skripsi kajian teknologi beras pratanak spetriani f14070125
DESCRIPTION
berasTRANSCRIPT
-
KAJIAN TEKNOLOGI PROSES PENGOLAHAN BERAS
PRATANAK (PARBOILING RICE) PADA GABAH VARIETAS SITU
BAGENDIT
SKRIPSI
SPETRIANI
F14070125
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
-
2
STUDY OF PROCESSING TECHNOLOGY OF PARBOILING RICE
ON SITU BAGENDIT VARIETY GRAIN
Spetriani and Rokhani Hasbullah
Department of Mechanical and Biosystem Engineering, Faculty of Agricultural Technology, Bogor
Agricultural University, IPB Dramaga Campus, PO Box 16680, Bogor, West Java, Indonesia.
Phone 62 857 17229038, e-mail : [email protected]
ABSTRACT
The processing of parboiling rice is the process of provision of water and steam heat of grain
before the dried and milled grain. The purpose of proceedings parboiling rice is to avoid the loss of
nutrient and damage of rice. Several factors can affect the quality of the parboiling rice is the process
of grain, old varieties, long soaking, temperature and long steaming, and drying. The purpose of this
research is (1) examine the uniformity of grain temperature distribution during the steaming process.
(2) examine the influence of long steaming for physical quality of parboiled rice. (3) examine the
influence of the nutritional value of old rice steaming process of parboiling rice, and (4) determine the
Standard Operational Procedur (SOP) parboiling rice processing process. Processing begins with the
cleaning of grain ripening and then soaking the grain in water-60 oC 5 for 4 hours. Once soaked,
grain steamed with a temperature of 80 C for 20 minutes and 30 minutes. Grain and then dried to
moisture content 14%. Grains which have been dried and then milled and conducted observation of
parboiled rice quality. The treatment of steaming duration has no significantly to the yield milling but
significant effect for milling of parboiled rice milling quality. Proximate test results show no effect
against old steaming ash content, fat, protein and carbohydrates from parboiled rice. Organoleptik-
test that is performed on rice cooking process before it shows that the results of the study process
parboiling rice is acceptable to the panelists .Treatment process of parboiling rice on this research
led to an increase in yield, ash content, fat, protein, and carbohydrates. The quality of milled
parboiling rice based on the standard process of SNI is the quality of the process before the Process
V. Parboiling rice processing suggested is by soaking grains at a temperature of 60 C 5 for 4 hours
followed by the steaming at temperature of 80 C for 20 minutes.
Keywords : parboiling rice, paddy soaking, paddy steaming
-
3
SPETRIANI. F14070125. Kajian Teknologi Proses Pengolahan Beras Pratanak (Parboiling Rice)
pada Gabah Varietas Situ Bagendit. Di bawah bimbingan Dr. Ir. Rokhani Hasbullah, MSi. 2011
RINGKASAN
Beras merupakan makanan pokok hampir di seluruh wilayah Indonesia. Menurut data dari
Ditjen Tanaman Pangan Kementerian Pertanian, jumlah produksi padi dalam bentuk gabah kering
giling (GKG) setiap tahunnya meningkat. Peningkatan jumlah produksi ini sudah semestinya diikuti
dengan peningkatan hasil pengolahan gabah berupa beras. Peningkatan produksi beras dilakukan tidak
hanya terbatas pada peningkatan produksi padi di lahan, tetapi juga melalui perbaikan proses tahapan
pascapanen. Salah satu tahapan pascapanen yang dapat diterapkan adalah proses pratanak. Beras
pratanak atau yang biasa disebut parboiling rice adalah proses perendaman gabah dalam air dan
pengukusan dengan uap panas kemudian dikeringkan sebelum digiling (Grist 1975, Haryadi 2006,
Tjiptadi dan Nasution 1985). Tahapan proses pengolahan beras pratanak meliputi pembersihan,
perendaman, pengukusan, pengeringan dan penggilingan. Tujuan dari pratanak adalah untuk
menghindari kehilangan dan kerusakan beras, baik ditinjau dari nilai gizi maupun rendemen yang
dihasilkan, dan sterilisasi gabah setelah dipanen, yang mungkin mengandung kotoran dan telur
serangga yang terinvestasi di dalamnya. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi mutu beras
pratanak adalah varietas gabah, lama perendaman, suhu dan lama pengukusan, dan pengeringan.
Tujuan dari penelitian ini adalah (1) mengkaji keseragaman distribusi suhu gabah selama proses
pengukusan. (2) mengkaji pengaruh lama pengukusan terhadap mutu fisik beras pratanak. (3)
mengkaji pengaruh lama pengukusan terhadap nilai gizi beras pratanak, dan (4) menentukan Standard
Operational Procedure (SOP) pengolahan beras pratanak.
Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli sampai dengan Oktober 2011 di laboratorium LBP
(Lingkungan dan Bangunan Pertanian) dan laboratorium Leuwikopo, Departemen Teknik Mesin dan
Biosistem IPB. Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah gabah varietas Situ Bagendit
dan air bersih untuk perendaman gabah. Peralatan yang digunakan drum perendaman gabah, tangki
pengukusan gabah, hybrid recorder, termokopel, timbangan analitik, rice grader/cylinder separator,
baki penampung, dan beberapa peralatan bantu lainnya.
Proses pratanak yang dilakukan pada penelitian ini didahului dengan pembersihan gabah agar
gabah terpisah dari gabah hampa dan kotoran lain. Selanjutnya dilakukan perendaman gabah dalam air
bersuhu 60 oC 5 selama 4 jam. Perendaman ini bertujuan untuk mencapai kadar air gabah hingga
30%. Kemudian gabah tersebut dibagi ke dalam 2 bagian dan diberikan perlakuan pemanasan dengan
suhu yang sama yaitu 80 oC, namun dalam lama waktu pemanasan yang berbeda, masing-masing
selama t1= 20 menit, t2= 30 menit, serta terdapat t0 (tanpa proses pratanak) yang dijadikan kontrol.
Setelah proses pemanasan atau pemberian uap panas selesai, selanjutnya dilakukan pengeringan
terhadap gabah hingga mencapai kadar air 14 %. Gabah yang telah kering kemudian digiling dan
dilakukan pengamatan mutu giling sekaligus mutu gizi beras pratanak tersebut.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa beras pratanak pada pengukusan selama 20 menit ditinjau
dari mutu fisik, mempunyai rendemen giling sebesar 69.37%, kadar air 13.20 %bb, butir kepala
61.67%, butir patah 34.34%, butir menir 3.99%, butir kuning/rusak 0.41%, dan butir mengapur
0.14%. Sedangkan pengukusan 30 menit mempunyai rendemen giling 69.55%, kadar air 13.53%bb,
butir kepala 67.94%, butir patah 27.94%, butir menir 4.22%, butir kuning/rusak 0.42%, dan butir
mengapur 0.26%. Perlakuan lama pengukusan tidak berpengaruh nyata terhadap rendemen giling
namun berpengaruh nyata terhadap mutu giling beras pratanak.
-
4
Hasil pengujian proksimat menunjukkan perlakuan lama pengukusan tidak berpengaruh nyata
terhadap kandungan abu, lemak, protein dan karbohidrat dari beras pratanak. Hal ini dapat disebabkan
karena tidak meratanya penyebaran steam selama pengukusan. Pengukusan 20 menit memiliki kadar
abu sebesar 0.95%bk, kadar lemak 1.00%bk, kadar protein 9.49% dan kadar karbohidrat 88.35%bk.
Pengukusan 30 menit mengandung 0.94%bk abu, 1.44%bk lemak, 10.08%bk protein dan 89.11%bk
karbohidrat. Perlakuan pratanak pada penelitian ini menyebabkan peningkatan rendemen, kadar abu,
kadar lemak, protein, dan karbohidrat. Mutu giling beras pratanak berdasarkan standar dari SNI
berada pada mutu V.
Uji organoleptik yang dilakukan pada beras pratanak hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
beras pratanak sudah dapat diterima oleh panelis. Parameter yang diujikan adalah aroma dengan nilai
rata-rata untuk pengukusan 20 menit dan 30 menit adalah 4.01 dan 3.47 (netral), warna dengan nilai
rata-rata 4.01 dan 3.47 (netral) dan penerimaan secara umum dengan nilai rata-rata 4.31 dan 3.07
(agak tidak suka sampai netral). Secara keseluruhan yang paling disukai diantara keduanya adalah
beras pratanak dengan lama pengukusan 20 menit.
Proses pratanak yang terpilih adalah dengan melakukan pembersihan gabah terlebih dahulu
menggunakan precleaner. Setelah gabah tersebut bersih kemudian dilakukan perendaman dengan
suhu 60 oC 5 selama 4 jam dilanjutkan dengan pengukusan pada suhu 80 oC selama 20 menit.
Gabah yang telah dikukus selanjutnya dikeringkan hingga kadar air 14% dan siap untuk digiling.
-
5
KAJIAN TEKNOLOGI PROSES PENGOLAHAN BERAS
PRATANAK (PARBOILING RICE) PADA GABAH VARIETAS SITU
BAGENDIT
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
pada Departemen Teknik Mesin dan Biosistem
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh
SPETRIANI
F14070125
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
-
6
Judul skripsi : Kajian Teknologi Proses Pengolahan Beras Pratanak (Parboiling Rice) pada Gabah
Varietas Situ Bagendit
Nama : Spetriani
NIM : F14070125
Menyetujui,
Pembimbing Akademik
(Dr. Ir. Rokhani Hasbullah, M.Si)
NIP. 19640813 199102 1 001
Mengetahui :
Ketua Departemen
( Dr. Ir. Desrial, M.Eng.)
NIP. 19661201 199103 1 004
Tanggal lulus :
-
7
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Kajian Teknologi
Proses Pengolahan Beras Pratanak (Parboiling Rice) pada Gabah Varietas Situ Bagendit adalah
hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam
bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Desember 2011 Yang membuat pernyataan
Spetriani
F14070125
-
8
Hak cipta milik Spetriani, tahun 2011
Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian
atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm dan sebagainya
-
9
BIODATA PENULIS
Spetriani. Lahir di Gio, 8 Mei 1989 dari ayah Subardjo MT Lamadau dan ibu
Natin, sebagai anak pertama dari tiga bersaudara. Penulis menamatkan SMA pada tahun 2007 dari Madrasah Aliyah Alkhairaat Pusat Palu dan pada tahun
yang sama diterima di IPB melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD).
Penulis memperoleh beasiswa selama kuliah melalui Program Beasiswa
Santri Berprestasi (PBSB) oleh Kementrian Agama. Penulis memilih
Program Studi Teknik Pertanian, Departemen Teknik Mesin dan Biosistem,
Fakultas Teknologi Pertanian. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif
mengikuti organisasi Community of Santri Scholar (CSS IPB) sebagai
sekretaris Departemen Infokom pada tahun 2009. Selain itu, penulis juga
aktif mengikuti berbagai kepanitiaan yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Teknik
Pertanian (HIMATETA). Pada tahun 2010 penulis memperoleh dana dari DIKTI dalam Program
Kreativitas Mahasiswa (PKM) bidang Kewirausahaan dengan judul proposal Pencitraan Motif Batik dalam Miniatur Rumah Adat di Indonesia. Penulis menjadi asisten praktikum untuk mata kuliah Lingkungan dan Bangunan Pertanian serta mata kuliah Teknologi Greenhouse dan Hidroponik pada
tahun 2011. Pada tahun 2010 penulis melaksanakan Praktik Lapangan di PTPN VIII Kebun
Panyairan, Cianjur, dengan judul Mempelajari Aspek Keteknikan pada Proses Pengemasan Teh di PTPN VIII Kebun Panyairan.
