thelight photography magazine #1

44
EDISI I / 2007 EDISI 1/2007 www.thelightmagz.com FREE

Upload: joko-riadi

Post on 06-Jun-2015

2.825 views

Category:

Documents


24 download

DESCRIPTION

This is one of indonesian photography magazine. No more words, just enjoy it... :)

TRANSCRIPT

Page 1: TheLight Photography Magazine #1

EDISI I / 2007 �

EDIS

I 1/2

007

ww

w.th

elig

htm

agz.

com

FREE

Page 2: TheLight Photography Magazine #1

� EDISI I / 2007 EDISI I / 2007 �

PT Imajinasia Indonesia, Jl. Pelitur no. 33A Jakarta, 47866725, www.thelightmagz.com, Pemimpin Perusahaan: Ignatius Untung, Technical Advi-sor: Gerard Adi, Pemimpin Redaksi: Ignatius Untung, [email protected], Public relation: Prana Pramudya, Marketing: Maria Fransisca Pricilia,

[email protected], Sirkulasi: [email protected], Graphic Design: Team Creative ImagineAsia, Webmaster: Gatot Suryanto

Table of contents Editorial

LandscapeDibyo GahariCommercialJerry Aurum

ProfilPAF

Liputan UtamaMake Money from photogra-

phyFashion

Irvan ArryawanInfo Product

JurnalistikArbain Rambey

LepasanAku ingin jadi Fotografer

Human InterestRarindra Prakarsa

Digital ProcessEvent

Pameran 1000 Foto

413283042525468728083

BEHIND THE COVER:A Collection of Femalography exhibition.Photography by: Jerry AurumModel: Rachel Maryam & Dinna OliviaMake up artist: Ariya Gunawan

“Hak cipta foto dalam majalah ini milik fotografer yang bersangkutan, dan dilindungi oleh Undang-undang. Dilarang menggunakan foto dalam majalah

ini dalam bentuk / keperluan apapun tanpa seijin fotografer.”

Pekerjaan panjang baru saja diselesaikan dan pekerjaan panjang berikutnya (edisi selanjutnya) baru saja dimulai. Melalui majalah ini kami berkomitmen untuk menghadirkan sedikitnya 5

professional di masing-masing spesialisasi dalam fotografi dalam tiap edisinya.

Edisi perdana ini masih menyisakan banyak ruang untuk perbaikan. Namun majalah ini hadir tanpa berusaha memuaskan semua orang. Karena memang kami yakin ketika kemi mencoba

untuk memuaskan semua orang, kami justru semakin tidak memuaskan bagi semua orang. Untuk itu dimohonkan kebijaksanaan dan pengertiannya.

Beberapa segmen baru sudah direncanakan akan tampil pada edisi-edisi mendatang, Akan ada gallery dimana anda boleh mengirimkan foto ke redaksi kami untuk dimuat (setelah melewati

seleksi tentunya), Akan ada segmen profesional portfolio, akan ada Gerard’s Clinic dimana anda boleh mengajukan pertanyaan seputar fotografi kepada technical advisor kami, Gerard Adi, dan

masih banyak segmen yang sudah masuk dalam daftar kami untuk segera dihadirkan pada edisi mendatang.

Namun, sementara ini, marilah kita telan dulu apa yang ada saat ini, agar kita dapat mengenali rasanya dan menemukan kekurangannya untuk perbaikan di kemudian hari. Terima kasih ke-

pada semua nara sumber: Arbain rambey, Jerry Aurum, Irvan Arryawan, Dibyo Gahari & Rarindra Prakarsa atas kerjasamanya, juga untuk pemasang iklan, partner pick up point & distribution

partner, dan juga anda semua para pembaca yang bisa membuat kami terus exist.

Salam,Ignatius Untung

Page 3: TheLight Photography Magazine #1

� EDISI I / 2007 EDISI I / 2007 �

Landscape fotografi, hobby yang menyegarkan mata

Jika ditanya obyek fotografi apa yang pertama kita kenal, pastinya pemandangan menjadi

sebagian besar jawabannya. Ya, foto pemandangan atau lebih dikenal sebagai foto land-

scape memang menjadi milik semua orang yang memiliki kamera. Semua orang yang pernah

memotret pasti pernah memotret landscape. Tapi apakah memotret landscape itu sesuatu

yang mudah? Kali ini kami berjumpa dengan Dibyo Gahari, seorang fotografer landscape yang

sebuah karyanya baru saja memenangkan Salon Foto Indonesia.

Ceritakan awal Anda mengenal fotografi dan kamera.Saya kenal fotografi sudah agak lama, tahun

1975-1976. Kalau tidak salah waktu saya

masih SMP. Waktu itu saya masih tinggal

di Malang dan belum ada kamera digital.

Sumber informasi juga masih terbatas, belum

ada internet. Kalo nggak salah Cuma ada

satu majalah fotografi, Foto Indonesia kalo

nggak salah. Waktu itu saya seneng fotografi

lalu saya dibelikan kamera sederhana oleh

orang tua saya, setelah belajar sedikit saya

minta dibelikan kamera yang lebih bagus, yah

namanya juga anak-anak jadi ya dikasih. Saya

belajar sendiri, pelan-pelan tapi diseriusi.

Awalnya saya motret apa saja yang bisa

dipotret, tapi lama kelamaan saya menyadari

kalau saya lebih menyukai pictorial atau foto-

foto yang indah-indah dan enak di mata.

Tahun 1983 saya berhenti motret, kalo nggak

salah waktu saya kuliah tingkat 3 di ITB,

biarpun sebelumnya saya sudah sering ikut

lomba dan kadang menang. Tahun 2004 saya

merasakan dorongan kuat lagi untuk motret,

maka saya mulai motret lagi. Ditambah lagi

waktu itu digital sudah masuk Indonesia, dan

kebetulan saya suka computer jadi nyambung

lah. Dan tahun 2004 itu saya bener-bener

menyadari bahwa saya suka motret land-

scape. Tahun 2005-2006 saya mulai tertarik

infra red, tapi tetap obyeknya landscape.

Jadi bisa dikatakan Anda belajar fotografi secara otodidak?Ya saya belajar hanya dari majalah, dari buku,

dari melihat foto orang lain. Saya tidak pernah

ikut kursus tapi saya mendapat banyak ilmu

dari klub. Waktu di Malang saya ikut klub yang

di Surabaya, waktu di Bandung saya ikut PAF

dan di internet saya ikut Fotografer.net, saya

ikut ayo foto, dan macem-macem.

Landscape Landscape

Page 4: TheLight Photography Magazine #1

� EDISI I / 2007 EDISI I / 2007 �

kalau klub bisa hubungan keluarga dengan

keluarga.

Mengapa Anda lebih menyukai landscape dibandingkan dengan yang lain?Menurut saya itu lebih personal ya, karena

saya suka yang enak dilihat dan menurut saya

lihat pemandangan itu nggak usah mikir-mikir

dan menganalisa bisa langsung menikmati.

Selain itu saya suka landscape mungkin

karena saya suka jalan-jalan, jadi otomatis

koleksinya dan minat-

nya di sana. Biarpun

dulu saya suka motret

human interest juga.

Selama ini sudah motret kemana saja?Kalau yang di pulau

Jawa dan Bali sudah

banyak, selain itu

makasar, manado, juga

sudah. Tapi kalau Su-

matra belum pernah.

Kalau luar negeri saya pernah ke eropa dan

Cina.

Seberapa pentingnya sebuah klub fotografi bagi Anda?Saya merasa dapat banyak dari klub. Bahkan

walaupun saya saya sekarang ikut forum foto-

grafi di internet tapi saya merasa klub itu baik

dan menarik. Tapi banyak anak-anak muda

yang merasa tidak perlu ikut klub, mereka

lebih tertarik dengan komunitas fotografi di

internet. Padahal klub itu punya keterikatan

yang lebih kuat. Mungkin karena lebih sering

ketemu. Bedanya kalau di online itu kan

hobbynya saja yang mempersatukan, tapi

Manakah tempat favorit Anda un-tuk motret landscape?Sebenarnya semua tempat punya keung-

gulannya masing-masing, tapi saya merasa

tidak ada yang selengkap Bali. Karena Bali

punya pantai, danau, gunung, sawah, budaya,

human interestnya juga kuat. Dan itu yang

bikin lengkap.

Mengenai foto Anda yang berjudul Fisherman yang baru saja menang

“..Sebagus apapun ka-

meranya kalau kita

nggak jago ya nggak akan ba-gus juga fotonya.”

Landscape Landscape

Page 5: TheLight Photography Magazine #1

� EDISI I / 2007 EDISI I / 2007 �

“..pemandangan itu nggak usah mikir-mikir dan menga-nalisa, bisa langsung dinikmati.”

Salon Foto, dimana motretnya?Itu di Cina, namanya Gulin. Waktu itu saya

pergi khusus buat motret berdua sama istri.

Dan sebenarnya sempat rusak juga filenya,

waktu itu file foto ini habis terhapus semua

sebanyak 1 giga, untung ada ahli computer

di Bandung yang bisa Bantu mengembalikan

data yang hilang tersebut. Waktu itu saya

motret jam 7 malam, nggak pake tripod. Saya

sengaja motret jam segitu supaya lenter-

anya sudah nyala tapi langitnya masih dapet

birunya, backgroundnya juga masih dapet

detailnya, nggak hitam pekat.

Bagaimana dengan pengalaman motret di Eropa?Saya pernah ke Swiss, Italy, Paris. Yang bagus

itu di Venezia. Yang belum kesampean justru

New Zealand, padahal landscapenya luar

biasa bagusnya. Malah kalau digabung motret

sambil honeymoon suasananya benar-benar

nggak kebeli.

Apa yang harus diperhatikan untuk motret landscape?Dari segi pengetahuan, dia harus tau tentang

lighting, angle, komposisi. Angle maksudnya

adalah pengambilannya dari mana, harus

tepat. Kita harus mengenal kelebihan dari

lokasi, misalnya kalau motret ada air, maka

tentu akan ada refleksi. Dan refleksi nggak

akan banyak kalau sudutnya rendah. Selain

itu harus tau karakter benda yang difoto.

Kalau motret kabut, saya selalu berharap

cahaya dari depan atau minimal dari samping,

dengan begitu akan terlihat kabutnya, jangan

sampai cahayanya dari belakang kita, jadi

nggak kelihatan nanti. Lihat aja hampir semua

foto landscape yang bagus diambil antara

jam 5 sampai jam 9 pagi atau jam 4 sampai

jam 7 malam. Karena dari segi pencahayaan

memang itu golden

momennya. Sinar

matahari masih mir-

ing dan membentuk

bayangan, dan bay-

angan itu bisa men-

jadi sesuatu yang

menarik. Sayangnya

golden momen itu

bisa sangat cepat

sekali. Baru ditinggal

sebentar aja udah

ketinggalan. Setelah

itu, penempatan diri juga harus diperhatikan,

misalnya kalau mau motret pohon berjejer 5

buah, mau diambil berjejer ke samping atau

ke belakang dengan hanya kelihatan satu

pohon yang paling depan saja, atau agak

diagonal. Itu akan membedakan hasilnya.

Bagaimana dengan hardwarenya?

Yang pasti harus punya lensa wide. Kalau bisa

kalau untuk kamera digital harus punya lensa

10 sampai 11 milimeter. Biarpun bisa juga

kalau Cuma punya lensa medium, tapi lensa

wide akan terasa bedanya kalau untuk motret

landscape. Selain itu tripod. Tripod juga pent-

ing terutama kalau mau motret slow speed.

Biarpun saya jarang pake tripod karena malas

Landscape Landscape

Page 6: TheLight Photography Magazine #1

�0 EDISI I / 2007 EDISI I / 2007 ��

bawanya. Tapi sekarang saya suka bawa 2

kamera kalau motret, yang satu kamera biasa,

yang satu infra red.

Ada tips khusus di luar masalah teknis untuk motret landscape?Untuk yang pake kamera digital, setelah kita

lihat bagus dan kita jepret. Coba lihat sekali

lagi, lihat apakah benar sudah bagus apa

belum apakah sebagus kita lihat langsung?

Kalau sudah bagus, saya akan ulang dengan

ketelitian, apa sudah pake RAW,

apakah ISOnya sudah benar. Tapi ka-

lau jelek, coba dipelajari apanya yang

kurang? Apakah komposisinya? Kalau

tidak berhasil menemukan salahnya,

coba cari angle lain. Jangan

motret dari situ lagi.

Bagaimana dengan metering dalam foto-grafi landscape?Metering itu sudah harus men-

guasai, nggak boleh masih

belajar. Kita sudah harus tau

bahwa kalau meteringnya di

tempat gelap, maka bagian

yang terang akan kelewat

terang, begitu juga sebaliknya. Kita harus ukur

metering yang pas supaya tidak ada bagian

yang terlalu terang atau gelap sehingga hilang

detailnya. Kalau mau aman saya menyarank-

an jangan pake spot metering. Takutnya nanti

spotnya jatuh di titik yang gelap, padahal

bagian lain banyak yang terang. Paling aman

pake metering matrix aja. Karena itu hasil

teknologi dari analisa ribuan foto jadi pasti

lebih aman.

Bagaimana dengan factor non tek-nis dalam fotografi landscape?Yang pertama adalah musim. Kita harus tahu

cuaca di tempat kita akan motret. Misalnya

kalau kita mau motret ke Cina, cari waktunya

bukan ngikutin liburnya kita, tapi lihat di sana

musimnya musim apa? Setelah itu cuacanya.

Dulu saya suka mengabaikan ramalan cuaca.

Kalau mendung kan percuma jauh-jauh

datang, tapi nggak bagus. Selain itu adalah

pengenalan lokasi. Kalau bisa sempatkan

survey sehari sebelumnya. Lihat perijinannya,

jarak tempur ke lokasi supaya nggak keting-

galan golden momennya. Cari angle yang

unik, pelajari lokasi sekeliling, ada obyek apa

yang menarik yang bisa dijadikan foreground,

lihat peta terutama kalau belum menge-

nal daerah situ, lihat gunungnya disebelah

mana, utara selatannya di mana, sehingga

tau matahari keluarnya dari mana. Misalnya,

waktu motret ke Cina saya tahu bahwa di situ

nelayannya nangkep ikan pake burung, jadi

burungnya lehernya diikat setelah ikannya

dicaplok baru diambil sama nelayan. Dan

fotografernya harus mau Bangun pagi, karena

kalau mau dapet golden momennya itu ya

harus berangkat pagi-pagi. Mengenai golden

momen ini, saya merasa konsentrasi itu

penting. Jangan banyak ngobrol sama teman,

karena bisa aja waktu ditinggal ngobrol sama

teman, malah ketinggal golden momennya.

Hal lain yang perlu adalah kepekaan. Kepe-

kaan artinya bisa melihat sesuatu yang bagus

padahal orang lain tidak menyadarinya.

Menurut Anda bisakah memotret bagus dengan kamera poket?Saya menganut pemikiran bahwa yang paling

utama adalah kemampuan kita. Sebagus

apapun kameranya kalau kita nggak jago ya

nggak akan bagus juga fotonya. Makanya

jangan menghina yang punya kamera lama

dan murah, dan juga jangan terlalu mengag-

gungkan kamera yang bagus dan mahal.

Landscape Landscape

Page 7: TheLight Photography Magazine #1

�� EDISI I / 2007 EDISI I / 2007 ��

Commercial

a collection of Femalography exhibition. Model: Tatyana

Page 8: TheLight Photography Magazine #1

�� EDISI I / 2007 EDISI I / 2007 ��

satu tahun. Dan selama itu pula ia dengan

intens mendalami fotografi. Lulus dengan

predikat cum laude dengan masa waktu tidak

lebih dari 4 tahun, Jerry memutuskan untuk

mengadu nasib ke Jakarta. “Orang tua gue

cukup keras. Setelah lulus kuliah gue cuma

dikasih waktu 3 bulan untuk cari kerja, setelah

itu gue harus bisa cari uang sendiri karena

orang tua udah nggak akan kasih uang saku.”

begitu kenangnya. Jerry mulai mengadu nasib

di Jakarta dengan mengontrak sebuah kamar

berukuran 2,5 X 2,5 meter di

bilangan puri kembangan. Ia

pun sempat bekerja selama 3

minggu di sebuah perusahaan

grafis Leboye dan kemudian

pindah ke Afterhours selama 3

bulan. “mungkin banyak orang

kira gue ini anak dari keluarga

yang bermandikan uang, padahal

gue cuma anak kampung yang

datang ke Jakarta tanpa punya

saudara di sini.” Kilahnya. Karena

terlalu kecilnya kamar yang bisa

Fotografi komersil sampai saat ini bisa dikatakan sebagai salah satu kiblat yang menarik banyak

pecinta fotografi di Indonesia dan bahkan di seluruh dunia. Alasannya beragam, mulai dari

exposure yang lebih banyak karena karya yang dihasilkan ditampilkan di media massa dalam

lingkup luas melalui iklan, standar kualitas yang cukup tinggi mengingat detil yang kuat hingga

alasan klasik seperti bayaran yang lebih menggiurkan. Pada edisi perdana ini kami mendapat

kehormatan untuk mewawancarai Jerry Aurum, seorang fotografer komersil muda berusia 30

tahun yang meroket dengan cepat akibat visi dan intuisi bisnisnya yang tajam. Oleh karena itu

jangan heran jika pembicaraan kami dengannya lebih banyak membicarakan visi dan intuisi

bisnisnya daripada detail teknik fotografi.

