regulatory framework for infrastructure …
TRANSCRIPT
REGULATORY FRAMEWORK
FOR INFRASTRUCTURE DEVELOPMENT (Studi Kasus: Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan)
Diklat Reform Leader Academy (RLA) Angkatan IILembaga Administrasi Negara Republik Indonesia2015
Bogor,
28 Oktober 2015
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan YME, karena berkat rahmat dankaruniaNya kami dapat menyelesaikan Laporan Diklat RLA Angkatan II Tahun 2015.
Laporan akhir ini disusun sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh peserta DiklatRLA sebagai bagian kontribusi pemikiran guna mendorong percepatan reformasi birokrasi. Sesuaidengan tema, peserta Diklat RLA Angkatan II Tahun 2015, dengan tema strategik BusinessRegulatory Framework, dengan fokus pembahasan percepatan pembangunan infrastrukturketenagalistrikan.
Pada kesempatan ini kami menyampaikan terima kasih kepada seluruh Pimpinan dansegenap pejabat serta Penyelenggara Diklat RLA yang telah memberikan kesempatan kepadakami untuk mengikuti Diklat ini sampai dengan selesai dan banyak sekali ilmu pengetahuanyang telah kami dapatkan. Tak lupa kami juga mengucapkan terima kasih dan penghargaankepada para fasilitator dan mentor yang telah mendampingi dan membimbing kami semuasehingga kami dapat mengikuti setiap tahap pembelajaran, Civil Sevice College (CSC) danTemasek Institute Singapore yang mendukung terlaksananya studi banding, dan juga paranarasumber/instansi sumber yang membantu mendalami kami memahami permasalahan secarakomprehensif.
Akhirnya kami mengharapkan kiranya para alumni dapat meningkatkan danmengembangkan kompetensi yang telah didapatkan selama mengikuti Diklat dan diberikankesempatan mengiplementasikan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan yang dimiliki gunamenyukseskan refomasi birokrasi pada masing-masing Kementerian/Lembaga pada khususnyadan umumnya untuk membangunan dan mewujudkan birokrasi nasional.
Jakarta, November 2015
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
EXECUTIVE SUMMARY
Bab I Pendahuluan
A. Latar Belakang
B. Permasalahan
C. Tujuan dan Kegunaan
Bab II Metodologi
Bab III Perencanaan Strategis & Pembiayaan
A. Pengantar
B. Analisis
C. Rekomendasi
Bab IV Perizinan
A. Pengantar
B. Analisis
C. Rekomendasi
Bab V Penyediaan Lahan
A. Pengantar
B. Analisis
C. Rekomendasi
Bab VI Kesimpulan & Rekomendasi
A. Kesimpulan
B. Rekomendasi
Bab VII Penutup
Lampiran-lampiran
11/20/2018 4
PENDAHULUAN
Reformasi birokrasi merupakan kegiatan strategis dan dilakukan secara berkelanjutan.Guna menjaga kesinambungan proses reformasi birokrasi diperlukan upaya yang terencana,sungguh-sungguh dan komprehensip. Kementerian PAN & RB sebagaimana tugas dan fungsinyamemiliki tugas untuk mendorong terciptanya reformasi birokrasi pada Kementerian/Lembaga danPemerintah Daerah sebagaimana tertuang dalam grand desain dan road map reformasi birokrasi.Agar pelaksanaan reformasi birokrasi berjalan sesuai dengan yang diharapkan maka diperlukanpemimpin refromasi birokrasi yang diwujudkan melalui penyelenggaraan Pendidikan dan PelatihanKepemimpinan Reform Leader Academy (RLA). RLA Angkatan 2 Tahun 2015 yang bertujuan untukmencetak Pimpinan yang dapat mengelola perubahan secara terpadu, sistematis dan sinergisdalam rangka mewujudkan pemerintahan kelas dunia. 24 Peserta dari lintas kementerian danPemerintah Daerah Provinsi Jawa Tengah telah terpilih.
Adapun tema Diklat RLA adalah Business Regulatory Framework, dengan tema khususyaitu Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan, dengan pendalaman kasusPembangunan PLTU Batang yang menggunakan skema Public Private Partnership (PPP) sebagaikajian kebijakan. Berdasarkan tema tersebut, RLA telah melakukan due process, baik daripemahaman regulasi dan pendalaman permasalahan melalui pemaparan narasumber, diskusidengan institusi sumber/ narasumber, kuesioner kecil, studi pustaka, dan juga pelaksanaan studibanding dengan praktik yang dilakukan pemerintah Singapura. Proses tersebut tersebutditindaklanjuti dengan diskusi mengenai alternatif penyelesaian permasalahan dan rekomendasikebijakan. Disamping itu yang tidak kalah pentingnya adalah aspek perizinan dan pengadaan lahanyang juga menjadi permasalahan yang sering ditemui dalam proses pembangunan infrastrukturketenagalistrikan.
Aspek perencanaan strategis dan pembiayaan, melihat pelaksanaan Perpres No. 38 Tahun2015 sebagai perubahan dari aturan sebelumnya, Pemerintah harus melihat pelibatan peranbadan usaha dalam pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan melalui skema PPP dalamkacamata yang lebih sederhana tetapi dengan konsepsi yang jelas. PPP adalah kontrak kerjasamaantara Pemerintah, dalam hal ini diwakili oleh Kementerian/Lembaga atau Pemerintah Daerah(bukan BUMN) atas pengadaan layanan yang merupakan tanggungjawab pemerintah denganpenyedia layanan dari badan usaha dalam kurun waktu tertentu. Pihak badan usaha harusmenyediakan layanan sesuai yang diperjanjikan melalui penyediaan/pembangunan infrastrukturtertentu.
