konjungtivitis alergi

60
Telaah Ilmiah KONJUNGTIVITIS ALERGI Oleh: Balqis Wulandari, S.Ked Pembimbing dr. Petty Purwanita, SpM DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA 2016 HALAMAN PENGESAHAN

Upload: balqiswulan

Post on 08-Jul-2016

67 views

Category:

Documents


16 download

DESCRIPTION

konjungtivitis

TRANSCRIPT

Page 1: Konjungtivitis Alergi

Telaah Ilmiah

KONJUNGTIVITIS ALERGI

Oleh:

Balqis Wulandari, S.Ked

Pembimbing

dr. Petty Purwanita, SpM

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA

RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA

2016

Page 2: Konjungtivitis Alergi

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Telaah Ilmiah

Konjungtiva Alergi

Oleh:

Balqis Wulandari, S.Ked

04054821618015

Referat ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Kesehatan Mata RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya periode 25 April 2016 s.d 30 Mei 2016.

Palembang, Mei 2016

dr. Petty Purwanita, SpM

Page 3: Konjungtivitis Alergi

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kepada Allah SWT atas berkat rahmat dan

karunia-Nya Telaah Ilmiah yang berjudul “Konjungtivitis Alergi” ini dapat

diselesaikan tepat waktu. Telaah Ilmiah ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat

ujian kepaniteraan klinik di Bagian Ilmu Kesehatan Mata RSUP Dr. Mohammad

Hoesin Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.

Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih kepada dr. Petty Purwanita,

SpM atas bimbingannya sehingga penulisan ini menjadi lebih baik.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dan kekeliruan dalam penulisan

Telaah Ilmiah ini. Oleh karena itu saran dan kritik sangat penulis harapkan untuk

penulisan yang lebih baik di masa yang akan datang.

Page 4: Konjungtivitis Alergi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..............................................................................................i

HALAMAN PENGESAHAN ...............................................................................ii

KATA PENGANTAR ..........................................................................................iii

DAFTAR ISI .........................................................................................................iv

BAB I PENDAHULUAN......................................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...........................................................................3

2.1 Anatomi dan Histologi Konjungtiva..........................................................3

2.1.1 Anatomi Konjungtiva.......................................................................3

2.1.2 Histologi Konjungtiva............................................................................6

2.2 Konjungtivitis ...........................................................................................7

2.2.1 Definisi Konjungtivitis ..................................................................7

2.2.2 Klasifikasi Konjungtivitis .............................................................7

2.3 Konjungtivitis Alergi......................................................................................11

2.3.1 Definisi Konjungtivitis Alergi......................................................11

2.3.2 Epidemiologi Konjungtivitis Alergi............................................11

2.3.3 Etiologi Konjungtivitis Alergi......................................................11

2.3.4 Patogenesis Konjungtivitis Alergi...............................................12

2.3.5 Klasifikasi Konjungtivitis Alergi.................................................13

2.3.5.1 Konjungtivitis hay fever (Acute Allergic Conjunctivitis) 14

2.3.5.2 Keratokonjungtivitis vernal........................................................16

2.3.5.3 Keratokonjuntgivitis atopic .........................................................18

2.3.5.4 Giant Papillary Conjunctivitis.................................................20

2.3.6 Manifestasi Klinis Konjungtivitis Alergi..........................................21

2.3.7 Diagnosis Konjungtivitis Alergi........................................................22

2.3.8 Diagnosis Banding Konjungtivitis Alergi.........................................25

2.3.9 Penatalaksanaan Konjungtivitis Alergi............................................26

2.3.10 Komplikasi Konjungtivitis Alergi...................................................31

Page 5: Konjungtivitis Alergi

2.3.11 Prognosis Konjungtivitis Alergi......................................................31

BAB III KESIMPULAN.....................................................................................33

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................34

Page 6: Konjungtivitis Alergi

BAB I

PENDAHULUAN

Mata terdiri dari beberapa lapisan salah satu yang terluar adalah konjungtiva.

Konjungtiva merupakan membran yang tipis dan transparan yang melapisi bagian

anterior dari bola mata (konjungtiva bulbi), serta melapisi bagian posterior dari

palpebra (konjungtiva palpebrae). Posisi konjuntiva yang berada paling luar menjadi

salah satu faktor konjungtiva merupakan bagian yang sering terpapar oleh berbagai

mikroorganisme dan faktor lingkungan lain yang mengganggu. Hal ini dapat

mengganggu keadaan konjungtiva itu sendiri, dan salah satu penyakit konjungtiva

yang paling sering adalah konjungtivitis. (Schwab,2000).

Konjungtivitis merupakan radang konjungtiva atau radang selaput lendir

yang menutupi belakang kelopak mata dan bagian depan bola mata.(Sidarta,1999).

Konjungtivitis memiliki gambaran manifestasi klinis yang bervariasi mulai dari

hiperemi ringan dengan hiperlakrimasi sampai konjungtivitis berat dengan

banyaknya produksi sekret purulen kental. Etiologi dari konjungtivitis umumnya

eksogen namun dapat pula endogen. Konjungtivitis dapat disebabkan oleh bakteri,

klamidia, virus, ricketsia, fungi, parasit, imunologi (alergi), kimiawi (iritatif), tidak

diketahui, bersamaan dengan penyakit sistemik, sekunder terhadap dakriosistitis

atau kanalikulitis.(Schwab,2000)

Konjungtivitis Alergika adalah suatu peradangan alergi pada konjungtiva

(selaput yang menutupi kelopak mata bagian dalam dan permukaan luar mata).Pada

sebagian besar penderita, konjungtivitis alergika merupakan bagian dari sindroma

alergi yang lebih luas, misalnya rinitis alergika musiman. Tetapi konjungtivitis

alergika bisa terjadi pada seseorang yang mengalami kontak langsung dengan zat-

zat di dalam udara, seperti serbuk sari, spora jamur, debu dan bulu binatang.

(Sidarta, 2010)

Page 7: Konjungtivitis Alergi

Insidensi konjungtivitis di Indonesia berkisar antara 2-75%. Data perkiraan

jumlah penderita penyakit mata di Indonesia adalah 10% dari seluruh golongan

umur penduduk per tahun dan pernah menderita konjungtivitis. Data lain

menunjukkan bahwa dari 10 penyakit mata utama, konjungtivitis menduduki tempat

kedua (9,7%) setelah kelainan refraksi (25,35%).

Komplikasi sangat jarang ditemukan pada konjungtivitis alergi. Penyulit

yang bisa terjadi adalah keratokonus dan tukak kornea. Konjungtivitis alergi jarang

menyebabkan kehilangan penglihatan. Prognosis penderita konjungtivitis baik

karena sebagian besar kasus dapat sembuh spontan (self-limited disease), namun

dapat pula prognosis penyakit ini menjadi buruk bila terjadi komplikasi yang

diakibatkan oleh penanganan yang kurang baik. (Greg M,2011)

Oleh karena itu, penulisan ini akan membahas mengenai konjungtivitis

alergi dan bagaimana penanganan yang baik agar tidak terjadi komplikasinya dan

mendapatkan prognosis yang baik ke depannya.

Page 8: Konjungtivitis Alergi

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Histologi Konjungtiva

2.1.1 Anatomi Konjungtiva

Konjungtiva merupakan membran mukosa yang transparan dan tipis yang

melapisi permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan

permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva berbatasan

dcngan kulit pada tepi kelopak (persambungan mukokutan) dan dengan epitel

kornea di limbus (Sidarta,1999)

Gambar 1 : Anatomi Konjungtiva

Konjungtiva terdiri dari tiga bagian, yaitu: (Sidarta,1999)

1. Konjungtiva palpebralis melapisi permukaan posterior kelopak mata dan

melekat erat ke tarsus. Di tepi superior dan inferior tarsus, konjungtiva melipat

ke bagian posterior (pada fornices superior dan inferior), membungkus jaringan

episklera dan akan menjadi konjungtiva bulbaris (Garcia-Ferrer, 2007). Pada

konjungtiva tarsalis terdapat glandula Meibom dengan gambaran yang tampak

Page 9: Konjungtivitis Alergi

membayang sebagai garis sejajar berwarna putih (Nana,1993). Permukaan

konjungtiva licin dan dicelah konjungtiva terdapat kelenjar Henle. Gambaran

histologi pada konjungtiva palpebralis terdiri dari sel epitel silindris, pada

lapisan bawah epitel terdapat stroma dengan bentuk adenoid dengan banyak

gambaran pembuluh darah.