“Gue udah pegang kamera dari umur 5 tahun.” Begitu awal pembicaraan kami dengannya

di sebuah restoran di sebuah mal di kawasan Jakarta Selatan. Jerry yang tumbuh di Medan

mengaku baru menekuni fotografi dengan serius ketika ia masuk SMA. Ia tidak pernah meng-

enyam pendidikan formal di bidang fotografi, walaupun ia sempat berkuliah di jurusan desain

komunikasi Visual ITB. Ketika pindah ke Bandung, ia sempat menganggur selama kurang lebih

Fotografi komersil, lebih dari sekedar memotret bagus

Commercial Commercial

Page 9: TheLight Photography Magazine #1

�� EDISI I / 2007 EDISI I / 2007 ��

lebih 1 tahun, Jerry memutuskan untuk membuka Jerry Aurum Photography & Design dan

kemudian pindah lagi ke studio yang baru dengan luas tanah 400 meter persegi. Selama

menempati studio barunya itu Jerry pun semakin menanjak dan Jerry berhasil mengumpulkan

uang untuk membeli sebuah tanah dan membangun studio berlantai tiga yang pembangunan-

nya selesai pada bulan Februari 2004 dan hingga kini masih ditempatinya. Saat ini Jerry telah

menangani lebih dari 1500 project. Hampir semua perusahaan advertising besar di Indonesia

pernah mempercayakan pekerjaan fotografinya kepada Jerry.

Sebagai seorang fotografer Jerry tidak mau asal terima pekerjaan. “gue orangnya picky, nggak

semua job gue ambil. Yang menurut gue menarik dan besar baru gue ambil.” Ungkapnya. Setiap

bulannya Jerry hanya memotret 4 sampai 5 project. Jerry juga tidak tertarik untuk mengerjakan

pemotretan product (packshot) dengan alasan kurang menarik disamping bingung menetapkan

harganya. “Gue nggak masalah kalau dikasih kerjaan yang nggak menarik, tapi mereka harus

bayar lebih mahal. Tapi kalo kerjaannya menarik, bahkan biar bayarannya payah pun gue telan

juga. Karena dengan portfolio yang bagus kerjaan-kerjaan bagus dan besar akan datang.”

Jerry membeli kamera medium formatnya

yang pertama. Sejak itu pekerjaan mulai

datang satu persatu, dan dalam waktu 4 bu-

lan Jerry sudah berhasil mengembalikan uang

pinjaman dari kakaknya itu. Usaha Jerry pun

tidak berhenti, beberapa bulan kemudian ia

berhasil mengumpulkan uang untuk menyewa

studio yang lebih besar. Proses pencariannya

pun tidak mudah. “nggak gampang karena

gue pingin studio yang besar tapi murah, dan

percaya nggak lo studio yang akhirnya gue

sewa adalah rumah ke 83 yang gue lihat.”

Ungkapnya. Setiap bulannya Jerry menyem-

patkan diri untuk melihat 10 rumah untuk

dikontrak dan dijadikan studio.

Setelah menempati studio itu selama kurang

ia sewa, bahkan untuk alas tidur pun Jerry

hanya punya kasur lipat. “soalnya kalo gue

beli kasur, lemari dan meja gue nggak muat

masuk kamar.”.

Pindah ke Jakarta dengan kondisi sederhana

tidak membuat Jerry pasrah. Dengan berbekal

visi untuk membuka usaha sendiri Jerry

meminjam uang sebesar 17 juta Rupiah untuk

membeli computer Applenya yang pertama.

Ditambah dengan sedikit uang tabungan-

nya, ia mulai membuat self promotionnya

sendiri dengan kamera yang sudah ia punyai

dan computer Applenya itu. Tidak lebih dari

2 bulan sejak self promotionnya itu dibuat

dan disebarkan, proyek pertamanya datang.

Dengan uang muka proyek pertamanya itulah

Commercial

Page 10: TheLight Photography Magazine #1

�� EDISI I / 2007 EDISI I / 2007 ��

terlalu mahal, jadi daripada gue beli mendin-

gan gue sewa aja kalo pas ada pemotretan

besar. Apalagi gue motret Cuma 4 sampai

5 kali dalam sebulan.” Namun begitu, Jerry

sudah merencanakan untuk membeli sebuah

digital back dengan resolusi 29 megapixel

dalam waktu beberapa bulan ke depan.

“fotografi harus punya prioritas yang masuk

akal. Misalnya ketika punya uang 100 juta,

mendingan beli digital back 100 juta atau beli

DSLR paling canggih dan sisanya untuk bikin

self promotion? Satu sampai dua tahun ke

depan mana yang punya uang lebih banyak?

Jelas yang kedua kan? Setelah punya uang

baru beli digital back.” Ujarnya.

Di tengah semakin banyaknya fotografer yang

menspesialisasikan dirinya pada bidang-

bidang tertentu seperti food, otomotif, atau

beauty, Jerry beranggapan bahwa untuk saat

ini belum saatnya baginya untuk menspesial-

isasikan diri. “kalo gue jadi spesialis let’s say

fashion, tapi ada fotografer lain yang nggak

spesialis fashion tapi ternyata bisa motret

fashion lebih bagus dari gue, kan jadi konyol

guenya. Karena kalo spesialis harus paling

jago di spesialisasinya itu. Kalo di commercial

menurut gue, salah satu poin yang pent-

ing adalah pengakuan dari klien itu sendiri.

Akhirnya jadi masalah cocok-cocokan juga.

Karena di commercial photography teknik bu-

kan segala-galanya. Bisa jadi dia punya teknik

fotografi yang bagus tapi secara komunikasi

tidak sesuai dengan brief yang dikasih klien

ke dia. Atau bisa juga sebaliknya komuni-

kasinya bagus tapi skill & tekniknya masih

kurang. Makanya suka ada kejadian re-shoot

dengan fotografer lain.” ungkapnya.

Satu hal unik lagi yang kami temui pada

Jerry adalah perhitungan bisnisnya yang

cukup masuk akal. Seperti kita ketahui bahwa

sebagian besar fotografer komersil pasti me-

miliki kamera medium format dengan digital

back berharga ratusan juta Rupiah. Namun

sampai saat ini Jerry tidak pernah memiliki

digital back yang seringkali dianggap sebagai

salah satu syarat mutlak seorang fotografer

komersil. “Buat gue harga digital back masih

“...Tapi ka-lau kerjaan-

nya menarik, bahkan biar bayarannya payah pun gue telan

juga. Karena dengan port-

folio yang bagus ker-

jaan-kerjaan bagus dan

besar akan datang.”

Commercial Commercial

Page 11: TheLight Photography Magazine #1

�0 EDISI I / 2007 EDISI I / 2007 ��

suatu saat dia bikin foto dengan gaya tertentu,

saat lain dia bikin dengan gaya yang berbeda

seakan-akan bukan dia yang motret, tapi yang

selalu sama adalah kedahsyatannya, akhirnya

kedahsyatannya itu yang jadi cirinya.” Buat

Jerry fotografer yang hebat harus bisa mem-

buat foto yang memiliki “WOW” effect.

dan belum pernah dipakai orang lain.” Begitu

argumennya. Namun walaupun menjadi

prioritas paling akhir, Jerry tetap berpendapat

bahwa dalam dunia komersil kemampuan tek-

nis harus di atas sebuah standar tertentu.

Berbicara mengenai ciri khas, Jerry justru

merasa tidak perlu membuat satu identitas

pada foto-fotonya. “Banyak orang berusaha

mengidentifikasikan foto gue, ada yang bilang

wah jerry jago di fashion, ada yang bilang

Jerry tuh jagonya arsitektur, ya silakan aja,

tapi itu nggak akan pernah keluar dari mulut

gue. Dan biarin aja itu jadi mind game yang

menyenangkan.” Dalam hal ini Jerry masih

teringat dan setuju akan perkataan seorang

dosennya bahwa identitas tidak boleh diben-

tuk, dia harus selalu terbentuk. Karena ketika

dibentuk maka akan jadi kosmetik. Ketika

identitas itu terbentuk dengan sendiri itu akan

menjadi identitas yang matang. Dan identitas

yang matang adalah identitas yang berguna

bagi penyandangnya. “Karena kalau cuma

kosmetik maka malah jadi kurungan yang

membatasi.” Jerry pun memberi contoh dari

fotografer-fotografer idolanya seperti David

La Chapele, Luis Greenfield dan Nick Night,

“coba liat Nick Night biarpun nggak punya ciri

tapi setiap foto yang dia buat selalu dahsyat,

justru ketika kita nggak tau teknik yang benar semen-tara kita di-tuntut untuk mendapatkan hasil yang diinginkan di situ justru tersedia ban-yak kesem-patan untuk penemuan-penemuan baru.

“...Karena di commer-

cial pho-tography

teknik bu-kan segala-

galanya..”

Uniknya, di tengah persepsi orang bahwa

fotografer komersil adalah salah satu bidang

dalam fotografi yang menuntut detail yang

sempurna Jerry malah menempatkan teknis

dalam urutan prioritas paling belakang. “Di

dunia komersil (fotografi komersil.Red) yang

penting resultnya dapet. Bagaimana cara

mendapatkannya bukan masalah, justru ke-

tika kita nggak tau teknik yang benar semen-

tara kita dituntut untuk mendapatkan hasil

yang diinginkan di situ justru tersedia banyak

kesempatan untuk penemuan-penemuan

baru. Misalnya lighting scheme yang baru

Commercial Commercial

Page 12: TheLight Photography Magazine #1

�� EDISI I / 2007 EDISI I / 2007 ��

seorang fotografer komersil harus menguasai

lighting, “Karena photography is all about

lighting. Sudutnya diperhatikan, ratio, posisi

lighting dari subject yang menentukan, makin

jauh makin keras, karakter aksesoris.” Jerry

menganggap dengan hadirnya era digital

seperti saat ini banyak fotografer yang tidak

mau belajar. “Padahal ketika lo kuasai lighting,

motret jadi jauh lebih gampang.”

Selain itu fotografer komersil harus mengua-

sai prinsip dasar fotografi seperti komposisi,

zone system, kompensasi, distribusi tonal,

dll yang dipandang sering dilupakan oleh

fotografer yang lahir di era digital ini. “Banyak

orang yang belajar di era digital jadi nggak

ngerti, karena asal jepret aja. Banyak orang

motret tanpa diukur, akhirnya terlalu gelap,

dan pemecahannya mereka selalu olah di

computer supaya lebih terang, padahal ketika

foto diterangin di computer mereka kira nggak

ada yang hilang?”.

Sebaliknya Jerry juga melihat fotografer yang

sudah senior juga seringkali malas untuk

dari gue, tapi kalo mereka nggak bisa ngejual

ya nggak kemana-mana juga.”. Mengenai

“can do attitude” Jerry pun menambahkan

“Mumpung masih muda, sedikit keberanian

lebih itu nggak apa-apa. Apalagi kalo baru

mulai, ruang untuk membuat kesalahan masih

ada. Nothing to loose, “start from zero kalo

nggak berhasil ya balik ke zero” lain kalo

udah senior, nggak bisa salah lagi karena bisa

hancur semuanya.”

Selain itu bagi Jerry menjadi fotografer

komersil juga harus memiliki jiwa entrepreun-

ership, artinya punya kemampuan analisa

resiko.

Mengenai teknis, Jerry menganggap bahwa

“...identitas tidak boleh diben-tuk, dia harus selalu terbentuk.

Karena ketika dibentuk maka akan jadi kosmetik...”

harus punya 2 attitude, yang pertama adalah

“can do attitude.” Artinya mau nyobain,

sehingga klien merasa kita reliable. Yang

kedua adalah “know how to sell”. Banyak

fotografer yang bisa motret jauh lebih bagus

Untuk fotografer yang tertarik untuk masuk ke

bidang fotografi komersil, Jerry membagikan

tipsnya “yang pertama, harus sadar bahwa di

fotografi komersil memotret dengan bagus itu

masih jauh dari cukup. Fotografer komersil

Commercial

a collection of Femalography exhibition.

Model: Adella & Aletta

Page 13: TheLight Photography Magazine #1

�� EDISI I / 2007 EDISI I / 2007 ��

Bekerja sebagai seorang fotografer profes-

sional Jerry mengerti betul bahwa terkadang

ia harus berhadapan dengan klien yang

menyebalkan, namun Jerry menganggap hal

itu sebagai sesuatu yang wajar terutama jika

masih berada di level pemula hingga menen-

gah. Namun ketika sudah berada di level atas

Jerry menganggap hal itu jarang terjadi. “Yang

penting kliennya mau dengerin rekomen-

dasi fotografer nggak. Karena ketika klien

memutuskan untuk pake fotografer tertentu

itu berdasar atas keyakinan bahwa fotografer

tersebut bisa mendeliver apa yang ia mau.

Nah kalau fotografer dipilih karena alasan itu,

klien nggak terlalu rese lagi. Karena ngapain

bayar mahal-mahal kalo nggak percaya sama

fotografernya. Karena itu fotografer com-

mercial nggak banyak, walaupun sebenernya

banyak fotografer yang bagus, tapi yang urat

sabarnya kuat untuk nanganin klien kan ng-

gak banyak.”

Sehubungan dengan harus berhadapannya

seorang fotografer komersil dengan klien yang

belajar lagi. “sebaliknya yang tua-tua nggak

mau belajar computer, akhirnya nggak mau

pake digital. Anggapannya digital kalah jauh

dibanding analog. Memang kalo settingnya

nggak bener digital bisa hancur banget.”

Bagi para pemula yang baru mengenal

fotografi Jerry berpesan, “belilah camera yang

punya fasilitas yang memberikan keleluasaan

untuk set sendiri. Karena kalau serba otomatis

dia jadi nggak ngerti kenapa begini kenapa

begitu. Jadi kalo mau belajar lebih serius

carilah camera yang ada fasilitas set manual.

Setelah itu, untuk orang awam kalau mau

belajar fotografi adalah “mulailah memotret”

kalo nggak mulai motret nggak akan kemana-

mana, karena nggak ada explorasi, nggak

ada pembelajaran. Bahkan knowledge yang

dia tau pun akan lupa lagi kalo dia nggak

praktekin.”

“Di Indonesia cewek kalau dipotret lebih

sering dija-dikan obyek

explorasi atau bahkan ex-

ploitasi.

CommercialCommercial

a collection of Femalography exhibition. Model: DInna Olivia

Page 14: TheLight Photography Magazine #1

�� EDISI I / 2007 EDISI I / 2007 ��

pemotretan ini jauh sebelum pemotretan

atau bahkan sebelum idenya lahir. Kalau dia

sudah punya semangat yang sama dengan

kita semuanya jadi lebih gampang. Bahkan

biarpun baru kenal pun bisa kayak udah

lama kenal.” Ungkap fotografer yang semua

model dalam bukunya tersebut tidak meminta

bayaran ini.

Berbicara mengenai target ke depan, Jerry

merencanakan akan mengeluarkan Femalog-

raphy 2 dalam waktu 3 tahun lagi karena

memang sudah direncanakan untuk menjadi

trilogy. Untuk itu Jerry tidak segan-segan

mendaftarkan hak paten atas nama dan logo

Femalography yang dibuatnya sendiri itu.

Sementara di bidang fotografi komersil Jerry

pun menargetkan untuk lebih melebarkan

sayap di regional. “Untuk cari pengalaman,

jadi nggak cuma jago kandang.” Ungkap foto-

grafer yang sudah mulai melebarkan sayap ke

Singapore & Malaysia ini.

