sampul vol 2 no 3 - pppptk matematika

69

Upload: others

Post on 15-Nov-2021

2 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925

134

PENINGKATAN HASIL BELAJAR

MEMBANDINGKAN PECAHAN

MENGGUNAKAN MEDIA GARIS BILANGAN

LIMBAH TRIPLEK PADA SISWA KELAS 3

SDN BATOK 01 KECAMATAN GEMARANG

KABUPATEN MADIUN

Mohamad Ridwan

SDN Batok 01, Kec. Gemarang Kab. Madiun, Email : [email protected]

Abstrak, Hasil belajar matematika pada siswa kelas III SDN Batok 01 Kecamatan

Gemarang Kabupaten Madiun, materi membandingkan pecahan semester II tahun

pelajaran 2013/2014, pada kondisi awal masih banyak dibawah KKM. Hasil belajar

siswa yang dilihat dari nilai rata-rata kelas tes individu menunjukan bahwa dari siswa

15 anak, sebanyak 11 anak tidak tuntas, dan hanya 4 anak tuntas. Hal ini disebabkan

karena kurangngya pemahaman siswa terhadap materi pelajaran, tidak adanya media

belajar yang tepat, siswa masih pada tahap operasional konkret, aktifitas siswa dan guru

yang kurang optimal dalam proses pembelajaran dan penggunaan model pembelajaran

yang masih konvensional. Dengan menggunakan media belajar berupa media garis

bilangan yang terbuat dari limbah triplek, maka dilakukan Penelitian Tindakan Kelas

(PTK) sebagai upaya peningkatan hasil belajar terhadap materi pelajaran tersebut.

Setelah dilakukan perbaikan pembelajaran melalui PTK selama 2 siklus, maka hasil

belajar siswa dari instrumen tes individu mengalami peningkatan. Pada siklus I nilai

rata-rata kelas dari tesindividu sebesar dengan rincian 7 siswa tuntas, dan 8 Siswa tidak

tuntas. Meningkat lagi pada siklus II dengan nilai rata-rata kelas sebesar 88,67

sebanyak 13 siswa tuntas dan 2 siswa tidak tuntas. Dengan demikian media garis

bilangan dari limbah triplek dapat meningkatkan hasil belajar membandingkan pecahan

Kata Kunci: PTK, Media Pembelajaran, Hasil Belajar.

1. Pendahuluan

Lahirnya Undang-Undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, mengubah

paradigma baru dalam proses pembelajaran di sekolah, khususnya bagi guru atau pendidik

yang mengajar di dalam kelas. Jika sebagian besar proses pembelajaran masih menggunakan

model pembelajaran konvensional, yaitu pembelajaran terpusat pada guru, siswa hanya diam

mendengarkan, mencatat dan mengerjakan tugas yang diberikan, maka dengan lahirnya UU

dan perkembangan zaman, paradigma baru telah muncul yaitu dengan model pembelajaran

modern yang berorintasikan sebuah proses pembelajaran yang terpusat pada siswa. Dalam

model pembelajaran modern ini, guru atau pendidik hanya bersifat sebagai fasilitator saja

dalam proses pembelajaran.

Kegiatan atau proses belajar mengajar di dalam kelas, tidak lepas dari berbagai masalah yang

ada. Dimuai dari keadaan kelas, psikis siswa, hingga pada hasil bekajar siswa terhadap suatu

materi pelajaran yang dismpaikan oleh guru kepada siswa. Perubahan paradigma baru

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925

135

tersebut, tentunya tidak semudah membalikan telapak tangan. Perlu adanya pendekatan atau

model pembelajaran yang sesuai dengan materi pelajaran yang disampaikan kepada diswa.

Pemilihan sebuah model, metode, atau media belajar yang menarik dan mudah dipahami

oleh siswa, tentunya akan membawa dampak yang baik pula terhadap hasil belajar siswa di

dalam kelas dalam memahami dan mengikuti pelajaran yang disampaikan oleh guru.

Beberapa mata pelajaran yang disampaikan kepada siswa tentunya mempunyai struktur dan

karakteristik yang berbeda antara pelajaran satu dan lainnya. begitu juga dengan karakteristik

siswa yang berbeda jika dilihat dari segi tingkat satuan pendidikan. Anak susia SD tentu

berbeda dengan abak seusia SMP atau SMA. Pada anak usia SD yang masih diselimuti usia

anak-anak khususnya pada kelas rendah ( kelas 1 -3 ) masih pada tahap operasional konret.

Yang artinya, proses pembelajaran masih perlu bantuan atau bimbingan dengan memberikan

contoh-contoh konkret yang mudah dipahami. Berbeda dengan anak usia SMP dan SMA

yang telah masuk pada tahap operasional abstrak.

Salah satu mata pelajaran yang mempunyai karakteristik dan ciri khusus yang memerlukan

contoh – contoh konkret adalah matematika. Mata pelajaran matematika, baik yang diberikan

pada tingkat dasar mauun menengah, memerlukan pemahaman dan logika berpikir yang

lebih optimal. Sesuai dengan salah sau cirinya, bahwa matematika terdiri dari angka, simbol

abstrak dan sebagainya, maka tidak heran jika mata pelajaran matematika untuk sebagian

besar siswa merupakan mata pelajaran yang dianggap sulit dan menakutkan. Kondisi

demikian berujung pada hasil belajar siswa yang masih rendah dan tidak sedikit terjadi angka

mengulang kelas, terutama pada siswa tingkat sekolah dasar. Sesuai dengan kenyataan di

lapangan, bahwa matematika dirasa sulit dan menakutkan bagi siswa terutama untuk siswa

SD, maka guru sebagai pendidik hendaknya mempunyai suatu strategi pembelajaran, baik

berupa model, metode atau media pembelajaran yang sesuai dengan materi pelajaran

matematika yang akan disampaikan kepada siswa.

Hasil belajar siswa kelas III SDN Batok 01 Kecamatan Gemarang Kabupaten Madiun

semester II tahun pelajaran 2013/2014 pada mata pelajaran matematika materi

membandingkan pecahan yang dinilai dari tes individu, sebagian besar masih dibawah KKM

yang ditentukan yaitu nilai 70, baik secara individu maupun nilai rata-rata kelas. Setelah

dilakukan rekapitulasi terhadap nilai tes individu, maka didapatkan nilai rata-rata kelas

sebesar 62,67, dengan perincian bahwa dari 15 siswa kelas III, sejumlah 4 siswa telah

memenuhi standart KKM yang ditetapkan. Namun, sebanyak 11 siswa masih mendapatkan

nilai dibawah KKM.

Berdasarkan kondisi awal nilai hasil belajar siswa tersebut, maka peneliti melakukan

perbaikan pembelajaran melalui penelitian tindakan kelas (PTK) pada mata pelajaran

matematika materi membandingkan pecahan dengan alternatif pemecahan masalah

menggunakan media garis bilangan dari limbah triplek. Materi membandingkan pecahan

yang terdapat pada mata pelajaran matematika kelas III SD yang akan diteliti adalah

membandingkan pecahan sederhana mulai dari pecahan

sampai dengan pecahan

. Pada

materi ini, siswa masih merasa kesulitan dalam membandingkan pecahan antara lebih besar,

sama dengan atau lebih kecil. Hal ini karena pada penyampaian materi guru tidak

menggunakan metode dan media belajar yang tepat dalam menjelaskan dan menanamkan

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925

136

pemahaman konsep materi pelajaran kepada siswa, guru masih menggunakan model

pembelajaran konvensional dalam mengajar. Lebih lanjut, materi membandingkan pecahan

ini, perlu diberikan media belajar yang konkret agar siswa dapat memahami materi sehingga

hasil belajar siswa akan meningkat.

Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, maka dapat diidentifikasikan beberapa

masalah dalam penelitian ini, yaitu , (1) pembelajaran yang bersifat konvensional atau

tradisional. Pembelajaran terpusat pada guru, (2) tidak digunakannya media belajar yang

konkret dalam penyampaian materi pelajaran, (3) kinerja guru yang kurang maksimal dalam

proses pembelaaran, (3) aktifitas siswa yang kurang terlibat pada proses pembelajaran di

dalam kelas, (4) rendahnya minat belajar siswa terhadap pelajaran matematika khususnya

materi membandingkan pecahan, dan (5) rendahnya nilai belajar siswa pada materi pelajaran

membandingkan pecahan tesebut. Dari beberapa identifikasi masalah diatas, dapat ditarik

beberapa analisis masalah yang dijadikan acuan dalam penelitian tindakan kelas ini, yaitu

(1) model pembelajaran yang konvensional dalam proses pembelajaran, (2) media belajar

yang belum ada dalam proses pembelajaran, (3) aktifitas siswa yang kurang maksimal, dan

(4) hasil belajar siswa pada materi membandingkan pecahan.

Dengan adanya berbagai permasalahan yang melatarbelakangi penelitian ini, maka dapat

dirumuskan masalah yaitu, apakah menggunakan media garis bilangan dapat meningkatkan

hasil belajar membandingkan pecahan pada siswa kelas III SDN Batok 01 Kecamatan

Gemarang Kabupaten Madiun Semester II Tahun Pelajaran 2013/2014?. Penelitian ini

bertujuan untuk memperbaiki kinerja dan aktfitas guru dalam proses pembelajaran dikelas,

menumbuhkembangkan minat belajar siswa melalui model, metode dan media belajar yang

interaktif dan menarik. Selain itu, tujuan pokok dari penelitian ini adalah meningkatkan hasil

belajar membandingkan pecahan pada siswa kelas III SDN Batok 01 Kecamaan Gemarang

Kabupaten Madiun pada semester II tahun pelajaran 2013/2014 sesuai atau lebih besar dari

KKM yang ditetapkan.

Lebih lanjut, penelitian tindakan kelas ini pada akhirnya dapat bermanfaat bagi siswa

khususnya siswa kelas 3 SD antara lain, memberikan sajian proses pembelajaran yang

menarik, melatih siswa untuk aktif terlibat serta melatih siswa untuk lebih kreatif dan

inovatif dalam proses pembelajaran. Bagi guru penelittian ini dapat meningkatkan

profesionalitasnya sebagai seorang pendidik, meningkatkan kinerjanya dalam mengajar

siswa, mengenbangkan ide dan gagasan serta kreativitasnya dalam mengajar, khususnya di

SDN Batok 01 kecamaan Gemarang kabupaten Madiun. Sedangkan bagi sekolah, sebagai

tolok ukur dalam meningkatkan kemajuan pendidikan di sekolah, sebagai sarana dalam

meningkatkan kemampuan dan kreatifitas para gurunya, serta dapat digunakan sebagai bahan

referensi untuk penelitian lainnya. Indikator keberhasilan yang ingin dicapai pada penelitian

ini adalah, (1) jika nilai tes individu setiap siswa lebih besar atau sama dengan KKM (70)

maka dinaytakan tuntas, (2) nilai rata – rata kelas lebih besar atau sama dengan KKM 70,

maka pembelajaran dinyatakan tuntas, dan (3) tingkat ketuntasan seluruh kelas > 75 %.

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925

137

2. Kajian Teori

2.1. Media belajar

Media belajar dapat digunakan berbagai alat peraga sesuai dengan materi dan mata pelajaran

yang ingin disampaikan. Media belajar dapat berupa buku teks pelajaran, alat peraga, atau

audio visual. Tergantung bagaima guru memilih dan menerapkan media tersebut untuk

pembelajaran di dalam kelas. Alat peraga merupakan bagian dari media pembelajaran yang

diartikan sebagai semua benda (dapat berupa manusia, objek atau benda mati) sebagai

perantara di mana digunakan dalam proses pembelajaran (Sitanggang, 2013:4).

Lebih lanjut Sukayati dan Suharjana (2009) menyatakan bahwa media pembelajaran

diartikan sebagai semua benda yang menjadi perantara dalam terjadinya pembelajaran.

Berdasar fungsinya media dapat berbentuk alat peraga dan sarana. Dalam penyampaian suatu

mata pelajaran di kelas, masih banyak guru yang tidak menggunakan alat perga sebagai

media pembelajaran. Masih banyak juga guru yang menggunakan pengelolaan kelas secara

klasikal. Artinya, semua siswa diperlakukan sama untuk menerima materi pembelajaran.

Dari uraian dan pendapat beberapa ahli diatas, maka media pembelajaran atau media belajar

adalah suatu alat bantu yang digunakan oleh guru dalam memyampaikan sebuah materi

pelajaran agar siswa mampu menerima materi pelajaran dengan baik sehingga tujuan

pembelajaran dapat tercapai.

2.2. Hasil Belajar

Oemar Hamalik dalam Isriyanto (2010) mengemukakan bahwa hasil belajar adalah bila

seseorang telah belajar akan terjadi perubahan tingkah laku pada orang tersebut, misalnya

dari tidak tahu menjadi tahu, dan dari tidak mengerti menjadi mengerti. Belajar dan

mengajar merupakan konsep yang tidak bisa dipisahkan. Belajar merujuk pada apa yang

harus dilakukan seseorang sebagai subyek dalam belajar. Sedangkan mengajar merujuk pada

apa yang seharusnya dilakukan seseorang guru sebagai pengajar. Dua konsep belajar

mengajar yang dilakukan oleh siswa dan guru terpadu dalam satu kegiatan. Diantara

keduannya itu terjadi interaksi dengan guru. Kemampuan yang dimiliki siswa dari proses

belajar mengajar saja harus bisa mendapatkan hasil dan bisa juga melalui kreatifitas

seseorang itu tanpa adanya intervensi orang lain sebagai pengajar.

Oleh karena itu hasil belajar yang dimaksud disini adalah kemampuan-kemampuan yang

dimiliki seorang siswa setelah ia menerima perlakukan dari guru, Dari uraian diatas, maka

dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah hasil penilaian guru terhadap siswa setelah

siswa menjalani berbagai uji kompetensi terkait hasil pembelajaran yang telah disampaikan

oleh guru, sedangkan hasil belajar siswa bisa berupa instrumen tes tulis baik kelompok

maupun individu, tes lisan, observasi dan sebagainya. Dalam penelitian ini, maka hasil

belajar siswa didasarkan pada perolehan penilaian atau skor akhir dari tes tertulis yang

diberikan oleh peneliti atau guru setelah menyampaikan materi pembelajaran matematika

materi membandingkan pecahan sederhana. Dalam hasil belajar ini akan dilihat berapa siswa

yang tuntas maupun tidak tuntas dalam mengikuti proses pembelajaran matematika dengan

acuan KKM yang ditetapkan yaitu 70.

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925

138

2.3. Matematika

Musetyo (2013) menyatakan bahwa matematika mempunyai ciri – ciri yaitu a) abstrak, b)

dedukif, c) konsisten, d) hierarkis dan d) logis. Lebih jauh Sumardyono (2004) menyebutkan

bahwa matemtika mempunyai karakteristik sebagai a) memiliki kajian objek yang abstrak, b)

bertumpu pada kesepakatan, c) berpola pikir deduktif, d) konsisten dalam sistemnya, e)

memiliki simbol yang kosong dari arti, f) memperhatikan semesta pembicaraan.

Dengan demikian maka matemtika dapat disimpulkan sebagai mata pelajaran yang bersifat

abstrak, konsisten, deduktif, konsiten dan memiliki simbol–sombol dari arti. Sehingga pada

pembelajaran matemtika khususnya di jenjang sekolah dasar memerlukan sebuah strategi

dan model pembelajaran yang mudah diserap dan dipahami oleh peserta didik. Dalam

penelitian ini, fokus penelitian pada materi membandingkan bilangan pecahan sederhana

pada mata pelajaran matematika kelas III sekolah dasar.

2.4. Media Garis Bilangan Limbah Triplek

Media belajar ini merupakan modifikasi dan pengembangan dari cara membandingkan

pecahan menggunakan garis bilangan. Jika menggunakan garis bilangan yang terdapat pada

buku ataupun siswa membuat, menggambar garis bilangan masih banyak kelemahan, maka

media ini membantu siswa untuk memahami konsep sekaligus meningkatkan hasil

belajarnya pada materi membandingkan pecahan sederhana. Media Garis Bilangan pecahan

ini terbuat dari limbah triplek dengan ukuran 20 cm x 2,5 cm. Dengan disertai gambar

geometri, maka media ini merupakan bentuk konkret dari garis bilangan untuk

membandingkan pecahan.

Penggunaan media garis bilangan limbah triplek ini dengan menysuun dua atau lebih garis

bilangan sesuai dengan pecahan yang akan dibandingkan. Kemudian menbandingkan

pecahan dengan ketentuan jika pecahan berada di sebelah kiri pecahan lain, maka pecahan

bernilai lebih kecil dengan simbol ” < “, sedangkan bila berada si belah kanan pecahan

lainnya maka pecahan tersebut bernilai lebih besar “> “, dan apabila pecahan tersebut sejajar

lurus ke bawah dengan pecahan lain, maka bernilai sama besar dengan simbol “=”.

Gambar 1. Contoh penggunaan media garis bilangan triplek pada pecahan

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925

139

3. Metode

Penelitian Tindakan Kelas (PTK) ini dilaksanakan di SDN Batok 01 Kecamatan Gemarang

Kabupaten Madiun, dengan populasi seluruh siswa kelas III sejumlah 15 anak terdiri dari 10

siswa laki-laki dan 5 siswa perempuan. Waktu pelaksanaan penelitian yaitu selama 3 bulan

dimulai pada bulan Januari sampai dengan bulan Maret tahun 2014, pada kurun waktu

semester II tahun pelajaran 2013/2014. Penelitian ini terdiri dari 2 siklus, setiap siklus terdiri

dari 1 x pertemuan masing-masing pertemuan menggunakan alokasi waktu 3 x 35 menit ( 3

jam pelajaran ). Agar tidak mengganggu kegiatan proses belajar mengajar di sekolah, maka

pelaksanaan setiap siklus disesuaikan dengan jadwal yang sudah ada. Siklus I dilaksanakan

pada tanggal 17 Februari 2014 dan siklus II pada tanggal 06 Maret 2014.

PTK yang dilakukan adalah PTK Kolaboratif yakni peneliti bekerjasama dengan teman

sejawat yang bertindak sebagai observer. Observer membantu peneliti dalam melaksanakan

penelitian termasuk didalamnya memantau, mengamati dan memberikan masukan serta

kesimpulan di setiap siklus penelitian. PTK yang dilaksanakan ini mengacu pada jenis PTK

Kemmis & Mc Taggart (1998), yang terdiri dari empat tahapan untuk setiap siklusnya yaitu

perencanaan, tindakan, observasi dan refleksi dari hasil penelitian setiap siklus untuk

dijadikan tolok ukur dan tindak lanjut serta mengambil kesimpulan dari hasil penelitian.

Instrumen dalam pengumpulan data yang digunakan dalam peneneitian ini berupa lembar

observasi dan lembar tes individu. Lembar observasi digunakan oleh observer untuk

mengamati, memantau dan mencatat serta memberikan masukan terkait proses pembelajaran

yang telah dilaksanakan.terdiri dari beberapa indikator yang telah disesuaikan dan disepakati

bersama dengan observer. Lembar tes individu digunakan untuk mengukur dan melihat hasil

belajar siswa setiap siklusnya. Hasil nilai dari tes ini, akan dibandingkan dengan indikator

kberhasilan sebelumnya, untuk selanjutnya diambil kesimpulan terhadap proses pembelaaran

berlangsung. Tes individu berisi 20 soal isian dimana jawaban yang akan digunakan hanya

berupa tanda > (lebih besar), = (sama dengan) atau < (lebih kecil) diantara dua pecahan yang

disajikan dalam soal.

Analisis data terhadap instrumen yang ada, menggunakan teknik analisis data kalitatif dan

kuantitatif. Tehnik analissi data kualitatif digunakan pada lembar observasi yang ada dengan

memberikan tanda ceklist (√ ) pada kolom yang sudah disediakan. Selanjutnya, observer

akan memberikan kesimpulan terhadap PTK yang dilakukan dengan memberikan catatan

atau komentar deskriptif. Sedangkan teknik analisisi tes ini, berupa teknik analisis data

kuantitif dimana pengolahan dan penyajian data menggunakan perhitungan dan kriteria

penilaian berupa tes indiviu didasarkan pada skor yang diperoleh terhadap beberapa soal

pertanyaan tersebut. Setiap nomor atau jawaban benar maka mendapatkan nilai 1, sedangkan

jawaban salah mendapatkan nilai nol ( 0 ). Nilai akhir (NA) yang digunakan sebagai tolok

ukur ketuntasan siswa menggunakan rumus :

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925

140

Selanjutnya untuk menghitung nilai rata – rata kelas digunakan rumus :

Dimana adalah rata-rata kelas, adalah jumlah nilai akhir seluruh siswa, adalah

jumlah seluruh siswa kelas 3. Sesuai dengan indikator keberhasilan yang telah ditentukan

sebelumnya, maka jika NA≥70 maka siswa dinyatakan tuntas, jika > 70 maka proses

pembelajaran dinyatakan tuntas dengan prosenstasi siswa tuntas minimal sebanyak 75 % dari

seluruh siswa kelas III.

4. Hasil dan Pembahasan

4.1. Deskripsi per Siklus

Kondisi awal sebelum penelitian atau pra siklus, nilai rata-rata kelas hasil belajar yang

diperoleh dari tes individu pada materi membandingkan pecahan sebesar 62,67 dengan

perincian bahwa dari 15 siswa, sebanyak 4 siswa (27%) sudah tuntas dan sebanyak 11 siswa

(73%) tidak tuntas. Dengan melihat hasil tersebut, maka perlu diadakan perbaikan

pembelajaran menggunakan media garis bilangan dari limbah triplek.

Berdasarkan hasil pembelajaran pada kondisi awal tersebut (pra siklus), maka dilaksanakan

perbaikan pembelajaran sesuai dengan perencanaan yang telah disusun. Penggunaan media

garis bilangan limbah triplek diterapkan pada proses pembelajaran siklus I. Hasil belajar

siklus I setelah menggunakan media garis bilangan limbah triplek, menunjukkan bahwa dari

15 siswa, sebanyak 7 siswa (47%) sudah tuntas dan sebanyak 8 siswa (53%) tidak tuntas.

Nilai rata-rata kelas yang diperoleh sebesar 68,33.

Hasil perbaikan pembelajaran pada siklus II dengan menggunakan media garis bilangan

limbah triplek, nilai rata-rata kelas 88,67 dengan rincian sebanyak 13 siswa (87%) tuntas

sesuai dengan indikator keberhasilan yang ditetapkan yaitu > KKM. Sedangkan 2 siswa

(23%) tidak tuntas karena memperoleh nilai dibawah KKM dan memang mempunyai

prestasi rendah dan faktor lain yang tidak diteliti dalam PTK.

4.2. Pembahasan

Hasil nilai belajar yang dilihat dari nilai rata-rata seluruh kelas mengalami peningkatan pada

setiap siklusnya dibandingkan dengan nilai rata-rata pada kondisi awal atau pra siklus. Pada

kondisi awal (pra siklus) nilai rata-rata kelas sebesar 62,67 dengan tingkat ketuntasan sebesar

27 % ( 4 siswa ). Tidak adanya media belajar sebagai alat bantu dalam memperjelas materi

yang disampaikan merupakan faktor utama nilai hasil belajar siswa masih dibawah KKM

selain kinerja guru yang kurang maksimal dan model pembelajaran yang masih konvensional

tersebut. Setelah dilakukan kajian bersama dengan teman sejawat, maka akan dilakukan

perbaikan pembelajaran selama dua siklus. Melalui empat tahapan dalam PTK yaitu

perencanaan, tindakan, observasi dan refleksi, maka hasil pembelajaran matematika materi

membandingkan pecahan mengalami peningkatan.

