bab ii tinjauan pustaka 2.1 fashion film 2.1.1 sejarah

24
7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Fashion Film 2.1.1 Sejarah Fashion Film Dalam sejarah awal fashion film, 100 Tears of Fashion Film: Frameworks and Histories, Uhlirova (2013), meneliti penggunaan awal istilah fashion film oleh pers dalam kaitannya dengan tampilan peragaan busana di film Pathe-Freres Newsreels sejak 1911. Selain itu George Meiles memperkenalkan fashion dalam iklan film. Film tersebut mengiklankan korset Mystere dan topi Delion menggunakan penari latar yang ditembak secara terbalik dan dilaporkan diproyeksikan ke jalan-jalan di luar melies theatre Robert-Houdin di Paris sekitar tahun 1898 dan 1900. Pada tahun 1930 fotografer avant-garde dan seniman surialis Man Ray, dibantu oleh model dan fotografer perang Lee Miller, menggunakan proyeksi gambar bergerak pada undangan “stritctly white dress” dan mempertunjukkan pertunjukkan langsung dalam pergaaan busana contemporer. Salah satu fotografer fashion yang disoroti oleh Uhlirova (2013) adalah George Hoyningen-Huene, yang membuat serangkaian film tanpa plot pada awal tahun 1930- an. Fotografer fashion Cecil Beaton tidak hanya bereksperimen dengan film tetapi, juga bekerja sebagai art director, perancang kostum dan perancang produksi pada produksi ikonik Hollywood seperti Gigi (1958) dan My Fair Lady (1964). Menurut Tortora (2015), Fashion Film pertama kali diproduksi oleh seorang desainer Prancis, Pul Poiret, sebagai cara untuk menampilkan kreasinya pada tahun 1900-an. Saat itu fashion film yang dibuat belum seperti yang ada dimasa sekarang.

Upload: others

Post on 25-Nov-2021

3 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Fashion Film

2.1.1 Sejarah Fashion Film

Dalam sejarah awal fashion film, 100 Tears of Fashion Film: Frameworks and

Histories, Uhlirova (2013), meneliti penggunaan awal istilah fashion film oleh pers

dalam kaitannya dengan tampilan peragaan busana di film Pathe-Freres Newsreels

sejak 1911. Selain itu George Meiles memperkenalkan fashion dalam iklan film. Film

tersebut mengiklankan korset Mystere dan topi Delion menggunakan penari latar yang

ditembak secara terbalik dan dilaporkan diproyeksikan ke jalan-jalan di luar melies

theatre Robert-Houdin di Paris sekitar tahun 1898 dan 1900.

Pada tahun 1930 fotografer avant-garde dan seniman surialis Man Ray, dibantu

oleh model dan fotografer perang Lee Miller, menggunakan proyeksi gambar bergerak

pada undangan “stritctly white dress” dan mempertunjukkan pertunjukkan langsung

dalam pergaaan busana contemporer.

Salah satu fotografer fashion yang disoroti oleh Uhlirova (2013) adalah George

Hoyningen-Huene, yang membuat serangkaian film tanpa plot pada awal tahun 1930-

an. Fotografer fashion Cecil Beaton tidak hanya bereksperimen dengan film tetapi,

juga bekerja sebagai art director, perancang kostum dan perancang produksi pada

produksi ikonik Hollywood seperti Gigi (1958) dan My Fair Lady (1964).

Menurut Tortora (2015), Fashion Film pertama kali diproduksi oleh seorang

desainer Prancis, Pul Poiret, sebagai cara untuk menampilkan kreasinya pada tahun

1900-an. Saat itu fashion film yang dibuat belum seperti yang ada dimasa sekarang.

8

Film tersebut tidak memiliki alur cerita dan menampilkan fashionnya dalam warna

hitam dan putih. Secara umum fashion film saat ini lebih baik daripada di masa lalu.

Fashion film saat ini adalah film promosi pendek yang dimaksudkan untuk memberi

tahu khalayak tentang sebuah brand melalui alur cerita.

Meskipun Fashion film didorong oleh distribusi digital online, film itu ada dan

topik utamanya terbentuk sebelum Internet dan masih memiliki eksistensi offline yang

dapat disaksikan di festival, pameran, bioskop, dan pertunjukan (Linden, 2017).

2.1.2 Pengertian Fashion Film

Moving image telah menjadi alat pemasaran utama dalam fashion. Fashion film

adalah studi rinci pertama tentang pergeseran bentuk citra fashion di era digital,

menyelidiki peran moving image dalam promosi, komunikasi, dan tontonan fashion

kontemporer (Ress-Roberts, 2018).

Fashion Film dipahami oleh mereka yang berada dalam industry fashion merujuk

pada produksi video digital konten dan hiburan yang digunakan oleh brand fashion

atau desainer sebagai alat promosi. Fashion Film adalah bentuk komunikasi baru yang

digunakan oleh brand fashion yang merupakan iklan audiovisual, film, film pendek,

klip video dan seni video (Pino et al., 2013) dan merupakan konsekuensi dari cara

khalayak berprilaku diabad ke-21 dalam menanggapi revolusi digital. Film dan fashion

selalu berbagi hubungan simbolis yang mempengaruhi komersial dan budaya.

