urgensi penanganan pengungsi/migran ilegal di …

25
408 URGENSI PENANGANAN PENGUNGSI/MIGRAN ILEGAL DI INDONESIA SEBAGAI NEGARA TRANSIT BERDASARKAN KONVENSI TENTANG STATUS PENGUNGSI 1951 (Studi Di Kantor Imigrasi Kota Malang) Herman Suryokumoro, Nurdin, Ikaningtyas Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Email: ninktyas@ubacid Abstract Immigration or refugee was matter that always been exist in human civilization. Since the motive to get better life, free from fear and treat. To response the problems international community through United Nations released Convention 1951 regarding to Status of Refugee. Other hand, Indonesia as transit state provide legal instrument as legal instruction for related institutions in handling illegal immigrant/refugee problems. This article described about Immigration Office at Malang on Handling of Illegal Immigrant/refugee based on Indonesia’s regulation compare to Convention 1951 regarding to status of refugee. Key words: immigrant, refugee, immigrant office at Malang, Covention 1951 Abstrak Pengungsi merupakan suatu persoalan yang akan selalu ada dalam perkembangan peradaban manusia, karena persoalan pengungsi berlatar belakang naluriah manusia untuk mencari kehidupan yang lebih baik, baik dari aspek ekonomi, politik, keamanan dan sebagainya Indonesia sebagai negara yang terletak pada posisi silang dunia menjadi tempat strategis untuk transit para pengungsi, terutama para pengungsi/imigran gelap Di satu pihak dalam konteks internasional telah ada suatu standart dalam memperlakukan pengungsi melalui Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi Artikel ini akan membahas mengenai peran dari Kantor Imigrasi kelas I Malang dalam penanganan imigran gelap/pengungsi dikaitkan dengan Konvensi 1951 tentang status pengungsi Kata kunci: immigran, pengungsi, kantor Imigrasi Kota Malang, Konvensi 1951 Latar Belakang Pengungsi merupakan suatu persoalan yang akan selalu ada dalam peradaban manusia Hal ini sebagai konsekuensi adanya naluriah manusia yang akan selalu mencari kenyamanan dalam hidupnya, dan menghindar dari adanya rasa takut, yang sangat dapat mengancam keselamatan Ancaman itu dapat ditimbulkan oleh faktor alam maupun faktor perbuatan manusia lainnya Yang termasuk ancaman dalam kategori faktor alam adalah bencana alam, sedangkan yang termasuk perbuatan manusia seperti perang, kerusuhan dan sebagainya Dahulu, dorongan utama

Upload: others

Post on 12-Nov-2021

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: URGENSI PENANGANAN PENGUNGSI/MIGRAN ILEGAL DI …

408

URGENSI PENANGANAN PENGUNGSI/MIGRAN ILEGAL DI INDONESIA SEBAGAI NEGARA TRANSIT BERDASARKAN

KONVENSI TENTANG STATUS PENGUNGSI 1951(Studi Di Kantor Imigrasi Kota Malang)

Herman Suryokumoro, Nurdin, Ikaningtyas

Fakultas Hukum Universitas BrawijayaEmail: ninktyas@ub .ac .id

Abstract

Immigration or refugee was matter that always been exist in human civilization. Since the motive to get better life, free from fear and treat. To response the problems international community through United Nations released Convention 1951 regarding to Status of Refugee. Other hand, Indonesia as transit state provide legal instrument as legal instruction for related institutions in handling illegal immigrant/refugee problems. This article described about Immigration Office at Malang on Handling of Illegal Immigrant/refugee based on Indonesia’s regulation compare to Convention 1951 regarding to status of refugee.Key words: immigrant, refugee, immigrant office at Malang, Covention 1951

Abstrak

Pengungsi merupakan suatu persoalan yang akan selalu ada dalam perkembangan peradaban manusia, karena persoalan pengungsi berlatar belakang naluriah manusia untuk mencari kehidupan yang lebih baik, baik dari aspek ekonomi, politik, keamanan dan sebagainya . Indonesia sebagai negara yang terletak pada posisi silang dunia menjadi tempat strategis untuk transit para pengungsi, terutama para pengungsi/imigran gelap . Di satu pihak dalam konteks internasional telah ada suatu standart dalam memperlakukan pengungsi melalui Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi . Artikel ini akan membahas mengenai peran dari Kantor Imigrasi kelas I Malang dalam penanganan imigran gelap/pengungsi dikaitkan dengan Konvensi 1951 tentang status pengungsi .Kata kunci: immigran, pengungsi, kantor Imigrasi Kota Malang, Konvensi 1951

Latar Belakang

Pengungsi merupakan suatu persoalan

yang akan selalu ada dalam peradaban

manusia . Hal ini sebagai konsekuensi adanya

naluriah manusia yang akan selalu mencari

kenyamanan dalam hidupnya, dan menghindar

dari adanya rasa takut, yang sangat dapat

mengancam keselamatan . Ancaman itu dapat

ditimbulkan oleh faktor alam maupun faktor

perbuatan manusia lainnya . Yang termasuk

ancaman dalam kategori faktor alam adalah

bencana alam, sedangkan yang termasuk

perbuatan manusia seperti perang, kerusuhan

dan sebagainya . Dahulu, dorongan utama

Page 2: URGENSI PENANGANAN PENGUNGSI/MIGRAN ILEGAL DI …

409 ARENA HUKUM Volume 6, Nomor 3, Desember 2013, Halaman 290-452

dilakukannya migrasi pada masa itu secara

umum berasal dari naluri alamiah umat

manusia untuk mencari tempat tinggal atau

daerah bermukim yang dapat memberikan

keamanan dan kenyamanan . Sejarah mencatat,

bangsa Canaan (yang sekarang disebut bangsa

Palestina) pernah melakukan migrasi dari Asia

menuju Eropa, demikian juga yang dilakukan

oleh bangsa Romawi di masa kejayaannya

dan bangsa-bangsa lainnya .1

Pengungsian atau perpindahan penduduk

dalam skala besar ini pada awalnya hanya

merupakan persoalan domestik suatu negara .

Kemudian, karena perpindahan penduduk

juga melampui suatu batas negara satu ke

negara lainnya, masalah pengungsi akhirnya

meluas menjadi persoalan negara-negara

di kawasan tertentu dan terakhir dianggap

merupakan masalah bersama umat manusia .2

Persoalan itu pada akhirnya juga menjadi

persoalan yang tidak dapat dihindari oleh

pemerintah Indonesia . Sebagai negara yang

kerap kali menjadi tujuan bagi para pengungsi

untuk mencari perlindungan dan keselamatan

diri .

Posisi Indonesia yang terletak di antara

dua samudra dan dua benua, menjadikan

Indonesia sebagai tempat yang strategis

untuk pergerakan dan juga tempat transit

pengungsi asing asal benua Asia yang ingin

pergi ke Australia . Dalam beberapa tahun

terakhir, sesuai data yang diberikan oleh

lembaga PBB untuk pengungsi atau United

Nations High Commissioner for Refugees

(UNHCR), Indonesia telah menerima banyak

pengungsi asing baru secara signifikan. Per

Maret 2012, kira-kira ada 3,781 pengungsi

asing yang telah terdaftar di Indonesia .3

Pengungsi yang datang tersebut memiliki

latar belakang atau tujuan yang bermacam-

macam . Ada pengungsi yang datang ke

Indonesia karena faktor ekonomi maupun

yang murni untuk mencari keselamatan

hidup . Krisis ekonomi, merosotnya tingkat

kesejahteraan dan keamanan di banyak negara,

dan bertambahnya angka kemiskinan serta

globalisasi dan akses informasi memudahkan

berlangsungnya pengungsian, khususnya yang

dilakukan secara ilegal (gelap) . Terbatasnya

pengamanan perbatasan laut Indonesia

menambah peluang masuknya para pengungsi

gelap ke negara kepulauan yang luas ini .

Para pengungsi yang datang ke Indonesia

karena faktor ekonomi ini biasanya

menginginkan perubahan kehidupan ke

arah yang lebih baik dan berkeinginan

untuk mendapatkan penghasilan yang jauh

lebih besar daripada penghasilan mereka

sebenarnya di negara asal, bahkan tidak jarang

para pengungsi tersebut adalah orang-orang

1 IOM, Buku Petunjuk Bagi Petugas Dalam Rangka Penanganan Kegiatan Penyelundupan Manusia dan Tindak Pidana yang Berkaitan dengan Penyelundupan Manusia, International Organization for Migration (IOM), Jakarta, 2009, hlm .24 .

2 Achmad Romsan, dkk,Pengantar Hukum Pengungsi Internasional: Hukum Internasional dan Prinsip-Prinsip Perlindungan Internasional, Percetakan Sanic Offset, Bandung, 2003, hlm. 3.

3 http://www .iom .org/read/news/2012/07/18/063417844/80-Indonesiadanpengungsi gelap, diakses 22 September 2012 . pukul 09 .15 WIB .

Page 3: URGENSI PENANGANAN PENGUNGSI/MIGRAN ILEGAL DI …

Herman Suryokumoro, Nurdin, Ikaningtyas, Urgensi Penanganan Pengungsi/Migran Ilegal... 410

yang sama sekali tidak memiliki pekerjaan di

negara asal dan bermaksud mencari pekerjaan

di Indonesia dengan cara yang melanggar

hukum . Namun ada juga pengungsi yang

datang ke Indonesia karena terjadi peperangan

di negara asalnya dan para pengungsi tersebut

benar-benar membutuhkan perlindungan

serta mencari keselamatan diri . Misalnya saja

beberapa waktu lalu di Indonesia, sebanyak

193 (seratus sembilan puluh tiga) pengungsi

asal Myanmar dan Bangladesh ditemukan

terdampar di perairan Sabang . Kapal para

pengungsi tersebut ditemukan oleh nelayan

di sekitar Pulau Rondo dan Pulau Seulako,

Sabang, Aceh .4

Terlepas dari latar belakang dan alasan

orang-orang tersebut mengubah status

menjadi pengungsi, sebagai negara yang

menjadi bagian dari dunia internasional dan

sebagai negara yang bermartabat, maka dalam

menghadapi masalah pengungsi, Indonesia

memiliki kewajiban untuk melindungi serta

memberikan penghormatan kepada hak-hak

para pengungsi tersebut sesuai dengan hukum

nasional maupun hukum internasional yang

dianut oleh Indonesia . Sebagai manusia, para

pengungsi tersebut tetap memiliki hak-hak

asasi manusia yang tetap harus dihormati dan

dilindungi oleh negara yang menjadi tempat

mereka untuk mencari perlindungan dan

mendapatkan keselamatan diri . Hal tersebut

telah diatur dalam konvensi 1951 tentang

Status Pengungsi (Text of the 1951 Convention

Relating to the Status of Refugees). Konvensi

yang dibuat di Jenewa pada tanggal 28 Juli

1951 dan kemudian telah diubah ke dalam

Protokol 1967 tentang Status Para Pengungsi

(Protocol Relating to the Status of Refugees

1967) memberikan aturan mengenai status para

pengungsi yang bertujuan untuk melindungi

Hak Asasi Manusia (HAM) bagi pengungsi .

