laporan kelompok

41
LAPORAN KELOMPOK Problem Based Learning (PBL) SLE (SISTEMISC LUPUS ERYTHEMATOSUS) Disusun untuk melengkapi tugas mata kuliah Fundamental of pathophysiology and nursing care in imunology system Fasilitator: Ns. Retno Lestari.M.Kep Nama Kelompok: Adhiar Bagus C. (105070200111017) Aliyah Adek Rahmah (105070200111024) Andita Tirtatisya (105070200111020) Damar Dewangga (105070200111036) Kartika Wihdatus S. (105070200111029) Laili Maslahatun N. (105070200111028) Mohammad Taji (105070200111035) Monika Sinta Dewi (105070200111030) Ni Made Putri P. (105070200111027) Nico Rostdiana Dewi (105070200111025) Riska Ayu Asyhari (105070200111019) Rosi Erna S. (0910723036) Sylvi Alveolita P. (105070200111018) Silfiah Nofi P. (105070200111023) PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2011

Upload: ima-safitri-puji-utami

Post on 22-Nov-2015

28 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

LAPORAN KELOMPOKProblem Based Learning (PBL)SLE (SISTEMISC LUPUS ERYTHEMATOSUS)Disusun untuk melengkapi tugas mata kuliah Fundamental of pathophysiology and nursing care in imunology system

Fasilitator:Ns. Retno Lestari.M.KepNama Kelompok:Adhiar Bagus C.(105070200111017)Aliyah Adek Rahmah(105070200111024)Andita Tirtatisya(105070200111020)Damar Dewangga(105070200111036)Kartika Wihdatus S.(105070200111029)Laili Maslahatun N.(105070200111028)Mohammad Taji(105070200111035)Monika Sinta Dewi(105070200111030)Ni Made Putri P.(105070200111027)Nico Rostdiana Dewi(105070200111025)Riska Ayu Asyhari(105070200111019)Rosi Erna S.(0910723036)Sylvi Alveolita P.(105070200111018)Silfiah Nofi P.(105070200111023)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATANFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYAMALANG2011

BAB IPENDAHULUAN1.1 Latar Belakang MasalahAdapun yang melatar belakangi penulisan makalah ini selain merupakan tugas kelompok juga merupakan materi bahasan dalam mata kuliah Fundamental of pathophysiology and nursing care in imunology system. Dimana mahasiswa dari setiap kelompok akan membahas materi, sesuai dengan trigger yang telah ditugaskan kepada masing-masing kelompok. Adapun dalam makalah ini akan dibahas tentang SLE (SISTEMISC LUPUS ERYTHEMATOSUS) yang merupakan penyakit penyakit autoimun kronik ditandai dengan terbentuknya antibody antibody terhadap beberapa antigen diri yang berlainan.SLE merupakan penyakit yang sebabnya belum diketahui dengan pasti.Tidak ada obat untuk menyembuhkan penyakit ini, obat yang diberikan adalah obat yang hanya meringankan gejalanya saja1.2 Batasan TopikKonsep Lupus eritematosus sistemik ( SLE ) 1. Definisi SLE2. Epidemiologi SLE3. Pathophysiolgy SLE4. Faktor resiko SLE5. Manifestasi klinis SLE6. Pemeriksaan diagnostik SLE7. Penatalaksanaan medis SLE8. Asuhan keperawatan dari SLE