Sejarawan Adrienne Munich berpendapat bahwa, dari era film paling awal, fashion

sudah menghargai kedekatannya dengan film sebagai cara untuk meningkatkan

visibilitasnya.

9

Brand-brand fashion membuat fashion film dan mempostingnya di media sosial

seperti Youtube, Instagram, Facebook dan situs resmi web mereka. Dengan majunya

fashion film dimasa sekarang, sudah banyak platform digital yang mewadahi fashion

film sebagai konten yang mereka baut. Sebagai contoh diluar negeri terdapat

SHOWstudio. SHOWstudio adalah situs fashion yang berdiri tahun 2000 yang

menyajikan project kreatif di industry fashion. SHOWstudio merupakan pelopor

platform digital fashion film yang bertujuan mendorong fashion untuk terlibat dengan

moving image di era digital.

Saloga & Guerero (2016) menjelaskan secara umum bagaimana perusahaan

fashion memanfaatkan fashion film sebagai cara untuk membangun mereknya di era

digital, yaitu:

1. Fashion film Sebagian besar diproduksi oleh perusahaan fashion mewah

sebagai bentuk pengalaman baru melalui hiburan dan rayuan, sebagai

manifestasi pemasaran berdasarkan pengalaman

2. Fashion film membangun hubungan baru dengan konsumen, lebih dekat dan

lebih intim dariopada startegi komunikasi lainnya, karena memungkinkan

interaktif format digital

3. Storytelling dan serialisasi dalam fashion film adalah beberapa ide yang paling

sering muncul untuk membangun keterlibatan brand

4. Fashion film mencari keseangan setetika, melalui penggunaan keindahan,

keseimbangan, kejutan, dan harmoni sebagai cara untuk mencapai dampak

yang mendalam pada konsumen

10

5. Fashion film mendematerialisasi produk dan membedakannya dari ciri

fisiknya, namun secara paradoks produk fashion juga bisa menjadi elemen

nyata dan subjektif dengan kehidupan dan kepribadiannya sendiri.

2.1.3 Perbedaan Fashion Film dan Fashion dalam Film

Ada perbedaan antara fashion film dan fashion dalam film. Singkatnya, fashion

film menggunakan film sebagai media untuk membingkai secara kreatif dan

mengekspresikan ide-ide artistic yang melekat pada fashion, sedangkan fashion dalam

film lebih banyak menggunakan fashion sebagai ekspresi artistic atau ekspresi

spektakuler untuk yang menarik untuk meningkatkan kualitas kreatif sebuah film (S.

Kim & Ha, 2015). Namun, dalam praktiknya, keduanya saling terkait dan saling

berpengaruh.

Perbedaan lain adalah fashion film memiliki format seperti video yang hanya

berdurasi antara 1-15 menit dan Sebagian besar dapat dilihat secara online. Sedangkan

fashion dalam film tertutama mengacu pada fitur film yang diputar di bioskop. Baik

fashion maupun film terobsesi dengan gerakan, yang kedua ekspresi artistic tersebut

dapat diperkuat melalui penggunaan media lain (Film adalah media yang sempurna

sebagai sarana untuk menampilkan fashion).

2.1.4 Jenis-Jenis Fashion Film

Dalam fashion film terdapat 3 (tiga) kategori konsep diantaranya, Film fiksi

komersial, film documenter, dan film avant-garde (J. Kim & Suh, 2017).

1. Fictional Fashion Film

11

Dalam fashion film fiksi storytellingnya sebagian besar didasarkan pada gaya

Hollywood klasik pada akhir 1910-an hingga 1950-an. Karakteristik dari jenis ini

adalah psikologis para tokoh berperan sebagai penyebab peristiwa tersebut atau

sebagai protagonist pahlawan, dan dicirikan oleh struktur naratif terstruktur dari ending

yang tertutup (penciptaan dan resolusi konflik). Dalam konsep fictional fashion film,

para tokoh secara alami berasimilasi atau tidak terlalu terkespos dalam narasi yang

banyak tetapi sebagian besar memainkan peran penting dalam pengembangan naratif.

2. Avant-Garde Fashion Film

Avant-Garde dapat dipandang sebagai sebuah karya yang eksperimental.

Dalam dunia fashion, avant garde termasuk kedalam style yang ekstrim. Dalam fashion

film, avant-garde menolak standar dan objek objektif menggunakan gaya

eksperimental dan ekspresionis. Konsep ini mengadopsi topik yang sangat tabu dan

menggunakan strategi non-naratif. Penggunaan lensa dan filter distorsi, pencahayaan

yang sangat menyipang dari kehidupan sehari-hari, transisi antara bidikan yang tajam

dan mengejutkan, dan pemisahan gambar dan suara melalui suara yang ekstrim.

3. Documentary Fashion Film

Kebalikan dari film fiksi komersial, dalam film documenter menggunakan

struktur non-naratif yang memuat fakta-fakta obyekif. Film documenter berupaya

menimimalisir campur tangan artfisial, manipulasi, dan distorsi. kamera pada dasarnya

dianggap sebagai mekanisme perekaman daripada media ekspresi. Dalam film ini

creator meghindari sudut yang ekstrim dan mencoba menjaga netralitas dan

transparansi melalui metode ekspresi realistis dengan menggunakan lensa standar,

komposisi dan pencahayaan alami, pengeditan minimal, dan noise alami

12

2.1.5 Bentuk-Bentuk Fashion Film

Mijovic ( 2013) menyatakan bahwa ada tiga bentuk fashion film diantaranya:

1. Conventional Narrative Fashion Film (Fashion Film Naratif Konvensional):

Fashion berperan sebagai symbol aspiratif.

