thelight photography magazine #7
DESCRIPTION
Enjoyy...TRANSCRIPT
EDISI VII / 2007 1
EDIS
I 7/2
007
ww
w.th
elig
htm
agz.
com
FREE
2 EDISI VII / 2007
THEEDITORIAL
EDISI VII / 2007 3
THEEDITORIAL
PT Imajinasia Indonesia, Jl. Pelitur No. 33A, www.thelightmagz.com, Pemimpin Perusahaan/Redaksi: Ignatius Untung, Technical Advisor: Gerard Adi, Redaksi: [email protected], Contributor: C Production, Public relation: Prana Pramudya, Marketing: mar-
[email protected] - 0813 1100 5200, Sirkulasi: Maria Fransisca Pricilia, [email protected], Graphic Design: ImagineAsia,
Webmaster: Gatot Suryanto
“Hak cipta foto dalam majalah ini milik fotografer yang bersangkutan, dan dilindungi oleh Undang-undang. Dilarang menggunakan foto dalam ma-
jalah ini dalam bentuk / keperluan apapun tanpa seijin pemiliknya.”
ABOUT THE COVERPHOTOGRAPHER: KRISNA SATMOKO
Berguru dari seorang yang jauh lebih senior dari kita adalah satu hal yang menarik. Namun harus diingat hal yang kita pela-
jari kali ini ada hubungannya dengan teknologi. Jangan asal pilih mentor senior. Untuk itu kami pilihkan fotografer-fotografer
yang tergolong senior dan memiliki jam terbang cukup tinggi di bidangnya masing. Didukung sederet pencapaian yang
pernah didapat membuktikan bahwa barisan fotografer senior yang kami hadirkan kali ini bukan barisan senior yang luntur
oleh perkembangan teknologi. Luntur oleh perubahan style dan trend.
Dimulai dari Goenadi Harjanto, fotografer senior yang masih menyisakan idealisme dalam setiap fotonya. Budi Han, se-
orang fotografer komersil dengan jam terbang dan daftar klien yang tak terukur lagi panjangnya. Krisna Satmoko, seorang
fotografer wedding yang lahir bukan di jaman karbitan. dan Oscar Motuloh, seorang ikon dunia fotografi jurnalis. Semoga
kehadirannya menginspirasikan kita semua yang masih muda untuk tidak cepat “luntur” dan kadluwarsa termakan perkem-
bangan teknologi. Selalu up to date dengan perkembangan trend dan teknologi. Sehingga karya yang dihasilkan tidak teng-
gelam ditelan nama besar sendiri.
Salam,
Redaksi
BARISAN SENIOR ANTI LUNTUR
4 EDISI VII / 2007
OUTDOORPHOTOGRAPHY
EDISI VII / 2007 5
OUTDOORPHOTOGRAPHY
Fotografi bertumbuh pesat dalam beberapa tahun terakhir ini. Nama-nama baru
bermunculan di khasanah dunia perfotografian. Namun di tengah nama-nama
fotografer muda yang sukses terlihat menonjol di tengah semakin banyaknya
pehobi fotografi tanah air masih tersisa beberapa nama fotografer senior yang
ternyata masih eksis dan tidak tergerus oleh perkembangan dunia fotografi. Salah
satunya adalah Goenadi Harjanto.
Goenadi mengaku mempelajari fotografi dari ayahnya yang kebetulan memiliki
bisnis jual beli kamera bekas. Sang ayah yang juga mengenalkannya kepada
kamera itu juga beberapa kali menerima pekerjaan pemotretan keluarga dan
bangunan atas permintaan kontraktor. “Dulu kalau ada acara di sekolah, ayah
suka datang untuk memotret dan pada akhirnya dijual.” Ungkapnya. “Tapi yang
jelas ayah saya nggak bisa motret model karena ibu saya keras sekali soal itu.
Hahahaha..” sambungnya sambil tertawa.
GOENADI HARJANTO, FEEL AT HOME DI FOTOGRAFI
Grand finale Tari Keris Barong, Tegaltamu, Batu Bulan, Bali
6 EDISI VII / 2007
OUTDOORPHOTOGRAPHY
EDISI VII / 2007 7
OUTDOORPHOTOGRAPHY
Pada saat duduk di kelas 6 sekolah
dasar, Goenadi yang sering mengutak-
atik kamera disuruh ayahnya untuk
memotret. Padahal waktu itu Goenadi
belum pernah secara serius mem-
pelajari fotografi. Hasilnya dari 12 film
yang diberikan ayahnya itu, Goenadi
berhasil menjual 9 foto. “Kuncinya
adalah teknik the sunny eleven atau
sunny sixteen. Kalau di kemasan film ja-
man dulu ada itu asanya harus berapa
speed berapa.” Kenangnya.
Bakat fotografi Goenadi makin terli-
hat ketika saat duduk di bangku SMP,
sepolang sekolah Goenadi menemui
mobil yang sedang terbakar hebat. Ia
“Dulu profesi fotografi belum rewarding seperti seka-rang. Saya sering sekali motret nggak dibayar. Jadi saya lebih memilih jadi arsitek.”
Dimension – Taman Fatahilah, Jakarta Kota.
8 EDISI VII / 2007
OUTDOORPHOTOGRAPHY
EDISI VII / 2007 9
OUTDOORPHOTOGRAPHY
pun segera pulang untuk mengambil
kamera dan kembali untuk memotret-
nya. Hasil fotonya pun ia cuci dan cetak
sendiri dan ternyata berhasil terjual ke
Koran Pikiran Rakyat. Hal yang sama
berulang ketika fotonya yang lain pada
saat ia duduk di bangku SMA dimuat
majalah JAYA.
Berbekal pengalaman yang cukup
memotret untuk media massa, Goe-
nadi memutuskan untuk bergabung
dengan majalah Aktuil. “Di Aktuil saya
benar-benar difasilitasi untuk lebih
mendalami fotografi, bahkan saya
disekolahkan khusus oleh mereka.”
Kenangnya bangga. “Setelah itu,
karena saya sudah mengerti betul
proses kamar gelap foto, saya mulai
berani mempush film dan slide setiap
saya melakukan prosesing film.” Tam-
bahnya.
Sepanjang tahun 1970 hingga 1972
Goenadi selalu memenangi juara
pertama lomba foto mahasiswa yang
diadakan oleh Institut Teknologi band-
ung tempatnya bersekolah. Namun
rentetan prestasi yang digapainya
sebelumnya ternyata tidak kunjung
menyeret Goenadi untuk berprofesi
sebagai fotografer. Sejak tahun 1975
hingga 2002 oenadi justru memilih
profesi arsitek sebagai jalan penghidu-
pannya. “Dulu profesi fotografi belum
rewarding seperti sekarang. Saya
sering sekali motret nggak dibayar.
Jadi saya lebih memilih jadi arsitek.”
Jelasnya.
Namun begitu kecintaannya terhadap
fotografi tidak pernah padam. Setelah
bergabung dengan LFCN (Lembaga
Fotografi Candra Naya) Goenadi diper-
caya menangani pelaksanaan Salon-
foto dan beberapa lomba dan pameran
sejenis. Bahkan pada tahun 1992 foto
hasil karyanya dipamerkan di Amerika
Serikat dan digunaka oleh Minolta.
“Herannya bahkan walaupun profesi
saya sebagai arsitek tergolong cu-
kup sukses dan berhasil menduduki
jabatan-jabatan prestisius namun
saya tidak pernah merasa at home.”
Kenangnya. Maka dari itu sejak tahun
2002 ia memutuskan untuk kem-
bali menekuni cinta sejatinya yaitu
fotografi. “Saya mulai lebih serius
“Herannya bah-kan walaupun
profesi saya sebagai arsi-
tek tergolong cukup sukses dan berhasil
menduduki ja-batan-jabatan prestisius na-
mun saya tidak pernah merasa
at home.”
“justru pengalaman
yang memper-kaya batin itu
yang membuat saya bertahan
dan makin cinta pada fotografi.”
“Intinya adalah memberikan nilai tambah. Memunculkan sesuatu yang tidak kelihatan tapi bisa dirasa-kan.”
10 EDISI VII / 2007
OUTDOORPHOTOGRAPHY
EDISI VII / 2007 11
OUTDOORPHOTOGRAPHY
Embah Srie, 92 tahun, hidup dalam gubug pemulung. Gang Kenari, Kota Tua, Semarang
12 EDISI VII / 2007
OUTDOORPHOTOGRAPHY
EDISI VII / 2007 13
OUTDOORPHOTOGRAPHY
membuat foto-foto yang memiliki roh. Ada perubahan sedikit, kalau dulu saya
senang menangkap momen sekarang saya lebih senan pengalaman memotret-
nya.” Ungkap fotografer yang pernah berguru pada Anwar Sanusi dan Setiadi
Yoeda Atmaja ini. “Seperti beberapa waktu yang lalu ketika saya sedang berada
memotret sebuah klenteng di semarang, tiba-tiba ada seorang wanita berjilbab
di depannya, saya justru menyukai hal itu. Begitu juga ketika saya mendatangi
Masjid Agung Jawa Tengah, waktu itu saya kaget ketika di dalam kompleks Masjid
tersebut pada bulan puasa masih ada orang yang berjualan minuman. Saya
Tanya, mengapa bulan puasa masih berjualan. Sang penjual minuman pun hanya
berkata “yang datang ke sini kan bukan semuanya muslim dan bahkan tidak
semua muslim yang ke sini berpuasa.” Sambungnya. Ia pun melanjutkan, “jus-
tru pengalaman yang memperkaya batin itu yang membuat saya bertahan dan
makin cinta pada fotografi.”
Berbicara mengenai fotografi outdoor Goenadi menganggapnya gampang-gam-
pang susah. “Makanya dikasih roh supaya lebih bernyawa.” Ujarnya. “Dan jangan
lupa belajar dari seni lain, misalnya musik. Coba lihat Samson dan Ungu kan
sama-sama group band dengan aliran yang mirip, tapi keduanya punya karakter
“Dengan kepekaan kita bisa terus berkem-bang, jangan setiap ikut lomba fotonya itu-
itu saja. Coba saja lihat lomba-lomba foto yang ada, kalau tahun ini yang menang ada cipratan air, tahun depan pasti foto dengan
cipratan air banyak sekali yang masuk. Orang hanya berpikir bagaimana supaya menang,
bukan uniknya apa foto saya. Akrhinya hanya bisa meniru, tapi nggak punya keunikan.
Wujud dan Bentuk, Plered, Purwakarta, Jawa Barat
14 EDISI VII / 2007
OUTDOORPHOTOGRAPHY
EDISI VII / 2007 15
OUTDOORPHOTOGRAPHY
Beach Chalets – Brighton Beach, Melbourne, Victoria -Australia
16 EDISI VII / 2007
OUTDOORPHOTOGRAPHY
EDISI VII / 2007 17
OUTDOORPHOTOGRAPHY
yang berbeda sehingga orang tahu oh ini lagunya Samsons, kalau yang itu lagu-
nya Ungu.” Tambahnya. “Intinya adalah memberikan nilai tambah. Memunculkan
sesuatu yang tidak kelihatan tapi bisa dirasakan.” Sambungnya lagi.
Goenadi melihat akar dari kemampuan mencipta foto yang memiliki nyawa
adalah kepekaan. “Dengan kepekaan kita bisa terus berkembang, jangan setiap
ikut lomba fotonya itu-itu saja. Coba saja lihat lomba-lomba foto yang ada, kalau
tahun ini yang menang ada cipratan air, tahun depan pasti foto dengan cipra-
tan air banyak sekali yang masuk.” Tegasnya. “Orang hanya berpikir bagaimana
supaya menang, bukan uniknya apa foto saya. Akrhinya hanya bisa meniru, tapi
nggak punya keunikan.” Sambungnya. Untuk itu Goenadi sangat selektif jika
diminta menjadi juri dalam sebuah lomba foto. “Pertama karena secara fisik
melelahkan, selain itu saya rasa waktunya untuk memberi kesempatan bagi yang
muda. Karena dengan adanya wajah baru, jadi ada pemikiran baru, warna baru
sehingga secara tidak langsung saya memberi kesempatan lomba tersebut untuk
eksplorasi.” Sambungnya.
Berbicara lebih dalam lagi mengenai fotografi goenadi menekankan bahwa
fotografer harus mengingat bahwa fotografi adalah cahaya. “Fotografi is light.
Maka dari itu prosesnya adalah calculating light, seeing light, dan feel the light.”
Ujarnya. “Tapi proses terebut idealnya harus dijalani satu persatu. Mulai dari cal-
culate light, biasanya kan orang menghitung dengan otak kiri. Selanjutnya belajar
see the light kali ini orang mulai bisa menggunakan otak kanan. Pada akhirnya
fotografer harus bisa merasakan cahaya. Merasakan dengan hati. Maka dari tu
banyak fotografer senior sering bilang memotretlah dengan hati.” Sambungnya.
Namun Goenadi melihat hal ini sering disalahartikan. Sehingga orang lagsung
melakukan improvisasi dan mengaku bisa merasakan cahaya. “Harus diingat
sebelum orang melakukan improvisasi dan menciptakan warnanya sendiri ia
harus tau pakemnya dulu. Untuk itu pelajari dulu teknis dasarnya baru improvisa-
18 EDISI VII / 2007
OUTDOORPHOTOGRAPHY
EDISI VII / 2007 19
OUTDOORPHOTOGRAPHY
si. Jangan pernah berkilah bahwa karya
anda adalah karya seni. Bukan bagian
anda mengatakan hal itu, biar orang
lain yang mengatakan.”
Goenadi melihat perkembangan
teknologi membuat fotografi berkem-
bang pesat namun banyak hadir gen-
erasi instan. “Generasi muda banyak
yang bagus, kurang lebih 20% bisa jadi
fotografer bagus, sisanya sekitar 80%
hanya ikut-ikutan. Hahaha…” Ujarnya
sambil tertawa. “Tapi biarkan saja yang
80% itu tetap ikut, karena justru mer-
ekalah yang membuat fotografi tetap
hidup. Karena tanpa mereka fotografi
bisa jadi barang yang sangat mahal
karena peminatnya sedikit.” Tambah-
nya.
