skripsi kajian teknologi beras pratanak spetriani f14070125

Upload: m-rheza-rizqiaputra

Post on 02-Mar-2016

364 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

beras

TRANSCRIPT

  • KAJIAN TEKNOLOGI PROSES PENGOLAHAN BERAS

    PRATANAK (PARBOILING RICE) PADA GABAH VARIETAS SITU

    BAGENDIT

    SKRIPSI

    SPETRIANI

    F14070125

    FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

    INSTITUT PERTANIAN BOGOR

    BOGOR

    2011

  • 2

    STUDY OF PROCESSING TECHNOLOGY OF PARBOILING RICE

    ON SITU BAGENDIT VARIETY GRAIN

    Spetriani and Rokhani Hasbullah

    Department of Mechanical and Biosystem Engineering, Faculty of Agricultural Technology, Bogor

    Agricultural University, IPB Dramaga Campus, PO Box 16680, Bogor, West Java, Indonesia.

    Phone 62 857 17229038, e-mail : [email protected]

    ABSTRACT

    The processing of parboiling rice is the process of provision of water and steam heat of grain

    before the dried and milled grain. The purpose of proceedings parboiling rice is to avoid the loss of

    nutrient and damage of rice. Several factors can affect the quality of the parboiling rice is the process

    of grain, old varieties, long soaking, temperature and long steaming, and drying. The purpose of this

    research is (1) examine the uniformity of grain temperature distribution during the steaming process.

    (2) examine the influence of long steaming for physical quality of parboiled rice. (3) examine the

    influence of the nutritional value of old rice steaming process of parboiling rice, and (4) determine the

    Standard Operational Procedur (SOP) parboiling rice processing process. Processing begins with the

    cleaning of grain ripening and then soaking the grain in water-60 oC 5 for 4 hours. Once soaked,

    grain steamed with a temperature of 80 C for 20 minutes and 30 minutes. Grain and then dried to

    moisture content 14%. Grains which have been dried and then milled and conducted observation of

    parboiled rice quality. The treatment of steaming duration has no significantly to the yield milling but

    significant effect for milling of parboiled rice milling quality. Proximate test results show no effect

    against old steaming ash content, fat, protein and carbohydrates from parboiled rice. Organoleptik-

    test that is performed on rice cooking process before it shows that the results of the study process

    parboiling rice is acceptable to the panelists .Treatment process of parboiling rice on this research

    led to an increase in yield, ash content, fat, protein, and carbohydrates. The quality of milled

    parboiling rice based on the standard process of SNI is the quality of the process before the Process

    V. Parboiling rice processing suggested is by soaking grains at a temperature of 60 C 5 for 4 hours

    followed by the steaming at temperature of 80 C for 20 minutes.

    Keywords : parboiling rice, paddy soaking, paddy steaming

  • 3

    SPETRIANI. F14070125. Kajian Teknologi Proses Pengolahan Beras Pratanak (Parboiling Rice)

    pada Gabah Varietas Situ Bagendit. Di bawah bimbingan Dr. Ir. Rokhani Hasbullah, MSi. 2011

    RINGKASAN

    Beras merupakan makanan pokok hampir di seluruh wilayah Indonesia. Menurut data dari

    Ditjen Tanaman Pangan Kementerian Pertanian, jumlah produksi padi dalam bentuk gabah kering

    giling (GKG) setiap tahunnya meningkat. Peningkatan jumlah produksi ini sudah semestinya diikuti

    dengan peningkatan hasil pengolahan gabah berupa beras. Peningkatan produksi beras dilakukan tidak

    hanya terbatas pada peningkatan produksi padi di lahan, tetapi juga melalui perbaikan proses tahapan

    pascapanen. Salah satu tahapan pascapanen yang dapat diterapkan adalah proses pratanak. Beras

    pratanak atau yang biasa disebut parboiling rice adalah proses perendaman gabah dalam air dan

    pengukusan dengan uap panas kemudian dikeringkan sebelum digiling (Grist 1975, Haryadi 2006,

    Tjiptadi dan Nasution 1985). Tahapan proses pengolahan beras pratanak meliputi pembersihan,

    perendaman, pengukusan, pengeringan dan penggilingan. Tujuan dari pratanak adalah untuk

    menghindari kehilangan dan kerusakan beras, baik ditinjau dari nilai gizi maupun rendemen yang

    dihasilkan, dan sterilisasi gabah setelah dipanen, yang mungkin mengandung kotoran dan telur

    serangga yang terinvestasi di dalamnya. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi mutu beras

    pratanak adalah varietas gabah, lama perendaman, suhu dan lama pengukusan, dan pengeringan.

    Tujuan dari penelitian ini adalah (1) mengkaji keseragaman distribusi suhu gabah selama proses

    pengukusan. (2) mengkaji pengaruh lama pengukusan terhadap mutu fisik beras pratanak. (3)

    mengkaji pengaruh lama pengukusan terhadap nilai gizi beras pratanak, dan (4) menentukan Standard

    Operational Procedure (SOP) pengolahan beras pratanak.

    Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli sampai dengan Oktober 2011 di laboratorium LBP

    (Lingkungan dan Bangunan Pertanian) dan laboratorium Leuwikopo, Departemen Teknik Mesin dan

    Biosistem IPB. Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah gabah varietas Situ Bagendit

    dan air bersih untuk perendaman gabah. Peralatan yang digunakan drum perendaman gabah, tangki

    pengukusan gabah, hybrid recorder, termokopel, timbangan analitik, rice grader/cylinder separator,

    baki penampung, dan beberapa peralatan bantu lainnya.

    Proses pratanak yang dilakukan pada penelitian ini didahului dengan pembersihan gabah agar

    gabah terpisah dari gabah hampa dan kotoran lain. Selanjutnya dilakukan perendaman gabah dalam air

    bersuhu 60 oC 5 selama 4 jam. Perendaman ini bertujuan untuk mencapai kadar air gabah hingga

    30%. Kemudian gabah tersebut dibagi ke dalam 2 bagian dan diberikan perlakuan pemanasan dengan

    suhu yang sama yaitu 80 oC, namun dalam lama waktu pemanasan yang berbeda, masing-masing

    selama t1= 20 menit, t2= 30 menit, serta terdapat t0 (tanpa proses pratanak) yang dijadikan kontrol.

    Setelah proses pemanasan atau pemberian uap panas selesai, selanjutnya dilakukan pengeringan

    terhadap gabah hingga mencapai kadar air 14 %. Gabah yang telah kering kemudian digiling dan

    dilakukan pengamatan mutu giling sekaligus mutu gizi beras pratanak tersebut.

    Hasil penelitian menunjukkan bahwa beras pratanak pada pengukusan selama 20 menit ditinjau

    dari mutu fisik, mempunyai rendemen giling sebesar 69.37%, kadar air 13.20 %bb, butir kepala

    61.67%, butir patah 34.34%, butir menir 3.99%, butir kuning/rusak 0.41%, dan butir mengapur

    0.14%. Sedangkan pengukusan 30 menit mempunyai rendemen giling 69.55%, kadar air 13.53%bb,

    butir kepala 67.94%, butir patah 27.94%, butir menir 4.22%, butir kuning/rusak 0.42%, dan butir

    mengapur 0.26%. Perlakuan lama pengukusan tidak berpengaruh nyata terhadap rendemen giling

    namun berpengaruh nyata terhadap mutu giling beras pratanak.

  • 4

    Hasil pengujian proksimat menunjukkan perlakuan lama pengukusan tidak berpengaruh nyata

    terhadap kandungan abu, lemak, protein dan karbohidrat dari beras pratanak. Hal ini dapat disebabkan

    karena tidak meratanya penyebaran steam selama pengukusan. Pengukusan 20 menit memiliki kadar

    abu sebesar 0.95%bk, kadar lemak 1.00%bk, kadar protein 9.49% dan kadar karbohidrat 88.35%bk.

    Pengukusan 30 menit mengandung 0.94%bk abu, 1.44%bk lemak, 10.08%bk protein dan 89.11%bk

    karbohidrat. Perlakuan pratanak pada penelitian ini menyebabkan peningkatan rendemen, kadar abu,

    kadar lemak, protein, dan karbohidrat. Mutu giling beras pratanak berdasarkan standar dari SNI

    berada pada mutu V.

    Uji organoleptik yang dilakukan pada beras pratanak hasil penelitian ini menunjukkan bahwa

    beras pratanak sudah dapat diterima oleh panelis. Parameter yang diujikan adalah aroma dengan nilai

    rata-rata untuk pengukusan 20 menit dan 30 menit adalah 4.01 dan 3.47 (netral), warna dengan nilai

    rata-rata 4.01 dan 3.47 (netral) dan penerimaan secara umum dengan nilai rata-rata 4.31 dan 3.07

    (agak tidak suka sampai netral). Secara keseluruhan yang paling disukai diantara keduanya adalah

    beras pratanak dengan lama pengukusan 20 menit.

    Proses pratanak yang terpilih adalah dengan melakukan pembersihan gabah terlebih dahulu

    menggunakan precleaner. Setelah gabah tersebut bersih kemudian dilakukan perendaman dengan

    suhu 60 oC 5 selama 4 jam dilanjutkan dengan pengukusan pada suhu 80 oC selama 20 menit.

    Gabah yang telah dikukus selanjutnya dikeringkan hingga kadar air 14% dan siap untuk digiling.

  • 5

    KAJIAN TEKNOLOGI PROSES PENGOLAHAN BERAS

    PRATANAK (PARBOILING RICE) PADA GABAH VARIETAS SITU

    BAGENDIT

    SKRIPSI

    Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

    SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

    pada Departemen Teknik Mesin dan Biosistem

    Fakultas Teknologi Pertanian

    Institut Pertanian Bogor

    Oleh

    SPETRIANI

    F14070125

    FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

    INSTITUT PERTANIAN BOGOR

    BOGOR

    2011

  • 6

    Judul skripsi : Kajian Teknologi Proses Pengolahan Beras Pratanak (Parboiling Rice) pada Gabah

    Varietas Situ Bagendit

    Nama : Spetriani

    NIM : F14070125

    Menyetujui,

    Pembimbing Akademik

    (Dr. Ir. Rokhani Hasbullah, M.Si)

    NIP. 19640813 199102 1 001

    Mengetahui :

    Ketua Departemen

    ( Dr. Ir. Desrial, M.Eng.)

    NIP. 19661201 199103 1 004

    Tanggal lulus :

  • 7

    PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

    Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Kajian Teknologi

    Proses Pengolahan Beras Pratanak (Parboiling Rice) pada Gabah Varietas Situ Bagendit adalah

    hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam

    bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya

    yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan

    dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

    Bogor, Desember 2011 Yang membuat pernyataan

    Spetriani

    F14070125

  • 8

    Hak cipta milik Spetriani, tahun 2011

    Hak cipta dilindungi

    Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian

    atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm dan sebagainya

  • 9

    BIODATA PENULIS

    Spetriani. Lahir di Gio, 8 Mei 1989 dari ayah Subardjo MT Lamadau dan ibu

    Natin, sebagai anak pertama dari tiga bersaudara. Penulis menamatkan SMA pada tahun 2007 dari Madrasah Aliyah Alkhairaat Pusat Palu dan pada tahun

    yang sama diterima di IPB melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD).