Dalam konvensi tersebut terdapat jenis-jenis

HAM yang perlu dilindungi, yang ditujukan

khusus bagi pengungsi dengan alasan bahwa

kondisi mereka yang khusus atau berbeda

dengan warga negara yang lain yang hidup

sejahtera di tempat mereka berdomisili . Jadi,

Konvensi 1951 mencantumkan daftar hak

yang sangat dibutuhkan oleh pengungsi, di

mana negara pihak (party) wajib memenuhi

kewajiban-kewajiban yang tercantum dalam

konvensi tersebut .5

Proses perpindahan penduduk tersebut

atau lebih dikenal dengan migrasi dapat

dilakukan sesuai prosedur keimigrasian yang

berlaku, maupun secara bertentangan dengan

peraturan keimigrasian . Proses migrasi yang

dilakukan tidak sesuai dengan peraturan

keimigrasian atau migrasi ilegal akan

mengakibatkan ancaman terhadap kedaulatan,

keamanan, kehidupan sosial dan ekonomi,

bahkan juga ancaman terhadap ideologi

suatu bangsa . Belum lagi migrasi ilegal bisa

dihentikan, telah timbul varian baru yang

4 Arip Budiman, Terdampar, 193 Pengungsi Asal Myanmar dan Bangladesh (online),http://www .KabariNews .com/?32484, diakses 22 September 2012 .

5 Majda El Muhtaj, Dimensi-Dimensi HAM, Mengurai Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2008, hlm .290 .

Page 4: URGENSI PENANGANAN PENGUNGSI/MIGRAN ILEGAL DI …

411 ARENA HUKUM Volume 6, Nomor 3, Desember 2013, Halaman 290-452

kini kian mengemuka, yakni penyelundupan manusia (people smuggling), dan perdagangan manusia (human trafficking).6

Proses migrasi suatu kelompok manusia yang melintasi batas-batas negara tersebut merupakan suatu peristiwa hukum yang termasuk dalam definisi hukum internasional publik . hukum internasional dalam hal ini hukum internasional publik merupakan keseluruhan kaidah dan azas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara (hubungan internasional) yang bukan bersifat perdata .7 Berdasarkan pengertian hukum internasional publik tersebut, secara khusus kajian mengenai perpindahan (keluar/masuk) person ke dalam atau ke luar suatu wilayah negara kajian hukum keimigrasian . Hukum Keimigrasian melaksanakan sebagian fungsi dan tugas hukum internasional publik, termasuk perjanjian bilateral tentang bidang lintas batas . Pengertian imigrasi8 mempunyai makna di satu sisi merupakan tindakan masuk ke negara lain untuk tinggal menetap sedangkan sisi lain dari segi kelembagaan mempunyai fungsi dan tujuan yaitu mengatur orang asing yang masuk ke negeri ini . Sisi pertama tersebut menunjuk pada suatu aktivitas manusia, yaitu aktivitas berupa lalu lintas manusia dari suatu negara ke negara lain . Sisi kedua, menunjukkan tata laksana dari suatu organisasi atau instansi yang mengurus lalu lintas manusia antar negara .

Selain itu dalam hukum internasional, migrasi adalah aspek kewarganegaraan

merupakan hak atas perlindungan diplomatik di luar negeri dan ini merupakan atribut yang esensial, dimana negara bertanggung jawab untuk melindungi warganya yang merupakan pencerminan aspek korelatif dan kesetiaan dan perlindungan .

Di Indonesia, organisasi yang mempunyai fungsi keimigrasian tersebut di atas, di diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Imigrasi Departemen Kehakiman RI, yang keberadaannya, tugas pokok serta fungsinya diatur berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 44 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Organisasi Departemen jo Keputusan Presiden RI Nomor 15 Tahun 1984 tentang susunan organisasi Departemen sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Keputusan Presiden RI Nomor 8 Tahun 1991 dan Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor M-PR .0704 Tahun 1991 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Imigrasi di daerah-daerah seluruh Indonesia . Kantor imigrasi yang tersebar di seluruh Indonesia tersebut mempunyai dua klasifikasi, kelas I dan kelas II, kantor imigrasi ini tidak hanya berada di tingkat provinsi tetapi juga tingkat kabupaten/kota .

Untuk Kota Malang sendiri terdapat kantor imigrasi kelas II . Kantor imigrasi ini tentunya mempunyai fungsi strategis dalam mengatur lalu lintas warga negara Indonesia maupun asing yang keluar maupun masuk ke wilayah Indonesia, terutama yang terkait persoalan imigran illegal . Pesisir Malang

6 IOM, Op .Cit .7 Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Bina Cipta, Jakarta, 1976, hlm . 4 .8 WJS . Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1982, hlm . 376 .

Page 5: URGENSI PENANGANAN PENGUNGSI/MIGRAN ILEGAL DI …

Herman Suryokumoro, Nurdin, Ikaningtyas, Urgensi Penanganan Pengungsi/Migran Ilegal... 412

menjadi salah satu pintu penyeberangan imigran secara ilegal, yang bertujuan ke Australia . Terbukti Kepolisian dan Imigrasi Malang kembali menangkap 77 imigran gelap di wilayah pesisir Malang pada awal bulan Juli 2012 . Terdiri dari 14 warga negara Afghanistan, Sudan 2 orang, 34 imigran asal Pakistan, Iran 9 orang dan 18 warga Srilanka . Tujuh orang di antaranya adalah perempuan, empat anak-anak, dan 66 lelaki dewasa .9 Kemudian pada 11 Juli lalu petugas keamanan juga mengamankan sedikitnya 25 imigran yang masuk secara ilegal di Malang . Mereka ditangkap di Singosari, Malang dengan menggunakan dua kendaraan . Selain itu, April silam juga diamankan 43 imigran gelap dari berbagai negara . Mereka ditangkap setelah kapal yang mereka tumpangi terdampar di kawasan Pantai Gedangan .10

Pembahasan

A. Kesesuaian Penanganan Pengungsi/Migran Ilegal Yang Diterapkan Di Kantor Imigrasi Kota Malang Dengan Konvensi Tentang Status Pengungsi 1951

Dalam bab pembahasan ini, peneliti akan menelaah mengenai perlakuan yang diterapkan oleh Kantor Imigrasi Kelas I Kota Malang, terhadap para pengungsi/imigran ilegal . Sebelumnya ada beberapa hal yang akan disampaikan yaitu: peneliti menggabung

antara istilah pengungsi dan imigran ilegal . Hal ini mengingat bahwa Indonesia yang belum meratifikasi Konvensi Wina 1961 tentang status pengungsi, membuat belum adanya standart khusus perlakuan terhadap pengungsi . Sehingga apabila terdapat kasus pengungsi yang terdampar atau diamankan wilayah Indonesia, khususnya di wilayah operasional lingkungan kantor Imigrasi kelas I kota Malang yang digunakan adalah tindakan keimigrasian .

Kantor imigrasi klas I Malang didirikan pada bulan November sekitar tahun 1961, dan mulai beroperasi pada tahun 1962 . Semula kantor Imigrasi Kota Malang ini bertempat di Jalan Bandung No . 28 Malang yang sekaligus sebagai rumah pribadi Kepala Kantor Imigrasi pada saat itu . Kemudian pemerintah memindahkan kantor imigrasi dengan mengadakan bangunan di Jalan Raung No . 2 Malang dengan status tanah sewa milik Pemerintah daerah Kota Malang . Dengan banyaknya kasus serta urusan yang ditangani gedung yang bertempat di Jalan

Raung tersebut ternyata sudah tidak mampu

menampung seluruh aktivitas kantor imigrasi,

sehingga pada tahun 1988 kantor imigrasi kota

Malang berpindah ke Gedung baru berlantai

dua yang berlokasi di Jalan Panji Suroso No .4

Malang .

Kegiatan Kantor imigrasi Klas I kota

Malang lebih berfokus pada kegiatan:

9 http://www .tempo .co/read/news/2012/07/18/063417844/80-Imigran-Gelap-Terdampar-di-Malang, diakses 18 Juli 2012 .

10 http://www.surabayapost.co.id/?mnu=berita&act=view&id=9080e22aa92157ec13f5038e8f626279&jenis=c81e728d9d4c2f636f067f89cc14862c . diakses 18 Juli 2012 .

Page 6: URGENSI PENANGANAN PENGUNGSI/MIGRAN ILEGAL DI …

413 ARENA HUKUM Volume 6, Nomor 3, Desember 2013, Halaman 290-452

a) Pelayanan, seperti Pemberian Surat

Perjalanan Republik Indonesia (SPRI),

pemberian dan perpanjangan izin tinggal

bagi orang asing .

b) Aspek penegakan hukum .

Dalam melaksanakan tugas-tugas keimi-

grasian serta dalam rangka mewujudkan Good

Immigration Services kepada masyarakat

dengan tetap mengedepankan aspek keamanan

dan penegakan hukum yang didukung oleh

SIstem Pengawasan Orang Asing (SISPORA)

yang selama ini berjalan dengan baik . Hal ini

penting, mengingat potensi dan kondisi kota

Malang yang sedemikian besar, keberadaan

kantor Imigrasi Malang perlu didukung oleh

Sumber Daya Manusia yang memadai baik

dari aspek kualitas maupun kuantitasnya .

