tektonika arsitektur bali - unud
TRANSCRIPT
Seminar Nasional Tradisi dalam Perubahan: Arsitektur Lokal dan Rancangan Lingkungan Terbangun - Bali, 3 November 2016
383
TEKTONIKA ARSITEKTUR BALI
Siwalatri, Ni Ketut Ayu
Dosen Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik, Universitas Udayana
Email: [email protected]
Abstract
Vernacular architecture is an architecture developed by etnic groups in accordance with the environmental conditions and the availability of natural resources that exist around their settlements. Bali Aga architecture including one of vernacular architecture in Bali. Bali Aga architecture is an architecture that flourished during the ancient Balinese, and this architecture that has unique characteristics. Building knowledge of Bali Aga community still contained in the artifacts and not much explored by academician. The purpose of this study is exploration and analysis of Bali Aga building tectonics and understand the symbolic value contained in the buildingcomponents. This research resulted that tectonics is well advanced and construction systems are applied to met with the principles of logic loading. Bali Aga tectonics in addition to functional also has a symbolic value that is expressed through building components.
Keywords: tectonic, building material and aesthetic
Abstrak
Arsitektur Vernakular adalah arsitektur yang dikembangkan oleh kelompok masyarakat tertentu sesuai dengan kondisi lingkungan dan ketersediaan sumber daya alam yang ada disekitar permukiman mereka. Arsitektur Bali Aga termasuk salah satu arsitektur vernakular yag dimiliki masyarakat Bali. Arsitektur Bali Aga adalah arsitektur yang berkembang pada masa Bali kuno, dan merupakan arsitektur yang memiliki karakteristik unik. Pengetahuan tentang bangunan pada masyarakat Bali Aga masih tersimpan di dalam artefak dan belum banyak dieksploras. Tujuan penelitian ini adalan melakukan eksplorasi dan analisis tektonika bangunan rumah adat masyarakat Bali Aga dan memahami nilai simbolik yang terkandung yang diekspresikan dalam bangunan. Penelitian ini menghasilkan bahwa tektonika masyarakat Bali Aga sudah cukup maju dan sistem konstruksi yang diterapkan memenuhi prinsip logika pembebanan. Tektonika arsitektur Bali Aga selain bersifat fungsional juga memiliki nilai simbolik yang diekspresikan melalui komponen bangunan.
Kata kunci: tektonik;,bahan bangunan; estetika
PENDAHULUAN
Indonesia memiliki kekayaan arsitektur vernakular yang melimpah dan masih tersebar
diberbagai daerah,termasuk di Bali. Arsitektur Bali Aga adalah salah satu arsitektur vernakular
Indonesia yang berkembang pada masa kebudayaan Bali kuno sekitar abad 10-12 masehi
(Siwalatri, 2015). Pengetahuan tentang ilmu bangunan yang dimiliki masyarakat Bali Aga
masih tersipan dalam artefak bangunan yang masih tersisa. Pembangunan dan modernisasi
memberi pengaruh yang sangat besar pada bangunan vernakular,sehingga dibutuhkan
berbagai strategi untuk mendokumentasikan pengetahuan yang dimiliki masyarakat Bali Aga.
Tujuan penelitain ini adalah memahami tektonika pada arsitektur Bali Aga sebagaiilmu
pengetahuan tentang ilmu bangunan yang dimiliki masyarakat Bali.
Tektonika adalah pengetahuan tentang estetika sistem konstruksi bangunan (Potter, 2004).
Tektonika berkaitan dengan pengetahuan tentang bagaimana manusia melakukanmanipulasi
pada sumber daya alam yang ada disekitar mereka sehingga dapat digunakan untuk
384
memenuhi kebutuhan mereka. Tektonika adalah “art of joining material” oleh karena itu
karakteristik tektonika sangat dipengaruhi oleh material yang digunakan. Masyarakat Bali Aga
trsebar diberbagai daerah di Bali dan sumber daya alam yang ada di sekitar permukiman
mereka beragam, sehingga berkembang sistem konstruksi yang beragam juga. Pada
masyarakat Desa Pengotan dan Panglipuran berkembang arsitektur yang menggunakan
material bambu karena mereka memiliki banya hutan bambu. Sedangkan Desa Tenganan
banyak menggunakan kayu untuk bangunan mereka.
TEKTONIKA DALAM ARSITEKTUR
Secara etimologi tektonika berasal dari bahasa Yunani :tekton, yang memiliki pengertian
tukang kayu atau tukang bangunan (carpenter or builder). Tektonika dapat juga berasal dari
bahasa sansekerta taksan, yang berarti kerajinan dari tukang kayu (Frampton, 1995: 3).
