tektonika arsitektur bali - unud

12
Seminar Nasional Tradisi dalam Perubahan: Arsitektur Lokal dan Rancangan Lingkungan Terbangun - Bali, 3 November 2016 383 TEKTONIKA ARSITEKTUR BALI Siwalatri, Ni Ketut Ayu Dosen Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik, Universitas Udayana Email: [email protected] Abstract Vernacular architecture is an architecture developed by etnic groups in accordance with the environmental conditions and the availability of natural resources that exist around their settlements. Bali Aga architecture including one of vernacular architecture in Bali. Bali Aga architecture is an architecture that flourished during the ancient Balinese, and this architecture that has unique characteristics. Building knowledge of Bali Aga community still contained in the artifacts and not much explored by academician. The purpose of this study is exploration and analysis of Bali Aga building tectonics and understand the symbolic value contained in the buildingcomponents. This research resulted that tectonics is well advanced and construction systems are applied to met with the principles of logic loading. Bali Aga tectonics in addition to functional also has a symbolic value that is expressed through building components. Keywords: tectonic, building material and aesthetic Abstrak Arsitektur Vernakular adalah arsitektur yang dikembangkan oleh kelompok masyarakat tertentu sesuai dengan kondisi lingkungan dan ketersediaan sumber daya alam yang ada disekitar permukiman mereka. Arsitektur Bali Aga termasuk salah satu arsitektur vernakular yag dimiliki masyarakat Bali. Arsitektur Bali Aga adalah arsitektur yang berkembang pada masa Bali kuno, dan merupakan arsitektur yang memiliki karakteristik unik. Pengetahuan tentang bangunan pada masyarakat Bali Aga masih tersimpan di dalam artefak dan belum banyak dieksploras. Tujuan penelitian ini adalan melakukan eksplorasi dan analisis tektonika bangunan rumah adat masyarakat Bali Aga dan memahami nilai simbolik yang terkandung yang diekspresikan dalam bangunan. Penelitian ini menghasilkan bahwa tektonika masyarakat Bali Aga sudah cukup maju dan sistem konstruksi yang diterapkan memenuhi prinsip logika pembebanan. Tektonika arsitektur Bali Aga selain bersifat fungsional juga memiliki nilai simbolik yang diekspresikan melalui komponen bangunan. Kata kunci: tektonik;,bahan bangunan; estetika PENDAHULUAN Indonesia memiliki kekayaan arsitektur vernakular yang melimpah dan masih tersebar diberbagai daerah,termasuk di Bali. Arsitektur Bali Aga adalah salah satu arsitektur vernakular Indonesia yang berkembang pada masa kebudayaan Bali kuno sekitar abad 10-12 masehi (Siwalatri, 2015). Pengetahuan tentang ilmu bangunan yang dimiliki masyarakat Bali Aga masih tersipan dalam artefak bangunan yang masih tersisa. Pembangunan dan modernisasi memberi pengaruh yang sangat besar pada bangunan vernakular,sehingga dibutuhkan berbagai strategi untuk mendokumentasikan pengetahuan yang dimiliki masyarakat Bali Aga. Tujuan penelitain ini adalah memahami tektonika pada arsitektur Bali Aga sebagaiilmu pengetahuan tentang ilmu bangunan yang dimiliki masyarakat Bali. Tektonika adalah pengetahuan tentang estetika sistem konstruksi bangunan (Potter, 2004). Tektonika berkaitan dengan pengetahuan tentang bagaimana manusia melakukanmanipulasi pada sumber daya alam yang ada disekitar mereka sehingga dapat digunakan untuk

Upload: others

Post on 10-Nov-2021

10 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: TEKTONIKA ARSITEKTUR BALI - UNUD

Seminar Nasional Tradisi dalam Perubahan: Arsitektur Lokal dan Rancangan Lingkungan Terbangun - Bali, 3 November 2016

383

TEKTONIKA ARSITEKTUR BALI

Siwalatri, Ni Ketut Ayu

Dosen Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik, Universitas Udayana

Email: [email protected]

Abstract

Vernacular architecture is an architecture developed by etnic groups in accordance with the environmental conditions and the availability of natural resources that exist around their settlements. Bali Aga architecture including one of vernacular architecture in Bali. Bali Aga architecture is an architecture that flourished during the ancient Balinese, and this architecture that has unique characteristics. Building knowledge of Bali Aga community still contained in the artifacts and not much explored by academician. The purpose of this study is exploration and analysis of Bali Aga building tectonics and understand the symbolic value contained in the buildingcomponents. This research resulted that tectonics is well advanced and construction systems are applied to met with the principles of logic loading. Bali Aga tectonics in addition to functional also has a symbolic value that is expressed through building components.