Adapun wilayah Kerja Kantor Imigrasi

Kota Malang yang meliputi:

1 . Kota Malang

2 . Kota Probolinggo

3 . Kota Pasuruan

4 . Kabupaten Malang

5 . Kabupaten Probolinggo

6 . Kabupaten Pasuruan

7 . Kabupaten Lumajang

8 . Kota Administratif Batu

Berdasarkan susunan organisasi Kantor

Imigrasi Kelas I Malang, adapun tugas

masing-masing bagian adalah sebagai berikut:

1 . Kepala Kantor Imigrasi

Bertugas melaksanakan sebagian tugas

pokok dan fungsi Departemen Kehakiman

dan HAM di bidang keimigrasian di

wilayah yang bersangkutan . Untuk

menyelenggarakan tugas tersebut Kepala

Kantor imigrasi mempunyai fungsi:

a) Melaksanakan tugas keimigrasian

di bidang informasi dan sarana

komunikasi keimigrasian .

b) Melaksanakan tugas keimigrasian di

bidang lalu lintas keimigrasian .

c) Melakasanakan tugas keimigrasian di

bidang status keimigrasian .

d) Melakasanakan tugas keimigrasian di

bidang pengawasan dan penindakan

keimigrasian .

2 . Sub Bagian Tata Usaha

Bertugas melakukan urusan tata usaha

dan rumah tangga Kantor Imigrasi . Dalam

penyelenggaraan tugasnya Kepala Sub

Bagian Tata Usaha mempunyai fungsi:

a) Melakukan urusan kepegawaian

b) Melakukan urusan keuangan

c) Melakukan urusan surat menyurat,

perlengkapan dan rumah tangga

sub bagian tata usaha terdiri dari:

(a) urusan kepegawaian, bertugas

melakukan urusan kepegawaian di

lingkungan kantor imigrasi sesuai

dengan kebijakan yang ditetapkan

oleh Menteri berdasarkan peraturan

perundang-undangan yang berlaku;

(b) urusan keuangan, mempunyai

tugas melakukan urusan keuangan

Kantor Imigrasi berdasarkan

peraturan perundang-undangan

yang berlaku; dan (c) urusan

umum, bertugas melakukan urusan

surat menyurat, perlengkapan dan

Page 7: URGENSI PENANGANAN PENGUNGSI/MIGRAN ILEGAL DI …

Herman Suryokumoro, Nurdin, Ikaningtyas, Urgensi Penanganan Pengungsi/Migran Ilegal... 414

rumah tangga kantor Imigrasi yang

bersangkutan .3 . Seksi Informasi dan Sarana Komunikasi

Keimigrasian Bertugas melakukan penyebaran dan

pemanfaatan informasi serta pengelolaan sarana komunikasi keimigrasian di lingkungan Kantor Imigrasi yang bersangkutan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku . Untuk menyelenggarakan tugasnya seksi informasi dan sarana komunikasi berfungsi antara lain:a) melakukan pengumpulan, penelahaan,

analisis data, evaluasi, penyajian informasi dan penyebarannya untuk penyelidikan keimigrasian .

b) melakukan pemeliharaan, pengamanan, dokumentasi keimigrasian dan penggunaan serta pemeliharaan sarana komunikasi .

Seksi informasi dan Sarana Komunikasi Keimigrasian terdiri dari:a) Sub Seksi Informasi Bertugas melakukan penyebaran dan

pemanfaatan informasi mengenai WNI dan WNA dalam rangka kerja sama tukar menukar informasi untuk pengamanan teknis operasional keimigrasian .

b) Sub Seksi Komunikasi mempunyai tugas melakukan

pemeliharaan dan pengamanan dokumentasi keimigrasian serta melakukan penggunaan dan

pemanfaatan sarana komunikasi .

4 . Seksi Lalu Lintas Keimigrasian

Bertugas melakukan kegiatan

keimigrasian di bidang lalu lintas

keimigrasian di lingkungan kantor

Imigrasi yang bersangkutan berdasarkan

peraturan perundang-undangan yang

berlaku . Untuk menyelenggarakan tugas

tersebut seksi Lalu Lintas keimigrasian

mempunyai fungsi:

a) melakukan pemberian izin di bidang

lintas batas, izin masuk/keluar dan

fasilitas keimigrasian

b) melakukan pemberian dokumen

perjalanan, izin berangkat dan izin

kembali .

Seksi lalu lintas keimigrasian terdiri dari:

a) subseksi Lintas Batas

mempunyai tugas melakukan urusan

perizinan di bidang lalu lintas batas

internasional, melalui wilayah

perbatasan .

b) Subseksi perizinan keimigrasian

bertugas memberikan dokumen

perjalananm izin berangkat, izin

kembali dan izin masuk atau keluar

dalam rangka keluar masuknya orang

melalui pelabuhan pendaratan serta

memberikan fasilitas keimigrasian .

5 . Seksi Status Keimigrasian

Bertugas melakukan persiapan

pelaksanaan penyaringan, penelitian

permohonan alih status dan izin tinggal

keimigrasian, penelitian terhadap

kebenaran bukti-bukti kewarganegaraan

seseorang dan memberikan surat

Page 8: URGENSI PENANGANAN PENGUNGSI/MIGRAN ILEGAL DI …

415 ARENA HUKUM Volume 6, Nomor 3, Desember 2013, Halaman 290-452

keterangan orang asing untuk kelengkapan permohonan pewarganegaraan serta melakukan evaluasi dan menyusun laporan pelaksanaannya .

Seksi Status Keimigrasian ini, terdiri dari:a) Sub seksi penentuan status

keimigrasianb) Sub seksi penelahaan status

keimigrasian6 . Seksi Pengawasan dan Penindakan

Keimigrasian Bertugas melakukan pengawasan dan

penindakan keimigrasian terhadap orang asing di lingkungan kantor Imigrasi yang bersangkutan berdasarkan peraturan perundang-undangan .

Dalam pelaksanaan tugasnya Seksi Pengawasan dan Penindakan Keimigrasian mempunyai fungsi:a) Melakukan pemantauan terhadap

pelanggaran perizinan keimigrasian dan mengadakan kerja sama antar instansi bidang pengawasan orang asing .

b) Melakukan penyidikan dan penindakan terhadap pelanggar keimigrasian .

Seksi Pengawasan dan Penindakan Keimigrasian terdiri dari:a) Sub seksi pengawasan keimigrasian bertugas melakukan pemantauan

terhadap pelanggaran perizinan keimigrasian dan mengadakan kerjasama antar instansi bidang

pengawasan orang asing .

b) Sub seksi penindakan keimigrasian

bertugas melakukan penyidikan

dan penindakan, pencegahan

dan penangkalan, penampungan

sementara dan perawatan orang

asing yang belum dapat dipulangkan,

pemulangan dan pengusiran

(deportasi) terhadap pelanggaran

keimigrasian berdasarkan peraturan

perundang-undangan yang berlaku .

B. Tindakan Keimigrasian Terhadap Pengungsi/Imigran Ilegal Di Kantor Imigrasi Kota Malang

Indonesia merupakan salah satu negara

yang belum melakukan ratifikasi terhadap

Konvensi tahun 1951 tentang Status

Pengungsi, sehingga sampai saat ini belum

ada standart baku mengenai tindakan terhadap

pengungsi . Berdasarkan hasil wawancara

dengan nara sumber, Kasubsi tindakan

keimigrasian di Kantor Imigrasi kelas I

kota Malang, diketahui bahwa untuk kasus

adanya pengungsi yang terdampar ataupun

transit di wilayah lingkungan operasional

kantor Imigrasi Kelas I Kota Malang, maka

yang dilakukan adalah tindakan keimigrasian

berdasarkan peraturan perundang-undangan

yang berlaku .

Dalam rangka menjamin stabilitas dan

kepentingan nasional, keamanan, kedaulatan

negara serta tetap menjamin kemanfaatan orang asing yang lalu lintas melalui wilayah republik Indonesia, keberadaan serta aktivitas orang asing di wilayah Republik Indonesia

Page 9: URGENSI PENANGANAN PENGUNGSI/MIGRAN ILEGAL DI …

Herman Suryokumoro, Nurdin, Ikaningtyas, Urgensi Penanganan Pengungsi/Migran Ilegal... 416

perlu dilakukan pengawasan dan tindakan keimigrasian apabila terjadi pelanggaran . Tindakan keimigrasian ini dilakukan secara tepat, cepat dan teliti serta terkoordinasi tanpa mengabaikan keterbukaan dalam memberikan pelayanan kepada orang asing .

Tindakan keimigrasian adalah tindakan administratife dalam bidang keimigrasian di luar proses peradilan . Dalam pelaksanaan tindakan keimigrasian, untuk menjamin kepastian hukum dan keadilan bagi orang asing yang terkena tindakan keimigrasian . Mengenai tindakan keimigrasian ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1994 tentang Pengawasan Orang Asing dan Tindakan Keimigrasian, antara lain:Pasal 24(1) Tindakan Keimigrasian ditetapkan

dengan keputusan tertulis oleh Pejabat Imigrasi yang berwenang .

(2) Keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada orang asing yang dikenakan tindakan keimigrasian selambat-lambatnya tujuh hari terhitung sejak tanggal penetapan .

(3) Dalam hal tindakan keimigrasian berupa penolakan masuk ke wilayah negara Republik Indonesia, keputusan tindakan keimigrasian oleh Pejabat Imigrasi di Tempat Pemeriksaan Imigrasi dilakukan dengan menerakan tanda penolakan di

paspornya .

Pasal 25

(1) Setiap orang asing yang dikenakan

tindakan keimigrasian dapat mengajukan

keberatan kepada Menteri dalam jangka

waktu tiga hari sejak tanggal diterimanya

Keputusan Tindakan Keimigrasian .

(2) Permohonan keberatan sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) tidak menunda

atau menghalangi pelaksanaan keputusan

tindakan keimigrasian .

Pasal 26

(1) Pengajuan keberatan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 25 dilakukan

oleh orang asing yang bersangkutan atau

wakilnya yang sah .

(2) Wakil yang sah sebagaimana dimaksud

dalam ayat (1) adalah:

a . orang tua atau walinya yang

bertanggung jawab atas orang asing

tersebut;

b . pengusaha atau sponsor yang

bertanggung jawab atas kedatangan

orang asing tersebut di Indonesia;

atau

c . orang lain yang memperoleh kuasa

khusus .