Dalam fashion fotografi di akhir abad ke-20, cara para model berpose didepan

kamera semakin menjadi isyarat akting dalam memerankan karakter. Wardrobe

ditampilkan secara menonjol dalam film naratif dan mendukung karakter yang

memainkan peran mereka dalam narasi. Dalam naratif konvensional tujuan utamanya

adalah untuk menguraikan produk fashion. Dalam Fashion film naratif konvensional

terdapat karakteristik di dalamnya yaitu:

a. Narasi dasar didukung oleh karakter yang ditentukan

b. Produk fashion direpresentasikan dalam narasi dan mendukung karakter

c. Dialog dan narasi yang digariskan mencerminkan kembali produk dan label brand

dimasukkan ke dalam gambar.

2. Organic Narrative Fashion Film (Fashion Film Naratif Organik): Gaya visual

dan system formal dari moving pictures dibangun di sekitar pakaian.

Dalam sinema klasik dan film fashion naratif, semua elemen berada didalam

penceritaan, termasuk sinematografi, pengeditan suara, desain latar dan wardrobe yang

ditampilkan. Dalam fashion film naratif organic, wardrobe atau pakaian mulai

memainkan peran terpenting di dalamnya. Model-modelnya hanya memainkan peran

yang kurang penting dan mungkin hanya terlihat Sebagian. Fashion adalah focus utama

dan narasinya didasarkan pada penampilan pakaian atau wardrobe yang dipakai.

Dalam fashion film naratif organic terdapat karakteristik di dalamnya, yaitu:

13

a. Tidak ada dialog yang disajikan

b. Penggambaran cerita digambarkan dengan music ambience

c. Setiap shot ditampilkan dengan focus utama pada pakaian atau wardrobe yang

dikenakan para model

d. Dengan menyembunyikan karakter, narasi film yang ambigu dibangun secara

ekskulif melalui wardrobe, aksesoris dan riasan wajah.

3. Non-narrative Fashion Film (Fashion Film Non-Naratif): status fashion

sebagai objek desain berada di latar depan.

Dalam fashion film non-naratif, film-film tersebut menggunakaan abstarksi, loop

dan non-naratif lainnya. Dalam fashion film non-naratif terdapat karakteristik di

dalamnya, yaitu:

a. Close-up dari bidikan yang berulang dan bidikan yang diperpanjang pada detail

memungkinkan pakaian tersebut ditampilkan

b. Beberapa bidikan menciptakan bentuk baru dari garmen dan secara keseluruhan

lebih memperhatikan gambar daripada produk itu sendiri

c. Peran peragaan busana telah berubah dengan pengulangan yang tidak ada

habisnya.

2.2 Film Sebagai Medium Komunikasi Massa

Komunikasi massa adalah komunikasi melalui media massa. Media massa yang

digunakan biasanya adalah surat kabar, majalah, radio, televisi dan film. Film

merupakan salah satu kajian ilmiah dalam komunikasi massa. Komunikan dalam

komunikasi sendiri bersifat heteregoen yang dimana bahwa penonton film itu beragam,

14

antara lain pendiidkan, usia, jenis kelamin, status sosial ekonomi, status jabatan, agama

dan kepercayaan yang berbeda (Nurudin, 2013).

Fungsi-fungsi komunikasi massa dipaparkan oleh (Effendy, 2017) disederahanakn

menjadi 4 (empat) yaitu:

1. Menyampaikan Informasi (to inform)

2. Mendidik (to educate)

3. Menghibur ( to entertain)

4. Mempengarhui (to influence)

2.3 Pesan Komunikasi Dalam Fashion Film

Fashion film telah ada sejak lama, seiring perkembangan teknologi proses

penyampaian pesan pun semakin mudah untuk dilakukan. Fashion film memiliki

format Film yang dimana format tersebut merupakan salah satu kajian ilmiah dalam

komunikasi massa. Pesan komunikasi dalam komunikasi massa salah satunya adalah

bersifat Umum atau Publik, yang berarti komunikasi massa sendiri ditunjukkan ke

semua orang dan bersifat terbuka. Sama halnya dengan fashion film.

Fashion film sendiri memiliki beberapa sifat komunikasi yang dipaparkan dalam

jurnal yang ditulis oleh (J. Kim & Suh, 2017) bahwa dalam sifat komunikasi dalam

fashion film dapat terjadi secara one way (satu arah) dan juga interaktif (dua arah)

tergantung dengan bagaimana fashion film tersebut disebarluaskan dan konsep dari

fashion film tersebut. Seiring perkembangan teknologi, proses penayangan fashion

film sendiri dapat disaksikan melalui sosial media dan website yang di dalamnya dapat

15

tercapai sebuah komunikasi interaktif karena terdapat kolom komenar dan pesan

sehingga penontonnya dapat langsung memberikan pesan (feedback).

