kelompok sosial

27
UNI INTERNATIONALE DEVADATTA 2009 KELOMPOK SOSIAL DALAM INTEGRASI NASIONAL : SUATU KAJIAN PSIKOLOGI SOSIAL DALAM NATION BUILDING INDONESIA Oleh: Arin Fithriani, M.Si (Dosen HI, FISIP Universitas Budi Luhur dan Universitas Jenderal Ahmad) Yani, Cimahi ABSTRACK The multidimension on international relations studies is hoped pushes the new idea t international relations student to analyze the international problem from any angle. The contribution of social psychology studies on international makes this study more acceptable. Conflict which is happened between state or intra state could be analysed by social psychology angle. Conflict caused by difference interest much of them there was no smooth communication on each party. Much of misperseptio accured caused by the difference of norm, attitude and prejudice. In the state level, social conflict gives the influence on national integration. In this case, the political leader must do proactive action which is supported by mass. This is because integration is never ending process. Pendahuluan Pengkajian dalam ilmu sosial seakan tidak ada habisnya, bahkan selalu saja menunjukkan adanya perkembangan yang berpengaruh pada pemikiran-pemikiran sebelumnya dan memunculkan konsep-konsep baru yang tidak kalah menarik untuk dikaji lebih lanjut. Begitu juga dengan kajian ilmu

Upload: dedy-andiwinata

Post on 11-Jun-2015

2.599 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

Page 1: Kelompok Sosial

UNI INTERNATIONALE DEVADATTA 2009

KELOMPOK SOSIAL DALAM INTEGRASI NASIONAL : SUATU KAJIAN

PSIKOLOGI SOSIAL DALAM NATION BUILDING INDONESIA

Oleh: Arin Fithriani,

M.Si (Dosen HI, FISIP Universitas Budi Luhur dan Universitas Jenderal Ahmad)

Yani, Cimahi

ABSTRACK

The multidimension on international relations studies is hoped pushes the new idea t

international relations student to analyze the international problem from any angle. The

contribution of social psychology studies on international makes this study more

acceptable. Conflict which is happened between state or intra state could be analysed by

social psychology angle. Conflict caused by difference interest much of them there was

no smooth communication on each party. Much of misperseptio accured caused by the

difference of norm, attitude and prejudice. In the state level, social conflict gives the

influence on national integration. In this case, the political leader must do proactive

action which is supported by mass. This is because integration is never ending process.

Pendahuluan

Pengkajian dalam ilmu sosial seakan tidak ada habisnya, bahkan selalu saja

menunjukkan adanya perkembangan yang berpengaruh pada pemikiran-pemikiran

sebelumnya dan memunculkan konsep-konsep baru yang tidak kalah menarik untuk

dikaji lebih lanjut. Begitu juga dengan kajian ilmu hubungan internasional, sebagai

bagian dari ilmu sosial, perkembangan pemikiran dalam ilmu hubungan internasional

tidak lepas dari perkembangan ilmu sosial lainnya, bahkan pada tingkatan teoritis tidak

jarang ilmu ini juga mendapat pengaruh dari ilmu pasti. Sehingga banyak pengkajian

ilmu hubungan internasional yang dilakukan secara kuantitif sebagaimana yang

dilakukan kelompok behavioralis. Salah satu pengaruh atau dapat dikatakan sumbangsih

ilmu lain dalam kajian ilmu hubungan internasional yang akan dibahas pada tulisan ini

adalah ilmu sosiologi dan psikologi yang kemudian membentuk kajian dengan istilah

Page 2: Kelompok Sosial

UNI INTERNATIONALE DEVADATTA 2009

psikologi sosial. Kajian ini salah satunya membahas tentang entitas-entitas pembentuk

negara, termasuk semua bentuk kelompok sosial, baik yang didasari atas etnis, agama, ras

/ suku, wilayah geografis maupun tingkatan ekonomi dan pendidikan. Pengkajian dari

sudut pandang psikologi sosial ini menjadi penting karena hampir semua negara memiliki

permasalahan dalam mengakomodasikan kepentingan warganya dengan latar belakang

kelompok sosial yang beragam, termasuk ketika terjadi persinggungan kepentingan antar

negara yang mendorong pada potensi konflik.

Demikian hal ketika kita membahas masalah intergrasi nasional Indonesia dalam

kerangka nation building Indonesia. Kajian psikologi sosial dalam nation building

Indonesia hanya sebagai salah satu angle dalam pembahasan tentang nation building.

Indonesia adalah salah satu negara di Asia Tenggara dengan multi-etnisnya.

Keanekaragaman ini disisi lain membawa keunggulan tersendiri yang turut

membentuk identitas nasional sebagai modal dasar pembangunan termasuk dalam

berinteraksi dengan negara lain. Namun disisi lain, keanekarangaman ini juga menjadikan

Indonesia sebagai salah satu wilayah di Asia Tenggara yang kurang stabil kondisi

internalnya, terutama jika dibandingkan dengan Malaysia yang juga dikategorikan

sebagai negara multi-etnis. Ketidakstabilan ini lebih karena upaya kelompok dalam

mengakomodasikan kepentingannya. Berbagai kepentingan tersebut menyangkut segala

hal kebutuhan kelompok dalam mempertahankan eksistensinya ditengah-tengah

masyarakat. Sehingga kepentingan kelompok juga menyangkut upaya pemenuhan

kepentingan anggotanya, atau dengan kata lain pemenuhan kebutuhan individu-individu

pembentuk kelompok tersebut. Maka pengakomodasian kepentingan kelompok ini

menyangkut kebutuhan dasar (primer), sekunder dan tersier sebagaimana kebutuhan

individu sebagai manusia. Oleh Abraham Maslow dalam hirarki kebutuhan manusia

(chiron.valdosta.edu), menyebutkan bahwa berbagai kebutuhan manusia tersebut dapat

dikategorikan dalam dua kelompok besar, yaitu kebutuhan defisiensi (deficiency needs)

dan kebutuhan untuk tumbuh (growth needs).

