kinerja pendidikan dasar dalam implementasi …
TRANSCRIPT
Magister Manajemen Pendidikan FKIP Universitas Kristen Satya Wacana [email protected]
ISSN 2549-9661 Volume: 4, No. 1, Januari-Juni 2017
Halaman: 1-11
1
KINERJA PENDIDIKAN DASAR DALAM IMPLEMENTASI
PROGRAM PENDIDIKAN UNTUK SEMUA
Bambang Ismanto
Magister Manajemen Pendidikan
FKIP-Universitas Kristen Satya Wacana
Umbu Tagela
Bimbingan Konseling
FKIP-Universitas Kristen Satya Wacana
Wasitohadi
Magister Manajemen Pendidikan
FKIP-Universitas Kristen Satya Wacana
ABSTRACT
The education in elementary and middle school is one of the aims of the Millennium
Development Goals (MDGs) in “Education for All” (EFA) program. This research aims
to analyze the work performance of elementary schools in Salatiga in achieving the target
of MDGs. This research is done with descriptive quantitative method, and measured with
the target achievement of 9 year compulsory learning. The analysis is based on the work
performance in percentage. The data collection was done in documents studies of the
report from the educational report of Salatiga City and Central Java Province, and also
through FGD. The FGD was don together with Regional Development Agency, The Office
of Youth Service and Sports, and principals in Salatiga. The result showed that the
government of Salatiga City had been successful in executing the 9 yearcompulsory
learning for children of 7-12 years old. In 2015, the APM of the elementary schools was
99,58%,TheAPK was 115,89%. The APM in middle school was 94,22%, and the APK was
129,01%. The nuber of literate people in 2015 was 99,97%. The gender equity reached
the balance point in every grade of education. In order to improve quality, the city has
been doing the certification and qualification program for the teachers. The problems
that need priority for solution are operational support increase from Revenue and
Expenditure Budget, the need to increase the number and the quality of elementary
teachers, and equal distribution of inclusive education. This research recommends the
Salatiga City government to plan for a quality-based elementary education program, and
support sustainable development goals( (SDGs).
Keywords: elementary education, PUS, quality, SDGs
Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017
2
PENDAHULUAN
Wajib belajar pendidikan dasar
merupakan kebijakan dalam mencapai
pendidikan untuk semua (education for all).
Kebijakan ini sebagai implementasi amanat
UUD 1945 dan tujuan pembangunan milenium
atau Millenium Development Goals (MDGs).
Pasal 31 UUD 1945 ayat 1 dan 2, menyatakan
bahwa Setiap warga Negara wajib mengikuti
pendidikan dasar dan pemerintah/daerah wajib
membiayainya. Pemenuhan hak-hak dasar di
bidang pendidikan pada MDGs, wujud
komitmen bersama 189 negara anggota PBB
bulan September 2000, untuk melaksanakan 8
(delapan) tujuan pembangunan, yaitu
menanggulangi kemiskinan dan kelaparan,
mencapai pendidikan dasar untuk semua,
mendorong kesetaraan gender dan
pemberdayaan perempuan, menurunkan angka
kematian anak, meningkatkan kesehatan ibu,
memerangi penyebaran HIV/AIDS, malaria
dan penyakit menular lainnya, kelestarian
lingkungan hidup, serta membangun kemitraan
global dalam pembangunan.