Jerry meyakini bahwa fotografer Indonesia

bisa bersaing dengan fotografer regional, han-

ya saja ia melihat fotografer Indonesia masih

kurang wawasan dan informasi sehingga tidak

tahu apa yang disukai negara lain. “Karena

nggak semua yang disukai market Indonesia

disukai market regional. Misalnya kalau di

Indonesia orang lebih suka foto orang dengan

skin tone yang saturated dan agak hangat,

padahal di Negara-negara tertentu orang lebih

suka dengan skin tone yang lebih unsaturat-

ed. Bahkan dari sisi lighting, orang Indonesia

kadang masih kurang berani explore. Di

Indonesia orang masih suka motret pake

softbox, padahal di luar orang sudah balik lagi

dan explore lebih di standard reflector, biarpun

efek yang didapat nggak selalu keras dan

hardcore.” Tambahnya. “Ketika mau masuk

ke Negara lain, kita harus tau seleranya. Dan

bikinlah portfolio yang sesuai dengan selera

mereka. Jangan Cuma punya portfolio yang

Cuma sesuai di Negara sendiri dan mau dijual

di Negara lain.”

Di akhir wawancara kami Jerry menekankan

pentingnya visi ke depan bagi seorang foto-

grafer. “Dengan begitu kita bisa lebih cepat

sampai ke titik tersebut dan tidak berhenti di

satu titik tertentu.” Tutupnya.

notabene adalah seorang art director yang

juga sangat mumpuni di bidang seni, Jerry

melihat ada kecenderungan seorang foto-

grafer komersil akan menemui banyak dis-

torsi. Hal ini terjadi karena terkadang seorang

fotografer komersil terlalu sering berkompromi

dengan klien dalam membuat satu hasil foto

yang bagus. Maka dari itu Jerry menyarankan

jalan keluarnya adalah dengan membangun

satu jalur pengembangan pribadi. “bikinlah

portfolio pribadi, karena dengan jalur pribadi

ini kebebasan untuk bikin portfolio yang

bagus terbuka lebar. Nggak usah pelit sama

diri sendiri kalo emang punya duit ya subsidi

silang lah. Nggak harus selalu cari sponsor.”

Untuk itu Jerry memberri contoh sebuah buku

yang baru saja ia terbitkan. Sebuah buku

dengan tema femalography yang diluncurkan

di Singapore dan Jakarta dan rencananya

akan dipamerkan di Bali, London & New York.

Mengenai buku yang baru diterbitkannya

tersebut Jerry menerangkan bahwa tema

femalography diambil dengan latar belakang

bahwa Jerry adalah seorang laki-laki yang

senang memotret Wanita. “Di Indonesia

cewek kalau dipotret lebih sering dijadikan

obyek explorasi atau bahkan exploitasi.

Jarang ada foto yang cewek jadi satu subject

yang representative dimana wanita berubah,

ketimbang sekedar jadi obyek yang cantik dia

bisa jadi satu subyek kolaborasi yang punya

andil besar dalam karya ini.”

Untuk mencapai hal ini Jerry mengaku bahwa

si model diijinkan untuk ambil andil dalam

karya ini. “Kebebasan dan semangatnya

dibiarkan tumbuh dan itu saling memperkaya.

Untuk itu kita harus bisa mengkomunika-

sikan dengan baik makna dan tujuan dari

“Mumpung masih muda, sedikit keberanian lebih itu nggak apa-apa.

“mulailah memotret” kalo nggak mulai motret nggak akan kemana-mana, kare-na nggak ada explorasi, nggak ada pembelajaran.”

CommercialCommercial

Page 15: TheLight Photography Magazine #1

�� EDISI I / 2007 EDISI I / 2007 ��

Setiap bulannya, tepatnya setiap hari Rabu

minggu ketiga pada tiap bulan PAF men-

gadakan pertemuan bulanan di sekretariat.

Pada pertemuan bulanan itu PAF mengada-

kan perlombaan bulanan dengan berdasar

level keanggotaan yang ada yaitu senior dan

junior. Selain itu pada pertemuan bulanan

itu PAF terkadang mengadakan workshop,

sharing tentang fotografi, hunting bersama,

dan lain-lain. Selain pertemuan bulanan PAF

mempersilahkan anggotanya untuk datang ke

secretariat kapanpun, sehingga secretariat ini

bisa menjadi semacam base camp bagi ang-

gota-anggotanya. Biasanya mereka datang

membawa makanan, ngobrol. Seusai hunting

biasanya kita ngumpul di secretariat untuk

ngobrol. PAF memiliki buletin yang terbit 3

bulanan yang berisi informasi kegiatan dan

foto-foto anggota PAF yang terbaru.

Selain itu PAF juga sering ikut serta dalam

perlombaan foto. Bahkan mungkin bisa

dikatakan PAF sebagai salah satu klub foto

yang paling banyak menang dalam Salon

Foto. Sementara untuk pameran, PAF juga

beberapa kali ikut serta dalam pameran,

termasuk pameran foto di Korea yang baru

saja diadakan beberapa waktu lalu.

Hebatnya, PAF mungkin menjadi satu-satunya

klub foto yang memiliki bangunan milik sendiri

sebagai sekretariatnya.

PAF adalah salah satu anggota dari FPSI (Fed-

erasi Pewarta Seni Indonesia) dan sebagai

salah satu anggota dari FPSI, PAF membuka

diri untuk bekerja sama dengan klub foto lain

seperti mengadakan hunting bersama, atau

workshop.

Visi PAF adalah ingin selalu memberikan ben-

efit bagi para anggotanya berupa pening-

katan informasi dan kemampuan fotografi.

Semoga PAF bisa memperkaya inspirasi bagi

klub fotografi lain untuk tetap exist dalam usia

yang cukup panjang dan selalu memberikan

manfaat bagi anggotanya.

PAF (Perhimpunan Amatir Foto)Berbicara mengenai fotografi tentunya tidak bisa lepas dengan klub fotografi. Jauh sebelum

internet masuk Indonesia, klub fotografi sudah menjadi salah satu bagian penting bagi pecinta

fotografi. Untuk itu pada edisi perdana ini, kami menampilkan sebuah klub fotografi yang

mungkin tertua yang masih exist di negeri ini. Nama klub tersebut adalah PAF dan berlokasi di

Bandung.

PAF didirikan pada 15 Februari 1924 dimotori

oleh beberapa guru besar dari Technische

Hogeschool Bandung (sekarang ITB) dian-

taranya Prof. Schermerhorn dan Prof. Wolff

Schoemaker, bertempat di Hotel Preanger.

Prof. Wolff Schoemaker sendiri adalah arsitek

ternama kota Bandung yang mewariskan pu-

luhan bangunan indah yang menjadi landmark

kota Bandung saat ini, diantaranya Villa Isola

(UPI), Peneropongan Bintang Boscha, Hotel

Preanger, Gereja Katedral, Gereja Bethel GPIB,

Gebeo (Gedung PLN) dan puluhan rumah ting-

gal lainnya, seperti Bank NISP jalan Sawung-

galing.

Pada saat didirikan, PAF memiliki kepanjan-

gan: Preanger Amateur Fotografenvereenig-

ing, namun sekarang telah berubah menjadi

bahasa Indonesia walaupun singkatan PAFnya

tetap dipertahankan. Maka jadilah Perhim-

punan Amatir Foto. Awal berdirinya klub ini

adalah sebagai wadah para peminat foto

waktu itu. Saat ini anggota yang terdaftar

berjumlah 2700 orang lebih. walaupun yang

terhitung aktif hanya 200 orang. Anggota

paling muda yang terdaftar saat ini berumur

11 tahun.

Setiap orang boleh menjadi anggota PAF dan

tanpa harus melewati proses seleksi tertentu.

Namun di dalam PAF ada level keanggotaan

yaitu anggota senior dan anggota yunior. Jika

fotografer yang ingin bergabung telah memi-

liki prestasi tertentu, maka bisa dipromosikan

untuk menjadi anggota senior. Untuk menjadi

anggota PAF, tiap orang dikenai iuran yang

besarnya Rp.100 ribu per tahun. Namun

tidak menutup kemungkinan untuk mem-

bayar sekali saja selama seumur hidup untuk

mendapatkan lifetime membership hanya saja

besar iurannya adalah Rp.1 Juta.

ProfilProfil

Page 16: TheLight Photography Magazine #1

�0 EDISI I / 2007 EDISI I / 2007 ��

negeri ini yang sejak kecil sudah bercita-cita untuk menjadi fotografer. Maka dari itu tidak heran

jika banyak kita temui fotografer yang memiliki latar belakang pendidikan yang tidak berhubun-

gan secara langsung dengan fotografi, seperti ekonomi, filsafat, sastra, dan bahkan agama. Lalu

bagaimana mereka pada akhirnya bisa masuk ke dalam dunia fotografi dan menggantungkan

hidupnya dari dunia fotografi?

Sebut saja Unang, salah seorang pehoby fotografi yang mengaku mulai menghasilkan uang

dari fotografi walaupun tidak pernah merencanakannya. Unang adalah seorang staf market-

ing di sebuah otomotif. Sejak lahir hingga lulus kuliah desain dari sebuah perguruan tinggi di

Jakarta Unang tidak pernah menekuni fotografi. Bahkan ketika duduk di bangku kuliah jurusan

Ekonomi, Unang terpaksa harus beberapa kali memotret karena terlibat di kepanitiaan se-

buah acara kampus dimana fotografer yang seharusnya mengabadikan acara itu mendadak

berhalangan. “Dulu saya motret cuma karena harus motret, karena fotografer yang seharusnya

bertugas waktu acara kampus berhalangan, kalau enggak juga nggak akan.” Ujarnya kepada

kami. Hingga pada suatu saat ketika ia sudah bekerja di sebuah perusahaan otomotif, ia harus

Makin’ money from photography

Masih senada dengan tulisan lain di edisi ini, memang harus diakui bahwa tidak banyak atau

mungkin bisa dikatakan tidak ada anak kecil di Indonesia yang tertarik untuk menjadikan foto-

grafer sebagai cita-citanya. Alasannya karena belum banyak orang tua yang melihat fotografi

sebagai salah satu mata pencaharian. Benarkah itu?

Pada edisi kali ini kami mencoba mencari tahu mengenai fotografi dan peluang menghasilkan

uang darinya, baik sekedar menghasilkan uang untuk uang saku hingga menghasilkan uang

untuk dijadikan mata pencaharian.

“jangankan fotografi, waktu saya mutusin mau kuliah desain grafis aja dimarahinnya sam-

pai 7 hari tujuh malam sama orang tua saya. Mereka selalu bilang “kuliah desain? Mau jadi

apa kamu?” dan ternyata banyak teman saya juga yang mengalami hal yang sama.” Ungkap

Indra seorang mahasiswa desain grafis yang mulai mendalami fotografi. Memang persepsi

kebanyakan orang tua kita dulu terhadap fotografi dan seni kurang begitu baik. Bahkan kalau

kita tanyakan pada orang-orang yang kini sudah menggantungkan hidup sebagai fotografer

profesional mengenai cita-cita mereka dulu, kami yakin tidak lebih dari 10 orang fotografer di

Liputan UtamaLiputan Utama

Page 17: TheLight Photography Magazine #1

�� EDISI I / 2007 EDISI I / 2007 ��

tripod. Dan akhirnya sekarang saya punya 2

digital SLR, 7 Lensa, 2 tripod, 1 flash, dan 2

lampu studio berikut asesorisnya. Tapi saya

sudah menghasilkan uang dari fotografi sebe-

lum saya punya alat selengkap ini.” Ungkap-

nya. Memang pertama kali Gatot menghasil-

kan uang dari fotografi adalah ketika teman

sekolahnya menyukai foto-foto yang ia hasil-

kan. Berbekal dari foto-foto tersebut, teman-

teman yang berbeda kelas darinya sepakat

memintanya untuk memotret mereka untuk

keperluan buku tahunan sekolah. Sejak saat

itu banyak teman-teman sekolahnya yang

ingin difoto untuk koleksi pribadi. “awalnya sih

bayarannya sukarela, saya nggak pernah pa-

sang harga, tapi lama kelamaan kalau nggak

pasang harga jadi capek juga. Mereka juga

jadi ketagian. Maka dari itu saya mulai pasang

harga, biarpun nggak terlalu mahal. Tapi saya

juga upgrade kualitas foto saya, supaya nggak

ngecewain mereka.” Terangnya. Walaupun

sudah menghasilkan jutaan rupiah tiap

bulannya dari memotret pre wedding, liputan

wedding dan anak-anak SMA, namun Gatot

“Mengetahui potensi-potensi menghasilkan uang dari foto-grafi tidak be-rarti harus ter-jerumus kepada sikap “motret untuk uang” saja.

melakukan pemotretan sendiri karena ia menangani sebuah proyek iklan dengan tenggat waktu

yang sudah mepet dan budget produksi yang juga tidak lebih besar dari gajinya. “waktu itu

banjir melanda Jakarta, dan tiba-tiba bos minta dibuatkan iklan mengenai banjir. Karena banjir

sudah hampir surut maka pemotretan harus dilakukan hari itu juga, nggak ada waktu untuk me-

nyeleksi fotografer, apalagi nggak ada yang jual stok foto banjir di Indonesia waktu itu. Ditambah

lagi kayaknya bos nggak punya budget untuk pemotretan. Jadi walaupun waktu itu perusahaan

periklanan kami sudah mulai mencari fotografer untuk motret banjir ya saya tetap motret sendiri

aja, takutnya keburu surut.” Ungkapnya. Di luar dugaan, ternyata foto yang ia hasilkan disukai

oleh atasannya dan juga perusahaan periklanan yang menangani iklannya. Fotonya pun terpakai

untuk iklan itu walaupun tidak dibayar. Ia pun tidak menyangka foto itu terpakai karena selain

karena tidak menekuni fotografi, foto yang ia hasilkan pun diambil dengan kamera pocket

kantornya. “waktu itu saya belum punya kamera, tapi yang saya tahu kantor saya punya kamera

dengan resolusi 4 megapixel, cukuplah untuk iklan yang nggak terlalu besar.” Lanjutnya. Sejak

saat itu Ia pun memutuskan untuk lebih mendalami fotografi. Berawal dari kebanggaannya telah membuat sebuah

foto yang ternyata memiliki nilai jual walaupun saat itu tidak dibayar, ditambah lagi dengan pekerjaannya sewaktu-

waktu bisa membutuhkan foto untuk materi promosinya. “waktu itu saya mikir, kalau nggak mendalami fotografi aja

foto saya bisa laku, apalagi kalau saya mendalami lagi.” Jelasnya.

Saat ini, bahkan ketika ia sudah berpindah pekerjaan ia sudah menjual lebih dari 10 foto baik untuk keperluan

promosi, iklan, kalender, maupun untuk dikoleksi secara pribadi.

Memang banyak sekali fotografer dan pecinta fotografi yang sudah menghasilkan uang dari fotografi. Sebagian

besar memang dengan tekun sudah mendalami fotografi sebelum pada akhirnya foto yang dihasilkan bisa meng-

hasilkan uang. Seperti Gatot yang sudah sejak SMA mendalami fotografi. Gatot tertarik fotografi sejak kecil dan

mulai mendalami secara serius dengan ikut ekstrakurikuler fotografi di SMAnya. Awalnya Gatot hanya tertarik untuk

memotret dengan baik untuk koleksi pribadinya. “waktu itu saya baru punya kamera SLR analog warisan dari ayah

saya. Tapi lama kelamaan karena motretnya sudah makin bagus ditambah kamera digital sudah makin terjangkau,

jadi saya putusin untuk lebih serius lagi. Saya beli kamera digital SLR pertama saya setelah 8 tahun mendalami

fotografi. 1 tahun kemudian saya mulai beli lensa dengan range lain. Beberapa bulan kemudian saya beli flash dan

“Banyak sekali orang belajar foto-grafi tapi tidak tahu bahwa foto yang mer-eka hasilkan bisa meng-hasilkan uang.”

Liputan UtamaLiputan Utama

Page 18: TheLight Photography Magazine #1

�� EDISI I / 2007 EDISI I / 2007 ��

tanpa mempelajari kemungkinan-kemungkinan yang ada. “Banyak sekali orang belajar fotografi

tapi tidak tahu bahwa foto yang mereka hasilkan bisa menghasilkan uang. Padahal uangnya

bisa dipakai untuk membeli peralatan yang lebih baik. Jadi hobi fotografi nggak Cuma jadi hobi

yang menguras kocek pribadi apalagi orang tua. Sukur-sukur bisa jadi lebih dari sekedar beli

peralatan yang lebih baik.” Ungkap Ujo (bukan nama sebenarnya), seorang pengamat fotografi

yang namanya tidak ingin dipublikasikan. “Mengetahui potensi-potensi menghasilkan uang

dari fotografi tidak berarti harus terjerumus kepada sikap “motret untuk uang” saja. Artinya,

kalau kita tahu peluangnya, kita bisa lebih tahu arah yang benar. Sederhana saja, apapun yang

bagus pasti laku dijual. Begitu juga dengan fotografi. Kalau foto kita bagus pasti laku dijual.