2. Konjungtiva fornik memiliki struktur yang sama dengan konjungtiva

palpebra. Tetapi hubungan dengan jaringan di bawahnya cenderung lebih

lemah dan membentuk lekukan-lekukan serta mengandung banyak

pembuluh darah. Oleh karena itu, pembengkakan pada konjungtiva

forniks lebih mudah terjadi pada peradangan mata. Dengan struktur yang

berkelok-kelok pada konjungtiva ini mengakibatkan pergerakan mata

menjadi lebih mudah. Di bawah konjungtiva forniks superior terdapat

glandula lakrimal dari kelenjar Krause. Melalui konjungtiva forniks

superior juga terdapat muara saluran air mata.

3. Konjungtiva bulbaris berstruktur tipis dan tembus pandang yang meliputi

bagian anterior bulbus okuli. Konjungtiva bulbaris melekat longgar ke

septum orbitale di fornices dan melipat berkali-kali. Pelipatan ini

memungkinkan bola mata bergerak dan memperbesar permukaan

konjungtiva sekretorik (Vaughan,2010). Konjungtiva bulbaris melekat

longgar ke kapsul tenon dan sclera di bawahnya, kecuali di limbus

(tempat kapsul Tenon dan konjungtiva menyatu sejauh 3 mm). Lipatan

konjungtiva bulbaris yang tebal, mudah bergerak dan lunak (plika

semilunaris) yang mengelilingi suatu pulau kecil terdiri dari kulit yang

mengandung rambut dan kelenjar yang disebut caruncle dan terletak di

kanthus internus. Struktur epidermoid kecil (karunkula) menempel

superfisial ke bagian dalam plika semilunaris dan merupakan zona transisi

yang mengandung kulit dan membran mukosa (Garcia-Ferrer,2007). Di

bawah konjungtiva bulbi terdapat kapsula tenon. Strukturnya sama

Page 10: Konjungtivitis Alergi

dengan konjungtiva palpebra, tetapi tak mempunyai kelenjar. Dari limbus,

epitel konjungtiva meneruskan diri sebagai epitel kornea.

Gambar 2 : Struktur Konjungtiva

Pada konjungtiva terdapat dua macam kelenjar, yaitu:

1. Kelenjar sekretori musin yang terdiri dari sel goblet (kelenjar uniseluler yang

terletak di dalam epitelium), kripta dari kelenjar Henle (pada tarsal

konjungtiva) dan kelenjar Manz (pada konjungtiva limbal). Kelenjar-kelenjar

Page 11: Konjungtivitis Alergi

ini menseksresi mukus yang berfungsi untuk membasahi kornea dan

konjungtiva.

2. Kelenjar lakrimalis aksesorius terdiri dari,

1) Kelenjar Krause yang terletak pada jaringan ikat konjungtiva di forniks,

sekitar 42mm pada forniks atas dan 8mm di forniks bawah.

2) Kelenjar Wolfring yang terletak sepanjang batas atas tarsus superios dan

sepanjang batas bawah dari inferior tarsus.

Perdarahan dan Persarafan Konjungtiva

Pada umumnya, arteri pada konjungtiva berasal dari arteria siliaris dan

arteria palpebralis yang akan membentuk jaringan vaskular yang sangar

banyak (Vaughan,2010). Konjungtiva palpebra dan forniks disuplai oleh

cabang dari arcade arteri periferal dan merginal kelopak mata. Konjungtiva

bulbar disuplai oleh dua set pembuluh darah: arteri konjungtiva posterior

yang merupakan cabang dari arcade arteri kelopak mata; dan arteri

konjungtiva anterior yang merupakan cabang dari arteri siliaris anterior.

Cabang terminal dari arteri konjungtiva posterior beranastomose dengan

arteri konjungtiva anterior untuk membentuk pleksus perikornea. Persarafan

pada konjungtiva berasal dari percabangan pertama nervus V dengan

serabut nyeri yang sangar sedikit (Tortora,2009).

2.1.2 Struktur Histologis Konjungtiva

Secara histologis. Lapisan sel konjungtiva terdiri dari dua hingga lima

lapisan sel epitel silindris bertingkat, superfisial, dan basal (Junqueira,2007).

Struktur konjungtiva terdiri dari lapisan epitel dan stroma konjungtiva.

Epitel pada marginal konjungtiva terdiri dari 5 lapis epitel gepeng berlapis

(stratified squamous epithelium). Tarsal konjungtiva mempunyai 2 lapis

epitelium yaitu pada lapisan superfisial terdiri dari sel silindris dan lapisan

dalam terdiri dari sel squamous. Pada forniks dan bulbar konjungtiva

Page 12: Konjungtivitis Alergi

mempunyai 3 lapis epitelium, yaitu pada lapisan superfisial berupa sel

silindris, lapisan tengah polihedral sel dan lapisan dalam sel kuboid. Limbal

konjungtiva mempunyai banyak lapisan (5-6 lapis) epitelium gepeng

berlapis. Menurut Vaughan (2010), lapisan epitel superfisial mengandun sel

goblet yang berbentuk bulat dan oval yang mensekresi mukus yang

diperlukan untuk dispersi air mata, sedanggkan pada sel epitel basal yang

berwarna lebih pekat mengandung sel pigmen.

Stroma konjungtiva dibagi menjadi satu lapisan adenoid pada lapisan

teratas (superficial) dan satu lapisan fibrosa (profundus). Lapisan adenoid

disebut dengan lapisan limfoid dan terdiri dari jaringan ikat retikulum yang

terkait satu sama lain dan terdapat limfosit diantaranya. Lapisan ini paling

berkembang di forniks. Tidak terdapat mulai dari lahir tetapi berkembang

setelah 3-4 bulan pertama kehidupan. Untuk alasan ini, inflamasi

konjungtiva pada bayi baru lahir tidak memperlihatkan reaksi folikuler. Pada

lapisan fibrosa terdiri dari jaringan fiber elastik dan kolagen. Struktur lebih

tebal daripada lapisan adenoid, kecuali pada regio konjungtiva tarsal yang

memiliki struktur sangat tipis. Lapisan ini mengandung pembuluh darah dan

saraf konjungtiva. Bergabung dengan kapsula tenon pada regio konjungtiva

bulbar.

2.2 Konjungtivitis

2.2.1 Definisi Konjungtivitis

Konjungtivitis adalah peradangan pada konjungtiva yang diakibatkan oleh

banyak mikroorganisme dan faktor lingkungan lain yang mengganggu

(Vaughan,2010). Konjungtivitis adalah peradangan pada selaput bening yang

menutupi bagian putih mata dan bagian dalam kelopak mata. Konjungtivitis dapat

disebabkan oleh virus, bakteri, alergi, atau kontak dengan benda asing. Peradangan

tersebut menyebabkan timbulnya berbagai macam gejala, salah satunya adalah mata

merah. Penyakit ini memiliki gejala yang bervariasi mulai dari hyperemia ringan

Page 13: Konjungtivitis Alergi

dengan hiperlakrimasi sampai konjungtivitis berat dengan banyak sekret purulen

kental (Khurana,2010).

