peran dan fungsi kode etik advokat
DESCRIPTION
kodeTRANSCRIPT
TINJAUAN UMUM TENTANG PERANAN ADVOKAT
DALAM PENEGAKAN SUPREMASI HUKUM DI INDONESIA
Oleh : Zahru Arqom, S.H.1
I. PENDAHULUAN
World Conference on The Independence of Justice c.q. Universal
Declaration on The Independence of Justice menetapkan definisi dari Advokat
sebagai berikut: “Lawyer means a person qualified and authorized to practice
before the courts and to advise and represent his clients in legal matters”, yang
dalam bahasa Indonesia berarti Advokat adalah seorang yang memenuhi
persyaratan dan medapatkan izin untuk melakukan praktek di pengadilan dan
untuk memberikan nesihat serta mewakili kliennya di dalam permasalahan-
permasalahan hukum. Definisi tersebut agaknya telah diadopsi oleh pembentuk
undang-undang di Republik Indonesia dalam menyusun Undang Undang Nomor
18 Tahun 2003 tentang Advokat dimana dalam Undang Undang Nomor 18 Tahun
2003, Advokat diberikan pengertian sebagai “orang yang berprofesi memberi
jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi
persyaratan berdasarkan undang-undang”.
Profesi Advokat telah sejak lama dikenal dan usia profesi Advokat saat
ini sudah sangat tua dan hampir sama tua dengan profesi dokter. Antara profesi
Advokat dengan profesi dokter memiliki sebuah kesamaan pada saat lahirnya
kedua profesi tersebut, kedua profesi tersebut lahir karena panggilan nurani
untuk menolong sesama manusia yang sedang mengalami permasalahan.
Dokter membantu menolong orang yang sedang memiliki permasalahan dengan
kesehatannya atau sedang terserang penyakit sedangkan Advokat membantu
1 Disampaikan dalam Kuliah PLKH Acara Perdata FH UGM, 17 Februari 2010.
1
menyelesaikan permasalahan seseorang yang berhubungan dengan peraturan
atau hukum yang berlaku mengingat tidak semua orang benar-benar
mengetahui tentang hukum yang berlaku.
Perkembangan awal dari profesi Advokat pertama kali muncul pada
jaman Romawi Kuno yaitu dengan munculnya seorang Advokat Cicero. Pada
jaman Romawi Kuno tersebut para bangsawan selalu tampil dengan orasi dan
pembelaannya dalam membela anggota masyarakat yang buta hukum namun
telah tertimpa persoalan hukum. Saat itu sebenarnya istilah “Advokat”, istilah
yang dikenal untuk seseorang yang berprofesi atau mengerjakan pekerjaan
sebagai seorang Advokat (lawyering) dikenal dengan istilah “Preator”. Para
Preator tersebut dalam melakukan pembelaan terhadap masyarakat kecil
semata-mata karena panggilan nurani dan rasa tanggung jawab membela rakyat
kecil yang lemah dihadapan kekuasaan raja dan pemerintahan saat itu dan
sekaligus para Preator yang berasal dari kalangan para bangsawan tersebut
memiliki tujuan menjaga kemuliaan terhadap status kebangsawanannya. Karena
profesinya yang selalu membela masyarakat kecil maka Preator sangat dihargai
dan dimuliakan oleh orang sehingga profesi sebagai Advokat atau Preator
dikatakan sebagai Officium Nobilium atau profesi yang mulia.
Selanjutnya dalam sejarah perkembangan Advokat di jaman Romawi Kuno
tercatat seorang tokoh bernama Patronus, seorang yang memiliki figur kuat
serta sangat dipercaya oleh masyarakat. Pada jaman Patronus tersebut banyak
sekali warga masyarakat yang sedang ditimpa permasalahan baik dalam bidang
ekonomi, bidang sosial, bidang hukum, dan lain sebagainya, datang mengadu
dan meminta bantuan serta perlindungan dari Patronus. Namun pada saat itu
para bangsawan, tokoh, atau pemuka masyarakat dalam menjalankan
2
kegiatannya menolong masyarakat hanya berorientasi dan memiliki motivasi
menyusun kekuatan dari masyarakat sehingga akhirnya terjadi perebutan
sebanyak mungkin pengaruh dalam masyarakat. Karena adanya perebutan
kekuatan dari masyarakat tersebut maka kemudian bantuan dan jasa termasuk
di dalamnya jasa hukum yang diberikan oleh para bangsawan, tokoh, atau
pemuka masyarakat seperti Patronus itu akhirnya menjadi lebih terinci dan pada
proses selanjutnya muncul suatu kelas masyarakat yang disebut “Advokatus”
dimana kelas Advokatus tersebut telah memasang tarif untuk jasa-jasa yang ia
berikan. Nama tokoh Patronus sampai sekarang terabadikan dalam istilah yang
dikenal dalam Ilmu Sosial yaitu istilah “Hubungan Patron-Client”.2
Saat sejarah manusia memasuki masa abad pertengahan profesi
keadvokatan semakin berkembang sejalan dengan perkembangan agama
Kristiani. Ajaran kasih terhadap setiap manusia dalam agama Kristen
memberikan kontribusi kepada perkembangan dunia keadvokatan. Pada abad
pertengahan tersebut tercatat bahwa gereja-gereja memiliki program
keadvokatan yang rapi dan terarah. Ketika itu mulai dikenal istilah “Advokatus
Pauperum” yaitu tenaga-tenaga gereja yang bekerja dibidang sosial termasuk di
dunia keadvokatan yang lebih bersifat sekuler dan juga bersifat komersial dalam
artian meminta imbalan atas jasa yang diberikannya kepada masyarakat.