Didalam pengertian ini terkandung nilai seni dari tukang kayu yang bekerja mengolah material
bangunan. Tektonika sering dilihat sebagai puisi pertukangan yang memiliki nilai estetika.
Istilah tektonika dalam arsitektur pertama kali digunakan oleh penulis Jerman Muller yang
menyatakan bahwa tektonika adalah menerapkan berbagai bentuk yang estetik pada berbagai
peralatan yang digunakan manusia. Penulis Jerman lainnya, Botticher menyatakan terminologi
tektonik dalam arsitektur adalah sistem yang menyatukan semua elemen bangunan menjadi
satu kesatuan yang utuh ( Frampton, 1995:4).
Semper adalah salah satu penulis yang banyak melihat arsitektur dari sudut pandang
tektonika. Menurutnya menciptakan bangunan dapat arsitektur diklasifikasi menjadi dua
prosedur yang fundamental yaitu tectonic of frame dan stereotomic. Tektonika adalah
bagaimana elemen garis, bidang yang bersifat ringan disusun/dibangun untuk membentuk
ruangan; dan stereotomik adalah bagimana material yang berat seperti tanah, batu dan batu
bata membentuk massa dan volume (Frampton, 1995: 6). Kedua pengelompokkan ini
didasarkan pada pengamatan yang dilakukan pada bangunan klasik Yunani, dimana perbedaan
material yang digunakan untuk tembok yaitu kayu dan batu.
Nilai budaya berkembang dalam sebuah masyarakat adalah berkaitan dengan bagaimana
manusia meletakkan dirinya di alam. Pada masyarakat tradisional, manuisa melihat alam
sebagai partner dimana keduanya saling membutuhkan; alam membutuhkan manusia untuk
merawat dan mempertahankannya dan manusia membutuhkan alam sebagai sumberdaya dan
sumber inspirasi. Arsitektur yang berkembang pada kelompok masyarakat sangat tergantung
cara pandang masyarakat pada lingkungan, oleh karena itu arsitektur yang diciptakan manusia
merupakan ekspresi dari cara pandang manusia pada lingkungan. Bentuk arsitektur yang
tercipta dari cara pandang ini memberikan warna spesifik, karena sangat dipengaruhi oleh
budaya lokal mereka (Frampton, 1995).
Hardiyati (2016) menyatakan bahwa detail bangunan (termasuk di dalamnya tektonika)
berperan sangat penting untuk menciptakan karakter tampilan bangunan, terutama bila
dikaitkan dengan peranan arsitektur sebagai media yang mengekspresikan nilai budaya
masyarakatnya, karena detail memiliki peranan guna dan citra yang menciptakan identitas
bagi budaya setempat. Penelitian Hardiyati tentang peranan detail dalam arsitektur rumah
Jawa menyimpulkan bahwa detail bangunan dan tektonika merupakan ekspresi dari
konektivitas pemikiran antara bentuk, konstruksi, material, dan ketukangan, dan konektivitas
itu dipengaruhi oleh manusia, budaya, alam dan kepercayaan masyarakatnya (Hardiyati,
Seminar Nasional Tradisi dalam Perubahan: Arsitektur Lokal dan Rancangan Lingkungan Terbangun - Bali, 3 November 2016
385
2016). Detail bangunan merupakan merupakan hasil cipta manusia yang merupakan hasil
akhir/resultante dari berbagai pertimbangan dan masalah yang dimiliki masyarakat setempat
dalam menciptakan bentuk arsitekturnya.
Tektonika tidak semata menyajikan masalah estetika visual, tetapi harus juga merupakan
penyelesaian masalah teknis konstruksi sesuai dengan karakteristik material yang digunakan.
Tektonika juga merupakan ekspresi pilihan yang dilakukan masyarakat, karena pemecahan
masalah teknik dan estetika memiliki spektrum yang luas, sehingga pilihan masyarakat
menjadi salah satu penentu perkembangan teknologi yang diterapkan dalam bangunan.
Kemampuan keterampilan masyarakat dalam teknologi ketukangan dan material yang
digunakan mempengaruhi bentuk detail tektonika yang dihasilkan.Disislain sitem kepercayaan
dan nilai budaya menjadi landasan filosofi masyarakat dalam menciptakan sistem
konstruksi/tektonika yang diciptakan. Semua faktor ini bersama-sama menghasilkan bentuk
arsitekturnya.