Kedua kebutuhan ini mencakup kebutuhan yang paling mendasar bagi manusia

hingga kebutuhan trasedent yang berkaitan dengan sesuatu diluar batas ego manusia.

Atau dapat dikatakan kebutuhan untuk berperan serta dalam kehidupan masyarakat

sebagai suatu kepuasan. Kebutuhan Defisiensi merupakan kebutuhan dasar manusia

Page 3: Kelompok Sosial

UNI INTERNATIONALE DEVADATTA 2009

sebagai mahluk hidup. Kebutuhan defisiensi ini meliputi kebutuhan psikologis seperti

haus dan lapar, kebutuhan keamanan agar terhindar dari bahaya, kebutuhan untuk

memiliki dan mencintai agar bisa diterima dan berhubungan dengan individu lain, serta

kebutuhan penghargaan (esteem) sebagai sesuatu yang ingin dicapai oleh individu untuk

mendapatkan pengakuan dan menempatkan dirinya pada posisi yang diinginkan.

Sedangkan kebutuhan untuk tumbuh (growth) meliputi kebutuhan cognitif, aestetik,

aktualisasi diri dan keutamaan diri. Upaya pengakomodasian kepentingan dari berbagai

kebutuhan ini bukan hanya berhadapan dengan elit namun juga berhadapan dengan

kepentingan kelompok lain dengan upaya yang sama.

Dapat dikatakan persinggungan kepentingan yang tidak terakomodasikan dengan

baik menyebabkan konflik baik horizontal maupun vertikal. Konflik ini terkadang tidak

dapat dihindari meskipun pemerintahan suatu negara selalu berusaha untuk

mengakomodasikan berbagai kepentingan warganya dalam kerangka besar kepentingan

nasional yang di dalamnya termasuk nation building.

Konflik horizontal dan vertical ini pula yang berpotensi menjadi ancaman

terhadap integrasi nasional, baik integrasi horizontal dan vertikal. Lemahnya derajat

integrasi nasional akan menyebabkan jarum spectrum nation building yang pada sejarah

suatu negara bangsa telah mencapai pada titik kematangan (mature), mengalami

pergeseran kearah ketidakmatangan (immature). Pergeseran kearah negatif ini tidak bisa

hanya dibebankan kepada masyarakat atau warga negara selaku modal utama dalam

nation building. Peranan pemimpin atau elit massa juga sangat berpengaruh dalam

pergeseran-pergeseran yang terjadi dalam integrasi nasional.

Semasa orde lama, jarang sekali masyarakat kita mendengar terjadinya Konflik

sosial dalam masyarakat, baik karena perbedaan etnis, ras, agama, kelompok sosial

ataupun pemikiran. Kalaupun ada, elit massa mampu meredam konfliknya dan juga

pemberitaannya. Sebagaimana kita ketahui sistem politik pada masa orde baru lebih

mengarah pada bentuk otoriter birokratik. Model ini lebih banyak menerapkan penekanan

atau paksaan dari atas atau bersifat topdown. Sehingga kebebasan untuk mengungkapkan

pendapat dan berekspresi tidak mendapatkan peluang yang luas.

Pada sistem otoriter birokratik, gagasan dan pendapat yang dianggap

Berseberangan dengan norma dan pemikiran elit akan kesulitan untuk bisa diterima,

Page 4: Kelompok Sosial

UNI INTERNATIONALE DEVADATTA 2009

bahkan mendapatkan tekanan atas gagasan yang telah dikeluarkan tersebut. Sehingga

dikatakan bahwa pada masa orde lama, elit massa berusaha untuk menghilangkan konflik

yang ada tanpa menyelesaikan akar permasalahanya.

Reformasi yang telah terjadi di Indonesia diharapkan akan membawa angin segar

bagi beberapa bidang, terutama bagi pengembangan sistem politik yang demokratis,

stabil dan modern. Kondisi ini juga memunculkan harapan untuk menata kembali sistem

politik, hukum dan ekonomi kearah yang lebih baik. Harapan juga muncul agar proses

transisi menuju demokrasi di Indonesia berjalan dengan lancer dan damai.

Namun demikian, kenyataan yang ada bahwa dibukanya kebebasan politik dan

kehidupan demokratis juga menimbulkan berbagai masalah yang rumit dan bahkan

cenderung anarkis. Bahkan seorang pengamat politik dan internasional Thomas Friedman

mengatakan bahwa Indonesia sebagai “the messy state”. Kesemrawutan ini terlihat

dengan munculnya berbagai bentuk konflik horizontal antar warga masyarakat ataupun

antar etnis seperti yang terjadi di Papua, Madura, Kalimantan serta tawuran antar warga

yang terjadi di beberapa daerah. Demikian juga dengan adanya aspirasi separatisme

seperti yang telah terjadi di Timor-Timur, Aceh, Riau dan Papua.

