edisi lengkap jilid 2 - unud

450
The Santosa Hotel West Lombok Regency, West Nusa Tenggara August 20 th - 23 rd 2017 9 786025 094002 I SBN 602509400- 2 Edisi Lengkap 9 786025 094026 I SBN 602509402- 0 Jilid 2

Upload: others

Post on 01-Oct-2021

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

The Santosa HotelWest Lombok Regency, West Nusa Tenggara

August 20th - 23rd 2017

9 7 8 6 0 2 5 0 9 4 0 0 2

I SBN 602509400- 2Edisi Lengkap

9 7 8 6 0 2 5 0 9 4 0 2 6

I SBN 602509402- 0Jilid 2

Page 2: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

Proceeding I I

Page 3: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

Proceeding IIInternational Conference“Intellectual Property and Potential Resources for Public Welfare”

Person in Charge : Prof. Dr. H. Lalu Husni, SH.,M.Hum

Council Committee : Dr. Kaharudin, SH.,MH

Peer Review : Prof. Erman Rajagukguk, SH.,LLM., Ph.DProf. Dr. Agus Sardjono, SH.,MHProf. Rahmy Jened, SH.,MHDr. Yuliati, SH.,LLMNurul Barizah, SH.,LLM, Ph.DDr. Agung Sudjatmiko, SH.,MHDr. Winner Sitorus, SH.,MHDina W. Karyodimedjo, SH.,MH

Head of Steering Commite : L. Hayyan Ul Haq, SH, LLM, Ph.D

Deputy of Steering Commite : Dr. Kurniawan, SH.,M.Hum

Editor and Layout : Dwi Martini, SH.,MHAhmad Zuhairi, SH.,MHKhairus Febriyan Fitrahady, SH.,MHM. Riadussyah, SH.,MH

All right reservedCetakan 1 : Agustus 2017ISBN: 978-602-50940-0-2 ( Jilid Lengkap) 978-602-50940-1-9 ( Jilid 1)

Published by:Faculty of Law, University of Mataramin Cooperation with Association of Intellectual Property Lecturer of Indonesia

Page 4: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| iii |

Kata Pengantar

Tentang HKI sendiri di Indonesia walaupun sebenarnya sudah sejak lama diperkenalkan dan diatur, tetapi sepertinya, diam-diam masih banyak pihak mempertanyakan efektifitas keberlakuannya, sehingga dalam buku ini topik tersebut kembali diangkat sebagai bahan diskusi. Efektifitas pemberlakuan HKI di Indonesia dipengaruhi oleh 3 (tiga) faktor, yaitu kualitas perundang-undangan, aparat penegak hukum, dan pemahaman masyarakat.

Hak kekayaan intelektual (HKI) merupakan topic yang selalu menarik dalam diskusi akademis dan juga praktis. Kasus-kasus pembajakan hak cipta dimana person, lembaga, komunitas atau bahkan kita sebagai bangsa sering menjadi korban, semakin memperkuat fakta mengenai pentingnya kajian-kajian akademis mengenai HKI. Buku ini merupakan kumpulan kajian tentang HKI yang ditulis oleh para pengajar Hak Kekayaan Intelektual seluruh Indonesia. Berbagai isu yang terkait dengan topik ini dikaji dari berbagai perspektif dalam buku sehingga semakin memperkaya wacana dan dinamika diskusi mengenai hak kekayaan intelelektual.

Berbagai kajian yang dilakukan oleh para penulis dalam buku ini tentu masih terbuka untuk didiskusikan dan dikembangkan yang tentunya akan semakin memperluas atau memperdalam topik dalam setiap subyek yang didiskusikan. Tulisan-tulisan dalam buku ini memang dihajatkan untuk memancing diskusi yang lebih luas.

Sebagai sebuah upaya akademik, tulisan-tulisan atau kajian-kajian dalam buku ini perlu diapresiasi oleh semua pihak, dengan tetap menghilangkan daya kritis dan inovasi lanjutannya. Penerbit berharap, buku ini bisa menjadi pemantik untuk lahirnya karya-karya lain mengenai subyek yang sama. Buku prosedding ini dibuat menjadi dua jilid; jilid I merangkum naskah-naskah berbahasa Inggris dan jilid II merangkum naskah-naskah berbahasa Indonesia.

Mataram Agustus 2017 Editor

Page 5: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| iv |

International Conference August 20th - 23rd 2017

Daftar IsI

KEPARIWISATAAN BERBASIS BUDAYA KULINERDALAM PERSPEKTIF HUKUM KEKAYAAN INTELEKTUAL • 1- 19Ni Ketut Supasti Dharmawan, Desak Putu Dewi KasihNyoman Darmadha, Putu Aras Samshitawrati

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP HAK EKONOMI DAN HAK MORAL BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2014 TENTANG HAK CIPTA DALAM RANGKA PERLINDUNGAN BAGI PENCIPTA • 20 - 33Magdariza

PERLINDUNGAN HUKUM EKSPRESI BUDAYA TRADISIONAL YANG KOMPREHENSIF • 34 - 53Sigit Nugroho

PERLINDUNGAN INDIKASI GEOGRAFIS UNTUK PRODUK PERTANIAN: SKENARIO UNTUK MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN • 54 - 96Mas Rahmah

INDIKASI GEOGRAFIS SEBAGAI ASET DAERAH DALAM UPAYA MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT • 97 - 114I Wayan Wiryawan dan I Made Dedy Priyanto

TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH INDONESIA DALAM PERLINDUNGAN HUKUM INDIKASI GEOGRAFIS • 115 - 130Emilda Kuspraningrum

PENTINGNYA KEBERPIHAKAN PEMERINTAH DALAM PENGAMBILALIHAN PATEN OBAT-OBATAN SEBAGAI WUJUD JAMINAN PERLINDUNGAN KESEHATAN MASYARAKAT • 131 -145Ganefi

Page 6: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| v |

ARBITRATION AS A SINGLE COURT TO SETTLE THE PRIVATE DISPUTE, CRITICISM OF ACT NUMBER 20 YEAR 2016 ABOUT TRADEMARK AND GEOGRAPHIC INDICATION • 146 - 164Theresia N.A Narwadan

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL DALAM RANGKA LIBERALISASI PERDAGANGAN DALAM MASYARAKAT EKONOMI ASEAN DAN IMPLIKASI BAGI INDONESIA • 165 - 183Najmi

SELESA PELINDUNGAN HUKUM PENGETAHUAN TRADISIONAL DALAM UNDANG-UNDANG PATEN INDONESIA • 184 - 203M. Citra Ramadhan

APAKAH UNDANG-UNDANG MEREK “BENAR-BENAR” MELINDUNGI KONSUMEN? • 204 - 219Henny Marlyna

PENGATURAN HAK CIPTA BATIK SLEMAN: MENUJU PRODUK YANG RAMAH LINGKUNGAN DAN MENSEJAHTERAKAN MASYARAKAT SLEMAN • 220 - 234Budi Agus Riswandi

ANALISIS ASPEK KEPENTINGAN MASYARAKAT PADA UNDANG UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG PATEN • 235 - 256Catharina Ria Budiningsih

MENDORONG PENINGKATAN EKONOMI RAKYAT MELALUI PENDAFTARAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL DALAM REZIM INDIKASI GEOGRAFIS BAGI PETANI ”BERAS PULUT MANDOTI” DI KABUPATEN ENREKANG SULAWESI SELATAN • 257 - 273 Hasbir Paserangi

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP MAKANAN TRADISIONAL BERDASARKAN HUKUM MEREK DAN INDIKASI GEOGRAFIS • 274 - 189Endang Purwaningsih

Page 7: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| vi |

International Conference August 20th - 23rd 2017

PEMBERLAKUAN HUKUM KEKAYAAN INTELEKTUAL DALAM PRAKTIK DI INDONESIA (DILIHAT DARI BEBERAPA KASUS) • 290 - 320Djamal

IMPLEMENTASI PENDAFTARAN PATEN OBAT DAN FAKTOR MINIMNYA PENDAFTARAN PATEN OBAT BERDASARKAN UU NO 13 TAHUN 2016 • 321Anggraeni Endah K., Aniek Tyaswati W.L

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENGATURAN PASSING OFF ATAS MEREK TERKENAL BAGI KESEJAHTERAAN KONSUMEN DI INDONESIA • 343 - 356Doddy Kridasaksana

MERAJUT ASA: PERLINDUNGAN PENGETAHUAN TRADISIONAL TERKAIT SUMBER DAYA GENETIK KALIMANTAN BARAT • 357 - 378Aktris Nuryanti

PERLINDUNGAN HUKUM EKSPRESI BUDAYA TRADISIONAL SUKU OSING UNTUK KESEJAHTERAAN MASYARAKAT • 379 -387Nuzulia Kumala Sari

PERAN NEGARA DALAM MELINDUNGI SUMBER DAYA GENETIK DAN PENGETAHUAN TRADISIONAL BERDASARKAN REZIM HUKUM PATEN DI ERA MASYARAKAT EKONOMI ASEAN • 389 -410Simona Bustani

BINDING FORCE LICENSING AGREEMENTS TO THE HOLDER OF INTELLECTUAL PROPERTY RIGHTS WHO DO NOT ABORTED AFTER CANCELLATION AND DELETION OF INTELLECTUAL PROPERTY RIGHTS BY THE COURT • 411 - 442Devarita

Page 8: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD
Page 9: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 1 |

KEParIWIsataaN BErBasIs BUDaYa KULINEr DaLaM PErsPEKtIf HUKUM KEKaYaaN INtELEKtUaL

Ni Ketut Supasti Dharmawan, Desak Putu Dewi Kasih, Nyoman Darmadha, Putu Aras Samshitawrati

Fakultas Hukum Universitas Udayanaemail: [email protected]

ABSTRACT

Globalization with its character of technological innovations brings tremendous impacts on the development of world tourism, including tourism development in Bali Indonesia. Generally tourism is a culture-based tourism, but in its development in Indonesia, cultural tourism develops up to culinary cultural tourism and even food art. In connection with these developments, the integrated legal dimension is increasingly multidimensional, including the Intellectual Property law regime. It seems trade secret relevan to protect recipes and patent protection for cooking techniques. On the other hand, although protecting food culture is promising through the basis of traditional knowledge and traditional cultural expression, it tends to raise potential conflict in its implementation. In addition, copyright protection for food art is still debatable due to missing of fixation element of copyright.

Keywords: Tourism, Culinary Cultural, Intellectual Property Law

ABSTRAK

Globalisasi dengan karakter inovasi teknologi-informasinya tidak dapat diragukan lagi membawa pengaruh yang luar biasa terhadap perkembangan kepariwisataan dunia, termasuk didalamnya perkembangan kepariwisataan di Indonesia, khususnya di Bali. Di Indonesia, kepariwisataan umumnya berbasis pariwisata budaya, namun dalam perkembangannya pariwisata budaya berkembang hingga pariwisata budaya kuliner dan food art.. Berkaitan dengan perkembangan tersebut, dimensi hukum yang terintegrasi semakin multidimensi, termasuk rezim hukum Kekayaan Intelektual. Tampaknya rezim hukum rahasia dagang relevan untuk melindungi

Page 10: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 2 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

resep makanan dan perlindungan paten untuk proses atau tehnik membuat kuliner. Di sisi lain, meskipun budaya kuliner menjanjikan dilindungi melalui legal basis pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional namun berpotensi konflik dalam implementasinya. Perlindungan seni penyajian makanan berbasis Hak Cipta masih diperdebatkan disebabkan tidak terpenuhinya unsur persyaratan fiksasi.

Kata Kunci: Kepariwisataan, Budaya Kuliner, Hukum Kekayaan Intelektual

PENDAHULUAN

Perkembangan Industri kepariwisataan, termasuk budaya kuliner tidak dapat dipungkiri dipengaruhi oleh kemajuan inovasi informasi dan teknologi era globalisasi. Pada bagian Menimbang huruf a. Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan ditentukan bahwa keadaan alam, flora, dan fauna, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, serta peninggalan purbakala, peninggalan sejarah, seni dan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia merupakan sumber daya dan modal pembangunan kepariwisataan. Dalam perkembangannya sekarang ini, aspek seni dan budaya sebagai sumber daya dan modal kepariwisataan tidak hanya seni dan budaya yang tangible, namun juga mulai berkembang ke arah yang intangible seperti pengembangan kuliner yang bersumber dari budaya tradisional masyarakat setempat (food culture) serta pengembangan seni menghidangkan makanan (food art).

Keberadaan food culture atau dikenal juga dengan sebutan cultural tourism serta seni penyajian makanan (food art) menjadi penting dan relevan dalam perkembangan industri kepariwisataan, mengingat konsep kepariwisataan sangat multidimensi, termasuk juga memasuki ranah budaya makanan dan minuman yang disajikan kepada para wisatawan (tourists). Charles R. Goeldner & J.R. Brent Ritchie (2003) mengemukakan bahwa tourism is a composite of activities, services, and industries that deliver a travel experience: transportation, accomodations, eating and drinking establishments, shops, entertainment, activity facilities,

Page 11: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 3 |

and other hospitality servicesavailablefor individuals or groups that are traveling away from home.1 Bali sebagai salah satu destinasi pariwisata terbaik dunia,2 sekarang ini tidak hanya karena flora dan faunanya, keindahan alam pegunungan dan pantainya, namun juga karena budaya makanan tradisional menjadi food culture dan food art bagi para wisatawan. Wisata kuliner tidak hanya berkembang di Bali, juga di daerah lainnya seperti Lombok maupun Jakarta yang banyak memiliki hote-hotel bernintang dan restaurant terkenal serta didukung oleh Chefs yang sangat kreatif dan profesional.

Berkaitan dengan perkembangan model jasa kepariwisataan berbasis food culture dan food art, dimensi hukum yang terintegrasi juga semakin multidimensi, tidak hanya hukum kepariwisataan, hukum lingkungan, hukum administrasi negara berkaitan dengan perijinan, hukum bisnis kepariwisataan, bahkan yang tidak kalah pentingnya adalah dimensi hukum Kekayaan Intelektual (KI). Sehubungan dengan fenomena tersebut, dalam tulisan ini dieksplorasi permasalahan sebagai berikut: Apakah model pengembangan food culture yang bersumber dari budaya tradisional masyarakat setempat mendapat perlindungan hukum kekayaan Intelektual? Apakah food art yang dikembangkan oleh para Chef relevan dilindungi dengan skema hukum Hak Cipta mengingat kreatifitas food art mengandung unsur seni?

TUjUAN PENULiSAN

Tujuan penulisan ini adalah untuk mendiskusikan relevansi penggunaan rezim Hukum Kekayaan Intelektual dalam melindungi perkembangan budaya kuliner dalam kegiatan kepariwisataan serta penggunaan rezime hukum hak cipta dalam melindungi food art.

1Charles R. Goeldner & J.R. Brent Ritchie, 2003, Tourism: Principles, Practices, Philosophies, Ninth Edition, John Wiley & Sons Inc. Hoboken, New Jersey, USA, p.6.

2 Bali dinobatkan sebagai tujuan favorit urutan pertama pariwisata dunia (the greatest) , sementara urutan favorit kedua yaitu London Natalie Paris, 2017, Why Bali is the greatest destination on Earth (so says TripAdvisor), http://www.telegraph.co.uk/travel/news/bali-named-best-tourist-destination/, accessed June,2, 2017.

Page 12: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 4 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

HASiL DAN PEMBAHASAN

Globalisasi Dan Keterkaitannya Dengan Perkembangan Kepariwisataan

Dalam rangka mengembangkan destinasi pariwisata, termasuk daerah tujuan wisata Bali, pada awalnya lebih mempromosikan industri kepariwisataan yang berbasis budaya (focused on culture), namun kemudian juga mengembangkan destinasi pariwisata pantai. Sobocinska (2013:198) mengemukakan bahwa sejak perkembangan infrastruktur kepariwisataan pada masyarakat pantai seperti di Kuta, Sanur dan Nusa Dua, kegiatan kepariwisataan mulai dikembangkan ke arah marine environmental kepariwisataan mulai dikembangkan dari yang berbasis budaya ke wisata bahari, making it a “beach”-rather than cultural destination.3 Seiring dengan perkembangan waktu dan era zaman, kegiatan kepariwisataan yang bersifat multidimensi dan multidisiplinpun terus berkembang, tidak hanya berkembang ke arah destinasi berbasis laut atau pantai (beach), juga alam pegunungan, hingga perkembangan pariwisata budaya kuliner.

Berdasarkan Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No.10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan ditentukan bahwa kepariwisataan adalah keseluruhan kegiatan yang terkait dengan pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidisiplin yang muncul sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi antara wisatawan dan masyarakat setempat, sesama wisatawan, Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan pengusaha. Pada level internasional, The United Nations World Tourism Organization Global Code of Ethics for Tourism (UNWTO), lebih menekankan konsep kepariwisataan atau tourism sebagai sustainable tourism yaitu: tourism that takes full account of its current and future economic, social and environmental impacts, addressing the needs of visitors, the industry, the environment and host communities.4 Lebih jauh, sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, Charles R. Goeldner & J.R. Brent Ritchie mendifinisikan tourism is a composite of activities, services, and industries that deliver a travel experience: transportation,

3Thomas Wright, 2015, Water, Tourism, And Social Change: A Discussion of Environmental Perceptions in Bali, in the book: Recent Developments in BaliTourism, Program Studi Magister Kajian Pariwisata Unud in cooperation with Buku Arti, Denpasar, p. 181.

4The UNWTO, Conceptual Definition, http://www2.unwto.org/content/about-us-5, aaccessed June2, 2017.

Page 13: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 5 |

accomodations, eating and drinking establishments, shops, entertainment, activity facilities, and other hospitality services availablefor individuals or groups that are traveling away from home.5

Berdasarkan definisi kepariwisataan tersebut di atas, semakin terlihat bahwa kepariwisataan bersifat multidimensi dan multidisiplin, dimensi layanan jasanya sangat luas, tidak hanya industri pariwisata menyajikan transportasi, akomodasi perhotelan, panorama alam termasuk alam pegunungan maupun pantai (beach), aktivitas entertainments seperti berbagai kesenian termasuk dalam perkembangan akhir-akhir ini wisata budaya kuliner dan food art, namun juga aktivitas kepariwisataan tersebut dituntut memenuhi kebutuhan serta harmoni dengan interaksi antara pemerintah, pengusaha industri kepariwisataan, karyawan, wisatawan, serta yang tidak kalah pentingnya masyarakat setempat, yang berorientasi tidak hanya pada masa sekarang, namun juga generasi masa datang terkait pertumbuhan ekonomi, sosial, lingkungan yang senantiasa dilihat dari kebutuhan wisatawan, industri kepariwisataan maupun masyarakat setempat (host community).

Dalam pengembangan kepariwisataan tampak sangat penting memperhatikan kemanfaatan bagi masyarakat setempat. Sudah sewajarnya industri kepariwisataan yang berkembang di suatu daerah yang berbasis budaya termasuk budaya kuliner dapat mensejahtrkan masyarakat yang ada di wilayah tersebut. Jan Hendrik Peters & Wisnu Wardana mengemukakan bahwa Bali memiliki filosofi Tri Hita Karana, namun dalam perkembangan model pariwisata budaya pada era tahun 1999 telah menjadi mass tourism yang implementasinya jauh dari Tri Hita Karana. Pengembangan pariwisata budaya agar juga dirasakan manfaatnya bagi masyarakat lokal yang mendukung kegiatan pariwisata budaya, serta tidak merusak budaya, spiritual dan relegius magis dari Bali, strategi pengembangan pariwisata budaya sudah seharusnya berbasis Tri Hita Karana (THK) dan Community-based-tourism (CBT).6 Dalam konteks pengembangan pariwisata budaya kuliner dalam perspektif hukum kekayaan intelektual, model penerapan THK

5 Charles R. Goeldner & J.R. Brent Ritchie, loc.cit.6Jan hendrik Peters & Wisnu Wardana, 2013, Tri Hita Karana The Spirit of Bali,

Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, p. 341-388.

Page 14: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 6 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

dan CBT menjadi sangat relevan diterapkan dalam era globalisasi saat sekarang ini.

Perdagangan bebas (Free Trade Area) didukung dengan kemajuan teknologi informasi merupakan salah satu penciri globalisasi. Kegiatan perdagangan, baik perdagangan barang maupun jasa, termasuk jasa kepariwisataan dalam perkembangannya sekarang ini hampir tidak bisa dilepaskan dari pengaruh globalisasi. Perkembangan bisnis begitu cepat, melintasi batas-batas negara, dunia semakin terasa tanpa batas (borderless world). Globalisasi membawa dampak positif sekaligus negatif dalam perkembangan perdagangan, terlebih informasi tertransformasikan begitu cepat baik melalui media televisi maupun media sosial lainnya seperti website, instagram, face book, dan bentuk media sosial canggih lainnya. Menurut Pascal Lamy, dalam pidatonya (Speeches) di forum World Trade Organization (WTO) mengemukakan bahwa Globalization can be defined as a historical stage of accelerated expansion of market capitalism, like the one experienced in the 19th century with the industrial revolution. It is a fundamental transformation in societies because of the recent technological revolution which has led to a recombining of the economic and social forces on a new territorial dimension.7 Globalisasi membawa dampak sekaligus positif dan negatif. The world is flat, begitu salah satu teori yang dikemukakan oleh Thomas L. Friedman untuk menggambarkan betapa globalisasi bergerak begitu cepat pada hampir semua lini kehidupan manusia. Dikemukakannya bahwa globalized trade, outsourcing, supply-chaining, and political forces had permanently changed the world, for better and worse. He asserted that the pace of globalization was quickening and that its impact on business organization and practice would continue to grow.8 Dalam konteks the world is flat, dunia digambarkan tanpa batas, sehingga arus perdagangan barang dan jasa termasuk tenaga kerja-outsourcing bergerak begitu cepat tanpa hambatan.

Perkembangan bisnis kepariwisataan termasuk didalamnya pariwisata budaya kuliner dan kreasi food art juga tidak bisa dipisahkan

7DG Pascal Lamy, 2006, Humanising Globalization, WTO NEWS: SPEECHIES-DG PASCAL LAMY, , Santiago de Chile, https://www.wto.org/english/news_e/sppl_e/sppl16_e.htm, p.1.

8 Friedman, Thomas L, 2008, The Dell Theory of Conflict Prevention, Emerging: A Reader. Ed. Barclay Barrios. Boston: Bedford, St. Martins, p. 49

Page 15: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 7 |

dari pesatnya perkembangan globalisasi dengan sisi positif-negatifnya. Globalisasi dengan sisi positifnya, yaitu tampak dari faktor incorporated maupun terintegrasinya berbagai potensi-potensi baru dalam pengembangan kepariwisataan, termasuk berkembangnya potensi pariwisata budaya kuliner. Wisatawan sekarang ini tidak hanya berkunjung berwisata ke suatu daerah tujuan wisata hanya semata-mata ingin menikmati keindahan alam pegunungan, pantai, maupun pariwisata budaya seperti: kesenian tradisional tarian, lukisan maupun kerajinan tangan lainnya, namun juga ingin menikmati wisata kuliner yang khas dari budaya masyarakat setempat, yang diinformasikan melalui media global seperti TV Channels.

Perlindungan Food Culture Dalam Persefektif Hukum Kekayaan intelektual

Globalisasi dengan inovasi teknologi informasinya telah mempercepat berbagai ragam budaya kuliner dikenal dalam dimensi global. Salah satunya beragam jenis kuliner dari benoa Asia (Asian Food) disebarluaskan keberadaannya melalui tayangan food channels.9 Dalam perkembangannya semakin banyak juru masak profesional (Professional Chefs) mengembangkan hidangan kuliner bernuansa Asia, mereka tidak hanya dari negara-negara Asia bahkan dari Inggris, Amerika, maupun negara lainnya. Para Chef mempelajari dan mengangkat resep-resep tradisional dari negara Asia sebagai menu pilihan baik untuk kebutuhan konsumsi rumahan maupun bisnis restaurant dan hotel. Food Culture mulai memasuki ranah mega bisnis yang tentu saja membawa keuntungan bagi para pelaku bisnisnya termasuk para Chef.

Food Culture dapat didifinisikan dari berbagai disiplin ilmu, seperti misalnya food culture dalam bidang akademik ilmu kedokteran lebih mengarah pada difinisi tentang budaya makan yang berkaitan dengan diet makanan. Dalam konteks keilmuan antropologi dan sosiologi, pemahaman tentang food culture juga sangat beragam. Mintz (1996) mengemukakan bahwa budaya kuliner berkaitan dengan preferensi dan selera cita rasa yang berakar pada kondisi sosial dan ekonomi yang mendasari budaya makanan tersebut di suatu daerah. Sementara pakar

9Salah satu acara yang menyiarkan perkembangan Asian Food adalah Asian Food Channel (AFC).

Page 16: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 8 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

lainnya Askegaard dan Madsen (1998) mengemukakan bahwa budaya kuliner sangat bervariasi, baik pada tingkat mikro (keluarga) maupun pada tingkat makro (negara, wilayah dan kelompok sosial) yang terdiri dari sejumlah komponen budaya termasuk cita rasa, cara dan waktu makan, keterkaitan dengan isu gender serta nilai yang melekat pada makanan tersebut. Lebih jauh Lang & Rayner (2001), Lang & Heasman (2004), Lang & Haesnman (2006) serta Lang et.al. (2009) mengemukakan bahwa budaya makanan tidak hanya semata-mata tentang makna, praktik, dan pengetahuan tentang pertanian tempat sumber makanan tersebut yang dikelola oleh sekelompok orang tertentu, namun juga tentang bagaimana kita berhubungan dengan makanan tersebut, dimana dan bagaimana makanan tersebut dapat dibeli, bagaimana konsepsi kualitas dan normalitas makanan tersebut, serta abagaimana aspirasi kita terhadap makanan tersebut.10 Difinisi Food culture juga berkaitan dengan makna, selera, pengetahuan serta fenomena yang mempengaruhinya termasuk sejarah dan determinan strukturalnya.

Hasil penelitian terdahulu, menunjukkan bahwa menurut Hattersley & Dixon (2009) institusi sektor swasta dengan pengaruh komersialnya juga telah membawa perkembangan food culture semakin pesat, yaitu dari daerah habitatnya yang dipandang kenyamanan makanannya kurang baik, difasilitasi melalui promosi siap saji dan makanan olahan melalui periklanan maupun peningkatan ketersediaan di supermarket. Dalam sebuah studi tentang masakan Jepang, Ashkenazi dan Jacob (2000) menggambarkan bagaimana budaya makanan dipengaruhi baik oleh tingkat mikro, oleh toko-toko, keluarga dan media, dan pada tingkat makro oleh tiga jenis institusi: rumah, sekolah dan makanan umum. Dalam tatanan global, secara keseluruhan, bahwa budaya makanan’ tidak hanya menyangkut konsumsi makanan, tapi juga produksi dan tata kelola.11

Berdasarkan difinisi tersebut di atas tampak bahwa food culture atau budaya kuliner dapat diartikan bahwa suatu kuliner yang dalam situasi alamiah tumbuh dan berkembang di masyarakat lokal sesuai dengan keadaan sosial, budaya dan kondisi ekonomi lingkungannya.

10Ian Fitzpatrick, 2010, Understanding food culture in Scotland and its comparison in an international context: Implications for policy development, NHS Health, Scotland, p. 31-32.

11Ibid, p. 34-35.

Page 17: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 9 |

Dalam perkembangannya, budaya kuliner berkembang sangat pesat bahkan melintasi batas-batas negara. Perkembangan pesat di luar lingkungan alaminya banyak dipengaruhi oleh produksi dan tata kelola baik oleh perusahaan pertokoan, supermarket, restauran, perhotelan maupun media.

Cita rasa yang unik, lesat dan berbahan produk-produk tumbuhan dan bumbu herbal merupakan salah satu daya tarik dari olahan kuliner, yang sekaligus membedakannya dengan beragam food culture dari negara-negara barat. Dalam perkembangannya semakin banyak orang-orang menikmati kelesatan dan keunikan cita rasa budaya kuliner yang berasal dari kawasan Asia, termasuk dalam kegiatan berwisata, mereka memilih wisata kuliner yang bernuansakan Asia. Di satu sisi, fenomena seperti itu sesungguhnya merupakan suatu perkembangan yang baik. Namun di sisi lain, dari perspektif hukum kekayaan intelektual penting mempertimbangkan aspek perlindungan, kemanfaatan serta keadilan baik bagi sektor bisnis yang mengembangkan food culture tersebut ke dunia global, maupun masyarakat lokal sebagai sumber food culture yang pada awalnya hanya diturunkan dari generasi ke generasi di lingkungan masyarakatnya sendiri (masyarakat lokal), namun sekarang telah berkembag menjadi mega bisnis kuliner.

Dalam perspektif hukum kekayaan intelektual, kuliner relevan dilindungi melalui rezim hukum paten. Dalam konteks ini yang dapat dimohonkan perlindungan paten adalah inovasi teknologi di bidang proses pembuatan makanan ataupun cooking technique. Seperti misalnya bidang kuliner di Amerika dapat dilindungi melalui paten jenis Utility Patent.12 Kuliner yang dapat dimohonkan paten wajib memenuhi persyaratan novelty requirement. Dikemukakan bahwa “cooking technique must be extremely unique food techniques, a high threshold of originality and creativity is met. If the statutory requirements of novelty and non-obviousness are satisfied then a process is in fact patentable, legal protection will be granted to the inventor for a limited term.”13 Di Amerika untuk jenis Utility Patent selama dua pulut tahun terakhir. Dimungkinkannya kuliner dilindungi

12The US Code membedakan paten menjadi tiga (3) jenis yaitu: Utility Patent, Design Patent, and Plant Patent.

13Morgan P. Arons, 2015, A Chef ’s Guide to Patent Protection Available for Cooking Techniques and Recipes in the Era of Postmodern Cuisine and Moleculer Gastronomy, Journal of Business & technology Law, Volome 10 J.Bus.& Tech.L.137 (2015), p. 138-145

Page 18: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 10 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

melalui paten di Amerika berdasarkan ketentuan 35 U.S.C. § 101 yang pada intinya mengatur “Whoever invents or discovers any new and useful process, machine, manufacture, or composition of matter or any new and useful improvement thereof, may obtain a patent thereof, subject to the conditions and requirements of this title.” Contoh Case Jack Guttman Inc v. Kopykake Enterprises Inc kasus berkaitan dengan pelanggaran paten food process yang menggunakan teknologi, yaitu a baker produces “a birthday cake decorated with an edible version of the birtday child’s photograph”.14

Konstruksi hukum hak kekayaan intelektual lainnya yang relevan dikaitkan dengan perkembangan bisnis kuliner adalah design right protection, dalam konteks ini untuk melindungi mulai dari tampilan piring, bentuk dan hiasan dari kuliner tersebut yang relatif murah dan banyak digunakan oleh produsen perusahaan besar di bidang makanan atau kuliner seperti roti dan kue-kue kering, maupun coklat.15

Dengan mencermati konstruksi hukum sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya untuk melindungi perkembangan kreativitas kuliner, termasuk kuliner yang dikembangkan berbasis budaya dapat dikemukakan bahwa perkembangan kuliner potensial dilindungi melalui rezim hukum kekayaan intelektual.

Konstruksi hukum kekayaan intelektual yang relevan dalam melindungi food culture & food art diantaranya:16

1. Perlindungan melalui Paten. Paten relevan untuk melindungi produk makanan khususnya proses pembuatan makanan yang aktual, inovasi teknologi dibidang makanan berkaitan dengan bahan-bahan baru yang dipergunakan (new ingredients) dalam menghasilkan produk makanan.

2. Perlindungan melalui Hukum Merek. Rezim hukum ini relevan untuk melindungi produk makanan khususnya berkaitan dengan branding strategy dan effective branding strategies ensure the product is

14Ibid. p. 14515Simon Carter& DanaielDarwood, 2015, Protecting the Dishes & Culinary Skills

Delicious Creativity, in the second of a series of three article for Fine Dining Guide, leading London intellectual property lawyers Hansel Henson, http://fine-dining-guide.com/feature-legally-protecting-dishes-culinary-skills, accessed 25 June 2017.

16 Intellectual Property Law in the Food Sector, 2013, http://www.eversheds-sutherland.com/global/en/what/publications/shownews.page?News=en/ireland/ip-law-in-the-food-sector-june-2013, accessed 30 May 2017

Page 19: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 11 |

distinctive and valued.3. Perlindungan melalui Copyright. Rezim hukum Hak Cipta

menjadi relevan untuk perlindungan yang berkaitan dengan produk makanan, khususnya ketika resep dan produk makanan dituliskan dalam karya tulis (literary work) misalnya Buku.

4. Perlindungan melalui Rahasia Dagang (Trade Secret). Resep-resep makanan yang khas dan unik relevan dilindungi dengan konstruksi Rahasia Dagang.Rezim hukum kekayaan intelektual pada intinya melindungi

karya-karya kreatifitas manusia berkaitan dengan moral interest, social interest dan economic interest. Reward Theory yang menekankan pada kreativitas dan inovasi karya intelektual manusia akan diberikan reward dalam bentuk incentive. Esensi dari Reward Theory adalah: Inovation, Reward, Incentive.17 Menurut Robert M Sherword, Reward Theory mengacu pada pengakuan terhadap karya intelektual yang telah dihasilkan seseorang, sehingga kepadanya diberikan penghargaan atas upaya-upaya kreatifnya dalam menemukan atau menciptakan karya-karya intelektual.18 Dengan mencermati esensi dari teori tersebut, maka perkembangan karya kreatifitas seni maupun inovasi dalam bidang budaya kuliner maupun food presentation, termasuk dalam kegiatan kepariwisataan menjadi relevan dilindungi dengan konsep Reward theory.

Konstruksi hukum dalam level internasional yang paling komprehensif mengatur kekayaan intelektual saat sekarang ini adalah TRIPs Agreement. Berdasarkan TRIPs Agreement diatur bahwa terminologi Intellectual Property mengacu pada seluruh kategori yang tercakup dalam Section 1 sampai 7 dalam TRIPs yaitu: Copyright and Related Rights, Trademarks, Geographical Indications, Industrial Design, Patents, Layout-Designs, and Protection of Undisclosed Information.19

Dalam TRIPs Agreement, Paten diatur dalam Article 27-34, sedangkan secara nasional di Indonesia Paten diatur melalui U.U. No.

17Hector Mac Queen, et.al., 2007, Contemporary Intellectual Property Law and Policy, Oxford University Press, New York, p.10-11.

18Ranti Fausa Mayana, 2004, Perlindungan Desain Industri Di Indonesia dalam Perdagangan Bebas , Grasinda, Jakarta, h.46.

19F. Scott Kieff & Ralph Nack, 2008, International, United States and European Intellectual Property Selected Source Material 2007-2008, Aspen Publishers, new York, p.52-62.

Page 20: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 12 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

13 Tahun 2016 Tentang Paten. Rezim merek diatur dalam Article 12-21 TRIPs Agreement dan di Indonesia diatur melalui U.U. No. 20 Tahun 2016. Selanjutnya Copyright diatur dalam Article 9-14 TRIPs Agreement di Indonesia diatur melalui U.U. No. 28 Tahun 2014. Kemudian Undiscloused Information atau yang juga dikenal dengan sebutan Trade Secret diatur dalam Article 39 TRIPs Agreement serta di Indonesia diatur melalui U.U. No. 30 Tahun 2000. Industrial Design diatur dalam Article 25-26 TRIPs Agreement sementara itu di Indonesia pengaturannya tertuang dalam U.U. No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri. Keseluruhan ketentuan hukum tersebut relevan menjadi landasan perlindungan dari perkembangan food culture dan food art.

Perkembangan kreativitas kuliner, khususnya yang dikembangkan dari budaya tradisional masyarakat setempat sesungguhnya juga potensial dilindungi melalui ketentuan yang berkaitan dengan perlindungan Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya tradisional atau yang lazim dikenal dengan sebutan Traditional Knowledge & Traditional Cultural Expression. Dewasa ini, pemerintah daerah mulai banyak menaruh perhatian untuk mengembangkan budaya kuliner dalam rangka menunjang kegiatan kepariwisataan, salah satu contohnya Bali. Dalam rangka Pesta Kesenian Bali (PKB) yang kegiatannya dilakukan secara rutin tiap tahun sekali, Provinsi Bali juga mengembangkan dan mempromosikan berbagai budaya kuliner yang berasal dari seluruh kabupaten di Bali, yang diberi nama Kelompok Kuliner Bali (KKB). Di tingkat Kabupaten, seperti Kabupaten Tabanan juga mengembangkan budaya kuliner dari Tabanan dan diperkenalkan serta dipromosikan melalui suatu event “Tanah Lot Kreatifood And Art Festival 2017 ” harapannya kuliner berkembang di daerah dinikmati oleh masyarakat lokal, nasional serta internasional, secara ekonomi kreatif kemajuannya dapat dinikmati oleh masyarakat setempat.

Inspirator kegiatan ini yaitu Bapati Tabanan, mendesain kegiatannya dengan tujuan agar industri kreatif kuliner yang dikembangkannya dari warisan budaya lokal setempat benar-benar dapat meningkatkan kesejahtraan masyarakatnya. Tujuan lain dari kegiatan Creatif Food di tahun pertama (2017) dengan icon kekhasan kuliner berbahan dasar “Kuwir” (Duck) dimaksudkan agar usaha-

Page 21: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 13 |

usaha kuliner kreatif para pelaku UMKM di Tabanan tidak hanya cita rasa serta keunikannya dinikmati oleh masyarakat lokal dan nasional namun juga internasional.20 Dalam rangka mempromosikan wisata budaya kuliner tersebut, salah satu Chef terkenal di Indonesia yaitu Chef Juna membantu demonstrasi memasak unggulan kuliner Tabanan yaitu “Tum Kuwir”. Dalam event tersebut masyarakat yang mengembangkan bisnis dalam bentuk UMKM difasilitasi selain pembinaan melalui ekonomi kreatif UMKM juga disediakan tempat-tempat memamerkan sekaligus memasarkan kuliner khas yang berbasis budaya tradisional di lokasi festival yang berlangsung selama tiga hari dari tanggal 7 sampai 9 Juli 2017 bertempat di destinasi pariwisata Tanah Lot Tabanan.21

Pengembangan wisata kuliner berbasis budaya tradisional dari Tabanan Bali juga dipromosikan melalui acara siaran “Talk Show Bali TV “yang ditayangkan hari Sabtu tanggal 8 Juli 2017. Narasumber baik Kepala Dinas Koperasi Tabanan maupun Kepala Dinas Pariwisata Tabanan mengemukakan bahwa salah satu bidang dalam pembinaan UMKM di Tabanan adalah pengembangan kuliner khas Bali, khususnya dari wilayah Tabanan. Pembinaan diantaranya mencakup penyajian kuliner khas Bali dengan standarnya agar dapat dinikmati tidak hanya oleh wisata lokal dan nasional, namun juga internasional. 22

Perlindungan budaya kuliner meskipun potensial melalui konstruksi hukum Traditional Knowledge & Traditional Cultural Expression, yang mengedepankan konsep dan model perlindungan “Benefit Sharing”, namun tampaknya tidak mudah dalam implementasinya (problem implementation). Persoalan-persoalan muncul berkaitan dengan siapa kepada siapa ditujukan benefit sharing-nya, apakah ke pemerintah daerah tingkat provinsi, atau pemerintah daerah tingkat kabupaten, mungkin problem implementation akan bertambah lagi manakala di hamper sebagian besar kabupaten sesungguhnya mengenal jenis budaya kuliner tersebut. Seperti contoh semua Kapupatendi Bali

20Observasi dari acara press release yang dilakukan Bupati Tabanan, Chef Yuna dan Indra Herlambang di Tanah Lot pada tanggal 9 Juli 2017.

21Data bersumber dari observasi langsung di acara “Tanah Lot Creatif Food and Art Festifal”, Press Release Chef Yuna, Indra Herlambang, Manik, serta Bupati Tabanan: Ibu Eka.

22 Data bersumber dari acara “Talk Show” Bali TV tanggal 9 Juli 2017. Narasumber: A.A. Gede Dalem : Kadis Koperasi Tabanan, Sappe Sirait: DIR pengembangan Pasar Dalam Negeri, serta I Made Yasa: Kadis Pariwisata Tabanan

Page 22: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 14 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

mengenal dan merasa memiliki kuliner-kuliner seperti: “Sambel Matah” maupun “Ayam Betutu.” Dalam situasi seperti itu, jika benefit sharing hanya disampaikan kepada daerah tertentu, sementara daerah lainnya tidak menikmati, berpotensi menimbulkan problem baru pada masyarakat. Pada awalnya, sebelum budaya kuliner dibawa ke arena kepariwisataan mungkin mereka hidup dengan rukun dan damai, namun karena persoalan benefit sharing menyebabkan mereka berkonflik.

Perlindungan Food Art melalui Rezim Hukum Hak Cipta

Dalam praktiknya persoalan-persoalan muncul seiring dengan berkembangnya food art dalam bisnis kuliner. Kasus yang melibatkan chef dengan tuduhan melanggar karya seni kreatifitas food art dari chef terkenal lainnya banyak diajukan ke pengadilan dengan tuduhan pelanggaran Hak Cipta. Kasus-kasus tersebut diantaranya: Kim Seng Company vs. J&A Importers Inc diajukan di Central District Court of California, kasus ini berkaitan dengan Chinese-Vietnamese food supply. Kasus fenomenal lainnya adalah sekandal kuliner yang cukup menghebohkan dunia pada tahun 2006, melibatkan Chef Robin Wickens di Interlude Melbourne dituduh telah meng-copy karya seni food presentation atau food art karya Chef Amerika: Wylie Dufresne (WD-50), Jose Andres (Minibar) dan Grant Achatz (Allinia).23 Ketentuan hukum Hak Cipta atau Copyright menjadi salah satu konstruksi hukum yang mulai dijadikan landasan hukum dalam melindungi karya food art, meskipun dalam implementasinya masih memerlukan perjuangan karena beberapa elemen persyaratan dari copyright tidak dapat terpenuhi oleh food art sebagai karya yang relevan mendapatkan perlindungan copyright, utamanya tidak terpenuhinya unsur fixation.

23Cathay Y. N. Smith , 2014, Food Art: Protecting «Food Presentation» Under U.S. Intellectual Property Law, 14 J. MARSHALL REV. INTELL. PROP. L. 1 (2014), p. 1-6.

Page 23: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 15 |

Gambar 1: Contoh Food Art atau Food Presentation (Bubur Ayam/Chicken Porridge)

Source: https://www.google.co.id/search?q=example+of+food+art+traditional+culinary&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ved=0ahUKEwie3

ru_tYrVAhVLMo8KHT_ACtsQ_AUICigB&biw=723&bih=714#tbm=isch&q=example+of+food+art+chef+indonesia&imgrc=jndSBP7yTAFvgM:

Gambar 2: Contoh Food Art atau Food Presentation (Sushi)

Source: https://www.google.co.id/search?q=example+of+food+art+traditional+culinary&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ved=0ahUKEwie3ru_

Page 24: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 16 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

tYrVAhVLMo8KHT_ACtsQ_AUICigB&biw=723&bih=714#tbm=isch&q=example+of+food+art+traditional+sushi&imgrc=Y0H-mYw8bYp9bM:

Gambar 3. Sate Lilit oleh Chef Rin Rin Marinka Sumarie

Sumber: https://www.google.co.id/search?q=sate+lilit+chef+marinka+afc&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ved=0ahUKEwibhsKGoZrVAhVIG5QKHd94BD8Q_AUICigB&biw=1242&bih=602#imgrc=tK

zb-sR3ImWIRM:

SiMPULAN

Perkembangan budaya kuliner yang juga dikenal dengan sebutan Food Culture atau Culinary Cultural dalam kegiatan kepariwisataan relevan dilindungi melalui rezime hukum hak kekayaan intelektual, seperti rezim hukum rahasia dagang relevan untuk melindungi resep makanan dan perlindungan paten untuk proses atau tehnik membuat kuliner. Di sisi lain, meskipun budaya kuliner menjanjikan dilindungi melalui konstruksi hukum yang berkaitan dengan pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional namun berpotensi konflik dalam implementasinya. Perlindungan seni penyajian makanan (food art) berbasis Hak Cipta masih diperdebatkan disebabkan tidak terpenuhinya unsur persyaratan fixation.

Page 25: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 17 |

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Charles R. Goeldner & J.R. Brent Ritchie, 2003, Tourism: Principles, Practices, Philosophies, Ninth Edition, John Wiley & Sons Inc. Hoboken, New Jersey, USA

F. Scott Kieff & Ralph Nack, 2008, International, United States and European Intellectual Property Selected Source Material 2007-2008, Aspen Publishers, New York

Friedman, Thomas L, 2008, The Dell Theory of Conflict Prevention, Emerging: A Reader. Ed. Barclay Barrios. Boston: Bedford, St. Martins

Hector Mac Queen, et.al., 2007, Contemporary Intellectual Property Law and Policy, Oxford University Press, New York

Ian Curry-Summer et.al., 2010, Research Skill Instruction for Lawyers, School of Law, Utrecht University, Nijmegen the Netherlands

Ian Fitzpatrick, 2010, Understanding food culture in Scotland and its comparison in an international context: Implications for policy development, NHS Health, Scotland

Jan hendrik Peters & Wisnu Wardana, 2013, Tri Hita Karana The Spirit of Bali, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta

Ranti Fausa Mayana, 2004, Perlindungan Desain Industri Di Indonesia dalam Perdagangan Bebas , Grasinda, Jakarta

Sabian Utsman, 2014, Metodologi Penelitian Hukum Progresif, Pustaka Pelajar, Yogyakarta

Terry Hutchinson, 2002, Researching and Writing in Law, Lawbook co, A Thomson Company, Riverwood, NSW, Australia

Thomas Wright, 2015, Water, Tourism, And Social Change: A Discussion of Environmental Perceptions in Bali, in the book: Recent Developments in BaliTourism, Program Studi Magister Kajian Pariwisata Unud in cooperation with Buku Arti, Denpasar

jurnal

Page 26: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 18 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

Cathay Y. N. Smith , 2014, Food Art: Protecting “Food Presentation” Under U.S. Intellectual Property Law, 14 J. MARSHALL REV. INTELL. PROP. L. 1 (2014),

Morgan P. Arons, 2015, A Chef ’s Guide to Patent Protection Available for Cooking Techniques and Recipes in the Era of Postmodern Cuisine and Moleculer Gastronomy, Journal of Business & technology Law, Volome 10 J.Bus.& Tech.L.137 (2015)

internet

DG Pascal Lamy, 2006, Humanising Globalization, WTO NEWS: SPEECHIES-DG PASCAL LAMY, , Santiago de Chile, https://www.wto.org/english/news_e/sppl_e/sppl16_e.htm aaccessed June2, 2017

Intellectual Property Law in the Food Sector, 2013, http://www.eversheds-sutherland.com/global/en/what/publications/shownews.page?News=en/ireland/ip-law-in-the-food-sector-june-2013, accessed 30 May 2017

Natalie Paris, 2017, Why Bali is the greatest destination on Earth (so says TripAdvisor), http://www.telegraph.co.uk/travel/news/bali-named-best-tourist-destination/, accessed June,2, 2017.

Simon Carter& DanaielDarwood, 2015, Protecting the Dishes & Culinary Skills Delicious Creativity, in the second of a series of three article for Fine Dining Guide, leading London intellectual property lawyers Hansel Henson, http://fine-dining-guide.com/feature-legally-protecting-dishes-culinary-skills, accessed 25 June 2017

The UNWTO, Conceptual Definition, http://www2.unwto.org/content/about-us-5, aaccessed June2, 2017

https://www.google.co.id/search?q=example+of+food+art+traditional+culinary&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ved=0ahUKEwie3ru_tYrVAhVLMo8KHT_ACtsQ_AUICigB&biw=723&bih=714#tbm=isch&q=example+of+food+art+traditional+sushi&imgrc=Y0H-mYw8bYp9bM: aaccessed June2, 2017

https://www.google.co.id/search?q=example+of+food+art+traditional+culinary&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ved=0ahUKEwie3ru_tYrVAhVLMo8KHT_ACtsQ_AUICigB&biw=723&bih

Page 27: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 19 |

=714#tbm=isch&q=example+of+food+art+chef+indonesia&imgrc=jndSBP7yTAFvgM aaccessed June2, 2017

Peraturan Perundang-Undangan

TRIPs Agreement

UN WTO

Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan

Undang-Undang No. 13 Tahun 2016 Tentang Paten

Undang-Undang No. 20 Tahun 2016 Tantang Merek dan Indikasi Geografis

Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta

Undang-Undang No. 30 Tahun 2000 Tantang Rahasia Dagang

Undang-Undang No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri

Page 28: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 20 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

tINJaUaN YUrIDIs tErHaDaP HaK EKONOMI DaN HaK MOraL BErDasarKaN UNDaNG-UNDaNG

NOMOr 28 taHUN 2014 tENtaNG HaK CIPta DaLaM raNGKa PErLINDUNGaN BaGI PENCIPta

MagdarizaFakultas Hukum Universitas Andalas

email: [email protected]

ABSTRACT

Copyright is one of the intellectual property rights, an exclusive right of the inventor automatically gained on a basis of declarative principle after an invention is realized in a real form, notwithstanding the limitations stipulated in applicable legislations. Law No. 28 of 2014 states that in a copyright there are both economic right and moral right of the inventor. The economic rights include among others reproduction right, publication right, demonstration right, etc. The economic rights are also related to any financial values that may be earned from an invention on which the inventor has a right when it is commercialized. Meanwhile, moral right is one that protects the inventor’s personal interest or reputation. It is adhered to the inventor’s person, that is, when the copyright is transferred to other, moral right cannot be separated from the inventor, being personal and permanent in nature. The character of personal indicates a characteristic relating to reputation, competence, and integrity solely owned by the inventor. By permanent is meant that the right is adhered to the inventor on a lifelong basis and even after he or she has died. The inclusion of both copyright and moral right in the law is a measure of providing protection to those inventors who have painstakingly produced any creation in science, art, and literature.

Keywords: Economic Right, Moral Right, Protection of Inventor.

PENDAHULUAN

Di era globalisasi saat ini dengan berbagai teknologi yang sudah semakin maju, setiap orang dapat memanfaatkan teknologi saat ini

Page 29: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 21 |

dengan mudah untuk melakukan usaha guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Akan tetapi dengan kemajuan teknologi saat dapat dengan mudah melakukan Pembajakan terhadap hasil karya orang lain dan di jual untuk mendapatkan keuntungan dari hasil pembajakan hasil karya orang lain. Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan bahwa pembajakan merupakan pelanggaran hak cipta, dikatakan pelanggaran hak cipta karena telah melanggar hak eksklusif dari pencipta atau pemegang hak cipta. Hak eksklusif adalah hak yang semata-mata diperuntukkan bagi pemegangnya sehingga tidak ada pihak lain yang boleh memanfaatkan seperti mengumumkan atau memperbanyak hak tersebut tanpa izin pemegangnya. Dalam pengertian “mengumumkan atau memperbanyak” adalah termasuk didalamnya kegiatan menerjemahkan, mengadaptasi, menjual, menyewa dan mengomunikasikan ciptaan kepada publik melalui sarana apapun.

Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Konsep hak cipta di Indonesia merupakan terjemahan dari konsep copyright dalam bahasa Inggris (secara harafiah artinya “hak salin”). Copyright ini diciptakan sejalan dengan penemuan mesin cetak. Sebelum penemuan mesin ini oleh Gutenberg, proses untuk membuat salinan dari sebuah karya tulisan memerlukan tenaga dan biaya yang hampir sama dengan proses pembuatan karya aslinya. Sehingga, kemungkinan besar para penerbitlah, bukan para pengarang, yang pertama kali meminta perlindungan hukum terhadap karya cetak yang dapat disalin.

Awalnya, hak monopoli tersebut diberikan langsung kepada penerbit untuk menjual karya cetak. Baru ketika peraturan hukum tentang copyright mulai diundangkan pada tahun 1710 dengan Statute of Anne di Inggris, hak tersebut diberikan ke pengarang, bukan penerbit. Peraturan tersebut juga mencakup perlindungan kepada konsumen yang menjamin bahwa penerbit tidak dapat mengatur penggunaan karya cetak tersebut setelah transaksi jual beli berlangsung. Selain itu, peraturan tersebut juga mengatur masa berlaku hak eksklusif bagi pemegang copyright, yaitu selama 28 tahun, yang kemudian setelah itu karya tersebut menjadi milik umum. Indonesia saat ini

Page 30: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 22 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

telah meratifikasi konvensi internasional dibidang hak cipta yaitu namanya Berne Convension tanggal 7 Mei 1997 dengan Kepres No. 18 Tahun 1997 dan dinotifikasikan ke WIPO tanggal 5 Juni 1997, dengan konsekuensi Indonesia harus melindungi dari seluruh negara atau anggota Berne Convention.

Hak cipta di Indonesia juga mengenal konsep “hak ekonomi” dan “hak moral”. Hak ekonomi adalah hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan, sedangkan hak moral adalah hak yang melekat pada diri pencipta atau pelaku (seni, rekaman, siaran) yang tidak dapat dihilangkan dengan alasan apa pun, walaupun hak cipta atau hak terkait telah dialihkan. Dalam hal ini, contoh pelaksanaan hak moral adalah pencantuman nama pencipta pada ciptaan, walaupun misalnya hak cipta atas ciptaan tersebut sudah dijual untuk dimanfaatkan pihak lain.

PEMBAHASAN

Tinjauan Umum Terhadap Undang-Undang No. 28 tahun 2014 Tentang hak cipta

Konsep hak cipta di Indonesia merupakan terjemahan dari konsep copyright dalam bahasa Inggris (secara harafiah artinya “hak salin”). Copyright ini diciptakan sejalan dengan penemuan mesin cetak. Sebelum penemuan mesin ini oleh Gutenberg, proses untuk membuat salinan dari sebuah karya tulisan memerlukan tenaga dan biaya yang hampir sama dengan proses pembuatan karya aslinya. Sehingga, kemungkinan besar para penerbitlah, bukan para pengarang, yang pertama kali meminta perlindungan hukum terhadap karya cetak yang dapat disalin.

Awalnya, hak monopoli tersebut diberikan langsung kepada penerbit untuk menjual karya cetak. Baru ketika peraturan hukum tentang copyright mulai diundangkan pada tahun 1710 dengan Statute of Anne di Inggris, hak tersebut diberikan ke pengarang, bukan penerbit. Peraturan tersebut juga mencakup perlindungan kepada konsumen yang menjamin bahwa penerbit tidak dapat mengatur penggunaan karya cetak tersebut setelah transaksi jual beli berlangsung. Selain itu, peraturan tersebut juga mengatur masa berlaku hak eksklusif bagi

Page 31: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 23 |

pemegang copyright, yaitu selama 28 tahun, yang kemudian setelah itu karya tersebut menjadi milik umum.

Berne Convention for the Protection of Artistic and Literary Works (“Konvensi Bern tentang Perlindungan Karya Seni dan Sastra” atau “Konvensi Bern”) pada tahun 1886 adalah yang pertama kali mengatur masalah copyright antara negara-negara berdaulat. Dalam konvensi ini, copyright diberikan secara otomatis kepada karya cipta, dan pengarang tidak harus mendaftarkan karyanya untuk mendapatkan copyright. Segera setelah sebuah karya dicetak atau disimpan dalam satu media, si pengarang otomatis mendapatkan hak eksklusif copyright terhadap karya tersebut dan juga terhadap karya derivatifnya, hingga si pengarang secara eksplisit menyatakan sebaliknya atau hingga masa berlaku copyright tersebut selesai.

Pada tahun 1958, Perdana Menteri Djuanda menyatakan Indonesia keluar dari Konvensi Bern agar para intelektual Indonesia bisa memanfaatkan hasil karya, cipta, dan karsa bangsa asing tanpa harus membayar royalti. Pada tahun 1982, Pemerintah Indonesia mencabut pengaturan tentang hak cipta berdasarkan Auteurswet 1912 Staatsblad Nomor 600 tahun 1912 dan menetapkan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta, yang merupakan undang-undang hak cipta yang pertama di Indonesia. Undang-undang tersebut kemudian diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987, Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997, dan pada akhirnya dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 yang kini berlaku.

Perubahan undang-undang tersebut juga tak lepas dari peran Indonesia dalam pergaulan antarnegara. Pada tahun 1994, pemerintah meratifikasi pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization – WTO), yang mencakup pula Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Propertyrights - TRIPs (“Persetujuan tentang Aspek-aspek Dagang Hak Kekayaan Intelektual”). Ratifikasi tersebut diwujudkan dalam bentuk Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994. Pada tahun 1997, pemerintah meratifikasi kembali Konvensi Bern melalui Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1997 dan juga meratifikasi World Intellectual Property Organization Copyrights Treaty (“Perjanjian Hak Cipta WIPO”) melalui Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1997.

Page 32: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 24 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

Saat ini, Pemerintah Republik Indonesia bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia telah menghasilkan Undang-undang Republik Indonesia tentang Hak Cipta yang menggantikan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta yang dipandang perlu untuk diselaraskan dengan perkembangan hukum nasional dan internasional.

Pertimbangan alasan atau latar belakang perlunya dilakukan penyelarasan terhadap Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, antara lain sebagai berikut:

a. Bahwa hak cipta merupakan kekayaan intelektual di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang mempunyai peranan strategis dalam mendukung pembangunan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Bahwa perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan sastra, sudah demikian pesat sehingga memerlukan peningkatan pelindungan dan jaminan kepastian hukum bagi pencipta, pemegang Hak Cipta, dan pemilik Hak Terkait;

c. Bahwa Indonesia telah menjadi anggota berbagai perjanjian internasional di bidang hak cipta dan hak terkait sehingga diperlukan implementasi lebih lanjut dalam sistem hukum nasional agar para pencipta dan kreator nasional mampu berkompetisi secara internasional;

d. Bahwa Undang-Undang nomor 19 tahun 2002 tentang hak cipta sudah tidak sesuai dengan perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat sehingga perlu diganti dengan Undang-Undang yang baru;Selanjutnya menurut pasal 1 ayat 1 undang-undang nomor 28

tahun 2014 tentang Hak Cipta, Hak Cipta adalah “hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsif deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.24

Hal lain yang terpenting yang diatur dalam hak Cipta menyangkut pengertian Pencipta adalah seseorang atau beberapa orang yang secara

24Pasal 1 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

Page 33: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 25 |

bersama-sama yang dari inspirasinya lahir suatu ciptaan berdasarkan kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan dan keterampilan, atau keahlian yang dituangkan dalam bentuk yang khas, dan bersifat pribadi. Orang yang menciptakan sesuatu bentuk ciptaan tertentu, dianggap dialah yang memiliki hak cipta tersebut kecuali ditentukan lain.25

Dalam konteks hukum, yang dianggap sebagai pencipta adalah orang yang namanya disebut dalam ciptaan, dinyatakan sebagai pencipta pada suatu ciptaan, disebutkan dalam surat pencatatan ciptaan, dan tercantum dalam daftar umum ciptaan sebagai pencipta. Orang yang melakukan ceramah yang tidak menggunakan bahan tertulis dan tidak ada pemberitahuan siapa pencipta ceramah tersebut dianggap sebagai pencipta. Dalam hal ciptaan diciptakan oleh 2 (dua) orang atau lebih, yang dianggap sebagai Pencipta yaitu orang yang memimpin dan mengawasi penyelesaian seluruh ciptaan, namun dalam hal orang yang memimpin dan mengawasi penyelesaian seluruh ciptaan tidak ada, maka yang dianggap pencipta adalah orang yang menghimpun ciptaan dengan tidak mengurangi hak cipta masing-masing atas bagian ciptaannya. Apabila diperjanjikan lain, pemegang hak cipta atas ciptaan yang dibuat oleh pencipta dalam hubungan dinar, yang dianggap pencipta adalah instansi pemerintah. Apabila digunakan secara komersial, pencipta/pemegang hak terkait mendapatkan imbalan berupa royalti.26

Ide dasar sistem Hak Cipta adalah untuk melindungi wujud hasil karya manusia yang lahir karena kemampuan intelektualnya. Perlindungan hukum ini hanya berlaku kepada ciptaan yang telah mewujud secara khas sehingga dapat dilihat, didengar, atau dibaca. Hak Cipta adalah hak alamiah dan menurut prinsip ini bersifat absolut serta dilindungi selama hidup si Pencipta beberapa tahun setelahnya. Sebagai hak absolut, maka hak itu pada dasarnya dapat dipertahankan terhadap siapapun. Dengan demikian suatu hak absolut mempunyai segi balik (segi pasif ), bahwa bagi setiap orang terdapat kewajiban untuk menghormati hak tersebut.

Sifat Hak Cipta, merupakan bagian dari hak milik yang abstrak (incoporeal property) yang merupakan penguasaan atas hasil kemampuan

25Hasbir Paserangi, op.cit., hlm. 3426Pasal 31-37 Undang-undang Hak Cipta.

Page 34: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 26 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

kerja, dari gagasan serta hasil pikiran. Dalam perlindungannya Hak Cipta mempunyai waktu yang terbatas, dalam arti setelah habis masa perlindungannya karya cipta tersebut akan menjadi milik umum. Pemilik hak cipta bersifat eksklusif. Hak ini mempunyai kemampuan melahirkan hak yang baru. Jadi suatu karya cipta mempunyai beberapa hak yang terikat pada satu ikatan hak. Hak yang banyak tersebut dalam pemakaiannya seperti dalam pengalihannya dapat dilakukan secara menyeluruh, maupun secara terpisah-pisah. Dalam kerangka ciptaan yang mendapatkan Hak Cipta setidaknya harus memperhatikan beberapa prinsip dasar Hak Cipta, yakni :27

Yang dilindungi Hak Cipta adalah ide yang telah berwujud dan asli.1. Perlindungan Hak Cipta dalam bentuk perwujudan salah satu

contohnya adalah buku sebagai ciptaan harus mempunyai keaslian agar dapat dinikmati hak-hak yang diberikan undang-undang.

2. Hak Cipta timbul dengan sendirinya (otomatis) Suatu ciptaan yang telah diwujudkan dapat diumumkan (to makepublic/openbaarmaken), namun apabila ciptaan tidak diumumkan secara otomatis Hak Ciptanya tetap ada pada Pencipta.

3. Hak Cipta suatu ciptaan merupakan suatu hak yang diakui hukum (legal right) yang harus dipisahkan dan harus dibedakan dari penguasaan fisik suatu ciptaan.

4. Hak Cipta bukan hak mutlak (absolut) Hak Cipta bukan suatu monopoli mutlak melainkan hanya suatu limited monopoli. Hal ini dapat terjadi karena Hak Cipta secara konseptual tidak mengenal konsep monopoli penuh, sehingga mungkin saja seorang Pencipta menciptakan suatu ciptaan yang sama dengan ciptaan yang telah tercipta terlebih dahulu.Sebagai benda bergerak, baik dalam UU 19/2002 dan UU Hak

Cipta Baru diatur mengenai cara mengalihkan hak cipta. Akan tetapi dalam Pasal 16 ayat (1) UU Hak Cipta Baru ditambahkan bahwa hak cipta dapat dialihkan dengan wakaf. Masih terkait dengan hak cipta sebagai benda bergerak, dalam UU 19/2002 tidak diatur mengenai hak cipta sebagai jaminan. Akan tetapi, dalam Pasal 16 ayat (3) UU Hak

27Edy Damian, 2002, Hukum Hak Cipta, Alumni, Bandung, Hal 99-106.

Page 35: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 27 |

Cipta Baru dikatakan bahwa hak cipta adalah benda bergerak tidak berwujud yang dapat dijaminkan dengan jaminan fidusia.

Menurut L. J Taylor (Muhammad Djumhana dan R. Djubaedillah, 1997: 56) yang dilindungi Hak Cipta adalah ekspresinya dari sebuah ide jadi bukan melindungi idenya itu sendiri. Dengan demikian yang dilndungi adalah sudah dalam bentuk nyata sebagai sebuah ciptaan bukan masih merupakan gagasan. Bentuk nyata ciptaan tersebut bisa terwujud khas dalam bidang kesusastraan seni, maupun ilmu pengetahuan. Konvensi Internasional Hak Cipta 1952 (UCC), pada Pasal 1, menentukan bahwa yang dilindunginya adalah bidang kesusastraan, ilmu pengetahuan (scientific), dan pekerjaan seni (artistic work), termasuk karya tulis, musik, drama, sinematografi, lukisan, pahatan, dan patung.28

Kemudian untuk ciptaan berupa karya seni terapan, perlindungan hak cipta berlaku selama 25 tahun sejak pertama kali dilakukan pengumuman (Pasal 59 ayat (2) UU Hak Cipta Baru). UU Hak Cipta Baru ini juga melindungi pencipta dalam hal terjadi jual putus (sold flat). Ciptaan buku, dan/atau semua hasil karya tulis lainnya, lagu dan/atau musik dengan atau tanpa teks yang dialihkan dalam perjanjian jual putus dan/atau pengalihan tanpa batas waktu, hak ciptanya beralih kembali kepada pencipta pada saat perjanjian tersebut mencapai jangka waktu 25 tahun (Pasal 18 UU Hak Cipta Baru). Hal tersebut juga berlaku bagi karya pelaku pertunjukan berupa lagu dan/atau musik yang dialihkan dan/atau dijual hak ekonominya, hak ekonomi tersebut beralih kembali kepada pelaku pertunjukan setelah jangka waktu 25 tahun (Pasal 30 UU Hak Cipta Baru). Hal lain yang menarik dari UU Hak Cipta Baru ini adalah adanya larangan bagi pengelola tempat perdagangan untuk membiarkan penjualan dan/atau penggandaan barang hasil pelanggaran hak cipta dan/atau hak terkait di tempat perdagangan yang dikelolanya (Pasal 10 UU Hak Cipta Baru). Dalam Pasal 114 UU Hak Cipta Baru diatur mengenai pidana bagi tempat perbelanjaan yang melanggar ketentuan tersebut, yaitu pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Selain itu, dalam UU Hak Cipta Baru juga ada yang namanya Lembaga Manajemen Kolektif. Lembaga Manajemen Kolektif adalah

28Hasbir Paserangi, Op.Cit., hlm. 29.

Page 36: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 28 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

institusi yang berbentuk badan hukum nirlaba yang diberi kuasa oleh pencipta, pemegang hak cipta, dan/atau pemilik hak terkait guna mengelola hak ekonominya dalam bentuk menghimpun dan mendistribusikan royalti (Pasal 1 angka 22 UU Hak Cipta Baru).

Tinjauan Yuridis Terhadap Hak Ekonomi dan Hak Moral Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta

Berdasarkan Undang-Undang Hak Cipta yang baru yaitu Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 maka Hak eksklusif terkait dengan hak cipta terdiri dari hak ekonomi (economic right) dan hak moral (moral right).29 Pertama, hak ekonomi (economic right) adalah hak yang dimiliki oleh seorang pencipta untuk mendapatkan keuntungan atas ciptaannya30.Hak ekonomi ini merupakan hak khusus bagi pencipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya dan memberi ijin untuk itu, hak ekonomi ini juga dapat dialihkan kepada pihak lain, hak ekonomi tersebut diantaranya adalah hak pengadaan atas ciptaan bentuk penggandaan atau perbanyakan ini bisa dilakukan secara tradisional maupun melalui peralatan modern hak penggandaan ini juga mencakup perubahan bentuk ciptaan satu keciptaan lainnya misalnya: karya tulis, rekaman musik, pertunjukan drama dan film.31

Kedua, hak adaptasi, yaitu hak untuk mengadakan adaptasi, dapat berupa penerjemahan dari bahasa satu ke bahasa lainnya, aransemen musik, dramatisasi dari non-dramatik, merubah menjadi cerita fiksi dari karangan non-fiksi atau sebaliknya hak ini diatur baik dalam konvensi berne maupun konvensi universal , karya cetak berupa buku, misalnya novel, mempunyai hak turunan (derivative) yaitu diantaranya hak film (film rights ), hak dramatisasi (dramatitation), hak menyimpan dalam media elektronik (electronic rights). Hak film dan hak-hak dramatisasi adalah hak yang timbul bila si novel tersebut diubah menjadi isi kenario film, atau skenario drama yang biasa berupa opera, balet maupun rama

29Etty Susilowati, Bunga Rampai Hak Rekayaan Intelektual . Di sampaikan pada pelatihan HKI. Recruitment Of Training Provider For Retooling Program Batch III. Semarang 2006. III.

30Muhammad Djumhana & R.Djubaedillah, Hak Milik Intelektual Sejarah, Teori dan Prakteknya di Indonesia , (Citra Aditya Bakti:Bandung) 2003, hlm. 78.

31 Ibid, Hlm. 78.

Page 37: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 29 |

musikal32. Ketiga, hak distribusi adalah hak dimiliki pencipta untuk menyebarkan kepada masyarakat setiap hasil ciptaannya. Penyebaran tersebut dapat berupa bentuk penjualan, penyewaan, atau bentuk lain yang maksudnya agar ciptaan tersebut dikenal oleh masyarakat. Dalam hal ini termasuk pula bentuk dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta, disebut dengan pengumuman yaitu pembacaan penyuaraan, penyiaran atau penyebaran sesuatu ciptaan dengan menggunakan alat apapun dan dengan cara sedemikian rupa.Sedangkan terkait Hak Moral diatur dalam pasal 5 Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dimana yaitu Hak moral sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 merupakan hak yang melekat secara abadi pada diri Pencipta untuk:33

a. Tetap mencantumkan atau tidak mencantumkan namanya pada salinan sehubungan dengan pemakaian Ciptaannya untuk umum;

b. Menggunakan nama aliasnya atau samarannya;c. Mengubah Ciptaannya sesuai dengan kepatutan dalam

masyarakat;d. Mengubah judul dan anak judul Ciptaan; dane. Mempertahankan haknya dalam hal terjadi distorsi Ciptaan,

mutilasi Ciptaan, modifikasi Ciptaan, atau hal yang bersifat merugikan kehormatan diri atau reputasinya.Selanjutnya pada ayat (2) Hak moral sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) tidak dapat dialihkan selama Pencipta masih hidup, tetapi pelaksanaan hak tersebut dapat dialihkan dengan wasiat atau sebab lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan setelah Pencipta meninggal dunia. Pada ayat (3) Dalam hal terjadi pengalihan pelaksanaan hak moral sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penerima dapat melepaskan atau menolak pelaksanaan haknya dengan syarat pelepasan atau penolakan pelaksanaan hak tersebut dinyatakan secara tertulis.

Terkait mengenai perbedaan antara UU 19/2002 dengan UU Hak Cipta Baru, dapat dilihat dalam Penjelasan Umum UU Hak Cipta

32Ibid, hlm 79.33Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta.

Page 38: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 30 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

Baru yang mengatakan bahwa secara garis besar, UU Hak Cipta Baru mengatur tentang :34

1. Perlindungan hak cipta dilakukan dengan waktu lebih panjang;2. Perlindungan yang lebih baik terhadap hak ekonomi para pencipta

dan/atau pemilik hak terkait, termasuk membatasi pengalihan hak ekonomi dalam bentuk jual putus (sold flat);

3. Penyelesaian sengketa secara efektif melalui proses mediasi, arbitrase, atau pengadilan, serta penerapan delik aduan untuk tuntutan pidana;

4. Pengelola tempat perdagangan bertanggung jawab atas tempat penjualan dan/atau pelanggaran hak cipta dan/atau hak terkait di pusat tempat perbelanjaan yang dikelolanya;

5. Hak cipta sebagai benda bergerak tidak berwujud dapat dijadikan objek jaminan fidusia;

6. Menteri diberi kewenangan untuk menghapus ciptaan yang sudah dicatatkan, apabila ciptaan tersebut melanggar norma agama, norma susila, ketertiban umum, pertahanan dan keamanan negara, serta ketentuan peraturan perundang-undangan;

7. Pencipta, pemegang hak cipta, pemilik hak terkait menjadi anggota Lembaga Manajemen Kolektif agar dapat menarik imbalan atau royalti;

8. Pencipta dan/atau pemilik hak terkait mendapat imbalan royalti untuk ciptaan atau produk hak terkait yang dibuat dalam hubungan dinas dan digunakan secara komersial;

9. Lembaga Manajemen Kolektif yang berfungsi menghimpun dan mengelola hak ekonomi pencipta dan pemilik hak terkait wajib mengajukan permohonan izin operasional kepada Menteri;

10. Penggunaan hak cipta dan hak terkait dalam sarana multimedia untuk merespon perkembangan teknologi informasi dan komunikasi.Mengenai jangka waktu perlindungan hak cipta yang lebih

panjang, dalam Pasal 29 ayat (1) UU 19/2002 disebutkan bahwa jangka waktu perlindungan hak cipta adalah selama hidup pencipta dan berlangsung hingga 50 tahun setelah pencipta meninggal dunia,

34 www.hukumonline.com diakses pada tanggal 30 Maret 2017.

Page 39: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 31 |

sedangkan dalam UU Hak Cipta Baru, masa berlaku hak cipta dibagi menjadi 2 (dua) yaitu masa berlaku hak moral dan hak ekonomi.

Hak moral pencipta untuk (i) tetap mencantumkan atau tidak mencatumkan namanya pada salinan sehubungan dengan pemakaian ciptaannya untuk umum; (ii) menggunakan nama aliasnya atau samarannya; (iii) mempertahankan haknya dalam hal terjadi distorsi ciptaan, mutilasi ciptaan, modifikasi ciptaan, atau hal yang bersifat merugikan kehormatan diri atau reputasinya, berlaku tanpa batas waktu (Pasal 57 ayat (1) UU Hak Cipta Baru). Sedangkan hak moral untuk (i) mengubah ciptaannya sesuai dengan kepatutan dalam masyarakat; dan (ii) mengubah judul dan anak judul ciptaan, berlaku selama berlangsungnya jangka waktu hak cipta atas ciptaan yang bersangkutan (Pasal 57 ayat (2) UU Hak Cipta Baru).

Kemudian untuk hak ekonomi atas ciptaan, perlindungan hak cipta berlaku selama hidup pencipta dan terus berlangsung selama 70 tahun setelah pencipta meninggal dunia, terhitung mulai tanggal 1 Januari tahun berikutnya (Pasal 58 ayat (1) UU Hak Cipta Baru). Sedangkan jika hak cipta tersebut dimiliki oleh badan hukum, maka berlaku selama 50 tahun sejak pertama kali dilakukan pengumuman. Perlindungan sebagaimana diatur dalam Pasal 58 tersebut hanya berlaku bagi ciptaan berupa:

a. buku, pamflet, dan semua hasil karya tulis lainnya;b. ceramah, kuliah, pidato dan Ciptaan sejenis lain;c. alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu

pengetahuan;d. lagu atau musik dengan atau tanpa teks;e. drama, drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan

pantomim;f. karya seni rupa dalam segala bentuk seperti lukisan, gambar,

ukiran, kaligrafi, seni pahat, patung, atau kolase;g. karya arsitektur;h. peta; dani. karya seni batik atau seni motif lain.

Akan tetapi, bagi ciptaan berupa:

a. karya fotografi;

Page 40: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 32 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

b. potret;c. karya sinematografi;d. permainan video;e. program komputer;f. perwajahan karya tulis;g. terjemahan, tafsiran, saduran, bunga rampai, basis data, adaptasi,

aransemen, modifikasi, dan karya lain dari hasil transformasi;h. terjemahan, adaptasi, aransemen, transformasi atau modifikasi

ekspresi budaya tradisional;i. kompilasi ciptaan atau data, baik dalam format yang dapat dibaca

dengan program komputer atau media lainnya; dabj. kompilasi ekspresi budaya tradisional selama kompilasi tersebut

merupakan karya yang asli; berlaku selama 50 tahun sejak pertama kali dilakukan pengumuman. (Pasal 59 ayat (1) UU Hak Cipta Baru)Suatu hasil karya cipta dalam bentuk buku dilindungi oleh

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Undang-undang yang baru ini lebih menekankan kepada Pencipta itu sendiri terutama perlindungan hukum yang lebih lama dibandingkan dengan Undang-Undang Hak Cipta sebelumnya. Berdasarkan ketentuan yang ada, Pencipta diberikan hak ekonomi berupa hak untuk mengumumkan (performing rights) dan hak untuk memperbanyak (mechanical rights). Adapun hak moral meliputi hak Pencipta untuk dicantumkan namanya dalam ciptaan dan hak Pencipta untuk melarang orang lain mengubah ciptaannya, termasuk judul ataupun anak judul ciptaan.35

SiMPULAN

Undang – Undang baru tentang Hak Cipta yaitu UU. No. 28 Tahun 2014 menggantika Undang-Undang nomor 19 tahun 2002 tentang hak cipta karena sudah tidak sesuai dengan perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat sehingga perlu diganti dengan Undang-Undang yang baru. Ada hal-hal baru yang diatur dalam Undang-Undang ini khususnya tentang Hak Ekonomi dan Hak Moral yang dimiliki oleh

35Henry Soelistyo, 2011, Hak Cipta Tanpa Hak Moral, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 47.

Page 41: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 33 |

pencipta hasil dari karya ciptanya. Pemberian Hak Ekonomi dan Hak Moral merupakan suatu hal yang penting mengingat si pencipta sudah berkorban besar untuk menghasilkan ciptaannya dan dpat dinikmati oleh masyrakat. Oleh karena itu, diperlukan perlindungan hukum terkait dengan hal ini.

DAFTAR PUSTAKA

Article Paris Convention for The Protection of Industrial Property, 1967.

Cunan, Economic Development and Prosperity, Boston, Massatchussets, USA : Harvard University Published, 1999.

Edy Damian, Hukum Hak Cipta, Alumni, Bandung, 2002,

Harsono Adisumarto, Hak Milik Perindustrian, Jakarta : Akademika Pressindo 1990.

Hadi Susastro. Kebijakan Persaingan, Dava Saing, Liberalisasi, Globalisasi, Regionalisasi dan Semua Itu. Jakarta : CSIS Working Papers Series, 2004.

Ismail Saleh, Hukum Ekonomi, Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 1990

John Nasbitt, Megatrends ASIA, Boston Massachussets : Harvard University Published, 2000.

Jagdish Sachdev, Foreign Investment Policies of Devloping Host Nations and Multinationals : Interaction and Accomodation, Management International Review, Vol. 18, No. 2, 1978.

Kanwar, S.and Evenson, R. E. (2003), “Does Intellectual Property Right Protection Spur Technological Change. Oxford Economic Papers, 55(2): 235-254 dalamIntellectual Property Rights, Innovation, and Economic Growth in Sub – Saharan Afric.

M. A. Huberman, dan M. B. Miles, Data Management and Analysis Methods,

South Asian Association or Regional Cooperation (SAARC), Regional Cooperation : A Spring Board for Growth and Job Creation, Mumbai, 17-18 February 2007.

www.hukum.online diakses pada tanggal 30 Maret 2017.

Page 42: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 34 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

PErLINDUNGaN HUKUM EKsPrEsI BUDaYa traDIsIONaL YaNG KOMPrEHENsIf

Sigit NugrohoFakultas Hukum Universitas Bangka Belitung

email: [email protected]

ABSTRACT

The intellectual property rights is an asset that has economical value. The traditional cultural expression is as a part of the intellectual property rights whose communal characteristics has economical value.The protection of as one of the intellectual property rights is being discussed by many parties nowadays. Several times, Indonesian’s traditional cultural expression is traded by certain parties/individual/ entity. The economical benefit will be the loss when the traditional works and knowledge is registered based on certain individual or entity to own then exploit based on modern intellectual property rights that has been implemented for long time so it will lose certain society that has maintained it morally and materially. The implementation of protection toward traditional cultural expression now has many obstacles. The main obstcle is the lack of law instrument that is constitution that focuses on tradional cultural expression. This journal is going to review how to protect traditional cultural expression through the intellectual property rights that is suitable to Indonesia ‘s condition comprehensively. Protecting traditional cultural expression must be done by preparing the law instrument first, that is,the intelelectual property rights law. The rule of law of intelelectual property rights must be suitable to Indonesia’s society condition that has communal characteristics. Therefore the new intelelectual property rights standart that can accomodate communal ownership on traditional cultural expression,and the establisment of comprehensive law, and the harmonization of law vertically (national and international),and horizontlly. Besides, to complete the protection toward traditional cultural expression needs te implementation of contract law through the establisment of detail and proportional contract to protect traditional cultural expression which is private.

Keywords: traditional cultural expression; comprehensive; protection.

Page 43: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 35 |

PENDAHULUAN

Hak Kekayaan Intelektual adalah suatu hak eksklusif yang berada dalam ruang lingkup kehidupan teknologi, ilmu pengetahuan, ataupun seni dan sastra. Kepemilikannya bukan terhadap barangnya melainkan terhadap hasil kemampuan dan kreativitas intelektual manusianya, yaitu diantaranya berupa ide atau gagasan. Hal terpenting dari setiap bagian hak milik intelektual ini adalah adanya suatu hasil ciptaan tertentu. Ciptaan ini mungkin dalam bidang kesenian, tetapi mungkin jiga di dalam bidang industri atau pengetahuan. Mungkin pula suatu kombinasi dalam ketiga bidang tersebut.36

Hak kekayaan intelektual berifat eksklusif dan mutlak, artinya bahwa hak tersebut dapat dipertahankan terhadap siapapun dan yang mempunyai hak tersebut dapat menuntut terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh siapapun. Pemegang hak atas kekayaan intelektual juga mempunyai hak monopoli, yaitu hak yang dapat digunakan dengan melarang siapapun tanpa persetujuannya membuat ciptaan/penemuannya ataupun menggunakannya.37 Ekspresi budaya tradisional merupakan bagian dari hak kekayaan intelektual yang bersifat komunal. Sampai saat ini banyak produk dari ekspresi budaya tradisional yang dikomersialkan oleh pihak-pihak/individu/entitas tertentu bahkan diklaim sebagai milik pihak/individu/entitas tertentu.

Sebagai contoh masyarakat Jawa, masyarakat Sunda, atau masyarakat Bali yang memiliki pengetahuan tentang pengobatan. Masyarakat tradisional tidak pernah berpikir bahwa pengetahuannya memiliki ciri kas serta keunikannya sendiri sehingga memiliki nilai ekonomis, misalnya tentang karya arsitektur tradisi (traditional architecture knowledge), desain senjata, alat musik tradisional adalah merupakan kekayaan intelektual yang bila dieksploitasi akan menghasilkan keuntungan ekonomis bagi masyarakatnya. Keuntungan ekonomis ini akan menjadi kerugian manakala karya dan pengetahuan tradisional didaftarkan atas nama individu atau entitas tertentu dengan maksud untuk memiliki kemudian mengeksploitasinya berdasarkan

36Mahadi, dalam Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Right), Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, halaman 12 dalam Kholis Roisah. (2015). Konsep Hukum Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Malang: Setara Press, p. 9

37Kholis Roisah. (2015). Konsep Hukum Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Malang:Setara Press, p. 9

Page 44: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 36 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

sistem HKI modern yang telah lama terimplementasi38, sehingga akan sangat merugikan masyarakat tertentu yang telah lama mengemban ekspresi budaya tradisional tersebut baik secara material maupun moral.

Salah satu aspek yang mengedepankan dalam pembenaran perlindungan Hak Kekayaan Intelektual sebagai hak kepemilikan atas benda adalah melihat nilai ekonomi dari Hak Kekayaan Intelektual.39 Hak Kekayaan Intelektual sebagai objek pemilikan dikonstruksikan sebagai “benda tak berwujud” atau “benda tak bertubuh” (intangibles, onlichamelijk) yang dihasilkan dari benak manusia. Meskipun demikian obyek pemilikan tersebut diabstraksikan sebagai semacam “benda bergerak” (moveable) yang bisa dipindahtangankan dengan mudah.40 Dengan Hak Kekayaan Intelektual diabstraksikan sebagai benda bergerak maka akan mempermudah dalam memberikan perlindungan. Akan tetapi ekspresi budaya tradisional yang menjadi bagian dari hak kekayaan intelektual yang bersifat komunal belum ada aturan yang komprehensif. Apalagi masyarakat lokal adalah masyarakat komunal yang tidak terbiasa dengan konsep HKI yang individualistik41 yang menempatkan kepentingan bersama lebih tinggi dari kepentingan individu.

Implementasi perlindungan terhadap ekspresi budaya tradisional saat ini masih banyak kendala. Utamanya adalah kurangnya kepemilikan instrumen penegakan hukum yaitu berupa perundang-undangan yang mengatur mengenai ekspresi budaya tradisional. Hal tersebut terbukti bahwa sampai saat ini belum adanya undang-undang yang mengatur khusus mengenai ekspresi budaya tradisional. Sehingga usaha untuk melindungi produk dari ekspresi budaya tradisional terkendala. Penegakan hukum sudah dimulai pada saat peraturan hukumnya dibuat atau diciptakan42. Itu artinya dalam proses penegakan hukum

38Suyud Margono. (2015). Hukum Hak Kekayaan Intelektual. Bandung: Pustaka Reka Cipta, p. 8

39Rehmi Jened Parinduri Nasution. (2013). Interface Hukum Kakayaan Intelektual dan Hukum Persaingan Usaha (Penyalahgunaan HKI). Jakarta: Raja Grafindo Persada, p. 35

40Soerapati Oentoeng. (1999). Hukum Kekayaan Intelektual dan Alih Teknologi. Salatiga: Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana, p. 1 dalam Kholis Roisah. (2015). Konsep Hukum Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Malang:Setara Press, p. 8

41Agus Sardjono. (2010). Hak Kekayaan Intelektual dan Pengetahuan Tradisional. Bandung: Alumni, p. 132

42Satjipto Rahardjo. (2009). Penegakan Hukum Suati Tinjauan Sosiologis. Yogyakarta:

Page 45: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 37 |

membutuhkan adanya peraturan perundang-undangan terlebih dahulu, sehingga dampaknya dalam memberikan perlindungan hukum terhadap ekspresi budaya tradisional telah ada acuan atau dasar hukum yang jelas dan lengkap (komprehensif ).

Beberapa uraian di atas menunjukan bahwa belum adanya sebuah sistem hukum yang komprehensif untuk melindungi ekspresi budaya tradisional, maka hal ini akan berdampak buruk bagi produk-produk ekspresi budaya tradisional yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Dampak itu bukan hanya dirasakan oleh masyarakat adat saja sebagai pemilik ekspresi budaya tradisional akan tetapi juga seluruh masyarakat Indonesia bahwa produk-produk ekspresi budaya tradisional hasil leluhur bangsa Indonesia hanya dieksploitasi oleh pihak/individu/entitas tertentu saja untuk dikomersialkan untuk kepentingannya sendiri yang akhirnya bangsa Indonesia semakin lama akan semakin terdistorsi dan kehilangan nilai-nilai budaya dan adat istiadat yang sakral dan luhur. Hal ini yang menjadi latar belakang mengapa perlu adanya pembentukan standar Hak Kekayaan Intelektual baru dalam sistem hukum di Indonesia yang dapat lebih memberikan perlindungan terhadap Hak Kekayaan Intelektual yang bersifat komunal, khususnya mengenai ekspresi budaya tradisional yang sesuai dengan kondisi yang ada di Indonesia.

PEMBAHASAN

Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan harus Komprehensif

HKI sebagai instrumen hukum dan instrumen ekonomi. HKI sebagai instrument hukum, sebagai pranata, HKI tumbuh dan dikembangkan dari rasionalita filosofis tentang perlunya pengakuan, penghargaan, dan perlindungan terhadap hak yang lahir dan terkait dengan kreasi intelektual sebagaimana lazimnya yang diberikan kepada hak milik lainnya yang mempunyai nilai ekonomi.43 Kemampuan intelektual manusia yang berupa daya cipta, rasa dan karsanya menghasilkan karya-karya di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan teknologi. Karya-karya intelektual dilahirkan dengan pengorbanan

Genta Publishing, p. 2443Henry Soelistyo. (2014). Hak Kekayaan Intelektual: Kosep, Opini dan Aktualisasi,

Jakarta: Penaku, p. 3

Page 46: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 38 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

waktu bahkan biaya dan melalui pengorbanan ini menjadikan karya yang dihasilkan mempunyai nilai ekonomi yang melekat sebagai konsekuensi menjadi kekayaan (property), bilamana melalui karya-karya tersebut dapat diperoleh manfaat ekonomi yang nantinya bisa dinikmati.44 Seperti halnya Ekspresi Budaya Tradisional (EBT), di zaman globalisasi saat ini yang kental dengan industrialisasi, Ekspresi Budaya Tradisional dimanfaatkan untuk memperoleh keuntungan, itu artinya EBT mempunyai nilai ekonomis, bukan hanya mempunyai nilai budaya saja yang dihasilkan oleh masyarakat.

Sejauh menyangkut pengakuan dan penghargaan, yang diperlukan adalah tumbuhnya sikap apresiasi masyarakat yang selanjutnya membentuk budaya hukum yang kuat dan terpelihara. Budaya penghormatan dan penghargaan terhadap hak-hak orang lain. Kebutuhan berikutnya adalah perlindungan terhadap HKI berikut nilai ekonomi yang melekat yang harus dijamin oleh hukum negara.45 Negara harus mengeluarkan kebijakan yang dapat melindungi asset bangsa yang terwujud dalam HKI. Kebijakan publik adalah jalan mencapai tujuan bersama yang dicita-citakan. Jika cita-cita bangsa Indonesia adalah mencapai masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila (Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Demokrasi, dan Keadilan) dan UUD 1945 (Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan hukum dan tidak semata-mata kekuasaan), maka kebijakan publik adalah seluruh prasarana dan sarana untuk mencapai “tempat tujuan” tersebut.46 Ekspresi Budaya Tradisional yang merupakan bagian dari kekayaan intelektual yang dilindungi harus memiliki kebijakan yang baik sampai tataran implementasinya.

Ekspresi Budaya Tradisional, yang sebelumnya dalam Undang-Undang Hak Cipta Nomor 19 Tahun 2002 disebut dengan folklore, sulit mendapat posisi sempurna di wilayah pengaturan atau domain HKI karena sifatnya yang impersonal dan melampaui status individual. Folklore memiliki karakter yang lebih bersifat komunal, sebab folklore hidup sebagai tradisi atau bagian dari tradisi. Folklore tumbuh dalam sebuah generasi, yang kemudian mewaris ke pengelola generasi

44Kholis Roisah, Op.Cit., p. 9.45Henry Soelistyo, Op.Cit., p. 3-446Riant Nugroho D. (2004). Kebijakan Publik: Formulasi, Implementasi, dan Evaluasi,

Jakarta: Elex Media Komputindo, p. 51

Page 47: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 39 |

berikutnya.47 Yang pasti, bila awalnya suatu folklore mungkin merupakan hasil ciptaan atau kreasi individual, dalam perkembangannya karya serupa itu kehilangan identitasnya dan menjadi ekspresi komunal. Dari alur rangkaian fakta ini timbul pemikiran kearah pembentukan standar HKI “baru” untuk dapat tetap mempertahankan klaim penguasa dan kepemilikannya secara adil.48

Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Alenia ke-4 berbunyi:

“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indosenia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial…”

dalam Alenia ke-4 tersebut telah jelas bahwa negara diamanahi untuk melindungi segenap bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa untuk menuju keadilan sosial. Itu artinya bahwa negara berkewajiban menjamin kesejahteraan setiap rakyatnya dari lahir maupun batinnya. Negara harus menjamin kesejahteraan rakyatnya melalui penjagaan terhadap ekspresi budaya tradisional yang sakral dan luhur yang selama ini dipelihara oleh masyarakat. Artinya tidak hanya memberikan kesejahteraan rakyatnya dalam hal ekonomi saja akan tetapi secara keseluruhan (lahir dan batin). Hal tersebut dikuatkan lagi dalam Pasal 18B ayat (2) (Amandemen ii) UUD 1945 yang berbunyi “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia,..” dan Pasal 32 ayat (1) (Amandemen iV) UUD 1945 yang berbunyi “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.” Negara wajib menjaga kebudayaan khususnya ekspresi budaya tradisional yang dapat digunakan sebagai sarana mensejahterakan masyarakat Indonesia.

47Henry Soelistyo, Op.Cit., p. 22.48Ibid.

Page 48: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 40 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

Ekspresi Budaya Tradisional di Indonesia memang mempunyai karakteristik yang unik dan berbeda dengan karya-karya intelektual lainnya. Menurut penjelasan Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 bahwa ekspresi budaya tradisional mencakup salah satu atau kombinasi bentuk ekspresi sebagai berikut

a. verbal tekstual, baik lisan maupun tulisan, yang berbentuk prosa maupun puisi, dalam berbagai tema dan kandungan isi pesan, yang dapat berupa karya sastra ataupun narasi informatif;

b. musik, mencakup antara lain, vokal, instrumental, atau kombinasinya;

c. gerak, mencakup antara lain, tarian;d. teater, mencakup antara lain, pertunjukan wayang dan sandiwara

rakyat;e. seni rupa, baik dalam bentuk dua dimensi maupun tiga dimensi

yang terbuat dari berbgai macam bahan seperti kulit, kayu, bambu, logam, batu, keramik, kertas, tekstil, dan lain-lain atau kombinasinya; dan

f. upacara adat.Sedangkan dalam rancangan undang-undang tentang

pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional, pengertian tentang ekspresi budaya tradisional didalamnya termasuk pengetahuan tradisional, artinya dalam perkembangan pemikiran tentang lingkup dari ekspresi budaya tradisional diperluas. Dalam rancangan undang-undang tersebut dapat dilihat pengertian dari pengertahuan tradisional adalah pengetahuan masyarakat yang didapat sebagai hasil pengalaman nyata dalam berinteraksi dengan lingkungan. Sedang ekspresi budaya tradisional adalah segala bentuk ekspresi, baik material (benda) maupun immaterial (tak benda), atau kombinasi keduanya yang menunjukkan keberadaan suatu budaya dan Pengetahuan Tradisional, yang bersifat turun-temurun. Pengertian ini juga telah mencakup pengertian dari folklore itu sendiri yang diatur dalam undang-undang terdahulu.

Budaya merupakan sesuatu yang dinamis. Artinya terus berkembang dan dapat pula dipelajari oleh siapapun. Perlu adanya kebijakan yang benar-benar memperhatikan kebutuhan dan keinginan dari masyarakat, serta perkembangan dari sebuah budaya itu sendiri dan masalah-masalahnya. Mengapa demikian? Karena pengertian

Page 49: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 41 |

ekspresi budaya tradisional yang termaktub dalam rancangan undang-undang yang begitu luas dan pengaturan Ekspresi Budaya Tradisional yang sangat minim di undang-undang yang sedang berlaku dapat menimbulkan permasalahan baru dalam implementasinya. Pengaturan Ekspresi Budaya Tradisional yang sangat minim dalam sebuah peraturan perundang-undangan dapat menghambat pelaksanaan atau penegakan hukum dalam perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional itu sendiri. Untuk pengertian Ekspresi Budaya Tradisional yang diperluas dalam rancangan undang-undang pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional bila tidak dibatasi sejauh mana atau apa saja yang termasuk dalam Ekspresi Budaya Tradisional dapat menimbulkan kerancuan dalam perlindungannya. Karena pada saat ini banyak sekali yang saling mempelajari budaya masing-masing daerah bahkan sampai lingkup internasional.

Dalam aturan hukum harus jelas batas-batas ekspresi budaya tradisional misalnya mengenai penyalahgunaan dan pengambilan secara tidak sah. Batasan penyalahgunaan ekspresi budaya tradisional sebisa mungkin tidak hanya pada tataran administrasi. Ukuran ekspresi budaya tradisional disalahgunakan dan diambil secara tidak sah harus diatur secara tegas dalam aturan hukum, sehingga mempermudah dalam mengidentifikasi dimana terjadi perbuatan melawan hukum. Pengaturan mengenai ekspresi budaya tradisional tidak boleh hanya mensejahterakan segelintir orang. Untuk itu juga diperjelas mengenai siapa saja yang berhak atas hak ekonomi dari ekspresi budaya tradisional apabila dikomersialkan. Itu artinya yang memegang hak milik atas ekspresi budaya tradisional harus jelas misalnya harus jelas siapa yang dimaksud sebagai masyarakat pengemban ekspresi budaya tradisional. Dengan begitu, upaya perlindungan yang dilakukan oleh negara beserta masyarakat ditujukan untuk menjaga hak-hak masyarakat pengemban pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional dan menjaga martabat pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional dari penyesatan publik, pengambilan secara tidak sah, dan/atau penyalahgunaan pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional. Masyarakat dapat memberikan masukan dalam penyusunan aturan hukum yang berkaitan dengan ekspresi budaya tradisional.

Page 50: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 42 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Masukan secara lisan dan/atau tertulis dapat dilakukan oleh masyarakat melalui rapat dengar pendapat umum, kunjungan kerja, sosialisasi, seminar, lokakarya, dan/atau diskusi. Masyarakat adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan atas substansi Rancangan Peratuan Perundang-undangan. Termasuk dalam kelompok orang antara lain, kelompok/organisasi masyarakat, kelompok profesi, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat adat. Untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan secara lisan dan.atau tertulis, setiap Rancangan Peraturan Perundang-undangan harus bisa diakses dengan mudah oleh masyarakat.49 Dengan adanya peran aktif dari masyarakat maka akan dapat disusun suatu aturan hukum yang baik sesuai dengan kesepakatan bersama dengan masyarakat/rakyat.

Peran masyarakat menjadi penting dalam penyusunan aturan hukum mengenai pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional dikarenakan negara maju tidak mengakui adanya hak masyarakat. Seperti misalnya adanya penolakan negara maju seperti Perancis, Inggris, Amerika Serikat dan Jepang untuk menandatangani The Draft United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples pada hakikatnya merupakan keengganan negara-negara tersebut untuk mengakui hak kolektif masyarakat atas pengetahuan tradisional, termasuk di bidang obat-obatan.50 Masyarakat memerlukan perlindungan tidak dalam rangka keuntungan ekonomis. Seperti misalnya seperti yang dikutip dalam bukunya Agus Sardjono menjelaskan bahwa dalam kaitannya dengan pemanfaatan pengetahuan tradisional di bidang obat-obatan, orientasi masyarakat tradisional atau masyarakat lokal sangat berbeda dengan masyarakat Barat. Penelitian di berbagai daerah di Jawa Tengah, Bali, dan Lombok memperlihatkan bahwa orientasi para dukun adalah menolong orang sakit. Sehingga, tidak aneh jika di dalam tradisi berobat masyarakat tradisional tidak dikenal istilah membeli obat, tetapi yang dikenal adalah meminta obat kepada para dukun atau belian. Para belian itupun tidak meminta

49Badriyah Khaleed, (2014). Legislative Drafting: Teori dan Praktik Penyusunan Peraturan perundang-undangan, Jakarta: Buku Seru, p. 36

50Agus Sardjono, Op.Cit., p. 73

Page 51: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 43 |

bayaran atas jasa penyembuhan yang diberikannya kepada si sakit.51 Masyarakat lokal adalah masyarakat komunal yang menempatkan kepentingan bersama lebih tinggi dari kepentingan individu, meskipun itu tidak berarti pula bahwa individu kehilangan hak-haknya.52 Begitu pula dengan ekspresi budaya tradisional, masyarakat harus memperjungkan hak-hak kepemilikan terhadap ekspresi budaya tradisional yang bersifat komunal dan pemerintah transparan dalam melakukan penyerapan aspirasi masyarakat. Yang akhirnya akan terbentuk suatu aturan hukum yang dapat mengakomodir kepentingan-kepentingan semua pihak tanpa mengesampingkan hak masyarakat (hak bersama). Bingkai Indonesia sebagai negara hukum mensyaratkan adanya partisipasi masyarakat dalam mengawalkan proses pembuatan undang-undang setiap sidangnya di ranah legislatif. Terlebih, sebagai negara penganut deliberasi komunikasi, menghendaki para wakil rakyat di parlemen untuk berdialog, berkomunikasi dengan rakyatnya sebagai bahan pertimbangan dalam keputusan pembuatan hukum, sehingga mencapai suatu consensus bersama, bukan keputusan politik dan kepentingan penguasa, tanpa membuka ruang-ruang publik yang merupakan tipologi hukum responsif.53

Pembuatan peraturan perundang-undangan mengenai ekspresi budaya tradisional harus komprehensif. Sehingga penjagaan terhadap ekspresi budaya tradisional secara konstitusi kuat karena peraturan perundang-undangan yang mengatur mulai dari UUD NRI 1945, undang-undang, sampai peraturan pelaksanaannya di tingkat daerah ada. Peraturan perundang-undangan yang mengatur menganai ekspresi budaya tradisional harus memperhatikan kearifan lokal yang ada disetiap daerah. Ekspresi budaya tradisional yang ada di Indonesia terdapat nilai luhur dan kesakralan yang selalu dijaga oleh masyarakat pengembannya. Pengaturan ekspresi budaya tradisional harus berorientasi pada ide-ide dasar nasional, kearifan lokal, dan global. Pembaharuan sistem hukum kekayaan intelektual berbasis kearifan lokal. Kearifan lokal dapat dikatakan sebagai cerminan nilai

51Ibid., p. 12452Ibid., p. 13253Wahyu Nugroho. (2013). “Menyusun Undang-Undang yang Responsif dan

Partisipatif Berdasarkan Cita Hukum Pancasila”. Jurnal Legislasi Indonesia, 10(3): 209 dalam Badriyah Khaleed, (2014). Legislative Drafting: Teori dan Praktik Penyusunan Peraturan perundang-undangan, Jakarta: Buku Seru, p. 1

Page 52: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 44 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

adat kebiasaan dalam suatu masyarakat tertentu. Adat kebiasaan pada dasarnya teruji secara ilmiah dan niscaya bernilai baik, karena adat kebiasaan merupakan tindakan sosial yang berulang-ulang dan mengalami penguatan (reinforcement). Apabila tindakan tidak baik oleh masyarakat maka ia tidak akan mengalami penguatan secara terus-menerus. Pergerakan secara ilmiah terjadi secara sukarela karena dianggap baik atau mengandung kebaikan.54 Nilai-nilai yang dianggap baik pada dasarnya merupakan asas moral yang menuntut perilaku-perilaku yang dianggap patut dalam masyarakat dan bahkan menjadi pedoman normatif yang hidup (the living law) dalam warga masyarakat.55

Hukum adat yang merupakan bagian dari penjelmaan kearifan lokal bangsa Indonesia menunjukkan bahwa nilai-nilai, ide dasar yang mendasari perlindungan kepemilikan dan pemanfaatan kekayaan intelektual bangsa Indonesia bersifat komunal dan spiritual yaitu yang tidak menonjolkan kepemilikan individu atas setiap karya ataupun temuan yang dihasilkannya dan menghasilkan karya atau invensi yang bermanfaat bagi orang bagian dari dharma ataupun ibadah. Nilai-nilai komunalitas dan spiritualitas ini tidak dipungkiri merupakan pencerminan bagian dari nilai-nilai Pancasila.56 Peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai ekspresi budaya tradisional juga harus memperhatikan apa yang terkait dengan hukum adat yang merupakan penjelmaan kearifan lokal. Sehingga peraturan tersebut akan mengakomodir penjagaan terhadap kesejahteraan masyarakat Indonesia yang meliputi materiil dan non materiil (hak ekonomi dan hak moral secara adil) mulai dari peraturan perundang-undangan paling atas (tertinggi) sampai yang paling bawah (terendah). Bila aturan telah lengkap maka perlu didukung oleh institusi penegakan hukum yang memadai dan dalam implementasinya perlu adanya sinergi dengan stakeholder yang peduli terhadap penjagaan ekspresi budaya tradisional untuk kesejahteraan masyarakat luas.

54Sartini, Menggali kearifan Lokal Nusantara Sebuah Kajian Filsafati, p. 1 dalam Kholis Roisah. (2015). Konsep Hukum Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Malang:Setara Press, p. 110

55Kholis Roisah, Op.Cit., p. 11056Kholis Roisah, Op.Cit., p. 113

Page 53: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 45 |

PERAN HUKUM KoNTRAK UNTUK MENGUATKAN PERLiNDUNGAN

Perjanjian atau kontrak mempunyai peran penting dalam proses perlindungan hukum dalam melindungi Hak Kekayaan Intelektual khususnya ekspresi budaya tradisional. Dalam perlindungan ekspresi budaya tradisional yang dikomersialkan membutuhkan perlindungan yang lebih spesifik dan bersifat keperdataan. Kontrak merupakan salah satu institusi hukum alternatif yang perlu dipertimbangkan oleh Pemerintah sebagai salah satu sarana perlindungan. Melalui hukum kontrak setidak-tidaknya masyarakat diajarkan untuk lebih partisipatif dalam membela kepentingan mereka sendiri. Meskipun demikian, perlu dipertimbangkan pula secara masak hal-hal yang penting sebelum menggunakan institusi kontrak sebagai alternatif.57

Menurut Subekti, istilah kontrak mempunyai pengertian lebih sempit karena ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan yang tertulis.58 Berlandaskan pada perspektif Burgerlijk Wetboek (BW), dimana antara perjanjian atau persetujuan (overeenkomst) mempunyai pengertian yang sama dengan kontrak (contract).59 Perjanjian mempunyai dua fungsi, yaitu fungsi yuridis dan fungsi ekonomis. Fungsi yuridis perjanjian adalah dapat memberikan kepastian hukum bagi para pihak, sedangkan fungsi ekonomis adalah menggerakkan (hak milik) sumber daya dari nilai pengguna yang lebih rendah menjadi nilai yang lebih tinggi.60

Kontrak sebagai wadah yang mempertemukan kepentingan satu pihak dengan pihak lain.61 Kepentingan antara satu pihak dengan pihak yang lain yang bertemu dalam sebuah kontrak harus adil bagi kedua belah pihak. Oleh karena itu, perlu adanya implementasi mengenai pembuatan kontrak yang proporsional. Karena hubungan kontraktual antara pihak yang satu dengan pihak yang lain tidak terlepas dari masalah keadilan yang ada dalam proses pembuatan kontrak sampai pelaksanaannya. Kata “keadilan” merupakan kata yang sering

57Agus Sardjono, Op.Cit., p. 26258Agus Yudha Hernoko. (2013). Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas dalam Kontrak

Komersial. Jakarta:Kencana, p. 1459Ibid., p. 1560Salim HS. (2011). Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW). Jakarta: Sinar Grafika, p.

168-16961Agus Yudha Hernoko. Op.Cit., p. 47

Page 54: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 46 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

didengar, akan tetapi sangat abstrak dalam mengartikannya karena kata “keadilan” banyak berkaitan dengan kepentingan yang sangat kompleks dan tidak sederhana.

Menurut Hans Kelsen dalam bukunya General Theory of Law and State seperti dikutip oleh Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at dalam bukunya yang berjudul “Teori Hans Kelsen tentang Hukum” mengemukakan bahwa pertanyaan apakah suatu hukum adalah adil atau tidak dan apa elemen esensial dari keadilan, tidak dapat dijawab secara ilmiah, maka the pure theory of law sebagai analisis yang ilmiah tidak dapat menjawabnya. Yang dapat dijawab hanyalah bahwa tata aturan tersebut mengatur perilaku manusia yang berlaku bagi semua orang dan semua orang menemukan kegembiraan di dalamnya. Maka keadilan sosial adalah kebahagiaan sosial.62 Oleh karena itu, bila keadilan sosial dimaknai sebagai kebahagiaan sosial, maka keadilan sosial akan tercapai bila kebutuhan masyarakat terpenuhi. Bila diimplementasikan dalam sebuah kontrak, untuk memenuhi rasa keadilan bagi para pihak dalam sebuah kontrak maka kontrak tersebut harus dapat memenuhi kebutuhan bagi para pihak secara proporsional.

Harus dipahami bahwa keadilan tidak selalu berarti semua orang harus selalu mendapatkan sesuatu dalam jumlah yang sama, tanpa memperhatikan perbedaan-perbedaaan yang secara objektif ada pada setiap individu.63 Memahami keadilan dalam kontrak komersial tidak boleh membawa kita kepada sikap monistic (paham tunggal), namun lebih dari itu harus bersikap komprehensif. Dalam keadilan komutatif yang menjadi landasan hubungan antarperson, termasuk kontrak, hendaknya tidak dipahami sebagai kesamaan semata karena pandangan ini akan menghasilkan ketidakadilan ketika dihadapkan dengan ketidakseimbangan para pihak yang berkontrak. Dalam keadilan komutatif di dalamnya terkandung pula makna distribusi-proporsional. Demikian pula dalam keadilan distributif yang dipolakan dalam hubungan negara dengan warga negara, konsep distribusi-proporsional yang terkandung di dalamnya dapat ditarik ke perspektif hubungan kontraktual para pihak.64 Dalam pemanfaatan

62Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at. (2012). Teori Hans Kelsen tentang Hukum. Jakarta: Konstitusi Press, p. 16-17

63Agus Yudha Hernoko. Op.Cit. p. 5964Ibid. p. 65

Page 55: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 47 |

Ekspresi Budaya Tradisional secara komersial oleh pihak lain dapat menggunakan kontrak komersial yang proporsional dalam pemenuhan hak dan kewajibannya.

Karakteristik kontrak komersial menempatkan posisi para pihak pada kesetaraan, sehingga tujuan para kontrakan yang berorientasi pada keuntungan bisnis akan terwujud apabila terdapat pertukaran hak dan kewajiban yang fair (proporsional). Asas proporsionalitas tidak dilihat dari konteks keseimbangan-matematis (equilibrium), tetapi pada proses dan mekanisme pertukaran hak dan kewajiban yang berlangsung secara fair.65 Menurut Agus Yudha Hernoko, untuk mencari makna asas proporsionalitas harus beranjak dari makna filosofis keadilan. Hegel memberikan sentuhan proporsionalitas dalam pertukaran prestasi para pihak yang berkontrak melalui pengakuan akan adanya hak milik. Hak milik menurut Hegel merupakan landasan bagi hak-hak lainnya. Pemegang hak milik harus menghormati orang lain yang juga pemegang hak milik. Adanya saling menghormati hak milik sekaligus mempertahankan eksistensi masing-masing pihak merupakan landasan terjadinya hubungan kontraktual yang bersubstansikan asas proporsionalitas.66 Oleh karena itu, kontrak yang dibuat secara proposional harus memberikan peluang pertukaran hak dan kewajiban secara adil. Ukuran proporsionalitas pertukaran hak dan kewajiban didasarkan pada nilai-nilai kesetaraan (equitability), kebebasan, distribusi-proporsional, tentunya juga tidak dapat dilepaskan dari asas atau prinsip kecermatan (zorgvuldigheid), kelayakan (redelijkheid; reasonableness) dan kepatutan (billijkheid; equity).67 Sehingga, pembagian hak dan kewajiban antara pihak satu dengan pihak yang lain dalam kontrak menekankan pada proses yang berlangsung secara patut dan layak. Hakikat kontrak adalah mewujudkan pertukaran hak dan kewajiban secara adil (fairness). Dengan demikian, ketidakseimbangan hasil dapat diterima sebagai sesuatu yang fair apabila proses pertukaran hak dan kewajiban berlangsung secara proporsional.68 Karena asas proporsionalitas yang dikandung dalam sebuah kontrak adalah asas yang mengatur pertukaran hak dan kewajiban para pihak sesuai proprosi

65Ibid. p. 8466Ibid. p. 8567Ibid. p. 8968Ibid. p. 323-324

Page 56: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 48 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

atau bagiannya, yang meliputi seluruh proses kontrak baik pada tahap prakontraktual, pembentukan kontrak maupun pelaksanaan kontrak.

Produk ekspresi budaya tradisional yang merupakan salah satu dari hak kekayaan intelektual yang bersifat komunal merupakan kebendaan immaterial yang merupakan obyek hak milik.69 Ekspresi budaya tradisional dalam proses komersialisasi menjadi obyek sebuah perjanjian. Perjanjian yang dibuat dalam rangka melindungi produk ekspresi budaya tradisional yang dikomersialkan oleh pihak tertentu/pelaku ekonomi harus memenuhi syarat proporsional/seimbang. Yaitu proporsional dalam hak dan kewajiban para pihak yang akhirnya perjanjian tersebut dapat melindungi ekspresi budaya tradisional tanpa menghilangkan nilai luhur dan kesakralan dari sebuah ekspresi budaya tradisional tersebut.

Menurut Sutan Remy Sjahdeini bahwa kebebasan berkontrak hanya bisa mencapai tujuannya bila para pihak mempunyai bargaining position yang seimbang.70 Dalam kenyataannya, tidak selalu para pihak memiliki bargaining position yang seimbang sehingga negara campur tangan untuk melindungi pihak yang lemah.71 Penguatan (empowerment) posisi masyarakat tradisional untuk memperoleh manfaat ekonomis dari pemanfaatan sumber daya hayati di lingkungannya dapat dilakukan melalui mekanisme kontrak.72 Artinya, pihak lain yang ingin memanfaatkan pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional yang ada dan diemban oleh masyarakat tertentu harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari masyarakat yang bersangkutan atau dalam hal tidak ada yang dapat mewakili masyarakat, persetujuan dapat diberikan oleh Pemerintah. Persetujuan dapat diwujudkan melalui perjanjian (kontrak)73 yang proporsional atau seimbang.

Menurut Agus Yudha Hernoko dalam bukunya berjudul “Hukum Perjanjian” yang mengutib dari desertasinya Herlien Budiono yang berjudul “Asas keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia, Hukum Perjanjian Berlandaskan Asas-Asas Wigati

69Kholis Roisah. Op.Cit., p. 470Sutan Remy Sjahdeini. (1993). Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang

Bagi Para Pihak dalm Perjanjian Kredit Bank di Indonesia. Jakarta: Institut Bankir Indonesia, p. 8

71Ibid., p. 972Agus Sardjono. Op.Cit., p. 26373Ibid.

Page 57: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 49 |

Indonesia” yang sebagian dikutip juga dari pendapat B. Arief Sidharta menjelaskan bahwa, baik asas-asas hukum kontrak yang hidup dalam kesadaran hukum Indonesia (semangat gotong royong, kekeluargaan, rukun, patut, pantas, dan laras) sebagaimana yang tercermin dalam hukum adat maupun asas-asas hukum modern (asas consensus, asas kebebasan berkontrak) sebagaimana yang ditemukan dalam perkembangan hukum kontrak Belanda dalam perundang-undangan, praktik hukum dan yurisprudensi, bertemu dalam satu asas, yaitu asas keseimbangan.74

Mengutip pendapat dari Rubin seperti yang dikutib juga oleh Agus Sardjono mengusulkan bahwa agar di dalam bioprospecting contract sekurang-kurangnya memuat: access, sample supply, screening, inventions, licensing, compensation, and conservation.75 Mengacu pada pendapat Rubin dapat pula sebagian diterapkan pada kontrak pemanfaatan ekspresi budaya tradisional, misalnya pada hal access dan compensation. Pengaturan mengani akses terhadap informasi, pemanfaatan secara langsung maupun apa saja yang berkaitan dengan akses terhadap ekspresi budaya tradisional. Dalam hal ini, Pemerintah Daerah dapat memberlakukan Undang-Undang yang berkaitan dengan akses terhadap ekspresi budaya tradisional tersebut. Undang-Undang ini akan menjadi acuan dalam pembuatan kontrak-kontrak tersebut. Sehingga, kontrak yang telah dibuat sah secara hukum.

Agus Sardjono dalam bukunya “Hak Kekayaan Intelektual dan Pengetahuan Tradisonal” mengungkapkan bahwa kontrak untuk memperoleh akses terhadap pengetahuan tradisional perlu memahami dua hal yaitu kontrak tersebut harus memuat ketentuan yang menegaskan bahwa informasi mengenai pemanfaatan sumber daya hayati oleh masyarakat yang bersangkutan akan digunakan hanya untuk maksud dan tujuan yang telah ditetapkan oleh prospector atau collector yang bersangkutan dan kontrak harus memuat tata cara atau prosedur yang digunakan untuk mendapatkan persetujuan (informed consent) dari para dukun (shamans) setempat atau dari masyarakat yang bersangkutan.76 Berkaitan dengan kontrak mengenai pemanfaatan ekspresi budaya tradisional oleh pelaku ekonomi secara komersial

74Agus Yudha Hernoko. Op.Cit. p. 28-2975Agus Sardjono, Op.Cit., p. 26376Agus Sardjono, Op.Cit., p. 264-265

Page 58: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 50 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

untuk memperoleh akses terhadap ekspresi budaya tradisional, penulis berpendapat bahwa perlu diperhatikan beberapa hal yang mirip terhadap apa yang telah disampaikan oleh Agus Sardjono di atas. Pertama, kontrak tersebut harus memuat ketentuan yang menegaskan bahwa informasi mengenai pemanfaatan ekspresi budaya tradisional akan digunakan hanya untuk maksud dan tujuan yang telah ditetapkan oleh masyarakat pengemban atau pemerintah setempat untuk menjaga keluhuran dan kesakralan ekspresi budaya tradisional tersebut. Kedua, kontrak harus memuat tata cara atau prosedur yang digunakan untuk mendapatkan persetujuan dari masyarakat pengemban atau pemerintah. Untuk itu perlu adanya peran dari masyarakat pengembang secara aktif dalam pembuatan kontrak tersebut agar ekspresi budaya tradisional yang dimanfaatkan dapat terjaga keutuhannya.

Kontrak juga harus memuat jangka waktu yang disediakan bagi pihak yang memanfaatkan ekspresi budaya tradisional secara komersial. Dengan adanya pembatasan waktu maka akan dapat ditentukan seberapa lama ekspresi budaya tersebut dapat dimanfaatkan secara komersial oleh pihak tertentu. Selain itu juga harus ada batasan secara jelas mengenai pengembangan dari sebuah produk ekspresi budaya tradisional tersebut. Bisa jadi sebuah produk dari ekspresi budaya tradisional dikembangkan menurut kreatifitas dari pengguna dari ekspresi budaya tradisional sehingga tidak asli lagi.

Dalam suatu kontrak dimungkinkan untuk masalah royalty. Imbalan itu adalah kompensasi dari akses yang diberikan untuk memanfaatkan ekspresi budaya tradisional. Kompensasi atau imbalan yang diberikan harus disesuaikan dengan nilai-nilai yang dikandung dalam ekspresi budaya tradisional tersebut atau perlu adanya kajian lebih mendalam menganai ukuran untuk menentukan seberapa besar imbalan atau kompensasi yang harus diberikan kepada masyarakat tradisional atau masyarakat pengembannya maupun Pemerintah dengan mempertimbangkan dari segi nilai luhur dan kesakralan sebuah ekspresi budaya tradisional, lamanya pemanfaatan atau bentuk pemanfaatannya, tingkat kesejahteraan masyarakat pengemban dan lain sebagainya. Perlu juga dipikirkan bahwa masyarakat terkadang dalam pemanfaatan ekspresi budaya tradisional tidak berorientasi pada hak ekonomi akan tetapi lebih pada penjagaan nilai luhur sebuah produk ekspresi budaya tradisional tersebut. Hal itu juga perlu diperhatikan

Page 59: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 51 |

dalam pembuatan kontrak komersial ini oleh para pihak terutama pihak yang memanfaatkan ekspresi budaya tradisional tersebut secara komersial, misalnya pihak luar atau pihak asing, maupun masyarakat Indonesia yang bukan masyarakat pengemban.

Perlu diperhatikan bahwa masyarakat juga belum tentu paham akan bagaimana penyusunan draf kontrak yang secara substansi mereka mendapatkan manfaat secara materiil maupun non materiil. Masyarakat juga belum tentu paham mengenai hak ekonomi pada ekspresi budaya tradisional yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan. Untuk itu perlu adanya upaya pemahaman kepada masyarakat mengenai hal ini dan juga perlu adanya upaya perlindungan melalui peraturan perundang-undangan yang komprehensif agar dapat melindungi nilai luhur sebuah ekspresi budaya tradisional dan keberlangsungannya untuk kelestarian Indonesia sebagai upaya memperkuat dalam perlindungan ekspresi budaya tradisional melalui hukum kontrak. Peran aktif Pemerintah dalam membuat kontrak sangat dibutuhkan. Peran Pemerintah dalam pembuatan kontrak pemanfaatan ekspresi budaya tradisional untuk kepentingan komersial sangat penting mengingat beberapa hal yang terkait dengan peran Pemerintah sebagai salah satu pemegang hak dalam pemanfaatan ekspresi budaya tradisional yang tidak diketahui penciptanya.

