ascending reticular activating system...
TRANSCRIPT
-
TINJAUAN PUSTAKA
ASCENDING RETICULAR ACTIVATING SYSTEM
(ARAS)
Oleh:
dr. Ida Ayu Sri Wijayanti, M.Biomed, Sp.S
BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT SARAF
FK UNUD/RSUP SANGLAH DENPASAR
2014
-
i
KATA PENGANTAR
Om Swastyastu,
Puja dan puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat rahmat-Nya tinjauan kepustakaan dengan judul “Ascending Reticular Activating
System (ARAS)” ini dapat selesai pada waktunya.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak
yang telah membantu penyelesaian tinjauan kepustakaan ini. Ucapan terima kasih penulis
sampaikan kepada:
1. dr. AA Bagus Ngurah Nuartha, Sp.S(K) selaku Kepala Bagian/Kepala SMF di Bagian
Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah
Denpasar yang telah memberikan saya kesempatan untuk menyelesaikan karya tulis
ini;
2. Dr.dr. Thomas Eko Purwata, Sp.S(K) selaku Kepala divisi Nyeri di Bagian Ilmu
Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar
yang telah memberikan pengarahan, kritik, dan saran dalam pembuatan tinjauan
kepustakaan ini;
3. Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu
dalam penyusunan tinjauan kepustakaan ini.
Penulis menyadari laporan ini masih jauh dari kata sempurna sehingga saran dan
kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan untuk kesempurnaan tinjauan
kepustakaan ini. Akhir kata, semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Om Shanti, Shanti, Shanti Om.
Denpasar, Desember 2014
Ida Ayu Sri Wijayanti
-
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………………………………… i
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………….. ii
DAFTAR GAMBAR……………………………………………………………………. iii
DAFTAR TABEL………………………………………………………………………. iv
BAB 1 PENDAHULUAN………………………………………………............. 1
BAB 2 NEUROANATOMI ARAS……………………………………………… 3
BAB 3 NEUROFISIOLOGI ARAS…………………………………………….. 7
3.1. Neurotransmiter dalam Pengaktifan ARAS………………………… 9
3.2. ARAS sebagai Penggalak Kesadaran …………................................ 14
3.2.1 Patologi Gangguan Kesadaran……………………….......... 16
3.3 Peranan ARAS dalam Fisiologi Bangun Tidur………….…………… 19
3.3.1 Patologi Tidur………………………………………………. 25
BAB 4 RINGKASAN …………………………………………………………….. 29
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………….. 31
-
iii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Permukaan Medial Otak.....................................................................................5
Gambar 2.2 Formasio Retikularis.......................................................................................... 6
Gambar 3.1 Nukleus Raphae pada Batang Otak................................................................... 9
Gambar 3.2 Distribusi Norepinephrine pada Sistem Saraf Pusat......................................... 12
Gambar 3.3 Distribusi Serotonin pada Sistem Saraf Pusat.................................................... 13
Gambar 3.4 Hubungan Timbal Balik Neurotransmiter Pengatur Kesadaran........................ 14
Gambar 3.5 Struktur Otak yang Berperan dalam Siklus Tidur-Bangun............................... 23
-
iv
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Neuropeptida dan Siklus Tidur-Bangun………………………………………….. 21
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
Susunan retikularis adalah susunan traktus-traktus yang bersifat nonspesifik, multineuron
(polineuron), multisinaps (polisinaps), secara relatif difus dan mengintegrasi serta
menghantarkan sejumlah impuls-impuls yang bersifat asenden. Susunan retikularis
bersifat nonspesifik (secara primer tidak berhubungan dengan modalitas spesifik).
Susunan ini terdapat di seluruh susunan saraf pusat, pada medulla spinalis, batang otak,
serebellum, diensefalon dan hemisfer serebrum. Formasio retikularis merupakan substrat
anatomi dan fungsional bagi banyak susunan retikuler (Noback, 1993).
Secara embriologi formasio retikularis merupakan salah satu unit fungsional
tertua dari sistem saraf pusat, menempati bagian tengah dari batang otak, membentang ke
arah rostral meliputi daerah midline, nukleus thalamikus retikularis dan intralaminaris,
dan zona insersa dari subthalamus. Neuron retikularis menerima kolateral dari jalur
asenden dan desenden, kecuali dari lemnikus medialis. Formasio retikularis pada bagian
ventromedial dibatasi oleh traktus piramidalis dan lemnikus medialis, sedangkan bagian
dorsolateral oleh jalur sensorik sekunder. Regulasi fungsi motorik saraf somatik dan saraf
visceral (otonom) serta modulasi aktivitas elektrokortikal didukung oleh hubungan
neuron retikularis dan pusat otonom pada otak dan medula spinalis. Fungsi tambahan dari
formasio retikularis meliputi pengaturan ekspresi emosi, transmisi nyeri dan regulasi
aktivitas reflek yang berhubungan dengan saraf kranialis (Arslan, 2001).
Susunan retikularis berhubungan dengan luas ekspresi perilaku kewaspadaan,
perhatian hingga siklus tidur. Hilangnya pengaruh susunan retikuler asenden dapat
menimbulkan seseorang tertidur. Pusat tidur diperkirakan terdapat di dalam formasio
retikularis yaitu diantara pons bagian bawah dan bagian atas medula oblongata. Pada
akhirnya, dipostulasikan bahwa tidur disebabkan secara aktif oleh aktivitas perangsangan
terhadap pusat tidur di dalam batang otak (deaktivasi retikuler aktif) atau secara pasif
oleh penekanan pengaruh susunan retikuler asenden (deaktivasi retikuler pasif). Suatu
keadaan koma permanen, akibat adanya cedera otak, mungkin disebabkan oleh kerusakan
-
2
pada formasio retikularis (hilangnya pengaruh asenden) di dalam jalur retikuler asenden
(Noback, 1993).
Kesadaran memperlihatkan dua segi yaitu derajat kesadaran dan kualitas
kesadaran. Derajat kesadaran adalah kewaspadaan (alertness), tergantung dari jumlah
impuls aferen yang sampai di korteks serebri. Sedangkan kualitas kesadaran seseorang
tergantung dari cara pengelolaan impuls afferen oleh korteks serebri, yang akhirnya akan
menghasilkan pola pemikiran yang mendasari kata-kata yang diucapkan atau hal yang
dikerjakan seseorang. Kerusakan pada ARAS akan menimbulkan gangguan derajat
kesadaran. Bila derajat kesadaran menurun, maka selalu akan tampak pula adanya
gangguan dari kualitas kesadaran. Tapi sebaliknya, penderita dengan kualitas kesadaran
menurun, tidak selalu memperlihatkan gangguan derajat kesadaran. Bila kita perhatikan
fungsi dari Ascending Reticular Activating System (ARAS), maka susunan ini dapat kita
namai Susunan penggalak kewaspadaan (Ngoerah, 1991).
-
3
BAB 2
NEUROANATOMI ARAS
Impuls-impuls aferen sampai di korteks serebri melalui dua lintasan, yaitu lintasan
sensorik spesifik dan lintasan sensorik nonspesifik. Lintasan sensorik spesifik adalah
lintasan-lintasan: traktus spinotalamikus, lemniskus medialis, lemniskus lateralis, radiasio
optika dan lain-lain. Lintasan-lintasan ini mengantar impuls dari suatu titik alat reseptor
ke suatu titik tertentu di korteks perseptif primer dari SSP. Sedangkan yang dimaksud
dengan lintasan sensorik nonspesifik adalah serabut-serabut dalam formasio retikularis.
Dalam perjalanannya, semua lintasan sensorik spesifik memiliki kolateral-kolateral ke
formasio retikularis, dan serabut-serabut afferent dalam formasio retikularis inilah yang
disebut dengan ARAS (Ngoerah, 1991).
ARAS merupakan suatu konsep fungsional yang terdiri dari formatio retikularis
batang otak, subthalamus, hipothalamus dan thalamus medialis. Bagian otak ini
diperlukan untuk mencetuskan dan mempertahankan keadaan sadar yang berwaspada.