TEKTONIKA ARSITEKTUR BALI AGA
Tektonika arsitektur Bali aga dibahas berdasarkan material yang digunakan oleh masyarakat.
Pengetahuan tentang teknis membangun dengan penggunaan berbagai material dapat menjadi
bahasan yang menarik. Pembahasan dilakukan pada bagaimana masyarakat menyesaikan
masaleh teknis dan bagaimana logika pembebanan yang terjadi.
TEKTONIKA MENGGUNAKAN MATERIAL KAYU
Kayu merupakan material yang paling banyak digunakan padaarsitektur vernakular di
Indonesia atau di Bali. Penggunaan material kayu banyak digunakan karena material ini
banyak terdapat lingkunga tropis lembab seperti Indonesia. Selain itu kayu digunakan karena
material ini memiliki kekuatan dan keawetan yang dianggap cukup untuk dijadikan material
bangunan. Pada arsitektur Bali Aga kayu yang digunakan adalah kayu lokal seperti kayu teep,
juwet, kelapa, nangka/tewel, kutat dan sebagainya. Sedangkan untuk bangunan yang memiliki
fungsi sakral menggunakan kayu nangka/tewel dan cempaka dan pohon-pohon ini banyak
ditemukan di hutan di sekitar desa mereka. Pohon ini kadang tumbuh sendiri atau memang
sengaja ditanam untuk dijdikan material bangunan.
Kayu yang digunakan untuk material bangunan pada arsitektur Bali Aga pada umumnya sudah
dibentuk sesuai dengan kebutuhan. Sudah sangat jarang menemukan material kayu yang
digunakan masih dalam bentuk gelondongan/bulat. Hampir semua sudah diolah, dibentuk
sesuai dan dibuat dengan dimensi yang dibutuhkan sistem konstruksi. Bentuk material kayu
yang digunakan sudah berbentuk persegi dengan dimensi antara 10-20 cm untuk saka/kolom
kayu, 6-12 cm untuk balok dan dimensi pipih untuk papan. Seperti pada bangunan Bali Aga di
desa Tenganan dimensi kayu yang digunakan, terutama untuk bangunan yang digunakan
bersama, seperti Bale Agung, Bale teruna/daha memiliki dimensi yang cukup besar. Kayu yang
digunakan pada saka Bale Agung dengan bentuk persegi dengan dimensi berkisar antara 20-
25 cm, dan papan yang digunakan untuk waton dengan ketebalan 7-8 cm. Penggunaan
material kayu dengan dimensi yang cukup besar hanya digunakan untuk bangunan yang sakral
atau digunakan bersama.
386
Disetiap desa Bali Aga masyarakat memiliki tradisi yang mewajibkan pasangan yang menikah
untuk membangun rumah tinggal yang baru dan tidak diperbolehkan untuk bergabung dengan
orang tuanya, karena rumah tinggal dan tapak yang digunakan oleh orang tuanya harus
dikembalikan menjadi milik desa setelah keduanya meninggal (Siwalatri, 2015). Rumah
tinggal pada masyarakat Bali Aga tidak diwariskan, tetapi diserahkan kembali menjadi milik
desa. Kurun waktu yang diberikan bagi pasangan yang menikah untuk membangun rumah
yang baru berkisar antara 1-4 tahun. Pada umumnya pada kurun waktu yang disediakan
keluarga yang baru akan mempersiapkan material yang dibutuhkan untuk membangun rumah
tinggal mereka.
Pada masyarakat Bali Aga sumber daya alam adalah milik bersama, sehingga pasangan yang
baru dapat menggunakan sumber daya alam yang terdapat di hutan milik desa. Pasangan yang
baru menikah memilikihak untuk mendapatkan tanah garapan dan tanah untuk rumah/tegak
rumah dan selain itu dapat menggunakan pohon yang tumbuh dihutan milik desa untuk
material bangunan setelah mendapatkan ijin dari pemuka desa. Tradisi yang dimiliki desa-
desa Bali Aga ini memungkinkan masyarakat untuk mempersiapkan material yang dibutuhkan
untuk bangunan rumah tinggal secara bertahap.
