kinerja pendidikan dasar dalam implementasi …

234
Magister Manajemen Pendidikan FKIP Universitas Kristen Satya Wacana [email protected] ISSN 2549-9661 Volume: 4, No. 1, Januari-Juni 2017 Halaman: 1-11 1 KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI PROGRAM PENDIDIKAN UNTUK SEMUA Bambang Ismanto Magister Manajemen Pendidikan FKIP-Universitas Kristen Satya Wacana [email protected] Umbu Tagela Bimbingan Konseling FKIP-Universitas Kristen Satya Wacana [email protected] Wasitohadi Magister Manajemen Pendidikan FKIP-Universitas Kristen Satya Wacana [email protected] ABSTRACT The education in elementary and middle school is one of the aims of the Millennium Development Goals (MDGs) in “Education for All” (EFA) program. This research aims to analyze the work performance of elementary schools in Salatiga in achieving the target of MDGs. This research is done with descriptive quantitative method, and measured with the target achievement of 9 year compulsory learning. The analysis is based on the work performance in percentage. The data collection was done in documents studies of the report from the educational report of Salatiga City and Central Java Province, and also through FGD. The FGD was don together with Regional Development Agency, The Office of Youth Service and Sports, and principals in Salatiga. The result showed that the government of Salatiga City had been successful in executing the 9 yearcompulsory learning for children of 7-12 years old. In 2015, the APM of the elementary schools was 99,58%,TheAPK was 115,89%. The APM in middle school was 94,22%, and the APK was 129,01%. The nuber of literate people in 2015 was 99,97%. The gender equity reached the balance point in every grade of education. In order to improve quality, the city has been doing the certification and qualification program for the teachers. The problems that need priority for solution are operational support increase from Revenue and Expenditure Budget, the need to increase the number and the quality of elementary teachers, and equal distribution of inclusive education. This research recommends the Salatiga City government to plan for a quality-based elementary education program, and support sustainable development goals( (SDGs). Keywords: elementary education, PUS, quality, SDGs

Upload: others

Post on 22-May-2022

2 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Magister Manajemen Pendidikan FKIP Universitas Kristen Satya Wacana [email protected]

ISSN 2549-9661 Volume: 4, No. 1, Januari-Juni 2017

Halaman: 1-11

1

KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI

PROGRAM PENDIDIKAN UNTUK SEMUA

Bambang Ismanto

Magister Manajemen Pendidikan

FKIP-Universitas Kristen Satya Wacana

[email protected]

Umbu Tagela

Bimbingan Konseling

FKIP-Universitas Kristen Satya Wacana

[email protected]

Wasitohadi

Magister Manajemen Pendidikan

FKIP-Universitas Kristen Satya Wacana

[email protected]

ABSTRACT

The education in elementary and middle school is one of the aims of the Millennium

Development Goals (MDGs) in “Education for All” (EFA) program. This research aims

to analyze the work performance of elementary schools in Salatiga in achieving the target

of MDGs. This research is done with descriptive quantitative method, and measured with

the target achievement of 9 year compulsory learning. The analysis is based on the work

performance in percentage. The data collection was done in documents studies of the

report from the educational report of Salatiga City and Central Java Province, and also

through FGD. The FGD was don together with Regional Development Agency, The Office

of Youth Service and Sports, and principals in Salatiga. The result showed that the

government of Salatiga City had been successful in executing the 9 yearcompulsory

learning for children of 7-12 years old. In 2015, the APM of the elementary schools was

99,58%,TheAPK was 115,89%. The APM in middle school was 94,22%, and the APK was

129,01%. The nuber of literate people in 2015 was 99,97%. The gender equity reached

the balance point in every grade of education. In order to improve quality, the city has

been doing the certification and qualification program for the teachers. The problems

that need priority for solution are operational support increase from Revenue and

Expenditure Budget, the need to increase the number and the quality of elementary

teachers, and equal distribution of inclusive education. This research recommends the

Salatiga City government to plan for a quality-based elementary education program, and

support sustainable development goals( (SDGs).

Keywords: elementary education, PUS, quality, SDGs

Page 2: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017

2

PENDAHULUAN

Wajib belajar pendidikan dasar

merupakan kebijakan dalam mencapai

pendidikan untuk semua (education for all).

Kebijakan ini sebagai implementasi amanat

UUD 1945 dan tujuan pembangunan milenium

atau Millenium Development Goals (MDGs).

Pasal 31 UUD 1945 ayat 1 dan 2, menyatakan

bahwa Setiap warga Negara wajib mengikuti

pendidikan dasar dan pemerintah/daerah wajib

membiayainya. Pemenuhan hak-hak dasar di

bidang pendidikan pada MDGs, wujud

komitmen bersama 189 negara anggota PBB

bulan September 2000, untuk melaksanakan 8

(delapan) tujuan pembangunan, yaitu

menanggulangi kemiskinan dan kelaparan,

mencapai pendidikan dasar untuk semua,

mendorong kesetaraan gender dan

pemberdayaan perempuan, menurunkan angka

kematian anak, meningkatkan kesehatan ibu,

memerangi penyebaran HIV/AIDS, malaria

dan penyakit menular lainnya, kelestarian

lingkungan hidup, serta membangun kemitraan

global dalam pembangunan.

Sesuai deklarasi Dakar, tujuan

Pendidikan Untuk Semua (PUS) adalah: (1)

Memperluas dan meningkatkan pendidikan

anak usia dini khususnya bagi anak-anak sangat

rawan & kurang beruntung; (2) Menuntaskan

wajib belajar pendidikan dasar di tahun 2015

untuk semua anak khususnya anak perempuan

dan anak dalam keadaan sulit & minoritas; (3)

Mengembangkan proses pembelajaran dan life

skills untuk pemuda dan orang dewasa; (4)

Mencapai kemajuan 50% tingkat literasi

dewasa di tahun 2015, khususnya bagi

perempuan; (5) Menghapus disparitas gender

pada pendidikan dasar dan menengah di tahun

2005 dan meraih kesetaraan gender di tahun

2015 dan (6) Meningkatkan Mutu Pendidikan

(Dinas pendidikan Jawa Tengah: 2016)

Dalam implementasi PUS, Pemerintah

Kota Salatiga, menetapkan kebijakan bidang

Pendidikan: (1) Meningkatkan pemerataan dan

mutu serta pemerataan akses penyelenggaraan

PAUD; (2) Meningkatkan pemerataan, mutu,

relevansi dan daya saing serta perluasan akses

penyelenggaraan pendidikan dasar; (3)

Meningkatkan pemerataan, mutu, relevansi dan

daya saing serta perluasan akses

penyelenggaraan pendidikan menengah; (4)

Meningkatkan pemerataan, mutu, relevansi dan

daya saing serta perluasan akses

penyelenggaraan pendidikan non formal dan

informal; (5) Meningkatkan pemerataan, mutu,

relevansi dan daya saing serta perluasan akses

penyelenggaraan pendidikan khusus; (6)

Meningkatkan mutu pendidik dan tenaga

kependidikan pada pendidikan formal dan non

formal; (7) Meningkatkan tata kelola,

akuntabilitas dan pencitraan publik dalam

penyelenggaraan pendidikan; dan (8)

Meningkatkan wawasan kebangsaan, kearifan

lokal dan kesetaraan gender dalam

penyelenggaraan pendidikan (Disdikpora:

2016).

Kebijakan yang berpihak pada

Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar,

Pendidikan Keaksaraan, Pendidikan

Kecakapan Hidup, Pengarusutamaan Gender,

dan Peningkatan Mutu Pendidikan, merupakan

langkah strategis untuk menyiapkan sumber

daya manusia yang lebih baik di masa depan.

Kualitas sumberdaya manusia memiliki

dampak luas terhadap seluruh aspek kehidupan,

baik sosial, politik, ekonomi, budaya maupun

pertahanan dan keamanan (Disdikpora: 2015).

Kebijakan ini sesuai salah satu misi Rencana

Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kota

Salatiga Tahun 2011-2016 yaitu Menyediakan

Pemenuhan Kebutuhan Layanan Dasar.

Pendidikan menjadi salah indikator

dalam perhitungan Indeks Pembangunan

Manusia (IPM) disamping tingkat pendapatan,

dan layanan kesehatan. Laporan Kinerja

Pembangunan Kota Salatiga menunjukan

bahwa IPM tahun 2014-2015 cenderung

meningkat. Tahun 2014, IPM sekitar: 79,98

naik menjadi 80,96 (2015), lebih tinggi dari

pada IPM Jawa Tengah 68,78% (2014). Angka

Page 3: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Kinerja Pendidikan Dasar Dalam Implementasi Program Pendidikan Untuk Semua | Bambang Ismanto, dkk.

3

Melek Huruf Kota Salatiga Tahun 2015 sekitar

99,97% lebih tinggi dari pada Jawa Tengah

(90,45%) `. Sedangkan Rata-rata lama Sekolah

(RLS) Kota Salatiga Tahun 2015 sekitar 9,81

Tahun lebih tinggi dari Jawa Tengah sekitar:

7,03. Indikator ini untuk mengukur

keberhasilan dalam upaya membangun kualitas

hidup manusia (masyarakat/penduduk);

menentukan peringkat atau level pembangunan

suatu wilayah/Negara; dan merupakan data

strategis karena selain sebagai ukuran kinerja

Pemerintah.

Pendidikan Dasar, menjadi salah satu

dari 6 (enam) program PUS di Kota Salatiga.

Sedangkan program lainnya meliputi:

Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan

Kecakapan Hidup, Pendidikan Keaksaraan,

Pengarusutamaan Gender Bidang Pendidikan

(PUG), dan Peningkatan Mutu pendidikan.

Analisis kinerja pendidikan dasar Kota

Salatiga menjadi penting untuk mengetahui

keberhasilan pendidikan untuk semua pada

tujuan pembangunan milinium yang berakhir

tahun 2015. Hal juga dipandang strategis untuk

menganalisis kesiapan Pemerintah Kota

Salatiga dalam merancang kebijakan

pembangunan berkelanjutan (suistainability

development goals) mulai tahun 2016.

Implementasi Kebijakan Publik

Harold D. Lasswell dan Abraham

Kaplan mengartikan kebijaksanaan sebagai a

projecterd program of goals, values and

practice yang artinya adalah suatu program

pencapaian tujuan, nilai-niai dan praktek-

praktek yang terarah. Sedangkan penjelasan

lain mengenai kebijakan publik adalah

serangkaian tindakan yang di usulkan

seseorang, kelompok atau pemerintah dalam

suatu lingkungan tertentu dengan menunjukkan

hambatan-hambatan dan kesempatan-

kesempatan terhadap pelaksanaan usulan

kebijaksanaan tersebut dalam rangka mencapai

tujuan tertentu (Islamy, 2000:15).

Pendekatan-pendekatan prosedural dan

manajerial (procedural and managerial

approaches) mengemukakan tahap

implementasi mencakup urut-urutan langkah

sebagai berikut: (1). Merancang bangun

(mendesain) program beserta perincian tugas

dan perumusan tujuan yang jelas, penentuan

ukutan prestasi kerja, biaya dan waktu;

(2).Melaksanakan program, dengan

mendayagunakan struktur-struktur dan

personalia, dana dan sumber-sumber, prosedur-

prosedur, dan metode-metode yang tepat;

(3).Membangun sistem penjadwalan ,

monitoring, dan sarana-sarana pengawasan

yang tepat guna menjamin bahwa tidakan-

tindakan yang tepat dan benar dapat segera

dilaksanakan (Wahab: 2008:5-7). Sebagai

proses, Implementasi kebijakan publik

bersentuhan dengan kepentingan serta dapat

diterima oleh publik (masyarakat). Pendidikan

dasar merupakan Implementasi kebijakan

publik program Pendidikan Untuk Semua

(PUS) dalam pencapaian tujuan pembangunan

milinium. Program ini menjadi

diimplementasikan sebagai wajib belajar 9

tahun penduduk usia 7 s.d.12 tahun jenjang

SD/MI hingga SMP/MTs.

Berdasarkan perspektif masalah

kebijakan, sebagaimana yang diperkenalkan

oleh Edwards III (1984: 9-10), implementasi

kebijakan diperlukan karena adanya masalah

kebijakan yang perlu diatasi dan dipecahkan.

Edwards III memperkenalkan pendekatan

masalah implementasi dengan

mempertanyakan faktor-faktor apa yang

mendukung dan menghambat keberhasilan

implementasi kebijakan. Berdasarkan

pertanyaan retoris tersebut dirumuskan empat

faktor sebagai sumber masalah sekaligus

prakondisi bagi keberhasilan proses

implementasi, yakni komunikasi, sumber daya,

sikap birokrasi atau pelaksana, dan struktur

organisasi termasuk tata aliran kerja birokrasi.

Empat faktor tersebut merupakan kriteria yang

perlu ada dalam implementasi suatu kebijakan

(Akib,: 2010,:3).

Page 4: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017

4

Implementasi kebijakan public

memerlukan persyaratan agar mendapatkan

dukungan, layak dilaksanakan dan bermanfaat

bagi masyarakat. Hal ini sesuai dengan Model

implementasi dari Brian W. Hoogwood dan

Lewis A. Gun (dalam Nugroho, 2006: 131)

yang menetapkan persyaratan implementasi

kebijakan public: a. Jaminan bahwa kondisi

eksternal yang dihadapi oleh lembaga/badan

pelaksana tidak akan menimbulkan masalah

yang besar. b.Tersedia sumber daya yang

memadai termasuk sumber daya waktu. c.

Perpaduan sumber-sumber yang diperlukan

benar-benar ada. d. Didasari hubungan kausal

yang andal. e.Hubungan kausalitas yang terjadi

f. Hubungan saling ketergantungan kecil. g.

Pemahaman yang mendalam dan kesepakatan

terhadap tujuan. h. Tugas-tugas telah dirinci

dan ditempatkan dalam urutan yang benar. i.

Komunikasi dan koordinasi yang sempurna j.

Pihak-pihak yang memiliki wewenang

kekuasaan dapat menuntut dan mendapatkan

kepatuhan yang sempurna.

Menurut Goggin et al (1990: 20-21, 31-

40), proses implementasi kebijakan sebagai

upaya transfer informasi atau pesan dari

institusi yang lebih tinggi ke institusi yang lebih

rendah dapat diukur keberhasilan kinerjanya

berdasarkan variabel: 1) dorongan dan paksaan

pada tingkat federal, 2) kapasitas pusat/negara,

dan 3) dorongan dan paksaan pada tingkat pusat

dan daerah (Akib: 2010,:3).

Konsepsi ini relevan dengan program

pendidikan dasar sebagai implementasi

kebijakan secara nasional yang menjadi

kewajiban bagi setiap daerah di Indonesia.

Bahkan program ini juga sebagai komitmen

dalam pencapaian tujuan pembangunan

milinium.

Millenium Development Goals (

MDGs) dideklarasikan bulan september tahun

2000 oleh para pemimpin dunia di New York.

Deklarasi Millennium ini bertujuan untuk

menciptakan lingkungan yang kondusif bagi

pembangunan sumber daya manusia dan

pengentasan kemiskinan.

Keikutsertaan Indonesia dalam

menyepakati Deklarasi Milenium bersama

dengan 189 negara lain pada tahun 2000 bukan

semata-mata untuk memenuhi tujuan dan

sasaran Millenium Development Goals

(MDGs), namun keikutsertaan itu ditetapkan

dengan pertimbangan bahwa tujuan dan sasaran

MDGs sejalan dengan tujuan dan sasaran

pembangunan Indonesia (Bappenas: 2012)

Dalam rangka mewujudkan tujuan itu,

maka dirumuskan delapan tujuan

Pembangunan Millennium. Salah satu tujuan

dari MDGs adalah pendidikan dasar untuk

semua. Pendidikan menjadi salah target untuk

meningkatkan mutu kehidupan masyarakat

minimal pendidikan dasar.

Kualitas sumber daya manusia akan

meningkat/membaik jika mereka mengenyam

pendidikan, paling tidak mengenyam

pendidikan dasar yaitu pendidikan wajib 9

tahun. Target dari tujuan kedua MDGs (Stalker,

2008) adalah memastikan bahwa pada tahun

2015 semua anak di manapun, baik laki-laki

maupun perempuan, akan bisa menyelesaikan

pendidikan dasar secara utuh. Indikator

keberhasilan ditentukan berdasarkan tingkat

partisipasi di sekolah dasar, kelulusan, dan

angka melek huruf.

METODE PENELITIAN

Penelitian dilakukan dengan

pendekatan deskriptif kuantitatif. Kinerja

pendidikan dasar dinyatakan dalam prosentase

capaian angka partisipasi pendidikan dasar

meliputi Pendidikan Anak Usia Dini,

SD/MI/SDLB dan SMP/MTs/SMPLB.

Penelitian dilakukan di Kota Salatiga, di

lingkungan Badan Perencanaan Pembangunan

Daerah dan Dinas Pendidikan, Pemuda dan

Olah Raga. Teknis pengumpulan data dengan

studi dokumentasi dalam bentuk laporan

tahunan pendidikan dasar, dan Diskusi bersama

dalam forum kajian Kebijakan Pasca PUS

Page 5: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Kinerja Pendidikan Dasar Dalam Implementasi Program Pendidikan Untuk Semua | Bambang Ismanto, dkk.

5

tanggal 19 Oktober 2016. Analisis kinerja

program pendidikan dasar di Kota Salatiga

berdasarkan prosentase capaian target

pendidikan dasar dalam program Pendidikan

Untuk Semua.

HASIL PENELITIAN

Program Pendidikan Dasar

dilaksanakan untuk memastikan bahwa pada

tahun 2015, semua anak usia pendidikan dasar

( 7-12 tahun) tak terkecuali anak perempuan,

anak-anak dalam keadaan sulit dan mereka

yang termasuk dalam minoritas etnik,

mempunyi akses dan menyelesaikan SD/MI

dan SMP/MTs. Pemerintah Kota Salatiga

menjamin layanan pendidikan dasar sebagai

implementasi wajib belajar 9 tahun. Layanan

pendidikan untuk anak usia 7-12 tahun melalui

6 tahun di Sekolah Dasar (SD), Madrasah

Ibtidaiyah (MI) dan Paket A (setara dengan

SD), serta 3 tahun di Sekolah Menengah

Pertama (SMP), Madrasah Tsanawiyah (MTs)

dan Paket B (Setara dengan SMP). SD, SMP,

Paket A dan B dilaksanakan Dinas Pendidikan

Kota Salatiga. Sedangkan MI dan MTs menjadi

kewenangan Kementerian Agama Kota

Salatiga.

Angka Partisipasi Pendidikan

Akses dan partisipasi ke pendidikan

dasar dapat dilihat melalui angka partisipasi

murni (APM) dan angka partisipasi kasar

(APK) SD dan SMP sederajat. Untuk

mengetahui seberapa banyak penduduk yang

memanfaatkan fasilitas pendidikan dapat

dilihat dari persentase penduduk menurut

partisipasi pendidikan.

Tabel 1 Partisipasi Pendidikan Dasar Kota Salatiga Tahun 2011-2015

Tahun APK APM

SD/SDLB/MI SMP/SMPLB/MTs SD/SDLB/MI SMP/SMPLB/MTs

2011 117,85 131,6 100,27 94,37

2012 132,27 187,19 112,96 139,7

2013 119,92 125,55 100,58 87,23

2014 113,02 121,34 95,17 82,39

2015 115,89 129,01 99,58 94,22

Sumber: Dinas Pendidikan Kota Salatiga

Dalam implementasi program

pendidikan untuk semua, target pendidikan

dasar Kota Salatiga pada tahun 2015 adalah

tercapainya APM SD sebesar 100%, dan APK

SMP sebesar 100%. Seperti tampak pada tabel

di atas, tahun 2014, APM SD/MI/Paket A

sebesar 95,17% menurun dari 112,96% pada

tahun 2012 dan 100,58% pada tahun 2013.

Sedangkan APK SMP/MTs/Paket B pada tahun

2014 adalah sebesar 113,02%, menurun dari

132,27% pada tahun 2012 dan 119,92% pada

tahun 2013. APM SD/MI mencapai 99,58%

dan APK SD/MI telah mencapai 115,89% pada

tahun 2015. APM SMP/MTs mencapai 94,22%

dan APK SMP/MTs telah mencapai 129,01%.

Dengan capaian angka partisipasi ini maka pada

Tahun 2015 Pemerintah Kota Salatiga telah

berhasil melaksanakan Wajar 9 tahun bagi

penduduk usia 7-12 tahun dalam implementasi

program pendidikan untuk semua.

Peningkatan APK dan APM pada

SD/MI dan SMP/MTs sederajat, masih

menyisakan permasalahan angka putus sekolah

di Kota Salatiga. Angka putus sekolah

pendidikan dasar meningkat dari 0,92% pada

tahun 2012, menjadi 1,73% pada tahun 2013

dan 1,35% pada tahun 2014. Pada akhir tahun

angka putus sekolah pada tingkat SD/MI sekitar

0,01% dan SMP/MTs sekitar 0,21%. Ini berarti

bahwa masih terdapat siswa yang putus (keluar)

Page 6: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017

6

dari kelas baik di SD/MI dan SMP/MTs.

Pendidikan kesetaraan Paket A dan B

diharapkan menjadi pendidikan alternatif untuk

memberikan layanan pendidikan bagi mereka

yang putus sekolah melalui jalur pendidikan

nonformal.

Sementara itu angka melek huruf

penduduk usia 7 s.d. 55 tahun sekitar 99,97%

telah memenuhi target Program Pendidikan

Untuk Semua.

Mutu Pendidikan Dasar

Peningkatan mutu pendidikan dasar

menjadi misi/goals/tujuan/target, Pemerintah

Kota Salatiga setelah berhasil mencapai angka

partisipasi hingga 100%. Pencapaian mutu

pendidikan dasar diperlihatkan pada hasil Ujian

Nasional (UN), dan tingkat kelulusan. Mutu

pendidikan dasar ini didukung kelayakan guru

mengajar dan sarana prasarana sekolah.

Tabel 2 Hasil UN SD, dan SMP Kota Salatiga Tahun 2012-2015

No Jenjang Pendidikan Tahun

2012 2013 2014 2015

1 SD 7,40 7,94 7,68 7,24

2 SMP 6,60 6,74 6,55 6,79

Sumber: Profil Pendidikan Kota Salatiga

Hasil UN pendidikan dasar di Kota

Salatiga mengalami peningkatan. Rata-rata UN

SD sekitar: 7,57 dan SMP sekitar: 6,67.

Indikator lain peningkatan standar dan mutu

pendidikan adalah kenaikan angka kelulusan

Ujian Nasional selama tahun 2012-2014.

Kelulusan siswa pada UN SD/MI dan

SMP/MTs selalu meningkat, sejalan dengan

kebijakan peningkatan standar minimum

kelulusan.

Tabel 3 Tingkat Lulusan SD, dan SMP Tahun 2012-2015

No Jenjang Pendidikan Tahun

2012 2013 2014 2015

1 SD 100,00 100,00 99,97 100,00

2 SMP 99,26 99,70 99,97 99,89 Sumber: Profil Pendidikan Kota Salatiga

Berdasarkan tabel di atas, lulusan SD

dengan trend mendekati 100%. Sementara itu

untuk jenjang SMP, persentase lulusan antara

tahun 2012 hingga tahun 2015 mengalami

peningkatan, namun belum pernah mencapai

kelulusan 100%.

Pendidik (guru) dan tenaga

kependidikan menjadi salah satu faktor penting

peningkatan mutu Pendidikan Dasar di Kota

Salatiga. Kualifikasi pendidikan, sertifikasi

pendidik dan pemenuhan jumlah pendidik di

kelas menjadi penentu dalam pencapaian

kinerja PUS dan mutu pendidikan dasar. Dalam

pencapaian standar nasional, dipersyaratkan

setiap SD/MI tersedia 1 (satu) orang guru untuk

setiap 32 peserta didik dan 6 (enam) orang guru

untuk setiap satuan pendidikan. Dari sisi

kualifikasi pendidikan dipersyaratkan 2 guru

S1/Diploma IV dan bersertifikat. Kesiapan

guru SD di Kota Salatiga telah mencapai 95%

Pemenuhan ketersediaan 1 (satu) orang guru

untuk setiap 32 peserta didik sekitar 95% dan 6

(enam) guru setiap satuan pendidikan sekitar

95%. Pada setiap SD/MI Kota Salatiga telah

tersedia 2 (dua) orang guru yang memenuhi

kualifikasi akademik S1 atau DIV dan 2 orang

guru yang dan sertifikasi pendidik sekitar

98,97%. Sementara itu pada setiap SMP wajib

memiliki 1 (satu) orang guru untuk setiap mata

pelajaran sekitar 16%, guru dengan kualifikasi

akademik S1 atau D IV sebanyak 70% dan

separuh diantaranya telah memiliki sertifikat

Page 7: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Kinerja Pendidikan Dasar Dalam Implementasi Program Pendidikan Untuk Semua | Bambang Ismanto, dkk.

7

pendidik. Jumlah guru SMP/MTs di Kota

Salatiga yang memilikik kualifikasi akademik

S1/D4 dan sertifikasi pendidik sekitar 92,00%.

Disamping itu dipersyaratkan pula, pada setiap

SMP/MTs tersedia guru dengan kualifikasi

akademik S1 atau D IV dan telah memiliki

sertifikat pendidik masing-masing satu orang

untuk mapel Matematika, IPA, Bahasa

Indonesia, dan Bahasa Inggris. Berdasarkan

standar ini, Pemerintah Kota Salatiga telah

mampu menyiapkan guru yang dipersyaratkan

sekitar 40% dari seluruh SMP/MTs. Dukungan

tenaga kependidikan dalam peningkatan mutu

pendidikan dasar mencakup kualifikasi

pendidikan dan sertifikasi pendidikan Kepala

SD/MI dan SMP/MTs. Kepala SD/MI

berkualifikas akademik S-1 atau D-IV dan telah

memiliki sertifikat pendidik sekitar 76% dan

pada SMP/MTs berkualifikas akademik S-1

atau D-IV dan telah memiliki sertifikat

pendidik sekitar 60%. Semua Pengawas

SD/MI/SMP/MTs di Kota Salatiga

berkualifikas akademik S-1 atau D-IV dan telah

memiliki sertifikat pendidik. Prosentase ruang

kelas yang layak di Kota Salatiga, pada SD/MI

sekitar 82,49% dan SMP/MTs sekitar 87,76%.

Tingkat kecukupan ruang kelas yang dilengkapi

dengan meja dan kursi yang cukup untuk

Peserta Didik dan guru, papan tulis, pada

tingkat SD/MI sekitar 70,10% dan SMP/MTs

sekitar 96%. Standar penyediaan 1 ruang guru

di SD/MI yang dilengkapi dengan meja dan

kursi untuk setiap orang guru, kepala sekolah,

dan staf kependidikan lainnya pada tingkat

SD/MI sekitar%. Sedangkan tingkat SMP/MTs

di Kota Salatiga sekitar 60%.

Pemerintah Kota Salatiga telah mampu

menyiapkan laboratorium IPA yang dilengkapi

dengan meja dan kursi yang cukup untuk 36

peserta didik sekitar 92% dan minimal satu set

peralatan praktek IPA untuk demonstrasi dan

eksperimen peserta didik sekitar 8% dari

seluruh SMP/MTs Kota Salatiga.

Akses dan Partisipasi Program Keaksaraan

Akses terhadap pendidikan berbasis

kesetaraan dan keadilan gender telah

berkembang secara bertahap semenjak

keluarnya kebijakan tentang pengarusutamaan

gender tahun 2001. Kesenjangan gender di

tingkat sekolah dasar, sekolah menengah

pertama, dan sekolah menengah tingkat atas

telah menurun secara keseluruhan, baik di

pedesaan maupun perkotaan. Partisipasi Siswa

SD/MI/Paket A dalam Perspektif Gender

Partisipasi pendidikan dilihat dari 3 kategori

yaitu: Angka Partisipasi Kasar (APK), dan

Angka Partisipasi Murni (APM). Dalam hal

partisipasi, paritas gender pada pendidikan

dasar sudah cukup baik. Seperti terlihat pada

tabel di bawah ini. Jumlah siswa SD/MI/Paket

A tidak terlalu berbeda antara siswa laki-laki

dan perempuan.

Tabel 4 Perkembangan Jumlah Siswa SD/MI/Paket A Kota Salatiga Menurut Kesetaraan Gender Tahun

2012-2014

No Indikator Tahun

2012 2013 2014

1 Siswa Laki-laki 9489 9578 9985

2 Siswa Perempuan 8829 9329 9247

3 Jumlah rata-rata 18318 18907 19232

4 % Laki-laki 51.80 50.66 51.92

5 % Perempuan 48.20 49.34 48.08

6 Paritas Gender (PG) -3.6 -1.32 -3.84

Sumber: Dinas Pendidikan Kota Salatiga

Page 8: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017

8

Salah satu target indeks pembangunan

manusia adalah terwujudnya kesetaraan gender

melalui pembangunan sumber daya manusia

yang berkualitas tanpa membedakan peran laki-

laki dan perempuan. Beberapa upaya yang telah

dilakukan untuk meningkatkan kualitas hidup

dan peran perempuan adalah mensejajarkan

mereka di dalam pembangunan nasional.

Pengarusutamaan gender di dalam pendidikan

disadari sebagai program peningkatan kapasitas

di bidang pendidikan. Peningkatan kapasitas

tersebut meliputi pelatihan yang diberikan

kepada pengambil keputusan, perencana, dan

penyusun buku teks pelakaran, serta tenaga

kependidikan termasuk kepala

sekolah/lembaga, guru dan tenaga

kependidikan nonformal. Dasar hukum

pelaksanaan pengarusutamaan gender di bidang

pendidikan adalah Instruksi Presiden Nomor 9

tahun 2000 tentang Pengarusutamaan gender

bidang pendidikan di semua program

pembangunan juga di semua jenjang

kepemerintahan, serta Peraturan Menteri

Pendidikan Nasional No. 84 tahun 2008 tentang

Pengarusutamaan Gender bidang Pendidikan.

Tabel 5 Perkembangan APK SMP/MTS/Paket B menurut jenis kelamin tahun 2012-2014

No Kab./Kota 2012 2013 2014

L P Jml. L P Jml. L P Jml.

1 Argomulyo 100,13 101,29 100,70 98,54 98,43 98,48 101,00 101,12 101,06

2 Tingkir 99,34 99,31 99,32 100,99 100,50 100,74 102,39 101,91 102,15

3 Sidomukti 100,12 96,85 98,49 96,14 100,18 98,16 101,67 101,10 101,39

4 Sidorejo 99,64 99,08 99,36 99,24 98,47 98,84 98,61 99,46 99,03

Salatiga 102,17 101,50 101,83 99,83 99,80 99,82 100,25 100,03 100,14

Sumber: Dinas Pendidikan Kota Salatiga

Berdasarkan tabel berikut, peserta didik

untuk jenjang SMP/MTS terus meningkat

selama kurun waktu 2012-2014. Hal ini

menunjukkan bahwa persentase siswa

SMP/MTs terhadap anak kelompok usia 13-15

tahun (Angka Partisipasi Kasar) anak laki-laki

lebih rendah dibanding anak perempuan.

Peningkatan partisipasi anak laki-laki lebih

tinggi dibanding dengan peningkatan

partisipasi anak perempuan ke jenjang

SMP/MTs. Bila dilihat Indeks Paritas Gender

(IPG) APK SMP/MTs dalam kurun waktu yang

sama menunjukkan sedikit kenaikan. IPG

sebesar itu menunjukkan bahwa kesetaraan dan

keadilan gender masih belum tercapai.

Tabel 6 Perkembangan Jumlah Siswa SMP/MTs/Paket B Menurut PG dan IPG Tahun 2012-2014

No Indikator Tahun

2012 2013 2014

1 APK Laki-laki 102,17 99,83 100,25

2 APK Perempuan 101,50 99,80 100,03

3 Jumlah rata-rata 101,83 99,82 100,14

4 % Laki-laki 49,72 51,84 51,01

5 % Perempuan 50,28 48,16 48,99

6 Paritas Gender (PG) 0,56 -3,68 -2,02

Sumber: Dinas Pendidikan Kota Salatiga

Page 9: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Kinerja Pendidikan Dasar Dalam Implementasi Program Pendidikan Untuk Semua | Bambang Ismanto, dkk.

9

Selama kurun waktu 2012-2014

menunjukkan bahwa persentase siswa

SMP/MTs kelompok usia 13-15 tahun terhadap

anak kelompok usia 13-15 tahun (APK) anak

laki-laki lebih rendah dibanding anak

perempuan. Hal itu terlihat dari Paritas Gender

(PG) dalam kurun waktu tersebut dengan nilai

negatif, kecuali pada tahun 2012. Ini berarti

bahwa peningkatan partisipasi anak laki-laki

lebih tinggi dibanding dengan peningkatan

partisipasi anak perempuan pada jenjang

SMP/MTs pada tahun 2014. Pada tahun 2012,

kesetaraan dan keadilan gender mencapai

keadaan yang seimbang dengan IPG sebesar

0,56 Namun pada tahun selanjutnya

menunjukkan bahwa kesetaraan dan keadilan

gender anak laki-laki dan anak perempuan

dalam posisi yang belum setara.

Pemerintah Kota Salatiga telah

menempatkan kebijakan sistem dan manajemen

sekolah berbasis kinerja merupakan hal yang

penting bagi peningkatan mutu pendidikan.

Kebijakan Pemerintah Kota Salatiga yaitu: (a)

membuat peraturan dan undang-undang yang

memuat tentang kewenangan dan tanggung

jawab kepala sekolah dan komite sekolah; (b)

menyusun panduan pelaksanaan manajemen

berbasis hasil (result based management) di

sekolah-sekolah; (c) mengadakan pelatihan

kepala sekolah, tata kelola-manajemen komite

sekolah di seluruh Indonesia (Disdikpora:

2015).

Evaluasi keberhasilan Pendidikan

Untuk Semua di Kota Salatiga, didukung oleh

aspek-aspek (Disdikpora: 2016): (1) Komitmen

politik (political will) & kepemimpinan

(leadership) dari lembaga-lembaga eksekutif,

yudikatif, dan legislative; (2) Adanya kerangka

kebijakan (policy framework) sebagai wujud

komitmen pemerintahan nasional, provinsi,

kab/kota dalam Program PUS; (3) Struktur dan

mekanisme pemerintahan daerah yg

mendukung pelaksanaan Program PUS; (4)

Sumber-sumber daya yang memadai; (5)

Sistem informasi dan data yg komprehensif

baik di persekolahan maupun di luar sekolah

dan terpilah menurut jenis kelamin; (6) Alat

analisis untuk perencanaan, penganggaran serta

pemantauan dan evaluasi yg mendukung

pelaksanaan Program PUS; (7) Dorongan dari

pemangku kepentingan (stakeholder)

pendidikan lain dalam pelaksanaan Program

PUS; (8) Sistem informasi dan data yg

komprehensif baik di persekolahan maupun di

luar sekolah dan terpilah menurut jenis

kelamin; (9) Alat analisis untuk perencanaan,

penganggaran serta pemantauan dan evaluasi

yg mendukung pelaksanaan Program PUS; dan

(9) Dorongan dari pemangku kepentingan

(stakeholder) pendidikan lain dalam

pelaksanaan Program PUS. Berdasarkan

evaluasi tersebut, Pembangunan Pendidikan

Pasca 2015, Dinas Pendidikan, Pemuda dan

Olah Raga merekomendasi: (1) Tata kelola dan

penganggaran yang lebih transparan, (2)

Meningkatkan koordinasi antar sector, (3)

Meningkatkan kualitas pendidikan, (4)

Distribusi guru yang lebih merata, (5)

Memastikan pemuda dan orang dewasa

memiliki kesempatan belajar yang sama, (6)

Meningkatkan pemanfaatan Teknologi

Informasi dan Komunikasi (TIK) untuk

membantu meningkatkan belajar mengajar dan

akses pendidikan

Tindaklanjut dari tujuan pembangunan

milinium adalah Pembangunan berkelanjutan

(suistainability development goals/SGDs).

SDGs memiliki 5 pondasi yaitu manusia,

planet, kesejahteraan, perdamaian, dan

kemitraan yang ingin mencapai tiga tujuan

mulia di tahun 2030 berupa mengakhiri

kemiskinan, mencapai kesetaraan dan

mengatasi perubahan iklim

(http://sdgsindonesia.com/2016/09/07/mengen

al-17-bidang-sdgs/). Thema pembangunan

Pendidikan Tahun 2016-2030 adalah Menuju

Pendidikan dan Pembelajaran Sepanjang Hayat

untuk Semua yang Inklusif, Adil dan Bermutu

dengan 7 (Tujuh) Target/Goals). Target

Pendidikan Tahun 2030 pada Pembangunan

Page 10: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017

10

berkelanjutan pada bidang pendidikan adalah

(1) Memastikan seluruh anak laki-laki dan

perempuan memperoleh pendidikan dasar dan

menengah yang bebas biaya, berkeadilan, dan

bermutu yang mengarah pada keluaran

pembelajaran yang relevan dan efektif; (2)

Memastikan seluruh anak laki-laki dan

perempuan memperoleh akses ke

perkembangan, perawatan dan pendidikan pra-

sekolah dasar yang bermutu untuk memastikan

kesiapan memasuki pendidikan dasar; (3)

Memastikan adanya akses merata bagi laki-laki

dan perempuan untuk memperoleh pendidikan

teknik, vokasi dan tinggi yang terjangkau dan

bermutu; (4) meningkatkan jumlah penduduk

remaja dan dewasa yang memiliki kemampuan

relevan, termasuk keterampilan teknik dan

vokasi, untuk memperoleh pekerjaan dan

kewirausahaan; (5) Menghapuskan

ketimpangan gender dalam pendidikan dan

memastikan akses merata terhadap seluruh

tingkat pendidikan dan pelatihan vokasi bagi

kelompok rentan, termasuk penduduk dengan

keterbatasan fisik, penduduk asli tradisional,

dan anak-anak dalam situasi rentan; (6)

Memastikan seluruh remaja dan dewasa, baik

laki-laki maupun perempuan, memperoleh

kemampuan keaksaraan dan berhitung; (7)

Memastikan seluruh peserta didik memperoleh

pengetahuan dan keterampilan yang

dibutuhkan untuk meningkatkan pembangunan

berkelanjutan, termasuk di antaranya melalui

pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan

dan gaya hidup berkelanjutan, hak azasi

manusia, kesetaraan gender, peningkatan

budaya damai dan anti kekerasan,

kewarganegaraan global, dan penghargaan

terhadap keragaman budaya dan kontribusi

budaya terhadap pembangunan berkelanjutan.

PEMBAHASAN

Berdasarkan temuan dan bahasan

penelitian tentang kinerja pendidikan dasar

dapat disimpulkan bahwa (1). Angka

Partisipasi Kasar tingkat SD/MI dan SMP/MTs

Kota Salatiga telah mencapai 100%. Ini berarti

seluruh penduduk usia 7-12 tahun telah

mendapatkan pelayanan wajib belajar dalam

program pendidikan untuk semua (2). Indeks

Paritas Gender relatif tinggi. Ini berarti bahwa

pendudukan berjenis kelamin laki-laki dan

perempuan telah memperoleh kesempatan yang

sama dalam mengikuti wajib belajar 9 tahun

dalam implementasi program pendidikan untuk

semua. (3). Jumlah dan kualifikasi pendidikan

serta sertifikasi pendidik dan tenaga

kependidikan mendukung peningkatan mutu

program pendidikan untuk semua di Kota

Salatiga (4). Jumlah dan jenis Sarana dan

prasarana mendukung peningkatan mutu

program pendidikan untuk semua di Kota

Salatiga.

Berdasarkan kesimpulan di atas

direkomendasikan: (1). Kinerja pencapaian

program pendidikan semua hendaknya menjadi

acuan dalam perencanaan program pendidikan

berkelanjutan (2). Pemerintah Kota dan DPRD

di Salatiga hendaknya menetapkan kebijakan

alokasi anggaran, pemenuhan kebutuhan

pendidik, tenaga kependidikan, sarana

prasarana dan manajemen sekolah yang relevan

dengan peningkatan akses dan mutu pendidikan

universal tingkat SMA/MA/SMK (3).

Peningkatan partisipasi masyarakat dalam

mendukung pembiayaan pendidikan dan

manajemen pendidikan yang dapat

meningkatkan akses dan mutu pendidikan

tingkat SMA/MA/SMK sebagai implementasi

program pendidikan berkelanjutan.

DAFTAR PUSTAKA

Akib, Haedar, 2010, Implementasi Kebijakan:

Apa, Mengapa, dan Bagaimana, Guru

Besar Ilmu Administrasi Universitas

Negeri Makassar,

http://digilib.unm.ac.id/files/disk1/4/ -

universitas% 20negeri%20makassar-

digilib-unm-haedarakib-165-1-haedara-

b.pdf

Page 11: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Kinerja Pendidikan Dasar Dalam Implementasi Program Pendidikan Untuk Semua | Bambang Ismanto, dkk.

11

Aneta, Asna, 2010, Implementasi Kebijakan

Program Penanggulangan Kemiskinan

Perkotaan (P2KP) Di Kota Gorontalo,

Jurnal Administrasi Publik, Volume 1

No. 1 Thn. 2010,

http://digilib.unm.ac.id/files/disk1/4/un

iversitas%20negeri%20makassar-

digilib-unm-asnaaneta-173-1-asnaane-

a.pdf, diunduh 30 November 2016, jam

4.36

Dinas Pendidikan, 2016, Strategi Program PUS

Pasca 2015 Dan Capaian Program PUS

Tahun 2016 Provinsi Jawa Tengah,

Disampaikan pada Workshop Program

PUS 2016 di Kota Salatiga, 20 Oktober

2016, Dinas Pendidikan, Provinsi Jawa

Tengah,

Dwiyanto, Agus. 1995. Penilaian Kinerja

Organisasi Pelayanan Publik.

Yogyakarta: UGM.

Forum Koordinasi Pendidikan Untuk Semua,

2015, Laporan tahunan Pendidikan

Untuk Semua (PUS), Badan

Perencanaan Pembangunan Daerah,

Salatiga, 2015

Islamy, Irfan, 2000, Prinsip-Prinsip Perumusan

Kebijaksanaan Negara, Jakarta: Bumi

Aksara, Jakarta

Kebijakan Daerah Kota Salatiga Di Bidang

Pendidikan, Disampaikan Walikota

Salatiga pada: Workshop Pendidikan

Untuk Semua (PUS) Tahun 2016, 19-20

Oktober 2016

Kementerian Perencanaan Pembangunan

Nasional/Badan Perencanaan

Pembangunan Nasional (BAPPENAS),

2012, Laporan Pencapaian Tujuan

Pembangunan Milenium Di Indonesia

2011,

http://www.bappenas.go.id/files/1913/5

229/9628/laporan-pencapaian-tujuan-

pembangunan-milenium-di-indonesia-

2011__20130517105523__3790__0.pd

f

Nugroho, D. Riant. 2006. Kebijakan Publik:

Formulasi, Implementasi dan Evaluasi.

Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.

Peraturan Pemerintah, Nomer 47 Tahun 2008,

tentang Wajib Belajar

Suharto, Edi. 1997. Kemiskinan dan

Perlindungan Sosial di Indonesia.

Bandung: Penerbit Alfabeta

___________. 2005. Analisis Kebijakan

Publik: Panduan Praktis Mengkaji

Masalah dan Kebijakan Sosial.

Bandung: Penerbit Alfabeta

Wahab, Sholichin Abdul, 2008, Analisis

Kebijaksanaan, Dari Formulasi ke

Implementasi Kebijaksanaan Negara.

Bumi Aksara, Jakarta

Page 12: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Magister Manajemen Pendidikan FKIP Universitas Kristen Satya Wacana [email protected]

ISSN 2549-9661 Volume: 4, No. 1, Januari-Juni 2017

Halaman: 12-27

12

KETERLAKSANAAN STANDAR PENGELOLAAN PENDIDIKAN DI

SMA TERAKREDITASI

Krisma Widi Wardani

Pendidikan Guru Sekolah Dasar

FKIP-Universitas Kristen Satya Wacana

[email protected]

Lobby Loekmono

Magister Manajemen Pendidikan

FKIP-Universitas Kristen Satya Wacana

[email protected]

Supramono

Magister Manajemen Pendidikan

FKIP-Universitas Kristen Satya Wacana

[email protected]

ABSTRACT

This study aims: (1) to find out the significance of differences in the implementation of the

Education Management Standards in Semarang Regency Accredited Senior High School, and

(2) to know the implementation of components in the Education Management Standards at

Senior High School accredited A and B in Semarang Regency which is still in the Very Low

category. The type of this research is descriptive comparative with quantitative approach. The

school as a unit of analysis. The sample in this study consists of 6 Accredited A and 3 Accredited

B Senior High Schools. Data or information obtained from the principal, Vice Principals and

Teachers. There are 30 respondents from 6 Accredited A and 15 people from 3 Accredited B

Senior High Schools. This study used a Monitoring and Evaluation of Education Management

Standards questionnaire developed by BSNP 2012. The results of this research showed that the

average in Accredited A are higher from Accredited B Senior High Schools. While from the

comparative test results obtained: there is no significant difference in the implementation of

education management standards between Accredited A and Accredited B Senior High Schools

in Semarang Regency. The result of the categorization statistics is the result that there is no

component whose implementation in the Very Low category in both Accredited A and

Accredited B Senior High School. However, there are components whose implementation is

still in the Moderate category of the Component Management Information System.

Keywords: Accreditation, Implementation, Accredited Senior High School, Education

Management Standards.

Page 13: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Keterlaksanaan Standar Pengelolaan Pendidikan di SMA Terakreditasi | Krisma W. Wardani, Dkk.

13

PENDAHULUAN

Setiap warga negara berhak

memperoleh pendidikan yang bermutu. Untuk

dapat menyelenggarakan pendidikan yang

bermutu, setiap satuan pendidikan harus

memenuhi Standar Nasional Pendidikan yang

dilakukan melalui kegiatan akreditasi terhadap

kelayakan setiap satuan/program pendidikan.

Standar Nasional Pendidikan yang berkaitan

dengan perencanaan, pelaksanaan, dan

pengawasan kegiatan pendidikan pada tingkat

satuan pendidikan, kabupaten/kota, provinsi,

pemerintah atau nasional agar tercapai efisiensi

dan efektif penyelenggaraan pendidikan yaitu

terdapat dalam Standar Pengelolaan Pendidikan

diatur dalam Permendiknas No. 19 Tahun 2007.

Dalam Standar Pengelolaan Pendidikan

terdapat enam komponen kegiatan penting yang

harus dilaksanakan oleh setiap satuan

pendidikan dasar dan menengah, yaitu: 1)

Perencanaan Program; 2) Pelaksanaan Rencana

Kerja; 3) Pengawasan dan Evaluasi; 4)

Kepemimpinan Sekolah/Madrasah; 5) Sistem

Informasi Manajemen; dan 6) Penilaian

Khusus. Apabila setiap jenjang pengelola

satuan pendidikan berupaya memberi jaminan

mutu dan dilakukan secara terstandar

berkelanjutan, maka mutu pendidikan

Indonesia secara nasional akan meningkat.

Peningkatan mutu pendidikan akan berdampak

pada mutu sumber daya manusia secara

nasional. Untuk memelihara efektivitas peran

para konstituen dalam pengembangan

kebijakan, pengambilan keputusan, dan

penyelenggaraan pendidikan diperlukan sistem

tata pamong (governance). Tata pamong yang

baik (good governance) jelas terlihat dari lima

kriteria yaitu kredibilitas, transparansi,

akuntabilitas, tanggung-jawab, dan adil (BAN-

PT 2010:17).

Berdasarkan Instrumen Akreditasi

SMA/MA dari BAS S/M (2014), tanpa

mengabaikan 7 standar lainya dalam Standar

Nasional Pendidikan, secara khusus dalam

penilaian Standar Pengelolaan Pendidikan

ditentukan kualifikasi berdasarkan enam

komponen pengukuran standar pengelolaan

yang dijabarkan sebagai berikut: (1)

Sekolah/Madrasah mendapat kualifikasi A

apabila: Merumuskan dan menetapkan visi,

mudah dipahami dan sering disosialisaikan.

Sedangkan sekolah akan mendapat kualifikasi

B jika merumuskan dan menetapkan visi,

mudah dipahami dan pernah di-sosialisasikan;

(2) Sekolah/Madrasah mendapat kualifikasi A

apabila: Sekolah/-Madrasah memiliki pedoman

yang mengatur tujuh atau lebih aspek

pengelolaan secara tertulis. Sedangkan

kualifikasi B jika memiliki pedoman yang

mengatur lima atau enam aspek pengelolaan

secara tertulis; (3) Sekolah/Madrasah mendapat

kualifikasi A apabila: Memiliki struktur

organisasi yang dipajang di dinding dan disertai

uraian tugas yang jelas. Sedangkan kualifikasi

B jika Memiliki struktur disertai uraian tugas

yang jelas; (4) Sekolah/Madrasah mendapat

kualifikasi A apabila: Sebanyak 76%-100%

kegiatan sesuai dengan rencana kerja tahunan.

Sedangkan kualifikasi B Sebanyak 51%-75%

kegiatan sesuai dengan rencana kerja tahunan;

(5) Sekolah/Madrasah mendapat kualifikasi A

apabila: Melaksanakan empat atau lebih

kegiatan kesiswaan. Sedangkan kualifikasi B

melaksanakan tiga kegiatan kesiswaan; (6)

Sekolah/Madrasah mendapat kualifikasi A

apabila: Melaksanakan empat atau lebih

kegiatan pengembangan kurikulum dan

pembelajaran. Sedangkan kualifikasi B

melaksanakan tiga kegiatan pengembangan

kurikulum dan pembelajaran.

Dari sebagian komponen pengukuran

tersebut di atas jelas membedakan kualifikasi

sekolah berperingkat A dan B dengan sangat

jelas. Meski begitu, Soedjono (2012:2)

mengungkapkan faktanya penyelenggaraan

akreditasi Sekolah/Madrasah saat ini

menghadapi beberapa persoalan diantaranya

(1) hasil akreditasi belum menggambarkan

kondisi objektif sekolah; (2) hasil akreditasi

Page 14: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017

14

belum menunjukkan indikator akuntabilitas; (3)

hasil akreditasi sekolah belum dijadikan

sebagai alat pembinaan, pengembangan dan

peningkatan mutu pendidikan di sekolah; (4)

peringkat hasil akreditasi belum

menggambarkan kelayakan sekolah; dan (5)

hasil akreditasi belum mampu memberikan

rekomendasi tentang penjaminan mutu

pendidikan. Menurut Asmani (2010:27) banyak

pihak yang selama ini skeptis terhadap

objektivitas proses dan hasil akreditasi, mereka

mengukur ada banyak kejanggalan,

penyalahgunaan, dan penyimpangan yang

dilakukan, baik oleh pihak sekolah yang di

akreditasi maupun oleh tim asesor yang

berkaitan dengan korupsi, kolusi, dan

nepotisme (KKN), karena assesor tidak jarang

memberi kesempatan untuk mengadakan apa

yang belum tersedia di lapangan.

Subagyo (2013) dalam penelitiannya

mengatakan tidak ada perbedaan yang

signifikan antara SD/MI Terakreditasi A

dengan SD/MI Terakreditasi B dalam

keterlaksanaan Standar Pengelolaan

Pendidikan di Kota Salatiga. Kesimpulan dari

penelitian ini kemudian dapat dijadikan

landasan bahwa terdapat kesenjangan antara

kondisi ideal dengan praktek. Idealnya sekolah

yang terakreditasi A merupakan bukti bahwa

peringkat itu menunjukkan pengelolaan

pendidikan di sekolah telah memenuhi seluruh

standar pengelolaan pendidikan. Hasil

penelitian tentang Pengelolaan Pendidikan di

SMK Farmasi “Yayasan Pharmasi” Semarang

oleh Haryono (2010) menemukan bahwa SMK

Farmasi Semarang belum melakukan

pengelolaan pendidikan sesuai dengan Standar

Pengelolaan Pendidikan secara maksimal,

sekolah yang diteliti kurang memahami Standar

Pengelolaan Pendidikan.

Berdasarkan hasil penelitian dan uraian

di atas ditemukan bahwa pada kondisi ideal

sekolah yang terakreditasi A memiliki

kualifikasi lebih tinggi dari sekolah

terakreditasi B. Namun dari penelitian Subagyo

(2013) menunjukkan bahwa Keterlaksanaan

Standar Pengelolaan Pendidikan di SD/MI

Terakreditasi A dan B di Kota Salatiga tidak

ada perbedaan signifikan. Begitu juga dengan

penelitian Haryono (2010). Kontradiksi antara

keadaan ideal dan hasil penelitian tersebut

menarik untuk dilakukan penelitian mengenai

keterlaksanaan standar pengelolaan pendidikan

di SMA Terakreditasi A dan B di Kabupaten

Semarang.

Di Kabupaten Semarang terdapat 26

SMA Negeri dan Swasta. Bedasarkan

penelitian pendahuluan diperoleh data

Akreditasi SMA seperti Tabel 1 berikut ini:

Tabel 1 Daftar Akreditasi SMA Kabupaten Semarang

Peringkat Akreditasi Jumlah Sekolah

Jumlah Total Negeri Swasta

A 8 4 12

B 0 6 6

C - - -

Terakreditasi sebelum

2009/2010 3 0 3

Tidak Terakreditasi 0 3 3

Tidak Terlacak 0 2 2

Jumlah Total 11 15 26

Sumber: Penelitian Pendahuluan, Mei 2015

Jumlah SMA yang telah terakreditasi

dan yang belum terakreditasi di Kabupaten

Semarang selisihnya cukup banyak, terlebih

apabila menyangkut masa berlaku akreditasi

bagi SMA Terakreditasi A dan Terakreditasi B

di Kabupaten Semarang perlu untuk dilihat

Page 15: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Keterlaksanaan Standar Pengelolaan Pendidikan di SMA Terakreditasi | Krisma W. Wardani, Dkk.

15

keterlaksanaan standar pengelolaan pendidikan

agar dapat terus menjamin keberlanjutan

penjaminan mutu pendidikan. Melalui

penelitian ini akan dilihat apakah ada perbedaan

atau tidak mengenai keterlaksanaan standar

pengelolaan di sekolah terakreditasi A dan B di

Kabupaten Semarang, serta belum adanya

penelitian yang menjelaskan komponen mana

dalam standar pengelolaan pendidikan di SMA

Terakreditasi A dan B di Kabupaten Semarang

yang keterlak-sanaannya masih berada pada

kategori Sangat Rendah.

Berdasarkan masalah di atas, maka

rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1) Adakah perbedaan signifikan keterlaksanaan

Standar Pengelolaan Pendidikan di SMA

terakreditasi A dan SMA terakreditasi B di

Kabupaten Semarang? 2) Komponen Standar

Pengelolaan Pendidikan mana yang

keterlaksanaannya masih berada dalam

kategori Sangat Rendah pada SMA

terakreditasi A dan B?. Sedangkan tujuan

penelitian ini untuk: 1) Mangetahui signifikansi

perbedaan keterlaksanaan Standar Pengelolaan

Pendidikan di SMA terakreditasi A dan B di

Kabupaten Semarang; 2) Mengetahui

komponen mana dalam Standar Pengelolaan

Pendidikan di SMA terakreditasi A dan B di

Kabupaten Semarang yang keterlaksanaannya

masih berada pada kategori Sangat Rendah.

METODE PENELITIAN

Jenis penelitian yang digunakan adalah

deskriptif komparatif dengan pendekatan

kuantitatif. Penelitian ini menggunakan sekolah

sebagai unit analisis. Unit analisis menurut

Arikunto (2010; 187) adalah satuan tertentu

yang diperhitungkan sebagai subyek penelitian.

Dalam pengertian yang lain, unit analisis

diartikan sebagai sesuatu yang berkaitan

dengan fokus/komponen yang diteliti. Sehingga

selain sekolah sebagai unit analisis juga

merupakan subjek penelitian, dalam hal ini

adalah SMA Terakreditasi A dan B yang berada

di wilayah Kabupaten Semarang.

Populasi subjek penelitian dalam

penelitian ini adalah 12 SMA Terakreditasi A

dan 6 SMA Terakreditasi B di Kabupaten

Semarang. Sampel adalah sebagian dari jumlah

karakteristik yang dimiliki oleh populasi.

Teknik pengambilan sample berfokus pada

teknik purposive sampling. Sample dalam

penelitian ini adalah 6 SMA Terakreditasi A

dan 3 SMA Terakreditasi B di Kabupaten

Semarang. Data atau informasi diperoleh dari

“informan (responden) penelitian” yaitu Kepala

Sekolah, Wakil Kepala Sekolah dan Guru.

Informan/responden dalam penelitian ini

bersifat kolektif (satu kesatuan) tidak

individual. Setiap sekolah diambil sebanyak 5

orang narasumber yang terdiri dari 1 kepala

sekolah, 3 wakil kepala sekolah dan 1 guru.

Definisi operasional keterlaksanaan

standar pengelolaan pendidikan adalah

terlaksananya keseluruhan standar pengelolaan

pendidikan yang mencakup perencanaan

program; sistem informasi manajemen;

pelaksanaan rencana kerja meliputi: Pedoman

Pengelolaan, Aspek pendukung dalam

penyusunan Pedoman pengelolaan dan Struktur

organisasi; Kepemimpinan Sekolah; dan

pengawasan dan evaluasi yang diukur melalui

angket pemantauan dan evaluasi standar

pengelolaan pendidikan yang dikembangkan

oleh BSNP 2012.

Proses pengumpulan data yang

digunakan adalah dengan menggunakan

pengisian angket. Adapun yang mengisi angket

keterlaksanaan standar pengelolaan pendidikan

ini melibatkan 9 (sembilan) kepala sekolah dan

36 (tiga puluh enam) guru dari sembilan SMA

di Kabupaten Semarang. Untuk menentukan

empat guru dari setiap sekolah yang akan

mengisi angket peneliti melakukan koordinasi

dengan memohon petunjuk kepala sekolah

untuk menunjukkan guru-guru yang

mengetahui tentang akreditasi sekolah atau

yang terlibat aktif dalam akreditasi sekolah

sebanyak 1 (satu) guru dan 3 (tiga) guru yang

lain adalah dari wakil kepala sekolah. Maka

Page 16: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017

16

secara umum kriteria pengisi angket adalah

guru yang paham dan berperan aktif dalam

akreditasi sekolah.

Data yang terkumpul akan dianalisis

dengan menggunakan teknik analisis statistik,

yakni analisis deskriptif, uji validitas item dan

uji reliabilitas instrumen penelitian, uji

normalitas dan analisis perbedaan. Untuk

mengetahui apakah setiap butir dalam

instrumen valid atau tidak dapat diketahui

dengan cara mengkorelasikan antara skor butir

dengan skor total. Uji reliabilitas menunjukkan

sejauh mana suatu hasil pengukuran relatif

konsisten apabila pengukuran dilakukan

terhadap aspek yang sama di waktu yang

berbedabeda. Azwar (2012:7) menyatakan

bahwa suatu alat ukur pada prinsipnya

dikatakan reliabel apabila mampu

menunjukkan sejauh mana alat ukur tersebut

dapat memberi hasil yang relatif tidak berbeda

bila dilakukan pengukuran kembali terhadap

subyek yang sama. Rumus Alpha Cronbach

seperti yang dikutip dari Arikunto (2010),

dipakai untuk menguji reliabilitas instrumen

penelitian. Penentuan kategori tingkat

reliabilitas dengan koefisien Alpha Cronbach,

didasarkan pada pendapat George & Mallery

(1995).

Analisis deskriptif bertujuan

mendeskripsikan hasil pengukuran dari

variabel keterlaksanaan standar pengelolaan

pendidikan. Selanjutnya data keterlaksanaan

standar pengelolaan pendidikan yang

terkumpul dibagi ke dalam 5 kelas interval.

Masing-masing kelas selanjutnya akan diberi

kategori yaitu: Sangat Tinggi; Tinggi; Sedang;

Rendah; Sangat Rendah yang berlaku pada tiap

komponen. Interval untuk masing-masing

komponen dalam konsep ialah: skor maksimal

dikurangi skor minimal di bagi jumlah katagori

sehingga diperoleh interval seperti yang

terdapat pada Tabel 2 berikut ini:

Tabel 2 Perhitungan Interval masing-masing Komponen

Komponen Jumlah Soal Skor Min Skor Max Interval

1. Perencanaan Program 27 27 108 16

2. Sistem Informasi Manajemen 4 4 16 2

3. Rencana Kerja 27 27 108 16

4. Kepemimpinan Sekolah 20 20 80 12

5. Pengawasan dan Evaluasi 25 25 100 15

Dari tabel perhitungan interval

selanjutnya di susun kelas interval untuk setiap

komponen. Adapun hasil kelas interval

diperoleh dengan cara datum terkecil sebagai

batas bawah kelas pertama, untuk menentukan

batas atas kelas pertama yaitu dengan cara:

menjumlahkan datum terkecil dengan panjang

interval kelas kemudian dikurangi satu (1).

Begitu juga dengan batas bawah kelas kedua

dengan melanjutkan batas atas kelas pertama

dijumlahkan dengan panjang interval kelas

kemudian kurangi satu (1). Begitu seterusnya,

sehingga diperoleh kelas interval sebagai

berikut:

Tabel 3 Kelas Interval masing-masing komponen

No. Kls Kategori Komponen

1 2 3 4 5

1 Sangat Rendah 27-42 4-6 27-42 20-31 25-39

2 Rendah 43-58 7-9 43-58 32-43 40-54

3 Sedang 59-74 10-12 59-74 44-55 55-69

4 Tinggi 75-90 13-14 75-90 56-67 70-84

5 Sangat Tinggi 91-108 15-16 91-108 68-80 85-100

Page 17: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Keterlaksanaan Standar Pengelolaan Pendidikan di SMA Terakreditasi | Krisma W. Wardani, Dkk.

17

Untuk melihat apakah ada signifikansi

perbedaan keterlaksanaan standar pengelolaan

pendidikan SMA Terakreditasi A dan SMA

Terakreditasi B, digunakan uji beda rata-rata

yang juga dikenal dengan nama t-test. Untuk

mendapatkan hasil yang signifikan (mendekati

kebenaran) maka digunakan derajat/tingkat

keyakinan 95% (α = 5%). Namun demikian,

penulis memperhitungkan dan

mempertimbangkan hasil uji t yang termasuk

dalam derajat/tingkat keyakinan 90% atau

signifikan 10%. Sugiyono (2014) menyatakan

bahwa untuk melakukan uji signifikansi

komparasi data dua sampel dengan data interval

atau ratio digunakan teknik statistik t-test,

untuk menunjukkan bahwa dua sampel yang

tidak berhubungan tersebut memiliki nilai

rerata yang berbeda. Syarat atau asumsi utama

yang harus dipenuhi dalam menggunakan t-test

adalah data harus berdistribusi normal. Untuk

menentukan apakah data yang telah

dikumpulkan berdistribusi normal maka

diperlukan uji normalitas. Uji normalitas dalam

penelitian ini menggunakan kolmogrov-

smirnov.

HASIL PENELITIAN DAN

PEMBAHASAN

Deskripsi Subyek Penelitian

Terdapat kecenderungan SMA

terakreditasi A dalam pelibatan guru relatif

sedikit dari SMA terakreditasi B. Hal tersebut

didasari dari konsultasi dengan pihak sekolah

terutama wakil kepala sekolah yang lebih

mengarahkan supaya responden adalah wakil

kepala sekolah, sebab mereka yang terlibat aktif

dalam akreditasi. Adapun rincian subyek dan

narasumber penelitian terdapat pada Tabel 4

dan Tabel 5.

Tabel 4 Subyek dan Narasumber Penelitian SMA Terakreditasi A

A. Sekolah Kepala Sekolah Wakil Kepsek Guru Total

SMA Terakreditasi A L P L P L P

1 SMA Negeri 1 Ambarawa 1 - 3 - 1 - 5

2 SMA Islam Sudirman Amb. 1 - 1 2 1 - 5

3 SMA Kartika III-1 Banyubiru 1 - 2 1 - 1 5

4 SMA Negeri 1 Suruh 1 - 3 0 1 - 5

5 SMA Negeri 1 Bringin - 1 1 2 - 1 5

6 SMA Negeri 1 Tuntang 1 - 1 2 - 1 5

Jumlah 6 21 6 30

Tabel 5 Subyek dan Narasumber Penelitian SMA Terakreditasi B

B. Sekolah Kepala Sekolah Wakil Kepsek Guru Total

SMA Terakreditasi B

1 SMA Wira Usaha Jimbaran 1 - - 1 3 - 5

2 SMA Islam Sudirman Bringin 1 - - 1 1 2 5

3 SMA Islam Plus Bina Insani 1 - - 1 - 3 5

Jumlah 3 3 9 15

Sumber data: Dokumen Sekolah yang diolah, 2015

Tabel 4 menunjukkan SMA

Terakreditasi A, masing-masing sekolah ada

yang memiliki empat wakil kepala sekolah dan

tiga wakil kepala sekolah. Untuk sekolah

dengan empat wakil kepala sekolah artinya

rombongan belajar di sekolah tersebut lebih

dari 27 rombongan belajar (rombel) dan untuk

sekolah dengan tiga kepala Sekolah, artinya

jumlah rombongan belajar terdiri dari 19-27

rombongan belajar. Sedangkan pada SMA

terakreditasi B hanya terdapat satu wakil kepala

sekolah, sebab dalam satu sekolah tersebut

terdapat kurang dari 7 rombongan belajar, hal

Page 18: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017

18

ini sesuai dengan permendiknas No. 19 Tahun

2007.

Uji Validitas

Hasil uji validitas pada angket

Keterlaksanaan Standar Pengelolaan

Pendidikan dipaparkan pada Tabel 4.2 dengan

kriteria seleksi item dilakukan berdasarkan

koefisien korelasi item total terkoreksi

(corrected item-total correlation). Apabila

terdapat item yang memiliki skor corrected

item-total correlation dibawah 0,30, maka item

tersebut tidak valid sehingga tidak digunakan

dalam penelitian (Sugiyono, 2014:174, Azwar,

2012:164). Berikut pada Tabel 4.2 disajikan

rangkuman hasil uji validitas item.

Tabel 6 Rangkuman Hasil Uji Validitas

Variabel

Penelitian Sub Variabel

No. item

Instrumen

Range corrected

item-total

correlation

Validitas

Standar

Pengelolaan

Pendidikan

Komponen 1

Keterlaksanaan perencanaan program

1-27

0,349 – 0,811

Komponen 2

Keterlaksanaan sistem informasi manajemen

28-31

0,713 – 0,855

Komponen 3

Keterlaksanaan rencana kerja (Rencana Kerja,

Pedoman Penge-lolaan, Aspek pendukung dalam

penyusunan Pedoman penge-loaan, Struktur

organisasi)

32-35

36-48

69-73

74-78

0,347 – 0,883

Komponen 4 Keterlaksanaan Kepemimpinan

Sekolah

49-68 0,474 – 0,817 √

Komponen 5

Keterlaksanaan pengawasan dan evaluasi,

79-103

0,507 – 0,843

Sumber data: Lampiran 2 yang diolah, 2015

Dari Tabel 4.2 di atas semua item dalam

instrumen dinyatakan valid, dengan corrected

item-total correlation di atas 0,30. Pada

Komponen keterlaksanaan perencanaan

program diketahui corrected item-total

correlation terendah adalah 0,349, yang

terdapat pada item nomor 25 mengenai

keterlibatan Dewan Pendidik dalam penentuan

Wakil Kepala Sekolah/Madrasah. Sedangkan

corrected item-total correlation tertinggi adalah

0,811 pada item nomor 8 mengenai keterlibatan

Komite Sekolah dalam penetapan tujuan

sekolah/madrasah. Pada Komponen

keterlaksanaan sistem informasi manajemen

yang terdiri dari 4 item, corrected item-total

correlation terendah 0,713 pada item nomor 30

mengenai Pelaporan data dan informasi

sekolah/-madrasah kepada dinas

Kabupaten/Kota atau Kantor Kementrian

Agama Kabupaten/Kota. Tertinggi adalah

0,855 pada item nomor 29 mengenai Penugasan

guru/tenaga kependidikan untuk penanganan

sistem informasi manajemen

Sekolah/Madrasah. Komponen ketiga yaitu

keterlaksanaan rencana kerja corrected item-

total correlation terendah adalah 0,347 pada

item nomor 73 mengenai Sosialisasi atau

Bimbingan Teknis dari Dinas Pendidikan

Kabupaten/Kota atau Kantor Kementrian

Agama Kabupaten/Kota. Corrected item-total

correlation tertinggi adalah 0,883 pada item

nomor 37 tentang Peraturan Akademik. Pada

komponen keempat yaitu keterlaksanaan

Kepemimpinan Sekolah, corrected item-total

correlation terendah adalah 0,474 terdapat pada

item nomor 66 tentang menjalin kerja sama

dengan orang tua peserta didik dan masyarakat,

dan komite Sekolah/Madrasah sedangkan

corrected item-total correlation tertinggi adalah

0,817 pada item nomor 55 mengenai

komunikasi untuk menciptakan dukungan

intensif dari orang tua peserta didik dan

Page 19: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Keterlaksanaan Standar Pengelolaan Pendidikan di SMA Terakreditasi | Krisma W. Wardani, Dkk.

19

masyarakat. Pada komponen Keterlaksanaan

pengawasan dan evaluasi, corrected item-total

correlation terendah adalah 0,507 pada item

nomor 86 mengenai pelaporan hasil evaluasi

belajar dan penilaian kepada orang tua/wali

setiap akhir semester dan corrected item-total

correlation tertinggi 0,843 pada item nomor 96

mengenai pelaksanaan evaluasi diri,

sekolah/madrasah menyusun program penilaian

kinerja untuk peningkatan kinerja sekolah.

Uji Reliabilitas

Instrumen pada prinsipnya dikatakan

reliabel apabila mampu menunjukkan sejauh

mana alat ukur tersebut dapat memberi hasil

yang relatif tidak berbeda bila dilakukan

pengukuran kembali terhadap subyek yang

sama. Penentuan kategori tingkat reliabilitas

dengan koefisien Cronbach’s Alpha,

didasarkan pada pendapat George & Mallery

(1995) yang menjelaskan bahwa hasil uji

reliabilitas dikategorikan Sangat Tinggi apabila

Cronbach’s Alpha > 0,900. Berikut pada Tabel

7 disajikan rangkuman hasil uji reliabilitas.

Tabel 7 Hasil Uji Reliabilitas Keterlaksanaan Standar Pengelolaan Pendidikan

Variabel

Penelitian Sub Variabel

No. item

Instrumen

Cronbach's

Alpha

Reliabellity

Standar

Pengelolaan

Pendidikan

Komponen 1

Keterlaksanaan perencanaan program

1-27 0,939

Sangat

Tinggi

Komponen 2

Keterlaksanaan sistem informasi manajemen

28-31 0,843 Tinggi

Komponen 3

Keterlaksanaan rencana kerja (Rencana Kerja,

Pedoman Penge-lolaan, Aspek pendukung dalam

penyusunan Pedoman pengeloaan, Struktur

organisasi)

32-35

36-48

69-73

74-78

0,949 Sangat

Tinggi

Komponen 4 Keterlaksanaan Kepemimpinan

Sekolah 49-68 0,936

Sangat

Tinggi

Komponen 5

Keterlaksanaan pengawasan dan evaluasi,

79-103 0,955

Sangat

Tinggi

Sumber data: Lampiran 3 yang diolah, 2015

Tabel 7 menunjukkan bahwa komponen

sistem informasi manajemen memliki nilai

Cronbach`s Alpha 0,843 berada pada kategori

Tinggi, dan pada sub variabel komponen yang

lain Cronbach`s Alpha berada di atas 0,900

(kategori sangat tinggi). Hal ini menunjukkan

bahwa instrumen penelitian ini reliabel,

sehingga dapat dilanjutkan melakukan analisis.

Analisis Deskriptif

Untuk menentukan tinggi rendahnya

hasil pengukuran variabel keterlaksanaan

standar pengelolaan pendidikan SMA

terakreditasi A maupun B digunakan 5 kategori

pada tiap komponen yaitu: Sangat Tinggi;

Tinggi; Sedang; Rendah; Sangat Rendah. Oleh

karena semua butir item dalam angket

dinyatakan valid maka tidak ada perubahan

interval dari Tabel 3.

Pengukuran keterlaksanaan standar

pengelolaan pendidikan SMA Terakreditasi

A dan B

Adapun tinggi-rendahnya hasil

pengukuran frekuensi Keterlaksanaan

Perencanaan Program SMA terakreditasi A dan

B dapat dikategorikan sebagai berikut:

Page 20: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017

20

Tabel 8 Statistik Kategorisasi Keterlaksanaan Perencanaan Program SMA Terakreditasi A dan B

Kelas Interval Kategori Frekuensi

SMA Terakreditasi A SMA Terakreditasi B

Jml Persentase Jml Persentase

27-42 Sangat Rendah 0 0

43-58 Rendah 0 0

59-74 Sedang 0 0 0

75-90 Tinggi IIII 66,66% II 66,66%

91-108 Sangat Tinggi II 33,33 % I 33,3%

Jumlah 6 100 % 3 100 %

Sumber data: Lampiran 4 yang diolah, 2015

Tabel 8 menunjukkan bahwa

Keterlaksanaan Perencanaan Program pada

SMA terakreditasi A di Kabupaten Semarang

ada di kategori Tinggi – Sangat Tinggi.

Sedangkan keterlaksanaan Perencanaan

Program di SMA terakreditasi B ada di kategori

Tinggi – Sangat Tinggi. Hal ini sangat menarik

karena SMA Terakreditasi B memiliki

kecenderungan ke arah kategori Tinggi di

dalam melaksanakan perencanaan program,

sebanding dengan keterlaksanaan Perencanaan

Program di SMA Terakreditasi A.

Tabel 9 Statistik Kategorisasi Keterlaksanaan Sistem Informasi Manajemen SMA Terakreditasi A dan B

Kelas Interval Kategori Frekuensi

SMA Terakreditasi A SMA Terakreditasi B

Jml Persentase Jml Persentase

4-6 Sangat Rendah 0 0

7-9 Rendah 0 0

10-12 Sedang I 16,66% III 100 %

13-14 Tinggi IIII 66,66% 0

14-16 Sangat Tinggi I 16,66% 0

Jumlah 6 100% 3 100%

Sumber data: Lampiran 4 yang diolah, 2015

Tabel 9 menunjukkan bahwa

Keterlaksanaan Sistem Informasi Manajemen

pada SMA Terakreditasi A memiliki

kecenderungan ke arah Sedang – Tinggi -

Sangat Tinggi. Sementara pada SMA

Terakreditasi B cenderung pada kategori

Sedang. Yang menarik dalam hal ini adalah

SMA Terakreditasi A memiliki kecenderungan

kategori Sedang - Tinggi - Sangat Tinggi.

Nampak bahwa keterlaksanaan Sistem

Informasi Manajemen pada SMA Terakreditasi

A lebih tinggi dibanding SMA Terakreditasi B.

Tabel 10 Statistik Kategorisasi Keterlaksanaan Rencana Kerja SMA Terakreditasi A dan B

Kelas Interval Kategori Frekuensi

SMA Terakreditasi A SMA Terakreditasi B

Jml Persentase Jml Persentase

27-42 Sangat Rendah 0 0

43-58 Rendah 0 0

59-74 Sedang 0 0

75-90 Tinggi IIII 66,66% III 100%

91-108 Sangat Tinggi II 33,33% 0

Jumlah 6 100% 3 100%

Sumber data: Lampiran 4 yang diolah, 2015

Page 21: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Keterlaksanaan Standar Pengelolaan Pendidikan di SMA Terakreditasi | Krisma W. Wardani, Dkk.

21

Pada Tabel 10 menunjukkan bahwa

keterlaksanaan Rencana Kerja SMA

Terakreditasi A di Kabupaten Semarang masuk

pada kategori Tinggi - Sangat Tinggi.

Sementara Keterlaksanaan Rencana Kerja

SMA Terakreditasi B pada kategori Tinggi,

Sehingga keterlaksanaan Rencana Kerja pada

SMA Terakreditasi A cenderung lebih tinggi

dibanding SMA Terakreditasi B.

Tabel 11 Statistik Kategorisasi Keterlaksanaan Kepemimpinan Sekolah SMA Terakreditasi A dan B

Kelas Interval Kategori Frekuensi

SMA Terakreditasi A SMA Terakreditasi B

Jml Persentase Jml Persentase

20-31 Sangat Rendah 0 0

32-43 Rendah 0 0

44-55 Sedang 0 0

56-67 Tinggi IIII 66,66 % III 100 %

68-80 Sangat Tinggi II 33,33 % 0

Jumlah 6 100% 3 100%

Sumber data: Lampiran 4 yang diolah, 2015

Tabel 4.7 menunjukkan bahwa

Keterlaksanaan Kepemimpinan Sekolah pada

SMA Terakreditasi A dan B memiliki

kecenderungan pada kategori Tinggi - Sangat

Tinggi dan pada SMA Terakreditasi B pada

katagori Tinggi. Nampak Bahwa

keterlaksanaan Kepemimpinan Kepala Sekolah

pada SMA Terakreditasi A lebih tinggi

dibanding SMA Terakreditasi B.

Tabel 12 Statistik Kategorisasi Keterlaksanaan Pengawasan dan Evaluasi SMA Terakreditasi A dan B

Kelas Interval Kategori Frekuensi

SMA Terakreditasi A SMA Terakreditasi B

Jml Persentase Jml Persentase

25-39 Sangat Rendah 0 0

40-54 Rendah 0 0

55-69 Sedang 0 0

70-84 Tinggi IIIII 83,33% III 100%

85-100 Sangat Tinggi I 16,66% 0

Jumlah 6 100% 3 100%

Sumber data: Lampiran 4 yang diolah, 2015

Pada tabel 12 menunjukkan

Keterlaksanaan Pengawasan dan Evaluasi pada

SMA terakreditasi A dan B sama-sama

memiliki kecenderungan pada kategori Tinggi.

Hal ini sangat menarik karena SMA

Terakreditasi A dan B dalam Keterlaksanaan

Pengawasan dan evaluasi diri menilai Tinggi.

Analisis Perbedaan

Uji normalitas terhadap variabel keterlaksanaan

standar pengelolaan pendidikan di SMA

Terakreditasi A dan SMA Terakreditasi B

dalam penelitian ini tampak pada Tabel 4.9 di

bawah ini.

Tabel 13. Tests of Normality

Sekolah

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

Skor Akreditasi A .269 6 .200 .930 6 .582

Akreditasi B .280 3 . .938 3 .520

a. Lilliefors Significance Correction

Page 22: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017

22

Tabel 13 menunjukkan bahwa hasil uji

normalitas SMA Terakreditasi A mempunyai

tingkat probabilitas sebesar 0,582 > 0,05 dan

SMA Terakreditasi B mempunyai tingkat

probabilitas sebesar 0,520 > 0,05. Hal ini

bermakna bahwa data rata-rata skor angket

keterlaksanaan standar pengelolaan pendidikan

SMA Terakreditasi A dan B Kabupaten

Semarang mempunyai distribusi normal.

Untuk mengetahui ada atau tidaknya

signifikansi perbedaan keterlaksanaan standar

pengelolaan pendidikan antara SMA

Terakreditasi A dengan SMA Terakreditasi B,

dilakukan dengan menggunakan analisis

statistik Uji-T. Hasil Uji-T yang telah dilakukan

dapat dilihat pada Tabel 4.10 berikut ini:

Tabel 14 Hasil Analisis Keterlaksanaan Standar Pengelolaan Pendidikan antara SMA Terakreditasi A

dengan SMA Terakreditasi B

Panel A. Deskriptif

Akreditasi Sekolah N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

AKreditasi A 6 683.83 49.418 20.175

Akreditasi B 3 661.67 18.583 10.729

Panel B. Uji Statistik Perbedaan (T-Test)

Levene's Test for Equality of

Variances t-test for Equality of Means

F Sig. t df Sig. (2-tailed)

Equal variances assumed 2.459 .161 .730 7 .489

Equal variances not assumed .970 6.857 .365

Sumber data: Lampiran 5, 2016

Tabel 4.10 bagian Independent Samples

Test, kolom Levene’s test adalah untuk uji

homogenitas (perbedaan varians). Pada tabel

tampak bahwa F = 2.459 (p = 0,161) karena p

diatas 0,05 maka dapat dikatakan bahwa tidak

ada perbedaan varians pada data keterlaksanaan

standar pengelolaan pendidikan atau dapat

disimpulkan bahwa data hasil penelitian ini

adalah homogen maka selanjutnya yang dibaca

adalah equal variance assumed. Terlihat bahwa

nilai t hitung = 0.730 dan probabilitas 0,489 (sig

< 0,05), artinya tidak ada perbedaan

keterlaksanaan standar pengelolaan pendidikan

antara SMA terakreditasi A dan SMA

Terakreditasi B. Dengan demikian ini

bermakna bahwa tidak ada perbedaan

signifikan dalam keterlaksanaan standar

pengelolaan pendidikan antara SMA

terakreditasi A dengan SMA Terakreditasi B.

Pada Panel A menunjukkan bahwa

keterlaksanaan standar pengelolaan pendidikan

SMA Terakreditasi A lebih tinggi dibanding

SMA Terakreditasi B (683,83 > 661,67).

Meskipun tidak ada perbedaan signifikan,

namun dapat dikatakan bahwa SMA

Terakreditasi A memiliki rerata (mean) lebih

tinggi, tetapi dari uji-t terlihat bahwa tidak ada

perbedaan yang signifikan. Hal ini dikarenakan

selisihnya tipis.

Analisis Perkomponen

Pada Tabel 4.11 Panel A menunjukkan

bahwa Skor rerata (mean) keterlaksanaan

Perencanaan Program (item 1-27) SMA

Terakreditasi A lebih tinggi dibanding SMA

Terakreditasi B (88,16 > 87,66) dengan selisih

yang tipis.

Page 23: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Keterlaksanaan Standar Pengelolaan Pendidikan di SMA Terakreditasi | Krisma W. Wardani, Dkk.

23

Tabel 15 Hasil Analisis Komponen Perencanaan Program

Panel A. Deskriptif

Sekolah N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

AKreditasi A 6 88.1667 6.79461 2.77389

Akreditasi B 3 87.6667 3.05505 1.76383

Panel B. Uji Statistik Perbedaan (T-Test)

Levene's Test for Equality of

Variances t-test for Equality of Means

F Sig. t df Sig. (2-tailed)

Equal variances assumed 1.773 .225 .118 7 .909

Equal variances not assumed .152 7.000 .883

Hasil uji-t pada komponen Perencanaan

Program menunjukkan t hitung = 0,118 dengan

probabilitas 0,909 > 0,05 maka dapat

disimpulkan tidak ada perbedaan yang

signifikan pada komponen Perencanaan

Program dalam Standar Pengelolaan

Pendidikan antara SMA Terakreditasi A dan

SMA Terakreditasi B.

Dalam keterlaksanaan Sistem Informasi

Manajemen antara SMA Terakreditasi A dan

SMA Terakreditasi B (item 28-31)

menunjukkan bahwa ada perbedaaan rerata

dimana SMA Terakreditasi A lebih tinggi dari

SMA Terakreditasi B (13,16 > 11,00). Hal ini

menunjukkan bahwa ada selisih rerata SMA

Terakreditasi A dan B di Kabupaten Semarang

dalam melaksanakan Sistem Informasi

Manajemen. Meskipun memliki selisih yang

tipis kedua rerata tersebut berada pada kategori

yang berbeda (SMA Terakreditasi B Sedang

dan SMA Terakreditasi A Tinggi). Hal ini

diperkuat dengan hasil uji-t seperti pada Tabel

4.12 berikut ini.

Tabel 15 Hasil Analisis Komponen Sistem Informasi Manajemen

Panel A. Deskriptif

Sekolah N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

AKreditasi A 6 13.1667 1.32916 .54263

Akreditasi B 3 11.0000 1.00000 .57735

Panel B. Uji Statistik Perbedaan (T-Test)

Levene's Test for Equality of

Variances t-test for Equality of Means

F Sig. t df Sig. (2-tailed)

Equal variances assumed .145 .714 2.463 7 .043

Equal variances not assumed 2.735 5.406 .038

Tabel 15 Panel B menunjukkan hasil

uji-t pada komponen Sistem Informasi

Manajemen t hitung = 2.463 dan p = 0,043 (sig

< 0,05) artinya ada perbedaan yang signifikan

pada komponen Sistem Informasi Manajemen

dalam Standar Pengelolaan Pendidikan antara

SMA Terakreditasi A dan SMA Terakreditasi

B.

Dalam komponen Pelaksanaan Rencana

Kerja (item 32-48; 69-78) SMA Terakreditasi

A memiliki rerata lebih tinggi dibanding SMA

terakreditasi B (89,33 > 85,00) seperti Pada

Page 24: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017

24

Tabel 15 Panel A, selisih keduanya tipis dan

berada pada kategori yang sama yaitu Tinggi.

Hal ini menunjukkan bahwa SMA terakreditasi

A dan B di dalam melaksanakan Rencana Kerja

sama-sama memiliki kecenderungan ke arah

kategori Tinggi.

Tabel 16 Hasil Analisis Komponen Pelaksanaan Rencana Kerja

Panel A. Deskriptif

Sekolah N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

AKreditasi A 6 89.3333 5.88784 2.40370

Akreditasi B 3 85.0000 1.73205 1.00000

Panel B. Uji Statistik Perbedaan (T-Test)

Levene's Test for Equality of

Variances t-test for Equality of Means

F Sig. t df Sig. (2-tailed)

Equal variances assumed 2.442 .162 1.211 7 .265

Equal variances not assumed 1.664 6.401 .144

Hal ini diperkuat dengan hasil uji-t

seperti tampak pada Tabel 4.13. t hitung =

1.211 dan p = 0,265 (sig > 0,05) artinya tidak

ada perbedaan yang signifikan pada komponen

Pelaksanaan Rencana Kerja dalam Standar

Pengelolaan Pendidikan antara SMA

Terakreditasi A dan SMA Terakreditasi B.

Dalam keterlaksanaan Kepemimpinan

Sekolah (item 49-68) SMA Terakreditasi A

memiliki rerata lebih tinggi dari SMA

Terakreditasi B (66,16 > 64,66) meskipun

memiliki selisih tipis dan keduanya berada pada

kategori Tinggi.

Tabel 17 Hasil Analisis Komponen Kepemimpinan Sekolah

Panel A. Deskriptif

Sekolah N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

AKreditasi A 6 66.1667 5.56477 2.27181

Akreditasi B 3 64.6667 2.51661 1.45297

Panel B. Uji Statistik Perbedaan (T-Test)

Levene's Test for Equality of

Variances t-test for Equality of Means

F Sig. t df Sig. (2-tailed)

Equal variances assumed 1.638 .241 .434 7 .678

Equal variances not assumed .556 6.999 .595

Berdasarkan Tabel 17 menunjukkan t

hitung = 0,434 dengan probabilitas 0,678 >

0,05. Hal ini bermakna tidak ada perbedaan

signifikan pada komponen Kepemimpinan

Sekolah dalam Standar Pengelolaan Pendidikan

antara SMA Terakreditasi A dengan SMA

Terakreditasi B.

Dalam keterlaksanaan Pengawasan dan

Evaluasi (item 79-103) terlihat bahwa rerata

SMA Terakreditasi A lebih tinggi dari SMA

terakreditasi B (78,66 > 77,66) dengan selisih

tipis dan berada pada kategori yang sama yaitu

kategori Tinggi.

Page 25: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Keterlaksanaan Standar Pengelolaan Pendidikan di SMA Terakreditasi | Krisma W. Wardani, Dkk.

25

Tabel 18 Hasil Analisis Komponen Pengawasan dan Evaluasi

Panel A. Deskriptif

Sekolah N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

AKreditasi A 6 78.6667 7.47440 3.05141

Akreditasi B 3 77.6667 1.52753 .88192

Panel B. Uji Statistik Perbedaan (T-Test)

Levene's Test for Equality of

Variances t-test for Equality of Means

F Sig. T df Sig. (2-tailed)

Equal variances assumed 4.425 .073 .222 7 .831

Equal variances not assumed .315 5.770 .764

Bedasarkan Tabel 18 terlihat bahwa t

hitung = 0,222 dengan p = 0,831 > 0,05, hal ini

bermakna tidak ada perbedaan signifikan pada

komponen Pengawasan dan Evaluasi dalam

Standar Pengelolaan Pendidikan antara SMA

Terakreditasi A dan SMA Terakreditasi B.

Sehingga dapat disimpulkan meski SMA

Terakreditasi A lebih tinggi keterlaksanaannya,

tapi dari uji-t terlihat bahwa tidak ada

perbedaan yang signifikan. Hal ini karena

selisihnya sangat tipis.

Pembahasan Hasil Penelitian

Dari hasil analisis komparatif yang

dilakukan, terlihat tidak ada perbedaan

signifikan antara SMA Terakreditasi A dengan

SMA Terakreditasi B dalam Keterlaksanaan

Standar Pengelolaan Pendidikan. Meskipun

tidak ada perbedaan signifikan, namun dapat

dikatakan bahwa SMA Terakreditasi A

memiliki rerata (mean) lebih tinggi meskipun

selisihnya hanya tipis.

Dalam hal ini, SMA Terakreditasi B

dalam evaluasi diri dapat dikatakan menilai

tinggi sedangkan assesor tidak, sehingga

berfikir terakreditasi A. Sedangkan tuntutan

untuk Terakreditasi A lebih tinggi dari

Terakreditasi B. Dari hasil informasi mengenai

keterlaksanaan Standar Pengelolaan

Pendidikan di sekolah, Peneliti percaya dengan

hasil angket penilaian yang diberikan oleh

pihak sekolah (responden), sehingga tidak

kembali mempertanyakan keberadaan bukti

fisik. Sementara dalam wawancara singkat

dengan beberapa Responden, kecenderungan

yang ditemui adalah keterangan jawaban

memang berpatokan pada keberadaan alat bukti

fisik sehingga responden memberi penilaian

tinggi, namun tidak berlanjut pada keterukuran

apakah yang tertulis telah terlaksana sesuai

pada substansi tujuan atau belum. Dapat

dikatakan bahwa responden memiliki

kecenderung memberi nilai tinggi pada setiap

poin, namun belum ada keterukuran yang sama

antar responden pada satu sekolah hal ini terjadi

karena adanya pemahaman yang berbeda-beda

antar pelaksana program. Misalnya pada visi,

misi, tujuan, KTSP, Pembagian tugas

kependidikan, kode etik sekolah, pembinaan

prestasi unggulan, layanan bimbingan

konseling, pelacakan lulusan, peningkatan

mutu pendidikan, kepala laboratorium, evaluasi

dan pengembangan KTSP semua telah ada

namun tidak benar-benar menjadi acuan dalam

menjalankan dan tidak dilengkapi dengan

metode pelaksanaan yang terukur hanya sebatas

sosialisasi.

Sedangkan untuk SMA Terakreditasi A,

dalam evaluasi diri menilai dengan hati-hati

sehingga nampak seperti “pelit nilai” atau dapat

dikatakan faking bad terhadap sekolahnya

sendiri sehingga ini berakibat pada hasil. Secara

kasar tidak ada perbedaan signifikan antara

SMA Terakreditasi A dengan SMA

Page 26: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017

26

Terakreditasi B. Pada Sekolah yang

terakreditasi A tuntutan yang harus dipenuhi

dalam penilaian tentu lebih tinggi dari sekolah

yang terakreditasi B. Sekolah Terakreditasi A

memliki program unggulan atau spesifikasi.

Ketika tidak ada perbedaan signifikan

pada Keterlaksanaan Standar Pengelolaan

Pendidikan maka dibuatlah analisis komponen.

Hasil dari analisis komponen diketahui

bahwa pada Komponen Sistem Informasi

Manajemen terdapat perbedaan signifikan

antara SMA Terakreditasi A dan SMA

Terakreditasi B. Pada Komponen Sistem

Informasi Manajemen diketahui pada analisis

deskriptif menunjukkan bahwa terdapat selisih

rerata (kolom mean dan Katagori) dan

meskipun memiliki selisih tipis namun

keduanya berada pada kategori yang berbeda.

Hal ini terjadi karena di SMA Terakreditasi A

dalam Keterlaksanaan Sistem Informasi

Manajemen telah tersedia fasilitas sistem

informasi manajemen sekolah yang memadai,

ada penugasan guru dan bahkan tenaga

kependidikan untuk penanganan sistem

informasi manajemen sekolah sehingga

pelaporan data dan informasi sekolah kepada

dinas Kabupaten atau kantor kementrian lebih

tertangani tepat waktu, keberadaannyapun

dapat dipahami oleh warga sekolah. Sedangkan

pada SMA Terakreditasi B ketersediaan

Fasilitas sistem Infromasi Manajemen masih

terbatas jumlahnya dan tidak dapat memenuhi

ratio siswa, sehingga dalam

pemanfaatannyapun dibatasi hanya untuk Guru

terutama penggunaan media komputer dan

internet sekolah. Hal tersebut selanjutnya juga

berimbas pada pelaporan data dan informasi

sekolah ke dinas Kabaupaten dan Kantor

Kementrian Agama yang lebih sering dituntut

dilakukan secara online akan tetapi karena

akses internet terbatas sehingga itu terkadang

menjadi kendala. Keberadaan Sistem Informasi

Manajemen Sekolah dapat di pahami oleh

warga sekolah, meskipun fasilitas terbatas

melalui papan pengumuman.

Sedangkan hasil analisis 4 komponen

lainnya yaitu keterlaksanaan Perencanaan

Program; Keterlaksanaan Rencana Kerja;

Kepemimpinan Sekolah; dan yang terakhir

Pengawasan dan Evaluasi tidak ada perbedaan

signifikan. Hal ini terjadi karena di SMA

Terakreditasi A dalam memberikan penilaian

pada keterlaksanaannya tidak jauh berbeda

dengan SMA Terakreditasi B. Hal ini nampak

pada analisis deskriptif, yang menunjukkan

rerata (mean) memiliki selisih yang tipis dan

berada pada kategori yang sama.

SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian yang telah

dilakukan berkenaan dengan keterlaksanaan

Standar Pengelolaan Pendidikan SMA

Terakreditasi A dan SMA Terakreditasi B di

Kabupaten Semarang, dengan merujuk pada

rumusan masalah simpulan penelitian ini

adalah:

1. Tidak ada Perbedaan Signifikan

Keterlaksanaan Standar Pengelolaan

Pendidikan SMA Terakreditasi A dan SMA

Terakreditasi B di Kabupaten Semarang.

2. Bahwa tidak ada Komponen yang

keterlaksanaannya berada pada kategori

Sangat Rendah baik di SMA Terakreditasi A

maupun SMA Terakreditasi B. Namun

demikian ada komponen yang

keterlaksanaannya masih berada pada

kategori Sedang yaitu Komponen Sistem

Informasi Manajemen. Hal ini disimpulkan

dari hasil analisis deskriptif dalam statistik

kategorisasi keterlaksanaan Sistem

Informasi Manajemen.

Saran untuk peneliti selanjutnya perlu

mengembangkan pengayaan instrumen Standar

Pengelolaan Pendidikan serta mengukur

Keterlaksanaan Standar Pengelolaan

Pendidikan dari perspektif penerima manfaat

(Murid, orang tua, masyarakat dan dunia usaha)

karena penelitian ini belum mencakup pada

bagian itu.

Page 27: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Keterlaksanaan Standar Pengelolaan Pendidikan di SMA Terakreditasi | Krisma W. Wardani, Dkk.

27

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, 2010. Prosedur Penelitian: Suatu

Pendekatan Praktik. (Edisi Revisi).

Jakarta: Rineka Cipta.

Asmani, J. M. 2010. Tips Lulus Akreditasi

Sekolah/-Madrasah Panduan

Manajemen Mutu Sekolah/-Madrasah

Berorientasi Kompetitif, Yogyakarta:

Laksana.

Azwar, S. 2012. Reliabilitas dan Validitas edisi

IV, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

BAN PT. 2010. Akreditasi Program Studi

Magister Buku I Naskah Akademik BAN

PT 2009, Jakarta: Badan Akreditasi

Nasional Perguruan Tinggi

Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah.

2014. Instrumen Akreditasi SMA/MA.

Jakarta: BAN S/M diakses pada: 12

Maret 2015

BSNP, 2012. Instrumen Evaluasi Diri Sekolah,

Jakarta: Badan Standar Nasional

Pendidikan.

_______, ____. Naskah Akademik Standar

Pengelolaan Pendidikan Dasar dan

Menengah, Jakarta: Badan Standar

Nasional Pendidikan.

George, D & Mallery, P., 1995. SPSS/PC + by

step α simple Guide and Reference.

Belmont: Wadsworth Pub.Co.

Haryono, 2010. “Analisis Perbandingan Sistem

Penge-lolaan Pendidikan di SMK

Farmasi Semarang”, Tesis, Salatiga:

MMP Universitas Kristen Satya

Wacana.

Jumlah Sekolah, Murid dan Guru SMA

http://semarangkab.bps.go.id/ diakses

pada 10 Januari 2015 Pukul 20.00

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional

Republik Indonesia Nomor 19 Tahun

2007 Tentang Standar Pengelolaan

Pendidikan Oleh Satuan Pendidikan

dasar dan Menengah.

Subagyo, W. 2013. “Perbedaan

keterlaksanaan Standar Pengelolaan

Pendidikan antara SD/MI terakre-ditasi

A dengan B di Kota Salatiga”, Tesis,

Salatiga: MMP Universitas Kristen

Satya Wacana.

Sugiyono, 2014. Metode Penelitian Kombinasi

(Mixed Method), Bandung: Alfabeta.

Page 28: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Magister Manajemen Pendidikan FKIP Universitas Kristen Satya Wacana [email protected]

ISSN 2549-9661 Volume: 4, No. 1, Januari-Juni 2017

Halaman: 28-36

28

EFEKTIVITAS PENGEMBANGAN KEPROFESIAN

BERKELANJUTAN UNTUK GURU

Nurkolis

Manajemen Pendidikan

Universitas PGRI Semarang

[email protected]

Yovitha Yuliejantiningsih

Manajemen Pendidikan

Universitas PGRI Semarang

[email protected]

Sunandar

Manajemen Pendidikan

Universitas PGRI Semarang

[email protected]

ABSTRACT

The main problem in this article is how effective of continuity professional development

(CPD) implementation for teachers. This study used a descriptive qualitative approach

in Demak District Central Java Province. Demak Regency is a district that implemented

the CPD seriously so that containing Regents Regulation, RPJMD, and Strategic

Planning of Education Office. Data collection using interviews and documentation.

Research result showed that CPD implementation have been running effectively. Three

indicators found: regulations governing CPD implementation, details of the CPD

programs and activities, and controlling of CPD regulation with programs and activities.

The CPD implementation in Demak District can be implemented in forms: structured

training activities, workshops, seminars, others scientific meeting; mentoring for teacher

and headmaster conducted by facilitators; activities at professional learning community;

and induction program or internship of beginner to advance. In order to make

implementation of CPD more effectively so needs regulatory refinements.

Keywords: continuous professional development; scientific meeting; professional

learning community; and induction program.

Page 29: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Efektivitas Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan Untuk Guru | Nurkolis, dkk.

29

PENDAHULUAN

Guru adalah pendidik profesional

sebagaimana dinyatakan dalam Undang-

Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan

Dosen dan Peraturan Pemerintah Nomor 74

Tahun 2008 tentang Guru. Tugas utama guru

adalah mendidik, mengajar, membimbing,

mengarahkan, melatih, menilai, dan

mengevaluasi. Artinya seorang guru memiliki

tugas yang berat untuk mengembangkan dan

menciptakan masa depan anak. Adalah suatu

keharusan apabila seorang guru harus

profesional.

Guru sebagai sebuah profesi memiliki

pengaruh besar terhadap hasil belajar anak.

Chang (2010: 9) mengutip Hattie menyebutkan

bahwa terdapat 5 faktor penentu hasil belajar

peserta didik yaitu karakteristik peserta didik

(49 %), guru (30 %), lingkungan sekolah,

lingkungan keluarga, dan teman sebaya yang

masing-masing memiliki pengaruh 7 %.

Artinya guru memiliki pengaruh besar terkait

keberhasilan siswa.

Tapi kenyataannya guru di Indonesia

belum profesional. Menurut Mendiknas nilai

rata-rata uji kompetensi guru (UKG) tahun

2012 hanya 44,50 dari nilai yang diharapkan 70

(Baswedan, 2014: 13). Hasil UKG tahun 2015

lebih baik yaitu rata-rata mencapai 53,05.

Berdasarkan jenjang pendidikan, kompetensi

guru SD mendapatkan nilai rata-rata paling

rendah yaitu 50,55 dan tertinggi diraih guru

SMK yaitu 58,23 (Dirjen GTK, 2015: 12).

Berdasarkan nilai UKG di atas jelas

menunjukkan bahwa kompetensi para guru

perlu ditingkat secara terus menerus melalui

program Pengembangan Keprofesian

Berkelanjutan (PKB).

Di Indonesia, gema PKB baru terasa

dalam satu dasa warsa terakhir ini. Sebelumnya

istilah PKB bahkan belum dikenal. Hal ini

dapat ditelusur dari undang-undang pendidikan

dan dokumen resmi otoritas pendidikan seperti

Rencana Strategis (Renstra) Kementerian

Pendidikan. PKB baru dikenal dalam UU No.

14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen bahwa

guru harus dibina dan dikembangkan. Pasal 32

menjelaskan, pembinaan dan pengembangan

guru meliputi pembinaan dan pengembangan

profesi dan karier. Namun di dalam Renstra

Departemen Pendidikan Nasional Tahun 2005-

2009 belum ada istilah PKB. Tetapi kata

profesi dan profesional sudah sering

dipergunakan.

Kata profesi dan profesional di Renstra

Depdiknas Tahun 2005-2009 muncul pada

kebijakan terkait pendidik dan tenaga

kependidikan. Misalnya, program rekrutmen

pendidik dan tenaga kependidikan dalam

rangka mendukung kebijakan untuk

pemerataan dan perluasan akses pendidikan

maka “rekrutmen dilakukan dengan

mempertimbangkan kecukupan jumlah dan

kualifikasi guru profesional di berbagai jenjang

dan jenis pendidikan, pemerataan penyebaran

secara geografis, keahlian, dan kesetaraan

gender”. Demikian pula dengan kebijakan

untuk peningkatan mutu, relevansi, dan daya

saing pendidikan dilakukan dengan

pengembangan guru sebagai profesi.

PKB tertuang dalam Renstra

Kementerian Pendidikan Nasional Tahun 2010-

2014 yaitu pada sasaran strategis dalam rangka

mencapai enam tujuan strategis yang telah

ditetapkan. Istilah yang digunakan adalah

pelatihan profesional berkelanjutan (PPB).

Sebagai contoh, salah satu sasaran strategis

untuk mencapai tujuan strategis kedua adalah

“seluruh kepala sekolah dan seluruh pengawas

SD/SDLB dan SMP/SMPLB mengikuti

pelatihan profesional berkelanjutan”. Demikian

pula untuk mencapai tujuan kedua, salah satu

sasaran strategisnya adalah “seluruh kepala

sekolah dan seluruh pengawas SMA/SMLB

dan SMK mengikuti pelatihan profesional

berkelanjutan.”

Strategi pencapaian tujuan strategis

juga telah memuat PKB. Misalnya untuk

mencapai tujuan pertama melalui penyediaan

Page 30: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017

30

pendidikan PAUD berkompeten dan

penyediaan manajemen PAUD berkompeten

diperlukan “pendidikan dan pelatihan PTK

yaitu “implementasi peningkatan kompetensi

dan profesionalisme guru berkelanjutan”.

Strategi ini juga digunakan untuk jenjang SMA-

SMK.

Tahun 2011 Kementerian Pendidikan

mengeluarkan buku pedoman PKB. Pada buku

pedoman pengelolaan PKB dijelaskan, PKB

adalah bentuk pembelajaran berkelanjutan bagi

guru dalam upaya membawa perubahan yang

diinginkan berkaitan dengan keberhasilan

siswa. Melalui PKB guru dapat memelihara,

meningkatkan dan memperluas pengetahuan

dan keterampilannya serta membangun kualitas

pribadi yang dibutuhkan di dalam kehidupan

profesionalnya.

PKB guru semakin kuat gemanya pada

era pemerintahan Joko Widodo, yang tertuang

dalam Peraturan Presidan RI No. 2 Tahun 2015

tentang RPJMN 2015-2019. Pada Buku II

Agenda Pembangunan Bidang, khususnya arah

kebijakan dan strategi pembangunan bidang

pendidikan salah satunya adalah

“meningkatkan profesionalisme, kualitas, dan

akuntabilitas guru dan tenaga kependidikan”

diantaranya melalui pelaksanaan

pengembangan profesional berkesinambungan

(PPB) bagi guru dalam jabatan melalui latihan

berkala dan merata, serta penguatan KKG dan

MGMP.

Dalam Renstra Kementerian

Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 2015-2019

terdapat enam permasalahan pembangungan

pendidikan dan kebudayaan yaitu peningkatan

manajemen guru, pendidikan keguruan, dan

reformasi lembaga pendidikan tenaga

kependidikan (LPTK) bagian b tentang

kualitas, kompetensi, dan profesionalisme guru

masih harus ditingkatkan. Tertulis

“peningkatan kualitas, kompetensi, dan

profesionalisme guru masih harus ditingkatkan

karena hingga saat ini tidak terdapat hubungan

linier antara peningkatan kualifikasi dan

sertifikasi profesi pendidik terhadap hasil

belajar siswa.”