-
iii
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Swt. atas terselesaikannya skripsi ini dengan judul Kajian Teknologi
Proses Pengolahan Beras Pratanak (Parboiling Rice) pada Gabah Varietas Situ Bagendit. Skripsi ini
disusun dari hasil penelitian yang telah dilakukan pada bulan Juli-Oktober 2011. Ucapan terima kasih
disampaikan kepada semua pihak yang turut membantu dalam pelaksanaan penelitian dan penyusunan
skripsi ini terutama kepada :
(1) Dr. Ir. Rokhani Hasbullah, M.Si sebagai dosen Pembimbing Akademik yang telah bersedia
memberikan arahan dan bimbingan sepenuhnya terhadap penyelesaian skripsi ini.
(2) Dr. Ir. Lilik Pujantoro, M.Agr dan Ir. Mad Yamin, MT sebagai dosen penguji yang telah
memberikan arahan dan masukan selama penyusunan skripsi ini.
(3) Kementerian Agama yang telah memberikan beasiswa penuh selama masa perkuliahan.
(4) Papa, Mama, dan kedua adik, Amit dan Anto dan seluruh keluarga besar Lamadau yang tak
henti-hentinya memberikan doa tulus, kasih sayang, dukungan serta motivasi.
(5) Keluarga besar CSS MoRA IPB terutama untuk angkatan 44.
(6) Pak Ahmad, Pak Parma, mas Firman, mas Darma yang telah membantu pelaksanaan penelitian
ini.
(7) Teman seperjuangan dan sebimbingan, R Afni dan Satria Asa yang rela memberikan bantuannya
selama masa penelitian berjalan.
(8) Rahma Utami, Dewi Sartika, Yuni Maria, Ratih, Syahid, Arie Tambosoe dan teman-teman kelas
D TEP 44 lainnya.
(9) Waqif Agusta, Anggie Kurniawan, Trya Adhesi, Dipta, Mudho Saksono, Tri Yulni, Denis dan
teman-teman TEP 44 lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
(10) Rizki Andini, Linda Imaniar, Siti Masturoh, Miftahul Jannah, Istirokhah, dan Mutia, para
penghuni Green House yang selalu ada saat susah maupun senang dalam pelaksanaan penelitian
ini.
Skripsi ini disadari masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, saran serta kritik yang
membangun sangat diharapkan oleh penulis. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan memberikan
kontribusi yang nyata bagi semua pihak terutama untuk perkembangan ilmu pengetahuan.
Bogor, Desember 2011
Spetriani
-
iv
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ......................................................................................................... iii
DAFTAR TABEL ................................................................................................................ vi
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................................... vii
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................................ viii
I. PENDAHULUAN .......................................................................................................... 1
A. LATAR BELAKANG ......................................................................................... 1
B. TUJUAN PENELITIAN ....................................................................................... 2
II. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................................. 3
A. GABAH ............................................................................................................... 3
1. Struktur Gabah ...................................................................................................... 3
2. Varietas Gabah ...................................................................................................... 4
B. SIFAT FISIK DAN KIMIA BERAS .................................................................... 6
C. MUTU BERAS ..................................................................................................... 7
D. BERAS PRATANAK ............................................................................................ 8
E. TEKNOLOGI PENGOLAHAN BERAS PRATANAK .......................................... 10
1. Pembersihan (cleaning) ......................................................................................... 10
2. Perendaman (soaking) ........................................................................................... 10
3. Pengukusan (steaming) ......................................................................................... 10
4. Pengeringan (drying) ............................................................................................ 11
5. Penggilingan (milling) .......................................................................................... 11
III. METODOLOGI .............................................................................................................. 12
A. TEMPAT DAN WAKTU ..................................................................................... 12
B. BAHAN DAN ALAT ........................................................................................... 12
C. METODE PENELITIAN ....................................................................................... 12
1. Prosedur Penelitian ........................................................................................... 12
2. Rancangan Percobaan ....................................................................................... 13
3. Analisis Parameter Mutu .................................................................................. 15
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................................ 18
A. PROSES PENGOLAHAN BERAS PRATANAK .................................................. 18
B. PENGARUH LAMA PENGUKUSAN TERHADAP MUTU FISIK BERAS PRATANAK .............................................................................................................. 21 1. Rendemen Giling ................................................................................................... 21
2. Mutu Giling ........................................................................................................... 21
C. PENGARUH LAMA PENGUKUSAN TERHADAP KANDUNGAN GIZI BERAS PRATANAK ................................................................................................. 23
D. UJI ORGANOLEPTIK .......................................................................................... 25
-
v
1. Aroma ................................................................................................................... 25
2. Warna ................................................................................................................... 26
3. Penerimaan Secara Umum ..................................................................................... 27
E. STANDARD OPERATING PROCEDURES (SOP) .................................................. 28
V. SIMPULAN DAN SARAN ............................................................................................. 30
A. SIMPULAN . .......................... 30
B. SARAN ..................................................................................................................... 30
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................... 31
LAMPIRAN ......................................................................................................................... 33
-
vi
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Produksi padi Indonesia tahun 2003-2009 (dalam ton) ......................................................... 1
Tabel 2. Pengelompokan butiran gabah menurut USDA .................................................................... 4
Tabel 3. Deskripsi varietas padi Situ Bagendit ................................................................................... 5
Tabel 4. Kandungan gizi dan kalori beras pecah kulit dan beras putih serta kehilangan
selama penggilingan ........................................................................................................... 6 Tabel 5. Spesifikasi persyaratan mutu beras menurut SNI 01-6128 : 2008 ........................................ 7
Tabel 6. Kandungan zat gizi dan indeks glikemik sumber karbohidrat (per 300 kkal) ........................ 9
Tabel 7. Mutu giling beras pratanak dengan perlakuan lama pengukusan yang berbeda ................... 22
Tabel 8. Pengaruh lama pengukusan terhadap kandungan gizi beras pratanak .................................. 24
Tabel 9. Pengaruh lama pengukusan terhadap aroma beras pratanak ............................................... 26
Tabel 10. Pengaruh lama pengukusan terhadap warna beras pratanak ............................................... 27
Tabel 11. Pengaruh lama pengukusan terhadap penerimaan secara umum beras pratanak ................. 28
-
vii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Struktur gabah ................................................................................................................. 3
Gambar 2. Unit pengolahan beras pratanak : drum perendaman (a) tangki pengukusan dan steam
boiler (b) ..................................................................................................................... 4 Gambar 3. Layout letak titik pengukuran suhu saat pengukusan ....................................................... 13
Gambar 4. Diagram alir prosedur penelitian .................................................................................... 14
Gambar 5. Distribusi suhu gabah secara horizontal pada pengukusan 20 menit................................. 18
Gambar 6. Distribusi suhu gabah secara vertikal pada pengukusan 20 menit .................................... 19
Gambar 7. Distribusi suhu gabah secara horizontal pada pengukusan 30 menit................................. 19
Gambar 8. Distribusi suhu gabah secara vertikal pada pengukusan 30 menit .................................... 20
Gambar 9. Rendemen giling beras pratanak ..................................................................................... 21
Gambar 10. Nilai aroma beras pratanak ........................................................................................... 25
Gambar 11. Nilai warna beras pratanak ........................................................................................... 26
Gambar 12. Nilai penerimaan secara umum terhadap beras pratanak ................................................ 27
Gambar 13. Diagram alir prosedur pengolahan beras pratanak ......................................................... 29
-
viii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Suhu di setiap titik pengukuran saat pengukusan gabah selama 20 menit ...................... 34
Lampiran 2. Suhu di setiap titik pengukuran saat pengukusan gabah selama 30 menit ...................... 35
Lampiran 3. Mutu giling beras pratanak dengan perlakuan lama pengukusan (steaming) .................. 37
Lampiran 4. Data rendemen giling beras pratanak ........................................................................... 38
Lampiran 5. Data pengukuran kadar air (%bb) beras pratanak.......................................................... 38
Lampiran 6. Data pengukuran kadar abu beras pratanak................................................................... 39
Lampiran 7. Data pengukuran kadar lemak beras pratanak ............................................................... 39
Lampiran 8. Data pengukuran kadar protein beras pratanak ............................................................. 40
Lampiran 9. Data pengukuran kadar karbohidrat beras pratanak....................................................... 40
Lampiran 10. Data organoleptik terhadap aroma beras pratanak ....................................................... 41
Lampiran 11. Data organoleptik terhadap warna beras pratanak ....................................................... 42
Lampiran 12. Data organoleptik terhadap penerimaan secara umum beras pratanak......................... 43
Lampiran 13. Analisis sidik ragam dan uji lanjut rendemen giling beras pratanak ............................. 44
Lampiran 14. Analisis sidik ragam dan uji lanjut derajat sosoh beras pratanak ................................. 44
Lampiran 15. Analisis sidik ragam dan uji lanjut kadar air beras pratanak ........................................ 44
Lampiran 16. Analisis sidik ragam dan uji lanjut butir kepala pada beras pratanak ........................... 45
Lampiran 17. Analisis sidik ragam dan uji lanjut butir patah pada beras pratanak ............................. 45
Lampiran 18. Analisis sidik ragam dan uji lanjut butir menir pada beras pratanak ............................ 46
Lampiran 19. Analisis sidik ragam dan uji lanjut butir kuning/rusak pada beras pratanak ................. 46
Lampiran 20. Analisis sidik ragam dan uji lanjut butir mengapur pada beras pratanak ...................... 46
Lampiran 21. Analisis sidik ragam dan uji lanjut kadar abu beras pratanak....................................... 47
Lampiran 22. Analisis sidik ragam dan uji lanjut kadar lemak beras pratanak ................................... 47
Lampiran 23. Analisis sidik ragam dan uji lanjut kadar protein beras pratanak ................................. 48
Lampiran 24. Analisis sidik ragam dan uji lanjut kadar karbohidrat beras pratanak........................... 48
Lampiran 25. Analisis sidik ragam dan uji lanjut organoleptik aroma beras pratanak ........................ 48
Lampiran 26. Analisis sidik ragam dan uji lanjut organoleptik warna beras pratanak ........................ 49
Lampiran 27. Analisis sidik ragam dan uji lanjut organoleptik penerimaan secara umum beras
pratanak .................................................................................................................... 49 Lampiran 28. Form isian organoleptik terhadap beras pratanak ........................................................ 50
Lampiran 29. Gambar proses pengolahan beras pratanak ................................................................. 51
Lampiran 30. Gambar beras pratanak hasil giling ............................................................................ 52
-
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Beras merupakan makanan pokok hampir di seluruh wilayah Indonesia bahkan termasuk
makanan pokok terpenting warga dunia. Hasil olahan beras berupa nasi dimakan oleh sebagian besar
penduduk Asia sebagai sumber karbohidrat utama dalam menu sehari-hari. Kebiasaan umum yang
melekat pada masyarakat Indonesia bahwa aktivitas makan itu adalah makan nasi menjadikan beras
ini mempunyai peran penting dalam kehidupan sehari-hari. Sebutan beras sendiri dikhususkan untuk
padi yang telah melewati beberapa proses dalam penanganan pascapanen.