Dalam kategori fotografi outdoor,
Goenadi melihat banyak peminat
muda. “Fotografi adventure banyak
peminatnya, hal ini karena bersamaan
dengan minat kaum muda terhadap
outbond. Beberapa tempat yang
menarik untuk fotografer ini adalah
Desa CIpta Gelar dengan serentaunnya,
Kasodo di Bromo, Odalan di bali, Erau
“Harus diingat sebelum orang melakukan im-provisasi dan menciptakan warnanya sendiri ia harus tau pakemnya dulu. Untuk itu pelajari dulu teknis dasarnya baru impro-visasi. Jangan pernah berkilah bahwa karya anda adalah karya seni. Bu-kan bagian anda mengata-kan hal itu, biar orang lain yang mengatakan.”
Sebelum perang – Lembah Baliem, Wamena, Papua
20 EDISI VII / 2007
OUTDOORPHOTOGRAPHY
EDISI VII / 2007 21
OUTDOORPHOTOGRAPHY
Bromo at dawn – Pananjakan Kawasan Tengger, Jawa Timur
22 EDISI VII / 2007
OUTDOORPHOTOGRAPHY
EDISI VII / 2007 23
OUTDOORPHOTOGRAPHY
di Dayak, Festival lembah Baliyem pada
bulan agustus dan masih banyak lagi.”
Jelasnya.
Goenadi merasa potensi fotografi
outdoor cukup baik terutama jika di-
hubungkan dengan budaya, pariwisata
dan keelokan alam Indonesia. “Yang
paling menarik adalah karena fotografi
outdoor tidak menuntut investasi
pada lighting equipment yang mahal.”
Ungkapnya.
Namun untuk melakukan pemotretan
outdoor Goenadi menyarankan untuk
melakukan periapan yang tepat, misal-
nya mengetahui golden hour dan kara-
kternya. Penting juga untuk mengeta-
hui iklim dari daerah yang akan difoto
dan juga letak matahari. “Misalnya
kalau mau motret Bromo, bagusnya
hanya antara Juli sampai September, di
luar itu untung-untungan.” Terangnya.
“Contoh lain, kalau mau memotret
wildlife harus tau kapan musim kawin.”
Tambahnya.
Bagi mereka yang akan memotret di
pedalaman, Goenadi menyarankan
untuk membawa perlengkapan yang
tepat. “Dry Bag misalnya. Atau floating
“Fotografi is light. Maka dari itu prosesnya adalah calculating light, seeing light, dan feel the light. Tapi
proses terebut idealnya harus dijalani satu persatu. Mulai dari calculate light, biasanya kan orang menghitung
dengan otak kiri. Selanjutnya belajar see the light kali ini orang mulai bisa menggunakan otak kanan. Pada akhirnya
fotografer harus bisa merasakan cahaya. Merasakan dengan hati. Maka dari tu banyak fotografer senior sering
bilang memotretlah dengan hati.”
Railway tracks before utilization, Ciganea, Purwakarta, Jawa Barat.
24 EDISI VII / 2007
OUTDOORPHOTOGRAPHY
EDISI VII / 2007 25
OUTDOORPHOTOGRAPHY
case kalau memang harus masuk air.
Intinya harus tau karakter obyek dan
lingkungan.
Di akhir pembicaraan kami Goenadi
pun menyampaikan pesan kepada
kaum muda yang sedang mendalami
fotografi, “Saat ini fotografi sudah bisa
dijadikan profesi karena sudah bisa
menghidupi tidak seperti dulu. Maka
dari itu jangan takut untuk terjun. Tapi
yang penting harus tau apa maunya
supaya jangan sekedar ikut-ikutan dan
akhirnya hanya bisa meniru.” Tutupnya.
“Saat ini fotografi sudah bisa dijadikan profesi karena sudah bisa menghidupi tidak seperti dulu. Maka dari itu jangan takut untuk terjun. Tapi yang penting harus tau apa mau-nya supaya jangan sekedar ikut-ikutan dan akhirnya hanya bisa meniru.”
A view to the East – Gunung Tilu, Ciwidey, Jawa Barat
26 EDISI VII / 2007
WEDDINGPHOTOGRAPHY
EDISI VII / 2007 27
COMMERCIALPHOTOGRAPHY
Fotografi komersil dikenal sebagai fotografi yang tidak melulu mengedepankan
teknis fotografis, namun juga strategi bisnis, service klien hingga kedekatan den-
gan para pekerja kreatif perusahaan periklanan. Hal tersebut menjadi salah satu
hal yang menarik bagi para fotografer yang berkecimpung di dunia ini. Disukai
atau tidak, isu-isu seperti ini selalu menarik dibicarakan dari masa ke masa.
Salah satu fotografer yang diangap berhasil sukses di dunia fotografi komersil
adalah Budi Han. Nama Budi Han sudah bertahun-tahun menjadi pembicaraan
banyak orang baik dari kalangan sesama fotografer maupun pekerja kreatif
periklanan. Ada nada-nada miring dalam pembicaraan tentang Budi Han yang
beredar, seperti isu tentang harga, hingga kapasitas pengerjaan pemotretan tiap
harinya. Tidak sedikit pula nada-nada positif yang merupakan akumulasi dari
kepuasan service yang diberikan Budi Han.
BUDI HAN, EXIST DAN DIPERHITUNG-KAN DI DUNIA KOMERSIL
“Orang agency itu susah percaya, jadi portfolio kita bagus pun nggak menja-
min kita akan dipakai sama mereka. Mereka takut file hasil pemotretan
nggak cukup untuk keperluan komersil akibat penggunaan kamera apa adanya, belum lagi proses pemotretannya lama.
Jadi memang susah untuk mendapat kepercayaan dari mereka.”
28 EDISI VII / 2007
COMMERCIALPHOTOGRAPHY
EDISI VII / 2007 29
COMMERCIALPHOTOGRAPHY
Dengan segala pro dan kontra yang
beredar tentag Budi Han, kami justru
makin tertarik untuk lebih menggali
lebih dalam lagi mengenai Budi Han.
Karena bagaimana pun, hingga saat ini
Budi Han masih menjadi salah satu fo-
tografer komersil dengan order terlaris
setiap bulannya.
Budi Han mengawali karirnya sebagai
fotografer dengan bergabung sebagai
inhouse fotografer di beberapa perusa-
haan periklanan kenamaan Indonesia
seperti Chuo Senko dan JWT. Ketika pe-
rusahaan tempatnya bekerja menggu-
nakan jasa fotografer luar negeri untuk
melakukan pemotretan-pemotretan
dengan tingkat kesulitan tinggi, Budi
Han pun memanfaatkan dengan
belajar dari fotografer-fotografer asing
itu. Hal itu ia lakukan selama beberapa
tahun.
Berbekal pengalaman membantu
pekerja kreatif periklanan Budi Han
akhirnya memutuskan untuk berpisah
dari perusahaan periklanan tempat
ia menimba ilmu selama ini. Ia pun
bergabung dengan seorang teman
yang kebetulan memiliki alat fotografi
yang tergolong lengkap. Bergabung
bersama temannya itu, Budi Han tidak
menyia-nyiakan kesempatan untuk
bisa lebih banyak lagi mengeksplorasi
kemampuan fotografinya. “Dulu waktu
masih kerja di agency (advertising
agency – red.) kan alatnya terbatas, jadi
ketika join bareng teman yang kebetu-
lan punya alat lengkap ya harus diman-
faatkan kesempatannya.” Ungkapnya.
Setelah beberapa saat menjalankan
usaha bisnis fotografi bersama teman-
nya itu, Budi Han akhirnya memutus-
kan untuk berdiri sendiri. Berbeda dari
fotografer lain yang ingin terjun ke
dunia komersil, Budi Han tidak per-
nah merasa kesulitan untuk mencari
klien, tidak seperti fotografer komersil
yang baru terjun ke dunia itu pada
umumnya. “Karena saya pernah di
agency, jadi cari klien nggak masalah
buat saya. Saya sudah lebih dulu kenal
mereka, dan mereka juga sudah tau
kemampuan saya jadi nggak susah cari
klien.” Jelasnya. Budi Han pun menya-
dari bahwa salah satu hambatan yang
akan dihadapi oleh fotografer yang
ingin terjun ke dunia komersil adalah
masalah kepercayaan klien. “Orang
agency itu susah percaya, jadi portfolio
kita bagus pun nggak menjamin kita
akan dipakai sama mereka. Mereka
takut file hasil pemotretan nggak
cukup untuk keperluan komersil akibat
penggunaan kamera apa adanya, be-
lum lagi proses pemotretannya lama.
Jadi memang susah untuk mendapat
kepercayaan dari mereka.” Tambahnya.
Sementara bagi mereka yang sudah
mendapat kesempatan untuk mem-
buktikan kemampuan dengan melaku-
kan pemotretan untuk keperluan iklan,
kesempatan itu harus dimanfaatkan
sebaik mungkin. “Harus diingat orang
agency networknya sangat kuat,
sesama pekerja iklan saling mengenal
dengan baik walaupun beda perusa-
haan, sehingga banyak info menyebar
dari mulut ke mulut. Jika kita bisa
membuktikan bahwa kita mampu,
maka kabar itu juga akan menyebar
dengan cepat dan tentunya mengun-
tungkan kita, tapi kalau gagal ya cepat
juga menyebarnya.” Ungkapnya.
Budi Han menyadari menjadi fo-
tografer komersil menuntut kita untuk
bisa menyediakan equipment yang
memenuhi standar. “Sekarang ini kalau
mau aman, pakailah kamera yang bisa
menghasilkan file yang cukup untuk
“Fotografer komersil harus
bisa semuanya, nggak ada kata
nggak bisa.”
“Banyak hal tidak terduga ketika kita me-motret outdoor. Jadi jangan sampai kita mengejutkan klien dengan ketidaksiapan kita menghada-pi kejutan tersebut.”
30 EDISI VII / 2007
COMMERCIALPHOTOGRAPHY
EDISI VII / 2007 31
COMMERCIALPHOTOGRAPHY
“Harus diingat orang agency net-worknya sangat kuat, sesama
pekerja iklan saling mengenal dengan baik walaupun beda pe-rusahaan, sehingga banyak info menyebar dari mulut ke mulut.
Jika kita bisa membuktikan bah-wa kita mampu, maka kabar itu
juga akan menyebar dengan ce-pat dan tentunya menguntung-
kan kita, tapi kalau gagal ya cepat juga menyebarnya.”
keperluan cetak billboard. Karena
klien akan sangat kecewa jika sudah
memprcayakan pemotretan ke kita
tapi pada akhirnya file yang dihasil-
kan hanya cukup untuk cetak poster.”
Jelasnya. “lighting equipment juga
sama, terkadang ada saja klien datang
dengan layout yang menuntut
lighting equipment yang canggih,
misalnya memotret splash air, orang
loncat, dan lain sebagainya yang nggak
mungkin bisa dicapai oleh lighting
equipment apa adanya.” Tambahnya.
Menanggapi komentar untuk menye-
wa peralatan tanpa harus membelinya
Budi Han pun tidak keberatan namun
tetap ada catatan tertentu. “Sewa sih
boleh saja, banyak tempat yang me-
nyewakan equipment yang canggih-
canggih. Tapi kalau kita bisa punya
akan lebih baik lagi karena flexibilitas
dalam menservice klien juga akan
meningkat. Misalnya kalau ternyata
harus re-shoot, kaau sewa nggak
akan bisa semudah itu karena semua
costnya sudah dihitung pas, jadi kalau
ada re-shoot pasti nggak mau karena
harus sewa lagi, ada pengeluaran lagi.
Banyak yang bilang harga
saya murah sehingga meru-
sak pasar, saya bilang saya
nggak murah, tapi
flexible.”
32 EDISI VII / 2007
COMMERCIALPHOTOGRAPHY
EDISI VII / 2007 33
COMMERCIALPHOTOGRAPHY
Begitu juga kalau kita salah perhitungan. Kita berhitung untuk menyewa equip-
ment hanya 1 hari ternyata pemotretannya molor hingga 2 hari, kan jadi tekor.”
Jelasnya. “Untuk itu kalau bisa punya, ya jauh lebih bagus.” Tambahnya.
Hal selanjutnya yang juga dianggap penting diperhatikan untuk menjadi fo-
tografer komersil adalah studio. Budi Han melihat akan sangat baik jika fotografer
komersil memiliki studio yang representatif. “Nyaman itu harus, kalau bisa mudah
terjangkau, parkir leluasa dan aman, ada ruang tamunya, ada tempat untuk
makan, ada tempat untuk santai. Ada TV dan kalau bisa ada TV cable supaya klien
juga betah, majalah juga sangat penting sehingga mereka nggak bosen menung-
gui pemotretan kita.” Jelasnya. “satu hal lagi yang saya perhatikan dan tidak
diperhatikan oleh banyak fotografer komersil adalah mobil outdoor dan keleng-
kapannya. Saya punya mobil L300 untuk pemotretan outdoor, dan di dalamnya
sudah ada alat-alat seperti tali tambang, gergaji, sapu, gunting, terpal, golok, dan
lain sebagainya. Ini sangat berguna ketika kita harus memotret di luar ruangan.”
Jelasnya. “Banyak hal tidak terduga
ketika kita memotret outdoor. Jadi
jangan sampai kita mengejutkan klien
dengan ketidaksiapan kita menghada-
pi kejutan tersebut.” Tambahnya.
Mengenai kemampuan fotografi, Budi
Han melihat ini sebagai hal yang tidak
bisa ditawar untuk menjadi fotografer
komersil. “Fotografer komersil harus
bisa semuanya, nggak ada kata nggak
bisa.” Tegasnya.
Inti dari segala usaha yang dijalankan
Budi Han dalam menjalankan bisnis
fotografi komersil adalah memberi rasa
aman. “Yang penting kita bisa kasih
rasa aman ke mereka. Kalau semua
usaha untuk mencapai hal itu dilaku-
kan klien akan bilang, Sudahlah, motret
sama Budi Han, aman deh. Bahkan
kadang mereka nggak supervisi karena
sudah merasa tenang.”
Saat ini Budi Han mungkin satu dari
sedikit sekali fotografer komersil yang
mau menerima pekerjaan pemotretan
lebih dari dua buah per harinya. Ban-
yak fotografer komersil menganggap
hal ini sebagai salah satu kesalahan, na-
“Yang penting kita bisa kasih rasa aman ke
mereka. Kalau semua usaha
untuk mencapai hal itu dilaku-
kan klien akan bilang, Sudahl-
ah, motret sama Budi Han, aman
deh. Bahkan kadang
mereka nggak supervisi karena
sudah merasa tenang.”
