sejarah psikologi forensik
DESCRIPTION
SejarahTRANSCRIPT
Chapter 1
Forensic Psychology
Decades of Progress and Controversy
Makalah ini disusun sebagai tugas kelompok mata kuliah Psikologi Forensik
Kelompok 2 :
Puranti Nur Farida 190110110021
Ajeng Indri Hastuti 190110110027
Putra Reza Fardani 190110110048
Zessario Diliandirsa 190110110053
Bella Fariza Hanifah 190110110084
Dara Putri Ghasani 190110110090
Karina Delicia 190110110099
Sekar Nawang Wulan 190110110110
Nabila Vella Octaviany 190110110125
Melati Isjwara Adjani 190110110143
Fakultas Psikologi
Universitas Padjadjaran
2014
Chapter 1
Forensic Psychology
Decades of Progress and Controversy
1. INTRODUCTION
Pada masa kini masyarakat semakin sering manaruh perhatian pada apa yang disebut
“Forensik”. Bagi masyarakat, awam, istilah forensic berkisar pada “pelaku” dan detil dari
pola perilaku criminal. Beberapa pelaku criminal bahkan dapat disejajarkan dengan selebriti
dan diduga bahwa mereka memiliki “ciri perilaku tertentu” atau “mindset tertentu” sehingga
mereka melakukan kejahatan. Rasa tertarik masyarakat terhadap reka ulang tindak criminal
mengantarkan para produser untuk memroduksi serial televisi, film, dan tayangan yang
menampilkan investigasi forensic di dalamnya. Seringkali para ahli forensic
mempermasalahkan reka ulang yang dianggap terlalu dilebih – lebihkan. Walau pun begitu,
banyak pula hasil karya spesialis kesehatan mental dan hukum yang mempertahankan
objektivitas seraya bertahan di dalam batasan ilmiah, tapi tetap terbuka terhadap batasan ilmu
social. (Ewing, 1985; Hess & Weiner, 1999; Melton, Petrila, Poythress, & Slobogin, 1997).
Psikolog dan beberapa ahli kesehatan menyediakan testimony agar pengadilan dpat
memutuskan mengenai isu krusial apakah sesorang akan dipenjara atau dibebaskan, apakah
orang tua punya hak untuk memiliki rumah dan mengasuh anak, dan lain lain. Testimoni ini
biasanya berdasarkan pada interaksi yang tersedia dengan individu dalam bentuk pertanyaan,
dan berdasarkan kumpulan dari sumber indormasi.
Umumnya kamus mendefinisikan “forensic” sebagai “termasuk bagian dari
pengadilan hukum’ digunakan dalam pengadilan atau proses legal; atau bersinggungan pada
atau sesuai untuk argumentasi public atau public. (Webster's New Universal Unabridged
Dictionary, 2nd Edition, 1983, pp. 718). Berdasarkan definisi ini, pemeiksaan forensic
dilakukan untuk tujuan tertentu, yaitu memformulasikan opini ilmiah yang akan membantu
hukum atau fakta (misalnya hakim atau juri) dalam memutuskan keputusan akhir. Dengan
kesadaraan bahwa ahli forensic tersebut terpilih untuk memberikan evaluasi mengenai saksi
mata dan testimony, maka tentunya akan muncul juga tanggung jawab untuk
mempertahankan prinsip ilmiah dan menyediakan opini seobjektif mungkin.
2. HISTORY
Meningkatnya popularitas ilmu forensik tidak menjelaskan fakta bahwa kesaksian
psikologis di pengadilan memiliki sejarah yang panjang dan juga perdebatan. Dalam review
mengesankan komprehensif sejarah keterlibatan psikologis dalam pengaturan hukum, Bartol
& Bartol (1997) menunjukkan bahwa bidang psikologi forensik sadar dengan penelitian
tentang isu-isu yang terkait dengan kesaksian pada awal abad kedua puluh. Topik ini
melambangkan tantangan dalam menerapkan penelitian psikologis dalam masalah hukum
sebagai spesifikasi faktor yang mempengaruhi kesaksian masih kontroversial setelah dekade
penyelidikan lebih lanjut. Para penulis ini mengidentifikasi sejarah lainnya mengenai area
keterlibatan psikologi dalam hukum termasuk pemasyarakatan dan psikologi kriminal.