Masalahn konflik-konflik yang terjadi antar kelompok masyarakat, aspirasi

merdeka dan tuntutan otonomi yang lebih luas, menimbulkan masalah seputar integrasi

nasional Indonesia dalam kerangka nation building Indonesia. Meskipun Indonesia telah

merdeka selama setengah abad lebih, dengan adanya berbagai konflik horizontal dan

bahkan vertical menjadikan pelaksanaan nation building di Indonesia perlu ditinjau dan

digiatkan kembali. Hal ini menyangkut pembentukan homogenitas cultural, konsensus

atas nilai-nilai bersama dan membangun loyalitas terhadap negara.

Sehingga salah satu pertanyaan yang harus dijawab adalah bagaimana

mengakomodasikan berbagai kepentingan kelompok sosial tersebut agar mampu

memperkecil terjadinya konflik, menyelesaikan konflik yang ada bahkan mencegah

terjadinya konflik sebagai upaya integrasi nasional dalam kerangka nation building

Indonesia.

Kerangka Pemikiran

Page 5: Kelompok Sosial

UNI INTERNATIONALE DEVADATTA 2009

Terdapat berbagai pendapat dan perdebatan mengenai integrasi nasional. Menurut

Myron Weiner, integrasi nasional meliputi mencakup nilai-nilai masyarakat yang luas

dengan 5 (lima) aspek persoalan, yaitu; integrasi bangsa, integrasi wilayah, integrasi elit

massa, integrasi nilai dan perilaku integrative. Sedangkan William Liddle melihat

persoalan integrasi nasional sebagai masalah integrasi horizontal dan integrasi vertical

elit massa. Pada integrasi horizontal mencakup integrasi perbedaan yang berakar pada

masalah etnik, ras, geografi dan agama.

Sebagaimana kita ketahui, Indonesia memiliki beraneka ragam elemen

masyarakat baik kondisi territorial geografis, etnik, budaya, bahasa, agama dan

kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa, yang kesemuanya berpotensi sebagai

ancaman integrasi nasional. Meskipun Indonesia memegang teguh apa yang disebut

dengan Bhineka Tunggal Ika, namun dalam dataran riil, masih banyak terjadi konflik

sosial dengan berbagai macam sebab. Bahkan kecenderungan tersebut semakin

meningkat seiring digulirkannya reformasi yang membawa nilai-nilai demokrasi dan hak

asasi manusia (HAM). Kondisi masyarakat seperti Indonesia ini dapat dilihat dari

perspektif plural society oleh J.S Furnivall. Furnivall menyatakan bahwa masyarakat

plural adalah suatu masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih elemen yang hidup

sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu sama lain didalam satu kesatuan politik.

Antara elemen satu dengan lainnya terpisah oleh karena perbedaan ras, suku,

sosial budaya dan ekonominya. Hal lain yang menonjol adalah tidak adanya kehendak

bersama, tidak adanya permintaan sosial ekonomi bersama dan tidak adanya kultur serta

nilai-nilai yang dihayati bersama secara mendalam oleh seluruh elemen masyarakat.

Pierre L. Van den Berghe menambahkan beberapa karakteristik masyarakat

plural, antara lain: (1) memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembaga-

lembaga yang bersifat non-komplementer. (2) kurang mengembangkan consensus antar

anggota terhadap nilai-nilai dasar, (3) seringkali kelompok masyarakat terlibat konflik

satu sama lain, (4) integrasi sosial yang tumbuh berdasarkan paksaan, dan (5) adanya

dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok lain.

Penggambaran masyarakat Indonesia yang plural tersebut tidak terlepas dari latar

belakang historis Indonesia dalam upaya melepaskan diri dari penjajahan. Proses

terbentuknya bangsa Indonesia dimulai secara dinamis melalui pembentukan organisasi-

Page 6: Kelompok Sosial

UNI INTERNATIONALE DEVADATTA 2009

organisasi yang mengarah pada persatuan dan bersifat menyeluruh yang kemudian

disebut sebagai kebangkitan nasional. Puncak proses ini terjadi dengan adanya consensus

nasional melalui Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 sebagai sebuah ikrar untuk

bersatu dalam satu nusa, bangsa dan bahasa yang kemudian bisa disebut sebagai nation-

state.

Berdasarkan penggambaran tersebut, maka dapat dikatakan kedua perspektif

diatas oleh Furnivall dan Van den Berghe, kurang tepat pada kondisi histories Indonesia,

yang mana pluralitas tersebut justru mendorong untuk bersatu, berkonsensus tanpa

paksaan untuk melakukan perlawanan terhadap kekuatan luar yang lebih besar. Dapat

dikatakan bahwa konsensus masyarakat plural Indonesia lebih dikarenakan adanya

persamaan persepsi mengenai apa yang disebut sebagai ancaman, terutama ancaman

dalam pemenuhan kepentingan. Lain halnya apabila dibandingkan dengan kondisi

Indonesia saat ini, perbedaan mengenai persepsi ancaman yang dihadapi menjadikan

kedua pemikiran mengenai masyarakat plural lebih mengena pada beberapa hal.

Pembahasan

Permasalahan yang dihadapi negara-negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia

tidak bisa dipisahkan dari sejarah kolonialisme yang terjadi diwilayah tersebut.