34 EDISI VII / 2007
COMMERCIALPHOTOGRAPHY
EDISI VII / 2007 35
COMMERCIALPHOTOGRAPHY
mun Budi Han beranggapan lain. “Se-
bagai fotografer kita harus bisa melihat
tingkat kesulitan. Amat disayangkan
jika pemotretan dibatasi sehari hanya
satu padahal motretnya hanya
packaging itupun hanya 1 layout.
Semuanya bisa diperkirakan, jadi kalau
pekerjaannya nggak banyak, ke-
napa nggak motret lebih dari satu per
harinya.” Tegasnya.
Satu hal lagi yang dianggap sebagai
keunggulannya dibanding fotografer
sejenis adalah fleksibilitasnya. “Banyak
yang bilang harga saya murah seh-
ingga merusak pasar, saya bilang saya
nggak murah, tapi flexible.” Jelasnya.
Khusus mengenai harga Budi Han
selalu melihat tingkat kesulitan dari
pekerjaan yang dilakukan. Tidak jarang
pula ia menerima pekerjaan pro bono
alias tidak dibayar. “Saya mengenal
baik klien-klien saya. Mereka saya
anggap sebagai teman. Masak iya
ketika mereka butuh bantuan dari saya
sementara mereka nggak ada budget
saya nggak Bantu. Mereka kan teman
saya. Jadi karena pertimbangan itu
sesekali saya mau menerima pekerjaan
“Sebagai fotografer kita harus bisa melihat ting-kat kesu-litan. Amat disayang-kan jika pe-motretan di-batasi sehari hanya satu padahal motretnya hanya packaging itupun hanya 1 layout. Semuanya bisa diper-kirakan, jadi kalau pekerjaan-nya nggak banyak, ke-napa nggak motret lebih dari satu per harinya.”
36 EDISI VII / 2007
COMMERCIALPHOTOGRAPHY
EDISI VII / 2007 37
COMMERCIALPHOTOGRAPHY
pro bono.” Jelasnya. Namun Budi Han
cukup pilih-pilih dalam melakukan
pekerjaan pro bono. “Kita bisa be-
dakan lah mana klien yang memang
butuh bantuan ketika sedang tidak ada
budget untuk motret dan klien yang
hanya memanfaatkan kebaikan kita.”
Tambahnya.
Flexibilitas lain yang dilakukan Budi
Han adalah soal waktu. “Kadang ada
klien telepon jam 7 malam bilang
mereka harus motret jam 11 malam itu
juga. Masak iya saya tolak? Jadi waktu
bekerja juga harus flexible, kalau harus
motret malam ya lakukan, kalau harus
motret dadakan ya lakukan asal me-
mang kita nggak ada pekerjaan lain.”
Ungkapnya.
Di tengah segala kebijakan bisnisnya
yang selalu masuk dalam perhitungan
bisnis, Budi Han terkadang melakukan
manuver-manuver bisnis yang secara
perhitungan bisnis tidak terlalu urgent.
“Misalnya saja genset. Genset itu ma-
hal, sementara mati lampu di Jakarta
tergolong jarang. Tapi saya nggak
mau ambil resiko ketika lagi motret di
“Kalau semua standarnya sudah dipenuhi, bahkan menghadapi persaingan seperti apapun kita nggak akan takut.”
38 EDISI VII / 2007
COMMERCIALPHOTOGRAPHY
EDISI VII / 2007 39
COMMERCIALPHOTOGRAPHY
depan klien tiba-tiba mati lampu. Jadi untuk yang satu ini biar nggak
ekonomis dari perhitungan bisnis tapi tetap saya lakukan. Karena cukup
fatal akibatnya.” Jelasnya.
Berbicara mengenai tantangan dan hambatan dalam menjalani pro-
fesinya sebagai fotografer komersil, Budi Han melihat isu yang sering
dibicarakan bahwa menghadapi pekerja kreatif periklanan terkadang
menyebalkan bukanlah hal yang tepat. “Satu-satunya hal yang me-
nyebalkan dari bekerja dengan agency adalah bayarannya lama. Yang
lainnya tidak masalah.” Jelasnya. Mengomentari pembicaraan banyak
fotografer yang menganggap pekerja kreatif periklanan sulit diajak
kerjasama Budi Han berkomentar, “yang penting komunikasi. Kalau
kita yakin yang mereka minta tidak lebih bagus dari yang kita lakukan,
ya dibuktikan saja jangan hanya dibilang bahwa itu akan lebih jelek.
Coba saja apa maunya mereka. Mereka juga tidak bodoh lah, mereka
bisa bedain mana yang bagus dan mana yang jelek, jadi kalau kita bisa
tunjukin bahwa yang mereka minta kurang bagus mereka juga akan
menuruti kita selanjutnya. Masalahnya banyak fotografer yang tidak
mau mencoba.”
Melihat perkembangan fotografi yang semakin pesat, Budi Han melihat
fotografer junior masih banyak yang hanya mengandalkan teknologi
“yang penting komunikasi. Kalau kita yakin yang mereka minta tidak lebih bagus dari yang kita lakukan, ya dibuktikan saja jangan hanya dibilang bahwa itu akan lebih jelek. Coba saja apa maunya mereka. Mereka juga tidak bodoh lah, mereka bisa bedain mana yang bagus dan mana yang jelek, jadi kalau kita bisa tunjukin bahwa yang mereka minta kurang bagus mereka juga akan menuruti kita selanjutnya. Masalahnya banyak fotografer yang tidak mau mencoba.”
40 EDISI VII / 2007
COMMERCIALPHOTOGRAPHY
EDISI VII / 2007 41
COMMERCIALPHOTOGRAPHY
“Dan jangan lupa, jangan memaksa-
kan keadaan, kalau harganya
nggak masuk jangan dipaksakan, karena nanti kuali-
tas yang jadi kor-ban. “
sementara kemampuannya tidak di-
upgrade. “Banyak yang motret dengan
kamera bagus, lighting equipment
bagus tapi pada akhirnya ketika motret
mereka sering sekali berkata: nanti di
DI saja. Padahal digital imaging juga
punya keterbatasan. Tidak semua bisa
dilakukan oleh digital imaging. Untuk
itu Budi Han menyarankan fotografer
muda untuk menjaga poin-poin seperti
yang sudah diungkapkan di atas. “Ka-
lau semua standarnya sudah dipenuhi,
bahkan menghadapi persaingan
seperti apapun kita nggak akan takut.”
Ungkapnya. “Dan jangan lupa, jangan
memaksakan keadaan, kalau harganya
nggak masuk jangan dipaksakan,
karena nanti kualitas yang jadi korban.
“ tutupnya.
42 EDISI VII / 2007
THEEVENT
EDISI VII / 2007 43
LIPUTANUTAMA
Kemajuan teknologi fotografi dan komputer grafis sejatinya memang diperun-
tukkan demi kemudahan serta optimalisasi hasil dari fotografi itu sendiri. Sejak
teknologi digital diaplikasikan pada perangkat kamera digital, penggunaan
software pengolah foto seperti: Adobe Photoshop, Macromedia Xres, Corel Pho-
toPaint, Metacreation Live Picture dan software pengolah foto lainnya meningkat
drastis. Memang software pengolah foto sudah dipergunakan bahkan ketika fo-
tografi masih menggunakan media analog seperti slide & film. Namun pada masa
itu software pengolah foto hanya dipergunakan sebatas menghilangkan cacat-ca-
cat kecil pada foto. Cacat tersebut bisa karena debu yang tertangkap pada proses
scanning, atau memang sumber fotonya yang cacat. Namun perkembangan
teknologi fotografi rupanya juga menuntut penggunaan software pengolah foto
untuk bisa ambil bagian lebih banyak dari sebelumnya. Kini software pengolah
foto sudah menjadi piranti wajib bagi para fotografer.
Beberapa edisi yang lalu salah seorang nara sumber kami yang berprofesi sebagai
fotografer iklan pernah berkata, “tuntutan terhadap output fotografi sudah se-
makin tinggi. Sekarang fotografi bukan hanya berhenti pada proses pemotretan
saja, tapi ada proses pra produksi dan pasca produksi yang juga tidak kalah pent-
ing.” Proses pasca produksi inilah yang dianggapya sebagai proses enchanching
PHOTOGRAPHER ATAU PHOTOSHOPER?
44 EDISI VII / 2007
LIPUTANUTAMA
EDISI VII / 2007 45
LIPUTANUTAMA
& digital imaging yang menggunakan
software pengolah foto. Jika kita lihat
iklan-iklan yang tayang di berbagai
media seperti surat kabar, majalah,
billboard dan media cetak lainnya
memang tidak bisa dipungkiri penggu-
naan software pengolah foto memang
semakin mendapat tempat dalam
proses penciptaan foto iklan. Hal ini da-
pat kita lihat dari kualitas output foto
yang hampir tidak mungkin dilakukan
oleh kamera seorang diri. Foto-foto
dalam iklan yang memang memiliki
tuntutan untuk memiliki striking power
dan sticking power rupanya berakibat
kepada tuntutan penggunaan software
pengolah foto pada proses digital
imaging untuk menghadirkan hal-hal
yang tidak mungkin atau sangat sulit
untuk dilakukan hanya dengan kamera.
Hal yang sama juga bisa kita temui
pada foto fashion. Foto fashion pada
halaman majalah pun mulai mengan-
dalkan bantuan software pengolah
foto. Ini untuk mencapai hal-hal yang
tidak bisa dilakukan oleh kamera.
Pertumbuhan penggunaan software
pengolah digital juga bisa dilihat dari
menjamurnya buku-buku tutorial
software pengolah foto tersebut. Jika
kita lihat dalam 10 tahun belakangan
ini rak buku di toko-toko buku ter-
nama di sekitar kita pun mulai dibanjiri
dengan buku-buku tutorial software
pengolah grafis. Bahkan dari satu versi
software pun bisa terdapat lebih dari
10 buku dengan topik bahasan yang
tidak terlalu jauh berbeda. Kursus-
kursus komputer grafis terutama yang
menawarkan pelatihan software pen-
golah foto pun membanjir. Peminatnya
seolah-olah tidak pernah habis.
Satu indikator otentik mengenai men-
jamurnya penggunaan software pen-
golah foto adalah foto-foto pada halaman photo blogger & galeri fotografi online.
Sedikitnya 5 dari 10 foto yang diupload dan bisa diakses pada ruang semacam
itu mengandalkan software pengolah foto. Bahkan forum fotografi online pun
menyediakan segmen khusus untuk berdiskusi masalah olah digital ini.
Yang menjadikan permasalahan ini menarik bagi kami adalah sebatas mana
penggunaan software pengolah foto masih bisa diterima dan dibenarkan oleh
pakem dan keyakinan fotografi modern?
Untuk menjawab hal ini kami telah melakukan interview dengan 20 orang pehobi
fotografi dari tingkat pemula hingga tingkat mahir. Hasilnya 12 dari 20 orang
tersebut menganut keyakinan penggunaan olah digital dalam fotografi sah-sah
saja tanpa harus ada batasan. 1 orang menolak penggunaan olah digital dalam
fotografi dan 7 orang menganggap olah digital masih bisa diterima sebatas tidak
“tuntutan terhadap output fotografi
sudah semakin tinggi. Sekarang fo-tografi bukan han-
ya berhenti pada proses pemotretan saja, tapi ada pros-
es pra produksi dan pasca produksi yang juga tidak ka-
lah penting.”
Foto-foto dalam iklan yang me-mang memiliki tuntutan untuk
memiliki striking power dan stick-ing power rupanya berakibat ke-pada tuntutan penggunaan soft-ware pengolah foto pada proses digital imaging untuk menghad-irkan hal-hal yang tidak mungkin atau sangat sulit untuk dilakukan
hanya dengan kamera.
46 EDISI VII / 2007
LIPUTANUTAMA
EDISI VII / 2007 47
LIPUTANUTAMA
bisa didapatkan oleh kamera.
12 orang kelompok yang menerima
sebebas-bebasnya penggunaan olah
digital pada foto menganggap bahwa
penggunaan olah digital adalah bagian
penting dalam penciptaan sebuah
foto. “Kalau bisa lebih bagus kenapa
nggak dilakukan.” Ungkap Budi, salah
seorang dari kelompok ini. Budi adalah
pehobi fotografi yang sudah sekitar 3
tahun menekuni fotografi. Budi senang
sekali berpartisipasi dalam gallery foto
online dimana ia bisa mengupload
fotonya untuk dikomentari orang lain.
“coba kalau kita lihat galeri foto online,
hampir semua orang pakai photoshop.
Yang penting kan hasil akhirnya.”
Tegasnya.
Hal senada juga diungkapkan Djoko,
seorang fotografer wedding amatir. “di
wedding foto kalau tidak pakai olah
digital mana bisa dijual. Semua foto
wedding yang laku dijual selalu pakai
olah digital. Minimal untuk color cor-
rection dan push contrast.”
Hal menarik lain kami temui ketika
kami melihat sebuah foto dari salah
seorang kelompok ini. Kami melihat
foto ketika masih mentah tanpa olahan
sama sekali dan ketika sudah diolah.
Hasilnya jauh berbeda bagaikan bumi
dan langit. Hasil mentahnya menunjuk-
kan foto yang relatif terang walaupun
belum tergolong hi key. Namun foto
yang sama setelah terkena sentuhan
olah digital berubah 180 derajat men-
jadi low key dengan banyak kontras
yang dipaksa hingga kehilangan detail.
Fotografer yang membuatnya pun
merasa bangga akan keahliannya me-
nyulap foto tersebut.
Generasi yang lebih muda nampaknya
memang lebih terbuka terhadap peng-
gunaan olah digital. Lebih jauh lagi,
tidak sedikit yang terjerumus terlalu
dalam sehingga porsi olah digitalnya
jauh lebih berperan dibanding fo-
tografinya. Untuk melihat hal ini secara
lebih seimbang, kami pun berbincang-
bincang dengan beberapa nara sum-
ber yang berkompeten di bidang ini.