Keywords: tectonic, building material and aesthetic

Abstrak

Arsitektur Vernakular adalah arsitektur yang dikembangkan oleh kelompok masyarakat tertentu sesuai dengan kondisi lingkungan dan ketersediaan sumber daya alam yang ada disekitar permukiman mereka. Arsitektur Bali Aga termasuk salah satu arsitektur vernakular yag dimiliki masyarakat Bali. Arsitektur Bali Aga adalah arsitektur yang berkembang pada masa Bali kuno, dan merupakan arsitektur yang memiliki karakteristik unik. Pengetahuan tentang bangunan pada masyarakat Bali Aga masih tersimpan di dalam artefak dan belum banyak dieksploras. Tujuan penelitian ini adalan melakukan eksplorasi dan analisis tektonika bangunan rumah adat masyarakat Bali Aga dan memahami nilai simbolik yang terkandung yang diekspresikan dalam bangunan. Penelitian ini menghasilkan bahwa tektonika masyarakat Bali Aga sudah cukup maju dan sistem konstruksi yang diterapkan memenuhi prinsip logika pembebanan. Tektonika arsitektur Bali Aga selain bersifat fungsional juga memiliki nilai simbolik yang diekspresikan melalui komponen bangunan.

Kata kunci: tektonik;,bahan bangunan; estetika

PENDAHULUAN

Indonesia memiliki kekayaan arsitektur vernakular yang melimpah dan masih tersebar

diberbagai daerah,termasuk di Bali. Arsitektur Bali Aga adalah salah satu arsitektur vernakular

Indonesia yang berkembang pada masa kebudayaan Bali kuno sekitar abad 10-12 masehi

(Siwalatri, 2015). Pengetahuan tentang ilmu bangunan yang dimiliki masyarakat Bali Aga

masih tersipan dalam artefak bangunan yang masih tersisa. Pembangunan dan modernisasi

memberi pengaruh yang sangat besar pada bangunan vernakular,sehingga dibutuhkan

berbagai strategi untuk mendokumentasikan pengetahuan yang dimiliki masyarakat Bali Aga.

Tujuan penelitain ini adalah memahami tektonika pada arsitektur Bali Aga sebagaiilmu

pengetahuan tentang ilmu bangunan yang dimiliki masyarakat Bali.

Tektonika adalah pengetahuan tentang estetika sistem konstruksi bangunan (Potter, 2004).

Tektonika berkaitan dengan pengetahuan tentang bagaimana manusia melakukanmanipulasi

pada sumber daya alam yang ada disekitar mereka sehingga dapat digunakan untuk

Page 2: TEKTONIKA ARSITEKTUR BALI - UNUD

384

memenuhi kebutuhan mereka. Tektonika adalah “art of joining material” oleh karena itu

karakteristik tektonika sangat dipengaruhi oleh material yang digunakan. Masyarakat Bali Aga

trsebar diberbagai daerah di Bali dan sumber daya alam yang ada di sekitar permukiman

mereka beragam, sehingga berkembang sistem konstruksi yang beragam juga. Pada

masyarakat Desa Pengotan dan Panglipuran berkembang arsitektur yang menggunakan

material bambu karena mereka memiliki banya hutan bambu. Sedangkan Desa Tenganan

banyak menggunakan kayu untuk bangunan mereka.

TEKTONIKA DALAM ARSITEKTUR

Secara etimologi tektonika berasal dari bahasa Yunani :tekton, yang memiliki pengertian

tukang kayu atau tukang bangunan (carpenter or builder). Tektonika dapat juga berasal dari

bahasa sansekerta taksan, yang berarti kerajinan dari tukang kayu (Frampton, 1995: 3).

Didalam pengertian ini terkandung nilai seni dari tukang kayu yang bekerja mengolah material

bangunan. Tektonika sering dilihat sebagai puisi pertukangan yang memiliki nilai estetika.

Istilah tektonika dalam arsitektur pertama kali digunakan oleh penulis Jerman Muller yang

menyatakan bahwa tektonika adalah menerapkan berbagai bentuk yang estetik pada berbagai

peralatan yang digunakan manusia. Penulis Jerman lainnya, Botticher menyatakan terminologi

tektonik dalam arsitektur adalah sistem yang menyatukan semua elemen bangunan menjadi

satu kesatuan yang utuh ( Frampton, 1995:4).

Semper adalah salah satu penulis yang banyak melihat arsitektur dari sudut pandang

tektonika. Menurutnya menciptakan bangunan dapat arsitektur diklasifikasi menjadi dua

prosedur yang fundamental yaitu tectonic of frame dan stereotomic. Tektonika adalah

bagaimana elemen garis, bidang yang bersifat ringan disusun/dibangun untuk membentuk

ruangan; dan stereotomik adalah bagimana material yang berat seperti tanah, batu dan batu

bata membentuk massa dan volume (Frampton, 1995: 6). Kedua pengelompokkan ini

didasarkan pada pengamatan yang dilakukan pada bangunan klasik Yunani, dimana perbedaan

material yang digunakan untuk tembok yaitu kayu dan batu.