SiMPULAN

Pengaturan ekspresi budaya tradisional secara komprehensif akan lebih menjamin terhadap eksistensi dari ekspresi budaya tradisional itu sendiri. Peraturan yang mengatur mengenai ekspresi budaya tradisional harus dibuat mulai dari tingkatan perundang-undangan yang paling tinggi ke yang paling rendah. Dalam pembuatan peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang berkaitan dengan pemanfaatan ekspresi budaya tradisional harus mempertimbangkan kearifal lokal dari setiap masing-masing daerah. Dengan adanya pertimbangan mengenai kearifan lokal maka undang-undang tersebut dapat lebih menjaga nilai luhur dari ekspresi budaya tradisional. Mengingat bahwa masyarakat Indonesia masih bersifat komunal untuk itu perlu adanya pengakuan terhadap kepemilikan bersama. Perlindungan terhadap ekspresi budaya tradisional harus menuntut peran aktif masyarakat

Page 60: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 52 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

dan juga negara selain melalui penyediaan peraturan perundang-undangan yang lengkap juga melalui pemanfaatan hukum kontrak yang dapat memperkuat perlindungan ekspresi budaya tradisional yang bertujuan untuk mensejahterakan masyarakat Indonesia. Dalam pembuatan kontrak pemanfaatan ekspresi budaya tradisional harus memperhatikan asas proporsionalitas untuk dapat mencapai nilai keadilan. Keadilan yang dimaksud adalah adanya hak dan kewajiban yang sesuai dan masing-masing pihak pada posisi yang sama dan seimbang. Oleh karena itu, kontrak yang dibuat secara proposional harus memberikan peluang pertukaran hak dan kewajiban secara adil. Ukuran proporsionalitas pertukaran hak dan kewajiban didasarkan pada nilai-nilai kesetaraan, kebebasan, distribusi-proporsional, tentunya juga tidak dapat dilepaskan dari asas atau prinsip kecermatan, kelayakan dan kepatutan dengan selalu memperhatian kearifan lokal yang ada pada produk ekspresi budaya tradisional yang dimanfaatkannya. Sehingga perlindungan terhadap ekspresi budaya tradisional harus dilakukan dengan membentuk peraturan perundang-undangan yang komprehensif dan pemanfaatan hukum kontrak secara maksimal untuk mencapai tujuan utamanya yaitu mensejahteraan masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Agus Sardjono. (2010). Hak Kekayaan Intelektual dan Pengetahuan Tradisional. Bandung: Alumni.

Agus Yudha Hernoko. (2013). Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial. Jakarta: Kencana.

Badriyah Khaleed, (2014). Legislative Drafting: Teori dan Praktik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan, Jakarta: Buku Seru.

Badriyah Khaleed, (2014). Legislative Drafting: Teori dan Praktik Penyusunan Peraturan perundang-undangan, Jakarta: Buku Seru.

Henry Soelistyo. (2014). Hak Kekayaan Intelektual: Kosep, Opini dan Aktualisasi, Jakarta: Penaku.

Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at. (2012). Teori Hans Kelsen tentang Hukum. Jakarta: Konstitusi Press.

Page 61: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 53 |

Kholis Roisah. (2015). Konsep Hukum Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Malang:Setara Press.

Rehmi Jened Parinduri Nasution. (2013). Interface Hukum Kakayaan Intelektual dan Hukum Persaingan Usaha (Penyalahgunaan HKI). Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Riant Nugroho D. (2004). Kebijakan Publik: Formulasi, Implementasi, dan Evaluasi, Jakarta: Elex Media Komputindo.

Saidin. (2004). Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Right). Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Salim HS. (2011). Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW). Jakarta: Sinar Grafika.

Sartini, Menggali kearifan Lokal Nusantara Sebuah Kajian Filsafati, p. 1

Satjipto Rahardjo. (2009). Penegakan Hukum Suati Tinjauan Sosiologis. Yogyakarta: Genta Publishing.

Soerapati Oentoeng. (1999). Hukum Kekayaan Intelektual dan Alih Teknologi. Salatiga: Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana.

Sutan Remy Sjahdeini. (1993). Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak dalm Perjanjian Kredit Bank di Indonesia. Jakarta: Institut Bankir Indonesia.

Suyud Margono. (2015). Hukum Hak Kekayaan Intelektual. Bandung: Pustaka Reka Cipta.

jurnal

Wahyu Nugroho. (2013). “Menyusun Undang-Undang yang Responsif dan Partisipatif Berdasarkan Cita Hukum Pancasila”. Jurnal Legislasi Indonesia, 10(3): 209

Page 62: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 54 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

PErLINDUNGaN INDIKasI GEOGrafIs UNtUK PrODUK PErtaNIaN: sKENarIO UNtUK

MENDUKUNG KEtaHaNaN PaNGaN

Mas RahmahFakultas Hukum Universitas Airlangga

email: [email protected]

ABSTRACT

Agriculture is one of key sectors to satisfy the largest demand for nationally and Indonesians consume primarily nationally-grown products. With its vast and abundant fertile soil, Indonesia continues to be a major global key producer of a wide variety of agricultural tropical products. Ironically, Indonesia is still facing the problem of food security because of increasing population, environmental degradation, unpredictable climate, natural disasters, crop failures, rising food prices, less competitve of local products, low productivity and less product diversity. Since Indonesia houses many local agricultural products with unique quality and special characteristics, and that these products are associated with geographical factors such as Cianjur Rice, Cilembu Cassava, Toraja Coffee, Alor Vanili, Banda Nutmeg, Java Tea, Deli Tobacco, etc, this paper will analyze how Geographical Indications (GIs) can assist in supporting food security by protecting the unique product attributes and the quality of agricultural products. This paper also highlights that using GI to identify and market agricultural products will support the food security program by exposing the GI benefit such as increasing productivity and availability, adding economic value to products, improving the exports of GI products and increasing local products competitiveness. The GI protection for local agricultural products promote the diversity of agricultural as one of key steps to ensure food availability that affects to food security. Thus, the scenario of promoting GI may indirectly contribute to food security through adding value by incorporating territory specific cultural, environmental and social qualities into production, processing and developing of unique local, niche and special agricultural products.

Keywords : geographical indication, food security, agricultural products, Indonesia

Page 63: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 55 |

PENDAHULUAN

Sebagai negara yang kaya hasil alam dan hasil bumi, Indonesia seharusnya mampu menyediakan sumber bahan pangan yang beragam sehingga dapat mewujudkan ketersediaan, keterjangkauan, dan pemenuhan konsumsi pangan nasional. Namun ironisnya, Indonesia menghadapi masalah ketahanan pangan yang dinilai belum kuat dan masih rentan dengan semakin meningkatnya kebutuhan pangan akibat jumlah penduduk yang makin besar namun tidak dibarengi dengan meningkatnya produktivitas pertanian, menurunnya lahan pertanian akibat konversi lahan, kegagalan panen, perubahan cuaca dan pemanasan global, ketergantungan pada impor produk pertanian,77 terjadinya perubahan pola pangan, kurangnya diversifikasi pangan, dll.

Dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk ditambah dengan kerusakan lingkungan, beralih fungsinya/konversi lahan pertanian, pemanasan iklim, pergeseran pola pangan, diversifikasi pangan dan produktivitas pertanian yang semakin menurun, diprediksi akan ada kelangkaan pangan. Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) menyebutkan bahwa populasi penduduk dunia di tahun 2050 mencapai lebih dari 9 miliar jiwa dan memerlukan tambahan pangan sebesar 70%.78 Dengan jumlah penduduk yang semakin meningkat dikhawatirkan terjadi kelangkaan pangan dan kelaparan. FAO (Food and Agriculture Organisation) menyatakan bahwa Indonesia berada di level serius dalam indeks kelaparan global yang diprediksi akan terus memburuk dengan terus bertambahnya jumlah penduduk di Indonesia, diperkirakan oleh Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) akan mencapai 450 juta jiwa pada tahun 2045. Jumlah penduduk Indonesia telah mencapai 216 juta jiwa dengan angka pertumbuhan 1,75% per tahun79 yang mengindikasikan besamya kebutuhan pangan. Kebutuhan pangan yang sangat besar apabila tidak diimbangi peningkatan produktivitas pertanian dan diversifikasi

77PPI Belanda, “ Lingkar Inspirasi 5 : Ketahanan Pangan Indonesia “, 23 Feberuari 2013, http://ppibelanda.org/acara/lingkar-inspirasi-5-ketahanan-pangan-indonesia

78Agus Setiadji, “Implementasi Hubungan Kerja Antar Instansi Untuk Ketahanan Pangan Dapat Meningkatkan Kemandirian Bangsa”, Essay, Disampaikan pada Program Pendidikan Reguler Angkatan XLVIII (PPRA XLVIII) Lembaga Ketahanan Nasional, 2012, h.5. .Ibid 79

Page 64: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 56 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

pangan akan menyebabkan kelangkaan dan kekurangan pangan, kelaparan, bahkan instabilitas nasional.

Selain itu perubahan pola konsumsi pada jenis makanan tertentu menjadi salah satu masalah kelangkaan pangan dan lenyapnya diversifikasi komoditi pertanian yang menjadi unggulan daerah. Sebelum beras dikonsumsi oleh hampir sebagian besar penduduk Indonesia, kelangkaan ini tidak terjadi karena tiap daerah di Indonesia memiliki makanan utama yang berbeda-beda. Misalnya, jagung menjadi makanan utama di Madura dan Nusa Tenggara, sagu untuk masyarakat Maluku dan Irian Jaya, sedangkan beras adalah makanan utama di Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Sualwesi. Namun setelah pemerintah orde baru menetapkan kebijakan Swasembada Beras, berdampak pada pergeseran pola pangan pokok ke karena secara tidak langsung memaksa orang yang mengkomsumsi bahan makanan non beras beralih ke beras sehingga terjadi lonjakan konsumsi kebutuhan beras nasional yang tidak dapat dipenuhi oleh produksi dalam negeri sehingga dapat memyebabkan ancaman kelangkaan dan kerentanan pangan yang dapat menganggu ketahanan pangan.

Ketahanan pangan sangat mendesak untuk dilakukan karena pangan merupakan kebutuhan dasar manusia paling utama sehingga pemenuhan pangan merupakan bagian dari hak dasar atau hak asasi individu. Selain itu, pangan secara sosial dan ekonomi memiliki peranan penting bahkan digunakan sebagai senjata dalam negosiasi politik, sebagaimana diuraikan oleh Susan George bahwa ”food is a weapon, it is now one of the principle tools on our negotiating kit”.80 Bahkan negara maju telah menggunakan pangan untuk mendominasi produksi pangan global yang menyebabkan produksi pangan tidak merata dan meningkatnya kelaparan dan malgizi di banyak negara. Mengingat pentingnya pemenuhan kecukupan pangan, setiap negara akan mendahulukan pembangunan ketahanan pangan sebagai fondasi bagi pembangunan sektor-sektor lainnya.

Oleh karena itu, ketahanan pangan sangat mendesak dilakukan dengan cara melakukan revitalisasi sektor pertanian. Ketahanan

80Susan George (1989), How the Other Half Dies, Rowmand and Littlefield Publisher, New York, 1989, h. 179, Bisa juga dilihat di Direktorat Pembiayaan Pertanian Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian Kementerian Pertanian (2012), Pedoman Teknis Pembiayaan Ketahanan Pangan dan Energi, h.1.

Page 65: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 57 |

pangan dan sektor pertanian memiliki korelasi yang sangat erat karenanya pembangunan ketahanan pangan tidak dapat dilakukan dengan mengabaikan pembangunan sektor pertanian. Prioritas pada sektor pertanian perlu dilakukan karena peran sektor pertanian yang sangat strategis sebagai sektor yang menyediakan bahan pangan, bahan baku industri, bahan pakan dan bio energi, sumber devisa negara dan sumber pendapatan, serta sektor yang mendukung diversifikasi pangan dan pelestarian lingkungan melalui praktek pertanian yang ramah lingkungan.81

Revitalisasi pertanian nasional perlu didukung antara lain melalui program peningkatan produktivitas pertanian dan diversifikasi pangan. Produktivitas dan diversifikasi pangan sangat penting karena menjadi salah satu landasan bagi terciptanya ketahanan pangan yang antara lain dapat ditingkatkan melalui peningkatan produktivitas produk unggulan pertanian.

Indonesia memiliki beragam produk unggulan pertanian seperti Beras Cianjur, Ubi Cilembu, Beras Merah Kalirejo, Beras Hitam Banyumas, Kankung Lombok, Kopi Gayo, Beras Solok, Pala Banda, Lada Muntok, Vanili Alor, dll yang mempunyai kualitas sangat baik dengan ciri khusus dan kharakteristik yang khas serta unik akibat pengaruh wilayah geografis yang tidak dapat dijumpai di daerah lain. Produk unggulan pertanian yang memiliki kualitas bagus dan karakteristik yang unik tersebut seharusnya dapat dikembangkan dan dilindungi melalui rezim Indikasi Geografis.82 Proteksi Indikasi Geografis sangat dibutuhkan karena kualitas dan karakteristik produk unggulan pertanian pada umumnya sangat dipengaruhi oleh faktor wilayah geografis daerah setempat seperti alam, cuaca, tanah dan unsur geografis daerah lokal yang bersangkutan, yang tidak dimiliki daerah lain. Indikasi Geografis memproteksi keunggulan, citra, asal dan kualitas produk pertanian lokal agar tidak bisa dipalsu atau didaftarkan perlindungannya negara lain yang tidak memproduksi

81Ibid.82Menurut Pasal 1 Angka 6 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang

Merek dan Indikasi Geografis (UU 20/2016), Indikasi Geografis adalah suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang dan/atau produk yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia atau kombinasi dari kedua faktor tersebut memberikan reputasi, kualitas, dan karakteristik tertentu pada barang dan/atau produk yang dihasilkan.

Page 66: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 58 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

produk unggulan tersebut. Dengan adanya perlindungan berbasis Indikasi Geografis diharapkan dapat meningkatkan produktivitas pertanian karena perlindungan Indikasi Geografis memungkinkan pengembangkan sistem produksi pangan berbasis sumber daya lokal, meningkatkan diversifikasi pangan dan nilai tambah produk pertanian. Hal ini sesuai dengann program ketahanan pangan melalui pengembangan sistim produksi yang berbasis pada sumber daya lokal. Disebutkan di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2002 Tentang Ketahanan Pangan bahwa salah satu upaya untuk mewujudkan ketahanan pangan dilakukan dengan mengembangkan sistem produksi pangan yang berbasis pada sumber daya lokal. Di dalam Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2009 bahkan dituangkan kebijakan percepatan penganeka-ragaman konsumsi pangan (diversifikasi pangan) berbasis sumber daya lokal. Peraturan Daerah Jawa Timur Nomor 2 Tahun 2010 Tentang Tata Kelola Produk-Produk Unggulan Pertanian Dan Perikanan Di Jawa Timur juga mengatur bahwa usaha pertanian dilakukan dengan tujuan meningkatkan dan memperluas penganekaragaman hasil pertanian serta meningkatkan efisiensi, mutu dan produksi. Sedangkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pengembangan Produk Unggulan Daerah mengatur bahwa pengembangan keragaman jenis produk unggulan daerah dan perlindungan produk unggulan daerah sebagai salah satu model pengembangan produk unggulan pertanian. Dari pengaturan tersebut, terlihat bahwa pemerintah berupaya untuk mengembangkan dan melindungi produk unggulan pertanian. Namun sayangnya pengembangan dan perlindungan untuk produk unggulan pertanian belum diarahkan pada proteksi Indikasi Geogafis dalam meningkatkan produktivitas dan diversifikasi pangan.

Untuk itu perlu diformulasikan strategi meningkatkan produktivitas pertanian yang berkelanjutan dan diversifikasi pangan dengan melindungi produk unggulan pertanian melalui sistem Indikasi Geografis. Dengan meningkatnya produktivitas pertanian dan diversifikasi pangan yang semakin beragam, maka permasalahan ketahanan pangan diharapkan sedikit dapat diatasi.

Page 67: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 59 |

PEMBAHASAN

Indikasi Geografis untuk Produk Pertanian

Mengenai Indikasi Geografis, World Intellectual Property Organization (WIPO) memberikan definisi sebagai berikut :

A geographical indication is a sign used on goods that have a specific geographical origin and possess qualities or a reputation that are due to that place of origin. Most commonly, a geographical indication consists of the name of the place of origin of the goods. Agricultural products typically have qualities that derive from their place of production and are influenced by specific local factors, such as climate and soil. Whether a sign functions as a geographical indication is a matter of national law and consumer perception.83

Sementara WTO memberikan pengertian Indikasi Geografis adalah place names (in some countries also words associated with a place) used to identify the origin and quality, reputation or other characteristics of products (for example, “Champagne”, “Tequila” or “Roquefort”84

Pada tataran internasional, pengaturan terkait dengan Indikasi Geografis antara lain dapat dilihat di Lisbon Agreement, Madrid Agreement, Paris Convention, TRIPS Agreement. Lisbon Agreement menjadi cikal bakal pengaturan Indikasi Geografis dengan mengatur appellation of origin yang didefinisikan sebagai: the geographical name of country, region or locality, which serves to designate a product originating therein the characteristic qualities of which are due exclusively or essentially to geographical environment, including natural and human factor.85 Selanjutnya Trade Related Aspect of Intellectual Property (TRIPs) memberikan pengertian Indikasi Geografis di dalam Article 22 (1) sebagai : “geographical indications are, for the purpose of this agreement, indication which which identify a good as originating in the territory of a member (WTO) or a region or locality in that territory, where a given quality, reputation or other characteristic of the good is essentially attributable to its geographical origin”.

83WIPO, “Geographical Indications” http://www.wipo.int/aboutip/en/geographical_ind.html, diakses 2 Februari 2014.

84WTO, ”Geograpical Indications” http://www.wto.org/english/tratop_e/trips_e/gi_e.htm,, diakses 5 Februari 2014

85Article 2 (1) Lisbon Agreement

Page 68: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 60 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

Di level nasional, Indikasi Geografis diatur di dalam Undang Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis (selanjutnya disebut UU 20/2016). Menurut Pasal 1 Angka 6 UU 20/2016, Indikasi Geografis adalah suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang dan/atau produk yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia atau kombinasi dari kedua faktor tersebut memberikan reputasi, kualitas, dan karakteristik tertentu pada barang dan/atau produk yang dihasilkan. Selanjutnya, Pasal 1 Angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2007 Tentang Indikasi Geografis (selanjutnya disebut PP 51/2007) mendefinisikan Indikasi Geografis sebagai suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang, yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut, memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan.

Di Indonesia pengaturan Indikasi Geografi tidak dibuat dalam suatu Undang-undang tersendiri tetapi dimasukkan dalam undang-undang Merek. Secara historis, pengaturan Indikasi Geografis pada awalnya terdapat di dalam Pasal 79 A sampai dengan pasal 79 E Undang Undang Nomor 14 Tahun 1997 Tentang Merek (selanjutnya disebut UU 14/1997). Pengaturan Indikasi Geografis di dalam UU 14/1997 merupakan hal baru sebagai penyesuaian ketentuan yang terdapat Persetujuan TRIPs. Undang-undang Merek sebelumnya yaitu Undang Undang Nomor 21 Tahun 1961 Tentang Merek Perusahaan dan Merek Perniagaan (UU 21/1961), dan Undang Undang Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek (UU 19/1992) belum mengatur perlindungan Indikasi Geografis. Kemudian tahun 2001 Indikasi Geografis diatur di dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek (UU 15/2001). Berdasarkan UU 15/200, dibuat peraturan pelaksanaan mengenai Indikasi Geografis melalui PP 51/2001. Terakhir, Indikasi Geografis diatur di dalam UU 20/2016 bahkan Indikasi Geografis dimasukkan sebagai bagian judul undang-undang tersebut.86

Pengaturan Indikasi Geografis dalam hukum nasional tersebut merupakan salah satu implikasi dari ratifikasi Persetujuan Pembentukan WTO yang dilakukan oleh Indonesia melalui Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994. Di dalam Persetujuan Pembentukan WTO terdapat

86Judul UU 20/2016 adalah Merek dan Indikasi Geografis.

Page 69: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 61 |

salah satu lampiran yaitu TRIPs. Konsekwensi dari ratifikasi tersebut tersebut adalah Indonesia harus menyelaraskan pengaturan Indikasi Geografis nasional dengan ketentuan TRIPs, membuat aturan HKI dan melakukan penegakan hukum di bidang HKI. Indonesia berkewajiban mengharmonisasikan ketentuan nasional di bidang HKI dengan Persetujuan TRIPs karena Persetujuan TRIPs mewajibkan semua negara anggota WTO untuk menerapkan standar perlindungan yang ada di TRIPs secara penuh (full compliance). Kewajiban untuk mentaati secara penuh ketentuan TRIPs tersebut membawa konsekwensi bahwa pengaturan mengenai HKI (termasuk Indikasi Geografis) tidak boleh bertentangan dengan ketentuan TRIPs.

TRIPS mensyaratkan bahwa negara anggota WTO diharuskan membuat aturan hukum (legal means) untuk melindungi Indikasi Geografis :

In respect of geographical indications, Members shall provide the legal means for interested parties to prevent:

(a) the use of any means in the designation or presentation of a good that indicates or suggests that the good in question originates in a geographical area other than the true place of origin in a manner which misleads the public as to the geographical origin of the good;

(b) any use which constitutes an act of unfair competition within the meaning of Article 10bis of the Paris Convention (1967).

Berdasarkan Artikel 22 Ayat (2) TRIPS, Indonesia sebagai anggota WTO diwajibkan untuk membuat aturan hukum dalam melindungi Indikasi Geografis. Meskipun demikian TRIPS tidak mengharuskan aturan hukum tersebut harus dalam bentuk tertentu dan membebaskan tiap negara untuk menentukan bentuk perlindungan Indikasi Geografis. Umumnya ada tiga model yang dipilih dalam melindungi Indikasi Geografis yaitu: (a) diatur di dalam ketentuan hukum yang menfokuskan pada kegiatan bisnis seperti peraturan persaingan curang, perlindungan konsumen, atau perbuatan melanggar hukum(passing off); (b) diatur di dalam Hukum Merek, (c) diatur di dalam pengaturan khusus (sui generis system) tersendiri. Indonesia lebih memilih untuk melindungi Indikasi Geografis dalam rezim hukum Merek. Dimasukkannya Indikasi Geografis dalam rezim hukum Merek

Page 70: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 62 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

didasarkan pada pertimbangan bahwa Indikasi geografis merupakan tanda pembeda seperti halnya Merek,87 hanya saja untuk Indikasi Geografis tanda ini dikaitkan dengan faktor lingkungan geografis yang memberi pengaruh pada kualitas atau ciri khas produk.

Indonesia memiliki kekayaan produk unggulan pertanian yang memiliki ciri khas dan kualitias khusus akibat pengaruh unsur geografis sehingga produk unggulan pertanian tersebut paling tepat untuk dilindungi melalui Indikasi Geografis karena Indikasi Geografis melindungi produk yang memiliki kualitas khusus akibat pengaruh lingkungan geografis seperti faktor alam, faktor manusia atau kombinasi manusia dan faktor alam setempat. Beberapa produk unggulan pertanian yang telah didaftarkan untuk mendapatkan proteksi Indikasi Geografis antara lain Beras Adan Krayan, Ubi Cilembu Sumedang, Kangkung Lombok, Salak Pondoh Sleman Jogja, Susu Kuda Sumbawa, Madu Sumbawa, Bajawa Purwaceng Dieng, Vanili Kepulauan Alor, beberapa produk kopi (Kopi Arabika Kalosi Enrekang, Kopi Arabika Java Preanger, Kopi Arabika Java Ijen-Raung, Kopi Arabika Toraja, Kopi Arabika Kintamani Bali, Kopi Arabika Gayo, Kopi Arabika Flores), Minyak Nilam Aceh, Bandeng Asap Sidoarjo, Tembakau Hitam Sumedang, Tembakau Mole Sumedang, Lada Putih Muntok dan Carica Dieng.88 Namun masih terdapat banyak produk unggulan pertanian yang belum dilindungi dalam skema Indikasi Geografis seperti Beras Solok, Beras Hitam Banyumas, Berah Merah Kalirejo Batang-Jawa Tengah, Beras Dlanggu-Klaten, Sagu Miranti-Sulsel, Kedelai Banyuwangi, Mangis Sukabumi, Jeruk Garut, Mangga Probolinggo, Tembakau Sumenep, Pala Banda Naera, Markisa Makasar, Apel Batu, Pisang Ambon, Duku Palembang, Rambutan Binjai, Blimbing Tasikmadu Tuban, Kelapa Sawit Marehat (Medan), Jambu Air Dalhari/Sleman, Jambu Air Bangkalan, Jeruk Pacitan, Jeruk Nambangan Madiun, Salak Bali, Durian Candimulyo Magelang, dll.

87Pengertian Merek menurut Pasal 1 Angka 1 UU 20/2016, Merek adalah tanda yang dapat ditampilkan secara grafis berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna, dalam bentuk 2 (dua) dimensi dan/atau 3 (tiga) dimensi, suara, hologram, atau kombinasi dari 2 (dua) atau lebih unsur tersebut untuk membedakan barang dan/atau jasa yang diproduksi olehorang atau badan hukum dalam kegiatan perdagangan barang dan/atau jasa.

88https://www.dgip.go.id/images/adelch-images/pdf files/publikasi/publikasi_ig/ig_terdaftar_maret_ 2015.pdf

Page 71: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 63 |

Produk unggulan pertanian tersebut sangat berpotensi untuk dilindungi melalui Indikasi Geografis karena memiliki kualitas khusus dan ciri khas akibat pengaruh lingkungan geografis. Kualitas produk unggulan pertanian lebih banyak dipengaruhi oleh unsur geografis tempat produk tersebut dihasilkan seperti faktor alam, faktor iklim, cuaca, bahkan faktor tradisi lokal, budaya atau masyarakat setempat. Menurut Laurence Be´rard and Philippe Marchenay ada keterkaitan antara kualitas atau reputasi produk pertanian dengan unsur geografis dari daerah asal produk tersebut dihasilkan.89 Oleh karena itu, Indikasi Geografis menjadi alat yang krusial dalam mempromosikan produk yang berkarateristik local agricultural-ecological, traditional or cultural characteristics.90

Produk yang dilindungi dalam rezim Indikasi Geografis pada awalnya sebatas pada wine dan spirit91, tetapi pada perkembangannya juga meliputi produk keju, daging segar, daging ayam, apel, buah anggur, sayuran segar, ham, dll. Pada awalnya negara yang mengembangkan produk berlabel Indikasi Geografis adalah negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa, khususnya untuk produk pertanian.

Produk pertaniam mempunyai potensi untuk dilindungi melalui Indikasi Geografis apabila memenuhi persyaratan perlindungan Indikasi Geografis. Salah satu karakter Indikasi Geografis adalah adanya tanda yang menunjukkan daerah asal produk. Menurut Pasal 2 Ayat (1) PP 51/2007, tanda tersebut merupakan nama tempat atau daerah maupun tanda tertentu lainnya yang menunjukkan asal tempat dihasilkannya barang yang dilindungi oleh Indikasi Geografis. Dalam

89Laurence Be´rard and Philippe Marchenay (2006), “ Local products and geographical indications: taking account of local knowledge and biodiversity”, International Social Science, No. 187, h. 110.

90Mevhibe Albayrak and Melda Ozdemi (2012), “The Role of Geographical Indication in Brand Making of Turkish Handcrafts”, International Journal of Business and Social Research (IJBSR), Volume -2, No.-3, Juni, h. 111.

91Wine dan spirit dibuat dengan bahan baku anggur. Proses pembuatan wine hanya mengandalkan pada proses fermentasi sehingga kadar alkoholnya lebih rendah. Sedangkan proses pembuatan spirit, selain melalui proses fermentasi juga dilakukan distilasi sehingga kadar alkoholnya relatif tinggi. Lihat Surip Mawardi, “Advantages, cConstraints and Key Success Factors in Establishing Origin- and Tradition-Linked Qsigns: the Case of Kintamani Bali Arabica Coffee Geographical Indication, Indonesia,” Paper for case study of Case study on quality products linked to geographical origin in Asia carried out for FAO, 25 May 2009, h. 4.

Page 72: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 64 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

kaitannya dengan produk unggulan pertanian, terdapat beberapa produk unggulan pertanian yang memiliki kualitas khusus dan diberi nama berdasarkan tempat dihasilkannya atau tempat produksi dari produk pertanian tersebut. Beberapa contoh produk pertanian yang memiliki ciri khas misalnya Beras Cianjur, Ubi Cilembu, Beras Merah Kalirejo, Beras Hitam Banyuman, Apel Batu, Kankung Lombok, Kopi Toraja, Kopi Gayo, Kopi Kintamai, Madu Sumbawa, Beras Solok, Mangga Probolinggo, Pala Banda, Lada Muntok, Vanili Alor, Duku Palembang, Rambutan Binjai, Blimbing Tasikmadu Tuban, dll yang mempunyai kualitas sangat baik dengan ciri khusus dan kharakteristik yang khas serta unik akibat pengaruh wilayah geografis yang tidak dapat dijumpai di daerah lain.

Mengenai produk yang dilindungi Indikasi Geografis, Pasal 2 Ayat (1) PP 51/2007 menyatakan bahwa barang yang dilindungi Indikasi Geografis dapat berupa hasil pertanian, produk olahan, hasil kerajinan tangan, atau barang lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa produk pertanian yang memiliki kualitas atau ciri khusus menjadi salah satu produk yang dapat dilindungi Indikasi Geografis. Produk pertanian dapat dilindungi sebagai Indikasi Geografis apabila memiliki ciri atau kualitas tertentu akibat faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut. Adanya ciri atau kualitas tertentu akibat faktor lingkungan geografis sebagai syarat agar suatu produk dapat dilindungi Indikasi Geografis diatur di dalam Pasal 1 Angka 6 UU 20/2016 jo Pasal 1 Angka 1 PP 51/2007 bahwa : Indikasi Geografis dilindungi sebagai suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang, yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut, memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan.

Syarat lainnya adalah adanya kualitas atau ciri tertentu yang melekat pada produk pertanian. Produk unggulan pertanian dapat dilindungi sebagai Indikasi Geografis apabila memiliki ciri atau kualitas tertentu akibat faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut. Menurut Michael Blackeney, kualitas atau ciri suatu produk antara lain dipengaruhi faktor geografis seperti iklim dan geologi contohnya produk Jeruk California, Anggur Burgundy, Champagne, Apel

Page 73: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 65 |

Washington. Resep atau teknik pengolahan makanan seperti Kue Kacang Kyoto, Sosis Franfurt, Madu Malmesbury atau kemampuan memproduksi seperti Delf keramik, Besi Toledo, dll. 92

Karakteristik yang memberikan kontribusi pada kekhasan atau keunikan produk yang paling sering adalah faktor alam dan manusia sebagaimana dikemukakan oleh WIPO. Faktor alam merupakan atribut fisik dari tanah, cuaca, lokasi geografis dan sejenisnya yang dalam konsep Perancis disebut Terroir. Karakteristik atau kualitas dari produk pertanian pada umumnya merupakan karakteristik fisik akibat pengaruh cuaca dan kualitas tanah dimana produk pertanian tersebut dihasilkan. Karakter semacam ini disebut dengan local inventiveness.93 Local inventiveness sebagai karakteristik utama membuat produk pertanian berbeda dengan produk sejenis sehingga produk tersebut berdasarkan persepsi konsumen memiliki reputasi khusus. Reputasi produk pertanian tersebut dapat bersifat lokal, nasional dan internasional. WIPO menyatakan bahwa reputasi yang bersifat lokal cukup sebagai dasar untuk pemberian perlindungan Indikasi Geografis94 untuk produk pertanian dimaksud,sehingga tidak harus mensyaratkan produk tersebut memiliki reputasi secara nasional dan internasional.

Selanjutnya untuk bisa dilindungi dalam rezim Indikasi Geografis, maka tanda yang dipakai untuk produk unggulan pertanian harus didaftarkan terlebih dahulu, sebagaimana diatur dalam UU 20/2016 bahwa Indikasi Geografis akan mendapat perlindungan apabila telah terdaftar terlebih dahulu. Keharusan adanya pendaftaran untuk mendapatkan perlindungan hukum dan perolehan hak ditegaskan dalam Pasal 53 Ayat (1) UU 20/2016: “Indikasi Geografis dilindungi setelah Indikasi Geografis didaftar oleh Menteri.” PP 51/20007 juga mengharuskan adanya pendaftaran untuk Indikasi Geografis bahwa: “tanda… dilindungi sebagai Indikasi-geografis apabila telah terdaftar

92Michael Blakeney, “Geographical Indications and Trade”, Makalah, Queen Mary Intellectual Property Research Institute Queen Mary and Westfield College, University of London, h.1.

93Keith E. Maskus, “Observations on the Development Potential of Geographical Indications” , Paper prepared for the U.N. Millennium Project Task Force on Trade, March 2003, h.1.

94WIPO, Geographical Indications (Standing Committee on the Law of Trademarks, Industrial Designs and Geographical Indications, Tenth Session, Geneva, April 28 – May 2, 2003) SCT/10/4 [Geographical Indications], Paragraf 26.

Page 74: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 66 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

dalam Daftar Umum Indikasi-geografis di Direktorat Jenderal.”95 Keharusan untuk melakukan pendaftaran dalam rangka mendapatkan perlindungan hukum bagi Indikasi Geografis sebagaimana diatur di dalam Pasal 53 ayat (1) UU 20/2016 dan Pasal 2 Ayat (3) PP 51/2007 menunjukkan bahwa sistem perolehan hak dan perlindungan hukum untuk Indikasi Geografis adalah sistem Konstitutif. Sistem Konstitutif yang dianut dalam UU 20/2016 mengharuskan pendaftaran bagi pemilik Indikasi Geografis untuk lahirnya hak dan perlindungan hukum atas Indikasi Geografis.

Berkaitan dengan pihak yang dapat mendaftarkan Indikasi Geografis untuk produk unggulan pertanian, Pasal 53 Ayat (3) UU 20/2016 dan Pasal 5 Ayat (3) PP 51/2007 mengatur bahwa yang dapat melakukan pendaftaran Indikasi Geografis adalah96 :

a. lembaga yang mewakili masyarakat di kawasan geografis tertentu yang mengusahakan suatu barang dan/atau produk berupa:1. sumber daya alam;2. barang kerajinan tangan; atau3. hasil industri.

b. pemerintah daerah provinsi atau kabupaten/kota. Pada umumnya, pendaftaran Indikasi Geografis dilakukan

oleh asosiasi produsen atau dilakukan oleh Pemerintah Daerah atau instansi pemerintah setempat. Indikasi Geografis dapat didaftarkan oleh gabungan unsur produsen, petani atau pemda atau masyarakat yang melindungi Indikasi Geografis seperti pada pendaftaran Kopi Gayo yang didaftarkan oleh Masyarakat Perlindungan Kopi Gayo (MPKG) yang beranggotakan dari kalangan eksportir kopi, petani (ada sekitar 9000 petani yang terlibat dalam usaha kopi gayo), pemda di tiga kabupaten.97 Pendaftaran Kopi Gayo di Indonesia sangat diperlukan karena MPKG juga berniat untuk mendaftarkan di Eropa,

95Pasal 2 Ayat (3) PP 51/20007.96Mengenai pihak yang mengajukan permohonan pendaftaran dalam UU 20/2016

sedikit berbeda dengan undang-undang Merek sebelumnya ( UU 15/2001) karena UU 20/2016 memasukkan pemerintah daerah provinsi atau kabupaten/kota, dan menghilangkan lembaga yang diberi kewenangan untuk itu serta

kelompok konsumen barang sebagai pihak yag dapat mengajukan pendaftaran Indikasi Geografis.

97”Kopi Gayo Penuhi Syarat Didaftarkan, Penerbitan Sertifikat Indikasi Geografis Tinggal Tunggu Waktu”, Bisnis Indonesia, 2 Februari 2010.

Page 75: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 67 |

oleh karena itu pendaftaran di Indonesia sebagai pintu masuk untuk mendaftarkan Indikasi Geografis Kopi Gayo ke Eropa.98 Pendaftaran Indikasi Geografis untuk produk ungulan pertanian yang dilakukan oleh asosiasi produsen atau gabungan unsur produsen, petani dan Pemda, antara lain :

1. Kopi Arabika Kintamani Bali didaftarkan oleh Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis (MPIG) Kopi Kintamani Bali.

2. Kopi Arabika Gayo didaftarkan oleh MPKG (Masyarakat Perlindungan Kopi Gayo).

3. Kangkung Lombok didaftarkan oleh Asosiasi Komoditas Kangkung Lombok.

4. Madu Sumbawa didaftarkan oleh Jaringan Madu Hutan Sumbawa.

5. Susu Kuda Sumbawa didaftarkan oleh Asosiasi Pengembangan Susu Kuda Sumbawa

6. Beras Adan Krayan didaftarkan oleh Asosiasi Masyarakat Adat Perlindungan Beras Adan Krayan.

7. Kopi Arabika Flores Bajawa didaftarkan oleh Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis (MPIG) Kopi Arabika Flores Bajawa.

8. Purwaceng Dieng didaftarkan oleh Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis (MPIG) Purwaceng Dieng.

9. Carica Dieng didaftarkan oleh Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis (MPIG) Carica Dieng.

10. Vanili Kepulauan Alor didaftarkan oleh Asosiasi Petani Vanili Kepulauan Alor (APVKA).

11. Kopi Arabika Kalosi Enrekang didaftarkan oleh Masyarakat Perlindungan Kopi Enrekang.

12. Ubi Cilembu Sumedang didaftarkan oleh Asosiasi Agrobisnis Ubi Cilembu (ASAGUCI).

13. Salak Pondoh Sleman Jogja didaftarkan oleh Komunitas Perlindungan Indikasi Geografis Salak Pondoh Sleman.

14. Minyak Nilam Aceh didaftarkan oleh Forum Masyarakat

98Ibid.

Page 76: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 68 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

Perlindungan Nilam Aceh (FMPNA) dengan nomor agenda IG.00.2012.000004.

15. Kopi Arabika Java Preanger didaftarkan oleh MPIG Kopi Arabika Java Preanger-Jabar.

16. Kopi Arabika Java Ijen-Raung didaftarkan oleh Perhimpunan Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis (PMPIG).

17. Bandeng Asap Sidoarjo didaftarkan oleh Forum Komunikasi Masyarakat Tambak (FKMT) Sidoarjo.

18. Kopi Arabika Toraja didaftarkan oleh MPIG Kopi Arabika Toraja. Selain asosiasi produsen atau gabungan unsur produsen,

petani, beberapa pendaftaran Indikasi Geografis yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah atau instansi pemerintah antara lain :

1. Tembakau Hitam Sumedang didaftarkan oleh Pemerintah Kabupaten Sumedang.

2. Tembakau Mole Sumedang didaftarkan oleh Pemerintah Kabupaten Sumedang.

3. Lada Putih Muntok yang didaftarkan oleh Badan Pengelola, Pengembangan dan Pemasaran Lada (BP3L) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.Untuk dapat didaftarkan sebagai Indikasi Geografis, maka tanda

yang akan dipakai untuk produk unggulan pertanian harus memenuhi syarat substantif yang terdapat di Pasal dalam Pasal 56 Ayat (1) UU 20/2016 bahwa permohonan Indikasi Geografis tidak dapat didaftar jika:

a. bertentangan dengan ideologi negara, peraturan perundang-undangan, moralitas, agama, kesusilaan, dan ketertiban umum;

b. menyesatkan atau memperdaya masyarakat mengenai reputasi, kualitas, karakteristik, asal sumber, proses pembuatan barang, dan/atau kegunaannya; dan

c. merupakan nama yang telah digunakan sebagai varietas tanaman dan digunakan bagi varietas

d. tanaman yang sejenis, kecuali ada penambahan padanan kata

Page 77: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 69 |

yang menunjukkan faktor Indikasi Geografis yang sejenis.99 Selain itu Pasal 56 Ayat (2) UU 20/2016 juga mengatur bahwa

permohonan Indikasi Geografis akan ditolak jika :

a. Dokumen Deskripsi Indikasi Geografis tidak dapat dibuktikan kebenarannya; dan/atau

b. Memiliki persamaan pada keseluruhannya dengan Indikasi Geografis yang sudah terdaftar.100 Apabila produk unggulan pertanian telah terdaftar dan

mendapatkan sertifikat Indikasi Geografis, maka produk unggulan pertanian tersebut mendapat perlindungan tanpa batas waktu selama ciri atau kualitasnya masih ada. Hal ini dipertegas di dalam Pasal 61 Ayat (1) UU 20/2016 bahwa Indikasi Geografis dilindungi selama terjaganya reputasi, kualitas, dan karakteristik yang menjadi dasar diberikannya pelindungan Indikasi Geografis pada suatu barang.101 Selanjutnya Pasal 61 Ayat (2) UU 20/206 mengatur bahwa dalam hal Indikasi Geografis tidak layak untuk dilindungi, maka Indikasi Geografis dapat dihapus jika: a. tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1); b. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) huruf a.102

Berbeda dengan pendaftaran bidang HKI yang lain (misalnya Paten), yang pendaftaran didominasi oleh pihak luar negeri, pendaftaran Indikasi Geografis menunjukkan tren positif bagi perkembangan produk khas Indonesia mengingat pendaftaran Indikasi Geografis didominasi oleh produk Indonesia. Berdasarkan data di DJKI, pendaftaran

99Ketentuan ini agak sedikti berbeda dengan Pasal 3 PP 51/2007 yang mengatur bahwa Indikasi Geografis tidak dapat didaftar apabila tanda yang dimohonkan pendaftarannya: (a) bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, moralitas agama, kesusilaan atau ketertiban umum; (b) menyesatkan atau memperdaya masyarakat mengenai: ciri, sifat, kualitas, asal sumber, proses pembuatan barang, dan/atau kegunaannya; (c) merupakan nama geografis setempat yang telah digunakan sebagai nama varietas tanaman, dan digunakan bagi varietas tanaman yang sejenis; atau (d) telah menjadi generik.

100 Ketentuan semacam ini tidak terdapat di dalam PP 51/2007.101Ketentuan ini agak berbeda sedikit redaksinya dengan yang terdapat di dalam Pasal

4 PP 51/2007 yang mengatur bahwa : Indikasi-geografis dilindungi selama karakteristik khas dan kualitas yang menjadi dasar bagi diberikannya perlindungan atas Indikasi-geografis tersebut masih ada.

102Pasal 56 Ayat (1) huruf a UU 20/2016 merupakan salah satu syarat substantif Indikasi Geografis bahwa permohonan Indikasi Geografis tidak dapat didaftar jika: bertentangan dengan ideologi negara, peraturan perundang-undangan, moralitas, agama, kesusilaan, dan ketertiban umum.

Page 78: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 70 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

Indikasi Geografis didominasi produk pertanian (39 pendaftaran) dan 6 pendaftaran produk asing (Parnigiano Reggiano, Champagne, Pisco, Lamphun Brocade Thai Silk, Tequila, and Grana Padano). Sementara pendaftaran produk non pertanian hanya 3 (Kerajinan Kayu Jepara, Tenun Gringsing Bali, Sutera Mandar ) dan 4 produk olahan (Susu Kuda Sumbawa, Bandeng Asap Sidoarjo, Gula Kelapa Kulonprogo). Hal ini menunjukkan bahwa 75 % pendaftaran Indikasi Geografis didominasi produk pertanian (75%), 11,54% pendaftaran oleh pihak asing, dan 13.46% adalah produk non pertanian. Untuk produk makanan pokok, terdapat 3(tiga) pendaftaran yaitu Beras Adan Krayan, Beras Cianjur dan Umbi Cilembu dan yang mengejutkan bahwa 35% pendaftaran didominasi oleh 14 pendaftaran produk kopi yaitu Kopi Kintamani Bali, Kopi Gayo, Kopi Flores Bajawa, Kopi Kalosi Enrengkang, Kopi Jawa Preanger, Kopi Ijen Raung, Kopi Sindoro Sumbing, Kopi Simalungun, Kopi Mandailing, Kopi Lampung, Kopi Liberika Tungkal Jambi, Kopi Liberika Rangsang Mranti, dan Kopi Toraja.

Ketahanan Pangan

Menurut FAo, ketahanan pangan (food security) adalah jaminan akses setiap rumah tangga atau individu untuk dapat memperoleh pangan setiap waktu untuk keperluan hidup yang sehat. Definisi yang sama juga diuraikan oleh World Bank bahwa ketahanan pangan adalah ‘access by all people at all times to sufficient food for an active and healthy life’.103 Pada the World Food Summit tahun 1996, ketahanan pangan didefinisikan sebagai “when all people at all times have access to sufficient, safe, nutritious food to maintain a healthy and active life”.104 Ketahanan pangan ini merupakan ketahanan secara fisik dan ekonomis untuk mendapatkan makanan yang dapat memenuhi kebutuhan pangan dan preferensi pangan yang dipilih masyarakat. 105

Secara konsep, ketahanan pangan memiliki 4 (empat) komponen yaitu ketersediaan (availability), dapat diakses (accessable), penggunaaan (utilization), and tingkat kerapuhannya (vulnerability)106 bahan

103World Bank (1986), Poverty and Hunger: Issues and Options for Food Security in Developing Countries, Washington, DC: World Bank, h.1

104WHO, Food Security, http://www.who.int/trade/glossary/story028/en/105Ibid106Basudeb Guha-Khasnobis (2007), et.al, Food Security : Indicators, Measurement, and

the Impact of Trade Openness, Oxford University Press, New York, h. 15.

Page 79: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 71 |

pangan. Ketersediaan pangan (food availibility) menunjukkan bahwa tersedianya kuantitas pangan yang cukup secara konsisten, sedangkan food access adalah kemampuan untuk memperoleh pangan secara layak untuk memperoleh makanan bergizi dengan menggunakan sumber daya yang cukup. Penggunaan makanan (food use) yaitu menggunakan makanan yang didasarkan pada pengetahuan gizi dasar dan perawatan, termasuk air dan sanitasi yang memadai.

Menurut Pasal 1 Angka 1 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 2002 Tentang Ketahanan Pangan (selanjutnya disebut PP Ketahanan Pangan), ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Sedangkan menurut Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan (selanjutnya disebut UU Pangan), ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya Pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan. Program Ketahanan Pangan adalah upaya peningkatan produksi dan produktivitas usaha pertanian tanaman pangan, hortikultura, peternakan dan perkebunan yang menghasilkan pangan nabati dan/atau hewani.107 Program Ketahanan Pangan Tahun 2010-2014 difokuskan pada 5 (lima) komoditas pangan utama yaitu : padi (beras), jagung, kedelai, tebu (gula) dan daging sapi.108 Dalam rangka mencukupi kebutuhan bahan pangan utama tersebut dan mengurangi ketergantungan impor pangan, pemerintah telah mencanangkan program pencapaian swasembada dan swasembada berkelanjutan. Swasembada berkelanjutan ditargetkan untuk komoditas padi dan jagung, swasembada yang ditargetkan tahun 2014, untuk komoditas kedelai, gula dan daging sapi.

107Direktorat Pembiayaan Pertanian Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian Kementerian Pertanian, Direktorat Pengembangan Usaha dan Investasi, Direktorat Jendral Pengelolaan dan Pemasaran Hasil Pertanian Kementrian Pertanian (2012), Pedoman Teknis Pelaksanaan Indikasi Geografis 2012, Jakarta, h.3.

108Ibid, h.7.

Page 80: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 72 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

Dalam mewujudkan ketahanan pangan, perlu diperhatikan kedaulatan pangan karena menurut Serikat Petani Indonesia, kedaulatan pangan merupakan prasyarat dari ketahanan pangan (food Security). Ketahanan pangan tidak mungkin dilakukan kalau suatu bangsa dan rakyatnya tidak memiliki kedaulatan atas proses produksi dan konsumsi pangannya. Oleh karena itu merupakan suatu keharusan bagi setiap bangsa dan rakyat untuk dapat mempunyai hak dalam menentukan pangan dan kebijakan pertanian yang dijalankannya, kapasitas produksi pangan dan perdagangannya.

Selain itu dalam mewujudkan ketahanan pangan, revitalisasi sektor pertanian perlu dilakukan karena program ketahanan pangan tidak bisa dilepaskan dari revitalisasi sektor pertanian. Untuk melakukan revitalisasi sektor pertanian, program peningkatan produktivitas pertanian dan diversifikasi produk melalui perlindungan Indikasi Geografis untuk produk unggulan pertanian menjadi salah satu program yang dapat menunjang ketahanan pangan.

Kontribusi dan Manfaat Proteksi Indikasi Geografis

Menurut Daphne Zografos,109 perlindungan Indikasi Geografis dapat meningkatkan output produksi dan nilai tambah produk, termasuk untuk produk unggulan pertanian. Nilai tambah produk terlihat dengan meningkatnya harga produk Indikasi Geografis di pasaran yang lebih mahal dibanding produk serupa yang belum dilindungi Indikasi Geografis. Kampft memberikan data bahwa 43% konsumen bersedia membeli dengan harga 10% lebih mahal untuk produk yang telah dilindungi Indikasi Geografis, bahkan sekitar 8% konsumen bersedia membayar 20% lebih mahal.110 Secara lebih ekstrim Passeri bahkan menyatakan bahwa harga produk yyang dilindungi Indikasi Geografis 30% lebih mahal, bahkan bisa mencapai 230 %.111

109Daphne Zografos (2008), “Geographical Indications & Socio-Economic Development”, Working Paper 3 , h. 11.

110R. Kampft (2003), “ Administration of a regional registration system for geographical indications: How to specify and to control geographical indications?”, Makalah pada WIPO Asia and The Pacific Regional Symposium on the Protection of Geographical Indications, New Delhi, November 18th to 20th, h. 13.

111Stephane Passeri (2007), “Protection and Development of Geographical Indications (GIs) in Asia”, Makalah pada Conference on IP in Hong Kong and Mainland China, Best Practices and International Impact, 22 March, h.8.

Page 81: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 73 |

Peningkatan nilai jual produk unggulan pertanian melalui Indikasi Geografis akan berakibat pada meningkatnya keuntungan, meningkatnya daya beli masyarakat pada produk pertanian dan meningkatnya produktivitas pertanian. Produk yang dilindungi Indikasi Geografis umumnya memiliki ciri khas dan kualitas khusus yang banyak dicari oleh konsumen sehingga permintaan atas barang tersebut meningkat yang tentunya akan meningkatkan produktivitas pertanian sehingga dibutuhkan banyak tenaga kerja untuk bisa memasok produk yang untuk memenuhi permintaan konsumen.

Peningkatan nilai jual produk unggulan pertanian akan mendorong petani untuk tetap mempertahankan dan meningkatkan mutu serta ciri khas yang dimiliki produk unggulan pertanian karena perlindungan Indikasi Geografis akan tetap diberikan selama ciri khas dan kualitas khusus pada produk unggulan masih ada. Dengan kewajiban menjamin kualitas dan ciri khas untuk produk yang dilindungi Indikasi Geografis menunjukkan bahwa proteksi Indikasi Geografis merupakan insentif bagi petani atau produsen pertanian untuk menghasilkan produk pertanian berkualitas tinggi sesuai dengan permintaan pasar, sebagaimana dikemukakan oleh Vincent Requillart : GI is one of the instrument used to encourage produces to better meet the market demand and is used as an incentive to produce higher quality products”.112

Menurut Sanjeev Agarwal and Michael J. Barone, dengan adanya label Indikasi Geografis akan menunjukkan bahwa produk tersebut memiliki kualitas bagus dan karakteristik khas serta reputasi yang baik.113 Dengan jaminan kualitas tersebut, maka dapat memperkuat daya saing produk unggulan pertanian di pasar domestik maupun internasional karena dalam perdagangan internasional di samping harga, sebagian besar persaingan terletak pada ciri khas, keunggulan dan konsistensi mutu produk. Menurut Rangnekar,114 dalam perdagangan internasional, di samping harga yang kompetitif, sebagian besar

112Vincen Requillart (2007), “On the Economic of Geographical Indication in the EU”, Paper, Workshop “Geographical Indications, Country of Origin and Collective Brands : Firm Strategies and Public Policy, Toulouse, June 14-15, h.1

113Article 22 (1) TRIPS. 114Dwijen Rangnekar (2003), ‘Geographical Indications: A Review of Proposals At

The TRIPs Council: Extending Article 23 to Products Other Than Wines And Spirits’, Issue paper No 4, UNTAD-ICTSD, June, h. 17. (Dwijen Rangnekar I)

Page 82: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 74 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

persaingan terletak pada ciri khas, keunggulan dan konsistensi mutu produk. Produk unggulan pertanian yang berciri khas dan bermutu tinggi secara konsisten akan banyak dicari konsumen dan mendapatkan tempat khusus di pasar internasional

Perlindungan Indikasi Geografis akan memberikan kontribusi antara lain115 :

a. Memberikan perlindungan hukum bagi produk Indikasi Geografis di Indonesia.

b. Dapat digunakan sebagai strategi pemasaran untuk produk Indikasi Geografis di dalam perdagangan.

c. Memberikan nilai tambah pada produk yang berpotensi Indikasi Geografis dan meningkatkan kemampuan ekonomi daerah.

d. Meningkatkan reputasi produk Indikasi Geografis pada perdagangan global.

e. Sebagai salah satu alat untuk menghindari persaingan curang.Kontribusi perlindungan Indikasi Geografis akan memberikan

manfaat baik bagi produsen maupun bagi konsumen. Bagi konsumen, perlindungan Indikasi Geografis antara lain memberikan jaminan kualitas produk sesuai harapan konsumen dan memberikan jaminan hukum bagi konsumen.116 Bagi produsen, manfaat Indikasi Geografis dapat dilihat dari aspek ekonomi, aspek ekologi, aspek sosial budaya dan aspek hukum.

a. Aspek Ekonomi; adanya kepemilikan suatu produk yang berkualitas dan berciri khas, peningkatan nilai tambah, peningkatan pemasaran, perlindungan dari pemalsuan produk, peningkatan pendapatan, peningkatan lapangan kerja, keberlanjutan usaha, pengembangan agrowisata, penguatan ekonomi wilayah, percepatan pengembangan wilayah serta peningkatan kesejahteraan masyarakat. 117

b. Aspek Ekologi; menjaga kelestarian alam, mempertahankan

115Emawati Yunus (2004), “Pentingnya Perlindungan Indikasi Geografis Sebagai Bagian Dari Hak Kekayaan Intelektual dan Pelaksananya di Indonesia”, Makalah, Disampaikan pada Seminar Nasional Perlindungan Indikasi Geografis di Indonesia, Jakarta.

116Ibid.117Direktorat Pengembangan Usaha dan Investasi, Direktorat Jendral Pengelolaan

dan Pemasaran Hasil Pertanian Kementrian Pertanian, Op.Cit, h. 14.

Page 83: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 75 |

kelestarian sumber daya genetik serta peningkatan reputasi kawasan.118

c. Aspek Sosial Budaya; mempererat hubungan komunitas produsen, meningkatkan dinamika wilayah, melestarikan adat, pengetahuan serta kearifan lokal masyarakat. 119

d. Aspek Hukum; memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi produsen dan perlindungan dari pemalsuan dan pemanfaatan legal, ketenaran produk.120

Kontribusi perlindungan Indikasi Geografis pada produk unggulan pertanian antara lain :

a. Meningkatkan dan memelihara kualitas produk unggulan pertanian yang berpotensi dilindungi Indikasi Geografis dan memerkuat daya saing produk produk unggulan pertanian di pasar.

b. Meningkatkan profesionalisme produsen atau petani produk unggulan pertanian karena petani atau produsen produk dituntut untuk secara profesional menjamin kualitas produk unggulan pertanian mengingat salah satu persyaratan pendaftaran Indikasi Geografis adanya konsistensi jaminan kualitas produk sesuai dengan yang dituangkan di Buku Persyaratan.

c. Meningkatkan nilai tambah dan nilai jual/nilai ekonomi dari produk unggulan pertanian yang dilindungi Indikasi Geografis.

d. Memperkuat kerjasama antar produsen atau petani melalui pembentukan asosiasi atau kelompok yang memproduksi produk unggulan pertanian.

e. Memberikan perlindungan hukum produsen produk pertanian atau pihak yang menghasilkan produk unggulan pertanian.

f. Memperkuat penghasil produk unggulan pertanian melalui asosiasi atau kelompok produsen produk pertanian yang menghasilkan produk unggulan pertanian. Melalui asosiasi atau kelompok perajian tersebut, penghasil produk unggulan pertanian dapat menyalurkan aspirasi dan memperjuangkan hak-haknya.

118Ibid.119Ibid.120Ibid.

Page 84: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 76 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

g. Mendorong peningkatan ekonomi yang lebih baik bagi para produsen atau penghasil produk unggulan pertanian karena umumnya produk yang dilindungi Indikasi Geografis memiliki nilai jual atau nilai ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan produk yang sama yang tidak dilindungi Indikasi Geografis.

h. Menciptakan lapangan kerja di daerah yang menghasilkan produk unggulan pertanian yang berpotensi dilindungi Indikasi Geografis. Hal ini dimungkinkan karena produk yang dilindungi Indikasi Geografis memiliki reputasi dan kualitas yang tinggi sehingga permintaan atas barang tersebut meningkat sehingga tentunya dibutuhkan banyak tenaga kerja untuk bisa memasok produk yang diinginkan.Dengan melihat manfaat atau kontribusi perlindungan Indikasi

Geografis untuk produk unggulan pertanian proteksi Indikasi Geografis memberikan kontribusi positif bagi meningkatkan produktivitas pertanian dan diversifikasi pangan.

Perlindungan produk pertanian melalui Indikasi Geografis akan sangat bermanfaat dari sisi penguasaan pasar karena Indikasi Geografis dapat dijadikan sarana untuk menjamin loyalitas konsumen atas produk unggulan yang terkenal mutu dan kualitasnya, meningkatkan nilai jual dan nilai tambah produk.121 Perlindungan Indikasi Geografis merupakan insentif untuk menghasilkan produk berkualitas tinggi sesuai dengan permintaan pasar, sebagaimana dikemukakan oleh Vincent Requillart : GI is one of the instrument used to encourage produces to better meet the market demand and is used as an incentive to produce higher quality products”.122 Dengan jaminan kualitas tersebut, maka dapat memperkuat daya saing produk di pasar domestik maupun di pasar internasional. Proteksi Indikasi Geografis akan meningkatkan daya saing produk unggulan pertanaian di pasar internasional, karena dalam perdagangan internasional di samping harga, sebagian besar persaingan terletak pada ciri khas, keunggulan dan konsistensi mutu produk. Konsumnen secara konsisten banyak mencari produk yang berciri khas dan bermutu tinggi dan mendapatkan tempat khusus di pasar internasional. Ciri khas dari suatu produk bisa disebabkan karena faktor geografis, keadaan tanah dan iklim yang khas dari daerah

121R. Kampft, Loc.Cit.122Vincen Requillart (2007), Op.Cit, h.1.

Page 85: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 77 |

penghasil atau faktor budaya masyarakat setempat. Produk tersebut mendapatkan ciri khas, kualitas dan reputasinya dari tempat tersebut, sehingga ada korelasi antara produk tersebut dengan tempat produksi asalnya.123 Menurut Laurence Be´rard and Philippe Marchenay ada keterkaitan antara kualitas atau reputasi produk dengan unsur geografis dari daerah asal produk tersebut dihasilkan.124 Sementara menurut Sanjeev Agarwal and Michael J. Barone, dengan adanya label Indikasi Geografis pada produk tersebut menunjukkan bahwa produk tersebut memiliki kualitas bagus dan karakteristik khas serta reputasi yang baik.125

Salah satu manfaat dari proteksi Indikasi Geografis adalah untuk menghindari peniruan, penggunaan dan penyalahgunaan yang bisa merusak mutu, reputasi dan ciri khas produk-produk unggulan pertanian. Produk pertanian yang berciri khas dan bermutu tinggi secara konsisten akan banyak dicari konsumen dan mendapatkan tempat khusus di domestik maupun pasar internasional. Selain itu, dengan perlindungan Indikasi Geografis akan menciptakan lapangan kerja di daerah yang menghasilkan produk pertanian berbasis Indikasi Geografis karena produk yang dilindungi Indikasi Geografis memiliki reputasi dan kualitas yang tinggi yang banyak dicari oleh konsumen sehingga permintaan atas barang tersebut meningkat sehingga tentunya dibutuhkan banyak tenaga kerja untuk bisa memasok produk yang untuk memenuhi permintaan konsumen.

Untuk itu, penghasil produk unggulan pertanian perlu untuk mengembangkan nama Indikasi Geografis sebagai brand lokal karena salah satu strategi untuk membedakan dengan produk pesaingnya dari daerah lain adalah melalui strategi branding. Tanpa adanya upaya membedakan produk dari produk yang sama yang dihasilkan oleh daerah lain, maka akan sulit bagi produsen tersebut mendapatkan pasar yang mapan dengan harga yang tinggi karena tanpa ada kualitas yang khas yang berbeda dengan produk lain, maka umumnya produk tersebut dijual dengan harga sama.126 Menurut Ernes Oliva, local

123Dwijen Rangnekar I, Op.Cit, h. 17.124Laurence Be´rard and Philippe Marchenay (2006), Op.Cit, h. 110.125Article 22 (1) TRIPS. 126Chuthaporn Ngokkuen and Ulrike Grote (2012), “Challenges and Opportunities

For Protecting Geographical Indications In Thailand”, Asia-Pacific Development Journal, Vol. 19, No. 2, December, h. 94.

Page 86: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 78 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

branding umumnya ditujukan untuk produk yang memilliki identitas lokal (local identity) yang didasarkan pada alam, tradisi, budaya, keaslian dan keunikan lokal.127 Sehingga Indikasi Geografis menjadi alat yang krusial dalam mempromosikan produk yang berkarateristik local agricultural-ecological, traditional atau cultural characteristics.128 Dengan banyaknya produk pertanian berkarakteristik bagus karena dipengaruhi unsur geografis (faktor alam, atau unsur manusia), maka penting untuk melengkapi reputasi dan nilai intrinsik dari kualitas produk pertanian lokal atau tradisionalnya129 melalui skema Indikasi Geografis mengingat Indikasi Geografis melindungi tanda yang berbeda untuk mengidentifikasikan produk yang memiliki kualitas dan karakteristik unik akibat pengaruh unsur geografis.

Selain itu Indikasi Geografis berfungsi sebagai mekanisme untuk melindungi produk dan sebagai alat pemasaran yang efektif karena memungkinkan produsen produk pertanian mendapatkan keuntungan kompetitif, pengakuan pasar serta economic return yang besar melalui harga yang tinggi untuk produknya. Produk yang dilindungi Indikasi Geografis memiliki nilai jual atau nilai ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan produk yang sama yang tidak dilindungi Indikasi Geografis. Harga yang lebih tinggi pada produk Indikasi Geografis digunakan sebagai indikator potensi kualitas yang terdapat produk Indikasi Geografis130 Bahkan menurut Klein dan Leffler kualitas produk bukan hanya ditentukan oleh iklan, melainkan juga dari faktor harga.131 Sementara Sophie Reviron, dkk menyatakan: “economic value

127Ernes Oliva, et.al (2011), “Agricultural Produce of Istria Used in Regional Branding : Strategic Concept”, Paper, 22nd Cromar Congress, Marketing Challenges in New Economy, h. 3.

128Mevhibe Albayrak and Melda Ozdemi (2012), Op.Cit, h. 111.129Produk tradisional didefinsikan oleh Luis Gurrero, dkk sebagai ‘‘a product frequently

consumed or associated with specific celebrations and/or seasons, normally transmitted from one generation to another, made accurately in a specific way according to the cultural heritage, with little or no processing/manipulation, distinguished and known because of its sensory properties and associated with a certain local area, region or country’, see Luis Guerrero, et.al (2010), “Perception of traditionalfood products in six European regions using free word association”, Food Quality and Preference, Volume 21, h. 225.

130Ibid, mengutip dari Dwijen Ragnekar (2004), “Demanding Stronger Protection for Geographical Indication : the Relationship Between Local Knowledge, Information and Reputation”, Discussion Paper Series, United Nations University Institurte fot New Technology, Maastricht, Netherlands (Dwijen Ragnekar II), h. 29.

131Dikutip dari Keith Weight, Colin Cameref (1988), “Reputation and Corporate Strategy : A Review of Recent Theory and Aplications”, Sstrategic Management Journal, Vol.

Page 87: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 79 |

is the engine of development. Commercial performance related to consumer’s acknowledgement of the superior quality and typicity is the first objective of Geographical Indication construction…”132

Selain akibat dari kualitas, harga yang tinggi untuk produk Indikasi Geografis dapat diperoleh sebagai akibat dari eksotisme dan keterbatasan produk (exoticness or scarcity images) yang membedakan dengan produk pertanian yang diproduksi di tempat lain. Eksotisme dan keterbatasan produk tersebut akan meningkatkan harga produk (premium prices for products) serta akan meningkatkan status dari komoditi tersebut.133 Menurut Sanjeev Agarwal and Michael J. Barone, eksotisme yang berasal dari keunikan kualitas yang dimiliki oleh produk tertentu dipengaruhi oleh faktor geografis yang menghasilkan kualitas dan karakteristik khas yang tidak dimiliki oleh produk yang sama yang dihasilkan oleh daerah lain.134 Aura eksotisme produk pertanian antara lain berkaitan dengan proses produksi yang diterapkan secara khusus dan turun temurun di area geografis tersebut.135 Eksotisme sutu produk dapat juga berkaitan dengan hal mistis yang mengelilingi proses pembuatan produk, misalnya faktor budaya, ritual, moralitas, ketekunan atau pengorbanan yang sifatnya mistis.136 Misalnya untuk mendapatkan mutiara di Lombok yang dilakukan secara tradisional dengan menyelam di dasar laut tanpa peralatan moderen yang diawali sebelumnya dengan ritual tertentu yang ditujukan untuk keselamatan penyelamnya dan agar memperoleh mutiara yang banyak, akan menyebabkan mutiara laut tersebut akan banyak diburu konsumen dengan harga tinggi. Proses produksi dan budi daya Kopi Kintamani di Bali yang unik yang dilakukan oleh kelompok tani yang unik (disebut Subak Abian) yang dilandasi oleh Filosofi agama Hindu. Filosofi agama Hindu yang dikembangkan dalam membudidaya Kopi

9, New York, h. 450.132Djulaeka (2012), “Prinsip Perlindungan Kepemilikan Indikasi Geografis”, Disertasi,

Program Doktor Fakultas Hukum Universitas Airlangga, h. 86, mengutip dari Sophie Reviro, Erik Thevenod Mottet, Nadja El Benni (2009), “ Geopraphical Indication : Creation and Distributioin of Economic in Developing Countries”, Working Paper No 2009/14, h.21.

133Sanjeev Agarwal, Michael J.Barone (2005)., «Emerging Issues for Geographical Indication Branding Strategies», MATRIC Research Paper 5, h. 2.

134Ibid135Ibid136Ibid, h. 3

Page 88: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 80 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

Kintamani di Bali adalah “Tri Hita Karana” (tiga sumber kebahagiaan) yang menghendaki adanya hubungan yang harmonis antara Tuhan, manusia dan alam lingkungan, menjadikan produk kopi Kintamani memiliki eksotisme khusus.

Dengan eksotisme yang muncul akibat nilai budaya setempat akan memberikan keuntungan untuk daerah penghasil produk pertanian tersebut karena menurut Chuthaporn Ngokkuen dan Ulrike Grote, pengembangan Indikasi Geografis dapat meningkatkan nilai jual produk yang dihasilkan oleh daerah tersebut, menarik turis dan pariwisata, dan meningkatkan pembangunan lokal/daerah.137

Kontribusi lain yang akan diberikan oleh Indikasi Geografis atas suatu produk antara lain:138

a. dapat digunakan sebagai strategi marketing dan promosi baik di pasar domestik maupun internasional,

b. menambah nilai ekonomi dari produk Indikasi dan meningkatkan taraf hidup produsen produk pertanian/produsen produk Indikasi Geografis,

c. meningkatkan reputasi produk Indikasi Geografis di pasar global.

d. menghindari persaingan curang, perbuatan yang menyesatkan konsumen atau perbuatan yang tercela lainnya terkait dengan perdagangan produk Indikasi Geografis. Indikasi Geografis harus dikembangkan sebagai salah satu

skema untuk melindungi produk pertanian karena menurut Mevhibe Albayrak and Melda Ozdemi, Indikasi Geografis memiliki fungsi sebagai139 :

a. Indication of source, bahwa Indikasi Geografis berfungsi menunjukkan asal geografis dari produk (geographical origin of a product).

b. Differentiation, bahwa Indikasi Geografis digunakan untuk membedakan produk yang sama di pasar yang berasal dari area yang berbeda dengan karakteristik yang berbeda.

137Chuthaporn Ngokkuen, Ulrike Grote, Op.Cit, h 94.138Surip Mawardi, Op.Cit, h. 7.139Mevhibe Albayrak , Melda Ozdemi, Op.Cit ,h. 112-113.

Page 89: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 81 |

c. Indication and Quality quarrantee bahwa Indikasi Geografis digunakan untuk menunjukkan dan menjamin kualitas produk yang berkesinambungan dan menunjukkan persepsi positif dari konsumen atas produk yang bersangkutan.

d. Traditional Knowledge Protection , hal ini dikarenakan ciri khas dari produk Indikasi Geografis tidak hanya karena faktor alam yang, namun juga akibat pengaruh budaya dan pengetahuan tradisional yang terpelihara dan terakumulasi dalam kurun waktu yang lama. Sehingga melindungi Indikasi Geografis berarti juga akan melindungi pengetahuan tradisional (traditional knowledge)

e. Local Promotion bahwa Indikasi Geografis akan meningkatkan promosi daerah tempat dihasilkannya produk Indikasi Geografis. Indikasi Geografis pada produk tertentu menjadi referensi daerah asal penghasil produk produk tersebut.

f. Local economic development bahwa Indikasi Geografis akan memberikan keistimeweaan kepada produsen lokal, adanya distribusi pendapatan dari kegiatan produksi Indikasi Geografis, menciptakan lapangan kerja, dll yang kesemuanya akan memberikan keuntungan positif bagi pembangunan daerah. Selanjutnya, Indikasi Geografis digunakan untuk melindungi

produk pertanian dapat meningkatkan arus investasi pada bidang pertanian karena perlindungan Indikasi Geografis yang efektif menjadikan investasi menjadi lebih aman dan menarik, oleh karenanya meningkatkan arus investasi di tempat produk pertanian tersebut dihasilkan. Investasi di sektor produk Indikasi Geograsi umumnya meliputi produk pertanian, produk perkebunan, produk kerajinan, produk budaya, produk lokal, dsbnya.140 Investasi pada sektor yang terkait dengan unsur daerah geografis asal produk dihasilkan akan menciptakan lapangan kerja, menjembatani perbedaan pendapatan antara kota dan daerah melalui distribusi pendapatan, menciptakan kesetaraan ekonomi daerah perkotaan dengan daerah pedesaan, meningkatan nilai tambah, dan mengurangi migrasi dari desa ke kota. Oleh karena itu, dengan meningkatnya arus investasi karena perlindungan Indikasi Geografis akan meningkatkan skala ekonomi

140Dwijen Rangnekar I , Op.Cit, h. 1.

Page 90: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 82 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

daerah yang bersangkutan141 dan berkontribusi pertumbuhan ekonomi daerah lokal.

Untuk daerah penghasil produk pertanian, terdapat keuntungan yang diperoleh dengan mengembangkan Indikasi Geografis sebagaimana dikemukan oleh Emilie Vandecandelaere, bahwa :142

mempertahankan dan meningkatkan pendapatan daerah dan a. kesempatan kerja lokal pada setiap proses produksi yang berbeda mulai dari produksi, processing dan distribusi.

Menyebabkan masyarakat lokal untuk tetap tinggal dan hidup di b. area produksi.

Menjaga kelestarian lingkungan dan keanekaragaman hayati c. lokal.

Memelihara proses produksi tradisioinal yang memberi kontribusi d. positif pada alam sekitar, habitat, dan mendukung pelestarian keanekaragaman hayati dan tanah sekitarnya.

Memelihara sistem pengolahan dan resep tradisional terkait e. dengan produk pertanian.

Memelihara tradisi lokal dan budaya lokal yang terkait dengan f. produk.

Meningkatkan kualitas produk unggulan lokal karena yang tidak g. berkualitas akan menghilang dari pasaran karena tidak mampu bersaing.

Kendala Proteksi Indikasi Geografis

Meskipun Indikasi Geografis dapat menjadi alat untuk melindungi dan meningkatkan produktivitas produk unggulan pertanian, namun secara praktikal, terdapat beberapa tantangan dalam mengembangkan Indikasi Geografis antara lain tantangan pada: (a) tahap persiapan dan pendaftaran, (b) tahap pengawasan, (c) tahap promosi dan pemasaran. Pada tahap persiapan dan pendaftaran, tantangan dalam mempromosikan dan melindungi Indikasi Geografis

141Ibid.142Emilie Vandecandelaere, et.al (2010), “Linking People, Places and Products: a

Guide for Promoting Quality Linked to Geographical Origin and Sustainable Geographical Indications,” Paper, Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO) and SINER-GI, Rome, h.19.

Page 91: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 83 |

adalah adanya persiapan yang membutuhkan biaya banyak, peran serta stakeholders, sarana dan prasarana pendukung, prosedur dan syarat pendaftaran yang rumit. Menurut Surip Sumardi, pada tahapan persiapan tantangan terberat adalah penguatan organisasi masyarakat yang merupakan produsen produk berbasis Indikasi Geografis.143 Hal ini disebabkan proses sertifikasi produk Indikasi Geografis tidak dapat dilakukan oleh dan diberikan kepada individu, melainkan oleh atau kepada masyarakat/asosiasi produsen, sehingga pembentukan dan penguatan kelompok atau asosiasi produsen produk Indikasi Geografis sangat diperlukan.

Selain tantangan pada penguatan organisasi masyarakat yang merupakan produsen produk berbasis Indikasi Geografis, tantangan lain terkait dengan prosedur pendaftaran Indikasi Geografis yang agak rumit dan berbelit termasuk waktu pengeluaran sertifikat Indikasi Geografis yang agak lama. Keterbatasan jumlah Tim Ahli Indikasi Geografis juga menjadi kendala terbesar untuk pendaftaran Indikasi Geografis yang cepat dan tepat waktu.

Tim Ahli Indikasi-geografis merupakan lembaga non-struktural yang melakukan penilaian mengenai Buku Persyaratan, dan memberikan pertimbangan/rekomendasi kepada Direktorat Jenderal sehubungan dengan pendaftaran, perubahan, pembatalan, dan/atau pengawasan Indikasi-geografis nasional.144 Adanya keterbatasan jumlah anggota Tim Ahli karena Anggota Tim Ahli yang diangkat dan diberhentikan oleh Menteri terdiri dari para ahli di bidang Indikasi Geografis yang keahlian di bidang Indikasi Geografis tersebut tidak banyak dimiliki orang. Menurut Pasal 14 Ayat (2) PP 51/2007, Anggota Tim Ahli Indikasi-geografis sebagaimana terdiri atas para ahli yang memiliki kecakapan di bidang Indikasi-geografis yang berasal dari: a. perwakilan dari Direktorat Jenderal; b. perwakilan dari departemen yang membidangi masalah pertanian, perindustrian, perdagangan, dan/atau departemen terkait lainnya; c. perwakilan instansi atau lembaga yang berwenang untuk melakukan pengawasan dan/atau pengujian terhadap kualitas barang; dan/atau d. ahli lain yang kompeten. Selain itu dalam menjalankan tugas dan fungsinya, Tim Ahli Indikasi-Geografis dibantu oleh Tim Teknis Penilaian yang

143Ibid.144Pasal 14 Ayat (1) PP 51/2007.

Page 92: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 84 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

keanggotaannya didasarkan pada keahlian, oleh karena jumlahnya juga tidak banyak. Padahal tugas dan fungsi utama Tim Ahli Indikasi dibantu Tim Teknis Penilaian adalah sangat vital mulai memproses pendaftaran Indikasi, melakukan pemeriksaan sustantif, pemeriksaan sustantif ulang, bahkan juga melakukan pengawasan pelaksaan Indikasi Geografis yang bertujuan untuk memeriksa secara berkala kesesuaian mutu, kualitas atau karakter produk yang telah dillindungi Indikasi Geografis dengan pernyataan di Buku Persyaratan Pendaftaran. Apabila terdapat ketidaksesuaian, akan dilaporkan dan diikuti dengan tindakan berikutnya, seperti penyampaian ketidaksesuaian tersebut kepada Direktorat Jenderal HKI yang kemudian menerbitan surat keputusan penolakan Indikasi geografis atau membatalkan sertifikat Indikasi Geografis jika kualitas produk tersebut tidak sesuai dengan Buku Persyaratan Pendaftaran.

Selain itu, pada proses pendaftaran terdapat pemeriksaan substanstif yang membutuhkan waktu paling lama dua tahun. Pada pemeriksaan substansi, yang diperiksa antara lain kesesuaian pernyataan di Buku Persyaratan Pendaftaran dengan keadaan yang sebenarnya. Menurut Pasal 8 Ayat (3) PP 51/2007, pemeriksaan substantif dilaksanakan berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1 angka 1, Pasal 3, dan Pasal 6 ayat (3) PP 51/2007. Pasal 1 angka 1 PP 51/2007 mengatur bahwa Indikasi-geografis adalah suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang, yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut, memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan. Sedangkan Pasal 3 PP 51/2007 mengatur bahwa Indikasi-geografis tidak dapat didaftar apabila tanda yang dimohonkan pendaftarannya :

a. bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, moralitas agama, kesusilaan atau ketertiban umum;

b. menyesatkan atau memperdaya masyarakat mengenai: ciri, sifat, kualitas, asal sumber, proses pembuatan barang, dan/atau kegunaannya;

c. merupakan nama geografis setempat yang telah digunakan sebagai nama varietas tanaman, dan digunakan bagi varietas tanaman yang sejenis; atau

d. telah menjadi generik.

Page 93: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 85 |

Sementara Pasal 6 Ayat (3 ) PP 51/2007 mengatur bahwa permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilengkapi dengan Buku Persyaratan yang terdiri atas:

a. nama Indikasi-geografis yang dimohonkan pendaftarannya; b. nama barang yang dilindungi oleh Indikasi-geografis;c. uraian mengenai karakteristik dan kualitas yang membedakan

barang tertentu dengan barang lain yang memiliki kategori sama, dan menjelaskan tentang hubungannya dengan daerah tempat barang tersebut dihasilkan.

d. uraian mengenai lingkungan geografis serta faktor alam dan faktor manusia yang merupakan satu kesatuan dalam memberikan pengaruh terhadap kualitas atau karakteristik dari barang yang dihasilkan;

e. uraian tentang batas-batas daerah dan/atau peta wilayah yang dicakup oleh Indikasi-geografis;

f. uraian mengenai sejarah dan tradisi yang berhubungan dengan pemakaian Indikasi-geografis untuk menandai barang yang dihasilkan di daerah tersebut, termasuk pengakuan dari masyarakat mengenai Indikasi-geografis tersebut;

g. uraian yang menjelaskan tentang proses produksi, proses pengolahan, dan proses pembuatan yang digunakan sehingga memungkinkan setiap produsen di daerah tersebut untuk memproduksi, mengolah, atau membuat barang terkait;

h. uraian mengenai metode yang digunakan untuk menguji kualitas barang yang dihasilkan;

i. label yang digunakan pada barang dan memuat Indikasi geografis. Di dalam pemeriksaan substantif, terutama akan diperiksa

apakah tanda yang dimohonkan pendaftaran masuk sebagai Indikasi Geografis ataukah tidak, apakah tanda yang dimohonkan pendaftaran sebagai Indikasi Geografis tersebut masuk kategori sebagai Indikasi Geografis Indikasi-geografis tidak dapat didaftar atau tidak (bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, moralitas agama, kesusilaan atau ketertiban umum; menyesatkan atau memperdaya masyarakat mengenai: ciri, sifat, kualitas, asal sumber, proses pembuatan barang, dan/atau kegunaannya; merupakan nama geografis setempat yang

Page 94: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 86 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

telah digunakan sebagai nama varietas tanaman, dan digunakan bagi varietas tanaman yang sejenis; atau telah menjadi generik). Juga akan diperiksa apakah permohonan pendaftaran tersebut telah dilengkapi dengan Buku Persyaratan sesuai dengan yang diharuskan oleh Pasal 6 Ayat (3) PP 51/2007.

Hambatan lainnya dari pendaftaran Indikasi Geografis adalah Permohonan pendaftaran harus dilengkapi dengan Buku Persyaratan. Menurut Pasal 1 Angka 9 PP 51/2007, Buku Persyaratan adalah suatu dokumen yang memuat informasi tentang kualitas dan karakteristik yang khas dari barang yang dapat digunakan untuk membedakan barang yang satu dengan barang lainnya yang memiliki kategori sama. Buku Persyaratan haru s berisi beberapa hal sebagaimana diatur di dalam Pasal 6 Ayat (3) PP 51/2007 terdiri atas:

a. nama Indikasi Geografis yang dimohonkan pendaftarannya;b. nama barang yang dilindungi oleh Indikasi Geografis;c. uraian mengenai karakteristik dan kualitas yang membedakan

barang tertentu dengan barang lain yang memiliki kategori sama, dan menjelaskan tentang hubungannya dengan daerah tempat barang tersebut dihasilkan;

d. uraian mengenai lingkungan geografis serta faktor alam dan faktor manusia yang merupakan satu kesatuan dalam memberikan pengaruh terhadap kualitas atau karakteristik dari barang yang dihasilkan;

e. uraian tentang batas-batas daerah dan/atau peta wilayah yang dicakup oleh Indikasi Geografis dan harus mendapat rekomendasi dari instansi yang berwenang;

f. uraian mengenai sejarah dan tradisi yang berhubungan dengan pemakaian Indikasi Geografis untuk menandai barang yang dihasilkan di daerah tersebut, termasuk pengakuan dari masyarakat mengenai Indikasi Geografis tersebut;

g. uraian yang menjelaskan tentang proses produksi, proses pengolahan, dan proses pembuatan yang digunakan sehingga memungkinkan setiap produsen di daerah tersebut untuk memproduksi, mengolah, atau membuat barang terkait;

h. uraian mengenai metode yang digunakan untuk menguji kualitas barang yang dihasilkan; dan

Page 95: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 87 |

i. label yang digunakan pada barang dan memuat Indikasi Geografis. Untuk menyusun Buku Persyaratan yang substansinya sesuai

dengan yang diatur oleh Pasal 6 Ayat (3) PP 51/2007 tersebut di atas bukan merupakan pekerjaan yang mudah dan dibutuhkan waktu yang relatif lama. Kesulitan antara lain bahwa penyusunan Buku Persyaratan harus dilakukan oleh kelompok masyarakat tempat dihasilkannya produk unggulan pertanian, padahal kelompok masyarakat produsen hasil pertanian yang dimaksud banyak yang belum terbentuk. Ada kesulitan ketika membentuk kelompok penghasil produk pertanian, mulai dari bentuk atau struktur organisasinya, kepengurusan, legalitasnya serta pendanaan.

Selain itu produsen produk pertanian mungkin kesulitan untuk memberikan uraian mengenai karakteristik dan kualitas yang membedakan produk unggulan pertaniannya dengan produk pertanian dari daerah lain yang memiliki kategori sama, dan menjelaskan tentang hubungan kualitas produk pertanian tersebut dengan daerah tempat produk pertanian dihasilkan. Produsen produk pertanian mungkin juga kesulitan memberikan uraian mengenai lingkungan geografis serta faktor alam dan faktor manusia yang memberikan pengaruh terhadap kualitas atau karakteristik dari produk pertanian yang dihasilkan.

Produsen produk pertanian kemungkinan juga mengalami kesulitan untuk memberikan uraian tentang batas-batas daerah dan/atau peta wilayah yang dicakup oleh Indikasi Geografis. Selain itu ketika menentukan batas batas lingkungan geografis, Produsen produk pertanian mungkin kesulitan mendapatkan rekomendasi dari instansi yang berwenang khususnya ketika batas lingkungan geografis berbatasan atau berada di wilayah pemerintah daerah lain, padahal salah satu persyaratan pendaftaran Indikasi Geografis mengharuskan adanya rekomendasi dari instansi dalam memberikan uraian batas-batas geografis. Penentuan batas-batas daerah dan/atau peta wilayah mungkin juga berada di daerah lain sehingga harus berkoordinasi dengan pemerintah daerah setempat untuk menghindari konflik dalam penentuan batas daerah/peta wilayah yang dicakup oleh Indikasi Geografis. Umumnya jika produk pertanian yang diklaim berada di dua wilayah yang berbeda tetapi masih di satu kabupaten

Page 96: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 88 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

atau kotamadya, pemerintah kota atau kabupaten yang berhak untuk memiliki dan mendaftarkan Indikasi Geografis atas produk unggulan pertanian tersebut. Namun apabila batas wilayah produk unggulan pertanian tersebut sudah berada di luar kabupaten atau kotamadya atau lintas provinsi, maka Pemerintah Provinsi yang akan memiliki dan mendaftarkan Indikasi Geografis atas produk unggulan pertanian tersebut. Penentuan batas wilayan menjadi sangat sulit ketika wilayah geografis produk unggulan pertanian tersebut berada di antara dua negara atau lebih, sehingga koordinasi, kerjasama dan kesepakatan antara negara tersebut diperlukan untuk menghindari konflik.

Masalah lain yang timbul terkait dengan penentuan wilayah adalah tingginya biaya dalam menentukan batas-batas daerah dan/atau peta wilayah yang dicakup oleh Indikasi Geografis. Buku Persyaratan Pendaftaran Indikasi Geografis mensyaratkan adanya peta wilayah daerah penghasil produk Indikasi Geografis yang menggambarkan batas wilayah penghasil produk Indikasi Geografis dan pihak-pihak yang berhak mempergunakan nama Indikasi Geografis pada produk yang dihasilkannya. Proses pembuatan peta wilayah memiliki kendala karena harus dilakukan survei dengan biaya yang cukup tinggi dan berpotensi menimbulkan konflik apabila produsen berada di wilayah Indikasi Geografis, namun tidak menjadi anggota atau bagian dari kelompok yang mendaftarkan Indikasi Geografis. Dengan kondisi demikian dikhawatirkan produsen yang bukan anggota, dapat mengaku produknya sebagai Indikasi Geograsis karena berasal dari wilayah yang sama.

Kesulitan lain yang mungkin dihadapi produsen produk pertanian dalam membuat Buku Persyaratan adalah menguraikan sejarah dan tradisi yang berhubungan dengan pemakaian Indikasi Geografis untuk menandai Produk pertanian yang dihasilkan di daerah tersebut, termasuk pengakuan dari masyarakat mengenai Indikasi Geografis tersebut. Sejarah historikal dan tradisi atas produk pertanian tersebut mungkin sulit untuk dilacak atau ditelurusi karena tidak terdokumentasi dengan baik dan hanya diwariskan secara lisan dari generasi ke generasi.

Selanjutnya, produsen produk pertanian mungkin tidak terlalu mengalami kesulitan untuk menguraikan proses produksi, proses pengolahan, dan proses pembuatan yang digunakan

Page 97: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 89 |

sehingga memungkinkan setiap produsen di daerah tersebut untuk memproduksi, mengolah, atau membuat barang terkait. Namun produsen hasil pertanian mungkin mengalami kesulitan menguraikan metode yang digunakan untuk menguji kualitas barang yang dihasilkan, termasuk mempertahankan kualitas yang dimaksud. Produsen produk pertanian mungkin juga membutuhkan waktu yang lama untuk membuat label yang digunakan pada Produk pertanian yang memuat Indikasi Geografis karena harus disepakati dengan segenap kelompok produsen produk pertanian lainnya.

Selain itu perlindungan Indikasi Geografis membutuhkan dukungan bukan hanya dari para produsen atau produsen hasil pertanian, tetapi juga dari Pemerintah. Dukungan dari pemerintah dapat berupa sarana dan fasilitas untuk penguatan kelembagaan bagi pendaftaran Indikasi Geografis. Selain itu dukungan pemerintah dapat pula berupa penguatan perlindungan hukum dengan menguatkan pengaturan Indikasi Geografis misalnya dengan meratifikasi Persetujuan Madrid dan Perjanjian Lisbon yang merupakan ketentuan internasional yang mengatur Indikasi Geografis. Untuk itu, pemerintah melalui Ditjen KI atau melalui instansi pemerintah yang lain perlu melakukan beberapa upaya dalam melindungi produk-produk Indikasi Geografis antara lain :

a. Memberi sosialisasi tentang Indikasi Geografis ke daerah-daerah yang memiliki potensi untuk mengembangkan produk Indikasi Geografis;

b. Melakukan inventarisasi produk-produk yang berpotensi untuk dilindungi Indikasi Geografis bekerja sama dengan instansi terkait;

c. Memfasilitasi dan mempermudah permohonan pendaftaran Indikasi Geografis, termasuk memberikan bantuan teknis dan finansial untuk pendaftaran Indikasi Geografis.

d. Mempromosikan dan memasarkan produk Indikasi Geografis. Kendala lain yang mungkin timbul untuk mempromosikan

dan melindungi Indikasi Geografis adalah pada pengawasan kualitas dan ciri khas Indikasi Geografis. Mengingat Indikasi Geografis merupakan hak yang sifatnya kolektif yang kepemilikannya tidak bisa dimiliki oleh individu namun dipegang oleh kelompok

Page 98: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 90 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

masyarakat, maka ada kesulitan untuk melakukan pengelolaan dan pengawasan baik yang sifatnya internal maupun eksternal. Padahal pengelolaan dan pengawasan kualitas produk yang berbasis Indikasi Geografis merupakan hal yang sangat penting karena tujuan utama dari perlindungan Indikasi Geografis adalah untuk melindungi dan memelihara reputasi dari Indikasi Geografis, sehingga melindungi kualitas merupakan faktor yang sangat penting agar perlindungan Indikasi Geografis tetap diberikan. Syarat bahwa kualitas produk menjadi syarat untuk perlindungan Indikasi Geografis diatur di dalam UU 20/2016, bahwa Indikasi-geografis terdaftar tetap mendapat perlindungan hukum yang berlangsung selama ciri dan/atau kualitas yang menjadi dasar bagi diberikannya perlindungan atas indikasi-geografis tersebut masih ada. Sebagaimana diuraikan sebelumnya bahwa tidaklah mudah mengontrol kualitas dan karakteristik khas yang dimiliki oleh produk yang berbasis Indikasi Geografis. Begitu Indikasi Geografis menjadi terkenal dan sukses di pasaran, akan banyak pihak yang masuk di area geografis dimana produk berbasis Indikasi Geografis diproduksi untuk mengambil manfaat atau keuntungan dari keunggulan Indikasi Geografis. Sebagai konsekwensi dari kepemilikan Indikasi Geografis yang bersifat kolektif, Indikasi Geografis tidak terbatas penggunaannya oleh satu produsen atau satu grup saja tapi produsen lain bisa menggunakan asalkan mengajukan permohonan untuk menggunakan Indikasi Geografis dengan memenuhi syarat-syarat penggunaan sesuai dengan peraturan penggunaan yang ditetapkan oleh pemegang Indikasi Geografis. Dengan banyaknya produsen yang masuk untuk memproduksi produk yang berbasis Indikasi Geografis dan menggunakan nama Indikasi Geografis tersebut, maka akan menyebabkan meningkatnya produksi, sehingga dapat mengurangi keterbatasan produk (scarcity) yang akan mengurangi nilai jual yang tinggi dari produk (premiums related to the product). Selain itu, ada kemungkingan bahwa apabila setiap grup memiliki hak yang sama untuk memproduksi barang berbasis Indikasi Geografis, mereka mungkin akan memproduksi barang sesuai pesanan konsumennya sehingga mungkin akan mengurangi kualitas produk. Apabila satu saja produsen menghasilkan produk Indikasi Geografis berkualitas rendah, hal ini akan berakibat buruk pada kelompok produsensecara

Page 99: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 91 |

keseluruhan dan pada periode tertentu dapat merusak reputasi produk yang bersangkutan.145

Kendala praktikal lainnya adalah terkait dengan promosi dan pemasaran dari produk Indikasi Geografis, padahal menurut mempromosikan dan memasarkan Indikasi Geografis adalah untuk memberikan persepsi kualitas dan meningkatkan reputasi (to reward quality perception and develop improved reputation).146 Namun tidak mudah untuk mengembangkan dan memelihara pasar dari produk Indikaasi Geografis sehingga diperlukan strategi dan peran serta dari seluruh stakeholders. Memelihara kepercayaan pasar dan menjamin penjualan produk Indikasi Geografis sangat penting untuk memelihara konsistensi dari kualitas produk yang bagus. Namun mempromosikan dan memasarkan produk Indikasi Geografis bukan merupakan hal yang mudah karena kurangnya kapasitas dari produsen Indikasi Geografis dalam melakukan inovasi yang sifatnya teknis maupun manajerial terkai dengan pengembangan sistem pemasaran. Menurut Anson C. J, produsen dari Indikasi Geografis umumnya tidak mampu untuk mendayagunakan nilai dari brand Indikasi Geografis dan tidak mampu untuk mengadopsi teknik pemasaran dan teknik mengelola Indikasi Geografis sebagai aset secara lebih efektif dan efesien.147 Selain itu, pada umumnya produsen dri produk Indikasi Geografis tidak mampu mengkontrol persediaan produk (product supply), sehingga akan berpengaruh pada strategi harga dan apabila para produsen tersebut memproduksi produk Indikasi Geografis sesuai keinginan mereka maka akan menyebabkan pemasaran menjadi sangat sulit mengingat secar prinsip pengelolaan pemasaran produk sangat tergantung pada persediaan dan permintaan.

Selain itu terdapat kendala umum terkait dengan perlindungan untuk Indikasi Geografis yaitu:

a. Ketidaktahuan produsen hasil pertanian mengenai HKI, khususnya Indikasi Geografis. Sosialisasi yang dilakukan

145Anson C. J (2012), “Marketing flexibilities in Geographical Indications (GI) and trademark: a Comparative Study”, International Journal of Marketing, Financial Services & Management Research, Vol.1 Issue 11, November, h. 105.

146Chengyan Yue, et.al (2006), “ How to Promote Quality Perception in Wine Markets: Brand Advertising or Geographic Indication?”, Paper at the 3rd International Wine Business & Marketing Conference, Montpellier, July 6-8, h.1.

147Anson C. J, Loc.Cit.

Page 100: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 92 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

pemerintah mengenai HKI tidak dapat menjangkau produsen produk pertanian dalam skala lebih luas.

b. Kurangnya pengetahuan dan pemahaman serta kesadaran hukum mengenai pentingnya melakukan pendaftaran Indikasi Geografis, manfaat yang akan diperoleh dan prosedur untuk mendapatkan perlindungan tersebut.

c. Pemahaman yang salah dari produsen produk pertanian bahwa yang berhak mendaftarkan produk produk unggulan pertanian adalah pemerintah, padahal kelompok kerajin dapat mengajukan permohonan pendaftaran Indikasi Geografis.

d. Mahalnya biaya-biaya pendaftaran yang harus dikeluarkan termasuk biaya persiapan untuk pendaftaran mulai dari pembentukan asosiasi atau kelompok Indikasi Geografis, pendampingan pembuatan Buku Persyaratan, biaya promosi, pemasaran produk unggulan, biaya pengawasan untuk jaminan mutu produk, dll.

e. Belum ada inventarisasi dan dokumentasi yang komprehensif yang berisi produk-produk yang berpotensi dilindungi Indikasi Geografis dalam digital library seperti yang dikembangkan oleh India.

f. Kurangnya metode dan tenaga ahli untuk melakukan pengawasan dan kontrol atas produk Indikasi Geografis yang berkualitas.

g. Belum adanya pengelolaan atau manajemen yang baik dari pemilik Indikasi Geografis atas produknya.

h. Belum adanya lembaga nasional yang menangani Indikasi Geografis secara lebih khusus.

SiMPULAN

Perlindungan Indikasi Geografis pada produk unggulan pertanian antara lain dapat menjamin kontinuitas produk untuk meningkatkan produktifvitas pertanian sehingga mendukung program ketahanan pangan karena dengan adanya perlindungan Indikasi Geografis akan meningkatkan harga produk pertanian. Dengan meningkatnya nilai ekonomi pada produk pertanian, akan banyak orang yang akan masuk dan berusaha di bidang pertanian sehingga agro bisnis atau agro industri menjadi lebih berkembang. Selain itu, perlindungan Indikasi Geografis

Page 101: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 93 |

akan meningkatkan profesionalisme produsen pertanian untuk dapat memasuki pasar global dengan meningkatkan produksi dan kualitas produk sehingga menjamin supplai produk pertanian. Dengan adanya perlindungan Indikasi Geografis juga akan meningkatkan diversifikasi produk pertanian yang dapat mendukung ketahanan pangann karena produsen pertanian akan memperkenalkan produk pertanian yang belum banyak dikenal namun memiliki kualitas khas dan unik.

DAFTAR PUSTAKA

Agarwal, Sanjeev, Michael J.Barone (2005), “Emerging Issues for Geographical Indication Branding Strategies”, MATRIC Research Paper 5.

Albayrak , Mevhibe, and Ozdemi, Melda (2012), “The Role of Geographical Indication in Brand Making of Turkish Handcrafts”, International Journal of Business and Social Research (IJBSR), Volume -2, No.-3, Juni.

Anson C. J (2012), “Marketing flexibilities in Geographical Indications (GI) and trademark: a Comparative Study”, International Journal of Marketing, Financial Services & Management Research, Vol.1 Issue 11, November.

Be´rard, Laurence and Philippe Marchenay (2006), “ Local products and geographical indications: taking account of local knowledge and biodiversity”, International Social Science, No. 187.

Blakeney, Michael, “Geographical Indications and Trade”, Makalah, Queen Mary Intellectual Property Research Institute Queen Mary and Westfield College, University of London .

Direktorat Pembiayaan Pertanian Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian, Direktorat Pengembangan Usaha dan Investasi, Direktorat Jendral Pengelolaan dan Pemasaran Hasil Pertanian Kementrian Pertanian (2012), Pedoman Teknis Pelaksanaan Indikasi Geografis 2012, Jakarta.

Djulaeka (2012), “Prinsip Perlindungan Kepemilikan Indikasi Geografis”, Disertasi, Program Doktor Fakultas Hukum Universitas Airlangga.

Page 102: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 94 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

George, Susn (1989), How the Other Half Dies, Rowmand and Littlefield Publisher, New York.

Guerrero, Luis et.al (2010), “Perception of traditionalfood products in six European regions using free word association”, Food Quality and Preference, Volume 21.

Khasnobis , Basudeb Guha- (2007), et.al, Food Security : Indicators, Measurement, and the Impact of Trade Openness, Oxford University Press, New York .

”Kopi Gayo Penuhi Syarat Didaftarkan, Penerbitan Sertifikat Indikasi Geografis Tinggal Tunggu Waktu”, Bisnis Indonesia, 2 Februari 2010.

Maskus , Keith E., “Observations on the Development Potential of Geographical Indications”, Paper prepared for the U.N. Millennium Project Task Force on Trade, March 2003.

Mawardi,Surip “Advantages, constraints and key success factors in establishing origin- and tradition-linked quality signs: the case of Kintamani Bali Arabica coffee geographical indication, Indonesia,” Paper for case study of Case study on quality products linked to geographical origin in Asia carried out for FAO, 25 May 2009.

Ngokkuen,Chuthaporn, and Grote, Ulrike (2012), “Challenges and Opportunities For Protecting Geographical Indications In Thailand”, Asia-Pacific Development Journal, Vol. 19, No. 2, December.

Oliva, Ernes et.al (2011), “Agricultural Produce of Istria Used in Regional Branding : Strategic Concept”, Paper, 22nd Cromar Congress, Marketing Challenges in New Economy.

Passeri , Stephane (2007), “Protection and Development of Geographical Indications (GIs) in Asia”, Makalah pada Conference on IP in Hong Kong and Mainland China, Best Practices and International Impact, 22 March.

PPI Belanda, “ Lingkar Inspirasi 5 : Ketahanan Pangan Indonesia “, 23 Feberuari 2013, http://ppibelanda.org/acara/lingkar-inspirasi-5-ketahanan-pangan-indonesia

Page 103: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 95 |

R. Kampft (2003), “ Administration of a regional registration system for geographical indications: How to specify and to control geographical indications?”, Makalah pada WIPO Asia and The Pacific Regional Symposium on the Protection of Geographical Indications, New Delhi, November 18th to 20th

Ragnekar, Dwijen (2004), “Demanding Stronger Protection for Geographical Indication : the Relationship Between Local Knowledge, Information and Reputation”, Discussion Paper Series, United Nations University Institurte fot New Technology, Maastricht, Netherlands.

Rangnekar , Dwijen (2003), ‘Geographical Indications: A Review of Proposals At The TRIPs Council: Extending Article 23 to Products Other Than Wines And Spirits’, Issue paper No 4, UNTAD-ICTSD, June.

Requillart, Vincen (2007), “On the Economic of Geographical Indication in the EU”, Paper, Workshop “Geographical Indications, Country of Origin and Collective Brands : Firm Strategies and Public Policy, Toulouse, June 14-15.

Reviro, Sophie, et.al (2009), “ Geopraphical Indication : Creation and Distributioin of Economic in Developing Countries”, Working Paper No 2009/14.

Setiadji, Agus, “Implementasi Hubungan Kerja Antar Instansi Untuk Ketahanan Pangan Dapat Meningkatkan Kemandirian Bangsa”, Essay, Disampaikan pada Program Pendidikan Reguler Angkatan XLVIII (PPRA XLVIII) Lembaga Ketahanan Nasional, 2012.

Vandecandelaere, Emilie, et.al (2010), Linking People, Places and Products: a Guide for Promoting Quality Linked to Geographical Origin and Sustainable Geographical Indications, Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO) and SINER-GI, Rome,

Weight , Keith, Colin Cameref (1988), “Reputation and Corporate Strategy : A Review of Recent Theory and Aplications”, Sstrategic Management Journal, Vol. 9, New York.

WHO, Food Security, http://www.who.int/trade/glossary/story028/en/

Page 104: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 96 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

WIPO, “Geographical Indications” http://www.wipo.int/aboutip/en/geographical_ind.html, diakses 2 Februari 2014.

WIPO, Geographical Indications (Standing Committee on the Law of Trademarks, Industrial Designs and Geographical Indications, Tenth Session, Geneva, April 28 – May 2, 2003) SCT/10/4 [Geographical Indications], Paragraf 26.

World Bank (1986), Poverty and Hunger: Issues and Options for Food Security in Developing Countries, Washington, DC: World Bank

WTO, ”Geograpical Indications” http://www.wto.org/english/tratop_e/trips_e/gi_e.htm,, diakses 5 Februari 2014.

Yue, Chengyan, et.al (2006), “ How to Promote Quality Perception in Wine Markets: Brand Advertising or Geographic Indication?”, Paper at the 3rd International Wine Business & Marketing Conference, Montpellier, July 6-8.

Yunus, Emawati (2004), “Pentingnya Perlindungan Indikasi Geografis Sebagai Bagian Dari Hak Kekayaan Intelektual dan Pelaksananya di Indonesia”,Makalah, Disampaikan pada Seminar Nasional Perlindungan Indikasi Geografis di Indonesia, Jakarta.

Zografos, Daphne (2008), “Geographical Indications & Socio-Economic Development”, Working Paper3

Page 105: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 97 |

INDIKasI GEOGrafIs sEBaGaI asEt DaEraH DaLaM UPaYa MENINGKatKaN KEsEJaHtEraaN

MasYaraKat

i Wayan Wiryawan dan i Made Dedy PriyantoFakultas Hukum Universitas Udayanaemail: [email protected]

[email protected]

ABSTRAK

Indikasi Geografis sebagai salah satu bagian dari kekayaan intelektual yang pengaturannya di atur berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek Dan Indikasi Geografis, mempunyai peranan penting pada era global saat ini.Indikasi geografis merupakan suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang dan/atau produk yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia atau kombinasi dari kedua faktor tersebut memberikan reputasi, kualitas dan karakter tertentu pada barang dan/atau produk yang dihasilkan.Sebagaimana diketahui bahwa kekayaan intelektual merupakan hak individual, hak privat.Hak individual terhadap properti atau hak milik.Hak kepemilikannya bersifat individual. Oleh karena itu perlindungan hukum terhadap kekayaan intelektual yang sifatnya komunal seperti Indikasi Geografis belum diatur dalam perjanjian Trade related Aspects of intellectual Property Rights (TRIPS Agreement) yang sifatnya individu. Perlu ada aturan hukum dalam bentuk undang-undang yang menjelaskan mengenai konsep perlindungan kekayaan intelektual bagi komunal seperti Indikasi Geografis. Patut dipahami bahwa produk yang bercirikan Indikasi Geografis di Indonesia pada umumnya dan di daerah pada khususnya setidak-tidaknya dapat menjawab tantangan global yaitu memanfaatkan potensi tersebut sebagai aset perdagangan dalam dan luar negeri dan tersedianya aturan hukum yang dapat memberikan perlindungan dan kepastian hukum terhadap produk asli daerah guna menghindari persaingan curang (unfair competition) dalam upaya meningkatkan kesejahteraan bagi masyrakat.

Kata Kunci: Indikasi Geografis, Aset Daerah, Perlindungan Hukum, Kesejahteraan Masyarakat.

Page 106: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 98 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

PENDAHULUAN

Kekayaan intelektual menjadi isu penting saat ini. Kekayaan intelektual yang berhubungan dengan Merek dan Indikasi Geografis mempunyai peranan strategis dalam mendukung pembangunan bangsa dan memajukan kesejahteraan masyarakat karena berkaitan dengan ekonomi. Perkembangan ekonomi demikan pesat dituntut adanya suatu upaya terutama untuk menjawab tantangan global yang memanfaatkan potensi Merek dan Indikasi Geografis sebagai aset perdagangan dalam dan luar negeri. Bahwa di dalam era perdagangan global, sejalan dengan konvensi internasional yang telah diratifikasi Indonesia.

Peranan Merek dan Indikasi Geografis menjadi sangat penting terutama dalam menjaga persaingan usaha yang sehat, berkeadilan, perlindungan konsumen, serta perlindungan usahaMikro, Kecil, dan Menengah dan industry dalam Negeri. Pentingnya Merek dan Indikasi Geografis sebagaimana tertuang di dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis disebutkan bahwa pengaruh globalisasi di segala bidang kehidupan masyarakat, baik di bidang sosial, ekonomi, maupun budaya semakin mendorong laju perkembangan perekonomian masyarakat. Di samping itu dengan semakin meningkatnya perkembangan teknologi informasi dan sarana transportasi, telah menjadikan kegiatan di sektor perdagangan baik barang maupun jasa mengalami perkembangan yang sangat pesat.

Kecenderungan meningkatnya arusperdagangan barang dan jasa akan terus berlangsung secara terus menerus sejalan dengan pertumbuhan ekonomi nasional yang semakin meningkat. Dengan memperhatikan kenyataan dan kecenderungan seperti itu, menjadi hal yang patut dipahami jika ada tuntutan kebutuhan suatu pengaturan yang lebih memadai dalam rangka terciptanya suatu kepastian dan perlindungan hukum yang kuat. Apalagi beberapa negara semakin mengandalkan kegiatan ekonomi dan perdagangannya pada produk yang dihasilkan atas kemampuan intelektualitas manusia.

Sebagaimana dikemukakan bahwa perkembangan kehidupan masyarakat dunia dewasa ini tengah memasuki era globalisasi di berbagai bidang terutama bidang ekonomi. Globalisasi ekonomi ini

Page 107: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 99 |

antara lain ditandai dengan tingginya tingkat perdagangan internasional dan penanaman modal asing secara langsung.148

Pada zaman modern ini dapat dipahami bahwa globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas telah mempengaruhi perubahan yang sangat besar terhadap bidang hukum. Negara-negara di dunia yang terlibat dengan globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas, baik negara maju maupun sedang berkembang bahkan negara yang terbelakang harus membuat standarisasi hukum dalam kegiatan ekonominya. Globalisasi ekonomi semakin dikembangkan berdasarkan prinsip liberalisasi perdagangan (trade liberalization) atau perdagangan bebas (free trade) lainnya yang telah membawa pengaruh pada hukum setiap negara yang terlibat dalam globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas tersebut. Arus globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas sulit ditolak dan harus diikuti karena globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas tersebut berkembang melalui perundingan dan perjanjian internasional.149

Implikasi globalisasi ekonomi terhadap hukum tidak dapat dihindari karena globalisasi hukum mengikuti globalisasi ekonomi tersebut, secara substansi berbagai undang-undang dan perjanjian-perjanjian menyebar melampaui batas-batas negara (cross-border).150

Keikutsertaan Indonesia meratifikasi Konvensi tentang Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization) yang mencakup pula persetujuan tentang Aspek-Aspek Dagang dari Hak Kekayaan Intelektual/HKI (Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights/TRIPs) sebagaimana telah disahkan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 Tentang Pengesahan Agreement Esthabslishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia), telah menuntut Indonesia untuk mematuhi dan melaksanakan isi dari perjanjian internasional tersebut. Ratifikasi dari peraturan tersebut mendorong keikutsertaan Indonesia

148Peter Van Den Bossche, 2005, The Law and Policy of The World Trade Organization Text, Cases and Materials,Cambridge University Press, UK, p.2

149John Braithwaite dan Peter Drahos, 2000, Global Business Regulation, New York: Cambridge University Press. p. 24-23

150Erman Rajagukguk. 2001. “Globalisas iHukumdanKemajuanTeknologi: ImplikasinyabagiPendidikanHukumdan Pembangunan Hukum Indonesia”.Pidato Dies. Disampaikan pada Dies NatalisUniversitas Sumatera Utara Ke-44.Medan 20 Nopember 2001. h. 4

Page 108: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 100 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

dalam meratifikasi Paris Convention for the Protection of Industrial Property (Konvensi Paris) yang telah disahkan dengan Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 1997 dan Trademark Law Treaty (Traktat Hukum Merek) yang disahkan dengan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 1997. Perjanjian internasional tersebut menjadikan adanya kewajiban bagi Indonesia untuk menyesuaikan Undang-Undang Merek yang berlaku dengan ketentuan dalam perjanjian iternasional yang telah diratifikasi tersebut.

Sejalan dengan isi perjanjian dan ketentuan konvensi internasional tersebut, untuk lebih meningkatkan pelayanan dan memberikan kepastian hukum bagi dunia industri, perdagangan, dan investasi dalam menghadapi perkembangan perekonomian lokal, nasional, regional, dan internasional serta perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, perlu didukung oleh suatu peraturan perundang-undangan.

Salah satu potensi kekayaan intelektual yang dimaksud adalah Indikasi Geografis, mengingat Indikasi Geografis merupakan potensi nasional yang dapat menjadi komoditi unggulan, baik dalam perdagangan domestik maupun internasional. Oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 ditetapkan dengan nama Undang-Undang Tentang Merek dan Indikasi Geografis.

Indikasi Geografis adalah suatu tanda yang menunjukan daerah asal suatu barang dan/atau produk yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia atau kombinasi dari kedua faktor tersebut memberikan reputasi, kualitas, dan karakteristik tertentu pada barang dan/atau produk yang dihasilkan. (Pasal 1 angka 6).

Hak atas Indikasi Geografis adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada pemegang hak Indikasi Geografis yang terdaftar, selama reputasi, kualitas, dan karakteristik yang menjadi dasar diberikannya perlindungan atas Indikasi Geografis tersebut masih ada. (Pasal 1 angka 7).

Saat ini, Indonesia merupakan negara yang kaya akan produk potensi Indikasi Geografisnya seperti Ubi Cilembu, Kopi Gayo, Kopi Kintamani Bali, Lada Hitam Lampung, Lada Putih Muntok, Kopi

Page 109: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 101 |

Toraja, Apel Batu Malang, Keramik Dinoyo, Gerabah Kasongan dan lain-lain.

Salah satu contoh yang dapat dikemukakan dalam konteks ini adalah “Garam Tejakula” diproduksi secara tradisional dapat menembus pasar ekspor.Potensi laut Desa/Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali.Garam tersebut dimanfaatkan oleh warga dengan menggunakan metode tradisional, bumbu dapur bercita rasa asin. Selama bertahun-tahun Garam Tejakula diproses dengan cara organik, tanpa ada campuran unsur kimia. Penjemuran tidak menggunakan plastik melainkan dibuat tempat (palungan) dari pohon kelapa.Garam yang dihasilkan memiliki rasa tidak terlalu asin yang kandungan yodiumnya muncul secara alami.

“Garam Tejakula” telah dapat menunjukkan adanya suatu tanda yang menunjukan daerah asal suatu barang dan/atau produk yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia atau kombinasi dari kedua faktor tersebut memberikan reputasi, kualitas, dan karakteristik tertentu pada barang dan/atau produk yang dihasilkan. Oleh karena itu sudah sepatutnya bagi warga di Desa/Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng Provinsi Bali mendapatkan pengakuan atas hak Indikasi Geografisnya secara komunal.Aturan tentang perlindungan hukum atas hak warga/masyarakat komunal diperlukandengan memberikan perlindungan hukum yang memadai sehingga dapat memberikan kepastian hukum terhadap produk asli Indonesia di luar negeri dan dapatmenghindari adanya pelanggaran Indikasi Geografis seperti yang terjadi pada kasus pelanggaran Kopi Toraja dan Kopi Gayo.

Sebagaimana diketahui bahwa ketentuan yang berlaku dalam Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs) adalah kekayaan intelektual yang sifatnya individual. Patut untuk dicermati adalah perlu ada upaya untuk memberikan perlindungan terhadap kekayaan intelektual yang sifatnya komunal yang lebih memadai untuk menghindari adanya penggunaan nama Indikasi Geografis secara tanpa hak.

Dari perspektif pemerintah daerah berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa penyelenggaraan pemerintahan

Page 110: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 102 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, dan kekhasan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam Pasal 24 ayat (4): Pemetaan Urusan Pemerintahan Pilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk menentukan daerah yang mempunyai Urusan Pemerintahan Pilihan berdasarkan potensi, proyeksi penyerapan tenaga kerja, dan pemanfaatan lahan. “Potensi” yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah ketersediaan sumber daya di daerah yang telah dan yang akan dikelola yang memberikan dampak bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Demikian pula dalam Pasal 31 ayat (2) huruf b disebutkan: Penataan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat. Yang dimaksud dengan “mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat” adalah peningkatan indeks pembangunan manusia yang ditandai dengan peningkatan kesehatan, pendidikan, dan pendapatan masyarakat.

Dengan demikian pemerintah daerah dalam hal ini pemerintah daerah Kabupaten Buleleng berkewajiban untuk segera dapat melakukan upaya-upaya dan langkah-langkah dalam peningkatan pelayanan seperti misalnya menjaga keberlanjutan produk yang telah dihasilkan dan pengembangannya lebih lanjut serta melakukan pendaftaran produk Indikasi Geografis tersebut.

Dari uraian latar belakang sebagaimana dikemukakan di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap pengakuan hak komunal masyarakat atas Indikasi Geografis suatu daerah?, dan Bagaimanakah upaya yang dilakukan pemerintah daerah terhadap hak komunalmasyarakatIndikasi Geografis didalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat?.

HASiL DAN PEMBAHASAN

Kajian tentang kekayaan intelektual padaera global dewasa ini menjadi bagian yang sangat penting, terutama yang berkaitan dengan Indikasi Geografis mengingat Indikasi Geografis merupakan

Page 111: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 103 |

potensi nasional yang dapat menjadi komoditas unggulan, baik dalam perdagangan domestik maupun internasional.

Perlindungan terhadap Indikasi Geografis mendapat perhatian dunia internasional sehingga berbagai macam perjanjian internasional mengatur hal tersebut.Perlindungan hukum internasional Indikasi Geografis merujuk padaParis Convention for the Protection of Industrial Property Tahun 1983 danMadrid Agreement Tahun 1891. Kedua perjanjian tersebut menyebutkan “Indication of Source as an indication referring to a country or a place in that country, as being the country or place of origin of a product.”151

Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs) memberikan definisi Indikasi Geografis sebagai tanda yang mengidentifikasikan suatu wilayah negara anggota, atau kawasan atau daerah di dalam wilayah tersebut sebagai asal barang, di mana reputasi, kualitas dan karakteristik barang yang bersangkutan sangat ditentukan oleh faktor geografis. Dengan demikian, asal suatu barang tertentu yang melekat dengan reputasi, karakteristik dan kualitas suatu barang yang dikaitkan dengan wilayah tertentu dilindungi secara yuridis.152

Berkaitan dengan konvensi yang mengatur tentang Indikasi Geografis tersebut, bahwa potensi Indikasi Geografis di Indonesia, banyak potensi yang bisa dimanfaatkan untuk bersaing di dunia internasional. Produk-produk dimaksud, misalnya Ubi Cilembu, Wajit Cililin, Batik Trusmi (Cirebon), Batik Pekalongan, Batik Solo, Jenang Kudus, Seni Topeng Cirebon, Batik Yogyakarta, Keramik Kasongan Yogyakarta, Apel Malang, Brem Bali, Songket Silungkang (Sumatera Barat), Kain Songket Palembang, Ukiran Toraja, dan Kain Sasirangan (Kalimantan Selatan).153

151Achmad Zen Umar Purba, 2005, “International Regulation on Geographical Indications, Genetic Resources and Traditional Knowledge”, Workshop on the Developing Countries Interest to Geographical Indications, Genetic and Traditional Knowledge, PIH FHUI and Dit.Gen of IPR’s, Dept.of Law and Human Rights, RI, Jakarta, hlm. 37.

152OK. Saidin, 2004, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights), Jakarta: Raja Grafindo, hlm. 386.

153Sudarmanto,2005, Produk Kategori Indikasi Geografis Potensi Kekayaan Intelektual Masyarakat Indonesia, Simposium Nasional Kepentingan Negara Berkembang Terhadap Hak Atas Indikasi Geografis, Sumber Daya Genetika dan Pengetahuan Tradisional, Lembaga Pengkajian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Depok tahun, hlm.114.

Page 112: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 104 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

Potensi Indikasi Geografis selain yang telah disebutkan, juga ada Indikasi Geografis yang sudah dapat menembus pasar ekspor sebagaimana yang telah dilakukan oleh warga petani Garam Tejakula di Desa/Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali.154 Karakteristik dari Garam Tejakula sebagaimana dikemukakan oleh salah satu warga desa Made Widnyana, bahwa Garam Tejakula dengan menggunakan metode tradisional, diproses dengan caraorganik, dan tidak ada campuran unsur-unsur kimia. Penjemuran dilakukan dengan tempat yang disebut dengan palungan terbuat dari pohon kelapa, tidak menggunakan bahan plastik.Dengan palungan ini kandungan air dalam garam segera terserap.Garam yang dihasilkan tidak terlalu asin dan kandungan yodiumnya muncul secara alami. Metode penjemuran dengan menggunakan cara demikian itu mempunyai kekhasan rasa.

Sehubungan dengan potensi dan konvensi serta ketentuan perundang-undangan yang berkaitan dengan Indikasi Geografis sebagaimana dipaparkan di atas, maka terhadap permasalahan pertama, yaitu bagaimanakah perlindungan hukum terhadap pengakuan hak komunal masyarakat atas Indikasi Geografis suatu daerah?Untuk hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut:

Bahwa saat ini, rezim yang berlaku di Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS) adalah kekayaan intelektual yang sifatnya individual.Karenanya, muncul wacana untuk memberikan perlindungan terhadap kekayaan intelektualyang sifatnya komunal, seperti Indikasi Geografis, maupun kekayaan intelektual yang terkait Ekspresi Budaya Tradisional. Kekayaan intelektual yang bersifat komunal merupakan kekayaan intelektual yang dimiliki sepenuhnya oleh suatu kelompok masyarakat yang hidup di suatu tempat secara tetap.Konsep tentang hak komunal lebih banyak muncul dari negara-negara berkembang.Negara-negara berkembang ingin kekayaan intelektual yang bersifat komunal mendapatkan perlindungan dan pengaturan seperti kekayaan intelektual yang sudah ada sekarang.Namun, isu perlindungan kekayaan intelektual komunal masih mendapatkan pertentangan dari negara-negara maju.