    Penulis memperoleh beasiswa selama kuliah melalui Program Beasiswa

    Santri Berprestasi (PBSB) oleh Kementrian Agama. Penulis memilih

    Program Studi Teknik Pertanian, Departemen Teknik Mesin dan Biosistem,

    Fakultas Teknologi Pertanian. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif

    mengikuti organisasi Community of Santri Scholar (CSS IPB) sebagai

    sekretaris Departemen Infokom pada tahun 2009. Selain itu, penulis juga

    aktif mengikuti berbagai kepanitiaan yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Teknik

    Pertanian (HIMATETA). Pada tahun 2010 penulis memperoleh dana dari DIKTI dalam Program

    Kreativitas Mahasiswa (PKM) bidang Kewirausahaan dengan judul proposal Pencitraan Motif Batik dalam Miniatur Rumah Adat di Indonesia. Penulis menjadi asisten praktikum untuk mata kuliah Lingkungan dan Bangunan Pertanian serta mata kuliah Teknologi Greenhouse dan Hidroponik pada

    tahun 2011. Pada tahun 2010 penulis melaksanakan Praktik Lapangan di PTPN VIII Kebun

    Panyairan, Cianjur, dengan judul Mempelajari Aspek Keteknikan pada Proses Pengemasan Teh di PTPN VIII Kebun Panyairan.

  • iii

    KATA PENGANTAR

    Segala puji bagi Allah Swt. atas terselesaikannya skripsi ini dengan judul Kajian Teknologi

    Proses Pengolahan Beras Pratanak (Parboiling Rice) pada Gabah Varietas Situ Bagendit. Skripsi ini

    disusun dari hasil penelitian yang telah dilakukan pada bulan Juli-Oktober 2011. Ucapan terima kasih

    disampaikan kepada semua pihak yang turut membantu dalam pelaksanaan penelitian dan penyusunan

    skripsi ini terutama kepada :

    (1) Dr. Ir. Rokhani Hasbullah, M.Si sebagai dosen Pembimbing Akademik yang telah bersedia

    memberikan arahan dan bimbingan sepenuhnya terhadap penyelesaian skripsi ini.

    (2) Dr. Ir. Lilik Pujantoro, M.Agr dan Ir. Mad Yamin, MT sebagai dosen penguji yang telah

    memberikan arahan dan masukan selama penyusunan skripsi ini.

    (3) Kementerian Agama yang telah memberikan beasiswa penuh selama masa perkuliahan.

    (4) Papa, Mama, dan kedua adik, Amit dan Anto dan seluruh keluarga besar Lamadau yang tak

    henti-hentinya memberikan doa tulus, kasih sayang, dukungan serta motivasi.

    (5) Keluarga besar CSS MoRA IPB terutama untuk angkatan 44.

    (6) Pak Ahmad, Pak Parma, mas Firman, mas Darma yang telah membantu pelaksanaan penelitian

    ini.

    (7) Teman seperjuangan dan sebimbingan, R Afni dan Satria Asa yang rela memberikan bantuannya

    selama masa penelitian berjalan.

    (8) Rahma Utami, Dewi Sartika, Yuni Maria, Ratih, Syahid, Arie Tambosoe dan teman-teman kelas

    D TEP 44 lainnya.

    (9) Waqif Agusta, Anggie Kurniawan, Trya Adhesi, Dipta, Mudho Saksono, Tri Yulni, Denis dan

    teman-teman TEP 44 lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

    (10) Rizki Andini, Linda Imaniar, Siti Masturoh, Miftahul Jannah, Istirokhah, dan Mutia, para

    penghuni Green House yang selalu ada saat susah maupun senang dalam pelaksanaan penelitian

    ini.

    Skripsi ini disadari masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, saran serta kritik yang

    membangun sangat diharapkan oleh penulis. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan memberikan

    kontribusi yang nyata bagi semua pihak terutama untuk perkembangan ilmu pengetahuan.

    Bogor, Desember 2011

    Spetriani

  • iv

    DAFTAR ISI

    Halaman

    KATA PENGANTAR ......................................................................................................... iii

    DAFTAR TABEL ................................................................................................................ vi

    DAFTAR GAMBAR ........................................................................................................... vii

    DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................................ viii

    I. PENDAHULUAN .......................................................................................................... 1

    A. LATAR BELAKANG ......................................................................................... 1

    B. TUJUAN PENELITIAN ....................................................................................... 2

    II. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................................. 3

    A. GABAH ............................................................................................................... 3

    1. Struktur Gabah ...................................................................................................... 3

    2. Varietas Gabah ...................................................................................................... 4

    B. SIFAT FISIK DAN KIMIA BERAS .................................................................... 6

    C. MUTU BERAS ..................................................................................................... 7

    D. BERAS PRATANAK ............................................................................................ 8

    E. TEKNOLOGI PENGOLAHAN BERAS PRATANAK .......................................... 10

    1. Pembersihan (cleaning) ......................................................................................... 10

    2. Perendaman (soaking) ........................................................................................... 10

    3. Pengukusan (steaming) ......................................................................................... 10

    4. Pengeringan (drying) ............................................................................................ 11

    5. Penggilingan (milling) .......................................................................................... 11

    III. METODOLOGI .............................................................................................................. 12

    A. TEMPAT DAN WAKTU ..................................................................................... 12

    B. BAHAN DAN ALAT ........................................................................................... 12

    C. METODE PENELITIAN ....................................................................................... 12

    1. Prosedur Penelitian ........................................................................................... 12

    2. Rancangan Percobaan ....................................................................................... 13

    3. Analisis Parameter Mutu .................................................................................. 15

    IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................................ 18

    A. PROSES PENGOLAHAN BERAS PRATANAK .................................................. 18

    B. PENGARUH LAMA PENGUKUSAN TERHADAP MUTU FISIK BERAS PRATANAK .............................................................................................................. 21 1. Rendemen Giling ................................................................................................... 21

    2. Mutu Giling ........................................................................................................... 21

    C. PENGARUH LAMA PENGUKUSAN TERHADAP KANDUNGAN GIZI BERAS PRATANAK ................................................................................................. 23

    D. UJI ORGANOLEPTIK .......................................................................................... 25

  • v

    1. Aroma ................................................................................................................... 25

    2. Warna ................................................................................................................... 26

    3. Penerimaan Secara Umum ..................................................................................... 27

    E. STANDARD OPERATING PROCEDURES (SOP) .................................................. 28

    V. SIMPULAN DAN SARAN ............................................................................................. 30

    A. SIMPULAN . .......................... 30

    B. SARAN ..................................................................................................................... 30

    DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................... 31

    LAMPIRAN ......................................................................................................................... 33

  • vi

    DAFTAR TABEL

    Halaman

    Tabel 1. Produksi padi Indonesia tahun 2003-2009 (dalam ton) ......................................................... 1

    Tabel 2. Pengelompokan butiran gabah menurut USDA .................................................................... 4

    Tabel 3. Deskripsi varietas padi Situ Bagendit ................................................................................... 5

    Tabel 4. Kandungan gizi dan kalori beras pecah kulit dan beras putih serta kehilangan

    selama penggilingan ........................................................................................................... 6 Tabel 5. Spesifikasi persyaratan mutu beras menurut SNI 01-6128 : 2008 ........................................ 7

    Tabel 6. Kandungan zat gizi dan indeks glikemik sumber karbohidrat (per 300 kkal) ........................ 9

    Tabel 7. Mutu giling beras pratanak dengan perlakuan lama pengukusan yang berbeda ................... 22

    Tabel 8. Pengaruh lama pengukusan terhadap kandungan gizi beras pratanak .................................. 24

    Tabel 9. Pengaruh lama pengukusan terhadap aroma beras pratanak ............................................... 26

    Tabel 10. Pengaruh lama pengukusan terhadap warna beras pratanak ............................................... 27

    Tabel 11. Pengaruh lama pengukusan terhadap penerimaan secara umum beras pratanak ................. 28

  • vii

    DAFTAR GAMBAR

    Halaman

    Gambar 1. Struktur gabah ................................................................................................................. 3

    Gambar 2. Unit pengolahan beras pratanak : drum perendaman (a) tangki pengukusan dan steam

    boiler (b) ..................................................................................................................... 4 Gambar 3. Layout letak titik pengukuran suhu saat pengukusan ....................................................... 13

    Gambar 4. Diagram alir prosedur penelitian .................................................................................... 14

    Gambar 5. Distribusi suhu gabah secara horizontal pada pengukusan 20 menit................................. 18

    Gambar 6. Distribusi suhu gabah secara vertikal pada pengukusan 20 menit .................................... 19

    Gambar 7. Distribusi suhu gabah secara horizontal pada pengukusan 30 menit................................. 19

    Gambar 8. Distribusi suhu gabah secara vertikal pada pengukusan 30 menit .................................... 20

    Gambar 9. Rendemen giling beras pratanak ..................................................................................... 21

    Gambar 10. Nilai aroma beras pratanak ........................................................................................... 25

    Gambar 11. Nilai warna beras pratanak ........................................................................................... 26

    Gambar 12. Nilai penerimaan secara umum terhadap beras pratanak ................................................ 27

    Gambar 13. Diagram alir prosedur pengolahan beras pratanak ......................................................... 29

  • viii

    DAFTAR LAMPIRAN

    Halaman

    Lampiran 1. Suhu di setiap titik pengukuran saat pengukusan gabah selama 20 menit ...................... 34

    Lampiran 2. Suhu di setiap titik pengukuran saat pengukusan gabah selama 30 menit ...................... 35

    Lampiran 3. Mutu giling beras pratanak dengan perlakuan lama pengukusan (steaming) .................. 37

    Lampiran 4. Data rendemen giling beras pratanak ........................................................................... 38

    Lampiran 5. Data pengukuran kadar air (%bb) beras pratanak.......................................................... 38

    Lampiran 6. Data pengukuran kadar abu beras pratanak................................................................... 39

    Lampiran 7. Data pengukuran kadar lemak beras pratanak ............................................................... 39

    Lampiran 8. Data pengukuran kadar protein beras pratanak ............................................................. 40

    Lampiran 9. Data pengukuran kadar karbohidrat beras pratanak....................................................... 40

    Lampiran 10. Data organoleptik terhadap aroma beras pratanak ....................................................... 41

    Lampiran 11. Data organoleptik terhadap warna beras pratanak ....................................................... 42

    Lampiran 12. Data organoleptik terhadap penerimaan secara umum beras pratanak......................... 43

    Lampiran 13. Analisis sidik ragam dan uji lanjut rendemen giling beras pratanak ............................. 44

    Lampiran 14. Analisis sidik ragam dan uji lanjut derajat sosoh beras pratanak ................................. 44

    Lampiran 15. Analisis sidik ragam dan uji lanjut kadar air beras pratanak ........................................ 44

    Lampiran 16. Analisis sidik ragam dan uji lanjut butir kepala pada beras pratanak ........................... 45

    Lampiran 17. Analisis sidik ragam dan uji lanjut butir patah pada beras pratanak ............................. 45

    Lampiran 18. Analisis sidik ragam dan uji lanjut butir menir pada beras pratanak ............................ 46

    Lampiran 19. Analisis sidik ragam dan uji lanjut butir kuning/rusak pada beras pratanak ................. 46

    Lampiran 20. Analisis sidik ragam dan uji lanjut butir mengapur pada beras pratanak ...................... 46

    Lampiran 21. Analisis sidik ragam dan uji lanjut kadar abu beras pratanak....................................... 47

    Lampiran 22. Analisis sidik ragam dan uji lanjut kadar lemak beras pratanak ................................... 47

    Lampiran 23. Analisis sidik ragam dan uji lanjut kadar protein beras pratanak ................................. 48

    Lampiran 24. Analisis sidik ragam dan uji lanjut kadar karbohidrat beras pratanak........................... 48

    Lampiran 25. Analisis sidik ragam dan uji lanjut organoleptik aroma beras pratanak ........................ 48

    Lampiran 26. Analisis sidik ragam dan uji lanjut organoleptik warna beras pratanak ........................ 49

    Lampiran 27. Analisis sidik ragam dan uji lanjut organoleptik penerimaan secara umum beras

    pratanak .................................................................................................................... 49 Lampiran 28. Form isian organoleptik terhadap beras pratanak ........................................................ 50

    Lampiran 29. Gambar proses pengolahan beras pratanak ................................................................. 51

    Lampiran 30. Gambar beras pratanak hasil giling ............................................................................ 52

  • I. PENDAHULUAN

    A. LATAR BELAKANG

    Beras merupakan makanan pokok hampir di seluruh wilayah Indonesia bahkan termasuk

    makanan pokok terpenting warga dunia. Hasil olahan beras berupa nasi dimakan oleh sebagian besar

    penduduk Asia sebagai sumber karbohidrat utama dalam menu sehari-hari. Kebiasaan umum yang

    melekat pada masyarakat Indonesia bahwa aktivitas makan itu adalah makan nasi menjadikan beras

    ini mempunyai peran penting dalam kehidupan sehari-hari. Sebutan beras sendiri dikhususkan untuk

    padi yang telah melewati beberapa proses dalam penanganan pascapanen.