2.4 Fashion Dalam Komunikasi

Pakaian memiliki banyak fungsi seperti untuk melindungi tubuh dan untuk

memberikan kenyamanan. Lurie, (1981) menjelaskan tujuan pakaian yang paling

menarik adalah untuk berkomunikasi dengan orang lain, hal itu memungkinkan

seseorang untuk mengekspresikan bagian dari diri mereka yang ingin dilihat orang

lain. Fashion adalah perpaduan estetika dan unsur kreatifitas dari masing-masing

individu yang dibuat sebagai bentuk untuk ekspresi dalam pakaian (Candra, 2020)

Seperti halnya bahasa verbal, fashion juga memiliki kekuatan untuk bercerita dan

menyampaikan pesan.

Fashion termasuk kedalam aspek komunikasi. Apa yang dipakai seseorang

adalah cara nonverbal untuk berkomunikasi dengan orang lain dengan cara

mengirimkan pesan konotatif kepada orang disekitar. Fashion sendiri tidak hanya

berfungsi untuk menyampaikan keindahan estetika, tetapi juga nilai-nilai dan pribadi

pemakainya. Saat kita mengenakan pakaian yang dipilih, kita memilihnya karena

mengandung konotasi yang menarik bagi pesan dan maksud yang kita ingin kirim.

Fischer-Mirkin (1995) dalam bukunya yang berjudul Dresscode: Understanding

the Hidden Meanings of Women’s Clothes mengatakan bahwa Tindakan memutuskan

apa yang akan dikenakan pada hari tertentu memiliki dampak yang jauh melampaui

dari sekedar merogoh lemari dan menyusun pakaian, pilihan dibuat berdasarkan

16

dorongan hati atau kalkulasi, pilihan seseorang sangat terbuka entah seserang

menyadari itu atau tidak.

Seseorang dapat menggunakan fashion untuk mempengaruhi audiens. Fashion

kemudian dapat dianalisis sebagai aspek bidang komunikasi strategis seperti

periklanan dan media massa. Dalam era digital, Fashion dan komunikasi bersatu

melalui fashion film yang bertujuan untuk menyampaikan pesan dan emosi kepada

orang lain lewat fashion sendiri.

2.5 Storytelling

Storytelling berasal dari dua kata yang digabung yaitu story yang berarti cerita dan

telling yang berarti penceritaan. Dari penggabungan dua kata tersebut terbentuklah

pengertian storytelling yang berarti penceritaan cerita atau menceritakan cerita.

Storytelling dapat dilakukan secara verbal (perkataan) dan non-verbal (melali tulisan

dan gambar). Ashley Fell yang merupakan Director of Communications dari

perusahaan research Australia McCrindle, dalam presentasinya di TED Talk tahun

2017, ia menjelaskan poin-poin penting untuk membuat sebuah cerita yang baik yang

ia sebut sebagai The 4I’s of Storytelling diantaranya:

1. Interest (Menarik Perhatian)

Sebuah cerita yang baik akan menarik perhatian audiensnya

2. Instruct (Mengintruksikan)

Dalam sebuah cerita yang interesting akan menghasilkan sebuah makna yang

berupa instruksi atau pelajaran yang didapat

3. Involve (Terlibat)

17

Ketika menemukan narasi yang atau cerita yang berhubungan atau melibatkan

seseorang, seseorang itu pasti akan merasakan terlibat dalam cerita tersebut

4. Inspire (Menginspirasi)

Dalam sebuah carita yang baik, makna yang sampaikan dapat menginspirasi

seseorang.

2.5.1 Storytelling dalam Film

Dalam dunia storytelling terdapat istilah Three Act Structure . Dalam buku

Screenplay: Writing the Picture, Russin & Downs (2000) menjelaskan istilah yang

bernama Three Act Structure, yang merupakan pembagian sebuah cerita kedalam tiga

bagian. “Act One, Act Two, and Act Three” merupakan hal yang berbeda dengan

“Awal, Tengah, dan Akhir”, disetiap bagian atau act terdapat perbedaan disetiap

elemennya, yaitu:

1. Act One – The Situation (Situasi)

Berikut ini adalah elemen dan titik plot yang terdapat pada bagian awal yang

berupa: the Opening Balance (Membuka Keseimbangan), an Opening Event

(Pembukaan Acara), a Disturbance (Gangguan), a Major Dramatic Question

(Pertanyaan yang Dramatis), dan a Decision (Keputusan).

a. Opening Balance (Membuka Keseimbangan), Sebagian besar scenario dimulai

dalam keseimbangan. Kehidupan karakter telah mencapai keseimbangan tertentu

yang mana harus diganggu jika akan ada konflik.

