perpustakaanrsmcicendo.comperpustakaanrsmcicendo.com/wp-content/uploads/2017/08/... · web...
TRANSCRIPT
1
Penatalaksanaan Glaukoma pada Sindrom Iridokorneal Endotelial
AbstractIntroduction Iridocorneal Endothelial syndrome is disease characterized by an abnormal endothelial cells that causes iris atrophy, secondary angle closure glaucoma, and corneal edema. Secondary glaucoma and corneal edema are the most common sight threatening complication. Surgery is usually required to control intraocular pressure and reduced corneal edema.
ObjectiveCase series to report glaucoma management for iridocorneal endothelial syndrome
Case presentationCase one, a 46 years old women complained painful LE with a history of trabeculectomy on both eye. Visual acuity LE light perception and intraocular pressure 60mmHg. Ophthalmic examination for the LE shows corneal edema, ellips pupil with polycoria, iris atrophy, and iris nodule. Cup-Disc ratio 0.8-0.9, and closed angle with peripheral anterior sinechiae on gonioscopy examination. Endothelial specular microscopy shows pleomorphism and loss of hexagonality to 44% with ICE cells. Patient was diagnosed with ICE syndrome LE and treated with transscleral cyclophotocoagulation. Case two, a 26 years old women complained painful left eye and decreased vision with a history of trabeculectomy on LE. Visual acuity LE no light perception and intraocular pressure 26mmHg. Ophthalmic examination for the LE shows minimum corneal edema, iregular pupil with polycoria, iris atrophy, anterior and posterior sinechiae, and cloudy lens. Cup-Disk ratio is difficult to evaluate, and closed angle with peripheral anterior sinechiae on gonioscopy examination. Endothelial specular microscopy shows pleomorphism and loss of hexagonality to 37%. Patient was diagnosed with secondary angle closure glaucoma e.c ICE syndrome suspect LE, and complicated cataract LE, treated with transscleral cyclophotocoagulation.
ConclusionIridocorneal endothelial syndrome should always be consider in a young to middle-aged patient, especially women, with unilateral secondary angle closure. Glaucoma management remains a challenge for ophthalmologist. Surgical intervention comes with various result despite of prompt treatment.
KeywordIridocorneal endothelial Syndrome, Secondary angle closure glaucoma
I. Pendahuluan
Sindrom Iridokorneal Endotelial (ICE) merupakan sekumpulan penyakit
dengan karakteristik endotel kornea abnormal yang menyebabkan atrofi iris, sudut
tertutup sekunder, dan edema kornea. Terdapat 3 variasi klinis dari sindrom ICE
yaitu, sindrom Chandler, progressive essential iris atrophy, sindrom Cogan-
Reese (nevus iris). Atrofi iris dikatakan progresif apabila terdapat keterlibatan
2
stroma yang luas dan terbentuknya lubang. Keterlibatan kornea yang dominan
dengan atau tanpa atrofi stroma iris yang minimal disebut dengan sindrom
Chandler, apabila disertai dengan nodul iris dan atrofi iris maka disebut dengan
sindrom Cogan-Reese. (1,2)
Sindrom ICE merupakan penyakit yang didapat, unilateral, dan biasa terjadi
pada wanita usia dewasa muda. Progresifitas dari penyakit yang dapat mengancam
kebutaan yaitu, dekompensasi kornea dan glaukoma. Penatalaksanaan dari
sindrom ICE sering kali membutuhkan pembedahan, walaupun sudah ditangani
sesegera mungkin, angka sukses dari operasi sangat bervariasi, hal ini merupakan
tantangan bagi para oftalmologis. Laporan kasus ini membahas penatalaksanaan
glaukoma pada sindrom ICE. (2,3)
II. Laporan Kasus
2.1 Kasus 1
Seorang wanita berusia 46 tahun datang ke poliklinik glaukoma pada tanggal
19 Juni 2017 dengan keluhan nyeri pada mata kirinya sejak 2 minggu yang lalu,
mual muntah tidak ada, penglihatan dirasakan bertambah buram dalam 1-2 bulan,
dan lapang pandang dirasakan menyempit. Pasien merasakan sering silau dan
terlihat bayangan seperti pelangi pada cahaya. Pasien memiliki riwayat operasi
glaukoma pada tahun 1997 pada kedua matanya di RS borromeus, dan sudah tidak
menggunakan obat sejak tahun 2014. Riwayat hipertensi tidak ada, diabetes
mellitus tidak ada, asma tidak ada, penyakit jantung tidak ada, trauma tidak ada,
kacamata ada. Riwayat keluarga dengan glaukoma tidak ada. Pasien saat ini
sedang dalam terapi timolol dan asetozolamid sejak 1 minggu yang lalu.