Makin pesatnya pertambahan penduduk Indonesia, tuntutan pemenuhan jumlah (kuantitas)
produksi beras juga terus meningkat. Disisi lain, dengan makin tingginya tingkat pendidikan
masyarakat serta dengan mudahnya penyebaran informasi seiring kemajuan teknologi, juga secara
bertahap mengubah pola konsumsi dan cara pandang masyarakat terhadap mutu (kualitas) pangan
yang dikonsumsi. Perbaikan daya beli masyarakat yang diharapkan meningkat setelah Indonesia
keluar dari krisis ekonomi akan menggeser peta permintaan ke arah beras bermutu tinggi (Hasbullah
dan Bantacut 2006).
Menurut data dari Ditjen Tanaman Pangan Kementerian Pertanian yang ditunjukkan pada
Tabel 1, jumlah produksi padi dalam bentuk gabah kering giling (GKG) setiap tahunnya meningkat.
Peningkatan jumlah produksi ini sudah semestinya diikuti dengan peningkatan hasil pengolahan gabah
berupa beras.
Tabel 1. Produksi padi Indonesia tahun 2003-2009 (dalam ton)
Tahun Pulau Jawa Luar Jawa Indonesia
2003 28.167.484 23.970.604 52.137.604
2004 29.635.840 24.452.628 54.088.468
2005 29.764.392 24.386.705 54.151.097
2006 29.960.638 24.494.299 54.454.937
2007 30.466.339 26.691.096 57.157.435
2008 32.346.997 27.978.928 60.325.925
2009 33.469.237 29.091.909 62.561.146
Sumber: Ditjen Tanaman Pangan (2011)
Peningkatan produksi beras tidak hanya terbatas pada peningkatan produksi prapanen, tetapi
dilakukan pula peningkatan produksi beras melalui perbaikan pada perlakuan pascapanen. Secara
umum penanganan pascapanen padi yang dilakukan meliputi hal-hal sebagai berikut: pengangkutan,
perontokan, pengeringan, penggilingan dan penyimpanan. Setiap tahap penanganan pascapanen
mempunyai pengaruh penting terhadap rendemen dan mutu beras yang dihasilkan terutama terhadap
kandungan nutrisi beras.
Menurut Patiwiri (2006) meskipun penggilingan adalah proses fisik, penggilingan juga
berpengaruh terhadap kandungan nutrisi beras. Hal ini disebabkan oleh adanya pengelepasan dan
-
2
pengikisan bagian-bagian butiran gabah/beras selama proses penggilingan yang menyebabkan
sebagian nutrisi akan terbuang. Karbohidrat terakumulasi di dalam endosperm yang merupakan bagian
terbesar dari butiran beras. Protein paling banyak terdapat dalam lembaga, pericarp, dan lapisan
aleuron. Pada lapisan endosperm juga terdapat protein, namun makin jauh masuk ke dalam pusat
endosperm kandungannya semakin menurun. Vitamin dan lemak juga terakumulasi terutama pada
lapisan pericarp dan lapisan aleuron.
Berdasarkan penyebaran tersebut maka dapat dipahami bahwa protein, lemak dan vitamin akan
banyak terbuang pada saat penggilingan, terutama pada saat penyosohan yang mengikis lapisan
bekatul. Dengan kata lain kandungan ketiganya akan menurun pada beras sosoh jika dibandingkan
dengan beras pecah kulit. Beras yang memiliki cita rasa yang disukai, seperti beras sosoh belum tentu
bermutu gizi lebih baik dibandingkan dengan beras yang bercita rasa kurang enak. Sebaliknya
karbohidrat terkikis paling sedikit selama penyosohan karena berada pada endosperm yang letaknya
paling dalam. Dengan demikian, porsinya terhadap massa keseluruhan beras akan meningkat jika
dibandingkan dengan porsinya pada beras pecah kulit (Patiwiri 2006). Agar kandungan nutrisi pada
beras tidak terbuang maka perlu perbaikan cara pengolahan gabah diantaranya menggunakan
teknologi beras pratanak (parboiling rice). Tahapan proses pengolahan beras pratanak meliputi
pembersihan, perendaman, pengukusan, pengeringan dan penggilingan.
Menurut Sumardi (1977) dalam Burhanudin (1981), pengolahan gabah dengan cara pratanak
dapat meningkatkan rendemen beras giling maupun rendemen beras kepala. Selain itu, mutu beras
pratanak memiliki beberapa kelebihan antara lain memiliki kandungan indeks glikemik (IG) dan
lemak yang rendah serta vitamin B yang tinggi. Beras pratanak dapat dijadikan makanan diet bagi
penderita diabetes melitus. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi mutu beras pratanak adalah
varietas gabah, lama perendaman, suhu dan lama pengukusan, dan pengeringan. Oleh karena itu, perlu
dikaji lebih mendalam untuk mendapatkan kondisi proses pengolahan beras pratanak yang dapat
meningkatkan rendemen dan mutu beras pratanak.
B. TUJUAN
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk :
(1) Mengkaji keseragaman distribusi suhu gabah selama proses pengukusan.
(2) Mengkaji pengaruh lama pengukusan terhadap mutu fisik beras pratanak.
(3) Mengkaji pengaruh lama pengukusan terhadap nilai gizi beras pratanak.
(4) Menentukan Standard Operational Procedure (SOP) pengolahan beras pratanak.
-
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. GABAH
1. Struktur Gabah
Padi merupakan salah satu tanaman budidaya terpenting dalam peradaban. Klasifikasi ilmiah
tanaman padi yang menjadi bahan baku beras adalah sebagai berikut.
Kerajaan : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Ordo : Poales
Famili : Poaceae atau Graminae
Genus : Oryza
Spesies : O. Sativa
Ciri-ciri umum tanaman padi ini adalah termasuk dalam terna semusim yang berakar serabut,
batang sangat pendek, struktur serupa batang terbentuk dari rangkaian pelepah daun yang saling
menopang. Padi saat ini tersebar luas di seluruh dunia dan tumbuh di hampir semua bagian dunia yang
memiliki cukup air dan suhu udara cukup hangat (Anonim 2011). Tanaman padi dapat tumbuh pada
daerah bersuhu tinggi dan mendapatkan sinar matahari yang yang lama. Temperatur rata-rata yang
dibutuhkan yaitu sekitar 20-37.8 oC (Grist 1975).
Gabah adalah bulir padi. Biasanya mengacu pada bulir padi yang telah dipisahkan dari
tangkainya (jerami). Asal kata "gabah" dari bahasa Jawa gabah. Dalam perdagangan komoditas,
gabah merupakan tahap yang penting dalam pengolahan padi sebelum dikonsumsi karena
perdagangan padi dalam partai besar dilakukan dalam bentuk gabah. Terdapat definisi teknis
perdagangan untuk gabah, yaitu hasil tanaman padi yang telah dipisahkan dari tangkainya dengan cara
perontokan (Anonim 2011). Pada Gambar 1 berikut ditunjukkan bagian- bagian penyusun pada
struktur gabah.
Gambar 1. Struktur gabah
-
4
Butir padi atau gabah terdiri atas satu bagian yang dapat dimakan, disebut caryopsis, dan satu
bagian lagi yang merupakan suatu struktur kulitnya yang disebut sekam. Bagian kulitnya merupakan
18-28 % dari berat butir gabah pada tingkat kadar air 13% berat basah. Buah padi adalah caryopsis
yang di dalamnya terdapat biji tunggal yang bersatu dengan dinding evary (pericarp) matang,
membentuk butiran biji. Caryopsis disebut brown rice sebab warna pericarpnya kecoklatan (Tjiptadi
dan Nasution 1985).
Secara umum, struktur gabah terbagi dalam beberapa bagian yaitu hull atau daun sekam,
pericarp, tegmen atau testa, aleuron, embrio atau germ, dan endosperm (Anonim 2011). Lapisan
pembungkus endosperm dinamakan kulit ari. Testa dan lapisan aleuron disebut lapisan dalam,
sedangkan pericarp disebut lapisan luar. Lapisan-lapisan kulit ari ini hanya dapat dilihat secara
mikroskopis. Warna kulit ari ini dari putih sampai kehitam-hitaman. Penghilangan sebagian atau
keseluruhan lapisan ini akan menentukan derajat sosoh. Endosperm hampir seluruhnya terdiri dari sel-
sel pati, membentuk biji yang dapat dimakan (Grist 1975).
2. Varietas Gabah
Tanaman padi adalah tanaman yang mempunyai varietas sampai ribuan jumlahnya, lebih dari
90% tumbuh di wilayah Asia Selatan dan Asia Timur, tersebar di negara-negara beriklim subtropis.
Dari kelompok spesies padi yang telah dibudidayakan terdapat kelompok utama yaitu Oryza sativa
yang berasal dari Asia dan Oryza globerima yang berasal dari Afrika Barat (Winarno 1984).
Subspesies padi yang ditanam di dunia secara umum dapat dikelompokkan menjadi tiga
subspesies, yaitu japonica (tipe A), javanica (tipe B), dan indica (tipe C). Pengelompokkan ini
didasarkan pada bentuk gabah baik dari panjang maupun lebarnya (Patiwiri 2006). Kini di dunia lebih
banyak dikenal dua varietas padi Oryza sativa yaitu japonica dan indica (Winarno 1984). Selain
bentuknya, varietas padi atau gabah biasa juga diklasifikasikan berdasarkan panjang butiran serta rasio
antara panjang/lebar butiran. Klasifikasi butiran gabah ini dilakukan oleh Brandon (1981) di Amerika
Serikat, seperti terlihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Pengelompokan butiran gabah menurut USDA
Tipe Butiran Panjang Butiran Rasio Panjang/ Lebar
Butir Pendek 3.1
Sumber: Patiwiri (2006)
Varietas-varietas padi yang ditanam di Indonesia termasuk dalam subspesies indica. Rasio
panjang-lebar paling rendah 2.0 ditunjukkan oleh PB 36 dengan panjang butiran sekitar 6.4 mm,
sedangkan rasio panjang-lebar yang tinggi ditunjukkan oleh varietas rojolele dan semeru sebesar 2.9
dengan panjang butiran 6.5-7.5 mm (Patiwiri 2006). Terdapat berbagai macam varietas padi yang
dibudidayakan di Indonesia, salah satunya adalah varietas Situ Bagendit atau Bagendit. Deskripsi
varietas tersebut seperti yang ditunjukkan pada Tabel 3 di bawah ini.