    Makin pesatnya pertambahan penduduk Indonesia, tuntutan pemenuhan jumlah (kuantitas)

    produksi beras juga terus meningkat. Disisi lain, dengan makin tingginya tingkat pendidikan

    masyarakat serta dengan mudahnya penyebaran informasi seiring kemajuan teknologi, juga secara

    bertahap mengubah pola konsumsi dan cara pandang masyarakat terhadap mutu (kualitas) pangan

    yang dikonsumsi. Perbaikan daya beli masyarakat yang diharapkan meningkat setelah Indonesia

    keluar dari krisis ekonomi akan menggeser peta permintaan ke arah beras bermutu tinggi (Hasbullah

    dan Bantacut 2006).

    Menurut data dari Ditjen Tanaman Pangan Kementerian Pertanian yang ditunjukkan pada

    Tabel 1, jumlah produksi padi dalam bentuk gabah kering giling (GKG) setiap tahunnya meningkat.

    Peningkatan jumlah produksi ini sudah semestinya diikuti dengan peningkatan hasil pengolahan gabah

    berupa beras.

    Tabel 1. Produksi padi Indonesia tahun 2003-2009 (dalam ton)

    Tahun Pulau Jawa Luar Jawa Indonesia

    2003 28.167.484 23.970.604 52.137.604

    2004 29.635.840 24.452.628 54.088.468

    2005 29.764.392 24.386.705 54.151.097

    2006 29.960.638 24.494.299 54.454.937

    2007 30.466.339 26.691.096 57.157.435

    2008 32.346.997 27.978.928 60.325.925

    2009 33.469.237 29.091.909 62.561.146

    Sumber: Ditjen Tanaman Pangan (2011)

    Peningkatan produksi beras tidak hanya terbatas pada peningkatan produksi prapanen, tetapi

    dilakukan pula peningkatan produksi beras melalui perbaikan pada perlakuan pascapanen. Secara

    umum penanganan pascapanen padi yang dilakukan meliputi hal-hal sebagai berikut: pengangkutan,

    perontokan, pengeringan, penggilingan dan penyimpanan. Setiap tahap penanganan pascapanen

    mempunyai pengaruh penting terhadap rendemen dan mutu beras yang dihasilkan terutama terhadap

    kandungan nutrisi beras.

    Menurut Patiwiri (2006) meskipun penggilingan adalah proses fisik, penggilingan juga

    berpengaruh terhadap kandungan nutrisi beras. Hal ini disebabkan oleh adanya pengelepasan dan

  • 2

    pengikisan bagian-bagian butiran gabah/beras selama proses penggilingan yang menyebabkan

    sebagian nutrisi akan terbuang. Karbohidrat terakumulasi di dalam endosperm yang merupakan bagian

    terbesar dari butiran beras. Protein paling banyak terdapat dalam lembaga, pericarp, dan lapisan

    aleuron. Pada lapisan endosperm juga terdapat protein, namun makin jauh masuk ke dalam pusat

    endosperm kandungannya semakin menurun. Vitamin dan lemak juga terakumulasi terutama pada

    lapisan pericarp dan lapisan aleuron.

    Berdasarkan penyebaran tersebut maka dapat dipahami bahwa protein, lemak dan vitamin akan

    banyak terbuang pada saat penggilingan, terutama pada saat penyosohan yang mengikis lapisan

    bekatul. Dengan kata lain kandungan ketiganya akan menurun pada beras sosoh jika dibandingkan

    dengan beras pecah kulit. Beras yang memiliki cita rasa yang disukai, seperti beras sosoh belum tentu

    bermutu gizi lebih baik dibandingkan dengan beras yang bercita rasa kurang enak. Sebaliknya

    karbohidrat terkikis paling sedikit selama penyosohan karena berada pada endosperm yang letaknya

    paling dalam. Dengan demikian, porsinya terhadap massa keseluruhan beras akan meningkat jika

    dibandingkan dengan porsinya pada beras pecah kulit (Patiwiri 2006). Agar kandungan nutrisi pada

    beras tidak terbuang maka perlu perbaikan cara pengolahan gabah diantaranya menggunakan

    teknologi beras pratanak (parboiling rice). Tahapan proses pengolahan beras pratanak meliputi

    pembersihan, perendaman, pengukusan, pengeringan dan penggilingan.

    Menurut Sumardi (1977) dalam Burhanudin (1981), pengolahan gabah dengan cara pratanak

    dapat meningkatkan rendemen beras giling maupun rendemen beras kepala. Selain itu, mutu beras

    pratanak memiliki beberapa kelebihan antara lain memiliki kandungan indeks glikemik (IG) dan

    lemak yang rendah serta vitamin B yang tinggi. Beras pratanak dapat dijadikan makanan diet bagi

    penderita diabetes melitus. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi mutu beras pratanak adalah

    varietas gabah, lama perendaman, suhu dan lama pengukusan, dan pengeringan. Oleh karena itu, perlu

    dikaji lebih mendalam untuk mendapatkan kondisi proses pengolahan beras pratanak yang dapat

    meningkatkan rendemen dan mutu beras pratanak.

    B. TUJUAN

    Berdasarkan latar belakang di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk :

    (1) Mengkaji keseragaman distribusi suhu gabah selama proses pengukusan.

    (2) Mengkaji pengaruh lama pengukusan terhadap mutu fisik beras pratanak.

    (3) Mengkaji pengaruh lama pengukusan terhadap nilai gizi beras pratanak.

    (4) Menentukan Standard Operational Procedure (SOP) pengolahan beras pratanak.

  • 3

    II. TINJAUAN PUSTAKA

    A. GABAH

    1. Struktur Gabah

    Padi merupakan salah satu tanaman budidaya terpenting dalam peradaban. Klasifikasi ilmiah

    tanaman padi yang menjadi bahan baku beras adalah sebagai berikut.

    Kerajaan : Plantae

    Divisi : Magnoliophyta

    Ordo : Poales

    Famili : Poaceae atau Graminae

    Genus : Oryza

    Spesies : O. Sativa

    Ciri-ciri umum tanaman padi ini adalah termasuk dalam terna semusim yang berakar serabut,

    batang sangat pendek, struktur serupa batang terbentuk dari rangkaian pelepah daun yang saling

    menopang. Padi saat ini tersebar luas di seluruh dunia dan tumbuh di hampir semua bagian dunia yang

    memiliki cukup air dan suhu udara cukup hangat (Anonim 2011). Tanaman padi dapat tumbuh pada

    daerah bersuhu tinggi dan mendapatkan sinar matahari yang yang lama. Temperatur rata-rata yang

    dibutuhkan yaitu sekitar 20-37.8 oC (Grist 1975).

    Gabah adalah bulir padi. Biasanya mengacu pada bulir padi yang telah dipisahkan dari

    tangkainya (jerami). Asal kata "gabah" dari bahasa Jawa gabah. Dalam perdagangan komoditas,

    gabah merupakan tahap yang penting dalam pengolahan padi sebelum dikonsumsi karena

    perdagangan padi dalam partai besar dilakukan dalam bentuk gabah. Terdapat definisi teknis

    perdagangan untuk gabah, yaitu hasil tanaman padi yang telah dipisahkan dari tangkainya dengan cara

    perontokan (Anonim 2011). Pada Gambar 1 berikut ditunjukkan bagian- bagian penyusun pada

    struktur gabah.

    Gambar 1. Struktur gabah

  • 4

    Butir padi atau gabah terdiri atas satu bagian yang dapat dimakan, disebut caryopsis, dan satu

    bagian lagi yang merupakan suatu struktur kulitnya yang disebut sekam. Bagian kulitnya merupakan

    18-28 % dari berat butir gabah pada tingkat kadar air 13% berat basah. Buah padi adalah caryopsis

    yang di dalamnya terdapat biji tunggal yang bersatu dengan dinding evary (pericarp) matang,

    membentuk butiran biji. Caryopsis disebut brown rice sebab warna pericarpnya kecoklatan (Tjiptadi

    dan Nasution 1985).

    Secara umum, struktur gabah terbagi dalam beberapa bagian yaitu hull atau daun sekam,

    pericarp, tegmen atau testa, aleuron, embrio atau germ, dan endosperm (Anonim 2011). Lapisan

    pembungkus endosperm dinamakan kulit ari. Testa dan lapisan aleuron disebut lapisan dalam,

    sedangkan pericarp disebut lapisan luar. Lapisan-lapisan kulit ari ini hanya dapat dilihat secara

    mikroskopis. Warna kulit ari ini dari putih sampai kehitam-hitaman. Penghilangan sebagian atau

    keseluruhan lapisan ini akan menentukan derajat sosoh. Endosperm hampir seluruhnya terdiri dari sel-

    sel pati, membentuk biji yang dapat dimakan (Grist 1975).

    2. Varietas Gabah

    Tanaman padi adalah tanaman yang mempunyai varietas sampai ribuan jumlahnya, lebih dari

    90% tumbuh di wilayah Asia Selatan dan Asia Timur, tersebar di negara-negara beriklim subtropis.

    Dari kelompok spesies padi yang telah dibudidayakan terdapat kelompok utama yaitu Oryza sativa

    yang berasal dari Asia dan Oryza globerima yang berasal dari Afrika Barat (Winarno 1984).

    Subspesies padi yang ditanam di dunia secara umum dapat dikelompokkan menjadi tiga

    subspesies, yaitu japonica (tipe A), javanica (tipe B), dan indica (tipe C). Pengelompokkan ini

    didasarkan pada bentuk gabah baik dari panjang maupun lebarnya (Patiwiri 2006). Kini di dunia lebih

    banyak dikenal dua varietas padi Oryza sativa yaitu japonica dan indica (Winarno 1984). Selain

    bentuknya, varietas padi atau gabah biasa juga diklasifikasikan berdasarkan panjang butiran serta rasio

    antara panjang/lebar butiran. Klasifikasi butiran gabah ini dilakukan oleh Brandon (1981) di Amerika

    Serikat, seperti terlihat pada Tabel 2.

    Tabel 2. Pengelompokan butiran gabah menurut USDA

    Tipe Butiran Panjang Butiran Rasio Panjang/ Lebar

    Butir Pendek 3.1

    Sumber: Patiwiri (2006)

    Varietas-varietas padi yang ditanam di Indonesia termasuk dalam subspesies indica. Rasio

    panjang-lebar paling rendah 2.0 ditunjukkan oleh PB 36 dengan panjang butiran sekitar 6.4 mm,

    sedangkan rasio panjang-lebar yang tinggi ditunjukkan oleh varietas rojolele dan semeru sebesar 2.9

    dengan panjang butiran 6.5-7.5 mm (Patiwiri 2006). Terdapat berbagai macam varietas padi yang

    dibudidayakan di Indonesia, salah satunya adalah varietas Situ Bagendit atau Bagendit. Deskripsi

    varietas tersebut seperti yang ditunjukkan pada Tabel 3 di bawah ini.