Nilai budaya berkembang dalam sebuah masyarakat adalah berkaitan dengan bagaimana

manusia meletakkan dirinya di alam. Pada masyarakat tradisional, manuisa melihat alam

sebagai partner dimana keduanya saling membutuhkan; alam membutuhkan manusia untuk

merawat dan mempertahankannya dan manusia membutuhkan alam sebagai sumberdaya dan

sumber inspirasi. Arsitektur yang berkembang pada kelompok masyarakat sangat tergantung

cara pandang masyarakat pada lingkungan, oleh karena itu arsitektur yang diciptakan manusia

merupakan ekspresi dari cara pandang manusia pada lingkungan. Bentuk arsitektur yang

tercipta dari cara pandang ini memberikan warna spesifik, karena sangat dipengaruhi oleh

budaya lokal mereka (Frampton, 1995).

Hardiyati (2016) menyatakan bahwa detail bangunan (termasuk di dalamnya tektonika)

berperan sangat penting untuk menciptakan karakter tampilan bangunan, terutama bila

dikaitkan dengan peranan arsitektur sebagai media yang mengekspresikan nilai budaya

masyarakatnya, karena detail memiliki peranan guna dan citra yang menciptakan identitas

bagi budaya setempat. Penelitian Hardiyati tentang peranan detail dalam arsitektur rumah

Jawa menyimpulkan bahwa detail bangunan dan tektonika merupakan ekspresi dari

konektivitas pemikiran antara bentuk, konstruksi, material, dan ketukangan, dan konektivitas

itu dipengaruhi oleh manusia, budaya, alam dan kepercayaan masyarakatnya (Hardiyati,

Page 3: TEKTONIKA ARSITEKTUR BALI - UNUD

Seminar Nasional Tradisi dalam Perubahan: Arsitektur Lokal dan Rancangan Lingkungan Terbangun - Bali, 3 November 2016

385

2016). Detail bangunan merupakan merupakan hasil cipta manusia yang merupakan hasil

akhir/resultante dari berbagai pertimbangan dan masalah yang dimiliki masyarakat setempat

dalam menciptakan bentuk arsitekturnya.

Tektonika tidak semata menyajikan masalah estetika visual, tetapi harus juga merupakan

penyelesaian masalah teknis konstruksi sesuai dengan karakteristik material yang digunakan.

Tektonika juga merupakan ekspresi pilihan yang dilakukan masyarakat, karena pemecahan

masalah teknik dan estetika memiliki spektrum yang luas, sehingga pilihan masyarakat

menjadi salah satu penentu perkembangan teknologi yang diterapkan dalam bangunan.

Kemampuan keterampilan masyarakat dalam teknologi ketukangan dan material yang

digunakan mempengaruhi bentuk detail tektonika yang dihasilkan.Disislain sitem kepercayaan

dan nilai budaya menjadi landasan filosofi masyarakat dalam menciptakan sistem

konstruksi/tektonika yang diciptakan. Semua faktor ini bersama-sama menghasilkan bentuk

arsitekturnya.

TEKTONIKA ARSITEKTUR BALI AGA

Tektonika arsitektur Bali aga dibahas berdasarkan material yang digunakan oleh masyarakat.

Pengetahuan tentang teknis membangun dengan penggunaan berbagai material dapat menjadi

bahasan yang menarik. Pembahasan dilakukan pada bagaimana masyarakat menyesaikan

masaleh teknis dan bagaimana logika pembebanan yang terjadi.

TEKTONIKA MENGGUNAKAN MATERIAL KAYU

Kayu merupakan material yang paling banyak digunakan padaarsitektur vernakular di

Indonesia atau di Bali. Penggunaan material kayu banyak digunakan karena material ini

banyak terdapat lingkunga tropis lembab seperti Indonesia. Selain itu kayu digunakan karena

material ini memiliki kekuatan dan keawetan yang dianggap cukup untuk dijadikan material

bangunan. Pada arsitektur Bali Aga kayu yang digunakan adalah kayu lokal seperti kayu teep,

juwet, kelapa, nangka/tewel, kutat dan sebagainya. Sedangkan untuk bangunan yang memiliki

fungsi sakral menggunakan kayu nangka/tewel dan cempaka dan pohon-pohon ini banyak

ditemukan di hutan di sekitar desa mereka. Pohon ini kadang tumbuh sendiri atau memang

sengaja ditanam untuk dijdikan material bangunan.

Kayu yang digunakan untuk material bangunan pada arsitektur Bali Aga pada umumnya sudah

dibentuk sesuai dengan kebutuhan. Sudah sangat jarang menemukan material kayu yang

digunakan masih dalam bentuk gelondongan/bulat. Hampir semua sudah diolah, dibentuk

sesuai dan dibuat dengan dimensi yang dibutuhkan sistem konstruksi. Bentuk material kayu

yang digunakan sudah berbentuk persegi dengan dimensi antara 10-20 cm untuk saka/kolom

kayu, 6-12 cm untuk balok dan dimensi pipih untuk papan. Seperti pada bangunan Bali Aga di

desa Tenganan dimensi kayu yang digunakan, terutama untuk bangunan yang digunakan

bersama, seperti Bale Agung, Bale teruna/daha memiliki dimensi yang cukup besar. Kayu yang

digunakan pada saka Bale Agung dengan bentuk persegi dengan dimensi berkisar antara 20-

25 cm, dan papan yang digunakan untuk waton dengan ketebalan 7-8 cm. Penggunaan

material kayu dengan dimensi yang cukup besar hanya digunakan untuk bangunan yang sakral

atau digunakan bersama.