18

b. Opening Event (Pembukaan Acara), sebuah pembukaan acara adalah moment

yang unik yang terjadi didalam kehidupan karakternya. Hal itu bisa berupa

insiden yang tidak biasa, acara special atau krisis.

c. The Disturbance (Gangguan), Gangguan adalah titik plot yang menganggu

keseimbangan dan membuat aksi utama bergulir. Kekuatan lawan, protagonist

dan antagonis, dilingkup kedalam situasi yang kaya dengan kemungkinan

konflik.

d. The Major Dramatic Question (Pertanyaan Dramatis), gangguan dan keputusan

protagonist menyebabkan pertanyaan dramatis yang besar. Ini adalah pengait

yang menahan orang-orang di teater atau bisokop selama dua jam karena mereka

ingin tahu jawabannya, atau outcame. Ini bukanlah pernyataan atau tema

keseluruhan dari drama tersebut, tetapi sebuah pertanyaan yang menimbulkan

rasa ingin tahu dan ketegangan.

e. A Decision, jika penonton tahu keputusan seperti apa yang dibuat oleh protagonis

di akhir dan di awal, maka penonton juga dapat memprediksi berapa lama

permulaan itu (inilah mengapa disebut formula: keputusan dibuat tanpa penulis

skenario untuk harus memikirkan mereka)

2. Act Two – The Complications (Komplikasi)

Plot yang terdapat di tengah adalah: Conflict (Konflik), Crises (Krisis), Obstacles

(Rintangan), Complications or Reversals (Komplikasi atau Pembalikan), Rising

Action (Naik Aksi), dan the Protagonist’s ‘Dark Moment’ (‘Momen Kelam’ sang

Protagonis)

19

a. Conflict, Crisis, Obstacles & Complications/Reversals, Pertengahan dari

skenario three-act ini terdiri dari rintangan jalan yang memastikan bahwa

Tindakan protagonist tidak berlayar jelas, karena berlayar jelas adah kematian

dari drama (dan komedi). Sampai klimaks terakhir, selalu ada konflik, krisis,

rintangan dan komplikasi lainnya

b. Rising Action (Naik Aksi), di tengah -tengah screenplay, dunia menjadi tidak

stabil. Ketidakstabilan ini diatur oleh peningkatan aksi yang memmbuat setiap

konflik, krisis, rintangan dan komplikasi menjadi lebih kuat, lebih dramatis dan

lebih penting dari sebelumnya

c. The Dark Moment (Momen Kelam), akhir dari act two terjadi ketika pahlawan

gagal total, misi gagal, kekeuranga dari protagonist telah membuatnya

tersandung dan tujuannya menjadi tidak tercapai. Ini adalah babak dimana

rintangan terakhir yang dimeangkan oleh antagonis dan pertempuran tampaknya

telah berakhir.

3. Act Three – The Conclusion (Kesimpulan)

Pont-poin plot yang terdapat di bagian akhir adalah: Enlightenment

(Pencerahan), Climax (Klimaks, dan Catharsis (Katarsis)

a. Enlightenment (Pencerahan), Awal mula dari act three ada pencerahan.

Pencerahan terjadi Ketika protagonist mengerti bagaimana cara mengalahkan

antagonis. Pencerahan bisa datang dari banyak hal misalnya, Protagonis bisa

bergabung dengan yang lain, mungkin adal hal yang memberi penerangan pada

masalah atau protagonist, dengan jatuh kedalam jurang emosional sampai bisa

melihat kesalahannya sendiri

20

b. Climax (Klimaks), bersamaan dengan ketika mendapat pencerahan, disini

protagonist siap untuk melawan si antagonis. Hasil dari cerita menjadi clear

meskipun harus ada cukup keraguan siapa yang akan menang untuk

mempertahankan ketegangan. Klimaks sendiri dalam formula three-act

screenplay biasanya didefinisikan sebagai momen dimana antagonis kalah

c. Catharsis (Katarsis), setelah klimaks terdapat katarsis. Katarsis adalah

pembersihan terakhir emosi dari karakter, memulihkan dunia untuk

menyeimbangkan dan mengisyaratkan apa yang mungkin akan dibawa di masa

depan. Ada dua persyaratan katarsis. Pertama, tidak boleh berlama-lama setelah

klimaks selesai dan antagonis dikalahkan. Kedua, akhir harus konsisten dengan

awal.

2.5.2 Storytelling dalam Fashion Film

Diane Pernet dalam BOF 2012 mengatakan “apa yang membuat fashion film bagus

adalah apa yang membuat film bagus” jadi intinya untuk mengkomunikasikan,

karakteristik narasi film sama pentingnya dengan potensi ekspresif. Fashion film

adalah video yang dibuat oleh brand fashion dan creator yang berupa konten dari brand

yang diterjemahkan ke dalam moving images. creator membuat narasi brand yang

berputar di sekitar konten utama identitas brand tersebut. karena fashion film sendiri

adalah sinergi tiga Bahasa yang berbeda yaitu: Fashion, Cinema, dan Internet. Tiga

dunia tersebut menemukan sintesis aslinya dalam alat komunikasi baru ini, sehingga

mengahsilkan sesuatu yang unik dan inovatif (Buffo, 2017).

21

Fashion film sudah diakui sebagai strategi baru untuk brand fashion di lingkungan

digital. Fashion film menawarkan lebih dari sekedar storytelling kepada public, karena

storytelling dalam fashion adalah cara terbaik untuk berpikir dan mengenal tentang

desainer dan brand.

Fashion menciptakan narasinya sendiri, dalam kata lain ini adalah tentang pakaian

yang berfungsi secara independent dari karakter dan narasi. Interpretasi sinematik baru

tentang fashion merupakan hasil dari fashion yang meningkatkan peran penting dalam

masyarakat konsumeris modern, memasukkan objek-objek busana ini dengan makna

dan konotasi yang beragam sehingga menjadi kaya akan narasi dan makna dalam

konteks yang berbeda. Ada tiga jenis pilihan naratif dalam fashion film diantaranya;

Telling a Story, Drawing a personality, dan Creating an Atmosphere (Buffo, 2017).