  • 5

    Tabel 3. Deskripsi varietas padi Situ Bagendit

    Nomor seleksi : S4325D-1-2-3-1

    Asal persilangan : Batur/2*

    S2823-7D-8-1-A

    Golongan : Cere

    Umur tanaman : 110-120 hari

    Bentuk tanaman : Tegak

    Tinggi tanaman : 99-105 cm

    Anakan produktif : 12-13 batang

    Warna kaki : Hijau

    Warna batang : Hijau

    Warna telinga daun : Tidak berwarna

    Warna lidah daun : Tidak berwarna

    Warna daun : Hijau

    Muka daun : Kasar

    Posisi daun : Tegak

    Daun bendera : Tegak

    Bentuk gabah : Panjang ramping

    Warna gabah : Kuning bersih

    Kerontokan : Sedang

    Kerebahan : Sedang

    Tekstur nasi : Pulen

    Kadar amilosa : 22%

    Bobot 1000 butir : 27.5 g

    Rata-rata hasil : 4.0 t/ha pada lahan kering

    5.0 t/ha pada lahan sawah

    Potensi hasil : 6.0 t/ha

    Ketahanan terhadap

    hama penyakit :

    Tahan terhadap blas

    Agak tahan hawar daun bakteri strain III dan IV

    Anjuran tanam : Cocok ditanam di lahan kering maupun di lahan sawah

    Pemulia : Z.A. Simanulang, Aan A. Daradjat, Ismail BP, dan N. Yunani

    Dilepas tahun : 2003

    Sumber: Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (2009)

  • 6

    B. SIFAT FISIK DAN KIMIA BERAS

    Sifat-sifat fisik beras antara lain suhu gelatinisasi, konsistensi gel, penyerapan air, kepulenan,

    kelengketan, kelunakan, dan kilap nasi (Damardjati dan Purwani 1991 diacu dalam Argasasmita

    2008). Menurut winarno (1992) suhu gelatinisasi adalah suhu pada saat granula pati pecah dengan

    penambahan air panas. Beras dapat digolongkan menjadi tiga kelompok menurut suhu gelatinisasinya,

    yaitu suhu rendah (55-69 oC) sedang (70-74 oC) dan tinggi (>74 oC). Suhu gelatinisasi berpengaruh

    terhadap lama pemasakan. Beras yang mempunyai suhu gelatinisasi tinggi membutuhkan waktu

    pemasakan lebih lama daripada beras yang mempunyai suhu gelatinisasi rendah.

    Beras sebagai bahan pangan disusun oleh pati, protein, dan unsur lain seperti lemak, serat

    kasar, mineral, vitamin, dan air. Analisis komponen kimia beras dan fraksi gilingnya menunjukkan

    bahwa distribusi penyusunannya tidak merata. Lapisan terluar beras kaya akan komponen non pati

    seperti protein, lemak, serat, abu, pentosa, dan lignin, sedangkan bagian endosperm kaya akan pati

    (Juliano 1972). Komposisi kimia beras berbeda-beda dan hal ini tergantung kepada varietas padi dan

    cara pengolahan yang dilakukan seperti pada Tabel 4 dibawah ini.

    Tabel 4. Kandungan gizi dan kalori beras pecah kulit dan beras putih serta kehilangan selama

    penggilingan

    Komposisi Beras pecah kulit Beras putih Kehilangan selama penggilingan (%)

    Kadar air (%) 14.0 14.0 10.0

    Kalori (Kcal/100g) 352.0 354.0 10.0

    Kadar protein (%) 8.3 7.1 23

    Kadar lemak (%) 1.9 0.5 76

    Kadar serat (%) 0.7 0.4 49

    Kadar abu (%) 1.1 0.6 51

    Total karbohidrat (%) 74.9 77.8 6

    Thiamin (mg/100g) 0.29 0.10 69

    Riboflavin (mg/100g) 0.07 0.05 36

    Niacin (mg/100g) 3.9 2.9 47

    Ca (mg/100g) 9 8 20

    P (mg/100g) 183 104 49

    Zat besi (mg/100g) 1.6 1.2 32

    Sumber: Juliano (1976)

    Berdasarkan kandungan amilosanya, beras dibagi menjadi 3 golongan yaitu kandungan amilosa

    rendah (26 %). Beras di Indonesia pada umumnya termasuk

    ke dalam golongan menengah (Juliano 1976 ). Antara tekstur nasi dan kadar amilosa terdapat

    hubungan yang nyata. Beras dengan kadar amilosa rendah akan menghasilkan nasi yang pulen, lekat,

    empuk, enak dan mengkilat. Beras beramilosa sedang akan menghasilkan nasi yang msih bersifat

    empuk walaupun dibiarkan beberapa jam. Sedangkan beras yang beramilosa tinggi , nasinya keras

    (pera) dan berderai (Juliano 1976; Tjiptadi dan Nasution 1985).

    Komponen yang terutama pada beras adalah pati. Hampir 90 % beras terdiri dari zat pati. Zat

    pati yang tertinggi terdapat pada bagian endosperm, makin ke tengah kandungan patinya makin besar

  • 7

    sedangkan makin keluar kandungan patinya makin menipis, tetapi kandungan bukan pati makin

    meninggi (Juliano 1972) dalam Tabel 4 terlihat bahwa kandungan pati pada beras pecah kulit lebih

    sedikit daripada beras putih, tetapi komponen bukan patinya lebih tinggi. Sifat fisik dan kimia dari

    beras ini menjadi indikator terhadap berbagai macam mutu beras.

    C. MUTU BERAS

    Standar merupakan unsur penunjang pembangunan pertanian yang memiliki peranan penting

    dalam upaya untuk meningkatkan optimalisasi pendayagunaan sumberdaya dan keseluruhan kegiatan

    pembangunan pertanian. Penetapan kelayakan suatu bahan atau produk untuk digunakan terutama

    dalam bidang pangan biasa disebut dengan standar mutu. Biasanya dalam penentuan standar mutu ini

    terdapat berbagai syarat dan ketentuan spesifikasi teknis yang harus dipenuhi oleh bahan atau produk

    tersebut. Standar mutu yang digunakan di Indonesia mengacu kepada SNI (Standar Nasional

    Indonesia). Dalam bidang pertanian pemutuan bahan dan produk pertanian seperti mutu gabah dan

    mutu beras sangat penting.

    Secara umum , mutu beras dapat dikategorikan ke dalam empat kelompok, yaitu (i) mutu giling

    (ii) mutu rasa dan mutu tanak (iii) mutu gizi dan (iv) standar spesifik untuk penampakan dan

    kemurnian biji (misalnya besar dan bentuk beras, kebeningan (transluency), dan beras chalky).

    Sedangkan dalam program pemuliaan padi, komponen mutu beras dapat dikelompokkan atas (i)

    rendemen giling (ii) penampakan (iii) bentuk dan ukuran biji dan (iv) sifat-sifat tanak dan rasa nasi

    (Damardjati dan Purwani, 1991).

    Pemutuan beras yang didasarkan pada aturan SNI 01-6128 : 2008 membagi beras dalam 5

    kelas mutu yaitu mutu I, II, III, IV dan V. Syarat umum beras adalah (a) bebas hama dan penyakit (b)

    bebas bau apek, asam, atau bau asing lainnya (c) bebas dari campuran dedak dan bekatul (d) bebas

    dari bahan kimia yang membahayakan konsumen. Sedangkan untuk persyaratan khusus didasarkan

    pada komponen mutu seperti yang tercantum dalam Tabel 5 berikut.

    Tabel 5. Spesifikasi persyaratan mutu beras menurut SNI 01-6128 : 2008

    No Komponen mutu Satuan Mutu I Mutu II Mutu III Mutu IV Mutu V

    1 Derajat sosoh (min) (%) 100 100 95 95 85

    2 Kadar air (maks) (%) 14 14 14 14 15

    3 Butir kepala (min) (%) 95 89 78 73 60

    4 Butir patah (maks) (%) 5 10 20 25 35

    5 Butir menir (maks) (%) 0 1 2 2 5

    6 Butir merah (maks) (%) 0 1 2 3 3

    7 Butir kuning/rusak (maks)

    (%) 0 1 2 3 5

  • 8

    Tabel 5. Spesifikasi persyaratan mutu beras menurut SNI 01-6128 : 2008 (lanjutan)

    No Komponen mutu Satuan Mutu I Mutu II Mutu III Mutu IV Mutu V

    8 Butir mengapur

    (maks)

    (%) 0 1 2 3 5

    9 Benda asing (maks) (%) 0 0.02 0.02 0.05 0.20

    10 Butir gabah (maks) (butir/ 100g) 0 1 1 2 3

    Sumber: BSN (2011)

    Berbagai macam perlakuan telah dilakukan terhadap gabah agar dapat menghasilkan beras

    yang bermutu tinggi. Penanganan pascapanen yang tepat mengenai cara pemanenan, perontokan,

    pengeringan dan penggilingan pada akhirnya bertujuan yang sama yaitu untuk memperoleh beras

    bermutu. Penggunaan teknologi juga sangat membantu, khususnya dalam peningkatan rendemen

    beras. Salah satu teknologi yang dapat diaplikasikan pada penggilingan padi ialah pengolahan beras

    secara pratanak.

    D. BERAS PRATANAK

    Beras pratanak atau yang biasa disebut parboiling rice adalah proses perendaman padi dalam

    air dingin dan kemudian ke dalam air panas (atau dalam uap pada tekanan rendah) yang mungkin

    berasal dari India sekitar 2000 tahun yang lalu (Grist 1975) atau proses pemberian air dan uap panas

    terhadap gabah sebelum gabah tersebut dikeringkan (Haryadi 2006) dan digiling (Tjiptadi dan

    Nasution 1985). Tujuan dari pratanak adalah untuk menghindari kehilangan dan kerusakan beras, baik

    ditinjau dari nilai gizi maupun rendemen yang dihasilkan. Kelebihan lain dari proses pratanak menurut

    Hasbullah (2011) berarti juga melakukan proses sterilisasi gabah setelah dipanen, yang mungkin

    mengandung kotoran dan telur serangga yang terinvestasi di dalamnya.

    Pada zaman dahulu proses ini dilakukan guna mendapatkan kondisi gabah yang lebih mudah

    dikupas sekamnya. Sedangkan perubahan sifat lainnya pada hasil akhir dianggap merupakan suatu

    penyimpangan yang tidak berarti. Setelah penggilingan secara mekanis dikembangkan, maka proses

    parboiling ini bukannya tetap statis, tetapi berkembang di dalam aspek ekonomi, nutrisi dan

    praktisnya dalam rangka memodifikasi hasil berasnya (Tjiptadi dan Nasution 1985).

    Kandungan gizi beras pratanak mencapai 80% mirip dengan beras tanpa sosoh (brown rice).

    Menurut Nurhaeni (1980), peningkatan nilai gizi pada beras pratanak disebabkan oleh proses difusi

    dan panas yang melekatkan vitamin-vitamin dan nutrien lainnya dalam endosperm, serta derajat sosoh

    beras yang rendah akibat mengerasnya lapisan aleuron yang mengakibatkan sedikitnya bekatul dan

    nutrien yang hilang. Nutrisi yang terkandung dalam beras pratanak, utamanya seperti tiamin

    meningkat sehingga menyebabkan beras pratanak ini memiliki kandungan vitamin B yang lebih tinggi

    dibandingkan beras biasa.