Sesuai deklarasi Dakar, tujuan
Pendidikan Untuk Semua (PUS) adalah: (1)
Memperluas dan meningkatkan pendidikan
anak usia dini khususnya bagi anak-anak sangat
rawan & kurang beruntung; (2) Menuntaskan
wajib belajar pendidikan dasar di tahun 2015
untuk semua anak khususnya anak perempuan
dan anak dalam keadaan sulit & minoritas; (3)
Mengembangkan proses pembelajaran dan life
skills untuk pemuda dan orang dewasa; (4)
Mencapai kemajuan 50% tingkat literasi
dewasa di tahun 2015, khususnya bagi
perempuan; (5) Menghapus disparitas gender
pada pendidikan dasar dan menengah di tahun
2005 dan meraih kesetaraan gender di tahun
2015 dan (6) Meningkatkan Mutu Pendidikan
(Dinas pendidikan Jawa Tengah: 2016)
Dalam implementasi PUS, Pemerintah
Kota Salatiga, menetapkan kebijakan bidang
Pendidikan: (1) Meningkatkan pemerataan dan
mutu serta pemerataan akses penyelenggaraan
PAUD; (2) Meningkatkan pemerataan, mutu,
relevansi dan daya saing serta perluasan akses
penyelenggaraan pendidikan dasar; (3)
Meningkatkan pemerataan, mutu, relevansi dan
daya saing serta perluasan akses
penyelenggaraan pendidikan menengah; (4)
Meningkatkan pemerataan, mutu, relevansi dan
daya saing serta perluasan akses
penyelenggaraan pendidikan non formal dan
informal; (5) Meningkatkan pemerataan, mutu,
relevansi dan daya saing serta perluasan akses
penyelenggaraan pendidikan khusus; (6)
Meningkatkan mutu pendidik dan tenaga
kependidikan pada pendidikan formal dan non
formal; (7) Meningkatkan tata kelola,
akuntabilitas dan pencitraan publik dalam
penyelenggaraan pendidikan; dan (8)
Meningkatkan wawasan kebangsaan, kearifan
lokal dan kesetaraan gender dalam
penyelenggaraan pendidikan (Disdikpora:
2016).
Kebijakan yang berpihak pada
Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar,
Pendidikan Keaksaraan, Pendidikan
Kecakapan Hidup, Pengarusutamaan Gender,
dan Peningkatan Mutu Pendidikan, merupakan
langkah strategis untuk menyiapkan sumber
daya manusia yang lebih baik di masa depan.
Kualitas sumberdaya manusia memiliki
dampak luas terhadap seluruh aspek kehidupan,
baik sosial, politik, ekonomi, budaya maupun
pertahanan dan keamanan (Disdikpora: 2015).
Kebijakan ini sesuai salah satu misi Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kota
Salatiga Tahun 2011-2016 yaitu Menyediakan
Pemenuhan Kebutuhan Layanan Dasar.
Pendidikan menjadi salah indikator
dalam perhitungan Indeks Pembangunan
Manusia (IPM) disamping tingkat pendapatan,
dan layanan kesehatan. Laporan Kinerja
Pembangunan Kota Salatiga menunjukan
bahwa IPM tahun 2014-2015 cenderung
meningkat. Tahun 2014, IPM sekitar: 79,98
naik menjadi 80,96 (2015), lebih tinggi dari
pada IPM Jawa Tengah 68,78% (2014). Angka
Kinerja Pendidikan Dasar Dalam Implementasi Program Pendidikan Untuk Semua | Bambang Ismanto, dkk.
3
Melek Huruf Kota Salatiga Tahun 2015 sekitar
99,97% lebih tinggi dari pada Jawa Tengah
(90,45%) `. Sedangkan Rata-rata lama Sekolah
(RLS) Kota Salatiga Tahun 2015 sekitar 9,81
Tahun lebih tinggi dari Jawa Tengah sekitar:
7,03. Indikator ini untuk mengukur
keberhasilan dalam upaya membangun kualitas
hidup manusia (masyarakat/penduduk);
menentukan peringkat atau level pembangunan
suatu wilayah/Negara; dan merupakan data
strategis karena selain sebagai ukuran kinerja
Pemerintah.
Pendidikan Dasar, menjadi salah satu
dari 6 (enam) program PUS di Kota Salatiga.
Sedangkan program lainnya meliputi:
Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan
Kecakapan Hidup, Pendidikan Keaksaraan,
Pengarusutamaan Gender Bidang Pendidikan
(PUG), dan Peningkatan Mutu pendidikan.