Serat retikular asenden ini sebagian besar berasal dari nukleus giganto cellularis, sebagian
kecil dari nukleus reticularis ventralis dan lateralis. Serat ini menanjak di daerah traktus
tegmentalis centralis, sebagian besar tidak menyilang garis median dan menuju ke bagian
nukleus intralaminaris dan retikularis thalami. Sehingga impuls dapat disebarkan ke
korteks serebri melalui traktus thalamokortikalis. Serabut dan lintasan dari nukleus
retikularis thalamus ini dapat mengaktivasi korteks serebri tanpa bergantung kepada
sistem sensorik spesifik atau sistem neural lainnya yang mengaktivasi korteks serebri
(Chusid, 1990).
Secara embriologi formasio retikularis merupakan salah satu unit fungsional
tertua dari sistem saraf pusat, menempati bagian tengah dari batang otak, membentang ke
arah rostral meliputi daerah midline, nukleus thalamikus retikularis dan intralaminaris,
dan zona insersa dari subthalamus. Neuron retikularis menerima kolateral dari jalur
asenden dan desenden, kecuali lemnikus medialis. Formasio retikularis pada bagian
ventromedial dibatasi oleh traktus piramidalis dan lemnikus medialis, dan bagian
dorsolateral oleh jalur sensorik sekunder (Arslan, 2001).
-
4
Formasio retikularis adalah suatu struktur atau susunan neuron-neuron yang
membentang secara berkesinambungan dengan variasi histologik minimum sepanjang
medula spinalis, batang otak, daerah basal diensefalon dan telensefalon. Susunan
retikular bersifat non-spesifik (secara primer tidak berhubungan dengan modalitas
spesifik). Batas-batas formasio retikularis tidak dapat ditentukan secara tepat, karena
serat-serat penyusunnya tidak dikelompokkan secara umum dalam traktus atau nukleus
kompak. Substrat struktural formasio retikularis yang paling tetap adalah adanya neuron-
neuron isodendrit. Namun, neuron ini juga ditemukan di daerah-daerah di luar formasio
retikularis klasik. Akson-akson neuron retikuler bercabang menjadi cabang ascenden
panjang dan cabang descenden panjang, cabang-cabang ini serta kolateralnya merupakan
cabang akson transit. Cabang-cabang panjang membentuk susunan jalur yang
menghantarkan output sel-sel ini ke rostral dan kaudal. Jalur-jalur ini adalah susunan-
susunan difus yang diselingi oleh sejumlah besar hubungan sinaps dan diatur sebagai
susunan neuron yang teratur. Formasio retikularis di dalam medula spinalis terletak pada
zona intermedia (lamina VII) dengan perluasan-perluasan ke bagian anterior dan
posterior. Jalur formasio retikularis medula spinalis adalah fasciculus proprius. Kemudian
berlanjut ke arah rostral, menuju tegmentum batang otak. Sehingga formasio retikularis
pada batang otak disebut reticular core, yang dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu:
nukleus-nukleus raphae dan kelompok nukleus retikuler paramedian yang terletak pada
garis tengah batang otak. Kelompok nukleus retikuler sentral yang terletak pada 2/3
medial tegmentum. Kelompok nukleus retikularis lateral yang terletak pada 1/3 lateral
tegmentum (Noback, 1993).
Ada dua sumber pengaruh pada sistem aktivasi retikuler asenden, yaitu: pengaruh
impuls-impuls perifer yang mula-mula diantarkan melalui serat-serat sensorik spesifik;
dan pengaruh yang datang dari korteks serebri melalui fibrae kortikoretikularis. Fibrae
kortikoretikularis ini, yang berasal dari semua bagian korteks serebri, dapat memiliki
pengaruh fasilitasi maupun inhibisi terhadap neuron-neuron formasio retikularis.
Penelitian oleh Rossi dan Brodal (1956) menunjukkan bahwa sebagian besar fibrae
kortikoretikularis ini berasal dari korteks motorik dan premotorik (Sukardi, 1985).
-
5
Jaras retikularis desenden (traktus retikulospinalis lateral dan ventral) berasal
dalam nukleus yang mempunyai pengaruh aktivasi dan inhibisi pada neuron motorik
spinalis. Nukleus-nukleus ini dipengaruhi oleh korteks serebral (korteks frontalis),
serebelum dan ganglia basalis. Impuls aktivasi berasal dari bagian lateral formasio
retikularis, terutama pada pons dan mesensefalon. Impuls inhibisi berasal dari nukleus
retikularis bagian ventromedial dari medula oblongata (Duus,1996).
Gambar 2.1: Permukaan medial otak
Sumber:http://medicinembbs.blogspot.com 2009/10/reticular-activating-system.html
Berikut ini adalah inti-inti pada batang otak dan diencephalon yang merupakan
komponen dari ARAS yang berperan dalam mekanisme kesadaran, yaitu:
1. Nukleus kawasan paramedian, medial dan lateral pons
2. Locus ceruleus (LC) atau blue spot atau nukleus pigmentosus pontis
3. Nukleus pedunkulopontin (PPN)
4. Nukleus retikularis mesensefalik
5. Hipotalamus posterior, dengan 4 nukleusnya yaitu:
- Suprachiasmatic nuclei (SCN) bertanggung jawab terhadap irama sirkadian
http://medicinembbs.blogspot.com/
-
6
- Nukleus Tubero-mammilary (TMN) yang bersifat histaminergik
- Ventrolateral preoptik (VLPO) bersifat GABA-ergik
- Perifornical nuclei yang mensekresi orexin (hypocretin)
6. Sistem limbik yang terdiri dari amygdala, nukleus accumbens, nukleus basalis
Meynert yang nukleinya bersifat glutamatergik yang diaktifkan oleh nuklei dari
midpons.
7. Sistem Mesolimbik yang bersifat dopaminergik dan tampaknya lebih bertanggung
jawab dalam hal respon kesadaran terhadap stimulus yang spesifik daripada
mempertahankan keadaan bangun dari tidur.
8. Basal forebrain (substansia innominata) bersifat kolinergik, terutama di dalamnya
adalah nukleus basalis, diagonal band of Broca, dan nukleus septal medial.
9. Thalamus, yaitu nukleus retikularis dan nukleus relay thalamic
Gambar 2.2: Formasio retikularis
Sumber: Nieuwenhuys et al, 2007.
-
7
BAB 3
NEUROFISIOLOGI ARAS
Sistem retikuler (non spesifik) asenden adalah sistem aferen kompleks dengan hubungan
luas dalam seluruh susunan saraf. Sistem ini menyediakan substrat struktural dan
fungsional yang bekerja untuk mempengaruhi, memodulasi dan mengatur keadaan
organisme dalam siklus tidur-bangun. Sistem ini menerima input dari bebagai sumber,
diantaranya traktus spinoretikularis, jalur anterolateral-lemnikus spinalis, jalur
trigeminus, formasio retikularis bagian lateral batang otak, jalur pendengaran, jalur optik
dan jalur prenghidu. Berbagai input ini akhirnya diintegrasikan dalam ekspresi fungsional
sistem retikuler, yang mungkin memperketat dan memperkecil efek rangsang. Neuron
sistem retikuler dipengaruhi oleh rangsang dari banyak tempat di dalam tubuh (kulit,
sendi, retina, organ spiral korti). Dalam hal ini, sistem retikuler terdiri dari satuan-satuan
kompleks yang masing-masing berespon terhadap rangsangan dari banyak modalitas
(Noback, 1993).
Impuls asenden aspesifik dari berbagai sumber dipancarkan secara difus ke
korteks serebri. Komponen ascending reticular activating system (ARAS) berhubungan
dengan perubahan derajat kesadaran. ARAS adalah anyaman polisinaptik tegmentum
rumit, yang tidak hanya berhubungan dengan derajat kesadaran, tetapi juga berkaitan
dengan memori, emosi dan motivasi. Susunan ini memiliki komponen ekstrinsik dan
instrinsik. Komponen ekstrinsik terdiri dari neuron pada medula oblongata dan pons yang
berespon terhadap stimulasi dari nervus kranialis dan nervus spinalis. Komponen
instrinsik meliputi neuron pada mesencephalon yang menunjukkan aktivitas siklus
(contoh: diurnal) yang berkaitan dengan proyeksi hipothalamus anterior (area
suprachiasma) ke bagian otak tengah melalui medial forebrain bundle (Arslan, 2001).