Olehkarenannya arah kebijakan,

strategi, dan sasaran strategis Kemdibud 2015-

2019 diarahkan untuk PPB. Hal ini terlihat pada

sasaran strategis ke-10 yaitu: meningkatkan

profesionalisme, kualitas, serta akuntabilitas

guru dan tenaga kependidikan, melalui

beberapa strategi yang salah satunya adalah

pelaksanaan PPB bagi guru dan tenaga

kependidikan dalam jabatan.”

Namun kenyataannya banyak

pemerintah kabupaten dan kota yang belum

menerapkan PKB. Penelitian tentang

implementasi PKB jarang di lakukan di

Indonesia. Beberapa penelitian sebelumnya

menunjukkan bahwa implementasi PKB belum

berjalan secara efektif. Misalnya di Kabupaten

Demak dan Pemalang (Nurkolis dan

Yuliejantiningsih, 2015), di Kabupaten Batang

(Nurkolis dan Yuliejantiningsih, 2015), di

Kabupaten Kudus (Yuliejantiningsih dan

Nurkolis, 2016).

Pertanyaannya, apakah saat ini

implementasi PKB sudah berjalan dengan

efektif? Untuk menjawab pertanyaan tersebut

maka permasalahan utama penelitian ini adalah

“bagaimanakah efektivitas implementasi PKB

di tingkat kabupaten?” Masalah tersebut dirinci

menjadi: (a) bagaimanakah efektivitas

perencanaan PKB?, (b) bagaimanakah

efektivitas pelaksanaan PKB?, dan (c)

bagaimanakah efektivitas tindak lanjut PKB?

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan pendekatan

kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif di

Kabupaten Demak. Hingga pertengahan tahun

2017 ini dari 514 kabupaten dan kota di

Indonesia, belum ada 20 kabupaten dan kota

yang telah memiliki aturan PKB. Kabupaten

Demak adalah salah satu kabupaten yang telah

memiliki aturan yang jelas tentang PKB. Waktu

penelitian 6 bulan, mulai bulan April hingga

September 2016. Responden wawancara dalam

Page 31: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Efektivitas Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan Untuk Guru | Nurkolis, dkk.

31

penelitian ini adalah staf Bidang Pendidik dan

Tenaga Kependidikan atau staf Bidang PTK

Dinas Pendidikan Kabupaten Demak. Teknik

pengumpulan data juga dilengkapi dengan

dokumentasi berupa Perda tentang Rencana

Pembangunan Jangka Menengah Daerah

(RPJMD), Peraturan Bupati, dan Daftar

Kegiatan Dinas Pendidikan tahun 2016.

Langkah-langkah analisis kualitatif adalah

sebagai berikut: a) pengumpulan data, b) hasil

wawancara dan penusuran dokumen dituliskan

ke dalam memo, c) temuan tersebut

dikategorisasikan sehingga ditemukan

hubungan antar masalah, dan d) menarik

kesimpulan. Untuk mengukur efektivtas

implementasi PKB digunakan indikator sebagai

berikut: 1) ada rincian program dan kegiatan

PKB, 2) ada regulasi yang mengatur

pelaksanaan PKB, dan 3) keterlaksanaan

regulasi tentang PKB.

HASIL DAN PEMBAHASAN

a. Efektifitas Perencanaan PKB

Secara teori, Seyfarth (2002: 112 &

121) mengatakan bahwa PKB adalah

kesempatan yang diberikan kepada guru,

tenaga profesional lain, dan personil

pendukung untuk mendapatkan pengetahuan-

pengetahuan dan sikap-sikap baru, yang akan

membawa pada perubahan perilaku, sehingga

meningkatkan prestasi siswa.

Oleh karena itu untuk dapat

melaksanakan PKB dengan baik perlu

dilakukan perencanaan yang baik. Termasuk

dalam tahap perencanaan di sini adalah

identifikasi kebutuhan yang mencapai siapa

yang membutuhkan pengembangan tertentu

dengan materi pengembangan yang mana.

Karena berdasar sebuah penelitian secara

keseluruhan terdapat perbedaan prioritas

kebutuhan materi pengembangan

profesionalisme berkelanjutan ditinjau dari

perbedaan jenjang jabatan fungsional guru

(Waluyanti dan Sunaryo, 2014: 156).

Di Kabupaten Demak, perencanaan

PKB guru dimulai dari Rencana

Pembangungan Jangka Menengah Daerah

(RPJMD). RPJMD Kabupaten Demak Tahun

2011-2016 dalam bidang pendidikan

menghadapi masalah terkait dengan

profesionalisme guru sebagai berikut: (a)

kualifikasi pendidikan guru SD yang belum

setara S1/D4 masih 83%, kualifikasi

pendidikan guru TK/RA yang belum setara

S1/D4 masih 94%, dan 28% guru SMP

Kabupaten Demak belum berkualifikasi S1/D4.

Perencanaan peningkatan

profesionalisme pendidik terlihat jelas tertulis

di Rencana Strategis (Renstra) Dinas

Pendidikan Kabupaten Demak. Isu strategis di

Renstra Dinas Pendidikan Kabupaten Demak

Tahun 2011-2016 misalnya tertulis: (a)

sebagian pendidik belum memenuhi standar

kualisasi pendidik SI/D4, (b) sebagian pendidik

belum bersertifikat pendidik, dan (c)

keterbatasan aktivitas dan media

pengembangan profesi pendidik”.

Berdasarkan isu strategis tersebut maka

salah satu tujuan Dinas Pendidikan Kabupaten

Demak adalah meningkatkan kompetensi

pendidik dan tenaga kependidikan pada tingkat

TK, SD, SMP,SMA dan SMK. Strategi untuk

mencapai tujuan tersebut adalah: (a) memberi

subsidi bantuan peningkatan kualifikasi

pendidikan D4/S1, (b), mendorong guru yang

belum berkualifikasi pendidikan D4/S1 untuk

melanjutkan studi D4/S1 dengan biaya mandiri,

dan (c) melakukan penilaian kinerja terhadap

kepala sekolah.

Strategi tersebut disusul dengan

kebijakan di bidang ketenagaan antara lain:

fasilitasi dana untuk kegiatan penilaian kinerja

kepala sekolah, fasilitasi dana untuk kegiatan

pembekalan tim penilaian angka kredit (PAK),

kerja sama dengan pihak ketiga yang

berkualifikasi dan berkompeten mengadakan

seleksi kepala sekolah, pemberian subsidi bagi

guru yang melakukan studi lanjut peningkatan

kualifikasi, kerja sama dengan perguruan tinggi

Page 32: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017

32

untuk peningkatan kualifikasi pendidikan guru,

fasilitasi dana untuk kegiatan bintek

manajemen kepala dekolah, dan fasilitasi dana

untuk kegiatan bintek pengelolaan administrasi

Kasubbag TU UPTD (Unit Pelaksana Teknis

Daerah), SMP, SMA dan SMK.

Perencanaan PKB yang dilakukan di

Kabupaten Demak telah dilakukan sesuai

dengan kebutuhan, artinya sudah sesuai dengan

Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur

Negara dan Reformasi Birokrasi No. 16 Tahun

2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan

Angka Kreditnya menyebutkan bahwa PKB

adalah pengembangan kompetensi guru yang

dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan,

bertahap, berkelanjutan untuk meningkatkan

profesionalitasnya.

b. Efektifitas Pelaksanaan PKB

Pelaksanaan PBK di Kabupaten Demak

telah diatur dengan dikeluarkannya Peraturan

Bupati Demak No. 53 Tahun 2015. Salah

satunya mengatur bahwa sebelum melakukan

pengembangan keprofesian berkelanjutan

didahului dengan penilaian kinerja guru.

Pengembangan keprofesian berkelanjutan

meliputi tiga hal yaitu kegiatan pengembangan

diri, publikasi ilmiah, dan karya inovatif.

Peraturan Bupati tersebut telah mengatur tata

cara pelaksanaan PKB. Satuan pendidikan

melakukan perencanaan kebutuhan pembinaan

dan pengembangan keprofesian berkelanjutan

bagi guru berdasarkan evaluasi diri guru dan

penilaian kinerja guru. Kepala dinas

penetapkan pelaksanaan pembinaan dan

pengembangan keprofesian berkelanjutan bagi

guru berdasarkan usulan dari satuan

pendidikan.

Pasal 17 Perbub Kabupaten Demak

Nomor 53 Tahun 2015 mengatur sumber biaya

untuk pengembangan keprofesian

berkelanjutan pendidik dan tenaga

kependidikan, yaitu pemerintah daerah,

sekolah, yayasan, guru sendiri, dan sumber lain

yang sah. Bahkan pada ayat (4) disebutkan

secara khusus bahwa bagi guru penerima

tunjangan profesi pendidik wajib secara

mandiri mendanai kegiatan pengembangan

keprofesian berkelanjutan untuk dirinya

sekurang-kurangnya 4% dari tundangan profesi

pendidik yang diterima.

Perencanaan PKB yang tertuang dalam

RPJMD Kabupaten Demak dan Renstra Dinas

Pendidikan Kabupaten Demak telah

dilaksanakan pada tahun anggaran 2016. Di

dalam daftar pelaksanaan anggaran Dinas

Pendidikan Kabupaten Demak, terdapat

program dan kegiatan yang dirancang untuk

mengembangkan keprofesian pendidik dan

tenaga kependidikan. Misalnya pelatihan

pembelajaran bagi guru, pelatihan manajemen

bagi kepala sekolah, dan pelatihan administrasi

bagi tata usaha. Para guru secara rutin telah

melakukan pertemuan di Kelompok Kerja Guru

(KKG) atau Musyawarah Guru Mata Pelajaran

(MGMP) dalam rangka mengembangkan

profesionalismenya.

Implementasi PKB di Kabupaten

Demak merupakan penerapan dari sebagian

strategi yang dikenalkan Buss dan Bell (2002:

108) yaitu menjadi komunitas belajar

profesional. Bentuk dari kegiatannya adalah

pelatihan dan workshop di KKG atau MGMP.

Sementara itu strategi lain yang bisa diperankan

oleh Pemerintah Kabupaten Demak namun

belum dilakukan secara baik adalah

membiasakan para guru dengan hasil-hasil

penelitian terbaru serta membiasakan guru

melakukan penelitian dan menulis di jurnal

ilmiah.

Hal ini sesuai dengan pendapat

Kennedy (2005: 236-237) mengidentifikasi

sedikitnya terdapat sembilan model PKB yaitu

pelatihan, pemberian penghargaan, defisit,

cascade, pembinaan/ pendampingan, berbasis

standar, praktik dan komunitas, penelitian

tindakan, dan transformatif.

Sementara itu dua strategi lain yang

dikenalkan oleh Buss dan Bell di atas telah

ditetapkan dan diimplementasikan oleh

Page 33: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Efektivitas Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan Untuk Guru | Nurkolis, dkk.

33

Pemerintah Pusat yaitu: (a) menetapkan standar

nasional profesional guru yaitu nilai UKG 80,

dan (b) manajemen kinerja serta penggajian

berdasarkan kinerja yaitu memberikan

tunjangan profesi guru sebanyak satu kali gaji

bagi guru yang telah profesional.

Agar implementasi PKB bisa berjalan

dengan efektif, sebaiknya mengikuti langkah-

langkah yang dikenalkan para ahli seperti Luke

& McArdl (2009: 239) mengusulkan sebuah

model PKB yang terdiri dari 6 tahap yaitu

mengidentifikasi prioritas kebijakan,

membingkai ulang dan menentukan masalah

dan sasaran pendidikan, mengidentifikasi

kohort guru, mengkategorikan pembelajaran

dan pengetahuan guru, memilih mode

pengembangan profesional, dan mengevaluasi

program.

c. Efektifitas Tindak Lanjut PKB

Peraturan Bupati Demak Nomor 53

Tahun 2015 tentang PKB telah diatur tindak

lanjut yaitu monitoring dan evaluasi. Pada pasal

16 disebutkan bahwa Dinas Pendidikan

melakukan monitoring dan evaluasi kegiatan

PKB yang telah dilakukan oleh satuan

pendidikan, KKG, dan MGMP untuk menjamin

terlaksananya kegiatan secara efektif, efisien,

objektif, adil dan akuntabel.

Menurut para informan, Dinas

Pendidikan Kabupaten Demak telah melakukan

monitoring dan evaluasi sebagai tindaklanjut

pelaksanaan PKB. Namun hingga laporan ini

dibuat belum ada laporan tertulis terkait hasil

monitoring dan evaluasi serta tindak lanjutnya.

Tindaklanjut PKB di Kabupaten Demak

sangat perlu dilakukan mengingat strategisnya

PKB bagi pengembangan keprofesian para

guru. Apalagi anggaran untuk pengembangan

keprofesian guru dari pemerintah pusat sangat

terbatas. Berdasarkan pendapat Damin (2011:

8) bahwa hanya sekitar 5 % guru yang

berpeluang mengikuti pengembangan profesi

secara terlembaga sebanyak satu kali dalam 20

tahun, jika kesempatan diberikan secara merata.

Mencermati kondisi tersebut maka sangat tepat

apabila sumber pembiayaan PKB tidak hanya

mengandalkan pemerintah pusat saja.

Pemerintah Provinsi, Kabupaten, Kota,

sekolah, guru, serta pihak lain yang peduli

pendidikan terus didorong untuk berpartisipasi

untuk mengembangkan profesionalisme guru.

Siapakah yang bertanggung jawab

terhadap PKB? Menurut Jovanova-Mitkovska

(2010: 2926) PKB melibatkan model kerjasama

dinamis yang kompleks dalam serangkaian

institusi yang berbeda mencakup dosen,

lembaga penelitian, lembaga pemerintah atau

nonpemerintah, dan para ahli. Dilihat dari

tingkatannya maka PKB menjadi tanggung

bersama antara pemerintah pusat, pemerintah

provinsi, pemerintah kabupaten dan kota,

organisasi profesi, LPTK, para ahli pendidikan,

dan para guru sendiri. Sehingga sangatlah wajar

apabila guru diwajibkan untuk menyisihkan

sebagaian pendapatannya untuk pengembangan

profesi.

Song (2008: 445) menyimpulkan bahwa

pemerintah kabupaten harus memberi perhatian

lebih pada PKB guru. Bukti penelitian yang

dilakukan di Korea menunjukkan bahwa

beberapa aspek kondisi kabupaten dapat

dianggap bermanfaat sebagai strategi efektif

untuk meningkatkan pengembangan

profesional guru. Misalnya, penyediaan

program pengembangan profesional untuk

kepala sekolah dapat membantu guru pada

waktu yang tepat. Pembuat kebijakan

kabupaten juga dapat merangsang partisipasi

guru dalam pengembangan profesional dengan

memberikan indikator kinerja yang penting,

seperti menetapkan harapan umum akan

perbaikan sekolah dan komitmen khusus

terhadap pembelajaran guru.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kabupaten Demak merupakan

kabupaten yang telah serius dalam

mengimplementasikan PKB. Sampai saat ini

hanya sedikit kabupaten yang secara serius

Page 34: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017

34

membuat perencanaan PKB mulai dari

penilaian kinerja guru hingga membuat

kebijakan tertulis seperti Peraturan Bupati,

RPJMD, hingga Renstra Dinas Pendidikan.

Implementasi PKB di Kabupaten

Demak sudah berjalan dengan efektif. Hal ini

dapat dibuktikan dari terpenuhinya tiga

indikator sebagai berikut: (a) ada regulasi yang

mengatur pelaksanaan PKB baik Perda maupun

Perbub, (b) ada rincian program dan kegiatan

PKB, dan (c) keterlaksanaan regulasi tentang

PKB yaitu terlasananya program dan kegiatan

PKB.

Kabupaten Demak sebagai model

kabupaten yang telah memiliki aturan yang

jelas untuk PKB guru. Aturan terkait

perencanaan PKB tertuang pada RPJMD dan

Renstra Dinas Pendidikan. Aturan terkait

Pelaksanaan tertuang dalam Perbub dan daftar

pelaksanaan anggaran Dinas Pendidikan

Kabupaten. Aturan-aturan tersebut telah

memiliki kekuatan hukum untuk mengatur

implementasi PKB.

Pelaksanaan PKB di Kabupaten Demak

dilaksanakan dalam empat bentuk yaitu: (a)

kegiatan terstruktur baik berupa pelatihan,

lokakarya, seminar, kolokium, dll; (b)

pendampingan kepada masing-masing guru

atau kepala sekolah yang dilakukan oleh

fasilitator; (c) melalui komunitas pembelajar

seperti kegiatan di KKG atau MGMP, dan

kegiatan mandiri yang dilakukan oleh masing-

masing guru; dan (d) program induksi atau

magang oleh guru pemula kepada guru-guru

yang telah senior.

Kabupaten Demak telah mengatur

dengan jelas tata cara PKB guru. Juga telah

tiatur dengan jelas kelembagaan, pendanaan,

dan bentuk-bentuk PKB. Di Kabupaten Demak

diatur secara spesifik bahwa bagi guru yang

telah mendapatkan tunjangan sertifikasi

diminta untuk menyisihkan 4 % dari

tunjangannya untuk PKB.

Agar implementasi PKB di Kabupaten

Demak lebih efektif maka perlu ada

penyempurnaan regulasi pada RPJMD,

Renstra, Perbub, keputusan Kepala Dinas

Pendidikan. Penyempurnaan regulasi terkait

dengan konsistensi antara perencanaan,

pelaksanaan, dan tindak lanjut.

Akhirnya efektivitas implementasi PKB

di Kabupaten Demak dapat dilihat dari

keterkaitan antara perencanaan, pelaksanaan,

dan pengendalian program PKB. Ketika di

dalam perencanaan (RPJMD dan Resntra)

sudah diprogramkan peningkatan

profesionalisme pendidik dan tenaga

kependidikan, maka dalam pelaksanaan akan

menuju ke pengembangan profesionalisme

pendidik. Implementasi ini dapat dilihat dari

dukungan kebijakan yang dikeluarkan oleh

Bupati dalam bentuk Peraturan Bupati atau

keputusan kepala dinas pendidikan tentang

pelaksanaan PKB. Setelah direncanakan dan

dilaksanakan, maka dinas pendidikan memiliki

tugas untuk mengawasi dan mengendalikannya

yang merupakan tindak lanjut PKB.

Disarankan kepada pemerintah

kabupaten dan kota di lingkungan Provinsi

Jawa Tengah untuk mengikuti langkah

Kabupaten Demak dengan membuat aturan

hukum yang jelas terkait PKB. Hal ini penting

sebagai acuan para pelaksana dan para guru

untuk mendapatkan kepastian hukum.

Juga disarankan agar dalam membuat

peraturan tentang PKB untuk menyebutkan

dengan jelas sumber dananya. Termasuk

berasan sumber dana yang berasal dari guru

yang telah mendapatkan tunjangan profesi,

sebaiknya disebutkan prosentasenya dan

semakin tingga prosesntasenya akan semakin

baik. Hal ini sesuai dengan tujuan pemberian

tunjungan profesi pendidik adalah untuk

meningkatkan profesionalisme guru.

Dinas Pendidikan Kabupaten Demak

disarankan untuk membuat laporan tertulis

pelaksanaan monitoring dan evaluasi

pelaksanaan pelatihan, serta melakukan tindak

lanjut dari hasil monitoring dan evaluasi.

Page 35: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Efektivitas Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan Untuk Guru | Nurkolis, dkk.

35

DAFTAR PUSTAKA

Baswedan, Anies. (2014). Gawat Darutat

Pendidikan di Indonesia. Presentasi

Kementrian Pendidikan dan

Kebudayaan yang disampaikan dalam

Silaturrahmi Kementerian dengan

Kepala Dinas Pendidikan Provinsi dan

Kabupaten Kota tanggal 1 Desember

2014.

Buss, T & Bell, L. (Ed). (2002). The Principles

and Practice of Educational

Management. London: Paul Chapman

Publishing.

Chang, M.C. (2010). Supporting Teacher

Reform in Indonesia (Presentasi).

Jakarta: Kongres Guru Indonesia 2010.

Danim, S. (2011). Pengembangan Profesi

Guru: Dari Prajabatan, Induksi, Ke

Profesional Madani. Jakarta: Kencana.

Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan. (2015).

Laporan Sementara Hasil UKG 2015.

Tanggal 8 Desember 2015. Tidak

diterbitkan.

Kementerian Pendidikan Nasional, Ditjen

Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga

Kependidikan 2011 tentang Pedoman

Pengelolaan Pengembangan

Keprofesian Berkelanjutan, Buku 1.

Kennedy, Aileen. (2005). Models Of

Continuing Professional Development:

A Framework For Analysis. Journal of

In-Service Education, Volume 31,

Number 2, 2005, 235-250.

Luke, Allan & McArdl, Felicity. (2009). A

model for research-based State

professional development policy. Asia-

Pacific Journal of Teacher Education.

Vol. 37, No. 3, August 2009, 231–251.

Nurkolis & Yuliejantiningsih, Y. (2015).

Strategi Pengembangan Keprofesioan

Berkelanjutan Guru (Studi Kasus di

Kabupaten Batang Provinsi Jawa

Tengah). Surabaya 14-16 Agustus

2015. Prosiding Pertemuan Ilmiah

Nasional APMAPI 2015, ISSN 978-

602-71375-7-8.

Nurkolis. (2016). Continuous Professional

Development of Primary School

Teachers. Yogyakarta 17-19 May 2016.

Proceeding International Conference

on Teacher Education and Professional

Development (InCoTEPD) 2016.

Peraturan Bupati Demak Nomor 53 Tahun 2015

tentang Pembinaan dan Pengembangan

Keprofesian Berkelanjutan Bagi Guru

di Lingkungan Pemerintah Kabupaten

Demak.

Peraturan Daerah Kabupaten Demak Nomor 1

Tahun 2012 tentangan Rencana

Pembangunan Jangka Menengah

Daerah Kabupaten Demak Tahun 2011-

2016.

Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008

tentang Guru.

Peraturan Presidan RI No. 2 Tahun 2015

tentang Rencana Pembangunan Jangka

Menengah Nasional 2015-2019.

Permenegpan dan Reformasi Birokrasi No. 16

Tahun 2009 tentang Jabatan

Fungsional Guru dan Angka Kreditnya.

Rencana Strategis Departemen Pendidikan

Nasional Tahun 2005-2009.

Rencana Strategis Dinas Pendidikan Kabupaten

Demak Tahun 2011-2016.

Renstra Kementerian Pendidikan dan

Kebudayaan Tahun 2015-2019.

Renstra Kementerian Pendidikan Nasional

Tahun 2010-2014.

Seyfarth, John T. (2002). Human Resources

Management for Effective Schools.

Boston: Allyn and Bacon.

Page 36: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017

36

Snezana Jovanova-Mitkovska. (2010). The

need of continuous professional teacher

development. Procedia Social and

Behavioral Sciences 2 (2010), 2921–

2926.

Song, Kyoung-oh. (2008). The Impacts of

District Policy and School Context on

Teacher Professional Development.

Asia Pacific Education Review. Vol. 9,

No.4, 436-447.

Suyanto & Hisyam, D. (2000). Refleksi dan

Reformasi Pendidikan Di Indonesia

Memasuki Milenium III. Yogyakarta:

Adicita Karya Nusa.

Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang

Guru dan Dosen.

Waluyanti, Sri & Soenarto. (2014). Analisis

Kebutuhan Materi Pengembangan

Profesionalisme Berkelanjutan Guru

SMK Teknik Audio Video. Jurnal

Kependidikan, Volume 44, Nomor 2,

November 2014, 146-157.

Yuliejantiningsih, Y. & Nurkolis. (2016).

Continuous Professional Development

Of Elementary School Teachers.

Makassar 15-16 April 2016. Prosiding

Pertemuan Ilmiah Nasional APMAPI

2016.

Page 37: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Magister Manajemen Pendidikan FKIP Universitas Kristen Satya Wacana [email protected]

ISSN 2549-9661 Volume: 4, No. 1, Januari-Juni 2017

Halaman: 37-47

37

PENINGKATAN KEMAMPUAN GURU SEKOLAH DASAR

DALAM PENYUSUNAN INSTRUMEN RANAH SIKAP MELALUI

IN HOUSE TRAINING

Suhandi Astuti

Pendidikan Guru Sekolah Dasar

FKIP-Universitas Kristen Satya Wacana

[email protected]

Slameto

Magister Manajemen Pendidikan

FKIP-Universitas Kristen Satya Wacana

[email protected]

Yari Dwikurnaningsih

Magister Manajemen Pendidikan

FKIP-Universitas Kristen Satya Wacana

[email protected]

ABSTRACT

This study departs from the issues of teacher skills gaps in Elementary School of

Laboratorium Satya Wacana in arranging the instrument of attitudes assessment. This

gap problems would be solved by school action research which aims to determine the

steps of in-house training that can improve teachers’ skills in preparing attitudes

instrument. The subjects of this study involved 15 primary school teachers of

Laboratorium Kristen Satya Wacana. The research model that used was Stringer Model

which consist of 3 aspects, namely : Look, Think, and Act. Instruments in this study were

observation sheet and booklet. The data was analyzed quantitatively and qualitatively.

The result showed: 1) The steps of in-house training that can improve teachers’ skills are

planning, implementing, and evaluating in house training. On the steps of planning,

activities of the formation of a committee, determine the trainer, participants, material

and schedule. During the implementation phase carried out activities ranging from

pretest, delivery and discussion materials and posttest. At this stage of the evaluation

carried out assessments throughout the in house training activities; 2) In-house training

can enhance teachers’ skills in arranging attitudes assements during the learning process.

The contribution of this research theoritically maintains the arranging steps of Likert

assessment scale and practically improve teachers’ skills in arranging attitude assessment

in teaching and learning process.

Keywords : IHT, teachers’ skills, the instrument of attitudes assessment.

Page 38: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017

38

PENDAHULUAN

Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan

Nasional Nomor 16 Tahun 2007 Tanggal 4 Mei

2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik

dan Kompetensi Guru secara lengkap

merumuskan kompetensi guru SD/MI. Menurut

Permendiknas No.16 Tahun 2007, salah satu

kompetensi pedagogik yang melekat pada

profesi guru adalah menyelenggarakan

penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar

serta memanfaatkan hasil penilaian dan

evaluasi untuk kepentingan pembelajaran.

Rumusan kompetensi guru di atas

menjelaskan bahwa guru SD di samping

menjalankan kewajiban sebagai guru juga harus

melakukan penilaian pembelajaran. Penilaian

dilakukan dengan tahapan awal memahami

hakikat penilaian, memahami cakupan ranah

atau aspek yang dinilai, merancang prosedur

penilaian, menyusun instrumen, melaksanakan

penilaian, mengadministrasikan hasil,

mengolah hasil, melaporkan hasil dan

menggunakan hasil penilaian untuk melakukan

pembinaan siswa dan memperbaiki

pembelajaran.

Popham seperti dikutip oleh Naniek

Sulistyawardani, dkk (2012: 94) menyatakan

bahwa keberhasilan seseorang dipengaruhi oleh

kondisi afeksinya. Seseorang dengan

kemampuan afektif yang buruk tentu akan

kesulitan mencapai keberhasilan belajar yang

optimal. Oleh karena itu, pendidikan harus

memberikan perhatian yang serius menyangkut

pengembangan penilaian ranah afektif.

Camellia dan Umi Chotimah (2012)

meneliti tentang kebiasaan guru dalam

melakukan penilaian di Ogan Ilir, menemukan

bahwa : 1) guru sering menilai siswa hanya dari

sisi kemampuan kognitif saja, 2) guru

sebenarnya mengetahui akan pentingnya

penilaian ranah sikap siswa, 3) guru belum bisa

secara maksimal membuat dan melaksanakan

penilaian ranah sikap, 4) guru ingin membuat

instrumen penilaian ranah sikap.

Permasalahannya adalah apakah para

guru SD telah merancang dan melaksanakan

penilaian ranah sikap tersebut dengan baik?

Pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan

melihat fenomena yang terjadi melalui kajian

penelitian yang sudah ada dan studi awal

penelitian.

Hasil studi pendahuluan yang dilakukan

peneliti dengan melibatkan 13 guru SD

Laboratorium Kristen Satya Wacana

menunjukkan temuan berikut : 1) Hanya 31%

guru yang telah melakukan penilaian mencakup

tiga ranah (kognitif, afektif, dan psikomotor); 2)

Hanya 31% guru yang melakukan penilaian non

tes jenis skala sikap untuk mengukur sikap

siswa; 3) Hanya 23% guru yang memiliki

pemahaman yang cukup untuk

mengembangkan penilaian sikap; dan 4) Hanya

15% guru yang memiliki pemahaman yang

cukup untuk mengembangkan instrumen

penilaian skala sikap model Likert.

Berdasarkan gab dan riset di lapangan

seperti yang telah diuraikan di atas, nampak

bahwa terdapat kesenjangan yang sangat besar

antara praktik penilaian yang ideal dengan

kenyataan yang terjadi, secara berturut-turut

69%, 69%, 77% dan 85%. Kesenjangan yang

besar ini merupakan kebutuhan yang harus

dipenuhi melalui tindakan pelatihan. Model

tindakan pelatihan untuk memperbaiki

fenomena rendahnya kemampuan guru dalam

menyusun instrumen penilaian ranah sikap

adalah model In House Training (IHT).

Terdapat sejumlah penelitian tentang

IHT yang efektif meningkatkan kemampuan

guru. Pertama, penelitian Fidyawati (2013)

yang berjudul “Efektifitas In House Training

dalam Peningkatan Kompetensi Guru di SMA

Laboratorium Percontohan UPI Bandung”,

menemukan bahwa In House Training (IHT)

mempunyai peranan yang sangat penting bagi

guru PKn dalam meningkatkan kompetensi

melalui pelatihan-pelatihan. Kedua, penelitian

Heldy Eriston (2011) berjudul “Meningkatkan

Kemampuan Guru dalam Membuat Powerpoint

Page 39: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Peningkatan Kemampuan Guru Sekolah Dasar Dalam Penyusunan Instrumen Ranah Sikap … | Suhandi Astuti, dkk.

39

melalui In House Training di SMK Teknik

Industri Purwakarta”, hasilnya menyimpulkan

In House Training bermanfaat untuk

meningkatkan kemampuan guru membuat

powerpoint untuk media pembelajaran.

Tindakan yang telah mencapai hasil 86%

melampaui indikator yang telah ditetapkan yaitu

75% menunjukkan bahwa IHT dapat secara

signifikan meningkatkan kemampuan guru

membuat powerpoint untuk media

pembelajaran. Ketiga, penelitian Shakoor, A.,

Ghumman, M.S., Mahmood, T. (2013) berjudul

“Effect of In Service Training on the Working

Capacity and Performance of Science Teachers

at Secondary Level”, hasil penelitian

menunjukkan In Service Training memiliki

dampak capaian yang tinggi dan positif pada

kompetensi profesional, serta membuat

pelaksanaan kurikulum lebih efektif. Keempat,

penelitian Naill Hegarty (2014) berjudul “Can

in-house training programs replace the

graduate degree? An exploration of differences

and learning objectives in terms of career

advancement”, hasil temuan menunjukkan

program pelatihan sangat penting, karena

melalui perbaikan program pelatihan tujuan

organisasi maupun individu dapat tercapai.

Berkaitan dengan kompetensi guru

Mulyasa (2003: 20) mengemukakan bahwa

kompetensi guru : “…is a knowledge, skills,

and abilities or capabilities that a person

achieves, which become part of his or her being

to the extent he or she can satisfactorily

perform particular cognitive, affective, and

psychomotor behaviors”. Dalam hal ini,

kompetensi guru diartikan sebagai

pengetahuan, ketrampilan, dan kemampuan

yang dikuasai oleh guru yang telah menjadi

bagian dari dirinya, sehingga ia dapat

melakukan perilaku-perilaku kognitif, afektif,

dan psikomotorik dengan sebaik-baiknya.

Sejalan dengan itu Mulyasa (2003: 21)

mengartikan kompetensi guru sebagai

penguasaan terhadap suatu tugas, keterampilan,

sikap, dan apresiasi yang diperlukan untuk

menunjang keberhasilan. Muhaimin (2004: 59)

menjelaskan kompetensi adalah seperangkat

tindakan intelegen penuh tanggung jawab yang

harus dimiliki seseorang sebagai syarat untuk

dianggap mampu melaksanakan tugas-tugas

dalam bidang pekerjaan tertentu. Sifat intelegen

harus ditunjukkan sebagai kemahiran,

ketetapan, dan keberhasilan bertindak. Sifat

tanggung jawab harus ditunjukkan sebagai

kebenaran tindakan baik dipandang dari sudut

ilmu pengetahuan, teknologi maupun etika.

Depdiknas (2005 : 34) merumuskan

definisi kompetensi guru sebagai pengetahuan,

ketrampilan, dan nilai-nilai dasar yang dimiliki

oleh seorang guru, yang direfleksikan dalam

kebiasaan berfikir dan bertindak. Menurut Syah

(2000: 35), “kompetensi” adalah kemampuan,

kecakapan, keadaan berwenang, atau

memenuhi syarat menurut ketentuan hukum.

Selanjutnya masih menurut Syah, dikemukakan

bahwa kompetensi guru adalah kemampuan

seorang guru dalam melaksanakan kewajiban-

kewajiban secara bertanggung jawab dan layak.

Tentang In House Training menurut

Sujoko (2012: 40) In House Training

merupakan program pelatihan yang

diselenggarakan di tempat sendiri, sebagai

upaya untuk meningkatkan kompetensi guru

dalam menjalankan pekerjaan dengan

mengoptimalkan potensi-potensi yang ada.

Sedangkan menurut Danim (2011: 94) In

House Training (IHT) merupakan program

pelatihan yang dilaksanakan secara internal

oleh kelompok kerja guru, sekolah atau tempat

lain yang ditetapkan sebagai penyelenggaraan

pelatihan yang dilakukan berdasarkan pada

pemikiran bahwa sebagian kemampuan dalam

meningkatkan kompetensi dan karier guru tidak

harus dilakukan secara eksternal, namun dapat

dilakukan secara internal, Danim juga memberi

batasan peserta dalam IHT minimal 4 orang

dan maksimal 15 orang. Berdasarkan

pengertian dari Sujoko dan Danim, nampak

bahwa esensi dari IHT adalah kegiatan untuk

meningkatkan kompetensi guru dengan

Page 40: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017

40

menggunakan segala sarana dan prasarana

yang ada di sekolah.

Tujuan IHT menurut Lulu Kamaludin

(2011: 2) dan Meldona (2009: 234) yaitu: a)

meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia

(SDM); b) memperbaiki kinerja, c)

menciptakan interaksi antar peserta; d)

mempererat rasa kekeluargaan dan

kebersamaan; serta e) meningkatkan motivasi

dan budaya belajar yang berkesinambungan.

Dari sisi keuntungan Lulu Kamaludin (2011: 2)

menyebutkan: a) Hasil lebih maksimal, b)

Materi lebih spesifik, c) Biaya lebih murah.

Berkaitan dengan langkah-langkah IHT,

Marwansyah (2012: 170), menjelaskan bahwa

IHT dilakukan melalui tiga fase, yaitu: 1) fase

Perencanaan, hal-hal yang perlu dilakukan pada

fase ini adalah: menentukan sasaran pelatihan;

menentukan tujuan pelatihan; menentukan

pokok bahasan/ materi pelatihan; menentukan

pendekatan dan metodologi pelatihan;

menentukan peserta pelatihan dan fasilitator

(trainer); menentukan waktu dan tempat

pelatihan; menentukan semua bahan yang

diperlukan dalam pelatihan; menentukan model

evaluasi pelatihan; menentukan sumber dana

pembiayaan yang dibutuhkan, 2) fase proses

penyelenggaraan, proses penyelenggaraan

pelatihan pada dasarnya merupakan

implementasi dari perencanaan. Fase ini dibagi

menjadi dua tahapan yaitu tahap persiapan dan

tahap pelaksanaan pelatihan. Pada tahap

persiapan, proses pelatihan meliputi:

mempersiapkan kelengkapan bahan pelatihan

(undangan pemberitahuan, materi, jadwal,

media, daftar hadir, instrumen evaluasi) dan

kesiapan sarana prasarana (tempat, fasilitas,

konsumsi, peserta maupun trainer) (Nawawi,

2008 : 228), 3) fase evaluasi pelatihan, fase

evaluasi adalah fase penilaian terhadap

kegiatan pelatihan yang telah dilaksanakan.

Berdasarkan uraian di atas maka

rumusan masalah dalam penelitian ini adalah 1)

Bagaimanakah langkah-langkah pelatihan

model In House Training yang terbukti

meningkatkan kemampuan guru SD dalam

menyusun instrumen penilaian ranah sikap dan

2) Apakah pelatihan model In House Training

dapat meningkatkan kemampuan guru SD

dalam menyusun instrumen penilaian ranah

sikap.

Kontribusi temuan penelitian tindakan

sekolah melalui In House Training ini adalah

memberikan pembuktian bahwa peningkatan

kemampuan guru dalam menyusun instrumen

penilaian ranah sikap dapat ditingkatkan

melalui kegiatan In House Training.

METODE PENELITIAN

Penelitian tindakan sekolah ini

dikategorikan sebagai penelitian tindakan

kolaboratif atau collaborative action research.

Desain penelitian ini menggunakan model

Stringer yang ditandai dengan tiga kata : 1)

Look (melihat) yaitu kegiatan untuk memahami

permasalahan melalui pengumpulan data dan

mendeskripsikan situasi; 2) Think (berfikir)

yaitu kegiatan menganalisis apa yang terjadi

dan menginterpretasikan bagaimana dan

mengapa hal itu terjadi; 3) Act (berbuat) yaitu

melakukan tindakan (Yaumi & Damopolli,

2014: 10).

Penelitian ini terdiri dari 2 siklus yang

masing-masing siklus terdiri dari 2 pertemuan.

Penelitian dilaksanakan di SD Laboratorium

Kristen Satya Wacana Salatiga pada bulan

Agustus sampai bulan Oktober 2016. Subyek

penelitian tindakan sekolah ini yaitu guru-guru

SD Laboratorium Kristen Satya Wacana

dengan jumlah guru sebanyak 15 orang.

Sumber data dalam penelitian ini adalah guru,

kepala sekolah, dan catatan lapangan oleh

peneliti.

Teknik dan instrumen pengumpulan

data menggunakan teknik tes berupa soal

pretest dan posttest dan non tes berupa

instrumen observasi dan dokumentasi.

Ketentuan indikator keberhasilan

penerapan pelatihan model IHT dikatakan

berhasil apabila skor aktivitas trainer dan guru

Page 41: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Peningkatan Kemampuan Guru Sekolah Dasar Dalam Penyusunan Instrumen Ranah Sikap … | Suhandi Astuti, dkk.

41

sebagai peserta pelatihan mencapai kategori

baik, dan skor kemampuan guru minimal 60,

dengan ketuntasan klasikal peserta pelatihan

mencapai 80%. Teknik analisis data

menggunakan teknik deskriptif kategoris dan

komparatif. Teknik komparatif digunakan

untuk mendeskripsikan capaian kemampuan

peserta IHT antar siklus. Sedangkan teknik

deskriptif kategoris digunakan untuk

mendeskripsikan kategori hasil observasi

aktivitas trainer dan peserta IHT serta

kemampuan guru, dengan kategori berikut:

Tabel 1 Tabel Katagorisasi

Capaian hasil (%) Kategori

81 – 100 Baik sekali

61 – 80 Baik

41 – 60 Cukup

21- 40 Kurang

1 – 20 Kurang sekali

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Penelitian

Kemampuan awal guru SD

Laboratorium Kristen Satya Wacana dalam

menyusun instrumen penilaian ranah sikap

masih rendah. Hal ini nampak pada data awal

yang dikumpulkan melalui observasi dan

angket yang dilakukan terhadap guru.

Berdasarkan data yang dikumpulkan 31% guru

melakukan penilaian mencakup tiga ranah

kognitif, afektif, dan psikomotor, 31% guru

melakukan penilaian non tes jenis skala sikap

untuk mengukur sikap siswa, 23% guru yang

memiliki pemahaman cukup untuk

mengembangkan penilaian sikap dan 15% guru

memiliki pemahaman cukup untuk

mengembangkan instrumen penilaian skala

sikap model Likert. Dalam upaya

meningkatkan kemampuan melakukan

penilaian ranah sikap terhadap guru SD

Laboratorium Kristen Satya Wacana, maka

perlu dilakukan tindakan IHT.

Penelitian ini terdiri dari 2 siklus,

masing-masing siklus terdiri dari 2 pertemuan.

Pada siklus 1 pertemuan pertama materi

pelatihan yang diberikan mencakup: a) analisis

kompetensi dasar, b) pengantar umum

penilaian, c) hakikat penilaian sikap. Materi

siklus 1 pertemuan kedua mencakup materi: d)

teori penyusunan instrumen penilaian sikap

model skala Likert, dan e) menentukan obyek

sikap skala Likert.

Pada siklus 2 pertemuan pertama materi

yang diberikan mencakup: a) uji coba

instrumen skala Likert, b) menentukan skor

hasil uji coba instrumen. Materi Siklus 2

pertemuan kedua mencakup materi menghitung

tingkat reliabilitas dan validitas instrumen skala

sikap. Ketuntasan hasil kegiatan IHT siklus I

dapat dilihat pada tabel 2 dibawah ini.

Tabel 2 Rekapitulasi Ketuntasan Hasil Kegiatan

IHT Siklus I

No Kriteria Angka %

1 KKM ≥ 60

2 Tuntas 10 orang 76,92%

3 Tidak tuntas 3 orang 23,07%

4 Rata-rata 64,6

5 Nilai tertinggi 75

6 Nilai terendah 55

Pencapaian kemampuan hasil belajar

pada Siklus I, meskipun telah mencapai KKM

sebesar 76, 92% peserta telah memperoleh skor

≥ 60, namun capaian Siklus I ini belum berhasil.

Dilihat dari rerata skor posttest Siklus I juga

Page 42: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017

42

belum tinggi, baru mencapai 64, 6. Hal ini

disebabkan trainer cenderung memaparkan

atau mempresentasikan materi ketimbang

melakukan kegiatan mendorong peserta untuk

membaca materi dalam hand out. Ketuntasan

hasil kegiatan IHT siklus II dapat dilihat pada

tabel dibawah ini.

Tabel 3 Rekapitulasi Ketuntasan Hasil Kegiatan

IHT Siklus II

No Kriteria Angka %

1 KKM ≥ 60

2 Tuntas 12 80%

3 Tidak tuntas 3 20%

4 Rata-rata 60,33

5 Nilai tertinggi 70

6 Nilai terendah 45

Dari data dalam tabel nampak bahwa

pencapaian kemampuan hasil belajar pada

Siklus II telah berhasil, karena terdapat 80%

peserta IHT memperoleh skor ≥ 60. Meskipun

rerata capaian kemampuan belajar peserta

masih rendah, yaitu 60,33. Data rerata ini lebih

rendah dari rerata kemampuan hasil belajar

Siklus I (64,6). Secara visual komparasi pretest

dan posttest siklus I dan II dapat dicermati pada

grafik berikut.

Gambar 1 Grafik Komparasi Rerata dan

Persentase Capaian Kemampuan Hasil IHT Siklus

I dan II

Berdasarkan data komparasi seperti di

atas, dapat dikemukakan beberapa temuan

berikut: a) IHT penulisan instrumen penilaian

kawasan afektif pada Siklus I belum berhasil.

Ketidakberhasilan ini didasarkan pada temuan

hasil belajar peserta IHT yang baru mencapai

76, 92%, padahal berdasarkan kriteria IHT

berhasil jika minimal 80% peserta mencapai

skor ≥ 60; b) IHT penulisan instrumen penilaian

kawasan afektif pada Siklus II berhasil.

Keberhasilan ini didasarkan pada temuan hasil

belajar peserta IHT yang telah mencapai

minimal 80% peserta mendapat skor ≥ 60;

meskipun ada penurunan rerata skor dari 64,6

pada Siklus I menjadi 60,33 pada Siklus II.

PEMBAHASAN

Penelitian Tindakan Sekolah

menggunakan model IHT ini bermula dari

permasalahan praktik penilaian di SD

Laboratorium Kristen Satya Wacana yang

belum menggunakan instrumen penilaian

ranah sikap. Salah satu penyebab adalah

kemampuan guru dalam menyusun instrumen

penilaian ranah sikap masih belum memadai.

Kepala sekolah memutuskan bahwa tindakan

pemecahan masalah yang dilakukan adalah

dengan melaksanakan penelitian tindakan

sekolah (PTS).

Ada dua pertanyaan penelitian yang

dijadikan pedoman dalam melaksanakan PTS

ini, yaitu: Bagaimanakah langkah-langkah

pelatihan model In House Training yang dapat

meningkatkan kemampuan guru SD

Laboratorium Kristen Satya Wacana dalam

menyusun instrumen ranah sikap?; dan Apakah

pelatihan model In House Training dapat

meningkatkan kemampuan guru SD

Laboratorium Kristen Satya Wacana dalam

menyusun instrumen penilaian ranah sikap?

Berdasarkan dua pertanyaan penelitian di atas,

berikut ini dipaparkan temuan dan pembahasan

dua permasalahan tersebut.

IHT dilakukan melalui tiga fase, yaitu

fase perencanaan, fase proses penyelenggaraan

dan fase evaluasi. Melalui diklat model IHT,

guru mengasah kemampuan secara aktif dengan

mengeksplorasi materi pelatihan secara

konsisten, persisten dan mengarah pada tujuan

0

20

40

60

80

100

Siklus 1 Siklus 2

Mean

% KKM

Page 43: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Peningkatan Kemampuan Guru Sekolah Dasar Dalam Penyusunan Instrumen Ranah Sikap … | Suhandi Astuti, dkk.

43

yang ingin dicapai dan kemudian

mengelaborasi dengan mengerjakan tugas-

tugas mandiri maupun kelompok. Langkah-

langkah pelatihan model IHT yang

menyebabkan keberhasilan pelatihan ini

terlihat dari aktivitas setiap langkah IHT,

terutama langkah-langkah pada fase proses

penyelenggaraan IHT.

Hasil observasi aktivitas trainer

maupun peserta IHT menunjukkan perolehan

skor 71% sampai 95% artinya berada pada

kategori baik dan sangat baik. Sedangkan

aktivitas peserta memperoleh skor 93,2%

sampai 98% artinya berada pada ketegori

sangat baik. Dilihat dari hasil postes, pada

Siklus I mencapai rata-rata 64,6 dan persentase

ketuntasan 76,92%. Pada Siklus II mencapai

rata-rata 60,33 dan ketuntasannya mencapai

80%. Jika temuan ini dikaitkan dengan kriteria

keberhasilan PTS dengan indikator

keberhasilan pelatihan IHT dikatakan berhasil

apabila skor aktivitas trainer dan guru sebagai

peserta pelatihan mencapai kategori baik dan

skor kompetensi guru minimal 60 dengan

ketuntasan klasikal peserta pelatihan mencapai

80%, maka dapat dikatakan bahwa PTS siklus I

dan II semuanya berhasil.

Keberhasilan aktivitas PTS pada siklus

I ditunjukkan oleh langkah-langkah berikut: a)

trainer menyampaikan materi teori penyusunan

instrumen penilaian sikap model skala Likert;

b) trainer membagi menjadi 4 kelompok dan

selanjutnya peserta secara kelompok

melakukan analisis kasus contoh instrumen

penilaian sikap yang benar dan kurang benar

kemudian dianalisis sesuai dengan langkah-

langkah skala sikap model Likert; c)

selanjutnya peserta melakukan diskusi

kelompok untuk menyusun item pernyataan

skala sikap sesuai obyek sikap yang telah

ditentukan; d) trainer berkeliling ke setiap

kelompok untuk memantau, membimbing serta

memberikan kesempatan kepada kelompok

untuk menanyakan materi yang belum dikuasai.

Berdasarkan hasil refleksi bahwa

aktivitas IHT pada siklus I berhasil, maka pada

siklus II langkah-langkah IHT secara umum

sama, yaitu: a) trainer mendorong peserta

untuk membaca materi dalam hand out tentang

berbagai teori mengenai instrumen penilaian

skala sikap; b) trainer membagi peserta

menjadi 4 kelompok dan selanjutnya peserta

melakukan diskusi kelompok; c) trainer

berkeliling ke setiap kelompok untuk

memantau dan membimbing setiap kelompok

dan d) trainer memberikan kesempatan kepada

kelompok untuk bertanya tentang materi yang

belum difahami/ dimengerti.

Hasil evaluasi pelaksanaan IHT

berkaitan dengan pertanyaan apakah materi

bermanfaat bagi peserta, 97% peserta

menyatakan bermanfaat. Hal ini didukung juga

oleh respon terhadap pertanyaan apakah

interaksi antara trainer dengan peserta dan

penggunaan alat bantu pelatihan efektif.

Responnya berturut-turut mencapai 96% dan

96% menyatakan efektif. Keefektifan langkah-

langkah IHT ini sejalan dengan pandangan

Marwansyah (2012: 170) yang menjelaskan

bahwa IHT dilakukan melalui tiga fase, yaitu

fase perencanaan, fase proses penyelenggaraan

dan fase evaluasi. Temuan keberhasilan

langkah-langkah PTS ini mendukung juga teori

In House Training, yang merupakan program

pelatihan yang diselenggarakan di tempat

sendiri dan diupayakan untuk meningkatkan

kompetensi guru dalam menjalankan

pekerjaannya dengan penggunaan alat peraga,

dan dilaksanakan di sekolah tempat guru

tersebut bekerja (Sujoko, 2012: 40; dan Danim,

2011:94).

Temuan dalam penelitian ini

menunjukkan bahwa IHT yang dilaksanakan di

SD Laboratorium Kristen Satya Wacana

berhasil meningkatkan kemampuan guru dalam

menyusun instrumen penilaian ranah sikap.

Pada saat kondisi awal hanya 15% guru atau

hanya 2 guru yang memiliki pemahaman yang

cukup untuk mengembangkan instrumen

Page 44: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017

44

penilaian skala sikap model Likert. Dari data

yang sudah dipaparkan di atas tampak pada

siklus 1 tingkat ketuntasan mencapai 76.9%

atau 10 guru dari 13 guru SD Laboratorium

Kristen Satya Wacana mampu memenuhi

Kriteria Ketuntasan Minimal yaitu mencapai

skor 60. Meskipun capaian ini belum dikatakan

berhasil. Baru pada siklus 2 tingkat ketuntasan

mencapai 80% atau 12 guru dari 15 guru SD

Laboratorium Kristen Satya Wacana mampu

memenuhi Kriteria Ketuntasan Minimal yaitu

mencapai skor 60. Dengan demikian capaian

ketuntasan peserta IHT pada siklus ke II ini

dikatakan berhasil.

Temuan keberhasilan langkah-langkah

PTS ini sesuai dengan Tujuan IHT menurut

Lulu Kamaludin (2011: 2) dan Meldona (2009:

234) yaitu: a) meningkatkan kualitas Sumber

Daya Manusia (SDM); b) memperbaiki

kinerja, c) menciptakan interaksi antara peserta;

d) mempererat rasa kekeluargaan dan

kebersamaan; serta e) meningkatkan motivasi

dan budaya belajar yang berkesinambungan.

Dari sisi keuntungan Lulu Kamaludin (2011: 2)

menyebutkan: a) Hasilnya lebih maksimal, b)

Materinya lebih spesifik, c) Biaya lebih murah.

Temuan keberhasilan IHT untuk

meningkatkan kompetensi guru ini sesuai

dengan hasil penelitian yang dikemukakan oleh

Fidyawati (2013) dalam penelitiannya tentang

Efektifitas In House Training dalam Peningkatan

Kompetensi Guru di SMA Laboratorium

Percontohan UPI Bandung, menemukan bahwa

In House Training (IHT) mempunyai peranan

yang sangat penting bagi guru PKn dalam

meningkatkan kompetensi melalui pelatihan-

pelatihan.

Temuan penelitian ini mendukung

penelitian tindakan yang dilakukan penulis

khususnya tentang Efektifitas In House

Training dalam meningkatkan kompetensi

guru. Seperti penelitian Heldy Eriston (2011)

yang melakukan penelitian tindakan sekolah

tentang Meningkatkan Kemampuan Guru

dalam Membuat Powerpoint melalui In House

Training di SMK Teknik Industri Purwakarta.

Hasilnya menyimpulkan In House Training

bermanfaat untuk meningkatkan kemampuan

guru membuat powerpoint untuk media

pembelajaran. Tindakan yang telah mencapai

hasil 86% melampaui indikator yang telah

ditetapkan yaitu 75% menunjukkan bahwa IHT

dapat secara signifikan meningkatkan

kemampuan guru membuat powerpoint untuk

media pembelajaran. Temuan lain dikemukakan

oleh Shakoor, A., Ghumman, M.S., Mahmood,

T. (2013) yang meneliti tentang pengaruh In

Service Training terhadap kapasitas kerja dan

kinerja guru sain di tingkat menengah. Hasil

penelitian menunjukkan In Service Training

memiliki dampak capaian yang tinggi dan

positif pada kompetensi profesional, serta

membuat pelaksanaan kurikulum lebih efektif.

Demikian juga dengan penelitian Naill Hegarty

(2014) menulis tentang keefektifan program

pelatihan dalam hal tujuan pembelajaran,

sebagai sebuah media untuk meningkatkan

karir individu, dan sebagai suatu bentuk dari

pendidikan yang diakui. Hasil temuan

menunjukkan program pelatihan sangat

penting, karena melalui perbaikan program

pelatihan tujuan organisasi maupun individu

dapat tercapai.

Kontribusi temuan penelitian tindakan

sekolah melalui In House Training ini adalah

memberikan pembuktian bahwa peningkatan

kemampuan guru dalam menyusun instrumen

penilaian ranah sikap dapat ditingkatkan

melalui kegiatan In House Training.

Kemampuan yang meningkat berkaitan dengan

pemahaman konsep mengenai kemampuan

memahami pengantar umum penilaian,

memahami hakekat penilaian sikap,

mendiskripsikan teori penyusunan instrumen

penilaian sikap model skala Likert. Kontribusi

penelitian ini secara teoritis

memantapkan/menguatkan teori Azwar tentang

langkah-langkah penyusunan skala sikap model

skala Likert.

Page 45: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Peningkatan Kemampuan Guru Sekolah Dasar Dalam Penyusunan Instrumen Ranah Sikap … | Suhandi Astuti, dkk.

45

Kontribusi penelitian ini secara praktik

dapat meningkatkan kemampuan menganalisis

kompetensi dasar dalam silabus kurikulum SD

2013, menyusun instrumen penilaian sikap

model skala Likert, melakukan uji coba

instrumen, menghitung tingkat reliabilitas dan

validitas instrumen skala sikap. Dan

selanjutnya menyusun instrumen penilaian

ranah sikap dalam pembelajaran pada topik-

topik tertentu.

Kontribusi secara konsep dan praktek

yang telah diuraikan itulah yang membedakan

dengan hasil penelitian relevan hasil terdahulu.

Temuan Fidyawati (2013) sebatas peran In

House Training dalam meningkatkan

kompetensi guru PKn. Temuan Heldy Eriston

(2011) sebatas manfaat In House Training

dalam meningkatkan kemampuan guru

membuat powerpoint untuk media

pembelajaran. Temuan Shakoor, A.,

Ghumman, M.S., Mahmood, T. (2013) sebatas

dampak In Service Training pada kompetensi

guru. Temuan Nail Hegarty (2014) sebatas

pentingnya program pelatihan untuk

tercapainya tujuan organisasi maupun individu.

SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan temuan dan hasil

pembahasan di atas, berikut disampaikan dua

simpulan dari Penelitian Tindakan Sekolah ini.

Pertama, langkah-langkah pelatihan model In

House Training yang dapat meningkatkan

kemampuan guru SD Laboratorium Kristen

Satya Wacana dalam menyusun instrumen

ranah sikap adalah perencanaan, pelaksanaan

dan evaluasi IHT. Pada langkah perencanaan

dilakukan kegiatan: a) membentuk panitia IHT;

b) menghubungi ahli yang berkompeten dalam

bidang penyusunan instrumen penilaian ranah

sikap untuk menjadi trainer; c) mengundang

guru untuk menjadi peserta; d) menyiapkan

materi; dan e) membuat jadwal pelaksaaan.

Pada langkah pelaksanaan dilakukan

kegiatan: a) memberikan pretest sebelum

dilakukan sesi pelatihan, b) melakukan sesi

pelatihan dengan tahapan: (1) trainer

mendorong peserta untuk aktif membaca materi

pelatihan dalam bentuk hand out; (2) peserta

pelatihan dengan bimbingan trainer membagi

menjadi 4 kelompok dan selanjutnya peserta

melakukan diskusi kelompok; (3) trainer

berkeliling ke setiap kelompok untuk

memantau dan membimbing diskusi kelompok;

dan (4) trainer memberikan kesempatan kepada

kelompok untuk bertanya tentang materi yang

belum dimengerti, c) melakukan observasi

untuk memantau aktivitas trainer dan peserta

pelatihan.

Pada langkah evaluasi dilakukan

kegiatan: a) posttest untuk mengetahui

sejauhmana tingkat kemampuan guru dalam

menyusun instrumen penilaian ranah sikap

dapat tercapai; dan b) evaluasi program IHT

secara keseluruhan mencakup

pengorganisasian, pelaksanaan, kemanfaatan

materi pelatihan, kompetensi trainer, kepuasan

peserta pelatihan.

Kedua, pelatihan model In House

Training dapat meningkatkan kemampuan guru

SD Laboratorium Kristen Satya Wacana dalam

menyusun instrumen penilaian ranah sikap;

Simpulan ini didasarkan data peningkatan

persentase peserta pelatihan yang mencapai

KKM (kriteria keberhasilan ≥ 60) dari 76, 92%

pada siklus I menjadi 80% pada siklus II.

Simpulan ini juga didukung capaian aktivitas

trainer maupun peserta pelatihan pada kategori

baik dan sangat baik untuk semua siklus.

SARAN

Berdasarkan simpulan Penelitian

Tindakan Sekolah tentang pelatihan model In

House Training dalam rangka meningkatkan

kemampuan guru SD Laboratorium Kristen

Satya Wacana dalam menyusun instrumen

ranah sikap, dapat disampaikan saran-saran

berikut:

a. Bagi guru, disarankan menerapkan

kemampuannya menyusun instrumen

penilaian ranah sikap dalam pembelajaran,

Page 46: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017

46

khususnya yang berkaitan dengan domain

kompetensi inti (KI) sikap.

b. Bagi kepala sekolah disarankan agar

melanjutkan penelitian tindakan sekolah

menggunakan model IHT untuk

meningkatkan kemampuan gurunya.

Khususnya kemampuan dalam menyusun

instrumen penilaian ranah sikap.

c. Bagi pengawas, dapat disarankan

mendorong para kepala sekolah dan guru

agar terus-menerus meningkatkan

kemampuannya melalui kegiatan IHT di

sekolah. Khususnya kemampuan dalam

menyusun penilaian ranah sikap.

d. Bagi peneliti lain yang akan melakukan

penelitian lanjutan, disarankan agar

melakukan penelitian ulang tentang

penyusunan instrumen ranah sikap model

Likert minimal tiga siklus, dengan harapan

hasilnya akan lebih meningkat.

DAFTAR PUSTAKA

Alfaris, Sujoko. 2012. Peningkatan

Kemampuan Guru Mata Pelajaran

Melalui In House Training. Jurnal

Pendidikan Penabur. 11 (18): 27-39

Camelia dan Umi Chotimah. 2012.

Kemampuan Guru Membuat Instrumen

Penilaian Domain Afektif Mata

Palajaran PKn di SMP Negeri Se-

Kabupaten Ogan Ilir. Jurnal Forum

Sosial, Kajian Pendidikan Ilmu

Pengetahuan Sosial dan Ilmu Sosial. V

(02):114 – 122.

Danim Sudarwan dan Khairil. 2011. Profesi

Kependidikan. Bandung. Alfabeta

Eriston Heldy. 2011. Meningkatkan

Kemampuan Guru dalam Membuat

Power point melalui in House Training

di SMK Teknik Industri Purwakarta.

Fidyawati. 2013. Efektifitas In House Training

Dalam Peningkatan Kompetensi Guru, di

SMA Laboratorium Percontohan UPI di

Bandung. Bandung: Universitas

Pendidikan Indonesia.

Hegarty, N. 2014. Can in-house training

programs replace the graduate degree?

An exploration of differences and

learning objectives in terms of career

advancement.BRC Journal of Advances

in Education, 2 (1): 13-34.

Lulu Kemaludin. 2011. Pengertian In House

Training, tujuan dan Manfaatnya.

http://tikettraining.com/pengertian-in-

house-training-tujuan-dan-manfaatnya.

Diunduh tanggal 9 Oktober 2015.

Mawansyah. 2010. Manajemen Sumber Daya

Manusia. Bandung: Alfabeta

Meldona. 2009. Manajemen Sumber Daya

Manusia. Malang : UIN Malang Press.

Muhaimin 2004. Paradigma Pendidikan Islam.

Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Muhammad Yaumi & Muljono Damopolli.

2014. Action Research: Teori, Model,

dan Aplikasi. Jakarta: Kencana Prenada

Group.

Mulyasa, E., 2003. Kurikulum Berbasis

Kompetensi: Konsep, Karakteristik, dan

Implementasi. Bandung: PT Remaja

Rosdakarya

Nawawi, H. 1997. Manajemen Sumber Daya

Manusia. Yogyakarta. Gajah Mada

Universitas Press.

Shakoor, A., Ghumman, M.S., Mahmood, T.

2013. Effect of In Service Training on

the Working Capacity and Performance

of Science Teachers at Secondary

Level. Jurnal of Educational and Sosial

Research MCSER Publishing, Rome-

Italy, 3(3), pp. 337-342.

Sulistyawardani, Naniek dkk. 2012. Asesmen

Pembelajaran Bahan Belajar Mandiri

SD. Salatiga: Widya Sari Press Salatiga.

Page 47: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Peningkatan Kemampuan Guru Sekolah Dasar Dalam Penyusunan Instrumen Ranah Sikap … | Suhandi Astuti, dkk.

47

Syah, Muhibbin. 2000. Psikologi Pendidikan

dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT

Remaja Rosdakarya.

---------2005. Undang-Undang RI No. 14 Th.

2005 Tentang Guru dan Dosen. Jakarta:

Depdiknas.

---------2007. Peraturan Menteri Pendidikan

Nasional No. 16 Tahun 2007 tentang

Standar Kompetensi Guru.

Jakarta:Depdiknas.

Page 48: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Magister Manajemen Pendidikan FKIP Universitas Kristen Satya Wacana [email protected]

ISSN 2549-9661 Volume: 4, No. 1, Januari-Juni 2017

Halaman: 48-58

48

EVALUASI PROGRAM BUDAYA MEMBACA DI SEKOLAH

DASAR NEGERI

Andri Sulistyo

SMP Kristen Terang Bangsa

Cirebon-Jawa Barat

[email protected]

ABSTRACT

The purpose of this study is to evaluate implementation of literacy program in Public

Elementary School Tengaran (SD N Tengaran), District of Semarang. Evaluation using

CIPP model. Data collection through interview, documentation, and observation with

triangulation technique. The data is analyzed by description, reduction, data display and

data verification. The result shows that from context aspect, students in Public

Elementary School Tengaran (SD N Tengaran) need this literacy program; in input

aspect, this program has answered the needs of students with support by human

resources, infrastructure, budget, schedule and adequate working mechanisms; process

aspect, the implementation is implemented according to plan, although there were

obstacles in routine activities such as teacher’s and student’s low consistency as well as

poor support from parents; and in product aspect, the result of literacy program is 90%

of students have read fluently, 60% of students are confidence to do presentation, 66% of

students are able to make bulletin board independently, 66% of students are able to write

resume independently, 90% of students actively write their personal experience in the

diary, one of 65 students passed the selection to the district level in reading poetry

competition, and one student passed and get third place in speech competition in sub-

district level. Based on the findings, literacy program should be continued but need

improvement.

Keywords: Evaluation program, literacy, CIPP model

Page 49: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Evaluasi Program Budaya Membaca di Sekolah Dasar Negeri | Andri Sulistyo

49

PENDAHULUAN

Tingkat literasi membaca di Indonesia

sangatlah rendah. Berdasarkan uji literasi yang

dilakukan oleh IEA tahun 2011 (data PIRLS),

Indonesia menempati peringkat ke 45 dari 48

negara yang menjadi peserta dengan skor 428

(skor rata-rata semua peserta 500) (Direktorat

Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah

Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan

Tahun 2016 hal 1). Sementara itu, uji literasi

membaca menurut data PISA 2009

menunjukkan peserta didik Indonesia berada

pada peringkat ke 57 dengan skor 396 (skor

rata-rata 493), sedangkan data PISA 2012

menunjukkan peserta didik Indonesia berada

pada peringkat ke 64 dengan skor 396 dari rata-

rata skor OECD 496, sebanyak 65 negara

berpartisipasi dalam PISA 2009 dan 2012

(Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan

Menengah Kementrian Pendidikan dan

Kebudayaan Tahun 2016 hal 2). Berdasarkan

data PISA 2015 tingkat literasi di Indonesia

belum menunjukkan peningkatan yang

signifikan yaitu sebesar 1 poin dari skor 396 di

tahun 2012 menjadi 397 di tahun 2015.

Peningkatan tersebut mengangkat posisi

Indonesia 6 peringkat ke atas (peringkat 62 dari

70 peserta) bila dibandingkan posisi peringkat

kedua dari bawah pada tahun 2012 (OECD,

2015), meski terdapat peningkatan namun

tingkat literasi di Indonesia masih tergolong

rendah. Rendahnya keterampilan membaca

membuktikan bahwa proses pendidikan di

Indonesia belum mengembangkan kompetensi

dan minat peserta didik terhadap pengetahuan.

Berdasarkan data PIRLS dan PISA

diatas, Kementrian Pendidikan dan

Kebudayaan mengembangkan Gerakan Literasi

Sekolah. Gerakan Literasi Sekolah adalah

kemampuan mengakses, memahami, dan

menggunakan sesuatu secara cerdas melalui

berbagai aktivitas, antara lain membaca,

melihat, menyimak, menulis, dan atau

berbicara. Disini sekolah diwajibkan

meluangkan waktu 15 menit sebelum

pembelajaran untuk membaca buku non

akademik. Tujuan umum dari gerakan literasi

adalah untuk menumbuhkembangkan budi

pekerti peserta didik melalui pembudayaan

ekosistem literasi sekolah yang diwujudkan

dalam Gerakan Literasi Sekolah agar mereka

menjadi pembelajar sepanjang hayat

(Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Dan

Menengah Kementrian Pendidikan dan

Kebudayaan Tahun 2016 hal 2). Gerakan

Literasi Sekolah sendiri harus dilaksanakan

untuk memperluas ilmu pengetahuan siswa

sesuai dengan Peraturan Menteri Nomor 23

Tahun 2015 tentang penumbuhan budi pekerti

yang menyebutkan bahwa:

“Penghargaan terhadap keunikan potensi

peserta didik untuk dikembangkan, yaitu

mendorong peserta didik gemar membaca dan

mengembangkan minat yang sesuai dengan

potensi bakatnya untuk memperluas

cakrawala kehidupan di dalam

mengembangkan dirinya sendiri”.

Didukung dengan Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003

Tentang Sistem Pendidikan Nasional BAB III

Pasal 4 Nomor 5 yang tertulis bahwa:

“Pendidikan diselenggarakan dengan

mengembangkan budaya membaca, menulis,

dan berhitung bagi segenap warga

masyarakat”.

Salah satu temuan dari penelitian Heather

Thomas (2013: 56) menyatakan bahwa

program literasi berkontribusi dalam

meningkatkan prestasi siswa.

Dalam upaya mensukseskan Gerakan

Literasi Sekolah, SD N Tengaran merancang

program budaya membaca. Program budaya

membaca di SD N Tengaran merupakan suatu

program yang dirancang agar siswa saat

membaca tidak hanya mahir membaca, akan

tetapi siswa dapat memahami isi bacaan. Hal ini

sesuai dengan pengertian dari program yaitu

serangkaian kegiatan yang

dirancang/direncanakan oleh suatu organisasi,

yang dalam pelaksanaannya berlangsung

Page 50: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017

50

melalui proses yang berkesinambungan

(Wirawan, 2011: 17; Arikunto, 2010: 4;

Widoyoko, 2009: 8). Sedangkan pengertian

budaya membaca adalah suatu sikap dan

tindakan membaca sudah menjadi bagian yang

lekat dan mengikat dalam kehidupan sehari-

hari seseorang sehingga membaca dilakukan

secara teratur dan berkelanjutan (Umar, 2013:

127; Gol A Gong & Agus M. Irkham, 2012:

62).

Program budaya membaca di SD N

Tengaran diputuskan dan dilaksanakan mulai

tahun ajaran 2014/2015. Program budaya

membaca di sekolah merupakan program yang

diharapkan dapat membuat para guru dan

seluruh siswa meningkatkan intensitas

membaca, sehingga pengetahuan guru dan

siswa dapat meningkat. Kepala sekolah, guru

dan para siswa diharapkan dapat berperan aktif

dalam mengawasi dan melaksanakan program

budaya baca. Dalam hal ini SD N Tengaran

mewajibkan siswa satu kali dalam satu minggu

membuat rangkuman untuk menjadi bukti

pemahaman siswa dalam membaca. Hasil

rangkuman wajib dikumpulkan ke sekolah

melalui guru-guru kelas. Setelah siswa dapat

memahami dan mengerti dari isi bacaan

tentunya diharapkan pengetahuan dari siswa

dapat meningkat, sehingga prestasi dan mutu

sekolah dapat meningkat.

Permasalahan yang timbul dalam

melaksanakan program budaya membaca yang

pertama adalah tentang konsistensi guru-guru.

Beberapa guru terkadang malas dalam

melaksanakan apa yang menjadi tugas

(mengumpulkan hasil rangkuman) dan

mengawasi kegiatan program budaya

membaca. Hal ini dikarenakan banyaknya tugas

dan kegiatan lain para guru di sekolah. Adapun

data pengumpulan hasil rangkuman tiga bulan

terakhir sebagai berikut:

Tabel 1 Daftar pengumpulan hasil rangkuman pada bulan April - Juni 2016

(Wawancara tanggal 10 Agustus 2016)

No Kelas Jumlah

Siswa

Rangkuman

terkumpul

Rangkuman yang

tidak terkumpul

April Mei Juni April Mei Juni

1. I 40 siswa 38 40 35 2 0 5

2. II 44 siswa 39 36 44 5 9 0

3. III 75 siswa 75 70 72 0 5 3

4. IV 68 siswa 66 67 64 2 1 4

5. V 65 siswa 60 58 65 5 3 0

6. VI 64 siswa 63 64 64 1 0 0

Terlihat dari data di atas selama bulan

April, Mei dan Juni 2016 pada kelas 1 terdapat

7 rangkuman yang tidak terkumpul, kelas II

terdapat 14 rangkuman yang tidak terkumpul,

kelas III terdapat 8 rangkuman yang tidak

terkumpul, kelas IV terdapat 7 rangkuman yang

tidak terkumpul, kelas V terdapat 8 rangkuman

yang tidak terkumpul, serta pada kelas VI

terdapat 1 rangkuman yang tidak terkumpul.

Dari tiga bulan terakhir saja terdapat 47

rangkuman yang tidak terkumpul. Hal ini dapat

mengakibatkan kelancaran program budaya

membaca dapat terganggu sehingga tujuan dari

program budaya membaca sangat sulit dicapai.

Permasalahan yang kedua yaitu kurangnya

pengawasan dari orang tua juga menjadi

kendala dalam melaksanakan program budaya

membaca. Orang tua lebih fokus kepada

pekerjaan dan tidak sempat mengawasi

kegiatan belajar anak di rumah. Permasalahan

yang terakhir yang muncul adalah kurangnya

jumlah buku yang menjadi pembaharuan.

Jumlah siswa yang banyak, intensitas membaca

yang cepat mengakibatkan perputaran buku

dari siswa ke siswa lain juga cepat, sehingga

siswa akan menjadi bosan dalam membaca jika

Page 51: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Evaluasi Program Budaya Membaca di Sekolah Dasar Negeri | Andri Sulistyo

51

buku yang dibaca hanya itu-itu saja. Ketiga

permasalahan tersebut tidak bisa dianggap

remeh, karena permasalahan-permasalahan

tersebut dapat menghambat proses kegiatan

program budaya membaca dan tujuan akhir dari

program budaya membaca yaitu meningkatkan

mutu sekolah tidak akan terwujud.

Permasalahan tersebut serupa dengan

penelitian yang dilakukan oleh Tahira DuPree

Chase (2011: 5) yang berjudul The Children

Left Behind: An Evaluation of a Reading

Intervention Program for Upper Elementary

Students, yang menyatakan bahwa adanya

penurunan kemampuan membaca saat siswa

memasuki sekolah tingkat menengah.

Penelitian tersebut berfokus pada siswa kelas 5

yang menunjukkan kesulitan membaca padahal

di sana ada program membaca yaitu program

membaca intervensi. Selain itu permasalahan

yang dihadapi oleh Heather Thomas (2013)

yang berjudul An evaluation of the literacy

program at Garibaldi Grade School

menyatakan bahwa sejak tahun 2006 sekolah

Neah-Kah-Nie sudah mengembangkan

program literasi membaca. Guru memanfaatkan

model literasi yang seimbang antara teori dan

praktek dalam lima bidang utama membaca:

fonemik kesadaran, phonics, kelancaran,

kosakata, dan pemahaman. Siswa kelas lima

dinilai tiga kali dalam setahun menggunakan

DIBELS (Dynamic Indicators of Basic Early

Literacy Skills), yang dikembangkan oleh

University of Oregon. Meskipun sudah

dilakukan penilaian secara rutin tetapi masih

belum diketahui apakah program literasi efektif

meningkatkan kemampuan membaca siswa di

sekolah Garibaldi Grade. Penelitian yang

dilakukan Corinne Serra Smith, M.S. ED

(2009) yang berjudul An Analysis and

Evaluation of Sit Stay Read: Is the Program

Effective in Improving Student Engagement and

Reading Outcomes? menyatakan bahwa

program “Sit Stay Read” yang memanfaatkan

anjing terapi untuk meningkatkan keterampilan

membaca dan menumbuhkan kasih belajar pada

anak-anak yang kurang beruntung di kelas

kedua dan ketiga (usia 7-9) ini efektif dalam

meningkatkan kemampuan membaca anak.

Akan tetapi belum diketahui apakah program

ini meningkatkan prestasi belajar anak-anak di

Chicago. Dari beberapa permasalahan tersebut,

solusi yang dinilai tepat untuk mengatasi

permasalahan permasalahan yang muncul

adalah dilakukannya evaluasi suatu program

yang berkaitan dengan meningkatkan

kemampuan baca anak tersebut.

Dengan berdasar pada uraian tersebut

maka penulis tertarik untuk mengadakan

penelitian tentang evaluasi program budaya

membaca di SD N Tengaran Kabupaten

semarang. Pengertian dari evaluasi adalah suatu

kegiatan mengumpulkan, menganalisis, dan

menyajikan informasi dengan cara

membandingkan antara kegiatan yang

direncanakan terhadap kegiatan yang

dilaksanakan dan membandingkan antara

tujuan program terhadap hasil yang tercapai,

yang selanjutnya informasi tersebut digunakan

untuk mengetahui efektivitas dan efisiensi

proyek, kebijakan dan program yang dipakai

untuk menentukan alternatif yang tepat dalam

mengambil suatu keputusan (Sukardi, 2008: 1);

Arikunto, 2010: 2; Wirawan,2011: 7).

Sedangkan pengertian dari evaluasi program

adalah metode sistematik untuk

mengumpulkan, menganalisis, dan memakai

informasi dengan tujuan untuk mengetahui

efektivitas dan efisiensi proyek, kebijakan dan

program (Wirawan,2011: 17; Weiss (Sugiyono,

2014: 741); Sugiyono, 2014: 742). Sementara

itu tujuan dari evaluasi program adalah untuk

mengetahui apakah tujuan program telah

tercapai dan serta mengetahui penyebab-

penyebabnya yang selanjutnya hasil evaluasi

dapat digunakan untuk mengambil keputusan

tentang keberlanjutan sebuah program perlu

diteruskan, diperbaiki atau dihentikan

(Wirawan, 2011: 17; Arikunto, 2010: 18;

Endang, 2011: 144-145).

Page 52: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017

52

Model yang akan digunakan dalam

mengevaluasi program ini adalah CIPP yang

dikembangkan oleh Stufflebeam. CIPP

singkatan dari context, input, process and

product. Tujuan utama penelitian ini adalah

untuk memberi masukan untuk perbaikan

pelaksanaan program budaya membaca di SDN

Tengaran, sehingga dilakukan analisis serta

evaluasi tentang program budaya membaca di

SD N Tengaran guna mengetahui: 1) Konteks

program budaya membaca di SD N Tengaran

Kabupaten Semarang; 2) Input program budaya

membaca di SD N Tengaran Kabupaten

Semarang; Proses program budaya membaca di

SD N Tengaran Kabupaten Semarang dan; 4)

Produk program budaya membaca di SD N

Tengaran Kabupaten Semarang.

Menurut Wirawan (2011: 92-94) model

evaluasi CIPP dalam menganalisa program

dilaksanakan berdasarkan komponen-

komponennya yang dapat dijelaskan sebagai

berikut: a) Evaluasi konteks adalah upaya

mengidentifikasi dan menilai kebutuhan-

kebutuhan yang mendasari disusunnya suatu

program. Evaluasi konteks untuk menjawab

pertanyaan: Apa yang perlu dilakukan?(What

needs to be done?). b) Evaluasi Masukan

(input) untuk mencari jawaban atas pertanyaan:

Apa yang harus dilakukan? (What should be

done?). Evaluasi ini mengidentifikasi problem,

asset dan peluang untuk membantu para

pengambil keputusan mengidentifikasi tujuan,

prioritas, dan manfaat-manfaat dari program,

menilai pendekatan alternatif, rencana

tindakan, rencana staf dan anggaran untuk

feasibilitas dan potensi cost effectiveness untuk

memenuhi kebutuhan dan tujuan yang

ditargetkan. Para pengambil keputusan

memakai evaluasi masukan dalam memilih

rencana-rencana yang ada, menyusun proposal

pendanaan, alokasi sumber-sumber,

menetapkan staf, menskedul pekerjaan, menilai

rencana-rencana aktivitas, dan penganggaran.

3) Evaluasi Proses berupaya untuk mencari

jawaban atas pertanyaan dari: Apakah program

sedang dilaksanakan? (Is it being done?).

Evaluasi ini berupaya mengakses pelaksanaan

dari rencana untuk membantu staf program

melaksanakan aktivitas dan kemudian

membantu kelompok pemakai lebih luas

menilai program dan menginterpretasikan

manfaat. 4) Evaluasi produk diarahkan untuk

mencari jawaban pertanyaan: Did it succed?.

Evaluasi ini berupaya mengidentifikasi dan

mengakses keluaran dan manfaat, baik yang

direncanakan atau tidak direncanakan, baik

jangka pendek maupun jangka panjang.

Evaluasi produk merupakan tahap akhir dari

serangkaian evaluasi program. Jadi setelah

evaluasi produk selesai dapat

direkomendasikan hasil program yang berjalan

untuk merumuskan kebijakan berikutnya.

METODE PENELITIAN

Jenis penelitian ini merupakan

penelitian evaluatif menggunakan pendekatan

deskriptif kualitatif. Tempat penelitian di SD N

Tengaran Kecamatan Tengaran Kabupaten

Semarang Provinsi Jawa Tengah. Subyek

dalam penelitian ini adalah Kepala Sekolah,

pendidik, dan peserta didik SD N Tengaran.

Teknik pengumpulan data menggunakan

wawancara, observasi dan studi dokumen.

Instrumen pengumpulan data berupa lembar

wawancara, lembar observasi dan lembar

dokumentasi. Untuk menguji keabsahan data

pada penelitian ini digunakan teknik triangulasi

sumber dan tringulasi teknik. Teknik analisis

data yang digunakan adalah analisa data

kualitatif. Analisa data di dalam penelitian

kualitatif ini didasarkan pada metode evaluasi

program dengan model CIPP.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Konteks Program Budaya Membaca di SD N

Tengaran Kabupaten Semarang

Komponen pada evaluasi konteks

adalah: 1) apakah program budaya membaca

merupakan kebutuhan sekolah; 2) apa tujuan

dari program budaya membaca serta; 3) siapa

Page 53: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Evaluasi Program Budaya Membaca di Sekolah Dasar Negeri | Andri Sulistyo

53

sasaran dari program budaya membaca. Latar

belakang dirancangnya program budaya

membaca di SD N Tengaran adalah Kepala

Sekolah melihat bahwa kemampuan baca tulis

siswa masih kurang, yaitu ada beberapa siswa

kelas 1, 2, 3 bahkan kelas 5 belum lancar

membaca. Hal ini terlihat ketika salah satu

siswa kelas 5 diberi tugas untuk membacakan

UUD 1945 ketika Upacara Bendera hari senin

namun siswa tersebut belum lancar membaca.

Permasalahan ini serupa dengan penelitian

yang dilakukan oleh Nurfalah (2015) yang

menyatakan bahwa siswa kelas II di SDN 1

Wosu Kecamatan Bungku Barat Kabupaten

Morowali belum lancar membaca, serta

penelitian yang dilakukan oleh Sukartiningsih

(2005) yang menemukan bahwa siswa kelas I

SD N Arjosari 1 belum lancar membaca dan

menulis.

Untuk mengatasi permasalahan

rendahnya kemampuan membaca siswa SD N

Tengaran pihak sekolah merancang program

budaya membaca. Melalui program ini

diharapkan kegiatan membaca menjadi

kebiasaan bagi siswa selanjutnya kemampuan

membaca siswa meningkat. Hal ini sesuai

dengan pengertian program menurut Widoyoko

(2009: 8) yaitu serangkaian kegiatan yang

direncanakan dengan seksama dan dalam

pelaksanaannya berlangsung dalam proses

yang berkesinambungan, dan terjadi dalam

suatu organisasi yang melibatkan orang

banyak. Berdasarkan permasalahan tersebut

dapat diketahui bahwa program budaya

membaca merupakan kebutuhan siswa SD N

Tengaran. Hal ini senada dengan pengertian

kebutuhan menurut Wirawan (2011: 19) yaitu

ketimpangan antara kondisi dan keadaan

sekarang atau apa yang terjadi dengan keadaan

yang diinginkan atau keadaan yang seharusnya.

Tujuan dari program budaya membaca

di SD N Tengaran adalah untuk melatih

keterampilan membaca dan menulis, khususnya

meningkatkan literasi bagi siswa. Hal ini sesuai

dengan tujuan Gerakan Literasi Sekolah yaitu

untuk menumbuhkembangkan budi pekerti

peserta didik melalui pembudayaan ekosistem

literasi sekolah yang diwujudkan dalam

Gerakan Literasi Sekolah agar mereka menjadi

pembelajar sepanjang hayat (Direktorat

Jenderal Pendidikan Dasar Dan Menengah

Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan

Tahun 2016 hal 2). Program budaya membaca

sendiri sangat penting bagi siswa SD N

Tengaran karena dengan adanya program

budaya membaca siswa akan mempunyai

wawasan yang lebih luas, serta program ini

dapat membantu siswa dalam mengikuti proses

pembelajaran dan pengembangan diri. Hal ini

serupa dengan hasil penelitian yang dilakukan

oleh Heather Thomas (2013: 56) menyatakan

bahwa program literasi berkontribusi dalam

meningkatkan prestasi siswa.

Input Program Budaya Membaca di SD N

Tengaran Kabupaten Semarang

Program budaya membaca merupakan

jawaban dari permasalahan dari rendahnya

kemampuan membaca siswa SD N Tengaran.

Hal ini sesuai dengan pendapat dari Wirawan

(2011: 19) yang menyatakan bahwa assesmen

kebutuhan perlu dilakukan sebelum

merencanakan suatu kebijakan, program atau

proyek, Hal ini dilakukan untuk

mengidentifikasi dan mendefinisikan

kebutuhan dan mengumpulkan sejumlah

alternatif untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

Dari alternatif yang dipilih merupakan inti dari

rencana program untuk memenuhi kebutuhan.

Program budaya membaca di SD N

Tengaran sudah sesuai dengan juklak dan

juknis yang dibuktikan dengan 7 kegiatan

program yaitu membaca 5 menit sebelum PBM,

membaca masal, membuat mading, cipta baca

puisi, membuat pidato, merangkum hasil

bacaan dan menulis buku harian (Diary). Tiga

kegiatan bersifat rutin (membaca 15 menit

sebelum PBM, merangkum hasil bacaan dan

menulis buku harian (Diary)) serta empat

kegiatan yang dilakukan ketika jeda semester

Page 54: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017

54

(membaca masal, membuat mading, cipta baca

puisi, membuat pidato), namun terkhusus untuk

kegiatan cipta baca puisi dan membuat pidato

sering dipersiapkan untuk mengikuti

perlombaan.

Program hanya bisa berjalan komponen

pendukung berfungsi sebagaimana mestinya,

adapun komponen pendukung meliputi: 1)

Sumber daya manusia; 2) Sarana prasarana

pendukung; 3) Dana/anggaran; 4) Berbagai

prosedur dan aturan yang diperlukan. Oleh

karena itu dapat diketahui sumber daya

pendukung program budaya membaca di

sekolah ini dari visi dan misi serta tujuan

sekolah. Karakteristik pemimpin, guru dan

warga sekolah harus melingkupi visi dan misi

serta tujuan sekolah.

Kepala Sekolah mempunyai tanggung

jawab yang besar terhadap pelaksanaan

program budaya membaca. Kemampuan

manajemen Kepala Sekolah dalam

menjalankan program budaya membaca ini

berpengaruh dalam pelaksanaan program.

Kebijakan dan keputusan yang diambil Kepala

Sekolah dalam mengatasi kendala yang muncul

pada saat proses pelaksanaan program budaya

membaca sangat menentukan keberhasilan

program tersebut. Kemampuan Kepala Sekolah

dalam bekerja sama dengan guru dapat

melancarkan pelaksanaan sehingga tidak

muncul masalah dalam melaksanakan kegiatan

program budaya membaca di SD N Tengaran.

Guru sebagai SDM juga mempunyai peranan

yang besar dalam mensukseskan kegiatan

program budaya membaca. Untuk itu guru

mendapatkan pelatihan dari Sekolah berupa

supervisi guru, selain itu guru juga

mendapatkan pelatihan dari USAID

PRIORITAS mengenai budaya membaca, guna

mempersiapkan diri untuk melaksanakan

kegiatan-kegiatan pada program budaya

membaca. Berdasarkan uraian tersebut dapat

diketahui bahwa SDM sudah memadahi untuk

menunjang kegiatan program budaya

membaca.

Selain kredibilitas pengelola,

pelaksanaan program budaya membaca di SD

N Tengaran harus didukung keuangan sekolah.

Besaran dana yang dialokasikan untuk

pelaksanaan kegiatan program budaya

membaca di SD N Tengaran yang tercantum

dalam RKAS sebesar 5% dari penerimaan dana

BOS pertahunnya. Besaran dana tersebut

dinilai sudah memadahi untuk menunjang

kegiatan budaya membaca di SD N Tengaran.

Pengadaan sarana prasarana juga sebagai input

pelaksanaan program budaya membaca di SD

N Tengaran juga sudah memadahi. Adapun

sarana prasarana yang dipersiapkan antara lain

adalah, buku, ruang baca, teras baca (pralon

baca), sudut baca (didalam kelas), taman baca

(gazebo) serta peralatan lain yang mendukung

terlaksananya program tersebut. Dengan

adanya dukungan peralatan tersebut

pelaksanaan program menjadi lancar serta tidak

ada kendala.

Aturan-aturan juga dibuat untuk

mensukseskan kegiatan program budaya

membaca. Selain itu jadwal yang baik membuat

peminjaman buku berlangsung secara teratur.

Jadwal serta aturan dipajang pada tempat-

tempat yang strategis supaya siswa dengan

mudah membaca serta memahami kegiatan-

kegiatan program budaya membaca dengan

mudah. Penerapan pelaksanaan program

budaya membaca mendapat dukungan dari

beberapa pihak antara lain, warga sekolah,

komite sekolah, serta orang tua murid. Pihak

sekolah memiliki kapasitas yang tinggi sebagai

perencana dan pelaksana program budaya

membaca. Hal ini berkaitan dengan

keberhasilan pelaksanaan program budaya

membaca.

Proses Program Budaya Membaca di SD N

Tengaran Kabupaten Semarang

Pada tahun ajaran 2014/2015 program

budaya membaca mulai dilaksanakan. Hal ini

sebagai tindak lanjut dari kerjasama pihak

sekolah dengan USAID PRIORITAS. Pada

Page 55: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Evaluasi Program Budaya Membaca di Sekolah Dasar Negeri | Andri Sulistyo

55

tahap awal pelaksanaan program budaya

membaca SD N Tengaran membentuk panitia

literasi, yang selanjutnya menyusun rencana

program budaya membaca, kemudian

dimusyawarahkan kepada seluruh guru dalam

rapat kerja tahunan, dan akhirnya

disosialisasikan kepada seluruh warga sekolah

termasuk orangtua siswa. Rencana anggaran

biaya untuk koleksi buku dan fasilitas untuk

membaca harus disediakan. Dalam rencana

anggaran tersebut diuraikan jenis-jenis fasilitas

yaitu, ruang baca, sudut baca, teras baca serta

taman baca.

Pada dasarnya evaluasi proses untuk

mengetahui sampai sejauh mana rencana telah

diterapkan dan komponen apa yang perlu

diperbaiki. Dimulai dari peran guru dalam

melaksanakan kegiatan program budaya

membaca di sekolah sangatlah dibutuhkan agar

nantinya siswa benar-benar paham dan

mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Hal ini sesuai dengan temuan pada penelitian

yang dilakukan oleh Heather Thomas (2013),

bahwa guru merupakan komponen yang sangat

mendukung peningkatan kemampuan membaca

siswa terutama pada program literasi.

Namun kendala yang di hadapi oleh SD

N Tengaran adalah kurangnya komitmen guru

dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan

program budaya membaca, terutama pada

kegiatan yang bersifat rutinitas yaitu pada

kegiatan membaca 15 menit sebelum PBM dan

kegiatan merangkum. Pada kegiatan membaca

15 menit sebelum PBM belum berjalan sesuai

dengan jadwal, kendala yang dihadapi adalah

beberapa guru belum hadir saat kegiatan

berlangsung sehingga banyak kelas yang tidak

tertunggui, akibatnya kegiatan membaca 15

menit sebelum PBM terhambat pada

pelaksanaannya. Untuk mengatasi hal tersebut

dari pihak sekolah sudah melakukan berbagai

solusi antara lain adalah Kepala Sekolah

memberikan motivasi kepada guru-guru agar

mempunyai komitmen yang tinggi dalam

melaksanakan kegiatan membaca 15 menit

sebelum PBM. Selain itu guru lain yang sudah

hadir sebelum kegiatan berlangsung dimintai

tolong untuk menghendel kelas-kelas yang

belum tertunggui oleh guru kelas.

Pada kegiatan merangkum selain

konsistensi guru-guru yang lemah, pengawasan

orangtua yang kurang juga menjadi kendala.

Beberapa anak tidak melaksanakan kegiatan

ini. Hal ini dikarenakan kegiatan merangkum

dilaksanakan dirumah siswa, sehingga peran

orangtua menjadi sangat krusial dalam

melancarkan kegiatan merangkum. Solusi yang

sudah dilakukan pihak sekolah adalah guru

harus senantiasa bekerja sama dengan pihak

orangtua untuk selalu mengawasi kegiatan

belajar siswa ketika dirumah.

Berdasarkan hasil temuan di lapangan

dan kajian dokuman diperoleh informasi bahwa

pada aspek proses pelaksanaan program budaya

membaca di SD N Tengaran belum sepenuhnya

terlaksana dengan baik. Namun kendala-

kendala yang muncul pada tahap proses teratasi

dengan baik. Hal ini karena adanya kerja sama

yang baik dengan berbagai pihak yang terlibat

dalam proses pelaksanaan program budaya

membaca.

Produk Program Budaya Membaca di SD N

Tengaran Kabupaten Semarang

Evaluasi produk merupakan penilaian

yang dilakukan guna untuk melihat

ketercapaian/ keberhasilan suatu program

dalam mencapai tujuan yang ditentukan

sebelumnya. Hasil yang didapatkan dari

evaluasi produk adalah keuntungan

pelaksanaan program budaya membaca di SD

N Tengaran. Siswa mampu untuk membaca dan

menulis secara lancar sehingga mampu

membantu siswa dalam meningkatkan prestasi

belajar.

Dari ketujuh kegiatan program budaya

membaca terdapat lima kegiatan dengan ukuran

keberhasilan baru pada tingkat keterlibatan

siswa, bahwa ukuran kualitas belum

dimasukkan, yaitu 15 menit sebelum PBM

Page 56: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017

56

terdapat 90% siswa SD N Tengaran mampu

lancar membaca, 60% siswa SD N Tengaran

berani presentasi, 66% siswa mampu membuat

pidato secara mandiri, 66% siswa mampu

membuat merangkum hasil bacaan secara

mandiri, serta 90% siswa aktif menulis buku

harian (Diary), sedangkan untuk dua kegiatan

lain tingkat keberhasilan ukuran kualitas sudah

dimasukkan yaitu kegiatan cipta baca puisi dan

membuat pidato dipersiapkan untuk mengikuti

perlombaan. Untuk kegiatan cipta baca puisi

dari kelas 5 dan 6 yang dipersiapkan, kemudian

diseleksi untuk diperlombakan, satu anak lolos

seleksi tingkat Kecamatan untuk lomba

membaca puisi ketingkat Kabupaten,

sedangkan untuk kegiatan membuat pidato dari

65 siswa yang dipersiapkan, setelah melalui

seleksi, terdapat satu anak yang mendapat

peringkat 3 pada tingkat kecamatan.

Produk yang berupa hasil karya siswa

berupa hasil rangkuman (resume), buku harian

(diary), puisi, naskah pidato sederhana serta

karya-karya yang dipajang pada majalah

dinding (mading) juga merupakan ciri utama

keberhasilan pelaksanaan program budaya

membaca di SD N Tengaran. Keberhasilan

pelaksanaan program budaya membaca dapat

dilihat juga dari prestasi siswa SD N Tengaran

yang mampu menjuarai perlombaan membaca

pidato dan lomba membaca puisi tingkat

kecamatan, serta dengan meningkatnya nilai

siswa pada mata pelajaran bahasa Indonesia.

Selain daripada itu bertambahnya koleksi buku,

terciptanya taman baca, sudut baca, teras baca

serta ruang baca yang memadai, kondusif dan

menyenangkan. Berdasarkan uraian di atas

dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan program

budaya membaca di SD N Tengaran Kabupaten

Semarang menghasilkan produk yang sesuai

dengan yang diharapkan. Dampak positif dari

pelaksanaan program budaya membaca adalah

meningkatnya kemampuan dan minat membaca

siswa SD N Tengaran Kabupaten Semarang.

Hal ini sesuai dengan penelitian terdahulu yang

dilakukan oleh Syarifatul Fitria dan Suparno

(2016), bahwa dengan adanya pembelajaran

keterampilan membaca permulaan,

kemampuan membaca siswa TK Fastrack Fun

School Kelas A berkembang sesuai dengan

harapan. Hasil yang berbeda pada penelitian

yang dilakukan oleh James D. Quinn (2014),

bahwa model “Read to Learn” secara statistik

tidak memberikan dampak pada kelancaran

maupun pencapaian dalam membaca.

SIMPULAN

Pada aspek konteks, program budaya

membaca sangat dibutuhkan siswa di SD N

Tengaran. Adapun sasaran program budaya

membaca adalah seluruh warga sekolah

khususnya siswa. Tujuan dari program budaya

membaca adalah untuk melatih keterampilan

membaca dan menulis, khususnya

meningkatkan literasi bagi siswa. Pada spek

input, program budaya membaca di SD N

Tengaran sudah menjawab kebutuhan sekolah

dengan ditopang kegiatan, SDM, sarana dan

prasarana, dana serta mekanisme kerja yang

memadai.. Pada aspek proses pelaksanaan

program budaya membaca berjalan lancar

meski terdapat beberapa kendala kendala. Serta

pada aspek produk program budaya membaca

telah tercapai sesuai dengan rencana awal,

walaupun tingkat keberhasilan pada lima

kegiatan masih pada tingkat keterlibatan siswa

diantaranya: kegiatan membaca 15 sebelum

PBM, merangkum, menulis buku harian

(diary), membaca masal dan membuat mading,

sedangkan dua yang lain sudah pada tingkat

kualitas, yaitu kegiatan cipta baca puisi dan

membaca pidato.

SARAN

Saran yang bisa diberikan untuk

simpulan diatas bagi sekolah adalah:

1. Bagi Kepala Sekolah

Kepala Sekolah hendaknya menambah

pelatihan-pelatihan yang berkaitan dengan

program budaya membaca, agar motivasi

guru meningkat sehingga program budaya

Page 57: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Evaluasi Program Budaya Membaca di Sekolah Dasar Negeri | Andri Sulistyo

57

membaca dapat dilanjutkan dan berjalan

sesuai dengan rencana.

2. Bagi team literasi SD N Tengaran

a. Team literasi sekolah hendaknya

meningkatkan kualitas produk dari

setiap kegiatan dengan menetapkan

kriteria penilaian yang jelas.

b. Team literasi hendaknya menambah

kegiatan-kegiatan baru yang sesuai,

untuk mengembangkan program

budaya membaca.

3. Bagi Guru SD N Tengaran

Guru hendaknya senantiasa bekerja sama

dengan orangtua siswa agar meluangkan

waktu untuk mengawasi anak-anaknya

ketika belajar disekolah maupun dirumah.

4. Bagi sekolah lain

Sekolah-sekolah yang melaksanakan

program yang serupa, hendaknya selalu

mengevaluasi program secara mendalam

setidaknya satu atau dua tahun sekali agar

program yang sudah berjalan dapat

dilanjutkan sesuai dengan perencaan.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi dan Jabar, epi Safruddin

Abdul. 2010. EVALUASI PROGRAM

PENDIDIKAN: Pedoman Teoretis

Praktis Bagi Mahasiswa dan Praktisi

Pendidikan. Edisi Kedua, Cetakan ke

empat, Jakarta: Bumi Aksara.

Corinne Serra Smith, M.S. ED. 2009. An

Analysis and Evaluation of Sit Stay

Read: Is the Program Effective in

Improving Student Engagement and

Reading Outcomes?. Dissertations.

National-Louis University.

Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Dan

Menengah Kementerian Pendidikan

Dan Kebudayaan. 2016. Panduan

Gerakan Literasi Sekolah Di Sekolah

Sekolah Dasar. Jakarta: Bagian

Perencanaan dan Penganggaran

Sekretariat Direktorat Jenderal

Pendidikan Dasar dan Menengah.

Endang Mulyaningsih. 2011. Riset Terapan

Bidang Pendidikan dan Teknik.

Yogyakarta: UNY Pres.

Fitria, Syarifatul & Suparno, 2016. Evaluasi

Pembelajaran Keterampilan Membaca

Permulaan Di Tk Fastrack Funschool

Kelas A Program Nusantara

Yogyakarta. jurnal Pendidikan dan

Pemberdayaan Masyarakat Volume 3

Nomor 1, Maret 2016, (85 - 96).

Gol A Gong & Agus M. Irkham. 2012. Gempa

Literasi. Dari Kampung Untuk

Nusantara. Jakarta: PT Gramedia.

Heather Thomas. 2013. An evaluation of the

literacy program at GaribaldiGrade

School. Doctor of Education. George

Fox University.

James D. Quinn. 2014. A Program Evaluation

of the Impact of a "Read to Learn"

Model on Alternative High School

Students' Lexile Levels and Reading

Achievements. A Dissertation

Submitted to the Gardner-Webb

University School of Education.

Nurfalah, 2015. Upaya Meningkatkan

Kemampuan Membaca Permulaan

Melalui Pendekatan Proses pada Siswa

Kelas II SDN 1 Wosu Kec. Bungku

Barat Kab. Morowali. Jurnal Kreatif

Tadulako Online Vol. 3 No. 1 ISSN

2354-614X.

OECD. (2015). PISA 2015 Results in Focus.

Programme for International Student

Assessment, 1–16.

https://www.oecd.org/pisa/pisa-2015-

results-in-focus.pdf

Peraturan Menteri Nomor 23 Tahun 2015

Tentang Penumbuhan Budi Pekerti.

Sugiyono, 2014. Metode Penelitian

Manajemen, Bandung: CV. Alfabeta.

Page 58: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017

58

Sukardi, 2008. EVALUASI PENDIDIKAN:

Prinsip & Operasionalnya. Jakarta:

Bumi Aksara.

Sukartiningsih, Wahyu, 2005. Peningkatan

Kemampuan Membaca Dan Menulis

Permulaan Melalui Pembelajaran

Konstruktivisme. JURNAL

PENDIDIKAN DASAR, VOL.6 NO.2.

Program PGSD FIP Universitas Negeri

Surabaya.

Tahira DuPree Chase. 2011. The Children Left

Behind: An Evaluation of a Reading

Intervention Program for Upper

Elementary Students. Education

Doctoral. St. John Fisher College.

Umar, Touku. 2013. Perpustakaan sekolah

dalam menanamkan budaya membaca.

Jurnal: UIN Alauddin, Gowa.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20

Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan

Nasional BAB III Pasal 4 Nomor 5.

Widoyoko, Eko Putro. 2009. EVALUASI

PROGRAM PEMBELAJARAN:

Panduan Praktis Bagi Pendidik dan

Calon Pendidik. Yogyakarta: Pustaka

Belajar.

Wirawan, 2011. EVALUASI: Teori, Model,

Standar, Aplikasi, dan Profesi. Jakarta:

Rajawali Pers.

Page 59: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Magister Manajemen Pendidikan FKIP Universitas Kristen Satya Wacana [email protected]

ISSN 2549-9661 Volume: 4, No. 1, Januari-Juni 2017

Halaman: 59-71

59

PENGEMBANGAN MODEL MANAJEMEN PEMBELAJARAN

BERBASIS TIK DI SEKOLAH DASAR

Edna Maria

Magister Manajemen Pendidikan

FKIP-Universitas Kristen SatyaWacana

[email protected]

Eko Sediyono

Pasca Sarjana Sistem Informasi

FTI-Universitas Kristen Satya Wacana

[email protected]

ABSTRACT

The aim of this study is to develop model of ICT-based learning management. With this

tools and model, school can be easily monitor and evaluate the educational process. This

research done by Research and Development (R&D). The place of the research is at SD

Kristen Satya Salatiga, and data collection used interviews, observation and

documentation. The data were analyzed using descriptive analysis and triangulation

technique to test data validation. The result of the research are: The first step is Decision

Making of ICT-based Learning, The second step is Planning of ICT-based Learning, The

Third step is Implementation of ICT-based Learning, The Fourth step is Evaluation of

ICT-based Learning. The key success factor of this model is on the second step that is how

the teachers make the lesson plans and cooperate with all the parties related to the ICT-

based learning management.

Keywords : model, management, ICT-based learning

Page 60: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017

60

PENDAHULUAN

Tantangan pendidikan era modern salah

satunya adalah membekali generasi dengan

keterampilan abad 21 (Anderson, 2010:20).

Keterampilan yang harus dimiliki salah satunya

adalah keterampilan berkomunikasi

menggunakan TIK. Sekolah sebagai

penyelenggara pendidikan diharapkan dapat

menjadi wadah pelatihan bagi para siswa

dengan keterampilan tersebut. Sekolah dasar

jika dikembangkanmenjadi sekolah modern

yang memahami kebutuhan masa depan,

diharapkan dapat menjadi wadah untuk

membekali para siswa dengan keterampilan

abad 21. Oleh karena itu, mutu pembelajaran

perlu ditingkatkan.

Salah satu strategi peningkatan mutu

pembelajaran yang perlu dioptimalkan oleh

Sekolah Dasar yang modern adalah

menyelenggarakan pembelajaran berbasis TIK.

Pembelajaran berbasis TIK adalah

pembelajaran yang mengintegrasikan TIK

dalam pengelolaannya. Oleh karena itu,

diperlukan suatu model untuk melaksanakan

manajemen pembelajaran berbasis TIK di

Sekolah Dasar.Fakta di tempat penelitian

menunjukkan bahwa sekolah berpotensi

melaksanakan pembelajaran berbasis TIK

namun belum memiliki model dapat menjadi

acuan guru dan pihak-pihak yang terkait

langsung maupun tidak langsung dengan

manajemen pembelajaran berbasis

TIK.Pengembangan manajemen akan

dilakukan apabila ternyata di dalam

pelaksanaan manajemen terdapat masalah.