Page 4: TEKTONIKA ARSITEKTUR BALI - UNUD

386

Disetiap desa Bali Aga masyarakat memiliki tradisi yang mewajibkan pasangan yang menikah

untuk membangun rumah tinggal yang baru dan tidak diperbolehkan untuk bergabung dengan

orang tuanya, karena rumah tinggal dan tapak yang digunakan oleh orang tuanya harus

dikembalikan menjadi milik desa setelah keduanya meninggal (Siwalatri, 2015). Rumah

tinggal pada masyarakat Bali Aga tidak diwariskan, tetapi diserahkan kembali menjadi milik

desa. Kurun waktu yang diberikan bagi pasangan yang menikah untuk membangun rumah

yang baru berkisar antara 1-4 tahun. Pada umumnya pada kurun waktu yang disediakan

keluarga yang baru akan mempersiapkan material yang dibutuhkan untuk membangun rumah

tinggal mereka.

Pada masyarakat Bali Aga sumber daya alam adalah milik bersama, sehingga pasangan yang

baru dapat menggunakan sumber daya alam yang terdapat di hutan milik desa. Pasangan yang

baru menikah memilikihak untuk mendapatkan tanah garapan dan tanah untuk rumah/tegak

rumah dan selain itu dapat menggunakan pohon yang tumbuh dihutan milik desa untuk

material bangunan setelah mendapatkan ijin dari pemuka desa. Tradisi yang dimiliki desa-

desa Bali Aga ini memungkinkan masyarakat untuk mempersiapkan material yang dibutuhkan

untuk bangunan rumah tinggal secara bertahap.

Persiapan material secara bertahap memiliki beberapa tujuan antara lain disesuaikan dengan

kondisi ekonomi pemiliknya, (b) karena kayu yang digunakan diambil dari hutan atau

ditebang, oleh karena itu kayu membutuhkan waktu untuk proses pengeringan sehingga kadar

air dan kadar lengas kayu mencapai standard yang diperlukan, (c) dapat dilakukan secara

bergotong royong dan secara bertahap. Sistem konstruksi yang digunakan pada arsitektur

vernakular di Bali adalah sistem bongkar pasang/knock down dengan komponen konstruksi

dengan dimensi yang kecil dengan panjang berkisar antara 2,5-3 meter sehingga

pembangunannya tidak membutuhkan tenaga terampil/tukang dari luar tetapi dapat

dilakukan sendiri.

Sistem konstruksi yang dikembangkan oleh masyarakat Bali Aga juga mempertimbangkan

penggantian komponen tanpa harus membongkar bangunan. Pertimbangan ini terutama

diperhatikan pada bangunan yang digunakan bersama. Seperti pada bangunan Bale Agung

desa Tenganan, sistem konstruksi balok dan kolom dibuat sehingga dapat diganti

kalaumisalnya salah satu baloknya patah atau keropos. Sedangkan kolom utama/saka

menggunakan kayu pilihan dengan dimensi yang cukup besar yaitu balok 20/20 cm sehingga

kemungkinan patah atau keropos sangat minimal.

1. Sistem konstruksi purus dan lubang

Sistem sambungan purus dan lubang banyak ditemukan pada bangunan vernakular di

indonesia. Sistem sambungan ini merupakan salah satu sistem konstruksi yang digunakan

untuk menyatukan kolom dan balok sehingga membetuk sistem struktur yang rigid. Sistem

konstruksi ini dibuat dengan melobangi batang tegak/kolom/saka dan balok dimasukkan ke

dalam lubang. Sistem konstruksi kolom dilobangi di dua sisi kearah x dan y dan kolom menjadi

arah z.dan dengan sistem ini akan batang-batang akan membentuk poligon yang tertutup

sehingga struktur bangunan menjadi rigid/kaku (Gambar 1).

Penguasaan teknologi pada masyarakat Bali Aga masih sangat terbatas dan menggunakan alat

yang dimilikinya seperti kapak, gergaji, tabas, palu, dan sebagainya. Sehingga elemen

Page 5: TEKTONIKA ARSITEKTUR BALI - UNUD

Seminar Nasional Tradisi dalam Perubahan: Arsitektur Lokal dan Rancangan Lingkungan Terbangun - Bali, 3 November 2016

387

konstruksi yang dibentuk tingkat presisinya tidak terlalu akurat. Pada sambungan purus dan

lubang, lobang pada kolom dibuat lebih besar dari purus balok yang akan disambungkan dan

untuk membuatnya kaku maka kelebihan dimensi lubang diselesaikan dengan lait, yaitu

potongan kayu yang membuat sambungan menjadi mati/tidak bergerak/fixed. Lait ini

berfungsi sebagai elemen yang menjustifikasi sistem konstruksi sehingga menjadi lebih presisi

dan fixed.