Sistem retikuler di dalam batang otak dan hypothalamus sangat penting dalam
aktivasi tonik korteks serebri. Hal ini secara obyektif terungkap dalam pemeliharaan
siklus tidur-bangun dalam jangka waktu yang lama. Nukleus-nukleus retikuler thalamus
sangat penting di dalam aktivasi fasik korteks serebri. Dorongan terakhir terungkap
dalam respon terhadap perubahan-perubahan dalam intensitas masukan sensorik dengan
-
8
pergeseran segera terhadap perhatian. Jalur asenden utama pada sistem retikuler adalah
traktus spinothalamikus tidak langsung (jalur paleospinothalamikus). Jalur ini menerima
masukan tambahan di dalam formasio retikularis batang otak dari saraf otak dan cabang
kolateral jalur asenden seperti traktus neospinthalamikus. Traktus tegmental sentral
adalah jalur asenden utama dari formasio retikularis batang otak ke hypothalamus dan
thalamus. Sistem dengan susunan nonsomatotopis mengandung jalur nyeri
palaeospinothalamikus multineuron yang menghantarkan nyeri difus dengan lokalisasi
tidak jelas. Rasa nyeri ini dirasakan setelah masa laten yang panjang setelah rangsang dan
mungkin tetap bertahan untuk jangka waktu yang lebih panjang setelah rangsang
dihentikan (Noback, 1993).
. Formasio retikularis terdiri dari sekelompok nukleus yang belum teridentifikasi
keseluruhannya dan tersebar pada batang otak. Formasio retikularis berfungsi sebagai
pusat pencetus aktivitas motorik (seperti berjalan dan berlari), mengatur regulasi
konjugasi pergerakan bola mata, regulasi sistem respirasi dan sistem kardiovaskular.
Neuron retikularis dikelompokkan menjadi raphae median, paramedian, nukleus medial
dan lateral. Regulasi fungsi motorik saraf somatik dan saraf visceral (otonom) serta
modulasi aktivitas elektrokortikal didukung oleh hubungan neuron retikularis dan pusat
otonom pada otak dan medulla spinalis. Fungsi tambahan dari formasio retikularis
meliputi pengaturan ekspresi emosi, transmisi nyeri dan regulasi aktivitas reflek yang
berhubungan dengan saraf kranialis (Arslan, 2001).
Formasio retikularis adalah bangunan pengintegrasi yang paling bermakna,
karena menjadi daerah dimana impuls-impuls dari modalitas sensorik maupun yang
berasal dari sumber-sumber serebri dan serebellum bertemu dan berintegrasi. Daerah ini
mampu memodifikasi aktivitas neuron-neuron dari input dan mampu menekan atau
mendorong eksitabilitas banyak neuron, sehingga dapat menghambat, memfasilitasi atau
memodifikasi transmisi informasi saraf bahkan melalui jalur-jalur spesifik. Perangsangan
formasio retikularis mungkin meningkatkan sensibilitas nyeri. Susunan retikuler asenden
dihubungkan dengan mekanisme integrasi saraf yang berhubungan dengan banyak segi
aktivitas perilaku termasuk emosi, persepsi, motivasi, perangsangan, kesiagaan, tidur dan
habituasi. Habituasi adalah suatu mekanisme saraf dimana suatu organisme menjadi tidak
-
9
memperhatikan rangsangan-rangsangan berulang secara monoton. Hal ini berhubungan
dengan penurunan sensitivitas terhadap pola rangsang yang berulang. Sistem retikuler
berfungsi memfasilitasi aktivitas sistem lemnikus. Sistem retikuler menyebabkan
seseorang menjadi sadar terhadap rangsang yang diterima, bukan untuk menyampaikan
dan melaporkan modalitas spesifik (Noback, 1993).
Gambar 3.1: Nukeus raphae pada batang otak
Sumber: Arslan, 2001.
3.1 Neurotransmitter dalam pengakitfan ARAS
Mekanisme ARAS mengaktifkan sistem thalamokortikal disebabkan oleh adanya jalur
glutamatergik dorsal dan jalur kolinergik ventral serta jalur lain yang berperan dalam
pengaktifan ARAS, yaitu jalur dopaminergik, serotonergik, serta histaminergik (Guyton,
2007 ; Posner et al, 1980).
Glutamat adalah salah satu neurotransmitter asam amino yang disekresi oleh
terminal presinaps pada jalur-jalur sensoris yang memasuki sistem saraf pusat. Jalur ini
bersifat mengaktifkan reseptor eksitasi. Glutamat merupakan neurotransmitter utama
-
10
dalam proyeksi talamokortikal dan proyeksi kortikostriatal. Nukleus-nukleus pada
hipokampus terutama menghasilkan neurotransmiter ini.
Banyak neuron tambahan yang berproyeksi ke nuklei relay, garis tengah dan
intralaminar thalamus. Kebanyakan dari neuron ini adalah neuron glutamatergik yang
memperkuat sinyal kewaspadaan yang datang dari tegmentum mesopontin. Di lain pihak
tampaknya neuron-neuron tersebut tidak mampu mempertahankan status kesadaran pada
kasus-kasus kehilangan pengaruh dari neuron mesopontin secara akut.
Pada level mesopontin batang otak terdiri dari setidaknya tiga kelompok
monoamin (norepinefrin, serotonin, dan asetilkolin) yang berbeda yang akson-aksonnya
berproyeksi menuju thalamus kemudian ke korteks serebri secara difus.
Sumber utama input aferen mesopontin yang terentang ke talamus adalah
kumpulan dari neuron-neuron kolinergik yang membentuk dua kelompok besar yaitu
nukleus pedunkulopontin (PPN) dan nukleus tegmental laterodorsal (LDT). Neuron-
neuron dari kedua nukleus ini berproyeksi menuju formatio retikularis paramedian
mesensefalon kemudian ke pusat relai di thalamus yaitu nukleus garis tengah dan
intralaminar yang menginervasi korteks serebri secara difus dan juga nukleus retikularis
thalamus yang memainkan peranan penting dalam transmisi thalamokortikal dengan
menghiperpolarisasi neuron-neuron relai thalamik melalui reseptor GABAB. Neuron-
neuron lain pada PPN dan LDT mengirim akson-akson ke lateral hipotalamus, dimana
mereka akan berhubungan dengan kumpulan neuron yang berproyeksi ke kortikal secara
difus. Neuron-neuron pada PPN dan nukleus LDT paling aktif saat terjaga dan tidur
REM, dua kondisi yang menghasilkan gambaran EEG voltage rendah, cepat
(desinchronized), dan melambat selama fase tidur NREM saat EEG didominasi oleh
gelombang lambat voltage tinggi.
Sekelompok neuron kolinergik di nukleus basalis Meynert berjalan ke sistem
limbik dan korteks serebri. Sedangkan neuron kolinergik tambahan pada formatio
retikularis yaitu pada sel-sel kolinergik tegmentum terutama pada nukleus kuneiformyang
kemudian berjalan ke hipotalamus, talamus, sistem limbik dan korteks serebri.
Dalam perjalanan proyeksi neuron monoaminergik komponen ARAS melalui
basal forebrain dan melalui jalurnya ke korteks serebri, mereka bergabung dan
-
11
memperbanyak diri dengan adanya populasi neuron-neuron kolinergik nukleus
magnoseluler pada basal forebrain. Neuron kolinergik ukuran besar ini menerima aferen
dari seluruh jalur neuron komponen ARAS pada hipotalamus dan neuron monoaminergik
yang merupakan komponen ARAS pada batang otak dan menyertai perjalanannya dalam
menginervasi korteks serebri secara difus. Namun pola terminasi neuron kolinergik pada
korteks serebri lebih spesifik jika dibandingkan dengan input neuron monoaminergik.
Akson-akson neuron monoaminergik individual secara tipikal menyebar secara luas pada
korteks serebri. Sementara akson-akson dari neuron kolinergik basal forebrain masing-
masing menginervasi korteks serebri dengan diameter yang hanya beberapa milimeter.