Karakter kepemilikan Indikasi Geografis yang kolektif atau komunalistik sejalan dengan nilai-nilai ketimuran dan keindonesiaan

154Harian Bali Post, Sabtu 17 Juni 2017, hlm. 7

Page 113: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 105 |

yang lebih menghargai kepemilikan bersama dari pada kepemilikan pribadi.Keharusan adanya hubungan yang erat (strong link) antara nama produk dengan kondisi geografis asal produk dalam hak kekayaan intelektual Indikasi Geografis sejalan dengan sifat-sifat masyarakat hukum adat yang selalu menjunjung tinggi kebergantungan atau kelekatan eksistensinya dengan tanah. Potensi Indikasi Geografis ini dapat dikembangkan untuk melindungi produk-produk masyarakat adat dan komunitas lokal yang umumnya memang diberi nama bukan dengan nama individu, tetapi dengan tempat asal suatu produk yang akan dilindungi dengan Indikasi Geografis.155

Ciri lain untuk menunjukkan karakter atau sifat komunalistik suatu kepemilikan Indikasi Geografis adalah disamping faktor alam dan manusia, juga unsur kombinasi antara faktor alam dan faktor manusia yang berpengaruh terhadap hasil barang/produk daerah. Lingkup perlindungan dalam konteks ini terdapat pada produk olahan yang dihasilkan dari keberadaan bahan dasar yang menggunakan teknik/metode tertentu yang dilakukan secara turun temurun sehingga menghasilkan karakteristik unik dari produk yang dihasilkan.156

Indikasi Geografis sebagai salah satu bagian dari kekayaan intelektual, prinsip-prinsip kekayaan intelektual berlaku secara umum pada Indikasi Geografis. Prinsip-prinsip yang dimaksud adalah sebagai berikut:157

1. Prinsip Keadilan (The Principle of Natural Justice) Menyangkut Indikasi Geografis, maka peristiwa yang menjadi

alasan melekatnya hak tersebut berdasarkan keadaan geografis, sumber daya alam maupun faktor manusia dan menjadi satu unsur dimana penyatuan dari ketiga unsur tersebut menghasilkan suatu barang yang disebut indikasi geografis. Indikasi Geografis tersebut menjadi hak dari masyararat tempat ditemukannya Indikasi Geografis tersebut. Dalam prinsip keadilan ini mengatur hubungan yang adil antara orang yang satu dan yang

155Miranda Risang Ayu. 2006, Memperbincangkan Hak Kekayaan Intelektual Indikasi Geografis, Bandung: Alumni, Hlm. 9

156Djulaeka. 2014. Konsep Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual, Perspektif Kajian Filosofis HaKI Kolektif Komunal, Malang: Setara Press. Hlm.128-129

157Kajian Hukum dan Keadilan Jurnal IUS, | Vol III | Nomor 7 | April 2015 | hlm,42~53

Page 114: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 106 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

lain atau antara warga negara yang satu dengan warga negara lainnya dengan tatanan horizontal. Hubungan yang adil dalam kekayaan intelektual ini adalah seseorang atau kelompok yang menciptakan sesuatu berhak mendapatkan imbalan atas temuan atau ciptaanya.

2. Prinsip Ekonomi (Economic Principle) Dalam hubungan dengan Indikasi Georafis, prinsip ekonomi

diartikan sebagai masyarakat yang mendiami suatu daerah atau kawasan dimana terdapat potensi indikasi geografis dan mengolah dan memproduksinya menjadi sesuatu barang yang memiliki nilai ekonomis dimana barang tersebut memiliki kualitas dan reputasi yang tidak dapat dimiliki oleh hasil produksi atau barang dari daerah lain.

3. Prinsip Kebudayaan (The Culture Principle) Karya manusia itu pada hakikatnya bertujuan untuk

memungkinkan hidup, selanjutnyadari karya itu pula akan timbul suatu gerakan hidup yang harus menghasilkan lebih bnayak karya lagi. Dengan konsepsi demikian maka pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, sangatlah besar artinya bagi taraf hidup, peradaban dan martabat manusia. Dalam hal ini, beberapa nilai dan bentuk kearifan lokal, termasuk hukum adat, nilai-nilai budaya dan kepercayaan yang ada sebagian bahkan sangat relevan untuk diaplikasikan ke dalam proses pembangunan kesejahteraan masyarakat. Kebudayaan dari suatu daerah diharapkan mampu menarik perhatian dari masyarakat local maupun mancanegara untuk mengenal ragam budaya dari tiap provinsi di Indonesia yang memiliki karakteristik yang berbeda-beda.

4. Prinsip Sosial (The Social Priciple) Berkaitan dengan Indikasi Geografis pada sistem perlindungan

produk hasil alam maupun karya manusia yang memiliki ciri khas daerah dilindungi secara komunal. Indikasi Geografis selain sebagai rezim kekayaan intelektual yang perlindungannya masih paling terbuka bagi pengaruh keragaman budaya bangsa-bangsa di dunia, Indikasi Geografis juga amat menghargai keterkaitan historis antara suatu produk dengan tempat asalnya. Karakter kepemilikannya pun bersifat komunal dan kolektif. Selain itu,

Page 115: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 107 |

Indikasi Geografis juga sangat potensial untuk menjamin agar keuntungan ekonomi tertinggi dari suatu produk dapat tetap paling dinikmati oleh produsen dari daerah asal produk itu sendiri. Bahkan, di beberapa negara maju Indikasi Geografis secara nyata mengangkat kesejahteraan produsen-produsen di dalam suatu lokalitas tertentu yang letaknya terpencil dan hanya memiliki alternatif mata pencaharian yang amat sedikit. Aspek-aspek perlindungan hak kekayaan intelektual yang paling dibutuhkan oleh mayoritas negara-negara Asia, yang terkenal dengan keragaman budaya, akar historis produk yang kuat, budaya kepemilikan kolektif, kepentingan untuk tetap menguasai produk-produk bangsanya sendiri, serta persoalan kemiskinan.Dari penjelasan sebagaimana diuraikan di atas, dan merujuk pada

konvensi dan peraturan perundangan, karakteristik dan prinsip-prinsip dari kekayaan intelektual, maka menjadi hal yang sangat penting terhadap perlindungan pengakuan hak komunal masyarakat atas hak Indikasi Geografis suatu daerah.Juga mengingat peningkatan jumlah produk lokal daerah dengan karakteristik tertentu, kualitas tinggi dan teknis produksi khusus yang dilakukan oleh warga masyarakat, berpotensi memenuhi syarat untuk menjadi pemegang hak komunal Indikasi Geografis.

Bentuk perlindungan hukum yang diberikan oleh negara yakni hak yang diberikan melalui Indikasi Geografis hanya dapat terjadi setelah adanya pendaftaran.Pendaftaran diajukan ke lembaga yang berwenang, dalam hal ini Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (Dirjen KI). Seperti tercantum dalam Pasal 2 ayat (3) Peraturan Pemerintah(PP) Nomor 51 Tahun 2007 Tentang Indikasi Geografis bahwa tanda dapat dilindungi sebagai Indikasi Geografis apabila terdaftar di Direktorat Jenderal. Pengakuan Indikasi Geografis tersebut sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 PP No. 51 Tahun 2007 tentang Indikasi Geografis dijelaskan bahwa “Indikasi Geografis dlindungi selama karakteristik,khas, dan kualitas yang menjadi dasar bagi diberikannya perlindungan atas Indikasi Geografis tersebut masih ada”.

Selanjutnya dikemukakan suatu syarat dengan merujuk ketentuan sebagaimana di atur dalamUndang-Undang dan Peraturan

Page 116: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 108 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

Pemerintah Tentang Indikasi Geografis, bahwa permohonan Indikasi Geografistidak hanya dapat dilakukan oleh petani/produsen atau sekelompo konsumen tetapi juga oleh lembaga yang diberi wewenang untuk itu, lembaga tersebut dalam hal ini bisa lembaga pemerintah atau lembaga resmi lainnya seperti koperasi, asosiasi, dan lain-lain.158

Dalam lingkup internasional sebagaimana diketahui bahwa Indikasi Geografis pengaturannya dalam TRIPs, tidak mengatur lebih jauh ihwal norma tertentu yang harus diikuti negara peserta. Standar minimum yang harus dilakukan setiap negara peserta hanyalah melakukan cara-cara hukum dalam rangka perlindungannya (legal means), termasuk kaitaannya dengan persaingan tidak sehat (unfair competition).Bentuk perlindungannya diserahkan pada kebijakan masing-masing negera peserta.Dengan demikian dalam kerangka perlindungan hukum, pengakuan perlindungan Indikasi Geografis memerlukan upaya yang proaktif dari pihak yang berkepentingan (komunitas/warga) pemilik berupa pendaftaran dalam rangka untuk memperoleh alas hak kepemilikannya.

Permasalahan kedua dari topik bahasan adalah bagaimanakah upaya yang dilakukan pemerintah daerah terhadap hak komunal masyarakat Indikasi Geografis didalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat? Untuk pembahasannya dapat dijelaskan sebegai berikut:

Tantangan pemerintah daerah dalam upaya perlindungan Indikasi Geografis adalah isu yang digagas oleh Pemerintah kepada tiap daerah untuk memetakan sekaligus dapat memberikan perlindungan terhadap produk daerah yang berpotensi Indikasi Geografis.Perlindungan terhadap potensi produk daerah sudah merupakan kebutuhan bagi daerah.Kurangnya pemahaman terhadap pentingnya perlindungan Indikasi Geografis bagi stakeholders di daerah menjadi salah satu terhambatnya upaya melindungi kekhasan produk yang dimiliki daerah.Di samping itu kendala yang dihadapi daerah dalam memberikan perlindungan Indikasi Geografis, sekaligus menemukan keberadaan lembaga lokal sebagai legal standing bagi daerah.

158Fitri Hidayat, 2011, Perlindungan Indikasi Geografis Terhadap Produk Potensi Indikasi Geografis Di Indonesia, Tesis, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang.

Page 117: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 109 |

Pemerintah daerah diharapkan siap untuk menghadapi pasar bebas.Kerjasama yang baik di antara pemerintah daerah merupakan hal yang dapat digagas untuk dapat menjawab tantangan. Dalam perspentif kepentingan ekonomis, menunjukkan bahwa perlindungan Indikasi Geografis sangat baik digunakan sebagai alat (instrument) kebijakan publik dalam mempercepatperkembangan tehnik produksi, dan pembagian pasar dunia. Sebagaimana studi yang dilakukan oleh Anselm Kamperman Sanders159 dengan meneliti produkTequila, dengan kesimpulan bahwa:

1. theGeografhic Indication (GI) protection may help to create a virtual ‘country’ or ‘regional’ monopoly for a particular brand,…;

2. the Geografhic Indication (GI) protection may help to create a segregated market, with the ‘superior’GI- protected commodity in one part of the market, and ‘inferior’ lower -priced substitutes in another …; and

3. the Geografhic IndicationGI protection may help to create a monopolistically competitive market of many brands, each with own established reputation and GI protection, and each with the others for a share of the world market.Selain memiliki nilai ekonomis, perlindungan Indikasi Geografis

terhadap produk daerah akan memberikan pengaruh pada nama daerah serta menghalangi tindakan persaingan yang tidak sehat (unfair competition) dengan memanfaatkan nama suatu daerah.

Pemerintah Daerah harus memberikan perhatian secara maksimal dan memetakan setiap produk unggulan yang ada di wilayahnya yang berkarakteristik, khas, dan khusus untuk dilindungi dengan rezim Indikasi Geografis. Keberadaan lembaga lokal sebagai legal standing dapat terwujud apabila pemerintah daerah sudah memahami esensi dari perlindungan Indikasi Geografis yang bersifat komunal sehingga masalah dana tidak merupakan penghalang utama namun kebersamaan dan kerjasama diantara instansi terkait dan stakeholders di daerah

159Sanders, Anselm Kamperman, 2005, “Future Solution for Protecting Geographical Indications Worldwide”, Studies in Industrial Property and Copyright Law (IIC Studies), Vol. 25, the Max Planck Institute, Munich. Hal, 141

Page 118: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 110 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

merupakan satu kunci keberhasilan daerah mengangkat nama harum dan sekaligus memberikan kesejahteraan masyarakat di daerah.

Upaya membangun pemahaman tersebut harus dilakukan secara komprehensif di antara semua pemangku kepentingan baik itu pemerintah daerah Provinsi, terutama Pemerintah Daerah Kabupaten. Perlindungan hukum Indikasi Geografis begitu banyak manfaatnya tidak hanya dari sisi ekonomi,tetapi juga dari sisi ekologi, sosial budaya, dan juga manfaat dari sisi hukum sebagaimana dijelaskan oleh salah satu Tim Ahli Inikasi Geografis Ditjen HKI Kementrian Hukum dan HAM, H.Riyaldi yang menyebutkan bahwa perlindungan Indikasi Geografis memiliki berbagai manfaat, baik bagi produsen maupun bagi konsumen. Bagi produsen manfaat sebagai berikut:160 Pertama : Manfaat dari sisi ekonomi antara lain: mencegah beralihnya kepemilikan hak pemanfaatan kekhasan produk daerah kepada pihak lain;memaksimalkan nilai tambah produk bagi masyarakat setempat;memberikan perlindungan dari pemalsuan produk; meningkatkan pemasaran produk khas; meningkatkan penyediaan lapangan kerja; menunjang pengembangan agrowisata; menjamin keberlanjutan usaha; memperkuat ekonomi wilayah; mempercepat perkembangan wilayah; dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kedua: Manfaat dari sisi ekologi, antara lain: mempertahankan dan menjaga kelestarian alam; meningkatkan reputasi kawasan; dan meningkatkan kelestarian.

Dari perspektif Undang-Undang Pemerintahan Daerah, berdasarkan Pasal 24 ayat (4): Pemetaan Urusan Pemerintahan Pilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk menentukan daerah yang mempunyai Urusan Pemerintahan Pilihan berdasarkan potensi, proyeksi penyerapan tenaga kerja, dan pemanfaatan lahan. “Potensi” yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah ketersediaan sumber daya di daerah yang telah dan yang akan dikelola yang memberikan dampak bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Demikian pula dalam Pasal 31 ayat (2) huruf b disebutkan: Penataan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat. Yang dimaksud

160H.Riyaldi, 2008, Perlindungan Indikasi Geografis Manfaat dan Tantangannya, Departemen Hukum dan HAM RI, Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual”, Jakarta,Media HKI, Vol.V/N0.04/agustus,:hlm 8

Page 119: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 111 |

dengan “mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat” adalah peningkatan indeks pembangunan manusia yang ditandai dengan peningkatan kesehatan, pendidikan, dan pendapatan masyarakat.

Selanjutnya pada ketentuan tentang Informasi Pemerintahan Daerah, Pasal 391 (1) Pemerintah Daerah wajib menyediakan Informasi Pemerintahan Daerah yang terdiri atas: a. informasi pembangunan Daerah; dan b. informasi keuangan Daerah. (2) Informasi Pemerintahan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikelola dalam suatu sistem Informasi Pemerintahan Daerah. Pasal 392 Informasi Pembangunan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 391 ayat (1) huruf a memuat informasi perencanaan pembangunan Daerah yang mencakup: a. kondisi geografis Daerah; b. demografi; c. potensi sumber daya Daerah; d. ekonomi dan keuangan Daerah; e. aspek kesejahteraan masyarakat; f. aspek pelayanan umum; dan g. aspek daya saing Daerah.

Wujud kongkrit yang dapat dilakukan oleh pemerintah daerah terkait dengan dengan ketentuan tersebut di atas, antara lain:

1) Implementasi dari ketentuan memuat informasi perencanaan pembangunan daerah yang mencakup kondisi geografis daerah adalah melakukan sosialisasi mengenai pentingnya perlindungan hukum melalui Indikasi Geografis. Sosialiasi secara berkala dan kampanye perlu dilakukan oleh pemerintah. Untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat pentingnya perlindungan hukum melalui Indikasi Geografis. Sosialiasi memiliki fungsi sebagai jembatan terhadap keberhasilan sistem HKI, tanpa adanya sosialiasi tidak akan ada tindakan yang dapat diambil masyarakat sebab mereka tidak akan paham. Pemerintah harus aktif memberikan pemahaman kepada warga/masyarakat. Dengan demikian maka warga/masyarakat dapat memahami pentingnya untuk mendaftarkan produk yang mereka budidayakan agar memperoleh perlindungan hukum.

2) Imlementasi dari ketentuane. aspek kesejahteraan masyarakat; f. aspek pelayanan umum; dan g. aspek daya saing Daerah adalah membantu masyarakat untuk mendaftarkan Indikasi Geografis, adalah mengupayakan agar ada pendampingan selama proses tersebut berlangsung. Dengan demikian, diharapkan masyarakat

Page 120: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 112 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

semakin aktif untuk ikut serta melakukan upaya pendaftaran terhadap produk Indikasi Geografis sebagai potensi sumber daya Daerah, ekonomi dan keuangan Daerah serta daya saing Daerah.

SiMPULAN

1. Karakter kepemilikan Indikasi Geografis yang kolektif atau komunalistik sejalan dengan nilai-nilai ketimuran dan keindonesiaan yang lebih menghargai kepemilikan bersama dari pada kepemilikan pribadi. Perlindungan hukum hak komunal atas Indikasi Geografis dapat diwujudkan dengan melakukan pendaftaran. Bentuk perlindungan hukum yang diberikan oleh negara yakni hak yang diberikan melalui Indikasi Geografis hanya dapat terjadi setelah adanya pendaftaran. Pendaftaran diajukan ke lembaga yang berwenang, dalam hal ini Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (Dirjen KI). Dengan dilakukannya pendaftaran dapat menjamin adanya kepastian hukum bagi potensi daerah yang berbasis Indikasi Geografis.

2. Upaya yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Daerahterhadap hak komunalmasyarakat Indikasi Geografis didalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat adalah memetakan sekaligus dapat memberikan perlindungan terhadap produk daerah yang berpotensi Indikasi Geografis. Pemetaan dilakukan terhadap setiap produk unggulan yang berkarakteristik dan khas.Upaya selanjutnya adalah mewujudkan keberadaan lembaga lokal sebagai legal standing dan memahami esensi dari perlindungan Indikasi Geografis yang bersifat komunal sehingga masalah dana tidak merupakan penghalang utama namun kebersamaan dan kerjasama diantara instansi terkait dan stakeholders di daerah merupakan satu kunci keberhasilan daerah mengangkat nama harum dan sekaligus memberikan kesejahteraan masyarakat di daerah.

DAFTAR PUSTAKA

Achmad Zen Umar Purba, 2005, “International Regulation on Geographical Indications, Genetic Resources and Traditional Knowledge”, Workshop on the Developing Countries Interest to Geographical Indications,

Page 121: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 113 |

Genetic and Traditional Knowledge, PIH FHUI and Dit.Gen of IPR’s, Dept.of Law and Human Rights, RI, Jakarta.

Djulaeka,2014, Konsep Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual, Perspektif Kajian Filosofis HaKI Kolektif Komunal, Malang: Setara Press.

Erman Rajagukguk, 2001,“Globalisasi Hukum dan Kemajuan Teknologi: Implikasinya bagi Pendidikan Hukum dan Pembangunan Hukum Indonesia”, Pidato Dies, Disampaikan pada Dies NatalisUniversitas Sumatera Utara Ke-44. Medan, 20 Nopember 2001.

Fitri Hidayat, 2011, Perlindungan Indikasi Geografis Terhadap Produk Potensi Indikasi Geografis Di Indonesia, Tesis, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang.

Harian Bali Post, Sabtu 17 Juni 2017

H.Riyaldi, 2008, Perlindungan Indikasi Geografis Manfaat dan Tantangannya, Departemen Hukum dan HAM RI, Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual”, Jakarta,Media HKI, Vol.V/N0.04/Agustus.

John Braithwaite dan Peter Drahos, 2000, Global Business Regulation, New York: Cambridge University Press.

Kajian Hukum dan Keadilan Jurnal IUS, | Vol. III | Nomor 7 | April 2015 |

Miranda Risang Ayu, 2006, Memperbincangkan Hak Kekayaan Intelektual Indikasi Geografis, Bandung: Alumni.

OK. Saidin, 2004, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights), Jakarta: Raja Grafindo.

Peter Van Den Bossche, 2005,The Law and Policy of The World Trade Organization Text, Cases and Materials,Cambridge University Press, UK.

Sanders, Anselm Kamperman, 2005,“Future Solution for Protecting Geographical Indications Worldwide”, Studies in Industrial Property and Copyright Law (IIC Studies), Vol. 25, the Max Planck Institute, Munich.

Sudarmanto,2005, Produk Kategori Indikasi Geografis Potensi Kekayaan Intelektual Masyarakat Indonesia, Simposium Nasional Kepentingan

Page 122: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 114 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

Negara Berkembang Terhadap Hak Atas Indikasi Geografis, Sumber Daya Genetika dan Pengetahuan Tradisional, Lembaga Pengkajian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Depok.

Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014Tentang Pemerintahan Daerah

Undang-Undang nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek Dan Indikasi Geografis

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 51 Tahun 2007Tentang Indikasi Geografis

Page 123: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 115 |

taNGGUNG JaWaB PEMErINtaH INDONEsIa DaLaM PErLINDUNGaN HUKUM INDIKasI GEOGrafIs

Emilda KuspraningrumFakultas Hukum Universitas Mulawarman

email: [email protected]

ABSTRAK

Indonesia adalah negara yang aktif dalam mengikuti perkembangan pengaturan hak kekayaan intelektual, sejak masa penjajahan Belanda telah diundangkannya Octroot wet No 136, Staats Blaad 1911 No 313, Industried Eigendom Koloniel 1912, dan Auterswet 1912 No 600, kemudian ditindaklanjuti pasca kemerdekaan Mentri Kehakiman Republik Indonesia mengeluarkan pengumuman No. JS 5/41 tanggal 12 Agustus 1953 dan No. JG. 1/12/17 tanggal 24 Agustus 1953 tentang Pendaftaran Sementara Paten. Paling Mutakhir adalah terbitnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis. Pada UU tersebut, Indikasi Geografis tidak lagi di sub ordinatkan dalam pengaturan Undang-undang merek namun telah diakui sebagai bentuk Hak Kekayaan intelektual yang sederajat dengan Merek, namun demikian persoalan Indikasi Geografis masih menjadi problematika tersendiri yang terbukti dengan jumlah pendaftaran Indikasi Geografis di Indonesia masih sedikit. Hal ini patut dicermati mengapa pendaftaran Indikasi Geografis tidak meningkat secara signifikan, mengingat kekayaan alam dan budaya bercirikan kedaerahan sebagaimana kriteria dari Indikasi Geografis di Indonesia sangat melimpah, bisa dikatakan hampir setiap daerah di Indonesia memiliki potensi adanya pengakuan Indikasi Geografis. Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia harus lebih proaktif lagi dalam memberikan perlindungan Indikasi Geografis, Paradigma harus diubah, tidak lagi bersifat pasif menanti pendaftaran tetapi mengidentifikasi, memfasilitasi, dan sekaligus memberikan perlindungan hukum terhadap berbagai macam Indikasi Geografis yang ada di Indonesia.

Kata Kunci: Indikasi Geografis dan Tangung Jawab Negara

Page 124: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 116 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

PENDAHULUAN

Forum Internasional World Trade Organization (selanjutnya WTO) tahun 1995 telah banyak memberi perubahan pada pengaturan Hak Kekayaan Intelektual, WTO membentuk ketentuan mengenai perdagangan dibidang Hak Kekayaan Intelektual Agreement on Related Aspect on Intelektual Propperty Rights (selanjutnya disebut dengan TRIP’s) hal ini turut mempengaruhi keberadaan pengaturan Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia terutama sejak Indonesia turut mengesahkan isi kesepakatan Internasional dengan ditetapkannya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia, secara otomatis undang-undang tersebut mengesahkan pula ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Persetujuan TRIPs termasuk di dalamnya persoalan Hak Kekayaan Intelektual.

Dengan dipatuhinya GATT dan TRIP’s membawa konsekuensi pada perumusan isi dari peraturan perundang-undangan Hak Kekayaan Intelektual di Idonesia, yang tentu saja harus disesuaikan dengan ketentuan-ketentuanyang terdapat di dalam kesepakataan GATT dan TRIP’s, salah satunya termasuk mengenai masalah perlindungan Indikasi Geografis.

Indikasi geografis mulai tampak sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 14 tahun 1997 sebagai revisi dari Undang-Undang Nomor 19 tahun 1992 tentang Merek. Pada Undang-undang Nomor 14 Tahun 1997, diatur pada Pasal 1 angka 15, dan Pasal 79 a sampai dengan Pasal 79 d tentang Indikasi Geografis dan Indikasi Asal. Setelah itu terbit Undang-Undang Nomor 15 tahun 2001 tentang Merek dan yang terakhir adalah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis. Dalam kurun waktu tersebut problematika Indikasi Geografis terus mengalami pasang surut, dalam tulisan ini penulis mencoba mengangkat permasalahan siapa yang paling tepat untuk melakukan pendaftaran dalam bidang Indikasi Geografis mengingat persoalan pendaftaran Indikasi Geografis juga mengalami beberapa kali perubahan baik yang semula diatur bahwa untuk Indikasi geografis tidak perlu didaftarkan karena secara otomatis akan mendapatkan perlindungan.

Page 125: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 117 |

PEMBAHASAN

Negera Hukum dan Tanggung jawab Negara

Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan “Negara Indonesia adalah Negara hukum”, Negara hukum menurut Bagir Manan adalah negara yang berdasarkan atas hukum (de rechtsstaat dan rule of law) yang mengandung esensi bahwa hukum adalah supreme dan kewajiban bagi setiap penyelenggara Negara atau pemerintahan untuk tunduk pada hukum (subject to the law). Tidak ada kekuasaan di atas (above to the Law). Semua ada di bawah hukum (under the rule of Law). Dengan kedudukan ini tidak boleh ada kekuasaan sewenang-wenang (arbitrary of Law) atau penyalahgunaan kekuasaaan (misuse of Power), baik pada kerajaan maupun republik. Secara maknawi, tunduk pada pada hukum mengandung pengertian pembatasan kekuasaan seperti halnya ajaran pemisahan kekuasaan, atau pembagian kekuasaan, oleh karena itu ajaran negara berdasarkan atas hukum memuat unsur pemisahan atau pembagian kekuasan. Prinsip negara berdasarkan atas hukum dijalankan, baik Negara kerajaan (Inggris, Belanda, jepang, Malaysia) maupun pada negara republik (Amerika Serikat, India, Singapura dan Indonesia).161

Berkaitan dengan arti negara hukum Bagir Manan dan Kuntana Magnar membagi dalam dua arti, yaitu arti umum dan arti khusus. Arti umum, Negara berdasarkan hukum, adalah negara di mana ada rasa saling percaya antara rakyat dan pemerintah. Rakyat percaya pemerintah tidak akan menyalahgunakan kekuasaannya dan sebaliknya pemerintah percaya bahwa dalam menjalankan wewenangnya, pemerintah akan dipatuhi dan diakui oleh rakyat, sedangkan dalam arti khusus, negara berdasarkan hukum diartikan bahwa semua tindakan negara atau pemerintah harus didasarkan ketentuan hukum atau dapat dipertanggung-jawabkan secara hukum.162

Demikian halnya dengan E. Utrech163 sebagai pengikut AM Donner yaitu yang pertama berupa lapangan yang menentukan tujuan

161Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, diterbitkan Pusat Studi Hukum UI dan Gama Media Yogyakarta, 1999 hlm.11-12

162Bagir Manan dan Kuntana Magnar dalam Astim Riyanto, Negara Kesatuan,Konsep ,Azas, dan Aktualisasinya, YAPEMDO, Bandung, 2006, hlm. 28.

163E. Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Pustaka Tinta Mas,

Page 126: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 118 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

atau tugas, dan yang kedua lapangan merealisasi tujuan atau tugas yangtelah ditentukan.

Van Vollenhoven membagi menjadi empat yaitu, a. membuat peraturan dalam bentuk Undang-Undang baik formil maupun materiil hal ini disebut dengan regeling; b. pemerintah dalam arti secara nyata memelihara kepentingan umum, hal ini disebut dengan bestuur; c. Penyelesaian sengketa dalam peradilan perdata yang disebut dengan yustitusi; d. mempertahankan ketertiban umum baik secara preventif maupun secara represif, disebut politie.164 Lemaire membagi tugas negara menjadi lima jenis, yaitu: a. perundang-undangan; b.pelaksanaan yaitu pembuatan aturan-aturan hukum oleh penguasa sendiri; c. pemerintah; d.kepolisian ; dan e. pengadilan.165

Dalam menjalankan tugasnya maka pemerintah memerlukan instrumen, alat-alat atau sarana-sarana.166 Demikian halnya ketika pemerintah membentuk Undang-undang sebagai instrumen hukum yang mengatur, mengikat secara umum di bidang Hak Kekayaan Intelektual, Pemerintah Republik Indonesia sebagai pelaksana dari konsep negara kesejahteraan (welfare state) telah menerima konsep hak kekayaan Intelektual masuk dalam peraturan perundang-undangannya, hal ini dapat dirasakan pada seluruh konsep hak Kekayaan Intelektual yang sangat berorientasi pada kepastian hukum dan pencapaian nilai ekonomi, karena pada prinsipnya proses perlindungan Hak kekayaan Intelektual adalah mengarah pada dilindunginya hak individu atas kekayaan intelektualnya, diakui sebagai hak milik atas kekayaan intelektual, dan sebagaimana hak milik pada kebendaan materiil pada umumnya maka melekat pula hak kebedaan pada benda-benda immateriil dalam kekayaan intelektual, yang artinya berlakulah prinsip-prinsip keperdataan pada umumnya bagi hak kekayaan intelektual selaku hak milik dari perorangan dan atau badan hukum.

Pendaftaran Indikasi Geografis

Meskipun konsep kekayaan intelektual dipengaruhi oleh warna hukum privat, dan salah satunya adalah hal yang berkaitan dengan

Surabaya, 1998, hlm.11.164Bagir Manan, Op.Cit. hlm.13.165Ibid.166Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011,

hlm.129.

Page 127: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 119 |

kepemilikan perorangan dan atau badan hukum, namun demikian hal tersebut tidak terjadi pada perlindungan indikasi geografis sebagai kekayaan intelektual, pada kepemilikan Indikasi Geografis yang diperoleh dengan jalan pendaftaran, terdapat pengecualian dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (selanjutnya disebut dengan UU Merek dan Indikasi Geografis).

Pasal 1 angka 6 UU Merek dan Indikasi Geografis menyebutkan Indikasi Geografis adalah adalah suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang dan/atau produk yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia atau kombinasi dari kedua faktor tersebut memberikan reputasi, kualitas, dan karakteristik tertentu pada barang dan/atau produk yang dihasilkan. Dinyatakan kepemilikannya bersifat komunal, dikarenakan syarat dari Indikasi Geografis haruslah memiliki ciri kedaerahan, ciri suatu tempat tetentu. Sehingga dalam proses pengakuan atas Indikasi Greografis. Dalam Pasal 53 UU Merek dan Indikasi Geografis diatur bahwa yang dapat mendaftarkan adalah Lembaga yang mewakili masyarakat dan pemerintah, dimana menurut hemat penulis hal ini kurang efektif dalam pencapaian harapan didaftarkannya Indikasi Geografis di Indonesia yaitu sebanyak-banyaknya pendaftaran Indikasi Geografis, hal ini terbukti bahwa sejak diaturnya persoalan perlindungan Indikasi Geografis melalui Undang-Undang Nomor 14 tahun 1997 tentang Merek sampai dengan terbitnya UU Merek dan Indikasi Geografis, jumlah pendaftar Indikasi Geografis tidak meningkat secara signifikan.

Sebagai gambaran mengenai perkembangan pendaftaran Indikasi Geografis, pada Undang-undang Nomor 14 Tahun 1997, diatur pada Pasal 79, Ketentuan tersebut membagi dua pengertian atas penggunaan produk yang menggunakan nama geografis yaitu Indikasi Geografis dan Indikasi Asal. Indikasi Geografis didefinisikan dalam Pasal 79 a ayat (1) dengan rumusan sebagai berikut “Indikasi geografis dilindungi sebagai suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia atau kombinasi dari kedua faktor tersebut memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan”.

Dalam Pasal 79 a ayat (2) diatur bahwa yang dapat mendaftarkan Indikasi Geografis adalah a. lembaga yang mewakili masyarakat di

Page 128: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 120 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

daerah yang memproduksi barang yang bersangkutan; b. pihak yang mengusahan barang-barang yang merupakan hasil alam atau kekayaan alam; c. pembuat barang-barang kerajinan tangan atau hasil industri dan d. pedagang yang menjual barang-barang.

Pasal I angka 15 Lembaran Penjelasan Undang-Undang Nomor 14 tahun 1997, menjelaskan bahwa terdapat perbedaan antara Merek dan Indikasi Geografis, dimana Indikasi geografis lebih merupakan tanda yang menunjukkan asal suatu barang yang karena faktor geografis termasuk faktor alam, faktor manusia atau kombinasi dari kedua faktor tersebut telah memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan.

Tanda yang digunakan sebagai indikasi dapat berupa etiket atau label yang dilekatkan pada barang yang dihasilkan. Tanda tersebut dapat berupa nama tempat, daerah atau wilayah, kata, gambar, huruf atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut. Pengertian nama tempat dapat berasal dari nama yang tertera dalam peta geografis atau nama yang karena pemakaian secara terus menerus menjadi dikenal sebagai nama tempat asal barang yang bersangkutan.

Perlindungan Indikasi Geografis meliputi barang-barang yang dihasilkan oleh alam, barang hasil pertanian, hasil kerajinan tangan dan hasil-hasil industri tertentu lainnya. Apabila memenuhi syarat, indikasi geografis dapat didaftar, terutama untuk kepentingan kepastian hukum. Pendaftaran diajukan ke Kantor Merek oleh lembaga yang mewakili masyarakat di daerah yang memproduksi barang yang bersangkutan. Di samping itu dapat pula diajukan oleh lembaga ini dapat merupakan lembaga Pemerintah atau lembaga resmi lainnya. Sebagai tambahan, kelompok konsumen dari barang yang memakai tanda yang dilindungi berdasarkan indikasi geografis juga dapat mengajukan pendaftaran. Hal ini dimungkinkan karena perlindungan terhadap indikasi geografis seperti halnya merek, dimaksudkan juga untuk perlindungan terhadap masyarakat konsumen, dalam arti untuk menghindari kegiatan yang dapat menyesatkan masyarakat dalam hal suatu tanda yang seharusnya dilindungi berdasarkan indikasi geografis, dipakai oleh pihak lain yang beritikad baik, bahkan sebelum indikasi geografis tersebut terdaftar maka Undang-undang ini memungkinkan pemakaian bersama tanda tersebut oleh pemegang hak atas indikasi geografis dan pihak lain tersebut untuk jangka waktu tertentu. Hal ini

Page 129: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 121 |

didasarkan pertimbangan untuk memberikan keseimbangan antara kedua kepentingan tersebut.

Setelah lewatnya jangka waktu 2 (dua) tahun maka hanya pemegang hak atas indikasi geografis yang berhak memakai tanda yang bersangkutan. Memang harus diakui ketentuan ini menimbulkan kesan bahwa pemegang indikasi geografis mendapat prioritas perlindungan. Hal ini memang tidak salah karena faktor utama indikasi geografis adalah faktor alam, faktor kemampuan manusia, atau kombinasi keduanya yang relatif bersifat tetap dan sangat melekat pada daerah yang bersangkutan.

Dalam hal tanda yang seharusnya dilindungi berdasarkan indikasi geografis namun tidak didaftarkan, maka perlindungan terhadap tanda tersebut berdasarkan indikasi asal. Di samping itu indikasi asal meliputi pula tanda yang semata-mata menunjukkan asal suatu barang atau jasa. Ini berarti, indikasi asal mendapat perlindungan tanpa melalui pendaftaran. Adapun alasan perlindungan terhadap indikasi asal tidak terlepas dari upaya perlindungan terhadap produsen dan masyarakat konsumen barang dan jasa tersebut.

Pada Undang-Undang Nomor 15 tahun 2001 tentang Merek, persoalan perlindungan Indikasi Geografis diatur pada Pasal 56 ayat (2), bahwa yang berhak mendaftarkan Indikasi Geografis adalah:

1. Lembaga yang mewakili masyarakat di daerah produsen yang bersangkutan. Lembaga ini terdiri dari:a. Pihak yang mengusahakan barang-barang yang merupakan

hasil alam atau kekayaan alam.b. Produsen barang-barang hasil pertanian.c. Pembuat barang-barang kerajinan tangan atau hasil

industri.d. Pedagang atau yang menjual barang-barang tersebut

2. Lembaga yang diberi kewenangan itu;3. Kelompok konsumen dari barang-barang tersebut.

Pada Undang-Undang Merek Nomor 15 tahun 2001 ini persoalan pendaftaran kembali diarahkan pada pihak masyarakat sebagai pihak yang harus aktif untuk melindungi potensi Indikasi Geografis. Dalam lampiran penjelasannya dikatakan yang dimaksud

Page 130: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 122 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

lembaga yang mewakili masyarakat di daerah yang memproduksi barang adalah lembaga yang diberi kewenangan untuk mendaftarkan Indikasi Geografis dan lembaga itu merupakan lembaga pemerintah atau lembaga resmi lainnya seperti koperasi, asosiasi dan lain-lain. Disini meskipun tidak secara terang sudah mulai ditampilkan peran pemerintah yang berfungsi untuk menangani persoalan keperdataan.

Terkini adalah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, berbeda dengan peraturan sebelumnya, pada peraturan terbaru ini Indikasi Geografis telah mendapatkan kedudukan yang sederajat dengan Merek, namun demikian dalam pengaturan pendaftaran terlihat perbedaan pada siapa yang bisa mendaftarkan, disebutkan dalam Pasal 53 ayat (3) bahwa yang dapat mendaftarkan Indikasi Geografis adalah a. lembaga yang mewakili masyarakat di kawasan geografis tertentu yang mengusahakan suatu barang dan/atau produk berupa: 1. sumber daya alam; 2. barang kerajinan tangan; atau 3. hasil industri. b. pemerintah daerah provinsi atau kabupaten/kota. Dalam penjelasannya dikatakan yang dimaksud dengan lembaga yang mewakii masyarakat dikawasan geografis tertentu antara lain adalah asosiasi produsen, koperasi,dan masyarakat perlindungan Indikasi Geografis (MPIG) namun belum cukup dijelaskan bagaimana fungsi pemerintah selaku pihak yang dapat mendaftarkan Indikasi Geografis.

Dengan terbitnya Undang-Undang terbaru mengenai Indikasi Geografis ini mulai tampak adanya perubahan pada subyek pendaftar, pada kesempatan ini pemerintah mulai dilibatkan sebagai pihak yang dapat melakukan pendaftaran, meskipun demikian pada faktanya Indikasi Geografis yang terdaftar masih berjumlah 36 Indikasi Geografis167, dan lebih banyak didaftarkan oleh kelompok masyarakat, meskipun demikian hal ini masih tidak sebanding dengan jumlah kekayaan alam yang berpotensi Indikasi Geografis yang melimpah di Negara Republik Indonesia.

Kelemahan Pendaftaran Indikasi Geografis

Saat ini Indikasi Geografis yang terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM RI sebanyak 36, yaitu:

167Dirjen HKI Kementerian Hukum dan HAM RI

Page 131: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 123 |

Tabel 1. Daftar Indikasi Geografis yang telah terdaftar di Kementrian Hukum dan HAM

NoNama dan No Sertifikat IG

Pemohon Tahun Daerah

1. Pala SiauID G 000 000 036

Lembaga Perlindungan Pala Siau

2015 Kab. Kep. Siau Tagulandang Biaro

2. Jeruk Keprok Gayo AcehID G 000 000 046

MPIG Jeruk Keprok Aceh

2015 Gayo Aceh

3. Garam Amed MPIG Garam Amed Karangasam Bali

4. Beras Pandan Wangi CianjurID G 000 000 034

Masyarakat Pelestari Padi Pandanwangi Cianjur

2015 Kab. Cianjur

5. Cengkeh MinahasaID G 000 000 017

MPIG Cengkeh Minahasa

2015 Kab.Minahasa

6. Teh Java PreangerID G 000 000 077

MPIG Teh Java Preanger

2014 Provinsi Jawa Barat

7. Kopi Robusta SemendoID G 000 000 035

Masyarakat Peduli Indikasi Geografis (APIT-JURAI)

2014 Kab. Muara Enim Sumatra Selatan

8. Kopi Liberika ID G 000 000 032

MPIG Tungkal Jambi 2014 Jambi

9. Kopi Arabika Simalungun UtaraID G 000 000 031

Himpunan Masyarakat Kopi Arabika Sumatra Utara

2014 Provinsi Sumatra Utara

10. Kopi Arabika Sindoro SumbingID G 000 000 030

Masyarakat Peelindung IG kopi Arabika Java Sondoro Sumbing

2014 Jawa Tengah

11. Kopi Arabika Java Ijen RaungID G 000 000 029

Perhimpunan Masyarakat Pelindung IG Kopi Arabika java Ijen

2013 Bondowoso

12. Gula kelapaID G 000 000 029

MPIG gula Kelapa Kulon Progo

2013 Kulon Progo

Page 132: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 124 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

13. Bandeng Asap SidoarjoID G 000 000 008

Forum Komunikasi Masy.Tambak Sidoarjo

2013 Kab. Sidoarjo Jawa Timur

14. Kopi Robusta LampungID G 000 000026

MPIG Kopi Robusta lampung

2013 Lampung

15. Tembakau Srinthil Temanggung ID G 000 000027

MPIG tembakau Srinthil Temanggung

2013 Temanggung

16. Kopi Arabika TorajaID G 000 000 025

MPIG Kopi Arabika Toraja

2013 Toraja

17. Mete Kubu Bali ID G 000 000 028

MPIG mete Kubu bali 2013 Provinsi bali

18. Minyak Nilam AcehID G 000 000 021

Forum Masyarakat perlindungan nilam Aceh

2013 Aceh

19. Salak Pondoh ID G 000 000 020

Komunitas Perlindungan IG Salak Pondoh Sleman Yogyakarta

2012 Sleman DIY

20. Carica DiengID G 000 000 016

MPIG Carica Dieng 2012 Wonosobo, Jateng

21. Purwoceng DiengID G 000 000 015

MPIG Purwoceng Dieng

2012 Dieng

22. Vanili Alor Asosiasi Petani Vamilli 2012 Kep. Alor23. Ubi Cilembu Asosiasi Agro Bisnis

Ubi Cilembu2012 Sumedang

24. Kopi Arabika Java PreangerID G 000 000 022

MPIG Kopi Arabika Java Preanger

2012 Jawa Barat

25. Kopi Arabika Kalosi Enrakeng MesenrempuluID G 000 000 018

MPIG Kopi Enrakeng 2012 Enrakeng

Page 133: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 125 |

26. Tembakau Hitam SumedangID G 000 000007

MPIG Tembakau Hitam bersama Pemerintah

2011 Sumedang

27 Padi Adan Krayan

Asosiasi Masyarakat Adat Perlindungan Beras Adan Krayan

2011 Krayan Kab, Nunukan Kaltim

28. Susu Kuda SumbawaID G 000 000 011

Asosisasi Pengembangan Susu Kuda Sumbawa

2011 Pulau Sumbawa

29. Madu Hutan SumbawaID G 000 000 012

Jaringan Madu Hutan Sumbawa

2011 Pulau Sumbawa

30. Kopi Arabika Flores BajawaID G 000 000 014

MOIG Kopi Arabika Flores Bajawa

2011 Flores

31. Kangkung Lombok ID G 000 000 010

Asosiasi Komoditas Kangkung Lombok

2011 NTB

32. Tembakau Mote SumedangID G 000 000 008

MPIG Tembakau Sumedang

2011 Sumedang

33. Mebel Ukir Jepara ID G 000 000 003

Jepara IG Produk Mebel Jepara Pemerintah Daerah Jepara bersama Masyarakat Industri Mebel Ukir

2010 Jepara

34. Kopi Arabika Gayo AcehID G 000 000 005

MPIG Kopi Gayo 2009 Aceh

35 Lada Putih MuntokID G 000 000 004

Badan Pengelolaan Pengenmbangan dan Pemasaran lada Putih Kepulauan Bangka Belitung Pangkal Pinang

2009 Pangkal Pinang

36. Kopi Kintamani Bali ID G 000 000 001

MPIG Kopi Arabika Kintamani

2007 Bali

Page 134: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 126 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

Kelemahan dari proses pendaftaran Indikasi Geografis adalah disebabkan karena masih banyak masyarakat awam yang tidak mengetahui bahwa Indikasi Geografis dapat dijadikan sebagai alat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, kurang pedulinya pemerintah mengajak masyarakat untuk lebih mengenal potensi Indikasi Geografis meskipun sesungguhnya justru pemerintah yang merupakan pihak paling berkepentingan dengan terdaftarnya Indikasi Geografis, karena hal tersebut tidak hanya saja membantu masyarakat menjadi lebih sejahtera tapi juga sebagai upaya perlindungan terhadap keamanan kekayaan Repupblik Indonesia yang dengan dibukanya pasar bebas Masyarakat Ekonomi Asean maka tidak menutup kemungkinan kekayaan alam Indonesia justru lebih dulu di klaim oleh negara asing. Sebagaimana beberapa peristiwa pengklaiman kopi Toraja.

Tanggung jawab Pemerintah Republik indonesia Dalam Perlindungan Indikasi Geografis

Pemerintah Republik Indonesia memiliki baik kemampuan maupun kewenangan baik tugasnya dalam regeling (pembuat Undang-Undang) maupun Bestuur (melindungi kepentingan umum) untuk dapat menjadikan Indikasi Geografis sebagai alat untuk meningkatkan kesejahteraan dengan lebih optimal, dalam hal ini diperlukan sebuah terobosan baru dimana subyek pendaftar Indikasi Geografis yang selama ini selalu mengandalkan masyarakat, maka perlu dirubah untuk lebih memfokuskan pihak pemerintah sebagai penanggung jawab. Hal ini tidak menutup kemungkinan dapat dilakukan mengingat bahwa Pemerintah adalah pemegang amanah dari tujuan berdirinya Negara Republik Indonesia sebagaimana tertuang dalam alinea ke empat Undang-Undang Dasar 1945 salah satunya adalah mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia, pihak yang paling mengerti, memahami dan sangat mengenal dengan baik potensi daerahnya adalah pemerintah, disamping itu kedudukan pemerintah dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari dapat berperan pada dua kedudukan, yaitu sebagai wakil dari jabatan pemerintah, dan sebagai wakil badan hukum.

Dalam posisinya sebagai wakil badan hukum maka pemerintah bertindak seperti subyek hukum perdata pada umumnya perorangan maupun badan hukum, dan tunduk pada ketentuan hukum perdata,

Page 135: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 127 |

sebagaimana dikatakan oleh F.A.M. Stroink dan J.G. Steenbeek dalam buku Ridwan HR168 bahwa ketika badan hukum publik terlibat dalam pergaulan perdata, ia tidak bertindak sebagai pemerintah, organisasi kekuasaan, tetapi ia terlibat bersama-sama dengan warga negara bedasarkan hukum perdata, Badan Hukum publik yang terlibat dalam pergaulan hukum berdasarkan hukum privat pada dasarnya harus tunduk pada kekuasaan hukum dari hakim (peradilan) biasa, sebagaimana halnya warga negara.

Pemerintah sebagaimana manusia dan badan hukum privat dapat terlibat dalam pergaulan hukum privat. Pemerintah melakukan jual beli, sewa menyewa, membuat perjanjian, dan mempunyai hak milik termasuk dapat menjadi pemilik169 khususnya disini adalah yang terkait dengan hak kekayaan intelektual. Tindakan hukum keperdataan adalah tindakan hukum yang diatur oleh hukum perdata, Tindakan hukum keperdataan dari pemerintah tidak dijalankan oleh organ pemerintah, tetapi oleh badan hukumnya, Hubungan hukum dalam bidang keperdataan bersifat dua pihak, hubungan hukum dalam bidang keperdataan bersandar pada prinsip otonomi dan kebebasan berkontrak, dan itikad baik dalam membuat persetujuan, yang menunjukkan kesetaraan antar pihak, tanpa salah satunya memiliki kedudukan khusus dan kekuatan memaksa terhadap pihak lain, dengan demikian dalam hal ini pemerintah hanya dapat “mensejajarkan diri” dengan seseorang atau badan hukum perdata dalam kapasitasnya selaku wakil dari badan hukum. Menurut Indroharto dalam tulisan Ridwan HR, sudah merupakan suatu kenyataan bahwa sekarang ini tidak semua urusan pemerintahan dilaksanakan oleh instansi-instansi resmi pemerintah tetapi adakalanya untuk mencapai tujuan pemerintahannya, pemerintah lebih menyukai menggunakan lembaga-lembaga hukum bedasarkan hukum pedata dalam segala bentuk variasinya, oleh karenanya diperlukan instrumen hukum privat sebagai alat untuk mensejahterakan masyarakat, terutama dalam rangka mencapai efektifitas dan efisiensi pelayanan terhadap masyarakat.170

168R.J.H.M. Huisman dalam Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, PT. Rajawali Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm.213.

169Ibid., hlm. 214.170Ibid., hlm. 215.

Page 136: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 128 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

Pemerintah dalam hal ini baik pemerintah pusat sampai dengan pemerintah desa haruslah bersikap aktif, selama ini pemerinah hanya bersikap pasifdalam arti menunggu. Adapun pro aktif disini dapat dilakukan dengan jalan:

a. Aktif mengidentifikasi potensi Indikasi Geografis Ada satu hal yang tidak dapat dilepaskan menurut pemulis

yaitu pemerintah perlu memainkan kebijakannya (beleid) untuk membuat sebuah keputusan (beschiking) atas kekayaan alam, hayati dan non hayati yang berada di daerahnya sebagai bagian dari daerah yang dinaunginya, karena pengakuan tersebut memiliki makna hukum yang mendalam sebagai bentuk pengakuan atas kekayaan alam, dan tidak semua potensi kekaaan alam di suatu daerah adalah berpotensi Indikasi Geografis, selain itu hal ini menjadi penting karena dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah belum terakomodir perlunya keterlibatan langsung dari pemerintah Daerah dalam mengidentifikasi kekayaan alam hayati maupun non hayati sebagai kekayaan daerah, dan mengoptimalkan perlindungan hak Kekayaan Intelektual dibidang Indikasi Geografis.

b. Aktif mendaftarkan atau bertidak sebagai pendaftar. Tahapan selanjutnya adalah pendaftaran, sampai dengan keluarnya

akta kepemilikan atas Indikasi Geografis, Adapun Instrumen hukum keperdataan yang dapat digunakan oleh pemerintah adalah pemerintah menggunakan instrumen keperdataan sekaligus melibatkan diri dalam hubungan keperdataan dengan kedudukan yang tidak berbeda dengan seseorang atau badan hukum perdata. Pemerintah diharapkan dapat melakukan perannya sebagai subyek hukum perdata sehingga pemerintah dapat menjalankan peran keperdataannya dengan menggunakan kebijakannya baik menggunakan instansi-instansi terkait dari tingkat kementrian sampai dengan dinas dapat memfungsikan dirinya sendiri sebagai subyek hukum perdata untuk mengurus hal-hal yang terkait dengan Indikasi Geografis.

c. Aktif melakukan pembinaan Tahap terakhir adalah pembinaan, pembinaan yang dimaksud

disini adalah dengan telah dimilikinya nama Indikasi Geografis

Page 137: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 129 |

dengan atas nama pemerintah, maka hal ini mampu menimbulkan rasa keadilan bagi setiap warga masyarakat, karena sifat dari pemerintah sendiri yang merupakan pengayom bagi seluruh masyarakat bukan hanya bagi sekelompok masyarakat. Setiap warga daerah dimana Indikasi Geografis tersebut didaftarkan dapat menggnakan Indikasi Geografis tersbut untuk produksi perdagangannya, tanpa meraa perlu berkecil hati jika bukan merupakan bagian dari satu perkumpulan atau asosiasi perdagangan tertentu, dan penggunaan Indikasi Geografis ini perlu dibuatkan sistem atau mekanisme penggunaannya yaitu dengan menggunakan sistem perijinan.

SiMPULAN

Pendaftaran Indikasi Geografis yang belum menunjukkan peningkatan yang signifikan semenjak di undangkannya pengaturan mengenai Indikasi Geografis di Indonesia, hal ini dikarenakan tidak dioptimalkannya fungsi pemerintah sebagai subyek hukum keperdataan yang mampu menjalankan fungsi keperdataan sekaligus sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas peningkatan kesejahteraan masyarakat dalam hal perlindungan hukum Indikasi Geografis, kelemahan tersebut dapat dipecahkan dengan mendorong pemerintah yang aktif menjadi pihak pendaftar Indikasi Geografis.

SARAN

Ada dua hal yang dapat dilakukan pemerintah pertama, kesadaran yang tinggi dalam diri pemerintah untuk lebih aktif mewakili masyarakat mendaftarkan potensi Indikasi Geografis di daerah masing-masing. Kedua, dorongan dalam bentuk perintah Undang-Undang harus dipatuhi oleh pemerintah daerah dan tentu saja hal ini harus diikuti dengan merevisi UU tentang Pemerintahan Daerah.

Page 138: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 130 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

DAFTAR PUSTAKA

Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, diterbitkan Pusat Studi Hukum UI dan Gama Media Yogyakarta, 1999.

Bagir Manan dan Kuntana Magnar dalam Astim Riyanto, Negara Kesatuan, Konsep, Azas, dan Aktualisasinya, YAPEMDO, Bandung, 2006.

E. Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, 1998.

Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011.

Page 139: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 131 |

PENtINGNYa KEBErPIHaKaN PEMErINtaH DaLaM PENGaMBILaLIHaN PatEN OBat-OBataN sEBaGaI

WUJUD JaMINaN PErLINDUNGaN KEsEHataN MasYaraKat

G A N E F iFakultas Hukum Universitas Bengkulu

email: [email protected]

ABSTRAK

Dunia Farmasi yang berhubungan dengan obat-obatan di Indonesia, dari dahulu sampai saat ini, terasa terabaikan dan luput dari perhatian pemerintah. Rendahnya perhatian pemerintah terhadap penyediaan obat-obat dapat dilihat dari mahalnya harga obat untuk berbagai jenis penyakit terutama penyakit akut dan harus diimpor dari luar negeri. Sedangkan program BPJS sebagai pemerintah dalam memberikan jaminan perlindungan kesehatan masyarakat, tidak menyediakannya, dengan alasan obat tersebut tidak termasuk dalam daftar tabel obat BPJS. Keberpihakan pemerintah dalam pelaksaan paten sebagaimana tertuang dalam Pasal 109 ayat (1) huruf b dapatmelaksanakansendiri paten di Indonesia berdasarkan pertimbangan kebutuhan sangat mendesak untuk kepentingan masyarakat, yang kemudian di jabarkan lebih lanjut dalam Pasal 111, huruf b, meliputi produk farmasi dan atau bioteknologi yang harganya mahal dan/atau diperlukan untuk menanggulangi penyakit yang dapat mengakibatkan terjadinya kematian mendadak dalam jumlah banyak yang dapat menimbulkan kecacatan yang signifikan , dan merupakan kedaruratan kesehatan masyarakat yang meresahkan dunia (KKMMD).

Kata Kunci: Pemerintah, Paten, Obat-obatan, Perlindungan Kesehatan Masyarakat

PENDAHULUAN

Sejalan tujuan dan cita cita pembangunan nasional, pembangunan sektor kesehatan merupakan salah satu faktor yang sangat penting selain sektor ekonomi, pendidikan, infrastruktur dan sektor lainnya

Page 140: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 132 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

yang menjadi perhatian pemerintah guna mewujudkan kehidupan masyarakat Indonesia yang adil, makmur, sehat dan sejahtera. Oleh karena itulah pembangunan sektor kesehatan harus dilakukan secara menyeluruh, merata dan tersebar hingga kesegenap pelosok tanah air negara kesatuan republik Indonesia.

Pentingnya pembangunan bidang kesehatan yang dilakukan pemerintah, tentu akan menjadi tolok ukur akan keberhasilan pembangunan sektor lainnya. Karena setinggi apapun pencapaian pertumbuhan ekonomi, pemerataan pendidikan, infrastruktur, dan sektor sektor lainnya ,tentu tidak akan berhasil jika kondisi kesehatan masyarakat masih rendah, yang ditandai dengan masih tingginya angka kematian ibu/anak yang disebabkan proses kelahiran, wabah penyakit, dan penyakit penyakit lainnya yang menyebabkan kematian seseorang karena alasan medis. Dengan demikian pembangunan bidang kesehatan bukan saja menitik beratkan pada pembangunan rumah rumah sakit, penambahan tenaga medis/para medis, kelengkapan sarana dan prasarana alat kesehatan, akan tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah ketersediaan berbagai obat-obatan yang dibutuhkan masyarakat. Hal ini tentu dapat dimaklumi, sebagus apapun rumah sakit, sehebat apapun penanganan ahli kesehatan serta secanggih apapun peralatan kesehatan, tanpa dibarengi dengan ketersediaan obat-obatan yang dibutuhkan seorang pasien, tentu resiko kematian akan sangat tinggi.

Mengingat demikian urgennya masalah ketersedian obat-batan yang dibutuhkan seorang pasien, tentu tidak hanya sebatas itu, akan tetapi bagaimana cara pasien/keluarga pasien dalam mendapatkannya, hal ini sangat bergantung pada kemampuan/daya beli terhadap nilai/harga obat yang diresepkan dokter. Oleh karena itu ketersediaan obat-obatan bukan saja gampang diperoleh, akan tetapi harga obat-obatan tersebut harus murah dan sesuai dengan kondisi keuangan pasien/keluarga pasien.

Menjawab permasalahan kesehatan masyarakat, pemerintah melalui program Indonesia Sehat, mengeluarkan satu kebijakan penanganan kesehatan secara menyeluruh dan terpadu dibawah satu pengelolaan/menejemen Badan Perlindungan Jaminan Kesehatan (BPJS). Dengan BPJS tersebut, setiap warga negara dijamin mendapat

Page 141: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 133 |

perlindungan kesehatan secara gratis bagi masyarakat tidak mampu dan dikenakan kewajiban iuran bagi mereka yang berpenghasilan.

Sungguhpun program BPJS yang menjadi acuan pemerintah dalam memberikan jaminan pelayanan kesehatan masyarakat, ternyata belum mampu menjawab semua permasalahan kesehatan yang dihadapi sebagian besar warganya. Program BPJS hanya memberikan jaminan bebas biaya rawat inap dan obat-obatan yang termasuk dalam daftar obat yang ditanggung BPJS, sedangkan untuk obat-obat tertentu pasien/keluarga pasien masih harus membelinya sendiri dengan harga yang sangat mahal karena biasanya obat-obat tersebut diimpor dari luar negeri.

Berdasarkan pemikiran di atas, sudah saatnya pemerintah mulai memikirkan langkah-langkah untuk pemenuhan ketersediaan berbagai obat-obatan yang diproduksi di dalam negeri, sehingga disamping obat-obatan tersebut gampang/mudah diperoleh juga terjangkau oleh daya beli masyarakat secara keseluruhan.

PERMASALAHAN

Program pemerintah yang berkenaan dengan pembangunan bidang kesehatan khususnya dalam hal farmasi/obat-obat sangat bertolak belakang jika dibandingkan dengan pembangunan fasilitas sarana/prasarana kesehatan lainnya. Jika untuk bangunan fisik,setiap tahunnya pemerintah menyiapkan anggaran yang besar untuk pembangunan Puskesmas, rumah sakit, peralatan medis, penambahan tenaga medis/para medis, sedangkan untuk pengadaan obat-obatan yang dihasilkan dari produk dalam negeri kurang mendapat perhatian pemerintah. Hal ini bisa dilihat dari ketersediaan obat-obatan yang ada, sebagian besar masih didatangkan dari luar negeri, sehingga obat-obatan tersebut tentu akan mahal harganya dan dirasa sangat memberatkan masyarakat.

Ketergantungan pemerintah terhadap negara asing akan ketersediaan obat-obatan dalam negeri bisa dilihat dari menyebarnya wabah flu burung beberapa tahun yang lalu dan ditetapkan menjadi kejadian luar biasa, sehingga pemerintah harus mendatangkan viksin tersebut dari negara Tiongkok untuk mengatasinya. Terlepas dari kasus korupsi yang menimpa mantan menteri kesehatan pada saat itu,

Page 142: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 134 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

satu hal yang menjadi catatan adalah kelengahan dan ketidaksiapan pemerintah dalam pengadaan vaksin/obat flu burung tersebut. Padahal jika pemeintah berkenan mengalokasikan anggarannya untuk memproduksi obat-obatan, bisa dengan sangat mudah dipenuhi, bahkan dengan potensi kekayaan alam baik berupa kekayaan hewani maupun nabati serta kemampuan sumber daya intelektual yang tidak kalah dari negara lain, putra putri Indonesia sangat mampu memproduksi berbagai macam obat, bahkan untuk menciptakan/menemukan jenis obat baru yang belum ada saat ini.

Kekayaan alam Indonesia baik berupa hewani, maupun nabati, merupakan salah satu potensi yang di dalammya mengandung berbagai kandungan obat-obatan. Menurut Prof. DR. Hembing Wijayakusuma, “terdapat sekitar 30.000 jenis tumbuh-tumbuhan obat dimiliki Indonesia. Dengan kekayaan flora tersebut, tentu Indonesia memiliki potensi untuk mengembangkan produk herbal yang berkualitas setara dengan obat modern”.

Besarnya kekayaan alam Indonesia dengan ribuan tumbuhan yang berpotensi sebagai obat herbal, tentu membutuhkan kearifan pemerintah untuk melakukan langkah-langkah dan kebijakan dalam menemukan berbagai macam obat-obatan yang berbahan dasar tumbuh-tumbuhan asli Indonesia. Hal ini tentu membutuhkan keberpihakan pemerintah dalam pengambil alihan paten obat-obatan, baik yang diperoleh dari lembaga-lembaga riset, maupun yang bersumber dari masyarakat/perorangan. Dengan demikian masalah tingginya harga obatan-obatan yang selama ini menjadi momok sebagian anggota masyakat dapat teratasi.

PEMBAHASAN

Sebagaimana yang telah dikemukakan dalam judul makalah ini: “Pentingnya Keberpihakan Pemerintah Dalam Pengambilalihan Paten Obat-Obatan Sebagai Wujud Jaminan Perlindungan Kesehatan Masyarakat”, beberapa upaya yang perlu dilakukan meliputi:

1. Pengambilalihan paten obat yang berasal dari perorang/masyarakat. Bertolak dari masih sangat tinggi/mahalnya harga obat-

obatan di Indonesia, terutama obat-obat paten yang diproduksi oleh

Page 143: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 135 |

perusahaan-perusahaan farmasi, tentu menjadi masalah bagi sebagian besar masyarakat dalam menghadapi/mengalami sesuatu penyakit, karena besar/ tingginya biaya pengobatan yang harus dikeluarkan mereka. Demikian juga halnya juga dengan pemerintah, karena harus mengalokasikan anggaran yang besar untuk tetap terselenggaranya program perlindungan jaminan kesehatan bagi setiap warganya. Hal ini sejalan dengan pernyataan Hasbullah Thabrani: “Banyak pemicu mahalnya obat di Indonesia, antara lain, bahan baku yang harus di impor, dan kolusi antara dokter dan pabrik farmasi, bahkan terkadang harga obat di rumah sakit lebih tinggi dibanding di Apotik, padahal seharusnya rumah sakit mengambil keuntungan dari jasa pelayanan kesehatan, bukan dari penjualan obat.” 171

Pernyataan di atas, lebih lanjut di kemukakan Prof. Iwan Dwi Prahasto bahwa : “Bukan rahasia lagi bahwa mereka mendapatkan insentif tak kasat mata dibalik peresepan obat merek dagang. Mereka juga kerap mendapatkan akomodasi gratis hotel berbintang lima untuk menghadiri seminar atau kongres yang didanai oleh industri farmasi. Rasionalisasinya adalah dokter perlu menambah ilmu sesuai UU Praktik Kedokteran no. 29 Tahun 2004. Kelompok dokter inilah yang sering berujar kepada pasien bahwa kalau ingin cepat sembuh jangan minum obat generik “.172

Adalah sesuatu yang ironi, disaat sebagian anggota masyarakat menghadapi keprihatinan akan biaya pengobatan, sementara ada oknum-oknum memanfaatkan kesempatan untuk memperkaya diri, yakni dengan mengeluarkan resep obat dengan obat bermerek dagang/obat paten yang diproduksi pabrik farmasi. Walaupun sesungguhnya seorang dokter cukup meresepkan obat dengan obat generik yang harga jauh lebih murah dengan daya sembuh sama dengan obat paten. Hal ini tentu sangat membantu meringankan beban biaya berobat pasien selama masa penyembuhan.

Bertolak dari mahalnya harga obat-obatan seperti yang dikemukakan di atas, Pemerintah sebagai pelaksana perintah Undang-Undang Republik Indonesia No. 13 Tahun 2016 tentang Paten,

171Hasbullah Fhabrani, Pendaftaran Paten Obat Masih kurang, diunduh tanggal 20 Juli 2017 dari http://www.hukum Online.Com

172Iwan Dwi Praharso, Harga Murah obat generik Bukan Berarti Kurang Berkasiat, diunduh tanggal 20 Juli 2017 dari http:// www.yarsi.ac.id

Page 144: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 136 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

sebagaimana tertuang dalam BAB VIII Pasal 109 ayat 1 huruf b, yang kemudian dijabarkan dalam Pasal 111, menyatakan :

Pelaksanaan Paten oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 ayat (1) huruf b, meliputi :

a. produk farmasi dan/atau bioteknologi yang harganya mahal dan/atau diperlukan untuk menanggulangi penyakit yang dapat mengakibatkan terjadinya kematian mendadak dalam jumlah yang banyak, menimbulkan kecacatan yang signifikan, dan merupakan kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang Meresahkan Dunia (KKMMD);

b. produk kimia dan/atau bioteknologi yang berkaitan dengan pertanian yang diperlukan untuk ketahanan pangan;

c. obat hewan yang diperlukan untuk menanggulagi hama dan/atau penyakit hewan yang berjangkit secara luas dan/atau

d. proses dan/atau produk untuk menanggulangi bencana alam dan/atau bencana lingkungan hidup.Bunyi pasal sebagaimana dimaksudkan di atas, sesunggunya

pemerintah memiliki kewenangan untuk mengambil alih paten obat, apabila paten obat tersebut sangat diperlukan demi penanggulangan sesuatu penyakit dan sangat dibutuhkan masyarakat. Dengan demikian obat paten yang seharus diproduksi oleh pabrik farmasi, bisa diambil alih oleh pemerintah untuk diproduksi melalui perusahaan negara agar obat tersebut berharga murah dan terjangkau oleh segenap lapisan masyarakat.

Berkenaan dengan hal tersebut di atas, dalam menekan harga obat semurah mungkin, pemerintah juga dapat melakukan pengambil alihan paten-paten obat yang masa berlakunya telah melebihi jangka waktu antara 15 sampai 20 tahun. Hal ini sebagaimana diutarakan oleh Prof. Iwan Dwi Prahasto.

“Bahwa industri farmasi biasanya memiliki hak paten untuk memasarkan obat selama 15 – 20 tahun. Obat itu lazim disebut obat originator. Setelah masa paten terlewati, industri farmasi lain boleh memproduksi obat yang kandungan zat aktifnya persis dengan obat originator. Inilah yang disebut obat salinan atau obat generik. Jika obat ini diberi nama, disebut obat bermerek dagang. Sedangkan obat salinan

Page 145: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 137 |

yang tidak ada diberi nama biasanya disebut obat generik. Apabila obat generik diberi logo perusahaan, disebut obat generik berlogo. Jadi yang disebut obat merek dagang dan obat generik pada dasarnya adalah obat generik. Tidak ada yang berbeda dalam kandungan zat aktifnya. “173

Menyimak pernyataan di atas, mengisyaratkan bahwa sesungguhnya banyak hal yang bisa dilakukan pemerintah dalam memenuhi kebutuhan masyarakat akan obat-obatan, terutama bagi pasien atau penderita sesuatu penyakit untuk membeli obat yang murah dan terjangkau bagi semua lapisan masyarakat. Sehingga tidak terdengar lagi ada pasien meninggal dunia karena ketidakmampuan untuk berobat. Atau sebuah kiasan yang sering terdengar bahwa “ Orang Miskin Dilarang Sakit”.

2. Pemanfaan Obat-obatan Tradisional Berbasis PatenIndonesia sebagai negara yang sangat kaya akan tumbuh-

tumbuhan yang mengandung berbagai macam ekstrat untuk penyembuhan penyakit seolah dibiarkan begitu saja dan tidak ada nilainya. Sementara negara lain saat ini mengalihkan metode pengobatannya dari yang modern ke tradisional. Maka tidak mengherankan jika beberapa tumbuh-tumbuhan asli Indonesia telah dipaten oleh negara lain. Brotowali yang mengandung ekstrat penyembuhan penyakit perut dan diabetes sudah dipatenkan negara jepang, kunyit sebagai penyembuh penyakit liver, sudah dipatenkan di Jerman, Temulawak di Amerika Serikat, dan bermacam-macam tumbuhan lain asli Indonesia sudah diklaim negara lain.

Belajar dari pengalaman negara Tiongkok yang berhasil mengembangkan metode pengobatan tradisional, bahkan mampu mensejajar pengobatan tradisional dengan teknologi pengobatan modern, dimana obat-obatan tradisional berupa rempah-rempah yang diolah semacam jamu telah sukses sangat berkasiat untuk menyembuhkan penyakit-penyakit akut, seperti misalnya jamu untuk mengatasi gegar otak, pendarahan/penggumpalan darah akibat benturan dikepala, dapat dengan mudah diatasi hanya dengan mengkonsumsi 1sampai 3 butir jamu. Hal ini tentu sangat luar biasa dengan kandungan senyawa yang terdapat dalam tumbuh-tumbuhan.

173Iwan Dwi Prahasto, Harga Murah Obat Generik Bukan Berarti Kurang berhasiat,diunduh tanggal 20 Juli 2017 dari http:// www.Yarsi.ac.id.

Page 146: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 138 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

Sedangkan di Indonesia, kemanfaatan dan pemanfaatan tanaman herbal terasa masih terabaikan. Buah merah/naga yang pertama kali ditemukan di Pedalaman Papua, yang disinyalir sebagai penyembuh penyakit HIV , serta 30.000 tanaman yang tersebar di seluruh pelosok tanah air luput dari perhatian pemerintah. Bukan tidak mungkin pada saatnya nanti buah merah/naga tersebut juga akan dipatenkan negara lain. Keadaan tersebut sungguh menyesakkan, disatu sisi, masyarakat menjerit dengan harga obat yang sangat mahal, sementara pemerintah hanya berkutat pada hal-hal yang sifatnya seremonial dimata dunia. Pemerintah lebih cenderung dalam memajukan dunia olah raga yang dianggap bisa mengangkat derejat dan kehormatan bangsa dimata dunia dengan tidak perduli berapapun anggaran yang dihabiskan, akan tepati untuk melakukan semacam riset/penelitian akan obat-obat yang berasal dari herbal masih sangat diabaikan

Menjawab tantangan dimasa depan dengan jumlah penduduk Indonesia yang setiap harinya terus bertambah dan saat ini telah hampir mencapai jumlah 250 juta jiwa. Sudah saatnya pemerintah melakukan berbagai terobosan-terobosan dalam menemukan obat-obat paten tradisional yang berbasis riset/penelitian. Hal ini bisa dilakukan dengan bekerja sama dengan lembaga-lembaga riset, baik yang bersifat perorangan, kelompok maupun institusi swasta.

Dimana hasil riset tersebut hasilnya diambil alih pemerintah berdasarkan kesepakatan yang mengikat mulai dari awal riset sampai pada hasil penemuan dan diproduksi sebagai obat/farmasi dengan formula baru dan pada gilirannya akan diwariskan kepada anak cucuk di masa depan.

3. Pengurusan/birokrasi Paten yang efektif dan informatifMenyadari akan arti pentingnya pendaftaran paten obat-obatan

bagi kepentingan dan kepastian hukum terhadap pihak pemilik/penemu produk obat, Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektual merumuskan beberapa langkah kebijakan strategis dalam pelaksanaan paten di Indonesia, sebagai berikut:

a. Merevisi dan menyempurnakan peraturan perundang-undangan yang telah ada di bidang paten, sesuai dengan kepentinganbangsa dan negara dengan tetap memperhatikan konvensi-konvensi internasional.

Page 147: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 139 |

b. Memasyarakatkan dan mensosialisasikan paten, baik di kalangan industriawan, pengusaha, peneliti, akademisi, maupun di berbagai lapisan masyarakat lainnya. Program sosialisasi dimaksudkan untuk menumbuhkan sikap tanggap terhadap tanda-tanda perubahan dan kesadaran akan pengaruh paten dalam kehidupan sehari-hari.Kegiatan ini dapat dilaksanakan bekerja sama dengan Perguruan Tinggi, himpunan pengusaha, LSM dan pihak-pihak lainnya , mengingat keberhasilan sistem paten hanya bisa dilakukan bersama-sama dengan anggota masyarakat.

c. Menyempurnakan administrasi pengelolaan sistem paten dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Sistem paten kontemporer harus memperhitungkan faktor otomasi. Sudah saat nya Kantor paten menerapkan sistem otomasi pengelolaan paten, sebagaimana, jepang melalui paperless sistem. Permintaan paten dapat dilakukan melalui komputer dan on line ke Kantor Paten Jepang yang berada di Tokyo.

d. Desentralisasi pendaftaran permintaan paten. Permohonan permintaan paten akan semakin mudah apabila desetralisasi perdaftaran dapat direalisasikan. Dengan mengoptimalkan Kanwil Departemen Kehakiman dan HAM di semua Propinsi untuk dapat menerima permintaan pendaftran paten, akan memberikan kemudahan pada masyarakat di daerah . Akan tetapi walaupun permintaan pendaftaran paten bisa dilakukan di daerah, akan tetapi mekanisme prosesnya tetap dilakukan di pusat;

e. Pembentukan Gugus HKI; Keberadaan organisasi pengelola HKI sangat signifikan bagi kemajuan ekonomi suatu negara yang ingin membangun perekonomian berbasis pengetahuan . Selain itu, keberadaan organisasi tersebut dapat memberikan arahan bagi peneliti agar penemuan-penemuannya dapat aplikatif terhadap kebutuhan industri dan masyarakat serta memiliki kompetitif.

f. Membantu penegakan hukum di bidang paten; Ditjen HKI telah melakukan koordinasi secara intensif dengan aparat penegak hukum dan instansi terkait, untuk meningkatkan kualitas penegak hukum di bidang HKI . Untuk itu para penegak hukum perlu meningkatkan pengetahuan dan pemahaman masyarakat di bidang HKI, sehingga dapat terwujud kerja sama yang sinergis.

Page 148: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 140 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

Disamping itu, di lingkungan Ditjen HKI juga terdapat tenaga penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang bertugas untuk membantu polisi dalam penegakan hukum HKI.174

Kebijakan pemerintah sebagaimana yang dipublikasikan oleh Direktorat jendral Hak Kekayaan Intelektual di atas, di samping untuk kepentingan perlindungan hukum yang diberikan pemerintah kepada inventor yang telah menghasilkan karya ciptanyaberupa paten, juga bertujuan untuk menumbuhkembangkan minat masyarakat terhadap teknologi yang memiliki nilai ekonomis. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan Mastur, sebagai berikut :

Ada 4 (empat) keuntungan sistem paten jika dikaitkan dengan perannya dalam meningkatkan perkembangan teknologi dan ekonomi, yaitu ;

a. Paten membantu menggalakkan perkembangan teknologi dan ekonomi suatu negara;

b. Paten membantu menciptakan suasana kondusif bagi tumbuhnya industri-industri lokal

c. Paten membantu perkembangan ilmu dan teknologi serta ekonomi negara lain dengan fasilitas lisensi;

d. Paten membantu tercapainya alih teknologi dari negara maju ke negara berkembang.

Mengingat pemberian paten terhadap sesuatu hasil karya senantiasa sarat akan kepentingan, baik antara pemegang paten dengan investor, investor dengan saingat bisnis, pemegang paten dengan konsumen, maupun pemegang paten dengan kepentingan masyarakat umum, pemerintah Indonesia sebagaimana tertuang dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016, membagi paten dalam dua jenis, yakni, paten biasa dan paten sederhana.

Adapun demi keselarasan dan keseimbangan antar berbagai kepentingan terhadap sesuatu paten, masa berlaku yang diberikan pemerintah di setiap negara berbeda-beda, tergantung kebijakan yang ditentukan menurut ketentuan undang-undang yang berlaku di masing-masing negara yang bersangkut, ada yang hanya 5 tahun, 10 tahun, 15 atau 20 tahun, semua tergantung cara pandang pemerintah

174 Op Cit. Hlm 153.

Page 149: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 141 |

terhadap sesuatu paten. Bagi pemerintah Indonesia, pemberian masa berlaku paten berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 Pasal 22 ayat (1) waktu perlindungan untuk paten biasa selama 20 tahun, dan Pasal 23 ayat (1) mengatur waktu perlindungan untuk paten sederhana selama 10 tahun dan tidak bisa diperpanjang.175

Apabila terjadi sesuatu hal yang menyebabkan pengalihan paten, baik secara keseluruhan, maupun secara sebagian, pengalihan tersebut hanya bisa dialihkan kepada ;

a. Pewarisanb. Hibahc. Wasiatd. Perjanjian (perjanjian lisensi)e. Yang dibenarkan menurut Undang-undang. Selanjutnya dalam pengalihan paten tersebut, wajib

didaftarkan pada Direktotat Jendral Hak Kekayaan Intelektual dan dicatatkan dalam daftar umum paten, dan apabila ketentuan ini diabaikan, maka proses pengalihan paten tersebut tidak sah dan batal demi hukum.

4. Pemanfaatan Perguruan Tinggi Oleh Pemerintah Dalam Menghasilkan Produk Paten Obat-Obatan berbasis PenelitianPerguruan Tinggi sebagai institusi pendidikan, merupakan

wadah para ilmuwan di berbagai latar belakang ilmu pengetahuan melakukan pendidikan dan pengajaran kepada mahasiswa. Dalam proses belajar mengajar tersebut para dosen mentranspormasikan ilmu pengetahuannya kepada mahasiswa agar kelak mereka akan pintar, berwawasan serta berilmu pengetahuan, yang pada akhirnya bermuara pada tingginya kualitas sumber daya manusia Indonesia yang terdidik, terampil dan berkepribadian.

Tri Dharma perguruan yang meliputi, aspek pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat merupakan wujud dari tugas dan tanggung jawab para dosen, baik secara internal, personal, mapun eksternal. Secara internal, para dosen dibebani tanggung jawab untuk menelurkan lulusan- lulusan perguruan tinggi berkualitas, sedangkan

175Mastur. Perlindungan Hukum Hak Kekayaan Intlektual Di Bidang Paten. Jurnal Ilmu Hukum. Cisti. Volume 6 Nomor 1 .2012. Hlm 72.

Page 150: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 142 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

secara personal, para dosen dalam mengembangkan, minat, ide dan kreativitasnya diberi kesempatan untuk melakukan berbagai penelitian, dimana dari hasil penelitian tersebut dapat bermanfaat, bukan saja terhadap dosen peneliti, akan tetapi sangat berguna bagi kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan. Sedangkan secara eksternal, para dosen dibebani tugas untuk melakukan serangkaian kegiatan pengabdian di masyarakat, baik yang bersifat motivator, inovator maupun fasilitator.

Sehubungan dengan Trilogi Perguruan Tinggi di atas, jika dikaitkan dengan peranan Perguruan Tinggi dalam penelitian/riset,dimana institusi perguruan tinggi yang dilengkapi sarana/prasarana laboratorium serta tenaga intelektual yang berkualitas, merupakan jaminan bagi temuan obat-obatan baru yang berbasis penelitian ilmiah. Sehingga mutu dan kualitas produknya mampu bersaing, bukan saja di pasaran domestik, akan tetapi mampu bersaing/ekspensi ke manca negara.

Sebagai motivator, perguruan tinggi melalui para dosen, sangat berperan dalam menumbuhkan motivasi masyarakat dan para peneliti untuk menciptakan dan menemukan obat-obatan dengan standar paten. Melalui sosialisasi yang baik dan efektif, diharapkan masyarakat, khususnya para peneliti mengetahui dan memahami akan arti dan pentingnya obat hasil penemuannya akan bermanfaat bagi kelangsungan hidup orang banyak Oleh karena itu maka perlu didaftarkan patennya. Dengan pemberian paten tersebut, secara otomatis hasil karyanya secara hukum telah terlindungi dari pihak-pihak yang ingin memanfaatkannya. Kalaupun ada pihak lain yang berkeinginan memakai patennya, harus dengan seizin si pemilik paten.

Pemberian paten terhadap sesuatu penemmuan baru, disamping bermanfaat bagi perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, secara personal merupakan:

1. Penghargaan atas suatu hasil karya penemuan baru (rewarding inventive) Dasar pemberian paten kepada sipenemu adalah berdasarkan rasa keadilan dan kelayakan atas jerih payahnya, maka patutlah ia memperoleh paten.

2. Pemberian insentif atas sebuah penemuan dan karya yang

Page 151: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 143 |

inovatif (Insentive to invent and innovative).3. Adanya insentif yang adil dan wajar untuk kegiatan penelitian dan

pengembangan agar memungkinkan pengembangan teknologi yang cepat. Insentif ini dapat diberikan kepada si penemu dengan jaminan pemberian hak yang tidak dapat diganggu gugat atas suatu penemuannya dan berhak menarik keuntungan imbalan balas jasa riil apabila penemuan tersebut dimanfaatkan dalam produksi komersil.

4. Paten sebagai sumber informasi5. Sistem paten tidak saja menjaga kepentingan sipenemu. Paten

beserta keterangan-keterangannya diterbitkan untuk umum, sehingga menjadi pengetahuan umum yang dapat merangsang penemuan berikutnya.176

Berdasarkan penjelasan di atas, menunjukkan bahwa paten memberikan berbagai keuntungan bukan saja bagi sipenemu, tetapi juga bagi pengembangan teknologi, dan kepentingan masyarakat. Oleh karena itu, Perguruan Tinggi yang diberi amanah oleh pemerintah dalam menciptakan sumber daya masyarakat (SDM) yang tinggi dan berkualitas, harus berperan aktif dalam mencetak sarjana-sarjana berkualitas, yang pada gilirannya akan menjadi tenaga ahli dalam menghasilkan produk paten berbasis penelitian.

Fungsi perguruan tinggi sebagai inovator dalam perberdayaan dan peningkatan kualitas lulusannya, sejalan dengan tugas dan tanggung jawab dosen secara personal. Hal ini bisa dipahami karena seorang dosen, disamping dibebani tanggung jawab utama sebagai pendidik, juga diberi kewajiban untuk melakukan penelitian, bahkan sangkin pentingnya penelitian tersebut, setiap dosen harus melakukan serangkaian kegiatan penelitian sebagai salah satu syarat dalam setiap kali mengajukan kenaikan pangkat/golongan. Oleh karena itu, penelitian-penelitian yang dilakukan dosen diharapkan selalu berorientasi kepada penemuan-penemuan yang berbasis paten, sehingga hasil penelitian tersebut bukan saja bermanfaat bagi dosen secara personal, tetapi dapat menjadi inovasi baru dalam rangka menemukan obat-obatan baru berkualitas yang berbasis penelitian.

176Op Cit. Hlm 69.

Page 152: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 144 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

Peran perguruan tinggi dalam menciptakan inovasi teknologi sangat mungkin bisa dilakukan, karena dengan kelengkapan fasilitas penelitian, baik berupa laboratorium maupun fasilitas lainnya akan memudahkan setiap dosen dari berbagai fakultas untuk melakukan riset/penelitian sesuai latar belakang dsiplin ilmu yang dimiliki dosen tersebut.

Peran perguruan tinggi sebagai fasilitator, dewasa ini sangat dibutuhkan masyarakat, hal ini didasarkan atas masih minimnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang paten, bahkan sebagian besar masyarakat belum mengerti apa itu paten ?, penemuan apa yang bisa dikategorikan paten ?, bagaimana cara mengurus paten ?, dimana mengurus paten

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, tentu fakultas hukum sebagai institusi yang paling mengerti dan berkompeten dalam hal pengurusan paten. Bahkan dengan disiplin ilmu hukum yang dimilikinya, setiap dosen hukum baik secara personal, maupun secara kelembagaan mampu berperan sebagai fasilitator dalam pengurusan paten. Bila perlu setiap fakultas hukum yang tersebar di setiap propinsi membuat suatu unit kerja yang berfungsi sebagai lembaga bantuan perlindungan hak kekayaan intelektual, sehingga bagi pihak-pihak yang memerlukan bantuan dalam pengurusan paten, mulai dari konsultasi masalah paten, pendaftaran paten sampai pada proses pendiskripsian hasil penemuan dapat terlayani dengan baik. Dengan demikian peranan perguruan tinggi terhadap masyarakat dalam menghasilkan produk paten berbasis penelitian, benar-benar dirasakan manfaatnya, baik bagi masyarakat secara umum, maupun pemerintah sebagai mitra dalam menemukan paten obat-obatan yang berbasis penelitian ilmiah.

DAFTAR PUSTAKA

Ana Nisa Fitriati, Urgensi Pengaturan Khusus Lisensi Paten Tentang Alih Tehnologi Pada Perusahaan Joint Venture . 2014

Direktorat Paten, Direktorat Jendral HaKI departemen hukumm Dan Perundang-undangan Republik Indonesia, 2000.

Purba, A, Zen Umar, Hak kekayaan Intlektual Pascca Trips, PT. Alumni Bandung, 2005.

Page 153: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 145 |

Mastur, Perlindungan Hukum Hak Kekayaan Intelektual dibidang Paten. 2012

Ok, Saidin, Aspek Huku Hak Kekayaan Intlektual (Intlectual property Rights). Rajawali Pres , Jakarta. 2013

Syihabuddin, Beberapa Permasalahan Penerapan Paten Dan Upaya untuk membangun sistemm Paten Indonesia yang efektif,Wajar, Dan Realistis .2001

Waspiah, Perlindungan Hukum melalui Pendaftaran Paten Sederhana Pada Inovasi Teknologi Tepat Guna .2011

Yayasan Klinik HaKI. Kompilasi Undang-undang Hak ipta, Paten, Merek Dan Terjeahan Konvensi-Konvensi Di Bidang Hak Atas kekayaan Intlektual (HaKI ). Seri A itra Aditya bakti Bandung.1999.

Hasbullah Fhabrani, Pendaftaran Paten Obat Masih kurang, diunduh tanggal 20 Juli 2017 dari http://www.hukum Online.Com

Iwan Dwi Praharso, Harga Murah obat generik Bukan Berarti Kurang Berkasiat, diunduh tanggal 20 Juli 2017 dari http:// www.yarsi.ac.id

Page 154: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 146 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

arBItratION as a sINGLE COUrt tO sEttLE tHE PrIVatE DIsPUtE, CrItICIsM Of aCt NUMBEr 20 YEar 2016

aBOUt traDEMarK aND GEOGraPHIC INDICatION

Theresia N.A NarwadanFakultas Hukum Universitas Pattimuraemail: [email protected]

ABSTRACT

In Indonesia, the history of trade mark’s protection was started on 1912. The Government of Hindia Belanda was made a regulation which protected industrial property rights. Its named Reglement Industriele Eigendom Kolonien Staatsblaad 1912 Nomor 545 juncto Staatsblad 1913 Nomor 214. At the next periode, on 1992 was borned The Trademark Act Number 19 Year 1992 which was made by The Government Of Indonesia. The Trademark Act Number 19 Year 1992 was revised on 1997. In 2001, Indonesia was renewed the trademark’s regulation by making Act Number 15 Year 2001, and on 2016 Indonesia was published the newest regulation which protect trade mark. Its called Act Number 20 Year 2016 about Trade Mark And Geographic Indication.

Actually, Act Number 20 Year 2016 about Trade Mark And Geographic Indication give the opportunity to settle the dispute not only through the The Trade Court but also through The General Court. At the fact which shown, eventhough the trade mark’s protection in Indonesia was started before the Independence day of Republic of Indonesia, eventhough Indonesia had ratified Paris Convention, and eventhough Indonesia has made a regulation which protect trademark repeatedly, but on the contrary, the trade mark infringement are increase.

The Trade Court which should be an entity what give a justice to the people, but on the other side The Trade Court often give injustice punishment. Its show that the concept of settle the dispute through Trade Court does not work. According to my opinion, Indonesia should loking for another solution to settle the trademark’s dispute which could give justice to the people.

Key words: trademark’s protection, dispute, arbitration.

Page 155: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 147 |

PENDAHULUAN

Salah satu cabang Hak atas Kekayaan Intelektual adalah Merek. Asal usul Merek berpangkal di sekitar abad pertengahan di Eropa, pada saat perdagangan dengan dunia luar mulai berkembang. Fungsi merek semula untuk menunjukan asal produk yang bersangkutan. Baru setelah dikenal metode produksi massal dan dengan jaringan distribusi dan pasar yang lebih luas dan kian rumit, fungsi Merek berkembang menjadi seperti yang dikenal sekarang ini 177.

Seiring dengan semakin pesatnya perkembangan perdagangan barang dan jasa antarnegara, maka diperlukan adanya pengaturan yang bersifat internasional yang memberikan jaminan perlindungan dan kepastian hukum di bidang Merek. Pada tahun 1883 berhasil disepakati Paris Convention for the Protection of Industrial Property (Paris Convention), yang didalamnya mengatur mengenai perlindungan Merek. Konvensi ini disusul dengan Perjanjian Madrid dan Konvensi Hague serta perjanjian Lisabon. Dari seluruh konvensi tersebut yang menjadi dasar perlindungan Merek adalah konvensi Paris.178

Di Indonesia terdapat Undang-undang Merek nomor 21 tahun 1961 yang menggantikan Reglement Industriele Eigendom Kolonien Staatsblaad 1912 Nomor 545 juncto Staatstblaad 1913 Nomor 214. Perkembangan berikutnya pada tahun 1992 lahirlah undang-undang merek baru yang kemudian direvisi pada tahun 1997, dan juga pada tahun 2001 dengan menyesuaikan terhadap Trade Related Aspects of Intelectual Property Rights.

Reputasi atau itikad baik dalam dunia bisnis dipandang sebagai kunci sukses atau kegagalan dari sebuah perusahaan. Banyak pelaku usaha berjuang untuk mendapatkan dan menjaga reputasi mereka dengan mempertahankan kualitas produk dan memberikan jasa terbaik kepada para konsumen. Pebisnis dengan sengaja memasang iklan untuk membangun reputasi produk maupun untuk mengenalkan produk baru di pasaran dan mempertahankan reputasi produk yang sudah ada sebelumnya.

Merek sangatlah penting dalam dunia periklanan dan pemasaran karena publik sering mengaitkan suatu image, kualitas atau reputasi

177Rachmadi Usman, 2003:305178Endang Purwaningsih, 2012:51

Page 156: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 148 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

barang dan jasa dengan Merek tertentu. Sebuah Merek dapat menjadi kekayaan yang sangat berharga secara komersial. Passing off melindungi pemilik reputasi dari pihak-pihak yang akan membonceng keberhasilan mereka, sehingga para pembonceng tidak dapat lagi menggunakan Merek, kemasan, atau indikasi lain yang bisa mendorong konsumen yakin bahwa produk yang dibeli oleh mereka adalah produk dari merek terkenal.

Menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, pengertian Merek adalah ‘tanda yang dapat ditampilkan secara grafis berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna, dalam bentuk 2 (dua) dimensi dan/atau 3 (tiga) dimensi, suara, hologram, atau kombinasi dari 2 (dua) atau lebih unsur tersebut untuk membedakan barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh orang atau badan hukum dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa’.

Secara etimologi passing off berasal dari idiom pass off yang berarti menipu, menghilangkan, sehingga passing off berarti penipuan, penghilangan. Berkaitan dengan merek, passing off sebagai pranata yang dikenal dalam Common Law sering diartikan sebagai tindakan pemboncengan reputasi suatu merek untuk mendapatkan keuntungan bagi pihak yang melakukan tindakan tersebut.

Pelanggaran terhadap Merek yang kerap dilakukan adalah dengan memasang Merek, logo, dan bahan persis dengan yang asli, sekarang penggunaan Merek yang mirip dengan Merek lain yang sudah terdaftar serta penggunaan Merek yang sama dan atau mirip dengan Merek lain sehingga menimbulkan kesalahan persepsi di benak masyarakat. Indonesia menjadi negara terbesar keempat dalam tingginya angka pembajakan hak kekayaan intelektual.

Berdasarkan laporan lembaga pengawasan dari Amerika Serikat yakni USTR (United States Trade Representative), Indonesia masuk dalam negara empat besar dalam tingginya angka pembajakan di dunia. Pelanggaran tersebut mayoritas berasal dari pelanggaran hak atas merek atas beredarnya merek-merek palsu di Indonesia.

Beberapa contoh kasus merek, Hotel Inter-Continental yang bermarkas di Atlanta, Georgia, Amerika Serikat menggugat PT Lippo Karawaci Tbk sebagai pemilik apartemen The Inter-Continental yang

Page 157: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 149 |

berada di Karawaci, Tangerang. Di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus), gugatan ini ditolak, dan memenangkan PT Lippo Karawaci Tbk. Namun di tingkat kasasi PT Lippo Karawaci Tbk kalah, sebab Mahkamah Agung pada November 2011 mengabulkan permohonan kasasi perusahaan Hotel Inter-Continental yang bermarkas di Atlanta, Georgia, Amerika Serikat tersebut. Perusahaan perhotelan juga sempat bersengketa dengan nama ‘HOLIDAY’. Kata tersebut dipermasalahkan antara Holiday Inn dan Holiday Inn Resort milik Six Continents Hotel dengan merek Holiday Resort Lombok milik PT Lombok Seaside. Di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, Six Continents Hotel memenangkan gugatan. Namun di tingkat Kasasi, Mahkamah Agung menyatakan kata ‘HOLIDAY” tidak bisa dimintakan hak atas merek karena bersifat umum, bukan milik perorangan, sehingga Six Continents Hotel dinyatakan kalah.

Tidak hanya itu, kasus Pierre Cardin yang berasal dari Perancis mengajukan gugatan ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Pierre Cardin Perancis menggugat seorang WNI karena menggunakan merek yang sama. Pihak Penggugat mendalilkan bahwa dirinya merupakan desainer dunia yang memulai usaha sejak tahun 1950. Kemudian, pada tahun 1954 membuat pakaian wanita dan women ready to wear untuk Departement Store Printemps pada tahun 1959. Kemudian, Pierre Cardin melakukan expansi pasar dengan melakukan tur ke Jepang dan merancang busana untuk Pakistan International Airlines. Pierre Cardin juga mendapatkan award, yaitu Superstar Award dari Fashion Group International selama enam dekade. Pierre Cardin Perancis mendaftarkan merek di Indonesia melalui Kementerian Hukum dan HAM dengan nomor Merek IDM000192198 pada tahun 2009, kemudian diperpanjang pada tahun 2014. Selain di Indonesia, Pierre Cardin mendaftarkan mereknya di negara seperti Australia, Brasil, Hongkong, Jepang, Denmark, Korea, Italia, Malaysia, Amerika Serikat, Prancis, dan Singapura. Majelis menolak gugatan yang diajukan oleh Pierre Cardin Prancis. Hal tersebut lantaran Pierre Cardin lokal memiliki pembeda dengan selalu mencantumkan kata-kata ‘Product by PT Gudang Rejeki’. Menurut Majelis Hakim, merek tersebut tidak menbonceng ketenaran dari merek lain. Selain itu, dalam pertimbangannya hakim juga menyatakan bahwa gugatan yang diajukan oleh Pierre Cardin Perancis sudah daluarsa, dimana batas

Page 158: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 150 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

daluarsa untuk diajukannya gugatan mengenai merek adalah 5 tahun. Pierre Cardin lokal mendaftarkan merek pada tahun 2010, sedangkan Pierre Cardin Perancis pada 2015.

Sesungguhnya Pierre Cardin dari Perancis merupakan merek dagang yang sudah terkenal di berbagai negara, dan perlindungan terhadapnya diatur di dalam Konvensi Paris. Tanpa harus membuktikan adanya iktikad baik, etika, moral maka seharusnya pendaftaran merek Pierre Cardin milik tergugat tidak dapat dibenarkan.

Untuk lebih meningkatkan pelayanan dan memberikan kepastian hukum bagi dunia industri, perdagangan, dan investasi dalam menghadapi perkembangan perekonomian lokal, nasional, regional, dan internasional, serta perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, maka perlu didukung oleh suatu peraturan perundang-undangan di bidang Merek dan Indikasi Geografis yang lebih memadai. Hal inilah yang membuat Pemerintah kembali mensahkan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek Dan Indikasi Geografis pada tanggal 26 November 2016, sebagai dasar hukum perlindungan merek di Indonesia. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2016 ini membuka peluang untuk menyelesaikan sengketa merek tidak saja melalui Pengadilan Niaga, akan tetapi juga dapat menyelesaikan sengketa melalui Pengadilan Negeri. Akan tetapi, walaupun perlindungan merek di Indonesia telah berlangsung sejak pra kemerdekaan, bahkan Indonesia telah meratifikasi Paris Convention. Indonesia juga telah berulang kali memperbaharui Undang-undang tentang Merek seperti yang telah dijelaskan di atas, akan tetapi di sisi lain, tingkat pelanggaran merek semakin justru semakin meningkat, bahkan Pengadilaan Niaga yang seharusnya menjadi tempat orang mencari keadilan kerap memberikan putusan yang justru tidak mencerminkan keadilan.

Artinya, konsep menyelesaikan sengketa melalui Pengadilan yang selama ini dikenal di Indonesia, tidak efektif melindungi pemilik hak atas merek, khususnya pemilik hak atas merek terkenal, selain itu Pengadilan di Indonesia juga tidak mampu memberikan rasa keadilan bagi para pihak sehingga seharusnya mulai dicari alternatif lain untuk menyelesaikan sengketa merek yang dapat memberikan rasa keadilan kepada masyarakat.

Page 159: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 151 |

PERMASALAHAN

Dapatkah Arbitrase asing menjadi satu-satunya jalan dalam menyelesaikan sengketa hak atas merek secara perdata?

HASiL DAN PEMBAHASAN

Dasar Hukum dan Ruang Lingkup Merek Di indonesia

Menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, pengertian Merek adalah ‘tanda yang dapat ditampilkan secara grafis berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna, dalam bentuk 2 (dua) dimensi dan/atau 3 (tiga) dimensi, suara, hologram, atau kombinasi dari 2 (dua) atau lebih unsur tersebut untuk membedakan barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh orang atau badan hukum dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa’.

Selain menurut batasan juridis, ada beberapa sarjana yang juga memberikan pendapatnya tentang merek, yaitu:

1. H.M.N. Purwosutjipto, memberikan rumusan bahwa, Merek adalah sutau tanda, dengan mana suatu benda tertentu dipribadikan, sehingga dapat dibedakan dengan benda lain yang sejenis.

2. R. Soekardono, memberikan rumusan bahwa, Merek adalah sebuah tanda ( Jawa: siri atau tengger) dengan mana dipribadikan sebuah barang tertentu, dimana perlu juga dipribadikan asalnya barang atau menjamin kualitas barang dalam perbandingan dengan barang-barang sejenis yang dibuat atau diperdagangkan oleh orang-orang atau badan-badan perusahaan lain.

3. Essel R. Dillavou, sebagaimana dikutip oleh Pratasius Daritan, merumuskan seraya memberikan komentar bahwa, tidak ada definisi yang lengkap yang dapat diberikan untuk suatu merek dagang, secara umum adalah suatu lambang, simbol, tanda, perkataan atau susunan kata-kata di dalam bentuk suatu etiket yang dikutip dan dipakai oleh seorang pengusaha atau distributor untuk menandakan barang-barang khususnya, dan tidak ada orang lain mempunyai hak sah untuk memakainya desain atau trade mark menunjukkan keaslian tetapi sekarang itu dipakai

Page 160: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 152 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

sebagai suatu mekanisme periklanan. Berdasarkan pendapat-pendapat sarjana tersebut, maupun

dari peraturan merek itu sendiri, secara umum dapat diambil suatu kesimpulan bahwa yang diartikan dengan perkataan merek adalah suatu tanda (sign) untuk membedakan barang-barang atau jasa yang sejenis, juga sebagai jaminan atas mutunya, dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.

Undang-undang nomor 20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis mengatur tentang jenis-jenis merek, yaitu sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 butir 2 dan 3 adalah merek dagang dan merek jasa. Menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, merek dapat dibedakan dalam beberapa macam, antara lain:

a. Merek Dagang a dalah merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang/beberapa orang/badan hukum untuk membedakan dengan barang sejenis.

b. Merek Jasa adalah merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh seseorang/beberapa orang/badan hukum untuk membedakan dengan jasa sejenis.

c. Merek Kolektif adalah merek yang digunakan pada barang/jasa dengan karakteristik yang sama mengenai sifat, ciri umum, dan mutu barang dan/atau jasa serta pengawasannya yang akan diperdagangkan oleh beberapa orang atau badan hukum secara bersama-sama untuk membedakan dengan barang dan/atau jasa sejenisnya lainnya.Fungsi merek dapat dilihat dari sudut produsen, pedagang, dan

konsumen. Dari segi produsen merek digunakan un tuk jaminan nilai hasil produksinya, khususnya mengenai kualitas, kemudian pemakaiannya. Dari pihak pedagang, merek digunakan untuk mempromosikan barang-barang dagangannya guna mencari dan meluaskan pasaran. Sementara dari pihak konsumen, merek digunakan untuk mengadakan pilihan atas barang maupun jasa yang akan dibeli.

Adanya suatu kepentingan pandaftaran merek merupakan kepentingan hukum bagi pemilik maupun pemegang hak merek untuk memberikan suatu jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum terhadap merek yang dimilikinya. Hal tersebut untuk mengantisipasi

Page 161: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 153 |

kemungkinan pelanggaran hukum atas merek yang terjadi di Indonesia, walaupun pada prinsipnya perlindungan tersebut diberikan sejak tanggal penerimaan dan merek tersebut tidak memiliki daya pembeda, memiliki persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan apa yang telah ada sebelumnya. Dengan demikian perlindungan terhadap merek secara konkrit terwujud apabila telah terdaftar pada instansi yang berwenang mengurus bidang hak kekayaan intelektual. Maka dari itu perlindungan lebih mudah dilakukan bila suatu merek terdaftar, artinya setiap merek terdaftar perlu didaftarkan agar memudahkan pemberian perlindungan terhadap merek tersebut.

Sesungguhnya peraturan perundangan-undangan di Indonesia telah memberi banyak jalan untuk menyelesaikan sengketa hak atas merek, berdasarkan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2016 penyelesaian sengketa hak atas merek dapat dilakukan dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Niaga, melalui arbitrase, melalui alternatif penyelesaian sengketa, maupun melalui Pengadilan Negeri. Secara konvensional, penyelesaian sengketa biasanya dilakukan secara Litigasi atau penyelesaian sengketa di muka pengadilan. Dalam keadaan demikian, posisi para pihak yang bersengketa sangat antagonistis (saling berlawanan satu sama lain) Penyelesaian sengketa bisnis model ini semestinya tidak direkomendasaikan. Kalaupun akhirnya ditempuh, penyelesaian itu semata-mata hanya sebagai jalan yang terakhir (ultimatum remedium) setelah alternatif lain dinilai tidak membuahkan hasil. Secara filosofis Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum atau sumber tertib hukum bagi Negara Republik Indonesia telah mengajarkan bangsa Indonesia untuk bermusyawarah terlebih dahulu saat menemukan konflik dengan sesama. Hal ini sesungguhnya justru bertentangan dengan jiwa dari penyelesaian sengketa melalui Pengadilan, karena sifat Pengadilan yang terbuka dan dibuka untuk umum, sehingga tentu saja, setiap sengketa yang terjadi diantara para pihak telah diketahui oleh orang banyak. Selain itu, Pancasila sebagai jiwa Bangsa Indonesia, lahir bersamaan dengan adanya Bangsa Indonesia yaitu pada jaman Sriwijaya dan Majapahit.

Dalam tata hukum Indonesia, Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum, di samping menempatkan Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia. Bahwa sumber tertib hukum Indonesia adalah pandangan hidup, kesadaran, dan cita-cita hukum serta cita-cita

Page 162: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 154 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

moral yang meliputi suasana kejiwaan serta watak bangsa Indonesia. Pancasila sebagai dasar negara merupakan unsur pokok dalam kaidah negara yang fundamental, merupakan norma hukum yang pokok, sehingga semua perundang-undangan yang ada baik tertulis maupun tidak tertulis tidak boleh bertentangan dengan Pancasila yang berisi nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.Artinya Pancasila dipergunakan sebagai petunjuk hidup sehari-hari, sehingga secara filosofis, memilih untuk menyelesaikan sengketa melalui prosedur Arbitrase yang tertutup untuk umum, menurut pendapat penulis, justru sejalan dengan jiwa Pancasila itu sendiri yang menginginkan harmoni dan ketenangan dalam menyelesaikan sengketa yang timbul diantara para pihak.

Ditinjau dari sistem hukum buku ketiga Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang bersifat terbuka, artinya seseorang diperbolehkan membuat perjanjian walaupun perjanjian itu belum (atau tidak) diatur dalam undang-undang. Dengan kata lain, ketentuan-ketentuan di dalam buku ketiga Kitab Undang-undang Hukum Perdata tentang Perikatan dapat disimpangi oleh para pihak. Pihak yang berkepentingan dapat membuat ketentuan-ketentuan sendiri yang menyimpang dari buku ketiga Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Dengan demikian buku ketiga Kitab Undang-undang Hukum Perdata bersifat sebagai hukum pelengkap atau aanvullen recht. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek Dan Indikasi Geografis, sesungguhnya berada di wilayah buku ketiga Kitab Undang-undang Hukum Perdata tentang Perikatan. Sehingga, jika para pihak yang terikat perjanjian seperti yang diatur di dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2016 bermaksud untuk menyelesaikan sengketa yang dialaminya melalui Arbitrase asing dan mengabaikan penyelesaian sengketa melalui Pengadilan Niaga, maka berdasarkan sifat buku ketiga yang telah dijelaskan di atas, para pihak tersebut tidaklah melanggar hukum.

Selain itu, diketahui bahwa ternyata dari contoh-contoh yang telah diberikan di bagian pendahuluan dari tulisan ini, bahwa Pengadilan Niaga ternyata tidak mampu memberikan rasa keadilan seperti yang diharapkan oleh para pihak.

Page 163: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 155 |

Hak Atas Merek Berdasarkan Konvensi

Indonesia juga tergabung sebagai anggota dari Paris Convention for the Protection of Industrial Property (Paris Convention) yang kemudian diratifikasi melalui Keputusan Presiden No. 15 Tahun 1997. Selain tergabung di dalam organisasi tersebut, Indonesia juga menandatangani beberapa perjanjian/agreement, salah satunya yang terbaru adalah TRIPs Agreement (Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights) yang merupakan perjanjian yang paling komprehensif dalam bidang hak kekayaan intelektual, dimana semua negara anggota World Trade Organization terikat oleh TRIPs Agreement tersebut.

Pasal 1 dari Konvensi Paris menyatakan bahwa:

1. Negara-negara yang memberlakukan perjanjian ini adalah merupakan anggota negara Persatuan bagi perlindungan hak atas kekayaan industri.

2. Perlindungan hak atas kekayaan industri adalah bagian dari objek paten yang meliputi antara lain utility model, desain industri, merek dagang, merek jasa, nama dagang, indikasi sumber atau sebutan/gelar asal serta pengekangan persaingan tidak sehat.

Pasal 2 dari Konvensi Paris menyatakan bahwa:

1. Dalam hal perlindungan hak atas kekayaan industri, bagi warga negara dari negara anggota Persatuan berhak untuk seluruh negara anggota Persatuan lainnya atas manfaat atau keuntungan yang mereka jamin saat ini atau jaminan setelah ini dengan semua warga negara, tanpa mengesampingkan hak-hak khusus yang telah ditetapkan. Karenanya, warga negara tersebut memiliki hak yang sama terhadap perlindungan yang baru saja disebut, dan perlakuan hukum yang sama atas pelanggaran yang terjadi terhadap hak-haknya, sepanjang bahwa syarat dan fomalitas yang ditetapkan terhadap warga negara tersebut dipenuhi.

2. Dengan demikian tidak ada persyaratan untuk berdomisili atau tinggal menetap di negara dimana perlindungan tersebut diberikan yang dapat ditetapkan terhadap warga negara dari anggota Persatuan dalam menikmati hak-hak kekayaan industri.

Page 164: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 156 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

Pasal 3 dari Konvensi Paris menyatakan bahwa:

Warga negara yang bukan dari negara anggota Persatuan yang bertempat tinggal atau yang memiliki perusahaan dagang dan industri yang efektif dan nyata di wilayah salah satu dari negara anggota Persatuan harus diperlakukan sama dengan warga negara yang berasal dari negara anggota Persatuan.

Pasal 6 dari Konvensi Paris menyatakan bahwa:

Suatu merek yang didaftar secara wajar di suatu negara anggota Persatuan harus dianggap sebagai merek terdaftar yang independen di negara-negara lain dari anggota Persatuan, termasuk dalam negara asal merek tersebut.Sebagai konsekuensi dari ratifikasi Konvensi Paris ini, maka

seharusnya Pengadilan Niaga menerima gugatan Pierre Cardin, dan bukannya beralasan bahwa gugatan Pierre Cardan sudah daluarsa.

Arbitrase Sebagai Lembaga Penyelesaian Sengketa Hak Atas Merek

Penggunaan lembaga arbitrase sebagai pilihan tempat penyelesaian sengketa bisnis pada umumnya lebih didasarkan pada pertimbangan ekonomis daripada pertimbangan yuridis, hal ini karena proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase menurut kalangan pelaku usaha lebih bersifat menguntungkan dibandingkan dengan proses penyelesaian sengketa melalui lembaga litigasi di Pengadilan.

Proses penyelesaian sengketa secara konvensional dengan cara Litigasi di Pengadilan dirasakan para pelaku bisnis kurang efektif dan efisien, hal ini karena dianggap dunia peradilan belum melaksanakan tugas sebagaimana mestinya, proses sengketa memakan waktu yang panjang karena adanya proses pemeriksaaan banding, kasasi dan peninjauan kembali, bersifat formalistik dan sangat teknis, dapat menimbulkan permusuhan diantara para pihak yang bersengketa, cenderung menimbulkan masalah baru, biaya tinggi bahkan akhirnya kemenangan perkara seringkali bersifat hanya di atas kertas, sehingga para pelaku bisnis mencari cara-cara lain yang dirasakan dapat merespons kepentingan mereka dalam menyelesaikan sengketa bisnis yang mereka hadapi melalui alternatif penyelesaian sengketa di luar proses litigasi di pengadilan.

Page 165: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 157 |

Arbitrase bertujuan untuk:

1. Menyelesaikan sengketa hukum di luar pengadilan untuk keuntungan para pihak yang bersengketa.

2. Mengurangi biaya litigasi konvensional dan pengunduran waktu yang biasa terjadi.

3. Mencegah terjadinya sengketa hukum yang biasanya diajukan ke pengadilan. Keinginan para pihak yang bersengketa untuk sungguh-

sungguh menyelesaikan sengketanya dengan iktikad yang baik. Dengan kesungguhan niat tersebut harus pula diikuti bahwa mereka telah menutup peluang untuk menyelesaikan sengketa melalui Pengadilan. Memang terasa sulit untuk dapat diwujudkan oleh masing-masing pihak akan kesadarannya untuk meniadakan beda pendapat. Mungkin pada awalnya kedua hal di atas ada pada diri mereka. Namun pada umumnya kendala yang sering ditemukan, karena sifat orang cenderung merasa dirinya paling benar sendiri. Kemudian orang kurang atau tidak mau mendengar apa yang disampaikan pihak lawan dan lebih cenderung mudah menyalahkan orang lain. Ketika pihak yang bersengketa dapat bertemu untuk menyelesaikan sengketa, sering terjadi masing-masing pihak kurang menguasai diri dalam berdialog.

Setiap lembaga kemasyarakatan selalu tidak terlepas dari kelebihan dan kelemahannya, hal ini juga dimiliki oleh lembaga Arbitrase. Kelebihan lembaga Arbitrase, antara lain:

a. Sengketa dapat diselesaikan dengan lebih cepat, apabila para pihak memiliki kesungguhan dan beritikad baik dalam menyelesaikan sengketanya.

b. Arbiter yang menyelesaikan sengketa adalah orang yang sungguh ahli dibidangnya, sehingga diharapkan keputusan yang dihasilkan dapat lebih baik disbanding jika sengketa diselesaikan melalui Pengadilan.

c. Para pihak saling menjamin kerahasian sengketa.d. Masing-masing pihak merasa puas atas hasil yang dicapai.e. Biaya yang dikeluarkan lebih murah, jika dibandingkan dengan

menyelesaikan sengketa melalui Pengadilan.

Page 166: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 158 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

Kelemahan Arbitrase adalah arbitrase misalnya yang tak mengenal konsep yurisprudensi sehingga memungkinkan terjadinya perbedaan putusan dalam perkara yang hampir serupa pokok perkaranya. Akan tetapi seperti yang telah dikemukakan di bagian Pendahuluan dari penulisan ini, bahwa di tingkat Kasasi pun terjadi perbedaan putusan dalam perkara yang hampir serupa pokok perkaranya, seperti yang dialami oleh dalam kasus Inter Continental, dan Holiday Inn.

Pada dasarnya, penyelesaian sengketa melalui arbitrase dapat dilakukan dengan menggunakan lembaga arbitrase nasional atau internasional berdasarkan kesepakatan para pihak. Penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase ini dilakukan menurut peraturan dan acara dari lembaga yang dipilih, kecuali ditetapkan lain oleh para pihak.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menganut asas teritorial dalam menentukan apakah suatu putusan arbitrase termasuk dalam putusan arbitrase nasional atau internasional. Dalam Pasal 1 angka 9 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, telah ditentukan sebagai berikut: ‘Putusan arbitrase internasional adalah putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia, atau putusan suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan arbitrase internasional’.

Dengan demikian maka menurut frase “di luar wilayah hukum Republik Indonesia” tersebut, seluruh putusan arbitrase yang dijatuhkan di luar wilayah Republik Indonesia kedudukannya menjadi Putusan Arbitrase Internasional. Sehingga dalam pelaksanaannya, merujuk kepada ketentuan dalam Pasal 65 hingga Pasal 69 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Sedangkan berdasarkan frase “yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan arbitrase internasional”, hingga saat ini belum ada ketentuan hukum Republik Indonesia yang mengatur mengenai hal tersebut. Sehingga penentuan

Page 167: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 159 |

suatu putusan arbitrase dapat dikategorikan sebagai putusan arbitrase Nasional atau Internasional, didasarkan pada di negara mana putusan tersebut dijatuhkan.

Kesepakatan atau aturan main yang perlu disepakati dalam arbitase tersebut adalah menyangkut pilihan hukum (choice of law), pilihan forum (choice of jurisdiction) dan pilihan domisili (choice of domicile). Dalam kontrak - kontrak berdimensi internasional, penentuan pilihan hukum (choice of law) adalah sangat penting untuk menghindarkan terjadinya conflict of law, mengingat para pihak yang terlibat, tempat transaksi dan sistem hukum yang terkait, tempat transaksi dan sistem hukum yang terkait berbeda - beda dan bahkan mungkin bertentangan atau berkebalikan antar satu yurisdiksi hukum dengan yurisdiksi hukum lainnya. Bahkan sekalipun choice of law telah ditetapkan dalam suatu kontrak atau perjanjian, hukum perdata internasional tetap menyisakan persoalan-persoalan mendasar dalam proceedings suatu perkara. Hal ini berakar dari perbedaan kualifikasi antara berbagai sistem hukum perdata internasional di dunia.

Urgensi Penyelesaian Sengketa Hak Atas Merek Melalui Arbitrase Asing

Pengakuan sistem peradilan di Indonesia akan arbitrase telah berlangsung sejak jaman kolonial. Keberadaan arbitrase sebagai salah satu alternatif dalam penyelesaian sengketa keperdataan telah mendapat pengakuan formal yuridis dalam sistem hukum Indonesia. Jejak aturan-aturan tersebut antara lain dapat dilihat pada pasal 377 HIR, Pasal 3 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1968 tentang Penyelesaian Perselisihan Antara Negara Dan Warga Negara Asing Mengenai Penanaman Modal, Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 1999 dan juga dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Menurut Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang dimaksud dengan arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Adapun perjanjian arbitrase diartikan sebagai suatu kesepakatan berupa klausul arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul

Page 168: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 160 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa.

Konvensi New York 1985 yaitu Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award (konvensi atas pengakuan atas pelaksanaan putusan arbitrase luar negeri) yang telah diterima oleh Indonesia melalui Keputusan Presiden No. 34 Tahun 1981 merupakan pengakuan resmi arbitrase internasional dalam sistem tata hukum nasional di Indonesia.

Pokok-pokok materi yang diatur dalam konvensi tersebut antara lain adalah :

a. Arti putusan arbitrase asing, yaitu putusan-putusan arbitrase yang dibuat di wilayah negara lain dari negara tempat di mana diminta pengakuan dan pelaksanaan eksekusi atas putusan arbitrase yang bersangkutan.

b. Asas resiprositas, berarti penerapan pengakuan dan pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase asing dalam suatu negara atas permintaan dari negara lain, hanya dapat diterapkan apabila antara negara yang bersangkutan telah lebih dulu memiliki hubungan ikatan bilateral atau multiteral.

c. Pembatasan sepanjang sengketa dagang, negara peserta membatasi penaklukan diri hanya terhadap pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing, sepanjang mengenai persengketaan bisnis dan perdagangan.

d. Berbentuk tertulis, yakni perjanjian atau klausula harus ditetapkan secara tertulis.

e. Arbitrase memiliki kompetensi absolut, artinya sekali para pihak membuat persetujuan penyelesaian perselisihan melalui arbitrase, sejak saat itu arbitrase telah memiliki kompetensi absolut utuk memutus persengketaan yang timbul dari perjanjian yang bersangkutan.

f. Putusan arbitrase, final and binding, artinya sebagai putusan yang mengikat dan final serta harus melaksanakan eksekusi menurut aturan hukum acara yang berlaku dalam wilayah negara di mana putusan arbitrase yang bersangkutan dimohon eksekusi.

g. Eksekusi tunduk pada asas ius sanguinis, atau asas personalitas,

Page 169: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 161 |

yaitu tata cara pelaksanaan eksekusi tunduk pada pengadilan dimana permohonan eksekusi diajukan.

h. Dokumen yang dilampirkan pada permohonan pengakuan eksekusi, meliputi seluruh dokumen sebagai dasar terbitnya putusan arbitrase tersebut.

i. Penolakan eksekusi, dapat dimungkinkan apabila :1) Masalah yang disengketakan menurut hukum dari negara di

tempat mana permohonan diajukan, tidak boleh diselesaikan menurut forum arbitrase

2) Pengakuan dan eksekusi putusan arbitrase asing yang bersangkutan akan menimbulkan pertentangan dengan kepentingan umum.