    Studi pratanak dimulai dengan adanya isu-isu dari dunia kesehatan, bahwa orang yang makan

    nasi dari beras pratanak terhindar dari penyakit beri-beri. Penyakit tersebut disebabkan oleh

    kekurangan vitamin B1 atau thiamine (Tjiptadi dan Nasution 1985). Selain itu, para penderita diabetes

    melitus (DM) sering kali menahan diri untuk mengkonsumsi nasi karena beras dianggap mempunyai

    kandungan IG yang tinggi. Namun dengan adanya beras pratanak ini penderita DM dapat dengan

  • 9

    nyaman mengkonsumsi nasi sebab beras pratanak juga disinyalir memiliki nilai indeks glikemik (IG)

    yang rendah.

    Konsep IG pertama kali dikembangkan tahun 1981 oleh David Jenkins, seorang Profesor Gizi

    pada Universitas Toronto, Kanada, untuk membantu menentukan pangan yang tepat untuk penderita

    DM. Pada masa itu, diet bagi penderita DM didasarkan pada porsi karbohidrat, pada kuantitas yang

    sama, menghasilkan pengaruh yang sama pada kadar glukosa darah (Rimbawan 2006). Karbohidrat

    dalam pangan yang dicerna dan diserap dengan cepat selama pencernaan akan memiliki IG yang

    tinggi. Dengan kata lain, glukosa dalam aliran darah akan meningkat dengan cepat setelah

    mengkonsumsi pangan tersebut. Sebaliknya karbohidrat yang dicerna dan diserap dengan lambat akan

    melepaskan glukosa ke dalam darah dengan lambat pula sehingga memiliki IG yang rendah (slow-

    release carbohydrate). Indeks glikemik yang rendah dapat mengendalikan kadar glukosa dalam darah,

    sedangkan serat pangan yang tinggi akan memperlambat laju pengosongan lambung. Oleh karena itu,

    orang yang mengonsumsi nasi dari beras pratanak akan merasa kenyang lebih lama atau tidak cepat

    lapar (Widowati 2008).

    Sebenarnya anjuran untuk mengkonsumsi makanan dengan IG yang rendah ini juga ditujukan

    kepada masyarakat umum, jadi tidak hanya untuk penderita diabetes. Badan Kesehatan Dunia WHO

    bersama dengan FAO menganjurkan konsumsi makanan dengan IG rendah untuk mencegah penyakit-

    penyakit degeneratif yang terkait dengan pola makan seperti penyakit jantung, diabetes, dan obesitas.

    Perlu diketahui jenis-jenis makanan yang memiliki IG lebih dari 55 dikategorikan IG tinggi

    sementara yang kurang dari itu dikategorikan IG rendah. Pada Tabel 6 di bawah ini ditunjukkan

    kandungan zat gizi dan juga nilai IG beberapa jenis pangan yang menjadi sumber karbohidrat.

    Tabel 6. Kandungan zat gizi dan indeks glikemik sumber karbohidrat (per 300 kkal)

    Sumber Karbohidrat Berat (gram) Protein (%) KH (%) IG

    Nasi Pera 182 3.6 71 79

    Nasi Pulen 182 3.6 71 95

    Sagu Ambon 309 0.6 74 102

    Nasi Ketan 156 5.8 68 85

    Nasi Gaplek 205 1.3 73 94

    Singkong Kukus 205 2.5 71 94

    Sumber : Soetrisno dan Apriyantono (2005)

    Nasi seperti juga kentang dan roti tawar secara umum dikenal sebagai pangan dengan IG

    tinggi. Meskipun demikian banyak penelitian yang menunjukkan bahwa varietas dan jenis pengolahan

    yang berbeda ternyata dapat memberikan IG yang berbeda. Nilai IG beras dan produk olahannya

    dibandingkan dengan glukosa bervariasi antara 38-92. Ada juga yang melaporkan antara 36-128.

    Beberapa hasil penelitian menunjukkan nasi parboiled dan basmati cenderung mempunyai IG yang

    lebih rendah (intermediate), khususnya apabila tidak dimasak secara berlebihan (overcooked)

    (Rimbawan 2006). Nilai IG beras pratanak sendiri berkisar antara 44.22-76.32, nilai ini lebih rendah

    jika dibandingkan dengan nilai IG beras giling biasa yang berkisar antara 54.43-97.29 (Widowati et

    al. 2009).

    Walaupun beras pratanak lebih disukai oleh beberapa konsumen karena kelebihannya, beras

    pratanak juga memiliki kelemahan diantaranya dedak yang melekat sangat sulit dihilangkan,

    membutuhkan biaya pengolahan yang lebih banyak, lebih mudah menjadi tengik, membutuhkan

  • 10

    waktu yang cukup lama dalam memasak nasi pratanak (Wimberly 1983). Namun demikian,

    mengingat semakin tingginya kesadaran masyarakat akan kesehatan, pencegahan gizi buruk serta

    mahalnya harga obat-obatan, maka mengkonsumsi beras pratanak merupakan salah satu pilihan yang

    tepat. Dengan semakin meningkatnya permintaan terhadap beras sehat maka peluang memproduksi

    beras pratanak akan terbuka lebar, khususnya untuk para petani dan industri penggilingan padi di

    Indonesia. Oleh karena itu, pengembangan teknologi proses pengolahan beras pratanak ini sangat

    dibutuhkan, terutama untuk menghasilkan beras yang bermutu tinggi.

    E. TEKNOLOGI PENGOLAHAN BERAS PRATANAK

    Dalam suatu sistem klasik terdapat tiga tahap proses beras pratanak yaitu: perendaman

    (steeping in water), pengukusan (steaming), dan pengeringan (drying). Pemakaian air dan panas

    mengakibatkan terjadinya modifikasi sifat fisik, kimia, fisiko-kimia, biokimia, estetika dam

    organoleptik (Tjiptadi dan Nasution 1985). Sedangkan menurut Ali dan Ojha (1976) prinsip dasar dari

    proses pratanak padi adalah pembersihan (cleaning), perendaman (soaking), pengukusan (steaming)

    dan pengeringan (drying). Selain keempat tahap tersebut, penggilingan (milling) juga tahap yang

    sangat penting dalam menghasilkan beras pratanak.

    1. Pembersihan (cleaning)

    Gabah yang akan diproses pratanak terlebih dahulu dibersihkan dari kotoran-kotoran dan benda

    asing seperti batu dan gabah hampa. Cara lama pembersihan gabah dilakukan dengan pengapungan.

    Hal ini dimaksudkan untuk memisahkan gabah hampa, daun, dan benda lain yang ringan dari

    tumpukan gabah. Jika teknologi grading gabah memadai dapat digunakan alat pemisah kotoran kecil,

    ringan dan berat berupa aspirator ataupun sieving.

    2. Perendaman (soaking)

    Proses perendaman atau soaking bertujuan untuk memasukkan air ke dalam ruang inter

    cellular dari sel-sel pati endosperm dan sebagian air diserap oleh sel-sel pati sendiri sampai pada

    tingkat tertentu, sehingga cukup untuk proses gelatinisasi. Selama perendaman, gabah harus benar-

    benar terendam air. Perendaman umumnya dilakukan dengan dua cara, yaitu perendaman dengan air

    bersuhu ruang dan perendaman dengan air panas. Periode perendaman tergantung kepada suhu air

    yang digunakan. Semakin tinggi suhu air tersebut maka waktu perendaman semakin singkat. Padi atau

    gabah yang direndam pada suhu lingkungan (20-30 oC) membutuhkan waktu selama 36 hingga 48 jam

    agar gabah dapat mencapai kadar air 30%. Pada perendaman yang dilakukan dengan air panas

    bersuhu sekitar 60-65 oC hanya membutuhkan waktu selama 2 hingga 4 jam perendaman (Wimberly

    1983).

    3. Pengukusan (steaming)

    Setelah mengalami perendaman dalam jangka waktu tertentu, gabah tersebut diberi uap panas

    atau steaming. Steaming ini ditujukan untuk melunakkan struktur sel pati endosperm sehingga tekstur

    granula pati dari endosperm menjadi seperti pasta akibat proses gelatinisasi. Gelatinisasi total

    merupakan tujuan utama dari proses pratanak sehingga memberikan hasil yang jernih. Alat

    pengukusan yang digunakan dapat berupa ketel, tangki metal tanpa ataupun yang dilengkapi dengan

    boiler. Sumber panas untuk steam yang digunakan pada pemanasan beras pratanak adalah tungku.

  • 11

    Bahan bakar untuk tungku steam ini menggunakan biomassa berupa serbuk gergaji atau sekam hasil

    samping penggilingan padi.

    Menurut Wimberly (1983), pemberian uap panas ini juga mempunyai beberapa kelebihan

    diantaranya panas yang tinggi dapat diaplikasikan pada suhu yang konstan, relatif mudah ditangani,

    pengendalian suhu gabah yang mudah, dapat dihentikan secara cepat, dan mempunyai tingkat pindah

    panas yang tinggi dibanding media lain (seperti halnya air panas). Pada umumnya steam jenuh yang

    digunakan untuk pengukusan mempunyai tekanan antara 1-5 kg/cm2 atau pada suhu sekitar 100-150 oC. Pengukusan pada tangki yang kecil membutuhkan waktu 2- 3 menit dan pada tangki yang besar

    dapat memakan waktu selama 20-30 menit.

    4. Pengeringan (drying)

    Pengeringan dalam proses pratanak sedikit berbeda dengan pengeringan untuk padi biasa atau

    tanpa proses pratanak. Hal ini disebabkan karena padi pratanak mempunyai suhu yang lebih tinggi

    (bisa mencapai 100 oC), mengandung kadar air yang tinggi (dapat mencapai 45 %), tekstur butir yang

    berbeda akibat pemanasan yang intensif dan steril akibat pemanasan yang dilakukan terutama pada

    saat steaming (Ruiten 1979 diacu dalam Burhanudin 1981). Pengeringan gabah hasil pratanak

    dilakukan hingga mencapai kadar air GKG (Gabah Kering Giling) yaitu 14%. Pengeringan dapat

    dilakukan dengan menggunakan energi matahari secara langsung (sun drying) ataupun menggunakan

    alat pengering yang telah ada.

    Pengeringan terhadap padi yang telah direndam dan dikukus harus dilakukan dengan segera

    untuk menghindari pertumbuhan jamur dan terjadinya fermentasi. Pengeringan ini merupakan tahap

    akhir dalam pengolahan padi secara pratanak (parboiling rice). Penundaan pengeringan yang

    dilakukan terhadap padi pratanak akan mengakibatkan proses gelatinisasi terus berlangsung serta akan

    mengakibatkan butir padi menjadi berwarna gelap akibat terlalu lama dibiarkan di udara terbuka.

    Penundaan pengeringan juga akan mengakibatkan pertumbuhan jamur dan kapang. Walaupun gabah

    tersebut telah steril akan tetapi kadar air gabah yang tinggi tersebut sangat sesuai bagi perkembangan

    mikroorganisme tersebut.

    5. Penggilingan (milling)

    Tahap akhir untuk menghasilkan beras pratanak adalah penggilingan (milling). Patiwiri (2006)

    menerangkan bahwa proses penggilingan padi diawali dengan pembersihan awal untuk membersihkan

    gabah dari kotoran-kotoran hingga gabah menjadi bersih. Selanjutnya gabah bersih mengalami proses

    pemecahan kulit sehingga sekam yang berbobot sekitar 20% dari bobot awal gabah akan terlepas dari

    butiran gabah dan menghasilkan beras pecah kulit. Jika butir gabah tidak ditemukan pada beras pecah

    kulit, maka proses pemecahan kulit dikatakan sempurna. Beras pecah kulit hasil penggilingan masih

    berwarna coklat kusam sehingga perlu proses penyosohan guna memisahkan bekatul dan untuk

    mendapatkan warna beras yang mengkilap. Setelah penyosohan selesai maka hasil akhir penggilingan

    yang berupa beras telah siap untuk menjadi bahan pangan dan dikonsumsi.