Berdasarkan rekaman basal forebrain binatang coba Rodentia, pada percobaan siklus
bangun tidur mengindikasikan bahwa neuron kolinergik ini memiliki pola aktivitas yang
luas. Aktivitas neuron-neuron basal forebrain berkorelasi dengan status behavioral yang
kompleks sehingga diduga neuron-neuron ini amat berpengaruh pada aspek fungsi luhur
yaitu kesadaran atau kewaspadaan seperti memfokuskan perhatian (Posner et al, 1980).
Pusat utama untuk neuron-neuron yang menghasilkan norepinefrin adalah nuklei
pontin khususnya LC dan nukleus raphae bagian kaudal. Norepinefrin disekresi pada
bagian terminal neuron-neuron yang berlokasi pada LC. Serat-serat saraf asenden dari LC
kemudian berproyeksi ke talamus, hipotalamus, sistem limbik dan korteks frontal.
Sedangkan proyeksi serat saraf dari raphe nuklei bagian kaudal adalah ke daerah
amygdala. Adanya pengaktifan jalur neurokimia norepinefrin ini membantu mengontrol
seluruh aktifitas dan mood, dengan mengaktivasi reseptor eksitasi seperti misalnya
meningkatkan derajat kewaspadaan walaupun beberapa area dapat bersifat inhibisi
(Ganong, 2002 ; Guyton, 2007).
-
12
Gambar 3.2: Distribusi norepinefrine pada sistem saraf pusat
Sumber: Mendoza, 2008
Tempat utama untuk badan sel serotonergik adalah pons bagian atas dan
mesensefalon. Secara spesifik yaitu nuklei raphe dorsalis, locus ceruleus caudal, area
postrema dan area interpedunkular. Neuron tersebut berhubungan ke ganglia basalis,
sistem limbik, lalu korteks serebri. Berhubungan dengan aspek prilaku dan siklus bangun
tidur. Dapat terjadi insomnia bila terjadi kerusakan di sel-sel nuklei raphe atau bila
cadangan serotonin berkurang oleh karena obat. Sebaliknya peningkatan level serotonin
menurunkan sensitivitas terhadap nyeri. Sedangkan neuron-neuron serotonergik yang
asalnya dari raphe nuklei median berproyeksi melalui jalur yang sama.
Sejumlah kecil neuron-neuron yang bersifat dopaminergik yang berasal dari
ventral tegmental sepanjang midline dari mesensefalon bergabung dengan neuron
serotoninergik menuju area di bawah akuaduktus serebri. Neuron dopamin ini juga
berproyeksi melalui formatio retikularis paramedian mesensefalon yang kemudian
menuju ke nuklei garis tengah dan intralaminar thalamus, sementara sebagian lagi
melalui hipotalamus lateral menuju ke basal forebrain dan korteks prefrontal. Penelitian
mutakhir membuktikan neuron-neuron monoaminergik ini aktif saat kondisi bangun,
kurang aktif pada tidur gelombang lambat dan inaktif saat tidur REM.
-
13
Gambar 3.3: Distribusi serotonin pada sistem saraf pusat
Sumber: Mendoza, 2008
Neuron yang melepaskan histamin sebagai neurotransmitternya berlokasi di
hipotalamus dan kemudian berjalan ke korteks serebri, sistem limbik dan talamus.
Sebagaimana halnya salah satu jalur proyeksi ARAS yang menuju daerah hipotalamus,
terdapat sejumlah neuron pada hipotalamus yang memproyeksikan impuls kesadaran ke
daerah basal forebrain dan korteks serebri. Neuron-neuron ini termasuk neuron
histaminergik pada nukleus TMN demikian juga dengan neuron dari daerah hipotalamus
lateral yang menginervasi nukleus intralaminar dan nukleus garis tengah lalu
memproyeksikan impuls secara difus ke korteks serebri. Terdapat banyak bukti bahwa
input histaminergik sangat penting dalam hal memelihara status terjaga (wakefulness).
Histamin H1 dapat memblokade gangguan status terjaga percobaan dengan binatang
ataupun manusia. Pada tikus transgenik yang kekurangan histidin decarboxilase
menunjukkan defisit pada status keterjagaan dan bila tikus ini diinjeksi dengan inhibitor
histamin maka menunjukkan adanya penurunan kesadaran (Zeman, 2001 ; Posner et al,
1980).
Beberapa neuron hipotalamus lateral mengandung orexin/hipocretin, yaitu suatu
peptida yang diasosiasikan dengan keadaan waspada dan terjaga sedangkan neuron
lainnya melanin-concentrating hormone ataupun GABA. Neuron yang menghasilkan
orexin/hipocretin berproduksi secara aktif selama status terjaga dan menurun selama
periode tidur gelombang lambat dan tidur REM.
Sehingga dapat dinyatakan bahwa ARAS terdiri dari jalur-jalur ascendens yang
multipel, yang berasal dari tegmentum mesopontin, tapi diperbanyak oleh input-input
-
14
tambahan pada setiap level, dimana jalur ascenden tersebut akan melalui basal forebrain,
thalamus dan korteks serebri. Jalur-jalur yang berbeda ini mungkin aktif secara
independen dibawah kondisi yang bervariasi, yang memodulasi kapasitas fungsional dari
neuron-neuron kortikal.
Gambar 3.4: Hubungan timbal balik neurotransmitter pengatur kesadaran
Sumber: Parkers, 1996
3.2 ARAS sebagai Penggalak Kesadaran
ARAS memiliki komponen anatomi dan neurokimia yang multipel pada rostral
tegmentum batang otak dan diensefalon yang bertanggung jawab terhadap kesiapsiagaan
yang merupakan prasyarat untuk suatu kesadaran yang maksimal (Youbg and Pigott,
1999).
Konsep kesadaran terbagi menjadi dua yaitu kesadaran sebagai suatu pengalaman
dan kesadaran sebagai status terjaga (waking state) yang terdiri dari keadaan terjaga,
mengantuk, tidur, tidur REM, perubahan derajat kesadaran patologis seperti koma,
halusinasi, dan meregulasi korelasi elektrik neuron-neuron yang menyusunnya (Zeman,
2001 ; Guyton, 2007).
Kesadaran yang adekuat disebut compos mentis, yaitu pada mana aksi dan reaksi
terhadap apa yang dilihat, didengar, dihidu, dikecap, dialami, dan perasaan
-
15
keseimbangan, nyeri, suhu, raba, gerak, getar, tekan, dan sikap, bersifat adekuat yaitu
tepat dan sesuai (Mardjono dan Sidharta, 2008).
Seseorang dikatakan compos mentis bila derajat dan kualitas kesadaran penderita
adalah baik. Derajat kesadaran adalah kewaspadaan, tergantung dari jumlah impuls
eferen yang sampai di korteks serebri yang akhirnya akan menghasilkan pola-pola
pemikiran yang mendasari kata yang diucapkan dan hal-hal yang dikerjakan seseorang
menentukan kualitas kesadaran seseorang.
Korteks serebri tidak hanya distimulasi secara sepihak oleh ARAS tapi juga
secara resiprokal menstimulasi dan memodulasi aktivitas ARAS, menghasilkan suatu
mekanisme umpan balik. Namun mekanisme fisiologis secara detail proyeksi nukleus-
nukleus yang menyusun ARAS pada batang otak ke arah rostral menuju korteks serebri
belu sepenuhnya dipahami. Setidaknya dapat diidentifikasi tiga jalur proyeksi ARAS ke
korteks serebri, yaitu:
1. Proyeksi ARAS melalui nukleus spesifik retikularis thalami ke korteks serebri
2. Proyeksi ARAS melalui hipothalamus untuk memberi pengaruh pada struktur-
struktur basal forebrain termasuk sistem limbik
3. Proyeksi aksonal dari neuron-neuron serotonin yang menyusun ARAS yang
terdapat pada nukleus raphae (direct afferent system)
Studi anatomik yang dilakukan oleh Scheibels menunjukkan bahwa nukleus
retikular thalami berproyeksi hanya pada thalamus dan efek fisiologis difus pada korteks
dimediasi oleh nukleus thalamik yang spesifik. Stimulasi pada area retikularis
mesensefalon menurunkan atau bahkan menghilangkan pengaruh inhibisi tonik dari
nukleus retikularis thalami seperti halnya yang terjadi dengan stimulasi jalur frontal-
thalamik yang membawa impuls kembali ke thalamus melalui sistem thalamofrontal
kortikal. Melalui peningkatan atau penurunan mekanisme inhibisi thalamik pada korteks
serebri, ARAS akan menghasilkan suatu mekanisme “gate” yang membatasi atau
meningkatkan pengaruh pada korteks serebri (Guyton, 2007 ; Posner et al, 1980).
