toksikologi forensik

46
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Toksikologi forensik adalah salah satu dari cabang ilmu forensik. Menurut Saferstein yang dimaksud dengan Forensic Science adalah ”the application of science to low”, maka secara umum ilmu forensik (forensik sain) dapat dimengerti sebagai aplikasi atau pemanfaatan ilmu pengetahuan tertentu untuk penegakan hukum dan peradilan. 1 Tosikologi forensik menekunkan diri pada aplikasi atau pemanfaatan ilmu toksikologi untuk kepentingan peradilan. Kerja utama dari toksikologi forensik adalah melakukan analisis kualitatif maupun kuantitatif dari racun dari bukti fisik dan menerjemahkan temuan analisisnya ke dalam ungkapan apakah ada atau tidaknya racun yang terlibat dalam tindak kriminal, yang dituduhkan, sebagai bukti dalam tindak kriminal (forensik) di pengadilan. Hasil analisis dan interpretasi temuan analisisnya ini akan dimuat ke dalam suatu laporan yang sesuai dengan hukum dan perundanganundangan. Menurut Hukum Acara Pidana (KUHAP), laporan ini dapat disebut dengan Surat Keterangan Ahli atau Surat Keterangan. Jadi toksikologi forensik dapat dimengerti sebagai pemanfaatan ilmu tosikologi untuk keperluan 1

Upload: astri-revinesia

Post on 04-Jan-2016

216 views

Category:

Documents


22 download

DESCRIPTION

Forensik

TRANSCRIPT

Page 1: TOKSIKOLOGI FORENSIK

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Toksikologi forensik adalah salah satu dari cabang ilmu forensik. Menurut

Saferstein yang dimaksud dengan Forensic Science adalah ”the application of science

to low”, maka secara umum ilmu forensik (forensik sain) dapat dimengerti sebagai

aplikasi atau pemanfaatan ilmu pengetahuan tertentu untuk penegakan hukum dan

peradilan.1

Tosikologi forensik menekunkan diri pada aplikasi atau pemanfaatan ilmu

toksikologi untuk kepentingan peradilan. Kerja utama dari toksikologi forensik

adalah melakukan analisis kualitatif maupun kuantitatif dari racun dari bukti fisik dan

menerjemahkan temuan analisisnya ke dalam ungkapan apakah ada atau tidaknya

racun yang terlibat dalam tindak kriminal, yang dituduhkan, sebagai bukti dalam

tindak kriminal (forensik) di pengadilan. Hasil analisis dan interpretasi temuan

analisisnya ini akan dimuat ke dalam suatu laporan yang sesuai dengan hukum dan

perundanganundangan. Menurut Hukum Acara Pidana (KUHAP), laporan ini dapat

disebut dengan Surat Keterangan Ahli atau Surat Keterangan. Jadi toksikologi

forensik dapat dimengerti sebagai pemanfaatan ilmu tosikologi untuk keperluan

penegakan hukum dan peradilan. Toksikologi forensik merupakan ilmu terapan yang

dalam praktisnya sangat didukung oleh berbagai bidang ilmu dasar lainnya, seperti

kimia analisis, biokimia, kimia instrumentasi, farmakologitoksikologi,

farmakokinetik, biotransformasi.1

Secara umum tugas toksikolog forensik adalah membantu penegak hukum

khususnya dalam melakukan analisis racun baik kualitatif maupun kuantitatif dan

kemudian menerjemahkan hasil analisis ke dalam suatu laporan (surat, surat

keterangan ahli atau saksi ahli), sebagai bukti dalam tindak kriminal (forensik) di

pengadilan. Lebih jelasnya toksikologi forensik mencangkup terapan ilmu alam

1

Page 2: TOKSIKOLOGI FORENSIK

dalam analisis racun sebagi bukti dalam tindak kriminal, dengan tujuan mendeteksi

dan mengidentifikasi konsentrasi dari zat racun dan metabolitnya dari cairan biologis

dan akhirnya menginterpretasikan temuan analisis dalam suatu argumentasi tentang

penyebab keracunan dari suatu kasus.1

Dalam kurikulum pendidikan Kedokteran, pengetahuan Toksikologi secara

utuh disampaikan oleh bagian Kedokteran Forensik, artinya yang disampaikan

kepada mahasiswa tidak saja mengenai kelainan atau perubahan post mortem pada

kasus keracunan, tetapi juga mencakup bentuk dan sifat kimiawi zat-zat racun, gejala

keracunan, pemeriksaan laboratorium dan tindakan pengobatan yang dikenal sebagai

Toksikologi Klinis.2

1.2. Tujuan

Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Sebagai salah satu tugas Kepaniteraan Klinik Senior di Departemen Ilmu

Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

2. Sebagai bahan untuk menambah pengetahuan dan wawasan penulis serta

pembaca, terutama mengenai toksikologi forensik

BAB 2

2

Page 3: TOKSIKOLOGI FORENSIK

ISI

2 . 1. DEFINISI

Ilmu toksikologi adalah ilmu yang menelaah tentang kerja dan efek berbahaya

zat kimia atau racun terhadap mekanisme biologis suatu organisme. Definisi lainnya

dari toksikologi forensik yaitu ilmu yang mempelajari aspek medikolegal dari bahan

kimia yang mempunyai efek membahayakan manusia/hewan sehingga dapat dipakai

untuk membantu mencari/menjelaskan penyebab kematian pada penyelidikan kasus

pembunuhan. 1,3

Toksikologi forensik mencangkup:

terapan ilmu alam dalam analisis racun sebagi bukti dalam tindak kriminal,

mendeteksi dan mengidentifikasi konsentrasi dari racun dan metabolitnya dalam

materi biologi

menginterpretasikan temuan analisis ke dalam suatu argumentasi tentang

penyebab keracunan

2 . 2. KERACUNAN

Racun adalah senyawa yang berpotensi memberikan efek yang berbahaya

terhadap organisme. Sifat racun dari suatu senyawa ditentukan oleh: dosis,

konsentrasi racun di reseptor, sifat fisiko kimia toksikan tersebut, kondisi

bioorganisme atau sistem bioorganisme, paparan terhadap organisme dan bentuk efek

yang ditimbulkan.1

Penggolongan

Berdasarkan sumber, dapat dibagi menjadi racun yang berasal dari tumbuh-

tumbuhan: opium (dari papaver somniferum), kokain, kurarem aflatoksin (dari

aspergillus niger), berasal dari hewan: bisa/toksin ular/laba-laba/hewan laut, mineral:

arsen, timah hitam atau sintetik: heroin.4

3

Page 4: TOKSIKOLOGI FORENSIK

Berdasarkan tempat di mana racun berada, dapat dibagi menjadi racun yang

terdapat di alam bebas, misalnya gas racun di alam, racun yang terdapat di rumah

tangga, misalnya detergen, desinfekstan, insektisida, pembersih (cleaners). Racun

yang digunakan dalam pertanian, misalnya insektisida, herbisida, pestisida. Racun

yang digunakan dalam industri dan laboratorium, misalnya asam dan basa kuat,

logam berat. Racun yang terdapat dalam makanan, misalnya sianida dalam singkong,

toksin botulinus, bahan pengawet, zat aditif serta racun dalam bentuk obat, misalnya

hipnotik, sedatif, dll.4

Dapat pula pembagian racun berdasarkan organ tubuh yang dipengaruhi,

misalnya racun yang bersifat hepatotoksik, nefrotoksik.4

Berdasarkan mekanisme kerja, dikenal racun yang mengikat gugul sulfhidril

(-SH) misalnya Pb, yang berpengaruh pada ATP-ase, yang membentuk

methemoglobin misalnya nitrat dan nitrit.4

Pembagian lain didasarkan atas cara kerja/efek uang ditimbulkan. Ada racun

yang bekerja lokal dan menimbulkan beberapa reaksi misalnya perangsangan,

peradangan, atau korosif. Keadaan ini dapat menimbulkan rasa nyeri yang hebat dan

dapat menyebabkan kematian akinat syok neurogenik. Contoh racun korosif adalah

asam dan basa kuat: H2SO4, HNO3, NaOH, KOH; golongan halogen seperti fenol,

lisol, dan senyawa logam. Racun yang bekerja sistemik dan mempunyai afinitas

terhadap salah satu sistem misalnya barbiturat, alkohol, morfin terhadap susunan

saraf pusat, digitalis dan oksalat terhadap jantung, CO terhadap hemaglobin darah.