Nah dengan mengetahui kemungkinan menghasilkan uang dari fotografi artinya secara tidak

langsung kita mempelajari kualitas foto yang sesuai dengan standar kebutuhan fotografi itu

sendiri. Sehingga pada akhirnya kita bisa mulai mempelajari standar kualitas yang jelas diakui

itu. Masalah nantinya mau menghasilkan uang atau tidak itu belakangan. Tapi setidaknya kita

nggak kaget dan merasa dirugikan kalau pada akhirnya foto yang kita hasilkan bisa menghasil-

kan uang. Jadi jangan jadi kebanyakan orang yang belajar fotografi, yaitu dengan belajar motret

tanpa tahu standar kualitasnya.” Lanjutnya.

Mengenai peluang untuk menghasilkan uang dari fotografi Ujo melihat begitu banyak peluang

yang ada untuk setiap spesialisasi fotografi yang ada. Namun ia menyayangkan begitu banyak

pecinta fotografer yang melihat hanya pada bidang-bidang tertentu saja. “Di setiap spesialisasi

dalam fotografi terdapat peluang masing-masing, tapi sayangnya terlalu banyak orang yang

melihat hanya pada satu bidang saja. Misalnya pre wedding. Coba berapa banyak fotografer

yang motret pre wedding? Ratusan atau bahkan ribuan. Mereka nggak pernah mencari peluang

“Yang jelas banyak orang tidak menge-tahui peluang menghasilkan uang dari fotografi. bisa karena malas mencari tahu, atau karena mental latah.”

tetap belum berani menggantungkan hidup

sebagai fotografer. Maka dari itu ia masih

berkeinginan untuk mencari pekerjaan yang

sesuai dengan bidangnya, yaitu telekomuni-

kasi. “saya merasa masih belum ahli di foto-

grafi. Saat ini saya memilih untuk menjalani

dua-duanya. Sambil cari kerjaan yang sesuai

dengan bidang saya, saya masih terus motret.

Kalau kerjaannya nggak dapet-dapet semen-

tara kemampuan motret saya udah jauh lebih

matang ya mungkin saya akan memutuskan

untuk jadi fotografer. Tapi kalau dapet kerjaan

di bidang saya, ya terpaksa saya motret

Cuma di hari libur aja, sambil ngumpulin uang

untuk beli perlengkapan fotografi yang lebih

bagus. Jadi kalau kemampuan fotografi saya

sudah jauh lebih bagus dari sekarang, saya

bisa lebih terdukung dengan peralatan yang

saya punya.” Ungkapnya mengenai alasan-

nya mengapa belum berani menggantungkan

hidup dari fotografi.

Banyak alasan yang menyeret orang pada

kondisi dimana fotografi dapat menghasilkan

uang. Ada yang menghasilkan uang dari

fotografi bahkan ketika belum mendalaminya

dan banyak yang mendalaminya terlebih

dahulu sebelum pada akhirnya menghasilkan

uang. Banyak pehobi fotografi yang mulai

menghasilkan uang dari fotografi secara tidak

terduga. Hal ini bisa terjadi mungkin karena

minimnya pengetahuan pecinta fotografi

terhadap kebutuhan terhadap fotografi dan

standar kualitas fotografi yang benar. Banyak

pecinta fotografi yang tidak memiliki wawasan

yang luas tentang cara menjual foto, kemana

foto harus dijual, untuk keperluan apa saja

bisa dijual, serta kualitas foto yang memenuhi

standar tiap aplikasinya. Pada akhirnya,

pecinta foto hanya terpaku hanya pada

pendalaman teknik fotografi sebagai hobi

Page 19: TheLight Photography Magazine #1

�� EDISI I / 2007 EDISI I / 2007 ��

lain. Akhirnya over supply. Nah kondisi over

supply ini yang membuat industri pre wedding

jadi hancur-hancuran. Karena dengan kondisi

dimana sangat mudah mencari fotografer pre

wedding apalagi dengan kualitas yang nyaris

sama mau tidak mau akan terjadi perang

harga. Semuanya banting harga. Padahal itu

justru tidak menguntungkan bagi mereka.

Lebih lucunya lagi dengan kondisi penuh

sesak seperti itu, masih ada yang mau masuk

pre wedding. Ketika perang harga terjadi,

yang akan menimba keuntungan adalah

nama-nama besar dan juga fotografer-foto-

grafer yang jelas memiliki standar kualitas

yang jauh di atas rata-rata.” Ungkap Ujo.

Mirip dengan Ujo, pengamat fotografi Agus

berkomentar bahwa kondisi pre wedding

yang penuh sesak seperti sekarang ini akibat

minimnya pengetahuan pecinta fotografer

mengenai peluang kebutuhan terhadap

fotografi. “Yang jelas banyak orang tidak men-

getahui peluang-peluang menghasilkan uang

dari fotografi. Penyebabnya bisa karena malas

mencari tahu, atau karena mental latah.

Indonesia ini kan terkenal dengan latahnya.

Ketika break dance marak di indonesia

semua orang dengerin break dance, nggak

ada yang dengerin jazz, blues, dll. Tapi ketika

break dancenya sudah lewat, nggak ada yang

dengerin break dance lagi. Beda dengan

di luar negeri dimana tiap spesialisasi bisa

jalan dengan konsisten sepanjang tahun, jadi

bukan musiman kayak di sini. Nah mungkin

itu yang terjadi dengan pre wedding. Melihat

ada orang yang menghasilkan uang dari pre

wedding, semuanya ikut motret pre wedding.

Yang tadinya seneng motret landscape mulai

motret pre wedding, yang tadinya motret

model lebih seneng lagi karena model pre

wedding nggak beda jauh sama motret model,

bahkan yang tadinya motret jurnalistik pun

ada yang sekarang ikut motret pre wedding.

Semata-mata karena latah dan malas. Latah

melihat orang sukses di pre wedding, dan

malas cari informasi peluang lain di luar pre

wedding.” Ungkapnya.

Mengenai peluang peluang menghasilkan

uang dari spesialisasi lain dalam foto-

grafi, fotografer landscape Dibyo Gahari

Liputan Utama

Page 20: TheLight Photography Magazine #1

�� EDISI I / 2007 EDISI I / 2007 ��

mengatakan bahwa sebenarnya landscape bisa menghasilkan uang dari menjual stock

foto. Aplikasinya bisa untuk kalender, untuk iklan dan materi promosi, hingga sekedar untuk

pengganti lukisan di rumah. Dibyo melihat potensi foto yang cukup baik untuk menggantikan

lukisan yang lebih sering terpajang sebagai elemen dekorasi rumah. Hanya saja Dibyo melihat

memang masih sedikit orang Indonesia yang secara serius menjual stok foto, termasuk dirinya

sendiri. Untuk itu Dibyo bertekad untuk lebih menseriusi peluang tersebut, sehubungangan

dengan hobinya memotret landscape. Mengenai pendapat Dibyo ini Agus menambahkan bahwa

fotografi landscape menyimpan potensi yang luar biasa dalam menghasilkan uang. “kalau mau

diniatin, foto landscape bisa dijual sebagai gantinya lukisan pada ornamen interior. Seharusnya

ada yang mau sedikit repot untuk jadi brokernya fotografer landscape. Jadi semua fotografer

landscape mengumpulkan foto-fotonya pada satu wadah, kemudian wadah tersebut yang

berusaha menawarkan foto-foto tersebut ke pasar. Kalau nggak mau repot tinggal bikin website,

tapi websitenya harus dipromosikan biar orang-orang tahu. Kalau mau sedikit lebih repot, coba

kerjasama dengan konsultan interior. Karena mereka kan banyak menangani interior rumah,

apartemen dan hotel, jadi pasti butuh foto sebagai ornamen interiornya. Apalagi kalau yang

merekomendasikan konsultan interior, pasti yang punya rumah akan lebih mendengarkan.”

Ungkapnya.

Sementara untuk bidang jurnalistik Agus melihat potensinya sangat jelas. “Di jurnalistik yang

mahal adalah momen. Artinya foto yang bagus terutama yang momennya unik. Contohnya kalau

di media video adalah rekaman menabraknya pesawat ke menara kembar WTC. Biarpun kuali-

tas gambarnya nggak begitu bagus, komposisinya nggak menarik, gambarnya agak shake, tapi

karena momennya terekam maka jadi sangat mahal. Nah permasalahannya fotografer media

massa juga belum terlalu banyak, artinya belum bisa kayak superman, begitu ada kejadian tidak

berselang terlalu lama sudah bisa ada di tempat kejadian. Nah itu kan peluang buat fotografer

freelance. Kenapa nggak bawa kamera kemana-mana, sehingga ketika ketemu momen yang

memiliki nilai berita bisa segera diabadikan. Kalau nggak banyak fotografer yang punya, bisa

dijual tuh foto. Karena momen kan nggak selalu direncanakan.” Ungkapnya.

Liputan Utama

Page 21: TheLight Photography Magazine #1

�0 EDISI I / 2007 EDISI I / 2007 ��

gannya. Belum lagi property yang mau dipakai, nggak bisa on the spot dipakai. Begitu juga

dengan lokasi.” Tambahnya.

Berbicara mengenai making money from photography memang terlalu kompleks, kami melihat

peluang yang sangat besar di luar dari beberapa spesialisasi yang sudah ada di atas. Bahwa

selain menjadi spesialisasi di bidangnya, fotografi bisa menghasilkan uang dari segi bisnis. Mis-

alnya, kursus fotografi. Contoh lain adalah dengan mengadakan hunting dan sesi pemotretan

bersama. Hal ini sudah mulai lebih sering dilakukan pehobi fotografi. Proses kerjanya tidak

terlalu rumit. Anda tinggal menghubungi agen model untuk mencari model pemotretan tersebut,

lalu mencari tempat yang menarik untuk dijadikan lokasi pemotretan dan menarik bayaran dari

peserta. Mengenai lokasi, sangat terbuka kemungkinan bisa didapatkan harga khusus atau

bahkan gratis dengan sistem sponsor, begitu juga dengan lighting equipment yang digunakan

dalam sesi pemotretan.

Begitu banyak peluang untuk menghasilkan uang dari fotografi. Tinggal bagaimana kita mau

membuka diri dan memperluas wawasan saja. Baik disengaja atau tidak disengaja, menghasil-

kan uang dari fotografi pastinya menjadi sesuatu yang menyenangkan, mungkin bukan semata

karena jumlah rupiah yang kita terima, namun juga rasa puas dan bangga yang ditimbulkan

ketika foto yang kita buat disukai dan di apresiasi oleh orang lain dalam nilai yang terukur, yaitu

uang. Pada akhirnya kami menyadari bahwa fotografi bisa menjadi pekerjaan yang sangat

menyenangkan dan menghasilkan. Menyenangkan karena lebih banyak dilakukan sebagai hobi,

dan tidak ada pekerjaan yang lebih menyenangkan jika dilakukan sebagai hobi. Pada akhirnya

ketika dilakukan dengan senang hati, bukankah kualitas yang dihasilkan juga akan lebih opti-

mal, seiring dengan waktu dan upaya yang dicurahkan untuk mendapatkan hasil terbaik.

“dengan mengetahui peluangnya, kita bisa mendapatkan referensi foto yang memenuhi standar kualitas pada bidang tersebut, sehingga kita bisa mendalami dengan lebih benar, nggak asal try and error.”

Mengomentari mengenai peluang meng-

hasilkan uang dari fotografi, Ujo berkomentar

seharusnya fotografer mau lebih membuka

wawasan. Yang diperlukan bukan sekedar

mengetahui teknik fotografi, tapi juga tahu

peluang-peluangnya, prosedurnya hingga

siapa yang membutuhkannya. “dengan

mengetahui peluangnya, kita bisa mendapat-

kan referensi foto yang memenuhi standar

kualitas pada bidang tersebut, sehingga kita

bisa mendalami dengan lebih benar, nggak

asal try and error. Selanjutnya kalau sudah

tahu peluangnya, kita bisa mulai memikirkan

bagaimana cara membuka jalur ke sana. Mis-

alnya kalau tertarik di jurnalistik ya harus tahu

kontaknya bagian redaksi media massa. Lebih

baik lagi kalau kenal dengan redakturnya.

Jadi sewaktu-waktu mau jual foto udah tahu

harus ketemu siapa. Dan yang nggak kalah

pentingnya adalah tahu prosedurnya gimana.

Supaya nggak ada yang dirugikan. Contoh

lain, banyak sekali fotografer pemula yang

ingin jadi fotografer komersil. Di satu sisi

sudah ada kemajuan karena mereka tertarik

dengan fotografi komersi karena kualitas

detail yang lebih baik disamping uang yang

dihasilkan bisa dikatakan paling banyak

dibandingkan fotografi lain. Namun sayangnya

proses pencarian informasinya hanya berhenti

di situ. Mereka nggak coba cari tahu seberapa

standarnya, kemana harus jual, gimana cara

jualnya, gimana procedurnya. Akhirnya banyak

fotografer yang kualitasnya sebenarnya belum

sampai tapi karena nggak tahu standarnya,

akhirnya nggak laku-laku” Ujarnya. “yang ha-

rus diingat juga adalah beda bidang bisa beda

juga standarnya. Contohnya komersil fotografi

yang standarnya menuntut detail lebih

sempurna jika dibandingkan dengan pre wed-

ding. Hal ini terjadi karena klien dari fotografi

komersil adalah perusahaan periklanan yang

notabene mengerti tentang seni, bahkan lebih

mengerti seni dibandingkan fotografernya,

sementara pre wedding kliennya kan orang

biasa, jadi nggak terlalu detail. Maka dari itu

pemotretan fotografi komersil lebih kompleks,

wardrobenya saja harus didiskusikan dengan

team & klien, warnanya, bentuknya, poton-

Liputan UtamaLiputan Utama

Page 22: TheLight Photography Magazine #1

�� EDISI I / 2007 EDISI I / 2007 ��

Mungkin belum banyak orang mendengar nama Irvan Arryawan. Fotografer Grup Femina ini

memang merasa kurang gaul dengan kalangan fotografer. Ia belum pernah mengikuti klub atau

komunitas fotografi, ia juga belum aktif pada komunitas online fotografer di internet. Namun

kami yakin setelah mengenalnya lebih baik melalui majalah ini, banyak orang yang akan selalu

mengingat namanya. Hal ini karena prestasi yang luar biasa cepat ia capai dengan karya-karya

fotografi fashion yang mencengangkan.

Seperti banyak fotografer terkenal lainnya, Irvan juga tidak mengennyam pendidikan formal di

bidang fotografi. Lulusan Politeknik elektro Universitas Indonesia & ISTN Cikini ini, Irvan sempat

merantau ke Jepang, Singapura, Malaysia,

Batam, Bali dan Kalimantan, untuk pekerjaan-

nya sebagai insinyur elektro selama 4 tahun.

Namun di usia 26 tahun atau delapan tahun

yang lalu ia membeli kamera pertamanya

di Singapura. Mulai saat itu ia mulai tertarik

akan fotografi. Awalnya bukan karena ke-

inginan membuat foto yang baik, tapi karena

menekan shutter release pada kamera adalah

suatu hal yang menakjubkan! Masa-masa

awal dasar fotografi dijalani dengan meng-

habiskan waktu di sebuah outlet cuci-cetak

foto di bilangan Kemang, Jakarta. Fotografer

yang tidak pernah belajar fotografi dari buku

manapun ini mengaku dengan keisengannya

menghabiskan waktu di outlet cuci-cetak

foto tersebut, ia menemukan banyak wanita

yang bisa dijadikan model untuk dipotret. Ia

pun senang mengawali pekerjaan fotografi-

nya di prewedding & wedding pada tahun

1998-2000. Hingga akhirnya di tahun 2000

ia bekerja sebagai fotografer Femina Group,

fashion fotografer otodidak

FashionFashion

(c) Feminagroup

irvan arryawan

Page 23: TheLight Photography Magazine #1

�� EDISI I / 2007 EDISI I / 2007 ��

pun terus menanjak, dan mungkin ini terjadi

karena memang kemauannya yang keras

untuk belajar. Hingga akhirnya pada bulan

oktober 2005 fotonya untuk sampul maja-

lah MensHealth Indonesia dipilih oleh para

editor International Men’s Health di Emmaus

Amerika Serikat dengan julukan ‘out standing

original cover’ di antara 42 negara yang men-

gusung majalah Men’s Health pada periode

itu. Ia juga menjadi salah satu nominator

Nokia Award 2005 untuk kategori fashion

fotografer bersama sederet nama-nama

fotografer fashion yang

sudah lebih terkenal

seperti Heret Frastio,

Davy Linggar, Bambang

Santoso, dan Hari Sub-

astian. Namun begitu,

hingga kini pun Irvan

merasa sungkan untuk

menyebut dirinya seb-

agai fashion fotografer.

