menjaga harmoni dengan pendekatan konseling lintas agama

22
AL-IRSYAD: Jurnal Bimbingan Konseling Islam Web Jurnal : http://jurnal.iain-padangsidimpuan.ac.id/index.php/Irsyad Volume 3 Nomor 1, Juni 2021, h. 29- 50 e-ISSN : 2714-7517 p- ISSN: 2668-9661 Menjaga Harmoni dengan Pendekatan Konseling Lintas Agama dan Budaya Sukardiman UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Email: [email protected] Abstract Indonesia is a country with the most extraordinary levels of diversity in the world, especially in the context of the Lombok people, known as the Sasak tribe, which has diversity in terms of religion, culture, race and others, one of which is in the Karang TaliwangVillage. So that in the midst of diversity, mutual understanding is needed in order to create a balance between groups, especially groups of religious communities. This is where the importance of the role of the interfaith and cultural counseling perspective in providing a more inclusive and humanist understanding to the community, of course the great role of the counselor is needed in seeing the cultural potential that is able to become the spirit of building social harmony between people religious. Like the culture of mutual jot which is a tradition in the form of delivering food after performing a series of ceremonies. Like mMuslim who hold a aqiqah event, the will definitely deliver food to the neighbors, even though they are of different religions. Second mutual pesilaq is an invite between communities, not just fellow religious communities, but with other communities in the Karang TaliwangVillage and the third is belangaran culture. The counselor must utilize multicultural counseling as above as a change agent for every individual in society, because cultural awareness is one of the important dimensions in understanding a society with cultural diversity. That will help counselor in providing meaning and understanding of defferences in society. Key Word: Cross, Religion, and Cultural Counseling Abstrak Indonesia merupakan negara dengan tingkat kemajemukan paling luar biasa di dunia, khususnya dalam konteks masyarakat Lombok yang dikenal dengan Suku Sasak memiliki kemajemukan dari segi agama, budaya, ras dan lain- lain, salah satunya di Kelurahan Karang Taliwang. Sehingga di tengah kemajemukan tersebut sangat memerlukan mutual understanding agar tercipta keseimbangan antar kelompok, terutama kelompok umat beragama. Di sinilah pentingnya peran perspektif konseling lintas agama dan budaya dalam memberikan pemahaman yang lebih inklusif dan humanis kepada masyarakat,

Upload: others

Post on 11-Feb-2022

6 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Menjaga Harmoni dengan Pendekatan Konseling Lintas Agama

AL-IRSYAD: Jurnal Bimbingan Konseling Islam

Web Jurnal : http://jurnal.iain-padangsidimpuan.ac.id/index.php/Irsyad Volume 3 Nomor 1, Juni 2021, h. 29- 50

e-ISSN : 2714-7517 p- ISSN: 2668-9661

Menjaga Harmoni dengan Pendekatan Konseling

Lintas Agama dan Budaya

Sukardiman

UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Email: [email protected]

Abstract

Indonesia is a country with the most extraordinary levels of diversity in the

world, especially in the context of the Lombok people, known as the Sasak tribe,

which has diversity in terms of religion, culture, race and others, one of which is

in the Karang TaliwangVillage. So that in the midst of diversity, mutual

understanding is needed in order to create a balance between groups, especially

groups of religious communities. This is where the importance of the role of the

interfaith and cultural counseling perspective in providing a more inclusive and

humanist understanding to the community, of course the great role of the

counselor is needed in seeing the cultural potential that is able to become the spirit

of building social harmony between people religious. Like the culture of mutual

jot which is a tradition in the form of delivering food after performing a series of

ceremonies. Like mMuslim who hold a aqiqah event, the will definitely deliver

food to the neighbors, even though they are of different religions. Second mutual

pesilaq is an invite between communities, not just fellow religious communities,

but with other communities in the Karang TaliwangVillage and the third is

belangaran culture. The counselor must utilize multicultural counseling as above

as a change agent for every individual in society, because cultural awareness is

one of the important dimensions in understanding a society with cultural diversity.

That will help counselor in providing meaning and understanding of defferences

in society.

Key Word: Cross, Religion, and Cultural Counseling

Abstrak

Indonesia merupakan negara dengan tingkat kemajemukan paling luar

biasa di dunia, khususnya dalam konteks masyarakat Lombok yang dikenal

dengan Suku Sasak memiliki kemajemukan dari segi agama, budaya, ras dan lain-

lain, salah satunya di Kelurahan Karang Taliwang. Sehingga di tengah

kemajemukan tersebut sangat memerlukan mutual understanding agar tercipta

keseimbangan antar kelompok, terutama kelompok umat beragama. Di sinilah

pentingnya peran perspektif konseling lintas agama dan budaya dalam

memberikan pemahaman yang lebih inklusif dan humanis kepada masyarakat,

Page 2: Menjaga Harmoni dengan Pendekatan Konseling Lintas Agama

30 AL-IRSYAD: Jurnal Bimbingan Konseling Islam

Volume 3 Nomor 1, Juni 2021, h. 29-50

tentu sangat dibutuhkan peran besar konselor dalam melihat potensi budaya yang

mampu menjadi spirit membangun harmonisasi sosial antar umat beragama.

Seperti budaya saling jot yang adalah sebuah tradisi dalam bentuk mengantarkan

makanan setelah melaksanakan rangkaian upacara. Seperti orang Islam yang

mengadakan acara aqiqah, pasti akan mengantarkan makanan ke tetangga sekitar,

meskipun beda agama. Kedua, saling pesilaq merupakan saling mengundang antar

masyarakat, bukan hanya sesama satu komunitas agama, namun dengan

komunitas lainnya yang ada di Kelurahan Karang Taliwang dan ketiga budaya

belangaran. Konselor harus memanfaatkan konseling multibudaya seperti di atas

sebagai pembawa perubahan bagi setiap individu dalam masyarakat, karena sadar

akan pentingnya budaya merupakan salah satu dimensi yang harus adaketika akan

memahami masyarakat dengan heterogenitas budaya yang dimilikinya. Hal

tersebut akan bermanfaat untuk konselor dalam berdialog dan memberi

pemahaman mengenai pentingnya menjaga perdamian di tengah perbedaan dalam

masyarakat.

Kata Kunci: Konseling Lintas, Agama, dan Budaya

A. Pendahuluan

Bangsa Indonesia adalah bangsa besar yang tersusun dari berbagai agama,

adat, ras, bahasa, adat istiadat dan suku. Bangsa besar ini mampu tegak bertahan

bila para pemimpin dan masyarakatnya bersedia bersama-sama merawat

keanekaragaman tersebut menjadi energi positif yang dalam rangka menciptakan

harmoni sosial. Apalagi di Lombok kemajemukan begitu terlihat jelas, budaya,

bahasa, serta agama. Semua kemajemukan itu menjadi fenomena yang lazim

ditemukan, bahkan masjid berdampingan dengan pura.

Kelurahan Karang Taliwang kecamatan Cakranegara adalah salah satu

contoh wilayah di Lombok yang sangat majemuk dari segi budaya, etnis, serta

agama. Ada Hindu, Islam, Kristen, dan Buddha. Jadi harmonisasi sosial ditengah

kemajemukan tersebut, terutama antar pemeluk agama yang berbeda harus di

kelola dan dipelihara dengan bijak, Bukan malah sebaliknya, membunuh

keberagaman dan menghapus perbedaan atas nama persatuan dan kesatuan.