Walaupun landasan agama Kristen yang mengajarkan tentang kasih tetap
dipegang teguh oleh kaum gereja, namun pada perkembangannya para Advokat
mengenal honorarium, dan akhirnya profesi Advokat atau yang pada saat itu
lebih dikenal dengan istilah Advokatus Pauperum berkembang ke arah profesi
sebagai mata pencaharian.
2 Kamal Firdaus, Pengenalan Dunia Kepengacaraan, disampaikan pada acara Pendidikan dan Pelatihan Kepengacaraan Fakultas Hukum Universitas Muhamadiyah Yogyakarta, Yogyakarta, 19 November 2000 hlm. 11
3
Mengenai perkembangan dikenalnya honorarium dalam profesi
Advokat sebenarnya bukan merupakan penyimpangan dari dasar dan landasan
profesi Advokat yang sesunguhnya yaitu panggilan hati nurani untuk membantu
dan membela sesama manusia, namun honorarium tersebut diartikan sebagai
suatu bentuk penghargaan kepada seorang Advokat dalam menjalankan
profesinya yang sangat mulia. Dari istilah “honorarium” itu sendiri sebenarnya
dapat diketahui bahwa profesi Advokat masih sebagai seorang pemberi jasa
yang oleh karenanya seorang Advokat dipandang mulia dan bukan seseorang
yang melakukan jual-beli atau dagang perkara. Honorarium barasal dari kata
dalam bahasa Inggris “honor” atau kehormatan yang berarti honorarium kepada
seorang Advokat adalah imbalan sebagai penghormatan atas jasa yang telah
diberikan kepada masyarakat yang membutuhkan bantuannya.3
Sejarah perkembangan Advokat selalu mengikuti sejarah
perkembangan bentuk peradilan yang ada, karena sebagian besar peranan dan
jenis pekerjaan dalam profesi Advokat selalu memiliki keterkaitan dengan
bentuk dan pola pengadilan yang ada. Pola peradilan yang berkembang di
Romawi Kuno dalam perkembangannya menyebar ke hampir seluruh benua
Eropa seiring dengan tindakan ekspansi kerajaan Romawi ke beberapa negara di
Eropa. Menurut catatan sejarah, pada mulanya hampir semua bentuk
pengadilan yang ada di dunia ini adalah berpola accusatoir, dimana dalam
bentuk tersebut Pihak yang merasa dirugikan kepentingan serta haknya datang
kepada pihak yang berwenang untuk mengadukan pihak yang telah merugikan
kepentingan serta haknya tersebut, sedangkan pihak yang dituduh atau
diadukan juga memiliki hak untuk melakukan pembelaan terhadap dirinya. Pada
3 Adnan Buyung Nasution, Undang-Undang Advokat – Menuju Profesi Advokat Yang Bebas dan Mandiri, Workshop Profesi Advokat, Kerjasama antara Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dan Adnan Buyung Nasution & Partners (ABNP) Law Firm, Yogyakarta, 10 Desember 2004, hlm . 3-4.
4
bentuk pengadilan dengan pola accusatoir tersebut pada saat perkembangan
pertama kali didasarkan pada pendapat bahwa kebenaran sejati ada pada
Tuhan, dan diharapkan Tuhan memberikan kemenangan kepada pihak yang
benar, selanjutnya para pihak yang bersengketa melakukan pertandingan
bertarung dengan menggunakan senjata (judicial combat) dengan juri yang
memimpin pertandingan dan menentukan siapa yang menang dan siapa yang
kalah, selanjutnya pemenang dari pertarungan tersebut dianggap sebagai yang
benar karena Tuhan hanya memberikan kemenangan bagi pihak yang benar.
Pada abad pertengahan sebagaiaman diuraikan di atas, agama Kristen
mulai berkembang dan kaum gereja saat itu berpendapat pola peradilan yang
ada saat itu dalam bentuk judicial combat dengan anggapan Tuhan akan selalu
memberikan kemenangan bagi pihak yang menang, adalah sangat melecehkan
Tuhan dan oleh karena itu kaum gereja akhirnya menyusun dan menciptakan
pola peradilan inquisitoir. Dalam pola inquisitoir ini dianggap yang paling tahu
salah atau tidaknya adalah Terdakwa itu sendiri karena itu pihak yang
memeriksa selalu berusaha keras memperoleh pengakuan bersalah dari
Terdakwa. Konsep inquisitoir yang dianggap perbaikan dari sistem accusatoir
tersebut ternyata juga banyak penyimpangan karena untuk memperoleh
pengakuan Terdakwa pemeriksa selalu menggunakan berbagai cara seperti
menjebak, membujuk, dan menyiksa Terdakwa.
Walaupun akhirnya pola pengadilan inquisitoir berkembang di daratan
Eropa, namun di Inggris tetap menganut sistem accusatoir, dikarenakan di
Inggris kaum gereja kalah berkat perjuangan kaum bangsawan yang dibantu
rakyat kota dan akhirnya bisa memaksa Raja John Lackland untuk
menandatangani Magna Charta pada tahun 1215, dimana pada pokoknya Raja
5
menjamin hak asasi rakyatnya dan peradilan menurut hukum ada yang berlaku
dimana peradilan dilakukan menurut pola accusatoir dengan suatu dewan juri
(juror) yang menentukan pihak yang benar dan pihak yang salah namun bentuk
para pihak dalam bentuk peradilan accusatoir ini tidak perlu bertanding dengan
senjata namun cukup beradu argumen.