Tanda vital dalam batas normal. Tajam penglihatan mata kanan 0.125 PH
0.4f2, mata kiri persepsi cahaya dengan projeksi baik. Tekanan bola mata OD
15mmHg, OS 60mmHg. Pemeriksaan segmen anterior OD konjungtiva bulbi bleb
flat, kornea jenih, bilik mata depan Van Herick grade III F/S -/-, pupil bulat, iris
sinekia – iridektomi perifer +, lensa agak keruh, segmen posterior Cup-Disk ratio
0.4-0.5 lain-lain dalam batas normal. Pemeriksaan gonioskopi sudut bilik mata
depan terbuka pada keempat kuadran dengan sinekia anterior perifer di kuadran
3
superior dan inferior, OS konjungtiva bleb tidak tampak, kornea edema, bilik mata
depan Van Herick grade III F/S -/-, pupil lonjong, polikoria, iris nodul +, atrofi +,
sinekia -, lensa agak keruh, segmen posterior Cup-Disc ratio 0.8-0.9 lain-lain
dalam batas normal. Pemeriksaan gonioskopi sudut bilik mata depan tertutup
dengan sinekia anterior perifer di kuadran superior dan inferior, kuadran nasal dan
temporal sulit dinilai. Pemeriksaan spekular OD densitas sel 2371.5/mm2
hexagonalitas 64%, OS densitas sel 2290.7/mm2 hexagonalitas 44% ditemukan
sel dengan light dark reversal.
(a) (b)Gambar 2.1. (a) Gambaran klinis OS, (b) Gambaran spekular OS
Sumber : Rumah Sakit Mata Cicendo
Pasien didiagnosis dengan Sindrom ICE OS, suspek Primary Open Angle
Glaucoma (POAG) OD, dan katarak senilis imatur ODS, kemudian diterapi
dengan timolol maleat 0.5% 2xOS, brinzolamide 1% 3xOS, latanoprost 1xOS.
Pasien kemudian direncanakan Transscleral Cyclophotocoagulation (TSCPC)
OS. Satu hari setelah laser didapatkan tekanan bola mata OD 18mmHg, OS
32mmHg, segmen anterior konjungtiva bulbi injeksi siliar, lain-lain masih sama.
Pasien kemudian diperbolehkan rawat jalan dengan terapi levofloksasin 6xOS,
prednisolon asetat 1% 6xOS, timolol maleat 0.5% 2xOS dan brinzolamide 1%
3xOS.
4
2.2. Kasus 2
Seorang wanita 26 tahun datang ke poliklinik glaukoma untuk kontrol rutin
pada tanggal 11 Juli 2017 direncanakan untuk dilakukan operasi trabekulektomi
ulang pada mata kirinya. Pasien memiliki riwayat operasi glaukoma pada mata
kirinya tahun 2007, kemudian datang kembali ke cicendo pada tahun 2014 dengan
penglihatan sudah gelap total disertai dengan mata kiri yang nyeri. Riwayat
hipertensi dan diabetes mellitus tidak ada. Pasien sedang menyusui.