Kerukunan merupakan cita-cita semua agama yang harus diwujudkan

bersama-sama, kerukunan artinya merasakan perdamaian dengan tiadanya konflik

antar sesama yang menggambarkan relasi antara kelommpok yang berbeda latar

belakang dengan menjunjung tinggi prinsip moral saling menghargai, keadilan,

Page 3: Menjaga Harmoni dengan Pendekatan Konseling Lintas Agama

Menjaga Harmoni dengan Pendekatan Konseling… ( Sukardiman) 31

dan kehendak baik atau umumnya kedamiandigambarkan dengan situasi

ketenangan, kesunyian, dan kehangatan tanpa perselisihan dan kegaduhan yang

dapat mengganggu harmonisasikehidupan.1 Harmoni sosial ditengah

kemajemukan, terutama antar pemeluk agama yang berbeda harus manage dan

dijaga dengan baik, Bukan malah sebaliknya, memberangus keberagaman dan

menghapus perbedaan atas nama persatuan dan kesatuan.2Integrasi akan terjadi

melalui “inter group relationship”, yakni hubungan antara anggota-anggota dari

berbagai kelompok termasuk kelompok antar umat beragama akan membuat para

pemeluk umat beragama menjadi saling memahami (mutual

understanding).3Anggota masyarakat tidak hanya di dalam hubungan dengan

sesama anggota kelompok, tapi dengan diluar kelompoknya, makin intensif

hubungan antar umat agama terjadi, makin tinggi pula harmonisasi sosial pada

tingkat masyarakat akan berkembang.Jadi integrasi sosial itu adalah suatu

kesukarelaan sosial yang menerima setiap individu atau kelompok yang beragam

untuk terlibat aktif dalam semua kegiatan sosial, poinnya adalah pengakuan

terhadap keberadaan semua anggota masyarakat.4

Namun, tidak jarang tindak kekerasan atau diskriminasi terjadi antara

mayoritas dan minoritas, dikarenakan ada yang merasa lebih superior, bisa juga

disebabkan karena persoalan sosial anak muda yang berimbas pada agama yang

dibawa dalam pusaran problematika sosial, sehingga yang satu mengkafirkan

yang lain, bahkan tidak menerima adanya perbedaan pandangan dalam urusan

beragama di ruang publik. Sehingga menyebabkan korban jiwa yang berjatuhan

dari setiap kelompok masyarakat. Berdasarkan observasi awal dan penuturan dari

Kepala Kelurahan Karang Taliwang yang membenarkan bahwa pernah terjadi

semacam clashof youth dari masing-masing agama yang berawal dari minum-

1 Mohammad Takdir, Model-Model Kerukunan Umat Beragama Berbasis Local Wisdom

(Potret Harmoni Kebhinekaan di Nusa Tenggara Timur), Tapis, Vol. 01, No. 01, Januari-Juni

2017. 2Suprapto. Agama dan Studi Perdamaian: Pluralitas, Kearifan Beragama, dan Resolusi

Konflik, (Mataram: LEPPIM Institut Agama Islam Negeri (Iain) Mataram, 2016), Hlm 1. 3 Agus. Pedoman Kuliah Sistem Sosial Budaya Indonesia. (Mataram: Fakultas Ilmu

Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Mataram, 2006), hlm 8. 4Suprapto, Semerbak Dupa di Pulau Seribu Masjid: Kontestasi, Integrasi, dan Resolusi

Konflik Hindu-Muslim, (Jakarta: Kencana, 2013), hlm 39.

Page 4: Menjaga Harmoni dengan Pendekatan Konseling Lintas Agama

32 AL-IRSYAD: Jurnal Bimbingan Konseling Islam

Volume 3 Nomor 1, Juni 2021, h. 29-50

minuman keras dikalangan pemuda sehingga timbul persoalan yang membawa

simbol-simbol agama dari masing-masing kelompok.

Masyarakat yang majemuk ini memiliki kebudayaannya sendiri yang

mengarahkantindakan, peristiwa dan harapan (hope) mereka, sehingga peran

konseling lintas agama dan budaya sangat diperlukan agar masyarakat yang

heterogen mampu mehamai pentingnya merawat perdamaian ditengah

kemajemukan. Dalam hal ini, konseling sebagai hubungan antar konseli dan

konselor harus dapat memberikan dampakluas yang luar biasa positif, sedangkan

pada ranah spesialisasi konseling individu atau pribadi, kita harus menunjukkan

secara konsisten dan berkesimpulan bahwa memang kita sungguh-sungguh

berorientasi secara multibudaya baik secara teori dan praktiknya, dan

menunjukkan kita memang efektif sebagai seorang konselor untuk agama dan

budaya apapun.Halyang paling penting untuk konseli multiagama dan budaya

adalah merasakan bahwakita peduli dan peka dengan keunikan yang mereka

miliki.5 Bukan kemudian menjadi seorang Counselor Encapsulation, di mana

konselor cenderung untuk mengungkung atau menutup dirinya hanya pada

budayanya sendiri sehingga bersikap resisten pada potensi kebenaran budaya

kelompok yang berbeda dengan dirinya, tentu hal ini sangat terbalik dengan

keharusan konselor memiliki sensitifitas terhadap klien berbeda budaya agar tidak

tercipta masalah baru ketika proses pemberian konseling berlangsung.6

Konselor harus memiliki kualitas yang memadai untuk melakukan

konseling kepada individu yang memiliki latar belakang budaya dan agama

seperti yang ditulis oleh Ishlakhatus Sa’idah dan Moh. Ziyadul Haq Annajih

dalam jurnalnya yang mengutip pendapat dari Cavanagh “There are three

important things related to the quality that must be owned by the counselor,

namely knowledge, skills and personality, these three things are a unitythatcan

not be separated. The counselor personality aspect is an important thing that can

5Nurfarida Deliani, Bimbingan Konseling Pada Masyarakat Multikultura, Tathwir

Jurnal,Volume I, No. 1, Tahun 2018, 11-27.

6 Masturi, Counselor Encapsulation: Sebuah Tantangan Dalam Pelayanan Konseling

Lintas Budaya, Jurnal Konseling Gusjigang, Vol. 1, No. 2, Tahun 2015.

Page 5: Menjaga Harmoni dengan Pendekatan Konseling Lintas Agama

Menjaga Harmoni dengan Pendekatan Konseling… ( Sukardiman) 33

support success in counseling and guidance activities”.7 Jadi konselor harus

memiliki pengetahuan, skill, dan kepribadian. Terutama kualitas kepribadian (the

personal quality of the counselor) yang harus dipresentasikan kepada konseli agar

tidak terjadi miss understanding dan mampu membangun hubungan interpersonal

yang baik.

Pendekatan konseling multiagama dan multibudaya sebagai penggerak

seluruh kelompok masyarakat untuk saling menghargai dan menghormati satu

dengan yang lainnya. Kelompok mayoritas harus menghormati kaum minoritas

dan sebaliknya, kaum minoritas harus menghormati eksistensi kaum mayoritas.

Konsep untuk saling menhormati dan menerima kehadiran kelompok agama lain

merupakan modal sosial dalam membina harmonisasi sosial pada kelompok

masyarakat yang heterogen.Konseling multibudaya sangat dibutuhkan dalam

upayamemberikan pemahaman kepada masyarakat, terutama para remaja perihal

makna keberagaman, indahnya persaudaraan dalam perbedaan.8

Jika generasi muda sudah ditanamkan model berfikir tentang keberagaman

dalam konsep multibudaya dan agama, maka suatu saat akan diperoleh generasi

yang mudah untuk mengerti dan menghormati sesuatu yang berbeda

dengannya.Dalam konseling multiagama dan budaya, out put yang ingin

dicapaiadalah terwujudnya harmonisasi antar agama dan budaya tidak boleh

dihalangi oleh perbedaan budaya konselor dan klien. Tentu asumsi-asumsi yang

sering gunakan dalam proses konseling adalah tentang keberhargaan dan martabat

tinggi yang melekat pada individu konseli, penghargaan atas keunikan pribadinya,

hak mereka untuk mengekspresikan diri dan lain sebagainya, hal tersebut

mengindikasikan kita berkomitmen untuk konseling yang efektif untuk semua

jenis klien apapun latarbelakang budaya, dan etnik religious.Konselor yang

mengabaikan backgroundkultur masing-masing dapat mengakibatkan terminasi

dini dalam konseling, apalagi berkaitan dengan perbedaan agama, maka akan

sangat fatal sekali.

