sejarah psikologi forensik

18
Chapter 1 Forensic Psychology Decades of Progress and Controversy Makalah ini disusun sebagai tugas kelompok mata kuliah Psikologi Forensik Kelompok 2 : Puranti Nur Farida 190110110021 Ajeng Indri Hastuti 190110110027 Putra Reza Fardani 190110110048 Zessario Diliandirsa 190110110053 Bella Fariza Hanifah 190110110084 Dara Putri Ghasani 190110110090 Karina Delicia 190110110099 Sekar Nawang Wulan 190110110110 Nabila Vella Octaviany 190110110125 Melati Isjwara Adjani 190110110143

Upload: melati

Post on 24-Dec-2015

42 views

Category:

Documents


10 download

DESCRIPTION

Sejarah

TRANSCRIPT

Page 1: Sejarah Psikologi Forensik

Chapter 1

Forensic Psychology

Decades of Progress and Controversy

Makalah ini disusun sebagai tugas kelompok mata kuliah Psikologi Forensik

Kelompok 2 :

Puranti Nur Farida 190110110021

Ajeng Indri Hastuti 190110110027

Putra Reza Fardani 190110110048

Zessario Diliandirsa 190110110053

Bella Fariza Hanifah 190110110084

Dara Putri Ghasani 190110110090

Karina Delicia 190110110099

Sekar Nawang Wulan 190110110110

Nabila Vella Octaviany 190110110125

Melati Isjwara Adjani 190110110143

Fakultas Psikologi

Universitas Padjadjaran

2014

Page 2: Sejarah Psikologi Forensik

Chapter 1

Forensic Psychology

Decades of Progress and Controversy

1. INTRODUCTION

Pada masa kini masyarakat semakin sering manaruh perhatian pada apa yang disebut

“Forensik”. Bagi masyarakat, awam, istilah forensic berkisar pada “pelaku” dan detil dari

pola perilaku criminal. Beberapa pelaku criminal bahkan dapat disejajarkan dengan selebriti

dan diduga bahwa mereka memiliki “ciri perilaku tertentu” atau “mindset tertentu” sehingga

mereka melakukan kejahatan. Rasa tertarik masyarakat terhadap reka ulang tindak criminal

mengantarkan para produser untuk memroduksi serial televisi, film, dan tayangan yang

menampilkan investigasi forensic di dalamnya. Seringkali para ahli forensic

mempermasalahkan reka ulang yang dianggap terlalu dilebih – lebihkan. Walau pun begitu,

banyak pula hasil karya spesialis kesehatan mental dan hukum yang mempertahankan

objektivitas seraya bertahan di dalam batasan ilmiah, tapi tetap terbuka terhadap batasan ilmu

social. (Ewing, 1985; Hess & Weiner, 1999; Melton, Petrila, Poythress, & Slobogin, 1997).

Psikolog dan beberapa ahli kesehatan menyediakan testimony agar pengadilan dpat

memutuskan mengenai isu krusial apakah sesorang akan dipenjara atau dibebaskan, apakah

orang tua punya hak untuk memiliki rumah dan mengasuh anak, dan lain lain. Testimoni ini

biasanya berdasarkan pada interaksi yang tersedia dengan individu dalam bentuk pertanyaan,

dan berdasarkan kumpulan dari sumber indormasi.

Umumnya kamus mendefinisikan “forensic” sebagai “termasuk bagian dari

pengadilan hukum’ digunakan dalam pengadilan atau proses legal; atau bersinggungan pada

atau sesuai untuk argumentasi public atau public. (Webster's New Universal Unabridged

Dictionary, 2nd Edition, 1983, pp. 718). Berdasarkan definisi ini, pemeiksaan forensic

dilakukan untuk tujuan tertentu, yaitu memformulasikan opini ilmiah yang akan membantu

hukum atau fakta (misalnya hakim atau juri) dalam memutuskan keputusan akhir. Dengan

kesadaraan bahwa ahli forensic tersebut terpilih untuk memberikan evaluasi mengenai saksi

mata dan testimony, maka tentunya akan muncul juga tanggung jawab untuk

mempertahankan prinsip ilmiah dan menyediakan opini seobjektif mungkin.