PPP sebagai mekanisme penyediaan (procurement) yang berbeda dengan mekanismepengadaan konvensional sehingga lebih merupakan tanggungjawab pengguna anggaran padatahap pelaksanaan anggaran. Unit-unit yang belum siap melakukan proses procurement secaraValue for Money (VfM) dapat dibantu oleh unit pengadaan di pusat. Kementerian Keuangan harusdapat me-lead kebijakan dan petunjuk teknis PPP, termasuk pengawasan PPP unit yang didukungoleh berbagai ahli keuangan, hukum, dan pengelolaan risiko. PPP unit juga berperan untukmembantu pihak terkait lainnya dalam penilaian usulan project PPP. Secara khusus, MenteriKeuangan harus dapat membangun berbagai skema dan juga mengharmonisasikan skema-skemayang ada sehingga dukungan pembiayaan, yang langsung atau tidak langsung, dapat mempercepatpembangunan infrastruktur ketenagalistrikan.
Sedangkan dari aspek pengadaan lahan, kajian awal memperlihatkan bahwa pengadaanlahan merupakan permasalahan yang sangat krusial dalam pembangunan infrastrukturketenagalistrikan. UU No 2 Tahun 2012 telah mulai diterapkan. Berdasarkan pendalamanpermasalahan, Pemerintah perlu menegaskan kewenangan dan proses pembebasan lahan. Badanusaha berhak memperoleh hak guna atas lahan dalam kurun waktu tertentu. Apabila terdapatkesulitan pembebasan lahan oleh badan usaha, peran pemerintah melalui unit pembebasan lahanyang ditunjuk untuk dapat melaksanakannya. Kajian juga menyampaikan perlunya pemerintahmengkaji pembentukan Bank (lembaga pembiayaan dan pengelolaan) Tanah berbasis undang-undang untuk tujuan pembangunan infrastruktur nasional.
Selanjutnya apabila dilihat dari aspek Perijinan, Pemerintah telah menggulirkan praktikkantor layanan satu pintu (one stop service) akan tetapi efektifitas kantor layanan tersebut perludidukung dengan kejelasan konsep penempatan tugas kementerian/lembaga teknis ataupemerintah daerah di unit layanan tersebut. Layanan bersama perlu didukung dengan kordinasisecara sistem elektronik dengan unit di masing-masing kementerian/lembaga teknis ataupemerintah daerah sehingga praktik baik one stop service atau one (single) window bagi layananijin operasi usaha ketenagalistrikan sebagaimana diatur dalam UU No. 30 Tahun 2009 dapatterwujud. Dalam prakteknya komitmen Pemerintah untuk percepatan perizinan belum dapatberjalan dengan optimal, sehingga perlu upaya lain guna mendorong terwujudnya komitmenpemerintah dalam mendorong investasi melalui penyederhanaan perizinan yang terus berlanjut.
Sebagai bentuk tanggung jawab dan kontribusi , RLA angkatan 2 dengan segalaketerbatasan yang dimiliki berusaha seoptimal mungkin untuk menyusun rekomendasi sebagaibagian dari usulan langkah perbaikan dalam langkah reformasi birokrasi. Kajian ini akanmelengkapi berbagai kajian terkait pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan nasional yangtelah dan sedang dilakukan lembaga lainnya. Rekomendasi Kebijakan yang diberikan akanberpengaruh kepada berbagai ketentuan yang telah dibuat sebelumnya. Yang menjadi pointutama dari RLA ini adalah masing-masing kementerian negara/lembaga dan pemerintah daerahdapat berkoordinasi dan bersinergi untuk melaksanakan dan menyelesaikan tantangan birokrasiterkait pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan nasional. Langkah ini akan menuju BirokrasiIndonesia yang antisipatif, proaktif, dan efektif dalam menghadapi globalisasi dan dinamikaperubahan lingkungan strategis. Semangat RLA ini menjadi dasar untuk penyelesaian programprioritas nasional lainnya, sebagaimana tercantum dalam Nawacita. Terwujudnya kemandiriandan ketahanan energi guna mendukung pembangunan nasional yang berkelanjutan bukanlahmimpi.
Bab I Pendahuluan
1. REVOLUSI MENTAL
“Dari birokrasi kekuasaan
menjadi birokrasi melayani”
2. STOP PEMBOROSAN
“Melakukan gerakan
Penghematan Nasional”
3. MORATORIUM
“Dilakukan secara selektif
sesuai kebutuhan”
3 PESAN
TERKAIT REFORMASI
BIROKRASI
11
1. Makro : KerangkaRegulasi Nasional
UU Kementerian NegaraUU Pelayanan PublikUU Aparatur Sipil NegaraUU Administrasi PemerintahanRUU Sistem Pengawasan Internal Pemerintah
9 Program Percepatan Reformasi Birokrasi
1. Penataan Struktur Organisasi Pemerintah
2. Penataan Jumlah dan Distribusi PNS
3. Pengembangan Sistem Seleksi dan Promosi Secara
Terbuka
4. Peningkatan Profesionalisasi PNS
5. Pengembangan Sistem Pemerintahan Elektronik yang
terintegrasi
6. Peningkatan Pelayanan Publik
7. Peningkatan Integritas dan Akuntabilitas Kinerja Aparatur
8. Peningkatan Kesejahteraan Pegawai Negeri
9. Peningkatan Efisiensi Belanja Aparatur2. Mikro : Program/kegiatanpd tingkat Instansi(K/L dan Pemda)
8 Area Perubahan
Manajemen Perubahan, SDM,
Kelembagaan, TataLaksana,
Pengawasan, Akuntabilitas, Peraturan,
Yanlik
Referensi: Deputi SDM Aparatur – KemenPAN&RB
Organisasi
•Organisasi yang tepat fungsi dan tepat ukuran
Tatalaksana
• Sistem, proses dan prosedur kerja yang jelas, efektif, efisien, terukur dan sesuai prinsip-prinsip good governance
Peraturan Perundang-undangan
•Regulasi yang lebih tertib, tidak tumpang tindih dan kondusif
Sumber Daya Manusia Aparatur
• SDM aparatur yang berintegritas, netral, kompeten, capable, profesional, berkinerja tinggi dan sejahtera
Pengawasan
•Meningkatnya penyelenggaraan pemerintahan yang bebas KKN
Akuntabilitas
•Meningkatnya kapasitas dan kapabilitas kinerja birokrasi
Pelayanan publik
•Pelayanan prima sesuai kebutuhan dan harapan masyarakat
Mindset dan cultural Set Aparatur
•Birokrasi dengan integritas dan kinerja yang tinggi
8 AREA PERUBAHAN RB
Kedaulatan energy merupakan salah satu komponen pentingdalam mewujudkan Nawa Cita, yaitu dalam hal meningkatkanproduktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional, sertamewujudkan kemandirian ekonomi.