7Ishlakhatus Sa’idah Dan Moh. Ziyadul Haq Annajih,Personal Counselor Quality

Improvement Based On An-Nahdliyah Moderation Value, Konseli: Jurnal Bimbingan dan

Konseling (E-Journal), 07 (1); 2020; 31-38

8 Ardi Andika Wadi, Hamzanwadi, Bimbingan Konseling Lintas Agama dan Budaya

Dalam Penanggulangan Radikalisme Bagi Remaja, Jurnal Al-Irsyad: Jurnal Bimbingan Konseling

Islam, Volume 1 Nomor 2, Desember 2019, H. 172 -186.

Page 6: Menjaga Harmoni dengan Pendekatan Konseling Lintas Agama

34 AL-IRSYAD: Jurnal Bimbingan Konseling Islam

Volume 3 Nomor 1, Juni 2021, h. 29-50

Mengutip tulisan Casmini, Budaya sangat berfungsi sebagai konstruk

social dan individualmemuat cultural value system(sistem nilai budaya), serta

dalam konteks psikologi berparadigma budaya, sistem nilai budaya merupakan hal

yang menjadi dasarorientasi, sikap dan perilaku individu.9 Dalam perpektif

psikologi juga, anggota masyarakat bukan hanya terikat oleh kebudayaan,

melainkan kebudayaan secara tidak langsung berfungsi sebagai kontrol social bagi

tingkah laku manusia baik secara individu maupun dalam ruang sosial.

Kebudayaan dapat diartikan sebagai pembentuk orientasi berpikir dan

betindak, yang merupakan suatu common heritage yang dimiliki oleh suatu

kelompok masyarakat yang berbentuk nilai-nilai, norma-norma social,kebiasaan-

kebiasaan, bahasa, gagasan dan artifak.10

Konselor harus mempelajari budaya yang

berkembang dari dahulu sampai sekarang dalam masyarakat setempat, khususnya

di Kelurahan Karang Taliwang, baik berupa perilaku dan model berpikir yang

dibawa sejak lahir, tidak ditransformasi dari wilayah lain dan diterapkan untuk

orang setempat.11

Hal tersebut bisa menjadi modal yang kuat untuk membangun

harmonisasi sosial antar umat beragama, karena konseling lintas budaya dan

agama sangat berhubungan erat dengan budaya yang membentuk kekhasan

individu, sehinggamodel konseling lintas budaya sangat memerlukan kompetensi

yang cukup dari konselor untuk memahami individu, terutama lingkunagn sosial

budaya individu.12

Konseling lintas budaya dan agama juga bisa menjadi pendekatan yang

efektif dalam membangun orientasi keagamaan masyarakat yang awalnya hanya

beragama dengan sekedar-sekedar saja, bahkan sangat kekeringan spiritual,

sehingga membuat mereka buta dalam melihat agamanya sendiri menjadi paham

dengan agamanya sendiri dan mampu menghidupi agama dengan benar, artinya

masyarakat tidak memanfaatkan agamanya untuk melakukan tindakan kekerasan

9 Casmini, Menggagas Konseling Berwawasan Budaya Dalam Perspektif Budaya

Indonesia, Hisbah: Jurnal Bimbingan Konseling dan Dakwah Islam, Vol. 9, No. 1, 2012: 1-15.

10

Suwarni, Memahami Perbedaan Sebagai Sarana Konseling Lintas Budaya, Konseling

Religi: Jurnal Bimbingan Konseling Islam, Vol. 7, No. 1, Juni 2016.

11

Casmini, Kperibadian Sehat Ala Orang Jawa, (Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta,

2020), hlm 37-39.

12

Ubaidillah Achmad, Konseling Lintas Budaya Perspektif Abdurrahman Wahid,

Konseling Religi: Jurnal Bimibingan Konseling Islam, vol. 7, No. 1, Juni 2016.

Page 7: Menjaga Harmoni dengan Pendekatan Konseling Lintas Agama

Menjaga Harmoni dengan Pendekatan Konseling… ( Sukardiman) 35

terhadap umat agama lain yang minoritas, maupun sebaliknya. Embrio dari sikap

dan perilaku keagamaan masyarakat adalah orientasi keagamaannya.

Apabila orientasi keagamaan masyarakat berada pada posisi yang intrinsic,

yakni menghidupi agama, bukan memanfaatkan agama, maka sikap keagamaan

yang akan muncul dari masyarakat adalah sikap inklusif dan menerima perbedaan

pandangan, sehingga perilaku keagamaan yang menjadi buah dari orientasi dan

sikap keagamaan pun akan positif. Karena orientasi keagamaan bermakna

bagaimanacara pandang individu tentang agamanya serta bagaimana ia

menggunakan keyakinan agamanya dalam kehidupan sosial sehari-hari.13

Sehingga

menjadikan pendekatan konseling lintas agama dan budaya sebagai pendekatan

alternatif yang sangat penting peranannya dalam masyarakat untuk mewujudkan

harmonisasi sosial antar umat beragama.

Dari beberapa alasan di atas, penulis hendak mengkaji bentuk-bentuk local

wisdom yang digunakan oleh konselor dalam memberikan konseling lintas agama

dan budaya kepada masyarakat majemuk atau heterogen yang ada di Kelurahan

Karang Taliwang. Fokus kajian menggunakan pendekatan konseling multikultural

untuk mendeskripsikan pemikiran tentang perilaku konselor dalam menghadapi

konsele yang berkehidupan di lingkungan budaya multicultural agama, rasa, suka

dan bangsa.

B. Metode Penelitian

Berangkat dari fenomena kemajemukan masyarakat yang ada di Kelurahan

Karang Taliwang, mulai agama, budaya dan sebagainya membuat konselor harus

memiliki sensitifitas dalam melihat keragaman tersebut, termasuk melihat budaya

yang mempermudah konseling lintas agama dan budaya, sehingga berpotensi

menjadi perekat harmonisasi sosial antar umat beragama. Maka menggali budaya

yang akan menjadi senjata ampuh bagi konselor perlu digali secara mendalam dan

peneliti harus terlibat langsung secara total dalam melihat hal tersebut.

Penelitian ini menggabungkan antara studi literatur tentang konseling

multikultural dengan studi lapangan dalam melihat realitas perilaku masyarakat

13 Hamdan Daulay, Khoiro Umatin, Dkk, Covid-19 dan Transformasi Keagamaan,

(Yogayakarta: Lembaga Ladang Kata, 2020), hlm 171.

Page 8: Menjaga Harmoni dengan Pendekatan Konseling Lintas Agama

36 AL-IRSYAD: Jurnal Bimbingan Konseling Islam

Volume 3 Nomor 1, Juni 2021, h. 29-50

yang berada pada budaya multikultural dan dalam konteks ini diambil sampel

kehidupan masyarakat Karang Taliwang Lombok. Studi literatur dilakukan

dengan mendasarkan pada literatur konseling multikultural sebagai sumber primer

dan karya-karya Psikologi multikultural atau Psikologi Indigenous sebagai sumber

sekunder. Studi lapangan dilakukan dengan mengambil sampel Kelurahan Karang

Taliwang Lombok didasarkan pada alasan bahwa secara teoretis dan praktis

memenuhi kategorisasi sebagai masyarakat multikultural dan memiliki interkasi

kehidupan dari beberapa agama.