Terdapat pula racun yang mempunyai efek lokal dan sistemik seklaigus misalnya

asam karbol menyebabkan erosi lambung dan sebagian yang diabsorbsi akan

menimbulkan depresi susunan saraf pusat.4

Tetra-etil lead yang masih terdapat dalam campuran bensin selain mempunyai

efek iritasi, jika diserap dapat menimbulkan hemolisis akut.4

Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Keracunan

4

Page 5: TOKSIKOLOGI FORENSIK

Dalam menyelidiki suatu kasus forensik karena keracunan baik secara sengaja

maupun tidak, seorang ahli kedokteran forensik harus memperhatikan beberapa faktor

yang mempengaruhinya. Untuk mengidentifikasikan faktor yang mempengaruhi

toksisitas harus mengetahui mekanisme farmakologik dari bahan kimia atau obat

terhadap makhluk hidup termasuk orang. Sehingga seorang ahli kedokteran forensik

harus mengetahui dasar-dasar respons tubuh terhadap obat tersebut.5

Tabel 1. Racun yang sering menyebabkan keracunan dan simptomatisnya6

Untuk itu perlu diketahui terlebih dahulu faktor yang mempengaruhi

terjadinya keracunan, antara lain:5

1. Cara masuk.

a. Ditelan (peroral, ingesti).

b. Terhisap berasama udara pernafasan (Inhalasi).

c. Melalui penyuntikan (parenteral, injeksi, seperti intravena, intramuscular,

intraperitoneal).

d. Penyerapan melalui kulit yag sehat atau yang sakit.

5

Page 6: TOKSIKOLOGI FORENSIK

e. Melalui anus atau vagina (perektal, pervainam).

Berdasarkan kecepatan kerjanya, maka racun paling cepat menimbulkan efek

pada manusia bila masuknya racun secara inhalasi, kemudian secara berturut-turut

intramuscular, intraperitoneal dan paling lambat ialah bila melalui kulit yang

sehat.

2. Umur.

Kecuali untuk beberapa jenis racun tertentu, orang tua dan anak-anak lebih

sensitive misalnya pada barbiturate. Bayi premature lebih rentan terhadap obat

karena eksresi melalui ginjal belum sempurna dan aktiviatas mikrosom dalam hati

belum cukup.

3. Kondisi tubuh.

Penderita penyakit ginjal umumnya lebih muda mengalami keracunan. Pada

penderita demam dan penyakit lambung, absorbsi dapat terjadi dengan lambat.

Bentuk fisik dan kondisi fisik, misalnya lambung berisi atau kosong.

4. Kebiasaan

Sangat berpengaruh pada racun golongan alcohol dan morfin sebab dapat terjadi

toleransi, tetapi toleransi tidak dapat menetap, jika suatu ketika dihentikan, maka

toleransi akan menurun lagi.

5. Waktu pemberian

Untuk racun yang ditelan, jika ditelan sebelum makan, absorbs terjadi lebih baik

sehigga efek akan timbul lebih cepat.

6. Kuantitas (dosis) racun

Pada umumnya dosis racun yang besar akan menyebabkan kematian yang lebih

cepat. Tetapi pada beberapa kasus, misalnya racun tembaga sulfat dalam dosis

besar akan merangsang muntah sehingga racun dikeluarkan dari dalam tubuh.

2 . 3. PEMERIKSAAN FORENSIK

Pada Korban yang masih Hidup

6

Page 7: TOKSIKOLOGI FORENSIK

Beberapa pertimbangan yang sangat perlu diperhatikan adalah bahwa untuk

mengetahui jenis racun yang masuk kedalam tubuh korban dapat melalui

pemeriksaan pada tinja korban atau dari bahan yang dimuntahkan oleh korban. Gejala

yang ditimbulkan tergantung kepada jenis dan klasifikasi racun. Misalnya racun yang

bersifat korosif akan meninggalkan bekas pada bagian luar tubuh. Racun yang

bersifat iritan menyebabkan gejala yang mirip seperti kolera. Racun dari jenis spinal

menyebabkan rangsangan sehingga bisa menyebabkan kejang-kejang. Bukti-bukti

yang sangat menjurus adanya keracunan adalah dengan ditemukannya racun pada

makanan, obat, bahan yang dimuntahkan, urine atau feses. Dengan demikian setiap

menangani kasus yang diduga karena keracunan, setiap bahan tersebut diatas harus

diambil untuk pemeriksaan laboratorium.5

Pada Korban yang sudah meninggal

Untuk melakukan pemeriksaan pada korban yang sudah meninggal, perlu dilakukan

pemeriksaan khusus. Hal ini disebabkan bahwa racun yang telah masuk ke dalam

tubuh korban tidak ada meninggalkan bukti yang konkrit di sekitar tempat kejadian.

Adapun hal-hal yang dilakukan adalah berupa pemeriksaan luar, pemeriksaan dalam

tubuh korban, dan pemeriksaan toksikologi.5

Pemeriksaan Luar5

1. Bau yang tercium.

Ini dapat diperoleh petunjuk racun apa kiranya yang ditelan oleh korban.

Permeriksa dapat mencium bau minyak tanah pada penelanan larutan insektisida,

bau kutu busuk pada malation, mau ammonia, fenol (asam karbolat), lisol,

alcohol, eter, kloroform dan lain-lain.

2. Adanya busa/ buih halus sukar pecah.

Pada mulut dan hidung dapat ditemunaka adanya busa, kadang-kadang disertai

bercak darah.

3. Bercak coklat.

7

Page 8: TOKSIKOLOGI FORENSIK

Kadang dapat ditemukan luka bakar kimiawi berupa bercak berwarna coklat agak

mencekung di kulit yang terkena insektisida bersangkutan.

4. Pakaian.

Pada pakaian dapat ditemukan bercak-barcak yang disebabkan oleh tercecernya

racun yang ditelan atau oleh muntahan. Misalnya bercak berwarna coklat karena

asam sulfat atau kuning karena asam nitrat.

5. Bercak-bercak racun.

Dari distribusi racun dapat diperkirakan cara kematian, bunuh diri, kecelakaan

atau pembunuhan. Pada kasus bunuh diri distribusi bercak biasanya teratur pada

bagian depan dan tengah dari pakaian, pada kecelakaan tidak khas, sedangkan

pada kasus pembunuhan distribusi bercak racun biasanya tidak beraturan (seperti

disiram).

6. Lokasi.

Dapat ditemukan bibir, ujung jari, dan kuku kebiruan.

7. Lebam mayat.

Warna lebam mayat merah kebiruan gelap. Kadang warna lebam mayat yang

tidak biasa juga mempunyai makna, karena pada dasarnya adalah manifestasi

warna darah yang tampak pada kulit.

Pemeriksaan Dalam

Pada pemeriksaan dalam akibat keracunan akan ditemukan tanda-tanda

seperti:5

1. Darah berwarna lebih gelap dan encer.

2. Busa halus di dalam saluran nafas.

3. Pembendungan sirkulasi pada seluruh organ dalam tubuh sehingga menjadi lebih

berat, berwarna gelap dan pada pengirisan banyak mengeluarkan darah.

4. Ptekie dapat ditemukan pada mukosa usus halus, epikardium pada bagian

belakang jantung daerah aurikuloventrikuler, subpleura visceralis paru terutama

8

Page 9: TOKSIKOLOGI FORENSIK

di lobus bawah pars diafragmatika dan fisura interlobularis, kulit kepala sebelah

dalam terutama daerah otot temporal, mukosa epiglottis dan daerah subglotis.