Pasal 27

(1) Pengajuan keberatan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 25 dilakukan

secara tertulis melalui Direktur Jenderal

Imigrasi dengan melampirkan bukti-

bukti yang dapat dipakai sebagai alasan

keberatannya .

(2) Direktur Jenderal Imigrasi selambat-

lambatnya 21 (dua puluh satu) hari

terhitung sejak menerima pengajuan

keberatan sebagaimana dimaksud dalam

ayat (1), menyampaikan keberatan

Page 10: URGENSI PENANGANAN PENGUNGSI/MIGRAN ILEGAL DI …

417 ARENA HUKUM Volume 6, Nomor 3, Desember 2013, Halaman 290-452

tersebut disertai pertimbangan-

pertimbangannya kepada Menteri .

Pasal 28

Menteri memberikan keputusan

selambat-lambatnya 30 (tiga puluh)

hari terhitung sejak tanggal diterimanya

pengajuan keberatan dari Direktur

Jenderal Imigrasi .

Pasal 29

(1) Menteri dalam memberikan keputusan

dapat menolak atau menerima pengajuan

keberatan .

(2) Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud

dalam ayat (1) bersifat final.

Pasal 30

Ketentuan mengenai Pejabat Imigrasi

yang berwenang melakukan tindakan

keimigrasian, tata cara penindakan

keimigrasian, pengajuan dan pemeriksaan

keberatan diatur lebih lanjut dengan

Keputusan Menteri .

Pasal 31

Orang asing dapat ditempatkan di dalam

Karantina Imigrasi dengan alasan-alasan:

a . Berada di wilayah negara Republik

Indonesia tanpa memiliki izin

keimigrasian yang sah;

b . Dalam rangka menunggu proses

pengusiran atau deportasi; atau

c . Dalam rangka menunggu Keputusan

Menteri mengenai pengajuan

keberatan yang dilakukan .

Kemudian Pasal 75 Undang-undang

Nomor 6 Tahun 2011 tentang

Keimigrasian mengatur mengenai

tindakan keimigrasian, adalah sebagai

berikut:

Pasal 75

(1) Pejabat Imigrasi berwenang melakukan

Tindakan Administratif Keimigrasian

terhadap Orang Asing yang berada di

Wilayah Indonesia yang melakukan

kegiatan berbahaya dan patut diduga

membahayakan keamanan dan ketertiban

umum atau tidak menghormati atau tidak

menaati peraturan perundang-undangan .

(2) Tindakan Administratif Keimigrasian

sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dapat berupa:

a . Pencantuman dalam daftar

pencegahan atau penangkalan;

b . Pembatasan, perubahan, atau

pembatalan izin tinggal;

c . Larangan untuk berada di satu atau

beberapa tempat tertentu di Wilayah

Indonesia;

d . Keharusan untuk bertempat tinggal

di suatu tempat tertentu di Wilayah

Indonesia;

e . Pengenaan biaya beban; dan/atau

f . Deportasi dari Wilayah Indonesia .

Kantor Imigrasi Kota Malang yang

mempunyai fungsi pokok untuk melaksanakan

kewenangannya dalam menangani kasus

imigran gelap atau ilegal sesuai peraturan

perundang-undangan yang berlaku . Dari

hasil penelitian yang telah dilakukan, Kantor Imigrasi dalam penanganan imigran ilegal memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan, penyidikan dan mengambil

Page 11: URGENSI PENANGANAN PENGUNGSI/MIGRAN ILEGAL DI …

Herman Suryokumoro, Nurdin, Ikaningtyas, Urgensi Penanganan Pengungsi/Migran Ilegal... 418

tindakan keimigrasian, baik menyangkut izin keberadaannya maupun izin dari kegiatannya selama berada di wilayah republik Indonesia . Kewenangan dari kantor Imigrasi Kota Malang, yaitu:

B.1. Kewenangan Untuk Melakukan Pengawasan

Tindakan ini berupa kegiatan mengumpulkan data, menganalisa dan menentukan apakah sesuatu yang diawasi sesuai dengan standar yang telah ditentukan atau sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku . Pengawasan orang asing meliputi aspek yang menyangkut keberadaannya dan aspek aktivitasnya, yaitu proses kegiatan di bidang keimigrasian yang mengumpulkan data dan informasi, menganalisa dan menentukan keberadaan orang sejak masuknya di wilayah Indonesia serta kegiatannya selama berada di wilayah republik Indonesia . Pengawasan dapat dilakukan dengan cara:a) pengawasan administratif pengawasan yang dilaksanakan dengan

menggunakan data-data administratife yang ada pada instansi yang melakukan pengawasan .

b) pengawasan koordinatif pengawasan yang dilaksanakan oleh

beberapa instansi yang berkaitan dalam pengawasan dengan saling memberi masukan sesuai bidangnya masing-

masing .

c) pengawasan di tempat dengan suatu

operasi lapangan yang dilaksanakan

oleh Imigrasi dan atau bersama dengan

instansi lain yang dilakukan secara

koordinatif .

B.2. Kewenangan Untuk Melakukan Penyidikan

Dalam penyidikan selain polisi negara

Republik Indonesia sebagao penyidik

umum, penyidikan juga dapat dilakukan

oleh Pejabat Imigrasi yang diangkat sebagai

Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil

(PPNS) . PPNS hanya berwenang melakukan

penyidikan terhadap tindakan keimigrasian,

kewenangannya adalah:

a) menerima laporan tentang adanya tindakan

penyalahgunaan visa atau suatu tindakan

yang menyangkut tentang keimigrasian .

b) Memanggil, memeriksa, menggeledah,

menangkap serta menahan seseorang

yang disangka melakukan tindakan yang

menyangkut tentang keimigrasian .

c) Memeriksa dan atau menyita surat-surat,

dokumen-dokumen, surat perjalanan,

atau benda-benda yang ada hubungannya

dengan tindakan keimigrasian .

d) Memanggil orang untuk didengar

keterangannya sebagai saksi .

e) Melakukan pemerikasaan di tempat-tempat

tertentu yang diduga terdapat surat-surat,

dokumen-dokumen, surat perjalanan atau

benda-benda lain yang ada hubungannya

dengan tindakan keimigrasian .

f) Mengambil sidik jari dan gambar/foto

tersangka .

Hasil penyidikan, penyidik imigrasi di

Page 12: URGENSI PENANGANAN PENGUNGSI/MIGRAN ILEGAL DI …

419 ARENA HUKUM Volume 6, Nomor 3, Desember 2013, Halaman 290-452

kirimkan ke Kejaksaan melalui penyidik

Polisi untuk proses selanjutnya .

B.3. Kewenangan Mengambil Tindakan Keimigrasian Dalam Penanganan Imigran Ilegal

Kantor Imigrasi Kelas I Malang

mempunyai kewenangan dalam menindak

persoalan imigran ilegal . Kantor imigrasi dapat

mengambil tindakan keimigrasian terhadap

pelanggaran/penyalahgunaan/ penyimpangan

keimigrasian dibagi atas dua bentuk, yaitu:

a) Melalui Proses Peradilan

Pejabat imigrasi diangkat sebagai PPNS

di bawah koordinasi penyidik POLRI,

dengan kewenangan:

1 . Melarang orang asing berada di suatu

tempat tertentu di Indonesia, atau

mengharuskan orang asing berada

di suatu tempat yang ditentukan di

dalam Wilayah Republik Indonesia .

2 . Mendeportasi orang asing ke luar

wilayah Indonesia

3 . Menempatkan orang asing di

karantina Imigrasi, dalam hal:

I . Berada di wilayah Indonesia

tanpa memiliki izin keimigrasian

yang sah .

II . Dalam rangka menunggu proses

pendeportasian .

III . Dalam rangka menunggu

keputusan menteri atau pengajuan

keberatan yang diajukannya

terhadap tindakan keimigrasian

yang dikenakan terhadapnya .

b) Tindakan keimigrasian

Merupakan tindakan administratif dalam

bidang keimigrasian di luar proses

peradilan, yaitu tindakan yang dikenakan

terhadap orang asing yang melakukan

pelanggaran di bidang keimigrasian

tanpa harus menunggu keputusan dari

proses peradilan .

Berdasarkan data yang diperoleh, faktor-

faktor yang membuat orang asing masuk ke

wilayah Indonesia secara tidak sah (imigran

gelap) dikarenakan adanya situasi politik atau

stabilitas politik di negaranya sudah sangat

tidak kondusif dan mengancam hidupnya,

atau mengganggu dalam pemenuhan

kebutuhan hidupnya . Dalam masalah ini

pihak keimigrasian melakukan penanganan

imigran gelap dengan melakukan karantina

dan deportasi .

Untuk mengetahui ada tidaknya imigran

ilegal, kantor imigrasi melakukan pengawasan

baik dalam hal administratife maupun

pengawasan lapangan sesuai Petunjuk

DirJenim Nomor F-33 .II .01 .10 Tahun 1995

Tentang Tata Cara Pengawasan Orang Asing .

Pengawasan administratife dilakukan melalui

penelitian surat-surat atau dokumen, berupa

pencatatan, pengumpulan, pengolahan data

dan penyajian maupun penyebaran informasi

secara manual dan elektrik, tentang lalu

lintas keberadaan dan aktivitas orang asing .

Pengawasan ini dilakukan sesuai surat perintah

kepada pihak yang ditunjuk untuk melakukan

pemantauan dan pengawasan . Menurut

Page 13: URGENSI PENANGANAN PENGUNGSI/MIGRAN ILEGAL DI …

Herman Suryokumoro, Nurdin, Ikaningtyas, Urgensi Penanganan Pengungsi/Migran Ilegal... 420

petunjuk pelaksanaan yang dilekuarkan

oleh DirJenim menyebutkan bahwa bentuk

pengawasan administratif yaitu:

a) Melakukan penelitian, pemeriksaan setiap

data atau laporan masyarakat tentang

keberadaan dan aktivitas orang asing

sehingga dapat diketahui jika terdapat

pelanggaran keimigrasian .

b) Dalam hal permintaan perpanjangan izin

keimigrasian terlebih dahulu diadakan

penelitian dan pengecekan terhadap

sponsor, bagi sponsor yang dinilai tidak

layak maka permintaan perpanjangan izin

keimigrasiannya ditolak .

c) Setiap pemberian atau penolakan

perpanjangan izin keimigrasian

diberitahukan kepada pihak kepala kantor

Imigrasi yang memberikan pelayanan

sebelumnya .

d) Setiap pemberian perpanjangan izin

keimigrasian dibuat kartu pengawasan .

e) Menyampaikan surat pemberitahuan

kepada sponsor orang asing apabila izin

keimigrasiannya akan berakhir .