Pada siklus I, siswa diberikan media garis bilangan limbah triplek, guru menjelaskan tentang

cara mempergunakan, dan berdiskusi mengerjakan soal kelompok, terlihat siswa semakin

antusias dan berminat mengikuti proses pebelajaran matematika. Dengan bantuan media ajar

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925

141

berupa garis bilangan limbah triplek tersebut, siswa semakin kreatif dan paham bagaimana

membandingkan pecahan dengan memasangkan 2 buah garis bilangan pecahan yang akan

dibandingkan. Namun demikian masih ada beberapa siswa yang kesulitan dalam

menggunakan alat peraga, masih ada beberapa siswa yang ramai dan gaduh saat guru

berkeliling membantu siswa atau kelompk lain, kinerja gurupun dalam membimbing siswa

kurang maksimal, guru belum banyak melibatkan siswa dalam pemecahan masalah,

pembelajaran masih dominan menggunakan ceramah dan guru banyak memberikan jawaban

alternatif dibandingkan siswa yang menjawab pertanyaan. Peningkatan hasil belajar siswa

dilihat dari nilai rata-rata kelas sebesar 9 % atau menjadi 68,33 dengan tingkat ketuntasan

sebesar 47%. ( 7 siswa ). Sesuai dengan indikator keberhasilan, maka pembelajaran siklus I

dinyatakan belum tuntas dan perlu perbaikan dan peningkatan pada siklus selanjutnya.

Hasil refleksi yang telah dilakukan setelah pelaksanaan siklus I, maka proses perbaikan

pembelajaran dilanjutkan pada siklus II. Pada siklus II ini tahapan proses pembelajaran

mengacu pada RPP yang telah disusun sebelumnya, dan tidak berbeda dengan siklus I.

Proses pembelajaran di dalam kelas, berdasarkan pengamatan observer sudah mengalami

peningkatan yang signifikan dibandingkan pada kondisi awal (pra siklus) dan siklus I.

Aktifitas siswa sudah terlihat meningkat dalam mengikuti semua proses pembelajaran di

dalam kelas. Siswa semakin aktif dan antusias dalam menjawab pertanyaan atau soal yang

diberikan. Hal ini dikarenakan siswa sudah mulai terbiasa dan mengerti bagaimana cara

mempergunakan media belajar berupa media garis bilangan limbah triplek yang dibagikan

oleh guru untuk setiap kelompoknya. Kinerja guru pada siklus II ini juga sudah mengalami

peningkatan. Guru menjelaskan kepada siswa secara runtut, sesuai dengan tujuan

pembelajaran. Guru lebih banyak berperan sebagai fasilitator saja. Guru sudah banyak

melibatkan siswa dalam proses pembelajaran. Siswa lebih banyak diminta mempraktekan ke

depan kelas dengan menggunakan alat peraga media garis bilangan limbah triplek.

Lebih lanjut, guru menyampaikan kepada siswa jika dalam proses pembelajaran tidak ada

alat peraga yang sejenis, siswa dapat menggunakan kertas berpetak karena pembagian dan

garis bilangan yang dibuat akan lebih mudah dibagi atau dipecah. Hasil belajar siswa siklus

II dilihat dari nilai rata-rata kelas tes individu, maka hasil yang didapat mengalami kenaikan

sebesar 30% menjadi 88,67 dengan tingkat ketuntasan naik sebesar 86 % dari siklus I

menjadi 86 % ( 13 siswa ). Berdasarkan hasil pembelajaran siklus II tersebut, maka sesuai

dengan indikator keberhasilan yang telah ditentukan, pembelajaran siklus II dinyatakan

sebagai siklus pemantapan dan penelitian berhenti pada siklus II. Untuk lebih jelasnya dapat

dilihat perbandingan ketuntasan pada tabel dan grafik dibawah ini.

Tabel 1. Jumlah Ketuntasan per Siklus

No Ketuntasan Siklus

Pra I II

1 Tidak Tuntas 11 8 2

2 Tuntas 4 7 13

3 Jumlah 15 15 15

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925

142

Gmbar 2. Grafik Jumlah Ketuntasan per Siklus

Sedangkan nilai rata-rata kelas per siklus dapat dilihat pada tabel berikut

Tabel 2. Nilai Rata-rata Kelas per Siklus

Nilai Rata-rata Kelas

Pra Siklus Siklus I Siklus II

62,67 68,33 88,67

Gambar 3. Perbandingan Nilai Rata-rata Kelas per Siklus

5. Kesimpulan dan Saran

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas (PTK) yang dilaksanakan selama dua siklus,

maka dapat disimpulkan bahwa dengan menggunakan model , media dan metode

pembelajaran yang menarik dapat membuat aktifitas belajar siswa tumbuh dan meningkat

sehingga hasil belajar siswa sesuai dengan yang diharapkan. Lebih lanjut sesuai dengan

tujuan penelitian maka media garis bilangan limbah triplek dapat meningkatkan hasil belajar

11

8

2

4

7

13

0

3

6

9

12

15

1 2 3 (1) Pra Siklus, (2) Siklus I, (3) Siklus II

Tidak Tuntas

Tuntas

62.67 68.33

88.67

0.00

20.00

40.00

60.00

80.00

100.00

Pra Siklus Siklus I Siklus II

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925

143

membandingkan pecahan pada siswa kelas 3 SDN Batok 01 Kec. Gemarang Kab. Madiun

semester II tahun pelajaran 2013/2014.

5.2. Saran

Untuk meningkatkan hasil belajar siswa dalam proses pembelajaran matematika khusunya

untuk tingkat SD, para guru atau pendidik dapat mempergunakan alat perga atau media

belajar sebagai alat bantu dalam menyampaikan materi pelajaran, salah satunya dengan

menggunaan media garis bilangan limbah triplek pada materi membandingkan pecahan kelas

III Sekolah Dasar.

Daftar Pustaka

Dirjendikdas.(2009). Model Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan di SD. Jakarta. Depdiknas.

Mujiyani Yustina, (2012). Peningkatan Prestasi Belajar Pecahan Menggunakan Media Garis

Bilangan Pecah pada Siswa Kelas III SD Tampirwetan Kecamatan Candimulyo

Kabupaten Magelang Tahun 2011–2012. Yogyakarta. Jurnal UNY Vol. I No. 1 Tahun 2012

Sitanggang, A. (2013). Alat Peraga Matematika Sederhana Untuk Sekolah Dasar. Sumatera Utara.

Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan.

Sukayati. (2003). Pecahan. Yogyakarta. Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal

Pendidikan Dasar Dan Menengah Pusat Pengembangan Penataran Guru (PPG) Matematika..

Supinah, dkk (2009). Strategi Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar. Sleman. PPPTK

Matemtika.

Taufik, Agus. (2012). Pendidikan Anak di SD. Jakarta. Pusat Penerbitan Universitas Terbuka

Undang-undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Untung. (2010). Upaya Meningkatkan Pemahaman Konsep Dasar Bilangan Pecahan Menggunakan

Model Pembelajaran Kontekstual Pada Siswa Kelas III SD Negeri Guci 01, Kecamatan

Bumijawa,Kabupaten Tegal Tahun Ajaran 2009/2010. Penelitian Tindakan Kelas. Surakarta.

FIKIP UNS.

Wardhani.dkk (2011). Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Pusat Penerbitan Universitas Terbuka.

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925

144

PENINGKATAN HASIL BELAJAR

PROGRAM LINEAR MELALUI STRATEGI

PEMBELAJARAN INKUIRI DAN GEOGEBRA SISWA KELAS XII IPA1 SMA N 1 TOMPOBULU

Sulfiaty Idris

SMA Negeri 1 Tompobulu, Perm.Saumata Indah Blok I no 19

Kecamatan Somba Opu,

Kabupaten Gowa; [email protected]

Abstrak. Penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas yang bertujuan untuk

meningkatkan hasil belajar Program Linear melalui Strategi Pembelajaran Inkuiri dan

aplikasi GeoGebra Siswa Kelas XII IPA1 SMA Negeri 1 Tompobulu pada semester

ganjil tahun pelajaran 2013/2014, dengan jumlah siswa sebanyak 28 orang. Siklus I

dilaksanakan selama 5 kali pertemuan dan Siklus II juga dilaksanakan selama 5 kali

pertemuan termasuk pemberian akhir tes Siklus I dan tes Siklus II. Pengambilan data

dilakukan dengan menggunakan tes hasil belajar dan lembar observasi. Data yang

terkumpul dianalisis dengan menggunakan analisis kuantitatif dan kualitatif. Hasil

penelitian ini menunjukkan bahwa: (1). Nilai rata-rata hasil belajar Siswa Kelas XII

IPA1 SMA Negeri 1 Tompobulutes akhir siklus I adalah 59,14 dengan kategori sedang

sedangkan nilai rata-rata hasil belajar siswa pada siklus II adalah 73,64 dengan kategori

tinggi dan (2). Hasil belajar siswa Kelas XII IPA1 SMA Negeri 1 Tompobulu pada

siklus I ke siklus II mengalami peningkatan melalui strategi pembelajaran inkuiri dan

aplikasi GeoGebra.

Kata Kunci. Hasil Belajar, Program Linear, Inkuiri, GeoGebra

1. Pendahuluan

Matematika sebagai salah satu mata pelajaran yang diajarkan pada setiap jenjang pendidikan

formal memegang peranan penting, karena matematika merupakan sarana berpikir ilmiah

yang sangat mendukung untuk mengkaji IPTEK. Realisasi pentingnya pelajaran matematika

diajarkan pada peserta didik, tercermin pada ditempatkannya matematika sebagai salah satu

ilmu dasar untuk semua jenis dan jenjang pendidikan.

Dalam pembelajaran matematika banyak guru yang mengeluhkan rendahnya kemampuan

siswa dalam menyelesaikan soal matematika. Hal ini terlihat dari banyaknya kesalahan siswa

dalam mengerjakan soal dan rendahya prestasi belajar siswa (nilai) baik dalam ulangan

harian, ulangan semester, maupun UN. Padahal dalam pelaksanaan proses pembelajaran di

kelas biasanya guru memberikan tugas secara kontinyu berupa latihan soal. Tetapi ternyata

latihan tidak sepenuhnya dapat meningkatkan kemampuan siswa memecahkan masalah

matematika.

Berdasarkan pengalaman mengajar, program linear merupakan salah satu materi matematika

yang sulit dipahami siswa. Ini terkait materi prasyarat yang harus dikuasai siswa untuk

mempelajari program linear. Misalnya sistem persamaan dan pertidaksamaan linear. Siswa

kadang berdalih mengatakan bahwa materi prasyarat belum dipahami padahal materi itu

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925

145

sebenarnya telah ada di jenjang sebelumnya (SMP). Namun yang paling dominan muncul

adalah kesulitan siswa dalam memahami soal cerita sehingga berakibat pada rendahnya nilai

hasil tes mereka. Hal ini dibuktikan dengan hasil tes materi program linear pada siswa kelas

XII IPA SMA Negeri 1 Tompobulu tahun pelajaran 2012/2013 dengan nilai rata-rata 53.

Strategi pembelajaran inkuiri adalah rangkaian kegiatan pembelajaran yang menekankankan

pada proses berpikir secara kritis dan analitis untuk mencari dan menemukan sendiri

jawaban dari suatu masalah yang dipertanyakan. Strategi pembelajaran ini dimaksudkan

untuk lebih memberikan kesempatan yang luas kepada siswa agar merasa ikut ambil bagian

dan berperan aktif dalam proses belajar mengajar untuk mengatasi masalah atau

menyelesaikan soal-soal yang diberikan oleh guru.

Selain itu, model pembelajaran yang dapat meningkatkan motifasi belajar siswa adalah

pembelajaran berbasis komputer. Karena dengan komputer, penyajian materi pelajaran dapat

ditampilkan lebih menarik dengan berbagai modifikasi program yang ada. Misalnya saja

tampilan power point dengan animasi yang beragam akan membawa pembelajaran lebih

menyenangkan bagi siswa. Hal ini tentu saja akan meningkatkan perhatian dan konsentrasi

belajar mereka.

GeoGebra adalah salah satu software komputer untuk pendidikan matematika. Software ini

dapat digunakan untuk belajar (visualisasi, komputasi, ekplorasi dan eksperimen) dan

mengajar materi geometri, aljabar, dan kalkulus. Hal paling sederhana yang dapat dilakukan

dengan GeoGebra adalah menggambar titik, ruas garis, vektor, garis, poligon, irisan kerucut,

dan kurva dua dimensi. Program linear merupakan salah satu materi matematika yang dapat

diselesaikan dengan pemanfaatan GeoGebra. Mulai dari persamaan linear dua variabel,

pertidaksamaan linear sampai kepada penyelesaian optimalisasi dengan metode uji titik

pojok atau dengan garis selidik.

Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka dalam penelitian ini diterapkan Strategi

Pembelajaran Inkuiri dan aplikasi GeoGebra dalam pembelajaran program linear untuk

meningkatkan hasil belajar Siswa Kelas XII IPA1 SMA Negeri 1 Tompobulu. Adapun

manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah: 1)Bagi siswa. diharapkan dengan

penggunaan Strategi Pembelajaran Inkuiri dan aplikasi GeoGebra khususnya pada materi

program linear dapat memperoleh hasil yang lebih baik. 2)Bagi guru, hasil penelitian ini

dapat menjadi masukan atau bahan pertimbangan alternatif pembelajaran untuk mata

pelajaran matematika sebagai upaya meningkatkan hasil belajar siswa. 3)Bagi sekolah, hasil

penelitian ini memberikan sumbangan yang baik kepada sekolah dalam rangka perbaikan

pembelajaran guna meningkatkanhasil belajar siswa sehingga dapat menopang pencapaian

target yang diharapkan.

2. Kajian Teori

2.1. Hasil Belajar

Hasil belajar siswa dapat diukur dengan menggunakan alat evaluasi yang biasanya disebut

tes hasil belajar sedangkan hasil belajar matematika yang dikemukakan oleh Hudoyo (1990)

adalah tingkat keberhasilan atau penguasaan seorang siswa terhadap bidang studi

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925

146

matematika setelah menempuh proses belajar mengajar yang terlihat pada nilai yang

diperoleh dari tes hasil belajarnya.

Adapun Soedijarto (Masnaini, 2003) menyatakan bahwaHasil belajar adalah tingkat

penguasaan yang dicapai oleh pelajar dalam mengikuti program belajar mengajar sesuai

dengan tujuan pendidikan. Hasil belajar dalam kerangka studi ini meliputi kawasan kognitif,

afektif, dan kemampuan/kecepatan belajar seorang pelajar. Sedangkan Keller (Abdurrahman,

1999), mengemukakan hasil belajar adalah prestasi aktual yang ditampilkanoleh anak, hasil

belajar dipengaruhi oleh besarnya usaha (perbuatan yang terarah pada penyelesaian tugas-

tugas belajar) yang dilakukan oleh anak.

Hasil belajar siswa dapat diukur dengan menggunakan alat evaluasi yang biasanya disebut

tes hasil belajar sedangkan hasil belajar matematika yang dikemukakan oleh Hudoyo (1990)

adalah tingkat keberhasilan atau penguasaan seorang siswa terhadap bidang studi

matematika setelah menempuh proses belajar mengajar yang terlihat pada nilai yang

diperoleh dari tes hasil belajarnya.

Dapat disimpulkan bahwa hasil belajar matematika adalah tingkat keberhasilan dalam

menguasai bidang studimatematika setelah memperoleh pengalaman atau proses belajar

mengajar dalam kurun waktu tertentu yang akan diperlihatkan melalui skor yang diperoleh

dalam tes hasil belajar. Hasil belajar matematika dalam penelitian ini merupakan kecakapan

nyata yang dapat diukur langsung dengan menggunakan tes hasil belajar matematika.

Kecakapan tersebut menyatakan seberapa jauh atau seberapa besar tujuan pembelajaran atau

instruksional yang telah dicapai oleh siswa dalam belajar matematika.

2.2. Program Linear

Pemecahan masalah dengan rumusan program linear ditemukan oleh seorang

matematikawan Rusia L.V. Kantorovich pada 1939 (Khairuddin, 2012). Ketika itu

Kantorovich bekerja untuk Kantor Pemerintah Uni Soviet. Ia diberi tugas untuk

mengoptimalkan produksi pada industri plywood. Ia kemudian muncul dengan teknik

matematis yang dikenal sebagai pemrograman linear. Seorang matematikawan Amerika

George Bernard Dantzig secara independen juga mengembangkan pemecahan masalah

tersebut, di mana hasil karyanya pada masalah tersebut pertama kali dipublikasikan pada

tahun 1947. Ketika itu tahap-tahap yang dilakukan dalam modelisasi dan optimasi solusi

suatu masalah meliputi (1) pendefinisian masalah, (2) merumuskan model, (3) memecahkan

model, (4) pengujian keabsahan model dan (5) implementasi hasil akhir.Program linear

(linear programming) merupakan model optimasi persamaan linear yang berkenaan dengan

masalah-masalah pertidaksamaan linear, Masalah program linear berarti masalah nilai

optimum (maksium atau minimum) sebuah fungsi linear pada suatu sistem pertidaksamaan

linear yang harus memenuhi optimasi fungsi objektif.

2.3. Strategi Pembelajaran Inkuiri

Strategi Pembelajaran inkuiri (SPI) adalah rangkaian kegiatan pembelajaran yang

menekankankan pada proses berpikir secara kritis dan analitis untuk mencari dan

menemukan sendiri jawaban dari suatu masalah yang dipertanyakan. Proses berfikir itu

sendiri biasanya dilakukan melalui tanya jawab antara guru dan siswa. Strategi pembelajaran

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925

147

ini sering juga dinamakan strategi heuristic, yang berasal dari bahasa Yunani, yaitu

heuriskein yang berarti saya menemukan (Sanjaya, 2008).

Menurut Gulo (2002) dalam Trianto (2010), menyatakan strategi inkuiri berarti suatu

rangkaian kegiatan belajar yang melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan siswa

untuk mencari dan menyelidiki secara sistematis, kritis, logis, analitis, sehingga mereka

dapat merumuskan sendiri penemuannya dengan penuh percaya diri.

Strategi pembelajaran ini menekankan pada proses mencari dan menemukan. Jerome

S.Bruner seorang ahli psikologi (1915) dari Universitas Harvard, Amerika Serikat,

mengemukakan bahwa belajar dengan menggunakan metode penemuan memberikan hasil

yang baik sebab anak dituntut untuk berusaha sendiri untuk mencari pemecahan masalah

serta pengetahuan yang menyertainya. Materi pelajaran tidak diberikan secara langsung,

peran siswa dalam strategi ini adalah mencari dan menemukan sendiri materi pelajaran

sedangkan guru berperan sebagai fasilitator dan pembimbing untuk belajar (Sanjaya, 2010).

Secara umum proses pembelajaran dengan menggunakan Strategi Pembelajaran Inkuiri (SPI)

dapat mengikuti langkah-langkah sebagai berikut: 1) orientasi, 2) merumuskan masalah, 3)

merumuskan hipotesis, 4) mengumpulkan data, 5) menguji hipotesis, dan 6) merumuskan

kesimpulan.

2.4. GeoGebra

GeoGebra = Geometri + Aljabar. Oleh pengembangnya, GeoGebra diberi sebutan Dynamic

Mathematics for Schools (Sahid dalam Idris, 2013), maksudnya sebagai software untuk

mengerjakan matematika secara dinamis di sekolah. Semula GeoGebra ditulis oleh Markus

Hohenwarter(sejak 2001) dari Universitas Atlantik di Florida (FAU), kemudian secara

bersama-sama oleh Yves Kreis (Universitas Luxembourg, sejak 2005), Loic Le Coq

(Perancis, 2006), Joan Carles Naranjo, Victor Franco, Eloi Puertas (Universitas Barcelona,

2007), dan Philipp Weissenbacher (Austria, 2007). Antarmuka GeoGebra sudah

diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa termasuk bahasa Indonesia. Pengembangan

software GeoGebra didukung oleh bergai pihak, baik individu maupun lembaga serta

menggunakan software-software pendukung gratis lain.

Dalam pembelajaran (TIM, 2013), GeoGebra dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan,

misalnya:1)Membuat dokumen terkait pembelajaran matematika, misalnya untuk penyiapan

bahan ajar, modul belajar, makalah, bahan presentasi dll. Sebagai contoh GeoGebra

digunakan untuk melukis bangun geometri. Gambar yang dihasilkan ini dapat disalin ke

aplikasi lain semisal ke aplikasi pengolah kata (misalnya MS Word), aplikasi presentasi

(misalnya MS Powerpoint), atau aplikasi lain untuk diolah lebih lanjut. 2)Membuat media

pembelajaran atau alat bantu pengajaran matematika. Media ini dapat digunakan untuk

menjelaskan konsep matematika atau dapat juga digunakan untuk eksplorasi, baik untuk

ditayangkan di depan kelas oleh guru atau siswa bereksplorasi menggunakan komputer

sendiri. 3)Membuat lembar kerja digital dan interaktif. 4)Menyelesaikan atau mem-verifikasi

permasalahan matematika. Dalam hal ini dapat dimanfaatkan untuk mengecek jawaban soal.

Namun, perlu diperhatikan bahwa siswa jangan diarahkan untuk mencari jawaban dengan

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925

148

GeoGebra tapi lebih kepada mengecek jawaban, penekanannya adalah kepada proses yang

benar.

3. Metode Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (Classroom Action Research) yang terdiri dari

beberapa tahap yaitu perencanaan, pelaksanaan tindakan, observasi dan refleksi.Subjek

dalam penelitian ini adalah siswa kelas XII IPA1 SMAN 1 Tompobulu sebanyak 28 orang,

pada semester ganjil tahun pelajaran 2013/2014.

Penelitian tindakan kelas (PTK) dilaksanakan sebanyak dua siklus yaitu dengan siklus I

sebanyak 5 kali pertemuan dan siklus II sebanyak 5 pertemuan dengan masing-masing 4 kali

pertemuan pembelajaran menggunakan strategi pembelajaran inkuiri dan aplikasi GeoGebra

dan 1 kali pertemuan untuk tes di akhir siklus.

Gambaran umum prosedur penelitian untuk tiap siklus adalah sebagai berikut:

Tahap Perencanaan

Hal-hal yang dilakukan pada tahap perencanaan adalah: (1) menelaah kurikulum matematika

SMA kelas XII IPA, (2) menyusun alokasi waktu penelitian dan menyiapkan bahan ajar, (3)

membimbing siswa untuk menginstal GeoGebra pada laptop mereka, (4) membuat RPP,

lembar observasi dan tes akhir siklus.

Tahap Tindakan

Pada tahap ini kegiatan yang dilakukan adalah: (1) melaksanakan pembelajaran sesuai

dengan RPP yang menerapkan Strategi Pembelajran Inkuiri dan aplikasi GeoGebra dengan

model pembelajaran kooperatif (2) melakukan evaluasi terhadap proses pembelajaran di

kelas serta respon yang diberikan siswa serta menganalisis hasil belajar yang diperoleh.

Tahap Observasi

Pada tahap ini observasi dilakukan terhadap pelaksanaan tindakan dengan menggunakan

lembar observasi yang telah dipersiapkan dengan mencatat semua kejadian yang terjadi

dalam pelaksanaan tindakan serta pada saat mengadakan evaluasi.

Tahap Refleksi

Hasil yang diperoleh dari tahap obervasi dan evaluasi kemudian dianalisis pada tahap ini,

untuk melihat apakah kegiatan yang dilakukan telah dapat meningkatkan hasil belajar

matematika dengan menggunakan strategi pembelajaran inkuiri dan aplikasi GeoGebra. Pada

tahap ini dilihat sampai dimana faktor-faktor yang diselidiki telah dicapai. Hal-hal yang

dipandang masih kurang akan ditindak lanjuti pada siklus II dengan menggunakan keempat

tahap seperti pada siklus I dan memberikan model tindakan yang lebih memperbaiki dengan

tetap mempertahankan apa yang sudah baik.