Bentuk peradilan inquisitoir memiliki perbedaan dengan pola peradilan
accusatoir dalam common law Inggris dimana dalam pola pengadilan accusatoir
siapa yang benar dan siapa yang kalah ditentukan oleh dewan juri dan hakim
hanya bertindak sebagai pengatur jalannya persidangan saja, dalam pola
pengadilan inquisitoir hakim adalah yang merajai sidang, memeriksa para pihak,
memeriksa terdakwa, memeriksa bukti dan saksi-saksi, setelah itu hakim pulalah
yang memberikan putusan pihak mana yang benar dan pihak mana yang salah.4
Setelah meletus revolusi Perancis, akhirnya pola pengadilan
accusatoir banyak tersebar di sebagian besar negara-negara di daratan Eropa
kecuali di Belanda yang masih tetap menganut pola pengadilan inquisitoir.
Dalam pola pengadilan accusatoir, peran dari Advokat atau lawyer menjadi
sangat penting baik dalam hukum pidana maupun sengketa keperdataan,
karena para pihak tidak mungkin berperkara atau membela dirinya sendiri tetapi
harus diwakilkan kepada seorang Advokat. Dalam sejarah common law di
Inggris, profesi Advokat biasanya dilakukan oleh anak laki-laki kedua dari
keluarga bangsawan yang tidak dapat menggantikan kedudukan ayahnya
karena kedudukan ayahnya hanya bisa diwariskan kepada anak laki-laki
pertama. Advokat di Inggris saat itu pada umumnya merupakan kalangan orang
kaya, sehingga tidak mengutamakan materi, Advokat Inggris saat itu hanya
membutuhkan kehormatan (honor) dan tidak pernah membicarakan fee dengan
4 Kamal Firdaus, Op.Cit, hlm 12
6
kliennya, jika kliennya ingin memberikan imbalan atas jasanya berupa
honorarium, maka honorarium tersebut diterima dan diatur oleh Clerk atau
pegawai khusus untuk mengurus hal tersebut.5 Bahkan waktu itu di Inggris,
seorang Advokat tidak dibenarkan berhubungan langsung dengan klien. Namun
saat ini beberapa ketentuan atau aturan tersebut sudah tidak diterapkan lagi,
dimana Advokat dapat berhubungan langsung dengan kliennya serta dapat
menerima fee atas prestasinya.
Selanjutnya dalam hukum kontinental yang bentuk aslinya adalah
pengadilan dengan pola inquisitoir dimana hakim menjadi manusia setengah
dewa di ruang persidangan, dalam perkembangannya juga sedikit mengadopsi
bentuk-bentuk dari hukum anglo saxon yang berpola accusatoir seperti
pembatasan kewenangan hakim, adanya hak-hak terdakwa, dan diperkuatnya
kedudukan Advokat dalam pembelaan suatu perkara. Walaupun demikian,
namun pada kenyataannya sejarah mengatakan bahwa pola Advokatur yang
paling sempurna dalam mengembangkan fungsi Advokat adalah di Inggris
dengan Common Law-nya yang mengunakan bentuk pola pengadilan accusatoir.
Perkembangan dunia keadvokatan di Indonesia apabila dibandingkan
dengan perkembangan di Eropa, usianya masih sangat muda, karena sistem
hukum tradisional Indonesia tidak dikenal. Keadvokatan baru dikenal di
Indonesia sejak masa kolonialisme dengan masuknya pula sistem hukum
Belanda yang diterapkan di Indonesia. Sejarah keadvokatan di Indonesia tidak
dapat dilepaskan dari perkembangan sejarah keadvokatan di Belanda sendiri.
Berawal dari perubahan sejarah hukum di Belanda ada tahun 1848 berdasarkan
asas konkordansi, dengan Firman Raja tanggal 16 Mei 1948 No. 1 perundang-
5 Ropaun Rambe, Teknik Praktek Advokat, Jakarta, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2001, hlm.
25
7
undangan Belanda diberlakukan di Hindia Belanda, antra lain peraturan tentang
susunan kehakiman dan kebijaksanaan peradilan yang disebut dengan
(Reglement op de Rechtelijke Organisatie), sehingga keadvokatan di Indonesia
mulai di Indoneisa pada sekitar sesudah dikeluarkannya Firman Raja tersebut
dan saat itu baru terbatas bagi orang-orang Eropa saja dalam peradilan Raad
van Justitie (RvJ).
Tercatat dalam sejarah advokat, advokat pertama bumiputera baru
membuka kantornya di Tegal dan Semarang pada sekitar tahun 1926. Nama-
nama yang tercatat dalam sejarah profesi keadvokatan Indonesia antara lain
Besar Martokusumo, Sartono, Sastromuljono, Sujudi, Ali Sastroamidjojo, Amir
Sjarifudin, M. Yamin, Iskaq Tjokrohadisurjo, Moehamad Roem, Sunarjo, dan
Burhanuddin Harahap.
Dalam sistem peradilan dan peraturan perundang-undangan kolonial
yang berlaku saat itu terdapat dua hukum acara yaitu Reglement op de
Burgerlijke Rechtsvordering (Rv.) untuk RvJ dan Herzien Indonesich Reglement
untuk Landraad. Rv mewajibkan para pihak dalam perkara perdata mewakilkan
kepada kuasa dalam beracara di muka pengadilan. Perwakilan ini merupakan
suatu keharusan, dengan akibat batalnya tuntutan hak atau diputusnya di luar
hadir tergugat bilamana para pihak ternyata tidak diwakili. Menurut RO
persyaratan bertindak sebagai kuasa hukum itu, antara lain ia harus sarjana
hukum. Tetapi setelah merdeka, pluralisme sistem peradilan dan hukum acara
dihapuskan Rv sebagai hukum acara di RvJ tidak lagi berlaku dan HIR yang
semula berlaku sebagai hukum acara di Laandraad yaitu pengadilan untuk
golongan pribumi atau bumiputra tetap berlaku sampai sekarang.