Makna arbitrase yang menjadi pilihan para pihak dalam kontrak adalah:

a) Arbitrase merupakan suatu mekanisme penyelesaian sengketa yang dipilih oleh para pihak.

b) Arbitrase merupakan pranata swasta (private tools) atau ekstra-judicial atau mekasnisme penyelesaian diluar pengadilan.

c) Eksistensi arbitrase adalah pada prinsip kemandirian yang dimilikinya.

d) Sumber atau dasar hukum jurisdiksi dan ruang lingkup arbitrase ditentukan dan dibatasi oleh kehendak para pihak sendiri, dalam arti pada pihak yang bersengketa dapat menentukan sendiri aturan hukum yang akan diberlakukan, dengan prosedur atau hukum acara apa, maupun dapat menyepakati lain dengan cara bagaimana arbitrase dijalankan.Indonesia juga memiliki lembaga arbitrase yakni Badan Arbitrase

Nasional Indonesia, namun untuk bidang hak kekayaan intelektual, bahkan sejak tahun 2012 telah dibentuk lembaga arbitrase yang khusus menangani masalah hak kekayaan intelektual, yakni Badan Arbitrase Dan Mediasi Hak Kekayaan Intelektual, namun lima tahun sejak dibentuk Badan Arbitrse Dan Mediasi Hak Kekayaan Intelektual ini belum memutuskan perkara di bidang hak kekayaan intelektual itu sendiri. Sementara itu, di sisi lain dengan pembentukan Badan Arbitrase Dan Mediasi Hak Kekayaan Intelektual, maka sengketa hak kekayaan intelektual bukan lagi menjadi yurisdiksi dari Badan Arbitrse Nasional

Page 170: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 162 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

Indonesia. Berdasarkan aturan normatif apabila para pihak sepakat untuk melalui arbitrase, sesungguhnya tidak ada lagi kewenangan Pengadilan Negeri untuk memeriksa substansi sengketa tersebut.

SiMPULAN

Hukum muncul sebagai jalan keluar untuk menyelesaikan konflik yang timbul dalam masyarakat, dan seluruh warga negara memiliki kedudukan yang sama dimuka hukum, oleh karena itu diperlukan hukum yang ideal guna menyelesaikan konflik yang timbul di dalam masyarakat tersebut. Walaupun hukum yang ideal sangat sulit dicapai, namun demikian adanya hukum yang adil dapatlah membantu menyelesaikan konflik-konflik kepentingan yang didalamnya melibatkan individu atau kelompok. Terkait dengan hukum yang adil, maka sudah selayaknyalah jika Arbitrase asing dapat digunakan sebagai satu-satunya jalan dalam menyelesaikan sengketa merek secara perdata, karena Pengadilaan Niaga yang seharusnya menjadi tempat orang mencari keadilan bahkan kerap memberikan putusan yang justru tidak mencerminkan keadilan. Selain itu, dengan pembentukan Badan Arbitrase Dan Mediasi Hak Kekayaan Intelektual, maka sengketa hak kekayaan intelektual bukan lagi menjadi yurisdiksi dari Badan Arbitrse Nasional Indonesia, akan tetapi di sisi lain Badan Arbitrase Dan Mediasi Hak Kekayaan Intelelktual belum pernah memutuskan perkara di bidang hak kekayaan intelektual itu sendiri.

Secara konvensional, penyelesaian sengketa biasanya dilakukan secara Litigasi atau penyelesaian sengketa di muka pengadilan. Konvensi New York 1985 yaitu Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award (konvensi atas pengakuan atas pelaksanaan putusan arbitrase luar negeri) y ang telah diterima oleh Indonesia melalui Keputusan Presiden No. 34 Tahun 1981 merupakan pengakuan resmi arbitrase internasional dalam sistem tata hukum nasional di Indonesia. Pengadilan yang hanya menjadi corong undang-undang, tanpa memperhatikan Konvensi di bidang Merek yang sesungguhnya telah diratifikasi oleh Indonesia, membuat penegakan Undang-undang Merek di Indonesia, belum mampu memberikan rasa keadilan kepada pemegang hak atas merek, khususnya pemegang hak atas merek terkenal. Sehingga penyelesaian sengketa merek terkenal

Page 171: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 163 |

memalui Arbitrase Asing diharapkan mampu memberikan rasa keadilan bagi para pemegang hak atas merek terkenal tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Cooter, Robert dan Thomas Ulen. “Law and Economics, Addison-Wesley, Massachusets.

Gautama, Sudargo, Pembaruan Hukum Merek Indonesia, Citra Aditya Bakti Bandung, 1997.

--------------------, Himpunan Jurisprudensi Indonesia yang Penting untuk Praktek Sehari-hari (Landmark Decisions) berikut Komentar, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1992.

Lindsey, Tim, Hak Kekayaan Intelektual: Suatu Pengantar, Alumni, Bandung, 2011.

Maulana, Insan Budi, Perlindungan Merek Terkenal Di Indonesia Dari Masa Ke Masa, 1999

Miru, Ahmadi, Hukum Merek (Cara Mudah Mempelajari Undang-undang Merek), PT Raja Grafindo, Jakarta, 2005.

Nasution, Rahmi Jened, Interface Hukum Kekayaan Intelektual Dan Hukum Persaingan (Penyalahgunaan HKI), PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2013.

Purba, Achmad Zen Umar, Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs, Alumni, Bandung, 2005

Purwaningsih, Endang, Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Dan Lisensi, CV Mandar Maju, Bandung, 2012.

Saidin, OK. Aspek Hukum Hek Kekayaan Intelektual (Intellectual PropertyRights), Edisi Revisi 6, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007.

Usman, Rachmadi, Hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual, CV Mandar Maju, Bandung, 2003

Page 172: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 164 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

Peraturan Perundang-undangan

Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa;

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek Dan Indikasi Geografis;

Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 Tentang Ratifikasi New York Convention 1985;

Keputusan Presiden N omor 15 Tahun 1997 Tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 1979 Tentang Ratifikasi Paris Convention For The Protection Of Industrial Property And Convention Establishing The World Intellectual Property Organization;

Page 173: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 165 |

PErLINDUNGaN HUKUM tErHaDaP HaK KEKaYaaN INtELEKtUaL DaLaM raNGKa LIBEraLIsasI

PErDaGaNGaN DaLaM MasYaraKat EKONOMI asEaN DaN IMPLIKasI BaGI INDONEsIa

Najmi Fakultas Hukum Universitas Andalas

email : [email protected]

ABSTRACT

Nowadays, the intellectual property rights (IPR) have received great attention from countries related to the utilization of IPR that can be of high economic value. In the blueprint of the ASEAN Economic Community 2015 also contains that ASEAN wants to realize a single market with free traffic flow, among other things, to the field of Intellectual Property Rights (IPR). The problems in this research are firstly, how is the system of intellectual property rights (IPR) protection in the framework of trade liberalization in ASEAN Economic Community ?; and secondly, what are the implications of the application of the intellectual property rights system within the framework of ASEAN to the regulation of intellectual property rights (IPR) in Indonesia?. This research is a legal research that is juridical normative with legal history and legal comparison approaches, emphasizing on secondary data obtained from literature study and supported by primary data in the form of interviews obtained from field research. The specification of this research is descriptive analytical. The data collected were analyzed by qualitative juridical. The results of this study are; Firstly, the legal protection system of Intellectual Property Rights in ASEAN in the framework of trade liberalization through the ASEAN Economic Community 2015 is based on the ASEAN Intellectual Property Rights Action Plan 2011-2015/ASEAN IPR and ASEAN Charter. Furthermore, the two legal instruments are within the content of ASEAN Intellectual Property Rights Action Plan 2011-2015 and the Preamble of ASEAN Charter and Article 1 (points 5, 6 and 11). The ASEAN Charter contains the concept of Welfare State law in which the purpose of the provisions of such law shall be one of them in the framework of the interests of the welfare of ASEAN

Page 174: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 166 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

society as existing in the concept of the welfare state; and Secondly, in the framework of the realization of the ASEAN IPR Action Plan 2011-2015 in the ASEAN Economic Community, then Indonesia has adjusted by amending several regulations of legislation which are within the scope of intellectual property rights such as the Law no. 19 of 2002 with the Law no. 28 of 2014 on Copyright and the Law no. 15 of 2001 with Law no. 20 of 2016 on Trademarks and Geographical Indications to deal with the era of global trade.

Keywords : Protection; Intellectual Property Rights, Trade Liberalization in ASEAN Economic Community and Indonesia.

PENDAHULUAN

Terbentuknya Masyarakat Ekonomi ASEAN juga merupakan suatu hal yang harus dilakukan oleh Negara-negara anggota ASEAN dalam rangka menghadapi perekonomian global dan liberalisasi dalam perdagangan internasional. Selain itu, hal ini juga di dorong oleh semakin banyak organisasi atau blok-blok perekonomian regional yang terus terbentuk seiring dengan terjadinya perubahan ekonomi menuju pasar bebas dalam bentuk liberalisasi perdagangan. Dalam hal ini, regionalisasi ekonomi telah menjadi cara untuk meningkatkan daya saing internasional perusahaan-perusahaan dalam wilayah tersebut. Beragam bentuk kesepakatan perdagangan (persatuan kepabeanan, wilayah perdagangan bebas dan pasar tunggal) dalam batas-batas tertentu memberikan keuntungan-keuntungan pasar bebas seperti ekonomi skala dalam produksi, sementara di saat bersamaan menghalangi keuntungan-keuntungan tersebut bagi pihak luar, kecuali mereka berinvestasi ke dalam pasar internal dan memenuhi tuntutan negara-negara anggota bagi adanya transfer teknologi dan penciptaan pekerjaan.179

Dalam pandangan Robert Gilpin dan Jean Milis bahwa regionalisasi juga menjadi fasilitas pengumpulan sumber–sumber daya dan pembentukan korporasi regional, dengan demikian, ini menjadi sebuah strategi penting yang digunakan kelompok-kelompok negara untuk meningkatkan kekuatan ekonomi dan politik mereka.180 Dengan

179Ibid.180Robert Gilpin and Jean Milis Gilpin, The Challenge of Global Capitalism (Tantangan

Kapitalisme Global), terjemahan Haris Munandar dan Dudy Priatna, Jakarta : PT. RajaGarfindo

Page 175: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 167 |

demikian, pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN sebagai salah satu organisasi regional dalam bidang ekonomi perlu dilakukan dalam rangka memperkuat kerjasama ekonomi regional di kawasan ASEAN.

Lebih lanjut, di dalam cetak biru Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 menyatakan bahwa ASEAN ingin mewujudkan pasar tunggal dengan arus lintas yang bebas diantaranya terhadap bidang “Hak Kekayaan Intelektual” (HKI). Menurut Ismail Saleh, Intelectual Property Rights dapat diterjemahkan sebagai hak kepemilikan intelektual, menyangkut hak cipta (Copyright) dan hak milik perindustrian (Industrial Property right).181 Hal ini sejalan dengan sistem hukum Anglo Saxon, dimana Hak Kekayaan Intelektual diklasifikasikan menjadi Hak Cipta (Copyright) dan Hak Milik Perindustrian (Industrial Property Right) yang dibagi lagi menjadi beberapa bagian, yakni; paten (patent), merek (trademarks), desain industri (industrial design), rahasia dagang (tradesecrets), desain tata letak sirkuit terpadu dan varitas tanaman (plan variaty).

Pembagian HKI ke dalam beberapa bagian ini membawa konsekuensi pada ruang lingkup perlindungan hukumnya. Semisal, hak cipta (copyrights), perlindungannya melingkupi pada aspek seni, sastra dan pengetahuan, sedangkan merek (trademarks) melingkupi perlindungan hukum pada aspek tanda dan/atau simbol yang digunakan dalam kegiatan perdagangan barang dan jasa dan begitu pula pada bagian-bagian HKI yang lainnya. HKI pada intinya terdiri dari beberapa jenis seperti yang digolongkan oleh WIPO (World Intellectual Property Organization), yaitu:182

a. Hak Cipta (Copy Right);b. Hak Kekayaan Industri (Industrial Property), yang mencakup:

1) Paten (Patent);2) Merek (Trade Mark);3) Desain Produk Industri; dan4) Penanggulangan praktek persaingan curang (Repression of

Persada, 2002, hlm. 202 dan hlm. 379.181Ismail Saleh, Hukum Ekonomi, ( Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 1990) hal.

45182 WIPO, Bab II bagian B1.

Page 176: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 168 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

Unfair Competition Practices)Sistematika IPR atau Hak Kekayaan Industri yang diikuti oleh

WIPO yang berlaku sampai saat ini terdiri dari :183

a. Paten Sederhana (Utility Model) dan Desain Produk Industri (Industrial Design); danb. Merek, termasuk Merek Dagang (Trade Mark), Merek Jasa

(ServiceMark), Nama Perusahaan (Trade Name), Petunjuk Sumber (Indicationof Source) dan Sebutan Asal (Appellation of Origin).Menurut TRIPs (Trade Related Aspects of Intellectual PropertyRights),

pada Pasal 1 ayat 2 yang dimaksud dengan HKI adalah semua kategori kekayaan intelektual sebagaimana dimaksud dalam bagian 1 sampai dengan 7 Bab II Agreement TRIPs yang mencakup :

a. Hak Cipta dan Hak-hak terkait lain (Copyrights and Related Rights);

b. Merek Dagang (Trade Marks);c. Indikasi Geografis (Geographical Indications);d. Desain Produk Industri (Industrial Designs);e. Paten (Patent);f. Desain Lay Out (topografi) dari Rangkaian Elektronik Terpadu

(Lay Out Designs (Topographies) of Integrated Circuits), perlindungan terhadap informasi yang dirahasiakan (Protection of Undisclosed Information)Dewasa ini, hak kekayaan intektual telah mendapat perhatian

besar dari negara-negara terkait dengan pemanfaatan dari HKI tersebut yang dapat bernilai ekonomis tinggi. Sebagaimana contohnya HKI di bidang hak cipta yang meliputi ilmu penggetahuan, seni dan sastra. Dalam hal ini si pencipta berhak atas karya ciptanya apabila digunakan oleh pihak lain dalam bentuk royalti seperti musik dan lagu. Namun yang terjadi begitu banyak karya cipta tersebut dijiplak dan dipakai tanpa izin si pencipta sehingga merugikan si pencipta. Namun ini tidak saja terjadi dalam bidang hak cipta saja tapi juga terjadi dalam paten dan

183 Article Paris Convention for The Protection of Industrial Property, 1967, Bandingkan dengan Harsono Adisumarto, Hak Milik Perindustrian, ( Jakarta : Akademika Pressindo 1990), hal. 3.

Page 177: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 169 |

merek. Itulah sebabnya masing-masing negara membuat pengaturan hukum dalam rangka perlindungan hak kekayaan intelektual ini.

Dalam hal ini, negara-negara ASEAN juga memberikan tempat terhadap hak kekayaan intelektual terutama dengan adanya liberalisasi perdagangan di kawasan ASEAN melalui Masyarakat Ekonomi ASEAN. Hal ini dikarenakan timbulnya kekhawatiran akan terjadinya saling klaim terhadap hak kekayaan intelektual misalnya dalam kasus tari reog ponorogo yang diklaim oleh Indonesia dan Malaysia. Kemudian dalam kasus makanan dimana merek nasi goreng juga diklaim oleh Indonesia dan Singapura serta kasus lainnya. Oleh karena itu, untuk menghindari sengketa atau saling klaim tersebut maka diperlukan suatu bentuk sistem pelindungan hukum tersendiri terhadap hak kekayaan intelektual yang disepakati oleh semua negara anggota ASEAN

Bagi Indonesia sendiri, adanya kebijakaan dalam bentuk perjanjian di bidang hak kekayaan intelektual merupakan suatu peluang sekaligus tantangan dalam rangka Masyarakat Ekonomi ASEAN. Perjanjian ini tentu akan memberikan pengaruh bagi Indonesia diantaranya perlunya melakukan harmonisasi dan siknronisasi terhadap berbagai ketentuan - ketentuan hak kekayaan intektual yang ada di Indonesia yang nantinya harus diselaraskan dengan tujuan yang akan dicapai ASEAN dalam rangka Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. Oleh karena itu, Indonesia harus mulai berbenah dan mempersiapkan diri untuk menghadapi persaingan perdagangan dengan negara-negara anggota ASEAN lainnya. Beberapa ketentuan hak kekayaan intelektual Indonesia perlu diinventarisir lagi dalam liberalisasi perdagangan di kawasan ASEAN tersebut.

iDENTiFiKASi MASALAH

Secara ringkas berangkat dari latar belakang masalah tersebut diatas maka pokok permasalahan dari penelitian ini sebagai berikut :

1. Bagaimanakah sistem perlindungan hukum hak kekayaan inteletual (HKI) dalam rangka liberalisasi perdagangan pada Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community) ?

2. Bagaimanakah implikasi penerapan dari sistem hak kekayaan intelektual dalam kerangka ASEAN terhadap pengaturan hak kekayaaan intelektual (HKI) di Indonesia ?

Page 178: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 170 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

HASiL DAN PEMBAHASAN

Sistem Perlindungan Hukum Hak Kekayaan Intektual (HKI) dalam rangka Liberalisasi Perdagangan pada Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community)

Negara-negara yang tergabung dalam ASEAN (Association of South East Asian Nation) telah menandatangani suatu perjanjian kerja sama di bidang hak kekayaan intelektual atau ASEAN Framework Agreement on Intellectual Property Cooperation pada tanggal 15 Desember 1995, di Bangkok, Thailand. Sedangkan Indonesia sendiri juga merupakan peserta pada persetujuan TRIPS (Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights) pada WTO dan perjanjian kerja sama di bidang hak kekayaan intelektual (ASEAN Framework Agreement on Intellectual Property Cooperation) yang berlaku di kawasan ASEAN.

Realisasi dari kerja sama ini diwujudkan dengan dibentuknya forum khusus yang membahas masalah-masalah HKI di tingkat ASEAN yaitu ASEAN Working Group on Intellectual Property Cooperation (AWGIPC). Dalam upaya peningkatan kerjasama dan perlindungan HKI di kawasan Asia Tenggara, berbagai bentuk kerja sama dan pertemuan-pertemuan telah diselenggarakan. Secara reguler, AWGIPC mengadakan pertemuan sedikitnya tiga kali dalam setahun.

Pertemuan ke dua tahun 2013 yaitu pertemuan sesi ke 42 telah dilaksanakan di Chiangmai Thailand pada tanggal 15-19 Juli 2013. Pertemuan ini membahas tentang perkembangan implementasi inisiatif-inisiatif sebagaimana yang telah disepakati berdasarkan Rencana Aksi HKI ASEAN 2011-2015. Dalam kesempatan ini juga dilakukan pembahasan dan diskusi dengan para mitra dialog AWGIPC yaitu Australia-New Zealand di bawah kerangka kerja sama Australia-New Zealand Free Trade Agreement (AANZFTA), World Intellectual Property Organization (WIPO), European Patent Office (EPO), Korean Intellectual Property Office (KIPO), Office for Harmonization in Internal Market (OHIM), Japan Patent Office ( JPO), dan konsultasi melalui video conference dengan United State Patent and Trademark Office (USPTO). Dari beberapa mitra dialog ini, KIPO merupakan mitra dialog baru bagi AWGIPC dimana kerja sama ini akan difokuskan pada bidang kerja sama industri kreatif, dan pemberdayaan UKM.

Page 179: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 171 |

Selain pembahasan isu-isu implementatif, telah dilaksanakan pula penyerahan Chair AWGIPC dari Thailand yaitu Ms. Pajchima Tanasanti ke pada Chair baru yaitu BG (NS) Tan Yih San, yang merupakan Chief Executive dari Intellectual Property Office of Singapore (IPOS). Ms. Patchima Tanasanti telah menjadi Chair AWGIPC selama periode 2 tahun sejak pertemuan AWGIPC ke 36 di Bali pada tahun 2011.184

Dengan demikian, sistem perlindungam Hak Kekayaan Intelektual di ASEAN dalam rangka liberalisasi perdagangan melalui Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 didasarkan pada Rencana Aksi Hak Kekayaan Intelektual ASEAN (ASEAN Intellectual Property Rights Action Plan 2011-2015) sebagaimana termuat dalam Pembukaan ASEAN Intellectual Property Rights Action Plan bahwa :

“The ASEAN IPR Action Plan 2011-2015 is designed to meet the goals of the AEC by transforming ASEAN into an innovative and competitive region through the use of IP for their nationals and ensuring that the region remains an active player in the international IP community.”

Oleh karena itu, ASEAN Intellectual Property Rights Action Plan yang merupakan bagian dari Cetak Biru Masyarakat Ekonomi ASEAN yang memuat 28 inisiatif dimana sebagian besar inisiatif berdasarkan 5 tujuan strategis yang ingin dicapai (strategic goal) yaitu :

1. A balanced IP system that takes into account the varying levels of development of Member States, and the differences in the institutional capacity of national IP Offices, to enable them to deliver timely, quality and accessible IP services, and to promote the region as being favourable to the needs of users and generators of IP.

2. Development of national or regional legal and policy infrastructures that address the evolving demands of the IP landscape and facilitate the participation of South-East Asia Member States in global IP systems at the appropriate time.

3. Advancement of the interests of the region through the systematic promotion of IP creation, awareness and utilisation, to ensure that IP becomes a tool for innovation and development; support for the transfer of technology to promote access to knowledge; and consideration for the preservation and protection of indigenous

184 www.kemlu.org.id diakses pada tanggal 02 November 2016.

Page 180: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 172 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

products and services and the works of their creative people in the region.

4. Active regional participation in the international IP community, with closer ties to dialogue partners and institutions to develop the capacity of Member States and to address the needs of stakeholders in the region.

5. Intensified co-operation among South-East Asia Member States and increased levels of collaboration to enhance the human and institutional capacity of IP Offices in the region.Dengan demikian 5 tujuan strategis yang ingin dicapai antaranya

inisiatif aksesi Madrid Protocol, pengembangan kapasitas pemeriksa paten, merek dan desain indutri, ASEAN Patent Search and Examination Cooperation (ASPEC), kerja sama di bidang Sumber Daya Genetik, Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional (SDGPTEBT) dan Pengembangan indikasi geografis di ASEAN serta pengembangan IP Portal ASEAN (Intelectual Property/IP Portal). ASEAN IP Portal ini memuat berbagai kegiatan terkait AWGIPC dan perkembangan Hak Kekayaan Intelektual di negara ASEAN.

Dalam rangka mendukung Masyarakat Ekonomi ASEAN maka diperlukan instrumen hukum yang kuat sebagi penopang agar persetujuan yang dibuat dalam kerangka ini dapat diimplementasikan sesuai dengan kesepakatan yang ada. Pada KTT ASEAN ke-13 di Singapura tanggal 20 November 2007 ditandatanganilah Piagam ASEAN (ASEAN Charter) oleh 10 Kepala Negara/Pemerintahan Negara anggota ASEAN dan Piagam ASEAN mulai berlaku efektif atau enter into force pada tanggal 15 Desember 2008. Penandatangan Piagam ASEAN menjadi prasasti hasil evolusi dari kerja sama yang bersifat “persaudaraan” menjadi organisasi yang berdasarkan suatu kerangka yang lebih kohesif berlandaskan rule based framework.185 Hal ini secara tegas dinyatakan dalam Pasal 3 Piagam ASEAN bahwa ASEAN, sebagai sebuah organisasi antar-pemerintah, dengan ini diberikan status hukum (ASEAN, as an inter-governmental organisation, is hereby conferred legal personality)”.

Di sisi lain, kesepakatan yang terbentuk di ASEAN memiliki arti penting mengingat Negara-negara ASEAN saling memiliki

185Ibid, hlm. 13.

Page 181: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 173 |

kepentingan yang besar dan melalui mekanisme kerjasama mereka akan memperoleh banyak keuntungan komparatif .186 Keinginan ASEAN untuk mengintegrasikan ekonomi melalui kesepakatan pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN merupakan upaya peningkatan perekonomian negara-negara di kawasan tersebut. Sebagaimana pandangan Cunan yang mengungkapkan bahwa saat ini kerjasama ekonomi dalam satu kawasan perlu ditingkatkan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan raayat yang berada di kawasan tersebut dan dilakukan melalui suatu perjanjian atau persetujuan seperti halnya dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community).187

Oleh karena itu, untuk mewujudkan ASEAN sebagai pasar tunggal dan basis produksi maka memiliki lima elemen utama yaitu (i) Aliran bebas barang (free flow of goods), (ii) Aliran bebas jasa (free flow of services), (iii) Aliran bebas penanaman modal atau investasi (free flow of investment), (iv) Aliran modal yang lebih bebas (free of flow capital), serta (v) Aliran bebas tenaga kerja terampil (free flow of skilled labour).188 Disamping kelima elemen tersebut juga ASEAN juga telah menyepakati ketentuan terkait dengan bidang hak kekayaan intelektual (HKI) melalui kesepakatan Rencana Aksi Hak Kekayaan Intelektual (ASEAN Intellectual Propoerty Rights/ ASEAN IPR) tahun 2011-2015 yang sampai sekarang masih berjalan.

Secara lebih lanjut, ketentuan Rencana Aksi Hak Kekayaan Intelektual (ASEAN Intellectual Propoerty Rights/ ASEAN IPR) tahun 2011-2015 juga memuatnya “Konsep Negara Kesejahteraan (Welfare State”. Ini selaras dengan Piagam ASEAN mengingat adanya kepentingan-kepentingan bersama dan saling ketergantungan antar rakyat dan negara-negara anggota ASEAN.

Adanya ASEAN IPR Action Plan 2011-2015 ini juga merupakan upaya ASEAN untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara-negara anggota ASEAN. Dalam hal ini kebijakan liberalisasi perdagangan

186Jagdish Sachdev, Foreign Investment Policies of Devloping Host Nations and Multinationals : Interaction and Accomodation, Management International Review, Vol. 18, No. 2, 1978, hlm. 33

187Cunan, Economic Development and Prosperity, Boston, Massatchussets, USA : Harvard University Published, 1999, hlm. 21..Ibid 188

Page 182: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 174 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

(dan investasi) juga dilihat sebagai cara untuk meningkatkan daya saing ekonomi. Peningkatan daya saing suatu ekonomi bisa dilakukan melalui berbagai cara. Ada pemikiran yang mengatakan bahwa sebenarnya peningkatan daya saing terutama merupakan tantangan bagi masing-masing perusahaan dan upaya yang dilakukan haruslah pada tingkat perusahaan. Kerja sama internasional, misalnya dengan membentuk suatu aliansi strategis (strategic alliance), merupakan salah satu cara yang kini banyak dilakukan terutama antara perusahaan-perusahaan negara maju. Tetapi berbagai bentuk kerja sama internasional juga dapat dilakukan pada tingkat Negara (ekonomi) untuk meningkatkan daya saing, artinya meningkatkan kemampuan penetrasi pasar. Pembentukan kawasan perdagangan bebas (free trade area, VIA) seringkali dilihat sebagai upaya untuk saling meningkatkan akses pasar di antara pesertanya.” 189

Salah satu tujuan ASEAN IPR Action Plan 2011-2015 adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat menunjukan bahwa ASEAN IPR Action Plan 2011-2015 tersebut juga menganut “konsep negara kesejahteraan”. Dalam konsep negara kesejahteraan menurut Robert E. Goodin mengatakan bahwa negara kesejahteraan tidak hanya dimaksudkan untuk menyamakan kondisi kehidupan berbagai golongan atau kelompok dalam negara dan mengatur serta mengarahkan kegiatan ekonomi secara keseluruhan tetapi juga menyediakan barang dan pelayanan bagi individu dan keluarga yang memenuhi kriteria untuk pemberian hak tertentu.190 Jeremy Bentham yang merupakan penganut aliran utilitarianism akhirnya juga sampai pada pemahamannya tentang posisi negara tidak boleh berdiam diri melihat ketimpangan-ketimpangan yang terjadi dalam masyarakat, negara juga berhak untuk mencegah penumpukan kekayaan disegelintir orang. Negara harus menciptakan kebersamaan dan persamaan di tengah-tengah masyarakat. Aliran Utilitarianisme merupakan aliran yang meletakkan dasar-dasar ekonomi bagi pemikiran hukum. Prinsip utama pemikiran mereka adalah mengenai tujuan dan evaluasi hukum. Tujuan hukum adalah kesejahteraan yang sebesar-besarnya bagi sebagian terbesar rakyat atau bagi seluruh rakyat, dan evaluasi

189Hadi Susastro. Kebijakan Persaingan, Dava Saing, Liberalisasi, Globalisasi, Regionalisasi dan Semua Itu. Jakarta : CSIS Working Papers Series, 2004, hlm. 2.

190Robert E.Goodin dalam Safri Nugrara, Op.Cit., hlm. 19.

Page 183: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 175 |

hukum dilakukan berdasarkan akibat-akibat yang dihasilkan dari proses penerapan hukum. Berdasarkan orientasi itu, maka isi hukum adalah ketentuan tentang pengaturan penciptaan kesejahteraan Negara.191

Walaupun adanya tindakan liberalisasi progresif atas rezim-rezim hak kekayaan intelektual di Negara-negara Anggota (progressive liberalitation of the investment regimes of Member States) namun tujuan akhir dari ASEAN IPR Action Plan 2011-2015 nantinya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat negara anggota ASEAN sebagaimana ini termuat dalam Pembukaan Piagam ASEAN dan Pasal 1 (poin 5, 6 dan 11) Piagam ASEAN (ASEAN Charter).

Sedangkan dalam ASEAN IPR Action Plan 2011-2015 memuat bahwa liberalisasi perdagangan ASEAN yang pada akhirnya juga akan mempengaruhi bidang hak kekayaan intelektual merupakan suatu upaya untuk meningkatkan dan memastikan perekonomian yang dinamis di negara-negara anggota ASEAN dan pada akhirnya meningkatkan pembangunan ekonomi dan sosial secara keseluruhan di ASEAN. Oleh karena itu, baik Piagam ASEAN maupun ASEAN IPR Action Plan 2011-2015 tersebut di atas maka kedua instrumen hukum tersebut ternyata memuat “konsep hukum negara kesejahteraan”. Di sini terlihat bahwa walaupun ASEAN IPR Action Plan 2011-2015 dibentuk untuk meliberalisasikan tatanan atas pengaturan rezim hak kekayaan intelektual di negara-negara anggota ASEAN namun tetap dalam rangka meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat di Kawasan ASEAN. Termasuk juga untuk untuk menjamin pembangunan berkelanjutan yang bermanfaat bagi generasi-generasi sekarang dan mendatang dan menempatkan kesejahteraan dan penghidupan yang layak serta kemakmuran rakyat melalui integrasi ekonomi di Kawasan ASEAN.192 Adanya integarsi ekonomi di Kawasan ASEAN sebelumnya sudah diprediksikan oleh John Naisbitt yang menyatakan bahwa :193

“ The regards, the economic growth in Asia is expected to have a functioning driver of the global economy. This is consistent with

191Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Op. Cit., hlm. 116.192South Asian Association or Regional Cooperation (SAARC), Regional Cooperation :

A Spring Board for Growth and Job Creation, Mumbai, 17-18 February 2007.193 John Nasbitt, Megatrends ASIA, Boston Massachussets : Harvard University

Published, 2000, hlm. 18.

Page 184: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 176 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

the view of Asia in becoming the emerging markets, supported by India, China and Southeast Asia.

Program mengurangi kemiskinan dan mempersempit kesenjangan pembangunan di ASEAN dilakukan melalui bantuan dan kerja sama timbal balik melalui suatu rezim hak kekayaan inteletual yang bebas dan terbuka di ASEAN dalam rangka mencapai tujuan akhir dari integrasi ekonomi dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang saat sekarang sudah mulai berjalan.

implikasi Penerapan Sistem Hak kekayaan intelektual dalam kerangka ASEAN terhadap Pengaturan Hak Kekayaaan intelektual (HKI) di Indonesia.

Bagi Indonesia sendiri dengan telah diberlakukan di Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) sejak tanggal 01 Januari 2016 lalu memiliki arti penting terhadap perlindungan Hak Kekayaan Intelektual dalam rangka liberalisasi perdagangan di wilayah ASEAN. Dengan aturan ini, banjir produk dan jasa akan berputar di wilayah Asia Tenggara tanpa hambatan berat. Produk-produk dari luar negeri dapat dengan mudah masuk ke Indonesia, begitu juga sebaliknya. Hanya persoalan kualitas dan pengemasan produk yang akan menentukan siapa yang akan mendominasi. Dalam pandangan industri di Indonesia, Masyarakat Ekonomi ASEAN ini menjelma sebagai pisau bermata dua. Di satu sisi adanya MEA dapat mempermudah produk Indonesia dipasarkan ke luar negeri, di satu sisi juga mengancam keberadaan produk asli Indonesia. Terutama produk-produk yang belum dipatenkan atau didaftarkan sebagai hak cipta kekayaan intelektual (HKI).194

Berdasarkan data Kadin, baru sekitar 30 persen merek dan produk yang sudah didaftarkan menjadi HKI. Selebihnya lebih dari 70 persen belum didaftarkan. Masih banyak pelaku usaha yang belum mendaftarkan HKI produk dan merek mereka adalah pelaku usaha kecil menengah. Padahal, industri kreatif di Indonesia sangat dinamis dan terus berkembang. Kalau pelaku usaha masih belum mendaftarkan produk dan merek mereka, mereka akan kewalahan dengan banjir produk dari luar negeri saat MEA diberlakukan. Kadin saat ini tengah merintis upaya untuk ikut menyosialisasikan terkait pentingnya mendaftarkan HKI ini hingga ke daerah-daerah atau

194 www.republika.co.id dikases pada tanggal 16 Agustus 2016.

Page 185: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 177 |

sentra industri kecil menengah. Komunikasi akan dibangun Kadin dengan pemerintahan yang baru untuk membantu pelaku usaha kecil menghadapi MEA tahun depan.195

MEA merupakan hasil kesepakatan para pemimpin ASEAN satu dasawarsa lalu untuk membentuk sebuah pasar tunggal di kawasan Asia Tenggara pada akhir 2015. Ini dilakukan agar daya saing ASEAN meningkat serta bisa menyaingi Cina dan India untuk menarik investasi asing. Pembentukan pasar tunggal ini nantinya memungkinkan satu negara menjual barang dan jasa dengan mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia Tenggara sehingga kompetisi akan semakin ketat. Oleh karena itu, pemerintah perlu mengadakan aturan yang tepat terkait perlindungan HKI agar para insan kreatif Indonesia dapat berkontribusi tanpa cemas, karyanya akan dibajak di pasaran. Apalagi dalam pusaran Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) maka perlindungan hukum terhadap hak ekonomi mereka mutlak adanya demi memenangi persaingan regional maupun global insan kreatif Indonesia. Lebih lanjut menurut Kanwar dan Everson (2003) dalam penelitiannya di 32 negara antara tahun 1981-1990, menyatakan bahwa perlindungan HKI memiliki dampak yang sangat signifikan terhadap investasi di bidang riset dan pengembangan. Menurut penelitian ini, perlindungan HKI yang sangat kuat akan memacu inovasi dan kemajuan teknologi suatu negara. Pertumbuhan Ekonomi suatu negara sangat berkaitan erat dengan perlindungan HKInya. Semakin terbuka sistem perekonomian suatu negara, maka perlindungan HKI akan memainkan peranannya dalam mendukung pertumbuhan ekonomi negara tersebut. Berdasarkan hasil penelitian Gould dan Gruben (1996), dalam penelitiannnya di 95 negara maju dan berkembang dari tahun 1960-1988, ditemukan data bahwa semakin kuat perlindungan HKI di suatu negara, maka akan memberikan dampak yang sangat signifikan terhadap perekonomian pada negara-negara yang menerapkan sistem perekonomian yang terbuka.196

Berdasarkan data diatas, Hak Kekayaan Intelektual (HKI) memiliki peranan yang sangat penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi suatu negara. Oleh karena itu maka perlu peran pemerintah

195Ibid.196 Kanwar, S.and Evenson, R. E. (2003), “Does Intellectual Property Right Protection

Spur Technological Change. Oxford Economic Papers, 55(2): 235-254 dalamIntellectual Property Rights, Innovation, and Economic Growth in Sub – Saharan Afric

Page 186: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 178 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

untuk memperkuat perlindungan HKI di dalam negeri harus terus ditingkatkan, agar dengan semakin kuatnya perlindungan HKI, akan membawa efek terhadap kemajuan riset teknologi serta tumbuhnya usaha-usaha baru di dalam negeri, yang akan menopang pertumbuhan ekonomi Indonesia berbasiskan pengetahuan.197

Dalam rangka ini, Indonesia telah melakukan berbagai kerja sama HKI dengan Negara-negara Anggota ASEAN lainnya melalui beberapa langkah diantaranya :198

1. Merealisasikan ASEAN IPR Action Plan 2011-2015;2. Melaksanakan Rencana Aksi Kekayaan Intelektual ASEAN 2004-

2010 (rencana aksi) dan Rencana Kerja untuk Kerja sama Hak cipta ASEAN (Rencana Kerja);

3. Membentuk sebuah sistem pengarsipan ASEAN untuk desain dalam rangka memfasilitasi pengajuan oleh pengguna dan meningkatkan koordinasi antara kantor IP di AMS;

4. Menyetujui perjanjian internasional yang sama, termasuk ProtokolMadrid;

5. Mempertahankankonsultasi dan pertukaran informasi di antara lembaga penegak nasional dalam perlindungan IPR; dan

6. Untuk mempromosikan kerja sama regional dalam HKI baru seperti Pengetahuan Tradisional (TK), Sumber genetik (GR) dan Ekspresi Budaya Tradisional (TCE). Kegiatan-kegiatan kerja sama juga ditampilkan dalam Cetak Biru Masyarakat Ekonomi ASEAN yang dapat diunduh dari situs resmi sekretariat ASEAN.Hak Kekayaan Intektual memberikan beberapa manfaat bagi

Pelaku HKI (penemu/desainer/pencipta dsb) diantaranya:

1. Pelaku HKI akan memiliki hak eksklusif untuk menikmati hasil ekonomis/royalti dari produk ciptaan/inovasinya;

2. Sistem dokumentasi HKI dapat membantu untuk menghindari terjadinya duplikasi, dan

3. Memberikan perlindungan bagi pelaku HKI atas tindakan pembajakan/pemalsuan.

197 www.ambadar.co.id diakses pada tanggal 18 Maret 2017.198 www.kemendag.go.id diakses pada tanggal 16 Februari 2017.

Page 187: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 179 |

Dalam rangka realisasi ASEAN IPR Action Plan 2011-2015 pada Masyrakat Ekonomi ASEAN maka Indonesia telah menyesuaikan diri dengan mengubah beberapa peraturan perundang-undangannya yang berada dalam lingkup hak kekayaan intelektual diantaranya perubahan Undang-Undang No. 19 tahun 2002 dengan Undang-Undang No. 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta serta Undang-Undang No. 15 tahun 2001 dengan Undang-Undang No. 20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis.

Adanya perubahan Undang-Undang Hak Cipta yang lama tahun 2002 dengan Undang-Undang baru sekarang yaitu Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 dalam rangka peningkatan pelindungan dan jaminan kepastian hukum bagi pencipta, pemegang Hak Cipta, dan pemilik Hak Terkait. Indonesia telah menjadi anggota berbagai perjanjian internasional di bidang hak cipta dan hak terkait salah satunya ikut serta dalam perjanjian pendirian Masyarakat Ekonomi ASEAN sehingga diperlukan implementasi lebih lanjut dalam sistem hukum nasional agar para pencipta dan kreator nasional mampu berkompetisi secara internasional sehingga Undang-Undang nomor 19 tahun 2002 tentang hak cipta sudah tidak sesuai dengan perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat sehingga perlu diganti dengan Undang-Undang No. 28 Tahun 2014.199

Oleh karena itu, implikasi secara hukum dari ikut sertanya Indonesia pada Masyarakat Ekonomi ASEAN khususnya bidang hak kekayaan intelektual adalah dengan menyesuaikan perubahan berbagai ketentuan hak kekayaan intelektual Indonesia diantaranya perubahan terhadap pengaturan Hak Cipta dan HakMerek sekaligus Indikasi Geografis. Dampak dari keterbukaan lalu lintas barang dan jasa dalam rangka Masyarakat Ekonomi ASEAN juga telah memberikan kesempatan pada perkembangan terhadap bidang hak kekayaan intelektual dengan masuknya barang-barang inovasi baru antar sesama negara anggota ASEAN sehingga diperlukannya suatu sistem perlindungn hukum. Hal sebagaimana juga dinyatakan di dalan Rencana Aksi ASEAN terkait dengan Hak Kekayaan Intelektual (ASEAN Action Plan 2011-2015) yaitu :

“Intellectual property (IP) is an asset that a person can own, sell,

199 Pembukaan Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

Page 188: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 180 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

license, or even give away at pleasure. Unlike other assets however, IP is mostly intangible and its distinct types, namely patents, designs, trademarks, and copyrights are assets that are borne from people’s creativity and innovation, and the specific geographical locations concerned. However, the lack of physical parameters by which most of these assets can be defined or identified does not preclude the recognition of their innate value and the need to protect them from theft or unauthorized use, just like tangible assets. This is the primary reason forthe establishment of IP Offices throughout the world. Protection of intellectual property rights (IPRs) stimulates further creativity and innovation, which in turn spur progress in industries and ultimately leads to national development.”

Berdasarkan hal diatas, dengan adanya arus liberalisasi perdagangan pada Masyarakat Ekonomi ASEAN juga hendaknya juga dibarengi dengan peningkatan sistem perlindungan terhadap hak kekayaan intelektual melalui kepastian hukum. Oleh karena itu, adanya perubahan pengaturan Undang-Undang terkait dengan hak kekayaan intelektual yaitu Undang-Undang tentang Hak Cipta dan Hak Merek merupaka implikasi dari ikut sertanya Indonesia pada Masyarakat Ekonomi ASEAN. Implikasinya lainnya adalah ikut mendorong produktifitas barang-barang dalam negeri untuk diekpor ke negara lain namun produk tersebut hendaknya sebelumnya sudah mendapatkan perlindungan hak kekayaan intelektual terlebih dahulu.

SiMPULAN

a. Sistem perlindungan hak kekayaan intelektual (HKI) yang dilaksanakan dalam rangka liberalisasi perdagangan pada Masyarakat Ekoknomi ASEAN (ASEAN Economic Community) mengacu secara hukum pada Piagam ASEAN (ASEAN Charter) tahun 2008 dan Rencana Aksi ASEAN dibidang Hak Kekayaan Intelektual tahun 2011-2015 (ASEAN Intellectual Property Rights Action Plan / ASEAN IPR Action Plan). Kedua instrumen hukum ini menganut Konsep Negara Kesejahteraan (Welfare State) dimana ini tercermin dalam isi ketentuan pada Rencana Aksi ASEAN dalam rangka Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Intellektual Property rights Action Plan 2011-2015) serta Pembukaan Piagam ASEAN (Preamble of ASEAN Charter) dan Pasal 1 (poin 5, 6 dan 11) Piagam ASEAN (ASEAN Charter). Adanya konsep negara

Page 189: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 181 |

kesejahteraan yang dimuat oleh dua ketentuan hukum ini bertujuan untuk menciptakan kemakmuran dan kesejahteraaan masyarakat negara aggota ASEAN dan untuk mendorong keterbukaan perdagangan barang, jasa maupun hak kekayaan intelektual sehingga lalu lintas perdagangan menjadi lancar dalam rangka menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat ASEAN.

b. Indonesia telah menjadi anggota berbagai perjanjian internasional salah satunya ikut serta dalam perjanjian pendirian Masyarakat Ekonomi ASEAN dimana salah satu bidang yang menjadi perhatiannya adalah bidang hak kekayaan intelektual. Oleh karena itu, diperlukan penerapan lebih lanjut dalam sistem hukum nasional dengan menyesuaikan perubahan berbagai ketentuan hak kekayaan intelektual Indonesia diantaranya perubahan terhadap pengaturan Hak Cipta serta Hak Merek dan Indikasi Geografis. Perubahan Undang-Undang yang dimaksud yaitu Undang-Undang No. 19 tahun 2002 telah diganti dengan Undang-Undang No. 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta serta Undang-Undang No. 15 tahun 2001 telah diganti dengan Undang-Undang No. 20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis. Sejalan dengan konvensi internasional yang telah diratifikasi Indonesia, peranan Hak cipta, Merek dan Indikasi Geografis menjadi sangat penting terutama dalam menjaga persaingan usaha yang sehat, berkeadilan, pelindungan konsumen, serta pelindungan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah serta industri dalam negeri.

SARAN

1. Adanya liberalisasi perdagangan dengan meningkatnya arus lalu lintas perdagangan di Kawasan ASEAN pada Masyarakat Ekonomi ASEAN juga akan memberikan pengaruh terhadap bidang hak kekayaan intelektual. Oleh karena itu diperlukan adanya penegakan hukum yang konsisten di bidang hak kekayaan intelektual di Indonesia sehingga mekanisme perlindungan di bidang ini bisa berjalan dengan baik serta juga dalam rangka melindungi produksi dalam negeri.

2. Peran pemerintah memiliki arti penting dalam menjaga dan mendorong industri dalam negeri untuk maju namun juga harus memperhatikan usaha kecil dan menengah (UKM) agar

Page 190: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 182 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

mereke benar-benar terlindungi dengan baik melalui kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang memberikan tempat utama perlindungan produk barang dan jasa hasil dari memperhatikan usaha kecil dan menengah (UKM).

DAFTAR PUSTAKA

Article Paris Convention for The Protection of Industrial Property, 1967.

Cunan, Economic Development and Prosperity, Boston, Massatchussets, USA : Harvard University Published, 1999.

Harsono Adisumarto, Hak Milik Perindustrian, Jakarta : Akademika Pressindo 1990.

Hadi Susastro. Kebijakan Persaingan, Dava Saing, Liberalisasi, Globalisasi, Regionalisasi dan Semua Itu.

Jakarta : CSIS Working Papers Series, 2004.

Ismail Saleh, Hukum Ekonomi, Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 1990

John Nasbitt, Megatrends ASIA, Boston Massachussets : Harvard University Published, 2000.

Jagdish Sachdev, Foreign Investment Policies of Devloping Host Nations and Multinationals : Interaction and Accomodation, Management International Review, Vol. 18, No. 2, 1978.

Kanwar, S.and Evenson, R. E. (2003), “Does Intellectual Property Right Protection Spur Technological Change. Oxford Economic Papers, 55(2): 235-254 dalamIntellectual Property Rights, Innovation, and Economic Growth in Sub – Saharan Afric.

M. A. Huberman, dan M. B. Miles, Data Management and Analysis Methods, dalam N.K. Denzin dan Y.S. Lincoln, (Ed.), Handbook of Qulaitative Research, Sage Publications, Thousand Oaks, 1994.

Robert Gilpin and Jean Milis Gilpin, The Challenge of Global Capitalism (Tantangan Kapitalisme Global), terjemahan Haris Munandar dan Dudy Priatna, Jakarta : PT. RajaGarfindo Persada, 2002.

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta : Rajawali Pers Raja Grafindo Persada, 2010

Page 191: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 183 |

South Asian Association or Regional Cooperation (SAARC), Regional Cooperation : A Spring Board for Growth and Job Creation, Mumbai, 17-18 February 2007.

www.ambadar.co.id diakses pada tanggal 18 Maret 2017.

www.kemendag.go.id diakses pada tanggal 16 Februari 2017

Page 192: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 184 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

sELEsa PELINDUNGaN HUKUM PENGEtaHUaN traDIsIONaL DaLaM UNDaNG-UNDaNG PatEN

INDONEsIa

M. Citra RamadhanFakultas Hukum Universitas Dharmawangsa Medan

email: [email protected]

ABSTRACT

The existence of Act no. 13 of 2016 on Patents provides legal protection for traditional knowledge which was previously almost non-existent, is a good step. However, such a move should also be able to answer the need for legal protection from traditional knowledge itself. This Act provides the opportunity both positively and defensively for the legal protection of traditional knowledge. Positively, this Act contains provisions which authorize the state to control access and benefit-sharing. Defensively, from the legal aspect, this Act contains provisions which allow traditional knowledge information to be used as a prior art. However, from the practical aspect, until now there is no information about traditional knowledge which is approved by official institutions recognized by the government as mandated by this Act. The opportunity provided by the Patent Act in providing legal protection against traditional knowledge focuses on the availability of information about traditional knowledge so that the opportunity not just an idea.

Keywords: traditional knowledge, legal protection, patent law.

PENDAHULUAN

Diversitas pengetahuan tradisional di Indonesia sangat melimpah, ini merupakan cerminan dari tersebarnya suku yang ada di bumi nusantara, dari sabang sampai merauke. Sama halnya dengan invensi yang diberikan hak paten melalui fasilitas yang diberikan oleh regulasi dalam rezim hukum Kekayaan Intelektual (KI), pengetahuan tradisional juga merupakan hasil dari aktifitas intelektual manusia. Hasil dari aktifitas intelektual manusia ini sangat bermanfaat, tidak sebatas untuk dirinya sendiri namun juga bagi orang lain.

Page 193: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 185 |

Masyarakat pengemban menggunakan pengetahuan tradisional dalam masalah yang berhubungan dengan pengobatan untuk menyelesaikan masalah kesehatan masyarakat. Hal ini sudah menjadi tradisi bagi masyarakat Indonesia sejak dahulu. Lihat saja manuskrip Candi Borobudur dan pada Kraton Surakarta mengenai pengobatan tradisional, yaitu Serat Kawruh.200

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada tahun 2006 juga telah menemukan bahwa 7 dari 45 kelompok suku di Indonesia menggunakan akar kuning (Fibrauera chloroleuca Miers) untuk menyembuhkan sakit kuning (yellow fever) dan hepatitis.201 Penelitian ini hanya melibatkan 45 dari 300 kelompok suku yang tinggal diseluruh kepulauan Indonesia, sehingga pengetahuan tradisional Indonesia yang berhubungan dengan pengobatan tradisional masih mengandung potensi yang sangat besar.

Untuk itu, pengetahuan tradisional juga harus mendapat pelindungan hukum, sama halnya dengan invensi yang dilindungi dengan rezim hukum paten. Pengetahuan tradisional harus dilindungi oleh hukum dengan alasan utama yaitu untuk memperbaiki kehidupan pengemban pengetahuan tradisional dan masyarakat, untuk melindungi pengetahuan tradisional dari penyalahgunaan dan untuk memberikan keuntungan ekonomi nasional. Adapun 3 alasan utama tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:202

1. Memperbaiki kehidupan pengemban pengetahuan tradisional dan masyarakat

Pengetahuan tradisional sangat berharga bagi masyarakat pengemban, mereka bergantung pada pengetahuan tradisional untuk kesehatan, mata pencaharian dan kesejahteraan umum. Menurut World Health Organization (WHO) bahkan hingga 80% populasi dunia bergantung pada obat tradisional untuk kebutuhan kesehatan utama mereka, hal ini karena mahalnya

200Agus Sardjono, Kekayaan Intelektual dan Pengetahuan Tradisional, (Bandung:PT. Alumni, 2010),13

201Sangat, Harini M, “The Role of Local Knowledge in Developing Indigenous Indonesian Medicine”, Media Konservasi Vol.XI, No.1 (April 2006): 29-31

202Lihat Dewi Afilia, “Traditional Knowledge Database: a Defensive Measure Against Traditional Knowledge Cross Border Misapropriation”, (A Thesis of Master Program In Law and Technology Universiteit Van Tilburg), 5-7.

Page 194: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 186 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

obat farmasi, sehingga obat tradisional dipilih untuk berbagai penyakit ringan. Untuk itu, dengan mendorong konservasi dan melanjutkan penggunaan pengetahuan tradisional dapat berpotensi meningkatkan kehidupan jutaan orang.203

2. Melindungi pengetahuan tradisional dari penyalahgunaan Perlu disadari pula bahwa peluang ekonomi dari pemanfaatan

pengetahuan tradisional sangat besar. Perusahaan-perusahaan farmasi telah menunjukkan ketertarikan pada pengembangan dan penelitian produk obat alami dan hal ini merupakan suatu wilayah dimana masyarakat pengemban mungkin tertarik untuk bekerjasama atau berkolaborasi. Sebagai contoh MerLion Pharmaceuticals di Singapura memiliki kebutuhan struktur dan kemampuan komprehensif untuk penelitian obat berbasis bahan alami.204 Penelitian tersebut kemudian membutuhkan biaya yang mahal dan waktu yang panjang, penemu (perusahaan farmasi dan ilmuwan) tentu mencari pelindungan dibawah rezim hak paten untuk mengkompensasikan biaya dan waktu yang telah mereka keluarkan. Dibawah rezim ini, seorang penemu diberikan sebuah hak eksklusif untuk mengeksploitasi produk tersebut dan juga untuk melarang pihak lain untuk mengeksploitasi produk yang telah dipatenkan. Perusahaan-perusahaan menggunakan hak paten untuk menghalangi para kompetitor dari pasar mereka, atau mendapatkan biaya royalti yang besar. Ini menjadi perhatian utama dari negara berkembang dimana 85% hingga 90% dari kebutuhan hidup dasar dari orang-orang miskin di dunia bersandar pada penggunaan langsung dari sumber daya hayati dan pengetahuan tradisional terkait, baik untuk makanan, obat maupun tempat tinggal.205

3. Memberikan keuntungan ekonomi nasional Obat tradisional juga dapat digunakan sebagai input dalam

203Graham Dutfield, Protecting Traditional Knowledge: Pathways To The Future, International Centre for Trade and Development, http://www.iprsonline.org/unctadictsd/docs/Graham% 20final.pdf last (diakses pada tanggal 1 Maret 2010).

204Sufian Jusoh, “Developing Biotechnology Innovations Through Traditional Knowledge”, (Makalah pada penelitian di South Centre, Genewa, Switzerland, 2009), 6.

205Manuel Ruiz , The International Debate on Traditional Knowledge as Prior Art in The Patent System: Issues and Options For Developing Countries,(Centre For International Environmental Law, 2002), Paragraf 10.

Page 195: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 187 |

penelitian biomedis, hasilnya tidak hanya menjadi obat-obatan itu sendiri, tetapi juga sebagai sumber dari zat kimia yang membentuk basis obat-obatan farmasi. Selain itu, pengetahuan tradisional tidak hanya digunakan sebagai input pada industri farmasi tetapi juga pada botani, obat, kosmetik dan perlengkapan mandi, pestisida pertanian dan biologis.206 Namun, keuntungan ekonomi yang besar berasal dari pengembangan pengetahuan tradisional tidak disertai dengan kebijakan-kebijakan yang memungkinkan masyarakat pengemban mendapatkan keuntungan ekonomi yang besar pula. Kebijakan pada umumnya dibuat oleh negara-negara penyedia hanya ditujukan untuk mencegah perusahaan-perusahaan ataupun pihak lain dalam mendapatkan pengetahuan tradisional tanpa persetujuan masyarakat pengemban, namun tidak menyediakan mekanisme agar masyarakat mendapat profit melalui komitmen pembagian keuntungan.Alasan lain seperti keadilan (equity), konservasi dan preservasi,

serta promosi atas pemanfaatan dan pentingnya pengembangan pengetahuan tradisional (promotion of its use) juga menjadi pertimbangan agar pengetahuan tradisional mendapat pelindungan secara komprehensif. Mengingat bagi masyarakat pengemban kelangsungan dari pengetahuan tradisional menjadi isu terpenting.

Upaya pelindungan hukum atas pengetahuan tradisional juga telah dilakukan pemerintah Indonesia, namun secara faktual menunjukkan pengetahuan tradisional rentan penyalahgunaan. Hal ini dapat dilihat dari adanya pemberian hak paten di Jepang atas obat-obatan yang bahannya bersumber dari biodiversity dan pengetahuan tradisional Indonesia. Bahkan di Amerika Serikat terdapat 45 jenis obat penting yang berasal dari tumbuh-tumbuhan dan 14 jenis di antaranya berasal dari Indonesia, seperti tumbuhan “tapak dara”, yang berfungsi sebagai obat kanker.207 Pada tahun 1999, jamu obat herbal dari Indonesia juga digunakan untuk membantu mencerahkan warna kulit agar tampak lebih muda oleh Shishedo, sebuah perusahaan kosmetik Jepang dalam produknya. Kemudian, Shishedo mencoba mendaftarkan hak paten yanng berkaitan dengan produknya tersebut.208

206Graham Dutfield, Loc., Cit.207Agus Sardjono, Pengetahuan tradisional, (Universitas Indonesia: Jakarta, 2004), 1.208BioTani Indonesia Foundation, www.publiceye.ch/nominierungen. (diakses pada

Page 196: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 188 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

Penyalahgunaan yang rentan terjadi pada pengetahuan tradisional, sebagaimana digambarkan dalam paragraf sebelumnya, malah dilakukan dengan memanfaatkan regulasi di bidang paten. Hak paten yang diberikan atas pengetahuan tradisional tentunya akan memberikan kewenangan bagi pemegangnya untuk memonopoli penggunaannya. Ini berarti bahwa akses terhadap pengetahuan tradisional yang terdapat paten tersebut menjadi terbatas, bahkan bagi masyarakat pengemban pengetahuan tradisional itu sendiri.

Indonesia dalam kaitannya dengan pelindungan hukum atas pengetahuan tradisional sebenarnya telah memberlakukan seperangkat regulasi yang di transplantasi dari perjanjian internasional di bidang KI, yaitu the Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs). Beberapa regulasi dalam rezim hukum KI ini juga terus diperbaharui, seperti yang terkait dengan pengetahuan tradisional, Indonesia telah memberlakukan Undang-Undang No. 13 Tahun 2016 tentang Paten (UU Paten).

Keberadaan UU Paten ini menunjukkan adanya perkembangan yang signifikan dalam pelindungan hukum pengetahuan tradisional, apalagi pada beberapa Pasal secara khusus menyinggung pengetahuan tradisional. Perkembangan ini tentunya sangat baik, namun tentunya perkembangan ini juga harus dapat memberikan pelindungan hukum yang komprehensif terhadap pengetahuan tradisional. Isu inilah yang menjadi pokok pembahasan dalam tulisan ini, dengan tujuan untuk menunujukkan sampai sejauh mana selesa yang diberikan UU Paten dalam memberikan pelindungan hukum terhadap pengetahuan tradisional.

PEMBAHASAN

indonesia dan Pengetahuan Tradisionalnya

Pengertian dan Ruang Lingkup Pengetahuan Tradisional

Terdapat beberapa istilah yang digunakan untuk menggambarkan pengetahuan tradisional dalam literatur, namun yang paling umum digunakan adalah traditional knowledge. World Intellectual Property Organization (WIPO) sebagai lembaga dunia yang dibentuk untuk

tanggal 10 Juni 2017)

Page 197: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 189 |

mendorong kreativitas dan memperkenalkan pelindungan kekayaan intelektual ke seluruh dunia,209 menggunakan istilah ini untuk merujuk pada konten atau substansi pengetahuan yang berasal dari aktivitas intelektual dalam suatu konteks tradisional, termasuk pula know-how, keterampilan, inovasi, praktik dan pembelajaran yang membentuk bagian dari sistem pengetahuan tradisional dan pengetahuan yang mencakup gaya hidup tradisional dari masyarakatnya atau terkandung dalam sistem pengetahuan yang dikodifikasikan yang melintasi antar generasi. Pengetahuan tradisional tidak terbatas pada ranah teknis tertentu dan bisa meliputi pengetahuan pertanian, lingkungan dan kedokteran dan pengetahuan yang berhubungan dengan sumber daya genetik.210

Suatu konteks tradisional itu sendiri merujuk pada sistem pengetahuan, kreasi, inovasi dan ekspresi kultural yang umumnya telah disampaikan dari generasi ke generasi, dianggap berkaitan dengan masyarakat tertentu atau wilayahnya, telah dikembangkan secara non sistematis secara terus menerus sebagai respon dari lingkungan yang sedang berubah.211

Sementara Carlos M. Correa mengatakan pengetahuan tradisional mencakup informasi pada penggunaan biologi dan bahan-bahan lainnya bagi pengobatan medis dan pertanian, proses produksi, desain, litelatur, musik, upacara adat, dan teknik-teknik lainnya serta seni. Termasuk di dalamnya informasi tentang fungsi dan karakter estetika yang proses dan produknya dapat digunakan pada pertanian dan industri, seperti nilai budaya yang tidak berwujud.212

209Lihat paragraf kedua bagian pembukaan pada draf Convention Establishing the World Intellectual Property Organization yang ditandatangani di Stockholm pada tanggal 14 Juli 1967.

210WIPO Intergovernmental Committee on Intellectual Property and Genetic Resources, Traditional Knowledge and Folklore, “The Protection of Traditional Knowledge: Revise Objective and Principles”, Doc WIPO/GRTKF/IC/8/5, (Geneva, 2005):20

211World Intellectual Property Right, “Traditional Knowledge – Operational Terms And Definitions, Dokumen No. WIPO/GRTFK/IC/3/9, (Makalah disampaikan pada Intergovernmental Committee on Intellectual Property and Genetic Resources, Traditional Knowledge and Folklore, Geneva, 13-21 Juni 2002).

212Carlos M. Correa, Traditional Knowledge and Intellectual Property Issues and Options Surrounding the Protection of Traditional Knowledge A Discussion Paper, (Geneva: The Quaker United Nations Office (QUNO, 2002), 4.

Page 198: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 190 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

Pendapat lain mengemukakan bahwa pengetahuan tradisional adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu bentuk pengetahuan yang dibangun oleh sekelompok orang yang digunakan secara turun menurun yang berkaitan langsung dengan lingkungan/alam.213 Sementara itu, masyarakat asli sendiri umumnya memiliki pemahaman tersendiri mengenai pengetahuan tradisional yang dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Pengetahuan tradisional merupakan hasil pemikiran praktis yang didasarkan atas pengajaran dan pengalaman dari generasi ke generasi;

2. Pengetahuan tradisional merupakan pengetahuan dari daerah perkampungan;

3. Pengetahuan tradisional tidak dapat dipisahkan dari masyarakat pemegangnya, meliputi kesehatan, spiritual, budaya dan bahasa dari masyarakat pemegang. Hal ini merupakan way of life karena lahir dari semangat untuk bertahan;

4. Pengetahuan tradisional memberikan kredibilitas pada masyarakat pemegang.214

Melalui beberapa penjelasan di atas, maka pengetahuan tradisional dapat diartikan sebagai pengetahuan yang status dan kedudukannya ataupun penggunaannya merupakan bagian dari tradisi budaya masyarakat pengemban itu sendiri.215 Lingkupnya sendiri sangat luas, namun tulisan ini menyoroti pengetahuan non ekspresi secara umum, dan obat-obatan secara khusus.

Pengetahuan Tradisional bagi Masyarakat Pengemban di indonesia

Masyarakat pengemban tidak dapat dilepaskan dengan pengetahuan tradisionalnya, mereka hidup dengan cipta, rasa dan karsa yang melahirkan pengetahuan tradisional. Pengetahuan Tradisional

213Convention on Biological Diversity, “Traditional Knowledge And Biological Diversity, Dokumen No. UNEP/CBD/TKBD/1/2,” (Makalah Disampaikan Pada Workshop On Traditional Knowledge And Biological Diversity, Madrid, Spanyol, 24-28 november 1997).

214TRIP>s-WTO dan Hukum HKI Indonesia, Kajian Perlindungan Hak Cipta Seni Batik Tradisional Indonesia,( Jakarta:Rineka Cipta, 2005)

215 Lihat Henry Soelistyo Budi dalam Muhammad Djumhana, Perkembangan Doktrin dan Teori Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006), 14.

Page 199: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 191 |

ini berkembang dari pribadi menjadikannya terwujud dalam komunal, terus menurus berproses dalam kehidupan masyarakat, hingga bernegara.

Indonesia yang terdiri dari aneka ragam suku bangsa dan pulau-pulau, memiliki diversitas pengetahuan tradisional yang melimpah dengan berbagai jenisnya. Bahkan jika dirunut, pengetahuan yang ada saat ini merupakan hasil dialektika dari pengetahuan sebelumnya yaitu pengetahuan tradisional. Perkembangan pengetahuan sekarang ini merupakan kelanjutan dari pengetahuan tradisional, sehingga tidak bisa diputus lintasan perkembangannya.

Bagi masyarakat Indonesia pada umumnya, pengetahuan tradisional merupakan bagian integral dari kehidupan sosial masyarakat yang bersangkutan.216 Pengetahuan tradisional memiliki peran yang besar dalam rangka mempertahankan eksistensi masyarakat pengemban, mengingat dalam menjalani kehidupannya masyarakat pengemban sangat bergantung pada penegetahuan tradisionalnya.

Masyarakat pengemban tidak memikirkan bahwa pengetahuan tradisional mempunyai nilai ekonomis, yang mereka pahami adalah bahwa siapa saja boleh memanfaatkan pengetahuan tradisional untuk menolong orang sakit. Bagi masyarakat pengemban, pengetahuan tradisional bersifat terbuka. Artinya siapa saja termasuk orang asing pun boleh mempelajarinya dan menggunakannya untuk kepentingan diri sendiri.

Dalam menggunakan pengetahuan tersebut, para dukun sama sekali tidak memiliki motif ekonomi ketika mengobati orang sakit. Tujuannya semata-mata adalah menolong orang sakit. Bagi masyarakat pengemban, memberikan pengetahuan kepada orang lain merupakan amal kebajikan, kalaupun ada yang harus dirahasiakan biasanya hanya menyangkut aspek magis atau mistis.217

Hal yang demikian itu menunjukkan masyarakat pengemban sangat terbuka atas pengetahuan tradisional mereka. Bahkan dikatakan masyarakat pengemban tidak memperdulikan adanya penyalahgunaan. Namun, berdasarkan pertimbangan keadilan, maka sangat tidak adil

216Agus Sardjono, Membumikan HKI di Indonesia (Bandung : Nuansa Aulia, 2009), 160.

217 Agus Sardjono, Op. Cit.,113.

Page 200: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 192 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

apabila orang lain yang tidak berhak menikmati hasil komersialisasi atas pengetahuan tradisional dengan mengenyampingkan masyarakat pengembannya sendiri. Ironisnya lagi melalui pemberian paten terhadap pengetahuan tradisional, maka sifat pengetahuan tradisional yang tadinya terbuka menjadi tertutup. Ini berarti, pada gilirannya terdapat potensi bagi masyarakat pengemban untuk mengakses pengetahuan tradisionalnya.

Hukum Kekayaan intelektual di indonesia

Berbicara hukum KI di Indonesia, tentunya terlintas untuk merujuknya pada seperangkat regulasi dalam rezim hukum KI, termasuk pula UU Paten. Keberadaan regulasi ini tidak terlepas dari kuatnya arus globalisasi, yang memaksa setiap negara untuk ambil bagian dalam organisasi perdagangan dunia (WTO). Melalui WTO agreement, setiap negara anggota termasuk Indonesia harus menyetujui prinsip-prinsip dasar yang diterapkan unntuk mewujudkan pelindungan hukum atas KI yang turut terlampir didalamnya (TRIPs).

Indonesia dengan demikian memiliki keterikatan untuk menerapkan aturan hukum KI selaras dengan TRIPs ke dalam hukum nasionalnya. Transplantasi hukum yang dilakukan secara utuh ini merupakan konsekuensi dari penerapan azas kesesuaian penuh (full compliance), standar pelindungan hukum KI yang sama bagi semua negara anggota tanpa memperhatikan kepentingan nasional dari masing-masing negara tersebut (Article XVI TRIPs).218

Secara substansial, menurut John Marshall dan Doris Estelle Long aturan hukum KI konvensional yang termuat dalam TRIPs ini didasarkan pada konsep masyarakat barat yang individualistik dan kapitalistik. Karakter individualistik sangat jelas terlihat melalui gambaran umum pelindungan hukum KI di negara-negara maju yang hanya diberikan secara individu. Karakter kapitalistik juga sangat jelas terlihat melalui gambaran umum aturan hukum KI di negara maju yang lebih mementingkan pelindungan ekonomi (kapital), bahkan lebih dari individunya.219 Hal mana terlihat dari adanya kemungkinan pihak

218 Tri Setiady, “Harmonisasi Prinsip-Prinsip TRIPS Agreement dalam Hak Kekayaan Intelektual dengan Kepentingan Nasional,” Fiat Justisia Jurnal Ilmu Hukum, Volume 8 No. 4, (Oktober-Desember 2014), 602.

219Agus Sardjono, Hak Kekayaan Intelektual dan Pengetahuan Tradisional (Bandung : Alumni, 2010), 154-155.

Page 201: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 193 |

selain inventor sebagai pemegang haknya, seperti dalam hal employee’s invention berdasarkan doktrin work for hire, dimana perusahaan menjadi pemegang paten dalam semua penemuan karyawan-karyawannya.

Sistem KI konvensional pada konsep masyarakat barat ini tidak dapat dipisahkan dari pandangan masyarakat kapitalis yang memposisikan manusia sebagai pusat alam semesta (antroposentris) dengan semboyan carpe diem (nikmatilah kesenangan hidup).220 Pandangan ini pada gilirannya menganggap semua yang ada di alam semesta untuk mempertahankan eksistensi manusia, dengan demikian sangat mudah untuk mengambil segala sesuatu darinya. KI konvensional yang bermula dari Inggris ini kemudian diadopsi dan dikembangkan di Amerika ini memposisikan teori kepemilikan John Locke untuk meligitimasi sistem KI. Sebagaimana digambarkan oleh Debora J. Halbert, sebagai berikut:

“The philosophy of intellectual property has its roots in locke and hegel and hinges on the definition of intellectual work as private property.”221

Berbicara mengenai teori kepemilikan yang digunakan untuk meligitimasi pemberian hak dalam KI, sebenarnya ini bukan tindakannya yang tepat, karena terdapat kencenderungan dalam mengabaikan etika Locke. Kepemilikan dalam sistem KI ini hanya mempertimbangkan masalah kerja manusia (labor) atau masalah mencampurkan/ menambahkan sesuatu dengan yang sudah ada (mixing metaphor). Padahal, Locke menyampaikan etika lain dari perolehan kepemilikan, seperti masalah tentang ketersediaan untuk orang lain, masalah tak boleh mengambil lebih dari apa yang dibutuhkan dan masalah mempergunakan yang ada sejauh tidak menjadi rusak atau busuk.

Terkait dengan Indonesia, sebenarnya telah mengenal sistem KI tersendiri, berbeda dengan sistem KI konvensional. Sistem KI Indonesia didasarkan pada konsep masyarakatnya yang komunalistik dan spiritualistik. Dua karakter ini tidak terpisahkan dari nilai-nilai yang hidup dalam setiap suku dan budaya yang ada di Indonesia. Masyarakat khususnya pengemban pengetahuan tradisional berpandangan bahwa

220Mas’udi, “Posmodernisme dan Polemik Keberagamaan Masyarakat Modern (Antitesis Posmodernisme atas Dinamika Kehidupan Modernism”, Fikrah, Vol. 2, No. 1, ( Juni 2014), 232.

221Debora J. Halbert, Intellectual Property in The Information Age: The Politics of Expanding Ownership Rights (Westport: Quorum Books, 1999), 15.

Page 202: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 194 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

manusia merupakan bagian dari alam semesta (teosentris), sehingga KI yang dihasilkan merupakan wujud baktinya sebagai mahluk Tuhan yang pasti mati sesuai prinsip momento mori, untuk mempertahankan eksistensi manusia lainnya. Nilai-nilai ini sebenarnya telah terkristalisasi dalam Ideologi negara, yaitu Pancasila. Wujudnya adalah frasa “gotong-royong”222 dan “Ketuhanan yang Maha Esa”223 yang menggambarkan berakarnya nilai komunal dan spiritual pada setiap suku di bumi nusantara ini.

Pengetahuan tradisional sebagai salah satu bentuk dari objek pelindungan hukum dalam sistem KI Indonesia merupakan sebuah produk yang dalam prosesnya melibatkan banyak pihak. Pengetahuan tradisional juga terus berkembang secara dinamis sebagai respon dari perkembangan zaman. Masyarakat pengemban malah akan sangat senang, apabila terdapat banyak manfaat untuk sebanyak-sebanyaknya orang atas eksistensi pengetahuan tradisional mereka. Budaya yang melatarbelakanginya adalah budaya berbasis pemberian (gift-based culture).

Masyarakat demikian mencirikan masyarakat yang terbuka. Terkait dengan teori kepemilikan Locke dalam melegitimasi hasil dari aktivitas intelektual, maka akan lebih tepat teorinya diterapkan pada masyarakat terbuka, karena tidak ada etika Locke yang terabaikan. Pada masyarakat terbuka (open society), KI akan dibiarkan juga terbuka untuk masyarakat luas layaknya pengetahuan tradisional, sedangkan keuntungan yang diambil hanya dari produk berwujud, dengan demikian KI akan tetap dalam keadaan baik.

Pelindungan Hukum Pengetahuan Tradisional Dalam UU Paten indonesia

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, terdapat perbedaan karakteristik antara KI konvensional yang berkerakter individualistik-

222Begitu istimewanya nilai yang terkandung dalam frasa “gotong-royong” ini, sampai Soekarno selaku salah satu founding father mengatakan apabila Pancasila harus diperas jadi Ekasila, maka itu adalah gotong royong. Lihat Soekarno, Revolusi Indonesia: Nasionalisme, Marhaen dan Pancasila (Yogyakarta : Galang Press, 2006), 38-52.

223Ketuhanan merupakan kunci utama sehingga bermuara pada tujuan bangsa Indonesia. Nilai ini juga akan menghasilkan budi pekerti luhur, hormat-menghormati satu sama lain menjadi pilar utama yang mengkokohkan manusia agar berbudi nurani. Lihat Tantri Bararoh, “Eksplorasi nilai-nilai Marhaen dalam Penganggaran Daerah” (Seminar Nasional dan Call For Paper Program Studi Akuntansi-FEB UMS, 25 Juni 2014): 423-424.

Page 203: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 195 |

kapitalistik dengan pengetahuan tradisional yang berkarakter komunalistik-spiritualistik. Namun pada sisi lainnya terdapat persamaan, yaitu objek hukumnya merupakan hasil dari aktifitas intelektual manusia. Inilah yang mendasari adanya hubungan relasional diantara keduanya. Lebih lanjut menurut Bari Azed menyatakan similaritas antara keduanya, yaitu benda tidak berwujud (intangible), sebagai hasil dari aktivitas intelektual, dapat dijadikan modal kapital, hajat kehidupan orang banyak, hasil interaksi sosial dan atau alam, perlu mendapat penghargaan serta pelindungan.224

Terkait dengan regulasi yang ada di Indonesia, maka sampai saat ini pelindungan hukum atas pengetahuan tradisional masih terdapat dalam UU Paten. Pemberlakuan UU Paten sebagai perubahan dari UU yang sebelumnya merupakan sebuah perkembangan yang menunjukkan keseriusan pemerintah dalam mewujudkan pelindungan hukum pengetahuan tradisional, karena terdapat beberapa klausul yang menyinggung pengetahuan tradisional. Meskipun demikian, perlu kiranya menilik lebih dalam seberapa besar ruang yang diberikan dalam UU Paten tersebut dalam mewujudkan pelindungan hukum atas pengetahuan tradisional.

Sejalan dengan hal tersebut, WIPO mengajukan dua model pelindungan hukum terhadap pengetahuan tradisional. Pertama, pelindungan secara positif (positive protection). Terminologi ini merujuk pada usaha yang ditempuh melalui hukum positif sebagai mekanisme yang bertujuan untuk menghasilkan suatu kewenangan terhadap pengetahuan tradisional, baik pemberian hak, pembagian keuntungan (benefit sharing), maupun tujuan pelindungan hukum lainnya. Kedua, perlindungan yang bersifat mencegah (defensive protection). Terminologi ini merujuk pada mekanisme yang bertujuan untuk mencegah pemberian hak paten atas pengetahuan tradisional oleh pihak lain tanpa sepengetahuan dan izin dari masyarakat pengemban pengetahuan tradisional.225 Berdasarkan hal tersebut, maka keselesaan

224Bandingkan dengan Bari Azed sebagaimana dikutip dalam Prasetyo Hadi Purwandoko, “Model Pelindungan Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional dalam Ekspresi Budaya Masyarakat Lokal Surakarta dalam Sistem Hukum Hak Kekayaan Intelektual”, (Makalah disampaikan pada SEPAHAM Conference 2011 Rethinking Rule of Law and Human Rights, Surabaya, tanggal 20-22 September 2011): 10.

World Intellectual Property Right, “Practical Mechanisms 225 For The Defensive Protection Of Traditional Knowledge And Genetic

Page 204: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 196 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

yang diberikan UU Paten dalam memberikan pelindungan hukum akan dilihat melalui dua model pelindungan yang diajukan WIPO ini.

Pelindungan Positif

Pelindungan hukum terhadap pengetahuan tradisional yang dilakukan secara positif ini dilakukan dalam dua bentuk upaya hukum, yaitu dengan mengefektifkan penggunaan regulasi dalam rezim hukum KI terkait atau melalui pembentukan regulasi yang diberlakukan khusus untuk memberikan pelindungan terhadap pengetahuan tradisional (sui generis law).

Secara faktual, Indonesia saat ini telah memperbaharui beberapa regulasi di bawah rezim hukum KI, salah satunya terkait dengan pengetahuan tradisonal adalah UU Paten yang baru. Sedangkan terhadap regulasi yang bersifat sui generis sampai saat ini belum ada, meskipun terdapat beberapa Rancangan Undang-Undang (RUU), seperti RUU tentang Perlindungan dan Pemanfaatan Kekayaan Intelektual Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional yang diajukan Direktorat Jenderal KI, serta RUU tentang Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Daerah RI. Untuk itu, hukum positif yang memberikan pelindungan hukum terhadap pengetahuan tradisional saat ini adalah UU Paten.

Pelindungan positif, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya merupakan upaya yang ditempuh melalui hukum positif sebagai mekanisme yang bertujuan untuk menghasilkan suatu kewenangan terhadap pengetahuan tradisional, baik pemberian hak, pembagian keuntungan (benefit sharing), maupun tujuan pelindungan hukum lainnya. Setelah melihat UU Paten, maka mengenai pemberian hak ada diisyaratkan dalam Pasal 26 ayat (2), yang menyebutkan:

“Informasi tentang sumber daya genetik dan/atau pengetahuan tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh lembaga resmi yang diakui oleh pemerintah.”

Resources Within The Patent System, Dokumen no. WIPO/GRTKF/ Makalah Disampaikan Pada Intergovernmental Committee On) ,6/5/IC Intellectual Property And Genetic Resources,Traditional Knowledge And.(2003 Juli 15-7 ,Folklore, Fifth Session, Geneva

Page 205: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 197 |

Ketentuan ini menunjukkan akan tersedianya informasi pengetahuan tradisional, tentunya di dalam informasi tersebut akan disebutkan masyarakat pengemban dari pengetahuan tradisional tersebut. Namun memang, ketentuan ini sendiri belum tuntas menentukan pemegang haknya, apakah negara atau masyarakat pengemban yang memegang haknya, atau informasinya saja dipegang oleh negara, sedangkan pengetahuan tradisionalnya tetap dipegang oleh masyarakat pengemban. Isu ini tentunya belum terjawab dan berpotensi menimbulkan konflik kepemilikan.

Terhadap ketentuan yang menghasilkan wewenang terkait pembagian keuntungan (benefit sharing) juga diisyaratkan dalam Pasal 26 ayat (3), yang menyebutkan:

“Pembagian hasil dan/atau akses pemanfaatan sumber daya genetik dan/atau pengetahuan tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan perjanjian internasional di bidang sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional.”

Pada bagian penjelasan ayat (1) disebutkan, salah satu alasan yang mengharuskan penyebutan dengan benar asal suatu pengetahuan tradisional, jika paten yang diajukan berkatan dengan dan/aau berasal dari pengetahuan tradisional adalah untuk mendukung Access Benefit Sharing (ABS). Melalui ketentuan ini, maka ABS menjadi terbuka untuk pengetahuan tradisional, dengan memanfaatkan peraturan perundang-undangan dan perjanjian internasional di bidang pengetahuan tradisional. Pada bagian penjelasan ayat 3, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “perjanjian internasional” adalah perjanjian internasional yang telah diratifikasi Indonesia.

Pada saat ini, Indonesia telah mengesahkan perjanjian internasional terkait ABS dengan Undang-Undang No. 11 Tahun 2013 tentang Pengesahan Nagoya Protocol on Access to Genetic Resources and The Fair and Equitable Sharing of Benefits Arising from Their Utilization to The Convention on Biological Diversity (Protokol Nagoya Tentang Akses pada Sumber Daya Genetik dan Pembagian Keuntungan yang Adil dan Seimbang yang Timbul dari Pemanfaatannya atas Konvensi Keanekaragaman Hayati). Menurut Undang-Undang ini, negara

Page 206: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 198 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

berdasarkan kedaulatannya berhak mengontrol ABS atas pengetahuan tradisionalnya dengan adil dan seimbang.226

Perlu diperhatikan pula bahwa untuk merealisasikan terlaksananya ABS, maka informasi atas pengetahuan tradisional merupakan isu kunci. Dengan demikian, mengingat belum adanya ketersediaan informasi yang menurut Undang-Undang Paten yang harus ditetapkan oleh lembaga resmi yang diakui oleh pemerintah, maka sistem ABS ini tidak dapat dijalankan.

Pelindungan Negatif

Pelindungan hukum terhadap pengetahuan tradisional yang dilakukan secara defensif ini dapat dilihat dari aspek hukum, guna mengetahui bagaimana agar pengetahuan tradisional dapat dipertimbangkan sebagai prior art dan aspek praktis, guna mengetahui bagaimana memastikan pengetahuan tradisional tersedia dan terbuka untuk diakses serta dapat dibaca oleh otoritas dan atau petugas yang memeriksa paten.227

a. Aspek HukumMengingat maraknya penyalahgunaan terkait pemberian paten

yang salah terhadap pengetahuan tradisional, maka terdapat pula kebutuhan untuk mencegahnya sebagai upaya hukum defensif. UU Paten sendiri pada Pasal 3 ayat (1) memberikan unsur dalam pemberian paten, yang terdiri dari: kebaruan (novelty), langkah inventif (inventive step) dan dapat diterapkan dalam industri (industrial applicable). Berdasarkan hal tersebut, seharusnya memang tidak ada pemberian paten terhadap pengetahuan tradisional, yang notabene telah ada sebelumnya.

Celah ini juga sebenarnya dapat dimanfaatkaan, terdapat sistem prior art dalam hukum paten. Prior art atau (state of the art atau background art) pada sistem paten merujuk pada invensi sebelumnya,

226 Antonio Allem, “The Term Genetic Resources, Biological Resources and Biodiversity Examined”, The Enviromentalist, Vol. 20, No. 4, (December 2000), 338.

227 World Intellectual Property Right, “Defensive Protection Measures Relating To Intellectual Property, Genetic Resources And Traditional Knowledge: An Update, Dokumen no. WIPO/GRTKF/IC/6/8, (Makalah Disampaikan Pada Intergovernmental Committee On Intellectual Property And Genetic Resources,Traditional Knowledge And Folklore, Sixth Session,Geneva, 15-19 Maret, 2004).

Page 207: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 199 |

yang telah berbentuk informasi dan tersedia untuk umum. UU Paten memberikan ketentuan dalam Pasal 5 ayat (1), dengan menyebutkan:

“Invensi dianggap baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) jika pada Tanggal Penerimaan, Invensi tersebut tidak sama dengan teknologi yang diungkapkan sebelumnya.”

Terkait dengan frasa “teknologi yang diungkapkan sebelumnya” pada bagian penjelasan Pasal 3 ayat (1) itu sendiri disebutkan:

menyebutkan:

“Padanan istilah teknologi yang diungkapkan sebelumnya adalah state of the art atau prior art, yang mencakup literatur Paten dan bukan literatur Paten.”

Mengacu pada beberapa ketetuan tersebut, maka menunjukkan bahwa literatur yang bermuatan informasi pengetahuan dapat diklasifikasikan sebagai prior art dalam UU Paten. UU Paten tidak membatasi prior art hanya terkait dengan literatur paten, namun juga literatur non paten. Untuk itu, pencegahan pemberian paten terhadap pengetahuan tradisional menjadi lebih mungkin untuk dapat dicegah, dengan memanfaatkan informasi pengetahuan tradisional.

b. Aspek PraktisUU Paten sendiri telah mengisyaratkan untuk tersedianya

informasi tentang pengetahuan tradisional pada Pasal 26 ayat (2), yang mana informasi tersebut harus ditetapkan oleh lembaga resmi yang diakui oleh pemerintah. Secara faktual, sampai dengan saat ini informasi tentang pengetahuan tradisional tersebut masih belum ada. Dengan demikian, meskipun UU Paten memberikan keselesaan akan pelindungan hukum secara defensif dari aspek hukum terhadap pengetahuan tradisional, namun hal tersebut hanya merupakan sebuah gagasan yang diletakkan dalam UU saja, karena pemeriksa paten, pada kantor KI memerlukan akses terhadap informasi tersebut, agar tidak terjadi kesalahan dalam pemberian hak paten terhadap pengetahuan tradisional. Ketiadaan informasi inilah yang kemudian menjadi penyebab tidak dapat dijalankannya pelindungan hukum terhadap pengetahuan tradisional secara defensif.

Page 208: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 200 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

SiMPULAN

Melalui uraian di atas, maka dapat disimpulkan UU Paten memberikan keselesaan bagi pelindungan hukum atas pengetahuan tradisional baik secara postif maupun defensif. Secara positif, UU Paten memuat ketentuan yang menyebabkan terbukanya sistem ABS, dengan tunduk pada perjanjian internasional tentang ABS yang telah diratifikasi Indonesia, yaitu dari Protokol Nagoya. Menurut Protokol Nagoya negara berdasarkan kedulatannya berhak mengontrol ABS atas pengetahuan tradisionalnya dengan adil dan seimbang. Sedangkan secara defensif, dari aspek hukum, UU Paten memuat ketentuan yang memungkinkan informasi pengetahuan tradisional digunakan sebagai prior art. Namun dari aspek praktis, saat ini belum terdapat informasi pengetahuan tradisional yang disahkan oleh lembaga resmi yang diakui oleh pemerintah sebagaimana amanat UU Paten. Keselesaan yang diberikan UU Paten dalam memberikan pelindungan hukum terhadap pengetahuan tradisional menitikberatkan pada ketersedian informasi yang bermuatan pengetahuan tradisional agar keselesaan tersebut tidak hanya menjadi sebuah gagasan.

DAFTAR PUSTAKA

Allem, Antonio. “The Term Genetic Resources. Biological Resources and Biodiversity Examined”. The Enviromentalist. Vol. 20. No. 4. (December 2000).

Bararo, Tantri. “Eksplorasi nilai-nilai Marhaen dalam Penganggaran Daerah” (Seminar Nasional dan Call For Paper Program Studi Akuntansi-FEB UMS. 25 Juni 2014).

BioTani Indonesia Foundation. www.publiceye.ch/nominierungen. (diakses pada tanggal 10 Juni 2017)

Convention Establishing the World Intellectual Property Organization yang ditandatangani di Stockholm pada tanggal 14 Juli 1967.

Convention on Biological Diversity. “Traditional Knowledge And Biological Diversity. Dokumen No. UNEP/CBD/TKBD/1/2.” (Makalah Disampaikan Pada Workshop On Traditional

Page 209: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 201 |

Knowledge And Biological Diversity. Madrid. Spanyol. 24-28 november 1997).

Correa, Carlos M. Traditional Knowledge and Intellectual Property Issues and Options Surrounding the Protection of Traditional Knowledge A Discussion Paper. Geneva: The Quaker United Nations Office QUNO. 2002.

Dewi Afilia. “Traditional Knowledge Database: a Defensive Measure Against Traditional Knowledge Cross Border Misapropriation”. (A Thesis of Master Program In Law and Technology Universiteit Van Tilburg).

Djumhana, Muhammad. Perkembangan Doktrin dan Teori Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual. Bandung: Citra Aditya Bakti. 2006.

Dutfield, Graham. Protecting Traditional Knowledge: Pathways To The Future. International Centre for Trade and Development. http://www.iprsonline.org/unctadictsd/docs/Graham% 20final.pdf last (diakses pada tanggal 1 Maret 2010).

Halbert, Debora J. Intellectual Property in The Information Age: The Politics of Expanding Ownership Rights. Westport: Quorum Books, 1999

Mas’udi. “Posmodernisme dan Polemik Keberagamaan Masyarakat Modern (Antitesis Posmodernisme atas Dinamika Kehidupan Modernism”. Fikrah. Vol. 2. No. 1. ( Juni 2014)

Purwandoko, Prasetyo Hadi. “Model Pelindungan Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional dalam Ekspresi Budaya Masyarakat Lokal Surakarta dalam Sistem Hukum Hak Kekayaan Intelektual”. (Makalah disampaikan pada SEPAHAM Conference 2011 Rethinking Rule of Law and Human Rights. Surabaya. tanggal 20-22 September 2011).

Ruiz , Manuel. The International Debate on Traditional Knowledge as Prior Art in The Patent System: Issues and Options For Developing Countries.(Centre For International Environmental Law. 2002)

Sangat. Harini M. “The Role of Local Knowledge in Developing Indigenous Indonesian Medicine”. Media Konservasi Vol.XI. No.1 (April 2006).

Sardjono, Agus. Pengetahuan tradisional. Universitas Indonesia: Jakarta.

Page 210: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 202 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

2004.

-------------------. Membumikan HKI di Indonesia. Bandung : Nuansa Aulia. 2009.

-------------------. Hak Kekayaan Intelektual dan Pengetahuan Tradisional. Bandung : Alumni. 2010.

Setiady, Tri. “Harmonisasi Prinsip-Prinsip TRIPS Agreement dalam Hak Kekayaan Intelektual dengan Kepentingan Nasional.” Fiat Justisia Jurnal Ilmu Hukum. Volume 8 No. 4. (Oktober-Desember 2014)

Soekarno. Revolusi Indonesia: Nasionalisme. Marhaen dan Pancasila (Yogyakarta : Galang Press. 2006)

Sufian Jusoh. “Developing Biotechnology Innovations Through Traditional Knowledge”. (Makalah pada penelitian di South Centre. Genewa. Switzerland. 2009)

TRIP’s-WTO dan Hukum HKI Indonesia. Kajian Perlindungan Hak Cipta Seni Batik Tradisional Indonesia.( Jakarta:Rineka Cipta. 2005).

World Intellectual Property Right. “Traditional Knowledge – Operational Terms And Definitions. Dokumen No. WIPO/GRTFK/IC/3/9. (Makalah disampaikan pada Intergovernmental Committee on Intellectual Property and Genetic Resources. Traditional Knowledge and Folklore. Geneva. 13-21 Juni 2002).

----------------------------------------. “Practical Mechanisms For The Defensive Protection Of Traditional Knowledge And Genetic Resources Within The Patent System. Dokumen no. WIPO/GRTKF/IC/5/6. (Makalah Disampaikan Pada Intergovernmental Committee On Intellectual Property And Genetic Resources.Traditional Knowledge And Folklore. Fifth Session. Geneva. 7-15 Juli 2003).

-----------------. “Defensive Protection Measures Relating To Intellectual Property. Genetic Resources And Traditional Knowledge: An Update. Dokumen no. WIPO/GRTKF/IC/6/8. (Makalah Disampaikan Pada Intergovernmental Committee On Intellectual Property And Genetic Resources.Traditional Knowledge And Folklore. Sixth Session.Geneva. 15-19 Maret.

Page 211: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 203 |

2004).

----------------. “The Protection of Traditional Knowledge: Revise Objective and Principles”. Doc WIPO/GRTKF/IC/8/5. (Geneva. 2005).

Page 212: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 204 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

aPaKaH UNDaNG-UNDaNG MErEK “BENar-BENar” MELINDUNGI KONsUMEN?

Henny MarlynaFakultas Hukum Universitas Indonesia

email: [email protected]

ABSTRAK

Hakikat perlindungan Hak Kekayaan Intelektual adalah melindungi hak-hak perdata. Dalam Dalam paragraf keempat bagian pendahuluan dari Perjanjian Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (Perjanjian TRIPs) disebutkan bahwa “negara anggota WTO mengakui bahwa Hak Kekayaan Intelektual adalah hak perdata. Oleh karena itu sebagai bagian dari HKI, maka merek juga dikenal sebagai hak perdata. Namun demikian, pada perkembangan awalnya hukum merek diyakini ditujukan untuk melindungi konsumen dari penipuan serta mengurangi biaya penelusuran konsumen. Berbeda dari HKI lainnya, tujuan dari Hukum Merek bukan untuk memberikan insentif atas hasil inovasi, melainkan untuk melindungi simbol-simbol sebagai penanda sumber, yang digunakan oleh konsumen untuk mengakses informasi mengenai kualitas dari suatu produk. Dalam hal ini kepemilikan akan suatu merek diberikan kepada seseorang yang menggunakan merek dalam perdagangannya, bukan karena ia menciptakan merek tersebut, tetapi karena orang tersebut secara yakin menempatkan dan dengan motivasi yang kuat mempertahankan kepentingan publik yang lebih luas pada kemampuan merek secara akurat mengidentifikasi sumber dari suatu produk dimana merek tersebut dilekatkan. Artikel ini mengkaji apakah Undang-Undang No. 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis benar-benar melindungi konsumen. Hal ini penting untuk dikaji mengingat usulan mengenai pengaturan perlindungan konsumen terhadap produk yang melanggar hak kekayaan intelektual dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen pada akhirnya dihapuskan dengan alasan telah diatur dalam undang-undang di bidang hak kekayaan intelektual. Penelitian yuridis normatif ini menyimpulkan bahwa Undang-Undang No. 20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis hanya melindungi konsumen di Indonesia dalam tataran filosofis yaitu mewujudkan

Page 213: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 205 |

keadilan dan keseimbangan dalam perlindungan merek, dalam hal ini melindungi pemilik merek dan konsumen.

PENDAHULUAN

Merek sebagai bagian dari Hak Kekayaan Intelektual (yang selanjutnya disebut “HKI”), pada dasarnya merupakan hak privat yang memberikan perlindungan kepada pemiliknya. Dalam paragraf keempat bagian pendahuluan dari Perjanjian Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (Perjanjian TRIPs) disebutkan bahwa “negara anggota WTO mengakui bahwa Hak Kekayaan Intelektual adalah hak perdata. Oleh karena itu sebagai bagian dari HKI, maka merek juga dikenal sebagai hak perdata.

Dalam sistem perlindungan merek, hak atas merek merupakan hak privat untuk mengklaim kepemilikan eksklusif dari suatu merek.228 Merek mempunyai fungsi untuk melindungi pemiliknya dari kompetitor lainnya yang sama-sama memproduksi atau memperdagangkan produk yang sama. Dalam hal ini merek berfungsi sebagai alat untuk menjamin persaingan usaha yang sehat.229

Selain berfungsi melindungi hak perdata dari pemiliknya, merek juga mempunyai fungsi melindungi kepentingan publik, dalam hal ini konsumen. Merek mempunyai fungsi yang penting sebagai penghubung pelaku usaha dengan konsumen. Suatu merek merupakan saluran komunikasi yang memampukan pemilik merek mennyampaikan informasi mengenai kualitas dan wibawa suatu produk kepada konsumen.230 Dengan adanya merek, maka konsumen mampu secara benar membedakan antara suatu produk dengan produk lainnya. Dalam hal ini perlindungan merek bermanfaat tidak hanya bagi produsen, tetapi juga bagi konsumen dan masyarakat pada umumnya.

228Shoen Ono, Overview of Japanese Trademark Law, (Yuhikaku, 1999) hal. 1-2 https://www.iip.or.jp/e/e_publication/ono/ch7.pdf, diakses pada 5 Juli 2017

229 Yan Basire, The Patrimonial Function of Trademark, Comparatie IP Academic Workshop Working Paper No. 5, 2009, https://www.law.washington.edu/casrip/wwip/papers/2009/the%20patrimonial%20function%20of%20the%20trademark.pdf, diakses pada 27 Juli 2017.

230 Ansgar Ohly, TRIPSs and Consumer Protection, dalam H. Ullrich et al. (eds.),TRIPS plus 20, MPI Studies on Intellectual Property and Competition Law 25,( Springer-Verlag Berlin Heidelberg 2016), hal. 693-694.

Page 214: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 206 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

Dalam Rancangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen terdapat usulan beberapa pasal mengenai perlindungan konsumen terkait HKI. Namun pada akhirnya Dewan Perwakilan Rayat dan Pemerintah menyetujui pasal-pasal tersebut dihapuskan. Adapun alasannya adalah bahwa perlindungan konsumen dalam hal pelaku usaha melanggar HKI telah diatur dalam Undang-Undang mengenai HKI. Dengan demikian, menarik untuk dikaji apakah Undang-Undang No. 20 Tahun 2016 tentang Merek (yang selanjutnya disebut sebagai “UU Merek dan IG”) melindungi konsumen di Indonesia.

Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif yang akan mengkaji teori-teori mengenai perlindungan merek serta undang-undang merek di Indonesia tekait permasalahan tersebut di atas. Data-data yang dikumpulkan selanjutnya akan dianalisis secara kualitatif untuk menghasilkan kesimpulan atas permasalahan hukum yang diteliti.

PEMBAHASAN

Perkembangan Pemikiran Hukum Merek dalam Melindungi Konsumen

Tujuan dari hukum merek adalah dan akan selalu menjadi, untuk meningkatkan kualitas informasi di pasar dengan mengurangi biaya penelusuran konsumen (consumer search cost). Secara konvensional merek diyakini sebagai alat yang dengannya konsumen dapat mengumpulkan informasi mengenai barang atau jasa. Oleh karena itu hukum merek bermanfaat bagi konsumen dalam arti yang sempit, yaitu melindungi konsumen dari penipuan membeli yang tidak mereka inginkan) dan dalam arti luas (dengan memampukan konsumen untuk mengandalkan pada indikator sumber dan mengurangi biaya penelusuran konsumen akan suatu produk yang ada di pasar).231

Berbeda dari HKI lainnya, tujuan dari Hukum Merek bukan untuk memberikan insentif atas hasil inovasi, melainkan untuk melindungi simbol-simbol sebagai penanda sumber, yang digunakan oleh konsumen untuk mengakses informasi mengenai kualitas dari suatu

231William M. Landers dan Richard A Posner, The Economic Structure of Intellectual Property Law, 166-168 (Belknap Press, 2003).

Page 215: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 207 |

produk.232 Oleh karenanya semua simbol dapat dilindungi sepanjang memiliki kemampuan sebagai penanda sumber. Dengan demikian maka fungsi merek tidak semata-mata memberikan perlindungan terhadap suatu properti, tetapi lebih untuk memajukan persaingan usaha di pasar. 233

Dalam hal ini kepemilikan akan suatu merek diberikan kepada seseorang yang menggunakan merek dalam perdagangannya, bukan karena ia menciptakan merek tersebut, tetapi karena orang tersebut secara yakin mengempatkan dan dengan motivasi yang kuat mempertahankan kepentingan publik yang lebih luas pada kemampuan merek secara akurat mengidentifikasi sumber dari suatu produk dimana merek tersebut dilekatkan.234 Hukum merek didasarkan untuk melindungi konsumen dari penipuan.235 Lebil lanjut Lunney berpendapat bahwa dengan memampukan konsumen untuk menghubungkan informasi akan suatu produk menjadi lebih akurat, merek membantu konsumen untuk mengekspresikan secara lebih akurat, pilihan dan selera mereka akan ciri-ciri, kualitas dan harga dari produk yang sangat beragam yang ada di pasar.236

Stacey Dogan dan Mark Lemley juga mempunyai pendapat yang sama bahwa hukum merek dirancang untuk mengurangi biaya penelusuran konsumen dan memberikan suatu perusahaan insentif untuk berinvestasi dalam kualitas suatu barang atau jasa. 237 Dikarenakan konsumen adalah penerima manfaat utama dari perlindungan merek, oleh karenanya lebih masuk akan untuk memberikan hak untuk mengendalikan penggunaan merek kepada konsumen, bukan produsen.238

Didasarkan pada premis dasar bahwa hukum merek dirancang untuk melindungi konsumen, yaitu mengurangi biaya penelusuran

232Robert G. Bone, Trademark Functionality Reexamined, Journal of Legal Analysis Spring 2015: Volume 7, Number 1, hal. 184.

233Ibid.234 Glynn S. Lunney, Jr., Trademark Monopolies, 48 Emory Law Journal, 267-246, hal.

417 (1999).235Ibid.236 Ibid, hal 432.237Stacey L. Dogan dan Mark A. Lemley, The Merchandising Rights: Fragile Theory on

fait Accompli?, 54 Emory Law Journal, 461,hal. 467 (2005).238Ibid., hal 479.

Page 216: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 208 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

konsumen, banyak komentator yang mengkritik perkembangan doktrinal dari hukum merek modern yang tidak lagi termotivasi untuk melindungi konsumen.239 Misalnya mengenai dilusi dan perluasan perlindungan trade dress. Kritik-kritik tersebut ditujukan dengan argumen telah terjadinya peralihan perlindungan merek dari yang didasarkan pada perlindungan dari kebingungan konsumen, menjadi perlindungan terhadap properti.240

Terhadap pemikiran sebagaiman diuraikan di atas, Mark P McKenna mempunyai pemikiran yang berbeda. Menurutnya Hukum Merek sebenarnya secara tradisional tidak ditujukan untuk melindungi konsumen. Sebagaimana halnya hukum mengenai persaingan usaha, dalam hal ini Hukum Merek sesungguhnya ditujukan untuk melindungi produsen dari kompetitornya. Menurutnya, putusan pengadilan dalam kasus merek tidak memfokuskan pada penipuan kepada konsumen, melainkan penipuan yang terkait dengan persaingan usaha yang tidak sehat. Dalam hal ini pengadilan menampikkan adanya kebingungan konsumen karena penggugat tidak dapat membuktikan tindakan yang dilakukan oleh tergugat membuat konsumen yang tadinya akan membeli barang dari penggugat kemudian beralih kepada tergugat.241

Oleh karenanya McKenna berpendapat bahwa kritik yang disampaikan banyak komentator bahwa Hukum Merek Modern yang kini telah berkembang sehingga menjadi kebijakan di bidang industri yang ditujukan untuk melindungi nilai dari suatu merek, yang sudah berbeda jauh dari fokus awalnya, adalah tidak tepat. Sesungguhnya hukum merek memang tidak pernah benar-benar melindungi konsumen.242 Dari putusan-putusan pengadilan untuk kasus-kasus lama di bidang merek, dapat diketahui dari konteks historis dan filosofisnya, bahwa hukum merek tidak pernah fokus untuk melindungi konsumen.243

Lebih lanjut McKenna berpendapat bahwa perbedaan dalam perkembangan hukum merek yang tradisional dengan hukum merek

239Mark P. McKenna, The Normative Foundation of Trademark Law, dalam Notre Dame Law Review, Vol 82:5, 2007, hal . 1846. (1839-1916)

240Ibid., hal. 1846.241Ibid., hal. 1841. 242Ibid., hal. 1915-1916.243Ibid., hal. 1841.

Page 217: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 209 |

modern bukan pada adanya pergeseran fokus dari konsumen kepada produsen. Perbedaannya adalah pada pemahaman mengenai apa yang dapat dihasilkan oleh suatu merek, bagaimana merek dapat memberikan nilai tambah. Putusan pengadilan (hukum merek tradisional) melihat merek tidak lebih dari alat yang membantu konsumen mempertemukan suatu produk dengan produsennya. Merek penting bagi produsen karena konsumen yang puas akan suatu produk dapat menggunakan merek tersebut untuk menemukan kembali produk tersebut di pasar. Oleh karena itu merek hanya merupakan instrumen dari produsen, yang sebenarnya merupakan tujuan satu-satunya dari perlindungan merek. Hukum Merek modern sebaliknya melihat merek sebagai suatu tempat penyimpanan dari nilai dan makna (merek), sehingga hanya memenuhi tujuan kebijakan di bidang industri yaitu meningkatkan nilai merek (brand value).244

Usulan Perlindungan Konsumen terkait HKi dalam RUU Perlindungan Konsumen dan Pembahasannya

Dalam naskah Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen yang merupakan inisiatif dari Dewan Perwakilan Rakyat terdapat 4 (empat) usulan ketentuan terkait Hak Kekyaan Intelektual yaitu sebagai berikut:

1. Hak konsumen untuk mendapatkan produk yang tidak melanggar ketentuan hak atas kekayaan intelektual” (Pasal 4 huruf h, Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) nomor 45).245

2. Kewajiban konsumen yaitu menghargai ketentuan hak atas kekayaan intelektual (Pasal 5 huruf d, Daftar Inventarisasi Masalah nomor 52).246

3. Kewajiban Pelaku usaha untuk menghasilkan dan/atau memperdagangkan produk yang tidak melanggar ketentuan hak atas kekayaan intlektual (Pasal 7 huruf e, Daftar Inventarisasi Masalah Nomor 66);247 dan

4. Ketentuan mengenai perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha,

244Ibid., hal. 1843.245Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat, Proses Pembahasan Rancangan

Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen, ( Jakarta, 2001), hal 255.246Ibid, hal 256.247Ibid, hal 259.

Page 218: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 210 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

yaitu “Pelaku usaha dilarang memperdagangkan produk yang rusak, tercemar dan/atau hasil pelanggaran Hak Atas Kekayaan Intelektual” (Pasal 8 ayat (2), Daftar Inventarisasi Masalah nomor 84).248

Namun demikian dalam pembahasannya, usulan-usulan tersebut oleh pemerintah diusulkan untuk dihapus dengan argumen bahwa hal tersebut sudah diatur dalam Undang-Undang HAKI. Dalam Rapat Kerja Panitia Khusus Ke-2 pembahasan RUU tentang Perlindungan Konsumen dengan Menteri Perindustrian dan Perdagangan tanggal 5 Maret 1999, usulan dihapuskannya ketentuan tersebut disampaikan langsung oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan pada waktu itu yaitu Prof. Ir. Rahardi Ramelan, M.Sc.249

Usulan tersebut ditentang oleh anggota DPR dari Fraksi Karya Pembangunan yaitu Ny. Hj. Lydia Arlini Rianzi Julidar, yang menyampaikan sebagai berkut:

“Kami beranggapan bahwa undang-undang atau masalah HAKI dan lingkungan hidup ini adalah sesuatu masih baru dan perlu perhatian yang lebih dalam lagi bagi kita semua. Karena itu tidak ada salahnya untuk dicantumkan, dan malah akan lebih perlu dicantumkan, dan untuk memperkuat Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini.”250

Menanggapi keberatan yang disampaikan tersebut, selanjutnya Menteri Perindustrian dan Perdagangan menyarankan agar hal ini dibahas lebih lanjut di Panitia Kerja.251 Usulan tersebut kemudian disepakati oleh rapat.252

Dalam Rapat Panitia Kerja ke-1 pada 9 Maret 1999, Kepala BPPIP Depperindag, Dr. Rosediana Suharto, M.S.c. menyampaikan pendapatnya mengenai perlu tidaknya memasukkan kata-kata HAKI dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Beliau menyampaikan bahwa memasukkan kata-kata HAKI nantinya akan memberatkan konsumen, karena apabila konsumen menggunakan barang yang melanggar HAKI, maka konsumen tersebut dianggap

248Ibid, hal 259.249Ibid., hal. 361250Ibid.251Ibid.252Ibid.

Page 219: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 211 |

juga tidak melakukan kewajibannya.253 Undang-undang HAKI pada umumnya juga hanya membahas hak paten dan Hak Kekayaan Intelektual yang dimiliki oleh pengusaha lain kemudian digunakan oleh pengusaha lain.254 Oleh karena itu dalam Undang-undang HAKI tidak ada satu katapun yang menyatakan bahwa konsumen dilindungi terhadap barang-barang yang dipalsukan oleh pengusaha, karena yang diatur dalam undang-undang tersebut adalah pengusahanya.255 Selain itu beliau juga menyampaikan dalam beberapa Undang-Undang Konsumen dari negara-negara lain tidak ditemukan kata-kata HAKI. 256

Dalam Rapat Panitia Kerja ke-7 pada 17 Maret 1999, yang menyampaikan keputusan rapat diketahui bahwa terhadap DIM No. 45, 52, 66 dan 84, disetujui untuk dihapus, dengan catatan bahwa masalah yang berkaitan dengan HAKI diserahkan kepada Tim Kecil untuk dirumuskan dalam Penjelasan Umum.257

Pada akhirnya dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang diundangkan pada 20 April 1999 dapat dilihat perumusan akhir mengenai permasalahan ini dalam bagian penjelasan umum, paragraf 11 sebagai berikut:

“Perlindungan konsumen dalam hal pelaku usaha melanggar Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI) tidak diatur dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen ini karena sudah diatur dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen ini karena sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang Hak Cipta, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1997 tentang Paten, dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Merek, yang melarang menghasilkan atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang melanggar ketentuan tentang HAKI.”

Ketentuan Terkait Perlindungan Kosumen dalam UU Merek: Hanya Melindungi Konsumen dalam Tataran Filosofis

Dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, kata “konsumen” yang muncul sebanyak 3 (tiga) kali, yaitu sebagai berikut:

253Ibid, hal. 549.254Ibid, hal. 550.255Ibid, hal. 549.256Ibid, hal. 549.257Ibid, hal. 970-971

Page 220: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 212 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

a. Bagian Konsiderans (Menimbang) huruf a:“bahwa di dalam era perdagangan global, sejalan dengan konvensi internasional yang telah diratifikasi Indonesia, peranan Merek dan Indikasi Geografis menjadi sangat penting terutama dalam menjaga persaingan usaha yang sehat, berkeadilan, perlindungan konsumen, serta perlindungan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dan industri dalam negeri”.

b. Penjelasan Pasal 21 ayat (3) mengenai siapa yang dimaksud dengan “Pemohon yang beritikad tidak baik” yaitu sebagai berikut:

“Pemohon yang patut diduga dalam mendaftarkan Mereknya memiliki niat untuk meniru, menjiplak, atau mengikuti Merek pihak lain demi kepentingan usahanya menimbulkan kondisi persaingan usaha tidak sehat, mengecoh, atau menyesatkan konsumen.”

c. Penjelasan Pasal 76 ayat (1) mengenai siapa yang dimaksud dengan pihak yang berkepentingan yang dapat mengajukan permohonan pembatalan merek sebagai berikut:

“Yang dimaksud dengan pihak yang berkepentingan antara lain pemilik Merek terdaftar, jaksa, yayasan/lembaga di bidang konsumen, dan majelis/lembaga keagamaan.”

Dari ketiga aturan tersebut di atas pelindungan konsumen dalam UU Merek dan GI hanyalah terdapat pada bagian konsiderans. Menurut Maria Farida, bagian konsiderans memuat uraian singkat mengenai pokok-pokok pikiran yang menjadi latar belakang dan alasan pembuatan peraturan perundang-undangan.258 Bagian konsiderans undang-undang memuat unsur-unsur filosofis, yuridis, dan sosiologis yang menjadi latar belakang pembuatannya.259 Adapun penulisan ketiga unsur tesebut ditempatkan secara berurutan dari filosofis, sosiologis, dan yuridis.260

Lampiran No. 19 dari Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan memberikan penjelasan mengenai apa yang dimaksud dari unsur-unsur tersebut yaitu:

258Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-Undangan (2): Proses dan Teknik Pembentukannya ,(Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2007), hal. 108.

259Ibid.260Lampiran nomor 19, Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan, hal. 11.

Page 221: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 213 |

1. Unsur filosofis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Unsur sosiologis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek;

3. Unsur yuridis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat.Selanjutnya landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis dari suatu

undang-undang dapat dilihat lebih jelas dalam Bab IV Naskah Akademik rancangan undang-undang tersebut.261 Dalam Naskah Akademik Peraturan Perundang-Undangan RUU tentang Merek yang disusun oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, disebutkan

261Lampiran I mengenai Tehnik Penyusunan Naskah Akademik Rancangan, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, dan rancangan Peraturan Daerah Kabupaten dan Kota, dijelaskan apa yang dimaksud dengan landasan filosofis, sosiologis dan yuridis dalam suatu naskah akademik yang mempunyai konsep yang sama dengan unsur filosofis, sosiologis dan yuridis dalam bagian konsiderans suatu undang-undang yaitu sebagai berikut:

Landasan filosofis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Landasan sosiologis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. Landasan sosiologis sesungguhnya menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan masalah dan kebutuhan masyarakat dan Negara;

Landasan yuridis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat. Landasan yuridis menyangkut persoalan hukum yang berkaitan dengan substansi atau materi yang diatur sehingga perlu dibentuk Peraturan Perundang-Undangan yang baru. Beberapa persoalan hukum itu, antara lain, peraturan yang sudah ketinggalan, peraturan yang tidak harmonis atau tumpang tindih, jenis peraturan yang lebih rendah dari Undang-Undang sehingga daya berlakunya lemah, peraturannya sudah ada tetapi tidak memadai, atau peraturannya memang sama sekali belum ada.

Page 222: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 214 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

bahwa yang dijadikan landasan filosofis dalam RUU Merek adalah tercapainya keseimbangan dan keadilan dalam mengimplementasi sistem Merek, namun dengan tetap memperhatikan kepastian hukum dalam penegakan hukumnya serta memperhatikan kepentingan ekonomi nasional.262 Adapun yang dimaksud dengan keseimbangan dan keadilan tersebut adalah melindungi kepentingan pemilik Merek serta melindungi khalayak ramai terhadap tiruan atau pemalsuan barang-barang dan jasa yang membonceng suatu barang atau jasa yang sudah terkenal sebagai barang dan jasa yang bermutu baik dan unggul. 263 Perlindungan terhadap khalayak ramai ini dapat dipersamakan dengan perlindungan terhadap konsumen.

Landasaan filosofis sebagaimana tercantum dalam Naskah Akademik tersebut diturunkan dalam bagian konsiderans huruf a dari UU Merek dan IG. Oleh karena itu UU Merek dan IG melindungi konsumen namun hanya terbatas pada tataran filosofis terkait fungsi dari merek yang juga melindungi khalayak ramai (konsumen).

Konsumen Tidak Berdaya terhadap Pelanggaran Merek

Meskipun Hak Kekayaan Intelektual merupakan hak privat, namun terkait dengan pemalsuan (counterfeiting) yang merupakan pelanggaran merek dan pembajakan (piracy) yang merupakan pelanggaran Hak Cipta, dampak ekonomisnya terhadap masyarakat menyebabkan perlunya menerapkan sanksi pidana264. Kasus-kasus yang menggangu pasar dan perkembangan ekonomi dapat mengakibatkan kerugian yang besar bagi negara dan masyarakat, sehingga dalam hal ini sanksi pidana perlu diterapkan untuk menghasilkan efek jera kepada pelakunya.265 Pemalsuan dan pembajakan seringkali merupakan hasil tindak pidana yang terkait dengan kepentingan publik seperti masalah kesehatan dan pencegahan tindak pidana yang terorganisir.266

262Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Naskah Akademik Peraturan Perundang-undangan RUU tentang Merek, ( Jakarta: 2015), hal. 59.

263Ibid., hal. 58.264World Intellectual Property Organization, The Enforcement of Intellectual

Property Right: A Case Book. 3rd Edition. (2012) diakses dari: http://www.wipo.int/edocs/pubdocs/en/intproperty/791/wipo_pub_791.pdf, hal. 23.

265Cao Jianming (2004), New Development of IP Judicial Protection, Zhishi Chanquan (Intellectual Property), 14(82) ( July): 9–12., hal.66.

266World Intellectual Property Organization, The Enforcement of Intellectual Property Right: A Case Book.

Page 223: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 215 |

Namun demikian UU Merek dan IG mengatur bahwa tindak pidana dalam undang-undang tersebut merupakan delik aduan sebagaiman disebutkan dalam Pasal 102. Dalam hal ini hanya pemilik merek terdaftar yang dapat melaporkan adanya pelanggaran merek. Dalam prakteknya ketika melakukan pelaporan, pemilik merek diminta untuk menyampaikan bukti sertifikat kepemilikan merek yang diduga telah dilanggar oleh pihak ketiga.

UU Merek dan IG juga tidak memungkinkan konsumen yang mengalami kerugian akibat membeli barang yang misalnya ternyata palsu, untuk menuntut ganti kerugian kepada pelaku usaha yang memproduksi atau memperdagangkan barang palsu tersebut. Sesuai Pasal 83 dari UU Merek dan IG, hanya pemilik merek terdaftar atau penerima lisensi yang dapat mengajukan gugatan ganti kerugian.

Oleh karena itu apabila terjadi pelanggaran merek misalnya memproduksi atau memperdagangkan barang palsu yang merugikan atau dapat merugikan konsumen, upaya penegakan hukumnya sangat tergantung pada inisiatif dari pemilik merek terdaftar. Kondisi ini dapat meningkatkan jumlah pelaku usaha yang memproduksi atau memperdagangkan produk yang palsu. Risiko mereka akan dilaporkan atau digugat oleh pemilik merek yang sebenarnya dianggap rendah karena pemilik merek relatif akan melakukan pembiaran karena pertimbangan ekonomis yaitu biaya untuk proses hukum yang diambil. Dalam hal ini konsumenlah yang akan menjadi pihak yang dirugikan. Konsumen yang tidak mampu membedakan barang yang asli atau palsu akan mengalami kerugian, namun di sisi lain tidak berdaya untuk melakukan upaya hukum berdasarkan UU Merek dan IG.

Perlindungan konsumen dari kerugian akibat adanya pelanggaran merek tersebut lebih disandarkan pada peraturan hukum lainnya misalnya UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Namun ketiadaan larangan bagi pelaku usaha menjual produk yang melanggar HKI dalam UU Perlindungan Konsumen, mengakibatkan undang-undang ini hanya dapat dijadikan landasan hukum apabila produk yang melanggar merek tersebut merugikan konsumen dan berdampak pada keamanan dan keselamatan konsumen.

Page 224: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 216 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

SiMPULAN

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa UU Merek dan IG memberikan perlindungan kepada konsumen, namun terbatas pada tataran filosofis terkait fungsi merek yang selain melindungi pemegang merek, juga melindungi konsumen. Sebagai bagian dari hak kekayaan intelektual, fokus utama dari perlindungan merek adalah melindungi pemilik mereknya, sehingga yang dapat mengajukan upaya hukum terkait pelanggaran merek hanyalah pemilik merek terdaftar. Oleh karena itu apabila terjadi pelanggaran merek yang merugikan konsumen tidak ada upaya hukum yang dapat dilakukan oleh konsumen berdasarkan UU Merek dan IG. Akibatnya apabila pemilik merek terdaftar membiarkan pelanggaran tersebut, maka konsumen akan semakin tidak terlindungi.

DAFTAR REFERENSi

Buku dan Artikel

Basire, Yan. The Patrimonial Function of Trademark, Comparatie IP Academic Workshop Working Paper No. 5, 2009, https://www.law.washington.edu/casrip/wwip/papers/2009/the%20patrimonial%20function%20of%20the%20trademark.pdf, diakses pada 27 Juli 2017.

Bone, Robert G. Trademark Functionality Reexamined, Journal of Legal Analysis Spring 2015: Volume 7, Number 1.

Carter, Stephen L. (1990).The Trouble with Trademark, 99 YALE L.J. 759-800

Clift, C. (2010). Combating counterfeit, falsified and substandard medicines: defining the way forward? November 2010. Retrieved from https://www.chathamhouse.org/sites/files/chathamhouse/public/Research/Global%20Health/1110bp_counterfeit.pdf

Dogan, Stacey L. dan Mark A. Lemle., The Merchandising Rights: Fragile Theory on fait Accompli?, 54 Emory Law Journal, 461, (2005).

Guan, W. Intellectual Property Theory and Practice: A Critical

Page 225: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 217 |

Examination of China’s TRIPS Compliance and Beyond. Springer-Verlag Berlin Heidelberg, 2014.

House, L., Lusk, J., Jaeger, S., Traill, W.B., Moore, M., Valli, ...Yee. W.M.S. (2004) Objective and subjective knowledge: impacts on consumer demand for genetically modified foods in the United States and the European Union. AgBioForum, 7(3). Diakses dari: http://www.agbioforum.org/v7n3/v7n3a03-house.pdf

International Medical Products Anti-Counterfeiting Taskforce (IMPACT). (2006). Counterfeit medicines: update on estimates in November 2006. Retrieved from: http://www.who.int/medicines/services/counterfeit/impact/TheNewEstimatesCounterfeit.pdf

Johnson, Michael A. (2012). The waning consumer protection rationale of trademark law: overprotective courts and the path to stifling post-sale consumer use (March 11, 2012). Trade Mark Reporter, 101, 1320-1355.