Persiapan material secara bertahap memiliki beberapa tujuan antara lain disesuaikan dengan
kondisi ekonomi pemiliknya, (b) karena kayu yang digunakan diambil dari hutan atau
ditebang, oleh karena itu kayu membutuhkan waktu untuk proses pengeringan sehingga kadar
air dan kadar lengas kayu mencapai standard yang diperlukan, (c) dapat dilakukan secara
bergotong royong dan secara bertahap. Sistem konstruksi yang digunakan pada arsitektur
vernakular di Bali adalah sistem bongkar pasang/knock down dengan komponen konstruksi
dengan dimensi yang kecil dengan panjang berkisar antara 2,5-3 meter sehingga
pembangunannya tidak membutuhkan tenaga terampil/tukang dari luar tetapi dapat
dilakukan sendiri.
Sistem konstruksi yang dikembangkan oleh masyarakat Bali Aga juga mempertimbangkan
penggantian komponen tanpa harus membongkar bangunan. Pertimbangan ini terutama
diperhatikan pada bangunan yang digunakan bersama. Seperti pada bangunan Bale Agung
desa Tenganan, sistem konstruksi balok dan kolom dibuat sehingga dapat diganti
kalaumisalnya salah satu baloknya patah atau keropos. Sedangkan kolom utama/saka
menggunakan kayu pilihan dengan dimensi yang cukup besar yaitu balok 20/20 cm sehingga
kemungkinan patah atau keropos sangat minimal.
1. Sistem konstruksi purus dan lubang
Sistem sambungan purus dan lubang banyak ditemukan pada bangunan vernakular di
indonesia. Sistem sambungan ini merupakan salah satu sistem konstruksi yang digunakan
untuk menyatukan kolom dan balok sehingga membetuk sistem struktur yang rigid. Sistem
konstruksi ini dibuat dengan melobangi batang tegak/kolom/saka dan balok dimasukkan ke
dalam lubang. Sistem konstruksi kolom dilobangi di dua sisi kearah x dan y dan kolom menjadi
arah z.dan dengan sistem ini akan batang-batang akan membentuk poligon yang tertutup
sehingga struktur bangunan menjadi rigid/kaku (Gambar 1).
Penguasaan teknologi pada masyarakat Bali Aga masih sangat terbatas dan menggunakan alat
yang dimilikinya seperti kapak, gergaji, tabas, palu, dan sebagainya. Sehingga elemen
Seminar Nasional Tradisi dalam Perubahan: Arsitektur Lokal dan Rancangan Lingkungan Terbangun - Bali, 3 November 2016
387
konstruksi yang dibentuk tingkat presisinya tidak terlalu akurat. Pada sambungan purus dan
lubang, lobang pada kolom dibuat lebih besar dari purus balok yang akan disambungkan dan
untuk membuatnya kaku maka kelebihan dimensi lubang diselesaikan dengan lait, yaitu
potongan kayu yang membuat sambungan menjadi mati/tidak bergerak/fixed. Lait ini
berfungsi sebagai elemen yang menjustifikasi sistem konstruksi sehingga menjadi lebih presisi
dan fixed.
Gambar 1. Contoh sistem konstruksi purus dan lubang pada bangunan balai pertemuan desa
Tenganan (sumber hasil observasi, 2016)
Material yang digunakan untuk lait ini biasanya kayu dengan kualitas yang lebih kuat atau
minimal sama dengan elemen konstruksi utama sehingga dapat menyatu dengan konstruksi
utama/tidak pecah, karena pemasangannya biasanya dipukul dengan palu. Fungsi dari lait ini
adalah sebagai elemen kunci/pengunci yang dapat dibuka apabila dibutuhkan dan komponen
konstruksi dapat diurai kembali atau dipasang kembali/knock down.
Pada sistem konstruksi purus dan lubang selain diterapkan pada sambungan balok dan kolom
di bagian bawah, juga digunakan pada sambungan papan pengikat kolom yang
menghubungkan balok pinggir balai/slimar. Papan balok ini berfungsi untuk mengikat papan
slimar dan menjepin kolom kayu/saka. Papan Balok ini diletakkan di samping kolom dan
memiliki purus yang mengikat papan slimar (Gambar 2). Karena sistem sambungan hanya
menggunakan purus dan lobang, maka diperlukan sebuah elemen lagi yang mengunci sistem
sambungan ini. Masyarakat Tenganan menggunakan paju atau semacam paku yang dibuat dari
uyung (kayu enau) sehingga sistem sambungan menjadi kaku. Penggunaan paku uyung ini
banyak dipakai pada sambungan yang teretak dipinggir/ujung dan berbentuk
kantilever,sehingga karena posisinya berakibat sambungan itu memiliki momen karena tidak
ada yang menyangga dibawahnya kecuali purus yang memegang.