-
5
Tabel 3. Deskripsi varietas padi Situ Bagendit
Nomor seleksi : S4325D-1-2-3-1
Asal persilangan : Batur/2*
S2823-7D-8-1-A
Golongan : Cere
Umur tanaman : 110-120 hari
Bentuk tanaman : Tegak
Tinggi tanaman : 99-105 cm
Anakan produktif : 12-13 batang
Warna kaki : Hijau
Warna batang : Hijau
Warna telinga daun : Tidak berwarna
Warna lidah daun : Tidak berwarna
Warna daun : Hijau
Muka daun : Kasar
Posisi daun : Tegak
Daun bendera : Tegak
Bentuk gabah : Panjang ramping
Warna gabah : Kuning bersih
Kerontokan : Sedang
Kerebahan : Sedang
Tekstur nasi : Pulen
Kadar amilosa : 22%
Bobot 1000 butir : 27.5 g
Rata-rata hasil : 4.0 t/ha pada lahan kering
5.0 t/ha pada lahan sawah
Potensi hasil : 6.0 t/ha
Ketahanan terhadap
hama penyakit :
Tahan terhadap blas
Agak tahan hawar daun bakteri strain III dan IV
Anjuran tanam : Cocok ditanam di lahan kering maupun di lahan sawah
Pemulia : Z.A. Simanulang, Aan A. Daradjat, Ismail BP, dan N. Yunani
Dilepas tahun : 2003
Sumber: Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (2009)
-
6
B. SIFAT FISIK DAN KIMIA BERAS
Sifat-sifat fisik beras antara lain suhu gelatinisasi, konsistensi gel, penyerapan air, kepulenan,
kelengketan, kelunakan, dan kilap nasi (Damardjati dan Purwani 1991 diacu dalam Argasasmita
2008). Menurut winarno (1992) suhu gelatinisasi adalah suhu pada saat granula pati pecah dengan
penambahan air panas. Beras dapat digolongkan menjadi tiga kelompok menurut suhu gelatinisasinya,
yaitu suhu rendah (55-69 oC) sedang (70-74 oC) dan tinggi (>74 oC). Suhu gelatinisasi berpengaruh
terhadap lama pemasakan. Beras yang mempunyai suhu gelatinisasi tinggi membutuhkan waktu
pemasakan lebih lama daripada beras yang mempunyai suhu gelatinisasi rendah.
Beras sebagai bahan pangan disusun oleh pati, protein, dan unsur lain seperti lemak, serat
kasar, mineral, vitamin, dan air. Analisis komponen kimia beras dan fraksi gilingnya menunjukkan
bahwa distribusi penyusunannya tidak merata. Lapisan terluar beras kaya akan komponen non pati
seperti protein, lemak, serat, abu, pentosa, dan lignin, sedangkan bagian endosperm kaya akan pati
(Juliano 1972). Komposisi kimia beras berbeda-beda dan hal ini tergantung kepada varietas padi dan
cara pengolahan yang dilakukan seperti pada Tabel 4 dibawah ini.
Tabel 4. Kandungan gizi dan kalori beras pecah kulit dan beras putih serta kehilangan selama
penggilingan
Komposisi Beras pecah kulit Beras putih Kehilangan selama penggilingan (%)
Kadar air (%) 14.0 14.0 10.0
Kalori (Kcal/100g) 352.0 354.0 10.0
Kadar protein (%) 8.3 7.1 23
Kadar lemak (%) 1.9 0.5 76
Kadar serat (%) 0.7 0.4 49
Kadar abu (%) 1.1 0.6 51
Total karbohidrat (%) 74.9 77.8 6
Thiamin (mg/100g) 0.29 0.10 69
Riboflavin (mg/100g) 0.07 0.05 36
Niacin (mg/100g) 3.9 2.9 47
Ca (mg/100g) 9 8 20
P (mg/100g) 183 104 49
Zat besi (mg/100g) 1.6 1.2 32
Sumber: Juliano (1976)
Berdasarkan kandungan amilosanya, beras dibagi menjadi 3 golongan yaitu kandungan amilosa
rendah (26 %). Beras di Indonesia pada umumnya termasuk
ke dalam golongan menengah (Juliano 1976 ). Antara tekstur nasi dan kadar amilosa terdapat
hubungan yang nyata. Beras dengan kadar amilosa rendah akan menghasilkan nasi yang pulen, lekat,
empuk, enak dan mengkilat. Beras beramilosa sedang akan menghasilkan nasi yang msih bersifat
empuk walaupun dibiarkan beberapa jam. Sedangkan beras yang beramilosa tinggi , nasinya keras
(pera) dan berderai (Juliano 1976; Tjiptadi dan Nasution 1985).
Komponen yang terutama pada beras adalah pati. Hampir 90 % beras terdiri dari zat pati. Zat
pati yang tertinggi terdapat pada bagian endosperm, makin ke tengah kandungan patinya makin besar
-
7
sedangkan makin keluar kandungan patinya makin menipis, tetapi kandungan bukan pati makin
meninggi (Juliano 1972) dalam Tabel 4 terlihat bahwa kandungan pati pada beras pecah kulit lebih
sedikit daripada beras putih, tetapi komponen bukan patinya lebih tinggi. Sifat fisik dan kimia dari
beras ini menjadi indikator terhadap berbagai macam mutu beras.
C. MUTU BERAS
Standar merupakan unsur penunjang pembangunan pertanian yang memiliki peranan penting
dalam upaya untuk meningkatkan optimalisasi pendayagunaan sumberdaya dan keseluruhan kegiatan
pembangunan pertanian. Penetapan kelayakan suatu bahan atau produk untuk digunakan terutama
dalam bidang pangan biasa disebut dengan standar mutu. Biasanya dalam penentuan standar mutu ini
terdapat berbagai syarat dan ketentuan spesifikasi teknis yang harus dipenuhi oleh bahan atau produk
tersebut. Standar mutu yang digunakan di Indonesia mengacu kepada SNI (Standar Nasional
Indonesia). Dalam bidang pertanian pemutuan bahan dan produk pertanian seperti mutu gabah dan
mutu beras sangat penting.
Secara umum , mutu beras dapat dikategorikan ke dalam empat kelompok, yaitu (i) mutu giling
(ii) mutu rasa dan mutu tanak (iii) mutu gizi dan (iv) standar spesifik untuk penampakan dan
kemurnian biji (misalnya besar dan bentuk beras, kebeningan (transluency), dan beras chalky).
Sedangkan dalam program pemuliaan padi, komponen mutu beras dapat dikelompokkan atas (i)
rendemen giling (ii) penampakan (iii) bentuk dan ukuran biji dan (iv) sifat-sifat tanak dan rasa nasi
(Damardjati dan Purwani, 1991).
Pemutuan beras yang didasarkan pada aturan SNI 01-6128 : 2008 membagi beras dalam 5
kelas mutu yaitu mutu I, II, III, IV dan V. Syarat umum beras adalah (a) bebas hama dan penyakit (b)
bebas bau apek, asam, atau bau asing lainnya (c) bebas dari campuran dedak dan bekatul (d) bebas
dari bahan kimia yang membahayakan konsumen. Sedangkan untuk persyaratan khusus didasarkan
pada komponen mutu seperti yang tercantum dalam Tabel 5 berikut.
Tabel 5. Spesifikasi persyaratan mutu beras menurut SNI 01-6128 : 2008
No Komponen mutu Satuan Mutu I Mutu II Mutu III Mutu IV Mutu V
1 Derajat sosoh (min) (%) 100 100 95 95 85
2 Kadar air (maks) (%) 14 14 14 14 15
3 Butir kepala (min) (%) 95 89 78 73 60
4 Butir patah (maks) (%) 5 10 20 25 35
5 Butir menir (maks) (%) 0 1 2 2 5
6 Butir merah (maks) (%) 0 1 2 3 3
7 Butir kuning/rusak (maks)
(%) 0 1 2 3 5
-
8
Tabel 5. Spesifikasi persyaratan mutu beras menurut SNI 01-6128 : 2008 (lanjutan)
No Komponen mutu Satuan Mutu I Mutu II Mutu III Mutu IV Mutu V
8 Butir mengapur
(maks)
(%) 0 1 2 3 5
9 Benda asing (maks) (%) 0 0.02 0.02 0.05 0.20
10 Butir gabah (maks) (butir/ 100g) 0 1 1 2 3
Sumber: BSN (2011)
Berbagai macam perlakuan telah dilakukan terhadap gabah agar dapat menghasilkan beras
yang bermutu tinggi. Penanganan pascapanen yang tepat mengenai cara pemanenan, perontokan,
pengeringan dan penggilingan pada akhirnya bertujuan yang sama yaitu untuk memperoleh beras
bermutu. Penggunaan teknologi juga sangat membantu, khususnya dalam peningkatan rendemen
beras. Salah satu teknologi yang dapat diaplikasikan pada penggilingan padi ialah pengolahan beras
secara pratanak.
D. BERAS PRATANAK
Beras pratanak atau yang biasa disebut parboiling rice adalah proses perendaman padi dalam
air dingin dan kemudian ke dalam air panas (atau dalam uap pada tekanan rendah) yang mungkin
berasal dari India sekitar 2000 tahun yang lalu (Grist 1975) atau proses pemberian air dan uap panas
terhadap gabah sebelum gabah tersebut dikeringkan (Haryadi 2006) dan digiling (Tjiptadi dan
Nasution 1985). Tujuan dari pratanak adalah untuk menghindari kehilangan dan kerusakan beras, baik
ditinjau dari nilai gizi maupun rendemen yang dihasilkan. Kelebihan lain dari proses pratanak menurut
Hasbullah (2011) berarti juga melakukan proses sterilisasi gabah setelah dipanen, yang mungkin
mengandung kotoran dan telur serangga yang terinvestasi di dalamnya.
Pada zaman dahulu proses ini dilakukan guna mendapatkan kondisi gabah yang lebih mudah
dikupas sekamnya. Sedangkan perubahan sifat lainnya pada hasil akhir dianggap merupakan suatu
penyimpangan yang tidak berarti. Setelah penggilingan secara mekanis dikembangkan, maka proses
parboiling ini bukannya tetap statis, tetapi berkembang di dalam aspek ekonomi, nutrisi dan
praktisnya dalam rangka memodifikasi hasil berasnya (Tjiptadi dan Nasution 1985).
Kandungan gizi beras pratanak mencapai 80% mirip dengan beras tanpa sosoh (brown rice).
Menurut Nurhaeni (1980), peningkatan nilai gizi pada beras pratanak disebabkan oleh proses difusi
dan panas yang melekatkan vitamin-vitamin dan nutrien lainnya dalam endosperm, serta derajat sosoh
beras yang rendah akibat mengerasnya lapisan aleuron yang mengakibatkan sedikitnya bekatul dan
nutrien yang hilang. Nutrisi yang terkandung dalam beras pratanak, utamanya seperti tiamin
meningkat sehingga menyebabkan beras pratanak ini memiliki kandungan vitamin B yang lebih tinggi
dibandingkan beras biasa.
Studi pratanak dimulai dengan adanya isu-isu dari dunia kesehatan, bahwa orang yang makan
nasi dari beras pratanak terhindar dari penyakit beri-beri. Penyakit tersebut disebabkan oleh
kekurangan vitamin B1 atau thiamine (Tjiptadi dan Nasution 1985). Selain itu, para penderita diabetes
melitus (DM) sering kali menahan diri untuk mengkonsumsi nasi karena beras dianggap mempunyai
kandungan IG yang tinggi. Namun dengan adanya beras pratanak ini penderita DM dapat dengan
-
9
nyaman mengkonsumsi nasi sebab beras pratanak juga disinyalir memiliki nilai indeks glikemik (IG)
yang rendah.