Jenis data yang didapatkan adalah data kuantitatif yang diperoleh dari hasil tes hasil belajar

dan data kualitatif yang diperoleh dari hasil observasi tentang kondisi pelaksanaan

pembelajaran.

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925

149

Data yang terkumpul selanjutnya dianalisis secara kuantitatif dan kualitatif. Data mengenai

hasil belajar siswa dianalisis secara kuantitatif dengan menggunakan analisis deskriptif yang

terdiri atas rataan (mean), rentang, median, standar deviasi, nilai maksimum dan nilai

minimum yang diperoleh.Adapun teknik analisis data kualitatif adalah dengan menggunakan

hasil observasi.

Kriteria yang digunakan untuk analisis kuantitatif adalah teknik kategorisasi standar yang

ditetapkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Nuramar, 2006) sebagai berikut:

Tabel.1.Kriteria Analisis Kuantitatif

Skor Kategori

0 – 34 Sangat Rendah

35 – 54 Rendah

55 – 64 Sedang

65 – 84 Tinggi

85 – 100 Sangat Tinggi

4. Hasil Penelitian dan Pembahasan

Pada siklus I hasil belajar siswa diukur dari hasil tes hasil belajar program linear yang

diberikan di akhir siklus. Hasil analisis deskriptif skor siswa yang diperoleh setelah

dilaksanakan pembelajaran dengan strategi pembelajaran inkuiri dan aplikasi geogebra

adalah sebagai berikut:

Tabel 2. Statistik Skor Tes Hasil Belajar Program LinearSiklus I

Statistik Nilai

Subjek 28

Skor Ideal 100

Skor Tertinggi 97

Skor Terendah 26

Rentang Skor 71

Skor Rata-rata 59,14

Median 58,50

Standar Deviasi 24,31

Jika skor hasil belajar matematika siswa dikelompokkan ke dalam skala lima, maka

distribusi skor siswa seperti adalah sebagai berikut:

Tabel 3.Distribusi Frekuensi Kriteria Tes Hasil Belajar Program Linear Siswa Siklus I.

No. Skor Kategori Frekuensi Persentase (%)

1. 0 - 34 Sangat Rendah 7

7

25,00

2. 35 – 54 Rendah 6 21,43

3. 55 – 64 Sedang 2 7,14

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925

150

4. 65 – 84 Tinggi 8 28,57

5 85 – 100 Sangat Tinggi 5 17,86

Jumlah 28 100

Dari catatan hasil observasi selama siklus I diperoleh bahwa:

a. Umumnya siswa belum mampu mengkonstruksi sendiri ide-ide atau pengetahuan yang

dimiliki untuk mencari dan menemukan sendiri jawaban dari masalah yang diberikan.

b. Meskipun pada awalnya guru telah memberikan arahan cara-cara menyelesaikan LKS

dan menjelaskan intisari materi yang ingin dipelajari, namun siswa tetap bingung

menyelesaikan pertanyaan dari LKS yang diberikan.

c. Hampir semua kelompok selalu bertanya dan meminta bimbingan yang penuh dalam

mengaplikasikan Geogebra dan menyelesaikan LKS, sehingga untuk membimbing

semua kelompok memerlukan waktu yang banyak, sementara waktu yang tersedia

terbatas.

d. Pada saat berlangsungnya belajar kelompok terdapat beberapa siswa dari kelompok

tertentu yang hanya berbincang-bincang di luar masalah diskusi, ada pula yang

melakukan pekerjaan lain di laptop mereka semisal main game, facebookan dan melihat-

lihat foto.Yang paling antusias menyelesaikan tugas dalam setiap kelompok rata-rata

hanya 2-3 siswa. Mereka adalah siswa-siswi yang memang kemampuan awalnya

tergolong tinggi, yang lain hanya berpartisipasi saja, tetapi masih ada juga siswa yang

pura-pura ikut aktif apabila diawasi oleh peneliti atau observer.

e. Dalam hal merangkum atau menyimpulkan materi, siswa masih takut mengeluarkan

pendapat serta cara penyampaian dan isi rangkuman belum terlalu tepat.

Sedangkan hasil analisis deskriptif tes hasil belajar program linear setelah dilaksanakan

pembelajaran dengan strategi pembelajaran inkuiri dan aplikasi GeoGebra pada siklus II

adalah sebagai berikut:

Tabel 4. Statistik Skor Tes Hasil Belajar Program Linear Siswa Siklus II

Statistik Nilai Statistik

Subjek 28

Skor Ideal 100

Skor Tertinggi 100

Skor Terendah 35

Rentang Skor 65

Skor Rata-rata 73,64

Median 69,00

Standar Deviasi 18,24

Apabila skor tes hasil belajar matematika siswa pada Siklus II

dikelompokkan ke dalam skala lima maka distribusi skor hasil belajar matematika

siswa dapat dilihat pada Tabel berikut:

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925

151

Tabel 5. Distribusi Frekuensi Kriteria Tes Hasil Belajar Program Linear Siswa Siklus II

No. Skor Kategori Frekuensi Persentase

1. 0 - 34 Sangat Rendah 0

1

0,00

2. 35 – 54 Rendah 4 14,29

3. 55 – 64 Sedang 2 7,14

4. 65 – 84 Tinggi 12 42,86

5 85 – 100 Sangat Tinggi 10 35,71

Jumlah 28 100.00

Dalam siklus II ini, lembar observasi yang digunakan sama dengan di siklus I menyangkut

aktivitas siswa dalam proses pembelajaran. Beberapa perubahan tidakan yang dilakukan

adalah upaya perbaikan berdasarkan refleksi dari siklus I diantaranya: (1) dilakukan

pergantian anggota kelompok tanpa mengubah struktur kelompok, (2) lebih memperketat

pengawasan pada siswa yang melakukan perbuatan kurang positif, (3) lebih memotivasi dan

memberikan penghargaan kepada siswa yang aktif dalam pembelajaran.

Berdasarkan hasil pengamatan observer selama siklus II, tercatat bahwa:

a. Perhatian siswa mendengarkan arahan guru menjelaskan langkah kerja dalam melakukan

kegiatan penemuan juga semakin meningkat.

b. Siswa sudah mulai aktif dalam mengaplikasikan Geogebra dan mengerjakan LKS secara

berkelompok, kekompakan siswa dalam bekerja secara kelompok sudah mulai terlihat.

c. Sebagian siswa sudah mampu mencari sendiri jawaban dari pertanyaan yang diberikan,

ini terlihat dari kurangnya siswa yang memerlukan bimbingan dalam menyelesaikan

LKS.

d. Kemampuan siswa dalam merangkum materi pelajaran sudah mengalami kemajuan.

Tercatat disetiap pertemuan dalam siklus II, sudah ada beberapa siswa yang bisa

merangkum materi, meskipun hasil kesimpulannya belum terlalu sempurna.

Hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa rata-rata hasil belajar program linear siswa

kelas XII IPA1 SMANegeri 1 Tompobulu yang diajar dengan Strategi Pembelajaran Inkuiri

dan aplikasi GeoGebra mengalami peningkatan dari siklus I ke siklus II. Hal ini terlihat

disebabkan karena dengan pendekatan inkuiri dan aplikasi GeoGebra yang dipadu dengan

model pembelajaran kooperatif, siswa mengembangkan kemampuan berfikir kreatifnya

dalam memecahkan berbagai masalah yang ada dalam pemikirannya. Sehingga siswa dapat

membangun kemampuan diri mencari dan menemukan sendiri jawaban dari masalah yang

diberikan. Siswa juga lebih termotivasi dengan GeoGebra karena selain tampilannya yang

menarik, GeoGebra juga membantu siswa untuk menemukan jawaban dari masalah yang

diberikan. Siswa merasa senang karena dalam belajar program linear mereka juga dapat

menambah pengetahuan mereka tentang IT.

Berdasarkan hasil refleksi dan evaluasi dari siklus I sampai II ternyata strategi pembelajaran

inkuiri dan aplikasi GeoGebra yang diterapkan pada pokok bahasan program linear

menjadikan siswa memperoleh pengalaman belajar yang menyenangkan dan keaktifan siswa

dapat ditumbuhkembangkan. Dengan menggunakan strategi pembelajaran inkuiri dan

aplikasi GeoGebra pada proses belajar mengajar maka siswa lebih termotivasi karena materi

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925

152

yang disajikan tidak langsung disampaikan oleh guru dan mereka merasa tertarik dengan

hasil tampilan GeoGebra. Siswa yang mengkonstruksi sendiri materi yang akan dipelajari.

Guru hanya bertindak sebagai fasilitator dan membimbing siswa seperlunya, sehingga

pembelajaran lebih menyenangkan dan lebih bermakna.

Pada pendekatan ini pula siswa dituntut lebih aktif dimana pengetahuan yang mereka peroleh

merupakan hasil dari mereka sendiri dengan bimbingan dari guru dan bantuan GeoGebra

sehingga pengetahuan tersebut akan membekas lebih lama dipikiran mereka. Tetapi tidak

semua topik atau pokok bahasan bisa disajikan dengan menggunakan strategi inkuiri dan

juga dalam menyajikan materi dengan strategi ini membutuhkan waktu yang agak lama.

Siswa merasa tertarik dengan masalah yang harus diselesaikan dalam evaluasi sehingga

mereka termotivasi untuk belajar. Selain itu, materi yang didapatkan menjadi pengetahuan

yang melekat dalam jangka waktu yang tidak singkat karena di diperoleh dari hasil

penemuan siswa sendiri dengan sedikit bimbingan dari guru.Dengan demikian hipotesis

tindakan dan indikator kinerja dapat dicapai sehingga tidak perlu dilakukan pelaksanaan

siklus selanjutnya.

5. Kesimpulan dan Saran

Berdasarkan data-data hasil penelitian tindakan kelas yang berlangsung selama dua siklus

maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

a. Nilai rata-rata hasil belajar Siswa Kelas XII IPA1 SMA Negeri 1 Tompobulu tes akhir

siklus I adalah 59,14 dengan kategori sedang sedangkan nilai rata-rata hasil belajar

siswa pada siklus II adalah 73,64 dengan kategori tinggi

b. Hasil belajar siswa Kelas XII IPA1 SMA Negeri 1 Tompobulu pada siklus I ke siklus II

mengalami peningkatan melalui strategi pembelajaran inkuiri dan aplikasi GeoGebra.

Dari hasil penelitian ini disarankan:

a. Dalam kegiatan pembelajaran dengan strategi pembelajaran inkuiri, peneliti harus lebih

memotivasi siswa dan siswa dituntut untuk aktif sehingga terjalin komunikasi yang baik

antar siswa, maupun guru dengan siswa.

b. Mengaplikasikan GeoGebra dalam pembelajaran matematika untuk meningkatkan

motivasi belajar siswa

c. Sebagai tindak lanjut penerapan, pada saat proses belajar mengajar berlangsung,

diharapkan guru lebih kreatif menyajikan permasalahan yang bervariasi agar siswa lebih

termotivasi, lebih aktif dan lebih terlatih untuk menemukan penyelesaian.

Daftar Pustaka

Abdurrahman, M. 1999. Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta:Penerbit Rineka Cipta.

Hudojo, Herman. 1990. Strategi Mengajar Belajar Matematika. Malang:IKIP Malang.

Khairuddin, http://media.p4tkmatematika.org/wp-

content/uploads/2013/01/Prolin_Geogebra2.pdf,diakses 22 Oktober 2013

Masnaini. 2003. Meningkatkan Hasil Belajar Matematika melalui Pemberian Kuis Dengan

Mencongak di Awal Setiap Pertemuan Pada Siswa Kelas V SDN 353 Patalabunga. Skripsi.

Makassar:Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Makassar.

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925

153

Nuramar. 2006. Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas VII4 SMP Negeri 3 Makassar

Melalui Pembelajatan Koperatif dengan Mengintensifkan Scaffolding. Skripsi.

Makassar:Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Makassar.

Sahid, Aktivitas Belajar Persamaan Lingkaran dan Garis Singgungnya dengan Software

GeoGebra,http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/tmp/10_GeoGebra4Lingkaran.pdf, diakses

20 Oktober 2013.

Sanjaya, Wina. 2008. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta:Prenada Media Grup.

TIM PPPPTK Matematika. 2013. Pengenalan Aplikasi GeoGebra, Diklat Online-PPPPTK

Matematika.

Trianto. 2010. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif. Jakarta:Kencana.

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925

154

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN

KOOPERATIF TIPE STAD TERHADAP

PENINGKATAN KEMAMPUAN REPRESENTASI

DAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS

SISWA

Suprapto, M.Pd.

SMPN 3 Pringsewu, Kab.Pringsewu Lampung, [email protected]

Abstrak. Penelitian dilatarbelakangi pada kenyataan bahwa sebagian besar siswa

merasa kesulitan menyelesaikan soal pemecahan masalah. Sementara itu, kemampuan

representasi matematis mempunyai peranan penting dalam pemecahan masalah

matematis. Siswa yang memiliki kemampuan representasi baik akan dapat memecahkan

masalah matematis dengan baik pula. Penelitian ini merupakan penelitian kuasi

eksperimen dengan desain pretest – posttest control group design. Populasi dalam

penelitian ini adalah seluruh siswa kelas IX SMP Negeri 3 Pringsewu Tahun Pelajaran

2013/2014. Penelitian ini melibatkan kelompok eksperimen dan kelompok kontrol yang

dipilih dengan teknik purposive sampling. Instrumen yang dipergunakan adalah soal

kemampuan representasi dan pemecahan masalah matematis yang berbentuk uraian.

Hasil analisis terhadap data skor pretest ditemukan bahwa sebelum diberi perlakuan

kedua kelompok memiliki kemampuan awal yang sama, dan hasil analisis terhadap data

skor posttest ditemukan bahwa kemampuan representasi dan pemecahan masalah

matematis siswa yang memperoleh pembelajaran STAD lebih baik daripada siswa yang

memperoleh pembelajaran konvensional. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa

kemampuan representasi dan pemecahan masalah matematis siswa yang memperoleh

pembelajaran kooperatif tipe STAD lebih baik daripada siswa yang memperoleh

pembelajaran konvensional. Sebagai kesimpulan, penelitian ini membuktikan bahwa

penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dapat meningkatkan kemampuan

representasi dan pemecahan masalah matematis siswa.

Kata Kunci. Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD, Representasi Matematis,

Pemecahan Masalah Matematis.

1. Pendahuluan

Matematika termasuk mata pelajaran yang wajib dipelajari pada jenjang pendidikan dasar

maupun menengah. Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang standar isi mata pelajaran

matematika SMP/MTs menyebutkan tujuan diberikannya mata pelajaran matematika pada

jenjang SMP/MTs antara lain agar peserta didik memiliki kemampuan memecahkan masalah

yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika,

menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh serta dapat mengomunikasikan

gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau

masalah. Namun kenyataannya sebagian besar siswa merasa kesulitan menyelesaikan soal

pemecahan masalah yang disebabkan rendahnya kemampuan representasi matematis siswa.

Populasi dalam penelitian ini memiliki karakteristik terbiasa belajar secara individu,

sebagian siswa bersikap tertutup terhadap teman dan bergaul hanya kepada orang tertentu

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925

155

saja. Para siswa umumnya enggan untuk bertanya atau bekerja sama dalam menyelesaikan

tugas-tugas matematis yang diberikan guru, sehingga siswa yang memiliki kemampuan yang

rendah akan semakin tertinggal prestasi belajarnya. Bila kondisi seperti ini dibiarkan, maka

akan berdampak kurang baik terhadap prestasi belajar matematika, khususnya pada aspek

kemampuan representasi dan pemecahan masalah matematis.

Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah

model pembelajaran kooperatif tipe STAD dapat meningkatkan kemampuan representasi dan

pemecahan masalah matematis siswa. Penelitian ini bertujuan untuk : 1) menganalisis

kemampuan representasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran STAD dan siswa

yang memperoleh pembelajaran konvensional, 2) menganalisis kemampuan pemecahan

masalah matematis siswa yang memperoleh pembelajaran STAD dan siswa yang

memperoleh pembelajaran konvensional.

2. Kerangka Dasar Teori

2.1 Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD

Teori belajar telah banyak dikemukakan oleh para ahli pendidikan, salah satunya adalah teori

belajar kostruktivisme. Dalam pandangan konstruktivisme, pengetahuan seseorang dibangun

(dikonstruksi) dari hasil pengalaman belajarnya. Para konstruktivis menekankan pentingnya

interaksi dengan teman sebaya melalui pembentukan kelompok belajar. Slavin (1995) dalam

penelitiannya mengungkapkan bahwa penggunaan pembelajaran kooperatif dapat

meningkatkan prestasi belajar siswa dan sekaligus dapat meningkatkan hubungan sosial,

menumbuhkan sikap toleransi dan menghargai pendapat orang lain.

Pembelajaran kooperatif juga dapat memenuhi kebutuhan siswa dalam berpikir kritis,

memecahkan masalah, dan mengintegrasikan pengetahuan dengan pengalaman. Dengan

alasan tersebut, penggunaan model pembelajaran kooperatif mampu meningkatkan kualitas

pembelajaran karena siswa dapat berpartisipasi aktif dalam satu kelompok kecil dalam

kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Hal ini sejalan dengan

pendapat Johnson & Johnson (Khan & Inamullah,2011) yang mengemukakan,

“Cooperative learning is a method used by educators can help students develop

necessary social skills. Healthy interaction skills, success of the individual

student and group members, and formation of personal and professional

relationships are the results of cooperative learning”.

STAD (Student Teams Achievement Division) merupakan model pembelajaran kooperatif

yang berlandaskan pada pendekatan konstruktivisme dimana siswa belajar dan bekerja dalam

kelompok-kelompok kecil secara kolaboratif yang anggotanya terdiri dari 4 hingga 6 orang

dengan struktur kelompok yang bersifat heterogen. Dalam STAD guru menyampaikan

pokok materi pelajaran dan setiap siswa dalam kelompok harus memastikan bahwa semua

anggota kelompok dapat menguasai materi pelajaran tersebut. Akhirnya semua siswa

mengikuti kuis yang bersifat individu dan pada saat kuis mereka tidak diperkenankan saling

membantu. Selanjutnya, nilai-nilai hasil kuis siswa diperbandingkan dengan nilai rata-rata

mereka sendiri yang diperoleh sebelumnya. Berdasarkan nilai-nilai tersebut, siswa diberi

penghargaan atau reward menurut peningkatan nilai yang mereka capai. Nilai-nilai yang

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925

156

diperoleh anggota kelompok kemudian dijumlahkan untuk mendapat nilai kelompok.

Kelompok yang mencapai kriteria tertentu akan mendapatkan sertifikat atau reward lainnya.

2.2 Kemampuan Representasi Matematis

Kemampuan representasi matematis adalah kemampuan seseorang untuk melakukan

translasi suatu masalah atau ide matematis dalam bentuk baru berupa diagram, gambar, tabel

dan ekspresi matematis termasuk didalamnya dari gambar atau model fisik ke dalam bentuk

simbol, kata-kata atau kalimat. Kemampuan representasi mempunyai peranan yang amat

penting dalam pembelajaran matematika sehingga perlu dimiliki oleh setiap siswa. Arti

penting kemampuan representasi matematis dinyatakan dalam NCTM (National Council of

Teacher of Mathematics) bahwa representasi merupakan salah satu dari lima kemampuan

berpikir matematis yang harus dimiliki siswa. Kelima kemampuan tersebut adalah problem

solving, reasoning, communication, connection, dan representation.

Siswa yang memiliki kemampuan representasi yang baik akan dapat menyelesaikan masalah

matematis dengan baik pula. Kemampuan representasi dan pemecahan masalah matematis

ini akan berimplikasi terhadap kemampuan siswa dalam menyelesaikan masalah dalam

kehidupan sehari-hari.

Nakahara (2008) mengklasifikasikan representasi ke dalam lima kategori, yaitu : (1)

symbolic representation, yaitu representasi yang menggunakan notasi matematika seperti

angka, huruf, dan simbol; (2) linguistic representation, yaitu representasi yang menggunakan

bahasa sehari-hari; (3) illustrative representation, yaitu representasi yang menggunakan

ilustrasi, angka, grafik, dan sebagainya; (4) manipulative representation, yaitu representasi

yang menggunakan alat peraga yang dibuat secara artifisial atau model; (5) realistic

representation, yaitu representasi yang menggunakan benda-benda aktual.

2.3 Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis

Kemampuan pemecahan masalah matematis adalah kemampuan untuk melakukan suatu

tindakan dalam menyelesaikan suatu masalah matematis, yang menuntut untuk diselesaikan

tetapi belum diketahui dengan segera prosedur ataupun cara penyelesaiannya. Reys,

Suydams, Lindquist dan Smith (Afgani,2011) menyatakan bahwa masalah (problem) adalah

suatu keadaan di mana seseorang menginginkan sesuatu, akan tetapi tidak mengetahui

dengan segera apa yang harus dikerjakan untuk mendapatkannya.

Kusumah (2011) menyatakan “matematika benar-benar penting dalam menyelesaikan

masalah kehidupan sehari-hari karena terdapat masalah nyata yang dapat disederhanakan dan

diselesaikan dengan menggunakan ide dan konsep matematis“. Oleh karena itu, seorang guru

matematika perlu mengembangkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa secara

optimal, karena para siswa akan menghadapi berbagai permasalahan sehari-hari yang

kompleks dan rumit.

Baroody (Afgani,2011) membedakan tiga jenis masalah, yakni exercises, problems, dan

enigmas. Exercises adalah equates a problems with an assigment, maksudnya adalah, guru

biasanya memberikan sesuatu prosedur atau rumus/formula, kemudian memberikan latihan,

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925

157

tugas ”problem” perhitungan. Dengan demikian, anak telah siap dengan strategi untuk

memperoleh penyelesaiannya karena cara menentukan jawaban dari masalah yang diberikan

telah diketahuinya. Problems dapat didefinisikan sebagai suatu situasi puzzling, dimana

seseorang tertarik untuk mengetahui penyelesaiannya, akan tetapi strategi penyelesaiannya

belum diketahui. Lebih jelasnya suatu problems memuat (1) keinginan untuk mengetahui;

(2) tidak adanya cara yang jelas untuk mendapatkan penyelesaiannya; dan (3) memerlukan

suatu usaha dalam menyelesaikannya. Enigmas adalah suatu tugas yang diterima oleh

seseorang sebagai suatu masalah yang tidak terselesaikan (unsolvable) karena orang yang

mendapatkan masalah tersebut tidak tertarik untuk mendapatkan jawabannya.

Reys, Suydams, Lindquist dan Smith (Afgani,2011) menyebutkan bahwa masalah dapat

dibedakan menjadi dua jenis, yaitu masalah rutin dan masalah tidak rutin. Masalah rutin

adalah masalah yang telah diketahui prosedur penyelesaiannya, siswa tinggal mengikuti

langkah-langkah penyelesaian yang telah diajarkan gurunya. Sedangkan masalah tidak rutin

adalah masalah yang memuat banyak konsep serta belum dapat diketahui prosedur

penyelesaiannya. Sementara itu Polya (Muzdalipah,2009) menyatakan bahwa terdapat empat

langkah dalam pemecahan masalah, yaitu memahami masalah, membuat rencana

penyelesaian, melakukan perhitungan, mengecek kembali jawaban yang diperoleh.

3. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kuasi eksperimen dengan desain pretest - posttest control

group design. Dalam penelitian kuasi eksperimen subyek penelitian tidak dikelompokkan

secara acak akan tetapi subyek diterima apa adanya. Hal ini karena kelas sudah terbentuk

sebelumnya. Rancangan eksperimen dalam penelitian ini disajikan pada tabel berikut :

Tabel 1. Rancangan Eksperimen

Kelompok Pretest Treatment Posttest

Eksperimen T1 X1 T2

Kontrol T1 X2 T2

(dalam Sudjana dan Ibrahim,2009)

Keterangan :

T1 : Pretest X1 : Perlakuan pembelajaran STAD

T2 : Posttest X2 : Perlakuan pembelajaran konvensional

Populasi dalam penelitian ini adalah semua siswa kelas IX SMP Negeri 3 Pringsewu Tahun

Pelajaran 2013/2014. Teknik pengambilan sampel menggunakan purposive sampling.

Sampel dalam penelitian ini terdiri dari dua kelompok, yaitu kelompok eksperimen dan

kelompok kontrol. Pada kelompok eksperimen diberikan pembelajaran kooperatif tipe

STAD, sedangkan pada kelompok kontrol diberikan pembelajaran konvensional. Instrumen

dalam penelitian ini adalah soal tes kemampuan representasi dan pemecahan masalah

matematis.

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925

158

4. Hasil Penelitian

Pada kedua kelompok diberikan pretest untuk mengetahui kemampuan awal siswa sebelum

diberi perlakuan. Kemampuan awal siswa tercermin dari hasil pretest kemampuan

representasi dan pemecahan masalah matematis. Rata-rata skor pretest kemampuan

representasi matematis siswa pada kelompok eksperimen adalah 8,086 sedangkan pada

kelompok kontrol diperoleh rata-rata 8,063. Hasil pretest kemampuan pemecahan masalah

matematis siswa pada kelompok eksperimen diperoleh rata-rata 9,143 sedangkan pada

kelompok kontrol diperoleh rata-rata 8,000.

Setelah diberikan perlakuan, rata-rata skor posttest kemampuan representasi matematis siswa

yang memperoleh pembelajaran STAD adalah 13,343 dan rata-rata skor posttest kemampuan

representasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional adalah 12,630.

Rata-rata skor posttest kemampuan representasi matematis siswa yang memperoleh

pembelajaran STAD lebih tinggi daripada rata-rata skor posttest kemampuan representasi

matematis siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional.

Skor kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang diberi perlakuan dengan

pembelajaran STAD diperoleh rata-rata 12,743 sedangkan rata-rata skor kemampuan

pemecahan masalah matematis siswa yang diberi perlakuan pembelajaran konvensional

adalah 11,719. Rata-rata skor posttest kemampuan pemecahan masalah matematis siswa

yang diberi perlakuan dengan pembelajaran STAD lebih tinggi daripada siswa yang diberi

perlakuan pembelajaran konvensional.

4.1 Uji Normalitas

Uji normalitas menggunakan software SPSS 17 dengan Uji Kolmogorov-Smirnov pada taraf

signifikansi α = 0,05 dengan kaidah pengambilan keputusan bila nilai p-value

(sig) < α maka tolak H0.

H0 : Data berdistribusi normal

H1 : Data berdistribusi tidak normal

Hasil uji normalitas skor kemampuan representasi dan pemecahan masalah matematis siswa

sebelum diberi perlakuan sebagai berikut :

Tabel 2. Hasil Uji Normalitas Skor Pretest

Kemampuan Kelompok

Kolmogorov-

Smirnov Kesimpulan Keterangan

statistic sig.

Representasi Eksperimen 0,125 0,184 H0 diterima Normal

Kontrol 0,150 0,065 H0 diterima Normal

Pemecahan

Masalah

Eksperimen 0,133 0,123 H0 diterima Normal

Kontrol 0,143 0,096 H0 diterima Normal

Pada Tabel 2 nampak bahwa pada kolom Kolmogorov-Smirnov nilai sig. kemampuan

representasi dan pemecahan masalah matematis siswa pada kedua kelompok lebih besar dari

α = 0,05 dengan demikian H0 diterima, sehingga penyebaran data skor kemampuan

representasi dan pemecahan masalah matematis siswa sebelum diberi perlakuan berdistribusi

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925

159

normal. Adapun hasil uji normalitas skor kemampuan representasi dan pemecahan masalah

matematis siswa setelah diberi perlakuan adalah sebagai berikut

Tabel 3. Hasil Uji Normalitas Skor Posttest.

Kemampuan Pembelajaran

Kolmogorov-

Smirnov Kesimpulan Keterangan

statistic sig.

Representasi STAD 0,137 0,093 H0 diterima Normal

Konvensional 0,152 0,059 H0 diterima Normal

Pemecahan

Masalah

STAD 0,217 0,000 H0 ditolak Tidak Normal

Konvensional 0,332 0,000 H0 ditolak Tidak Normal

Pada Tabel 3 nampak bahwa pada kolom Kolmogorov-Smirnov nilai sig. untuk kemampuan

representasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran STAD dan siswa yang

memperoleh pembelajaran konvensional lebih besar dari α = 0,05 dengan demikian H0

diterima, sehingga penyebaran data skor posttest kemampuan representasi matematis siswa

yang memperoleh pembelajaran STAD maupun konvensional berdistribusi normal.

Selanjutnya, nilai sig. kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang memperoleh

pembelajaran STAD dan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional lebih kecil dari

α = 0,05 sehingga H0 ditolak. Jadi penyebaran data skor posttest kemampuan pemecahan

masalah matematis siswa yang memperoleh pembelajaran STAD maupun konvensional

berdistribusi tidak normal.

4.2 Uji Homogenitas

Uji homogenitas menggunakan software SPSS 17 dengan Uji Homogeneity of Variance (Uji

Levene) pada taraf signifikansi α = 0,05 dengan kaidah pengambilan keputusan bila nilai p-

value (sig) < α maka tolak H0.

H0 : =

H1 : ≠

Hasil uji homogenitas terhadap data skor kemampuan representasi dan pemecahan masalah

matematis siswa sebelum diberi perlakuan disajikan pada tabel berikut :

Tabel 4. Hasil Uji Homogenitas Varians Skor Pretest

Kemampuan

Homogeneity of Variance

Kesimpulan Keterangan Levene

Statistic df1 df2 sig.

Representasi 0,096 1 65 0,758 H0 diterima Homogen

Pemecahan

Masalah 0,078 1 65 0,781 H0 diterima Homogen

Pada Tabel 4 nampak bahwa pada kolom Homogeneity of Variance, nilai sig. kemampuan

representasi dan pemecahan masalah matematis lebih besar dari α = 0,05 maka H0 diterima,

yang berarti bahwa variansi skor pretest kemampuan representasi dan pemecahan masalah

matematis kelompok eksperimen dan kelompok kontrol homogen.

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925

160

Adapun hasil uji homogenitas terhadap data skor kemampuan representasi matematis siswa

setelah diberi perlakuan disajikan pada tabel berikut :

Tabel 5. Hasil Uji Homogenitas Varians Skor Posttest

Kemampuan Representasi Matematis

Kemampuan

Homogeneity of Variance

Kesimpulan Keterangan Levene

Statistic df1 df2 sig.

Representasi

Matematis 0,216 1 65 0,644 H0 diterima Homogen

Pada Tabel 5 nampak bahwa pada kolom Homogeneity of Variance, nilai sig. lebih besar dari

α = 0,05 maka H0 diterima, yang berarti bahwa variansi skor posttest kemampuan

representasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran STAD dan siswa yang

memperoleh pembelajaran konvensional homogen, sedangkan data skor posttest kemampuan

pemecahan masalah matematis tidak perlu dilakukan uji homogenitas, karena data skor

posttest kemampuan pemecahan masalah matematis berdistribusi tidak normal.

4.3 Uji Kesamaan Rata-rata

Data skor kemampuan representasi dan pemecahan masalah matematis siswa sebelum diberi

perlakuan berdistribusi normal dan homogen, maka untuk mengetahui sama atau tidaknya

rata-rata kemampuan representasi dan pemecahan masalah matematis siswa sebelum

diberikan perlakuan dilakukan uji kesamaan rata-rata dengan uji t. Pengujian hipotesis

menggunakan software SPSS 17 dengan uji t (compare means independent samples t test)

pada taraf signifikansi α = 0,05 dengan kaidah pengambilan keputusan bila nilai p-value (sig)

< α maka tolak H0.

H0 : =

H1 : >

Hasil uji t terhadap skor kemampuan representasi dan pemecahan masalah matematis siswa

sebelum diberi perlakuan disajikan pada tabel berikut ini :

Tabel 6. Hasil Uji Kesamaan Rata-Rata Skor Pretest

Kemampuan T Df sig. Kesimpulan Keterangan

Representasi

Matematis 0,033 65 0,974 Terima H0

Tidak ada

perbedaan

Pemecahan

Masalah Matematis 1,733 65 0,088 Terima H0

Tidak ada

perbedaan

Dari hasil uji t diperoleh nilai sig. kemampuan representasi dan pemecahan masalah

matematis lebih besar dari α = 0,05 sehingga H0 diterima. Hal ini berarti sebelum dilakukan

eksperimen kedua kelompok memiliki kemampuan awal yang sama pada aspek kemampuan

representasi dan pemecahan masalah matematis.

Berdasarkan hasil uji normalitas dan uji homogenitas terhadap skor kemampuan representasi

matematis siswa setelah diberi perlakuan ditemukan bahwa data skor posttest kemampuan

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925

161

representasi matematis berdistribusi normal dan homogen. Oleh karena itu, untuk

mengetahui sama atau tidaknya kemampuan representasi matematis, maka dilakukan uji

kesamaan rata-rata dengan uji t. Hasil uji t terhadap skor posttest kemampuan representasi

matematis disajikan pada tabel berikut ini :

Tabel 7. Hasil Uji Kesamaan Rata-rata Skor Posttest

Kemampuan Representasi Matematis

Kemampuan T Df sig. Kesimpulan Keterangan

Reperesentasi

Matematis 2,130 65 0,037 Tolak H0

Ada

Perbedaan

Pada Tabel 7 nampak bahwa nilai sig. lebih kecil dari α = 0,05 maka H0 ditolak. Hal ini

berarti kemampuan representasi matematis siswa yang diberikan perlakuan dengan

pembelajaran STAD lebih baik daripada kemampuan representasi matematis siswa yang

diberi perlakuan dengan pembelajaran konvensional.

4.4 Uji Mann-Whitney

Berdasarkan hasil uji normalitas terhadap skor posttest kemampuan pemecahan masalah

diperoleh kesimpulan bahwa skor kemampuan pemecahan masalah matematis berdistribusi

tidak normal, sehingga untuk mengetahui sama atau tidaknya kemampuan pemecahan

masalah matematis siswa yang diberikan pembelajaran STAD dengan siswa yang diberikan

pembelajaran konvensional dilakukan dengan uji non parametrik menggunakan Uji Mann-

Whitney 2 Independent Sampel pada taraf signifikansi α = 0,05. Adapun kaidah pengambilan

keputusan adalah sebagai berikut bila nilai p-value (sig).< α maka tolak H0. Hasil analisis uji

mann-whitney terhadap skor posttest kemampuan pemecahan masalah matematis siswa,

disajikan pada tabel berikut ini :

Tabel 8. Hasil Uji Mann-Whitney Skor Posttest Kemampuan

Pemecahan Masalah Matematis

Pemecahan Masalah Matematis

Mann-Whitney U 399,500

Wilcoxon W 927,500

Z -2,101

Asymp.sig 0,036

Dari hasil uji mann-whitney diperoleh nilai sig. lebih kecil dari α = 0,05 maka H0 ditolak.

Hal ini berarti kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang memperoleh

pembelajaran STAD lebih baik dari kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang

memperoleh pembelajaran konvensional

5. Pembahasan

Sebelum diberikan perlakuan, kedua kelompok diberikan pretest untuk mengetahui

kemampuan awal siswa pada aspek kemampuan representasi dan pemecahan masalah

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925

162

matematis. Setelah perlakuan, kedua kelompok diberikan posttest untuk mengetahui

peningkatan kemampuan representasi dan pemecahan masalah matematis. Hasil uji

normalitas dan uji homogenitas terhadap data skor kemampuan representasi dan pemecahan

masalah matematis siswa sebelum diberi perlakuan diperoleh hasil bahwa populasi

berdistribusi normal dan homogen. Selanjutmya, dari hasil uji t pada taraf signifikansi α =

0,05 terhadap skor kemampuan representasi dan pemecahan masalah matematis siswa

sebelum diberi perlakuan diperoleh hasil bahwa tidak terdapat perbedaan kemampuan awal

representasi dan pemecahan masalah matematis siswa, atau dengan kata lain, sebelum diberi

perlakuan, kedua kelompok memiliki kemampuan representasi dan pemecahan masalah

matematis yang setara.

Setelah diberikan perlakuan, rata-rata skor kemampuan representasi matematis siswa yang

memperoleh pembelajaran STAD lebih tinggi daripada rata-rata skor kemampuan

representasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. Skor

kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang diberi perlakuan dengan

pembelajaran STAD diperoleh rata-rata 12,743 sedangkan rata-rata skor kemampuan

pemecahan masalah matematis siswa yang diberi perlakuan pembelajaran konvensional

adalah 11,719. Rata-rata skor kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang diberi

perlakuan dengan pembelajaran STAD lebih tinggi daripada siswa yang diberi perlakuan

pembelajaran konvensional.

Gambar 1. Rata-rata skor pretest dan posttest

kemampuan representasi matematis

Pada Gambar 1 nampak bahwa tidak terdapat perbedaan kemampuan awal siswa pada aspek

kemampuan representasi matematis sebelum diberi perlakuan. Setelah siswa diberikan

perlakuan, terjadi peningkatan kemampuan representasi matematis baik pada kelompok

eksperimen dan kelompok kontrol. Peningkatan kemampuan representasi matematis siswa

yang memperoleh pembelajaran STAD lebih tinggi daripada siswa yang memperoleh

pembelajaran konvensional. Hal ini menunjukkan bahwa model pembelajaran kooperatif tipe

STAD ternyata dapat meningkatkan kemampuan representasi matematis siswa.

0

5

10

15

Pre Test Post Test

8.086

13,343

8.063

12,625

Eksperimen

Kontrol

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925

163

Gambar 2. Rata-rata skor pretest dan posttest

kemampuan pemecahan masalah matematis

Pada Gambar 2 nampak bahwa sebelum diberi perlakuan rata-rata skor kemampuan

pemecahan masalah matematis siswa pada kelompok eksperimen lebih tinggi dari rata-rata

skor kemampuan pemecahan masalah matematis siswa pada kelompok kontrol. Namun

demikian, dari hasil uji kesamaan rata-rata dengan uji t dengan taraf signifikansi α = 0,05

diperoleh hasil bahwa tidak terdapat perbedaan kemampuan pemecahan masalah matematis

siswa.

Setelah siswa diberikan perlakuan, terjadi peningkatan kemampuan pemecahan masalah

matematis baik pada kelompok eksperimen maupun pada kelompok kontrol. Hal ini

tercermin dari rata-rata skor kemampuan pemecahan masalah matematis yang meningkat

pada kedua kelompok. Rata-rata skor posttest kemampuan pemecahan masalah matematis

siswa yang memperoleh pembelajaran STAD lebih tinggi daripada rata-rata skor siswa yang

memperoleh pembelajaran konvensional.

6. Kesimpulan dan Saran

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kemampuan representasi dan pemecahan masalah

matematis siswa yang memperoleh pembelajaran kooperatif tipe STAD lebih baik daripada

siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. Sebagai kesimpulan, penelitian ini

membuktikan bahwa model pembelajaran kooperatif tipe STAD dapat meningkatkan

kemampuan representasi dan pemecahan masalah matematis siswa. Saran yang dapat

dikemukakan adalah perlu adanya penelitian lanjutan untuk mengkaji korelasi kemampuan

representasi matematis terhadap kemampuan pemecahan masalah matematis.

0

5

10

15

Pre Test Post Test

9.143

12,743

8.063

11,719

Eksperimen

Kontrol

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925

164

Daftar Pustaka

Afgani, J. 2011. Analisis Kurikulum Matematika. Jakarta : Universitas Terbuka.

Khan, G. N. & Inamullah, M. H. 2011. Effect of Student’s Team Achievement Division (STAD) on

Academic Achievement of Students. Diambil 28 Desember 2012, dari situs

http://ccsenet.org/journal/index.php/ass/article/download/13435/9341

Kusumah, Y. S. 2011. Literasi Matematis. Makalah disajikan pada Seminar Nasional Pendidikan

MIPA tanggal 26 November 2011. Bandar Lampung : FKIP - Universitas Lampung

Muzdalipah, I. 2009. Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Melalui Pendekatan

Problem Posing. Jurnal Matematika volume 1, nomor 1, 2010. Malang: Universitas

Muhammadiyah Malang

Nakahara, T. 2008. Cultivating Mathematical Thinking through Representation. Diambil 1 Desember

2012, dari situs

http://www.criced.tsukuba.ac.jp/math/apec2008/papers/PDF/1.Keynote(Dec.9)_Tadao

Nakahara_Japan.pdf.

NCTM. 2000. Principles and Standarts for School Mathematics.Reaston,VA: NCTM.

Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi.

Slavin, R. E. 1995. Cooperative Learning,Theory,Research,and Practice (2th). Boston : Allyn and

Bacon.

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925

165

CASYOPEE DALAM PEMBELAJARAN

MATEMATIKA

Nelly Yuliana

SMAN 1 Koba, Bangka Tengah; [email protected]

Abstrak. Artikel ini merupakan kajian pustaka mengenai software matematika yaitu Casyopee.

Casyopee adalah singkatan dari Cacul Symbolique des Possibillites a l”Eseignant et aux Eleves

(peluang penawaran komputasi simbolik untuk guru dan siswa). Casyopee bagian dari CAS

(Computer Algebra System) yang lahir dari inisiatif guru dan peneliti pendidikan lebih dari 10 tahun

yang lalu yang tergabung ke dalam wadah yang bernama Remath Eropa. Casyopee diperuntukkan

penggunaannya pada jenjang SMP ke atas ini merujuk kepada fitur-fitur yang disediakan. Casyopee

dapat bekerja lebih baik pada materi fungsi mengingat fitur khas Casyopee yang dapat membuat

parameter secara interaktif. Dengan penggunaan Casyopee dalam jangka waktu yang lama dan terus-

menerus telah berhasil meningkatkan kemampuan matematis siswa khususnya di negara asal software

Casyopee yaitu Perancis.

Kata Kunci. Casyopee, CAS, kemampuan matematis

1. Pendahuluan

1.1. Latar Belakang

Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) atau Information and Communication

Technologies (ICT) secara bahasa diartikan seluruh peralatan teknis untuk memproses dan

menyampaikan informasi. Dari kata Teknologi informasi dan komunikasi (TIK) sendiri

dapat dipahami bahwa TIK mencakup dua aspek yaitu teknologi informasi dan teknologi

komunikasi. Aspek teknologi informasi meliputi segala hal yang berkaitan dengan proses,

penggunaan sebagai alat bantu, manipulasi, dan pengelolaan informasi. Sedangkan teknologi

komunikasi adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan penggunaan alat bantu untuk

memproses dan mentransfer data dari perangkat yang satu ke lainnya. Oleh karena itu,

teknologi informasi dan teknologi komunikasi tidak dapat dipisahkan. Jadi Teknologi

Informasi dan Komunikasi mengandung pengertian luas yaitu segala kegiatan yang terkait

dengan pemprosesan, manipulasi, pengelolaan, pemindahan informasi antar media.

Pengertian TIK tersebut juga menimbulkan pengertian bahwa TIK juga berhubungan dengan

pemrosesan, manipulasi, dan pemindahan informasi termasuk ke dalam media TIK. Media

TIK meliputi diantaranya adalah telepon, handphone, komputer, internet, radio, televise, dan

lain-lain. Ditinjau dari media bagian TIK tersebut maka segala segi kehidupan manusia

tidak akan luput dari penggunaan TIK itu sendiri.

Penggunaan media TIK juga berimplikasi kepada berkembangannya model dan media

pembelajaran. Pembelajaran yang biasanya guru dan siswa yang selalu berada di satu tempat

maka dengan adanya penggunaan TIK dapat dilakukan dengan menggunakan media yang

sudah dirancang dengan baik. Contohnya, adanya distance learning, yang merupakan

pembelajaran jarak jauh dimana guru dan siswa tidak berada disatu lokasi yang sama dan

proses pembelajaran dilakukan dengan memanfaatkan media TIK. Dan dewasa ini semakin

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925

166

banyak diterapkannya model dan media pembelajaran yang memanfaatkan TIK diantaranya

seperti e-learning, mobile learning, video pembelajaran online, online learning, televisi

edukasi serta program atau software khusus yang dirancang untuk mata pelajaran tertentu.

Khusus pada pembelajaran matematika yang merupakan pelajaran wajib dilalui oleh semua

siswa pada tiap jenjangnya telah dikembangkan software yang dirancang untuk

mempermudah proses pengajaran matematika yang sulit dilakukan secara manual atau

konvensional. Software-sofware yang ada dan berkembang saat ini sebagian besar sudah

banyak digunakan khususnya di Indonesia, seperti Maple, Macromedia Flash, Cabri, Corel,

GSP, Geogebra, Autograph dan lain sebagainya. Khusus dalam makalah ini penulis akan

mengkaji salah satu software matematika yang bernama Casyopee. Sengaja dipilih software

ini karena selama ini belum ada atau bisa jadi Casyopee belum banyak digunakan di

Indonesia. Ini terlihat dari jurnal-jurnal referensi yang dapat dijadikan rujukan penulisan

belum ada yang berasal dari Indonesia. Semuanya berasal dari negara dikembangkannya

software Casyopee itu sendiri yaitu Perancis. Untuk itu penulis tertarik untuk mengkaji lebih

jauh tentang apa dan bagaimana software ini digunakan dalam pelajaran matematika,

sekaligus memperkenalkan software ini kepada rekan-rekan guru serta akademisi

matematika lainnya.

1.2. Rumusan Masalah

Secara umum masalah dalam makalah yang ingin dikaji adalah, bagaimana penggunaan

Casyopee dalam pembelajaran matematika?. Masalah tersebut dapat dirinci sebagai berikut:

1) Apakah yang dimaksud dengan Casyopee?

2) Bagaimana menggunakan Casyopee dalam pembelajaran matematika?

3) Apa saja kelebihan dan kekurangan penggunaan Casyopee dalam pembelajaran

matematika?

1.3. Tujuan Penulisan

Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui

penggunaan Software Casyopee dalam pembelajaran matematika, dengan rincian sebagai

berikut:

1) Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Casyopee.

2) Untuk mengetahui bagaimana menggunakan Casyopee dalam pembelajaran matematika.

3) Untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan penggunaan Casyopee dalam pembelajaran

matematika.

2. Pembahasan

2.1. Software Casyopee

Casyopee adalah singkatan dari Cacul Symbolique des Possibillites a l”Eseignant et aux

Eleves (peluang penawaran komputasi simbolik untuk guru dan siswa). Casyopee bagian dari

CAS (Computer Algebra System) yang lahir dari inisiatif guru dan peneliti pendidikan lebih

dari 10 tahun yang lalu yang tergabung ke dalam wadah yang bernama Remath Eropa

(software lain dari Remath adalah Anulset, Aplusix, Machine Lab, Cruislet, dan Mopix).

Proyek penggunaan casyopee ini telah sukses dilakukan di Perancis.

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925

167

Casyopée cukup mudah diakses siswa, software ini dapat didownload secara gratis melalui

situs http://www.casyopee.eu/?lng=en. Setelah didownload dan terinstal pada PC/notebook

software ini dapat dipelajari siswa sendiri ataupun dengan bantuan guru. Casyopée memiliki

dua jendela utama, yaitu jendela simbolis dan jendela geometris.