BAB IITinjauan Pustaka2.1 KLASIFIKASI PENYAKIT LUPUSa. Discoid Lupus Lesi berbentuk lingkaran atau cakram dan ditandai oleh batas eritemayang meninggi, skuama, sumbatan folikuler, dan telangiektasia. Lesi ini timbuldi kulit kepala, telinga, wajah, lengan, punggung, dan dada. Penyakit ini dapat menimbulkan kecacatan karena lesi ini memperlihatkan atrofi dan jaringan parut di bagian tengahnya serta hilangnya apendiks kulit secara menetap (Hahn, 2005).b. Systemic Lupus ErythematosusSLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem yang disebabkan oleh banyak faktor dan dikarakterisasi oleh adanya gangguan disregulasi sistem imun berupa peningkatan sistem imun dan produksi autoantibodi yang berlebihan (Harsono, 2010). Terbentuknya autoantibodi terhadap DNA, berbagai macam ribonukleoprotein intraseluler, sel-sel darah, dan fosfolipid dapat menyebabkan kerusakan jaringan (Harsono, 2010) melalui mekanime pengaktivan komplemen Lupus yang diinduksi oleh obatc. Lupus oleh induksi obatLupus yang disebabkan oleh induksi obat tertentu khususnya pada asetilator lambat yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak terakumulasi di tubuh sehingga memberikan kesempatan obat untuk berikatan dengan protein tubuh. Hal ini direspon sebagai benda asingoleh tubuh sehingga tubuh membentuk kompleks antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang benda asing tersebut (Marisa et al., 2003).2.2Definisi SLE SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem yang disebabkan oleh banyak faktor (Isenberg and Horsfall,1998) dan dikarakterisasi oleh adanya gangguan disregulasi sistem imun berupa peningkatan sistem imun dan produksi autoantibodi yang berlebihan (Albar, 2003). Lupus eritematosus sistemik ( SLE ) adalah suatu penyakit autoimun kronik ditandai dengan terbentuknya antibody antibody terhadap beberapa antigen diri yang berlainan. Antibodi antibody tersebut biasanaya adalah IgG atau IgM dan dapat bekerja dengan asam nukleat pada DNA atau RNA, protein jenjang koagulasi, kulit, sel darah merah, sel darah putih, dan trombosit. Kompleks antigen antibody dapat mengendap dijaringan kapiler sehingga terjadi reaksi hipersensitivitas tipe III, kemudian terjadi peradangan kronik ( Corwin, 2009 ). Lupus eritematosus sistemik dikarakterisasi oleh adanya gangguan disregulasi sistem imun berupa peningkatan sistem imun dan produksi autoantibodi yang berlebihan (Harsono, 2010). Lupus eritematosus sistemik merupakan suatu penyakit autoimun pada jaringan ikat yang menunjukkan berbagai manifestasi, paling sering berupa artritis. (Sullivan, 2009) SLE merupakan suatu peradangan kronis jaringan ikat mengenai sendi, ginjal, selaput serosa permukaan, dan dinding pembuluh darah yang belum jelas penyababnya. (Yatim, 2006) Kata lupus dalam bahasa Latin berarti serigala, erythro berasal dari bahasa yunani yang berarti merah, sehingga lupus digambarkan sebagai daerah merah sekitar hidung dan pipi, yang dikenal dengan butterfly - shaped malar rash. Berbeda dengan HIV/AIDS, SLE adalah suatu penyakit yang ditandai dengan peningkatan sistem kekebalan tubuh sehingga antibodi yang seharusnya ditujukan untuk melawan bakteri maupun virus yang masuk ke dalam tubuh berbalik merusak organ tubuh itu sendiri seperti ginjal, hati, sendi, sel darah merah, leukosit, atau trombosit. Karena organ tubuh yang diserang bisa berbeda antara penderita satu dengan lainnya, maka gejala yang tampak sering berbeda, misalnya akibat kerusakan di ginjal terjadi bengkak pada kaki dan perut, anemia berat, dan jumlah trombosit yang sangat rendah (Tonam, 2007).2.2 Epidemiologi SLEPenderita SLE diperkirakan mencapai 5 juta orang di seluruh dunia (Yayasan Lupus Indonesia). Prevalensi pada berbagai populasi berbeda-beda bervariasi antara 3 400 orang per 100.000 penduduk (Albar, 2003). SLE lebih sering ditemukan pada ras-ras tertentu seperti bangsa Afrika Amerika, Cina, dan mungkin juga Filipina. Di Amerika, prevalensi SLE kira-kira 1 kasus per 2000 populasi dan insiden berkisar 1 kasus per 10.000 populasi (Bartels, 2006). Prevalensi penderita SLE di Cina adalah 1 :1000 (Isenberg and Horsfall,1998). Meskipun bangsa Afrika yang hidup di Amerika mempunyai prevalensi yang tinggi terhadap SLE, penyakit ini ternyata sangat jarang ditemukan pada orang kulit hitam yang hidup di Afrika. Di Inggris, SLE mempunyai prevalensi 12 kasus per 100.000 populasi, sedangkan di Swedia 39 kasus per 100.000 populasi. Di New Zealand, prevalensi penyakit ini pada Polynesian sebanyak 50 kasusper 100.000 populasi dan hanya 14,6 kasus per 100.000 populasi pada orang kulit putih (Bartels, 2006). SLE lebih banyak terjadi pada wanita daripada pria dengan perbandingan 10 : 1. Perbandingan ini menurun menjadi 3 : 2 pada lupus yang diinduksioleh obat. Penyakit SLE juga menyerang penderita usia produktif yaitu 15 64 tahun. Meskipun begitu, penyakit ini dapat terjadi pada semua orang tanpa membedakan usia dan jenis kelamin (Delafuente, 2002). Prevalensi SLE berbeda beda untuk tiap etnis yaitu etnis Afrika Amerika mempunyai prevalensi sebesar 1 kasus per 2000 populasi, Cina 1 dalam 1000 populasi, 12 kasus per 100.000 populasi terjadi di Inggris, 39 kasus dalam 100.000 populasi terdapat di Swedia. Di New Zealand, terjadi perbedaan prevalensi antara etnis Polynesian sebanyak 50 kasus per 100.000 populasi dengan orang kulit putih sebesar 14,6 kasus dalam 100.000 populasi (Bartels, 2006).Di Indonesia sendiri jumlah penderita SLE secara tepat belum diketahui tetapi diperkirakan sama dengan jumlah penderita SLEdi Amerika yaitu 1.500.000 orang (Yayasan Lupus Indonesia). Berdasarkan hasil survey, data morbiditas penderita SLE di RSU Dr. Soetomo Surabaya selama tahun 2005 sebanyak 81 orang dan prevalensi penyakit ini menempati urutan keempat setelah osteoartritis, reumatoid artritis, dan low back pain. Di RSU Dr. Saiful Anwar Malang, penderita SLE pada bulan Januari sampai dengan Agustus 2006 ada 14 orang dengan 1 orang meninggal dunia.Setiap tahun ditemukan lebih dari 100.000 penderita baru. Hal ini disebabkan oleh manifestasi penyakit yang sering terlambat diketahui sehingga berakibat pada pemberian terapi yang inadekuat, penurunan kualitas pelayanan, dan peningkatan masalah yang dihadapi oleh penderita SLE. Masalah lain yang timbul adalah belum terpenuhinya kebutuhan penderita SLE dan keluarganya tentang informasi, pendidikan, dan dukungan yang terkait dengan SLE. Oleh karena itu penting sekali meningkatkan kewaspadaan masyarakat tentang dampak buruk penyakit SLE terhadap kesehatan serta dampak psikologi dan sosialnya yang cukup berat untuk penderita maupun keluarganya. Kurangnya priorita di bidang penelitian medik untuk menemukan obat-obat penyakit SLE yang baru, aman dan efektif, dibandingkan dengan penyakit lain juga merupakan masalah tersendiri (Yayasan Lupus Indonesia). SLE lebih banyak terjadi pada wanita daripada pria dengan perbandingan 10 : 1. Perbandingan ini menurun menjadi 3 : 2 pada lupus yang diinduksi oleh obat. Penyakit SLE juga menyerang penderita usia produktif yaitu 15 64 tahun. Meskipun begitu, penyakit ini dapat terjadi pada semua orang tanpa membedakan usia dan jenis kelamin (Delafuente, 2002). Prevalensi SLE berbeda beda untuk tiap etnis yaitu etnis Afrika Amerika mempunyai prevalensi sebesar 1 kasus per 2000 populasi, Cina 1 dalam 1000 populasi, 12 kasus per 100.000 populasi terjadi di Inggris, 39 kasus dalam 100.000 populasi terdapat di Swedia. Di New Zealand, terjadi perbedaan prevalensi antara etnis Polynesian sebanyak 50 kasus per 100.000 populasi dengan orang kulit putih sebesar 14,6 kasus dalam 100.000 populasi (Bartels, 2006).