Rasio Elektrifikasi (RE) Nasional adalah Salah satu faktor yangberkontribusi terhadap kedaulatan energy.
Pada akhir tahun 2012, rasio tersebut masih 75,56 %, dan targetsasaran 2015-2019 adalah 100% (dibawah negara Singapura,Brunei, Malaysia , Thailand, Vietnam, Filipina dan Laos).
Penyebab belum tercapainya target RE salah satunya adalahterbatasnya infrastruktur energi listrik baik dari segi jumlah,kualitas dan keandalannya.
Kurun waktu 2015-2019, dalam rangka memenuhi kebutuhanenergy nasional, Pemerintah merencanakan penambahankapasitas pembangkit listrik 35.519 MW.
The Investment Coordinating Board of the Republic of Indonesia
14
Peluang Investasi: RPJMN 2015-2019
Pembangkit ListrikPeluang investasi senilai Rp 435 triliun ditawarkan ke sektor swasta.
Target Pembangunan2015-2019:
35 GW
Sektor SwastaPembangkit: 18.2 GW
Transmisi: 360 km
InvestasiRp 435 trilliun
PT PLNPembangkit: 16.8 GW
Transmisi: 50,000 kmSaluran distribusi: 150,000 km
InvestasiRp 545 triliun
56%
3%
26%
9%6%
Steam
Geothermal
Natural Gas and Steam
Natural Gas/Natural Gas Machine
Hydro/Minihydro
Komposisi Energi
Nasional
2015-2019
URGENSI REFORMASI REGULASI DI INDONESIA
KONDISI REGULASI INDONESIA
Jumlah Perda Sejak Era Reformasi hingga saat ini
Sumber : diolah dari situs Kemendagri, per 8 Sept 2015
STRATEGI NASIONAL
PETA JALAN (ROAD MAP) STRATEGI NASIONAL
Adapun Peta Jalan merupakan tolok ukur bagi langkah-langkah pelaksanaan
Strategi Nasional yang langsung berdampak bagi pencapaian sasaran
pembangunan nasional. Indikator yang digunakan dalam peta jalan Strategi
Nasional Reformasi Regulasi tersebut didorong untuk membenahi regulatory
quality (kualitas regulasi) dan juga burden of government regulation (beban
regulasi dari pemerintah kepada masyarakat).
1. Beban regulasi dari pemerintah (Burden of government regulations )
2. Besarnya efek perpajakan (Extent and effect of taxation)
3. Kelaziman/kelayakan terkait hambatan perdagangan (Prevalence of Trade Barriers )
4. Intensitas Kompetisi antar Daerah (Intensity of Local Competition )
5. Kemudahan untuk memulai bisnis/usaha (Ease of starting a new business)
6. Efektivitas kebijakan anti-trust (Effectiveness of anti trust policy)
7. Pengetatan regulasi berbasis lingkungan (Stringency of environmental regulations)
Indikator nasional tersebut merupakan penyetaraan dari kedua indikator (regulatory
quality dan burden of government regulation), yang terdiri dari sub-indikator
pengukuran sebagai berikut:
Kedaulatan energy merupakan salah satu komponen penting dalammewujudkan Nawa Cita, yaitu dalam hal meningkatkan produktivitas rakyatdan daya saing di pasar internasional, serta mewujudkan kemandirianekonomi. Rasio Elektrifikasi (RE) Nasional adalah Salah satu faktor yangberkontribusi terhadap kedaulatan energy.
Pada akhir tahun 2012, rasio tersebut masih 75,56 %, dan targetsasaran 2015-2019 adalah 100% (dibawah negara Singapura, Brunei, Malaysia ,Thailand, Vietnam, Filipina dan Laos). Penyebab belum tercapainya target REsalah satunya adalah terbatasnya infrastruktur energi listrik baik dari segijumlah, kualitas dan keandalannya. Kurun waktu 2015-2019, dalam rangkamemenuhi kebutuhan energy nasional, Pemerintah merencanakanpenambahan kapasitas pembangkit listrik 35.519 MW.
Program percepatan dan pemenuhan pembangkit listrik nasional dapatberjalan apabila terdapat sinergitas antara perencanaan strategis danpembiayaan, penyediaan lahan dan percepatan proses perizinan. Di beberapatitik dalam kenyataannya ternyata masih ditemui berbagai permasalahan.
Aspek perencanaan strategis dan pembiayaan, masih menujukkanbahwa skema PPP/KPBU belum berhasil sebagaimana yang diharapkan danpemerintah telah menerbitkan berbagai ketentuan tetapi belum dapatmemberikan solusi untuk percepatan pembangunan infrastruktur melaluidukungan perencanaan dan pembiayaan yang baik.