Page 3: Sejarah Psikologi Forensik

2. HISTORY

Meningkatnya popularitas ilmu forensik tidak menjelaskan fakta bahwa kesaksian

psikologis di pengadilan memiliki sejarah yang panjang dan juga perdebatan. Dalam review

mengesankan komprehensif sejarah keterlibatan psikologis dalam pengaturan hukum, Bartol

& Bartol (1997) menunjukkan bahwa bidang psikologi forensik sadar dengan penelitian

tentang isu-isu yang terkait dengan kesaksian pada awal abad kedua puluh. Topik ini

melambangkan tantangan dalam menerapkan penelitian psikologis dalam masalah hukum

sebagai spesifikasi faktor yang mempengaruhi kesaksian masih kontroversial setelah dekade

penyelidikan lebih lanjut. Para penulis ini mengidentifikasi sejarah lainnya mengenai area

keterlibatan psikologi dalam hukum termasuk pemasyarakatan dan psikologi kriminal.

Selama awal 1900-an, sementara peneliti psikologi memberikan kontribusi terhadap

pemahaman kita mengenai perilaku manusia, psikolog tidak diterima sebagai ahli dalam ahli

kesaksian. Seorang psikolog Amerika pertama kali mengaku untuk bersaksi sebagai ahli pada

tahun 1921 (Negara v Sopir, 1921;. dikutip dari Johnson, Schopp, & Shigaki, 2000).

Sementara psikolog itu mengaku sebagai seorang ahli dalam topik kenakalan remaja,

pengadilan menolak kesaksiannya karena kesimpulannya didasarkan pada data tes psikologi

yang dianggap pengadilan tidak cukup untuk mampu mendeteksi penipuan. Walaupun non-

dokter diakui sebagai saksi ahli dalam pengadilan, metode ilmu psikologi dirasa tidak cukup

untuk mempertanggung jawabkan kasus tersebut. Masalah kompleks dalam mendeteksi

kebohongan di pengadilan berkontribusi terhadap definisi kesaksian ahli dalam kasus Frye v.

United States. Dalam kasus tersebut, pengadilan menyatakan keterbatasan dari setiap disiplin

ilmu, seorang ahli harus merumuskan opini tentang standar yang cukup mapan untuk

memiliki memperoleh "penerimaan umum" dalam bidang profesional seseorang tertentu.

Standar Frye ini ditetapkan sebagai criteria membimbing selama bertahun-tahun sesudahnya.

Sebuah preferensi menyatakan bahwa dokter mendominasi proses seleksi saksi selama

puluhan tahun di awal 1900-an. Pada 1940-an dan 50-an, beberapa putusan pengadilan

menantang standar subjektif untuk saksi ahli yang bergelar dokter, dan menemukan bahwa

psikolog dapat diakui sebagai ahli untuk bersaksi mengenai kondisi mental (Bartol dan

Bartol, 1997) . Kelompok psikiatri menyelenggarakan oposisi terhadap putusan tersebut,

menyatakan bahwa hanya profesional medis yang diizinkan sebagai ahli sejak kewarasan

dikonseptualisasikan sebagai penyakit.

Page 4: Sejarah Psikologi Forensik

Pada tahun 1962, Pengadilan Banding District of Columbia menawarkan keputusan

yang bersyarat dan berpengaruh bahwa pengadilan yang lebih rendah telah keliru dalam

mengecualikan kesaksian psikologis dan bahwa psikolog bisa memenuhi syarat sebagai saksi

ahli dalam kasus tentang tanggung jawab pidana (Jenkins v. Amerika Serikat, 1962). Kasus

Jenkins, dengan keputusannya yang judul atau jenis pelatihan khusus tidak secara otomatis

memasukkan atau mengecualikan salah satu dari yang mengaku sebagai ahli, meningkatkan

pemanfaatan psikolog sebagai ahli dalam kasus perdata dan pidana. Secara khusus, keputusan

