbeda. Miyake dkk tahun 2010 di Jepang mendapatkan

hasil bahwa suplementasi vitamin D (100iu/hari) selama hamil tidak memberikan efek

proteksi terhadap resiko eksim pada anaknya di usia tiga tahun. Erkkola dkk tahun 2009

mendapatkan hasil bahwa kadar vitamin D yang tinggi dalam darah ibu selama kehamilan

berhubungan secara bermakna dengan rendahnya kejadian penyakit rintis alergi dan asma

pada anak berusia lima tahun, namun tidak berhubungan dengan resiko eksim.29

Satu-satunya hasil yang sama sekali berbeda dipublikasi oleh Gale dkk tahun 2008

di Inggris yang meneliti 466 wanita hamil dan diberikan suplementasi vitamin D selama

kehamilan sesuai rekomendasi untuk wanita hamil di Inggris (10ug/hari). Hasil yang

mengejutkan didapatkan, dimana resiko untuk terjadinya

Page 27: ENT UPDATE - UNUD

penyakit atopi meningkat justru pada ibu-ibu yang pada masa kehamilannya memiliki

kadar vitamin D pada kuartil yang paling tinggi, yaitu menjadi eksim pada usia anak 9

bulan dan asma pada usia anak 9 tahun. Peneliti menyimpulkan bahwa ternyata faktor

paparan sinar UV pada wanita hamil tersebut lebih berperan secara bermakna

dibandingkan asupan suplemen vitamin D dalam meningkatkan kadar vitamin D serum,

sehingga dapat dikatakan bahwa bukan suplementasi vitamin D yang meningkatkan

resiko terjadinya penyakit atopi pada anak-anak mereka.29

Penelitian Ciprandi dan Varricchio tahun 2014 mengatakan bahwa vitamin D3

dengan suplementasi Lactobacillus reuteri DSM 17938 diharapkan dapat meningkatkan

efektivitas imunoterapi yang dapat menurunkan beratnya gejala serangan RA.30

Beberapa penelitian yang berusaha mencari hubungan antara vitamin D dengan

rinitis alergi beberapa tahun terakhir semakin meningkat dengan hasil yang bervariasi.

Beberapa menemukan hubungan antara vitamin D dengan RA dan ada beberapa yang

tidak menemukan hubungan tersebut. Seperti pada penelitian yang dilakukan Dogru dan

Suleyman mengemukakan bahwa tidak ada hubungan antara kadar vitamin D dan durasi

dan tingkat keparahan dari rinitis alergi. Penelitian tersebut dilaksanakan pada Desember

2014 hingga Mei 2015 pada 141 anak (76 pasien dengan rinitis dan 65 orang anak sehat

sebagai kontrol).31

Hal yang sama juga diperoleh Kim dkk tahun 2015 di Korea sebuah studi meta-

analisis mendapatkan bahwa kadar 25-hidroksi vitamin D tidak berhubungan dengan

prevalensi rinitis yang sedang terjadi atau pun dengan perkembangan dari RA. Studi

tersebut menyarankan perlunya dilakukan studi randomized controlled yang lebih

besar.32

Demikian pula penelitian yang dilakukan pada 100 anak dengan RA di Korea

pada tahun 2015, Yoon dkk mendapatkan bahwa peningkatan kadar vitamin D serum

dapat dihubungkan dengan peningkatan resiko RA pada anak dan remaja di Korea.33

Hasil yang berbeda didapatkan pada penelitian yang dilakukan oleh Lee dkk pada

bulan Maret 2013 hingga Mei 2014 pada 164 pasien, didapatkan bahwa adanya hubungan

antara defisiensi vitamin D dan RA pada anak-anak di Korea.34

Beberapa penelitian juga mendapatkan hal yang hampir sama dengan Lee. Seperti

pada penelitian yang dilakukan oleh Kumar dkk tahun 2015 di India mendapatkan bahwa

Page 28: ENT UPDATE - UNUD

adanya hubungan yang kuat antara kadar vitamin D yang rendah dengan pasien RA.

Kumar menyebutkan bahwa kadar vitamin D suboptimal dapat merubah perjalanan

penyakit RA, dimana suplementasi vitamin D dapat merupakan terapi tambahan yang

berguna.35

Ghaffari dkk tahun 2015 meneliti beberapa penelitian mengenai hubungan vitamin

D dengan RA, didapatkan bahwa dua pertiga dari artikel tersebut menunjukkan hubungan

antara kadar vitamin D dan penyakit-penyakit alergi.36

Sebuah penelitian kasus kontrol di Iran oleh Vatankhah dkk tahun 2016

mendapatkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kadar vitamin D dengan

keparahan RA. Penelitian tersebut dilakukan pada 54 pasien RA dan 54 orang sehat.