Johnston, R. and Kong, X.(2011). The customer experience: a road map for improvement. Managing Service Quality, 21(1), 2.

Jianming, Cao (2004), New Development of IP Judicial Protection, Zhishi Chanquan (Intellectual Property), 14(82) ( July): 9–12.

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Naskah Akademik Peraturan Perundang-undangan RUU tentang Merek, ( Jakarta: 2015)`

Landers, William M. dan Richard A Posner, The Economic Structure of Intellectual Property Law, 166-168 (Belknap Press, 2003).

Lunney, Glynn S. Jr., Trademark Monopolies, 48 Emory Law Journal, 267-246, (1999).

McKenna, M. P. (2007). The normative foundations of trademark law. Notre Dame L. Rev, 82(5), 1839-1857.

Menell, Peter S, Intellectual Property: Genera Theories, in ENCYCLOPEDIA OF LAW & ECONOMICS: VOLUME II, 129-188.

Nandes, William M and Posner, Richard A. (1988) The Economics of

Page 226: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 218 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

Trademark Law, 78 TRADEMARK Rep. 267

Naser, M.A (2007) Rethinking the foundation of trademarks. Buffalo Intellectual Property Law Journal 5(1), 1-49.

Ohly, Ansgar. TRIPSs and Consumer Protection, dalam H. Ullrich et al. (eds.),TRIPS plus 20, MPI Studies on Intellectual Property and Competition Law 25,( Springer-Verlag Berlin Heidelberg 2016).

Ono, Shoen. Overview of Japanese Trademark Law, (Yuhikaku, 1999) hal. 1-2 https://www.iip.or.jp/e/e_publication/ono/ch7.pdf, diakses pada 5 Juli 2017.

Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat “DPR” 2001. Proses Pembahasan Rancangan Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen.

Singh A, Suman T, V Thripura, Interfaces and Synergies Between Intellectual Property Rights and Consumer Protection in India: An Analysis, Journal of Intellectual Property Rights, Vol 20, July 2015, p. 201-209.

Soeprapto, Maria Farida Indrati (2007). Ilmu Perundang-undangan Proses dan Teknik Pembentukannya. Yogyakarta: Kanisius.

United Nations, United Nations guidelines for consumer protection (as expanded in 1999) (2003). Retrieved from http://www.un.org/esa/sustdev/publications/consumption_en.pdf

World Health Organization n.d. Definitions of SSFFC, Medical Products. Diakses dari: http://www.who.int/medicines/regulation/ssffc/definitions/en/

World Health Organization n.d. Substandard and Counterfeit Medicines 2016. Diakses dari: http://222.who.int/mediacentre/facksheets/fs275/en/print.html.

World Health Organization. 2003. Substandar and Counterfeit Medicines. Fact Sheet no. 275. Diakses dari: www.who.int/mediacentre/factsheets/fs275/en/

World Intellectual Property Organization, 2012. The Enforcement of Intellectual Property Right: A Case Book. 3rd Edition. Diakses dari: http://www.wipo.int/edocs/pubdocs/en/intproperty/791/

Page 227: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 219 |

wipo_pub_791.pdf

World Trade Organization n.d. Glossary: Counterfeit Definition. 2011, Retrieved fro Diakses dari: https://www.wto.org/english/thewto_e/glossary_e/counterfeit_e.htm

Peraturan Perundang-Undangan

Indonesia. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

________. Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

________. Undang-Undang No. 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis.

Page 228: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 220 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

PENGatUraN HaK CIPta BatIK sLEMaN: MENUJU PrODUK YaNG raMaH LINGKUNGaN DaN

MENsEJaHtEraKaN MasYaraKat sLEMaN

Budi Agus RiswandiFakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta

email: [email protected]

ABSTRAK

Apabila memahami ketentuan undang-undang Hak cipta di Indonesia, hak cipta selain memiliki arti sebagai hak hukum yang bersifat hak eksklusif pada dasarnya hak cipta adalah hak kebendaan yang sifatnya tak berwujud (intangible assets). Ketika, hak cipta merupakan hak kebendaan tak berwujud, maka membawa konsekuensi hak cipta perlu dilakukan pengelolaan yang diharapkan dapat diorentasikan untuk kesejahteraan masyarakat. Berangkat dari pemahaman ini, Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman bersama Dewan Kerajinan Daerah Sleman telah menyelenggarakan Lomba Desain Batik Sleman (LDBS). Dari lomba ini telah dihasilkan desain-desain batik baru dan secara hukum hak ciptanya telah dialihkan dari peserta lomba kepada pihak Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman. Ketika Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman menerima pengalihan hak cipta motif batik tersebut, maka pada saat itu Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman telah menjadi pemegang hak cipta desain batik tersebut. Dengan adanya kenyataan hukum ini, Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman telah menerbitkan ketentuan hukum berupa Peraturan Bupati Sleman tentang Tata Kelola Batik Sleman, di mana di dalamnya memuat aturan–aturan yang berorentasi pada pengelolaan hak cipta batik Sleman sebagai hak kebendaan yang tidak berwujud. Lebih dari itu, aturan ini secara substantif mengatur beberapa aspek, seperti diharuskannya hak cipta batik sleman diproduksi oleh pengrajin batik Sleman dan juga adanya kewajiban memproduksi hak cipta batik sleman yang ramah lingkungan. Dengan adanya beberapa aturan tersebut, maka pengaturan hak cipta batik Sleman dapat dipahami sedang menuju kepada produk yang ramah lingkungan dan mensejahterakan masyarakat Sleman.

Page 229: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 221 |

Kata Kunci: Hak Cipta Batik Sleman – Ramah Lingkungan – Mensejahterakan Masyarakat – Sleman

PENDAHULUAN

Hak cipta merupakan salah satu klasifikasi hak kekayaan intelektual267 yang bersifat eksklusif melalui perwujudan dari suatu karya. Hak cipta ini biasanya diberikan pada karya-karya dalam bidang seni, sastra dan ilmu pengetahuan. Melalui hak cipta, pemegang hak cipta diberikan kekuasaan untuk melakukan eksploitasi hak berupa hak ekonomi dan hak moral.268 Dalam proses pengekploitasian hak, baik hak ekonomi dan moral biasanya memerlukan suatu bentuk pengelolaan, agar dua hak tersebut dapat diimplementasikan secara efektif dan efesien.

Dalam praktek, pengelolaan hak cipta, dalam hal ini karya di bidang seni, sastra dan ilmu pengetahuan tidak hanya dilakukan oleh perorangan atau kelompok orang, tetapi juga dapat dilakukan oleh badan hukum baik badan hukum privat maupun badan hukum publik. Badan publik yang concern dalam hal ini salah satunya Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman. Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman dalam mengawali pengelolaan hak cipta ini bekerjasama dengan Dewan Kerajinan Nasional Daerah Sleman menyelenggarakan kegiatan Lomba Desain Batik Sleman yang dikenal dengan istilah LDBS. Dari LDBS ini telah dihasilkan beberapa desain batik. Kemudian desain batik tersebut dialihkan dari pencipta kepada Dewan Kerajinan Nasional Daerah. Dari Dewan Kerajinan Nasional Daerah dialihkan269 lagi kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman. Ketika, hak

267Di dalam TRIPs Agreement, hak kekayaan intelektual diklasifikasikan sebagai berikut; (1). Copyright and related rights; (2). Trademarks; (3). Geographical Indications; (4). Industrial Designs; (5). Patents; (6). Layout-Designs (Topographies) of Integrated Circuits; (7). Protection of Undisclosed Information; dan (8). Control of Anti-Competitive Practices in Contractual Licences.

268David Bainbridge menyatakan:”Copyright provides a very useful and effective way of exploiting a work economically.” David Bainbridge, Intellectual Property, Fourth Edition, England: Pitman Publishing, 1999, hlm. 36.

269Peralihan hak cipta dalam konteks ini adalah hak ekonominya. Sebagai perbandingan, permasalahan peralihan hak cipta, khususnya hak ekonomi ini juga dimungkinkan di Negara China. Bahkan awalnya di China hal ini tidak diatur secara jelas, maka melalui amademen Copyright Act 2002, permasalahan peralihan hak cipta diperjelas, di mana peralihan hak cipta yang dimaksudkan adalah hak ekonomi.Peter Ganea dan Thomas Pattloch, Intellectual Property Law in China, Netherland: Kluwer Law International, 2005, hln.212.

Page 230: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 222 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

cipta sudah atas nama Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman, maka hak cipta tersebut dikelola berdasarkan sistem lisensi yang berbasis Peraturan Bupati Sleman tentang Tata Kelola Batik Sleman. Dengan dihadirkannya model pengelolaan hak cipta berdasarkan sistem lisensi yang berbasis Peraturan Bupati, maka diharapkan pengelolaan hak cipta batik sleman dapat menuju kepada produk ramah lingkungan dan mampu mendorong kesejahteraan masyarakat sleman.

PEMBAHASAN

Hak Cipta Batik Sleman

Hak cipta270 merupakan salah satu rezim dari hak kekayaan intelektual. Hak cipta memiliki pengertian hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.271 Dari pengertian hak cipta ini, maka beberapa pemahaman konseptual dapat dikemukakan sebagai berikut: Pertama, hak cipta merupakan hak eksklusif. Hak eksklusif merupakan ciri dari semua rezim hak kekayaan intelektual272, termasuk hak cipta. Hak eksklusif sendiri memiliki persamaan arti dengan hak monopoli. Adapun makna monopoli di dalam hak cipta tidak mengandung arti seolah-olah hak cipta tidak dapat dipergunakan oleh pihak manapun. Sebenarnya, secara konsep hukum hak cipta dapat saja dipergunakan oleh pihak lain, tetapi harus memperhatikan pada ketentuan hukum yang berlaku. Semisal, penggunaan oleh pihak lain dari hak cipta diperbolehkan manakala pihak lain tersebut menggunakan hak cipta tersebut atas izin dari pemegangnya, atau pihak lain menggunakan hak cipta lain boleh

270Dari segi sejarahnya, konsep hak cipta mulai tumbuh dengan pesat sejak ditemukannya mesin cetak oleh J. Gutenberg pada pertengahan abad kelimabelas di Eropa. Keperluan di bidang ini timbul karena dengan mesin cetak, karya cipta khususnya karya tulis, dengan mudah diperbanyak secara mekanikal. Inilah yang pada awalnya menumbuhkan copyright. Yusran Isnaini, Hak Cipta dan Tatangannya di Era Cuberspace, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1999, hlm. 8.

271Pasal 1 angka 1 UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta272Dalam pemikiran umum, tipe dari setiap hak kekayaan intelektual kalau dielaborasi

hak tersebut memilik kemampuan untuk mencegah tindakan pihak-pihak (perusahaan) yang tidak berizin dari upaya memproduksi atau memasarkan semua produk atau layanan pihak lain. Hanns Ullrich dkk, TRIPS plus 20 from Trade Rules to Market Principles, London: Springer, 2015, hlm.10.

Page 231: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 223 |

dengan tidak izin manakala hal tersebut termasuk hak cipta yang sudah tidak dalam masa waktu perlindungan lagi. Hak eksklusif di dalam hak cipta dikenal ada dua macam, yakni; hak moral dan hak ekonomi. Hak moral adalah hak yang melekat pada diri pencipta, sedangkan hak ekonomi adalah hak untuk mengambil manfaat ekonomi dari ciptaan yang dilindunginya. Keduanya memberi pencipta kewenangan untuk mengeksploitasi dan mengawasi penggunaan ciptaannya. Hak moral juga memberi pencipta hak untuk menjaga dan mengawasi ekploitasi ciptaannya, terutama dari dimensi moral. Misalnya, hak untuk meminta dicantumkan namanya dalam ciptaan atau rights of paternity. Berdasarkan hak moral itu pula pencipta dapat melarang orang lain mengubah atau mengurangi atau memperlakukan ciptaannya secara tidak pantas berdasarkan nilai-nilai dan kaidah right of integrity.273

Kedua, hak cipta timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah ciptaan diwujudkan secara nyata. Artinya, untuk perlindungan hak cipta tidak memerlukan pendaftaran. Melalui sistem deklaratif, maka ketika suatu ciptaan dapat diwujudkan secara nyata, maka ciptaan tersebut telah mendapatkan perlindungan hak cipta. Akan tetapi, sebenarnya, suatu ciptaan untuk mendapatkan hak cipta, maka ada persyaratan lainnya, yaitul ciptaan harus dibuat secara orisinal dan memiliki kreativitas. Pengertian orisinal yaitu ciptaan tersebut benar-benar telah dihasilkan oleh pencipta274, sedangkan kreativitas artinya berhubungan dengan tinggi rendahnya nilai orisinalitas, di mana apabila ciptaan yang dihasilkan lebih banyak mengandung karya-karya orang lain dapat berdampak pada rendahnya orisinalitas yang berakibat pada rendahnya kreativitas, sedangkan apabila ciptaan yang dihasilkan sedikit mengandung karya-karya orang lain dapat berdampak pada tingginya orisinalitas yang berakibat pada tingginya kreativitas.275

273Henry Soelistyo, Hak Cipta Tanpa Hak Moral, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2011, hlm. 13.

274Menurut Arthur R Miller dan Michael H Davis menyatakan bahwa “ The essence of copyright is orisinality, which implies that the copyright owner or claimant originated the work. By contrast to a patent, however, a work of originality need not be novel. Lihat Arthur R Miller and Michael H Davis, Intellectual Property Patents, Trademarks and Copyright, St. Paul Minn: West Publishing Co, 1983, hlm. 289

275Dalam kaitan dengan ini, maka suatu ciptaan yang dilindungi hak cipta pada dasarnya tidak menjadi permasalahan manakala dalam ciptaan tersebut dipengaruhi oleh ciptaan-ciptaan orang lain. Hal ini sekarang telah menjadi sebuah fenomena umum dalam dunia penciptaan.

Page 232: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 224 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

Ketiga, tanpa mengurangi pembatasan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Unsur ini menegaskan bahwa hak cipta yang bersifat monopoli pada dasarnya tidak mengandung arti monopoli secara mutlak, hak cipta sendiri menjadi tidak memiliki sifat monopoli mutlak ketika peraturan perundang-undangan telah menentukan hak tersebut dapat dipergunakan oleh pihak lain. Ada tiga macam bentuk pembatasan hak cipta, yaitu (1) hak cipta menjadi bebas untuk dipergunakan ketika jangka waktu perlindungan sudah selesai; (2) hak cipta menjadi bebas dipergunakan ketika mendapatkan izin dari pemegang hak cipta; dan (3). Hak cipta menjadi bebas dipergunakan ketika dibenarkan menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Konsepsi hak cipta sendiri sebagai hak eksklusif diberikan atas karya-karya di bidang seni, sastra dan ilmu pengetahuan. Dalam hal karya dalam bidang seni, sastra dan ilmu pengetahuan pada kenyataannya memiliki banyak ragam dan macamnya. Namun demikian, dalam hal karya batik, di mana karya batik tersebut menampilkan sebuah karya seni berupa desain batik yang menarik, maka karya batik ini menjadi layak disebut sebagai karya seni. Di samping layak sebagai karya seni batik juga dapat dijadikan sebagai objek perlindungan hak cipta.276

Apabila dikaitkan dengan keberadaan batik sleman yang diperlombakan dalam LDBS ternyata telah mampu menghasilkan kurang lebih 350 desain batik. Dari 350 motif batik ini yang terpilih ada 50 motif batik. Dengan diperolehnya motif batik tersebut, maka motif batik tersebut hak ciptanya telah lahir dan pemegang hak ciptanya adalah Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman. Setidaknya, ada lima alasan 350 motif batik yang diperlombakan di Sleman memiliki muatan hak cipta. Lima alasan tersebut adalah; Pertama, 350 motif batik sleman merupakan ciptaan yang melingkupi karya seni, khususnya motif batik. Sebagaimana diketahui bahwa dalam LDBS, batik yang dinilai adalah aspek estetika dari motif batik sleman yang memadukan unsur-unsur flora, fauna dan alam sleman yang didesain sedemikian rupa, sehingga menjadi sebuah desain batik yang bernilai seni; Kedua, 350 batik telah difiksasikan. Artinya, motif batik sudah dapat dilihat, dirasakan dan dinikmati melalui panca indra; Ketiga, 350

276Lihat ketentuan Pasal 40 ayat (1) huruf j UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta

Page 233: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 225 |

batik telah memenuhi unsur orisinalitas. Artinya, batik tersebut dibuat secara benar dan tidak merupakan tindakan plagiasi dari desain batik orang lain. Hal ini diperkuat lagi dengan adanya syarat dan ketentuan yang melarang batik yang dilombakan merupakan hasil dari karya orang lain dan melanggar hak orang lain; Keempat, 350 batik tersebut memiliki nilai kreativitas yang tinggi dikarenakan tidak banyak dipengaruhi oleh karya-karya orang lain; dan Kelima, 350 batik tidak termasuk yang dianggap tidak ada hak ciptanya.

Dengan dimuatnya hak cipta batik sleman yang berjumlah 350 membawa konsekuensi lahirnya dua macam hak, yakni hak moral dan ekonomi. Adapun, hak moral dan ekonomi ini diberikan oleh ketentuan perundang-undangan hak cipta selama kurun waktu berlaku selama hidup Pencipta yang meninggal dunia paling akhir dan berlangsung selama 70 (tujuh puluh) tahun sesudahnya, terhitung mulai tanggal 1 Januari tahun berikutnya. Dengan adanya kurun waktu, maka keberadaan hak cipta dimaksudkan dalam rangka memberikan insentif terhadap pencipta motif batik sleman atau pemegang hak cipta yang telah menghasilkan hak cipta batik sleman sehingga dapat diwujudkan secara nyata.

Pemegang Hak Cipta Batik Sleman

Setelah memahami bahwa dengan dihasilkannya 350 motif batik sleman melalui lomba desain batik sleman telah melahirkan hak cipta. Secara konseptual hak cipta sendiri biasanya ada pencipta dan pemegang hak cipta. Pencipta adalah seorang atau beberapa orang yang secara sendiri-sendiri atau bersama-sama menghasilkan suatu ciptaan yang bersifat khas dan pribadi. Dari definisi pencipta seperti ini dapat dipahami secara sederhana bahwa pencipta merupakan orang yang mewujudkan atau mengekspresikan ide dalam bentuk nyata. Sementara itu, pemegang hak cipta didefinisikan Pencipta sebagai pemilik Hak Cipta, pihak yang menerima hak tersebut secara sah dari Pencipta, atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak dari pihak yang menerima hak tersebut secara sah. Dari pengertian pemegang hak cipta, terlihat bahwa pemegang hak cipta tidak harus selalu pencipta dapat juga pihak lain yang menerima hak tersebut secara sah.

Dalam konteks hak cipta batik sleman, maka dapat dikemukakan beberapa hal yang berkaitan dengan pemegang hak cipta batik

Page 234: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 226 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

sleman. Batik sleman dibuat oleh pencipta yang berasal dari berbagai daerah. Pencipta sendiri untuk bisa menghasikan batik sleman ia harus mendaftar sebagai peserta dalam LDBS. Tentunya, tidak saja pencipta itu harus mendaftar menjadi peserta, tetapi pencipta harus juga mematuhi beberapa persyaratan berkaitan dengan ciptaan batik sleman. Syarat yang terkait dengan ciptaan itu bahwa ciptaan yang dibuat tidak merupakan hasil pelanggaran hukum dan tidak hasil plagiasi. Kemudian, pencipta juga harus siap untuk mengalihkan hak cipta batik sleman kepada pihak Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman.

Dengan berdasarkan kepada persyaratan tersebut, maka sangat jelas bahwa batik sleman yang dibuat pencipta merupakan hasil kreasi dari pencipta sebagai peserta LDBS. Di samping itu, batik sleman ini hak ciptanya – hak ekonomi beralih kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman. Dari proses seperti ini, maka membawa konsekekuensi pemegang hak cipta tidak lagi berada pada pencipta, tetapi kepada pihak lain dalam hal ini Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman.

Konsekuensi lebih lanjut dengan keberadaan Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman sebagai pemegang hak cipta, maka Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman memiliki hak ekonomi dari hak cipta batik sleman. Untuk menegaskan kedudukan Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman sebagai pemegang hak cipta ini, maka Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman telah mencatatkan 8 batik sleman. Pemilihan kepada 8 batik sleman ini didasarkan kepada beberapa pertimbangan, yakni; Pertama, salah satu dari 8 desain batik sleman ini menjadi desain batik yang akan dilaunching oleh Bupati Sleman sebagai batik milik sleman; Kedua, 8 batik sleman dianggap sebagai batik sleman yang unggul di antara 350 batik sleman; dan Ketiga, 8 batik sleman ini dianggap memiliki potensi ekonomi yang cukup tinggi apabila dikomersialisasikan

Dengan kepemilikan hak ekonomi ini, maka Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman dapat menggunakan sendiri atau memberikan izin kepada pihak lain untuk penggunaa hak cipta batik sleman tersebut. Untuk penggunaan hak cipta batik sleman ini, pengelolaannya menjadi kekuasaan dari pemegang hak cipta. Dalam praktek Pemerintah

Page 235: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 227 |

Daerah lainnya277, ketika hak cipta batik ini dikuasai pemerintah daerah kabupaten sebagian besar membiarkan penggunan hak cipta batik tersebut oleh pihak manapun. Bahkan yang menggunakan hak cipta batik ini ada juga pihak di luar wilayah kabupaten tersebut. Akan tetapi hal berbeda, tidak dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman. Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman yang telah memiliki hak cipta batik sleman telah membuat suatu ketentuan yang maksudnya membangun sistem tata kelola batik sleman sebagai bentuk sistem tata kelola hak cipta batik sleman.

Pengaturan Pengelolaan Hak Cipta Batik Sleman yang Ramah Lingkungan

Sebagaimana diungkapkan di atas, bahwa hak cipta batik sleman dipegang oleh Pemeritah Daerah Kabupaten Sleman. Menindaklanjuti hal tersebut Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman dihadapkan ke dalam dua pilihan, yakni; Pertama, mengelola hak cipta batik sleman dengan model sistem lisensi278 dan Kedua, mengelola hak cipta batik sleman dengan model lisensi berbasis regulasi. Dari dua pilihan tersebut, Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman memilih model pengelolaan hak cipta batik sleman dengan model lisensi berbasis regulasi.

Model pengelolaan hak cipta batik sleman dengan model lisensi berbasis regulasi adalah bentuk penggunaan, pemanfaatan dan pendayagunan hak cipta desain batik sleman dengan maksud komersial yang didasarkan pada perjanjian lisensi dengan mengacu kepada regulasi yang diterbitkan oleh pemerintah kabupaten sleman dalam bentuk Peraturan Bupati.

Saat ini, Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman telah menerbitkan Peraturan Bupati No. 35 Tahun 2015 tentang Tata Kelola Batik Sleman. Dalam Peraturan Bupati No. 35 Tahun 2015 diatur beberapa hal yang berkaitan dengan pengelolaan hak cipta batik sleman. Peraturan Bupati No. 35 Tahun 2015 memuat aspek unsur-

277Sebagai informasi hal ini terjadi untuk pengelolaan dan penggunaan “desain batik ceplok kembang kates” milik Pemerintah Daerah Kabupaten Bantul dan “desain batik geblek renteng” milik Pemerintah Daerah Kabupaten Kulon Progo.

278Hakekat isensi adalah tindakan pemberian kuasa pengelolaan karya cipta dan atau produkhak terkait oleh pemilik hak cipta atau pemegang hak terkait kepada pihak lain melalui perjanjian tertulis atau akta.Bernard Nainggolan, Pemberdayaan Hukum Hak Cipta dan Lembaga Manajemen Kolektif, Bandung: Alumni, 2011, hlm.168.

Page 236: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 228 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

unsur dan modifikasi batik sleman, kepemilikan hak cipta, motif dan pola batik sleman, prosedur permohonan batik sleman, kewajiban, tanggung jawab, pengawasan dan sanksi.

Apabila melihat pada Peraturan Bupati No. 35 Tahun 2015 ini memiliki beberapa tujuan, yakni; (a). Menciptakan karateristik dan kekhasan batik sleman; (b). Melestarikan budaya batik Sleman; (c). meningkatkan jaminan mutu dan daya saing produk batik sleman; (d). meningkatkan loyalitas dan kepercayaan konsumen di dalam negeri dan luar negeri; (e). memberikan perlindungan hukum dan mencegah praktek persaingan usaha tidak sehat; dan (f ). Membangun kemandirian industri batik sleman. Peraturan Bupati No. 35 Tahun 2015, dirancang dalam upaya mengelola batik sleman yang berujung kepada kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu beberapa aspek yang dikelola dari hak cipta batik sleman meliputi, yakni;

Pertama, pengelolaan hak cipta batik sleman dalam kaitannya dengan pengembangan batik sleman. Untuk maksud ini, maka di dalam peraturan bupati memuat unsur-unsur dan modifikasi batik sleman. Dalam konteks unsur-unsur batik sleman, pemerintah daerah kabupaten sleman melalui peraturan bupati telah menyatakan unsur-unsur yang pasti dari batik sleman. Pengaturan unsur-unsur ini sekaligus menegaskan bahwa dalam setiap batik sleman yagn ada sekarang maupun yang akan dikembangkan, maka unsur-unsur itu pasti ada di dalamnya. Kemudian, soal modifikasi batik sleman juga diwadahi melalui peraturan buapti ini sebagai bentuk nyata dari optimalisasi hak cipta batik sleman. Modifikasi ini dapat dilakukan dengan cara (1) Deformasi; (2). Distorsi; dan (3). Stilisasi.

Kedua, pengelolaan hak cipta desain batik sleman dalam kaitannya dengan perlindungan batik sleman. Untuk maksud ini, maka di dalam peraturan bupati memuat aspek kepemilikan hak cipta dan izin penggunaan batik sleman. Untuk kepemilikan hak cipta dipegang oleh pemerintah daerah kabupaten sleman, sementara izin penggunan hanya diberikan kepada pengrajin batik sleman. Apabila diketahui, ada penggunaan batik sleman tidak sesuai denga peraturan bupati, maka akan dikenai sanksi baik yang bersifat administratif, perdata hingga pidana. Dengan berlandaskan pada ketentuan peraturan bupati dan undang-undang hak cipta. Untuk memperkuat perlindungan, maka

Page 237: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 229 |

di dalam peraturan bupati diatur juga mengenai pengawasan atas penggunaan batik sleman.

Ketiga, pengelolaan hak cipta batik sleman dalam kaitannya dengan pemanfaatan batik sleman untuk tujuan komersial. Bahwa batik sleman akan diproduksi oleh pengrajin sleman. Kemudian, dalam memproduksi desain batik sleman sendiri dilakukan melalui green batik dan batik seragam. Ketika produksi batik sleman dihasilkan oleh pengrajin batik sleman, maka batik sleman akan dipromosikan baik di dalam negeri dan luar negeri. Pemerintah daera kabupaten sleman melalui instansi pemerintah teknis wajib melakukan promosi batik sleman. Dalam mempromosikan batik sleman, maka akan bekerjasama dengan pemangku kepentingan lainnya.

Khusus dalam hal pengelolaan hak cipta yang berkaitan dengan pemanfaatan batik sleman, pemerintah daerah kabupaten sleman bekerjasama dengan peneliti dari Universitas Gajah Mada telah mengembangkan teknologi zat pewarna alami untuk produksi desain batik sleman. Kerjasama penelitian ini dimaksudkan untuk menjabarkan ketentuan peraturan bupati yang menyatakan bahwa batik sleman dapat dimanfaatkan untuk green batik. Dari kerjasama penelitian ini sudah ada beberapa hal yang telah dihasilkan, di antaranya; pengembangan standart operation procedure dan ecolabeling produk batik sleman yang menggunakan zat pewarna alam.

Standart operation procedure (SOP) untuk penggunaan zat pewarna alam disusun dan dikembangkan pada empat jenis warna, yakni; Biru dengan bahan baku indigo, kuning dengan bahan baku tingi, coklat dengan bahan baku tegeran, merah dengan bahan baku jolawe. Dalam SOP memuat bahan baku, peralatan yang digunakan dan metode pembatikan hingga pengujian mutu akhir dari produk desain batik sleman. SOP disusun untuk mendorong adanya proses standarisasi penggunaan zat pewarna alami. Adapun proses standarisasi pewarnaan hanya pada warna-warna normal saja. SOP juga dikembangkan dalam rangka menjaga kualitas produk desain batik sleman. Proses pengujian mutu akhir produk desain batik sleman dilakukan oleh Perguruan Tinggi dalam hal ini Pusat Studi Zat Pewarna Alam Universitas Gajah Mada.

Page 238: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 230 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

Untuk ecolabeling produk batik sleman sebenarnya merupakan langkah lanjutan setelah tersedianya standart operation procedure batik sleman yang menggunakan pewarna alami. Ecolabeling dimiliki oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman. Pengelolaan Ecolabeling sendiri dalam pengelolaannya dilakukan Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman dan bekerjasama dengan Pusat Studi Zat Pewarna Alam Universitas Gadjah Mada. Ecolabeling produk batik sleman ini dimaksudkan untuk menandai bahwa desain batik sleman yang diproduksi dengan menggunakan zat pewarna alami yang mengacu kepada SOP yang tersedia, sekaligus memastikan bahwa produk batik sleman merupakan produk yang ramah lingkungan. Dengan diberikannya ecolabeling, maka konsumen yang membeli produk batik sleman akan mendapatkan informasi yang jelas dan pasti. Kejelasan dan kepastian itu meliputi pada mutu produk dan produk ramah lingkungan.

implikasi Pengaturan Pengelolaan Hak Cipta Batik Sleman untuk Kesejahteraan Masyarakat Sleman

Dengan dikembangkannya pengelolaan hak cipta batik sleman dalam bentuk lisensi berbasis regulasi, maka hal ini membawa beberapa implikasi. Implikasi yang dapat diidentifikasi meliputi tiga bentuk implikasi, yakni; implikasi hokum, ekonomi dan lingkungan. Untuk dapat melihat secara jelas ketiga implikasi tersebut, maka dapat dijelaskan sebagai berikut.

a. Implikasi hokum Implikasi hokum dalam konteks ini melihat pengelolaan hak

cipta batik sleman mendapatkan pengakuan hokum baik dalam konteks kepemlikan maupun proses penggunaan hak cipta batik sleman itu sendiri. Apabila dilihat dari pengertian ini, maka pengelolaa batik dari segi hokum telah mendapatkan pengakuan baik dalam hal kepemilikan ataupun dalam proses penggunaannya. Pengakuan atas kepemilikan hak cipta batik sleman dinyatakan berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1279 UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan Pasal 19280 Perbupati

279Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

280Kepemilikan hak cipta Batik Sleman dipegang oleh Pemerintah Daerah

Page 239: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 231 |

No. 35 Tahun 2015 tentang Tata Kelola Batik Sleman. Dari dua ketentuan hokum tersebut terlihat secara jelas bahwa

hak cipta batik sleman telah diakui dan dinyatakan secara tegas. Dengan adanya pengakuan hokum atas kepemilikan ini, maka hak cipta batik sleman dikuasai oleh pemerintah daerah kabupaten sleman. Penguasaan pemerintah daerah kabupaten sleman tidak hanya dalam hal kepemilikan, tetapi termasuk dalam proses penggunaannya. Maka, pihak pengrajin batik yang akan menggunakan hak cipta batik sleman tidak berarti ia boleh menggunakan hak cipta batik sleman tersebut, tetapi harus mengacu kepada aturan-aturan yang ada di dalam peraturan bupati. Di antara aturan tersebut, semisal; penggunan hak cipta batik sleman harus dilakukan dengan mengajukan permohonan kepada pihak Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman c.q Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Sleman. Selain, itu penggunaan hak cipta batik sleman harus didasarkan pada mekanisme dan aturan lisensi yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman. Hal yang lebih penting lagi, Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman menjadi pihak yang memiliki tanggung jawab dalam hal pengawasan penggunaan hak cipta batik sleman.

b. Implikasi lingkungan Implikasi lingkungan dalam hubungannya dengan pengelolaan

hak cipta batik sleman dimaksudkan penggunaan hak cipta batik sleman salah satunya dapat digunakan dengan maksud ramah lingkungan. Pengertian ramah lingkungan ini meliputi pada proses dan tata cara produksi hak cipta batik sleman. Bahwa dalam proses dan tata cara produksi hak cipta batik sleman, pemerintah daerah kabupaten sleman sangat mendorong menggunakan teknologi ramah lingkungan, baik dalam hal zat pewarna maupun alat-alat yang dipergunakan.

Salah satu yang saat ini sudah dipraktekan adalah penggunaan zat pewarna alam. Penggunan zat pewarna alam telah menjadi concern dari Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman. Wujudnya, Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman telah menyiapkan

sesuai dengan peraturan perundang-undangan

Page 240: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 232 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

pengembangan bahan baku zat pewarna alam, standart operation procedur, dan pengembangan eco-labeling. Dari hal ini, maka sangat jelas pengelolaan hak cipta desain batik sleman yang ramah lingkungan semakin nyata nyata diwujudkan. Sehingga, dapat ditarik suatu pemahaman bahwa dengan adanya pengelolaan hak cipta batik sleman melalui peraturan bupati telah mendorong hadirnya produk batik yang ramah lingkungan.

c. Implikasi ekonomi Implikasi ekonomi dalam pengelolaan hak cipta batik sleman

dimaknai mengambil manfaat ekonomi dari dimilikinya hak eksklusif atas batik sleman oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman. Dengan adanya pengaturan hak cipta motif batik sleman, maka ketika hak cipta batik sleman, maka ada beberapa hal yang harus dipatuhi. Hal-hal itu antara lain;(1). Hak cipta batik sleman hanya boleh diproduksi oleh pengrajin batik sleman (2). Hak cipta batik sleman boleh dipasarkan oleh pihak diluar masyarakat sleman; (3). Hak cipta batik sleman dipromosikan secara luas yang bersinergi dengan pihak-pihak lain atau pemangku kepentingan lainnya. Dengan adanya pengaturan seperti ini, maka jika ini ditegakan secara konsisten akan membawa implikasi ekonomi kepada para pengrajin batik sleman. Implikasi ini tentunya akan berujung pada perwujudan kesejahteraan masyarakat sleman melalui pemanfaatan hak cipta desain batik sleman tersebut.

Terkait dengan implikasi ekonomi secara khusus, dapat dikemukakan dari hasil penelitian yang dilaksanakan dapat diketahui bahwa pengrajin batik yang terlibat dalam penggunaan hak cipta batik sleman dengan menggunakan zat pewarna alam per Desember 2016 berjumlah 240 orang dari baseline 40 orang. Kapasitas produksi dan pemasaran batik zat pewarna alam per Desember 2016 berjumlah 5000 helai dari baseline 1650 helai.281 Dari data-data ini, maka terlihat dengan jelas bahwa hak cipta batik sleman yang diorentasikan penggunaannya pada green batik sesuai dengan peraturan bupati ternyata telah mendorong

281Edia Rahayuningsih, dkk, “Produksi Pewarna Alami dan Aplikasinya pada UKM Batik sebagai Sarana Pengembangan Produk Berbasis Kearifan Lokal, Kompetitif dan Berkelanjutan,” Laporan Akhir Kegiatan Riset Pembangunan Indonesia, LPPM UGM, Desember 2016.

Page 241: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 233 |

adanya trend peningkatan penggunaan green batik. Trend ini memberikan gambaran bahwa pengelolaan hak cipta batik sleman sedang menuju kepada upaya mendorong kesejahteraan masyarakat sleman, khususnya pengrajin batik sleman.

SiMPULAN

Pengaturan hak cipta batik sleman dilakukan berdasarkan ketentuan UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan Peraturan Bupati No. 35 Tahun 2015 tentang Tata Kelola Batik Sleman. Dengan dua aturan tersebut, maka perlindungan dan pengelolaan hak cipta batik sleman diwujudkan. Dalam pengelolaan hak cipta batik sleman, salah satunya berhubungan dengan pemanfaatan hak cipta batik sleman. Dalam pemanfaatan hak cipta batik sleman sesuai dengan peraturan bupati dapat digunakan untuk green batik. Dari ketentuan ini, maka hak cipta batik sleman secara serius diarahkan pada upaya menghasilkan produk batik yang ramah lingkungan. Untuk dapat menghasilkan hal tersebut, maka beberapa hal telah dilakukan di antaranya mengembangkan standart operation procedure untuk produksi batik sleman yang ramah lingkungan dan pengembangan ecolabeling batik sleman yang ramah lingkungan. Dari upaya yang telah dilakukan ternyata pengrajin batik yang menggunakan pewarna alam terus meningkat, disertai dengan pemasaran produk batik yang ramah lingkungan pun juga meningkat. Berdasarkan kondisi ini dapat disimpulkan bahwa pengaturan hak cipta batik sleman telah menuju kepada produk batik sleman yang ramah lingkungan dan mensejahterakan masyarakat sleman.

Page 242: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 234 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

DAFTAR PUSTAKA

Arthur R Miller and Michael H Davis, Intellectual Property Patents, Trademarks and Copyright, St. Paul Minn: West Publishing Co, 1983.

Bernard Nainggolan, Pemberdayaan Hukum Hak Cipta dan Lembaga Manajemen Kolektif, Bandung: Alumni, 2011.

David Bainbridge, Intellectual Property, Fourth Edition, England: Pitman Publishing, 1999.

Edia Rahayuningsih, dkk, “Produksi Pewarna Alami dan Aplikasinya pada UKM Batik sebagai Sarana Pengembangan Produk Berbasis Kearifan Lokal, Kompetitif dan Berkelanjutan,” Laporan Akhir Kegiatan Riset Pembangunan Indonesia, LPPM UGM, Desember 2016.

Hanns Ullrich dkk, TRIPS plus 20 from Trade Rules to Market Principles, London: Springer, 2015.

Henry Soelistyo, Hak Cipta Tanpa Hak Moral, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2011.

Peter Ganea dan Thomas Pattloch, Intellectual Property Law in China, Netherland: Kluwer Law International, 2005.

Yusran Isnaini, Hak Cipta dan Tatangannya di Era Cuberspace, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1999.

Page 243: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 235 |

aNaLIsIs asPEK KEPENtINGaN MasYaraKat PaDa UNDaNG UNDaNG NOMOr 13 taHUN 2016

tENtaNG PatEN

Catharina Ria Budiningsih282

Fakultas Hukum Universitas Parahyanganemail: [email protected]

ABSTRAK

As a member of the World Trade Organization (WTO), Indonesia must comply its Intellectual Property Rights (IPR) laws including patent laws to minimum standards set out in the TRIPS agreement. WTO may set out sanctions in case of a breach of any provision of TRIPS agreement. Law No. 13 of 2016 concerning Patents (Law of 2016) is enacted in the spirit of application of public interest provisions for restrictions of patent holder’s exclusive rights. The public interest aspect is the role of government in limiting individual rights. This aspect is crucial in the patent laws. Law of 2016 was established in the spirit of positioning to the Indonesia interests without violating international principles. For that purpose, it will be examined the provisions related public interest aspects in Law of 2016 compared to The Former Law Number 14 Year 2001 concerning Patent (Former Law of 2001), and whether such provisions in Law of 2016 do not violate the minimum standard limit specified in TRIPS agreement. The analysis shows that in Law of 2106 of public interest provisions are bigger than the ones in the former Law of 2001. Attention to the public interest aspect appears at the stage of the patent application and especially at the patent protection stage. At the stage of the patent application the attention to the public interest is seen in Article 4 which explicitly regulates the exclusion of patent protection for second use of known products. At patent protection stage, it is seen among others in Article 20 that limit patent protection if patent is not implemented in Indonesia. The public interest aspect is especially noticeable in the

282Dosen tetap Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan. Ia memperoleh gerlar Sarjana Hukum dari Universitas Katolik Parahyangan, Master of Comparative Laws dari National University of Singapore, Spesialis 1 dari Program Spesialis 1 Kenotariatan Fakultas Hukuum Padjadjaran, dan Doktor Ilmu Hukum dari Program Pasca Sarjana Universitas Katolik Parahyangan.

Page 244: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 236 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

provisions related to patent medicine and public health. The results of the study show that the contents of Article 20 provide protection to patent holders less than the TRIPS agreement. Article 27 TRIPS regulates among other things that patent is protected whether the products are imported or locally produced. Per se, this article does not conform to the minimum standard setting on TRIPS agreement. The content of article 20 is reinforced by Article 26 and Article 132 which respestively, regulates the patent compulsory and annulment of a patent if it violates Article 20. The implementation of the article of article is depending on the government policy. Meanwhile, the implementation of government policy is based on the approach of not to violate international principles, so that the regulation should not be revoked if the government can show that Indonesia is consistent with the approach contained in the explanation of the law.

Kata kunci: kepentingan masyarakat, hak eksklusif, paten, TRIPS.

PENDAHULUAN

Sebagai konsekuensi dari keanggotaan Indonesia pada WTO peraturan perundang-undangan bidang HKI Indonesia harus memenuhi standart minimal yang terdapat ada Persetujuan TRIPS.Undang-undang Paten sebagai peraturan utama yang mengatur perlindungan hukum kepada pemegang paten harus memenuhi standart minimal yang diatur dalam persetujuan TRIPS. Hak eksklusif yang diberikan kepada pemegang paten memberikan monopoli kepada pemegang paten untuk memproduksi dan menjual produk atau proses kerja atas paten yang dimiliki. Monopoli akibat pelaksanaan hak eksklusif yang dimiliki dapat menyebabkan aspek kepentingan umum terreduksi.Atas pertimbangan itu dalam peraturan paten terdapat sejumlah aturan yang mengatur aspek kepentingan masyarakat.Aturan ini membatasi hak eksklusif pemegang paten.

Undang-Undang paten yang berlaku saat ini, Undang Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten (selanjutnya ditulis UU Paten 2016). Pada Penjelasan undang-undang ini terlihat semangat agar pemanfaatan paten pemanfaatan paten berguna bagi kepentingan masyarakat namun tidak melanggar prinsip-prinsip internasional. Ada sejumlah pasal dalam UU Paten 2016 yang diubah karena berkaitan dgn kepentingan umum. Untuk memberikan penilaian terhadap substansi

Page 245: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 237 |

UU Paten 2016 terkait aspek kepentingan umum, akan ditelaah aturan yang menyangkut kepentingan umum tersebut, bagaimana perbedaannya dengan ex Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten (selanjutnya ditulis ex UU Paten 2001) dan TRIPS. Hasil telaah pasal-pasal tersebut akan diperoleh hasil apakah ada pasal-pasal yang melanggar ketentuan TRIPS serta rekomendasi atas telaah yang telah dilakukan.

PEMBAHASAN

Kewajiban anggota WTo mematuhi Persetujuan TRiPS

WTO adalah sebuah organisasi yang mengatur perdagangan internasional di antara para anggotanya.Organisasi ini dibentuk pada tgl1 Januari 1995.Mayoritas Negara di dunia menjadi anggota WTO.Saat ini ada 164 jumlah anggota WTO.283Ada banyak peran WTO. Peran yang dijalankan oleh WTO adalah:

“It operates a global system of trade rules, it acts as a forum for negotiating trade agreements, its settles trade disputes between its members and it supports the needs of developing countries.”284

Indonesia resmi anggota WTO pada tanggal 1 Januari 1995.Dasar hukum pengesahan keanggotaan Indonesia pada WTO adalah Undang Undang Nomor 7 Tahun 1994 Tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia).285Setiap anggota WTO wajib mentaati aturan-aturan yang disepakati dalam perjanjian WTO. Pada WTO terdapat sebuah institusi penyelesai sengketa disebut Dispute SettlementBody(DSB) untuk menyelesaikan sengketa di antara para anggota WTO. Keputusan dari DSB bersifat memaksa agar para anggota mentaati aturan WTO dan perdagangan dapat berjalan dengan lancar.Prosedur penyelesaian sengketa WTO diatur dalam Lampiran (annex) 2 Persetujuan WTO, yakni: Understanding and procedures governing the setlements dipute. Secara ringkas prosedur penyelesaian

283Lihat World Trade Organization pada wto.org, akses 23 juli 2017284Lihat The WTO pada https://www.wto.org/english/thewto_e/thewto_e.htm,

akses 28 Juli 2017285Lihat Pasal 1 dan Penjelasan (bagian VI. Berlaunya Persetujuan) Undang Undang

Nomor 7 Tahun 1994 Tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia)

Page 246: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 238 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

sengketa melalui DSU sebagai berikut: Jika ada sengketa, pada tahap awal pihak yang berselisih dapat mengajukan ijin konsultasi ke Badan Penyelesai Sengketa (DSU) dengan anggota WTO yang bersengketa dengannya. Jika tahap ini gagal, akan dibentuk sebuah Panel untuk menyelesaikan sengketakonsultasi hingga akhirya badan tersebut memutus sengketa yang mengikat para pilhak. Berdasarkan putusan DSU, pada tahap akhir pihak yang dirugikan dapat melakukan tindakan pembalasan (retaliation) terhadap pihak yang dinyatakan bersalah.Pada Understanding On Rules And Procedures GoverningThe Settlement Of Disputes, bagian dari persetujuan WTO disebutkan wewenang DSU adalah:286“establish panels; adopt panel and Appellate Body reports; oversee the implementation of panel recommendations adopted by the DSB; and authorize retaliation.” (garis bawah penulis-CRB)

Pada lampiran IC dari Kesepakatan WTO diatur mengenai Persetujuan TRIPS.Persetujuan ini mengatur mengenai aturan-aturan mengenai Kekayaan Intelektual (KI) yang berkaitan dengan perdagangan internasional.Aturan-aturan yang ditetapkan di dalam TRIPS wajib ditaati oleh setiap anggota WTO dan memuat standart minimal perlindungan KI yang harus dipatuhioleh setiap anggota WTO.287Pada Article 1 par 1Agreement On Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights diatur antara lain:

“Members shall give effect to the provisions of this Agreement. Members may, but shall not be obliged to, implement in their law more extensive protection than is required by this Agreement, provided that such protection does not contravene the provisions of this Agreement. Members shall be free to determine the appropriate method of implementing the provisions of this Agreement within their own legal system and practice.”

Dari uraian diatas, tampak bahwa sebagaianggota WTO Indonesia harus mematuhi seluruh aturan WTO termasuk aturan yang terdapat dalam Persetujuan TRIPS.Peraturan HKI Indonesia harus memenuhi standart minimal yang diatur TRIPS.Konsekuensi yuridis bila peraturan Kekayaan Intelektual Indonesia kurang dari

286Lihat http://enforcement.trade.gov/regs/uraa/saa-dr.html, akses 28 Juli 2017287Lihat Article 1 Agreement On Trade Related Aspects of Intellectual Property

Rights.

Page 247: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 239 |

standart minimal yang ditetapkan pada persetujuan WTO Indonesia bisa terkena sanksi yang diterapkan oleh WTO.

Urgensi Aspek Kepentingan Masyarakat Dalam Membatasi Hak Milik

Setiap individu memiliki hak asasi untuk memiliki benda. Dengan kata lain hak milik adalah hak pribadi yang bersifat asasi atau primer.Konstitusi Indonesia dengan tegas mengatur hak milik pribadi sebagai berikut:“Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun.”288

Pengakuan hak milik terhadap individu menyebabkan individu pemilik hak secara hukum dapat menikmati objek hak tersebut.Aturan mengenai hak milik terdapat dalam Undang Undang Dasar pada bagian yang mengatur mengenai hak asasi.Oleh karena itu konstitusi Indonesia mengakui bahwa hak milik individu merupakan hak yang bersifat primer.Sekalipun hak milik pribadi dilindungi, hukum juga mengatur pembatasan hak pribadi tersebut.Pembatasan hak individu atas objek yang dimiliki terdapat pada Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.Pasal 36 ayat (3) UUHAM mengatur bahwa Hak milik mempunyai fungsi sosial.Selanjutnya pada bagian penjelasan disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “hak milik mempunyai fungsi sosial” adalah setiap penggunan hak milik harus memperhatikan kepentingan umum atau kepentingan masyarakat. Apabila kepentingan umum menghendaki atau membutuhkan benar-benar maka hak milik dapat dicabut sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.Istilah kepentingan masyarakat, kepentingan umum dan fungsi sosial memiliki arti sama atau paling tidak memiliki arti yang hampir sama. Ketiganya memiliki pengertian sesuatu yang diberikan untuk rakyat atau masyarakat atau orang banyak.289

288 Lihat UUD Pasal 28H ayat (4) 289Pembahasan bahwa kepentingan masyarakat, kepentingan umum dan fungsi social

dijabarkan didianalisis secara mendalam pada disertasi penulis, Catharina Ria Budiningsih, Analisis Normatif Dan Pemanfaatan Asas Fungsi Sosial Pada Paten Bagi Pengembangan Hukum Paten Di Indonesia (Telaah Kritis Terhadap Undang Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten), 2009; terutama pada Bab V, bagian 2.2.Istilah Fungsi Sosial Tidak Digunakan Pada UU Paten 2001. Karya dapat diakses pada http://repository.unpar.ac.id/browse?type=author&value=Budiningsih%2C+Catharina+Ria

Page 248: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 240 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

UUD 1945 mengakui sifat penting dari aspek kepentingan masyarakat atau kepentingan umum. Pada Pembukaan UUD, tujuan pembentukan negara adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Negara Indonesia menjamin ditegakkannya Hak Asasi manusia seperti diatur dalam pasal 28 Undang Undang dasar, namun pada pasal 33 diatur mengenai peran atau kontrol negara negara demi terwujudnya kesejahteraan sosial. 290

Implementasi kedua pasal tersebut harus seimbang. Jika hak asasi terlalu besar, individu menggunakan hak individu berlebihan bahkan bisa sewenng-wenang menggunakan hak nya. Di sisi lain kepentingan masyarakat dikorbankan. Sebaliknya bila kepentingan masyarakat diterapkan terlalu besar, negara terlalu mengontrol hak individu sehingga hak asasi kurang diperhatikan.

Sekalipun aspek kepentingan umum digunakan sebagai pembatas hak milik individu, namun peraturan penjabaran arti kepentingan umum dalam peraturan perundang-undangan sangat penting, sebab aspek kepentingan umum bersisi dua. Jika penerapan kepentingan umum terlalu besar, hak hak privat terganggu sebaliknya jika aspek kepentingan umum sedikit digunakan, hak masyarakat lah yang terganggu dan sebaliknya individu bisa menggunakan hak nya lebih sewenang-wenang atau tanpa batas.”Hukum tidak mempunyai pilihan lain kecuali di samping menjamin kepentingan umum juga melindungi kepentingan perseorangan agar keadilan dapat terlaksana “291Dalam bidang pertanahan batas kepemilikan pribadi atas tanah untuk kepentingan umum berupa pengadaan tanah untuk pembangunan, sudah diatur secara spesifik dalam Undang Undang Nomor 2 tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.Pengertian kepentingan umum menurut undang-undang tersebut adalah kepentingan bangsa, negara dan masyarakat yang harus diwujudkan oleh

290asal 28H ayat (4):“Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh

diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun.”Pasal 33:Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup

orang banyak dikuasai oleh negara.Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara

dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan

prinsip kebersamaan,efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.291Adrian Sutedi, SH,MH, Implementasi Prinsip Kepentingan Umum Dalam Pengadaan

Tanah Untuk Pembangunan, Sinar Grafika, 2007, hlm 70

Page 249: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 241 |

pemerintah dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.292. Konsep dan batasan kepentingan umum yang terdapat pada Undang Undang Pengadaan tanah untuk Pembangunan tidak bisa serta merta digunakan untuk bentuk kepemilikan lain seperti paten.Paten merupakan suatu pranata hukum yang memberikan perlindungan kepada pemegang paten hak eksklusif untuk melakukan eksploitasi komersial atas cara kerja teknologi tertentu yang dimiliki selama jangka waktu tertentu. Bila masa perlindungan berakhir cara kerja teknologi tersebut menjadi berada dalam domain publik.

Berdasarkan pasal 1 butir 1UU Paten 2016, Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada inventor atas hasil invensinya di bidangteknologi untuk jangka waktu tertentu melaksanakan sendiri invensi tersebut atau memberikanpersetujuan kepada pihak lain untuk melaksanakannya.

Objek hak pada paten adalah teknologi baru.Secara objek diberi perlindungan paten bila invensi tersebut baru, mengandung langkah inventif dan dapat diterapkan dalam industri.293Hak paten tidak muncul secara otomatis.Inventor/pemohon harus mengajukan permohonan. Permohonan tersebut kemudian diperiksa secara administratif dan substantif untuk kemudian ditentukan akanditerima atau tidak. Invensi yang permohonannya dikabulkanakan mendapat kan Sertifikat Paten. Sertifikat tersebut merupakan bukti hak atas paten.294. Paten merupakan benda bergerak yang tidak berwujud295dan dapat dialihkan.296Karakter yang terdapat pada paten memperlihatkan bahwa paten merupakan suatu bentuk hak milik. Sebagai bentukkepemilikan hak pemegang patentidak bersifat absolut (tanpa batas). Hak pemegang paten dibatasi oleh hak orang-oranglain, yaitu kepentingan masyarakat. Telah disebutkan bahwa menurut Pasal 36 ayat (3) UUHAM Hak milik mempunyai fungsi sosial.Selanjutnya pada bagian penjelasan disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “hak milik mempunyai fungsi sosial” adalah setiap penggunaan hak milik harus

292Lihat Pasal 1 butir 6 Undang Undang Nomor 2 tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum

293Lihat Pasal 3 (1) UU Paten 2016294Lihat Pasal 59 UU Paten 2016295Lihat Pasal 59(3) UU Paten 2016296Lihat Pasal 74(1) UU Paten 2016

Page 250: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 242 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

memperhatikan kepentingan umum atau kepentingan masyarakat.Hak milik atas tanah juga dibatasi oleh fungsi sosial.297

Aspek kepentingan masyarakat pada paten berbeda dengan tanah. Pada paten, hubungan hukum antara pemegang paten (semula inventor) dengan objek paten baru ada setelah paten disetujui negara. Negara memiliki peran untuk menentukandan menetapkan apakah hak eksklusif dapat atau tidak dapat diberikan terhadap objek tersebut. Jika terhadap objek tidak diberikan paten, maka objek berada dalam lapangan publik. Invensi tidak memenuhi syarat untuk menjadi objek paten bila tidak memenuhi syarat baru yakni belum pernah ada sebelumnya, secara kualitas tidak memenuhi ada langkah maju dari invensi sebelumnya, dan tidak dapat diproduksi secara massal dengan menggunakan cara yang diungkapkan dalam dokumen paten oleh inventor. Dari uraian tersebut, Negara memberi pembatasan tidak semua hal yang dimohonkan dapat diberi hak eksklusif.Hal-hal yang membatasi merupakan pembatasan untuk memperoleh hak eksklusif adalah perhatian kepada masyarakat, agar tidak semua hal bisa dimonopoli dan membatasi penggunaan oleh masyarakat.Setelah hak eksklusif diberikan, hak tersebut dimiliki secara eksklusif. Pemegang memiliki hak untuk atau kekuasan terhadap objek yang dimilikinya. Namun hak kepemilikan tersebut yang bersifat eksklusif dibatasi beberapa hal. Eksploitasi atas paten dibatasi hal-hal tertentu .Pembatasan hak ini memberi tempat kepada publik atas monopoli yang diberikan kepada pemegang paten.Kemudian, setelah masa perlindungan paten berakhir objek yang semula dimiliki oleh pemegang paten menjadi berada pada wilayah publik. Siapapun dapat mengunakan cara kerja yang semula dimiliki secara eksklusif oleh individu. Aturan yang memperlihatkan bagaimana agar objek tersebut dapat digunakan sebesar besarnya oleh masyarakat setelah paten berakhir merupakan perhatian terhadap hak masyarakat.

Berdasarkan uraian diatas, aspek kepemilikan masyarakat dapat ditentukanpada 3 tahap, yakni tahap ketika invensi ditetapkan menjadi objek paten, pada masa perlindungan paten, dan pada masa setelah hak eksklusif paten berakhir.298

297Lihat Pasal 6 Undang Undang Pokok Agraria298Cara pandang bahwa aspek kepentingan masyarakat pada paten dilihat /digolongan

pada 3 tahap merupakan hasil analisis penulis pada Disertasi penulis (ibid), Bab V bagian

Page 251: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 243 |

Aspek kepentingan masyarakat pada Undang Undang Paten 2016

UU Paten 2016 diundangkan setelah perundingan para menteri anggota WTO di Doha pada tahun 2001 yang antara lain melahirkan deklarasi mengenai Persetujuan TRIPSdan Kesehatan masyarakat (Declaration on the TRIPS Agreement and Public health). DeklarasiDoha terjadi antara lain akibat protes keras mengenai efek peraturan paten pada Persetujuan TRIPS terhadap perlindunganpaten farmasi dan kesehatan masyarakat. Isi deklarasi ini lebih memperhatikan aspek kepentingan masyarakatdalam hal ini hak atas kesehatan masyarakat (public health).Dengan diilhami oleh deklarasi Doha, undang-undang ini juga lebih perhatikan aspek kepentingan masyarakat. Pada Penjelasan UU Paten 2016 antara lain disebutkan bahwa pendekatan revisi UU ini adalah keberpihakan pada kepentingan Indonesia tanpa melanggar prinsip-prinsip internasional299 Selain itu juga antara lain disebutkan urgensi perubahan undang-undang ini adalah: 300

1. Penyempurnaan ketentuan pemanfaatan Paten oleh Pemerintah.

2. Pengecualian atas tuntutan pidana dan perdata untuk Impor Paralel (parallel import) dan ProvisiBolar (bolar provision).

3. Invensi berupa penggunaan kedua dan selanjutnya (second use dan second medical use) atas

Paten yang sudah habis masa pelindungan (public domain) tidak diperbolehkan.

4. Pengaturan ekspor dan impor terkait Lisensi-wajib.5. Pemberian lisensi-wajib atas permintaan Negara berkembang

(developing country) atau negara belumberkembang (least developed country) yang membutuhkan produk farmasi yang diberi paten di Indonesiauntuk keperluan pengobatan penyakit yang sifatnya endemi, dan produk farmasi tersebut dimungkinkandiproduksi di Indonesia, untuk diekspor ke negara tersebut. Sebaliknya pemberian lisensi-wajib untukmengimpor pengadaan produk farmasi yang diberi paten di Indonesia namun belum mungkin diproduksidi Indonesia untuk keperluan pengobatan penyakit

4.Permasalahan Kepentingan Masyarakat pada Undang Undang Paten 2001.299Lihat Penjelasan UU Paten 2016 bagian Umum300ibid

Page 252: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 244 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

yang sifatnya endemi.Berikut uraian pasal-pasal pada UU Paten 2016 yang berkaitan

dengan aspek kepentingan masyarakat dengan sistimatika uraian : sebelum paten disetujui Negara, selama perlindungan paten dan setelah masa perlindungan berakhir.301

1. Tahap invensi ditetapkan menjadi objek paten:Pengaturan mengenai objek yang dapat dilindungi paten,

memperlihatkan bagaimana Negara mengatur objek yang dapat dimiliki individu secara eksklusif sementara di sisi lain objek yang tetap milik masyarakat atau tidak dapat dikuasai individu. Batasan objek apa saja yang dapat dilindungi paten dan yang tak dapat dilindungi paten memperlihatkan bagaimana Negara membatasi objek yang dapat dimiliki oleh individu sehingga tetap berada dalam domain publik.

UU Paten 2016 mengatur hal-hal yang tidak dapat diberi paten sama seperti pada UU Paten 2001. Di samping itu UU Paten 2016 juga mengatur hal-hal yang tidak merupakan invensi sehingga tidak dapat menjadi objek patenyang tidak diatur dalam UU Paten 2001. Dalam Pasal 4 UU Paten 2016diatur mengenai hal-hal yang bukan merupakan invensi sebagai berikut:

kreasi estetika; skema; aturan dan metode untuk melakukan kegiatan: yang melibatkan kegiatan mental, permainan, dan bisnis; aturan dan metode yang hanya berisi program komputer; presentasi mengenai suatu informasi; dan temuan (discovery) berupa: Penggunaan baru untuk produk yang sudah dikenal dan bentuk baru dari senyawa yang sudah ada yang tidak menghasilkan peningkatan khasiat yang sudah diketahui.Penambahan pasal ini terutama mencegah pemberian paten terhadap invensi yang sama namun digunakan untuk penggunaan yang berbeda. Penggunaan baru atas invensi yang sama termasuk dalam ranah discovery, bukan invensi. Dalam bidang farmasi hal tersebut

301Penulis melakukan analisis atas pasal-pasal yang menurut pemahaman dan analisis penulis merupakan pasal-pasal yang di dalamnya termuat aspek kepentingan masyarakat.Sekalipun demikian penulis tidak berpretensi bahwa pasal-pasal yang dikaji sudah meliputi semua pasal yang berkaitan dengan aspek kepentingan masyarakt.Kemungkinan ada pasal yang tidak dikaji karena secara otomatis berkaitan dengan pasal yang sudah penulis kaji sehingga tidak perlu lagi diuraikan dan dianalisis atau kaitan pasal tersebut dengan aspek kepentingan masyarakat tidak banyak/tidak ada. Kemungkinan lain, pasal-pasal tersebut belum dikaji karena tanpa disadari tidak ditemukan oleh penulis.

Page 253: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 245 |

dikenal dengan istilah second medical use.302 Pemberian perlindungan paten terhadap second medical use menyebabkan perlindungan paten terhadap bidang farmasi menjadi lebih lama sekaligus menghambat masyarakat menggunakan secara bebas cara kerja objek farmasi tersebut karena masih dilindungi paten.Aturan baru lain pada UU Paten 2016yang tidak diatur dalam UU Paten 2001 adalah mengenai paten yang berkaitan dengan Sumber Daya Genetik / Pengetahuan Tradisional. Pada Pasal 26 UU Paten 2016diatur bahwa dalam deskripsi invensi harus disebutkan bila invensi berhubungan dengan Sumber Daya Genetik / Pengetahuan Tradisional. Bila hal tersebut tidak dijabarkan dalam deskripsi invensi, pihak ketiga dapat mengajukan gugatan pembatalan paten. Alasan penyebutan asal dari sumber daya genetic dan/atau pengetahuan tradisional dalam deskripsi supaya sumber daya genetic dan/atau pengetahuan tradisional tidak diakui oleh Negara lain dan dalam rangka mendukung Access Benefit Sharing (ABS).303Pengaturan mengenai invensi yang berhubungan dengan Sumber Daya Genetik/Pengetahuan Tradisional sehubungan dengan keikut-sertaan Indonesia pada NagoyaProtocol on Access to Genetic Resources and the Fair and Equitable Sharing of Benefits Arising from Utilization to the Convetion on Biological Diversity tanggal 11 Mei 2011 dan diratifikasi pada tanggal 24 September 2013.

Sebaliknya, UU Paten 2016 juga memperluas invensi yang dapat diberi paten. Berdasarkan undang-undang ini paten sederhana dapat diberikan baik untuk produk maupun proses kerja.304Bahkan dalam penjelasan Pasal 3(2) disebutkan Paten sederhana juga diberikan untuk metoda baru.Undang-undang ini juga menambahkan program komputer dan metode bisnis sebagai invensi yang dapat diberi paten, meski tidak semua program komputer dan metode dapat diberi paten.305

302Lihat juga www. bphn.go.id >data> documents Draf Naskah Akademik RUU Tentang Paten , Badan Pembinaan Hukum Nasional , hlm 11. Akses terakhir 22 Juni 2016

303Lihat Penjelasan Pasal 26 (1) UU Paten 2016304Lihat Pasal 3(2) UU Paten 2016305Lihat Pasal 4 huruf c angka 3 dan Pasal 4 d berikut penjelasan pasal tersebut.

Pada Pasal 3 huruf c angka 3 disebutkan bahwa bisnis bukan merupakan inensi. Sekalipun demikian pada bagian penjelasan kata bisnis tersebut dibatasi hanya untuk metode bisnis yang tidak memiliki karakter dan efek teknik. Jadi metoda bisnis yang memilki karakter dan efek teknik merupakan invensi. Pasal 4 huruf d menyebutkan bahwa aturan dan metode yang hanya berisi program komputer bukan merupakan invensi, namun pada bagian

Page 254: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 246 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

Dari rangkaian uraian di atas UU Paten 2016pada satu sisi lebih membatasi objek yang dapat diberikan paten, sehingga invensi dalam bidang tersebut tidak dapat dikuasai oleh individu sehingga tetap berada dalam domain publik, namun pada sisi lain memperluas objek yang dapat diberi paten , sehingga invensi pada bidang tersebut dapat dikuasai oleh individu pemegang paten. Objek yang dibatasi sehingga tidak dapat memperoleh perlindngan paten adalah pemberian paten terhadap invensi yang sama namun digunakan untuk penggunaan yang berbeda (second medical use) dan kewajiban penyebutan penggunaan sumber daya genetic atau pengetahuan tradisional dalam mendiskripsikan paten (pada dokumen paten) dengan konsekuensi pebatalan paten bila hal tersebut tidak dideskripsikan/diuraikan dalam dokumen paten. Sementara perluasan objek paten ada dalam bidang program komputer dan metode bisnis, meski tidak semua program komputer dan metoda bisnis merupakan invensi.Selain itu perluasan objek pada patensn sederhana sehingga meliputi paten proses dan metode 306

2. Selama perlindungan paten:Selama perlindungan paten negara menjamin hak eksklusif

pemegang paten untuk mengeksploitasi secara komersial paten yang dimiliki selama perlindungan paten.Agar hak eksklusif tersebut terjamin oleh hukum, ada hal-hal yang harus dipenuhi atau dilaksanakan oleh pemegang paten.Dalam UU Paten 2016, aturan tentang pengecualian untuk tidak membuat produk dan menggunakan proses dalam industri di Indonesia tidak ada, sehingga pemegang paten harus melaksanakan patennya di Indonesia. Bahkan disebutkan padaUU Paten 2016 bahwa pelaksanaan paten tersebut harus menunjang penegalihan teknologi, penyerapan investasi dan/atau penyediaan lapangan kerja.

Disebutkan dalam Pasal 20 UU Paten 2016:

penjelasan disebutkan: Yang dimaksud dengan «aturan dan metode yang hanya berisi program komputer» adalah programkomputer yang hanya berisi program tanpa memiliki karakter, efek teknik, dan penyelesaianpermasalahan namun apabila program komputer tersebut mempunyai karakter (instruksi-instruksi) yangmemiliki efek teknis dan fungsi untuk menghasilkan penyelesaian masalah baik yang berwujud (tangible)maupun yang tak berwujud (intangible) merupakan.Invensi yang dapat diberi paten

306Pada UU Paten 2001 program komputer dan metoda bisnis tanpa kecuali tidak termasuk invensi.

Page 255: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 247 |

(1) Pemegang Paten wajib membuat produk atau menggunakan proses di Indonesia.

(2) Membuat produk atau menggunakan proses sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menunjang transfer teknologi, penyerapan investasi dan/atau penyediaan lapangan kerja.Paten yang dinyatakan dihapus, dicatat dan diumumkan.

Kewenangan ini ada pada pemerintah (menteri)307

Pelaksanaan teknologi pada Negara yang memberi perlindungan paten kepada individu atau badan hukum memiliki kaitan dengan investasi di negara pemberi perlindungan paten, terlebih bila pemilik paten adalah orang atau badan hukum asing. Dengan adanya pemberian paten, diharapkan negara tidak hanya memberi hak saja atas kerja keras individu/badan hukum (asing), namun sebagai imbalan pemegang paten harus melaksanakan paten dengan memproduksi paten di negara pemberi perlindungan paten.Dengan demikian investasi masuk ke negara tersebut.Aturan lama paten di Indonesia (Ex Undang-undang Nomor 6 Tahun 1989 Tentang Paten) maupun di banyak negara berkembang seperti ini.Bahkan dalam sejarah perkembangan paten terlihat bahwa pemberian paten diberikan dengan imbalan pelaksanaan paten (berarti investasi) di Negara tersebut. Italia dan Amerika contoh Negara yang menerapan hal tersebut pada awal memiliki undang-undang paten.308

Aturan bahwa pelaksanaan paten bisa dilakukan di Negara pemberi paten atau import baru dikenal dan diaplikasikan secara luas pada awal abad ke 21, yakni saat semua anggota WTO yang mayoritas adalah Negara berkembang menerapkan aturan tersebut pada hukum nasional mereka karena merupakan kewajiban pada Article 27(1) TRIPS.

307Liht Pasal 135 UUU Paten 2016308Dapat dilihat lebih detail pada Catharina Ria Budiningsih, disertasi Bab III, khusus

nya bagian 4.1 Cikal bakal Peraturan Paten dan Perkembangan Peraturan Paten di Eropa dan Di Amerika halaman 121 sampai dengan 130. Mengenai kewajiban pelaksanaan paten yang diartikan sebagai working yakni pengerjaan paten secara aktif, antara lain terlihat dalam komentar penulis pada tulisan yang sama, catatan kaki 109: “Lihat pasal 17 ayat 2 berikut penjelasannya. Arti kata “pelaksanaan” paten pada UU Paten 2001 berbeda dengan kata “pelaksanaan” pada (eks) UU Paten 1989. Undang-undang tahun 1989 ini tegas mengartikan pelaksanaan sebagai working.Tidak ada pengecualian karena alasan ekonomi, bahkan berakibat batal bila pelaksanaan (working) tidak dilakukan, tidak seperti yang terdapat pada UU Paten 2001. Pada (eks) UU Paten 1989 juga tegas disebutkan bahawa impor bukan pelaksanaan dari paten.

Page 256: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 248 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

Article tersebut memberi kewajiban kepada Negara untuk memberi perlindungan kepada pemegang paten baik produk atau proses kerja dilaksanakan secara lokal atau dilaksanakan melalui import.309

Pasal 20 UU Paten 2016 memperlihatkan bahwa Negara memberi hak eksklusif kepada pemegang paten, namun pemegang paten harus melaksanakan paten yang dimiliki di Indonesia dan pelaksanaan tersebut harus menunjang transfer teknologi, penyerapan investasi dan/atau penyediaan lapangan kerja. Kewajiban yang dibebankan pada pemegang paten menunjukkan keberpihakan kepada masyarakat bahwa sebagai imbalan dari hak ekslusif pemegang paten, masyarakat mendapatkan ketersediaan produk yang dilindungi paten di Indonesia. Selain itu masyarakat Indonesia mendapatkan pengalihan teknologi dari invensi yang dilindungi serta penyerapan investasi dan/atau penyediaan lapangan kerja atas pelaksanaan /pembuatan secara massal paten tersebut. Ini berbeda dengan isi Pasal 17 UU Paten 2001 yang mengatur pemegang paten harus melaksanakan patennya di Indonesia (yakni membuat dalam industri produk atau menggunakan proses atas objek paten). Sekalipun demikian dalam pasal yang sama pula diatur mengenai pengecualian pelaksanaan paten di Indonesia bilamana pemegang paten dapat membuktikan bahwa pembuatan produk atau penggunaan proses tersebut hanya layak secara ekonomi jika dilakukan dalam lingkup regional. Berdasarkan pasal pada ex UU Paten 2001 tersebut, pemegang paten wajib melaksanakan paten di Indonesia, namun ada pengecualian, yakni bila pelaksanaan paten tidak menguntungkan dalam lingkup regional, maka tidak harus dilaksanakan /diproduki di Indonesia. Perlindungan kepada pemegang paten yang terdapat pada pasal 17 ex UU Paten 2001 sama dan tidak kurang dari standart minimal yang dditerapkan pada Article 27(1) TRIPS. Namun isi Pasal Pasal 20 UU Paten 2016 yang mewajibkan penerapan paten harus dilaksanakan di Indonesia dengan aakibat peghapusan paten, memberikan perlindungan kepada pemegang paten di bawah dari

309Article27(1) TRIPS mengatur sebagai berikut: “Subject to the provisions of paragraphs 2 and 3, patents shall be available for any inventions, whether products or processes, in all fields of technology, provided that they are new, involve an inventive step and are capable of industrial application.5 Subject to paragraph 4 of Article 65, paragraph 8 of Article 70 and paragraph 3 of this Article, patents shall be available and patent rights enjoyable without discrimination as to the place of invention, the field of technology and whether products are imported or locally produced.”

Page 257: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 249 |

turan TRIPS. Paten yang dinyatakan dihapus, dicatat dan diumumkan. Kewenangan ini ada pada pemerintah (menteri)

Perhatian terhadap kepentingan masyarakat juga dapat dilihat dari aturan mengenai lisensi wajib. Pada Pasal 82 (1) huruf a diatur bahwa Lisensi-wajib UU Paten 2016pemberian lisensi wajib diberikan dalam hal sebagai berikut:310

Lisensi-wajib merupakan Lisensi untuk melaksanakan Paten yang diberikan berdasarkan Keputusan Menteri atas dasar permohonan dengan alasan: a. Pemegang Paten tidak melaksanakan kewajiban untuk membuat produk atau menggunakan proses di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dalam jangka waktu 36 (tiga puluh enam) bulan setelah diberikan Paten;

Tampak bahwa aturan dalam Pasal 82 (1) huruf a merupakan konsekuensi lebih lanjut dari aturan Pasal 20 UU Paten 2016.Bila pelaksanaan paten tidak dilakukan di Indonesia dalam jangka waktu 36 bulan, Negara dapat menerapkan lisensi wajib keada pemegang paten311.Dari uraian ini tampak bahwa pasal 82 (1) huruf a memberi kesempatan kepada negara maupun masyarakat untuk mendapatkan hasil dari perlindungan paten, sehingga aturan ini berkaitan dengan aspek kepentingan masyarakat.

Ex-UU Paten 2001 mengatur mengenai lisensi wajib bila pemegang paten tidak melaksanakan dalam jangka waktu 36 bulan atau dilaksanakan oleh Pemegang Paten atau Penerima Lisensi dalam bentuk dan dengan cara yang merugikan kepentingan masyarakat. Selanjutnya permohonan lisensi wajib dapat dikabulkan jika pemohon lisensi wajib memenuhi sejumlah persyaratan yang ditentukan undang undang312 . Sekalipun demikian berdasarkan Pasal 84 UU Paten 2016 pemberian ijin dari pemerintah untuk pelaksanaan liseensi wajib dibatasi. Pemohon harus membuktikan bahwa ia dapat segera melaksanakan paten tersebut dan ia sudah melakukan negosiasi selama maksimal 12 bulan dengan pemilik paten namun tidak memperoleh kesepakatan.

310Lihat Pasal 82 (1) huruf a UU Paten 2016311Lisensi wajib adalah ijin untuk melaksanakan paten yang diperoleh dari Negara,

bukan karena persetujuan pemegang paten.Pranata lisensi wajib tidak disukai oleh pemegang paten karena mereka tidak mempunyai hak negosisasi untuk memberikan atau idak memberikan ijin serta menentukan besar royalti kepada penerima lisensi.

312 Lihat Pasal 75 UU Paten 2001

Page 258: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 250 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

Pasal 84 juga membatasi pemerintah dalam pemberian ijin lisensi wajib. Pembatasan tersebut berupa kewajiban untuk memperlihatkan bahwa paten dimaksud dapat dilaksanakan dalam skala ekonomi yang layak dan memberikan manfaat kepada masyarakat313

Berdasarkan isi pasal 82 UU Paten 2016 tersebut tampak bahwa kewajiban yang dibebankan pada pemegang paten lebih banyak dibandingkan aturan lisensi wajib pada Ex-UU Paten 2001. Pada Ex-UU Paten 2001 antara lain pemberian lisensi wajib juga dimungkinkan dalam hal ada kepentingan nasional yang mendesak.

Konsekuensi dari Pasal20 UU Paten 2016 juga tercermin pada PAsal 132 (1) huruf e mengenai penghapusan paten karena melanggar Pasal 20. Sekalipun demikian penghapusan paten karena pelanggaran Pasal 20 tidak otomatis terjadi.Penghapusan harus diminta ke Pengadilan Niaga. Untuk penghapusan paten karena paten tidak dilaksanakan , harus diajukan jaksa atau pihak lain yang mewakili kepentingan nasional314Paten yang dinyatakan dihapus, dicatat dan diumumkan. Kewenangan ini ada pada pemerintah (menteri)315

Dari rangkaian analisis di atas terlihat bahwa secara kata demi kata Pasal 20 UU Paten 2016 mengatur perlindungan bagi pemegang paten lebih rendah dibandingkan exUU Paten 2001 dan lebih spesifik di bawah standart minimal Persetujuan TRIPS Article 27:1. Kewajiban bahwa aturan mengenai KI tidak boleh melewati standart minimal terdapat pada Article 1 Persetujuan TRIPS.Jika paten tidak dilaksanakan berpotensi terkena lisensi wajib.Namun pelaksanaan lisensi wajib sangat tergantung dari kebijakan pemerintah.Undang-undang ini mengatur bahwa kebijakan pemberian lisensi paten cukup ketat yakni hanya dilakukan bila bermanfaat baik masyarakat banyak, dan bila pemegang paten menggunakan posisi dominan selaku pemegang hak eksklusif untuk tidak melaksanakan paten di Indonesia dan cenderung mendapatkan keuntungan dari tindakan importasi.Aturan mengenai penghapusan paten karena melanggar Pasal 20 juga tidak otomatis diterapkan.Penghapusan harus melalui putusan pengadilan dan harus diminta oleh jaksa /pihak yang mewakili kepentingan nasional.Aturan ini memperlihatkan bahwa pelaksanaan lisensi wajib dan penghapusan

313Lihat Pasal 84 (1) UU Paten 2016.314Lihat Pasal 84 (4) UU Paten 2016.315Liht Pasal 135 UUU Paten 2016

Page 259: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 251 |

paten karena paten tidak dilaksanakan sangat tergantung dari kebijakan pemerintah. Jika dilihat landasan berpikir undang-undang ini pada bagian penjelasan -ada keberpihakan pada kepentingan Indonesia tanpa melanggar prinsip-prinsip internasional- maka aturan lisensi wajib dan penghapusan paten tidak secara mudah dan serta merta dilaksanakan semata-mata karena tidak dilaksanakan di Indonesia. Dapat disimpulkan bahwa jika dibaca secara otonom, pasal 20 UU Paten tidak memenuhi standart minimal yang menjadi kewajiban Indonesia sebagai anggota WTO karena tidak sesuai article 1 dan article 27(1) Persetujuan TRIPS, namun jika dikaji lebih mendalam dari syarat-syarat lisensi wajib, syarat-syarat penghapusan paten dan pernyataann pada bagin Penjelasan UU paten 2016, pada tingkat kebijakan tidak perlu dikhawatirkan pemerintah akan melanggar aturan yang terdapat pada Perseetujuan TRIPS.

Aturan yang berkaitan dengan paten farmasi pada UU Paten 2016 memperlihatkan perubahan yang lebih memperhatikan aspek kepentingan masyarakat dalam hal akses untuk mendapatkan obat dan kesehatan publik.

Pada Pasal 88 ex-UU Paten 2001juga diatur mengenai lisensi wajib dalam menanggulangi penyakit yang bersifat endemi. Untuk keperluan tersebut pemerintah dapat memberikan lisensi untuk melakukan importasi obat yang dibutuhkan, dan memberikan ijin lisensi wajib untuk memproduksi obat untuk diekspor ke negara berkembang tertentu atas permohonan ngara tersebut dalam menanggulangi penyakit yang bersifat endemi di negara nya.316

Berdasarkan UU Paten 2016 dan ex-UU Paten 2001penggunaan paten di bidang farmasi sebelum paten berakhir merupakan hal yang tidak termasuk dalam tindakan pelanggaran paten sehingga tidak terkena sanksi hukum perdata maupun pidana.

Penggunaan paten di bidang farmasi sebelum paten berakhir dikenal dengan istilah Bolar provision atau Bolar exemption.

Tujuan pengaturan mengenai Bolar provision adalah agarperusahaan farmasi tidak perlu ragu untuk mulai melakukan

316Dalamex-UU Paten 2001 lisensi wajib diberikan terbatas untuk diproduksi di Indonesia, bukan tindakan importasi dan produksi hanya untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri tidak dapat digunakan untuk eksport keluar negeri.

Page 260: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 252 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

percobaan dan pengujian serta mengurus proses perijinan terhadap produk atau proses kerja bidang farmasi yang masih dilindungi paten. Berdasarkan penjelasan mengenai tujuan Bolar provision, hak eksklusif pemegang paten dibatasi dalam arti pengujian, percoban dan tindakan-tindakan persiapan untuk memproduksi tidak dapat terkena sanksi pelanggaran paten.

Pada ex-UU Paten2001 batasan waktu yang diberikan untuk mulai melakukan pengujian dan perijinan memproduksi pada ex-UU Paten 2001 adalah 2 tahun sebelum perlindungan paten berakhir, sedangkan dalam UU Paten 2016produksi boleh dilakukan 3 tahun sebelum paten berakhir, sehingga menurut UU Paten 2016masyarakat (perusahaan obat generik) memiliki waktu lebih lama untuk persiapan sebelum menjual obat tersebut saat paten obat berakhir. Bahkan berdasarkan ex-UU Paten 2001perusahaan obat generik bebas dari tuntutan pidana dan tidak dapat digugat secara perdata atas kegiatan persiapan tersebut. Dalam ex-UU Paten 2001, hanya disebutkan pembebasan dari sanksi pidana.

1. Setelah masa perlindungan paten:Setelah masa perlindungan paten berakhir, masyarakat dapat

menggunakan paten yang semula dilindungi secara bebas. Dokumen yang berisi deskripsi mengenai cara kerja pada teknologi yang semula dilindungi paten perlu tersedia secara luas agar mudah diakses oleh masyarakat. Pada ex-UU Paten 2001kewajiban pemerintah setelah paten berakhir untuk menyediakan media supaya deskripsi paten dapat mudah diakses oleh masyarakat diatur dalam pasal 111.

Disebutkan dalam pasal 125UU Paten 2016:

1) Menteri menyelenggarakan dokumentasi dan pelayanan informasi Paten.

2) Dalam menyelenggarakan dokumentasi dan pelayanan informasi Paten sebagaimana dimaksud daam ayat (1), Menteri membentuk sistem dokumentasi dan jaringan informasi Paten yang bersifat nasional.Isi pasal ini tidak berbeda dengan isi pada Pasal 111ex- UU Paten

2001 yang mengatur hal yang sama, sehingga tidak ada perbedaan mengenai peran pemerintah dalam penyediaan dokumen paten bagi masyarakat.

Page 261: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 253 |

Disebutkan pada ex- Pasal 111 UU Paten 2001:

Direktorat Jenderal menyelenggarakan dokumentasi dan pelayanan informasi paten dengan membentuk suatu sistem dokumentasi dan jaringan informasi paten yang bersifat nasional sehingga mampu menyediakan informasi seluas mungkin kepada masyarakat mengenai teknologi yang diberi paten.

Dari kedua pasal di atas tampak bahwa satu-satunya perbedaan yang terlihat pada kedua pasal tersebut adalah uraian pada anak kalimat Pasal 111 UU Paten 2001 yang jelas menyebutkan tujuan tersebut tambahan kata pada anak kalimat Pasal 111 ex-UU Paten 2001 yang lugas menyebutkan tujuan penyediaan informasi paten tersebut kepada masyarakat.

Dari seluruh uraian terlihat bahwa pada UU Paten 2016 aspek kepentingan masyarakat atau aspek kepentingan umum atau fungsi sosial lebih besar dibandingkan ex-UU Paten 2001 terdapat pada saat paten pemberian paten dalam hal tertentu dan pada masa perlindungan paten terutama dalam hal yang berkaitan dengan kesehatan masyarakat dan kemungkinan terjadi jika pemerintah merasa kepentingan nasional membutuhkan untuk pelaksanaan lisesnsi wajib dan penghapusan paten yang melanggar Pasal20. Pada saat pemerintah menetapkan invensi menjadi paten, ada perlindungan lebih besar bagi masyarakat untuk mencegah penggunaan Sumber Daya Genetik dan/atau Pengetahuan Tradisional secara tidak baik (misappropriasi/misapropriation). Di sisi lain undang-undang ini melonggarkan kepemilikan paten untuk program komputer. Hal yang dahulu hanya menjadi domain ciptaan; serta memasukkan metode bisnis sebagai objek paten.Kedua hal tersebut merupakan objek paten pada undang undang paten di Amerika.

KESiMPULAN DAN REKoMENDASi

KESiMPULAN

1. Dalam beberapa hal khususnya pada tahap invensi ditetapkan menjadi objek paten dan pada masa perlindungan paten terlihat ada perhatian lebih besar untuk kepentingan masyarakat. Perhatian pada kepentingan masyarakat pada saat penetapan

Page 262: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 254 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

invensi menjadi objek paten tampakpada aturan yang mencegah pemberian paten pada cara kerja yang menggunakan sumber daya genetik dan/atau pengetahuan tradisional Indonesia, dan mencegah pemberian paten terhadap objek yang hanya bersifat penggunaan baru atas cara kerja yang sama (second medical use). Berkenaan dengan aspek kepetingan masyarakat pada masa perlindungan paten terutama terlihat pada kewajiban pelaksanaan paten di Indonesia.

2. Pada masa pelaksanaan paten terdapat perhatian lebih besar untuk kemudahan akses terhadap obat-obatan dalam menunjang kesehatan masyarakat.

3. Pelaksanaan paten diatur dalam pasal 20 harus dibaca terkait dengan konsekuensi jika paten tidak dilaksanakan, yaitu berkenaan dengan lisensi wajib dan penghapusan paten, jika dilihat secara normatif dan sempit, isi aturan ini kurang dari standart minimal yang ditetapkan TRIPS, namun jika dilihat secara lebih luas bahwa pelaksanaan dari Pasal 20 tergantung dari kebijakan pemerintah yang mengacu pada kepentingan nasional namun tidak melanggar prinsip-prinsip internasional.

REKoMENDASi

Terhadap Pasal 20 berikut konsekuensi yang terdapat dalam aturan mengenai lisesni wajib dan penghapusan kurang dari standart minimal yang diatur secara langsung pada article 27:1 TRIPS, tidak perlu diamandemen dengan alasan khawatir potensi tindakan retaliasi dari Negara anggota TRIPS. Agar pemerintah dapat meyakinkan bahwa pasal tersebut tidak perlu diamandemen (apalagi mengubah total Undang Undang yang belum setahun dibentuk dan diundangkan), pemerintah melalui diplomasinya perlu meyakinkan kepada negara atau pihak asing yang ingin agar Indonesia mengubah aturan tersebut. Pemerintah perlu meyakinkanbahwa pelaksanaan lisensi wajib dan penghapusan paten yang tidak dilaksanakan di Indoesia hanya diberikan dalam kondisi memaksa. Dalam bagian penjelasan yang memperlihatkan tujuan dari undang-undang ini tampak bahwa Indonesia tidak ingin melanggar prinsip-prinsip internasional, dalam hal ini aturan yang terdapat pada Persetujuan TRIPS.

Page 263: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 255 |

DAFTAR PUSTAKA

Bahan Hukum Primer (Perundang-undangan):

Undang Undang Dasar Republik Indonesia 1945 (amandemen ke 4)

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1950 Tentang Undang Undang Pokok Agraria

Undang Undang Republik IndonesiaNomor 7 Tahun 1994 Tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia)

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

UndangUndang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten

Undang Undang Nomor 2 tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Paten

Agreement On Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights.

Bahan Hukum Sekunder:

Buku

Adrian Sutedi, SH,MH, Implementasi Prinsip Kepentingan Umum Dalam Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan, Sinar Grafika, 2007.

Bahan dari internet

Catharina Ria Budiningsih, Analisis Normatif Dan Pemanfaatan Asas Fungsi Sosial Pada Paten Bagi Pengembangan Hukum Paten Di Indonesia (Telaah Kritis Terhadap Undang Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten), http://repository.unpar.ac.id/browse?type=author&value=Budiningsih%2C+Catharina+Ria

www. bphn.go.id >data> documents Draf Naskah Akademik RUU Tentang Paten , Badan Pembinaan Hukum Nasional , hlm 11.

Page 264: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 256 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

Akses 22 Juni 2016

World Trade Organisation ,wto.org, akses 23 juli 2017

The WTO https://www.wto.org/english/thewto_e/thewto_e.htm, akses 28 Juli 2017

http://enforcement.trade.gov/regs/uraa/saa-dr.html, akses 28 Juli 2017

Page 265: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 257 |

MENDOrONG PENINGKataN EKONOMI raKYat MELaLUI PENDaftaraN HaK KEKaYaaN INtELEKtUaL

DaLaM rEZIM INDIKasI GEOGrafIs BaGI PEtaNI ”BEras PULUt MaNDOtI” DI KaBUPatEN ENrEKaNG

sULaWEsI sELataN

Hasbir PaserangiFakultas Hukum Universitas Hasanuddin,Makassar

email: [email protected]

ABSTRACT

Geographical Indication is one of the forms of intellectual property which shall be endeavored for its protection for the member countries of World Trade Organization (including Indonesia).PulutMandoti is a rice variety which is a local product featured in Enrekang regency, South Sulawesi.This rice variety is included into the category of aromatic rice. The distinctive aroma of fragrant pandan leaves and a pungent odor when cooked, makes this rice variety is widely favored by consumers both locally and nationally. Besides, this type of rice if grown elsewhere will not produce the same aroma as if it planted in the Enrekang area.That is what then makes this rice variety has a higher economic value than the other types of rice in the district of Enrekang. Rice variety «PulutMandoti»has the potential to be register as a Geographical Indication Rights that is capable of providing legal protection to the existing farming communities in Enrekang regency of South Sulawesi. Natural (geographical)factorsin the soil and weather / climatic elements found in Salukanan and Kendenan areas are greatly affect the taste and aroma quality of rice variety «Pulut Mandoti». Therefore, there needs to be pro-active actions from the local government in order to register the Geographical Indication of»Pulut Mandoti Rice»to the Directorate General of Intellectual Property Rights in Jakarta.It is certainly expected to be able to encourage the increasing level of the economy of farming communities located in Enrekang regency of South Sulawesi.

Keyword: Geographical Indications, Mandoti, Pulut

Page 266: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 258 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

PENDAHULUAN

Indikasi Geografis merupakan suatu tanda yang tanpa disadari sudah lama ada dan secara tidak langsung dapat menunjukkan adanya kekhususan pada suatu barang yang dihasilkan dari daerah tertentu. Tanda dimaksud selanjutnya dapat digunakan untuk menunjukkan asal suatu barang, baik yang berupa hasil pertanian, bahan pangan, hasil kerajinan tangan, atau barang lainnya, termasuk barang mentah dan/atau hasil olahan, baik yang berasal dari hasil pertanian maupun yang berasal dari hasil tambang. Penunjukan asal suatu barang merupakan hal penting, karena pengaruh dari faktor geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut di daerah tertentu tempat barang tersebut dihasilkan dapat memberikan ciri dan kualitas barang yang dipelihara dan dapat dipertahankan dalam jangka waktu tertentu akan melahirkan reputasi (keterkenalan) atas barang tersebut, yang selanjutnya memungkinkan barang tersebut memiliki nilai ekonomi tinggi.317

Pulut Mandoti adalah varietas padi yang merupakan varietas unggulan lokal di Kabupaten Enrekang Provinsi Sulawesi Selatan.Padi varietas ini termasuk dalam kategori padi aromatik.Aroma pandan wangi yang khas dan tajam menjadikan padi jenis ini banyak disenangi konsumen lokal maupun nasional.Padi jenis ini tidak mudah tumbuh di tempat lain. Kalaupun tumbuh di tempat lain, maka hasilnya tidak akan memiliki aroma khas pandan wangi yang sama jika ditanam di daerah Salukanan dan Kendenan Kabupaten Enrekang. Hal itu lah yang menjadikan padi varietas ini memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi dibanding padi jenis lain di Kabupaten Enrekang.

Jika ciri khas dipertahankan dan dijaga konsistensi mutu tingginya maka produk tersebut akan tetap mendapatkan pasaran yang baik, sebaliknya bila ciri khas dan mutu produk tersebut tidak konsisten maka nilainya akan merosot. Suatu produk yang bermutu khas tentu banyak ditiru orang sehingga perlu diupayakan perlindungan hukum yang memadai bagi produk-produk tersebut. Oleh karena itu, jika pendaftaran dilakukan terhadap beras pulut mandoti yang berasal dari kabupaten Enrekang Provinsi Sulawesi Selatan dalam rezim indikasi

317Direktorat Jenderak Hak Kekayaan Intelektual Departement Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Kompilasi Undang-Undang Republik Indonesia di Bidang Hak Kekayaan Intelektual, Japan Internasional Co-operating Agency.

Page 267: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 259 |

geografis maka suatu produk dapat memberikan manfaat ekonomi dalam rangka peningkatan taraf hidup masyarakat.

ANALiSiS DAN PEMBAHASAN

Hak Kekayaan intelektual dalam Persetujuan TRiPs

Salah satu konsekuensi dari ikut sertanya Indonesia dalam perjanjian-perjanjian Internasional menyangkut perdagangan bebas dan TRIPs (Trade Related Aspect on Intellectual Property Rights) adalah keharusan untuk mengurangi atau menghilangkan rintangan dalam perdagangan Internasional dan pengakuan terhadap perlunya perlindungan yang efektif terhadap HKI.Demikian pula harus ada kehendak untuk mengembangkan prosedur pelaksanaan HKI dalam perdagangan bebas.Hal ini merupakan filosofi dasar dari perjanjian TRIPs yang telah ditandatangani oleh Indonesia.318

Ciri-ciri pokok persetujuan TRIPs pada dasarnya berpola pada tiga hal, yaitu:

1) TRIPs lebih berpola pada norma-norma dan standar-standar yang berbeda dari persetujuan-persetujuan internasional lain, terutama perjanjian-perjanjian di bidang perdagangan barang (Trade in Goods), yang lebih banyak berpola pada aspek-aspek yang konkret seperti akses ke pasar dan tarif;

2) Sebagai persyaratan minimal, TRIPs menetapkan sebagai salah satu cirinya yaitu Full Compliance terhadap beberapa perjanjian internasional di bidang HKI;

3) TRIPs memuat ketentuan-ketentuan mengenai penegakan hukum yang ketat berikut mekanisme penyelesaian sengketa yang diberi sarana berupa hak bagi negara yang dirugikan untuk mengambil tindakan-tindakan batasan di bidang perdagangan secara silang.Selain ketiga ciri di atas, terdapat tiga unsur lainnya yang

terkandung dalam TRIPs yang perlu dicermati oleh negara-negara yang

318Nurhayati Abbas, 1999. Hak Atas Merek dan Perkembangannya. Makalah pada Seminar Nasional Pelaksanaan Undang-Undang Hak Atas Kekayaan Intelektual pada Awal Tahun 2000 dan Pengaruhnya Terhadap Perdagangan Bebas. Kerjasama Fakultas Hukum Unhas dengan Yayasan Klinik HAKI (IP Clinic) dan Foundation of Intellectual Property Studies in Indonesia (FIPSI). Makassar. Hal 1.

Page 268: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 260 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

bermaksud untuk menyesuaikan perundang-undangan nasionalnya di bidang HKI. Ketiga unsur yang dimaksud yaitu unsur-unsur yang berupa norma-norma baru, standar-standar yang lebih tinggi, dan penegakan hukum yang ketat. Persetujuan TRIPs diadakan dengan maksud untuk mengurangi gangguan (distortion) dan hambatan (impediment) dalam perdagangan internasional dan kebutuhan untuk meningkatkan perlindungan secara efektif dan memadai terhadap HKI dan untuk menjamin bahwa proses serta langkah-langkah penegakan hukum HKI itu sendiri tidak menjadi hambatan terhadap perdagangan.319

Indikasi Geografis

Indikasi Geografis diatur secara independen dalam bagian 3 Pasal 22-24, perjanjian TRIPs. Sesuai dengan Pasal 22 ayat (1) perjanjian TRIPs, Indikasi Geografis adalah:

“… Indikasi yang menandakan bahwa suatu barang berasal dari wilayah teritorial negara anggota, atau dari sebuah daerah atau daerah lokal didalam wilayah territorial itu, yang membuat kualitas, reputasi, atau karakter-karakter khusus lain dari barang tersebut dapat dikaitkan secara esensial kepada asal geografis barang itu….”

Indikasi Geografis yang dimaksudkan dalam perjanjian TRIPs yaitu tanda yang mengidentifikasikan suatu wilayah negara anggota, atau kawasan atau daerah di dalam wilayah tersebut sebagai asal barang, di mana reputasi, kualitas, dan karakteristik barang yang bersangkutan sangat ditentukan oleh faktor geografis tersebut. Berdasarkan ketentuan tersebut dapat dimengerti bahwa asal suatu barang yang melekat dengan reputasi, karakteristik, dan kualitas suatu barang yang dikaitkan dengan wilayah tertentu dilindungi secara yuridis. Peran positif nama asal barang terhadap goodwill atau karakteristik lainnya yang secara langsung dapat menaikkan keuntungan ekonomis dari perdagangan barang tersebut harus ada.Singkatnya, nama itu sendiri harus memiliki reputasi. Reputasi merupakan salah satu elemen proteksi yang disebutkan secara eksplisit oleh perjanjian TRIPs.320

319Rachmadi Usman, 2006, Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual, Bandung, hlm.41320Miranda Risang Ayu, 2006, Memperbincangkan Hak Kekayaan Intelektual-Indikasi

Geografis, Alumni, Bandung, hlm. 43

Page 269: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 261 |

Berdasarkan Pasal 56 ayat (1) UU Merek mengatur bahwa Indikasi Geografis dilindungi sebagai suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang, yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut, memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan.

Berdasarkan Pasal 1 angka (1) PP No.51 tahun 2007 tentang Indikasi Geografis, pengertian Indikasi Geografis adalah:

“Suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang, yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut, memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan.”

Selain sebagai tanda pembeda, aspek-aspek khusus dari nama asal barang ini juga harus memiliki nilai ekonomis. Hal tersebut berarti bahwa nama asal itu tidak hanya harus berfungsi untuk membedakan suatu barang dari barang lainnya, tetapi juga harus jelas bahwa tempat asal ini memiliki pengaruh yang besar terhadap peningkatan kualitas atau mutu barang tersebut, sehingga meningkat pula harga jualnya.321

Perlindungan Indikasi Geografis pada dasarnya tidak terbatas pada produk pertanian saja, semua produk yang memiliki keterkaitan dengan faktor geografis termasuk faktor alam dan atau manusia sebagai dominasi terbentuknya ciri khas dan kualitas serta telah dikenal keberadaannya dapat dilindungi sebagai Indikasi Geografis. Pada bidang produk-produk pertanian, Indikasi Geografis tampak dari hubungan terkuat antara produk dengan karakter tanah yang menghasilkan bahan mentah dari produk tersebut. Misalnya, anggur merah “Connawarra” Australia. Anggur ini terkenal karena kekhasan rasa yang timbul dari tanah merah Connawarra yang bernama terrarosa. Singkatnya, secara sekilas, produk Indikasi Geografis tampak bergantung kepada tanah. Meskipun demikian, aspek-aspek yang memengaruhi karakter suatu barang yang bisa dilindungi dalam rezim Indikasi Geografis sebetulnya dapat juga berasal dari unsur alam yang bukan tanah. Beberapa negara, terutama yang menjadi penandatanganan Perjanjian Lisabon 1958 dan memiliki produk-produk Indikasi Geografis yang kaya atau amat

321Miranda Risang Ayu, Op. Cit., hlm. 43

Page 270: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 262 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

signifikan bagi peningkatan devisanya, telah mengartikan pengaruh lingkungan tidak saja dalam arti pengaruh unsur-unsur tanah. 322

Pengaruh lingkungan ini juga diartikan secara lebih luas sebagai pengaruh lingkungan alam sebagai totalitas, seperti cara pandang yang dianut dalam Konvensi Internasional tentang Keanekaragaman Hayati (the International Convention on Biodiversity). Berdasarkan konteks tersebut, lingkungan alam dapat juga dipandang sebagai suatu kesatuan alamiah yang dapat juga mencakup faktor manusia, yakni penduduk asli, yang tidak terpisahkan dari lingkungan tersebut. Hal tersebut disebabkan karena TRIPs tidak secara spesifik menentukan aspek-aspek ini selain bahwa aspek-aspek itu harus secara signifikan menentukan kualitas, reputasi atau karakter-karakter khusus lain dari suatu barang, aspek-aspek lingkungan ini dapat saja diartikan secara luas.323

Indikasi Geografis pada pokoknya memuat empat elemen dasar yaitu:324

1) Penentuan wilayah penghasil produk2) Spesifikasi metode produksi3) Spesifikasi kualitas produk4) Nama dan reputasi tertentu yang membedakan dari produk yang

sejenisBerbeda dengan kepemilikan Hak Kekayaan Intelektual lainnya

yang bersifat individu, Indikasi Geografis kepemilikan haknya bersifat kolektif. Hak kolektif diartikan bahwa tiap orang yang berada dalam daerah penghasil produk dan mereka yang diizinkan untuk itu, dimungkinkan untuk bersama-sama memiliki hak dan menggunakan nama Indikasi Geografis pada produksinya sepanjang syarat-syarat yang telah ditentukan secara bersama-sama dalam buku persyaratan bisa dipenuhi.

Adapun manfaat perlindungan Indikasi Geografis yaitu:325

1) Memperjelas identifikasi produk dan menetapkan standar

322Ibid, hlm. 31323Ibid, hlm. 32324www.dgip.go.id/ebhtml/hki/filecontent.php?fid=14872325www.dgip.go.id/ebhtml/hki/filecontent.php?fid=14872

Page 271: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 263 |

produksi serta standar proses diantara para pemangku kepentingan Indikasi Geografis;

2) Menghindari terjadinya praktik persaingan curang dalam perdagangan, memberikan perlindungan bagi konsumen dari penyalahgunaan reputasi Indikasi Geografis dengan cara menjual produk yang berasal dari daerah lain yang memiliki karakteristik berbeda bahkan lebih rendah;

3) Jaminan pada kualitas produk yang dilindungi Indikasi Geografis sebagai produk asli memberikan kepercayaan pada konsumen;

4) Membina para produsen lokal dan mendukung koordinasi serta memperkuat organisasi sesama pemegang hak dalam rangka menciptakan, menyediakan, dan memperkuat citra nama dan reputasi produk.

Karakteristik Padi Pulut Mandoti

Pulut Mandoti adalah varietas padi yang merupakan unggulan lokal di kabupaten Enrekang. Padi varietas ini termasuk dalam kategori padi aromatik.Aroma khas pandan wangi yang khas dan tajam menjadikan padi jenis ini banyak disenangi konsumen lokal maupun nasional. Disamping itu padi jenis ini tidak sembarangan tumbuh di tempat lain. Hal itu lah kemudianyang menjadikan padi varietas ini memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi dibanding padi jenis lain di kabupaten Enrekang.

Berikut karakteristik padi varietas Pulut Mandoti yang diperoleh dari Kantor Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Enrekang:

v Umur tanaman v 190 Hariv Bentuk tanaman v tegakv Tinggi tanaman v 93 – 160 cmv Anakan v 11 – 19 btgv Warna kaki v hijau kecoklatanv Warna batang v hijau kekuninganv Warna telinga daun v putihv Warna lidah daun v putihv Muka daun v hijauv Posisi daun v tegakv Daun bendera v tegak

Page 272: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 264 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

v Bentuk gabah v agak gemukv Warna gabah v kuningv Kerontokan v tidak rontokv Kerebahan v tahanv Tekstur nasi v ketan,v Rata-rata hasil v 3,5 Ton/hav Potensi hasil v 5 Ton /hav Anjuran tanam v 500 – 1000 mdpl

Sumber Data : Dinas Pertanian Kab. Enrekang 2016

Pulut Mandoti, salah satu beras lokal jenis ketan wangi yang langka. Hanya dapat tumbuh di wilayah pegunungan berketinggian 700 dpl, Desa Salukanan, Kecamatan Baraka, sekitar 60 km dari Kota Enrekang, ibukota Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan.

Beras ketan ini termasuk beras yang harganya paling mahaldari semua jenis ketan di Indonesia.Ada limadesa sebagai penghasil Pulut Mandoti yakni Desa Gandeng, Desa Piawan, Desa Pambuluran, Desa Tantido, dan Desa Mataring menjualnya dengan harga Rp 40.000 per liternya. Selain untuk dibuat Sokko’ alias nasi ketan, banyak pembeli beras menggunakannya sebagai campuran pewangi untuk beras biasa.

“Satu liter Pulut Mandoti jika dicampur dengan satu karung-sekitar 40 liter beras biasa, sudah mampu membuat keseluruhan beras biasa tersebut menjadi wangi, menimbulkan selera orang untuk memakannya,”326.

Beras Ketan Terharum dan Termahal di Dunia

Menurut Omar Khajam,327 beras ketan/pulut Mandoti adalah beras ketan langka dan harum yang hanya tumbuh di Desa Kendenan Kab.Enrekang.Karena aromanya yang khas ini, menjadikan beras ini banyak di cari oleh pembeli bahkan “tercium” sampai ke istana Presiden RI semasa kepemimpinan Soeharto.Beras Ketan ini hanya bisa tumbuh di bagian bantaran sungai saja yang bisa menghasilkan beras Pulut Mandoti. Pernah ada petani dari desa lain yang mengambil bibitnya untuk ditanam, tapi Aromanya tidak sama. Beras ketan yang

326Wawancara dengan Jallopa,warga desa Salukanan pada tanggal 31 Oktober 2016.327Wawancara Dengan Omar Khajam, Kepala Bidang Produksi Tanaman Pangan

Dinas Pertanian dan Perkebunan Kab. Enrekang, Tgl 31 Oktober 2016.

Page 273: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 265 |

langka ini membuat peneliti dari Jepang mecoba menanam jenis beras ini, hasilnya adalah beras ketan ini tumbuh subur di Jepang, akan tetapi aroma dan rasanya tidak sama yang tumbuh di desa Kendenan.

Adapun kekhasan beras ketan ini adalah:

1. Beras Ketan / Pulut Mandoti ini sangat harum sehingga saat kita memasaknya tetangga-tetangga kita pun mencium aromanya.

2. Beras ketan ini mampu membuat beras biasa menjadi harum dan memiliki aroma yang sama dengan Pulut Mandoti, apabila anda menambahkan sedikit ke dalam beras biasa saat memasak.

3. Pulut mandoti ini sering disajikan saat acara-acara adat, keagamaan dan hari hari besar lainnya.

4. Karena keharuman dan aromanya yang khas, Pemerintah Setempat di Kab. Enrekang sering menjamu tamu negara dengan Beras Ketan Pulut Mandoti bersama Dangke (sejenis Keju yang dibuat dari susu sapi yang difermentasikan oleh masyarakat di Kabupaten Enrekang).

5. Beras ketan ini sangat cocok di sajikan di restoran, warung makan dan hotel.

6. Beras ketan ini hanya 1 kali panen dalam setahun, karena tergantung cuaca daerah setempat.

Gambar.1 Beras Ketan Mandoti

Page 274: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 266 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

Menurut Bakri328 walaupun tersimpan lama, beras itu tidak rusak, malah beras itu makanan yang sangat cocok dikonsumsi bagi orang yang mengidap penyakit kolesterol.Karena semakin tersimpan lama, kadar gula dalam beras itu semakin rendah329.

Beras ketan yang berwarna agak kemerahan tersebut juga, mungkin termasuk beras yang harganya paling mahal dari semua jenis ketan di Indonesia.Penduduk di Dusun Gandeng, salah satu dari 5 dusun penghasil Pulut Mandoti di Desa Salukanan, menjual dengan harga Rp. 45.000 per liter.

Menurut Abdul Gani330, sudah sejak lama banyak orang mengambil bibit padi Pulut Mandoti untuk ditanam atau dikembangkan di luar wilayah Desa Salukanan. Namun ternyata hasilnya tidak beraroma wangi seperti Pulut Mandoti yang ditanam di Desa Salukanan. Percobaan penanaman seperti itu, sudah berulangkali dilakukan oleh warga Desa Tallang Ura Kecamatan Curio yang bertetangga langsung dengan Desa Salukanan, namun hasilnya juga tidak sama. Benih padi Pulut Mandoti yang di tanam di luar areal Desa Salukanan tetap tumbuh, tapi aroma dan rasanya tidak sama dengan Pulut Mandoti yang ditanam di Desa Salukanan. Padahal, sumber air untuk pengairan sawah-sawah di Desa Tallung Ura dan Desa Salukanan sama, yaitu berasal dari mata air pegunungan Kalo Tombang, Sengka, Orong, Pedallen, dan Kalo Matangon.Tidak heran jika kemudian muncul jenis Pulut“Mandoti-doti” yang dalam bentuk butiran fisik berasnya seperti Pulut Mandoti, namun ketika dijual di pasaran umum sering disebut sebagai Pulut Mandoti.Kepalsuannya baru tampak setelah ditanak, karena Pulut“Mandoti-doti” tidak memiliki aroma wangi dan rasa seperti Pulut Mandotinya dari Desa Salukanan.Kuat dugaan bahwa tanah-tanah di Desa Salukanan memiliki unsur hara yang spesifik memberikan nilai tambah dalam bentuk rasa maupun aroma terhadap berbagai jenis tumbuhan yang ditanam di atasnya.

Desa Salukanan memiliki luas wilayah sekitar 17 km persegi.Sebagian besar dari sekitar 20.000 jiwa penduduknya saat ini berusaha di sektor pertanian.Selain memiliki 312 hektare ‘sawah warisan’ , yaitu sawah penduduk yang telah diolah sejak ratusan tahun, termasuk

328Wawancara dengan Bakri (Kepala Desa Kendenan), tanggal 30 Oktober 2016329Wawancara Dengan Bakri, tanggal, 30 Oktober 2016.330Tokoh Masyarakat, wawancara tanggal 30 Oktober 2016.

Page 275: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 267 |

untuk pesemaian Pulut Mandoti selama ini, juga penduduk Desa Salukanan yang berada di pebukitan kaki Gunung Latimojong tersebut, mengembangkan tanaman perkebunan berupa lada, kopi, cengkeh, dan kakao.Tanah-tanah datar di antara perbukitan juga selama ini dijadikan lahan pengembangan tanaman hortikultura, berupa kol, kubis, tomat, bawang merah, dan kacang merah.

Menurut penjelasan Takdir,331Sekalipun Pulut Mandoti harga jualnya mahal dan diminati, namun tidak semua lahan persawahan penduduk Desa Salukanan ditanami padi ketan Mandoti yang usia tanamnya 6 bulan dan hanya sekali panen setahun.Takdir menjelaskan bahwa karena itulah dalam bulan Juni sampai Agustus setiap tahun, saat tanaman padi Pulut Mandoti baru akan memasuki masa panen, seringkali harga jual Pulut Mandoti mencapai puncak lantaran stok sudah mulai habis terjual. Bulan Juni hingga Agustus tahun 2015 lalu, harga jual Pulut Mandoti mencapai Rp.45.000,- per liter di Desa Salukanan,

Sebagai beras khas Kabupaten Enrekang, saat ini pihak Dinas Perindustrian Kabupaten Enrekang sedang merancang pemasaran Pulut Mandoti ke luar daerah dilakukan dalam bentuk kemasan plastik yang berisi 1 kg, 2,5 kg, dan 5 kg.

Langkah pengemasan Pulut Mandoti tersebut, tentu saja, hanya merupakan promosi produk lokal khas daerah, karena produksi Pulut Mandoti dari Desa Salukanan saat ini masih belum mampu memenuhi permintaan pasar lokal.Terbukti, dalam waktu-waktu tertentu justru menjadi barang langka, termasuk di tempat asalnya Desa Salukanan.

Gambar.3 Desa Salukanan

331Ibid.

Page 276: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 268 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

Lumbung Padi (Landa) Di Desa Kendenan Kabupaten Enrekang

Di hampir semua rumah di dataran tinggi Enrekang terutama di kecamatan Baraka, Malua, dan beberapa lainnya, lumbung padi memang masih sangat mudah ditemukan.Bisa dipastikan, di setiap rumah terdapat sedikitnya satu lumbung padi, bahkan lebih.Jumlah lumbung ini biasanya berkaitan dengan kepemilikan sawah seseorang atau banyaknya generasi dalam satu keluarga.Pada umumnya satu generasi di setiap keluarga memiliki setidaknya satu lumbung.

Gambar.4 Landa

Menurut penjelasan Uko,332 biasanya setiap keluarga mempunyai satu lumbung.Tapi, kalau mereka sudah punya anak, lumbungnya ditambah.Nanti setelah punya cucu, lumbung ditambah lagi, sesuai dengan kemampuan.Lumbung-lumbung itu tidak hanya disimpan di halaman rumah, tetapi banyak juga hanya disimpan di sekitar persawahan atau lokasi lain yang memang diperuntukkan sebagai lokasi bangunan lumbung.Sepanjang perjalanan ke Kendenan dan desa-desa sekitarnya di daratan tinggi Enrekang, sangat mudah menemukan bangunan-bangunan lumbung yang berderet rapi di sekitar areal persawahan.Kendati berada di persawahan atau jauh dari permukiman, lumbung-lumbung itu tidak dilengkapi dengan pengamanan khusus dan bahkan tidak digembok.

332Wawancara dengan Uko, tokoh masyarakat sekaligus Kepala Dusun Awo, Desa Kendenan , tanggal 31 Oktober 2016

Page 277: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 269 |

Menurut Bakri,333 di sini hampir tidak ada yang berniat atau melakukan pencurian isi lumbung. Makanya, sekalipun disimpan jauh dari rumah, lumbung tetap aman.Soalnya semua orang punya lumbung.Lagi pula, untuk masyarakat yang kurang mampu, kalau memang ada, mereka juga disediakan lumbung oleh desa.Lumbung desa itu biasanya diisi secara bersamaan oleh warga.

Ketersediaan Cadangan Makanan

Menurut warga setempat, tradisi lumbung padi di sebagian besar daerah dataran tinggi di Kabupaten Enrekang sudah berlangsung lebih dari seratus tahun lalu.Terlebih saat era penjajahan, ketika bahan makanan sulit didapatkan.Tak jelas bagaimana mulanya tradisi lumbung ini dilakukan masyarakat, tetapi pada intinya pembuatan lumbung ini memiliki fungsi utama menjaga ketersediaan pangan.

Menurut Uko334, dulu saat zaman penjajahan dan zaman pangan masih susah, masyarakat selalu berusaha menyimpan padi atau bahan makanan lain yang bisa disimpan lama di dalam lumbung. Tujuannya agar pada saat panen gagal atau ada bencana dan lainnya selalu ada cadangan bahan makanan yang bisa dimakan.Manfaat lumbung ini terutama dirasakan masyarakat pada zaman penjajahan dulu,terutama saat panen gagal.Sampai sekarang sekalipun keadaan sudah aman, beras banyak, masyarakat tetap mengisi lumbung mereka.Hingga kini masyarakat di dataran tinggi Enrekang masih tetap mempertahankan tradisi lumbung padi. Keluarga-keluarga baru atau rumah baru yang dibangun hampir pasti akan memiliki “landa”, meskipun sesungguhnya daerah-daerah dataran tinggi di Enrekang dapat dikatakan merupakan penghasil padi yang cukup besar dan menyuplai kebutuhan utama di kabupaten itu. Dengan kata lain, kalau sekadar kebutuhan beras, daerah ini sebenarnya tidak perlu khawatir kekurangan pangan sehingga harus menyimpan cadangan di lumbung. Namun, lumbung tetap saja sesuatu yang harus ada dan selalu harus terisi penuh.

Menurut penjelasan Agus Riyadi,335 dalam kondisi normal dan tidak ada sesuatu atau kejadian yang luar biasa, isi lumbung biasanya

333Wawancara dengan Bakri Puttu, Kepala desa Kendenan pada tanggal 31 Oktober 2016334Wawancara dengan Uko (kepala Dusun Awo) tanggal 30 Oktober 2016.335Wawancara dengan Agus Riyadi (Warga Kecamatan Baraka), tanggal 30 Oktober

2016

Page 278: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 270 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

tidak dipakai.Kecuali hanya jika lagi panen saja isinya diganti.Ataupun setidaknya, kalau ada pesta dan biayanya kurang, isi lumbung baru dikeluarkan.Kendati jarang digunakan, keberadaan lumbung ini sangat membantu terutama saat-saat ekonomi keluarga kurang bagus atau darurat.Karena alasan itu, masyarakat terus mempertahankan tradisi lumbung padi meskipun isinya tidak selalu digunakan untuk hal genting.Pada umumnya, masyarakat mengganti isi lumbung pada saat panen.Penggantian itu pun tidak jarang dalam bentuk utuh, artinya isi lumbung belum ada yang terpakai.

Tidak hanya sekadar meneruskan tradisi membuat dan mengisi lumbung padi, masyarakat setempat juga masih menjaga tradisi leluhur berupa syarat-syarat membuat maupun mengisi lumbung. Bahkan, mereka masih mempertahankan cara bertani secara tradisional. Penggunaan benih lokal hingga sistem pengairan, misalnya, masih dilakukan secara tradisional.

Untuk benih, masyarakat masih menanam sejumlah benih padi lokal yang sudah ditanam turun temurun.Salah satu di antaranya adalah beras ketan merah yang terkenal dengan sebutan beras pulut mandoti.Selain wangi, beras ini sangat pulen.Harganya bila sudah keluar Kabupaten Enrekang bisa sampai Rp 45.000 per kilogram.

Dalam hal lumbung padi atau landa, masyarakat tetap patuh kepada tradisi turun-temurun dalam pembuatan bangunan landa.Mereka percaya bahwa landa yang baik dan selalu terisi adalah yang dibuat oleh pandelanda atau ahli pembuat landa.Tak hanya petani, pandelanda pun masih mematuhi tradisi turun-temurun, di antaranya tentang syarat dan ritual tertentu untuk membuat landa.

Menurut Jampi336 (60 Th), pandelanda(pembuat Landa) yang sudah puluhan tahun menjadi pakar landa, bahwa kayu untuk tiang dan dinding landa harus menggunakan kayu banga yang banyak tumbuh di sekitar daerah itu.Atapnya rumbia atau alang-alang, dindingnya kayu atau tripleks. Jarak lantai lumbung dari tanah sekitar satu meter sampai satu setengah meter.Pemilihan jenis kayu, jarak tanah, lantai lumbung, dan hal-hal lainnya tak lepas dari upaya agar padi yang disimpan dalam lumbung benar-benar awet dan bisa untuk jangka waktu lama.Selain

336Wawancara dengan Jampi (Pembuat Landa), tanggal 31 Oktober 2016

Page 279: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 271 |

itu, agar tidak mudah dimakan tikus, rayap, atau binatang pemakan padi lainnya dan kayu lainnya.

Nilai Kearifan Lokal Pada Pembangunan Landa.

Masyarakat setempat juga masih memercayai pemilihan hari baik saat mendirikan landa hingga mengisinya.Ada hari-hari tertentu yang dipercayai sebagai hari yang sangat tepat untuk memulai pembangunan landa.Biasanya sebelum mengisi landa, pemilik menyisihkan sedikit beras di sekitar landa untuk tikus. Tujuannya agar tikus-tikus tak lagi masuk ke landa karena sudah mendapatkan jatahnya,

Menurut Agus337, kearifan dari tradisi ini bagi masyarakat setempat juga berarti, sebaiknya memberikan hak orang lain yang berhak dari harta yang mereka miliki atau dapatkan. Masyarakat di sini percaya bahwa dari setiap harta mereka, ada hak orang lain di situ, bahkan pada hewan sekalipun.

Tradisi padi, bercocok tanam, dan sejenisnya yang tetap dipelihara masyarakat daratan tinggi Enrekang bukan hanya sebatas soal lumbung, tetapi juga kepemilikan sawah.Mempertahankan kepemilikan sawah, kebun, atau bentuk tanah lainnya bagi masyarakat Enrekang secara umum, terutama di Kecamatan Baraka dan sekitarnya, memang dipegang teguh.Keberadaan sawah sebagai penunjang hidup, khususnya dalam situasi-situasi mendesak, membuat masyarakat sebisa mungkin tidak menjual tanah warisan.Begitulah kearifan lokal masyarakat dalam menjaga ketersediaan pangannya.