Perbedaan tipe kolonialisme antar penjajah menimbulkan dampak yang berbeda-beda

dikemudian hari pada negara jajahannya. Sebagai negara baru yang mendapatkan

kemerdekaan dari penjajah, maka pembentukannya juga tidak berdasarkan kesamaan

sifat, namun kesamaan kepentingan penjajah.

Sebagaimana ketika Jepang mempersiapkan kemerdekaan Indonesia dengan

membentuk suatu badan khusus untuk mempersiapkan segala hal apabila Indonesia telah

di merdekakan. Sehingga tidak mengherankan apabila dikemudian hari sering Terjadi

konflik dengan tingkatan-tingkatan tertentu, sehingga negara baru tidak dapat lepas dari

upaya Nation Building, State Building dan Economic Development.

Ketiga hal ini saling berhubungan dalam menunjang kestabilan suatu negara,

namun permasalahan yang sering dihadapi oleh negara multi-etnis adalah dalam

pelaksanaan Nation Building-nya. Nation building dipahami sebagai proses konsolidasi

Page 7: Kelompok Sosial

UNI INTERNATIONALE DEVADATTA 2009

dan integrasi dari kelompok-kelompok pembentuk negara sehingga tidak mudah

terpecah-pecah baik dari luar maupun dari dalam.

Nation Building berhubungan erat dengan etnis (nation) dalam satuan wilayah

teritorial yang kemudian disebut negara, sehingga kuat lemahnya nation building tersebut

tergantung pada bagaimana etnis-etnis didalamnya berinteraksi baik berkonflik ataupun

berkerjasama. sehingga proses nation building melalui integrasi berjalan terus-menerus

dan dapat dikatakan sebagai proses yang tak pernah selesai karena menyangkut

keamanan negara. Suatu proses dari ketika adanya consensus untuk membentuk negara

hingga kini dan masa yang akan datang. Barry Buzan dalam bukunya People, State and

Fear menganalisis keamanan negara berdasarkan struktur internal pembentuk negara,

termasuk etnis-etnis pembentuknya. Dengan menggunakan konsep awal state, Buzan

membagi negara dalam tiga kelompok sifat negara terhadap keamanan yaitu negara

stabil, tidak stabil dan sangat tidak stabil yang didasarkan dari tiga model dasar

pembentuk negara yaitu: The Idea of State, The Institutional Expression of the state dan

The physical base of the state.

Ketiga hal tersebut menjelaskan dua hal yaitu: Pertama; ketiga hal tersebut dapat

dibedakan satu persatu untuk menjelaskan lebih jauh sebagai bagian dari objek keamanan

negara, Kedua; hubungan antar ketiganya dapat digunakan sebagai sumber penjelasan

permasalahan keamanan nasional.(Buzan, 1991:65) Dengan demikian mengukur ketiga

hal diatas kita dapat mengetahui tingkat kestabilan struktur internal negara dalam

menghadapi keamanan nasional/ konflik yang muncul dalam negara baik yang bersumber

dari internal maupun campur tangan luar. Namun demikian bukan berarti kita tidak dapat

mengukur tingkat kestabilan struktur internal negara hanya dengan salah satu dasar

pembentuk. Karena keterbatasan, tulisan ini hanya akan memfokuskan pada model the

idea of state. The Idea of the State berhubungan dengan legitimasi rakyat yang bersumber

dari “nation” dan organizing ideology, berdasarkan kedua sumber ini maka dapat

diketahui tipe-tipe negara berdasarkan entitas pembentuknya yaitu :

(1) Nation-State; negara yang memiliki satu entitas nation sebagai major role,

sehingga ikatan negara dan entitas pembentuknya kuat.

(2) State-Nation;negara berperan didalam membentuk entitas didalamnya, bersifat

top-down, Sehingga biasanya berusaha menghilangkan entitas asli didalamnya

Page 8: Kelompok Sosial

UNI INTERNATIONALE DEVADATTA 2009

dan membentuk entitas baru yang homogen dan diterima semua kalangan, pada

bentuk ini yang telah mapan akan menpunyai ikatan kuat seperti Amerika dan

Australlia sedangkan pada bentuk yang belum mapan dengan kondisi termasuk

lemah dan rawan konflik salah satunya dapat dilihat pada usaha separatisme di

Nigeria.

(3) Part Nation-State; dimana satu nation terdapat dalam dua negara atau lebih

(tersebar) seperti Cina dan Korea.

(4) Multination-State; satu negara terdiri dari dua nation atau lebih, bentuk ini ada

dua macam yaitu federatif state dengan tidak ada nation yang mendominasi dan

imperial state dengan ada satu nation yang yang mendominasi struktur

kenegaraan, sehingga bentuk imperial ini lebih rawan konflik daripada federatif.

Indonesia pada tipologi ini dapat kategorisasikan dalam multination-state bentuk

federatif, karena tidak ada satu nation yang mendominasi struktur kenegaraan meskipun

suku jawa mempunyai jumlah paling banyak. Meskipun oleh Buzan bentuk federatif

dianggap relatif lebih aman dibandingkan dengan bentuk imperatif, bukan berarti dalam

bentuk federatif tidak ada konflik sama sekali. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya,

hambatan justru ada dalam upaya pembentukan konsensus antar entitas yang beraneka

ragam tersebut.