Tanggal 24 Juni 2014 didapatkan tanda vital dalam batas normal, periksaan
oftalmologis tajam penglihatan OD 0.25 PH 1.0, OS tanpa persepsi cahaya,
tekanan bola mata OD 16mmHg, OS 26mmHg, esotrofia 15° OS. Periksaan
segmen anterior OD dalam batas normal, segmen posterior Cup-Disk ratio 0.4
lain-lain dalam batas normal. Pemeriksaan gonioskopi sudut bilik mata depan
terbuka di seluruh kuadran, OS konjungtiva bulbi bleb +, kornea edema minimal,
bilik mata depan Van Herick grade III F/S -/-, pupil iregular polikoria +, refleks
cahaya -/+, RAPD grade IV, iris atrofi +, sinekia anterior perifer +, sinekia
posterior +, iridektomi perifer tidak tampak, lensa keruh, Cup-Disk ratio sulit
dinilai. Pemeriksaan gonioskopi sudut bilik mata depan tertutup dengan sinekia
anterior perifer di seluruh kuadran. Pemeriksaan spekular OD densitas sel
3336.8/mm2 hexagonalitas 51%, OS densitas sel 2385.1/mm2 hexagonalitas 37%.
(a) (b)Gambar 2.2. (a) Gambaran klinis OS, (b) Gambaran spekular OS
Sumber : Rumah Sakit Mata Cicendo
5
Hasil USG OS didapatkan kekeruhan vitreus ec. sel radang dd/ fibrosis
vitreus, posterior vitreous detachment OS. Pasien didiagnosis dengan Secondary
Angle Closure Glaucoma OS ec. suspek sindrom ICE, katarak komplikata OS,
esotrofia. pasien kemudian diterapi dengan dorzolamide 2% 3xOS. Pada tanggal
30 Mei 2017 pasien datang untuk kontrol rutin dengan tekanan bola mata OD
22mmHg, OS 72mmHg, segmen anterior masih sama. Pasien kemudian
direncanakan untuk dilakukan operasi trabekulektomi ulang namun belum
bersedia. Tanggal 11 Juli 2017 pasien datang kembali dengan tekanan bola mata
OD 24mmHg OS 72mmHg dan pemeriksaan oftalmologis masih sama, setuju
untuk dilakukan operasi trabekulektomi OS ulang.
Tanggal 21 Juli 2017 pasien diputuskan untuk dilakukan TSCPC OS karena
ditemukannya konjungtiva yg kurang baik pada daerah yang akan dioperasi. Satu
hari setelah tekanan bola mata OD 20mmHg OS 68mmHg, segmen anterior
konjungtiva bulbi perdarahan subkonjungtiva, kornea edema, bilik mata depan
Van Herick grade III F/S sulit dinilai, koagulum +, lain-lain masih sama. Pasien
diperbolehkan rawat jalan dengan terapi levofloksasin 6xOS, prednisolone asetat
1% 6xOS, timolol maleat 0.5% 2xOS, asetozolamid 3x250mg, kalium 1x1 tab,
bed rest head up 30°.