Menurut Uko338. (Kepala Dususn Awo), di sini sawah warisan tidak akan dijual. Kalaupun ada yang menjualnya, kejadian seperti itu jarang terjadi.Biasanya sawah warisan digarap bersama-sama oleh ahli waris dan hasilnya dinikmati bersama.Biasanya penggarapan itu diatur bergiliran oleh para ahli waris.Lamanya berdasarkan kesepakatan, antara satu tahun hingga tiga tahun. Memang sawah warisan di sini biasanya bukan untuk sumber penghasilan utama, tapi untuk cadangan atau tambahan penghasilan,

337Wawancara dengan Agus, tanggal 31 Oktober 2016338Wawancara dengan Uko (kepala Dusun Awo), tanggal 31 Oktober 2016

Page 280: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 272 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

Menurut Bakri339, beberapa warga setempat, biasanya di luar sawah warisan, ahli waris memiliki sumber penghasilan lain. Ada yang menggarap kebun, ada juga yang bekerja sebagai pegawai negeri sipil, atau pekerjaan lain yang penghasilannya bisa memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari.Hasil dari sawah warisan hanya diambil setahun sekali, dua tahun sekali, bahkan tiga tahun sekali, tergantung dari kesepakatan di antara para ahli waris tentang berapa lama seorang ahli waris menggarap sawah warisan.Karena alasan itu pula sehingga keberadaan sawah di desa Kendenan tetap terjaga.Bagi masyarakat, bukan sesuatu yang mudah mengganti tanaman padi dengan tanaman lain.

SiMPULAN

Padi jenis pulut Mandoti berpotensi untuk didaftarkan sebagai Hak Indikasi Geografis yang mampu memberikan Perlindungan Hukum kepada masyarakat petani yang ada di Kabupaten Enrekang Sulawesi Selatan.Faktor alam (geografis) yang terdapat pada unsur tanah dan cuaca/iklim yang terdapat di daerah Salukanan dan Kendenan sangat mempengaruhi kualitas rasa dan aroma pada padi varietas Pulut Mandoti.

SARAN

Perlu adanya tindakan pro-aktif dari pemerintah daerah setempat dalam rangka pendaftaran Indikasi Geografis Beras Pulut Mandoti ke Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Jakarta.Hal itu tentunya diharapkan mampu mendorong peningkatan taraf ekonomi masyarakat petani yang ada di Kabupaten Enrekang Sulawesi Selatan.

DAFTAR PUSTAKA

Achmad Ali, 2008, Menguak Tabir Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor.

----------------, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicilia Jurisprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (legisprudence) Vol 1 Pemahaman Awal, Kencana, Jakarta.

Achmad Zen Umar Purba. 2005. Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs.

339Wawancara dengan Bakri, tanggal 31 Oktober 2016.

Page 281: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 273 |

Jakarta: Alumni.

Hadi Setia Tunggal, 2012, HukumHak Kekayaan Intelektual (HKI/HaKI), PT,Harvarindo, Jakarta.

Miranda Risang Ayu. 2006. Memperbincangkan Hak Kekayaan Intelektual-Indikasi Geografis. Bandung: Alumni.

Nurhayati Abbas, 1999. Hak Atas Merek dan Perkembangannya. Makalah pada Seminar Nasional Pelaksanaan Undang-Undang Hak Atas Kekayaan Intelektual pada Awal Tahun 2000 dan Pengaruhnya Terhadap Perdagangan Bebas. Kerjasama Fakultas Hukum Unhas dengan Yayasan Klinik HAKI (IP Clinic) dan Foundation of Intellectual Property Studies in Indonesia (FIPSI). Makassar

OK.Saidin. 2006. Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights). Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Rachmadi Usman, 2003, Hukum Hak Kekayaan Intelektual; Perlindungan dan Dimensi Hukumnya di Indonesia, Alumni, Bandung.

-------------------, 2006.Hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual. Bandung: Alumni.

Satjipto Rahardjo, 2003, Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Kompas, Jakarta.

Tambahan Bacaan

Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Kompilasi Undang-Undang Republik Indonesia di Bidang Hak Kekayaan Intelektual, Japan International Co-operating Agency.

Direktorat Kerjasama dan Perdagangan Internasional, 2004, Peningkatan Nilai Tambah Komoditas Indonesia dengan pengembangan Indikasi Geografis.

www.dgip.go.id/ebhtml/hki/filecontent.php?fid=14871

www.dgip.go.id/ebhtml/hki/filecontent.php?fid=14872

http://www.scribd.com/doc/20976488/Perlindungan-Indikasi-Geografis-dan-Potensi-Indikasi-Geografis-Indonesia

Page 282: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 274 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

PErLINDUNGaN HUKUM tErHaDaP MaKaNaN traDIsIONaL BErDasarKaN HUKUM MErEK DaN

INDIKasI GEOGrafIs

Endang PurwaningsihFakultas Hukum Universitas YARSI Jakarta

email: [email protected]

ABSTRACT

Traditional food makers should be empowered and their products should be protected. The objectives of this research are to identify and analyze the potential, the prospect, and the legal protection of traditional food (producer and products) to finally attain legal protection and trademark or geographic indication. In this research, the method applied is analytical descriptive qualitative by making use of participatory (PRA) and sociological-juridical approaches. The research findings suggest that so far, instead of working on a bigger cause that is achieving mark/label, traditional food producers are still striving for trademark merely to get market distribution and halal label. It is clear that they need help from related parties considering their economy (product sustainability, capital, marketing/promotion, networking, management), sociological humanities (empowerment),, and legal aspects (regulation, policy, brand, halal label,consumer protection). Related parties, the Industry and Trade Service, Cooperatives and SME’s, Directorate General of KI (Property Rights) and its regional office, the Department of Agriculture, universities, and the traditional food producers association—should work together and take serious measures to pro-actively involve food makers, build the capacity of the existing human resources, hold trainings and mentoring program.

Keywords: legal protection, traditional food, mark, geographic indication

PENDAHULUAN

Makanan tradisional (traditional food) merupakan jenis karya tradisional dalam lingkup traditional knowledge yang telah dimiliki secara komunal, turun temurun dijaga kelestariannya dan tidak diketahui individu pembuat aslinya. Pengembangan produk dan

Page 283: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 275 |

resep makanan pada dasarnya juga merupakan enrichment sumber daya manusianya. Kesadaran hukum untuk melindunginya, berkaitan erat dengan intelek manusia, orientasi masyarakat terhadap komersialisasi produk makanan yang berdaya saing di era MEA perlu diberdayakan, dikembangkan sehingga tercipta budaya inovatif dan tidak dieksploitasi oleh pihak luar yang ingin memanfaatkannya secara illegal. Selama ini telah berhasil diidentifikasi beberapa hal yang perlu segera diupayakan penanganan lebih lanjut dan diharapkan dapat lebih mempercepat terealisasinya harapan masyarakat luas agar pemanfaatan/pendayagunaan sumber daya genetis, pengetahuan tradisional(traditional knowledge), dan ekspresi folklor dapat dilakukan secara optimal. Hal-hal tersebut merupakan agenda yang dibahas sejak sidang kedua IGC GRTKF (WIPO Intergovernmental Committee on Intellectual Property and Genetic Resources, Traditional Knowledge and Folklore)yang dilaksanakan di Jenewa pada 10-14 Desember 2001, dan hingga saat ini belum terjadi kesepakatan internasional.

Selain menghadapi MEA dan sinergi dengan TRIPs-TRIMs WTO, juga menjadi fokus perhatian adalah semakin meningkatnya kesadaran masyarakat dalam upaya melindungi sumber daya alam terutama keanekaragaman makanan tradisional yang tersebar di Indonesia ini. Mengingat perlindungan pengetahuan tradisional seperti halnyafolklohre melalui hak cipta (copyright) tentu sangat susah karena harus bersifat originality dan individuality, juga melalui paten sangat rumit karena non patentable, sementara menunggu sui generis regulasi sampai saat ini belum juga terlaksana, maka perlu ditemukan solusi hukumnya, dengan menggunakan perlindungan merek dan indikasi geografis. Juga perlu dipertimbangkan upaya membangun dengan memanfaatkan kearifan lokal pada proses produksi dan menumbuhkan motivasi dalam upaya komersialisasi produk bermutu dengan brandmark menuju daya saing produk.Menurut Peter & Olson (2010)because consumers cannot buy a brand unless they are aware of it, brand awareness is general communication goal for all promotion strategies. A company’s brand awareness startegy depends on how well known the brand is. Publicity and sales promotions also can have reminder effects. Managers of less familiar brands have a more difficult task and may have to spend heavily to create brand awareness.

Page 284: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 276 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

Model pemberdayaan indigenous people dalam perlindungan traditional knowledge (Endang Purwaningsih, HIKOM 2012-2013) menekankan partisipasi aktif masyarakat, uluran tangan pemerintah dan kampus untuk mamberdayakan masyarakat pemilik pengetahuan tradisional dengan promote and protect. Upaya pengembangan produk supaya makin berdaya saing di era MEA ini perlu mendapat perhatian serius, diimbangi dengan brandingproduk guna mempromosikan makanan tradisional tersebut, atau melalui indikasi geografis mengingat adanya kepemilikan komunal pada makanan tradisional yang memang masih asli terdapat di masyarakat. Untuk itu perlu difasilitasi agar masyarakat makin berdaya, makin memahami kebutuhannya baik dari sisi hukum, sisi ekonomi dan juga teknologi yang mungkin diperlukan. Masalah yang diteliti dibatasi sebagai berikut. (1) Motivasi masyarakat terhadap perlindungan makanan tradisional melalui pendaftaran merek dan atau indikasi geografis (2) Profil masyarakat pemilik makanan tradisional dan kebutuhannya terkait potensi dan strategi pengembangan produk yang berdaya saing; (3) Model perlindungan dan pengembangan produk makanan tradisional; dan (4) penyusunan/drafting merek dan indikasi geografis sesuai aspirasi masyarakat.

Metode

Penelitian ini bersifat yuridis empiris, dengan pendekatan penelitian yang bersifat analisis deskriptif kualitatif untuk menggambarkan dan menganalisis potensi dan prospek, serta arah perlindungan makanan tradisional di area terpilih, juga pendekatan participatory (PRA), dan pendekatan sosiologis yuridis agar dicapai tujuan pemberdayaan yang promote and protect. Subyek penelitian baik pada tahap 1 maupun tahap berikutnya adalah masyarakat produsen makanan tradisional di area terpilih di Indonesia, dengan mengambil sampel Padang, Palembang, Bangka Belitung, Mataram, Jawa Tengah (Purworejo, Batang, Temanggung), Jawa Timur (Madiun) dan Yogyakarta

HASiL DAN PEMBAHASAN

Pemerintah dalam hal ini instansi yang terkait dalam pengelolaan traditional knowledge bertanggungjawab terhadap segala bentuk eksploitasi terhadap traditional knowledge dan folklohre. Ini

Page 285: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 277 |

disebabkan selama ini belum ada bentuk perlindungan yang khusus mewadahi masalah ini dan sanksi hukum yang tegas bagi pihak asing yang memanfaatkan kekayaan intelektual ini tanpa ijin masyarakat tradisional pemiliknya(Purwaningsih, 2005). Selama ini belum ada perlindungan hukum yang tepat mengenai pengetahuan tradisional dan folklor ini.

Arah pengelolaan Folklor dan pengetahuan tradisional dewasa ini menuju bentuk yang terpisah dari sistem perlindungan HKI, yang secara sui generis akan berusaha menjaga pengetahuan tradisional melalui preservation (pelestarian), protection (perlindungan) dan promotion (pemanfaatan). Jalan ini ditempuh menurut Twarog (2006) agar pendekatan terhadap pengelolaan pengetahuan tradisional dapat dilakukan secara menyeluruh (holistic approach), terarah dan terpadu serta mampu mewujudkan pengetahuan tradisional sebagai aset dalam pembangunan ekonomi.WIPO sub Intellectual Property and Genetic Resources,Traditional Knowledge and Folklore menyatakan bahwa Traditional knowledge (TK), and how to preserve, protect and equitably make use of it, has recently been under increasing attention in a range of policy discussions, on matters as diverse as food and agriculture, the environment (notably the conservation of biological diversity), health (including traditional medicines), human rights and Indigenous issues, cultural policy, and aspects of trade and economic development.

Ajaran Hukum Responsif Philippe Nonet dan Philip Selzenik dapat diterapkan pada perlindungan Pengetahuan Tradisional (Traditional knowledge)termasuk makanan tradisional di nusantara Indonesia. Hukum responsif menggali nilai-nilaiyang terkandung dalam peraturan dan kebijakan, supaya hukum tanggap akan dinamika dan kebutuhan masyarakat. Hubungan hukum dan masyarakat yang begitu kental dalam kepemilikan pengetahuan tradisional dapat diwadahi dan direformasi menuju tujuan akhir perlindungan hukum yang juga mengusung ‘promote and protect’ guna pembangunan dan pengembangan sekaligus perlindungan pengetahuan tradisional. Kajian hukum responsif memang tepat melihat hukum dari sudut pemikiran sociological jurisprudence dan realist jurisprudence, yang bisa memahami hukum secara empiris.

Produk makanan tradisional merupakan cerminan karya masyarakat tradisional yang sudah seharusnya dilindungi dan

Page 286: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 278 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

dipromosikan dengan gencar. Baik dalam upaya menghadapi MEA maupun era pasar bebas, perlu sekali branding produk dan keterkenalan di pasar, dengan menjamin mutu produk. Perlunya merek pada produk atau dengan indikasi geografis sangat menunjang promosi dan pembangunan reputasi, yang dilandasi oleh branding merek. Hak merek merupakan hak ekslusif yang diberikan oleh negara kepada pemilik merek terdaftar selama jangka waktu 10 tahun dengan menggunakan merek sendiri atau melisensikan kepada pihak lain.

Menurut Rizqi (2012), merek hanyalah tanda yang dilekatkan pada suatu barang yang berfungsi sebagai daya pembeda dalam kegiatan perdagangan barang dan jasa. Tingkat daya pembeda ini mempengaruhi tingkat perlindungan suatu merek. Merek dengan daya pembeda yang tinggi akan mendapat perlindungan yang kuat begitu juga sebaliknya. Perlindungan ini adalah hubungan dengan kemampuan daya pembeda yang dimiliki merek tersebut terkait dengan penilaian ada tidaknya persamaan pada pokoknya dengan merek lain. (Kurniasih, 2009). Permohonan pendaftaran merek kepada Ditjen KI dapat didasarkan alasan secara absolut dan alasan secara relatif. Penolakan secara absolut adalah karena sifatnya universal dan karena alasan yang bersifat objektif dalam hal harus diketahui dan diperiksa oleh pemeriksa merek dan bisa juga karena ketentuan itu tercantum dalam setiap perundang-undangan merek di banyak negara walau diatur dalam susunan yang berbeda.(Kurniasih, 2009) Sementara itu penolakan secara relatif yaitu terjadi karena alasan yang bersifat subjektif atau bergantung pada kemampuan dan pengetahuan pemeriksa merek dan juga karena tidak semua negara mencantumkan aturan tersebut.

Banyaknya jenis pengetahuan tradisional khususnya dalam bentuk makanan tradisional yang tersebar di seluruh nusantara Indonesia, dalam bentuk kepemilikan komunal masyarakat indigenous/asli, memerlukan penanganan yang lebih serius terkait kepemilikan bersama. Untuk kepemilikan komunal diperlukan perlindungan indikasi geografis, sementara untuk kepemilikan individual diperlukan inovasi atau pun improvement agar memiliki daya pembeda dengan aslinya. Produsen harus mempelajari kekuatan pasar dan inovasi ini penting untuk membuat produk baru yang sama sekali berbeda dengan produk komunal (yang bisa dilindungi dengan indikasi geografis)

Page 287: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 279 |

supaya bisa mendaftarkan mereknya. Inovasi ini juga penting untuk meningkatkan daya saing dalam rangka menguasai pasar.

Menurut Cravens & Piercy (2009), types of Innovations: (1) Transformational innovation, that are radically new and the value created is substantial. Examples include CNN news channel, automatic teller machines, and digital cameras; (2) substantial innovation, products that are significantly new and create important value for customers. Examples include Kimberly Clark Huggied/Nappies and Dier Coke; (3) Incremental innovations, new products that provide improved performance or greater perceived value (or lower cost), include new flavor coca cola. New product initiatives are guided by customer need analysisi. Even transformational innovation should have some relationship to needs that are being met by existing products. However potential customers may not good sounding boards for radically new innovation. Importantly, these transformational innovation may have a disruptive impact on existing products.

Wawancara dengan Andi Dinas UMKM dan Koperasi Kabupaten Purworejo, 3 April 2017, menyatakan bahwa Bagian kami lebih kepengembangan SDM dan pendampingan dalam mencari pendanaan, sedangkan promosi di Perindag dan tidak ada koordinasi karena beda instansi.Bagian perindustrian tugasnya mendata makanan lokal. Belum ada asosiasi UMKM yang resmi, masih grup grup, memang belum ada penyatuan dari instansi. Makanan lokal banyak tetapi belum ada data yang lengkap (kue lompong, clorot, gebleg, dawet irang, krimpying dll) akan ada pameran UMKM Untuk pengajuan Merk ada fasilitas dr propinsi dan kementerian hanya jumlahnya sedikit tiap tahunnya, dan kami hanya mengandalkan itu, karena kecilnya anggaran yang diberikan pemerintah ke instansi kami. Usaha mempromosikan selama ini lewat pemeran pameran dan hanya sedikit lewat media on line. Misal PKK dapat jatah menampilkan di Jakarta, maka produk lokal dibawah. Memang mau ada wacana one village one product tetapi belum diketahui tindak lanjutnya dari PNPM Mandiri/pendampingan perdesaan. Peran kami diutamakan ke pengembangan SDM dan permodalan. Karena menurut kami SDM UMKM masih belum bagus dan kendala utama mereka adalah di permodalan dan pemasaran. Sedangkan pemasaran adalah bagian Perindag. Pernah kami mengajukan anggaran untuk Pusat Pelayanan Usaha Terpadu UMKM Purworejo tetapi belum ada hasil. Dulu memang pernah ada pusat

Page 288: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 280 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

oleh oleh di perbatasan Purworejo Jogja tetapi tidak berkembang mala berubah menjadi pangkalan truk. Ada rencana membuat showroom tetapi tidak diwilayah masji, dan masjid Agung Purworejo sebagai salah satu obyek wisata juga tidak menyediakan space itu. Untuk pembuatan sentral sentral porjo blm ada, atau mungkin ada tapi bukan dari dinas UMKM. UMKM lebih kepembinaan UMKM, bukan ke promosi, lebih ke SDM dan permodalan. Modal lebih condong ke Bank, hars kekelompok dan berbadan hukum, tidak bisa ke individu.Kalau dari kabupaten, yangmembawahi UMKM di sini, untuk sampai pemasaran wilayahnya ke perdagangan tapi kurang ada sinergis.Sudah ada data tp data terbaru belum siap. Belum membuatweb untuk promosinya. Motivasi pelaku UMKM bagaimana, motovasi bagus tertapi terkendala permodalan dan pemasaran.

Budi Santoso Kabid Koperasi dan UMKM Kabupaten Batang wawancara 28 April 2017, jika diperlukan MoU maka harusnya ke kantor Dinas Perindagkop & UKM yang di dalamnya terdapat 1 bid Perindustreian, 2 Perdagangan, 3 Koperasi dan UKM serta 4 Pasar. Jamal wawancara 28 April 2017 Depkominfo Kabupaten Batang menyatakan perlu pelatihan e commerce di Kabupaten Batang, khususnya untuk dewasa ini dikarenakan banyak transaksi via elektronik. Wawancara dengan Kadinas Koperasi UKM dan Perindustrian Kabupaten Bantul 23 Juni 2017, Maryadi, menyatakan bahwa telah dilakukan sosialsisai HKI tentang merek terhadap 60 UKM dan 30 di antaranya telah mendaftarkan secara prodeo, namun sampai saat ini belum ada sertifikatnya (sudah 5 tahun berjalan). Sertifikasi halal juga sudah disosialisasikan dan peserta sosialisasi sudah terpenuhi. Pertemuan antara UKM dan Dinas dilakukan 1 bulan sekali bahkan bisa sebulan 2x jika ada keperluan. Juga terdapat wa grup yang memfasilitasi dinas dan pengrajin.

Pembinaan dan pendampingan terus dilakukan oleh dinas dan peran dinas adalah memfasilitasi merek, label halal dan menyediakan rumah kreatif Bantul, selain ada Dekranasda. Hambatannya adalah perlu akta notaris untuk asosiasi, agar setiap proyek pengembangan dan pelatihan bisa diikuti dengan baik. Makanan yang diunggulkan mewakili Bantul adalah geplak.

Syafarudin Kepala Dinas PMP2KUKM (Dinas PM Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu Koperasi UKM, wawancara 14 Juli 2017

Page 289: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 281 |

di Bangka menyatakan bahwa beberapa produk asli Bangka (termasuk Belitung) adalah terasi, lada putih, sirup karamunting, beras aru. Produk yang ingin diunggulkan sebagai ikon Bangka adalah terasi Bangka. Pelatihan yang pernah dilakukanb dinas adalah pelatihan merek dan produk halal. Sebenarnya sudah ada Aosiasi pengusaha makanan tardisional yang tergabung dalam GAPEKSINDO Gabungan Pengusaha IKM Babel dan Koperasi umum serba usaha berbentuk koperasi primer berbadan hukum sejumlah 204 buah. Pada umumnya kesadaran hukum produsen kurang, semua minta difasilitasi dinas, seperti pameran, mindset masih belum berubah (karena sudah laku meskipun tanpa dilindungi merek dan label halal, tanpa dikemas, tanpa promo dan sebagainya). Selain pengetahuan manajemen dan marketing dan kesadaran UKM rendah, motivasi untuk lebih maju pun kurang.

Berikut hasil kuesioner sebagai pendukung

1. Pemahaman tentang Merek dan Indikasi Geografis. Berdasarkan data yang diperoleh dari lapangan, dapat dipahami bahwa:a. Sebanyak 7 orang (15,6%) responden sangat tidak paham

baik merek maupun indikasi geografis,b. Sebanyak 18 orang (40%) responden tidak paham baik merek

maupun indikasi geografis,c. Sebanyak 7 orang (15,6%) responden cukup paham baik

merek maupun indikasi geografis,d. Sebanyak 13 orang (28.9%) responden paham baik merek

maupun indikasi geografis,e. Tidak ada seorang pun dari responden yang sangat paham

baik merek maupun indikasi geografis.

Tabel 4.1

Pemahaman tentang Merek dan Indikasi Geografis

Frequency Percent Valid Percent Cumulative PercentValid 1 7 15.6 15.6 15.6

2 18 40.0 40.0 55.63 7 15.6 15.6 71.14 13 28.9 28.9 100.0Total 45 100.0 100.0

Sumber: Hasil analisis data 2017

Page 290: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 282 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

Membaca tabel di atas dapat dipahami bahwa mayoritas responden (18 orang/ 15,6%) tidak paham baik merek maupun indikasi geografis. Bahkan, Tidak ada seorang pun dari responden yang sangat paham baik merek maupun indikasi geografis. Apabila digambarkan dalam bentuk diagram tampak sebagai berikut.

Diagram 4.1

Pemahaman tentang Merek dan Indikasi Geografis

2. Pemahaman tentang perbedaan Merek dan Indikasi Geografis. Berdasarkan data yang diperoleh dari lapangan, dapat dipahami bahwa:a. Sebanyak 7 orang (15,6%) responden sangat tidak paham

mengenai perbedaan antara merek dan indikasi geografis,b. Sebanyak 25 orang (55,6%) responden tidak paham mengenai

perbedaan antara merek dan indikasi geografis,c. Sebanyak 3 orang (6,7%) responden cukup paham mengenai

perbedaan antara merek dan indikasi geografis,d. Sebanyak 9 orang (20%) responden paham mengenai

perbedaan antara merek dan indikasi geografis,e. Sebanyak 1 orang (2,2%) responden sangat paham mengenai

perbedaan antara merek dan indikasi geografis,

Page 291: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 283 |

Tabel 4.2

Pemahaman tentang perbedaan Merek dan Indikasi Geografis

Frequency Percent Valid Percent Cumulative PercentValid 1 7 15.6 15.6 15.6

2 25 55.6 55.6 71.13 3 6.7 6.7 77.84 9 20.0 20.0 97.85 1 2.2 2.2 100.0Total 45 100.0 100.0

Sumber: Hasil analisis data 2017

Membaca tabel di atas dapat diketahuibahwa mayoritas responden (25 orang/ 55,6%) tidak paham mengenai perbedaan antara merek dan indikasi geografis. Bahkan, hanya ada seorang dari 45 responden yang sangat paham perbedaan antara merek da indikasi geografis. Apabila digambarkan dalam bentuk diagram tampak sebagai berikut.

Diagram 4.2Pemahaman tentang perbedaan Merek dan Indikasi Geografis

3. Pemahaman tentang manajemen dan strategi pemasaran untuk branding produk. Berdasarkan data yang diperoleh dari lapangan, dapat dipahami bahwa:a. Sebanyak 5 orang (11,1%) responden sangat tidak paham

mengenai manajemen dan strategi pemasaran untuk branding produk,

b. Sebanyak 16 orang (35,6%) responden tidak paham mengenai manajemen dan strategi pemasaran untuk branding produk,

c. Sebanyak 7 orang (15,6%) responden cukup paham mengenai manajemen dan strategi pemasaran untuk branding produk,

Page 292: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 284 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

d. Sebanyak 14 orang (31,1%) responden mengenai manajemen dan strategi pemasaran untuk branding produk,

e. Sebanyak 3 orang (6,7%) responden sangat paham mengenai manajemen dan strategi pemasaran untuk branding produk.

Tabel 4.3Pemahaman tentang manajemen dan strategi pemasaran untuk

branding produk

Frequency Percent Valid Percent Cumulative PercentValid 1 5 11.1 11.1 11.1

2 16 35.6 35.6 46.73 7 15.6 15.6 62.24 14 31.1 31.1 93.35 3 6.7 6.7 100.0Total 45 100.0 100.0

Sumber: Hasil analisis data 2017

Tabel di atas memberikan informasi bahwa mayoritas responden (16 orang/ 35,6%) tidak paham mengenai manajemen dan strategi pemasaran untuk branding produk. Bahkan, hanya ada 3 orang dari 45 responden (6,7%) yang sangat paham mengenai manajemen dan strategi pemasaran untuk branding produk. Apabila digambarkan dalam bentuk diagram tampak sebagai berikut.

Diagram 4.3Pemahaman tentang manajemen dan strategi pemasaran

untuk branding produk

Page 293: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 285 |

4. Pemahaman tentang peraturan perundangan terkait ijin edar (NIE) dan SIUP. Berdasarkan data yang diperoleh dari lapangan, dapat dipahami bahwa:a. Sebanyak 6 orang (13,3%) responden sangat tidak paham

tentang peraturan perundangan terkait ijin edar (NIE) dan SIUP,

b. Sebanyak 24 orang (53,3%) responden tidak paham tentang peraturan perundangan terkait ijin edar (NIE) dan SIUP,

c. Sebanyak 7 orang (15,6%) responden cukup paham tentang peraturan perundangan terkait ijin edar (NIE) dan SIUP,

d. Sebanyak 8 orang (17,8%) responden paham tentang peraturan perundangan terkait ijin edar (NIE) dan SIUP,

e. Tidak ada seorang punresponden yang sangat paham tentang peraturan perundangan terkait ijin edar (NIE) dan SIUP.

Tabel 4.4Pemahaman tentang peraturan perundangan terkait ijin edar (NIE)

dan SIUP.

Frequency Percent Valid Percent Cumulative PercentValid 1 6 13.3 13.3 13.3

2 24 53.3 53.3 66.73 7 15.6 15.6 82.24 8 17.8 17.8 100.0Total 45 100.0 100.0

Sumber: Hasil analisis data 2017

Ada dua hal yang menarik dari tabel di atas. Pertama, mayoritas responden (24 orang/ 53,3%) tidak paham tentang peraturan perundangan terkait ijin edar (NIE) dan SIUP. Bahkan, Tidak ada seorang pun dari responden yang sangat paham tentang peraturan perundangan terkait ijin edar (NIE) dan SIUP. Apabila digambarkan dalam bentuk diagram tampak sebagai berikut.

Page 294: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 286 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

Diagram 4.4Pemahaman tentang peraturan perundangan

terkait ijin edar (NIE) dan SIUP.

5. Pemahaman tentang pentingnya pendaftaran merek, indikasi geografis (IG), ijin edar NIE), dan ijin usaha (SIUP)Berdasarkan data yang diperoleh dari lapangan, dapat dipahami

bahwa:

a. Sebanyak 3 orang (6,7%) responden sangat tidak paham mengenai pentingnya pendaftaran merek, indikasi geografis (IG), ijin edar NIE), dan ijin usaha (SIUP),

b. Sebanyak 9 orang (20%) responden tidak paham mengenai pentingnya pendaftaran merek, indikasi geografis (IG), ijin edar NIE), dan ijin usaha (SIUP),

c. Sebanyak 13 orang (28,9%) responden cukup paham mengenai pentingnya pendaftaran merek, indikasi geografis (IG), ijin edar NIE), dan ijin usaha (SIUP),

d. Sebanyak 17 orang (37,8%) responden paham mengenai pentingnya pendaftaran merek, indikasi geografis (IG), ijin edar NIE), dan ijin usaha (SIUP),

e. Sebanyak 3 orang (6,7%) responden sangat paham mengenai pentingnya pendaftaran merek, indikasi geografis (IG), ijin edar NIE), dan ijin usaha (SIUP).

Page 295: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 287 |

Tabel 4.5Pemahaman tentang pentingnya pendaftaran merek,

indikasi geografis (IG), ijin edar NIE), dan ijin usaha (SIUP)

Frequency Percent Valid Percent Cumulative PercentValid 1 3 6.7 6.7 6.7

2 9 20.0 20.0 26.73 13 28.9 28.9 55.64 17 37.8 37.8 93.35 3 6.7 6.7 100.0Total 45 100.0 100.0

Sumber: Hasil analisis data 2017

Tabel di atas memberikan informasi bahwa mayoritas responden (17 orang/ 37,8%) paham mengenai pentingnya pendaftaran merek, indikasi geografis (IG), ijin edar NIE), dan ijin usaha (SIUP). Bahkan, ada 3 orang dari 45 responden (6,7%) yang sangat paham mengenai pentingnya pendaftaran merek, indikasi geografis (IG), ijin edar NIE), dan ijin usaha (SIUP). Apabila digambarkan dalam bentuk diagram tampak sebagai berikut.

Diagram 4.5Pemahaman tentang pentingnya pendaftaran merek,

indikasi geografis (IG), ijin edar NIE), dan ijin usaha (SIUP)

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa sebagian besar produsen makanan & minuman tradisional di area tersebut berbentuk PIRT, tidak dilindungi dengan merek terdaftar, apalagi dengan label halal dan pembuatan serta pemasarannya masih sangat konvensional. Dari ribuan UMKM tersebut, dari daerah Purworejo ingin mengunggulkan

Page 296: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 288 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

‘clorot’ sebagai makanan tradisional Purworejo yang bisa diangkat dengan perlindungan indikasi geografis, dan daerah Bantul dengan ‘geplak’. Daerah Batang ingin mengangkat madu Grinsing, namun tidak dimungkinkan karena material madu dan proses lebah mengambil sari madu, tidak berasal dari Batang saja. Bangka ingin menaikkan terasi sebagai unggulannya.

SiMPULAN

Perlu pemberdayaan masyarakat produsen dalam rangka melindungi produsen dan produknya, keberpihakan pemerintah dan uluran tangan instansi terkait, Dinas Koperasi UMKM, Dinas Perindag, Dinas Pangan, Pemda, Ditjen KI dan kampus.

DAFTAR PUSTAKA

Cravens, David W. & Nigel F. Piercy, 2009. Strategic Marketing, international edition, ninth edition, New York: The Mc.Graw-Hill Companies, Inc.

Kurniasih, Dwi Agustine, 2009. Perlindungan Hukum Merek Terdaftar dari Perbuatan Passing Off (Pemboncengan Reputasi)Bagian II, Media HKI

Maulana, Insan Budi, Perlindungan Merek Terkenal, dikutip dari Dwi Agustine Kurniasih, 2009, Perlindungan Hukum Merek Terdaftar dari Perbuatan Passing Off (Pemboncengan Reputasi)Bagian II, Media HKI

Peter, J. Paul & Jerry C. Olson, 2010. Consumer Behavior & Marketing Strategy, international edition, ninth edition, New York: The Mc.Graw-Hill Companies, Inc.

Purwaningsih, Endang, 2005. ”Implikasi Hukum Paten dalam Perlindungan Traditional Knowledge” JurnalHukum YARSI Vol.2.no.1.

Purwaningsih, Endang, 2005. ”Perlindungan Paten Menurut Hukum Paten Indonesia,” Disertasi, Universitas Airlangga

Purwaningsih, Endang, 2012.Model Pemberdayaan Indigenous People dalam Rangka Perlindungan Hukum Terhadap Traditional

Page 297: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 289 |

Knowledge Indonesia, Laporan Penelitian HIKOM Purwaningsih, Endang,Nurul Huda, Nelly Ulfah AR, 2015. Product Certification and Legal Protection to Enhance Indonesian Traditional Herbal Productions, Jurnal, Mimbar Hukum Hukum UGM Vol. 27 No. 3

Purwaningsih, Endang, 2014. Disclosure of Origin pada Pengakuan dan Publikasi Traditional Knowledge dalam Upaya Perlindungan, jurnal, Hukum Jurnal Ius Quia Iustum UII Vol.21 No.2

Risqi, Azmi, M. 2012. Implementasi TRIPs terhadap Perlindungan Hukum Indikasi Geografis dan Dampaknya bagi Indonesia, dalam Demokrasi, Penegakan Hukum dan Perlindungan HKI, UIR Press

Twarog, Sophia, 2006. Naskah Akademik Pengetahuan Tradisional, Jakarta: BPHN dan Ditjen KI RI

Undang – Undang nomor UU No. 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis

Page 298: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 290 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

PEMBErLaKUaN HUKUM KEKaYaaN INtELEKtUaL DaLaM PraKtIK DI INDONEsIa

(DILIHat DarI BEBEraPa KasUs)

Djamal Fakultas Hukum, Universitas Katolik Parahyangan,

email: [email protected]

ABSTRACT

International Seminar & Call For Papers Intellectual Property Rights that will be held in Lombok, 20-23 August 2017, by Faculty of Law, Mataram University, with the theme “Symphonizing Intellectual Property for Public Welfare” is very challenging. The theme of this seminar questions about the effectiveness of the quality of legislation that has been prepared in a complete and adequate, readiness and resources (including law enforcement officers), also about the obstacle of Indonesian society to understand the law. In fact, ineffectiveness and the problems occur because of the philosophical base that is still controversial in Indonesian society.

This paper presents three things as described above, as well as the philosophical aspect of the view and its comparison with the court verdicts that obtained through empirical observation by analyzing the IPR legislation articles. In addition, this paper also provides an analysis of the commercial court/supreme court verdicts which is expected to provide an overview of the problematic or effectiveness of IPR enforcement in Indonesia.

Key Word: IP; Philosophy; Resource and Indonesian society

PENDAHULUAN

Disadari bahwa Indonesia telah bergabung ke dalam Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia yang lebih dikenal dengan the World Trade Organization(WTO) yang didalamnya juga mengatur tentang Trade Related Aspects of Intellectual Property Right (disingkat TRIPS).

Page 299: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 291 |

Penulis sendiri mulai fokus dan tertarik dengan hal-hal yang berkenaan dengan HKI dimulai dengan mengikuti seminar-seminar, baik ditingkat nasional maupun internasional sejak tahun 1990. Selain sebagai dosen pengajar mata kuliah HKI di Universitas Katolik Parahyangan Bandung, Penulis juga sebagai seorang praktisi hukum (sejak tahun 1984), pada awalnya merasa bahwa urusan HKI merupakan urusan orang-orang kurang kerjaan, karena bagaimana mungkin sesuatu yang telah ada bisa diklaim sebagai milik perseorangan (baca, termasuk badan hukum). Katakanlah sesuatu yang telah lama ada, bagaimana bisa diklaim sebagai hak milik perseorangan? Tetapi, seraya berjalannya waktu,HKI yang merupakan karya yang timbul karena kemampuan intelektual manusia berkaitan dengan “hak” perseorangan, dan memiliki “nilai ekonomi” tersebut ternyata memang dapat menghasilkan uang yang tidak sedikit, termasuk memberikan lapangan kerja ditengah modernisasi teknologi dimana-mana.

Dengan berjalannya waktu itu pula, terasa bahwa persoalan-persoalan HKI ternyata semakin kompleks, bahkan Indonesia kini sedang berusaha memperjuangkan Pengetahuan Tradisional, Ekspresi Budaya dan Sumber Daya Genetika secaraintensifmelalui pembahasan-pembahasan, seminar-seminardan lain-lain yang ujungnya diharapkan bisa dijadikan undang-undang dan bisa di klaim oleh bangsa Indonesia.

Di dalam kegiatan Symphonizing Intellectual Property for Public Welfareyang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Mataram, di Lombok, pada tanggal 20-30 Agustus 2017, sepertinya panitia penyelenggara juga menyadari sehinggamempertanyakan mengenai pentingnya HKI untuk kepentingan masyarakat, bahkan ada pemahaman HKI di dalam sistem edukasi yang kurang terakomodasi di jenjang perguruan tinggi.Panitia penyelenggara juga melihat efektifitas pemberlakuan HKI di Indonesia dipengaruhi oleh 3 (tiga) faktor, yaitu kualitas perundang-undangan yang secara implisit dipertanyakan apakah sudah tersusun secara lengkap dan memadai, kesiapan dan sumber daya aparat penegak hukumnya,serta kendala pemahaman masyarakat untuk dapat memahaminya.Sehingga, berangkat dari persoalan tersebut Penulis pada kesempatan ini juga ingin mengkaji dan menganalisanya melalui makalah ini.

Page 300: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 292 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

ANALiSiS DAN PEMBAHASAN

HKI dalam Aspek Filosofis

Penulis ingin memulai mendekati HKI dengan menggunakan frasa “Homo Homini Lupus”(man is a wolf to man).Sering didengar frasabahasa Latin yang berbunyi ”Homo Homini Lupus”yang salah satunya digunakan oleh Sigmund Freud yang kurang lebih artinya manusia adalah serigala bagi manusia lainnya340, sebagai lawan dari “Zoon Politicon” yang digunakan oleh Aristoteles yang kurang lebih berarti manusia adalah mahluk sosial.341

Di Indonesia memiliki Pancasila yang merupakan dasar negara dan menjadi falsafah bangsa yang termuat di dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Selanjutnya dari dasar negara tersebut dengan memperhatikan Bab XIV, Pasal 33, UUD 1945 yang berbunyi:

PEREKONOMIAN NASIONAL DAN KESEJAHTERAAN SOSIAL

Pasal 33

(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.

(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.

(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

(4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.

* Penebalan kata usaha bersama dan asas kekeluargaan dari Penulis.

340Lihat Sigmund Freud quotes dalam https://www.goodreads.com/quotes/1305852-homo-homini-lupus-man-is-wolf-to-man-who-in, dibaca tanggal 28 Juli 2017, pukul 08.00.

341Lihat https://id.wikipedia.org/wiki/Zoon_Politikon, dibaca tanggal 28 Juli 2017, pukul 08.04.

Page 301: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 293 |

Dapat disimpulkan bahwa Pancasila, memiliki landasan filosofi ekonomi Indonesia yang dibangun atas asas kebersamaan atau lebih populer disebut gotong royong.

Sri Edi Swasono (SES) dalam makalah untuk Diskusi Ilmiah “Curriculum Development Membangun Ekonomi Indonesia sesuai Pesan Konstitusi”,Pascasarjana (S3) Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 5 Januari 2017 (Pendapat Pribadi)342 “.....demokrasi Indonesia tidak berdasar pada individualisme konsepsi Rousseau, tetapi berdasar suatu semangat persatuan sebagai bangsa, yang awalnya adalah reaksi bersama terhadap imperialisme dan kapitalisme Barat. Demokrasi Indonesia adalah demokrasi sosial berdasar kebersamaan (kolektiviteit), bukan demokrasi liberal berdasar individualisme sebagaimana demokrasi Barat. Oleh karena itu Demokrasi Indonesia menolak pula Demokrasi Liberal. Demokrasi Indonesia telah Kita tegaskan sebagai Demokrasi Pancasila, yang secara substantif merepresentasikan paham sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi, mengakomodasi multietnisitas dan multikulturalisme Indonesia.”

Selanjutnya SES dalam bukunya yang lain mengatakan ”...substansi buku ini menyangkut keprihatinan kita mengenai kompetensi dan tanggung jawab para sarjana ekonomi. Kompetensi yang akan saya kemukakan adalah suatu kompetensi dalam kaitan kita sebagai insan akademik-ilmiah, yaitu sebagai kaum inteligensia yang berada di dalam kampus.

Pertanyaan awal yang ingin saya utarakan adalah: Masih kompetenkah kita sebagai insan akademik-ilmiah di dalam perkembangan ilmu ekonomi, khususnya di dalampancaroba globalisme ekonomi saat ini, baik untuk melakukan koreksi, dekonstruksi, merombak maupun untuk melakukan reformasi terhadap pemikiran-pemikiran ekonomi konservatif-konvensional yang menjerumuskan (misleading)? Masihkah kita sebagai insan akademik-ilmiah terjerat dan terkooptasi oleh pemikiran-pemikiran ekonomi mainstream yang parsial dan makin compang-camping ini? Masihkah kita, atau makinkah kita, memberhalakan teori pasar-bebas (garis bawah dan cetak tebal dari Penulis) yang bersubstansi neoklasikal dan neoliberalisme?343 Masih di

342Sri Edi Swasono. (2017).Sistim Ekonomi Konstitusi: MENEROBOS BLOKADE AKADEMIS-LEBERALISTIS. Universitas Indonesia, hlm.13

343 Sri Edi Swasono. (2017). EKSPOSE EKONOMIKA Mewaspadai Globalisasi

Page 302: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 294 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

dalam buku tersebut dikatakan oleh Pasal 33 UUD 1945 Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan, kata “perekonomian disusun” menggambarkan bahwa perekonomian tidak dibiarkan tersusun sendiri sesuai selera dan kehendak pasar.344 Dalam pandangan penulis perekonomian tidak dilepas sesuai kehendak pasar (pasar bebas dan persaingan bebas) seperti yang selama ini dirasakan terjadi di Indonesia.

Sejujurnya, Penulis mempertanyakan dan belum berani memberikan jawaban konkret,apa benar Indonesia masih mengikuti paham Demokrasi Pancasila yang secara substantif merepresentasikan paham sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi, seperti yang dikatakan oleh SES dalam makalahnya? Selain memang basic keilmuan Penulis bukan ekonomi, tetapi benar-benar hal tersebut dirasakan adanya persoalan. Perlu direnungkan untuk kemudian mencari jawabannyamelalui penelitian yang khusus akan hal tersebut. karena seperti diketahui bersama juga landasan hukum perekonomian Indonesia (sebagaimana yang telah tertuang di dalam Pasal 33 UUD 1945), pada faktanya Indonesia telah meratifikasi beberapa perjanjian internasional yang menganut pasar bebas dan persaingan bebas.

Fakta empirik yang didapat Penulis dari pengalaman praktik beracara hal tersebut sudah jarang ditemukanyang masih benar-benar mempraktikkan Demokrasi Pancasila yang menjadi dasar Demokrasi Ekonomi Indonesia. Dibenarkan juga oleh SES dalam makalahnya tersebut di atas dengan mengemukakan “....ada pula suatu intellectual coqutte sebagaimana dikatakan seenaknya oleh seorang guru besar dalam suatu Sidang Guru Besar kepada Saya pribadi/SES(2012), barangkali sesuai dengan harapan instingtifnya, ia mengatakan, “....kan Pasal 33 UUD 1945 telah dirubah....”(barangkali yang ia maksudkan agar Saya/SES tidak bicara Pasal 33 UUD 1945 lagi di FE UI). Padahal hilangnya atau dirubahnya Pasal 33 UUD 1945 tidak lebih dari suatu wishful thingking-nya guru besar ini, yang barangkali senantiasa mengusik dia dan mereka yang mengagumisistem ekonomi pasar, suatu neoclassical mindset termakan oleh hegemoni yang melanda kampus-kampus Kita. Dia tidak tahu Pasal 33 UUD 1945 mati-matian

dan Pasar Bebas, Revised and Extended Edition.Yogyakarta: Pusat Studi Ekonomi Pancasila –UGM, hlm.8-9

344Lihat Ibid, hlm.7

Page 303: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 295 |

oleh banyak komponen nasional-patriotik telah berhasil dipertahankan ketiga ayat aslinya, meskipun dengan tambahan 2 ayat baru (ayat 4 dan ayat 5).”345Selanjutnya SES juga mengutip pendapat Susan George, Republik Pasar Bebas, terjemahan,( Jakarta: INFID/Bina Rena Pariwara, 2002), hlm. 75-101, yang menggambarkan pula betapa sengitnya perang ide dan perang ideologi itu berjuang keras menyebarkan neoliberalisme dan mempertahankan kapitalisme global, yang dibiayai oleh korporasi-korporasi dan yayasan-yayasannya secara besar-besaran, memasuki dunia kampus dan lembaga-lembaga penelitian terhormat, “membeli” para intelektual dan editor-editor majalah terkemuka, mengadakan perdebatan-perdebatan artifisial yang direkayasa dan dimuat di New York Times, Washington Post dan Time Magazine. IMF, The World Bank, WTO ikut dalam perang ide ini, sebagai bagian dari pabrik ideologi neoliberalisme. Bagi Kita mengabaikan ekonomi rakyat dan deindustrialisasi sekedar demi WTO adalah kelengahan kultural dan akademis yang sangat parah. Lebih dari itu Susan George menggambarkan pula bengisnya neoliberalisme di Amerika Serikat, apalagi terhadap negara-negara berkembang, melalui korporasi-korporasi dan lembaga-lembaga internasional pendukungnya.346

Berikutnya, denganmembandingkan pada dasar atau filosofi tentang HKI dan Penulismemulainya dengan melihat sejarah lahirnya HKI melalui pemikiran John Locke, filsuf Inggris (1632-1704),yaitu theory of property yang merupakan pemikirannya dalam rangka mempertahankan individualisme serta membatasi kekuasaan yang dimiliki oleh monarki, dengan kata lain John Locke, dengan teorinya itu, memberikan alasan kuat untuk melakukan perlawanan aktif terhadap raja yang tak lagi memiliki otoritas yang diakui.347 John Locke adalah pemikir terdepan asal Inggris yang menghasilkan pemikiran politik liberal.348 Sebelum Locke menemukan pemikiran otoritas atas diri individu terhadap monarki, para penguasa saat itu bisa dengan

345Ibid, hlm.25-26346Susan George. “Repubik Pasar Bebas” dalam Ibid, hlm.25347Lihat Ignatius Haryanto. (2014).SESAT PIKIR KEKAYAAN INTELEKTUAL,

Membongkar Akar-akar Pemikiran Konsep Hak Kekayaan Intelektual. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), hlm.1

348Ibid, hlm.2

Page 304: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 296 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

mudah mengambil apa saja yang dimiliki orang biasa, merampas yang dianggap berharga, atas dasar kekuasaan yang mereka miliki.349

HKi DALAM ASPEK KESiAPAN PERUNDANG-UNDANGAN Di iNDoNESiA

Tentang HKI sendiri di Indonesia walaupun sebenarnya sudah sejak lama diperkenalkan dan diatur, tetapi sepertinya, diam-diam masih banyak pihak mempertanyakan efektifitas keberlakuannya, sehingga forum ini ingin mengangkat topik ini sebagai bahan diskusi. Walaupun sebenarnya Penulis belum melakukan penelitian tentang efektifitas keberlakuan Undang-Undang HKI tetapi sebagai pengajar dan sebagai praktisi hukum (dari pengalaman yang merupakan fakta empirik) dapat merasakan benar adanya persoalan-persoalan di dalam praktiknya. Sehingga bisa dipahami pandangan panitia penyelenggara dengan menyatakan bahwa efektifitas pemberlakuan HKI di Indonesia dipengaruhi oleh 3 (tiga) faktor, yaitu kualitas perundang-undangan, aparat penegak hukum, dan pemahaman masyarakat, yang secara implisit dipertanyakan sekalipun menurut Penulis juga dipengaruhi faktor filosofis seperti telah dikemukakan di atas.

a) HKI pada Tataran Perundang-undanganSetelah sedikit melihat latar belakang filosofi dan sejarah

lahirnya HKI yang banyak dipengaruhi oleh pemikiran John Locke yang merupakan seorang filsuf Inggris pada masanya, kemudian melihat HKI di Indonesia, Penulis memulai melihat pada tataran perundang-undangan. Sebagaimana telah dikemukakan di atas penulis juga termasuk pihak yang mempraktikkan undang-undang (dalam hal menangani kasus-kasus HKI), dimana tidak jarang ditemukan permasalahan-permasalahan yang tidak sajaberasal dari bunyi pasal-pasal dalam undang-undang, tetapi bermasalah dalam konsep hukumnya, bahkan dari sejak landasan filosofisnya, sehinggamenurut penulis masih banyak hal yang perlu disesuaikan atau diharmonisasikan kembali.

Tidak bermaksud melangkah mundur, telah diketahui bersama bahwa HKI yang telah dipelajari itu dimulai dari sejak sebelum berdirinya negara Indonesia yaitu dengan diundangkannya Octrooi

349Ibid

Page 305: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 297 |

Wet No.136 Staatsblad 1911 No.313 Industrieel Eigendom Kolonien 1912 dan Auterswet 1912 Staasblad 1912 No.600.Sedangkan kini telah bergerak ke depan (menurut pemahaman Penulis, ke depan itu belum tentu langkah maju, karena maju atau mundur itu masih memerlukanlagi pengkajian tersendiri). Di Indonesia telah mengalami beberapa kali perubahan undang-undang yang mengaturnya dan terakhir kini yang diberlakukan adalah:

- Undang-UndangNomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman;

- Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang;

- Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri;

- Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu;

- Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta;- Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten; dan- Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan

Indikasi Geografis.Pada dasarnya, pada saat orang mempelajari sesuatu tentang

“hak” (dalam hal ini HKI) maka pertanyaan awalnya darimana datangnya hak tersebut, lalu bagaimana dapat mempertahankannya manakala terganggu atau diganggu oleh pihak lain. Untuk menjawab hal tersebut sudah barang tentu perlu memahami terlebih dahulu sistim hukum yang berlaku di negara yang bersangkutan, yang dalam hal ini, di Indonesia,yang berbasis pada undang-undang, dan undang-undang di Indonesia selain mengatur tentang hukum apa yang akan digunakan untuk mengetahui dasar-dasar HKI tersebut lahir (hukum materil), juga harus tahu hukum apa yang akan digunakan apabila ada pihak-pihak yang merasa HKI-nya dilanggar oleh pihak lain (hukum formil).

Terhadap hal ini Penulis memberikan beberapa catatan yang perlu menjadi perhatian bersama mengenai keseriusan pembuat undang-undang dalam rangka mengatur hal-hal yang berkenaan dengan HKI yang akan diterapkan di Indonesia, yang menurut Penulis masih menimbulkan permasalahan, diantaranya:

Page 306: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 298 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

a). Di dalam Hukum Acara1. Penetapan Sementara Pengadilan (PSP)

Persoalan tentang pengaturan upaya Penetapan Sementara Pengadilan (PSP), yaitu suatu bentuk upaya hukumyang ada pada Undang-UndangDesain Industri, Hak Cipta, Paten,sertaMerek dan Indikasi Geografis. Dari sejak tahun 2000/2001, bahkan ditambah Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 5 Tahun 2012 tentang PSP baru sekali terjadi yaitu terhadap kasus Film “Soekarno”, itu pun dibatalkan oleh Pengadilan yang menerbitkan PSP itu sendiri. Terhadap hal ini,Penulis mencermati tentang PSP yang pernah diterbitkan oleh Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (selanjutnya akan disebut Pengadilan Niaga) sebagaimana yang tersebut dalam perkara Nomor 93/Pdt.Sus-Hak Cipta/2013/PN.Niaga.Jkt.Pst. yang diterbitkan oleh Wakil Ketua Pengadilan Niaga,tanggal 11 Desember 2013 atas permohonan yang diajukan Penggugat/Pemohon PSP yaitu (Hj. RACHMAWATI SOEKARNOPUTRI, S.H.) tentang sengketa Hak Cipta, yang pada pokoknya memohon guna mencegah dan menghentikan peredaran, dan menghentikan pemutaran film “Soekarno.” Untuk menjamin PSP, Penggugat/Pemohon PSPbersedia menitipkan uang jaminan ke Pengadilan sebesar Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta Rupiah). PSP tersebut telah dilaksanakan oleh Tergugat I (PT. TRIPAR MULTIVISION PLUS) dengan menyerahkan skrip dan master Film “Soekarno” ke Penggugat/Pemohon PSP (Hj. RACHMAWATI SOEKARNOPUTRI, SH) melalui Juru Sita Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Akan tetapi PSP tersebut diubah dengan Penetapan Nomor 93/Pdt.Sus-Hak Cipta/2013/PN.Niaga.Jkt.Pst. tertanggal 7 Januari 2013 yang diantaranya menetapkan film “Soekarno” tetap dapat ditayangkan dan didistribusikan oleh Tergugat I karena Tergugat I tidak terbukti melakukan pelanggaran atas ciptaan maupun hak moral Penggugat....dan seterusnya (Lihat bunyi putusan lengkapnya di dalam perkara tersebut). Terhadap putusan Pengadilan Niaga tersebut Penggugat asal mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung sebagaimana register perkara Nomor 305 K/Pdt.Sus-HKI/2014, dan oleh Mahkamah Agung telah dibatalkan

Page 307: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 299 |

putusan Pengadilan Niaga tersebut, akan tetapi Penulis tidak menganggap perlu untuk mengupas lebih dalam di sini karena walaupun putusan Pengadilan Niaga tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Agung, dan Mahkamah Agung mengadili sendiri perkara tersebut, akan tetapi pada pokoknya putusan tersebut berbunyi menolak gugatan Penggugat, dan sama sekali tidak lagi membuat pertimbangan secara khusus tentang penerbitan PSP oleh Pengadilan Niaga tersebut.

Hal penting yang Penulis berikan perhatian lebih dengan diterbitkannya PSP oleh Pengadilan Niaga yang baru pertama kali terjadi ini,pengaturan PSP yang ada pada Undang-UndangDesain Industri, Hak Cipta, Paten, serta Merek dan Indikasi Geografis konstruksi hukumnya berbeda dengan yang diterbitkan di dalam perkara film “Soekarno.” Perbedaan mana yaitu pada proses diajukannya permohonan tersebut. Pada pengaturan Undang-UndangDesain Industri, Hak Cipta, Paten, serta Merek dan Indikasi Geografis, permohonan diajukan sebelum gugatan diajukan ke Pengadilan, dengan kata lain perkara pokoknya belum diajukan, sedangkan PSP di dalam perkara film “Soekarno” diajukan setelah perkara pokoknya disidangkan, dengan kata lain sudah ada pihak Penggugat dan pihak Tergugat, padahal maksud diadakannya PSP adalah merupakan tindakan sementara oleh pengadilan yang bertujuan untuk mencegah masuknya produk yang berkaitan dengan pelanggaran HKI ke jalur perdagangan.

Perlu juga diingat bahwa hukum acara yang digunakan oleh Pengadilan Niaga tersebut jelas-jelas menggunakan Hukum Acara Perdata yang berlaku di Indonesia (Lihat Pasal 299 juncto Pasal 300 Undang-UndangNomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), yaitu Herziene Inlandsch Reglement(HIR, berlaku untuk di Jawa dan Madura) dan Rechtsreglement voor de Buitengewesten (Rbg, berlaku untuk di luar Jawa dan Madura) atau juga menggunakan Burgerlijk Rechtvordering(Rv, berlaku untuk golongan Eropa apabila pengaturan di dalam HIR/Rbg untuk perkara perdata dirasa masih kurang cukup videPasal 393 HIR),yang didalamnya sudah mengatur tentang putusan provisionil (lihat Pasal 48Rv). Maka pertanyaan yang perlu dimunculkan adalah untuk apa perlu diatur lagi tentang upaya PSP yang belum jelas dasar pengaturannya(objective intend/ratio legis), tiba-tiba ada di Undang-UndangDesain Industri,

Page 308: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 300 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

Hak Cipta, Paten, serta Merek dan Indikasi Geografis, mengapa tidak digunakan saja apa yang sudah ada.Terhadap hal ini Penulis belum menemukan objective intend/ratio legis dengan diberlakukannya PSP.

Penulis mencoba mencari dasar pembenar darimana pengaturan PSP itu ada. Dengan membaca TRIPS Agreementkhususnya pada GENERAL PROVISIONS AND BASIC PRINCIPLES

Article 1, dikatakan ....

Nature and Scope of Obligations

1. Members shall give effect to the provisions of this Agreement. Members may, but shall not be obliged to, implement in their law more extensive protection than is required by this Agreement, provided that such protection does not contravene the provisions of this Agreement. Members shall be free to determine the appropriate method of implementing the provisions of this Agreement within their own legal system and practice.

Terjemahan bebas:

“Para anggota harus memberlakukan ketentuan-ketentuan dalam Perjanjian ini. Para anggota dapat tetapi tidak berkewajiban untuk, mengimplementasikan perlindungan yang lebih luas daripada yang diminta dalam perjanjian ini di dalam peraturan mereka, dengan ketentuan bahwa perlindungan tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam Perjanjian ini. Para anggota harus bebas menentukan metode yang tepat untuk mengimplementasi ketentuan-ketentuan perjanjian ini di dalam sistem dan praktik hukum mereka.”

Dengan demikian, sebagai konsekuensi Indonesia telah menandatangani perjanjian TRIPS, maka berkewajiban menyesuaikan sistem hukumnya ke dalam sistem hukum yang diatur dalam perjanjian TRIPS.

Berikutnya perlu melihat ketentuan lain yang diatur pada perjanjian TRIPS:

Article 44

INJUNCTIONS

1. The judicial authorities shall have the authority to order a party

Page 309: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 301 |

to desist from an infringement, inter alia to prevent the entry into the channels of commerce in their jurisdiction of imported goods that involve the infringement of an intellectual property right, immediately after customs clearance of such goods. Members are not obliged to accord such authority in respect of protected subject matter acquired or ordered by a person prior to knowing or having reasonable grounds to know that dealing in such subject matter would entail the infringement of an intellectual property right.

Dari rumusan bunyi article 44(1) Injunctios “........immediately after customs clearance of such goods. .............”Penulis mengartikan bahwa prosedur itu muncul sesegera mungkin setelah custom clearance yangkalau di Indonesia hal tersebutsetelah selesai pemeriksaan petugas bea cukai, dan sudah barang tentu sebelum ada proses pengadilan (litigation/court proceeding), karena di Indonesia custom clearance itu dilakukan oleh petugas bea cukai yang bekerja di lingkungan Kemeterian Keuangan Republik Indonesia, sekalipun petugas bea cukai itupun berhak melakukan tugas pro justitia, akan tetapi tetap saja proses itu adalah proses di luar pengadilan. Berbeda dengan provisional measures350 jelas merupakan bagian dari suatu proses hukum yang kalau Penulis tarik dan mencari padanan katanya di dalam proses pengadilan di Indonesia itu adalah upaya hukum provisional yang biasa dilakukan atau merupakan suatu tindakan sementara (putusan sela) yang diperlukan dan itu bukanlah merupakan putusan akhir yang pengaturannya berada di dalam Hukum Acara Perdata.351

Penulis pernah melakukan penelitian tentang hal ini dengan mencari naskah persidangan di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), dan ternyata tidak ditemukan alasan (objective intend/ratio legis)mengapa PSP ini diatur? Satu-satunya alasan pembenar yang dapat digunakan menurut penulis adalah (menggunakan penafsiran sistematis) yaitu pengaturan sebagaimana bunyi Pasal 38 Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (bukan Hukum Acara Perdata) dimana pada pokoknya berbunyi “Penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin Ketua Pengadilan Negeri setempat.” Yang bentuknya “penetapan”, tetapi hal ini tidak diatur di dalam Hukum Acara Perdata apalagi di dalam Undang Undang HKI.

350See (Lihat) Article 50 TRIPS Agreement351Lihat Pasal 48 Rv.

Page 310: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 302 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

Selain hal tersebut upaya hukum PSPmenyisakan persoalan.Kalaulah PSP tersebut diberikan sebelum ada proses pengadilan, maka pertanyaannya apakah pihak yang terkena PSP diketahui keberadaannya, mengingat PSP itu diajukan secara sepihak (dengan bentuknya “permohonan” dan sudah barang tentu menurut Hukum Acara Perdata tidak ada lawan), padahal undang-undang hanya memberi waktu 1x24 jam pengadilan harus memberitahukan ke pihak yang dikenai PSP. Kalaulah PSP itu diajukan pada waktu perkara pokok disidangkan (seperti yang terjadi pada perkara film “Soekarno”), maka apakah tepat terminologi yang digunakan “Penetapan Sementara Pengadilan”? Terminologi PSP itu tidak dikenal di dalam Hukum Acara Perdata yang digunakan di dalam peradilan umum, padahal dinyatakan secara tegas bahwa proses beracara di Pengadilan Niaga menggunakan hukum acara perdata yang digunakan di lingkungan peradilan umum sebagaimana dikemukakan di atas.

Persoalan lain yang juga perlu menjadi bahan pemikiran. Setiap PSP yang dimohonkan, Pemohon harus membayar jaminan yang besaran jumlahnya sebanding dengan nilai barang yang akan dikenai PSP. Pertanyaannya, siapa yang akan memberikan appraisal, dan disimpan dimana? Apakah Pengadilan memiliki kompetensi untuk menyimpan jaminan (dana) pihak swasta, apakah memiliki rekening bank yang khusus untuk itu, bagaimana perhitungannya apabila dana tersebut dikenakan biaya administrasi oleh pihak bank, atau ada jasa giro? Kemana dan siapa yang bertanggung jawab terhadap selisih dana tersebut apabila terjadi?

Untuk ini, ada baiknya melihat perbedaan antara PSP yang terdapat pada perundang-undangan HKI dengan putusan sela yang terdapat dalam Hukum Acara Perdata di Indonesia yang dapat dilihat dari asas-asas yang terdapat pada hukum acara pada sengketa HKI, dalam hal ini pada PSP antara lain diantaranya:

a. kekhususan. Di sini baik tenggang waktu maupun kompetensi pengadilan untuk penyelesaian perkaranya telah ditentukan yakni di Pengadilan Niaga dan limitatif, artinya waktu penyelesaian perkaranya juga telah ditentukan;

b. putusan pertama dan terakhir,artinya Pengadilan Niaga memberikan putusan dalam perkara HKI adalah putusan yang

Page 311: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 303 |

pertama dan terakhir, tidak jelas apa upaya hukum terhadap lahirnya PSP bilamana pihak yang terkena PSP ingin menempuh upaya hukum?

c. peradilan cepat dan sederhana. Di sini terdapat upaya hukum bersifat sementara yang bertujuan untuk mencegah kerugian yang lebih besar pada pihak yang haknya dilanggar, karena (hakim) Pengadilan Niaga diberi kewenangan untuk menerbitkan PSP guna mencegah berlanjutnya pelanggaran dan masuknya barang-barang yang diduga melanggar HKI ke jalur perdagangan, termasuk tindakan importasi; dan

d. putusan dapat langsung dilaksanakan.352

PERBEDAAN PRINSIPIIL ANTARA PUTUSAN SELA DENGAN

PENETAPAN SEMENTARA PENGADILAN353

PUTUSAN SELA ATAU PUTUSAN PROVISIONIIL

PENETAPAN SEMENTARA PENGADILAN (PSP)

Sumber Hukum HIR/Rbg/Rv Perundang-undangan HKI: Desain Industri; Hak Cipta Paten; Merek &Indikasi Geografis

Subyek Penggugat Pemohon yang merasa dirugikan HKI

Obyek Mempermudah/memperlancar pemeriksaan perkara

Barang yang melanggar HKI, masuk ke dalam jalur perdagangan, termasuk barang impor

Waktu Pengajuan

Sedang/sesudah perkara berjalan di Pengadilan Negeri

Sebelum perkara pokok (sengketa tentang HKI) disidangkan di Pengadilan Niaga

Dasar Pengajuan

Gugatan Permohonan

352Lihat Djamal. (2008).Penetapan Sementara Pengadilan (Pada Hak Kekayaan Intelektual).Bandung: Pustaka Reka Cipta, hlm.147

353Ibid, hlm.150

Page 312: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 304 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

Jaminan Tidak harus dibayar Membayar jaminanAsas mendengar kedua pihak

Terdapat asas mendengar kedua belah pihak

Terdapat asas mendengar kedua belah pihak setelah diterbitkan

Bentuk putusan Putusan PenetapanUpaya hukum Banding/kasasi Tidak ada upaya hukum

2. Pengertian “Hari”Masih berhubungan dengan hukum acara dipersidangan,

hampir di setiap undang-undang HKI di dalam ketentuan umum terdapat rumusan tentang “hari” (kecuali pada Undang-UndangNomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman dan Undang-UndangNomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang). Ternyata pengertian “hari” disetiap undang-undang berbeda. Didalam Undang-UndangNomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri dan Undang-UndangNomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta pengertian “hari” itu adalah hari kerja, sedangkan di dalam Undang-UndangNo.13 Tahun 2016 tentang Paten dan di dalam Undang-UndangNomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, pengertian “hari” itu adalah hari kerja, tetapi “hari” untuk menempuh upaya hukum (termasuk PSP di dalam Undang-UndangNomor 13 Tahun 2016 tentang Paten) adalah hari kalender, sedangkan di dalam Undang-UndangNomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis untuk menempuh upaya hukum (kasasi) adalah hari kerja, tetapi untuk menempuh upaya hukum PSP tidak diberikan pengertian tentang “hari”, sehingga hal tersebut akan membingungkan.

ASPEK KESiAPAN SUMBER DAYA APARAT Ki DAN PENEGAK HUKUMNYA

Pada bagian ini penulis ingin menganalisa persoalan-persoalan kesiapan sumber daya aparat Kekayaan Intelektual dan Penegak hukumnya dari pengalaman praktik (empirik) di dalam Undang-Undang Merek.

Page 313: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 305 |

1. Kasus Pembatalan Merek Adanya pengaturan gugatan pembatalan merek yang diajukan

oleh pihak yang berkepentingan yang merupakan pemilik merek yang tidak terdaftar, dapat diajukan setelah mengajukan permohonan kepada Direktorat Jenderal (ex Pasal 68 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, pada saat kasus ini disidangkan dan setelah diubah kini Pasal 76 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis).

Menurut Penulis bunyi (baik Pasal 68 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek maupun setelah diubah dengan Pasal 76 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis) pasal di atas menimbulkan kerancuan dan membingungkan. Dengan melihat produk putusan Pengadilan Niaga Nomor 66/Merek/2012/PN.Niaga.Jkt.Pst.354, bahwa di dalam kasus tersebut pada pokoknya Penggugat, seorang berkewarganegaraan Inggris mengajukan gugatan pembatalan Merek “cap kaki tiga” yang terdaftar di Indonesia pada Direktorat Jenderal HKI, yang mana logo cap kaki tiga tersebut merupakan tiruan atau menyerupai Lambang Negara “Isle of man” yang digunakan dalam bendera dan/atau mata uang Negara, yaitu logo lingkaran dengan tiga kaki didalamnya. Negara Isle of Man berdiri jauh sebelum merek cap kaki tiga terdaftar di Indonesia. Isle of Man merupakan pos terluar/kerajaan bangsa Viking dari tahun 700 sampai 900. Kemudian kerajaan Herbrides dari Norwegia menguasainya (dalil Penggugat di dalam surat gugatannya). Penggugat memohon kepada Pengadilan (pada pokoknya) agar diputus:

Dalam Provisi: Memerintahkan Tergugat untuk menghentikan produksi, promosi

dan/atau peredaran dari produk-produk yang menggunakan unsur-unsur sebagaimana termaktub dalam obyek gugatan a quo, yaitu: dan seterusnya (disingkat ------------------------------------- dst.)”Primair:

1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk

354Lihat putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor: 66/Merek/2012/PN.Niaga.Jkt.Pst.

Page 314: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 306 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

seluruhnya;---------------------------------------2. Menyatakan Tergugat telah melakukan itikad tidak baik

dalam mendaftarkan seluruh Merek Dagang “Cap Kaki Tiga” sebagaimana terdaftar dalam sertifikat-sertifikat Merek sebagai berikut:------------------------------------------- dst.”

3. Menyatakan bahwa seluruh Merek Dagang “Cap Kaki Tiga” atas nama Tergugat menyerupai atau merupakan tiruan dari Lambang/Simbol/Emblem/Mata Uang Isle of Man;

4. Membatalkan atau setidak-tidaknya menyatakan batal seluruh sertifikat Merek “Cap Kaki Tiga” atas nama Tergugat dan mencoretnya dari Daftar Umum Merek Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual dengan segala akibat hukumnya atas sertifikat-sertifikat Merek sebagai berikut: ------------------------------------------- dst.”

5. Memerintahkan Tergugat untuk menghentikan produksi, distribusi, dan promosi, serta menarik dari peredaran atas produk-produk yang mengandung unsur-unsur dalam sertifikat-sertifikat Merek sebagai berikut: ------------------------------------------------- dst.”

6. Memerintahkan Turut Tergugat untuk tunduk dan taat pada putusan Pengadilan Niaga dalam perkara ini dengan mencoret pendaftaran merek dari Daftar Umum Merek Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual dengan segala akibat hukumnya dengan mencantumkan alasan pembatalan dan tanggal pembatalan dan mengumumkannya dalam Berita Resmi Merek sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Merek yang berlaku atas sertifikat- sertifikat Merek sebagai berikut:------ dst.”

Subsidair:

Atau, apabila Majelis Hakim Yang Mulia berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono); Hakim pada Pengadilan Niaga memberikan putusan sebagai

berikut:

MENGADILI (pada pokoknya):

DALAM PROVISI: - Menolak tuntutan Provisi Penggugat tersebut;---------------------------DALAM POKOK PERKARA:

Page 315: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 307 |

1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;------------------------------------

2. Menyatakan Tergugat telah melakukan itikad tidak baik dalam mendaftarkan seluruh Merek Dagang “Cap Kaki Tiga” sebagaimana terdaftar dalam sertifikat-sertifikat Merek sebagai berikut:------------------------------------------ dst.”

Dengan pertimbangan bahwa setelah Majelis Hakim mencermati bukti-bukti yang diajukan oleh Penggugat serta bukti-bukti yang diajukan oleh Tergugat, sebagaimana tersebut di atas, secara hukum Majelis Hakim berpendapat bahwa Merek “Cap Kaki Tiga dan Gambar Kaki Tiga” milik Tergugat yang mana memiliki adanya unsur yang menonjol berupa gambar atau lukisan kaki berjumlah tiga yang dirangkai secara simetris memiliki persamaan pada pokoknya dengan Lambang Negara ”Isle of Man” yang mana memiliki adanya unsur yang menonjol berupa gambar atau lukisan kaki berjumlah tiga yang dirangkai secara simetris pula; Majelis Hakim berpendapat bahwa persamaan pada pokoknya atau keseluruhan antara kedua merek tersebut di atas yaitu adanya kesan yang sama secara visual, konseptual, bentuk lukisan, dan cara penempatan gambarnya. Dipertimbangkan juga, bahwa setelah Majelis Hakim memperbandingkan antara Merek “Cap Kaki Tiga dan Gambar Kaki Tiga” milik Tergugat dan Lambang Negara ”lsle of Man” ternyata Lambang Negara ”lsle of Man” mempunyai persamaan pada pokoknya dengan Merek “Cap Kaki Tiga dan Gambar Kaki Tiga” milik Tergugat. Bandingkan logo Copyright dengan copyleft).

Selanjutnya Tergugat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung dan telah diberikan putusannya di dalam perkara Nomor 582 K/Pdt.Sus-HaKI/2013355yang pada pokoknya sebagai berikut: MENGADILI:

1. Menolak permohonan kasasi dari para Pemohon Kasasi................................................dst.

Putusan dijatuhkan dengan pertimbangan, Permohonan Kasasi dari Turut Tergugat dan Tergugat tersebut tidak dapat

355Lihat putusan Mahkamah Agung di dalam perkara Nomor 582 K/Pdt.Sus-HaKI/2013.

Page 316: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 308 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

dibenarkan, oleh karena Judex Facti (Pengadilan Niaga) Pusat tidak salah menerapkan hukum; Bahwa Pasal 6 ayat (3) huruf b menyebutkan:

“Permohonan juga harus ditolak oleh Direktorat Jenderal apabila Merek tersebut:a. …..dst;b. Merupakan tiruan atau menyerupai nama atau singkatan nama,

bendera, lambang atau simbol atau emblem Negara atau lembaga nasional maupun internasional, kecuali atas persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang”;

Bahwa, “apabila ada pihak yang mengajukan permohonan pendaftaran merek, dan apabila merek tersebut merupakan tiruan atau menyerupai, lambang atau simbol atau emblem Negara atau Lembaga Nasional ataupun Internasional” pihak Direktorat Merek harus “menolak” permohonan pendaftaran tersebut, artinya tanpa menunggu adanya keberatan dari pihak yang memiliki lambang/simbol tersebut, maka Direktorat Merek “dilarang” mendaftarkannya, kecuali pihak pendaftar tersebut memiliki ijin dari negara yang bersangkutan.

Dalam perkara ini Direktorat Merek telah mengabaikan ketentuan Pasal 6 ayat (3) sub b Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek tersebut, tegasnya dengan demikian maka “pendaftaran tersebut batal dengan sendirinya/batal demi hukum” karena sudah dilarang oleh hukum akan tetapi Direktorat tetap mendaftarnya/melakukannya; Bahwa, sekalipun tidak ada pihak yang mengajukan keberatan terhadap lambang/simbol sesuatu Negara i.c Negara Isle of Man, disebabkan secara faktuil nampak jelas cap kaki tiga adalah lambang Negara Isle of Man, maka Direktorat Merek harus menolak dan tidak mendaftarkan merek Cap Kaki Tiga a quo, dan karena pendaftaran itu dilarang, maka merek yang sudah didaftar menjadi batal demi hukum ataupun batal dengan sendirinya.

Dari sini dapat ditarik kesimpulan, terlepas dari substansi perkaranya, secara formil, gugatan Penggugat jelas-jelas mengenai pembatalan Merek “cap kaki tiga” sebagaimana yang diatur dalam Pasal 68 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun

Page 317: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 309 |

2001 tentang Merek (kini Pasal 76 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis), harus diajukan oleh pihak yang berkepentingan dan Pasal 68 ayat (2) menyatakan pihak yang berkepentingan itu merupakan pemilik merek yang tidak terdaftar setelah mengajukan permohonan (pendaftaran Merek) kepada Direktorat Jenderal. Dalam kasus tersebut pemilik merek yang tidak terdaftar, tidak pernah melakukan pendaftaran mereknya terlebih dahulu, sebelum mengajukan gugatan pembatalan tetapi tidak dipertimbangkan oleh Majelis Hakim. Bahkan justru Majelis Hakim telah memberikan putusan mengabulkan gugatan Penggugat dengan pertimbangan menggunakan Pasal 69 ayat (2), yang mana hal tersebut tidak pernah dimintakan oleh Penggugat. Hal ini menurut Penulis, Majelis Hakim telah mengabulkan gugatan yang tidak diminta atau melebihi dari apa yang menjadi obyek gugatan Penggugat (ultra petita). Kalaulah Majelis Hakim akan menggunakan argumentasi karena ada tuntutan Subsidair dari Penggugat, hal tersebut tidak pernah dipertimbangkan di dalam putusannya.

Hal lain yang juga dapat disimpulkan di sini adalah bunyi Pasal 68 ayat (2), yang mengharuskan permohonan pembatalan merek diajukan setelah pemohon mengajukan permohonan pendaftaran merek terlebih dahulu ternyata bukanlah merupakan ketentuan imperative, karena tidak pernah dilakukan oleh Penggugat.

2. Pengertian Merek Terkenal Dalam perkara Nomor 92/Pdt.Sus.Merek/2013/PN.Niaga.Jkt.

Pst356 juncto Nomor 184 K/Pdt.Sus-HKI/2015357 antara TOMMY BAHAMA GROUP Inc. Lawan Ellis Fitri Ambarita (Tergugat) dan Direktorat Jenderal HKI cq. Direktorat Merek ( T u r u t Tergugat).

Penggugat adalah sebuah perusahaan terkemuka dari Amerika Serikat di bidang produksi dan penjualan produk busana untuk pria dan wanita dengan merek “TOMMY BAHAMA”, yang telah memulai usahanya sejak lebih dari 20 tahun yang lalu;

356Lihat putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta PusatNomor 92/Pdt.Sus.Merek/2013/PN.Niaga.Jkt.Pst.

357Lihat Putusan Mahkamah Agung dalam perkara Nomor 184 K/Pdt.Sus-HKI/2015

Page 318: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 310 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

Gerai serta toko ritel yang menjual produk-produk “TOMMY BAHAMA” milik Penggugat, telah tersebar di berbagai negara di dunia, antara lain di Amerika Serikat, Australia, Kanada, Hong Kong, Jepang, Makau dan Singapura. Lebih lanjut, mulai Juli 2012, Penggugat telah mengoperasikan situs penjualan melalui internet (e-commerce) yang memungkinkan konsumen di lebih dari 108 negara di dunia untuk memesan produk-produk TOMMY BAHAMA.

Penggugat telah mengajukan gugatan terhadap Ellis Fitri Ambarita, dkk. dengan alasan Tergugat telah mendaftarkan Merek TOMMY BAHAMA untuk produk yang sama dengan milik Penggugat kepada Turut Tergugat (Direktorat Jenderal HKI) sehingga Tergugat telah mendapatkan sertifikat Merek tertanggal 17 Desember 2004.

Pengadilan Niaga telah memberikan putusan yang pada pokoknya Menolak Gugatan Penggugat seluruhnya, dengan pertimbangan, selain karena alasan gugatan pembatalan pendaftaran merek telah melebihi waktu 5 (lima) tahun berdasarkan Pasal 69 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 tahun 2001, sedangkan gugatan diajukan pada tahun 2013, juga alasan dapat diajukan tanpa batas waktu bila merek yang bersangkutan bertentangan dengan moralitas, agama, kesusilaan atau ketertiban umum sebagaimana Pasal 69 ayat (2).

Yang menarik perhatian Penulis, dari seluruh pertimbangannya Majelis Hakim telah memberikan pertimbangan mengenai merek terkenal itu dengan memperhatikan bukti-bukti tentang promosi yang dimaksudkan tidak ternyata menunjukkan keterkenalan mereknya jika ditinjau dari pengetahuan masyarakat untuk itu. Selanjutnya dipertimbangkan juga bahwa tidak ternyata juga Tergugat selaku pemohon yang mendaftarkan mereknya dilakukan secara tidak jujur dengan membongceng, meniru atau menjiplak ketenaran merek pihak lain, sebab seandainya merek Penggugat pada saat itu sudah terkenal tentunya juga tidak hanya didaftarkan di negara-negara lain tetapi juga di Indonesia. (Bandingkan dengan bunyi Pasal 6 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek atau sekarang Pasal 21 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi

Page 319: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 311 |

Geografis). Pertimbangan Majelis Hakim tersebut dibenarkan oleh

Mahkamah Agung dalam putusan perkara Nomor 184 K/Pdt.Sus-HKI/2015.

3. Kasus Merek yang didaftar oleh Yayasan Di dalam perkara lain (untuk kepentingan pembelaan, identitas

para pihak tidak dibuka), tentang pembatalan merek yang didaftar oleh suatu Yayasan yang memiliki bidang usaha menyelenggarakan pendidikan tinggi (sebut saja namanya Yayasan A, dengan asumsi peristiwa hukumnya terjadi setelah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis sudah berlaku sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek yang juga mengatur hal yang sama).

Yayasan A, berbadan hukum, yang memiliki bidang usaha menyelenggarakan pendidikan tinggi di suatu kota dan telah berjalan selama puluhan tahun, memiliki ijin operasional dari Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi. Di kota yang sama ternyata juga ada Yayasan, juga berbadan hukum (sebut saja namanya Yayasan B) yang menyelenggarakan pendidikan tinggi yang sama dengan Yayasan A tetapi tidak/belum memiliki ijin operasional dari Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, akan tetapi telah berhasil mendaftarkan merek dan logo perguruan tingginya ke Direktorat Jenderal HKI (sekarang Direktorat Jenderal KI). Dari merek yang telah diberikan tersebut Yayasan B mengajukan laporan pengaduan pidana ke kepolisian tentang pelanggaran merek miliknya oleh Yayasan A yang secara kebetulan memang tidak mendaftarkan merek/logo perguruan tingginya sekalipun sudah digunakan selama puluhan tahun. Tentu saja upaya yang dapat dilakukan oleh Yayasan A hanya dengan cara mengajukan gugatan pembatalan merek tersebut ke Pengadilan Niaga sesuai ketentuan Pasal 76 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis untuk mencegah laporan pengaduan pidana tentang penggunaan merek Yayasan B berlanjut. Akan tetapi Yayasan A terbentur dengan ketentuan bahwa Yayasan A harus mengajukan pendaftaran mereknya terlebih dahulu sebelum mengajukan gugatan pembatalan. Hal tersebut

Page 320: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 312 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

menurut Penulis sungguh tidak masuk akal. Alasan pembatalan dari Yayasan A adalah pendaftaran merek oleh Yayasan B adalah dengan dasar sebagaimana dimaksud bunyi Pasal 20 juncto Pasal 21 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, yaitu Yayasan B selain tidak memiliki ijin operasional dari Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (dengan kata lain ilegal), juga seyogianya merek tidak dapat didaftar untuk Yayasan. Penulis berpendapat demikian itu dengan alasan karena Yayasan, walaupun Ia berbadan hukum tetapi tidak dibenarkan untuk mencari laba (non profit). Lihat Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan juncto Pasal 3 ayat 1 dan ayat 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan juncto Penjelasan Pasal 3 ayat 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, bahwa Yayasan tidak dibenarkan mencari keuntungan (non profit), kecuali unit usahanya (dalam kasus di sini penyelenggaraan pendidikan tingginya). Hal tersebut sejalan pula dengan Undang-Undang Pendidikan Tinggi (Pasal 67 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi), yang pada pokoknya menyatakan bahwa pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat haruslah badan hukum nirlaba (dalam hal ini adalah yayasan), bahkan penyelenggara pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakatdan mencari laba (profit) dapat dituntut pidana berdasarkan Pasal 92 juncto Pasal 93 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Dengan demikian, bagaimana mungkin gugatan pembatalan merek diajukan oleh pihak yang mereknya tidak terdaftar harus mengajukan pendaftaran merek terlebih dulu. Sementara, menurut hukum, pihak yang akan mengajukan gugatan pembatalan merek dalam kasus ini juga yayasan yang tidak memiliki legal standing untuk mengajukan gugatan pembatalan merek karena yayasan merupakan badan hukum non profit, sementara merek digunakan untuk kepentingan bisnis ( jelas-jelas mengejar profit). Sehingga oleh karenanya, apabila yayasan sebelum mengajukan gugatan pembatalan merek harus mendaftar terlebih dahulu merupakan ketentuan yang inkonsisten, dimana disatu pihak Yayasan A menggugat pembatalan dengan alasan bertentangan

Page 321: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 313 |

dengan peraturan perundang-undangan (Pasal 20 juncto Pasal 21 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis), akan tetapi justru diharuskan mendaftar merek terlebih dahulu dengan dasar yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Lebih jauh, pendaftaran merek itu bertujuan harus digunakan yang apabila tidak digunakan berturut-turut selama 3 tahun merek tersebut akan dihapus, jadi sangat tidak mungkin Yayasan A membatalkan merek Yayasan B untuk digunakan mereknya oleh Yayasan A (Pasal 74 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis).

4. Pendaftaran Merek yang memakan waktu lama berdampak Pemohon terkena kasus kriminal dan harus dihukum penjara selama 1 (satu) tahun dan denda Rp.100.000.000,00 (seratus juta Rupiah), subsidair 6 (enam) bulan penjara.

Seseorang warga negara asing melakukan kegiatan bisnis di Indonesia dengan mendirikan perusahaan di Indonesia yang tunduk dengan hukum Indonesia (untuk kepentingan pembelaan, identitas para pihak tidak dibuka). Kegiatan bisnisnya adalah memproduksi barang yang bahan bakunya ada di Indonesia. Bahan baku tersebut tidak bisa langsung dipasarkan (dijual), karena harus diolah dulu menjadi produk jadi untuk selanjutnya diekspor ke Eropa dengan menggunakan merek tertentu yang terdaftar di Eropa (merek tersebut di Indonesia tidak dimohonkan pendaftaran). Sekali waktu ada pengusaha Indonesia (teman baik investor asing tersebut dan ikut serta bekerjasama untuk mendapatkan bahan-bahan baku di Indonesia) yang secara diam-diam mendaftarkan merek (yang sudah terdaftar di Eropa) tersebut ke Direktorat Jenderal HKI (sekarang Direktorat Jenderal KI) untuk kepentingan pribadinya dengan alasan untuk mempermudah kegiatan bisnis tersebut di Indonesia dan investor asing tersebut pada awalnya tidak berkeberatan dengan alasan toh pengusaha Indonesia tersebut tidak akan bisa memasarkan sendiri langsung ke Eropa. Pada suatu waktu (karena ada permasalahan keuangan antara kedua belah pihak) pengusaha Indonesia tersebut melaporkan investor asing ke kepolisian dengan alasan menggunakan mereknya untuk memasarkan barangnya di

Page 322: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 314 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

Eropa, hal tersebut didasarkan dengan adanya bukti berupa website dan melihat adanya kardus dengan menggunakan merek yang terdaftar di Indonesia milik pengusaha Indonesia tersebut. Pada tahun 2007 terjadilah proses penyidikan perkara pidana tersebut dan berlanjut ke Jaksa Penuntut Umum untuk kemudian disidangkan di Pengadilan Negeri. Ternyata investor asing diputus bebas oleh Pengadilan Negeri pada tahun 2011 dengan pertimbangan bahwa tidak terbukti memasarkan produknya di Indonesia, karena produk tersebut di Indonesia hanya diproduksi dan tidak dipasarkan di Indonesia. Bahwa mengenai website milik investor asing tersebut di daftar di Eropa, sedangkan kardus dengan menggunakan merek yang terdaftar di Indonesia tidak terbukti dibuat oleh investor asing tersebut. Akan tetapi setelah Jaksa Penuntut Umum mengajukan kasasi, Mahkamah Agung pada pokoknya telah menjatuhkan putusan hukuman penjara selama 1 (satu) tahun dan denda Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah), subsidair 6 (enam) bulan penjara. Pertimbangan Mahkamah Agung pada pokoknya adalah:

“Terdakwa (investor asing) terbukti memproduksi barangnya memiliki persamaan dengan produk milik pengusaha Indonesia walaupun produksi milik Terdakwa tidak diberi merek. Akan tetapi sesampainya di Eropa produk tersebut diberi merek yang sama dengan merek yang terdaftar di Indonesia oleh pengusaha Indonesia tersebut. Terlepas apakah Terdakwa menjual produk tersebut di dalam negeri ataupun di luar negeri, karena yang terpenting produk tersebut dibuat di Indonesia padahal produk tersebut telah memiliki merek yang sudah terdaftar di Indonesia.”

Sungguh putusan tersebut menarik perhatian Penulis karena sepertinya Majelis Hakim melupakan prinsip locus delictijuga prinsip teritori/yurisdiksi/ keberlakuan hukum pidana yang menjadi prinsip mutlak, dan itu diputus oleh Majelis Hakim di Mahkamah Agung yang merupakan puncaknya peradilan. Ternyata setelah putusan Mahkamah Agung tersebut disampaikan ke pengadilan pengaju, dengan pengertian putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, artinya, sekalipun Terdakwa mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) yang menurut ketentuan, PK tidak menangguhkan eksekusi,

Page 323: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 315 |

konsekuensinya Terdakwa harus menjalani hukumannya dulu sambil menunggu diputusnya perkara PK-nya.

Tidak kalah menariknya, upaya hukum PK hanya bisa diajukan langsung oleh Terdakwa (sekalipun telah memberikan kuasa ke Penasihat Hukum), berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA)Nomor 1 Tahun 2012, yang menurut hukum acaranya Terdakwa sendiri yang harus mengajukan permohonan PK, kemudian dibuka persidangan yang dihadiri oleh Jaksa Penuntut Umum. Pertanyaannya, begitu Terdakwa hadir kepersidangan apa ada jaminan Terdakwa tidak dieksekusi oleh Jaksa Penuntut Umum dan langsung masuk penjara?

Kalau di atas merupakan problem mengenai prinsip-prinsip hukum formil, ternyata di dalam hukum materilnya pun tidak kalah persoalannya. Merek yang katanya digunakan Terdakwa, dan adanya sangkaanTerdakwa telah memalsukan merek milik pengusaha Indonesia ternyata merek tersebut adalah milik Terdakwa sendiri yang dimohonkan ke Direktorat JenderalHKI (sekarang Direktorat Jenderal KI) pada tahun 2008 dan baru dikabulkan pada tahun 2015. Itupun baru diketahui oleh Terdakwa pada akhir tahun 2016. Sehingga dengan demikian kalaulah Terdakwa harus menjalani hukuman, maka Terdakwa telah dihukum karena menggunakan mereknya sendiri.Pertanyaan yang menarik adalah bagaimana proses penyidikannya sehingga tidak diketahui merek tersebut milik Terdakwa?a. Di dalam Undang-Undang Hak CiptaPasal 65 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 berbunyi:

Pencatatan Ciptaan tidak dapat dilakukan terhadap seni lukis yang berupa logo atau tanda pembeda yang digunakan sebagai merek dalam perdagangan barang/jasa atau digunakan sebagai lambang organisasi, badan usaha, atau badan hukum.

Penjelasan: Cukup jelas. Menurut Penulis ketentuan ini tidak logis apabila mencoba

menerapkan ketentuan tersebutpada peristiwa hukum konkret. Misalnya seseorang telah melukis sebuah logo, kemudian oleh pihak lain didaftarkan menjadi merek dagang untuk barang atau

Page 324: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 316 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

jasa oleh pihak lain, apakah pelukis tersebut menjadi kehilangan hak untuk mencatatkan karya ciptanya begitu saja? Padahal menurut ketentuan, lukisan (ciptaan) itu merupakan hak eksklusif dari Penciptanya, dengan kata lain deklaratif (tidak ada keharusan untuk mecatatkan). Begitu juga mengenai hak moral si Pencipta yang oleh undang-undang dikatakan melekat secara abadi pada diri Pencipta (lihat Bab II, Bagian kedua Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014). Dengan demikian menurut Penulis ketentuan yang menyatakan “Pencatatan Ciptaan tidak dapat dilakukan.............. dan seterusnya.” Merupakan ketentuan yang bertentangan dengan tujuan melindungi hak cipta dari Pencipta.b. Di dalam Undang-Undang Paten

Menarik bunyi ketentuan Pasal 154 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten yang berbunyi:

Dalam hal terjadi tuntutan pidana terhadap pelanggaran Paten atau Paten sederhana para pihak harus terlebih dahulu menyelesaikan melalui jalur mediasi.

Penjelasan: Cukup jelas. Adanya pengaturan tentang keharusan menyelesaikan melalui

jalur mediasi sebelum menempuh upaya hukum tuntutan pidana (terhadap kasus pelanggaran Paten atau Paten Sederhana) merupakan ketentuan yang sungguh menarik perhatian buat Penulis. Tidak ada penjelasan yang argumentatif dan apa latar belakang Pasal 154 itu mengatur demikian?

Penulis belum menemukan latar belakang lahirnya ketentuan sebagaimana bunyi pasal di atas (objective intend/ratio legis). Hanya saja, menurut Penulis ketentuan ini cukup strategis dimasukkan ke dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten ini mengingat cara penyelesaian sengketa tentang Paten itu cukup rumit dan memakan waktu, sementara Paten diberikan dengan waktu yang limitatif. Sayangnya ketentuan ini baru diperkenalkan di dalam Undang-Undang Paten,yang seyogianya bisa juga diterapkan untuk penyelesaian sengketa HKI lainnya. Argumentasinya menurut Penulis disebabkan karena

Page 325: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 317 |

semua pemberian HKI (kecuali Rahasia Dagang) diberikan denganperlindungan limitatif. Pertanyaan kritis yang perlu dijawab, siapa yang dapat bertindak sebagai mediator untuk hal tersebut?

Hal yang tidak kalah strategisnya menurut Penulis, selain upaya tersebut dapat mempersingkat penyelesaian sengketa HKI, juga dapat memberikan lapangan kerja baru yaitu menghadirkan “mediator” yang merupakan pihak yang turut membantu menyelesaikan sengketa HKI. Dapat dibayangkan upaya penyelesaian sengketa HKI selama ini hanya dapat dilakukan melalui pengadilan, dalam hal ini Pengadilan Niaga yang di Indonesia baru ada 5 (lima), yaitu di Jakarta (Pengadilan Negeri Jakarta Pusat); Semarang; Surabaya; Medan dan di Makassar. Sementara diketahui Indonesia pada masa kini sedang mengalami kekurangan Hakim yang pada waktu makalah ini disusun, diperoleh informasi Indonesia kekurangan Hakim sebanyak + 4000 orang dan pada tahun ini Presiden Joko Widodo menyetujui untuk mengisi kekosongan tersebut +1800 (kurang lebih seribu delapan ratus) orang yang sedang dipersiapkan peraturan perekrutannya.358 Sehingga diharapkan kehadiran mediator di dalam proses penyelesaian sengketa HKI dapat membantu para pencari keadilan di bidang HKI dengan waktu tempuh yang relatif singkat.Untuk ini Penulis berpendapat mengapa mediator tersebut tidak diisi oleh para expert yang bisa dihadirkan dari para akademisi setelah melalui pendidikan dan latihan untuk menjadi mediator yang bersertifikat yang diakui oleh Mahkamah Agung di Indonesia.

ASPEK PEMAHAMAN MASYARAKAT

Tidak jarang Penulis menemukan komentar-komentar pemerhati HKI di Indonesia termasuk akademisi, bahkan Guru Besar, diantaranya, HKI merupakan produk kapitalis, individualis, begitu juga produk-produk putusan pengadilan yang dikomentari dengan sinis. Hal tersebut menurut Penulis diakibatkan kesadaran masyarakat di dalam memahami HKI itu sendiri, termasuk penegak hukumnya.

358Lihat https://beritagar.id/artikel/berita/menutupi-kekurangan-jumlah-hakim-di-indonesia, dibaca tanggal 23 Juni 2017, pukul 11.00

Page 326: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 318 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

Harus diakui pada waktu membicarakan HKI maka sesungguhnya sedang membicarakan hak ekonomi dan memang benar juga HKI yang seperti dikatakan oleh John Lockesebagai reaksi dari dan alasan kuat untuk melakukan perlawanan aktif terhadap raja yang tak lagi memiliki otoritas yang diakui, juga karena para penguasa saat itu bisa dengan mudah mengambil apa saja yang dimiliki orang biasa, merampas yang dianggap berharga, atas dasar kekuasaan yang mereka miliki. Bandingkan dengan filosofi bangsa Indonesia yang dengan mudah dapatdilihat pada Pancasila yang diejawantahkan di dalam Pasal 33 UUD 1945 yang berbunyi “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.”

Dalam suatu kesempatan Penulis diundang oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk memberikan pemahaman kepada komunitas masyarakat hukum adat yang keberadaannya diakui oleh Undang-UndangDasar 1945 (Kesatuan Masyarakat Hukum Adat, Pasal 18B). Di situ Penulis menyampaikan pemahaman tentang HKI dengan harapan kesatuan masyarakat hukum adat dapat melihat adanya fenomena HKI untuk kemudian diberdayakan melalui hak-hak yang ada padanya untuk mengambil manfaat ekonomi yang terkandung didalamnya. Hasilnya, sungguh mengejutkan, Mereka juga menganggap fenomena HKI tersebut adalah kapitalis. Pada kesempatan lain, Penulis yang juga konsultan hukum dari suatu perusahaan garmen (lokal) yang cukup punya nama menghadapi pertanyaan apa yang harus dilakukan apabila merek produk perusahaannya dipalsukan, tentu saja saran Penulis adalah buat laporan pengaduan ke Kepolisian. Reaksi yang penulis dapatkan adalah “wasting time”juga “wasting money” dilanjutkan oleh pimpinan marketingnya “...........biarkan saja, bukankah itu promosi gratisan...........” Penulis menyadari, dari beberapa contoh permasalahan di atas tidak dapat digeneralisir, akan tetapi, sebaliknya, dari beberapa contoh di atas dapat memberikan gambaran mengenai fenomena HKI di masyarakat (Indonesia) dari sekelumit persoalan yang ditemukan dan dapat diangkat ke dalam makalah ini yang tentu saja tidak mungkin Penulis angkat semuanya mengingat keterbatasan ruangan penulisan.

Page 327: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 319 |

SiMPULAN

Dari fakta-fakta empirik yang ditemukan Penulis, baik perundang-undangan maupun dari penerapan hukumnya ternyata memang benar seperti yang disinyalir oleh beberapa pihak yang berpendapat ada permasalahan di bidang HKI tersebut.Halmana menurut pemahaman Penulis timbul bukan saja dari aspek perundangan-undangan, aspek aparat dibidang KI termasuk aparat penegak hukumnya dan pemahaman masyarakatnya saja, tetapi sudah dimulai dari sejak konsep-konsep dasar, bahkan dari sejak landasan filosofisnya.

Adalah merupakan hal yang tidak pada tempatnya apabila Penulis memaksakan diri membuat kesimpulan, karena persoalan HKI tersebut tidak saja merupakan persoalan “hukum” belaka, tetapi sudah menyangkut bidang-bidang yang lain (multi disiplin). Akan tetapi, apabila Penulis dapat menarik kesimpulan sementara yang berdasarkan aspek hukum belaka, menurut Penulis penerapan HKI di Indonesia perlu diluruskan (setidaknya perlu redifinisi) mulai dari filosofisnya, yang semula kental dengan idea-idea yang individualistis, harus disesuaikan dengan kondisi bangsa Indonesia yang komunal sesuai dengan landasan negara, dalam hal ini Pancasila, baru kemudian membenahi konsep perundang-undangan yang mengaturnya termasuk pengaturan hukum acara.

Membicarakan HKI yang senyatanya merupakan bidang kajian yang tidak mungkin diselesaikan oleh satu disiplin tertentu, begitu juga tidak mungkin dilepaskan dengan kajian ekonomi (hak eksklusif ), maka dengan memperhatikan bunyi Pasal 33 UUD 1945 yang lebih menekankan kepada perekonomian disusun sebagai usaha bersama dengan berasaskan kekeluargaan, dibutuhkan peranan stake holder HKI yang multi disiplin itu untuk mengarahkan konsep HKI ke depan yang lebih sesuai dengan kondisi bangsa Indonesia, sekalipun boleh saja ada kepemilikan individual tetapi juga perlu mengedepankan kepentingan bersama (komunal) sehingga tidak terkesan insan-insan HKI ini hanyalah mahluk-mahluk yang berada diruang hampa (Homo Homini Lupus), tetapi juga mengerti dan faham akan nilai-nilai kekeluargaan, gotong royong yang diterjemahkan menjadi mahluk sosial (Zoon Politicon). Secarasederhana dapat dikatakan bahwa insan-insan HKI, termasuk pemegang hak,diharapkan dapat memahami nilai-nilai bisnis yang memang mencari keuntungan, tetapi bukanlah“keserakahan.”

Page 328: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 320 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

Upaya lain yang juga tidak kalah pentingnya, setelah landasan filosofisnya dapat disepakati, langkah penyesuaian dari sejak konsep dasar hingga regulasi juga diperlukan, baik itu hukum materilmaupun hukum formilnya perlu dilakukan.Sasaran lebih jauh dan perlu disegerakan adalah mendorong dan menggoalkan pembentukan undang-undang tentang Pengetahuan Tradisional, Ekspresi Budaya dan Sumber Daya Genetika yang selama ini rancangan undang-undangnya seperti kata pepatah “hidup segan mati tak mau” yang menurut pengamatan Penulis di situ nuansa komunalnya sangat kental guna dijadikan dasar penyeimbang dari kepentingan individual yang dituduhkan banyak pihak pada HKI selama ini.

Page 329: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 321 |

IMPLEMENtasI PENDaftaraN PatEN OBat DaN faKtOr MINIMNYa PENDaftaraN PatEN OBat

BErDasarKaN UU NO 13 taHUN 2016

Anggraeni Endah K., Aniek Tyaswati W.L Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Semarang

[email protected]: [email protected]

ABSTRACT

This paper aims to know and analyze the implementation of drug patent registration, and the lack of factors of patent registration of drugs. The regulation of drug patent registration is regulated in Law No. 14 of 2001 concerning Patents replaced by Law No. 13 of 2016 in an effort to provide protection for inventors and patent holders. Improving drug patent protection is very important for inventors and patent holders because it can motivate inventors to improve their work, both in quantity and quality in order to promote the welfare of the nation and create a healthy business climate.This research uses normative juridical approach method with primary data source is secondary data supported by primary data. Primary data is obtained directly through interviews and secondary data in the form of legal materials, both primary, secondary and tertiary which will be analyzed qualitatively through data collection, data reduction, data presentation and verification of data or conclusions.The results obtained that the convoluted procedures, the expensive cost and the lack of appreciation on the inventors are the cause of the lack of patent registration of drugs. Besides the lack of research budget and the number of researchers, there are even cultural indications that some inventors in Indonesia are not particularly concerned with the commercial and legal effects of patents.

Keywords: Implementation, registration, Patent Drug

Page 330: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 322 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

PENDAHULUAN

Pentingnya suatu perlindungan dan pengakuan kepada inventor merupakan wujud nyata bagi negara dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan kualitas hidup inventor. Sehingga dengan perlindungan dan pengakuan itu dapat meningkatkan kemampuan inventor untuk menghasilkan sesuatu (invensi) dan memicu lahirnya inventor-inventor lain. Perlindungan dan pengakuan berupa paten tersebut telah lama diimplementasikan melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten yang telah beberapa kali mengalami perubahan yang terdiri dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1997 sebagai implikasi keikutsertaan Indonesia sebagai anggota World Trade Organization (WTO). Salah satu perjanjian cakupan (covered agreement) dalam WTO yang harus dilaksanakan oleh Indonesia adalah The WTO Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs) yang mengatur tentang perlindungan terhadap hak atas kekayaan intelektual (HaKI). Salah satu ketentuan HaKI yang diatur dalam TRIPs adalah mengenai perlindungan hak paten. Bentuk harmonisasi konvensi-konvensi tersebut berujung pada revisi terhadap Undang-Undang No. 14 Tahun 2001 tentang Paten yang diubah dengan UU no 13 Tahun 2016. Salah satu sasaran utama pemberian paten adalah bidang farmasi atau obat-obatan. Namun Implementasi undang-undang tersebut masih belum dimanfaatkan untuk meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan perlindungan inovasi atau invensi berbasis paten, serta peningkatan kesejahteraan para inventor atau para pemagang Paten, apalagi menjadi penggerak pertumbuhan ekonomi nasional. Belum optimalnya pemanfaatan UUP dapat terlihat dengan jumlah permohonan Paten dalam negeri yang masih sangat tergolong rendah. Statistik permohonan paten dapat dilihat dalam tabel 1 di bawah ini :

Tabel 1. Statistik Permohonan Hak Paten

Tahun Pct Non Pct Dalam Negeri

Luar Negeri

JumlahDalam Negeri

Luar Negeri

Dalam Negeri

Luar Negeri

1999 1 4628 749 23872 782 465 30497

2001 4 2901 208 813 197 24 4147

2002 6 2976 228 633 157 48 4048

Page 331: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 323 |

2003 - 2620 201 479 163 29 3492

2004 1 2989 226 452 177 32 38772005 1 3536 234 533 163 32 4498

2006 6 3805 282 519 242 26 48802007 5 4357 279 493 209 34 53772008 12 4278 375 469 214 34 53822009 2 3761 413 342 247 38 48032010 11 4596 497 401 251 38 57942011 8 4839 533 458 236 56 61302012 10 5471 601 680 219 51 7032jumlah 67 10350 4826 30144 3257 907 48580

(Sumber: Laporan Statistik Paten, 2013)

Sementara itu pada tahun 2013 ada permohonan paten sebesar 7.450 jika dibandingkan dengan negara lain seperti Tiongkok 825.136 permohonan paten dan Singapura 9.722 permohonan paten. Rendahnya permohonan paten tersebut mengindikasikan inovasi dan riset di dalam negeri yang berorientasi komersial sangat kurang, sehingga sedikit sekali hasil temuan teknologi yang bisa dipatenkan baik di dalam maupun luar negeri, demikian pula dengan paten obat. berdasarkan hal tersebut diatas maka permasalahan dalam tulisan ini adalah ;

a. Bagaimanakah prosedur untuk mendapatkan hak paten atas penemuan obat menurut UU No 13 Tahun 2016 ?

b. Faktor-faktor apasajakah yang menjadi penyebab minimnya pendaftaran paten obat di Indonesia ?

Metode Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif, yaitu penelitian hukum yang meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma. Sistem norma yang dimaksud adalah mengenai asas-asas, norma, kaidah dari peraturan perundang-undangan serta doktrin. Dalam penelitian ini dipergunakan metode pendekatan yuridis, dengan meneliti kaidah atau aturan hukum sebagai suatu bangunan sistem yang terkait dengan suatu peristiwa hukum.359 Jenis data yang digunakan dalam

359Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif &

Page 332: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 324 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

penelitian ini adalah Data Sekunder yang terdiri dari Bahan Hukum Primer, Bahan Hukum Sekunder, dan bahan Hukum Tertier yang diperoleh dari buku-buku, literatur, makalah, peraturan perundang-undangan dan sumber data lain. Pengumpulan data sekunder dilakukan menggunakan metode pendekatan literatur, yaitu suatu penelitian kepustakaan dengan menggunakan bahan-bahan pustaka hukum yang mendukung dalam penelitian ini. Pengumpulan bahan-bahan hukum dilakukan dengan cara penelusuran, pengumpulan, dan studi dokumen secara konvensional seperti membaca, melihat mendengarkan, maupun dengan teknologi informasi (media internet). Data sekunder yang berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier yang telah dikumpulkan dan diolah akan dianalisis dengan metode normatif yang kemudian akan disajikan secara deskriptif. Analisis data dalam penelitian ini dipergunakan analisis kualitatif.

ANALiSiS DAN PEMBAHASAN

Pengertian Paten

Pengertian hak paten bisa dilihat didalam Undang-Undang, lebih tepatnya Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten pengganti UU no 14 tahun 2001. Undang-Undang telah menyebutkan bahwa pengertian Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi untuk jangka waktu tertentu melaksanakan sendiri invensi tersebut atau memberikan persetujuan kepada pihak lain untuk melaksanakannya.

Berdasarkan pengertian tersebut, maka unsur unsur dari suatu paten, yaitu:a.. Paten adalah hak eksklusif, yang berarti bahwa paten sebagai hak kebendaan yang sifatnya tidak berwujud (intangible assets) merupakan hak yang dimonopoli atau khusus. Monopoli di sini berarti tidak semua orang dapat mempergunakan atau melaksanakan invensi tersebut tanpa adanya izin dari pemegang paten. Adapun perbuatan-perbuatan yang merupakan hak eksklusif dari pemegang paten adalah produksi (manufacturing), penggunaan (using), penjualan (selling) dan perbuatan yang berkaitan dengan penjualan barang tersebut, seperti

Empiris, Cetakan I, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal. 36

Page 333: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 325 |

mengimpor dan menyimpan (stocking).360 b.. Paten diberikan oleh negara kepada inventor. Artinya, untuk mendapatkan paten, seorang inventor diwajibkan untuk mengajukan pendaftaran paten. Jika hal ini telah dipenuhi, baik dari sisi substantif maupun administratif, maka inventor akan diberikan hak eksklusif tersebut oleh negara. Selain itu, paten diberikan untuk invensi di bidang teknologi. Oleh karena itu, pemberian paten hanya dikhususkan pada bidang teknologi dan bukan untuk bidang di luar teknologi. Teknologi yang dimaksud di sini pada dasarnya berupa ide (immateriil) yang diterapkan dalam proses industri.361 Dalam hal ini, paten diberikan terhadap karya atau invensi di bidang teknologi, yang setelah diolah dapat menghasilkan suatu produk maupun hanya merupakan suatu proses saja, yang apabila didayagunakan akan mendatangkan manfaat secara ekonomis. Terkait dengan hal inilah maka paten mendapatkan perlindungan hukum, namun perlindungan hukum tersebut tidak diberikan secara otomatis melainkan harus ada permohonan terlebih dahulu. Ciri khas yang dapat dipatenkan adalah kandungan pengetahuan yang sistematis, yang dapat dikomunikasikan, yang dapat diterapkan untuk menyelesaikan masalah atau kebutuhan manusia yang timbul dalam industri, pertanian atau perdagangan. Pengertian teknologi dalam paten adalah pengetahuan yang sistematis, terorganisasi dan dapat memberikan penyelesaian masalah. Kemudian, pengetahuan itu harus ada di suatu tempat, dalam bentuk tulisan atau dalam pikiran orang dan harus diungkapkan atau dapat diungkapkan sehingga dapat dikomunikasikan dari orang yang satu ke orang yang lainnya. Selain itu, pengetahuan tersebut harus terarah pada suatu hasil, yakni memberikan manfaat pada industri, pertanian atau perdagangan.362 Pengetahuan yang dimaksud juga tidak hanya menghasilkan suatu produk belaka, tetapi bisa saja berupa proses yang berkaitan dengan teknologi; c. Paten memberikan jangka waktu tertentu untuk melaksanakan invensi tersebut atau untuk memberikan persetujuan kepada pihak lain untuk melaksanakan invensi. Hal ini mengandung arti bahwa inventor yang

360Djumhana, Muhammad dan Djubaedillah.2003. Hak Milik Intelektual: Sejarah, Teori dan Praktiknya di Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti , hlm 116..

361OK.Saidin, 1995, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, hlm. 139-140.

362M. Mochtar, “Peranan Paten untuk Pembangunan Industri”, (Makalah disampaikan dalam seminar sehari Peranan Paten dan Merek dalam Meningkatkan Motivasi Teknologi dan Pertumbuhan Ekonomi di Serpong), hml. 5.

Page 334: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 326 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

mendapatkan paten dikenakan suatu kewajiban untuk melaksanakan sendiri invensinya atau dapat juga memberikan izin pada pihak lain yang ingin melaksanakan invensinya.

Pengertian paten yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tersebut sejalan pula dengan pengertian paten yang diberikan oleh World Intellectual Property Organization (untuk selanjutnya disebut sebagai WIPO) sebagai badan internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa, yaitu: “A patent is a legally enforceable right granted by virtue of a law to a person to exclude, for a limited time, others from certain acts in relation to describe new invention, the privilege is granted by a government authority as a matter of right to the person who is entitled to apply for it and who fulfils the prescribed condition.”363

Selanjutnya, WIPO mengemukakan penjelasan lebih lanjut mengenai paten, yaitu: “A patent is a document, issued, upon application, by government office (or a regional office acting for several countries), which describes an invention and creates a legal situation in which the patented invention can normally only be exploited (manufactured, used, sold, imported) with the authorization of the owner of the patent.”364

Adapun mengenai jenis-jenis paten, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 telah menentukan dua jenis paten, yaitu paten biasa dan paten sederhana365. Paten biasa adalah paten yang melalui penelitian atau pengembangan yang mendalam dengan lebih dari satu klaim. Sementara itu, paten sederhana adalah paten yang tidak membutuhkan penelitian atau pengembangan yang mendalam dan hanya memuat satu klaim. Secara tersirat, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 juga mengenalkan jenis-jenis paten yang lain, yaitu paten proses dan paten produk. Maksud dari paten proses adalah paten yang diberikan terhadap proses, sedangkan paten produk adalah paten yang diberikan terhadap produk. Apabila dikaitkan dengan bidang farmasi, maka terdapat beberapa jenis paten bagi perusahaan farmasi, yaitu paten produk, paten komposisi dan paten proses.

363World Intellectual Property Organization, Agreement between the World Intellectual Property Organization and the WTO (1995) and TRIP’s Agreement (1994), (Geneva: WIPO, 1997).

364World Intellectual Property Organization,2000, World Intellectual Property Organization: Intellectual Property Reading Material , Geneva: WIPO Publication No. 476 (E), hlm. 13.

365Lihat pada pasal 2 UU No 13 Tahun 2016

Page 335: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 327 |

Paten produk merujuk pada struktur kimia yang mendefinisikan suatu senyawa kimia dan inilah yang biasanya merupakan produk akhir yang dikonsumsi oleh konsumen. Di dalam farmasi, paten produk merupakan paten yang paling diinginkan karena memberikan perlindungan, dengan tidak memperhatikan metode yang digunakan untuk memproduksi senyawa atau penggunaan yang dimaksudkan dari senyawa tersebut. Paten produk dapat dikatakan sama dengan paten komposisi, karena memberikan perlindungan terhadap formulasi atau campuran kimia. Satu perbedaan antara kedua jenis paten tersebut adalah bahwa manufaktur dari bahan-bahan tidak memadai bagi pelanggaran paten produk, penyiapan atau penjualan untuk semua formulasi juga harus terjadi.366

Adapun paten proses merupakan perlindungan yang diberikan untuk mendapatkan hasil akhir. Dalam hal ini, paten proses melindungi dua hal, yaitu proses membuat produk dan proses menggunakan produk untuk mengobati penyakit.367

Pada tipe yang pertama, proses membuat produk dapat dipatenkan di banyak negara. Namun untuk menciptakan perlindungan tipe ini dirasakan sulit, kecuali apabila proses tersebut merupakan satu-satunya proses yang layak secara ekonomi guna menciptakan produk akhir. Hal ini disebabkan karena banyak proses berbeda yang dapat digunakan dalam membuat senyawa kimia yang sama. Agar pemegang paten dapat membuktikan pelanggaran atas suatu paten proses maka pemegang paten yang bersangkutan harus menunjukkan bahwa senyawa tersebut dibuat dengan menggunakan langkah-langkah kimia yang sama persis dari proses yang dipatenkan.368 Selanjutnya, tipe kedua mengenai proses menggunakan produk untuk mengobati penyakit juga sulit diberlakukan, terutama apabila proses tersebut mengandalkan suatu senyawa yang tidak dapat dipatenkan.369

366Benny Setiawan., sebagaimana dikutip dari Gerald J. Mossinghoff, “Research-Based Pharmaceutical Companies: The Need for Improved Patent Protection Worldwide”, hlm. 307 dan 311.

367Ibid., sebagaimana dikutip dari Thomas G. Field Jr., “Pharmaceutical and Intellectual Property: Meeting the Needs Throughout the World”, IDEA, Vol. 31, (1990), hlm. 3 dan 7.

368Ibid., sebagaimana dikutip dari Gerald J. Mossinghoff, 369Ibid., sebagaimana dikutip dari Thomas G. Field Jr.,

Page 336: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 328 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

Prosedur Memperoleh Hak Paten obat Menurut UU No 13 Tahun 2016

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 menentukan beberapa persyaratan bagi suatu invensi yang dapat diberikan paten, sebab tidak semua invensi dapat dipatenkan (patentability) atau mencakup ruang lingkup paten.370 Persyaratan tersebut adalah sebagai berikut:

a. Kebaruan merupakan ciri mutlak suatu invensi. Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016

mengatur bahwa, suatu invensi dianggap baru jika pada tanggal penerimaan, invensi tersebut tidak sama dengan teknologi yang telah diungkapkan sebelumnya. Oleh karena itu suatu invensi apabila pada saat dimohonkan patennya ternyata invensi tersebut telah diungkapkan sebelumnya, maka invensi tersebut bukan lagi suatu invensi yang dianggap baru sehingga dengan sendirinya tidak dapat dipatenkan berhubung tidak memenuhi persyaratan sebagai suatu invensi yang baru. Terkait dengan teknologi yang diungkap sebelumnya (state of the art/prior art), maka berdasarkan Pasal 5 ayat (2) dapat didefinisikan sebagai .teknologi yang telah diumumkan di Indonesia atau di luar Indonesia dalam suatu tulisan, uraian lisan atau melalui peragaan, penggunaan atau dengan cara lain yang memungkinkan seorang ahli untuk melaksanakan invensi tersebut sebelum tanggal penerimaan atau tanggal prioritas dalam hal permohonan diajukan dengan hak prioritas. Berdasarkan pasal ini, dapat diketahui bahwa sistem kebaruan yang dianut Indonesia adalah sistem kebaruan yang luas (world wide novelty)371 yang besifat relatif. Hal ini dapat diartikan bahwa suatu penemuan tidak dianggap telah diumumkan apabila dalam jangka waktu paling lama enam bulan sebelum tanggal penerimaan: a). Invensi tersebut telah dipertunjukkan dalam suatu pameran internasional di Indonesia atau di luar negeri yang resmi atau diakui sebagai resmi atau dalam suatu pameran nasional Indonesia yang resmi atau diakui sebagai resmi; b). Invensi tersebut telah digunakan di Indonesia oleh inventornya dalam rangka percobaan dengan tujuan penelitian dan

370Rachmadi Usman, 2003.Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual: Perlindungan dan Dimensi Hukumnya di Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, hlm. 209

371Endang Purwaningsih,2005, Perkembangan Hukum Intellectual Property Right: Kajian Hukum Terhadap Hak atas Kekayaan Intelektual dan Kajian Hukum Paten, Bogor: Ghalia Indonesia, hlm. 222.

Page 337: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 329 |

pengembangan. Invensi juga tidak dianggap telah diumumkan apabila dalam jangka waktu 12 bulan sebelum tanggal penerimaan, ternyata ada pihak lain yang mengumumkan dengan cara melanggar kewajiban untuk menjaga kerahasiaan invensi tersebut.

Selanjutnya, berdasarkan Pasal 5 ayat (3), teknologi yang diungkap sebelumnya dapat pula mencakup dokumen permohonan yang diajukan di Indonesia yang dipublikasikan pada atau setelah tanggal penerimaan yang pemeriksaan substantifnya sedang dilakukan, tetapi tanggal penerimaan tersebut lebih awal daripada tanggal penerimaan atau tanggal prioritas permohonan. Ketentuan ini dimaksudkan untuk memecahkan permasalahan yang muncul akibat adanya invensi yang sama yang diajukan pemohon lain dalam waktu yang tidak bersamaan (conflicting application). Apabila dikaitkan dengan bidang farmasi, maka unsur kebaruannya biasanya mencakup tiga kategori.372 Pertama, kombinasi dan persiapan dalam menyatukan dua atau lebih bahan atau senyawa aktif yang telah diketahui. Kedua, sistem baru dalam penggunaan obat, contohnya tablet dengan teknologi baru yang dapat mengatur pengeluaran obat setelah ditelan atau time release tablet. Ketiga, komposisi dari bahan-bahan aktif yang disatukan untuk menciptakan obat.

b. Mengandung langkah inventif (inventive step).Pemeriksaan untuk membuktikan apakah suatu invensi

mengandung langkah inventif atau tidak, merupakan suatu hal yang sulit dalam praktik karena pemeriksaan suatu invensi dibuat atas dasar apa yang dikenal umum dalam bidang kreasi tertentu, serta apakah menurut anggapan telah dikenal oleh para ahli di bidang invensi tersebut.373 Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016, suatu invensi mengandung langkah inventif jika invensi tersebut bagi seseorang yang mempunyai keahlian tertentu di bidang teknik merupakan hal yang tidak dapat diduga sebelumnya (nonobvious).Invensi harus merupakan hal yang nyata tampak berbeda dengan state of the art. Perbedaan tersebut merupakan unsur utama

372P.W. Grubb, Chemical Inventions in Patents for Chemicals, Pharmaceuticals and Biotechnology – Fundamentals of Global Law Practice and Strategy, (Press Oxford, 1999), hlm.215.

373Marni Emma Mustafa,2007, Prinsip-Prinsip Beracara dalam Penegakan Hukum Paten di Indonesia Dikaitkan dengan TRIPs-WTO, Bandung: Alumni, hlm. 75.