Gambar 1. Tampilan Jendela Casyopee

Gambar 2. Penggunaan Jendela Geometris dan Jendela Simbolis/Aljabar

Fitur Casyopée kompatibel untuk Windows XP, Vista, Seven, Macintosh dan sistem operasi

lainnya. Jendela aljabar dan simbolis memberikan fasilitas yang berbeda namun saling

berkaitan satu sama lain.

Fasilitas yang tersedia dalam jendela aljabar:1) perhitungan fungsi, misalnya: faktorisasi;

2) representasi grafik fungsi; 3) penggunaan parameter fungsi; 4) perhitungan numerik atau

simbolik perhitungan dengan fungsi; 4) sebagai bantuan untuk membuktikan membuktikan

sifat dari suatu fungsi; 5) membantu untuk menulis laporan penelitian dalam bentuk file

html, formula matematika (yang dibuat oleh Casyopée atau dengan Latex), grafik dan angka

geometris.

Fasilitas di jendela geometri dinamis: 1) geometris konstruksi dari objek (titik , segmen,

garis, lingkaran); 2) penciptaan perhitungan geometris dari formula simbolik yang

prosedural; 3) eksplorasi numerik; 4) penciptaan fungsi geometris menggunakan

perhitungan; 5) pemodelan fungsi-fungsi geometris menjadi fungsi aljabar di tab aljabar.

Casyopee lebih menekankan penggunaannya kepada siswa SMP ke atas mengingat fitur-fitur

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925

168

khas dalam software ini sesuai dengan materi matematika di jenjang pendidikan menengah.

Penggunaan software Casyopee dapat meningkatkan pemahaman siswa terhadap materi

matematika dengan cara penggunaan software dilakukan dalam waktu yang cukup lama dan

terus menerus (Lagrange: 2010). Peran guru disini sebagai fasilitator siswa yang mengalami

kesulitan dalam penggunaan Casyopee. Intinya adalah bagaimana guru dapat membuat

bahan ajar atau instrumen Casyopee yang tepat sehingga dapat dieksplorasi oleh siswa untuk

dapat menyelesaikan masalah matematika dengan ide-ide yang didapat mereka selama

belajar matematika dengan menggunakan Casyopee.

2.2. Penggunaan Casyopee dalam Pembelajaran Matematika

Casyopee sebagai salah satu software matematika yang dapat membantu guru dalam

mengajar dikelas, sehingga proses pembelajaran dapat berjalan efektif. Berikut akan

disajikan penggunaan casyopee dalam proses pembelajaran matematika khususnya materi

yang diajarkan di jenjag Sekolah Menengah Atas (SMA).

2.2.1. Materi dimensi dua

Casyopee dapat digunakan untuk menetukan luas daerah bangun datar, contoh luas bidang

segitiga.

Untuk membuat bidang datar segitiga, pada jendela geometri, klik menu polygon lalu

gambarkan tiga titik pada kertas kerja lalu klik sehingga muncul luas daerah yang dimaksud.

Gambar 4. Contoh gambar tampilan luas daerah segitiga

2.2.2. Lingkaran

Casyopee dapat digunakan untuk menjelaskan konsep lingkaran. Lingkaran adalah kurva

tertutup sederhana yang khusus, yang tiap titik pada lingkaran itu berjarak sama dari suatu

titik yang disebut pusat lingkaran. Membuat lingkaran pada jendela geometri, hampir sama

caranya dengan membuat bidang datar yang dicontohkan segitiga diatas.

Pada jendela geometri, dibuat dua buah titik yaitu titik pertama sebagai pusat lingkaran dan

titik kedua yang jaraknya tertentu terhadap titik pertama sebagai jari-jari lingkaran. Klik

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925

169

circle lalu circle by center and radius by 2 points. Untuk menggambar lingkaran klik pada

titik pertama (titik pusat) dilanjutkan titik kedua kemudian klik sebarang titik ketiga dan

kembali ke titik pusat. Persamaan lingkaran dapat diketahui dengan mengklik kanan

lingkaran maka akan muncul persamaan lingkaran tersebut.

Gambar 5. Contoh gambar lingkaran dengan pusat O (0,0)

Dapat pula digunakan untuk menggambar lingkaran dengan pusat dan konsep

lingkaran lainnya.

2.2.3. Materi fungsi

Materi fungsi adalah materi yang khas dengan fitur Casyopee, jadi siswa dapat

mengeksplorasi kemampuan matematis dengan menggunakan software ini. Cara untuk

menggambar fungsi pada Casyopee dengan langkah-langkah sebagai berikut:

Mengaktifkan jendela simbolis atau aljabar lalupilih menu create function. Masukkan

parameter yang diinginkan, kemudian masukkan fungsi yang akan digambar grafiknya.

Gambar 6. Tampilan Jendela Casyopee untuk menggambar fungsi

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925

170

Lalu klik evaluate, selanjutnya klik create, terakhir tutup jendela create function, lalu klik f

pada jendela simbolis untuk menampilkan grafik.

Langkah-langkah diatas sama penggunaannya untuk fungsi linier, fungsi kuadrat, fungsi

kuadrat dan fungsi linear, fungsi berpangkat tiga atau polinom, yaitu dengan memasukkan

fungsi yang ingin digambar lalu tentukan parameternya.Untuk menentukan titik-titik pada

fungsi dapat diketahui dengan mengklik menu Tabulate Function pada jendela simbolis.

Gambar 7. Contoh gambar fungsi linear

2.2.4. Faktorisasi fungsi

Menentukan faktor dari suatu fungsi dapat dilakukan dengan cara mengklik menu evaluate

formula lalu pilih menu factorisation kemudian masukkan fungsi yang akan difaktorkan.

2.2.5. Perhitungan atau komputasi

Casyopee juga memberikan fitur layaknya kalkulator untuk melakukan perhitungan yang

sulit dilakukan secara manual, misalnya untuk menghitung nilai sinus dan cosinus untuk

sudut yang tidak istimewa.Namun biasanya perhitungan secara manual dapat dilakukan

dengan rumus jumlah atau selisih dua sudut. Perhitungan dapat dilakukan dengan

menggunakan menu create calculation lalu masukkan nilai yang akan dihitung.

2.3. Kelebihan dan Kekurangan Casyopee

Banyaknya jenis software yang secara khusus diperuntukan untuk matematika, membuat

guru ataupun akademisi matematika dapat memilah dan membandingkan keunggulan dan

kelemahan masing-masing program. Sesuai dengan dasar pemilihan media banyak faktor

yang dapat dipertimbangkan, misalnya kesesuaian atau kekhasan dengan materi yang akan

diajarkan sehingga dapat mempermudah memanipulasi dan mengeksplor materi sesuai

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925

171

dengan tujuan kompetensi matematika yang hendak dicapai. Untuk itu berikut akan disajikan

kelebihan dari Casyopee:

1. Casyopee dapat diakses secara mudah di internet dan gratis di http://www.casyopee.eu.

Jadi membuka peluang bagi siapa saja yang ingin memanfaatkan software ini dalam

pembelajaran matematika.

2. Casyopee terdiri dari dua jendela yaitu jendela simbolis/aljabar dan jendela geometri

sehingga suatu ekspresi pada jendela aljabar bersesuaian dengan suatu objek pada

jendela geometri dan sebaliknya.

3. Fitur Casyopee yang khas yaitu dapat membuat perintah set angka dan parameter untuk

menentukan domain interaktif sangat bersesuaian dengan materi fungsi. Fungsi

didefinisikan dengan formula yang melibatkan fungsi variabel, dan domain yang

memadai. Jadi Casyopee dapat menjadi media pembelajaran yang efektif dalam

mengajarkan materi fungsi

4. Casyopee tidak menggunakan bahasa perintah, jadi mempermudah siswa untuk

menggunakan setiap menu dan fiturnya

5. Hasil pekerjaan pada jendela Casyopee dapat disalin ke Word, Excel, ataupun ke dalam

Microsoft Office lainnya.

6. Dari penelitian-penelitian yang dilakukan di negara asal software ini, Casyopee dapat

meningkatkan pemahaman siswa dalam belajar matematika

7. Casyopee dapat meningkatkan komunikasi matematis siswa dalam belajar matematika

karena siswa dituntut dapat mengubah bahasa verbal pada materi pelajaran menjadi

bahasa matematika untuk dituangkan pada menu software ini

8. Guru dapat menggunakan bahan ajar matematika dengan menggunakan Casyopee yang

bersifat eksploratif bukan informatif, sehingga siswa dapat menuangkan ide dan

gagasan dalam menyelesaikan masalah matematika

9. Software Casyopee dapat menggeser porsi peran guru menjadi lebih kecil yang bersifat

fasilitator, sehingga siswa lebih aktif dalam pembelajaran.

Selain kelebihan-kelebihan yang telah disebutkan, ada beberapa kekurangan Casyopee ini

dalam pembelajaran matematika, diantaranya adalah:

1. Pada awal penggunaan software casyopee, siswa akan mendapat sedikit kesulitan

karena baru menyesuaikan dengan software baik itu menu ataupun fitur-fiturnya.

Dibutuhkan peran guru dan waktu penggunaan yang cukup lama serta terus-menerus

sehingga Casyopee dapat digunakan oleh siswa dalam pembelajaran secara optimal.

2. Belum adanya buku petunjuk penggunaan versi yang terbaru yaitu Casyopee versi 2.6.8.

baru ada manual book versi 01, sehingga menuntut seseorang yang ingin memperdalam

mempelajari secara otodidak.

3. Casyopee diperuntukkan pada jenjang menengah ke atas, sehingga untuk pembelajaran

jenjang dasar kurang tepat.

3. Kesimpulan

Salah satu pilihan software yang dapat diaplikasikan penggunaannya dalam pelajaran

matematika adalah Casyopee. Casyopee dapat melakukan kerja pada dua jendela sekaligus

yang saling berhubungan, yaitu jendela geometris dan jendela aljabar. Casyopee

diperuntukkan penggunaannya pada jenjang menengah ke atas ini merujuk kepad fitur-fitur

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925

172

yang disediakan. Casyopee dapat bekerja lebih baik pada materi fungsi mengingat fitur khas

casyopee yang dapat membuat parameter secara interaktif.

Terlepas dari beberapa kelemahan yang lazim dimiliki suatu software, penggunaan casyopee

dalam jangka waktu yang lama dan terus-menerus telah berhasil meningkatkan kemampuan

matematis siswa khususnya di negara asal software Casyopee yaitu Perancis. Selain itu siswa

menjadi lebih tertarik mempelajari sendiri materi matematika karena mereka merasakan

dapat menerapkan ide serta memperoleh banyak pengalaman belajar dalam proses

penyelesaian masalah matematika dengan menggunakan Casyopee.

4. Saran

Casyopee pada awalnya akan mengakibatkan sedikit kesulitan dan membutuhkan waktu

yang cukup lama untuk beradaptasi, maka peran guru menjadi penting sebagai fasilitator.

Maka diharapkan guru lebih dahulu harus melek TIK khusunya komputer serta Casyopee itu

sendiri. Dikarenakan belum banyaknya penelitian-penelitian tentang penggunaan Casyopee

dalam pembelajaan matematika, maka diharapkan dilakukan penelitian lebih lanjut sehingga

dapat menjadi bahan rujukan dalam pelaksanaan pembelajaran matematika berbasis TIK.

Daftar Pustaka

Lagrange, JB & Le Feuvre, B. (2007).User Manual V.01. http://remath.cti.gr

Lagrange, JB & Kiem Minh Tran. (2010). Learning about Function with a Geometrical and Symbolic

Software Environment: a Study of Students’ Instrumental Genesis along Two Years.

http://atcm.mathandtech.org/ep2010/regular/3052010_18465.pdf

Lagrange, JB. (2009). Casyopee, a symbolic environment for secondary student and teachers.

http://rfdz.ph-

noe.ac.at/fileadmin/Mathematik_Uploads/ACDCA/VISITME2002/contribs/Lagrange/Lagra

nge.pdf

Lagrange, Jean Baptise & Chiappini, Giampaolo. (2007) Integrating The Learning of Algebra with

Technology at The European Level: Two Examples in The Remath

Project.http://jb.lagrange.free.fr/site/papers/CERME_Lagrange_Chiappini_def1.pdf

Team of MKPBM. (2001). Contemporary Mathematics Learning Strategies. Bandung: Indonesia

University of Education.

Casyopee (n.d.). http://www.casyopee.eu/index.php?lng=en

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925

173

PENGEMBANGAN PERANGKAT

PEMBELAJARAN TEAMS GAMES

TOURNAMENT DENGAN PENDEKATAN

SAINTIFIK PADA MATERI

OPERASI ALJABAR

Via Yustitia

Universitas PGRI Adi Buana Surabaya, Jl. Dukuh Menanggal XII, Surabaya;

[email protected]

Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mendeskripsikan pengembangan perangkat pembelajaran

matematika dengan model TGT dengan pendekatan saintifik pada materi operasi aljabar yang valid

dan praktis; (2) mengetahui keefektifan pembelajaran menggunakan perangkat pembelajaran yang

dikembangkan tersebut. Pengembangan perangkat pembelajaran dilakukan dengan menggunakan

model 4-D Thiagarajan, dkk, namun peneliti hanya menempuh 3D (define, design, dan develop).

Perangkat pembelajaran yang dikembangkan adalah RPP, LKS, dan tes kemampuan pemecahan

masalah. Subjek ujicoba adalah siswa kelas VIII SMPN 2 Pemalang. Hasil validasi perangkat

pembelajaran dinyatakan valid menurut ahli dengan diperoleh rata-rata validasi dalam rentang skor

antara 1–4 dan telah memenuhi validitas isi, taraf kesukaran baik, daya pembeda baik, dan reliabel.

Perangkat pembelajaran yang dikembangkan praktis, dengan hasil ujicoba: (1) adanya respons positif

dari siswa; (2) adanya respons yang baik dari guru; (3) keterlaksanaan RPP dalam pembelajaran pada

kategori baik. Pembelajaran efektif pada kelas eksperimen karena setelah diujicobakan diperoleh

hasil: (1) aktivitas siswa kelas uji coba berkategori baik; (2) rata-rata kemampuan pemecahan masalah

siswa kelas uji coba perangkat lebih baik dari kelas kontrol; (3) kemampuan pemecahan masalah

siswa telah mencapai ketuntasan klasikal. Dapat disimpulkan bahwa pengembangan perangkat TGT

dengan pendekatan saintifik memenuhi kriteria valid, praktis, dan pembelajarannya efektif.

Kata Kunci: pengembangan perangkat pembelajaran, pendekatan saintifik, TGT

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Salah satu upaya pemerintah meningkatkan kualitas pendidikan adalah melakukan perubahan

terhadap Kurikulum 2006 menjadi Kurikulum 2013. Permendikbud Nomor 58 Tahun 2014

menjelaskan salah satu tujuan pembelajaran Matematika di SMP adalah mengembangkan

kemampuan pemecahan masalah. Inti pembelajaran Matematika terletak pada problem

solving, namun problem solving yang dilakukan secara otomatis juga menyentuh persoalan

penalaran untuk membangun pola berpikir kritis siswa.

Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa guru Matematika SMPN 2 Pemalang, siswa

masih kesulitan dalam menyelesaikan soal-soal yang mengacu pada aspek pemecahan

masalah, salah satunya pada materi operasi aljabar kelas VIII. Hal itu ditunjukkan dengan

nilai rata-rata ulangan harian kelas VIII pada materi operasi aljabar belum mencapai

ketuntasan belajar. Berdasarkan observasi yang dilakukan di kelas, diperoleh beberapa

kondisi yang menunjukkan bahwa: (1) siswa belum mampu untuk menyatakan situasi,

gambar, diagram, atau benda nyata ke dalam model Matematika; (2) siswa belum terbiasa

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925

174

untuk berdiskusi secara berkelompok; (3) siswa sering mengalami kesulitan dalam

menyelesaikan permasalahan pada buku siswa apabila soal yang diberikan sedikit berbeda

dengan permasalahan sebelumnya; (4) aktivitas belajar siswa yang belum maksimal dapat

diamati dengan hanya 15% siswa yang bertanya selama proses pembelajaran berlangsung,

siswa belum berani mengemukakan pendapatnya saat berdiskusi. Oleh karena itu, guru perlu

memperhatikan model pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik pendekatan saintifik

dan tujuan pengembangan kemampuan pemecahan masalah.

Pemecahan masalah Matematika tidak semata-mata bertujuan untuk mencari sebuah jawaban

yang benar, tetapi menghubungkan antara apa yang mereka pelajari, kemampuan yang

mereka miliki, dengan bagaimana pengetahuan tersebut akan dimanfaatkan sesuai dengan

situasi (Freitas: 2008). Menurut Polya, dalam pemecahan masalah terdapat empat langkah

yang harus dilakukan yaitu memahami masalah, merencanakan penyelesaian, menyelesaikan

masalah sesuai rencana dan menafsirkan, dan melihat kembali. Kim (2012) menjelaskan

bahwa kemampuan pemecahan masalah siswa dapat ditingkatkan melalui pembelajaran yang

berpusat pada siswa. Salah satu model pembelajaran tersebut adalah model pembelajaran

kooperatif. Hasil penelitian Winarni (2014) menyatakan bahwa guru Matematika sebaiknya

menggunakan model pembelajaran kooperatif dalam menerapkan pendekatan saintifik.

Salah satu tipe dari model pembelajaran kooperatif adalah model pembelajaran Teams

Games Tournament (TGT). Hasil penelitian Tampubolon (2013) menyatakan bahwa model

pembelajaran TGT dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dan pemahaman

Matematika. Sejalan dengan itu, hasil penelitian Rohendi (2010) menyatakan bahwa

aktivitas belajar dengan permainan yang dirancang dalam pembelajaran TGT memungkinkan

siswa dapat belajar lebih rileks, menumbuhkan tanggung jawab, kejujuran, kerja sama,

persaingan sehat, dan siswa aktif dalam belajar bersama kelompoknya. Oleh karena itu,

model pembelajaran kooperatif TGT sangat relevan digunakan sesuai dengan karakteristik

dari pembelajaran Matematika di SMP.

Pembelajaran Matematika di kelas tidak cukup hanya dilakukan dengan mengintegrasikan

model dan pendekatan, tapi juga diperlukan perangkat pembelajaran Matematika yang sesuai

dengan karakteristik Kurikulum 2013. Beberapa perangkat pembelajaran yang perlu

dipersiapkan diantaranya Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), Lembar Kegiatan

Siswa (LKS), dan soal tes. Berdasarkan hasil observasi peneliti bahwa perangkat

pembelajaran yang digunakan oleh guru Matematika SMPN 2 Pemalang, belum cukup

mampu memfasilitasi guru untuk mempersiapkan antisipasi terhadap kemungkinan

beragamnya respons siswa dalam pembelajaran.

Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan dan kondisi lapangan yang memerlukan

adanya upaya pemecahan masalah, salah satu cara pemecahannya adalah peneliti melakukan

pengembangan perangkat pembelajaran model kooperatif TGT dengan pendekatan saintifik

sehingga diperoleh perangkat pembelajaran yang valid, praktis, dan efektif untuk

pembelajaran Matematika pada materi operasi aljabar kelas VIII SMP.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut.

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925

175

1. Bagaimana pengembangan dan hasil pengembangan perangkat pembelajaran

Matematika model TGT dengan pendekatan saintifik pada materi operasi aljabar yang

valid dan praktis?

2. Bagaimana keefektifan pembelajaran menggunakan perangkat pembelajaran

Matematika model TGT dengan pendekatan saintifik pada materi operasi aljabar?

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mendeskripsikan proses dan hasil pengembangan

perangkat pembelajaran Matematika dengan model TGT dengan pendekatan saintifik pada

materi operasi aljabar yang valid dan praktis; (2) mengetahui keefektifan pembelajaran

menggunakan perangkat pembelajaran Matematika dengan model TGT dengan pendekatan

saintifik pada materi operasi aljabar.

2. METODE PENELITIAN

Penelitian ini termasuk dalam penelitian pengembangan. Populasi pada penelitian ini adalah

seluruh siswa kelas VIII SMPN 2 Pemalang Tahun Pelajaran 2014/2015. Uji coba penelitian

ini dilakukan di kelas VIII SMPN 2 Pemalang. Sampel penelitian sebanyak 70 responsden

yang terdiri atas 35 siswa sebagai kelas eksperimen dan 35 siswa sebagai kelas kontrol.

Perangkat pembelajaran yang dikembangkan meliputi: (1) RPP; (2) LKS; (3) Tes

Kemampuan Pemecahan Masalah pada materi operasi aljabar. Pengembangan perangkat

pembelajaran dalam penelitian ini mengacu pada model pengembangan 4-D Thiagarajan dkk

(dalam Rochmad, 2012), namun dalam penelitian ini peneliti hanya menempuh 3D, yaitu

define, design, dan develop.

Tujuan tahap define adalah menetapkan dan mendefinisikan syarat-syarat pembelajaran.

Dalam menentukan dan menetapkan syarat-syarat pembelajaran diawali dengan analisis

tujuan dan batasan materi yang dikembangkan perangkatnya. Ada 5 langkah pokok dalam

tahap pendefinisian yaitu analisis awal akhir, analisis siswa, analisis materi, analisis tugas,

dan perumusan tujuan pembelajaran. Tahap design adalah tahap untuk menyiapkan prototipe

perangkat pembelajaran. Perancangan awal ini merupakan perancangan perangkat

pembelajaran beserta instrumen yang akan dikembangkan. Tahap develop adalah tahapan

untuk memodifikasi prototipe perangkat pembelajaran sehingga menghasilkan perangkat

pembelajaran. Tahap develop ini terdiri atas validasi perangkat pembelajaran, uji

keterbacaan, dan uji coba.

Uji efektivitas bertujuan untuk mengetahui keefektifan perangkat pembelajaran yang telah

dikembangkan. Uji efektivitas menggunakan penelitian eksperimental semu. Variabel terikat

dalam penelitian ini adalah hasil belajar Matematika aspek pemecahan masalah, sedangkan

variabel bebas dalam penelitian ini adalah model pembelajaran. Metode pengumpulan data

menggunakan metode dokumentasi, observasi, angket, dan tes. Instrumen yang digunakan

yaitu lembar validasi, lembar observasi keterlaksanaan RPP, lembar observasi aktivitas

siswa, angket respons siswa, dan angket respons guru.

Kualitas produk yang dikembangkan sesuai dengan yang dikemukakan oleh Nieveen (dalam

Rochmad, 2012), yaitu jika memenuhi aspek kualitas yang dilihat dari validitas, kepraktisan,

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925

176

dan keefektifan. Analisis data kevalidan perangkat pembelajaran. Perangkat pembelajaran

dikatakan valid jika rata-rata skor masing-masing perangkat berada pada kategori baik atau

sangat baik. Analisis data kepraktisan perangkat pembelajaran, meliputi: (1) analisis data

respons siswa terhadap pembelajaran. Respons siswa dikatakan mempunyai respons positif

jika rata-rata persentase respons siswa lebih dari75%; (2) Analisis respons guru terhadap

perangkat pembelajaran dikategorikan praktis jika respons guru terhadap perangkat

pembelajaran minimal baik; (3) analisis data keterlaksanaan RPP dalam pembelajaran

dikatakan praktis jika termasuk dalam kategori baik atau sangat baik.

Analisis data keefektifan perangkat pembelajaran, meliputi: (1) Analisis data aktivitas siswa

termasuk dalam kategori baik atau sangat baik; (2) kemampuan pemecahan masalah siswa

yang dikenai pembelajaran TGT dengan pendekatan saintifik lebih baik daripada yang

dikenai pembelajaran klasikal dengan pendekatan saintifik, yang diuji menggunakan uji

perbedaan rata-rata; (3) kemampuan pemecahan masalah siswa kelas pembelajaran TGT

dengan pendekatan saintifik pada materi operasi aljabar mencapai ketuntasan belajar

klasikal. Ketuntasan klasikal dihitung menggunakan uji proporsi pihak kanan dengan

proporsi ketuntasan klasikal sebesar 75%.

3. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Hasil validasi perangkat pembelajaran oleh ahli, diperoleh bahwa masing perangkat

pembelajaran valid dengan kategori baik, artinya perangkat pembelajaran dapat digunakan

dengan sedikit revisi. Secara umum, hasil validasi oleh para ahli ditunjukkan pada Tabel 1

berikut.

Tabel 1. Hasil Validasi Perangkat Pembelajaran

Perangkat

Pembelajaran

Skor dari Validator Skor

Rata-rata Kriteria

I II III IV V

RPP 3,25 3,46 3,25 3,32 3,32 3,32 Baik

LKS 3,11 3,44 3,67 3,44 3,44 3,42 Baik

TKPM 3,44 3,33 3,56 3,33 3,56 3,44 Baik

Berdasarkan komentar dan saran dari validator dilakukan evaluasi dan ditindaklanjuti dengan

melakukan revisi pada bagian yang perlu diperbaiki. RPP yang dikembangkan memiliki

karakteristik antara lain: (1) RPP mencantumkan kompetensi inti, kompetensi dasar, dan

indikator pencapaian kompetensi yang jelas; (2) penyusunan RPP mengacu pada tuntutan

Kurikulum 2013 yang diterapkan di SMP; (3) memuat fase-fase model pembelajaran Teams

Games Tournament; (4) memuat komponen 5M yang merupakan prinsip dari pendekatan

saintifik; (5) memberikan siswa pengalaman belajar mengkonstruksi pengetahuannya sendiri

melalui model pembelajaran TGT dengan pendekatan saintifik; (6) penyajian materi diawali

dengan fenomena dan masalah nyata di sekitar siswa; (7) mengarahkan siswa untuk

memecahkan masalah melalui tahapan kegiatan pembelajaran dan media LKS yang

digunakan.

LKS yang dikembangkan memiliki karakteristik antara lain: (1) LKS mencantumkan

kompetensi inti, kompetensi dasar dan indikator pencapaian kompetensi yang jelas; (2) LKS

berisi latihan soal dan kegiatan siswa yang diharapkan mampu melatih kemampuan

pemecahan masalah siswa; (3) LKS memfasilitasi siswa dalam belajar kelompok sehingga

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925

177

LKS diharapkan dapat memfasilitasi siswa secara aktif bereksplorasi dengan cara berdiskusi

kelompok untuk menyelesaikan soal pemecahan masalah; (4) LKS memberikan siswa

kesempatan untuk memikirkan berbagai alternatif solusi dalam menyelesaikan permasalahan

karena format yang dipilih juga disesuaikan dengan 5M pendekatan saintifik dan langkah-

langkah penyelesaian masalah menurut Polya. Contoh tampilan LKS yang telah

dikembangkan ditunjukkan pada Gambar 1 berikut.

Gambar 1. Tampilan LKS yang telah dikembangkan

Soal tes kemampuan pemecahan masalah yang dikembangkan memiliki karakteristik antara

lain: (1) soal tes disesuaikan dengan indikator pencapaian kompetensi pada materi operasi

aljabar; (2) soal tes disesuaikan dengan kriteria soal pemecahan masalah dan jawabannya

harus melalui proses 4 tahap pemecahan masalah menurut Polya. Produk akhir tes

kemampuan pemecahan masalah adalah seperangkat soal yang memenuhi kriteria validitas

isi, tingkat kesukaran baik, daya pembeda baik, dan reliabel.

Setelah soal dinyatakan valid secara kualitatif berdasarkan konten, konstruk, dan bahasa

kemudian soal tes kemampuan pemecahan masalah diujicobakan. Uji coba perangkat tes

kemampuan pemecahan masalah dilakukan di kelas VIII C. Soal uji coba terdiri dari 8 soal

uraian yang harus dikerjakan siswa dalam waktu 80 menit. Berdasarkan hasil uji coba tes

tersebut, diperoleh 5 soal yang memenuhi kriteria tingkat kesukaran, daya beda, dan

reliabilitas baik.

Berdasarkan hasil validasi yang dilakukan oleh lima orang ahli, diperoleh bahwa perangkat

pembelajaran matematika yang dikembangkan berada dalam kategori valid.Tercapainya

kriteria valid tersebut disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: (1) komponen-komponen

perangkat pembelajaran matematika model TGT dengan pendekatan saintifiktelah sesuai

landasan teori dan indikator yang terdapat pada instrumen validitas perangkat pembelajaran;

(2) penyusunan perangkat pembelajaran matematika mengacu pada tuntutan standar proses

SMP Kurikulum 2013; (3) RPP, LKS, dan tes kemampuan pemecahan masalah

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925

178

dikembangkan dengan mengakomodasi pelaksanaan Kurikulum 2013 dalam pembelajaran.

Hasil revisi draft I perangkat pembelajaran selanjutnya dijadikan draft II perangkat

pembelajaran. Tahap berikutnya adalah melakukan uji coba draft II perangkat pembelajaran

dalam proses pembelajaran di kelas. Uji coba perangkat pembelajaran di lapangan bertujuan

untuk mencari kepraktisan dan keefektifan perangkat pembelajaran. Uji coba perangkat

pembelajaran dilakukan pada kelas eksperimen, yaitu kelas VIII H SMPN 2 Pemalang,

sedangkan kelas kontrol adalah kelas VIII E SMPN 2 Pemalang. Sebelum uji coba perangkat

pembelajaran dilaksanakan, perlu dilakukan uji prasyarat dengan uji normalitas dan uji

homogenitas serta uji keseimbangan.Berdasarkan nilai UAS Matematika kelas VII semester

genap pada kelas eksperimen dan kelas kontrol, diperoleh bahwa kedua sampel berasal dari

populasi berdistribusi normal, homogen, serta tidak ada perbedaan rerata antara dua populasi

tersebut.

Hasil uji coba perangkat pembelajaran menunjukkan bahwa perangkat pembelajaran yang

dikembangkan praktis, dengan indikator: (1) pengamat berpendapat bahwa keterlaksanaan

RPP dalam pembelajaran baik; (2) respons siswa terhadap perangkat pembelajaran positif;

(3) respons guru terhadap perangkat pembelajaran baik. Hal tersebut sesuai dengan pendapat

Rochmad (2012) bahwa kepraktisan mengacu pada tingkat bahwa pengguna (atau pakar-

pakar lainnya) mempertimbangkan intervensi dapat digunakan dan disukai dalam kondisi

normal. Perangkat pembelajaran praktis karena keterlaksanaan pembelajaran baik dan

respons siswa guru baik.

Hasil uji coba pembelajaran model TGT dengan pendekatan saintifik telah menunjukkan

hasil: (1) aktivitas siswa di kelas eksperimen baik; (2) kemampuan pemecahan masalah

siswa kelas uji coba perangkat lebih baik daripada kelas pembelajaran klasikal dengan

pendekatan saintifik; (3) proporsi siswa yang dikenai model pembelajaran TGT dengan

pendekatan saintifik di SMPN 2 Pemalang. Berdasarkan ketiga hal tersebut berarti uji coba

pembelajaran model TGT dengan pendekatan saintifik telah menghasilkan proses

pembelajaran yang efektif.

Keberhasilan pembelajaran dengan model TGT dengan pendekatan saintifik disebabkan

karena model tersebut dan perangkat pembelajarannya berhasil meningkatkan kerjasama

siswa ke arah positif terutama kemampuan membantu teman memecahkan masalah secara

individu maupun berdiskusi sampai dengan ditemukan solusinya dan memperhatikan

kesulitan siswa lain. Siswa lebih terlatih menyelesaikan soal-soal pemecahan masalah

sehingga kemampuan pemecahan masalahnya menjadi lebih baik.

Pengembangan perangkat pembelajaran matematika model TGT dengan pendekatan saintifik

untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah siswa SMP pada kelas eksperimen

menciptakan proses pembelajaran dan transfer ilmu pengetahuan yang lebih optimal

dibanding pada kelas kontrol sehingga wajar jika kemampuan pemecahan masalah siswa di

kelas uji coba lebih baik daripada di kelas kontrol. Keberhasilan tersebut disebabkan karena

pembelajaran dengan model kooperatif TGT berbasis konstruktivisme dan perangkat

pembelajaran berhasil meningkatkan kemampuan dan kecakapan yang dimiliki siswa ke arah

positif. Hasil ini telah sesuai dengan pendapat Bahbahani (2006) yang menyatakan bahwa

penggunaan variasi pembelajaran konstruktivisme dalam pembelajaran mempengaruhi

prestasi, motivasi, dan aktualisasi diri siswa. Hasil ini juga sesuai dengan penelitian Tran

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925

179

(2013), Tarim dan Akdeniz (2008), Özsoy dan Yildiz (2004) menunjukkan bahwa model

pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan prestasi belajar matematika serta lebih baik

dari model pembelajaran langsung. Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian Putrawan

(2014) dan Dewi dkk (2014) yang menyimpulkan bahwa pembelajaran dengan pendekatan

saintifik efektif.

4. SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil pengembangan dan uji coba yang dilakukan, maka dapat dikemukakan

simpulan bahwa:(1) perangkat pembelajaran matematika dengan model TGT dengan

pendekatan saintifik pada materi operasi aljabar adalah valid berdasarkan penilaian ahli; (2)

perangkat pembelajaran yang dikembangkan praktis, karena setelah diujicobakan

menunjukkan adanya respons positif dari siswa, adanya respons yang baik dari guru, dan

keterlaksanaan RPP dalam pembelajaran pada kategori baik; (3) pembelajaran efektif pada

kelas eksperimen karena setelah diujicobakan menunjukkan aktivitas siswa kelas uji coba

berkategori baik, rata-rata kemampuan pemecahan masalah siswa kelas uji coba perangkat

lebih baik dari kelas kontrol, dan kemampuan pemecahan masalah siswa telah mencapai

ketuntasan klasikal.

Berdasarkan simpulan hasil penelitian di atas, penulis dapat memberikan beberapa saran

yang dirangkum sebagai berikut.(1) Mengacu pada hasil penelitian ini, model pembelajaran

TGT dengan pendekatan saintifik memberikan kemampuan pemecahan masalah yang lebih

baik daripada model pembelajaran klasikal. Melihat hal ini, guru mata pelajaran matematika

disarankan untuk menggunakan model pembelajaran tersebut dalam pembelajaran

matematika. Selain itu, guru hendaknya lebih kreatif dalam membuat soal pemecahan

masalah. (2) Mengacu pada hasil penelitian ini, diharapkan kepala sekolah memberi motivasi

kepada para guru untuk selalu berinovasi dalam melakukan pembelajaran di kelas. (3) Pada

penelitian ini dikembangkan perangkat pembelajaran TGT dengan pendekatan saintifik

sehingga bagi para calon peneliti diharapkan dapat meneruskan atau mengembangkan

perangkat pembelajaran lainnya. (4) Hasil penelitian ini terbatas pada materi operasi aljabar

kelas VIII SMP, untuk itu dapat dikembangkan pada materi lain dan jenjang yang lain pula.

5. UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada: kepala SMPN 2 Pemalang yang telah

memberikan ijin penelitian kepada penulis, guru matematika kelas VIII SMPN 2 Pemalang

yang telah membantu dan membimbing penulis pada saat pelaksanaan penelitian, siswa kelas

VIII SMPN 2 Pemalang tahun pelajaran 2014/2015 yang telah berpartisipasi dalam

penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Bahbahani, K. 2006. Inside Look: An Interior Potrait of Contructivist Teachers. International Journal

Contructivist. vol.17, no. 1, hlm.1-16.

Dewi, P.D., Suharta, P.G., dan Ardana, M.I. 2014. Pengembangan Perangkat Pembelajaran

Matematika dengan Pendekatan Scientific Berorientasi Teknologi Informasi dan

komunikasi untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah dan Penalaran Siswa.

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925

180

e-Journal Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha. vol. 3, no. 1, hlm. 1-

12.

Freitas, D.E. 2008. Critical Mathematics Education: Recognizing the Ethical Dimension of Problem

Solving. International Electronic Journal of Mathematics Education, vol. 3, no. 2. hlm.

79-95.

Kim, D. H. 2012. Improving Problem Solving and Critical Thinking among Korean Nursing Student

over an Academic Year. Educational Research Journal, vol. 2, no. 8, hlm: 257-265.

Özsoy, N dan Yildiz, N. 2004. The Effect of Learning Together Technique of Cooperative Learning

Method on Student Achievement in Mathematics Teaching 7th Class of Primary School

“Işbirlikli Öğrenme” Yönteminin Ilköğretim 7.Sinif Matematik Öğretiminde Öğrenci

Başarisi Üzerine Etkisi. The Turkish Online Journal of Educational Technology. vol.3,

no. 7, hlm. 49-54.

Putrawan, A.A. 2014. Pengembangan Perangkat Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan

Scientific Berbantuan Geogebra dalam Upaya Meningkatkan Keterampilan Komunikasi

dan Aktivitas Belajar Matematika Siswa Kelas VIII SMP. e-Journal Program

Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha. vol. 3, no. 1, hlm. 13-26.

Rochmad. 2012. Desain Model Pengembangan Perangkat Pembelajaran Matematika. Journal Kreano

FMIPA UNNES. vol. 3, no.1, hlm. 59-72.

Rohendi, D. 2010. Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Teams Games Tournament

Berbasis Multimedia dalam Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Pada Mata Pelajaran

Teknologi Informasi dan Komunikasi. Jurnal Pendidikan Teknologi Informasi dan

Komunikasi (PTIK). vol. 3, no. 1, hlm. 15-25.

Slavin, R.E. 2008. Cooperative Learning: Teori, Riset, dan Praktik. Translated by Narulita Yusron.

2008. Bandung: Penerbit Nusa Media.

Suherman, E., Turmudi, Suryadi, Herman, T., dan Suhendra. 2003. Strategi Pembelajaran

Matematika Kontemporer. Bandung: JICA.

Tampubolon, P. 2013. Upaya Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah dan Pemahaman

Matematika Siswa Melalui Strategi Kooperatif Tipe TGT. Prosiding Seminar Nasional

Fakultas Sains dan Matematika. Salatiga: UKSW.

Tarim, K dan Akdeniz, F. 2008. The Effects of Cooperative Learning on Turkish Elementary

Students’ Mathematics Achievement and Attitude Towards Mathematics Using TAI and

STAD Methods, Educaton Study Math. vol.67, no. 3, hlm. 77-91.

Tran, V.D. 2013. Effects of Student Teams Achievement Division (STAD) on Academic

Achievement, and Attitudes of Grade 9th Secondary School Students towards

Mathematics. International Journal of Sciences. vol.2, no. 1, hlm 5-15.

Winarni, S. 2014. Peranan Cooperative Learning dalam Pembelajaran Matematika pada Kurikulum

2013. Jurnal Edumatica. vol 4, no. 1, hlm. 16-22.

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925

181

PEDOMAN PENSKORAN

Sumaryanta

PPPPTK Matematika, Yogyakarta, [email protected]

Abstrak. Salah satu aspek yang mempengaruhi keakuratan dan keadilan hasil

penilaian adalah ketepatan guru dalam mengoreksi hasil jawaban siswa. Koreksi yang

dilakukan tanpa hati-hati dan cermat berpotensi menghasilkan skor penilaian yang

tidak tepat. Hal ini akan menyebabkan kurang tepatnya penilaian yang diberikan guru

pada siswa. Dalam konteks inilah pedoman penskoran penting dan mutlak harus

disiapkan sebaik-baiknya oleh guru. Pedoman penskoran merupakan pedoman

menentukan skor terhadap hasil pekerjaan siswa. Dengan pedoman penskoran yang

baik, guru memiliki pijakan yang jelas dalam memberikan skor terhadap jawaban

siswa. Artikel ini merupakan hasil kajian pustaka disertai contoh pengembangan

pedoman penskoran. Melalui artikel ini diharapkan guru memiliki pemahaman yang

lebih jelas dan komprehensif tentang pedoman penskoran sehingga dapat

melaksanakan penilaian objektif dan akuntabel.

Kata Kunci: Penilaian, Pedoman, Penskoran

1. Pendahuluan

Dalam Permendiknas No 16 Tahun 2007 tentang Kualifikasi Akademik dan Standar

Kompetensi Guru dinyatakan bahwa salah satu kompetensi inti guru adalah

menyelenggarakan penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar. Kompetensi inti tersebut

dijabarkan dalam tujuh kompetensi, yaitu: 1) memahami prinsip-prinsip penilaian dan

evaluasi proses dan hasil belajar sesuai dengan karakteristik mata pelajaran yang diampu, 2)

menentukan aspek-aspek proses dan hasil belajar yang penting untuk dinilai dan dievaluasi

sesuai dengan karakteristik mata pelajaran yang diampu, 3) menentukan prosedur penilaian

dan evaluasi proses dan hasil belajar, 4) mengembangkan instrumen penilaian dan evaluasi

proses dan hasil belajar, 5) mengadministrasikan penilaian proses dan hasil belajar secara

berkesinambungan dengan mengunakan berbagai instrumen, 6) menganalisis hasil penilaian

proses dan hasil belajar untuk berbagai tujuan, dan 7) melakukan evaluasi proses dan hasil

belajar.

Memperhatikan tuntutan kompetensi guru pada Permendiknas di atas, dapat diketahui bahwa

salah satu kompetensi yang harus dimiliki guru adalah mengembangkan instrumen penilaian

dan evaluasi proses dan hasil belajar. Kompetensi ini tidak terpisah dengan kompetensi

lainnya. Kompetensi ini sangat penting untuk mendapatkan keakuratan dan keadilan

penilaian pada siswa. Hanya dengan instrumen penilaian yang baik, guru dapat memperoleh

hasil penilaian yang baik. Instrumen penilaian yang baik harus dilengkapi ketentuan-

ketentuan yang diperlukan untuk menentukan skor perolehan siswa. Ketentuan-ketentuan

inilah yang dikenal dengan pedoman penskoran. Pedoman penskoran diperlukan sebagai

pedoman menentukan skor hasil kerja siswa sehingga diperoleh skor seobjektif mungkin.

Oleh karena itu, penting bagi guru mempelajari dengan baik pedoman penskoran serta

langkah mengembangkannya sehingga hasil penilaian yang diperoleh lebih akurat dan

berkeadilan.

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925

182

2. Pengertian dan Jenis Pedoman Penskoran

Dalam evaluasi pembelajaran diperlukan pedoman penskoran yang dapat digunakan sebagai

petunjuk menilai pekerjaan siswa (Charlotte Danielson, 1997). Pedoman penskoran adalah

pedoman yang digunakan untuk menentukan skor hasil penyelesaian pekerjaan siswa. Skor

ini kemudian ditafsirkan menjadi nilai. Kesulitan yang dihadapi adalah menetapkan skor

dengan tepat terhadap penyelesaian pekerjaan siswa, baik tugas, ulangan, atau yang lain.

Konsistensi penskoran sangat penting untuk pemerolehan hasil penilaian antar siswa yang

tidak bias dikarenakan penilaian guru yang tidak konsisten.

Proses pengembangan pedoman penskoran perlu memperhatikan aspek dan kriteria yang

digunakan sebagai kerangka untuk menentukan skor terhadap hasil kerja siswa (Charlotte

Danielson, 1997). Aspek dan kriteria ini harus didefinisikan dengan jelas dan benar sebagai

pijakan dalam perumusan pedoman penskoran lebih lanjut. Aspek belajar yang dinilai harus

diselaraskan dengan kompetensi yang dipelajari siswa sehingga dapat membimbing guru

memberikan penilaian yang akurat. Kriteria penilaian juga penting ditentukan dengan baik

sebagai pijakan menentukan standar penskoran yang akan ditetapkan dalam pedoman.

Kriteria yang jelas akan membantu pengembang untuk menghasilan pedoman penskoran

yang tepat sehingga penilaian yang dihasilkan akan berkeadilan.

Akurasi dan keadilan penilaian merupakan prasyarat mutlak untuk dapat dihasilkannya

penilaian yang objektif dan akuntabel, selaras dengan tuntutan penilaian menurut

Permendikbud No. 66 Tahun 2013 tentang Standar Penilaian. Dalam Permendikbud tersebut

dijelaskan bahwa penilaian harus dilakukan dengan objektif dan akuntabel, yaitu berbasis

pada standar dan tidak dipengaruhi oleh faktor subjektivitas penilai serta harus dapat

dipertanggungjawabkan kepada pihak internal maupun eksternal sekolah. Pedoman

penskoran yang baik akan membantu guru menjawab kebutuhan terpenuhinya kedua prinsip

penilaian tersebut.

Pedoman penskoran diperlukan baik untuk tes bentuk pilihan maupun uraian. Kedua bentuk

tes tersebut memerlukan pedoman yang jelas apa dan bagaimana penilaian dilakukan.

2.1 Penskoran Tes Bentuk Pilihan

Cara penskoran tes bentuk pilihan ada dua, yaitu tanpa koreksi terhadap jawaban tebakan

dan dengan koreksi terhadap jawaban tebakan (Djemari Mardapi. 2008).

1) Penskoran tanpa koreksi terhadap jawaban tebakan

Untuk memperoleh skor dengan teknik penskoran ini digunakan rumus sebagai berikut:

Skor =

100

Keterangan:

B : banyaknya butir yang dijawab benar

N : banyaknya butir soal

Penskoran tanpa koreksi saat ini banyak digunakan dalam penilaian pembelajaran.

Namun teknik penskoran ini sesungguhnya mengandung kelemahan karena kurang

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925

183

mampu mencegah peserta tes berspekulasi dalam menjawab tes. Hal ini disebabkan

tidak adanya resiko bagi siswa ketika memberikan tebakan apapun dalam memilih

jawaban sehingga jika mereka tidak mengetahui jawaban mana yang paling tepat maka

mereka leluasa memilih salah satu pilihan secara sembarang. Benar atau salahnya

jawaban sembarang tidak menunjukkan kemampuan siswa. Semakin banyak jawaban

tebakan semakin besar penyimpangan skor dengan penguasaan kompetensi siswa yang

sesungguhnya.

2) Penskoran dengan koreksi terhadap jawaban tebakan

Untuk memperoleh skor siswa dengan teknik penskoran ini digunakan rumus sebagai

berikut:

Skor =

Keterangan

B : banyaknya butir soal yang dijawab benar

S : banyaknya butir yang dijawab salah

P : banyaknya pilihan jawaban tiap butir.

N : banyaknya butir soal

Butir soal yang tidak dijawab diberi skor 0.

Keunggulan teknik penskoran ini dibanding penskoran tanpa koreksi adalah teknik ini

lebih mampu meminimalisir spekulasi jawaban siswa. Jika siswa mengetahui jawaban

salah akan berdampak berkurangnya skor yang akan mereka dapatkan maka siswa akan

lebih hati-hati memilih jawaban. Jika siswa tidak memiliki keyakinan yang cukup tentang

kebenaran jawabannya, maka siswa akan memilih mengosongkan jawaban untuk

menghindari pengurangan.

Contoh 1.

Andaikan Rizki mengerjakan soal pilihan ganda sebanyak 30 butir dengan 4 alternatif

jawaban. Pekerjaan yang benar sebanyak 16 butir. Skor yang diperoleh Rizki dihitung

sebagai berikut

Skor =

=

= 37,777778

38

2.2 Penskoran bentuk uraian

Pedoman penskoran tes bentuk urian ada dua macam, yaitu pedoman penskoran analitik dan

penskoran holistic (Djemari Mardapi. 2008).