III. Diskusi
Sindrom iridokorneal endothelial mempresentasikan suatu spektrum
penyakit yang terdiri dari 3 variasi klinis, yaitu sindrom chandler, progressive
essential iris atrophy, sindrom Cogan-Reese. Penyakit ini didapat, unilateral dan
biasa terjadi pada awal sampai pertengahan dewasa 20-50 tahun, sering kali
wanita, namun keterlibatan secara bilateral dan kejadian pada anak pernah
dilaporkan. Segmen anterior yang terkena adalah kornea, sudut bilik mata depan,
dan iris. Jenis varian Sindrom ICE memiliki prevalensi yang berbeda pada etnis
yang berbeda. Beratnya penyakit dan variasi klinis, berbeda-beda tergantung dari
etnis. Sindrom Cogan-Reese lebih sering menyerang populasi Thailand dengan
karakteristik lainnya sama dengan populasi orang kulit putih.(1–4)
6
Penyebab dari sindrom ICE masih belum diketahui, namun terdapat
beberapa hipotesis, Alvarado mencetuskan bahwa endoteliopati berasal dari
infeksi virus. Hipotesis ini juga menjelaskan mengapa sindrom ICE monolateral
dan didapat, dimana 1 mata terinfeksi virus dan mata sebelahnya terlindungi oleh
sistem imun yang terbentuk beberapa minggu setelah infeksi pertama. Adanya
limfosit pada endotel kornea menandakan adanya inflamasi kronis, hal tersebut
mendukung teori etiologi virus Alvarado dkk yang menduga HSV merupakan
etiologi yang berhubungan dengan sindrom ICE, namun hal tersebut bukan satu-
satunya pencetus atau penyebab. (3,4)
Manifestasi klinis yang sering kali terjadi adalah tekanan bola mata yang
tinggi, tajam penglihatan yang menurun karena edema kornea, bentuk iris yang
abnormal,bentuk atau posisi pupil yang abnormal, dan glaukoma sudut tertutup
kronis sekunder. Patogenesis manifestasi klinis dari sindrom ICE berasal dari
abnormalitas proliferasi endotel kornea. Sel endotel kornea berasal dari neural
crest, dimana pada usia postnatal tidak membelah. Campbell dkk menjelaskan
teori membran, dimana pada sindrom ICE sel endotel kornea berproliferasi dan
dapat bermigrasi ke jaringan sekitarnya. Hal tersebut didukung oleh gambaran
mikroskopi spekular yang menunjukkan adanya gambaran sel endotel yang
menyerupai sel epitel pada tahap awal dari sindrom ICE, sel tersebut dinamakan
“ICE-cells” oleh Sherrard dkk pada tahun 1985. Penelitian lain juga menemukan
adanya sel yang menyerupai endotel dengan membran basalis yang menghalangi
sudut bilik mata depan dan iris. (1,3,4)
Kedua pasien memiliki predisposisi dan manifestasi klinis yang sesuai dengan
sindrom ICE. Kasus 1 adalah wanita berusia 46 tahun dengan keluhan nyeri pada
mata kirinya, tajam penglihatan persepsi cahaya, tekanan bola mata 60mmHg,
kornea edema, pupil lonjong dan polikoria, atrofi iris, dan nodul +, Cup-Disc
ratio 0.8-0.9, sudut bilik mata depan tertutup dengan sinekia anterior perifer di
kuadran superior dan inferior, kuadran nasal dan temporal sulit dinilai.
Pemeriksaan spekular OS menunjukkan adanya pleomorphism, hexagonalitas
yang menurun menjadi 44% dan sel ICE. Kasus 2 adalah wanita 26 tahun dengan
keluhan nyeri pada mata kirinya disertai penglihatan yang menurun, tajam
7
penglihatan tanpa persepsi cahaya, tekanan bola mata 26mmHg, kornea edema
minimal, pupil iregular, polikoria, atrofi iris, sinekia anterior dan posterior +,
Cup-Disk ratio sulit dinilai, sudut bilik mata depan tertutup dengan sinekia
anterior perifer di seluruh kuadran. Pemeriksaan spekular OS menunjukkan
adanya pleomorphism dan hexagonalitas yang menurun menjadi 37%.