Selama awal 1900-an, sementara peneliti psikologi memberikan kontribusi terhadap
pemahaman kita mengenai perilaku manusia, psikolog tidak diterima sebagai ahli dalam ahli
kesaksian. Seorang psikolog Amerika pertama kali mengaku untuk bersaksi sebagai ahli pada
tahun 1921 (Negara v Sopir, 1921;. dikutip dari Johnson, Schopp, & Shigaki, 2000).
Sementara psikolog itu mengaku sebagai seorang ahli dalam topik kenakalan remaja,
pengadilan menolak kesaksiannya karena kesimpulannya didasarkan pada data tes psikologi
yang dianggap pengadilan tidak cukup untuk mampu mendeteksi penipuan. Walaupun non-
dokter diakui sebagai saksi ahli dalam pengadilan, metode ilmu psikologi dirasa tidak cukup
untuk mempertanggung jawabkan kasus tersebut. Masalah kompleks dalam mendeteksi
kebohongan di pengadilan berkontribusi terhadap definisi kesaksian ahli dalam kasus Frye v.
United States. Dalam kasus tersebut, pengadilan menyatakan keterbatasan dari setiap disiplin
ilmu, seorang ahli harus merumuskan opini tentang standar yang cukup mapan untuk
memiliki memperoleh "penerimaan umum" dalam bidang profesional seseorang tertentu.
Standar Frye ini ditetapkan sebagai criteria membimbing selama bertahun-tahun sesudahnya.
Sebuah preferensi menyatakan bahwa dokter mendominasi proses seleksi saksi selama
puluhan tahun di awal 1900-an. Pada 1940-an dan 50-an, beberapa putusan pengadilan
menantang standar subjektif untuk saksi ahli yang bergelar dokter, dan menemukan bahwa
psikolog dapat diakui sebagai ahli untuk bersaksi mengenai kondisi mental (Bartol dan
Bartol, 1997) . Kelompok psikiatri menyelenggarakan oposisi terhadap putusan tersebut,
menyatakan bahwa hanya profesional medis yang diizinkan sebagai ahli sejak kewarasan
dikonseptualisasikan sebagai penyakit.
Pada tahun 1962, Pengadilan Banding District of Columbia menawarkan keputusan
yang bersyarat dan berpengaruh bahwa pengadilan yang lebih rendah telah keliru dalam
mengecualikan kesaksian psikologis dan bahwa psikolog bisa memenuhi syarat sebagai saksi
ahli dalam kasus tentang tanggung jawab pidana (Jenkins v. Amerika Serikat, 1962). Kasus
Jenkins, dengan keputusannya yang judul atau jenis pelatihan khusus tidak secara otomatis
memasukkan atau mengecualikan salah satu dari yang mengaku sebagai ahli, meningkatkan
pemanfaatan psikolog sebagai ahli dalam kasus perdata dan pidana. Secara khusus, keputusan
Jenkins menawarkan bahwa psikolog dapat diterima sebagai seorang ahli untuk sejauh bahwa
mereka memiliki pengetahuan tentang isu tertentu lebih dari apa yang orang awam mungkin
memiliki, dan bahwa pengetahuan ini mungkin akan membantu badan penyelidikan yang
memutuskan kasus secara hukum dalam membuat keputusan. Tahun-tahun setelah keputusan
Jenkins, Federal Rules of Evidence (FRE, 1975) disahkan dan banyak pengadilan negara
yang mengadopsi peraturan ini. Singkatnya,lima aturan utama FRE mengatur diterimanya
dan standar kesaksian ahli. Sementara Peraturan 701 umumnya membatasi kesaksian awam
dengan deskripsi peristiwa secara langsung diamati, Aturan 702-706 adalah mereka yang
mengatur diterimanya ahli kesaksian. Sebuah diskusi menyeluruh tentang seluk-beluk
masing-masing hukum putusan yang telah membentuk sejarah kesaksian ahli di Amerika
Serikat tentu di luar lingkup bab ini, tetapi menyebutkan singkat bagian yang dipilih akan
mencoba di sini. Diskusi komprehensif tersedia oleh Brodsky dalam Bab Dua buku ini, Hess
(1999) dan Melton, Petrilla, Poythress, & Slobogin (1997).