Gambar 1. Contoh sistem konstruksi purus dan lubang pada bangunan balai pertemuan desa

Tenganan (sumber hasil observasi, 2016)

Material yang digunakan untuk lait ini biasanya kayu dengan kualitas yang lebih kuat atau

minimal sama dengan elemen konstruksi utama sehingga dapat menyatu dengan konstruksi

utama/tidak pecah, karena pemasangannya biasanya dipukul dengan palu. Fungsi dari lait ini

adalah sebagai elemen kunci/pengunci yang dapat dibuka apabila dibutuhkan dan komponen

konstruksi dapat diurai kembali atau dipasang kembali/knock down.

Pada sistem konstruksi purus dan lubang selain diterapkan pada sambungan balok dan kolom

di bagian bawah, juga digunakan pada sambungan papan pengikat kolom yang

menghubungkan balok pinggir balai/slimar. Papan balok ini berfungsi untuk mengikat papan

slimar dan menjepin kolom kayu/saka. Papan Balok ini diletakkan di samping kolom dan

memiliki purus yang mengikat papan slimar (Gambar 2). Karena sistem sambungan hanya

menggunakan purus dan lobang, maka diperlukan sebuah elemen lagi yang mengunci sistem

sambungan ini. Masyarakat Tenganan menggunakan paju atau semacam paku yang dibuat dari

uyung (kayu enau) sehingga sistem sambungan menjadi kaku. Penggunaan paku uyung ini

banyak dipakai pada sambungan yang teretak dipinggir/ujung dan berbentuk

kantilever,sehingga karena posisinya berakibat sambungan itu memiliki momen karena tidak

ada yang menyangga dibawahnya kecuali purus yang memegang.

Sambungan purus dan lubang juga digunakan pada sambungan bagian atas saka yang

menguhungkan saka, lambang dan sineb. Kolom/saka dan balok/lambang dan sineb

Page 6: TEKTONIKA ARSITEKTUR BALI - UNUD

388

dihubungkan dengan sistem konstruksi purus dan lubang. Sistem konstruksi yang digunakan

untuk sambungan ini memiliki dua variasi yaitu sambungan di bagian sudut dan sambungan

dibagian tenga (Gambar 2)

Gambar 2. Sistem konstruksi purusdan lubang padabagian atas kolom, sistem sambungan antara kolom dan balok disudut dan ditengah

Sumber: observasi, 2016

Konsekwensi dari banyak batang yang bertemu adalah banyak batang yang harus dilubangi

sehingga dapat melemahkan sistem konstruksi. Pada sambungan ini purus yang dibuat

maksimal 1/3 dari lebar kayu sehngga cukup kuat untuk menahan beban, tetapi tidak

melemahkan batang yang diubangi. Selain sistem konstruksi purus danlubang juga diterapakn

sistemsambungan takik setengah sehingga tidakada batang yang dominan tetapi menjadi

seimbang dan kaku. Kalau dilihat sistem sambungan yang digunakan nampak bahwa

keterampilan masyarakat Bali Aga pada pengetahuan pertukangan kayu sudah sangat maju,

walaupun peralatan yang digunakan masih sederhana dan terbatas. Keterampilan dan

pengetahuan yang dimiliki masyarakat Tenganan sudah sangat maju pada waktunya.

Bila dilihat dalam sumbu batang pada titik sambungan merupakan representasi dari tiga buah

sumbu yaitu sumbu X dan Y Pada titik sambungan ada tiga batang yang menyangga beban

yaitu balok sineb dan lambang untuk sumbu X, dan Kolom untuk sumbu Y. kedua batang ini

disatukan untuk menerima beban berat atap dan gaya-gaya horisontal. Dari skema

pembebanan dapat dilihat bahwa sistem konstruksi purus dan lubang pada sistem sambungan

ini dapat dilihat pada skema di bawah:

Page 7: TEKTONIKA ARSITEKTUR BALI - UNUD

Seminar Nasional Tradisi dalam Perubahan: Arsitektur Lokal dan Rancangan Lingkungan Terbangun - Bali, 3 November 2016

389

Gambar 3. Skema momen pada sistem konstruksi balok dan lambang pada konstruksi bangunan Bali

Pada skema momen yang terjadi pada sambungan kolom dan balok, pada kedua titik

pertemuan merupakan tumpuan jepit, karena padakolom terdapat purus yang mmasukilubang

balok lambang. Dengan melihat titik tumpuan sebagi tumpuan jepit,maka bidang momen yang

diterima batang lambang menjadi lebih kecil, karena sebagaian di distribusi memnjadi beban

tarik ke arah yang berlawanan. Variasi sistem konstruksi kolom dan balok ada dua yaitu sistem

sambungan di sudut dan ditengah-tengahdisudut bangunan, namun bila dilihat sebagai skema

pembebanan pada prinsipnya memiliki pola pembebanan yang sama.