Kedua pasien adalah seorang wanita, berusia awal sampai pertengahan
dewasa, dan mata yang terkena unilateral, hal ini sesuai profil pasien dengan
sindrom ICE. Tajam penglihatan yang buruk pada kedua pasien menandakan
adanya kerusakan yang berat disebabkan oleh sindrom ICE. Kedua pasien
memiliki tekanan bola mata yang tinggi, terutama pada pasien kasus 1, dan sudut
bilik mata depan tertutup. Manifestasi klinis terlihat lebih berat pada kasus 1,
dimana terdapat edema kornea, polikoria, atrofi iris dan nodul (sindrom cogan-
Reese), dan gambaran sel ICE yang terlihat pada pemeriksaan spekular,
sedangkan pada kasus 2 terdapat edema kornea minimal, polikoria, dan atrofi iris
(progressive essential iris atrophy).(3)
Tabel 3.1 Gambaran klinis perbedaan subtipe sindrom ICEIris Pupil kornea Sudut bilik
mata depanSindrom Chandler
Beberapa area atrofi (lubang
tidak ketebalan penuh)
korektopia Edema jelas, distrofi
endotel, sel ICE pada
mikroskopi konfokal
Sinekia anterior perifer
Progressive iris atrophy
Lubang ketebalan
penuh
polikoria Distrofi endotel, sel ICE pada
mikroskopi konfokal,
edema kornea bisa ada
Sinekia anterior perifer
Sindrom Cogan-Reese
Nodul dan atrofi iris
Jarang ada perubahan
Distrofi endotel, sel ICE pada
mikroskopi konfokal,
edema kornea bisa ada
Sinekia anterior perifer
Sumber : Sacchetti dkk (3)
8
Edema kornea yang ditemukan pada sindrom ICE disebabkan oleh
perubahan fungsi dari sel endotel yang disebabkan oleh abnormalitas pada sawar
sel endotel. Kelainan pada kornea dapat dilihat pada pemeriksaan lampu celah
terdapat fine hammered silver appearance dari posterior kornea, namun kornea
juga dapat ditemukan jernih atau edema dengan penurunan tajam penglihatan
yang beragam dan juga nyeri. Pemeriksaan mikroskopik spekular dapat
memperlihatkan abnormalitas pada bentuk dan ukuran dari endotel dimana
terdapat pleomorphism dan hilangnya hexagonalitas atau disebut dengan sel ICE.
Sel abnormal ini juga memiliki “light-dark reversal”, dimana permukaannya
gelap dengan batas pinggir yang terang. Mikroskopi spekular dapat menjadi alat
diagnostik yang penting dalam mendiagnosis sindrom ICE. (3–5)
Gambar 3.1 Gambaran endotel kornea pada sindrom ICESumber : Kahook dkk (4)
Glaukoma terjadi pada 50% pasien dengan sindrom ICE dan lebih berat
pada progressive essential iris atrophy dan sindrom Cogan-Reese. Sel endotel
kornea bermigrasi ke garis schwalbe lalu ke anyaman trabekula, membentuk suatu
membran basalis yang abnormal dan menyebabkan terjadinya sinekia anterior
perifer. Kontraksi membran menyebabkan kelainan dari iris seperti korektopia,
lubang stretch dan nodul iris. Progressive essential iris atrophy dikarakteristikan
dengan heterokromia, korektopia, ektropion uvea, atrofi stroma dan epitel pigmen
iris, dan terbentuknya lubang. Lubang yang terbentuk memiliki 2 subtipe, yaitu
lubang stretch yang disebabkan oleh penipisan pada sisi yang berlawanan dengan
distorsi pupil, dan lubang melting dimana jaringan iris menghilang karena
iskemia. Nodul iris dan lesi berpigmen merupakan karakteristik dari sindrom
Cogan-Reese, hal ini disebabkan oleh bagian kecil dari stroma iris yang tercubit
oleh membran. (1,3,6)
9
Penatalaksanaan sindrom ICE lebih tertuju pada edema kornea dan
glaukoma sekunder. Terapi dapat berupa refraktif, medika mentosa, atau
pembedahan. Cairan hipertonik salin atau lensa kontak lunak, dan obat-obatan
penurun tekanan bola mata, saat tekanan bola mata meningkat, dapat
mengendalikan edema. Beberapa pasien membutuhkan penetrating keratoplasty.