2.3 PATOPHYSIOLOGY SLEPenyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan peningkatan autoantibodi yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-obat tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan di samping makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE- akibat senyawa kimia atau obat-obatan.Pada SLE, peningkatan produksi autoantibodi diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T-supresor yang abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang selanjutnya merangsang antibodi tambahan dan siklus tersebut berulang kembali.Berdasarkan profil sitokin sel T dibagi menjadi 2 yaitu Th1 dan Th2. sel Th1 berfungsi mendukung cell-mediated immunity, sedangkan Th2 menekan sel tersebut dan membantu sel B untuk memproduksi antibodi. Pada pasien SLE ditemukan adanya IL-10 yaitu sitokin yang diproduksi oleh sel Th2yang berfungsi menekan sel Th1 sehingga mengganggu cell-mediated immunity.Sel T pada SLE juga mengalami gangguan berupa berkurangnya produksi IL-2 dan hilangnya respon terhadap rangsangan pembentukan IL-2 yang dapat membantu meningkatkan ekspresi sel T (Mok dan Lau, 2003).Abnormalitas dan disregulasi sistem imun pada tingkat seluler dapat berupa gangguan fungsi limfosit T dan B, NKC, dan APCs. Hiperaktivitas sel B terjadi seiring dengan limfositopenia sel T karena antibodi antilimfosit T. Peningkatan sel B yang teraktivasi menyebabkan terjadinya hipergamaglobulinemia yang berhubungan dengan reaktivitas self-antigen. Pada sel B, reseptor sitokin, IL-2, mengalami peningkatan sedangkan CR1 menurun (Silvia and Isenberg, 2001). Hal ini juga meningkatkan heat shock protein 90 (hsp 90) pada sel B dan CD4+. Kelebihan hsp 90 akan terlokalisasi pada permukaan sel limfosit dan akan menyebabkan terjadinya respon imun. Sel T mempunyai 2 subset yaitu CD8+ (supresor/sitotoksik) dan CD4+ (inducer/helper). SLE ditandai dengan peningkatan sel B terutama berhubungan dengan subset CD4+ dan CD45R+. CD4+ membantu menginduksi terjadinya supresi dengan menyediakan signal bagi CD8+ (Isenberg and Horsfall, 1998). Berkurang jumlah total sel T juga menyebabkan berkurangnya subset tersebut sehingga signal yang sampai ke CD8+ juga berkurang dan menyebabkan kegagalan sel T dalam menekan sel B yang hiperaktif. Berkurangnya kedua subset sel T ini yang umum disebut double negative (CD4-CD8-) mengaktifkan sintesis dan sekresi autoantibodi (Mok and Lau, 2003). Ciri khas autoantibodi ini adalah bahwa mereka tidak spesifik pada satu jaringan tertentu dan merupakan komponen integral dari semua jenis sel sehingga menyebabkan inflamasi dan kerusakan organ secara luas (Albar, 2003) melalui 3 mekanisme yaitu pertama kompleks imun (misalnya DNA-anti DNA) terjebak dalam membran jaringan dan mengaktifkan komplemen yang menyebabkan kerusakan jaringan. Kedua, autoantibodi tersebut mengikat komponen jaringan atau antigen yang terjebak di dalam jaringan, komplemen akan teraktivasi dan terjadi kerusakan jaringan. Mekanisme yang terakhir adalah autoantibodi menempel pada membran dan menyebabkan aktivasi komplemen yang berperan dalan kematian sel atau autoantibodi masuk ke dalam sel dan berikatan dengan inti sel dan menyebabkan menurunnya fungsi sel tetapi belum diketahui mekanismenya terhadap kerusakan jaringan (Epstein, 1998).Pada pasien SLE, adanya rangsangan berupa UVB (yang dapat menginduksi apoptosis sel keratonosit) atau beberapa obat (seperti klorpromazin yang menginduksi apoptosis sel limfoblas) dapat meningkatkan jumlah apoptosis sel yang dilakukan oleh makrofag. Sel dapat mengalami apoptosis melalui kondensasi dan fragmentasi inti serta kontraksi sitoplasma. Phosphatidylserine (PS) yang secara normal berada di dalam membran sel, pada saat apoptosis berada di bagian luar membran sel. Selanjutnya terjadi ikatan dengan CRP, TSP, SAP, dan komponen komplemen yang akan berinteraksi dengan sel fagosit melalui reseptor membran seperti transporter ABC1, complement receptor (CR1, 3, 4), reseptor V3, CD36, CD14, lektin, dan mannose receptor (MR) yang menghasilkan sitokin antiinflamasi. Sedangkan pada SLE yang terjadi adalah ikatan dengan autoantibodi yang kemudian akan berinteraksi dengan reseptor FcR yang akan menghasilkan sitokin proinflamasi. Selain gangguan apoptosis yang dilakukan oleh makrofag, pada pasien SLE juga terjadi gangguan apoptosis yang disebabkan oleh gangguan Fas dan bcl-2 (Bijl et al., 2001).(BAGAN PATOFISIOLOGI SLE ADA DI BELAKANG)2.4 Faktor Resiko SLE (SISTEMISC LUPUS ERYTHEMATOSUS)1. Faktor Genetik Jenis kelamin, frekuensi pada wanita dewasa 8 kali lebih seringdaripada pria dewasa Umur, biasanya lebih sering terjadi pada usia 20-40 tahun Etnik, Faktor keturunan, dengan Frekuensi 20 kali lebih seringdalam keluarga yang terdapat anggota dengan penyakit tersebut2. Faktor Resiko HormonHormon estrogen menambah resiko SLE, sedangkan androgen mengurangi resiko ini. Hal ini dapat menjelaskan bahwa faktor hormonal sangat berperan penting dalam memicu peningkatan penyakit lupus Meningkatnya angka kesakitan penyakit LES dimana wanita lebih banyak dibanding pria adalah disebabkan oleh pada masa usia subur ini, hormon-hormon pada wanita seperti estrogen dan progesterone sangat berpengaruh besar dalam proses pertumbuhan dan terutama pada siklus menstruasi pada wanita. Persentasi wanita yang menggunakan obat kontrasepsi (44,0%) seperti: menggunakan tablet, susuk dan suntikan, untuk menunda pembuahan atau kehamilan ikut mempengaruhi hormon estrogen dan progesterone. Namun belum diketahui secara pasti seperti apa saja hormon-hormon ini bekerja untuk mencetuskan penyakit LES (Lahita, 1998; Lupus, 2003).