5. Edema paru : bauk dari zat pelarut mungkin dapat dideteksi, misalnya bau minyak

tanah, bensin, terpentin atau bau seperti mentega yang tengik. Dalam lambung

akan ditemukan cairan yang terdiri dari dua lapis, yang satu adalah cairan

lambung dan lapisan lainnya adalah lapisan larutan insektisida.

Pada prinsipnya pemeriksaan luar dan dalam diperiksa dan dicatat hal-hal

penting dengan seksama dengan memperhatikan segala kemungkinan tanda spesifik

dari zat yang meracuni tubuh, seperti:5

1. Bau.

Dari bau yang tercium dapat diperoleh petunjuk racun apa kiranya yang ditelan

oleh korban. Pemeriksa dapat mencium bau amandel yang pada penelan sianida,

bau minyak tanah pada penelanan isektisida, bau kutu busuk pada malation, bau

amoniak, fenol, alcohol, eter dan lain-lain. Maka pada tiap kasus keracunan,

pemeriksa harus selalu memperhatikan bau yang tercium dari pakaian, lubang

hidung, dann mulut serta rongga badan. Segera setelah pemeriksa berada

disamping mayat, ia harus menekan dada mayat dan menetukan apakah ada suatu

bau yang tidak biasa keluar dari lubang-lubang hidung dan mulut.

2. Pakaian.

Pada pakaian dapat ditemukan bercak-bercak yang disebarkan oleh tercecernya

racun yang ditelan atau oleh muntahan misalnya bercak warna coklat karena asam

sulfat atau kuning karena asam nitrat. Penyebaran bercak perlu diperhatikan,

karena dari penyebaran itu dapat diperoleh petunjuk tentang intense atau kemauan

korban yaitu apakah racun itu ditelan atas kemauan sendiri atau dipaksa. Jika

korban dipaksa maka bercak-bercak racun akan tersebar pada daerah yang luas

dan pada pakaian melekat bau racun.

3. Lebam mayat.

9

Page 10: TOKSIKOLOGI FORENSIK

Warna lebam yang tidak biasa juga mempunyai makna karena warna lebam

mayat pada dasarnya manifestasi darah yang tampak pada kulit misalnya cherry

pink colour pada keracunan CO, merah terang pada keracunan sianida, kecoklatan

pada keracunan nitrit, nitrat, aniline, fenasetin dan kina.

4. Perhatikan adanya kelainan ditempat masuknya racun.

Zat-zat bersifat korosif menyebabkan luka bakar atau korosi pada bibir, mulut dan

kulit sekitar. Bunuh diri dengan lisol ditemukan luka bakar kering berwarna

coklat bentuk tidak teratur dengan garis-garis yang berjalan dari bibir atau sudut-

sudut mulut kea rah leher. Pada orang dipaksa menelan zat itu akan ditemukan

bercak-bercak luka bakar barbagai bentuk dan ukuran tersebar dimana-mana.

Pada asam nitrat, korosi berwarna kuning atau jingga kuning karena reaksi

xantoprotein, pada asam klorida korosif kulit tidak begitu lebat atau kadang tidak

ditemukan. Pada sam format ditemukan luka bakar warna merah coklat, batas

tegas dan kelopak mata munkgin membengkak karena extravasasi hemorhagik.

5. Perubahan kulit.

Hiperpigmentasi atau malanosis dan keratosis telapak tangan dan kaki pada

keracunan arsen kronik. Kulit warna kelabu kebiru-biruan pada keracunan perak

kronik. Kulit warna kuning pada keracunan tembaga dan fosfor akibat hemolisis,

juga pada keracunan insektisida hidrokarbon dan arsen karena terjadi gangguan

fungsi hati. Dermatitis pada keracunan kronik salsilat, bromida dan beberapa

logam berat seperti arsen dan talium. Vesikel atau bula pada tumit, bokong dan

punggung pada keracunan karbon monoksida dan barbiturat akut.

6. Kuku.

Pada keracunan arsen kronik dapat ditemukan kkuku yang menebal secara tidak

teratur.

7. Rambut.

Kebotakan atau alopesia dapat ditemukan pada keracunan talium, arsen, air raksa

dan boraks.

10

Page 11: TOKSIKOLOGI FORENSIK

8. Sklera.

Sklera tampak ikterik pada keracunan dengan zat hepatotoksik seperti fosfor,

karbon tetraklorida. Perdarahan pada pemakaian dikoumarol atau akibat bisa ular.

Dalam pemeriksaan dalam, segera setelah rongga perut dan dada dibuka,

tentukan apakah terdapat bau yang tidak biasa (racun). Bila pada pemeriksaan luar

tidak tercium bau racun, maka rongga tengkorak sebaiknya dibuka terlebih dahulu

agar bau visera perut tidak menyelubungi bau tersebut, terutama bila yang dicurigai

adalah sianida. Bau sianida, alcohol, kloroform dan eter tercium bau paling kuat

dalam rongga tengkorak.

1. Inspeksi insitu.

Perhatikan warna otot-otot dan alat-alat. Pada keracunan karbonmonoksida

tampak berwarna keracunan merah muda cerah, dan pada sianida warna merah

cerah. Warna coklat pada racun dengan eksresi melalui mukosa usus. Peradangan

dalam usus karakteristik pada keracuanan air raksa, biasana pada kolon ascenden

dan transversum dietemukan colitis. Lambung mungkin tampak hiperemi atau

tampak kehitam-hitaman dan terdapat perforasi akibat zat korosif. Hati berwarna

kuning karena degenerasi lemak atau nekrosis pada keracunan zat hepatotoksik

seperti fosfor, karbontetraklorida, kloroform, alcohol, dan arsen. Perhatikan

warna darah pada intoksikasi dengan racun yang menimbulkan hemolisis (bias

ular, pirogalol, hidriquinon, dinitrofenol dan arsen). Darah dan organ-organ dalam

berwarna coklat kemerahan gelap. Pada racun yang menimbulkan gangguan

trombosit terdapat bannyak bercak perdarahan pada organ-organ. Bila terjadi

keracunan yang cepat akan menimbulkan kematian misalnya sianida, alcohol,

kloroform maka darh dalam jantung dan pembuluh darah besar tetap cair, tidak

terdapat bekuan darah.

2. Lidah.

Perhatikan apakah ternoda oleh warna tablet atau kapsul obat atau menunjukan

kelainan yang disebabkan oleh zat korosif.

11

Page 12: TOKSIKOLOGI FORENSIK

3. Esophagus.

Bagian atas dibuka sampai pada ikatan diatas diafragma, apakah terdapat

regurgitasi dan selaput lender. Diperthatikan adanya hiperemi dan korosif.

4. Epiglottis dan glottis.

Perhatikan apakah ada hipermi atau oedem, disebabkan oleh inhalasi atau aspirasi

gas atau uap yang merangsang atau akibat regurgitasi dan aspirasi zat yang

merangsang.

5. Paru-paru.

Ditemukan kelainan yang tidak spesifik berupa bendungan akut. Pada inhalasi gas

yang merangsang seperti klorin dan nitrogen oksida ditemukan perbendungan dan

oedem hebat serta emfisema akut karena terjadi batuk-batuk, dyspneu dan spasme

bronchus.

6. Lambung dan usus 12 jari.

Dipisahkan dari alat-alat lainnya dan diletakkan dalam wadah bersih, lambung

dibuka sepanjang curvature mayor dan diperhatikan apakah mengeluarkan bau

yang tidak biasa. Perhatikan isi lambung, warna dan terdiri atas bahan apa.

7. Usus-usus..

Secara rutin usus-usus sebaiknya dikirim seluruhnya dengan ujung terikat.