Karena menurutnya

fashion fotografi is all

about trend. Artinya selalu berubah mengikuti

trend. Untuk bisa terus berkecimpung dalam

dunia fashion fotografi Irvan mengaku perlu

mengasah lagi pengetahuannya tentang fash-

ion seperti berdiskusi tentang fashion dengan

stylist-stylist, fashion designer, make up & hair

stylist, dan lain-lain sebagai referensi fashion

untuk pengembangan diri di fotografi fashion.

Menyandang fotografer, Irvan menyayangkan

kerancuan orang akan profesi fotografer dan

tukang foto. “banyak orang memperlakukan

fotografer seperti tukang foto. Padahal beda.

Seperti sopir dan pembalap aja, dua-duanya

“banyak orang mem-perlakukan fotografer seperti tukang foto...”

walaupun saat itu ia berhasil diterima di

femina namun prestasi di bidang fotografi,

dan pengalaman di majalah adalah nol besar,

karena itu Femina pulalah yang akhirnya ia

anggap sebagai sekolah untuk mengasah

kemampuan fotografinya setiap hari. Ia

bersyukur sempat merasakan era dimana

Femina Group belum menggunakan teknologi

digital. “Dulu, di Femina kita harus bisa meng-

hasilkan foto yang baik dalam waktu yang

relatif singkat dengan peralatan seadanya.

Bahkan untuk tugas foto di luar, dengan 1-2

lampu pun kita harus bisa menghasilkan foto

sekualitas komersil, lebih lagi toleransi film

slide itu untuk under dan over exposurenya

adalah 0.5stop” ungkapnya. Perlahan tapi

pasti, kemampuan Irvan pun bertambah,

Ia mulai sering memotret tanpa lightmeter

(karena gara-gara sering lupa), tapi akhirnya

itu menjadikan melatih diri untuk mengenal

lebih dekat lagi kepada peralatan lighting dan

kamera yang dengan kerutinan memotret

akan membantu membuatnya semakin

matang. Setelah semakin dalam pengetahuan

fotografinya, ia pun mulai mempelajari bahasa

tubuh model. Hal ini ia dapat karena seringnya

ia menghadapi model yang “seperti robot”.

“mau di foto tapi sering bengong matanya,

disuruh lebih lepas senyumnya, perutnya

gendut, disuruh tahan perut, tangannya malah

kaku.” Kenangnya. Kemampuan fotografi Irvan

FashionFashion

(c) Feminagroup

(c) Feminagroup

Page 24: TheLight Photography Magazine #1

�� EDISI I / 2007 EDISI I / 2007 ��

yang akan digunakan, lokasi, nuansa, dan

sebagainya sehingga akan menjadi sebuah

fotografi fashion yang menarik.” Tukasnya.

Dalam pemilihan lokasi ia menyarankan untuk

melakukan survey, guna mendapatkan spot

terbaik dan gambaran fotografi yang akan kita

buat. Ia pun seringkali susah tidur jika esok

harinya ada sesi pemotretan yang penting. Hal

ini semata-mata karena ia memikirkan dan

membayangkan treatment lighting yang akan

disiapkannya.

Pada hari pemotretan, ia biasa memulai

dengan memperhatikan kekurangan dan kele-

bihan model yang akan dipotret. Lihat bentuk

wajahnya, mata, hidung, garis rahangnya,

cari kekuatan dan angle terbaiknya. Jangan

langsung jepret aja, karena dengan mempela-

jari karakter si model maka kualitas foto akan

lebih optimal. Setelah itu ia akan berdiskusi

dengan make up artist mengenai treatment

yang ada. Menurutnya, Shadow adalah

sama-sama pegang setir, injak gas, injak rem dan sebagainya, tapi supir mendapat perintah,

untuk belok kanan, lewat sana, jemput dan antar dan sebagainya, sementara pembalap adalah

team work yang bagus untuk mencapai kemenangan sehingga perlu komunikasi dan support

satu dengan lainnya” tegasnya. Hal ini sering ia temui pada pekerjaannya, menyadari betul

bahwa pekerjaan fotografi khususnya fashion adalah hasil karya sebuah team. Harus ada ko-

munikasi sebelum pemotretan untuk didiskusikan terlebih dahulu, sehingga fotografer mengerti

apa-apa yang harus disiapkan saat pemotretan nanti. Sayangnya sering kali dengan kekerasan-

nya terhadap pengakuan profesi sebagai fotografer dan bukan tukang foto, menjadikannya

berbenturan terhadap pihak-pihak yang berkaitan di dalam teamnya, karena komunikasi yang

belum dapat berjalan dengan baik.

Di Fashion fotografi, Irvan menganggap diskusi sebelum pemotretan itu sebagai salah satu hal

yang mutlak. Dari ide yang kemudian menjadi sebuah konsep, pembahasan tretament light-

ing, pemilihan wardrobe, treatment make up, lokasi, model dan juga untuk melihat referensi

bersama-sama. Mengenai model, ia melihat kecenderungan fotografer pemula yang su-

dah mendapatkan model cantik langsung melakukan pemotretan yang akhirnya cenderung

mengandalkan kecantikan model itu semata. “Ada baiknya, si model bisa kita siapkan sejenak

untuk memikirkan konsep fashion yang akan kita buat, seperti mulai dari pemilihan pakaian

“seperti bermain piano, je-mari yang menari dengan nada, atau saat menyetir mo-bil injak gas dan rem yang spontan saat berkelok, parkir, kita mengerti seberapa besar mobil kita dan sebagainya”

FashionFashion

(c) Feminagroup

Page 25: TheLight Photography Magazine #1

�� EDISI I / 2007 EDISI I / 2007 ��

diperhatikan oleh fotografer pemula ketika

melakukan setting lampu adalah perhatikan

jatuhnya titik pusat lampu. “artinya kalau yang

ditonjolkan muka ya titik pusat dari lampunya

harus jatuh di muka. Jangan malas atau

ragu untuk menggeser, naik dan turunkan

titik lampu untuk mendapat pencahayaan

foto yang kita inginkan.”tegasnya. “Hati-hati,

semakin banyak lampu akan semakin banyak

yang harus dihitung, dan diperhatikan benar

efeknya artinya akan semakin susah jadinya.”

Sambungnya. Untuk hal ini Irvan mengaku

selalu memperhatikan pencahayaan yang ada,

mulai dari sudutnya, tingginya, jarak dengan

obyek, kekuatan flashnya hingga biasnya.”

Masih mengenai lighting ia mengaku tidak

pernah menghapalkan lighting diagram dan

setting lampu. “Lighting jangan dihafalkan,

tapi coba dibayangkan, menyatulah dengan

alat saat kita bekerja. “seperti bermain piano,

jemari yang menari dengan nada, atau saat

menyetir mobil injak gas dan rem yang

spontan saat berkelok, parkir, kita mengerti

seberapa besar mobil kita dan sebagainya”

Tukasnya. Ketika sudah bisa menyatu dengan

peralatan yang ada, Irvan percaya saat itulah

fotografer tersebut sudah melakukan tugas-

nya dengan baik. Namun untuk mencapai

properti yang bisa membantu keindahan foto,

oleh karena itu perhatikan baik-baik keinda-

hannya saat jatuh di muka terutama batang

hidung, leher, dan background. Ketika sesi

pemotretan berlangsung perhatikan semua

detail, dari make up, rambut, baju, senyum,

lengan & jemari, perut, dan posisi model,

biarkan dia atau lihat dia merasa nyaman

dengan pose seperti itu atau pose yang kita

minta. “semuanya harus diperhatikan karena

akan memperkuat konsep fashion fotografi

yang kita buat.”. Mengenai pencahayaan,

ia selalu menggunakan lampu secukupnya.

Artinya walaupun terkadang menggunakan 8

lampu atau lebih itu dikarenakan kebutuhan

saat itu, berdasarkan konsep foto yang telah

dibicarakan. Ia menyayangkan fotografer-foto-

grafer pemula yang memaksakan peng-

gunaan lampu banyak dengan tujuan untuk

terlihat lebih rumit dan lebih hebat semata.

“Yang penting efektif, jangan pakai lampu

banyak kalau belum mengerti maksud-

nya, apalagi kalau hasilnya ternyata dapat

dilakukan dengan jumlah lampu yang lebih

sedikit, atau jangan sampai ada cahaya yang

malah mengganggu hasil foto karena kita

tidak kontrol, malukan? ” Fotografi itu adalah

“melukis dengan cahaya” gunakanlah lighting

sesuai yang kita butuhkan. Hal-hal yang harus

FashionFashion

(c) Feminagroup

Page 26: TheLight Photography Magazine #1

�0 EDISI I / 2007 EDISI I / 2007 ��

kan hal-hal yang tidak terkontrol. Digital imag-

ing yang benar menurutnya harus menjadi

satu proses yang sudah direncanakan atau

diprediksi dari awal pembuatan konsep foto.

“kalau digital imagingnya nggak terduga dan

muncul tiba-tiba di akhir pemotretan artinya

motretnya belum benar.” Tegasnya. Karena

digital imaging baginya hanya menjadi proses

yang membantu menguatkan konsep foto,

bukan untuk merubah foto. Ia beranggapan

bahkan dengan adanya teknologi digital dan

kemampuan digital imaging seharusnya foto

jadi lebih bagus. Karena segala halnya jadi

lebih mudah. Tapi disayangkan kalau kita jus-

tru menggunakan digital imaging yang tidak

terencana dan terkesan berlebihan sehingga

banyak kerancuan. Seperti treatment light-

ingnya tidak direncanakan kemudian diolah

proses digital imaging, sehingga terlihat aneh,

atau dipaksakan.

Ditanya mengenai tips untuk menghasil-

kan karya foto fashion yang dahsyat, Irvan

menjawab bahwa ide untuk menjadi sebuah

konsep adalah awal dari sebuah foto yang

dahsyat. Dengan ide yang unik dan menarik

seorang fotografer bisa tetap exist di dunia

fotografi. Tapi yang juga harus dipastikan ide

tersebut bisa diterima oleh penikmat fotografi.

Ide yang ada harus orisinil. Fotografer yang

sedang belajar, Irvan memperbolehkan meniru

foto orang lain dengan tujuan melatih diri

untuk memahami apa dan bagaimana cara

membuat foto tersebut, namun untuk tahap

selanjutnya Irvan menekankan pentingnya ori-

sinalitas ide yang akan dieksekusi. Selanjut-

nya Irvan juga menekankan pentingnya untuk

menyatukan team. “Team harus menyatu”

tegasnya. Artinya team yang ada meliputi

fotografer, stylist, art director (kalo ada), make

up & hair stylist, artist/model, harus bisa

bekerja sama dan mengerti betul dengan

apa yang akan dibuat. Ia juga menekankan

pentingnya detail. Ia menyarankan setiap

fotografer yang ingin menghasilkan foto yang

bagus harus total memperhatikan fotonya

tersebut. “Diniatin lah, buat konsep yang baik

dan diyakini mampu untuk dibuat, pelajari

trik-trik apa yang akan dilakukan, cari orang-

orang pendukung, seperti model, stylist, make

up & hair stylist, lokasi, property, dan lain

sebagainya.” Ujarnya..

Pada akhir pembicaraan kami, ia juga

mengajak para pecinta fotografi untuk mulai

memotret dengan apapun yang dipunyai.

“lo punya kamera apapun, lighting apapun,

motret aja.” Tutupnya.

hal itu itu bukanlah hal yang mudah. “Coba

lebih explore lampu deh. Motret mulai dari

satu lampu, geser sudutnya, tinggi renda-

hnya, tiltnya, biasnya, pantulannya, juga coba

aksesoris yang ada, misalnya payung yang bi-

asa dibukanya full, menjadi kuncup.” Ujarnya.

Sudah puas mengeksplorasi dengan satu

lampu, coba dengan dua lampu dan kombi-

nasikan semua kemungkinan yang ada, dan

begitu seterusnya. Ia pun menganut prinsip

untuk tidak mengulang sesuatu yang pernah

dilakukan secara terus menerus sehingga

memberikan ruang untuk pencarian baru.

“Coba deh revew hasil foto kita setiap tiga

hingga enam bulan kemudian, saat itu kita

bisa menyadari sendiri sudah sampai dimana

kemampuan dan pengetahuan fotografi kita”

Begitu caranya mengevaluasi dirinya.

Mengenai pasca produksi, Irvan beranggapan

kehadiran teknologi

digital dan digital imag-

ing jangan membuat

fotografer menjadi

kurang mendalami

pakem dasar fotografi.

Seharusnya digital

imaging hanya menjadi

fasilitas untuk merapi-

“kalau digital im-agingnya

nggak ter-duga dan

muncul tiba-tiba di akhir

pemotretan artinya motret-

nya belum benar.”

FashionFashion

(c) Feminagroup

Page 27: TheLight Photography Magazine #1

�� EDISI I / 2007 EDISI I / 2007 ��

www.creativetrees.com merupakan sebuah website yang menampilkan serta mempublikasikan

portfolio para profesional yang bekerja di industri kreatif sehingga calon klien dapat melakukan

kontak secara langsung.

Creativetrees.com hadir guna membantu

mereka yang membutuhkan jasa kreatif dengan

cara mencari, memilih dan berkomunikasi

dengan pekerja kreatif. Untuk itu creativetrees.

com secara aktif memperkenalkan anggota-

anggotanya tidak hanya melalui website tetapi

juga melalui jalur promosi lainnya.

www.creativetrees.com

Phase One digital back P+ diperkaya dengan beberapa fitur baru seperti: feature Opticolor+

untuk akurasi warna yang sangat tinggi. Fitur ini menjaga detail warna bahkan pada bagian

gelap sekalipun serta mengoptimalkan skin tones. Fitur

lainnya adalah Dynamic+technology yang berfungsi

untuk meminimalisir noise pada ISO berapapun. Selain

itu, Anda bisa memotret hingga 70 frame per menit

dalam format RAW (P21+). Fitur lain yang juga tidak

kalah menarik adalah Xpose+ yang memungkinkan

anda memotret dalam exposure hingga 1 jam. Fasilitas

ini memberikan kebebasan dalam menciptakan foto

dengan teknik yang extreme seperti light painting.

Phase One P+ Series

www.phaseone.com / www.primaimaging.com

Info Product

Page 28: TheLight Photography Magazine #1

�� EDISI I / 2007 EDISI I / 2007 ��

Fotografi jurnalistik = fotografi pintar

dan akhirnya saya masuk Kompas. Walaupun

awal saya kerja di kompas bukan sebagai

fotografer tapi reporter.

Ceritakan tentang perjalanan karir Anda di Kompas.Tahun 1990 sampai 1996 saya jadi reporter

olahraga, tapi sebagai reporter saya selalu

motret sendiri, saya nggak pernah bawa

fotografer.

Tahun 1996 saya langsung jadi redaktur foto,

mungkin karena kaderisasi di bagian fotografi

waktu itu kurang. Waktu itu Kartono Ryadi,

redaktur Kompas saat itu jadi redaktur sudah

lama sekali. Belasan tahun jadi redaktur ng-

gak diganti-ganti. Akhirnya saya mengganti-

kannya sampai tahun 2000. Tahun 2000 saya

pindah ke Medan jadi kepala biro Medan,

2003 pulang lagi ke Jakarta jadi redaktur

lagi sampai 2005. Sekarang pengganti saya

anak muda, saya tinggal menikmati hidup jadi

fotografer biasa di sini.

Sebelum jadi reporter jurnalistik Anda pernah jadi reporter olahraga, apakah itu hal yang menguntung-kan?Menurut saya fotografer jurnalistik kalau be-

lum pernah jadi fotografer olahraga kemam-

puannya masih saya ragukan. Kalau sudah

melewati olahraga dan metropolitan baru bisa

dibilang matang. Olahraga itu menuntut skill,

reaksi dan jalan berpikir yang cepat, sedan-

gkan metropolitan itu mengasah kepekaan,

kalau dia lihat momen dia harus bisa pilah ini

kepentingan orang apa bukan.

Fotografer olahraga tingkat kesuli-tannya dimana saja sih?Reaksi. Dulu saya motret olahraga waktu ja-

mannya manual focus, belum ada auto focus,

Setiap orang yang pernah menekuni fotografi jurnalistik pasti mengenal nama Arbain Rambey.