Sambungan purus dan lubang juga digunakan pada sambungan bagian atas saka yang
menguhungkan saka, lambang dan sineb. Kolom/saka dan balok/lambang dan sineb
388
dihubungkan dengan sistem konstruksi purus dan lubang. Sistem konstruksi yang digunakan
untuk sambungan ini memiliki dua variasi yaitu sambungan di bagian sudut dan sambungan
dibagian tenga (Gambar 2)
Gambar 2. Sistem konstruksi purusdan lubang padabagian atas kolom, sistem sambungan antara kolom dan balok disudut dan ditengah
Sumber: observasi, 2016
Konsekwensi dari banyak batang yang bertemu adalah banyak batang yang harus dilubangi
sehingga dapat melemahkan sistem konstruksi. Pada sambungan ini purus yang dibuat
maksimal 1/3 dari lebar kayu sehngga cukup kuat untuk menahan beban, tetapi tidak
melemahkan batang yang diubangi. Selain sistem konstruksi purus danlubang juga diterapakn
sistemsambungan takik setengah sehingga tidakada batang yang dominan tetapi menjadi
seimbang dan kaku. Kalau dilihat sistem sambungan yang digunakan nampak bahwa
keterampilan masyarakat Bali Aga pada pengetahuan pertukangan kayu sudah sangat maju,
walaupun peralatan yang digunakan masih sederhana dan terbatas. Keterampilan dan
pengetahuan yang dimiliki masyarakat Tenganan sudah sangat maju pada waktunya.
Bila dilihat dalam sumbu batang pada titik sambungan merupakan representasi dari tiga buah
sumbu yaitu sumbu X dan Y Pada titik sambungan ada tiga batang yang menyangga beban
yaitu balok sineb dan lambang untuk sumbu X, dan Kolom untuk sumbu Y. kedua batang ini
disatukan untuk menerima beban berat atap dan gaya-gaya horisontal. Dari skema
pembebanan dapat dilihat bahwa sistem konstruksi purus dan lubang pada sistem sambungan
ini dapat dilihat pada skema di bawah:
Seminar Nasional Tradisi dalam Perubahan: Arsitektur Lokal dan Rancangan Lingkungan Terbangun - Bali, 3 November 2016
389
Gambar 3. Skema momen pada sistem konstruksi balok dan lambang pada konstruksi bangunan Bali
Pada skema momen yang terjadi pada sambungan kolom dan balok, pada kedua titik
pertemuan merupakan tumpuan jepit, karena padakolom terdapat purus yang mmasukilubang
balok lambang. Dengan melihat titik tumpuan sebagi tumpuan jepit,maka bidang momen yang
diterima batang lambang menjadi lebih kecil, karena sebagaian di distribusi memnjadi beban
tarik ke arah yang berlawanan. Variasi sistem konstruksi kolom dan balok ada dua yaitu sistem
sambungan di sudut dan ditengah-tengahdisudut bangunan, namun bila dilihat sebagai skema
pembebanan pada prinsipnya memiliki pola pembebanan yang sama.
Gambar 4. Sketsa sistem sambungan kolom di sudut dan di tengah
Sumber: SATB, 2001
Pada skema momen yang terjadi pada sambungan kolom dan balok, padakedua titik
pertemuan merupakan tumpuan jepit, karena padakolom terdapat purus yang mmasukilubang
balok lambang. Dengan melihat titik tumpuan sebagi tumpuan jepit,maka bidang momen yang
diterima batang lambang menjadi lebih kecil, karena sebagaian di distribusi memnjadi beban
tarik ke arah yang berlawanan. Variasi sistem konstruksi kolom dan balok ada dua yaitu sistem
sambungan di sudut dan ditengah-tengahdisudut bangunan, namun bila dilihat sebagai skema
pembebanan pada prinsipnya memiliki pola pembebanan yang sama. Variasi sistem
sambungan terjadi pada sistem konstruksi ini adalah bentuk dan posisi purus kolom. Sistem
A B
390
sambungan pada kolom dengan posisi ditengah-tengah bentuk purusnya adalah untuk
memegang sineb dan lambang kearah memanjang dan memegang tadah paksi/lambang maya
ke arah memendek. Peranan purus ini adalah menghubungkan ketiga batang menjadi satu
kesatuan sistem konstruksi. Sedangkan pada sistem sambungan kolom di sudut, bentuk purus
dibuat diagonal untuk dapat memegang dua buah sineb lambang yang saling tegak lurus
(Gambar 3).