3. Sinar UVSinar Ultra violet mengurangi supresi imun sehingga terapi menjadi kurang efektif, sehingga SLE kambuh atau bertambah berat. Ini disebabkan sel kulit mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi inflamasi di tempat tersebut maupun secara sistemik melalui peredaran pebuluh darahSinar UV mengarah pada self-immunity dan hilangnya toleransi karena menyebabkan apoptosis keratinosit. Selain itu sinar UV menyebabkan pelepasan mediator imun pada penderita lupus, dan memegang peranan dalam fase induksi yang secara langsung merubah sel DNA, serta mempengaruhi sel imunoregulator yang bila normal membantu menekan terjadinya kelainan pada inflamasi kulit.4. ImunitasPada pasien SLE, terdapat hiperaktivitas sel B atau intoleransi terhadap sel T5. ObatObat tertentu dalam presentase kecil sekali pada pasien tertentu dan diminum dalam jangka waktu tertentu dapat mencetuskan lupus obat (Drug Induced Lupus Erythematosus atau DILE). Jenis obat yang dapat menyebabkan Lupus Obat adalah : Obat yang pasti menyebabkan Lupus obat : Kloropromazin,metildopa, hidralasin, prokainamid, dan isoniazid Obat yang mungkin menyebabkan Lupus obat : dilantin,penisilamin, dan kuinidin Hubungannya belum jelas : garam emas, beberapa jenisantibiotic dan griseofurvin6. InfeksiPasien SLE cenderung mudah mendapat infeksi dan kadangkadang penyakit ini kambuh setelah infeksi. Infeksius terutama virus dapat ditemukan pada penderita lupus. Virus rubella, sitomegalovirus, dapat mempengaruhi ekspresi sel permukaan dan apoptosis7. StresStres berat dapat mencetuskan SLE pada pasien yang sudah memiliki kecendrungan akan penyakit ini..8.MerokokKebiasaan merokok yang menunjukkan bahwa perokok memiliki resiko tinggi terkena lupus, berhubungan dengan zat yang terkandung dalam tembakau yaitu amino lipogenik aromatik