Manajemen pada hakikatnya merupakan proses

pemecahan masalah, sehingga langkah-langkah

manajemen tidak ubahnya sebagaimana

langkah-langkah pemecahan masalah, yaitu: (1)

Identifikasi masalah, (2) Diagnosis masalah, (3)

Penetapan tujuan, (4) Pembuatan Keputusan,

(5) Perencanaan, (6) Pengorganisasian, (7)

Pengkoordinasian, (8) Pendelegasian, (9)

Penginisiasian, (10) Pengkomunikasian, (11)

Kerja dengan kelompok-kelompok, (12)

Penilaian (Gorton, 1976).

Proses pembelajaran perlu

direncanakan, dilaksanakan, dinilai, dan

diawasi agar terlaksana secara efektif dan

efisien. Hal ini mengandung arti bahwa perlu

ada manajemen agar pembelajaran dapat

terlaksana sesuai tujuan yang diharapkan.

Manajemen yang dimaksud adalah manajemen

pembelajaran.Manajemen Pembelajaran

melibatkan 4 fungsi pokok yang menjadi

langkah dalam kegiatan manajemen. Menurut

Sa’ud dan Sumantri (2007:131) ada 4 peranan

guru sebagai manajer dalam proses pengajaran

yaitu:

1. Merencanakan yaitu: Menyusun tujuan

belajar mengajar (pengajaran).

Perencanaan yang dimaksud dilakukan

dengan mengembangkan perencanaan

tahunan, rencana semester, rencana bagian

(pokok bahasan), rencana mingguan dan

rencana harian (rencana pelajaran)

(Syafaruddin dan Nasution, 2005:94).

Perencanaan pembelajaran yaitu

seperangkat rencana dan pengaturan

kegiatan pembelajaran, media

pembelajaran, waktu, pengelolaan kelas,

dan penilaian belajar. Manfaat

perencanaan pembelajaran adalah untuk

memudahkan pembuatan persiapan

pembelajaran dan memudahkan

pengembangan pembelajaran yang aktif,

kreatif, efektif dan menyenangkan

(Triwiyanto, 2015:97-98).

2. Mengorganisasikan, yaitu menghubungkan

atau menggabungkan seluruh sumber daya

belajar mengajar dalam mencapai tujuan

secara efektif dan efisien.

3. Memimpin, yaitu memotivasi para peserta

didik untuk siap menerima materi

pelajaran,

4. Mengawasi, yaitu apakah pekerjaan atau

kegiatan belajar mengajar mencapai tujuan

pengajaran, salah satunya melalui evaluasi

Page 61: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Pengembangan Model Manajemen Pembelajaran Berbasis TIK di Sekolah Dasar | Edna Maria & Eko Sediyono

61

pengajaran, sehingga diketahui hasil yang

dicapai.

Fungsi pokok manajemen pembelajaran

adalah perencanaan, pengorganisasian,

kepemimpinan dan pengawasan (Sa’ud dan

Sumantri, 2007:131). Berkaitan dengan

integrasi TIK dalam pembelajaran, semua

fungsi pokok manajemen pembelajaran

tersebut dilaksanakan memanfaatkan

keunggulan teknologi informasi dan

komunikasi. Fungsi perencanaan, menurut

Kusmana (2011:44), bukti otentik terjadinya

pembelajaran berbasis TIK dapat dicermati dari

Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)

yang disusun dan implementasinya yang

dilaksanakan oleh setiap guru mata pelajaran di

sekolah. Hal tersebut sesuai dengan prinsip

pengembangan atau penyusunan RPP menurut

Triwiyanto (2015:100) yaitu menerapkan

teknologi informasi dan komunikasi serta

mempertimbangkan penerapan TIK secara

terintegrasi, sistematis, dan efektif sesuai

dengan situasi dan kondisi. Menurut Kusmana

(2011:44), RPP yang mengintegrasikan TIK

dalam pembelajaran dapat disusun melalui 2

(dua) pendekatan, pendekatan idealis dan

pendekatan pragmatis.Pendekatan idealis

dimulai dengan menentukan topik kemudian

tujuan pembelajaran yang ingin dicapai dan

menentukan aktifitas pembelajaran dengan

memanfaatkan TIK yang relevanuntuk

mencapai tujuan pembelajaran tersebut.

Pendekatan pragmatis dapat diawali dengan

mengidentifikasi TIK yang ada atau mungkin

bisa dilakukan atau digunakan, kemudian

memilih topik-topik apa yang bisa didukung

oleh keberadaan TIK tersebut, dan diakhiri

dengan merencanakan strategi pembelajaran

yang relevan untuk mencapai kompetensi dasar

dan indikator capaian hasil belajar dari topik

pelajaran tersebut.

Pembelajaran yang efektif, tentu

memerlukan manajemen yang efektif pula.

Menurut Syafaruddin dan Nasution (2005:17)

pembelajaran efektif ditangani oleh guru

profesional melalui manajemen pembelajaran

yang baik. Penelitian relevan terdahulu oleh

Kyakulumbye, dkk. (2013:453) mengenai

manajemen praktis integrasi TIK ke dalam

kurikulum SD di Uganda menemukan

bahwagaya dan strategi manajemen yang

terukur diperlukan agar integrasi TIK ke dalam

kurikulum SD sukses dilakukan. Diperlukan

manajemen kurikulum dan pembelajaran yang

baik dalam mengintegrasikan TIK ke dalam

kurikulum. Oleh karena itu, guru sebagai

manajer utama dalam pembelajaran yang

berbasis TIK memerlukan model manajemen

yang memberikan gambaran secara

keseluruhan tentang tahapan manajemen

pembelajaran berbasis TIK.

Berdasarkan latar belakang masalah

tersebut, rumusan masalah penelitian ini adalah

bagaimana mengembangkan dan

mengimplementasikan model manajemen

pembelajaran berbasis TIK sehingga

menghasilkan pembelajaran yang efektif.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian dan

pengembangan (Research and Development)

yang dikembangkan oleh Sugiyono (2012).

Langkah-langkah pengembangan yang

dimaksud adalah sebagai berikut: (1) potensi

dan masalah; (2) pengumpulan data; (3) desain

produk; (4) validasi desain; (5) perbaikan

desain; (6) Ujicoba produk; (7) Revisi Produk;

(8) Ujicoba pemakaian; (9) Revisi Produk; dan

(10) Produksi Masal. Langkah penelitian dan

pengembangan ini dilakukan secara terbatas

mulai dari langkah pertama sampai dengan

langkah kelima.

Langkah awal dilakukan studi

pendahuluan di lapangan mengenai potensi dan

masalah berkaitan dengan man/SDM,

method/model manajemen pembelajaran,

material/sarana dan prasarana,

machine/perangkat TIK dan money/dana yang

dialokasikan untuk integrasi TIK dalam

pembelajaran.Pada langkah kedua,

Page 62: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017

62

Pengumpulan data dilakukan melalui

wawancara, observasi dan studi dokumen.

Penelitian dilakukan di SD Kristen Satya

Wacana Salatiga. Subyek penelitian adalah

Kepala Sekolah, Koordinator Kurikulum,

Koordinator Sarana dan Prasarana, Koordinator

IT, dan guru.Uji validitas dan reliabilitas data

yang telah didapat menggunakan uji

kredibilitas (validitas internal).Teknik

trianggulasi sumber dan trianggulasi teknik

dilakukan sebagai pengujiannya.Teknik

analisis data yang digunakan adalah analisis

deskriptif kualitatif.Pada langkah ketiga,

Desain Produk dilakukan denganmerumuskan

desain model pembelajaran berbasis TIK

menggunakan pendekatan teori Gorton dan

mendukung terwujudnya PAIKEM. Model

yang digunakan yaitu paduan model deskriptif

dan model prediksi (Haryati, Sri, 2012). Model

ini menerangkan langkah-langkah dalam

mencapai tujuan dan pengaruh setiap langkah

pada langkah lainnya secara lebih aktual berupa

konsep yang belum diaplikasikan dalam uji

coba namun telah melewati uji validasi. Pada

langkah keempat, Validasi Desain dilakukan uji

validasi produk yang memenuhi standar teori

dan ilmiah oleh dua orang pakar, seorang

pengambil kebijakan yaitu Kepala Sekolah SD

Kristen Satya Wacana. Pada langkah kelima,

Perbaikan Desain berdasarkan hasil validasi

dan saran dari validator sehingga diperoleh

model manajemen pembelajaran berbasis TIK

yang dapat dijadikan acuan dalam

melaksanakan manajemen pembelajaran.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan penelitian dan

pengembangan yang dilakukan, maka

dijabarkan langkahnya sebagai berikut:

Potensi dan Masalah

Berkaitan dengan Man/SDM, SD

Kristen Satya Wacana memiliki potensi SDM

yang memadai.Guru-guru mayoritas sudah

memanfaatkan TIK sehingga sangat berpotensi

jika pengelolaan pembelajaran terintegrasi

dengan TIK. Namun masih ada beberapa guru

yang masih merasa nyaman dengan

pembelajaran konvensional, sehingga tidak

mengupayakan diri belajar menguasai TIK. Hal

ini sesuai dengan wawancara dengan

Koordinator Kurikulum ketika ditanya

mengenai kesulitan guru-guru dalam

merencanakan pembelajaran yang

memanfaatkan TIK.

“Mayoritas guru memakai TIK sehingga tidak

ada kendala yang berarti bagi guru-guru dalam

merencanakan pembelajaran yang

memanfaatkan TIK.”

(Wawancara, dengan Koordinator

Kurikulum, 28 Juni 2016)

Diperjelas oleh Koordinator IT dan Kepala

sekolah saat ditanya mengenai potensi

pembelajaran yang memanfaatkan TIK:

“Potensi pembelajaran yang memanfaatkan

TIK besar karena guru-guru di sekolah ini mau

belajar hanya 1 atau 2 guru yang benar-benar

tidak mau belajar menggunakan TIK.”

(Wawancara, dengan Koordinator IT, 01 Juli

2016)

“Sejauh ini integrasi TIK dalam pembelajaran

masih tergantung pada guru, belum semua

melaksanakan karena ada beberapa guru yang

penguasaan TIKnya belum optimal. Namun

guru yang sudah menguasai pasti selalu

menggunakan TIK.”

(Wawancara, dengan Kepala Sekolah, 30 Juni

2016)

Data dari hasil wawancara dengan guru,

Koordinator IT bahwa guru masih mengalami

kesulitan dalam menguasai TIK dikuatkan

dengan data dokumentasi RKS (Rencana Kerja

Sekolah) tahun pelajaran 2015/2016 mengenai

pengadaan pelatihan TIK di SD Kristen Satya

Wacana yang belum dilaksanakan padahal

target yang diharapkan dilaksanakan dua kali

dalam satu tahun pelajaran. Hal ini tentu saja

akan mengurangi kesempatan pembekalan TIK

bagi guru terutama yang belum menguasai TIK.

Berkaitan dengan method/model

manajemen pembelajaran, Manajemen

Page 63: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Pengembangan Model Manajemen Pembelajaran Berbasis TIK di Sekolah Dasar | Edna Maria & Eko Sediyono

63

pembelajaran yang dilakukan di SD Kristen

Satya Wacana menganut kurikulum baru yaitu

kurikulum 2013.Pelaksanaan pembelajaran

yang memanfaatkan TIK oleh guru sudah

dilakukan namun dalam hal perencanaan

pembelajaran guru-guru merasa kesulitan

dalam hal penyiapan administrasi kelas seperti

pembuatan silabus dan RPP.Jika dikaitkan

dengan efektivitas manajemen pembelajaran

yang dilaksanakan di SD Kristen Satya

Wacana, dapat dinilai belum maksimal.

Berdasarkan fakta di lapangan bahwa dari

semua guru SD Kristen Satya Wacana yang

diwawancara, sebagian besar belum membuat

RPP sebagai pedoman bagi perencanaan

pembelajaran. Perencanaan yang baik disertai

dengan rincian yang teliti dan harus dilakukan

dengan sebaik-baiknya (Bafadal, 2009:41-42).

Berkaitan dengan material/sarana dan

prasarana, SD Kristen Satya Wacana dalam hal

sarana prasarana cukup memperhatikan dalam

hal pemenuhan kebutuhan bagi berlangsungnya

pembelajaran. Hal ini dikemukakan dalam

wawancara dengan guru-guru dan Koordinator

Sarpras bahwa sekolah sudah mengupayakan

pengadaan sarana prasarana semaksimal

mungkin sesuai anggaran. Masalah yang

dikelukan adalah dalam hal pemeliharaan

sarana prasarana yang sudah tersedia.Data yang

peneliti peroleh mengenai Sarana dan Prasarana

di SD Kristen Satya Wacana dikuatkan oleh

wawancara, observasi dan dokumentasi.

Berkaitan dengan machine/perangkat

TIK, pembelajaran yang memanfaatkan TIK

tidak lepas dari perangkat TIK. SD Kristen

Satya Wacana sudah berusaha mengupayakan

pengadaan perangkat TIK.Masalah yang

selama ini menjadi kendala berkaitan dengan

perangkat TIK yang dimiliki sekolah adalah

dalam hal pemeliharaan. Seperti yang

terungkap dari wawancara dengan Koordinator

IT dan guru-guru bahwa laboratorium

komputer dalam keadaan rusak, hanya

beberapa komputer saja yang dapat dipakai,

yang lain meski sudah diperbaiki tetap saja

rusak lagi, sehingga ini menghambat

pembelajaran yang menggunakan laboratorium

komputer.Data yang terangkum telah

diverifikasi oleh data terbaru dari Koordinator

Sarpras.

Berkaitan dengan money/dana yang

dialokasikan untuk integrasi TIK dalam

pembelajaran, secara lebih spesifik

pengalokasian dana untuk integrasi TIK dalam

pembelajaran sudah ada namun terbatas dan

masih menjadi kendala utama. Hal ini

dikemukakan oleh Kepala Sekolah dalam

wawancara mengenai pengelolaan infrastruktur

TIK di sekolah dan kendala integrasi TIK

dalam pembelajaran seperti dikutip sebagai

berikut:

“...Kebutuhan akan pendanaan dengan batasan

lima ratus ribu rupiah, di atas nilai tersebut

pengadaan infrastruktur seijin kepalasekolah

namun di bawah nilai tersebut langsung

dengan Koordinator Sarpras. ...Kendala utama

ada pada biaya, misalnya mengenai pengadaan

laboratorium komputer, pemeliharaan LCD,

setting ruang khusus TIK belum ada, dana

untuk kebutuhan fotocopy lembar aktifitas

siswa cukup besar kurang lebih dua juta per

bulan.”

(Wawancara, dengan Kepala Sekolah, 30

Juni 2016)

Data wawancara mengenai dana dengan kepala

sekolah dikuatkan dengan data dari

Koordinator Sarpras dan Kepala Tata Usaha.

Desain Produk

Pengembangan model manajemen

pembelajaran berbasis TIK dilakukan dengan

merumuskan desain model manajemen

pembelajaran dengan pendekatan teori oleh

Gorton. Langkah 1-4 merupakan model

pengambilan keputusan (Usman, 2006:322-

325). Langkah manajemen dengan pendekatan

teori Gorton dapat disederhanakan menjadi

empat tahap berdasarkan kebutuhan akan

manajemen pembelajaran, yakni Tahap

Pengambilan Keputusan Pembelajaran, Tahap

Perencanaan Pembelajaran, Tahap Pelaksanaan

Page 64: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017

64

Pembelajaran, dan Tahap Evaluasi

Pembelajaran. Tahap - tahap tersebut dapat

dikembangkan menjadi model manajemen

pembelajaran berbasis TIK.Berdasarkan hasil

analisis potensi dan masalah, maka dibuat

desain model manajemen pembelajaran

berbasis TIK yang mendukung terwujudnya

PAIKEM. Langkah manajemen tersebut

terlihat seperti gambar di bawah ini:

Gambar 1 Langkah Manajemen Pembelajaran Pendekatan Teori Gorton

Model manajemen pembelajaran

berbasis TIK ini melibatkan pihak-pihak yang

terkait baik langsung maupun tidak langsung

dalam pembelajaran yang berbasis TIK

diantaranya adalah: Kepala Sekolah,

Koordinator bidang Kurikulum, Koordinator

bidang IT, Koordinator bidang Sarana dan

Prasarana, serta guru. Masing-masing pihak

memiliki peran dalam langkah manajemen

seperti pada gambar di bawah ini:

Page 65: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Pengembangan Model Manajemen Pembelajaran Berbasis TIK di Sekolah Dasar | Edna Maria & Eko Sediyono

65

Gambar 2 Tahapan dan Pelaksana Manajemen Pembelajaran Berbasis TIK

Tahap Pengambilan Keputusan

Pembelajaran Berbasis TIK melibatkan tim

yang terdiri dari: Kepala Sekolah, Koordinator

bidang Kurikulum dan Guru. Pada Tahap

Perencanaan Pembelajaran Berbasis TIK

melibatkan Kepala Sekolah, Guru, Koordinator

Kurikulum, Koordinator IT, serta Koordinator

Sarana dan Prasarana. Pada Tahap Pelaksanaan

Pembelajaran Berbasis TIK melibatkan Guru,

Koordinator IT dan Koordinator Sarana dan

Prasarana. Pada Tahap Evaluasi Pembelajaran

Berbasis TIK melibatkan Kepala Sekolah,

Koordinator Kurikulum, Kurikulum IT,

Koordinator Sarana dan Prasarana serta Guru.

Pada tahap pengambilan keputusan

pembelajaran berbasis TIK, Kepala Sekolah

berhak mengambil segala keputusan terhadap

adanya pembelajaran. Kepala Sekolah terlebih

dahulu mengidentifikasi masalah pembelajaran

berbasis TIK, apakah berkaitan dengan

kebijakan ataukah berkaitan dengan

pembiayaan. Setelah didiagnosis apakah ada

kecukupan anggaran atau dasar kebijakan untuk

program pembelajaran berbasis TIK yang

diajukan oleh Koordinator Kurikulum maka

perlu ditetapkan tujuan program pembelajaran

berbasis TIK sehingga berujung kepada

pembuatan keputusan berdasar kebijakan atau

kecukupan anggaran program pembelajaran

tersebut.

Pada tahap pengambilan keputusan,

guru juga mempunyai wewenang dalam hal ini

berkaitan langsung dengan materi

pembelajaran yang akan diberikan pada siswa

di kelas. Guru sebelum merencanakan

pembelajaran berbasis TIK perlu

mengidentifikasi dan mendiagnosis masalah

yang berkaitan dengan kebutuhan integrasi TIK

dalam pembelajaran seperti materi

pembelajaran dalam bentuk konten digital,

kebutuhan siswa, ketersediaan infrastruktur

untuk kemudian menetapkan tujuan

pembelajaran dan membuat keputusan

pembelajaran berbasis TIK sesuai dengan

keputusan Kepala Sekolah.

Pada tahap Perencanaan Pembelajaran

Berbasis TIK, Kepala Sekolah ikut terlibat

dalam perencanaan pembelajaran berbasis TIK

selaras dengan perencanaan pembelajaran oleh

guru dan sesuai dengan pengembangan

kurikulum serta penjadwalan guru oleh

Koordinator Kurikulum. Perencanaan

pembelajaran berbasis TIK yang dibuat oleh

Guru bekerjasama dengan Koordinator IT dan

Koordinator Sarpras dalam hal kesiapan

infrastruktur, konten digital dan penjadwalan

penggunaan sarpras yang dibutuhkan pada saat

pelaksanaan pembelajaran. Guru dapat

menggunakan salah satu dari dua pendekatan

perencanaan pembelajaran yang berbasis TIK

yaitu pendekatan idealis atau pendekatan

pragmatis. Guru juga harus merencanakan

strategi pembelajaran yang relevan (Kusmana,

2011:44).

Page 66: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017

66

Tahap Pelaksanaan Pembelajaran

Berbasis TIK melibatkan Guru sebagai manajer

utama dalam pembelajaran. Guru melakukan

pengorganisasian sumber daya belajar yang

berbasis TIK, kemudian mengkoordinasikan

tugas-tugas pembelajaran dengan siswa sesuai

dengan RPP yang telah dibuat. Guru

selanjutnya mendelegasikan tugas-tugas

tersebut pada siswa sesuai dengan kemampuan

siswa menggunakan TIK.

Pada pelaksanaan pembelajaran guru

juga melakukan penginisiasian yaitu

pengerahan atau kepemimpinan dimana guru

memotivasi peserta didik untuk siap berperan

aktif dalam pembelajaran. Guru kemudian

mengkomunikasikan materi yang berupa

konten digital kepada siswa menggunakan

perangkat TIK yang telah direncanakan.

Pembelajaran berbasis TIK dapat dilaksanakan

dengan teknik berkelompok. Hal ini akan

memudahkan siswa dalam bekerjasama dan

bertukar informasi serta mengatasi pemerataan

kemampuan siswa dalam menggunakan TIK

dalam pembelajaran. Pada tahap ini, Kepala

Sekolah juga melakukan monitoring dan

evaluasi melalui kegiatan supervisi terhadap

pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan oleh

guru (Triwiyanto, 2015:66).

Tahap terakhir dalam manajemen

pembelajaran berbasis TIK adalah Evaluasi

Pembelajaran berbasis TIK. Pada tahap ini

melibatkan Koordinator Kurikulum dalam hal

mempersiapkan penjadwalan kegiatan evaluasi

seperti Tes yang bersifat formatif seperti

ulangan harian dan sumatif yaitu Tes Tengah

Semester, Tes Akhir Semester. Koordinator

Kurikulum bekerjasama dengan guru dalam

pengadaan soal tes yang berbasis TIK dibantu

oleh Koordinator IT dan Koordinator Sarpras.

Kepala Sekolah pada tahap ini juga

melaksanakan kegiatan supervisi pembelajaran

untuk memantau evaluasi pembelajaran.

Hasil akhir yang diharapkan dari setiap

tahapan adalah sebagai berikut:

- Tahap Pengambilan Keputusan

Pembelajaran Berbasis TIK menghasilkan

Program Pembelajaran yang tertuang

dalam RKS (Rencana Kerja Sekolah) serta

Program dan Anggaran tiap bidang

berkaitan dengan anggaran kebutuhan

program pembelajaran berbasis TIK.

Program pembelajaran yang direncanakan

dapat berupa program e-education

misalnya e-learning, e-library. Setelah

dibuat keputusan bersama untuk tiap

bidang yang terkait langsung dengan

pembelajaran di kelas (Bidang Kurikulum,

Bidang Sarana Prasarana, Bidang IT) dan

disahkan oleh Kepala Sekolah, maka dapat

dilanjutkan ke tahap selanjutnya.

- Tahap Perencanaan Pembelajaran Berbasis

TIK menghasilkan Prota, Promes, Silabus,

Rencana Mingguan serta Rencana Harian

atau RPP dengan pendekatan integrasi

TIK. RPP yang terintegrasi TIK ini disusun

dan dikembangkan bersama melibatkan

Kepala Sekolah berkaitan dengan supervisi

pembelajaran; Koordinator Kurikulum;

berkaitan dengan program dan anggaran

yang telah dibuat; Koordinator Sarpras

berkaitan dengan ketersediaan dan

penjadwalan penggunaan sarpras;

Koordinator IT dibantu dengan timnya

berkaitan dengan materi pembelajaran

berupa konten digital atau aktifitas

pembelajaran yang memanfaatkan TIK

yang harus dipersiapkan.

- Tahap Pelaksanaan Pembelajaran Berbasis

TIK menghasilkan PAIKEM

(Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif,

Efektif, Menyenangkan). Siswa melalui

TIK dimungkinkan untuk ikut aktif dalam

pembelajaran, menghasilkan karya yang

bersifat inovatif, kreatif sehingga siswa

mencapai tujuan pembelajaran

sebagaimana yang diharapkan.

Keterlibatan siswa membuat siswa belajar

asyik dengan percaya diri dan tertantang

Page 67: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Pengembangan Model Manajemen Pembelajaran Berbasis TIK di Sekolah Dasar | Edna Maria & Eko Sediyono

67

untuk melakukan hal serupa atau bahkan

hal yang lebih berat lagi.

- Tahap Evaluasi Pembelajaran Berbasis

TIK menghasilkan hasil penilaian yang

sahih, objektif, adil, terpadu, terbuka,

menyeluruh dan berkesinambungan,

sistematis, beracuan kriteria, serta

accountable (Triwiyanto, 2015:190). Hal

tersebut dimungkinkan dengan

melaksanakan tes berbasis komputer.

Pengelolaan sistem penilaian ini akan

menjadi efisien dalam hal penghematan

biaya pengadaan kertas dan waktu untuk

proses koreksi, karena tergantikan dengan

sistem komputer yang dibuat dalam bentuk

program komputer. Hasil penilaian

dilaporkan kepada orangtua siswa dalam

bentuk rapor baik laporan pendidikan di

tengah semester maupun di akhir semester

dalam bentuk digital (berbasis web atau

berbasis mobile) dan atau kertas.

Berkaitan dengan kegiatan supervisi

pembelajaran berbasis TIK yang merupakan

bagian dari pengawasan atau monitoring dan

evaluasi, Kepala Sekolah akan lebih mudah

melaksanakannya jika semua tahap masuk

dalam sistem berbasis internet yang dapat

diakses dimana saja dan kapan saja. Model

manajemen pembelajaran berbasis TIK seperti

gambar di bawah ini:

Gambar 3 Model Manajemen Pembelajaran Berbasis TIK

ValidasiProduk

Model Pembelajaran Berbasis TIK

divalidasi oleh 3 Validator yaitu: (1) Dr.

Bambang Suteng Sulasmono, M. Si. (2) Dr.

Dra. Ade Iriani, M. M. (3) Pujiono, S. Pd.

Beberapa saran dari validator tersebut antara

lain: Validator 1: Terdapat banyak struktur

kalimat yang perlu diperbaiki. Beberapa bagian

perlu dielaborasi lebih lanjut agar semakin

jelas, Validator 2: Perbaikan tata bahasa dalam

bahasa Indonesia yang baik, Validator 3: Perlu

ditambahkan tujuan yang sasarannya untuk

siswa. Perlu penataan sub judul agar tidak

terpisah dari uraiannya agar memudahkan

dalam membaca.

Page 68: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017

68

PerbaikanProduk

Berdasarkan hasil validasi dan saran

dari validator, selanjutnya dilakukan perbaikan

sehingga diperoleh model manajemen

pembelajaran berbasis TIK yang dapat

dijadikan acuan untuk pelaksanaan manajemen

pembelajaran. Perbaikan yang dilakukan antara

lain: memperbaiki struktur kalimat,

mengelaborasi pada bagian konsep

pembelajaran berbasis TIK dan menambahkan

halaman rujukan pada bagian yang memerlukan

rujukan konsep; memperbaiki tata bahasa yang

belum menggunakan bahasa Indonesia yang

baik sehingga jelas subyek, predikat, obyek dan

keterangannya; menambahkan tujuan yang

berkaitan dengan siswa dan menata kembali sub

judul agar tidak terpisah dari uraiannya

sehingga mudah dibaca.

Pembahasan

Model ini disesuaikan dengan situasi

dan kondisi tempat penelitian agar dapat

diimplementasikan dengan mudah.

Keberhasilan implementasi model kembali

kepada pelaksanaan secara menyeluruh,

bertahap dan sesuai dengan kerjasama semua

pihak yang terkait dengan pembelajaran.

Kunci keberhasilan model manajemen

pembelajaran berbasis TIK terletak pada tahap

perencanaan pembelajaran berbasis TIK yang

dikerjakan oleh guru melibatkan pihak-pihak

yang terkait langsung dengan pembelajaran

berbasis TIK. Sesuai fungsi dari perencanaan

pembelajaran adalah sebagai panduan atau

pedoman dalam penyusunan program

pembelajaran, penyiapan proses pembelajaran,

penyiapan bahan/media/sumber belajar, dan

penyiapan perangkat penilaian sehingga

memudahkan pembuatan persiapan

pembelajaran dan pengembangan pembelajaran

PAIKEM (Triwiyanto, 2015:97-98).

Melalui perencanaan pembelajaran,

persiapan integrasi TIK dalam RPP disusun

dengan pertimbangan sedemikian rupa

menyesuaikan situasi dan kondisi sekolah.

Kesulitan yang dihadapi guru dalam

pengembangan RPP dapat diatasi dengan

melakukan kerjasama dengan guru lain yang

memegang tingkat kelas yang sama dengan

fasilitasi dan supervisi oleh kepala sekolah atau

guru senior yang ditunjuk.

Penelitian terdahulu yang berkaitan

dengan pengembangan manajemen

pembelajaran lebih memfokuskan pada

integrasi TIK dalam pembelajaran, penelitian

lain yang dilakukan mengembangkan model

sistematik integrasi TIK (Wang dan Woo,

2007:148-156) dan mengenai model umum

untuk membimbing integrasi TIK dalam

pengajaran dan pembelajaran (Wang,

2008:411-419). Kedua penelitian ini

merupakan bagian dari manajemen

pembelajaran namun bukan model manajemen

pembelajaran itu sendiri.

Penelitian lainlebih menekankan pada

manajemen integrasi TIK ke dalam kurikulum

sekolah dasar (Kyakulumbye dan Katono,

2013). Fungsi manajemen yang digunakan

hanya tiga yaitu perencanaan, pengorganisasian

dan pengkoordinasian. Kesamaan kunci model

pada penelitian ini adalah pada fungsi

perencanaan. Perencanaan menjadi salah satu

aspek kunci dalam manajemen kurikulum.

Fungsi manajemen yang dikaji pada penelitian

tersebut melibatkan manajer sekolah dan guru.

Hampir sama namun belum menjelaskan secara

lengkap sampai kepada fungsi manajemen yang

terakhir namun penting yaitu evaluasi. Menurut

Triwiyanto (2015:183) fungsi evaluasi

dilakukan untuk menilai efisiensi, efektivitas,

manfaat, dampak dan keberlanjutan suatu

program atau kegiatan dalam hal ini program

pembelajaran. Dari fungsi evaluasi akan dapat

diukur ketercapaian program yaitu sejauh mana

kegiatan pembelajaran dapat dilaksanakan.

Ada tiga komponen kunci yang

mempengaruhi efektivitas integrasi TIK dalam

pengajaran dan pembelajaran yaitu pedagogi,

interaksi sosial dan teknologi. Namun selain

ketiga komponen tersebut, kemampuan

Page 69: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Pengembangan Model Manajemen Pembelajaran Berbasis TIK di Sekolah Dasar | Edna Maria & Eko Sediyono

69

manajemen juga merupakan keterampilan yang

penting diperlukan dalam rangka melaksanakan

pembelajaran berbasis TIK (Wang, 2008:417).

Model manajemen pembelajaran berbasis TIK

ini berfokus pada fungsi manajemen yang

diperlukan dalam melaksanakan pembelajaran

berbasis TIK dari awal sampai akhir. Faktor

kunci yang berkaitan dengan implementasi TIK

selain sikap dan etos yaitu koordinasi dan

manajemen (Tearle, 2004). Secara teori, model

ini sudah mendapat landasan yang kuat bahwa

diperlukan gambaran manajemen yang jelas

dan terukur untuk mencapai tujuan

pembelajaran berbasis TIK.

Model manajemen pembelajaran

berbasis TIK ini cukup lengkap dikembangkan

dengan tujuan agar efektivitas manajemen

diperoleh secara maksimal. Jika ditinjau dari

manfaat teoritis, model ini menyajikan lengkap

dengan tahap pengambilan keputusan yang

dilaksanakan sebelum tahap perencanaan.

Inilah yang menjadi kebaruan dari model

manajemen pembelajaran ini. Masalah yang

ditemukan berdasarkan evaluasi pembelajaran

yang lalu dapat menjadi dasar pengambilan

keputusan bagi perencanaan pembelajaran yang

akan datang. Hasil penelitian terdahulu

menyatakan bahwa sekolah berbasis TIK perlu

rencana kebijakan TIK yang jelas agar

koordinator yang ditunjuk sebagai pemimpin

memiliki arahan kerja yang jelas pula

(Vanderlinde, dkk, 2012). Hasil evaluasi proses

pembelajaran yang sebelumnya perlu

dipertimbangkan dalam rangka membuat

keputusan. Temuan masalah yang didapat dari

tahap ini akan menjadi dasar untuk menentukan

kebutuhan pembelajaran yang akan datang.

Kemudahan dalam monitoring dan

evaluasi proses pembelajaran yang dilakukan

baik oleh guru maupun kepala sekolah akan

terwujud. Hal ini dimungkinkan dengan adanya

teknologi komputer yang menghilangkan

batasan waktu dan jarak dalam melaksanakan

proses monitoring dan evaluasi pembelajaran.

Pimpinan sekolahperlu mengelola pemanfaatan

TIK dengan beberapa strategi pengelolaan TIK

agardapat bermanfaat bagi peningkatan

pembelajaran (Adu, Olatundun, 2013:11).

Kepala sekolah dapat mengembangkan teknik

supervisi memanfaatkan teknologi komputer

sebagai alat untuk melaksanakan proses

monitoring dan evaluasi pembelajaran.

Supervisi dengan teknik kunjungan kelas sudah

biasa dilakukan bahkan telah diteliti

(Danurwati dan Slameto, 2015:99-109). Guru

mendapatkan bantuan berupa arahan dan

dorongan secara langsung setelah supervisor

melakukan kunjungan kelas. Ada beberapa

kelemahan jika supervisor hadir dalam kelas,

guru ataupun murid merasa canggung dengan

kehadiran orang lain yang tidak biasa di dalam

kelas selama proses pembelajaran. Jika tujuan

kunjungan kelas adalah untuk memperoleh data

mengenai proses pembelajaran yang

dilaksanakan, maka dengan memanfaatkan

model manajemen pembelajaran berbasis TIK,

supervisor dapat memperoleh data proses

pembelajaran dengan bantuan teknologi

jaringan dan dengan bantuan kamera. Hal

tersebut tidak akan mengganggu

berlangsungnya proses pembelajaran namun

justru mempermudah. Supervisor juga dapat

melihat data perencanaan pembelajaran yang

dibuat oleh guru dengan mengakses ke sebuah

webdatabase dengan password khusus serta

kemudian mengevaluasi apakah sudah sesuai

dengan pelaksanaan pembelajaran, sehingga

dapat diperoleh solusi yang tepat bagi kesulitan

yang guru hadapi.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Melalui kegiatan penelitian dan

pengembangan ini telah didapatkan gambaran

mengenai manajemen pembelajaran yang saat

ini dibuat dan dilaksanakan di SD Kristen Satya

Wacana Salatiga bahwa selain guru ada

keterlibatan kepala sekolah, koordinator

kurikulum, koordinator IT serta koordinator

sarpras. SD Kristen Satya Wacana mempunyai

Page 70: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017

70

potensi untuk melaksanakan pembelajaran

berbasis TIK namun masih ada masalah dalam

perencanaan manajemen pembelajaran yang

berbasis TIK.Manajemen pembelajaran yang

sudah dilaksanakan di SD Kristen Satya

Wacana belum efektif karena sebagian besar

guru belum menyusun dan mengembangkan

RPP yang menjadi acuan rinci bagi guru dalam

melaksanakan pembelajaran terutama

pembelajaran yang berbasis TIK.

Model manajemen pembelajaran

berbasis TIK yang dikembangkan terdiri dari 4

tahap yakni: (1) Tahap Pengambilan Keputusan

Pembelajaran Berbasis TIK; (2) Tahap

Perencanaan Pembelajaran Berbasis TIK; (3)

Tahap Pelaksanaan Pembelajaran Berbasis

TIK; dan (4) Tahap Evaluasi Pembelajaran

Berbasis TIK. Ada hasil akhir yang diharapkan

dari masing-masing tahapan yakni: (1) RKS

yang berisi program pembelajaran berbasis

TIK; (2) RPP yang terintegrasi dengan TIK; (3)

PAIKEM; (4) Hasil Evaluasi yang sahih,

objektif, adil, terpadu, terbuka, menyeluruh dan

berkesinambungan, sistematis, beracuan

kriteria, serta accountable. Kunci Keberhasilan

terletak pada Tahap Perencanaan Pembelajaran

Berbasis TIK dimana guru melibatkan pihak

terkait dengan pembelajaran berbasis TIK

dalam pembuatan RPP yang terintegrasi dengan

TIK. Model ini juga dapat dikembangkan untuk

melakukan supervisi pembelajaran dengan

berbasis TIK.

Saran

Implementasi model manajemen

pembelajaran berbasis TIK ini perlu

memperhatikan beberapa hal, yakni: (1) Bagi

pihak sekolah, dalam rangka mewujudkan

PAIKEM serta visi sekolah, model manajemen

pembelajaran berbasis TIK ini dapat dijadikan

sebagai acuan untuk meningkatkan manajemen

pembelajaran berbasis TIK pelaksanaannya

belum efektif. Perlu ada kesiapan SDM,

insfrastruktur dan peserta didik; (2) Bagi Guru

perlu kerjasama dan komunikasi yang baik

dengan pihak-pihak intern dan ekstern yang

terkait langsung dengan pembelajaran; (3) Bagi

kepala sekolah perlu meningkatkan supervisi

pembelajaran agar manajemen pembelajaran

terlaksana secara efektif dan efisien serta

mengadakan pelatihan TIK secara berkala bagi

guru-guru; (4) Koordinator IT perlu

membentuk tim IT terdiri dari laboran dan

programer yang membantu guru

mempersiapkan konten digital yang sesuai

dengan RPP yang terintegrasi dengan TIK; (5)

Sekolah perlu memikirkan strategi untuk

menggalang dana bagi peningkatan

infrastruktur TIK dan pemeliharaannya; (6)

Bagi penelitian selanjutnya, model manajemen

pembelajaran ini dapat diteliti lebih lanjut

apakah model ini dapat diterapkan pada

lembaga pendidikan yang lain atau untuk

dikembangkan bagi kegiatan supervisi

pembelajaran.

UCAPAN TERIMAKASIH

Terimakasih yang sebesar-besarnya

diucapkan kepada Prof. Dr. Slameto, M.Pd.

yang telah memberikan bimbingan dalam

penulisan artikel ini.

DAFTAR PUSTAKA

Adu, E.O. dan Olatundun, S. A. 2013. The Use

And Management Of ICT In Schools:

Strategies For School Leaders.

European Journal of Computer Science

and Information Technology

(EJCSIT)Vol.1, No.2, pp.10-16,

September.

Anderson, Jonathan. 2010. ICT Transforming

Education. Bangkok: UNESCO.

Sumber:

http://www.unescobkk.org/education/n

ews/article/ict-transforming-education-

a-regional-guide-1/

Bafadal, Ibrahim. 2009. Manajemen

Peningkatan Mutu Sekolah Dasar.

Jakarta: Bumi Aksara.

Page 71: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Pengembangan Model Manajemen Pembelajaran Berbasis TIK di Sekolah Dasar | Edna Maria & Eko Sediyono

71

Danurwati, Suprih dan Slameto. 2015.

Penerapan Supervisi Kunjungan Kelas

untuk Meningkatkan Kinerja Guru

Sekolah Dasar Negeri. Jurnal Kelola

Manajemen Pendidikan Vol.2 No.1

Januari-Juni 2015.

Gorton, Richard A. 1976. School

Administration. New York: Wm. C.

Brown Company Publishers.

Haryati, Sri. 2012. Research and Development

(R&D) Sebagai Salah Satu Model

Penelitian dalam Pendidikan. Jurnal

UTM Volume 37 No.1 15 September

2012. Sumber:

http://jurnal.utm.ac.id/index.php/MID/a

rticle/viewFile/13/11 diakses tanggal 3

November 2015.

Kusmana, Ade. 2011. E-learning dalam

Pembelajaran. Lentera Pendidikan

Volume 14 No. 1 Juni.

Kyakulumbye, Stephen and Katono, Isaac

Wasswa. 2013. The Management

Practises of ICT Integration in the

Curriculum of Primary Schools in

Uganda. Proceedings of the

International Conference on e-

Learning, Academic Conferences &

Publishing International Ltd.

Sa’ud, Udin Syaefudin and Sumantri, Mulyani

(Tim Pengembang Ilmu Pendidikan

FIP-UPI). 2007. Ilmu dan Aplikasi

Pendidikan. Bandung: PT.IMTIMA,

Grasindo.

Sugiyono. 2012. MetodePenelitianPendidikan-

PendekatanKuantitatif, Kualitatif, dan

R & D. Bandung: Alfabeta.

Syafaruddin dan Nasution, Irwan. 2005.

Manajemen Pembelajaran. Jakarta:

Quantum Teaching.

Tearle, Penni. 2004. A Theoretical and

Instrumental Framework for

Implementing Change in ICT in

Education. Cambridge Journal of

Education Vol. 34, No. 3, November.

Triwiyanto, Teguh. 2015. Manajemen

Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta:

BumiAksara.

Usman, Husaini. 2006. Manajemen Teori,

Praktik, dan Riset Pendidikan. Jakarta:

Bumi Aksara.

Vanderlinde, Ruben, Sara Dexter dan Johan van

Braak, 2012. School-based ICT policy

plans in primary education:Elements,

typologies and underlying processes.

British Journal of Educational

TechnologyVol 43 No 3.

Wang, Qiyun., & Woo, H. L. 2007. Systematic

Planning for ICT Integration in Topic

Learning. Educational Technology &

Society, 10 (1), 148-156.

Wang, Qiyun. 2008. A Generic Model for

Guiding the Integration of ICT into

Teaching and Learning. Innovations in

Education and Teaching International

Vol. 45, No. 4, November 2008, 411–

419.

Page 72: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Magister Manajemen Pendidikan FKIP Universitas Kristen Satya Wacana [email protected]

ISSN 2549-9661 Volume: 4, No. 1, Januari-Juni 2017

Halaman: 72-82

72

EVALUASI PROGRAM SEKOLAH SEHAT DI SEKOLAH DASAR

NEGERI

Siti Zubaidah

Magister Manajemen Pendidikan

FKIP-Universitas Kristen Satya Wacana

[email protected]

Bambang Ismanto

Magister Manajemen Pendidikan

FKIP-Universitas Kristen Satya Wacana

[email protected]

Bambang Suteng Sulasmono

Magister Manajemen Pendidikan

FKIP-Universitas Kristen Satya Wacana

[email protected]

ABSTRACT

The aimed of this study was to evaluate the context, input, process, product of Healthy

School program in Public School Kuntowinangun 04 Salatiga (SD Negeri Kutowinangun

04 Salatiga). This study was evaluative research using CIPP model. The technique of

collecting data using interviews, observation and documentation. Some of the steps being

taken in the analysis of the data included: data collection, data reduction, data display

and verification. Validation of data using triangulation techniques and resources. The

results showed: (1) from the aspects of Context, the Healthy School program was the

policy of the central government to improve the quality of education through the

improvement of students health, in addition to the schools' needs, especially the students

in Public School Kuntowinangun 04 Salatiga (SD Negeri Kutowinangun 04 Salatiga)

were still low level of health, (2) from the aspect of Input, design program proved to be

able to answer the need for the program to address the low level of students health, and

supported by human resources, facilities and infrastructure, adequate cost, 3) from the

aspect of Process, Healthy School Program has been run in accordance with program

planned but on its implementation there were obstacles where schools have limited funds

and inadequate infrastructure, and (4) from the aspect of Product, all targets to be

achieved in program planned has been reached so that impacted the improvement of the

quality of education in Public School Kuntowinangun 04 Salatiga (SD Negeri

Kutowinangun 04 Salatiga) and therefore eligible to continue in the next period with

several aspects improvements.

Keywords: Program Evaluation, Healthy School, CIPP

Page 73: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Evaluasi Program Sekolah Sehat di Sekolah Dasar Negeri | Siti Zubaidah, dkk.

73

PENDAHULUAN

Pada era globalisasi ini banyak

tantangan bagi peserta didik yang dapat

mengancam kesehatan fisik dan jiwanya. Tidak

sedikit anak yang menunjukkan perilaku tidak

sehat, seperti lebih suka mengkonsumsi

makanan tidak sehat yang tinggi lemak, gula,

garam, rendah serat, meningkatkan resiko

hipertensi, diabetes, obesitas dan sebagainya.

Siswa sebelum makan tidak mencuci tangan

terlebih dahulu, sehingga memungkinkan

masuknya bibit penyakit kedalam tubuh. Hal ini

mengacu pada pemikiran Hamiyah dan Jauhar

(2015) bahwa perilaku tidak sehat ini juga

disebabkan oleh lingkungan yang tidak sehat,

seperti kurang bersihnya rumah, sekolah, atau

lingkungan masyarakatnya.

Rendahnya upaya untuk menumbuhkan

kesadaran hidup bersih dan sehat kepada

peserta didik, berdampak pada siswa sekolah

dasar yang belum sepenuhnya mengetahui

bagaimana cara yang benar untuk memelihara

kesehatan pribadi ataupun lingkungannya. Hal

ini sejalan dengan hasil penelitian Teguh (2012)

bahwa masih ada siswa yang menderita

penyakit kulit, membiarkan rambut dan kuku

memanjang tidak terawat, menderita gigi

berlubang, kurang bersih dan rapi dalam

berpakaian, kurang serius dalam melaksanakan

senam setiap jumat pagi, seringnya membuang

sampah sembarangan, siswa jajan sembarangan

dan tidak memperhatikan kebersihan jajanan.

Hasil penelitian tersebut juga sejalan dengan

penelitian Diana (2013:48) yang menunjukkan

bahwa pelaksanaan program perilaku hidup

bersih dan sehat yang masih rendah dapat

berakibat pada kualitas lingkungan sekolah

yang rendah dan masih tingginya angka

penyakit yang menyerang anak usia sekolah.

Pemerintah mengeluarkan kebijakan

sebagai upaya untuk meningkatkan kesehatan

siswa dengan program “Sekolah Sehat”.

Sekolah Sehat adalah sekolah yang berhasil

membantu peserta didik unggul secara optimal

dengan mengedepankan aspek kesehatan.

Sekolah Sehat selalu berusaha membangun

kesehatan jasmani dan kesehatan rohani

melalui pemahaman, kemampuan, dan perilaku

yang bertanggung jawab, pengambilan

keputusan terbaik untuk terciptanya kesehatan

secara mandiri dapat diwujudkan (Arthur dan

Barnard, 2011:4). Hasil penelitian diatas

sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Hermiyanti (2016:14) bahwa Sekolah Dasar

Bersih Sehat (SDBS) adalah Sekolah Dasar

yang warganya secara terus-menerus

membudayakan PHBS, dan memiliki

lingkungan sekolah yang bersih, indah, sejuk,

segar, rapih, tertib, dan aman.

Menurut Panduan Pengembangan

Model Sekolah Sehat di Indonesia (2009: 4),

manfaat yang didapat dari program Sekolah

Sehat antara lain: 1) bagi masyarakat yaitu

sebagai tempat menghasilkan siswa yang

mempunyai budaya hidup sehat dan aktif, 2)

bagi pemerintah yaitu sebagai tempat

pembelajaran yang dapat dijadikan

percontohan bagi sekolah-sekolah lain karena

diharapkan sekolah tersebut dapat

menghasilkan sumber daya yang berkualitas,

dan 3) bagi swasta atau dunia kerja yaitu dapat

memberi peluang pada swasta untuk berperan

dalam pengembangan Sekolah Sehat.

Kemendiknas Direktorat Jenderal

Pendidikan Dasar (2009: 9) menjelaskan bahwa

standar Sekolah Sehat meliputi: 1) Standar fisik

sekolah yang meliputi: Bangunan sekolah yang

memenuhi pembakuan standar minimal

Depdiknas, aekolah memiliki akreditasi dari

pemerintah, minimal B, sekolah yang

memenuhi persyaratan kesehatan (fisik, mental,

lingkungan), sekolah yang memiliki pagar,

sekolah yang memiliki ruang terbuka yang

memadai untuk pembelajaran pedidikan

jasmani, dan sekolah memiliki sertifikat hak

milik (SHM). 2) Standar sarana prasarana yang

meliputi: memiliki sarana prasarana untuk

pendidikan kesehatan yang memadai, memiliki

sarana prasarana untuk pendidikan jasmani,

Page 74: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017

74

memiliki sarana prasarana penunjang kegiatan

UKS, 3) Standar ketenagaan yang meliputi:

memiliki guru pendidikan jasmani, olahraga

dan kesehatan, memiliki guru pembina UKS,

memiliki kader kesehatan sekolah (dokter kecil,

kader kesehatan remaja), 4) Standar peserta

didik yang meliputi: memiliki derajat kesehatan

yang optimal, tumbuh kembang secara optimal,

dan memiliki tingkat kebugaran jasmani yang

optimal.

Program Sekolah Sehat perlu

disosialisasikan dan dilakukan dengan baik

melalui pelayanan kesehatan yang didukung

secara mantap dan memadai oleh sektor terkait

lainnya, seperti partisipasi masyarakat, dunia

usaha, dan media massa. Hal tersebut sesuai

dengan pemikiran Hamiyah dan Jauhar

(2015:267) yang menyatakan bahwa sekolah

sebagai tempat berlangsungnya proses

pembelajaran harus menjadi ”Sekolah Sehat”,

yaitu sekolah yang dapat meningkatkan derajat

kesehatan warga sekolahnya. Upaya ini

dilakukan karena sekolah memiliki lingkungan

kehidupan yang mencerminkan hidup sehat.

Mengupayakan pelayanan kesehatan yang

optimal, sehingga terjamin berlangsungnya

proses pembelajaran dengan baik dan

terciptanya kondisi yang mendukung

tercapainya kemampuan peserta didik untuk

berperilaku hidup sehat. Pendapat diatas sejalan

dengan penelitian Irwandi (2016:492-495)

bahwa program sekolah berupa operasi semut,

sabtu bersih, upacara bendera, senam pagi, doa

bersama, aubade dan UKS, merupakan kegiatan

yang efektif untuk menumbuhkembangkan

perilaku hidup sehat, yang melibatkan peran

kepala sekolah, guru dan personil sekolah.

SD Negeri Kutowinangun 04 Salatiga

merupakan salah satu Sekolah Dasar Negeri

yang ada di kota Salatiga yang sudah

menerapkan program Sekolah Sehat sejak

tahun 2009. Berdasarkan wawancara dengan

ibu Sri Haryati selaku Kepala Sekolah, sejak

awal dijalankannnya program Sekolah Sehat

mulai tahun 2009 sampai 2016 belum pernah

dilakukan penelitian untuk mengevaluasi

pelaksanaan program Sekolah Sehat di SD

Negeri Kutowinangun 04 Salatiga. Maka dari

itu, ketika peneliti datang ke sekolah, kemudian

muncul ketertarikan peneliti untuk melakukan

evaluasi terhadap program Sekolah Sehat yang

sudah berjalan sekitar 7 (tujuh) tahun. Arikunto

dan Jabar (2014: 17) menyatakan bahwa

evaluasi program adalah upaya untuk

mengetahui efektivitas komponen program

dalam mendukung pencapaian tujuan program.

Tujuan evaluasi program adalah untuk

menentukan apakah layanan atau intervensinya

telah mencapai tujuan yang ditetapkan dan

supaya dapat diketahui dengan pasti apakah

pencapaian hasil, kemajuan dan hambatan yang

dijumpai dalam pelaksanaan program dapat

dinilai dan dipelajari untuk perbaikan

pelaksanaan program dimasa yang akan

mendatang (Wirawan: 2011).

Penelitian ini menggunakan model

evaluasi CIPP yang dikembangkan oleh

Stufflebeam pada tahun 1966. Menurut

Arikunto & Jabar (2014), apabila kegiatan

evaluasi menggunakan model CIPP, analisis

program harus berdasarkan pada komponen-

komponen tersebut (CIPP), komponen dalam

model evaluasi CIPP dapat dijelaskan sebagai

berikut: 1) Evaluasi konteks berupaya

mengidentifikasi mengenai kebutuhan

lingkungan yang belum terpenuhi, populasi

sampel yang dilayani dan tujuan

program/proyek, 2) Evaluasi masukan

berupaya mengidentifikasi tentang kemampuan

awal dari komponen yang ada (siswa atau

sekolah) dalam menunjang pelaksanaan

program tersebut, 3) Evaluasi proses

mengidentifikasi mengenai pelaksanaan dari

suatu program yang dapat meliputi program apa

yang akan dilaksanakan, siapa penyelenggara

program tersebut, waktu pelaksanaan program

tersebut, dan 4) Evaluasi produk berupaya

untuk mengidentifikasi hal-hal atau perubahan

yang terjadi dalam pelaksanaan program

Page 75: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Evaluasi Program Sekolah Sehat di Sekolah Dasar Negeri | Siti Zubaidah, dkk.

75

tersebut, serta ketercapaian dari pelaksanaan

program.

Berdasarkan masalah diatas, penelitian

ini akan mengevaluasi context, input, process,

dan product program Sekolah Sehat di SD

Negeri Kutowinangun 04 Salatiga. Tujuan

penelitian ini adalah untuk memberi

rekomendasi/masukan kepada SD N

Kutowinangun 04 Salatiga tentang pelaksanaan

program Sekolah Sehat yang baik dan benar

serta untuk mengevaluasi context, input,

process, dan product program sekolah sehat di

SD Negeri Kutowinangun 04 Salatiga.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini termasuk

penelitian kualitatif evaluatif dengan model

CIPP. Penelitian dilaksanakan di SD Negeri

Kutowinangun 04 Salatiga dengan alamat Jalan

Butuh 1-A RT 004/09 kota Salatiga. Sumber

informasi meliputi: Kepala Sekolah, Guru,

Koordinator Program Sekolah Sehat, Tenaga

Pendidikan SD Negeri Kutowinangun 04

Salatiga. Data-data mengenai studi kelayakan,

hasil analisis, SK penyelenggaraan, jadwal

penyelenggaraan kegiatan, rencana program,

piagam dan laporan penyelenggaraan program

juga menjadi sumber data dalam penelitian.

Teknik pengumpulan data yang digunakan

dalam penelitian evaluasi program Sekolah

Sehat di SD Negeri Kutowinangun 04 Salatiga

adalah wawancara, observasi, dan studi

dokumentasi. Beberapa tahapan yang dilakukan

dalam analisis data dalam penelitian ini

meliputi: (1) Pengumpulan data, (2) Reduksi

Data, (3) Display Data, (4)

Verifikasi/Kesimpulan data. Uji validitas data

yang digunakan dalam penelitian ini

menggunakan teknik triangulasi sumber dan

triangulasi teknik.

HASIL PENELITIAN DAN

PEMBAHASAN

Hasil Penelitian

Untuk mendapatkan data pada tahap

context, input, process, dan product, peneliti

melakukan wawancara terhadap Kepala

Sekolah SD Negeri Kutowinangun 04 Salatiga,

Ketua Program Sekolah Sehat, Guru Kelas,

Tenaga Kependidikan serta melakukan studi

dokumentasi dengan dokumen berupa Juknis

Pengembangan Model Sekolah Sehat Tahun

2009, laporan penggunaan dana bantuan

sekolah sehat, laporan kesehatan siswa,

dokumen tentang data-data sekolah.

1. Evaluasi Context Program Sekolah Sehat

di SD Negeri Kutowinangun 04 Salatiga

Pada tahap context, peneliti akan

menganalisis tentang kebutuhan program,

tujuan, manfaat dan peluang, serta sasaran

program sekolah sehat di SD Negeri

Kutowinangun 04 Salatiga. Berdasarkan hasil

wawancara dan telaah dokumen, latar belakang

dilaksanakannya program ini adalah

penunjukan langsung oleh pemerintah pusat

kepada SD Negeri Kutowinangun 04 Salatiga

untuk menyelenggarakan program tersebut

dikarenakan pihak pemerintah pusat

memandang sekolah ini mampu dan layak baik

dari segi SDM (Kepala Sekolah, Guru, Tenaga

Kependidikan, Siswa, Komite), lingkungan

maupun sarana prasarana dalam menunjang

kelancaran penyelenggaraan program sekolah

sehat disamping menjawab kebutuhan sekolah

sebagai upaya peningkatan kesehatan siswa

yang tergolong masih rendah. Tujuan

pembentukan program Sekolah Sehat di SD

Negeri Kutowinangun 04 Salatiga adalah untuk

meningkatkan taraf kesehatan dan kebugaran

jasmani para warga sekolah yaitu Siswa, Guru,

Tenaga Kependidikan, Kepala Sekolah; agar

memiliki sarana dan prasarana untuk

pendidikan jasmani yang memadai serta

menciptakan lingkungan sekolah yang bersih

dan sehat yang mana hal tersebut juga akan

berpengaruh terhadap proses belajar mengajar

disekolah dan tujuan akhirnya adalah

Page 76: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017

76

meningkatnya mutu pendidikan sekolah baik

prestasi akademik maupun non akademik.

Manfaat yang diharapkan dari program

Sekolah Sehat adalah meningkatnya tingkat

kesehatan dan kebugaran jasmani siswa yang

berdampak pada peningkatan kualitas

pendidikan di sekolah, membuat lingkungan

menjadi lebih bersih dan sehat dan membuat

kondisi pembelajaran menjadi lebih nyaman

dan prestasi sekolah meningkat, orang tua dan

masyarakat lebih tenang menitipkan anak-anak

mereka karena pola hidup sehat di sekolah akan

terbawa dalam kehidupan di masyarakat, dan

sekolah dapat menghasilkan sumber daya

generasi penerus bangsa yang berkualitas.

Sasaran program Sekolah Sehat yaitu Siswa,

Guru, Tenaga Kependidikan, Kepala Sekolah,

lingkungan, serta sarana dan prasarana.

2. Evaluasi Input Program Sekolah Sehat di

SD Negeri Kutowinangun 04 Salatiga

SD Negeri Kutowinangun 04 Salatiga

telah membuat perencanaan sebelum

pelaksanaan program sekolah sehat. Didalam

perencanaan tersebut terdapat beberapa bidang

yang akan dikembangkan dalam program

Sekolah Sehat yang meliputi 6 bidang yaitu:

Pengembangan Program Pembelajaran,

Pengembangan Sarana dan Prasarana,

Pengembangan Ketenagaan, Pengembangan

Manajemen Sekolah, Pengembangan Program

Kemitraan, dan Pembiayaan. Selain berisi

tentang beberapa macam kegiatan yang akan

dijalankan, dalam perencanaan ini juga berisi

tentang jadwal pelaksanaan, SDM yang

bertanggung jawab dan terlibat, sarana

prasarana dan biaya yang diperlukan untuk

mendukung pelaksanaan setiap kegiatan dalam

program sekolah sehat. Semua warga sekolah

mulai dari kepala sekolah, guru, tenaga

kependidikan, komite sekolah, siswa terlibat

dalam perencanaan tersebut.

Dalam menjalankan program Sekolah

Sehat, SD Negeri Kutowinangun 04 Salatiga

menerima bantuan pembiayaan dari Pemerintah

Pusat melalui Direktorat Pusat Pengembangan

Kualitas Jasmani-DEPDIKNAS. Adapun

jumlah bantuan yang diberikan adalah

67.600.000 (Enam puluh tujuh juta enam ratus

ribu rupiah) yang diberikan pada Tahun 2009.

Dana tersebut digunakan pada awal

dijalankannya program sekolah sehat di SD

Negeri Kutowinangun 04 Salatiga untuk

melengkapi sarana prasarana (pembangunan

fisik sekolah). Pada tahun-tahun berikutnya,

pihak sekolah menggunakan dana BOS dan

dana bantuan dari komite atau swasta dalam

menjalankan program Sekolah Sehat

khususnya yang berkaitan dengan bidang non

fisik.

Mekanisme pelaksanaan program

sekolah sehat yang dilaksanakan di SD Negeri

Kutowinangun 04 Salatiga berpedoman pada

juklak dan juknis dari pemerintah yang mana

kepala sekolah, ketua program sekolah sehat

dan guru yang sudah ditunjuk berperan sebagai

penanggung jawab dalam pelaksanaannya.

Mekanisme penyaluran dana dari pusat ke

sekolah juga sangat jelas mulai dari prosesnya,

jumlahnya, dan penggunaan dana untuk

program sekolah sehat sudah sesuai dengan

prosedur dari pemerintah.

3. Evaluasi Process Program Sekolah Sehat

di SD Negeri Kutowinangun 04 Salatiga

a. Pengembangan Program Pembelajaran

Pada aspek Pengembangan Program

Pembelajaran, proses implementasinya sudah

baik dari setiap indikator, dari tahun 2014 dan

tahun 2015 mengalami peningkatan dalam

pengembangan program pembelajaran.

Kendala yang dihadapi sehingga belum bisa

mencapai target 100% antara lain terkendala

masalah anggaran. Pada implementasi adanya

peran aktif “pendidik sebaya” dalam PKHS

juga belum mencapai 100% keberhasilan. Hal

tersebut dikarenakan oleh pengetahuan dan

kemampuan siswa dalam hal PKHS juga masih

terbatas. Selain itu, banyak siswa yang tidak

Page 77: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Evaluasi Program Sekolah Sehat di Sekolah Dasar Negeri | Siti Zubaidah, dkk.

77

percaya diri apabila menjelaskan pengetahuan

mereka tentang kesehatan kepada teman yang

lain. Sedangkan pada aspek pelaporan penilaian

kepada orang tua sudah berjalan sesuai target

yang diinginkan. Kegiatan tersebut sudah

mencapai keberhasilan 100% dilaksanakan

oleh sekolah pada tahun 2014 dan 2015. Faktor

yang mendukung atas kelancaran kegiatan

tersebut tidak lepas dari peran serta semua

warga sekolah mulai dari kepala sekolah, guru,

tenaga kependidikan, komite sekolah, siswa

dan juga orang tua siswa.

b. Pengembangan Sarana dan Prasarana

Pada subprogram sarana dan prasarana

pendidikan kesehatan pihak sekolah belum

memiliki ruang konseling yang khusus

digunakan untuk membimbing dan memberi

arahan kepada siswa yang membutuhkan.

Belum adanya ruang konseling di SD Negeri

Kutowinangun 04 Salatiga dikarenakan sekolah

tidak mempunyai lahan yang cukup untuk

dibangun kelas konseling dan juga selain lahan,

sekolah juga terkendala dalam masalah dana

untuk memperlancar proses pembangunannya.

Pada implementasi pengembangan sarana

prasarana UKS sebagian besar sudah berjalan

dengan baik, sebagian besar peralatan UKS

yang ideal sudah tersedia di UKS SD Negeri

Kutowinangun 04 Salatiga. Pada implementasi

pengembangan sarana prasarana pendidikan

jasmani masih banyak indikator yang belum

mencapai target 100% yaitu pada indikator

ruang kelas memenuhi syarat kesehatan

(ventilasi dan pencahayaan), memiliki lapangan

terbuka dan atau aula, serta lapangan yang ada

layak untuk PBM penjas. Hal tersebut

dikarenakan pihak sekolah belum bisa

merenovasi ruang kelas yang memenuhi syarat

kesehatan seperti yang ada dalam peraturan.

c. Pengembangan Ketenagaan

Sebagian besar indikator dalam

pengembangan ketenagaan sudah mencapai

target, namun ada 2 indikator yang masih

kurang dari target yaitu memiliki guru BP/BK

dan juga memiliki guru Pembina UKS yang

terlatih dengan jumlah yang memadai di SD

Negeri Kutowinangun 04 Salatiga memang

tidak ada guru yang khusus menjadi guru

BP/BK untuk menangani masalah anak. Guru

BP/BK dirangkap oleh Guru Kelas dibawah

pengawasan dan bimbingan oleh kepala

sekolah.

d. Pengembangan Manajemen Sekolah

Implementasi pengembangan

manajemen sekolah yang diarahkan pada

pemenuhan desain kriteria Sekolah Sehat di SD

Negeri Kutowinangun 04 Salatiga sudah

dilaksanakan dengan baik, dari 12 indikator

dalam program pengembangan manajemen

sekolah hanya ada 1 indikator yang masih jauh

dari harapan yaitu ada forum diskusi kelompok

terarah dari pendidik sebaya/konselor sebaya.

Faktor yang menjadi kendala hal tersebut yaitu

pendidik sebaya yang masih berusia anak-anak

dan seharusnya dapat dijadikan contoh oleh

teman yang lain masih memiliki mental yang

kurang percaya diri untuk saling berdiskusi

bertukar pendapat dengan teman yang lain. Hal

tersebut membuat forum diskusi antar konselor

sebaya menjadi tidak berjalan dengan baik.

e. Pengembangan Program Kemitraan

Hampir semua kegiatan sudah

terlaksana dengan baik, terjadi peningkatan

pada setiap indikator dari tahun 2014 ke tahun

2015 walaupun semua indikator belum

mencapai 100% keberhasilan. Tetapi hal

tersebut bertentangan dengan indikator adanya

dukungan dari pemerintah daerah dan dewan.

Indikator tersebut belum bisa terwujud dengan

baik karena minimnya perhatian yang diberikan

oleh PEMDA dan dewan terhadap program

sekolah sehat. Kendala yang menghambat

pengembangan kemitraan memang berasal dari

waktu yang terbatas yang dimiliki oleh kepala

sekolah dan guru yang seharusnya

Page 78: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017

78

bertanggungjawab dalam menjalin kerjasama

dengan mitra.

f. Pengembanan Pembiayaan

Implementasi pengembangan

pembiayaan program sekolah sehat di SD

Negeri Kutowinangun 04 Salatiga sudah

berjalan dengan baik. Hanya saja perhatian dari

Pemerintah Daerah sangatlah minim, hal

tersebut dibuktikan oleh tidak adanya dukungan

dana dari APBD untuk program Sekolah Sehat.

Sekolah menggunakan dana BOS dan

dukungan dana dari pihak swasta dan orangtua

siswa. Faktor pendukung pengembangan

pembiayaan tersebut adalah adanya kesadaran

yang besar dari orangtua siswa untuk

mendukung setiap kegiatan program sekolah

sehat. Selain itu kemampuan menjalin

kerjasama dengan pihak swasta serta mengelola

keuangan dana BOS oleh pihak sekolah juga

sangat mempengaruhi pembiayaan sekolah

sehat.

4. Evaluasi Product Program Sekolah Sehat

di SD Negeri Kutowinangun 04 Salatiga

SD Negeri Kutowinangun 04 Salatiga

telah mencapai tujuan dan target program

Sekolah Sehat dengan baik. Tercapainya tujuan

dan target awal dibuktikan dengan nilai tes

kebugaran jasmani siswa per semester,

meningkatkan pola hidup bersih dan sehat

warga sekolah dibuktikan dengan prestasi siswa

yang mengalami peningkatan 5% per semester,

meningkatkan sarana dan prasarana penjas

yang sebelumnya hanya tersedia 50%

meningkat menjadi 85%, menciptakan

lingkungan sekolah yang bersih dan nyaman

untuk kegiatan belajar dibuktikan dengan

dokumentasi lingkungan SD Negeri

Kutowinangun 04 Salatiga.

Dampak yang telah dirasakan adalah

kesehatan siswa dan warga sekolah lain

menjadi lebih optimal ditunjukkan dengan nilai

tes kebugaran jasmani siswa meningkat 5% dari

65 menjadi 70. Hal tersebut memicu

konsentrasi siswa dalam melakukan aktifitas

PBM maupun kegiatan di luar kelas. Apabila

siswa fokus dan aktif dalam setiap kegiatan

maka akan berdampak pada meningkatnya

prestasi siswa baik akademik maupun non

akademik yang telah ditunjukkan dengan

meningkatnya prestasi siswa serta dapat

meningkatkan mutu sekolah. Program Sekolah

Sehat akan terus dilanjutkan di SD Negeri

Kutowinangun 04 Salatiga untuk tahun-tahun

berikutnya walaupun masih ada banyak

perbaikan dalam implementasi kegiatan

program.

Pembahasan

1. Evaluasi Context

Berdasarkan hasil penelitian yang

peneliti lakukan, evaluasi context program

Sekolah Sehat di SD Negeri Kutowinangun 04

Salatiga sudah sesuai dengan teori dan Juknis

dari pemerintah. Selain merupakan kebijakan

dari Pemerintah, program Sekolah Sehat juga

dibutuhkan oleh sekolah mengingat tingkat

kesehatan siswa yang sangat rendah. Tujuan

dan manfaat program Sekolah Sehat juga sangat

dirasakan dalam membantu sekolah mencapai

kualitas pendidikan yang optimal. Sasaran

program sekolah sehat sudah sesuai dengan

teori dan Juknis bahwa siswa merupakan

sasaran utama yang harus diperhatikan dalam

penyelenggaraan program Sekolah Sehat. Hasil

penelitian tersebut sejalan dengan penelitian

yang pernah dilakukan oleh Sari (2013) bahwa

tujuan dari pendidikan kesehatan adalah

mengubah perilaku yang tidak sehat menjadi

sehat baik pada individu, kelompok, dan

masyarakat. Siswa sebagai subjek dalam

pembelajaran pendidikan kesehatan diharapkan

mampu menerapkan hidup sehat dalam

kehidupan sehari-hari.

2. Evaluasi Input

Program Sekolah Sehat di SD Negeri

Kutowinangun 04 Salatiga dilihat dari segi

input sudah menjawab kebutuhan program

Page 79: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Evaluasi Program Sekolah Sehat di Sekolah Dasar Negeri | Siti Zubaidah, dkk.

79

yang terdiri dari 6 bidang pengembangan yaitu

(1) Pengembangan Program Pembelajaran, (2)

Pengembangan Sarana dan Prasarana, (3)

Pengembangan Ketenagaan, (4)

Pengembangan Manajemen Sekolah, (5)

Pengembangan Program Kemitraan, (6)

Pengembangan Pembiayaan. Masing-masing

bidang pengembangan terdiri atas beberapa

subprogram dan indikator kegiatan yang

disusun sesuai dengan Juknis yang ditentukan

pemerintah dan dilengkapi dengan SDM,

sarana dan prasarana serta dana yang memadai.

Hasil penelitian diatas sejalan dengan

penelitian Ahmad (2013) yang menyatakan

bahwa keberhasilan pencapaian suatu program

dipengaruhi oleh ketersediaan dana. Sejalan

dengan penelitian tersebut, hasil penelitian

Handayani (2008) juga menyatakan bahwa

fasilitas/sarana prasarana diposisikan sebagai

faktor pendukung untuk keberhasilan suatu

program.

3. Evaluasi Process

a. Pengembangan Program Pembelajaran

Pengembangan program pembelajaran

di SD Negeri Kutowinangun 04 Salatiga sudah

berjalan dengan baik yaitu tercapai lebih dari

80%. Pihak sekolah telah berusaha untuk

memaksimalkan pengembangan program

pembelajaran, karena mereka sadar dengan

program pembelajaran yang berkualitas maka

juga akan tercipta SDM yang berkualitas. Hal

tersebut sejalan dengan pendapat Abdul Majid

(2006) yang mengatakan bahwa pengembangan

pembelajaran perlu dikelola dengan baik agar

dapat mencapai hasil yang optimal. Untuk

mewujudkan hal tersebut, pengelolaan

pembelajaran merupakan kunci keberhasilan

menuju pembelajaran yang berkualitas.

b. Pengembangan Sarana dan Prasarana

Pengembangan sarana prasarana

pendidikan kesehatan pada program Sekolah

Sehat di SD Negeri Kutowinangun 04 Salatiga

telah dilaksanakan dengan baik, dari 11

indikator terdapat 10 indikator yang

pencapaiannya sudah 100%. Sarana prasarana

yang lengkap akan berdampak pada mutu

pendidikan di sekolah tersebut. Hasil penelitian

ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan

oleh Setyorini (2009) yang menemukan bahwa

Sarana dan prasarana yang baik sangat

membantu keberhasilan mutu pendidikan.

Semakin lengkap dan dimanfaatkan secara

optimal, sarana dan prasarana suatu sekolah

tentu semakin mempermudah murid dan guru

untuk mencapai target secara bersama-sama.

c. Pengembangan Ketenagakerjaan

Pengembangan ketenagaan di SD

Negeri Kutowinangun 04 Salatiga sudah cukup

baik. Sekolah sudah memiliki tenaga pengajar

pendidikan jasmani yang memenuhi

kualifikasi. Sejalan dengan Undang-Undang

Nomor 14 Tahun 2005 yang mengatakan bahwa

guru adalah tenaga pendidik yang profesional

yang bertugas mendidik, mengajar, melatih,

membimbing, dan mengevaluasi peserta didik.

Guru adalah tenaga pendidik yang

berpengalaman dalam bidang profesinya yang

memberikan sejumlah ilmu pengetahuan

kepada siswanya di sekolah. Dengan ilmu yang

dimilikinya, guru dapat menjadikan siswanya

menjadi cerdas dan memiliki pribadi yang baik.

d. Pengembangan Manajemen Sekolah

Pengembangan manajemen sekolah

berbasis pemenuhan kebutuhan kriteria desain

sekolah sehat di SD Negeri Kutowinangun 04

Salatiga sudah berjalan dengan baik. Kerjasama

dan tanggung jawab yang tinggi dari semua

warga sekolah merupakan kunci utama

suksesnya manajemen sekolah. Hasil tersebut

sejalan dengan pendapat Danim (2012) yang

mengatakan bahwa salah satu faktor pendukung

peningkatan mutu pendidikan di sekolah adalah

Jaringan Kerjasama, dimana jaringan

kerjasama tidak hanya terbatas pada lingkungan

sekolah dan masyarakat semata (orang tua dan

Page 80: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017

80

masyarakat) tetapi dengan organisasi lain,

seperti perusahaan / instansi sehingga output

dari sekolah dapat terserap didalam dunia kerja.

e. Pengembangan Program Kemitraan

Pengembangan program kemitraan di

SD Negeri Kutowinangun 04 Salatiga berjalan

cukup baik, hanya saja dukungan dari

pemerintah daerah dan dewan untuk program

Sekolah Sehat masih sangat rendah. Rendahnya

dukungan dari pemerintah daerah bertolak

belakang dengan pendapat Dwiyanto (2005)

yang mengatakan bahwa Pemerintah Daerah

seharusnya memiliki kebijakan untuk

memberikan pelayanan kepada masyarakat atau

institusi pendidikan terkait dengan program-

program yang ada dan dijalankan oleh

masyarakat atau lembaga terkait.

f. Pengembangan Pembiayaan

Pengembangan pembiayaan program

sekolah sehat di SD Negeri Kutowinangun 04

Salatiga sudah berjalan dengan baik. Dana

progam sekolah sehat berasal dari Pemerintah

Pusat dan bantuan dari orangtua siswa. Kepala

dan Bendahara Sekolah harus pandai dalam

mengalokasikan sebagian dana BOS untuk

digunakan dalam implementasi program

Sekolah Sehat. Hal tersebut sejalan dengan

pendapat Fattah (2009) mengatakan bahwa jika

tidak memungkinkan menggantungkan

sepenuhnya pada subsidi pemerintah

diperlukan kemampuan dalam menyerap dana

masyarakat, akan tetapi jangan sampai

membebani peserta didik dari latar belakang

keluarga yang kurang mampu.

4. Evaluasi Product

SD Negeri Kutowinangun 04 Salatiga

telah mencapai tujuan dan target program

Sekolah Sehat dengan baik. Dampak yang telah

dirasakan adalah kesehatan siswa dan warga

sekolah lain menjadi lebih optimal sehingga

dapat meningkatkan prestasi siswa baik

akademik maupun non akademik. Kesehatan

merupakan salah satu faktor penentu

keberhasilan belajar siswa, sejalan dengan

pendapat Kartono Kartini dalam Tulus Tu’u

(2004) bahwa faktor-faktor yang menghambat

prestasi belajar siswa antara lain penghambat

dari dalam dan penghambat dari luar.

Penghambat dari dalam meliputi salah satunya

adalah faktor kesehatan. Siswa yang

kesehatannya sering terganggu menyebabkan

anak tertinggal pelajarannya, oleh karena itu

orang tua dan sekolah harus memperhatikan

kesehatan anak-anaknya dengan makanan yang

bergizi dan pola hidup sehat, begitu juga

sebaliknya apabila kesehatan siswa optimal

maka anak akan maksimal dalam pelajarannya.

Program Sekolah Sehat akan terus dilanjutkan

di SD Negeri Kutowinangun 04 Salatiga untuk

tahun-tahun berikutnya walaupun masih ada

banyak perbaikan dalam implementasi kegiatan

program.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Pada evaluasi context, program Sekolah

Sehat di SD Negeri Kutowinangun 04 Salatiga

sudah sesuai dengan teori dan Juknis dari

pemerintah, Program Sekolah Sehat di SD

Negeri Kutowinangun 04 Salatiga dilihat dari

segi input sudah menjawab kebutuhan program

yang terdiri dari 6 bidang pengembangan yang

disusun sesuai dengan Juknis yang ditentukan

pemerintah dan dilengkapi dengan SDM,

sarana dan prasarana serta dana yang memadai.

Penyelenggaraan program Sekolah Sehat di SD

Negeri Kutowinangun 04 Salatiga dari segi

process telah dilaksanakan sesuai dengan

perencanaan program walaupun masih ditemui

kendala dalam pelaksanaannya yaitu terbatas

oleh biaya dan sarana prasarana. Product dari

penyelenggaraan program Sekolah Sehat di SD

Negeri Kutowinangun 04 Salatiga adalah a)

pembangunan fisik sekolah menjadi lebih baik

dan lengkap, b) bidang non fisik meliputi

peningkatan kesehatan dan kebugaran jasmani

warga sekolah, pola hidup bersih dan sehat

Page 81: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Evaluasi Program Sekolah Sehat di Sekolah Dasar Negeri | Siti Zubaidah, dkk.

81

warga sekolah, lingkungan sekolah menjadi

lebih bersih dan nyaman untuk belajar sehingga

akan berdampak pada peningkatan prestasi

siswa baik akademik maupun non akademik

serta peningkatan mutu sekolah. Program

Sekolah Sehat di SD Negeri Kutowinangun 04

Salatiga akan tetap dilanjutkan pada tahun-

tahun berikutnya mengingat banyak manfaat

yang positif baik untuk siswa maupun sekolah.

Saran

Terdapat beberapa saran yang peneliti

sampaikan guna perbaikan penyelenggaraan

program Sekolah Sehat pada periode

berikutnya, yaitu:

1. Bagi sekolah

a. Sekolah harus lebih intensif dalam

menjalin kerjasama dengan pihak lain

(swasta, komite, orangtua, APBD) dan

yang terkait dengan program sekolah

sehat lainnya untuk mendapatkan bantuan

dana dalam mendukung pelaksanaan

program.

b. Sekolah harus melengkapi sarana dan

prasarana yang belum dimiliki yaitu

ruang BP/BK, ruangan aula, ruang

khusus untuk pengumpulan hasil bank

sampah dan juga tempat untuk

pembuatan pupuk kompos.

2. Bagi Dinas Pendidikan

Dinas perlu melakukan monitoring dan

evaluasi terhadap penyelenggaraan program

sekolah sehat di sekolah-sekolah

penyelenggara program sekolah sehat,

khususnya di SD Negeri Kutowinangun 04

Salatiga. Dengan demikian, Dinas Pendidikan

dapat mengambil kebijakan berupa perbaikan

atau penyempurnaan proses penyelenggaraan

program Sekolah Sehat di masa datang.

3. Bagi Instansi pemberi dana (Direktorat

Pusat Pengembangan Kualitas Jasmani)

Program Sekolah Sehat sebaiknya tetap

dilanjutkan dengan penyempurnaan serta

dukungan dana mengingat banyak manfaat

yang diperoleh dari program ini.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul, Majid. 2006. Perencanaan

Pembelajaran. Bandung: PT Remaja

Rosdakarya

Ahmad, Asiah Hamzah dan Ida Leida Maria.

2013. Pelaksanaan Program Jaminan

Persalinan (Jampersal) Di Dinas

Kesehatan Kabupaten Buol. Jurnal

AKK, Vol. 2, No 2.Mei, hal: 19-28

Arikunto, Suharsimi dan Cepi Safrudin Abdul

Jabar. 2014. Evaluasi Program

Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara

Arthur Sue, Matt Barnard, DKK. 2011.

Evaluation Of National Healthy

Schools Programme. Department of

Health

Danim, Sudarwan. (2012). Inovasi Pendidikan

Dalam Upaya Peningkatan

Profesionalisme Tenaga Kependidikan.

Bandung: Pustaka Setia

Diana, Fivi Melva, dkk. 2013. Pelaksanaan

Program Perilaku Hidup Bersih dan

Sehat (PHBS) Di SD Negeri 001

Tanjung Balai Karimun. Jurnal

Kesehatan Masyarakat. Vol.8, No.1,

September, hal: 46-51

Dwiyanto, Agus. 2005. Mewujudkan Good

Governance Melalui Pelayanan Publik.

Yogyakarta: Gajah Mada University

Press.

Fattah, Nanang. (2009). Ekonomi dan

Pembiayaan Pendidikan. Bandung:

Remaja Rosdakarya

Page 82: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017

82

Hamiyah, Nur dan Jauhar. 2015. Pengantar

Manajemen Pendidikan Di Sekolah.

Jakarta: Prestasi Pustakaraya

Handayani, Lina. 2008. Evaluasi Program

Pemberian Makanan Tambahan Anak

Balita. FKM Universitas Ahmad

Dahlan, Yogyakarta

Hermiyanty, Lusia Salmawati, Fandi Oktavian.

2016. Evaluasi Implementasi Program

Sekolah Dasar Bersih dan Sehat Di

Kota Palu.

Irwandi, Satria. 2016. Peran Sekolah Dalam

Menumbuhkembangkan Perilaku Hidup

Sehat Pada Siswa Sekolah Dasar (Studi

Multi Situs Di SD Negeri 6 Mataram

dan SD Negeri 41 Mataram Kota

Mataram Nusa Tenggara Barat).

Malang: Manajemen Pendidikan

Pascasarjana-Universitas Negeri

Malang.

Kemendiknas Direktorat Jenderal Pendidikan

Dasar Tahun 2009 Tentang Panduan

Pengembangan Model Sekolah Sehat di

Indonesia

Sari, Indah Prasetyawati. 2013. Pendidikan

Kesehatan Sekolah Sebagai Proses

Perubahan Perilaku Siswa. Jurnal

Pendidikan Jasmani Indonesia. Volume

9, No 2, November, hal: 141-147

Setyorini dkk. 2009. Masalah Pendidikan di

Indonesia. Solo: Universitas Negeri

Sebelas Maret.

Sudijono, Anas. 2006. Pengantar Evaluasi

Pendidikan. Jakarta: Radja Grafindo

Persada.

Teguh A. 2012. Survei Pelaksanaan UKS dan

Pola Hidup Sehat Siswa SD Kelas V se-

Gusek Bramasari, Kecamatan Leksono,

Kabupaten Wonosobo Tahun 2012.

UNY

Tulus, Tu’u. 2004. Peran Disiplin Pada

Perilaku dan Prestasi Siswa. Jakarta :

PT. Gramedia Widia Sarana Indonesia.

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005

Tentang Guru dan Dosen

Wirawan. 2011. Evaluasi (Teori, Model,

Standar, Aplikasi, dan Profesi). Jakarta:

Rajagrafindo Persada.

Page 83: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Magister Manajemen Pendidikan FKIP Universitas Kristen Satya Wacana [email protected]

ISSN 2549-9661 Volume: 4, No. 1, Januari-Juni 2017

Halaman: 83-96

83

STRATEGI PENINGKATAN MUTU SEKOLAH BERDASARKAN

ANALISIS SWOT DI SEKOLAH MENENGAH PERTAMA

Edi Sujoko

Sekolah Tinggi Teologi Simpson

Kabupaten Semarang-Jawa Tengah

[email protected]

ABSTRACT

This research was a research and development study. The purpose of this research are

(1) Describe what factors are the strengths, weaknesses , opportunities and threats in

improving the quality in SMPN1 Bawen ;(2) Develop a strategy that needs to be done to

improve the quality SMPN1 Bawen based on SWOT analysis. Data was collected through

interviews, observation, study of document and focus group discussion (FGD). The results

of the SWOT analysis is to improve the quality of schools stated position SMPN1 Bawen

be in SO quadrant, which supports an aggressive strategy to support the growth of the

school created a strategic plan that leverages the power to capture the opportunities that

exist . Draft strategic aspects: inputs , processes , and outputs include : developing the

ideal school environment , through programs 7 K ( Health , Order , Beauty , Shade ,

Security , Comfort , and Kinship ) , Optimization of teacher professional development

programs , and improve academic achievement and non- academic as optimal as possible.

Keywords : Schools quality, SWOT Analysis, Strategic Plan.

Page 84: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017

84

PENDAHULUAN

Saat ini persaingan antar SMP tidak

dapat dihindarkan. Tiap sekolah memiliki

strategi sendiri untuk bersaing, hal tersebut

sudah menjadi tuntutan yang harus dilakukan

untuk memperbaiki mutu dan meningkatkan

mutu pendidikan. SMP di Kabupaten Semarang

dibagi menjadi 7 sub rayon, khususnya di

subrayon 02 terdapat 17 SMP. Dari 17 SMP

tersebut terdapat 6 sekolah negeri dan 11

sekolah swasta. Banyaknya SMP dalam

lingkup sempit membuat persaingan semakin

ketat. Hal ini menjadi masalah bagi SMP yang

kalah bersaing di mana mereka pasti akan

kesulitan untuk mendapatkan target peserta

didik baru yang diharapkan. Namun, bagi

sekolah yang siap dan mampu bersaing pasti

akan mendapatkan target yang diharapkan,

bahkan lebih.

Orang tua peserta didik biasanya

melihat dan mengukur sebuah sekolah baik atau

tidak dengan melihat prosentase kelulusan

peserta didik, nilai rata-rata yang dicapai

sekolah dan peringkat sekolah (Sumarni, 2011).

Maka hal ini menjadikan masing-masing

sekolah menengah pertama berlomba-lomba

menyusun strategi untuk meningkatkan mutu

sekolah dengan tujuan memiliki prosentase

kelulusan tinggi, nilai rata-ratanya tinggi dan

juga mendapatkan peringkat yang baik. Selain

dalam bidang akademis sekolah juga berlomba-

lomba untuk meningkatkan bidang non-

akademis, contohnya: kegiatan ekstrakurikuler

sekolah.

Keadaan tersebut juga dialami oleh

SMP Negeri 1 Bawen, yang terletak di Jl.

Soekarno-Hatta no. 54. Sekolah ini merupakan

sekolah yang paling strategis dibandingkan

dengan SMP yang lainnya di sub rayon 02

Kabupaten Semarang. Lokasinya terletak di

pinggir jalan raya dan semua angkutan umum

dapat menjangkau sekolah ini. Selain itu

sekolah memiliki luas area yang luas untuk

mengembangkan sekolah. Namun demikian

masih kalah saing dengan sekolah lainnya

dalam beberapa hal, salah satunya adalah

prestasi akademis. Sebagai contoh, adalah

peringkat ujian nasional dari tahun 2008 sampai

sekarang sekolah ini belum pernah menjadi

yang terbaik meskipun memiliki banyak

keunggulan dari beberapa sisi. Berikut ini

adalah data yang menunjukkan bahwa SMP

Negeri 1 Bawen belum bisa mengoptimalkan

potensi yang ada. Pada Tabel dibawahinidapat

dilihat data prosentase kelulusan dan peringkat

lulusan tahun 2008/2009 s.d. 2012/2013.

Tabel 1 Prosentase Kelulusan dan Peringkat SMPN 1 Bawen Tahun 2008/2009 s.d. 2012/2013

TahunPelajaran Prosentasekel

ulusan

Rata-

rata

Nilai

Jumlah

yang

tidak

Lulus

Peringkat

Sekolah

2008/2009 100 % 7.09 0 3

2009/2010 89.02 % 6.63 29 3

2010/2011 100 % 7.02 0 3

2011/2012 100 % 7.10 0 2

2012/2013 99.60 % 6.50 1 2 Sumber: Data Sekunder, diolah

Tahun 2008/2009 prosentase

kelulusannya 100% dengan peringkat 3,

sedangkan tahun 2009/2010 prosentase

kelulusan turun drastis menjadi 89,02% dengan

peringkat 3. Meskipun ada sekitar 29 anak yang

tidak lulus, tetapi mereka mendapatkan

kesempatan untuk mengulangnya dan akhirnya

lulus 100%. Ditahun 2012/2013 ada 1 peserta

didik yang tidak lulus dan peringkat sekolah

meningkat menjadi 2. Namun pada tahun

Page 85: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Strategi Peningkatan Mutu Sekolah Berdasarkan Analisis SWOT di Sekolah Menengah Pertama | Edi Sujoko

85

tersebut tidak ada ujian ulang sehingga satu

peserta didik yang tidak lulus harus diikutkan

paket C.

Dalam bidang non-akademis SMPN 1

Bawen juga belum menunjukkan prestasi yang

memuaskan dari waktu ke waktu, meskipun ada

beberapa cabang kegiatan ekstrakurikuler yang

sudah memiliki prestasi yang cukup baik.

Berikut ini data kegiatan non-akademis yang

diselenggarakan sekolah beserta kejuaraan

yang diperoleh.

Tabel 2 Prestasi Bidang Non – Akademis Tingkat Kecamatan, Kabupaten dan Propinsi

Sumber : Data Sekunder, diolah

Selama kurun waktu sekitar 4 tahun

pencapaian bidang non-akademis SMPN 1

Bawen masih kurang memuaskan. Sekolah

jarang mendapatkan nomor kejuaraan di tingkat

kabupaten apalagi provinsi. Berdasarkan

pengamatan dan wawancara dengan Kepala

Sekolah SMPN 1 Bawen dan beberapa guru hal

tersebut disebabkan kurang optimalnya

pembimbing dalam melakukan pembimbingan

serta masih rendahnya motivasi peserta didik

dalam mengikuti kegiatan non-akademis

tersebut.

Melihat data-data di atas, maka bisa

dikatakan bahwa SMPN 1 Bawen perlu strategi

alternatif untuk meningkatkan mutu pendidikan

agar mampu bersaing. Guna meningkatkan

mutu pendidikan ditentukan oleh aspek input,

proses , dan output yang ada pada sekolah

tersebut, dengan melakukan perbaikan secara

berkesinambungan.

Manajemen strategis semakin penting

arti dan manfaatnya apabila diingat bahwa

lingkungan organisasi mengalami perubahan

yang semakin cepat dan komplek, sehingga

keberhasilan manajemen strategis ditentukan

oleh para manajer atau pimpinannyadalam

proses peningkatan mutu pendidikan secara

berkesinambungan. Menurut Rindaningsih

(2009) pengertian manajemen strategis adalah

proses atau rangkaian kegiatan pengambilan

keputusan yang bersifat mendasar dan

menyeluruh, disertai penetapan cara

Jenis Kegiatan

Peringkat yang diperoleh

2011 2012 2013 2014

Kec

.

Kab

.

Pro

p.

Kec

.

Kab

.

Pro

p.

Kec

.

Kab

.

Pro

p.

Kec

.

Kab

.

Pro

p.

Pramuka - - - - 2 - - - - - - -

PMR - - - - - - - - - - - -

Band - 1 - - 2 - - 3 - - 3 -

Vocal - - - - - - - 3 - - - -

Seni Lukis - 1 - - 1 - - - - - - -

Rebana - - - 1 - - - - - - - -

Pildacil - - - - - - 1 1 - - 1 -

Pencak Silat 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

Bola Voli - - - - 2 - - - - - - -

Basket - - - - - - - 3 - - - -

Sepak Bola- - 1 - - 1 - - 1 - - 1 3

Bulutangkis - 2 - - 2 - - 2 - - - -

Renang - - - - - - - - - - - -

Jurnalistik - - - - - - - - - - - -

Page 86: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017

86

pelaksanaannya, yang dibuat oleh manajemen

puncak dan diimplementasikan oleh seluruh

jajaran di dalam suatu organisasi, untuk

mencapai tujuannya.

Hal penting selanjutnya guna mencapai

mutu pendidikan yang optimal danber-

kesinambungan adalah rencana strategis

pendidikan. Dalam penelitian ini adalah

rencana yang dilakukan oleh stakeholder

sekolah dengan memperhatikan prinsip

perbaikan hasil pendidikan, membawa

perubahan yang lebih baik, prioritas

kebutuhan, partisipasi, keterwakilan, realitas

sesuai dengan hasil analisis SWOT,

mendasarkan pada hasil review dan evaluasi,

keterpaduan menyeluruh, transparan, dan

keterkaitan serta kesepadanan secara vertikal

dan horizontal dengan rencana-rencana lain.

Mutu pendidikan tidak hanya

ditentukan oleh sekolah sebagai lembaga

pengajaran tetapi juga disesuaikan dengan apa

yang menjadi harapan dan pandangan

masyarakat yang cenderung berkembang

seiring dengan kemajuan jaman. Bertitik tolak

pada kecenderungan ini penilaian masyarakat

tentang mutu lulusan sekolahpun terus

berkembang. Karena itu sekolah harus terus-

menerus meningkatkan mutu lulusannya

dengan menyesuaikan dengan perkembangan

tuntutan masyarakat menuju pada mutu

pendidikan yang dilandasi tolok ukur norma

ideal (Sumarni, 2011).

Lewis dan Smith (dalam Tjiptono &

Diana, 2003) mengatakan bahwa pendekatan

sistem terbuka menekankan kebutuhan kualitas

pada ketiga tahap utama, yaitu akreditasi,

proses transformasi, dan assessment. Akreditasi

berkaitan dengan input, sedangkan assessment

berkaitan dengan output. Input meliputi

kemampuan dasar peserta didik, sumber daya

pendanaan, fasilitas, dan program. Proses

meliputi desain pembelajaran, metode

pembelajaran, dan sistem analisis data.

Sedangkan output adalah prestasi peserta didik

dan pasca kelulusan.

Mutu tidak terjadi begitu saja, namun

perlu suatu proses perencanaan. Mutu menjadi

bagian penting dari strategi institusi dan harus

didekati secara sistematis dengan

menggunakan proses perencanaan strategis.

Tanpa arahan jangka panjang yang jelas,

sekolah sebagai sebuah institusi pendidikan

tidak dapat merencanakan peningkatan mutu

(Rozari, 2011). Oleh sebab itu rencana strategis

peningkatan mutu mutlak dilakukan oleh

institusi pendidikan untuk mempertahankan

sekolah dari persaingan yang semakin ketat.

Rencana strategis merupakan rencana

komprehensif dengan melibatkan semua

sumber dan kemampuan untuk meningkatkan

kualitas proses belajar mengajar, mencapai

sasaran sekolah, dan juga memenangkan

persaingan yang ada.

Rencana strategis peningkatan

mutu sekolah dalam implementasinya tidak

lepas dari manajemen peningkatan mutu

sekolah. Berkaitan dengan hal ini, Usman

(2002) menyatakan bahwa manajemen

peningkatan mutu memiliki prinsip (1)

peningkatan mutu harus dijalankan di sekolah,

(2) peningkatan mutu hanya dapat dilaksanakan

dengan adanya kepemimpinan yang baik, (3)

peningkatan mutu harus didasarkan pada data

dan fakta baik bersifat kualitatif maupun

kuantitatif, (4) peningkatan mutu harus

memberdayakan dan melibatkan semua unsur

yang ada di sekolah, (5) peningkatan mutu

memiliki tujuan bahwa sekolah dapat

memberikan kepuasan kepada peserta didik,

orang tua dan masyarakat.

Dalam merumuskan rencana strategis

untuk meningkatkan mutu sekolah diperlukan

alat analisa. Adapun alat analisa yang sering

digunakan adalah analisa SWOT. SWOT

adalah singkatan dari Strengths, Weaknesses,

Opportunities, dan Threats. Rangkuti (2009)

menjelaskan Strengths adalah beberapa hal

yang merupakan kelebihan dari sekolah yang

bersangkutan. Weaknesses adalah komponen-

komponen yang kurang menunjang

Page 87: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Strategi Peningkatan Mutu Sekolah Berdasarkan Analisis SWOT di Sekolah Menengah Pertama | Edi Sujoko

87

KUADRAN I

keberhasilan penyelenggaraan pendidikan yang

ingin dicapai sekolah. Opportunity adalah

kemungkinan-kemungkinan yang dapat dicapai

apabila potensi-potensi yang ada di sekolah

mampu dikembangkan secara optimal. Threats

adalah kemungkinan yang mungkin terjadi atau

pengaruh terhadap kesinambungan dan

keberlanjutan kegiatan penyelenggaraan

sekolah. Berikut ini adalah diagram analisis

SWOT.

BERBAGAI

PELUANG

(O)

2. Mengubah Strategi ( - , +) 1. Strategi Agresif (+, +)

KELEMAHAN

INTERNAL(W)

KEKUATAN

INTERNAL(S)

3. Strategi bertahan (- , - ) 4. Strategi Diversifikasi (+, - )

Gambar 1 Diagram Analisis SWOT

Sumber: Rangkuti, 2009

Berdasarkan latar belakang di atas maka

rumusan masalah yang dapat diangkat dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Apa saja yang menjadi faktor kekuatan,

kelemahan, peluang dan ancaman dalam

meningkatkan mutu di SMPN 1 Bawen?

2. Strategi apa saja yang perlu dilakukan

untuk meningkatkan mutu SMPN 1 Bawen

berdasarkan analisis SWOT?

Berdasarkan rumusan masalah di atas

maka yang menjadi tujuan dalam penelitian ini

adalah:

1. Mendeskripsikan faktor apa saja yang

menjadi kekuatan, kelemahan, peluang dan

ancaman dalam meningkatkan mutu di

SMPN 1 Bawen;

2. Menyusun strategi yang perlu dilakukan

untuk meningkatkan mutu SMPN 1 Bawen

berdasarkan analisis SWOT.

METODE PENELITIAN

Desain yang digunakan untuk penelitian

ini adalah desain penelitian pengembangan.

Dalam penelitian ini dibatasi sampai

menghasilkan produk saja yaitu sampai

menghasilkan rencana strategis peningkatan

mutu SMPN 1 Bawen. Penelitian dilakukan di

SMPN 1 Bawen yang berlokasi di Jl. Soekarno

– Hatta No. 54 Bawen. Penelitian berlangsung

pada tanggal 1 Agustus 2014 sampai dengan 27

Agustus 2014. Data primer dari penelitian ini

adalah data yang didapatkan secara langsung

dari objek yang diteliti, diperoleh dari data

pertama atau pihak yang dianggap paling tepat

untuk memberikan informasi. Dalam penelitian

ini data primer berupa faktor-faktor kekuatan,

kelemahan, peluang, dan ancaman bagi

peningkatan mutu sekolah di SMPN 1 Bawen.

Subjek utama dalam penelitian ini adalah

kepala sekolah, guru, staf, dan komite.

KUADRAN II KUADRAN IV

KUADRAN III

BERBAGAI

ANCAMAN (T)

Page 88: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017

88

Gambar 2 Desain Penelitian

(Diadaptasi dari Sugiyono dan Arikunto)

Sedangkan data sekunder adalah data

yang telah diolah lebih lanjut dan disajikan

dengan baik oleh pengumpul data atau pihak

lain. Dalam penelitian ini data sekunder

diperoleh dari sumber tertulis melalui studi

dokumentasi seperti profil sekolah, data guru,

hasil kelulusan peserta didik, rencana strategis

sekolah, prestasi akademik dan non-akademis,

daftar inventaris, dan jumlah peserta didik.

Metode pengumpulan data dari penelitian dapat

dilihat melalui tabel sebagai berikut:

Tabel 3 Metode Pengumpulan Data

No Data Sumber Data

Metode

Pengumpulan

Data

Instrumen

1

Bagaimana rencana strategis

sekolah di-susun dan

dampaknya selama ini.

Dokumen, kepala

sekolah, guru, staff,

dan komite sekolah

Studi dokumen, dan

teknik wawancara

Pedoman

wawancara

2 Kekuatan, kelemahan,

peluang, dan ancaman

Kepala sekolah, guru,

staff, dan komite

sekolah

FGD Pedoman FGD

3 Fasilitas sekolah, kegiatan

sekolah. Bukti fisik Observasi Lembar obser-vasi

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Analisis SWOT SMPN 1 Bawen

a. Rencana Strategis Peningkatan Mutu

Sekolah Aspek Input

Tabel 4 Skor Akhir IFAS dan EFAS Aspek Input

IFAS EFAS

Kategori Total

Skor

Kategori Tota

l

Skor

Kekuatan (S) 4,01 Peluang (O) 3,50

Kelemahan

(W)

3,00 Ancaman

(T)

2,70

Total (S-W) 1,01 Total (S-T) 0,80

Dari hasil matrik IFAS dan EFAS

diketahui skor akhir IFAS adalah 1,01 dan

total skor akhir EFAS adalah 0,80. Hasil

tersebut kemudian ditunjukkan melalui matrik

SWOT di bawah ini:

Menyusun Rancangan Penelitian

Potensi dan Masalah Pengumpulan data

Desain ProdukValidasi Desain

PenelitianPerbaikan Desain

Page 89: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Strategi Peningkatan Mutu Sekolah Berdasarkan Analisis SWOT di Sekolah Menengah Pertama | Edi Sujoko

89

Gambar 3 Matrik SWOT Skor Akhir IFAS dan EFAS Aspek Input

Tabel 4 Rencana Strategis Berdasarkan Hasil Analisis SWOT

Faktor Eksternal Peluang

Faktor Internal Min

at ti

nggi

ora

ng t

ua

men

yek

ola

hkan

anak

ke

SM

PN

1

Baw

en.

Per

ekem

ban

gan

TIK

sem

akin

mudah

untu

k d

iakse

s

Hubungan

yan

g s

angat

bai

k

den

gan

din

as p

endid

ikan

kab

upat

en

Sem

akin

men

ingkat

nya

per

an

kom

ite

Ban

yak

fih

ak l

uar

yan

g t

erta

rik

untu

k bek

erja

sam

a

1 2 3 4 5

Kekuatan Strategi S - O (Strength - Opportunity)

Lokasi sekolah sangat strategis 1. Mengembangkan lingkungan sekolah menuju komunitas

belajar yang ideal, yaitu melalui program 7 K (Kebersihan,

Ketertiban, Keindahan, Kerindangan, Keamanan, Kenyamanan,

dan Kekeluargaan).

2. Membentuk klub-klub prestasi untuk mengembangkan potensi

peserta didik, baik dari sisi akademis ataupun non akademis.

3. Memberdayakan tenaga pendidik dan kependidikan melalui

pelatihan-pelatihan intensif sehingga akan meningkatkan

kinerja.

4. Pengembangan fasilitas sekolah berbasis TIK sebagai sarana

untuk belajar peserta didik.

5. Dibentuk Tim Evaluasi program dan kegiatan sekolah secara

efektif dan efisien.

98 % guru berpendidikan S1

Kamampuan dasar peserta didik baik

Jumlah buku ajar untuk guru dan

peserta didik mencukupi

Kemampuan manajemen kepala

sekolah cukup baik

Dana untuk operasi sekolah

mencukupi

Fasilitas cukup lengkap

- 4

- 3

- 2

- 1

- -1

- -2

- -3

- -4

I I I I I I I I

-4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4

Ancaman

Kekuatan Kelemahan

Peluan

g

Kuadran 1 ( S – O)

Strategi Agresif

Memanfaatkan kekuatan untuk

menangkap peluang yang ada

(1,01; 0,08)

Page 90: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017

90

Berdasarkan hasil analisis SWOT

tersebut maka rencana strategis yang perlu

dibuat sebagai upaya peningkatan mutu sekolah

untuk aspek input di SMPN 1 Bawen adalah

sebagai berikut: (1) Mengembangkan

lingkungan sekolah menuju komunitas belajar

yang ideal, yaitu melalui program 7 K

(Kebersihan, Ketertiban, Keindahan,

Kerindangan, Keamanan, Kenyamanan, dan

Kekeluargaan); (2) Membentuk klub-klub

prestasi untuk mengembangkan potensi peserta

didik, baik dari sisi akademis ataupun non

akademis; (3) Mengoptimalkan peran kepala

sekolah dalam memberdayakan dan melatih

kepemimpinan dan manajerial tenaga pendidik

dan dan tenaga kependidikan; (4)

Pengembangan fasilitas sekolah berbasis TIK

sebagai sarana untuk belajar peserta didik; (5)

Dibentuk Tim Evaluasi program dan kegiatan

sekolah secara efektif dan efisien.

b. Rencana Strategis Peningkatan Mutu

Sekolah Aspek Proses

Setelah mengidentifikasi berbagai

faktor kekuatan, kelemahan, peluang dan

ancaman untuk aspek proses kemudian diberi

bobot dan skor maka hasil perhitungan untuk

total skor akhir adalah sebagai berikut ini:

Tabel 5 Skor Akhir IFAS dan EFAS Aspek Proses

IFAS EFAS

Kategori Total

Skor

Kategori Total

Skor

Kekuaran (S) 3,80 Peluang (O) 3,60

Kelemahan (W) 2,75 Ancaman (T) 2,90

Total (S-W) 1,05 Total (S-T) 0,70

Dari hasil matrik IFAS dan EFAS

diketahui skor akhir IFAS adalah 1, 05 dan

total skor akhir EFAS adalah 0,70. Hasil

tersebut kemudian ditunjukkan melalui matrik

SWOT di bawah ini:

Gambar 4 Matrik SWOT Skor Akhir IFAS dan EFAS Aspek Proses

- 4

- 3

- 2

- 1

- -1

- -2

- -3

- -4

I I I I I I I I

-4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4

Ancaman

Kekuatan Kelemahan

Peluang

Sel 1 ( S – O)

Strategi Agresif

Memanfaatkan kekuatan

untuk menangkap peluang

yang ada

(1,05; 0,70)

Page 91: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Strategi Peningkatan Mutu Sekolah Berdasarkan Analisis SWOT di Sekolah Menengah Pertama | Edi Sujoko

91

Tabel 5 Rencana Strategis Berdasarkan Hasil Analisis SWOT

Faktor Eksternal

Peluang

Faktor Internal Sem

akin

men

ing

kat

ny

a k

esad

aran

ora

ng

tu

a p

enti

ng

ny

a k

ual

itas

pen

did

ikan

Lo

kas

i se

ko

lah

diw

ilay

ah i

nd

ust

ri,

pas

ar,

dan

per

kan

tora

n s

ehin

gg

a id

eal

un

tuk

pem

bel

ajar

an k

on

tek

stual

.