Hal ini karena masing-masing mempunyai persepsi yang berbeda mengenai

ancaman dan sesuatu yang dianggap lebih bernilai (values). Berbagai tipe negara beserta

konsekuensi keamanan nasionalnya terhadap konflik etnis tidak lepas dari modernisasi

dan pembangunan politik yang menegaskan bahwa jaringan kelompok mayoritas (utama)

bisa menjadi penghambat nation building dan pembangunan, sehingga perlu membongkar

jaringan tersebut dan memindahkan loyalitas dari loyalitas pada kelompok etnis ke

bentuk loyalitas masyarakat yang lebih luas dalam lingkup negara (Stavenhagen,

1990:78) sehingga tindakan yang diambil dalam aktivitas etnis harus lebih menunjukkan

pada pilihan rasional bagi tindakan politik daripada sentimen primordial.

Pada negara bekas kolonial yang entitas pembentuknya terdiri dari beberapa etnis,

maka akan dihadapkan pada permasalahan ini, terlebih lagi jika ada kelompok etnis yang

dominan. Sehingga situasi tersebut bisa menyebabkan terjadinya konflik etnis yang

disebut dengan /“ethnic revival”/, yaitu dengan adanya rasa ketakutan kelompok

Page 9: Kelompok Sosial

UNI INTERNATIONALE DEVADATTA 2009

minoritas pada masa kolonial dan rasa ketakutan itu justru semakin bertambah setelah

masa kemerdekaan karena beranggapan bahwa etnis mayoritas adalah kelompok penjajah

baru (Ryan, 1990:x). Menurut Rothchild konsep sentral etnik adalah ketakutan etnik akan

kehidupan masa depan atas kehidupan yang pernah dilalui pada masa lalu. Dengan

anggapan ini tentu dapat dipahami sebagai sikap manusia sebagai anggota kelompok

etnis berusaha untuk mempertahankan eksistensi dan identitasnya.

Hal ini berdasarkan pada definisi dari kelompok etnis yaitu sebagai sekelompok

orang yang mendefinisikan dirinya (identitas) mempunyai perbedaan yang sangat jelas

dengan kelompok lain karena perbedaan budaya. Sedangkan budaya menurut Galner

didefinisikan sebagai kesatuan konsep yang dijadikan acuan berfikir dan bertindak oleh

sekelompok manusia (population) secara turun menurun yang biasanya mempunyai

nama. Oleh karena itu budaya bukan hanya sekedar kumpulan konsep, namun lebih dari

sekedar hubungan dan ketergantungan antar konsep (Ryan, 1990: xiii). Berdasarkan

pengertian tentang etnis tersebut maka dapat dimengerti apabila konflik etnis lebih

didasarkan pada suatu hal yang tidak jelas (intangible) dengan melihat “who someone is”

dari pada “what someone does”(Goldstein, 1996:198) maka dapat dipahami juga apabila

konflik etnis sulit untuk diselesaikan karena didasarkan pada kebencian -“I don’t like

you”- dan bukan “who gets what”. Sehingga rasionalitas dalam konflik etnis terkadang

tersingkirkan dengan adanya benturan nilai-nilai adat meskipun etnis yang berkonflik

tersebut selalu ingin disebut sebagai masyarakat modern.

Disisi lain, elit massa juga diharapkan mampu mengakomodasikan kelompok

minoritas, demikian juga kelompok minoritas sebaiknya melakukan beberapa tindakan

agar tidak terdeprivasi. Deprivasi yang berkelanjutan dan dalam jangka waktu yang lama

akan memicu terjadinya konflik sebagai suatu bentuk pemberontakan. Rothchild

mengemukakan ada empat mekanisme untuk menolong *kelompok* etnis minoritas agar

tidak terdeprivasi antara lain:

(1) Demonstrations of respect , sebagai sikap saling menghormati antar kelompok

etnis terutama terhadap etnis minoritas,

(2) Power Sharing, yang diusahakan pemerintah untuk membentuk perwakilan sesuai

dengan kondisi entitas pembentuk masyarakat,

Page 10: Kelompok Sosial

UNI INTERNATIONALE DEVADATTA 2009

(3) Elections, dengan melakukan sistem pemilu sebagai bagian dari political game

menyangkut partisipasi dalam proses pengambilan suara,

(4) Otonomi regional dan federalisme, berhubungan dengan kemampuan pemimpin

politik/pemeritah pusat dalam memajukan kepercayaan diri antar pemimpin lokal

(international security, 1996,2/21:57).

Permasalahan etnis dalam diperlukan juga pemikiran dari kajian psikologi sosial,

untuk melihat bagaimana individu-individu yang tergabung dalam kelompok etnis

berinteraksi dengan kelompok lainnya. Beberapa kajian psikologi sosial ini telah berhasil

diterapkan dalam beberapa konflik sosial yang terjadi di dunia internasional dengan

melakukan identifikasi terhadap konflik sosial yang ada sebagai upaya untuk menuju

resolusi konflik. Kajian ini dikembangkan oleh Herbert C. Kelman, seorang ahli

psikologi, yang telah melakukan penelitian dan workshop bagi penyelesaian masalah

konflik sosial yang terjadi di Irlandia Utara, Sri Lanka, Rwanda-Burundi, eks Yugoslavia,

eks Uni Soviet dan konflik Israel-Palestina. Pemikiran Kelman ini juga banyak dijadikan

acuan dalam resolusi konflik yang terjadi antar kelompok dalam negara, termasuk konflik

local di Indonesia, seperti resolusi konflik di Ambon, Sampit dan Poso adalah contoh dari

konstrubusi pemikiran Kelman.