1. Telling a Story (Menceritakan sebuah Cerita)

Telling a Story sendiri sebenarnya adalah narasi merek dengan plot naratif, yang

merupakan salah satu tema utama dan mengungkapkan aspek penting dari identitas

brand Konsep utamanya adalah memilih apa yang dianggap brand sesuai untuk

dikomunikasikan secara tepat. Dalam pilihan ini peristiwa atau situasi dinarasikan

dalam urutan yang logis: perkembangan gambar (pilihan pengeditan) atau voiceover

yang membantu untuk menafsirkan apa yang dilihat.

2. Drawing a Personality (Menggambar Kepribadian)

Drawing a Personality berfokus pada individualitas protagonist ketika ada peristiwa

atau situasi, ini berfungsi untuk menunjukka jalur kepribadian tertentu. Dalam pilihan

ini tidak selalu mengikuti urutan logis yang jelas , tetapi lebih memilih menggunakan

22

aspek-aspek kepribadian dari protagonist untuk menunjukkan aspek khas dari brand

tersebut.

3. Creating an Atmosphere (Menciptakan Suasana)

Dalan pilihan naratif ini, yang menjadi focus narasi adalah suasana hati, yang

umumnya merupakan terjemahan dari gaya brand, yang berarti bahwa sugesti yang

dapat dibuat oleh brand fashion yang dapat dibuat diterjemahkan kedalam kode film.

Dalam suasana yang diciptakan oleh brand, konsumen diajak masuk untuk

membagikannya. Dalam jenis ini, tidak ada urutan kejadian yang berurutan yang

diterjemahkan kedalam konten melalui pengeditan gambar atau voiceover.

Dalam buku Fashion system karangan Roland Barthes membedakan tiga tipe

busana, yakni (1) Image clothing, busana yang ditampilkan sebagai fotografi atau

gambar; (2) Written clothing, busana yang dideskripsiskan secara tertulis atau

ditransfirmasikan ke dalam Bahasa; (3) Real clothing, busana aktual yang dikenakan

pada tubuh manusia atau busana sebagai objek (Barthes, 1990).

Written clothing menjadi tipe yang relevan dalam fashion film karena menjelaskan

bahwa busana bisa bercerita tentang diri sang pemakai. Dalam fashion film, seperti

yang sudah dijelaskan bahwa fashion dapat menciptakan narasinya sendiri karena

memiliki tanda dan pesan yang akan memberikan maknanya sendiri sehingga

storytelling di dalamnya tidak hanya melalui narasi tetapi melalui busana yang

digunakan.

23

2.6 Elemen-Elemen Storytelling dalam Fashion Film

Gambar 1.1 Film Storytelling Eelemnts and Fashion Film Storytelling Elements

Terdapat 3 (tiga) elemen-elemen storytelling dalam fashion film diantaranya ada

Contents (Konten), Forms (Bentuk), dan Communications (Komunikasi).

1. Content (Konten)

Elemen konten dalam fashion film adalah menjelaskan tentang pesan, plot

cerita, dan struktur dalam fashion film.

Struktur dalam fashion film sendiri ada naratif, non-naratif, dan anti-naratif.

2. Forms (Bentuk)

Elemen Bentuk dalam fashion film meliputi bagaimana hal-hal diluar narais

yaitu performance, pakaian, property, warna, lighting, camera movement

position, editing, serta sound yang digunakan dalam fashion film ini.

3. Communications (Komunikasi)

Channel komunikasi dalam fashion film meliputi Mass media, Web site,

Mobile App, dan social media. Metode komunikasinya sendiri bisa berlangusng

one way (satu arah) dan interaktif.

24

2.6.1 Karateristik Storytelling dalam Fashion Film

Fashion film tampil dalam aspek yang dibedakan dari karakteristik storytelling

menurut jenisnya. Fashion film dibagi menjadi 3(tiga) jenis yaitu Fictional fashion

film, Avant garde fashion film, dan Documentary fashion film. Karakteristik

storytellingnya sendiri ditinjau dari elemen-elemen storytelling yaitu segi Content,

Forms, dan Communication (J. Kim & Suh, 2017). Berikut adalah Karakteristik

storytelling dalam fashion film berdasarkan jenis-jenisnya:

1. Fictional Fashion Film

Fictional fashion film mengungkap narasi yang dibangun dengan adanya

sebuah tokoh atau karakter sebagai protagonist yang mirip dengan fitur film

pada umumnya. Unsur-unsur formal seperti pakaian, property, music, dan angle

kamera juga berperan dalam mendukung narasi secara efektif dan berorientasi

pada konten storyteling. Dalam fictional fashion film, narasi yang menarik dan

pengambilan gambar yang kreatif dari sutradara film memiliki pengaruh besar

di dalamnya. Brand fashion secara eksplisit atau diam-diam muncul dalam

produk fashion untuk memberikan peran utama dalam pengembangan naratif

dan produk fashion yang ditampilkan sendiri merangkul dua atribut yaitu

komersial dan seni. Fictional fashion film bercirikan menampilkan ending yang

tertutup yang membatasi partisipasi publik. Namun, karena berbasis media

digital yang dapat diakses kapan saja, dimungkinkan untuk memanipulasi

narasi, dan lebih jauh lagi publik dapat berpartisipasi meskipun bersifat pasif

sehingga dapat dengan mudah dibagikan oleh siapa saja.