Glaukoma sudut tertutup dapat ditangani oleh supresan akuous dan analog
prostaglandin, namun obat penurun produksi akuous lebih efektif dibandingkan
dengan obat peningkat aliran keluar atau miotik. Terapi medika mentosa atau
operasi sudut pada akhirnya akan gagal , sekitar 60% - 88% untuk medika
mentosa, hal tersebut dikarenakan seluruh sudut tertutup oleh membran atau
tertutup oleh sinekia yang terus progresif. Operasi filtrasi (trabekulektomi atau
tube shunt) atau glaucoma drainage devices sering kali menjadi pilihan untuk
mengendalikan glaukoma pada pasien dengan sindrom ICE. (1,6,7)
Trabekulektomi merupakan operasi yang sering dilakukan pada sindrom
ICE, namun bleb filtrasi yangfungsional sering gagal setelah 2-5 tahun. Kegagalan
ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, seperti usia muda, sumbatan ostium
interna oleh membran yang abnormal, jaringan iris, dan kemungkinan fibrosis
bleb abnormal yang tinggi. Laganowski dkk menemukan fibrosis konjungtiva
yang jelas pada pasien-pasien dengan kegagalan filtrasi yang kemungkinan
disebabkan oleh respon inflamasi yang agresif pada pasien sindrom ICE. Angka
sukses dari trabekulektomi membaik dengan adanya antifibrotik sebagai adjuvan
(5-fluorouracil, mitomisin C). Trabekulektomi tanpa penggunaan antifibrotik telah
dilaporkan sukses pada 61-64% kasus. Suatu penelitian pada 26 pasien ICE-
related glaucoma menunjukkan survival rate trabekulektomi dengan antifibrotik
73% dalam 1 tahun, 44% dalam 3 tahun, dan 29% dalam 5 tahun. Penelitian
trabekulektomi dengan mitomisin C pada 10 pasien sindrom ICE dengan follow
up 15 bulan menunjukkan 8 dari 10 berhasil mengendalikan tekanan bola mata
dengan baik, hal tersebut menunjukkan bahwa penggunaan mitomisin C lebih
baik dibandingkan dengan penggunaan 5-fluorouracil atau trabekulektomi saja. (3,6,8–10)
10
Glaucoma drainage devices pada ICE-related glaucoma menunjukkan
angka sukses 70% dalam 1 tahun, 70%-40% dalam 3 tahun, dan 53% setelah 5
tahun. Pada penelitian ini 20%-50% dibutuhkan reposisi selang jauh dari kornea
dan struktur iris. Disarankan selang pada bilik mata depan dibiarkan panjang jauh
dari sel ICE untuk menghindari terjadinya sumbatan atau pergeseran ke anterior
yang disebabkan oleh kontraksi membran endotel yang abnormal. Masuknya
selang melalui pars plana juga disarankan pada mata pseudophakic vitrectimized. (3,6,8,9)
Kedua pasien telah dilakukan Transscleral Cyclophotocoagulation
(TSCPC). Apabila tekanan bola mata tidak bisa dikendalikan dengan terapi
konvensional, prosedur cyclodestructive seperti Trans-scleral
Cyclophotocoagulation dapat dilakukan. Cyclodestruction biasanya dilakukan
pada mata yang memiliki potensi visual yang buruk atau kandidat yang buruk
untuk operasi incisional outflow. Cyclophotocoagulation sering kali dilakukan
pada pasien berusia muda yang memiliki kemungkinan terjadinya kegagalannya
prosedur filtrasi dikarenakan respon sikatrikal yang tinggi. (1,3,4)
Prognosis pasien dengan sindrom ICE bergantung pada komplikasi yang
terjadi seperti edema kornea dan glaukoma. Pasien dengan jenis manifestasi klinis
yang lebih ringan memiliki prognosis yang lebih baik, sedangkan pasien dengan
manifestasi klinis yang lebih agresif mengalami hilangnya penglihatan yang berat
akibat dari edema kornea atau glaukoma yang berat. Kedua kasus memiliki tajam
penglihatan yang buruk yaitu persepsi cahaya dan tanpa persepsi cahaya, hal
tersebut disebabkan oleh adanya komplikasi yang berat pada kedua kasus, yaitu
glaukoma tingkat lanjut. Riwayat trabekulektomi pada kedua kasus juga
menunjukkan adanya kegagalan pada operasi filtrasi sebelumnya untuk
mengendalikan tekanan intraokular dalam waktu jangka panjang. (8,10)
IV. Simpulan
Sindrom iridokorneal endotelial mempresentasikan suatu spektrum penyakit
yang terdiri dari 3 variasi klinis, yaitu sindrom chandler, progressive essential iris
atrophy, dan sindrom Cogan-Reese. Glaukoma terjadi pada 50% pasien dengan
11
sindrom ICE dan lebih berat pada progressive essential iris atrophy dan sindrom
Cogan-Reese. Diagnosis sindrom ICE harus dipikirkan pada pasien usia muda
sampai paruh baya dengan sudut tertutup sekunder unilateral. Penatalaksanaan
glaukoma pada sindrom ICE merupakan tantangan bagi para oftalmologis.