2.2.2 Klasifikasi Konjungtivitis

Berdasarkan etiologi konjungtivitis dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu :

a. Konjungtivitis Bakterialis

Gambar 3. Konjungtivitis Bakterialis

Konjungtivitis bakteri adalah inflamasi pada konjungtiva yang disebabkan

oleh bakteri dan mengakibatkan pasien datang dengan keluhan mata merah, sekret

dan iritasi pada mata (James,2005). Terdapat empat bentuk konjungtivitis

bacterial yaitu hiperakut, akut, subakut dan kronik. Penyebab konjungtivitis

bakteri paling sering adalah Staphylococcus, Pneumococcus, dan Haemophilus.

Konjungtivitis bacterial akut dapat sembuh sendiri bila disebabkan

mikroorganisme seperti Haemophilus influenza. Sedangkan yang kronik paling

sering pada konjungtivitis sekunder (Jatla,2009). Lamanya penyakit dapat

mencapai 2 minggu jika tidak diobati dengan memadai. Konjungtivitis akut dapat

menjadi menahun. Pengobatan dengan salah satu dari sekian antibacterial yang

tersedia biasanya mengenai keadaan ini dalam beberapa hari. Konjungtivitis

purulen yang disebabkan Neisseria gonorroeae atau Neisseria meningitides dapat

menimbulkan komplikasi berat bila tidak diobati secara dini.

Tanda dan Gejala :

Iritasi mata

Page 14: Konjungtivitis Alergi

Mata merah, dapat ditemukan injeksi konjungtiva baik segmental maupun

menyeluruh (AOA,2009)

Sekret kental kuning kehijauan (mukopurulen)

Palpebra terasa lengket saat bangun tidur

Kadang-kadang edema palpebra

Pada konjungtivitis bakteri, visus biasanya tidak banyak mengalami

gangguan, namun dapat terjadi akibat adanya sekret dan debris pada lapisan

air mata, tetapi reflek pupil akan tetap normal (James,2005).

b. Konjungtivitis viral

Konjungtivitis viral adalah inflamasi pada konjungtiva yang etiologinya

adalah virus, baik berupa infeksi ringan yang dapat sembuh sendiri ataupun yang

dapat menimbulkan kecacatan dan cenderung lebih berat dibandingkan

konjungtivitis bakterialis (Vaughan,2010). Mayoritas disebabkan oleh tipe

adenovirus, memiliki gejala yang paling berat pada konjungtivitis akibat herpes

simplex virus, namun dapat juga disebabkan oleh virus varicella zoster,

poxyvirus, dan HIV (Scott,2010). Memiliki manifestasi klinis yang berbeda

bergantung pada etiologi masing masing, tetapi umumnya muncul gejala mata

berair, merah, dan dapat disertai demam tidak terlalu tinggi dan nyeri.

Gambar 4 : Konjungtivitis Viral

c. Konjungtivitis jamur

Infeksi jamur jarang terjadi, sedangkan 50% infeksi jamur yang terjadi tidak

memperlihatkan gejala. Jamur yang dapat memberikan infeksi pada

konjungtivitis jamur adalah candida albicans dan actinomyces. Pada

konjungtivitis jamur, akan ditandai dengan munculnya bercak putih pada bagian

Page 15: Konjungtivitis Alergi

konjungtiva. Jenis ini juga biasanya muncul pada pasien dengan riwayat diabetes

mellitus dan gangguan pada sistem imun (Vaughan,2010).

d. Konjungtivitis kimia atau iritans

Konjungtivitis kimia-iritatif adalah konjungtivitis yang terjadi oleh

pemajanan substansi iritan yang masuk ke sakus konjungtivalis. Substansi-

substansi iritan yang masuk ke sakus konjungtivalis dapat menyebabkan

konjungtivitis, seperti asam, alkali, asap dan angin, dapat menimbulkan gejala-

gejala berupa nyeri, pelebaran pembuluh darah, fotofobia, dan blefarospasme.

Selain itu penyakit ini dapat juga disebabkan oleh pemberian obat topikal jangka

panjang seperti dipivefrin, miotik, neomycin, dan obat-obat lain dengan bahan

pengawet yang toksik atau menimbulkan iritasi. Konjungtivitis ini dapat diatasi

dengan penghentian substansi penyebab dan pemakaian tetesan ringan (Vaughan,

2010).

e. Konjungtivitis Akibat Penyakit Autoimun

Keratokonjungtivitis Sicca, berkaitan dgn. Sindrom Sjorgen (trias:

keratokonj. sika, xerostomia, artritis). Gejalanya yaitu :

Khas: hiperemia konjungtivitis bulbi dan gejala iritasi yang tidak sebanding

dengan tanda-tanda radang.

Dimulai dengan konjungtivitis kataralis

Pada pagi hari tidak ada atau hampir tidak ada rasa sakit, tetapi menjelang siang

atau malam hari rasa sakit semakin hebat.

Lapisan air mata berkurang (uji Schirmer: abnormal)

f. Konjungtivitis alergik

Konjungtivitis alergi merupakan reaksi antibody humoral yang dimediasi

oleh IgE terhadap alergen, biasanya terjadi pada individu dengan riwayat atopi.

Semua gejala pada konjungtiva akibat dari konjungtiva bersifat rentan terhadap

benda asing. Terdapat beberapa jenis konjungtivitis yakni konjungtivitis demam

Page 16: Konjungtivitis Alergi

jerami, keratokonjungivitis atopik, konjungtivitis musiman, vernal konjungtivitis,

Giant papilary konjungtivitis dan konjungtivitis flikten. Konjungtivitis dapat

diklasifikasikan berdasarkan waktu terjadinya yakni konjungtivitis yang bersifat

akut yakni konjungtivitis alergi musiman dan konjungtivitis parennial sedangkan

konjungtivitis kronis yakni keratokonjungtivitis vernal dan keratokonjungtivitis

atopik.

2.3 Konjungtivitis Alergi

2.3.1 Definisi Konjungtivitis Alergi

Konjungtivitis alergi adalah peradangan konjungtiva yang disebabkan

oleh reaksi alergi atau hipersensitivitas tipe humoral ataupun sellular.

Konjungtiva sepuluh kali lebih sensitif terhadap alergen dibandingkan

dengan kulit (Khurana, 2010).

2.3.2 Epidemiologi Konjungtivitis Alergi

Konjungtivitis alergi dijumpai paling sering di daerah dengan alergen

musiman yang tinggi. Angka kejadian konjungtivitis alergi semakin meningkat

dari tahun ke tahun khususnya di negara negara berkembang akibat tingginya

polusi lingkungan, meningkatnya jumlah binatang peliharaan, penggunaan kontak

lens, kosmetik mata (Tao, 2015). Keratokonjungtivitis vernal paling sering di

daerah tropis dan panas seperti daerah mediteranian, Timur Tengah, dan Afrika.

Keratokonjungtivitis vernal lebih sering dijumpai pada laki-laki dibandingkan

perempuan, terutamanya usia muda (4-20 tahun). Biasanya onset pada dekade

pertama dan menetap selama 2 dekade. Gejala paling jelas dijumpai sebelum

onset pubertas dan kemudian berkurang. Keratokonjungtivitis atopik umumnya

lebih banyak pada dewasa muda (Ventocillia,2012).

2.3.3 Etiologi Konjungtivitis Alergi

Konjungtivitis alergi dapat disebabkan oleh berbagai hal seperti :

a. reaksi alergi terhadap debu, serbuk sari, bulu binatang

b. iritasi oleh angin, debu, asap, dan polusi udara

c. pemakaian lensa kontak terutama dalam jangka panjang (Riordan-Eva, 2007)

Page 17: Konjungtivitis Alergi

2.3.4 Patogenesis Konjungtivitis Alergi

Tipe reaksi immunologi yang didapatkan pada konjungtivitis alergi

berupa reaksi hipersensitivitas tipe 1 (tipe cepat) yang berlaku apabila

individu yang sudah tersentisisasi sebelumnya berkontak dengan antigen

yang spesifik. Imunoglobulin E (IgE) mempunyai afinitas yang kuat

terhadap sel mast, dan cross-link 2 IgE oleh antigen akan menyebabkan

degranulasi sel mast (Khurana,2010).