Bayu, salah seorang pehobi foto yang
juga bekerja sebagai art director di
sebuah perusahaan grafis berpenda-
pat bahwa harus ada pemisahan antara koridor hobby dan koridor komersil. Jika
foto yang dihasilkan sekedar hobby maka sah-sah saja untuk membuka batasan
penggunaan software olah digital. Namun jika foto yang dihasilkan untuk kep-
erluan komersil seperti wedding, jurnalistik, iklan, dll fotografer yang bersangku-
tan harus cerdik melihat kebutuhan dan tuntutan konsumen. “Di wedding ada
yang suka fotonya diolah habis-habisan tapi ada juga yang nggak suka. Berbeda
dengan di jurnalistik. Pengolahan software olah digital sangat dibatasi karena
yang ingin ditampilkan adalah keaslian dari foto tersebut, jadi kalau sudah masuk
dapur digital mana bisa dijual.” Ungkapnya.
Berbeda lagi dengan Nuki, seorang digital artis yang banyak melakukan proses
olah digital pada foto-foto iklan. Nuki berpendapat bahwa penggunaan olah digi-
tal harus proporsional. “Olah digital itu seperti make up, proporsional aja. Kalau
wanita nggak pakai make up kan terkesan begitu-begitu saja, tapi penggunaan
make up berlebihan dan menor pun juga membuatnya jadi tidak menarik. Foto
juga begitu, kalau olah digitalnya nggak ada sama sekali kadang terasa hambar,
walaupun tidak selalu. Tapi kalau olah digitalnya berlebihan juga nggak menarik.”
Ungkapnya. Untuk itu Nuki memandang perlu kedewasaan fotografer dalam bisa
melakukan porsi olah digital yang sesuai.
“Olah digital itu seperti make up, propor-sional aja. Kalau wanita nggak pakai make up
kan terkesan begitu-begitu saja, tapi peng-gunaan make up berlebihan dan menor pun
juga membuatnya jadi tidak menarik. Foto juga begitu, kalau olah digitalnya nggak ada
sama sekali kadang terasa hambar, walaupun tidak selalu. Tapi kalau olah digitalnya ber-
lebihan juga nggak menarik.”
48 EDISI VII / 2007
LIPUTANUTAMA
EDISI VII / 2007 49
LIPUTANUTAMA
Pengamat fotografi Subakti juga
berpendapat pernggunaan olah digital
sah-sah saja, terutama jika foto yang
dihasilkan untuk koleksi pribadi. Hanya
saja idealnya porsinya sesuai. “Kalau
berani nyebut fotografer ya banyakin
di fotografinya dong, jangan di pho-
toshopnya.” Tegasnya. Hal in senada
dengan pernyataaan Hary Suwanto,
seorang fotografer wedding yang
menjadi nara sumber kami pada edisi
terdahulu. Hary juga merasa tidak ke-
beratan akan pernggunaan olah digital
yang dominan sejauh sang pembuat
tidak menyebut diri sebagai fotografer.
Hal yang sedikit bertentangan per-
nah diungkapkan oleh Suherry Arno,
seorang print maker yang menjadi
nara sumber kami di edisi sebelumnya.
Suherry menegaskan proses olah digi-
tal layaknya proses kamar gelap jadi
bukan hal yang tabu. Selain itu Suherry
juga berpendapat bahwa kemampuan
untuk menentukan cara mengolah
foto tersebut juga merupakan keahlian
khusus yang sudah pasti melibatkan
cita rasa seni yang baik.
Tapi dari sekian banyak pengamat dan
pelaku fotografi yang kami wawan-
carai, sebagian besar menganggap
penggunaan olah digital harus bijak-
sana. Artinya sesuai keperluan dan
untuk itu dituntut kebesaran hati dari
sang pencipta foto tersebut. Kebesaran
hati untuk bisa mengakui bahwa ada
hal yang seharusnya dicapai melalui
fotografi dan ada hal yang memang
hanya bisa dicapai melalui olah digital.
Bagaimana caranya untuk bisa mem-
bedakan hal tersebut. Di edisi perdana
kami, Irvan Arryawan, seorang fo-
tografer fashion pernah berkata bahwa
jika olah digitalnya baru diketahui
belakangan, artinya motretnya belum
benar. Artinya ketika seorag fotografer
memiliki kemampuan fotografi yang
cukup maka fotografer harus menge-
tahui mana foto yang memang perlu
olah digital mana yang tidak. Dan
prose situ pun harus diketahui di awal,
bukan secara tidak sengaja di tengah-
tengah atau akhir pemotretan.
Yuslino, seorang pehobi foto yang
sudah lebih dari 15 tahun menda-
lami fotografi berpendapat bahwa
“Kalau berani nyebut
fotografer ya banyakin di
fotografinya dong, jangan di photoshopnya.”
50 EDISI VII / 2007
LIPUTANUTAMA
EDISI VII / 2007 51
PORTRAITUREPHOTOGRAPHY
dapat dimengerti jika seorang pemula melakukan olah digital lebih banyak
dari fotografinya. Namun seiring dengan bertambahnya jam terbang idealnya
fotografer bersangkutan harus berani menantang diri sendiri untuk mulai men-
gurangi porsi olah digital hingga pada titik benar-benar diperlukan saja. Yuslino
mengaku ketika sebuah foto dihasilkan dengan banyak olah digital padahal hal
tersebut bisa dicapai di fotografi artinya fotografer yang bersangkutan harus
lebih memperdalam fotografinya.
Untuk itu Ajie Lubis, seorang fotografer komersil yang juga mengajar mata kuliah
fotografi di berbagai perguruan tinggi selalu menekankan siswanya untuk men-
ganggap tidak ada teknologi olah digital ketika memotret. Hal ini untuk membia-
sakan fotografer yang bersangkutan untuk tidak bergantung dan manja terhadap
software olah digital.
Pada akhirnya, memang tidak ada aturan dan sanksi yang baku terhadap peng-
gunaan software olah digital pada penciptaan sebuah foto. Segala sesuatunya
dikembalikan kepada kita semua sebagai pencipta foto. Ada yang sangat puas
bila bisa menyulap foto jelek jadi bagus, ada yang justru puas ketika bisa meng-
hasilkan foto bagus dengan sentuhan olah digital seminim mungkin.
Bagaimana dengan Anda?
52 EDISI VII / 2007
DIGITALPROCESS
EDISI VII / 2007 53
DIGITALPROCESS
Setelah pada edisi lalu kita mempelajari tentang teori warna, kali ini kita akan
membahas hal yang masih berhubungan erat dengan teori warna tersebut yaitu
tonal.
Tonal adalah skala ukur sebuah foto dinilai dari bagian gelap terangnya. Seperti
kita ketahui ketika sebuah foto dihasilkan, ia akan menghasilkan gradasi gelap
terang. Distribusi tonal bisa dilihat dari histogram dari suatu foto. Histogram da-
pat kita temui pada kamera digital keluaran terbaru dan juga software pengolah
foto seperti Adobe Photoshop.
Tiga titik poin yang biasanya menjadi tolak ukur koreksi tonal adalah Shadow,
Midtone, Highlight. Banyak sekali pehobi fotografi yang mengenal hal ini namun
tidak banyak yang mengerti benar arti ketiga elemen tersebut terutama shadow
dan highlight.
Highlight sering disalah artikan sebagai titik paling terang dalam sebuah foto.
Sementara Shadow disalah artikan sebagai titik paling gelap dalam sebuah foto.
Di mana letak kesalahannya dalam pengertian di atas? Ya Highlight memang titik
paling terang dalam sebuah foto, tapi dengan syarat titik tersebut masih menyim-
pan detail atau jika dilihat dengan color picker nilai warnanya bukan C: 0%, M:0%,
Y:0%, K:0%. Atau jika dalam skala RGB bukan R:255, G:255, B:255. Sementara
Shadow sebaliknya, adalah titik paling gelap dimana masih menyimpan detail
sehingga bukan 100% black atau pada skala RGB bukan R: 0, G: 0, B: 0.
Sementara Midtone adalah daerah dimana terdapat tingkat ke-terang-an menen-
gah.
Pertanyaannya selanjutnya yang muncul adalah apakah sebuah foto selalu
memiliki distribusi tonal yang lengkap atau merata? Jawabannya tidak selalu.
Ada foto dimana distribusi shadownya dominan, ada yang sebaliknya distribusi
highlightnya yang dominana. Foto dengan distribusi shadow dominan di area
Shadow sering disebut Low Key. Sementara foto dengan distribusi highlight yang
dominan disebut Hi Key.
Terkadang sebuah foto tidak memiliki distribusi highlight atau shadow pada skala
optimal. Untuk menyiasati hal ini sebagian kalangan melakukan koreksi dengan
menggeser titik highlight atau shadow (tergantung mana yang tidak terdapat
distribusi) ke kurva di mana terdapat distribusi tonal. Hasilnya distribusi highlight
dan shadownya terpenuhi walaupun resikonya dengan meregangkan kurva
distribusi tonal ada kemungkinan akan ada titik-titik kosong di tengah gambar.
Hasilnya kontras foto meningkat namun gradasinya kurang halus, atau dalam
bahasa komputer grafis disebut posterize. Fasilitas autolevel yang terdapa pada
software RAW development dan software pengolah foto melakukan hal tersebut.
Artinya ketika kita mengaplikasikan fasilitas autolevel software tersebut meng-
geser distribusi tonalnya sehingga titik shadow dan highlight terpenuhi.
Karena tonal identik dengan gradasi terang gelap sebuah foto yang digambarkan
TONAL, BIT DEPTH & DYNAMIC RANGE
54 EDISI VII / 2007
DIGITALPROCESS
EDISI VII / 2007 55
DIGITALPROCESS
dengan warna hitam dan putih, banyak
pihak yang merasa tidak perlu mem-
pelajari tonal ketika tidak melakukan
pemotretan hitam putih. Hal ini tidak-
lah tepat karena bahkan foto warna
pun menyimpan distribusi tonal. Jika
kita lihat lebih lanjut, informasi warna
pada foto warna tersimpan pada chan-
nel. Jika mode warna yang digunakan
RGB maka channel yang terlihat Red,
Green & Blue. Jika mode warna yang
digunakan CMYK maka channel yang
terlihat adalah Cyan, Magenta, Yello, &
Black. Ketika kita ingin melakukan kore-
ksi warna, kita bisa melakukan koreksi
pada masing-masing channel yang
diinginkan, tidak harus semuanya. Dan
jika kita lihat informasi yang tersimpan
pada setiap channel, semuanya ditampilkan dalam black & white. Hal ini menun-
jukkan bahwa kemampuan koreksi tonal juga diperlukan ketika kita ingin melaku-
kan koreksi warna. Karena tiap channel tersimpan dalam informasi black & white.
Lebih jauh lagi, jika kita melihat proses pencetakan sebuah foto dengan teknologi
offset, maka sebelum foto tersebut dicetak, dibuatlah plat cetak yang isinya persis
seperti kita lihat pada channelnya. Persis seperti channel, plat cetak juga terbagi
dalam 4 lembar berisi informasi masing-masing Cyan, Magenta, Yellow dan Black.
Dan semuanya tersimpan dalam warna hitam dan putih.
Bit Depth & Dynamic Range
Sering kali sebuah pada sebuah kamera kita menemui keterangan; Dynamic
range: 12 bit. Sebenarnya apa arti Dynamic range? Dynamic range atau dalam
bahasa Indonesianya sering disebut rentang nada adalah banyaknya tingkatan
gradasi yang bisa ditampilkan oleh sebuah peralatan imaging atau foto yang diu-
kur dari highlight higga shadownya di setiap channel warnanya. Artinya semakin
Histogram terdistribusi dominan di midtone hingga highlight. Menunjukkan foto
cenderung hi key
Histogram terdistribusi domi-nan di shadow. Menunjukkan
foto cenderung low key
Histogram tidak full mengisi bidang. Fasilitas auto level secara otomatis akan menggeser slider yang tidak diisi histo-
gram ke posisi yang terdapat histogram.
Histogram hasil auto level. Kurva ter-disitribusi merata namun posterize. ada bagian yang kosong di tengah-tengah.
daerah tidak terisi histogram
56 EDISI VII / 2007
DIGITALPROCESS
EDISI VII / 2007 57
PORTRAITUREPHOTOGRAPHY
banyak kemampuan menampilkan
warna sebuah alat atau foto, semakin
besar dynamic rangenya. Untuk itu
kamera yag memiliki dynamic range
yang lebih luas tentunya memberika
keleluasaan lebih dalam melakukan
reproduksi warna. Atau bisa dikata-
kan semakin luas dynamic range nya
semakin bagus sebuah kamera. Ini
karena keleluasaan untuk menangkap
warna dari obyek foto aslinya tanpa
terjadi distorsi warna sangat besar. Jika
iklan film jaman dulu pernah berkata
“menangkap warna seindah aslinya”
artinya memang tidak ada warna yang
tidak bisa ditangkap dan direproduksi
dengan benar menjadi sebuah foto
tanpa adanya pergeseran nilai warna.
Namun bukan berarti foto yang memi-
liki dynamic range adalah foto yang
baik. Karena tidak semua foto yang
dynamic rangenya sempit tidak bagus.
Satuan untuk menyatakan dynamic
range tersebut atau yang sering
disebut bit depth adalah bit. Rumus
penghitungannya adalah 2 pangkat n,
di mana n adalah besarnya angka bit
depth. Sehingga 2 bit artinya kemam-
puan menampilkan warnanya adalah 2
pangkat 2 atau = 4.
Beberapa peralatan imaging mencan-
tumkan bit depthnya dalam satuan per
channel, misalnya 8 bit per channel.
Artinya kemampuan menampilkan
warna pada alat itu adalah 256 value
dalam setiap channelnya.
58 EDISI VII / 2007
WEDDINGPHOTOGRAPHY
EDISI VII / 2007 59
WEDDINGPHOTOGRAPHY
Beberapa tahun belakangan ini fotografi wedding tumbuh pesat. Kemudahan
menghasilkan gambar sebagai hasil perkembangan teknologi digital pada kam-
era sedikit banyak mempengaruhi perkembangan ini. Sayangnya, masih sangat
banyak pihak yang menganggap kualitas output bisnis fotografi wedding rata-
rata masih belum begitu menggembirakan. Banyak alasan yang muncul, mulai
dari ketatnya persaingan sehingga terjadi perang harga yang bermuara pada
menurunnya kualitas output hingga alasan-alasan klise seperti begitu banyaknya
fotografer yang terjun ke bisnis ini secara prematur. Seakan-akan merasa tidak
cukup dengan alasan-alasan tersebut, pemerhati fotografi wedding pun tidak
jarang mengkambing-hitamkan klien fotografi weding yang notabene adalah
orang awam yang rata-rata tidak melek seni sebagai salah satu alasn lain. Untuk
itu, kali ini kami mendapat kehormatan untuk boleh menghadirkan seorang
fotografer yang selain melakukan pemotrean produk juga cukup banyak melaku-
kan pemotretan wedding. Ia adalah Krisna Satmoko atau yang biasa dipanggil
KRISNA SATMOKO, MATANG DI JALUR OTODIDAK
60 EDISI VII / 2007
WEDDINGPHOTOGRAPHY
EDISI VII / 2007 61
WEDDINGPHOTOGRAPHY
Cheese. Cheese memiliki jam terbang
yang cukup tinggi. Dan yang membuat
kami tertarik untuk menghadirkannya
di sini adalah ketertarikannya untuk
menspesialisasikan diri pada candid
wedding di tengah begitu banyaknya
fotografer wedding yang lebih tertarik
pada pre wedding.