Disebutkan pula kadar vitamin D serum pada wanita yang menderita RA lebih rendah

daripada laki-laki yang dihubungkan dengan penggunaan pakaian.37

Semenjak hipotesis pertama oleh Wjst dan Dold tahun 1999 mengenai adanya

hubungan antara pemberian vitamin D dengan penyakit alergi, penelitian-penelitian

banyak dilakukan untuk tujuan yang sama. Demikian halnya dengan penelitian oleh

Menon dkk tahun 2016 pada 50 pasien di India, didapatkan bahwa kadar vitamin D

serum yang rendah ditemukan pada pasien dengan RA. Disebutkan pula kadar vitamin D

berkorelasi dengan tingkat keparahan RA dimana terdapat peningkatan yang signifikan

pada kadar vitamin D serum dan penurunan yang signifikan pada total nasal symptom

score setelah suplementasi.38

Penelitian yang dilakukan Magnusson dkk tahun 2015 di Swedia pada 1970 subjek

penelitian didapatkan bahwa asupan reguler minyak ikan dan diet asam lemak tak jenuh

rantai panjang (omega 3) pada masa anak-anak dapat menurunkan risiko angka insiden

kumulatif rinitis antara anak usia 8 hingga 16 tahun. Hal ini diperkirakan karena

berhubungan melalui efek imunomodulatordari vitamin D. Konsumsi minyak ikan

sedikitnya 1 kali seminggu pada penelitian ini konsisten dengan angka rekomendasi yang

telah ada yaitu mengkonsumsi berbagai macam ikan sedikitnya 2 kali seminggu.39

Penelitian-penelitian yang sudah dilakukan tersebut masih merekomendasikan

untuk melakukan penelitian serupa namun dengan jumlah sampel yang lebih besar dan

durasi yang lebih panjang untuk lebih bisa menghasilkan hasil yang bermakna.

Page 29: ENT UPDATE - UNUD

IV. KESIMPULAN

Rinitis alergi adalah suatu penyakit akibat inflamasi pada mukosa hidung dengan

manifestasi pilek encer, bersin-bersin, hidung tersumbat, gatal pada hidung, mata dan

telinga maupun palatum. Penyakit ini merupakan penyakit yang tidak mengancam nyawa

tetapi pada kebanyakan kasus rinitis alergi dapat menyebabkan gangguan pada aktifitas

hidup sehari-hari yang pada akhirnya menyebabkan beban pada masalah ekonomi dan

kesehatan.

Patofisiologi penyakit rinitis alergi serupa dengan penyakit-penyakit atopi lainnya

dengan melibatkan disregulasi sistem imun dan peningkatan sitokin inflamasi akibat

paparan alergen. Vitamin D melalui efek pleiotropiknya akhir-akhir ini mulai diteliti

peranannya dalam mengendalikan dan mencegah kejadian penyakit berbasis atopi.

Sampai saat ini masih banyak penelitian yang lebih besar yang sedang dikerjakan

untuk menilai hubungan antara kadar vitamin D serum dengan kejadian penyakit atopi

khususnya rinitis alergi. Hal ini disebabkan karena masih banyaknya perbedaan hasil

yang didapatkan pada penelitian-penelitian sebelumnya sehingga perlu dilakukan

penelitian dengan sampel yang lebih besar dan durasi yang lebih panjang, dengan

demikian rekomendasi terkait suplementasi vitamin D sebagai salah satu modalitas terapi

dalam penatalaksaan penyakit rinitis alergi maupun penyakit atopi lainnya dapat lebih

memberikan bukti demi perbaikan keluhan dan kualitas hidup pasien.

Page 30: ENT UPDATE - UNUD

DAFTAR PUSTAKA

1. Arshi S, Ghalehbaghi B, Kamrava SK, Aminlou M. Vitamin D serum levels in

allergic rhinitis: any difference from normal population? Asia Pasific allergy.

2012;2:45-48. 2. Yalçinkaya E, Tunçkaşik ME, Güler İ, Kocatürk S, Gündüz. Evaluation of the

correlation of 25-hydroxyvitamin-D serum levels with allergic rhinitis. ENT

Updates. 2015;5:19-22. 3. Reinholz M, Ruzicka T, dan Schauber J. Vitamin D and its role in allergic disease.