Sedangkan, pengawasan lapangan

menurut petunjuk pelaksanaannya meliputi:

a) Hasil evaluasi dari sumber data yang

ada dan laporan instansi dan masyarakat

dijadikan bahan untuk pengawasan

lapangan .

b) Pengawasan dalam mengetahui adanya

orang asing yang melakukan pelanggaran

keimigrasian, juga diketahui berdasarkan

laporan atau informasi masyarakat .

Pengawasan ini juga dilakukan melalui

Sistem Pengawasan Orang Asing

(SIPORA) yang melibatkan masyarakat

melalui RT dan RW .

c) Dalam melakukan pengawasan di

lapangan, setiap petugas harus dilengkapi

dengan surat perintah tugas .

d) Setiap hasil pengawasan di lapangan

dilaporkan secara tertulis .

e) Apabila dianggap perlu, dapat dilakukan

pemanggilan terhadap pihak yang

dianggap mengetahui informasi tentang

orang asing tersebut . Terhadap mereka

dilakukan pemeriksaan yang dituangkan

dalam Berita Acara Interogasi .

f) Apabila patut diduga telah terjadi

pelanggaran terhadap Undang-undang

Keimigrasian dan terdapat bukti

permulaan yang cukup, dapat dilakukan

penyidikan .11

Setelah menerima laporan dari masyarakat

tentang keberadaan imigran ilegal, langkah

selanjutnya adalah penyidikan . Penyelidikan

dilakukan oleh tim yang dibentuk berdasarkan

keputusan Kepala Kantor Imigrasi . PPNS

yang melakukan penyidikan adalah yang

mempunyai kartu tanda penyidik yang

dikeluarkan oleh Dirjen Keimigrasian,

sebelum penyidikan, PPNS harus memberikan

laporan kepada KORWAS tentang mulai dan berkahirnya suatu penyidikan tersebut .12

Dari pemaparan mengenai tindakan penanganan yang dilakukan kantor Imigrasi

11 Hasil wawancara dengan Kasubsi Penindakan, Kantor Imigrasi Kelas I Kota Malang, 7 November 2012 .

Page 14: URGENSI PENANGANAN PENGUNGSI/MIGRAN ILEGAL DI …

421 ARENA HUKUM Volume 6, Nomor 3, Desember 2013, Halaman 290-452

kelas I kota Malang tersebut, jelas bahwa yang dilakukan adalah sebatas tindakan keimigrasian sejauh peraturan perundang-undangan yang mengatur, belum ada pengimplementasian standart perlakuan terhadap pengungsi sebagaimana Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi .

C. Tindakan Terhadap Pengungsi/Imigran Ilegal Berdasarkan Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi

Dalam tinjauan pustaka dijelaskan bahwa Pengertian dari pengungsi adalah seseorang atau sekelompok orang yang meninggalkan suatu wilayah guna menghindari suatu bencana atau musibah . Bencana ini dapat berbentuk banjir, tanah longsor, tsunami, kebakaran, dan lain sebagainya yang diakibatkan oleh alam . Dapat pula bencana yang diakibatkan oleh ulah manusia secara langsung . Misalnya perang, kebocoran nuklir, dan ledakan bom . Sedangkan pengertian dari imigran adalah orang yang dating dari negara lain dan menetap di suatu negara. Terlihat dari definisi istilah pengungsi dan imigran tersebut, bahwa pengungsi merupakan salah satu bentuk dari perpindahan WNA itu sendiri .

Untuk menghindari persamaan perlakuan antara penyelundupan manusia untuk tujuan yang bertentangan dengan hukum dengan pengungsi yang bertujuan lari dari ketakutan dan mencari hidup yang yang lebih baik, penting bagi kita untuk mengetahui standart perlakuan terhadap pengungsi

berdasarkan konvensi Tahun 1951 tentang Status Pengungsi . Selama ini masyarakat kita menyamakan antara pengungsi dengan imigran ilegal . Tentunya ini menjadikan image negative bagi para pengungsi itu sendiri .

Kendala yang dihadapi oleh para pengungsi untuk memperoleh perlakuan yang layak di negara tujuan ataupun negara transit adalah banyaknya negara yang belum menjadi peserta Konvensi tentang Status Pengungsi 1951 (Text of the 1951 Convention Relating to the Status of Refugees) dan Protokol 1967 tentang Status Para Pengungsi (Protocol Relating to the Status of Refugees 1967) . Sehingga tidak jarang kehadiran pengungsi di negara persinggahan (transit) atau negara tujuan, dipulangkan secara paksa . Perlakuan seperti itu jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum internasional yang telah diakui oleh negara-negara beradab . Kewajiban internasional yang melekat kepada setiap negara yang menganggap mereka adalah bagian masyarakat internasional, terlepas apakah negara itu menjadi anggota dari organisasi-organisasi internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), anggota organisasi internasional lainnya, ataupun peserta atau bukan peserta dari sebuah konvensi internasional untuk memperlakukan

para pengungsi secara manusiawi .13 Dengan

kata lain bahwa Konvensi tentang Status

Pengungsi Tahun 1951 ini merupakan standar

perlakuan yang berperikemanusiaan untuk

diterapkan kepada pengungsi dan untuk

12 Ibid .13 Achmad Romsan, dkk ., Op . Cit ., hlm . 141 .

Page 15: URGENSI PENANGANAN PENGUNGSI/MIGRAN ILEGAL DI …

Herman Suryokumoro, Nurdin, Ikaningtyas, Urgensi Penanganan Pengungsi/Migran Ilegal... 422

memberikan perlindungan akan Hak Asasi

Manusia kepada pengungsi . Oleh karena itu,

sebagai bagian dari masyarakat internasional,

maka seluruh negara wajib menjunjung tinggi

standar perlindungan pengungsi yang kini

menjadi bagian dari hukum internasional

tersebut . Tidak ada seorangpun pengungsi

yang dapat dikembalikan ke wilayah atau

negara di mana hidup atau kebebasannya

terancam . Hal ini berarti secara efektif bahwa

tak seorangpun pengungsi yang boleh ditolak

untuk masuk ke negara di mana dia mencari

perlindungan .

Konvensi Mengenai Status Pengungsi

tahun 1951 (Text of the 1951 Convention

Relating to the Status of Refugees) dibuat

di Jenewa pada tanggal 28 Juli 1951 dan

kemudian telah diubah ke dalam Protokol

1967 tentang Status Para Pengungsi (Protocol

Relating to the Status of Refugees 1967) .

Alasan dihadirkannya Konvensi 1951 oleh

PBB oleh karena agar setiap negara dapat

bertanggung jawab dan menjamin agar

hak warganya dihormati, oleh karenanya

perlindungan internasional hanya diperlukan

jika perlindungan nasional tidak diberikan

atau tidak ada . Pada saat itu, tanggung jawab

utama untuk memberikan perlindungan

internasional terletak pada negara dimana

individu mencari suaka .

Setiap negara mempunyai tugas umum

untuk memberikan perlindungan internasional

sebagai kewajiban yang dilandasi hukum

internasional, termasuk hukum hak asasi

internasional dan hukum kebiasaan

internasional . Jadi negara-negara yang

menjadi peserta/penandatangan Konvensi

1951 mengenai status pengungsi dan/atau

Protokol 1967 mempunyai kewajiban-

kewajiban seperti yang tertera dalam

perangkat-perangkat hukum yang diatur dalam

Konvensi 1951 (tentang kerangka hukum bagi

perlindungan pengungsi dan pencari suaka) .

Pemerintah belum melakukan upaya ratifikasi

atau dengan kata lain Indonesia belum menjadi

negara pihak (party) dari Konvensi tersebut .

Konvensi ini mensyaratkan kepada negara

pihak (party) untuk menerapkan standar

Hak Asasi Manusia (HAM) internasional

terhadap pengungsi dan mempertimbangkan

hak-hak khusus lainnya yang mencerminkan

hilangnya perlindungan pengungsi dari

pemerintah negara asal mereka . Hak-hak

tersebut termasuk:14

1 . Hak untuk tidak dipulangkan dengan

paksa (refouled) ke negara di mana para

pengungsi tersebut mempunyai alasan

ketakutan mendapatkan penganiayaan

(Pasal 33);

Pasal ini merupakan prinsip dasar yang

terkandung dalam Konvensi Mengenai

Status Pengungsi tahun 1951 (Text of the

1951 Convention Relating to the Status

of Refugees) dan merupakan hak utama

yang harus diberikan oleh negara pihak

(party) kepada pengungsi yang berada

dalam wilayah negaranya, apalagi jika

sangat jelas diketahui oleh pemerintah

14 UNHCR, Penandatanganan Dapat Membuat Seluruh Perbedaan, Swiss, UNHCR, 2009, hlm . 8 .

Page 16: URGENSI PENANGANAN PENGUNGSI/MIGRAN ILEGAL DI …

423 ARENA HUKUM Volume 6, Nomor 3, Desember 2013, Halaman 290-452

negara pihak (party) bahwa pengungsi

tersebut mengalami ketakutan yang amat

sangat atau pengancaman terhadap diri

mereka jika dikembalikan (dipulangkan)

ke negara asal .

2 . Hak untuk tidak mengalami pengusiran,

kecuali dalam keadaan tertentu yang

sangat jelas (Pasal 32);

Pasal ini memberikan ketentuan bahwa

tidak seorang pun dari para pengungsi di

suatu wilayah dari negara pihak yang boleh

diusir dari wilayah negara tersebut, kecuali

apabila jelas diketahui bahwa pengungsi

tersebut termasuk dalam golongan orang-

orang yang telah melakukan kejahatan

terhadap perdamaian, kejahatan perang,

kejahatan terhadap kemanusiaan, atau

kejahatan non-politik yang serius di luar

negara suakanya, dan orang-orang yang

terbukti menyalahi tujuan dan prinsip

PBB .15 Orang-orang dengan kriteria

seperti itu tidak berhak untuk mendapatkan

perlindungan internasional .