Degranulasi sel mast mengeluarkan mediator-mediator inflamasi di

antaranya histamin, triptase, chymase, heparin, chondroitin sulfat,

prostaglandin, thromboxane, and leukotriene. Mediator-mediator ini

bersama dengan faktor-faktor kemotaksis akan menyebabkan peningkatan

permeabilitas vaskular dan migrasi sel neutrophil dan eosinophil. Ini

merupakan reaksi alergi yang paling sering pada mata (Khurana,2010).

Perubahan struktur

konjungtiva erat kaitannya dengan timbulnya radang insterstitial yang

banyak didominasi oleh reaksi hipersensitivitas tipe I dan IV. Pada

konjungtiva akan dijumpai hiperemia dan vasodilatasi difus, yang dengan

cepat akan diikuti dengan hiperplasi akibat proliferasi jaringan yang

menghasilkan pembentukan jaringan ikat yang tidak terkendali.

Kondisi ini akan diikuti oleh hyalinisasi dan menimbulkan deposit pada

konjungtiva sehingga terbentuklah gambaran cobblestone. Jaringan ikat

yang berlebihan ini akan memberikan warna putih susu kebiruan sehingga

konjungtiva tampak buram

dan tidak berkilau. Proliferasi yang spesifik pada konjungtiva tarsal

pavement like granulations. Hipertrofi papil pada konjungtiva tarsal tidak

jarang mengakibatkan ptosis mekanik dan dalamkasus yang berat akan

disertai keratitis serta erosi epitel kornea.

Page 18: Konjungtivitis Alergi

Menurut Liesegang et al. (2004), konjungtivitis alergi

menggambarkan suatu respon imun spesifik sekunder pada antigen yang

disebut sebagai alergen, yang menginduksi respon efektor IgE sel mast

secara akut. Ketika respon primer berlangsung, alergen spesifik sel-sel B

disebar ke area tertentu di berbagai lokasi MALT (Mucosal-Associated

Lymphoid Tissue). Di lokasi tersebut, sel B dengan bantuan sel T

mengubah produksi antialergen-IgM menjadi antialergen-IgE. IgE

selanjutnya dilepaskan pada tempat itu dan berikatan dengan reseptor Fc di

permukaan sel mast, sehingga sel mast menjadi dipersenjatai dengan suatu

reseptor alergen spesifik. Pajanan alergen berikutnya terjadi di tempat yang

berbeda dari pajanan awalnya, yang menyebabkan alergen bisa menembus

melewati epitel konjungtiva superficial menuju daerah subepitel, lalu

antigen akan mengikat spesifik alergen IgE tersebut pada permukaan sel

mast. Selanjutnya dalam 60 menit akan terjadi degranulasi, diawali dengan

pelepasan mediator-mediator yang dapat menyebabkan chemosis dan rasa

gatal di konjungtiva. Pada reaksi fase lambat, yaitu terjadi antara 4-24 jam

berikutnya, ditandai dengan pengerahan sel-sel limfosit, eosinofil dan

neutrofil. Eosinofil bersifat toksik pada epitel kornea karena dapat

mengakibatkan ulserasi.

2.3.5 Klasifikasi Konjungtivitis Alergi

Konjungtivitis alergi terbagi kepada empat tipe yaitu ;

a. Konjungtivitis “hay fever” (Acute Allergic Conjunctivitis) : Seasonal

Allergic Conjunctivitis (SAC) dan Perennial Allergic Conjunctivitis

(PAC)

b. Keratokonjungtivitis vernal

c. Keratokonjuntgivitis atopic

d. Giant Papillary Conjunctivitis (Khurana, 2010).

2.3.5.1 Konjungtivitis hay fever (Acute Allergic Conjunctivitis)

Page 19: Konjungtivitis Alergi

Pada konjungtivitis alergi akut berhubungan reaksi hipersensitifitas

tipe I yang dimediatori oleh IgE dan aktivasi sel mast akibat paparan

langsung pada mukosa mata terhadap alergen yang ada pada lingkungan.

Konjungtiva adalah permukaan mukosa yang sama dengan mukosa nasal.

Oleh karena itu, allergen yang bisa mencetuskan rhinitis allergi juga dapat

menyebabkan konjuntivitis alergi. Alergen airborne seperti serbuk sari,

rumput, bulu hewan dan lain-lain dapat memprovokasi terjadinya gejala

pada serangan akut konjuntivitis alergi.4 Konjungtivitis hay fever (Acute

Allergic Conjunctivitis) umumnya merupakan jenis self-limiting disease

(dapat sembuh sendiri) dan tanpa kerusakan permukaan okular

(Holland,2013).

Konjungtivitis hay fever (Acute Allergic Conjunctivitis) dibagi

menjadi dua kategori yaitu seasonal allergic conjunctivitis (SAC) dan

perennial allergic conjunctivitis (PAC). Perbedaan konjungtivitis alergi

sesonal dan perennial adalah waktu timbulnya gejala. Gejala pada individu

dengan konjungtivitis alergi seasonal timbul pada waktu tertentu seperti

pada musim bunga di mana serbuk sari merupakan allergen utama. Pada

musim panas, allergen yang dominan adalah rumput dan pada musim

dingin tidak ada gejala karena menurunnya tranmisi allergen airborne.

Sedangkan individu dengan konjungtivitis alergi perennial akan

menunjukkan gejala sepanjang tahun. Alergen utama yang berperan adalah

debu rumah, asap rokok, dan bulu hewan (Ventocillia, 2012).

Gambaran patologi pada konjunktivitis hay fever berupa:

a. respon vascular di mana terjadi vasodilatasi dan meningkatnya

permeabilitas pembuluh darah yang menyebabkan terjadinya eksudasi.

b. respon seluler berupa infiltrasi konjungtiva dan eksudasi eosinofil, sel

plasma dan mediator lain.

c. respon konjungtiva berupa pembengkakan konjungtiva, diikuti dengan

meningkatnya pembentukan jaringan ikat (Khurana, 2010).

Page 20: Konjungtivitis Alergi

Tanda dan gejala

Konjungtivitis hay fever (Acute Allergic Conjunctivitis) baik tipe

SAC maupun PAC bersifat bilateral walaupun asimetris. Radang

konjungtivitis non-spesifik ringan umumnya menyertai “hay fever” (rhinitis

alergika). Biasanya ada riwayat alergi terhadap tepung sari, rumput, bulu

hewan, dan lainnya. Pasien mengeluh gatal, kemerahan, berair mata, mata

merah, dan sering mengatakan bahwa matanya seakan-akan “tenggelam dalam

jaringan sekitarnya”. Terdapat injeksi ringan di konjungtiva palpebralis dan

konjungtiva bulbaris, selama serangan akut sering ditemukan kemosis berat

(yang menjadi sebab kesan “tenggelam” tadi). Mungkin terdapat sedikit

kotoran mata, khususnya setelah pasien mengucek matanya. (Garcia,2007).

Pada pasien dengan SAC, ditemukan edema palpebra, konjungtiva hiperemis,

injeksi konjungtiva, dan kemosis. Kemosis biasanya berwarna pink pucat dan

dapat ditemukan padaa konjungtiva bulbar dan tarsal inferior, kemosis ini

diakibatkan oleh infiltrasi sel dan cairan. Pada beberapa kasus dapat ditemukan

bulging pada konjungtiva akibat pasien yang mengucek mata (Holland,2013).

Pada mata juga dapat ditemukan sekret serousa dan berair (Yanoff,

2009). Pada pasien PAC, gejala yang muncul biasanya lebih ringan

tetapi dengan durasi yang lebih panjang. Akibat durasi gejala yang lebih

panjang, maka konjungtiva dapat menjadi berwarna merah kronik, dan

iritasi. Pada PAC yang mengalami paparan alergen jangka panjang,

dapat terjadi hipertrofi papil pada permukaan konjungtiva tarsal. Sekret

berwarna keputihan, tebal, dan lengket (Holland,2013).