Aturan Federal Rules of Evidence yang paling terlihat adalah aturan 702, yang
menyatakan bahwa hakim bertanggungjawab sebagai gatekeeper terkait dengan diterima atau
tidaknya kesaksian ahli (expert testimony). Menurut aturan tersebut, pengadilan dapat
menerima suatu kesaksian ahli sejauh hal itu dianggap membantu pengujian fakta untuk
memahami aspek-aspek informasi ilmiah yang relevan.Seorang individu dikatakan sebagai
ahli berdasarkan tingkat spesialiasi, pelatihan, pengalaman, atau pengetahuan spesifik yang
dimilikinya. Aturan 703 dan 704 mengatur tentang dasar-dasar dimana seorang ahli
diharapkan membuat kesaksian dan keadaandalam memberikan kesaksian mengenai isu-isu
pokok. Aturan 705 menyatakan bahwa saksi ahli disyaratkan untuk menyingkap fakta-fakta
spesifik atau data yang terkait dengan opininya. Terakhir, aturan 706 menyatakan bahwa
pengadilan dapat menentukan saksi ahlinya sendiri jika dianggap perlu.
Loh (1981) melaporkan bahwa minat para profesional dan penelitian dibidang
forensik meningkat 10 kali lipat dari tahun 1960 sampai dengan pertengahan 1970. Selain itu,
kebebasan pengadilan untuk memasukkan berbagai profesi untuk memberikan kesaksian ahli
diikuti dengan perbaikan-perbaikan putusan mengenai sifat ilmiah dari suatu kesaksian.
Kasus Daubert v. Merrill Dow (1993) salah satu yang memberikan pengaruh besar terhadap
putusan pemerintah, memberikan pemahaman bahwa dasar dari kesaksian ilmiah yang
diberikan dalam rangka membantu pengujian fakta harus memenuhi standar-standar tertentu,
terkait dengan reliabilitas dan relevansinya dengan kasus yang spesifik. Dengan kata lain,
putusan ini secara khusus menyatakan bahwa metodologi yang digunakan oleh seorang ahli
dalam merumuskan opininya harus menunjukkan validitas yang memadai, dilihat dari
beberapa ukuran seperti apakah metode tersebut memiliki kapasitas untuk dilakukan
pengujian secara empiris, apakah memiliki publikasi yang sebanding, apakah metode tersebut
menunjukkan tingkat eror yang wajar, atau apakah metode tersebut memiliki protokol
mengenai implementasinya secara terstandar.
Dua putusan tambahan lain yang berkembang saat ini adalah meningkatnya
penekanan sifat keilmiahan dari suatu kesaksian ahli yang diharapkan oleh pengadilan.