Page 338: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 330 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

bagi suatu invensi. Langkah inventif dapat diartikan sebagai suatu kemajuan daripada the state of the art.374

Dalam berbagai Undang-Undang Paten dan Patent Cooperation Treaty, istilah langkah inventif diartikan sebagai adanya perbedaan antara invensi yang diklaim dan yang telah ada sebelumnya yang tidak jelas/terduga (nonobvious). Sesuatu merupakan hal yang jelas/nyata apabila pada pandangan pertama sesuatu tersebut secara otomatis telah ada dalam pikiran pengamat. Berdasarkan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016, penilaian bahwa suatu invensi merupakan hal yang tidak dapat diduga sebelumnya baru dilakukan dengan memperhatikan keahlian yang ada pada saat permohonan diajukan atau yang telah ada pada saat diajukan permohonan pertama dalam hal permohonan itu diajukan dengan hak prioritas. Hak prioritas adalah hak pemohon untuk mengajukan permohonan yang berasal dari negara yang tergabung dalam Paris Convention for Protection of Industrial Property atau WTO Agreement untuk memperoleh pengakuan bahwa tanggal penerimaan di negara asal merupakan tanggal prioritas di negara tujuan yang juga anggota salah dari kedua perjanjian tersebut selama persetujuan tersebut dilakukan dalam kurun waktu yang telah ditentukan berdasarkan Paris Convention.375 Dalam paten di bidang farmasi, penerapan syarat mengandung langkah inventif memiliki tantangan tersendiri.376 Keputusan langkah inventif diambil dengan mengetahui secara benar tingkatan teknik di bidang invensi pada saat permohonan paten diajukan, sambil mengamati bagaimana orang yang ahli di bidangnya (orang yang mempunyai pengetahuan biasa pada bidang invensi tersebut) untuk melihat apakah orang yang ahli dalam bidang invensi tersebut bisa atau tidak membuktikan secara logis bahwa invensi yang diklaim berdasarkan invensi pembanding. Berdasarkan hal tersebut maka, apabila orang ahli di bidang invensi yang diklaim dapat membuktikan secara logis, maka langkah inventif pada invensi diklaim tersebut akan ditolak, dan sebaliknya apabila ahli di bidang invensi yang diklaim tersebut tidak bisa membuktikan secara

374M. Mochtar, loc. cit., hlm. 11-12.375Imam Sjahputra, 2007. Hak atas Kekayaan Intelektual: Suatu Pengantar, Jakarta:

Harvarindo, hlm. 95-96376Lihat Kantor Paten Jepang, “Penelitian Contoh: Perdebatan Sekitar Patentabilitas

Suatu Invensi”, (Makalah disampaikan dalam Intellectual Property Enforcement Workshop for Indonesia Officials, Jepang, 27 Januari 2005), hlm. 8-9.

Page 339: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 331 |

logis, maka langkah inventif pada invensi yang diklaim tersebut akan diterima. Pemahaman dari penerapannya memerlukan kajian lebih lanjut. Pemeriksa paten tidak hanya mempertimbangkan suatu prior art saja, tetapi juga harus mempertimbangkan seorang ahli untuk memeriksa unsur kemudahan dalam invensi yang dihubungkan dengan prior art tersebut.377 Baik bahan-bahan atau senyawa aktif ataupun yang telah menjadi produk akhir berupa obat atau vaksin harus mengandung langkah inventif di dalamnya jika ingin dipatenkan. Bahan-bahan atau senyawa aktif tersebut harus tidak diperoleh dengan mudah oleh seorang ahli di bidangnya.

a. Invensi dapat diterapkan dalam industri (industrial applicable).Pasal 8 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 menyatakan

bahwa suatu invensi dapat diterapkan dalam industri apabila invensi tersebut dapat dilaksanakan dalam industri sebagaimana yang diuraikan dalam permohonan. Adapun Penjelasan Pasal 8 menyatakan jika invensi tersebut dimaksudkan sebagai produk, produk tersebut harus mampu dibuat secara berulang-ulang (secara massal) dengan kualitas yang sama, sedangkan jika invensi berupa proses, proses tersebut harus mampu dijalankan atau digunakan dalam praktik. Ketentuan Pasal 5 dan Penjelasannya tersebut, menampakkan bahwa suatu invensi dapat diberi paten jika invensi tersebut dapat diterapkan atau digunakan dalam praktik, atau dengan kata lain invensi tersebut dapat didayagunakan secara berulang-ulang atau praktis dalam skala ekonomis bagi dunia industri dan perdagangan. Oleh karena itu jika invensinya bersifat murni teoritis, tentu tidak dapat diberikan paten. Jika invensi tersebut merupakan produk, produknya dapat diproduksi secara massal dengan kualitas yang sama dan jika invensi tersebut merupakan proses, prosesnya juga harus dapat dijalankan, digunakan atau dilaksanakan. Oleh karena itu, paten dapat meliputi paten produk (product patent) dan paten proses (process patent). Pengertian produk di sini mencakup alat, mesin, komposisi, formula, product by process, sistem, dan lainnya, sedangkan pengertian proses mencakup proses, metode atau penggunaan. Selanjutnya, pengertian industri dalam industrial applicable di sini diartikan secara luas, tidak hanya pada industri dan perdagangan tertentu saja, tetapi juga pada industri pertanian dan

377Carlos Correa,2006, Guidelines for the Examination of Pharmaceutical Patents: Developing a Public Health Perspective, ICTSD, hlm. 4.

Page 340: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 332 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

industri yang menghasilkan bahan baku dan semua produk-produk buatan atau alami. Hal ini telah ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (1) Paris Convention, yaitu “industrial property shall be understood in the broadest sense and shall apply not only to industry and commerce proper, but likewise to agricultural and extractive industries and to all manufactured or natural products.”

Ketiga syarat di atas bersifat substantif dan harus dipenuhi oleh para inventor di Indonesia maupun di luar negeri apabila menghendaki invensi mereka dalam bidang teknologi dapat dipatenkan. Terkait dengan ketiga syarat tersebut, maka syarat yang dinilai cukup berat bagi inventor dalam memenuhi syarat invensi yang dapat dipatenkan biasanya terletak pada syarat ketiga, yaitu suatu invensi dapat diterapkan dalam industri.378 Selain ada unsur kebaruan, mengandung langkah inventif dan dapat diterapkan dalam industri, terdapat beberapa syarat lainnya yang harus dipenuhi agar suatu invensi dapat dipatenkan. Dalam hal ini, invensi harus termasuk dalam salah satu dari yang disebutkan berikut ini:379

a) Proses, merupakan sebuah tindakan atau serangkaian tindakan yang dilakukan terhadap suatu bahan untuk diubah dan ditambah atau dikurangi menjadi benda lain. Misalnya, perlindungan paten dapat diberikan pada proses baru atau proses yang dikembangkan untuk memproduksi yang telah ada.

b) Mesin, yaitu suatu alat yang mempunyai suku cadang yang relatif bisa digerakkan dan yang bisa melaksanakan fungsi baru dan berguna untuk operasi.

c) Benda-benda produksi, yaitu benda-benda nyata selain mesin atau komposisi bahan yang dibuat oleh manusia dan sifatnya tidak sama.

d) Komposisi benda, yang mencakup kombinasi fisik atau kimia dari dua bahan atau lebih untuk memproduksi campuran atau senyawa. Memungkinkan untuk mendapatkan perlindungan atas larutan, benda padat atau gas. Bahan-bahan kimia baru, plastik atau campuran obat termasuk dalam kategori ini.

378Budi Agus Riswandi,2005, Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya Hukum, ( Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, hlm. 127.

379Endang Purwaningsih, op. cit., hal. 182.

Page 341: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 333 |

Selanjutnya, berdasarkan Pasal 56 Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1991 tentang Tata Cara Permintaan Paten, penentuan apakah suatu invensi yang dimintakan paten dapat atau tidak dapat diberikan paten dilakukan dengan mempertimbangkan enam faktor, yaitu:1). Kebaruan invensi;2). Langkah inventif yang terkandung dalam invensi;3). Dapat atau tidaknya invensi diterapkan atau digunakan dalam industri;4). Invensi yang bersangkutan tidak termasuk dalam kelompok invensi yang tidak dapat diberikan paten;5). Inventor atau orang yang menerima lebih lanjut hak inventor berhak atas paten bagi invensi tersebut; 6). Invensi tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum dan kesusilaan.

Apabila suatu invensi dapat dipatenkan, maka selanjutnya invensi dapat didaftarkan ke Kantor Direktorat Jenderal HKI. Konsep pendaftaran ini adalah sesuai dengan prinsip yang dianut dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016, yang berdasarkan pada prinsip “first to file”. Berdasarkan prinsip ini, maka pendaftar pertamalah yang akan mendapatkan perlindungan paten. Adapun kebalikan dari prinsip “first to file” adalah prinsip “first to invent”, yakni inventor yang pertama kali melakukan invensi akan dilindungi oleh hukum paten. Konsep inilah yang diterapkan oleh Amerika Serikat380.

Dalam proses pendaftaran, apabila syarat substantif dan syarat administratif telah dipenuhi, maka pihak yang mengajukan permohonan paten akan mendapatkan sertifikat paten sebagai bukti kepemilikan atas hak. Dengan dicatat dan diumumkannya suatu invensi dalam Daftar Umum Paten dan Berita Resmi Paten, pemegang paten mempunyai kewajiban sebagaimana yang telah disebutkan dalam Pasal 20 dan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016. Pasal 20 mengatur tentang kewajiban pemegang paten untuk membuat produk atau menggunakan proses yang diberi paten di Indonesia. Kewajiban ini berarti bahwa setiap pemegang paten diharuskan untuk melaksanakan patennya yang diberikan di Indonesia melalui pembuatan produk atau menggunakan proses yang dipatenkan tersebut, dengan harapan dapat menunjang adanya

380Menurut laporan ICC, prinsip paten di Amerika Serikat terus didorong ke arah First to File Principle, namun tampaknya masih mendapat perlawanan yang sangat kuat dari pihak yang menghendaki prinsip seperti sekarang ini. Lihat ICC, “Current and Emerging Intellectual Property Issues for Business”, A Roadmap for Business and Policy Makers, 2003, hal. 17.

Page 342: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 334 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

alih teknologi, penyerapan investasi dan penyediaan lapangan kerja. Kewajiban lainnya disebutkan dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016, bahwa pemegang paten atau penerima lisensi suatu paten diwajibkan untuk membayar biaya tahunan untuk pengelolaan kelangsungan berlakunya paten dan pencatatan lisensi. Biaya tahunan (annual fee) ini adalah biaya yang harus dibayarkan oleh pemegang paten secara teratur untuk setiap tahun.381 Istilah itu dikenal juga di beberapa negara sebagai biaya pemeliharaan (maintenance fee). Mengenai cara penghitungan pembayaran biaya tahunan paten tersebut diatur dalam Pasal 126 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016, yang menyatakan bahwa pembayaran biaya tahunan untuk pertama kali harus dilakukan paling lambat enam bulan terhitung sejak tanggal pemberian paten, Pembayaran biaya tahunan untuk pertama kali tersebut meliputi Paten dan Paten sederhana, biaya tahunan dibayarkan untuk tahun pertama sejak tanggal penerimaan sampai dengan tahun diberi Paten ditambah biaya tahunan satu tahun berikutnya.sedangkan untuk pembayaran tahun-tahun berikutnya, selama paten itu berlaku harus dilakukan paling lambat satu bulan sebelum tanggal yang sama dengan tanggal pemberian paten atau pencatatan lisensi yang bersangkutan. Pembayaran biaya tahunan sebagaimana dimaksud di atas dihitung sejak tahun pertama permohonan.

Kewajiban untuk membayar biaya tahunan paten ini merupakan suatu keharusan karena apabila belum dibayar sampai dengan jangka waktu yang ditentukan, Paten dinyatakan dihapus. Pemegang paten dapat melakukan penundaan pembayaran biaya tahunan dengan cara mengajukan surat permohonan untuk menggunakan mekanisme masa tenggang waktu. Surat permohonan tersebut diajukan paling lama 7 (tujuh) Hari sebelum tanggal jatuh tempo pembayaran biaya tahunan.

381Berdasarkan Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2009 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, rincian biaya tahunan pemeliharaan paten sejak tanggal penerimaan permohonan paten adalah sebagai berikut: 1. Tahun ke-1 sampai dengan tahun ke-3: biaya dasar Rp. 700.000,00, biaya tiap klaim Rp.50.000,00; 2. Tahun ke-4 sampai dengan tahun ke-5: biaya dasar Rp. 1.000.000,00, biaya tiap klaim Rp. 100.000,00; 3. Tahun ke-6 : biaya dasar Rp. 1.500.000,00, biaya tiap klaim Rp. 150.000,00; 4. Tahun ke-7 sampai dengan tahun ke-8: biaya dasar Rp. 2.000.000,00, biaya tiap klaim Rp. 200.000,00; 5. Tahun ke-9: biaya dasar Rp. 2.500.000,00, biaya tiap klaim Rp. 250.000,00; 6. Tahun ke-10: biaya dasar Rp. 3.500.000,00, biaya tiap klaim Rp. 250.000,00; 7. Tahun ke-11 sampai dengan tahun ke-20: biaya dasar Rp. 5.000.000,00, biaya tiap klaim Rp. 250.000,00.

Page 343: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 335 |

Masa tenggang waktu untuk melakukan penundaan pembayaran biaya tahunan paling lama 12 (dua belas) bulan terhitung sejak tanggal berakhirnya batas waktu pembayaran biaya tahunan dengan dikenai biaya tambahan sebesar 100% (seratus persen) dihitung dari total pembayaran biaya tahunan.

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 juga memberikan ketentuan jangka waktu dalam kepemilikan hak. Jangka waktu yang diberikan terhadap paten dibedakan antara paten biasa dan paten sederhana. Paten biasa, jangka waktu perlindungannya adalah selama 20 tahun sejak tanggal penerimaan dan tidak dapat diperpanjang lagi.Tanggal mulai dan berakhirnya jangka waktu paten dicatat dan diumumkan melalui media elektronik dan/atau media non-elektronik, ini berbeda dengan peraturan yang lama. Maksud dari “dicatat” adalah dicatat dalam daftar umum Paten. Sedangkan Yang dimaksud dengan “media elektronik” adalah media yang menggunakan elektronik atau energi elektro mekanis untuk mengakses kontennya, misalnya situs internet. Sementara itu dimaksud dengan “media non-elektronik” berupa penempatan dalam berita resmi Paten yang diterbitkan secara berkala pada penempatan media khusus sehingga masyarakat dengan mudah serta jelas dapat melihatnya. Kemudian, untuk paten sederhana, jangka waktu perlindungannya adalah selama 10 tahun sejak tanggal penerimaan dan tidak dapat diperpanjang lagi. Hal itu disebabkan karena dalam paten sederhana secara umum produk atau alat yang dilindungi, diperoleh dalam waktu yang relatif singkat dan dengan cara yang sederhana berbiaya relatif murah, dan secara teknologi juga bersifat sederhana sehingga dinilai cukup apabila diberikan jangka waktu pelindungan selama 10 (sepuluh) tahun untuk memperoleh manfaat ekonomi yang wajar.

Terkait dengan jangka waktu pemberian paten sebagai perbandingan dengan negara lain yaitu bahwa di Filipina, paten untuk penemuan baru diberikan jangka waktu 17 tahun terhitung dari tanggal penerimaan permintaan paten. Paten untuk utility models diberikan untuk jangka waktu lima tahun terhitung dari tanggal pemberian tersebut. Sementara itu, di Thailand, jangka waktu perlindungan paten adalah 15 tahun sejak tanggal dipenuhinya syarat-syarat permohonan paten. Adapun di Malaysia, jangka waktu perlindungan paten harus

Page 344: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 336 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

diberikan selama 15 tahun dari tanggal pemberian paten.382 Undang undang No 13 tahun 2016 yang menggantikan UU No 14 Tahun 2001 diharapkan dapat lebih mendorong masyarakat untuk mendaftarkan hasil temuannya, sehingga tidak terjadi lagi keengganan para inventor untuk mendaftarkan hasil temuannya.

Faktor-Faktor Penyebab Minimnya Pendaftaran Paten obat di indonesia

Selama ini sudah banyak perangkat hukum di bidang paten dibuat dan dibentuk untuk memberi perlindungan hukum dan mewujudkan suatu iklim yang lebih baik bagi kegiatan penemuan teknologi. Namun jumlah pendaftaran paten di Indonesia dinilai masih sangat minim oleh para pakar dan praktisi hak kekayaan intelektual (HKI). Berdasarkan temuan di tengarai terdapat beberapa faktor yang menjadi penyebab dari minimnya pendaftaran paten obat di Indonesia antara lain:

(1) Fokus penelitian pada penyakit yang diderita masyarakat di negara maju.

Fokus pengembangan penelitian obat cenderung lebih banyak ditujukan pada penyakit yang diderita oleh masyarakat di negara maju karena paten yang akan diperoleh dianggap lebih memberikan keuntungan secara ekonomi dibandingkaan dengan penelitian dan pengembangan obat untuk penyakit yang umumnya diderita masyarakat di negara berkembang, misalnya penyakit tidur atau ‘sleeping sickness’, penyakit Chagas atau leishmaniasis. Ini karena, pemegang paten tidak akan mendapat keuntungan dengan menerapkan harga mahal pada obat-obatan untuk penyakit yang diderita orang miskin di negara berkembang.

(2) Tidak adanya kepastian diterima atau ditolaknya permohonan paten

Belum adanya standar secara pasti yang digunakan untuk menilai dan menentukan apakah sebuah paten akan diberikan atau ditolak. Dalam hal ini inventor obat tidak mempunyai kewenangan untuk menentukan apakah obat tersebut akan

382Taryana Soenandar, Taryana. Perlindungan HAKI (Hak Milik Intelektual) di Negara- Negara ASEAN. Jakarta: Sinar Grafika. 2007,hlm. 111-112.

Page 345: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 337 |

diproduksi atau tidak, oleh karena setiap negara menggunakan pendekatan berbeda dan memilih definisi yang paling sesuai dengan kebutuhan negara tersebut terlebih untuk negara berkembang seperti Indonesia dimana harus menyeimbangkan kepentingan publik dan kepentingan swasta. Keputusan tentang obat apa yang akan dipatenkan pada akhirnya ditentukan oleh masing-masing negara, undang-undang paten yang sudah ada, perjanjian internasional tentang kekayaan intelektual dan perjanjian lain yang mengikat negara tersebut.

(3) Lama dan besarnya biaya yang harus dikeluarkan guna mendaftarkan paten

(4) Tanpa adanya patenpun obat sudah dapat diproduksi Apabila kompetisi memungkinkan produsen bisa membuat

dan memproduksi obat melalui versi generiknya. obat-obatan versi generik telah membawa dampak yang luar biasa dalam memberi akses terhadap obat-obatan. Obat generik tentunya secara harga lebih terjangkau namun mempunyai kasian yang sama dengan obat-obatan dengan hak paten. Kompetisi obat generik telah membantu menurunkan harga beberapa obat HIV hingga 99 persen selama satu dekade terakhir. Obat HIV generasi pertama yang tadinya seharga 10.000 dolar AS (atau sekitar Rp 100 juta) pada tahun 2000 kini hanya 100 dolar AS (sekitar Rp 1 juta). Penurunan harga yang drastis ini tentu sangat membantu meningkatkan pengobatan HIV/AIDS bagi penduduk di negara berkembang

(5) Adanya gejolak ekonomi. Apabila paten itu dijadikan indikator bagi pertumbuhan ekonomi,

maka dapat dikatakan bahwa negara dengan jumlah paten sedikit akan mengalami pertumbuhan ekonomi yang sedikit pula. Krisis ekonomi yang terjadi dan mendera Indonesia dari tahun ke tahun ditambah dengan adanya krisis kepemimpinan dan kepercayaan yang menjadikan pemerintah kehilangan fokus dalam menyusun program peningkatan daya saing bangsa untuk menuju kepada kemandirian. Gejolak moneter yang berimbas pada ekonomi riil berdampak pula pada sedikitnya permohonan paten. Hal itu disebabkan karena kelesuan ekonomi mempengaruhi investasi dalam penelitian dan pengembangan yang merupakan kegiatan

Page 346: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 338 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

awal dari kegiatan perpatenan.(6) Hasil Riset Dan Pengembangan Belum Layak Dipatenkan Inovasi, riset dan pengembangan untuk menghasilkan paten

bernilai komersial di dalam negeri masih rendah, dan terkesan kurang serius, sehingga dirasa tidak layak didaftarkan melalui WIPO. Kekurangseriusan ini dipicu karena budaya bangsa kita ini lebih cenderung sebagai konsumen daripada membuat atau mencipta. Ini bisa dilihat dalam kecenderungannya bahwa banyak ilmuwan yang tidak peduli atas hal yang berhubungan dengan proses berinovasi. Kebanyakan hanya menggunakan atau memodifikasi teknologi yang sudah ada untuk mengerjakan proyek-proyek mereka

(7) Ketidak pedulian Inventor terhadap paten. Ketidak pedulian inventor terhadap paten disebabkan karena baik

pemerintah maupun masyarakat secara luas kurang memberi penghargaan kepada sebuah hasil penemuan yang dihasilkan oleh inventor. Disamping itu secara ekonomi suatu penemuan di Indonesia selama ini belum memberi dampak bagi penemunya secara pribadi. Oleh karena itu menjadi tugas pemerintah untuk lebih memberi penghargaan kepada seorang inventor sehingga dapat menjadi pemicu bagi para ilmuwan Indonesia untuk melakukan penelitian dan riset. Paten merupakan salah satu cabang dari kekayaan intelektual yang harus diperjuangkan setiap ilmuwan.

(8) Inventor kurang paham tentang pendaftaran paten. Bisa jadi inventor Indonesia memiliki banyak produk yang layak

dipatenkan, namun mereka tidak tahu bagaimana mengajukan permohonan paten baik pendaftaran di dalam negeri maupun pendaftaran secara Internasional ke WIPO. Oleh karena itu sudah sepantasnya, apabila Dirjen HKI di Indonesia setiap tahun menyediakan fasilitas pelayanan pendaftaran gratis kepada para inventor dan memudahkan dalam urusan birokrasi. Selain itu juga guna menggali potensi dan memberikan pemahaman yang baik kepada inventor dibutuhkan sosialisasi secara terus menerus dan secara tepat agar para inventor dapat memahami tata cara pendaftaran paten baik untuk pendaftaran di dalam negeri maupun pendaftaran secara internasional.

Page 347: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 339 |

(9) orientasi riset dan pengembangan penelitian yang berbeda. Dalam dunia pendidikan, riset dan pengembangan di dalam

negeri lebih berorientasi untuk mengejar kredit poin guna kenaikan pangkat, golongan atau jabatan; sedangkan di luar negeri riset dan pengembangan penelitian sudah berbasis komersial. Apabila diibaratkan maka : riset dan pengembangan di Indonesia mengejar poin, sedangkan riset dan pengembangan penelitian di luar negeri mengejar koin. Pendidikan negara maju lebih mengutamakan riset berbasis industri. Sehingga pemerintah mereka sangat mudah memberikan dana riset bagi ilmuwan profesional, tentu saja hal ini juga termasuk tunjangan kesejahteraan agar penelitian yang dilakukan seorang peneliti lebih terfokus. Oleh karena itu diperlukan sebuah penyadaran bahwa suatu negara tanpa ditopang dengan riset yang kuat maka selamanya akan menjadi konsumen. Terkait dengan hal tersebut maka sudah saatnya merubah paradigma dunia pendidikan, riset dan pengembangan di Indonesia tidak lagi hanya berorientasi untuk mengejar kredit poin guna kenaikan pangkat, golongan atau jabatan melainkan berorientasi pada bagaimana riset dan pengembangan itu menghasilkan paten bernilai komersial.

(10)Lemahnya perhatian pemerintah dan kurangnya lembaga donor yang bersedia menyokong seorang peneliti untuk melakukan dan mengembangkan penelitian di negeri sendiri.

Pemerintah negeri ini kurang mampu membayar mahal ilmuwan untuk berkompetisi di negeri sendiri, sebagai perbandingan seorang dosen yang baru lulus doktor di Malaysia bergaji 5-10 ribu ringgit (Rp 15-30 juta) per bulan, ditambah fasilitas mobil, rumah, dan asuransi kesehatan. Sementara itu ketika para ilmuwan yang belajar di luar negeri itu pulang ke Indonesia, mereka dihadapkan pada sistem kepegawaian dan administrasi yang dinilai ribet, mereka harus menjalani prajabatan, menulis lamaran, bahkan kehilangan kesempatan riset dengan fasilitas serba lengkap. Oleh karena itu seharusnya pemerintah menyadari seorang peneliti tetap harus memenuhi kebutuhan di luar penelitiannya. Kebutuhan itu menyangkut kebutuhan finansial untuk keluarga. Seorang peneliti ketika tidak didapatkan pemenuhan kebutuhannya di Indonesia, maka saat itulah para peneliti hijrah

Page 348: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 340 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

ke negara lain yang dianggap lebih baik memberikan apresiasi kepada mereka. Di Inggris ada peneliti kita yang menjadi dosen peneliti teladan tingkat universitas, ada peneliti Indonesia yang menjadi peneliti muda terbaik di Asia Pasifik, dan banyak ilmuwan kita diluar negeri yang memperoleh penghargaan atas dedikasinya. Tentu saja tidak sedikit yang menjadi bagian dari sebuah tim yang kemudian menghasilkan karya gemilang, dan kemudian mematenkannya namun atas nama industri asing yang menaunginya itu.

SiMPULAN

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 menentukan beberapa persyaratan bagi suatu invensi yang dapat diberikan paten, sebab tidak semua invensi dapat dipatenkan (patentability) atau mencakup ruang lingkup paten.Hal yang terpenting adalah, sebuah paten pada umumnya diberikan hanya jika penemuan tersebut memenuhi tiga standar pemberian paten yaitu unsur kebaruan atau novelty, kemampuan menciptakan sesuatu yang baru atau inventiveness, dan penerapan dalam industri atau industrial application.

Jumlah pendaftaran paten di Indonesia dinilai masih sangat minim oleh para pakar dan praktisi hak kekayaan intelektual (HKI). Berdasarkan temuan di tengarai terdapat beberapa faktor yang menjadi penyebab dari minimnya pendaftaran paten obat di Indonesia antara lain karena fokus penelitian hanya ditujukan pada penyakit yang diderita masyarakat di negara maju. Juga tidak adanya kepastian diterima atau ditolaknya permohonan paten serta lama dan besarnya biaya yang harus dikeluarkan guna mendaftarkan paten, selain itu tanpa adanya patenpun obat sudah dapat diproduksi. Disamping itu hasil riset dan pengembangan belum layak dipatenkan. Ketidak pedulian Inventor terhadap paten, dan lemahnya perhatian pemerintah dan kurangnya lembaga donor yang bersedia menyokong seorang peneliti untuk melakukan dan mengembangkan penelitian di negeri sendiri.

Page 349: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 341 |

DAFTAR PUSTAKA

Adisumarto, Harsono. Hak Milik Intelektual, Khususnya Paten dan Merek Hak Milik Perindustrian (Industrial Property). Jakarta: CV Akademika Pressindo. 1990.

Budi Agus Riswandi. Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya Hukum. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2005.

Carlos Correa, Guidelines for the Examination of Pharmaceutical Patents: Developing a Public Health Perspective, ICTSD,2006.

Djumhana, Muhammad dan Djubaedillah. Hak Milik Intelektual: Sejarah, Teori dan Praktiknya di Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. 2003.

Djumhana, Muhammad. Perkembangan Doktrin dan Teori Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. 2006.

Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Buku Saku Millenium Development Goals (MDGs): Goals 4, 6 dan 7 Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 2010.

Endang Purwaningsih, Perkembangan Hukum Intellectual Property Right: Kajian Hukum Terhadap Hak atas Kekayaan Intelektual dan Kajian Hukum Paten. Bogor: Ghalia Indonesia. 2005.

Hanim, Lutfiyah dan Hira Jhamtani. Membuka Akses Pada Obat Melalui Pelaksanaan Paten oleh Pemerintah Indonesia. Jakarta: Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia dan Third World Network bekerjasama dengan INSISTPress. 2010.

Ita Gambiro, Hukum Paten. Jakarta: CV Sebelas Printing.

Insan Budi Maulana. Bianglala HaKI (Hak Kekayaan Intelektual). Jakarta: PT. Hecca Mitra Utama bekerjasama dengan Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 2005.

Imam Sjahputra, Hak atas Kekayaan Intelektual: Suatu Pengantar, Jakarta: Harvarindo, 2007.

M. Mochtar, “Peranan Paten untuk Pembangunan Industri”, (Makalah disampaikan dalam seminar sehari Peranan Paten dan Merek

Page 350: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 342 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

dalam Meningkatkan Motivasi Teknologi dan Pertumbuhan Ekonomi di Serpong),

Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, Cetakan I, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,2010

Marni Emma Mustafa, Prinsip-Prinsip Beracara dalam Penegakan Hukum Paten di Indonesia Dikaitkan dengan TRIPs-WTO, Bandung: Alumni, 2007

OK Saidin,Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2006.

Rachmadi Usman. Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual: Perlindungan dan Dimensi Hukumnya di Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. 2003.

Soekidjo Notoatmodjo, Ilmu Kesehatan Masyarakat: Prinsip-Prinsip Dasar. Jakarta: PT. Rineka Cipta. 1997.

Soenandar, Taryana. Perlindungan HAKI (Hak Milik Intelektual) di Negara- Negara ASEAN. Jakarta: Sinar Grafika. 2007.

Page 351: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 343 |

PErLINDUNGaN HUKUM tErHaDaP PENGatUraN PassING Off atas MErEK tErKENaL BaGI

KEsEJaHtEraaN KONsUMEN DI INDONEsIa

Doddy KridasaksanaFakultas Hukum Universitas Semarang

email: [email protected]

ABSTRACT

Success and high reputation Well-known brands in the market will certainly tend to make business actors sometimes have a bad attitude, one of them is by doing a passing off. Consequently can harm consumers who culminate in the problem of absence of prosperity, security, safety and peace to both consumers. Therefore, there needs to be legal protection.

This paper aims 1) to analyze the legal protection in Indonesia against the passing off of the Well-known under Act No. 20 of 2016 on Trademark and Geographical Indication; 2) to analyze the protection for the consumers’ welfare of passing off acts upon the well-known in Indonesia.

Legal protection in Indonesia based on RI Law No. 20 of 2016 on Brands and Geographical Indications consisting of preventive and repressive. In addition, the state should also provide protection for the welfare of consumers with the aim of accommodating all the interests that exist in order to create a legal protection so that consumers can feel prosperous, comfortable, and safe under the Law RI No. 8 of 1999 on Consumer Protection.

Key Words: Legal Protection, Passing Off, Well Known, Consumer

PENDAHULUAN

Era pasar bebas menuju tahun 2020, salah satu implementasinya adalah negara dan masyarakat Indonesia akan menjadi pasar yang terbuka bagi barang dan jasa baik karya perorangan maupun perusahaan

Page 352: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 344 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

luar negeri (asing)383. Selayaknya produk-produk ataupun karya-karya lainnya yang merupakan Hak Kekayaan Intelektual (yang selanjutnya disebut Hak Milik Intelektual) dan sudah beredar dalam pasar global membutuhkan suatu perlindungan hukum yang efektif dari segala tindak pelanggaran yang tidak sesuai dengan persetujuan TRIPs (Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs)384serta konvensi-konvensi yang telah disepakati385. Hukum memberikan perlindungan kepada manusia dalam memenuhi berbagai macam kepentingannya, dengan syarat manusia juga harus melindungi kepentingan orang lain386.

Salah satu unsur Hak Milik Intelektual yang berkaitan langsung dengan masalah perdagangan dan harus dilindungi adalah Merek387. Merek adalah cap, tanda yang menyatakan nama dan sebagainya388. Merek di Indonesia, dapat dipergunakan sebagai sarana untuk merangsang pertumbuhan industri, perdagangan yang sehat dan menguntungkan bagi semua pihak, terlebih lagi jika Merek tersebut merupakan Merek terkenal. Apabila suatu produk tidak mempunyai Merek maka tentu saja produk yang bersangkutan tidak akan dikenal oleh konsumen ataupun masyarakat389.

Kesuksesan dan tingginya reputasi Merek terkenal di pasar tentu akan cenderung membuat produsen atau pengusaha lainnya memacu produknya bersaing dengan merek terkenal tersebut, bahkan terkadang dilakukan dengan itikad tidak baik, tipu muslihat, menyesatkan atau

383Lihat artikel Purwondoko, Hadi Prasetya. Problema Perlindungan Merek Di Indonesia dalam https://prasetyohp.wordpress.com/problematika-perlindungan-merek-di-indonesia/. Diakses pada tanggal 4 Juni 2017.

384Tim Lindsey, dkk, Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, Bandung: Penerbit PT Alumni. 2002. Hlm. 23.

385Tan Tee Jim,SC. Law of Trade Marks And Passing Off In Singapore, Third Edition Volume I. Singapore: Thompson Reuters Corporation Pte. Ltd. (Trading Sweet & Maxwell).2014.Pg 20.

386Andika, Raka, Dasa Hukum Perlindungan dan Penegakkan Hukum, http://rakaraperz.blogspot.com/2014/11/dasar-hukum-perlindungan-dan-penegakan-hukum_15.htmlhttp. Diakses pada tanggal 4 Juni 2017.

387Lihat id.m.wikipedia.org/wiki/Merek. Merek atau Merek dagang adalah nama atau simbol yang diasosiasikan dengan barang/jasa dan menimbulkan arti psikologis/asosiasi. Diakses pada tanggal 4 Juni 2017.

388Suharso dan Ana Retnoningsih, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Lux, Semarnag: Penerbit Widya Karya, 2012. Hlm 319.

389Wiratmo, Dianggoro, Pembaharuan UU Merek dam Dampaknya Bagi Dunia Bisnis, Artikel Pada Jurnal Bisnis, Vol. 2 Tahun 1997, Hlm, 34

Page 353: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 345 |

melanggar etika bisnis, norma kesusilaan bahkan hukum390 dalam hal ini dilakukan dengan cara passing off (pemboncengan reputasi) yang berimbas pada konsumen yang merasa dirugikan391. Hal ini berakibat pada kerugian pihak konsumen yang berujung pada masalah ketiadaan sejahtera, keamanan, keselamatan dan ketentraman baik bagi konsumen maupun masyarakat, disamping itu terkadang timbul rasa ketakutan karena ketidakpastian hukum yang mampu melindunginya392.

Mengingat latar belakang diatas inilah yang menarik penulis untuk menelaah lebih jauh mengenai bagaimana perlindungan hukum terhadap pengaturan passing off Merek terkenal berdasarkan UU No 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis yang berlaku saat ini serta imbasnya pada kesejahteraan konsumen di Indonesia diterapkan.

RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimanakah perlindungan hukum di Indonesia terhadap tindakan passing off atas Merek terkenal berdasarkan UU No 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis disertai kasusnya ?

2. Bagaimanakah perlindungan bagi kesejahteraan konsumen terhadap tindakan passing off atas Merek terkenal di Indonesia?

PEMBAHASAN

Perlindungan Hukum di indonesia terhadap Tindakan Passing Off atas Merek Terkenal Berdasarkan UU No 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis

Perlindungan hukum terhadap Merek, termasuk Merek terkenal menjadi suatu masalah global di seluruh dunia393. Perlindungan Merek

390Djumhana, Muhammad & R.Djubaedilah . Hak Milik Kekayaan Intelektual (HaKI): Peraturan Baru Desain Industri, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, Hlm. 266.

391Pipin Syarifin, Dedah Jubaedah, Peraturan Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia, Bandung, 2004 hlm 174.

392http://semestahukum.blogspot.co.id/2017/02/perlindungan-konsumen-terhadap.html. Diakses pada tangal 4 Juni 2017.

393Rizaldi, Julius. Perlindungan Kemasan Produk Merek Terkenal Terhadap Persaingan Curang. Bandung: Penerbit PT Alumni. 2009. Hlm. v.

Page 354: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 346 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

terkenal di Indonesia saat ini didasarkan pada UU No 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, yaitu:

1) Perlindungan hukum preventif, yaitu perlindungan sebelum terjadi tindak pidana atau pelanggaran hukum terhadap merek dan merek terkenal. Ketentuan pada pasal 35 (1), Merek terdaftar mendapat pelindungan hukum untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun sejak Tanggal Penerimaan; (2) Jangka waktu pelindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang untuk jangka waktu yang sama; pasal 36, dan pasal 37. Apabila seseorang/badan hukum ingin agar mereknya mendapatkan perlindungan hukum berdasarkan hukum merek, maka merek yang bersangkutan harus terdaftar terlebih dahulu. Suatu permohonan pendaftaran merek akan diterima pendaftarannya apabila telah memenuhi persyaratan baik yang bersifat formalitas maupun substantif yang telah ditentukan UU Merek. Lebih lanjut lihat pada pasal 20, 21, 22, yang menentukan bahwa permohonan pendaftaran Merek harus ditolak, bila memiliki persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek yang sudah terkenal milik pihak lain untuk barang dan /atau sejenis, dan Merek terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa tidak sejenis yang memenuhi persyaratan tertentu394. Syarat penting yang sekaligus menjadi ciri utama suatu merek ialah adanya daya pembeda (distinctiveness) yang cukup. Merek yang dipakai haruslah sedemikian rupa sehingga mempunyai cukup kekuatan untuk membedakan barang atau jasa suatu perusahaan dengan barang atau jasa produksi perusahaan lainnya.

2) Perlindungan hukum represif, yaitu perlindungan hukum terhadap merek manakala ada tindak pidana merek atau pelanggaran hak atas merek. Perlindungan hukum yang refresif ini diberikan apabila telah terjadi pelanggaran hak merek (termasuk merek terkenal). Dalam hal ini peran lembaga peradilan dan aparat penegak hukum lainnya seperti kepolisian, penyidik pegawai negeri sipil (PPNS), dan kejaksaan sangat diperlukan. Pemilik merek terdaftar mendapat perlindungan hukum atas pelanggaran hak atas merek baik dalam wujud gugatan ganti

394http://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/lt5850fd588be8e/node/13/uu-no-20-tahun-2016-merek-dan- indikasi-geografi. Diakses pada tanggal 5 Juni 2017.

Page 355: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 347 |

rugi maupun berdasarkan tuntutan hukum pidana melalui aparat penegak hukum. Pasal 83 ayat (1) UU Merek memberikan hak kepada pemilik merek terdaftar untuk mengajukan gugatan terhadap pihak lain yang secara tanpa hak menggunakan merek barang dan atau jasa yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhan untuk barang atau jasa sejenis berupa: (a) gugatam ganti rugi, dan atau (b) penghentian semua perbuatan yang berkaitan dengan penggunaan merek tersebut, (2) Gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat pula diajukan oleh pemilik Merek terkenal berdasarkan putusan pengadilan. Gugatan tersebut menurut Pasal 83 ayat (3) harus diajukan melalui Pengadilan Niaga. Selanjutnya, menurut Pasal 84 (1) atas permintaan pemilik merek atau penerima lisensi merek terdaftar selaku penggugat dapat mengajukan perrmohonan kepada hakim untuk menghentikan kegiatan produksi, peredaran, dan/atau perdagangan barang dan/atau jasa yang menggunakan Merek tersebut secara tanpa hak. Pasal 84 (2) menentukan, dalam hal tergugat dituntut menyerahkan barang yang menggunakan Merek secara tanpa hak, hakim dapat memerintahkan penyerahan barang atau nilai barang tersebut dilaksanakan setelah putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap.

Pemilik merek selain mempunyai hak melakukan gugatan perdata juga dapat pula menyelesaikan sengketanya melalui Arbitrase atau Alternatif Penyelesaian Sengketa (pasal 93). Perlindungan hukum lainnya ialah berdasarkan ketentuan pidana UU Merek. Perlindungan hukum kepada pemilik berdasar ketentuan pidana UU Merek terdapat dalam Pasal 100 sampai dengan 103. Pasal 100 (1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak menggunakan Merek yang sama pada keseluruhannya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara palin paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); (2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak menggunakan Merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00

Page 356: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 348 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

(dua miliar rupiah); (3) Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), yang jenis barangnya mengakibatkan gangguan kesehatan, gangguan lingkungan hidup, dan/atau kematian manusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Kemudian pasal 101 (1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak menggunakan tanda yang mempunyai persamaan pada keseluruhan dengan Indikasi Geografis milik pihak lain untuk barang dan/atau produk yang sama atau sejenis dengan barang dan/atau produk yang terdaftar, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Butir (2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak menggunakan tanda yang mempunyai persamaan pada pokoknya dengan Indikasi Geografis milik pihak lain untuk barang dan/atau produk yang sama atau sejenis dengan barang dan/atau produk yang terdaftar, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Pasal 102 , (1) setiap orang yang memperdagangkan barang dan/atau jasa dan/atau produk yang diketahui atau patut diduga mengetahui bahwa barang dan/atau jasa dan/atau produk tersebut merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 dan Pasal 101 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).Adapun perlindungan hukum terhadap Merek terkenal sampai

sejauh ini mengacu pada ketentuan Pasal 6 bis Konvensi Paris dan Pasal 16 Perjanjian TRIPs. Ketentuan ini telah diadopsi oleh banyak negara dalam peraturan perundang-undangan nasionalnya khususnya di bidang Merek termasuk pula Indonesia395. Perlindungan Merek terkenal untuk barang dan /atau jasa yang tidak sejenis hanya diberlakukan baik terhadap Merek terkenal yang telah terdaftar maupun masih dalam permohonan.

395Syafrinaldi. Hak Milik Intelektual dan Globallisasi. Pekanbaru: Ulir Press. 2006. Hlm. 79.

Page 357: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 349 |

Undang-undang yang mengatur passing off secara khusus di Indonesia sampai saat ini belum ada karena Indonesia menganut sistem hukum Civil Law396, Dirjen HKI hanya menangani kasus-kasus passing off yang terindikasi terjadi pelanggaran Merek seperti; persamaan pada pokoknya atau keseluruhan (menggunakan suatu bentuk, tampilan (kemasan) atau desain atau logo Merek tertentu), seperti kasus biskuit “Oreo” (PT.Kraft Food ) vs “Rodeo”( PT.Nissin Biscuit) 397.

Berikut adalah ulasannya: pemohon Merek “Rodeo” mendaftarkan Merek “Rodeo” pada Kantor Merek hanya sebagai kata saja dengan menggunakan block letter, tetapi di pasaran merek tersebut digunakan dalam bentuk tulisan dan kemasan yang sama dan sangat mirip dengan Merek “OREO” milik orang lain untuk jenis barang yang sama. Kemasan yang menyerupai atau mirip dapat mengelabui atau menyesatkan konsumen yang tidak terlalu teliti atas produk dagang tersebut selain itu konsumen pun dapat mengira bahwa Oreo dan Rodeo berasal dari sumber yang sama, padahal keduanya memiliki kualitas yang berbeda karena berasal dari sumber yang berbeda pula398.

Berbeda dengan UU di Amerika dan Australia yang mencantumkan aspek dagang (trade dress) bahwa trade dress meliputi total image dan dapat juga termasuk di dalamnya warna kemasan, konfigurasi barang,

396Ustman, Sabian. Op.Cit. Hlm 70-71. Civil Law system karena tidak terlepas dari jajahan Belanda, tetapi karena adanya pengaruh global sistem hukum yang ada di dunia maka tidak dapat dikatakan mutlak Civil Law system. Hal ini ada pengaruh pula dari dasar-dasar lain yang mewarnai sistem hukum di Indonesia, seperti Hukum Adat,Hukum Kebiasaan dan Hukum Agama Islam.

397Lihat http://nasional.kompas.com/read/2008/09/09/20040774/passing.off.modus.baru.pelanggaran.merek. Diakses pada tanggal 5 Juni 2017.

398https://mahasiswa.me/2017/05/06/sengketa-oreo-vs-rodeo/. Diakses pada tanggal 5 Juni 2017.

Page 358: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 350 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

. bentuk, warna, suara maupun bau. Perlindungan atas pelanggaran trade dress, termasuk passing off 399adalah penting dalam dunia bisnis. Batasan definisi bagi trade dress itu merujuk pada penampilan kemasan suatu produk yang akan dijual, yaitu meliputi bentuk, ukuran dan warna kemasan, desain labelnya bahkan desain dari produk itu sendiri. Intinya definisi trade dress meliputi keseluruhan bentuk visual (visual image) yang ditampilkan oleh seorang pedagang kepada konsumennya.

Pemboncengan reputasi tersebut diatas sesuai dengan indikator yang terdapat dalam kriteria passing off, yaitu400:

1) Reputasi: yaitu apabila seorang pelaku usaha selaku penggugat memiliki reputasi bisnis yang sangat baik di mata publik atau sudah dikenal publik. Pada bagian lain dari artikel ini, penulis akan menjelaskan sedikit perbedaan reputasi di sini dengan definisi merek terkenal (well-known mark).

2) Misrepresentation (misrepresentasi): dengan terkenalnya merek yang digunakan oleh pelaku usaha tersebut, maka apabila ada pelaku usaha lain mendompleng merek yang sama, maka publik yang relevan dengan merek tersebut dapat terkecoh dan khilaf atau tertipu.

3) Kerugian: elemen kerugian jelas dapat ditimbulkan oleh Merek pemboceng terhadap reputasi yang telah dibangun oleh merek yang dibonceng.Dalam rangka meningkatkan dan menunjang iklim usaha di

Indonesia maka di dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis yang baru terdapat poin-poin penting khususnya yang berkaitan dengan passing off, yang membedakan dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, antara lain401:

1. Perluasan tipe merek, yang semula pada UU Merek yang lama

399Lihat Tan Tee Jim,SC. Law of Trade Marks And Passing Off In Singapore, Third Edition Volume II. Singapore: Thompson Reuters Corporation Pte. Ltd. (Trading Sweet & Maxwell).2014.Pg 91.Passing off memiliki prinsip dasar dari tort bahwa tidak ada orang yang berhak mewakili barangnya untuk barang orang lain.

400www.findlaw.com.au/faqs/1126/what-is-passing-off.aspx. Diakses pada tanggal 5 Juni 2017.

401http://weloje.id/news-posts/poin-penting-uu-no-20-tahun-2016-tentang-merek-dan-indikasi-geografis-dan-pengetahuan-tentang-merek-terkenal/. Diakses pada tanggal 5 Juni 2017.

Page 359: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 351 |

hanya mengatur merek konvensional dan pada UU Merek dan Indikasi Geografis yang baru dibedakan menjadi merek konvensional dan merek non tradisonal yang terdiri dari: merek tiga dimensi, merek suara, dan merek hologram;

2. Perubahan alur dalam proses pendaftaran merek, yang semula pada UU Merek lama yaitu permohonan • pemeriksaan formal •pemeriksaan subtantif • pengumuman • sertifikasi, maka pada UU Merek dan Indikasi Geografis yang baru yaitu permohonan • pemeriksaan formal • publikasi/pengumuman • pemeriksaan subtantif • sertifikasi;

3. jangka waktu proses pendaftaran merek sampai diberikan sertifikat, yang semula pada UU Merek lama selama 14 bulan 10 hari dan pada UU Merek dan Indikasi Geografis yang baru selama 9 bulan;

4. Perpanjangan pendaftaran merek, yang semula pada UU Merek lama selama 12 bulan sebelum berakhirnya jangka waktu pendaftaran merek dan pada UU Merek dan Indikasi Geografis yang baru selama 6 bulan sebelum dan 6 bulan setelah berakhirnya jangka waktu pendaftaran merek;

5. Pendaftaran Merek internasional, yang semula pada UU Merek lama tidak terdapat pengaturan tentang pendaftaran merek internasional dan pada UU Merek dan Indikasi Geografis yang baru untuk pendaftaran merek internasional berdasarkan Madrid Protokol.

6. Ketentuan Pidana (pasal 100-103), yang semula pada UU Merek lama tidak memuat ketentuan pemberatan sanksi pidana dan pada UU Merek dan Indikasi Geografis yang baru memuat ketentuan pemberatan sanksi pidana (menggangu kesehatan dan mengancam keselamatan jiwa manusia). Adanya unsur itikad tidak baik (Pasal 21 ayat 3) seharusnya tidak diklasifikasikan dalam alasan relatif dan seharusnya diklasifikasikan dalam alasan absolut dalam Pasal 20.Selanjutnya, pengaturan untuk merek terkenal di dalam Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis pada dasarnya tidak mengatur secara rinci, namun pengaturan tentang Merek terkenal dapat dilihat dalam penjelasan Pasal 21 ayat 1 huruf b, yaitu: penolakan permohonan yang mempunyai persamaan pada

Page 360: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 352 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

pokoknya atau keseluruhan dengan merek terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa yang sejenis dilakukan dengan memperhatikan pengetahuan umum masyarakat mengenai merek tersebut di bidang usaha yang bersangkutan. Di samping itu, diperhatikan pula reputasi merek tersebut yang diperoleh karena promosi yang gencar dan besar-besaran, investasi di beberapa negara di dunia yang dilakukan oleh pemiliknya, dan disertai bukti pendaftaran Merek dimaksud di beberapa negara. Jika hal tersebut belum dianggap cukup, Pengadilan Niaga dapat memerintahkan lembaga yang bersifat mandiri untuk melakukan survei guna memperoleh kesimpulan mengenai terkenal atau tidaknya Merek yang menjadi dasar penolakan.

Perlindungan Bagi Kesejahteraan Konsumen terhadap Tindakan Passing Off atas Merek Terkenal di indonesia

Sebagaimana diketahui bahwa dalam dunia usaha tujuan utama adalah untuk mencari keuntungan. Banyak sekali industri yang kurang memahami arti penting hubungan antara pengusaha, konsumen dan masyarakat akan berperilaku “profit oriented”. Artinya, berperilaku tanpa memperhatikan kepentingan pihak-pihak yang lain dan lebih mendorong konsumen untuk selalu menggunakan produk mereka402.

Pengusaha yang melihat hal itu sebagai salah satu peluang bisnis maka akan berusaha memperoleh keuntungan melalui jalan pintas yang tidak layak dengan cara membuat atau memasarkan barang atau produk dengan memalsukan, meniru, membonceng merek-merek terkenal dan bagi konsumen adalah suatu gengsi tersendiri bila menggunakan merek terkenal tersebut. Pemakaian Merek terkenal, pembajakan, pemalsuan ataupun pemboncengan reputasi Merek terkenal milik orang lain secara tidak berhak dapat menyesatkan konsumen terhadap asal-usul, dan atau kualitas barang. Pemakaian merek terkenal secara tidak sah dikualifikasi sebagai pemakaian merek yang beritikad tidak baik403.

Lemahnya posisi konsumen menyebabkan hukum perlindungan konsumen menjadi penting. Sebagai bentuk perlindungan bagi

402Prasetijo, Tistijanti, John Joi Ihalauw. Perilaku Konsumen. Jogjakarta: Andi Publisher. 2006. Hlm 88.

403Indonesia dan Pembajakan. http://anneahira.com/indonesia - dan - pembajakan – htm. Diakses 6 Juni 2017

Page 361: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 353 |

konsumen dibentuklah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen404. Dalam Pasal 1 (1) UU tersebut disebutkan bahwa perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan bagi konsumen. Kemudian butir 2, dijelaskan pula mengenai konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Butir 3 menyebutkan pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. Perlindungan konsumen sendiri bertujuan menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.

Adanya perbedaan persepsi didalam masyarakat ataupun konsumen mengenai Merek menimbulkan berbagai penafsiran, tetapi meskipun begitu berarti bahwa tindakan pelaku usaha dalam memproduksi suatu barang dengan membonceng ketenaran milik orang lain tidak bisa dibenarkan begitu saja, karena dengan membiarkan tindakan yang tidak bertanggung jawab maka secara tidak langsung menghasilkan dan membenarkan seseorang untuk menipu dan memperkaya diri secara tidak jujur. Tindakan mempergunakan Merek terkenal milik orang lain, secara keseluruhan tidak hanya merugikan pemilik atau pemegang merek itu sendiri dan juga para konsumen tetapi dampak yang lebih luas adalah merugikan perekonomian nasional dan yang lebih luas lagi juga merugikan hubungan perekonomian internasional. Hal inilah yang akan berdampak pada ketiadaan kesejahteraan, keamanan, kenyamanan dan keselamatan masyarakat ataupun konsumen karena mereka berhak mendapatkannya seperti yang tertulis dalam UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, pasal 4 butir a, b, dan c mengenai hak konsumen. Sementara

404http://cypsea18-akuntansi.blogspot.co.id/2016/04/undang-undang-perlindungan-konsumen.html. Diakses pada tanggal 6 Juni 2017.

Page 362: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 354 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

bagi pelaku usaha juga memiliki kewajiban seperti yang tertulis pada pasal 7 butir a hingga g,

SiMPULAN

1. Undang-undang yang mengatur passing off secara khusus di Indonesia sampai saat ini belum ada, hanya saja bentuk tindakan passing off dikategorikan sebagai pelanggaran Merek dengan indikator reputasi, misrepresentasi, dan kerugian. Serta penyempurnaan dalam UU No 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis dalam hal perluasan tipe Merek, perubahan alur dalam proses pendaftaran Merek, Jangka waktu proses pendaftaran Merek sampai diberikan sertifikat, perpanjangan pendaftaran Merek, pendaftaran Merek Internasional dan ketentuan pidana.

2. Negara mengatur perlindungan bagi kesejahteraan konsumen dalam UU No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan selalu disesuaikan dengan perkembangan yang terjadi di dunia perdagangan internasional yang tujuannya adalah mengakomodasikan semua kepentingan-kepentingan yang ada guna menciptakan suatu perlindungan hukum agar konsumen dapat merasa sejahtera, nyaman, dan aman.

SARAN

1. Perlu ada Undang-Undang yang secara khusus membahas mengenai passing off mengingat sistem hukum di Indonesia Civil Law Sytem sudah tidak dominan lagi karena adanya pengaruh global di dunia sehingga Indonesia sesungguhnya lebih dekat dengan Common Law System.

2. Perlu ditumbuhkan kesadaran dari pihak pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha. Begitu pula dari sisi konsumen harus ditumbuhkan rasa mencintai produk dalam negri dan bangga untuk menggunakannya.

Page 363: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 355 |

DAFTAR PUSTAKA

Bryan A Garner. 2004. Black’s Law Dictionary,Eighth Edition, St.Paul,Minn:West Publishing Co.

Djumhana.Muhammad dan R Djubaedillah. 2014. Hak Milik Intelektual Sejarah Teori dan Prakteknya di Indonesia. PT Citra Aditya. Bandung.

Djumhana, Muhammad & R.Djubaedilah . Hak Milik Kekayaan Intelektual (HaKI): Peraturan Baru Desain Industri, PT. Citra Aditya Bakti. Bandung.

Gunawati, Anne. 2015. Perlindungan Merek Terkenal Barang dan Jasa Tidak Sejenis terhadap Persaingan Usaha Tidak Sehat. Penerbit Alumni. Bandung.

Maulana, Insan Budi, 1999, Perlindungan Hukum Terhadap Merek Terkenal Asing di Indonesia dari Masa ke Masa, Citra Aditya Bakti. Bandung.

Pipin Syarifin, Dedah Jubaedah, 2004. Peraturan Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia, Bandung.

Prasetijo, Tistijanti, John Joi Ihalauw. 2006. Perilaku Konsumen. Penerbit Andi Publisher. Jogjakarta.

Rizaldi, Julius. 2009. Perlindungan Kemasan Produk Merek Terkenal Terhadap Persaingan Curang. Penerbit PT Alumni. Bandung.

Suharso dan Ana Retnoningsih, 2012. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Lux: Penerbit Widya Karya. Semarang.

Syafrinaldi. 2006. Hak Milik Intelektual dan Globallisasi. Ulir Press. Pekanbaru.

Tan Tee Jim,SC. 2014. Law of Trade Marks And Passing Off In Singapore, Third Edition Volume I. Thompson Reuters Corporation Pte. Ltd. (Trading Sweet & Maxwell). Singapore.

---------------, Vol II. Thompson Reuters Corporation Pte. Ltd. (Trading Sweet & Maxwell). Singapore.

Tim Lindsey, dkk, 2002. Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, Penerbit PT Alumni. Bandung.

Page 364: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 356 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

Ustman, Sabian. 2010. Menuju Penegakan Hukum Responsif. Pustaka Pelajar. Jogjakarta.

jurnal dan Artikel

Andika, Raka, Dasa Hukum Perlindungan dan Penegakkan Hukum, http://rakaraperz.blogspot.com/2014/11/dasar-hukum-perlindungan-dan-penegakan-hukum_15.htmlhttp.

http://anneahira.com/indonesia - dan - pembajakan – htm

www.findlaw.com.au/faqs/1126/what-is-passing-off.aspx.

http://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/lt5850fd588be8e/node/13/uu-no-20-tahun-2016-merek-dan- indikasi-geografi.

https://mahasiswa.me/2017/05/06/sengketa-oreo-vs-rodeo/

http://nasional.kompas.com/read/2008/09/09/20040774/passing.off.modus.baru.pelanggaran.merek

Wiratmo, Dianggoro, Pembaharuan UU Merek dam Dampaknya Bagi Dunia Bisnis, Artikel Pada Jurnal Bisnis, Vol. 2 Tahun 1997.

Page 365: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 357 |

MEraJUt asa: PErLINDUNGaN PENGEtaHUaN traDIsIONaL tErKaIt sUMBEr DaYa GENEtIK

KaLIMaNtaN Barat

Aktris Nuryanti Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura

email: [email protected]

ABSTRAK

Asa masyarakat adat Kalimantan Barat melindungi Pengetahuan Tradisional terkait Sumber Daya Genetik (PT-SDG) berikut hutannya demikian besar. Mereka bahkan pernah mengajukan Rancangan Peraturan Daerah Propinsi Kalimantan Barat tentang Masyarakat Adat untuk melindungi masyarakat Adat berikut hak-hak yang melekat padanya namun kandas. Padahal, kebutuhan untuk preservasi, proteksi dan promosi PT-SDG tak mungkin dipisahkan dengan masyarakat adat sebagai pembentuknya. Keduanya adalah satu kesatuan dan melindungi keduanya adalah demi kemandirian, kesejahteraan dan kemakmuran ekonomi pemegang pengetahuan dan keunggulan bisnis yang kompetitif.

Makalah ini menekankan pada pembentukan dan ragam PT-SDG, hubungan PT-SDG dengan perlindungan hutan sebagai habitat SDG, Pentingnya pelibatan masyarakat adat sebagai pengampu PT-SDG dalam pembuatan hukum, dan alternatif perlindungan melalui peraturan Desa. Sistem perlindungan PT-SDG dengan peraturan desa dimulai dari asumsi bahwa masyarakat adat lebih mengenal PT-SDG di wilayahnya. Pelibatan hukum adat akan lebih mewujudkan keadilan sosial. Dengan demikian Perdes dapat menjadi pilihan ideal karena didasarkan pada pertimbangan rasional yakni Perdes dibuat oleh dan untuk masyarakat dimana PT-SDG berada.

Kata Kunci: Perlindungan; Pengetahuan Tradisional terkait Sumber Daya Genetik; Peraturan Desa.

Page 366: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 358 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

PENGANTAR

Kemampuan suatu bangsa untuk mengubah pengetahuan tradisional terkait sumber daya genetik405 (PT-SDG) nya menjadi kekayaan untuk mendukung terwujudnya kesejahteraan sosial melalui proses perlindungan dan promosi PT-SDG akan menentukan masa depan bangsa itu sekaligus keberlanjutannya. Perlindungan, promosi dan pelestarian PT-SDG telah menjadi keharusan bagi kemandirian, pertumbuhan ekonomi dan keunggulan bisnis yang kompetitif.

Aksesibilitas PT-SDG yang mudah, membuatnya rentan terhadap penyalahgunaan. Kasus-kasus penggunaan PT-SDG masyarakat adat untuk kepentingan industri tanpa membagi keuntungan dengan pemilik PT-SDG yang terungkap, meningkatkan kesadaran banyak pihak mengenai pentingnya memberikan perlindungan terhadap PT-SDG. Kasus kasus tersebut mendorong negara-negara yang kaya dengan keanekaragaman hayati untuk merancang dan memberlakukan rezim protektif yang berbeda.406

405Menurut WIPO (World Intellectual Property Organization), PT merupakan bagian dari gaya hidup masyarakat pribumi (indigenous) yang bertindak sebagai guardian (wali/pengampu) atau custodian (penjaga atau pemelihara). PT meliputi inovasi-inovasi, praktek-praktek, keahlian dan know-how yang diturunkan dari generasi ke generasi dalam konteks tradisional atau adat. WIPO Intergovernmental Committee (IGC) on Intellectual Property and Genetic Resources, Traditional Knowledge and Folklore merekomendasikan PT-SDG sebagai ‘substantive knowledge of the properties and uses of genetic resources held by indigenous peoples or local communities and which directly leads to a claimed invention. Lihat WIPO Practical Guide, 2014, Intellectual Property and Folk, Arts and Cultural Festivals, WIPO. Hlm 23. IGC juga merekomendasikan definisi SDG sebagai ‘any genetic material of actual or potential value’ dan ‘genetic material’ sebagai material of plant, animal, microbial or other origin containing functional units of heredity. Lihat WIPO Joint Recommendation On Genetic Resources And Associated Traditional Knowledge, IGC, Twenty-Fourth Session, Geneva, April 22 to 26, 2013.

406Brazil melindungi PT-SDG nya melalui Provitional Act No.2.186-16 tertanggal 23 Agustus, 2001, India melalui the Biological Diversity Act, 2002 18, Filipina melalui the Indigenous Peoples Rights Act of 1997 (Republic Act No. 8371), dan Thailand melalui Act on Protection and Promoting of Traditional Thai Medicine Intelligence, B.E 2542. Pemerintah India bahkan membentuk Traditional Knowledge Digital Library mengenai tanaman obat tradisional serta Traditional Knowledge Resource Clasification . Yang terakhir ini telah diterima dan dikaitkan dengan sistem Klasifikasi Paten Internasional (IPC) yang akan membuka jalan untuk membangun jembatan antara pengetahuan yang terkandung dalam ribuan buku dan manuskrip kuno Sanskerta, Arab, Persia, Urdu dan Tamil dan layar komputer dari Otoritas pencarian internasional. TKRC menghilangkan masalah pemberian paten yang salah karena pemeriksa akan menyadari adanya pengetahuan yang telah ada semenjak berabad-abad yang lalu. Lihat Dipak B. Shukla , 2010, Synergy of Intellectual Property and Traditional Knowledge: Holy Grail for Protection and Sustainable Future , The Open Conference Proceedings Journal. (1): 150-156.

Page 367: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 359 |

Dinamika pengakuan kebutuhan perlindungan PT-SDG semakin kuat dan telah menjadi pembicaraan di tingkat internasional seperti UN-CBD, WIPO maupun WTO. PT-SDG diakui perannya tidak hanya dalam keberlangsungan hidup masyarakat pemiliknya tetapi juga dalam keberlangsungan hidup umat manusia secara keseluruhan.407 Beberapa alasan yang dipertimbangkan untuk melindungi kepentingan PT-SDG adalah pertimbangan keadilan, konservasi, pemeliharaan budaya dan praktek tradisi, pencegahan penyalahgunaan, ketahanan pangan, dan kepentingan pengembangan PT-SDG itu sendiri.408

Isu perlindungan PT-SDG bukanlah mengenai HKI semata, tetapi meliputi juga isu perdagangan dan hak azasi manusia.409 Di Indonesia, beberapa ketentuan hukum hak kekayaan intelektual (HKI) maupun non-HKI telah memuat ketentuan yang melindungi PT-SDG. Namun muatan ketentuan tersebut dirasakan belum cukup sehingga masih terus ada tuntutan untuk melindunginya secara Sui generis410.

Masyarakat adat di Kalimantan Barat (Kalbar) khususnya kalangan masyarakat adat dayak yang selalu berinteraksi dengan habitat SDG terutama hutan merupakan masyarakat yang tertekan akibat hutannya sebagai sumber PT-SDG dilindas kebijakan perkebunan dan pertambangan. Kebijakan perkebunan di Kalbar yang mempraktekkan tanaman monokultur telah merusak habitat SDG yang berdampak pada turunnya koleksi SDG dan pengaruh selanjutnya adalah menurunnya jumlah PT-SDG. Keprihatinan terhadap fenomena ini muncul karena

407Aktris Nuryanti, 2015, Sumber Daya Genetik Dan Pengetahuan Tradisional Terkait Sumber Daya Genetik Untuk Kemakmuran, ejurnal Undip Masalah Masalah Hukum , 44 (4): 405-4011 dapat di lihat ejournal.undip.ac.id/index.php/mmh/article/download/11449/9604

408WORLD TRADE ORGANIZATION, IP/C/W/370/Rev.1, 9 March 2006 , The Protection Of Traditional Knowledge And Folklore Summary Of Issues Raised And Points Made, Council for Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights. 9 March 2006, angka (9). Hal yang senada dapat pula dijumpai dalam Muhammad Djumbaha, 2006, Perkembangan Doktrin dan Teori Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual,Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm 17-19.

409 J. Janewa OseiTutu, 2011, “A Sui Generis Regime For Traditional Knowledge: The Cultural Divide in Intellectual Property Law”, 15 Marq. Intell. Prop. L. Rev. 147 (2011), Hlm 206

410Terminologi sui generis berasal dari bahasa latin yang berarti “bersifat khusus”. Dalam ranah hukum kekayaan intelektual, istilah ini merujuk pada bentuk khusus dari perlindungan di luar bentuk perlindungan yang telah digunakan. Munculnya tuntutan sui generis karena prinsip-prinsip tertentu dalam rezim HKI dianggap berpotensi menghambat tercapainya kesetaraan (equity-oriented) bagi komunitas tradisional itu sendiri, misalnya berlakunya prinsip individual, dan perlindungan untuk kepentingan komersialisasi.

Page 368: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 360 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

masih adanya paradigma economi centris terhadap tanah, hutan dan segala isinya.

Asa masyarakat adat demikian besar untuk melindungi hutannya sebagai habitat materi genetik. Mereka bahkan pernah berinisiatif mengajukan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Provinsi Kalimantan Barat tentang Masyarakat Adat, namun Raperda yang berguna untuk memberi penegasan tentang penghormatan, pengakuan dan perlindungan masyarakat adat terkait dengan eksistensi dan hak-haknya kandas. Padahal perjuangan untuk menghadirkan Raperda telah memakan waktu yang panjang.

Masyarakat adat sesungguhnya telah memiliki hukumnya sendiri yang disebut dengan hukum adat. Namun keberadaan hukum adat, walaupun merupakan hukum yang hidup, keberadaannya dipandang sebelah mata manakala berhadapan dengan hukum negara. Oleh sebab itu, maka peraturan desa dapat menjadi alternatif untuk melindungi hak masyarakat adat terhadap PT-SDG karena perdes memiliki dasar hukum yang kuat yaitu Undang Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Melalui perdes masyarakat adat dapat memasukkan nilai-nilai yang diyakini sebagai sebuah kebenaran, kebaikan dan kebajikan yang akan dipatuhi dalam kehidupan kesehariannya.

PEMBAHASAN

a. Deskripsi wilayah KalbarPropinsi Kalbar merupakan daerah yang dilalui garis khatulistiwa,

beriklim tropik, serta bersuhu udara dan kelembapan yang cukup tinggi. Daratan Kalbar merupakan bentangan alam dataran rendah yang dilalui oleh jalur aliran sungai baik besar maupun kecil. Struktur dasar tanah rata-rata merupakan vegetasi rawa-rawa yang diisi dengan hutan gambut dan hutan mangrove. Pegunungan-pegunungan terbentang dari bagian utara dan di sepanjang selatan yang berbatasan langsung dengan Propinsi Kalimantan Tengah. Luas wilayah Kalbar adalah 147.307,00 km2 dengan jumlah penduduk sebanyak 4.935.048 jiwa. Provinsi ini dihuni oleh beragam suku seperti suku Dayak, Melayu, Tionghoa, Jawa, Madura dan Bugis dan lain lain.411

411Kalimantan Barat Dalam Angka, 2014.

Page 369: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 361 |

Suku Dayak umumnya bermukim di tepian hutan dan suku Melayu umumnya bermukim di pantai. Keduanya diakui sebagai suku asli sedangkan yang lainnya adalah pendatang.

b. Pembentukan dan Ragam PT-SDG KalbarSecara filsafati, pengetahuan adalah keseluruhan pemikiran

gagasan, ide, konsep, dan pemahaman manusia tentang dunia dan segala isinya, termasuk manusia dan kehidupannya. Sedangkan ilmu pengetahuan adalah keseluruhan sistem pengetahuan manusia yang telah dibakukan secara sistematis. Ini berarti pengetahuan lebih spontan sifatnya, sedangkan ilmu pengetahuan lebih sistematis dan reflektif. 412

Secara metodologis, gejala terbentuknya PT-SDG adalah karena ada dua kutub berbeda dari gejala pengetahuan manusia yaitu kutub sipengenal (subyek) yaitu suku atau masyarakat tradisional yang merupakan masyarakat asli Kalbar, dan kutub yang dikenal (obyek) yakni SDG yang ada di Kalbar. Antara subyek dan obyek terdapat hubungan saling kelindan, tidak dapat dipisahkan satu dari yang lainnya.

PT-SDG Kalbar dihasilkan oleh kegeniusan lokal masyarakatnya dalam mengidentifikasi potensi SDG. PT-SDG mencakup penalaran, penjelasan, dan pemahaman manusia tentang SDG. Mencakup pula praktek dan kemampuan teknis walaupun belum dibakukan secara sistematis dan metodis. Terutama yang berkaitan dengan fungsi-fungsi SDG guna mendukung kehidupan manusia.

Kemampuan masyarakat adat Kalbar mengenali potensi-potensi SDG adalah berdasarkan pengalaman dan penuturan generasi yang lebih tua. Kontak yang akrab dengan alam menyebabkan pengetahuan tersebut mudah ditransmisikan walaupun hanya melalui penuturan dan praktek-praktek dalam kehidupan. Perlindungan PT-SDG haruslah meliputi perlindungan terhadap masyarakat adat pembentuk, pengampu; dan SDG itu sendiri. Ketiganya terlibat hubungan saling kelindan yang tidak mungkin dipisahkan satu dari yang lainnya.

412 Sonny Keraf dan Mikhael Dua, (2001), Ilmu Pengetahuan : Sebuah Tinjauan Filosofis, Yogyakarta: Kanisius, hlm. 23.

Page 370: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 362 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

Khusus yang berkaitan dengan tumbuhan saja, Suku Dayak Iban dan Tamambaloh di Kabupaten Kapuas Hulu sedikitnya mengenal 8 fungsi yakni: tumbuhan yang berfungsi sebagai bahan pangan, obat-obatan, bahan bangunan, bahan pelengkap upacara adat dan sosial, tanaman hias, bahan kayu bakar, bahan tali temali dan anyaman, pakan satwa liar, dan tumbuhan tumbuhan untuk manfaat lain.413

Identifikasi yang dilakukan oleh Institute Dayakologi Pontianak dengan bantuan The John D and Catherine T. MacArthur Foundation terhadap jenis-jenis tumbuhan berguna yang diketahui oleh Masyarakat Adat Mempawah dan Dayak Jalai sebagai bahan pangan menunjukkan bahwa Bumi Kalimantan benar-benar kaya. Kegiatan tersebut berhasil mengidentifikasi 230 jenis tanaman yang biasa digunakan oleh masyarakat adat Mempawah dan Dayak Jalai. Manfaat dari tanaman-tanaman tersebut yang ditemukan di pekarangan, ladang, kolam, kebun karet, perkampungan, sawah, hutan muda, rimba, dan hasil budidaya, dapat dikelompokkan menjadi kelompok buah-buahan 118 jenis, sayur-sayuran 70 jenis, umbi-umbian 17 jenis, jamur-jamuran 15 jenis, dan tebu-tebuan 10 jenis.414

PT-SDG merupakan bagian integral yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat dengan konsep pelestarian SDG, lingkungan dan hutan disekitarnya. Keberadaan PT-SDG yang berkelanjutan selain berdampak positif bagi pelestarian hutan dan SDG juga dapat meningkatkan perekonomian masyarakat setempat. Peningkatan ekonomi masyarakat yang dimaksud disini antara lain dalam bentuk terbukanya lapangan kerja melalui munculnya industri kecil berbasis SDG seperti industri makanan, minuman, kerajinan dan lain sebagainya.

PT-SDG Kalbar tidak hanya bernilai ekonomi, tetapi terkandung pula nilai-nilai pelestarian SDG/keanekaragaman hayati, nilai budaya, spiritual dll. Kosmologi holistik terejawantahkan dalam aplikasi

413Aktris Nuryanti, op.cit; baca juga Tjiu, A, (2008), Identifikasi Flora Bernilai Penting Untuk Pengembangan Program Ecotourism di Wilayah DAS Embaloh, Taman Nasional Betung Kerihun, Kabupaten Kapuas Hulu – Kalimantan Barat, WWF-Indonesia dan Balai Besar Taman Nasional Betung Kerihun (TNBK) laporan survey, tidak dipublikasikan

414Nico Andasputra dan Laurensius Tatang (ed), (2010), Kalimantan: Bumi Yang Kaya Makanan, Masyarakat Adat Dayak Mempawah dan Dayak Jalai bekerjasama dengan Institut Dayakologi, Pontianak.

Page 371: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 363 |

PT-SDG yang dilandasi oleh nilai kebaikan (goodness) dan kebajikan (virtue).

Penelitian-penelitian terhadap SDG yang terdapat di Kalbar untuk berbagai kepentingan terutama dari kalangan perguruan tinggi dan lembaga-lembaga riset selalu melibatkan masyarakat lokal.415 Artinya PT-SDG menjadi a starting point. Sifat masyarakat tradisional yang terbuka mempermudah akses terhadap PT-SDG. Sifat terbuka yang dilandasi nilai kebaikan bahwa SDG adalah ciptaan Jubata416 untuk umat manusia, ataupun nilai kebajikan bahwa pengetahuan adalah karunia Allah yang tidak pernah berkurang walau dibagikan kepada banyak orang. Nilai kebaikan dan kebajikan melandasi sifat keterbukaan dan kebahagiaan untuk berbagi karunia Sang Pencipta dengan orang lain tanpa pamrih, telah membuka jalan bagi para peneliti dan inventor untuk menggali potensi-potensi SDG dan PT-SDG Kalbar.

c. Hubungan PT-SDG dengan perlindungan hutan KalbarMasyarakat Adat Dayak sangat akrab dengan hutan, baik hutan

primer maupun hutan sekunder. Bagi masyarakat Dayak, hutan adalah kesatuan dari sungai-sungai, pohon-pohon dan semua mahluk hidup yang menjadi penghuninya termasuk jasad renik dan makhluk ghaib. Artinya hutan adalah tempat tersimpannya materi genetik.

Konsep holistik alam nyata dan alam maya pada hutan bagi masyarakat Dayak adalah bagian dari hidup itu sendiri. Hutan tidak hanya bermakna sebagai sumber pemenuhan kebutuhan hidup dalam bentuk materi, tetapi juga tempat dilakukannya ritual adat sebagai kebutuhan non-material.

Hutan merupakan bagian integral yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat dengan konsep pelestarian SDG, meliputi lingkungan dan hutan disekitarnya. Keberlanjutan PT-SDG sangat

415Albertus Tjiu, seorang botanist WWF-Indonesia yang berkantor di Kapuas Hulu Kalimantan Barat mengatakan bahwa para peneliti terutama peneliti asing seperti dari Belanda, AS, Finlandia, Australia dan Jepang selalu melibatkan masyarakat lokal untuk mengenali tumbuhan berguna di wilayah Kalimantan Barat yang diteliti.

416Masyarakat Dayak Kanayatn, mengenal konsep “Jubata”. Jubata adalah Pencipta, dan Pemelihara segala sesuatu yang ada di alam nyata maupun di alam maya dan karena itu Jubata sangat dihormati, dimuliakan dan diagungkan. Jubata diyakini pula sebagai yang sangat baik, sangat murah hati, sangat adil, tetapi tidak segan untuk menghukum perbuatan-perbuatan yang jahat

Page 372: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 364 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

tergantung pada hutan yang lestari dan kepedulian masyarakat untuk melestarikan SDG dan hutan.

Pada masyarakat Dayak Iban Sungai Utik, hutan adat sangat penting guna menjaga keseimbangan dan manfaat yang berkelanjutan dari relasi antara manusia dengan alam. Oleh sebab itu kawasan hutan berdasarkan adatnya dibagi menjadi:417

1. Kampong Taroh, Kawasan hutan yang tidak boleh ada kegiatan perladangan, mengambil/menebang kayu. Kampong Taroh adalah kawasan hutan lindung adat, di tujukan untuk melindungi mata air dan perkembangbiakan satwa. Tempat yang merupakan Kampong Taroh biasanya berada di hulu Sungai.

2. Kampong Galao Merupakan kawasan hutan cadangan. Kegiatan di dalam kawasan

ini yang diperbolehkan adalah mengambil tanaman obat, mengambil kayu api dan membuat sampan. Pemanfaatan hutan ini sangat terbatas dan diawasi sangat ketat, bahkan terdapat sanksi adat jika melakukan pelanggaran di kawasan ini.

3. Kampong Endor Kerja Merupakan kawasan hutan produksi di mana hutan ini ditujukan

untuk fungsi produksi dan dikelola secara adil dan berkelanjutan. Dikawasan ini boleh diambil kayunya dengan syarat diameter kayu yang di ambil di atas 30 cm. Selebihnya kawasan hutan ini juga difungsikan sebagai sumber bibit.Sejak dulu kala, suku Dayak di Kalbar telah mempunyai kawasan

hutan adat yang dimanfaaatkan secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama pada setiap sub suku. Nama kawasan Hutan Adat itu berbeda-beda pada setiap sub suku, ada yang menyebutnya “Tanah Pasaro Palaya” Binua; ada yang menyebutnya “Tanah Binua”; dan ada yang menyebutnya “Tanah Palasar Palaya” binua.

Penataan ruang binua merupakan suatu land use management yang diadaptasikan terhadap sistem pertanian asli terpadu. Didalamnya sekurangnya terdapat tujuh komponen (Djuweng, 1996), di antaranya adalah: kawasan hutan untuk cadangan masa depan, tanah yang

417Yuyun Indradi, Kearifan Lokal: Potret Pengelolaan Hutan Adat di Sungai Utik, Kapuas Hulu http://www.lifemosaic.net/images/uploads/Kearifan-Lokal-Pengelolaan-Hutan-Adat-di-Kp-Hulu.pdf terakhir diakses tanggal 22 Juli 2017.

Page 373: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 365 |

ditanami pohon buah-buahan (tembawang), tanah yang ditanami tanaman keras, tanah pertanian (yang sedang dikerjakan dan sedang diistirahatkan), tanah pekuburan dan keramat, perkampungan dan pekarangan, serta sungai dan danau untuk perikanan.418

Konsep hutan adat pada Dayak Kanayatn disebut dengan Palasar Palaya, memadukan tanah dengan fungsi-fungsinya bagi kehidupan manusia. Ada batas-batas teritorial pengelolaan sumber daya alam pada satu kampung (ampu sakampongan). Berbagai fungsi yang dikenal adalah tanah keramat (panyugu, padagi, pantulak, dll), tempat berburu dan tempat berladang (balubutatu, bawas), tanah bersawah (tawakng, bancah), perkebunan rakyat (kabon gatah, kampokng buah), dan cagar budaya (timawakng). Selain itu, juga ada tanah colap tornat pusaka (tanah yang dingin), yaitu tanah perjanjian adat yang turun temurun harus tetap diabadikan (pusaka). Tanah ini ada di setiap kampung. Hal ini umum dijumpai pada berbagai suku, Suku Baduy misalnya juga mengenal “tanah larangan” yaitu daerah yang dilindungi dan tidak sembarang orang dapat masuk dan berbuat sekehendaknya.

Masyarakat Dayak yang kehidupannya tergantung pada hutan, melakukan pengelolaan hutan dengan penuh kearifan. Petuah-petuah nenek moyang masyarakat Dayak Kanayatn yang mencerminkan kearifan dalam memanfaatkan dan mengelola hutan seperti petuah “ame natak mutusatn, ame makatn ngabisats” dijunjung tinggi. Petuah yang berarti “tak perlu memotong/menebang sampai hancur, tak perlu makan sampai ludes bermakna:

a) Ame natak mutusatn, ditujukan pada perilaku manusia agar dalam memanfaatkan hutan menghindari perbuatan-perbuatan yang dapat menimbulkan kerusakan pada hutan. Materi SDG ditemukan pada isi hutan seperti pada tumbuhan, hewan, dan jasad renik, sehingga habitat SDG seperti sungai/DAS, rawa, bukit, gunung dan lain-lain harus dijaga kelestariannya.

b) Ame makatn ngabisats, ditujukan pada perlindungan jiwa dari sifat-sifat buruk seperti ketamakan atau keserakahan. Prinsip ini berhubungan dengan sifat konsumtif manusia dalam memanfaatkan/mengeksploitasi hutan. Konsumtivisme telah

418Daliman, Thomas, (1995), Kelembagaan Dayak Kanayatn di Kabupaten Pontianak, LBBT-Pontianak, Laporan Penelitian, tidak dipublikasikan. Hlm 21

Page 374: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 366 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

menjadi penyebab utama semua kesengsaraan, kemiskinan absolut, permusuhan, ketidakadilan dan kejahatan di dunia ini.419 Nilai keadilan sosial tercermin pada prinsip ame makatn ngabisats, mengingat kebutuhan manusia terhadap ketersediaan SDG bukan hanya untuk generasi sekarang tetapi juga untuk generasi yang akan datang. Keragaman tanaman pada lahan yang diolah masyarakat Dayak

‘bersifat subsistence” yang bertujuan bagi tercukupinya kebutuhan hidup, bukan ditujukan kepada produktivitas. Prinsip ini berlaku pada ladang orang Dayak dimana ratusan jenis tanaman ditanam mulai dari padi-padian, sayur-sayuran, buah-buahan dll. Sayuran tertentu seperti jamur, rabung pansui, dan beberapa jenis lain hanya muncul jika orang membuat ladang.420 Tanaman obat seperti akar pakis manis juga hanya ada dibekas-bekas ladang (hutan sekunder).421

Dengan demikian maka menjaga tanah bagi masyarakat Dayak adalah sangat penting. Tanah tidak hanya berfungsi sebagai benda ekonomis belaka, tetapi merupakan basis politik, sosial, budaya dan spritual.

Pada sub suku Dayak Kanayatn, tanah kesatuan hukum adat disebut “Binua”. Konsep “kabinuaan” merupakan konsep geo-politik, yang didalamnya terdapat rakyat yang memiliki seperangkat aturan (hukum) dan individu-individu yang diangkat oleh rakyat untuk menegakkan aturan tersebut.

Hak milik atas tanah menurut adat Dayak dikenal sebagai “hak milik adat turun temurun” yang mencakup hak mengelola dan mengusahakan segala sesuatu baik yang berada di dalam maupun di atasnya. Jika sebagian besar anggota keluarga telah meninggalkan kampung, maka salah seorang (biasanya anak tertua) bertanggung jawab untuk mengelola dan menjaga seluruh tanah keluarga tersebut, namun tidak dapat menjualnya kepihak lain.422

419John, Bamba,(1998), Pengelolaan Sumber Daya Alam Menurut Budaya Dayak dan Tantangan Yang Dihadapi, dalam Kristianus Atok dkk (eds), (1998), Pemberdayaan Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Masyarakat, Pontianak: Pembinaan Pengelolaan Sumber Daya Alam Kemasyarakatan (PPSDAK), Hlm. 30.

420 John Bamba, 2008, ibid, Hlm. 26-27.421wawancara dengan Albertus Tjiu, Botanis WWF-Kalbar tanggal 31 Desember

2013, dan Sylvester Thomas, masyarakat Dayak Kanayatn 13-14 November 2014.422 Ibid.

Page 375: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 367 |

c. Pelibatan masyarakat adat dalam pembuatan hukumDipak B. Shukla mengatakan “In this new millennium, the

international fora on intellectual property rights (IPRs) strongly recommended that TK (traditional knowledge-pen) must be an intrinsic ingredient of IPR system.423 HKI tidak akan terlepas dari hak-hak yang dimiliki manusia yang bersifat asasi, baik secara personal maupun secara suatu kesatuan manusia yang terorganisasi. Dalam hubungan yang saling terkait inilah kemudian pengetahuan tradisional menjadi bagian yang mendapatkan perlindungan dalam kerangka perlindungan HKI.424 Akan tetapi tidak mudah memasukkan perlindungan PT-SDG sebagai bagian dari perlindungan HKI.

GRAIN dan Kalpavrishk (2002) mengungkapkan beberapa alasan mengapa sistem HKI seperti paten tidak mampu atau tidak tepat digunakan untuk melindungi pemegang pengetahuan tradisional, khususnya di kawasan Asia-Pasifik. Beberapa alasan tersebut adalah:

a. tidak mungkin untuk mengidentifikasi seorang penemu individu karena sifat kolektif pengetahuan tradisional,

b. pengetahuan tradisional sering tidak dapat dikaitkan dengan lokasi geografis tertentu,

c. kepemilikan varietas tanaman yang asing bagi banyak keyakinan sosial dan budaya,

d. kriteria yang diperlukan “kebaruan” dan “langkah inventif ” tidak selalu mungkin terutama dalam kasus di mana pengetahuan tradisional telah ada selama jangka waktu yang panjang,

e. biaya mengajukan permohonan paten dan mengatasi kasus pelanggaran paten yang mahal.425

PT-SDG merupakan sekumpulan pengetahuan yang selalu dikembangkan, dipertahankan dan diwariskan dari generasi ke generasi dalam sebuah komunitas. Ia merupakan karya intelektual manusia sekaligus sebagai bagian dari identitas budaya dan spiritual suatu komunitas. Itulah sebabnya mengapa PT-SDG tidak mudah dilindungi

423Dipak B. Shukla, (2010), op.cit424Muhammad Djumhana, R. Djubaedillah, Hak Milik Intelektual Sejarah, teori, dan

Praktiknya di Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya, 2014), Hlm.12.425GRAIN and Kalpavriksh, (2002) Traditional knowledge of biodiversity in Asia-Pacific:

Problems of Piracy and Protection , GRAIN and Kalpavriksh, Hlm 3.

Page 376: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 368 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

oleh sistem hak kekayaan intelektual (HKI), karena HKI hanya memberikan perlindungan untuk periode terbatas pada penemuan dan karya asli yang dihasilkan individu atau perusahaan.

Menurut WIPO (World Intellectual Property Organization) hasil karya intelektual dapat dilindungi secara:426

1. Defensif. Perlindungan defensif bertujuan untuk menghentikan orang-orang di luar komunitas memperoleh HKI atas pengetahuan tradisional. Strategi defensif mungkin juga digunakan untuk melindungi manifestasi budaya sakral, seperti simbol suci atau kata-kata yang didaftarkan sebagai merek dagang.

2. Positif. Perlindungan ini memberdayakan masyarakat untuk mempromosikan pengetahuan tradisionalnya, mengendalikan penggunaannya dan memanfaatkan eksploitasi komersialnya. Beberapa penggunaan pengetahuan tradisional dapat dilindungi melalui sistem HKI, dan sejumlah negara juga telah mengembangkan undang-undang khusus. Namun, perlindungan khusus yang diberikan berdasarkan undang-undang nasional tidak berlaku untuk negara lain. Itulah sebabnya mengapa banyak masyarakat adat dan masyarakat lokal serta pemerintah mendesak hadirnya instrumen hukum internasional untuk melindungi pengetahuan tradisional.Pemerintah melalui Kantor Wilayah Kementerian Hukum

dan Hak Azasi Manusia Kalimantan Barat pada tahun 2015 pernah melakukan upaya inventarisasi sebagai bentuk perlindungan defensif terhadap pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional tetapi hasilnya masih terbatas pada ekspresi budaya tradisional.

Pemerintah merupakan aktor utama pembangunan dalam memberikan dukungan baik secara kelembagaan maupun pranata hukumnya.427 Lemahnya dukungan pemerintah Kalbar terhadap perlindungan PT-SDG juga terlihat pada ketidaksinkronan kebijakan pengelolaan dan pelestarian PT-SDG dengan kebijakan bidang perkebunan dan pertambangan yang sangat potensial menyebabkan

426WIPO, Traditional Knowledge and Intellectual Property – Background Brief , lihat http://www.wipo.int/pressroom/en/briefs/tk_ip.html, diakses tanggal 22 Juli 2017

427Mahfud, (2010), Penguatan Kelembagaan Mikrohdro Di Era Otonomi Daerah, Makalah Seminar Penguatan Capacity Building Bagi Perkembangan Mikrohidro, Lembang, 16-17 Desember , hlm. 5

Page 377: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 369 |

degradasi lingkungan dan keanekaragaman SDG. Kebijakan itu bahkan dapat menyebabkan PT-SDG extinc in situ.

Pelibatan masyarakat hukum adat dalam pembuatan hukum yang akan digunakan untuk melindungi PT-SDG nya sangat penting. Di dalam UUD NRI 1945 Bab VI Pemerintahan Pasal 18B ayat (2) disebutkan bahwa ”Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang” . Kemudian dalam Bab HAM Pasal 28I ayat (3) disebutkan bahwa ”Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”

Ketentuan tentang masyarakat adat dalam kaitannya dengan PT-SDG juga dapat ditemukan didalam TAP MPR N0. IX Tahun 2001 Tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam Pasal 4 huruf ( j) yang menyebutkan bahwa ”Mengakui, menghormati, dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria/sumber daya alam”.

Konferensi Dunia Melawan Rasisme, Diskriminasi Rasial, Kebencian terhadap Orang Asing dan Hal-hal yang Berhubungan dengan Sikap Tidak Toleransi, yang berlangsung di Durban Afrika Selatan, tanggal 8 September 2001, memberikan definisi kerja tentang masyarakat adat sebagai: “Mereka, atau bagian dari mereka yang karena mempunyai kelanjutan sejarah dengan masyarakat pra invasi dan pra kolonial yang membentuk wilayah mereka, menganggap mereka berbeda dari sektor-sktor lain dalam masyarakat yang menguasai di wilayah-wilayah itu. Mereka membentuk sektor-sektor masyarakat yang tidak dominan dan tekun melestarikan, mengembangkan dan mewariskan ke generasi mendatang wilayah-wilayah leluhur mereka, dan identitas kesukuan mereka, sebagai dasar eksistensi mereka yang berlanjut sebagai bangsa, sesuai dengan pola-pola budaya mereka sendiri, lembaga-lembaga sosial dan sistem hukum mereka.”

Definisi yang mengandung faktor definisi diri bersama dengan beberapa faktor obyektif ini diusulkan oleh Studi-Cobo tahun 1983.428

428Edi Petebang dan Elias Ngiuk (ed), 2006, op.cit, hlm, 245-246. Judul asli buku ini adalah “ The International Discourse on Indigenous Peoples: A Compilation of Legal and Political

Page 378: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 370 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

Konferensi internasional pertama mengenai HKI dan Budaya Masyarakat Adat yang diadakan di Whakatane, Aotearoa, Selandia Baru pada 12-18 Juni tahun 1993, berhasil mengeluarkan Deklarasi Mataatua, yang pada dasarnya menyatakan bahwa: hak untuk melindungi pengetahuan tradisional adalah sebagian dari hak menentukan nasib, masyarakat asli seharusnya menentukan untuk dirinya sendiri apa yang merupakan kekayaan intelektual dan budaya mereka, alat perlindungan yang ada bersifat kurang memadai, kode etik harus dikembangkan untuk ditaati pengguna luar apabila mencatat PT dan adat, sebuah lembaga harus dibentuk untuk melestarikan dan memantau komersialisasi karya-karya dan pengetahuan ini, untuk memberi usulan kepada penduduk asli mengenai bagaimana mereka dapat melindungi sejarah budayanya dan untuk berunding dengan pemerintah mengenai undang-undang yang berdampak atas hak tradisional, dan sebuah sistem tambahan mengenai hak budaya dan kekayaan intelektual harus dibentuk yang mengakui: (1) collective ownership dan berlaku surut, (2) protection against debasement of culturally significant items, (3) co-operatif rather than competitive framework, (4) first beneficiaries to be direct descendants of the traditional guardians of the knowledge

Dengan demikian pelibatan masyarakat adat penting karena berkaitan dengan hak azasi mereka yang harus dilindungi. Masyarakat adatlah yang mengenal dan merasakan kaidah-kaidah hukum seperti apa yang bernilai adil dalam pandangannya.

d. Perdes sebagai alternatif perlindungan PT-SDG yang berkeadilan.Perdes adalah bentuk hukum tertulis yang menjadi ciri dari

hukum modern. Perdes ditetapkan oleh Kepala Desa bersama Badan Permusyawaratan Desa (BPD) untuk diberlakukan di wilayah desa tertentu. BPD merupakan lembaga perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Anggota BPD adalah wakil dari penduduk desa bersangkutan berdasarkan keterwakilan wilayah yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat. Anggota BPD terdiri dari Ketua Rukun Warga, pemangku adat, golongan profesi, pemuka agama dan tokoh atau pemuka masyarakat lainnya. Ketua BPD dipilih dari dan oleh anggota BPD secara langsung dalam

Documents, Ulf Johanson Dahre (ed), International Work Group for Indigenous Affairs (IWGIA) Copenhagen, Denmark, 2002.

Page 379: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 371 |

Rapat BPD yang diadakan secara khusus. BPD berfungsi menetapkan Peraturan Desa bersama Kepala Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat.

Melalui BPD Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan Rancangan perdes. Pembuatan perdes jelas berdasarkan kesepakatan nilai-nilai (value concensus) yang menjadi dasar kehidupan masyarakat desa atau masyarakat adat tersebut. Dengan demikian unsur yang menjadi pendukung kehidupan sosial terangkum dalam satu kesatuan yang selaras. Perdes dibuat dengan memperhatikan kondisi sosial budaya masyarakat desa setempat.

Perdes juga dapat digunakan untuk melindungi hak-hak yang melekat pada masyarakat adat sebagai pemilik, penjaga dan pengampu PT-SDG berikut hutan sebagai habitat SDG. Perdes dapat dibuat untuk mendorong pengembangan kapasitas masyarakat adat dengan meningkatkan kemampuan inovasi berbasis SDG dan pemanfaatan PT-SDG untuk kemandirian ekonomi dan kesejahteraan masyarakat adat.

Pembuat perdes hanya menetapkan nilai-nilai apakah yang akan berlaku dalam masyarakat, dengan demikian perdes merupakan pencerminan nilai-nilai yang disepakati oleh masyarakat. Model yang berbasis pada kesepakatan nilai-nilai ini kiranya cocok bagi pembentukan hukum lokal masyarakat tradisional pemilik, guardian atau kustodian PT-SDG. Setidaknya tujuan dari upaya pemberian perlindungan hukum bagi PT-SDG melalui perdes memiliki keunggulan untuk menciptakan sistem preservasi, proteksi, dan promosi PT-SDG.

Pasal 84 Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menyebutkan bahwa rancangan peraturan desa yang telah disepakati bersama disampaikan oleh pimpinan BPD kepada kepala Desa untuk ditetapkan menjadi peraturan desa. Peraturan desa dinyatakan mulai berlaku dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sejak diundangkan dalam lembaran desa dan berita Desa oleh sekretaris desa. Peraturan desa yang telah diundangkan disampaikan kepada bupati/walikota sebagai bahan pembinaan dan pengawasan.

Page 380: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 372 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

Selain itu perdes juga wajib disebarluaskan, agar kaidah kaidah yang tertuang diketahui oleh warga desa.

Partisipasi masyarakat dalam pembuatan hukum adalah penting dalam penyelenggaraan negara yang demokratis, sekaligus menjadi kekuatan kontrol atas kebijakan yang diambil pemerintah sehingga dapat lahir sinergi antara sumber daya lokal, kekuatan politik pemerintah dan sumber daya dari para pemangku kepentingan.

Sistem perlindungan PT-SDG yang dimulai dari tingkat desa dipandang lebih sesuai karena merekalah yang lebih dekat dan diasumsikan lebih mengenal PT-SDG di wilayahnya. Tersebarnya peraturan mengenai SDG dalam berbagai UU seperti perikanan, peternakan, kehutanan, pertanian mudah menimbulkan ego sektoral. Kekhawatiran bahwa hukum yang dibuat oleh pemerintah maupun pemerintah daerah sewaktu-waktu dapat mengintervensi maupun mengkooptasi pengelolaan SDG dan PT-SDG berbasis masyarakat segera dihindari.

Perlindungan PT-SDG harus diberikan secara hukum agar pengelolaan PT-SDG oleh masyarakat terlindungi karena posisi masyarakat adat seringkali lemah saat berhadapan dengan kepentingan pemerintah ataupun pihak ketiga lainnya misalnya para investor yang membutuhkan tanah untuk perkebunan atau pertambangan.

Rekonstruksi penguatan kelembagaan masyarakat adat untuk pengelolaan PT-SDG juga perlu dilakukan untuk menjamin PT-SDG beroperasi secara berkelanjutan. Hukum adat merupakan budaya bangsa Indonesia, sekaligus faktor yang turut menentukan baik dalam hal pembentukan maupun penerapan hukum di Indonesia disamping faktor lain seperti penduduk, teknologi, alam dsb.429

Masyarakat adat secara bebas dan rasional menaruh minat memajukan kepentingan-kepentingannya atas keberlanjutan PT-SDG. Aturan desa yang dibuatnya menempatkan prinsip kesamaan dari dan untuk seluruh warga masyarakatnya untuk keberlanjutan PT-SDG, baik dalam arti pelestarian maupun pemanfaatannya.

429Satjipto Rahardjo, (2009), Hukum dan Perubahan Sosial, Suatu Tinjauan Teoritis serta Pengalaman-Pengalaman di Indonesia, Cetakan ketiga, Yogyakarta: Genta Publishing, hlm. 109.

Page 381: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 373 |

Masyarakat adat Dayak Punan pernah mengajukan aturan lokal mengenai Pemanfaatan dan Pelindungan DAS Kapuas dan Kereho, serta Perdes Batu Lintang tentang Tata Batas Wilayah Adat. Kedua aturan tersebut adalah inisiatif masyarakat adat di Kapuas Hulu untuk mengelola dan melindungi wilayah adatnya yang berdampak positif pada PT-SDG. Latar belakang dibuatnya aturan lokal Punan Uheng Kereho tentang Pemanfaatan dan perlindungan DAS Kapuas dan Keriau adalah untuk menjaga aliran sungai yang merupakan urat nadi masyarakat yang berdiam di sepanjang sungai. 430

Pelembagaan nilai-nilai adat ke bentuk perdes akan menjadikannya pedoman yang pasti. Prinsip-prinsip yang dapat digunakan untuk menguatkan kelembagaan dan pranata hukum lokal untuk mendukung pengusahaan SDG dan PT-SDG yang dikelola oleh masyarakat adat adalah dengan menggali serta mengelobarasi nilai-nilai yang dimiliki oleh warga masyarakat itu sendiri. Semua ini merupakan modal sosial dalam pemberdayaan masyarakat. Modal ini merupakan perpaduan antara sesuatu yang bersifat material dan non material. Material mempunyai makna tentang kepemilikan berkaitan dengan aset-aset finansial yang dimiliki, sedangkan non material, modal berwujud adanya kepercayaan dan kebersamaan dalam suatu masyarakat.431

Perkenan melibatkan hukum adat bukanlah bentuk ketidak adilan bagi pihak lain yang tidak memiliki hukum adat. Namun kalaupun itu adalah bentuk ketidakadilan maka masyarakat tradisional dapat dikatakan sebagai pihak yang sering menerima ketidakadilan misalnya melalui kebijakan perkebunan dan pertambangan yang merugikan PT-SDG mereka. Tak dapat disangkal bahwa pelibatan hukum lokal akan lebih menjamin terwujudnya keadilan sosial.

Kehidupan masyarakat yang sarat nilai tentu memiliki lebih banyak lagi prinsip-prinsip yang dapat diterapkan untuk melindungi PT-SDG. Beberapa prinsip yang dapat digunakan dalam perdes PT-SDG antara lain adalah setiap orang memikul kewajiban dan tanggung jawab terhadap generasi mendatang dan terhadap sesamanya

430Masyarakat Adat Kapuas Hulu Tuntut Keadilan, lihat http://putussibau.wordpress.com/masyarakat-adat-kapuas-hulu-tuntut-keadilan/ diakses terakhir pada tanggal 22 Juli 2017.

431 Joseph M. Bessette, Derek Gold et. al., (1957), International Encyclopae of Government and Social Politics, Toppan Company PTE LTD, Singapore, hlm.1257

Page 382: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 374 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

dalam satu generasi dengan melakukan upaya pelestarian PT-SDG; keserasian dan keseimbangan dalam pemanfaatan PT-SDG dengan memperhatikan berbagai aspek seperti kepentingan ekonomi, sosial, budaya, dan perlindungan serta pelestarian SDG; keterpaduan yaitu perlindungan dan pengelolaan PT-SDG dilakukan dengan memadukan berbagai unsur atau mensinergikan berbagai komponen terkait; segala usaha dan/atau kegiatan pembangunan potensi PT-SDG bermanfaat untuk generasi sekarang dan akan datang; kegiatan bioprospeksi bisa berlanjut ke biopirasi dan misappropriation yang mengancam PT-SDG sebagai sumber daya pembangunan sehingga dibutuhkan kehati-hatian; pengelolaan/pemanfaatan PT-SDG harus mencerminkan keadilan secara proporsional antara user, provider, guardian/ custodian; setiap anggota masyarakat tradisional didorong untuk berperan aktif dalam proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan perlindungan dan pengelolaan PT-SDG baik secara langsung maupun tidak langsung; perlindungan dan pengelolaan PT-SDG harus memperhatikan nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat; perlindungan dan pengelolaan PT-SDG dijiwai oleh prinsip partisipasi, transparansi, akuntabilitas, efisiensi, dan keadilan dari tingkat lokal, pemda, pemprov hingga pemerintah pusat; Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab dalam inventarisasi dan dokumentasi PT-SDG di wilayahnya termasuk izin akses PT-SDG dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Aturan lokal masyarakat Dayak yang dilembagakan kembali dalam bentuk Perdes bermanfaat untuk mendukung pengelolaan SDG dan PT-SDG secara berkelanjutan. Proses pelembagaan ini dilakukan berdasarkan kesepakatan warga. Kelembagaan dan hukum lokal untuk pengelolaan SDG dan PT-SDG selanjutnya perlu dikuatkan posisinya yakni dengan penguatan secara internal. Penguatan secara internal dari sisi yudiris semata-mata dilakukan agar bentuk-bentuk kelembagaan dalam pengelolaan SDG dan PT-SDG berbasis masyarakat mendapat perlindungan hukum sebagaimana mestinya. Perlindungan hukum tersebut merupakan wujud adanya kepastian hukum bagi status hak kepemilikan atas pengelolaan SDG dan PT-SDG.

Kepastian status hak kepemilikan secara sah dan jelas bagi kelembagaan masyarakat adat menjadi sangat penting, sebab terkait dengan persoalan ada tidaknya jaminan terhadap keberlangsungan

Page 383: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 375 |

SDG dan PT-SDGnya. Ketidakjelasan status hak kepemilikan akan berpotensi menimbulkan konflik kepentingan di antara stakeholder di kemudian hari. Lawrence Rosen mengatakan bahwa ada tiga dimensi penting pendayagunaan pranata-pranata hukum di dalam masyarakat yaitu :432 hukum sebagai pencerminan dan wahana bagi konsep-konsep yang berbeda mengenai tertib dan kesejahteraan sosial yang berkaitan dengan pernyataan dan perlindungan kepentingan masyarakat; hukum dalam peranannya sebagai pranata otonom dapat pula merupakan pembatas kekuasaan sewenang-sewenang sungguhpun pendayagunaan hukum tergantung pada kekuasaan-kekuasaan di luarnya; dan hukum dapat didayagunakan sebagai sarana untuk mendukung dan mendorong perubahan sosial ekonomi.

Bentuk Perdes dapat menjadi pilihan ideal karena didasarkan pada pertimbangan rasional yakni Perdes dibuat oleh dan untuk masyarakat dimana PT-SDG berada. Perdes akan menjadi pedoman kerja bagi semua pihak dalam penyelenggaraan kegiatan di desa agar dapat terciptanya tatanan kehidupan yang serasi, selaras dan seimbang di desa yang akan memudahkan tujuan bersama para warga masyarakat desa. Perdes adalah acuan dalam rangka pengendalian dan pengawasan perilaku masyarakat yang dapat bersanksi dan menjadi alat untuk meminimalisir terjadinya penyimpangan dan kesalahan pengelolaan dan pemanfaatan PT-SDG.

Pengaturan pengelolaan SDG dan PT-SDG melalui Perdes memiliki daya ikat yang kuat karena didukung oleh aparat pemerintah desa setempat sehingga dapat dipaksakan keberlakuannya. Perdes untuk pengelolaan SDG dan PT-SDG menjadi eksis di dalam kehidupan masyarakat dan diperlakukan sebagai hukum tertinggi untuk mengatur pengelolaan SDG dan PT-SDGnya.

Tujuan penguatan secara yuridis adalah agar perlindungan PT-SDG memiliki dasar hukum yang sah, sehingga keberadaan dan pengelolaan PT-SDG eksisting dapat berkelanjutan. PT-SDG yang dikelola berkelanjutan berdampak pada pelestarian SDG, hutan dan peningkatan ekonomi masyarakat.

432Mulyana W. Kusuma, (1982), Peranan dan Pendayagunaan Hukum dalam Pembangunan, Bandung: Alumni, hlm. 4-5

Page 384: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 376 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

KESiMPULAN

PT-SDG Kalbar terbentuk karena kegeniusan masyarakatnya dalam mengenali potensi-potensi SDG Kalbar. Proteksi, preservasi dan promosi PT-SDG tidak mungkin dipisahkan dari Proteksi, preservasi hutan Kalbar sebagai tempat SDG.

Minat masyarakat adat Kalbar untuk melindungi hutan demikian besar dan perlu didukung. Oleh sebab itu perdes dapat dipilih sebagai sarana untuk menuangkan kaidah-kaidah yang diinginkan masyarakat adat untuk melindungi hutan berikut PT-SDG yang menyertainya.

Melindungi PT-SDG masyarakat adat penting untuk memastikan bahwa manfaat dari PT-SDG diperoleh pemegangnya, juga untuk meningkatkan pembangunan sosio-ekonomi masyarakat adat terutama untuk menjamin kesejahteraan dan kemakmuran generasi masa depan secara berkelanjutan.

DAFTAR PUSTAKA

Aktris Nuryanti, 2015, Sumber Daya Genetik Dan Pengetahuan Tradisional Terkait Sumber Daya Genetik Untuk Kemakmuran, ejurnal Undip Masalah Masalah Hukum , 44 (4): 405-4011

Daliman, Thomas, (1995), Kelembagaan Dayak Kanayatn di Kabupaten Pontianak, Laporan Penelitian, Pontianak: LBBT.

Dipak B. Shukla , 2010, Synergy of Intellectual Property and Traditional Knowledge: Holy Grail for Protection and Sustainable Future , The Open Conference Proceedings Journal. (1): 150-156.

GRAIN and Kalpavriksh, (2002) Traditional knowledge of biodiversity in Asia-Pacific: Problems of Piracy and Protection .

OseiTutu ,J. Janewa, 2011, “A Sui Generis Regime For Traditional Knowledge: The Cultural Divide in Intellectual Property Law”, 15 Marq. Intell. Prop. L. Rev. 147

John, Bamba,(1998), Pengelolaan Sumber Daya Alam Menurut Budaya Dayak dan Tantangan Yang Dihadapi, dalam Kristianus Atok dkk (eds), (1998), Pemberdayaan Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Masyarakat, Pontianak: Pembinaan Pengelolaan Sumber Daya Alam Kemasyarakatan (PPSDAK).

Page 385: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 377 |

Joseph M. Bessette, Derek Gold et. al., (1957), International Encyclopae of Government and Social Politics, Toppan Company PTE LTD, Singapore.

Kalimantan Barat Dalam Angka, 2014.

Mahfud, (2010), Penguatan Kelembagaan Mikrohdro Di Era Otonomi Daerah, Makalah Seminar Penguatan Capacity Building Bagi Perkembangan Mikrohidro, Lembang.

Masyarakat Adat Kapuas Hulu Tuntut Keadilan, http://putussibau.wordpress.com/masyarakat-adat-kapuas-hulu-tuntut-keadilan/

Muhammad Djumhana, 2006, Perkembangan Doktrin dan Teori Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual,Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm 17-19.

Muhammad Djumhana, R. Djubaedillah, Hak Milik Intelektual Sejarah, teori, dan Praktiknya di Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya.

Mulyana W. Kusuma, (1982), Peranan dan Pendayagunaan Hukum dalam Pembangunan, Bandung: Alumni.

Nico Andasputra dan Laurensius Tatang (ed), (2010), Kalimantan: Bumi Yang Kaya Makanan, Masyarakat Adat Dayak Mempawah dan Dayak Jalai Pontianak : Institut Dayakologi.

Satjipto Rahardjo, (2009), Hukum dan Perubahan Sosial, Suatu Tinjauan Teoritis serta Pengalaman-Pengalaman di Indonesia, Cetakan ketiga, Yogyakarta: Genta Publishing.

Sonny Keraf dan Mikhael Dua, (2001), Ilmu Pengetahuan : Sebuah Tinjauan Filosofis, Yogyakarta: Kanisius

Tjiu, A, (2008), Identifikasi Flora Bernilai Penting Untuk Pengembangan Program Ecotourism di Wilayah DAS Embaloh, Taman Nasional Betung Kerihun, Kabupaten Kapuas Hulu – Kalimantan Barat, WWF-Indonesia dan Balai Besar Taman Nasional Betung Kerihun (TNBK) laporan survey.

WIPO Joint Recommendation On Genetic Resources And Associated Traditional Knowledge, IGC, Twenty-Fourth Session, Geneva, April 22 to 26, 2013.

Page 386: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 378 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

WIPO Practical Guide, 2014, Intellectual Property and Folk, Arts and Cultural Festivals

WIPO, Traditional Knowledge and Intellectual Property – Background Brief . http://www.wipo.int/pressroom/en/briefs/tk_ip.html.

WORLD TRADE ORGANIZATION, IP/C/W/370/Rev.1, 9 March 2006

Yuyun Indradi, Kearifan Lokal: Potret Pengelolaan Hutan Adat di Sungai Utik, Kapuas Hulu http://www.lifemosaic.net/images/uploads/Kearifan-Lokal-Pengelolaan-Hutan-Adat-di-Kp-Hulu.pdf.

Page 387: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 379 |

PErLINDUNGaN HUKUM EKsPrEsI BUDaYa traDIsIONaL sUKU OsING UNtUK KEsEJaHtEraaN

MasYaraKat

Nuzulia Kumala SariFakultas Hukum Universitas Jemberemail :[email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini mempunyai tujuan untuk menentukan perlindungan hukum ekspresi budaya tradisional Suku Osing untuk kesejahteraan masyarakat.Terkait dengan tujuan penelitian tersebut, maka penelitian ini bertujuan (1) Menemukan, menganalisa dan menjelaskan perlindungan hukum ekspresi budaya tradisional Suku Osing untuk kesejahteraan masyarakat. (2) Menemukan, menganalisa serta menjelaskan Peranan pemerintah daerah dalam memberikan perlindungan hukum ekspresi budaya tradisional Suku Osing untuk kesejahteraan masyarakat.

Sisi strategis penelitian ini adalah pada hasil akhir dari penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi baru dalam mengembangkan konsep perlindungan hukum ekspresi budaya tradisional Suku Osing untuk kesejahteraan masyarakatyang menghasilkan out put dalam bentuk implementasi yang lebih tepat dengan harapan selanjutnya dapat merekomendasikan suatu regulasi yang tepat terkait dengan perlindungan hukum ekspresi budaya tradisional Suku Osing untuk kesejahteraan masyarakat.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah Perlindungan hukum ekspresi budaya tradisional suku Osing untuk kesejahteraan masyarakat diatur di dalam Pasal 38 Undang-Undang Hak Cipta No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Peranan pemerintah daerah terkait upaya perlindungan hukum ekspresi budaya tradisional suku osing untuk kesejahteraan masyarakat dalam hal ini pemerintah daerah Banyuwangi gencar untuk melestarikan seni budaya Banyuwangi mulai dari memperkenalkan Banyuwangi melalui website dan acara seni budaya, serta adanya desa Adat Kemiren.

Saran dari penelitian ini adalah Perlindungan hukum ekspresi budaya

Page 388: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 380 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

tradisional suku Osing untuk kesejahteraan masyarakat harus dilaksanakan oleh semua pihak, baik masyarakat, seniman maupun oleh pemerintah.Dilakukan sosialisai tentang pentingnya perlindungan hukum ekspresi budaya tradisional suku Osing.Perlu dibuat Peraturan Daerah (Perda) mengenai pentingnya perlindungan hukum ekspresi budaya tradisional suku Osing.

Kata Kunci : Perlindungan Hukum, ekspresi budaya tradisional suku Osing, Kesejahteraan Masyarakat

PENDAHULUAN

Indonesia sebagai salah satu negara berkembang, dan merupakan negara kepulauan memiliki pulau yang terdaftar dan berkoordinat berjumlah 13.466 pulau433di mana masingmasing pulau memiliki adat-istiadat, kebiasaan, serta keragaman budaya dengan ciri khas daerahnya masing-masing.1

Keragaman budaya daerah ini terlihat dengan jelas pada aspek-aspek geografis, etnis, sosio kultural, agama serta kepercayaan.Indonesia memiliki kekayaan budaya, baik peninggalan sejarah maupun pengetahuan tradisional dengan potensi yang sangat besar untuk menghasilkan berbagai macam hasil karya dan tradisi dari seluruh wilayah di Indonesia dari Sabang hingga Merauke di mana terdapat lebih 900 suku bangsa yang tersebar di 34 provinsi di Indonesia.434

Karya-karya seni tradisional, teknik-teknik tradisional yang telah lama “hidup” dalam masyarakat tradisional, dianggap sebagai suatu aset yang bernilai ekonomis.Pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional merupakan kekayaan Indonesia yang tak ternilai sebagai sebuah identitas bangsa, sehingga kebudayaan daerah ini dapat disandingkan dengan kebudayaan maupun hasil karya internasional dan merupakan aset negara yang tidak ada duanya.

433http://www.bakosurtanal.go.id/berita-surta/show/indonesia-memiliki-13-466-pulau-yang-terdaftar-dan-berkoordinat, diakses pada 1 Juni 2017, pukul 12.30 WIB

434http://www.kebudayaanindonesia.com/2017/05/jumlah-provinsi-di-indonesia-saat-ini.html diakses pada 1 Juni 2017, pukul 12.50 WIB

Page 389: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 381 |

Ekspresi Budaya Tradisional (EBT) yang merupakan warisan budaya yang dihasilkan dari kemampuan intelektual masyarakat yang secara turun temurun dipelihara dan dipertahankan.435

Suku bangsa yang ada di Indonesia memiliki pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional yang beragam.Salah satunya adaah Suku Osing yang merupakan penduduk asli dari Banyuwangi yang telah menjadi penduduk mayoritas.

Suku Osing banyak memiliki kesenian yang unik dan sarat akan magis. Kesenian suku Osing adalah kesenian yang memiliki keaneragaman corak budaya, sebab dalam keseniannya suku Osing banyak dipengaruhi oleh Bali, akan tetapi corak keseniannya juga dipengaruhi oleh Madura dan Eropa. Kesenian suku Osing diantaranya adalah tari gandrung, tari tari jejer dawuh, tari jejer gandrung, tari sumber wangi, tari padang wulan, tari jaran goyang, tari kunthulan, tari barong, tari seblang, tari jengger, tari jaran kecak, lagu daerah padang wulan, dan seni musik dan instrumen musik yaitu angklung caruk, angklung paglak, karawitan, selentem, peking, gong, ketuk, kluncing, biola, sason, saron, gamelan Osing.436

Perlindungan hukum terhadap ekspresi budaya tradisional Suku Osing sangat diperlukan untuk mencegah agar kepemilikannya tidak diakui tanpa izin oleh negara lain. Oleh sebab itu ekspresi budaya tradisional Suku Osing harus memperoleh perlindungan hukum untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.Apalagi diketahui jelas, bahwa semua kekayaan yang berbasis budaya tradisional mempunyai nilai ekonomi yang sangat tinggi. Upaya tersebut tentunya akanmendorong peningkatan perekonomian daerah dan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Meskipun potensi ekspresi budaya tradisional Suku Osing besar untuk dikembangkan, namun kesadaran Suku Osing untuk melakukan proteksi atas karya-karya mereka sangat rendah. Budaya komunal yang masih sangat kuat, menuntun mereka untuk dengan senang hati mempersilahkan kepada lain untuk memanfaatkannya.

435Ibid. hal. 1436http://ragambudayanusantara.blogspot.com/2017/09/suku-osing.html, diakses

pada 1 Juni 2017, pukul 13.00WIB

Page 390: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 382 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimanakah wujud perlindungan hukum ekspresi budaya tradisional Suku Osing untuk kesejahteraan masyarakat?

2. Apakah peranan Pemerintah Daerah terkait upaya perlindungan hukum ekspresi budaya tradisional Suku Osing untuk kesejahteraan masyarakat?

ANALiSiS DAN PEMBAHASAN

Konsep Ekspresi Budaya Tradisional

Eksistensi dan jati diri suatu bangsa selalu ditentukan oleh eksistensi kebudayaannya.437Hal tersebut mengandung pengertian bahwa melindungi kebudayaan merupakan tindakan yang sangat strategis bagi kelangsungan hidup dan perkembangan suatu bangsa. Oleh karena itu, sejauhmana kebijakan pemerintah dan implementasinya di bidang kebudayaan akan sangat menentukan seberapa tinggi tingkat kemajuan bangsa tersebut.

Ekspresi Budaya Tradisional (EBT) yang merupakan warisan budaya yang dihasilkan dari kemampuan intelektual masyarakat yang secara turun temurun dipelihara dan dipertahankan yang memiliki potensi ekonomi adalah:

1. Ungkapan seni musik (vokal, instrumental, gabungan; baik untuk mandiri maupun terkait dengan tari atau teater);

2. ungkapan seni tari; 3. ungkapan seni teater (termasuk pertunjukan wayang); 4. ungkapan seni rupa (grafis, lukis, patung, serta gabungan-

gabungan daripadanya, termasuk boneka wayang); 5. ungkapan seni satra (dalam berbagai format, baik lisan maupun

tertulis); 6. upacara adat (baik berkenaan dengan daur hidup manusia

maupun dengan siklus alam semesta), termasuk di dalamnya pembuatan dan penyajian alat dan bahan yang digunakan dalam

437Edy Sedyawati, 2001, Availability, Scope and Use of IPR’s for The Protection of Expression of Folklore, WIPO Asia-Pacific Regional Symposium On Intellectual Property Rights, Traditional Knowledge and Related Issues, Yogyakarta, Indonesia.

Page 391: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 383 |

upacara.438

Ekspresi Budaya Tradisional (EBT), atau di dalam wacana di tingkat internasional seringkali digunakan istilah expressions of folklore, adalah segala sesuatu yang dianggap milik bersama suatu komuniti atau suatu masyarakat, dan penciptaannya anonim. Secara garis besar Ekspresi Budaya Tradisional (EBT), sebagaimana karya budaya pada umumnya, dapat digolongkan atas yang tangible (dapat disentuh, berupa benda padat) dan yang intangble (termasuk ke dalamnya nilai-nilai, konsep, dan juga tata tindakan seperti upacara, teater, tari, serta musik dan sastra).439

Menurut interpretasi WIPO,

“Traditional cultural expressions or expressions of folklore have the same meaning and identify the values, traditions and beliefs of indigenous communities. They can be described as works consisting of characteristic elements of the traditional artistic heritage developed and maintained by a community or by individuals reflecting the traditional artistic expectations of that community.