Angka kejadian SLE pada saudara kembar identik (24-69%) lebih tinggi daripada saudara kembar non-identik (2-9%).

2.5 Manifestasi KlinisGejala klinis dan perjalanan penyakit SLE sangat bervariasi. Penyakit dapat timbul mendadak disertai tanda-tanda terkenanya berbagai sistem dalam tubuh. Dapat juga menahun dengan gejala pada satu sistem yang lambat laun diikuti oleh gejala terkenanya sistem imun. Pada tipe menahun terdapat remisi dan eksaserbasi. Remisinya mungkin berlangsung bertahun-tahun. Onset penyakit dapat spontan atau didahului oleh faktor presipitasi seperti kontak dengan sinar matahari, infeksi virus/ bakteri, obat misalnya golongan sulfa, penghentian kehamilan dan trauma fisis/psikis. Setiap serangan biasanya disertai gejala umum yang jelas seperti demam, malaise, kelemahan, nafsu makan berkurang, berat badan menurun, dan iritabilitas. Yang paling menonjol ialah demam, kadang-kadang disertai menggigil. a. Gejala MuskuloskeletalGejala yang sering pada SLE ialah gejala muskuloskeletal, berupa artritis atau artralgia (93 %) dan acapkali mendahului gejala-gejala lainnya. Yang paling sering terkenal ialah sendi interfalangeal proksimal diikuti oleh lutut, pergelangan tangan, metakarpofalangeal, siku dan pergelangan kaki. Selain pembengkakan dan nyeri mungkin juga terdapat efusi sendi yang biasanya termasuk kelas I (non-inflamasi); kadang-kadang termasuk kelas II (inflamasi). Kaku pagi hari jarang ditemukan. Mungkin juga terdapat nyeri otot dan miositis. Artritis biasanya simetris, tanpa menyebabkan deformitas, kontraktur atau reumatoid. Nekrosis avaskular dapat terjadi pada berbagai tempat, dan terutama ditemukan pada pasien yang mendapat pengobatan dengan steroid dosis tinggi. Tempat yang paling sering terkena ialah kaput femoris. b. Gejala mukokutanKelainan kulit, rambut atau selaput lendir ditemukan pada 85 % kasus SLE. Lesi kulit yang paling sering ditemukan pada SLE ialah lesi kulit akut, subakut, diskoid dan livido retikularis. Ruam kulit yang dianggap khas dan banyak menolong dalam mengarahkan diagnosis SLE ialah ruam kulit berbentuk kupu-kupu (butterfly-rash) berupa eritema yang agak edematus pada hidung dan kedua pipi. Dengan pengobatan yang tepat, kelainan ini dapat sembuh tanpa bekas. Pada bagian tubuh yang terkena sinar matahari dapat timbul ruam kulit yang terjadi karena hipersensitivitas (photo-hypersensitivity). Lesi ini termasuk lesi kulit akut. Lesi kulit subakut yang khas berbentuk anular.Lesi diskoid berkembang melalui 3 tahap yaitu eritema, hiperkeratosis dan atrofi. Biasanya tampak sebagai bercak eritematosa yang meninggi, tertutup sisik keratin disertai adanya penyumbatan folikel. Kalau sudah berlangsung lama akan terbentuk sikatriks. Vaskulitis kulit dapat menyebabkan ulserasi dari yang berbentuk kecil sampai yang besar. Sering juga tampak perdarahan dan eritema periungual. Livido retikularis, suatu bentuk vaskulitis ringan, sangat sering ditemui pada SLE. Kelainan kulit yang jarang ditemukan ialah bulla (dapat menjadi hemoragik), ekimosis, petekie dan purpura. Kadang-kadang terdapat urtikaria yang tidak berperan terhadap kortikosteroid dan antihistamin. Biasanya menghilang perlahan-lahan beberapa bulan setelah penyakit tenang secara klinis dan serologis. Alopesia dapat pulih kembali jika penyakit mengalami remisi. Ulserasi selaput lendir paling sering pada palatum durum dan biasanya tidak nyeri. Terjadi perbaikan spontan kalau penyakit mengalami remisi. Fenomen Raynaud pada sebagian pasien tidak mempunyai korelasi dengan aktivitas penyakit, sedangkan pada sebagian lagi akan membaik jika penyakit mereda.c. GinjalKelainan ginjal ditemukan pada 68 % kasus SLE. Manifestasi paling sering ialah proteinuria dan atau hematuria. Hipertensi, sindrom nefrotik dan kegagalan ginjal jarang terjadi; hanya