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925

184

a. Menggunakan penskoran analitik

Penskoran analitik digunakan untuk permasalahan yang batas jawabannya sudah jelas dan

terbatas. Biasanya teknik penskoran ini digunakan pada tes uraian objektif yang mana

jawaban siswa diuraikan dengan urutan tertentu. Jika siswa telah menulis rumus yang

benar diberi skor, memasukkan angka ke dalam formula dengan benar diberi skor,

menghasilkan perhitungan yang benar diberi skor, dan kesimpulan yang benar juga diberi

skor. Jadi, skor suatu butir merupakan penjumlahan dari sejumlah skor dari setiap respon

pada soal tersebut.

b. Menggunakan penskoran dengan skala global (holistik)

Teknik ini cocok untuk penilaian tes uraian non objektif. Caranya adalah dengan

membaca jawaban secara keseluruhan tiap butir kemudian meletakkan dalam kategori-

kategori mulai dari yang baik sampai kurang baik, bisa tiga sampai lima. Jadi tiap

jawaban siswa dimasukkan dalam salah satu kategori, dan selanjutnya tiap jawaban tiap

kategori diberi skor sesuai dengan kualitas jawabannya. Kualitas jawaban ditentukan oleh

penilai secara terbuka, misalnya harus ada data atau fakta, ada unsur analisis, dan ada

kesimpulan.

Penskoran soal uraian kadang menggunakan pembobotan. Pembobotan soal adalah

pemberian bobot pada suatu soal dengan membandingkan terhadap soal lain dalam suatu

perangkat tes yang sama. Pembobotan soal uraian hanya dilakukan dalam penyusunan

perangkat tes. Apabila soal uraian berdiri sendiri tidak dapat ditetapkan bobotnya. Bobot

setiap soal mempertimbangkan faktor yang berkaitan materi dan karakteristik soal itu

sendiri, seperti luas lingkup materi yang hendak dibuatkan soalnya, esensialitas dan tingkat

kedalaman materi yang ditanyakan serta tingkat kesukaran soal. Hal yang juga perlu

dipertimbangkan adalah skala penskoran yang hendak digunakan, misalnya skala 10 atau

skala 100. Apabila digunakan skala 100, maka semua butir soal dijawab benar, skornya 100;

demikian pula bila skala yang digunakan 10. Hal ini untuk memudahkan perhitungan skor.

Skor akhir siswa ditetapkan dengan jalan membagi skor mentah yang diperoleh dengan skor

mentah maksimumnya kemudian dikalikan dengan bobot soal tersebut. Rumus yang dipakai

untuk penghitungan skor butir soal (SBS) adalah :

SBS = x c

Keterangan SBS : skor butir soal

a : skor mentah yang diperoleh siswa untuk butir soal

b : skor mentah maksimum soal

c : bobot soal

Setelah diperoleh SBS, maka dapat dihitung total skor butir soal berbagai skor total siswa

(STP) untuk serangkaian soal dalam tes yang bersangkutan, dengan menggunakan rumus :

Keterangan STP : skor total peserta

SBS : skor butir soal

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925

185

Contoh 2. Bobot soal sama, dengan skala 0 sampai dengan 100

No. Soal

Skor Mentah

Perolehan

Skor Mentah

Maksimum

Bobot

Soal

Skor Bobot

Soal

(a) (b) (c) (SBS)

1 30 60 20 10,00

2 20 40 30 15,00

3 10 20 30 15,00

4 20 20 20 20,00

Jumlah 80 140 100 60,00 (STP)

Contoh 3. Bila STP tidak sama dengan Total Bobot Soal dan Skala 100

No. Soal

Skor Mentah

Perolehan

Skor Mentah

Maksimum

Bobot

Soal

Skor Bobot

Soal

(a) (b) (c) (SBS)

01 30 60 20 10.00

02 40 40 30 30.00

03 20 20 30 30.00

04 10 20 20 10.00

Jumlah 100 140 100 10.00 (STP)

Pada dasarnya STP merupakan penjumlahan SBS, bobot tiap soal sama semuanya. Contoh

ini berlaku untuk soal uraian objektif dan uraian non-objektif, asalkan bobot semua butir soal

sama.

Pembobotan juga digunakan dalam soal bentuk campuran, yaitu pilihan dan uraian.

Pembobotan soal bagian soal bentuk pilihan ganda dan bentuk uraian ditentukan oleh

cakupan materi dan kompleksitas jawaban atau tingkat berpikir yang terlibat dalam

mengerjakan soal. Pada umumnya cakupan materi soal bentuk pilihan ganda lebih banyak,

sedang tingkat berpikir yang terlibat dalam mengerjakan soal bentuk uraian biasanya lebih

banyak dan lebih tinggi.

Suatu ulangan terdiri dari N1 soal pilihan ganda dan N2 soal uraian. Bobot untuk soal pilihan

ganda adalah w1 dan bobot untuk soal uraian adalah w2. Jika seorang siswa menjawab benar

n1 pilihan ganda dan n2 soal uraian, maka siswa itu mendapat skor:

Misalkan, suatu ulangan terdiri dari 20 bentuk pilihan ganda dengan 4 pilihan dan 4 buah

soal bentuk uraian. Soal pilihan ganda dijawab benar 16 dan dijawab salah 4, sedang bentuk

uraian dijawab benar 20 dari skor maksimum 40. Apabila bobot pilihan ganda adalah 0,40

dan bentuk uraian 0,60, skor dapat dihitung:

a) Skor pilihan ganda tanpa koreksi jawaban dugaan: × 100 =80

b) Skor bentuk uraian adalah: ×100 = 50.

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925

186

c) Skor akhir adalah: 0,4 × (80) + 0,6 × (50) = 62.

3. Pengembangan Pedoman Penskoran

3.1 Langkah-langkah pengembangan pedoman penskoran

Ada tujuh langkah untuk mengembangkan pedoman penskoran, yaitu: menentukan tujuan,

mengidentifikasi atribut, menjabarkan karakteristik atribut, menentukan teknik penskoran,

menyusun pedoman penskoran, melakukan piloting/ujicoba terbatas, dan memperbaiki

pedoman penskoran menjadi pedoman siap pakai (Charlotte Danielson, 1997).

1) Menentukan tujuan

Tujuan akan mengarahkan pada langkah pengembangan selanjutnya. Tes dikembangkan

sesuai kebutuhan pengumpulan data aspek-aspek yang memang menjadi tujuan pengukuran.

Misalkan, akan dikembangkan pedoman penskoran tes uraian non objektif untuk mengukur

kemampuan pemecahan masalah siswa, akan berbeda dengan pedoman penskoran tes untuk

mengukur kreativitas berpikir. Tes untuk pengukuran kemampuan pemecahan masalah harus

mampu menggali informasi terkait kompetensi pemecahan masalah, antara memahami

masalah, merumuskan penyelesaian masalah, melaksanakan rencana penyelesaian masalah,

dan menarik kesimpulan. Begitu juga tes untuk mengukur pemahaman konsep, harus mampu

mengukur domain-domain tentang kreativitas berpikir, misal: berpikir lancar, luwes, orisinil,

terperinci, dan keterampilan menilai.

2) Identifikasi atribut secara spesifik yang ingin dinilai

Pada tahap ini harus diidentifikasi aspek-aspek apa saja yang akan menjadi fokus penilaian.

Jika tes untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah maka harus ditetapkan indikator-

indikator kunci kemampuan pemecahan masalah. Contoh lain, jika tes untuk mengukur

kemampuan kreativitas berpikir siswa, maka harus ditetapkan apa saja indikator kunci

kreativitas berpikir.

3) Menjabarkan karakteristik yang menggambarkan setiap atribut

Setelah atribut yang akan diukur secara jelas telah teridentifikasi, langkah selanjutnya adalah

menjabarkan karakteristik atribut tersebut. Karakteristik ini inilah yang selanjutnya akan

menjadi poin pencermatan utama dalam penetapan skor. Misalkan pada pedoman penskoran

tes untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah, karakteristiknya antara lain:

kemampuan memahami masalah, kemampuan merumuskan penyelesaian, kemampuan

melaksanakan penyelesaian, kemampuan menyimpulkan/menafsirkan penyelesaian

4) Menentukan teknik penskoran

Agar skor yang diperoleh dapat menggambarkan atribut yang diukur dengan baik, Anda

harus menentukan teknik penskoran yang tepat. Anda dapat memilih salah satu disesuaikan

kebutuhan, analitik atau holistik. Untuk penskoran tes uraian objektif menggunakan

pedoman penskoran analitik, sedang tes uraian non objektif menggunakan pedoman

penskoran holistik. Jika pada tes tersebut terdapat soal uraian objektif sekaligus non objektif,

maka dapat digunakan kedua teknik penskoran tersebut sesuai dengan masing-masing soal.

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925

187

5) Menyusun pedoman penskoran

Penyusunan pedoman penskoran disesuaikan dengan teknik penskoran yang digunakan. Jika

teknik penskoran menggunakan teknik penskoran analitik, langkah awalnya adalah membuat

kunci jawaban seluruh butir soal. Selanjutnya menentukan skor setiap soal. Skor setiap soal

ditetapkan dengan menetapkan skor setiap unit. Skor tiap butir diperoleh dengan menjumlah

skor semua unit. Penetapan skor juga perlu memperhatikan bobot masing-masing butir,

sehingga skor akhir mewakili secara proporsional keseluruhan dimensi yang diukur. Jika

Anda menggunakan teknik penskoran holistik, penyusunan penskoran dapat diawali dengan

menyusun atribut dan indikator kunci dari aspek yang diukur. Atribut dan indikator kunci

tersebut kemudian dirumuskan menjadi kategori-kategori untuk menentukan skor jawaban.

6) Piloting/ujicoba terbatas penggunaan pedoman penskoran

Piloting/ujicoba terbatas penggunaan pedoman penskoran dilakukan dengan

menggunakannya pada beberapa lembar jawaban siswa.

a. Dilakukan sendiri

Cermatilah aplikabilitas penskoran Anda, apakah bisa diterapkan atau tidak,

menyulitkan atau tidak, jelas atau tidak, konsisten atau tidak, dan hal-hal lain yang

berhubungan dengan keterbacaannya. Jika masih terdapat yang belum tepat, informasi

dari penggunaan terbatas ini digunakan untuk perbaikan.

b. Melibatkan orang lain

Ujicoba terbatas dapat dilakukan melibatkan teman guru lain. Mintalah teman Anda

mengoreksi lembar jawaban siswa yang Anda koreksi tadi dengan penskoran yang Anda

buat, sehingga diperoleh dua skor hasil koreksian. Hasil penskoran Anda dan teman

Anda kemudian dibandingkan. Jika ternyata terdapat perbedaan yang signifikan antara

skor hasil koreksi Anda dan teman Anda, dan perbedaan tersebut karena pedoman

penskoran yang kurang tepat, maka langkah perbaikan harus dilakukan berdasarkan data

temuan tersebut.

7) Memperbaiki pedoman penskoran

Perbaikan dilakukan berdasarkan informasi yang ditemukan pada piloting/ujicoba terbatas.

Perbaikan ini dapat meliputi penetapan skornya, redaksi, pembobotan, atau temuan lain yang

dipandang perlu untuk kebaikan dan kemudahan penggunaan pedoman penskoran tersebut.

3.2 Mengembangkan Pedoman Penskoran

1) Pedoman penskoran analitik

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa pedoman ini digunakan untuk tes bentuk uraian

objektif. Berikut salah satu contoh pengembangan pedoman penskoran analitik yang akan

digunakan sebagai pedoman penentuan skor tes untuk mengukur penguasaan kompetensi

peserta didik dalam menghitung volume benda berbentuk balok dan mengubah satuan

ukurannya. Misalkan indikator dan butir soalnya adalah sebagai berikut:

Indikator : Siswa dapat menghitung volum bak mandi berbentuk balok jika diketahui

panjang, sisi, dan tingginya serta mengubah satuan ukuran.

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925

188

Butir Soal : Sebuah bak mandi berbentuk balok berukuran panjang 150 cm, lebar 80

cm, dan tinggi 75 cm. Berapa literkah isi volum bak mandi tersebut?

Mencermati atribut dan karakteristiknya, teknik penskoran yang tepat pada pedoman

penskoran soal di atas adalah penskoran analitik karena batas jawaban sudah jelas dan

terbatas.

Setelah ditetapkan tujuannya, Anda harus menentukan atribut yang akan diukur, yaitu

penguasaan kompetensi menghitung volum benda berbentuk balok dan mengubah satuan

ukurnya. Atribut ini kemudian dijabarkan karakteristiknya menjadi aspek-aspek yang diukur,

misal: menentukan rumus yang akan digunakan, menghitung volum berdasar rumus yang

ditetapkan, dan mengubah satuan.

Langkah selanjutnya Anda membuat kunci jawaban secara lengkap diuraikan dengan

menurut urutan tertentu. Bila siswa telah menulis rumus yang benar diberi skor,

memasukkan angka ke dalam formula dengan benar diberi skor, menghasilkan perhitungan

yang benar diberi skor, dan kesimpulan yang benar juga diberi skor. Skor akhir diperoleh

dengan menjumlahkan skor setiap respon pada soal tersebut. Berikut contoh pedoman

penskorannya:

Sebelum Anda gunakan, ujicobakan pedoman penskoran di atas pada beberapa lembar

pekerjaan siswa untuk mengetahui aplikabilitasnya. Jika ada beberapa bagian yang

menyulitkan penggunaannya, perbaikilah sebelum digunakan untuk mengoreksi seluruh

lembar jawaban siswa. Tetapi jika sudah dapat digunakan dengan baik, Anda dapat langsung

menggunakan pedoman penskoran di atas sebagai pedoman mengoreksi seluruh lembar

jawaban siswa.

2) Pedoman penskoran holistik

Misalkan Anda akan mengembangkan pedoman penskoran tes untuk mengukur kemampuan

pemecahan masalah siswa berikut.

Contoh 1.

Enuk, Endah, dan Sunarto masing-masing membeli sebuah buku di koperasi sekolah.

Enuk membeli buku seharga Rp. 750,00, Endah membeli buku seharga Rp. 800,00,

Langkah Kunci Jawaban Skor

1 Isi Balok = panjang × lebar × tinggi 1

2 = 150 cm × 80 cm × 75 cm 1

3 = 900.000 cm3

Isi bak mandi dalam liter :

4 = liter 1

5 = 900 liter 1

Skor Maksimum 5

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925

189

dan Sunarto membeli buku seharga Rp. 850,00. Jika uang mereka masing-masing Rp.

1.000,00, berapakah keseluruhan sisa uang mereka bertiga?

Tujuan pengembangan penskoran ini jelas, yaitu sebagai pedoman penilaian pada

pengukuran kecakapan pemecahan masalah siswa. Setelah Anda menetapkan tujuan

penggunaan pedoman penskoran Anda, langkah selanjutnya adalah mengidentifikasi atribut

kemampuan pemecahan masalah. Lakukan kajian teoritik berbagai literatur sehingga

diperoleh gambaran jelas karakteristik kemampuan pemecahan masalah. Dari hasil kajian

tersebut, jabarkan karakteristik kemampuan pemecahan masalah sehingga bisa digunakan

sebagai poin pencermatan utama dalam penetapan skor.

Secara umum ada empat langkah memecahkan masalah, yaitu: memahami masalah,

membuat rencana pemecahan masalah, melaksanakan rencana pemecahan masalah, dan

membuat kesimpulan. Berikut salah satu alternatif pedoman penskoran yang dapat

digunakan:

Kriteria 0 1 2

Memahami masalah Tidak memahami

masalah

Kurang memahami

masalah

Mampu memahami

masalah

Merumuskan

pemecahan masalah

Tidak mampu

merumuskan

pemecahan

Mampu merumuskan

pemecahan, tetapi tidak

tepat

Mampu merumuskan

pemecahanan dengan

tepat

Melaksanakan

pemecahan masalah

Tidak mampu

melaksanakan

pemecahan masalah

Mampu melaksanakan

pemecahan masalah,

tetapi tidak tepat

Mampu melaksanakan

pemecahan masalah

Membuat

kesimpulan

Tidak mampu

membuat kesimpulan

Mampu membuat

kesimpulan, tetapi tidak

tepat

Mampu membuat

kesimpulan

Contoh 2:

Suatu segienam beraturan dan segitiga samasisi memiliki keliling yang sama. Berapa

perbandingan luas segienam beraturan dan segitiga samasisi tersebut!

Soal di atas dapat diselesaikan dengan beragam cara sehingga diperlukan pedoman

penskoran holistik. Berikut salah satu bentuk pedoman penskoran yang dapat digunakan.

Pedoman penskoran

KRITERIA SKOR

Menemukan cara menentukan perbandingan luas kedua bangun, tetapi cara penyelesaian

tersebut tidak benar 0,5

Menemukan cara menentukan perbandingan luas kedua bangun, cara penyelesaian tersebut

dapat digunakan menentukan perbandingan luas kedua bangun, tetapi tidak berhasil

menyelesaikannya sampai ditemukan jawaban yang tepat

1

Menemukan cara menentukan perbandingan luas kedua bangun, cara penyelesaian tersebut

dapat digunakan menentukan perbandingan luas kedua bangun, serta berhasil

menyelesaikannya sampai ditemukan jawaban yang tepat, tetapi jawaban yang dituliskan

kurang jelas dan kurang komunikatif

2,5

Menemukan cara menentukan perbandingan luas kedua bangun, cara penyelesaian tersebut 3

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925

190

dapat digunakan menentukan perbandingan luas kedua bangun, berhasil menyelesaikannya

sampai ditemukan jawaban yang tepat, dan jawabannya ditulis dengan jelas dan komunikatif

Untuk mempermudah penskoran hasil penyelesaian siswa, guru perlu memiliki alternatif

penyelesaian. Tentu alternatif penyelesaian ini tidak menjadi rujukan satu-satunya guru

mengkoreksi jawaban siswa. Alternatif ini hanya digunakan sebagai referensi sehingga

variasi cara penyelesaian siswa harus diakomodir dalam penskoran berdasarkan pedoman

yang telah disusun. Disinilah pentingnya pedoman holistik. Dengan pedoman penilaian

holistic, guru tetap dapat memberikan penghargaan yang lebih akurat dan berkeadilan untuk

seluruh siswa dengan masing-masing cara penyelesaiannya yang mungkin satu dengan yang

lain berbeda.

4. Kesimpulan

Pedoman penskoran merupakan pedoman menentukan skor pekerjaan siswa. Pedoman

penskoran bergantung bentuk soal yang digunakan guru. Penskoran tes bentuk pilihan ada

dua macam, yaitu: penskoran tanpa koreksi terhadap jawaban tebakan dan penskoran dengan

koreksi terhadap jawaban tebakan. Penskoran tes bentuk uraian juga ada dua macamyaitu

pedoman penskoran analitik dan pedoman penskoran holistik. Guru harus mampu

menentukan dengan tepat jenis penskoran yang akan dibuat sehingga pedoman penskoran

tersebut benar-benar dapat memberikan hasil yang akurat dan adil terhadap hasil siswa.

Daftar Pustaka

Charlotte Danielson. 1997. A Collection of Performance Task and Rubrics. Larchmont, NY: Eye on

Education

Djemari Mardapi. 2008. Teknik Penyusunan Instrumen Tes dan Non Tes. Yogyakarta: Mitra Cendikia

Offset

Permendikbud No. 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru

Permendikbud No. 66 Tahun 2013 tentang Standar Penilaian

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925

191

TEORI BELAJAR KONSTRUKTIVIS

PIAGET DAN VYGOTSKY

Sri Wulandari Danoebroto

PPPPTK Matematika, Yogyakarta; [email protected]

Abstrak. Teori perkembangan kognitif Piaget dan teori perkembangan sosiokultural

Vygotsky merupakan teori belajar yang banyak dirujuk oleh para guru matematika di

Indonesia. Kedua teori tersebut merupakan cikal bakal berkembangnya konstruktivisme.

Namun, bagaimana implikasi masing-masing teori dalam pembelajaran matematika dan

bagaimana kelemahan masing-masing teori jika diterapkan dalam pembelajaran

matematika? Untuk itu, artikel hasil studi literatur ini akan membahasnya dengan

meletakkan Indonesia sebagai kasus. Meskipun teori Piaget dan teori Vygotsky dapat

diterapkan dalam praktek pembelajaran matematika di Indonesia, namun masih

diperlukan kajian kritis dalam memahami dan memaknai teori tersebut. Dalam hal ini,

teori Piaget dan teori Vygotsky diaplikasikan melalui proses adaptasi dengan

memperhatikan konteks sosial budaya masyarakat Indonesia. Dengan demikian, harapan

akan suksesnya pendidikan matematika di Indonesia yang sekaligus memperkuat jati

diri bangsa dapat diwujudkan.

Kata Kunci. Teori Piaget, Teori Vygotsky, Konstruktivisme, Pembelajaran Matematika

1. Pendahuluan

Praktek pembelajaran matematika di Indonesia sangat dipengaruhi oleh teori belajar kognitif

dan teori belajar behavioral. Berbagai upaya telah dirintis untuk memperbaiki praktek

pembelajaran matematika dengan berpegang pada kedua aliran besar tersebut. Aliran teori

belajar kognitif diyakini sebagai suatu pembaharuan atau inovasi belajar yang diharapkan

dapat memperbaiki kualitas pendidikan matematika di Indonesia. Meskipun demikian, teori

belajar behavioral masih sangat mendominasi praktek pembelajaran matematika di sekolah

Indonesia.

Teori belajar yang banyak dirujuk dalam pembelajaran matematika di Indonesia adalah teori

perkembangan kognitif Piaget dan teori perkembangan sosiokultural Vygotsky. Tall (2013)

mengajukan skema teori belajar yang dikelompokkannya menjadi empat aliran yaitu

behavioris, kognitif, konstruktivis dan pendekatan sosial. Teori Piaget dan Vygotsky

ditempatkannya pada aliran konstruktivis, namun pada skema tersebut digambarkan garis

penghubung dengan aliran pendekatan sosial dan aliran kognitif. Aliran konstruktivis

dipandangnya memiliki kesamaan dengan pendekatan sosial serta terkait dengan aliran

kognitif. Teori Piaget dan Vygotsky memang menjadi cikal bakal berkembangnya

konstruktivisme, namun Vygotsky memiliki perhatian lebih dalam hal pengaruh lingkungan

sosial terhadap terbangunnya pengetahuan pada diri anak.

Intisari kedua teori tersebut hendaknya dipahami dengan baik oleh para guru agar upaya

untuk memperbaiki praktek pembelajaran dapat berjalan sesuai dengan harapan. Untuk itu

perlu dikaji lebih lanjut bagaimana implikasi dari masing-masing teori pada pembelajaran

matematika serta bagaimana kelemahan dari masing-masing teori jika diterapkan dalam

pembelajaran matematika.

Artikel ini merupakan studi literatur untuk membahas implikasi masing-masing teori pada

pembelajaran matematika dengan meletakkan Indonesia sebagai kasus. Dalam hal ini,

diberikan contoh matematika dalam budaya Jawa yang dipengaruhi oleh cara pandang

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925

192

masyarakat Jawa yang unik. Selanjutnya, akan dibahas kritik terhadap teori Piaget dan teori

Vygotsky untuk memperoleh penjelasan dan pemahaman yang lebih objektif.