Teknik pengumpulan data studi literatur dilakukan dengan membaca

karya-karya sebagaimana yang dijelaskan dalam sumber data baik primer maupun

sekunder. Data-data lapangan diperoleh melalui observasi non partisipan untuk

melihat naturalisasi kehidupan multikultural masyarakat Karangjero Lombok.

Data-data hasil observasi dikuatkan dengan wawancara secara tidak terstruktur

yang diambil ketika melakukan pengamatan dan saat ada hal yang perlu

diperdalam menanyakan kepada orang-orang yang ditemui.

Analisis data melalui tiga tahapan, yakni reduksi data (memilah dan

memilih), display data (menyajikan data) dan menyimpulkan. Reduksi data,

display data dan menyimpulkan secara bertahap dengan memilih dan memilah

data-data.14

Setelah itu mengambil yang relevan dengan konseling multikultural

yang dikelompokkan dalam tiga peta yaitu paparan teori konseling lintas agama

dan budaya dan memahami multikulturalisme dan paparan praktis kemungkinan

implementasi konseling lintas budaya dan agama di Karang Taliwang Lombok.

Hasil dari memilah dan memilih yang dibahas dalam tiga pemetaan kemudian

diambil intisarinya dari masing-masing tema maupun keseluruhan tema.

C. Tinjauan Teoritis

1. Konseling Lintas agama dan Budaya

Konseling lintas budaya memiliki istilah lain yang populer dikalangan

akademisi seperti multikultural, antar budaya, inter kultural, silang budaya, dan

14 Emzier, Metodologi Penelitian Kualitatif: Analisis Data, (Jakarta: Rajagrafindo

Persada, 2012), cet-3, hlm 85.

Page 9: Menjaga Harmoni dengan Pendekatan Konseling Lintas Agama

Menjaga Harmoni dengan Pendekatan Konseling… ( Sukardiman) 37

lain sebainya.Beny Dwi Pratama mengutip Von-Tress dan Dedi. Konseling

berwawasan lintas budaya menurut Vontres adalah konseling di mana konselor

dan konselinya adalah berbeda dalam halagama atau budaya oleh karena secara

sosialisasi berbeda dalam mendapatkan budayanya, subkulturnya, etnik, racial

atau lingkungan socialnya. Sementara Dedimenyatakan bahwa konseling lintas

agama dan budaya adalah konseling yang melibatkan penasihat (konselor) dan

konseli yang mana berasal dari latar belakang agama dan budaya yang berbeda,

oleh karena itu proses konseling berpotensi terjadi bias-bias agama atau budaya

(cultural biases) pada pihak penasihat (konselor), sehingga konseling berjalan

tidak efisien dan efektif.15

Keragaman budaya dan agama memang dapat menimbulkan konsekuensi

munculnya etnosetrisme dan komunikasi yang eksklusif. Etnosetrisme adalah

adanya perasaan superior dan menggap yang dimilikinya lebih baik dari orang

lain, sehingga untuk menghilangkan itu sangatdibutuhkan sensitifitas dan kualitas

yang baik dari konselor. Sebagaimana Wayne Oates mengatakan“banyak hamba

tuhan yang melakukan pelayanan ini secara asal saja dengan undisciplined (tidak

disiplin) dan unskilled (tidak terampil), hal ini menimbulkan kekacauan yang

sangat besar alih-alih klien akan mendapatkan pelayanan yang bagus

dikhawatirkan malah sebaliknya klien semakin tidak terkontrol yang dapat

merugikan diri klien sendiri bahkan membahayakan orang lain”.16

Konseling adalah pelayanan kemanusiaan yang tidak boleh memberikan

kerugian dan masalah baru bagi masyarakat, justru harus memberikan solusi yang

integrative, senada dengan yang diungkapkan oleh Prayitno & Amti, konseling

adalah proses pertolongan terhadap individu yang dilakukan melalui wawancara

konselingface to face oleh ahli yang disebut konselor kepada seorang individu

yang mengalami sesuatu masalah dan bertujuan untuk mengatasi problem yang

dihadapi oleh konseli (klien).17

Termasuk dalam hal konseling lintas agama dan

15Beny Dwi Pratama, Kompetensi Lintas Budaya Dalam Pelayanan Konseling,

Proceedings International Seminar Foe (Faculty Of Education), Vol. 1 Mei 2016. 16

Yakub B, Susabda, Pastoral Konseling, (Jawa Timur: Gandum Mas, 2012), hlm 22.

17

Fahrul Hidayat, Aprezo Pardodi Maba Dan Hernisawati,Perspektif Bimbingan Dan

Konseling Sensitif Budaya, Konseling Komprehensif, Volume 5, Nomor 1, Mei 2018.

Page 10: Menjaga Harmoni dengan Pendekatan Konseling Lintas Agama

38 AL-IRSYAD: Jurnal Bimbingan Konseling Islam

Volume 3 Nomor 1, Juni 2021, h. 29-50

budaya, konselor harus memberikan pemahaman yang inklusif sebagai salah satu

alternatif terbentuknya network of civic engagement (jaringan kewargaan).

Mengutip pendapat Locke dalam jurnal yang ditulis Juli Andriyani,

terdapat tiga pengertian dari konseling multikultural, yakni, pertama, individu itu

sosok khas (unik) dan penting, kedua,ketika melaksanakan konseling terhadap

konseli, konselor membawa nilai-nilai yang berasal dari lingkungan budayanya

dan berbeda dengan budaya klien, dan (3) konseli dari kaum minoritas ras, etnik

ataupun agama mendatangi konselor dengan nilai dan sikap yang dibawanya.

Sederhananya dapat dikatakan bahwa konseling lintas agama dan budaya adalah

proses komunikasi yang terjadi antara konselor dan konseli dengan latar belakang

agama dan budaya yang berbeda sehingga dibutuhkan pemahaman terhadap

konsep dan kultur kelompok lain, hal tersebut wajibbuat konselor supayabisa

memberikan bantuan terhadap masalah yang dihadapi klien secara efektif dengan

perspektif budaya konseling.18

Selain konseling lintas budaya, sering juga disebut dengan istilah

konseling multikulturalyang proses pemberian bantuan kemanusiaan secara

pribadi yang memfokuskan fungsi dari faktor budaya dan menjadikan faktor

budaya tersebut untuk kelancaran proses konseling sehinggabisa mencapai

keberhasilan, yakni memajukan proses perkembangan kepribadian individu

menjadi lebih baik, karena dalam budaya ada sistem nilai dan sistem sosial.19

Konseling lintas multicultural memang sebuah keharusan dalam dunia

sosial yang majemuk, hal tersebut senada ungkapan Surya yang mengemukakan

tren bimbingan dan konseling multikultural sangat tepat dan efektif untuk

lingkungan berbudaya heterogen seperti yang ada di di Indonesia, yang

mempunyai semboyan Bhineka Tunggal Ika.20

18Juli Andriyani, Konseling Islam Lintas Budaya (Studi Terhadap Da’I Perbatasan di

Kecamatan Danau Paris, Suro Makmur dan Gunung Meriah Kabupaten Aceh Singkil Provinsi

Aceh), Jurnal Al Bayan, Vol. 24, No. 2, 2018, 228-242.

19

Nuzliah, Counseling Multikultural, Jurnal Edukasi, Vol. 2, No. 2, 2016.

20

Fahrul Hidayat, Aprezo Pardodi Maba Dan Hernisawati, Perspektif Bimbingan dan

Konseling Sensitif Budaya, Konseling Komprehensif, Volume 5, Nomor 1, Mei 2018.