3 . Pengecualian dari hukuman atas

penyusupan secara ilegal ke negara pihak

(party) dari Konvensi ini (Pasal 31);

Pasal ini memberikan ketentuan bahwa

suatu negara pihak (party) tidak dapat

menjatuhkan sanksi pidana kepada para

pengungsi yang masuk ke dalam wilayah

negaranya dengan alasan bahwa para

pengungsi tersebut telah masuk ke dalam

wilayah negara secara melanggar hukum

(ilegal) .

4 . Hak untuk bekerja (Pasal 17); Pasal ini memberikan ketentuan

bahwa suatu negara pihak (party) yang menerima kedatangan pengungsi tersebut mengupayakan pekerjaan bagi para pengungsi guna mendidik mereka untuk berusaha hidup mandiri . Sedangkan bagi Pengungsi Anak (Children Refugee) tidak dibebani suatu kewajiban untuk bekerja dan mencari nafkah . Sehingga hak untuk bekerja ini tidak termasuk suatu hak yang harus diterima oleh para Pengungsi Anak (Children Refugee) .

5 . Hak untuk mempunyai rumah (Pasal 21); Pasal ini memberikan suatu ketentuan

bahwa sebisa mungkin negara pihak (party) memberikan tempat tinggal yang layak bagi para pengungsi . Tempat tinggal atau kamp pengungsi tersebut harus berada dalam kondisi yang aman dan jauh dari segala bahaya yang dapat mengganggu kehidupan para pengungsi dan .

6 . Hak untuk memperoleh pendidikan (Pasal 22);

Pasal ini memberikan ketentuan bagi negara pihak (party) untuk memberikan hak pendidikan bagi para pengungsi, terutama Pengungsi Anak (Children Refugee) yang masih membutuhkan pendidikan . Akses kepada sarana atau fasilitas pendidikan bagi para pengungsi dan Pengungsi Anak (Children Refugee) tidak boleh dibedakan dengan warga negara dan/atau anak-anak dari dalam

negara penerima tersebut .

15 Ibid ., hlm . 9 .

Page 17: URGENSI PENANGANAN PENGUNGSI/MIGRAN ILEGAL DI …

Herman Suryokumoro, Nurdin, Ikaningtyas, Urgensi Penanganan Pengungsi/Migran Ilegal... 424

7 . Hak untuk memperoleh bantuan umum

(Pasal 23);

Pasal ini memberikan ketentuan kepada

negara pihak (party) untuk senantiasa

memberikan bantuan kepada para

pengungsi dalam bentuk apapun yang

mereka butuhkan . Sebisa mungkin

pemerintah dari negara tersebut

memberikan segala fasilitas yang

dibutuhkan oleh para pengungsi dan

menghindarkan mereka dari kesulitan

selama mereka berada di wilayahnya .

8 . Hak untuk kebebasan beragama (Pasal 4);

Pasal ini merupakan ketentuan yang harus

dipatuhi oleh negara pihak (party) untuk

memberikan penghormatan kepada para

pengungsi untuk menjalankan seluruh

perintah agama yang diyakininya dan

memberikan kebebasan bagi mereka untuk

menjalankan agama yang dianutnya .

9 . Hak untuk memperoleh pelayanan hukum

(Pasal 16);

Pasal ini memberikan ketentuan kepada

negara pihak (party) untuk memberikan

akses kepada para pengungsi yang

membutuhkan bantuan hukum dan

mempermudah akses mereka kepada

pengadilan-pengadilan yang terkait .10 . Kebebasan bergerak di dalam wilayah

negara (Pasal 26); Pasal ini memberikan ketentuan bagi

negara pihak (party) untuk memberikan kebebasan bagi para pengungsi untuk

bergerak di dalam wilayah negara tersebut . Pemerintah dari negara penerima tidak boleh menempatkan mereka di dalam satu wilayah tertentu, sehingga mereka tidak memiliki kesempatan untuk berpindah dan mencapai akses-akses yang mereka butuhkan .

11 . Hak untuk mendapatkan kartu identitas (Pasal 27);

Pasal ini memberikan ketentuan bagi negara pihak (party) untuk memberikan suatu identitas bagi para pengungsi , sehingga mereka tidak dianggap sebagai orang-orang tanpa kewarganegaraan (stateless persons).

12 . Hak untuk mendapatkan dokumen perjalanan (Pasal 28) .

Pasal ini memberikan ketentuan bagi negara pihak (party) untuk memberikan surat-surat atau dokumen perjalanan yang dibutuhkan oleh para pengungsi apabila mereka ingin meninggalkan negara yang menerima mereka untuk melanjutkan ke negara yang lain atau untuk kembali ke negara asal mereka .Adapun yang kewajiban daripada negara

yang telah menjadi pihak konvensi 1951 tentang status pengungsi adalah sebagai

berikut16:

negara-negara peserta Konvensi tidak

boleh memperlakukan pengungsi berdasarkan

politik diskriminasi baik yang berkenaan

dengan ras, agama atau negara asal maupun

warna kulit dan mereka mempunyai kebebasan

16 Sukanda Husin, UNHCR dan Perlindungan Hak Azasi Manusia, Jurnal Hukum, No . 7 Th .V/1998, Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, 1998, hlm . 32 .

Page 18: URGENSI PENANGANAN PENGUNGSI/MIGRAN ILEGAL DI …

425 ARENA HUKUM Volume 6, Nomor 3, Desember 2013, Halaman 290-452

untuk menjalankan agamanya serta kebebasan

bagi pendidikan anak-anak mereka ditempat

mana mereka ditampung (Pasal 3 dan 4) . Ini

merupakan hak non-diskriminasi .

Selain dari hak-hak pengungsi yang

disebutkan di atas, Konvensi juga telah

menggariskan kewajiban pengungsi

sebagaimana tercantum dalam Pasal 2

Konvensi .

“Every refugee has duties to the country

in which he finds himself, wihch require in

particular that he conform to its laws and

regulations as well as to measures taken for

maintenance of public order.”

Berdasarkan Pasal 2 di atas setiap

pengungsi berkewajiban untuk mematuhi

semua hukum dan peraturan atau ketentuan-

ketentuan untuk menciptakan ketertiban

umum di negara dimana dia ditempatkan .

Prinsip yang paling mendasar dari Konvensi

ini adalah prinsip non-refoulement, yaitu

pengungsi memiliki hak asasi untuk tidak

dikembalikan secara paksa bila pemulangan itu

akan memunculkan ancaman bagi kehidupan,

keamanan, atau kebebasan mereka . Sehingga

jaminan keamanan merupakan hak pengungsi

yang harus dipenuhi oleh pemerintah . Prinsip

non-refoulement ini terdapat dalam Pasal 33

dan merupakan prinsip paling pokok yang

harus dipenuhi oleh negara pihak (party) .

Konvensi 1951 memberikan ketentuan

mengenai Hak Asasi Manusia (HAM) yang

harus diberikan kepada pengungsi, yaitu

bahwa pengungsi memiliki hak asasi atas

kewarganegaraan . Sebagai warga negara,

maka pengungsi memiliki hak-hak yang tidak

ada kurangnya dengan warga negara yang lain

yang tidak mengalami nasib yang sama dengan

para pengungsi tersebut . Kondisi mengungsi

tidak boleh menyebabkan seseorang merasa

tersingkirkan atau merasa dikucilkan dari

lingkungannya dan pengungsi memiliki hak

asasi untuk hidup . Ini merupakan hak yang

paling mendasar . Jaminan kesehatan yang

baik dan dapat diakses secara murah dan

bermutu merupakan bentuk perlindungan atas

hak hidup pengungsi . Hal tersebut merupakan

prinsip dasar yang terdapat dalam Konvensi

Tahun 1951 dan merupakan bagian dari Hak

Dasar Anak yang harus diberikan kepada

para Pengungsi Anak (Children Refugee) oleh

siapa pun, termasuk kepada negara-negara

pihak (parties) dari Konvensi 1951 ini .

Berdasarkan Pasal 14 ayat (1) Universal

Declaration of Human Right 1948 (Deklarasi

Universal HAM), setiap orang memiliki hak

untuk mencari dan menikmati suaka dari negara

lain karena takut akan penyiksaan . Setiap

pencari suaka-pun memiliki hak untuk tidak

diusir atau dikembalikan secara paksa apabila

mereka telah tiba di suatu negara dengan cara

yang tidak lazim . Prinsip ini kemudian dikenal

sebagai non refoulement.

Pasal 33 ayat (1) Konvensi tentang

Status Pengungsi 1951 menyebutkan

bahwa negara-negara peserta Konvensi

ini tidak diperbolehkan untuk mengusir

ataupun mengembalikan pengungsi dalam

bentuk apapun ke luar wilayahnya dimana

keselamatan dan kebebasan mereka terancam

Page 19: URGENSI PENANGANAN PENGUNGSI/MIGRAN ILEGAL DI …

Herman Suryokumoro, Nurdin, Ikaningtyas, Urgensi Penanganan Pengungsi/Migran Ilegal... 426

karena alasan ras, agama, kebangsaan,

keanggotaan pada kelompok sosial ataupun

pandangan politiknya17, selain itu definisi

yang hampir sama dikemukakan oleh Michelle

Foster:

“The key protection in the Refugee

Convention is non-refoulement, the obligation

on states not to return a refugee to place in

which he will face the risk of being persecuted”

(inti dari perlindungan terhadap pengungsi

adalah negara berkewajiban untuk tidak

memulangkan para pengungsi ke negara asal

dimana keselamatan mereka terancam karena

adanya penyiksaan)18.