Entah karena relatif minimnya popularitas yang dimiliki seorang fotografer jurnalistik dibanding-

kan fotografer fashion & commercial atau memang tidak begitu banyaknya fotografer jurnalistik

yang populer di kalangan dunia fotografi, nama Arbain Rambey seakan-akan semakin menju-

lang sendirian bersama karya-karyanya yang semakin matang dan segar ketika mulai dipadu-

kan dengan pakem-pakem fotografi di luar jurnalistik. Dua minggu sebelum terbitnya edisi ini,

kami mendapat kehormatan untuk boleh berkenalan dan menimba ilmu dari praktisi fotografi

jurnalistik ini. Berikut cuplikan pembicaraan kami.

Bagaimana awal ketertarikan Anda pada dunia fotografi?Saya mulai kenal fotografi tahun 1974,

mulainya dengan cuci cetak. Kebetulan di

SMP saya ada ekstrakurikuler kamar gelap,

jadi sekalian saya ikut. Jadi saya belum bisa

motret saya sudah bisa cuci cetak. Tapi den-

gan mengerti tentang cuci cetak, saya lebih

mengerti teknik pencahayaan yang benar,

diafragma hingga speed.

Tahu 1977 waktu saya naik gunung bersama

teman-teman, saya nggak puas sama fotonya

teman-teman saya, kok jelek-jelek semua

fotonya. Akhirnya saya bawa kameranya

dan saya potret semua obyek di perjalanan,

biarpun jadi nggak menikmati perjalanannya

tapi saya puas foto-fotonya bagus.

Tahun 1978 saya beli kamera pertama saya.

Tapi waktu kuliah di ITB saya jarang motret

lagi karena nggak mampu beli kamera yang

lebih bagus.

Tahun 1988 saya lulus dan kerja di Irian dan

saya bisa beli kamera lagi. Dan di situ saya

ketemu Manuel Kasiepo dan di bilang “kalau

kamu hobi motret jadi wartawan aja sekalian”,

JurnalistikJurnalistik

Berguru pada Arbain Rambey

Page 29: TheLight Photography Magazine #1

�� EDISI I / 2007 EDISI I / 2007 ��

stadion kita lampunya itu belang-belang ada

daylight ada tungsten, jadi yang penting asal

terang aja. Sementara kalau kita motret di

olimpiade, baru masuk stadion aja sudah ada

keterangan yang ditempel, harus pake ISO

berapa, bukaan berapa, speed berapa, jadi

kita tinggal ikutin aja. Jadi White balance-

nya sudah benar. Belum lagi motret tinju, di

Indonesia saya pernah harus set ISO di 3200

untuk dapat gambar yang bagus, padahal di

luar negeri ISO 400 aja dapet. Nah kesaradan

itu belum ada di Indonesia, makanya baru

SBY yang punya fotografer pribadi khusus,

yang sebelum-sebelumnya nggak. Contoh

lainnya waktu acara Kodam Jaya, kalau ada

acara pergantian Pangdam pada waktu saya

masih aktif tahun 90-an, posisi wartawan itu

menghadap matahari, gimana mau bagus

fotonya, backlight semua kan, siluet semua.

Jadi di Indonesia itu nggak pernah dipikirin

bahwa foto itu sebagai sarana publikasi yang

baik dan benar.

Bush sebelum datang di halim, sebelum

mendarat sudah dipasang karpet merah dan

tangganya, dan ajudannya sudah ukur dan

kasih pengarahan ke wartawan “nanti kalau

Bush di sini ISOnya sekian bukaannya sekian”

jadi diperhatikan banget. Bahkan kalau ada

lampu yang mengganggu ya disuruh matiin

takut malah jadi flare.

Pengalaman lain, waktu itu di sebuah hotel di

jakarta, waktu itu ada putri luar negeri yang

datang, tapi fotonya yang dikeluarkan itu

justru foto bersama manager-manager hotel,

who cares? Siapa peduli foto managernya?

Lain halnya dengan waktu ada orang penting

juga datang ke Jakarta, salah satu pengge-

marnya cacat. foto yang dikeluarkan adalah

fotonya lagi pelukan dengan penggemarnya

yang cacat itu. Itu jauh lebih baik.

Dengan kondisi seperti itu, bisa nggak dikatakan bahwa fotografer Indonesia tantangannya lebih besar dan tuntutan penguasaan

saya beli poket yang murah, saya taruh dimana-mana, di bagasi vespa ada, di bawah

jok mobil istri saya ada, di mana-mana ada.

belum digital pula, kalau motret sepakbola itu

susahnya bukan main, belum lagi peralatan-

nya berat-berat. Dan foto olahraga itu adalah

foto intuisi, waktu kita jepret kita nggak tau

jadinya kayak apa. Misalnya kalau kita udah

siap-siap motret ngi-

kutin bola, feeling kita

mengatakan ada yang

intercept bola maka kita

jepret aja, tau-taunya

yang intercept cuma

kelihatan punggungnya,

kan nggak bagus juga.

Ceritakan pen-galaman Anda selama memotret olahraga di Indo-nesia dibanding-kan di luar negeri.

Motret olahraga itu harus tau aturannya, mis-

alnya kalau di Indonesia motret di belakang

gawang masih boleh padahal di luar negeri

hanya boleh di sisi panjang (samping.red).

Contoh lain, kalau di Indonesia sambil motret

kita minta tanda tangannya pemain itu boleh,

tapi kalau di luar negeri nggak boleh.

Waktu Sea Game 1998 terlihat bahwa pema-

haman kita terhadap fotografi masih jelek. Di

Jurnalistik

Page 30: TheLight Photography Magazine #1

�� EDISI I / 2007 EDISI I / 2007 ��

saya harus memilih foto untuk orang yang

tidak ada di tempat kejadian, jadi saya harus

mewakili orang yang tidak ada di situ untuk

bisa membayangkan apa yang ada di situ.

Jadi intinya di jurnalistik itu harus ada pemilih

foto dan eksekutor foto, bagusnya dipisah.

Sehingga kalau saya harus memilih foto

saya tidak terpengaruh oleh endapan suara

teriakan orang, suara ambulan yang pasti

teringat kalau saya ikut motret bom kuningan

itu. Jadi subyektifitasnya nggak boleh muncul.

Berarti Anda kemana-mana bawa kamera dong?Waktu belum ada digital saya beli poket yang

murah, saya taruh dimana-mana, di bagasi

vespa ada, di bawah jok mobil istri saya ada,

di mana-mana ada. Sampai istri dan mertua

saya suka kesal dan bilang “sekali-kali kamu

nggak usah bawa kamera kenapa sih?”

Bagaimana pendapat Anda menge-nai pendidikan fotografi jurnalistik?Fotografi jurnalistik itu adalah foto yang mem-

bumi dan bisa merubah dunia. Tapi sayangnya

di Indonesia baru ada Antara. Dan memang

lulusan Antara bagus-bagus, karena memang

diajarkan oleh orang-orang yang menguasai

jurnalistik dan cinta jurnalistik. Sedangkan

kampus-kampus yang ada itu banyak dosen-

nya mengajar semata berdasar buku. Pernah

ada seorang mahasiswa yang nanya sama

saya “mas pemilihan foto halaman 1 tuh

gimana rumusnya?” saya Tanya balik, “guru

kamu ngajarin gimana?” di jawab “di table.

Kekuatan aktualitasnya berapa, teknik berapa,

estetiknya berapa?” Gila! Nggak mungkin

sekali, pasti guru kamu nggak pernah kerja

di Koran. Karena kadang Koran deadline

jam 1 bahkan setengah satu pun kita belum

tahu fotonya apa. Jadi kalo di table, dia tau

nggak sih satu hari foto yang masuk berapa?

3000 sampai 4000 foto, mau ditabel satu-

satu kapan selesainya? Foto itu sendiri juga

masuknya tiap detik tambah terus loh. Itu dia,

kebanyakan pengajar di kampus itu bukan

pekerja jurnalistik, dia belajar dari teori doang

yang sudah basi dan sudah kuno. Nggak

realistis. Maka dari itu tahun 1998 saya sama

tekniknya lebih tinggi? Artinya kualitas fotografer Indonesia nggak kalah dong?Jelas, Indonesia sebenarnya mampu tapi di

luar negeri kurang dikenal.

Dua minggu lalu Suprinya Reuters masuk

dalam the best foto 2006 di majalah times,

foto merapi yang nyala itu.

Bagaimana perjalanan karir Anda menjadi redaktur di KOMPAS ?Saya terlalu senang memotret, sehingga se-

lalu membawa kamera. Seperti pada saat Sea

Games Manila 1991. Waktu itu fotografernya

sakit mendadak, akhirnya saya yang dikirim.

Nah, setelah motret olahraga saya motret

metropolitan dan saya merasa terlatih di

situ, hingga akhirnya tahun 1996 saya

diangkat jadi redaktur foto mungkin karena

saya memotret dengan senang hati bukan

kewajiban, jadi kalau nggak ada fotografer

yang bisa berangkat saya dengan senang hati

menggantikan.

Fotografi jurnalistik itu apa penger-tiannya mas?Jurnalistik adalah kita menterjemahkan

realistis ke dalam media dua dimensi dan

bisa dimengerti orang yang tidak ada di situ.

Maka dari itu waktu itu Kartono juga pernah

ngomong sama saya “kalau kamu jadi redak-

tur lebih baik kamu jangan motret, jadi kamu

berdiri di posisi orang yang tidak di tempat.”

Seperti pada waktu bom kuningan, semua

fotografer saya suruh berangkat, saya malah

nggak pergi, supaya waktu saya milih foto

saya tidak terpengaruh oleh suasana seperti

bau bomnya, bau mayatnya yang akan saya

rasakan kalau saya ada di situ. Masalahnya

JurnalistikJurnalistik

Page 31: TheLight Photography Magazine #1

�0 EDISI I / 2007 EDISI I / 2007 ��

tinggal kasih definisinya ke office boy dan

saya suruh pilih foto untuk halaman satu aja.

Maka dari itu masalah bagus atau enggak ya

serahkan saja ke redaktur.

Apa saja yang harus diingat untuk menghasilkan foto jurnalistik yang bagus?Foto jurnalistik bisa mudah sekali jadi bagus

kalau “panggung”nya besar. Misalnya tsu-

nami. Liat orang angkat mayat di tumpukan

mayat lain juga sudah pasti bagus, tapi kalau

“panggung”nya kecil kan jadi lebih susah,

misalnya foto gusuran. Selain itu fotografer

jurnalistik juga harus bisa nempatin diri. Mis-

alnya motret mahasiswa demo. Kan kadang

mahasiswanya brutal, nah brimob juga nggak

mau konyol, karena itu dia represif. Biarpun

akhirnya yang keluar di Koran brimop yang

kasar, padahal nggak selalu brimob yang

kasar duluan. Nah untuk motret orang yang

lagi dorong-dorongan dan berkelahi ini kan

susah, mereka juga nggak mau lagi berkelahi

kok malah di foto. Nah tingkat kesulitan itu

nggak perlu dan nggak mungkin diceritakan

ke pembaca. Misalnya kalau kita motret demo

terus ada gas air mata akhirnya foto kita jelek

terus kita menambahkan keterangan “maaf

foto saya jelek karena saya menghirup gas

air mata.” Kan nggak mungkin. Orang nggak

mau tau gimana susahnya kita, yang penting

foto lo jelek.

Boleh kasih contoh foto yang bagus dan yang jelek nggak?Dulu, ada fotografer yang saya suruh motret

sentra border tasikmalaya, tapi ternyata foto

yang masuk adalah tiga orang penjahit yang

tersipu-sipu (karena tau sedang dipotret.

red). Masih tersipu-sipu kok dipotret, potret

beberapa kali sampai nggak tersipu-sipu baru

jadi foto yang bagus. Kesalahan lain yang

juga sering saya temui adalah ketika motret

orang sedang diwawancara, potretlah ketika

Oscar (Oscar Motuloh. Red) dan teman-teman Pewarta Foto Indonesia kepingin bikin kurikulum

pendidikan jurnalistik yang baku. Namun tidak kunjung kesampaian.

Jadi untuk menjadi redaktur foto yang baik sehingga bisa memilih foto untuk halaman pertama itu gimana?Butuh talenta. Orang kalau nggak ada bakat kalau dilatih kayak apapun nggak nangkep. Maka

dari itu yang kerja di kompas kebanyakan bukan lulusan jurnalistik, tapi karena tertarik ke

jurnalistik saja. Dan orang kalo kepikir mau masuk ke jurnalistik jangan kepikir mau kaya, tapi

harus berdasarkan kecintaan.

Jadi tips pemilihan halaman per-tama itu apa mas?Pertama carilah foto yang menceritakan atau

memperkaya headline. Kalau nggak ada,

carilah foto terkuat yang ada. Nah definisi

terkuat itu susah dicari. Seperti pertanyaan

mahasiswa saya, “pak foto yang bagus itu

definisinya apa ya?” saya jawab gini, “kamu

saya kasih uang lima juta, saya suruh beli

baju yang bagus pasti dapet kan? Tapi kamu

bisa nggak bikin definisi baju “bagus”?

Setelah itu kamu terangkan definisi itu ke

orang pedalaman pulau terpencil supaya

mereka bisa cari baju bagus juga, bisa ng-

gak?” Nggak bisa kan? Karena bagus itu bisa

dirasakan tapi tidak bisa didefiniskan. Kalau

bisa didefinisikan suatu saat saya sakit saya

bagus itu bisa dirasakan

tapi tidak bisa didefiniskan.

Kalau bisa didefinisikan

suatu saat saya sakit

saya tinggal kasih defi-

nisinya ke of-fice boy dan saya suruh

pilih foto un-tuk halaman

satu aja.

JurnalistikJurnalistik

Page 32: TheLight Photography Magazine #1

�� EDISI I / 2007 EDISI I / 2007 ��

Bagaimana Anda mengetahui orang itu suka?Kalau saya interview orang untuk jadi

wartawan, saya Tanya “tau nggak berita yang

lagi hangat apa?” kalau nggak tau ya sudah

pasti nggak lulus. Karena gimana mau nulis

kalau berita saat itu aja dia nggak tau. Begitu

juga dengan fotografer jurnalistik. Saya selalu

Tanya ke pelamar “fotografer yang kamu tau

siapa?” kalau nggak tau sama sekali, forget it.

Apakah bisa dikatakan bahwa pada fotografi jurnalistik prioritasnya lebih ke arah content daripada teknis?

kalau di tengah keramaian dia harus berani ke depan untuk motret.

dia sedang mendengar pertanyaan, jangan

ketika sedang menjawab, sehingga yang

tertangkap bukan ketika mulutnya terbuka

karena ngomong, jadi jelek kan. Hal lain yang

harus diperhatikan adalah kalau foto yang ada

terlalu menakutkan, nggak perlu diperlihatkan

hal yang menakutkan itu, jadi cukup ambil

angle yang nggak bikin orang takut tapi dika-

sih keterangan tambahan mengenai hal yang

menakutkan itu.

Nah kalau yang bagus foto kampanye PDI

Surjadi di pemilu 1997. Waktu itu kampanye

mulai jam 3 sore, fotografer Kompas (Budi

Darma) sudah datang di situ jam 1 siang.

Masih sepi, akhirnya mereka mereka nyetel

dangdut. Kebetulan ada anak-anak SMP yang

baru pulang sekolah lewat situ. Karena denger

dangdut mereka malah joget di situ, pas den-

gan banner di panggung “Partai wong cilik”

yang joget ya yang cilik-cilik (anak SMP.red).

Makanya saya masukkan halaman satu, judul-

nya “Harapan wong cilik”. Kan saya nggak

merekayasa kan? Dan fotonya Budi Darma

ini adalah salah satu foto terbaik pada Pemilu

1997 itu. Ada lagi satu contoh foto yang baik

(lihat foto dagelan pemilu), waktu itu saya

motret di kampanye, nah ada tim saya yang

juga motret untuk partai yang beda. Setelah

saya perhatikan, loh kok orangnya sama tapi

partainya beda, langsung saya suruh tim saya

untuk cari orang ini di partai yang lain lagi,

dan dapet. Maka dari itu saya jejerin dan saya

beri judul “Dagelan Pemilu”. Maka bisa dis-

impulkan,

motret

jurnalistik

itu harus

berdasar-

kan

kesukaan,

bukan

yang lain.

JurnalistikJurnalistik

Page 33: TheLight Photography Magazine #1

�� EDISI I / 2007 EDISI I / 2007 ��

kamera resolusi 3 mega sampai 6 megapixel

sudah cukup. Yang penting fungsi continuous

shooting dan time lagnya. Continuous shotnya

minimum 5 frame per second. Time lag nya

zero. Time leg zero itu mutlak. Karena kalau

ada time lagnya bisa ketinggalan momen.