Pemeriksaan isi usus diperlukan pada kematian yang terjadi beberapa jam setelah

korban menelan zat beracun dan ingin diketahui berapa lama waktu tersebut. Isi

usus dikeluarkan dengan membuka satu ikatan dan mengurut usus kemudian

ditampung dalam gelas dan tentukan beratnya. Selaput lender diperiksa kemudian

dicuci dengan aquadest kemudian air cucian ditimbang serta dimasukan dalam

tabung yang berisi usus. Dalam isis usus kadang-kadang dapat ditemukan enteric

tablets atau tablet lain yang belum tercena.

8. Hati.

12

Page 13: TOKSIKOLOGI FORENSIK

Apakah terdapat degenerasi lemak atau nekrosis. Degenerasi lemak serinng

ditemukan pada peminum alcohol. Nekrosis dapat ditemukan pada keracunan

phosphor, karbon tetrachlorida.

9. Ginjal.

Perubahan degenratif pada korteks ginjal dapat disebabkan oleh racun yang

merangsang ginjal agak membesar, korteks membesar, gambaran tidak jelas dan

berwarna suram kelabu kuning.

10. Urin

Dengan semprit dan jarum yang bersih urin diambil dari kandung kemin. Urin

merupakan cairan yang baik sekali untuk spot test yang mudah dikerjakan

sehingga dapat diperoleh petunjuk yang pertama dalam suatu analisis toksikologis

secar sistematis.

11. Otak.

Pada keracunan akut dengan kematian yang cepat biasanay tidak ditemukan

adanya edema otak misalnya pada kematian cepat akibat barbiturate atau eter dan

juga pada keracunan kronik arsen atau timah hitam. Perdarahan kecil-kecil dalam

otak dapat ditemukan pada keracunan karbonmonoksida, barbiturate, nitrogen

oksida dan logam berat seperti air raksa, arsen dan timah hitam.

12. Jantung.

Racun-racun yang dapat menyebabkan degenerasi parenkim, lemak atau hidropik

pada epitellium dapat menyebabkan degenerasi sel-sel otot jantung sehingga

jantung menjadi lunak, berwarna merak pucat coklat kekuning-kuningan dan

ventrikel mungkin melebar. Pada keracunan karbonmonoksida bila korban hidup

selama 48 jam atau lebih dapat ditemukan perdarahan berbercak dalam otot

septum iterventrikel bagian ventrikel kiri atau perdarahan bergaris pada musculus

papillaris ventrikel kiri dengan garis menyebar radier dari ujung otot tersebut

sehingga tampak gambaran seperti kipas. Pada keracunan arsen hamper selalu

ditemukan perdaraha kecil-kecil seperti nyala api (frame like) di bawah

13

Page 14: TOKSIKOLOGI FORENSIK

edokardium septum interventrikel ventrikel kiri. Juga pada keracunan fosfor dapat

ditemukan perubahan-perubahan itu.

13. Limpa

Selain adanya pembendungan akut, limpa tidak menunjukan kelainan patologik.

Limpa jarang dipergunakan dalam analisis toksikologik, sehingga umumnya

limpa tidak diambil terkecuali bila tidak dapat diperoleh lagi darah dari jantung

dan pembuluh-pembuluh darah besar.

14. Empedu.

Empedu merupakan bahan yang baik untuk penentuan glutetimida (doriden),

quabaina (Strophantin, Strophantus gratus), morfin dan heroin.

15. Lemak

Jaring lemak diambil sebanyak 200 gram dari jaringan lemak bawah kulit daerah

perut. Beberapa racun cepat di absorpsi dalam jaringan lemak dan kemudian

dengan lambat dilepaskan kedalam darah. Jika terdapat persangkaan bahwa

korban meninggal akibat penyuntikan jaringan di sekitar tempat suntikan diambil

dalam radius 5-10 cm.

16. Rambut

Pada dugaan keracunan arsen rambut kepala. Rambut diikat terlebih dahulu

sebelum dicabut, harus berikut akar-akarnya, dan kemudian diberi label agar ahli

toksikologi dapat mengenali mana bagian yang proksimal dan bagian distal.

Rambut diambil kira-kira 10 gram tanpa menggunakan pengawet. Kadar arsen

ditentukan dari setiap bagian rambut yang telah digunting beberapa bagian yang

dimulai dari bagian proksimal dan setiap bagian panjangnya ½ inci atau 1 cm.

terhadap setiap bagian itu ditentukan kadar arsennya.

17. Kuku

Kuku diambil sebanyak 10 gram, didalamnya selalu harus terdapat kuku-kuku

kedua ibu jari tangan dan ibu jari kaki. Kuku dicabut dan dikirim tanpa

14

Page 15: TOKSIKOLOGI FORENSIK

diawetkan. Ahli toksikologi membagi kuku menjadi 3 bagian mulai dari

proksimal. Kadar tertinggi ditemukan pada 1/3 bagian proksimal.

2 . 4. LANGKAH-LANGKAH ANALISIS TOKSIKOLOGI FORENSIK

Secara umum tugas analisis toksikolog forensik (klinik) dalam melakukan

analisis dapat dikelompokkan ke dalam tiga tahap yaitu:1

1) penyiapan sampel “sample preparation”,

2) analisis meliputi uji penapisan “screening test” atau dikenal juga dengan

“general unknown test” dan uji konfirmasi yang meliputi uji identifikasi dan

kuantifikasi,

3) langkah terakhir adalah interpretasi temuan analisis dan penulisan laporan

analisis.

Gambar 1. Langkah analisis toksikologi forensik6

Berbeda dengan kimia analisis lainnya (seperti: analisis senyawa obat dan

makanan, analisis kimia klinis) pada analisis toksikologi forensik pada umumnya

analit (racun) yang menjadi target analisis, tidak diketahui dengan pasti sebelum

dilakukan analisis. Tidak sering hal ini menjadi hambatan dalam penyelenggaraan

15

Page 16: TOKSIKOLOGI FORENSIK

analisis toksikologi forensik, karena seperti diketahui saat ini terdapat ribuan atau

bahkan jutaan senyawa kimia yang mungkin menjadi target analisis. Untuk

mempersempit peluang dari target analisis, biasanya target dapat digali dari informasi

penyebab kasus forensik (keracunan, kematian tidak wajar akibat keracunan, tindak

kekerasan dibawah pengaruh obat-obatan), yang dapat diperoleh dari laporan

pemeriksaan di tempat kejadian perkara (TKP), atau dari berita acara penyidikan oleh

polisi penyidik.1

Sangat sering dalam analisis toksikologi forensik tidak diketemukan senyawa

induk, melainkan metabolitnya. Sehingga dalam melakukan analisis toksikologi

forensik, senyawa matabolit juga merupakan target analisis. Sampel dari toksikologi

forensik pada umumnya adalah spesimen biologi seperti: cairan biologis (darah, urin,

air ludah), jaringan biologis atau organ tubuh. Preparasi sampel adalah salah satu

faktor penentu keberhasilan analisis toksikologi forensik disamping kehadalan

penguasaan metode analisis instrumentasi. Berbeda dengan analisis kimia lainnya,

hasil indentifikasi dan kuantifikasi dari analit bukan merupakan tujuan akhir dari

analisis toksikologi forensik. Seorang toksikolog forensik dituntut harus mampu

menerjemahkan apakah analit (toksikan) yang diketemukan dengan kadar tertentu

dapat dikatakan sebagai penyebab keracunan (pada kasus kematian).1

Persiapan Sampel

Spesimen untuk analisis toksikologi forensik biasanya diambil oleh dokter,

misalnya pada kasus kematian tidak wajar spesimen dikumpulkan oleh dokter

forensik pada saat melakukan otopsi. Spesimen dapat berupa cairan biologis,

jaringan, organ tubuh. Dalam pengumpulan spesimen dokter forensik memberikan

label pada masing-masing bungkus/wadah dan menyegelnya. Label seharusnya

dilengkapi dengan informasi: nomer indentitas, nama korban, tanggal/waktu otopsi,