  • 12

    III. METODOLOGI PENELITIAN

    A. WAKTU DAN TEMPAT

    Waktu penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai Oktober 2011. Penelitian

    dilaksanakan di laboratorium LBP (Lingkungan dan Bangunan Pertanian) dan di laboratorium

    Leuwikopo, Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor.

    B. BAHAN DAN ALAT

    Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah gabah dengan varietas Situ Bagendit

    serta air bersih untuk perendaman gabah. Gabah diperoleh dari petani di wilayah Dramaga, Bogor.

    Peralatan yang digunakan adalah unit pengolahan beras pratanak (drum perendaman gabah, tangki

    pengukusan gabah, dan steam boiler) hybrid recorder, termokopel, grain moisture tester, timbangan

    analitik, rice grader/cylinder separator, baki penampung, dan beberapa peralatan bantu lainnya.

    Peralatan utama yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 2.

    (a) (b)

    Gambar 2. Unit pengolahan beras pratanak : drum perendaman (a) tangki pengukusan dan steam

    boiler (b)

    C. METODE PENELITIAN

    1. Prosedur Penelitian

    Sejumlah gabah yang telah dibersihkan direndam dalam air bersuhu 60oC 5 selama 4 jam.

    Perendaman ini bertujuan untuk mencapai kadar air gabah hingga 30%. Kemudian gabah tersebut

    dibagi ke dalam 2 bagian dan diberikan perlakuan pemanasan dengan suhu yang sama yaitu 80oC,

    namun dalam lama waktu pemanasan yang berbeda, masing-masing selama t1= 20 menit, t2= 30

    menit, serta terdapat t0 (tanpa proses pratanak) yang dijadikan kontrol. Terdapat 2 kali pengulangan

  • 13

    untuk masing-masing perlakuan ini. Pada saat pengukusan berlangsung, penyebaran suhu gabah

    diukur untuk masing-masing perlakuan. Letak titik pengukuran suhu saat pengukusan dapat dilihat

    pada gambar 3. Setelah proses pemanasan atau pemberian uap panas selesai, selanjutnya dilakukan

    pengeringan terhadap gabah hingga mencapai kadar air Gabah Kering Giling (GKP) yakni 14%.

    Gabah yang telah kering kemudian digiling dan dilakukan pengamatan mutu. Pengamatan mutu beras

    meliputi mutu fisik yaitu rendemen giling dan mutu giling, mutu gizi yaitu analisa proksimat terhadap

    beras pratanak hasil dari penggilingan gabah tersebut, serta organoleptik terhadap beras pratanak.

    Diagram alir prosedur penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 4.

    1 2 3 4

    5 6 7 8

    9 10 11 12

    Gambar 3. Layout letak titik pengukuran suhu saat pengukusan

    Pembagian titik pengukuran untuk keduabelas titik tersebut adalah sebagai berikut :

    a. Suhu gabah bagian atas (Tha) terdiri dari nomor 1, 2, 3, dan 4

    b. Suhu gabah bagian tengah (Tht) terdiri dari nomor 5, 6, 7, dan 8

    c. Suhu gabah bagian bawah (Thb) terdiri dari nomor 9, 10, 11, dan 12

    d. Suhu gabah bagian dalam (Tvi) terdiri dari nomor 2, 3, 6, 7, 10, dan 11

    e. Suhu gabah bagian luar (Tvo) terdiri dari nomor 1, 4, 5, 8, 9, dan 12

    2. Rancangan Percobaan

    Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap

    (RAL) dengan tiga buah perlakuan dan setiap perlakuan diberi ulangan sebanyak 2 kali. Rumus

    rancangan percobaan yang digunakan adalah sebagai berikut :

    Yij = + i + ij

    Keterangan :

    i = t0, t1 dan t2 (perlakuan)

    j = 1,2 (ulangan)

    Yij = hasil pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j

    = rataan umum

    i = pengaruh perlakuan ke-i = i

    ij = pengaruh acak pada perlakuan ke-i, ulangan ke-j

  • 14

    Gambar 4. Diagram alir prosedur penelitian

    Gabah (varietas Bagendit)

    Pembersihan (precleaning)

    Perendaman (steeping in water) Suhu 60 oC 5 selama 4 jam

    Pemberian uap panas (steaming) Suhu 80 oC

    Pengeringan (drying) hingga mencapai kadar air 14%

    Penggilingan (milling)

    Gabah Kering Giling

    t = 20 menit

    kontrol

    t = 30 menit

    Pengamatan mutu beras : Rendemen kadar air, mutu giling, kadar

    abu, lemak, protein, dan karbohidrat

    Organoleptik : warna, aroma dan penerimaan umum

    Beras pratanak

    Pengukuran kadar air 14%

  • 15

    3. Analisis Parameter Mutu

    a. Rendemen (Muchtadi dan Sugiyono 1992)

    Pengukuran rendemen beras pratanak dihitung berdasarkan perbandingan berat beras pratanak

    yang dihasilkan (b kg) terhadap berat awal gabah yang digunakan (a kg) rendemen dihitung dengan

    rumus:

    Rendemen = (b/a) x 100 %

    b. Mutu giling (SNI 01-6128 : 2008)

    Penentuan derajat sosoh dilakukan pada beras contoh analisis sebanyak 100 gram secara visual

    dengan indra penglihatan menggunakan pertolongan kaca pembesar yang dibandingkan dengan

    contoh beras standar yang mempunyai derajat sosoh 100%, 90%, dan 80%.

    Sampel beras giling dan beras pratanak ditimbang sebanyak 100 gram (berat awal) dengan 3

    kali ulangan. Sampel dipisahkan menjadi beras kepala (>2/3), beras patah (1/3-2/3) dan beras menir

    (2/3)

    100 %

    Beras patah (%) = (

    1

    32/3)

    100 %

    Beras menir (%) = (

  • 16

    c. Kadar Air, Metode Oven (AOAC 1995)

    Cawan aluminium dikeringkan dalam oven pada suhu 105 oC selama 1 jam, kemudian

    didinginkan dalam desikator dan ditimbang (a gram). Sampel ditimbang sebanyak 2 gram lalu

    dimasukkan dalam cawan (b gram) dan dikeringkan dalam oven dengan suhu 105-110 oC selama 3

    jam, kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sampel dipanaskan lagi di dalam oven

    sampai tercapai berat konstan (c gram). Kadar air dapat ditentukan dengan rumus sebagai berikut.

    Kadar air (%) = ()

    () 100 %

    d. Kadar Abu, Metode Pengabuan Kering (AOAC 1995)

    Ditimbang sampel sebanyak 2 gram (a gram), dimasukkan ke dalam cawan porselen yang telah

    dikeringkan dan diketahui beratnya (b gram), kemudian diabukan dalam tanur pengabuan pada suhu

    450-550 oC selama 2 jam atau sampai semua sampel telah menjadi abu, didinginkan dalam desikator

    dan ditimbang (c gram).

    Kadar abu (%bb) =

    () 100 %

    Kadar abu (%bk) = (% )

    100 100 %

    e. Kadar Lemak , Metode Soxhlet (AOAC 1995)

    Labu lemak yang akan digunakan dikeringkan dalam oven bersuhu 100-110 oC, didinginkan

    dalam desikator, dan ditimbang. Sampel ditimbang sebanyak 5 gram dibungkus dengan kertas saring

    lalu dimasukkan ke dalam alat ekstraksi (soxhlet) yang berisi pelarut heksana.

    Reflux dilakukan selama 5 jam, kemudian pelarut yang ada didalam labu lemak didistilasi.

    Selanjutnya labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven pada suhu 100 oC

    hingga beratnya konstan, didinginkan dalam desikator, lalu ditimbang. Kadar lemak ditentukan

    dengan rumus sebagai berikut.

    Kadar lemak (%bb) =

    100 %

    Kadar lemak (%bk) = (%)

    100 100 %

    f. Kadar Protein, Metode Mikro Kjeldahl (AOAC 1995)

    Sampel ditimbang sebanyak 0.2 gram, kemudian dimasukkan ke dalam labu kjeldahl 100 ml

    lalu ditambahkan 2 gram K2SO4, 40 mg HgO dan 2.5 ml H2SO4 pekat, setelah itu didestruksi selama

    30 menit sampai warna cairan berwarna hijau jernih, dibiarkan sampai dingin, lalu ditambahkan 35 ml

    air suling dan 10 ml NaOH pekat sampai berwarna coklat kehitaman, kemudian didistilasi. Hasil

    destruksi ditampung dalam erlenmeyer 125 ml yang berisi H3BO3 dan indikator, lalu dititrasi dengan

    HCl 0.02 N, larutan blangko dianalisis seperti sampel. Kadar nitrogen dihitung berdasarkan rumus:

    Kadar nitrogren (%) = 14.0007

    100 %

    Kadar protein (% bb) = % N x faktor konversi (Faktor konversi beras = 5.95)

  • 17

    Kadar lemak (% bk) = (% )

    100 100 %

    g. Kadar Karbohidrat by difference (Winarno 1992)

    Kadar karbohidrat dihitung menggunakan metode by difference yaitu dengan menggunakan

    rumus:

    Kadar karbohidrat (%bk) = 100-%bk (abu+ lemak + protein)

    h. Organoleptik

    Uji organoleptik yang dilakukan adalah uji hedonik. Uji hedonik dilakukan dengan

    menggunakan panelis tidak terlatih dari mahasiswa dan pegawai dengan tujuan untuk mengetahui

    tingkat kesukaan konsumen terhadap beras pratanak yang diuji. Uji organoleptik dilakukan terhadap

    warna, aroma dan penampakan secara umum. Pengujian menggunakan skala 1-7, skala 1 untuk

    sangat tidak suka dan skala 7 untuk sangat suka.

  • 18

    IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

    A. PROSES PENGOLAHAN BERAS PRATANAK

    Gabah yang diperoleh dari petani masih bercampur dengan jerami kering, gabah hampa dan

    kotoran lainnya sehingga perlu dilakukan pembersihan. Oleh karena itu pengolahan beras pratanak

    dimulai dengan pembersihan gabah menggunakan precleaner. Alat ini berfungsi untuk memisahkan

    gabah dari kotoran serta gabah hampa. Setelah dibersihkan, berat keseluruhan gabah mengalami

    penyusutan hingga 5%.

    Gabah yang telah bersih disiapkan untuk proses perendaman. Gabah ditimbang dan

    dimasukkan ke dalam karung dengan tujuan untuk mempermudah saat gabah dimasukkan dan

    dikeluarkan dari drum perendaman. Kadar air awal gabah sebelum direndam berkisar antara 13-15%.

    Suhu air dalam drum dipertahankan berkisar antara 60-70 oC dengan cara menambahkan air panas jika

    suhu terukur mengalami penurunan. Perendaman gabah dengan suhu berkisar antara 60-70 oC

    dimaksudkan untuk meningkatkan kadar air gabah hingga mencapai sekitar 30% basis basah. Menurut

    Ali dan Ojha (1976) pada kadar air tersebut proses gelatinisasi pati dalam gabah dapat berlangsung.

    Namun demikian, pada saat perendaman dihentikan kadar air yang terukur hanya berkisar antara 24-

    26%. Hal ini kemungkinan terjadi karena penggunaan karung yang dapat memperlambat peresapan air

    ke dalam gabah sehingga dalam waktu 4 jam perendaman belum cukup untuk meningkatkan kadar air

    30%.