Selain itu bodynya harus tahan banting. Flash

standart aja. Biarpun saya sekarang kan

mulai motret artis ditambah saya kan bergaul

dengan fotografer glamor seperti darwis triadi,

jadi saya harus nambah ilmunya. Mulai belajar

pake lampu studio untuk motret artis biarpun

treatment nya dicombined dengan jurnalistik.

Jadi masih ada ciri khas jurnalistiknya. Dan

kebetulan saya bukan tipe orang yang kaku,

jadi biarpun saya fotografer jurnalistik tapi

kalau saya berteman dengan Darwis dan

orang-orang studio ya masak ilmunya nggak

nular? Asal untuk memperkaya kan nggak

apa-apa karena pasti ada gunanya yang pent-

ing jurnalistiknya jangan dilupakan.

Boleh dong berbagi tips untuk semua yang sedang belajar foto-grafi jurnalistik.Pertama orangnya nggak boleh pemalu, jadi

kalau di tengah keramaian dia harus berani ke

depan untuk motret. Seperti waktu kerusuhan

mei 1998, saya motret bareng anak magang

di monas. Ada panser-panser dan ada Brimob

di atasnya lagi berdiri. Saya suruh maju untuk

foto, eh dia maju dan minta ijin ke Brimobnya

“maaaf mas, saya foto ya.” Langsung dia

dibentak dan diusir sama brimobnya. Waktu

anak itu pergi saya maju aja, saya potret aja

tanpa ijin, malah dibiarin kok. Lalu pernah

juga waktu saya motret di tengah kerusuhan

di gunung sahari waktu kerusuhan 1998.

Lagi motret tiba-tiba vespa saya mau diangkat

dan dibakar. Saya langsung teriak ke yang

mau angkat vespa itu “woy, itu punya gue,

salah lo itu punya gue.” Dan yang mau

ngangkat vespa saya itu nggak jadi dan bilang

“oh sorry”. Jadi intinya jangan mudah takut.

Coba kalau saya ngomongnya dengan suara

memelas “maaf ini vespa saya.” Pasti malah

dibakar bener. Makanya saya heran banyak

fotografer yang motret kerusuhan mei katanya

Jelas. Bahkan waktu ada pesawat jatuh di

Tangerang, waktu itu nggak ada wartawan,

jadi yang motret penduduk pake kamera

pocket, jadinya fotonya agak kabur. Tapi

karena nggak ada foto lain ya jadi bagus,

karena contentnya bagus. Mutu teknis jadi

prioritas kesekian.

Bagaimana dengan resiko seorang fotografer jurnalistik ketika sedang meliput kejadian berbahaya seperti kerusuhan?Fotografer jurnalistik sudah pasti tinggi resik-

onya, dia nggak bisa ngumpet. Kalau ngeliput

kerusuhan reporter bisa pura-pura makan

atau yang lain, tapi fotografer pasti keliahatan.

Ada yang bilang “fotografer jurnalistik bisa

motret ngumpet-ngumpet dong?” nah yang

ngomong gitu tuh malah belum pernah motret

ngumpet.

Tapi bukankah ada kode etiknya bahwa wartawan tidak boleh dipukuli?Masalahnya banyak orang berlindung pada

kode etik itu. Bisa saja provokator bawa

kamera dan ID card pura-pura jadi wartawan

dan masuk ke tengah-tengah daerah konflik.

Aparat kan juga nggak bisa bedain mana

wartawan mana provokator yang menyamar

jadi wartawan. Soal police line juga wartawan

nggak boleh masuk, karena bisa aja orang

biasa yang pura-pura jadi wartawan. Makanya

caranya supaya bisa motret obyek yang ada

di dalam police line adalah datanglah sebelum

polisi jadi belum ada police line. Kalo reporter

terlambat beberapa menit masih bisa dapet

berita tapi kalau fotografer terlambat sedetik

aja udah ketinggalan momen. Jadi intinya

fotografer jurnalis harus bisa jaga diri lah.

Karena hukumnya jelas tapi ngeceknya di

lapangan susah.

Kalau peralatan standar fotografi jurnalistik apa saja sih?Tergantung kebutuhan. Tapi untuk lensa kalo

bisa bukaannya 2,8. Kalau motret fashion

show saya bawa 70-200mm aja. Kalau

Page 34: TheLight Photography Magazine #1

�� EDISI I / 2007 EDISI I / 2007 ��

dilabrak, padahal saya motret bareng massa yang ngerusak dan ngebakar dan nggak pernah

diapa-apain. Jadi untuk jadi fotografer jurnalistik harus bisa gabung dengan massa, kalau anak

orang kaya ya biasakan makan di warteg, naik kendaraan umum, masuk gang sempit supaya

nggak canggung kalau harus ngeliput di daerah-daerah itu. Soal ini paling kelihatan waktu

banjir. Kalau fotonya dari atas genteng atau atas mobil pasti fotonya nggak berjiwa. Jadi kalau

motret banjir ya dia harus masuk ke banjir itu. Biarpun resikonya kamera bisa hancur. Hal lain-

nya fotografer jurnalistik harus prima kondisi fisiknya, supaya kalau harus meliput kerusuhan,

perang naik turun gunung nggak kecapean sendiri, apalagi harus bawa peralatan banyak. Dan

yang nggak kalah pentingnya adalah penguasaan teknologi. Fotografer jurnalistik nggak boleh

gagtek. Dia harus menguasai alat, setting white balance, sedikit olah digital, sampai ngirim foto

lewat internet atau bahkan lewat handphone harus bisa.

Jurnalistik

Page 35: TheLight Photography Magazine #1

�� EDISI I / 2007 EDISI I / 2007 ��

“Aku ingin jadi seorang fotografer”

satu fast food franchise dari Amerika Serikat

selama 100 bulan yang kurang lebih 8 tahun.

Itu berarti 8 hari sama dengan 8 tahun . Atau

jangan terlalu muluk, beberapa kolega foto-

grafer saya sebulan berpenghasilan antara 7

sampai 30 juta. Sebanding atau bisa jadi lebih

dari apa yang di dapat oleh insinyur, dokter,

dan pilot. Ya memang juga masih tergantung

pada level keahlian, posisi, dan kapasitas dari

profesi masing-masing.

Dunia fotografi sekarang sudah menjadi

industri yang cukup menjanjikan, ini karena

kebutuhan akan jasa (atau barang?) ini se-

makin meningkat terutama untuk pelengkap

media promosi. Di Jakarta saja tercatat sudah

puluhan advertising agency besar belum

lagi plus advertising agency kecil lainnya. Ini

belum ditambah majalah, surat kabar, design

house, creative boutique, public relation, dan

lain-lain dan lain-lain, termasuk perusahaan

produsen itu sendiri. Menakjubkan! Fotografi

sudah menjadi Industri! Dan korelasi dari

industri adalah bisnis yang bila diterjemahkan

dengan amat kasar berarti uang dalam jumlah

besar, mmhhh…..

Pada jamuan makan malam di hotel-hotel

berbintang-bintang, executive club, golf house

banyak didalamnya fotografer sedang berso-

Saya juga jadi ingat ada teman saya yang seorang foto-grafer pernah menerima pemotretan untuk 1 proj-ect selama 8 hari dibayar 500 juta

“Aku ingin jadi seorang fotografer”Kalimat diatas rasanya belum pernah saya

dengar terucap dari anak-anak yang duduk

di bangku Taman Kanak-Kanak maupun Seko-

lah Dasar. Ya memang jamaklah…. karena

umumnya mereka ingin jadi dokter, insinyur,

presiden, pilot, atau polisi??? Alasan utama

sepertinya lebih kepada hidup yang harus sta-

bil secara finansial, punya status sosial yang

baik, dan segala hal yang terreferensi dari dan

pengakuan orang di sekitarnya. Teman saya

seorang dokter dan dia berpenghasilan sebu-

lan kurang lebih 15 juta rupiah, tetangga di

perumahan profesinya insinyur dan dia digaji

12 juta sebulan oleh kantornya, sedangkan

fotografer?

Nama-nama seperti Sam Nugroho dan Artli

Ali saya berani bilang bahwa waktu kecil-

pun mereka tidak punya cita-cita menjadi

fotografer walaupun saya juga tidak tahu pasti

cita-cita mereka dulu apa, ya benar mereka

fotografer! Profesional yang kalau kira-kira

kasarnya sebulan bisa mengantongi sekitar

150 hingga 200 juta rupiah yang kalau dikon-

versikan (masih asal juga) setara dengan gaji

para direktur BUMN besar di negeri ini. Saya

juga jadi ingat ada teman saya yang seorang

fotografer pernah menerima pemotretan un-

tuk 1 project selama 8 hari dibayar 500 juta,

atau setara dengan gaji store manager salah

LepasanLepasan

Page 36: TheLight Photography Magazine #1

�0 EDISI I / 2007 EDISI I / 2007 ��

sialisasi. Gerai Prada, Louis Vuitton, Versace

dan merk-merk yang susah untuk dilafalkan

tersebut keluar-masuk fotografer yang men-

jadi langganannya. Belum lagi para customer

service brand Mercedez Benz, BMW, Jaguar

yang sibuk melayani pelanggannya, yang

sekali lagi diantaranya ada fotografer! Impian

stabilitas finansial, status sosial, serta gaya

hidup bukanlah isapan jempol lagi buat foto-

grafer. Dengan kata lain syarat-syarat kasat

mata untuk sebuah cita-cita sudah terpenuhi

kalaupun memang itu yang membuat orang

dan orang disekelilingnya menjadi bahagia.

Kemudian tiba-tiba teman saya nyeletuk,

“inget bahagia ukurannya bukan uang saja

mas”, setuju sih tapi kan sekarang lagi bahas

sesuatu yang materialistis bukan filsafat kan?

saya membatin.

Tapi ujungnya balik-balik juga ke kapasitas

seorang professional tersebut, mungkin ada

juga insinyur yang di gaji cuma 3 juta perak

sampai puluhan juta, juga pilot variatif juga

pendapatannya begitu juga dengan fotografer,

kalau presiden? Waduh gak tahu ya berapa

penghasilannya tapi pasti juga tergantung di

negara mana dia jadi presiden juga berapa

besar korupsinya.

Lantas nanti kalau banyak orang yang mau

jadi fotografer bagaimana? Yah balik lagi ke

asal, banyak orang ingin jadi pilot, dokter,

presiden, dll tetapi tetap saja yang bisa jadi

beneran “jadi” juga ada seleksi alamnya dan

alasan klasik; gimana orangnya. Jadi seperti

profesi lainnya fotografer juga ada yang kere

dan ada juga yang super duper tajir.

Andai pada waktu saya kecil dulu orang tua

bisa melihat keadaan yang bisa terjadi pada

saat sekarang, kemungkinan besar saya

didorong untuk jadi fotografer hahahaha…..

atau setidaknya suatu saat nanti saya akan

tersenyum puas bila mendengar anak (bisa

jadi anak saya) bilang; aku mau jadi foto-

grafer! (pp)

Lepasan

Page 37: TheLight Photography Magazine #1

�� EDISI I / 2007 EDISI I / 2007 ��

Di sebuah forum komunitas pecinta fotografi

di internet ada seorang pecinta fotografi

yang begitu populer. Banyak dari mereka

yang berusaha untuk mempelajari proses

pasca produksi dari foto-foto beliau baik

dengan mencoba-coba sendiri maupun yang

secara terang-terangan ingin berguru dengan

menyebarkan pertanyaan di forum tersebut

mengenai olah digital ala si pemotret tersebut.

Tim kami pun sempat mencoba memper-

hatikan dan mempelajari dengan seksama

foto-foto tersebut. Dan memang harus diakui

fotografer ini memiliki ciri khas yang seakan-

akan sudah menjadi signature dari sang

pemotret. Foto-fotonya seakan-akan memiliki

dimensi seperti kita diajak berdiri di tengah

lokasi pemotretan foto tersebut ketika kita

sedang mengamatinya.

Adalah Rarindra Prakarsa nama fotografer

tersebut. Bagi mereka yang belum begitu

mengenal dunia fotografi pasti mengira

bahwa Rarindra adalah fotografer profes-

sional yang sudah berpuluh-puluh tahun

malang melintang di dunia fotografi. Banyak

orang bertanya-tanya apa latar belakang dari

Rarindra? Seorang fotografer professional

kah? Atau Seorang digital imaging artist? Dan

hal itu pula yang pertama kami tanyakan ke-

padanya ketika mendapat kehormatan untuk

melakukan interview dengannya di sebuah

mal di kawasan semanggi. Namun semua

tebakan kami salah besar. Rarindra bukanlah

fotografer professional bukan pula seorang

digital imaging artist. “Saya Cuma hobby foto

aja kok” begitu ungkapnya waktu itu. Merasa

tidak puas dengan jawabannya, kami coba

sekali lagi menggali lebih dalam mengenai

latar belakangnya. Dan pada akhirnya ia pun

mengaku bahwa ia kerja di bidang komunikasi

dan di sebuah perguruan tinggi negeri bidang

komunikasi.

Rarindra mulai motret sejak tahun 1995. Itu

berarti telah sekitar dua belas tahun dirinya

berkarya dalam dunia fotografi. Jika ditanya

kenapa tertarik sama fotografi, ia bilang

“awalnya sih hobi. Lalu, eh... keterusan sam-

pai sekarang. Yang penting, motret itu harus

senang obyeknya apa dulu, kalau semakin

diperdalam akan jadi bagus,” ujarnya. Ia

masih ingat, kamera pertamanya, Nikon FM 2.

“...motret itu harus senang obyeknya apa dulu, kalau sema-kin diperdalam akan jadi bagus,”

Rarindra Prakarsa, melukis kehidupanPerjalanan memotret human interest

Human InterestHuman Interest

Page 38: TheLight Photography Magazine #1

�� EDISI I / 2007 EDISI I / 2007 ��

mengidentifikasi

momen, komposi-

si dan pencahay-

aan. Kami yakin

bahwa walaupun

Rarindra memiliki

kemampuan olah

digital yang juga

mumpuni namun

tanpa didukung

“bahan mentah” berupa foto yang “baik dan

benar” maka kemampuan olah digitalnya pun

tidak akan terlihat menonjol. Maka dari itu

kami mencoba sedikit memfokuskan pembi-

caraan kami mengenai teknik memotret yang

ia anut serta aturan-aturan yang sebaiknya

diperhatikan untuk menghasilkan foto yang

baik.

Pada awalnya ia memilih “jalur” jurnalistik

dalam menekuni fotografi, namun seiring

dengan perjalanan waktu dan pencarian-

nya, ia kemudian menekuni foto bercorak

human interest. “Ada kepuasan tersendiri

di mana saya bisa ikut merasakan apa

yang dirasakan oleh subyek yang saya

potret,”katanya memberi alasan. Dan hal ini

pula yang pertama kali ia garis bawahi ketika

kami tanya mengenai teknik memotretnya.

“Untuk bisa menangkap momen, ekspresi

dan cerita dari obyek foto, kita harus bisa

ikut merasakannya terlebih dulu, apa yang

obyak kita rasakan, senangkah? Sedihkah?

Atau apa?” Ujarnya. Ia juga menambahkan

bahwa dengan berusaha merasakan apa yang

dirasakan obyek, kita bisa menambahkan rasa

pada foto kita, sehingga hasil yang diperoleh

bukan sekedar dokumentasi namun sebuah

foto yang bercerita dan memberikan rasa

tersendiri. Sayangnya ia melihat masih banyak

sekali orang memotret dengan tergesa-gesa,

tidak berusaha merasakan apa yang obyek

rasakan.

Rarindra menerjemahkan foto human interest

sebagai foto yang memuat interaksi an-

tara manusia dan alam. “Ide fotonya harus

kuat,”kata ayah dua orang putra ini yang

mengaku mendapat inspirasi fotonya dari

hasil melihat lukisan dan juga imajinasinya.

Sekarang di tas kameranya telah ada sebuah

kamera digital SLR yang dilengkapi dengan

lensa 50 mm, 28-105 mm, 12-24 mm, dan

70-200 mm.

Tercatat nama Bank Syariah Mandiri, BII,

Semen Gresik, Antam, menggunakan foto-

fotonya untuk keperluan iklan hingga kalender.

Satu hal yang membuat kami terkejut adalah

walaupun namanya belum setenar foto-

grafer terkenal seperti Darwis Triadi, Deniek

Soekarya ataupun Roy Genggam, namun tidak

sedikit majalah-majalah fotografi terbitan

luar negeri telah membahas profilnya berikut

karya-karyanya. Sebut saja majalah fotografi

dari Ukraina, Cina, dan Italia pernah menulis

artikel tentang Rarindra dan karya-karyanya

dengan jumlah halaman yang tidak sedikit.