Mekanisme relay sistem limbik oleh ARAS mempengaruhi korteks serebri
merupakan hal yang penting dalam fungsi kesadaran. Hipotalamus memiliki banyak serat
-
16
saraf yang berproyeksi mencapai amygdala dan area septal. Proyeksi tersebut pun
mencapai komponen lain dari sistem limbik yakni hipokampus serta dorsal nukleus
thalamus. Khususnya yang terpenting adalah proyeksi mayor ke area neokorteks lobus
prefrontal melalui medio dorsal talamus. Nauta berspekulasi bahwa hubungan resiprokal
retikular-hipotalamik-neokortikal memodulasi tidak hanya pada level kesadaran
organisme, tapi juga respon-respon eksternal terhadap vegetatif instingtual dan
pengaturan emosional. Kenyataannya bahwa setiap area korteks sensoris berproyeksi
balik melalui mekanisme relay yang multipel ke arah sistem limbik (Posner et al, 1980).
3.2.1 Patologi Gangguan Kesadaran
Gangguan derajat kesadaran dapat dianggap sebagai gangguan fungsi neuron-neuron
kortikal sebagai pengemban kesadaran. Menurunnya kewaspadaan dapat pula berarti
menurunnya kesadaran. Bila fungsi korteks serebri secara bilateral dan menyeluruh
terganggu maka kewaspadaan penderita akan terganggu. Bila ARAS terganggu fungsinya
maka kewaspadaan penderita akan terganggu pula. Bila pengelolaan impuls-impuls yang
sampai pada korteks serebri terganggu, sedangkan fungsi dari ARAS baik, maka kualitas
kesadaran penderitalah yang terganggu.
Ganguan kesadaran yang berat oleh karena gangguan neuron-neuron pengemban
kesadaran disebut dengan koma kortikal bihemisferik. Sedangkan gangguan kesadaran
yang disebabkan oleh disfungsi ARAS disebut dengan koma diensefalik yang dapat
ditimbulkan oleh adanya proses patologis supratentorial dan infratentorial.
Koma Kortikal Bihemisfer
Gangguan kehidupan neuron-neuron sehingga tidak berfungsi kembali, dapat ditinjau
secara menyeluruh bilamana struktur dan metabolismenya dipahami. Neuron merupakan
satuan fungsional susunan saraf. Neuron berbeda dalam struktur, metabolisme, dan
fungsinya dengan sel-sel tubuh yang lain oleh karena neuron tidak bermitosis. Neuron
hanya menggunakan oksigen dan glukosa saja untuk metabolismenya. Beberapa kondisi
yang menyebabkan terganggunya kondisi optimal neuron-neuron hemisfer serebri untuk
melaksanakan fungsinya, misalnya:
- Gangguan vaskularisasi dapat menyebabkan iskemia
-
17
- Gangguan oksigenasi atau respirasi dapat menimbulkan anoksemia
- Gangguan keseimbangan elektrolit misalnya pada diare
- Toksemia atau intoksikasi dapat menyebabkan penurunan konsentrasi enzim
dan substrat lain
Koma yang timbul oleh karena adanya gangguan metabolisme sel-sel neuron di
korteks serebri pada kedua hemisfer dinamakan koma kortikal bihemisfer. Pada suatu
permulaan koma ini akan tampak suatu permulaan sindroma otak organik yang memberi
gambaran psikiatrik misalnya delirium, dan gangguan fungsi luhur seperti gangguan
memori, gangguan orientasi, atau pengertian. Disamping itu tampak gejala-gejala
gangguan saraf misalnya gangguan ketangkasan gerakan, gerakan involunter, ataupun
bangkitan epilepsi (Ngoerah, 1991).
Destruksi bilateral korteks serebri yang bersifat difus atau substansia alba yang
barada dibawahnya menyebabkan hilangnya substrat metabolik seperti oksigen, glukosa,
ataupun gangguan pada aliran darah yang membawanya. Kondisi ini sering terjadi pada
pasien yang mengalami hipoksia oleh karena kegagalan pulmonal atau pada pasien
dengan hipoglikemia yang lama. Kekurangan substrat metabolik tersebut menyebabkan
neuron-neuron pada lapisan korteks III dan V dan pada CA1 dan CA3 formasi
hipocampal mengalami kerusakan yang diperkirakan menyebabkan toksisitas asam amino
yang bersifat eksitasi. Pengeluaran neurotransmitter yang bersifat eksitasi yang
berlebihan pada reseptor N-metyl-D-aspartat (NMDA) menyebabkan perpindahan
intraseluler ion kalsium sehingga terjadi apoptosis sel. Oleh karena asam amino eksitasi
digunakan secara luas dalam komunikasi kortikal-kortikal, neuron-neuron yang paling
berisiko adalah yang menerima hubungan tersebut. Hubungan neuron satu dengan yang
lain terputus sehingga tidak mampu memberikan suatu respon behavioral yang bermakna
(Posner et al, 1980).
Pada pasien dengan koma dalam, status pupil menjadi satu-satunya kriteria
penting yang dapat membedakan antara kelainan metabolik dengan lesi struktural.
Refleks pupil yang bertahan, sekalipun terdapat depresi nafas, okulosefalik yang tidak
responsif, rigiditas deserebrasi, atau flasiditas motorik, mungkin menunjukkan suatu
koma metabolik.
-
18
Bola mata sering kali bergerak kemana-mana pada koma metabolik yang ringan
dan terfiksasi pada koma dalam. Adanya deviation conjugee atau pergerakan bola mata
diskonjugat menunjukkan adanya lesi struktural. Namun gerakan konjugat ke arah bawah
atau ke atas dapat terjadi pada koma metabolik maupun koma diensefalik.
Pasien dengan koma metabolik secara umum menunjukkan dua abnormalitas
motorik yaitu gangguan tenaga, tonus refleks yang nonspesifik seperti kejang fokal atau
general, yang kedua adalah gerakan yang tidak disengaja yang khas. Gerakan bola mata
dan aktivitas motorik inipun kurang adekuat untuk membedakan koma metabolik dengan
diensefalik (Posner et al, 1980).
Koma Diensefalik
Pada koma diensefalik fungsi korteks serebri adalah baik tetapi karena terdapat gangguan
pada ARAS menyebabkan kesadaran tidak bisa dibangkitkan. Koma diensefalik yang
dapat ditimbulkan oleh adanya proses patologis supratentorial dan infratentorial. Proses
patologis supratentorial akan menimbulkan “pressure cone” yaitu inkarserasi uncus pada
incisura tentorial, dimana proses ini dapat disebabkan oleh adanya tumor, hematoma,
ataupun abses.
Pada proses patologis infratentorial dapat menimbulkan terjepitnya tonsil serebelli
pada foramen magnum. Hal ini biasanya disebabkan oleh infark batang otak rostral,
kontusio serebri, tumor serebelli, atau arachnoiditis yang akhirnya akan menimbulkan
sumbatan lintasan CSF.