Medika mentosa sering kali gagal dalam mengendalikan tekanan bola mata, dan
pasien sering kali membutuhkan pembedahan. Walaupun sudah ditangani dengan
segera, angka sukses dari intervensi pembedahan sangatlah beragam. Fungsi
visual sering kali terancam jika penyakit tidak ditangani dengan baik. Prognosis
penglihatan bergantung pada beratnya komplikasi yang terjadi seperti edema
kornea dan glaukoma. (1,3,8,11)
12
Daftar Pustaka
1. American Academy of Ophthalmology. Basic and Clinical Science Course : Glaucoma. 2016–2017 ed. American Academy of Ophthalmology; 115-117 hal.
2. Chandran P, Rao HL, Mandal AK, Choudhari HL, Garudadri CS, Senthil S. Glaucoma associated with iridocorneal endothelial syndrome in 203 Indian subjects. Plos One. 10 Maret 2017;1–9.
3. Sacchetti M, Mantelli F, Marenco M, Macchi I, Ambrosio O, Rama P. Diagnosis and Management of Iridocorneal Endothelial Syndrome. Hindawi Publ Corp BioMed Res Int. 2015:1–9.
4. Kahook, MD MY, Schuman, MD, FACS JS, Epstein, MD, MMM DL. Chandler and Grant’s Glaucoma. 5th ed. Slack Incorporated; 2013. 344-350 hal.
5. Jin A Choi, Yi Ryeung Park, Tae Yoon La. Concurrence of iridocorneal endothelial syndrome in a patient with glaucomatocyclitic crisis. Int J Ophthalmol. 18 April 2014;7:384–6.
6. Stamper R, Lieberman M, Drake M. Becker-Shaffer’s diagnosis and therapy of the glaucomas. 8th ed. Mosby elsevier; 2009. 218-220 hal.
7. Saleem AA, Ali M, Akhtar F. Iridocorneal Endothelial Syndrome. J Coll Physicians Surg Pak. 27 Februari 2013;24:S112–4.
8. Sharma R, Jain VK, Ojha S, Tandon A, Babber M, Jain G, et al. Trabeculectomy with Mitomycin-C in Patients with Iridocorneal Endothelial Syndrome: A Case Series. J Clin Diagn Res. 1 Mei 2016;5–6.
9. Parivadhini A, Lingam V. Management of Secondary Angle Closure Glaucoma. J Curr Glaucoma Pract. April 2014;25–32.
10. Amini, MD H, Zarei, MD R, Razeghi-Nejad, MD M-R, Faraji-Oskuei, MD S-J, KhodaBandeh, MD A. Long-term Surgical Outcome of Eleven Patients with Glaucoma Secondary to the Iridocorneal Endothelial Syndrome. Iran J Ophthalmol. 13 April 2006;19:31–6.
11. Dr.Anitha S Maiya, Dr.Reagan Madan, Dr Basavaraj zalaki, Dr Pavan Kumar Reddy.D. Cogan- Reese Syndrome :A Variant Of Iridocorneal Endothelial Syndrome-A Case Report. IOSR J Dent Med Sci IOSR-JDMS. Juli 2015;14:1–3.