Dalam Joiner v. United States (1997),Pengadilan Tinggi memperluas putusan Daubertterkait
dengan reliabilitas dari metode yang digunakan ahli dalam membuat opininya. Dalam
putusan Joinerdinyatakan bahwa kesimpulan yang diambil dari penggunaan metode tertentu
seharusnya dibatasi sesuai dengan keterbatasan metodenya. Selanjutnya dari putusan ini
disimpulkan bahwa meskipun suatu kenyataan ilmiah tergolong reliabel dan relevan, namun
bisa saja tidak dipakai jika ternyata nilainya bagi pengadilan tidak lebih besar daripada
potensinya untuk menyesatkan atau membingungkan hakim atau juri. Dengan demikian,
putusan ini secara progresif mensyaratkan suatu kesaksian yang didukung secara reliabel oleh
metode yang ditetapkan dalamsuatu komunitas ahli tertentu, dan memiliki kaitan yang
relevan terhadap pertanyaan spesifik untuk meningkatkan pemahaman pengadilan mengenai
isu-isu ilmiah.
Perluasan yang lebih baru dari putusanDaubert berasal dari kasus KumhoTire Co. v.
Carmichael (1999). Dalam kasus ini, Pengadilan Tinggi membuat peraturan bahwa standar
yang diterapkan untuk kesaksian ilmiah dalam kasus Daubert juga dapat diterapkan untuk
pengetahuan teknis dan tipe-tipe pengetahuan khusus lainnya. Dengan begitu, para ahli “non-
ilmiah” yang teruji (misalnya berdasarkan pengalaman praktek selama bertahun-tahun), dapat
memiliki standar reliabilitas dan penerimaan dari komunitas profesinya yang khusus
sebagaimana kesaksian yang sifatnya ilmiah.
Kesimpulan yang bisa diambil adalah dari beberapa putusan yang tercatat dalam
sejarah, yang mempengaruhi psikologi forensik, poin terbesarnya adalah penerimaan
psikolog sebagai saksi ahli. Namun saat ini masih menjadi perdebatan terkait dengan
kecenderungan untuk lebih memilih profesional yang mempunyai pengalaman tertentu
dibandingkan yang lain (misalnya ilmuwan vs bukan ilmuwan), dan juga mengenai
keterbatasan dari metodologi ilmu sosial. Dalam survey yang dipublikasikan oleh Redding,
Floyd, & Hawk (2001) contohnya, ditemukan suatu preferensi terhadap ilmuwan ahli
dibandingkan yang lainnya.
Redding, Floyd dan Hawk melaporkan bahwa kelompok juri dan pengacara secara
subjektif lebih menyukai psikiater sebagai evaluator ahli oleh lebih dari margin dua-ke-satu.
Sesuai dengan diskusi untuk mengikuti, skeptis vokal mengenai apakah metodologi ilmu-
ilmu sosial dan praktek klinis kesehatan mental memungkinkan membuat kesimpulan yang
cukup valid untuk dapat diterima di pengadilan (Dawes, 1994; Faust & Ziskin, 1988; Hagan,
1997). Banyak penulis memperingatkan bahwa dasar bukti ilmiah tidak cukup untuk
memungkinkan psikolog memberikan kesaksian tentang isu-isu pengadilan akhir seperti
kewarasan, kompetensi, atau rasa bersalah. Literature forensic banyak mengatakan bahwa
psychological expert memiliki profesionalitas dan tanggung jawab etika untuk menangani
suatukasus di pengadilan seperti membuat keputusan beradasarkan data actual. Survey juga
membuktikan bahwa deskripsi klinis dan diagnosis dinilai lebih berharga dibandingkan data
statistic.
Namun diagnosis tersebut harus mengikuti standar Speciality Guidelines for Forensic
Psychologist (1991) dan Ethical Principle of Psychologist yang diterbitkan oleh American
Psychological Association (APA, 1992). Hal tersebut dimaksudnkan agar psikolog tetap
mengikuti standar etik dan tidak melakukan misinterpretasi terhadap suatu kasus yang
ditanganinya, selain itu tetap menjalin kesejahteraan klien dan pihak terkait.
Tujuan utama dari keterangan saksi ahli adalah untuk mengajarkan baik pada area
spesifik di ilmu pengetahuan, dan aplikasi yang relevan untuk keadaan tertentu. Tindakan
saksi ahli menunjukkan bahwa seseorang memiliki pendidikan profesional dan pengetahuan
khusus yang akan membantu mencari fakta dalam pengambilan keputusan.