Dari aspek perizinan, pemerintah telah membuat langkah-langkahkebijakan guna mempercepat proses penyelesaian perizinan. Namun langkahkebijakan tersebut belum dapat sepenuhnya dapat memberikan hasil sesuaidengan yang diharapkan, sehingga permasalahan waktu peizinan, tumpangtindihnya perizinan, kewenangan kelembagaan termasuk pengelolaan SDM-nya perlu mendapatkan perhatian secara komprehentif.
Sedangkan dari aspek pengadaan lahan, memperlihatkan bahwapengadaan lahan merupakan masalahan yang sangat krusial dalampembangunan infrastruktur ketenagalistrikan. UU No 2 Tahun 2012 telah mulaiditerapkan. Namun, kurangnya ketegasan dan peran Pemerintah dalam prosespembebasan lahan pada akhirnya dapat menghambat tujuan pembangunaninfrastruktur nasional.
Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan ReformasiBirokrasi Nomor 21 Tahun 2013 tentang Diklat Kepemimpinan ReformasiBirokrasi/RLA dan ditindaklanjuti oleh Peraturan Kepala Lembaga AdministrasiNegara Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pedoman Penyelenggaraan DiklatKepemimpinan Reformasi Birokrasi/RLA dilaksanakan dalam rangka menjawabkebutuhan kepemimpinan reformasi birokrasi guna membentuk reformers, agenperubahan pada Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah.
Dalam pelaksanaan RLA ini sesuai dengan tema dan isu-isu nasional yangberkembang diharapkan dapat melakukan terobosan atau inovasi dalam bidangprogram dan pelayanan publik yang hasilnya diharapkan dapat langsung dirasakanoleh masyarakat. Oleh sebab itu, maka penulisan laporan ini bertujuan untukmenyusun dan mengusulkan proyek perubahan, khususnya terkait dengan temaRLA Angkatan II Tahun 2015 yaitu “Bussiness Regulatory Framework ForInfrastructure Development”, dengan fokus pembahasan “PercepatanPembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan” melalui pendalaman kasusPembangunan PLTU Batang Jawa Tengah.
Tujuan tersebut tentunya sejalan dengan kebijakan pemerintah dalammewujudkan kedaulatan energy melalui pembangunan pembangkit listrik 35.000MW guna memenuhi komposisi kebutuhan energy secara nasional.
Laporan akhir RLA Angkatan II Tahun 2015 diharapkan dapatdigunakan sebagai bahan dan masukan, antara lain :
a. Bagi individu peserta RLA dapat meningkatkan kompetensi danperan dalam memimpin pelaksanaan reformasi birokrasi sebagaimotor penggerak perubahan serta mampu bersinergi denganlingkungan internalnya dan lintas instansional.
b. Sebagai bahan masukan bagi Kementerian PANRB dan LembagaAdministrasi Negara guna secara berkelanjutan dapatmengembangkan strategi nasional percepatan terwujudnyareformasi birokrasi nasional.
c. Memberikan masukan dan mendorong pencapaian programprioritas pemerintah, khususnya terkait dengan kebijakanpercepatan pembangunan inftrastruktur ketenagalistrikan secaranasional.
1 • BKPM/PTSP Pusat dan Daerah
2 • DJK KESDM
3 • Deputi Hukum dan PUU, Kemsetneg
4 • BAPPENAS DAN KEMENPEREKONOMIAN
5 • PT. BPI DAN PT. PLN
6 • BPN Pusat dan BPN Jateng
7 • PEMPROV. JAWA TENGAH
8 • PTUN Semarang dan Mahkamah Agung
11/20/2018 27
Bab IIIPerencanaan Strategis dan Pembiayaan
Berdasarkan penjelasan di Bab sebelumnya disampaikan bahwa terdapat beberapapermasalahan dalam pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan. Pada Bab ini akan melihatlebih dalam business regulatory framework untuk pembangunan infrastrukturketenagalistrikan terutama dari sisi perencanaan strategis dan pembiayaan.
Dari sisi ketentuan pengelolaan ketenagalistrikan sendiri telah dipayungi denganditerbitkannya UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan. Untuk mendorong peranswasta dalam pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan, secara khusus Pemerintah telahmenerbitkan Perpres Nomor 38 Tahun 2015 tentang Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha(KPBU) dalam pengadaan infrastruktur. Peraturan Pemerintah ini memperbaiki ketentuanyang telah disusun sebelumnya (Figur 3.1). Perpres baru diterbitkan dengan mengakomodirbeberapa perubahan terkait perluasan jenis infrastruktur, peran institusi internasional dalammenyiapkan project, pembiayaan secara hybrid, payung availability payment, sertapembentukan simpul KPBU di PJPK.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 67 TAHUN 2005
TENTANG
KERJASAMA PEMERINTAH DENGAN BADAN USAHA
DALAM PENYEDIAAN INFRASTRUKTUR
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. Bahwa ketersediaan infrastruktur yang memadai dan berkesinambungan merupakan kebutuhan mendesak untuk mendukung pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka
meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat, serta untuk meningkatkan daya saing Indonesia dalam pergaulan global;
b. bahwa untuk mempercepat pembangunan infrastruktur, dipandang perlu mengambil langkah-langkah yang komprehensif guna
menciptakan iklim investasi untuk mendorong keikutsertaan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur berdasarkan prinsip usaha secara sehat;
c. bahwa untuk mendorong dan meningkatkan kerjasama antara
pemerintah dan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur dan jasa pelayanan terkait, perlu pengaturan guna melindungi dan
mengamankan kepentingan konsumen, masyarakat, dan badan usaha secara adil;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Presiden
tentang Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur;
Mengingat : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Keputusan Presiden...