“Foto saya berjudul Mengasuh Anak ternyata

paling disukai di luar negeri,”ujar Rarindra,

bangga. Dalam foto yang ia abadikan dengan

sebuah kamera digital kelas prosumer, ini

tampak seorang laki-laki dewasa tengah ber-

sama dengan dua anak kecil di dekat sebuah

danau, yang kebetulan menjadi sampul edisi

perdana kami ini.

Berbicara

mengenai karya

fotografi Rarin-

dra, walaupun

banyak sekali

penggemar

fotografi yang

mengagumi

olah digital ala

Rarindra kami

justru melihat

satu sisi yang

tidak kalah

hebatnya, yaitu

kejeliannya

Human Interest

Page 39: TheLight Photography Magazine #1

�� EDISI I / 2007 EDISI I / 2007 ��

“Kan yang difoto dunia sosial, orang sekitar,

interaksi antar manusia, jadi ya lebih baik

lagi kalau kita mau sedikit banyak melatih

kepekaan terhadap dunia sekitar kita.” Begitu

tegasnya. Bagi para pemula ia menyarankan

untuk sering berlatih motret dan melihat

karya foto orang lain. “ide bisa datang dari

mana saja, dari foto orang lain, dari lukisan,

dari film, dan bahkan dari lagu.”ungkapnya.

“ketika sedang mendengarkan lagu, coba

bayangkan kira-kira kalau lagunya begini

visualnya seperti apa ya.” Lanjutnya. Ia per-

caya bahwa dengan sering berlatih seperti itu

lama-kelamaan kita pun akan lebih terasah

imajinasi dan kepekaannya terhadap obyek

foto dan momen-momennya.

Ketika kami menanyakan mengenai fotografer

pemula yang seakan-akan dimanjakan oleh

kecanggihan teknologi digital dengan hadirnya

kamera digital dan software pengolah foto

yang powerful ia berkata “Berusahalah benar

meminimalkan olah digital. Foto mentahnya

harus bagus, kalo mentahnya nggak bagus,

mau diolah kayak gimana juga nggak akan

bagus.”. Mendengar jawaban itu kami pun

segera menanyakan mengenai ciri khas

foto-fotonya yang sebagian besar telah

melalui proses olah digital. Ia pun menajwab”

tidak semua foto saya diolah habis-habisan,

olah digital itu seperlunya dan harus sesuai

dengan kesan foto yang ingin ditampilkan, jadi

tidak bisa dipaksakan.” Ia pun menunjukkan

kepada kami beberapa foto yang memang

minim olah digital walaupun memang

terkesan “bukan Rarindra” karena signature

nya yang sudah menancap pada olah digital

khasnya. “Ada foto yang justru nggak bagus

kalau diolah, ya saya nggak olah. Tapi ada foto

yang bisa lebih optimal kalau diolah.” Lanjut

fotografer yang pernah dua kali membatalkan

pemotretan karena memory card cameranya

tertinggal ini.

“Ada kepuasan tersendiri di mana saya bisa ikut mera-sakan apa yang dirasakan

oleh subyek yang saya potret,”

Selain ide foto harus kuat, kepada para

peminat fotografi yang ingin terjun ke dunia

foto human interest, Rarindra punya beberapa

tip, yang pertama adalah kemampuan dan

pengetahuan dasar fotografi harus dikuasai.

Bukaan, metering, komposisi dan hal-hal

mendasar lain harus menjadi syarat mutlak

untuk menghasilkan foto yang menarik.

“Saya sangat memperhatikan pencahayaan,

saya selalu lihat arah cahaya dari mana,

jatuhnya kemana, kelihatannya jadi gimana.

Kalau lagi hunting, saya sudah standby jam

5 pagi sampai jam 8.30 pagi atau antara

jam 16.00 sampai 18.00, karena itu adalah

golden time saat matahari baru terbit dan

akan tenggelam.” Ungkapnya. “bahkan saya

nggak segan-segan untuk pulang kalau pas

mau motret mataharinya ternyata lagi nggak

bagus.” Tambahnya. Namun hal ini tidak ber-

laku jika yang difoto adalah momen penting.

Maka walaupun matahari lagi tegak pun harus

diambil.”. Selanjutnya ia juga menganjurkan

para pecinta fotografi khususnya human

interest untuk lebih mengamati dunia sosial.

Human Interest

Page 40: TheLight Photography Magazine #1

�� EDISI I / 2007 EDISI I / 2007 ��

memperkuat apa yang harus ditonjolkan, dan

meredam apa yang tidak perlu ditonjolkan,

baik dari segi pewarnaan, pencahayaan,

highlight, shadow, point of interest, dan

hal-hal lainnya. Olah digital juga bisa menjadi

satu alat untuk membuat penikmat foto

terfokus pada point of interest yang ingin kita

tonjolkan. “Kadang harus dikasih dimensi,

biar lebih terasa.” Untuk itu ia biasa membagi

obyek dalam fotonya menjadi 3 bagian, yaitu

foreground atau bagian-bagian yang berada

di dekat camera, obyek yang merupakan point

of interest dan background yang bisa mem-

bangun suasana. Obyek sudah pasti harus

“dikeluarkan” atau ditonjolkan. Dan terkadang

untuk membuat obyek lebih menonjol, selain

dengan menonjolkan obyek itu sendiri juga

bisa dilakukan dengan meredam foreground

dan background yang ada. Dengan pemisa-

han ini diyakini foto-foto Anda pun akan lebih

memiliki dimensi.

Pada akhir pembicaraan kami dengannya, ia

pun tidak lupa mengingatkan para pemula

untuk lebih sering berlatih, lebih sering men-

cari referensi, dan juga melatih kepekaan baik

dengan memperhatikan kehidupan sekitar

maupun dengan mempelajari filosofi hidup.

“jadi jangan kemasannya aja yang bagus, tapi

fotonya nggak bercerita.” Katanya.

“Kan yang difoto dunia sosial, orang sekitar, in-teraksi antar ma-nusia, jadi ya leb-ih baik lagi kalau kita mau sedikit banyak melatih kepekaan terha-dap dunia sekitar kita.”

Mengenai ciri khas olah digitalnya kami bertanya apakah ia tidak tertarik untuk mencari satu

gaya baru yang beda dari ciri khasnya saat ini mengingat sudah semakin banyak orang yang

berusaha meniru olah digital dengan gaya yang sama dengannya, ia pun tidak menargetkan

walaupun juga tidak menolak. Menurutnya apa yang sudah menjadi identitas dirinya pada

foto-fotonya bukanlah sesuatu yang harus dihindari, paling tidak untuk saat ini. Ia pun tidak

keberatan kalau banyak orang yang mulai meniru gaya olah digitalnya. “biarin aja, saya malah

senang ada yang ikut, artinya gaya saya bisa diterima dan disukai. Toho rang-orang juga tahu

itu gaya saya.” Begitu kilahnya.

Berbicara mengenai olah digital, ia bercerita bahwa olah digital adalah proses yang terkadang

bisa membantu membuat foto menjadi lebih menarik. Olah digital baginya adalah proses untuk

“Untuk bisa menang-

kap momen, ekspresi

dan cerita dari obyek

foto, kita ha-rus bisa ikut merasakan-nya terlebih

dulu, apa yang obyak

kita rasakan, senangkah?

Sedihkah? Atau apa?”

Human InterestHuman Interest

Page 41: TheLight Photography Magazine #1

�0 EDISI I / 2007 EDISI I / 2007 ��

digital. Di dalam fotografi komersial iklan pada

saat ini mungkin bahkan di fotografi terapan

lainnya dapat dikatakan bahwa semua bentuk

fotografi pastilah melewati proses digitalisasi.

Hal ini mengingat dari terapan media digital

yang digunakan pada pasca-produksi iklan

juga karena mulai membuminya penggunaan

komputer di masyarakat.

2. Digital PhotographyMerupakan suatu kegiatan fotografi (mer-

ekam) image yang menggunakan peralatan

dan media rekam digital.

3. Kamera DigitalAdalah perangkat atau media untuk meng-

hasilkan karya fotografi yang menggunakan

teknologi digital.

4. Digital CreationProses pembuatan visual yang sepenuh-

nya diolah menggunakan piranti teknologi

komputer; desain, animasi, 3D juga CGI yang

pada masa sekarang banyak digunakan

untuk menambah visual pada fotografi atau

sebaliknya.

“Ada sedikit kekhilafan

pemahaman awam akan proses digi-

talisasi visual, karena sering

kali kita menafsirkan-nya langsung

pada suatu proses pem-

berian efek ataupun pen-

golahan ad-vance visual dalam hal ini

visual foto-grafi”

Proses digitalisasi dalam fotografiSedianya pada rubrik ini yang dimulai pada edisi perdana dan seterusnya secara ber-

kesinambungan secara berkala akan sedikit mengupas mengenai digital imaging (rekayasa

digital visual yang dilakukan pada komputer), namun ada baiknya diberikan sedikit iliustrasi

tentang proses digitalisasi visual sebelum melangkah pada proses digital imaging.

Ada sedikit kekhilafan pemahaman awam

akan proses digitalisasi visual, karena sering

kali kita menafsirkannya langsung pada suatu

proses pemberian efek ataupun pengolahan

advance visual dalam hal ini visual fotografi.

Kata digitalisasi banyak diartikan sesuatu

yang bersifat sulit, kompleks, hi-tech, tidak

popular bahkan sesuatu yang tak biasa dalam

keseharian kita.

Berikut ini beberapa asumsi dasar “proses

digitalisasi” yang berkaitan dengan fotografi;

1. Proses pencitraan digitalAdalah sebuah proses tranformasi digital,

baik dari media konvensional (film) ke media

digital (pengubahan file konvensional ke data

file digital / scanning), maupun dari digital ke

Digital ProcessDigital Process

Page 42: TheLight Photography Magazine #1

�� EDISI I / 2007 EDISI I / 2007 ��

Pameran 1000 Foto, “1000

Foto, Berjuta Kreativitas

Tanpa Batas”Membuka lembaran awal tahun 2007, sebuah

pameran foto bertajuk “1000 Foto, Berjuta

Kreativitas Tanpa Batas” digelar di Museum

Bank Mandiri, Kota, Jakarta. Pameran yang

berlangsung dari tanggal 16 Januari sampai

dengan 18 Februari 2007 dan terbuka untuk

umum ini menampilkan 1111 karya foto

berlatar human interest, outdoor, pictorial, flora

dan fauna dari 250 fotografer baik profesional

maupun amatir. Tampak di antara karya foto

yang dipamerkan, dua buah foto bunga hasil

jepretan Mufida Jusuf Kalla, istri Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Menurut Ketua Panitia Arif Wicaksono, pameran foto ini diharapkan bisa menjadi sebuah ajang

tampil bagi para peminat fotografi yang memiliki keterbatasan untuk berpameran secara

individual. “Selama ini para fotografer amatir kesulitan untuk berpameran. Karena alasan itulah

pameran foto ini kami adakan,”ujar Arif. Selain itu, pameran foto ini secara tidak langsung juga

dimaksudkan untuk memperkenalkan masyarakat kepada lembaga museum sebagai pelestari

warisan budaya bangsa. Tercatat sebagai peserta termuda dalam pameran ini berusia 11 tahun,

Yang membuat kalimat proses digitalisasi

itu menjadi kalimat yang “unknown” bisa

jadi karena kita agak kurang peka dengan

perkembangan teknologi yang terus berkem-

bang atau mungkin karena anggapan fotografi

adalah sesuatu yang masih ekslusif atau juga

mungkin disebabkan ketidakmauan kita saja

melihat sekitar? Karena di dalam satu hari

saja berapa banyak visual yang terlihat tapi

sebanding sebanyak itu juga yang terabaikan.

Proses digitalisasi menurut saya di bidang

apapun penerapannya adalah sesuatu yang

membuat sesuatu menjadi lebih efisien,

instan, dan lebih terkoreksi. Dan itu membuat

jadi lebih maksimal; bukankah kita ingin

lebih maksimal dan efisien? Dan ternyata itu

dirasakan dan terlewati dalam hidup kesehar-

ian…….

Selamat datang di era proses digitalisasi

visual…….. (pp)

5. Kemudian dikenallah pada saat ini kegiatan Digital Treatment yaitu Digital Imaging Suatu kretifitas rekayasa digital untuk meny-

empurnakan ataupun mengkreasikan image

yang biasanya digunakan sebagai perangkat

penyempurna fotografi.

Dari beberapa asumsi dasar diatas (asumsi

1-3) dapatlah kita pahami bahwa proses

digitalisi tidaklah selalu berupa proses yang

diluar jangkauan karena ada beberapa yang

merupakan bagian dari keseharian kita yang

mudah saja. Banyak proses diatas yang cara

kerjanya mirip bahkan sama dengan misalnya

bila kita membuat salinan dokumen dengan

menggunakan mesin photo copy, meng-up-

load file di friendster, mengirim dokumen

lewat faksilmili, atau juga ketika memanaskan

makanan di microwave.

EventDigital Process

Page 43: TheLight Photography Magazine #1

�� EDISI I / 2007 EDISI I / 2007 ��

sementara peserta tertua berumur 70 tahun.

Mengenai materi foto

yang dipamerkan, tidak

semua foto bisa dipa-

jang dalam pameran

yang telah dipersiapkan

lima bulan sebelumnya

ini. Panitia menetapkan

beberapa batasan, di

antaranya foto yang

dipamerkan tidak boleh

mengandung unsur

pornografi, sadisme,

dan kekerasan secara

eksplisit. Ataupun foto

yang di dalamnya

memuat unsur kepentingan politik praktis

atau kepentingan golongan, dan pelecehan

nama baik.

Melengkapi acara pameran yang

disponsori oleh Telkomsel, Canon, Datascript,

Adorama, Prima Imaging, ini digelar pula

sejumlah workshop fotografi, di antaranya

Workshop Foto Macro, Still Life, Beauty Shot

dan Pre Wedding, Model dan Fashion, juga

Workshop Maximize Your Digital Pocket Cam-

era, Olah Digital, dan Foto Arsitektur. Menutup

keseluruhan rangkaian acara, digelar street

hunting dengan mengambil lokasi Kota Tua,

Kota. (#)

Event

Page 44: TheLight Photography Magazine #1

�� EDISI I / 2007

SEASONSImaging & Photography Center,Jl Senopati no 37 Kebayoran Baru - Jakarta SelatanTelp. : +62 21 521 3010Fax : +62 21 529 07041Email : [email protected] Nusantarajl. K.H. Hasyim Ashari no 18, Jakarta Susan+ ProJl. Kemang Raya no.15, 3 rd floorJakarta Selatan 12730 P. +62.21.71794607 F. +62.21.71794608 Email: [email protected] Digimage Studio �Jl. Setyabudi 86 a Semarangtelp/faks (024) 7461151 email : [email protected] Digimage Studio �jl. pleburan viii no 2 semarang 50243 telp (024) 8413991

Pick up pointWhere to find

Perhimpunan Amatir Foto (PAF-Bandung)Contact person: Sdr. Dibyo Gahari UKM mahasiswa IBII (FOBI)Contact person Sdri. Eka Alam Sari FISIP Universitas Indonesia.Contact person Sdri.Anindita Telefikom FotografiUniversitas Prof. Dr. Moestopo (B).Jln. Hang Lekir I Jak-pus.Contact person Sdr. Budi Setyono [email protected]

contact person: sdr Agawirija [email protected] contact person: sdr. Antonius Latif Himpunan Mahasiswa Penggemar Fotografi (HIMMARFI)Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi - Almamater Wartawan Surabaya Jl. Nginden Intan Timur 1 no 18, Surabaya.Contact person: Christian Pieschel: 031 – 71707516 Atmajaya Photography clubGedung PUSGIWA kampus 3 UAJY,jl. babarsari no. 007 yogyakarta INDONESIA,Contact person: Sdri. Widi Indomelbourne Photographie,Contact person: sdr. Tanamas W. Batam Photo Club,Contact person Sdr. Andreas SM Indonesia Photographer Organization (IPO),Contact person Sdr. Triyudha IchwanUnit Seni Fotografi IPEBI (USF-IPEBI) Komplek Perkantoran Bank Indonesia , Menara Sjafruddin Prawiranegara lantai 4,Jl. MH.Thamrin No.2, JakartaContact person Sdr. Widarmanto“UKM MATA” Akademi Seni Rupa dan Desain MSD (Modern SchooL of DEsign)Jalan Taman Siswa 164 Yogyakarta 55151, Phone (0274)414277Contact Person : Lambok Sinaga, Yunus WibisonoPRISMA (Perhimpunan Fotografi Mahasiswa) Undip SemarangContact Person: Sdr. Hakim

Distribution Partners

Jika anda tertarik untuk menjadi

pick up point atau distribution part-

ners kami, kirimkan data anda ke:

[email protected]