nama spesimen beserta jumlahnya. Pengiriman dan penyerahan spesimen harus

dilengkapi dengan surat berita acara menyeran spesimen, yang ditandatangani oleh

16

Page 17: TOKSIKOLOGI FORENSIK

dokter forensik. Toksikolog forensik yang menerima spesimen kemudian

memberikan dokter forensik surat tanda terima, kemudian menyimpan

sampel/spesimen dalam lemari pendingin “freezer” dan menguncinya sampai analisis

dilakukan. Prosedur ini dilakukan bertujuan untuk memberikan rantai

perlindungan/pengamanan spesimen (chain of custody).1

Beberapa hal yang perlu diperhitungkan dalam tahapan penyiapan sampel

adalah: jenis dan sifat biologis spesimen, fisikokimia dari spesimen, serta tujuan

analisis. Dengan demikian akan dapat merancang atau memilih metode penanganan

sampel, jumlah sampel yang akan digunakan, serta memilih metode analisis yang

tepat. Penanganan sampel perlu mendapat perhatian khusus, karena sebagian besar

sampel adalah materi biologis, sehingga sedapat mungkin mencegah terjadinya

penguraian dari analit. Pemilihan metode ekstraksi ditentukan juga oleh analisis yang

akan dilakukan, misal pada uji penapisan sering dilakukan ekstraksi satu tahap,

dimana pada tahap ini diharapkan semua analit dapat terekstraksi. Bahkan pada uji

penapisan menggunakan teknik “immunoassay” sampel tidak perlu diekstraksi

dengan pelarut tertentu.1

Sampel urin pada umumnya dapat langsung dilakukan uji penapisan dengan

menggunakan teknik immunoassay. Namun tidak jarang harus mendapatkan

perlakuan awal, seperti pengaturan pH dan sentrifuga, guna menghilangkan

kekeruhan. 1

Pemisahan sel darah dan serum sangat diperlukan pada persiapan sebelum

dilakukan uji penapisan pada darah. Serum pada umumnya dapat langsung dilakukan

uji penapisan menggunakan teknik immunoassay. Tidak jarang sampel darah, yang

diterima sudah mengalami hemolisis atau menggupal, dalam hal ini darah dilarutkan

dengan metanol, dan kemudian disentrifugasi, sepernatannya dapat langsung

dilakukan uji penapisan menggunakan teknik immunoassay.1

Ekstraksi satu tahap sangat diperlukan apabila uji penapisan tidak

menggunakan teknik immunoassay, misal menggunakan kromatografi lapis tipis

17

Page 18: TOKSIKOLOGI FORENSIK

dengan reaksi penampak bercak tertentu. Atau juga ekstraksi bertingkat “metode

Stas-Otto- Gang” untuk melalukan pemisahan analit berdasarkan sifat asam-basanya.

Metode ekstraksi dapat berupa ekstraksi cair-cair, menggunakan dua pelarut yang

terpisah, atau ekstraksi cair-padat. Prinsip dasar dari pemisahan ekstraksi cair-cair

berdasarkan koefisien partisi dari analit pada kedua pelarut atau berdasarkan

kelarutan analit pada kedua pelarut tersebut. Pada ekstraksi cair-padat analit

dilewatkan pada kolom yang berisi adsorben fase padat (SPE, Si-Gel C-18,

Extrelut®, Bund Elut Certify®, dll), kemudian dielusi dengan pelarut tertentu,

biasanya diikuti dengan modifikasi pH pelarut.1

Penyiapan sampel yang baik sangat diperlukan pada uji pemastian

“identifikasi dan kuantifikasi”, terutama pada teknik kromatografi. Karena pada

umumnya materi biologik merupakan materik yang komplek, yang terdiri dari

berbagai campuran baik senyawa endogen maupun senyawa eksogen “xenobiotika”.

Penyiapan sampel umumnya meliputi hidrolisis, ekstraski, dan pemurnian analit.

Prosedur ini haruslah mempunyai efesiensi dan selektifitas yang tinggi. Perolehan

kembali yang tinggi pada ekstraksi adalah sangat penting untuk menyari semua analit,

sedangkan selektifitas yang tinggi diperlukan untuk menjamin pengotor atau senyawa

penggangu terpisahkan dari analit. Pada analisis menggunakan GC/MS, penyiapan

sampel termasuk derivatisasi analit secara kimia, seperi salilisasi, metilisasi, dll.

Derivatisasi ini pada umumnya bertujuan untuk meningkatkan volatilitas analit atau

meningkatkan kepekaan analisis.1

Uji Penapisan “Screening test”

Uji penapisan untuk menapis dan mengenali golongan senyawa (analit) dalam

sampel. Disini analit digolongkan berdasarkan baik sifat fisikokimia, sifat kimia

maupun efek farmakologi yang ditimbulkan. Obat narkotika dan psikotropika secara

umum dalam uji penapisan dikelompokkan menjadi golongan opiat, kokain,

kannabinoid, turunan amfetamin, turunan benzodiazepin, golongan senyawa anti

18

Page 19: TOKSIKOLOGI FORENSIK

dipresan tri-siklik, turunan asam barbiturat, turunan metadon. Pengelompokan ini

berdasarkan struktur inti molekulnya. Sebagai contoh, disini diambil senyawa

golongan opiat, dimana senyawa ini memiliki struktur dasar morfin, beberapa

senyawa yang memiliki struktur dasar morfin seperti, heroin, mono-asetil morfin,

morfin, morfin-3-glukuronida, morfin-6-glukuronida, asetilkodein, kodein, kodein-6-

glukuronida, dihidrokodein serta metabolitnya, serta senyawa turunan opiat lainnya

yang mempunyai inti morfin. Uji penapisan seharusnya dapat mengidentifikasi

golongan analit dengan derajat reabilitas dan sensitifitas yang tinggi, relatif murah

dan pelaksanaannya relatif cepat. Terdapat teknik uji penapisan yaitu: a) kromatografi

lapis tipis (KLT) yang dikombinasikan dengan reaksi warna, b) teknik immunoassay.

Teknik immunoassay umumnya memiliki sifat reabilitas dan sensitifitas yang tinggi,

serta dalam pengerjaannya memerlukan waktu yang relatif singkat, namun alat dan

bahan dari teknik ini semuanya harus diimpor, sehingga teknik ini menjadi relatif

tidak murah. Dibandingkan dengan immunoassay, KLT relatif lebih murah, namun

dalam pengerjaannya memerlukan waktu yang relatif lebih lama.

a) Teknik immunoassay

Teknik immunoassay adalah teknik yang sangat umum digunakan dalam analisis

obat terlarang dalam materi biologi. Teknik ini menggunakan “anti-drug

antibody” untuk mengidentifikasi obat dan metabolitnya di dalam sampel (materi

biologik). Jika di dalam matrik terdapat obat dan metabolitnya (antigen-target)

maka dia akan berikatan dengan “anti-drug antibody”, namun jika tidak ada

antigentarget maka “anti-drug antibody” akan berikatan dengan “antigen-

penanda”. Terdapat berbagai metode / teknik untuk mendeteksi ikatan

antigenantibodi ini, seperti “enzyme linked immunoassay” (ELISA), enzyme

multiplied immunoassay technique (EMIT), fluorescence polarization

immunoassay (FPIA), cloned enzyme-donor immunoassay (CEDIA), dan radio

immunoassay (RIA). Pemilihan teknik ini sangat tergantung pada beban kerja

(jumlah sampel per-hari) yang ditangani oleh laboratorium toksikologi. Misal

19

Page 20: TOKSIKOLOGI FORENSIK

dipasaran teknik ELISA atau EMIT terdapat dalam bentuk single test maupun

multi test. Untuk laboratorium toksikologi dengan beban kerja yang kecil

pemilihan teknik single test immunoassay akan lebih tepat ketimbang teknik multi

test, namun biaya analisa akan menjadi lebih mahal.