Konsep IG pertama kali dikembangkan tahun 1981 oleh David Jenkins, seorang Profesor Gizi
pada Universitas Toronto, Kanada, untuk membantu menentukan pangan yang tepat untuk penderita
DM. Pada masa itu, diet bagi penderita DM didasarkan pada porsi karbohidrat, pada kuantitas yang
sama, menghasilkan pengaruh yang sama pada kadar glukosa darah (Rimbawan 2006). Karbohidrat
dalam pangan yang dicerna dan diserap dengan cepat selama pencernaan akan memiliki IG yang
tinggi. Dengan kata lain, glukosa dalam aliran darah akan meningkat dengan cepat setelah
mengkonsumsi pangan tersebut. Sebaliknya karbohidrat yang dicerna dan diserap dengan lambat akan
melepaskan glukosa ke dalam darah dengan lambat pula sehingga memiliki IG yang rendah (slow-
release carbohydrate). Indeks glikemik yang rendah dapat mengendalikan kadar glukosa dalam darah,
sedangkan serat pangan yang tinggi akan memperlambat laju pengosongan lambung. Oleh karena itu,
orang yang mengonsumsi nasi dari beras pratanak akan merasa kenyang lebih lama atau tidak cepat
lapar (Widowati 2008).
Sebenarnya anjuran untuk mengkonsumsi makanan dengan IG yang rendah ini juga ditujukan
kepada masyarakat umum, jadi tidak hanya untuk penderita diabetes. Badan Kesehatan Dunia WHO
bersama dengan FAO menganjurkan konsumsi makanan dengan IG rendah untuk mencegah penyakit-
penyakit degeneratif yang terkait dengan pola makan seperti penyakit jantung, diabetes, dan obesitas.
Perlu diketahui jenis-jenis makanan yang memiliki IG lebih dari 55 dikategorikan IG tinggi
sementara yang kurang dari itu dikategorikan IG rendah. Pada Tabel 6 di bawah ini ditunjukkan
kandungan zat gizi dan juga nilai IG beberapa jenis pangan yang menjadi sumber karbohidrat.
Tabel 6. Kandungan zat gizi dan indeks glikemik sumber karbohidrat (per 300 kkal)
Sumber Karbohidrat Berat (gram) Protein (%) KH (%) IG
Nasi Pera 182 3.6 71 79
Nasi Pulen 182 3.6 71 95
Sagu Ambon 309 0.6 74 102
Nasi Ketan 156 5.8 68 85
Nasi Gaplek 205 1.3 73 94
Singkong Kukus 205 2.5 71 94
Sumber : Soetrisno dan Apriyantono (2005)
Nasi seperti juga kentang dan roti tawar secara umum dikenal sebagai pangan dengan IG
tinggi. Meskipun demikian banyak penelitian yang menunjukkan bahwa varietas dan jenis pengolahan
yang berbeda ternyata dapat memberikan IG yang berbeda. Nilai IG beras dan produk olahannya
dibandingkan dengan glukosa bervariasi antara 38-92. Ada juga yang melaporkan antara 36-128.
Beberapa hasil penelitian menunjukkan nasi parboiled dan basmati cenderung mempunyai IG yang
lebih rendah (intermediate), khususnya apabila tidak dimasak secara berlebihan (overcooked)
(Rimbawan 2006). Nilai IG beras pratanak sendiri berkisar antara 44.22-76.32, nilai ini lebih rendah
jika dibandingkan dengan nilai IG beras giling biasa yang berkisar antara 54.43-97.29 (Widowati et
al. 2009).
Walaupun beras pratanak lebih disukai oleh beberapa konsumen karena kelebihannya, beras
pratanak juga memiliki kelemahan diantaranya dedak yang melekat sangat sulit dihilangkan,
membutuhkan biaya pengolahan yang lebih banyak, lebih mudah menjadi tengik, membutuhkan
-
10
waktu yang cukup lama dalam memasak nasi pratanak (Wimberly 1983). Namun demikian,
mengingat semakin tingginya kesadaran masyarakat akan kesehatan, pencegahan gizi buruk serta
mahalnya harga obat-obatan, maka mengkonsumsi beras pratanak merupakan salah satu pilihan yang
tepat. Dengan semakin meningkatnya permintaan terhadap beras sehat maka peluang memproduksi
beras pratanak akan terbuka lebar, khususnya untuk para petani dan industri penggilingan padi di
Indonesia. Oleh karena itu, pengembangan teknologi proses pengolahan beras pratanak ini sangat
dibutuhkan, terutama untuk menghasilkan beras yang bermutu tinggi.
E. TEKNOLOGI PENGOLAHAN BERAS PRATANAK
Dalam suatu sistem klasik terdapat tiga tahap proses beras pratanak yaitu: perendaman
(steeping in water), pengukusan (steaming), dan pengeringan (drying). Pemakaian air dan panas
mengakibatkan terjadinya modifikasi sifat fisik, kimia, fisiko-kimia, biokimia, estetika dam
organoleptik (Tjiptadi dan Nasution 1985). Sedangkan menurut Ali dan Ojha (1976) prinsip dasar dari
proses pratanak padi adalah pembersihan (cleaning), perendaman (soaking), pengukusan (steaming)
dan pengeringan (drying). Selain keempat tahap tersebut, penggilingan (milling) juga tahap yang
sangat penting dalam menghasilkan beras pratanak.
1. Pembersihan (cleaning)
Gabah yang akan diproses pratanak terlebih dahulu dibersihkan dari kotoran-kotoran dan benda
asing seperti batu dan gabah hampa. Cara lama pembersihan gabah dilakukan dengan pengapungan.
Hal ini dimaksudkan untuk memisahkan gabah hampa, daun, dan benda lain yang ringan dari
tumpukan gabah. Jika teknologi grading gabah memadai dapat digunakan alat pemisah kotoran kecil,
ringan dan berat berupa aspirator ataupun sieving.
2. Perendaman (soaking)
Proses perendaman atau soaking bertujuan untuk memasukkan air ke dalam ruang inter
cellular dari sel-sel pati endosperm dan sebagian air diserap oleh sel-sel pati sendiri sampai pada
tingkat tertentu, sehingga cukup untuk proses gelatinisasi. Selama perendaman, gabah harus benar-
benar terendam air. Perendaman umumnya dilakukan dengan dua cara, yaitu perendaman dengan air
bersuhu ruang dan perendaman dengan air panas. Periode perendaman tergantung kepada suhu air
yang digunakan. Semakin tinggi suhu air tersebut maka waktu perendaman semakin singkat. Padi atau
gabah yang direndam pada suhu lingkungan (20-30 oC) membutuhkan waktu selama 36 hingga 48 jam
agar gabah dapat mencapai kadar air 30%. Pada perendaman yang dilakukan dengan air panas
bersuhu sekitar 60-65 oC hanya membutuhkan waktu selama 2 hingga 4 jam perendaman (Wimberly
1983).
3. Pengukusan (steaming)
Setelah mengalami perendaman dalam jangka waktu tertentu, gabah tersebut diberi uap panas
atau steaming. Steaming ini ditujukan untuk melunakkan struktur sel pati endosperm sehingga tekstur
granula pati dari endosperm menjadi seperti pasta akibat proses gelatinisasi. Gelatinisasi total
merupakan tujuan utama dari proses pratanak sehingga memberikan hasil yang jernih. Alat
pengukusan yang digunakan dapat berupa ketel, tangki metal tanpa ataupun yang dilengkapi dengan
boiler. Sumber panas untuk steam yang digunakan pada pemanasan beras pratanak adalah tungku.
-
11
Bahan bakar untuk tungku steam ini menggunakan biomassa berupa serbuk gergaji atau sekam hasil
samping penggilingan padi.
Menurut Wimberly (1983), pemberian uap panas ini juga mempunyai beberapa kelebihan
diantaranya panas yang tinggi dapat diaplikasikan pada suhu yang konstan, relatif mudah ditangani,
pengendalian suhu gabah yang mudah, dapat dihentikan secara cepat, dan mempunyai tingkat pindah
panas yang tinggi dibanding media lain (seperti halnya air panas). Pada umumnya steam jenuh yang
digunakan untuk pengukusan mempunyai tekanan antara 1-5 kg/cm2 atau pada suhu sekitar 100-150 oC. Pengukusan pada tangki yang kecil membutuhkan waktu 2- 3 menit dan pada tangki yang besar
dapat memakan waktu selama 20-30 menit.
4. Pengeringan (drying)
Pengeringan dalam proses pratanak sedikit berbeda dengan pengeringan untuk padi biasa atau
tanpa proses pratanak. Hal ini disebabkan karena padi pratanak mempunyai suhu yang lebih tinggi
(bisa mencapai 100 oC), mengandung kadar air yang tinggi (dapat mencapai 45 %), tekstur butir yang
berbeda akibat pemanasan yang intensif dan steril akibat pemanasan yang dilakukan terutama pada
saat steaming (Ruiten 1979 diacu dalam Burhanudin 1981). Pengeringan gabah hasil pratanak
dilakukan hingga mencapai kadar air GKG (Gabah Kering Giling) yaitu 14%. Pengeringan dapat
dilakukan dengan menggunakan energi matahari secara langsung (sun drying) ataupun menggunakan
alat pengering yang telah ada.
Pengeringan terhadap padi yang telah direndam dan dikukus harus dilakukan dengan segera
untuk menghindari pertumbuhan jamur dan terjadinya fermentasi. Pengeringan ini merupakan tahap
akhir dalam pengolahan padi secara pratanak (parboiling rice). Penundaan pengeringan yang
dilakukan terhadap padi pratanak akan mengakibatkan proses gelatinisasi terus berlangsung serta akan
mengakibatkan butir padi menjadi berwarna gelap akibat terlalu lama dibiarkan di udara terbuka.
Penundaan pengeringan juga akan mengakibatkan pertumbuhan jamur dan kapang. Walaupun gabah
tersebut telah steril akan tetapi kadar air gabah yang tinggi tersebut sangat sesuai bagi perkembangan
mikroorganisme tersebut.
5. Penggilingan (milling)
Tahap akhir untuk menghasilkan beras pratanak adalah penggilingan (milling). Patiwiri (2006)
menerangkan bahwa proses penggilingan padi diawali dengan pembersihan awal untuk membersihkan
gabah dari kotoran-kotoran hingga gabah menjadi bersih. Selanjutnya gabah bersih mengalami proses
pemecahan kulit sehingga sekam yang berbobot sekitar 20% dari bobot awal gabah akan terlepas dari
butiran gabah dan menghasilkan beras pecah kulit. Jika butir gabah tidak ditemukan pada beras pecah
kulit, maka proses pemecahan kulit dikatakan sempurna. Beras pecah kulit hasil penggilingan masih
berwarna coklat kusam sehingga perlu proses penyosohan guna memisahkan bekatul dan untuk
mendapatkan warna beras yang mengkilap. Setelah penyosohan selesai maka hasil akhir penggilingan
yang berupa beras telah siap untuk menjadi bahan pangan dan dikonsumsi.
-
12
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. WAKTU DAN TEMPAT
Waktu penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai Oktober 2011. Penelitian
dilaksanakan di laboratorium LBP (Lingkungan dan Bangunan Pertanian) dan di laboratorium
Leuwikopo, Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor.