8
Akibat dari perkembangan sejarah hukum, yaitu dengan
dihapuskannya Rv, itu berpengaruh besar terhadap dunia keadvokatan, karena
menjadi tidak ada lagi kewajiban bagi para pihak dalam perkara untuk
mewakilkan kepada seseorang kuasa maka mengurangi jumlah warga
masyarakat yang membutuhkan jasa advokat, selain itu jaminan hukum bagi
profesi advokat sendiri menjadi sedikit agak kabur.
Sejarah perkembangan advokat selanjutnya adalah pada tahun 1959-
1960 berdiri perkumpulan Balie van Advocaten di Jawa Tengah, kemudian pada
tanggal 14 Maret 1963 di Jakarta telah dibentuk organisasi advokat yang diberi
nama Persatuan Advokat Indoneisa disingkat PAI. Pengurus PAI tersebut
ditugaskan terutama untuk mempersiapkan dan menyelenggarakan suatu
konggres atau musyawarah para advokat Indonesia, dalam forum atau
kesempatan mana nantinya diharapkan akan ditetapkan suatu organisasi.
Pada musyawarah tanggal 30 Agustus 1964 secara aklamasi dan
diresmikan nama dan berdirinya organisasi Advokat dengan nama Persatuan
Advokat Indonesia disingkat Peradin sebagai organisasi Advokat Indonesia, dan
sejak tanggal tersebut Peradin menggantikan PAI sebagai organisasi Advokat di
Indonesia. Walaupun telah dibentuk Peradin, namun Peradin ini tetap belum
berhasil dan diakui secara resmi oleh pemerintah sebagai satu-satunya
organisasi advokat di Indonesia dan Peradin gagal mendapatkan pengakuan sah
sebagai Bar Association tunggal di Indonesia.
Perkembangan selanjutnya dari dunai keadvokatan di Indonesia adalah
pada tanggal 10 November 1985 disahkan nama Ikatan Advokat Indonesia
disingkat IKADIN disahkan oleh sidang pleno musyawarah nasional advokat
sebagai nama baru dari organisasi profesi advokat di Indonesia.
9
Secara singkat, sejarah singkat dunia keadvokatan sampai pada
gagalnya IKADIN mendapatkan pengakuan dari pemerintah bahwa IKADIN
adalah wadah tunggal organisasi advokat di Indonesia dan puncaknya pada
Musyawarah Nasional IKADIN II pada bulan November 1989 IKADIN terpecah dan
organisasi advokat pecahan dari IKADIN tersebut diberi nama Asosiasi Advokat
Indonesia (AAI).
Dalam perkembangan akhir organisasi Advokat di Indonesia muncul
beberapa organisasi Advokat yang berjumlah delapan organisasi yaitu Ikatan
Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasihat
Hukum Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI),
Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI),
Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM) dan Asosiasi Pengacara
Syariah Indonesia (APSI). Kedelapan organisasi Advokat tersebut yang sampai
dengan diterbitkannya Undang Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat
diakui sebagai Organisasi Advokat di Indonesia sebagaimana ditegaskan dalam
Pasal 32 Undang Undang Nomor 18 Tahun 2003.
Untuk sementara waktu sampai pada saat pembentukan organisasi
Advokat sebagaimana yang diamatkan oleh Undang Undang Nomor 18 Tahun
2003 telah dibentuk Komisi Kerja Advokat Indonesia (KKAI), kemudian pada
akhirnya pada tanggal 8 September 2005, melalui Akta Notaris tertanggal 8
September 2005 yang dibuat oleh dan dihadapan Buntario Tigris Darmawang,
S.E., S.H, M.H., 8 (delapan) organisasi Advokat yang telah ada mendirikan
organisasi tunggal Advokat yang diberi nama Perhimpunan Advokat Indonesia
(PERADI) sebagaimana diamanatkan oleh Undang Undang Nomor 18 Tahun
2003, dalam pendirian PERADI tersebut kedelapan organisasi Advokat diwakili
10
oleh Ketua Umum dan Sekertaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat masing-masing
organisasi advokat, yaitu Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN) diwakili oleh Otto
Hasibuan, S.H., M.M. (ketua) dan Teguh Samudra, S.H., M.H. (sekretaris
jenderal); Assosiasi Advokat Indonesia (AAI) diwakili oleh Denny Kailimang, S.H.,
M.H. (ketua) dan Teddy Soemantry, S.H. (sekretaris jenderal); Ikatan Penasihat
Hukum Indonesia (IPHI) diwakili oleh Indra Sahnun Lubis, S.H. (ketua) dan M.
Lutfie Hakim, S.H. (sekretaris jenderal); Himpunan Advokat Pengacara Indonesia
(HAPI) diwakili oleh Jimmy Budi Harijanto, S.H., M.BA. (ketua) dan Elza Syarief,
S.H., M.H. (sekretaris jenderal); Serikat Pengacara Indonesia (SPI) diwakili oleh
Trimedya Panjaitan, S.H. (ketua) dan Sugeng Teguh Santoso, S.H. (sekretaris
jenderal); Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI) diwakili oleh Frederik B.G.
Tumbun, S.H. (ketua) dan Hoesein Wiriadinata, S.H., LL.M (sekretaris jenderal);
Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM) diwakili oleh Soemarjono
Soemarsono, S.H. (ketua) dan Harry Ponto, S.H., LL.M (sekretaris jenderal); dan
Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI) diwakili oleh Drs. Taufik, S.H., M.H
(ketua) dan Drs. Nur Khoirun Yudha, M.Ag (sekretaris jenderal).