Pada gambar di atas nampak bahwa sistem sambungan antara kolom dan balok baik pada
sambungan sudut maupun pada posisi kolom di tengah-tengah, letak kolom terhadap balok
tidak sentris atau/di tengah-tengah, tetapi sedikit bergeser ke arah dalam sehingga posisinya
menjadi tidak sentris. Sisitem sambungan ini sedikit berbeda dengan logika pembebanan
modern yang menekankan pada penyaluran beban yang menerus. Sistem konstruksi bangunan
Bali merupakan hasildari uji coba yang panjang. Posisi kolom yang tidak sentris dibutuhkan
untuk menahan beban horisontal dan untuk menjadikan sistem konstruksi lebih presisi.
Sistem sambungan kolom dan balok pada bangunan Bali Aga memiliki variasi yang berbeda.
Balok di atas kolom diperpanjang seolah-olah dimensi bangunan diperlebar kesemua arah.
Posisi kolom terhadap balok diatas komom dibuat sentris. Perpanjangan balok ini banyak
dilakukan pada bangunan rumah tinggal. Dengan memperpanjang balok, maka terdapat dia
buah balok yaitu balok diatas kolomdan balok yang berada diluar kolom. Perpanjangan balok
yang diamati di lapangan berkisar antara 30-50 cm, dan balok di bagian luar akan menerima
beban usuk/iga-iga. Dengan konstruksi ini maka terjadi kantilever, sehingga beban atap
diterima oleh balok kantilever.
Sistem konstruksi merupakan salah satu strategi untuk memperkecil beban pada kolom.
Dengan memperpanjang balok dan meletakkan beban atap pada balok, maka skema momen
yang terjadi menjadi berubah (Gambar 5). Perpanjangan harus diperhitungkan dengan
seksama karena kalau terlalu panjang akan menyebabkan batang balok patah. Perpanjangan
maksimal yang masih dapat diterima adalah 1/5L. Dengan panjang bentang berkisar antara 2.5
s/d 3meter maka perpanjangan yang dapat diterima adalahmkasimal 50 cm. Dari observasi
yang dilakuakn pada bangunan Bali Aga di Desa Tenganan perpanjangan yang dilakukan
adalah berkisarantara 30-50 cm, sehingga menguntungkan sistem konsrturksi.
Gambar .5 skema momen pada sistem konstruksi balok dan lambang pada konstruksi bangunan Bali
Secara fungsional, dengan melakukan perpanjangan memungkinkan terbentuk ruangan diatas
balok sineb. Ruang ini dibutuhkan oleh masyarakat untuk meletakkan tempat atau ruangan
pemujaan di atas balok. Konsep ruang sakral di Bali Aga adalah ruang yang paling tinggi/ruang
teratas, sehingga perpanjangan yang dilakukan pada balok menjadi sangat fungsional.
A B
Seminar Nasional Tradisi dalam Perubahan: Arsitektur Lokal dan Rancangan Lingkungan Terbangun - Bali, 3 November 2016
391
Perpanjangan balok yang dilakukan juga memiliki perananuntukmenciptakan bentuk atap.
Pada bangunan rumah tinggal masyarakat Bali Aga pada umumnya menggunakan struktur
atap pelana yang dimodifikasi ssehingga nampak seperti bentuk limasan/kekampiahan
(Siwalatri, 2015). Untuk membuat atap kekampiahan, posisi balok jurai harus dibuat sedikit
keluar dari titik tumpuan. Perpanjangan balok di atas kolom dibutuhkan untuk meletakkan
balok jurai untuk membentuk atap kekampiahan
Dari analisis yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa bangunan vernakular merupakan
pendekatan yang holistik atau menyeluruh,karena merupakan hasil dari uji coba yang panjang.
Bangunan vernakular yang masih dapat dinikmati saat ini merupakan hasil dari berbagai
tumpukan lapisan evolusi danperkembangan ilmu pengetahuan yang dimiliki masyarakat.
Proses uji coba yang panjang dan dievaluasi dan mampu memenuhi semua fungsi yang
dibutuhkan pada bangunan vernakular, baik fungsi struktur yang sangat teknikal sampai pada
fungsi nilai simbolik yang di tempelkan pada elemen bangunan vernakular. Hasil analisis ini
akan menjadi pengetahuan bagi generasi selanjutnya melalui pemahaman pada peranan dan
sistem konstruksi tradisional.