Perpres No. 67/20052005Perpres No. 13/2010
2010
PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 56 TAHUN 2011
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN PRESIDEN NOMOR 67 TAHUN 2005
TENTANG KERJASAMA PEMERINTAH DENGAN BADAN USAHA
DALAM PENYEDIAAN INFRASTRUKTUR
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka percepatan penyediaan infrastruktur melalui
kerjasama pemerintah dengan badan usaha untuk mendorong
perluasan pembangunan nasional, dipandang perlu mengubah
Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama
Pemerintah dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 13
Tahun 2010;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, perlu menetapkan Peraturan Presiden tentang Perubahan
Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 tentang
Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan
Infrastruktur;
Mengingat : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 67,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4724);
3. Peraturan …
Perpres No. 13/20112011
Perpres No. 66/20132013
(fig.3.1)
Berbagai perubahan tersebut memunculkan pertanyaan apakah skema KPBU telah dapatberjalan sebagaimana diharapkan untuk mendorong pembangunan infrastrukturketenagalistrikan dan apakah Perpres terbaru telah dapat mengakomodir hambatan-hambatan dalam pelaksanaannya selama ini.
Berdasarkan pertanyaan besar tadi, pada Bab ini akan dibahas beberapa isu terkait (1)konsep dari PPP, (2) keterkaitan antara strategi, perencanaan dan pembiayaan untuk PPPproject, (3) peran dari masing-masing lembaga dalam pengelolaan PPP project, dan (4)secara khusus, peran Kementerian Keuangan dalam mendukung skema PPP danharmonisasi dengan skema lainnya untuk pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan
Apabila melihat guideline PPP Singapore, petunjuk diawali dengan pertanyaan apa itu PPP (whatis PPP?). Tentunya ini dimaknai perlunya pemahaman secara jelas konsepsi dari PPP itu sendiri.Dalam Perpres 38/2015 dinyatakan bahwa Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha adalahkerjasama antara pemerintah (menteri/kepala lembaga/kepala daerah atau BUMN/ BUMD apabiladiatur dalam peraturan perundang-undangan sektoral) dengan Badan Usaha dalam penyediaaninfrastruktur untuk kepentingan umum. Dari definisi terlihat secara jelas siapa yang melakukankerjasama dan apa yang dikerjasamakan. Apakah perwakilan pemerintah, sebagaimanadisebutkan tadi, telah secara efektif dapat menerapkan skema PPP dalam pembangunanketenagalistrikan tentunya perlu dilakukan kajian lebih dalam.
Permasalahan
Berdasarkan due process pendalaman yang dilakukan, skema PPP belum dapat dikatakanberhasil diterapkan oleh kementerian/lembaga dan pemerintah daerah, BUMN (PT. PLN)masih mempunyai keraguan antara berperan selaku pemerintah atau selaku badan usaha,dan ketidakjelasan antara kerjasama pembangunan infrastruktur dan kerjasama penyediaanlayanan yang memerlukan pembangunan infrastruktur.
Simpulan
Berdasarkan permasalahan dan kemungkinan potensi permasalahan ke depan dalam memahamikonsepsi PPP dan praktiknya, skema PPP akan lebih mudah dilaksanakan apabila langsung dilakukanantara Pemerintah dengan Badan Usaha (Figure 3.3), bukan dilakukan oleh BUMN/BUMD denganBadan Usaha. Kemudian perlu penegasan, bahwa yang dikerjasamakan adalah penyediaan(kuantitas, kualitas, dan waktu) layanan (misal: listrik, air, pengolahan sampah) dalam jangkapanjang. Badan Usaha bertanggungjawab untuk melakukan penyediaan layanan tersebut dibarengidengan pembangunan infrastruktur yang dibutuhkan.
Kejelasan konsep ini memudahkan pemahaman pentingnya penyediaan anggaran Pemerintahsecara jangka panjang (multi years) untuk kewajiban pembayaran atas layanan tersebut
Pemahaman atas konsep dasar dari PPP ini akan berimplikasi terhadap beberapa ketentuan yangtelah diterbitkan (Figure 3.2).
Analisis
(1) Apabila melihat definisi dari beberapa definisi dan praktik yang dilakukan di Negara Singapuradan juga beberapa negara lainnya, kontrak kerjasama dilakukan oleh entitas pemerintah, yangdalam hal ini dilakukan kementerian/lembaga atau pemerintah daerah (bukan BUMN), denganpihak swasta/badan usaha. Badan usaha sekaligus merasa terjamin ketika melakukan kerjasamadengan pemerintah.
(2) Kemudian, yang dikerjasamakan adalah pengadaan layanan kepada pemerintah, yang biasanyadilakukan dalam jangka panjang, dan pihak swasta harus melakukan investasi atas infrastrukturyang dibutuhkan. Jadi teknologi layanan diberikan kepada pihak badan usaha untuk menyediakandengan harapan dapat disediakan tepat waktu dan sesuai kuantitas dan kualitas yang ditetapkan.
(fig.3.2)
Penyederhanaan konsepsi
PPP (robust concept &
simplification)
Perpres 38 Tahun
2015
Structuring a PPP
deal
PPP Procurement
process
Intro to PPP
Managing a PPP
relationship
PPP in SingaporeUsulan Perubahan
Regulasi
• What is PPP?
• Typical PPP delivery
models
• Why PPP?