Cita-cita pembentukan satu wadah organisasi Advokat tersebut hampir
merupakan isapan jempol belaka, karena beberapa tokoh Advokat Indonesia
antara lain Teguh Samudera, S.H., Indra Sahnun Lubis, S.H., Dr. Iur. Adnan
Buyung Nasution, S.H., Kamal Firdaus, S.H., dan Dr. Todung Mulya Lubis, S.H.,
pada Bulan Agustus 2008 mencetuskan organisasi advokat baru yang
menamakan dirinya Konggres Advokat Indonesia (KAI) yang juga mengklaim
sebagai wadah atau organisasi tunggal Advokat di Indonesia. Dualisme wadah
kembali terjadi dan menimbulkan polemik, konflik dan kegamangan dalam dunia
advokat di Indonesia. Terlebih, Mahkamah Agung (MA) pun tidak mengambil
11
peran dan sikap yang tegas terhadap kondisi dualisme yang nyata-nyata
bertentangan dengan UU Advokat tersebut.
Sejarah kembali berulang, begitulah kata pepatah yang sepertinya
dapat diibaratkan dalam sejarah organisasi Advokat Indonesia. Sebelum
berlakunya UU Advokat, dapat dengan mudah advokat yang merasa tidak cocok
dengan organisasinya akan memisahkan diri dan membentuk organisasi baru,
dalam permasalahan di atas Dr. Iur. Adnan Buyung Nasution, S.H. dan Dr.
Todung Mulya Lubis, S.H. masing-masing telah diputuskan bersalah dan
melanggar kode etik Advokat Indonesia oleh Dewan Kehormatan DPC Peradi
Jakarta Selatan dan DPC Peradi Tangerang, namun akhirnya setelah membentuk
KAI keduanya pun mengajukan banding ke Dewan Kehormatan Etik KAI dan
dapat diterima kembali.
Pada makalah ini, Penulis mencoba mengkaji hal berkaitan dengan :
Bagaimana peran dan fungsi Advokat dalam Penegakkan Supremasi Hukum di
Indonesia ?
II. PEMBAHASAN
A. Peran dan Fungsi Advokat dalam Penegakan Supremasi Hukum
Konstitusi Negara Republik Indonesia UUD 1945 menegaskan bahwa RI
adalah negara hukum sedemikian diperlukan pengembangan sistem hukum
nasional yang komperhensif antara lain meliputi kegiatan pembuatan dan
penerapan hukum. Dalam kegiatan tersebut terdapat peran yang diemban oleh
profesi advokat melalui jasa atau bantuan hukum yang dijalankannya.6
6 Prof. Dr. Jimly Ashidiqie, S.H., Sambutan Ketua MK dalam Kitab Advokat Indonesia, Alumni, Bandung, 2007, hlm xi.
12
Advokat menurut ketentuan Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor
18 Tahun 2003 tentang Advokat diberikan pengertian sebagai orang yang
berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar Pengadilan yang
memenuhi syarat berdasarkan undang-undang. Advokat memiliki status sebagai
penegak hukum yang bebas dan mandiri sebagaimana yang ditentukan dalam
Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003. Profesi Advokat secara
konseptual adalah suatu pekerjaan hukum berdasarkan keahlian untuk
melayani masyarakat secara independen dengan batasan kode etik dari
komunitasnya7.
Secara umum, garis besar Fungsi dan Peranan Advokat, antara lain, sebagai
berikut: 8
1. Sebagai pengawal konstitusi dan hak asasi manusia;
2. Memperjuangkan hak asasi manusia;
3. Melaksanakan Kode Etik Advokat;
4. Memegang teguh sumpah Advokat dalam rangka menegakkan hukum,
keadilan, dan kebenaran;
5. Menjunjung tinggi serta mengutamakan idealisme (nilai keadilan, kebenaran
dan moralitas);
6. Melindungi dan memelihara kemandirian, kebebasan, derajat dan martabat
Advokat;
7. Menjaga dan meningkatkan mutu pelayanan Advokat terhadap masyarakat
dengan cara belajar terus-menerus untuk memperluas wawasan dan ilmu
hukum;
7 Luhut M.P.Pangaribuan, S.H., LL.M; Hukum Acara Pidana, Jakarta, Djambatan, 2005, Hlm. 58 Frans Hendra Winarta, op cit., hal
13
8. Menangani perkara-perkara sesuai dengan kode etik Advokat baik secara
nasional, maupun secara internasional;
9. Mencegah penyalahgunaan keahlian dan pengetahuan yang merugikan
masyarakat dengan cara mengawasi pelaksanaan etika profesi Advokat
melalui Dewan Kehormatan Asosiasi Advokat;
10.Memelihara kepribadian Advokat karena profesi Advokat merupakan profesi
yang terhormat;
11.Menjaga hubungan baik dengan klien maupun teman sejawat;
12.Memelihara persatuan dan kesatuan advokat agar sesuai dengan maksud
dan tujuan organisasi Advokat;
13.Memberikan pelayanan hukum, nasihat hukum, konsultasi hukum, pendapat
hukum, informasi hukum, dan menyusun kontrak-kontrak;
14.Membela kepentinan klien dan mewakili klien di muka pengadilan;
15.Memberikan bantuan hukum dengan cuma-cuma kepada masyarakat yang
lemah dan tidak mampu (pro bono publico).
Dari uraian mengenai Fungsi dan Peranan Advokat secara umum di
atas, dalam hal upaya penegakan hukum khususnya di Indonesia, profesi
Advokat memiliki Peran dan Fungsi, sebagai berikut:
1. Sebagai pengawal konstitusi dan hak asasi manusia;
2. Memperjuangkan hak asasi manusia;
3. Menjunjung tinggi serta mengutamakan idealisme (nilai keadilan, kebenaran
dan moralitas);
14
4. Menjaga dan meningkatkan mutu pelayanan Advokat terhadap masyarakat
dengan cara belajar terus-menerus untuk memperluas wawasan dan ilmu
hukum;
5. Memberikan pelayanan hukum, nasihat hukum, konsultasi hukum, pendapat
hukum, informasi hukum, dan menyusun kontrak-kontrak;
6. Membela kepentingan klien dan mewakili klien di muka pengadilan;
7. Memberikan bantuan hukum dengan cuma-cuma kepada masyarakat yang
lemah dan tidak mampu (pro bono publico).