B. BAHAN DAN ALAT
Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah gabah dengan varietas Situ Bagendit
serta air bersih untuk perendaman gabah. Gabah diperoleh dari petani di wilayah Dramaga, Bogor.
Peralatan yang digunakan adalah unit pengolahan beras pratanak (drum perendaman gabah, tangki
pengukusan gabah, dan steam boiler) hybrid recorder, termokopel, grain moisture tester, timbangan
analitik, rice grader/cylinder separator, baki penampung, dan beberapa peralatan bantu lainnya.
Peralatan utama yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 2.
(a) (b)
Gambar 2. Unit pengolahan beras pratanak : drum perendaman (a) tangki pengukusan dan steam
boiler (b)
C. METODE PENELITIAN
1. Prosedur Penelitian
Sejumlah gabah yang telah dibersihkan direndam dalam air bersuhu 60oC 5 selama 4 jam.
Perendaman ini bertujuan untuk mencapai kadar air gabah hingga 30%. Kemudian gabah tersebut
dibagi ke dalam 2 bagian dan diberikan perlakuan pemanasan dengan suhu yang sama yaitu 80oC,
namun dalam lama waktu pemanasan yang berbeda, masing-masing selama t1= 20 menit, t2= 30
menit, serta terdapat t0 (tanpa proses pratanak) yang dijadikan kontrol. Terdapat 2 kali pengulangan
-
13
untuk masing-masing perlakuan ini. Pada saat pengukusan berlangsung, penyebaran suhu gabah
diukur untuk masing-masing perlakuan. Letak titik pengukuran suhu saat pengukusan dapat dilihat
pada gambar 3. Setelah proses pemanasan atau pemberian uap panas selesai, selanjutnya dilakukan
pengeringan terhadap gabah hingga mencapai kadar air Gabah Kering Giling (GKP) yakni 14%.
Gabah yang telah kering kemudian digiling dan dilakukan pengamatan mutu. Pengamatan mutu beras
meliputi mutu fisik yaitu rendemen giling dan mutu giling, mutu gizi yaitu analisa proksimat terhadap
beras pratanak hasil dari penggilingan gabah tersebut, serta organoleptik terhadap beras pratanak.
Diagram alir prosedur penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 4.
1 2 3 4
5 6 7 8
9 10 11 12
Gambar 3. Layout letak titik pengukuran suhu saat pengukusan
Pembagian titik pengukuran untuk keduabelas titik tersebut adalah sebagai berikut :
a. Suhu gabah bagian atas (Tha) terdiri dari nomor 1, 2, 3, dan 4
b. Suhu gabah bagian tengah (Tht) terdiri dari nomor 5, 6, 7, dan 8
c. Suhu gabah bagian bawah (Thb) terdiri dari nomor 9, 10, 11, dan 12
d. Suhu gabah bagian dalam (Tvi) terdiri dari nomor 2, 3, 6, 7, 10, dan 11
e. Suhu gabah bagian luar (Tvo) terdiri dari nomor 1, 4, 5, 8, 9, dan 12
2. Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap
(RAL) dengan tiga buah perlakuan dan setiap perlakuan diberi ulangan sebanyak 2 kali. Rumus
rancangan percobaan yang digunakan adalah sebagai berikut :
Yij = + i + ij
Keterangan :
i = t0, t1 dan t2 (perlakuan)
j = 1,2 (ulangan)
Yij = hasil pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
= rataan umum
i = pengaruh perlakuan ke-i = i
ij = pengaruh acak pada perlakuan ke-i, ulangan ke-j
-
14
Gambar 4. Diagram alir prosedur penelitian
Gabah (varietas Bagendit)
Pembersihan (precleaning)
Perendaman (steeping in water) Suhu 60 oC 5 selama 4 jam
Pemberian uap panas (steaming) Suhu 80 oC
Pengeringan (drying) hingga mencapai kadar air 14%
Penggilingan (milling)
Gabah Kering Giling
t = 20 menit
kontrol
t = 30 menit
Pengamatan mutu beras : Rendemen kadar air, mutu giling, kadar
abu, lemak, protein, dan karbohidrat
Organoleptik : warna, aroma dan penerimaan umum
Beras pratanak
Pengukuran kadar air 14%
-
15
3. Analisis Parameter Mutu
a. Rendemen (Muchtadi dan Sugiyono 1992)
Pengukuran rendemen beras pratanak dihitung berdasarkan perbandingan berat beras pratanak
yang dihasilkan (b kg) terhadap berat awal gabah yang digunakan (a kg) rendemen dihitung dengan
rumus:
Rendemen = (b/a) x 100 %
b. Mutu giling (SNI 01-6128 : 2008)
Penentuan derajat sosoh dilakukan pada beras contoh analisis sebanyak 100 gram secara visual
dengan indra penglihatan menggunakan pertolongan kaca pembesar yang dibandingkan dengan
contoh beras standar yang mempunyai derajat sosoh 100%, 90%, dan 80%.
Sampel beras giling dan beras pratanak ditimbang sebanyak 100 gram (berat awal) dengan 3
kali ulangan. Sampel dipisahkan menjadi beras kepala (>2/3), beras patah (1/3-2/3) dan beras menir
(2/3)
100 %
Beras patah (%) = (
1
32/3)
100 %
Beras menir (%) = (
-
16
c. Kadar Air, Metode Oven (AOAC 1995)
Cawan aluminium dikeringkan dalam oven pada suhu 105 oC selama 1 jam, kemudian
didinginkan dalam desikator dan ditimbang (a gram). Sampel ditimbang sebanyak 2 gram lalu
dimasukkan dalam cawan (b gram) dan dikeringkan dalam oven dengan suhu 105-110 oC selama 3
jam, kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sampel dipanaskan lagi di dalam oven
sampai tercapai berat konstan (c gram). Kadar air dapat ditentukan dengan rumus sebagai berikut.
Kadar air (%) = ()
() 100 %
d. Kadar Abu, Metode Pengabuan Kering (AOAC 1995)
Ditimbang sampel sebanyak 2 gram (a gram), dimasukkan ke dalam cawan porselen yang telah
dikeringkan dan diketahui beratnya (b gram), kemudian diabukan dalam tanur pengabuan pada suhu
450-550 oC selama 2 jam atau sampai semua sampel telah menjadi abu, didinginkan dalam desikator
dan ditimbang (c gram).
Kadar abu (%bb) =
() 100 %
Kadar abu (%bk) = (% )
100 100 %
e. Kadar Lemak , Metode Soxhlet (AOAC 1995)
Labu lemak yang akan digunakan dikeringkan dalam oven bersuhu 100-110 oC, didinginkan
dalam desikator, dan ditimbang. Sampel ditimbang sebanyak 5 gram dibungkus dengan kertas saring
lalu dimasukkan ke dalam alat ekstraksi (soxhlet) yang berisi pelarut heksana.
Reflux dilakukan selama 5 jam, kemudian pelarut yang ada didalam labu lemak didistilasi.
Selanjutnya labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven pada suhu 100 oC
hingga beratnya konstan, didinginkan dalam desikator, lalu ditimbang. Kadar lemak ditentukan
dengan rumus sebagai berikut.
Kadar lemak (%bb) =
100 %
Kadar lemak (%bk) = (%)
100 100 %
f. Kadar Protein, Metode Mikro Kjeldahl (AOAC 1995)
Sampel ditimbang sebanyak 0.2 gram, kemudian dimasukkan ke dalam labu kjeldahl 100 ml
lalu ditambahkan 2 gram K2SO4, 40 mg HgO dan 2.5 ml H2SO4 pekat, setelah itu didestruksi selama
30 menit sampai warna cairan berwarna hijau jernih, dibiarkan sampai dingin, lalu ditambahkan 35 ml
air suling dan 10 ml NaOH pekat sampai berwarna coklat kehitaman, kemudian didistilasi. Hasil
destruksi ditampung dalam erlenmeyer 125 ml yang berisi H3BO3 dan indikator, lalu dititrasi dengan
HCl 0.02 N, larutan blangko dianalisis seperti sampel. Kadar nitrogen dihitung berdasarkan rumus:
Kadar nitrogren (%) = 14.0007
100 %
Kadar protein (% bb) = % N x faktor konversi (Faktor konversi beras = 5.95)
-
17
Kadar lemak (% bk) = (% )
100 100 %
g. Kadar Karbohidrat by difference (Winarno 1992)
Kadar karbohidrat dihitung menggunakan metode by difference yaitu dengan menggunakan
rumus:
Kadar karbohidrat (%bk) = 100-%bk (abu+ lemak + protein)
h. Organoleptik
Uji organoleptik yang dilakukan adalah uji hedonik. Uji hedonik dilakukan dengan
menggunakan panelis tidak terlatih dari mahasiswa dan pegawai dengan tujuan untuk mengetahui
tingkat kesukaan konsumen terhadap beras pratanak yang diuji. Uji organoleptik dilakukan terhadap
warna, aroma dan penampakan secara umum. Pengujian menggunakan skala 1-7, skala 1 untuk
sangat tidak suka dan skala 7 untuk sangat suka.
-
18
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. PROSES PENGOLAHAN BERAS PRATANAK
Gabah yang diperoleh dari petani masih bercampur dengan jerami kering, gabah hampa dan
kotoran lainnya sehingga perlu dilakukan pembersihan. Oleh karena itu pengolahan beras pratanak
dimulai dengan pembersihan gabah menggunakan precleaner. Alat ini berfungsi untuk memisahkan
gabah dari kotoran serta gabah hampa. Setelah dibersihkan, berat keseluruhan gabah mengalami
penyusutan hingga 5%.
Gabah yang telah bersih disiapkan untuk proses perendaman. Gabah ditimbang dan
dimasukkan ke dalam karung dengan tujuan untuk mempermudah saat gabah dimasukkan dan
dikeluarkan dari drum perendaman. Kadar air awal gabah sebelum direndam berkisar antara 13-15%.
Suhu air dalam drum dipertahankan berkisar antara 60-70 oC dengan cara menambahkan air panas jika
suhu terukur mengalami penurunan. Perendaman gabah dengan suhu berkisar antara 60-70 oC
dimaksudkan untuk meningkatkan kadar air gabah hingga mencapai sekitar 30% basis basah. Menurut
Ali dan Ojha (1976) pada kadar air tersebut proses gelatinisasi pati dalam gabah dapat berlangsung.
Namun demikian, pada saat perendaman dihentikan kadar air yang terukur hanya berkisar antara 24-
26%. Hal ini kemungkinan terjadi karena penggunaan karung yang dapat memperlambat peresapan air
ke dalam gabah sehingga dalam waktu 4 jam perendaman belum cukup untuk meningkatkan kadar air
30%.