Menilik permasalahan nation building di Indonesia, kembali lagi pada penekanan

integrasi horisontal antar kelompok sosial dalam masyarakat, dalam hal ini bukan hanya

kelompok etnis. Keikut sertaan individu dalam kelompok, baik karena ada aturan yang

berlaku (paksaan) ataupun otomatis, merupakan penciptaan komunikasi yang mengarah

pada hubungan fungsional. Oleh Thilbaut dan Kelley hubungan ini disebut dengan

“social exchage theory”(Ahmadi, 1991:104).

Analog teori ekonomi, teori ini menunjukkan bahwa keikutsertaan atau masuknya

individu dalam suatu kelompok akan memperoleh keuntungan dan kerugian. Keuntungan

dapat berupa kesenangan dan kepuasan keikutsertaan individu dalam kelompok,

sedangkan kerugian bisa berupa waktu, tenaga, jasa, ataupun materi yang telah

dikeluarkan individu dalam kelompok. Perbedaannya, apabila nilai tukar dalam ekonomi

penguatnya adalah uang, maka pada nilai tukar sosial penguatnya adalah “penerimaan

sosial”. Penerimaan sosial ini juga berarti diterimanya nilai-nilai individu tersebut dalam

kelompok. Semakin diterima nilai-nilai individu dalam suatu kelompok maka semakin

Page 11: Kelompok Sosial

UNI INTERNATIONALE DEVADATTA 2009

tinggi pula nilai sosial exchange-nya yang ditandai dengan kesenangan dan kepuasan

individu tersebut dalam kelompok.

Hal ini karena kelompok terbentuk dari individu yang mempunyai tujuan yang

sama dan membentuk hubungan fungsional. Hubungan ini pada akhirnya membentuk

nilai-nilai sosial yang dianut oleh anggota kelompok. Semakin besar nilai tukar sosial

suatu kelompok, semakin besar pula penerimaan sosial akan kelompok tersebut. Untuk

meningkatkan nilai tukar sosial, kelompok sosial berusaha untuk memaksimalkan

keuntungan dan meminimalkan kerugian. Artinya apabila banyak anggota kelompok

yang kecewa dengan kelompok atau tingkah laku kelompok tidak sesuai dengan yang

diharapkan anggotanya, maka penerimaan sosial kelompok tersebut kecil, bahkan bisa

saja terjadi perpecahan kelompok. Saat ini seseorang bergabung dengan suatu kelompok

lebih pada pemenuhan kebutuhannya, sehingga seseorang bisa menjadi anggota pada

lebih dari satu kelompok. Keikutsertaan individu dalam kelompok secara tidak sadar

memunculkan perasaan ikatan di dalam kelompoknya (in-group) ataupun perasaan

terhadap kelompok lain (out-group).

Perasaan ikatan dalam kelompok berpengaruh terhadap kohesifitas kelompok dan

bahkan memunculkan favoritisme terhadap kelompoknya. Kohesi kelompok merupakan

perasaan bahwa orang bersama-sama dalam kelompok sebagai kekuatan yang

memelihara dan menjaga anggota dalam kelompok. Kohesi ini terlihat dengan adanya

rasa sentimen, simpati, intim dan solidaritas antar anggota. Perasaan ini yang juga sedikit

banyak mempengaruhi pola hubungan antar kelompok, apakah akan melakukan

kerjasama atau beroposisi. Karena kohesi dapat berkembang dengan adanya ancaman

atau tekanan dari out-group. In-group terkadang membuat kode-kode tertentu sebagai

bentuk komunikasi yang hanya bisa dipahami antar anggotanya. Dalam hal ini

keanggotaan kelompok menjadi bagian dari identitas seseorang.

Pada kelompok yang lebih moderat, pola hubungan ini lebih rasional dengan

melihat adanya kesamaan kepentingan atau persepsi terhadap suatu hal yang mendorong

adanya konsensus untuk bekerjasama. Setiap kelompok mempunyai pedoman tingkah

laku yang khas antar anggotanya yang disebut dengan norma kelompok. Norma terbentuk

dari hasil interaksi antar anggota karena terdorong untuk mencapai tujuan bersama.

Page 12: Kelompok Sosial

UNI INTERNATIONALE DEVADATTA 2009

Sebaliknya norma bukanlah sesuatu yang tidak statis/selalu berubah karena kelompok

sosial merupakan hubungan yang dinamis.

Perubahan yang terjadi secara tidak langsung akan mempengaruhi masing-masing

anggotanya. Dapat dikatakan bahwa tingkah laku anggota kelompok akan bisa berubah

akibat dari perubahan kelompok. Singkatnya norma kelompok mempengaruhi tingkah

laku anggota. Norma kelompok sosial berbeda-beda satu sama lain yang disebabkan

adanya perbedaan geografis, status sosial dan tujuan kelompok. Misalnya kelompok

masyarakat yang tinggal di pantai pasti mempunyai norma yang berbeda dengan

kelompok masyarakat yang tinggal di pegunungan, demikian juga antara pegawai negeri

dengan petani, pekerja seni dengan atlet.