B. Hak dan Kewajiban Advokat
Hak dan Kewajiban Advokat telah diatur secara tegas dalam Pasal 14
sampai dengan Pasal 20 Undang Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang
Advokat.
1. Hak Advokat
Dalam menjalankan profesinya, Advokat memiliki hak-hak sebagai
berikut:
a. Bebas mengeluarkan pendapat atau pernyataan dalam membela perkara
di dalam sidang pengadilan. (pasal 14);
b. Bebas dalam menjalankan tugas profesinya untuk membela perkara yang
menjadi tanggung jawabnya (pasal 15);
c. Tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam
menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk kepentingan
pembelaan Klien dalam sidang pengadilan. (pasal 16);
d. Dalam menjalankan profesinya, Advokat berhak memperoleh informasi,
data, dan dokumen lainnya, baik dari instansi Pemerintah maupun pihak
15
lain yang berkaitan dengan kepentingan tersebut yang diperlukan untuk
pembelaan kepentingan Kliennya (pasal 17);
e. Berhak atas kerahasiaan hubungannya dengan Klien, termasuk
perlindungan atas berkas dan dokumennya terhadap penyitaan atau
pemeriksaan dan perlindungan terhadap penyadapan atas komunikasi
elektronik Advokat (pasal 19 ayat (2)).
2. Kewajiban Advokat
Dalam menjalankan profesinya, Advokat memiliki kewajiban-kewajiban
sebagai berikut:
a. Dalam menjalankan tugas profesinya dilarang membedakan perlakuan
terhadap Klien berdasarkan jenis kelamin, agama, politik, keturunan, ras,
atau latar belakang sosial dan budaya (pasal 18);
b. Advokat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui atau
diperoleh dari Kliennya karena hubungan profesinya, kecuali ditentukan
lain oleh Undang Undang (pasal 19);
c. Advokat dilarang memegang jabatan lain yang bertentangan dengan
kepentingan tugas dan martabat profesinya (pasal 20 ayat (1));
d. Advokat dilarang memengang jabatan lain yang meminta pengabdian
sedemikian rupa sehingga merugikan profesi Advokat atau mengurangi
kebebasan dan kemerdekaan dalam menjalankan tugas profesinya (pasal
20 ayat (2));
e. Advokat yang menjadi pejabat negara, tidak melaksanakan tugas profesi
Advokat selama memanggku jabatan tersebut. (pasal 20 ayat (3)).
16
C. Kode Etik Advokat
Advokat dalam menjalankan profesinya menggunakan sistim etika terutama
untuk menyediakan struktur yang mampu menciptakan disiplin tata kerja dan
menyediakan garis batas tata nilai yang bisa dijadikan acuan para profesional
untuk menyelesaikan dilematik etika yang dihadapi saat menjalankan fungsi
profesi sehari-hari. Kode Etik Advokat merupakan seperangkat kaidah prilaku
sebagai pedoman yang harus dipatuhi dalam mengemban profesi Advokat.
Dengan demikian, maka ada tiga maksud yang terkandung dalam pembentukan
kede etik tersebut9, yaitu:
1. Menjaga dan meningkatkan kualitas moral;
2. Menjaga dan meningkatkan kualitas keterampilan tekhnis; dan
3. Melindungi kesejahteraan materiil dari para pengemban profesi Advokat.
Di Indonesia, Kode Etik Advokat telah disusun oleh tujuh organisasi Advokat
yang terdiri dari Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia
(AAI), Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat dan
Pengacara Indonesia (HAPI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi
Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), dan Himpunan Konsultan Hukum Pasar
Modal (HKHPM), pada tanggal 23 Mei 2002 atau lebih kurang satu tahun sebelum
diundangkan dan diberlakukannya Undang Undang Nomor 18 Tahun 2003
tentang Advokat, yang selanjutnya dalam Pasal 33 Undang Undang Nomor 18
Tahun 2003 tentang Advokat, Kode Etik Advokat tersebut dinyatakan memiliki
kekuatan hukum.
Dalam Kode Etik Advokat yang disusun oleh organisasi-organisasi Advokat
tersebut terdapat pola-pola etika yang diatur dari kepribadian Advokat, pola
9 ibid.
17
hubungan Advokat dengan Klien, dan Pola Hubungan Advokat dengan teman
sejawat sesama Advokat sampai dengan Penegakan Kode Etik Advokat itu
sendiri. Secara ringkas dapat diuraikan mengenai kepibadian advokat serta
beberapa pola hubungan dari Advokat yang diatur dalam Kode Etik Advokat,
sebagai berikut:
1. Kode Etik Kepribadian Advokat
a. Advokat Indonesia adalah warga negara Indonesia yang bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, bersikap satria, jujur dalam mempertahankan
keadilan dan kebenaran dilandasi moral yang tinggi, luhur dan mulia, dan
yang dalam melaksanakan tugasnya menjunjung tinggi hukum, Undang-
Undang Dasar Republik Indonesia, kode etik Advokat serta sumpah
jabatannya.
b. Advokat dapat menolak untuk memberi nasihat dan bantuan hukum
kepada setiap orang yang memerlukan jasa dan atau bantuan hukum
dengan pertimbangan oleh karena tidak sesuai dengan keahliannya dan
bertentangan dengan hati nuraninya, tetapi tidak dapat menolak dengan
alasan karena perbedaan agama, kepercayaan politik dan kedudukan
sosialnya.
c. Advokat dalam melakukan tugasnya tidak bertujuan semata-mata untuk
memperoleh imbalan materi tetapi lebih mengutamakan tegaknya
hukum, kebenaran dan keadilan.
d. Advokat dalam menjalankan profesinya adalah bebas dan mandiri serta
tidak dipengaruhi oleh siapapun dan wajib memperjuangkan hak-hak
azasi manusia dalam negara hukum Indonesia.
e. Advokat wajib memelihara rasa solidaritas diantara teman sejawat.