Perbedaan antara ahli psikologi dan orang awam dengan "common sense" pada
gagasan psikologi, adalah kemampuan ahli untuk menganalisis secara kritis literatur yang
ada, menggunakan strategi penilaian yang valid dan terpercaya, menafsirkan data satu orang
dalam konteks data kelompok normatif, mengidentifikasi keterbatasan dalam teknologi yang
tersedia dan literatur, dan secara empiris menjelaskan penyimpangan dalam kasus tertentu
dari data perbandingan normatif. dalam pengadilan, seorang ahli tidak dimaksudkan untuk
mengadvokasi penggugat atau terdakwa, melainkan untuk mengadvokasi metode di mana
mereka membentuk pendapat mereka, memahami bahwa utilitas kesimpulan mereka mungkin
jatuh pada hal yang tidak tepat.
Ketika keterangan konsisten untuk membela penggugat, maka keterangan tersebut
harus secara raisonal di review bagaiman aprosedur, asumsi serta interpretasi apabila ada
potensi tidak valid oleh saksi ahli. Meskipun begitu, kadang saksi ahli juga memiliki
pandangan subjektif atas sebuaj kasus, sehingga meraka harus melakukan self-assessment
agar mereka tetap objektif.
3. PSYCHOLOGY’S LIMITS AND LAW’S RESPONSIBILITY
Melton, Petrila, Polythress, & Slobogin (1997) membahas perbedaan filosofis antara ilmu
perilaku dan hukum. Salah satu perbedaannya adalah ketika merumuskan opini forensik,
ilmuwan behavioral berkewajiban untuk menjaga objektifitas sains dan tetap berada dalam
batas empiris, sedangkan pengadilan mempunyai kewajiban meringkas semua sumber
masukan ke dalam penentuan akhir yang bersifat dikotomis dan kuat. Hasilnya, konflik alami
tampak ketika profesi legal mencoba membentuk beberapa kemungkinan psikologis yang
secara logika tidak sempurna menjadi keputusan yang ringkas. Ilmu perilaku
mempertimbangkan kondisi dimana hasil tertentu memegang kebenaran bagi orang atau grup
tertentu, sedangkan hukum menuntut sumbangan keputusan yang bersifat dikotomis. Adil
atau tidak adil, ilmu psikologi sudah sejak lama dianggap inferior terhadap ilmu alam yang
memiliki teknologi untuk langsung sampai pada kesimpulan yang bersifat pasti.
Proses pembuatan diagnosa psikologis menitikberatkan pada laporan verbal terhadap
gejala-gejala. Mempertimbangkan variasi terhadap penyampaian (presentasi), pemaknaan
(interpretasi), dan diagnosis akhir dari gejala yang mungkin sama. Banyak diagnosis emosi
bisa dibuat-buat dan penelitian menunjukkan bahwa para professional yang bergerak dalam
bidang kesehatan mental sering kali tidak akurat dalam membedakan gejala yang dibuat-buat.
Untuk menentukan keputusan diagnostic, kita perlu melihat sejarah gejala-gejala yang pernah
diderita oleh klien.
Karena banyaknya disiplin ilmu yang ada pada professional kesehatan mental,
membuat banyak teori juga dalam menjelaskan bagaimana memprediksi suatu tingkah laku
secara akurat. Beberapa teori dan kerangka berpikir filosofi yang ada mencoba untuk
mendeskripsikan dan menjelaskan sifat dari perilaku atau emosi yang sama. Contohnya saja
perbedaan cara pandang psikodinamika dengan cognitive-behavioral terhadap gejala depresif
pada suatu kondisi tertentu. pendekatan ini berbeda dalam penjelasan terhadap gejala-gejala,
penanganannya, dan prognosis.