Pada koma diensefalik supratentorial dapat dilihat gejala-gejala sebagai berikut:
- Bangkitan epilepsi
- Nyeri kepala
- Sindroma lobus temporalis/ sindroma lobus frontalis
- Papil edema
Pada koma diensefalik infratentorial dapat ditemui gejala-gejala sebagai berikut:
- Peningkatan tekana intrakranial
-
19
- Penurunan kesadaran
- Paralisi nervus kranialis dan defisit neurologi lain yang menunjukkan adanya
lateralisasi
- Tidak ditemui gejala sindroma otak organik
3.3 Peranan ARAS dalam Fisiologi Bangun Tidur
Susunan retikularis berhubungan dengan luas ekspresi perilaku kewaspadaan, perhatian
hingga siklus tidur. Hilangnya pengaruh susunan retikuler asenden dapat menimbulkan
seseorang tertidur. Pusat tidur diperkirakan terdapat di dalam formasio retikularis yaitu
diantara pons bagian bawah dan bagian atas dari medulla oblongata. Pada akhirnya,
dipostulasikan bahwa tidur disebabkan secara aktif oleh aktivitas perangsangan terhadap
pusat tidur di dalam batang otak (deaktivasi retikuler aktif) atau secara pasif oleh
penekanan pengaruh susunan retikuler asenden (deaktivasi retikuler pasif). Suatu keadaan
koma permanen, akibat adanya cedera otak, mungkin disebabkan oleh kerusakan pada
formasio retikularis (hilangnya pengaruh asenden) di dalam jalur retikuler asenden. Lesi
pada bagian bawah batang otak mungkin menimbulkan koma yang dalam, sedangkan lesi
formasio retikularis batang otak bagian atas mungkin tidak menyebabkan terjadinya
koma yang terlalu dalam (Noback, 1993).
Ditinjau dari sudut derajat kesadaran, tidur adalah suatu keadaan dimana derajat
kesadaran berada di bawah awas waspada. Namun demikian tidur bukanlah suatu
manifestasi gangguan kesadaran. Tidur merupakan keadaan fisiologis yang ditentukan
oleh aktivitas bagian-bagian tertentu dari substansia retikularis. Pada saat tidur terjadi
suatu proses aktif yang merupakan aktivitas sinkronisasi bagian ventral substansia
retikularis medula oblongata. Sedangkan aktivitas bagian rostral batang otak (ARAS)
menghilangkan aktivitas tersebut, dengan diadakannya desinkronisasi keadaan tidur
diubah menjadi awas waspada.
Walaupun belum ada definisi pasti mengenai tidur, namun hal ini dapat dijelaskan
melalui pengamatan sebagai suatu kondisi dengan karakteristik berikut:
a. Hilangnya kesadaran yang reversibel
-
20
b. Munculnya secara spontan aktivitas ritmis otak
c. Hilangnya persepsi eksternal
d. Tertutupnya mata
e. Hilangnya tonus otot
Pada manusia tidur merupakan hal yang penting untuk memelihara fungsi motorik
dan Kognitif. Orang-orang yang mengalami insomnia akan mengalami kesulitan untuk
konsentrasi, gangguan daya ingat dan mudah lupa, lelah, depresi, bahkan kadangkala
ketidakstabilan emosi. Sebagai tambahan siklus tidur bangun juga mempengaruhi sistem
kekebalan tubuh (Shneerson, 2005).
Tidur merupakan aktivitas susunan saraf pusat yang berperanan sebagai “lonceng
biologis” yang memperlihatkan irama kehidupan yang sesuai dengan masa rotasi bumi
yang dinamakan irama sirkadian (circadian rhythm). Diduga penyebab tidur adalah
proses penghambatan aktif. Sebuah teori lama menyebutkan bahwa area eksitatori pada
batang otak bagian atas, yang disebut sebagai sistem aktivasi retikuler, mengalami
kelelahan setelah seharian terjaga dan oleh sebab itu menjadi tidak aktif. Keadaan ini
disebut dengan teori pasif dari tidur. Percobaan lain membuktikan sebuah teori baru
bahwa tidur disebabkan oleh suatu mekanisme penghambatan aktif. Hal ini dibuktikan
dengan suatu percobaan dengan melakukan pemotongan pada batang otak setinggi regio
midpontin dan berdasarkan hasil perekaman listrik otak, ternyata otak tidak pernah tidur.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa ada beberapa struktur yang terletak di bawah
midpontin pada batang otak yang diperlukan untuk menyebabkan tidur dengan cara
menghambat bagian-bagian otak yang lain. (Guyton, 1997)
-
21
Tabel 1: Neuropeptida dan siklus tidur-bangun
Sumber: www. Journals.prous.com
Adapun struktur-struktur yang berkaitan dengan siklus bangun tidur ini, yaitu:
1. Suprachiasmatic nuclei (SCN)
2. ARAS pada midpons dan mesensefalon dan neuron korteks serebri
3. Jalur serotonin yang dihasilkan oleh sistem raphe nuklei yang aktif saat
mengantuk dan fase NREM
4. Area parabrachial pons yang menghasilkan asetilkolin yang aktif pada fase REM
5. Locus Ceruleus (LC) sebagai yang merupakan tempat dari susunan saraf
adrenergik yang menghambat susunan saraf serotonergik dari sistem raphe
sehingga timbul kembali keadaan terjaga
6. Inti di thalamus dan hipotalamus yang berpengaruh pada fase REM
-
22
Suprachiasmatic Nuclei (SCN) merupakan struktur yang sangat kecil berbentuk
sayap, terdiri atas sepasang area sebesar kepala paku yang masing-masing berisi sekitar
10.000 sel saraf. Para peneliti mengatakan bahwa setiap sel saraf pada nukleus ini
berfungsi sebagai jam yang menimbulkan letupan iram bertanggung jawab terhadap
irama sirkadian dan mempromosikan suatu keadaan bangun dari tidur. Lesi yang
mengenai SCN berhubungan dengan gangguan mengantuk yang hebat. Letupan irama
sirkadian pada SCN ini mempengaruhi siklus bangun tidur melalui dua proses yaitu:
1. SCN mengatur pelepasan hormon melatonin yang merupakan penginduksi tidur
dari pineal body dengan irama sirkadian, dimana hormon tersebut sangat sensitif
terhadap kondisi lingkungan, terutama terhadap cahaya. Saat malam,
penghambatan SCN terhadap sintesa melatonin menurun sehingga hormon ini
akan banyak dikeluarkan dalam sirkulasi darah. Akibatnya melatonin akan
menekan aktivitas saraf pada SCN yang terkait dengan aktivasi kortikal dan
kondisi bangun.
2. Sedangkan neuron pada SCN yang menjaga kondisi bangun, normalnya saat siang
sampai sore hari dengan memproduksi suatu peptida yaitu prokinetisin yang
mengaktifkan jalur hypocretin/orexin.
Seseorang mampu tetap berada dalam keadaan terjaga berkat adanya aktivitas sel-
sel neuron di seluruh korteks serebri yang secara berkesinambungan oleh penggalak
kesadaran yaitu ARAS. Pada malam hari atas pengaruh SCN terjadi pelepasan melatonin
oleh glandula pinealis dengan hasil antaranya yaitu serotonin. Serotonin sendiri
digunakan oleh sistem nukleus raphae untuk menghambat aktivitas ARAS sehingga
timbul rasa mengantuk dan dimulai dengan fase tidur NREM. Serotonin akhirnya
memacu sistem kolinergik sehingga tidur memasuki fase REM. Aktivitas kolinergik yang
berlebihan dapat memacu kegiatan susunan saraf adrenergik. Manakala aktivitas
adrenergik cukup intens maka dapat menghambat kegiatan aktivitas serotonergik dan
kolinergik sehingga kegiatan ARAS meningkat kembali dan timbullah keadaan terjaga
(Goetz, 1999).
Tidur umumnya terjadi dalam siklus yang teratur dan dipengaruhi oleh dua proses
internal yang utama yaitu mekanisme homeostatik dan irama sirkadian. Selama siklus
-
23
sirkadian berlangsung, saklar ini bertanggung jawab atas terbuka atau tertutupnya
“gerbang tidur”. Dengan bekerjanya nukleus VLPO saat tidur, mereka akan menghambat
kerja nukleus yang membangunkan tuberomamillary. Demikian pula yang terjadi
sebaliknya pada kondisi bangun nukleus tuberomamillary menghambat kerja VLPO.
Hubungan timbal balik ini disebut dengan istilah ‘flip-flop”, dimana posisi sumbu saklar
berada di tengah-tengah sehingga kondisi bangun-tidur senantiasa stabil dengan masa
transisi yang minimal. Aktivitas otak saat tidur pun dapat direkam dengan EEG.
Perubahan gambaran EEG tersebut sesuai dengan tahapan-tahapan tidur.