Perbedaan norma ini memunculkan perbedaan kepentingan dan kebutuhan. Sekali

lagi, apabila tidak terakomodasikan dengan baik tentu akan menimbulkan konflik. Upaya

mengakomodasikan berbagai kepentingan kelompok, membentuk consensus atas nilai-

nilai bersama dan membentuk loyalitas terhadap negara, sekalipun merupakan tugas

bersama antar entitas pembentuk negara, elit massa-lah yang diharapkan mampu

mengkoordinasikan semua hal diatas. Adanya konsesus antar kelompok tanpa adanya elit

yang mempunyai tujuan yang jelas, maka nation building yang diharapkan akan rapuh

dan mudah goyah. Sehingga elit, dalam hal ini lebih pada pemimpin diharapkan mampu

melaksanakan peranannya sebagaimana mestinya.

Peranan dapat diartikan sebagai suatu kompleks pengharapan manusia terhadap

caranya individu harus bersikap dan berbuat dalam situasi tertentu berdasarkan status dan

fungsi sosialnya. Sehingga pengharapan terhadap pemimpin lebih pada kemampuan

pemimpin tersebut mempengaruhi orang lain sehingga bertingkah laku sebagaimana

dikehendaki pemimpin tersebut. Karena pemimpin bukan hanya sebagai kedudukan yang

merupakan satuan kompleks atas hak-hak dan kewajiban yang dimiliki seseorang atau

institusi, namun juga sebagai proses sosial yang merupakan segala tindakan yang

dilakukan seseorang atau institusi yang mampu menggerakkan masyarakat dan mendapat

pengakuan dari masyarakat. Sehingga bagaimana interaksi suatu kelompok dengan

kelompok lainnya juga dipengaruhi oleh pemimpinnya.

Pemimpin disini pada akhirnya juga ikut andil dalam pembentukan norma

kelompok. Acap kali setiap terjadi pergantian kepemimpinan suatu kelompok, juga

Page 13: Kelompok Sosial

UNI INTERNATIONALE DEVADATTA 2009

terjadi perubahan norma. Apabila perubahan norma yang ada mudah diterima dan

diadopsi oleh anggotanya, maka kohesifitas dalam kelompok semakin kuat. Sebaliknya

apabila norma baru tersebut kurang bisa diterima oleh anggotanya, maka tidak menutup

kemungkinan akan menimbulkan perpecahan dalam kelompok. Dengan kata lain

bagaimana pemimpin itu bersikap akan berpengaruh juga terhadap kohesifitas kelompok.

Kepemimpinan dan norma kelompok secara tidak langsung akan menentukan bagaimana

kelompok itu bersikap (attitude). Sikap ini dipahami sebagai suatu kesadaran yang

menentukan perbuatan nyata yang berulang-ulang terhadap objek sosial. Karena tidak ada

satu sikap-pun tanpa objek sosial. Misalnya sikap bangsa Indonesia terhadap etnis

Tionghoa di Indonesia, sikap yang ditunjukkan warga Indonesia tidak lepas/dipengaruhi

oleh norma yang dikembangkan pemimpin. Pada masa awal orde baru, sikap terhadap

etnis Tionghoa lebih dikarenakan aspek afektif adanya emosi yang berkaitan dengan

objek yang dianggap tidak menyenangkan karena berkaitan dengan peristiwa 30

September (bahaya laten PKI).

Pada kasus internasional dapat dicontohkan mengenai sikap bangsa Jerman

terhadap orang Yahudi pada masa Hitler karena dianggap penyebab kekalahan Jerman

pada Perang Dunia I. Perasaan terhadap kelompok tertentu ini disebut dengan prasangka

sosial (sosial prejudice) yang terkadang mendorong pada stereotip terhadap kelompok

tertentu tanpa adanya pengetahuan mengenai kelompok yang dikenai prasangka tersebut.

Prasangka inilah yang pada akhirnya menciptakan jarak sosial (sosial distant) antar

kelompok yang seharusnya tidak perlu. Prasangka negatif (stereotif) yang menciptakan

jarak sosial ini merupakan potensi konflik antar kelompok sosial. Agar terhindar dari

konflik maka informasi mengenai kelompok berikut normanya sangat diperlukan dalam

menciptakan hubungan yang positif antar kelompok. Setiap persinggungan norma antar

kelompok merupakan tugas bersama antar anggota yang difasilitasi pemimpin dalam

mengakomodasikannya. Apabila pemimpin mampu mengakomodasikan perbedaan ini

hingga membentuk suatu konsensus atas nilai-nilai bersama, maka kohesifitas

*kelompok* bukan hanya terjadi pada in-group, tapi juga out-group. Pada akhirnya hal

ini juga akan mendorong terciptanya loyalitas terhadap negara karena pemimpinnya

dianggap mampu berperan sebagaimana mestinya.

Page 14: Kelompok Sosial

UNI INTERNATIONALE DEVADATTA 2009

Indonesia sebagai negara dengan kemajemukannya, segmentasi yang ada berupa

aspek horizontal dan vertical. Segmentasi aspek horizontal berupa perbedaan ras, agama,

suku dan daerah, sedangkan segmentasi aspek vertical merupakan kondisi politik, sosial

dan ekonomi. Pada aspek vertical ini, jarak antara pelapisan masyarakat atas dan bawah

masih sangat tajam, baik antara kaya-miskin, desa-kota, tingkat pendidikan dan

sebagainya. Jarak dalam aspek vertical ini yang dipertegas dengan adanya jarak sosial

semakin menyulitkan Indonesia memperkokoh integrasi dalam nation building. Sehingga

perbedaan ini perlu dijembatani dengan nilai persatuan yang mengecilkan kesenjangan

antar kelompok.