25

2. Avant Garde Fashion Film

Avant Garde fashion film bertujuan memperluas kemungkinan intervasi

penonton dengan menggunakan subjek anti-estetika dan social kritis, memiliki

ending yang terbuka dan editing yang sengaja di interupsi. Produk fashion yang

ditampilkan berfungsi sebagai medium yang menimbulkan perlawanan

terhadap adat istiadat dan medium yang menimbulkan wacana social dan

budaya diluar ‘pakaian’, selain itu produk fashion juga digunakan sebagia alat

untuk menciptakan makna dan interpretasi baru diluar nilai komersial. Avant

Garde menampilkan cara bercerita yang berpusat pada bentuk yang tidak

konvensional.

3. Documentary Fashion Film

Documentary fashion film menampilkan keseluruhan proses dari tahap

produksi karya desainer hingga pakaian jadi dan produk fashion sebagai filosofi

estetika desainer. Menampilkan cerita yang berorientasi pada komunikasi

berdasarkan teknologi digital yang berperan penting dalam jenis ini karena

menggunakan penyuntingan sebagai objek dan untuk menggambarkan pakaian

yang bergerak diatas tubuh dengan sangat presisi. Orang-orang yang

bersentuhan langusung dengan documentary fashion film dapat bepartisipasi

dan berkomunikasi secara real time, seperti prosesnya.

2.7 Definisi dan Teori Analisis Naratif

Keraf (2010), menjelaskan bahwa narasi adalah suatu bentuk wacana yang

menggambarkan suatu peristiwa yang telah terjadi dengan sejelas-jelasnya. Singkatnya

adalah narasi berusaha menjawab sebuah pertanyaan “apa yang telah terjadi”. Sobur

26

(2014), menejaskan bahwa narasi pada dasarnya adalah sebuah cerita yang didasarkan

pada suatu peristiwa dimana didalam peristiwa tersebut terdapat tokoh dan tokoh

tersebut mengalami atau menghadapi suatu konflik yang dimana kejadian, tokoh, dan

konfilk tersebut merupakan unsur pokok sebuah narasi.

Secara ringkas Branston & Stafford (2003), mengungkapkan bahwa narasi terdiri

darai empat macam jenis yang dikemukakan oleh beberapa ahli yaitu:

1. Todorov, narasi memiliki alur awal, tengah dan akhir

2. Propp, suatu cerita yang memiliki karakter tokoh

3. Levis-Strauss, Cerita yang memuliki sifat-sifat berlawanan

4. Joseph Campbell, Cerita terkait dengan mitos.

Kesimpulan dari keempat jenis narasi tersebut adalah bahwa pesan yang disampaikan

dalam sebuah cerita melalui narasi merupakan sebuah cara bagaimana cerita tersebut

dalam disampaikan dan dimengerti.

Menurut Sobur (2014), teori naratif berutang banyak pada karya Vladmirir Propp

yang mengungkap dasar kesamaan dari struktur naratif dalam cerita rakyat Rusia.

Dalam teori Propp ia mengungkapkan bahwa dongeng Rusia dapat dipahami dengan

empat prinsip dasar yaitu; fungsi karakter merupakan elemen dongeng yang stabil,

fungsi-fungsi di dalam dongeng terbatas, sekuen-sekuen fungsi tersebut selalu identik,

dan dongen hampir selalu berpegang pada struktur.

Beda dengan Propp, Levi-Strauss (dalam Denzin & Lincolin, 2009) menganalisis

mitos atau cerita dengan oposisi biner (analisis ini meminjam konsep linguistic Roman

Jakobson), system relasi, model sinkronis, dan satuan-satuan baku. Perbedaan lain

27

yaitu Levis-Strauss menganggap cerita (mitos) bersifat paradigmatic dengan dasar

oposisi dan bukan dengan fungsi-fungsi yang bersifat linear (sintagmatis). Dalam teori

naratif terdapat sebuah ketertarikan terutama sebagai hasil dari rangkaian didalam

kajian media. Contohnya adalah TV seri bisa dibedakan secara jelas dengan serial

menggunakan teori naratif. Dalam TV seri terdapat cerita yang dirahasiakan yang

dipotong dalam setiap episode. Sedangkan dalam serial, ceritanya berlanjut tanpa akhir

dari satu episode ke episode selanjutnya.

Sedangkan dalam film, unsur naratif berkaitan dengan aspek cerita atau tema

sebuah film. Setiap cerita memiliki elemen-elemen yaitu; tokoh, konflik, masalah,

lokasi dan waktu. Elemen-elemen tersebut saling berhubungan hingga akhirnya

terbentuk unsur naratif sebuah film. Analisis naratif memiliki beberapa fungsi.