Cheese mengenal fotografi dari ayah-
nya. Kebetulan saja ayahnya memiliki
kamera dan banyak buku referensi
foto. “ayah saya punya banyak coffee
table book dengan foto yang bagus-
bagus. Tapi tidak punya buku teknis
fotografi. Akhirnya saya banyak belajar
dari sana. Saya tidak mempelajari
teknis seperti kebanyakan orang tapi
saya biasa melihat-lihat foto yang ba-
gus di buku itu. Setiap ada kesempatan
saya coba mengira-ngira cara pembua-
tan foto tersebut lalu mempraktekan-
nya.” Ungkapnya. “pernah saya lihat
foto rim light yang bagus sekali. Saya
coba cari tahu bagaimana cara mem-
buatnya. Waktu itu saya masih pakai
lampu belajar. Tidak pakai lampu untuk
motret.” Tambahnya.
Cheese tergolong otodidak dalam
“ayah saya punya banyak coffee table book dengan foto yang bagus-bagus. Tapi tidak punya buku teknis fo-tografi. Akhirnya saya banyak bela-jar dari sana. Saya tidak mempelajari teknis seperti ke-banyakan orang tapi saya biasa me-lihat-lihat foto yang bagus di buku itu. Setiap ada kesempatan saya coba mengira-ngira cara pembuatan foto tersebut lalu mempraktekan-nya.”
62 EDISI VII / 2007
WEDDINGPHOTOGRAPHY
EDISI VII / 2007 63
WEDDINGPHOTOGRAPHY
mempelajari fotografi “saya dulu
belajar motret waktu masih jamannya
analog. Setiap motret saya selalu bikin
log yang berisi keterangan exposure,
speed dari frame tersebut. Jadi ketika
saya cetak contact print saya bisa
lihat mana yang kurang dan kenapa.”
Ujarnya.
Awal keseriusan Cheese mendalami
fotografi sempat mendapat keraguan
dari keluarganya. Hal ini karena persep-
si fotografer bagi keluarganya adalah
orang yang berkelilng di tempat wisata
menawarkan jasa memotret. Namun
niat Cheese tidak perah surut. Ia pun
terus mendalami fotografi hingga
pada akhirnya ia bisa memeli kamera
dengan uangnya sendiri. Mulai saat itu
keluarganya mulai memperhitungkan
hobby Cheese.
Pada saat duduk di kelas 2 SMP,
Cheese ikut Alain Compost, seorang
fotografer nature & wild life ke dalam
hutan. Selama beberapa bulan Cheese
mempelajari fotografi nature & wild life
dari Alain Compost. Setelah beberapa
bulan ikut Alain Compost, Cheese
“Kerja sih butuh, tapi jangan
sampai diperbu-dak oleh
pekerjaan. Karena ketika
kita diperbudak pekerjaan
maka yang dipertaruhkan
adalah kuali-tas outputnya.
Motret terus-terusan setiap
hari justru akan memuat kita kayak mesin, produktifitas
tinggi tapi hasil-nya mirip-mirip saja. Nggak ada
yang baru dan segar.”
“Saya selalu menempatkan diri sebagai keluarga pengantin, walaupun mereka klien saya. Dengan begitu saya bisa ikut merasakan dan mengabadikan momen-momen menarik yang lebih da-lam, bukan sekedar membuat foto doku-mentasi.”
64 EDISI VII / 2007
WEDDINGPHOTOGRAPHY
EDISI VII / 2007 65
WEDDINGPHOTOGRAPHY
kembali ke Bandung dan menyelesaikan sekolahnya
dengan ikut ujian persamaan.
Lulus dari SMA, Cheese mencoba mendaftar ke juru-
san sinematografi IKJ. Setelah melalui proses seleksi,
ia pun diterima. Ketika masih duduk di tingkat awal
kuliahnya, Cheese sudah ditawari salah seorang
dosen yang memiliki gelar master dark room untuk
menjadi asisten dosen. Cheese pun awalnya meno-
lak karena merasa belum mampu menjadi asisten
dosen. Namun dengan bujukan dosennya ia pun
akhirnya menerima tawaran itu. Melalui pertemuan
yang intens itupun akhirnya cheese memutuskan
untuk berhenti kuliah di jurusan sinematografi dan
terjun menjadi fotografer still life. “waktu itu dosan
saya nanya; “kamu mau jadi apa kuliah di sini”. Saya
jawab saya mau jadi director of photography.”
Kenangnya. “lalu dia bilang, menurut saya kamu
ngak cocok jadi director of photography, selain itu
sekarang masanya film Indonesia sedang susah,
jadi lebih baik kamu jadi still life photgrapher. Dan
setelah menimang-nimang, saya pun memutuskan
untuk berhenti dari kuliah saya dan memutuskan
untuk jadi still life photographer.” Tambahnya.
Menjalani hidupnya sebagai fotografer, Cheese
memiliki prinsip yang sedikit bertolak belakang
dengan fotografer pada umumnya. Jika banyak
fotografer yang menginginkan pekerjaan banyak
Cheese malah sebaliknya. “Kerja sih butuh, tapi
“Saya nggak pernah suka memotret yang dibuat. Jadi saya lebih suka menangkap momen daripada membuat momen. Nggak suka banyak mengatur. Karena buat saya momen asli
itu tidak bisa diulang. Jadi suatu saat mereka lihat foto-foto yang saya buat, mereka bisa tertawa, atau menangis. Karena
semuanya asli dan memang itu yang ingin saya tangkap.”
66 EDISI VII / 2007
WEDDINGPHOTOGRAPHY
EDISI VII / 2007 67
WEDDINGPHOTOGRAPHY
“Banyak penga-nin yang orang tuanya terlalu banyak men-gatur fotonya harus bagaima-na. Memang sih orang tua yang ikut bayar pernikahan itu, tapi harus diingat bah-wa yang akan membawa foto itu sampai mati adalah pegan-tinnya bukan orang tuanya. Maka dari itu saya lebih banyak menu-ruti kemauan pengantin bukan orang tuanya.”
68 EDISI VII / 2007
WEDDINGPHOTOGRAPHY
EDISI VII / 2007 69
WEDDINGPHOTOGRAPHY
jangan sampai diperbudak oleh peker-
jaan. Karena ketika kita diperbudak
pekerjaan maka yang dipertaruhkan
adalah kualitas outputnya. Motret
terus-terusan setiap hari justru akan
memuat kita kayak mesin, produkti-
fitas tinggi tapi hasilnya mirip-mirip
saja. Nggak ada yang baru dan segar.”
Terangnya.
Berbicara mengenai fotografi wed-
ding, Cheese mulai memotret wedding
karena keluarga. “karena ada keluarga
yang nikah jadi saya yang diminta
motret. Kebetulan karena saya bagian
dari keluarga jadi saya tahu lebih
dalam. Misalnya saya tahu betul paman
saya nggak betah pakai belangkon,
nah ekspresi ketidaknyamanan dia me-
makai belangkon itulah yang menarik
buat saya.” Ungkapnya.
Cara ini pula yang ia terapkan ketika
harus memotret upacara pernikahan
kliennya. “Saya selalu menempat-
kan diri sebagai keluarga pengantin,
walaupun mereka klien saya. Dengan
begitu saya bisa ikut merasakan dan
mengabadikan momen-momen me-
narik yang lebih dalam, bukan sekedar
membuat foto dokumentasi.” Jelasnya.
“Saya nggak pernah suka memotret
yang dibuat. Jadi saya lebih suka me-
nangkap momen daripada membuat
momen. Nggak suka banyak mengatur.
Karena buat saya momen asli itu tidak
bisa diulang. Jadi suatu saat mereka
lihat foto-foto yang saya buat, mereka
bisa tertawa, atau menangis. Karena
semuanya asli dan memang itu yang
ingin saya tangkap.” Tambahnya.
Sama seperti kebanyakan fotografer
70 EDISI VII / 2007
WEDDINGPHOTOGRAPHY
EDISI VII / 2007 71
WEDDINGPHOTOGRAPHY
72 EDISI VII / 2007
WEDDINGPHOTOGRAPHY
EDISI VII / 2007 73
WEDDINGPHOTOGRAPHY
wedding, Cheese pun menemui ban-
yak tantangan di fotografi wedding.
“Banyak penganin yang orang tuanya
terlalu banyak mengatur fotonya
harus bagaimana. Memang sih orang
tua yang ikut bayar pernikahan itu,
tapi harus diingat bahwa yang akan
membawa foto itu sampai mati adalah
pegantinnya bukan orang tuanya.
Maka dari itu saya lebih banyak menu-
ruti kemauan pengantin bukan orang
tuanya.” Jelasnya.
Tantangan lain yang ditemui Cheese
berhubungan dengan kemuda-
han yang dihadrikan oleh kemajuan
teknologi digital. “Digital ini kan enak
sekali. Jepret aja terus nggak akan ada
habisnya, karena kalau memory card
“Digital ini kan enak sekali. Jepret aja terus nggak akan ada habisnya, Akhirnya banyak fotografer yang asal hantam saja, jepret sebanyak-banyaknya kalau perlu pakai con-tinuous shoot yang bisa sampai 5 frame per second. Sayangnya mood dan ekspresinya nggak dperhatikan akhirnya foto yang dihasilkan banyak tapi nggak banyak yang kepakai. Harus diin-gat juga mensortir dan mengolahnya juga repot dan ma-kan waktu. ”
74 EDISI VII / 2007
WEDDINGPHOTOGRAPHY
EDISI VII / 2007 75
WEDDINGPHOTOGRAPHY
penuh bisa dipindahin dan dipakai lagi. Akhirnya banyak fotografer yang asal
hantam saja, jepret sebanyak-banyaknya kalau perlu pakai continuous shoot yang
bisa sampai 5 frame per second. Sayangnya mood dan ekspresinya nggak dper-
hatikan akhirnya foto yang dihasilkan banyak tapi nggak banyak yang kepakai.”
Ungkapnya. “Harus diingat juga mensortir dan mengolahnya juga repot dan
makan waktu. Untuk itu saya nggak pernah jepret banyak-banyak. Seperlunya
saja yang penting tepat.” Tambahnya.
Orientasi Cheese pada kualitas rupanya juga terlihat dari bagaimana ia mengolah
fotonya. “banyak fotografer yang sudah punya team design, team album dan lain
sebagainya sehingga proses pengerjaan olah foto, layouting sampai cetak bisa
dilaukan dengan cepat karena dikerjakan beramai-ramai. Tapi saya biasa menger-
jakan sendiri. Karena saya yang motret jadi saya pasti tau betul mood di sana dan
mau dijadikan seperti apa. Menyusun album pun nggak asal pakai template. Tapi
disesuaikan dengan gaun sang pengantin, warna, property, dan lain sebagainya.
Begitu juga dengan proses digital imagingnya. Kelemahannya memang proses
pengerjaannya lebih lama, tapi lebih personal hasilnya, jadi nggak mirip antar
satu dengan yang lain.” Jelasnya. Untuk itu Cheese hanya membatasi pekerjaan
memotret wedding paling banyak sampai 2 klien per bulannya, itupun harus
berjauhan jaraknya. “Kalau setiap hari motret wedding, kapan ide segarnya mau
keluar. Akhirnya hasilnya mirip-mirip deh.” Tegasnya.
Menyikapi persaingan di kalangan fotografer wedding yang semakin tidak
karuan, Cheese mengharapkan suatu saat ada asosiasi yang bisa menjadi wadah
para fotografer wedding dimana ada regulasi dan etika yang jelas. “Harusnya
ada pembagian mana fotografer yang kelasnya senior, mana yang intermediate,
mana yang beginner. Masing-masing punya harganya sendiri dan tidak boleh
naik atau turun harga seenaknya. Dengan begitu yang junior nggak akan mema-
kan pasar yang senior begitu juga sebaliknya.” Ujarnya.
76 EDISI VII / 2007
WEDDINGPHOTOGRAPHY
EDISI VII / 2007 77
WEDDINGPHOTOGRAPHY
78 EDISI VII / 2007
WEDDINGPHOTOGRAPHY
EDISI VII / 2007 79
WEDDINGPHOTOGRAPHY
Namun hingga saat ini Cheese merasa
tidak perlu ikut-ikut banting harga
seperti yang banyak dilakukan fo-
tografer wedding lain. “Harga yang
kita tetapkan adalah cara bagaimana
kita menghargai diri kita dan kemam-
puan kita. Kalau kita banting harga
artinya kita nggak menghargai diri
kita. Tapi kalau kita memasang harga
yang terlalu tinggi juga nggak benar,
kesannya kita terlalu sombong men-
empatkan harga diri lebih tinggi dari
sewajarnya.” Ungkapnya. “Sebenarnya
klien baru merasa harga fotografi fee
mahal ketika mereka melihat hasilnya
tidak senilai dengan harganya. Untuk
itu, sesuaikanlah harga dengan kualitas
kita.” Tambahnya.
Berbicara mengenai fotografer ju-
nior, Cheese melihat sesuatu yang
kurang menggembirakan. “Jujur saja,
saya melihat anak sekarang karbitan.
Mungkin karena dengan teknologi
digital memotret jadi jauh lebih mu-
dah. Padahal memotret bagus masih
susah.” Tegasnya. “Tidak heran banyak
fotografer muda yang latah. Mereka
hanya bisa meniru. Apa yang dibuat
“Harga yang kita tetapkan adalah cara bagaimana kita menghargai
diri kita dan ke-mampuan kita.
Kalau kita banting harga artinya kita
nggak menghargai diri kita. Tapi ka-
lau kita memasang harga yang terlalu tinggi juga nggak
benar, kesannya kita terlalu som-
bong menempat-kan harga diri lebih
tinggi dari sewajarnya.”