• Roles of Public & Private
sectors in PPP project
• Characteristics of a PPP deal
• Competencies needed to
structure PPP deals
• Structuring win-win PPP deals
• The PPP payment mechanism
• Intro to PPP procurement
process
• Procedures for identifying
the right PPP provider
• Contractual issues in PPP
• Working in partnership with
the PPP provider
• Managing a successful
relationship with the PPP
provider
• PPP sebagai hubungan
kerjasama antara
Pemerintah (1 unit
pemerintahan) dengan
Swasta (1 unit badan usaha
yang dibentuk para investor)
• PPP sebagai hubungan
kerjasama untuk
menyediakan layanan (yang
memerlukan investasi
infrastruktur) dalam jangka
panjang
• PPP sebagai hubungan
kerjasama dimana
pemerintah melakukan
pembayaran atas layanan
yang disediakan sesuai
kualitas layanan yang
disetujui
• PPP sebagai hubungan
kerjasama dimana
perubahan kerjasama
disepakati oleh kedua belah
pihak. Termasuk perubahan
layanan dan harga
1
• Ps 5 (3) KPBU dapat merupakan
penyediaan infrastruktur yang
merupakan gabungan dari 2
atau lebih jenis infrastruktur
• Ps 7 (1) Dlm hal KPBU
merupakan gab dari 2 atau lebih
jenis infrastruktur, menteri/kep
lemb/ kep daerah yg memiliki
kewenangan terhadap sektor
infrastruktur yg dikerjasamakan
berdasarkan peraturan
perundang-undangan bertindak
bersama-sama sbg PJPK
• Ps 8 BUMN dan/atau BUMD
dapat bertindak sbg PJPK
sepanjang diatur dlm peraturan
perundang-undangan sektor
• KPBU sebagai hubungan
kerjasama antara pemerintah
dengan badan usaha untuk
menyediakan layanan dlm
jangka panjang (multiyear),
khususnya layanan yg
memerlukan pembangunan
infrastruktur baru
• KPBU menerapkan mekanisme
pembayaran layanan sesuai
kinerja (performance based
payment mechanism).
Kementerian/lemb/ pemda
bertanggungjawab untuk menilai
secara terus-menerus layanan
sesuai standar yang telah
ditetapkan/ disetujui.
• Apabila BU pelaksana gagal
memberikan layanan,
kementerian/lemb / pemda
dapat memberikan pinalti,
mengambl alih, & memutus
kontrak dgn kompensasi
• Ps 13 (3) Dlm hal BU Pelaksana
tlh mengoperasikan infrastruktur
yg dikerjasamakan sesuai dgn
persyaratan yg ditentukan dlm
perjanjian KPBU, menteri/ kep
lemb/ kep daerah melakukan
pembayaran ketersediaan
layanan kpd BU Pelaksana
melalui angg kem/ lemb/ pemda
• KPBU memberikan BU
pelaksana ruang untuk
melakukan inovasi (teknologi
baru, rekayasa ulang bisnis
proses) selama jangka waktu
kontrak
• Eksisting • Rekomendasi
BUMN BU as SPV
Lender
Investor
K/LKemenkeu
Penerima
layanan
PII as BUPIBUMN
BU as SPV
Investor
Lender
K/LKemenkeu
Penerima
layanan
Perjanjian
atas layanan
Note:
• Perjanjian KPS dilakukan antara BUMN (entitas badan usaha)
dengan Badan Usaha tertentu sebagai special purpose vehicle
yang dibangun oleh para investor tidak mereflekasikan konsep
partnership antara pemerintah (public) dengan swasta (private)
tetapi lebih kepada konsep principal – agent sehingga memiliki
implikasi yang berbeda
• Investor dan lender akan melihat kemampuan (keuangan )
BUMN sehingga diperlukan penjaminan dari pemerintah untuk
perjanjian layanan dalam jangka panjang
Perjanjian
atas layanan
Public and Private
Partnership (?) Public and Private
Partnership
B2B with Government Guarantee
Note:
• Perjanjian KPS dilakukan antara Pemerintah (diwakili oleh
Kementerian yang bertanggungjawab atas penyedianaan layanan)
dengan Badan Usaha tertentu sebagai special purpose vehicle yang
dibangun oleh para investor sehingga dapat mereflekasikan konsep
partnership antara pemerintah (public) dengan swasta (private).
• Investor dan lender akan melihat kemampuan (keuangan )
Pemerintah sehingga penjaminan (terpisah) dari pemerintah untuk
perjanjian layanan dalam jangka panjang tidak diperlukan
(fig.3.3)
Berdasarkan beberapa literatur dan juga praktik di Singapura, kekhususan dari PPP adalah tahapan
pengadaannya (procurement) dimana berbeda dengan pengadaan konvensional yang merupakan
proses pengadaan aset/infrastruktur, sedangkan pengadaan PPP lebih kepada pengadaan jasa
layanan dalam jangka panjang. Di Indonesia, sesuai Perpres No.38/2015 dan tentunya UU No.30/2009
terdapat beberapa dokumen perencanaan yang akan menjadi acuan pelaksanaan, yaitu Rencana
Umum Ketenagalistrikan Nasional, Rencana Umum Ketenagalistrikan Daerah, Rencana Umum
Pengadaan Tenaga Listrik, Rencana Pembangunan Nasional Jangka Menengah, Orange book,
Rencana Kerja Pemerintah, dan Dokumen Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA). Mempertimbangkan
banyaknya dokumen perencanaan yang terkait, menimbulkan pertanyaan apakah semua telah
terkoneksi dan terkordinasi dengan baik.
Permasalahan
(1) Unit pengusul/calon PJPK belum dapat merencanakan dengan baik proyek-proyek yang perlu didukung
dengan skema PPP,
(2) Masih banyaknya perubahan kebijakan atas keputusan penetapan pengadaan project melalui PPP, dan
(3) Proses pengadaan PPP yang belum spesifik mengedepankan value for money (VfM) melalui analisis
Public Sector Comparator (PSC)
Analisis
(1) Tidak ada forum sinkronisasi antar perencanaan strategis antara Kementerian ESDM, Bappenas,
Kementerian BUMN, PT.PLN dan Pemda dalam merencanakan strategi pengadaan tenaga listrik
nasional. Hal ini juga berpengaruh kepada pembahasan anggarannya dengan DPR.