2. Sistem Sambungan Perpanjangan
Pada masa lalaukarena keterbatasan teknologi, ketersediaan material dengan dimensi yang
dibutuhkan sangat terbatas. Pada masyarakat Bali Aga dengan keterbatasan keterampilan dan
alat yang dimiliki hanya mampu memproduksi material bangunan yang disediakan oleh alam
dengan dimensi yang relatif kecil/pendek. Untuk dimensi yang lebih panjang atau dengan
dimensi yang lebh besar mereka melakukan multifikasi atau penggandaan. Untuk
memperpanjang material seperti papan, atau balok masyarakat Bali Aga memiliki beberapa
pilihan, seperti dengan sambungan takik setengah, melakukan sambungan overlap pada titik
tumpuan, atau dengan sambungan ekor burung. Memperpanjang biasanya dibutuhkan untuk
papan waton, listplang, balok lambang, balok sunduk lantang dan sebagainya.
Apabiladianalisis dengan logika pembebanan variasi sambungan perpanjangan yang dilakukan
masyarakat sudah sesuai dengan pertimbangan pembebanan. Perpanjangan pada batang yang
tidak banyak menerima beban dilakukan dengan sambungan takik setengah atau ekor burung,
dan pada batang yang memiliki fungsi struktur dilakukan dengan overlapping batang pada
titik tumpuan (Gambar 6). Pemilihan sistem sambungan juga mempertimbangkan kemudahan
pelaksanaan dan kemungkinan penggantian.
Pada Balok yang memegang kolom di bagian bawah sambungan dilakukan pada setiap modul
kolom sehingga memudahkan pemasangan dan penggantian.Balok sunduk lantang dan sunduk
bawak saling menumpu dan bertemu di satu titik pertemuan. Balok sunduk lantang berfungsi
sebagai balok yang menyangga waton/papan tepian balai-balai. Balok sunduk lantang ini
berfungsi sebagai penyangga beban utama diatasnya. Bangunan ini adalah balai pertemuan
dimana masyarakat setempat melakukan rapat, dan biasanya mereka dudk dibagian tepi balai-
balai. Balok sunduk lantang ini dibuat fixed/kaku dengan lait di bagian atas dan bawah
sehingga menjadi kaku. Dengan sistem konstruksi ini maka apabila ada salah satu balok yang
rusak atau patah, maka dapat dengan mudah diganti dan dipasangkan balok yang baru.
392
Gambar 6. sambungan perpanjangan pada balok dan pada sunduk lantang Sumber: observasi 2016
Posisi balok sunduk lantang dan sunduk bawak membentuk bidang peregi empat yang kaku.
Pada Balai pertemuan di desa Tenganan untuk memperkuat bidang yang disangga di tengah
bidang ditambahkan balok untuk memperkecil bidang yang disangga. Logika memperkecil
bidang yang disangga sudah sesuai dengan logika pembebanan.
Gambar 7.sistem konstruksi perpanjangan di Bale petemon desa Tenganan
Sumber: observasi 2016
3. Sistem sambungan menumpu
Pada bangunan arsitektur Bali Aga ada beberapa sistem konstruksi yang hanya diletakkan
diatas batang balok dan hanya mempertimbangkan beban sendiri. Sistem konstruksi ini
digunakan pada struktur atap. Struktur atap bangunan pada arsitektur Bali Aga pada
umumnya menggunakan struktur atap pelana atau kekampiahan. Struktur atap ini terdidi dari
balok bubungan atau dedeleg, usuk/iga-iga dan penyangga balokbubungan/tugeh. Ketiga
elemen ini disatukan hanya dengan menumpukan satu elemen dengan lainnya. Ketiga
Seminar Nasional Tradisi dalam Perubahan: Arsitektur Lokal dan Rancangan Lingkungan Terbangun - Bali, 3 November 2016
393
elemenini menjadi kaku karena beban atap itu sendiri. Untuk memperkuat sambungan kadang
ditambahkan dengan ikat atau paju.
Untuk memperkuat tumpuan pada bagian atas balok bubungan ditambahkan dengan balok
diatasnya sehingga seperti terjepit, dan untuk menghias balok bubungan sering juga
ditambahkan dengan papan yang diberi hiasan ukiran atau lukisan (Gambar 7). Untuk
menyangga balok bubungan/dedeleg digunakan tugeh/kolom pendek yang menyangga balok
bubungan. Tugeh ini diletakkan diatas baloklambang/tadah paksi dengan membuat
klos/sepatu sehingga tidak melubangi balok. Tugeh ini hanya diletak di atas balok dan menjadi
kaku karena beban atap itu sendiri.