Selama pengukusan, suhu steam yang digunakan mengalami perkembangan. Setelah gabah
dipindahkan ke dalam tangki pengukusan, suhu steam dalam tangki pengukusan yang pada awalnya
telah disiapkan berkisar antara 80 oC hingga 90 oC mengalami penurunan kemudian dengan perlahan
meningkat hingga mencapai hampir 100 oC. Pada Gambar 5 dan Gambar 6 ditunjukkan profil suhu
gabah saat pengukusan 20 menit. Gambar 5 menjelaskan penyebaran suhu yang diambil secara
horizontal. Suhu gabah bagian atas (Tha) terlihat lebih rendah dibanding suhu bagian tengah (Tht) dan
suhu bagian bawah (Thb). Kemungkinan besar hal ini dapat terjadi karena pada saat pengukusan,
tangki pengukusan tidak ditutup. Sedangkan suhu pada Tht dan Thb menunjukkan penyebaran suhu
yang merata dan sesuai dengan target yaitu mencapai 80 oC.
Gambar 5. Distribusi suhu gabah secara horizontal pada pengukusan 20 menit
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
0 5 10 15 20 25
Suh
u (
oC
)
Waktu (menit)
Suhu bagian atas Suhu bagian tengah
Suhu bagian bawah
-
19
Pada Gambar 6 ditunjukkan penyebaran suhu gabah yang diukur secara vertikal. Suhu yang
terukur pada bagian dalam (Tvi) lebih tinggi dibanding dengan suhu bagian luar (Tvo). Hal ini dapat
disebabkan Tvi berada lebih dekat dengan pipa pengeluaran uap yang memungkinkan suhu gabah
masih sama seperti suhu uap yang dihasilkan. Tidak meratanya distribusi suhu ini dapat menyebabkan
ketidakseragaman kualitas beras hasil pratanak.
Gambar 6. Distribusi suhu gabah secara vertikal pada pengukusan 20 menit
Pada Gambar 7 ditunjukkan grafik penyebaran suhu dalam tangki untuk lama pengukusan 30
menit. Sama seperti pada pengukusan 20 menit, karena adanya penghentian suplai steam, suhu steam
pada menit ke-0 masih berkisar antara 40 oC hingga 50 oC dan mengalami peningkatan pada menit
selanjutnya. Pada grafik terlihat suhu gabah di bagian tengah (Tht) dapat mencapai suhu pengukusan
yang diinginkan yaitu 80 oC. Sedangkan suhu gabah bagian atas (Tha) dan suhu bagian bawah (Thb)
masih dibawah 80 oC. Pada bagian atas kemungkinan karena tangki pengukusan tetap terbuka saat
pengukusan dan bagian bawah karena telah berada jauh dari sumber steam.
Gambar 7. Distribusi suhu gabah secara horizontal pada pengukusan 30 menit
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
0 5 10 15 20 25
Suh
u (
oC
)
Waktu (menit)
Suhu bagian luar Suhu bagian dalam
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
0 5 10 15 20 25 30 35
Suh
u (
oC
)
Waktu (menit)
Suhu bagian atas Suhu bagian tengah
Suhu bagian bawah
-
20
Grafik yang ditunjukkan pada Gambar 8 menjelaskan profil suhu pada pengukusan 30 menit.
Pada grafik terlihat suhu yang terukur pada bagian luar (Tvo) lebih rendah dibanding suhu bagian
dalam (Tvi). Sama seperti pada pengukusan 20 menit, hal ini dapat terjadi karena Tvi terletak dekat di
pipa pengeluaran uap. Karena alasan ini suhu gabah pada bagian dalam masih relatif sama dengan
suhu uap yang dihasilkan dari boiler dan sesuai dengan suhu pengukusan yang diharapkan. Agar
penyebaran suhu gabah merata saat pengukusan berlangsung, tangki pengukusan diupayakan tertutup
dan dilakukan penambahan pipa saluran steam ke dalam tangki.
Gambar 8. Distribusi suhu gabah secara vertikal pada pengukusan 30 menit
Setelah pengukusan berlangsung dengan lama 20 menit atau 30 menit, proses selanjutnya
adalah pengeringan. Pengeringan ditujukan untuk menurunkan kadar air gabah hingga mencapai kadar
air GKG yaitu antara 13- 14%. Pada kadar air ini gabah siap untuk digiling atau aman untuk disimpan
dalam waktu yang lama. Metode pengeringan yang digunakan pada penelitian ini adalah penjemuran
dengan memanfaatkan panas sinar matahari. Penjemuran dilakukan dengan menggunakan alas berupa
lantai jemur. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah bercampurnya kotoran, kehilangan butiran gabah,
memudahkan pengumpulan gabah dan menghasilkan penyebaran panas yang merata.
Gabah hasil pengeringan yang telah mencapai kadar air GKG tersebut selanjutnya digiling.
Penggilingan gabah dilakukan di penggilingan padi milik petani di daerah Situ Gede. Penggilingan
merupakan proses untuk mengubah gabah menjadi beras. Penggilingan gabah dimulai dengan
pemecahan kulit yang bertujuan untuk melepaskan kulit gabah dengan kerusakan yang sekecil
mungkin pada butiran beras. Setelah pemecahan kulit, beras pecah kulit masih berwarna gelap
kecoklatan dan tidak bercahaya sehingga dilakukan tahap selanjutnya yaitu penyosohan. Menurut
Patiwiri (2006) disamping penampakannya yang kurang menarik, adanya bekatul pada beras juga
membuat rasa nasi kurang enak meskipun bekatul memiliki nilai gizi yang tinggi. Proses penggilingan
gabah ini mengalami 2 kali pecah kulit dan 2 kali penyosohan. Hal penting yang harus diperhatikan
sebelum proses penggilingan adalah kondisi fisik gabah antara ketiga perlakuan harus sama, seperti
umur simpan setelah proses pengeringan dan kadar air gabah. Hal ini dimaksudkan agar tidak terdapat
perbedaan lain antara gabah yang digiling kecuali beda perlakuan lama pengukusan.
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
0 5 10 15 20 25 30 35
Suh
u (
oC
)
Waktu (menit)
Suhu bagian luar Suhu bagian dalam
-
21
B. PENGARUH LAMA PENGUKUSAN TERHADAP MUTU FISIK BERAS PRATANAK
1. Rendemen Giling
Rendemen giling beras pratanak dihitung berdasarkan perbandingan antara berat beras hasil
giling dengan berat awal gabah yang digiling. Hasil perhitungan untuk rendemen giling beras pratanak
menunjukkan adanya peningkatan jika dibandingkan dengan kontrol meskipun secara statistik tidak
berbeda nyata. Hasil perhitungan rendemen penggilingan dapat dilihat pada Lampiran 4. Besarnya
peningkatan rendemen giling berkisar antara 2.76% - 2.94%. Melalui Gambar 9 dapat dilihat bahwa
rendemen giling terbesar berdasarkan lama pengukusan adalah beras pratanak dengan pengukusan
selama 30 menit. Pada histogram terlihat rendemen giling beras biasa sebesar 66.61%, sedangkan
rendemen giling beras pratanak berturut-turut meningkat menjadi 69.37% dan 69.55%. Peningkatan
rendemen giling ini disebabkan ikatan sel-sel beras lebih kompak dan kuat akibatnya pada proses
penggilingan lebih tahan terhadap gesekan saat pengupasan dan penyosohan (Burhanuddin 1981).
Gambar 9. Rendemen giling beras pratanak
Berdasarkan analisis sidik ragam, perlakuan lama pengukusan tidak berpengaruh nyata
terhadap rendemen giling beras pratanak. Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa lama pengukusan 20
menit tidak berbeda nyata dengan pengukusan selama 30 menit dan kontrol. Analisis sidik ragam
dapat dilihat pada Lampiran 13.
2. Mutu Giling
Menurut aturan SNI 01-6128 : 2008, beras adalah hasil utama yang diperoleh dari proses
penggilingan gabah hasil tanaman padi (Oryza sativa L.) yang seluruh lapisan sekamnya terkelupas
dan seluruh atau sebagian lembaga dan lapisan bekatulnya telah dipisahkan. Beras pratanak hasil
penelitian ini telah memenuhi persyaratan umum sesuai dengan standar SNI 01-6128 : 2008.
Pengamatan yang dilakukan secara visual dan penciuman menerangkan bahwa beras pratanak ini a)
bebas hama dan penyakit. b) bebas bau apek, asam, atau bau asing lainnya. c) bebas dari campuran
dedak dan bekatul. d) bebas dari bahan kimia yang membahayakan konsumen. Sedangkan
pengamatan yang dilakukan untuk mengetahui tingkat mutu pada persyaratan khusus atau syarat
kualitatif beras pratanak dapat dilihat pada Tabel 7.
69.37 69.55
66.61
60
65
70
75
80
Ren
dem
en G
ilin
g (
%)
Lama pengukusan
20 menit 30 menit kontrol
-
22
Beras pratanak memiliki tingkat derajat sosoh yang rendah. Pemanasan yang lama
menyebabkan pigmen sekam yang larut dalam air perendaman menembus endosperm sebagai akibat
panas yang diberikan sehingga warna beras berubah menjadi berwarna kekuning-kuningan. Perubahan
warna yang terjadi pada beras pratanak disebabkan oleh adanya reaksi beberapa asam amino bebas
dengan monosakarida pada proses pratanak, sehingga berpengaruh pada derajat sosoh beras pratanak
(Gariboldi 1974). Berdasarkan hasil analisa sidik ragam menyatakan bahwa lama pengukusan
berpengaruh terhadap tingkat derajat sosoh beras pratanak. Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa beras
pratanak dengan pengukusan 20 menit dan 30 menit berbeda nyata dengan beras yang dijadikan
kontrol.
Menurut Widowati et al. (2009) kandungan air dalam bahan pangan juga ikut menentukan
daya terima, kesegaran dan daya tahan produk. Kadar air yang rendah dapat memperpanjang umur
simpan beras. Hal tersebut dikarenakan mikroba sulit tumbuh pada kondisi kering. Berdasarkan
analisis sidik ragam, perlakuan lama pengukusan tidak mempengaruhi kadar air akhir beras setelah
penggilingan. Kadar air dari beras hasil penggilingan dipengaruhi oleh proses pengeringan. Pada
pengolahan beras pratanak ini gabah hasil pengukusan dikeringkan dengan metode penjemuran di
bawah sinar matahari langsung, begitu juga dengan gabah yang dijadikan kontrol.
Tabel 7. Mutu giling beras pratanak dengan perlakuan lama pengukusan yang berbeda
Komponen mutu Perlakuan (lama pengukusan)
20 menit 30 menit kontrol
Derajat sosoh (%) 850 b 850 b 950 a
Kadar air (%) 13.200.49 a 13.530.18
a 13.631.45
a
Butir kepala (%) 61.673.28 b 67.941.79 a 71.350.82 a
Butir patah (%) 34.340.56 a 27.941.66
b 26.190.09
b
Butir menir (%) 3.990.05 a 4.120.13
a 2.450.73
b
Butir merah (%) 0 0 0
Butir kuning/rusak (%) 0.410.30 a 0.420.02
a 0.440.24
a
Butir mengapur (%) 0.140.03 a 0.260.18
a 0.280.01
a
Benda asing (%) 0 0 0.020.01
Butir gabah (butir/100 g) 0 0 0
Rendemen (%) 69.371.03 a 69.550.64
a 66.612.05
a
Huruf yang sama menunjukkan bahwa perlakuan tidak berbeda nyata pada taraf 0.05
Hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 16 menunjukkan bahwa perlakuan lama pengukusan
memiliki pengaruh terhadap persentase butir kepala beras pratanak. Dengan uji lanjut dapat dilihat
bahwa beras pratanak dengan pengukusan 30 menit dan kontrol berbeda nyata dengan beras pratanak
pengukusan 20 menit. Pada Tabel 7 terlihat bahwa persentase terbesar butir kepala adalah pada
kontrol dengan besar 71.35%, diikuti dengan perlakuan lama pengukusan 30 menit sebesar 67.94%
dan terakhir sebesar 61.67% untuk lama pengukusan 20 menit. Namun demikian, berdasarkan mutu
SNI 01-6128 : 2008 dengan hasil persentase butir kepala seperti yang telah disebutkan, ketiga
perlakuan ini termasuk ke dalam mutu V.