Gambar 3.5: Struktur otak yang berperan dalam siklus tidur-bangun
Sumber:: www. Journals.prous.com
Tahap pertama sesuai dengan keadaan dimana seseorang baru saja terlena.
Seluruh otot menjadi lemas, kelopak mata menutupi mata, dan kedua bola mata bergerak
bolak-balik ke kedua samping. EEG pada tahap tidur pertama ini memperlihatkan voltage
gelombang alpha yang makin menurun frekuensinya (Goetz, 1999).
Keadaan tidur memasuki tahap kedua bila timbul sekelompok gelombang yang
berfrekuensi 14-18 siklus per detik pada aktivitas dasar yang berfrekuensi 3-6 siklus per
-
24
detik yang dikenal sebagai gelombang tidur (sleep spindle). Bola mata berhenti bergerak
tetapi tonus otot masih terpelihara.
Pada tahap tidur yang ketiga, EEG memperlihatkan gelombang dasar yang lambat
(1-2 siklus per detik) dengan sekali-kali timbul sleep spindles.
Pada tahap tidur keempat, terlihat hanya gelombang lambat saja tanpa sleep
spindles. Keadaan fisik pada tahap ketiga dan keempat adalah lemah lunglai karena tonus
otot sangat menurun.
Pada tahap kelima, tonus otot kembali meninggi, terutama rahang bawah. Bahkan
otot-otot anggota gerak dapat berkejang yang disertai dengan munculnya kembali
gerakan bola mata dengan kecepatan yang lebih tinggi. Karena itu tahapan ini dinamai
sebagai rapid eye movement sleep (REM sleep) atau paradoxal sleep. Sedangkan tahap
tidur pertama sampai keempat gerakan bola mata tidak secepat tahap kelima sehingga
dinamakan non-rapid eye movement sleep (NREM sleep). Pada tidur malam yang
berlangsung rata-rata 7 jam, kedua macam tidur diatas dapat berselingan 4-6 kali dengan
perbandingan 75-80% tidur lelap atau tidur NREM dan 20-25% tidur mimpi atau tidur
REM (Goetz, 1999; Guyton, 1997)
Tidur NREM mempunyai kaitan dengan metabolisme amine terutama 5-
hydroxitryptamine (serotonin) atau serotonergik, sedangkan REM diatur oleh mekanisme
adrenergik (Mardjono dan Sidharta, 2008).
Apabila seseorang kurang cukup menjalani tidur REM, maka esok harinya
kecenderungan tingkah laku menjadi hiperaktif, nafsu makan, serta libido yang
meningkat. Namun bila fase tidur NREM yang kurang maka esok harinya akan menjadi
kurang gesit.
Lesi pada pusat-pusat pencetus tidur dapat menyebabkan keadaan siaga yang terus
menerus. Lesi berbatas tegas di nuklei raphae menimbulkan keadaan siaga yang ekstrem.
Keadaan ini juga timbul bila ada lesi bilateral pada bagian mediorostral suprakiasma pada
hypothalamus anterior. Pada kedua keadaan ini, nuklei retikular eksitatori pada
mesensefalon dan pons bagian atas tampaknya terlepas dari hambatan. Sebaliknya,
kadang-kadang lesi di bagian anterior hypothalamus dapat menyebabkan timbulnya
-
25
keadaan yang sangat siaga sehingga dapat menyebabkan kematian karena kelelahan
(Guyton, 1997).
Seseorang yang tidur memiliki sejumlah ciri yang menyerupai penurunan
kesadaran yang patologis seperti somnolen, stupor, bahkan koma. Hal-hal tersebut
mencakup menguap, menutupnya kedua palpebra, deviasi ke atas, divergensi atau
gerakan bola mata, kehilangan tonus muskular, penurunan refleks-refleks tendon,
pernapasan yang tidak teratur. Walaupun terbangun dari tidur dalam, seseorang yang
normal mungkin kebingungan untuk beberapa saat. Namun demikian seseorang yang
tidur masih berespon terhadap stimulus yang tidak biasa, dan terdapat aktivitas mental
dalam bentuk mimpi yang meninggalkan jejak ingatan, dimana hal inilah yang
membedakannya dengan penderita stupor atau koma.
Hal terpenting yang membedakan kedua kondisi tersebut adalah, pada seseorang
yang tidur, jika diberi stimulus dapat terbangun kembali ke kesadaran normal. Ambilan
oksigen serebral tidak menurun selama seseorang tertidur, tidak seperti halnya yang
terjadi pada koma (Victor M & Ropper,2001).
3.3.1 Patologi Tidur
Berdasarkan pembagian dari Asosiasi Pusat Kajian Gangguan Tidur dan Kajian
Psikofisiologi Tidur, gangguan tidur dikelompokan menjadi empat bagian, yaitu:
1. Insomnia, ditandai dengan keluhan sulit untuk memulai tidur, mudah terjaga saat tidur
dan bangun pagi ssebelum waktunya. Sehingga sulit untuk memulai dan
mempertahankan tidur.
2. Excessive Sleepiness, Excessive Daytime Sleep (EDS), ditandai dengan tidur siang
berlebihan, sesekali didapatkan dengan dengan jumlah waktu tidur yang berlebihan
(hipersomnia), kesadarannya terganggu, kesiapsiagaan dan koordinasi gerakan menurun
setelah bangun tidur.
3. Circadian Sleep-Wake Rhythm Disorders, pada kelainan ini pola tidur dan bangun
tidak sesuai dengan irama sirkadian siang-malam. Akibatnya timbul rasa kelelahan,
-
26
mengantuk tidak pada waktunya, kesiapsiagaan dan penampilannya menurun setelah
bangun tidur.
4. Parasomnia, bentuk kelainan gerakan selama tidur atau kegiatan berlebihan dari fungsi
sistem saraf otonom saat tidur atau bangun tidur.
Insomnia
Kebutuhan tidur setiap orang bervariasi dan sesekali waktu mengalami kekurangan tidur
yang disebabkan oleh berbagai faktor. Kekurangan tidur yang berlangsung dalam waktu
lama dapat dikatakan sebagai suatu insomnia. Insomnia sementara waktu (transient)
menghilang dengan sendirinya (kembali normal) dalam waktu kurang dari tiga minggu.
Gangguan tidur dapat berupa kesulitan memulai dan mempertahankan tidur secara wajar.
Penyebab yang tersering dari transient insomnia ini adalah kecemasan akibat stress
mendadak, penyakit fisik dan perjalanan jauh. Insomnia yang sebenarnya adalah
gangguan berlangsung lama atau kronis, dibagi menjadi 4 bagian:
1. Insomnia akibat penyakit fisik yang menimbulkan rasa nyeri, sesak, batuk, nokturia
dan lain-lain. Keadaan ini sering dialami oleh para lansia.
2. Insomnia akibat masalah psikologik dan psikiatri yang merupakan bagian uatama dan
terbesar dari kasus insomnia. Terutama pada penderita dengan gangguan afektif dan
gangguan cemas.
3. Insomnia primer, suatu keadaan insomnia yang tidak diketahui secara jelas
penyebabnya, namun sepanjang hidupnya penderita mengalami tidur yang terbagi-bagi
dalam waktu yang singkat, disertai kelelahan di siang hari, mudah tersinggung, tegang
dan depresi somatik. Namun perlu diketahui, ada orang yang kebutuhan tidurnya
memang sedikit dan orang tersebut tidak mengalami keluhan meskipun tidur dalam
waktu yang singkat.
4. Insomnia akibat penyakit organik., misalnya sleep apneau, parasomnia.
Insomnia yang dapat menimbulkan kematian dilaporkan sebagai fatal familial insomnia,
ditandai oleh gejala insomnia yang tidak terobati, terdapat kelainan sistem saraf otonom,
kelainan motorik dan didapatkan adanya atrofi inti thalamus. Umur rata-rata penderita
-
27
adalah 49 tahun dan lamanya gangguan ini berlangsung hingga meninggal adalah 13
bulan.