2. Teori Perkembangan Kognitif Piaget

2.1 Implikasi Teori Perkembangan Kognitif dalam Pembelajaran Matematika

Matematika merupakan ilmu pengetahuan yang objek kajiannya bersifat abstrak sehingga

memerlukan penalaran deduktif untuk memahaminya. Oleh karena itu, belajar matematika

selalu dikaitkan dengan kesiapan kognitif. Dalam hal ini, belajar dipandang sebagai hasil

pencapaian dan perkembangan dari struktur kognitif. Kesiapan anak untuk belajar

matematika ditinjau dari kesiapan struktur kognitifnya, yaitu kapasitas kemampuan berpikir

secara terorganisir dan terkoordinir. Struktur kognitif diperlukan untuk mengembangkan

kemampuan penalaran yang dapat distimulasi melalui pengkajian matematis suatu objek.

Jadi, ada hubungan timbal balik antara kesiapan struktur kognitif dengan pengembangan

kemampuan penalaran dalam konteks belajar matematika.

Piaget terkenal dengan teori perkembangan kognitifnya. Ia memaparkan bahwa terkait

dengan perkembangan usia, maka kemampuan kognitif anak juga berkembang. Piaget

kemudian membagi perkembangan kognitif anak dalam empat tahap: (1) tahap sensori

motorik yaitu sejak lahir hingga anak berusia 2 tahun, (2) tahap praoperasional konkrit yaitu

sejak usia 2 tahun hingga 7 tahun, (3) tahap operasional konkrit yaitu sejak usia 7 tahun

hingga 11 tahun, dan (4) tahap operasional formal yaitu sejak usia 11 tahun dan seterusnya.

Perkembangan kognitif yang dipengaruhi oleh usia inilah yang kemudian menjadi acuan

guru-guru di Indonesia dalam mengajar matematika. Pemahaman bahwa anak-anak perlu

kapasitas struktur kognitif tertentu untuk mempelajari matematika pada tingkat tertentu

berimplikasi pada strategi mengajar guru. Misalnya, anak pada taraf berpikir operasional

konkrit maka materi matematika hendaknya dihadirkan melalui objek konkrit yang dapat

dimanipulasi oleh siswa. Dengan demikian, belajar matematika menurut teori Piaget perlu

disesuaikan dengan taraf perkembangan kognitif individu. Dalam kaitannya dengan

epistemologi, Piaget berpendapat bahwa anak membentuk pengetahuan melalui eksplorasi

lingkungan secara aktif. Problem pembelajaran matematika di Indonesia yang cenderung

individual dapat direduksi dengan mengelola pembelajaran yang memungkinkan anak untuk

berinteraksi sosial. Namun, guru harus mempertimbangkan jenis dan model interaksi yang

sesuai dengan taraf berpikir anak.

Meskipun teori Piaget dikenal sebagai teori perkembangan kognitif, ia juga memiliki

pandangan menarik tentang afektif. Menurut Piaget (Knud Illeris, 2004), semua skema

apapun pada waktu yang sama adalah afektif dan kognitif. Piaget juga mengungkapkan

bahwa kehidupan afektif seperti kehidupan kognitif, yaitu adaptasi berkelanjutan dan

keduanya tidak hanya paralel tetapi interdependen, karena perasaan mengekspresikan minat

dan memberikan nilai kepada tindakan serta kognitif yang menyediakan strukturnya. Suatu

contoh kasus yang dinyatakan oleh Piaget adalah tentang dua anak dan pelajaran aritmetika.

Salah satu anak tersebut menyukai aritmetika, sedang yang satunya lagi merasa tidak bisa

aritmetika dan mempunyai semua ciri-ciri anak yang lemah dalam matematika. Anak yang

pertama akan belajar lebih cepat, sedangkan yang kedua lebih lambat. Tapi bagi keduanya,

dua tambah dua sama dengan empat. Afektif tidak mempengaruhi struktur sama sekali.

2.2 Kritik Terhadap Teori Piaget

Meskipun belajar matematika dipandang sebagai hasil pencapaian dan perkembangan

kognitif, terdapat faktor lain yang mempunyai peran sangat signifikan yaitu motivasi dan

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925

193

emosi. Aspek emosi ini kurang mendapat perhatian oleh Piaget. Bagi Piaget emosi

merupakan interaksi yang positif, namun penelitiannya terkonsentrasi pada perkembangan

pengetahuan dan jarang menyentuh isu emosional (Knud Illeris, 2004).

Teori Piaget tentang perkembangan kognitif mendapat kritik antara lain dianggap

mengabaikan pengaruh interaksi sosial terhadap perkembangan manusia (Laurenco &

Machado, 1996:150). Kritik yang muncul dari para pengikut teori Vygotsky ini seiring

meningkatnya pandangan bahwa konteks sosial individu berpengaruh terhadap

perkembangan kognitifnya. Dalam hal ini, belajar hendaknya juga dipandang sebagai proses

perubahan individu dalam interaksinya dengan lingkungan sosial dan budaya. Dengan

demikian, belajar bukan sekedar hasil pencapaian dan perkembangan struktur kognitif.

Menurut Piaget (Wadsworth, 1984: 29) ada empat fakor yang mempengaruhi perkembangan

kognitif seseorang yaitu: pengalaman, kematangan, transmisi sosial dan equilibrasi atau

keseimbangan internal. Interaksi keempat faktor ini menjadi landasan bagi perkembangan

kognitif atau konstruksi struktur mental seseorang. Dalam pandangan Piaget sebagai ahli

biologi, maka kematangan dipengaruhi oleh usia. Namun apakah pengalaman, transmisi

sosial dan equilibrasi juga dipengaruhi oleh usia? Ketiga faktor tersebut merupakan faktor

eksternal sehingga seharusnya menjadi bersifat relatif karena tergantung bagaimana individu

itu berinteraksi. Dengan demikian, lingkungan sosial budaya juga memiliki andil dalam

perkembangan kognitif seseorang. Bila lingkungan sosial budaya diperhitungkan maka

kecepatan perkembangan kognitif antar individu pada usia yang sama dapat berbeda, hal ini

tergantung pada variasi dan intensitas pengalaman belajar anak melalui lingkungan

sekitarnya.

Teori Piaget sendiri sesungguhnya lebih cenderung pada pendekatan epistemologi yang

menggunakan perkembangan anak untuk memahami asal dan logika ilmu pengetahuan

ilmiah (Smith, 1995). Hal ini menjelaskan mengapa teori Piaget banyak dianut untuk

diterapkan dalam pembelajaran matematika, yaitu matematika dipandang sebagai ilmu

pengetahuan ilmiah yang melibatkan struktur kognitif dalam mempelajarinya. Teori belajar

matematika yang mengacu pada teori perkembangan kognitif Piaget cenderung mengabaikan

pengetahuan intuitif anak tentang matematika. Hal ini karena teori Piaget kurang

memperhitungkan adanya faktor sosial yang berpengaruh terhadap perkembangan kognitif

anak. Menurut Piaget (Starkey & Klein, 2014: 255), pengetahuan matematika anak tidak

akan muncul hinggga anak memasuki periode berpikir operasional konkrit yaitu usia sekitar

6 atau 7 tahun saat anak memasuki sekolah dasar. Padahal, Starkey & Klein (2014:254)

menyatakan bahwa perkembangan matematika hadir sejak titik awal kehidupan dan

berkembang pesat saat usia dini.

Jika Piaget berpendapat bahwa perkembangan kognitif anak dipengaruhi oleh kematangan

usia sehingga ia membagi tahap perkembangan kognitif anak berdasarkan pertumbuhan

biologis, maka Vygotsky mengemukakan bahwa perkembangan kognitif anak juga

dipengaruhi oleh interaksinya dengan lingkungan sosial budaya di mana anak itu tumbuh.

Berbeda dengan pemahaman Piaget tentang perkembangan anak, bahwa perkembangan

selalu mendahului pembelajaran sehingga kesiapan struktur mental merupakan hal yang

mutlak sebelum anak mampu mempelajari sesuatu, Vygotsky merasa bahwa pembelajaran

sosial mendahului perkembangan yang berarti melalui interaksi sosial anak dengan

lingkungannya maka hal ini akan mendorong anak untuk mampu mempelajari sesuatu.

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925

194

3. Teori Perkembangan Sosiokultural Vygotsky

3.1 Teori Perkembangan Sosiokultural Vygotsky terkait Berpikir Matematis

Perkembangan kognitif dalam pandangan Vygotsky diperoleh melalui dua jalur, yaitu proses

dasar secara biologis dan proses psikologi yang bersifat sosiobudaya (Elliot, et.al, 2000: 52).

Studi Vygotsky fokus pada hubungan antara manusia dan konteks sosial budaya di mana

mereka berperan dan saling berinteraksi dalam berbagi pengalaman atau pengetahuan. Oleh

karena itu, teori Vygotsky yang dikenal dengan teori perkembangan sosiokultural

menekankan pada interaksi sosial dan budaya dalam kaitannya dengan perkembangan

kognitif.

Perkembangan pemikiran anak dipengaruhi oleh interaksi sosial dalam konteks budaya di

mana ia dibesarkan. Menurut Vygotsky (Salkind, 2004: 278), setiap fungsi dalam

perkembangan budaya anak akan muncul dua kali yaitu pada mulanya di tingkat sosial dalam

hubungan antarmanusia atau interpsikologi, kemudian muncul di tingkat personal dalam diri

anak atau intrapsikologi. Hal ini berarti, perlu mengetahui proses sosial dan budaya yang

membentuk anak untuk memahami perkembangan kognitifnya.

Kemajuan perkembangan kognitif anak diperoleh sebagai hasil interaksi sosial dengan orang

lain. Orang lain di sini tidak selalu orangtua, melainkan bisa orang dewasa lain atau bahkan

teman sebaya yang lebih memahami tentang sesuatu hal. Dalam kaitannya dengan pemikiran

matematika, maka anak akan berkembang kemampuan berpikir matematisnya melalui

interaksinya dengan orang lain yang menguasai matematika dengan lebih baik.

Jika masyarakat atau setidaknya orangtua dalam keluarga telah membudayakan pemikiran

matematika dalam kegiatan sehari-hari, maka kondisi ini akan menyuburkan perkembangan

pemikiran matematika anak. Aplikasi ide-ide matematika melalui berpikir logis,

memperhitungkan dengan cermat, mampu menganalisis permasalahan dalam kehidupan

sehari-hari merupakan gambaran aktivitas keseharian yang menjadi budaya. Dalam konteks

budaya semacam ini maka menurut teori Vygotsky, kemampuan berpikir matematis anak

akan berkembang.

3.2 Implikasi Teori Perkembangan Sosiokultural pada Pembelajaran

Matematika

Teori perkembangan sosiokultural Vygotsky menekankan adanya pengaruh budaya terhadap

perkembangan kognitif anak. Anak akan mengembangkan kemampuan berpikirnya ke

tingkat yang lebih tinggi bila ia menguasai alat dan bahasa. Salah satu alat dan bahasa

tersebut adalah matematika. Pengembangan alat dan bahasa matematika dipengaruhi oleh

latar belakang sosial budaya. Hal ini berarti bahwa perkembangan pemikiran matematika

anak juga dipengaruhi oleh interaksi sosial dalam konteks budaya di mana ia dibesarkan.

Implikasi hal ini pada pendidikan adalah upaya untuk mempelajari matematika dilakukan

melalui pembelajaran sosial dengan menggunakan konteks budaya anak. Hal ini akan

memungkinkan terjadinya proses belajar bertahap dan bermakna. Anak belajar secara

bertahap mulai dari materi matematika yang mudah ke yang sulit, mulai dari materi

matematika yang konkrit menuju ke yang abstrak. Anak belajar matematika melalui

bimbingan dan bantuan orang lain yang lebih memahami. Anak belajar matematika sesuai

dengan lingkungan budayanya akan memberikan pemahaman yang bermakna baginya.

Jean Schmittau (Salkind, 2004: 287-288) melakukan penelitian mengenai penerapan

pendekatan Vygotsky pada pembelajaran matematika. Pendekatan ini diadaptasinya dari

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925

195

penerapan teori Vygotsky di sekolah Rusia pada pembelajaran matematika di mana anak

tidak sekedar diajarkan pengetahuan matematika melainkan belajar bagaimana caranya

belajar matematika. Hal ini kemudian diterapkan dalam program sekolah di Susquehanna,

New York. Hasilnya menunjukkan bahwa anak dapat menguasai matematika dengan baik

meskipun sebelumnya ia lemah pada mata pelajaran tersebut. Belajar mengenai bagaimana

caranya belajar merupakan kemampuan penting untuk dikuasai anak. Melalui hal ini anak

akan memiliki daya untuk mengembangkan pengetahuannya sendiri. Terkait dengan

pemikiran matematika, maka matematika bukanlah diajarkan sebagai produk melainkan

sebagai proses berpikir yang dapat direkonstruksi.

Terdapat beberapa pendapat Vygotsky yang berimplikasi terhadap pembelajaran matematika,

yaitu pandangan Vygotsky tentang perlu adanya sumber belajar lain untuk memudahkan

siswa belajar matematika serta materi matematika yang sesuai dengan kapasitas siswa.

Vygotsky memberinya istilah More Knowledgable Other (MKO) atau orang lain yang lebih

tahu dan Zone of Proximal Development (ZPD) atau zona perkembangan terdekat. MKO

mengacu kepada siapa saja yang memiliki pemahaman yang lebih baik atau tingkat

kemampuan lebih tinggi dari siswa, pemahaman yang lebih baik ini sehubungan dengan

tugas tertentu, proses, atau konsep yang sedang dipelajari oleh siswa. MKO biasanya

dianggap sebagai seorang guru, pelatih, atau orang dewasa yang lebih tua, tetapi MKO juga

bisa menjadi teman sebaya, orang yang lebih muda, atau bahkan komputer atau media

belajar lainnya.

Zone of Proximal Development (ZPD) adalah jarak antara kemampuan siswa untuk

melakukan tugas di bawah bimbingan orang dewasa dan atau dengan kolaborasi teman

sebaya dan pemecahan masalah secara mandiri sesuai kemampuan siswa. Menurut

Vygotsky, pembelajaran terjadi di zona ini. Implikasinya dalam pembelajaran matematika

adalah ZPD dapat berguna dalam menjembatani antara berpikir konkrit dan berpikir abstrak.

Pada umumnya siswa mengalami kesulitan dalam memahami matematika yang abstrak,

kemampuan tersebut dapat didorong melalui interaksi sosial melalui ZPD.

Teori Vygotsky tidak hanya potensial bagi terbangunnya pengetahuan matematika pada diri

anak, tetapi teori ini dipandang potensial dalam membangun kemampuan berpikir matematis

dan membentuk sikap positif terhadap matematika (Taylor, 1992:9). Sikap positif terhadap

matematika terkait dengan self-esteem siswa dalam mempelajari matematika, hal ini

mungkin terbangun melalui interaksi sosial. Selanjutnya Taylor (1992:15) mengajukan

model perkembangan sikap (attitude) terhadap matematika yang dipengaruhi oleh beberapa

faktor termasuk di dalamnya terkait dengan ZPD dari Vygotsky, teori belajar sosial dari

Bandura dan kecerdasan ganda dari Howard Gardner.

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925

196

Gambar 1 Model Mathematical Attitude

Pada model Mathematical Attitude (Gambar 1), Taylor menempatkan attitude sebagai pusat

yang dipengaruhi oleh pemikiran, tindakan dan perasaan. Dalam hal ini, attitude atau sikap

diartikan sebagai wujud dari pemikiran, tindakan dan perasaan individu yang di antara

ketiganya juga saling mempengaruhi. Selanjutnya, terkait dengan teori Vygotsky maka

attitude dipengaruhi oleh lingkungan sosial budaya di mana hal itu terjadi dalam dua tahap

yaitu pada tahap sosial atau antara pribadi dan tahap individual atau saat internalisasi dalam

diri. Dalam kaitannya dengan ZPD, interaksi yang signifikan tersebut berfungsi untuk

menjembatani pengalaman, selanjutnya terdapat meta-awareness yang melibatkan kesadaran

individu dalam merefleksikan apa yang dipikirkan, dirasakan dan dilakukan. Proses ini

berlangsung terus menerus. Oleh karena itu, seorang individu dapat berulang kali

menjembatani ZPD-nya ke keadaan meta-awareness dan kemudian memiliki sikap yang

dikembangkan lebih lanjut.

3.3 Kritik terhadap teori Vygotsky

Teori Vygotsky dikenal dengan teori perkembangan sosiokultural, namun kritik justru datang

dari kaum sosiokulturalis saat ini. Meskipun Vygotsky menyatakan bahwa perkembangan

kognitif dipengaruhi oleh lingkungan sosial budaya, namun Vygotsky dan Piaget sama-sama

gagal dalam mengaitkan perkembangan kognitif dengan konteks sosial. Pandangan kaum

sosiokulturalis saat ini adalah perkembangan kognitif tertanam atau menyatu dalam konteks

sosial di mana individu itu berada, sehingga pemisahan antara konteks sosial dan

perkembangan kognitif merupakan hal yang mustahil, dengan demikian tidak mungkin dapat

memberikan pengaruh.

Vygotsky sama halnya dengan Piaget yang beranggapan bahwa perkembangan individu

bersifat universal, bergerak maju dalam satu arah, melalui mekanisme yang universal tanpa

mempertimbangkan konteks di mana keterampilan itu digunakan atau bersifat independen

terhadap konteks, etnosentris atau kurang dalam nilai dan praktek yang lain (tatanan

masyarakat), serta anak-anak dipandang kurang mampu belajar tanpa bimbingan orang

dewasa atau adultocentris (Matusov dan Hayes, 2000). Piaget dan Vygotsky memaknai

Environment

Culture

Other People

ATTITUDE Acting

Feeling

Thinking

Meta-awareness

Zone of Proximal Development

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925

197

perkembangan sebagai proses menurunkan kesenjangan antara struktur mental/fungsi dengan

tindakan individu dan norma-norma, namun Piaget melihat proses itu sebagai saintifik logis

dan Vygotsky melihatnya sebagai proses mediasi budaya. Meski Vygotsky dan Piaget sama-

sama berpendapat bahwa interaksi sosial diperlukan dalam perkembangan kognitif namun

Piaget fokus pada relasi sosial antar individu dalam suatu aktivitas dan konsekuensinya pada

perkembangan anak, sementara Vygotsky lebih tertarik pada mediasi perkembangan anak, di

mana kedua fokus ini dihargai oleh kaum sosiokulturalis saat ini.

Dengan demikian, Piaget dan Vygotsky sama-sama menekankan peran masyarakat, budaya,

dan lembaga dalam perkembangan anak. Namun, mereka menempatkan peran-peran ini

secara berbeda yaitu relasional dibandingkan mediasional. Piaget lebih terfokus pada

hubungan simetri dan asimetri dalam mempromosikan atau menghambat perkembangan

individu. Vygotsky berfokus lebih lanjut tentang meditasi semiotik dan alat sebagai cara

budaya dan lembaga membentuk perkembangan anak. Sementara dari perspektif

sosiokultural, perkembangan melibatkan transformasi partisipasi individu dalam aktivitas

sosial budaya daripada sekedar suatu perubahan dalam struktur tindakan individu (seperti

dalam teori Piaget) atau berkembangnya penguasaan individu terhadap alat, simbol (seperti

matematika), dan penggunaan bahasa (seperti dalam teori Vygotsky). Partisipasi dalam

pandangan kaum sosiokulturalis tidak hanya bersifat individu tetapi juga melibatkan

lingkungan sosial, di mana hal ini melibatkan negosiasi dari kontribusi individu dalam

aktivitas.

4. Kesimpulan

Vygotsky dan Piaget merupakan kaum universalis yang percaya bahwa rasionalitas, logika,

dan prinsip-prinsip berpikir ilmiah dapat diterapkan secara universal untuk semua

perkembangan individu di semua masyarakat (Smith, 1995). Hal ini ditunjukkan dengan

bagaimana Vygotsky tertarik untuk mempelajari masyarakat dengan budaya tradisional,

untuk menjadi bagian dari masyarakat yang secara historis dipandang lebih maju, misalnya

masyarakat intelektual barat (Matusov, 1998). Dalam hal ini, yang terjadi adalah

dekontekstualisasi, di mana konteks sosial budaya individu menjadi diabaikan tatkala sudut

pandang yang digunakan untuk memahami mereka menggunakan sudut pandang barat

(western).

Contoh kasus adalah masyarakat Jawa di Indonesia yang memiliki pola pikir tentang objek

pengetahuan dan cara memperoleh pengetahuan secara unik. Masyarakat Jawa menggunakan

filsafat othak athik mathuk yang menunjukkan kecenderungan berpikir spekulatif, di mana

spekulasi tidak didasarkan pada analisis logis saja tetapi menggunakan intuisi. Pola pikir

Jawa merupakan bentuk penalaran yang lebih didasarkan pada penghayatan dan pengamalan

daripada sistematisasi rasional logisnya (Endraswara, 2012;45). Pola pikir ini berimplikasi

pada cara mereka dalam memperoleh pengetahuan yang lebih cenderung secara intuitif.

Reksosusilo (2006:193) berpendapat bahwa filsafat atau cara berpikir orang Jawa tidak

mengarah kepada pengetahuan dalam arti menerima dan meneliti dengan indera, akal budi,

melalui logika yang ketat dan sistematis, tetapi melalui rasa cocok yang dilatih dalam olah

rasa batin yang mendalam, kemudian menjadi pengetahuan intuitif yang dalam. Cara

memperoleh pengetahuan sebagaimana pandangan Piaget dan Vygotsky yang diklaimnya

universal kurang mengakomodasi pentingnya intuisi anak. Keselarasan antara intuisi,

rasional logis dan olah rasa berupa apresiasi pada lingkungan merupakan alat-alat penting

yang seharusnya perlu distimulasi agar proses belajar anak dapat optimal.

Meskipun teori Piaget dan teori Vygotsky dapat diterapkan dalam praktek pembelajaran

matematika di Indonesia, namun masih diperlukan kajian kritis dalam memahami dan

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925

198

memaknai teori tersebut. Dalam hal ini, teori Piaget dan teori Vygotsky diaplikasikan

melalui proses adaptasi dengan memperhatikan konteks sosial budaya masyarakat Indonesia.

Dengan demikian, harapan akan suksesnya pendidikan matematika di Indonesia yang

sekaligus memperkuat jati diri bangsa dapat diwujudkan.

Daftar Pustaka

Elliot, S.N et al. (2000). Educational psychology: Effective teaching, effective learning 3rd

Edition.

Boston: McGraw-Hill Higher Education.

Knud Illeris. 2004. The three dimensions of learning. Florida: Krieger Publishing.

Laurenco, O & Machado, A. (1996). In Defense of Piaget’s Theory: A Reply to 10 Common

Criticisms. Psychological review Vol 103 No 1 hal 143-164.

Matusov, E & Hayes, R. (2000). Sociocultural critique of Piaget and Vygotsky. New Ideas in

Psychology No 18 pp 215-239. Diunduh dari www. Elsevier.com/locate/newideapsych pada

tanggal 24 Maret 2014.

Salkind, N.J. (2004). An introduction to theories of human development. London: Sage Publications,

Inc.

Smith, L. (1995). Introduction to Piaget's sociological studies. In J. Piaget, Sociological studies (pp. 1-

22). London, New York: Routledge.

Suwardi Endraswara. (2012). Falsafah hidup Jawa. Yogyakarta: Cakrawala

S. Reksosusilo. (2006). Telaah buku: Falsafah Hidup Jawa dalam Studia philosophica et theologica,

Vol 6 No 2 Oktober hal 187-194

Tall, David. (2013). Integrating History, Technology and Education in Mathematics. Paper presented

at História e Tecnologia no Ensino da Matemática July 15, Universidade Federal de São

Carlos, Brazil.

Taylor, L. (1992). Mathematical Attitude Development from a Vygotskian Perspective. Mathematics

Education Research Journal, Vol. 4, No.3,hal 8-23.

Wadsworth, B. J. (1984). Piaget’s theory of cognitive and affective development (3rd

ed). New York:

Longman.Publishing.