Page 11: Menjaga Harmoni dengan Pendekatan Konseling Lintas Agama

Menjaga Harmoni dengan Pendekatan Konseling… ( Sukardiman) 39

2. Multikulturalisme

Konsep Multikulralisme sebetulnya merupakan konsep dan istilah baru

sebagaimana yang ungkapkan oleh Bhikku Parekh dalam karya Democracy,

Difference, and Justice, Abdul Wahid mengutip Mu’min A. Sirry, bahwa gerakan

multikultral muncul pertama kali di Australia, Kanada, Inggris, Amerika Serikat

serta Jerman sekitar tahun 1970-an, dan secara akademis multikulturalisme masuk

dalam ranah cultural studies, yang berupaya melukiskan realitas keragaman yang

didambakan hidup dalam kedamian, artinya bahwa konsep ini menyediakan

wadah bagi yang lain untuk mengekspresikan apa yang mereka yakini tanpa

reduksi dan distorsi. Dalam multikulturalisme kesadaran tasamuh atau toleransi,

yakni memahami dan mengapresiasi perbedaan dan keragaman yang ada disekitar

kita. Perbedaan agama, ras, budaya, etnis harus disikapi dengan arif dan bijak.

Dengan memahami multicultural akan menyadarkan kita untuk saling

menghormati the other atau yang lain dan memberikan mereka ruang untuk

mengaktualisasikan keyakinannya, sehingga kita menerapkan model

keberagamaan yang humanis.21

Dalam konteks keIndonesiaan, multikulturalisme memberikan pemahaman

dan perspektif yang menitikberatkan pada interaksi dan relasi dengan

memperhatikan eksistensi setiap kebudayaan sebagai satu kesatuan yang memiliki

hak-hak yang sama di ruang publik, berbeda dengan pluralisme yang kurang

memperhatikan interaksinya. Tentu, dalam konteks Indonesia Islam sebagai

mayoritas harus mengayomi yang minoritas dan minoritas menghormati yang

mayoritas, artinya bahwa ada politik pengakuan oleh mayoritas kepada minoritas.

Secara hipotesis, semua atau sebagian besar kebudayaan multicultural

dapat digolongkan kepada salah satu tiga model dari multikulturalisme. Pertama,

mengutamakan nasionalitas, yang mana nasionalitas adalahhal yang baru

dibangun tanpa mengutamakan keanekaragaman agama, suku, serta bahasa,

dimana nasionalitaslah yang berperan sebagai perekat harmoni sosial. Sebagai

konsekuensinya ialahkurang diperhatikannya akar kebudayaan etnik sebagai

penyusun negara dan banyak yang menganggapnya sebagai model yang

21

Abdul Wahid, Pluralisme Agama: Paradigma Dialog Untuk Mediasi Konflik dan

Dakwah, (Mataram: LEPPIM, 2016), hlm 3.

Page 12: Menjaga Harmoni dengan Pendekatan Konseling Lintas Agama

40 AL-IRSYAD: Jurnal Bimbingan Konseling Islam

Volume 3 Nomor 1, Juni 2021, h. 29-50

menghancurkan kebudayaan etnik dan cenderung otoriter karena kekuasaan yang

menentukan indikator dan unsur dari integrasi nasional. Kedua, nasionalitas etnik,

di mana model beradasarkan collective counsiousness etnik yang solid dan

berlandaskan pada adanya kekerabatan dan hubungan darah dengan founders,

serta entitas bahasa juga menjadi ciri nasional etnik ini. Model yang ini lebih

eksklusif dibandingkan dengan model yang lain, hal tersebut terjadi karena orang

yang tidak memiliki kekerabatan dan hubungan darah akan tersisihkan dan seperti

orang asing. Ketiga, multicultural etnik, model ini mengakui keberadaan seluruh

masyarakat etnik secara kolektif dan model adalah yang paling terbuka di antara

ketiganya, karena keragaman menjadi realitas yang diakomodasi dn diakui oleh

negara, serta seluruh warga negara harus diperhatikan karena memiliki hak dan

kedudukan yang sama, setiap orang berhak atas pengakuan dari negara.22

Model yang memungkinkan untuk diterapkan di Indonesia saat ini

menurut penulis adalah model multicultural etnik, karena lebih terbuka dalam

mengakui seluruh warga masyarakat, baik dari kalangan mayoritas, maupun

kalangan minoritas, karena mempunyai hak dan kedudukan yang setara dalam

mengekspresikan diri, terlepas dari pro dan kontra yang ada.

Meskipun akar dari multikulturalisme adalah kebudayaan, namun ketika

masuk dalam ranah etnik, suku, dan agama bisa diterapkan nilai yang ada di

dalamnya, yakni nilai kesetaraan dalam mengaktualisasikan keyakinan yang harus

dijunjung tinggi, artinya ada kesukarelaan sosial untuk menerima orang lain

ditengah keragaman yang ada di Indonesia, dan tidak mencampurkan ranah ritual

dengan ranah sosial.

D. Pendekatan Local Wisdom Oleh Konselor Dalam Melakukan Konseling

Konseling merupakan bentuk pelayanan kemanusiaan untuk menuntun

kepribadian seseorang menjadi lebih baik dan positif, karena konselor adalah

fasilitator untuk menyelesaikan masalah dari klien.Konselor harus memahami

permasalahan yang dihadapi secara obyektif, dalam artian harus memiliki

22

Achmad Fedyani Syaifudin, Membumikan Multikulturalisme di Indonesia, Jurnal

Antropologi Sosial Budaya ETNOVISI, Vol. II, No. 1 April 2006, 12-13.

Page 13: Menjaga Harmoni dengan Pendekatan Konseling Lintas Agama

Menjaga Harmoni dengan Pendekatan Konseling… ( Sukardiman) 41

sensitifitas dan penguasaan terhadap keragaman kebudayaan dan agama dalam

masyarakat, karena hal tersebut akan berpegaruh terhadap efektifitas konseling

lintas agama dan budaya. Jangan sampai terjadi pemaksaan nilai-nilai atau budaya

yang anut konselor kepada konseli.

Artinya konselor juga harus memiliki sensitifitas yang kuat dalam melihat

potensi budaya yang dimiliki para konseli yang ada di lapangan. Mengutip Burn

dalam jurnal yang ditulis oleh Fadhil Muhammad, mengatakan: “It is important

for counselors to be sensitive to and considerate of a client's cultural make up.

linicians encounter many challenging and complex issues when attempting to

provide accessible, effective, respectful and culturally affirming chemical

dependency treatment to a multi-cultural population of Deaf and hard of hearing

individuals”.23

maka, model konseling lintas agama dan budaya membutuhkan

kompetensi yang memadai dari konselor untuk memahami individu secara lebih

mendalam, baik yang terkait dengan sosial politik, agama, maupun sosial budaya

dari individu.24

Manusia merupakan makhluk yang tidak dapat lepaskan dari budaya.

Dengan melihat budayanya sebagai konteks di mana manusia berperilaku,

diperoleh gambaran yang lebih jelas mengenai manusia dan faktor yang

mendasari munculnya perilaku pada manusia, bahkan persoalan yang dihadapi

oleh manusia, termasuk para remaja yang rentan dengan penyimpangan. Sehingga

bimbingan konseling sangat tepat dengan pendekatan budaya karena membantu

merekadalam beradaptasi dengan dirinya sendiri yang mana mereka berada pada

fase pencarian jati diri, dan hal tersebut akan sangat berpengaruh terhadap

bagaimanasetiap individu dalam komunitas masyarakat berinteraksi dengan

lingkungannya secara positif dan bisa untuk mengaktulisasikan kemampuan dan

memfungsikan diri di lingkungan sosial.25

23 Fadhil Muhammad, Konseling Berbasis Wawasan Lintas Budaya Dalam Meningkatkan

Toleransi Budaya, Suloh: Jurnal Bimbingan Konseling Universitas Syiah Kuala, Vol. 4, No. 1,

2019, 31-39.