Laboratorium

Eosinofil sulit ditemukan pada kerokan konjungtiva. (Garcia,2007) Pada 43% kasus

SAC ditemukan infiltrasi eosinofil pada konjungtiva , sedangkan 25-84% infiltrat

eosinofil ditemukan pada kasus PAC.

Page 21: Konjungtivitis Alergi

2.3.5.2 Keratokonjungtivitis vernal (VKC)

Gambar 5. Cobble stones appearance pada keratokonjungtivitis vernal

Keratokonjungtivitis vernal adalah penyakit alergi pada permukaan okuli

yang mempengaruhi konjungtiva dan kornea dan ditandai dengan inflamasi

kronik permukaan okuli yang merupakan reaksi alergi yang di mediatori oleh IgE-

Th2 (Holland,2013). Pada VKC, terjadi inflamasi yang rekuren, bilateral,

interstitial dan self-limiting. Pada Keratokonjungtivitis vernal terjadi perubahan-

perubahan akibat dari reaksi alergi. Epitel konjungtiva mengalami hiperplasia dan

membuat proyeksi ke dalam jaringan subepitel. Pada lapisan adenoid terdapat

infiltrasi oleh eosinophil, sel plasma, limfosit dan histiosit. Juga ditemukan

proliferasi lapisan fibrous yang kemudian terjadi perubahan hialin. Selain itu,

terdapat juga proliferasi pembuluh darah konjungtiva, peningkatan permeabilitas

dan vasodilatasi. Semua perubahan ini menyebabkan terbentuknya banyak papil

pada konjungtiva tarsalis superior (Grammer, 2009).

Ada dua tipe keratokonjungtivitis vernalis:

a. Bentuk palpebra.

Page 22: Konjungtivitis Alergi

Pada tipe palpebra ini terutama mengenai konjungtiva tarsal superior,

terdapat pertumbuhan papil yang besar atau cobblestone yang diliputi secret yang

mukoid. Konjungtiva inferior hiperemi dan edema dengan kelainan kornea lebih

berat disbanding bentuk limbal. Secara klinis, papil besar ini tampak sebagai

tonjolan bersegi banyak dengan permukaan yang rata dan dengan kapiler di

tengahnya yang dapat mengakibatkan gangguan mekanis pada kornea.

b. Bentuk limbal

Pada tipe limbal terdapat hipertrofi pada limbus superior yang dapat

membentuk jaringan hiperplastik gelatin. Terdapat juga panus dengan sedikit

eosinofil (Grammer, 2009). Pada limbus akan terjadi perluasan dan

pemadatan yang mengakibatkan limbus tampak semitransparan dan tebal.

Diskret nodul yang berwarna kuning atau keabuan dapat ditemukan pada

limbus yang menebal. Pada kasus berat, dapat ditemukan Horner-Trantas

dots pada limbus yang mengalami hipertrofi (Holland,2013).

Tanda dan gejala

Gejala umum yang ada seperti konjungtiva hiperemis, papil pada tarsal

dan limbal, dan sekret mukus. Dapat ditemukan nyeri apabila peradangan sudah

mengenai kornea (Holland,2013). Sensasi panas dan gatal pada mata terutama

apabila pasien berada di daerah yang panas. Gejala lain termasuk fotofobia

ringan, lakrimasi, sekret kental dapat ditarik seperti benang dan kelopak mata

terasa berat. (Garcia,2007)

Pada tipe palpebral, terdapat papil-papil besar/raksasa yg tersusun

seperti batu bata (cobble stones appearance). Cobble stones menonjol,

tebal dan kasar karena serbukan limfosit, plasma, eosinofil dan akumulasi

kolagen & fibrosa. Hal ini dapat menggesek kornea sehingga timbul ulkus

kornea (Lippinncott, 2003).

Pada tipe bulbar/limbal terlihat penebalan sekeliling limbus karena

massa putih keabuan. Kadang-kadang ada bintik-bintik putih (Horner-

Trantas dots), yang terdiri dari sebukan sel limfosit, eosinofil, sel plasma,

Page 23: Konjungtivitis Alergi

basofil serta proliferasi jaringan kolagen dan fibrosa yang semakin

bertambah (Krouse, 2008).

Laboratorium

Pada eksudat konjungtiva yang dipulas dengan Giemsa terdapat banyak

eosinofil dan granula eosinofilik bebas.(Garcia,2007). Pada sampel air mata

pasien VKC, akan terjadi peningkatan kadar sitokin dan sel imun.

2.3.5.3 Keratokonjungtivitis atopik

Keratokonjungtivitis atopik adalah inflamasi konjungtiva bilateral

dan juga kelopak mata yang berhubungan erat dengan dermatitis atopi.

Individu dengan keratokonjungtivitis atopik umumnya menunjukkan reaksi

hipersensitivitas tipe 1, tetapi imunitas selluler yang rendah. Oleh karena

itu, pasien keratokonjungtivitis atopik beresiko untuk mendapat keratitis

herpes simplex dan kolonisasi oleh Staphylococcus Aureus. 2

Tanda dan gejala

Pada AKC, pasien umumnya mengeluh mata merah, terasa gatal, ada

sensasi terbakar, ada sekret mukoid yang lengket,dan fotofobia. Pada

pemeriksaan tepi palpebra eritemosa, dan konjungtiva tampak putih seperti

susu. Terdapat papilla halus, namun papilla raksasa tidak berkembang seperti

pada keratokonjungtivitis vernal, dan lebih sering terdapat di tarsus inferior.

Berbeda dengan papilla raksasa pada keratokonjungtivitis vernal, yang terdapat

di tarsus superior. Pada eyelid dan kulit periorbita terlihat kasar, ada

hiperpigmentasi dan bersamaan dengan eczema. Pada marginal eyelid, dapat

terjadi edema, tebal, dan hiperemis. Pada konjungtiva bulbar, dapat terjadi

kemosis difusi dan injeksi. Pada limbus, dapat terjadi infiltrasi dan edema,

hiperplasia. Tanda-tanda kornea yang berat muncul pada perjalanan lanjut

penyakit setelah eksaserbasi konjungtivitis terjadi berulangkali. Timbul

keratitis perifer superficial yang diikuti dengan vaskularisasi. Pada kasus berat,

seluruh kornea tampak kabur dan bervaskularisasi, dan ketajaman penglihatan

menurun. (Garcia,2007)

Page 24: Konjungtivitis Alergi

Biasanya terdapat riwayat alergi (demam jerami, asma, atau eczema) pada

pasien atau keluarganya. Kebanyakan pasien pernah menderita dermatitis atopi

sejak bayi. Keratokonjungtivitis atopik berlangsung lama dan sering

mengalami eksaserbasi dan remisi. Seperti keratokonjungtivitis vernal,

penyakit ini cenderung kurang aktif bila pasien telah berusia 50 tahun.

(Garcia,2007)

Laboratorium

Kerokan konjungtiva menampakkan eosinofil, meski tidak sebanyak yang

terlihat sebanyak pada keratokonjungtivitis vernal. (Garcia,2007)

2.3.5.4 Konjungtivitis Giant Papillarry

Page 25: Konjungtivitis Alergi

Gambar 6. Giant Papillary

Konjungtivitis Giant Papillarry ditandai dengan pembentukan papil

yang berukuran besar (> 0,33 mm) pada konjungtiva tarsal superior.

Konjungtivitis Giant Papillarry yang diperantarai reaksi imun yang

mengenai konjungtiva tarsalis superior. Penyebabnya masih belum

diketahui secara pasti dan diperkirakan kombinasi reaksi hipersensitivitas

tipe 1 dan 4 mendasari patofisiolginya. Antigen yang terdapat konjungtiva

seperti lensa kontak dan benang operasi akan menstimulasi timbulnya

reaksi imun pada individu yang mempunyai faktor predisposisi. Iritasi

mekanis yang terus-menerus terhadap konjungtiva tarsalis superior juga

menjadi salah satu faktor terjadinya konjungtivitis Giant Papillarry.2 Pada

Konjungtivitis Giant Papillarry terjadi respon imun yang terdeposit pada

Page 26: Konjungtivitis Alergi

permukaan lensa, baik berupa antigen eksogen dan juga produk pada air

mata berupa lysozime, IgA, lactoferrin, dan IgG (Holland,2013).