    Selama pengukusan, suhu steam yang digunakan mengalami perkembangan. Setelah gabah

    dipindahkan ke dalam tangki pengukusan, suhu steam dalam tangki pengukusan yang pada awalnya

    telah disiapkan berkisar antara 80 oC hingga 90 oC mengalami penurunan kemudian dengan perlahan

    meningkat hingga mencapai hampir 100 oC. Pada Gambar 5 dan Gambar 6 ditunjukkan profil suhu

    gabah saat pengukusan 20 menit. Gambar 5 menjelaskan penyebaran suhu yang diambil secara

    horizontal. Suhu gabah bagian atas (Tha) terlihat lebih rendah dibanding suhu bagian tengah (Tht) dan

    suhu bagian bawah (Thb). Kemungkinan besar hal ini dapat terjadi karena pada saat pengukusan,

    tangki pengukusan tidak ditutup. Sedangkan suhu pada Tht dan Thb menunjukkan penyebaran suhu

    yang merata dan sesuai dengan target yaitu mencapai 80 oC.

    Gambar 5. Distribusi suhu gabah secara horizontal pada pengukusan 20 menit

    0

    10

    20

    30

    40

    50

    60

    70

    80

    90

    0 5 10 15 20 25

    Suh

    u (

    oC

    )

    Waktu (menit)

    Suhu bagian atas Suhu bagian tengah

    Suhu bagian bawah

  • 19

    Pada Gambar 6 ditunjukkan penyebaran suhu gabah yang diukur secara vertikal. Suhu yang

    terukur pada bagian dalam (Tvi) lebih tinggi dibanding dengan suhu bagian luar (Tvo). Hal ini dapat

    disebabkan Tvi berada lebih dekat dengan pipa pengeluaran uap yang memungkinkan suhu gabah

    masih sama seperti suhu uap yang dihasilkan. Tidak meratanya distribusi suhu ini dapat menyebabkan

    ketidakseragaman kualitas beras hasil pratanak.

    Gambar 6. Distribusi suhu gabah secara vertikal pada pengukusan 20 menit

    Pada Gambar 7 ditunjukkan grafik penyebaran suhu dalam tangki untuk lama pengukusan 30

    menit. Sama seperti pada pengukusan 20 menit, karena adanya penghentian suplai steam, suhu steam

    pada menit ke-0 masih berkisar antara 40 oC hingga 50 oC dan mengalami peningkatan pada menit

    selanjutnya. Pada grafik terlihat suhu gabah di bagian tengah (Tht) dapat mencapai suhu pengukusan

    yang diinginkan yaitu 80 oC. Sedangkan suhu gabah bagian atas (Tha) dan suhu bagian bawah (Thb)

    masih dibawah 80 oC. Pada bagian atas kemungkinan karena tangki pengukusan tetap terbuka saat

    pengukusan dan bagian bawah karena telah berada jauh dari sumber steam.

    Gambar 7. Distribusi suhu gabah secara horizontal pada pengukusan 30 menit

    0

    10

    20

    30

    40

    50

    60

    70

    80

    90

    0 5 10 15 20 25

    Suh

    u (

    oC

    )

    Waktu (menit)

    Suhu bagian luar Suhu bagian dalam

    0

    10

    20

    30

    40

    50

    60

    70

    80

    90

    0 5 10 15 20 25 30 35

    Suh

    u (

    oC

    )

    Waktu (menit)

    Suhu bagian atas Suhu bagian tengah

    Suhu bagian bawah

  • 20

    Grafik yang ditunjukkan pada Gambar 8 menjelaskan profil suhu pada pengukusan 30 menit.

    Pada grafik terlihat suhu yang terukur pada bagian luar (Tvo) lebih rendah dibanding suhu bagian

    dalam (Tvi). Sama seperti pada pengukusan 20 menit, hal ini dapat terjadi karena Tvi terletak dekat di

    pipa pengeluaran uap. Karena alasan ini suhu gabah pada bagian dalam masih relatif sama dengan

    suhu uap yang dihasilkan dari boiler dan sesuai dengan suhu pengukusan yang diharapkan. Agar

    penyebaran suhu gabah merata saat pengukusan berlangsung, tangki pengukusan diupayakan tertutup

    dan dilakukan penambahan pipa saluran steam ke dalam tangki.

    Gambar 8. Distribusi suhu gabah secara vertikal pada pengukusan 30 menit

    Setelah pengukusan berlangsung dengan lama 20 menit atau 30 menit, proses selanjutnya

    adalah pengeringan. Pengeringan ditujukan untuk menurunkan kadar air gabah hingga mencapai kadar

    air GKG yaitu antara 13- 14%. Pada kadar air ini gabah siap untuk digiling atau aman untuk disimpan

    dalam waktu yang lama. Metode pengeringan yang digunakan pada penelitian ini adalah penjemuran

    dengan memanfaatkan panas sinar matahari. Penjemuran dilakukan dengan menggunakan alas berupa

    lantai jemur. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah bercampurnya kotoran, kehilangan butiran gabah,

    memudahkan pengumpulan gabah dan menghasilkan penyebaran panas yang merata.

    Gabah hasil pengeringan yang telah mencapai kadar air GKG tersebut selanjutnya digiling.

    Penggilingan gabah dilakukan di penggilingan padi milik petani di daerah Situ Gede. Penggilingan

    merupakan proses untuk mengubah gabah menjadi beras. Penggilingan gabah dimulai dengan

    pemecahan kulit yang bertujuan untuk melepaskan kulit gabah dengan kerusakan yang sekecil

    mungkin pada butiran beras. Setelah pemecahan kulit, beras pecah kulit masih berwarna gelap

    kecoklatan dan tidak bercahaya sehingga dilakukan tahap selanjutnya yaitu penyosohan. Menurut

    Patiwiri (2006) disamping penampakannya yang kurang menarik, adanya bekatul pada beras juga

    membuat rasa nasi kurang enak meskipun bekatul memiliki nilai gizi yang tinggi. Proses penggilingan

    gabah ini mengalami 2 kali pecah kulit dan 2 kali penyosohan. Hal penting yang harus diperhatikan

    sebelum proses penggilingan adalah kondisi fisik gabah antara ketiga perlakuan harus sama, seperti

    umur simpan setelah proses pengeringan dan kadar air gabah. Hal ini dimaksudkan agar tidak terdapat

    perbedaan lain antara gabah yang digiling kecuali beda perlakuan lama pengukusan.

    0

    10

    20

    30

    40

    50

    60

    70

    80

    90

    0 5 10 15 20 25 30 35

    Suh

    u (

    oC

    )

    Waktu (menit)

    Suhu bagian luar Suhu bagian dalam

  • 21

    B. PENGARUH LAMA PENGUKUSAN TERHADAP MUTU FISIK BERAS PRATANAK

    1. Rendemen Giling

    Rendemen giling beras pratanak dihitung berdasarkan perbandingan antara berat beras hasil

    giling dengan berat awal gabah yang digiling. Hasil perhitungan untuk rendemen giling beras pratanak

    menunjukkan adanya peningkatan jika dibandingkan dengan kontrol meskipun secara statistik tidak

    berbeda nyata. Hasil perhitungan rendemen penggilingan dapat dilihat pada Lampiran 4. Besarnya

    peningkatan rendemen giling berkisar antara 2.76% - 2.94%. Melalui Gambar 9 dapat dilihat bahwa

    rendemen giling terbesar berdasarkan lama pengukusan adalah beras pratanak dengan pengukusan

    selama 30 menit. Pada histogram terlihat rendemen giling beras biasa sebesar 66.61%, sedangkan

    rendemen giling beras pratanak berturut-turut meningkat menjadi 69.37% dan 69.55%. Peningkatan

    rendemen giling ini disebabkan ikatan sel-sel beras lebih kompak dan kuat akibatnya pada proses

    penggilingan lebih tahan terhadap gesekan saat pengupasan dan penyosohan (Burhanuddin 1981).

    Gambar 9. Rendemen giling beras pratanak

    Berdasarkan analisis sidik ragam, perlakuan lama pengukusan tidak berpengaruh nyata

    terhadap rendemen giling beras pratanak. Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa lama pengukusan 20

    menit tidak berbeda nyata dengan pengukusan selama 30 menit dan kontrol. Analisis sidik ragam

    dapat dilihat pada Lampiran 13.

    2. Mutu Giling

    Menurut aturan SNI 01-6128 : 2008, beras adalah hasil utama yang diperoleh dari proses

    penggilingan gabah hasil tanaman padi (Oryza sativa L.) yang seluruh lapisan sekamnya terkelupas

    dan seluruh atau sebagian lembaga dan lapisan bekatulnya telah dipisahkan. Beras pratanak hasil

    penelitian ini telah memenuhi persyaratan umum sesuai dengan standar SNI 01-6128 : 2008.

    Pengamatan yang dilakukan secara visual dan penciuman menerangkan bahwa beras pratanak ini a)

    bebas hama dan penyakit. b) bebas bau apek, asam, atau bau asing lainnya. c) bebas dari campuran

    dedak dan bekatul. d) bebas dari bahan kimia yang membahayakan konsumen. Sedangkan

    pengamatan yang dilakukan untuk mengetahui tingkat mutu pada persyaratan khusus atau syarat

    kualitatif beras pratanak dapat dilihat pada Tabel 7.

    69.37 69.55

    66.61

    60

    65

    70

    75

    80

    Ren

    dem

    en G

    ilin

    g (

    %)

    Lama pengukusan

    20 menit 30 menit kontrol

  • 22

    Beras pratanak memiliki tingkat derajat sosoh yang rendah. Pemanasan yang lama

    menyebabkan pigmen sekam yang larut dalam air perendaman menembus endosperm sebagai akibat

    panas yang diberikan sehingga warna beras berubah menjadi berwarna kekuning-kuningan. Perubahan

    warna yang terjadi pada beras pratanak disebabkan oleh adanya reaksi beberapa asam amino bebas

    dengan monosakarida pada proses pratanak, sehingga berpengaruh pada derajat sosoh beras pratanak

    (Gariboldi 1974). Berdasarkan hasil analisa sidik ragam menyatakan bahwa lama pengukusan

    berpengaruh terhadap tingkat derajat sosoh beras pratanak. Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa beras

    pratanak dengan pengukusan 20 menit dan 30 menit berbeda nyata dengan beras yang dijadikan

    kontrol.

    Menurut Widowati et al. (2009) kandungan air dalam bahan pangan juga ikut menentukan

    daya terima, kesegaran dan daya tahan produk. Kadar air yang rendah dapat memperpanjang umur

    simpan beras. Hal tersebut dikarenakan mikroba sulit tumbuh pada kondisi kering. Berdasarkan

    analisis sidik ragam, perlakuan lama pengukusan tidak mempengaruhi kadar air akhir beras setelah

    penggilingan. Kadar air dari beras hasil penggilingan dipengaruhi oleh proses pengeringan. Pada

    pengolahan beras pratanak ini gabah hasil pengukusan dikeringkan dengan metode penjemuran di

    bawah sinar matahari langsung, begitu juga dengan gabah yang dijadikan kontrol.

    Tabel 7. Mutu giling beras pratanak dengan perlakuan lama pengukusan yang berbeda

    Komponen mutu Perlakuan (lama pengukusan)

    20 menit 30 menit kontrol

    Derajat sosoh (%) 850 b 850 b 950 a

    Kadar air (%) 13.200.49 a 13.530.18

    a 13.631.45

    a

    Butir kepala (%) 61.673.28 b 67.941.79 a 71.350.82 a

    Butir patah (%) 34.340.56 a 27.941.66

    b 26.190.09

    b

    Butir menir (%) 3.990.05 a 4.120.13

    a 2.450.73

    b

    Butir merah (%) 0 0 0

    Butir kuning/rusak (%) 0.410.30 a 0.420.02

    a 0.440.24

    a

    Butir mengapur (%) 0.140.03 a 0.260.18

    a 0.280.01

    a

    Benda asing (%) 0 0 0.020.01

    Butir gabah (butir/100 g) 0 0 0

    Rendemen (%) 69.371.03 a 69.550.64

    a 66.612.05

    a

    Huruf yang sama menunjukkan bahwa perlakuan tidak berbeda nyata pada taraf 0.05

    Hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 16 menunjukkan bahwa perlakuan lama pengukusan

    memiliki pengaruh terhadap persentase butir kepala beras pratanak. Dengan uji lanjut dapat dilihat

    bahwa beras pratanak dengan pengukusan 30 menit dan kontrol berbeda nyata dengan beras pratanak

    pengukusan 20 menit. Pada Tabel 7 terlihat bahwa persentase terbesar butir kepala adalah pada

    kontrol dengan besar 71.35%, diikuti dengan perlakuan lama pengukusan 30 menit sebesar 67.94%

    dan terakhir sebesar 61.67% untuk lama pengukusan 20 menit. Namun demikian, berdasarkan mutu

    SNI 01-6128 : 2008 dengan hasil persentase butir kepala seperti yang telah disebutkan, ketiga

    perlakuan ini termasuk ke dalam mutu V.