-
23
Persentase butir patah paling besar terdapat pada perlakuan lama pengukusan 20 menit yaitu
sebesar 34.34%, kemudian diikuti oleh perlakuan lama pengukusan 30 menit sebesar 27.94% dan
terakhir perlakuan kontrol sebesar 26.19%. Banyaknya butir patah hasil giling ini disebabkan oleh
tidak sempurnanya gelatinisasi pati yang terjadi saat perendaman. Berdasarkan analisis sidik ragam
seperti pada Lampiran 17, perlakuan lama pengukusan berpengaruh terhadap persentase butir patah.
Dengan uji lanjut dapat dilihat bahwa persentase butir patah pada perlakuan lama pengukusan 20
menit berbeda nyata dengan perlakuan pengukusan 30 menit dan kontrol.
Berdasarkan analisis sidik ragam seperti pada Lampiran 18, perlakuan lama pengukusan tidak
berpengaruh nyata terhadap persentase butir menir (P>0.05). Dengan uji lanjut dapat dilihat bahwa
persentase butir menir pada perlakuan lama pengukusan 20 menit dan 30 menit berbeda nyata dengan
persentase butir menir pada perlakuan kontrol. Butir menir tertinggi seperti yang terlihat pada Tabel 7
dimiliki oleh beras pratanak dengan lama pengukusan 30 menit yaitu sebesar 4.12%, kemudian beras
pratanak dengan lama pengukusan 20 menit yaitu sebesar 3.99% dan terakhir beras biasa atau kontrol
sebanyak 2.45%. Namun, jika dilihat dari butir menir yang dihasilkan maka ketiga perlakuan ini
termasuk ke dalam mutu V berdasarkan SNI 01-6128 : 2008.
Pada Tabel 7 terlihat bahwa persentase butir kuning/rusak terbesar berturut-turut adalah pada
perlakuan kontrol yaitu sebesar 0.44%, pengukusan 30 menit sebesar 0.42%. dan pengukusan 20
menit sebesar 0.41%. Berdasarkan analisis sidik ragam, perlakuan lama pengukusan tidak
berpengaruh nyata terhadap banyaknya butir kuning/rusak pada beras. Hasil analisis sidik ragam dapat
dilihat pada Lampiran 19. Namun, jika dilihat dari butir kuning/rusak yang dihasilkan maka ketiga
perlakuan ini termasuk ke dalam mutu II berdasarkan SNI 01-6128 : 2008. Penyebab utama butir
kuning/rusak pada beras adalah adanya peragian, pembusukan, atau pertumbuhan jamur karena
kurang sempurnanya proses pengeringan gabah setelah panen. Gabah dari hasil panen musim hujan
yang tidak sempat segera dikeringkan akan banyak menghasilkan butir kuning (Damardjati dan
Purwani 1991).
Persentase butir mengapur untuk ketiga perlakuan berturut-turut adalah 0.28% untuk perlakuan
kontrol, 0.26% untuk lama pengukusan 30 menit dan 0.14% untuk lama pengukusan 20 menit.
Berdasarkan analisis sidik ragam pada Lampiran 20, ketiga perlakuan yang diujikan tidak berpengaruh
nyata terhadap banyaknya butir mengapur pada beras. Menurut Damardjati dan Purwani (1991), butir
mengapur dapat berasal dari biji yang masih muda atau karena pertumbuhan yang kurang sempurna.
Butir mengapur ini juga dapat disebabkan karena adanya faktor genetik. Adanya butir hijau dan butir
mengapur merupakan sifat varietas disamping pengaruh lingkungan dan pengelolaan.
Benda asing yang tidak tergolong beras dan gabah hanya ditemukan pada beras biasa atau
perlakuan kontrol, yakni sebesar 0.02%. Sedangkan pada beras pratanak dengan perlakuan
pengukusan 20 menit dan 30 menit tidak ditemukan adanya benda asing. Komponen mutu lain seperti
butir merah dan butir gabah tidak ditemukan dari beras pratanak hasil percobaan ini.
C. PENGARUH LAMA PENGUKUSAN TERHADAP KANDUNGAN GIZI BERAS PRATANAK
Menurut Juliano (1972), lapisan aleuron pada beras banyak mengandung protein, lemak,
vitamin dan mineral. Pada pengolahan gabah cara biasa, lapiran aleuron sebagai pembungkus
endosperm yang disebut juga kulit ari banyak yang terkelupas akibat penyosohan dan gesekan antara
butir-butir beras. Pada pengolahan cara pratanak, kandungan pada lapisan aleuron ini terserap ke
dalam endosperm akibat proses gelatinisasi pati. Oleh karena itu, nilai gizi beras pratanak meningkat.
Kandungan gizi beras pratanak dapat dilihat pada Tabel 8.
-
24
Tabel 8. Pengaruh lama pengukusan terhadap kandungan gizi beras pratanak
Komponen gizi Perlakuan (lama pengukusan)
20 menit 30 menit Kontrol
Kadar abu (% bk) 0.950.14 a 0.940.00
a 0.620.02
b
Kadar lemak (% bk) 1.000.12 ab
1.440.17 a 0.670.23
b
Kadar protein (% bk) 9.490.41 a 10.080.56
a 9.350.86
a
Kadar karbohidrat (% bk) 88.350.43 a 89.110.95
a 87.971.35
a
Huruf yang sama menunjukkan bahwa perlakuan tidak berbeda nyata pada taraf 0.05
Pada penelitian ini diperoleh kadar abu dan kadar lemak beras pratanak lebih tinggi
dibandingkan dengan beras kontrol, namun lama pengukusan 20 menit dan 30 menit tidak berbeda
nyata. Penerapan teknologi pengolahan beras pratanak dapat meningkatkan kadar abu sebesar 0.32%-
0.33%. Peningkatan ini terjadi karena selama proses pengolahan beras pratanak mineral-mineral yang
terkandung dalam sekam dan bekatul terserap ke dalam beras pratanak. Berdasarkan analisis sidik
ragam seperti terlihat pada Lampiran 21, perlakuan lama pengukusan berpengaruh nyata terhadap
kandungan abu dalam beras pratanak. Dengan uji lanjut diperoleh adanya perbedaan nyata antara lama
pengukusan 20 menit dan 30 menit dengan beras yang dijadikan sebagai kontrol seperti yang tertera
pada Tabel 8 di atas.
Menurut Kunze dan Calderwood (2004) dalam Dewi (2009), beras dengan derajat sosoh yang
tinggi lebih tahan dalam hal penyimpanan dibandingkan dengan beras derajat sosoh rendah, karena
beras dengan derajat sosoh rendah mudah mengalami ketengikan karena masih memiliki lapisan
dedak aleuron yang memiliki kandungan lemak tinggi. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa
perlakuan pengukusan selama 30 menit mampu meningkatkan kadar lemak beras pratanak. Dari uji
lanjut diperoleh bahwa pengukusan 30 menit berbeda nyata dengan kontrol namun tidak berbeda
nyata dengan pengukusan selama 20 menit.
Pada beras, protein merupakan penyusun kedua setelah pati. Kadar protein pada beras
umumnya ditentukan oleh faktor lingkungan tempat tumbuhnya padi seperti unsur nitrogen dalam
tanah. Protein pada beras biasa atau beras giling yang dijadikan kontrol memiliki kadar protein
sebesar 9.35%. Setelah dilakukan proses pratanak, kadar protein dalam beras secara statistik
menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan (Lampiran 23). Proses pratanak yang diharapkan
dapat meningkatkan kandungan gizi beras belum bisa meningkatkan kadar protein beras. Hal ini
kemungkinan disebabkan oleh tidak meratanya panas yang dterima gabah saat pengukusan sehingga
gelatinisasi total tidak terjadi. Namun demikian, proses pratanak yang telah dicobakan tidak merusak
atau menurunkan kadar protein beras pratanak.
Karbohidrat merupakan sumber kalori utama bagi manusia. Karbohidrat juga mempunyai
peran penting dalam menentukan karakteristik bahan makanan, misalnya rasa, warna dan tekstur.
Sedangkan dalam tubuh. karbohidrat berguna untuk mencegah timbulnya ketosis, pemecahan protein
tubuh yang berlebihan, kehilangan mineral dan berguna untuk membantu metabolisme lemak dan
protein (Winarno 1992). Berdasarkan analisis sidik ragam pada Lampiran 24, perlakuan lama
pengukusan tidak berpengaruh nyata terhadap kadar karbohidrat beras pratanak. Namun demikian,
jika dilihat dari hasil pengukuran terhadap kadar karbohidrat, persentase karbohidrat terbesar yaitu
89.11% terdapat pada perlakuan lama pengukusan 30 menit.
-
25
Selain peningkatan kandungan gizi berupa komposisi proksimat, kelebihan lain yang dimiliki
oleh proses pratanak ditinjau dari sifat fungsionalnya adalah dapat menurunkan indeks glikemik.
Dengan penurunan nilai indeks glikemik ini, dapat dikatakan bahwa beras pratanak sangat cocok
untuk penderita diabetes. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Widowati et al. (2009),
proses pratanak mampu menurunkan indeks glikemik beras dari 54.43-97.29 menjadi 44.22-76.32
karena terjadi peningkatan kadar amilosa dan serat pangan. Difusi dan peleketan komponen penyusun
bekatul dan sebagian sekam berpengaruh nyata meningkatkan kandungan serat pangan, terutama serat
pangan tidak larut.
D. UJI ORGANOLEPTIK
1. Aroma
Proses pratanak yang dilakukan pada gabah dapat memberikan pengaruh terhadap penampakan
secara fisik beras pratanak tersebut. Sebagai contoh, melekatnya lapisan aleuron pada beras membuat
warna beras menjadi kecoklatan. Oleh karena itu diperlukan pengujian organoleptik yang ditujukan
untuk mengetahui tingkat penerimaan konsumen terhadap beras pratanak. Uji organoleptik terhadap
suatu bahan pangan atau makanan merupakan penilaian dengan menggunakan alat indra yaitu indra
penglihatan, pencicip, pembau dan pendengar.
Menurut Soekarto (1985) pembauan juga disebut pencicipan jarak jauh karena manusia dapat
mengenal enaknya makanan yang belum terlihat hanya dengan mencium baunya dari jarak jauh. Indra
pembau berfungsi untuk menilai bau-bauan dari suatu produk atau komoditi baik berupa makanan
atau nonpangan. Bau-bauan lebih kompleks daripada cicip. Kepekaan pembauan lebih tinggi daripada
pencicipan. Berikut ini ditampilkan histogram pe