Sem

akin

ban

yak

ny

a k

egia

tan

pen

gem

ban

gan

pro

fesi

gu

ru

Sem

akin

mel

imp

ahn

ya

med

ia

pem

bel

ajar

an

Ad

any

a p

erh

atia

n k

hu

sus

dar

i

pem

erin

tah

kab

up

aten

ter

had

ap

sek

ola

h.

Ad

any

a b

eap

eser

ta d

idik

bag

i g

uru

un

tuk

mel

anju

tkan

pen

did

ikan

ke

un

iver

sita

s d

alam

neg

eri

mau

pu

n l

uar

neg

eri.

1 2 3 4 5 6

Kekuatan Strategi S - O (Strength - Opportunity) Kualifikasi pendidikan guru

sesuai dengan pelajaran yang

diampu.

1. Mengoptimalkan kegiatan-kegiatan pengembangan profesi guru

baik di tingkat lokal sekolah ataupun diluar sekolah dengan menitik

beratkan kualitas bukan sekedar mengikuti kegiatan sebagai

formalitas.

2. Mengembangkan pembelajaran yang aktif, Inovatif, kreatif, efektif

dan menyenangkan, sesuai dengan K.13

3. Dibentuk Tim Evaluasi yang efektif dan efisien untuk memantau

dan memastikan kemampuan profesi guru berkembang dari sisi

kualitas.

4. Mengoptimalkan program dan kegiatan ekstrakurikuler mulai dari

perencanaan, pelaksanaan sampai evaluasi untuk mencapai target-

target yang diharapkan.

5. Lebih meningkatkan kerjasama dengan pengajar atau pelatih dari

luar sekolah untuk mengoptimalkan mutu prestasi non akademis

(ekstrakurikuler).

6. Mengembangkan program character building untuk peserta didik.

KKM sekolah minimal 75

Terdapat banyak kegiatan

ekstrakurikuler yang

diselenggarakan oleh sekolah

Kemampun manajemen kepala

sekolah cukup baik

Adanya jam tambahan untuk

kelas IX

Guru mau mengikuti kegiatan

pengembangan profesi.

Berdasarkan hasil analisis SWOT

tersebut maka rencana strategis yang perlu

dibuat sebagai upaya peningkatan mutu sekolah

untuk aspek prosesdi SMPN 1 Bawen adalah

sebagai berikut: (1) Mengoptimalkan kegiatan-

kegiatan pengembangan profesi guru baik di

tingkat lokal sekolah ataupun di luar sekolah

dengan menitikberatkan kualitas bukan sekedar

mengikuti kegiatan sebagai formalitas; (2)

Mengembangkan pembelajaran yang aktif,

inovatif, kreatif, efektif dan menyenangkan,

sesuai dengan K.13; (3) Dibentuk Tim Evaluasi

yang efektif dan efisien untuk memantau dan

memastikan kemampuan profesi guru

berkembang dari sisi kualitas; (4)

Mengoptimalkan program dan kegiatan

ekstrakurikuler mulai dari perencanaan,

pelaksanaan sampai evaluasi untuk mencapai

target-target yang diharapkan; (5) Lebih

meningkatkan kerjasama dengan pengajar atau

pelatih dari luar sekolah untuk mengoptimalkan

mutu prestasi non akademis (ekstrakurikuler);

(6) Supervisi dan monitoring efektif dan efisien

yang dilakukan oleh kepala sekolah.

c. Rencana Strategis Peningkatan Mutu

Sekolah Aspek Output

Setelah mengidentifikasi berbagai

faktor kekuatan, kelemahan, peluang dan

ancaman untuk aspek output kemudian diberi

bobot dan skor maka hasil perhitungan untuk

total skor akhir adalah sebagi berikut ini:

Page 92: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017

92

Tabel 6 Skor Akhir IFAS dan EFAS Aspek Output

IFAS EFAS

Kategori Total

Skor

Kategori Total

Skor

Kekuatan (S) 3,70 Peluang (O) 4,20

Kelemahan (W) 3,20 Ancaman (T) 3,30

Total (S-W) 0,50 Total (O-T) 0,90

Dari hasil matrik IFAS dan EFAS

diketahui skor akhir IFAS adalah 0,50 dan

total skor akhir EFAS adalah 0,90. Hasil

tersebut kemudian ditunjukkan melalui matrik

SWOT di bawah ini:

Gambar 5 Matrik SWOT Skor Akhir IFAS dan EFAS Aspek Proses

- 4

- 3

- 2

- 1

- -1

- -2

- -3

- -4

I I I I I I I I

-4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4

Ancaman

Kekuatan

Kelemahan

Peluang

Kuadran 1 ( S – O)

Strategi Agresif

Memanfaatkan kekuatan untuk

menangkap peluang yang ada

(0,50; 0,90)

Page 93: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Strategi Peningkatan Mutu Sekolah Berdasarkan Analisis SWOT di Sekolah Menengah Pertama | Edi Sujoko

93

Tabel 7 Rencana Strategis Berdasarkan Hasil Analisis SWOT

Faktor Eksternal Peluang

Faktor Internal

Kep

erca

yaa

n m

asyar

akat

terh

adap

sek

ola

h t

ing

gi

Har

apan

ora

ng

tu

a ag

ar tu

a

aga

lulu

san

tid

ak h

nya

ber

pre

stas

i d

alam

bid

ang

akad

emis

tet

api

juga

no

n

akad

emis

Lu

lusa

n m

emil

iki

kar

akte

r

ku

at.

Pel

aung

men

jali

n h

ub

un

gan

ker

ja s

ama

yan

g l

ebih

era

t

den

gan

mas

yar

akat

dan

alum

ni.

1 2 3 4

Kekuatan Strategi S - O (Strength - Opportunity) Pencapaian prestasi non

akademis kegiatan non

akademis (ekstrakurikuler)

semakin lebih baik.

a. Meningkatkan prestasi non-akademis sekolah dengan

seoptimal mungkin.

b. Meningkatkan pembelajaran yang menitikkan pada

pembangunan karakter peserta didik untuk membangun

image positif.

c. Membangun jaringan alumni yang lebih efektif dan

terorganisir.

d. Melakukan terobosan-terobosan untuk percepatan

pencapaian prestasi akademis.

Peringkat sekolah dari tahun ke

tahun mulai meningkat

Prosentase jumlah kelulusan

dari tahun ke tahun meningkat.

Banyak peserta didik diterima di

sekolah favorit.

Berdasarkan hasil analisis SWOT

tersebut maka rencana strategis yang perlu

dibuat sebagai upaya peningkatan mutu sekolah

untuk aspek output di SMPN 1 Bawen adalah

sebagai berikut: (1) Meningkatkan prestasi non-

akademis sekolah dengan seoptimal mungkin;

(2) Meningkatkan pembelajaran yang

menitikberatkan pada pembangunan karakter

peserta didik untuk membangun image positif;

(3) Membangun jaringan alumni yang lebih

efektif dan terorganisir; (4) Melakukan

terobosan-terobosan untuk percepatan

pencapaian prestasi akademis.

Hasil penelitian ini menunjukkan

bahwa perencanaan strategis yang disusun

secara sistematis berdasarkan analisis SWOT

dapat menghasilkan produk renstra yang

nantinya diharapkan dapat meningkatkan mutu

pendidikan sekolah. Hal itu sesuai dengan

pendapat Rangkuti (2009) yang menjelaskan

dengan analisis SWOT dapat diketahui

Strengths atau hal-hal yang merupakan

kelebihan dari organisasi; Weaknesses atau

komponen-komponen yang kurang menunjang

keberhasilan penyelenggaraan organisasi;

Opportunity atau kemungkinan-kemungkinan

yang dapat dicapai apabila potensi-potensi yang

ada dalam organisasi mampu dikembangkan

secara optimal, dan Threats atau kemungkinan

yang mungkin terjadi atau pengaruh terhadap

kesinambungan dan keberlanjutan

organisasi.Melalui analisis SWOT pula dapat

diketahui pada posisi kuadran manakah

organisasi yang bersangkutan. Dalam

penelitian ini, hasil analisis SWOT

menunjukkan bahwa baik pada aspek input,

proses maupun output semuanya berada pada

kuadran S-O yang bermakna bahwa organisasi

tersebut kuat dan berpeluang untuk

memenangkan persaingan dan rekomendasi

strategi yang diberikan adalah progresif, artinya

organisasi dalam kondisi prima dan mantap

sehingga sangat dimungkinkan untuk terus

melakukan ekspansi, memperbesar

Page 94: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017

94

pertumbuhan dan meraih kemajuan secara

maksimal.

Hal tersebut senada dengan penelitian

yang dilakukan oleh Rozari pada tahun 2011 di

SMK St. Petrus Comoro Dili Timor Leste. Juga

sesuai dengan hasil penelitian Suharti pada

tahun 2013 di SDN 1 Ngadirejo Kecamatan

Ngadirejo Kabupaten Temanggung dan hasil

penelitian Sumarni pada tahun 2011 di SMP

Kristen Satya Wacana Salatiga yang

mengungkapkan bahwa untuk menggali

kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman

suatu organisasi dibutuhkan media analisa yang

akurat yaitu analisa SWOT yang selanjutnya

digunakan untuk menentukan posisi kuadran.

Dari posisi kuadaran masing-masing organisasi

selanjutnya diturunkan menjadi rancangan

rencana strategis.

Berdasarkan hasil penelitian ini

diharapkan penyusunan renstra dapat menjadi

titik tolak peningkatan mutu sekolah,

mengevaluasi diri dengan analisis SWOT akan

semakin memantapkan pijakan perencanaan.

Sekolah akan tahu persis dititik mana posisinya

berada dengan segala kelebihan, kekurangan,

peluang, dan hambatan yang dimiliki, dengan

demikian perencanaan akan lebih matang.

Sehingga tidak ada istilah, renstra hanya

sebagai formalitas pelengkap administrasi.

Tidak adalagi menyusun renstra dengan

mengcopy renstra sekolah lain, karena tiap

sekolah pasti memiliki analisis SWOT yang

berbeda. Jika sekolah sadar akan betapa

pentingnya sebuah renstra untuk peningkatan

mutu sekolah, maka seyogyanya sekolah harus

berbenah dan serius dalam menyusun renstra.

Seperti pepatahs aat orang gagal

merencanakan, maka ia sedang merencanakan

kegagalan. Begitu juga saat sekolah gagal

menyusun renstra, maka jangan berharap

bahwa mutu sekolah akan meningkat.

SIMPULANDANSARAN

Simpulan

Berdasarkan hasil analisis dan

pembahasan, maka kesimpulan yang dapat

diambil adalahhasil analisis SWOT dari aspek

input, proses, dan output untuk meningkatkan

mutu sekolah menunjukkan posisi SMPN 1

Bawen berada pada kuadran I (SO) yang

mendukung pada strategi agresif untuk

mendukung pertumbuhan mutu sekolah maka

dibuatlah rencana strategis yang menggunakan

kekuatan dari lingkungan internal sekolah

untuk dapat menangkap peluang dari

lingkungan eksternal sekolah.

Rencana strategis yang dibuat untuk

meningkatkan mutu dari aspek input adalah: (1)

Mengembangkan lingkungan sekolah menuju

komunitas belajar yang ideal, yaitu melalui

program 7 K (Kebersihan, Ketertiban,

Keindahan, Kerindangan, Keamanan,

Kenyamanan, dan Kekeluargaan); (2)

Membentuk klub-klub prestasi untuk

mengembangkan potensi peserta didik, baik

dari sisi akademis ataupun non akademis; (3)

Mengoptimalkan peran kepala sekolah dalam

memberdayakan dan melatih kepemimpinan

dan manajerial tenaga pendidik dan tenaga

kependidikan; (4) Pengembangan fasilitas

sekolah berbasis TIK sebagai sarana untuk

belajar peserta didik; (5) Dibentuk Tim

Evaluasi program dan kegiatan sekolah secara

efektif dan efisien.

Rencana strategis yang dibuat untuk

meningkatkan mutu aspek proses: (1)

Mengoptimalkan kegiatan-kegiatan

pengembangan profesi guru baik di tingkat

lokal sekolah ataupun di luar sekolah dengan

menitikberatkan kualitas; (2) Mengembangkan

pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif,

efektif dan menyenangkan; (3)

Mengoptimalkan program dan kegiatan

ekstrakurikuler mulai dari perencanaan,

pelaksanaan sampai evaluasi untuk mencapai

target-target yang diharapkan; (4) lebih

meningkatkan kerjasama dengan pengajar atau

pelatih baik dari luar ataupun dari dalam

Page 95: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Strategi Peningkatan Mutu Sekolah Berdasarkan Analisis SWOT di Sekolah Menengah Pertama | Edi Sujoko

95

sekolah untuk mengoptimalkan mutu prestasi

non akademis (ekstrakurikuler).

Rencana strategis yang dibuat untuk

meningkatkan mutu aspek output adalah; (1)

Meningkatkan prestasi non-akademis sekolah

dengan seoptimal mungkin; (2) Meningkatkan

pembelajaran yang menitikberatkan pada

pembangunan karakter peserta didik untuk

membangun image positif; (3) Membangun

jaringan alumni yang lebih efektif dan

terorganisir; (4) Melakukan terobosan-

terobosan untuk percepatan pencapaian prestasi

akademis.

Saran

Berdasarkan hasil penelitian ini, saran

yang dapat diberikan adalah:

a. Bagi Kepala Sekolah

Hasil analisis SWOT posisi SMPN 1

Bawen berada pada posisi kuadran I (SO) yang

mendukung pada strategi agresif yang

mendukung pertumbuhan dengan

memanfaatkan kekuatan yang dimiliki sekolah

untuk menangkap peluang yang ada. Hal

tersebut perlu keterlibatan semua komponen

sekolah dan fihak stakeholder.

Kepala sekolah sebagai manajemen

puncak seyogianya bertanggung jawab penuh

terhadap pengelolaan dan pemanfaatan semua

potensi dan sumber daya sekolah untuk

mewujudkan visi misi sekolah, tujuan sekolah

dan memenangkan persaingan positif yang ada.

Selain itu kepala sekolah sebaiknya lebih

mengoptimalkan supervisi, monitoring serta

membentuk tim evaluasi untuk memastikan

program-progam yang dijalankan dapat

berjalan sesuai dengan yang diharapkan dan

untuk mengevaluasi kinerja guru.

Selanjutnya diperlukan komitmen yang

kuat dari kepala sekolah untuk

mengimplementasikan program-program

sekolah secara konsisten dan

berkesinambungan. Hal tersebut menjadi

sangat penting dalam proses peningkatan mutu

sekolah baik dalam jangka menengah ataupun

jangka panjang.

Selain itu kepala sekolah seyogianya

merangkul dan melibatkan semua stakeholder

sekolah dalam menyusun rencana strategis agar

output atau hasil dari renstra nyata-nyata potret

sekolah. Jika hal tersebut dapat terwujud maka

renstra sekolah akan mampu menjawab

persoalan-persoalan yang muncul.

Penulis memberikan sebuah model

ataupun draft rencana strategis peningkatan

mutu sekolah berdasarkan analisis SWOT

SMPN 1 Bawen yang telah diuji oleh pakar.

Sekiranya draft tersebut bermanfaat untuk

membantu sekolah dalam menyusun renstra

sekolah yang akan habis berlakunya sampai

dengan tahun 2015. Sekiranya draft tersebut

dapat menjadi bahan masukan untuk sekolah

dalam menyusun dan mengembangkan rencana

strategis sekolah.

b. Bagi guru dan staf

Para guru dan staf SMP Negeri 1 Bawen

seyogianya berkomitmen bersama untuk

berperan secara aktif dalam mengoptimalkan

pelaksanaan rencana strategis yang sudah

disepakati dan disusun bersama dengan tujuan

agar sekolah mampu meningkatkan mutu

pendidikan. Salah satunya adalah mutu lulusan.

DAFTAR PUSTAKA

Rangkuti, F. 2009. Analisis SWOT Teknik

Membedah Kasus Bisnis, Jakarta: PT

Gramedia Pustaka Utama.

Rindaningsih, Ida. (2012). Pengembangan

Model Manajemen Stategik Berbasis

(Beyond Center and Circle Time) BCCT

Pada PAUD. Halaqa Jurnal Fakultas

Tarbiyah, Keguruan dan Ilmu

Pendidikan UMSIDA. vol. 1. No. 2 Juni

2012.

Rozari, A.M. 2011. Rencana Strategis

Peningkatan Mutu Sekolah Dengan

Page 96: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017

96

Analisis SWOT di SMK St. Petrus

Comoro Dili Timor Leste. Tesis.

Salatiga: Program Pasca Sarjana

Magister Manajemen Pendidikan

Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif

Kualitatif dan R & D, Bandung:

Alfabeta.

Suharti, R. 2013. Alternatif Strategi

Peningkatan Mutu Sekolah

Berdasarkan Analisis SWOT di SDN 1

Ngadirejo Kecamatan Ngadirejo

Kabupaten Temanggung. Tesis.

Salatiga: Program Pasca Sarjana

Magister Manajemen Pendidikan.

Sumarni, N. 2011. Strategi Peningkatan Mutu

Sekolah Berdasarkan Analisa SWOT

Pada SMP Kristen Satya Wacana

Salatiga. Tesis, Salatiga: Program

Pasca Sarjana Magister Manajemen

Pendidikan.

Tjiptono, F dan Diana, A, 2003. Total Quality

Management. Andi Offset, Yogyakarta

Usman, U. 2002. Menjadi Guru Profesional.

Bandung: Remaja Rosdakarya.

Page 97: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Magister Manajemen Pendidikan FKIP Universitas Kristen Satya Wacana [email protected]

ISSN 2549-9661 Volume: 4, No. 1, Januari-Juni 2017

Halaman: 97-108

97

PENGEMBANGAN MODEL PEMBINAAN SEKOLAH IMBAS

ADIWIYATA BERBASIS PARTISIPASI

Ratih Sulistyowati

Magister Manajemen Pendidikan

FKIP-Universitas Kristen Satya Wacana

[email protected]

Slameto

Magister Manajemen Pendidikan

FKIP-Universitas Kristen Satya Wacana

[email protected]

Yari Dwikurnaningsih

Magister Manajemen Pendidikan

FKIP-Universitas Kristen Satya Wacana

[email protected]

ABSTRACT

The aim of this study is to see the shape of the model of impact school coaching

management. This study is Research and Development (R & D). Data collection use

interviewed, documentation, and Focus Group Discussion. The development phase is

carried out through: (1) preliminary study, (2) arrangement model, (3) validation by

expert from academic and also practitioner, (4) revision of product design and (5) proper

model of coaching is tested. Data analysis conducted during in the field with the steps of

data reduction, data display, and image/verification conclusions. The results showed that

running coaching is difficult to finish. In addition, there is no structured and systematic

planning, causing the implementation of coaching run by chance, depend on the demand

from the school. There is no evaluation program for the coaching itself. The product of

this study is coaching model Adiwiyata school impact base on participation that

completed. Based on the feasibility result test conducted by experts and practitioners, the

model is considered feasible to be tested by practitioners.

Keywords: development, coaching model, impact school, adiwiyata, participation

Page 98: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017

98

PENDAHULUAN

Program Adiwiyata merupakan

program yang dicanangkan oleh pemerintah

sejak tahun 2004 dalam rangka mendorong

terciptanya pengetahuan dan kesadaran warga

sekolah dalam upaya pelestarian lingkungan

hidup melalui prinsip edukatif, partisipatif dan

berkelanjutan. Program Adiwiyata adalah

program yang dibentuk dalam rangka

mendorong terciptanya pengetahuan dan

kesadaran warga sekolah dalam upaya

pelestarian lingkungan hidup. Tujuan program

Adiwiyata sendiri sesuai dengan konsepnya

adalah mewujudkan warga sekolah yang

bertanggung jawab dalam upaya perlindungan

dan pengelolaan lingkungan hidup melalui tata

kelola sekolah yang baik untuk mendukung

pembangunan berkelanjutan (KLH, 2012: 3).

Prinsip dasar yang dipegang oleh program

Adiwiyata adalah partisipasi, dimana seluruh

komponen turut berperan aktif dan berlanjutan,

dimana program ini dilakukan secara terus

menerus (KLH, 2012: 3).

Dalam pelaksanaan program tersebut,

sekolah-sekolah diberi pembinaan agar berhasil

menjadi sekolah Adiwiyata. Pembinaan

dilakukan oleh Dinas terkait di masing-masing

kota hingga dari provinsi. Salah satu

penghargaan Adiwiyata yaitu sekolah

Adiwiyata Mandiri, merupakan penghargaan

kepada sekolah yang telah berhasil

mendapatkan penghargaan Adiwiyata tingkat

nasional dan memiliki minimal 10 sekolah

imbas Adiwiyata, dimana sekolah-sekolah

imbas tersebut diberi pembinaan oleh calon

sekolah Adiwiyata Mandiri dan berhasil

menjadi sekolah Adiwiyata.

Berdasarkan hasil wawancara awal

yang dilakukan kepada ketua Adiwiyata calon

sekolah Adiwiyata Mandiri didapatkan bahwa

pembinaan Adiwiyata dilakukan oleh ketua

Adiwiyata sekolah dan bersifat monitoring.

Tinjauan atau kunjungan ke sekolah-sekolah

imbas jarang dilakukan, dan apabila dilakukan

hanya jika ada sekolah imbas yang meminta

agar pembina datang untuk melihat capaian

sekolah imbas itu sendiri. Lebih lanjut

dikatakan bahwa hal tersebut terjadi karena

adanya kesulitan pembina dalam membagi

waktu untuk membina sekolah imbas. Dalam

proses pembinaan, pembina merasa kesulitan

karena ada beberapa sekolah imbas kurang

memiliki motivasi dan antusias, serta komitmen

dalam mengikuti program Adiwiyata. Selain itu

belum ada pembentukan tim khusus

pembinaan, sehingga selama ini yang

melakukan pembinaan hanya ketua Adiwiyata.

Hal ini juga menjadi kendala karena seluruh

tugas dan peran dalam pembinaan dikerjakan

oleh pembina. Untuk pelaksanaan pembinaan

belum berjalan dengan efektif dan maksimal

dikarenakan sekolah imbas belum banyak

berpartisipasi secara utuh karena kurang

termotivasi dan juga masih memiliki komitmen

yang rendah dalam melaksanakan program

Adiwiyata ini, padahal keberhasilan untuk

mewujudkan harapan seperti tertuang dalam

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997

tentang pengelolaan lingkungan hidup,

sesungguhnya membutuhkan partisipasi

masyarakat melalui berbagai aktivitas yang

dapat dihubungkan dengan pembinaan untuk

kepentingan pelestarian lingkungan hidup,

sehingga evaluasi yang dilakukan oleh pembina

belum dapat mempengaruhi sekolah imbas

secara optimal.

Paparan tersebut menunjukkan bahwa

model pembinaan Adiwiyata yang ada belum

dapat menjawab permasalahan di dalam

melaksanakan pembinaan. Pembinaan belum

terkonsep dengan baik serta kurangnya

partisipasi secara tidak langsung pula memberi

dampak negatif baik kepada sekolah induk

maupun sekolah imbas dimana program

Adiwiyata sulit atau tidak berjalan sebagaimana

mestinya dan pada akhirnya tujuan program

Adiwiyata sulit untuk tercapai.

Jika merujuk kepada teori mengenai

pembinaan sebuah organisasi yang

dikemukakan oleh Sudjana (2010: 199)

Page 99: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Pengembangan Model Pembinaan Sekolah Imbas Adiwiyata Berbasis Partisipasi | Ratih Sulistyowati, dkk.

99

pembinaan dapat diartikan sebagai upaya

memelihara atau membawa sesuatu keadaan

yang seharusnya terjadi atau menjaga sesuatu

keadaan sebagaimana seharusnya. Sedangkan

Ivancevich (2009: 46) pembinaan adalah

sebuah proses sistematis untuk mengubah

perilaku kerja seorang/sekelompok pegawai

dalam usaha meningkatkan kinerja organisasi.

Untuk menghasilkan kinerja pada tingkat yang

tinggi, maka seorang manajer atau pemimpin

berjuang untuk memotivasi orang-orang di

dalamnya dengan melibatkan mereka untuk

turut ambil bagian dalam setiap prosesnya,

sehingga muncul pertanggungjawaban dalam

diri mereka untuk melaksanakan setiap tugas

dan tanggungjawab yang diberikan. Sehingga

dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk

melakukan pembinaan harus jelas prosesnya

dan harus sistematis, tahapan-tahapannya harus

jelas mulai dari perencanaan hingga

evaluasinya sehingga pembinaan dapat berjalan

dengan efektif. Selain itu pula, motivasi di

dalam diri seseorang atau dalam organisasi

diperlukan dalam membantu ketercapaian

strategi yang telah direncanakan. Motivasi

dapat dimunculkan melalui pelibatan secara

langsung ke dalam setiap tahapan pembinaan.

Dalam hal ini berarti diperlukan sebuah model

pembinaan Adiwiyata yang terkonsep mulai

dari tahap perencanaan hingga tahap

evaluasinya secara kongkret. Selain itu

memasukkan basis partisipasi dalam model

sangat diperlukan sehingga dapat memotivasi

sekolah-sekolah imbas dan dapat memunculkan

keberanian dalam diri sekolah imbas untuk

menjalin kerja sama dengan pihak atau instansi

lainnya. Dengan adanya model pembinaan

berbasis partisipasi pula akan diketahui

seberapa jauh keefektifan dan keberhasilan

pembinaan tersebut dilakukan. Selain itu bila

dilihat dari segi waktu akan menjadi lebih

efisien serta apabila sewaktu-waktu sekolah

imbas dilepas atau dihentikan pembinaannya,

mereka dapat berdiri sendiri karena sudah

memiliki patokan yang jelas dalam

melaksanakan program Adiwiyata.

Yang Ying Ming dkk. (Haryati,

2012:19) menyatakan bahwa model

menggambarkan langkah atau prosedur dalam

mencapai suatu tujuan, sekaligus dapat

digunakan sebagai tolok ukur pencapaian

tujuan. Kemudian Richey, dkk (Suparman,

2014: 8) menyatakan bahwa model

menggambarkan realitas dengan menampilkan

struktur dan tingkatan untuk menyatakan

idealisasi dan pandangan tentang suatu realitas.

Berdasarkan beberapa pendapat diatas

dipahami bahwa istilah model digunakan untuk

menjelaskan konsep yang bervariasi karena

perlu disesuaikan dengan konteks yang akan

digambarkannya serta dapat dikatakan bahwa

model memiliki karakteristik: (1) deskriptif

naratif; (2) ada prosedur atau langkah; (3) ada

tujuan khusus; (4) digunakan untuk mengukur

ketercapaian; dan (5) merupakan

menggambarkan suatu sistem. Setiap model

memiliki tujuan untuk menghasilkan suatu

sistem yang efektif dan efisien dalam

memfasilitasi pencapaian tujuan. Menurut

Marrelli, dkk. (Haryati, 2012: 22), ciri model

yang baik adalah: 1) simple, 2) applicable, 3)

important, 4) controllable, 5) adaptable, dan 6)

communicable. Borg & Gall (Sugiyono, 2016:

35-36) mengembangkan 10 tahapan dalam

mengembangkan model, yaitu: (1) Research

and information collecting; (2) Planning; (3)

Develop preliminary form of product; (4)

Preliminary field testing; (5) Main product

revision; (6) Main field testing; (7) Operational

product revision; (8) Operational field testing;

(9) Final product revision; (10) Dissemination

and implementation.

Partisipasi adalah pelibatan seseorang

atau beberapa orang dalam suatu kegiatan, baik

berupa keterlibatan mental dan emosi serta fisik

dalam menggunakan segala kemampuan yang

dimilikinya (berinisiatif) dalam segala kegiatan

yang dilaksanakan serta mendukung

pencapaian tujuan dan tanggungjawab atas

Page 100: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017

100

segala keterlibatan (Astuti, 2009: 31-32).

Berkenaan dengan pembinaan Adiwiyata

kepada sekolah imbas berbasis partisipasi,

maka pembinaan adalah upaya untuk membawa

dan memelihara atau menjaga agar sekolah

imbas dapat menjadi sekolah Adiwiyata

maupun mempertahankan sebagai sekolah

Adiwiyata. Pelaksanaan pembinaan ditujukan

agar kegiatan atau program yang sedang

dijalankan yang dalam hal ini adalah program

Adiwiyata selalu sesuai dengan rencana atau

tidak menyimpang dari rencana yang telah

ditetapkan yaitu sekolah imbas dapat menjadi

sekolah Adiwiyata. Jika terjadi penyimpangan,

segera dapat dilakukan upaya untuk

mengembalikan kegiatan pada yang seharusnya

dilakukan. Dalam setiap tahap pembinaan

dimasukkan unsur partisipasi dari peserta

pembinaannya, mulai dari materi pembinaan,

bentuk pembinaan, pengambilan keputusan

dalam pembinaan, pelaksanaan pembinaan,

hingga bentuk evaluasinya. Sehingga setiap

orang yang terlibat dalam pembinaan

termotivasi dan melakukan tugasnya secara

bertanggungjawab. Keberhasilan pembinaan

berbasis partisipasi disebabkan karena adanya

pembinaan yang berdasarkan kebutuhan tiap

peserta pembinaan, yaitu keinginan atau

kehendak yang dirasakan oleh peserta

pembinaan, baik berupa pengetahuan,

keterampilan, dan sikap, kemudian adanya

pembinaan yang berorientasi kepada tujuan

yang telah disepakati bersama, adanya

pembinaan yang berpusat kepada peserta

pembinaan, dimana kegiatan pembinaan

bertolak dari kondisi setiap peserta pembinaan,

seperti kondisi ekonomi, lingkungan, sarana

pendukung, dan lainnya, serta adanya

pembinaan yang berdasarkan pada pengalaman

masing-masing peserta, dimana kegiatan

pembinaan mengacu pada pengalaman-

pengalaman yang dimiliki oleh setiap peserta

pembinaan, berupa pengetahuan, keterampilan,

dan sikap.

METODE PENELITIAN

Penelitian dilakukan di salah satu

sekolah swasta yang sedang mengikuti program

Adiwiyata Mandiri di Salatiga pada Oktober

2016 sampai Mei 2017. Penelitian ini dirancang

melalui pendekatan Research and Development

(RnD) yang didalamnya terdapat dua kegiatan

yaitu meneliti lalu hasil penelitian tersebut

dikembangkan guna memperbaiki program

yang sudah ada sebelumnya. Produk yang

dihasilkan dalam penelitian ini dikembangkan

melalui langkah-langkah pengembangan oleh

Borg and Gall (Sugiyono, 2016: 35-36)

sehingga dihasilkan sebuah model pembinaan

bagi sekolah imbas Adiwiyata. Namun pada

penelitian ini dibatasi hingga pada tahap yang

kelima yaitu hingga menghasilkan model yang

telah divalidasi oleh ahli dan layak untuk

diujicobakan mengingat adanya keterbatasan

waktu, biaya, dan tenaga oleh peneliti.

Berdasarkan langkah-langkah pengembangan

Borg dan Gall, kemudian disusun kembali

langkah-langkah pengembangan model

pembinaan sebagai berikut:

Gambar 1 Alur Penelitian Reseacrh and

Development Model Pembinaan

STUDI PENDAHULUAN

(Analisis Kebutuhan)

Kajian

Empiris

Validasi Praktisi

(FGD) PRAKTISI

Model yang layak diujicobakan

Penyusunan Model

Awal

Model Faktual Kajian

Teoretis

Validasi Pakar AKADEMISI

Revisi Model

Revisi Model

Page 101: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Pengembangan Model Pembinaan Sekolah Imbas Adiwiyata Berbasis Partisipasi | Ratih Sulistyowati, dkk.

101

Data diperoleh melalui wawancara

dengan beberapa narasumber terkait, studi

dokumentasi, dan FGD. Aktivitas dalam

analisis data baik sebelum dilapangan maupun

selama di lapangan, yaitu data reduction, data

display, dan conclusion drawing/verivication.

Reduksi data digunakan untuk memilah data,

dalam artian berarti merangkum, memilih hal-

hal pokok, menfokuskan pada hal-hal yang

penting, dicari tema dan polanya. Dengan

demikian data yang telah direduksi akan

memberikan gambaran yang lebih jelas, dan

mempermudah peneliti untuk mengumpulkan

data selanjutnya, dan mencarinya bila

diperlukan. Data yang telah direduksi

kemudian disajikan sedemikian rupa dalam

bentuk uraian singkat dan bagan yang padu

sehingga akan memudahkan untuk memahami

apa yang terjadi, merencanakan kerja

selanjutnya berdasarkan apa yang telah

dipahami tersebut. Data yang telah disajikan

secara padu akan menghasilkan sebuah

kesimpulan, baik yang bersifat sementara

maupun yang akan berubah seiring banyaknya

temuan yang akan didapatkan peneliti.

Teknik validasi menggunakan uji

kredibilitas atau kepercayaan terhadap data

(validasi internal). Pengujian data yang

diperoleh dilakukan sebelum dilapangan dan

selama dilapangan dengan menggunakan

teknik triangulasi yang diartikan sebagai

pengecekan data dari berbagai sumber dengan

berbagai cara, dan berbagai waktu. Dalam hal

ini digunakan teknik triangulasi sumber yaitu

membandingkan hasil wawancara yang

didapatkan dari beberapa narassumber terkait

untuk melihat kebenaran data.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan temuan-temuan pada studi

pendahuluan mengenai model faktual

pembinaan yang selama ini digunakan tertuang

dalam gambar berikut.

Gambar 2 Model Faktual Pembinaan Sekolah Imbas Adiwiyata

Berdasarkan gambar 2 dapat dijelaskan

bahwa penyelenggaraan pembinaan sekolah

imbas Adiwiyata yang selama ini dilaksanakan

adalah sebagai berikut. Program Adiwiyata

merupakan program yang dibuat dengan tujuan

untuk membentuk rasa kepedulian dan cinta

lingkungan dari masyarakat, yang dimulai dari

lingkungan sekolah. Program ini memiliki

empat jenis penghargaan yang bertahap, mulai

dari tingkat kabupaten/kota, provinsi, nasional,

dan pada akhirnya menjadi sekolah Adiwiyata

Mandiri, dimana syarat untuk menjadi sekolah

Adiwiyata Mandiri adalah sekolah tersebut

sudah mencapai penghargaan Adiwiyata

tingkat nasional serta memiliki minimal 10

sekolah binaan sebagai imbas Adiwiyata.

Sosialisasi dan Bimbingan

teknik Pelaksanaan pembinaan Evaluasi hasil

Laporan Akhir

Sekolah Adiwiyata

tingkat Kab/kota

Sekolah Adiwiyata

tingkat provinsi

Sekolah Adiwiyata

tingkat Nasional

Sekolah Adiwiyata

Mandiri

Kepedulian dan cinta lingkungan Program Adiwiyata

Menjadi sekolah Adiwiyata Nasional dan

mempunyai 10 sekolah imbas

Program Pembinaan Adiwiyata

bagi sekolah imbas

Page 102: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017

102

Dalam program pembinaan, sebelum

pembinaan dilaksanakan dilakukan sosialisasi

dan bimbingan teknik kepada sekolah-sekolah

imbas mengenai pengenalan program

Adiwiyata, administrasinya, serta bagaimana

penerapannya di sekolah, setelah itu baru

pembinaan dilaksanakan.

Selama melaksanakan pembinaan,

calon sekolah Adiwiyata Mandiri atau disebut

sekolah induk mengalami kesulitan.

Keefektifan pembinaan Adiwiyata yang

dilakukan oleh sekolah masih rendah yang

ditunjukkan dengan belum adanya perencanaan

khusus untuk pembinaan itu sendiri karena

mengingat adanya beberapa pertimbangan

terutama waktu, sehingga pembinaan bisa

dilakukan ketika ada waktu kosong dan juga

harus menyesuaikan dengan waktu yang

dimiliki oleh sekolah imbas itu sendiri,

sehingga dalam hal ini dapat dikatakan bahwa

pembinaan masih bersifat insidental. Selain itu

pula adanya perubahan rencana karena antara

pihak sekolah imbas dan sekolah induk sering

berbenturan jadwalnya dengan kegiatan dinas

lainnya. Dalam pengorganisasiannya sendiri

belum ada pembentukan tim khusus

pembinaan, sehingga selama ini yang

melakukan pembinaan hanya ketua Adiwiyata.

Hal ini juga menjadi kendala karena dengan

begitu seluruh tugas dan peran yang seharusnya

tidak dikerjakan oleh pembina, maka kemudian

dikerjakan oleh pembina. Untuk pelaksanaan

pembinaan belum berjalan dengan efektif dan

maksimal dikarenakan sekolah imbas belum

banyak berpartisipasi secara utuh karena

kurang termotivasi dan juga masih memiliki

komitmen yang rendah dalam melaksanakan

program Adiwiyata ini, padahal keberhasilan

untuk mewujudkan harapan seperti tertuang

dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997

tentang pengelolaan lingkungan hidup,

sesungguhnya membutuhkan partisipasi

masyarakat melalui berbagai aktivitas yang

dapat dihubungkan dengan pembinaan untuk

kepentingan pelestarian lingkungan hidup,

sehingga evaluasi yang dilakukan oleh pembina

belum dapat mempengaruhi sekolah imbas

secara optimal.

Hasil Pengembangan

Model pembinaan sekolah imbas

Adiwiyata berbasis partisipasi dikembangkan

berdasarkan hasil studi pendahuluan mengenai

analisis terhadap model faktual dalam

pembinaan. Pengembangan ini juga didasarkan

pada hasil kajian teoretis terhadap manajemen

dalam pembinaan. Pengembangan model

dilaksanakan dengan tahap-tahap: (1)

identifikasi kebutuhan dalam pembinaan yang

didapat melalui analisis model faktual dalam

pelaksanaan pembinaan selama ini, (2)

penyusunan program pembinaan, (3) validasi

isi oleh pakar dalam bidang manajemen, pakar

Adiwiyata, serta praktisi pembinaan.

Penyusunan model pembinaan yang

telah dikembangkan meliputi: (1) pendahuluan,

dimana didalamnya berisi latar belakang, dasar

hukum, tujuan, manfaat model, dan spesifikasi

model; (2) kajian teori mengenai pembinaan

berbasis partisipasi; (3) persyaratan pokok

model; (4) deskrispi model yang meliputi,

gambar model, rasional model, materi

pembinaan, serta deskripsi tahap perencanaan,

pengorganisasian, pelaksanaan, dan evaluasi.

Pada perencanaan meliputi identifikasi

kebutuhan pembinaan, perumusan tujuan

pembinaan, mengembangkan struktur program

pembinaan, rencana pelaksanaan pembinaan,

materi pembinaan, mengembangkan buku

panduan pembinaan untuk pembina dan peserta

pembinaan, panduan monitoring dan evaluasi

pembinaan, serta merencanakan waktu

pembinaan. Dalam pengorganisasian

pembinaan meliputi pengorganisasian sumber

daya manusia, dimana didalamnya disusun

struktur kepengurusan pembinaan, jabaran

tugas masing-masing, persyaratan personil,

serta mekanisme kerja dalam kepengurusan

pembinaan. Sedangkan pada pada pelaksanaan

pembinaan terdiri dari sosialisasi pengenalan

Page 103: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Pengembangan Model Pembinaan Sekolah Imbas Adiwiyata Berbasis Partisipasi | Ratih Sulistyowati, dkk.

103

Adiwiyata, tujuan, pengenalan dari segi

administrasi Adiwiyata, dan bimbingan teknik

pelaksanaan Adiwiyata serta pembinaan

Adiwiyata. Setelah itu pelaksanaaan pembinaan

itu sendiri, dimana didalamnya ada kegiatan

monitoring dan evaluasi, serta rencana tindak

lanjut. Pada bagian evaluasi meliputi evaluasi

peserta pembinaan, pembina, dan evaluasi

program pembinaan. Berikut adalah gambar

desain model pembinaan.

Gambar 3 Desain Model Pembinaan Sekolah Imbas Adiwiyata

Setelah dibuat perancangan desain

model pembinaan sekolah imbas Adiwiyata

berbasis partisipasi kemudian dilakukan

validasi oleh ahli secara teoretis terhadap desain

model tersebut. Validasi model oleh ahli

dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan

masukan tentang kelemahan-kelemahan model

dipandang dari segi teotiris oleh para ahli.

Kelemahan-kelemahan tersebut kemudian

diusahakan untuk dikurangi atau diperbaiki

melalui revisi desain.

Validasi model dilakukan melalui uji

pakar, yaitu 1 (satu) pakar dalam bidang

manajemen, 1 (satu) pakar dalam bidang

Adiwiyata, dan 1 (satu) pakar dalam bidang

khusus pembinaan Adiwiyata. Validasi model

dilakukan dengan menggunakan instrumen

berupa angket yang disertai dengan kolom

cacatan atau komentar tambahan yang dapat

diberikan oleh para ahli.

Untuk mengetahui rentang tingkat

kelayakan model dapat digunakan rumus:

Sehingga: 𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑡𝑒𝑟𝑡𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖−𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑡𝑒𝑟𝑒𝑛𝑑𝑎ℎ

𝑎𝑟𝑎𝑠 𝑘𝑒𝑙𝑎𝑦𝑎𝑘𝑎𝑛 =

4−1

3 = 1

Sehingga rentang nilai kelayakan dapat

diketahui sebagai berikut ini:

Tidak Layak = 0,0 – 1,0

Cukup Layak = 1,1 – 2,0

Layak = 2,1 – 3,0

Sangat Layak = 3,1 – 4,0

Berdasarkan hasil analisis data validasi ahli

diperoleh rerata 2,7, sehingga untuk setiap

komponen model dapat dikatakan layak untuk

diujicobakan.

Desain model yang telah diberi

penilaian oleh pakar dan telah di revisi

kemudian di uji kelayakannya. Uji kelayakan

dilakukan melalui Focus Group Discussion

(FGD) dengan menghadirkan praktisi-praktisi

Pembinaan

sekolah imbas

Manajemen

Pembinaan

sekolah imbas

berbasis

partisipasi

Identifikasi

Kebutuhan

Perumusan

Tujuan

Penyusunan

Kegiatan

Perencanaan

Koordinasi

dengan Dinasi

Pendidikan dan

Dinas

Lingkungan

Hidup

Pengorganisasi

an pengurus

dan sekolah

imbas

Kegiatan pra-

pembinaan:

sosialisasi &

bimbingan

teknik

Kegiatan Akhir:

Refleksi dan

rencana tindak

lanjut

Pengorganisasian & pelaksanaan Monitoring &

Evaluasi

Tujuan

Pembinaan:

sekolah

imbassekolah

Adiwiyata

Monitoring &

Evaluasi

program

Page 104: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017

104

dalam bidang pembinaan Adiwiyata, baik

penyelenggara atau dari sekolah induk, maupun

peserta atau dalam hal ini adalah sekolah imbas,

sebagai sekolah yang dibina. Dalam hal ini

selain dilakukan diskusi, diberikan juga angket

yang disertai dengan kolom cacatan atau

komentar tambahan yang dapat diberikan oleh

para praktisi. Berdasarkan hasil analisis data

validasi ahli diperoleh rerata 3,4, sehingga

untuk setiap komponen model dapat dikatakan

sangat layak untuk diujicobakan.

Berikut adalah tabel perbandingan

untuk melihat pengembangan model pada

setiap tahapan pengembangan.

Tabel 1 Hasil Pengembangan Model Pada setiap Tahapan Pengembangan

Pembahasan

Model pembinaan sekolah imbas

Adiwiyata dikembangkan dengan berbasis

partisipasi dengan harapan dapat mengatasi

kelemahan-kelemahan yang ada pada model

pembinaan yang dilaksanakan sebelumnya.

Bertolak dari adanya hambatan-hambatan

tersebut, maka diperlukan pengembangan

model pembinaan yang dapat mengatasi

masalah atau hambatan tersebut.

Pengembangan model dilakukan

dengan merujuk kepada 4 komponen

manajemen, yaitu perencanaan,

pengorganisasian, pelaksanaan, dan monitoring

dan evaluasi, dimana dalam setiap komponen

dimasukkan konsep partisipasi, yaitu partisipasi

dari sekolah imbas agar sekolah imbas turut

bertanggungjawab dalam pelaksanaan

pembinaan. Gagasan ini didukung oleh

penelitian yang dilakukan oleh Karim (2012:

Page 105: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Pengembangan Model Pembinaan Sekolah Imbas Adiwiyata Berbasis Partisipasi | Ratih Sulistyowati, dkk.

105

56) mengenai “Manajemen Pendidikan

Lingkungan Hidup Berbasis Partisipasi” yang

menyatakan bahwa partisipasi dapat

memberikan kontribusi untuk mengisi dan

mengatasi berbagai permasalahan lingkungan.

Bentuk-bentuk partisipasi bisa mulai dari

spektrum yang paling ekstrim sampai pada

bentuk kemitraan. Melalui partisipasi yang

aktif, mereka dapat mengeksplorasikan

kepeduliaannya maupun melakukan kontrol.

Hal ini juga sejalan dengan penelitian yang

dilakukan Bandiyah (2016: 12) tentang

“Pelatihan dan Pendampingan Penyusunan

Rencana Penyusunan Jangka Menengah

(RPJM) Desa Berbasis Partisipatif di Desa

Lokasari, Sidemen, Karangasem, Bali” yang

mengatakan bahwa hasil sebuah perencanaan

dapat diterima dengan baik oleh masyarakat

setempat apabila dalam penyusunannya

melibatkan partisipasi dari masyarakat. Tanpa

partisipasi, biasanya hasil perencanaan

berakibat pada kekecewaan karena tidak sesuai

dengan keinginan dan harapan dari masyarakat.

Di samping itu, akan sulit mengharapkan

masyarakat untuk mematuhi dan menjaga

pelaksanaan kegiatan yang telah dibuat

sebelumnya.

Penelitian lainnya dilakukan oleh

Wiyono, dkk (2014: 170) tentang “Grand

Design Model Pembinaan Profesional Guru

Berbasis Determinan Kinerja Guru” yang

dalam mengembangkan model pembinaan bagi

guru juga menemukan hambatan yang sama

seperti yang ditemukan oleh peneliti dalam

rangka pengembangan model pembinaan ini,

yakni dimana hambatan yang paling dominan

adalah kurangnya waktu dan banyaknya tugas

atau pekerjaan lainnya yang harus dilakukan.

Hal ini serupa dengan yang ditemukan oleh

peneliti, dimana salah satu kendala

terhambatnya pelaksanaan pembinaan kepada

sekolah imbas ini adalah waktu pembinaan

yang tidak terstruktur karena kesibukan

masing-masing, baik dari pihak sekolah induk,

maupun sekolah imbas. Lebih lanjut Wiyono

(2016: 170) menyarankan langkah yang

ditempuh dalam mengatasi hambatan tersebut

adalah mengatur jadwal kegiatan dengan

sebaik-baiknya, mengatur waktu secara efisien,

mencari informasi melalui berbagai sumber

(teknologi, teman, atau sumber lainnya),

memanfaatkan fasilitas yang ada secara

optimal, mengembangkan diri secara mandiri,

menindaklanjuti hasil pembinaan, mengadakan

forum pembinaan mandiri, menambah jam

pelajaran, mengadakan pembinaan secara

pribadi, menyusun program pembinaan,

meningkatkan kerjasama, dan mengadakan

pembinaan secara berkelanjutan. Hasil

penelitian tersebut kemudian menjadi acuan

bagi peneliti sehingga perlu mengembangkan

model pembinaan sekolah imbas Adiwiyata ini.

Dengan desain manajemen program yang jelas,

segala kebutuhan yang berhubungan dengan

pembinaan sekolah imbas Adiwiyata, akan

memberikan kejelasan tentang model

pembinaan sekolah imbas Adiwiyata mulai dari

perencanaan, tujuan, materi pembinaan, strategi

pembinaan, dan evaluasi hasil yang diperoleh.

Penelitian lainnya yang dilakukan oleh

Dewi (2013: 135) tentang “Pengembangan desa

wisata berbasis partisipasi Masyarakat lokal di

desa wisata Jatiluwih Tabanan, Bali”

mengatakan bahwa parameter yang digunakan

untuk menentukan derajat partisipasi

masyarakat dalam tahap perencanaan adalah

keterlibatan dalam identifikasi masalah,

perumusan tujuan, dan pengambilan keputusan

terkait. Dalam hal ini, temuan penelitian Dewi

kemudian menjadi acuan dalam perencanaan

kegiatan pembinaan yang dikembangkan.

Dari beberapa paparan penelitian di atas

dapat diketahui basis partisipasi yang dipilih

merupakan langkah yang tepat untuk mengatasi

kendala yang ada selama proses pembinaan

yang selama ini berlangsung, dimana dengan

menerapkan konsep partisipasi maka untuk

jadwal pembinaan dapat ditentukan secara

bersama pada awal perencanaan, sehingga

apabila ada kegiatan dinas lainnya, maka dapat

Page 106: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017

106

dengan cepat dicarikan solusi bersama untuk

pelaksanaan waktu pembinaan. Kemudian,

dengan adanya konsep partisipasi yang

melibatkan sekolah imbas pada seluruh tahapan

manajemen pembinaannya akan memberikan

respon positif dari sekolah imbas agar lebih

bertanggungjawab dalam pelaksanaan

program, dan memunculkan motivasi serta

komitmen dari skeolah imbas itu sendiri.

Dengan selalu menjaga komitmen tersebut,

maka rotasi kepala sekolah kemudian tidak

menjadi halangan putusnya rantai Adiwiyata

dalam pembinaan tersebut.

Dalam pengimplementasian model

pembinaan sekolah imbas Adiwiyata berbasis

partisipasi, maka empat komponen manajemen

yang ada dalam model, yaitu perencanaan,

pengorganisasian, pelaksanaan, serta

monitoring dan evaluasi dilaksanakan dengan

melibatkan sekolah imbas dengan harapan

bahwa nantinya pembinaan dapat berjalan

dengan efisien karena sesuai dengan kebutuhan

dan kemampuan masing-masing sekolah imbas

dan juga sekolah imbas dapat termotivasi untuk

melaksanakan program Adiwiyata disekolah

masing-masing. Dalam perencanaan sekolah

imbas berpartisipasi dengan sekolah induk

dalam menentukan kebutuhan dan kemampuan

serta keadaan lingkungan masing-masing

sekolah imbas dalam rangka mewujudkan

program Adiwiyata, dimana hal tersebut

kemudian menjadi dasar dalam menentukan

tujuan pembinaan dan materi pembinaan serta

bentuk pelaksanaan pembinaan.

Dalam pengorganisasian, sekolah imbas

berpartisipasi dalam keanggotaan pengurus

pembinaan, sehingga, dapat memudahkan

dalam mengatur waktu dan tempat pembinaan,

selain itu pula, apabila sekolh imbas mengalami

kesulitan dalamm pelaksanaan Adiwiyata

disekolahnya, maka dapat secara langsung

mendiskusikan dengan anggota pengurus

lainnya, sehingga masalah tersebut dapat secara

langsung teratasi.

Dalam pelaksanaan, sekolah imbas

berpartisipasi dalam mengikuti kegiatan

pembinaan secara utuh dan pelaksanaan

pembinaan dilaksanakan sesuai dengan jadwal

dan tempat yang telah ditentukan bersama

sekolah imbas dan sekolah induk. Sedangkan

dalam kegiatan monitoring dan evaluasi,

sekolah induk dan sekolah imbas turut

berpartisipasi dalam memonitoring jalannya

pembinaan, pelaksanaan program Adiwiyata

disekolah masing-masing sekolah imbas, dan

juga bersama dengan sekolah induk

mengevaluasi proses pembinaan, hasil

pembinaan, serta program pembinaan yang

telah dilaksanakan sehingga didapatkan

kesimpulan bersama untuk mengetahui

keberhasilan program pembinaan yang telah

dilaksanakan, kekurangan yang ditemukan

selama pelaksanaan program sehingga dapat

menjadi saran untuk memperbaiki program

pembinaan tersebut kedepannya.

Kelebihan model pembinaan sekolah

imbas Adiwiyata yang dikembangkan ini

adalah: (1) adanya analisis kebutuhan

pembinaan, rumusan tujuan, dan penentuan

materi pembinaan yang dibuat bersama dengan

sekolah imbas, sehingga pembinaan akan

terlaksana sesuai dengan kebutuhan masing-

masing sekolah imbas untuk memenuhi adanya

keragaman masing-masing sekolah imbas; (2)

model dikembangkan menjadi 4 komponen

manajemen, yaitu perencanaan,

pengorganisasian, pelaksanaan, dan monitoring

dan evaluasi; (3) model dikembangkan berbasis

kepada partisipasi; (4) pada aspek perencanaan

dilakukan perencanaan yang sistematis,

mengacu kepada kebutuhan sekolah imbas; (5)

pada aspek pengorganisasian dirincikan tugas

dan prasyarat masing-masing pihak yang

terlibat dalam pembinaan; (6) pada aspek

pelaksanaan pembinaan dijabarkan kembali

menjadi 4 kegiatan, yaitu kegiatan persiapan,

pra-pembinaan, pelaksanaan, dan kegiatan

akhir. Selain itu pula untuk waktu pembinaan

dibuat berdasarkan kesepakatan sekolah induk

Page 107: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Pengembangan Model Pembinaan Sekolah Imbas Adiwiyata Berbasis Partisipasi | Ratih Sulistyowati, dkk.

107

dan sekolah imbas di awal sebelum pembinaan

dilaksanakan; (7) pada aspek monitoring dan

evaluasi dilakukan monitoring oleh sekolah

induk maupun oleh sekolah imbas terhadap

seluruh rangkaian kegiatan pembinaan. Selain

itu pula dilakukan evaluasi oleh sekolah induk

dan sekolah imbas untuk keseluruhan

komponen manajemen pembinaan, evaluasi

proses, dan evaluasi hasil; (8) selama ini belum

pernah ada dilakukan penelitian mengenai

pengembangan model pembinaan sekolah

imbas Adiwiyata.

Adapun kekurangan model ini adalah:

(1) pada dasarnya sudah ada penelitian

terdahulu dengan basic atau dasar yang sama

mengenai Adiwiyata, namun untuk penelitian

yang lebih spesifik terutama mengenai

pembinaan sekolah imbas Adiwiyata belum

ditemukan, sehingga pengembangan model

hanya didasarkan pada teori-teori yang ada,

bukan berdasarkan pada kekurangan temuan

penelitian terdahulu; (2) perlu dilakukan

ujicoba baik ujicoba skala terbatas, maupun

secara luas terhadap model untuk melihat

keefektivitasan model dalam pembinaan.

Implikasi Hasil Penelitian

Implikasi dari hasil penelitian ini

meliputi: (1) secara teoretis, hasil penelitian ini

memberikan implikasi terhadap pengembangan

model pembinaan sekolah imbas Adiwiyata

berbasis partisipasi, dimana model

dikembangkan dalam 4 komponen manajemen,

sehingga kegiatan pembinaan memiliki tujuan

dan arah yang jelas serta dapat dijalankan lebih

efisien; (2) secara teoretis, hasil penelitian ini

memberikan implikasi terhadap pengembangan

model pembinaan sekolah imbas Adiwiyata

berbasis partisipasi, dimana partisipasi yang

dilibatkan dalam pembinaan memberikan

kontribusi sangat besar dalam pelaksaaan

pembinaan sehingga bisa lebih efisien; (3)

penerapan model pembinaan sekolah imbas

Adiwiyata berbasis partisipasi menuntut baik

Pembina maupun sekolah imbas untuk

bertanggungjawab dan berkomitmen atas

keseluruhan tahapan pembinaan, sehingga

pembinaan dapat berhasil dan kedua pihaks

aling diuntungkan; (4) penerapan model

pembinaan sekolah imbas Adiwiyata berbasis

partisipasi berimplikasi pada upaya

peningkatan capaian sekolah imbas dalam

mengikuti program Adiwiyata. Selain itu pula,

berimplikasi pada upaya peningkatan

partisipasi sekolah imbas dalam program

Adiwiyata.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Model pembinaan sekolah imbas

Adiwiyata yang selama ini dijalankan belum

baik. Hal ini ditunjukkan dengan: (1) belum

adanya perencanaan pembinaan yang disusun

dengan matang, (2) tidak ada analisis

kebutuhan yang mendasari kegiatan

pembinaan, (3) tidak ada rumusan tujuan

pembinaan yang dibuat, (4) belum pernah

dilakukan evaluasi program pembinaan.

Berdasarkan hal tersebut, maka

kemudian disusun desain model pembinaan

sekolah imbas Adiwiyata berbasis partisipasi

yang layak diterapkan, meliputi: (1)

perencanaan pembinaan yang terdiri dari 3

kegiatan utama, yaitu: analisis kebutuhan,

perumusan tujuan, penyusunan materi

pembinaan, kemudian pemaparan tujuan,

manfaat, dan materi pembinaan Adiwiyata

secara umum, mengembangkan materi berbasis

partisipasi, media dan perangkat evaluasi,

mengembangkan buku panduan bagi pembina,

sekolah imbas, dan panduan monitoring dan

evaluasi, merencanakan konsep pelaksanaan;

(2) pengorganisasian struktur pengurus

pembinaan, syarat personil dan tugas personil

yang terlibat dalam pembinaan (3) pelaksanaan

pembinaan terdiri dari: kegiatan persiapan, pra-

pembinaan, pelaksanaan pembinaan, dan

kegiatan akhir (4) evaluasi pembinaan yang

terdiri dari: evaluasi proses, evaluasi hasil,

evaluasi program, evaluasi sekolah imbas, dan

Page 108: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017

108

evaluasi sekolah induk/pembina. Model

pembinaan sekolah imbas Adiwiyata berbasis

partisipasi adalah model yang didapatkan

setelah dilakukan uji kelayakan oleh ahli secara

teoretis dan ahli implementasi atau praktisi

dilapangan. Hasil ujicoba kelayakan

menunjukkan bahwa model layak untuk

diujicobakan.

Saran

Saran disampaikan kepada pihak yang

terlibat dalam pelaksanaan pembinaan, yaitu

Pembina dari sekolah induk, sekolah imbas, dan

peneliti selanjutnya. Bagi sekolah induk, dalam

mengembangkan pembinaan hendaknya: (1)

membuat perencanaan pembinaan yang

berdasarkan dengan kebutuhan sekolah imbas,

(2) melakukan monitoring selama kegiatan

pembinaan secara rutin, (3) mengadakan

evaluasi terhadap program pembinaan, (4)

mengembangkan pembinan sekolah imbas

Adiwiyata berbasis partisipasi agar dapat

menjangkau pembinaan lebih luas lagi. Bagi

sekolah imbas hendaknya memotivasi diri serta

tetap menjaga komitmen untuk senantiasa

mengembangkan diri sehingga berhasil

menjadi sekolah Adiwiyata. Bagi peneliti

selanjutnya, untuk mengetahui efektivitas

model yang dikembangkan ini, maka perlu

dilakukan pengembangan tahapan selanjutnya

baik ujicoba terbatas, maupun diperluas.

Adapun keterbatasan dalam penelitian

ini adalah pengembangan model pembinaan

sekolah imbas Adiwiyata berbasis partisipasi

ini di fokuskan kepada sistem manajemen

pembinaannya yang dapat berjalan dengan baik

asal seluruh pihak yang terlibat

bertanggungjawab dan juga mengikuti runtutan

langkah dalam manajemen ini. Capaian

pengembangan model ini masih perlu

dikembangkan melalui tahap penelitian

selanjutnya, ujicoba terbatas dan ujicoba yang

lebih luas. Selain itu subyek ujicoba model ini

hanya dilakukan pada satu sekolah calon

Adiwiyata mandiri yang ada di Salatiga,

sehingga belum dapat menjamin bahwa model

ini dapat memecahkan semua kendala yang ada

dalam pembinaan sekolah imbas Adiwiyata.

DAFTAR PUSTAKA

Astuti, D. 2009. Desentralisasi dan Partisipasi

Dalam Pendidikan. Yogyakarta: UNY

Bandiyah. 2016. Pelatihan dan Pendampingan

Penyusunan RPJMDesa Berbasis

Partisipasi di Desa Lokasari, Sidemen,

Karangasem, Bali. Jurnal Pengabdian

Pada Masyarakat; Volume 1, No. 1,

Desember 2016: Page 11-17; P-ISSN;

2540-8739 || E-ISSN: 2540-8747.

Dewi, dkk. 2013. Pengembangan Desa Wisata

Berbasis Partisipasi Masyarakat Loka di

S=Desa Wisata Jatiluwih Tabanan, Bali.

Jurnal Kawistara hal: 117-226 Volume

3, No. 2, 17 Agustus 2013.

Haryati, S. 2012. Research and Development

(RnD) Sebagai Salah Satu Model

Penelitian Dalam Bidang pendidikan.

Vol. 37 No. 1, 15 September 2012 : 11-

26

Ivancevich, J., dkk. 2009. Perilaku dan

Manajemen Organisasi Edisi Ketujuh.

Jakarta: Erlangga.

Karim, A. 2012. Manajemen Pendidikan

Lingkungan Hidup Berbasis

Partisipasi. Yogyakarta: Pustaka Ifada.

KLH. 2012. Panduan Adiwiyata 2012. Jakarta:

KLH

Sudjana, N. 2010. Pembinaan dan

Pengembangan Kurikulum di Sekolah.

Bandung: Sinar Baru Algesindo.

Sugiyono. 2016. Metode Penelitian dan

Pengembangan. Bandung: Alfabeta

Suparman, A. 2014. Desain Instruksional

Modern. Jakarta: Erlangga

Wiyono, dkk. 2014. Grand Design Model

Pembinaan Profesional Guru Berbasis

Determinan Kinerja Guru. Jurnal Ilmu

Pendidikan, Jilid 20, Nomor 2,

Desember 2014, hlm. 165-175.

Page 109: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Magister Manajemen Pendidikan FKIP Universitas Kristen Satya Wacana [email protected]

ISSN 2549-9661 Volume: 4, No. 1, Januari-Juni 2017

Halaman: 109-120

109

EVALUASI PELAKSANAAN PROGRAM INKLUSI SEKOLAH

DASAR

Rika Widyawati

SDN Cukilan 01

Kabupaten Semarang-Jawa Tengah

[email protected]

ABSTRACT

This study aimed to evaluate the implementation of inclusive program in Public

Elementary School 2 Klero (SD Negeri 2 Klero), Tengaran, Semarang. This study is an

evaluation research with descriptive qualitative approach with CIPP model. The data

source consisted of teachers, headmaster, and school committee. The data were collected

through interview, observation and documentation. The results of this study: on Context

evaluation showed that the school already has got the permission as well as the guidance

in order to implement the inclusive program; on Input evaluation showed that the special

infrastructures were inadequate, the curriculum had already been modified, special

trainings had not been spread evenly, and there was no special assistant in school; on

Process evaluation showed that the results of teachers’ competency were acceptable in

dealing with children with special needs, individual treatment, but BOS fund is the only

financial support and there was no continual monitoring from government; and on

Product evaluation the result showed that the academic and non academic achievements

of children with special needs were average.

Keyword: Inclusive Education, Evaluation Program, CIPP Model

Page 110: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017

110

PENDAHULUAN

Pendidikan adalah usaha sadar

terencana untuk mewujudkan suasana belajar

dan proses pembelajaran agar peserta didik

secara aktif mengembangkan potensi dirinya

untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan,

pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,

akhlak mulia, serta keterampilan yang

diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan

negara (UU Sisdiknas, 2003). Dalam Undang-

Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan UU No.

20 tahun 2003 tentang Sitem Pendidikan

Nasional Bab IV pasal 5 ayat 1 dinyatakan

bahwa setiap warga negara mempunyai hak

yang sama untuk memperoleh pendidikan yang

bermutu. Warga negara yang memiliki kelainan

fisik, emosional, mental, intelektual dan atau

sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.

Hal ini menunjukkan bahwa anak yang

memiliki kelainan dan/atau memiliki

kecerdasan dan bakat istimewa berhak pula

memperoleh kesempatan yang sama dengan

anak lainnya (anak normal) dalam pendidikan.

Pendidikan inklusi dinilai dapat

menjadi jembatan untuk mewujudkan

pendidikan untuk semua (education for all),

tanpa ada seorangpun yang tertinggal dari

layanan pendidikan (Kemendikbud, 2012).

Menurut Smart (2010), pendidikan inklusi

adalah pendidikan pada sekolah umum yang

disesuaikan dengan kebutuhan siswa yang

memerlukan pendidikan khusus pada sekolah

umum dalam satu kesatuan yang sistemik.

Sekolah inklusi menyediakan program

pendidikan yang layak, menantang, tetapi

disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan

setiap murid maupun bantuan dan dukungan

yang dapat diberikan oleh para guru, agar anak-

anak berhasil (Nashokha, tth.).

Sekolah pelaksana pendidikan inklusi

dengan berbagai keragaman karakteristik

peserta didik dan kondisi lingkungan maka

sekolah perlu melakukan penyesuaian untuk

meningkatkan kualitas pendidikan. Kondisi ini

memerlukan upaya yang sungguh-sungguh,

agar anak yang berkebutuhan khusus

mendapatkan akses pendidikan yang layak. Hal

yang tidak boleh dilupakan sebagai bagian dari

upaya pembudayaan pendidikan inklusi adalah

kegiatan monitoring dan evaluasi pelaksanaan

dan pengembangan pendidikan inklusi dari

waktu ke waktu (Kemendikbud, 2013).

Evaluasi merupakan hal yang harus

dilakukan dalam sebuah program. Sebuah

kegiatan evaluasi akan diketahui bagaimana

keberlangsungan program, kendala yang

dihadapi dalam sebuah program, dan

mendapatkan masukan bagi kelanjutan

program tersebut. Evaluasi merupakan suatu

proses sistematis dalam mengumpulkan,

menganalisis, dan meng¬interpretasi-kan

informasi untuk mengetahui tingkat

keberhasilan pelaksanaan pendidikan inklusi

dengan kriteria tertentu yang telah ditetapkan

untuk pengambilan suatu keputusan

(Kustawan, 2012). Salah model evaluasi

program yang tepat yaitu model CIPP. Model

CIPP adalah model evaluasi yang memandang

program yang dievaluasi sebagai sebuah system

(Arikunto, 2010). Melalui kegiatan evaluasi ini

diharapkan dapat dirumuskan strategi untuk

memperbaiki program kedepan sehingga

pendidikan inklusi dapat berjalan secara baik

dari sebelumnya.

Di Kabupaten Semarang terdapat

delapan SD yang ditunjuk sebagai SD inklusi.

Salah satunya adalah SD Negeri Klero 02

Kecamatan Tengaran. SD tersebut menjadi SD

Inkusi mulai tahun 2010 dan merupakan satu-

satunya SD inklusi di Kecamatan Tengaran. SD

Negeri Klero 02 telah menerima peserta didik

yang memiliki kebutuhan khusus sejak tahun

ajaran 2010/2011. SD Negeri Klero 02 telah

menangani peserta didik yang memiliki

kebutuhan khusus seperti kesulitan belajar, tuna

netra dan tuna wicara. Dalam pelaksanaannya

SD Negeri Klero 02 masih mengalami banyak

hambatan sehingga dalam pembelajarannya

kurang maksimal. Untuk mengetahui

bagaimana pelaksanaan program inklusi di SD

Page 111: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Evaluasi Pelaksanaan Program Inklusi Sekolah Dasar | Rika Widyawati

111

Negeri Klero 02, maka peneliti tertarik untuk

mengevaluasi pelaksanaan program inklusi di

sekolah tersebut.

Pendidikan inklusi merupakan konsep

pendidikan yang tidak membeda-bedakan latar

belakang kehidupan anak kerena keterbatasan

fisik maupun mental (Ilahi, 2013). Menurut

Kustawan (2012; Kamalfuadi, 2011)

pendidikan inklusi adalah sistem pendidikan

yang terbuka bagi semua individu serta

mengakomodasi semua kebutuhan sesuai

dengan kondisi masing-masing individu.

Konsep inklusi memberikan pemahaman

mengenai pentingnya penerimaan anak-anak

yang memiliki hambatan ke dalam kurikulum,

lingkungan, dan interaksi sosial yang ada di

sekolah (Smith, 2006). Dalam konteks yang

lebih luas, pendidikan inklusif juga dapat

dimaknai sebagai satu bentuk reformasi

pendidikan yang menekankan sikap anti

diskriminasi, perjuangan persamaan hak dan

kesempatan, keadilan dan perluasan akses

pendidikan bagi semua, peningkatan mutu

pendidikan, upaya strategis dalam menuntaskan

wajib belajar 9 tahun, serta upaya mengubah

sikap masyarakat terhadap anak berkebutuhan

khusus (Ilahi, 2013; Shabillah, 2015).

Pendidikan inklusi dinilai dapat

menjadi jembatan untuk mewujudkan

pendidikan untuk semua (education for all),

tanpa ada seorangpun yang tertinggal dari

layanan pendidikan (Kemendikbud, 2012).

Tujuan dari pendidikan inklusi adalah agar

semua anak memperoleh pendidikan yang

bermutu sesuai dengan kebutuhan dan

kemampuannya serta untuk mewujudkan

penyelenggaraan pendidikan yang menghargai

keanekaragaman dan diskriminatif bagi semua

anak (Kustawan, 2012). Sekolah yang ditunjuk

mengadakan layanan pendidikan inklusi berhak

melakukan berbagai modifikasi atau

penyesuaian, baik dalam hal kurikulum, sarana

dan prasarana, tenaga pendidikan, sistem

pembelajaran serta sistem penilaiannya

(Sulihandari, 2013).

Dari uraian diatas pendidikan inklusi

merujuk pada suatu sistem pendidikan yang

memberikan kesempatan kepada semua anak

tanpa membeda-bedakan latar belakang anak

karena keterbatasan fisik ataupun mental untuk

mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam

lingkungan pendidikan pada umumnya. Jadi,

pendidikan inklusi adalah sistem pendidikan

yang mengakomodasi semua anak

berkebutuhan khusus untuk belajar di sekolah-

sekolah umum agar dapat belajar bersama

teman seusianya. Anak berkebutuhan khusus

yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu anak-

anak yang mengalami kekurangan atau

ketunaan dalam fisik ataupun mental pada

kategori ringan, bukan anak yang berkebutuhan

khusus yang cerdas istimewa.

Menurut Widoyoko (2014) evaluasi

program merupakan rangkaian kegiatan yang

dilakukan dengan sengaja dan secara cermat

untuk mengetahui tingkat keterlaksanaan atau

keberhasilan suatu program dengan cara

mengetahui efektifitas masing-masing

komponennya, baik terhadap program yang

sedang berjalan maupun program yang telah

berlalu (Nuraeni, 2013). Selanjutnya Suharsimi

Arikunto (2004) menambahkan evaluasi

program adalah proses penetapan secara

sistematis tentang nilai, tujuan, efektivitas atau

kecocokan sesuatu sesuai dengan kriteria dan

tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.

Evaluasi program adalah upaya untuk

mengetahui tingkat keterlaksanaan suatu

kebijaksanaan secara cermat dengan cara

mengetahui efektivitas masing-masing

komponennya (Arikunto, 2010). Evaluasi

program dilakukan untuk mengetahui seberapa

jauh tujuan yang sudah tercapai, dan bagian

mana yang belum tercapai serta apa

penyebabnya.

Wirawan (2012) mengungkapkan

evaluasi program adalah evaluasi dengan

objeknya program pendidikan, yaitu aktivitas

yang dilaksanakan untuk waktu yang tidak

terbatas. Evaluasi dilakukan untuk

Page 112: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017

112

mengevaluasi berbagai aspek pendidikan

misalnya, kurikulum, proses dan metode

pembelajaran mata pelajaran, layanan

pendidikan, tenaga pendidik, dan sebagainya.

Tayibnapis (2008) menjelaskan suatu evaluasi

program harus mengumpulkan informasi yang

valid, informasi yang dapat dipercaya,

informasi yang berguna untuk program yang

dievaluasi. Informasi dari program yang ingin

dievaluasi haruslah jelas dan berdasarkan

kondisi nyata sehingga evaluasi dapat berjalan

sesuai dengan tujuan dan mendapatkan hasil

yang maksimal.

Dari uraian diatas bahwa evaluasi

program merujuk pada suatu kegiatan yang

dilakukan untuk mengumpulkan informasi

terhadap jalannya suatu program guna

mengetahui efektivitas masing-masing

komponennya. Evaluasi program berguna

untuk mengetahui tujuan yang sudah tercapai,

dan bagian mana yang belum tercapai serta apa

penyebabnya. Dari hasil evaluasi dapat sebagi

bahan pertimbangan untuk menentukan

alternatif kebijakan yang tepat untuk

mengambil sebuah keputusan.

Menurut Arikunto dan Cepi (2010)

model CIPP adalah model evaluasi yang

memandang program yang dievaluasi sebagai

sebuah sistem. Dengan demikian, jika tim

evaluator sudah menentukan model CIPP

sebagai model yang akan digunakan untuk

mengevaluasi program maka harus dianalisis

terlebih dahulu berdasarkan komponen-

komponennya. Evaluasi model CIPP dapat

diterapkan dalam berbagai bidang, seperti

pendidikan, manajemen, perusahaan, dan

sebagainya serta dalam berbagai jenjang baik

itu proyek, program maupun institusi (Anggun,

2013). Model CIPP yang dikenalkan oleh

Stufflebeam ini meliputi hal-hal sebagai

berikut:

a) Evaluasi Konteks (Context Evaluation),

merupakan penggambaran dan spesifikasi

tentang lingkungan program, kebutuhan

yang belum dipenuhi, karakteristik

populasi dan sampel dari individu yang

dilayani dan tujuan program. Evaluasi

konteks membantu merencanakan

keputusan, menentukan kebutuhan yang

akan dicapai oleh program dan

merumuskan tujuan program.

b) Evaluasi Masukan (Input Evaluation),

membantu mengatur keputusan,

menentukan sumber-sumber yang ada,

alternatif apa yang diambil, apa rencana

dan strategi untuk mencapai tujuan,

bagaimana prosedur kerja untuk

mencapainya. Informasi yang terkumpul

selama tahap penilaian hendaknya

digunakan untuk menentukan sumber dan

strategi di dalam keterbatasan dan

hambatan yang ada.

c) Evaluasi Proses (Process Evaluation)

digunakan untuk mendeteksi atau

memprediksi rancangan prosedur atau

rancangan implementasi selama tahap

implementasi, menyediakan informasi

untuk keputusan program dan sebagai

rekaman atau arsip prosedur yang telah

terjadi. Pada dasarnya evaluasi proses

untuk mengetahui sampai sejauh mana

rencana telah diterapkan dan komponen

apa yang perlu diperbaiki.

d) Evaluasi Produk/Hasil (Product

Evaluation), merupakan penilaian yang

dilakukan untuk mengukur keberhasilan

dalam pencapaian tujuan yang telah

ditetapkan. Dari hasil evaluasi proses

diharapkan dapat membantu untuk

membuat keputusan yang berkenaan

dengan kelanjutan, akhir maupun

modifikasi program, karena data yang

dihasilkan akan sangat menentukan apakah

program diteruskan, dimodifikasi, atau

dihentikan (Widoyoko, 2011).

Arikunto (2008) menjelaskan secara rinci

terkait evaluasi model CIPP, evaluasi context

adalah upaya untuk menggambarkan dan

merinci lingkungan, kebutuhan yang tidak

terpenuhi, populasi dan sampel yang dilayani,

Page 113: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Evaluasi Pelaksanaan Program Inklusi Sekolah Dasar | Rika Widyawati

113

dan tujuan. Evaluasi masukan (input),

merupakan evaluasi yang bertujuan

menyediakan informasi untuk menentukan

bagaimana menggunakan sumber daya yang

tersedia dalam mencapai tujuan program.

Evaluasi proses menunjuk pada apa kegiatan

yang dilakukan dalam program, siapa orang

yang ditunjuk sebagai penanggungjawab

program, kapan kegiatan akan selesai

dilksanakan. Evaluasi product merupakan

kumpulan deskripsi dan “jugement outcomes”

dalam hubungannya dengan context, input, dan

process, terkait dengan perencanaan,

pelaksanaan, dan keber¬hasilan program

sekolah inklusi (Keyla, 2011).

Berdasarkan latar belakang di atas maka

perumusan masalahnya adalah bagaimana

pelaksanaan program inklusi di SD Negeri

Klero 02 Kecamatan Tengaran Kabupaten

Semarang. Tujuan dari penelitian ini adalah

untuk mengevaluasi pelaksanaan program

inklusi SD Negeri Klero 02 Kecamatan

Tengaran Kabupaten Semarang.

METODE PENELITIAN

Jenis penelitian ini adalah penelitian

evaluasi dengan pendekatan kualitatif.

Penelitian evaluasi ditujukan untuk

mengevaluasi pelaksanaan program inklusi di

SD Negeri Klero 02 Kecamatan Tengaran

Kabupaten Semarang. Pendekatan kualitatif

diharapkan dapat menghasilkan informasi yang

mendalam dan rinci tentang pelaksanaan

program inklusi.

Lokasi pada penelitian ini yaitu di SD

Negeri Klero 02 Kecamatan Tengaran

Kabupaten Semarang. Subjek dalam penelitian

ini yaitu kepala sekolah, guru, dan komite

sekolah. Data penelitian diperoleh melalui

teknik wawancara, observasi, dan dokumentasi.

Dimana peneliti menyiapkan instrumen berupa

pertanyaan-pertanyaan tertulis. Untuk

melengkapi hasil wawancara tersebut

dilakukan studi dokumentasi dan observasi.

Uji keabsahan yang digunakan adalah

triangulasi sumber dan triangulasi teknik.

Triangulasi sumber digunakan untuk

mendukung hasil wawancara. Hasil wawancara

guru dicocokan (cross check) dengan hasil

wawancara kepala sekolah, guru dan komite

sekolah dengan instrumen pertanyaan yang

sama. Triangulasi teknik digunakan untuk

mencocokan data yang diperoleh dari

wawancara, observasi dan dokumentasi.

Teknik analisis data dalam penelitian

kualitatif dilakukan sebelum penelitian, selama

penelitian dan sesudah penelitian. Analisis data

selama dilapangan dilakukan secara terus

menerus hingga datanya jenuh dan memperoleh

hasil yang di inginkan. Aktivitas tersebut

meliputi reduksi data, display data dan

kesimpulan atau verifikasi yang kemudian akan

di bawa untuk analisis setelah penelitian.

HASIL PENELITIAN

Tujuan penelitian ini adalah

mengevaluasi pelaksanaan program pendidikan

inklusi di SD Negeri Klero 02 Kecamatan

Tengaran Kabupaten Semarang. Hasil dari

evaluasi diharapkan dapat memberikan manfaat

sebagai bahan rekomendasi dalam pelaksanaan

program pendidikan inklusi di SD Negeri Klero

02. Hal tersebut sejalan dengan pengertian

evaluasi (Widoyoko, 2014) yaitu penyediaan

informasi yang dapat dijadikan sebagai bahan

pertimbangan dalam mengambil keputusan.

Penelitian dimulai dari proses

mengumpulkan data, menilai, dan

menyimpulkannya. Berbagai latar belakang dan

kemungkinan yang diperoleh dari hasil

wawancara, observasi dan dokumentasi yang

akan diketahui keberlangsungan pelaksanaan

program inklusi SD Negeri Klero 02

Kecamatan Tengaran Kabupaten Semarang.

Konteks

Evaluasi konteks terhadap pelaksanaan

program inklusi di SD Negeri Klero 02 meliputi

unsur penilaian terhadap latar belakang, tujuan

Page 114: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017

114

pendidikan inklusi, kerjasama terhadap instansi

lain, dan penerimaan peserta didik.

Berdasarkan hasil penelitian

menunjukkan bahwa SD Negeri Klero 02

melaksanakan progam inklusi karena adanya

penunjukan dari dinas pendidikan kabupaten.

Selain itu juga adanya anak-anak di sekitar

sekolah yang masuk dalam kategori ABK

namun orang tuanya belum memunyai

kesadaran menyekolahkan di SLB. SD Negeri

Klero 02 ditunjuk dan dicanangkan sebagai

sekolah pilot project pelaksana program

pendidikan inklusi di Kecamatan Tengaran.

Hasil temuan ini sudah sesuai dengan

Permendiknas No. 70 Tahun 2009 pasal 4 ayat

1 dimana “pemerintah kabupaten/kota

menunjuk minimal satu sekolah dasar, dan satu

sekolah menengah pertama pada setiap

kecamatan dan satu satuan pendidikan

menengah untuk menyelenggarakan

pendidikan inklusi yang wajib menerima

peserta didik” dengan kebutuhan khusus.

Sekolah mendapat manfaat atas

kepercayaan dan apresiasi dari masyarakat

khususnya orang tua ABK. Tujuan dalam

dalam penyelenggaraan program inklusi di SD

Negeri Klero 02 adalah pemerataan akses

pendidikan yang ramah dan adil tanpa

diskriminatif. ABK yang berada dilingkungan

sekitar agar bisa bersekolah seperti anak-anak

normal seusianya. Hal ini sesuai yang dengan

Permendiknas No. 70 Tahun 2009 pasal 3 ayat

1 dimana peserta didik dengan kelainan fisik,

emosional, mental, sosial atau memiliki potensi

kecerdasan dan/atau bakat istimewa berhak

mengikuti pendidikan inklusif pada satuan

pendidikan tertentu sesuai dengan kebutuhan

dan kemampuannya.

Izin penyelenggaraan program inklusi

disekolah ini sudah ada karena sekolah ditunjuk

dinas untuk menyelenggarakan program

inklusi. Namun sampai sekarang sekolah belum

mendapatkan SK yang menerangkan sebagai

sekolah penyelenggara program inklusi.

Sekolah dalam melaksanakan program

inklusi berdasarkan pedoman yang diberikan

dinas. Untuk menunjang berjalannya program

tersebut sekolah melakukan kerjasama dengan

lembaga lain. Sekolah menjalin kerjasama

dengan SLB Salatiga. Kerjasama dilakukan

untuk memberikan bimbingan dalam pelayanan

terhadap ABK. Temuan ini sudah sesuai

dengan Direktorat Pembinaan PKLK

Pendidikan Dasar Tahun 2012 dan

Permendiknas No. 70 Tahun 2009 pasal 11 ayat

1-5. Sejalan dengan penelitian Sunardi (2011)

bahwa dalam hal manajemen institusi,

mayoritas sekolah-sekolah ini telah

mengembangkan rencana strategis (untuk

program inklusif), secara sah mengangkat para

koordinator, melibatkan beberapa kelompok

terkait, dan menyelenggarakan serangkaian

rapat koordinasi rutin.

Sasaran program inklusi di SD Negeri

Klero 02 yaitu anak usia sekolah yang terdapat

disekitar sekolah. Dalam penerimaan peserta

didik baru sekolah tidak melakukan proses

seleksi. ABK yang diterima secara umum

masih bisa mengikuti pelajaran atau arahan

guru, mandiri, percaya diri, dan bisa mengikuti

proses pembelajaran dengan anak normal. ABK

yang dilayani ada 12 anak yang tersebar dari

kelas I sampai keas V. ABK yang ada terdiri

dari 5 anak tuna Grahita, 3 anak autis, 2 anak

lamban belajar, 1 anak tuna laras, dan 1 anak

tuna daksa.

Pada proses penerimaan peserta didik

baru sekolah biasanya melakukan pengamatan

ketika peserta didik mendaftar sekolah. Sekolah

menerima ABK dengan menyesuaikan pada

jenis kebutuhan atau kelainan yaitu kategori

ringan, dan dimana ABK berdomisili dekat

lingkungan sekolah. Hasil temuan ini sesuai

dengan Permendiknas No. 70 Tahun 2009 pasal

5 ayat 1 sekolah menerima peserta didik dengan

kelainan dan/atau potensi kecerdasan dan/atau

bakat istimewa atas pertimbangan terhadap

sumber daya yang dimiliki sekolah tersebut.

Page 115: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Evaluasi Pelaksanaan Program Inklusi Sekolah Dasar | Rika Widyawati

115

a. Input

Evaluasi input terhadap

penyelenggaraan program pendidikan inklusi di

SD Negeri Klero 02 meliputi sarana prasarana,

kurikulum, dan sumber daya manusia.

Sekolah menggunakan sarana prasarana

yang sudah ada sebelumnya. Sarpras umumnya

digunakan secara merata baik siswa reguler

maupun ABK. Hal ini sesuai dengan Direktorat

Pembinaan SLB (2007) dimana sarana dan

prasarana umum yang dibutuhkan sekolah

penyelenggara program pendidikan inklusi

cenderung sama dengan sekolah reguler pada

umumnya.

Ketersediaan sarana dan prasarana yang

ada di sekolah masih terbatas. Selama ini

sekolah telah mendapatkan bantuan sarana

berupa alat musik, alat memasak, drum band,

alat menjahit, dan berbagai alat lainnya yang

menunjang untuk mengembangkan

keterampilan siswa. Bantuan tersebut diberikan

oleh Pemerintah provinsi pada tahun 2010

sebesar Rp. 50.000.000,00. Selain itu, sekolah

belum didukung dengan prasarana yang

memadai seperti ruang atau kelas khusus guna

melayani ABK. Sejalan dengan pendapat

Mitiku et all. (2014) ada beberapa peluang yang

mendukung penddidikan inklusif tidak dapat

diambil sebagai jaminan karena kurangnya

kesadaran, komitmen, dan kolaborasi serta ada

tantangan nyata yang menghambat

implementasi penuh dari pendidikan inklusi.

Kurikulum yang digunakan adalah

kurikulum nasional dan dimodifikasi sesuai

dengan ABK yang ada. Sekolah mengacu pada

kurikulum SLB dengan melakukan

penyesuaian di berbagai komponen sesuai

karakteristik peserta didik. Sekolah melakukan

modifikasi mulai dari materi pembelajaran,

media pembelajaran, penilaian, pelayanan

tambahan jam belajar, remedial, atau

pembimbingan khusus diluar jam sekolah. Hal

ini diperkuat dalam Permendiknas No. 70

Tahun 2009 pasal 7 bahwa kurikulum yang

digunakan adalah kurikulum tingkat satuan

pendidikan yang mengakomodasi kebutuhan

dan kemampuan ABK sesuai bakat, minat dan

potensinya. Sejalan dengan penelitian

Mohammed (2014) yang menyatakan bahwa

guru bersikap positif terhadap inklusi tetapi

memiliki sedikit pengetahuan tentang praktek

inklusi. Hal ini terbukti dalam pengunaan

adaptasi pembelajaran yang terbatas untuk

memenuhi kebutuhan individu

Sebagian guru di sekolah belum pernah

mendapatkan workshop, diklat, sosialisasi

dan/atau pelatihan khusus untuk meningkatkan

kompetensi. Temuan ini tidak sesuai dengan

Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 pasal 10

ayat 3, yang menjelaskan bahwa pemerintah

kabupaten/kota wajib meningkatkan

kompetensi di bidang pendidikan khusus bagi

tenaga pendidik dan tenaga kependidikan pada

satuan pendidikan penyelenggara pendidikan

inklusif (Pokja Pendidikan Inklusif Kota Metro,

2015). Maka dari itu, pemerataan dalam

keikutsertaan atau keterlibatan guru dalam

workshop, diklat, sosialisasi/pelatihan khusus

perlu ditingkatkan karena berpengaruh

terhadap kompetensi guru dalam menangani

ABK.

Sementara dalam hal sumber daya

manusia (SDM) yaitu guru pendamping khusus

(GPK), SD Negeri Klero 02 belum memiliki

GPK yang berlatar belakang pendidikan khusus

atau pendidikan luar biasa. Sekolah

mengangkat guru umum untuk menjadi GPK.

Temuan ini tidak sesuai dengan Permendiknas

No. 70 tahun 2009 pasal 10 ayat 1 dimana

“pemerintah kabupaten/kota wajib

menyediakan paling sedikit satu orang GPK

pada satuan pendidikan yang ditunjuk untuk

menyelenggarakan pendidikan inklusif”.

Penanganan ABK ditangani oleh guru kelas.

Hasil temuan ini belum sesuai karena idealnya

selain guru kelas dan guru mata pelajaran,

sekolah harus memiliki guru pendidikan khusus

yang memiliki kompetensi sesuai keahlian

dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar

(Direktorat Pembinaan SLB 2007.

Page 116: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017

116

b. Process

Evaluasi Proses terhadap

penyelenggaraan program pendidikan inklusif

di SD Negeri Klero 02 meliputi pembelajaran,

pelayanan ABK, pembiayaan, dan monitoring.

Dalam proses pembelajaran di dalam kelas,

menunjukkan bahwa guru telah memiliki

kompetensi yang cukup memadai. Hal ini

terbukti dari penyusunan RPP, pemberian

materi dan bahan ajar kepada ABK dengan

menggunakan kurikulum dan materi/bahan ajar

yang sama atau reguler.

Guru tidak membedakan kurikulum dan

materi/bahan ajar secara terstruktur. Guru

menggunakan RPP reguler yang diberikan

secara merata kepada semua siswa. Hasil

temuan ini sesuai Direktorat Pembinaan PKLK

Pendidikan Dasar (2012) kurikulum yang

digunakan dalam penyelenggaraan pendidikan

inklusif pada dasarnya adalah kurikulum

standar nasional yang berlaku di sekolah

umum. Akan tetapi karena ragam hambatan

ABK sangat bervariasi, maka dalam

implementasinya harus ada modifikasi

kurikulum tingkat satuan pendidikan yang

sesuai dengan standar nasional dan kebutuhan

ABK.

Hasil temuan menunjukkan sekolah

melakukan penyesuaian (modifikasi) dengan

meringankan materi, dan pemberian atau

pelayanan tambahan terhadap ABK. Dalam

penggunaan kurikulum dan pemberian soal

latihan tetap sama tapi penyesuaian dilakukan

secara individu dalam hal evaluasi dan

pelayanan lainnya. Bagi ABK biasanya standar

nilai dibedakan dan disesuaikan yaitu

diturunkan dari standar KKM siswa normal

pada umumnya. Hasil temuan tidak sesuai

dengan hasil penelitian Winda (2013) bahwa

pelaksanaan inklusi tidak berjalan sebagai

mana mestinya dalam mengidentifikasi,

asesmen, RPP, PPI, tanggung jawab dan

peranan guru.

ABK akan mendapatkan pelayanan

lebih apabila dianggap perlu untuk remedi baik

di saat jam istirahat maupun di luar jam

sekolah. Hasil temuan ini sesuai menurut

Direktorat Pembinaan PKLK Pendidikan Dasar

(2012) tentang salah satu prinsip pembelajaran

sekolah inklusif yaitu prinsip individual,

dimana “guru perlu mengenal kemampuan awal

dan karakteristik setiap anak secara mendalam,

baik dari segi kemampuan maupun

ketidakmampuannya dalam menyerap materi

pelajaran, kecepatan maupun kelambatannya

dalam belajar, dan perilakunya, sehingga setiap

kegiatan pembelajaran masing-masing anak

mendapat perhatian dan perlakuan yang sesuai”

(Ulfia Rahmi, 2011).

Pada pelaksanaan pembelajaran dikelas

guru melakukan pengaturan tempat duduk.

Biasanya anak yang berkebutuhan khusus

ditempatkan didepan. Hal itu dilakukan agar

guru mudah memberikan perhatian pada anak

ABK. Pendampingan pembelajaran dilakukan

terhadap ABK pada saat pembelajaran

berlangsung namun belum sepenuhnya karena

keterbatasan kemampuan guru dan belum

adanya guru pendamping khusus.

Pendampingan pembelajaran dilakukan diluar

pelajaran disaat jam tambahan.

Evaluasi dilakukan untuk mengetahui

tingkat kemampuan atau prestasi yang dicapai

oleh peserta didik berkebutuhan khusus setelah

menjalani proses pembelajaran. Penilaian yang

dilakukan oleh GPK terhadap peserta didik

berkebutuhan khusus. GPK melakukan

modifikasi sistem evaluasi terhadap peserta

didik berkebutuhan khusus dengan bekerja

sama dengan guru kelas.

Dalam penyelenggaraan program

pendidikan inklusi di SD Negeri Klero 02,

sumber dana khusus untuk melayani dan

membantu ABK belum ada yang diterima dari

pemerintah. Sekolah mengambil dan

menggunakan dana BOS untuk memenuhi

kebutuhan dalam penyelenggaran program

inklusi. Hal tersebut tidak sesuai PP nomor 48

Tahun 2008 Bab V pasal 51 ayat 2 menegaskan

bahwa seharusnya pemerintah, pemerintah

Page 117: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Evaluasi Pelaksanaan Program Inklusi Sekolah Dasar | Rika Widyawati

117

daerah, dan masyarakat memberikan kontribusi

terhadap pembiayaan pendidikan inklusi agar

lebih efektif.

Dalam penyelenggaraan program

inklusi di SD Negeri Klero 02 belum ada

monitoring langsung dari dinas. Padahal dari

pihak sekolah sangat membutuhkan adanya

monitoring dan pendampingan terhadap

penyelenggaraan program inklusi ini. Temuan

ini tidak sesuai dengan Permendiknas No. 70

Tahun 2009 pasal 12 dimana “pemerintah,

pemerintah provinsi dan pemerintah

kabupaten/kota melakukan pembinaan dan

pengawasan pendidikan inklusif sesuai dengan

kewenangannya”. Sekolah SD Negeri Klero 02

sangat mendukung pelaksanaan program

inklusi ini namun harus dibarengi dengan

adanya dukungan dari berbagai pihak terkait.

c. Product

Evaluasi produk terhadap

penyelenggaraan program pendidikan inklusi di

SD Negeri Klero 02 berupaya untuk melakukan

penilaian terhadap dampak prestasi peserta

didik dan hambatan penyelenggaraan program

inklusi. Sehubungan dengan penerimaan ABK

yang sudah berjalan cukup lama sejak 2010,

maka dampak penerapan program tersebut

dapat dilihat khususnya dari perkembangan

maupun prestasi ABK. Sebagian besar ABK

memiliki perkembangan akademik dibawah

rerata atau standar. Dalam hal ini ABK belum

mampu mencapai nilai standar sesuai KKMnya

sehingga ada yang tidak naik kelas.

Sementara perkembangan non

akademik ABK cukup baik atau rata-rata.

Terdapat peserta didik ABK yang pandai dalam

menggambar walaupun belum pernah menang

dalam perlombaan. Dapat disimpulkan bahwa

perkembangan atau prestasi ABK secara garis

besar cukup baik dan rata-rata prestasi baik

akademik maupun akademiknya cukup

mengalami perkembangan. Hasil temuan ini

sesuai dengan Mudjito (2012) yang

menjelaskan bahwa setidaknya ada 4 ranah

pendidikan yang harus diberikan dalam proses

belajar mengajar yang mencakup ranah kognitif

(pembentukan kemampuan ilmu atau daya

nalar), psikomotorik (pembentukan bakat

keterampilan), soft skills (pembentukan

intrapersonality, interpersonality, karakter

pribadi untuk dirinya, sosial dan dengan sang

Pencipta), dan karakter (pembentukan hard

skills dan soft skills).

Pendukung program inklusi disekolah

ini adalah adanya dukungan dari masyarakat.

Dukungan itu berupa antusias masyarakat

sekitar yang mempunyai ABK untuk

menyekolahkan anaknya di SD Negeri Klero

02. Dengan adanya dukungam masyarakat

tersebut diharapkan membantu

penyelenggaraan program inklusi agar lebih

baik.

Terdapat berbagai hambatan dalam

pelaksanaan program inklusi ini. Sekolah

belum mempunyai guru pendamping khusus

yang benar-benar ahli dalam menangai anak

ABK. Sarana prasarana disekolah yang ada

belum mampu melayani kebutuhan anak ABK.

Pendanaan dalam pelaksaaan program inklusi

hanya mengandalkan dari dana BOS saja.

Keterbatasan guru dalam menangani anak ABK

juga menambah deretan hambatan yang ada

(bandingkan dengan Dwi Sartica dan Bambang

Ismanto, 2016).

Terkait dengan hambatan yang dialami,

sekolah telah melakukan beberapa usaha untuk

menanggulanginya. Sekolah mengangkat

seorang guru umum untuk menjadi seorang

guru GPK. Sekolah juga melakukan kerjasama

dengan instasi atau lembaga untuk menangani

ABK.

Dengan adanya program inklusi di SD

Negeri Klero 02 berharap sekolah dapat ikut

andil dalam menyukseskan wajib belajar 9

tahun untuk semua anak pada usia sekolah.

Selain itu adanya perhatian pemerintah dan

menindak lanjuti dengan memberikan tenaga

GPK, dana, sarana dan prasarana yang

Page 118: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017

118

memadai merupakan harapan terbesar yang

dinanti oleh pihak sekolah.

Penelitian ini diharapkan akan memberi

manfaat bagi pengembangan program yang ada

di SD Negeri Klero 02 yang telah

menyelenggarakan program selama 6 tahun.

Sesuai dengan pendapat Arikunto (2010)

bahwa kegiatan evaluasi program dimaksudkan

untuk mengambil keputusan atau melakukan

tindak lanjut dari program yang telah

dilaksanakan. Hasil dari penelitian ini bagi guru

dapat digunakan sebagai masukan dalam

rangka memecahkan masalah yang selama ini

dihadapi dalam pelaksanaan program inklusi.

Manfaat bagi kepala sekolah dengan

hasil penelitian ini diperoleh gambaran tentang

penyelenggaraan program inklusi yang selama

ini telah berjalan sehingga dapat mengambil

keputusan untuk meningkatkan program

pendidikan inklusi. Bagi dinas pendidikan

penelitian ini diharapkan dapat menjadi

masukan dalam rangka pembinaan dan

peningkatan kualitas program pendidikan

inklusi.

SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian dan

pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya

maka disimpulkan bahwa: 1) Berdasarkan

evaluasi terhadap komponen context, bahwa

pelaksanaan program inklusi disekolah ini

adanya penunjukan dari dinas. Sekolah sudah

mempunyai ijin dan pedoman dalam

melaksanakan program inklusi. Sekolah telah

bekerjasama dengan lembaga lain yang terkait.

Populasi yang dilayani sudah sesuai dengan

Permendiknas No. 70/2009 pasal 3 ayat 1,

dimana ABK yang dimaksud adalah anak

dengan kebutuhan khusus dalam kategori

ringan hingga sedang serta bisa ditangani oleh

sekolah. 2) Berdasarkan evaluasi terhadap

komponen input, menunjukkan ketersediaan

sarpras secara umum sudah memenuhi

kebutuhan semua siswa. Namun ketersediaan

sarpras khusus bagi ABK belum memadai.

Kurikulum sudah dimodifikasi sesuai

karakteristik peserta didik. Pelatihan khusus

bagi guru yang ada di sekolah belum merata.

Sekolah juga belum memiliki GPK yang sesuai

dengan kompetensinya. 3) Berdasarkan

evaluasi terhadap komponen process,

Kompetensi guru cukup memadai dalam

menangani ABK, penanganan diberikan secara

individual. Pembiayaan pelaksanaan program

di sekolah masih diambil dari alokasi dana

BOS. Selain itu belum ada monitoring lebih

lanjut dari dinas terkait. 4) Berdasarkan

evaluasi terhadap komponen product, dampak

dari pelaksanaan program terletak pada

perkembangan prestasi ABK. Perkembangan

akademik dan non akademik ABK cukup baik.

Sementara, jumlah ABK yang terlayani

tergolong variatif dan semua ABK dilayani

sekolah dengan menyesuaikan terhadap

keadaan dan kemampuan sekolah. 5)

Pendukung penyelenggaraan program inklusi

yaitu antusias masyarakat sekitar yang

mempunyai ABK menyekolahkan anaknya di

SD Negeri Klero 02. Selain pendukung masih

banyak faktor penghambat dalam

penyelenggaraan program pendidikan inklusi

yaitu belum ada GPK yang sesuai dengan

kompetensi, keterbatasan guru dalam

menangani ABK, kesadaran orang tua

mengenai program inklusi, sarpras yang kurang

memadai bagi ABK, pendanaan, monitoring

dan evaluasi dari dinas.

Beberapa temuan yang dapat

direkomendasikan adalah: 1) Guru dan kepala

sekolah perlu mengikuti kegiatan diklat dalam

penanganan ABK, pelatihan khusus dan

sejenisnya. Saling berbagi pengalaman dengan

guru lain baik dalam perencanaan

pembelajaran, penanganan ABK, dan evaluasi.

2) Sekolah perlu melibatkan dan bekerja sama

dengan orang tua ABK dalam hal penyampaian

evaluasi, perkembangan atau pencapaian

prestasi ABK baik di kelas maupun di luar

kelas. Dengan demikian, orang tua bisa

berkontribusi terhadap perkembangan ABK.

Page 119: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Evaluasi Pelaksanaan Program Inklusi Sekolah Dasar | Rika Widyawati

119

Sekolah mengusulkan untuk memperoleh

bantuan dana dan sarpras khusus bagi ABK. 3)

Dinas perlu melakukan monitoring dan evaluasi

secara seksama dan berkelanjutan terhadap

penyelenggaraan program inklusi. Program

yang sudah direncanakan apakah sudah sesuai

tujuan. Selanjutnya dinas pendidikan dapat

membuat kebijakan perbaikan atau keputusan

lebih lanjut.

DAFTAR PUSTAKA

Anggun. 2013. Evaluasi Peserta dan Instruktur

Pelatihan.

https://goenable.wordpress.com/

tag/evaluasi-peserta-dan-instruktur-

pelatihan/

Arikunto, Suharsimi dan Jabar, Cepi Safruddin

Abdul. 2010. Evaluasi Program

Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara

Direktorat Pembinaan PKLK Pendidikan

Dasar. 2012. Permendiknas Nomor 70

Tahun 2009. Jakarta: Direktorat

Jenderal Pendidikan Dasar Kementerian

Pendidikan dan Kebudayaan.

Direktorat Pembinaan SLB. 2007. Pedoman

Umum Penyelenggaraan Pendidikan

Inklusif. Jakarta: Depdiknas.

Dwi Sartica dan Bambang Ismanto, 2016.

Evaluasi Penyelenggaraan Program

Pendidikan Inklusif di Kota Palangka

Raya, Kelola Jurnal Manajemen

Pendidikan Magister Manajemen

Pendidikan. Volume: 3, No. 1, 2016,

halaman: 49-66

Ilahi, Muhammad Takdir. 2013. Pendidikan

Inklusif. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media

Kamalfuadi. 2011. Pengertian Pendidikan

Inklusif.

https://fuadinotkamal.wordpress.com/

2011/04/12/pendidikan-inklusif/

Keyla F.W. 2011. Ilmu Pengetahuan.

http://ulankeyla.blogspot.co.id/2011_1

1_01_archive. html

Kustawan, Dedy. 2012. Pendidikan Inklusif &

Upaya Implementasinya. Jakarta: PT.

Luxima Metro Media.

Mitiku et all. 2014. Challenges and

Opportunities to Implement Inclusive

Education. Asian Jurnal of Humanity,

Art and Literature (AJHAL). Vol 1, no

2, 2014, hal 118-136. Ethiophia:

Unervisity of Gondar.

Mohammed, A. Alhassan. 2014.

Implementation of Inclusive Education

in Ghanaian Primary Schools: A Look

at Teachers’ Attitudes. American Jurnal

of Educational Research 2014, vol 2 no

3, hal 142-148.

Mudjito, dkk. 2012. Pendidikan Inklusif.

Editor: Wardi. Jakarta: Baduose Media.

Nashokha, Imam. Tth. Pendidik Saatnya

Menjadikan Pendidikan Inklusi sebagai

Alternatif Model Pendidikan untuk

Semua.

https://www.academia.edu/5078049/

Nuraeni. 2013. Permasalahan Program

Evaluasi Pendidikan.

http://nuraeni68.blogspot.co.id/2013/03

/permasalahan-evaluasi-program-

pendidikan.html

Pokja Pendidikan Inklusif Kota Metro. 2015.

Pedoman Umum Penyelenggaraan

Pendidikan Inklusif Kota Metro.

Disdikbud Pemuda dan Olah Raga Kota

Metro.

Shabillah, D.A. 2015. Pendidikan Inklusif bagi

Penyandang Disabilitas.

http://indonesiana.tempo.co/read/40111

/2015/04/22/Pendidikan-Inklusif-Bagi-

Penyandang-Disabillitas

Page 120: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017

120

Sulihandari, Hartanti. 2013. Pendidikan Agama

Islam Berbasis Inklusi Bagi Siswa

Tunanetra Di SMA Negeri 1 sewon

Bantul. Yogyakarta: UIN Sunan

Kalijaga

Sunardi, Mucawir Yusuf, Gunarhadi, Priyono,

John L. Yeager. 2011. The

Implementation of Inclusive Education

for Students with Special Needs in

Indonesia.

https://ehe.pitt.edu/ojs/index.php/ehe/ar

ticle/view/27

Smart, Aqila. 2010. Anak Cacat Bukan Kiamat

(Metode Pembelajaran Terapi untuk

Anak Berkebutuhan Khusus).