Analisis kinerja pendidikan dasar Kota
Salatiga menjadi penting untuk mengetahui
keberhasilan pendidikan untuk semua pada
tujuan pembangunan milinium yang berakhir
tahun 2015. Hal juga dipandang strategis untuk
menganalisis kesiapan Pemerintah Kota
Salatiga dalam merancang kebijakan
pembangunan berkelanjutan (suistainability
development goals) mulai tahun 2016.
Implementasi Kebijakan Publik
Harold D. Lasswell dan Abraham
Kaplan mengartikan kebijaksanaan sebagai a
projecterd program of goals, values and
practice yang artinya adalah suatu program
pencapaian tujuan, nilai-niai dan praktek-
praktek yang terarah. Sedangkan penjelasan
lain mengenai kebijakan publik adalah
serangkaian tindakan yang di usulkan
seseorang, kelompok atau pemerintah dalam
suatu lingkungan tertentu dengan menunjukkan
hambatan-hambatan dan kesempatan-
kesempatan terhadap pelaksanaan usulan
kebijaksanaan tersebut dalam rangka mencapai
tujuan tertentu (Islamy, 2000:15).
Pendekatan-pendekatan prosedural dan
manajerial (procedural and managerial
approaches) mengemukakan tahap
implementasi mencakup urut-urutan langkah
sebagai berikut: (1). Merancang bangun
(mendesain) program beserta perincian tugas
dan perumusan tujuan yang jelas, penentuan
ukutan prestasi kerja, biaya dan waktu;
(2).Melaksanakan program, dengan
mendayagunakan struktur-struktur dan
personalia, dana dan sumber-sumber, prosedur-
prosedur, dan metode-metode yang tepat;
(3).Membangun sistem penjadwalan ,
monitoring, dan sarana-sarana pengawasan
yang tepat guna menjamin bahwa tidakan-
tindakan yang tepat dan benar dapat segera
dilaksanakan (Wahab: 2008:5-7). Sebagai
proses, Implementasi kebijakan publik
bersentuhan dengan kepentingan serta dapat
diterima oleh publik (masyarakat). Pendidikan
dasar merupakan Implementasi kebijakan
publik program Pendidikan Untuk Semua
(PUS) dalam pencapaian tujuan pembangunan
milinium. Program ini menjadi
diimplementasikan sebagai wajib belajar 9
tahun penduduk usia 7 s.d.12 tahun jenjang
SD/MI hingga SMP/MTs.
Berdasarkan perspektif masalah
kebijakan, sebagaimana yang diperkenalkan
oleh Edwards III (1984: 9-10), implementasi
kebijakan diperlukan karena adanya masalah
kebijakan yang perlu diatasi dan dipecahkan.
Edwards III memperkenalkan pendekatan
masalah implementasi dengan
mempertanyakan faktor-faktor apa yang
mendukung dan menghambat keberhasilan
implementasi kebijakan. Berdasarkan
pertanyaan retoris tersebut dirumuskan empat
faktor sebagai sumber masalah sekaligus
prakondisi bagi keberhasilan proses
implementasi, yakni komunikasi, sumber daya,
sikap birokrasi atau pelaksana, dan struktur
organisasi termasuk tata aliran kerja birokrasi.
Empat faktor tersebut merupakan kriteria yang
perlu ada dalam implementasi suatu kebijakan
(Akib,: 2010,:3).
Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017
4
Implementasi kebijakan public
memerlukan persyaratan agar mendapatkan
dukungan, layak dilaksanakan dan bermanfaat
bagi masyarakat. Hal ini sesuai dengan Model
implementasi dari Brian W. Hoogwood dan
Lewis A. Gun (dalam Nugroho, 2006: 131)
yang menetapkan persyaratan implementasi
kebijakan public: a. Jaminan bahwa kondisi
eksternal yang dihadapi oleh lembaga/badan
pelaksana tidak akan menimbulkan masalah
yang besar. b.Tersedia sumber daya yang
memadai termasuk sumber daya waktu. c.
Perpaduan sumber-sumber yang diperlukan
benar-benar ada. d. Didasari hubungan kausal
yang andal. e.Hubungan kausalitas yang terjadi
f. Hubungan saling ketergantungan kecil. g.