Prinsip non refoulement ini tidak hanya

terdapat pada Konvensi 1951, namun juga

tercantum secara implisit maupun eksplisit

pada Konvensi Anti Penyiksaan (Convention

Against Torture) Pasal 3, Konvensi Jenewa

IV (Fourth Geneva Convention) Tahun

1949 pada Pasal 45 paragraf 4, pada

Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan

Politik (International Covenant on Civil

and Political Rights) 1966 Pasal 13, dan

instrumen-instrumen HAM lainnya . Untuk

Konvensi Anti Penyiksaan (Convention

Against Torture) Pasal 3, Konvensi Jenewa

IV (Fourth Geneva Convention) Tahun

1949 dan Kovenan Internasional Hak-Hak

Sipil dan Politik (International Covenant on

Civil and Political Rights) 1966, Indonesia telah menjadi pihak dengan meratifikasi dan mengadopsinya dalam peraturan perundang-undangan Republik Indonesia, sehingga walaupun Indonesia belum meratifikasi Konvensi 1951 tentang status pengungsi Indonesia mempunyai kewajiban hukum untuk menjalankan prinsip non refoulement berdasarkan regulasi internasional tersebut di atas .

Prinsip inipun telah diakui sebagai bagian dari hukum kebiasaan internasional (international customary law). Dalam arti, negara yang belum menjadi pihak (state parties) dari Konvensi Pengungsi 1951 pun harus menghormati prinsip non refoulement ini . Prinsip utama yang melatar belakangi perlindungan internasional bagi pengungsi, perangkat-perangkat kuncinya adalah Konvensi 1951 dan Protokol 196719, ketentuan-ketentuan yang tercakup di dalamnya termasuk:a) Larangan untuk memulangkan

pengungsi dan pencari suaka yang beresiko menghadapi penganiayaan saat dipulangkan (prinsip non-refoulement) .

b) Persyaratan untuk memperlakukan semua pengungsi dengan cara yang non diskriminatif .

c) Standar perlakuan terhadap pengungsi .d) Kewajiban pengungsi kepada negara

tempatnya suaka .

17 Sulaiman Hamid, Lembaga Suaka dalam Hukum Internasional, Rajawali Pers, Jakarta, 2002,hlm . 96 .18 Michelle Foster, Protection Elsewhere: the Legal Implications of Requiring Refugees to seek Protection

in Another State, Michigan Journal ofInternational Law, Volume 28:223, 2007,hlm . 226 .19 UNHCR, Pengenalan Tentang Perlindungan Internasional, Melindungi Orang-Orang Yang Menjadi

Perhatian UNHCR, Swiss, 2009, hlm . 39 .

Page 20: URGENSI PENANGANAN PENGUNGSI/MIGRAN ILEGAL DI …

427 ARENA HUKUM Volume 6, Nomor 3, Desember 2013, Halaman 290-452

e) tugas negara untuk bekerja sama dengan

UNHCR dalam melaksanakan fungsi-

fungsinya .

Namun lebih spesifik lagi yang dimaksud

dengan prinsip non-refoulement (larangan

pengusiran dan pengembalian) adalah:

a) Melarang pengembalian pengungsi

dengan cara apapun ke negara atau wilayah

dimana hidup atau kebebasannya terancam

dikarenakan ras, agama, kebangsaan,

keanggotaan dalam kelompok sosial

tertentu atau pendapat politiknya .

b) Pengecualian hanya dapat dilakukan jika

pengungsi yang bersangkutan merupakan

ancaman bagi keamanan nasional atau

yang bersangkutan telah dijatuhi hukuman

atas kejahatan yang serius, berbahaya

bagi masyarakat namun tidak berlaku

jika individu tersebut menghadapi resiko

penyiksaan atau perlakuan atau hukuman

yang kejam, tidak manusiawi atau

menghinakan .

c) Sebagai bagian dari hukum adat dan

traktat, prinsip dasar ini mengikat semua

negara .

negara sebagai subyek hukum

internasional dan sebagai anggota masyarakat

internasional sudah tentu harus menghormati

dan melaksanakan bukan saja aturan hukum

kebiasaan internasional (rules of customary

international law) yang sudah merupakan

aturan-aturan hukum yang sudah diterima oleh

masyarakat internasional secara luas, tetapi

juga prinsip-prinsip hukum internasional

yang tersusun dalam instrumen-instrumen

internasional di mana negara tersebut menjadi

pihak .

Aturan-aturan hukum kebiasaan

internasional tersebut merupakan praktek

praktek umum yang sudah diterima oleh semua

negara sebagai hukum yang hampir semuanya

terdiri dari elenen-elemen yang bersifat

konstitutif20 . Praktek-praktek negara tersebut

bersifat tetap dan seragam dan membentuk

suatu kebiasaan . Praktek-praktek tersebut

telah meningkat pelaksanaannya secara

universal karena banyak negara lagi yang

telah menggunakannya sebagai kebiasaan

seperti halnya prinsip non refoulement.

Dalam dua tahun terakhir ini jumlah

pengungsi lintas negara atau refugee

(selanjutnya pengungsi) dan pencari suaka/

asylum seeker di Indonesia meningkat tajam .

Menurut laporan UNHCR, tahun ini ada

sekitar 4 .000 pengungsi dan pencari suaka di

Indonesia . Sebagian besar karena terdampar

atau ditangkap oleh aparat keamanan

Indonesia di wilayah kedaulatan Pemerintah

Indonesia . Mereka berasal dari negara-negara

yang sedang dilanda krisis, seperti Afganistan,

Sri Lanka, Irak, dan Myanmar .21

Untuk memperlakukan pengungsi secara

adil, perlu adanya perubahan perilaku dan

kebijakan . Perubahan perilaku yang paling

20 21 Adrianus Suyadi, http://internasional .kompas .com/read/2010/06/21/0953469/Pengungsi .Bukan .Imigran .

Gelap, diakses 20 Oktober 2012 .

Page 21: URGENSI PENANGANAN PENGUNGSI/MIGRAN ILEGAL DI …

Herman Suryokumoro, Nurdin, Ikaningtyas, Urgensi Penanganan Pengungsi/Migran Ilegal... 428

sederhana misalnya mengubah cara pandang

pengungsi sebagai orang yang harus dilindungi

hak-haknya dan tidak menyebut mereka

sebagai imigran gelap . Agar perubahan

perilaku ini menjadi efisien dan efektif,

perlu ada perubahan kebijakan Pemerintah

Indonesia . Pemerintah Indonesia hendaknya

segera menandatangani dan meratifikasi

Konvensi Geneva 1951 dan Protokol 1967 .

Sebenarnya sebagai negara tujuan dari

para pengungsi, walaupun Indonesia belum

meratifikasi Konvensi Geneva 1951 dan

Protokol 1967, Indonesia telah mempunyai

pengalaman dalam penanganan yang baik

terhadap pengungsi Vietnam pada tahun 1975 .

Pengungsi Vietnam yang lebih dikenal dengan

sebutan “manusia perahu” ini menjadikan

Indonesia sebagai negara tujuan . Indonesia

menerima mereka tanpa bantuan dari UNHCR .

Perkembangan meningkatnya jumlah manusia

perahu mendorong PBB melalui UNHCR

untuk menyelenggarakan Konferensi

Internasional mengenai pengungsi Vietnam di

Jenewa pada tahun 1979 . Hasil dari Konvensi

tersebut antara lain bahwa semua manusia

perahu mendapat status sebagai pengungsi .

negara yang menjadi tujuan manusia perahu

di harap menampung sementara manusia

perahu sampai mereka dimukimkan di negara

ketiga . PBB meminta agar negara-negara

mengusahakan keberangkatan mereka ke

negara ketiga secepatnya . Konferensi terhadap

dihadiri juga oleh perwakilan dari pemerintah

Indonesia . Hal ini jelas menunjukkan bahwa

Indonesia memiliki kepedulian tinggi dalam

menangani pengungsi Vietnam . Hal tersebut

tetap dilakukan walaupun Indonesia bukan

merupakan negara pihak dari Konvensi

Geneva 1951 dan Protokol 1967 . Selanjutnya

selama 20 tahun Indonesia membantu

pengungsi Vietnam dengan menyediakan

tempat penampungan dan membantu repatriasi

mereka yang sepenuhnya ditentukan oleh

UNHCR .22 Sayangnya pengalaman pengungsi

tersebut tidak dilanjutkan dengan penentuan

standart penanganan pengungsi di wilayah

Republik Indonesia dimana Direktorat

Jenderal Keimigrasian menjadi pintu awalnya .

Dari pembahasan di atas dapat diketahui

bahwa penanganan terhadap pengungsi di

Indonesia masih sebatas penegakan peraturan

keimigrasian untuk menjaga kepentingan

Indonesia saja, sehingga substansi dan teknis

penanganan terhadap pengungsi masih

terbatas bahkan serupa pada penanganan

terhadap imigran gelap . Sebagai negara

kepulauan yang letaknya sangat strategis, dan

tak jarang menjadi tempat singgah (transit)

bagi para imigran dengan berbagai tujuan,

seharusnya pemerintah Indonesia hendaknya

segera menandatangani dan meratifikasi

Konvensi Geneva 1951 dan Protokol 1967 .

Konvensi Geneva 1951 dan Protokol 1967

secara substansial menempatkan perlindungan

dan jaminan Hak Asasi Manusia pengungsi

lebih utama, dengan tidak mengesampingkan

22 Wagiman, Hukum Pengungsi Internasional, Jakarta, Sinar Grafika, 2012, hlm. 167-169.

Page 22: URGENSI PENANGANAN PENGUNGSI/MIGRAN ILEGAL DI …

429 ARENA HUKUM Volume 6, Nomor 3, Desember 2013, Halaman 290-452

kepentingan suatu negara untuk menjaga

stabilitas dan kepentingan nasionalnya .

Tentunya dengan meratifikasi Konvensi

Geneva 1951 dan Protokol 1967 ini, akan

menambah bargaining position di percaturan

internasional, sebagaimana yang kita ketahui

HAM menjadi perhatian penting di komunitas

Internasional .

D. Kendala-Kendala Yang Dihadapi Dalam Penanganan Pengungsi/Migran Ilegal Yang Diterapkan Di Kantor Imigrasi Kota Malang

Indonesia yang merupakan negara

kepulauan dengan letak yang strategis di antara

dua benua dan dua Samudra, dan dengan batas

geografi dan jalur pantai yang panjang dan

sulit dikontrol menjadi jalur transit yang sering

digunakan para imigran dengan berbagai motif

dan cara, khu susnya bagi para pengungsi .