Jogjakarta: Kata Hati.

Smith, J. David. 2006. Inklusi Sekolah Ramah

Untuk Semua. Bandung: Nuansa.

Toyibnapis, Farida Yusuf. 2008. Evaluasi

Program dan Instrumen Evaluasi.

Untuk Program Pendidikan dan

penelitian. Jakarta: Rineka Cipta

Ulfia Rahmi. 2011. Kegiatan Belajar

Mengajar.

https://tepenr06.wordpress.com/2011/1

1/04/kegiatan-belajar-mengajar/

Undang-undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945

Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional

Nomor 20 Tahun 2003. Jakarta.

Widoyoko, Eko Putro. 2014. Evaluasi Program

Pembelajaran: Panduan Praktis Bagi

Pendidik dan Calon Pendidik.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Windasari, Quinda. 2012. Pelaksanaan Inklusif

di Sekolah Dasar Negeri 14 Pakan

Sinayan Payakumbuh. Jurnal Ilmiah

Pendidikan Khusus (Online), Vol.1,

No.1.

Wirawan. 2012. Evaluasi: Teori, model,

standar, aplikasi dan profesi. Jakarta:

Rajawali Pers.

Page 121: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Magister Manajemen Pendidikan FKIP Universitas Kristen Satya Wacana [email protected]

e-ISSN 2549-9661 Volume: 4, No. 2, Juli-Desember 2017

Halaman: 121-134

121

Evaluasi Implementasi Kebijakan Pendidikan Inklusi

Sasadara Wahyu Lukitasari

Magister Manajemen Pendidikan

Universitas Kristen Satya Wacana

[email protected]

Bambang Suteng Sulasmono

Magister Manajemen Pendidikan

Universitas Kristen Satya Wacana

[email protected]

Ade Iriani

Magister Manajemen Pendidikan

Universitas Kristen Satya Wacana

[email protected]

ABSTRACT

The purpose of this study is to evaluate the implementation of inclusive education

policy in Salatiga City. This study used a qualitative evaluative approach to the research

subject of Dinas Pendidikan and inclusion schools in Salatiga. In-depth interviews,

document studies, and observations were used to collect data and then analyzed using an

Edwards III implementation model that looked at communication, resource, disposition,

and bureaucratic structure. The results showed that the implementation of inclusive

education policy in Salatiga is considered good, that is the achievement of 65%.

Communication is an aspect that requires a lot of improvement, as well as the

bureaucratic structure and disposition that is still not a good implementation. While the

best aspect is the resources. The impact of this policy is evident from the increasing

number of students in regular schools from year to year and the reduced discrimination

experienced by ABK students by peers, teachers and the community.

Keywords: evaluation, inclusive education, policy implementation

Article Info

Received date: 24 Mei 2017 Revised date: 13 Oktober 2017 Accepted date: 13 Oktober 2017

Page 122: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017

122

PENDAHULUAN

Model pendidikan inklusi merupakan

sebuah alternatif yang ditawarkan oleh

pemerintah untuk melayani Anak

Berkebutuhan Khusus (ABK). Pendidikan ini

bukan digunakan untuk menggantikan

pendidikan segregasi dalam konteks

pendidikan luar biasa di Indonesia yang selama

ini terlayani dengan Sekolah Luar Biasa (SLB)

dan Sekolah Terpadu. Sistem ini

memungkinkan ABK bersekolah di sekolah

reguler sehingga membuka akses pendidikan

yang lebih luas, bagi para ABK. Sekolah inklusi

dimaksudkan untuk memperpendek akses

pendidikan bagi ABK yang biasanya bertempat

tinggal jauh dari pusat kota dimana terdapat

SLB sehingga mereka tidak mengalami putus

sekolah. Subagya dalam Haryono (2015:122-

123) menyebutkan bahwa terdapat 26.568

(79,37%) ABK di Jawa Tengah belum sekolah.

Para ABK ini tidak mendapatkan pendidikan

karena beberapa alasan, seperti jauhnya tempat

tinggal ABK dari sekolah khusus, ABK ditolak

bersekolah di sekolah terdekat, banyak orang

tua ABK menyembunyikan ketunaan anaknya

dan rendahnya motivasi orang tua untuk

menyekolahkan anak mereka yang

berkebutuhan khusus.

Persoalan-persoalan tersebut di atas

barang tentu tidak dapat diselesaikan sendiri

oleh masyarakat, sehingga diperlukan

penanganan oleh pemerintah melalui kebijakan

publik. Kebijakan publik dapat dirumuskan

sebagai sebuah aksi yang dilakukan oleh aktor

politik sebagai strategi untuk mengatasi

masalah publik dengan mempertimbangkan

hambatan dan potensi yang ada guna mencapai

tujuan yang dicita-citakan. Alur pembuatan

kebijakan publik dimulai dari adanya isu

kebijakan, perumusan kebijakan, implementasi

kebijakan dan evaluasi kebijakan. Nugroho

(2009: 145) menambahkan bahwa kegiatan

setelah evaluasi kebijakan diperlukan lagi revisi

kebijakan untuk merumuskan kembali

kebijakan.

Tahap implementasi kebijakan adalah

tahap yang sangat penting dalam proses

kebijakan. Kebijakan yang sudah terencana

dengan sempurna bila kurang bagus proses

implementasinya oleh para pelaksana maka

kebijakan itu akan menemui kegagalan. Wahab

(2015: 132-133) menjelaskan bahwa menurut

sudut pandang teori siklikal (Cyclical Theory)

implementasi kebijakan merupakan bagian dari

tahapan dalam proses kebijakan berupa bentuk

produk hukum, dan aktivitas lanjutan sesudah

diberlakukannya produk hukum tersebut. Dapat

diartikan bahwa implementasi kebijakan adalah

tindakan saling kerja sama antar pemerintah

dengan pihak swasta untuk melaksanakan

kebijakan yang telah ditetapkan pada tahap

sebelumnya guna mencapai tujuan yang

ditetapkan.

Ketika kebijakan tidak dijalankan secara

baik, maka akan timbul kesenjangan

implementasi (implementation gap) yang

diartikan sebagai “perbedaan antara hukum

yang tertulis dengan prakteknya di lapangan”.

Biasanya implementation gap ini terlihat dan

sering dirasakan pada level bawah (Nakagaki,

2013:1). Penyebab adanya implementation gap

dapat berasal dari faktor politik, ekonomi, dan

sosial budaya. Untuk mengatasi

implementation gap dibutuhkan pendekatan

yang berfokus pada kualitas kebijakan dan

memastikan bahwa kebijakan tersebut benar-

benar sesuai dengan kebutuhan sasaran

(masyarakat). Pemerintah, sektor swasta dan

masyarakat harus bekerja sama untuk

mengatasi implementation gap ini.

George Edward III (1980) menyatakan

bahwa jika implementasi kebijakan publik

kurang diberi perhatian, maka implementasi

tidak efektif sehingga kebijakan itu tidak akan

berhasil dijalankan. Untuk menjamin

keberhasilan implementasi kebijakan perlu

diperhatikan empat hal, yaitu komunikasi,

sumber daya, disposisi, dan struktur birokrasi.

Komunikasi. Komunikasi kebijakan

adalah proses penyampaian informasi tentang

kebijakan dari pembuat kepada pelaksana

kebijakan (implementor) (Widodo, 2011:97).

Hal ini penting dilakukan supaya pelaksana

kebijakan dapat memahami hakikat kebijakan,

isi, tujuan, arah, cara pelaksanaan, batasan,

evaluasi, kelompok sasaran dan lain sebagainya

Page 123: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Evaluasi Implementasi Kebijakan Pendidikan Inklusi | Sasadara Wahyu L., dkk.

123

sehingga dapat mempersiapkan pelaksanaan

kebijakan agar proses implementasi berjalan

lancar dan efektif. Faktor-faktor yang penting

dalam penyampaian informasi, adalah transmisi

(cara penyampaian), clarity (kejelasan

informasi), dan consistency (konsistensi

informasi).

Sumber Daya. Sumber daya berkaitan

dengan ada tidaknya sumber daya pendukung,

khususnya kualitas sumber daya manusia untuk

menjalankan kebijakan secara efektif. Widodo

(2011:98) menyebutkan bahwa walaupun

aturan yang dibuat sudah jelas dan akurat,

namun implementasi tidak akan efektif jika

sumber daya pelaksana kebijakan kurang

bertanggung-jawab dalam melaksanakan

kebijakan yang bersangkutan. Potensi sumber

daya yang tinggi akan membuat implementasi

berjalan dengan baik, sebaliknya, rendahnya

potensi sumber daya akan menjadi penyebab

gagalnya implementasi kebijakan. Sumber daya

tersebut terdiri dari sumber daya manusia,

anggaran, fasilitas, informasi, dan kewenangan. Disposisi. Edward (1980:89)

mendefinisikan disposisi sebagai pembawaan,

kepribadian, pandangan, ideologi pelaksana

kebijakan publik. Kemauan dan dedikasi serta

karakteristik para implementor kebijakan untuk

melaksanakan kebijakan sangat penting untuk

keberlangsungan implementasi kebijakan.

Struktur birokrasi. Struktur birokrasi

disini adalah semua instrumen organisasi secara

menyeluruh dan terstruktur. Terdapat dua aspek

struktur organisasi ini, yaitu mekanisme dan

struktur birokrasi. Mekanisme biasanya dibuat

dalam Standard Operational Procedure(SOP)

yang merupakan pedoman langkah-langkah

berupa keseragaman pola dalam pelaksanaan

implementasi kebijakan supaya tidak

melenceng dari yang sudah ditetapkan. Aspek

penting lain dari struktur birokrasi adalah ada

atau tidaknya fragmentasi atau perpecahan di

kalangan birokrasi pelaksana kebijakan

Fragmentasi di lingkungan birokrasi pelaksana

kebijakan akan membuat permasalahan dalam

implementasi.

Pendidikan Inklusi. Konsep inklusi

dijelaskan oleh Smith (2006: 43) sebagai

pembauran anak-anak berkelainan ke dalam

program sekolah regular. Selain itu inklusi

dapat diartikan sebagai akseptasi siswa dengan

keterbatasan dalam kurikulum, lingkungan,

interaksi sosial dan konsep diri sekolah. Hal

yang senada diungkapkan Valle & Connor

dalam Santrock (2014:226) yang menyatakan

bahwa inklusi berarti memberi pendidikan anak

dengan pendidikan khusus secara penuh-waktu

di kelas reguler. Namun dia memberi catatan

bahwa hal tersebut tergantung pada tingkat

disabilitasnya. Sedangkan dalam Permendiknas

No. 70 Tahun 2009 pasal 1 diterangkan bahwa

pendidikan inklusi adalah “sistem

penyelenggaraan pendidikan yang memberikan

kesempatan kepada semua peserta didik yang

memiliki kelainan dan memiliki potensi

kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk

mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam

satu lingkungan pendidikan secara bersama-

sama dengan peserta didik pada umumnya.”

Siswa dengan kelainan fisik, emosional,

mental, dan sosial atau memiliki potensi

kecerdasan dan/atau bakat istimewa memiliki

hak untuk ikut mengenyam pendidikan secara

inklusi pada satu sekolah sesuai kebutuhan dan

kemampuannya. Sedangkan yang dimaksud

kelainan itu adalah tunanetra, tunarungu,

tunawicara, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras,

berkesulitan belajar, lamban belajar, autis,

memiliki gangguan motorik, menjadi korban

penyalahgunaan narkoba, obat terlarang, dan

zat adiktif lainnya, memiliki kelainan lainnya,

tunaganda. Dari pengertian diatas, penulis

berpendapat bahwa pendidikan inklusi adalah

layanan pendidikan untuk anak berkebutuhan

khusus dengan keterbatasan fisik, mental,

berkemampuan istimewa, korban narkoba,

minoritas, dan keterbatasan belajar lainnya

yang menyatu dengan sekolah reguler di dekat

tempat tinggalnya.

Inklusi diperlukan agar terjadi

pemerataan pendidikan dengan memperpendek

akses pendidikan ke pendidikan khusus dan

memenuhi hak pendidikan anak. Dengan ini

dapat membantu siswa dengan pemenuhan

pendidikan yang berkualitas, membantu

mengoptimalkan potensi mereka sehingga

dapat berkontribusi terhadap komunitas dan

masyarakat. Inklusi juga dimaksudkan untuk

mempromosikan perubahan dan nilai-nilai

sosial dan mengurangi diskriminasi dalam

Page 124: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017

124

masyarakat. Dengan menempatkan siswa ABK

setara dengan siswa normal, masyarakat

diharapkan dapat melihat perbedaan yang ada

sebagai keanekaragaman dalam masyarakat

(Walker, tth:15)

Mangunsong (2009:4) menjelaskan

bahwa Anak Berkebutuhan Khusus atau Anak

Luar Biasa adalah anak yang berbeda dibanding

anak normal kebanyakan dalam hal: ciri-ciri

mental, kemampuan-kemampuan sensorik,

fisik dan neuro-maskular, perilaku sosial dan

emosional, kemampuan berkomunikasi,

maupun kombinasi dua atau lebih dari hal-hal

diatas; selama mereka membutuhkan

modifikasi tugas sekolah, metode belajar atau

pelayanan terkait lainnya, bertujuan untuk

pengembangan potensi atau kapasitasnya

secara maksimal. Diretcgov merujuk ABK

kepada anak yang memiliki kesulitan belajar

yang membuatnya lebih sulit untuk belajar atau

mengakses pendidikan dibandingkan

kebanyakan anak seusianya. Menurut penulis,

ABK adalah anak-anak yang memiliki

keterbatasan dalam hal fisik maupun mental

sehingga mengalami kesulitan belajar atau

mengakses pendidikan dibandingkan anak

lainnya.

Disabilitas sangat erat kaitannya dengan

kemiskinan. Terdapat siklus yang terus

berulang. Orang dengan disabilitas memiliki

kemungkinan untuk berada di golongan

ekonomi lemah (Walker, tth:13). Oleh karena

ABK atau difabel harus memiliki pendidikan

yang layak dan berkualitas untuk mengurangi

tingkat kemiskinan dan meningkatkan taraf

hidup mereka.

Selain anak berbekutuhan khusus

pendidikan inklusi juga melayani anak Cerdas

Istimewa dan Bakat Istimewa (CIBI).

Munandar dalam Wulan (2011:260)

menjelaskan bahwa anak CIBI membutuhkan

penanganan khusus dalam pendidikan karena

beberapa karakteristik yang dimiliki anak-anak

tersebut membuat mereka berbeda dengan

siswa lain. Sehingga untuk mengembangkan

potensinya secara optimal, dibutuhkan

kurikulum dan metode yang berbeda dalam

pengajarannya sesuai minat, dan bakat mereka.

Supaya tidak dianggap “aneh” atau under

achiever (prestasi tidak sesuai dengan

kemampuannya) maka dibutuhkan pelayanan

yang berbeda dengan sekolah reguler. Hertzog

dalam Santrock (2014:232-233) mengusulkan

beberapa program untuk menangani anak

berbakat, yaitu kelas khusus, percepatan

(akselerasi) dan pengayaan dalam pengaturan

kelas reguler, mentor dan program magang

serta kerja/studi dan/atau program layanan.

Kebijakan Pendidikan Inklusi di

Indonesia. Indonesia mulai mengupayakan

pendidikan inklusi sejak dikeluarkannya Surat

Edaran Dirjen Dikdasmen

Depdiknas No.380/C.C6/MN/2003 pada 20

Januari 2003 kemudian diperkuat dengan

dikeluarkannya Permendiknas No. 70 tahun

2009 tentang Pendidikan Inklusi bagi peserta

didik yang memiliki kelainan dan memiliki

potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa.

Hal ini memang sejalan dengan hasil

kesepakatan Konferensi Dunia di Salamanca

pada tahun 1994 dan Deklarasi Dakar tahun

2000 yang berupaya mengakomodasikebutu

han dasar masya-rakat tentang pendidikan

untuk semua (Education for All) tanpa

memandang ras, agama dan potensi peserta

didik. Sambutan masyarakat terhadap model ini

pun cukup tinggi ditandai dengan jumlah

sekolah penyelenggara inklusi dan siswanya

yang meningkat secara signifikan. Walaupun

begitu, implementasi di lapangan masih jauh

dari apa yang diharapkan. Hal tersebut terutama

dikarenakan kurangnya komitmen dan

dukungan pemerintah.

Penyelenggaraan pendidikan inklusi di

Kota Salatiga telah berjalan sejak 2010 di

sejumlah sekolah. Kebijakan ini tertuang dalam

Perwali No. 11 Tahun 2013 tentang

Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi. Adanya

kebijakan ini membuat semua sekolah dari

tingkat SD sampai SMA wajib menerima anak-

anak berkebutuhan khusus (Salatiga Miliki Unit

Layanan Konsultasi Pendidikan, 2013).

Supriyanto (2013:8-9) menjelaskan bahwa

Salatiga ditunjuk sebagai Kota inklusi sejak

tahun 2012. Pemerintah telah menunjuk

Page 125: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Evaluasi Implementasi Kebijakan Pendidikan Inklusi | Sasadara Wahyu L., dkk.

125

beberapa sekolah untuk menjadi pilot project

penyelenggaraan inklusi dengan pola

menjadikan SLB sebagai pusat sumber belajar.

Piloting melibatkan 6 SMP dan 6 SD untuk

kategori inklusi dan CIBI. Data yang didapat

dari Dinas Pendidikan Kota Salatiga tahun

2015 terdapat 431 siswa ABK yang bersekolah

di 15 sekolah regular jenjang SD dan SMP

dengan program inklusi, dan 213 siswa dengan

program CIBI (Cerdas Bakat Istimewa) di 5

sekolah di jenjang yang sama.

Hasil wawancara dengan Kepala Sekolah

SDN Blotongan 3 pada bulan Mei 2016 dan

Koordinator Program Akselerasi di SMP 2 pada

bulan yang sama menunjukkan bahwa terdapat

beberapa permasalahan yang terjadi pada

implementasi program inklusi. Pemerintah

seperti kurang serius menangani sekolah inklusi

di Salatiga ini, mulai dari pendanaan, Guru

Pendamping Khusus dan lain-lain. Program

inklusi di SMP 2 untuk kategori Cerdas

Istimewa dihentikan karena tidak adanya dana

dari pemerintah. Selain itu banyak sekolah

inklusi yang tidak berjalan sebagaimana

mestinya karena tidak adanya Guru

Pendamping Khusus seperti yang

dipersyaratkan. Sehingga dipertanyakan

masihkah Kota Salatiga pantas disebut sebagai

Kota Inklusi, dan efektifkah model inklusi

diterapkan untuk menjawab kebutuhan

pendidikan anak berkebutuhan khusus.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka

peneliti tertarik untuk mengevaluasi

implementasi kebijakan pendidikan inklusi di

Kota Salatiga dengan rumusan masalah

“Bagaimana implementasi program inklusi di

Kota Salatiga dilihat dari komunikasi, sumber

daya, struktur birokrasi dan disposisinya?”

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian

evaluatif. Evaluasi implementasi kebijakan ini

menggunakan model evaluasi kebijakan

sistematis terhadap faktor komunikasi, sumber

daya, disposisi, dan struktur birokrasi

sebgaiman dimaksud dalam model

implementasi Edwards III. Penelitian dilakukan

di beberapa sekolah yang ditunjuk sebagai pilot

project program inklusi di Kota Salatiga di

tingkat pendidikan dasar, yaitu SD dan SMP.

Subyek penelitian ini adalah Dinas Pendidikan

Kota Salatiga, serta sekolah-sekolah di tingkat

SD dan SMP di Salatiga yang menerapkan

program inklusi. Data penelitian diperoleh

melalui wawancara mendalam, studi dokumen,

kuesioner dan observasi. Teknis validasi yang

digunakan dalam penelitian ini adalah

triangulasi sumber dan triangulasi teknik.

Dalam teknik triangulasi sumber, peneliti

mengecek kebenaran data dari beragam

sumber. Data-data tersebut dideskripsikan,

dikategorikan, dicari pandangan yang sama dan

berbeda serta yang lebih spesifik. Setelah

dianalisis dan ditarik kesimpulan, sumber data

diminta kesepakatan (member check) tentang

data tersebut.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pencanangan program inklusi di Salatiga

dilaksanakan pada tanggal 12 Desember 2012.

Sejak itu Kota Salatiga mulai melaksanakan

pendidikan inklusi di beberapa sekolah yang

ditunjuk sebagai pilot project-nya. Hasil

penilaian terhadap implementasi kebijakan

program inklusi dapat dilihat di Tabel 1.1.

Secara keseluruhan implementasi kebijakan

program inklusi ini masuk dalam kategori baik

dengan pencapaian 65%. Komunikasi

mendapatkan nilai yang paling rendah

dibandingkan aspek lain, sedangkan sumber

daya merupakan aspek yang paling bagus.

Page 126: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017

126

Tabel 1.1

Hasil Evaluasi Implementasi Kebijakan Program Inklusi Kota Salatiga

Aspek Nilai /Nilai total tiap aspek Capaian

(dalam %)

Tujuan Program 3 / 4 75%

Komunikasi 11 / 20 55%

Struktur Birokrasi 5/8 63%

Sumber daya 14/20 70%

Disposisi 5/8 63%

Dampak 9/12 75%

Total 47/72 65%

Sumber: Data penelitian diolah

Dari segi komunikasi data evaluasi

menunjukkan adanya permasalahan di hampir

semua aspek komunikasi karena empat dari

lima aspek yang ada menunjukkan penilaian

yang kurang baik. Aspek tersebut antara lain

dalam hal saluran komunikasi, kejelasan

informasi yang diterima, kelengkapan

informasi yang diterima kelompok sasaran, dan

konsistensi informasi kebijakan. Penilaian yang

baik terdapat pada aspek adanya persepsi yang

yang sama antara pembuat kebijakan dan

pelaksana kebijakan mengenai kebijakan yang

dijalankan.

Komunikasi berupa sosialisasi yang

dilakukan satu arah kepada pelaksana kebijakan

dan kelompok sasaran dilakukan dengan

berbagai cara, antara lain rapat dan sosialisasi

formal ke sekolah-sekolah, seminar, pameran,

klinik konseling, media massa, rapat orang tua,

brosur dan formulir pendaftaran. Walaupun

begitu penyampaian informasi tentang

kebijakan program inklusi kepada

implementator dan kelompok sasaran masih

dirasa kurang sehingga banyak terjadi kekurang

pahaman dan ketidaktahuan tentang program

ini. Masyarakat umum masih banyak yang

belum mengetahui mengenai program ini selain

dari pihak sekolah sendiri. Hal ini ditandai

dengan masih sedikitnya jenis ketunaan siswa

di sekolah reguler. Masih banyak orang tua

siswa yang belum mengetahui jika anak dengan

disabilitas bisa bersekolah di sekolah reguler

bersama teman yang normal.

Sementara itu dalam hal clarity

(kejelasan), kebijakan ini dinilai masih kurang

baik. Walaupun kebijakan ini mudah dipahami

dan kontroversi mengenai kebijakan ini sudah

mereda, namun juklak dan juknis yang ada

dirasa masih kurang jelas bagi beberapa

pelaksana kebijakan. Informasi yang diterima

pun juga kurang jelas. Sebelumnya pelatihan

yang diberikan dirasa kurang optimal sehingga

pemahaman GPK dirasa masih kurang dalam

menyelenggarakan pendidikan inklusi.

Dari sisi struktur birokrasi,

implementasi kebijakan pendidikan inklusi di

aras kota dikelola oleh sebuah Kelompok Kerja

(Pokja). Para pihak yang terlibat dalam Pokja

antara lain Dinas Pendidikan, Pemuda dan

Olahraga, Kementrian Agama, Bappeda, SLB,

Sekretariat Daerah dan dari universitas, antara

lain Universitas Negeri Semarang, Universitas

Kristen Satya Wacana, Sekolah Tinggi Agama

Islam Negeri Salatiga. Di samping itu Pokja

Inklusi Kota Salatiga kemudian menjadikan

UPTD sebagai pusat sumber sendiri yang

berupa Klinik Konseling, dan bukan

bekerjasama dengan SLB sebagai pusat

sumber.

Dalam kenyataan belum semua pihak

terlibat aktif dalam implementasi kebijakan.

Porsi utama dalam Pokja adalah pada Dinas

Pendidikan Pemuda dan Olahraga. Adanya

perbedaan pandangan antara SLB, Pokja

Inklusi dalam memandang Pusat Belajar dan

peran lembaga masing-masing, serta belum

samanya pandangan antara Kementerian

Agama dan Pokja inklusif dalam melihat

keterlibatan MI dan MTs untuk menjalankan

program inklusi ini memperlihatkan adanya

miskomunikasi yang terjadi antar lembaga

Page 127: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Evaluasi Implementasi Kebijakan Pendidikan Inklusi | Sasadara Wahyu L., dkk.

127

tersebut. Bisa juga dikatakan ini adalah sebuah

fragmentasi diantara pelaksana kebijakan.

SOP program ini adalah Pedoman Umum

Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi yang

dikeluarkan oleh Direktorat PPK-LK

Pendidikan Dasar Kementerian Pendidikan

Dan Kebudayaan. Pedoman inilah yang

kemudian digunakan sebagai panduan sekolah-

sekolah penyelenggara inklusi dalam

penyelenggaraan inklusi di sekolah masing-

masing. Hampir semua sekolah sudah

menerima pedoman ini dan melaksanakan

seperti petunjuk di dalam buku tersebut. Dalam

panduan tersebut lebih banyak penjelasan yang

hanya dapat diterapkan pada sekolah/kelas

inklusi dengan siswa ABK yang memiliki

keterlambatan belajar. Sedangkan panduan

untuk siswa dengan kecerdasan dan

keberbakatan istimewa masih dirasa kurang.

Dari sisi sumber daya, evaluasi

menunjukkan bahwa secara keseluruhan

sumber daya implementasi kebijakan termasuk

kategori baik yang ditandai dengan adanya

penilaian baik terhadap empat dari lima

indikator penilaian. Indikator yang memperoleh

nilai baik adalah jumlah SDM, fasilitas

pendukung, relevansi informasi, dan anggaran

untuk menjalankan program/kebijakan.

Penilaian yang kurang baik terdapat pada

kualitas SDM pelaksana kebijakan ini.

Sumber daya yang diperlukan dalam

implementasi kebijakan antara lain sumber

daya manusia, fasilitas, pendanaan dan

informasi. Dari segi kuantitas, jumlah GPK di

sekolah-sekolah penyelengara inklusi sudah

memenuhi standar nasional, yaitu minimal 1

(satu) orang GPK per sekolah. Namun Kota

Salatiga memiliki standar sendiri, yaitu 1

sekolah harus terdapat 2 (dua) orang GPK,

sehingga jumlah GPK di Salatiga sudah

melebihi standar yang ditetapkan. Hanya saja

dari segi kualitas, SDM pelaksana program ini

dinilai kurang baik. Banyak GPK yang belum

melaksanakan tupoksi secara optimal.

Beberapa sebabnya antara lain kurangnya

pengetahuan tentang tupoksi GPK, dan

terbatasnya waktu GPK untuk mengajar.

Sumber daya berupa informasi dirasa

masih kurang lengkap di awal-awal masa

pencanangan pendidikan inklusi di tahun 2012

karena masih belum tersosialisasinya program

ini secara meluas, serta pelatihan dan sosialisasi

yang kurang masif. Namun dengan adanya

pelatihan-pelatihan dan sosialisasi yang lebih

masif dilakukan pada akhir tahun 2016,

informasi yang diterima oleh pelaksana

kebijakan mengenai apa yang harus dilakukan

dan bagaimana melakukannya semakin jelas

dan lengkap. Sayangnya ini belum dibarengi

dengan adanya pusat data dan informasi

(Padati) ABK yang valid dan reliable untuk

mendukung kerja pelaksana kebijakan dan

masyarakat pada umumnya.

Dari segi anggaran, pemenuhan biaya

untuk menjalankan program inklusi di Kota

Salatiga ini sudah baik. Ini dibuktikan dengan

adanya anggaran yang dialokasikan dari

pemerintah Kota Salatiga mulai tahun anggaran

2014 sampai sekarang. Sebelum itu, anggaran

dari APBD berasal dari Provinsi Jawa Tengah,

dan APBN melalui Dirjen PPLK, walaupun

anggaran ini tidak rutin turun setiap tahunnya.

Belum terdapat partisipasi masyarakat berupa

bantuan sosial.

Dari sisi disposisi pelaksana kebijakan,

komitmen pelaksana kebijakan untuk

melaksanakan program ini dinilai baik, walau

masih dirasa adanya permasalahan dalam hal

penghargaan bagi pelaksana kebijakan.

Baiknya dedikasi dan kemauan pelaksana

kebijakan ditandai oleh adanya komitmen

sekolah untuk menyelenggarakan program

inklusi serta kesediaan para guru melaksanakan

tupoksinya sebagai GPK. Adanya komitmen

sekolah dalam menyelenggarakan pendidikan

inklusi juga dapat dilihat dengan tidak adanya

sekolah yang menolak masuknya siswa yang

berkebutuhan khusus di sekolah mereka.

Walaupun beberapa sekolah menerapkan

kriteria jenis ketunaan yang bisa diterima, yaitu

kategori ringan dan tidak menganggu teman

lainnya. Sayangnya komitmen ini belum

dibarengi dengan lingkungan sekolah ramah

ABK, terutama dalam hal penyediaan fasilitas

yang ramah terhadap ABK.

Page 128: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017

128

Disposisi yang baik biasanya ditunjang

dengan adanya penghargaan yang diberikan

kepada pelaksana kebijakan. Sayangnya hal ini

dinilai masih kurang berjalan dengan baik.

Guru (khususnya yang berstatus sebagai

Pegawai Negeri Sipil) yang merangkap sebagai

GPK belum mendapatkan angka kredit yang

berguna untuk kenaikan jabatan/golongan.

Selain itu selama program berjalan selama 4

tahun, belum ada penghargaan yang diberikan

kepada pelaksana kebijakan yang berperan

penting dalam perkembangan pendidikan

inklusi di Kota Salatiga.

Pembahasan

Komunikasi dalam Implementasi Kebijakan

Pendidikan Inklusi di Kota Salatiga

Hasil penelitian menunjukkan bahwa

pada sisi komunikasi aspek transmisi dinilai

kurang baik, aspek kejelasan juga kurang baik,

sedang aspek konsistensi dinilai cukup baik.

Oleh karena itu dapat dipahami jika masih

terjadi kesenjangan implementasi kebijakan

pendidikan inklusi di kota Salatiga. Hal ini

dapat dipahami dari teori Edward III (Winarno,

2011: 181) yang menyatakan bahwa “

...semakin cermat keputusan-keputusan dan

perintah-perintah pelaksanaan diteruskan

kepada mereka yang harus melaksanakan-nya,

maka makin tinggi pula probabilitas keputusan-

keputusan kebijakan dan perintah perintah

pelaksanaan tersebut dilaksanakan”

Sedang keengganan orang tua untuk

menyekolahkan anak berkebutuhan khususnya

ke sekolah dapat dijelaskan melalui pendapat

Nagakaki (2013:4) yang menyatakan bahwa

salah satu penyebab adanya implementation

gap adalah faktor sosial budaya. Adanya

warisan budaya yang tertanan selama beberapa

generasi menyebabkan stereotipe budaya.

Dengan ini paradigma masyarakat akan susah

dirubah dengan sesuatu yang baru. Begitu

halnya dengan pendidikan segregatif yang

sudah lebih dari seabad ada di Indonesia.

Sekolah untuk siswa ABK dimulai sejak jaman

sebelum kemerdekaan pada tahun 1901 di

Bandung untuk para tunanetra, sedangkan

setelah kemerdekaan pendidikan untuk ABK

dijamin oleh UU Pendidikan No 12 tahun 1954

tentang pendidikan dan pengajaran luar biasa.

Adanya UU tersebut muncullah SLB sebagai

layanan pendidikan bagi penyandang

disabilitas (Sunanto:6). Untuk itulah diperlukan

suatu terobosan untuk memperkenalkan konsep

pendidikan inklusif ke masyarakat sehingga

dapat merubah paradigma masyarakat bahwa

ABK tidak harus bersekolah di SLB.

Di samping itu forum untuk orang tua

atau masyarakat juga belum terbentuk di Kota

Salatiga. Padahal forum ini sangat penting

keberadaannya sdan bahkan telah dituangkan

dalam Progam Pendidikan Inklusif Kota

Salatiga di tahun ketiga (2014) yaitu

“terbentuknya forum dan atau asosiasi orang

tua dan pemangku kepentingan pendidikan

inklusi”. Memang hal semacam itu tidak hanya

terjadi di Kota Salatiga saja. Penelitian oleh

Haryono (2015:124) yang menjangkau Provinsi

Jawa Tengah juga menemukan hal yang serupa,

yaitu banyak sekolah yang belum melibatkan

masyarakat dalam penyelengga-raan

pendidikan inklusif. Padahal komunikasi dan

kerjasama dengan masyarakat dan beberapa

stakeholder sangat penting bagi pendidikan

ABK agar mendapat pendidikan yang

berkualitas dalam lingkungan yang inklusif dan

ramah terhadap pembelajaran (LIRP).

Nagakaki (2013:7) menyatakan bahwa

peran aktif masyarakat dapat mengurangi

adanya kesenjangan implementasi, salah satu

yang bisa dilakukan adalah bekerjasama

dengan organisasi yang lebih besar dan

berpengalaman. Keterlibatan keluarga dan

anggota masyarakat lain sangat penting dalam

implementasi pendidikan inklusif. Kerjasama

bisa dilakukan dengan kemitraan antar Dinas,

misalnya Dinas Sosial, Dinas Tenaga Kerja,

dan Dinas Kesehatan. Selain antar dinas,

kemitraan juga harus menjangkau masyarakat,

orang tua, para pengusaha, tokoh masyarakat

yang memiliki kepentingan. Hal ini dapat

dilakukan secara individual atau level

organisasi, baik organisasi kemasyarakatan

yang dibentuk oleh Pemerintah (GO) maupun

non pemerintah (NGO) (Wasliman, 2009:137-

138).

Page 129: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Evaluasi Implementasi Kebijakan Pendidikan Inklusi | Sasadara Wahyu L., dkk.

129

Struktur Birokrasi dalam Implementasi

Kebijakan Pendidikan Inklusi di Kota

Salatiga Menurut Nagakaki (2013: 2) salah satu

penyebab adanya implementation gap adalah

faktor politik. Dalam kasus Kota Salatiga,

struktur birokrasi merupakan salah satu

penyebab adanya implementation gap dalam

implementasi kebijakan pendidikan inklusi.

Terdapat ketidakjelasan atau tanggung jawab

yang tumpang tindih pada struktur birokrasi.

Pokja yang melibatkan beberapa instansi belum

semua terlibat dalam pelaksanaan program.

Porsi utama dalam Pokja adalah pada Dinas

Pendidikan Pemuda dan Olahraga, namun dinas

lain yang terkait juga harusnya bisa dilibatkan

karena peran dinas lain juga semestinya tidak

kecil. SLB dapat melakukan tugas di bidang

pendidikan dan pelatihan bagi para GPK yang

berlatar belakang bukan PLB (Pendidikan Luar

Biasa) sehingga para GPK di SD reguler

mendapatkan wawasan bagaimana sebenarnya

menangani siswa ABK. Selain itu peran

Kementerian Agama yang membawahi MI dan

MTs semestinya juga tidak kecil. Tercatat pada

tahun 2010/2011 terdapat 12 MI dan 3 MTs.

Jika program inklusi juga diterapkan di dua

lembaga tadi, siswa-siswa ABK pastilah

tertangani dengan lebih baik. Selain itu instansi

ini bisa mendapatkan fasilitas berupa dana, atau

bantuan pendidikan bagi guru untuk

penanganan siswa ABK. Selain itu birokrasi

dimana pendidikan dasar yang meliputi SD dan

SMP merupakan wewenang Pemerintah Kota,

sementara SMA/SMK berada di level Provinsi

membuat sekolah inklusi di tingkat sekolah

menengah atas belum dapat dilaksanakan.

Pusat sumber sangat penting peranannya

sebagai sistem pendukung implementasi

pendidikan inklusif. Menurut Saepul (2013, 30-

33), pusat sumber adalah “suatu unit atau

institusi yang berfungsi memberikan pelayanan

pendukung bagi sekolah-sekolah reguler yang

menyelenggarakan pendidikan inklusif, baik

secara teknis (operasional) maupun

konsultatif.” Pusat sumber ini berfungsi sebagai

pusat pendidikan dan layanan kepada siswa

ABK, pusat asesmen, penyediaan sumber

belajar, pusat penyediaan alat bantu belajar dan

mengajar serta pusat penelitian dan

pengembangan. Salah satu tugasnya adalah

menghadirkan GPK profesional sebagai guru

kunjung. Guru ini akan membantu guru di

sekolah reguler untuk memberikan pendidikan

kepada siswa ABK. Pusat sumber juga bertugas

untuk memberikan media belajar yang

diperlukan, memberikan pelatihan tertentu bagi

GPK sekolah reguler, maupun orang tua. Untuk

memberikan dukungan kepada sekolah reguler,

diperlukan satu atau dua pusat sumber untuk

setiap kota/kabupaten. Pusat sumber ini dapat

berupa lembaga baru atau pengembangan peran

dan fungsi SLB. Idealnya memang sebuah

pusat sumber memiliki bangunan sendiri yang

dibentuk oleh pemerintah atau masyarakat

dengan managemen yang dikelola sendiri, serta

sekolah umum sebagai pusat sumber. Dalam

kasus di Indonesia, banyak daerah yang

menggunakan SLB sebagai pusat sumber untuk

mempercepat keberadaanya serta untuk

efektifitas.

Di Salatiga, Pokja inklusif rupanya ingin

membuat UPTD pusat sumber berupa Klinik

Konseling, bukan bekerjasama dengan SLB

sebagai pusat sumber. Menurut Subagya

(2011:4) kelemahan UPTD pusat sumber ini

diantaranya adalah mahalnya proses

pembentukannya, pendiriannya memerlukan

proses yang lama. Sedangkan keuntungan dari

SLB sebagai pusat sumber adalah memiliki

tenaga terdidik untuk melayani ABK, memiliki

sarpras, alat media untuk ABK. Dalam

kasusnya di Salatiga, strategi pusat sumber ini

penulis anggap kurang efektif karena

kelemahan yang dimiliki UPTD pusat sumber

seperti dijelaskan di atas, yaitu memakan waktu

yang cukup lama. Keberadaan pusat sumber ini

baru diwujudkan pada tahun keempat dari

pencanangan, yang dirasa cukup terlambat.

Sehingga pelaksanaan program inklusi di

Salatiga ini dalam jangka waktu 2012-2016

dianggap jalan ditempat.

Seperti yang dilakukan oleh Kota

Sidoarjo sebagai salah satu kota yang bagus dan

memiliki perkembangan yang cepat dalam

Page 130: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017

130

menyelenggarakan program inklusi, 3 SLB

ditunjuk untuk menjadi Pusat Sumber, yaitu

SLBN Gedangan, SLB DWP Sidoarjo, dan

SLB Veteran Wonoayu. Pusat Sumber ini

menyediakan informasi bagi para sekolah

mengenai hal teknis, dan diproyeksikan untuk

deteksi dini dan penyelenggaran pendidikan

transisi (Sulistyadi, 2014:5).

Selain birokrasi, faktor politik lain yang

juga berpengaruh adalah adanya Agenda

politik yang berbeda. Seperti yang telah

dijelaskan sebelumnya, Klinik Konseling

merupakan program inovasi yang diunggulkan

oleh Dinas Pendidikan. Hal ini agak rancu

karena klinik tersebut merupakan hasil dari

program inklusi yang ditangani oleh Pokja

Inklusi dimana (harusnya) terdapat beberapa

dinas lain yang terlibat. Kurang terlibatnya

dinas-dinas lain dalam pelaksanaan program ini

bisa membuat Klinik Konseling “dipunyai”

oleh Dinas Pendidikan. Walaupun memang

Dinas Pendidikan berperan utama dalam

program ini.

Sumber Daya dalam Implementasi

Kebijakan Pendidikan Inklusi di Kota

Salatiga

Dari sisi sumber daya, kualitas GPK

menjadi keprihatinan tersendiri dalam

implementasi kebijakan pendidikan inklusi di

Kota Salatiga. GPK memiliki peran penting

bagi keberhasilan pendidikan inklusif di

sekolah karena GPK terlibat langsung dan

berhadapan dengan siswa ABK. Pemenuhan

GPK dalam program inklusi merupakan

masalah yang umum terjadi (bandingkan

Sulasmono dan Zanuet Indah, 2015; Dwi

Sartika dan Bambang Ismanto, 2016;

Sulasmono dan Tri Sulistyowati, 2016;

Widyawati, 2017).

Idealnya menurut Subagya (2011:9) GPK

seharusnya bukan guru kelas, bukan guru mata

pelajaran, bukan guru pembimbing dan

penyuluhan, melainkan “guru yang memiliki

kualifikasi/ latar belakang pendidikan luar biasa

yang bertugas menjembatani kesulitan ABK

dan guru kelas/ mapel dalam proses

pembelajaran serta melakukan tugas khusus

yang tidak dilakukan oleh guru pada umumnya.

Tugas khusus itu adalah tugas yang berkaitan

dengan kebutuhan khusus ABK”. Sedangkan

untuk memenuhi persyaratan ideal tersebut

pada prakteknya di sekolah umum merupakan

hal yang sangat sulit. Selain karena minimnya

sumber daya yang ada, dana juga masalah lain

yang akan muncul. Sehingga dalam kebijakan

disebutkan bahwa selain guru yang berlatar

belakang PLB, GPK bisa berasal dari guru yang

diberi pelatihan. Guru-guru tersebut merupakan

guru kelas, guru mata pelajaran atau guru BK

yang sudah ada di sekolah itu sebelumnya.

Sehingga persoalan yang muncul lainnya

adalah keterbatasan waktu yang dimiliki para

GPK untuk membina siswa ABK disamping

peran utamanya di sekolah tersebut sebagai

guru utama. Kasus ini ditemui hampir disemua

sekolah inklusi di Salatiga. Selain itu penelitian

lain oleh Zakia (2015:114-115) di sekolah-

sekolah inklusi di Kabupaten Sukaharjo juga

menemukan hal yang serupa, yaitu “GPK masih

bertugas seperti guru pada umumnya yaitu

berdiri di kelas dan mengajar anak-anak

berkebutuhan khusus. GPK ini mengajar

layaknya guru kelas dan bahkan ada juga yang

menjadi guru kelas karena permasalahan

kekurangan guru yang dialami pihak sekolah.”

Selain itu, pelatihan yang kurang memadai

dalam membentuk GPK dari guru kelas/guru

mata pelajaran/guru BK sebelum program

inklusi dijalankan, membuat GPK sulit

menjalankan fungsinya karena karena

kurangnya kompetensi yang dimiliki.

Dilema yang muncul adalah jika GPK

berasal dari GPK khusus yang berlatar PLB.

Dana merupakan persoalan yang utama, karena

pembiayaan inklusi tidak dapat diambilkan dari

dana BOS, sehingga sekolah harus

mengupayakan sendiri untuk hal ini. Sekolah-

sekolah swasta tidak mengalamami kesulitan

dalam hal ini. Shadow teacher untuk siswa yang

memerlukan dampingan biasanya didanai oleh

orang tua siswa yang bersangkutan. Sedangkan

siswa ABK di sekolah negeri biasanya

memiliki latar belakang ekonomi lemah yang

tidak memungkinkan melakukan hal yang

serupa. Konsep shadow teacher ini belum

Page 131: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Evaluasi Implementasi Kebijakan Pendidikan Inklusi | Sasadara Wahyu L., dkk.

131

menjadi pilihan bagi sekolah negeri inklusi di

Salatiga.

Dengan diterapkannya konsep GPK yang

berasal dari guru kelas, guru mata pelajaran dan

guru BK maka adanya pelatihan yang intensif

secara terjadwal dan berkala sangat penting.

Berdasarkan data yang ada, pelatihan hanya

dilakukan pada tahun 2012,2013 dan 2016

ketika terdapat dana dari APBN melalui Dirjen

PKLK. Ketika dana tersebut tidak turun pada

2014 dan 2015 maka tidak diadakan

peningkatan kapasitas oleh Pokja bagi GPK.

Sebenarnya dengan dialokasikannya program

inklusi dalam APBD Kota Salatiga merupakan

suatu langkah besar, karena hal ini

menunjukkan komitmen pemerintah dalam

penyelenggaraan program. Namun alokasi

anggaran sebagian besar masih digunakan

untuk honor GPK, bukan untuk peningkatan

kompetensi SDM. Walaupun honor tidak kalah

penting, namun jika hal ini tidak dibarengi oleh

upaya peningkatan profesionalisme GPK, maka

kualitas pendidikan inklusif sulit untuk

berkembang.

Gambaran di atas membenarkan

Nagakaki (2013:3) bahwa salah satu faktor

kesenjangan implementasi adalah faktor

ekonomi. Biaya implementasi suatu aturan

memang mahal, namun yang lebih penting

bukan jumlahnya namun bagaimana sumber

daya tersebut dialokasikan. Sehingga

dibutuhkan asesmen kebutuhan dan

pengalokasian anggaran yang sangat tepat

sehingga anggaran yang ada bisa digunakan

secara efisien dan tepat sasaran.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh

Haryono (2015:124) tentang program inklusi di

Jawa Tengah, komponen utama yang menjadi

prioritas terselenggaranya program inklusi

adalah pembiayaan dan infrastruktur. Dalam

temuannya didapat bahwa sarana dan prasarana

untuk membantu proses belajar dan

pengembangan bakat dan minat masih

disamakan dengan siswa normal. Aksesibilitas

di sekolah-sekolah inklusi di Salatiga juga

masih diupayakan untuk dikembangkan.

Aksesibilitas diartikan sebagai lingkungan dan

fasilitas yang mudah dan sebaiknya tersedia

bagi siswa terutama bagi siswa berkebutuhan

khusus, misalnya jalan di lingkungan sekolah

atau toilet yang bisa digunakan oleh anak yang

berkursi roda. Sekolah-sekolah inklusi di

Salatiga hampir semua tidak memiliki ruang

sumber karena terkendala masalah pendanaan.

Padahal menurut Saepul (2013:23-24).dalam

pengembangan untuk mencapai standar,

sekolah perlu memperhatikan faktor keamanan,

kenyamanan dan kemudahan bagi yang

menggunakannya.

Disposisi dalam Implementasi

Kebijakan Pendidikan Inklusi di Kota

Salatiga

Evaluasi terhadap disposisi para

pelaksanaan menunjukkan hasil yang baik. Satu

hal yang masih perlu dibahasa disini adalah

peran Kepala sekolah. Peran Kepala Sekolah

sangat penting bagi keberhasilan program

inklusi di tingkat sekolah. Dibutuhkan

komitmen Kepala Sekolah yang tinggi sehingga

dapat mengeluarkan kebijakan-kebijakan

tingkat sekolah yang membuat lingkungan

ramah terhadap inklusi. Diharapkan para kepala

sekolah mendayagunakan potensi yang ada.

Managemen Berbasis Sekolah memberi

keleluasaan pada Kepala Sekolah untuk

merencanakan, mengorganisasikan,

mengarahkan, mengkoordinasikan, meng-

awasi, dan mengevaluasi komponen-komponen

pendidikan dalam sekolah agar pendidikan

inklusif berjalan optimal. Kepala Sekolah juga

diharapkan pro-aktif dalam mensosialisasikan

program ini ke masyarakat, mencari adanya

ABK di lingkungan sekitar, ataupun mencari

bantuan dari masyarakat untuk mendukung

program di sekolah.

Hal ini sejalan dengan penelitian

Yuliastutik (2011) yang menemukan bahwa

pemimpin pembelajaran sekolah inklusif

idelanya memiliki sifat “familiar, low

profile, bijaksana, suportif, humoris, penuh

kasih dan peduli dan menjaga keterlibatan para

orang tua siswa, pemerintah, dan PT dalam

pengembangan profesional guru”. Dia juga

memberi saran agar Dirjen PMPTK dan Kepala

P4TK mengembangkan pendidikan dan

Page 132: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017

132

pelatihan kepala sekolah inklusif, khususnya

bidang kepemimpinan pembelajaran serta

Kepala Dinas Pendidikan dan Pengawas

membuat sosialisasi pendidikan inklusif secara

intens, memilih kepala sekolah yang mengerti

manajemen pembelajaran sekolah inklusif.

Hal itu juga sejalan dengan testimoni

Septin Pujiati, salah satu GPK yang mendapat

beasiswa PLB di Universitas Negeri Surabaya,

yang menyatakan bahwa ketika sedang praktek

di beberapa sekolah inklusi di Surabaya,

sekolah yang maju program inklusinya

memiliki Kepala Sekolah yang kreatif, inisiatif

dan aktif serta tidak menunggu bantuan dan

perintah dari Dinas/Pokja saja. Hal inilah yang

belum terjadi di Salatiga. Selama ini pihak

sekolah hanya mengandalkan apa yang

diperintah dan diberi oleh Dinas. Memang

diperlukan pelaksana kebijakan yang memiliki

semangat dalam menjalankan program ini,

bukan hanya “robot” yang melaksanakan apa

yang diperintah dan berhenti ketika perintah

dihentikan.

Selain itu Kepala Sekolah juga harus

berperan sebagai manager, motivator dan

teladan bagi warga sekolah untuk bagaimana

seharusnya memperlakukan dan melayani

siswa ABK. Sebagai manager, Kepala Sekolah

sebaiknya membuat program di sekolah terkait

inklusi baik fisik berupa bangunan, media

pembelajaran dan lainnya serta non fisik, yaitu

menyiapkan mental warga sekolah agar

menerima keberadaan siswa ABK dan

sosialisasi kepada masyarakat. Peran Kepala

Sekolah sebagai motivator untuk

menumbuhkan kesadaran warga masyarakat

juga penting. Program inklusi di sekolah ini

dilakukan secara bertahap sesuai kemampuan

dan kesiapan pihak sekolah.

Selain komitmen dari pihak sekolah,

dibutuhkan juga komitmen dari Pokja Inklusi

selaku pelaksana kebijakan dengan melakukan

tugas dan fungsinya, salah satunya

melaksanakan monitoring dan evaluasi.

Evaluasi sangat penting peranannya dalam

managemen yaitu untuk mengetahui

ketercapaian dan efektifitas program. Sehingga

dapat diketahui keberhasilan dan kekurangan

serta hal-hal yang tidak berjalan sebagaimana

mestinya. Sehingga dapat diketahui apa yang

harus diperbaiki dan ditingkatkan, diteruskan

ataupun dihentikan pelaksanannya. Belum

adanya evaluasi yang terstruktur pada program

ini membuat Pokja sulit untuk melihat

perkembangan implementasi program ini di

lapangan dan memperbaiki kekurangan yang

ada pada program. Evaluasi program idealnya

dilakukan rutin secara periodik, pertahun atau

per empat tahun bergantung pada desain atau

rencana yang telah dibuat sebelumnya.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan Program inklusi sejalan dengan

kebutuhan masyarakat dunia pendidikan yang

ada di Salatiga. Implementasi kebijakan

program inklusi di Salatiga ini dinilai baik,

yaitu dengan pencapaian 65%. Komunikasi

merupakan aspek yang paling lemah, ditandai

dengan kurangnya komunikasi antar pelaksana

kebijakan dan komunikasi kepada kelompok

sasaran, dan kurang jelasnya informasi yang

diterima. Struktur birokrasi masih kurang baik

dilihat dari adanya panduan (SOP) dari

Pemerintah Pusat namun masih terdapat

fragmentasi dalamstruktur birokrasi ketika

Kementerian Agama dan SLB belum aktif

terlibat dalam program. Penilaian yang baik

terdapat pada aspek sumber daya, ditandai

dengan jumlah GPK yang sudah melebihi

standar yang ditetapkan; SDM memiliki latar

belakang PLB atau sudah mendapatkan

pelatihan khusus; GPK ditunjang oleh fasilitas

yang dinilai cukup baik; anggaran berasal dari

APBN, APBD Provinsi dan APBD Kota

walaupun belum ada partisipasi masyarakat

berupa bantuan sosial. Terbatasnya waktu GPK

untuk mengajar ABK karena GPK merangkap

sebagai guru kelas, guru mata pelajaran atau

guru BK; dan lemahnya pusat data dan

informasi (Padati) ABK yang valid dan reliable

menjadi poin yang kurang baik. Disposisi

pelaksananprogram ini juga masih ada aspek

yang kurang baik, dilihat dari GPK yang

berstatus sebagai PNS belum mendapatkan

angka kredit yang berguna untuk kenaikan

Page 133: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Evaluasi Implementasi Kebijakan Pendidikan Inklusi | Sasadara Wahyu L., dkk.

133

jabatan/golongan dan selama program berjalan

selama 4 tahun belum ada penghargaan yang

diberikan kepada pelaksana kebijakan yang

berperan penting dalam perkembangan

pendidikan inklusi di Kota Salatiga, namun

sudah terdapat komitmen sekolah untuk

menyelenggarakan program inklusi dan

tersedia honor untuk GPK.

Saran

Penulis memberikan beberapa saran agar

penyelenggaraan program inklusi dapat

terlaksana lebih baik lagi ke depannya. Bagi

Pemerintah (Pokja Inklusi) diharapkan

membentuk dan mengaktifkan saluran

komunikasi antar GPK berupa KKG/MGMP;

membuat komunikasi dengan lembaga lain

dalam Pokja, yaitu Kementrian Agama dan

SLB untuk menjangkau sekolah berbasis agama

dan mengembangkan pusat sumber; menjalin

kerjasama dengan DUDI untuk membuat

kebijakan pro ABK, penyaluran lulusan, dan

mengembangkan program inklusi melalui dana

CSR; melakukan pelatihan yang intensif secara

bergantian bagi para GPK; memperkuat sistem

pendataan sekolah inklusi (Padati);

melaksanakan monitoring dan evaluasi secara

berkala; melakukan sosialisasi kepada

masyarakat luas melalui brosur/leaflet tentang

pendidikan inklusi yang tersimpan/tersebar di

sekolah, kantor pemerintahan dll serta

memasang spanduk/banner di sekolah atau area

publik tentang pendidikan inklusi. Sedangkan

bagi sekolah, antara lain Kepala Sekolah

menciptakan LIRP (Lingkungan Inklusi Ramah

pembelajaran); membuat managemen waktu

yang efektif untuk pembelajaran ABK dengan

GPK; Kepala sekolah lebih aktif dan memiliki

inisiatif dalam mengembangkan program

Inklusi di sekolah masing-masing; memberikan

motivasi kepada guru untuk memberikan

pelayanan yang bagus dan ikhlas bagi ABK

serta kepada murid untuk menerima perbedaan

yang ada. Secara bertahap membangun

lingkungan fisik yang aksesibel untuk siswa

ABK, menyediakan ruang sumber dan

memenuhi sarana dan media pembelajaran

sesuai kebutuhan ABK.

DAFTAR PUSTAKA

Edward III, George C. 1980. Implementing

Public Policy. USA: Congresssional

Quarterly Inc.

Sartika, Dwi dan Ismanto, Bambang. 2016.

Evaluasi Penyelenggaraan Program

Pendidikan Inklusif di Kota

Palangkaraya. Jurnal Kelola 3 (1): 49-

66.

Haryono, A. S. 2015. Evaluasi Pendidikan

Inklusi bagi Anak ABK di Provinsi

Jawa Tengah. Jurnal Penelitian

Pendidikan. 32 (2):119-126.

Nakagaki, M. 2013. Closing the

Implementation Gap. CIPE Economic

Reform , June (15): 1-8.

Nugroho, Riant. 2009. Public Policy. Jakarta:

Elex Media Komputindo

Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 tentang

Pendidikan Inklusi Bagi Peserta Didik

Yang Memiliki Kelainan Dan Memiliki

Potensi Kecerdasan Dan/Atau Bakat

Istimewa

Sunaryo. 2009. Manajemen Pendidikan Inklusi.

Diakses pada 1 Agustus 2016 dari

http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._

PEND._LUAR_BIASA/195607221985

031-SUNARYO/Makalah_Inklusi.pdf

Santrock, W. John. 2014. Psikologi

Pendidikan. Edisi 5-Buku 1. Jakarta:

Salemba Humanika

Stufflebeam D.L. dan Anthony J. Shinkfield

(1985). Systematic Evaluation: A Self-

Instructional Guide to Theory and

Practice (Evaluation in Education and

Human Services) 1985th Edition.

Boston : Kluwer-Nijhoff

Subagya. 2011. Pusat Sumber, Pendidikan

Khusus Dan Peran Dan Tugas Guru

Pembimbing Khusus (GPK)

disampaikan pada Workshop

Pendidikan Inklusi tanggal 18 Januari

2011 di FKIP UNS Surakarta

Sulasmono, B.S. dan Yanuet Indah Z.T. 2015.

Evaluation of Inclusive Education

Program for Slow Learners in SD

Negeri Pulutan 02 Salatiga.

International Seminar "Quality

Page 134: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017

134

Assurance For Education Proceeding.

Yogyakarta: UST Sarjanawiyata.

Sulasmono, B.S. dan Tri Sulistyowati. 2016.

Context, Input, Process and Product

Evaluation of the Inclusive Education

Program in Public Elementary School.

ICERI 2016 Proceeding. Yogyakarta:

Universitas Negeri Yogyakarta.

Supriyanto, Tedjo. 2013. Salatiga Menyambut

Sekolah Inklusi. Majalah Hatti

Beriman, 07 (04)

Wahab, S. A. 2015. Analisis Kebijakan: Dari

Formulasi ke Penyusunan Model-

Model Implementasi Kebijak an Publik.

Jakarta: Bumi Aksara.

Walker, Jo. tth. Equal Right, Equal Opprtunity.

Inclusive Education For Children With

Disabilities. Global Campaign for

Education, Handicap International.

Widodo, J. 2011. Analisis Kebijakan Publik.

Malang: Bayumedia.

Widyawati, R. 2017. Evaluasi Pelaksanaan

Program Inklusi Sekolah Dasar. Jurnal

Kelola 4 (1): 109-120

Winarno, Budi. 2011. Kebijakan Publik (Teori

Proses, dan Studi Kasus). Yogyakarta:

CAPS

Wulan, Dwi Kencana. 2011. Peran Pemahaman

Karakteristik Siswa Cerdas Istimewa

Berbakat Istimewa (Cibi) Dalam

Merencanakan Proses Belajar Yang

Efektif Dan Sesuai Kebutuhan Siswa.

Humaniora 2 (1): 269-276

Yuastutik, Ida. 2011. Kepemimpinan

Pembelajaran Kepala Sekolah Inklusi:

Studi Multikasus Tiga Sekolah Inklusi

di Kota Malang. Disertasi, Program

Studi Manajemen Pendidikan, Program

Pascasarjana, Universitas Negeri

Malang. Diakses pada 30 Maret 2017

dari http://karya-

ilmiah.um.ac.id/index.php/disertasi/arti

cle/view/11266

Zakia, Dieni L. 2015). Guru Pembimbing

Khusus (Gpk): Pilar Pendidikan Inklusi.

Prosiding Seminar Nasional

Pendidikan “Meretas Sukses Publikasi

Ilmiah Bidang Pendidikan Jurnal

Bereputasi” Kerjasama Program Studi

S-3 Ilmu Pendidikan Program Studi S-2

Pendidikan Luar Biasa Universitas

Sebelas Maret Surakarta dan ISPI

Wilayah Jawa Tengah. Surakarta.

______.Salatiga Miliki Unit Layanan

Konsultasi Pendidikan. (2013,

Desember 2). Wawasan , p. 23.

Page 135: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Magister Manajemen Pendidikan FKIP Universitas Kristen Satya Wacana [email protected]

e-ISSN 2549-9661 Volume: 4, No. 2, Juli-Desember 2017

Halaman: 135-145

135

Teknik Pengambilan Keputusan Dalam Menentukan

Model Manajemen Pendidikan Menengah

Muhdi

Manajemen Pendidikan

Universitas PGRI Semarang

[email protected]

Nurkolis

Manajemen Pendidikan

Universitas PGRI Semarang

[email protected]

Suwarno Widodo

Pendidikan Kewarganegaraan

Universitas PGRI Semarang

[email protected]

ABSTRACT

The main problem in this research is how the model of secondary education management

in Central Java Province. Issues divided into a) what are the expectations of various parties

regarding the transfer of secondary education management, b) how are the challenges of various

parties related to the transfer of secondary education management, and c) which management

model is most effective for managing secondary education in Central Java Province. This

research is descriptive qualitative. Data collection through FGD was recorded with video and

government policies related to secondary education. The number of informants is nine people.

Research data is processed using qualitative research software, NVivo 11 Plus for Windows. The

study was conducted over three months from October to December 2016. The results were a)

some expectations: improving the quality of education, improving access and equity of education,

improving teacher welfare and promoting professionalism. teacher; b) some of the challenges

faced: the province will ignore the welfare of non-civil servant teachers and reduce the free

education of secondary education; c) the most effective model is co-administration. It is

recommended that the government immediately make government regulations on the management

of secondary education. At the provincial level was directly made education policy. East Java

provincial government has now chosen alternative "based region" in six regions of former

residency in Central Java. This alternative needs to be tested for its effectiveness, if it is not

effective then it is advisable to use co-administration.

Keywords: secondary education, model of secondary education management, co-administration,

decision making

Article Info

Received date: 9 September 2017 Revised date: 19 Oktober 2017 Accepted date: 22 Oktober 2017

Page 136: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017

136

PENDAHULUAN

Sejak berlakunya Undang-Undang

Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan

Daerah maka terjadi pergeseran pembagian

kewenangan dalam urusan pendidikan

menengah dari pemerintah kabupaten atau kota

ke pemerintah provinsi. Berdasar Undang-

Undang No. 22 tahun 1999 tentang

Pemerintahan Daerah yang diperbaharui

beberapa kali dan terakhir dengan Undang-

Undang No. 23 tahun 2014, urusan pendidikan

menengah menjadi kewenangan pemerintah

kabupaten atau kota. Dalam UU No. 23 tahun

2014, pendidikan merupakan urusan

pemerintahan konkuren wajib terkait dengan

pelayanan dasar yang menjadi kewenangan

pemerintah daerah sebagaimana tertuang pada

pasal 12.

Menurut UU No. 23 tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah, urusan pemerintahan

dibagi menjadi 3 yaitu: urusan absolut, urusan

konkuren, dan urusan umum. Urusan absolut

sepenuhnya menjadi urusan pemerintah pusat.

Urusan umum menjadi kewenangan presiden

sebagai kepala pemerintahan. Urusan konkuren

adalah urusan yang dibagi antara pemerintah

pusat, pemerintah daerah provinsi, dan

pemerintah daerah kabupaten atau kota. Urusan

konkuren terdiri dari urusan wajib dan urusan

pilihan. Urusan wajib terkait dengan pelayanan

dasar dan bukan pelayanan dasar. Pendidikan

merupakan pelayanan dasar yang menjadi

urusan konkuren wajib.

Pada lampiran UU No. 23 tahun 2014

tertuang pembagian urusan pemerintahan

konkuren antara pemerintah pusat, pemerintah

provinsi, dan pemerintah kabupaten atau kota.

Terdapat pembagian urusan pemerintahan

bidang pendidikan yang mencakup enam sub

urusan yaitu: manajemen pendidikan,

kurikulum, akreditasi, pendidik dan tenaga

kependidikan, perizinan pendidikan, serta

bahasa dan sastra. Fokus penelitian ini hanya

terkait dengan sub urusan manajemen

pendidikan.

Dalam sub urusan manajemen

pendidikan, pemerintah pusat memiliki

kewenangan menetapkan standar nasional

pendidikan dan pengelolaan pendidikan tinggi.

Pemerintah provinsi memiliki kewenangan

mengelola pendidikan menengah dan

mengelola pendidikan khusus. Sementara itu

pemerintah kabupaten atau kota memiliki

kewenangan mengelola pendidikan dasar,

mengelola pendidikan usia dini, dan mengelola

pendidikan nonformal.

Berdasarkan UU Pemerintahan Daerah

terbaru, manajemen pendidikan menengah

yaitu SMA dan SMK kewenangannya

dipindahkan dari pemerintah kabupaten atau

kota ke pemerintah provinsi. UU No. 23 tahun

2014 ini mulai diberlakukan tanggal 1 Januari

2017, sehingga belum ditemukan penelitian

yang relevan. Oleh karena itu penting untuk

dilakukan penelitian tentang “model

manajemen pendidikan menengah”, khususnya

di Provinsi Jawa Tengah.

Masalah utama dalam penelitian ini

adalah “bagaimanakah model manajemen

pendidikan menengah di Provinsi Jawa

Tengah?” yang dirinci menjadi: a).

bagaimanakah harapan pengalihan pengelolaan

pendidikan menengah, b). bagaimanakah

tantangan pengalihan pengelolaan pendidikan

menengah, dan c). bagaimanakah model

manajemen pendidikan menengah yang efektif

di Provinsi Jawa Tengah?

Seluruh pemerintah provinsi di Indonesia

pada akhir tahun 2016 harus membuat

keputusan terkait model manajemen

pendidikan menengah yang paling tepat di

wilayahnya. Permasalahan ini harus segera

dipecahkan dengan memilih model manajemen

apa yang paling tepat. Oleh karena itu dalam

menentukan model manajemen yang paling

tepat dan efektif diperlukan teknik pengambilan

keputusan yang sesuai.

Menurut Drummond (1993) pengambilan

keputusan adalah usaha untuk menciptakan

kejadian-kejadian masa depan. Sementara itu

Harrison (1992: 5) berpendapat bahwa

pengambilan keputusan adalah proses

mengevaluasi berbagai alternatif yang

berhubungan dengan tujuan individu atau

organisasi. Pengambilan keputusan erat

kaitannya dengan upaya untuk memecahkan

Page 137: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Teknik Pengambilan Keputusan Dalam Menentukan Model Manajemen … | Muhdi, dkk.

137

masalah atau potensi masalah yang dihadapi

seseorang atau organisasi.

Selanjutnya Drummond mengatakan

bahwa keputusan yang baik terjadi jika

pengambil keputusan sepenuhnya mengerti

latar belakang, tujuan dan sasaran, alternatif

penyebab tindakan, serta konsekuensi-

konsekuensi yang mungkin timbul dari

keputusan. Namun keputusan yang dibuat

dengan baik belum tentu menjadi keputusan

yang efektif.

Menurut Vroom dan Jago sebagaimana

dikutip Hoy dan Miskel (2014) keputusan yang

efektif bergantung pada tiga hal yaitu kualitas

keputusan, penerimaan bawahan, dan ketepatan

waktu. Keputusan dikatakan berkualitas jika

mampu memecahkan masalah yang dihadapi

seseorang atau organisasi. Keputusan yang

efektif juga ditunjukkan dengan tidak adanya

resistensi pada pelaksana dan pihak-pihak yang

terkait langsung dengan keputusan. Akhirnya

keputusan yang efektif terjadi bila dekat dengan

waktu terjadinya permasalahan yang akan

dipecahkan. Artinya keputusan yang efektif

adalah keputusan yang dibuat dengan baik dan

dapat diimplementasikan dengan baik pula.

Proses pengambilan keputusan yang

efektif menuruf Harrison (1992: 24) dapat

dilihat pada gambar 1.

Gambar 1. Proses Pengambilan Keputusan

Dalam studi tentang pengambilan

keputusan dikenal tiga teori yaitu: teori

probabilitas, teori utilitas, dan teori permainan

(Harrison, 1992: 219-252). Teori probabilitas

didasarkan pada peluang hasil bila dalam

periode waktu tertentu suatu kejadian diulang-

ulang. Teori utilitas didasarkan pada seberapa

besar manfaat yang diperoleh dari sebuah

kejadian yang dipilih. Teori permainan

digunakan apabila seorang pengambil

keputusan tidak mengetahui sutiasi dan kondisi

yang riil, dan biasanya digunakan dalam situasi

konflik.

Berdasarkan teori pengambilan

keputusan tersebut, terdapat beberapa teknik

pengembilan keputusan yang merupakan

perpaduan dari teori probabilitas dan teori

utilitas.

Pertama, teknik pengambilan keputusan

expected values. Teknik ini

mempertimbangkan kemungkinan munculnya

kejadian dan kemungkinan hasil. Kombinasi

dua kemungkinan tersebut menghasilkan nilai

moneter yang diharapkan. Kejadian yang

memiliki nilai moneter paling tinggi akan

menjadi pilihan seorang pengambil keputusan.

Kedua, teknik pengambilan keputusan

payoff tables. Teknik ini memperhitungkan

alternatif kejadian yang muncul dan alternatif

situasi yang menguntungkan atau tidak

mengungtungkan. Kombinasi kedua alternatif

tersebut akan memberikan gambaran hasil

moneter yang berbeda-beda. Kejadian yang

a. Penentuan

Tujuan/Sasaran

b. Mencari Berbagai

Alternatif

c. Bandingkan &

Evaluasi Alternatif

e. Implementasi Keputusan

d. Memilih Diantara Alternatif

f. Tindaklanjut & Kontrol

Page 138: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017

138

memberi hasil maksimal akan menjadi pilihan

seorang pengambil keputusan untuk

memecahkan masalah.

Ketiga, teknik pengambilan keputusan

decision trees. Keputusan dilakukan dengan

cara membuat anatomi sebuah pohon yang

terdiri dari titik dan cabang. Penilaian kejadian

dimulai dari titik dengan melewati cabang,

setiap cabang mengambarkan kemungkinan

keberhasilan sebuah kejadian. Semakin besar

kemungkinan keberhasilannnya akan menjadi

pilihan seorang pengambil keputusan.

Berdasarkan ketiga teknik pengambilan

keputusan tersebut, teknik payoff tables dinilai

yang paling cocok dengan fokus penelitian ini.

Alternatif kejadian keputusan ada empat yaitu:

manajemen terpusat di kantor provinsi,

manajemen dengan membuka kantor di setiap

kabupaten atau kota, manajemen dengan

membuka enam Unit Pelaksana Pendidikan

(UPP) di setiap eks karesidenan, dan

manajemen dengan bekerjasama dengan kantor

dinas kabupaten atau kota untuk membentuk

tugas pembantuan.

Situasi keputusan yang bernilai positif

atau negarif dikaitkan dengan enam kesiapan

yaitu: ketersediaan sarana dan prasarana yang

memadai, ketersediaan sumber daya manusia

yang kompeten, untuk menjaga hubungan kerja

sama dengan pemerintah kabupaten atau kota,

untuk mengakomodasi keinginan kabupaten

atau kota guna berpartisipasi dalam

pengelolaan pendidikan menengah, efisiensi

operasional pendidikan, dan kemudahan

operasional pendidikan.

Kombinasi dari alternatif kejadian dan

situasi keputusan akan dihitung dengan

menambahkan nilai positif dan mengurangkan

nilai yang negatif. Alternatif kejadian yang

memiliki nilai positif paling tinggi yang akan

diambil sebagai alternatif terpilih karena

memiliki kelayakan paling tinggi untuk dapat

berhasil bila dioperasikan. Artinya model yang

terpilih adalah yang memiliki efektivitas paling

tinggi dan kemungkinan berhasilnya juga

paling tinggi.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan pendekatan

kualitatif jenis deskriptif. Pengumpulan data

melalui focus group discussion (FGD) dengan

sembilan (9) orang ahli manajemen pendidikan

yang direkem dengan video. Data dilengkapi

dengan sepuluh (10) undang-undang dan

kebijakan pemerintah terkait manajemen

pendidikan. Rekaman video dari hasil FGD

ditranskripsi secara verbatim sesuai dengan

aslinya untuk mendukung data penelitian sesuai

dengan fokus yang diinginkan. Analisis data

penelitian ini menggunakan software NVivo 11

Plus. Langkah-langkah analisis kualitatif

adalah sebagai berikut: a) melakukan FGD pada

tanggal 28 Desember 2016 yang direkam

dengan video dan mengunduh file PDF UU dan

kebijakan pemerintah yang relevan dengan

pengelolaan pendidikan menengah; b) data

mentah yang diperoleh diimpor ke software

NVivo 11 Plus untuk dibuat nodes dan cases, b)

nodes dan cases selanjutnya dilakukan coding

c) akhirnya menarik kesimpulan dari temuan

berdasarkan nodes dan cases. Untuk

menentukan model manajemen yang tepat

dibantu dengan teknik pengambilan keputusan

menggunakan payoff table yang dimodifikasi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Harapan Pengalihan Manajemen

Pendidikan Menengah

Harapan stakeholders pendidikan

terutama dari pemerintah provinsi bisa berjalan

dengan lancar sesuai dengan target waktu yang

telah ditentukan oleh pemerintah pusat.

Pemeritah provinsi menyatakan siap untuk

mengelola pendidikan menengah, dan tidak ada

satupun pejabat provinsi yang resisten apalagi

menolak pengalihan pengelolaan pendidikan

menengah dari pemerintah kabupaten atau kota.

Harapan yang baik juga disampaikan oleh

para pengamat pendidikan, akademisi, kepala

sekolah, dan guru bahwa setelah dikelola

pemerintah provinsi maka mutu pendidikan

menjadi lebih baik, dan tingkat kesejahteraan

guru termasuk di dalamnya gaji guru non PNS

menjadi lebih baik.

Page 139: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Teknik Pengambilan Keputusan Dalam Menentukan Model Manajemen … | Muhdi, dkk.

139

Peningkatan mutu dan pemerataan akses

pendidikan menengah menjadi harapan banyak

pihak ketika pendidikan menengah beralih

pengelolaannya dari pemerintah kabupaten atau

kota ke pemerintah provinsi. Tidak banyak

gubernur yang peduli terhadap peningkatan

mutu pendidikan seperti Gubernur Jawa

Tengah dan Gubernur Jawa Barat.

Pemerintah Provinsi Jawa Tengah akan

membuat gebrakan baru dalam peningkatan

mutu pendidikan yaitu memberikan muatan

lokal. Ada tiga syarat yang harus dikuasai siswa

untuk lulus SMA-SMK yaitu kemampuan

berbahasa asing, bisa memainkan alat musik,

dan menguasai satu cabang olah raga. Dengan

adanya 3 syarat tersebut Gubernur Jawa Tengah

menilai akan menjadikan generasi muda

memiliki badan sehat, kesimbangan antara otak

kiri dan kanan, serta memiliki kemampuan

komunikasi yang bagus.

Selama ini terjadi kesenjangan

pendidikan menengah antara satu kabupaten

atau kota dengan yang lain. Kesenjangan mutu

pendidikan menengah terjadi antara kabupaten

dengan kota. Misalnya diakui oleh informan

dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan

Provinsi Jawa Tengah bahwa di Jawa Tengah

SMA dan SMK yang bermutu berada di Kota

Semarang, Solo, Salatiga, dan Magelang.

Sementara itu di kabupaten-kabupaten di

pinggiran mutunya belum bisa menyamai mutu

pendidikan di perkotaan.

Dari sisi pembiayaan pendidikan yang

menjadi pemicu permasalahan akses

pendidikan selama ini besarannya juga belum

merata. Buktinya ada beberapa kabupaten atau

kota yang mampu mengalokasikan Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk

menggratiskan pendidikan mulai dari

pendidikan dasar hingga pendidikan menengah.

Sementara itu banyak kabupaten atau kota yang

tidak mampu mengalokasikan APBD untuk

mendukung pendidikan menengah universal

yang akan mengarah ke pendidikan gratis. Di

Provinsi Jawa Tengah, beberapa kabupaten

atau kota yang telah mengalokasikan anggaran

pendidikan hingga pendidikan menengah

antara lain Kota Semarang, Kota Salatiga, Kota

Magelang, Kota Surakarta, Kabupaten

Karanganyar, dan Kabupaten Sukoharjo.

Namun demikian pendidikan gratis lebih

banyak bernuansa politis. Berdasarkan hasil

penelitian pendidikan di kota Surakarta belum

dapat dirasakan oleh semua lulusan SMP atau

yang sederajat, terbukti masih banyak lulusan

SMP atau sederajat yang tidak melanjutkan ke

sekolah SMA atau SMK. Program pendidikan

gratis yang difasilitasi oleh pemerintah belum

dapat diterapkan 100% oleh sekolah karena

bantuan dari pemerintah belum dapat

mencukupi biaya operasional sekolah sehingga

program sekolah gratis di Kota Surakarta belum

dapat dirasakan oleh semua masyarakat (Lestari

dan Susena, 2014: 1-9).

Penting kiranya Pemerintah Provinsi

Jawa Tengah untuk membuat program

pendidikan menengah yang meringankan

masyarakat terutama yang tidak mampu secara

ekonomi. Program semacam ini sebaiknya jauh

dari kepentingan politik, yang selama ini

dimanfaatkan oleh para calon pimpinan daerah

untuk mendapatkan dukungan suara dari para

pemilih. Jika ingin membuat program

“pendidikan gratis” atau “pendidikan murah

dan terjangkau” maka perlu dihitung berapa

kebutuhan persiswa pertahun. Agar hasil

hitungan akurat dan dapat

dipertanggungjawabkan maka perlu

mengundang ahli dari perguruan tinggi, pakar

pendidikan, atau konsultan pendidikan.

Para guru dan kepala sekolah berharap

dengan pengambilalihan pendidikan menengah

ini gaji guru semakin baik. Gaji guru PNS akan

lebih baik, karena selain mendapat gaji dan

tunjangan, para guru juga akan mendapatkan

tunjangan profesi dan Tambahan Penghasilan

Pegawai (TPP) yang dialokasikan dari APBD

Provinsi, seperti di Provinsi Jawa Tengah.

Sedangkan harapan guru non PNS, dengan

diambil alih oleh pemerintah provinsi

kesejahteraan mereka menjadi lebih baik.

Selama ini gaji guru non PNS bervariasi antara

satu kabupaten dengan kabupaten yang lain.

Sebagian guru hanya mengandalkan gaji dari

yayasan, sementara yang lainnya juga

mendapatkan tunjangan dari APBD kabupaten.

Page 140: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017

140

Setelah dialihkan ke pemerintah provinsi,

harapannya para guru non PNS mendapatkan

gaji dan tunjangan dari pemerintah provinsi.

Berdasarkan berbagai harapan tersebut,

jelas merupakan beban berat bagi pemerintah

provinsi untuk mewujudkan harapan menjadi

kenyataan. Berbagai harapan tersebut akan

menjadi kenyataan apabila didukung oleh

sumber daya manusia yang memadai, anggaran

yang mencukupi, dan kepemimpinan yang

mampu menggerakkan semua sumber daya

yang tersedia demi terlaksananya pendidikan

menengah yang bermutu.

Tantangan Manajemen Pendidikan

Menengah

Tantanan terbesar pengalihan

pengelolaan pendidikan menengah dari

pemerintah kabupaten atau kota ke pemerintah

provinsi adalah terkait anggaran, baik anggaran

untuk membayar tunjangan kepada guru PNS,

gaji kepada guru non PNS, dan mendanai biaya

operasional sekolah yang selama ini ditanggung

oleh pemerintah kabupaten atau kota.

Tantangan dalam pengalihan pengelolaan

pendidikan menengah lebih banyak terkait

dengan penggajian guru non PNS dan

pengalokasian BOSDA (Bantuan Operasional

Sekolah Daerah) Provinsi yang diprediksi

banyak pihak tidak akan sanggup mencukupi

kebutuhan gaji guru non PNS dan pendidikan

gratis untuk pendidikan jenjang menengah.

Di provinsi dengan jumlah satuan

pendidikan menengah dan jumlah siswa yang

banyak seperti di Provinsi Jawa Tengah, akan

menghadapi tantangan terkait pengalokasian

anggaran gaji guru non PNS. Di Jawa Tengah

total non PNS mencapai 16.220 orang. Dengan

rincian guru non PNS SMA 3.772 orang, SMK

4.871 orang, tenaga pendidik non PNS SMA

4.266 orang, dan SMK 3.311 orang. Oleh

karena itu perlu aturan yang ketat terkait

penggajian guru non PNS tersebut seperti

disampaikan Kepala Dinas Pendidikan dan

Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah.

Resistensi stakeholder pendidikan lebih

banyak berasal dari pemerintah kabupaten atau

kota dan satuan pendidikan. Hal ini dapat

dilihat dari adanya penolakan kepala daerah di

tingkat kabupaten atau kota hingga penolakan

atau kesanksian kepala sekolah dan siswa.

Bahkan ada bupati di Provinsi Jawa Tengah

yang secara terang-terangan melakukan orasi

dihadapan stakeholder pendidikan untuk

menolak pengambilalihan pendidikan

menengah.

Tantangan yang paling menonjol dalam

pengalihan pengelolaan pendidikan menengah

ini adalah terkait dengan gaji guru non PNS.

Tantangan ini berasal dari kabupaten dan kota

yang selama ini telah mengalokasikan APBD

untuk gaji guru non PNS. Para guru, kepala

sekolah, bahkan bupati khawatir dengan

pengalihan pengelolaan ini para guru non PNS

akan menurun kesejahteraannya karena tidak

dialokasikan gaji non PNS dari APBD Provinsi.

Seperti dikemukakan oleh informan FGD (28

Desember 2016) dari Dinas Pendidikan dan

Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah bahwa gaji

guru non PNS menjadi tanggungan

penyelenggara pendidikan masing-masing

satuan pendidikan yaitu yayasan.

Namun bagi guru non PNS yang

memenuhi syarat, yaitu memenuhi kualifikasi

pendidikan S1 dan mengajar 24 jam perminggu

maka akan ada kontrak dengan pemerintah

provinsi dan mendapatkan gaji dari APBD

provinsi. Hal ini juga menjadi kekhawatiran

para guru yang selama ini sudah mendapatkan

gaji yang cukup besar dari APBD kabupaten,

sehingga kalau sumbernya dari APBD provinsi

maka gaji guru non PNS akan menurun. Karena

UMR provinsi ditentukan berdasarkan UMR

kabupaten atau kota yang paling rendah.

Tantangan lain terkait pembiayaan

pendidikan adalah BOSDA dari pemerintah

kabupaten atau kota yang cukup memiliki

kemampuan keuangan seperti di Kota

Semarang, Kota Magelang, Kota Surakarta,

Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten

Karanganyar, Kota Cirebon, dan Kabupaten

Karawang yang selama ini telah

mengalokasikan APBD kabupaten atau kota

untuk mendanai pendidikan gratis. Dengan

pengalihan ini maka dipastikan BOSDA dari

pemerintah provinsi tidak sebesar yang

Page 141: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Teknik Pengambilan Keputusan Dalam Menentukan Model Manajemen … | Muhdi, dkk.

141

diberikan dari pemerintah kabupaten atau kota.

Jika saat ini dari pemerintah kabupaten atau

kota bisa memberikan BOSDA sebesar Rp.

650.000-Rp. 1 juta persiswa pertahun, maka

kemampuan provinsi tidak akan sebesar

kemampuan pemerintah kabupaten atau kota.

Misalnya di Provinsi Jawa Tengah diprediksi

pemerintah provinsi hanya akan mampu

memberi BOSDA untuk siswa SMA-SMK Rp.

200.000-Rp. 400.000 saja pertahun.

Kabupaten dan Kota yang telah menaruh

perhatian besar terhadap kemajuan pendidikan

bakal kecewa jika Pemerintah Provinsi tidak

memberikan anggaran yang seimbang dalam

pemenuhan anggaran pendidikan menengah.

Kota Surabaya merupakan salah satu contoh

Kota yang telah mengalokasikan Biaya

Operasional Pendidikan Daerah (BOPDA)

mulai pendidikan dasar hingga pendidikan

menengah. BOPDA telah berdampak positif

terhadap peningkatan akses pendidikan bagi

masyarakat kota Surabaya dan pelaksanaan

pendidikan menengah menjadi lebih baik

(Aulia, 2012: 204).

Berdasarkan hasil penelitian, para guru

SMK masih mengalami kendala dalam

pengembangan keprofesian berkelanjutan.

Kendalanya antara lain kendala waktu, dana,

usia, sarana prasarana, motivasi, kebijakan

pimpinan, dan akses jaringan internet

(Sumardjoko dan Prasetyo, 2016: 77-89).

Berdasarkan kenyataan ini maka pemerintah

provinsi perlu memprogramkan pengembangan

keprofesian berkelanjutan bagi guru-guru SMA

dan SMK.

Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa

belum seluruh guru SMK dapat melakukan

kegiatan ilmiah terutama menulis karya ilmiah.

Sementara itu forum peningkatan kompetensi

profesional sangat tinggi pengaruhnya pada

pengembangan profesi guru (Suwandi, 2016:

90-100). Sudah sepantasnya Dinas Pendidikan

dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah

membuat program pelatihan penulisan karya

ilmiah sebagai bagian dari pengembangan

keprofesian berkelanjutan guru pendidikan

menengah.

Model Manajemen Pendidikan Menengah

Terdapat tiga (3) teori dalam mengambil

keputusan yaitu teori utilitas, teori probabilitas,

dan teori permainan. Dalam membuat

keputusan dikenal tiga (3) teknik yaitu

berdasarkan nilai yang diharapkan (expected

values), berdasarkan pertimbangan alternatif

dan situasi atau sering disebut payoff tables, dan

pohon keputusan. Dari ketiga teknik tersebut,

yang cocok untuk membantu mengambil

keputusan dalam penelitian ini adalah payoff

tables yang dimodifikasi.

Tanggapan informan terkait model

pengelolaan pendidikan menengah hanya ada 5.

Tiga diantaranya berpendapat dengan

membuka kantor perwakilan provinsi di setiap

wilayah. Wilayah ini mencakup beberapa

kabupaten atau kota terdapat satu unit

pelaksana pendidikan (UPP) untuk menangani

pendidikan menengah. Satu informan lebih

setuju dibuka di setiap kabupaten atau kota,

sedangkan satu orang lagi sependapat bahwa

tugas pembantuan bisa diterapkan setelah

dilakukan evaluasi unit pelaksana perwilayah

dipandang kurang efektif. Sementara itu tidak

ada satupun responden yang berpendapat

bahwa pengelolaan pendidikan menengah akan

efektif bila diurus langsung dari kantor provinsi

atau Dinas Pendidikan dan Kebudayaan

Provinsi.

Menurut UU No. 23 tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah dijelaskan bahwa tugas

pembantuan adalah penugasan dari pemerintah

pusat kepada daerah otonom untuk

melaksanakan sebagian urusan pemerintahan

yang menjadi kewenangan pemerintah pusat

atau dari pemerintah paerah provinsi kepada

paerah kabupaten atau kota untuk

melaksanakan sebagian urusan pemerintahan

yang menjadi kewenangan daerah provinsi.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

Nomor 18 Tahun 2016 Tentang Perangkat

Daerah pasal 22 mengatur bahwa Perangkat

Daerah yang melaksanakan urusan

pemerintahan bidang pendidikan dan urutan

pemerintahan yang hanya diotonomikan

kepada daerah provinsi dapat dibentuk cabang

dinas pendidikan kabupaten atau kota.

Page 142: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017

142

Di sisi lain, surat edaran Mendikbud No.

6/2016 menyarankan untuk memilih opsi tugas

pembantuan dengan pertimbangan: efisiensi

karena tidak harus membentuk kantor baru,

SDM yang menangani sudah tersedia,

menjamin keberlangsungan hubungan kerja

antara provinsi dan kabupaten atau kota, dan

sebagai alternatif solusi keinginan kabupaten

atau kota untuk tetap dapat berperanserta dalam

penanganan pendidikan menengah.

Walaupun informan lebih banyak yang

mengusulkan untuk memilih model membuka

UPP di setiap wilayah, tapi ada peluang untuk

menerapkan model tugas pembantuan.

Dipilihnya alternatif membentuk UPP di setiap

wilayah karena beberapa kabupaten atau kota

menolak untuk secara bersama-sama mengelola

pendidikan menengah dengan model tugas

pembantuan.

Jika dianalisis dari penolakan pemerintah

kabupaten atau kota mengalihkan pengelolaan

pendidikan ke pemerintah provinsi, ini sebuah

pertanda bahwa pemerintah kabupaten atau

kota memiliki keingingan untuk terus

mengelola pendidikan menengah. Keinginan

ini memiliki peluang untuk diterapkan secara

bersama-sama dengan pemerintah provinsi

dalam mengelola pendidikan menengah.

Keempat model pengelolaan pendidikan

menengah dianalisis mengguna-kan payoff

table yang telah dimodifikasi seperti tampak

pada tabel 1.

Page 143: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Teknik Pengambilan Keputusan Dalam Menentukan Model Manajemen … | Muhdi, dkk.

143

Tabel 1

Analisis Manfaat Model Manajemen Pendidikan Menengah di Jawa Tengah

Model-Model Manajemen

Faktor Yang

Dipertimbangkan

Manajemen

Terpusat di

Kantor Provinsi

Manajemen

dengan

Membuka

Kantor di

Setiap

Kabupaten

Manajemen

dengan

Membuka UPP

di 6 Wilayah

Eks

Karesidenan

Manajemen

dengan

Membentuk

Tugas

Pembantuan

1. Ketersediaan Sarpras Cukup

tersedia lahan

dan gedung

(+)

Cukup

tersedia

sarana (+)

Tidak tersedia

lahan &

gedung (-)

Tidak tersedia

sarana (-)

Cukup

tersedia lahan

& gedung di

setiap eks

karesidenan

(+)

Cukup

tersedia

sarana (+)

Cukup

tersedia lahan

dan gedung

(+)

Cukup

tersedia

sarana (+)

2. Ketersediaan SDM yang

kompeten Tidak cukup

tersedia SDM

yang

kompeten (-)

Tidak cukup

tersedia SDM

yang

kompeten (-)

Tidak cukup

tersedia SDM

yang

kompeten (-)

Sangat cukup

SDM yang

kompeten

(++)

3. Menjaga Hubungan Kerjasama

dg Kab/Kota Sangat tidak

cukup terjaga

hubungan (--)

Tidak cukup

terjaga

hubungan (-

)

Tidak cukup

terjaga

hubungan (-)

Sangat cukup

terjaga

hubungan

(++)

4. Mengakomodasi keinginan

kab/kota untuk berpartisipasi

dalam pengelolaan pendidikan

menengah

Sangat tidak

cukup bisa

berpartisipasi

(--)

Tidak cukup

berpartisipasi

(-)

Tidak cukup

berpartisipasi

(-)

Sangat cukup

berpartissipas

i (+)

5. Efisiensi Operasional

Pendidikan Sangat tidak

efisien (--)

Sangat tidak

efisien (--)

Cukup efisien

(+)

Sangat cukup

efisien (++)

6. Kemudahan Operasional

Pendidikan

Sangat tidak

mudah (--)

Sangat tidak

mudah (--) Mudah dalam

operasional

(+)

Sangat mudah

dalam

operasional

(++)

Total Manfaat + = 2

- = 9

Final: -7

+ = 0

- = 9

Final: -9

+ = 4

- = 3

Final: 1

+ = 11

- = 0

Final: 11

Kesimpulan (rank) 3 4 2 1

Keterangan:

(++) sangat cukup,

(+) cukup,

(--) sangat tidak,

(-) tidak

Positif/+ = menambah manfaat

Negatif/- = mengurangi manfaat

Page 144: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017

144

Berdasarkan tabel 1 di atas diketahui

yang paling memberi manfaat dalam mengelola

pendidikan menengah adalah model tugas

pembantuan yaitu memiliki nilai positif 11

dengan nilai negatif 0. Sementara itu alternatif

membuka UPP disetiap wilayah eks

karesidenan memiliki nilai positif 4 dan

memiliki nilai negatif 3. Alternatif membuka

kantor hanya di kantor provinsi saja dan

membuka kantor di setiap kabupaten atau kota

sama-sama memiliki nilai negatif 9. Maka jelas

sekali bahwa model pengelolaan pendidikan

menengah yang disarankan adalah model tugas

pembantuan.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Harapan Pengalihan Pengelolaan

Pendidikan Menengah. Setelah pengelolaan

pendidikan menengah dialihkan dari

pemerintah kabupaten atau kota ke pemerintah

provinsi banyak harapan yang muncul dari para

pemangku kepentingan pendidikan. Harapan

tersebut antara lain agar dapat meningkatkan

mutu pendidikan, akses dan pemerataan

pendidikan, peningkatan kesejahteraan dan

profesionalisme pendidik dan tenaga

kependidikan.

Para guru PNS yang bertugas di satuan

pendidikan menengah akan lebih sejahtera

karena selain mendapatkan gaji rutin mereka

juga akan mendapatkan Tambahan Penghasilan

Pegawai (TPP). Bagi guru yang sudah memiliki

sertifikat pendidik, mereka juga akan

mendapatkan tunjangan profesi guru (TPG).

Artinya guru PNS akan semakin sejahtera.

Tantangan Pengelolaan Pendidikan

Menengah. Beberapa tantangan yang muncul

terutama dari pemerintah kabupaten atau kota

yang memiliki kemampuan untuk pendanaan

pendidikan dari APBD kabupaten atau kota.

Tantangan itu muncul karena adanya

kekhawatiran pengelolaan pendidikan

menengah di tingkat provinsi

akan mengabaikan kesejahteraan guru non PNS

dan menghilangkan pendidikan gratis hingga

tingkat pendidikan menengah.

Tantangan tersebut didasarkan pada

kenyataan bahwa kemampuan pemerintah

provinsi untuk membiayai pendidikan

menengah dipandang kurang. Padahal jumlah

siswa SMA dan SMK cukup besar yang selama

ini didistribusikan di tingkat kabupaten atau

kota. Jika ini terjadi maka cita-cita untuk

meningkatkan akses pendidikan menengah

yang di Jawa Tengah baru mencapai 70% akan

gagal dicapai.

Model Pengelolaan Pendidikan

Menengah. Model yang paling efektif adalah

model tugas pembantuan seperti yang

disarankan oleh Kementerian Pendidikan dan

Kebudayaan. Diikuti secara berturut-turut

model manajemen dengan membentuk kantor

di setiap wilayah eks karesidenan, model

manajemen dikelola secara sentralistis di kantor

Dinas Pendidikan di Provinsi Jawa Tengah, dan

terakhir adalah model manajemen dengan

membentuk kantor Dinas Pendidikan dan

Kebudayaan di setiap kabupaten atau kota

hanya untuk mengurus pendidikan menengah.

Saran

Hingga saat ini belum ada peraturan yang

jelas bagaimana bentuk kerjasama antara

pemerintah kabupaten atau kota dengan

pemerintah provinsi untuk secara bersama-

sama mendanai pendidikan. Oleh karena itu

yang paling mendesak saat ini adalah agar

Pemerintah segera membuat peraturan

pemerintah terutama terkait pengalokasian

anggaran pendidikan di kabupaten atau kota

untuk mendanai pendidikan menengah yang

sudah bukan kewenangannya.

Di tingkat pemerintah daerah provinsi

juga segera dibuat kebijakan pendidikan apakah

dalam bentuk Peraturan Daerah atau Peraturan

Gubernur. Kebijakan tersebut mencakup

delapan standar nasional pendidikan jenjang

pendidikan menengah. Dengan demikian para

penyelenggara pendidikan baik di tingkat

satuan pendidikan, dinas pendidikan dan

kebudayaan kabupaten, dan dinas pendidikan

dan kebudayaan provinsi bisa menjalankan

tugas dan tanggung jawab ini dengan baik.

Pemerintah Provinsi Jawa Tengah saat ini

telah memilih alternatif membentuk UPP di

Page 145: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Teknik Pengambilan Keputusan Dalam Menentukan Model Manajemen … | Muhdi, dkk.

145

setiap wilayah eks karesidenan di Jawa Tengah.

Alternatif ini perlu diuji coba efektivitasnya

selama 1-3 tahun ke depan. Apabila dalam

pelaksanaan ini mengalami berbagai kendala,

maka alternatif yang disarankan adalah

membentuk tugas pembantuan antara

pemerintah provinsi dan kabupaten atau kota.

Karena berdasarkan pembahasan di atas, tugas

pembantuan adalah yang paling efektif diantara

model yang lain karena memiliki nilai positif

yang paling besar.

DAFTAR PUSTAKA

Aulia, Sitta. 2012. Desentralisasi Kebijakan

Pendidikan (Studi Tentang Pelaksanaan

Wajib Belajar 12 Tahun Di Kota

Surabaya Pada Tingkat Pendidikan

Menengah dan Kejuruan). Jurnal Politik

Muda. 2 (1), 204-216.

Drummond, H., 1993. Effective Decision

Making: A Practical Guide for

Management. London: Kogan Page

Limited.

Harrison, E.F., 1992, The Managerial

Decision-Making Process. Boston:

Houghton Miffin Company.

Hoy, W.K dan Miskel, C.G. 2014. Administrasi

Pendidikan: Teori, Riset, dan Praktik.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar

(terjemahan).

Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor

061/2911/SJ Tahun 2016 tentang Tindak

Lanjut Peraturan Pemerintah Nomor 18

Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah.

Lestari, D. A. dan Susena, E., 2014. Analisis

Pendidikan Gratis Di SMA – SMK Di

Surakarta Menuju Pendidikan Indonesia

Yang Berkeadilan. Jurnal Sainstech

Politeknik Indonusa Surakarta. 1 (2), 1-

9.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

Nomor 18 Tahun 2016 tentang

Perangkat Daerah.

Sumardjoko, B dan Prasetyo, A. 2016.

Pengembangan Profesionalisme Guru

SMA, MA, dan SMK Muhammadiyah

Sukoharjo Jawa Tengah. Varia

Pendidikan. 28 (1), 77-89.

Surat Edaran Menteri Pendidikan dan

Kebudayaan Nomor 6 Tahun 2016

tentang Pedoman Organisasi Perangkat

Daerah Bidang Pendidi-kan Dan

Kebudayaan.

Suwandi, 2016. Analisis Studi Kebijakan

Pengelolaan Guru SMK Dalam Rangka

Peningkatan Mutu Pendidi-kan, Jurnal

Ilmiah Pendidikan Teknologi dan

Kejuruan . 23 (1), 90-100.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor

23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan

Daerah.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor

32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22

Tahun 1999 tentang Pemerintahan

Daerah.

Page 146: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Magister Manajemen Pendidikan FKIP Universitas Kristen Satya Wacana [email protected]

e-ISSN 2549-9661 Volume: 4, No. 2, Juli-Desember 2017

Halaman: 146-160

146

Pengembangan Model Kemitraan Sekolah Dengan Orang Tua Melalui Media

Sosial Dalam Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah

di Sekolah Menengah Swasta

Mutia Ayu Krismanda

Magister Manajemen Pendidikan

Universitas Kristen Satya Wacana

[email protected]

Bambang Ismanto

Magister Manajemen Pendidikan

Universitas Kristen Satya Wacana

[email protected]

Ade Iriani

Magister Manajemen Pendidikan

Universitas Kristen Satya Wacana

[email protected]

ABSTRACT

The purpose of this research is to analyze the factual model of school partnership

with parents through social media in school-based quality improvement management in

SMA Kristen 1 Salatiga and result in the development of school partnership model with

parents through social media in school-based quality improvement management in

private high schools. It is Research and Development (R & D) research. Data collection

techniques used interviews and documentation studies. The development phase is done

through (1) Potential and Problem, (2) Data Collection, (3) Product Design, (4) Design

Validation, and (5) Design Repair. The results showed that SMA Kristen 1 Salatiga had

run the family education program quite well. Several activities in the family education

program at the school has been implemented before the schools get funding from the

government partnership program. Schools have also begun to seek the use of social media

as a means of strengthening communication with parents and other stakeholders, but

nevertheless in its development in the field of management has not been maximized. The

researchers also found no model formulated by the school associated with this family

education program because the new school programmed the partnership into a family

education program within one year. The product of this research is a school partnership

model with parents through social media at a private high school equipped with guides

for the implementing parties.

Keywords: Research and Development (R&D), Model, School and Parents Partnership,

Social Media

Article Info

Received date: 30 Mei 2017 Revised date: 14 Juni 2017 Accepted date: 2 Juli 2017

Page 147: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Pengembangan Model Kemitraan Sekolah Dengan Orang Tua Melalui … | Mutia Ayu Krismanda, dkk.

147

PENDAHULUAN

Demi tercapainya peningkatan mutu yang

diharapkan, sekolah perlu memahami dan

melaksanakan prinsip dan karakteristik MBS

atau yang kini disebut dengan Manajemen

Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah

(MPMBS). Hal ini seperti yang telah diatur oleh

pemerintah dalam Undang-Undang No. 20

Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional Pasal 51 ayat 1 yang menyatakan

bahwa pengelolaan satuan pendidikan anak usia

dini, pendidikan dasar, dan pendidikan

menengah dilaksanakan berdasarkan standar

pelayanan minimal dengan prinsip manajemen

berbasis sekolah/ madrasah. Manajemen

Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah dapat

disimpulkan sebagai sistem pengelolaan

persekolahan yang mengacu pada manajemen

sumber daya secara mandiri untuk

meningkatkan mutu sekolah dengan

memberikan kewenangan dan kekuasaan

kepada sekolah yang melibatkan partisipasi

masyarakat, warga sekolah dan orang tua secara

langsung pada proses pengambilan keputusan.

Pengelolaan sekolah juga hendaknya

disesuaikan dengan potensi, tuntutan dan

kebutuhan sekolah yang bersangkutan dan

ditetapkan oleh masing-masing sekolah sesuai

dengan tujuan dan strateginya, sehingga dapat

mengarahkan organisasi sekolah kedepan

(Slameto, 2015: 13; Daryanto, 2013: 176;

Mulyasa, 2012: 177). MPMBS ini bertujuan

memandirikan dan memberdayakan sekolah

melalui pemberian kewenangan (otonomi)

terhadap sekolah dalam mengelola sumber daya

yang dimiliki secara efektif dan efisien, serta

mendorong sekolah untuk melakukan

pengambilan keputusan yang tepat secara

partisipatif, transparan, dan akuntabel dalam

mencapai tujuan yang telah ditetapkan

(Syaifudin, 2013; Mulyasa, 2012:179).

Salah satu dari ketiga pilar MBS yaitu

peran serta masyarakat. Dapat disimpulkan dari

pernyataan Slameto

(2015) dan Mulyasa (2012) bahwa penerapan

MPMBS khususnya dalam meningkatkan

partisipasi orang tua dan masyarakat, maka

sekolah dapat melakukan hal-hal yang

berkaitan sebagai berikut: (1) Penggunaan

sumber daya pendidikan lebih efisien dan

efektif bilamana dikontrol oleh masyarakat

setempat dengan mengembangkan norma

kebersamaan dan kerjasama dengan kegiatan

belajar dan perencanaan bersama; (2)

Keterlibatan semua warga sekolah dan

masyarakat dalam pengelolan sekolah

khusunya pengambilan keputusan sekolah

menciptakan transparansi dan demokrasi yang

sehat, salah caranya dengan memberikan

kepada “dewan sekolah” sebagai badan

pembuat keputusan bukan sekedar penasehat;

(3) Sekolah dapat bertanggung jawab tentang

mutu pendidikan masing-masing kepada

pemerintah, orang tua peserta didik, dan

masyarakat pada umumnya, sehingga dia akan

berupaya semaksimal mungkin untuk

melaksanakan dan mencapai sasaran mutu

pendidikan yang telah direncanakan, hal ini

berarti tidak hanya melaksanakan MBS dengan

mengimplikasikan peningkatan peluang wakil

orang tua murid dan masyarakat untuk

memberikan masukan dalam pegambilan

keputusan disekolah, melainkan juga

meyediakan pelatihan untuk menolong mereka

agar lebih mampu menjadi partisipan dalam

upaya perencanaan maupun pengambilan

keputusan; (4) Sekolah dapat secara cepat

merespon aspirasi masyarakat dan lingkungan

yang berubah dengan cepat.

Peran serta masyarakat dalam satuan

pendidikan diwadahi melalui komite sekolah.

Komite sekolah meliputi orang tua dan

stakeholder lainnya. Secara normatif Komite

Sekolah semestinya menjalankan empat

fungsinya yaitu fungsi sebagai pemberi

pertimbangan dalam pengambilan keputusan,

fungsi kontrol dan akuntabilitas publik, fungsi

pendukung, serta fungsi mediator antara

sekolah dengan masyarakat yang diwakilinya

(Rodliyah, 2013: 43). Namun dari beberapa

penelitian (Armansayah, 2009, Gelgel, 2005,

Junaedi, 2011, Larasati, 2009, Mulyono, 2014)

pada kenyataanya masih banyak ditemukan

komite sekolah yang belum maksimal

Page 148: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017

148

menjalankan fungsi dan perannya. Sehingga

saat ini mulai bermunculan kembali pola-pola

partisipasi sekolah yang langsung kepada orang

tua yang dianggap sebagai bagian dari

masyarakat. Pola partisipasi sekolah dan orang

tua inilah yang diangkat menjadi topik

penelitian ini.

Partisipasi atau keterlibatan orang tua

dalam satuan pendidikan tidak hanya

dibutuhkan pada tingkat taman kanak-kanan

atau sekolah dasar saja namun di tingkat

sekolah menengah pula. Dalam usia 11-17

tahun, anak-anak justru sedang berada pada

masa puberitas, transisi dan pengembangan

kemampuan berpikir abstrak. Pada usia

tersebut, anak-anak juga dianggap sebagai anak

pada usia yang tingkat kerawanannya tinggi.

Mereka dapat mudah terpengaruh dengan

narkoba, tawuran, putus sekolah dan kejahatan

lain serta mengalami gangguan psikologi.