Menilik upaya resolusi konflik antar kelompok sosial yang ditawarkan Kelman,

sebaiknya pemerintah melakukan tindakan proaktif terhadap berbagai kemungkinan

terjadinya konflik. Kelman mengenalkan /interactive problem solving (Kelman,

American Psychologist, 1997, 52/3:212-220) yang menghadirkan pihak ketiga untuk

membahas segala permasalah yang berpotensi konflik. Metode ini telah diterapkan pada

kasus di Poso dan Sampit. Interactive problem solving ini lebih merupakan workshop

yang menjadikan kelompok sosial sebagai laboratorium.

Workshop ini dilakukan untuk mengetahui berbagai hal yang berkaitan dengan

permasalahan, antara lain keinginan kelompok, norma yang berlaku, pandangan terhadap

kelompok lain serta upaya penyelesaian kelompok. Dengan mengkomunikasikan

berbagai kepentingan diharapkan bisa mendapatkan resolusinya.

Workshop pada proses resolusi konflik, kelompok sosial menjadi subjek yang

berperan aktif. Ada tiga peran kelompok sosial dalam resolusi konflik, Satu; kelompok

sosial dapat dilihat sebagai mikrokosmik dari sebuah sistem yang lebih besar, dimana

kelompok sebagai arena dimana sistem yang lebih besar itu berada. Sehingga norma-

norma yang diinginkan bersama dapat terbentuk untuk mendukung tercapai resolusi.

Dua; selain itu dalam workshop antar kelompok yang berkonflik dibentuk suatu koalisi

agar mampu membentuk kesamaan tujuan dan kepentingan.

Meskipun dalam kenyataannya sangat sulit membentuk koalisi antar kelompok

yang berkonflik karena berhadapan dengan berbagai hal termasuk norma dan

kepemimpinan. Tiga langkah berikutnya adalah menciptakan hubungan baru, artinya

mengembangkan prinsip resiprositas antar kelompok yang berkonflik, yang tentunya

Page 15: Kelompok Sosial

UNI INTERNATIONALE DEVADATTA 2009

berkaitan dengan keunggulan masing-masing kelompok. Dengan terciptanya hubungan

baru maka diharapkan konflik dapat diredam dan dapat diselesaikan dengan mencari

alternatif yang lebih baik. Ketiga peran kelompok sosial dalam penyelesaian konflik

secara interaktif ini merupakan analog atau gambaran konflik riil. Hasil workshop yang

terkesan hanya berada didunia abstrak setidaknya cukup memberikan informasi bagi

konstribusi resolusi konflik.

Kesimpulan

Keberagaman kelompok sosial dalam integrasi nasional Indonesia bukanlah suatu

hal yang mudah untuk ditangani namun bukan pula suatu hal yang rumit karena integrasi

merupakan suatu proses yang selalu berlanjut dan tidak pernah berhenti.

Konflik sosial yang terjadi lebih pada perbedaan norma, sikap dan prasangka yang

tidak terkomunikasikan dengan baik. Integrasi nasional dalam kerangka nation building

bukan hanya masalah negara hanya masalah negara baru ataupun negara plural, namun

juga masalah semua negara demi menjaga eksistensinya. Elit sebaiknya bersikap proaktif

terhadap segala bentuk potensi konflik yang ada.

Konflik sosial yang terjadi juga bukan tanggungjawab pemimpin/elit semata,

namun juga tanggungjawab kelompok (termasuk individu didalamnya) yang turut

membentuk norma, sikap dan prasangka terhadap kelompok lain. Pengkajian masalah

internasional bukanlah monopoli pengkajian ilmu hubungan internasional, karena

permasalahan internasional juga dapat dikaji dari ilmu lain.

Page 16: Kelompok Sosial

UNI INTERNATIONALE DEVADATTA 2009

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Abu, Psikologi Sosial, (Rineka Cipta, Jakarta, 1991)

Buzan, Barry, People, State and Fear, (Harvester Wheatsheaf, London, 1995)

Gerungan, W.A., Psikologi Sosial, (PT. Eresco Bandung, 1991)

Goldstein, Joshua S., International Relations, 2nd edition, (Harper Collins Publisher Inc.

New York, 1996)

Ryan, Stephen, Ethnic Conflict and International Relations, (Darmouth Publishing

Company, England, 1990)

Stavehagen, Rodolfo, The Ethnic Question : Conflict, Development and Human Rights

(United Nations Univ.Press, Tokyo, 1990)

Kelman, Herbert C., Group Processes in The Resolution of International

Conflicts:Experiences from The Israeli-Palestinian Case, (American

Psychologist, March 1997, 52/3) p. 212-220

Rothchild, Donald & David A. Lake, Containing Fear: The Origins and Management of

Ethnic Conflict, (International Security 1996,2/21) p.57

http://chiron.valdosta.edu/whuitt/col/regsys/maslow.html

SUMBER MAKALAH : http://jurnal.bl.ac.id/wp-content/uploads/2007/02/TRANS-Vol1-No3-artikel4-Desember2006.pdf. Untuk menautkan atau menandai situs ini, gunakan URL berikut:

http://www.google.com/search?q=cache:Ad0GphIkmToJ:jurnal.bl.ac.id/wp content/uploads/2007/02/TRANS-Vol1-No3-artikel4Desember2006.pdf+Kelompok+Sosial&hl=id&ct=clnk&cd=7&gl=id|