Clinical & Experimental Allergy. 2011;1-10. 4. Sudiro M. Nutrien untuk penderita rinitis alergi dan penyakit atopi lainnya. Dalam:

Kentjono WA, Juniati SH, Pawarti DR, Yusuf M, penyunting. New development

and comprehensive management in allergic rhinitis and rhinosinusitis. Pendidikan

Kedokteran Berkelanjutan XII Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok-Kepala

Leher. Surabaya: Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok

Bedah Kepala dan Leher FK Unair/RSUD Dr. Soetomo. 2014;56-61. 5. Maves MD. Surgical anatomy of the head and neck. Dalam: Johnson JT dan Rosen

CA, penyunting. Bailey’s head & neck surgery Otolarygology, Edisi ke-5.

Philadelpia: Lippincott Williams&Wilkins. 2014;3-17. 6. Roestiniadi. Diagnosis Rinitis Alergi. Dalam: Kentjono WA, Juniati SH, Pawarti

DR, Yusuf M, penyunting. New development and comprehensive management in

allergic rhinitis and rhinosinusitis. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XII Ilmu

Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok-Kepala Leher. Surabaya: Departemen/SMF

Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher FK

Unair/RSUD Dr. Soetomo. 2014;39-46 7. O’Neil JT, Mims JW. Allergic Rhinitis. Dalam: Johnson JT dan Rosen CA,

penyunting. Bailey’s head & neck surgery Otolarygology, Edisi ke-5. Philadelpia:

Lippincott Williams&Wilkins. 2014;460-466.

Page 31: ENT UPDATE - UNUD

8. Min YG. The pathophysiology, diagnosis and treatment of allergic rhinitis. Allergy

Asthma Immunol Res. 2010;2:65-76. 9. Pawarti DR. Farmakoterapi pada rinitis alergi. Dalam: Kentjono WA, Juniati SH,

Pawarti DR, Yusuf M, penyunting. New development and comprehensive

management in allergic rhinitis and rhinosinusitis. Pendidikan Kedokteran

Berkelanjutan XII Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok-Kepala Leher.

Surabaya: Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah

Kepala dan Leher FK Unair/RSUD Dr. Soetomo. 2014;67-77 10. Suprihati. Manajemen Rinitis Alergi Terkini Berdasarkan ARIA WHO. Dalam:

Mulyarjo, Soedjak S, Kentjono WA, Harmadji S, Herawati S, penyunting.

Perkembangan Terkini Diagnosis dan Penatalaksanaan Rinosinusitis. Pendidikan

Kedokteran Berkelanjutan IV Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok-Kepala

Leher. Surabaya: FK Unair/RSU Dr. Soetomo. 2004;40-50. 11. Irawati N. Terapi bedah pada rinitis alergi. Dalam: Kentjono WA, Juniati SH,

Pawarti DR, Yusuf M, penyunting. New development and comprehensive

management in allergic rhinitis and rhinosinusitis. Pendidikan Kedokteran

Berkelanjutan XII Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok-Kepala Leher.

Surabaya: Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah

Kepala dan Leher FK Unair/RSUD Dr. Soetomo. 2014;78-88 12. Guideline Penyakit THT di Indonesia. Dalam: Soetjipto D, Wardhani RS,

penyunting. Perhimpunan Dokter Spesialis THT-KL Indonesia (PERHATI-KL).

2007;59. 13. Boudal AM dan Attar SM. Vitamin D and autoimmune disease. Dalam: Harrison

A, penyunting. Insights and Persepectives in Rheumatology. 2012;63-74. 14. Benedik E, Mis NF. New recommendations for vitamin D intake. Zdrav Vestn

Supl. 2013;145-151.

Page 32: ENT UPDATE - UNUD

15. Ethier CD. Vitamin D, an Immunomodulator for eosinophils in asthma and allergy

[tesis]. University of Alberta. 2014. 16. Braegger C, Campoy C, Colomb V, Decsi T, Domellof M, Fewtrell M, dkk.