Narkolepsi
Berdasarkan kriteria DSM IV, narkolepsi adalah suatu keadaan episode tidur singkat
yang rekuren dan tidak terkontrol yang sering disertai halusinasi hipnagogik atau
hipnopompik, katapleksi (tonus dan kekuatan otot yang menurun atau menghilang) dan
paralisis tidur.
Narkolepsi disebabkan adanya gangguan kontrol dan pengaturan tidur REM, yaitu
pada rekaman otak saat tidur didapatkan adanya pemendekan REM Latency yaitu hanya
berlangsung selama 10 menit, sedangkan siklus pada orang normal berlangsung hingga
90 menit. Keadaan ini sering diderita oleh sekelompok orang dari satu keluarga yang
diduga memilki kelaianan genetika. Pada semua kasus yang dilaporkan, didapatkan setiap
kasus memiliki genotip HLA-DR2 dan HLA-DQWI yang berlokasi pada kromosom 6,
dengan sedikit pengecualian. Hal ini disebabkan karena sepertiga penduduk di dunia
memiliki genotip tersebut, sehingga pemeriksaan tissue typing hanya memiliki nilai
eksklusi, bukan untuk menghasilkan diagnosis.
Gangguan Irama Sirkadian Tidur
Sebagian besar keluhan dari penderita gangguan irama sirkadian tidur adalah tidak dapat
tidur pada waktunya yang sesuai, sehingga penderita akan mengeluh tidak bisa tidur
(insomnia) atau bahkan terus meneus mengantuk. Penyebab yang tersering adalah
perubahan jadwal waktu bekerja, kesulitan menyesuaikan dnegan lingkungan baru dan jet
lag. Pergantian jadwal waktu bekerja menimbulkan kesulitan tidur, yaitu pemendekan
waktu tidur dan sering terbangun sehingga menimbulkan sulit berkonsentrasi, kelelahan
dan peningkatan angka kecelakaan kerja. Kemampuan penyesuaian dengan jam kerja
baru memang sangat individual, namun rata-rata terjadi penurunan setelah usia 40 tahun.
Perjalanan jauh melintasi meridian waktu juga dapat menimbulkan gangguan tidur yang
serupa dengan perubahan jadwal kerja dan keadaan ini akan diperburuk dengan
mengonsumsi alkohol.
-
28
Parasomnia
Gangguan tidur ini kebanyakan diderita oleh anak-anak, amat jarang terjadi pada usia
dewasa. Gangguan ini dapat dalam bentuk gangguan gerakan tidur (hypnic jerks,
bruxisme dan myoclonus) atau kegiatan berlebihan dari fungsi saraf otonom (detak
jantung yang meningkat, berkeringat, enuresis) ketika tertidur ataupun saat terbangun.
Hypnic jerk adalah gerakan atau hentakan dari anggota gerak atau tubuh pada saat
mulai tidur, dapat disertai dengan menangis, rasa seperti terjatuh atau melihat kilatan
cahaya. Gangguan ini tidak sampai mengganggu siklus tidur penderita, tetapi
kemungkinan dapat menghambat permulaan tidur (sleep latency). Hypnic jerk sering
terjadi sesudah berolahraga dan stress emosi. Keadaan ini masih dianggap normal dan
tidak diperlukan pengbatan khusus.
Gangguan perilaku tidur REM terjadi pada saat fase tidur REM dan sebagian
besar (60%) bersifat idiopatik, sisanya kemungkinan disebabkan oleh gangguan sistem
saraf pusat. Tonus otot yang seharusnya menghilang pada fase tidur REM, pada keadaan
ini cenderung meningkat sehingga penderita akan mendadak meloncat dan berlari dari
tempat tidur, menggigit atau bertingkah laku kasar. Penderita gangguan ini biasanya
adalah manula dekade ke 7 dan pria lebih sering daripada wanita.Kelainan sistem saraf
pusat yang mendasari antara lain demensia, gangguan pembuluh darah otak, kerusakan
pada batang otak ataupun multipel sklerosis. (Parkers, 1996)
-
29
BAB 4
RINGKASAN
- Susunan retikularis adalah susunan traktus-traktus yang bersifat nonspesifik,
multineuron, multisinaps), secara relatif difus dan mengintegrasi serta menghantarkan
sejumlah impuls-impuls yang bersifat asenden
- Susunan ini terdapat di seluruh susunan saraf pusat, pada medulla spinalis, batang
otak, serebellum, diensefalon dan hemisfer serebrum
- Mekanisme ARAS mengaktifkan sistem thalamokortikal disebabkan oleh adanya
jalur glutamatergik dorsal dan jalur kolinergik ventral serta jalur lain yang berperan
dalam pengaktifan ARAS, yaitu jalur dopaminergik, serotonergik, serta histaminergik
- Mekanisme relay sistem limbik oleh ARAS mempengaruhi korteks serebri
merupakan hal yang penting dalam fungsi kesadaran
- Kesadaran memperlihatkan dua segi yaitu derajat kesadaran dan kualitas kesadaran
- Ganguan kesadaran yang berat oleh karena gangguan neuron-neuron pengemban
kesadaran disebut dengan koma kortikal bihemisferik
- Gangguan kesadaran yang disebabkan oleh disfungsi ARAS disebut dengan koma
diensefalik yang dapat ditimbulkan oleh adanya proses patologis supratentorial dan
infratentorial
- Tidur merupakan aktivitas susunan saraf pusat yang berperanan sebagai “lonceng
biologis” yang memperlihatkan irama kehidupan yang sesuai dengan masa rotasi
bumi yang dinamakan irama sirkadian (circadian rhythm)
- “Lonceng biologis” yang mengatur irama sirkadian diduga terletak pada daerah
nuklues suprakiasma hypothalamus yang berkaitan dengan mata.
- Lesi pada pusat-pusat pencetus tidur dapat menyebabkan keadaan siaga yang terus
menerus
-
30
- Berdasarkan pembagian dari Asosiasi Pusat Kajian Gangguan Tidur dan Kajian
Psikofisiologi Tidur, gangguan tidur dikelompokan menjadi empat bagian, yaitu:
insomnia, excessive day-time sleepiness, circadian sleep-wake rhythm disorders,
parasomnia
-
31
DAFTAR PUSTAKA
Arslan, 2001. Neuroanatomical Basis of Clinical Neurology. New York: The
Parthenon Publishing Group.
Chusid, J.G. 1991. Neuroanatomi Korelatif dan Neurologi Fungsional.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Duus, P. 1996. Diagnosis Topik Neurologi: Anatomi, Fisiologi, Tanda, Gejala.
Edisi 2. Jakarta: EGC.
Ganong, W.F. 2002. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 20th Ed. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
Guyton, A.C., Hall, J.E. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 9th Ed. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Goetz, CG. 1999. Textbook of Clinical Neurology. Philadelphia: W.B Saunders
Company.
Mardjono, M., Sidharta, P. 2006. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Penerbit Dian
Rakyat.
Mendoza E, Foundas. 2008. Clinical Neuroanatomy: A Neurobehavioral
Approach. New York: Springer Science&Bussiness Media.Inc.
Nieuwenhuys, et al. 2007. The Human Central Nervous System. Fourth edition.
Berlin: Auflage-Springer.
Noback, C.R., Demarest, R.J. 1993. Anatomi Susunan Saraf Manusia. Edisi 2.
Jakarta: EGC.
Ngoerah, I.G.N.G. 1991. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Saraf. Surabaya: Airlangga
University Press.
Parkers, J D.1996. Neurology in Clinical Practice. Principle of Diagnosis and
Management Vol.II. Boston: Butter Worth-Hinemann.
-
32
Plum, F., Posner, J.B. 1980. The Diagnosis of Stupor and Coma. Third Edition.
Philadelphia: F.A.Davis Company.
Shneerson, Jhon M. 2005. Sleep Medicine: A Guide to Sleep and It’s Disorders.
2nd Ed. Oxford: Blackwell Publishing Ltd.
Sukardi, E. 1985. Neuroanatomia Medica. Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia.
Victor, Maurice., Ropper, Allan H. 2001. Adam’s and Victor’s Principles of
Neurology. 7th Ed. United States of America: The Mcgraw-Hill Companies Inc.
Zeman, Adam. 2001. Conciousness. (Review). Oxford: Oxford University Press.