Ditemukan keluhan berupa mata gatal dan berair. Pada pemeriksaan fisik

ditemukan hipertrofi papil. Pada awal penyakit, papilnya kecil (sekitar 0,3mm

diameter). Bila iritasi terus berlangsung, papil kecil akan menjadi besar ( giant)

yaitu sekitar 1mm diameter.(Khurana,2010)

2.3.6 Manifestasi Klinis Konjungtivitis Alergi

Keratokonju

ngtivitis

Atopik

Seasonal

Allergic

Conjunctivitis

Perennial

Allergic

Conjunctivitis

Keratokonjung

tivitis vernal

Giant

Papillary

Konjungtivitis

Predileksi Bilateral Unilateral/

bilateral

Bilateral Bilateral

(berat)

Bilateral

(ringan)

Hiperemia + + (ringan s.d

berat)

+ (ringan s.d

sedang)

+ + (ringan)

Kemosis + + + - -

Gatal +++ ++ +++ +++ ++

Epifora - + ++ - -

Discharge

mukus

+ - + +++ +

Papil - - + + (giant papil

di

konjungtiva

tarsal

+ (hipertrofi

papil di

konjungtiva

tarsal

Page 27: Konjungtivitis Alergi

superior) superior)

Tranta’s

dots

- - - + _

Gejala utama penyakit konjungtivitis alergi ini adalah radang (merah, sakit,

bengkak, dan panas), gatal, silau berulang dan menahun. Tanda karakteristik

lainnya adalah terdapatnya papil besar pada konjungtiva, injeksi konjungtiva,

datang bermusim, yang dapat mengganggu penglihatan. Walaupun penyakit alergi

konjungtiva sering sembuh sendiri akan tetapi dapat memberikan keluhan yang

memerlukan pengobatan. Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan sel eosinofil,

sel plasma, limfosit, dan basofil yang meningkat. Dapat juga dilakukan

pemeriksaan tes alergi untuk mengetahui penyebab dari alerginya itu sendiri.

(Vaughan,2000)

2.3.7 Diagnosis Konjungtivitis Alergi

Diperlukan riwayat alergi baik pada pasien maupun keluarga pasien

serta observasi pada gejala klinis untuk menegakkan diagnosis

konjungtivitis alergi. Gejala yang paling penting untuk mendiagnosis

penyakit ini adalah rasa gatal pada mata, yang mungkin saja disertai mata

berair, kemerahan dan fotofobia(Grammer, 2009).

Pemeriksaan mata awal termasuk pengukuran ketajaman visus, pemeriksaan

eksternal dan slit-lamp biomikroskopi. Pemeriksaan eksternal harus mencakup

elemen berikut ini (Bernstein, 2003)

a. Limfadenopati regional, terutama sekali preaurikuler

b. Kulit: tanda-tanda rosacea, eksema, seborrhea.

Page 28: Konjungtivitis Alergi

c. Kelainan kelopak mata dan adneksa: edema, eritema, telangiektasia,

penebalan, pengelupasan, entropion atau ectropion, adanya eksudat atau

debris, blefarospasme, ptosis.

d. Malposisi, kelemahan, ulserasi, nodul, ekimosis, keganasan

e. Konjungtiva: bentuk injeksi, perdarahan subkonjungtiva, kemosis,

perubahan sikatrikal, simblepharon, massa, sekret

Slit-lamp biomikroskopi harus mencakup pemeriksaan yang hati-hati terhadap:

a. Margo palpebra: inflamasi, ulserasi, sekret, nodul atau vesikel, nodul

b. atau vesikel, sisa kulit berwarna darah, keratinisasi

c. Bulu mata: kerontokan bulu mata, kerak kulit, ketombe, telur kutu dan

d. kutu

e. Punctum lacrimal dan canaliculi: penonjolan, sekret

f. Konjungtiva tarsal dan forniks

g. Adanya papila, folikel dan ukurannya

Perubahan sikatrikal, termasuk penonjolan ke dalam, &

simblepharon

Membran dan psudomembran

Ulserasi

Perdarahan

Benda asing

Massa

Kelemahan palpebra

h. Konjungtiva bulbar/limbus: folikel, edema, nodul, kemosis, kelemahan,

papila, ulserasi, luka, flikten, perdarahan, benda asing, keratinisasi

i. Kornea

Page 29: Konjungtivitis Alergi

Defek epitelial

Keratopati punctata dan keratitis dendritik

Filamen

Ulserasi

Infiltrasi, termasuk infiltrat subepitelial dan flikten

Vaskularisasi

Keratik presipitat

j. Bilik mata depan: rekasi inflamasi, sinekia, defek transiluminasi

k. Corak pewarnaan: konjungtiva dan kornea (Bernstein, 2003).

Page 30: Konjungtivitis Alergi

Berikut alur diagnosis untuk konjungtivitis alergi:

Gambar 7. Algoritma Diagnosis

Page 31: Konjungtivitis Alergi

2.3.8 Diagnosis Banding Konjungtivitis Alergi

Konjungtivitis

Virus

Konjungtivitis

Bakteri

Konjungtivitis

Alergi

KonjungtivitisToksik

Gatal - - ++ -Mata merah + ++ + +Hemoragi + + - -Sekret Serous

mucousPurulen,

kuning, krustaViscus -

Kemosis ± ++ ++ ±Lakrimasi ++ + + ±Folikel + - + ±Papil - + + -Pseudomembran ± ± - -Pembesaran kelenjar limfe

++ + - -

Panus - - - ±Bersamaan dengan keratitis

± ±-

±

Demam ± ±-

-

Sitologi Granulosit Limposit, monosit

Eosinofil Sel epitel, granulosit

Diagnosis banding dari konjungtivitis alergi adalah konjungtivitis virus dan

bakteri. Cara membedakannya yaitu dari gejala masing-masing. Pada

konjungtivits virus terdapat gejala berupa : demam, dengan sengkret yang hampir

sama dengan alergi, air mata mengucur banyak, gatal yang minimal, biasanya

menyerang traktus respiratory. Pada pewarnaan usapan banyak ditemukan

monosit dan limposit. Sedangkan pada konjungtivitis bakteri terdapat gejala

seperti: sekretnya purulen, air mata sedang, gatalnya sedikit, tidak terdapat sakit

Page 32: Konjungtivitis Alergi

tenggorokan (tidak menyerang traktus respiratory), pewarnaan usapan didapatkan

bakteri PMN. (Sidarta, 2010).

2.3.9 Penatalaksanaan Konjungtivitis Alergi

Untuk penatalaksanaan konjungtivitis alergi dapat diberikan obat-obat seperti

kortikosteroid, antiinflamasi non-steroid (AINS), vasokonstriktor, antihistamin,

dan stabilisator sel mast. Bartlett et al. (2008)

1. Golongan antihistamin

Menurut sidarta (2010), golongan antihistamin serta penghambat

sel mast merupakan pilihan untuk terapi konjungtivitis alergi.

Antihistamin generasi lama selalu menimbulkan efek samping

sedasi/mengantuk, seperti: klorfeniramin maleat (CTM), dimenhidrinat,

triprolidin, dan prometasin. Antihistamin generasi baru sebagian besar

tidak menimbulkan rasa ngantuk, seperti: astemisol, loratadin,

terfenadin, dan cetrisin. Antihistamin biasanya diberi per oral namun

juga bisa diberikan dalam bentuk tetes mata, yang biasanya

dikombinasikan dengan vasokonstriktor untuk mengurangi kemerahan.