(2) Keputusan pengadaan melalui skema PPP tidak ditetapkan lebih awal pada tahap perencanaan
mempengaruhi kesiapan pembiayaan, dan
(3) PPP belum ditekankan kepada pendekatan pengadaan untuk value for money sehingga
mempengaruhi keyakinan atas putusan dan dukungan pembiayaan.
Simpulan
Berdasarkan permasalahan dan kemungkinan potensi permasalahan ke depan dalam memahami
pelaksanaan pengadaan PPP, (1) perencanaan pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan nasional agar
terkordinasikan dengan baik oleh Bappenas dan mengurangi berbagai dokumen perencanaan di Bappenas
(orange book), (2) menekankan peran kementerian Negara/lembaga/pemda selaku pengguna anggaran
(PA) dan bertanggungjawab untuk tahapan pengadaan (procurement) atas kewajiban layanannnya, (3)
Penetapan project dengan Skema PPP ditetapkan diawal perencanaan oleh Bappenas dan dibantu oleh
unit penilai yang kompeten (Figure 3.4)
Usulan ini membawa skema PPP sebagai tanggung jawab dari masing-masing Menteri/Pimpinan
Lembaga/Kepala daerah. Untuk unit yang belum mampu melakukan pengadaan secara mandiri harus
dapat didukung oleh unit pengadaan di pusat.
Pemahaman atas pelaksanaan dan fleskibilitas PPP ini akan berimplikasi terhadap beberapa ketentuan
yang telah diterbitkan (Figure 3.5).
Kepastian kebijakan dan
fleksibilitas (accountability
& flexibility)
Perpres 38 Tahun
2015
Structuring a PPP
deal
PPP Procurement
process
Intro to PPP
Managing a PPP
relationship
PPP in SingaporeUsulan Perubahan
Regulasi
• What is PPP?
• Typical PPP delivery
models
• Why PPP?
• Roles of Public & Private
sectors in PPP project
• Characteristics of a PPP deal
• Competencies needed to
structure PPP deals
• Structuring win-win PPP deals
• The PPP payment mechanism
• Intro to PPP procurement
process
• Procedures for identifying
the right PPP provider
• Contractual issues in PPP
• Working in partnership with
the PPP provider
• Managing a successful
relationship with the PPP
provider
• Alur proses, waktu dan
kewenangan atas link
antara strategi,
perencanaan, dan
pembiayaan
• Fokus atas pengadaan
oleh Pengelola
Anggaran (PA)
• Dukungan dari unit lain
untuk strategi,
perencanaan, dan
pembiayaan
2
• Ps 21 (1) Menteri/kep
lemb/kep daerah
menidentifikasi
penyediaan infrastruktur
yg akan dikerjasamakan
dgn badan usaha
• Ps 25 (2) Penetapan
daftar rencana KPBU
dilakukan berdasarkan
tingkat kesiapan oleh
menteri yg
menyelenggarakan
urusan pemerintah di
bidang perencanaan
pemb nasional
• Ps 26 Menteri/kep
lemb/kep
daerah/BUMN/BUMD
menganggarkan dana
perencanaan,
penyiapan, transaksi
dan manajemen KPBU
• Rencana KPBU agar
sesuai dengan strategi,
perencanaan, dan
penganggaran di
kementerian/ lemb/ pemda
dlm jangka panjang
• Pengadaan layanan
melakui KPBU memberikan
nilai/ manfaat uang yang
lebih baik (better value for
money)
• Rencana KPBU yang
diusulkan diminati oleh
pihak swasta untuk ikut
berkompetisi dlm proses
pengadaannya
• Skema KPBU merupakan
pengadaan jasa dan bukan
merupakan pengadaan
asset sehingga kem/ lemb/
pemda fokus kepada
spesifikasi keluaran (output)
dibandingkan spesifikasi
masukan (input)
(fig.3.4)
Eksisting Potensi Rekomendasi
Blue book
Visi & Misi
RPJM RKP
Renstra KL Renja KL RKA & DIPAProcurement
(Conventional)
Orange bookRPJM RKP
Renstra KL Renja KL RKA & DIPAProcurement
(VfM – PPP)
Renstra BUMN Renja BUMNRKA & Alokasi
Ang.Procurement
Note:
• Kegiatan/project dengan Skema KPS (PPP) disusun dengan
alur pembahasan dokumen yang berbeda
• K/L tidak akan (beresiko) melakukan eksekusi (procurement)
apabila ada perbedaan antara visi & misi, rencana
pembangunan nasional jangka menengah, rencana kerja
pemerintah, rencana kerja dan anggaran, dan DIPA yang telah
disetujui. Setiap perubahan melalui proses tertentu dan
kewenangan/otoritas tertentu.
Planning
book
Visi & Misi
RPJM RKP
Renstra KL Renja KL RKA & DIPA
Procurement
(Conventional)
Procurement
(VfM – PPP)
Link antara Strategi, Planning, Pembiayaan, dan Pengadaan
Fleksibiltas kurang apabila ada perubahan kebijakan
Linking Strategy, Planning, and Financing
with Flexibility in execution
Note:
• Tetap mengedepankan keterkaitan antara strategi nasional,
perencanaan nasional dan kementerian, serta pembiayaannya.
• Tidak membedakan proses dan tetap memperhatikan
kewenanangan/otoritas persetujuan/perubahan.
• Menempatkan skema PPP sebagai flekasibilitas pengguna
anggaran (KL) untuk mengadakan pelayanan secara value for
money dan meringankan beban anggaran nasional.