Gambar 4. Sketsa sistem sambungan kolom di sudut dan di tengah

Sumber: SATB, 2001

Pada skema momen yang terjadi pada sambungan kolom dan balok, padakedua titik

pertemuan merupakan tumpuan jepit, karena padakolom terdapat purus yang mmasukilubang

balok lambang. Dengan melihat titik tumpuan sebagi tumpuan jepit,maka bidang momen yang

diterima batang lambang menjadi lebih kecil, karena sebagaian di distribusi memnjadi beban

tarik ke arah yang berlawanan. Variasi sistem konstruksi kolom dan balok ada dua yaitu sistem

sambungan di sudut dan ditengah-tengahdisudut bangunan, namun bila dilihat sebagai skema

pembebanan pada prinsipnya memiliki pola pembebanan yang sama. Variasi sistem

sambungan terjadi pada sistem konstruksi ini adalah bentuk dan posisi purus kolom. Sistem

A B

Page 8: TEKTONIKA ARSITEKTUR BALI - UNUD

390

sambungan pada kolom dengan posisi ditengah-tengah bentuk purusnya adalah untuk

memegang sineb dan lambang kearah memanjang dan memegang tadah paksi/lambang maya

ke arah memendek. Peranan purus ini adalah menghubungkan ketiga batang menjadi satu

kesatuan sistem konstruksi. Sedangkan pada sistem sambungan kolom di sudut, bentuk purus

dibuat diagonal untuk dapat memegang dua buah sineb lambang yang saling tegak lurus

(Gambar 3).

Pada gambar di atas nampak bahwa sistem sambungan antara kolom dan balok baik pada

sambungan sudut maupun pada posisi kolom di tengah-tengah, letak kolom terhadap balok

tidak sentris atau/di tengah-tengah, tetapi sedikit bergeser ke arah dalam sehingga posisinya

menjadi tidak sentris. Sisitem sambungan ini sedikit berbeda dengan logika pembebanan

modern yang menekankan pada penyaluran beban yang menerus. Sistem konstruksi bangunan

Bali merupakan hasildari uji coba yang panjang. Posisi kolom yang tidak sentris dibutuhkan

untuk menahan beban horisontal dan untuk menjadikan sistem konstruksi lebih presisi.

Sistem sambungan kolom dan balok pada bangunan Bali Aga memiliki variasi yang berbeda.

Balok di atas kolom diperpanjang seolah-olah dimensi bangunan diperlebar kesemua arah.

Posisi kolom terhadap balok diatas komom dibuat sentris. Perpanjangan balok ini banyak

dilakukan pada bangunan rumah tinggal. Dengan memperpanjang balok, maka terdapat dia

buah balok yaitu balok diatas kolomdan balok yang berada diluar kolom. Perpanjangan balok

yang diamati di lapangan berkisar antara 30-50 cm, dan balok di bagian luar akan menerima

beban usuk/iga-iga. Dengan konstruksi ini maka terjadi kantilever, sehingga beban atap

diterima oleh balok kantilever.

Sistem konstruksi merupakan salah satu strategi untuk memperkecil beban pada kolom.

Dengan memperpanjang balok dan meletakkan beban atap pada balok, maka skema momen

yang terjadi menjadi berubah (Gambar 5). Perpanjangan harus diperhitungkan dengan

seksama karena kalau terlalu panjang akan menyebabkan batang balok patah. Perpanjangan

maksimal yang masih dapat diterima adalah 1/5L. Dengan panjang bentang berkisar antara 2.5

s/d 3meter maka perpanjangan yang dapat diterima adalahmkasimal 50 cm. Dari observasi

yang dilakuakn pada bangunan Bali Aga di Desa Tenganan perpanjangan yang dilakukan

adalah berkisarantara 30-50 cm, sehingga menguntungkan sistem konsrturksi.

Gambar .5 skema momen pada sistem konstruksi balok dan lambang pada konstruksi bangunan Bali

Secara fungsional, dengan melakukan perpanjangan memungkinkan terbentuk ruangan diatas

balok sineb. Ruang ini dibutuhkan oleh masyarakat untuk meletakkan tempat atau ruangan

pemujaan di atas balok. Konsep ruang sakral di Bali Aga adalah ruang yang paling tinggi/ruang

teratas, sehingga perpanjangan yang dilakukan pada balok menjadi sangat fungsional.

A B

Page 9: TEKTONIKA ARSITEKTUR BALI - UNUD

Seminar Nasional Tradisi dalam Perubahan: Arsitektur Lokal dan Rancangan Lingkungan Terbangun - Bali, 3 November 2016

391

Perpanjangan balok yang dilakukan juga memiliki perananuntukmenciptakan bentuk atap.

Pada bangunan rumah tinggal masyarakat Bali Aga pada umumnya menggunakan struktur

atap pelana yang dimodifikasi ssehingga nampak seperti bentuk limasan/kekampiahan

(Siwalatri, 2015). Untuk membuat atap kekampiahan, posisi balok jurai harus dibuat sedikit

keluar dari titik tumpuan. Perpanjangan balok di atas kolom dibutuhkan untuk meletakkan

balok jurai untuk membentuk atap kekampiahan

Dari analisis yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa bangunan vernakular merupakan

pendekatan yang holistik atau menyeluruh,karena merupakan hasil dari uji coba yang panjang.