Tetapi menurut Vaughan Antihistamin per-oral sedikit manfaatnya.

2. Golongan penghambat sel mast

Sedangkan penghambat sel mast yang biasanya diberikan adalah Sodium

kromolin 4% dengan dosis 1 tetes 4-6 kali sehari terbukti bermanfaat

memiliki efek profilaktis pada konjungtivitis alergika. Sodium kromolin ini

juga bermanfaat karena kemampuannya sebaga pengganti steroid bila pasien

sudah dapat dikontrol. Ini juga berarti dapat membantu mengurangi

kebutuhan akan pemakaian steroid. Sodium kromolin berperan sebagai

stabilisator sel mast, mencegah terlepasnya beberapa mediator yang

Page 33: Konjungtivitis Alergi

dihasilkan pada reaksi alergi tipe I, namun tidak mampu menghambat

pengikatan IgE terhadap sel maupun interaksi sel IgE dengan antigen

spesifik. Titik tangkapnya, diduga sodium kromolin memblok kanal kalsium

pada membrane sel serta menghambat pelepasan histamine dari sel mast

dengan cara mengatur fosforilasi. Biasanya digunakan sebagai pencegahan

jika penderita akan mengadakan kontak dengan suatu alergen. Umumnya 1-2

minggu penyakitnya membaik secara simtomatis.

3. Non-steroid anti-inflamasi nonsteroid (OAINS) topikal.

Obat ini menghambat aktivitas siklooksigenase, salah satu yang

bertanggung jawab untuk konversi asam arakidonat ke enzim prostaglandins.

Ketorolac trometamin 0,5% dan diklofenak natrium 0,1% efektif dalam

mengurangi tanda-tanda dan gejala berhubungan dengan konjungtivitis

alergi, meskipun Makanan dan Drug Administration (FDA) telah menyetujui

hanya ketorolac untuk pengobatan konjungtivitis alergi.

4. Golongan Kortikosteroid topical

Menurut departemen kesehatan republik indonesia derektorat jendral

pengawasan obat dan makanan.

a. Indikasi

Indikasi pemberian kortikosteroid topical adalah penyakit radang

segmen depan bola mata. Beberapa antara lainnya adalah konjungtivitis

alergika, uveitis, episkleritis, skleritis , fliktenulosis, keratitis pungtata

superfisial, konjungtivitis vernal.

b. Penggunaan dosis

Pemberian kortikosteroid ini perlu diperhatikan karena dapat

meningkatkan aktivitas virus herpes simpleks yang menyebabkan ulkus

dendritik, pada keratitis herpes simpleks dapat menyebabkan perforasi

kornea. Efeksamping lainnya adalah tumbuhnya jamur secara berlebihan.

Kortikosteroid ini juga memperburuk kondisi yang dapat berakhir

Page 34: Konjungtivitis Alergi

hilangnya penglihatan. Penggunaan jangka lama dapat menyebabkan

glaukoma steroid sehingga pemberian kortikosteroid ini harus dibawah

pengawasan dokter. Sebagian daftar kortikosteroid topikal untuk

penggunaan oftamlologis adalah :

Hidrokortison asetat, larutan 2,5 %.

Prednisolon asetat larutan 0,125% dan 1 %.

Prednisolon sodium fosfat, larutan 0,125 % dan 1 %.

Deksametason sodium fosfat, larutan 0,1 %.

Medrison larutan 1%.

Fluorometolon larutan 1%.

5. Vasokonstriktor topikal

Agen inimenyebabkan penyempitanpembuluh darah,

menurunkanpermeabilitaspembuluh darah, dan mengurangimatagatal-gatal

denganmemblokirhistaminH1receptors.

- adrenalin

- efedrin

- nafazoline

Penanganan khusus untuk konjungtivitis vernal berupa :

a. Terapi lokalis

- Steroid topical

penggunaannya efektif pada keratokonjungtivitis vernal, tetapi harus hati-

hati kerana dapat menyebabkan glaucoma. Pemberian steroid dimulai

dengan pemakaian sering (setiap 4 jam) selama 2 hari dan dilanjutkan

dengan terapi maintainance 3-4 kali sehari selama 2 minggu. Steroid yang

sering dipakai adalah fluorometholon, medrysone, betamethasone, dan

dexamethasone. Fluorometholon dan medrysone adalah paling aman

antara semua steroid tersebut.

- Mast cell stabilizer seperti sodium cromoglycate 2%

Page 35: Konjungtivitis Alergi

- Antihistamin topical

- Acetyl cysteine 0,5%

- Siklosporin topical 1%

b. Terapi sistemik;

- Anti histamine oral untuk mengurangi gatal

- Steroid oral untuk kasus berat dan non responsive

c. Terapi lain dan pencegahan

- Apabila terdapat papil yang besar, dapat diberikan injeksi steroid

supratarsal atau dieksisi. Eksisi sering dianjurkan untuk papil yang sangat

besar.

- Menghindari tindakan menggosok-gosok mata dengan tangan atau jari

tangan, karena telah terbukti dapat merangsang pembebasan mekanis dari

mediator sel mast. Di samping itu, juga untuk mencegahsuper infeksi yang

pada akhirnya berpotensi ikut menunjang terjadinya glaukoma sekunder dan

katarak.

- Menghindari daerah berangin kencang yang biasanya juga membawas

erbuksari dan hindari penyebab dari alergi itu sendiri.

- Kaca mata gelap untuk fotofobia dan untuk mengurangi kontak

denganalergen di udara terbuka. Pemakaian lensa kontak justru

harus dihindari karena lensa kontak akan membantu retensi allergen.

- Kompres dingin dapat meringankan gejala.

- Pengganti air mata (artifisial). Selain bermanfaat untuk cuci mata juga berf

ungsiprotektif karena membantu menghalau allergen.

- Pasien dianjurkan pindah ke daerah yang lebih dinginyang sering

juga disebutsebagai climato-therapy.

Efek samping obat pada mata dan sistemik

Page 36: Konjungtivitis Alergi

Menurut vaughan (2010), Obat-obat yang digunakan baik sistemik

maupun topikal memberikan efek di mata yang merugikan dan kadang-

kadang preparat mata topikal menyebabkan efek sistemik jika bahan-

bahan kandungannya yang aktif terlalu banyak terserap. Efek samping

pengawetnya juga diperhitungkan. Cara untuk mengurangi efek samping

sistemik yaitu prinsipnya yaitu mencegah agar jangan sampai dosisnya

berlebihan. Yang biasa diresepkan oleh dokter adalah kadar terendah

yang masih memberikan efek terapuetik yang baik. Hanya diperlukan

pengobatan dengan 1 tetes volume setiap kali karena mata dapat

menahan kurang dari 1 tetes.

Terapi Non Farmakologi

Satu-satunya terapi tanpa obat untuk alergi adalah menghindari pencetus

alergi. Penderita dan keluarganya diberikan pendidikan untuk mampu

mengenali pemicu alergi karena sifatnya sangat individual dan alergi sangat

sulit disembuhkan, hanya mampu dijaga agar tidak muncul. Pengenalan pemicu

ini sangat penting dalam penanganan reaksi anafilaksis khususnya karena

dengan menghindari pemicu, kematian dapat terhindarkan.

Edukasi :

1. Obat tetes mata dalam wadah pakai ulang untuk penggunaan dirumah

tidak boleh digunakan lebih lama dari 4 minggu setelah dibuka.

Cara pemakaian tetes mata yang benar menurut pedoman penulisan

resep WHO yaitu ;

Cuci tangan.

Jangan menyentuh lubang penetes.

Tengadahkan kepala, tarik kelopak mata ke bawah agar

terbentuk cekungan.

Page 37: Konjungtivitis Alergi

Dekatkan alat penetes sedekat mungkin kecekungan mata

tanpa menyentuh mata dan menyentuh tutupnya.

Teteskan obat sebanyak yang dianjurkan dalam cekungan.