Pemahaman yang mendalam dan kesepakatan
terhadap tujuan. h. Tugas-tugas telah dirinci
dan ditempatkan dalam urutan yang benar. i.
Komunikasi dan koordinasi yang sempurna j.
Pihak-pihak yang memiliki wewenang
kekuasaan dapat menuntut dan mendapatkan
kepatuhan yang sempurna.
Menurut Goggin et al (1990: 20-21, 31-
40), proses implementasi kebijakan sebagai
upaya transfer informasi atau pesan dari
institusi yang lebih tinggi ke institusi yang lebih
rendah dapat diukur keberhasilan kinerjanya
berdasarkan variabel: 1) dorongan dan paksaan
pada tingkat federal, 2) kapasitas pusat/negara,
dan 3) dorongan dan paksaan pada tingkat pusat
dan daerah (Akib: 2010,:3).
Konsepsi ini relevan dengan program
pendidikan dasar sebagai implementasi
kebijakan secara nasional yang menjadi
kewajiban bagi setiap daerah di Indonesia.
Bahkan program ini juga sebagai komitmen
dalam pencapaian tujuan pembangunan
milinium.
Millenium Development Goals (
MDGs) dideklarasikan bulan september tahun
2000 oleh para pemimpin dunia di New York.
Deklarasi Millennium ini bertujuan untuk
menciptakan lingkungan yang kondusif bagi
pembangunan sumber daya manusia dan
pengentasan kemiskinan.
Keikutsertaan Indonesia dalam
menyepakati Deklarasi Milenium bersama
dengan 189 negara lain pada tahun 2000 bukan
semata-mata untuk memenuhi tujuan dan
sasaran Millenium Development Goals
(MDGs), namun keikutsertaan itu ditetapkan
dengan pertimbangan bahwa tujuan dan sasaran
MDGs sejalan dengan tujuan dan sasaran
pembangunan Indonesia (Bappenas: 2012)
Dalam rangka mewujudkan tujuan itu,
maka dirumuskan delapan tujuan
Pembangunan Millennium. Salah satu tujuan
dari MDGs adalah pendidikan dasar untuk
semua. Pendidikan menjadi salah target untuk
meningkatkan mutu kehidupan masyarakat
minimal pendidikan dasar.
Kualitas sumber daya manusia akan
meningkat/membaik jika mereka mengenyam
pendidikan, paling tidak mengenyam
pendidikan dasar yaitu pendidikan wajib 9
tahun. Target dari tujuan kedua MDGs (Stalker,
2008) adalah memastikan bahwa pada tahun
2015 semua anak di manapun, baik laki-laki
maupun perempuan, akan bisa menyelesaikan
pendidikan dasar secara utuh. Indikator
keberhasilan ditentukan berdasarkan tingkat
partisipasi di sekolah dasar, kelulusan, dan
angka melek huruf.
METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan dengan
pendekatan deskriptif kuantitatif. Kinerja
pendidikan dasar dinyatakan dalam prosentase
capaian angka partisipasi pendidikan dasar
meliputi Pendidikan Anak Usia Dini,
SD/MI/SDLB dan SMP/MTs/SMPLB.
Penelitian dilakukan di Kota Salatiga, di
lingkungan Badan Perencanaan Pembangunan
Daerah dan Dinas Pendidikan, Pemuda dan
Olah Raga. Teknis pengumpulan data dengan
studi dokumentasi dalam bentuk laporan
tahunan pendidikan dasar, dan Diskusi bersama
dalam forum kajian Kebijakan Pasca PUS
Kinerja Pendidikan Dasar Dalam Implementasi Program Pendidikan Untuk Semua | Bambang Ismanto, dkk.
5
tanggal 19 Oktober 2016. Analisis kinerja
program pendidikan dasar di Kota Salatiga
berdasarkan prosentase capaian target
pendidikan dasar dalam program Pendidikan
Untuk Semua.