terdapat pada 25 % kasus SLE yang urinnya menunjukkan kelainan. Ada 2 macam kelainan patologis pada ginjal, yaitu nefritis penyakit SLE difus dan nefritis penyakit SLE membranosa. Nefritis penyakit SLE difus merupakan kelauanan yang paling berat. Klinis biasanya tampak sebagai sindrom nefrotik, hipertensi serta gangguan fungsi ginjal sedang sampai berat. Nefritis penyakit SLE membranosa lebih jarang ditemukan. Ditandai dengan sindrom nefrotik, gangguan fungsi ginjal ringan serta perjalanan penyakit yang mungkin berlangsung cepat atau lambat tapi progresif. Kelainan ginjal lain yang mungkin ditemukan pada SLE ialah pielonefritis kronik, tuberkulosis ginjal dan sebagainya. Gagal ginjal merupakan salah satu penyebab kematian SLE kronik.d. KardiovaskularKelainan jantung dapat berupa perikarditis ringan sampai berat (efusi perikard), iskemia miokard dan endokarditis verukosa (Libman Sacks).e. ParuEfusi pieura unilateral ringan lebih sering terjadi daripada yang bilateral. Mungkin ditemukan sel LE (lamp. dalam cairan pleura. Biasanya efusi menghilang dengan pemberian terapi yang adekuat. Diagnosis pneumonitis penyakit SLE baru dapat ditegakkan jika faktor-faktor lain seperti infeksi virus, jamur, tuberkulosis dan sebagainya telah disingkirkan.f. Saluran PencernaanNyeri abdomen terdapat pada 25 % kasus SLE, mungkin disertai mual (muntah jarang) dan diare. Gejala menghilang dengan cepat jika gangguan sistemiknya mendapat pengobatan adekuat. Nyeri yang timbul mungkin disebabkan oleh peritonitis steril atau arteritis pembuluh darah kecil mesenterium dan usus yang mengakibatkan ulserasi usus. Arteritis dapat juga menimbulkan pankreatitis.g. Hati dan LimpaHepatosplenomegali mungkin ditemukan pada anak- anak, tetapi jarang disertai ikterus. Umumnya dalam beberapa bulan akan menghilang/ kembali normal.h. Kelenjer Getah BeningPembesaran kelenjer getah bening sering ditemukan (50 %). Biasanya berupa limfa denopati difus dan lebih sering pada anak-anak. Limfadenopati difus ini kadang-kadang disangka sebagai limfoma.i.Kelenjer ParotisKelenjer parotis membesar pada 6 % kasus SLE.j.Susunan Saraf TepiNeuropati perifer yang terjadi berupa gangguan sensorik dan motorik. Biasanya bersifat sementara.k.Susunan Saraf PusatGangguan susunan saraf pusat terdiri atas 2 kelainan utama yaitu psikosis organik dan kejang-kejang. Penyakit otak organik biasanya ditemukan bersamaan dengan gejala aktif SLE pada sistem-sistem lainnya. Pasien menunjukkan gejala delusi/halusinasi disamping gejala khas kelainan organik otak seperti disorientasi, sukar menghitung dan tidak sanggup mengingat kembali gambar-gambar yang pernah dilihat. Psikosis steroid juga termasuk sindrom otak organik yang secara klinis tak dapat dibedakan dengan psikosis penyakit SLE. Perbedaan antara keduanya baru dapat diketahui dengan menurunkan atau menaikkan dosis steroid yang dipakai. Psikosis penyakit SLE membaik jika dosis steroid dinaikkan, sedangkan psikosis steroid sebaliknya. Kejang-kejang yang timbul biasanya termasuk tipe grandmal. Kelainan lain yang mungkin ditemukan ialah korea, kejang tipe Jackson, paraplegia karena mielitis transversal, hemiplegia, afasia dan sebagainya. Mekanisme terjadinya kelainan susunan saraf pusat tidak selalu jelas Faktor-faktor yang memegang peran antara lain vaskulitis, deposit gamaglobulin di pleksus koroideus. l.MataKelainan mata dapat berupa konjungtivitis, edema periorbital, perdarahan subkonjungtival, uveitis dan adanya badan sitoid di retinam.Gejala HematologiPada 85% penderita SLE terdapat kelainan hematologi. Anemia yang terjadi dapat disebabkan karena penyakitnya yang menahun atau oleh karena hemolisis autoimun. Dapat juga dijumpai leukopenia dan limfopenia serta trombositopenia sekunder. Sedang tromboemboli timbul karena terdapat antikoagulan lupus.