“Ketika kita meniru fotonya Artli kita
nggak jadi artli, kita hanya jadi peniru-
nya Artli.”
80 EDISI VII / 2007
WEDDINGPHOTOGRAPHY
EDISI VII / 2007 81
WEDDINGPHOTOGRAPHY
fotografer lain yang lebih senior atau yang selevel akan dibuat juga oleh mereka.
Sah-sah saja belajar motret dengan meniru foto orang lain. Tapi usahakan ketika
meniru foto orang lain kita harus kasih sesuatu yang beda yang bagus dan segar.
Kasih warna kita sendiri.” Tambahnya. “Ketika kita meniru fotonya Artli (fotografer
komersil- red.) kita nggak jadi artli, kita hanya jadi penirunya Artli.” Tegasnya.
Cheese merasa seharusnya setiap fotografer yang ingin belajar memotret
memulai dari kamera analog. Karena dengan belajar dari kamera analog setiap
fotografer bisa mengerti betul bagaimana menghasilkan foto yang benar. “Bagi
saya sendiri the real photography adalah analog fotografi itu sendiri. Puasnya
beda.” Ungkapnya.
Selain itu fotografer junior harus paham bahwa fotografer itu lahir melalui jam
terbangnya. Maka dari itu banyak-banyaklah berlatih. Berlatih melihat dunia dari
jendela yang kecil. Perhatikan momennya, jangan hanya teknisnya. “Motret yang
“Motret yang paling benar itu dengan feeling, bukan dengan hitung-hitungan teknis. Maka dari itu kalau memotret jangan hanya pakai mata, tapi juga hati.”
paling benar itu dengan feeling, bukan
dengan hitung-hitungan teknis. Maka
dari itu kalau memotret jangan hanya
pakai mata, tapi juga hati.” Tambahnya.
Kecanggihan teknologi sepertinya
memang cukup mengkhawatirkan
perkembangan kemampuan fotografi
pada fotografer junior setidaknya
bagi Cheese. “Harus diingat fotografer
bagus tidak ditentukan dari kamer-
anya. Justru banyak orang yang punya
kamera otomatis canggih tapi malah
jadi nggak kreatif, karena semuanya
serba ada, jadinya manja dan tidak
mau usaha.” Tegasnya.
Akhirnya Cheese juga berbagi tips
untuk mereka yang ingin mempelajari
fotografi wedding terutama candid
fotografi. “Cara melihat momen, jangan
menganggap diri sebagai fotografer,
tapi sebagai keluarga dari pengantin.
Dengan begitu kita bisa menangkap
momen-momen menarik yang asli, bu-
kan buatan. Selain itu, selalu berusaha
bikin yang beda dan lebih menarik.
Jangan hanya bisa meniru.” Tutupnya.
“Harus diingat fotografer ba-gus tidak di-tentukan dari kameranya. Justru banyak orang yang pu-nya kamera oto-matis canggih tapi malah jadi nggak kreatif, karena semuan-ya serba ada, jadinya manja dan tidak mau usaha.”
Thanks to: 1. KPH Wironegoro & GKR Pembayun
2. Mita & Bradly
82 EDISI VII / 2007
THEINSPIRATION
EDISI VII / 2007 83
THEINSPIRATION
Dari sekian banyak fotografer yang pernah hadir di majalah ini, beberapa orang
menekankan hal senada dalam hal menjadi fotografer yang baik. Hal tersebut
adalah “peka”. Ya fotografer memang dituntut untuk peka. Peka terhadap hal-hal
menarik yang selalu terlewatkan dari radar kreatifitas kita. Peka terhadap pem-
baruan-pembaruan yang bisa membuat foto kita menjadi memiliki sesuatu yang
menarik tanpa harus menjai super aneh.
Saya mengartikan “peka” yang sering disebut beberapa nara sumber kami
tersebut mirip seperti kreatifitas. Orang yang peka artinya orang yang memiliki
kemampuan untuk menjadi kreatif. Dia bisa melihat hal-hal yang tidak terlihat
menarik dengan kacamata sehari-hari yang kita lihat, namun ketika dengan satu
angle tertentu, dengan satu pencahayaan tertentu, dengan satu tulisan essay
yang menyertai foto tersebut, segalanya jadi indah dan memiliki nilai tambah.
Yang akan saya bicarakan di sini bukanlah betapa pentingnya peka atau menjadi
kreatif, namun bagaimana caranya menjadi peka atau menjadi kreatif? Banyak
orang sangat ingin menjadi kreatif. Kreatif tidak pernah dan tidak akan pernah
menjadi monopoli pihak-pihak tertentu, semua orang bisa dan boleh menjadi
kreatif. Jika boleh dikatakan monopoli,
mungkin kreatif akan menjadi mo-
nopoli orang yang memeng memper-
juangkannya. Nah bagaimana mem-
perjuangkannya?
Beberapa tahun yang lalu saya pernah
membaca sebuah buku yang berisi ten-
tang interview beberapa orang tokoh
periklanan dunia. Ya buku itu memang
buku yang memuat perbincangan dan
pemikiran tentang iklan, tapi lagi-lagi
saya sangat yakin bahwa sama seperti
kreatifitas, buku itupun bukan
monopoli pekerja iklan.
Satu hal yang menarik dan masih saya
ingat dalam buku itu adalah satu per-
tanyaan yang ditanyakan penulis buku
itu ke semua nara sumbernya. Pertan-
yaannya kurang lebih sebagai berikut,
“bagaimana anda menghasilkan ide
untuk iklan-iklan anda? Apa saja yang
anda lakukan untuk menjadi kreatif?”
Nara sumber yang dihadirkan da-
lam buku itu bukanlah nara sumber
kacangan, melainkan tokoh-tokoh
yang bukan sekedar bekerja di indus-
tri periklanan namun bisa dikatakan
yang ikut “mendirikan” dan membuat
MERUMUSKAN FORMULA TO BE CRATIVE
“Saya berlatih menjadi kreatif dengan men-coba meng-gabungkan banyak hal. Menggabung-kan hal yang baru dengan yang lama, hal yang baik den-gan yang jelek, hal yang berla-wanan, hal yang sejalan, dan lain sebagainya. Dengan begitu saya menemukan banyak sekali kombinasi hal-hal baru dari hal-hal yang sudah pernah ada.”
84 EDISI VII / 2007
THEINSPIRATION
EDISI VII / 2007 85
THEINSPIRATION
periklanan dikenal dunia. Di sana ada
nama-nama seperti David Ogilvy &
Leo Burnett serta nama-nama lainnya
yang pasti dikenal oleh pelaku industri
periklanan dimanapun di dunia ini.
Nara sumber yang pertama menjawab,
dia bercerita bahwa ide adalah sesuatu
hal yang mahal. Ia sering datang tanpa
diundang. Seringkali ketika kita sedang
berada di halte bis, di toilet, sedang
mengantar saudara ke rumah sakit
ide datang. Dan lebih kurang ajarnya
lagi ide yang datang itu benar-benar
brilian. Ya, ide bagus memang tidak
pernah mengenal tempat dan waktu.
Terkadang datang ketika kita baru saja
bersiap untuk tidur sehingga kita tidak
tertarik untuk menggalinya lebih da-
lam lagi. Nara sumber yang pertama ini
berkata, untuk mengatasai hal tersebut
saya selalu membawa sebuah buku
catatan kecil dan alat tulis sekedarnya.
Sehingga kapanpun dimanapun ide
itu datang, saya akan mencatatnya dan
mudah-mudahan suatu saat ketika
saya dihadapkan pada situasi dimana
saya harus mencari ide saya akan
mencoba membuka-buka lembaran
catatan kecil saya sambil berharap ada
ide yang cocok dan bisa dipakai. Yang
menarik adalah, teknik ini diyakininya
bukan sekedar membuat kita untuk
membuat bank ide, tapi juga men-
stimulus kita untuk menjadi lebih peka,
karena kita selalu siap akan ide-ide
yang akan datang.
Nara sumber yang selanjutnya memi-
liki jawaban yang lain. Dia berkata
“Saya berlatih menjadi kreatif dengan
mencoba menggabungkan banyak
hal. Menggabungkan hal yang baru
dengan yang lama, hal yang baik den-
gan yang jelek, hal yang berlawanan,
hal yang sejalan, dan lain sebagainya.
Dengan begitu saya menemukan
banyak sekali kombinasi hal-hal baru
dari hal-hal yang sudah pernah ada.”
Seorang teman saya yang kebetulan
juga membaca buku itu juga mencoba
menegaskan “coba saja kita lihat,
manusia dilahirkan melalui proses
kombinasi dari dua hal yang sudah ada,
dua hal yang bukan hal baru. Tapi yang
penting pada akhirnya dua hal yang
tidak baru lagi itu menghasilkan hal
yang baru.” Bahkan proses penggabun-
gan dua hal yang tidak baru pun bisa
dilakukan dengan berbagai macam
cara sehingga menghasilkan hal yang
berbeda tiap outputnya. Kita bisa me-
mainkan prosentase yang berbeda dari
masing-masing hal yang dikombinasi-
kan tersebut hingga akhirnya hal baru
yang didapat pun berbeda-beda.
Proses mengkombinasikan hal-hal
lama tersebut secara tidak sadar akan
menciptakan ruang di otak kita untuk
menjadi lebih terbuka pada hal yang
baru, atau dengan kata lain menjadi
coba saja kita lihat, manusia dilahirkan mela-lui proses kom-binasi dari dua hal yang sudah ada, dua hal yang bukan hal baru. Tapi yang penting pada akhirnya dua hal yang tidak baru lagi itu menghasilkan hal yang baru.”
86 EDISI VII / 2007
THEINSPIRATION
EDISI VII / 2007 87
THEINSPIRATION
lebih peka. Bayangkan saja ketika rock digabungkan dengan keroncong, ketika
seni lukis digabungkan dengan fotografi, ketika warna coklat tua yang berkesan
klasik dikombinasikan dengan silver atau gold yang bernuansa modern,
semuanya akan menghasilkan warna baru, rasa baru dan juga pengalaman baru
yang membuka satu sekat lagi di otak kita untuk lebih terbuka sambil berkata “oh,
bisa jadi gini hasilnya.”
Beralih sebentar ke teknik menjadi kreatif yang dilakukan oleh seorang teman
saya. Dia memiliki teknik menjadi kreatif yang juga tidak kalah uniknya. Dia
berkata bahwa manusia menjadi tidak kreatif ketika berusaha menutup diri pada
kemungkinan-kemungkinan baru. Untuk itu dia selalu menjalankan gaya hidup
yang mencoba terbuka terhadap berbagai kemungkinan, terhadap pengalaman-
pengalaman baru. Dia selalu berkata, jika kamu biasa berangkat kerja jam 7 pagi,
coba berangkat jam 6 atau jam 9. Jika kamu biasa berangkat kerja naik kendaraan
umum, coba sesekali menyewa mobil dan menyetir sendiri ke kantor, atau coba
berjalan kaki atau naik sepeda. Jika kamu biasa berpakaian kemeja dan celana ba- han yang rapih ketika kerja, coba men-
genakan jeans dan kaos oblong. Jika
biasanya kamu mendengarkan musik
pop, coba jazz, dangdut, keroncong,
blues, dll. Jika biasanya makan nasi,
coba ganti dengan kentang atau roti,
dan lain sebagainya. Proses mencoba
hal-hal yang baru ini akan menghadir-
kan pengalaman baru buat kita, sudut
pandang yang baru, pola pikir yang
baru dan ini akan melatih otak kita un-
tuk lebih terbuka, lebih peka dan pada
akhirnya lebih kreatif.
Pada akhirnya, dari semua teknik unuk
menjadi kreatif yang diyakini orang,
justru ada satu jawaban dari satu nara
sumber pada buku yang saya ceritakan
di awal yang membuat saya menemu-
kan betul formula untuk menjadi kre-
atif. Ya memang banyak sekali orang
mencoba merumuskan rumus untuk
menjadi kreatif. Tapi jika memang bisa
Bayangkan saja ketika rock digabung-kan dengan keroncong, ketika seni lukis
digabungkan dengan fotografi, ketika warna coklat tua yang berkesan klasik
dikombinasikan dengan silver atau gold yang bernuansa modern,
semuanya akan menghasilkan warna baru, rasa baru dan juga pengalaman
baru yang membuka satu sekat lagi di otak kita untuk lebih terbuka sambil ber-
kata “oh, bisa jadi gini hasilnya.”
Proses mencoba hal-hal yang baru
ini akan menghad-irkan pengalaman
baru buat kita, sudut pandang yang baru, pola
pikir yang baru dan ini akan melatih otak kita untuk
lebih terbuka, lebih peka dan pada akh-
irnya lebih kreatif.Ya memang banyak sekali orang men-coba merumuskan rumus untuk men-jadi kreatif. Tapi jika memang bisa diru-muskan, bukankah semua orang pada akhirnya bisa men-jadi kreatif ketika mengetahui ru-musnya? Dan ke-tika semua orang sam kreatifnya bukan berarti se-mua orang menjadi sama tidak kreatif-nya?
88 EDISI VII / 2007
THEINSPIRATION
EDISI VII / 2007 89
THEINSPIRATION
dirumuskan, bukankah semua orang
pada akhirnya bisa menjadi kreatif ke-
tika mengetahui rumusnya? Dan ketika
semua orang sama kreatifnya bukan
berarti semua orang menjadi sama
tidak kreatifnya?
Untuk itu saya benar-benar terse-
nyum dan menggeleng-gelengkan
kepala ketika membaca jawaban dari
nara sumber terakhir pada buku itu.
Karena menurut saya orang ini telah
berhasil merumuskan formula un-
tuk menjadi kreatif tanpa membuat
formula tersebut menjadi kadaluarsa.
Ia berkata “to rule to be creative is no
rule.” Yang kurang lebih artinya “aturan
untuk menjadi kreatif adalah tidak ada
aturan.” Artinya ketika kita mencoba
membuat aturan untuk menjadi kreatif,
semua orang akan mengikuti aturan itu
dan semua orang menajdi kreatif juga.