24

Ubaidillah Achmad, Konseling Lintas Aagama dan Budaya Perspektif Abdurrahman

Wahid, Konseling Religi: Jurnal Bimbingan Konseling Islam, Vol. 7, No. 1, Juni 2016.

25

Farida, Bimbingan Konseling Agama Dengan Pendekatan Budaya, Konseling Religi:

Jurnal Bimbingan Konseling Islam, Vol. 7, No. 1, Juni 2016.

Page 14: Menjaga Harmoni dengan Pendekatan Konseling Lintas Agama

42 AL-IRSYAD: Jurnal Bimbingan Konseling Islam

Volume 3 Nomor 1, Juni 2021, h. 29-50

Di Kelurahan Karang Taliwang, Kelurahan Karang Taliwang terdapat

banyak sekali budaya yang memiliki potensi untuk menciptakan dan menjaga

harmonisasi sosial antar umat beragama, yakni saling jot dan saling pesilaq.

Pertama, budaya saling ngejot atau jotan. Menurut Kepala Kelurahan Karang

Taliwang dan Kepala Lingkungan Karang Jero, saling jot adalah sebuah budaya

dalam bentuk mengantarkan makanan setelah melaksanakan rangkaian upacara

atau sembahyang kepada seluruh keluarga, tetangga sekitar maupun pada

masyarakat, hal tersebut dilakukan dalam rangka meningkatkan solidaritas atas

terwujudnya upacara yang dilaksanakan, begitupun dengan kawan-kawan Muslim

ketika mengadakan acara mengantarkan makanan ke tetangga sekitar yang

berbeda agama dengan mereka.

Tradisi ngejot dianggap sebagai simbol harmoni antar umat beragama

sehingga membuat masyarakat tetap harmonis dan mesra. Tradisi ini dianggap

sebagai sebagai simbol persaudaraan antara mayoritas Hindudan minoritas Islam

di tanah Karang Taliwang, sehingga terjalin interaksi sosial yang intesif dalam

masyarakat. budaya ini dianggap sebagai khazanah sosial yang memiliki peran

positif, termasuk sebagai social capital, karena agama sesungguhnya multifaces,

dalam artian tidak hanya berwajah ritual normatif, melainkan nilai agama juga

bisa masuk dalam ranah budaya. Dalam budaya saling jot terdapat nilai

kebersamaan (ukhuwwah basariah), politic of recognition terhadap minoritas agar

mereka tidak hidup dalam diskriminasi ditengah kehidupan mayoritas.

Hal tersebut juga sudah tercermin dalam sejarah Islam, yakni piagam

madinah, di mana agama Islam hidup berdampingan dengan umat Yahudi dan

Nasrani, dengan damai tanpa ada pertumpahan darah, di mana setiap umat

bergama agama, baik dari Islam, Yahudi, dan Nasrani diberikan hak yang sama

dan bahkan non Muslim mendapatkan jaminan keamanan yang dilindungi oleh

pemerintah Negara dan syariah,kesepakatan itu didasarkan pada kebaikan dan

keadilan bersama.26

26 Mohamed Fathi Osman, Islam, Pluralisme, dan Toleransi Keagamaan: Pandangan Al-

Qur’an, Kemanusiaan, Sejarah, dan Peradaban, (Jakarta: Democracy Project, 2012), hlm 33.

Page 15: Menjaga Harmoni dengan Pendekatan Konseling Lintas Agama

Menjaga Harmoni dengan Pendekatan Konseling… ( Sukardiman) 43

Kedua, budaya saling pesilaq sering kita dengar biasanya untuk sesama

umat Islam dalam masyarakat Sasak, namun saling pesilaq dalam masyarakat

Ligkungan Karang Taliwang merupakan saling mengundang antar masyarakat,

bukan hanya sesama satu komunitas agama, namun dengan komunitas lainnya

yang ada di Kelurahan Karang Taliwang kelurahan Karang Taliwang kecamatan

Cakranegara. Ketika ada masyarakat Muslim yang mengadakan aqiqah, pasti

masyarakat Hindu akan di pesilaq (undang) oleh masyarakat Muslim yang

mengadakan acara tersebut, bahkan pecalang yang merupakan organisasi

keamanan yang dimiliki umat Hindu menjaga keamanan acara tersebut, sehingga

dari sana akan menimbulkan saling pengertian (mutual understanding). Hal

tersebut mencerminkan sikap keagamaan yang sangat inklusif dari masyarakat.

Ketiga, Belangaran merupakan sistem tolong menolong pada masyarakat

Kelurahan Karang Taliwang apabila ada warga yang mengalami musibah

kematian dan menunjukkan rasa berbelasungkawa kepada keluarga yang

ditinggalkan. Ketika warga Karang Taliwang mendapatkan informasi dari

tetangga atau keluarga yang meninggal, maka mereka akan langsung belangaran

dan membantu tetangga atau warga yang ditimpa musibah kematian tersebut.

Toleransi antara minoritas Muslim dan mayroitas Hindu tentunya

mendorong interaksi yang inklusif di Kelurahan Karang Taliwang, hal tersebut

terjadikarena setiapindividu merasa membutuhkan orang lain, terlebih lagi dalam

kehidupan bermasyarakat, sehingga mewujudkan keseimbangan (equilibrium)

bergaul antara mayoritas dan minoritas. Dalam menjaga hubungan antara para

warga terjalin dengan baik, maka masing-masing individu harus membangun

komunikasi yang inklusif dan sikap sosial saling menghargai antara satu sama

lain. Salah satunya adalah melalui tradisi belangaran.

David Samiyo mengutip pendapat Geertz, menjelaskan secara substansi,

local wisdom memiliki posisi yang penting dalam masyarakat, karena merupakan

norma dan nilai yang sacral dalam masyarakat dan hal tersebut diyakini

kebenarannya sertamenjadi pedoman utama dalam bertindak dan berprilaku

Page 16: Menjaga Harmoni dengan Pendekatan Konseling Lintas Agama

44 AL-IRSYAD: Jurnal Bimbingan Konseling Islam

Volume 3 Nomor 1, Juni 2021, h. 29-50

sehari-hari, karena itu kearifan local merupakan satu kesatuan yang sangat

menentukan eksistensi manusia dalam komunitasnya.27

Jadi saling pesilaq dan saling jot harus didorong terus menjadi perekat

sosial antar umat beragama. Jadi pada dasarnya kearifan local diatas adalah

keseluruhan dari sikap dan perilaku sosial yang kemudia disebut kesalehan sosial

dan oleh masyarakat Sasak adalah perwujudan dari mentalitas pribadinya.28

Kearifan local memiliki kemampuan untuk mengontrol. Misalnya local

wisdom yang dimiliki oleh masyarakat Kelurahan Karang Jero, yakni saling

pesilaq. Untuk menjaga equilibrium dalam masyarakat yang memiliki tingkat

kemajemukan yang luar biasa, maka budaya saling pesilaq, saling jot, dan saling

belangaran menjadi alternative mempersatukan masyarakat, ketika ada yang

melaksanakan kegiatan, baik dari Islam maupun Hindu, biasanya mereka akan

saling pesilaq (undang) satu dengan yang lain. Kedua local wisdom mampu

dijadikan sebagai benteng untuk survival dari pengaruh budaya luar yang sering

membuat setiap individu menjadi individualis dan melupakan pentingya

kebersamaan. Oleh karena adalah idetitas local masyarakat tertentu. hal ini yang

membedakan dengan budaya lainnya. Ketiga, kearifan local mampu memberikan

arah perkembangan budaya agar tidak terhegemoni budaya luar yang tidak sesuai

dengan norma dan nilai masyarakat setempat. Contoh lain kearifan local yang

mencerminkan solidaritas adalah saling jot dan saling pesilaq dan belangaran yang

menjadi kebiasaan turun temurun masyarakat Karang Taliwang, Kecamatan

Cakranegara.