Hasil dari immunoassay test ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan,

bukan untuk menarik kesimpulan, karena kemungkinan antibodi yang digunakan

dapat bereaksi dengan berbagai senyawa yang memiliki baik bentuk struktur

molekul maupun bangun yang hampir sama. Reaksi silang ini tentunya

memberikan hasil positif palsu. Obat batuk yang mengandung pseudoefedrin akan

memberi reaksi positif palsu terhadap test immunoassay dari anti bodi-

metamfetamin. Oleh sebab itu hasil reaksi immunoassay (screening test) harus

dilakukan uji pemastian (confirmatori test).

b) kromatografi lapis tipis (KLT)

KLT adalah metode analitik yang relatif murah dan mudah pengerjaannya, namun

KLT kurang sensitif jika dibandungkan dengan teknik immunoassay. Untuk

meningkatkan sensitifitas KLT sangat disarankan dalam analisis toksikologi

forensik, uji penapisan dengan KLT dilakukan paling sedikit lebih dari satu

sistem pengembang dengan penampak noda yang berbeda. Dengan menggunakan

spektrofotodensitometri analit yang telah terpisah dengan KLT dapat dideteksi

spektrumnya (UV atau fluoresensi). Kombinasi ini tentunya akan meningkatkan

derajat sensitifitas dan spesifisitas dari uji penapisan dengan metode KLT. Secara

simultan kombinasi ini dapat digunakan untuk uji pemastian.

Uji pemastian “confirmatory test”

Uji ini bertujuan untuk memastikan identitas analit dan menetapkan kadarnya.

Konfirmatori test paling sedikit sesensitif dengan uji penapisan, namun harus lebih

spesifik. Umumnya uji pemastian menggunakan teknik kromatografi yang

dikombinasi dengan teknik detektor lainnya, seperti: kromatografi gas -

20

Page 21: TOKSIKOLOGI FORENSIK

spektrofotometri massa (GC-MS), kromatografi cair kenerja tinggi (HPLC) dengan

diode-array detektor, kromatografi cair - spektrofotometri massa (LC-MS), KLT-

Spektrofotodensitometri, dan teknik lainnya. Meningkatnya derajat spesifisitas pada

uji ini akan sangat memungkinkan mengenali identitas analit, sehingga dapat

menentukan secara spesifik toksikan yang ada.1

Prinsip dasar uji konfirmasi dengan menggunakan teknik CG-MS adalah

analit dipisahkan menggunakan gas kromatografi kemudian selanjutnya dipastikan

identitasnya menggunakan teknik spektrfotometrimassa. Sebelumnya analit diisolasi

dari matrik biologik, kemudian jika perlu diderivatisasi. Isolat akan dilewatkan ke

kolom CG, dengan perbedaan sifat fisikokima toksikan dan metabolitnya, maka

dengan GC akan terjadi pemisahan toksikan dari senyawa segolongannya atau

metabolitnya. Pada prisipnya pemisahan menggunakan GC, indeks retensi dari analit

yang terpisah adalah sangat spesifik untuk senyawa tersebut, namun hal ini belum

cukup untuk tujuan analisis toksikologi forensik. Analit yang terpisah akan memasuki

spektrofotometri massa (MS), di sini bergantung dari metode fragmentasi pada MS,

analit akan terfragmentasi menghasilkan pola spektrum massa yang sangat

kharakteristik untuk setiap senyawa. Pola fragmentasi (spetrum massa) ini merupakan

sidik jari molekular dari suatu senyawa. Dengan memadukan data indeks retensi dan

spektrum massanya, maka identitas dari analit dapat dikenali dan dipastikan.1

Dengan teknik kombinasi HPLC-diode array detektor akan memungkinkan

secara simultan mengukur spektrum UV-Vis dari analit yang telah dipisahkan oleh

kolom HPLC. Seperti pada metode GC-MS, dengan memadukan data indeks retensi

dan spektrum UV-Vis analit, maka dapat mengenali identitas analit.

Disamping melakukan uji indentifikasi potensial positif analit (hasil uji

penapisan), pada uji ini juga dilakukan penetapan kadar dari analit. Data analisis

kuantitatif analit akan sangat berguna bagi toksikolog forensik dalam

menginterpretasikan hasil analisis, dengan kaitannya dalam menjawab pertanyaan-

pertanyaan yang muncul baik dari penyidik maupun hakim sehubungan dengan kasus

21

Page 22: TOKSIKOLOGI FORENSIK

yang terkait. Misal analisis toksikologi forensik ditegakkan bertujuan untuk

memastikan dugaan kasus kematian akibat keracunan atau diracuni, pertanyaan-

pertanyaan yang mungkin muncul pada kasus ini adalah:6

senyawa racun apa yang terlibat?

berapa besar dosis yang digunakan?

kapan paparan tersebut terjadi (kapan racun tersebut mulai kontak dengan

korban)?

melalui jalur apa paparan tersebut terjadi (jalur oral, injeksi, inhalasi)?

Dalam praktis analisis menggunakan teknik GC-MS, LC-MS, atau HPLC-

Diode array detektor memerlukan biaya analisis yang relatif mahal ketimbang KLT-

Spektrofotodensitometri. Sehingga disarankan dalam perencanaan pengadaan/

pemilihan peralatan suatu laboratorium toksikologi seharusnya mempertimbangkan

biaya operasional penanganan sampel. Hal ini pada kenyataannya sering menjadi

faktor penghambat dalam penyelenggaraan laboratorium toksikologi. Karena pada

kenyataanya telah diatur dalam KUHAP, bahwa biaya yang ditimbulkan akibat

pemeriksaan atau penyidikan dibebankan pada negara, namun pada kenyataanya

sampai saat negara belum mampu memikul beban tersebut.1

Interpretasi temuan analisis

Temuan analisis sendiri tidak mempunyai makna yang berarti jika tidak

dijelaskan makna dari temuan tersebut. Seorang toksikolog forensik berkewajiban

menerjemahkan temuan tersebut berdasarkan kepakarannya ke dalam suatu kalimat

atau laporan, yang dapat menjelaskan atau mampu menjawab pertanyaan yang

muncul berkaitan dengan permasalahan/kasus yang dituduhkan.1

Berkaitan dengan analisis penyalahgunaan obatobatan terlarang, mengacu

pada hukum yang berlaku di Indonesia (UU no 5 th 1997 tentang spikotropika dan

UU no 22 th 1997 tentang Narkotika), interpretasi temuan analisis oleh seorang

toksikolog forensik adalah merupakan suatu keharusan. Heroin menurut UU no 22

22

Page 23: TOKSIKOLOGI FORENSIK

tahun 1997 termasuk narkotika golongan I, namun metabolitnya (morfin) masuk ke

dalam narkotika golongan II. Dilain hal kodein (narkotika golongan III) di dalam

tubuh akan sebagian termetabolisme menjadi morfin. Namun pada kenyataannya

heroin illegal juga mengandung acetilkodein, yang merupakan hasil asetilasi dari

kodein, sehingga dalam analisis toksikologi forensik pada pembuktian kasus

penyalahgunaan heroin ilegal akan mungkin diketemukan morfin dan kodein.

Menurut UU narkotika ini (pasal 84 dan 85), menyatakan bahwa penyalahgunaan

narkotika golongan I, II, dan III memiliki konsekuensi hukum yang berbeda, sehingga

interpretasi temuan analisis toksikologi forensik, khususnya dalam kaitan menjawab

pertanyaan narkotika apa yang telah dikonsumsi, adalah sangat mutlak dalam

penegakan hukum.1

Terdapat beberapa pertanyaan yang harus dijawab oleh toksikolog forensik

dalam melakukan analisis:

a) Senyawa apa yang terlibat dalam tindak kriminal tersebut (senyawa apa yang

menyebabkan keracunan, menurunnya kemampuan mengendarai kendaraan

dalam berlalulintas, atau narkoba apa yang telah disalah gunakan)?

b) Berapa besar dosisnya?

c) Efek apa yang ditimbulkan?

d) Kapan tubuh korban terpapar oleh senyawa tersebut?

e) Pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat terungkap dari hasil analisis toksikologi dan

didukung oleh penguasaan ilmu pendukung lainnya seperti farmakologi dan

toksikologi, biotransformasi, dan farmakokinetik.