Jenkins menawarkan bahwa psikolog dapat diterima sebagai seorang ahli untuk sejauh bahwa

mereka memiliki pengetahuan tentang isu tertentu lebih dari apa yang orang awam mungkin

memiliki, dan bahwa pengetahuan ini mungkin akan membantu badan penyelidikan yang

memutuskan kasus secara hukum dalam membuat keputusan. Tahun-tahun setelah keputusan

Jenkins, Federal Rules of Evidence (FRE, 1975) disahkan dan banyak pengadilan negara

yang mengadopsi peraturan ini. Singkatnya,lima aturan utama FRE mengatur diterimanya

dan standar kesaksian ahli. Sementara Peraturan 701 umumnya membatasi kesaksian awam

dengan deskripsi peristiwa secara langsung diamati, Aturan 702-706 adalah mereka yang

mengatur diterimanya ahli kesaksian. Sebuah diskusi menyeluruh tentang seluk-beluk

masing-masing hukum putusan yang telah membentuk sejarah kesaksian ahli di Amerika

Serikat tentu di luar lingkup bab ini, tetapi menyebutkan singkat bagian yang dipilih akan

mencoba di sini. Diskusi komprehensif tersedia oleh Brodsky dalam Bab Dua buku ini, Hess

(1999) dan Melton, Petrilla, Poythress, & Slobogin (1997).

Aturan Federal Rules of Evidence yang paling terlihat adalah aturan 702, yang

menyatakan bahwa hakim bertanggungjawab sebagai gatekeeper terkait dengan diterima atau

tidaknya kesaksian ahli (expert testimony). Menurut aturan tersebut, pengadilan dapat

menerima suatu kesaksian ahli sejauh hal itu dianggap membantu pengujian fakta untuk

memahami aspek-aspek informasi ilmiah yang relevan.Seorang individu dikatakan sebagai

ahli berdasarkan tingkat spesialiasi, pelatihan, pengalaman, atau pengetahuan spesifik yang

dimilikinya. Aturan 703 dan 704 mengatur tentang dasar-dasar dimana seorang ahli

diharapkan membuat kesaksian dan keadaandalam memberikan kesaksian mengenai isu-isu

pokok. Aturan 705 menyatakan bahwa saksi ahli disyaratkan untuk menyingkap fakta-fakta

spesifik atau data yang terkait dengan opininya. Terakhir, aturan 706 menyatakan bahwa

pengadilan dapat menentukan saksi ahlinya sendiri jika dianggap perlu.

Loh (1981) melaporkan bahwa minat para profesional dan penelitian dibidang

forensik meningkat 10 kali lipat dari tahun 1960 sampai dengan pertengahan 1970. Selain itu,

Page 5: Sejarah Psikologi Forensik

kebebasan pengadilan untuk memasukkan berbagai profesi untuk memberikan kesaksian ahli

diikuti dengan perbaikan-perbaikan putusan mengenai sifat ilmiah dari suatu kesaksian.

Kasus Daubert v. Merrill Dow (1993) salah satu yang memberikan pengaruh besar terhadap

putusan pemerintah, memberikan pemahaman bahwa dasar dari kesaksian ilmiah yang

diberikan dalam rangka membantu pengujian fakta harus memenuhi standar-standar tertentu,

terkait dengan reliabilitas dan relevansinya dengan kasus yang spesifik. Dengan kata lain,

putusan ini secara khusus menyatakan bahwa metodologi yang digunakan oleh seorang ahli

dalam merumuskan opininya harus menunjukkan validitas yang memadai, dilihat dari

beberapa ukuran seperti apakah metode tersebut memiliki kapasitas untuk dilakukan

pengujian secara empiris, apakah memiliki publikasi yang sebanding, apakah metode tersebut

menunjukkan tingkat eror yang wajar, atau apakah metode tersebut memiliki protokol

mengenai implementasinya secara terstandar.

Dua putusan tambahan lain yang berkembang saat ini adalah meningkatnya

penekanan sifat keilmiahan dari suatu kesaksian ahli yang diharapkan oleh pengadilan.