18
f. Advokat wajib memberikan bantuan dan pembelaan hukum kepada
teman sejawat yang diduga atau didakwa dalam suatu perkara pidana
atas permintaannya atau karena penunjukan organisasi profesi.
g. Advokat tidak dibenarkan untuk melakukan pekerjaan lain yang dapat
merugikan kebebasan, derajat dan martabat Advokat.
h. Advokat harus senantiasa menjunjung tinggi profesi Advokat sebagai
profesi terhormat (officium nobile).
i. Advokat dalam menjalankan profesinya harus bersikap sopan terhadap
semua pihak namun wajib mempertahankan hak dan martabat Advokat.
j. Seorang Advokat yang kemudian diangkat untuk menduduki suatu
jabatan negara (eksekutif, legislative dan judikatif) tidak dibenarkan
untuk berpraktek sebagai Advokat dan tidak diperkenankan namanya
dicantumkan atau dipergunakan oleh siapapun atau oleh kantor manapun
dalam suatu perkara yang sedang diproses/berjalan selama ia menduduki
jabatan tersebut.
2. Kode Etik Hubungan Advokat dengan Klien
a. Advokat dalam perkara-perkara perdata harus mengutamakan
penyelesaian dengan jalan damai.
b. Advokat tidak dibenarkan memberikan keterangan yang dapat
menyesatkan klien mengenai perkara yang sedang diurusnya.
c. Advokat tidak dibenarkan menjamin kepada kliennya bahwa perkara yang
ditanganinya akan menang.
d. Dalam menentukan besarnya honorarium Advokat wajib
mempertimbangkan kemampuan klien.
19
e. Advokat tidak dibenarkan membebani klien dengan biaya-biaya yang tidak
perlu.
f. Advokat dalam mengurus perkara Cuma-Cuma harus memberikan
perhatian yang sama seperti terhadap perkara untuk mana ia menerima
uang jasa.
g. Advokat harus menolak mengurus perkara yang menurut keyakinannya
tidak ada dasar hukumnya.
h. Advokat wajib memegang rahasia jabatan tentang hal-hal yang
diberitahukan oleh klien secara kepercayaan dan wajib tetap menjaga
rahasia itu setelah berakhirnya hubungan antara Advokat dan klien itu.
i. Advokat tidak dibenarkan melepaskan tugas yang dibebankan kepadanya
pada saat yang tidak menguntungkan posisi klien atau pada saat tugas itu
akan dapat menimbulkan kerugian yang tidak dapat diperbaiki lagi bagi
klien yang bersangkutan, dengan tidak mengurangi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf (a).
j. Advokat yang mengurus kepentingan bersama dari dua pihak atau lebih
harus mengundurkan diri sepenuhnya dari pengurusan kepentingan-
kepentingan tersebut, apabila dikemudian hari timbul pertentangan
kepentingan antara pihak-pihak yang bersangkutan.
k. Hak retensi Advokat terhadap klien diakui sepanjang tidak akan
menimbulkan kerugian kepentingan klien.
3. Kode Etik Hubungan Advokat dengan Teman Sejawat
a. Hubungan antara teman sejawat Advokat harus dilandasi sikap saling
menghormati, saling menghargai dan saling mempercayai.
20
b. Advokat jika membicarakan teman sejawat atau jika berhadapan satu
sama lain dalam sidang pengadilan, hendaknya tidak menggunakan kata-
kata yang tidak sopan baik secara lisan maupun tertulis.
c. Keberatan-keberatan terhadap tindakan teman sejawat yang dianggap
bertentangan dengan kode etik Advokat harus diajukan kepada Dewan
Kehormatan untuk diperiksa dan tidak dibenarkan untuk disiarkan melalui
media massa atau cara lain.
d. Advokat tidak diperkenankan menarik atau merebut seorang klien dari
teman sejawat.
e. Apabila klien hendak mengganti Advokat, maka Advokat yang baru hanya
dapat menerima perkara itu setelah menerima bukti pencabutan
pemberian kuasa kepada Advokat semula dan berkewajiban
mengingatkan klien untuk memenuhi kewajibannya apabila masih ada
terhadap Advokat semula.
f. Apabila suatu perkara kemudian diserahkan oleh klien terhadap Advokat
yang baru, maka Advokat semula wajib memberikan kepadanya semua
surat dan keterangan yang penting untuk mengurus perkara itu, dengan
memperhatikan hak retensi Advokat terhadap klien tersebut.
4. Kode Etik Advokat Dalam Bertindak Menangani Perkara
a. Surat-surat yang dikirim oleh Advokat kepada teman sejawatnya dalam
suatu perkara dapat ditunjukkan kepada hakim apabila dianggap perlu
kecuali surat-surat yang bersangkutan dibuat dengan membubuhi catatan
“Sans Prejudice”.