Fenomena Raynaud :Ditandai oleh keadaan pucat, disusul oleh sianosis, eritema dan kembali hangat. Terjadi karena disposisi kompleks imun di endotelium pembuluh darah dan aktivasi komplemen lokal.2.6 Pemeriksaan DiagnostikPemeriksaan laboratorium dapat memberikan Penegakkan atau menyingkirkan suatu diagnosis Untuk mengikuti perkembangan penyakit, terutama untuk menandai terjadinya suatu serangan atau sedang berkembang pada suatu organ Uuntuk mengidentifikasi efek samping dari suatu pengobatan.Tabel Pemeriksaan AutoantibodiAntibodyPrevalensi,%Antigen yangDikenaliClinical Utility

Antinuclearantibodies (ANA)98Multiple nuclear

Pemeriksaan skriningterbaik; hasilnegative berulangmenyingkirkan SLE

Anti-dsDNA70DNA (doublestranded)Jumlah yang tinggispesifik untuk SLEdan pada beberapapasien berhubungandengan aktivitaspenyakit, nephritis,dan vasculitis.

Anti-Sm25Kompleks proteinpada 6 jenis U1RNASpesifik untuk SLE;tidak ada korelasiklinis; kebanyakanpasien juga memilikiRNP; umum padaAfrican Americandan Asia dibandingKaukasia

Anti-RNP40Kompleks proteinpada U1 RNATidak spesifik untukSLE; jumlah besarberkaitan dengangejala yang overlapdengan gejalarematik termasukSLE.

Anti-Ro (SS-A)30Kompleks Proteinpada hY RNA,terutama 60 kDadan 52 kDaTidak spesifik SLE;berkaitan dengansindrom Sicca,subcutaneous lupussubakut, dan lupusneonatus disertaiblok jantungcongenital; berkaitandengan penurunanresiko nephritis.

Anti-La (SS-B)

1047-kDa proteinpada hY RNA

Biasanya terkaitdengan anti-Ro;berkaitan denganmenurunnya resikonephritis

Antihistone

70Histones terkaitdengan DNA(pada nucleosome,chromatin)Lebih sering padalupus akibat obatdaripada SLE

Antiphospholipid

50Phospholipids,2glycoprotein 1cofactor,prothrombin

Tiga tes tersedia ELISA untukcardiolipin dan 2G1,sensitiveprothrombin time(DRVVT);merupakanpredisposisipembekuan,kematian janin, dantrombositopenia.