HASIL PENELITIAN
Program Pendidikan Dasar
dilaksanakan untuk memastikan bahwa pada
tahun 2015, semua anak usia pendidikan dasar
( 7-12 tahun) tak terkecuali anak perempuan,
anak-anak dalam keadaan sulit dan mereka
yang termasuk dalam minoritas etnik,
mempunyi akses dan menyelesaikan SD/MI
dan SMP/MTs. Pemerintah Kota Salatiga
menjamin layanan pendidikan dasar sebagai
implementasi wajib belajar 9 tahun. Layanan
pendidikan untuk anak usia 7-12 tahun melalui
6 tahun di Sekolah Dasar (SD), Madrasah
Ibtidaiyah (MI) dan Paket A (setara dengan
SD), serta 3 tahun di Sekolah Menengah
Pertama (SMP), Madrasah Tsanawiyah (MTs)
dan Paket B (Setara dengan SMP). SD, SMP,
Paket A dan B dilaksanakan Dinas Pendidikan
Kota Salatiga. Sedangkan MI dan MTs menjadi
kewenangan Kementerian Agama Kota
Salatiga.
Angka Partisipasi Pendidikan
Akses dan partisipasi ke pendidikan
dasar dapat dilihat melalui angka partisipasi
murni (APM) dan angka partisipasi kasar
(APK) SD dan SMP sederajat. Untuk
mengetahui seberapa banyak penduduk yang
memanfaatkan fasilitas pendidikan dapat
dilihat dari persentase penduduk menurut
partisipasi pendidikan.
Tabel 1 Partisipasi Pendidikan Dasar Kota Salatiga Tahun 2011-2015
Tahun APK APM
SD/SDLB/MI SMP/SMPLB/MTs SD/SDLB/MI SMP/SMPLB/MTs
2011 117,85 131,6 100,27 94,37
2012 132,27 187,19 112,96 139,7
2013 119,92 125,55 100,58 87,23
2014 113,02 121,34 95,17 82,39
2015 115,89 129,01 99,58 94,22
Sumber: Dinas Pendidikan Kota Salatiga
Dalam implementasi program
pendidikan untuk semua, target pendidikan
dasar Kota Salatiga pada tahun 2015 adalah
tercapainya APM SD sebesar 100%, dan APK
SMP sebesar 100%. Seperti tampak pada tabel
di atas, tahun 2014, APM SD/MI/Paket A
sebesar 95,17% menurun dari 112,96% pada
tahun 2012 dan 100,58% pada tahun 2013.
Sedangkan APK SMP/MTs/Paket B pada tahun
2014 adalah sebesar 113,02%, menurun dari
132,27% pada tahun 2012 dan 119,92% pada
tahun 2013. APM SD/MI mencapai 99,58%
dan APK SD/MI telah mencapai 115,89% pada
tahun 2015. APM SMP/MTs mencapai 94,22%
dan APK SMP/MTs telah mencapai 129,01%.
Dengan capaian angka partisipasi ini maka pada
Tahun 2015 Pemerintah Kota Salatiga telah
berhasil melaksanakan Wajar 9 tahun bagi
penduduk usia 7-12 tahun dalam implementasi
program pendidikan untuk semua.
Peningkatan APK dan APM pada
SD/MI dan SMP/MTs sederajat, masih
menyisakan permasalahan angka putus sekolah
di Kota Salatiga. Angka putus sekolah
pendidikan dasar meningkat dari 0,92% pada
tahun 2012, menjadi 1,73% pada tahun 2013
dan 1,35% pada tahun 2014. Pada akhir tahun
angka putus sekolah pada tingkat SD/MI sekitar
0,01% dan SMP/MTs sekitar 0,21%. Ini berarti
bahwa masih terdapat siswa yang putus (keluar)
Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017
6
dari kelas baik di SD/MI dan SMP/MTs.
Pendidikan kesetaraan Paket A dan B
diharapkan menjadi pendidikan alternatif untuk
memberikan layanan pendidikan bagi mereka
yang putus sekolah melalui jalur pendidikan
nonformal.