Konselor harus memanfaatkan Konseling multibudaya seperti di atas

sebagai pembawa perubahan bagi setiap individu dalam masyarakat, terutama

kepada para remaja agar semakin menghargai perbedaan dengan memberikan

ruang bagi the other dalam mengekspresikan keyakinan mereka. Kesadaran

budaya adalah salah satu aspek yang penting dalam memahami suatu kelompok

masyarakat dengan heterogenitas budaya dan agama yang dimilikinya, karena

27 Samiyo, Membangun Harmonisasi Sosial: Kajian Sosiologi Agama Tentang Kearifan

Lokal Sebagai Modal Sosial. JWS: Jurnal Sosiologi Walisongo, Vol. 1, No. 2, 2017.

28

Bayu Windia, Lanskap Sosial Suku Sasak.Jurnal Duru, Vol. 2, No. 1, Desember 2019.

Page 17: Menjaga Harmoni dengan Pendekatan Konseling Lintas Agama

Menjaga Harmoni dengan Pendekatan Konseling… ( Sukardiman) 45

dapat membantu konselor untuk memberikan pemahaman dan makna mengenai

perbedaan dalam masyarakat.

Masruri dalam tulisannya mengutip pendapat Berry yang mengatakan

budaya adalah pandangan hidup (way of life) sekelompok orang, atau umumnya

adalahthe way we are (cara kita hidup seperti ini), yang kemudiandiekspresikan

dalam cara (sekelompok orang) mempersepsikan, berpikir, bertindak, dan

menilai.29

Senada dengan Casmini yang mengutip Berger dan Luckmann,

kebudayaan adalah segala sesuatu yang dipelajari dan diambil bersama secara

social dan kemudian menjadi system perilaku yang terorganisasi.Norma dan nilai

yang terkandung dalam kebudayaan, khususnya di Kelurahan Karang Taliwang,

seperti saling jot dan saling pesilaq akan menjadi pedoman sikap dan perilaku

manusia sebagai individu yang tidak akan pernah lepas dari kehidupan masyarakat

dengan orientasi kebudayaan yang khas.30

Senada dengan Hadiwinarto dalam tulisannya mengutip Herr dan Vontress

yang mengatakan bahwa masyarakat menciptakan sesuatu yang dapat dijadikan

sebagai pedoman hidup dan membimbing mereka, sesuatu yang diciptakan itu

bisa berupa benda-benda, norma dan nilai-nilai yang dipakai bersama. Dengan

menggunakan kematangan dirinya, maka masyarakat tersebut menciptakan suatu

budaya tertentu, sehingga dengan mempelajari budaya mereka, sehingga akan

dapat dipakai untuk mengenal masyarakat tertentu secara lebih mendalam, seperti

masyarakat Kelurahan Karang Taliwang dengan budaya lokalnya, yaknisaling jot,

saling pesilaq, dan belangaran, memahami nilai-nilai atau pun budaya yang

berlaku akan memudahkan konselor dalam melakukan sinkronisasi pandangan

dengan klien.31

Jadi seorang konselor memberikan bimbingan dan konseling agar

konsensus dalam bentuk budaya saling jot dan saling pesilaq dijaga dan

diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, agar komunikasi antar umat beragama

29 Masruri, Etika Konseling Dalam Konteks Lintas Budaya dan Agama, Al-Tazkiah,

Volume 5, No. 2, Desember 2016.

30

Casmini, Kepribadian Sehat Ala Orang Jawa, (Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta,

2020), hlm 37

31

Hadiwinarto, Konseling Lintas Budaya Berbasis Sumber Daya Lokal dan Kebencanaan,

Jurnal Bimbingan dan Konseling Terapan, Volume 02, Number 01, 2018.

Page 18: Menjaga Harmoni dengan Pendekatan Konseling Lintas Agama

46 AL-IRSYAD: Jurnal Bimbingan Konseling Islam

Volume 3 Nomor 1, Juni 2021, h. 29-50

terus terjalin.Terjaganya kedua budaya di atas menjadi bukti keberhasilan

konselor dalam mengarahkan orientasi keagamaan masyarakat Kelurahan Karang

Taliwang, dengan berupaya menginternalisasikan dan mengikuti ajaran agama,

dengan menjaga perdamaian di tengah kemajemukan. Sehingga dapat dikatakan

bahwa seseorang menghidupi agamanya.32

Orientasi keagamaan dalam konteks hubungan antar umat beragama dapat

mendorong seseorang yang beragama dalam dua kecenderungan; menjadi sosok

pribadi yang bersahabat dan damai atau menjadi sosok yang prejudice (prasangka)

dan permusuhan. Orientasi keagamaan ini kemudian akan mengarahkan individu

pada dua sikap juga, yakni sikap inklusif (terbuka), moderat, dan respek terhadap

keyakinan yang berbeda, sedangkan yang kedua adalah sikap keagamaan yang

sangat eksklusif (tertutup) dan keras atau radikal.33

Sikap kegamaan seseorang ditentukan oleh orientasi yang dipahami, dalam

hubungannya dengan fenomena budaya saling pesilaq, saling jot, dan belangaran,

maka sikap keagamaan berpotensi terbuka (inklusif). Sikap yang inklusif,

menerima adanya keterbukaan, sedangkan sikap eksklusif akan sangat tertutup

dan keras. Sikap tersebut nantinya pasti akan berpengaruh terhadap perilaku sosial

keagamaanindividu ketika berinteraksi dengan orang yang berbeda pandangan

tentang sosial keagamaan saat ini.34

Jadi, konseling lintas budaya akan mempengaruhi mindset berpikir, cara

bersikap dan bertindak atau berprilaku, berpengaruh juga terhadap terjaganya nilai

dan prinsip moral yang menghargai perbedaan dan bagaimana kita memahami

dunia sekitar kita.

32 Fuad Nashori, Orientasi Keagamaan Mahasiswi Muslim Berjilbab dan Mahasiswi

Tidak Berjilbab Universitas Islam Indoensia, Psikologika Nomor Tahun III 1998.

33

Sekar Ayu Ariyani, Orientasi, Sikap, danPerilaku Keagamaan (Studi Kasus

Mahasiswa Salah Satu Perguruan Tinggi Negeri di DIY), Rligi, Vol. XI, No. 1, Januari 2015: 59-

80 34

Ramayulis, Psikologi Agama, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), Hlm 97-98.

Page 19: Menjaga Harmoni dengan Pendekatan Konseling Lintas Agama

Menjaga Harmoni dengan Pendekatan Konseling… ( Sukardiman) 47

E. Penutup

Indonesia adalah bangsa yang sangat heterogen, baik dari segi bahasa,

budaya, ras, serta agama. Setiap kelompok harus bersama-sama menjaga

perbedaan di atas perdamaian. Pendekatan konseling lintas agama dan budaya

sebagai penggerak berbagai kelompok masyarakat untuk saling menghargaidan

menghormati satu dengan yang lain agar kelompok mayoritas bisa menghormati

terhadap kaum minoritas. Sebaliknya, kaum minoritas bisa mengayomi

keberadaan kaum mayoritas. Konselor harus memiliki sensitifitas terhadap budaya

konseli agar terwujud trust building antara konselor dan konseli, serta tidak

menciptakan masalah baru bagi konseli. Dalam konteks masyarakat Karang

Taliwang, konselor menggunakan pendekatan budaya saling jot, saling pesilaq,

dan belangaran dalam mewujudkan harmonisasi antar umat beragama. Budaya

tersebut adalah consensus dari setiap individu untuk mengatur perilaku manusia.