Pejamkan kira-kira 2 menit.

Bersihkan cairan yang kelebihan dengan tissue.

Jika menggunakan lebih dari 1 obat tetes mata tunggu

sedikitnya 5 menitsebelum meneteskan obat mata selanjutnya.

Obat tetes mata mungkin menimbulkan rasa terbakar, tetapi

hal ini hanya akan berlangsung beberapa menit, jika terasa

lebih lama kunjungi dokter atau apoteker.

2. Menghindarkan penyebab pencetus penyakit.

3. Kompes dingin untuk menghilangkan edemnya.

2.3.10 Komplikasi Konjungtivitis Alergi

Komplikasi pada konjungtivitis alergi sangat jarang terjadi. Namun

penyakit radang mata yang tidak segera ditangani/diobati bisa menyebabkan

kerusakan pada mata/gangguan pada mata dan menimbulkan komplikasi berupa

ulkus kornea atau keratoconus. Komplikasi konjungtivitis vernal adalah

pembentukan jaringan sikratik yang dapat mengganggu penglihatan.

Pada konjungtivitis giant papillary, iritasi kronis akan menyebabkan

keratitis yaitu inflamasi pada kornea dan dapat menyebabkan kebutaan permanen

karena terjadi ulserasi pada permukaan kornea. Pada keratokonjungtivitis vernal

juga dapat menyebabkan keratitis jika tidak ditatalaksana (Sidarta,2009)

2.3.11 Prognosis Konjungtivitis Alergi

Prognosis penderita konjungtivitis baik karena sebagian besar kasus dapat

sembuh spontan (self-limited disease), namun komplikasi juga dapat terjadi

apabila tidak ditangani dengan baik., namun pada beberapa kasus dapat

berlanjut menjadi penyakit yang serius jika tidak ditangani dengan cepat

Page 38: Konjungtivitis Alergi

dan benar. Pada umumnya konjungtivitis tidak menimbulkan komplikasi

melainkan efek terhadap kualitas hidup penderita.(Vaughan,2000). Iritasi

pada mata menyebabkan penderita susah untuk keluar rumah pada waktu

tertentu. Konjungtivitis juga dapat mengganggu konsentrasi sewaktu

bekerja ataupun di sekolah.

Pada konjungtivitis giant papillary, iritasi kronis akan menyebabkan

keratitis yaitu inflamasi pada kornea dan dapat menyebabkan kebutaan

permanen karena terjadi ulserasi pada permukaan kornea. Pada

keratokonjungtivitis vernal juga dapat menyebabkan keratitis jika tidak

ditatalaksana (Ilyas, 2009).

BAB III

Page 39: Konjungtivitis Alergi

KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan

Konjungtivitis alergi adalah peradangan konjungtiva yang disebabkan oleh

reaksi alergi atau hipersensitivitas tipe humoral ataupun sellular. Tipe reaksi

immunologi yang didapatkan pada konjungtivitis alergi berupa reaksi

hipersensitivitas tipe 1 (tipe cepat) yang berlaku apabila individu yang sudah

tersentisisasi sebelumnya berkontak dengan antigen yang spesifik. Konjungtivitis

alergi terbagi kepada empat tipe yaitu Konjungtivitis “hay fever” (Acute Allergic

Conjunctivitis) yang dibagi menjadi Seasonal Allergic Conjunctivitis (SAC) dan

Perennial Allergic Conjunctivitis (PAC), Keratokonjungtivitis vernal,

Keratokonjuntgivitis atopic, dan Giant Papillary Conjunctivitis (Khurana, 2010).

Gejala utama penyakit konjungtivitis alergi ini adalah radang (merah, sakit,

bengkak, dan panas), gatal, silau berulang dan menahun. Tanda karakteristik lainnya adalah

terdapatnya papil besar pada konjungtiva, injeksi konjungtiva, datang bermusim, yang dapat

mengganggu penglihatan. Walaupun penyakit alergi konjungtiva sering sembuh sendiri

akan tetapi dapat memberikan keluhan yang memerlukan pengobatan. Pada pemeriksaan

laboratorium ditemukan sel eosinofil, sel plasma, limfosit, dan basofil yang meningkat.

Dapat juga dilakukan pemeriksaan tes alergi untuk mengetahui penyebab dari alerginya itu

sendiri. (Vaughan,2000)

Untuk penatalaksanaan konjungtivitis alergi dapat diberikan obat-obat seperti

kortikosteroid, antiinflamasi non-steroid (AINS), vasokonstriktor, antihistamin, dan

stabilisator sel mast.(Bartlett et al.,2008).

DAFTAR PUSTAKA

Page 40: Konjungtivitis Alergi

American Academy of Ophtalmology. Clinical approach to immune-related

disorders of the ecxternal eye in External Disease and Cornea. San Fransisco:

American Academy of Ophtalmology; 2008. h205-41.

Bartlett, Jimmy D., Jaanus, Siret D. 2008. Clinical Ocular Phamacology. Edisi 5.

California : Elsevier Health Sciences, h560-573.

Garcia-Ferrer FJ, Schwab IR, Shetlar DJ. 2007. Konjungtiva. Dalam: Whitcher JP, Riordan-

Eva P, editors. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum Edisi 17. Jakarta: EGC; h

97-124.

Grammer, Leslie C. 2009. Patterson’s Allergic Disease. Edisi 7. Philadelphia : Wolters

Kluwer; h 502-505.

Greg M., Peter M. 2011. Classifying and Managing Allergic Conjunctivitis. Medicine

Today. Volume 8, Number 11.

Holland, Edward J. Mannis, Mark J. Lee, W Barry. 2013. Ocular Surface Disease :

Cornea, Conjungtiva and Tear Film. London : Saunders,h91-117.

Ilyas, Sidarta. 1999. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Hal: 2-3, 124, 138-

139.

Ilyas S. Mata merah dengan penglihatan normal. Ilyas S, editor. Dalam: Ilmu Penyakit Mata

Edisi ke-3. Jakarta: FKUI; 2009. h116-46.

Khurana AK. 2010. Diseases of the conjunctiva. Dalam : Khurana AK, editor.

Comprehensive Ophtalmology Fourth Edition. New Delhi: New Age; h51-88.

Krouse, John H., Derebery, M. Jennifer., Chadwick, Stephen J. 2008. Managing The

Allergic Patient. USA : Saunders Elsivier, H145-164.

Bernstein, Jonathan A. 2003. Handbook of Allergic Disorders. Philadelphia :

Lippincott Wiliams & Wilkins, h144-150.

Page 41: Konjungtivitis Alergi

Liesegang T.J., Deutsch T.A., Grand M.G., Basic and clinical science course, Intraocular

inflammation and uveitis Section 9 : The Foundation of the American Academy of

Ophthalmology. San Francisco, 2004: 72.

Riordan-Eva P. 2007. Anatomi dan embriologi mata. Dalam: Whitcher JP, Riordan-Eva P,

editors. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum Edisi 17. Jakarta: EGC; h 1-27.

Schwab IR, Dawson CR. 2000. Konjungtiva dalam: Oftalmologi Umum. Edisi 14. Jakarta:

Widya Medika.

Scott, Olitsky E., Harley, Robison D., Nelson, leonard B. 2005. Harley’s Pediatric

Ophtalmology. Philadelphia : Lippincott William & Wilkins. h211.

Tao, Ailin. Raz, Eyal. 2015. Allergy Bioinformatics. China : Springer. h27-29.

Vaughan, Daniel G., Asbury Taylor, Riordan Eva-Paul. Ofthalmologi Umum. Edisi 14.

Jakarta: Widya Medika ; 2010. h. 5-6, 115

Ventocillia M, Roy H. 2012. Allergic Conjunctivitis.

http://emedicine.medscape.com/article/1191467-overview#a0104. Diunduh pada

tanggal 25 April 2016.

Yanoff, Myron., Duker, Jay S. 2009. Ophthalmology. China : Mosby Elsevier, h237-240.