Untuk itu untuk menjadi kreatif adalah
no rule.Sebagian orang berhak untuk men-
gartikan perkataan ini sesuai dengan
teknik menjadi kreatif yang teman saya
utarakan, yaitu mencoba membuang
rutinitas, mencoba hal yang baru, jika
biasanya mendengarkan lagu pop kini
tidak ada aturan yang mengharuskan
kita untuk untuk mendengarkan lagu
pop, untuk itu cobalah dengarkan lagu dengan aliran lain. Tidak harus jazz, tidak
harus dangdut, apa saja seolah-olah tidak ada aturan yang menghadirkan harga
mati.
Ya dengan membatasi diri pada aturan-aturan tertentu mungkin kita telah mem-
batasi diri dari koridor kreatifitas dimana banyak hal dimungkinkan. Bagaimana
dengan hobi dan profesi kita di bidang fotografi? Apakah selama ini kita terlalu
dikekang dengan rumus-rumus yang menyimpan variable harga mati atau kita
sudah memberikan pikiran kita untuk terjun ke dunia kreatifitas yang seolah-olah
tidak memiliki harga mati. Memungkinkan segala kemungkinan terjadi, segala
pengalaman baru untuk hadir dan memperkaya diri sehingga pada akhirnya se-
cara tidak sadar pun diri kita sudah selangkah lebih maju untuk lebih peka, lebih
kreatif.
“to rule to be
creative is no
rule.” dengan mem-
batasi diri pada aturan-aturan
tertentu mung-kin kita telah
membatasi diri dari koridor
kreatifitas dima-na banyak hal
dimungkinkan.
90 EDISI VII / 2007
JURNALISTIKPHOTOGRAPHY
EDISI VII / 2007 91
JURNALISTIKPHOTOGRAPHY
Hampir semua pehobi fotografi di Indonesia pernah mendengar nama Oscar
Motuloh. Bagi mereka yang sudah cukup lama berkenalan dengan dunia fotografi
pasti mengetahui benar kharisma yang ditimbulkan dari nama besar dan foto-
foto bernyawa yang selalu ia hasilkan. Sementara bagi mereka yang belum lama
berkenalan dengan fotografi setidaknya pernah mendengar kedigjayaan naman-
ya. Pada edisi ini kami mendapat kehormatan untuk boleh diterima di ruangan
kantornya di sebuah gedung tua di kawasan Pasar Baru, Jakarta Pusat untuk
sedikit “mencuri” ilmu dari salah satu maestro fotografi Indonesia ini.
“Saya mungkin bukan contoh yang tepat untuk belajar fotografi karena saya
kenal fotografi agak terlambat.” Ungkapnya membuka pembicaraaan kami. “saya
baru mempelajari fotografi secara teknis sekitar umur 30-an. Waktu itu saya ber-
gabung dengan (kantor berita) Antara sebagai reporter. Pada masa itu beberapa
orang fotografer senior banyak yang
pensiun dalam waktu relatif bersa-
maan. Maka dari itu saya dijebloskan
untuk belajar fotografi.” Tambahnya.
Pengalamannya sebagai reporter
dalam meliput berita dirasa cukup
membantunya memperdalam fo-
tografi. “Fotografer tugasnya mengo-
lah perpustakaan yang ada di kepala
kita menjadi gambar dalam bentuk riil
yang bisa kita lihat. Artinya waktu saya
menulis suatu artikel, ada gambaran di
kepala saya tentang berita itu. Itulah
yang membantu saya dalam memper-
dalam fotografi, karena saya mengerti
pemikiran dibalik penciptaan sebuah
foto.” Tegasnya. “Hal itu sangat mem-
bantu ketika saya harus memotret,
karena saya tahu kurang lebih tulisan-
nya akan seperti apa, jadi gambarnya
bagusnya seperti apa.” Tambahnya.
Berbicara mengenai profesi fotografer
terutama jurnalistik oscar melihat hal
terpenting dalam fotografi jurnalistik
adalah ketika fotografer dituntut untuk
menyingkirkan segala macam hal dan
menyisakan hanya esensi dari foto
tersebut. “Ketika itu dicapai, fotonya
BERGURU DARI ICON FOTOGRAFI JURNALISTIKAN INTERVIEW WITH OSCAR MOTULOH
“Fotografer tugasnya mengolah per-pustakaan yang ada di kepala kita menjadi gambar dalam bentuk riil yang bisa kita lihat. Artinya waktu saya menulis suatu artikel, ada gambaran di kepala saya tentang berita itu. Itulah yang membantu saya dalam mem-perdalam fo-tografi, karena saya mengerti pemikiran diba-lik penciptaan sebuah foto.”
92 EDISI VII / 2007
JURNALISTIKPHOTOGRAPHY
EDISI VII / 2007 93
JURNALISTIKPHOTOGRAPHY
jadi “bunyi”.” Ungkapnya. “Untuk men-
capai hal itu hal paling mendasar yang
harus dilakukan adalah percaya diri.
Karena tanpa percaya diri semua itu
nggak akan bisa tercapai.” Lanjutnya.
Hal ini jadi jauh lebih menarik lagi keti-
ka kepercayaan diri seorang fotografer
jurnalistik harus bertemu dengan
karakter foto jurnalistik yang disebut
Oscar sebagai “bukan pemeran utama”.
“Fotografi jurnalistik adalah fotografi
yang bukan itu intinya. Fotografi
jurnalis tidak pernah jadi hi end karena
intinya adalah sarana menyampaikan
pesan, bukan tujuan.” Tegasnya.
Oscar memandang fotografi jurnalistik
hanya sebagai sarana untuk mengajak
pembaca membaca berita. “Ketika
seseorang membaca Koran, yang
membuat berita jadi menarik dibaca
selain tulisannya adalah fotonya. Dan
memang itu tugas fotografer jurnalis,
yaitu menarik perhatian pembaca un-
tuk membaca lebih jauh lagi. Untuk itu
hal paling penting dalam fotografi jur-
nalistik adalah eye catching. Semakin
foto tersebut eye catching semakin
ia berhasil menjalankan tugasnya.”
Ungkapnya.
Bagaimana caranya agar foto bisa men-
jadi eye catching, Oscar melihat banyak
cara untuk mencapai hal tersebut. “Bisa
dengan pengambilan angle yang unik,
komposisi yang striking, dan permain-
an teknis fotografi lainnya.” Jelasnya.
Untuk itu, bagi pemula yang ingin
terjun di dunia fotografi jurnalistik
Oscar berpesan agar anda menyadari
bahwa pewarta foto adalah wartawan
yang dilengkapi dengan kamera. Pada
akhirnya tugas pewarta foto adalah
menciptakan foto yang bisa menjadi
hal terpenting dalam fotografi
jurnalistik adalah ketika
fotografer dituntut untuk menyingkirkan segala macam
hal dan menyisakan
hanya esensi dari foto
tersebut. “Ketika itu dicapai, fo-tonya jadi “bu-
nyi”.”
“Fotografi jur-nalistik adalah fotografi yang
bukan itu intin-ya. Fotografi jur-
nalis tidak per-nah jadi hi end karena intinya adalah sarana
menyampaikan pesan, bukan
tujuan.”
“Ketika seseorang membaca Koran, yang membuat berita jadi menarik dibaca selain tu-lisannya adalah fotonya. Dan me-mang itu tugas fotografer jurnalis, yaitu menarik per-hatian pembaca untuk membaca lebih jauh lagi. Un-tuk itu hal paling penting dalam fo-tografi jurnalistik adalah eye catching. Semakin foto tersebut eye catching semakin ia berhasil men-jalankan tugasnya.”
94 EDISI VII / 2007
JURNALISTIKPHOTOGRAPHY
EDISI VII / 2007 95
JURNALISTIKPHOTOGRAPHY
hook untuk menarik pembaca membaca lebih jauh lagi. Selain itu Oscar juga
berpesan agar pewarta foto tidak bermimpi menjadi artis atau selebriti. “Harus
diingat tugasnya di balik layar. Bahkan hanya menciptakan hook” Terangnya.
Pembicaraan kami pun berkembang jauh dari sekedar berbicara mengenai
fotografi jurnalistik. Mengingat reputasinya yang cukup baik sebagai kurator foto,
kami pun menggali lebih dalam tentang segala hal mengenai kurator foto.
“Kurator tidak sekedar mengedit foto, tapi bersama pembuatnya menghadirkan
yang tidak ada menjadi ada. Tugas kurator seperti menyusun puzzle, terkadang
harus menjahit, terkadang harus mempermak, intinya membuat foto yang ketika
disusun jadi bisa “bunyi”.” Jelasnya. “Ada pengalaman pribadi dari foto-foto terse-
but, dan pada akhirnya diapresiasi oleh orang lain.” Tambahnya.
Oscar melihat terkadang ide dari pencipta foto dan kuratornya bisa berbeda dan
itu sah-sah saja. “ide bisa berbeda karena pengalamannya berbeda. Yang pent-
ing jangan cuma bisa ikut-ikutan. Banyak orang yang hanya ikut-ikutan, kalau
kuratornya bilang bagus, jadi ikutan bilang bagus dengan segala macam alasan
komposisinya lah, garisnya lah, apalagi
kalau kuratornya terkenal.” Ungkapnya.
Hal ini menunjukkan masih minimnya
apresiasi masyarakat Indonesia terh-
adap fotografi. “Idealnya hasil lomba
selalu dipamerkan untuk menda-
pat feedback, jadi semua orang ikut
belajar untuk menilai dan mengapre-
siasi. Walaupun bisa beragam tapi itu
mencerdaskan.” Ungkapnya.
Edukasi media massa juga berperan
dalam melatih pembaca untuk men-
gapresiasi foto. Selain itu komunitas-
komunitas fotografi juga seharusnya
bertanggung jawab untuk membuat
orang menjadi kritis. “Jujur sama
diri sendiri nggak cuma ikut-ikutan.”
Tegasnya. “Kejujuran kritik adalah hal
yang paling diharapkan oleh semua
pencipta foto tapi memang kritik
dan sirik terkadang perbedaannya
tipis.” Sambungnya sambil tertawa.
Lanjutnya, “untuk itu kita harus selalu
bisa menerima kritik dengan lapang
dada, apalagi jika datangnya dari hati.
Masyarakat awam pun diajak untuk
belajar mengapresiasi.”
Banyak teknik untuk melihat dan men-
“Kurator tidak sekedar mengedit foto, tapi bersama pembuatnya menghadir-kan yang tidak ada menjadi ada. Tugas
kurator seperti menyusun puzzle, terka-dang harus menjahit, terkadang harus
mempermak, intinya membuat foto yang ketika disusun jadi bisa “bunyi”.
Ada pengalaman pribadi dari foto-foto tersebut, dan pada akhirnya diapresiasi
oleh orang lain.”
“ide bisa berbeda karena pengala-mannya berbeda. Yang penting jangan cuma bisa ikut-ikutan. Banyak orang yang hanya ikut-ikutan, kalau kuratornya bilang bagus, jadi ikutan bilang bagus dengan segala macam alasan komposisinya lah, garisnya lah, apalagi kalau kura-tornya terkenal.”
96 EDISI VII / 2007
JURNALISTIKPHOTOGRAPHY
EDISI VII / 2007 97
JURNALISTIKPHOTOGRAPHY
gapresiasikan foto. “dulu ada 8 teknik
melihat Bauhauss. Teknik itu melibat-
kan emosi, rasa dan segala macam
pakem, namun karena segala sesuatu-
nya berkembang akhirnya banyak yang
ditabrak.” Ungkapnya. “Perkembangan
atau perubahan ini harus ditanggapi
positif, walaupun berusaha mendobrak
pakem yang sudah lama diyakini.”
Sambungnya. “Foto yang menarik buat
saya adalah yang simple, kesederha-
naan yang kuat namun menyentuh.”
Ungkapnya.
Dalam mengkuratori foto Oscar selalu
melihat nilai historisnya. “Siapa yang
membuat, mencoba membaca jejak
yang ditinggalkan foto tersebut.”
Selanjutnya Oscar mencoba membaca
semua nilai yang menjadi landasan
subyektif foto tersebut. Dengan begitu
ia bisa menggali “bunyi” dari foto
tersebut.
Pada akhirnya, Oscar juga menyempat-
kan diri untuk menulis sebuah essay
tentang beberapa fotonya sebagai
berikut.
GALANG BLUES
Penderitaan perang yang berkepanjangan ternyata belum cukup bagi sebagian
rakyat Vietnam. Setelah Saigon jatuh ke tangan Hanoi pada penghujung April
1975, perdamaian ternyata tak pernah kunjung datang. Apalagi bagi orang-orang
Vietnam Selatan yang dianggap menjadi pecundang dalam perang ciptaan Amer-
ika Serikat tersebut.
Dalam keputusasaan yang sangat, dan demi secuil harapan, mereka memutuskan
meninggalkan tanah tumpah darah mereka. Sejak itu lautan China Selatan diban-
jiri jutaan manusia perahu. Mereka berlayar dalam kepasrahan, membawa sanak
keluarga, mencoba menjauhkan trauma perang saudara dari memori mereka.
Hari itu, almanak menunjukkan 22 Mei 1975, sebentuk perahu kayu memasuki
perairan Indonesia. Membawa 25 penumpang berbagai usia, dengan wajah kuyu
dan tatapan hampa, mereka berhasil menyentuh pantai Pulau Laut di wilayah
Kep. Riau. Rombongan mereka tercatat sebagai gelombang pertama manusia
perahu pertama yang mendarat di Indonesia.
Dengan singkat rombongan manusia perahu datang mengalir bagai bah, dalam
waktu singkat jumlah mereka telah mencapai 45.000 jiwa, mereka mendarat di
Tanjung Unggat, Air Raja dan Bintan Timur.
Mereka berlayar dengan ”tiket” sekali jalan. Menyerahkan nasib pada takdir dan
membiarkan kemanapun kemudi membawa mereka. Tak dapat ditaksir berapa
puluh ribu jiwa yang melayang dalam pelayaran maut itu. Jika lolospun mereka
terkadang harus berhadapan dengan bajak laut China Selatan yang bengis.
“Kejujuran kritik adalah hal yang paling diharap-kan oleh semua
pencipta foto tapi memang kritik dan sirik
terkadang perbedaannya
tipis.”
“Foto yang me-narik buat saya
adalah yang simple,
kesederhanaan yang kuat
namun menyentuh,”
98 EDISI VII / 2007
JURNALISTIKPHOTOGRAPHY
EDISI VII / 2007 99
JURNALISTIKPHOTOGRAPHY
100 EDISI VII / 2007
JURNALISTIKPHOTOGRAPHY
EDISI VII / 2007 101
JURNALISTIKPHOTOGRAPHY
Seperti terbetik dalam sepenggal puisi pengungsi.