Pertama, analisis naratif membantu peneliti memahami bagaimana makna dan nilai

diproduksi dalam film, dan bagaimana ia disebarkan. Kedua, analisis naratif membantu

peneliti memahami bagaimana kehidupan social dan politik diceritakan dalam

perspektif tertentu. Ketiga, penelitian naratif membantu peneliti memahami makna

dibalik teks. Keempat, analisis naratif mencerminkan kontinuitas dan perubahan

komunikasi.

2.7.1 Struktur Naratif Tzvetan Todorov

Tzvetan Todorov adalah seorang sastrawan dari Bulagira, ia memberikan gambaran

tentang struktur naratif. Menurut Todorov dalam Eriyanto (2014), narasi tidak datar

tetapi terdiri dari tingkatan tertentu. Struktur naratif dari Tzvetan Todorov adalah

tentang bagaimana narasi dalam sebuah cerita dibuat. Dalam teori ini, Todorov

menyebutkan bahwa ada lima tahapan yang karakter akan lalui yaitu:

28

1. Equilibrium (Keseimbangan)

Equilibrium adalah tahapan yang dimulai dalam kondisi yang seimbang atau

damai dimana karakter memiliki kehidupan normal dan melakukan aktivitas

sehari-hari yang dimiliki karakter

2. Disruption (Gangguan Keseimbangan)

Disruption adalah tahap dimana karakter telah mulai mendapat gangguan dalam

hidupnya

3. Recognition (Mengenali Gangguan)

Recognition adalah tahapan dimana karakter telah menyadari dan mengenali

masalah gangguan yang mempengaruhi kehidupan karakter

4. An Attempt Repair the Damage (Upaya Memperbaiki Kerusakan)

Repair the Damage adalah tahap dimana karakter mencoba memperbaiki dan

mengatur seluruh masalah yang terjadi di dalam cerita

5. Equilibrium again (Keseimbangan lagi)

Equilibrium again adalah tahapan dimana karakter telah memperbaiki dan

mengatur semua masalah yang etrjadi dalam ceita dan pada tahap ini, karakter

sedang menjalani kehidupan normal seperti di cerita pertama atau menyesuaikan

situasi baru dalam cerita.

2.8 Penelitian Terdahulu

No. Peneliti dan Judul

Penelitian

Hasil Penelitian Relevansi & Perbedaan

1. Risyani Nurul Haq

Bilqi (2020)

Analisis Narasi

Pada penelitian yang

dilakukan Risyani,

menghasilkan sebuah

Relevansi yang terdapat

dalam penelitian ini adalah

yang akan dikaji oleh peneliti

29

Tzvetan Todorov

Dalam Film

Keluarga Cemara

Sebagai

Komunikasi

Keluarga,

Universitas

Muhammadiyah

Malang (Risyani,

n.d.)

kesimpulan bahwa

narasi mengenai

komunikasi keluarga

disampaikan melalui

para tokoh lewat

dialog seta adegan

dalam film. Bentuk

komunikasi keluarga

telah tercakup dalam

keseluruhan cerita

dalam film Keluarga

Cemara yang

meliputi tahapan

narasi menurut

Tzvetan Todorov

yakni bagian awal,

tengah, dan akhir.

adalah bagaimana

karakteristik storytelling

dalam genre fashion film

yang akan diteliti

menggunakan analisis naratis

Tzvetan Todorov.

Perebdaannya adalah dalam

penelitian yang dilakukan

oleh Risyani, ia

menggunakan 3 bagian alur

film model Tzvetan Todorov,

sedangkan peneliti

menggunakan 5 Stages

Structure Narrative Theory.

2. Nunik Fajar Tri L.

(2016) Narrative

Analysis of Maluku

Conflict in The Film

“Cahaya Dari Timur:

Beta Maluku” Jurnal

Komunikator Vol. B

No. 1 Mei 2016

Universitas

Muhammadiyah

Yogyakarta (Lestari,

2016)

Hasil dalam penelitian ini

adalah berdasarkan 5

tahapan struktur naratif

diketahui bahwa

peristiwa konflik selalu

muncul di setiap tahapan

dan menjadikan narasi

konflik sebagai cerita

latar belakang.

Relevansi yang terdapat

dalam penelitian ini adalah

sama-sama menggunakan 5

Stages Narrative Theory dari

Tzvetan Todorov.

Perbedaannya adalah focus

penelitiannya dimana dalam

penelitian tersenut

membahas konflik,

sedangkan focus penelitian

saya adalah karakteristtik

storytelling.

30

3. Jiye Kim & Seunhee

Suh (2015) The study on

Characteristics of

Stotyrelling by Fashion

Film Categorization,

Fashion Journal Vol.

21, No. 4 pp.1~20, Sept

2017 Sungkyunkwan

University, Korea (J.

Kim & Suh, 2017)

Penelitian ini

menganalisis bagaimana

karakterististik

storytelling berdasarkan

kategorisasi fashion film

antara lain Theatrical

Fashion Film, Avant

Garde, dan Documentary

Relevansin yang terdapat

dalam penelitian ini adalah

sama-sama membahas

tentang karakteristik

storytelling.

Perbedaannya adalah dalam

journal ini membahasa

karakteristik storytelling

berdasarkan kategorisasi

konsep fashion film,

sedangkan saya menjelaskan

karakteristik storytelling

dalam genre fashion film dan

focus pada fashion film

tertentu.

Table 1.1 Penelitian Terdahulu