Antierythrocyte

60Membran eritrositDiukur sebagai tesCoombs langsung;terbentuk padahemolysis.

Antiplatelet

30Permukaan danperubahan antigensitoplasmik padaplatelet.

Terkait dengantrombositopenianamun sensitivitasdan spesifitas kurangbaik; secara klinistidak terlalu berartiuntuk SLE

Antineuronal(termasuk antiglutamatereceptor).60Neuronal danpermukaan antigenlimfosit

Pada beberapa hasilpositif terkait denganlupus CNS aktif.

Antiribosomal P

20Protein padaribosome

Pada beberapa hasilpositif terkait dengandepresi atau psikosisakibat lupus CNS

Catatan: CNS = central nervous system, CSF= cerebrospinal fluid,DRVVT = dilute Russell viper venom time, ELISA= enzymelinkedimmunosorbent assay.

Pemeriksaan laboratorium untuk menentukan adanya penyakit SLE Pemeriksaan darahPemeriksaan darah bisa menunjukkan adanya antibodi antinuklear, yang terdapat pada hampir semua penderita lupus. Tetapi antibodi ini juga juga bisa ditemukan pada penyakit lain. Karena itu jika menemukan antibodi antinuklear, harus dilakukan juga pemeriksaan untuk antibodi terhadap DNA rantai ganda. Kadar yang tinggi dari kedua antibodi ini hampir spesifik untuk lupus, tapi tidak semua penderita lupus memiliki antibodi ini. Pemeriksaan darah untuk mengukur kadar komplemen (protein yang berperan dalam sistem kekebalan) dan untuk menemukan antibodi lainnya, mungkin perlu dilakukan untuk memperkirakan aktivitasdan lamanya penyakit. Ruam kulit atau lesi yang khas Rontgen dada menunjukkan pleuritis atau perikarditis Pemeriksaan dada dengan bantuan stetoskop menunjukkan adanya gesekan pleura atau jantung Analisa air kemih menunjukkan adanya darah atau protein Hitung jenis darah menunjukkan adanya penurunan beberapa jenis sel darah Biopsi ginjal Pemeriksaan saraf.

Kriteria untuk klasifikasi SLE dari American Rheumatism Association (ARA, 1992). Seorang pasien diklasifikasikan menderita SLE apabila memenuhi minimal 4 dari 11 butir kriteria dibawah ini :1. ArtritisArthritis nonerosif pada dua atau lebih sendi perifer disertai rasa nyeri, bengkak, atau efusi dimana tulang di sekitar persendian tidak mengalami kerusakan2. Tes ANA diatas titer normalJumlah ANA yang abnormal ditemukan dengan immunofluoroscence atau pemeriksaan serupa jika diketahui tidak ada pemberian obat yang dapat memicu ANA sebelumnya. ANA digunakan untuk diagnosa SLE dan penyakit autoimun yang lain. ANA adalah sekelompok antibodi protein yang bereaksi menyerang inti dari suatu sel. ANA cukup sensitif untuk mendeteksi adanya SLE, hasil yang positif terjadi pada 95% penderita SLE. Tetapi ANA tidak spesifik untuk SLE saja karena ANA juga berkaitan dengan penyakit reumatik yang lain. Jumlah ANA yang tinggi berkaitan dengan kemunculan penyakit dan keaktifan penyakit tersebut.Setelah pemberian terapi maka penyakit tidak lagi aktif sehingga jumlah ANA diperkirakan menurun. Jika hasil tes negatif maka pasien belum tentu negatif terhadap SLE karena harus dipertimbangkan juga data klinik dan tes laboratorium yang lain, tetapi jika hasil tes positif maka sebaiknya dilakukan tes serologi yang lain untuk menunjang diagnosa bahwa pasien tersebut menderita SLE. ANA dapat meliputi anti-Smith (anti-Sm), anti-RNP (anti-ribonukleoprotein), dan anti-SSA (Ro) atau anti-SSB (La) (Pagana and Pagana, 2002)..3. Bercak Malar / Malar Rash (Butterfly rash) Adanya eritema berbatas tegas, datar, atau berelevasi pada wilayah pipi sekitar hidung (wilayah malar)4. Fotosensitif bercak reaksi sinar matahariPeka terhadap sinar UV / matahari, menyebabkan pembentukan atau semakin memburuknya ruam kulit 5. Bercak diskoid = Ruam pada kulit 6. Salah satu Kelainan darah; anemia hemolitik, Leukosit < 4000/mm, Limfosit