Gambar 8. sistem konstruksi yang hanya menumpu diatas balok
Sumber: observasi 2016
KESIMPULAN dan REKOMENDASI
Dari analisis yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa penguasaan teknologi tentang
bangunan oleh masyarakat Bali Aga sudah cukup tinggi terutama di desa Tenganan Kabupaten
Karangasem Bali. Variasi sistem konstruksi kayu yang digunakan berkembang sesuai dengan
kebutuhan masyarakat pada ruang dan meruapakan kekayaan pengetahuan masyarakat Bali
yang perlu dikonservasi untuk menjadisalah satu kekayaan pengetahuan lokal. Penggunaan
berbagai material dalam bangunan juga merupakan ekspresi penguasaan teknologi untuk
mengolah material yang tersedia di lingkungan mereka. Kekayaan variasi penggunaan material
memang terbatas, namun kemampuan masyaraat untuk mengolah keterbatasan tersebut
menjadi sesuatu yang patut dibanggakan. Sistem konstruksi yang diterapkan pada arsitektur
Bali Aga tidak hanya berfungsi untuk struktur bangunan tetapi juga memiliki makna simbolik
yang merupakan ekspresi nilai budaya masyarakat pada bangunan.
Penelitian tentang tektonika pada arsitektur Bali Aga harus dilanjutkan dengan melakukan
perhitungan kekuatan elemen struktur sehingga menghasilkan kesimpulan yang lebih
kuantitatif dan bersifat universal, sehingga dapat digunakan sebagai sumber ilmu pengetahuan
dan dapat dipelajari oleh generasi selanjutnya danmasyarakat luas.
394
REFERENSI
Ardika.I Wayan,Parimartha.I Gde,Wirawan,AA Bagus (2013) Sejarah Bali dari Pra Sejarah hingga Modern, Udayana University Press.
Barth , Fedrik (1993), Balinese World, The University of Chicago Press, Chicago and London.
Bronner, Simon, J, (2006), Building Tradition, Control and Authority in Vernacular Architecture, in Vernacular Architecture in theTwenty-first Century, Theory, Education and Practice, Routledge Taylor and Francis Group, London and New York.
Conway, Hazel and Rowan Roenisch (2005), Understanding Architecture, Routledge Taylor and Francis Group, London and New York.
Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (2011), Sejarah Bali Kuno, Direktorat Jendral Sejarah dan Purbakala, Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Bali.
Framton, Kenneth (1996), Rappel A L’Ordre, The Case for The Tectonic, dalam Theorizing a New Agenda For Architecture Anthology of Architectural Theory 1965-1995, Princenton Architecture Press.
Frampton, Kenneth (1995), Studies in Tectonic Culture, Massachusetts Institute of Technology, MIT Press.
Gibbs JR, Raymond, W, (2004), Intention in the Experience of Meaning, Cambridge University Press.
Hardiyati (2016), Detail dalam Arsitektur Jawa, Disertasi Doktor ITS surabaya
Linsday Asquith and Vellinga. Marcell (editor) (2006), Vernacular Architecture in theTwenty-first Century, Theory, Education and Practice, Routledge Taylor and Francis Group, London and New York.
Maniatidis, Vasilios and Walker Paul (2003), A Review of Rammed Earth Construction, Natural Building Technology Group Department of Architecture & Civil Engineering,University of Bath.
Mochsen, Sir Mohamad, dkk (2015), Model Tektonika Arsitektur Tongkonan Toraja, Prosiding SNST ke-6 Tahun 2015 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang.
Morsier, Yves de (tanpa tahun), A Manual for Rammed Earth Building, Desert Creek House - 802 Desert Creek Road - NUMBUGGA.
Porter, Tom (2004), Archispeak, an Illustrated Guide to Architectural Terms, Spon Press, Taylor and Francis Group, London and New York.
Prijotomo, Josef, dkk, (2009), Ruang di Arsitektur Jawa, Sebuah Wacana, Wastu Lanas Grafika, Surabaya.
Prijotomo, Josef (2010), Tektonika Bebadungan di Arsitektur Bali, Jurnal Nalar, Volume 9 Nomor 2 Juli 2010, pp 83-102.
Rapoport, Amos (1969), House Form and Culture, Prentice – Hall. Inc, Eaglewood Cliffs,NJ
Siwalatri, NI Ketut Ayu (2012), Tektonika Arsitektur Tradisional Bali, Seminar Nasional “Toward Empathic Architecture”. Jurusan Arsitektur, UK Petra Surabaya.
Siwalatri, Ni Ketut Ayu (2015), Makna Arsitektur Bali Aga di Kabupaten Buleleng Bali, Disertasi Doktor, ITS Surabaya.