1
2
3
(fig.3.5)
Berdasarkan beberapa literatur dan juga praktik di Singapura, menyatakan bahwa kompetensi
berbagai lembaga sangat penting (competensies needed to structure PPP deals) dan pentingnya
satu kementerian me-lead pengelolaan PPP (di singapur, PPP di lead oleh Kementerian
Keuangan). Berdasarkan pengamatan, berbagai instansi terlibat dalam proses PPP di Indonesia
seperti Komite Percepatan Pembangunan Infrastruktur Indonesia, Bappenas (Direktorat
Kerjasama Pemerintah dan Swasta), Kementerian Keuangan (Direktorat Pengelolaan Dukungan
Pemerintah & Pembiayaan Infrastruktur), Penanggung Jawab Proyek Kerjasama (PJPK), Badan
Usaha Penjamin Infrastruktur, dan Simpul KPBU. Pertanyaannya apakah berbagai instansi/unit
tersebut telah memahami peran dan tanggungjawabnya untuk kelancaran pelaksanaan PPP.
Permasalahan
(1) Komite menjadi kurang efektif untuk mengambil keputusan/lama,
(2) Bappenas dan Kementerian Keuangan belum didukung unit penilai terkait aspek teknis,keuangan dan hukum, dan
(3) Kementerian/lembaga dan Pemerintah belum dapat mempersiapkan project PPP yang baik
Analisis
(1) Kemenko sebagai unit koordinasi belum dapat melaksanakan peran untuk lead skema PPP. Keputusan
dikembalikan ke unit terkait sehingga keputusan atas pelaksanaan menjadi lambat. Perlu peran
Kementerian Keuangan untuk me-lead kebijakan/pelaksanaan PPP.
(2) Keputusan yang diambil belum didukung oleh profesional yang kapabel sehingga memperlambat keputusan
kebijakan PPP. Perlu peran PPP unit sebagai kelompok kerja professional untuk mendukung stakeholders
PPP,
(3) PJPK belum dapat mempersiapkan project PPP dengan matang dikarenakan Simpul KPBU tidak dibentuk
dari tahapan pengusulan/perencanaan sehingga tidak terkawal dengan baik
Simpulan
Berdasarkan permasalahan dan kemungkinan potensi permasalahan ke depan dalam memahami peran antar
lembaga dalam pelaksanaan PPP:
(1) Kementerian Keuangan harus bertanggungjawab untuk me-lead kebijakan PPP,
(2) PPP unit perlu dibentuk dan diisi oleh professional yan paham aspek keuangan, aspek hukum, dan aspek
teknis/risiko. PPP unit bertanggungjawab kepada Kementerian Keuangan. Semua lembaga dapat
memanfaatkan ekspertise dari unit ini dalam membantu pengambilan keputusan,
(3) PJPK harus terlibat aktif sejak dini melalui simpul KPBU yang dibentuk (Figure 3.6)
Usulan ini akan mempengaruhi ketidakjelasan peran PPP unit selama ini.
Pemahaman atas peran dan tanggungjawab dari para pemangku kepentingan ini akan berimplikasi terhadap
beberapa ketentuan yang telah diterbitkan (Figure 3.7).
Kejelasan peran antar
pemangku kepentingan
(clarity of roles &
responsibility)
Perpres 38 Tahun 2015
Structuring a PPP deal
PPP Procurement
process
Intro to PPP
Managing a PPP
relationship
PPP in SingaporeUsulan Perubahan
Regulasi
• What is PPP?
• Typical PPP delivery models
• Why PPP?
• Roles of Public & Private
sectors in PPP project
• Characteristics of a PPP deal
• Competencies needed to
structure PPP deals
• Structuring win-win PPP deals
• The PPP payment mechanism
• Intro to PPP procurement
process
• Procedures for identifying the
right PPP provider
• Contractual issues in PPP
• Working in partnership with
the PPP provider
• Managing a successful
relationship with the PPP
provider
• Kejelasan peran Pengguna
Anggaran (PA) dalam
kerjasama atau
Penanggungjawab
Perjanjian Kerjasama
(PJPK)
• Kejelasan peran dari
Kemenko, Bappenas, dan
Kemenkeu untuk
menetapkan kebijakan
• Penguatan peran PPP unit
untuk melakukan penilaian
usulan PPP project,
negosiasi, dan monev
pelaksanaan
3
• Ps 14 (1) Menteri/kep lemb/
kep daerah memprakarsai
penyediaan infrastruktur yg
akan dikerjasamakan dgn BU
melalui skema KPBU
• Ps 15 (1) Menteri/kep lemb/
kep daerah dpt memberikan
dukungan pemerintah
terhadap KPBU sesuai dgn
lingkup kegiatan KPBU
• Ps 20 (1) Menteri/Kep
lemb/Kep daerah
merencanakan kegiatan
infrastruktur yg akan
dikerjasamakan dgn BU
• Ps 21 (1) Menteri/Kep
lemb/Kep daerah
mengidentifikasi penyediaan
infrastruktur yg akan
dikerjasamakan dgn BU
• Ps 44 (1) Menteri/kep
lemb/kep daerah menunjuk
unit kerja di lingkungan
kementerian/lemb/ daerah
sebagai simpul KPBU
• Menteri/kep lemb/kep daerah
dapat menunjuk konsultan
(teknis, hukum, dan keuangan)
utk membantu mempersiapkan
proses pengadaan dan pemilihan
BU Pelaksana
• Pemerintah membangun
kompetensi yang memadai
kepada pihak-pihak yang terlibat
dalam KPBU
• KPBU antara kementerian/ lemb/
pemda dengan BU pelaksana
didukung dengan hubungan
formal aspek pengambilan
keputusan strategis, aspek
layanan, dan aspek kontrak
• Simpul KPBU dibentuk kem/
lemb/ pemda semenjak proses
persiapan
• Simpul KPBU bekerjasama
dengan PPP unit
• PPP unit dikelola oleh para ahli
untuk membantu kementerian/
lemb/pemda dlm mendesain dan
mengelola KPBU
(fig.3.6)