Bangunan vernakular yang masih dapat dinikmati saat ini merupakan hasil dari berbagai

tumpukan lapisan evolusi danperkembangan ilmu pengetahuan yang dimiliki masyarakat.

Proses uji coba yang panjang dan dievaluasi dan mampu memenuhi semua fungsi yang

dibutuhkan pada bangunan vernakular, baik fungsi struktur yang sangat teknikal sampai pada

fungsi nilai simbolik yang di tempelkan pada elemen bangunan vernakular. Hasil analisis ini

akan menjadi pengetahuan bagi generasi selanjutnya melalui pemahaman pada peranan dan

sistem konstruksi tradisional.

2. Sistem Sambungan Perpanjangan

Pada masa lalaukarena keterbatasan teknologi, ketersediaan material dengan dimensi yang

dibutuhkan sangat terbatas. Pada masyarakat Bali Aga dengan keterbatasan keterampilan dan

alat yang dimiliki hanya mampu memproduksi material bangunan yang disediakan oleh alam

dengan dimensi yang relatif kecil/pendek. Untuk dimensi yang lebih panjang atau dengan

dimensi yang lebh besar mereka melakukan multifikasi atau penggandaan. Untuk

memperpanjang material seperti papan, atau balok masyarakat Bali Aga memiliki beberapa

pilihan, seperti dengan sambungan takik setengah, melakukan sambungan overlap pada titik

tumpuan, atau dengan sambungan ekor burung. Memperpanjang biasanya dibutuhkan untuk

papan waton, listplang, balok lambang, balok sunduk lantang dan sebagainya.

Apabiladianalisis dengan logika pembebanan variasi sambungan perpanjangan yang dilakukan

masyarakat sudah sesuai dengan pertimbangan pembebanan. Perpanjangan pada batang yang

tidak banyak menerima beban dilakukan dengan sambungan takik setengah atau ekor burung,

dan pada batang yang memiliki fungsi struktur dilakukan dengan overlapping batang pada

titik tumpuan (Gambar 6). Pemilihan sistem sambungan juga mempertimbangkan kemudahan

pelaksanaan dan kemungkinan penggantian.

Pada Balok yang memegang kolom di bagian bawah sambungan dilakukan pada setiap modul

kolom sehingga memudahkan pemasangan dan penggantian.Balok sunduk lantang dan sunduk

bawak saling menumpu dan bertemu di satu titik pertemuan. Balok sunduk lantang berfungsi

sebagai balok yang menyangga waton/papan tepian balai-balai. Balok sunduk lantang ini

berfungsi sebagai penyangga beban utama diatasnya. Bangunan ini adalah balai pertemuan

dimana masyarakat setempat melakukan rapat, dan biasanya mereka dudk dibagian tepi balai-

balai. Balok sunduk lantang ini dibuat fixed/kaku dengan lait di bagian atas dan bawah

sehingga menjadi kaku. Dengan sistem konstruksi ini maka apabila ada salah satu balok yang

rusak atau patah, maka dapat dengan mudah diganti dan dipasangkan balok yang baru.

Page 10: TEKTONIKA ARSITEKTUR BALI - UNUD

392

Gambar 6. sambungan perpanjangan pada balok dan pada sunduk lantang Sumber: observasi 2016

Posisi balok sunduk lantang dan sunduk bawak membentuk bidang peregi empat yang kaku.

Pada Balai pertemuan di desa Tenganan untuk memperkuat bidang yang disangga di tengah

bidang ditambahkan balok untuk memperkecil bidang yang disangga. Logika memperkecil

bidang yang disangga sudah sesuai dengan logika pembebanan.

Gambar 7.sistem konstruksi perpanjangan di Bale petemon desa Tenganan

Sumber: observasi 2016

3. Sistem sambungan menumpu

Pada bangunan arsitektur Bali Aga ada beberapa sistem konstruksi yang hanya diletakkan

diatas batang balok dan hanya mempertimbangkan beban sendiri. Sistem konstruksi ini

digunakan pada struktur atap. Struktur atap bangunan pada arsitektur Bali Aga pada

umumnya menggunakan struktur atap pelana atau kekampiahan. Struktur atap ini terdidi dari

balok bubungan atau dedeleg, usuk/iga-iga dan penyangga balokbubungan/tugeh. Ketiga

elemen ini disatukan hanya dengan menumpukan satu elemen dengan lainnya. Ketiga

Page 11: TEKTONIKA ARSITEKTUR BALI - UNUD

Seminar Nasional Tradisi dalam Perubahan: Arsitektur Lokal dan Rancangan Lingkungan Terbangun - Bali, 3 November 2016

393

elemenini menjadi kaku karena beban atap itu sendiri. Untuk memperkuat sambungan kadang

ditambahkan dengan ikat atau paju.

Untuk memperkuat tumpuan pada bagian atas balok bubungan ditambahkan dengan balok

diatasnya sehingga seperti terjepit, dan untuk menghias balok bubungan sering juga

ditambahkan dengan papan yang diberi hiasan ukiran atau lukisan (Gambar 7). Untuk

menyangga balok bubungan/dedeleg digunakan tugeh/kolom pendek yang menyangga balok

bubungan. Tugeh ini diletakkan diatas baloklambang/tadah paksi dengan membuat

klos/sepatu sehingga tidak melubangi balok. Tugeh ini hanya diletak di atas balok dan menjadi

kaku karena beban atap itu sendiri.