Vitamin D in the healthy European paediatric population. JPGN. 2013;56:692-701. 17. Searing DA, dan Leung DY. Vitamin D in atopic dermatitis, asthma,and allergy

disease. Immunol Allergy Clin North Am. 2010;30:397-409. 18. Hartmann B. Vitamin D receptor activation modulates the allergi immune respon

[disertasi]. Charite Universitat Smedizin Berlin: 2011. 19. Abuzeid WM, Akbar NA, Zacharek MA. Vitamin D and chronic rhinitis. Current

Opinion in Allergy and Clinical Immunology. 2012;12:13-17. 20. Hoxha M, Zoto M, Deda L, and Vyshka G. Vitamin D and its role as a protective

factor in allergy. Hindawi Publishing Corporation. 2014. ID 951946. 21. Modh D, Katarkar A, Thakkar B, Jain A, Shah P, Joshi S. Role of vitamin D

supplementation in allergic rhinitis. Indian journal of allergy,asthma and

immunology. 2014;28:35-39. 22. Bozzeto S, Carraro S, Giordano G, Boner A, and Baraldi E. Asthma, allergy and

respiratory infections: the vitamin D hypotesis. European jurnal of allergy and

clinical immunology. 2011;67:10-17 23. Yao TC, Tu YL, Chang SW, Tsai HJ, Gu PW, Ning HC dkk. Suboptimal vitamin D

status in a population-based study of Asian children: Prevalence and relation to

allergic disease and atopy. PLOS ONE. 2014;9:1-9. 24. Lee SJ, Kang BH, Choi BS. Vitamin D serum levels in children with allergic and

vasomotor rhinitis. Korean J Pediatri. 2015; 58:325-329. 25. Abd El-Menem MT, Abd Al-Azis MM, El-Guindy WM, Banna NA. The frequency

of vitamin D deficiency among asthmatic Egyptian children. Egypt J Pediatr

Allergy Immunol. 2013;11:69-73. 26. Montero-Arias F, Sedo-Meija G, Ramos-Esquivel A. Vitamin D insufficiency and

asthma severity in adults from Costa Rica. Allergy Asthma Immunology Research.

2013;5:283-288.

Page 33: ENT UPDATE - UNUD

27. Kose R, Senger SS, Yalcin AD, Serin BG, Cavdar G. Vitamin D serum levels in allergic

rhinitis. World Allergy Organization Journal. 2015;8:A67 28. Columbo M, Rohr AS. Allergic rhinitis in the eldery: A pilot study of the role of vitamin

D. Healthy Aging Research. 2014;3:15 29. Jones AP, Tulic MK, Rueter K, dan Prescott SL. Vitamin D and allergic disease: Sunlight

at the end of the tunnel? Nutrients. 2012;4:13-28. 30. Ciprandi G, Varricchio A. Vitamin D3 plus lactobacillus reuteri DSM 17938 as adjuvant

for allergen immunotherapy: a preliminary experience. J J Aller Immuno. 2015; 2:014 31. Dogru M, Suleyman A. Serum 25-hydroxyvitamin D3 levels in children with allergic or

nonallergic rhinitis. International Journal of Pediatric Otorhinolaryngology. 2016;80:39-42. 32. Kim YH, Kim MJ, Sol IS, Yoon SH, Park YA, Kim KW, dkk. Vitamin D level in Allergic

rhinitis: A Systemic Review and Meta-Analysis. J Allergy Clin Immunol. 2016;308. 33. Yoon SH, Kim YH, Park YA, Sol IS, Kim MJ, Kim WK, dkk. Correlation between serum

25-Hydroxyvitamin D levels and allergic rhinitis in children and adolescents in Korea. J

Allergy Clin Immunol. 2015;878. 34. Lee SJ, Kang BH, dan Choi BS. Vitamin D serum levels in children with allergic and

vasomotor rhinitis. Korean J Pediatr. 2015; 58:325-329 35. Kumar V, Kumar A, Tuli IP dan Rai AK. Therapeutic significance of vitamin D in allergic

rhinitis. Astrocyte. 2015;2:8-11. 36. Ghaffari J, Ranjbar A, dan Quade A. Vitamin D deficiency and allergic rhinitis in children:

A narrative review. J Pediatr Rev. 2015;3:e2623. 37. Vatankhah V, Lotfizadeh M, Iranpoor H, Jafari F, dan Khazraei H. Comparison vitamin D

serum levels in allergic rhinitis patients with normal population. Rev Fr Allergol. 2016. 38. Menon B, Kaur C, Vardhan H, dan Dar MY. Placebo controlled trial of vitamin D

supplementation in allergic rhinitis. Research. 2016;3:1501.

39. Magnusson J, Kull I, Westman M, Hakansson N, Wolk A, Melen E, dkk. Fish and

polyunsaturated fat intake and development of allergic and non allergic rhinitis. J Allergy

Clin Immunol. 2015;136:1247-53.