Pemakaian istilah folklore pada awalnya dipandang oleh sebagian orang memiliki konotasi negatif, menggambarkan sesuatu kreasi yang rendah.Guna menghilangkan citra negatif tersebut diperlukan suatu pengertian yang tepat.Maka dari itu, dikembangkan suatu pengertian folklore yang baru sebagai hasil elaborasi dan resultante dari beberapa pengertian yang berkembang sehingga pengertiannya dapat diterima luas dan pantas sesuai dengan maksudnya serta relevan dengan perjanjian internasional.Dengan harapan seperti itu maka folklore mengandung pengertian tidak semata terfokus pada hal artistik kesusasteraan serta seni pertunjukan, namun sangat luas cakupannya meliputi semua aspek kebudayaan. Salah satu definisi yang dapat memenuhi harapan seperti itu, sebagaimana tertuang dalam pengertian folklore di bawah ini :

440

“Folklore (in the broader sense, traditional and popular folk culture) is a group-oriented and tradition-based creation of groups

438Ibid. hal. 1439Ibid.440Professor Michael Blakeney, Intellectual Property in the Dreamtime-Protecting the

Cultural Creativity of Indigenous Peoples, Queen Mary Intellectual Property Research Institute, Quenn Mary and Westfield College, University of London, 1999, hal. 1,

Page 392: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 384 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

or individuals reflecting the expectations or the community as an adequate axpression of its cultural and social identity; its standarts are transmitted orally, by imitation or by other means. Its forms include, among others, language, literature, music, dance, games, mythology, rituals customs handicrafts, architecture, and other arts.”

Selanjutnya, WIPO membagi Ekspresi Budaya Tradisional ke dalam empat kelompok menurut bentuknya masing-masing 441:

a) verbal expressions, such as: folk stories, legends and poetry;b) musical expressions, such as: folk songs and instrumental; c) music expressions by action, such as: popular dances , plays and

shows;d) tangible expressions, such as: productions of folk art, especially

drawings,paintings, sculptures, pottery, jewels, costumes, musical instruments as well as architectural works.Ungkapan-ungkapan seni tradisional ini dapat mengandung di

dalamnya442 :

1. Nilai-nilai estetik, dan ini pada gilirannya terkait dengan teknik-teknik berungkap (para pelakunya) maupun teknik-teknik dalam membuat peralatan pendukungnya (instrumen dan properti);

2. Nilai-nilai simbolik, yang dapat terkait dengan pandangan dunia serta sistem kepercayaan pada kebudayaan yang bersangkutan; dan

3. Fungsi dalam peneguhan sistem kepercayaan dan atau sistem sosial dalam masyarakat pendukung kebudayaan yang bersangkutan.

Perlindungan hukum ekspresi budaya tradisonal sudah diatur di dalam Pasal 38 UU No. 28 Tahun 2014.

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, yang Pasal 38 nya berbunyi:

1) Hak Cipta atas ekspresi budaya tradisional dipegang oleh Negara.

2) Negara wajib menginventarisasi, menjaga, dan memelihara

441Ibid.442Ibid.

Page 393: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 385 |

ekspresi budaya tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

3) Penggunaan ekspresi budaya tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat pengembannya.

4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Hak Cipta yang dipegang oleh Negara atas ekspresi budaya tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Peranan Pemerintah Daerah terkait Upaya Perlindungan Hukum Ekspresi Budaya Tradisional Suku osing Untuk Kesejahteraan Masyarakat

Indonesia dikenal sebagai negara, bangsa yang masyarakatnya terdiri atas banyak suku bangsa dan lebih banyak lagi sub-suku bangsa. Mereka semua berdomisili di daerah-daerah di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang membentang dari barat ke timur, yaitu dari Sabang sampai di Merauke dan dari utara sampai ke selatan, yaitu dari Pulau Miangas sampai di Pulau Rote. Kondisi demikian itu, diperkaya oleh kondisi geografisnya yang terdiri atas pulau-pulau besar dan kecil yang dipersambungkan oleh laut dan dibatasi oleh lautan dalam satu kesatuan wilayah, menjadikan masyarakat dan kebudayaan Indonesia bersifat mejemuk (heterogen) serta kaya makna dan nilai. Kebudayaan-kebudayaan masyarakat daerah atau kebudayaan daerah yang sangat bervariasi itu secara keseluruhan adalah milik sah masyarakatnya, juga merupakan suatu kekayaan bersama bangsa Indonesia yang terukur harganya dan, oleh karenanya, harus dipelihara, dilestarikan dan dilindungi dari ancaman pihakpihak yang berniat mem”bahaya”kannya, juga mereka yang berupaya mengklaim sebagai miliknya.

Klaim aset kebudayaan Indonesia oleh pihak-pihak atau negara (pemerintah) asing yang semakin banyak pada beberapa tahun terakhir. Sebagaimana diungkapkan oleh media massa dan piranti media elektronik, klaim-klaim yang ada tidak hanya dilakukan oleh pihak pelaku bisnis asing, tetapi juga oleh beberapa negara asing. Adanya klaim demikian itu tentu saja memunculkan “kekecewaan” bagi beberapa kelompok warga masyarakat.Di samping itu juga menimbulkan pertanyaan bagaimana sebenarnya peranan pemerintah dalam upaya untuk

Page 394: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 386 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

melindungi aset-aset kebudayaan masyarakatnya. Pengkajian hukum tentang perlindungan kebudayaan daerah yang mencakup di dalamnya, antara lain pengetahuan tradisional, ekspresi budaya tradisional dan sumber daya hayati, menjadi sangat relevan sebagai salah satu upaya akademis untuk memahami masalah-masalah perlindungan yang dimaksud. Pengkajian ini bertujuan mendalami tentang kebudayaan daerah di Indonesia khususnya yang meyangkut ekspresi budaya tradisional dari sisi hak kekayaan intelektual di Indonesia.Hal itu dilakukan dalam rangka meningkatkan pembangunan ekonomi masyarakat dan melindungi kesenian Daerah.

Pemerintah Daerah Banyuwangi gencar untuk melestarikan seni budaya Banyuwangi mulai dari memperkenalkan Banyuwangi melalui website dan acara seni budaya, serta desa Adat.

SiMPULAN

1. Perlindungan hukum ekspresi budaya tradisional suku Osing untuk kesejahteraan masyarakat diatur di dalam Pasal 38 Undang-Undang Hak Cipta No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

2. Peranan pemerintah daerah terkait upaya perlindungan hukum ekspresi budaya tradisional suku osing untuk kesejahteraan masyarakat, dalam hal ini pemerintah daerah Banyuwangi gencar untuk melestarikan seni budaya Banyuwangi mulai dari memperkenalkan Banyuwangi melalui website dan acara seni budaya, serta adanya desa Adat Kemiren.

SARAN

1. Perlindungan hukum ekspresi budaya tradisional suku Osing untuk kesejahteraan masyarakatharus dilaksanakan oleh semua pihak, baik masyarakat, seniman maupun oleh pemerintah.

2. Dilakukan sosialisasi tentang pentingnya perlindungan hukum budaya tradisional suku Osing untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

3. Perlu dibuat Peraturan Daerah (Perda) mengenai ekspresi budaya tradisional suku Osing.

Page 395: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 387 |

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Muhammad Djumhana. Perkembangan dan Doktrin Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2006)

Philipus Hadjon. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, (Bina Ilmu : Surabaya, 1987)

Professor Michael Blakeney, Intellectual Property in the Dreamtime-Protecting the Cultural Creativity of Indigenous Peoples, Queen Mary Intellectual Property Research Institute, Quenn Mary and Westfield College, University of London, 1999.

Ronny Hanitijo Soemitro.Metodelogi Penelitian Hukum dan Jurimetri, ( Jakarta : Ghalia Indonesia, 1994).

Saifuddin Azwar. Metode Penelitian, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004).

WIPO, Intellectual Property Needs and Expectations of Traditional Knowledge Holders, WIPO Report on Fact-Finding Mission on Intellectual Property and Traditional Knowledge (1998-1999), (Geneva, 2001).

Peraturan Perundangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta

Intergovernmental Committee on Intellectual Property and Genetic Resources, Traditional Knowledge and Folklore, WIPO/GRTFK/IC/3/9, 20 Mei 2002.

Lain-Lain

Data BAPPEDA Banyuwangi, tahun 2011.

Edy Sedyawati, 2001, Availability, Scope and Use of IPR’s for The Protection of Expression of Folklore, WIPO Asia-Pacific Regional Symposium On Intellectual Property Rights, Traditional Knowledge and Related Issues, Yogyakarta, Indonesia.

WIPO, Intellectual Property Needs and Expectations of Traditional Knowledge Holders, WIPO Report on Fact-Finding Mission on

Page 396: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 388 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

Intellectual Property and Traditional Knowledge (1998-1999), (Geneva, 2001), 25.

Sumber internet

http://www.bakosurtanal.go.id/berita-surta/show/indonesia-memiliki-13-466-pulau-yang-terdaftar-dan-berkoordinat, diakses pada 1 Juni 2017, pukul 12.30 WIB

http://www.kebudayaanindonesia.com/2017/05/jumlah-provinsi-di-indonesia-saat-ini.html diakses pada 1 Juni 2017, pukul 12.50 WIB

http://ragamnusantara.blogspot.com-suku-osing.html, diakses pada 1 Juni 2017, pukul 13.00WIB

http://www.banyuwangitourism.com

Page 397: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 389 |

PEraN NEGara DaLaM MELINDUNGI sUMBEr DaYa GENEtIK DaN PENGEtaHUaN traDIsIONaL

BErDasarKaN rEZIM HUKUM PatEN DI Era MasYaraKat EKONOMI asEaN

Simona BustaniFakultas Hukum Universitas Trisakti

simoni.funny @gmail.com

ABSTRACT

Genetic resources is economic potential assets and become the raw material for biotechnology and pharmacy development. Utilization and commercialization Genetic Resources generally involve traditional knowledge which resulted theft, misappropriation through the patent regime and protection of plant varieties. Role of the state is required to protect the Genetic Resources and traditional knowledge. How the role of the state protect and increase the economic potential genetic resources and traditional knowledge to conserve genetic resources and traditional knowledge? Indonesian Law has been regulated genetic resources and traditional knowledge in Act of Republic Indonesia No 13 of 2016 on Patent in the Era if ASEAN Economic Community In protecting the interests of the nation are already reasonably country plays an active role. This is not contrary to article 3 and article 15 of the CBD. One of the efforts made the country is to enter the prior informed consent in law number 13 of 2016 about patens that are set in article 26 and article 132. However, the implementation must be equipped mutual agreement which regulate about Access disclosure and profit sharing. The reality, the Act of the Patent still not optimal for regulated the role of the nation, because of not regulated about Access disclosure, profit sharing, administration of manage and utilize Genetic resources and traditional knowledge from the foreign nation. Therefore, the regulation need the right strategy to regulate institutions and community empowerment to optimal protect genetic resources and traditional knowledge.

Keywords: SDG Protection, Traditional Knowledge and Country Role.

Page 398: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 390 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

PENDAHULUAN

Kondisi masyarakat ASEAN yang semakin menglobal mendorong dibentuknya kawasan yang terintegrasi dikenal dengan Masyarakat Ekonomi Asean yang disingkat MEA. Salah satu tujuan dibentuknya MEA untuk memperkecil kesenjangan antara negara-negara di ASEAN, terkait dengan pertumbuhan ekonomi dan memperkecil ketergantungan negara-negara ASEAN terhadap negara diluar non ASEAN. Diharapkan dengan adanya MEA dapat menghasilkan blok perdagangan tunggal yang dapat menangani dan bernegosiasi dengan eksportir dan importer non ASEAN.443 Untuk mewujudkan tujuannya, MEA fokus pada 4 pilar yaitu: Pertama, negara di kawasan ASEAN dijadikan kesatuan pasar yang berbasis produksi, maka dapat tercipta arus perdagangan, investasi, modal dalam jumlah besar dan tenaga kerja tidak lagi menjadi hambatan. Kedua, Mea membentuk kawasan ekonomi dengan kompetensi tinggi, salah satunya adalah hak kekayaan intelektual. Ketiga, Mea membentuk kawasaan ekonomi yang merasa dengan memprioritaskan Usaha Kecil Menengah, disingkat UKM. Keempat, MEA mengintegrasikan secara penuh perekonomian global. Oleh karena itu, dilihat dari empat target yang ingin di capai MEA, maka peran hak kekayaan intelektual menjadi penting, karena HKI hampir semua sektor kehidupan terutama pada perdagangan.

Disisi lain, kondisi ini menimbulkan masalah tersendiri bagi Indonesia. Salah satu contohnya keberadaan hak kekayaan intelektual menjadi salah satu pilar yang menentukan dalam rangka MEA, yang berdampak bagi perlindungan sumber daya genetik, selanjutnya disingkat SDG.

SDG dan pengetahuan tradisional yang dimiliki negara berkembang seperti Indonesia dapat digunakan sebagai bahan baku bagi invensi farmasi atau bioteknologi melalui rezim hukum paten dan varietas tanaman. Hal ini perlu mendapat perhatian, karena Indonesia sebagai negara nomor dua di dunia yang memiliki kekayaan SDG yang masuk dalam sumber keanekaragaman hayati dunia, sebesar 15,3 % ada di Indonesia. Terkait tanaman obat dunia sebanyak 30 ribu spesies

443Arya Baskoro,” Peluang, Tantangan dan Resiko Bagi Indonesia Dengan Adanya Masyarakat Ekonomi Asean” http://crmsindonesia.org/knowledge/crms-articles/peluang-tantangan-dan-resiko-bagi-indonesia-dengan-adanya-masyarakat-ekonomi. diakses tanggal 4 September 2016.

Page 399: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 391 |

dari 40 ribu spesies dunia, ada di Indonesia. Namun, sampai saat ini yang terdata dan dimanfaatkan dalam industri hanya 300 spesies. Data yang diperoleh dari Kementerian Lingkungan Hidup memperkirakan bahwa nilai tanaman obat Indonesia mencapai nilainya 14,6 milyar dolar.AS444

Melihat tingginya potensi nilai ekonomi yang melekat pada SDG di Indonesia, menjadikan Indonesia rawan dengan tindakan pembajakan keanekaragaman hayati termasuk SDGnya. Ada beberapa kasus yang terkait pembajakan SDG negara-negara berkembang, diantaranya salah satu kasus di India kasus ”Basmati Rice” yang merupakan jenis padi yang memiliki ke khasan keharumannya. Jenis padi ini tumbuh sejak ribuan tahun lalu, tumbuh di kaki gunung Himalaya di sebelah India. Namun, secara diam-diam Basmati Rice ini telah didaftarkan paten dan merek oleh perusahaan Amerika ”Rice Tec Inc. Akibat pencurian bibit padi ini, membuat marah Pemerintah India yang membawa kasus ini ke sidang WTO dan dimenangkan oleh India.

Pembajakan Basmati Rice mengakibatkan permasalahan hukum yang berdampak langsung terhadap pembajakan kekayaan intelektual kolektif masyarakat asli India yang menjadi warisan keanekaragaman hayati. Pembajakan secara langsung mengganggu pasar dan eksportir India, yang berdampak menimbulkan kebingungan konsumen karena Rice Tech Inc menggunakan nama Brasmati untuk beras yang diturunkan dari beras India tetapi tidak ditanam di India dan memiliki kualitas yang lebih rendah.445

Di Indonesia kasus yang sama pernah terjadi pada tahun 1995, dimana perusahaan kosmetik Shiseido dari Jepang telah melakukan pembajakan hayati dengan mengajukan 51 permohonan paten tanaman obat dan rempah asli Indonesia . Perbuatan ini dilakukan secara diam-diam oleh perusahan Shiseido tersebut telah memiliki 9 paten yang diperoleh dari tanaman asli Indonesia, diantaranya kayu rapet, kemukus, tempuyung, belantas, mesoyi, pule, pulowaras dan sintok, kesemua bahan tersebut berkhasiat anti penuaan yang didaftarkan ke

444Bebed Djundjunan, “Sistem Hukum Internasional Belum Memberikan Perlindungan Efektif Terhadap GRTKTCE,” www.tabloiddiplomasi.org diakses tanggal 5 September 2016

445Efridani Lubis, Perlindungan dan Pemanfaatan Sumber Daya Genetik, Berdasarkan Penerapan Konsep Sovereign Right dan Hak Kekayaan Intelektual, (Bandung: Alumni, 2009) h 5.

Page 400: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 392 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

di Jepang juga di beberapa negara antara lain Inggris, Jerman, Perancis dan Italia.

Pelanggaran tanaman obat ini, diselesaikan oleh salah satu organisasi non pemerintah di Indonesia melalui gugatan ke Pengadilan Jepang dan putusannya dibatalkannya patennya perusahan Shiseido.446

Kasus pembajakan sumber daya genetik yang dilakukan oleh pihak asing yang terjadi pada bulan Juni 1995, menghasilkan hak-hak paten di Eropa untuk jamur minyak neem dan hak-hak paten Amerika Serikat untuk invensi mengenai formula azadirachtin. Pelanggaran ini digugat kelompok petani India dan Lembaga Swadaya masyarakat yang bermarkas di Jerman. Kedua paten mempunyai klaim yang sama sebagai pengontrolan jamur pada tanaman dari biji pohon neem. Akhirnya paten tersebut dibatalkan dan dianggap pengetahuan tradisional yang diproses secara tradisional oleh masyarakat India untuk membasmi jamur dan serangga.447

Kekayaan SDG inilah yang dapat dijadikan salah satu asset untuk meningkatkan potensi ekonomi di era MEA. Hal ini sudah sewajarnya mengingat SDG menjadi bahan baku bagi pengembangan industri bioteknologi termasuk industri farmasi yang umumnya dilindungi dalam rezim hukum paten. Namun, Indonesia belum mencapai tahap untuk mengembangkan industri bioteknologi yang bersumber dari SDG sebagai bahan bakunya dan pengetahuan tradisonal sebagai informasi awal untuk pengembangan bioteknologi dan farmasi.

Potensi ekonomi dari pemanfaatan dan komersialisasi SDG biasanya yang melibatkan pengetahuan tradisional, mendorong terjadinya pencurian dan penyalahgunaan SDG serta pengetahuan tradisional melalui sistem paten. Selain itu, pelanggaran lain yang dilakukan adalah pengambilan dan pengumpulan SDG dan pengetahuan tradisional tanpa ijin pemiliknya yaitu masyarakat adat sebagai pemiliknya.448

446Shiseido, Batalkan Paten Rempah Indonesia, Kompas, 26 Maret 2002., diakses 9 Juni 2016

447Zainul Daulay, Pengetahuan Tradisional Konsep, Dasar Hukum dan Prakteknya, ( Jakarta: RajaGrafindo, 2011) h 4

448Dede Mia Yusanti, “ Perlindungan Sumber Daya Genetik Melalui Sistem Hak Kekayaan Intelektual,” Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik Di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional, Tangerang Ditjen KI, tahun 2009, h 54

Page 401: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 393 |

Oleh karena itu perlindungan pengetahuan tradisional tidak dapat dilepaskan dari SDG. Keberadaan pengetahuan tradisional membuat SDG dapat dikembangkan menjadi produk atau proses yang dapat dimanfaatkan secara komersial. Sehingga antara SDG dengan pengetahuan tradisional saling terkait dan pengetahuan tradisional merupakan komponen intangible dari SDG.

Sejauh ini Pemerintah berupaya melindungi SDG dengan cara merafisikasi Convention on Biological Diversity, disingkat CBD yang diratifikasi dengan Undang Undang Nomor 5 Tahun 1994. Selanjutnya Pemerintah Indonesia juga merafikasi Protokol Nagoya dengan UU Nomor 11 Tahun 2013 Tentang Pengesahan Nagoya Protocol On Access To Genetic Resources And The Fair And Equitable Sharing Of Benefits Arising From Their Utilization To The Convention On Biological Diversity (Protokol Nagoya Tentang Akses Pada Sumber Daya Genetik Dan Pembagian Keuntungan Yang Adil Dan Seimbang Yang Timbul Dari Pemanfaatannya Atas Konvensi Keanekaragaman Hayati).

Berdasarkan kedua perjanjian internasional ini merupakan perjanjian internasional yang memfokuskan perlindungan SDG dan pengetahuan tradisional. maka perlindungan SDG dan pengetahuan tradisional dimasukkan dalam rezim hukum paten, diatur dalam Pasal 26 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2016 Tentang Paten. Dalam ketentuan ini mengharuskan setiap pengajuan invensi harus mengungkapkan dengan jelas dan benar asal sumber daya genetik dan/atau pengetahuan tradisional dalam deskripsi paten. Ketentuan ini sejalan dengan Nagoya Protokol yang dimaksudkan dalam rangka Access Benefit Sharing sebagai upaya melindungi Sumber Daya Genetik dan PengetahuanTradisional ( SDGPT).449

Dalam hal ini Pemerintah mencoba berperan dengan mulai memasukkan ketentuan perlindungan SDG dan pengetahuan tradisional dalam regulasi. Namun, peran Pemerintah belum maksimal, karena adanya benturan kepentingan yang antara negara berkembang termasuk Indonesia dengan negara maju penggagas hak kekayaan intelektual.

449Agung Damarsasongko,”Perubahan Undang-Undang Merek, Desain Industri dan Paten,”Training For Theachers Organized By IIPA, CLE,Supported By WIPO, Depok : Universitas Indonesia, 28 Agustus- 1 September 2016 .

Page 402: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 394 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

Oleh karena itu, negara maju terbagi pada dua kelompok yaitu kelompok pertama, yang menolak untuk mengamandemen Pasal 27 ayat 3 huruf b TRIPs yang menyatakan bahwa SDG dan pengetahuan tradisional tetap merupakan obyek paten dan tidak boleh menghalangi invensi baru. Kelompok kedua yang didukung oleh negara Jepang, Amerika, Canada dan Australia yang menudukung amandemen Pasal 27 ayat 3 huruf b TRIPs. Kelompok lainnya yang tidak mengambil posisi adalah Singapura dan Malaysia. Namun, kelompok pertama dan kedua ini tidak menginginkan adanya pengungkapan negara asal SDG dan pengetahuan tradisional.

Akibat tidak adanya kesepahaman di tingkat internasional dalam melindungi SDG dan pengetahuan tradisional, maka upaya yang ditempuh Pemerintah adalah memasukkan Pasal 26 Undang-Undang No 13 Tahun 2016 Tentang Paten.

Sikap Pemerintah ini termasuk berani dan menjadi langkah awal untuk menindak lanjuti di tingkat regulasi dan selanjutnya perlu mengupayakan implementasi dalam melindungi SDG dan pengetahuan tradisional Indonesia. Namun, masih perlu jalan panjang bagi negara untuk memperoleh kedaulatannya, sesuai yang diamanatkan Pasal 33 ayat 2 dan ayat 3 UUD 1945. Oleh karena itu, Berkaitan dengan perlindungan SDG dan pengetahuan tradisional tidak dapat mengesampingkan peran negara sebagai pemegang kedaulatan. Namun, untuk memperoleh perannya, Negara membutuhkan strategi yang tepat mengingat selama ini peran Negara hampir tidak ada. saat terjadi pembajakan dan pemanfaatan secara komersial oleh pihak asing yang merugikan pelestarian dan kesejahteraan bangsa yang berdampak hilangnya potensi ekonomi melalui rezim hukum paten dan perlindungan varietas tanaman.

PERMASALAHAN

Bagaimana peran Negara dalam melindungi SDG dan pengetahuan tradisional berdasarkan Pasal 26 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2016 Tentang Paten sebagai upaya melestarikan dan meningkatkan potensi ekonomi di era MEA?

Page 403: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 395 |

ANALiSiS DAN PEMBAHASAN

Pentingnya Perlindungan Sumber Daya Genetik dan Pengetahuan Tradisional Untuk Mendukung Kesejahteraan Bangsa di indonesia.

Salah satu perjanjian internasional terkait dengan pelestarian keanekaragaman hayati termasuk sumber daya genetik adalah CBD yang merupakan kesepakatan internasional mengenai konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan sumber daya hayati serta mengatur kewajiban negara dalam melakukan eksploitasi guna menunjang adanya pembagian keuntungan yang adil dalam pemanfaatan komponen-komponen sumber daya genetik, yang merupakan salah satu komponen dari sumber daya hayati. Dalam CBD, sumber daya genetik dikenal sebagai Plasma Nutfah atau gen yang merupakan bahan tanaman, hewan atau mahluk lain yang mengandung satuan-satuan fungsional pewaris sifat yang mempunyai nilai, baik aktual maupun potensial. Dalam perkembangannya, gen ini merupakan sumber sifat keturunan yang dapat dimanfaatkan dalam rekayasa penciptaan bibit unggul. Dalam CBD, pengertian keanekaragamanan hayati sering dicampur-andukkan dengan Plasma Nutfah.

Kenyataannya, keanekaragaman hayati memiliki pengertian yang lebih luas karena mencakup keanekaragaman organisme di alam, baik yang liar maupun yang telah dibudidayakan, termasuk lingkungan hidupnya. Sedangkan pengertian Plasma Nutfah lebih sempit karena hanya meliputi keanekaragaman sumber daya genetik.450 Dalam hal ini, SDG yang mencakup semua spesies tanaman, hewan maupun mikroorganisme serta ekosistem dimana semua spesies dan mikroorganisme menjadi bagian secara holistik. Di sisi lain pengetahuan tradisional merupakan aspek yang terkait dengan sumber daya genetik yang menjadi komponen intangible dari SDG.451

Salah satu pengertian mengenai SDG, adalah bahan genetik yang mempunyai nilai potensial dan aktual, sedangkan bahan-bahan genetik merupakan segala macam bahan yang kaitan dengan tanaman,

450Kusuma Diwyanto & Bambang Setiadi, “ Peran Komisi Plasma Nutfah dalam Pengelolaan Pemanfaatan dan Pelestarian Sumber Daya Genetik Pertanian”, diakses pada htpp://www.indoplasma.or.id/artikel/2005-peran –knpn.htm, diakses tanggal 3 Januari 2016

451 Dede Mia Yusanti, Op.Cit, h 54

Page 404: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 396 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

binatang, mikroba atau bahan asli lainnya yang mengandung satuan fungsi turunan.452

Dalam Pasal 2 CBD; pemahaman SDG adalah bahan genetic yang memiliki nilai guna, baik secara nyata maupun yang masih berpotensi. Selanjutnya bahan genetic dijelaskan sebagai unit fungsional hereditas yang terdapat dalam tumbuhan, hewan maupun mikro biologi.453 Pemahaman SDG ini meliputi perlindungan in situ dan ex situ. In situ adalah perlindungan memelihara ekosistem dan habitat alami dalam lingkungan alaminya, dimana lingkungan sifat khususnya berkembang.454 Perlindungan ex situ adalah upaya melestarikan tanaman di luar wilayah asalnya dengan menggunakan system penyimpanan tanaman seperti kebon raya, atau bank benih.455 Perlindungan on farm adalah perlindungan terkait dengan in situ atau ex situ adalah upaya melindungi pengembangan oleh petani melalui seleksi dari generasi ke genaerasi tanpa intervensi pemulia tanaman.

Berdasarkan pemahaman ini, keanekaragaman hayati dapat dikelompokkan dalam tiga kategori, yaitu keanekaragaman gen, keragaman spesies dan keragaman ekosistem. Keragaman gen menunjukkan variasi gen dalam suatu spesies, misalnya keragaman gen yang terdapat pada ratusan varietas tradisional padi di India. Keragaman spesies menunjukkan keragaman spesies di suatu daerah. Keragaman ini diukur dari keragaman hewan, tumbuhan, bakteri dan sebagainya. Keragaman ekosistem meliputi keseluruhan keragaman spesies dan gen yang terdapat pada daerah yang terhubung dalam suatu ekosistem tertentu.456 Sementara itu keanekaragaman hayati hanya mencakup keanekaragaman genetik, keanekaragaman spesies, keanekaragaman ekosistem, konservasi dan pelestarian sumber daya genetik.

452Abdul Bari Azed, “ Kepentingan Negara Berkembang atas Indikasi Geografis Sumber Daya Genetik dan Traditional Knowledge”, (Makalah Lokakarya, Kepentingan Negara Berkembang Terhadap Hak Atas Indikasi Geografis, Sumber Daya Genetika dan Pengetahuan Traditional, Jakarta: Dirjen HKI, 6 April 2014) hal 3&9)

453Efridani Lubis, Op.Cit, h 45. 454Ibid, h 406455Ibid, h 410456Directory of Genetic Biodiversity and Ecolocy, “Krisis dan Erosi Sumber Keanekaragaman

Hayati”, diakses pada htpp://www.members.tripod.com/-biodiv/krisis.htm, tanggal 10 Juni 2016.

Page 405: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 397 |

Keanekaragaman hayati atau biological diversity merupakan istilah yang digunakan untuk menerangkan keragaman, variabilitas dan keunikan gen, spesies dan ekosistem. Dengan kata lain, keragaman hayati adalah keragaman kehidupan di bumi, termasuk keragamanan manusia.457 Berdasarkan CBD yang telah diratifikasi Pemerintah Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994, keanekaragaman hayati merupakan keanekaragaman di antara mahluk hidup dari semua sumber termasuk di antaranya daratan, lautan dan ekosistem lainnya serta komplek-komplek ekologi yang merupakan keanekaragamannya, mencakup keanekaragaman dalam spesies, antara spesies dengan ekosistem.

Berdasarkan pemahaman ini, keanekaragaman hayati dapat dikelompokkan dalam tiga kategori, yaitu keanekaragaman gen, keragaman spesies dan keragaman ekosistem. Keragaman gen menunjukkan variasi gen dalam suatu spesies, misalnya keragaman gen yang terdapat pada ratusan varietas tradisional padi di India. Keragaman spesies menunjukkan keragaman spesies di suatu daerah. Keragaman ini diukur dari keragaman hewan, tumbuhan, bakteri dan sebagainya. Keragaman ekosistem meliputi keseluruhan keragaman spesies dan gen yang terdapat pada daerah yang terhubung dalam suatu ekosistem tertentu.

Kenyataannya selama ini perlindungan SDG maupun pengetahuan tradisional melalui perjalanan yang panjang, diawalnya menggunakan konsep Common Heritage of Mankind yang disingkat dengan CHM yang menekankan tidak adanya kedaulatan negara atas wilayahnya terkait dengan SDGnya. Konsep CHM ini bertujuan untuk ketahanan pangan dan kesehatan.458 Kelebihan konsep CHM ini adalah dalam pemanfaatan SDG dan pengetahuan tradisional tidak perlu memperoleh ijin dari negara asalnya, namun hasilnya dapat diakses oleh semua negara, tidak terbatas hanya pada pihak yang mengakses. Oleh karena konsep ini banyaknya ditentang oleh negara berkembang, sehingga konsep ini hanya dapat diterapkan pada wilayah

457Hira Jhamtani & Lutfiyah Hanim, Globalisasi Monopoli Pengetahuan, Telaah Tentang TRIPs dan Keragaman Hayati, ( Jakarta: INFID, KONPHALINDO, 2002), h. 52-53.

458Ahmad Redi, Analisis dan Evaluasi Tentang Sistem Sumber Daya Genetik, Pusat Penelitian Dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republic Indonesia, ; Jakarta, 2015,h 22

Page 406: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 398 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

diluar yuridiksi negara dan dipertahankan untuk mempermudah pertukaran SDG dalam memperrtahankan kebutuhan pangan dunia serta kesehatan.459

Berikutnya konsep Hak Kekayaan Intelektual, disingkat dengan HKI. Konsep ini berada pada Pasal 27 ayat 3 huruf b TRIPs memiliki konsep individual, karena konsep HKI bertujuan untuk memungkinkan individu-individu mengembangkan karya intelektual dengan menggunakan bahan baku SDG dan pengetahuan tradisional tanpa adanya konpensasi ke Negara pemiliknya. Oleh karena tingginya pertentangan maka Masyarakat Ekonomi Eropa yang bergabung dalam World Intellectual Property Organization yaitu mensahkan CBD pada tahun 1992, yang saat ini telah diratifikasi oleh 188 negara berkembang termasuk Indonesia. Indonesia mensahkannya dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1994 Tentang Pengesahan United Nation Convention on Biological Diversity {Lembaran Negara. 1994-41, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3556}460 yang bertujuan memberi peluang bagi negara berkembang untuk memiliki kedaulatannya mengelola SDG dan pengetahuan tradisionalnya. Dalam Pasal 8 (j) CBD mencoba memberikan definisi dan pemahaman yang memberikan pedoman tentang ruang lingkup keanekaragaman hayati yang menjadi sumber daya genetic dan traditional knowledge yaitu :461

“Menunjukkan sistem pengetahuan, kreasi inovatif dan ekspresi kultural yang umumnya telah disampaikan dari generasi ke generasi yang pada umumnya telah dikembangkan secara non sistematis dan terus menerus sebagai respon pada lingkungan yang sedang berubah. Lingkup atau kategori traditional knowledge mencakup pada pengetahuan, pertanian, pengetahuan ilmiah, pengetahuan teknis, pengetahuan ekologis, pengetahuan medis, pengetahuan yang berkaitan dengan keanekaragaman hayati, cerita rakyat, musik tarian, kerajinan desain dan indikasi geografis.”

459Efridani Lubis, Op.Cit, h 449. 460Achmad Zen Umar Purba,”Peranan Sumber Daya dan Investasi Asing dalam

Perkembangan Hukum Internasional Komteporer” Jurnal Hukum Bisnis, ( Jakarta : Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, No 3, Volume 24, Tahun 2005) hal 41.

461Lihat CBD Ad-Hoc Open- ended Working Group on Acces and Benefit Sharing, Report on The Role of Intellectual Property Right in The Implementation of Acces and Benefit- Sharing Ararrangements (UNEP/CBD/WG-ABS/1/4,diakses tanggal 10 Juni 2014)

Page 407: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 399 |

Berdasarkan CBD dapat dilihat bahwa traditional knowledge dibagi dalam 3 (tiga) kelompok, yaitu karya folklore462, indikasi geografis dan keanekaragaman hayati yang di dalamnya mencakup sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional. SDG secara karakter terkait dengan kepemilikan dan kontrol yang dibagi tiga kelompok, yaitu; SDG dalam bentuk aslinya, SDG yang dikembangkan secara tradisional dan dikembangkan secara bioteknologi modern. Perbedaan karakter disesuaikan oleh pemangku kepentingan.463 Sehingga dapat dikatakan bahwa untuk menghindari pembajakan sumber daya genetik dan hilangnya keanekaragaman hayati, maka Uni Eropa mengadakan kesepakatan perlindungan keanekaragaman hayati dengan dikeluarkannya CBD yang secara khusus pada Article 8 ( j) CBD. Selanjutnya CBD mengembangkan konsep sovereign right yang menjembatani kepentingan negara maju dan negara berkembang. Konsep sovereign right merefleksi idealisme bahwa country of origin memiliki kepemilikan secara hukum atas SDG di wilayahnya dan berhak atas pengontrolan, pengambilan dan penggunaannya.464 Dalam konsep ini, negara diberikan hak mengatur akses dan persyaratan SDG di wilayahnya. Hanya saja hak negara sebatas SDG in situ, sehingga negara harus memiliki kemampuan negosiasi agar dapat melaksanakan konsep ini, karena aturan mainnya berdasarkan kontrak.

Analisis Peran Negara Untuk Melindungi Melestarikan dan Meningkatkan Potensi Ekonomi SDG dan Pengetahuan Tradisional Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Paten di Era MEA

Berkaitan dengan perlindungan SDG dan pengetahuan tradisional dibutuhkan Negara yang berdaulat dan memiliki kekuatan untuk mengatur wilayahnya sesuai dengan tujuan negara bersangkutan. Oleh karena itu, CBD mencoba mengakomodasi kepentingan negara berkembang termasuk Indonesia atas keinginannya melindungi kekayaan hayatinya termasuk SDG dan pengetahuan tradisionalnya, sesuai ketentuan dalam Pasal 8 huruf j CBD. Selanjutnya peran

462 Sekarang ini dalam Undang-Undang No 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta disebut Ekspresi Budaya Tradisional

463Efridani Lubis, Op.Cit, h 251464Ahmad Redi, Op.Cit,h 23

Page 408: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 400 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

negarapun ada dalam CBD. Hal ini dapat dilihat pada dapat dilihat dalam Pasal 3 CBD yaitu;

setiap Negara mempunyai hak berdaulat untuk memanfaatkan sumber-sumber dayanya sesuai dengan kebijakan pembangunan lingkungannya sendiri, dan tanggung jawab untuk menjamin bahwa kegiatan-kegiatan yang dilakukan di dalam yurisdiksinya atau kendalinya tidak akan menimbulkan kerusakan terhadap lingkungan Negara lain atau kawasan di luar batas yurisdiksi nasionalnya.

Berdasarkan Pasal 3 CBD ini negara berdaulat untuk mengatur akses SDGnya di wilayahnya berarti in situ. Namun, secara ex situ tidak berwenang. Selanjutnya dalam Pasal 15 ayat 1 CBD menyatakan:

Mengakui hak berdaulat Negara-Negara atas sumber daya alamnya, kewewenangan menentukan akses kepada sumber daya genetik terletak pada pemerintah nasional dan tergantung pada perundang-undangan nasionalnya.

Dalam Pasal 15 ayat 1 CBD sudah cukup tegas mengatur, bahwa negara berhak untuk pemeliharaan SDG di wilayahnya. Bentuk perlindungannya dapat dilihat pada Pasal 15 ayat 4 CBD yang menyatakan bahwa untuk mengambil SDG dan pengetahuan dari negara lain, harus atas dasar persetujuan bersama dan tergantung pada persyaratan dalam pasal ini. Selanjutnya dalam ayat 5 menyatakan bahwa pengambilan sumber daya genetik wajib didasarkan mufakat Pihak yang menyediakan sumber daya tersebut yang diinformasikan sebelumnya,kecuali ditentukan berbeda oleh Pihak pemiliknya.

Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa Pasal 15 CBD, yang membahas mengenai mekanisme akses terhadap sumber daya genetik bertujuan peningkatan transparansi dalam proses permohonan paten, dengan cara penyampaian informasi tentang asal usul penemuan tersebut. Dalam ayat (1) ditegaskan mengenai kewenangan Negara untuk menentukan akses terhadap sumber daya genetik. Berdasarkan ayat (4) dan ayat (5) dimungkinkan untuk mengatur akses terhadap sumber daya genetik berdasarkan persetujuan yang disepakati bersama.465 Ketentuan ini merupakan salah satu mekanisme kontrol

465Miranda Risang Ayu, Harry Alexander, Wina Puspita, Hukum Sumber Daya Genetik, Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional di Indonesia, )Bandung;Alumni, 2014) , h 148

Page 409: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 401 |

Negara terhadap akses terhadap sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional adalah Prior Informed Consent (PIC) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (5) CBD. Selanjutnya dalam Pasal 6 (1) Protokol Nagoya dijelaskan bahwa akses terhadap sumber daya genetic harus tunduk pada persetujuan pada Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal (Prior Informed Consent)di singkat (PIC) dari pihak penyedia sumber daya. Sama halnya diatur dalam pengetahuan tradisional yang terkait dengan sumber daya genetik yang dimiliki oleh masyarakat lokal yang dapat diakses dengan persetujuan atas dasar informasi awal. Oleh karena itu, keberadaan dan keterlibatan masyarakat lokal menjadi penting dalam kesepakatan bersama yang telah ditetapkan.

Dalam implementasi PIC tersebut, pemerintah wajib mengambil kebijakan hukum yang tentang mekanisme akses secara prosedur, termasuk diantaranya sistem perizinan dalam pemanfaatan sumber daya genetik dan atau pengetahuan tradisional.466 Sehingga menjadi kewajiban bagi pemerintah untuk menciptakan struktur dengan cara menunjuk lembaga yang berwenang untuk mengadministrasikan dimulai dari perijinan sampai pembuatan kesepakatan bersama yang merupakan perjanjian timbal balik dan dituangkan dalam kesepakatan bersama, yang disebut Mutually Agreed Terms, disingkat MTA.467

Selanjutnya berdasarkan Pasal 7 Protokol Nagoya, mewajibkan negara harus mengambil tindakan legislatif, administratif dan kebijakan untuk memastikan bahwa pengetahuan tradisional dapat diakses melalui PIC dan MTA. 468Perjanjian ini penting dilakukan untuk melindungi masyarakat adat atas pengetahuan tradisional mereka yang tunduk dalam filosofi komunal.

Konsep kedua adalah konsep HKI yang termuat dalam Pasal 27 ayat 3 huruf b TRIPs menyatakan bahwa:

“Tumbuhan dan hewan selain jasad renik, dan proses biologis untuk memproduksi tumbuhan atau hewan selain proses non-biologis dan mikrobiologis.Tetapi, Anggota wajib memberikan perlindungan terhadap varietas tumbuhan baik dalam bentuk paten atau sistem sui generis yang efektif atau kombinasi dari kedua bentuk perlindungan tersebut. Ketentuan ini akan ditinjau kembali setelah lewat waktu empat tahun

466Ibid, h 228467Ibid, h 229-230468Ibid, h 222

Page 410: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 402 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

sejak berlakunya Persetujuan tentang Pembentukan MOPD.”

Berdasarkan perjanjian TRIPs memungkinkan diberikannya paten untuk material genetik dan pengetahuan tradisional melalui paten dan varietas tanaman tertentu tanpa memperhatikan dan memasukkan ketentuan PIC dan pembagian keuntungan. Dalam perjanjian TRIPs tidak mengatur perlindungan bagi SDG yang dijadikan bahan baku bagi hak paten atau varietas tanaman. Oleh karena itu, dalam Pasal 27 ayat 3 huruf b TRIPs diatur ketentuan bahwa SDG maupun pengetahuan tradisional tidak boleh menghalangi pengembangan hukum paten dan perlindungan varietas tanaman.

Keberadaan Pasal 27 ayat 3 huruf b TRIPs juga mensyaratkan bahwa untuk mendapatkan hak paten harus memenuhi syarat kebaruan, langkah inventif dan dapat diterapkan dalam industri. Ketentuan ini tidak mungkin dapat dipenuhi oleh pengetahuan tradisional untuk mendapatkan hak paten, khususnya nilai kebaruan. Berdasarkan perjanjian TRIPs memungkinkan diberikannya paten untuk material genetik dan juga varietas tanaman tertentu.

Penerapan konsep HKI ini memunculkan pro dan kontra antara Negara berkembang dan Negara maju. Kondisi ini mengakibatkan ketidak seimbangan antara Negara berkembang sebagai Negara maju. Akibatnya terjadi pertentangan dan disharmonisasi antara ke dua perjanjian internasional ini, yaitu Pasal 27 ayat (3) b TRIPs dengan Pasal 8 huruf J CBD. Dalam Pasal 27 ayat 3 huruf b TRIPs yang memberikan pemanfatan SDG pada paten sebagai hak pribadi dalam yuridiksi global. Keberadaan TRIPs menimbulkan adanya keterbatasan kedaulatan Negara dalam mengakui hak komunitas masyarakat tradisional. Sehingga dapat dikatakan bahwa TRIPs memfasilitasi paten dan yang mendukung kepemilikan pribadi serta berpihak kepada Negara industri. Kondisi ini berbanding terbalik dengan konsep masyarakat tradisional yang berlandaskan sifat komunal.469 Sedangkan CBD mengembangkan konsep sovereign right dalam melindungi SDG dan pengetahuan tradisional dengan memberlakukan adanya PIC serta pembagian keuntungan. Sehingga melahirkan adanya penghormatan atas kedaulatan Negara tempat asal SDG470. Sehingga dapat dikatakan

469Dede Mia Yusanti, Op.Cit, h 55470Ibid, h 55

Page 411: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 403 |

TRIPs merupakan perjanjian internasional yang bertentangan dengan CBD. Akibatnya dengan berlakunya CBD, maka mendorong perlunya amandeman pada Pasal 27 ayat 3 huruf b TRIPs..

Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa berdasarkan CBD dan Protokol Nagoya maka kedaulatan negara perlu ditegakkan. Hal ini sesuai dengan konstitusi Indonesia yaitu Pasal 33 ayat (2) UUD 1945,yaitu

Cabang-cabang Produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara. Selanjutnya pada Pasal 33 ayat 3 Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat

Berdasarkan Pasal 33 ayat 2 dan ayat 3 UUD 1945, maka kewenangan negara untuk mengatur SDG dan pengetahuan tradisional tetap ada pada negara. Oleh karena itu, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi telah merumuskan mengenai kewenangan negara adalah dikuasai negara. Makna penguasaan negara dalam arti luas yang bersumber dan diturunkan dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaannya bumi, air, dan kekayaaan alam yang terkandung di dalamnya, termasuk pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat dan sumber kekayaan. Selanjutnya kalimat “sebesar-besarnya demi kemakmuran rakyat yang menjadi ukurannya kewenangan negara untuk melakukan tindakan pengurusan, pengaturan, atau pengelolaan atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Oleh karena itu, menurut Mahkamah Konstitusi ketentuan kemakmuran rakyat di dasarkan pada efektivitasnya yang terbagi pada dua peringkat untuk peringkat; pertama yang paling penting adalah negara melakukan pengelolaan secara langsung misalnya Migas. Pada peringkat kedua adalah merupakan kausalitas dalam penyelenggaraan sumber daya alam Indonesia.471 sehingga dapat dikatakan bahwa konsep sovereign right paling tepat dalam rangka melindungi SDG dan pengetahuan tradisional karena konsep ini tidak bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945. Disisi lain, kelemahan konsep sovereign right hanya untuk in situ tidak untuk ex situ. Sehingga sudah saatnya Indonesia memperjuangkan negara berdaulat melindungi SDG secara luas meliputi in situ maupun ex situ.

471Ahmad Redi, Op.Cit, h 37-39

Page 412: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 404 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

Dalam Pasal 8 huruf j CBD juga mengatur perlindungan traditional knowledge, yang salah satunya adalah pengetahuan tradisional. Pengetahuan tradisional menurut perspektif WTO memiliki karakteristik khusus, yaitu:

a. Sebuah pengetahuan yang dipraktikkan secara turun menurun.b. Kepemilikan dari pengetahuan tradisional bersifat komunalc. Pengetahuan tradisional merupakan hasil interaksi antara

penemuan dengan alamArticle 8 (j) CBD merupakan salah satu pasal penting bagi negara

berkembang yang secara langsung mengakui nilai-nilai tradisional secara turun menurun dalam memelihara dan memanfaatkan SDG.

Di sisi lain adanya pengakuan bahwa sebagian besar pengetahuan tradisional merupakan suatu karya intelektual dari masa lalu dan masih dimungkinkan untuk mengalami perkembangan di masa akan datang, digunakan dan diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi.472

Di terimanya ketentuan disclosure requirement dalam Undang-Undang Noor 13 Tahun 2016 Tentang Paten dengan menambahkan persyaratan formal dalam aplikasi paten yang dimuat dalam deskripsi. Bagi invensi yang menggunakan SDG dan pengetahuan tradisional, perlu melengkapi dokumennya harus disertai adanya PIC atau perjanjian antara inventor dengan masyarakat setempat untuk memanfaatkan SDG dan/ atau pengetahuan tradisional. Penambahan ini membebani penentuan invensi yang patentable.473

Ketentuan PIC telah diatur dalam Pasal 26 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten yang menyatakan:

(1) Jika Invensi berkaitan dengan dan/atau berasal dari sumber daya genetik dan/atau pengetahuan tradisional, harus disebutkan dengan jelas dan benar asal sumber daya genetik dan/atau pengetahuan tradisional tersebut dalam deskripsi.

(2) Informasi tentang sumber daya genetik dan/atau pengetahuan

472Badan Penelitian dan Pengembangan HAM Kementerian Hukum dan HAM RI, Perlindungan Kekayaan Intelektual Atas Pengetahuan Tradisional & Ekspresikan Budaya Tradisional, Bandung: 2013, 23-24

473Konphalindo, “Sistem Paten Tidak Boleh Menjarah Sumber Daya Genetik dan Pengetahuan Tradisional,” Conference Of Parties 9 CBD, Bonn Jerman, 19 -30 Mei 2008, h 5

Page 413: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 405 |

tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh lembaga resmi yang

diakui oleh pemerintah.(3) Pembagian hasil dan/atau akses pemanfaatan sumber daya

genetik dan/atau pengetahuan tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan perjanjian internasional di bidang sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional.Dalam Pasal 26 Undang-Undang No 13 Tahun 2016 Tentang

Paten mengatur mengenai ketentuan PIC yang sebelumnya perlu didiskusikan dalam konteks kepemilikan berkaitan dengan penetapan yang berhak memberi ijin. Apabila pemohon paten tersebut tidak mencantumkan SDG atau pengetahuan tradisional pada deskripsi patennya sesuai ketentuan Pasal 26 Undang-Undang Paten, maka dalam Pasal 132 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2016 Tentang Paten dilakukan penghapusan paten bagi invensi yang bersuber dari sumber daya genetik dan/atau pengetahuan tradisional, ketentuan ini sesuai dengan Pasal 2 CBD yang mengatur kesepakatan umum bahwa PIC haruslah berisikan komponen adanya pihak penyedia SDG untuk memperoleh ijin dari pihak berwenang. Di sisi lain, calon pengguna harus menyampaikan informasi tentang SDG yang dituju dan menyebutkan pihak yang menggunakan SDG tersebut serta perlu diatur mengenai pembagian keuntungan berdasarkan sistem evaluasi yang efektif.474

Selama ini pengaturan tentang perlindungan SDG sifatnya masih sektoral sesuai kepentingan Kementerian masing-masing, sehingga belum ada peraturan yang holistik. Salah satunya berkaitan perjanjian akses tersebut mengatur persyaratan akses secara timbal balik dan dituangkan dalam kesepakatan bersama, yang disebut Mutually Agreed Terms, disingkat MTA yang di dalamnya mengatur access benefit sharing yang saat ini. Saat ini peraturan mengenai MTA, diatur pada Pasal 1 huruf k Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 67/Permentan/OT .140/12/2006, yang mendefinisikan MTA, adalah perjanjian pengalihan bahan genetik yang merupakan pemindahan sumber daya genetik dengan disertai dokumen yang menjelaskan tentang

474Efridani Lubis, Op.Cit, 109

Page 414: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 406 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

legalitas pemindahan sumber daya genetik. Namun, pengaturan MTA hanya sebatas definisi.

Oleh karena itu, untuk memenuhi tuntutan salah satu pilar MEA yang berkeinginan membentuk kawasan ekonomi yang berkompetensi tinggi, melalui hak kekayaan intelektual, diperlukan adanya peraturan tersendiri secara sui generis tentang perlindungan SDG dan pengetahuan tradisional yang diawali dengan peraturan tentang mekanisme akses dan pemanfaatan harus didasarkan ijin akses atau PIC dari pemilik sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional. selanjutnya perlu ditindak lanjuti oleh pemohon dengan melakukan perjanjian akses dengan lembaga yang berwenang. Namun, sebelum membuat peraturan tersendiri seharusnya Pemerintah membuat pemetaan SDG dan inventarisasi pengetahuan tradisional dengan melibatkan berbagai pihak dari tingkat Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Kelompok masyarakat adar dan lembaga swadaya di setiap daerah. Data inventaris sangat penting, karena dapat membantu Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual khususnya pemeriksa paten dalam melakukan pemeriksaan deskripsi paten.

Upaya diatas ini merupakan suatu strategi meningkatkan peran Negara dalam mewujudkan perlindungan optimal terhadap SDG dan pengetahuan tradisional di Indonesia dari hulu ke hilir, agar di masa datang tidak lagi terjadi pembajakan SDG dan pengetahuan tradisional oleh pihak asing yang berdampak merugikan kepentingan Bangsa Indonesia. Selain itu, dalam perjanjian pembagian keuntungannya yang tepat dapat meningkatkan potensi eknomi yang bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan rakyat Indonesia.

SiMPULAN

Perlindungan SDG dan pengetahuan tradisional merupakan suatu asset yang penting bagi bangsa Indonesia. oleh karena itu, lahirnya CBD, terutama ketentuan Pasal 8 huruf j, Pasal 3 dan Pasal 15 CBD memberikan peluang bagi negara berkembang seperti Indonesia untuk melindungi SDG dan pengetahuan tradisionalnya. Pada awalnya perlindungan SDG dan pengetahuan tradisional dilandaskan pada Common Heritage of Mankind yang kemudian digunakan sistem HKI. Kedua perlindungan ini menyebabkan banyaknya terjadi pembajakan

Page 415: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 407 |

atas SDG dan pengetahuan tradisional oleh pihak negara maju yang berteknologi tinggi Sehingga dapat dikatakan sistem paten tidak sejalan dengan CBD, karena, sistem paten tidak menjamin PIC dan pembagian keuntungan. Sehingga menimbulkan kurang adanya adanya penghormatan atas kedaulatan Negara pemilik SDG. Oleh karena CBD mengembangkan konsep itu berasal. Sehingga keberadaan Pasal 26 Undang-Undang nomor 13 Tahun 2016 Tentang paten merupakan langkah awal lahirnya regulasi yang memberikan peran negara untuk melindungi SDG dan pengetahuan tradisional. Langkah selanjutya membuat kesepakatan bersama antara pihak pengguna, Pemerintah dan masyarakat adat bersangkutan untuk membuat perjanjian akses yang mengatur persyaratan akses secara timbal balik dan dituangkan dalam kesepakatan bersama, yang disebut MTA.

REKoMENDASi

Untuk meningkatkan perlindungan SDG dan pengetahuan tradisional terkait dengan peran negara dalam melestarikan dan meningkatkan potensi ekonomi, maka:

(1) Untuk meningkatkan peran aktif Negara, perlu dibuatnya peraturan tersendiri yang bersifat sui generis dalam melindungi SDG dan pengetahuan tradisional yang diawali dengan peraturan tentang mekanisme akses dan pemanfaatan harus didasarkan ijin akses atau PIC dari pemilik sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional. untuk melaksanakan tugas tersebut perlu dibentuk lembaga tersendiri yang berwenang melakukan pemetaan, inventarisasi, pendokumentasian dan mengatur mekanisme perijinan bagi pemanfaatan SDG dan pengetahuan tradisional Indonesia.

(2) Pemerintah perlu meningkatkan kemampuan negosiasi dalam rangka pemanfataan SDG dan pengetahuan tradisional oleh pihak asing mengingat konsep sovereign right agar dapat meningkatkan perlindungan SDG dan pengetahuan tradisonal.

(3) Perlu dilakukan pemberdayaan dari di tingkat Pemerintah Pusat sampai Pemerintah Daerah, termasuk pemberdayaan masyarakat adat secara langsung yang bersentuhan dengan SDG dan pengetahuan tradisional di wilayahnya. Perberdayaan

Page 416: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 408 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

ini dilakukan secara bersama-sama dengan mempersiapkan pemetaan SDG di setiap wilayah Indonesia dan melakukan inventarisasi atas pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat adat di setiap wilayahnya. Pendokumentasian dan pemetaan yang baik akan membantu Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual khususnya pemeriksa paten dalam melakukan pemeriksaan deskripsi paten yang tidak menyebutkan pemanfaatan SDG atau Pengetahuan Tradisional milik masyarakat adat tertentu.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Badan Penelitian dan Pengembangan HAM Kementerian Hukum dan HAM RI, Perlindungan Kekayaan Intelektual Atas Pengetahuan Tradisional & Ekspresikan Budaya Tradisional, Bandung: 2013

Efridani Lubis, Perlindungan dan Pemanfaatan Sumber Daya Genetik, Berdasarkan Penerapan Konsep Sovereign Right dan Hak Kekayaan Intelektual, Bandung: Alumni, 2009

Hira Jhamtani & Lutfiyah Hanim, Globalisasi Monopoli Pengetahuan, Telaah Tentang TRIPs dan Keragaman Hayati, ( Jakarta: INFID, KONPHALINDO, 2002

Iskandar Indranata, Pendekatan Kualitatif Untuk Pengendalian Kualitas, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 2008

Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayumedia Publishing, 2007

Miranda Risang Ayu, Harry Alexander, Wina Puspita, Hukum Sumber Daya Genetik, Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional di Indonesia, Bandung;Alumni, 2014

Zainul Daulay, Pengetahuan Tradisional Konsep, Dasar Hukum dan Prakteknya, Jakarta: RajaGrafindo, 2011

jurnal dan Makalah

Achmad Zen Umar Purba,”Peranan Sumber Daya dan Investasi Asing dalam Perkembangan Hukum Internasional Komteporer” Jurnal

Page 417: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 409 |

Hukum Bisnis, Jakarta : Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, No 3, Volume 24, Tahun 2005

Arya Baskoro,” Peluang, Tantangan dan Resiko Bagi Indonesia Dengan Adanya Masyarakat Ekonomi Asean” http://crmsindonesia.org/knowledge/crms-articles/peluang-tantangan-dan-resiko-bagi-indonesia-dengan-adanya-masyarakat-ekonomi

Agung Damarsasongko,”Perubahan Undang-Undang Merek, Desain Industri dan Paten,”Training For Theachers Organized By IIPA, CLE,Supported By WIPO, Depok : Universitas Indonesia, 28 Agustus- 1 September 2016

Abdul Bari Azed, “ Kepentingan Negara Berkembang atas Indikasi Geografis Sumber Daya Genetik dan Traditional Knowledge”, Makalah Lokakarya, Kepentingan Negara Berkembang Terhadap Hak Atas Indikasi Geografis, Sumber Daya Genetika dan Pengetahuan Traditional, Jakarta: Dirjen HKI, 6 April 2014

Ahmad Redi, Analisis dan Evaluasi Tentang Sistem Sumber Daya Genetik, Pusat Penelitian Dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republic Indonesia, ; Jakarta, 2015

Bebed Djundjunan, “Sistem Hukum Internasional Belum Memberikan Perlindungan Efektif Terhadap GRTKTCE,” www.tabloiddiplomasi.org

Dede Mia Yusanti, “ Perlindungan Sumber Daya Genetik Melalui Sistem Hak Kekayaan Intelektual,” Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik Di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional, Tangerang Ditjen KI, tahun 2009

Konphalindo, “Sistem Paten Tidak Boleh Menjarah Sumber Daya Genetik dan Pengetahuan Tradisional,” Conference Of Parties 9 CBD, Bonn Jerman, 19 -30 Mei 2008

Kusuma Diwyanto & Bambang Setiadi, “ Peran Komisi Plasma Nutfah dalam Pengelolaan Pemanfaatan dan Pelestarian Sumber Daya Genetik Pertanian”, diakses pada htpp://www.indoplasma.or.id/artikel/2005-peran –knpn.htm

Page 418: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 410 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

Undang-Undang

Undang-Undang Dasar 1945

Undang-Undang Republik Indonesia No 5 tahun 1994 Tentang Pengesahan United Nations Convention on Biological Diversity (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Keanekaragaman Hayati

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2013 Tentang Pengesahan Nagoya Protocol On Access To Genetic Resources And The Fair And Equitable Sharing Of Benefits Arising From Their Utilization To The Convention On Biological Diversity (Protokol Nagoya Tentang Akses Pada Sumber Daya Genetik Dan Pembagian Keuntungan Yang Adil Dan Seimbang Yang Timbul Dari Pemanfaatannya Atas Konvensi Keanekaragaman Hayati)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 tahun 2016 Tentang Paten

Page 419: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 411 |

BINDING fOrCE LICENsING aGrEEMENts tO tHE HOLDEr Of INtELLECtUaL PrOPErtY rIGHts WHO DO NOt aBOrtED aftEr CaNCELLatION aND DELEtION Of INtELLECtUaL PrOPErtY rIGHts BY tHE COUrt

Devarita475

Fakultas Hukum, Universitas Nasionalemail : [email protected]

ABSTRACT

The License Agreement is an agreement that is used in the framework of execution of some exclusive rights of intellectual property rights holders. As a legally-estabblised treaty based on the principle of consensualism (agreement) is binding on the parties making the treaties as intended by Article 1338 of the Civil Code. Subsequently Article 1315 of the Civil Code states “In general no one can bind himself on his own behalf or ask for the promise made thereof him for himself ”. This provision confirms that the engagement is only binding on the parties to the treaty, not binding to any third party outside the treaty except as provided in the provisions of Articles 1316 to 1318. The problem is how if one of the parties making the contract is not entitled to the object of the agreement under a court decision In the form of cancellations and deletions as holders of Intellectual Property Rights.The arrangement of the transfer of royalty payments resulting from the deletion or cancellation of intellectual property rights by the courts, in every Indonesian Intellectual Property Rights Act has provided protection to the licensee. The licensee shall still be entitled to exercise its license until the expiration of the deadline specified in the license agreement, with the obligation to pay royalties to the holders of intellectual property rights which are not canceled. In connection with the implementation of the license agreement in the form of royalty payments transferred to holders of Intellectual Property Rights that are not canceled raises the problem 1. How does the strength of binding licensing agreements made by unauthorized parties to the object of the agreement in the form of

475Dosen Hukum Bisnis Universitas Nasional (Email : [email protected])

Page 420: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 412 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

Intellectual Property Rights to Intellectual Property Rights Holder that is not in the abort . 2. How does the license agreement act as a contract that does not comply with the principle of concessualism between the licensee and the holders of Intellectual Property Rights who do not aborted regarding the value of the royalties. The method used in this research using normative juridical research method with the approach of legislation and legal concept analysis approach.

Keywords: License Agreement, Cancellation of Intellectual Property Rights, Transfer of Royalties.

PENDAHULUAN

Hak Kekayaan Intelektual merupakan hak yang lahir dari kemampuan intelektual manusia. Sebagai hak yang berasal dari karya, karsa, cipta manusia yang mempunyai manfaat dan berguna bagi kehidupan manusia, sudah sepantasnya diberikan perlindungan kepada orang-orang yang menghasilkan karya tersebut, apalagi dalam karyanya mempunyai nilai ekonomis yang tinggi.

Hak Kekayaan Intelektual termasuk dalam hak kebendaan yang immateriil, hal ini dapat dilihat dari pendapat Pitlo bahwa “hak milik intelektual termasuk dalam cakupan Pasal 499 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, jadi ia termasuk benda, tepatnya benda tidak berwujud”.476 Ketentuan Pasal ini menyatakan bahwa “ menurut paham undang-undang yang dinamakan kebendaan ialah, tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak, yang dapat dikuasai oleh hak milik. Penguasaan dalam bentuk hak milik adalah penguasaan mengandung nilai ekonomi.

Sebagai benda kekayaan intelektual merupakan objek hak absolut yang dapat dipertahankan terhadap siapapun oleh pemiliknya. Hal ini sejalan dengan konsep Hak Kekayaan Intelektual dalam beberapa peraturan perundang-undangan terkait menyatakan bahwa Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Right) merupakan hak ekslusif, yakni hak yang semata-mata diperuntukan bagi pemegangnya sehingga tidak ada pihak lain yang boleh memanfaatkan hak tersebut tanpa izin pemegang haknya. Tujuan dari dibuat pengaturan tentang

476O.K. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Right), ( Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), hal.226.

Page 421: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 413 |

hak eklusif tersebut adalah dalam rangka melindungi para pemegang hak yang telah mengeluarkan biaya, tenaga dan mencurahkan pikirannya untuk menghasilkan hal yang berguna dan mempunyai nilai ekonomi. Hal ini akan memotivasi orang lain agar menghasilkan karya intelektual.

Hak eklusif pemegang Hak Kekayaan Intelektual membatasi orang lain menggunakan hasil karya intelektual pihak lain tanpa izin. Dalam rangka memanfaatkan hak ekonomi maka pemegang Hak Kekayaan Intelektual dapat memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakan Hak Kekayaan Intelektualnya dalam bentuk lisensi.

Perjanjian lisensi merupakan perjanjian yang dipergunakan dalam rangka pelaksanaan sebahagian hak ekslusif pemegang Hak Kekayaan Intelektual. Sebagaimana suatu perjanjian yang dibuat secara sah yang berlandasan asas konsensualisme (kesepakatan) mengikat bagi para pihak yang membuat perjanjian sebagaimana yang dimaksud Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Perjanjian pada dasarnya menimbulkan hubungan hukum dan akibat hukum bagi para pihak, sebagaimana dinyatakan oleh Herlien Budiono, “Perjanjian sebagai perbuatan hukum yang menimbulkan suatu hubungan hukum dan dengan cara demikian, perjanjian menimbulkan akibat hukum yang merupakan tujuan para pihak”.477 Ketentuan tersebut juga berlaku bagi Perjanjian lisensi Hak Kekayaan Intelektual.

Perjanjian yang dibuat secara sah mengikat bagi para pihak yang membuat perjanjian tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 Kitab-Undang-Undang Hukum Perdata. Hal itu dipertegas dengan ketentuan Pasal 1315 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan menyatakan “ Pada umumnya tak seorang dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji dari padanya untuk diri sendiri”. Hal ini dikecualikan dengan ketentuan Pasal 1316 sampai dengan Pasal 1318 Jo Pasal 1340 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dimana seseorang dapat mengikatkan dirinya untuk kepentingan pihak ketiga.

477 Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya d Bidang Kenotariatan, (Bandung PT. Citra Aditya Bakti, 2010), hal.3.

Page 422: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 414 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

Perjanjian yang dibuat secara sah harus memenuhi ketentuan pasal 1320 KUH perdata yang terdiri dari syarat subyektif dan syarat objektif, apabila tidak terpenuhi maka tidaklah mempunyai suatu kekuatan, artinya tidak akan mengikat bagi pihak-pihak yang membuat perjanjian apalagi terhadap pihak ketiga.

Dikaitkan dengan perjanjian lisensi Hak Kekayaan Intelektual, seharusnya ketentuan perjanjian pada umum juga berlaku akan tetapi terhadap Hak Kekayaan Intelektual yang di batalkan berdasarkan gugatan di Pengadilan, perjanjian lisensinya tetap berlangsung dan mengikat licensee dengan pemegang Hak Kekayaan Intelektual yang tidak di batalkan. Perjanjian sebelumnya di buat oleh pihak yang tidak mempunyai kewenangan dalam membuat perjanjian karena objek perjanjian merupakan sesuatu yang diperoleh secara melawan hukum, tanpa ijin dari pihak yang sesungguhnya berhak terhadap objek tersebut berupa Hak Kekayaan Intelektual.

Wikipedia; Lisensi adalah secara umum dapat diartikan pemberian izin, hal ini termasuk dalam sebuah perjanjian, atau pemberian izin dari pemilik barang/jasa kepada pihak yang menerima lisensi untuk menggunakan barang atau jasa yang dilisensikan . Jika pemberi izin sesungguhnya bukanlah orang yang berhak dan tidak wenang dalam memberikan izin, bagaimana selanjutnya dengan keabsahan perjanjian tersebut.

Berdasarkan hal-hal tersebut maka timbul persoalan bagaimana jika salah satu pihak yang membuat perjanjian ternyata tidak berhak atas objek perjanjian berdasarkan putusan pengadilan berupa pembatalan dan penghapusan sebagai pemegang Hak Kekayaan Intelektual. Dalam beberapa Undang-undang Hak Kekayaan Intelektual pembatalan Hak Kekayaan Intelektual karena gugatan tidak mengakibatkan batalnya perjanjian lisensi, akan tetapi terdapat ketentuan pengalihan pembayaran royalti akibat penghapusan atau pembatalan Hak Kekayaan intelektual oleh pengadilan. Penerima lisensi tetap berhak melaksanakan lisensi yang dimilikinya sampai dengan berakhirnya batas waktu yang di tetapkan dalam perjanjian lisensi, dengan kewajiban tetap membayar royalti kepada pemegang Hak Kekayaan Intelektual yang tidak dibatalkan. Hal ini menimbulkan pertanyaan bagaimana dengan hak menentukan besaran royalti pemegang Hak Kekayaan Intelektual sedangkan undang-undang

Page 423: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 415 |

hanya menyebutkan perjanjian lisensi tetap ada dan pembayaran royalti dilanjutkan kepada pemegang Hak Kekayaan Intelektual serta tidak menyebutkan pengadilan dapat menentukan besaran royalti yang akan diterima oleh Pemegang Hak Kekayaan Intelektual.

Berkaitan dengan pelaksanaan perjanjian lisensi berupa pembayaran royalti yang dialihkan kepada pemegang Hak Kekayaan Intelektual yang tidak dibatalkan maka penulis mengangkat permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah kekuatan mengikat perjanjian lisensi yang dibuat oleh pihak yang tidak berhak atas objek perjanjian berupa Hak Kekayaan Intelektual terhadap Pemegang Hak Kekayaan Intelektual yang tidak di batalkan.

2. Bagaimana kedudukan perjanjian lisensi sebagai kontrak yang tidak memenuhi asas konsensualisme antara penerima lisensi dengan pemegang Hak Kekayaan Intelektual yang tidak dibatalkan terkait nilai royalti. Agar dapat memberikan gambaran dan jawaban atas pemasalahan

tersebut maka penulis menggunakan Metode penelitian yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan analisis konsep hukum.

PEMBAHASAN

Perjanjian dan Kekuatan mengikat perjanjian.

Dalam kegiatan ekonomi untuk mengembangkan dan memajukan usahanya, pelaku ekonomi sangat jeli melihat potensi dan peluang pasar agar memperoleh keuntungan yang lebih besar dengan mengadakan hubungan kerjasama ataupun dengan menggunakan barang atau jasa pihak lain. Hubungan antara para pelaku ekonomi ini biasanya diikat dengan perjanjian atau kontrak.

Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata merumuskan perjanjian sebagai berikut : “ Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lain atau lebih.

Pengertian perjanjian menurut Subekti, suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling

Page 424: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 416 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. 478 KRTM Tirtodiningrat adalah “ perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat di antara dua orang atau lebih untuk menimbulkan akibat-akibat hukum yang dipaksakan oleh undang-undang”.479 Sedangkan Polak memberikan pengertian perjanjian sebagai berikut, “suatu persetujuan tidak lain suatu perjanjian (afspraak) yang mengakibatkan hak dan kewajiban.480

Selanjutnya Agus Yudha Hernoko memberikan rumusan perjanjian yaitu, “ kontrak atau perjanjian adalah perbuatan hukum, dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.481

Perjanjian akan melahirkan hak dan kewajiban dalam lapangan hukum harta kekayaan bagi pihak-pihak yang membuat perjanjian. Dengan membuat perjanjian, pihak yang mengadakan perjanjian, secara sukarela mengikatkan diri untuk menyerahkan sesuatu, berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu guna kepentingan dan keuntungan dari pihak terhadap siapa ia telah berjanji atau mengikatkan diri, dengan jaminan atau tanggungan berupa harta kekayaan yang dimiliki dan akan dimiliki oleh pihak yang membuat perjanjian atau yang teleh mengikatkan diri tersebut.482

a. Asas Konsensualisme , Kekuatan Mengikat Perjanjian dan Asas PersonaliaAsas-asas hukum secara reflektif meletakan perkaitan antara

nilai-nilai (tata nilai), pokok-pokok pikiran, pelibatan moril, dan susila pada satu pihak dengan hukum positif pada pihak lain. 483 Terkait dengan pengertian asas atau prinsip yang dalam bahasa Belanda disebut “ beginsel” atau “principle” (bahasa Inggris) secara leksikal berarti sesuatu yang menjadi dasar tumpuan berpikir atau bertindak

478Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta PT. Intermasa Cet. Ke 14, 1992, hal.1479Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak

Komersial, Cet. Ke 2. ( Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), hal.16, mengutip A. Qirom Meliala, Pokok-Pokok Hukum Perikatan Beserta Perkembangannnya, hal.8

480Ibid, hal.18, mengutip Mashudi & Mohammad Chidir Ali, Bab-bab dalam Hukum Perikatan, hal.325.

481Ibid.482 Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja, Perikatan yang lahir dari perjanjian, ( Jakarta,

Rajawali Pers 2010), hal.180483Herlien Budiono, Op.Cit, hal.28

Page 425: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 417 |

atau kebenaran yang menjadi pokok dasar berpikir, bertindak, dan sebagainya.484

Kedudukan asas hukum dalam semua sistem hukum merupakan landasan atau pondasi yang menopang kukuhnya suatu norma hukum.485 Sedangkan fungsi asas-asas hukum adalah untuk sejauh mungkin menjaga dan mewujudkan standar nilai (waardenmaatstaven) atau tolak ukur yang tersembunyi di dalam melandasi norma-norma, baik yang tercakup dalam hukum positif, maupun praktik.486

b. Asas KonsensualismePerjanjian terbentuk karena adanya persesuaian kehendak

(consensus) dari para yang membuat perjanjian. Asas konsensualisme terdapat dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata angka (1) mengenai kesepakatan. Perjanjian pada umumnya dapat di buat bebas bukan formal, melainkan konsensual, berarti cukup dengan adanya kata sepakat maka perjanjian itu lahir. Dalam asas ini terkandung kehendak dari para pihak untuk saling mengikatkan diri dan menimbulkan kepercayaan (vertrouwen) diantara para pihak terhadap pemenuhan perjanjian487. Asas konsensualisme mempunyai hubungan yang erat dengan asas kebebasan berkontrak dan asas kekuatan mengikat yang terdapat di dalam Pasal 1338 (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

c. Asas Kekuatan Mengikat Perjanjian (verbidende kracht der overeenkomst) Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

menyatakan bahwa “ semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Kata-kata berlaku sebagai undang-undang menunjukan asas kekuatan mengikat (asas pacta sunt servanda). Perjanjian yang dibuat secara sah oleh para pihak menimbulkan akibat hukum dan berlaku bagi para pihak seolah-olah undang-undang. Pada dasarnya janji itu mengikat, adagium pacta sunt servanda diakui secara sah mempunyai kekuatan mengikat setara

484Agus Yudha Hernoko, Op. Cit. hal. 21485Ibid.486Herlien Budiono, Loc.Cit.487Agus Yudha Hernoko, Op. Cit. hal. 121

Page 426: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 418 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

dengan daya berlaku dan mengikatnya undang-undang sehingga pentaatan perjanjian dapat dipaksakan.

Agus Yudha Hernoko menjabarkan asas daya mengikat kontrak sebagai berikut :

“1) Asas daya mengikat kontrak (the binding force of contract) dipahami sebagai mengikatnya kewajiban kontraktual (i.c terkaid isi perjanjian – prestasi) yang harus dilaksanakan para pihak. Jadi pertama-tama makna daya mengikat kontrak tertuju pada isi atau prestasi kontraktualnya.

2) Pada dasarnya janji itu mengikat (pacta sunt servanda) sehingga perlu diberikan kekuatan untuk berlakunya. Untuk memberikan kekuatan daya berlaku atau daya mengikatnya kontrak, maka kontrak yang dibuat secara sah mengikat serta dikualifikasikan mempunyai kekuatan mengikat setara dengan daya berlaku dan mengikatnya undang-undang.

3) Asas pacta sun servanda merupakan konsekuensi logis dari efek berlakunya kekuatan mengikat kontrak.

4) Kekuatan mengikat kontrak pada dasarnya hanya menjangkau sebatas para pihak yang membuatnya. Hal ini dalam beberapa literatur, khususnya di common law, disebut dengan privity of contract.488

Kekuatan mengikat kontrak hanya menjangkau sebatas para pihak yang membuatnya, hal ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal 1315 dan Pasal 1340 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

d. Asas Personalia.Asas personalia dapat ditemukan dalam Pasal 1315 Kitab

Undang-undang Hukum Perdata yang berbunyi “Pada umumnya tak seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkan suatu janji selain untuk dirinya sendiri.” Dalam Pasal ini menjelaskan bahwa tidak dapat seseorang membuat membuat perjanjian mengatasnamakan orang lain. Dengan kata lain yang mempunyai kewajiban dan yang memperoleh hak dari perjanjian itu hanya orang yang membuat perjanjian itu saja, kecuali jika ada kuasa dari orang yang diatasnamakan atau terjadi janji untuk kepentingan

488Ibid. Hal 124

Page 427: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 419 |

pihak ketiga sebagaimana diatur dalam Pasal 1317 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

Pasal 1317 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyebutkan “ Lagipun diperbolehkan untuk meminta ditetapkan suatu janji guna kepentingan seorang pihak ketiga, apabila suatu penetapan janji yang dibuat oleh seorang untuk dirinya sendiri atau suatu pemberian yang dilakukannya kepada seorang lain memuat suatu janji yang seperti itu”. “Meminta ditetapkan suatu janji guna kepentingan seorang pihak ketiga” adalah adanya kehendak dari pihak ketiga untuk dibuatkan janji atas nama dirinya oleh orang lain dengan memberikan kuasa kepada orang yang membuat perjanjian.

Asas personalia ini dikuatkan lagi dengan ketentuan Pasal 1340 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang berbunyi “ (1) Perjanjian-perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya (2) Perjanjian-perjanjian itu tidak dapat membawa rugi kepada pihak-pihak ketiga; tak dapat pihak-pihak ketiga mendapat manfaat karenanya, selain hal yang diatur dalam Pasal 1317.

Subekti menyebut mengikatkan diri sebagai asas kepribadian suatu perjanjian. Mengikatkan diri, ditujukan pada memikul kewajiban-kewajiban atau menyanggupi melakukan sesuatu, sedangkan minta ditetapkan suatu janji, ditujukan pada memperoleh hak-hak atas sesuatu atau mendapatkan sesuatu.489 Suatu perjanjian hanya meletakkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban antara para pihak yang membuatnya. Orang-orang lain adalah pihak ketiga yang tidak mempunyai sangkut paut dengan perjanjian tersebut.490

2. Akibat Hukum tidak Terpenuhi Syarat Sah PerjanjianSyarat sah perjanjian menurut ketentuan Pasal 1320 Kitab

Undang-undang Hukum Perdata terdiri dari 4 unsur pokok, yaitu;

a. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya (de tosetemming van degenen die zich verbiden);

b. kecakapan untuk membuat perikatan (de bekwaamheid om eene verbintenis aan te gaan);

c. suatu hal tertentu (een bepaald onderwerp)

489Subekti, Op.Cit. hal. 29490Ibid.

Page 428: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 420 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

d. suatu sebab yang halal atau diperbolehkan (eene geoorloofde oorzaak)Berkenaan dengan keempat syarat tersebut di atas dapat

dibedakan antara syarat yang berkaitan dengan diri yang membuat perjanjian serta syarat yang menyangkut objek perjanjian. Syarat yang berkenaan dengan diri yang membuat perjanjian disebut dengan syarat subjektif, sedangkan syarat yang berkenaan dengan apa yang menjadi objek perjanjian disebut dengan syarat objektif. Pembedaan syarat subjektif dengan syarat objektif menjadi penting apabila dikaitkan dengan akibat hukum terhadap perjanjian jika tidak terpenuhi salah satu syarat sah perjanjian tersebut

Syarat subjektif meliputi kesepakatan dan kecakapan para pihak. Mengenai sepakat atau persetujuan kedua belah pihak, haruslah diberikan secara bebas. Secara berlawanan dapat diartikan bahwa tidak terdapat kesepakatan jika terjadi karena kehilafan, paksaan ataupun penipuan. Hal ini dapat ditemui dalam Pasal 1321 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang menyatakan, “ Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan. Berkenaan dengan kekkhilafan maka Pasal 1322 menjelaskan kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu perjanjian selainnya apabila kekhilafan itu terjadi mengenai hakikat barang yang menjadi pokok perjanjian. Secara a contrario dapat diartikan bahwa jika kekhilafan itu mengenai barang maka berakibat batalnya perjanjian.

Dalam hal tidak terpenuhi syarat subyektif, terhadap perjanjian yang dibuat mempunyai konsekuensi dapat dibatalkan dan batal demi hukum. Apabila perjanjian tersebut dibuat oleh orang yang tidak cakap membuat perjanjian atau perikatan maka akibat hukumnya adalah terhadap perjanjian itu dapat dimintakan pembatalan. Subekti menyatakan bahwa dalam hal adanya kekurangan mengenai syarat subyektif, undang-undang menyerahkan kepada pihak yang berkepentingan, apakah ia menghendaki pembatalan perjanjiannya atau tidak. Jadi perjanjian yang demikian itu, bukannya batal demi hukum, tetapi dapat dimintakan pembatalan atau dapat dibatalkan (voidable atau vernitigbaar).

Page 429: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 421 |

Dalam kondisi tertentu tidak terpenuhi syarat subjektif juga berakibat terhadap perjanjian batal demi hukum ( (null and void) jika perjanjian itu dibuat oleh orang yang tidak berwenang melakukan perbuatan hukum (handelingsonbevoegdheid). Herlien menyatakan mereka yang tidak berwenang melakukan tindakan hukum adalah orang-orang yang oleh undang-undang dilarang melakukan tindakan hukum tertentu. Mereka bukan berarti tidak cakap melakukan perbuatan hukum melainkan tergolong sebagai tidak wenang dalam melakukan tindakan hukum tertentu menurut undang-undang.491

Orang-orang atau pihak yang tidak wenang melakukan perbuatan hukum tersebut adalah mereka yang karena jabatannya atau pekerjaannya, berdasarkan undang-undang tertentu dikatagorikan tidak berwenang melakukan perbuatan hukum tertentu. Contoh yang terdapat dalam Pasal 56 Undang-undang nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menyatakan “(1) Bank Indonesia dilarang memberikan kredit kepada pemerintah. (2) Dalam hal Bank Indonesia melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) perjanjian pemberian kredit kepada pemerintah tersebut batal demi hukum.492

Selanjutnya apabila syarat objektif untuk sahnya perjanjian tidak terpenuhi yang berkaitan dengan suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal maka, perjanjian batal demi hukum. Tidak adanya suatu hal tertentu, yang terwujud dalam suatu perjanjian, maka jelas perjanjian tidak pernah ada, dan karenanya tidak pernah pula menerbitkan perikatan diantara para pihak (yang bermaksud membuat perjanjian tersebut). Perjanjian demikian adalah kosong adanya.493

Sebab atau kausa yang halal sebagai syarat sah perjanjian ditegaskan kembali dalam Pasal 1335 yang menyatakan bahwa, “ suatu perjanjian yang dibuat tanpa sebab atau dibuat dengan sebab yang palsu atau terlarang tidak mempunyai kekuatan,” serta Pasal 1337 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yaitu “ suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.”

491Elly Erawati dan Herlien Budiono, Penjelasan Hukum Tentang Kebatalan Perjanjian, ( Jakarta, Nasional Legal Reform Program, 2010) hal. 13.

492Ibid.493Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja, Op. Cit. hal 182.

Page 430: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 422 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

Berdasarkan kedua Pasal di atas, suatu kontrak tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat (batal), apabila kontrak tersebut:

a. Tidak mempunyai kausa.b. Kausanya palsu.c. Kausanya bertentangan dengan undang-undang.494

Lisensi dan Pembatalan Hak Kekayaan intelektual.

1. Lisensi.Lisensi secara umum dapat diartikan pemberian izin, hal ini

termasuk dalam sebuah perjanjian, atau pemberian izin dari pemilik barang/jasa kepada pihak yang menerima lisensi untuk menggunakan barang atau jasa yang dilisensikan (wikipedia). Lisensi sebagai izin yang diberikan oleh pemilik/pemegang hak kepada pihak lain untuk menggunakan sebahagian atau seluruh hak nya, pada umumnya berkaitan dengan Hak Kekayaan Intelektual.

Lisensi dalam Hak Kekayaan Intelektual merupakan pemanfaatan hak ekonomi yang melekat pada karya intelektual atau bentuk komersialisi dari Hak Kekayaan Intelektual. Pemegang Hak Kekayaan Intelektual memiliki hak eksklusif untuk melaksanakan haknya atau memberi izin pihak lain untuk melaksanakan, memperbanyak, menditribusikan, mengekspor ataupun mengimpor produk yang berkaitan dengan Hak Kekayaan Intelektualnya. Jelas bahwa lisensi bukanlah pengalihan hak , melainkan hanya pemberian izin.

Pengaturan pemberian lisensi baik lisensi biasa maupun lisensi wajib dapat ditemui dalam perundang-undangan mengenai Hak Kekayaan Intelektual termasuk dalam Undang-Undang Cipta, Paten dan Merek yang baru diubah yaitu ;

a. Pasal 42 sampai dengan Pasal 45 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis

b. Pasal 76 sampai dengan Pasal 107 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten

c. Pasal 80 sampai dengan Pasal 86 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta

d. Pasal 42 sampai dengan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 29

494Agus Yudha Hernoko, Op. Cit. hal.196

Page 431: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 423 |

Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman.e. Pasal 6 sampai dengan Pasal 9 Undang-undang Nomor 30

Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang.f. Pasal 33 sampai dengan Pasal 36 Undang-undang Nomor 31

Tahun 2000 tentang Desain Industri.g. Pasal 25 sampai dengan Pasal 28 Undang-undang Nomor 32

Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu.Keseluruhan Pasal-Pasal tersebut mempunyai makna dan hakikat

yang sama dan mensyaratkan pemberian lisensi dari licensor kepada licensee dengan perjanjian tertulis. Suatu perjanjian dengan nama apapun akan tunduk pada ketentuan syarat sah perjanjian sehingga memberi daya mengikat kepada para pihak yang membuat perjanjian tersebut.

Lisensi terbagi menjadi :

1. Lisensi : - Lisensi eksklusif- Lisensi non-eksklusif- Lisensi Tunggal

2. Lisensi Wajib“Lisensi ekslusif adalah sebuah perjanjian dengan pihak lain untuk melisensikan sebagian HaKI tertentu kepada Penerima Lisensi untuk jangka waktu yang ditentukan daan biasanya lisensi diberlakukan untuk daerah yang ditentukan. Pemeberi lisensi biasanya memutuskan untuk tidak memberikan HaKI tersebut pada pihak lain dalam daerah tersebut untuk jangka waktu berlakunya lisensi, kecuali kepada pemegang lisensi eksklusif. Lisensi non eksklusif memberi kesempatan kepada pemilik lisensi untuk memberi lisensi HaKInya pada pemakai lisensi lainnya dan juga menambah jumlah pemakai lisensi pada daerah yang sama.”495

Lisensi wajib merupakan lisensi untuk melaksanakan Hak Kekayaan Intelektual yang diberikan berdasarkan keputusan menteri atau Direktorat Jendral berdasarkan permohonan.

495im Lindsey, Eddy Damian, Simon Butt, Tomi Suryo Utomo, Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, (Bandung PT . Alumni, 2006) hal.334

Page 432: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 424 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

Setiap perjanjian lisensi harus dibuat secara tertulis dan dimohonkan pencatatan dan diumumkan oleh Menteri. Jika perjanjian lisensi tidak dicatat dan tidak diumumkan maka tidak mempunyai akibat hukum terhadap pihak ketiga. Pencatatan dan pengumuman merupakan syarat formil agar perjanjian mempunyai daya mengikat bagi pihak ketiga.

“Beberapa hal penting yang harus dilihat dalam pembuatan perjanjian lisensi HKI antara lain adalah persyaratan, royalty, informasi teknis dan know how, dan hak dan kewajiban calon licensor dan licensee .”496 hal ini sejalan dengan apa yang dimaksud dalam Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs).

“Agreement on Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights menekankan sistem HKI dimaksudkan untuk : “contribute to the promotion of technology, to the mutual advantage of producers and users of technological knowledge and in a manner conductive to social and economic welfare, and to a balance of right and obligation (Art7). Jadi di samping amanat alih tekhnologi terdapat pula pesan, pembangunan itu juga berdimensi sosial.”497

Royalti sebagai salah satu hal yang diperjanjikan dalam perjanjian lisensi merupakan imbalan yang diberikan oleh penerima lisensi atas pemamfaatan hak ekenomi pemegang Hak Kekayaan Intelektual. Royalti adalah jumlah yang dibayarkan untuk penggunaan properti seperti hak paten, hak cipta, atau sumber alam, misalnya pencipta mendapat bayaran royalti ketika ciptaannya diproduksi dan dijual (Wikipedia).

“Royalti sebagai imbalan dari lisensi dapat dihitung dengan beberapa cara antara lain;

- prosentase dari laba bersih pemegang lisensi- prosentase dari penjualan kotor pemegang lisensi- biaya yang telah ditentukan- biaya yang berubah-ubah mengikuti target penjualan kotor

pemegang lisensi.“498

496Endang Purwaningsih, Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Dan Lisensi, (Bandung, CV. Mandar Maju, 2012) hal. 116.

497Sulasno, Lisensi Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Dalam Perspektif Hukum Perjanjian, ( Jurnal Hukum; ADIL Vol.3 No.2. )

498Tim Lindsey, Eddy Damian, Simon Butt, Tomi Suryo Utomo, Loc Cit.

Page 433: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 425 |

Pembayaran royalti dapat disepakati secara sekaligus untuk selama jangka waktu pemberian lisensi, tahunan, triwulan dan bulanan.

2. Pembatalan dan Penghapusan Hak kekayaan Intelektual.Pembatalan dan penghapusan Hak Kekayaan Intelektual terjadi

karena beberapa hal, yaitu:

a. penghapusan atas permohonan dari pemilik/pemegang Hak Kekayaan Intelektual.

b. penghapusan atas prakarsa Menteric. pembatalan dan penghapusan oleh pengadilan berdasarkan

gugatan Pihak yang berkepentingan atau pihak ketiga.d. pembatalan dan penghapusan oleh pengadilan berdasarkan

gugatan Pihak berkepentingan atau pihak ketiga.Pengaturan pembatalan dan penghapusan Hak Kekayaan

Intelektual terdapat dalam beberapa undang-undang Hak Kekayaan Intelektual, terutama bagi Hak Kekayaan Intelektual yang diberikan karena pendaftaran, yaitu ;

a. dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis Pasal 72 sampai dengan Pasal 79 mengatur Penghapusan dan Pembatalan Pendaftaran Merek.

b. dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten Pasal 130 sampai dengan Pasal 141 mengatur Penghapusan Paten.

c. dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman Pasal 58 sampai dengan Pasal 59 mengatur Pembatalan Hak Perlindungan Varietas Tanaman, dan Pasal 66 sampai dengan Pasal 69 tentang Hak Menuntut terhadap pemegang Hak Perlindungan Varietas Tanaman.

d. dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri Pasal 37 mengatur Pembatalan Pendaftaran Berdasarkan Permintaan Pemegang Hak Desain Industri dan Pasal 38 Pembatalan Pendaftaran Berdasarkan Gugatan.

e. dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, Pasal 29 mengatur Pembatalan

Page 434: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 426 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

Pendaftaran Berdasarkan Permintaan Pemegang Hak , Pasal 28 Pembatalan Pendaftaran Berdasarkan Gugatan dan Pasal 35 mengatur Akibat Pembatalan Pendaftaran.

1) Penghapusan Hak kekayaan IntelektualTerdapat istilah pembatalan, penghapusan dan Hak Menuntut

dalam beberapa undang-undang yang substansinya sama atau hampir sama. Agar dapat memberikan gambaran tentang pembatalan dan penghapusan Hak Kekayaan Intelektual beserta akibat hukumnya terhadap perjanjian lisensi maka penulis mengambil contoh penghapusan dan pembatalan pendaftaran Merek dan penghapusan Paten, Perlindungan Varietas Tanaman setelah putusan pengadilan berdasarkan gugatan.

a) Penghapusan Pendaftaran Merek Pihak pihak yang dapat mengajukan dan atau berinisiatif dalam

Penghapusan pendaftaran Merek yaitu ;(1) Pemilik merek, dalam Pasal 72 ayat 1 sampai 5 pemilik

merek dapat mengajukan penghapusan pendaftaran merek kepada menteri. Apabila merek tersebut masih terikat perjanjian lisensi harus mendapat persetujuan secara tertulis terlebih dahulu dari penerima lisensi, kecuali penerima lisensi dengan tegas menyatakan dalam perjanjian lisensi mengeyampingkan adanya persetujuan tersebut.

(2) Menteri, dalam Pasal 72 ayat 6 dan ayat 7 penghapusan merek terdaftar atas prakarsa menteri dapat dilakukan antara lain jika a) memiliki persamaan pada pokoknya dan/atau keseluruhannya dengan indikasi geografis. b) bertentangan dengan ideologi negara, poeraturan perundang-undangan, moralitas, agama, kesusilaan dan ketertiban umum.

(3) Pihak ketiga yang berkepentingan, Pasal 74 dapat mngajukan permohonan penghapusan merek terdaftar, dalam bentuk gugatan di Pengadilan Niaga dengan alasan merek tersebut tidak digunakan selama 3 (tiga) tahun berturut-turut dalam perdagangan barang dan/atau jasa sejak tanggal pendaftaran atau pemakaian terakhir.

b) Penghapusan Paten

Page 435: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 427 |

Pasal 130 Undang-undang Paten nomor 13 tahun 2016 mengatur Paten dihapuskan sebagian atau seluruhnya karena ;

(1) permohonan penghapusan dari Pemegang Paten dikabulkan oleh Menteri;

(2) Putusan pengadilan yang menghapuskan Paten dimaksud telah mempunyai kekuatan hukum tetap;

(3) penghapusan paten yang dikeluarkan oleh Komisi Banding Paten; atau

(4) Pemegang Paten tidak memenuhi kewajiban membayar biaya tahunan.

Paten yang dihapus berdasarkan permohonan Pemegang Paten harus memenuhi ketentuan Pasal 131 Undang-undang Paten, yaitu :

(1) diajukan secara tertulis permohonan penghapusan seluruhnya atau sebagian klaim paten oleh pemegang paten kepada menteri;

(2) apabila saat permohonan penghapusan Paten oleh pemegang Paten masih terikat perjanjian lisensi, maka harus mendapat persetujuan tertulis dari penerima lisensi dan dilampirkan bersama surat permohonan. Berarti permohonan tidak akan disetujui oleh Menteri jika tidak mendapat persetujuan tertulis dari penerima lisensi;

Selanjutnya paten dapat hapus karena putusan pengadilan. Hal ini harus diajukan terlebih dahulu kepada Pengadilan Niaga oleh pihak lain. Adapun yang dimaksud pihak lain yang mengajukan penghapusan Paten sebagaimana diatur dalam Pasal 132 Undang-undang Paten adalah:

(1) Pihak Ketiga dapat mengajukan gugatan penghapusan paten kepada Pemegang Paten;

(2) Pemegang Paten atau penerima lisensi dapat mengajukan gugatan penghapusan paten terhadap paten lain yang sama dengan patennya.

(3) Jaksa atau pihak lain yang mewakili kepentingan nasional dapat mengajukan gugatan penghapusan paten terhadap Pemegang Paten atau Penerima Lisensi Wajib, dalam hal pemberian paten lisensi wajib ternyata tidak mampu

Page 436: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 428 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

mencegah pelaksanaan paten dalam bentuk dan cara yang merugikan kepentingan masyarakat dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal pemberian lisensi wajib yang bersangkutan atau sejak tanggal pemberian lisensi wajib pertama dalam hal diberikannya beberapa lisensi wajib dan atau pemegang paten melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 20.

2) Pembatalan Hak Kekayaan Intelektual.Dalam undang-undang Merek dikenal adanya penghapusan

Merek dan pembatalan Merek, sedangkan dalam Undang-Undang Paten hanya dikenal penghapusan Paten dan dalam Undang-undang Perlindungan Varietas Tanaman dikenal dengan nama pembatalan hak Perlindungan Varietas Tanaman dan Hak Menuntut terhadap pemegang Hak PVT. Demikian juga dengan Undang-undang Desain Indutri dan Undang-Undang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu mengenal adanya Pembatalan Pendaftaran Desain Industri dan Pembatalan Pendaftaran Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu.

a) Pembatalan Merek Pasal 76 Undang-undang Merek Nomor 20 tahun 2016 mengatur

bahwa gugatan pembatalan merek dapat diajukan oleh pihak yang berkepentingan berdasarkan alasan yang dimaksud pasal 20 dan 21. Adapun pihak yang berkentingan antara lain pemilik merek yang itikad baik tetapi tidak terdaftar, jaksa, yayasan, lembaga di bidang konsumen, dan majelis keagamaan. Selanjutnya Pemilik Merek tidak terdaftar dapat mengajukan gugatan dengan alasan yang sama dengan ayat (1) setelah mengajukan permohonan pada menteri. Pemilik Merek yang tidak terdaftar antara lain pemilik Merek yang itikad tetapi tidak terdaftar atau pemilik Merek terkenal tetapi Mereknya tidak terdaftar. Gugatan terhadap pemilik Merek terdaftar tersebut diajukan ke Pengadilan Niaga.

b) Pembatalan Hak Perlindungan Varietas Tanaman serta Hak Menuntut.

Pasal 58 Undang-undang Nomor 29 Tahun 2000 mengatur tentang pembatalan hak Perlindungan Varietas Tanaman oleh Kantor PVT dengan alasan bahwa syarat-syarat kebaruan dan/atau keunikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2)

Page 437: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 429 |

dan/atau ayat (3) serta syarat keseragaman dan /atau stabilitas sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dan/atau ayat (5) tidak dipenuhi pada saat pemberian hak PVT.

Selanjutnya dalam Pasal 66 Undang-undang PVT, orang atau Badan Hukum yang berhak atas Hak PVT dapat menuntut kepada Pengadilan Negeri terhadap orang atau Badan Hukum yang telah diberikan hak PVT yang seharusnya tidak berhak atas hak PVT tersebut.

c) Pembatalan Pendaftaran Desain Industri. Pembatalan Hak Desain Industri dapat diajukan oleh Pemegang

Hak kepada Direktorat Jenderal ataupun oleh pihak yang berkepentingan melalui gugatan ke Pengadilan Niaga. Lebih diatur dalam Pasal 37 dan Pasal 38 Undang-undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri.Pasal 37 menyatakan :

(1) Desain Industri terdaftar dapat dibatalkan oleh Direktorat Jendral atas permintaan tertulis yang diajukan oleh Pemegang Hak Desain Industri.

(2) Pembatalan Hak Desain Industri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat dilakukan apabila penerima Lisensi Hak Desain Industri yang tercatat dalam Daftar Umum Desain Industri tidak memberikan persetujuan secara tertulis, yang dilampirkan pada permohonan pembatalan pendaftaran tersebut.

(3) Keputusan pembatalan Hak Desain Industri diberitahukan secara tertulis oleh Direktorat Jendral kepada :

(a) pemegang Hak Desain Industri;(b) penerima Lisensi jika telah dilisensikan sesuai dengan

catatan dalam Daftar Umum Desain Industri;(c) pihak yang mengajukan pembatalan dengan menyebutkan

bahwa Hak Desain Industri yang telah diberikan dinyatakan tidak berlaku lagi terhitung sejak tanggal keputusan pembatalan.

(4) Keputusan pembatalan pendaftaran sebagaiman dimaksud dalam ayat (1) dicatatkan dalam Daftar Umum Desain

Page 438: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 430 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

Industri dan diumumkan dalam Berita Resmi Desain Industri

Selanjutnya Pasal 38 menyatakan :

(1) Gugatan pembatalan pendaftaran Desain Industri dapat diajukan oleh pihak yang berkepentingan dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 ke Pengadilan Niaga;

(2) Putusan Pengadilan Niaga sebagaimana dimaksuddalam ayat (1) tentang pembatalan pendaftaran Hak Desain Industri disampaikan kepada Direktorat Jenderal paling lama 14 (empat belas) hari setelah tanggal putusan diucapkan.

d) Pembatalan Hak Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu.Pembatalan pendaftaran Hak Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu

berdasarkan permintaan pemegang hak diatur dalam Pasal 29, sedangkan pembatalan pendaftaran berdasarkan gugatan dalam Pasal 30. Pada dasarnya cara dan syarat pembatalan sama dengan cara dan syarat pembatalan Hak Desain Industri.

Akibat Hukum Penghapusan dan Pembatalan Hak Kekayaan intelektual Setelah Putusan Pengadilan Terhadap Perjanjian Lisensi dan Pemegang Hak Kekayaan intelektual Yang Tidak Dibatalkan atau Dihapuskan.

Setelah putusan pembatalan dan penghapusan Hak Kekayaan Intelektual oleh pengadilan, maka timbul akibat hukum terhadap penerima lisensi dan pemegang Hak Kekayaan yang tidak dibatalkan.

Dalam beberapa Undang-undang Hak Kekayaan Intelektual telah diatur mengenai pengalihan pembayaran royalti terhadap pemegang Hak Kekayaan Intelektual yang tidak dibatalkan setelah adanya putusan pengadilan berupa pembatalan terhadap Hak Kekayaan Intelektual yang yang sama. Hal ini dapat dilihat dalam beberapa Pasal sebagai berikut;

1. Dalam Pasal 139 dan Pasal 140 Undang-undang Paten nomor 13 Tahun 2016Pasal 139 Undang-Undang Paten menyatakan bahwa;

a. Penerima Lisensi dari Paten yang dihapuskan karena alasan

Page 439: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 431 |

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 132 ayat (1) huruf c tetap berhak melaksanakan Lisensi yang dimilikinya sampai dengan berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian Lisensi.

b. Penerima Lisensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak melakukan pembayaran Royalti yang seharusnya dilakukan kepada Pemegang Paten yang Patennya di hapus.

c. Dalam hal Pemegang Paten sudah menerima sekaligus Royalti dari Penerima Lisensi, Pemegang Paten wajib mengembalikan jumlah Royalti yang sesuai dengan sisa jangka waktu penggunaan Lisensi kepada Pemegang Paten yang berhak.

Paten dihapuskan berdasarkan putusan pengadilan tersebut di atas patennya sama dengan paten lain yang telah diberikan kepada pihak lain untuk invensi yang sama.

Selanjutnya dalam Pasal 140 Undang-undang Paten dinyatakan bahwa;

a. Lisensi dari Paten yang dinyatakan dihapus dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 132 ayat (1) huruf c yang diperoleh dengan itikat baik, sebelum diajukan gugatan penghapusan atas Paten yang bersangkutan, tetap berlaku terhadap Paten lain .

b. Lisensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap berlaku dengan ketentuan bahwa Penerima Lisensi dimaksud untuk selanjutnya tetap wajib membayar Royalti kepada Pemegang Paten yang tidak dihapuskan yang besarnya sama dengan jumlah yang dijanjikan sebelumnya kepada Pemegang Paten.

2. Dalam Pasal 43 dan 44 Undang-undang Desain Industri nomor 31 Tahun 2016.Pasal 43 menyatakan bahwa Pembatalan pendaftaran Desain

Industri menghapuskan segala akibat hukum yang berkaitan dengan Hak Desain Industri dan hak-hak lain yang berasal dari Desain Industri

Terhadap pemegang Lisensi berlaku ketentuan Pasal 44 yang berbunyi :

Page 440: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 432 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

a. Dalam hal pendaftaran Desain Industri dibatalkan berdasarkan gugatan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 38, penerima Lisensi tetap berhak melaksanakan Lisensinya sampai dengan berakhirnya jangka waktunyang ditetapkan dalam perjanjian Lisensi.

b. Penerima Lisensi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak lagi wajib meneruskan pembayaran royalti yang seharusnya masih wajib dilakukannya kepada pemegang Hak desain Industri yang haknya dibatalkan, tetapi wajib mengalihkan pembayaran royalti untuk sisa jangka waktu Lisensi yang dimilikinya kepada pemegang Hak Desain Industri.

Demikian juga halnya dengan Undang-undang No. 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu dalam Pasal 36 menyatakan hal yang sama substansinya seperti Undang-undang Paten dan Undang-undang Desain Industri yang berkaitan dengan pengalihan pembayaran Royalti kepada pemegang Hak Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu yang sesungguhnya, setelah adanya putusan pembatalan terhadap Hak Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu yang sama oleh pengadilan berdasarkan gugatan.

Berbeda halnya dengan Undang-undang Merek dan Indikasi Geografis nomor 20 Tahun 2016 tidak diatur akibat pembatalan pendaftaran terhadap penerima Lisensi, sedangkan dalam Undang-Undang Merek dan Indikasi Geografis yang lama mencantumkan kewajiban pengalihan pembayaran Royalti kepada pemegang hak Merek yang tidak dibatalkan dalam Pasal 48 yang berkaitan dengan penerima Lisensi yang beritikad baik. Isi Pasal yang demikian tidak ditemui dalam Undang-undang Merek dan Indikasi Geografis yang baru.

Demikian juga dalam Undang-undang Perlindungan Varietas Tanaman tidak diatur tentang pengalihan pembayaran Royalti setelah pembatalan hak PVT oleh pengadilan berdasarkan tuntutan orang atau badan hukum yang sesungguhnya berhak atas hak PVT tersebut.

Page 441: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 433 |

Kekuatan Mengikat Perjanjian Lisensi Terhadap Pemegang Hak Kekayaan intelektual Yang Tidak Dibatalkan Setelah Putusan Pembatalan Dan Penghapusan Hak Kekayaan intelektual oleh Pengadilan.

Setelah putusan pembatalan dan penghapusan Hak Kekayaan Intelektual oleh Pengadilan, dalam beberapa Undang-undang Hak Kekayaan Intelektual diatur pengalihan pembayaran Royalti dari penerima Lisensi kepada Pemegang Hak Kekayaan Intelektual yang tidak dibatalkan dengan besaran yang sama dan selama sisa jangka waktu perjanjian Lisensi.

Lisensi pada dasarnya adalah perjanjian. Sebagaimana halnya perjanjian tunduk pada peraturan umum perjanjian seperti yang dinyatakan dalam Pasal 1319 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu “ Semua persetujuan , baik yang mempunyai nama khusus maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan umum yang termuat dalam bab ini dan bab yang lain. Perjanjian Lisensi juga harus memenuhi syarat sah perjanjian dan asas-asas perjanjian. Salah satu syarat perjanjian adalah kesepakatan atau persetujuan.

1. Kekuatan mengikat perjanjian lisensi yang dibuat oleh pihak yang tidak berhak atas objek perjanjian berupa Hak Kekayaan Intelektual terhadap Pemegang Hak Kekayaan Intelektual yang tidak di batalkan.

Perjanjian yang dibuat secara sah mengikat bagi para pihak yang membuat perjanjian tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 Kitab-Undang-Undang Hukum Perdata. Hal itu dipertegas dengan ketentuan Pasal 1315 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan menyatakan “ Pada umumnya tak seorang dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji dari padanya untuk diri sendiri”. Hal ini dikecualikan dengan ketentuan Pasal 1316 sampai dengan Pasal 1318 Jo Pasal 1340 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dimana seseorang dapat mengikatkan dirinya untuk kepentingan pihak ketiga. Subekti menyatakan bahwa suatu perjanjian hanya meletakkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban antara para pihak yang membuatnya. Orang-orang lain adalah pihak ketiga yang

Page 442: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 434 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

tidak mempunyai sangkut paut dengan perjanjian tersebut. Apabila perjanjian itu dibuat oleh orang yang tidak berhak atas

objek perjanjian maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan, sehingga isi perjanjian itu tidak lagi mengikat terhadap mereka yang membuat perjanjian untuk melaksanakan isi perjanjian apalagi terhadap pihak ke tiga

Perjanjian Lisensi lazimnya dibuat antara Licensor dengan Licensee, yaitu antara pemilik/pemegang Hak Kekayaan Intelektual dengan penerima Lisensi. Isi Perjanjian Lisensi antara lain adalah identitas Licensor dan Licensee, definisi-definisi yang digunakan, jenis Lisensi (eksklusif atau non ekslusif ), produk, informasi, affiliasi, hak dan kewajiban Licensor, hak dan kewajiban Licensee, Jangka waktu perjanjian Lisensi, larangan terhadap penerima Lisensi, sistem pembayaran Royalti, pemutusan kontrak , force majeur , pilihan hukum kalau ada dan penyelesaian sengketa.

Isi perjanjian tersebut berdasarkan kekuatan mengikat perjanjian Pasal 1338 dan Pasal 1315 hanya mengikat terhadap pemberi Lisensi dan penerima Lisensi yang membuat perjanjian Lisensi. Dalam hal ini pihak di luar pemberi dan penerima Lisensi tidak terikat isi perjanjian tersebut. Penerima Lisensi hanya berkewajiban menunaikan isi perjanjian terhadap pemberi Lisensi. Pembatalan hak pemberi Lisensi terhadap objek perjanjian berupa Hak Kekayaan Intelektual seharusnya mengakibatkan perjanjian Lisensi dapat dibatalkan.

Dalam Kasus pembatalan dan penghapusan Hak Kekayaan Intelektual oleh pengadilan, secara hukum pemberi izin atau Lisensi bukan orang yang berhak atas objek perjanjian berupa Hak Kekayaan Intelektual. Dalam hal ini penerima Lisensi telah khilaf dalam memberikan persetujuan. Apabila diketahui oleh penerima Lisensi bahwa pemberi Lisensi bukan pemilik Hak Kekayaan Intelektual sebelum perjanjian Lisensi disetujui, tentu perjanjian Lisensi tidak akan dibuat.

Mengenai kekhilafan dalam memberikan persetujuan dapat ditemui dalam Pasal 1321 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang menyatakan, “ Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan. Berkenaan dengan kekkhilafan maka Pasal 1322

Page 443: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 435 |

menjelaskan kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu perjanjian selainnya apabila kekhilafan itu terjadi mengenai hakikat barang yang menjadi pokok perjanjian. Secara a contrario dapat diartikan bahwa jika kekhilafan itu mengenai barang maka berakibat batalnya perjanjian.

Perjanjian Lisensi yang dibuat antara pihak yang tidak berhak atas objek perjanjian dengan penerima Lisensi tidak memenuhi syarat subjektif untuk sahnya perjanjian karena cacat dalam memberikan persetujuan. Pihak penerima Lisensi memberikan persetujuan karena kekhilafan atau ketidak tahuan tentang kepemilikan Hak Kekayaan Intelektual. Pemberi Lisensi tidak berwenang dalam membuat perjanjian Lisensi tersebut akibatnya perjanjian menjadi batal, karena dalam kondisi tertentu tidak terpenuhi syarat subjektif juga berakibat terhadap perjanjian batal demi hukum ( (null and void) jika perjanjian itu dibuat oleh orang yang tidak berwenang melakukan perbuatan hukum (handelingsonbevoegdheid).

Selain hal yang diatur dalam buku ke III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, mengenai perikatan ketentuan tentang cara perolehan hak milik dalam Pasal 584 buku ke II juga berlaku terhadap objek perjanjian Lisensi yaitu “ Hak Milik atas sesuatu kebendaan tak dapat diperoleh dengan cara lain, melainkan dengan pemilikan, karena perlekatan, karena daluwarsa, karena pewarisan baik menurut undang-undang, maupun menurut wasiat, dan karena penunjukan atau karena penyerahan berdasar atas suatu peristiwa perdata untuk memindahkan hak milik, dilakukan oleh seorang yang berhak berbuat bebas terhadap kebendaan itu.”

Hak milik atas suatu benda akan memberikan kewenangan kepada pemiliknya yaitu wewenang menguasai (beschiking bevoegheid) dan wewenang melakukan perbuatan-perbuatan hukum atas benda (feitelijk rechthandelingen) tersebut. Dalam hal pemberian lisensi Hak Kekayaan Intelektual yang kemudian dibatalkan kepemilikannya oleh Pengadilan, pemberi lisensi tidak memenuhi ketentuan Pasal 584 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu tidak memenuhi ketentuan cara memperoleh hak milik, sehingga tidak memberikan kewenangan kepadanya untuk

Page 444: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 436 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

melakukan perbuatan hukum terhadap Hak Kekayaan Intelektual tersebut. Ketentuan Pasal 584 ini merupakan ketentuan yang memaksa, yang tidak dapat disimpangi berlakunya.

Terhadap hal ini dapat digunakan pendapat Herlien yang menyatakan mereka yang tidak berwenang melakukan tindakan hukum adalah orang-orang yang oleh undang-undang dilarang melakukan tindakan hukum tertentu. Mereka bukan berarti tidak cakap melakukan perbuatan hukum melainkan tergolong sebagai tidak wenang dalam melakukan tindakan hukum tertentu menurut undang-undang akibatnya adalah perjanjian menjadi batal, dan tidak mempunyai kekuatan mengikat terhadap siapapun.

2. Kedudukan perjanjian lisensi sebagai kontrak yang tidak memenuhi asas konsensualisme antara penerima lisensi dengan pemegang Hak Kekayaan Intelektual yang tidak dibatalkan terkait nilai royalti.

Perjanjian terbentuk karena adanya persesuaian kehendak (consensus) dari para pihak yang membuat perjanjian. Demikian halnya dengan Lisensi sebagai perjanjian atau kontrak dapat mengikat para pihak jika terpenuhi sarat sah perjanjian antara lain adalah kesepakatan. Persesuaian kehendak termasuk asas konsensualisme, dimana terkandung kehendak dari para pihak untuk saling mengikatkan diri dan menimbulkan kepercayaan (vertrouwen) diantara para pihak terhadap pemenuhan perjanjian. Asas konsensualisme mempunyai hubungan yang erat dengan asas kebebasan berkontrak dan asas kekuatan mengikat yang terdapat di dalam Pasal 1338 (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Dalam hal pengalihan royalti berdasarkan putusan pengadilan, Pemegang Hak Kekayaan Intelektual yang tidak dibatalkan tidak pernah memberikan persetujuannya terhadap isi perjanjian Lisensi. Baik mengenai jangka waktu perjanjian, hak-hak dan kewajiban pemberi Lisensi dan penerima Lisensi, jumlah dan tata cara pembayaran Royalti dan lain-lain yang diperjanjikan dalam perjanjian Lisensi.

Pemegang Hak Kekayaan Intelektual harus menerima segala hal yang sudah diperjanjikan oleh orang lain yang tidak berhak atas

Page 445: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 437 |

objek perjanjian. Hal yang paling krusial adalah manfaat ekonomi dari Hak Kekayaan Intelektual sebagai salah satu tujuan dibuat perjanjian Lisensi tidak diperoleh secara maksimal oleh Pemegang Hak Kekayaan Intelektual yang tidak dibatalkan karena besaran Royalti serta sistem pembayarannya bukan atas kehendak atau kesepakatan dirinya melainkan atas putusan pengadilan dan perintah Undang-undang. Pada dasarnya pemberian Lisensi merupakan komersialisasi terhadap Hak Kekayaan Intelektual, dimana pemilik Hak Kekayaan Intelektual yang memiliki hak eksklusif memperoleh imbalan atau royalti dari penerima Lisensi atas pemberian izin memanfaatkan hasil olah pikirnya.

Berkenaan dengan Perjanjian Lisensi yang berlaku antara pihak pemegang Hak Kekayaan Intelektual yang tidak dibatalkan dengan penerima Lisensi tanpa konsensus bukan merupakan suatu perjanjian, karena Perjanjian tanpa konsensus atau kesepakatan bukan merupakan perjanjian. Sebaiknya Undang-undang memberikan keleluasaan kepada Penerima Lisensi dan Pemegang Hak Kekayaan Intelektual yang tidak dibatalkan untuk memperbaharui perjanjian Lisensi terutama mengenai Royalti untuk sisa waktu dalam perjanjian berdasarkan kewajaran dan kepatutan. Apabila tidak tercapai kata sepakat maka langkah terakhir para pihak dapat minta penetapan pengadilan tentang jumlah royalti yang berlaku diantara mereka.

PENUTUP

Kesimpulan

1. Perjanjian lisensi yang dibuat oleh pihak yang tidak berhak atas objek perjanjian berupa Hak Kekayaan Intelektual dengan penerima Lisensi, tidak mengikat terhadap siapapun termasuk terhadap Pemegang Hak Kekayaan Intelektual yang tidak di batalkan karena 1) tidak memenuhi syarat subjektif suatu perjanjian yaitu kesepakatan atau persetujuan sebagaimana syarat sah perjanjian dalam Pasal 1320 atau persetujuan diberikan karena kekhilafan Pasal 1321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pendapat ini dikuatkan dengan ketentuan Pasal 1315 serta 1338 tentang kekuatan mengikat perjanjian yaitu perjanjian yang sah hanya mengikat para pihak yang membuat

Page 446: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 438 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

perjanjian, maka perjanjian yang dibuat oleh orang atau pihak yang tidak berhak mengakibatkan tidak sahnya perjanjian dan tidak mengikat siapapun. Selanjutnya cara perolehan hak milik berupa Hak Kekayaan Intelektual apabila tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 584 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebabkan orang tersebut tidak berwenang dalam melakukan perbuatan hukum apapun terhadap benda tersebut termasuk memberikan lisensi kepada pihak lain. 2) perjanjian yang dibuat oleh pihak yang tidak berwenang melakukan perbuatan hukum (handelingsonbevoegdheid) berakibat terhadap perjanjian batal demi hukum ( (null and void).

2. Perjanjian lisensi sebagai kontrak seharusnya memenuhi asas konsensualisme, yaitu persetujuan atau kesepakatan antara pemberi lisensi dalam hal ini Pemegang Hak Kekayaan Intelektual yang tidak dibatalkan, dengan penerima Lisensi. Pemegang Hak Kekayaan Intelektual yang tidak dibatalkan setelah adanya putusan pembatalan terhadap Hak Kekayaan Intelektual yang serupa tidak pernah memberikan persetujuan atas isi perjanjian Lisensi kepada Pihak Penerima Lisensi. Lisensi tanpa persetujuan atau kesepakatan bukanlah perjanjian karena lahirnya perjanjian sejak adanya kesepakatan atau persetujuan atau dengan kata lain tidak ada perjanjian tanpa persetujuan. Tidak terpenuhi asas konsensualisme perjanjian menjadi batal. Lisensi yang tidak memenuhi asas konsensualisme antara penerima lisensi dengan pemegang Hak Kekayaan Intelektual yang tidak dibatalkan terkait nilai royalti bukan suatu perjanjian.

Saran

1. Undang-Undang yang berkaitan dengan Hak Kekayaan Intelektual sebaiknya satu dan yang lainnya mengatur hal yang sama mengenai akibat hukum Pembatalan dan Penghapusan Hak Kekayaan Intelektual bagi Pemegang Hak Kekayaan Intelektual yang tidak dibatalkan, karena masih terdapat perbedaan pengaturan seperti Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Paten dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis. Undang-Undang Paten masih mengatur bahwa terhadap Penerima Lisensi yang Patennya di hapus masih berhak melanjutkan Lisensinya sampai habis waktu perjanjian

Page 447: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 439 |

Lisensi tetapi pembayaran Royalti dialihkan kepada Pemegang Paten yang tidak dihapus. Berbeda dengan Undang-Undang Merek tidak mengatur akibat hukum ini terhadap Pemegang Merek yang tidak di hapuskan atau dibatalkan.

2. Sebaiknya pembuat Undang-Undang mempertimbangkan asas konsensualisme dan asas kekuatan mengikat perjanjian dalam membuat aturan yang berkaitan dengan akibat hukum pembatalan dan penghapusan Hak Kekayaan Intelektual terhadap perjanjian Lisensi dan terhadap Pemegang Hak Kekayaan Intelektual yang tidak dibatalkan atau dihapuskan. Perjanjian Lisensi yang dibuat oleh orang yang tidak berhak atau berwenang tidak otomatis mengikat pihak lain atau Pemegang Hak Kekayaan Intelektual yang tidak dibatalkan.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Budiono, Herlien Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya d Bidang Kenotariatan, Bandung PT. Citra Aditya Bakti, 2010.

Erawati, Elly dan Herlien Budiono, Penjelasan Hukum Tentang Kebatalan Perjanjian, Jakarta, Nasional Legal Reform Program, 2010

Hernoko, Agus Yudha. Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011.

Lindsey, Tim, Eddy Damian, Simon Butt, Tomi Suryo Utomo, Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, Bandung PT . Alumni, 2006.

Muljadi, Kartini & Gunawan Widjaja, Perikatan yang lahir dari perjanjian, ( Jakarta, Rajawali Pers 2010).

Purwaningsih, Endang Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Dan Lisensi,(Bandung, CV. Mandar Maju, 2012.

Saidin, O.K Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Right), Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007.

Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta PT. Intermasa, 1992.

Page 448: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

| 440 |

International Conference August 20th - 23rd 2017

Sulasno, Lisensi Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Dalam Perspektif Hukum Perjanjian, ( Jurnal Hukum; ADIL Vol.3 No.2. )

Peraturan Perundang-undangan.

Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 252

------------, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Paten, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 176

------------, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2014 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 266.

------------, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2000 Tentang Perlindungan Varietas Tanaman, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 241

------------, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2000 Tentang Rahasia Dagang, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 242.

------------, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 243.

------------, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2000 Tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 244.

------------, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia.

Page 449: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD

International Conference August 20th - 23rd 2017

| 441 |

Page 450: Edisi Lengkap Jilid 2 - UNUD