Dalam masa seperti ini dukungan dari orang tua

sangat dibutuhkan untuk menghindari hal-hal

tersebut. Kemitraan sekolah dengan orang tua

pada tingkat sekolah menengah memang

memiliki perbedaan dengan tingkat sekolah

dasar. Dalam tingkat sekolah menengah, anak

lebih membutuhkan hubungan yang

mengutamakan kepedulian dan kepercayaan

terhadap anak. Para siswa sekolah menengah

memerlukan kesempatan untuk membentuk

identitas diri mereka masing-masing,

mengekspresikan diri dan terlibat dalam

pengalaman yang memiliki tantangan yang

dapat mengembangkan kemapuan dan harga

diri mereka. Mereka menginginkan otonomi,

kebebasan dan waktu dengan teman sebaya

namun disaat yang sama mereka juga

membutuhkan orang tua atau orang dewasa

yang dapat diandalkan. (Havard Family

Research Project, 2007: 1).

Model partisipasi orang tua di sekolah

merupakan konsep yang multidimensional.

Bahkan sering juga digunakan istilah-istilah

lain dan tidak seragam seperti: parent

participation, parent involvement, home-school

connection, home-school participation atau

family-school relationships (Greenfield 2003:

2). Maka dalam memahami model partisipasi

orang tua di sekolah diperlukan pemahaman

beberapa model yang telah terdefinisikan.

Havard Family Research Project (2002:

1-2) mengembangkan empat model partisipasi

orang tua seperti berikut ini. 1) Model

Parenting Practice: keyakinan, sikap dan

kegiatan-kegiatan orang tua untuk mendukung

anaknya belajar baik disekolah maupun

dirumah. 2) Model School-Family Partnership:

didasarkan ide bahwa keluarga dan sekolah

merupakan lingkungan yang mempengaruhi

belajar anak, walau begitu sekolah mempunyai

tanggung jawab utama untuk menjangkau

orang tua dan masyarakat, maka perlu

dikembangkan kemitraan antar pihak. 3) Model

Democratic Participation: partisispiasi orang

tua dapat berarti sebagai partisipasi dalam

kelembagaan masyarakat. Orang tua dan

masyarakat adalah pihak yang memiliki

kekuatan sebagai agen pembaruan sosial dapat

berperan serta secara efektif dalam reformasi

sekolah (MBS) baik secara konfrontatif

maupun kolaboratif. 4) Model School Choice:

partisipasi orang tua terkait dengan pilihan

sekolah, sekolah manayang dipilih orang tua

untuk anaknya. Pemilihan sekolah dan

program-programnya sesuai prinsip pasar itu

menentukan partisipasi orang tua anak.

Menyadari pentingnya pola partisipasi

orang tua di sekolah, Direktorat Jenderal

Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan

Masyarakat juga membentuk program

Kemitraan Sekolah dengan Keluarga dan

Masyarakat. Salah satu sekolah yang ditunjuk

sebagai sekolah percontohan program tersebut

adalah SMA Kristen 1 Salatiga. Berdasarkan

studi pendahuluan di SMA Kristen 1 Salatiga

yang mengadakan program Pendidikan

Keluarga, maka peneliti melihat pentingnya

program kemitraan sekolah yang mendorong

orang tua dalam keterlibatannya pada

pendidikan seluruh peserta didik. Partisipasi

atau keterlibatan orang tua dalam satuan

pendidikan tidak hanya dibutuhkan pada

tingkat taman kanak-kanan atau sekolah dasar

saja namun di tingkat sekolah menengah pula.

Page 149: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Pengembangan Model Kemitraan Sekolah Dengan Orang Tua Melalui … | Mutia Ayu Krismanda, dkk.

149

Hasil studi pendahuluan menunjukan

bahwa SMA Kristen 1 Salatiga telah dirasa

cukup mampu untuk mengembangkan program

sekolah berbasis kemitraan. Meskipun sudah

diadakan beberapa program kemitraan dengan

keluarga yang sudah dirasakan manfaatnya,

namun program ini masih perlu dikembangkan

lagi. Beberapa masalah anak yang saat ini harus

segera ditangani oleh sekolah yaitu meliputi

pengawasan dan pengenndalian anak dalam

menggunakan gadget dan media sosial serta

kedekatan anak dengan orang tua sehingga

menimbulkan catatan buruk bagi prestasi anak

dan kedisiplinanya disekolah. Jika hal ini tidak

segera mendapatkan solusinya maka akan

berdampak pada prestasi siswa dan menurun-

nya mutu sekolah. Oleh karena itu, sekolah

harus terus meningkatkan kerjasama dengan

orang tua atau wali murid untuk mengatasi

masalah tersebut.

Dalam mewujudkan program pendidikan

keluarga sekolah juga telah berupaya menjalin

komunikasi dengan orang tua atau wali murid

lebih intens lagi melalui website sekolah, akun

facebook, pesan singkat, whatsapp (WA), BBM

(Blackberry Massenger) dan email sebagai

sarana komunikasi di era digital ini.

Penggunaan media sosial dianggap sebagai

inovasi yang positif dalam suatu program

kemitraan. Mazza (2013) melihat beberapa

fungsi media sosial disekolah-sekolah yang

sudah menggunakannya. Fungsi media sosial

dalam memperkuat kemitraan sekolah dengan

keluarga dan masyarakan serta pemangku

kepentingan lainnya diantaranya yaitu: (1)

Menginformasikan orang tua mengenai

kegiatan sekolah yang up to date; (2)

Memberikan kesempatan komunitas untuk

mengenal para pendidik dan tenaga pendidik

sekolah; (3) Mendorong partisipasi global; (4)

Membangun kepercayaan; (5) Mendukung

dana bagi kegiatan sekolah; (6) Berbagi fakta

mengenai pencapaian atau prestasi siswa,

pendidik atau tenaga kependidikan; (7)

Menggungah pengingat hal-hal penting seperti

rapat pertemuan atau kegiatan sekolah pada

keluarga; (8) Berbagi sumber bacaan atau

artikel yang dapat mendukung atau mendorong

pedidikan dirumah; (9) Menunjukan

penghargaan kepada pemangku kepentingan;

(10) Berbagi informasi untuk kegiatan atau

peristiwa masa lalu, sekarang dan yang akan

datang. Selain itu studi Cox (2012) juga telah

menemukan hasil positif dari penggunaan

media sosial di sekolah menggunakan empat

tema besar. Keempat tema besar itu meliputi

interaksi, hubungan, dampak dan harapan.

Berdasarkan tema tersebut dihasilkan bahwa

pertama, alat komunikasi media sosial

memungkinkan interaksi yang lebih luas antara

adminstrasi sekolah dan para pemangku

kepentingan, kedua alat komunikasi media

sosial memberikan hubungan yang lebih kuat

kepada peran pemangku kepentingan lokal,

memberikan jaringan rekan kerja sesama

pendidik pada dunia yang lebih luas, ketiga

penggunaan media sosial dapat memiliki

dampak signifikan dalam perkembangan ke-

profesionalan administrator sekolah, dan yang

terakhir penggunaan media sosial adalah

sebuah harapan yang berarti bukan hanya

sekedar sebuah pilihan. Dalam hal ini

penggunaan media sosial merupakan harapan

akan penguatan kemitraan yang lebih baik.

Melihat hal tersebut penggunaan media sosial

dalam pengembangannya di bidang manajemen

pada program kemitraan di SMA Kristen 1

Salatiga saat itu dirasa belum maksimal.

Permasalahan lain yang ditemukan dalam

penelitian ini adalah belum adanya model yang

dibuat sekolah terkait dengan program

pendidikan keluarga ini karena sekolah baru

memprogramkan kegiatan kemitraan menjadi

program pendidikan keluarga dalam satu tahun

ini. Hasil penelitian ini diharapkan dapat

menjadi saran-saran perbaikan dan

pengembangan model kemitraan sekolah

dengan orang tua melalui media sosial untuk

mewujudkan program pendidikan keluarga

dalam rangka meningkatkan mutu sekolah yang

dapat menjadi contoh bagi sekolah lainnya

juga, khususnya sekolah menengah swasta.

Page 150: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017

150

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian dan

pengembangan atau Research and

Development (R & D) dengan menggunakan

langkah-langkah dari Sugiyono yang

dilaksanakan dengan tujuan untuk menyusun

pengembangan model kemitraan sekolah

dengan orang tua melalui media sosial dalam

manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah

di sekolah menengah swasta. Namun dalam

penelitian dan pengembangan ini hanya

dibatasi sampai pada tahap kelima dari langkah-

langkah pengembangan Sugiyono tersebut,

yaitu : 1) potensi dan masalah; 2) pengumpulan

data; 3) desain produk; 4) validasi desain; 5)

revisi desain. Hal ini dilakukan sampai

menghasilkan produk saja yang berupa model

kemitraan sekolah dengan orang tua melalui

media sosial.

Penelitian ini dilakukan di SMA Kristen

1 Salatiga dengan sumber data yang terdiri dari

stakeholder yang saling terkait dengan

penyelenggaran dan pengelolaan program

kemitraan keluarga di SMA Kristen 1 Salatiga

yaitu: (1) Kepala Sekolah; (2) Ketua program

pendidikan

keluarga Keluarga (Wakasek Humas); (3)

Koordinator Program Kemitraan (Guru BK);

(4) Sekretaris program pendidikan keluarga

(Pengelola sistem informasi sekolah). Teknik

Pengumpulan data yang digunakan adalah

melalui wawancara, studi dokumentasi dan

FGD. Metode analisis data yang digunakan

dalam penelitian ini yaitu analisis SWOT dan

MAS. Tahap yang digunakan adalah

menggunakan analisis matrik IFAS (Internal

Factors Analysis Summary), dan analisis matrik

EFAS (External Factors Analysis Summary)

berdasarkan analisis matrik SWOT (Strengths,

Weaknesses, Opportunities and Threats).

Selain itu hasil dari analisis SWOT

dimodifikasi dengan MAS (Modify, Add, Size),

hal ini dimaksudkan agar hasil dari penelitian

ini dapat menjadi suatu ide baru bagi sekolah

yang tentunya disesuaikan oleh kondisi

sekolah.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Penelitian

Secara aktif SMA Kristen 1 Salatiga telah

memprakarsai beberapa program sesuai analisis

kebutuhan yang dilakukan sekolah. Beberapa

kegiatan dalam program pendidikan keluarga

sesungguhnya telah mulai dilaksanakan SMA

Kristen 1 Salatiga sebelum pemerintah

mencanangkan program tersebut menjadi

program resmi. Program pendidikan keluarga

yang dilaksanakan oleh sekolah saat ini terdiri

dari 2 bagian yaitu program penguatan

kemitraan keluarga dan program penguatan

ekosistem pendidikan. Namun dalam penelitian

ini fokus pengembangan model dibatasi hanya

pada pengembangan program penguatan

kemitraan keluarga. Kemitraan sekolah tersebut

dilakukan dengan para orang tua, alumni yang

sebagian besar juga merupakan alumni sekolah

serta kemitraan dengan universitas lain

disekitar sekolah.

Berdasarkan hasil studi pendahulan

dengan teknik wawancara dan studi

dokumentasi saat survey lapangan maka

dirumuskanlah model faktual kemitraan yang

menjadi acuan dalam pengembangan model

kemitraan sekolah dengan orang tua melalui

media sosial. Model faktual ini meliputi

perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaaan

dan evaluasi program kemitraan sekolah

dengan orang tua. Model faktual kemitraan

sekolah dengan orang tua di SMA Kristen 1

Salatiga dapat dirangkum seperti bagan model

faktual kemitraan sekolah dengan orang tua di

SMA Kristen 1 Salatiga sebagai berikut:

Page 151: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Pengembangan Model Kemitraan Sekolah Dengan Orang Tua Melalui … | Mutia Ayu Krismanda, dkk.

151

Gambar 1

Model Faktual Kemitraan Sekolah dengan Orang di SMA Kristen 1 Salatiga

Hasil evaluasi formatif juga digunakan

sebagai data menganalisis kebutuhan model.

Analisis kebutuhan model yang digunakan

dalam penelitian ini adalah SWOT dan MAS

yang dipaparkan sebagai berikut:

Tabel 1

Hasil Analisis Faktor Kekuatan dan Kelemahan Matrik IFAS

(Internal Factors Analysis Summary)

No Faktor-faktor Internal

Bobot Skor Total Bobot x

Skor Kekuatan (Strength)

1 Teamwork yang solid 0,07 4 0,28

2 Komitmen dari warga sekolah untuk mewujudkan program. 0,07 4 0,28

3 Kemampuan sumber daya manusia yang cukup baik dan

kreatif dalam mengembangkan program. 0,1 4 0,4

4 Sekolah juga mengadakan penguatan ekosistem untuk

meningkatkan kinerja sekolah. 0,06 4 0,24

5 Sekolah memiliki moto custumor staisfication. 0,06 3 0,18

6 Pemimpin yang humanis. 0,07 3 0,21

7 Pemimpin yang cukup aktif menjalin hubungan kerjasama

dengan pihak masyarakat. 0,09 4 0,32

8

Sekolah telah memiliki kesadaran untuk melaksanakan

beberapa kegiatan dalam program pendidikan keluarga

sebelum mendapatkan bantuan pemerintah.

0,07 4 0,28

9 Sekolah telah mengikuti pembinaan dan bimbingan teknis

penyelenggaraan pendidikan keluarga dari dinas pendidikan. 0,06 3 0,18

Action Plan dan

Penyusunan RKAS

Tujuan Program

Penyusunan Tim

Program Pendidikan

Keluarga

Tim

Penguatan

Kemitraan

Tim

Penguatan

Ekosistem

Program penguatan

kemitraan sekolah

dengan keluarga

dan masyarakat

1. Orangtua

- “Tea Time”

Penyambutan hari

pertama

- Sosialisasi program

- Sarasehan dan

sambung rasa

- Parenting day

- Kelas Inspirasi

- Pelibatan sebagai

Pembina upacara

- Expo pendidikan

- Forum komuniksi-

paguyuban orang tua

(wa/bbm)

2. Alumni

- Career Day

3. Masyarakat lain

- Expo pendidikan

(kerjasama dengan

universitas-

universitas)

- Ektrakurikuler

Koordinasi Kepala

Sekolah dan Tim

Program Pendidikan

Keluarga

Program

Pendidikan

Keluarga

Program penguatan

ekosistem

pendidikan

1. Guru dan Karyawan

- Pelatihan dan motivasi

- Pelatihan pola

pendampingan

- Pengadaan ruang tamu/

ruang tunggu keluarga

1. Evaluasi diri dari

pihak sekolah

2. Evaluasi dari Dinas

Pendidikan dan

Pengawas

Media Sosial

Page 152: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017

152

No Faktor-faktor Internal

Bobot Skor Total Bobot x

Skor Kekuatan (Strength)

10 Sekolah telah menganggarkan untuk penyelenggaran

program pendidikan keluarga melalui RKAS. 0,09 4 0,32

11

Sekolah memiliki program unggulan lainnya yang dapat

mendukung kegiatan-kegiatan dan pendanaan pada program

kemitraan sekolah.

0,08

3

0,24

12 Sekolah telah memiliki tim pengelola sistem informasi

manajemen. 0,05 4 0,20

13 Daya dukung sarana prasarana yang cukup memadai. 0.06 3 0,18

14 Menggunakan media sosial untuk menjalin komunikasi

dengan stakeholder. 0.07 4 0,28

Total Skor 1 3,59

Kelemahan (Weaknesses)

1 Waktu pelaksanaan kegiatan program yang melibatkan orang

tua terbatas karena mayoritas orang tua bekerja. 0,14 1 0,14

2 Waktu pelaksanaan kegiatan program kadang bersamaan

dengan kegiatan program lain. 0,13 2 0,26

3 Banyaknya program sekolah dapat mengurangi jam pelajaran

siswa. 0,13 1 0.13

4 Beberapa media komunikasi tersedia yang masih kurang

accessible. 0,12 2 0,24

5 Masih ada beberapa media komunikasi sekolah yang masih

kurang maksimal penggunaanya misalnya web dan blog. 0,13 2 0,26

6 Sekolah masih kurang melibatkan orang tua dalam proses

pembelajaran anak di bidang akademik. 0,12 1 0,12

7

Beberapa guru masih kurang memiliki motivasi untuk

menggunakan dan mengembangkan media pembelajaran

seperti Edmodo dan blog.

0,12 2 0,24

8 Kegiatan kolaborasi anak dan orang tua dalam bidang

akademik dan non akademik masih kurang. 0,11 1 0,11

Total Skor 1 1,5

Total SkorAkhir (Kekuatan – Kelemahan)

2.09

Dari data pada tabel diatas dapat

disimpulkan bahwa total bobot dikalikan skor

pada faktor kekuatan adalah 3,59 sedangkan

total bobot dikalikan skor pada faktor

kelemahan adalah 1,5 sehingga skor akhir IFAS

yaitu faktor kekuatan dikurangi faktor

kelemahan adalah 2,09. Hal ini menunjukkan

bahwa faktor kekuatan adalah faktor yang lebih

dominan dibandingkan dengan faktor

kelemahan. Oleh karena itu sekolah dapat

mengoptimalkan kekuatan yang dominan yang

dimiliki untuk mengatasi kelemahan-

kelemahan yang ada.

Tabel 2

Hasil Analisis Faktor Peluang dan Ancaman Matrik EFAS

(External Factors Analysis Summary)

No Faktor-faktor Eksternal

Bobot Skor Total Bobot x

Skor Peluang (Opportunity)

1 Sekolah telah dipilih menjadi salah satu sekolah percontohan

program pendidikan keluarga. 0,13 3 0,39

2

Dukungan dana dari pemerintah berupa bantuan dana program

Kemitraan Sekolah dengan Keluarga dan Msayarakat serta

monitoring.

0,17 3 0,51

Page 153: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Pengembangan Model Kemitraan Sekolah Dengan Orang Tua Melalui … | Mutia Ayu Krismanda, dkk.

153

No Faktor-faktor Eksternal

Bobot Skor Total Bobot x

Skor Peluang (Opportunity)

3 Mendapatkan dukungan dari beberapa alumni yang cukup

berpotensi. 0,14 4 0,56

4 Kepercayaan masyarakat masih cukup tinggi. 0,14 4 0,56

5 Mendapat dukungan orang tua baik dari dana maupun fasilitas. 0,15 4 0,6

6 Beberapa komite bersedia terjun langsung membantu dan

mendukung kegiatan atau program sekolah. 0,12 3 0,36

7 Sudah terbentuknya paguyuban orang tua wali murid 0,15 4 0,6

Total Skor 1 3,58

Ancaman (Threat)

1 Sebagian orang tua yang masih berprinsip “pasrah bongkoan” 0,23 1 0,23

2 Belum ada rapat rutin komite karena terhalang oleh kesibukan

masing-masing komite. 0,18 2 0,36

3 Kesibukan orang tua sehingga sulit menemukan waktu yang tepat

untuk mengadakan pertemuan bersama. 0,25 1 0,25

4 Pengetahuan media komunikasipada orang tua yang masih perlu

ditingkatkan 0,18 2 0,36

5 Beberapa orang tua yang masih berada di kalangan ekonomi

menengah kebawah. 0,16 3 0,48

Total Skor 1 1,68

Total SkorAkhir (Peluang – Ancaman)

2,9

Dari data pada tabel diatas dapat

disimpulkan bahwa total bobot dikalikan skor

pada faktor peluang adalah 3,58 sedangkan

total bobot dikalikan skor pada faktor ancaman

adalah 1,68 sehingga skor akhir EFAS yaitu

faktor peluang dikurangi faktor ancaman adalah

2,9. Dari hasil analisis faktor eksternal tersebut

diketahui bahwa sekolah memiliki beberapa

peluang yang dapat dimanfaatkan untuk

memberikan kontribusi dalam meningkatkan

kemitraan sekolah dengan orangtua dan

masyarakat.

Berdasarkan hasil analisis SWOT sekolah

tersebut diketahui skor akhir IFAS adalah 2.09

sedangkan skor akhir EFAS adalah 2,9. Hasil

analisis ini menunjukkan bahwa strategi berada

di kuadran SO (strength oportunity) yang

mendukung strategi agresif. Sehingga pihak

sekolah semestinya dapat menggunakan

kekuatan dari lingkungan internal sekolah dan

meraih peluang yang ada pada lingkungan

eksternal untuk kemitraan sekolah dengan

orangtua. Selanjutnya setelah mengetahui hasil

analisis SWOT tersebut dibuatlah strategi-

strategi untuk meningkatkan jalinan kemitraan

sekolah dengan orang tua serta masyarakat dan

meminimalisasi faktor kelemahan dan ancaman

yang dapat menghambat penyelenggraan

program pendidikan keluarga tersebut. Dalam

hal ini peneliti mengkategorikan beberapa

aspek strategi tersebut berdasarkan analisis

MAS yaitu strategi yang meliputi perubahan

(modify), penambahan (add) dan perluasan atau

penyempitan (size). Hasil analisis tersebut

dipaparkan sebagai berikut:

Page 154: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017

154

Pengembangan dalam aspek pengawasan

yang mengikutsertakan orang tua pada

pembelajaran akademik para siswa dapat

dilakukan melalui blog guru dan Edmodo.

Penggunaan blog guru dapat diisi dengan

summary materi pembelajaran, bahan materi

tambahan, menunjukan project siswa terbaik,

dll. Sedangkan penggunaan media Edmodo

digunakan untuk pemberian tugas-tugas kepada

siswa, diskusi diluar jam pelajaran, berbagi file,

Page 155: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Pengembangan Model Kemitraan Sekolah Dengan Orang Tua Melalui … | Mutia Ayu Krismanda, dkk.

155

membuat game berdasarkan standar

pembelajaran dll. Aplikasi Edmodo ini juga

memberi kesempatan orang tua untuk ikut

bergabung didalamnya sehingga dapat turut

serta mengawasi perkembangan akademik para

siswa bahkan terlibat dalam proses

pembelajaran anak mereka. Dalam hal ini

sekolah mungkin tidak akan meminta orang tua

untuk membantu mengajarkan PR mata

pelajaran tertentu namun lebih kepada berbagi

ide, pendapat dan bahkan pengetahuan kepada

para siswa (Havard Family Research Project,

2007: 4). Contohnya dengan kolaborasi

pembuatan portofolio dengan pertanyaan yag

telah diarahkan oleh guru.

Selain itu, demi memperkuat komunikasi

dan hubungan sekolah dengan orang tua maka

sekolah dapat mengadakan acara Family Fun

Day. Hal ini dapat dilakukan dengan

mengadakan lomba atau kegiatan games antara

orang tua dan para peserta didik yang dibuat

dan dipimpin oleh trainers berpengalaman

sehingga game tersebut memiliki tujuan untuk

mempererat hubungan orang tua dan para

peserta didik terlebih lagi dengan sekolah yang

telah mengadakan acara tersebut dan berperan

sebagai jembatan positif bagi mereka. Sekolah

juga dapat menggunakan program “Three

Contribution for School” sebagai sarana

mengundang orang tua berpartisipasi sebagai

relawan dalam kepanitiaan, acara-acara

sekolah, pembuatan school newsletter, kegiatan

dikelas, atau bahkan kegiatan sekolah yang

dilakukan dirumah dll. (Corolado Springs

School District 11, 2014: 6). Tentunya hal ini

harus didiskusikan dan disepakati oleh orang

tua atau komite sekolah sebagai perwakilan.

Program “School Newletter” merupakan

sarana orang tua untuk dapat mengetahui

sekolah lebih dalam lagi, setiap programnya

baik yang sudah diadakan maupun yang akan

dilaksanakan serta profil sekolah, profil anak

berprestasi dll yang terdapat pada rubrik-rubrik

didalamnya. Dalam penulisan “School

Newletter” ini tidak hanya dilakukan oleh tim

saja atau dari pihak sekolah namun dapat

melibatkan orang tua dan para peserta didik.

Strategi lain yang dapat dilakukan yaitu melalui

kegiatan Night Sharing yang dapat dilakukan

sebagai solusi untuk kehadiran orang tua yang

belum maksimal dalam pertemuan yang

diadakan sekolah kepada orang tua. Kesibukan

orang tua pada pagi hingga sore hari kerap kali

menjadi hambatan dalam mengundang orang

tua dalam pertemuan sekolah dengan orang tua,

sehingga pertemuan tersebut menjadi kurang

menjadi efektif dan efisien. Melalui kegiatan ini

kedua belah pihak dapat berdiskusi jika ada

beberapa hal yang perlu ditingkatkan, dirubah

dan disepakati bersama dalam rangka

mengasuh dan mendidik anak lebih baik lagi

sehingga dapat mencetak lulusan yang unggul

dalam prestasi dan karakter.

Selain memasukan unsur strategi-strategi

yang telah dipaparkan diatas, pengembangan

bentuk model ini mengacu pada model

kemitraan sekolah dengan keluarga dan

masyarakat oleh pemerintah dan dikembangkan

dengan mengadaptasi dari beberapa model

kemitraan yang dianggap mampu

mengakomodasi kekurangan model yang sudah

ada, yaitu mengadaptasi dari model PTA

National Standards for Family-School

Partnership dan model dari Penelitian Family

Involvement in middle and High School’s

Education dari Havard Family Research

Project. Tidak hanya itu, pengembangan model

juga memadukan penggunaan media sosial

dalam usaha peningkatan keefektifan

komunikasi yang terjalin dalam suatu program

kemitraan.

Tujuan model kemitraan sekolah dengan

orang tua melalui media sosial ini adalah

memberikan panduan bagi kepala sekolah,

guru, tenaga kependidikan, komite serta orang

tua untuk secara bersama-sama menciptakan

dan mendukung pelaksanaan program

kemitraan sekolah dengan orang tua dan

mensukseskan pendidikan semua peserta didik.

Sedangkan sasaran model kemitraan ini yaitu;

Pertama, Kepala sekolah, guru, dan tenaga

kependidikan sekolah swasta dalam

melaksanakan kemitraan dengan keluarga dan

masyarakat; Kedua, Orang tua/ wali murid

Page 156: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017

156

sekolah swasta sebagai mitra kerja dalam

merencanakan, melaksanakan, dan meng-

evaluasi program-program sekolah; Ketiga,

Komite sekolah sekolah swasta sebagai mitra

kerja dalam merencanakan, melaksanakan, dan

mengevaluasi program-program sekolah;

Keempat, Organisasi mitra yang berkaitan

dengan pelaksanaan program kemitraan

sekolah dengan orang tua melalui media sosial;

dan kelima, Dinas Pendidikan kota dan Provinsi

sebagai pembina teknis satuan pendidikan

menengah dan pendidikan khusus. Spesifikasi

model pengembangan kemitraan sekolah dan

orang tua melalui media sosial yaitu: (1)

Definisi dan deskripsi setiap bentuk kemitraan;

(2) Tujuan dan hasil yang diharapkan dalam

setiap bentuk kemitraan (3) Rekomendasi

kegiatan yang dapat dikembangkan pada setiap

bentuk kemitraan; (4) Indikator pada setiap

bentuk kemitraan; (5) Peran pihak sekolah dan

orang tua dalam menjalankan setiap bentuk

kemitraan.

Dalam mengimplementasi model

kemitraan sekolah dengan orang tua melalui

media sosial ini maka pihak-pihak yang terkait

harus memperhatikan setiap bentuk kemitraan

yang sudah dipaparkan dalam model.

Rekomendasi kegiatan yang telah diberikan

dalam model tersebut dapat dipertimbangkan

sesuai dengan tahap keterlaksanaan program

kemitraan sekolah serta situasi dan kondisi

sekolah. Keterlaksanaan setiap indikator yang

sudah dijalankan harus disertai dengan evaluasi

dan supervisi yang rutin sehingga dapat

mencapai keberhasilan yang maksimal. Selain

itu, sekolah yang hendak menggunakan model

kemitraan ini harus senantiasa berusaha

memenuhi beberapa faktor yang

mempengaruhi efektifitas keterlaksanaan

model, seperti persyaratan pokok model, profil

sekolah, peran dan karakter dan monitoring dan

evaluasi. Panduan-panduan yang telah dibuat

diharapkan dapat membantu pihak-pihak

terkait yang akan menjalankan program

kemitraan ini. Model kemitraan sekolah dengan

orang tua melalui media sosial ini diharapkan

penulis dapat membantu sekolah dalam

mengembangkan dan melaksanakan program

kemitraan sekolah dengan orang tua yang

tentunya hal tersebut harus disesuaikan dengan

kondisi sekolah masing-masing. Berikut ini

adalah gambar model kemitraan dan orang tua

melalui media sosial:

Page 157: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Pengembangan Model Kemitraan Sekolah Dengan Orang Tua Melalui … | Mutia Ayu Krismanda, dkk.

157

Pembahasan

Terdapat beberapa penelitian yang

relevan terkait dengan penelitian ini. Penelitian

oleh Mazza (2013) dan Coz (2012) memiliki

kesamaan dengan penelitian ini yaitu sama-

sama mengangkat tema kemitraan melalui

media sosial. Dalam penelitiannya, Mazza

hanya sebatas mendeskripsikan bagaimana

penggunaan media sosial berpengaruh terhadap

komunkasi antara sekolah dan para orang tua

dan Coz mencoba mendeskripsikan,

menganalisa dan mentafsirkan pengelaman

beberapa kepala sekolah dan pengawas dalam

menggunakan beragam alat komunikasi seperti

media sosial untuk berkomunikasi dengan para

pemangku kepentingan sebagai suatu sistem

komunikais yang komprehensif, sedangkan

dalam penelitian ini peneliti tidak hanya

mendeskripsikan dan menganalisa saja namun

mencoba menghasilkan suatu produk yang

berupa model kemitraan sekolah dengan orang

tua yang didalamnya mengandung unsur

penggunaan media sosial sebagai alat penguat

komunikasi dalam kemitraan tersebut.

Penelitian tentang model kemitraan masih

jarang ditemui di Indonesia, namun demikian

peneliti menemukan satu penelitian yang

hampir mirip dengan model kemitraan sekolah

dengan orang tua yaitu model kolaborasi guru,

orang tua dan masyarakat oleh Jamalludin

(2015). Penelitian Jamalludin dan penelitian ini

hampir sama yaitu mencoba membuat model

yang berhubungan dengan kemitraan atau

kolaborasi antara pihak sekolah dengan orang

tua dan masyarakat melalui beberapa tahap,

Jamalludin dengan tahap Borg and Gall

sedangkan penelitian pengembangan ini

menggunakan tahap Sugiyono. Namun terdapat

keistimewaan produk penelitian ini yaitu

dengan menambahkan penggunaan media

sosial sebagai alat komunikasi yang diharapkan

dapat membantu menguatkan komunikasi antar

pihak terkait. Teknik analisis yang digunakan

dalam penelitian ini pun juga hampir sama

seperti teknik analisis yang digunakan dalam

penelitian Rosita (2009) dan Prastawa (2010)

yang juga menggunakan teknik analisis SWOT

untuk melihat potensi kekuatan, kelemahan,

hambatan dan peluang sebelum membuat

strategi-strategi dalam penelitian pe-

ngembangannya, perbedaanya dalam penelitian

ini untuk mendapatkan strategi-strategi dalam

pengembangan model yang dibuat peneliti

tidak hanya menggunakan SWOT namun juga

menggunakan teknik analisis MAS untuk

memaksimalkan hasil pengembangan model.

Page 158: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017

158

Meskipun memiliki perbedaan, kelima

penelitian yang relevan yang telah dipaparkan

diatas menjadi bahan pertimbangan yang

bermanfaat bagi penulisan penelitian

pengembangan ini.

Keterbatasan pengembangan model

kemitraan sekolah dengan orang tua dalam

penelitian dan pengembangan ini meliputi hal

sebagai berikut: 1) Keterbatasan

pengembangan dibatasi pada studi pendahuluan

di satu lingkup satu sekolah saja. Sekolah

tersebut dipilih karena mayoritas baik pendidik

maupun orang tua atau wali murid peserta didik

telah dianggap cukup mengikuti perkem-

bangan era digital dalam berkomunikasi.

Artinya penggunaan smart phone dan media

sosial cukup populer dikalangan warga sekolah.

2) Dalam menerapkan model kemitraan sekolah

dengan orang tua sebagai hasil dari produk

penelitian ini, satuan pendidikan dan warga

sekolah harus memiliki media sosial yang

prima, artinya media sosial harus dipersiapkan

dengan baik penggunaanya dengan stakeholder

terkait termasuk sosialisasi spesifikasi

penggunaanya dan analisis kebutuhan yang

harus dilakukan sebelum penggunaan, selain itu

dalam penggunaanya juga harus memiliki etika

dalam berkomunikasi menggunakan media

sosial, etika tersebut dapat dibuat dan

disepakati bersama dengan perwakilan

stakeholder terkait, dan tidak kalah penting

penggunaan media sosial juga harus dievaluasi

untuk peningkatan komunikasi yang lebih baik.

3 Penggunaan media sosial hanya sebatas alat

pendukung komunikasi dalam program

kemitraan sekolah dan orang tua, tanpa budaya

berkomunikasi yang baik dari sekolah ke orang

tua maupun sebaliknya penggunaan alat

pendukung ini tidak akan berjalan efektif.

Sekolah adalah pihak pertama yang harus

membangun budaya komunikasi yang baik

dengan orang tua maupun masyarakat, hal

tersebut dapat dilakukan melalui program-

program pertemuan sekolah dan orang tua atau

masyarakat untuk menjalin komunikasi dengan

baik. 4) Penelitian dan pengembangan ini hanya

dibatasi sampai pada tahap uji pakar oleh para

pakar yaitu ahli dibidang Manajemen dan

pengamat program Pendidikan Keluarga.

PENUTUP

Simpulan

Berdasarkan hasil evaluasi formatif

yang telah dilakukan dibuatkah model faktual

kemitraan sekolah dengan orang tua yang

dikemas dalam program pendidikan keluarga di

SMA Kristen 1 Salatiga. Model faktual yang

dirumuskan meliputi dari perencanaan,

pengorganisasian dan pelaksanaan dan

evaluasi. Dalam model faktual tersebut

program dibagi menjadi dua, program

penguatan kemitraan dan program penguatan

ekosistem. Namun penelitan ini fokus pada

pengembangan program penguatan kemitraan.

Program penguatan kemitraan keluarga

merupakan program yang bertujuan untuk

menguatkan jalinan kemitraan antara orang tua

maupun masyarakat. Beberapa media sosial

juga telah digunakan sekolah sebagai media

pendukung dalam memperkuat komunikasi

antara sekolah dengan stakeholder lainnya

termasuk orang tua, namun pengembangan

manajemen penggunaannya dirasa belum

maksimal.

Demi meningkatkan mutu sekolah

melalui peningkatan peran serta masyarakat

pada pengelolaan sekolah yang merupakan

salah satu pilar MBS dibuatlah pengembangan

model kemitraan sekolah dengan orang tua

melalui media sosial. Model yang dihasilkan

terdiri dari pendahuluan, rasional model,

spesifikasi model, bentuk-bentuk kemitraan

dan indikator tiap bentuk, gambar model,

efektifitas model, dan dilengkapi dengan

panduan-panduan pelaksanaan. Produk yang

berupa model kemitraan sekolah dengan orang

tua melalui media sosial yang telah disusun

diharapkan dapat membantu dan memberi

inspirasi bagi sekolah yang hendak atau sedang

menyelenggarakan program kemitraan sekolah

dengan orang tua agar implementasi yang

dilaksanakan sesuai dengan rancangan-

rancangan yang telah dirumuskan.

Page 159: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Pengembangan Model Kemitraan Sekolah Dengan Orang Tua Melalui … | Mutia Ayu Krismanda, dkk.

159

Saran

Bagi sekolah yang menyelenggarakan

program kemitraan sekolah dengan orang tua

agar peng-implementasian model program

kemitraan sekolah dengan orang tua melalui

media sosial berjalan dengan efektif, maka

disarankan:

1) Penyelenggaraan dapat mencakup semua

bentuk kemitraan yang sudah

dikembangkan oleh peneliti.

2) Saran yang telah dibuat dalam matrik EFAS

IFAS dalam bentuk MAS agar dapat

dilaksanakan.

3) Kegiatan perlu diakhiri dengan evaluasi

sehingga terlihat ketercapaian pada setiap

bentuk kemitraan sesuai dengan tujuan dan

indikator yang ada.

4) Pihak sekolah dan orang tua/ wali murid

dan masyarakat yang menjalankan program

kemitraan sekolah dan keluarga hendaknya

selalu menjaga berkomitmen terhadap

pelaksanaan kegiatan, pengadaan sarana

dan prasarana serta pendanaan.

Bagi penelitian selanjutnya dapat

dilakukan penelitian pengembangan dengan

topik yang sama namun dengan langkah

pengembangan Sugiyono yang lebih dari tahap

lima atau melanjutkan penelitian ini ke tahap

pengembangan selanjutnya, serta menyertakan

orang tua dan yayasan sekolah sebagai

narasumber wawancara untuk mendapatkan

data yang lebih luas.

DAFTAR PUSTAKA

Armansyah. 2009. Peranan dan Pemberdayaan

Komite Sekolah Dalam Pemberdayaan

Pendidikan SMA Negeri Kota Binjai.

Medan: Universitas Sumatera Utara.

Cox, Daniel Dean. 2012. "School

communications 2.0: A social media

strategy for K-12 principals and

superintendents". Graduate Theses and

Dissertations.Paper 12301.Iowa State

University.

Daryanto, Farid. 2013. Konsep Dasar

Manajemen Pendidikan di Sekolah.

Yogyakarta: Gava Media.

Gelgel, I Nengah. 2005. Evaluasi Kinerja

Komite Sekolah Jenjang Sekolah

Menengah Pertama (SMP) Di Kabupaten

Buleleng Tahun 2005. IKIP Negeri

Singaraja.

Greenfield, D.B. (2003).Parent Involvement

Project. http://www.psy.miami.edu/

faculty/dgreenfield/research/parent_invo

lvement.html.

Havard Family Research Project, 2002. Family

and School Together: Building

Organizational Capacity for Family

School Partnership. Havard: Havard

College.

Havard Family Research Project, 2007. Family

Involvement Makes A Difference:

Evidence That Family Involvement

Promotes School Success For Every

Child of Every Age. Havard: Havard

College.

Jamaluddin. 2015. Model Kolaborasi Guru,

Orangtua Dan Masyarakat di Satuan

Pendidikan Dasar (Studi Pengembangan

Di SD Negeri Inpres 1 Kabupaten Barru

Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.

2015. Petunjuk Juknis Penguatan

Kemitraan Keluarga, Satuan Pendidikan,

SMA/ SMK.

Larasati, S.Y. 2009. Peran Komite Sekolah

Dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan

Di SMA Ronggolawe Kota Semarang.

Semarang: Universitas Negeri Semarang.

Mazza, Joseph. 2013. The Use of Social Media

Tools By School Principals To

Communicate Between Home And

School. A Dissertation.United States:

ProQuest LLC

Mulyasa. 2012. Manajemen dan

Kepemimpinan Kepala Sekolah. Jakarta:

Bumi Aksara

Mulyono, W.D. 2014. Peran Komite Sekolah

Dalam Penyelenggaraan Pendidikan

SMK Di Kabupaten Lamongan, Jawa

Timur. Jurnal Pendidikan Vokasi, 4/3,

November 2014. Yogyakarta: UNY

Prastawa.H, dkk. 2010. Pengembangan Hutan

Pinus Masyarakat Berbasis Kemitraan

Page 160: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017

160

Sebagai Model Pemberdayaan

Masyarakat Sekitar Hutan. Jurnal Teknik

Industri, 11/2, Agustus 2010: 178–183.

Rodliyah. 2013. Partisipasi Masyarakat Dalam

Pengambilan Keputusan dan

Perencanaan di Sekolah. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar.

Rosita, Tita. 2009. Pengembangan Model Pola

Pengasuhan Berbasis Keluarga di Panti

Asuhan Dalam Meningkatkan Kreativitas

Seni Anak (Studi Deskriptif Tentang

Pengasuhan Di Kinderdorf SOS Desa

Taruna Lembang. Bandung: Universitas

Pendidikan Indonesia.

Slameto. 2015. Manajemen Berbasis Sekolah

(MBS). Salatiga: satya Wacana

University Press.

Syaifudin, M. dkk. 2006. Manajemen Berbasis

Sekolah. Jakarta: Dirjen Dikti.

Page 161: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Magister Manajemen Pendidikan FKIP Universitas Kristen Satya Wacana [email protected]

e-ISSN 2549-9661 Volume: 4, No. 2, Juli-Desember 2017

Halaman: 161-170

161

Peningkatan Aktivitas Komunikasi Interpersonal Dalam Organisasi Melalui

Perbaikan Efikasi Diri, Kepemimpinan Dan Kekohesifan Tim

Rais Hidayat

Universitas Pakuan, Bogor, Jawa Barat

[email protected]

ABSTRACT

The purpose of this research is to explain ways to improve communication,

especially interpersonal communication in an organization through self-efficacy,

leadership and team cohesiveness. This research uses quantitative research approach.

Data analysis using path analysis. Research conducted in 2015 at 3 Private Universities

in Bogor. Prior to use, the research instrument was piloted against 30 respondents to

gain validity and reliability. Prior to hypothesis testing, test requirement analysis is tested

linearity and normality test. The research findings are that interpersonal communication

in the organization is positively and significantly influenced by self-efficacy, leadership

behavior, and team cohesiveness. This means that the higher the self-efficacy, leadership

behavior and team cohesiveness, the higher the interpersonal communication activity in

the organization.

Keywords: interpersonal communication, leadership behavior, self-efficacy, team

cohesiveness

Article Info

Received date: 30 Oktober 2017 Revised date: 11 November 2017 Accepted date: 11 November 2017

Page 162: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017

162

PENDAHULUAN

Peran komunikasi menempati posisi yang

sangat strategis bagi pengelolaan sebuah

organisasi. Baik buruk organisasi tergantung

pada kualitas komunikasinya. Ada istilah yang

sudah dipahami bersama yaitu tidak ada

masalah selama komunikasi masih berjalan

dengan baik. Hal ini sejalan dengan pendapat

George dan Jones (2012: 403) bahwa

komunikasi sangat penting karena komunikasi

dapat memengaruhi segala hal dalam

organisasi.

Komunikasi banyak manfaatnya.

Komunikasi dapat mencegah salah pengertian

(misunderstanding) antara manajer dengan

anak buahnya (Gibson et al., 2006:427). Walau

sekarang komunikasi sudah menggunakan

berbagai cara, namun komunikasi interpersonal

merupakan hal yang terpenting karena

komunikasi interpersonal tidak tergantung pada

teknologinya namun pada kualitas orangnya

(Gibson et al., 2006)).

Newstrom (2007:46) menjelaskan arti

penting komunikasi antara lain untuk

menciptakan koordinasi dan kerjasama semua

elemen yang ada dalam organsasi,

terlaksananya fungsi-fungsi manajemen seperti

perencanaan, pengorganisasian,

kepemimpinan, dan pengontrolan dalam

mencapai tujuan organisasi. George dan Jones

(2012:404) menjelaskan fungsi dan peranan

komunikasi dalam organisasi antara lain untuk

mengpresikan perasaan (expressing feeling),

menyampaikan pengetahuan (providing

knowledge), memotivasi anggota organisasi,

dan mengontol dan mengelola organisasi.

Fungsi utama komunikasi dalam organisasi

yaitu untuk mengontrol, memotivasi,

mengexpresikan emosi (Kelner, 1970:21)

Terdapat beragam istilah komunikasi

dalam organisasi. Newstrom dan Davis

(2002:524) menyebutkan beberapa istilah

antara lain: komunikasi dua arah (two-way

communication), komunikasi dari bawah ke

atas (upward communication), komunikasi

antar budaya (cross-cultural communica-tion),

komunikasi tidak formal (informal

communication), komunikasi elektronik

(electronic communication), komunikasi intim

(intimate communication), komuni-kasi lateral

(lateral communication) dan komunikasi

terbuka (open communication). Schermerhorn

et al. (2010:258) memerinci jenis komunikasi

antara lain komunikasi dari atas ke bawah

(downward communication), komunikasi non-

verbal (non-verbal communication), dan

komunikasi interpersonal (interpersonal

communication).

Sehubungan dengan arti penting

komunikasi dalam organisasi, khususnya

organisasi pendidikan seperti universitas

swasta, maka penelitian ini akan membuktikan

beberapa faktor yang dapat memperbaiki

komunikasi, khususnya komunikasi

interpersonal dalam organisasi. Penelitian ini

mendeskripsikan pengaruh langsung variabel

efikasi diri, perilaku kepemimpinan dan

kekohesifan tim terhadap aktivitas komunikasi

interpersonal dalam organisasi.

Komunikasi Interpersonal. Istilah

interpersonal merujuk pada adanya interaksi

antara dua orang atau lebih dalam organisasi

(Newstrom dan Davis, 2002:4). Ketika terjadi

perilaku interpersonal, maka terdapat 4

orientasi yaitu : (1) saya tidak oke, kamu oke,

(2) saya tidak oke, kamu tidak oke, (3) saya oke,

kamu tidak oke, dan (4) saya oke, kamu oke.

Dari 4 orientasi tersebut, tentu saja yang paling

positif yaitu ketika perilaku interpersonal sama-

sama oke atau sama-sama untung.

Komunikasi interpersonal tidak bisa

dilepaskan dari komunikasi antar dua orang

atau lebih yang didasari oleh saling kenal,

hormat, senang dan nyaman (Nelson dan

Quick, 2006:250), melibatkan sejumlah orang

yang terbatas, yang sudah saling mengenal satu

dengan lainya, terjadi timbal balik dengan

segera dan saling percaya (Slocum dan Don

Hellriegel, 2007:278). Komunikasi

interpersonal yang efektif menurut Nelson dan

Quicks (2006) tergantung pada 5 kunci

komunikasi, yaitu: expresive speaker

(pembicara yang expesif), empathic listeners

(pendengar yang empatik), persuasive leader

(pemimpin yang persuasif), sensitive people

(sensitif pada perasaan lawan bicara), dan

informative managers (manajer yang

informatif).

Griffin dan Moorhead (2007:231)

menyatakan bahwa perilaku komunikasi

interpersonal yang saling menguntungkan

harus didasari oleh saling kenal atau saling

mengetahui (know each other), memiliki rasa

saling hormat (have mutual respect), memiliki

Page 163: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Peningkatan Aktivitas Komunikasi Interpersonal Dalam Organisasi Melalui … | Rais Hidayat

163

rasa memiliki atau afeksi (affection), dan rasa

senang dan nyaman (enjoy interacting with one

another).

Berdasarkan konsep-konsep di atas dapat

disintesiskan bahwa komunikasi interpersonal

adalah aktivitas dalam bertukar informasi dan

makna yang dilakukan dua orang atau lebih atas

dasar sudah saling mengenal, percaya,

menghormati, rasa memiliki dan rasa senang

Efikasi Diri. Efikasi diri merupakan

persepsi pada diri seseorang bahwa dirinya

memiliki kemampuan untuk mencapai tingkat

yang ia inginkan. Efikasi diri dapat

memengaruhi pikiran, motivasi dan perasaan

seseorang. Lussier (2008:83) menyatakan

bahwa efikasi diri merupakan keyakinan pada

diri seseorang akan kemampuan untuk berhasil

melakukan pekerjaan. George dan Jones

(2012:141) menyatakan bahwa efikasi diri

merupakan keyakinan seseorang tentang

kemampuan-nya untuk melakukan suatu

pekerjaan dengan sukses. Menurut Gibson et

al., (2006:161) efikasi diri sebagai kepercayaan

bahwa seseorang dapat berkinerja secara

memadai dalam situasi khusus.

Woolfolk (2007:332) mendefinisikan

efikasi diri sebagai keyakinan untuk mampu

dalam mengerjakan suatu pekerjaan secara

efektif. Newstrom (2007:113) menyatakan

bahwa efikasi diri adalah sebuah kepercayaan

dari dalam individu yang terkait dengan

kemampuan dan kompetensinya dalam

melakukan tugas atau pekerjaan. Mc Shane dan

Von Glinow (2010:45) menyatakan efikasi diri

mengacu pada keyakinan seseorang bahwa dia

dapat melaksanakan tugas dengan sebaik-

baiknya. Efikasi diri memiliki dampak positif

dalam pelaksanaan tugas-tugas. Dampak sese-

orang memiliki efikasi diri antara lain ia akan

sungguh-sungguh dalam mencapai suatu yang

diinginkan (Lussier, 2008:83), rasa percaya diri

dalam melaksanakan tugas-tugas (Roobins dan

Judge, 2013:249)

George dan Jones (2012:142)

menjelaskan beberapa sumber efikasi diri

antara lain: (1) kinerja masa lalu (past

performance), yaitu karyawan yang sukses

pada pekerjaan masa lalunya, akan memiliki

efikasi diri lebih tinggi dari karyawan yang

masa lalunya dipenuhi kegagalan, (2) observasi

dari yang lain (observation of others),

karyawan yang melihat temannya berhasil akan

memiliki efikasi diri lebih tinggi daripada

melihat temannya yang gagal, (3) persuasi

verbal (verbal persuasion), karyawan yang

mendapat bujukan atau nasihat dari karyawan

yang sukses akan lebih memiliki efikasi yang

tinggi dan sebaliknya, dan (4) aktivitas

membaca dan belajar (reading and learning)

karyawan akan menambah efikasi diri

karyawan.

Berdasarkan konsep di atas dapat

disintesiskan bahwa efikasi diri adalah

keyakinan dari dalam diri seseorang mengenai

kemampuan dan kompetensi untuk

melaksanakan tugas-tugas secara berhasil.

Perilaku Kepemimpinan. Teori perilaku

kepemimpinan berfokus pada apa yang

dikatakan dan dilakukan pemimpin (Achua dan

Lussier, 2010: 64). Sementara itu Slocum dan

Hellriegel (2007:170) menyatakan perilaku

kepemimpinan fokus membahas terhadap apa

yang dilakukan pemimpin dan bagaimana

pemimpin melakukannya. Hughes, Ginnett,

dan Curphy (2009:262) menyatakan bahwa

pertanyaan untuk menguji perilaku

kepemimpinan sebagai berikut: perilaku

pimpinan apakah yang dapat membangun tim

atau mencapai tujuan dengan sukses? Dengan

kata lain perilaku kepemimpinan adalah

apakah yang dilakukan pemimpin terhadap

pengikutnya sehingga ia berhasil membentuk

sebuah tim atau mencapai tujuan.

Perilaku kepemimpinan yang paling

memengaruhi bawahan dalam mencapai tujuan

organisasi menurut Hugehes, Ginnet, dan

Curphy (2009:48) antara lain: perilaku yang

berorientasi pada karyawan (employee-

centered), perilaku yang fokus pada tugas (job-

centered), dan konsen pada keduanya.

Yukl (2008:119) menyata-kan bahwa

perilaku yang paling memengaruhi bawahan

sebagai berikut: perilaku berorientasi pada

tugas (task-oriented behavior), perilaku

berorientasi pada hubungan (relation-oriented

behavior), dan perilaku berorientasi pada

perubahan (change-orented behavior).

Perilaku kepemimpinan yang efektif

memengaruhi bawahan menurut Slocum dan

Hellriegel (2007:170) yaitu: (1) pemimpin

membangun hubungan yang berpusat pada

tugas yaitu memengaruhi karyawan agar fokus

pada kuantitas dan kualitas kerja mereka, dan

(2) mempertimbangkan dan mendukung

Page 164: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017

164

karyawan yaitu pemimpin mendukung

karyawan agar setiap karyawan mencapai

tujuan personalnya, seperti kepuasan, promosi,

dan pengakuan dengan cara penyelesaian

konflik dengan cepat, menjaga agar karyawan

tetap gembira, memberikan dukungan dan

penguatan yang positip.

Berdasarkan pemaparan konsep di atas

maka dapat disintesiskan bahwa perilaku

kepemimpinan adalah tindakan yang dilakukan

seorang pemimpin untuk memengaruhi anggota

organisasi agar mereka mengerjakan tugas

secara berhasil, berdaya, puas dan organisasi

mencapai kualitas yang tinggi.

Kekohesifan Tim. Kekohesifan tim

terkait dengan sejauh mana keeratan anggota

tim untuk tetap mengikat diri menjadi anggota

tim dan komitmen mencapai tujuan tim (Achua

dan Lussier, 2010:250), atau tingkat dimana

seorang anggota tertarik ke dalam grup dan

ingin tetap berada dalam grup (Vecchio,

2006:225). Menurut Kreitner dan Kinicki

(2010:319), kekohesifan tim mengacu kepada

proses menjadi bersama-sama karena sudah

mampu mengatasi perbedaan dan motivasi

individual, sedang (Gibson et al., 2006: 242)

menyatakan bahwa kekohesifan tim terkait

dengan kehendak dari anggota tim untuk tetap

berada dalam tim.

Faktor yang menentukan terjadinya

kekohesifan sangat beragam. Vecchio (2006)

mengidentifikasi beberapa faktor terjadinya

kekohesifan dalam tim sebagai berikut: (1)

kesamaan sikap dan tujuan dari anggota tim, (2)

adanya ancaman pada tim, (3) ukuran tim,

semakin kecil semakin kohesif, (4) sistem

penghargaan dalam grup, (5) kesamaan dalam

pekerjaan, dan (5) isolasi, yaitu semakin jauh

dari grup lain maka semakin kohesif grup

tersebut.

Ivancevich, Konopaske, dan Matteson

(2008:278) menyatakan bahwa terdapat

sejumlah persyaratan untuk dapat membuat tim

yang efektif, antara lain: (1) open-mindedness,

seorang yang memiliki cara berpikir terbuka

cenderung mampu hidup dalam suasana yang

terus berubah, (2) emotional stability, seorang

yang memiliki emosi yang stabil akan lebih

mampu menyesuaikan diri dengan situasi yang

berbeda-beda, (3) accountability, dapat

bertanggung jawab, (4) problem-solving

abilities, dapat menganalisis problem dan

menemukan solusinya, (5) communication

skill, memiliki keterampilan berkomunikasi, (6)

conflict resolution skill, mampu memimpin dan

menyelesaikan konflik, dan (7) trust, dapat

dipercaya.

Berdasarkan pemaparan konsep-konsep

di atas dapat disintesiskan bahwa kekohesifan

tim adalah tingkat ketertarikan dan kedekatan

seorang anggota tim dengan tim dan para

anggotanya sehingga ia tidak ingin keluar dari

tim dan berkomitmen untuk mencapai tujuan

tim.

Adapun rumusan masalah dalam

penelitian yang kemudian diuji dengan

pengujian hipotesis sebagai berikut: (1) Apakah

efikasi diri berpengaruh langsung positif

terhadap komunikasi interpersonal; (2) Apakah

perilaku kepemimpinan berpengaruh langsung

positif terhadap komunikasi interpersonal; dan

(3) Apakah kekohesifan tim berpengaruh

langsung positif terhadap komunikasi

interpersonal.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk

mendeskripsikan pengaruh dari variabel efikasi

diri, perilaku kepemimpinan dan kekohesifan

tim terhadap perilaku komunikasi interpersonal

dalam organisasi. Penelitian dilaksanakan

tahun 2015 di 3 universitas swasta di Bogor dan

sekitarnya yang merupakan bagian dari

Koordinator Perguruan Tinggi Swasta Wilayah

IV yang meliputi Jawa Barat dan Banten,

Indonesia.

Metode penelitian yang digunakan adalah

metode kuantitatif kausal dengan pengujian

hipotesis penelitian menggunakan teknik path

analysis. Populasi dalam penelitian ini 707

dosen tetap yang memiliki Nomor Induk Dosen

Nasional (NIDN). Unit dan sampel penelitian

adalah dosen sebanyak 130.

Pengukuran komunikasi interpersonal

dilakukan terhadap dosen melalui instrumen

angket yang berisi pernyataan-pernyataan

mengenai komunikasi interpersonal dosen

dengan indikator sebagai berikut: (1) nyaman

saat berkomunikasi; (2) memastikan pesan

diterima; (3) menjadi pendengar yang aktif; (4)

berkomunikasi langsung; (5) memberi

feedback; dan (6) berkomitmen tindak lanjut.

Pengukuran efikasi diri dilakukan

terhadap dosen melalui instrument angket yang

Page 165: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Peningkatan Aktivitas Komunikasi Interpersonal Dalam Organisasi Melalui … | Rais Hidayat

165

berisi pernyataan-pernyataan mengenai efikasi

diri dosen dengan indikator sebagai berikut: (1)

memiliki keyakinan untuk sukses, (2)

pembelajar, (3) menerima persuasi, (4)

mengubah diri, (5) mengevaluasi diri, (6)

mengevaluasi tugas, dan (7) mengevaluasi

situasi.

Pengukuran perilaku kepemimpinan

dilakukan oleh dosen terhadap perilaku

kepemimpinan Ketua Program Studi melalui

instrumen angket yang berisi pernyataan-

pernyataan mengenai perilaku kepemimpinan

dengan indikator: (1) berorientasi

keberhasilan, (2) berorientasi peningkatan

hubungan, (3) berorientasi perubahan, (4)

berorientasi pemberdayaan, dan (5) berorientasi

kualitas.

Pengukuran kekohesifan tim dilakukan

terhadap dosen melalui instrument angket yang

berisi pernyataan-pernyataan mengenai

kekohesifan tim dengan indikator: 1) bertahan

bekerja, (2) percaya (3) bekerja sama (4)

berkomitmen, (5) menyelesaikan konflik, dan

(6) menjaga kesetabilan emosi.

Ujicoba instrumen dilakukan kepada 30

responden diluar sampel. Validitas instrumen

penelitian diuji melalui teknik korelasi Product

Moment Pearson. Uji reliabilitas instrumen

penelitian meng-gunakan perhitungan Alpha

Cronbach. Sedangkan analisis data

menggunakan statitik inferensial dengan

menggunakan uji analisis varian dan regresi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Penelitian

Berdasarkan hasil pengujian hipotesis

menunjukkan bahwa efikasi diri berpengaruh

langsung positif terhadap komunikasi

interpersonal. Hal ini terlihat dari nilai

koefisien jalur yang diperoleh ρ41 = 0,279

dengan nilai thitung = 3,167 sedangkan nilai ttabel

(α= 0,05) = 1,960. Fakta ini mengungkapkan

bahwa thitung > ttabel yang berarti H0 ditolak dan

H1 diterima bahwa koefisien jalur ρ41 = 0,279

adalah signifikan pada taraf signifikansi α=

0,05. Dengan demikian telah teruji melalui

penelitian ini bahwa efikasi diri berpengaruh

langsung positif terhadap komunikasi

interpersonal. Ini berarti makin tinggi efikasi

diri maka akan semakin tinggi aktivitas

komunikasi interpersonal seseorang.

Berdasarkan hasil pengujian hipotesis

menunjukkan bahwa perilaku kepemimpin-an

ketua program studi (Kaprodi) berpengaruh

langsung positif terhadap komunikasi

interpersonal. Hal ini terlihat dari nilai

koefisien jalur yang diperoleh ρ42 = 0,233

dengan nilai thitung = 2,610 sedangkan nilai ttabel

(α= 0,05) = 1,960. Fakta ini mengungkapkan

bahwa thitung > ttabel yang berarti H0 ditolak dan

H1 diterima bahwa koefisien jalur ρ42 = 0,233

adalah signifikan pada taraf signifikansi α=

0,05. Dengan demikian telah teruji melalui

penelitian ini bahwa perilaku kepemimpinan

Kaprodi berpengaruh langsung positif terhadap

komunikasi interpersonal. Ini berarti makin

tinggi pengaruh perilaku kepemimpinan dalam

organisasi maka akan semakin tinggi aktivitas

komunikasi interpersonal.

Berdasarkan hasil pengujian hipotesis

menunjukkan bahwa kekohesifan tim

berpengaruh langsung positif terhadap

komunikasi interpersonal. Hal ini terlihat dari

nilai koefisien jalur yang diperoleh ρ43 = 0,200

dengan nilai thitung = 2,430 sedangkan nilai ttabel

(α= 0,05) = 1,960. Fakta ini mengungkapkan

bahwa thitung > ttabel yang berarti H0 ditolak dan

H1 diterima bahwa koefisien jalur ρ43 = 0,200

adalah signifikan pada taraf signifikansi α=

0,05. Dengan demikian telah teruji melalui

penelitian ini bahwa kekohesifan tim

berpengaruh langsung positif terhadap

komunikasi interpersonal. Ini berarti makin

tinggi kekohesifan tim dalam organisasi maka

akan semakin tinggi aktivitas komunikasi

interpersonal. Gambar berikut menunjukkan

hasil uji hipotesis dalam penelitian ini.

Page 166: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017

166

Gambar 1 Hasil Perhitungan Koefisien Jalur

Pembahasan

Pengaruh efikasi diri terhadap komunikasi

interpersonal

Efikasi diri yang tinggi berdasarkan

penelitian ini berpengaruh pada cara seseorang

berkomunikasi interpersonal. Semakin tinggi

efikasi diri seseorang maka semakin tingggi

pula kemampuan berkomunikasi

interpersonalnya. Adanya pengaruh efikasi diri

terhadap komunikasi interpersonal sejalan

dengan penelitian Cowan et al. (2012:28)

bahwa ‘.....a significant correlation between

self-efficacy and informational social support

was found”. Sejalan juga dengan penelitian

Romadona (2017: 55-64) yang menyatakan

efikasi diri yang tinggi sangat penting dalam

mewujudkan produktivitas kerja yang tinggi,

termasuk dalam perilaku berkomunikasi.

Efikasi diri seseorang memengaruhi

banyak hal. Menurut Lussier (2008:115) efikasi

diri memengaruhi perilaku (behavior)

termasuk perilaku dalam berkomunikasi karena

menurutnya komunikasi adalah perilaku“...

behavior is what we do and say; thus

communication is behavior”. Penelitian

Nwankwo dan Onyishi (2012) menemukan

bahwa efikasi diri berperan siginifikan dalam

mengatasi stress para atlit. Berdasarkan temuan

ini dapat dijelaskan bahwa seorang yang

memiliki efikasi diri yang baik akan cenderung

terlepas dari stress karena mereka mampu

menjalin komunikasi dengan baik dengan orang

sekitarnya. Penelitian Hidayat (2017)

menemukan bahwa efikasi berpengaruh pada

perilaku etis dan penelitian Wahyuni (2015)

yang menyatakan efikasi diri yang tinggi

berpengaruh pada kemampuan berkomunikasi

di depan umum.

Temuan penelitian ini sejalan dengan

konsep efikasi diri yang menyatakan bahwa

efikasi merupakan keyakinan dari dalam diri

sendiri mengenai kemampuan dan kompetensi

untuk melaksanakan tugas dengan berhasil.

Menurut Bandura (1998) bahwa sesorang yang

memiliki efikasi diri yang tinggi maka orang

tersebut akan lebih sukses diabdingkan yang

lainnya. Berdasarkan konsep tersebut, maka

efikasi diri pada seseorang berpengaruh pada

rasa percaya akan sukses. Semakin yakin

efikasi diri seseorang, maka semakin tinggi

kepercayaan diri seseorang akan meraih

kesuksesan. Robbins dan Judge (2013:249)

menyatakan bahwa ‘the higher your self-

efficacy, the more confidence you have in your

ability to success’ Kepercayaan akan

kesuksesan pada akhirnya membentuk

keberanian seseorang untuk berkomunikasi,

termasuk berkomunikasi interpersonal.

Titik temu antara efikasi diri dengan

berkomunikasi interpersonal yaitu untuk

melakukan sebuah komunikasi interpersonal

dibutuhkan rasa percaya akan kemampuan dan

kompetensi yang dimiliki sehingga

menimbulkan keyakinan untuk berhasil.

Melalui keyakinan untuk berhasil tersebut,

maka seseorang akan leluasa dan bebas

mengekpresikan pesan dan informasi kepada

rekan kerja. Akhirnya dia akan melakukan

Page 167: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Peningkatan Aktivitas Komunikasi Interpersonal Dalam Organisasi Melalui … | Rais Hidayat

167

tukar informasi dengan rasa percaya,

menghormati, rasa memiliki dan rasa senang.

Hal ini sejalan pendapat Nelson dan Quicks

(2006:256) bahwa keberhasilan komunikasi

ditentukan oleh antara lain oleh expresive

speaker (pembicara yang expesif), empathic

listeners (pendengar yang empatik) dan

sensitive people (sensitif pada perasaan lawan

bicara). Semua persyaratan keberhasilan

komunikasi tersebut membutuhkan efikasi diri.

Para dosen yeng memiliki efikasi diri

yang baik akan terlihat dari bagaimana mereka

mengejar kesuksesan dalam pengajaran,

penelitian maupun pengabdian masyarakat,

terlihat pula dalam bagaimana mereka

membekali diri dengan belajar terus menerus

dan tidak puas dengan keadaan diri mereka

sekarang, dan terlihat dalam bagaimana mereka

melakukan evaluasi diri, lingkungan dan

pekerjaan mereka sehingga mereka terus

melakukan upaya-upaya komunikasi

interpersonal dengan sesama dosen di dalam

maupun di luar kampus.

Adapun cara untuk meningkatkan efikasi

diri untuk memengaruhi aktivitas komunikasi

dalam organisasi menurut penelitian ini antara

lain: (1) dosen harus didorong untuk memiliki

keyakinan sukses dalam mengerjakan fungsi

dan tugasnya; (2) dosen didorong untuk

menjadi pembelajar secara terus menerus,

jangan berhenti belajar; (3) dosen harus

dibiasakan untuk menerima persuasi dari pihak

lain, jangan membiasakan egois dan menang

sendiri; (4) dosen harus dibiasakan untuk

mampu mengubah diri, jangan stagnan; dan (5)

dosen harus dibiasakan untuk melakukan

evaluasi diri sendiri; evaluasi tugas yang

dilaksanakan , dan mengevaluasi situasi yang

terus berubah dan berkembang.

Pengaruh perilaku pemimpin terhadap

komunikasi interpersonal Perilaku kepemimpinan yang tinggi

berdasar penelitian ini berpengaruh pada

komunikasi dalam organisasi. Penelitian

Hidayat (2013) menunjukan bahwa

kepemimpinan berpengaruh pada komunikasi

dalam organisasi. Penelitian Linjuan Men

(2012) menemukan bahwa kepemimpinan

transformasional dan kepemimpinan authentic

keduanya berpengaruh dalam pengembangan

sistem komunikasi simetris dalam internal

organisasi. Ini berarti kepemimpinan

berpengaruh pada proses komunikasi dalam

sebuah organisasi.

Temuan ini sejalan dengan teori bahwa

kepemimpinan dapat memengaruhi semua

domain dalam organisasi, termasuk aspek

berkomunikasi. Pengaruh kepemimpinan pada

semua aspek organisasi. Newstrom (2007:159)

menyatakan kepemimpinan adalah proses

mempengaruhi dan mendukung yang lain untuk

bekerja secara antusias untuk mencapai tujuan

organisasi. Kepemimpinan berkaitan dengan

proses pengembangan ide-ide dan visi,

memberikan contoh untuk mengembangkan ide

dan visi tersebut, mempengaruhi yang lain agar

mereka melaksanakan ide dan visi tersebut,

membuat keputusan yang berat yang

menyangkut sumber daya manusia dan sumber

daya lainya (Slocum dan Hellriegel, 2007:162).

Ketua program studi (Kaprodi) dalam

konteks kepemimpinannya dapat

memengaruhi semua domain organisasi dengan

upaya-upaya atau proses-proses menginspirasi,

memengaruhi, memotivasi, mendukung,

membimbing, mengarahkan, mengembangkan

ide dan visi agar anggota prodi dapat bersama-

sama mencapai tujuan prodi. Dalam mencapai

tujuan tersebut, Kaprodi tidak akan lepas dari

upaya berkomunikasi dengan dosen di

lingkungan Prodi. Dalam konteks inilah

Kaprodi dapat memberi contoh dan

mengispirasi para dosen dalam menunaikan

tugas, membangun relasi dan membangun

perubahan ke arah yang lebih baik dengan

melakukan komunikasi interpersonal, yaitu

komunikasi yang dilakukan dengan didasari

rasa saling percaya, menghormati, memiliki

dan rasa senang dalam Prodi.

Adapun perbaikan kepemimpinan agar

dapat meningkatkan aktivitas komunikasi

interpersonal menurut penelitian ini dapat

dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut: (1)

kepemimpinan harus berorientasi pada

keberhasilan atau pencapaian tujuan

organisasi; (2) kepemipinan harus berorientasi

pada peningkatan hubungan secara vertikal

yaitu antara bawahan dengan atasan dan

horizontal yaitu antar karyawan; (3) pemimpin

harus beroreintasi pada perubahan, (4)

pemimpin harus berorientasi pemberdayaan

organisasi dan karyawan; dan (5) pemimpin

harus berorientasi pada kualitas organisasi.

Page 168: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017

168

Pengaruh kekohesifan tim terhadap

komunikasi interpersonal Kekohesifan tim berperan dalam

komuniasi interpersonal. Makin kohesif maka

makin tinggi komuniasi dalam tim tersebut.

Pengaruh kekohesifan tim dalam organisasi

terhadap aktivitas komunikasi dalam organisasi

sejalan dengan pendapat Gibson (2006:257)

bahwa kekohesifan tim berpengaruh pada

komunikasi dalam organisasi. Vecchio

(2006:226) memper-kuat penjelasan di atas

dengan menjelaskan bahwa pengaruh

kekohesifan tim terjadi pada: kepuasan kerja,

komunikasi, dan produktivitas. Penelitian

Nachrowi (2012) menunjukan bahwa

kekohesifan berperan dalam kinerja karyawan.

Mc Shane dan Von Glinow (2010:251)

menjelaskan bahwa karyawan yang memiliki

rasa kekohesifan tim yang tinggi sangat

termotivasi untuk memelihara keanggotaan tim

dan berupaya menolong tim berkinerja efektif.

Dibandingkan dengan orang yang memiliki

rasa kohesi tim yang rendah, anggota yang

memiliki rasa kekohesifan tim yang tinggi akan

menghabiskan waktu lebih banyak untuk

bersama anggota tim lainnya, melakukan tukar

informasi secara berkala, dan saling

memuaskan satu dengan lainnya. Mereka

melakukan upaya saling membantu dalam

situasi yang dipenuhi stress. Mereka lebih

sensitif atas kebutuhan anggota lainya,

memiliki hubungan interpersonal yang baik dan

mengurangi segala yang menyebabkan tidak

berfungsinya tim. Ketika terjadi konflik,

mereka akan menyelesaikannya dengan efektif.

Mereka juga mampu bekerjasama dengan lebih

baik dan mentaati norma dan nilai-nilai lebih

baik daripada mereka yang tidak memiliki rasa

kohesifitas yang tinggi pada tim.

Lussier (2008) mengutip hasil penelitian

yang dilakukan G. Brown, T.B Lawrence, dan

S.L. Robinson bahwa organisasi-organisasi

sekarang ini terus melakukan pencapian hasil

kinerja tertinggi melalui kerja tim karena kerja

tim berbiaya lebih rendah dan waktu yang

digunakan lebih sedikit. Atas dasar penelitian

tersebut maka kekohesifan tim sangat

dibutuhkan dalam organisasi, termasuk untuk

menciptakan komunikasi interpersonal pada

anggota organisasi.

Titik temu kekohesifan tim dengan

komunikasi interpersonal terletak pada

karakteristik kekohesifan tim yaitu senantiasi

berinteraksi antara satu anggota dengan

anggota lainya, saling ketergantung-an pada

antar anggotanya dan adanya upaya mencapai

tujuan yang sama. Schermerhorn et al.

(2010:157) menjelaskan bahwa tim adalah

sejumlah orang yang secara kolektif

bertanggung-jawab untuk menggunakan

kemampuan mereka dalam mencapai tujuan

bersama. Untuk menjadi anggota tim, maka

anggota tim harus mengkontribusikan hal-hal

berikut: mempersembahkan kemampuan

(talent), mendorong dan memotivasi anggota

tim, menerima usulan, mendengarkan pendapat

yang berbeda, mengkomunikasikan informasi

dan ide-ide, membujuk yang lain untuk mau

bekerja, menyelesaikan dan menegosiasikan

konflik, membangun konsensus, memenuhi

segala komitmen, dan menghindari perilaku

dan kata-kata yang dapat merusak tim

(Schermerhorn et al.,2010).

Kekohesifan tim dalam konteks prodi

ditunjukkan dengan perilaku menjaga

hubungan baik atau berinterinteraksi dengan

baik dengan sesama anggota prodi,

mendengarkan pendapat yang berbeda,

mengkomunikasikan informasi dan ide-ide,

membujuk yang lain untuk mau bekerja,

menyelesaikan dan menegosiasikan konflik, ia

akan merasakan bahwa tujuan prodi tidak akan

tercapai tanpa saling bekerjasama, dan ia juga

akan mennyukseskan tujuan prodi secara

maksimal. Berdasar karakteristik tersebut,

maka kekohesifan tim akan melahirkan

komunikasi interpersonal, yaitu saling

berinteraksi atas dasar saling menghormati dan

saling percaya untuk mencapai tujuan prodi.

Adapun cara-cara untuk memperbaiki

kekohesifan tim dalam organisasi menurut

penelitian ini antara lain: (1) memperkuat

karyawan agar terus bertahan atau tidak

mengundurkan dari organisasi; (2) memperkuat

rasa percaya karyawan pada organisasi; (3)

meningkatkan kerja sama antar karyawan; (4)

meningkatkan komitmen karyawan pada

organisasi; (5) lembaga harus segara

menyelesaikan jika terjadi konflik dalam

organisasi; dan (6) lembaga harus menjaga

kesetabilan emosi para karyawannya.

Page 169: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Peningkatan Aktivitas Komunikasi Interpersonal Dalam Organisasi Melalui … | Rais Hidayat

169

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Komunikasi interpersonal dalam

organisasi dipengaruhi secara positif dan

signifikan oleh efikasi diri, perilaku

kepemimpinan dan kekohesifan tim dalam

organisasi. Ini berarti semakin tinggi efikasi

diri, perilaku kepemimpinan dan kekohesifan

tim maka semakin tinggi pula aktivitas

komunikasi interpersonal dalam organisasi.

Saran

Adapun perbaikan efikasi diri dapat

dilakukan dengan cara-cara berikut:

memperbaiki keyakinan sukses dalam

mengerjakan fungsi dan tugas, menjadi

pembelajar secara terus menerus, jangan

berhenti belajar; membiasakan diri untuk

menerima persuasi dari pihak lain, jangan

membiasakan egois dan menang sendiri;

membiasakan untuk mampu mengubah diri,

jangan stagnan; membiasakan untuk

melakukan evaluasi diri sendiri; evaluasi tugas,

dan evaluasi situasi yang terus berubah dan

berkembang. Perbaikan kepemimpinan dapat

dilakukan dengan cara-cara berikut: pemimpin

harus berorientasi pada keberhasilan atau

pencapaian tujuan organisasi; berorientasi pada

peningkatan hubungan secara vertikal dan

horizontal; beroreintasi pada perubahan,

berorientasi pemberdayaan organisasi dan

karyawan; dan berorientasi pada kualitas

organisasi. Sedangkan perbaikan kekohesifan

tim dapat dilakukan dengan cara berikut:

memperkuat karyawan agar terus bertahan atau

tidak mengundurkan dari organisasi;

memperkuat rasa percaya karyawan pada

organisasi; meningkatkan kerja sama antar

karyawan; meningkatkan komitmen karyawan

pada organisasi; menyelesaikan konflik dalam

organisasi; dan menjaga kesetabilan emosi para

karyawannya.

DAFTAR PUSTAKA

Achua, Christopher F., Robert N. Lusier. 2010.

Efective Leadership. Singapore: South-

Western.

Bandura, Albert. Self-efficacy. In V. S.

Ramachaudran (Ed.), Encyclopedia of

humanbehavior (4: 71-81). New York:

Academic Press. (Reprinted in H.

Friedman [Ed.], 1998. Encyclopedia of

mental health. San Diego: Academic

Press.

Cowan Jenna C., Lynn Slogrove & Christopher

N. Hoelson. 2012. Self-Efficacy And

Social Support of Academy Cricketers.”

South African Journal for Research in

Sport, Physical Education and

Recreation, 34(2): 27-39, ISBN: 0379-

9069.

George, Jennifer M., Gareth R. Jones. 2012.

Understanding and Managing

Organizatioanl Behavior. Boston:

Printice Hall.

Gibson, James L., John M.Ivancevich, James H.

Donnelly,Jr, Robert Konopaske. 2006.

Organizations, Behavior, Sructure and

Proceses. Boston: McGraw-Hill.

Griffin, Rcky W., Gregory Moorhead. 2007.

Organizational Behavior, Managing

People and Organizatios. Boston:

Houghton Mifflin Company

Hidayat, Rais. 2017. Perilaku Etis Dosen

Dalam Perspektif Efikasi Diri,

Kepemimpinan, Dan Komunikasi

Interpersonal. Pedagonal, Jurnal Ilmiah

Pendidikan, 1(1) E-ISSN 2550-0406.

Hidayat, Rachmad. 2013. Pengaruh

Kepemimpinan terhadap Komuni-kasi,

Kepuasan Kerja, dan Komitmen

Organisasi pada Industri Perbankan.

Makara Seri Sosial Humaniora, 17(1):

19-32 DOI: 10.7454/mssh.v17i1.1799.

Hughes, Richard L., Robert C. Ginnett, Gordon

J. Curphy.2009. Lead ership,

Enhancing the Lesson of Experience.

Boston: McGraw-Hill.

Ivancevich, John M., Robert Konopaske,

Michael E. Matteson. 2008.

Organizational Behavior and

Management. New York: McGraw-

Hill.

Kelner, John W. 1970. Interpersonal Speech-

Communication, Element and

Structure. California: Wads-worth

Publishing Company, Inc.

Kreitner, Robert and Anggelo Kinicki. 2010.

Organizational Behavior, Ninth

Edition. New York: McGraw-Hill.

Lussier, Robert N. 2008. Human Relations in

Organization. Boston: McGraw-Hill.

Page 170: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017

170

McShane, Steven L., Mary Ann Von

Glinow.2010. Organizational Behavior.

Boston: McGraw-Hill.

Men, Linjuan. 2012. “The Effects of

Organizational Leadership on Strategic

Internal Communication and Employee

Outcomes.” Open Access

Dissertations, University of Miami,

Scholarly Repository,

http://scholarlyrepository.miami.edu/oa

_dissertations (diakses 12 Oktober

2014).

Nachrowi, Ditha Ria Karinda. 2012. Pengaruh

Kekohesifan Kelompok terhadap

Kinerja Karyawan PT Jaya Lestari.

Skripsi. Fakultas Ilmu Sosial dan Politik

Prodi Adminis-trasi, Peminatan

Admisitrasi Niaga,

(lib.ui.ac.id/file?file=digital/20320248-S-

PDF, diakses Nopember 2017)

Nelson, Debra L., James Campbell Quick.

2006. Organizational Behavior.

Foundations, Realities & Challenges.

Ohio: Thomson South-Western.

Newstrom, John W. and Keit Davis. 2002.

Organizational Behavior, Human

Behavior at Work. Boston: McGraw-

Hill.

Newstrom, John. 2007. Organizational

Behavior, Human Behavior at Work.

Boston: McGraw-Hill.

Newstrom, John. 2007. Organizational

Behavior, Human Behavior at Work.

Boston: McGraw-Hill.

Nwankwo, Benedict C. and Ike E. Onyishi.

2012. Role of Self-Efficacy, Gender and

Category of Athletes in Coping with

Sports Stress, Ife PsychologIA, 20 (2).

Robbins, Stephen P. dan Timothy A Judge.

2013. Organizational Behavior

Fifteenth Edition. New Jersey: Prentice

Hall.

Robbins, Stephen P. 2013. Organizational

Behavior Fifteenth Edition. New Jersey:

Prentice Hall.

Romadona, Mia Rahma. 2017. Peran Efikasi

Diri dan Kemampuan Komunikasi

Peneliti Terhadap Iklim Organisasi di

Pusat Pene-litian X. Jurnal

Pekommas, 2 (1).

Schermerhorn, John R., James G. Hunt, Ricard

N. Osborn, Mary Uhl-Bien. 2010.

Organizational Behavior. Danvers

USA: John Wiley & Sons, Inc.

Slocum, John W. and Don Hellriegel. 2007.

Fundamental of Organizational

Behavior. Ohio: Thomson- South-

Western.

Veccio, Robert P. 2006. Organizational

Behavior, Core Concept. Ohio:

Thomson.

Woolfolk, Anita. 2007. Educational

Psychology. Boston: Pearson.

Wahyuni, Endang. 2015. Hubungan Self-

Effecacy dan Keterampilan

Komunikasi dengan Kecemasan

Berbicara di Depan Umum. Jurnal

Komunikasi Islam , ISBN 2088-6314 ,

05 (01).

Yukl, Gary. 2008. Leadership in Organization.

New York: Pearson Educational Int.

Page 171: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Magister Manajemen Pendidikan FKIP Universitas Kristen Satya Wacana [email protected]

e-ISSN 2549-9661 Volume: 4, No. 2, Juli-Desember 2017

Halaman: 171-183

171

Evaluasi Program Pelatihan In House Training (IHT)

di Sekolah Dasar Swasta

Aih Ervanti Ayuningtyas

Magister Manajemen Pendidikan

Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga

[email protected]

Slameto

Magister Manajemen Pendidikan

Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga

[email protected]

Yari Dwikurnaningsih

Magister Manajemen Pendidikan

Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga

[email protected]

ABSTRACT

The purpose of this study is to evaluate the instructional, institutional, and

behavioral dimensions of the In-House Training (IHT) program at the SD

Muhammadiyah (Plus) Salatiga Academic Year 2013/2014. This is an evaluative study

with Three Dimensional Cube Model. Data collection techniques used interviews,

questionnaires, and document studies. Collected data then analyzed descriptively, ordinal

data were analyzed using Three Box Method. Validation of data using technique and/or

source triangulation. The results showed: (1) In the instructional dimension including

organization, content/material, methodology, facilities, and cost included in good

category, although there is little improvement in adjusting method with program

objectives; (2) In the institutional dimension that includes speakers, trainees,

administrator/committees, education specialists, families, and communities are included

in either category, although there is still need for improvement in terms of needs analysis

in terms of the needs of teachers; (3) In the behavioral dimension that is the goal of the

IHT program and is divided into the cognitive, affective, and psychomotor domains

almost all have been achieved well, although there is one goal in the psychomotor realm

that has not been achieved well because one goal is not a priority to be achieved in time

of three years. Recommendations for program sustainability, programs can be continued

with improvements.

Keywords: IHT, program evaluation, Three Dimensional Cube

Article Info

Received date: 30 Mei 2017 Revised date: 10 November 2017 Accepted date: 10 November 2017

Page 172: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017

172

PENDAHULUAN

Guru yang bermutu merupakan salah satu

kunci keberhasilan dari pendidikan yang

bermutu. Guru dikatakan bermutu jika ia

memiliki kompetensi yang baik. Oleh karena

itu seiring dengan perkembangan zaman yang

semakin maju maka guru harus senantiasa

meningkatkan kompetensinya. Salah satu cara

untuk meningkatkan kompetensi guru adalah

dengan pendidikan dan pelatihan (diklat).

Diklat dapat dilakukan melalui lembaga

penyelenggara diklat maupun pihak sekolah

sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai.

Guna meningkatkan kompetensi sesuai dengan

visi, misi, tujuan, permasalahan maupun

potensi yang dimiliki sekolah maka diklat dapat

dilakukan secara mandiri oleh sekolah melalui

In House Training (IHT).

Secara umum, Basri dan Rusdiana (2015:

227) mengemukakan bahwa In House Training

adalah program pelatihan yang diselenggarakan

di tempat peserta pelatihan atau di sekolah

dengan mengoptimalkan potensi-potensi yang

ada di sekolah, menggunakan peralatan kerja

peserta pelatihan dengan materi yang relevan

dan permasalahan yang sedang dihadapi,

sehingga diharapkan peserta dapat lebih mudah

menyerap dan mengaplikasikan materi untuk

menyelesaikan dan mengatasi permasalahan

yang dialami dan mampu secara langsung

meningkatkan kualitas dan kinerjanya. Musfah

(2011: 82) mengemukakan bahwa pelatihan

pada dasarnya bertujuan untuk

mengembangkan kompetensi guru.

Kompetensi guru yang dimaksud antara lain

pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Hal

senada diungkapkan Sherwood dan Best

(Sudjoko, 2012: 40-45) bahwa pelatihan adalah

proses membantu sumber daya dalam suatu

organisasi agar mendapat efektivitas dalam

pekerjaan mereka yang sekarang atau yang

akan datang melalui pengembangan skill,

knowledge, dan atittude. Berdasarkan

pemaparan-pemaparan tersebut dapat

disimpulkan bahwa IHT merupakan program

yang diselenggarakan di sekolah atau tempat

lain menggunakan peralatan dan materi yang

relevan dengan permasalahan yang dihadapi,

tujuannya adalah untuk mengembangkan

kompetensi berupa skill, knowledge,dan

atittude.

SD Muhammadiyah (Plus) Salatiga

adalah salah satu sekolah yang menerapkan

pelatihan In House Training secara mandiri dan

terprogram. Dikatakan mandiri, karena sekolah

ini mengadakan program pelatihan IHT atas

prakarsa dan biaya sendiri, dan dikatakan

terprogram karena program pelatihan IHT di

sekolah ini dilaksanakan setiap tahun.

Berdasarkan wawancara kepada Wakil Kepala

SD Muhammadiyah (Plus) tanggal 23

September 2016, program pelatihan IHT telah

dilaksanakan secara intensif sejak tujuh tahun

lalu. IHT sendiri diselenggarakan untuk

meningkatkan kompetensi guru dalam rangka

mencapai visi sekolah sebagai “sekolah

unggulan”.

Berdasarkan hasil wawancara kepada

Wakil Kepala SD Muhammadiyah (Plus)

tanggal 23 September 2016, diketahui bahwa

program pelatihan IHT SD Muhammadiyah

(Plus) Salatiga utamanya diselenggarakan

setahun sekali, yaitu setiap libur kenaikan kelas.

Akan tetapi ada kalanya program pelatihan

tersebut dilaksanakan lagi di waktu lain jika

terdapat kompetensi guru yang penting dan

mendesak untuk segera dikembangkan. Pada

tahun pelajaran 2013/2014 SD Muhammadiyah

(Plus) Salatiga menyelenggarakan IHT dengan

tema “Melejitkan Prestasi Tiada Henti”. Tujuan

khusus dari kegiatan IHT tersebut adalah untuk

meningkatkan kompetensi guru dari segi

pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Target

pencapaian tujuan dari kegiatan IHT tersebut

dapat diketahui tiga tahun sejak

diselenggarakannya program pelatihan IHT,

yaitu pada tahun 2016/2017. Oleh karena itu

program IHT SD Muhammadiyah (Plus)

Salatiga tahun pelajaran 2013/2014 tersebut

perlu dilakukan evaluasi.

Pada beberapa kasus, pelatihan memang

berhasil meningkatkan pengetahuan dan

keterampilan guru. Akan tetapi pada beberapa

penelitian diketahui bahwa adakalanya

pelatihan gagal dalam meningkatkan

kompetensi guru karena disebabkan oleh

Page 173: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Evaluasi Program Pelatihan In House Training (IHT) Di Sekolah Dasar Swasta | Aih E. Ayuningtyas, dkk.

173

beberapa faktor. Berdasarkan hasil penelitian

Eliyanto (2013: 34-47) faktor penyebab

ketidak-efektifan pelatihan dalam

meningkatkan profesionalisme guru adalah

pemberian materi yang kurang tepat sehingga

tidak terjadi peningkatan pengetahuan dan

keterampilan, pelatihan kurang direncana-kan

dengan matang, komponen pelatihan seperti

penyajian teori, umpan balik, dan lainnya tidak

dilakukan dengan baik, penggunaan metode

pelatihan kurang tepat, dan motivasi dalam

mengikuti pelatihan rendah. Berdasarkan hasil

meta analisis yang dilakukan Sudana (2011:

133-156) terdapat beberapa faktor yang

menyebabkan guru tidak produktif pasca

pelatihan, yaitu: belum adanya manajemen

yang dibakukan pasca pelatihan oleh sekolah,

kurangnya dukungan fasilitas yang dimiliki

sekolah, rendahnya kinerja guru, tidak

sesuainya materi pelatihan yang diberikan

dengan fasilitas yang dimiliki sekolah, dan

kurangnya inisiatif guru yang bersangkutan

dalam mengembangkan hasil pelatihan.

Berdasarkan uraian yang telah

dipaparkan, penelitian ini dimaksudkan untuk

mengevaluasi ketercapaian tujuan khusus pada

program pelatihan IHT SD Muhammadiyah

(Plus) Salatiga dan faktor keberhasilan atau pun

kegagalannya. Evaluasi ini dibatasi dengan

model evaluasi Three Dimensional Cube.

Model evaluasi ini digunakan dengan

pertimbangan bahwa Three Dimensional Cube

tidak hanya bertujuan untuk mengetahui

ketercapaian tujuan program tetapi juga

menganalisis faktor keberhasilan atau

kegagalan program. Hammond (1968: 1-9)

berpen-dapat bahwa keberhasilan atau

kegagalan suatu program ditentukan oleh

interaksi komponen-komponen dalam

pendidikan. Komponen-komponen tersebut

selanjutnya dikelompokkan dalam struktur tiga

dimensi. Interaksi antar variabel dari masing-

masing dimensi menghasilkan kombinasi

variabel dan digambarkan sebagai faktor yang

perlu dipertimbangkan dalam evaluasi

program.

Three Dimensional Cube merupakan

model evaluasi yang terdiri dari dimensi

instructional, dimensi institutional, dan

dimensi behavior. Dimensi instructional terdiri

dari lima variabel, yaitu variable organisasi,

konten, metodologi, fasilitas, dan biaya.

Dimensi institutional terdiri dari variabel siswa,

guru, administrator, spesialis pendidikan,

keluar-ga dan komunitas. Adapun dimensi

behavior terdapat tiga variabel, yaitu kognitif,

afektif dan psikomotor.

Rivai dan Murni (2012: 12) serta Basri

dan Rusdiana (2015: 38-41) mengemukakan

beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam

pelaksanaan suatu program agar berhasil,

diantaranya: tujuan, instruktur, materi, metode,

peserta, pembagian waktu, lingkungan, dan

media. Selain itu Hammond (1968:2-6)

menambahkan beberapa faktor lain, yaitu

pembagian waktu dalam satu materi, fasilitas,

biaya, administrator atau panitia, spesialis

pendidikan, keluarga dan komunitas.

Adapun kajian hasil penelitian terdahulu

yang relevan dengan penelitian ini, antara lain:

pertama adalah penelitian Putri (2013: 522-

527). Penelitiannya bertujuan untuk

mengevaluasi program pelatihan Pendekatan

Matematika Realistik Indonesia (PMRI) bagi

guru matematika di Sumatera Selatan. Hasil

temuan dari evaluasi dengan model Kirkpatrick

ini menunjukkan bahwa seluruh peserta

mempunyai reaksi positif terhadap program

pelatihan karena materi yang diberikan relevan

dengan kebutuhan dan tugas guru di sekolah,

peserta mampu mengajarkan materi dengan

baik saat dilakukan simulasi, serta seluruh

peserta dapat memahami materi pelatihan

dengan baik, sehingga dapat dilakukan

pelatihan lanjutan.

Kedua adalah penelitian dari Riza (2014:

90-100) yang bertujuan untuk mengetahui

efektivitas Program Pendidikan dan Latihan

Berjenjang Tingkat Dasar Pendidik dan Tenaga

Kependidikan (PTK) PAUD. Hasil evaluasi

dengan model evaluasi Kirkpatrick ini

diketahui bahwa penyelengaraan diklat

termasuk dalam kategori baik walaupun masih

perlu dilakukan perbaikan pada rekrutmen

peserta yang tidak sesuai dengan kriteria yang

ditetapkan, jadwal pelatihan terlalu padat,

Page 174: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017

174

narasumber terlalu teoretis, tidak adanya

evaluasi dan monitoring pasca evaluasi, ada

beberapa materi yang kurang relevan dengan

tugas guru di sekolah masing-masing, pasca

pelatihan peserta belum sepenuhnya melakukan

pembelajaran seperti yang diajarkan pada

Diklat, serta dampak dari segi kualitas dan

jumlah hasil karya guru belum sepenuhnya

meningkat.

Ketiga adalah penelitian Pahlevi (2016)

yang bertujuan untuk mengevaluasi konteks,

input, proses, dan produk penyelenggaraan

Program Diklat Kompe-tensi Plus di

BPDIKJUR. Penelitian dengan model evaluasi

CIPP (Context, Input, Process, Product) ini

menunjukkan bahwa pelaksanaan Program

Diklat diharapkan dapat meningkatkan

kompetensi guru seiring dengan kemajuan

teknologi; program diklat mampu

menjembatani kesenjangan antara hasil

pembelajaran dengan standar kerja yang

dibutuhkan; program diklat memiliki

stakeholder yang selalu mendukung

pelaksanaan program, dan sangat membantu

keberhasilan program; pelaksanaan program

diklat berjalan dengan baik walupun terdapat

beberapa kendala. Oleh karena itu, Program

Diklat Kompetensi Plus di BPDIKJUR dapat

terus dilakukan dengan perbaikan pada sistem

perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.

Keempat adalah penelitian yang

dilakukan Uysal (2014: 17-26). Tujuan

penelitiannya adalah untuk mengevaluasi

keberhasilan program in-service education

training (INSET) dalam mencapai tujuan

khusus, serta kegunaan dan dampak program

pada afektif guru, pengetahuan guru, serta

praktek mengajar di kelas. Hasil evaluasi

dengan model evaluasi Guskey ini

menunjukkan bahwa secara umum para guru

menunjukkan sikap positif terhadap program

dan pelaksanaan program memiliki banyak segi

positif. Akan tetapi pada tahap perencanaan dan

evaluasi program masih terdapat masalah,

antara lain: program belum memiliki komponen

tindak lanjut (follow up), tidak mencukupinya

materi dan sumber daya, seting pelatihan yang

tidak nyaman, dan yang lebih serius adalah isi

dari program pelatihan tidak berdasarkan

kebutuhan kontekstual guru karena guru tidak

dilibatkan dalam perencanaan dan pelaksanaan

program.

Terakhir adalah penelitian dari Yussof,

dkk (2016: 630-636). Penelitiannya bertujuan

untuk menilai reaksi guru terhadap in-service

teacher training program pada School Based

Assessment. Hasil evaluasi dengan model

Kirkpatrick ini menunjukkan bahwa SBA in-

service teacher training program telah

mencapai tujuan. Tingkat kepuasan peserta atas

reaksi terhadap fasilitas fisik memuaskan,

reaksi terhadap materi pembelajaran

memuaskan, reaksi terhadap materi pengajaran

memuaskan, reaksi terhadap penyampaian

materi oleh fasilitator memuaskan, reaksi

terhadap konten umum pelatihan memuaskan.

Berdasarkan hasil analisis kuantitatif diketahui

bahwa aspek konten umum, fasilitas fisik dan

materi pembelajaran memiliki korelasi

signifikan dan kontribusi terhadap perubahan

pengetahuan dan keterampilan guru, dan aspek

konten umum, materi konstruksional dan

materi pembelajaran memiliki korelasi

signifikan terhadap perubahan sikap guru. Oleh

karena itu program dapat dilanjutkan dengan

beberapa peningkatan.

Beberapa hal yang membedakan antara

penelitian ini dengan lima penelitian

sebelumnya antara lain penelitian ini

menggunakan model evaluasi Three

Dimensional Cube sehingga tahapan penelitian

serta aspek yang diteliti terdapat perbedaan.

Perbedaan tersebut terletak pada aspek

organisasi, spesialis pendidikan, keluarga,

komunitas, dan tujuan program yang

disesuaikan dengan visi misi sekolah dan

yayasan yang menaungi sekolah.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian

evaluatif menggunakan model evaluasi Three

Dimensional Cube. Penelitian dilakukan di SD

Muhammadiyah (Plus) Salatiga mengenai

evaluasi Program In House Training (IHT)

tahun pelajaran 2013/2014. Sumber informasi

dalam penelitian ini adalah Wakil Kepala

Page 175: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Evaluasi Program Pelatihan In House Training (IHT) Di Sekolah Dasar Swasta | Aih E. Ayuningtyas, dkk.

175

Sekolah, panitia penyelenggara IHT, dan guru

sebagai peserta IHT. Teknik pengumpulan data

yang digunakan adalah dengan wawancara,

angket, dan studi dokumen. Adapun dokumen

yang digunakan adalah “Panduan In House

Training SD Muhammadiyah (Plus) Kota

Salatiga Tahun Ajaran 2013/2014”.

Angket menggunakan rating scale dari

skala 1 sampai 5, untuk mengetahui tingkat

kepuasan peserta terhadap IHT. Uji validitas

korelasi Product Moment dengan nilai rtabel

pada taraf signifikansi 5% dan N=13 adalah

0,553 menunjukkan bahwa pada try out 1

terdapat dua item yang tidak valid, sehingga

perlu direvisi dan diujikan kembali. Pada try out

2 seluruh item dinyatakan valid. Pada uji

reliabilitas didapat nilai Cronbach’s Alpha

sebesar 0,755 sehingga lebih dari 0,6.

Data kualitatif maupun kuantitatif yang

telah terkumpul selanjutnya dianalisis secara

deskriptif. Data angket yang bersifat ordinal

dianalisis menggunakan three box method yaitu

data angket ditabulasi untuk dihitung nilai

indeksnya, kemudian dikelompokkan ke dalam

kategori rendah, sedang, atau tinggi. Berikut

merupakan rentang untuk masing-masing

kategori:

Tabel 1 Rentang Kategori Angka Indeks

NO RENTANG KATEGORI

1 3,2 – 7,4 rendah

2 7,5 – 11,7 sedang

3 11,8 – 16,0 tinggi

Sumber: data angket yang ditabulasi

HASIL PENELITIAN DAN

PEMBAHASAN

Hasil Penelitian

Dimensi Instructional

Dimensi instructional terdiri dari variabel

organisasi, konten, metodologi, fasilitas, dan

biaya. Organisasi meliputi kesesuaian materi

pelatihan terhadap level peserta, pengurutan

materi dari mudah ke sulit, dan durasi waktu

dalam satu materi. Materi atau konten berisi

topik-topik yang diberikan dalam pelatihan,

dan kesesuaian topik dengan tujuan pelatihan.

Metodologi meliputi aktivitas mengajar

(pemilihan dan kesesuaian metode

penyampaian materi), tipe interaksi, dan

prinsip-prinsip pembelajaran atau teori belajar

yang digunakan dalam pelatihan. Fasilitas

meliputi pelayanan dan fasilitas yang

diperlukan dalam pelatihan (ruang pelatihan,

media dll). Biaya meliputi penggunaan biaya

untuk pelatihan.

Tabel 2 Hasil Tabulasi Angket Dimensi Instructional

NO INDIKATOR INDEKS KATEGORI

1 Organisasi 14.6 Tinggi

2 Konten 15.6 Tinggi

3 Metodologi 14 Tinggi

4 Fasilitas 15.3 Tinggi

Rata-rata 14.7 Tinggi

Sumber: data penelitian yang diolah dan dikelompokkan sesuai

kategori

Berdasarkan tabel 2 diketahui bahwa

rata-rata nilai indeks untuk dimensi

instructional sebesar 14.7, artinya persepsi

peserta terhadap variabel organisasi, konten,

metodologi dan fasilitas termasuk dalam

kategori tinggi.

Page 176: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017

176

Selain itu, berdasarkan data angket,

wawancara dan dokumentasi pada kategori

organisasi diketahui bahwa informasi dari materi

yang disampaikan sesuai dengan profesi peserta,

materi yang disampaikan dalam IHT sesuai

dengan level peserta atau tidak melenceng dari

profesi peserta sebagai guru di SD

Muhammadiyah (Plus) Salatiga, materi diurutkan

dari materi mudah ke materi sulit, durasi IHT

yang diselenggarakan selama dua hari sudah baik.

Pada kategori konten diketahui bahwa topik-topik

yang diberikan dalam pelatihan didasarkan pada

kebutuhan guru yang disesuaikan dengan visi,

misi sekolah, topik yang diberikan sesuai dengan

tujuan IHT karena tujuan IHT dirumuskan

bersama antara guru dan pimpinan sekolah. Pada

kategori metode diketahui bahwa metode

penyampaian materi dalam IHT sesuai dengan

materi yang diberikan, fasilitas yang sering

dimanfaatkan dalam penyampaian materi adalah

IT (Teknologi Informasi), interaksi antara

pemateri dan peserta dilakukan dengan baik, dan

penggunaan teori belajar sudah sangat baik. Pada

kategori fasilitas diketahui bahwa IHT

diselenggarakan di hotel karena lebih terjamin

kenyamanan yang ditawarkannya, mulai dari

makanan, penginapan, ruang presentasi hingga

media untuk presentasi. Pada kategori biaya

diketahui bahwa seluruh biaya yang diperlukan

untuk IHT berasal dari anggaran sekolah, dan jika

anggaran sekolah tidak mencukupi maka panitia

mencari donatur dari luar sekolah untuk menutupi

kekurangan tersebut.

Dimensi Institutional

Dimensi institutional terdiri dari variabel

siswa, guru, administrator, spesialis pendidikan,

keluarga dan komunitas. Siswa atau peserta IHT

berisi identifikasi usia, jenis kelamin, prestasi,

serta minat atau motivasi. Guru atau pemateri

berisi identifikasi latar belakang pendidikan, dan

pengalaman kerja. Panitia mengenai pemilihan

dan kualifikasinya. Spesialis pendidikan

mengenai keterlibatannya dalam pelatihan.

Keluarga dan komunitas perlu mengenai bentuk

dukungannya terhadap keberhasilan program

pelatihan.

Tabel 3 Hasil Tabulasi Angket Dimensi Institutional

NO INDIKATOR INDEKS KATEGORI

1 Pemateri 15.2 Tinggi

2 Dukungan Keluarga 15.6 Tinggi

3 Dukungan Komunitas 16 Tinggi

Rata-rata 15.4 Tinggi

Sumber: data penelitian yang diolah dan dikelompokkan sesuai kategori

Berdasarkan tabel 3 diketahui bahwa

pada dimensi institutional diperoleh nilai

indeks sebesar 15.5. Hal ini berarti persepsi

peserta terhadap pemateri, dukungan keluarga

dan dukungan komunitas termasuk dalam

kategori tinggi.

Selain itu, berdasarkan data angket,

wawancara dan dokumentasi pada kategori

pemateri diketahui bahwa pemateri menguasai

materi dengan baik, jelas, dan tepat sasaran

karena pemateri merupakan para ahli di

bidangnya. Selain itu pemateri memberikan

kesempatan kepada peserta untuk menanyakan

materi yang kurang jelas. Walaupun secara

umum pemateri mendapat penilaian yang baik

dari para peserta, namun peserta mengharapkan

agar pada IHT yang diselenggarakan tahun

depan dihadirkan seorang motivator agar lebih

termotivasi lagi untuk mengajar. Pada kategori

peserta diketahui bahwa seluruh peserta

pelatihan merupakan seluruh guru SD

Muhammadiyah (Plus) Salatiga yang mengajar

dari kelas satu sampai enam. Berdasarkan

angket terbuka, diketahui motivasi peserta

untuk mengikuti IHT adalah program IHT

merupakan program wajib yang harus diikuti

oleh seluruh guru, karena program IHT dapat

menambah wawasan yang dapat menunjang

profesinya, menyatukan visi misi,

meningkatkan komitmen guru sebagai bagian

dari SD Muhammadiyah (Plus) Salatiga,

meningkatkan semangat dan etos kerja,

mempererat tali persaudaraan antar teman

sekerja, dan dapat menyusun program-program

berkualitas yang akan berdampak pada

kemajuan sekolah. Pada kategori spesialis

Page 177: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Evaluasi Program Pelatihan In House Training (IHT) Di Sekolah Dasar Swasta | Aih E. Ayuningtyas, dkk.

177

pendidikan diketahui bahwa spesialis

pendidikan memberikan dukungan kepada

sekolah-sekolah yang hendak mengembangkan

kompetensi guru melalui pelatihan yang

diadakan secara mandiri. SD Muhammadiyah

(Plus) Salatiga pun melibatkan spesialis

pendidikan sebagai salah satu pemateri dalam

IHT. Pada kategori keluarga diketahui bahwa

keluarga mendukung para peserta untuk

mengikuti IHT karena keluarga menyadari

bahwa kegiatan IHT merupakan kegiatan yang

wajib untuk diikuti peserta sebagai bagian dari

profesionalisme kerja di SD Muhammadiyah

(Plus) Salatiga. Pada kategori komunitas

diketahui bahwa komunitas turut memberi

dukungan dan menjadi perantara pimpinan

sekolah untuk mengawasi perubahan perilaku

guru setelah mengikuti IHT.