21
b. Isi pembicaraan atau korespondensi dalam rangka upaya perdamaian
antar Advokat akan tetapi tidak berhasil, tidak dibenarkan untuk
digunakan sebagai bukti di muka pengadilan.
c. Dalam perkara perdata yang sedang berjalan, Advokat hanya dapat
menghubungi hakim apabila bersama-sama dengan Advokat pihak lawan,
dan apabila menyampaikan surat, termasuk surat yang bersifat “ad
informandum” maka hendaknya seketika itu tembusan dari surat tersebut
wajib diserahkan atau dikirimkan pula kepada Advokat pihak lawan.
d. Dalam perkara pidana yang sedang berjalan, Advokat hanya dapat
menghubungi hakim apabila bersama-sama dengan jaksa penuntut
umum.
e. Advokat tidak dibenarkan mengajari dan atau mempengaruhi saksi-saksi
yang diajukan oleh pihak lawan dalam perkara perdata atau oleh jaksa
penuntut umum dalam perkara pidana.
f. Apabila Advokat mengetahui, bahwa seseorang telah menunjuk Advokat
mengenai suatu perkara tertentu, maka hubungan dengan orang itu
mengenai perkara tertentu tersebut hanya boleh dilakukan melalui
Advokat tersebut.
g. Advokat bebas mengeluarkan pernyataan-pernyataan atau pendapat
yang dikemukakan dalam sidang pengadilan dalam rangka pembelaan
dalam suatu perkara yang menjadi tanggung jawabnya baik dalam sidang
terbuka maupun dalam sidang tertutup yang dikemukakan secara
proporsional dan tidak berkelebihan dan untuk itu memiliki imunitas
hukum baik perdata maupun pidana.
22
h. Advokat mempunyai kewajiban untuk memberikan bantuan hukum secara
cuma-cuma (pro bono) bagi orang yang tidak mampu.
i. Advokat wajib menyampaikan pemberitahuan tentang putusan
pengadilan mengenai perkara yang ia tangani kepada kliennya pada
waktunya.
Untuk menegakkan atau menjamin ditaatinya Kode Etik Advokat oleh para
Advokat, setiap Advokat diawasi oleh Dewan Kehormatan Organisasi Advokat.
Apabila terjadi pelanggaran Kode Etik Advokat tersebut, berdasarkan ketentuan
Pasal 26 Undang Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, Dewan
Kehormatan Organisasi Advokat diberikan kewenangan untuk memeriksa dan
mengadili pelanggaran dan berwenang pula menjatuhkan sanksi berupa
peringatan biasa, peringatan keras, pemberhentian sementara waktu tertentu;
dan pemecatan dari keanggotaan organisasi profesi. Dengan pertimbangan atas
berat atau ringannya sifat pelanggaran Kode Etik Advokat, Advokat dapat
dikenakan sanksi :
a. Peringatan biasa bilamana sifat pelanggarannya tidak berat;
b. Peringatan keras bilamana sifat pelanggarannya berat atau karena
mengulangi kembali melanggar kode etik dan atau tidak mengindahkan
sanksi peringatan yang pernah diberikan.
c. Pemberhentian sementara untuk waktu tertentu bilamana sifat
pelanggarannya berat, tidak mengindahkan dan tidak menghormati
ketentuan kode etik atau bilamana setelah mendapat sanksi berupa
peringatan keras masih mengulangi melakukan pelanggaran kode etik.
23
d. Pemecatan dari keanggotaan organisasi profesi bilamana dilakukan
pelanggaran kode etik dengan maksud dan tujuan merusak citra serta
martabat kehormatan profesi Advokat yang wajib dijunjung tinggi sebagai
profesi yang mulia dan terhormat.
Dalam hal Advokat dikenakan sanksi pemberhentian sementara untuk
waktu tertentu harus diikuti larangan untuk menjalankan profesi Advokat di luar
maupun di muka pengadilan dan terhadap Advokat yang dijatuhi sanksi
pemberhentian sementara untuk waktu tertentu dan atau pemecatan dari
keanggotaan organisasi profesi disampaikan kepada Mahkamah Agung untuk
diketahui dan dicatat dalam daftar Advokat.
III. KESIMPULAN
Secara tegas telah dibahas di atas mengenai peran dan fungsi Advokat dalam
penegakkan supremasi hukum di Indonesia, namun terdapat sekurangnya 3
(tiga) hal dalam law enforcement, yakni hukumnya, aparat penegaknya dan
masyarakat. Ketiga aspek tersebut memiliki peran tersendiri yang saling
berkaitan satu dengan lainnya. Kesemuanya memerlukan peran aktif dari
pemerintah melalui institusi peradilannya, organisasi advokat serta masyarakat
untuk menegakkan dan menjaga profesi advokat. Sangat penting dan
mendesak sikap tegas dari MA untuk menengahi dan menetapkan
permasalahan dualisme organisasi advokat di Indonesia. Apabila hal tersebut
dibiarkan berlarut-larut maka akan lebih menambah besar permasalahan dan
memambah keruh kondisi advokat maupun calon advokat.
24
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
PERADI, Kitab Advokat Indonesia, Alumni, Bandung, 2007.
Frans Hendra Winarta, Advokat Indonesia (Citra, Idealisme, Dan Keprihatinan),
Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995.
Luhut M.P. Pangaribuan, S.H., LL.M, Hukum Acara Pidana, Djambatan, Jakarta,
2005.
Ropaun Rambe, Teknik Praktek Advokat, PT. Gramedia WI, Jakarta, 2001.
B. Makalah
Dr. (Iur). Adnan Buyung Nasution, Undang-Undang Advokat: Menuju Profesi
Advokat Yang Bebas dan Mandiri. Disampaikan pada acara Workshop
Profesi Advokat, Diselenggarakan Kerjasama antara Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada dan Adnan Buyung Nasution & Partners (ABNP)
Law Firm, Yogyakarta, 10 Desember 2004.
Kamal Firdaus, Pengenalan Dunia Kepengacaraan. Disampaikan pada acara
Pendidikan dan Pelatihan Kepengacaraan, Diselenggarakan Fakultas
Hukum Universitas Muhamadiyah Yogyakarta, Yogyakarta 19 November
2000.
Frans Hendrawinarta, Dimensi Moral Profesi Advokat dan Pekerja Bantuan
Hukum, http://www.komisihukum.go.id/article_opinion.php, 14 Juni
2006.
C. Peraturan
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat
Kode Etik Advokat
25
26