Faust dan Ziskin menyimpulkan bahwa diagnosa dan keakuratan prediksi seorang
professional kesehatan mental rendah dan tidak berbanding lurus dengan banyaknya
pengalaman atau lamanya ia bekerja. Bahkan, terdapat pendapat bahwa kesaksian psikologis
tidak berdasar dalam proses hukum. Bertambah banyaknya individu yang berkembang dalam
ranah psikologi cenderung meningkatkan perbedaan cara pandang terhadap manusia.
Terutama terhadap perilaku manusia yang terlihat.
4. DIFFERENTIATING CLINICIAN AND FORENSIC EXPERT ROLES
Kebanyakan praktisi tertarik dengan profesi kesehatan mental dari suatu keinginan
intrinsik untuk membantu orang lain dengan fokus pada mengetahui dan membuktikan,
menawarkan dukungan dan dorongan, dan meminimalkan atau menghilangkan suatu
penderitaan yang dialami. Biasanya, praktisi klinis cenderung untuk menerima persepsi yang
dikemukakan klien dan untuk menciptakan lingkungan yang mendukung, empati, mendorong
mengekplorisasi masalah dan menawarkan kepada klien dalam membuat perubahan yang
diinginkan dengan wawasan yang memadai sebagai seorang yang professional. Seorang
pasien sering dirujuk untuk perawatan dengan laporan yang valid tentang gejala atau masalah
– masalah mereka. Ciri dari pemeriksaan dalam psikologi forensic yaitu adanya bukti objektif
diakhir setelah data – data yang didapat hasil dari perspektif klien. Pengadilan, hukum
perusahaan, atau perusahaan asuransi adalah pihak yang paling sering meminta evaluasi
penting dari praktek klinis agar lebih jelas. Advokasi untuk kepentingan klien bertujuan
untuk mendapatkan keadilan dan keakuratan. Dalam kasus – kasus teretentu mungkin saja
ada yang harus ditangani melalui pengobatan yang ditangani oleh ahli forensik. Penilaian
forensik secara alami dapat menghasilkan kecurigaan adanya motif pemeriksa dan
kekhawatiran mengenai laporan seseorang yang dijadikan suatu keputusna hukum. Proses
sederhana yaitu adanya kerahasian sebelum adanya pemeriksaan secara forensic sehingga
dapat diasumsikan evaluator forensic memiliki kewajiban untuk menguatkan laporan secara
lisan. Tujuan dari psikologi forensic adalah untuk menilai dan mengukur gejala seseorang.
banyak metode yang digunakan dalam pengumpulan data (wawancara, catatan review, tes
psikologi) mungkin tampak sama pada psikologi forensic dan klinis namun perbedaanya
adalah :
Ahli klinis lebih didukung dengan tes proyektif untuk wawasan subjektif dari
individu
Ahli forensik lebih objektif, menginterpretasi kekonsitenan suatu pernyataan dan
perilaku pasien.retasi data yang tersedia, menilai keabsahan suatu pernyataan, dan
memeriksa
Ahli forensik harus mempertahankan pengetahuan yang komprehensif dari literatur
yang relevan, dan batas-batas literatur dan keahlian. Dawes (1994) mengemukakan bahwa
kurang dari sepertiga dari anggota APA teratur membaca satu atau lebih jurnal ilmiah.
Komprehensif, pengetahuan kontemporer tentang literatur yang ada tidak opsional bagi
pemeriksa forensik.
Dan yang terakhir, dalam sifat aslinya prosesi persidangan sangat berbanding terbalik
dengan sifat dari lingkungan penyembuhan mental yang suportif, menghargai, dan bekerja
sama. Profesi kesehatan mental meningkatkan penerimaan secara profesional dan
menghargai, dan mungkin sangat bertentangan dengan sifat dari perdebatan sidang.
Pengacara yang berada di pihak lawan mungkin akan mencoba menggambarkan bidang
psikologi menjadi sesuatu yang bias, tidak berdasar, ceroboh, atau bahkan tidak kompeten.