Dalam Joiner v. United States (1997),Pengadilan Tinggi memperluas putusan Daubertterkait

dengan reliabilitas dari metode yang digunakan ahli dalam membuat opininya. Dalam

putusan Joinerdinyatakan bahwa kesimpulan yang diambil dari penggunaan metode tertentu

seharusnya dibatasi sesuai dengan keterbatasan metodenya. Selanjutnya dari putusan ini

disimpulkan bahwa meskipun suatu kenyataan ilmiah tergolong reliabel dan relevan, namun

bisa saja tidak dipakai jika ternyata nilainya bagi pengadilan tidak lebih besar daripada

potensinya untuk menyesatkan atau membingungkan hakim atau juri. Dengan demikian,

putusan ini secara progresif mensyaratkan suatu kesaksian yang didukung secara reliabel oleh

metode yang ditetapkan dalamsuatu komunitas ahli tertentu, dan memiliki kaitan yang

relevan terhadap pertanyaan spesifik untuk meningkatkan pemahaman pengadilan mengenai

isu-isu ilmiah.

Perluasan yang lebih baru dari putusanDaubert berasal dari kasus KumhoTire Co. v.

Carmichael (1999). Dalam kasus ini, Pengadilan Tinggi membuat peraturan bahwa standar

yang diterapkan untuk kesaksian ilmiah dalam kasus Daubert juga dapat diterapkan untuk

pengetahuan teknis dan tipe-tipe pengetahuan khusus lainnya. Dengan begitu, para ahli “non-

ilmiah” yang teruji (misalnya berdasarkan pengalaman praktek selama bertahun-tahun), dapat

memiliki standar reliabilitas dan penerimaan dari komunitas profesinya yang khusus

sebagaimana kesaksian yang sifatnya ilmiah.

Page 6: Sejarah Psikologi Forensik

Kesimpulan yang bisa diambil adalah dari beberapa putusan yang tercatat dalam

sejarah, yang mempengaruhi psikologi forensik, poin terbesarnya adalah penerimaan

psikolog sebagai saksi ahli. Namun saat ini masih menjadi perdebatan terkait dengan

kecenderungan untuk lebih memilih profesional yang mempunyai pengalaman tertentu

dibandingkan yang lain (misalnya ilmuwan vs bukan ilmuwan), dan juga mengenai

keterbatasan dari metodologi ilmu sosial. Dalam survey yang dipublikasikan oleh Redding,

Floyd, & Hawk (2001) contohnya, ditemukan suatu preferensi terhadap ilmuwan ahli

dibandingkan yang lainnya.

Redding, Floyd dan Hawk melaporkan bahwa kelompok juri dan pengacara secara

subjektif lebih menyukai psikiater sebagai evaluator ahli oleh lebih dari margin dua-ke-satu.

Sesuai dengan diskusi untuk mengikuti, skeptis vokal mengenai apakah metodologi ilmu-

ilmu sosial dan praktek klinis kesehatan mental memungkinkan membuat kesimpulan yang

cukup valid untuk dapat diterima di pengadilan (Dawes, 1994; Faust & Ziskin, 1988; Hagan,

1997). Banyak penulis memperingatkan bahwa dasar bukti ilmiah tidak cukup untuk

memungkinkan psikolog memberikan kesaksian tentang isu-isu pengadilan akhir seperti

kewarasan, kompetensi, atau rasa bersalah. Literature forensic banyak mengatakan bahwa

psychological expert memiliki profesionalitas dan tanggung jawab etika untuk menangani

suatukasus di pengadilan seperti membuat keputusan beradasarkan data actual. Survey juga

membuktikan bahwa deskripsi klinis dan diagnosis dinilai lebih berharga dibandingkan data

statistic.

Namun diagnosis tersebut harus mengikuti standar Speciality Guidelines for Forensic

Psychologist (1991) dan Ethical Principle of Psychologist yang diterbitkan oleh American

Psychological Association (APA, 1992). Hal tersebut dimaksudnkan agar psikolog tetap

mengikuti standar etik dan tidak melakukan misinterpretasi terhadap suatu kasus yang

ditanganinya, selain itu tetap menjalin kesejahteraan klien dan pihak terkait.