Jadi Konseling multibudaya sangat diperlukan dalam rangka

memberikanpemahaman kepada masyarakat, terutama remaja mengenai makna

keberagaman, indahnya kebersamaan dalam perbedaan melalui dua budaya

tersebut.

Page 20: Menjaga Harmoni dengan Pendekatan Konseling Lintas Agama

48 AL-IRSYAD: Jurnal Bimbingan Konseling Islam

Volume 3 Nomor 1, Juni 2021, h. 29-50

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahid, Pluralisme Agama: Paradigma Dialog Untuk Mediasi Konflik dan

Dakwah, Mataram: LEPPIM, 2016.

Achmad Fedyani Syaifudin, Membumikan Multikulturalisme di Indonesia, Jurnal

Antropologi Sosial Budaya ETNOVISI, Vol. II, No. 1, April 2006.

Agus, Pedoman Kuliah Sistem Sosial Budaya Indonesia. Mataram: Fakultas Ilmu

Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Mataram, 2006.

Ardi Andika Wadi, Hamzanwadi, Bimbingan Konseling Lintas Agama dan

Budaya Dalam Penanggulangan Radikalisme Bagi Remaja, Jurnal Al-

Irsyad,Volume 1 Nomor 2, Desember 2019, H. 172 -186.

Bayu Windia, Lanskap Sosial Suku Sasak.Jurnal Duru, Vol. 2, No. 1, Desember

2019.

Beny Dwi Pratama, Kompetensi Lintas Budaya Dalam Pelayanan Konseling,

Proceedings International Seminar Foe (Faculty Of Education), Vol. 1,Mei

2016.

Casmini, Kepribadian Sehat Ala Orang Jawa, Yogyakarta: Kurnia Kalam

Semesta, 2020.

Casmini, Menggagas Konseling Berwawasan Budaya Dalam Perspektif Budaya

Indonesia, Hisbah: Jurnal Bimbingan Konseling dan Dakwah Islam, Vol.

9, No. 1, 2012: 1-15.

David Samiyo, Membangun Harmonisasi Sosial: Kajian Sosiologi Agama

Tentang Kearifan Lokal Sebagai Modal Sosial, JWS: Jurnal Sosiologi

Walisongo, Vol. 1, No. 2, 2017.

Emzier, Metodologi Penelitian Kualitatif: Analisis Data, Jakarta: Rajagrafindo

Persada, 2012.

Fadhil Muhammad, Konseling Berbasis Wawasan Lintas Budaya Dalam

Meningkatkan Toleransi Budaya, Suloh: Jurnal Bimbingan Konseling

Universitas Syiah Kuala, Vol. 4, No. 1, 2019, 31-39.

Fahrul Hidayat, Aprezo Pardodi Maba Dan Hernisawati,Perspektif Bimbingan

Dan Konseling Sensitif Budaya, Konseling Komprehensif, Volume 5,

Nomor 1, Mei 2018.

Page 21: Menjaga Harmoni dengan Pendekatan Konseling Lintas Agama

Menjaga Harmoni dengan Pendekatan Konseling… ( Sukardiman) 49

Farida, Bimbingan Konseling Agama Dengan Pendekatan Budaya, Konseling

Religi: Jurnal Bimbingan Konseling Islam, Vol. 7, No. 1, Juni 2016.

Fuad Nashori, Orientasi Keagamaan Mahasiswi Muslim Berjilbab dan Mahasiswi

Tidak Berjilbab, Universitas Islam Indoensia, Psikologika Nomor Tahun

III 1998.

Hadiwinarto, Konseling Lintas Budaya Berbasis Sumber Daya Lokal dan

Kebencanaan, Jurnal Bimbingan dan Konseling Terapan, Volume 2,

Number 01, 2018.

Hamdan Daulay, Khoiro Umatin, Dkk, Covid-19 dan Transformasi Keagamaan,

Yogayakarta: Lembaga Ladang Kata, 2020.

Ishlakhatus Sa’idah Dan Moh. Ziyadul Haq Annajih,Personal Counselor Quality

Improvement Based On An-Nahdliyah Moderation Value, Konseli: Jurnal

Bimbingan dan Konseling (E-Journal), 07 (1); 2020; 31-38.

Juli Andriyani, Jarwani, Konseling Islam Lintas Budaya (Studi Terhadap Da’I

Peerbatasan di Kecamatan Danau Paris, Suro Makmur dan Gunung

Meriah Kabupaten Aceh Singkil Provinsi Aceh), Jurnal Al-Bayan, Vol. 24,

No. 2, 2018, 228-242.

Masruri, Etika Konseling Dalam Konteks Lintas Budaya dan Agama, Al-Tazkiah,

Volume 5, No. 2, Desember 2016.

Masturi, Counselor Encapsulation: Sebuah Tantangan Dalam Pelayanan

Konseling Lintas Budaya, Jurnal Konseling Gusjigang, Vol. 1, No. 2,

Tahun 2015.

Mohamed Fathi Osman, Islam, Pluralisme, dan Toleransi Keagamaan:

Pandangan Al-Qur’an, Kemanusiaan, Sejarah, dan Peradaban, Jakarta;

Democracy Project, 2012.

Mohammad Takdir,Model-Model Kerukunan Umat Beragama Bebrasis Local

Wisdom (Potret Harmoni Kebhinekaan di Nusa Tenggara Timur), Tapis,

Vol. 01, No. 01, Januari-Juni 2017.

Nur Farida, Bimbingan Konseling Pada Masyarakat Multikultural, Tathwir Jurnal

Pengembangan Masyarakat Islam, Volume I, No. 1, Tahun 2018.

Nuzliah, Counseling Multikultural, Jurnal Edukasi, Vol. 2, No. 2, 2016.

Ramayulis, Psikologi Agama, Jakarta: Kalam Mulia, 2002.

Page 22: Menjaga Harmoni dengan Pendekatan Konseling Lintas Agama

50 AL-IRSYAD: Jurnal Bimbingan Konseling Islam

Volume 3 Nomor 1, Juni 2021, h. 29-50

Sekar Ayu Ariyani, Orientasi, Sikap, dan Perilaku Keagamaan (Studi Kasus

Mahasiswa Salah Satu Perguruan Tinggi Negeri di DIY), Religi, Vol. XI,

No. 1, Januari 2015: 59-80.

Suprapto. Agama dan Studi Perdamaian: Pluralitas, Kearifan Beragama, dan

Resolusi Konflik, (Mataram: LEPPIM Institut Agama Islam Negeri (Iain)

Mataram, 2016.

Suprapto, Semerbak Dupa di Pulau Seribu Masjid: Kontestasi, Integrasi, dan

Resolusi Konflik, Jakarta: Kencana, 2013..

Suwarni, Memahami Perbedaan Sebagai Sarana Konseling Lintas Budaya,

Konseling Religi: Jurnal Bimbingan Konseling Islam, Vol. 7, No. 1, Juni

2016.

Ubaidillah Achmad, Konseling Lintas Budaya Perspektif Abdurrhaman Wahid,

Konseling Religi: Jurnal Bimbingan Konseling Islam, Vol. 7, No. 1, Juni

2016.

Yakub B, Subsada, Pastoral Konseling, Jawa Timur: Gandum Mas, 2012.