Tentu saja, pengambaran ini berbanding terbalik dengan ahli yang dalam pilihannya dinilai
sebagai penyayang, menghormati, dan profesional.
Menyangkut ketidaknyamanan yanf diasosiasikan dengan kontroversi, banyak praktisi
kesehatan mental ingin menghindari berbagai “legalisasi” dari praktisi psikologi dan
melawan berbagai pembongkaran terhadap isu legal. Tetapi, pembedaan secara perlahan sulit
untuk dipertahankan, bahkan praktisi yang paling menentang pun menemukan diri mereka
secara bertahap terlibat dalam isu legal jika mereka menyediakan perawatan terhadap
individu yang terkena isu krimina, kompetensi, tahanan dibawah umur, luka emosional atau
kognitif yang diikuti dengan klaim asuransi atau luka yang terkait pekerjaan.
5. FUTURE GROWTH OF FORENSIC PSYCHOLOGY
Di masa yang akan datang, interaksi dari praktisi psikologi dan hukum akan banyak
dibahas. Meningkatnya minat di bidang psikologi forensik, menyebabkan banyak orang
berusaha mengejarnya dengan banyak cara. Sebagai contoh, adanya program training
akademik formal untuk mendapatkan gelar, termasuk gelar double-degree. Misalnya, salah
satu program training yang mengharuskan mahasiswanya mendaftarkan diri di sekolah
hukum dan psikologi agar bisa mendalami psikologi forensik, dengan latihan beberapa tahun
melalui pembelajaran, penelitian, dan praktikum.
Padahal menurut Melton, Huss, dan Tomkins (1999), mengintegrasikan 2 disiplin ilmu
adalah hal yang sulit dan saat masuk ke dunia professional akan lebih menantang dari yang
dipikirkan. Karena saat menjalani double-degree, seseorang akan cenderung hanya memiliki
pengetahuan umum di kedua disiplin ilmu tersebut dibandingkan ahli di salah satunya. Saat
masuk dunia professional, seseorang dengan double-degree akan harus memprioritaskan
salah satu degree-nya untuk menghadapi tuntutan kerja. Hal tersebut dikarenakan,
mempertahankan diri sendiri untuk komitmen di kedua disiplin ilmu (hukum dan psikologi)
akan sulit dilakukan.
Untuk terlibat dalam multidisiplin ini, seorang ahli psikolog forensik harus merupakan
psikolog yang memiliki pengetahuan mengenai tujuan dan bertanggungjawab, terutama pada
saat mereka memberikan kesaksian pada suatu kasus. Semakin hari semakin berkembang
psikologi forensic ini. Beberapa organisasi professional bahkan dibentuk untuk membahas
kepentingan dan kegiatan-kegiatan forensik. Seperti APA divisi 41 Psikologi dan Hukum,
memiliki lebih dari 2000 anggota di dalam divisi psikologi forensik.
Organisasai professional, jurnal professional yang diterbitkan, dan isu praktis terkait
forensic kini semalin meluas. Sering dengan semakin maraknya isu forensik dari sisi
psikologi, Psikologi forensik tentu harus melanjutkan upaya untuk memperbaiki standar
pelatihan akademis sehingga orang-orang profesional di bagian khusus ini memiliki
pengetahuan yang memadai hukum untuk menentukan target, tujuan, dan layanan ilmiah etis
kepada masyarakat dan pengadilan. Tanggung jawab utama untuk meningkatkan penerapan
ilmu psikologis untuk setiap keadaan baru tetap dengan praktisi individu dan ilmuwan yang
berusaha untuk memperbaiki validitas tindakan penilaian, dan menjaga kesopanan dalam
pemanfaatannya
DAFTAR PUSTAKA
Dorsten, Brent Van. 2004. FORENSIC PSYCHOLOGY From Classroom to Courtroom.
Colorado: Kluwer Academic Publishers.