Tujuan utama dari keterangan saksi ahli adalah untuk mengajarkan baik pada area

spesifik di ilmu pengetahuan, dan aplikasi yang relevan untuk keadaan tertentu. Tindakan

saksi ahli menunjukkan bahwa seseorang memiliki pendidikan profesional dan pengetahuan

khusus yang akan membantu mencari fakta dalam pengambilan keputusan.

Perbedaan antara ahli psikologi dan orang awam dengan "common sense" pada

gagasan psikologi, adalah kemampuan ahli untuk menganalisis secara kritis literatur yang

ada, menggunakan strategi penilaian yang valid dan terpercaya, menafsirkan data satu orang

Page 7: Sejarah Psikologi Forensik

dalam konteks data kelompok normatif, mengidentifikasi keterbatasan dalam teknologi yang

tersedia dan literatur, dan secara empiris menjelaskan penyimpangan dalam kasus tertentu

dari data perbandingan normatif. dalam pengadilan, seorang ahli tidak dimaksudkan untuk

mengadvokasi penggugat atau terdakwa, melainkan untuk mengadvokasi metode di mana

mereka membentuk pendapat mereka, memahami bahwa utilitas kesimpulan mereka mungkin

jatuh pada hal yang tidak tepat.

Ketika keterangan konsisten untuk membela penggugat, maka keterangan tersebut

harus secara raisonal di review bagaiman aprosedur, asumsi serta interpretasi apabila ada

potensi tidak valid oleh saksi ahli. Meskipun begitu, kadang saksi ahli juga memiliki

pandangan subjektif atas sebuaj kasus, sehingga meraka harus melakukan self-assessment

agar mereka tetap objektif.

Page 8: Sejarah Psikologi Forensik

3. PSYCHOLOGY’S LIMITS AND LAW’S RESPONSIBILITY

Melton, Petrila, Polythress, & Slobogin (1997) membahas perbedaan filosofis antara ilmu

perilaku dan hukum. Salah satu perbedaannya adalah ketika merumuskan opini forensik,

ilmuwan behavioral berkewajiban untuk menjaga objektifitas sains dan tetap berada dalam

batas empiris, sedangkan pengadilan mempunyai kewajiban meringkas semua sumber

masukan ke dalam penentuan akhir yang bersifat dikotomis dan kuat. Hasilnya, konflik alami

tampak ketika profesi legal mencoba membentuk beberapa kemungkinan psikologis yang

secara logika tidak sempurna menjadi keputusan yang ringkas. Ilmu perilaku

mempertimbangkan kondisi dimana hasil tertentu memegang kebenaran bagi orang atau grup

tertentu, sedangkan hukum menuntut sumbangan keputusan yang bersifat dikotomis. Adil

atau tidak adil, ilmu psikologi sudah sejak lama dianggap inferior terhadap ilmu alam yang

memiliki teknologi untuk langsung sampai pada kesimpulan yang bersifat pasti.

Proses pembuatan diagnosa psikologis menitikberatkan pada laporan verbal terhadap

gejala-gejala. Mempertimbangkan variasi terhadap penyampaian (presentasi), pemaknaan

(interpretasi), dan diagnosis akhir dari gejala yang mungkin sama. Banyak diagnosis emosi

bisa dibuat-buat dan penelitian menunjukkan bahwa para professional yang bergerak dalam

bidang kesehatan mental sering kali tidak akurat dalam membedakan gejala yang dibuat-buat.

Untuk menentukan keputusan diagnostic, kita perlu melihat sejarah gejala-gejala yang pernah

diderita oleh klien.

Karena banyaknya disiplin ilmu yang ada pada professional kesehatan mental,

membuat banyak teori juga dalam menjelaskan bagaimana memprediksi suatu tingkah laku

secara akurat. Beberapa teori dan kerangka berpikir filosofi yang ada mencoba untuk

mendeskripsikan dan menjelaskan sifat dari perilaku atau emosi yang sama. Contohnya saja

perbedaan cara pandang psikodinamika dengan cognitive-behavioral terhadap gejala depresif

pada suatu kondisi tertentu. pendekatan ini berbeda dalam penjelasan terhadap gejala-gejala,

penanganannya, dan prognosis.