Somebody could safely anchor
Though we don’t mention pirates
Oh! My boat was robbed at times
Oh! How cruel the pirate were
Badai manusia perahu melanda dunia. Eksodus penderitaan terbesar dalam
sejarah bangsa-bangsa dunia. Diperkirakan 12 juta warga Vietnam dan Kamboja
(yang juga mengalami krisis politik akut) membanjiri samudra Pasifik dalam rasa
ketakutan yang luar biasa. Lagi-lagi, politik peperangan hanya mencoreng wajah
bumi dan mencemari sejarah peradaban umat manusia dimanapun kekerasan itu
meletup.
Ketika pulau Galang ditetapkan sebagai pusat penampungan sementara oleh
pemerintah Indonesia bekerjasama dengan badan pengungsi PBB (UNHCR), jum-
lah pengungsi Vietnam dan Kamboja telah mencapai 250.000 ribu jiwa. Mereka
bergotong royong membangun sarana ibadah, pelatihan bahasa, ketrampilan,
kuburan, serta lahan-lahan perkebunan dalam skala kecil. Kelompok mudanya
malah sempat menerbitkan koran berbahasa Vietnam bernama ”Tu Do” (ke-
merdekaan) bertiras 500 kopi.
Dalam duapuluh tahun sejak pendaratan pertama, UNHCR berhasil menyalurkan
170.000-249.000 pengungsi pulau Galang ke Negara ketiga. Hingga pendanaan
mereka habis pada 1996, maka pemeritah Indonesia yang mengambil inisiatif
mengembalikan 4,570 pengungsi yang masih bertahan di pulau itu kembali ke
tanah kelahirannya dengan menumpang KRI.
Siang terik itu, sebelas tahun kemudian, seorang perempuan berusia 27-an
berjalan perlahan di antara nisan-nisan dipemakaman Nghia Thrang. Pemakaman
khusus bagi para pengungsi. Dengan
cermat dia mengamati satu persatu
penanda nisan, sebelum berhenti di
dekat undakan ketiga areal kuburan
yang menyerupai bukit itu.
Dia melipat tangannya, membiarkan
kacamata hitam menempel di wajah-
nya untuk menutupi airmata yang
turun di antara ke dua pipinya. Perem-
puan Vietnam itu adalah salah seorang
mantan penghuni kamp pengungsi
Galang yang datang kembali ke pulau
tersebut untuk melakukan ziarah di
makam sang Ibu yang tak lagi sem-
pat menghirup udara bebas di tanah
harapan.
oscar motuloh
pewarta foto
102 EDISI VII / 2007
JURNALISTIKPHOTOGRAPHY
EDISI VII / 2007 103
JURNALISTIKPHOTOGRAPHY
104 EDISI VII / 2007
JURNALISTIKPHOTOGRAPHY
EDISI VII / 2007 105
JURNALISTIKPHOTOGRAPHY
106 EDISI VII / 2007
JURNALISTIKPHOTOGRAPHY
EDISI VII / 2007 107
JURNALISTIKPHOTOGRAPHY
108 EDISI VII / 2007
JURNALISTIKPHOTOGRAPHY
EDISI VII / 2007 109
JURNALISTIKPHOTOGRAPHY
110 EDISI VII / 2007
JURNALISTIKPHOTOGRAPHY
EDISI VII / 2007 111
JURNALISTIKPHOTOGRAPHY
112 EDISI VII / 2007
JURNALISTIKPHOTOGRAPHY
EDISI VII / 2007 113
JURNALISTIKPHOTOGRAPHY
114 EDISI VII / 2007
JURNALISTIKPHOTOGRAPHY
EDISI VII / 2007 115
WHERETOFIND
JAKARTATelefikom FotografiUniversitas Prof. Dr. Moestopo (B), Jalan Hang Lekir I, JakPusIndonesia Photographer Organization (IPO)Studio 35, Rumah Samsara, Jl. Bunga Mawar, no. 27, Jakarta Selatan 12410Unit Seni Fotografi IPEBI (USF-IPEBI)Komplek Perkantoran Bank Indonesia, Menara Sjafrud-din Prawiranegara lantai 4, Jl. MH.Thamrin No.2, JakartaUKM mahasiswa IBII, Fotografi Institut Bisnis Indonesia (FOBI)Kampus STIE-IBII, Jl Yos Sudarso Kav 87, Sunter, Jakarta UtaraPerhimpunan Penggemar Fotografi Garuda Indonesia (PPFGA)PPFGA, Jl. Medan Merdeka Selatan No.13, Gedung Garuda Indonesia Lt.18Komunitas Fotografi Psikologi Atma Jaya, JKTJl. Jendral Sudirman 51, Ja-karta.Sekretariat Bersama Fakultas Psikologi Atma Jaya Ruang G. 100Studio 51Unversitas Atma Jaya, Jl. Jendral Sudirman 51, JakartaPerhimpunan Fotografi Taru-manegaraKampus I UNTAR Blok M Lt. 7 Ruang PFT. Jl. Letjen S. Parman I JakBarPt. Komatsu Indonesia
Jl. Raya Cakung Cilincing Km. 4 Jakarta Utara 14140LFCN (Lembaga Fotografi Candra Naya)Komplek Green Ville -AW / 58-59, Jakarta Barat 11510HSBC Photo ClubMenara Mulia Lt. 22, Jl. Jendral Gatoto Subroto Kav. 9-11, JakSel 12930XL PhotographJl. Mega Kuningan Kav. E4-7 No. 1 JakSelKelompok Pelajar Peminat Fotografi SMU 28Jl. Raya Ragunan (Depan RS Pasar Minggu) JakSelFreePhot (Freeport Jakarta Photography Community)Masterlist Management Export Import Department PT Freport Indonesia Plaza 89 6th Floor. Jl Rasuna Said Kav X-7 No. 6NothofagusPT Freport Indonesia Plaza 895th Floor. Jl Rasuna Said Kav X-7 No. 6CybiLensPT Cyberindo Aditama, Manggala Wanabakti IV, 6th floor. Jl. Gatot Subroto, jakarta 10270FSRD TrisaktiFSRD Trisakti, Kampus A. Jl. Kyai Tapa, Grogol. Surat menyurat: jl. Dr. Susilo 2B/ 30, Grogol, JakbarSKRAF (Seputar Kamera Fikom)Universitas SAHID Jl. Prof. Dr. Soe-pomo, SH No. 84, Jak-Sel 12870One Shoot PhotographyFIKOM UPI YAI jl. Diponegoro no. 74,
JakPusLasalle CollegeSahid Office Boutique Unit D-E-F (komp. Hotel Sahid Jaya). Jl. Jend Sudirman Kav. 86, Jakarta 1220Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Al-Azhar Indo-nesiaJl. Sisingamangaraja, Kebayoran baru, Jak-Sel, 12110LSPR Photography ClubLondon School of Public RelationCampus B (Sudirman Park Office Complex)Jl. KH Mas Mansyur Kav 35Jakarta Pusat 10220FOCUS NUSANTARAJl. KH Hasyim Ashari No. 18, JakartaSUSAN + PROKemang raya No. 15 Lt.3, Jakarta 12730e-StudioWisma Starpage, Salemba Tengah No. 5, JKT 10440VOGUE PHOTO STUDIORuko Sentra Bisnis Blok B16-17, Tanjung Duren raya 1-38Shoot & Printjl. Boulevard Raya Blok FV-1 no. 4, Kelapa Gading Permai, jktQ FotoJl. Balai Pustaka Timur No. 17, Rawamangun, JktDigital Studio CollegeJl. Cideng Barat No. 21 A, Jak-PusDarwis Triadi School of Photography
116 EDISI VII / 2007
WHERETOFIND
EDISI VII / 2007 117
WHERETOFIND
jl. Patimura No. 2, Kebayoran BarueK-gadgets centreRoxy Square Lt. 1 Blok B2 28-29, JktStyle PhotoJl. Gaya Motor Raya No. 8, Gedung AMDI-B, Sunter JakUt, 14330Neep’s Art InstituteJl. Cideng Barat 12BB, JakartaV3 TechnologyMall ambassador Lt.UG/47. Jl. Prof Dr. Satrio, Kuningan, JakartaCetakfoto.netKemang raya 49D, Jakarta 12730POIsongraphyConocoPhillips d/a Ratu Prabu 2 jl.TB.Simatupang kav 18Jakarta 12560
BEKASILubang MataJl. Pondok Cipta Raya B2/ 28, Bekasi Barat, 17134
BANDUNGPAF BandungKompleks Banceuy Permai Kav A-17, Bandung 40111JepretSekretariat Jepret Lt. Basement Labtek IXB Arsitektur ITB, Jl Ganesha 10, BandungSpektrum (Perkumpulan Unit Fotografi Unpad)jl. Raya Jatinangor Km 21 Sumed-ang, JabarPadupadankan PhotographyJl. Lombok No. 9S BandungStudio intermodelJl. Cihampelas 57 A, Bandung 40116
Lab Teknologi Proses Material ITBJl. Ganesha 10 Labtek VI Lt. dasar, BandungSatyabodhiKampus Universitas PasundanJl. Setiabudi No 190, Bandung
TASIKMALAYAEco Adventure CommunityJl. Margasari No. 34 Rt. 002/ 008, Rajapolah, Tasikmalaya 46155
SEMARANGPRISMA (UNDIP)PKM (Pusat Kegiatan Mahasiswa) Joglo Jl. Imam Bardjo SH No. 1 Semarang 50243MATA Semarang Photography ClubFISIP UNDIPJl. Imam Bardjo SH. No.1, SemarangDIGIMAGE STUDIOJl. Setyabui 86A, SemarangJl. Pleburan VIII No.2, Semarang 50243Ady Photo Studiod/a Kanwil Bank BRI Semarang, Jln.Teuku Umar 24 SemarangPandawa7 digital photo studioJl. Wonodri sendang raya No. 1068C, SemarangKloz-ap Photo StudioJl. Kalicari Timur No. 22 Semarang
SOLOHSB (Himpunan Seni Ben-gawan)Jl. Tejomoyo No. 33 Rt. 03/ 011, Solo 57156
Lembaga pendidikan seni dan design visimedia collegeJl. Bhayangkara 72 Solo
YOGYAKARTAAtmajaya Photography clubGedung PUSGIWA kampus 3 UAJY, jl. babarsari no. 007 yogyakarta“UKM MATA” Akademi Seni Rupa dan Desain MSDJalan Taman Siswa 164 Yogyakarta 55151Unif Fotografi UGM (UFO)Gelanggang mahasiswa UGM, Bulak-sumur, YogyaFotografi Jurnalistik ClubKampus 4 FISIP UAJY Jl Babarsari YogyakartaFOTKOM 401gedung Ahmad Yani Lt.1 Kampus FISIPOL UPN “Veteran” yogyakarta. Jl Babasari No.1, Tambakbayan, Yogya-karta, 55281
SURABAYAHimpunan Mahasiswa Pengge-mar Fotografi (HIMMARFI)Jl. Rungkut Harapan K / 4, SurabayaAR TU PICUNIVERSITAS CIPUTRA Waterpark Boulevard, Citra Raya. Surabaya 60219FISIP UNAIRJL. Airlangga 4-6, SurabayaHot Shot Photo StudioPloso Baru 127 A, Surabaya, 60133Toko DigitalAmbengan Plasa B23. jl Ngemplak No. 30 SurabayaSentra Digital
Pusat IT Plasa Marina Lt. 2 Blok A-5. Jl. Margorejo Indah 97-99 SurabayaBW Camera-accessoriesRoyal Plaza 2nd Floor Jl. Ahmad Yani Surabaya
TRAWASVANDA Gardenia Hotel & VillaJl. Raya Trawas, Jawa Timur
MALANGMPC (Malang Photo Club)Jl. Pahlawan Trip No. 25 MalangJUFOC (Jurnalistik Fotografi Club)student Centre Lt. 2 Universitas Muhammadiyah Malang. Jl. Raya Tlogomas No. 246 malang, 65144UKM KOMPENI (Komunitas Mahasiswa Pecinta Seni)kampus STIKI (Sekolah Tinggi Informatika Indonesia) Malang, Jl. Raya Tidar 100
JEMBERUFO (United Fotografer Club)Perum Mastrip Y-8 Jember, Jawa TimurUniveritas Jember (UKPKM Tegalboto)Unit Kegiatan Pers Kampus Mahasiswa Universitas Jemberjl. Kalimantan 1 no 35 komlek ged. PKM Universitas Jember 68121
MEDANMedan Photo ClubJl. Dolok Sanggul Ujung No. 4 Samping Kolam Paradiso Medan, Sumatra Utara 20213
BATAMBatam Photo ClubPerumahan Muka kuning indah Blok C-3, Batam 29435
PEKANBARUCCC (Caltex Camera Club)PT. Chevron Pasific Indonesia, SCM-Planning, Main Office 229, Rumbai, Pekanbaru 28271
LAMPUNGMalahayati Photography ClubJl. Pramuka No. 27, Kemiling, Ban-dar Lampung, 35153. Lampung-Indonesia. Telp. (0721) 271114
BALIKPAPANFOBIAIndah Foto Studio Komplek Ruko Bandar Klandasan Blok A1, Balikpa-pan 76112
KALTIMBadak Photographer Club (BPC)ICS Department, System Support Section, PT BADAK NGL, Bontang, Kaltim, 75324KPC Click Club/PT Kaltim Prima CoalSupply Department (M7 Buliding), PT Kaltim Prima Coal, Sangatta
SAMARINDAMANGGIS-55 STUDIO (Samarinda Photographers Community)Jl. Manggis No. 55 Voorfo, Sa-marinda Kaltim
SOROWAKOSorowako Photographers SocietyGeneral Facilities & Serv. Dept - DP. 27, (Town Maintenance) - Jl. Sumantri Brojonegoro, SOROWAKO 91984 - LUWU TIMUR, SULAWESI SELATAN
GORONTALOMasyarakat Fotografi GorontaloGraha Permai Blok B-18, Jl. Rambu-tan, Huangobotu, Dungingi, Kota Gorontalo
AMBONPerforma (Perkumpulan Fo-tografer Maluku)jl. A.M. Sangadji No. 57 Ambon. (Depan Kantor Gapensi kota Ambon/ Vivi Salon)
ONLINE PICK UP POINTS:www.estudio.co.idhttp://charly.silaban.net/