Gambar 8. sistem konstruksi yang hanya menumpu diatas balok

Sumber: observasi 2016

KESIMPULAN dan REKOMENDASI

Dari analisis yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa penguasaan teknologi tentang

bangunan oleh masyarakat Bali Aga sudah cukup tinggi terutama di desa Tenganan Kabupaten

Karangasem Bali. Variasi sistem konstruksi kayu yang digunakan berkembang sesuai dengan

kebutuhan masyarakat pada ruang dan meruapakan kekayaan pengetahuan masyarakat Bali

yang perlu dikonservasi untuk menjadisalah satu kekayaan pengetahuan lokal. Penggunaan

berbagai material dalam bangunan juga merupakan ekspresi penguasaan teknologi untuk

mengolah material yang tersedia di lingkungan mereka. Kekayaan variasi penggunaan material

memang terbatas, namun kemampuan masyaraat untuk mengolah keterbatasan tersebut

menjadi sesuatu yang patut dibanggakan. Sistem konstruksi yang diterapkan pada arsitektur

Bali Aga tidak hanya berfungsi untuk struktur bangunan tetapi juga memiliki makna simbolik

yang merupakan ekspresi nilai budaya masyarakat pada bangunan.

Penelitian tentang tektonika pada arsitektur Bali Aga harus dilanjutkan dengan melakukan

perhitungan kekuatan elemen struktur sehingga menghasilkan kesimpulan yang lebih

kuantitatif dan bersifat universal, sehingga dapat digunakan sebagai sumber ilmu pengetahuan

dan dapat dipelajari oleh generasi selanjutnya danmasyarakat luas.

Page 12: TEKTONIKA ARSITEKTUR BALI - UNUD

394

REFERENSI

Ardika.I Wayan,Parimartha.I Gde,Wirawan,AA Bagus (2013) Sejarah Bali dari Pra Sejarah hingga Modern, Udayana University Press.

Barth , Fedrik (1993), Balinese World, The University of Chicago Press, Chicago and London.

Bronner, Simon, J, (2006), Building Tradition, Control and Authority in Vernacular Architecture, in Vernacular Architecture in theTwenty-first Century, Theory, Education and Practice, Routledge Taylor and Francis Group, London and New York.

Conway, Hazel and Rowan Roenisch (2005), Understanding Architecture, Routledge Taylor and Francis Group, London and New York.

Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (2011), Sejarah Bali Kuno, Direktorat Jendral Sejarah dan Purbakala, Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Bali.

Framton, Kenneth (1996), Rappel A L’Ordre, The Case for The Tectonic, dalam Theorizing a New Agenda For Architecture Anthology of Architectural Theory 1965-1995, Princenton Architecture Press.

Frampton, Kenneth (1995), Studies in Tectonic Culture, Massachusetts Institute of Technology, MIT Press.

Gibbs JR, Raymond, W, (2004), Intention in the Experience of Meaning, Cambridge University Press.

Hardiyati (2016), Detail dalam Arsitektur Jawa, Disertasi Doktor ITS surabaya

Linsday Asquith and Vellinga. Marcell (editor) (2006), Vernacular Architecture in theTwenty-first Century, Theory, Education and Practice, Routledge Taylor and Francis Group, London and New York.

Maniatidis, Vasilios and Walker Paul (2003), A Review of Rammed Earth Construction, Natural Building Technology Group Department of Architecture & Civil Engineering,University of Bath.

Mochsen, Sir Mohamad, dkk (2015), Model Tektonika Arsitektur Tongkonan Toraja, Prosiding SNST ke-6 Tahun 2015 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang.

Morsier, Yves de (tanpa tahun), A Manual for Rammed Earth Building, Desert Creek House - 802 Desert Creek Road - NUMBUGGA.

Porter, Tom (2004), Archispeak, an Illustrated Guide to Architectural Terms, Spon Press, Taylor and Francis Group, London and New York.

Prijotomo, Josef, dkk, (2009), Ruang di Arsitektur Jawa, Sebuah Wacana, Wastu Lanas Grafika, Surabaya.

Prijotomo, Josef (2010), Tektonika Bebadungan di Arsitektur Bali, Jurnal Nalar, Volume 9 Nomor 2 Juli 2010, pp 83-102.

Rapoport, Amos (1969), House Form and Culture, Prentice – Hall. Inc, Eaglewood Cliffs,NJ

Siwalatri, NI Ketut Ayu (2012), Tektonika Arsitektur Tradisional Bali, Seminar Nasional “Toward Empathic Architecture”. Jurusan Arsitektur, UK Petra Surabaya.

Siwalatri, Ni Ketut Ayu (2015), Makna Arsitektur Bali Aga di Kabupaten Buleleng Bali, Disertasi Doktor, ITS Surabaya.