Dimensi behavior

Terdapat tiga variabel dalam dimensi

behavior, yaitu kognitif, afektif dan

psikomotor. Pada penelitian ini ketiga variabel

dijabarkan sebagai berikut: a) variabel kognitif

dibatasi dalam dua tingkatan, yaitu menambah

pengetahuan dan wawasan dan

mengaplikasikan pengetahuan dari materi yang

disampaikan dalam IHT; b) variabel afektif

yang meliputi sikap guru dalam mendukung

visi sekolah, peningkatan minat mengajar,

peningkatan ketertiban dalam melaksanakan

ibadah, dan penyesuaian diri dalam organisasi;

dan c) variabel psikomotor meliputi

kemampuan memberi penilaian hasil belajar

siswa sesuai K-13, kemampuan melakukan

diversifikasi model dan metode pembelajaran,

kemampuan membuat inovasi teknologi dalam

pembelajaran, penggunaan bahan ajar yang

bervariasi, merencanakan pengembangan karir

akademik berbasis prestasi, penggunaan

Bahasa Arab dan Bahasa Inggris,

meningkatkan praktek religiusitas, serta

peningkatan prestasi guru.

Tabel 4 Hasil Tabulasi Angket Dimensi behavior

NO INDIKATOR INDEKS KATEGORI

1 Kognitif 14 Tinggi

2 Afektif 15.3 Tinggi

3 Psikomotor 13.2 Tinggi

Rata-rata 14 Tinggi

Sumber: data penelitian yang diolah dan dikelompokkan sesuai kategori

Berdasarkan tabel empat diketahui bahwa

rata-rata indeks dimensi behavior sebesar 14.

Hal ini berarti bahwa pencapaian tujuan khusus

pada aspek kognitif, afektif, dan psikomotor

peserta pelatihan termasuk dalam kategori

tinggi.

Berdasarkan angket dan wawancara

diketahui bahwa pada aspek kognitif nilai

indeks tertinggi terdapat dalam indikator

kontribusi pelatihan IHT dalam menambah

pengetahuan Kemuhammadiyahan karena

materi banyak yang membahas dan berdasar

pada kemuhammadiyahan. Adapun nilai indeks

terendah ada pada indikator kontribusi IHT

dalam menambah pengetahuan tentang

penilaian hasil belajar Kurikulum 2013.

Bahkan ada beberapa guru yang menilai bahwa

IHT kurang atau tidak memiliki kontribusi

dalam menambah pengetahuan tentang

penilaian hasil belajar Kurikulum 2013.

Alasannya adalah karena guru tersebut tidak

mendapat kesempatan untuk mempraktekan

penilaian hasil belajar Kurikulum 2013 tersebut

secara langsung. Keterangan tersebut

nampaknya sesuai dengan dokumen Panduan

Kegiatan IHT yang tertulis bahwa metode yang

digunakan hanya ceramah, tanya jawab, dan

diskusi tanpa ada praktek atau simulasi. Pada

aspek afektif nilai indeks tertinggi terdapat pada

indikator dukungan guru terhadap misi sekolah

dam minat mengajar guru. Guru banyak yang

beralasan bahwa keikutsertaannya dalam

kegiatan IHT selain untuk melaksanakan

kewajiban tetapi juga ingin menyatukan misi

dan untuk meningkatkan minat mengajar di SD

Muhammadiyah (Plus) Salatiga. Adapun nilai

Page 178: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017

178

indeks terendah terdapat pada indikator

ketertiban guru dalam melaksanakan ritual

ibadah. Walaupun memiliki indeks terendah,

tetapi indikator tersebut masih termasuk dalam

kategori tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa

IHT telah berhasil mencapai tujuan khusus

program dari segi afektif peserta IHT. Pada

aspek psikomotor walaupun rata-rata nilai

indeks termasuk kategori tinggi tetapi ada satu

indikator yang masih termasuk kategori cukup,

yaitu pada kategori kemampuan menggunakan

Bahasa Arab dan Bahasa Inggris. Hal ini

nampaknya terjadi karena kemampuan

menggunakan Bahasa Arab dan Bahasa Inggris

bukan menjadi prioritas dalam tujuan khusus

program. Sedangkan nilai indeks tertinggi

terdapat pada indikator kemampuan guru dalam

melakukan diversifikasi model dan metode

pembelajaran setelah mengikuti pelatihan IHT.

Pembahasan

Dimensi Instructional

Pada sub variabel organisasi diketahui

bahwa materi yang diberikan sesuai dengan

level peserta yang dalam penelitian ini adalah

guru SD Muhammadiyah (Plus) Salatiga. Hasil

temuan ini berbeda dengan temuan dalam

penelitian yang dilakukan oleh Pahlevi (2016)

bahwa pengelompokan materi pelatihan yang

belum tersusun berdasarkan level membuat

peta kompetensi pendidik sulit terlacak yang

akhirnya dapat menghambat keberhasilan

program. Selain itu, pembagian durasi waktu

masing-masing materi dalam jadwal diklat juga

perlu dipertimbangkan. Berdasarkan temuan

dalam penelitian ini, pembagian waktu dalam

IHT SD Muhammadiyah (Plus) Salatiga

mendapat penilaian baik dari para peserta. Hal

ini dikarenakan materi yang diberikan tidak

terlalu banyak dan waktu yang dialokasikan

cukup untuk penyampaian materi dan tanya

jawab. Lain halnya dengan hasil temuan dalam

penelitian Riza (2014: 90-100) bahwa jadwal

diklat terlalu padat sehingga menyulitkan

peserta dalam membagi waktu untuk berbagai

aktivitas dalam diklat. Pengaturan jadwal yang

tidak efektif tersebut dikarenakan terlalu

banyak materi yang diberikan.

Pada sub variabel konten Pahlevi (2016)

mengemukakan bahwa diperlukan analisis

kebutuhan yang disesuaikan dengan tujuan

penyelenggara untuk menentukan topik

pelatihan agar dapat meningkatkan kompetensi

pesertanya. Hal ini senada hasil temuan dalam

penelitian ini bahwa topik IHT dipilih

berdasarkan kebutuhan guru di SD

Muhammadiyah (Plus) Salatiga yang

disesuaikan dengan visi, misi, dan tujuan

sekolah. Topik sendiri dipilih dengan cara

musyawarah antar warga sekolah, terutama

guru dan para pimpinan sekolah. Pada variabel

materi, seluruh materi dalam IHT SD

Muhammadiyah (Plus) Salatiga penting untuk

menunjang kompetensinya. Hasil ini berbeda

dengan hasil penelitian Riza (2014: 90-100) dan

Uysal (2014: 17-26) bahwa tidak semua materi

dalam diklat dapat menunjang pekerjaan

peserta, dan terdapat materi yang tidak sesuai

dengan kebutuhan guru sehingga tujuan

program tidak dapat tercapai dengan baik.

Pada sub variabel metodologi, Pahlevi

(2016) mengemukakan metode pelatihan yang

digunakan dalam diklat adalah metode

ceramah, dan praktek langsung karena materi

diklat lebih menitikberatkan pada bidang

kejuruan. Uysal (2014: 17-26) mengemukakan

bahwa sehubungan dengan topik pelatihan

mengenai keterampilan mengajar bahasa maka

panitia menggunakan metode simulasi agar

peserta dapat mempraktekkan secara secara

langsung tugas yang diberikan pelatih, tetapi

kelas tidak disetting dengan baik sehingga kelas

terlalu sesak. Lain halnya dalam penelitian ini,

IHT menggunakan metode ceramah, tanya

jawab, dan diskusi ini dipilih karena sesuai

dengan materi yang hendak disampaikan dalam

IHT yang lebih banyak pada teori dan

penyusunan strategi. Selain itu, terdapat

variabel lain yang tidak dikemukakan dalam

penelitian sebelumnya, yaitu prinsip-prinsip

belajar untuk menguatkan sikap yang

menggambarkan pencapaian tujuan,

membangun motivasi agar tujuan pelatihan

dapat dicapai secara efektif, mengaplikasikan

prinsip pemecahan masalah, merencanakan

pembelajaran agar sesuai dengan kecakapan

Page 179: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Evaluasi Program Pelatihan In House Training (IHT) Di Sekolah Dasar Swasta | Aih E. Ayuningtyas, dkk.

179

peserta, membuat peserta mampu melakukan

hal-hal yang diajarkan dalam pelatihan, dan

peserta ikut berpartisipasi dalam pelatihan

tersebut.

Pada sub variabel fasilitas, Putri (2013:

522-527) mengemukakan bahwa yang

termasuk dalam fasilitas adalah fasilitas

akomodasi, konsumsi, dan tentang pelayanan

dari panitia penyelenggara. Lain halnya dengan

Riza (2014: 90-100) yang mengemukakan

bahwa fasilitas yang diberikan dalam pelatihan

yang ditelitinya antara lain akomodasi,

konsumsi, dan fasilitas ruangan, tetapi tidak

disediakannya ruang khusus untuk ibadah dapat

menghambat efektivitas pelaksanaan pelatihan.

Temuan lain dari Pahlevi (2016) dijelaskan

bahwa fasilitas yang diberikan oleh

penyelenggara mulai dari penginapan, sarana

peralatan untuk praktek dan ruang untuk

menyampaikan materi, akan tetapi fasilitas

penginapan yang diberikan tidak sama antara

peserta satu dengan peserta lain sehingga

mempengaruhi kepuasan dan kenyamanan

peserta. Selain itu sarana peralatan untuk

praktek yang terkini yang sesuai dengan

kebutuhan industri juga masih kurang, sehingga

dapat menghambat ketercapaian tujuan

program. Lain halnya pada temuan Uysal

(2014: 17-26) bahwa dari berbagai fasilitas

yang diberikan, terdapat satu fasilitas yang

kurang baik, yaitu ketersediaan materi yang

tidak mencukupi untuk seluruh peserta dan

tidak ada materi baru yang dikembangkan pihak

penyelenggara. Temuan-temuan yang telah

dikemukakan berbeda dengan hasil temuan

dalam penelitian di SD Muhammadiyah (Plus)

Salatiga. Fasilitas yang diberikan dalam IHT

merupakan fasilitas yang disediakan oleh

tempat atau hotel dimana IHT diselenggarakan,

yaitu berupa penginapan, makanan, tempat

untuk pertemuan, dan kualitas media. Peserta

menilai pelayanan dan fasilitas pelatihan IHT

sudah memuaskan.

Pada sub variabel biaya, Pahlevi (2016)

dalam penelitiannya mengemukakan bahwa

biaya yang diperlukan untuk diklat berasal dari

dana APBD sehingga besarnya anggaran

menjadi masalah tersendiri bagi

penyelenggaraan program diklat karena akan

berpengaruh terhadap jumlah peserta dan durasi

waktu diklat. Dalam penelitiannya dikatakan

bahwa panitia akan menyesuaikan jumlah

peserta dengan dana yang ada. Temuan tersebut

berbeda dengan temuan dalam penelitian ini

karena biaya yang diperlukan untuk IHT

berasal dari sekolah. Walapun biaya memang

berpengaruh terhadap jumlah peserta, fasilitas

yang akan diberikan kepada peserta dan durasi

waktu untuk IHT, akan tetapi panitia IHT di SD

Muhammadiyah (Plus) Salatiga selalu berusaha

untuk mencukupi biaya yang diperlukan agar

IHT dapat berjalan dengan baik sesuai dengan

rencana dan tujuan. Apabila sumber dana yang

dialokasikan sekolah kurang, maka panitia akan

mencari sponsor untuk menutupi kekurangan

tersebut daripada harus mengurangi peserta

atau mengubah rencana dan tujuan IHT. Usaha

yang dilakukan panitia ini merupakan cara yang

baik karena kualitas IHT yang diselenggarakan

dapat terjaga.

Dimensi Institutional

Pada sub variabel pemateri, Riza (2014:

90-100) mengemukakan bahwa pemateri atau

narasumber tidak menguasai metode dengan

baik karena pemateri terlalu teoritis dan tidak

memberikan contoh konkrit pada materinya

sehingga peserta sulit memahami materi yang

disampaikan. Adapun temuan yang diperoleh

dalam penelitian ini para peserta menilai bahwa

para pemateri merupakan orang kompeten yang

dapat menyampaikan materi sesuai dengan

kebutuhan guru dan pemateri dapat

memberikan materi secara jelas. Walaupun

begitu para guru mengharapakan agar pada IHT

berikutnya panitia mengundang motivator agar

para guru lebih termotivasi dalam mengajar.

Pada sub variabel peserta pelatihan, Riza

(2014: 90-100) mengemukakan bahwa

rekrutmen peserta dalam penelitian termasuk

dalam kategori baik namun dalam

pelaksanaannya belum sesuai dengan kriteria

umum dan khusus, yang diantaranya usia

melebihi batas maksimal dan kualifikasi

akademik tidak sesuai dengan syarat yang telah

ditentukan. Adapun Pahlevi (2016)

menjelaskan bahwa peserta diklat dipilih oleh

Page 180: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017

180

panitia dan diambil dari sekolah yang memiliki

paket keahlian sesuai dengan topik pelatihan

dan memiliki peralatan yang menunjang di

sekolah. Lain halnya dalam penelitian ini,

peserta tidak diseleksi atau direkrut

berdasarkan syarat-syarat tertentu karena

pelatihan atau IHT hanya dilakukan dalam

lingkup sekolah sehingga peserta IHT

merupakan seluruh guru SD Muhammadiyah

(Plus) Salatiga.

Pada sub variabel panitia, Putri (2013:

522-527) menjelaskan bahwa pelatihan

diselenggarakan oleh lembaga diklat yang

professional, sehingga mendapat tanggapan

yang positif dari peserta. Selain itu, Pahlevi

(2016) juga mengemukakan bahwa diklat

diselenggarakan oleh lembaga diklat yang

khusus menangani pendidikan kejuruan, akan

tetapi lemahnya motivasi sebagian pegawai

dalam melaksanakan tugas dapat menghambat

keberhasilan program. Temuan-temuan yang

telah dipaparkan agaknya tidak sama dengan

temuan dalam penelitian ini karena

penyelenggara IHT merupakan warga sekolah

dan bukan lembaga yang secara khusus

menangani program pelatihan. Penyelenggara

merupakan panitia yang terdiri dari guru-guru

SD Muhammadiyah (Plus) Salatiga. Walaupun

begitu, panitia IHT memiliki semangat dan

komitmen yang tinggi untuk mencapai

keberhasilan program. Hal ini dibuktikan pada

usaha panitia yang menggalang dana jika

anggaran yang diberikan oleh sekolah kurang.

Panitia IHT selalu berusaha untuk memberikan

kualitas yang baik dalam pelaksanaan IHT.

Pada sub variabel spesialis pendidikan,

penelitian yang dilakukan oleh Putri (2013:

522-527), Riza (2014: 90-100), Pahlevi (2016),

Uysal (2014: 17-26) dan Yussof, dkk (2016:

630-636) selurunya mengemukakan bahwa

pelatihan merupakan inisiatif dari dinas

pendidikan atau menteri pendidikan (spesialis

pendidikan) setempat sehingga seluruh biaya

ditanggung oleh pemerintah. Lain halnya

dengan pelatihan dalam penelitian ini, IHT di

SD Muhammadiyah (Plus) Salatiga merupakan

inisiatif dari sekolah, sehingga biaya yang

dibutuhkan pun berasal dari sekolah. Peran

spesialis pendidikan dalam IHT ini adalah

memberikan izin terkait penyelenggaraan

program IHT di SD Muhammadiyah (Plus)

Salatiga. Selain itu, sehubungan dengan

pegawai dinas pendidikan yang merupakan

para ahli di bidang pendidikan, maka panitia

IHT mengundang salah seorang pegawai dinas

pendidikan untuk memberikan materi yang

terkait dengan Kurikulum 2013.

Keluarga dan komunitas menjadi faktor

yang juga turut andil dalam mencapai

keberhasilan program pelatihan. Pada

penelitian-penelitian terdahulu keluarga dan

komunitas tidak dijelaskan sebagai faktor yang

mempengaruhi keberhasilan program. Pada

penelitian ini keluarga turut berperan dalam

mempengaruhi motivasi peserta untuk

mengikuti kegiatan IHT. Keluarga yang

memberikan dukungan kepada peserta untuk

mengikuti IHT akan menambah motivasi

peserta, begitu pun sebaliknya. Selain itu

komunitas guru turut mendukung dalam

mencapai tujuan program karena komunitas

dapat digunakan sebagai sarana untuk

memantau perubahan perilaku yang

ditunjukkan guru sebagai dampak dari

pelatihan. Komunitas juga dapat digunakan

sebagai sarana untuk sharing terhadap masalah-

masalah yang dihadapi guru pada saat

mengimplementasikan materi pelatihan.

Dimensi Behavior

Tujuan kognitif dari penelitian yang

dilakukan oleh Putri (2013: 522-527) adalah

meningkatkan kemampuan peserta mengenai

Pendidikan Matematika Realistik Indonesia

(PMRI) yang diukur dengan tes, dan

mengaplikasikan materi melalui simulasi yang

diukur melalui observasi. Adapun Riza (2014:

90-100) mengemukakan bahwa tujuan kognitif

dari pelatihan dalam penelitiannya adalah

meningkatkan pengetahuan akademik yang

diukur dengan menggunakan tes. Hal senada

juga ditunjukkan oleh Yussof, dkk (2016: 630-

636) bahwa tujuan kognitif dalam penelitiannya

adalah meningkatkan pengetahuan peserta yang

diukur melalui tes. Tes dalam penelitian-

penelitian tersebut berfungsi untuk mengetahui

perubahan pengetahuan peserta secara

Page 181: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Evaluasi Program Pelatihan In House Training (IHT) Di Sekolah Dasar Swasta | Aih E. Ayuningtyas, dkk.

181

langsung setelah mengikuti pelatihan. Dalam

penelitian ini tujuan kognitif dari penelitian

adalah untuk meningkatkan pengetahuan dan

mengaplikasikan materi IHT. Akan tetapi

sehubungan dengan pelaksnaan IHT yang

dilakukan tiga tahun yang lalu, dan baru dapat

dilihat setelah tiga tahun sejak pelatihan

dilakukan maka kurang efektif jika diukur

menggunakan tes. Selain itu, tidak

digunakannya tes dalam penelitian karena

adanya keterbatasan waktu dan perizinan untuk

memberikan tes kepada guru yang sebagian

besar merupakan guru baru yang tidak

mengikuti IHT tahun 2013/2014 ini.

Berdasarkan temuan dalam penelitian ini,

seluruh tujuan kognitif IHT telah tercapai

dengan baik. Akan tetapi masih ada kekurangan

yang perlu diperbaiki untuk kelanjutan

program, yaitu mengenai kesesuaian metode

dengan materi yang diberikan. Pada temuan ini

ada beberapa guru yang menilai bahwa IHT

kurang memiliki kontribusi dalam menambah

pengetahuan tentang penilaian hasil belajar

Kurikulum 2013 karena guru tersebut tidak

mendapat kesempatan untuk mempraktekan

penilaian hasil belajar Kurikulum 2013 tersebut

secara langsung. Temuan ini menunjukkan

bahwa metode yang digunakan masih perlu

dikaji ulang agar lebih sesuai sehingga dapat

mencapai tujuan dengan lebih baik lagi.

Tujuan afektif dalam pelatihan merujuk

pada perubahan sikap peserta setelah mengikuti

pelatihan. Riza (2014: 90-100) mengemukakan

bahwa peserta yang mengikuti pelatihan tidak

menunjukkan perubahan sikap sesuai dengan

materi yang diajarkan dalam pelatihan.

Penyebabnya adalah tidak adanya monitoring

dari lembaga diklat setelah pelatihan selesai.

Hasil temuan tersebut berbeda dengan hasil

temuan pada penelitian ini karena tujuan afektif

IHT yang meliputi kontribusi IHT dalam

menambah dukungan misi sekolah,

meningkatkan minat mengajar guru,

meningkatkan ketertiban guru dalam

melaksanakan ritual ibadah, dan kemampuan

guru untuk menyesuaikan diri dalam organisasi

sekolah seluruhnya dapat tercapai dengan baik.

Ketercapaian itu merupakan hasil dari

pengawasan yang dilakukan oleh pemimpin

sekolah melalui komunitas-komunitas yang ada

di sekolah.

Psikomotor merupakan tujuan pelatihan

yang berkaitan dengan peningkatan

keterampilan peserta setelah mengikuti

pelatihan. Penelitian yang dilakukan oleh Riza

(2014: 90-100) menghasilkan temuan bahwa

tidak sepenuhnya tujuan psikomotor dapat

dicapai, karena guru mempunyai prioritas

sendiri tentang keterampilan yang penting

untuk digunakan di tempat kerjanya. Oleh

karena itu, materi yang tidak diprioritaskan

tersebut kurang berhasil dalam meningkatkan

keterampilan peserta. Temuan tersebut juga

ditemukan dalam penelitian ini. Tujuan

psikomotor dalam penelitian ini dibatasi pada

kemampuan memberi penilaian hasil belajar

siswa sesuai K13, kemampuan melakukan

diversifikasi model dan metode pembelajaran,

kemampuan melakukan inovasi teknologi

dalam pembelajaran, penggunaan bahan ajar

yang bervariasi, merencanakan pengembangan

karir akademik berbasis prestasi, penggunaan

Bahasa Arab dan Bahasa Inggris,

meningkatkan praktek religiusitas, peningkatan

prestasi guru. Hasilnya hampir semua tujuan

psikomotor dapat tercapai dengan baik, tetapi

ada satu tujuan yang masih belum tercapai,

yaitu pada kategori kemampuan menggunakan

Bahasa Arab dan Bahasa Inggris. Hal ini terjadi

karena kategori tersebut bukan menjadi

prioritas untuk segera dicapai dalam waktu tiga

tahun. Tujuan psikomotor program lebih

diprioritaskan pada pencapain prestasi sekolah.

Akan tetapi prestasi yang diprioritaskan adalah

peningkatan prestasi siswa. Oleh karena itu

seharusnya peningkatan prestasi tidak hanya

difokuskan untuk siswa saja, tetapi juga prestasi

sekolah pada umumnya. Sekolah perlu

memberikan dukungan untuk peningkatan

prestasi guru. Walaupun beberapa guru sudah

mewakili sekolah di tingkat kota, provinsi,

bahkan nasional namun masih ada guru yang

mempunyai minat tinggi untuk turut serta

dalam meningkatkan prestasi tetapi kurang

mendapat perhatian oleh pihak sekolah.

Page 182: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017

182

Pada akhirnya, penelitian ini mendukung

temuan Astuti, S., Slameto, S., &

Dwikurnaningsih, Y. (2017) yang menyatakan

bahwa pelatihan model In House Training dapat

meningkatkan kemampuan guru SD

Laboratorium Kristen Satya Wacana dalam

menyusun instrumen penilaian ranah sikap;

Temuan ini didasarkan data peningkatan

persentase peserta pelatihan yang mencapai

KKM (kriteria keberhasilan ≥ 60) dari 76, 92%

pada siklus I menjadi 80% pada siklus II.

Simpulan ini juga didukung capaian aktivitas

trainer maupun peserta pelatihan pada kategori

baik dan sangat baik untuk semua siklus.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Pada dimensi Instructional terdapat lima

sub variabel, yaitu organisasi, konten/materi,

metodologi, fasilitas, dan biaya. Rata-rata nilai

indeks pada dimensi ini termasuk dalam

kategori tinggi. Masing-masing sub variabel

dalam dimensi Instructional ini pun termasuk

dalam kategori tinggi.

Dimensi Institutional pada penelitian ini

membahas tentang personil-personil yang

berperan dalam IHT. Adapun sub variabel pada

dimensi ini adalah pemateri, peserta,

administrator atau panitia, spesialis pendidikan,

keluarga, dan komunitas. Nilai indeks dari

masing-masing sub variabel pada dimensi ini

termasuk dalam kategori tinggi. Bahkan

komunitas memiliki peran yang penting dalam

mencapai tujuan program karena melalui

komunitas, pemimpin sekolah dapat

mengawasi perubahan perilaku guru setelah

mengikuti pelatihan dalam rangka mencapai

tujuan program IHT. Walaupun begitu para

guru mengharapakan agar pada IHT berikutnya

panitia mengundang motivator agar para guru

lebih termotivasi dalam mengajar.

Dimensi behavior dalam penelitian ini

menyangkut tujuan khusus dari program IHT

yang di selenggarakan oleh SD

Muhammadiyah (Plus) Salatiga. Adapun tujuan

khusus yang dimaksud adalah peningkatan

kompetensi guru yang terbagi dalam

pengetahuan (kognitif), sikap (afektif), dan

keterampilan (psikomotor). Seluruh tujuan

kognitif tersebut dapat tercapai dengan baik,

walaupun perlu ada perbaikan pada metode

penyampaian materi agar dapat menambah

pengetahuan lebih optimal lagi. Adapun tujuan

afektif seluruhnya dapat tercapai dengan baik.

Pada tujuan psikomotor hampir seluruhnya

termasuk kategori baik. Akan tetapi masih ada

satu tujuan psikomotor yang belum tercapai

dengan baik, yaitu kemampuan menggunakan

Bahasa Arab dan Bahasa Inggris. Hal ini terjadi

karena kategori tersebut bukan menjadi

prioritas untuk segera dicapai dalam waktu tiga

tahun.

Berdasarkan penlitian dengan

menggunakan model evaluasi Three

Dimensional Cube Hammond untuk

menganalisis Program Pelatihan In House

Training (IHT) di SD Muhammadiyah (Plus)

Salatiga, dapat disimpulkan bahwa program

IHT yang dilaksanakan pada tahun ajaran

2013/2014 telah mencapai tujuan walaupun

masih perlu perbaikan.

Saran Berdasarkan simpulan yang telah

dipaparkan, maka dapat disarankan agar

sekolah hendaknya membuat perencanaan yang

lebih matang dengan mempertimbangkan

metode penyampaian materi yang sesuai

dengan tujuan materi; sekolah hendaknya

melakukan analisis kebutuhan bukan hanya

untuk menentukan topik tetapi juga untuk

menentukan pemateri yang dibutuhkan peserta;

sekolah hendaknya tidak memprioritaskan

beberapa tujuan saja, agar seluruh tujuan dapat

dicapai secara optimal dan menetapkan

kegiatan untuk mencapai tujuan tersebut,

misalnya untuk meningkatkan kemampuan

Bahasa Arab dan Bahasa Inggris perlu diadakan

hari bahasa untuk hari-hari tertentu.

Rekomendasi Keberlanjutan Program

Berdasarkan pemaparan-pemaparan

mengenai IHT SD Muhammadiyah (Plus)

Salatiga dari segi dimensi instructional,

institutional, dan behavior maka dapat

disimpulkan bahwa program IHT tersebut

memiliki pengaruh yang baik untuk

meningkatkan kompetensi guru. Oleh karena

Page 183: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Evaluasi Program Pelatihan In House Training (IHT) Di Sekolah Dasar Swasta | Aih E. Ayuningtyas, dkk.

183

itu, program tahunan SD Muhammadiyah

(Plus) Salatiga ini perlu dilanjutkan dengan

beberapa perbaikan. Perbaikan tersebut antara

lain: (1) panitia perlu menyusun perencanaan

tentang penggunaan metode yang lebih sesuai

dengan materi dan tujuan yang hendak dicapai,

khususnya pada materi yang memerlukan

praktek secara langsung atau simulasi; (2)

panitia perlu melakukan analisis kebutuhan

guru secara lebih detail, sebagai contoh

kebutuhan guru untuk mendapat motivasi dari

seorang motivator; dan (3) pihak sekolah perlu

memberikan perhatian kepada guru yang ingin

mengembangkan prestasinya dengan

memberikan pengarahan-pengarahan, atau pun

kegiatan-kegiatan yang dapat menunjang

potensi guru untuk berprestasi.

DAFTAR PUSTAKA

Astuti, S., Slameto, S., & Dwikurnaningsih, Y.

(2017). Peningkatan Kemampuan Guru

Sekolah Dasar Dalam Penyusunan

Instrumen Ranah Sikap Melalui In

House Training. Kelola: Jurnal

Manajemen Pendidikan, 4 (1), 37-47.

Basri, Hasan dan Rusdiana, A. 2015.

Manajemen Pendidikan dan Pelatihan.

Bandung: Pustaka Setia

Eliyanto dan Udik Budi Wibowo. 2016.

Pengaruh Jenjang Pendidikan,

Pelatihan, dan Pengalaman Mengajar

Terhadap Profesionalisme Guru SMA

Muhammadiyah di Kabupaten

Kebumen. Jurnal Akuntabilitas

Manajemen Pendidikan. 1 (1), 34-47.

Hammond, Robert L. 1968. Evaluation at The

Local Level. Tucson: Project EPIC

Musfah, Jejen. 2011. Peningkatan Kompetensi

Guru, Melalui Pelatihan dan Sumber

Belajar Teori dan Praktik. Jakarta:

Kencana

Pahlevi, Reza. 2016. Evaluasi Program Diklat

Kompetensi Guru Sekolah Menengah

Kejuruan (SMK) di Balai

Pengembangan Pendidikan Kejuruan

Provinsi Jawa Tengah. Tesis: Magister

Manajemen Pendidikan, Universitas

Kristen Satya Wacana

Putri, Ratu Ilma Indra. 2013. Evaluasi Program

Pelatihan Pendidikan Matematika

Realistik Indonesia (PMRI) Bagi Guru

Matematika Sumatera Selatan.

Prosiding Seminar Nasional Evaluasi

Pendidikan, 1 (1), 522-527.

Rivai, Veithzal dan Murni, Sylviana. 2012.

Education Management: Analisis Teori

dan Praktik. Jakarta: PT Rajagrafindo

Persada

Riza, Eva. 2014. Efektivitas Diklat Berjenjang

tingkat Dasar Pendidik Dan Tenaga

Kependidikan PAUD. Jurnal

Pendidikan Usia Dini 8 (1), 90-100.

Sudana, I Made. Analisis Meta Pada

Manajemen Pasca Pelatihan Untuk

Meningkatkan Produktivitas Guru di

SMK. Jurnal Pendidikan Vokasi. 1

(1),133-156.

Sudjoko, Alfaris. 2012. Peningkatan

Kemampuan Guru Mata Pelajaran

Melalui In-House Training. Jurnal

Pendidikan Penabur, 18 (11), 36-55.

Uysal, Hacer H. 2012. Evaluation of an In-

service Training Program for Primary-

school Language Teachers in Turkey.

Australian Journal of Teacher

Education. 37 (7), 14-29.

Yusoff, Mohd Azmi Mat, dkk. 2016.

Evaluation of School Based Assessment

Teacher Training Programme. Creative

Education. 2016 (7), 627-638.

Page 184: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Magister Manajemen Pendidikan FKIP Universitas Kristen Satya Wacana [email protected]

e-ISSN 2549-9661 Volume: 4, No. 2, Juli-Desember 2017

Halaman: 184-194

184

Dampak Biaya Kuliah Tunggal Terhadap Kualitas Layanan Pendidikan

Sumarno

Pendidikan Ekonomi, FKIP, Universitas Riau

[email protected]

Gimin

Pendidikan Ekonomi, FKIP, Universitas Riau

[email protected]

Syakdanur Nas

Pendidikan Ekonomi, FKIP, Universitas Riau

[email protected]

ABSTRACT

This study aims to determine the differences in the number of single tuition fees and

non-single tuition; the proportion of resources and the allocation of funds before and

after the single tuition policy; and the quality of educational services by single tuition and

non-single tuition college students. The data was collected from students and leaders at

the University of Riau through questionnaires, documentation, and interviews. Data were

analyzed descriptively and different test. The results show that the amount of a single

tuition fee is not much different from the non-single tuition fee. The proportion of funding

sources from the public increased after a single tuition policy, but the proportion of

allocations for operational costs decreased. Single tuition college students rated the

quality of educational services lower than the non-single tuition of students with

significant differences. Single tuition does not significantly affect the quality of education

services.

Keywords: single tuition fee, education services

Article Info

Received date: 2 Oktober 2017 Revised date: 5 November 2017 Accepted date: 5 November 2017

Page 185: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Dampak Biaya Kuliah Tunggal Terhadap Kualitas Layanan Pendidikan | Sumarno, dkk.

185

PENDAHULUAN

Uang Kuliah Tunggal menurut Peraturan

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan

(Permendikbud) No. 55 Tahun 2013 antara lain

dimaksudkan untuk meringankan beban

mahasiswa terhadap pembiayaan pendidikan.

Dalam pasal 5 disebutkan bahwa perguruan

tinggi negeri tidak boleh memungut uang

pangkal dan pungutan lain selain uang kuliah

tunggal dari mahasiswa baru program sarjana

(S1) dan program diploma mulai tahun

akademik 2013/2014.

Kebijakan Permendikbud tentang uang

kuliah tunggal (UKT) dimaksudkan untuk

meringankan beban mahasiswa, namun dalam

pelaksanaannya menuai banyak kritikan dan

penolakan karena justru dianggap

memberatkan mahasiswa. Kritikan dan

penolakan terhadap kebijakan UKT tersebut

juga muncul dari mahasiswa Universitas Riau.

Sebagaimana diberitakan di berbagai media

(riaupos.co, 26 Mei 2013;

bahanamahasiswa.co, 10 Juni 2013;

kampus.okezone.com, 08 Oktober 2013;

pewarta-indonesia.com, 09 Oktober 2013;

gagasanriau.com, 05 Desember 2013) yang

intinya mahasiswa keberatan dan menolak

kebijakan UKT karena terlalu mahal,

memberatkan, dan tidak transparan.

Menurut PP No.17 Tahun 2010 tentang

Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan,

Bab II Pasal 3 ayat b, pengelolaan pendidikan

ditujukan untuk menjamin mutu dan daya saing

pendidikan serta relevansinya dengan

kebutuhan dan/atau kondisi masyarakat.

Karena pengelolaan pendidikan ditujukan

untuk menjamin mutu maka pembiayaan

pendidikan dimaksudkan untuk meningkatkan

mutu pendidikan, sebagaimana pendapat

Wissema (2009) bahwa salah satu faktor

intrinsik yang berpengaruh besar terhadap

peningkatan mutu pendidikan di perguruan

tinggi adalah ketersediaan dana. Begitu juga

hasil penelitian Moses & Rahmayanti (2008)

tentang Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi

Kualitas Pendidikan Pada Perguruan Tinggi

menyimpulkan bahwa faktor keuangan

berpengaruh secara signifikan terhadap kualitas

pendidikan. Dalam UU No. 12 Tahun 2012

tentang Pendidikan Tinggi pasal 83 (1)

disebutkan bahwa Pemerintah menyediakan

dana Pendidikan Tinggi yang dialokasikan

dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja

Negara (APBN). Di samping dana dari APBN,

pendanaan pendidikan tinggi juga dapat

bersumber dari pemerintah daerah, masyarakat,

maupun biaya yang ditanggung mahasiswa

sesuai dengan kemampuan mahasiswa, orang

tua mahasiswa, atau pihak lain yang

membiayainya.

Mulyasa (2004) mengungkapkan bahwa

komponen keuangan dan pembiayaan

merupakan komponen yang menentukan

terlaksananya kegiatan proses belajar mengajar

yang penggunaannya antara lain untuk biaya

fasilitas dan alat-alat pengajaran (barang habis

pakai). Begitu juga Michael (2005) yang

menyatakan bahwa pengurangan pendanaan

menyebabkan kondisi layanan yang memburuk,

pemeliharaan bangunan yang terbengkalai, dan

penurunan kualitas akademis. Pernyataan

tersebut juga sesuai pendapat Sumarno (2012)

yang mengungkapkan bahwa rendahnya mutu

Perguruan Tinggi (PT) di Indonesia salah

satunya disebabkan oleh rendahnya dana untuk

membiayai PT. Pengaruh pendanaan terhadap

mutu pendidikan juga dibuktikan oleh data

yang terungkap dalam penelitiannya Sumarno,

Kartikowati, & Astuti (2014) bahwa besarnya

uang komite yang ditanggung siswa pada

sekolah unggul besarnya tiga kali lipat daripada

uang komite sekolah biasa. Hal itu

menunjukkan bahwa bila dana pendidikannya

kecil, maka mutunya terbatas atau menjadi

rendah.

Proporsi sumber dana masyarakat

(termasuk didalamnya uang kuliah dari

mahasiswa) setelah penerapan UKT mengalami

kenaikan, yaitu menjadi sebesar 75,8%

sedangkan sebelumnya hanya 67,4%. Proporsi

alokasi dananya juga ada yang mengalami

kenaikan yaitu alokasi untuk belanja barang

yaitu menjadi sebesar 52,4% dari sebelumnya

48,7%; sedangkan alokasi untuk belanja modal

menurun yaitu menjadi 13,1% dari sebelumnya

sebesar 14,7%. Adanya kenaikan sumber dana

Page 186: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017

186

masyarakat dan alokasinya untuk belanja

barang, secara teoretik akan menaikan mutu

layanan pendidikannya.

Menurut Ruben (1999), ada lima hal

pokok yang harus diperhatikan oleh manajemen

perguruan tinggi agar terjaga mutu

pendidikannya, yaitu: 1) teaching/ learning; 2)

service/ outreach; 3) schollarship/ research; 4)

workplace satisfaction, dan 5) financial. Lebih

lengkap (Ruben, Schreiner dan Juillerat, 2009)

dalam mengukur layanan pendidikan

menggunakan Student Satisfaction Inventory

yang meliputi 9 aspek, yaitu: 1) academic

advising effectiveness, 2) campus climate, 3)

campus life, 4) campus support services, 5)

instructional effectiveness, 6) recruitment and

financial aid effectiveness, 7) registration

effectiveness, 8) safety and security, and 9)

student centeredness.

Mengacu pada permasalahan dan

pemikiran di muka, penelitian ini mengkaji

tentang UKT dan pengaruhnya terhadap

layanan pendidikan. Tujuan penelitian ini untuk

mengetahui: a) Ada tidaknya perbedaan

besaran UKT dan uang kuliah sebelum

kebijakan UKT diterapkan, b) Proporsi sumber

dan alokasi dana pendidikan sebelum dan

sesudah penerapan UKT, c) Mutu layanan

pendidikan yang dirasakan mahasiswa UKT

dan non-UKT.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian

deskriptif yang mencoba mengungkap tentang

penerapan UKT dan pengaruhnya terhadap

mutu layanan pendidikan yang dirasakan

mahasiswa. Penelitian dilakukan di Universitas

Riau, dengan respondennya adalah unsur

pimpinan dan mahasiswa di lingkungan

Universitas Riau. Responden pimpinan di

lingkungan Universitas diambil dengan teknik

purposive sampling, yaitu para pimpinan, baik

di tingkat universitas maupun fakultas, yang

memahami tentang kebijakan keuangan UKT/

non-UKT dan pengelolaan keuangannya.

Responden mahasiswa diambil dengan teknik

cluster random sampling, yaitu kelompok

mahasiswa UKT (angkatan 2013/2014) dan

kelompok mahasiswa non-UKT (angkatan

sebelum 2013). Masing-masing kelompok

UKT dan non-UKT tersebut diambil secara

acak di sembilan fakultas, dengan jumlah

mahasiswa 30 orang setiap fakutas (15 orang

mahasiswa UKT dan 15 orang mahasiswa non-

UKT) sehingga jumlah sampel mahasiswa

sebanyak 270 orang (135 mahasiswa UKT dan

135 mahasiswa non-UKT). Data penelitian

dikumpulkan dengan teknik pemberian angket,

dokumentasi, dan wawancara. Angket

digunakan untuk mengumpulkan data tentang

mutu layanan pendidikan dan biaya pendidikan

yang dikeluarkan oleh mahasiswa nonUKT.

Instrumen angket tentang mutu layanan

pendidikan merupakan angket tertutup yang

disusun berdasarkan konsep mutu layanan

pendidikan sembilan indikator dengan skala

penilaian 1 hingga 5 (Tidak Memuaskan hingga

Sangat Memuaskan). Instrumen angket tentang

biaya penndidikan mahasiswa non-UKT

merupakan angket terbuka yang disusun

berdasarkan konsep biaya pendidikan yang

dikeluarkan mahasiswa untuk keperluan

kuliahnya, selain biaya pribadi. Dokumentasi

untuk mengumpulkan data tentang pembiayaan

pendidikan yang dikelola oleh universitas, baik

yang bersumber dari mahasiswa maupun dari

sumber lainnya.

Data dianalisis secara deskriptif dan uji

beda. Analisis deskriptif untuk mendapatkan

gambaran tentang: biaya kuliah baik yang UKT

maupun non-UKT, mutu layanan pendidikan

yang diterima mahasiswa, serta proporsi

sumber dan alokasi dana pendidikan

Universitas Riau. Analisis uji beda dengan

teknik uji t beda rata-rata, untuk menganalisis

ada tidaknya perbedaan besarnya biaya kuliah

UKT dan non-UKT serta perbedaan layanan

pendidikan yang diterima mahasiswa UKT dan

non-UKT.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Penelitian

Pada hasil penelitian ini akan dipaparkan

mengenai biaya pendidikan oleh mahasiswa

UKT dan non-UKT serta perbedaannya;

proporsi sumber dan alokasi dana pendidikan

universitas; serta layanan pendidikan yang

Page 187: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Dampak Biaya Kuliah Tunggal Terhadap Kualitas Layanan Pendidikan | Sumarno, dkk.

187

diterima oleh mahasiswa UKT dan non-UKT

beserta perbedaannya.

Biaya pendidikan mahasiswa UKT dan Non-

UKT

Data biaya pendidikan yang dikeluarkan

oleh mahasiswa UKT mapun non-UKT di

Universitas Riau dapat ditunjukkan pada tabel

1 berikut.

Tabel 1. Data Biaya Pendidikan Mahasiswa

Kelompok UKT dan Non-UKT

Indeks Mhs UKT

(Rp)

Mhs Non-UKT

(Rp)

Minimum 500.000,00 750.000,00

Maksimum 13.425.000,00 27.000.000,00

Rata-rata 3.749.614,81 3.578.950,77

Mode 3.125.000,00 904.200,00

Sumber: data penelitian, diolah

Tabel 1. di atas menunjukkan bahwa rata-

rata dan mode biaya pendidikan yang

dikeluarkan kelompok mahasiswa UKT di

Universitas Riau lebih tinggi dibanding

kelompok non-UKT. Nilai rata-rata yang lebih

tinggi (Rp3.749.614,81 dibanding

Rp3.578.950,77) menggambarkan bahwa

penerapan kebijakan UKT di Universitas Riau

secara umum meningkatkan jumlah absolut

biaya pendidikan yang harus

ditanggung/dikeluarkan mahasiswa. Begitu

juga nilai mode yang lebih tinggi

Rp3.125.000,00 dibanding Rp904.200,00),

menggambarkan bahwa mahasiswa kelompok

UKT yang membayar biaya pendidikan lebih

tinggi jumlahnya lebih banyak dibandingkan

mahasiswa kelompok non-UKT. Hanya saja

rentang jumlah biaya pendidikan mahasiswa

kelompok UKT (minimum Rp500.000,00

maksimum Rp13.425.000,00) lebih rendah

disbandingkan mahasiswa kelompok non-UKT

(minimum Rp750.000,00 maksimum

Rp27.000.000,00). Artinya bahwa pada

mahasiswa kelompok UKT hanya menanggung

biaya pendidikan antara Rp500.000,00 hingga

Rp13.425.000,00; sedangkan mahasiswa

kelompok non-UKT tanggungan biaya

pendidikannya antara Rp750.000,00 hingga

Rp27.000.000,00. Rentang besaran uang kuliah

mahasiswa non-UKT yang lebih besar tersebut

dapat menggambarkan bahwa masyarakat/

mahasiswa memiliki kemampuan ekonomi

untuk menanggung biaya kuliah yang lebih

tinggi dari besaran UKT (Rp500.000,00 hingga

Rp13.425.000,00).

Walaupun secara absolut ada perbedaan

rata-rata biaya pendidikan antara mahasiswa

kelompok UKT dan Non UKT, namun secara

statistik ternyata tidak ada perbedaan yang

signifikan, sebagaimana ditunjukkan oleh hasil

uji beda seperti tabel 2 berikut.

Tabel 2. Hasil Uji Beda Biaya Pendidikan Mahasiswa

Kelompok UKT dan Non-UKT

Uji

Perbedaan

Varians

Uji Perbedaan Rata-

rata

F Sig. t df Sig.

Biaya

Pendi-

dikan

Varians sama 8.020 .005 .348 268 .728

Varians tidak

sama

.348 217.650 .728

Sumber: Hasil pengolahan data

Tabel 2. di atas menunjukan thitung 0,348

dengan probabilitas 0,728 > 0,05. Itu berarti

bahwa rata-rata biaya pendidikan dari kedua

kelompok sampel tersebut tidak ada perbedaan

yang signifikan. Tidak adanya perbedaan

secara statistik antara biaya pendidikan

mahasiswa UKT dan non-UKT memberikan

gambaran bahwa besaran biaya pendidikan

diantara kedua kelompok mahasiswa tersebut

secara umum tidak berbeda secara signifikan.

Hal ini dapat diartikan bahwa secara

keseluruhan besaran biaya pendidikan UKT

dan non-UKT relatif sama. Hal tersebut

mengandung makna bahwa biaya pendidikan

mahasiswa non-UKT yang dikeluarkan

sepanjang semester hampir (relatif) sama

dengan biaya kuliah mahasiswa UKT yang

dikeluarkan (dibayar) sekaligus pada saat

membayar uang kuliah pada awal semester.

Pengeluaran yang hanya sekaligus tersebut

yang kemungkinan menjadi keberatan

mahasiswa, karena harus ada dana sejumlah

kelompok UKT-nya pada saat membayar uang

kuliah (SPP).

Proporsi sumber dan alokasi dana

pendidikan di universitas

Penerimaan Universitas Riau (UR) tahun

2013 (sebelum UKT) sebesar

Page 188: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017

188

Rp394.166.849.000,00 sedangkan tahun 2014

(sesudah UKT) sebesar Rp413.728.568.000,00.

Jumlah absolut tersebut menunjukkan bahwa

dana pendidikan sesudah kebijakan UKT lebih

besar dibandingkan sebelum kebijakan UKT.

Hal itu sesuai dengan hasil uji deskriptif biaya

pendidikan mahasiswa, bahwa dengan adanya

penerapan kebijakan UKT dana pendidikan

yang diterima universitas meningkat karena

rata-rata dan jumlah mahasiswa yang

membayar biaya pendidikan lebih besar setelah

penerpan kebijakan UKT.

Dana tersebut digunakan untuk

membiayai berbagai kegiatan baik untuk untuk

kegiatan fakultas maupun lembaga-lembaga

pendukung lainnya, baik untuk investasi

maupun biaya operasional. Sumber penerimaan

dua tahun terakhir (2013 dan 2014) sebagian

besar berasal dari dana masyarakat sebesar

67,4% dan 75,8% yang berupa PNBP

(Penerimaan Negara Bukan Pajak) sebesar

100% dan 99,9%. Sumber lainnya yaitu dari

Pemerintah sebesar 32,6% dan 24,2% yang

berupa BOPTN (Biaya Operasional Perguruan

Tinggi Negeri) sebesar 100% dan 85,1%.

Meskipun pada tahun 2014 ada sumber dari

kegiatan usaha tetapi proporsinya sangat kecil

yaitu hanya 0,1%. Besarnya peningkatan

sumber dana dari dana masyarakat pada tahun

2014 (dari 67,4% menjadi 75,8%) yang

melebihi dari peningkatan sumber kegiatan

usaha (dari 0% menjadi 0,1%) menunjukkan

bahwa sumber dana dari uang kuliah

mahasiswa (PNBP) pada tahun 2014 (setelah

penerapan UKT) meningkat.

Dilihat dari penggunaanya, dana tersebut

sebagian besar teralokasi untuk membiayai

“Belanja Pegawai” dan “Belanja Barang”, yaitu

pada tahun 2013 masing-masing 34,5% dan

52,4%; sedangkan tahun 2014 masing-masing

34,4% dan 48,7%. Penggunaan dana untuk

belanja modal relatif kecil (13,1% dan 14,7%),

begitu juga untuk bantuan sosial (0,00%dan

2,2%). Proporsi belanja pegawai pada tahun

2014 (sesudah penerapan UKT) dan pada tahun

2013 (sebelum penerapan UKT) ternyata relatif

sama yaitu masing-masing sebesar 34,4% dan

34,5%, sedangkan proporsi belanja barang

(operasional non gaji/ tunjangan) pada tahun

2014 (sesudah penerapan UKT) ternyata lebih

kecil dibanding pada tahun 2013 (sebelum

penerapan UKT), yaitu menjadi 48,7% dari

sebelumnnya sebesar 52,4%. Hal itu dapat

menunjukkan bahwa biaya untuk kegiatan

operasional setelah penerapan UKT (tahun

2014) menurun dibanding sebelum penerapan

UKT (tahun 2013). Proporsi sumber dan

penggunaan dana beserta unsur masing-

masingnya dapat ditunjukkan seperti pada tabel

3 berikut.

Tabel 3. Proporsi Sumber dan Penggunaan Dana

Universitas Riau Tahun 2013 dan 2014

Sumber Dana Tahun Proporsi

1. Pemerintah: 2013 (non UKT) 32,6%

2014 (UKT) 24,2%

a. Bantuan

Operasional Perguruan Tinggi

Negeri (BOPTN)

2013 100,0%

2014 85,1%

b. Hibah 2013 0,0%

2014 14,9%

2. Masyarakat: 2013 (non UKT) 67,4%

2014 (UKT) 75,8%

a. Penerimaan Negara

Bukan Pajak (PNBP)

2013 100,0%

2014 99,9%

b. Kegiatan usaha 2013 0,0%

2014 0,1%

Penggunaan Dana 2013 (non UKT) 100%

2014 (UKT) 100%

1. Belanja Pegawai 2013 34,5%

2014 34,4%

2. Belanja Barang 2013 52,4%

2014 48,7%

3. Belanja Modal 2013 13,1%

2014 14,7%

4. Belanja Bantuan Sosial

2013 0,0%

2014 2,2%

Sumber: Bag. Keuangan UR, diolah.

Mutu Layananan Pendidikan

Menurut penilaian mahasiswa secara

keseluruhan (mahasiswa UKT dan non-UKT),

mutu layanan pendidikan di Universitas Riau

secara umum sudah masuk kategori tinggi.

Adapun sebarannya dapat ditunjukkan seperti

dalam tabel berikut.

Page 189: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Dampak Biaya Kuliah Tunggal Terhadap Kualitas Layanan Pendidikan | Sumarno, dkk.

189

Tabel 4. Mutu Layanan Pendidikan Universitas Riau

Menurut Persepsi Mahasiswa

Kategori Frekuensi % % Kumulatif

Sangat Tinggi 17 6.3 6.3

Tinggi 223 82.6 88.9

Rendah 23 8.5 97.4

Sangat Rendah 7 2.6 100.0

Jumlah 270 100.0

Sumber: Hasil Pengolahan data

Tabel 4. di atas menunjukan bahwa secara

umum (82,6%) mahasiswa responden menilai

mutu layanan pendidikan Universitas Riau

tergolong kategori tinggi, bahkan 6,3%

menyatakan sangat tinggi. Meskipun ada

mahasiswa yang merasakan mutu layanan

pendidikan Universitas Riau pada kategori

rendah dan sangat rendah, namun relatif kecil

yaitu sebesar 11,1%. Bila dilihat dari masing-

masing kelompok mahasiswa UKT dan non-

UKT, mutu layanan pendidikannya nampak

dalam tabel berikut.

Tabel 5. Skor Mutu Layanan Pendidikan Universitas

Riau Berdasar Kelompok Uang Kuliah Mahasiswa

Kelompok n Rata-rata Simpangan

baku

Layanan

Pendidikan

UKT 135 2,973 0,5416

Non UKT 135 3,209 0,4203

Sumber: Hasil pengolahan data

Rata-rata Skor mutu layanan pendidikan

pada Tabel 5. di atas nampak bahwa kelompok

mahasiswa non-UKT lebih besar daripada

kelompok mahasiswa UKT. Hal itu

menunjukkan bahwa mahasiswa Non-UKT

rata-rata memberikan penilaian mutu pelayanan

yang lebih tinggi dibanding mahasiswa UKT

(3,209 > 2,973). Ini berarti bahwa layanan

pendidikan yang dirasakan oleh mahasiswa

UKT lebih rendah dibanding yang dirasakan

oleh mahasiswa non-UKT. Perbedaan tersebut

ternyata terbukti signifikan secara statistik,

dimana nilai thitung sebesar -3.992 dengan

signifikansinya sebesar 0,000 < 0,05). Hal

tersebut menggambarkan bahwa secara absolut

dan relatif mahasiswa kelompok UKT

merasakan layanan pendidikan yang lebih

rendah dibandingkan layanan pendidikan yang

dirasakan oleh mahasiswa kelompok non-UKT.

Hasil uji beda statistik tentang mutu layanan

dari kelompok mahasiswa UKT dan kelompok

mahasiswa non-UKT tersebut dapat

ditunjukkan pada tabel 6.

Adanya perbedaan secara signifikan mutu

layanan yang dirasakan oleh kedua kelompok

mahasiswa tersebut dapat dikatakan bahwa

penerapan UKT menurunkan mutu layanan

yang dirasakan mahasiswanya. Kondisi

tersebut dapat diduga disebabkan oleh adanya

penurunan proporsi penggunaan dana untuk

belanja barang (operasional non gaji/tunjangan)

pada masa penerapan UKT. Tetapi dapat saja

disebabkan mahasiswa kelompok UKT

“merasa” membayar uang kuliah yang lebih

besar sebagaimana terungkap pada rata-rata dan

modus biaya pendidikan mahasiswa UKT yang

lebih besar daripada mahasiswa non-UKT.

Tabel 6. Hasil Uji Beda Mutu Layanan Pendidikan

Mahasiswa UKT dan Non-UKT

Uji Perbedaan

Varians Uji Perbedaan Rata-rata

F Sig t df Sig.

Layan

an

Pendi

dikan

Varians

sama

2,195 0,140 -3,992 268 0,000

Varians

tidak

sama

-3,992 252,440 0,000

Sumber: hasil pengolahan data

Pengelolaan UKT di Universitas Riau

Besaran UKT di Universitas Riau dibagi

dalam lima kategori yang didasarkan pada

kelompok kemampuan ekonomi

orangtua/mahasiswa. Kelompok 1 merupakan

kategori uang kuliah per semester yang paling

rendah yang diperuntukkan bagi orang

tua/mahasiswa yang kemampuan ekonominya

termasuk tidak mampu atau miskin. Kelompok

2 merupakan uang kuliah yang besarnya lebih

tinggi daripada Kelompok 1 yang

diperuntukkan bagi orangtua/mahasiswa yang

kemampuan ekonominya lebih tinggi daripada

Kelompok 1. Begitu seterusnya, peningkatan

kelompoknya merupakan peningkatan besaran

uang kuliahnya, hingga Kelompok 5 yang

besarnya uang kuliahnya paling tinggi.

Page 190: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017

190

Sebaran proporsi jumlah mahasiswa UKT

Kelompok 4 dan 5 pada tahun 2014 sebanyak

76% (15,5% + 60,5%). Jumlah ini mengalami

peningkatan 3,2% dari tahun sebelumnya yang

jumlahnya 72,8% (14,8% + 58%). Disisi lain,

jumlah mahasiswa pada UKT Kelompok 1 pada

tahun 2014 sebanyak 1,9%. Jumlah ini

mengalami penurunan sebesar 3,3% dari tahun

sebelumnya yang jumlahnya 5,2%. Penurunan

jumlah mahasiswa UKT Kelompok 1 pada

tahun 2014 tersebut terjadi pada semua

fakultas. Penurunan tersebut menyebabkan

proporsi jumlah mahasiswa UKT Kelompok 1

pada tahun 1014 tidak memenuhi jumlah

minimal (5%) dari jumlah mahasiswa yang

diterima, sesuai Permendikbud. Hal yang

demikian dapat terjadi karena kekeliruan dalam

pembagian proporsi jumlah mahasiswa dalam

kelompok UKT; tetapi hal yang positifnya

dapat menggambarkan bahwa kemampuan

ekonomi orang tua/mahasiswa yang masuk

kategori tidak/kurang mampu hanya sedikit,

yaitu hanya 1,9% dari seluruh mahasiswa UKT.

Pembahasan

Dari hasil penelitian tentang biaya

pendidikan atau uang kuliah mahasiswa seperti

diungkapkan di muka, secara absolut nominal

rata-rata uang kuliah mahasiswa kelompok

UKT lebih besar, namun secara statistik

menunjukkan tidak ada perbedaan yang

signifikan. Artinya, besaran uang kuliah

mahasiswa UKT dan mahasiswa non-UKT

relatif tidak berbeda. Besaran rata-rata uang

kuliah mahasiswa kelompok UKT yang lebih

besar dapat dipandang bahwa masyarakat

memiliki kemampuan yang lebih besar untuk

membiayai pendidikan mereka di perguruan

tinggi. Di sisi yang lain dapat juga dipandang

bahwa masyarakat memiliki kesadaran untuk

dapat mengalokasikan sumber daya keuangan

rumah tangganya untuk kepentingan

pendidikan anak yang lebih baik. Hal itu sesuai

pendapat Elfindri (2011) bahwa anggaran

pendidikan di Indonesia perlu memenuhi unsur

rational choice untuk memenuhi pencapaian

target pendidikan, pemerataan, dan kualitas,

yang antara lain dengan mengajak masyarakat

agar sadar dan mampu mengalokasikan sumber

dayanya secara optimal untuk kepentingan

kesejahteraan rumah tangga.

Walaupun secara relatif uang kuliah

mahasiswa UKT tidak berbeda dengan

mahasiswa non-UKT, tetapi karena

pengeluaran uang kuliah mahasiswa UKT harus

dibayarkan sekaligus pada awal semester, maka

seolah-olah besarannya lebih besar secara

signifikan. Karena dibayar sekaligus pada awal

semester, mereka juga merasa bebannya

menjadi berat. Hal demikian menyebabkan

mahasiswa merasa bahwa penerapan kebijakan

UKT menjadikan uang kuliahnya terlalu mahal

dan memberatkan sebagaimana yang dilansir

dalam media massa seperti: riaupos.co, 26 Mei

2013; bahanamahasiswa.co, 10 Juni 2013;

kampus. okezone.com, 08 Oktober 2013;

pewarta-indonesia.com, 09 Oktober 2013;

gagasanriau.com, 05 Desember 2013. Kondisi

mahasiswa UKT yang merasa bahwa UKT

menjadi mahal dan memberatkan tentu menjadi

dilema bagi universitas karena untuk

menyelenggarakan pendidikan yang bermutu,

perguruan tinggi memerlukan biaya besar dan

mahal (Indrawan, 2008). Terhadap masalah ini

universitas perlu melakukan pemahaman

kepada mahasiswa secara masif.

Bila mencermati rentang besaran uang

kuliah kelompok mahasiswa UKT yang lebih

rendah daripada mahasiswa non-UKT, berarti

dengan adanya penerapan UKT secara

kolektivitas sebenarnya meringkankan beban

biaya kuliah mahasiswa, terutama bagi

mahasiswa yang kemampuan ekonominya

terbatas, karena uang kuliah yang ditanggung

menjadi lebih rendah (UKT Kelompok 1). Hal

yang demikian sesuai dengan pertimbangan di-

keluarkannya Peraturan Menteri Pendidikan

dan Kebudayaan Republik Indonesia

(Permendikbud) Nomor 55 Tahun 2013, hal

Menimbang huruf b yang mengungkapkan

“bahwa untuk meringankan beban mahasiswa

terhadap pembiayaan pendidikan, perlu

menetapkan uang kuliah tunggal di perguruan

tinggi negeri di lingkungan Kementerian

Pendidikan dan Kebudayaan”.

Page 191: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Dampak Biaya Kuliah Tunggal Terhadap Kualitas Layanan Pendidikan | Sumarno, dkk.

191

Penerimaan universitas tahun 2014

(sesudah penerapan UKT), yaitu sebesar

Rp413.728.568.000,00 yang mengalami

peningkatan sebesar 4,97% dari penerimaan

tahun sebelumnya (sebelum penerapan UKT)

sebesar Rp394.166.849.000. Hal itu didukung

dari data proporsi penerimaan universitas yang

bersumber dari masyarakat, yaitu meningkat

8,4% menjadi 75,8% pada tahun 2014 (sesudah

penerapan UKT) dibanding pada tahun 2013

(sebelum penerapan UKT) yang hanya sebesar

67,4%. Peningkatan tersebut juga didukung

dari data tentang rata-rata UKT dan modusnya

yang lebih besar dari rata-rata dan modus uang

kuliah mahasiswa non-UKT. Peningkatan dana

yang diperoleh universitas tersebut sesuai

tujuan kebijakan UKT yaitu untuk

meningkatkan pelayanan dengan cara

membebankan biaya pendidikan kepada

masyarakat secara proporsional sesuai

kemampuannya.

Penggunaan dana universitas untuk biaya

operasional (belanja barang di luar

gaji/tunjangan) pada tahun 2014 (setelah

penerapan UKT) justru mengalami penurunan

sebesar 3,7% menjadi 48,7% dibanding tahun

2013 (sebelum penerapan UKT) sebesar 52,4%.

Penurunan alokasi untuk biaya operasional

tersebut kemungkinan disebabkan adanya

kelambatan dalam mengalokasikan biaya

operasional ke unit-unit yang menjalankan

layanan pendidikan secara langsung kepada

mahasiswa. Mengingat biaya operasional

sangat bersentuhan langsung dengan layanan

pendidikan, maka penurunan ini dapat

mengakibatkan penurunan layanan pendidikan-

nya. Tetapi di lain pihak adanya peningkatan

belanja bantuan sosial yang dapat untuk

membantu masyarakat yang kurang mampu

secara ekonomi untuk dapat mengenyam

pendidikan tinggi. Untuk menjaga alokasi biaya

operasional tidak menurun dapat dilakukan

pengalokasian dana kepada unit-unit yang

menjalankan layanan pendidikan kepada

mahasiswa, secara cepat, tepat, dan akurat

karena dana dari uang kuliah yang masuk sudah

diketahui pada awal semester.

Dari sisi mutu pelayanan, hasil penelitian

menunjukkan bahwa mutu layanan pendidikan

yang dirasakan mahasiswa kelompok UKT

lebih rendah dibanding menurut mahasiswa

Non-UKT. Perbedaan yang lebih rendah

setelah penerapan UKT tersebut secara statistik

terbukti signifikan. Hal ini dapat dipahami

karena mahasiswa kelompok UKT merasa

bahwa layanan pendidikan yang diterimanya

tidak sebanding dengan uang kuliah yang

mereka bayarkan, karena uang kuliahnya lebih

besar dibanding uang kuliah mahasiswan non-

UKT. Hal itu juga didukung oleh jumlah

mahasiswa yang membayar uang kuliah lebih

tinggi dibanding mahasiswa non-UKT, yaitu

dari rata-rata dan mode biaya pendidikan

mahasiswa kelompok UKT yang lebih tinggi

daripada mahasiswa kelompok non-UKT. Bila

mencermati bahasan tentang alokasi dana untuk

biaya operasional di atas, mutu layanan yang

lebih rendah menurut mahasiswa kelompok

UKT juga disebabkan oleh penurunan proporsi

biaya operasional pada tahun 2014 (setelah

peneerapan UKT). Proporsi biaya operasional

pada tahun 2014 (setelah penerapan UKT)

justru menurun, maka penilaian mutu layanan

pendidikan menurut mahasiswa kelompok

UKT menjadi lebih rendah dibanding penilaian

mahasiswa non-UKT karena dengan

menurunnya biaya operasional maka kegiatan

yang berkenaan dengan layanan mahasiswa

juga menurun. Hal ini misalnya terjadi pada

ujian semester yang pada masa sebelum UKT

mahasiswa langsung membayar biayanya ke

fakultas dan langsung digunakan untuk

membiayai kebutuhan pelaksanaan ujian oleh

fakultas. Tetapi dengan adanya penerapan

UKT, biaya tersebut harus diminta ke

universitas sehingga menjadi terkendala seperti

terlambat ataupun tidak sesuai yang

dibutuhkan. Begitu juga untuk kegiatan-

kegiatan operasional yang lain seperti tes

TOEFL dan kegiatan kemahasiswaan.

Mutu layanan pendidikan yang dirasakan

mahasiswa UKT ternyata lebih rendah dari

mutu layanan pendidikan yang dirasakan

mahasiswa non-UKT dan perbedaannya

signifikan, sedangkan besaran uang kuliah yang

Page 192: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017

192

dikeluarkan mahasiswa UKT relatif sama

dengan mahasiswa non-UKT. Hal itu berarti

bahwa antara besaran UKT walaupun besaran

uang kuliah mahasiswa yang dibayarkan tidak

seiring dengan mutu layanan pendidikan yang

diterima mahasiswa. Ini menunjukkan bahwa

UKT tidak berpengaruh terhadap mutu layanan

pendidikan universitas. Hal yang demikian

sejalan dengan hasil penelitian Suhaylide

(2013) yang mengungkapkan bahwa pengaruh

biaya pendidikan terhadap kepuasan

mahasiswa berada pada kategori sedang.

Pengelolaan UKT di Universitas Riau

pada tahun 2014 masih menimbulkan persoalan

sehingga menimbulkan dampak yang

menghambat layanan pendidikan. Di samping

dari segi pengalokasian biaya operasional yang

menurun dari tahun sebelumnya, dari segi

proporsi jumlah mahasiswa yang masuk dalam

Kelompok UKT 1 masih berada di bawah 5%.

Hal ini memang dapat meningkatkan

pendapatan dana universitas menjadi lebih

besar, namun proporsi yang kurang dari 5%

belum sesuai dengan Permendikbud Nomor 73

Tahun 2014 Pasal 4 ayat (1) yang menyatakan

bahwa uang kuliah tunggal kelompok 1

diterapkan paling sedikit 5 (lima) persen dari

jumlah mahasiswa yang diterima di setiap

perguruan tinggi negeri. Bila proporsi minimal

dapat dipenuhi, sebenarnya memberikan

manfaat bagi universitas yang berupa

timbulnya atau meningkatnya citra baik

universitas, sebagaimana diungkapkan Wijatno

(2009) bahwa cost leadership strategy yang

berupa harga jual yang lebih rendah merupakan

salah satu strategi mengelola citra. Pemenuhan

proporsi jumlah mahasiswa UKT kelompok 1

sebenarnya dapat dilakukan dengan

mengalihkan sebagian mahasiswa UKT

kelompok 2 (sebanyak 0,8%) dan sebagian

mahasiswa UKT kelompok 3 (sebanyak 2,3%).

Agar pengalihan sebagian jumlah mahasiswa

tersebut tidak mengurangi dana yang diterima

universitas, maka perlu juga mengalihkan

sebagian mahasiswa UKT kelompok 3 ke UKT

kelompok 4 atau UKT kelompok 4 ke UKT

kelompok 5. Pengalihan sebagian mahasiswa

ke UKT kelompok 3 atau 4 ke UKT kelompok

yang lebih besar juga memungkinkan karena

rentang maksimum besaran uang kuliah non-

UKT (Rp 27.000.000,00) masih dapat

dijangkau. Artinya mahasiswa yang memiliki

kemampuan untuk membayar UKT kelompok

4 ataupun kelompok 5 masih ada potensinya.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Besaran uang kuliah mahasiswa UKT

secara relatif tidak berbeda dengan uang kuliah

mahasiswa non-UKT. Mahasiswa UKT

“merasa” uang kuliahnya lebih besar karena

membayarnya sekaligus pada saat awal

semester (masa pembayaran uang kuliah)

sedangkan mahasiswa non-UKT membayar

biaya kuliah secara berangsur sesuai jenis

biayanya selama satu semester. Proporsi

sumber dana yang berasal dari masyarakat yang

berupa penerimaan negara bukan pajak (PNBP)

meningkat setelah penerapan UKT. Tetapi

proporsi alokasi dana untuk biaya operasional

(belanja barang) justru menurun. Mahasiswa

kelompok UKT menilai mutu layanan

pendidikan lebih rendah dibanding mahasiswa

kelompok non-UKT dan perbedaanya terbukti

signifikan. Hal ini dapat terjadi karena

mahasiswa UKT “merasa” membayar uang

kuliah lebih besar daripada mahasiswa non-

UKT atau karena alokasi dan untuk biaya

operasional (belanja barang) menurun. Mutu

layanan pendidikan tidak dipengaruhi oleh

UKT, tetapi lebih dipengaruhi oleh alokasi dan

yang diperuntukkan bagi biaya operasional

pendidikan. Kebijakan UKT dapat membantu

masyarakat yang memiliki kemampuan

akademik tetapi ekonominya tidak/kurang

mampu, untuk dapat mengenyam pendidikan

tinggi. Bantuan tersebut tercermin pada

Pengelompokan besarnya UKT yang

didasarkan kemampuan ekonomi orangtua/

mahasiswa dari kelompok ekonomi tidak

mampu (UKT kelompok 1) hingga kelompok

ekonomi sangat mampu (UKT kelompok 5).

Saran

Bagi Universitas dan fakultas: a) perlu

lebih memberdayakan sumberdaya manusia

dosen untuk menggali dana-dana kerjasama

Page 193: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Dampak Biaya Kuliah Tunggal Terhadap Kualitas Layanan Pendidikan | Sumarno, dkk.

193

untuk meningkatkan penerimaan, b) perlu

meningkatkan program yang berkenaan

dengan/berorientasi pada kepentingan

pembelajaran mahasiswa baik program

pendidikan, penelitian, maupun pengabdian

kepada masyarakat, c) Pengalokasian dana,

khususnya yang bersumber dari uang kuliah

mahasiswa, diprioritaskan untuk program

kegiatan yang bersentuhan langsung dengan

layanan pendidikan bagi mahasiswa. Bagi

pihak lain yang berkepentingan perlu dilakukan

penelitian lebih lanjut tentang faktor yang

mempengaruhi mutu layanan pendidikan,

sehigga dapat digunakan sebagai bahan untuk

menggerakan peningkatan mutu layanan

pendidikan secara lebih efektif dan efisien.

DAFTAR PUSTAKA

Bahana Mahasiswa. 10 Juni, (2013). Uang

Kuliah Tunggal UR Ada Yang Janggal,

(Online), http://bahana mahasiswa.co/?

p=699.

Dedi Supriadi. (2006). Satuan Biaya

Pendidikan Dasar dan Menengah.

Bandung: Remaja Rosdakarya.

Elfindri. (2011). Pendidikan Sebagai Barang

Ekonomi. Bandung: Lubuk Agung.

Gagasan Riau. (2013). Desak Batalkan UKT,

Mahasiswa Unri Duduki Kantor

Rektorat,http://gagasanriau.com/desak-

batalkan-ukt-mahasiswa-unri-duduki-

kantor-rektorat/

Indrawan, R. 2008). Manajemen Kinerja dalam

Meningkatkan Akuntabilitas

Pengelolaan PTS. Makalah disampai-

kan pada Penataran Bagi Pengurus

Yayasan, Pimpinan PTS dan Dosen di

lingkungan PTS Kopertis Wilayah IV

Jabar dan Banten, 22-23 Juli.

John, R. L. & Morphet, E.L. (1997). The

Economic and Financing of Education.

New Jersey: Prentice Hall.

Kampus Okezone. (2013). UKT Tak

Transparan, Ribuan Mahasiswa UNRI

Demo Rektorat, http://kampus.-

okezone.com/read/2013/10/08/373/

878576/ukt-tak-transparan-ribuan-

mahasiswa-unri-demo-rektorat.

Mulyasa. (2004). Manajemen Berbasis

Sekolah: Konsep, Strategi, dan

Implementasi. Bandung: Remaja

Rosdakarya.

Michael, S. O. (2005). Financing Higher

Education In A Global Market: A

Contextual Background. Financing

Higher Education In A Global Market.

Editor: Steve O. Michael and Mark A.

Kretovics. New York: Algora

Publishing.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

Nomor 48 Tahun 2008 tentang

Pendanaan Pendidikan.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

Nomor 17 Tahun 2010 tentang

Pengelolaan dan Penyelenggaraan

Pendidikan.

Permendikbud Nomor 55 Tahun 2013 tentang

Biaya Kuliah Tunggal dan Uang Kuliah

Tunggal Pada Perguruan Tinggi Negeri

Di Lingkungan Kementerian

Pendidikan dan Kebudayaan.

Pewarta Indonesia. (2013). Ribuan Mahasiswa

Universitas Riau Pertanyakan

Tranparansi Dana UKT, http://pewarta-

indonesia.com/berita/

pendidikan/12479-ribuan-mahasiswa-

universitas-riau-pertanyakan-

tranparansi-dana-ukt.html.

Ruben, B. D. (1999). Toward A Balanced

Scorecard for Higher Education:

Rethinking the College and University

Excellence Indicator Framwork. Higher

Education Forum 99-02 Fall, 1999. New

Jersey: The Hunter Group in their

Higher Education White Paper Series.

Schreiner, L. A. & Juillerat, S. L. (2009). The

Student Satisfaction Inventory,

(http://www.ecsu.edu/academics/office

s/iera/docs/SSIInterpretiveGuide2009-

10.pdf),

Singgih, M. L. & Rahmayanti. (2008). Faktor-

Faktor yang Mempengaruhi Kualitas

Pendidikan Pada Perguruan Tinggi.

Prosiding Seminar Nasional Teknoin

2008 Bidang Teknik Industri.

Yogyakarta, 22 November 2008.

Page 194: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017

194

Suharsimi Arikunto, dan Lia Yuliana. (2009).

Manajemen Pendidikan. Yogyakarta:

Aditya Media.

Suhaylide, I. S. (2013). Pengaruh Mutu

Layanan Akademik dan Biaya

Pendidikan Terhadap Kepuasan

Mahasiswa Pada Sekolah Tinggi

Pariwisata Bandung. Masters thesis,

http://repository.upi.edu/2812/.

Sumarno. (2012). Rendahnya Mutu Pendidikan

Tinggi di Indonesia: Penyebab dan

Strategi Peningkatannya. Jurnal

Pendidikan. 3(2) 75-83.

Sumarno, Kartikowati, S., & Astuti, R. (2014).

Pembiayaan Pendidikan SMA

“Unggul” di Kota Pekanbaru dan

Pengaruhnya Terhadap Mutu Hasil

Belajar Siswa. http://repository.unri.

ac.id/xmlui/handle/123456789/6378.

Tilaar, H.A.R. (2008). Manajemen Pendidikan

Nasional: Kajian Pendidikan Masa

Depan. Bandung: Rosdakarya.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12

Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.

Wissema, J.G. 2009. Towards the Third

Generation University: Managing the

University in Transition. Cheltenham:

Edward Elgar

Wijatno, S. (2009). Pengelolaan Perguruan

Tinggi Secara Efisien, Efektif, dan

Ekonomis: Untuk meningkatkan Mutu

Penyelenggaraan Pendidikan dan Mutu

Lulusan. Jakarta: Salemba Empat.

Page 195: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Magister Manajemen Pendidikan FKIP Universitas Kristen Satya Wacana [email protected]

e-ISSN 2549-9661 Volume: 4, No. 2, Juli-Desember 2017

Halaman: 195-204

195

Strategi Perencanaan Pembiayaan Sekolah dalam Peningkatan Mutu

di SMP Negeri

Ririn Tius Eka Margareta

Magister Manajemen Pendidikan

Universitas Kristen Satya Wacana

[email protected]

Bambang Ismanto

Magister Manajemen Pendidikan

Universitas Kristen Satya Wacana

[email protected]

ABSTRACT

The purpose of this study is to determine the school financing planning strategy in

improving the quality of schools. Strategy determination using EFE (Internal Factor

Evaluation), IFE (Internal Factor Evaluation), and SWOT (Strengths, Weaknesses,

Opportunities, and Threats) analysis. This research is a qualitative research focusing on

determining financing planning strategy in SMP Negeri 1 Salatiga. Sources of data come

from principals and school treasurers. The technique of collecting data using interviews

and documentation. Data analysis included: data collection, data reduction, data display

and drawing conclusion/ verification. The result of the research is the appropriate school

financing strategy for SMP Negeri 1 is to implement WO strategy or to support defensive

strategy that is strategy that minimmize weakness to exploit opportunity. In other words,

schools use the number of human resources and limited costs to the maximum by using

the funds owned and utilize the role of committees, parents, and alumni. For example, a

school can scale priorities together with committee-related competitions to be followed,

communicate school needs to the committee in order to improve the quality of education,

and submit proposals to alumni to contest, establish school facilities and infrastructure,

or salary of honorary teachers/staff.

Keywords: IFE, EFE, school quality, school financing planning strategy, SWOT

Article Info

Received date: 17 Agustus 2017 Revised date: 13 November 2017 Accepted date: 13 November 2017

Page 196: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017

196

PENDAHULUAN

Tujuan pendidikan merupakan tujuan

seluruh pihak yang terkait dalam dunia

pendidikan. Pemerintah (Pemerintah Pusat),

Pemerintah Daerah, Satuan Pendidikan, dan

masyarakat merupakan pihak-pihak yang

memiliki peran penting dalam keberhasilan

tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan nasional

yaitu mengembangkan potensi peserta didik

agar menjadi manusia yang beriman dan

bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,

berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,

mandiri, dan menjadi warga negara yang

demokratis serta bertanggung jawab (Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2003). Peserta didik

merupakan input sekaligus output pendidikan

yang membutuhkan pendidikan bermutu.

Indikator minimal dari pendidikan bermutu

dapat ditinjau dari tercapainya Standar

Nasional Pendidikan (SNP). Dalam Peraturan

Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang

Standar Nasional Pendidikan dinyatakan bahwa

Standar Nasional Pendidikan (SNP) adalah

kriteria minimal tentang sistem pendidikan di

seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan

Republik Indonesia. Standar Nasional

Pendidikan (SNP) terdiri dari standar isi,

proses, pendidik dan tenaga kependidikan,

kompetensi lulusan, sarana dan prasarana,

pembiayaan, pengelolaan, dan penilaian.

Dengan adanya standar nasional tersebut, maka

arah peningkatan mutu pendidikan Indonesia

menjadi lebih jelas (Raharjo, 2012: 301). Hal

ini ditegaskan juga oleh Hidayah, Susilowati,

dan Sukirman (2014: 15-16), yang menyatakan

bahwa pemenuh-an SNP dilakukan guna

mewujudkan pelaksanaan pendidikan yang

bermutu.

Sekolah merupakan lembaga yang diberi

kewenangan untuk menghasilkan generasi-

generasi penerus bangsa. Sekolah yang

bermutu akan menghasilkan output yang

bermutu pula. Mutu merupakan suatu konsep

atau pandangan mengenai mutu produk yang

sesuai harapan dengan tingkat kepuasan

tertentu yang dirasakan oleh pelanggan dan

seluruh stakeholder (Sallis, 2010: 29-35).

Dalam sudut pandang sekolah, mutu sekolah

adalah nilai tinggi rendahnya jasa yang

diberikan kepada pelanggan baik pelanggan

internal maupun eksternal. Pelanggan internal

merupakan pelanggan yang berada di dalam

sistem sekolah dan berpengaruh terhadap

output sekolah (Wijaya, 2012). Pelanggan

internal misalnya guru dan siswa memiliki andil

untuk mewujudkan output sekolah yang

bermutu. Pelanggan eksternal merupakan

pelanggan yang ada di luar sistem sekolah dan

menerima/ menikmati output sekolah (Wijaya,

2012). Sebagai contoh, pelanggan eksternal

misalnya pengelola sebuah perusahaan yang

menerima karyawan dari output sekolah.

Mereka yang akan menikmati mutu output yang

juga merupakan mutu sekolah.

Definisi lain dari mutu adalah pernyataan

yang dinamis terkait dengan produk, pelayanan,

orang, proses kerja, lingkungan, dan setiap

aspek dalam organisasi yang dapat memenuhi

atau melebihi harapan pelanggan (Goetsch and

Davis, Ishikawa dalam Rahardjo, 2012: 515).

Artinya, sekolah dikatakan bermutu jika

memberikan pelayanan jasa yang sesuai/

melebihi ekspektasi pelanggan. Guru

mengharap supaya sekolah memberi gaji sesuai

dengan kebutuhannya maka sekolah yang

bermutu akan memberikan gaji sesuai atau

lebih dari kebutuhan guru tersebut. Calon siswa

akan memilih sekolah yang memiliki banyak

prestasi daripada sekolah yang kurang

berprestasi maka sekolah bermutu akan

mengusahakan sedemikian rupa supaya setiap

siswa dan atau guru mampu berprestasi/

bersaing dengan siswa/ guru-guru dari sekolah

lain.

Kriteria minimal (nilai kumulatif)

pemenuhan SNP yang harus dipenuhi oleh

setiap satuan pendidikan merupakan Standar

Pelayanan Minimal (SPM) (Permendikbud

Nomor 8 Tahun 2017). Sekolah yang hanya

memenuhi SNP perlu meningkatkan pelayanan

untuk meningkat-kan standar pelayanan

sekaligus meningkat-kan mutu sekolah.

Peningkatan mutu pendidikan selama ini

belum sesuai dengan harapan karena

disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya

adalah strategi pembangunan pendidikan yang

lebih bersifat “input oriented” dan “macro

oriented” yang cenderung diatur oleh birokrasi

ditingkat pusat (Suti, 2011). Meskipun telah

diberlakukan otonomi daerah, campur tangan

Pemerintah masih cukup dominan. Hal ini

membatasi sekolah khususnya sekolah negeri

untuk mengarah pada “customer oriented”

yaitu peningkatan mutu yang berfokus pada

Page 197: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Strategi Perencanaan Pembiayaan Sekolah Dalam … | Ririn T. E. Margareta & Bambang Ismanto

197

kebutuhan pelanggan. Untuk memenuhi

kebutuhan pelanggan sekaligus meningkatkan

mutu, sekolah membutuhkan biaya yang

terkadang tidak dapat/ kurang jika hanya

menggunakan biaya pendidikan dari

pemerintah dan sumbangan sukarela.

Standar pembiayaan adalah standar yang

mengatur komponen dan besarnya biaya

operasi satuan pendidikan yang berlaku selama

satu tahun dan terdiri dari biaya investasi, biaya

operasional, dan biaya personal (Peraturan

Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005). Dalam hal

ini, pemerintah telah berupaya sedemikian rupa

dalam peningkatan mutu pendidikan misalnya

melalui pembiayaan berupa Dana Bantuan

Operasional Sekolah (BOS), Bantuan

Operasional Sekolah Daerah (BOSDA),

Bantuan Operasional Pendidikan (BOP), Dana

Alokasi Khusus (DAK), dan sebagainya.

Berbagai peraturan dan kebijakan juga telah

dibuat sedemikian rupa guna peningkatan mutu

pendidikan. Namun pertanyaannya adalah

sudahkah mutu pendidikan meningkat. Sampai

saat ini, kebijakan pemerintah dalam

menentukan dan memberikan dana “sama rata”

pada satuan pendidikan belum menjamin

peningkatan mutu pendidikan secara maksimal.

Hal ini dikarenakan setiap sekolah memiliki

kebutuhan yang berbeda-beda. Artinya, setiap

sekolah membutuhkan dana yang berbeda pula.

Misalnya, bagi sekolah yang memiliki banyak

siswa-siswi berprestasi akan membutuhkan

lebih banyak dana (misalnya untuk lomba)

daripada sekolah yang memiliki sedikit siswa-

siswi berprestasi. Selain itu, jumlah guru dan

pegawai tidak tetap (GTT/PTT/honorer) juga

tidak merata di setiap sekolah. Hal ini perlu

evaluasi dan tindak lanjut penanggung jawab

pendanaan pendidikan yaitu Pemerintah,

pemerintah daerah, dan masyarakat, serta

pihak-pihak terkait.

Strategi Perencanaan Pembiaya-an Sekolah.

Pembiayaan pendidikan merupakan tanggung

jawab Pemerintah, pemerintah daerah, dan

masyarakat (Undang-Undang Nomor 20 Tahun

2003). Biaya satuan pendidikan terdiri atas

biaya investasi (lahan pendidikan dan selain

lahan pendidikan), biaya operasi (personalia

dan nonpersonalia), bantuan biaya pendidikan,

dan beasiswa (Peraturan Pemerintah Nomor 48

Tahun 2008). Sumber biaya utama satuan

pendidikan di tingkat Sekolah Menengah

Pertama (SMP) Negeri berasal dari Pemerintah

dan Pemerintah Daerah. Dalam hal ini,

pemerintah memiliki kebijakan dan peraturan

terkait dengan pembiayaan satuan pendidikan/

sekolah. Pembiayaan sekolah adalah proses

dimana pendapatan dan sumber daya yang

tersedia digunakan untuk memformulasikan

dan mengoperasionalkan sekolah di berbagai

wilayah geografis dan tingkat pendidikan yang

berbeda-beda (Levin dalam Subarna: 2014).

Tidak hanya tingkat dan wilayah geografis,

perhitungan kebutuhan sekolah dari berbagai

aspek perlu dipertimbangkan dan diputuskan

secara bijaksana. Sekolah dengan jumlah siswa

sedikit tetapi memiliki lahan dan bangunan

sekolah yang luas membutuhkan biaya

perawatan yang memadai. Demikian pula

dengan sekolah yang memiliki banyak guru/

pegawai tidak tetap membutuhkan biaya

operasional untuk menggaji dan memberi

tunjangan yang layak.

Dengan kebijakan dan peraturan yang

“sama”, beberapa sekolah tidak dapat

meningkatkan mutu dengan maksimal.

Kebijakan dan peraturan yang “sama” misalnya

jumlah dana Bantuan Operasional Sekolah

(BOS) yang diterima oleh setiap siswa SMP. Seharusnya, biaya satuan setiap siswa adalah biaya

rata-rata per siswa yang dihitung dari total

pengeluaran sekolah dibagi seluruh siswa yang ada di

sekolah dalam kurun waktu tertentu. Satuan biaya

pendidikan tiap siswa merupakan ukuran yang

menggambarkan seberapa besar uang yang

dialokasikan sekolah (sumber dari Pemerintah,

pemerintah daerah, orang tua, dan masyarakat) secara

efektif untuk kepentingan siswa dalam menempuh

pendidikan, maka sekolah harus mengetahui besaran

untuk keperluan penganggaran yang setidaknya

mendekati ketepatan. Total pengeluaran sekolah atau

besar anggaran pembiayaan pendidikan mencakup:

biaya pengembangan guru dan tenaga kependidikan,

honor non PNS Guru Tidak Tetap (GTT) dan Honor

Non PNS Pegawai Tidak Tetap (PTT), Biaya Operasi

Pendidikan Langsung Non Personalia (Belanja

Barang dan Jasa), serta pengadaan peralatan

penunjang pendidikan/pembelajaran (Belanja Modal)

(Hidayah, Susilowati, dan Sukirman, 2014: 15-17).

Dengan pemberian bantuan seperti dana

Bantuan Operasional Sekolah dan sumbangan

sukarela diharapkan mampu memenuhi

kebutuhan sekolah. Pada kenyataannya, setiap

sekolah memiliki jumlah pengeluaran dan

siswa yang berbeda-beda. Besarnya bantuan

dan sumbangan sukarela yang diterima tidak

Page 198: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017

198

dapat menjamin kebutuhan sekolah terpenuhi.

Bagi sekolah swasta, kebutuhan sekolah

mungkin dapat diatasi dengan iuran siswa

namun tidak demikian dengan sekolah negeri.

Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun

2008, sekolah (pemerintah/ negeri) tidak

diperkenankan melakukan pungutan terhadap

siswa. Meskipun memiliki aturan yang berbeda,

sekolah swasta maupun negeri membutuh-kan

strategi perencanaan pembiayaan yang tepat

untuk mempertahankan bahkan meningkatkan

mutu sekolah.

Strategi adalah pendekatan secara

keseluruhan yang berkaitan dengan

pelaksanaan gagasan, perencanaan, dan

eksekusi sebuah aktivitas dalam kurun waktu

tertentu (Maretsya, Soegiarto, dan Heriyanto,

2015). Strategi pembiayaan meliputi strategi

perencanaan (pelaksanaan gagasan),

pelaksanaan, evaluasi, dan tindak lanjut.

Strategi perencanaan pembiayaan pendidikan

pada SMP, diawali dengan disusunnya Visi dan

Misi Sekolah, strategi perencanaan dan

penyusunan RAPBS dilaksanakan melalui

analisis SWOT sederhana (Subarna, 2014: 81).

Strategi perencanaan pembiayaan sekolah

merupakan bagian penting dari manajemen

yang perlu ditentukan sesuai dengan faktor

internal dan eksternal suatu perusahaan/

lembaga termasuk sekolah. Selain itu hasil dari

penentuan strategi perencanaan akan

berimplikasi pada strategi pelaksanaan.

Kebijakan pemerintah terkait dengan

pendidikan gratis membuat sekolah tidak perlu

lagi memikirkan tentang menghimpun dana

dari orang tua dan masyarakat tetapi di sisi lain

menjadi gamang bagaimana mengembangkan

program pendidikan sesuai keinginan

masyarakat sebagai customer (Subarna, 2014:

81). Sekolah yang memiliki input siswa yang

kurang baik secara jumlah, akademis dan non

akademis biasanya tidak terlalu terbeban

dengan peningkatan mutu. Berbeda dengan

sekolah yang memiliki jumlah siswa yang

banyak dan hampir semua siswa memiliki

kemampuan akademik dan atau non akademik

yang cemerlang. Sekolah dapat menentukan

strategi perencanaan pembiayaan yang tepat

untuk memenuhi kebutuhan sekolah termasuk

kebutuhan siswa. Strategi pembiayaan yang

dapat diterapkan untuk melaksanakan proses

pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan

belajar peserta didik, harus memfokuskan pada

program-program yang menjadi objek biaya,

supaya efektivitas dan efisiensi pembiayaan

pendidikan dapat tercapai (Kurniady, 2011:

43). Dalam hal ini, kemampuan pengelola

pembiayaan sekolah dalam menentukan

strategi menjadi faktor penting. Salah satu

kunci keberhasilan dalam pembangunan

pendidikan, terletak pada kemampuan SDM

dalam mengelola dana yang tersedia dengan

mengacu pada kebutuhan pokok dan skala

prioritas program pembangunan pendidikan

dari tahun ke tahun secara bertahap dan

berkesinambungan sesuai dengan perencanaan

program (Ferdi, 2013: 566). Dalam

peningkatan mutu sekolah juga dibutuhkan

SDM yang mampu mengelola dana dan

menentukan strategi pembiayaan dari strategi

perencanaan sampai strategi tindak lanjut

pembiayaan.

Berdasarkan studi pendahuluan, hal

serupa dialami oleh SMP Negeri 1 Salatiga

yaitu dana BOS hanya memenuhi SNP

minimal. Banyaknya siswa-siswi berprestasi

dan berbakat serta banyak GTT/PTT

membutuhkan dana yang cukup besar. Sesuai

dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan

Kebudayaan Nomor 44 Tahun 2012, SMP

Negeri 1 Salatiga tidak menerima pungutan

melainkan sumbangan sukarela. Meskipun

demikian, biaya untuk meningkatkan mutu

sekolah masih kurang. Salah satu faktor

penyebabnya yaitu strategi perencanaan

pembiayaan sekolah yang sekolah miliki belum

tepat. Dalam penyusunan perencanaan

anggaran, banyak sekolah tidak mengawali

dengan analisis kebutuhan (need assesment)

lingkungan internal dan eksternal atau analisis

SWOT (Haryati, 2011: 73). Oleh karena itu,

penulis hendak menentukan strategi

perencanaan pembiayaan di SMP Negeri 1

Salatiga guna meningkatkan mutu sekolah.

Penentuan strategi perencanaan pembiayaan

menggunakan analisis IFE, EFE, dan SWOT

sebagai teknik analisis dengan mengetahui

faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan

faktor eksternal (peluang dan ancaman)

sekolah.

Analisis EFE, IFE, dan SWOT.

Analisis EFE (External Factor Evaluation) dan

IFE (Internal Factor Evaluation) digunakan

untuk mengetahui kondisi internal dan

Page 199: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Strategi Perencanaan Pembiayaan Sekolah Dalam … | Ririn T. E. Margareta & Bambang Ismanto

199

eksternal suatu perusahaan dan dirumuskan

menjadi strategi yang mendetail melalui analisi

SWOT (Strengths (S), Weakness (W),

Opportunitiess (O) dan Threats (T)) (Sudarma,

2012). Dalam mengembangkan Matriks EFE/

IFE, faktor-faktor eksternal yang ditemukan

diberi bobot dengan skala 0,0 (tidak penting) –

1,0 (sangat penting) dan total seluruh bobot

harus sama dengan satu, kemudian diberi

rating/ nilai antara 1-4, dan skor bobot dihitung

dari hasil perkalian bobot dengan nilai.

Penentuan bobot dan skor menggunakan skala

prioritas. Berdasarkan perhitungan skor faktor

internal dan eksternal, selanjutnya dihitung

skor faktor internal pada tabel IFE dihitung

Selisih Total Kekuatan dan Total Kelemahan (S

– W) dan pada tabel EFE dihitung Selisih Total

Peluang dan Total Ancaman (O – T). Besarnya

IFE dan EFE yang telah dianalisis dimasukan

ke dalam diagram keputusan analisis SWOT

yaitu hasil IFE berada pada sumbu x dan hasil

EFE berada pada sumbu y.

SWOT merupakan salah satu teknik

analisis yang dapat digunakan untuk

menentukan strategi-strategi yang dapat

membantu perusahaan/ lembaga termasuk

sekolah dalam peningkatan mutu. SWOT

adalah metode perencanaan strategis yang

digunakan untuk mengevaluasi kekuatan

(strengths), kelemahan (weaknesses), peluang

(opportunities), dan ancaman (threats) dalam

suatu proyek atau suatu spekulasi bisnis

(Wikipedia, tt). Analisis SWOT adalah

identifikasi berbagai faktor secara sistematis

dari berbagai faktor sistematis untuk

merumuskan strategi perusahaan (Maretsya,

Soegiarto, dan Heriyanto, 2015). Faktor yang

dimaksud yaitu internal (strengths dan

weakness) faktor eksternal (opportunities dan

threats). Kekuatan (Strengths) dapat diartikan

sebagai segala sesuatu yang dimiliki oleh

sekolah dan mendukung visi, misi, dan tujuan

sekolah. Kelemahan (Weakness) adalah hal-hal

yang menjadi kelemahan sekolah misalnya

kinerja pegawai yang buruk. Peluang

(Opportunitiess) adalah kesempatan yang

berasal dari luar sekolah dan dapat

dimanfaatkan untuk mencapai visi, misi, dan

tujuan sekolah. Ancaman/ hambatan (Threats)

adalah hal-hal yang dapat mengamcam/

menghambat pencapaian sekolah misalnya

munsul pesaing baru yang lebih unggul.

Secara lebih terperinci, strategi-strategi

yang dapat dihasilkan dari analisis SWOT

dijelaskan dalam tabel berikut:

Tabel 1. Strategi-strategi berdasarkan analisis SWOT

(Marimin, 2004: 60)

IFA/EFA STRENGTHS (S) WEAKNESS (W)

OPPORTUNITIES (O)

Strategi SO

Menciptakan strategi yang

menggunakan kekuatan untuk

memanfaatkan peluang. Digunakan

jika perusahaan/ lembaga berada

pada kuadran I

Strategi WO

Menciptakan strategi yang

meminimalkan kelemahan untuk

memanfaatkan peluang. Digunakan

jika perusahaan/ lembaga berada

pada kuadran III

TREATHS (T)

Strategi ST

Menciptakan strategi yang

menggunakan kekuatan untuk

mengatasi ancaman. Digunakan jika

perusahaan/ lembaga berada pada

kuadran II

Strategi WT

Menciptakan strategi yang

meminimalkan kelemahan dan

menghindari ancaman. Digunakan

jika perusahaan/ lembaga berada

pada kuadran IV

Suatu organisasi harus membuat

perencanaan dan pendefinisian strategi yang

tepat agar dapat membuat keputusan mengenai

pengalokasian sumberdaya yang ada secara

tepat dalam menjalankan strategi tersebut dan

untuk mengukur dan melihat apakah strategi

yang direncanakan dan dijalankan berhasil atau

tidak, maka harus dipilih pengukuran yang

akurat, seimbang, terintegrasi dan selaras

(Susanto, 2014: 11-13). Dalam hal ini, analisis

SWOT dapat dijadikan salah satu alat ukur

dalam menentukan strategi yang tepat. Melalui

kekuatan dan peluang yang ada, sekolah dapat

meningkatkan mutu. Selain itu, sekolah dapat

meminimalkan kelemahan dan ancaman yang

ada dengan strategi yang tepat.

Page 200: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017

200

Penelitian tentang strategi pembiayaan

sekolah sulit ditemukan karena belum banyak

yang melakukan penelitian terkait. Penelitian

Sudarsana (2016) menyatakan bahwa

perkembangan ekonomi merupakan salah satu

alat untuk memenuhi permintaan masyarakat

terhadap pendidik-an, karena pendidikan

memerlukan biaya. Hal tersebut menegaskan

bahwa upaya sekolah baik dalam bentuk

kegiatan atau program membutuhkan biaya

untuk memenuhi permintaan pelanggan

sekaligus meningkatkan mutu. Hal ini

ditegaskan dalam penelitian Suti (2011), unsur

pendanaan/pembiayaan pendidikan yang

memungkinkan semua program pendidikan di

lembaga pendidikan/ sekolah dapat

berlangsung. Tanpa biaya, kegiatan tidak

terlaksana yang berarti tujuan kegiatan/

program pendidikan/ sekolah tidak tercapai.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian

kualitatif yang memaparkan tentang strategi

perencanaan pendidikan. Dalam penelitian ini,

tingkat strategi yang digunakan adalah tingkat

unit/ fungsional dengan lokasi penelitian di

SMP Negeri 1 Salatiga. Subyek penelitian yaitu

kepala sekolah dan bendahara. Pengumpulan

data melalui wawancara dan studi dokumen.

Data yang terkumpul direduksi dengan cara

mengidentifikasi faktor internal dan eksternal

sekolah. Kemudian data diolah sesuai dengan

aturan analisis IFE, EFE, dan SWOT dan

disajikan dalam bentuk tabel dan diagram.

Setelah itu strategi yang dihasilkan merupakan

kesimpulan penelitian. Dalam penelitian ini

juga dilakukan triangulasi sumber dengan

melakukan klarifikasi kebenaran data kepada

subyek penelitian.

HASIL PENELITIAN DAN

PEMBAHASAN

Hasil Penelitian

Faktor internal sekolah di SMP Negeri 1

Salatiga yaitu: 1) Kekuatan: a) Sekolah

memiliki kantin dan koperasi sebagai sumber

pendapatan internal lainnya, b) Partisipasi

karyawan (bukan pengelola) dalam

pengelolaan pembiayaan, dan c) Partisipasi

siswa dalam pembiayaan sekolah; dan 2)

Kelemahan: a) Jumlah SDM yang mengelola

pembiayaan sekolah, b) Pembiayaan untuk

lomba, c) Pembiayaan untuk pengadaan/

perbaikan sarana dan prasarana sekolah, dan d)

Biaya untuk gaji guru/tenaga honorer.

Faktor eksternal sekolah di SMP Negeri 1

Salatiga yaitu: 1) Peluang: a) Dana rutin dari

Pemerintah dan Pemerintah Daerah, b) Peran

komite dan orang tua (misalnya memberi dana

sukarela), dan c) Kontribusi/ bantuan dari

alumni; 2) Ancaman/ hambatan: a) Peran

pemerintah dalam pengadaan tenaga PNS, b)

Keterlambatan pemerintah dan penerbit buku

merealisasikan pengadaan buku Kurikulum

2013 (K-13), dan c) Honor untuk guru/ tenaga

honorer.

Pengelola pembiayaan sekolah telah

berupaya meningkatkan mutu dengan

menentukan skala prioritas. Pertimbangan

terkait anggaran yang dimiliki dan prioritas

pemenuhan kebutuhan sekolah dilakukan

bersama seluruh stakeholders sekolah. Mulai

dari penyebaran angket kebutuhan selama satu

tahun ajaran hingga pengambilan keputusan,

didiskusikan secara kekeluargaan oleh pihak-

pihak terkait (Kepala sekolah, bendahara, guru,

karyawan, dan komite).

Pembahasan

Berdasarkan faktor internal dan eksternal

Sekolah dapat diperoleh analisis sebagai

berikut:

Page 201: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Strategi Perencanaan Pembiayaan Sekolah Dalam … | Ririn T. E. Margareta & Bambang Ismanto

201

Tabel 2. Faktor Internal dan Faktor Eksternal Sekolah di SMP Negeri 1 Salatiga

KEKUATAN

No Nama Faktor Bobot Nilai Skor Bobot

1 Sekolah memiliki kantin dan koperasi sebagai sumber pendapatan

internal lainnya. 0,2 8 0,8

2 Partisipasi karyawan (bukan pengelola) dalam pengelolaan

pembiayaan 0,15 2 0,3

3 Partisipasi siswa dalam pembiayaan sekolah 0,1 1 0,1

1,2

KELEMAHAN

No Nama Faktor Bobot Nilai Skor Bobot

1 Jumlah SDM yang mengelola pembiayaan sekolah 0,3 3 0,9

2 Pembiayaan untuk lomba 0,15 2 0,3

3 Pembiayaan untuk pengadaan/ perbaikan sarana dan prasarana

sekolah 0,05 2 0,1

4 Biaya untuk gaji guru/tenaga honorer 0,1 2 0,2

1,5

Tabel 3. Faktor Eksternal Sekolah di SMP Negeri 1 Salatiga

PELUANG

No Nama Faktor Bobot Nilai Skor Bobot

1 Dana rutin dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah 0,25 4 1

2 Peran komite dan orang tua (misalnya memberi dana sukarela) 0,2 4 0,8

3 Kontribusi/ bantuan dari alumni 0,1 1 0,1

1,9

ANCAMAN

No Nama Faktor Bobot Nilai Skor Bobot

1 Peran pemerintah dalam pengadaan tenaga PNS 0,2 1 0,2

2 Keterlambatan pemerintah dan penerbit buku merealisasikan pengadaan

buku Kurikulum 2013 (K-13) 0,1 1 0,1

3 Honor untuk guru/ tenaga honorer 0,15 1 0,15

0,45

Page 202: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017

202

-0,3

1,45

Berdasarkan Tabel EFE dan EFE dapat

dihitung:

Total skor bobot kekuatan - Total skor bobot

kelemahan = 1,2 – 1,5 = - 0,3

Total skor bobot peluang - Total skor bobot

ancaman = 1,9 – 0,45 = 1,45

Sehingga diperoleh titik (-0,3 , 1,45) pada

diagram SWOT atau berada di kuadran 2

seperti gambar di bawah ini:

Gambar 1. Diagram SWOT: Perencanaan Strategi Pembiayaan Sekolah

Berdasarkan diagram SWOT di atas dapat

diketahui bahwa stategi yang cocok dengan

kondisi internal dan eksternal sekolah adalah

strategi WO atau mendukung strategi defensive

yaitu strategi yang meminimalkan kelemahan

untuk memanfaatkan peluang. Berikut strategi-

strategi alternatif yang disajikan pada Tabel 4:

Tabel 4. Strategi-Strategi Alternatif dalam Perencanaan Strategi Pembiayaan Sekolah

IFA/EFE

Kekuatan (S):

-Sekolah memiliki kantin dan

koperasi sebagai sumber

pendapatan internal lainnya. (S1)

-Partisipasi karyawan (bukan

pengelola) dalam pengelolaan

pembiayaan (S2)

-Partisipasi siswa dalam

pembiayaan sekolah (S3)

Kelemahan (W):

-Jumlah SDM yang mengelola

pembiayaan sekolah (W1)

-Pembiayaan untuk lomba (W2)

-Pembiayaan untuk pengadaan/

perbaikan sarana dan prasarana

sekolah (W3)

-Biaya untuk gaji guru/tenaga

honorer (W4)

Peluang (O)

-Dana rutin dari Pemerintah dan

Pemerintah Daerah (O1)

-Peran komite dan orang tua

(misalnya memberi dana

sukarela) (O2)

-Kontribusi/ bantuan dari alumni

(O3)

Strategi SO:

-Membentuk grup alumni untuk

menggali dana guna menaikkan

mutu (S2, O3).

-Menambah varian penjualan yang

dibutuhkan oleh warga sekolah

(S1, O2, O3).

Strategi WO:

-Membuat skala prioritas bersama

dengan komite terkait lomba-

lomba yang akan diikuti. (W2, O1)

-Mengkomunika- sikan kebutuhan

sekolah kepada komite dalam

rangka meningkatkan mutu

pendidikan (W2, W3, W4, O2)

-Mengajukan proposal kepada

alumni untuk mengikuti lomba,

mengadakan sarana dan prasarana

sekolah, atau gaji guru/ tenaga

honorer. (W4, W2, W3, O3)

Berbagai Peluang

Kelemahan

Eksternal

Kekuatan

Internal

Berbagai Ancaman

KUADRAN 3 KUADRAN 1

KUADRAN 2 KUADRAN 4

Page 203: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Strategi Perencanaan Pembiayaan Sekolah Dalam … | Ririn T. E. Margareta & Bambang Ismanto

203

Ancaman (T)

Peran pemerintah dalam

pengadaan tenaga PNS (T1)

Keterlambatan pemerintah dan

penerbit buku merealisasikan

pengadaan buku Kurikulum 2013

(K-13) (T2)

Honor untuk guru/ tenaga honorer

(T3)

Strategi ST:

-Mengopti-malkan bantuan

pegawai (bukan pengelola) dalam

mengelola pembiayaan.

-Mengadakan pelatihan terkait

pengelolaan pembiayaan bagi

karyawan yang terlibat/

diperbantukan dalam mengelola

keuangan (S1, T3)

-Mengajukan permintaan

penambahan tenaga PNS dari

Pemerintah (S1, T3).