  • 23

    Persentase butir patah paling besar terdapat pada perlakuan lama pengukusan 20 menit yaitu

    sebesar 34.34%, kemudian diikuti oleh perlakuan lama pengukusan 30 menit sebesar 27.94% dan

    terakhir perlakuan kontrol sebesar 26.19%. Banyaknya butir patah hasil giling ini disebabkan oleh

    tidak sempurnanya gelatinisasi pati yang terjadi saat perendaman. Berdasarkan analisis sidik ragam

    seperti pada Lampiran 17, perlakuan lama pengukusan berpengaruh terhadap persentase butir patah.

    Dengan uji lanjut dapat dilihat bahwa persentase butir patah pada perlakuan lama pengukusan 20

    menit berbeda nyata dengan perlakuan pengukusan 30 menit dan kontrol.

    Berdasarkan analisis sidik ragam seperti pada Lampiran 18, perlakuan lama pengukusan tidak

    berpengaruh nyata terhadap persentase butir menir (P>0.05). Dengan uji lanjut dapat dilihat bahwa

    persentase butir menir pada perlakuan lama pengukusan 20 menit dan 30 menit berbeda nyata dengan

    persentase butir menir pada perlakuan kontrol. Butir menir tertinggi seperti yang terlihat pada Tabel 7

    dimiliki oleh beras pratanak dengan lama pengukusan 30 menit yaitu sebesar 4.12%, kemudian beras

    pratanak dengan lama pengukusan 20 menit yaitu sebesar 3.99% dan terakhir beras biasa atau kontrol

    sebanyak 2.45%. Namun, jika dilihat dari butir menir yang dihasilkan maka ketiga perlakuan ini

    termasuk ke dalam mutu V berdasarkan SNI 01-6128 : 2008.

    Pada Tabel 7 terlihat bahwa persentase butir kuning/rusak terbesar berturut-turut adalah pada

    perlakuan kontrol yaitu sebesar 0.44%, pengukusan 30 menit sebesar 0.42%. dan pengukusan 20

    menit sebesar 0.41%. Berdasarkan analisis sidik ragam, perlakuan lama pengukusan tidak

    berpengaruh nyata terhadap banyaknya butir kuning/rusak pada beras. Hasil analisis sidik ragam dapat

    dilihat pada Lampiran 19. Namun, jika dilihat dari butir kuning/rusak yang dihasilkan maka ketiga

    perlakuan ini termasuk ke dalam mutu II berdasarkan SNI 01-6128 : 2008. Penyebab utama butir

    kuning/rusak pada beras adalah adanya peragian, pembusukan, atau pertumbuhan jamur karena

    kurang sempurnanya proses pengeringan gabah setelah panen. Gabah dari hasil panen musim hujan

    yang tidak sempat segera dikeringkan akan banyak menghasilkan butir kuning (Damardjati dan

    Purwani 1991).

    Persentase butir mengapur untuk ketiga perlakuan berturut-turut adalah 0.28% untuk perlakuan

    kontrol, 0.26% untuk lama pengukusan 30 menit dan 0.14% untuk lama pengukusan 20 menit.

    Berdasarkan analisis sidik ragam pada Lampiran 20, ketiga perlakuan yang diujikan tidak berpengaruh

    nyata terhadap banyaknya butir mengapur pada beras. Menurut Damardjati dan Purwani (1991), butir

    mengapur dapat berasal dari biji yang masih muda atau karena pertumbuhan yang kurang sempurna.

    Butir mengapur ini juga dapat disebabkan karena adanya faktor genetik. Adanya butir hijau dan butir

    mengapur merupakan sifat varietas disamping pengaruh lingkungan dan pengelolaan.

    Benda asing yang tidak tergolong beras dan gabah hanya ditemukan pada beras biasa atau

    perlakuan kontrol, yakni sebesar 0.02%. Sedangkan pada beras pratanak dengan perlakuan

    pengukusan 20 menit dan 30 menit tidak ditemukan adanya benda asing. Komponen mutu lain seperti

    butir merah dan butir gabah tidak ditemukan dari beras pratanak hasil percobaan ini.

    C. PENGARUH LAMA PENGUKUSAN TERHADAP KANDUNGAN GIZI BERAS PRATANAK

    Menurut Juliano (1972), lapisan aleuron pada beras banyak mengandung protein, lemak,

    vitamin dan mineral. Pada pengolahan gabah cara biasa, lapiran aleuron sebagai pembungkus

    endosperm yang disebut juga kulit ari banyak yang terkelupas akibat penyosohan dan gesekan antara

    butir-butir beras. Pada pengolahan cara pratanak, kandungan pada lapisan aleuron ini terserap ke

    dalam endosperm akibat proses gelatinisasi pati. Oleh karena itu, nilai gizi beras pratanak meningkat.

    Kandungan gizi beras pratanak dapat dilihat pada Tabel 8.

  • 24

    Tabel 8. Pengaruh lama pengukusan terhadap kandungan gizi beras pratanak

    Komponen gizi Perlakuan (lama pengukusan)

    20 menit 30 menit Kontrol

    Kadar abu (% bk) 0.950.14 a 0.940.00

    a 0.620.02

    b

    Kadar lemak (% bk) 1.000.12 ab

    1.440.17 a 0.670.23

    b

    Kadar protein (% bk) 9.490.41 a 10.080.56

    a 9.350.86

    a

    Kadar karbohidrat (% bk) 88.350.43 a 89.110.95

    a 87.971.35

    a

    Huruf yang sama menunjukkan bahwa perlakuan tidak berbeda nyata pada taraf 0.05

    Pada penelitian ini diperoleh kadar abu dan kadar lemak beras pratanak lebih tinggi

    dibandingkan dengan beras kontrol, namun lama pengukusan 20 menit dan 30 menit tidak berbeda

    nyata. Penerapan teknologi pengolahan beras pratanak dapat meningkatkan kadar abu sebesar 0.32%-

    0.33%. Peningkatan ini terjadi karena selama proses pengolahan beras pratanak mineral-mineral yang

    terkandung dalam sekam dan bekatul terserap ke dalam beras pratanak. Berdasarkan analisis sidik

    ragam seperti terlihat pada Lampiran 21, perlakuan lama pengukusan berpengaruh nyata terhadap

    kandungan abu dalam beras pratanak. Dengan uji lanjut diperoleh adanya perbedaan nyata antara lama

    pengukusan 20 menit dan 30 menit dengan beras yang dijadikan sebagai kontrol seperti yang tertera

    pada Tabel 8 di atas.

    Menurut Kunze dan Calderwood (2004) dalam Dewi (2009), beras dengan derajat sosoh yang

    tinggi lebih tahan dalam hal penyimpanan dibandingkan dengan beras derajat sosoh rendah, karena

    beras dengan derajat sosoh rendah mudah mengalami ketengikan karena masih memiliki lapisan

    dedak aleuron yang memiliki kandungan lemak tinggi. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa

    perlakuan pengukusan selama 30 menit mampu meningkatkan kadar lemak beras pratanak. Dari uji

    lanjut diperoleh bahwa pengukusan 30 menit berbeda nyata dengan kontrol namun tidak berbeda

    nyata dengan pengukusan selama 20 menit.

    Pada beras, protein merupakan penyusun kedua setelah pati. Kadar protein pada beras

    umumnya ditentukan oleh faktor lingkungan tempat tumbuhnya padi seperti unsur nitrogen dalam

    tanah. Protein pada beras biasa atau beras giling yang dijadikan kontrol memiliki kadar protein

    sebesar 9.35%. Setelah dilakukan proses pratanak, kadar protein dalam beras secara statistik

    menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan (Lampiran 23). Proses pratanak yang diharapkan

    dapat meningkatkan kandungan gizi beras belum bisa meningkatkan kadar protein beras. Hal ini

    kemungkinan disebabkan oleh tidak meratanya panas yang dterima gabah saat pengukusan sehingga

    gelatinisasi total tidak terjadi. Namun demikian, proses pratanak yang telah dicobakan tidak merusak

    atau menurunkan kadar protein beras pratanak.

    Karbohidrat merupakan sumber kalori utama bagi manusia. Karbohidrat juga mempunyai

    peran penting dalam menentukan karakteristik bahan makanan, misalnya rasa, warna dan tekstur.

    Sedangkan dalam tubuh. karbohidrat berguna untuk mencegah timbulnya ketosis, pemecahan protein

    tubuh yang berlebihan, kehilangan mineral dan berguna untuk membantu metabolisme lemak dan

    protein (Winarno 1992). Berdasarkan analisis sidik ragam pada Lampiran 24, perlakuan lama

    pengukusan tidak berpengaruh nyata terhadap kadar karbohidrat beras pratanak. Namun demikian,

    jika dilihat dari hasil pengukuran terhadap kadar karbohidrat, persentase karbohidrat terbesar yaitu

    89.11% terdapat pada perlakuan lama pengukusan 30 menit.

  • 25

    Selain peningkatan kandungan gizi berupa komposisi proksimat, kelebihan lain yang dimiliki

    oleh proses pratanak ditinjau dari sifat fungsionalnya adalah dapat menurunkan indeks glikemik.

    Dengan penurunan nilai indeks glikemik ini, dapat dikatakan bahwa beras pratanak sangat cocok

    untuk penderita diabetes. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Widowati et al. (2009),

    proses pratanak mampu menurunkan indeks glikemik beras dari 54.43-97.29 menjadi 44.22-76.32

    karena terjadi peningkatan kadar amilosa dan serat pangan. Difusi dan peleketan komponen penyusun

    bekatul dan sebagian sekam berpengaruh nyata meningkatkan kandungan serat pangan, terutama serat

    pangan tidak larut.

    D. UJI ORGANOLEPTIK

    1. Aroma

    Proses pratanak yang dilakukan pada gabah dapat memberikan pengaruh terhadap penampakan

    secara fisik beras pratanak tersebut. Sebagai contoh, melekatnya lapisan aleuron pada beras membuat

    warna beras menjadi kecoklatan. Oleh karena itu diperlukan pengujian organoleptik yang ditujukan

    untuk mengetahui tingkat penerimaan konsumen terhadap beras pratanak. Uji organoleptik terhadap

    suatu bahan pangan atau makanan merupakan penilaian dengan menggunakan alat indra yaitu indra

    penglihatan, pencicip, pembau dan pendengar.

    Menurut Soekarto (1985) pembauan juga disebut pencicipan jarak jauh karena manusia dapat

    mengenal enaknya makanan yang belum terlihat hanya dengan mencium baunya dari jarak jauh. Indra

    pembau berfungsi untuk menilai bau-bauan dari suatu produk atau komoditi baik berupa makanan

    atau nonpangan. Bau-bauan lebih kompleks daripada cicip. Kepekaan pembauan lebih tinggi daripada

    pencicipan. Berikut ini ditampilkan histogram pe