Data temuan hasil uji penapisan dapat dijadikan petunjuk bukan untuk

menarik kesimpulan bahwa seseorang telah terpapar atau menggunakan obat

terlarang. Sedangkan hasil uji pemastian (confirmatory test) dapat dijadikan dasar

untuk memastikan atau menarik kesimpulan apakah sesorang telah menggunakan

obat terlarang yang dituduhkan. Pernyataan ini terdengar sangatlah mudah, namun

pada praktisnya banyak faktor yang mempengaruhi.1

23

Page 24: TOKSIKOLOGI FORENSIK

Untuk lebih jelasnya disini akan diberikan suatu perumpamaan kasus, misal

dari hasil uji penapisan menggunakan teknik immunoassay diperoleh dalam sampel

darah dan urin tertuduh memberikan reaksi positif terhadap golongan opiat. Hasil ini

tidak cukup untuk membuktikan (menuduh) terdakwa telah mengkonsumsi obat

terlarang narkotika golongan opiat, karena obat batuk dentromertofan mungkin

memberikan reaksi positif. Dilain hal senyawa golongan opiat terdistribusi ke dalam

golongan narkotika I sampai III, dimana menurut UU Narkotika, penyalahgunaan

golongan tersebut memiliki konsekuen hukum yang berbeda. Metabolit glukuronida

dari morfin dan kodein tidak dimasukkan ke dalam senyawa narkotika. Kenyataan ini

akan membuat interpretasi toksikologi forensik, yang hanya berdasarkan data hasil

analisis uji penapisan, menjadi lebih komplek.1

Dilain hal banyak senyawa obat, dimana metabolitnya memungkinkan

memberi reaksi positif (reaksi silang) terhadap test anti-amfetamin-antibodi. Senyawa

obat tersebut antara lain: a) golongan obat bebas yang digunakan sebagai

dekongestan dan anoreksia, seperti: efedrin, pseudoefedrin dan fenilpropanolamin; b)

golongan keras (dengan resep): benzofetamin, fenfluramine, mefentermin,

fenmeterzine, dan fentermine; c) obat / senyawa obat, dimana amfetamin atau

metamfetamin sebagai metabolitnya, seperti: etilamfetamin, clobenzorex, mefenorex,

dimetilamfetamin, dll.1

Pada interpretasi hasil analisis pada kasus kematian, seorang toksikolog

forensik dituntut mampu menjawab pertanyaan spesifik seperti: rute pemakaian

toksikan, apakah konsentrasi toksikan yang ditetapkan cukup sebagai menyebabkan

kematian atau penyebab keracunan. Penetapan rute pemakaian biasanya diperoleh

dari analisis berbagai spesimen, dimana pada umumnya konsentrasi toksikan yang

lebih tinggi ditemukan di daerah rute pemakaian. Jika ditemukan toksikan dalam

jumlah besar di saluran pencernaan dan hati, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa

paparan melalui jalur oral. Demikian juga apabila konsentrasi yang tinggi ditemukan

24

Page 25: TOKSIKOLOGI FORENSIK

di paru-paru atau pada organ viseral lainnya mengindikasikan paparan melalui

inhalasi.1

Bekas suntikan yang baru pada permukaan tubuh (seperti telapak tangan,

lengan, dll), yang ditemukan pada kasus kematian akibat penyalahgunaan narkotika,

merupakan petujuk paparan melalui injeksi.1

Ditemukannya toksikan dalam konsentrasi yang cukup tinggi baik di saluran

pencernaan maupun di darah, dapat dijadikan cukup bukti untuk menyatakan toksikan

tersebut sebagai penyebab kematian. Seorang toksikolog forensik dituntut juga dapat

menerangkan absorpsi toksikan dan transportasi/distribusi melalui sirkulasi sistemik

menuju organ-jaringan sampai dapat menimbulkan efek yang fatal. Interpretasi ini

diturunkan dari data konsentrasi toksikan baik di darah maupun di jaringan-jaringan.1

Hasil analisis urin biasanya kurang berarti dalam menentukan efek

toksik/psikologi dari suatu toksikan. Secara umum hasil analisis urin menyatakan

adanya paparan toksikan sebelum kematian. Dari jumlah volume urin dan konstelasi

jumlah toksikan dan metabolitnya di dalam kantung kemih, dengan berdasarkan data

laju eksresi toksikan dan metabolitnya, maka dimungkinkan untuk menurunkan

informasi lamanya waktu paparan telah terjadi sebelum kematian.1

Kebanyakan efek farmakologik/psikologi xenobiotika berhubungan dengan

tingkat konsentrasinya di darah dan tempat kerjanya (reseptor). Oleh sebab itu tingkat

konsentrasi di darah adalah sebagai indikator penting dalam mencari faktor penyebab

kematian/keracunan.1

Dalam menginterpretasikan tingkat konsentrasi di dalam darah dan jaringan

sebaiknya memperhatikan tingkat efek psikologis yang sebenarnya dan semua faktor

yang berpengaruh dari setiap tingkat konsentrasi yang diperoleh dari spesimen.

Interpretasi tingkat konsentrasi dalam darah dan jaringan dapat dibagi menjadi tiga

katagori: normal atau terapeutik, toksik, dan lethal. Tingkat konsentrasi normal

dinyatakan sebagai keadaan, dimana tidak menimbulkan efek toksik pada organisme.

Tingkat konsentrasi toksik berhubungan dengan gejala membahayankan nyawa,

25

Page 26: TOKSIKOLOGI FORENSIK

seperti: koma, kejang-kejang, kerusakan hati atau ginjal. Tingkat konsentrasi

kematian dinyatakan sebagai konsentrasi yang dapat menyebabkan kematian. Contoh:

sianida pada konsentrasi yang tinggi (0,17-2,22 mg/l, diketemukan pada kematian

akibat keracunan sianida), dinyatakan sebagai penyebab keracunan. Sedangkan pada

konsentrasi yang sangat kecil (0,004 mg/l pada orang sehat dan 0,006 mg/l pada

perokok), sianida berperan dalam pembentukan vitamin B12. Dalam jumlah kecil

sianida juga diabsorpsi dan dibangkitkan selama merokok. Oleh sebab itu mendeteksi

sianida di darah pada tingkat dibawah konsentrasi toksik, masih dapat ditolerir

sebagai tanpa efek toksik. Beberapa logam berat, seperti arsen, timbal, dan merkuri

tidak diperlukan untuk fungsi normal tubuh. Keberadaan logam tersebut dibawah

tingkat konsentrasi toksik mengindikasikan bahwa korban telah terpapar logam berat

akibat polusi lingkungan.1

Faktor-faktor yang mempengaruhi respon individu terhadap tingkat

konsentrasi toksik (seperti: usia, jenis kelamin/status hormonal, berat badan, status

nutrisi, genetik, status immunologi, kelainan patologik dan penyakit bawaan, kelainan

fungsi organ, sifat farmakokinetik dari toksikan) seharusnya juga dipertimbangkan

dalam menginterpretasikan hasil analisis, yang bertujuan mencari faktor penyebab

keracunan. Faktor lain yang juga harus mendapat perhatian adalah fenomena

farmakologi seperti toleransi. Toleransi adalah suatu keadaan menurunnya respon

tubuh terhadap toksikan sebagai hasil paparan yang berulang sebelumnya, biasanya

dalam waktu yang lama. Penurunan respon dapat diakibatkan oleh adaptasi selular

pada suatu konsentrasi toksikan, yang dapat berakibat pada penekanan efek

farmakologis yang diinginkan. Hal ini sering dijumpai pada kasus kematian akibat

menyalahgunaan heroin, dimanakan ditemukan tumpang tindih rentang konsentrasi

morfin di darah pada kasus “lethal related heroine (0,010 - 2,200 μg/ml, rataan:

0,277 μg/ml)” dan “non-lethal related heroine (0,010 -0,275 μg/ml, rataan: 0,046

μg/ml)”. Konsetrasi morfin yang tinggi mungkin tidak mengakibatkan efek toksik

pada junkis yang telah berulang memakai heroin, sedangkan pada konsentrasi yang

26

Page 27: TOKSIKOLOGI FORENSIK

sama mungkin menimbulkan efek kematian pada orang yang baru menggunkan.