Strategi WT:

-Mensosialisasikan cara merawat

saran dan prasarana yang dimiliki

oleh sekolah (W3, T3).

Strategi-strategi pembiayaan sekolah

merupakan upaya untuk mencapai tujuan

sekolah yaitu terselenggaranya pendidikan

yang sesuai dengan kebutuhan siswa pada

khusunya dan masyarakat pada umumnya. Hal

ini sejalan dengan pendapat Sudarsana (2016)

dan Suti (2011) bahwa pendidikan memerlukan

biaya untuk memenuhi permintaan masyarakat

dan melaksanakan seluruh program pendidikan.

Strategi pembiayaan sekolah mempengaruhi

mutu sekolah yang bersangkutan. Sependapat

dengan hal tersebut, Asmawi (2010)

menyatakan bahwa pembiayaan merupakan

salah satu aspek yang menentukan mutu

pendidikan. Lebih luas lagi, hasil kajian Ferdi

(2013) menyatakan bahwa pembiayaan

merupakan proses yang kompleks sehingga

strategi perencanaan pembiayaan sekolah

merupakan hal yang krusial. Pentingnya

perencanaan strategi pembiayaan sekolah

dalam meningkatkan mutu perlu diketahui,

disadari, dan ditinjau ulang oleh pihak-pihak

terkait sehingga membawa perubahan positif

bagi keberlangsungan dan pencapaian tujuan

sekolah.

Sumber pembiayaan dapat berasal dari

pemerintah, sumbangan, dan usaha lain yang

sesuai dengan peraturan yang berlaku. Bagi

sekolah swasta misalnya pesantren, biaya dapat

berasal dari pungutan (Rifqi, 2015). Hal ini

berarti, setiap sekolah dan pihak-pihak terkait

perlu mengidentifikasi peluang-peluang untuk

sumber pembiayaan yang mungkin dapat digali

dan digunakan untuk mencapai tujuan sekolah

termasuk melaksanakan program dan

memenuhi kebutuhan pelanggan pendidikan.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan pembahasan dapat

disimpulkan bahwa strategi pembiayaan yang

tepat bagi SMP N 1 Salatiga yaitu menerapkan

strategi WO atau mendukung strategi defensive

yaitu strategi yang meminimalkan kelemahan

untuk memanfaatkan peluang. Dengan kata lain

sekolah menggunakan jumlah SDM dan biaya

terbatas secara maksimal dengan menggunakan

dana yang dimiliki serta memanfaatkan peran

komite, orang tua, dan alumni. Misalnya

sekolah dapat membuat skala prioritas bersama

dengan komite terkait lomba-lomba yang akan

diikuti, mengkomunikasikan kebutuhan

sekolah kepada komite dalam rangka

meningkatkan mutu pendidikan, dan

mengajukan proposal kepada alumni untuk

mengikuti lomba, mengadakan sarana dan

prasarana sekolah, atau gaji guru/ tenaga

honorer.

Saran

Saran diberikan kepada:

1) Pemerintah membuka kesempatan kepada

CPNS untuk menjadi PNS dan ditempatkan di

sekolah-sekolah yang membutuhkan. Dengan

diangkatnya CPNS, biaya yang dimiliki

sekolah dapat digunakan untuk membiayai hal

lainnya guna peningkatan mutu,

2) Kepala sekolah melakukan analisis faktor

internal dan eksternal secara berkala sehingga

dapat membuat strategi yang lebih baik, dan

Page 204: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017

204

3) Masyarakat diharapkan lebih peduli dengan

pembiayaan sekolah karena biaya merupakan

salah satu unsur yang penting dalam

peningkatan mutu dan pencaaian visi dan misi

sekolah.

DAFTAR PUSTAKA

Asmawi, M. R.2010. Strategi meningkatkan

lulusan bermutu di perguruan

tinggi. Makara Hubs-Asia, 8 (3).

Ferdi, W. P. 2013. Pembiayaan Pendidikan:

Suatu Kajian Teoritis. Jurnal

Pendidikan dan Kebudayaan, 19 (4):

565-578.

Haryati, S. 2011. Pengembangan Model

Manajemen Pembiayaan Sekolah

Menengah Pertama (SMP) Rintisan

Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI)

di Kota Magelang, 36 (2): 64-86.

Hidayah, I., Susilowati, E. dan Sukirman. 2014.

Analisis Pembiayaan Pendidikan SMA

di Kota Semarang. Riptek, 8 (2): 13-22.

Indonesia, P. R. 2003. Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 20 Tahun

2003 Tentang Sistem Pendidikan

Nasional.

Kebudayaan, M. P. 2012. Peraturan Menteri

Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 44

Tahun 2012 tentang Pungutan dan

Sumbangan Biaya Pendidikan pada

Satuan Pendidikan Dasar.

Kementerian Hukum, HAM. 2008. Peraturan

Pemerintah Nomor 48 Tahun 2008

tentang Pendanaan Pendidikan.

Kurniady, D. A. 2011. Pengelolaan

Pembiayaan Sekolah Dasar Di

Kabupaten Bandung. Jurnal Penelitian

Pendidikan 12 (1): 34.

Maretsya, A., & H Eddy Soegiarto K, H. 2015.

Analisis strategi pembiayaan (finance)

dalam upaya merebut pangsa.

Ekonomia, 4(2): 185-191.

Marimin. 2004. Teknik dan Aplikasi

Pengambilan Kriteria Majemuk.

Jakarta: Grasindo.

Peraturan Menteri Pendidikan Dan

Kebudayaan Republik Indonesia

Nomor 8 Tahun 2017 Tentang

Petunjuk Teknis Bantuan Operasional

Sekolah

Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005

tentang Standar Nasional Pendidikan.

Raharjo, S. B. 2012. Evaluasi trend kualitas

pendidikan di indonesia. Jurnal

Penelitian dan Evaluasi

Pendidikan, 16(2): 511-532.

Rifqi, A. 2014. Strategi Peningkatan Dan

Pemanfaatan Sumber Pembiayaan

Mandiri di Pondok Pesantren, 24 (4):

325.

Sallis, E. 2010. Total Quality Management in

Education (Manajemen Mutu

Pendidikan). Yogyakarta: IRCiSoD.

Subarna, B. 2014. Pendidikan Gratis Sekolah

Menengah Pertama: Antara Harapan

dan Kenyataan. Yogyakarta:

Deepublish.

Sudarma, M. 2012. Analisis Swot Sebagai

Dasar Perumusan Dan Penerapan

Strategi Pada Perusahaan (Studi Kasus

di Telkom Malang). Jurnal Ilmiah

Mahasiswa FEB, 1(2).

Sudarsana, I. K. (2016). Peningkatan Mutu

Pendidikan Luar Sekolah Dalam Upaya

Pembangunan Sumber Daya

Manusia. Jurnal Penjaminan Mutu,

1(1): 1-14.

Susanto, A. B. 2014. Manajemen Strategik

Komprehensif untuk Mahasiswa dan

Praktisi. Jakarta: Erlangga.

Suti, M. 2011. Strategi Peningkatan Mutu di

Era Otonomi Pendidikan. Jurnal

Medtek, 3.

Wijaya, D. 2012. Pemasaran Jasa Pendidikan.

Jakarta: Salemba.

Wikipedia. (tt). Analisis SWOT. Diakses dari

https://id.wikipedia.org/wiki/Analisis_

SWOT pada tanggal 14 Agustus 2017.

Page 205: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Magister Manajemen Pendidikan FKIP Universitas Kristen Satya Wacana [email protected]

e-ISSN 2549-9661 Volume: 4, No. 2, Juli-Desember 2017

Halaman: 205-212

205

Analisa Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Proses Belajar Guru-Guru Sekolah

Dasar

Indri Anugraheni

PGSD, Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga

[email protected]

ABSTRACT

The purpose of this research is to know and describe factors influencing elementary

school teachers in Biak Numfor District, and efforts made by elementary school teachers

of Biak and suggestions for the development of education especially in Biak Numfor

District. The method used in this research is descriptive. The research subjects were

elementary school teachers in Biak Numfor District. Data obtained by distributing

instrument in the form of Questionnaire. The results of a questionnaire that was

distributed to 31 elementary school teachers in Biak Numfor district showed that many

of the obstacles experienced by teachers. Obstacles experienced by elementary school

teachers in Biak Numfor district are teachers experiencing obstacles in preparing the

lesson, teachers experience barriers in determining methods and media used in learning,

teachers experience barriers in determining the evaluation used in learning. Efforts by

teachers to overcome these obstacles are many students who do not have a handbook then

the teachers, and teachers use the media in school. Teachers hope the attention of local

governments need to be improved again.

Keywords: factors that influence, learning, efforts undertaken

Article Info

Received date: 23 Oktober 2017 Revised date: 15 November 2017 Accepted date: 15 November 2017

Page 206: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017

206

PENDAHULUAN

Pendidikan mempunyai peran dalam

perkembangan suatu bangasa. Pendidikan

mampu menghasilkan sumber daya manusia

yang berkualitas. Guru mempunyai peranan

penting dalam menciptakan sumberdaya

manusia yang berkualitas. Undang-undang No

14 Tahun 2005 pasal 1 menyatakan bahwa

Guru adalah pendidik profesional dengan tugas

utama mendidik, mengajar, membimbing,

mengarahkan, melatih, menilai, dan

mengevaluasi peserta didik pada pendidikan

anak usia dini jalur pendidikan formal,

pendidikan dasar, dan pendidikan

menengah.Guru mampu mendidik dan

menumbuhkan kedewasaan siswa. Guru

mampu mengajar dengan mengatur dan

menciptakan kondisi lingkungan sehingga

siswa dapat melakukan kegiatan pembelajaran.

Membimbing adalah usaha yang dilakukan

guru untuk mengantarkan siswa kearah ke-

dewasaan baik secara jasmani atu rohani. Selain

membimbing, guru juga diharapkan mampu

mengarahkan, melatih serta mengevaluasi

siswa (peserta didik).

Guru dalam proses pemelajaran di kelas

dipandang dapat memainkan peranan penting

terutama dalam membantu peserta didik untuk

membangun sikap positif, membangkitkan rasa

ingin tahu, mendorong kemandirian dan

ketepatan logika intelektual, serta menciptakan

kondisi-kondisi untuk sukses dalam belajar

(Muh. Ilyas I, 2010: 45). Menurut abdul Azis

(2014: 51) guru memiliki kemampuan dalam

menyusun rencana pembelajaran serta

kemampuan dalam melaksanakan interaksi atau

kegiatan pembelajaran.

Peraturan Pemerintah (PP) Republik

Indonesia Nomor 74 Tahun 2008 mengatur

tentang Guru bahwa salah satu kompetensi

yang harus dimiliki oleh seorang guru adalah

kompetensi pedagogik, yakni kemampuan guru

dalam mengelola pembelajaran yang

didalamnya antara lain perencanaan

pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran yang

mendidik dan dialogis, dan evaluasi hasil

belajar. Perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi

merupakan kompetensi yang perlu dimiliki oleh

guru. Dengan perencanaan yang baik

diharapkan kegiatan pembelajaran dapat

berlangsung sesuai dengan perencanaan yang

sudah disiapkan. Evaluasi dilakukan sesuai

dengan aspek-aspek yang akan diukur.

Standar Kompetensi merupakan suatu

ukuran yang ditentukan dan dipersyaratkan

untuk dimiliki seorang guru. Suparlan

(2006:87) menyatakan standar kompetensi

tersebut terdiri atas tiga komponen yaitu:

pengelolaan pembelajaran, pengembangan

profesi dan penguasaan akademik. Komponen

pengelolaan pembelajaran terdiri atas

penyusunan rencana pembelajaran,

pelaksanaan interaksi belajar mengajar,

penilaian prestasi belajar peserta didik,

pelaksanaan tindak lanjut hasil penilaian

prestasi belajar peserta didik. Komponen

pengembangan profesi terdiri dari

pengembangan profesi. Komponen penguasaan

akademik terdiri dari pemahaman wawasan

kependidikan, dan penguasaan bahan kajian

akademik. Salah satu komponen yang harus

dimiliki oleh seorang guru adalah kompetensi

dalam mengelola pembelajaran. Berhasil

tidaknya suatu pembelajaran tergantung dari

bagaimana guru tersebut mampu mengelola

pembelajaran di kelas.

Menurut Permendiknas nomor 16 tahun

2007 ada 4 kompetensi yang harus dimiliki

seorang guru meliputi: 1) Kompetensi

pedagogik, 2) kompetensi kepribadian, 3)

kompetensi sosial, 4) kompetensi professional.

Kompetensi Pedagogik meliputi pemahaman

terhadap peserta didik, perancangan dan

pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil

belajar, dan pengembangan peserta didik untuk

mengaktualisasikan berbagai potensi yang

dimiliki. Kompetensi kepribadian merupakan

kemampuan personal yang mencerminkan

kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif,

dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta

didik, dan berakhlak mulia. Kompetensi sosial

merupakan kemampuan guru untuk

Page 207: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Analisa Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Proses Belajar Guru-Guru Sekolah Dasar | Indri Anugraheni

207

berkomunikasi dan bergaul secara efektif

dengan peserta didik, sesame pendidik, tenaga

kependidikan, orangtua/wali peserta didik, dan

masyarakat sekitar. Kompetensi professional

merupakan penguasaan materi pembelajaran

secara luas dan mendalam yang mencakup

penguasaan materi kurikulum mata pelajaran di

sekolah dan substansi keilmuan yang menaungi

materinya, serta penguasaan terhadap struktur

dan metodologi keilmuannya.

Peneliti melakukan penelitian tentang

analisis hambatan-hambatan yang dilakukan

guru Sekolah Dasar di daerah Kabupaten Biak

Numfor, Papua. Penelitian ini dimaksudkan

untuk menjawab permasalahan: (1) faktor-

faktor apa sajakah yang menjadi pengaruh

dalam mempersiapkan kegiatan pembelajaran?,

(2) faktor-faktor apa sajakah yang menjadi

pengaruh dalam melaksanakan kegiatan pem-

belajaran?, (3) faktor-faktor apa sajakah yang

menjadi pengaruh dalam melaksanakan

evaluasi pembelajaran?, (4) Bagaimana usaha-

usaha yang dilakukan guru-guru dalam

mengatasi kesulitasi hambatan tersebut?.

Penelitian yang dilakukan Syamsul Bahri

(2011) menjelaskan bahwa guru tidak membuat

rencana pembelajaran, kurangnya kepedulian

dalam menganalisis hasil evaluasi, dan

terbatasnya informasi yang diperoleh terkait

pengayaan ilmu yang dimiliki, sarana dan

prasarana yang kurang mendukung dalam

melaksanakan pembelajaran.

Sedangkan Titik Rosilawati (2014: 61)

menjelaskan bahwa rendahnya kinerja guru

dalam pempersiapkan pembelajaran di-

pengaruhi oleh kualitas komitmen dan

kompetensi yang dimiliki guru tersebut.

Penelitian tersebut sejalan dengan penelitian

yang dilakukan Heri Retnawati (2015) bahwa 4

kompetensi yang diukur dalam pembelajaran

yaitu: penilaian kompetensi penilaian sikap

spiritual, penilaian sikap sosial, penilaian

pengetahuan dan penilaian keterampilan.

Penelitian yang membahas tentang

faktor-faktor yang mempengauhi pembelajar-

an, penelitian yang Titik Rosilawati (2014; 58)

bahwa guru belum meiliki kecakapan atau

keterampilan menyusun perangkat persiapan

untuk pembelajaran, guru enggan untuk

membuat perangkat pembelajaran.

Adapun peran dan fungsi guru dalam

meningkatkan mutu pendidikan menurut

Usman (2004:6-9) meliputi: 1) Guru sebagai

demonstrator berfungsi untuk

mendemonstrasikan suatu materi pembelajaran,

sehingga lebih mudah dimengerti dan dipahami

oleh siswa. Oleh karena itu guru harus mampu

menguasai bahan atau materi pelajaran yang

akan diajarkannya serta senantiasa

mengembangkan kemampuannya yang pada

akhirnya mampu memperagakan apa yang

diajarkannya secara didaktis. 2) Guru sebagai

pengelola kelas berfungsi untuk mengendalikan

dan mengorganisasikan siswa di dalam kelas

agar lebih terarah kepada tujuan pembelajaran.

Oleh karena itu guru harus mampu mengelola

kelas karena kelas merupakan lingkungan

belajar serta merupakan suatu aspek dari

lingkungan sekolah yang perlu diorganisasikan.

3) Guru sebagai mediator dan fasilitator

berfungsi untuk memperagakan suatu media

atau alat pembelajaran yang mendukung materi

sehingga siswa lebih merasa jelas. Oleh karena

itu guru hendaknya memiliki pengetahuan dan

pemahaman yang cukup tentang media

pendidikan sebagai alat komunikasi guna

mengefektifkan pembelajaran. 4) Guru sebagai

evaluator berfungsi untuk mengevaluasi hasil

belajar siswa. Oleh karena itu guru harus

melaksanakan evaluasi pada waktu-waktu

tertentu selama satu periode pendidikan untuk

mengadakan penilaian terhadap hasil yang telah

dicapai, baik oleh pihak terdidik maupun oleh

pendidik.

Kompetensi guru mengambarkan

kompetensi yang dituntut dari seseorang yang

memangku jabatan profesi guru. Artinya

kompetensi yang ditampilkan itu menjadi ciri

profesionalismenya, walaupun tidak semua

kompetensi yang dimiliki seseorang

menunjukkan bahwa apa dan bagaimana

melakukan pekerjaan semata-mata, tetapi juga

menguasai mengapa hal itu dilakukan

Page 208: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017

208

berdasarkan konsep dan teori tertentu (Pranowo

Narjosoeripto, 2012: 113).

Guru harus memiliki 4 kompetensi

sebagai guru yang professional tetapi pada

kenyataannya di Indonesia masih banyak guru-

guru yang professional. Banyak guru-guru di

Indonesia yang belum memiliki 4 kompetensi

sebagi seorang guru, hal tersebut juga dialami

oleh guru-guru Sekolah Dasar di Kabupaten

Biak Numfor, Papua. Salah satu kompetensi

yang masih kurang dimiliki guru adalah

kompetensi pedagogik.

Hasil diskusi dengan guru-guru Sekolah

Dasar di Kabupaten Biak Numfor, Papua

menunjukkan bahwa masih banyak guru-guru

yang mengalami kesulitan dalam

pengembangan kompetensi pedagogik.

Kompetensi pedagogik terkait dengan

perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi

pembelajaran. Guru mengalami kesulitan

bagaimana merencanakan suatu pembelajaran

yang baik dengan menggunakan model-model

pembelajaran yang inovatif. Pada saat

pelaksanaan pembelajaran, guru kesulitan

menentukan media, sember belajar yang

mampu menumbuhkan kreativitas siswa. Selain

itu, evaluasi yang dilakukan guru hanya

mengukur ranah kognitif saja dan biasanya

dilakukan hanya di akhir semester. Hanya

sedikit guru yang mengevaluasi siswa dari

ranah psikomotorik dan afektif. Oleh karena itu

peneliti menganalisis faktor-faktor apa sajakah

yang mempengaruhi guru dalam pelaksanaan

pembelajaran khususnya di daerah Kabupaten

Biak Numfor, Papua.

Hambatan-hambatan ini juga relevan

dengan penelitian yang dilakukan Heri

Retnawati (2015) yang menyatakan bahwa guru

mengalami hambatan dalam mengatur waktu

pada perencanaan pembelajaran, merencanakan

pembelajaran, merencanakan penilaian sikap,

penilaian keterampialan, penilaian

pengetahuan, serta guru mengalami hambatan

dalam pembuatan RPP. Hal ini juga sejalan

dengan penelitian Akhmad Wahyuddin (2009)

yang menyebutkan bahwa guru masih

mengalami hambatan dalam menyusun

Rencana Pelaksanaan Pembelajaran, guru juga

masih mengalami kesulitan dalam menyusun

penilaian.

Penelitian yang dilakukan Hilda S.M dan

Supramono (2015) menyebutkan bahwa guru

belum fokus pada siswa secara individu, guru

masih kurang pengetahuan akan manajemen

kelas.

METODE PENELITIAN

Jenis penelitian ini adalah penelitian

deskriptif. Penelitian ini dilaksanakan di bulan

Oktober 2016 dan dilaksanakan di Universitas

Kristen Satya Wacana Salatiga. Subjek

penelitian ini adalah guru-guru Sekolah Dasar

di Kabupaten Biak Numfor yang berjumlah 31

orang dengan jumlah 18 orang guru laki-laki

dan 13 orang guru perempuan. Jenis penelitian

yang digunakan dalam penelitian ini adalah

penelitian diskriptif, karena hanya menjelaskan

keadaan sesungguhnya dari objek yang diteliti.

Teknik pengumpulan data dengan

menggunakan non tes yang berupa angket dan

wawancara. Sebelum disebarkan kepada

responden, angket terlebih dahulu divalidasi.

Pada penelitian ini, angket sudah divalidasi

sebelumnya.

Hasil validasi menunjukkan bahwa

angket valid dan reliabel. Hasil validasi

instrument berupa angket terdiri dari 15 (lima

belas) pernyataan yang diujikan, ada 14 (empat)

pernyataan yang valid dan yang tidak valid ada

1 (satu) penyataan. Dengan demikian instrumen

yang berupa angket tersebut dapat digunakan

sebagai

Hasil uji reliabilitas instrumen berupa

angket yang digunakan diketahui bahwa

reliabilitasnya 0,805 sehingga masuk dalam

kriteria reliabilitas bagus dan diterima untuk

digunakan.

Teknik analisis yang digunakan dalam

penelitian ini adalah mencari frekuensi dan

presentase dari hasil angket, kemudian hasil

presentase angket digunakan untuk men-

deskripsikan hambatan-hambatan yang dialami

Page 209: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Analisa Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Proses Belajar Guru-Guru Sekolah Dasar | Indri Anugraheni

209

guru-guru SD di Kabupaten Biak Numfor serta

usaha-usaha yang dilakukan guru-guru dalam

mengatasi hambatan-hambatan tersebut.

Peneliti membagi menjadi 3 indikator yaitu:

persiapan guru sebelum melaksanakan

pembelajaran, perencanaan guru dalam

menggunakan metode dan media, penilaian

yang dilakukan guru. Masing-masing aspek

akan diukur dengan berpedoman pada

indikator. Persiapan guru sebalum

melaksanakan pembelajaran, terdiri dari aspek:

Persiapan sebelum pembelajaran, hambatan

dalam melakukan persiapan, membuat RRP,

hambatan membuat RPP, mengembangkan

bahan Ajar. Perencanaan guru dalam

menggunakan metode dan media terdiri dari

aspek: Merencanakan metode yang digunakan,

ambatan dalam pemilihan metode,

menggunakan media dalam kegiatan

pembelajaran, hambatan dalam pemilihan

media. Penilaian yang dilakukan guru terdiri

dari: Melakukan penilaian dan hambatan dalam

melakukan penilaian (penilaian proses dan

akhir).

HASIL PENELITIAN DAN

PEMBAHASAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa

guru mengalami hambatan dalam pelaksanaan

pembelajaran matematika. Berikut ini adalah

tabel hasil analisis angket:

Tabel 1. Analisis Persiapan guru sebelum melaksanakan pembelajaran

Aspek yang diukur Frekuensi Presentase

Y T Y T

Persiapan sebelum pembelajaran

Hambatan dalam melakukan persiapan

Membuat RRP

Hambatan membuat RPP

Mengembangkan bahan Ajar

Hambatan mengembangkan Bahan Ajar

30

15

28

23

26

25

1

16

3

8

5

6

96,80

48,40

90,30

74,20

83,90

80,60

3,20

51,60

9,70

25,80

16,10

19,40

Berdasarkan analisis tabel 1 diatas

menunukkan bahwa 96,80% guru di SD di

Kabupaten Biak Numfor melakukan persiapan

sebelum pembelajaran dan 3,20% guru tidak

melakukan persiapan. selain itu, 48,40% guru

mengalami hambatan dalam mempersiapan

pembelajaran, sedangkan 51,60% guru tidak

mengalami hambatan. Hambatan-hambatan

tersebut dikarenakaa 1) kurangnya buku

penunjang bagi guru, 2) kurangnya buku siswa,

3) karena kurangnya tenaga pendidik sehingga

guru harus merangkap sebagai kepala sekolah,

guru harus mengajar lebih dari satu kelas secara

bersamaan, 4) Jarak yang jauh antara sekolah

dengan tempat tinggal sehingga guru tidak

sempat untuk mempersiapkan pembelajaran.

Berdasarkan kenyataan tabel 1 baris

ketiga kolom kelima menunjukkan bahwa

90,30 guru membuat RPP dan hanya 9,70

persen yang tidak membuat RPP. 74,20% guru

mengalami hambatan dalam membuat RPP dan

25,80% tidak mengalami hambatan. Hambatan-

hambatan yang dialami guru-guru SD di

Kabupaten Biak Numfor karena faktor 1)

kurikulum yang berubah-ubah (pemahaman

kurikulum ktsp belum kuat sudah ditambah

dengan kurikulum 2013), 2) kurangnya

sosialisasi kurikulum 2013 (pembuatan RPP).

Dari tabel 1 tampak bahwa 83,90% guru

mengembangkan bahan ajar dan 16,10% tidak

mengembangkan bahan ajar. 80,60%

menngalami kesulitan dalam mengembangkan

bahan ajar dan 19,40% tidak mengalami

hambatan dalam mengembangkan bahan ajar.

Hambatan-hambatan ini dikarenakan 1) guru

masih kurang menguasai materi yang akan

diajarkan, 2) terbatasnya buku pegangan guru

dan buku siswa.

Page 210: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017

210

Hambatan ini juga sejalan dengan

penelitian yang dilakukan oleh Surahman

(2015) yang menyatakan bahwa fasilitas

penunjang dalam penyususnan RPP dan

penunjang proses pembelajaran yang sangat

kurang.

Tabel 2. Analisis Perencanaan guru dalam menggunakan metode dan media

Aspek yang diukur Frekuensi Presentase

Y T Y T

Merencanakan metode yang digunakan

Hambatan dalam pemilihan metode

Menggunakan media dalam kegiatan pembelajaran

Hambatan dalam pemilihan media

29

24

23

30

2

7

8

1

93,50

77,40

74,20

96,80

6,50

22,60

25,80

3,20

Berdasarkan kenyataan yang tampak dari

tabel 2 bahwa 93,50% guru merencanakan

metode dalam pembelajaran dan 6,50% tidak

merencanakan metode yang akan digunakan

dalam pembelajaran. 77,40% guru mengalami

hambatan dalam menentukan metode yang

digunakan pada saat pembelajaran dan 22,60%

guru tidak mengalami hambatan. Hambatan-

hambatan tersebut terdiri dari 1) kurangnya

pengetahuan tentang motode-metode, model-

model, serta trategi-strategi dalam

pembelajaran,; 2) matri yang ada dibahan ajar

tidak sesuai dengan kondisi di lapangan

(contohnya: materi tentang candi Borobudur

tidak sesuai dengan kondisi di Biak karena di

Biak tidak ada candi; materi tentang

transportasi seperti becak, di Papua tidak ada

becak sehingga anak kesulitan untuk

membayangkan alat transportasi becak),

Berdasarkan tabel 2 menunjukkan bahwa

74,20% guru SD di Kabupaten Biak Numfor

menggunakan media dalam pembelajaran dan

25,80% tidak menggunakan media dalam

pembelajaran. 96,80% mengalami hambatan

dalam memilih media yang tepat dengan

pembelajaran dan 3,20% guru tidak mengalami

hambatan. Hambatan yang dialami guru adalah

1) kurangnya refrensi (sumber-sumber) media

pembelajaran serta buku pembelajaran yang

sesuai dengan materi yang akan diajarkan, 2)

terbatarnya pengetahuan tentang media

pembelajaran yang sesuai dengan materi yang

diajarkan, 3) terbatasnya dana bagi pembuatan

media. Media pembelajaran, buku-buku

pembelajaran merupakan fasilitas yang harus

dimiliki siswa tetapi pada kenyataannya masih

banyak fasilitas yang belum dimiliki. Hal ini

sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Rini Kristiantari (2014) menyebutkan bahwa

sekolah masih kesulitan dalam penyediaan

fasilitas pembelajaran.

Tabel 3. Analisis Penilaian yang dilakukan guru

Aspek yang diukur Frekuensi Presentase

Y T Y T

Melakukan penilaian

Hambatan dalam melakukan penilaian

(penilaian proses dan akhir)

31

28

0

3

100,00

90,30

0,00

9,70

Dari analisis tabel 3 menyatakan bahwa

semua guru-guru SD di Kabupaten Biak

Numfor melakukan penilaian. 90,30%

mengalami kesulitan dalam melakukan

penilaian baik penilaian proses maupun

penilaian produk. Hal ini dikarenakan

kurangnya pengetahun tentang penilaian

psikomotorik, penilaian afektif sehingga guru

Page 211: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Analisa Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Proses Belajar Guru-Guru Sekolah Dasar | Indri Anugraheni

211

hanya melakukan penilaian kognitif di akhir

pembelajaran, jarak sekolah dengan tempat

tinggal yang jauh sehingga guru tidak sempat

melakukan penilaian proses.

Hal ini sejalan dengan penelitian yang

dilakukan Syamsul Bahri di daerah dataran

Tinggimoncong menyebutkan bahwa faktor

yang mempengaruhi guru dalam pembelajaran

adalah guru tidak membuat rencana

pembelajaran, kurangnya kepedulian dalam

menganalisis hasil evaluasi belajar, terbatasnya

informasi yang diperoleh serta sarana dan

prasarana yang tidak memadai dalam

melaksanakan pembelajaran.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Dari hasil angket yang dibagikan kepada

31 guru-guru SD di Kabupaten Biak Numfor

menunjukan bahwa banyak hambatan-

hambatan yang dialami guru. Hambatan-

hambatan yang dialami guru SD di Kabupaten

Biak Numfor yaitu: 1) analisis persiapan guru

sebelum melaksanakan pembelajaran, 2)

analisis perencanaan guru dalam menggunakan

metode dan media, 3) analisis penilaian yang

dilakukan guru.

Hambatan-hambatan yang dialami guru

dalam mempersiapkan pembelajaran adalah: 1)

kurangnya buku penunjang bagi guru, 2)

kurangnya buku siswa, 3) karena kurangnya

tenaga pendidik sehingga guru harus

merangkap sebagai kepala sekolah, guru harus

mengajar lebih dari satu kelas secara

bersamaan, 4) Jarak yang jauh antara sekolah

dengan tempat tinggal sehingga guru tidak

sempat untuk mempersiapkan pembelajaran.

Hambatan-hambatan yang dialami guru-guru

SD di Kabupaten Biak Numfor karena faktor 1)

kurikulum yang berubah-ubah (pemahaman

kurikulum KTSP belum kuat sudah ditambah

dengan kurikulum 2013), 2) kurangnya

sosialisasi kurikulum 2013 (pembuatan RPP).

Hambatan-hambatan yang dialami guru

dalam merencanakan dan menggunakan

metode serta media yang sesuai dengan

pembelajaran yaitu: 1) kurangnya pengetahuan

tentang motode-metode, model-model, serta

trategi-strategi dalam pembelajaran, 2) matri

yang ada dibahan ajar tidak sesuai dengan

kondisi di lapangan (contohnya: materi tentang

candi Borobudur tidak sesuai dengan kondisi di

Biak karena di Biak tidak ada candi; materi

tentang transportasi seperti becak, di Papua

tidak ada becak sehingga anak kesulitan untuk

membayangkan alat transportasi becak).

Hambatan yang dialami guru adalah 1)

kurangnya refrensi (sumber-sumber) media

pembelajaran yang sesuai dengan materi yang

akan diajarkan, 2) terbatarnya pengetahuan

tentang media pembelajaran yang sesuai

dengan materi yang diajarkan, 3) terbatasnya

dana bagi pembuatan media.

Hambatan-hambatan yang dialami guru

dalam melakukan kegiatan evaluasi

pembelajaran adalah: 1) kurangnya pengetahu-

an tentang penilaian psikomotorik, penilaian

afektif sehingga guru hanya melakukan

penilaian kognitif di akhir pembelajaran. 2)

jarak sekolah dengan tempat tinggal yang jauh

sehingga guru tidak sempat melakukan

penilaian proses.

Usaha-usaha yang dilakukan guru dalam

mengatasi hambatan tersebut adalah1) banyak

siswa yang tidak mempunyai buku pegangan

maka guru menatat materi di papan tulis, 2)

guru menyiapkan pembelajaran sesuai dengan

kemampuan guru, 3) guru menggunakan media

yang ada di sekolah.

Saran

Saran bagi pemerintah daerah Kabupaten

Biak Numfor adalah perlunya a) pelatihan-

pelatihan terkait pembengangan kompetensi

bagi guru-guru di Kabupaten Biak Numfor,

Papua; b) Seminar terkait model-model

pembelajaran, media pembelajaran, evaluasi

pembelajaran (ranah kognitif, afektif dan

psikomotorik) bagi guru-guru di Kabupaten

Biak Numfor, Papua. Saran bagi FKIP UKSW

Salatiga adalah menjalin kerjasama dan

mengadakan program-program atau kegiatan-

kegiatan yang mampu meningkatkan

kompetensi guru untuk menjadi guru yang

Page 212: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017

212

professional. Saran bagi Guru (pendidik)

adalah mengikuti pelatihan-pelatihan, seminar

yang diadakan oelh Dinas Pendidikan;

mengembangkan diri dengan membaca buku-

buku refrensi.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Azis. 2014. Kompetensi Guru dalam

penggunaan media Mutu Pembelajaran.

Jurnal Pelopor Pendidikan, Vol 5 no 1.

(49-57).

Akhmad Wahyuddin Rauf. (2009). Deskripsi

Tentang Hambatan Guru Dalam

Implementasi Kurikulum Tingkat

Satuan Pendidikan (KTSP) Di SMU

Negeri 4 Watampone. Jurnal Medtek,

1(1).

Heri Retnawati. (2015). Hambatan Guru

Metamtika Sekolah Menengah Pertama

Dalam Menerapkan Kurikulum Baru.

Jurnal Cakrawala Pendidikan, Th

XXXIV (3), 390 – 403.

Hilda Saranita M dan Supramono. (2015).

Analisis Akar Masalah Ketidakefektifan

Manajemen Kelas di Sekolah Dasar di

Salatiga dan Sekitarnya. Jurnal Kelola

(Jurnal Manajemen Pendidikan), 2(2),

221 – 235.

Mg. Rini Kristiantari. (2014). Analisis

Kesiapan Guru Sekolah Dasar Dalam

Mengimplementasikan Pembelajara

Tematik Integratif Menyongsing

Kurikulum 2013. Jurnal Pendidikan

Indonesia, 3(2), 460 – 470.

Muh. Ilyas Ismail. (2010). “Kinerja dan

Kompetensi Guru dalam Pembelajar-

an”. Jurnal Lentera Pendidikan, Vol 13

(No 1), 44 – 63.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional

Republik Indonesia No. 16 Tahun 2007

tentang Standar Kualifikasi Akademik

dan Kompetensi Guru.

Pranowo Narjosoeripto. (2012). Profesionalis-

me Guru dan Perspektif Global.

Procceding Seminar Nasional

“Profesionalisme Guru dalam

Perspektif Global”. Univet Bantara

Sukoharjo, 112 – 119.

Suparlan. (2006). Guru Sebagai Profesi.

Yogyakarta: Hikayat Publishing.

Surahman Nur. (2015). Studi tenang Faktor

Pengaruh Guru Biologi dalam

menyusun Rancangan Pelaksanaan

Pembelajaran Kurikulum Tingkat

Satuan Pendidikan di SMP Sek

Kecamatan Bastem Kabupaten Luwu.

Jurnal Bionature, 2 (Oktober 2015),

110 – 116.

Syamsul Bahri. (2011). Faktor yang

mempengaruhi Kinerja Guru SD di

Dataran Tinggimonco Gowa. Jurnal

Medtek, Vol 3, No 2 (Oktober 2011).

Titik Rosilawati. (2014). Supervisi Akademik

dalam Upaya Peningkatan Motivasi

Guru Menyusun Perangkat Persiapan

Pembelajaran. Jurnal Penelitian

Pendidikan Tindakan Sekolah, Vol 1

(No 2), 57 – 62.

Usman. 2004. Menjadi Guru Profesional.

Bandung: Angkasa.

Undang-undang Republik Indonesia, Nomor 14

tahun 2005. Tentang guru dan dosen.

Page 213: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Magister Manajemen Pendidikan FKIP Universitas Kristen Satya Wacana [email protected]

e-ISSN 2549-9661 Volume: 4, No. 2, Juli-Desember 2017

Halaman: 213-219

213

Teori dan Implementasi Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah

Nasib Tua Lumban Gaol

Insitute of Education, National Taiwan Ocean University

Universitas Pelita Harapan Medan

[email protected]

ABSTRACT

Indonesia faces many problems in education. The main problem is raised from the

low ability of the headmaster to manage the school. This is related to leadership style.

This study aims to explore leadership styles in the field of education and discusses how

headmasters should apply leadership styles in schools. Some appropriate leadership

styles are applied by the headmaster consisting of (1) managerial leadership, (2)

transformational leadership, (3) transactional leadership, (4) instructional leadership

and (5) positive leadership. Therefore, the headmaster not only applies a leadership style

while managing the school but must be able to combine and contextualize leadership

styles based on the need to obtain school goals.

Keywords: education management, headmaster, leadership style

Article Info

Received date: 22 Oktober 2017 Revised date: 12 November 2017 Accepted date: 12 November 2017

Page 214: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017

214

PENDAHULUAN

Kualitas pendidikan sangat ditentukan

oleh keberhasilan proses pembelajaran di

lembaga pendidikan. Sekolah sebagai lembaga

pendidikan membutuhkan kepala sekolah yang

mampu memimpin dan mengelola sekolah

dengan profesional. Wiyono (2017)

menyatakan bahwa kepemimpinan kepala

sekolah merupakan salah satu aspek yang

menentukan keberhasilan pendidikan di

sekolah. Hal tersebut dikarenakan kepala

sekolah memiliki peran penting untuk

melakukan peningkatan dan pengembangan

sekolah secara berkelanjutan (Yang, 2014).

Kepala sekolah membutuhkan

kompetensi yang memadai. Ini bertujuan

supaya setiap permasalahan dan pengem-

bangan sekolah dapat dilakukan oleh kepala

sekolah. Adapun kompetensi yang dibutuhkan

oleh kepala sekolah adalah

(1) kompetensi personal, (2) manajerial, (3)

supervisi, (4) interpreneurship, dan (5) sosial

(Wiyono, 2017). Selain itu, berdasarkan hasil

penelitian Ross dan Cozzens (2016),

ditemukan kompetensi utama yang harus

dimiliki oleh kepala sekolah, yaitu: (1)

Assessment, (2) Instructional Leadership, (3)

Unity of Purpose, (4) Visionary Leadership, (5)

Diversity, (6) Learning Community, (7)

Reflection, (8) Organizational Management,

(8) Professional Development, (9)

Collaboration, (10) Curriculum and

Instruction, (11) Professionalism.

Namun, pada kenyataannya, terdapat

permasalahan mendasar yaitu masih banyak

kepala sekolah di Indonesia yang tidak

mengetahui bagaimana menggunakan

wewenang yang dimiliki untuk mengelola

sekolah yang dipimpin karena takut membuat

perubahan (Sofo, Fitzgerald & Jawas, 2012).

Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan

kepala sekolah di Indonesia masih lemah dalam

mengelola sekolah.

Silfianti (2013) menemukan beberapa

fenomena kritis terhadap kondisi sekolah yang

dikaitkan dengan ketidakmampuan kepala

sekolah mewujudkan sekolah yang efektif di

Indonesia. Pertama, kepala sekolah masih

kurang mampu dalam memelihara fasilitas

sekolah. Fasilitas belajar tidak terkelola dengan

baik sehingga mengakibatkan suasana belajar

di lingkungan sekolah tidak begitu efektif.

Misalnya adalah kondisi kursi, meja, dan lemari

sekolah yang sudah rusak. Kondisi yang

demikian ini membuat siswa tidak nyaman

untuk belajar.

Kedua, kepala sekolah tidak mampu

menciptakan budaya dan suasana sekolah yang

kondusif. Hubungan di antara sesama guru dan

staf kependidikan lainnya sering sekali tidak

baik. Akibatnya, lingkungan kerja di sekolah

menjadi tidak baik karena ada beberapa guru

memiliki konflik interpersonal dengan guru

atau staf kependidikan lainnya.

Ketiga, kepala sekolah juga kurang

mampu melibatkan para personil sekolah

supaya aktif dalam berbagai kegiatan di

sekolah. Lemahnya kemampuan kepala sekolah

dalam melibatkan para personil sekolah baik

guru maupun tenaga kependidikan menjadi

permasalahan mendasar di sekolah. Artinya,

baik guru maupun tenaga kependidikan tidak

dapat memaksimalkan kontribusinya dalam

mewujudkan pengembangan sekolah karena

kepala sekolah tidak berkompeten untuk

memberdayakan sumberdaya manusia yang ada

di sekolah.

Keempat, kepala sekolah juga tidak

mampu mengarahkan para guru supaya

menyusun dan mengembangkan silabus dan

RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran).

Kecenderungan guru adalah menggunakan RPP

dari sekolah lain atau hanya menggunakan RPP

dari situs internet. Dalam kasus ini sebenarnya,

peran kepala sekolah sebagai pemimpin

pengajaran telah gagal.

Kelima, kepala sekolah cenderung tidak

melibatkan para guru dalam komite sekolah

untuk pengambilan keputusan. Kepala sekolah

selalu mendominasi dalam setiap pengambilan

keputusan. Kemampuan kepala sekolah secara

sosial maupun kooperatif adalah penyebab

utamanya.

Selanjutnya, Sofo, Fitzgerald dan Jawas

(2012) menyatakan bahwa permasalahan

kepemimpinan pendidikan dan reformasi

sekolah yang ada di Indonesia sangatlah

penting, akan tetapi kedua topik tersebut masih

terabaikan pada kajian literatur yang

dipublikasikan. Dengan demikian, karena

lemahnya kemampuan kepala sekolah dalam

mengelola sekolah dan minimnya kajian

literature tentang kepemimpinan pendidikan

terkhusus kepala sekolah di Indonesia, maka

Page 215: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Teori Dan Implementasi Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah | Nasib Tua Lumban Gaol

215

dianggap penting untuk melakukan kajian

secara teoritis dan menemukan hal penting

untuk diimplementasikan oleh kepala sekolah

dari berbagai gaya kepemimpinan.

Oleh karena itu, yang menjadi rumusan

permasalahan dalam tulisan ini adalah: (1)

Apakah teori-teori gaya kepemimpinan yang

relevan untuk diimplementasikan di sekolah

yang ada di Indonesia? (2) Bagaimanakah

implementasi gaya kepemimpinan dapat

dilakukan oleh kepala sekolah?

Tulisan ini memberikan kontribusi

signifikan baik secara teoritis maupun praktis.

Secara teoritis, menambah temuan baru tentang

gaya kepemimpinan pendidikan yang relevan

untuk diimplementasikan di Indonesia. Secara

praktis, memberikan pemahaman baru kepada

kepala sekolah dan para stakeholder dalam

mengelola lembaga pendidikan sekolah

sehingga diharapkan akan terwujud sekolah

yang efektif di Indonesia.

PEMBAHASAN

Kepemimpinan adalah sangat kompleks

dan memiliki berbagai konsep. Northouse

(2013) memfokuskan konsep kepemimpinan

hanya pada empat komponen penting, yaitu (1)

pengaruh, (2) proses, (3) komunitas, dan (4)

tujuan bersama.

Tetapi, Abbas (2014) menyatakan bahwa

kepemimpinan adalah kemampuan untuk

menggerakkan segala sumber daya yang ada

pada organisasi, sehingga dapat didayagunakan

secara maksimal, guna mencapai tujuan yang

telah ditetapkan. Meskipun ada perbedaan

tentang konsep kepemimpinan, tetapi teori

kepemimpinan tetap saja memberikan

kontribusi penting dalam berbagai bidang,

termasuk pendidikan.

Kepemimpinan dalam pendidikan

menjadi sangat penting karena kepemimpinan

kepala sekolah memiliki pengaruh signifikan

terhadap kualitas pendidikan. Beberapa hasil

studi terbaru telah menunjukkan bahwa ada

hubungan yang signifikan antara kemampuan

kepemimpinan kepala sekolah dengan

efektifitas sekolah (Bolanle, 2013; Moorosi &

Bantwini &, 2016; Boonla & Treputtharat,

2014).

Sebenarnya, dengan adanya kemampuan

yang memadai dan gaya kepemimpinan yang

sesuai, kepala sekolah pasti mampu

mewujudkan sekolah yang efektif. Namun

karena kendala dalam memahami dan

mengimplementasikan gaya-gaya

kepemimpinan pendidikan di sekolah, sekolah

tidak begitu berhasil sebagai wadah

pendidikan.

Dengan demikian, ada beberapa gaya

kepemimpinan yang dapat diimplementasikan

oleh kepala sekolah di Indonesia ketika

mengelola sekolah supaya efektif dan mencapai

tujuan pendidikan, yaitu kepemimpinan

manajerial, kepemimpinan transformasional,

kepemimpinan transaksional, Pengajaran

(Bush, 2008; 2015), dan positif (Chen, Tsai,

Chen & Wu, 2016).

Gaya Kepemimpinan Manajerial

Kepemimpinan manajerial lebih

memfokuskan pada setiap hal supaya dapat

terkelola dengan baik. Bush (2015) menyatakan

“managerial leadership assumes that the focus

of leadership ought to be on functions, task, and

behaviors and if these functions are carried out

completely, the work of others in the

organization will be facilitated. Oleh karena itu,

setiap bagian pada organisasi sekolah harus

diposisikan dengan benar supaya tujuan

sekolah dapat tercapai. Namun, kelemahan

pada kepemimpinan manajerial ini adalah

tidakmengikutsertakan konsep visi (Bush,

2008). Artinya, kepemimpinan manajerial lebih

memfokuskan diri pada pengelolaan berbagai

kegiatan supaya berhasil. Sehingga kepala

sekolah dengan gaya kepemimpinan manajerial

memiliki kecenderungan untuk mengurusi

kegiatan-kegiatan sekolah, misalnya kegiatan

lomba, perayaan event tertentu, dan lain

sebagainya.

Meskipun demikian, gaya kepemimpinan

manajerial sebenarnya memberikan dampak

positif terhadap sekolah. Karena dengan

kemampuan mengorganisir program yang

dimiliki oleh kepala sekolah akan membawa

suasana educatif dan tidak membosankan bagi

guru dan peserta didik yang berada di

lingkungan sekolah.

Selain membuat program sekolah

terlaksana dengan baik, kepemimpinan

manajerial juga dapat memberikan dampak

postif terhadap guru-guru di sekolah. Penelitian

menunjukkan bahwa gaya kepemimpinan

manajerial berpengaruh terhadap kepuasan

Page 216: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017

216

guru. Misalnya, Silfianti (2013) menemukan

bahwa kompetensi manajerial yang dimiliki

oleh kepala sekolah berkontribusi positif

terhadap motivasi kerja guru. Ketika motivasi

kerja guru semakin baik, maka guru akan

memiliki kinerja lebih baik lagi dalam

mendidik dan menjalin hubungan sosial degan

guru dan staf kependidikan lainnya. Dengan

adanya kontribusi positif dari gaya

kepemimpinan manajerial kepala sekolah

terhadap motivasi kinerja guru, tentu membawa

dampak positif juga dalam mewujudkan

peningkatan efektifitas sekolah karena guru

memiliki semangat dan loyalitas terhadap

sekolah.

Gaya Kepemimpinan Transformasional

Kepemimpinan transformasional adalah

komprehensif karena memiliki pendekatan

normatif terhadap kepemimpinan sekolah.

Fokus utama kepemimpinan transformasional

adalah pemimpin menemukan aktifitas yang

memiliki pengaruh dan hasil (Bush, 2008;

2015). Northouse (2013) menyatakan ada lima

faktor penting yang berkaitan dengan

kepemimpinan transformasional, yaitu: (1)

pengaruh ideal, (2) karisma, (3) motivasi yang

menginspirasi, (4) rangasangan intelektual, dan

(5) pertimbangan yang diadaptasi. Dengan

adanya faktor-faktor ini kepala sekolah

didorong supaya lebih bijak dalam bertindak

dan berhadapan dengan para guru dan staf

kependidikan di lingkungan sekolah.

Oleh karena itu, pemimpin

transformasional adalah pemimpin yang

cendurung mengadopsi pendekatan demokratis

pada gaya kepemimpinannya (Giltinane, 2013).

Sebagai hasilnya, ketika kepala sekolah

mengimplementasikan gaya kepemimpinan

transformasional dengan baik, maka akan

memiliki potensi untuk melibatkan para

steakholder dalam mencapai tujuan-tujuan

pendidikan (Bush, 2015). Misalnya, ketika

kepala sekolah memiliki kepemimpinan

transformasional yang baik, maka kepala

sekolah mampu melibatkan para guru, staf

kependidikan, dan orang tua siswa sehingga

berperan aktif untuk pengembangan efektivitas

sekolah. Dalam konteks Indonesia, gaya

kepemimpinan ini sangat dibutuhkan karena

dengan adanya prinsip demokratis dalam

pengelolaan sekolah akan mendorong semakin

munculnya ide-ide kreatif dan inovasi untuk

memajukan sekolah dari berbagai pihak.

Lebih lanjut, kepemimpinan

transformasional yang efektif membutuhkan

kepercayaan antara pemimpin dan bawahan

(Giltinane, 2013). Kepala sekolah yang

memiliki gaya kepemimpinan transformasional

berperan dalam mendorong pengembangan

sekolah (Yang, 2014). Dengan demikian,

kepala sekolah harus mampu membangun

kepercayaan terhadap guru dan staf

kependidikan sehingga guru dan staf

kependidikan juga mampu mengembangkan

kepemimpinan dan tanggung jawabnya. Selain

itu, kepala sekolah juga harus membagikan visi

dan misi sekolah kepada warga sekolah

sehingga ini akan mewujudkan suasana

kondusif untuk pembelajaran.

Gaya Kepemimpinan Transaksional

Gaya kepemimpinan transaksional adalah

berorientasi pada tugas dan bisa efektif ketika

berhadapan dengan deadline (Giltinane, 2013).

Northouse (2013) menyatakan bahwa

kepemimpinan transaksional berbeda dengan

kepemimpinan transformasional. Hal tersebut

dikarenakan pemimpin yang

mengimplementasikan gaya kepemimpinan

transaksional tidak menyesuaikan kebutuhan

pengikut, tetapi berfokus pada pengembangan

pribadi para anggota.

Pada umumnya, ada tiga tipe

kepemimpinan transaksional, yaitu: Continget

reward (Pemberian penghargaan saat target

tercapai), management by exception active (ada

intervensi sebelum terjadi permasalahan), dan

managemen by exception-passive (ada

intervensi ketika permasalahan muncul)

(Giltinane, 2013). Ketiga tipe kepemimpinan

ini sangat efektif untuk mencegah dan

menyelesaikan permasalahan yang ada di

lingkungan sekolah.

Oleh karena itu, di lingkungan sekolah,

kepemimpinan transaksional dapat

diimplementasikan dengan cara pemberian

penghargaan kepada setiap yang telah

memberikan kinerja terbaik dalam

melaksanakan tugasnya. Selain itu, kepala

sekolah juga dapat membantu guru yang

terkendala dengan tugas mengajar atau

permasalahan yang dihadapi dengan siswa atau

dengan orang tua murid. Dan juga kepala

Page 217: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Teori Dan Implementasi Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah | Nasib Tua Lumban Gaol

217

sekolah dapat memberikan seminar atau

pelatihan kepada para guru ketika guru tidak

mampu dalam mengajar dengan metode yang

kreatif. Pengimplementasian strategi ini akan

semakin mendorong para guru semakin

memiliki kinerja yang baik dan profesional

dalam mengerjakan tugasnya.

Gaya Kepemimpinan Pengajaran

Gaya kepemimpinan pengajaran terdiri

atas konsep khusus dan umum (Ng, dkk, 2015).

Konsep khusus mendefinisikan kepemimpinan

pengajaran sebagai tindakan yang secara

langsung berkaitan dengan pengajaran dan

proses belajar. Misalnya adalah kepala sekolah

melakukan pengamatan langsung di dalam

kelas. Sedangkan konsep kepemimpinan

pengajaran umum mendefenisikan

kepemimpinan pengajaran sebagai tindakan

kepemimpinan yang secara tidak langsung

mempengaruhi belajar siswa. Misalnya kepala

sekolah menciptakan budaya dan penentuan

waktu yang efektif di sekolah .

Hallinger dan Murphy (1985) merupakan

ahli utama yang mengembangkan konsep

kepemimpinan pengajaran. Hallinger dan

Murphy mengajukan 10 aspek penting dalam

kepemimpinan pengajaran, yaitu: (1) framing

the school’s goals, (2) communicating the

school’s goals, (3) coordinating the

curriculum, (4) supervising and evaluating

instruction, (5) monitoring student progress,

(6) protecting instructional time, (7) providing

incentives for teachers, (8) providing incentives

for learning, (9) promoting professional

development dan (10) maintaining high

visibility.

Dari kesepuluh aspek kepemimpinan

pengajaran tersebut, kepala sekolah harus

mampu menjadi inisiator dan fasilitator dalam

mengupayakan proses belajar mengajar di

sekolah terlaksana dengan baik. Selain itu,

kepala sekolah juga harus mampu menciptakan

budaya organisasi di sekolah sekondusif

mungkin sehingga prestasi belajar siswa dan

kinerja guru dapat meningkat.

Gaya Kepemimpinan Positif

Gaya kepemimpinan positif adalah gaya

kepemimpinan yang baru dikembangkan dari

konsep positif. Chen, Tsai, Chen dan Wu

(2016) menyatakan kepemimpinan positif

adalah tipe pemimpin yang mengurusi berbagai

hal dengan melibatkan pemikiran positif

sehingga terwujud situasi yang memaafkan,

simpatik, dan penuh kasih. Selain itu, tipe

kepemimpinan ini mengupayakan adanya

saling mendukung satu sama lain di antara

anggota-angota supaya saling peduli dan

mengasihi untuk menciptakan hubungan positif

di tempat kerja.

Hasil penelitian Chen, dkk (2016)

membuktikan bahwa kepemimpinan positif

berhubungan signifikan dengan efektifitas

sekolah yang dimediatori oleh budaya

organisasi sekolah. Pentingnya seorang

pemimpin yang berpikiran positif sangat

mendukung dalam mewujudkan lingkungan

sekolah yang kondusif. Artinya kepala sekolah

harus melakukan yang benar dan memiliki

optimis.

Penerapan gaya kepemimpinan positif

dipandang penting dilakukan oleh kepala

sekolah di Indonesia. Pada umumnya sekolah di

Indonesia terdiri dari berbagai ras, suku, dan

agama. Oleh karena itu, kepala sekolah harus

mampu memiliki pola pikir positif supaya dapat

mewujudkan suasana sekolah yang kondusif

dan demokratis sehingga dapat terwujud

sekolah yang efektif.

SIMPULAN

Kepemimpinan merupakan hal yang

penting dalam dunia pendidikan.

Kepemimpinan kepala sekolah sangat

menentukan peningkatan dan pengembangan

sekolah untuk selanjutnya. Tanpa adanya

kemampuan yang memadai dalam

mengimplementasikan gaya kepemimpinan,

kepala sekolah akan menemukan berbagai

kesulitan dalam mewujudkan sekolah yang

efektif. Oleh karena itu, kepala sekolah harus

mampu mengimplementasikan gaya

kepemimpinan manajerial, transformasional,

transaksional, pengajaran, dan positif supaya

sekolah dapat menjadi wadah pembelajaran

yang efektif.

Proses implementasi dari lima gaya

kepemimpinan kepala sekolah (manajerial,

transformasional, transaksional, pengajaran dan

positif) dapat dilakukan dengan cara: (1)

mengkonsep setiap program sekolah dengan

efektif dan efisien, (2) memberikan pengaruh

yang berdampak signifikan kepada setiap

Page 218: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017

218

warga sekolah (guru, staf kependidikan, dan

siswa) dan stekeholder, (3) mengembangkan

profesionalisme guru maupun staf

kependidikan, (4) menciptakan proses

pembelajaran dan iklim organisasi sekolah

yang kondusif, (5) memiliki persepsi positif

dalam mengelola sekolah.

Untuk mengembangkan kemampuan

kepala sekolah dalam mengimplementasikan

gaya kepemimpinan, maka pemerintah dapat

memberikan program pelatihan dan

kepemimpinan kepada para kepala sekolah.

Misalnya, pemerintah dapat bekerja sama

dengan Perguruan Tinggi untuk merancang

program pengembangan kepemimpinan kepala

sekolah. Program ini akan membantu kepala

sekolah dalam mengelola sekolah.

Kepala sekolah sebagai pengelola

sekolah harus berusaha mengimplemen-tasikan

berbagai gaya kepemimpinan dalam mengelola

sekolah. Hal ini akan meningkatkan iklim dan

kualitas sekolah menjadi lebih baik. Selain itu

kepala sekolah juga dapat melakukan

kunjungan ke beberapa sekolah untuk

melakukan diskusi dengan kepala sekolah lain.

Kunjungan sekolah tersebut bisa dilakukan di

kota atau provinsi yang berbeda. Kegiatan ini

dapat mendorong kepala sekolah supaya lebih

aktif dalam pengembangan sekolah.

DAFTAR PUSTAKA

Abbas, S. (2014). Manajemen Perguruan

Tinggi. Jakarta: Kencana.

Bolanle, A. O. (2013) Principals’ Leadership

Skills and School Effectiveness: The

Case of South Western Nigeria. World

Journal of Education. 3 (5), 26-33.

Moorosi, P. & Bantwini, B. D. (2016). School

District Leadership Styles and School

Improvement: Evidence from Selected

School Principals in the Eastern Cape

Province. South African Journal of

Education. 36(4), 1-9.

Boonla, D. & Treputtharat, S. (2014). The

Relationship between the Leadership

Style and School Effectiveness in

School under the office of Secondary

Education. Procedia Social and

Behavioral Sciences. 112 (2014), 991

– 996.

Bush, T. (2008). Leadership and Management

Development. London : SAGE

Publication Ltd.

Bush, T. (2015). Organisation Theory in

Education: How does in inform school

leadership? Journal of Organizational

Theory in education. 1 (1), 35-47.

Bush, T. & Glover, D. (2014). School

Leadership models: What we do know?

School Leadership & Management. 34

(5), 553-571.

Chen, C., Tsai S., Chen, H., & Wu, H.

(2016) .The Relationship between the

Principal’s Positive Leadership and

School Effectiveness-Take School

Organizational Culture as The

Mediator. European Journal of

Psychological Research. 3 (2), 12-23.

Giltinane, CL. (2013) . Leadership Style and

Theories. Nurshing Standard. 27 (41),

35-39.

Hallinger, P., & Murphy, J. (1985). Assessing

the Instructional Leadership Behavior

of Principals. Elementary School

Journal. 86 (2), 217-248.

Ng, F.S.D., Nguyen, T. D., Wong, K.S.B., &

Choy, K. W. W. (2015). Instructional

leadership practices in Singapore.

School Leadership & Management. 35

(4), 388-407.

Ross, D. J. & Cozzens, J. A. (2016). The

Principalship: Essential Core

Competencies for Instructional

Leadership and Its Impact on School

Climate. Journal of Education and

Training Studies. 4 (9), 162-176.

Sofo, F., Fitzgerald, R., & Jawas, U. (2012).

Instructional Leadership in Indonesian

School reform: Overcoming the

problems to move forwad. School

Leadership and Management. 32 (5),

503-522.

Northouse, P. G. (2013). Kepemimpinan:

Theori dan Praktik (Terjemahan),

Jakarta: PT. Indeks.

Wiyono, B. B. (2017). The Effect of Self-

evaluation on the Principals’

Transformational Leadership,

Teachers’ Work Motivation, Teamwork

Effectiveness, and School

Improvement. International Journal of

Leadership in Education, 1-21.

Page 219: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Teori Dan Implementasi Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah | Nasib Tua Lumban Gaol

219

Silfianti. (2013). Kontribusi kompetensi

manajerial kepala sekolah terhadap

motivasi kerja guru SMP Negeri di

Kecamatan Padang Timur. Jurnal

Manajemen Administrasi Pendidikan. 1

(1), 220-461.

Yang, Y. (2014). Principal’s Transformational

Leadership in School Improvement.

International Journal of Educational

Management, 28 (3), 279-288.

Page 220: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Magister Manajemen Pendidikan FKIP Universitas Kristen Satya Wacana [email protected]

e-ISSN 2549-9661 Volume: 4, No. 2, Juli-Desember 2017

Halaman: 220-230

220

Pengaruh Kreativitas dalam Peningkatan Kompetensi Kepemimpinan Alumni Magister

Manajemen Pendidikan Pada Kurikulum Berbasis Kompetensi

Krisma Widi Wardani

Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Kristen Satya Wacana

[email protected]

ABSTRACT

This study aims to find out: 1) whether or not the leadership quality of the alumni

of MMP FKIP UKSW is affected by creativity and curriculum; and 2) the determinants

of the alumni's leadership level: creativity or curriculum factor. The participants of this

research are those who have graduated (alumni) from MMP FKIP UKSW Salatiga,

working in Temangung regency. There were as many as 35 alumni in 2014/2015 selected

to join this research. The data was collected using self-rating scale consisting of 32 items

that have been tested valid and reliable, then it was reduced to 3 variables. The analysis

process was undertaken by using SPSS 24 assisted analysis technique. The result of this

research showed that curriculum have nothing to do with the level of leadership.

Meanwhile, alumni’s leadership level is significantly determined by the creativity. This

finding is very important for the aspect of course quality improvement management that

supposed to be conducted by professional lecturers. MMP FKIP UKSW refines its

learning activities on creativity-based lectures which will bring positive influence on

leadership level.

Keywords: Creativity, Curriculum Relevance, Leadership

Article Info

Received date: 5 Desember 2017 Revised date: 12 Desember 2017 Accepted date: 13 Desember 2017

Page 221: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Pengaruh Kreativitas dalam Peningkatan Kompetensi Kepemimpinan Alumni … | Krisma W. Wardani

221

PENDAHULUAN

Kata kunci atau faktor utama

kepemimpinan adalah proses mempengaruhi

(Yukl, 2010). Kepemimpinan dipandang

sebagai faktor yang sangat penting untuk

efektivitas organisasi, bahkan juga

mempengaruhi hampir semua kehidupan

manusia (Handoyo, S., 2011). Kepemimpinan

menurut Bush (2008) “I mean influencing

others actions in achieving desirable ends”,

kepemimpinan ialah mempengaruhi tindakan

orang lain untuk mencapai tujuan akhir yang

diharapkan. Kepemimpinan merupakan salah

satu faktor penting dalam mencapai tujuan

organisasi (Robbins, 1996).

Kepemimpinan, sampai hari ini tetap

dianggap sangat penting; Goleman, D., R.

Boyatzis, & McKee (2003) menemukan bahwa

ada hubungan antara keberhasilan dan

kegagalan organisasi dengan kepemimpinan,

dengan adanya kecerdasan emosional

pemimpin mampu mengelola kekuasaan dan

meningkatkan kinerjanya secara optimal serta

menularkan kepada bawahannya. Seorang

pemimpin hanya dapat melakukan

kepemimpinannya apabila memiliki

kekuasaan, namun begitu pengaruh kekuasaan

dapat memberi manfaat atau justru

menyengsarakan (Usman, H., 2016). Frost

(2003) menekankan bahwa akibat krisis

kepemimpinan, banyak orang yang menderita,

yang mengalami burn-out, yang tidak dapat

menikmati hidup dalam pekerjaannya, serta

banyak biaya yang dikeluarkan untuk

mengobati sakit emosional di tempat kerja.

Berdasarkan pendekatan sifat-sifat pemimpin

menyebutkan bahwa pemimpin itu dilahirkan

bukan diciptakan (leader are born, not built),

artinya seseorang telah membawa bakat

kepemimpinan sejak dilahirkan bukan dididik

dan dilatih. Teori itu disebut teori The Great

Man yang ada sejak zaman Yunani Kuno dan

Roma (Usman, H., 2016). Namun demikian

kepemimpinan yang efektif terletak pada

seberapa jauh sifat pemimpin dapat mengatasi

keadaan yang dihadapinya. Ada kebutuhan

besar pada saat ini untuk melakukan

pendidikan kepemimpinan untuk generasi

yang akan datang, termasuk kepemimpinan

melalui institusi pendidikan tinggi.

Pendidikan tinggi mempunyai

karakteristik khas sehingga membutuhkan

kepemimpinan tertentu (Handoyo, S., 2011).

Menurut Notohamidjojo, O., (2011; 14) salah

satu tugas Perguruan Tinggi Guru Indonesia

dalam masyarakat yaitu mendidik pemimpin-

pemimpin akademis, sebab fungsi perguruan

tinggi itu tempat calon pemimpin. Seseorang

yang menduduki jabatan pemimpin dalam

manajerial suatu organisasi (termasuk

pendidikan tinggi) mempunyai peranan

penting. Peran-peran tersebut yaitu: sebagai

katalisator, sebagai fasilitator, sebagai

pemecah masalah, sebagai penghubung

sumber, dan sebagai komunikator.

Keberhasilan kepemimpinan seseorang

dapat diukur atau ditandai oleh empat hal,

yaitu : moral, disiplin, jiwa korsa (esprit

de corps) dan kecakapan (Faisal Burhanudin,

2012/2013). Kepemimpinan masa depan

adalah kepemimpinan yang memiliki sifat

jujur, berani, visioner, kompeten,

penginspirasi, dan meberdayakan (Usman, H.,

2016). Mengingat demikian penting peran

kepemimpinan, apalagi program studi

Manajemen Pendidikan, maka salah satu

bentuk/ indikator keberhasilan program studi

yang bersangkutan adalah seberapa tinggi

kadar kepemimpinan mahasiswa lulusannya;

sehingga seluruh sarana dan prasarana

diupayakan untuk mendukung capaian

mahasiswa selagi perkuliahan berlangsung

sebagai basis manajemen program studi yang

bersangkutan. Permasalahannya, hingga kini

belum ditemukan seberapa besar pengaruh

kreativitas yang menentukan kualitas

kepemimpinan alumninya.

Kepemimpinan menurut Hughes, R.,

Ginnett, R., & Curphy, G. (2002) berkenaan

dengan keberanian mengambil risiko dengan

Page 222: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017

222

perhitungan yang matang, dinamika,

kreativitas, inovasi, perubahan dan visi.

Pemimpin itu harus memiliki beberapa

kelebihan, yaitu: 1) Kapasitas: kecerdasan,

kewaspadaan, kemampuan berbicara atau

verbal facility, keaslian, kemampuan menilai.

2) Prestasi/achievement: gelar kesarjanaan,

ilmu, pengetahuan, peroleha dalam olag raga

dan atletik dan lain lain. 3) Tanggung jawab:

mandiri, berinisiatif, tekun, ulet, percaya diri,

agresif, dan punya hasrat untuk unggul. 4)

Partisipasi: aktif, memiliki sosiabilitas tinggi,

mampu bergaul, kooperatif atau suka bekerja

sama, mudah menyesuaikan diri, punya rasa

humor. 5) Status: meliputi kedudukan sosial-

ekonomi yang cukup tinggi, populer, tenar.

Seorang pemimpin harus memiliki ciri yang

unggul, yaitu: 1) Kekuatan 2) Stabilitas emosi

3) Pengetahuan tentang relasi insani 4)

Kejujuran 5) Objektif 6) Dorongan hati 7)

Keterampilan berkomunikasi 8)

Kemampungan mengajar 9) Keterampilan

sosial 10) Kecakapan teknis dan kecakapan

manajerial (G. R Terry dalam Kartini Kartono,

2006). Kepimpinan adalah kemampuan

seseorang mempengaruhi orang lain dalam

melaksanakan tugas mencapai tujuan yang

telah ditetapkan. Adapun indikator

kepemimpinan adalah: memberikan dukungan,

mengembangkan, memberikan pengakuan,

memberikan imbalan, mengelola konflik dan

membangun jaringan kerja (Wibowo, B.,

Machfudz, M., & Sunaryo, H., 2015) [Y].

Kurikulum adalah seperangkat rencana

dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan

bahan ajar serta cara yang digunakan sebagai

pedoman penyelenggaraan kegiatan

pembelajaran untuk mencapai tujuan

Pendidikan Tinggi (Pasal 35 Bagian 9 UU No.

12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi).

Kurikulum pendidikan tinggi adalah

seperangkat rencana dan pengaturan mengenai

isi maupun bahan kajian dan pelajaran serta

cara penyampaian dan penilaiannya yang

digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan

kegiatan belajar-mengajar di perguruan tinggi

(Pasal 1 Butir 6 Kepmendiknas No.

232/U/2000 tentang Pedoman Penyusunan

Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian

Hasil Belajar Mahasiswa). Kurikulum

pendidikan tinggi dikembangkan oleh

Perguruan Tinggi yang bersangkutan dengan

mengacu Standar Nasional Pendidikan untuk

setiap program studi. Kurikulum tidak hanya

gagasan pendidikan tetapi juga termasuk

seluruh program pembelajaran yang terencana

dari suatu institusi pendidikan. Kurikulum

merupakan wujud materi yang diajarkan dalam

proses pembelajaran (Rohman, A., 2011, 168).

Pada saat sekarang istilah kurikulum memiliki

empat dimensi, satu dimensi dengan dimensi

lainnya saling berhubungan. Keempat dimensi

kurikulum tersebut yaitu: (1) kurikulum

sebagai suatu ide/gagasan; (2) kurikulum

sebagai suatu rencana tertulis yang sebenamya

merupakan perwujudan dari kurikulum

sebagai suatu ide; (3) kurikulum sebagai suatu

kegiatan yang sering pula disebut dengan

istilah kurikulum sebagai suatu realita atau

implementasi kurikulum. Secara teoretis

dimensi kurikulum ini adalah pelaksanaan dari

kurikulum sebagai suatu rencana tertulis; dan

(4) kurikulum sebagai suatu hasil yang

merupakan konsekuensi dari kurikulum

sebagai suatu kegiatan. Kurikulum dalam

pendidikan formal memiliki peranan yang

sangat strategis dan menentukan pencapaian

tujuan pendidikan. Salah satu tugas pendidikan

yaitu mempengaruhi dan membina perilaku

mahasiswa sesuai dengan nilai-nilai sosial

yang hidup di lingkungan masyarakatnya.

Peranan ini menekankan bahwa kurikulum

harus mampu mengembangkan sesuatu yang

baru sesuai dengan perkembangan yang terjadi

dan kebutuhan-kebutuhan masyarakat pada

masa sekarang dan masa mendatang.

Kurikulum harus mengandung hal-hal yang

dapat membantu setiap mahasiswa

mengembangkan semua potensi yang ada pada

dirinya untuk memperoleh pengetahuan-

Page 223: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Pengaruh Kreativitas dalam Peningkatan Kompetensi Kepemimpinan Alumni … | Krisma W. Wardani

223

pengetahuan baru, kemampuan-kemampuan

baru, serta cara berpikir baru yang dibutuhkan

dalam kehidupannya [X1].

Menurut Santrock dalam Sujiono

(2010: 38) kreativitas adalah kemampuan

untuk memikirkan sesuatu dengan cara-cara

yang baru dan tidak biasa serta melahirkan

suatu solusi yang unik terhadap masalah-

masalah yang dihadapi. Slameto (2010)

menjelaskan bahwa kreativitas berhubungan

dengan penemuan sesuatu, mengenai hal yang

menghasilkan sesuatu yang baru dengan

menggunakan sesuatu yang telah ada. Sesuatu

yang baru ini dapat berupa perbuatan atau

tingkah laku, bangunan, dan lain-lain.

Kreativitas mengandung pengertian, yaitu:

menciptakan sesuatu yang asalnya tidak ada,

hasil kerja sama masa kini untuk memperbaiki

masa lalu dengan cara yang baru, dan

menghilangkan sesuatu untuk menciptakan

sesuatu yang lebih sederhana dan lebih baik.

Kreativitas seseorang adalah

kemampuan untuk menciptakan konsep,

gagasan atau cara-cara baru dalam usahanya

memecahkan masalah. Kreativitas diukur

berdasarkan pada keterbukaan terhadap

pengalaman baru, kebebasan dalam

berekspresi, minat terhadap aktivitas kreatif,

fleksibel dalam berfikir serta percaya terhadap

gagasan sendiri sehingga menimbulkan

motivasi untuk mengembangkan diri.

Kreativitas mahasiswa adalah kemampuan

untuk menciptakan konsep, gagasan atau cara-

cara baru dalam usahanya memecahkan

masalah. Dengan adanya kreativitas,

diharapkan mahasiswa dapat mengembangkan

kemampuan dan keterampilan sebagai

alternatif pemecahan masalah apabila belum

mendapatkan kesempatan bekerja baik di

instansi pemerintahan maupun swasta, dan

mampu memilih pekerjan yang sesuai dengan

keinginannya.

Ciri-ciri individu dengan potensi

kreatif adalah sebagai berikut: 1) hasrat

keingintahuan yang cukup besar. 2) bersikap

terbuka terhadap pengalaman baru. 3) panjang

akal. 4) keinginan untuk menemukan dan

meneliti. 5) cenderung lebih menyukai tugas

yang berat dan sulit. 6) cenderung mencapai

jawaban yang luas dan memuaskan. 7)

memiliki dedikasi bergairah serta aktif dalam

melaksanakan tugas. 8) berfikir fleksibel. 9)

menanggapi pertanyaan yang diajukan serta

cenderung memberi jawaban yang lebih

banyak. 10) kemampuan membuat analisis dan

sitesis. 11) memiliki semangat bertanya serta

meneliti. 12) memiliki daya abstraksi yang

cukup baik. 13) memiliki latar belakang

membaca yang cukup luas (sud dalam slameto,

2003).

Dyer, J., Gregersen, H., & Christensen,

C. M. (2011) menyatakan bahwa dua pertiga

dari kemampuan kreativitas seseorang

diperoleh melalui pendidikan, dan sisanya

berasal dari genetik. Kemampuan kreativitas

diperoleh melalui mengamati (observing),

menanya (questioning), mencoba

(experimenting), menalar (associating), dan

membentuk jaringan (networking) (Untayana,

J. R., & Harta, I., 2016). Faktor yang

mempengaruhi kreativitas yaitu: 1) Waktu,

sebaiknya jangan terlalu banyak diatur, 2)

Kesempatan, kesempatan untuk menyendiri

diperlukan guna mengembangkan kehidupan

imajinatif yang kaya. 3) Dorongan, didorong

untuk kreatif dan bebas dari ejekan/kritikan. 4)

Sarana, harus disediakan guna merangsang

dorongan eksperimentasi dan eksplorasi yang

merupakan unsur penting dari kreativitas. 5)

Lingkungan yang merangsang, lingkungan

rumah dan sekolah harus merangsang

kreativitas dengan memberikan bimbingan dan

dorongan untuk menggunakan sarana yang

akan mendorong kreativitas. 6) Hubungan

orang tua dan anak yang tidak posesif, orang

tua yang tidak terlalu melindungi/posesif

terhadap anak mendorong anak untuk mandiri

dan percaya diri yang merupakan dua kualitas

yang sangat mendukung kreativitas. 7) Cara

mendidik anak, mendidik anak demokratis

Page 224: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017

224

akan menyebabkan anak menjadi kreatif dari

pada cara mendidik anak secara otoriter. 8)

Kesempatan untuk memperoleh pengetahuan,

semakin banyak pengetahuan yang dapat

diperoleh anak semakin baik dasar untuk

mencapai hasil yang kreatif (Elisabert Hurlock

yang diterjemahkan oleh Meitasari Tjandrasa,

2002). Faktor yang mempengaruhi kreativitas

antara lain: adanya waktu, kesempatan

menyendiri, dorongan dari orang lain, sarana,

lingkungan yang mendukung dan kondusif,

hubungan antara anak dengan orang tua, cara

mendidik anak dan kesempatan untuk

memperoleh pengetahuan melalui melalui

kegiatan mengamati (observing), menanya

(questioning), mencoba (experimenting),

menalar (associating), dan membentuk

jaringan (networking) [X2].

Penelitian ini mencoba

mendeskripsikan seberapa tinggi kadar

kepemimpinan alumni yang dikembangkan

melalui implementasi kurikulum 2013 berbasis

KBK Program Manajemen Pendidikan UKSW

Salatiga, dan menemukan variabel manakah

yang menjadi penentu kadar kepemimpinan

alumni yang dimaksud, di antaranya variabel:

kreativitas dan relevansi kurikulum 2013

berbasis KBK. Jawaban atas permasalahan ini

sangat penting bagi manajemen peninkatan

mutu pendidikan berbasis penelitian; yang

selama ini luput dari desain manajemen mutu

PT.

Dalam perspektive manajemen

pendidikan, kualitas kepemimpinan alumni

merupakan salah satu indikator mutu

pendidikan tinggi yang sangat penting; oleh

karena itu perlu diupayakan secara terus

menerus. Masalah dalam penelitian ini adalah:

1) seberapa tinggi tingkat kepemimpinan

alumni yang dikembangkan melalui kurikulum

2013 berbasis KBK Program Manajemen

Pendidikan UKSW Salatiga selama ini, dan 2)

diantara variabel: kurikulum 2013 berbasis

KBK dan kreativitas, manakah yang menjadi

penentu tingkat kepemimpinan alumni yang

dimaksud? Jawaban atas permasalahan ini

sangat penting bagi manajemen peningkatan

mutu pendidikan berbasis penelitian; yang

selama ini sering luput dari desain manajemen

PT.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan berdasarkan

penilaian dari para alumni yang telah lulus

Program Magister Manajemen Pendidikan

UKSW. Populasi dari penelitian ini adalah

alumni MP UKSW Salatiga yang tersebar di 5

wilayah yakni di Kabupaten Demak,

Grobogan, Kendal, Semarang dan

Temanggung. Teknik pengambilan sampel

menggunakan teknik cluster sampling.

Menurut Lusiana, N., Andriyani, R., &

Megasari, M. (2015) cluster sampling

merupakan teknik untuk menentukan sampel

bila objek yang diteliti atau sumber data sangat

luas maka pengambilan sampelnya

berdasarkan daerah yang telah ditetapkan.

Daerah yang telah ditetapkan yaitu Kabupaten

Temanggung yang terdiri dari 36 orang.

Berdasarkan rumusan masalah yang diajukan,

ternyata penelitian ini adalah penelitian

kuantitatif inferensial. Penelitian kuantitatif

mengungkapkan hubungan inferensial antara

dua atau lebih variabel yang bisa menjelaskan

gejala, yang meneliti pengaruh variabel X1

(relevansi kurikulum), terhadap Y

(pengembangan kompetensi kepemimpinan

alumni Program Manajemen Pendidikan

UKSW Salatiga); dan kemudian menemukan

variabel moderator X2 yaitu kreativitas.

Penelitian ini dilakukan pada semester 2

2016/2017.

Hipotesis statistik

Dalam skala ordinal, variabel relevansi

kurikulum, terdapat satu tingkat yang dominan

di antara empat kategori: rendah, sedang,

tinggi dan sangat tinggi. Di antara variabel

independen, berpengaruh positif dan

signifikan terhadap tingkat kepemimpinan

alumni. Dengan kata lain, koefisien regresi

Page 225: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Pengaruh Kreativitas dalam Peningkatan Kompetensi Kepemimpinan Alumni … | Krisma W. Wardani

225

prediktor penentu (b1) adalah positif dan

signifikan. Hipotesis statistik yang diajukan

adalah:

H0: b1 = 0 (tidak ada pengaruh kreativitas

terhadap tingkat

kepemimpinan alumni)

H1: b1 ≠ 0 (ada pengaruh kreativitas

terhadap tingkat

kepemimpinan alumni)

Dampak dari prediktor secara tunggal

maupun ganda yang ditemukan dapat diketahui

dengan melihat nilai b dalam variabel yang

bersangkutan.

Selain itu, pentingnya nilai b akan diuji dengan

t-test. Signifikansi T dapat terlihat pada

nilainya. Jika b positif, dan t signifikan pada

tingkat kesalahan kurang dari 0,05, hipotesis

(H1) akan diterima.

Instrumen dan Teknik Analisis Data

Data penelitian ini adalah data

kuantitatif dalam bentuk angka; Data ordinal

adalah data yang dinyatakan dalam bentuk

kategori dan/ peringkat. Skala ordinal yang

digunakan adalah skala peringkat yang terdiri

dari pernyataan dan pilihan jawaban yang

berjenjang (rendah, sedang, tinggi dan sangat

tinggi) sesuai dengan tujuan pengukuran. Data

dikumpulkan melalui skala self-rating yang

terdiri dari 32 item yang telah terbukti valid

dan reliabel; Skor validitas 0,314 sampai

0,506, dengan indeks reliabilitas Cronbach

Alpha = 0,632. Data setiap variabel dianalisis

dengan menggunakan distribusi frekuensi dan

dilanjutkan dengan analisis regresi linier ganda

dengan Model Entered. Sebelum dianalisis

regresi linier ganda dengan SPSS, data ordinal

dikonvert kedalam data interval terlebih dulu,

baru selanjutnya, peneliti mengembangkan

model hubungan (model kausal). Pola-pola

berpengaruhnya variabel independen terhadap

variabel terikat diuji dengan uji F pada tingkat

0,05. Perhitungan ini dilakukan dengan SPSS

versi 24. Dalam pengujian model, koefisien

determinan dari variabel independen terhadap

variabel dependen dihitung. Hasil perhitungan

koefisien determinasi dari variabel independen

dan moderator dalam penelitian ini terhadap

variabel dependen sebesar koefisien adjusted

R2. Jika signifikansi r kurang dari atau sama

dengan 0,05, maka model ini dinyatakan

signifikan, karena X dan Moderator

mempengaruhi Y, sebesar koefisien adjusted

R2.

HASIL PENELITIAN DAN

PEMBAHASAN

Hasil Penelitian

Setelah data dijaring menggunakan

self-rating scale yang terdiri dari 32 items yang

direduksi menjadi 3, selanjutnya dianalisis

secara descriptive berbantu program SPSS for

windows version 24 diperoleh dalam bentuk

tabel 1 berikut ini.

Tabel 1. Indeks Variabel Penelitian

Mean Median Std. Deviation Minimum Maximum

Kurikulum (X1) 3,5000 3,5000 ,50709 3,00 4,00

Kreativitas (X2) 3,3611 3,0000 ,48714 3,00 4,00

Kepemimpinan (Y) 3,5000 3,5000 ,50709 3,00 4,00

Berdasarkan hasil analisis deskriptif tersaji

pada tabel 1 di atas, sebagian besar responden

memandang relevansi kurikulum 2013

berbasis KBK Magister Manajemen

Pendidikan (X1) pada aras tinggi cenderung

sangat tinggi, Kreativitas (X2) pada aras tinggi,

dan kepemimpinan alumni (Y) pada aras tinggi

cenderung sangat tinggi.

Page 226: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017

226

Hasil uji hipotesis

Analisis selanjutnya adalah uji

hipotesis untuk mengetahui apakah kedua

variabel bebas yaitu relevansi kurikulum (X1)

dan kreativitas (X2) berpengaruh terhadap

kepemimpinan alumni Manajemen Pendidikan

UKSW Salatiga (Y). Jika benar, berapa besar

pengaruhnya? Hasil analisis regresi ada pada 2

tabel berikut ini.

Tabel 2. Model Summary

Model R R Square Adjusted R Square

Std. Error of the

Estimate

1 ,752a ,565 ,552 ,33925

a. Predictors: (Constant), Kreativitas

Berdasarkan hasil uji regresi pengaruh

kreativitas terhadap kepemimpinan alumni

seperti tersaji pada tabel 2 di atas, ternyata

diperoleh R = 0,752 dan dari hasil

penghitungan diperoleh Adjusted R square

0,552 berarti kreativitas memberikan pengaruh

terhadap kepemimpinan sebesar 55,20%.

Sebagai variabel independen atau prediktor,

kreativitas berpengaruh terhadap

kepemimpinan alumni.

Tabel 3. ANOVAa

Model Sum of Squares Df Mean Square F Sig.

1 Regression 5,087 1 5,087 44,200 ,000b

Residual 3,913 34 ,115

Total 9,000 35

a. Dependent Variable: Kepemimpinan

b. Predictors: (Constant), Kreativitas

Berdasarkan tabel 3 Anova seperti di

atas, ternyata diperoleh F = 44,200 pada

tingkat signifikansi 0,000; Besarnya tingkat

signifikansi 0,000 ini lebih kecil dari 0,05 yang

artinya bahawa kreativitas berpengaruh

terhadap kepemimpinan. Dengan demikian

kreativitas terbukti berperan meningkatkan

kepemimpinan alumni Manajemen Pendidikan

UKSW Salatiga (Y). Selanjutnya untuk

mengetahui peran kreativitas, dapat diperiksa

pada tabel 5 berikut ini.

Tabel 4. Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized

Coefficients

t Sig. B Std. Error Beta

1 (Constant) ,870 ,400 2,176 ,037

Kreativitas ,783 ,118 ,752 6,648 ,000

a. Dependent Variable: Kepemimpinan

Ketika semakin tinggi x2 / kreativitasnya

maka berpengaruh signifikan pada semakin

tingginya kepemimpinan alumni.

Masing-masing Dapat dilihat dari koefisien

dari kreativitas

Page 227: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Pengaruh Kreativitas dalam Peningkatan Kompetensi Kepemimpinan Alumni … | Krisma W. Wardani

227

Berdasarkan tabel 5 Coefisiena

kepemimpinan alumni seperti di atas, ternyata

diperoleh kreativitas dengan T sebesar 6,648

dengan signifikansi 0,000, dengan demikian

H1 yang menyatakan ada pengaruh Kreativitas

(X) terhadap tingkat kepemimpinan alumni

Program Manajemen Pendidikan UKSW

Salatiga dapat diterima. Besarnya pengaruh

kreativitas terhadap tingkat kepemimpinan

alumni = 55,20%. Ketika semakin tinggi

variabel kreativitasnya (X2) maka berpengaruh

signifikan pada semakin tingginya

kepemimpinan alumni.

Pembahasan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa

tingkat kreativitas berada pada aras tinggi

cenderung sangat tinggi. Pengaruh kreativitas

terhadap tingkat kepemimpinan alumni

menjadi sangat berarti (55,20%). Walaupun

begitu masih ada beberapa hal yang perlu

diperhatikan dan dijadikan masukan untuk

penyempurnaan dalam pengelolaan

perkuliahan dalam rangka pengembangan

kepemimpinan alumni Program Manajemen

Pendidikan UKSW Salatiga. Penelitian ini

juga menunjukkan bahwa meskipun kurikulum

diperbaiki atau tidak, tidak akan memberi

pengaruh pada kepemimpinan mahasiswa

sehingga diperlukan tindakan manajemen yang

tepat sasaran.

Perlunya Peningkatan kreativitas dalam

kegiatan perkuliahan

Kolb, A.Y., & Kolb D.A., (2009)

menuliskan bahwa belajar adalah sebuah

proses adaptasi holistik. Belajar bukan hanya

sebuah pengertian, tetapi di dalamnya

mencakup fungsi yang saling berkaitan dari

seseorang-pikiran, perasaan, pemahaman, dan

perilaku. Hal tersebut meliputi model adaptasi

khusus lainnya dari metode ilmiah untuk

pemecahan masalah, pembuatan keputusan

dan kreativitas. Proses perkuliahan yang

dijalankan seorang dosen adalah sebuah proses

yang memadukan semua pihak, termasuk

mahasiswa, dalam sebuah aktivitas interaktif

diantara mereka dengan mentransformasi

sejumlah sumber daya agar pencapaian tujuan

pembelajaran berjalan efektif.

Perkuliahan yang bermutu adalah

perkuliahan yang didasarkan pada upaya

pemenuhan harapan semua pengguna layanan

perkuliahan baik internal ataupun eksternal.

Hill, Lomas, dan MacGregor (2003)

melaporkan dalam penelitian mereka bahwa

persepsi mahasiswa tentang pembelajaran

berkualitas mencakup pengalaman yang

membantu mereka menghubungkan teori

dengan dunia nyata, tugas yang relevan dengan

tempat kerja nyata, diskusi yang mengarah ke

perspektif pemikiran baru, dan kurikulum yang

memperhitungkan pengalaman kelompok

mahasiswa dan memberikan nilai tambah

kepada mahasiswa. Hill juga melaporkan

munculnya tiga strategi pengajaran utama yang

dinilai tinggi oleh mahasiswa di pendidikan

tinggi: strategi dan teknik pengiriman di kelas;

Umpan balik kepada mahasiswa di kelas dan

dalam tugas; dan hubungan dengan mahasiswa

di kelas.

Sumbangan pendidikan tinggi yang

paling nyata adalah lulusannya. Kualitas

lulusan, dari aspek pengetahuan, ketrampilan,

dan sikapnya, akan sangat menentukan

perkembangan bangsa dan kesejahteraan

masyarakat. Mahasiswa adalah pemimpin

masa depan bangsa. Dalam konteks itu,

tantangan pendidikan tinggi adalah membantu

mahasiswa untuk mengembangkan bakat

khusus dan sikap mereka yang memungkinkan

mereka untuk menjadi pemimpin dan agen

perubahan sosial yang efektif. Disamping

melalui modeling dari pemimpin,

pengembangan kepemimpinan mahasiswa

melalui program kurikuler dan kokurikuler

(DirjenDikti, 2004a).

Kegiatan perkuliahan yang dilakukan

yang mendukung pengembangan kreativitas

antara lain kegiatan mengamati (observing),

Page 228: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017

228

menanya (questioning), mencoba

(experimenting), menalar (associating), dan

membentuk jaringan (networking) yang

direncanakan oleh dosen bersama mahasiswa,

hal tersebut sejalan dengan Dyer, J.,

Gregersen, H., & Christensen, C. M. (2011).

Kolb, A.Y., & Kolb D.A., (2009) menjelaskan

bagaimana Experiential Learning Theory

dapat berfungsi sebagai kerangka kerja yang

bermanfaat untuk merancang dan

mengimplementasikan program manajemen

pendidikan. Dalam pendidikan yang lebih

tinggi, proses belajar dari pengalaman terjadi

dimana-mana, dan hadir dalam kehidupan

dimanapun sepanjang waktu. Hal tersebut

berarti proses pengembangan kreativitas dapat

ditterapkan melalui pembelajaran yang

berbasis masalah, berpikir kritis, pendekatan

kelompok. Melalui pembelajaran tersebut

pelaksanaannya tidak hanya terikat dalam

pembelajaran di kelas semata namun juga di

luar kelas. Banyak gaya pembelajaran

individual dibentuk oleh struktur pengetahuan

sosial dan melalui tindakan-tindakan kreatif

perorangan. Maka dari itu, perkuliahan yang

bermutu haruslah mampu menjawab semua

keinginan, kebutuhan, dan kepuasan semua

pelanggan.

Ada beberapa karakteristik dalam

menerapkan manajemen mutu terpadu dalam

perkuliahan. Karakteristik perkuliahan seperti

ini bisa diadaptasi dari karya Parker dkk.

(Jabar, C. S. A., & Pelanggan, G. S. H.) yaitu:

berorientasi pada mahasiswa, partisipasi/team,

perbaikan berkelanjutan, berorientasi pada

proses, keputusan berdasarkan data,

benchmarking dan dukungan dari pimpinan.

Oleh karena itu perlu desain perbaikan

perkuliahan berkelanjutan, mengingat proses

perkuliahan yang berkualitas adalah proses

perkuliahan yang berupaya memenuhi harapan

para mahasiswa dan membuat mereka puas

mengikuti perkuliahan tersebut. Lebih lanjut,

untuk memperbaiki kualitas pembelajaran dan

interaksi antara mahasiswa dengan dosen, ada

beberapa teknik yang dapat diadopsi dari

Techniques to Improve Teaching Interaction

with Student in the College of Business, The

College of Business at Rochester Intitute of

Technology (RIT) (Bonvillan & Nowlin,

1995).

Untuk memjadikan perkuliahan

berkualitas bukan berarti dengan perbaikan

kurikulum namun pada perkuliahan. Perbaikan

perkuliahan yang dimaksud yaitu pengelolaan

yang melibatkan mahasiswa mulai dari

perencanaan, implementasi hingga pada

evaluasi, agar lebih memberikan pengalaman

belajar kepada mahasiswa. Evaluasi

pembelajaran dalam perkuliahan bukan berupa

tes objektif karna tidak mengembangkan

kreativtas, sehingga waktu dan biaya tidak

menjadi percuma. Untuk memperbaiki

kepemimpinan alumni perlu ada perbaikan

pembelajaran berbasis kreativitas.

Perlunya dosen yang professional

Untuk dapat mewujudkan perkuliahan

yang berbasis pelanggan, diperlukan dosen

yang professional. Profesi dosen

sesungguhnya menunjuk pada upaya-upaya

yang dilakukan oleh tenaga pengajar sebagai

pendidik dan pembelajar realisasi dari peran

selaku di perguruan tinggi (Arikunto,

Suharsimi., 2012). Dengan demikian,

pengembangan profesionalisme dosen dapat

diartikan usaha yang luas untuk meningkatkan

kompetensi, kualitas pembelajaran dan peran

akademis tenaga pengajar di perguruan tinggi.

Dosen dikatakan sebagai “jantung” perguruan

tinggi, sehingga dosen sangat menentukan

mutu pendidikan dan lulusan yang dilahirkan

perguruan tinggi tersebut, di samping secara

umum kualitas perguruan tinggi itu sendiri.

Jika para dosennya bermutu tinggi, maka

kualitas perguruan tinggi tersebut juga akan

tinggi, demikian pula sebaliknya.

Sebaik apapun program pendidikan

yang dicanangkan, bila tidak didukung oleh

para dosen bermutu tinggi, maka akan berakhir

pada hasil yang tidak memuaskan. Hal itu

Page 229: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Pengaruh Kreativitas dalam Peningkatan Kompetensi Kepemimpinan Alumni … | Krisma W. Wardani

229

karena untuk menjalankan program

pendidikan yang baik diperlukan para dosen

yang juga bermutu baik. Dengan memiliki

dosen-dosen yang baik dan bermutu tinggi,

perguruan tinggi dapat merumuskan program

serta kurikulum termodern untuk menjamin

lahirnya lulusan-lulusan yang berprestasi dan

berkualitas istimewa (Sudiro, 2010).

Penelitian ini menemukan variabel

kreativitas pada kurikulum 2013 berbasis KBK

Program Manajemen Pendidikan UKSW

Salatiga berpengaruh pada tingkat

kepemimpinan alumni; Temuan ini sangat

penting bagi manajemen peningkatan mutu

pendidikan berbasis perkuliahan yang diampu

oleh dosen yang profesional.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa

sebagian besar alumni memiliki kadar

kepemimpinan yang tinggi; Penentu

kepemimpinan alumni tersebut adalah

Peningkatan kreativitas dalam kegiatan

perkuliahan dan professionalisme dosen; Pada

penelitian ini besarnya pengaruh kreativitas

terhadap kepemimpinan alumni Program

Manajemen Pendidikan UKSW Salatiga =

55,20%. Ini berarti variabel kreativitas

berpengaruh terhadap kepemimpinan alumni

Program Manajemen Pendidikan UKSW

Salatiga terdukung data. Temuan ini sangat

penting bagi manajemen peningkatan mutu

pendidikan melalui perkuliahan berbasis

kreativitas yang diampu oleh dosen yang

profesional.

Saran

Dalam perkuliahan dosen menjadi tempat

tumpuan pengembangan kreativitas, sehingga

perlu merencanakan dan menyusun

perkuliahan berbasis pada kreativitas dengan

pembelajaran yang berbasis masalah, berpikir

kritis, pendekatan kelompok, bukan kegiatan

individu dimana tetap arahnya ke

kepemimpinan.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. 2012. Evaluasi Program

Pendidikan. http://anan-

nur.blogspot.co.id/2012/01/evaluasi-

program-pendidikan-prof-dr.html

(diakses tanggal: 20 November 2017).

Bonvillian, G., & Nowlin, W. (1995).

Integrating principles of TQM into

teaching and learning. Academic

Initiatives in Total Quality for Higher

Education por Harry V. Roberts, ASQC

Quality Press, Milwaukee, Wisconsin,

95-116.

Dyer, J., Gregersen, H., & Christensen, C. M.

2011. The innovator's DNA: Mastering

the five skills of disruptive innovators.

Harvard Business Press.

Entwistle, N. and Ramsden. 1987.

Understanding Student Learning.

London: CroonHelm.

Faisal Burhanudin. 2012/2013. Faktor

Kepemimpinan.

https://www.academia.edu/7119898/

Frost, P.J. 2003. Toxic emotion at work: How

compassionate managers handle pain

and conflict. Boston: Harvard Business

School Press.

Goleman, D., R. Boyatzis, & McKee. 2003 The

New Leaders Transforming, the Art of

Leadership into The Science of Result.

London: Little Brown.

Handoyo, S. (2011). Pengukuran servant

leadership sebagai alternatif

kepemimpinan di institusi pendidikan

tinggi pada masa perubahan

organisasi. Makara Hubs-Asia, 8(3).

Hill, Y., Lomas, L., and MacGregor, J. (2003).

Students’ Perceptions of quality in

higher education. Quality Assurance in

Education, 11(1) 15-20

Hughes, R., Ginnett, R., & Curphy, G. 2002.

Leadership: Enhancing the lessons of

exsperience. New York: McGraw-Hill

Irwin

Jabar, C. S. A., & Pelanggan, G. S. H.

Manajemen Mutu Dalam Pembelajaran

Di Perguruan Tinggi. academia.edu

Page 230: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017

230

Kolb, A. Y., & Kolb, D. A. 2009. Experiential

learning theory: A dynamic, holistic

approach to management learning,

education and development. The SAGE

handbook of management learning,

education and development, 42-68.

Lusiana, N., Andriyani, R., & Megasari, M.

(2015). Buku ajar metodologi penelitian

kebidanan. Yogyakarta: Depublish.

Notohamidjojo, O. 2011. Kreativitas yang

bertanggungjawab. Universitas Kristen

Satya Wacana

Robbins, Stephen P., 1996. Organizational

Behavior : Concept Controversies

Applications. Sevent Edition,

Diterjemahkan Oleh Dr. Hadyana

Pujaatmaka, Perilaku Organisasi :

Konsep kontroversi Aplikasi, Jakarta:

PT. Prenhallindo.

Rohman, A., & Lamsuri, M. 2009. Memahami

pendidikan & ilmu pendidikan,

Yogyakarta: LaksBang Mediatama

bekerja sama dengan Kantor Advokat

"Hufron & Hans Simaela".

Sudiro. Maret 2010. (Online).

(https://rumahpendidikan.files.wordpres

s.com//makalah-profesionalisme-

dosen.pdf , diakses 27 Pebruari 2015).

Sujiono, Y. N., & Sujiono, B. (2010). Bermain

Kreatif Berbasis Kecerdasan

Jamak. Jakarta: Indeks.

Untayana, J. R., & Harta, I. (2016).

Pengembangan perangkat pembelajaran

limit berbasis pendekatan saintifik

berorientasi prestasi belajar dan

kemampuan komunikasi

matematika. Jurnal Riset Pendidikan

Matematika, 3(1), 45-54.

Wibowo, B., Machfudz, M., & Sunaryo, H.

(2015). Pengaruh Karakteristik

Pekerjaan, Motivasi Dan Kepemimpinan

Terhadap Kinerja Pegawai di Kantor

Imigrasi Kelas I Malang. Warta

Ekonomi, 4(2).

Yukl, G. A. 2010. Leadership in organizations.

Seventeenth Edition. Upper Saddler

River, New Jersey: Pearson Education

India.

Page 231: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Magister Manajemen Pendidikan FKIP Universitas Kristen Satya Wacana [email protected]

e-ISSN 2549-9661 Volume: 4

Juli-Desember 2017

231

INDEKS SUBYEK

A

Accreditation ...................................................... 12

Accredited Senior High School........................... 12

adiwiyata ............................................................ 97

C

CIPP ................................................................... 72

CIPP model ........................................................ 48

CIPP Model ...................................................... 109

coaching model ................................................... 97

co-administration ............................................. 135

continuous professional development ................. 28

Creativity .......................................................... 220

Curriculum Relevance ...................................... 220

D

decision making ................................................ 135

del of secondary education management .......... 135

development ........................................................ 97

E

education management ..................................... 213

Education Management Standards ..................... 12

education services ............................................ 184

EFE ................................................................... 195

efforts undertaken ............................................. 205

elementary education ............................................ 1

evaluation ......................................................... 121

Evaluation program ............................................ 48

Evaluation Program ......................................... 109

F

factors that influence ........................................ 205

H

headmaster ....................................................... 213

Healthy School.................................................... 72

I

ICT-based learning ............................................ 59

IFE ................................................................... 195

IHT ............................................................. 37, 171

impact school ..................................................... 97

Implementation .................................................. 12

inclusive education .......................................... 121

Inclusive Education ......................................... 109

induction program ............................................. 28

interpersonal communication .......................... 161

L

Leadership ....................................................... 220

leadership behavior ......................................... 161

leadership style ................................................ 213

learning ............................................................ 205

literacy ............................................................... 48

M

management ....................................................... 59

model ................................................................. 59

Model ............................................................... 146

P

participation ...................................................... 97

policy implementation ...................................... 121

professional learning community ...................... 28

program evaluation ......................................... 171

Program Evaluation .......................................... 72

PUS ...................................................................... 1

Q

quality .................................................................. 1

R

Research and Development (R&D) ................. 146

Page 232: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Magister Manajemen Pendidikan FKIP Universitas Kristen Satya Wacana [email protected]

e-ISSN 2549-9661 Volume: 4

Juli-Desember 2017

232

S

School and Parents Partnership ....................... 146

school financing planning strategy................... 195

school quality.................................................... 195

Schools quality.................................................... 83

scientific meeting ................................................ 28

SDGs ..................................................................... 1

secondary education ......................................... 135

self-efficacy ....................................................... 161

single tuition fee ............................................... 184

Social Media .................................................... 146

Strategic Plan .................................................... 83

SWOT ............................................................... 195

SWOT Analysis .................................................. 83

T

teachers’ skills ................................................... 37

team cohesiveness ............................................ 161

the instrument of attitudes assessment ............... 37

Three Dimensional Cube ................................. 171

Page 233: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Magister Manajemen Pendidikan FKIP Universitas Kristen Satya Wacana [email protected]

e-ISSN 2549-9661 Volume: 4

Juli-Desember 2017

233

INDEKS PENULIS

A

Ade Iriani .................................................. 121, 146

Aih Ervanti Ayuningtyas .................................. 171

Andri Sulistyo ..................................................... 48

B

Bambang Ismanto ........................... 1, 72, 146, 195

Bambang Suteng Sulasmono ...................... 72, 121

E

Edi Sujoko .......................................................... 83

Edna Maria ......................................................... 59

Eko Sediyono...................................................... 59

G

Gimin ................................................................ 184

I

Indri Anugraheni .............................................. 205

K

Krisma Widi Wardani ................................. 12, 220

L

Lobby Loekmono ............................................... 12

M

Muhdi ............................................................... 135

Mutia Ayu Krismanda ...................................... 146

N

Nasib Tua Lumban Gaol .................................. 213

Nurkolis ..................................................... 28, 135

R

Rais Hidayat .................................................... 161

Ratih Sulistyowati .............................................. 97

Rika Widyawati ............................................... 109

Ririn Tius Eka Margareta ................................ 195

S

Sasadara Wahyu Lukitasari ............................. 121

Siti Zubaidah ...................................................... 72

Slameto ................................................. 37, 97, 171

Suhandi Astuti ................................................... 37

Sumarno ........................................................... 184

Sunandar ............................................................ 28

Supramono ......................................................... 12

Suwarno Widodo ............................................. 135

Syakdanur Nas ................................................. 184

U

Umbu Tagela ....................................................... 1

W

Wasitohadi ........................................................... 1

Y

Yari Dwikurnaningsih .......................... 37, 97, 171

Yovitha Yuliejantiningsih .................................. 28

Page 234: KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI …

Magister Manajemen Pendidikan FKIP Universitas Kristen Satya Wacana [email protected]

e-ISSN 2549-9661 Volume: 4

Juli-Desember 2017

234

Ucapan Terima Kasih Kepada Reviewer

Redaksi Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan menyampaikan penghargaan yang setinggi-

tingginya dan terimakasih kepada Mitra Bestari di bawah ini yang telah membantu menelaah

naskah yang dikirimkan kepada Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan.

Nurkolis Siri Kastawi

Universitas PGRI Semarang, Indonesia

Siti Mariah

Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Jogjakarta, Indonesia

Welius Purbo Nuswanto

Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Jogjakarta, Indonesia

Hotmaulina Sihotang

Universitas Kristen Indonesia, Indonesia

Ade Iriani

Magister Manajemen Pendidikan, Universitas Kristen Satya Wacana, Indonesia

Bambang Ismanto

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Kristen Satya Wacana, Indonesia

Wasitohadi

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Kristen Satya Wacana, Indonesia

Yari Dwikurnaningsih

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Kristen Satya Wacana, Indonesia