Faust dan Ziskin menyimpulkan bahwa diagnosa dan keakuratan prediksi seorang

professional kesehatan mental rendah dan tidak berbanding lurus dengan banyaknya

pengalaman atau lamanya ia bekerja. Bahkan, terdapat pendapat bahwa kesaksian psikologis

Page 9: Sejarah Psikologi Forensik

tidak berdasar dalam proses hukum. Bertambah banyaknya individu yang berkembang dalam

ranah psikologi cenderung meningkatkan perbedaan cara pandang terhadap manusia.

Terutama terhadap perilaku manusia yang terlihat.

4. DIFFERENTIATING CLINICIAN AND FORENSIC EXPERT ROLES

Kebanyakan praktisi tertarik dengan profesi kesehatan mental dari suatu keinginan

intrinsik untuk membantu orang lain dengan fokus pada mengetahui dan membuktikan,

menawarkan dukungan dan dorongan, dan meminimalkan atau menghilangkan suatu

penderitaan yang dialami. Biasanya, praktisi klinis cenderung untuk menerima persepsi yang

dikemukakan klien dan untuk menciptakan lingkungan yang mendukung, empati, mendorong

mengekplorisasi masalah dan menawarkan kepada klien dalam membuat perubahan yang

diinginkan dengan wawasan yang memadai sebagai seorang yang professional. Seorang

pasien sering dirujuk untuk perawatan dengan laporan yang valid tentang gejala atau masalah

– masalah mereka. Ciri dari pemeriksaan dalam psikologi forensic yaitu adanya bukti objektif

diakhir setelah data – data yang didapat hasil dari perspektif klien. Pengadilan, hukum

perusahaan, atau perusahaan asuransi adalah pihak yang paling sering meminta evaluasi

penting dari praktek klinis agar lebih jelas. Advokasi untuk kepentingan klien bertujuan

untuk mendapatkan keadilan dan keakuratan. Dalam kasus – kasus teretentu mungkin saja

ada yang harus ditangani melalui pengobatan yang ditangani oleh ahli forensik. Penilaian

forensik secara alami dapat menghasilkan kecurigaan adanya motif pemeriksa dan

kekhawatiran mengenai laporan seseorang yang dijadikan suatu keputusna hukum. Proses

sederhana yaitu adanya kerahasian sebelum adanya pemeriksaan secara forensic sehingga

dapat diasumsikan evaluator forensic memiliki kewajiban untuk menguatkan laporan secara

lisan. Tujuan dari psikologi forensic adalah untuk menilai dan mengukur gejala seseorang.

banyak metode yang digunakan dalam pengumpulan data (wawancara, catatan review, tes

psikologi) mungkin tampak sama pada psikologi forensic dan klinis namun perbedaanya

adalah :

Ahli klinis lebih didukung dengan tes proyektif untuk wawasan subjektif dari

individu

Ahli forensik lebih objektif, menginterpretasi kekonsitenan suatu pernyataan dan

perilaku pasien.retasi data yang tersedia, menilai keabsahan suatu pernyataan, dan

memeriksa

Page 10: Sejarah Psikologi Forensik

Ahli forensik harus mempertahankan pengetahuan yang komprehensif dari literatur

yang relevan, dan batas-batas literatur dan keahlian. Dawes (1994) mengemukakan bahwa

kurang dari sepertiga dari anggota APA teratur membaca satu atau lebih jurnal ilmiah.

Komprehensif, pengetahuan kontemporer tentang literatur yang ada tidak opsional bagi

pemeriksa forensik.

Dan yang terakhir, dalam sifat aslinya prosesi persidangan sangat berbanding terbalik

dengan sifat dari lingkungan penyembuhan mental yang suportif, menghargai, dan bekerja

sama. Profesi kesehatan mental meningkatkan penerimaan secara profesional dan

menghargai, dan mungkin sangat bertentangan dengan sifat dari perdebatan sidang.