Kantor Imigrasi yang menjadi pintu utama

dalam penanganan terhadap imigran gelap/

pengungsi ini mengalami beberapa kendala

dalam proses penanganan terhadap imigran

gelap/pengungsi, yaitu:

D.1. Kendala Internal

a . Disebabkan tidak adanya standart baku

dalam peraturan perundang-undangan

mengenai penanganan imigran gelap

yang padahal adalah pengungsi membuat

kurangnya koordinasi dan kerjasama

antar lembaga yang mempunyai tugas

pokok dalam penanganan terhadap

imigran gelap/pengungsi .

Lembaga yang mempunyai tugas pokok

selain Kantor Imigrasi dalam penanganan

terhadap imigran gelap/pengungsi,

adalah:

1) Departemen Dalam Negeri

2) Departemen Perhubungan

3) Kepolisian Republik Indonesia

4) Departemen Sosial

b . Kurangnya Sumber Daya Manusia dalam

proses penanganan terhadap imigran

gelap/pengungsi .

Dari data primer yang diperoleh,

terungkap bahwa sumber daya manusia

atau personil yang ada di kantor Imigrasi

belumlah optimal baik dari aspek

kuantitas maupun kualitas .

c . Kurangnya sarana dan pra sarana

selain itu, kantor Imigrasi mengakui

dalam pelaksanaan tugas penanganan

terhadap imigran gelap/pengungsi

kurang didukung dengan sarana dan

prasana yang memadai . Anggaran yang

dialokasikan tidak sebanding dengan

permasalahan yang harus diatasi . Sarana

seperti alat transportasi dan peralatan

komunikasi yang minim akhirnya

mempengaruhi kinerja kantor Imigrasi

kelas I Kota Malang dalam penanganan

terhadap imigran gelap/pengungsi .

Sebenarnya permasalahan sarana dan

prasarana yang kurang memadai bukan hanya

permasalahan kantor Imigrasi, hal klasik

semacam ini juga dialami oleh lembaga

lainnya . Sehingga memang dalam hal ini

untuk masalah pembiayaan yang juga menjadi

Page 23: URGENSI PENANGANAN PENGUNGSI/MIGRAN ILEGAL DI …

Herman Suryokumoro, Nurdin, Ikaningtyas, Urgensi Penanganan Pengungsi/Migran Ilegal... 430

tanggung jawab pemerintahan daerah dalam

hal ini pemerintah Kota Malang . Pemerintah

Kota Malang dalam mengelola keuangan

daerah harus mengalokasikan biaya yang

memadai untuk operasional penanganan

terhadap imigran gelap/pengungsi .

D.2. Kendala Eksternal

Penanganan terhadap imigran gelap/

pengungsi membutuhkan kerjasama dari

berbagai pihak terutama masyarakat .

Para pihak yang kurang terbuka dalam

memberikan informasi mengenai keberadaan

orang asing menghambat dalam penanganan

terhadap imigran gelap/pengungsi . Hubungan

lingkungan sekitar, masyarakat dan instansi

yang terkait merupakan hubungan yang terjadi

tidak hanya semata-mata menyangkut aspek

ekonomis tetapi juga aspek lainnya seperti

aspek sosial, politik dan aspek keamanan .23

Sehingga dalam pelaksanaan mengatur

hubungan tersebut perlu diusahakan adanya

kejelasan pengaturan hak dan kewajiban

masing-masing pihak agar tercipta hubungan

yang serasi dan harmonis antara para pihak-

pihak tersebut .

Dalam penanganan imigran gelap/

pengungsi ini tak jarang hambatan berasal

dari masyarakat yang kurang memiliki

kesadaran dalam keterbukaan informasi

adanya orang asing, contohnya perusahaan

yang bisa menggunakan tenaga asing dengan

biaya yang murah, akhirnya menyembunyikan

keberadaan mereka . Selain itu kurang

kerjasama dari pihak imigran/pengungsi

tersebut membuat kurang optimal dalam

penangananya .

Simpulan

Penanganan terhadap pengungsi di

Indonesia sebagaimana di Kantor Imigrasi

Kelas I Kota Malang masih sebatas penegakan

peraturan keimigrasian untuk menjaga

kepentingan Indonesia saja, sehingga substansi

dan teknis penanganan terhadap pengungsi

masih terbatas bahkan serupa pada penanganan

terhadap imigran gelap . Sebagai negara

kepulauan yang letaknya sangat strategis, dan

tak jarang menjadi tempat singgah (transit)

bagi para imigran dengan berbagai tujuan,

seharusnya pemerintah Indonesia hendaknya

segera menandatangani dan meratifikasi

Konvensi Geneva 1951 dan Protokol 1967 .

Konvensi Geneva 1951 dan Protokol 1967

secara substansial menempatkan perlindungan

dan jaminan Hak Asasi Manusia pengungsi

lebih utama, dengan tidak mengesampingkan

kepentingan suatu negara untuk menjaga

stabilitas dan kepentingan nasionalnya .

Tentunya dengan meratifikasi Konvensi

Geneva 1951 dan Protokol 1967 ini, akan

menambah bargaining position di percaturan

internasional, sebagaimana yang kita ketahui

HAM menjadi perhatian penting di komunitas

Internasional .

23 Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, Bina cipta, Bandung, 2002, hlm .83 .

Page 24: URGENSI PENANGANAN PENGUNGSI/MIGRAN ILEGAL DI …

431 ARENA HUKUM Volume 6, Nomor 3, Desember 2013, Halaman 290-452

Dalam penanganan imigran gelap/

pengungsi, kantor Imigrasi kelas I Kota

Malang, mengalami beberapa kendala, yaitu:

a . Kendala internal

I) Tidak adanya standart baku

penanganan imigran gelap/pengungsi

berdampak pada kurangnya

koordinasi antara instansi antara

lembaga yang bertanggung jawab

atas penanganan imigran gelap/

pengungsi .

II) Kurangnya kesediaan dan kualitas

Sumber Daya Manusia

III) Kurangnya sarana dan prasarana

b . Kendala eksternal

Kurangnya kerjasama dan keterbukaan

informasi dari masyarakat dan para

imigran gelap/pengungsi itu sendiri

membuat kendala dalam penanganannya .

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Achmad Romsan, dkk, 2003, Pengantar

Hukum Pengungsi Internasional:

Hukum Internasional dan Prinsip-

Prinsip Perlindungan Internasional,

Percetakan Sanic Offset, Bandung.

IOM, 2009, Buku Petunjuk Bagi Petugas

Dalam Rangka Penanganan

Kegiatan Penyelundupan Manusia

dan Tindak Pidana yang Berkaitan

dengan Penyelundupan Manusia,

International Organization for

Migration (IOM), Jakarta .

Majda El Muhtaj, 2008, Dimensi-Dimensi

HAM, Mengurai Hak Ekonomi,

Sosial, dan Budaya, PT. Rajagrafindo

Persada, Jakarta .

Mochtar Kusumaatmadja, 2002, Hukum,

Masyarakat dan Pembinaan Hukum

Nasional, Bina cipta, Bandung .

Mochtar Kusumaatmadja, 1976, Pengantar

Hukum Internasional, Bina Cipta,

Jakarta .

Sulaiman Hamid, 2002, Lembaga Suaka

dalam Hukum Internasional,

Rajawali Pers, Jakarta .

UNHCR, 2009, Penandatanganan Dapat

Membuat Seluruh Perbedaan, Swiss,

UNHCR .

UNHCR, 2009, Pengenalan Tentang

Perlindungan Internasional,

Melindungi Orang-Orang Yang

Menjadi Perhatian UNHCR, Swiss .

Wagiman, 2012, Hukum Pengungsi

Internasional, Jakarta, Sinar Grafika.

WJS . Poerwadarminta, 1982, Kamus Umum

Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,

Jakarta .

Page 25: URGENSI PENANGANAN PENGUNGSI/MIGRAN ILEGAL DI …

Herman Suryokumoro, Nurdin, Ikaningtyas, Urgensi Penanganan Pengungsi/Migran Ilegal... 432

Jurnal

Michelle Foster, 2007, Protection Elsewhere:

the Legal Implications of Requiring

Refugees to seek Protection in

Another State, Michigan Journal of

International Law, Volume 28:223 .

Sukanda Husin, 1998, UNHCR dan

Perlindungan Hak Azasi Manusia,

Jurnal Hukum, No . 7 Th .V/1998,

Fakultas Hukum Universitas Andalas,

Padang .

Artikel Internet

Adrianus Suyadi, http://internasional .kompas .

com/read /2010/06 /21 /0953469/

Pengungsi .Bukan .Imigran .Gelap .

Arip Budiman, Terdampar, 193 Pengungsi

Asal Myanmar dan Bangladesh,

http://www .KabariNews .com/?32484 .

h t t p : / / w w w . i o m . o r g / r e a d /

news/2012/07/18/063417844/80-

Indonesiadanpengungsigelap .

http://www.surabayapost.co.id/?mnu=berita&

act=view&id=9080e22aa92157ec13f5

038e8f626279&jenis=c81e728d9d4c2f

636f067f89cc14862c .

t t p : / / w w w . t e m p o . c o / r e a d /

news/2012/07/18/063417844/80-

Imigran-Gelap-Terdampar-di-Malang .

Pertaruran Perundang-undangan

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

Nomor 31 Tahun 1994 tentang

Pengawasan Orang Asing dan

Tindakan Keimigrasian.

Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor

M-PR .0704 Tahun 1991 tentang

Organisasi dan Tata Kerja Kantor

Imigrasi.

Keputusan Presiden RI Nomor 44 Tahun 1974

tentang Pokok-pokok Organisasi

Departemen jo Keputusan Presiden

RI Nomor 15 Tahun 1984 tentang

susunan organisasi Departemen.

Keputusan Presiden RI Nomor 8 Tahun 1991 .

Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi.

Konvensi Anti Penyiksaan (Convention

Against Torture) .

Konvensi Jenewa IV (Fourth Geneva

Convention) Tahun 1949 .

Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan

Politik (International Covenant on Civil

and Political Rights) 1966 .

Petunjuk DirJenim Nomor F-33 .II .01 .10

Tahun 1995 tentang Tata Cara

Pengawasan Orang Asing.

Protocol Relating to the Status of Refugees

1967 .

Universal Declaration of Human Right 1948 .