Bahaya kematian sering dijumpai pada pemakaian dosis tinggi oleh pencadu, yang

memulai kembali menggunakan heroin setelah lama berhenti menggunakannya,

dimana dosisnya didasarkan pengalaman pribadi saat efek tolerasi masih timbul.

Melalui pengamatan ulang riwayat kasus, memperhatikan semua faktor toksokinetik,

toksodinamik, dan dengan membandingkan hasil analisis dengan laporan kasus yang

sama dari beberapa pustaka atau pengalaman sendiri, seorang ahli toksikologi

membuat interpretasi akhir dari suatu kasus.1

2 . 5. ASPEK MEDIKOLEGAL

Adapun dasar hukum untuk melakukan pemeriksaan toksikologi pada

keracunan adalah KUHAP pasal 133 (1), yang berbunyi:2

“Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan mengenai seorang korban baik

luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak

pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli

kedokteran forensik kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya”

Kasus kematian yang disebabkan oleh racun dapat dikelompokkan sebagai

berikut:2

a) Kecelakaan/kematian tidak sengaja

Kebanyakan kecelakaan kerecunan yang terjadi di rumah-tangga, seperti:

keracunan pada anak-anak akibat kelalaian atau kurang tepatnya penyimpanan

bahan-bahan rumah tangga berbahaya (ditergen, pestisida rumah-tangga, obat-

obatan), sehingga dapa dijangkau oleh anak-anak, adalah umumnya akibat

ketidaksengajaan/kelalaian. Kecelakaan keracunan pada orang dewasa biasanya

berhubungan dengan hilangnya label “penanda” pada bahan beracun,

penyimpanan tidak pada tempatnya, misal disimpan di dalam botol minuman,

kaleng gula, kopi dll, yang dapat menyebabkan kekeliruan. Kecelakaan keracunan

27

Page 28: TOKSIKOLOGI FORENSIK

mungkin juga dapat terjadi di industri, untuk menghidari kecelakan akibat

kelalaian kerja diperlukan protokol khusus tentang keselamatan kerja di industri.

Protokol ini berisikan standard keamanan, peraturan perlindungan kerja,

tersedianya dokter dalam penanganan kasus darurat pada keracunan fatal.

b) Penyalahgunaan obat-obatan

Penyalahgunaan obat-obatan adalah penggunaan obat-obatan atau bahan kimia

tertentu yang bukan untuk tujuan pengobatan, melainkan untuk memperoleh

perubahan perasaan atau menimbulkan rasa bahagia “eporia”. Fakta menunjukkan

sering akibat penyalahgunaan obat-obatan dapat mengakibatkan beberapa

keracunan, sampai kematian. Kematian pemakaian heroin umumnya diakibatkan

oleh depresi “penekanan” fungsi pernafasan, yang mengakibatkan kegagalan

pengambilan oksigen, sehingga terjadi penurunana kadar oksigen yang drastis di

otak. Pada kematian akibat keracunan heroin biasanya disertai dengan udema

paru-paru. Hal ini menandakan telah terjadi dipresi pernafasan. Umumnya

penyalahgunaan obat-obatan melibatkan penggunaan obat-obatan golongan

narkotika dan psikotropika, seperti narkotika (golongan opiat), hipnotika.sedativa

(barbiturat), halusinogen (3-4 metil deoksimetamfetamin “MDMA”, metil

dioksiamfetamin “MDA”, fensilidin “PCP”), dan stimulan (amfetamin, cocain).

Keracunan akibat penyalahgunaan obat-obatan dapat juga sebabkan oleh

kelebihan dosis, pengkonsomsi alkohol, atau salah pengobatan oleh dokter

“mismedication” .

c) Bunuh diri dengan racun

Kasus kecelakan bunuh diri menggunakan pestisida rumah-tangga, ditergen, atau

menggunakan kombinasi obat-obatan yang komplek. Pada kasus bunuh diri

dengan obat-obatan kadang ditemukan 3 hingga 7 jenis obat. Untuk mencari

penyebab kematian pada kasus bunuh diri diperlukan analisis toksikologi, yaitu

analisis kualitatif dan kuantitatif racun di cairan lambung, darah, urin, dan organ

28

Page 29: TOKSIKOLOGI FORENSIK

tubuh lainnya untuk mencari dan menentukan jumlah minimum penyebab

keracunan.

d) Pembunuhan menggunakan racun

Penyidikan kematian seseorang akibat pembunuhan dengan racun adalah

penyidikan yang paling sulit bagi penegak hukum dan dokter ferensin “termasuk

toksikolog forensik”. Secara umum bukti keracunan diperoleh dari simptom yang

ditunjukan sebelum kematian. Penyidikan pasca kematian oleh dokter patologi

forensik dengan melakukan otopsi dan pengambilan spesimen “sampel”, yang

kemudian dilakukan analisis racun oleh toksikolog forensik merupakan sederetan

penyidikan penting dalam penegakan hokum.

29

Page 30: TOKSIKOLOGI FORENSIK

BAB 3

KESIMPULAN

Toksikologi merupakan ilmu yang sangat luas yang mencakup berbagai

disiplin ilmu yang sudah ada seperti ilmu kimia, farmakologi, biokimia, forensik dan

lain-lain.

Jalur utama bagi penyerapan xenobiotika adalah saluran cerna, paru-paru, dan

kulit. Namun pada keracunan aksidential, atau penelitian toksikologi, paparan

xenobiotika dapat terjadi melalui jalur injeksi, seperti injeksi intravena,

intramuskular, subkutan, intraperitoneal, dan jalur injeksi lainnya.

Racun adalah suatu substansi yang dapat mengganggu keseimbangan

fisiologis sehingga mengganggu kesehatan bila terserap kedalam tubuh.

Kasus kematian yang disebabkan oleh racun dapat dikelompokkan dalam

kecelakaan/kematian tidak sengaja, penyalahgunaan obat-obatan, bunuh diri dengan

racun, dan pembunuhan menggunakan racun.

Adapun dasar hukum untuk melakukan pemeriksaan toksikologi pada

keracunan terdapat dalam KUHAP pasal 133 (1) .

30

Page 31: TOKSIKOLOGI FORENSIK

DAFTAR PUSTAKA

1. Wirasuta MAG. Analisis Toksikologi Forensik dan Interpretasi Temuan Analisis.

Indonesian Journal of Legal and Forensic Sciences 2008; 1(1):47-55

2. Amir A. 2005. Rangkaian Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi kedua. Hal. 24-25

3. Buchari. Toksikologi Industri. Available from:

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1438/1/07002745.pdf

4. Lu, F.C., 1995, Toksikologi Dasar, Asas, Organ Sasaran, dan Penilaian Resiko,

Nugroho, E. (terj.), Jakarta: UI Press

5. Sinaga EJ. 2010. Peranan Toksikologi Dalam Pembuatan Visum Et Repertum

Dugaan Pembunuhan Dengan Racun. Available from:

http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/20996

6. Wirasuta IMAG. Pengantar Toksikologi Forensik. Available from:

http://www.farmasi.unud.ac.id/ind/wp-content/uploads/Pengantar-Toksikologi-

Forensik1.pdf

31