Pengacara yang berada di pihak lawan mungkin akan mencoba menggambarkan bidang

psikologi menjadi sesuatu yang bias, tidak berdasar, ceroboh, atau bahkan tidak kompeten.

Tentu saja, pengambaran ini berbanding terbalik dengan ahli yang dalam pilihannya dinilai

sebagai penyayang, menghormati, dan profesional.

Menyangkut ketidaknyamanan yanf diasosiasikan dengan kontroversi, banyak praktisi

kesehatan mental ingin menghindari berbagai “legalisasi” dari praktisi psikologi dan

melawan berbagai pembongkaran terhadap isu legal. Tetapi, pembedaan secara perlahan sulit

untuk dipertahankan, bahkan praktisi yang paling menentang pun menemukan diri mereka

secara bertahap terlibat dalam isu legal jika mereka menyediakan perawatan terhadap

individu yang terkena isu krimina, kompetensi, tahanan dibawah umur, luka emosional atau

kognitif yang diikuti dengan klaim asuransi atau luka yang terkait pekerjaan.

Page 11: Sejarah Psikologi Forensik

5. FUTURE GROWTH OF FORENSIC PSYCHOLOGY

Di masa yang akan datang, interaksi dari praktisi psikologi dan hukum akan banyak

dibahas. Meningkatnya minat di bidang psikologi forensik, menyebabkan banyak orang

berusaha mengejarnya dengan banyak cara. Sebagai contoh, adanya program training

akademik formal untuk mendapatkan gelar, termasuk gelar double-degree. Misalnya, salah

satu program training yang mengharuskan mahasiswanya mendaftarkan diri di sekolah

hukum dan psikologi agar bisa mendalami psikologi forensik, dengan latihan beberapa tahun

melalui pembelajaran, penelitian, dan praktikum.

Padahal menurut Melton, Huss, dan Tomkins (1999), mengintegrasikan 2 disiplin ilmu

adalah hal yang sulit dan saat masuk ke dunia professional akan lebih menantang dari yang

dipikirkan. Karena saat menjalani double-degree, seseorang akan cenderung hanya memiliki

pengetahuan umum di kedua disiplin ilmu tersebut dibandingkan ahli di salah satunya. Saat

masuk dunia professional, seseorang dengan double-degree akan harus memprioritaskan

salah satu degree-nya untuk menghadapi tuntutan kerja. Hal tersebut dikarenakan,

mempertahankan diri sendiri untuk komitmen di kedua disiplin ilmu (hukum dan psikologi)

akan sulit dilakukan.

Untuk terlibat dalam multidisiplin ini, seorang ahli psikolog forensik harus merupakan

psikolog yang memiliki pengetahuan mengenai tujuan dan bertanggungjawab, terutama pada

saat mereka memberikan kesaksian pada suatu kasus. Semakin hari semakin berkembang

psikologi forensic ini. Beberapa organisasi professional bahkan dibentuk untuk membahas

kepentingan dan kegiatan-kegiatan forensik. Seperti APA divisi 41 Psikologi dan Hukum,

memiliki lebih dari 2000 anggota di dalam divisi psikologi forensik.

Organisasai professional, jurnal professional yang diterbitkan, dan isu praktis terkait

forensic kini semalin meluas. Sering dengan semakin maraknya isu forensik dari sisi

psikologi, Psikologi forensik tentu harus melanjutkan upaya untuk memperbaiki standar

pelatihan akademis sehingga orang-orang profesional di bagian khusus ini memiliki

pengetahuan yang memadai hukum untuk menentukan target, tujuan, dan layanan ilmiah etis

kepada masyarakat dan pengadilan. Tanggung jawab utama untuk meningkatkan penerapan

ilmu psikologis untuk setiap keadaan baru tetap dengan praktisi individu dan ilmuwan yang

berusaha untuk memperbaiki validitas tindakan penilaian, dan menjaga kesopanan dalam

pemanfaatannya

Page 12: Sejarah Psikologi Forensik

DAFTAR PUSTAKA

Dorsten, Brent Van. 2004. FORENSIC PSYCHOLOGY From Classroom to Courtroom.

Colorado: Kluwer Academic Publishers.