Sementara itu angka melek huruf
penduduk usia 7 s.d. 55 tahun sekitar 99,97%
telah memenuhi target Program Pendidikan
Untuk Semua.
Mutu Pendidikan Dasar
Peningkatan mutu pendidikan dasar
menjadi misi/goals/tujuan/target, Pemerintah
Kota Salatiga setelah berhasil mencapai angka
partisipasi hingga 100%. Pencapaian mutu
pendidikan dasar diperlihatkan pada hasil Ujian
Nasional (UN), dan tingkat kelulusan. Mutu
pendidikan dasar ini didukung kelayakan guru
mengajar dan sarana prasarana sekolah.
Tabel 2 Hasil UN SD, dan SMP Kota Salatiga Tahun 2012-2015
No Jenjang Pendidikan Tahun
2012 2013 2014 2015
1 SD 7,40 7,94 7,68 7,24
2 SMP 6,60 6,74 6,55 6,79
Sumber: Profil Pendidikan Kota Salatiga
Hasil UN pendidikan dasar di Kota
Salatiga mengalami peningkatan. Rata-rata UN
SD sekitar: 7,57 dan SMP sekitar: 6,67.
Indikator lain peningkatan standar dan mutu
pendidikan adalah kenaikan angka kelulusan
Ujian Nasional selama tahun 2012-2014.
Kelulusan siswa pada UN SD/MI dan
SMP/MTs selalu meningkat, sejalan dengan
kebijakan peningkatan standar minimum
kelulusan.
Tabel 3 Tingkat Lulusan SD, dan SMP Tahun 2012-2015
No Jenjang Pendidikan Tahun
2012 2013 2014 2015
1 SD 100,00 100,00 99,97 100,00
2 SMP 99,26 99,70 99,97 99,89 Sumber: Profil Pendidikan Kota Salatiga
Berdasarkan tabel di atas, lulusan SD
dengan trend mendekati 100%. Sementara itu
untuk jenjang SMP, persentase lulusan antara
tahun 2012 hingga tahun 2015 mengalami
peningkatan, namun belum pernah mencapai
kelulusan 100%.
Pendidik (guru) dan tenaga
kependidikan menjadi salah satu faktor penting
peningkatan mutu Pendidikan Dasar di Kota
Salatiga. Kualifikasi pendidikan, sertifikasi
pendidik dan pemenuhan jumlah pendidik di
kelas menjadi penentu dalam pencapaian
kinerja PUS dan mutu pendidikan dasar. Dalam
pencapaian standar nasional, dipersyaratkan
setiap SD/MI tersedia 1 (satu) orang guru untuk
setiap 32 peserta didik dan 6 (enam) orang guru
untuk setiap satuan pendidikan. Dari sisi
kualifikasi pendidikan dipersyaratkan 2 guru
S1/Diploma IV dan bersertifikat. Kesiapan
guru SD di Kota Salatiga telah mencapai 95%
Pemenuhan ketersediaan 1 (satu) orang guru
untuk setiap 32 peserta didik sekitar 95% dan 6
(enam) guru setiap satuan pendidikan sekitar
95%. Pada setiap SD/MI Kota Salatiga telah
tersedia 2 (dua) orang guru yang memenuhi
kualifikasi akademik S1 atau DIV dan 2 orang
guru yang dan sertifikasi pendidik sekitar
98,97%. Sementara itu pada setiap SMP wajib
memiliki 1 (satu) orang guru untuk setiap mata
pelajaran sekitar 16%, guru dengan kualifikasi
akademik S1 atau D IV sebanyak 70% dan
separuh diantaranya telah memiliki sertifikat
Kinerja Pendidikan Dasar Dalam Implementasi Program Pendidikan Untuk Semua | Bambang Ismanto, dkk.
7
pendidik. Jumlah guru SMP/MTs di Kota
Salatiga yang memilikik kualifikasi akademik
S1/D4 dan sertifikasi pendidik sekitar 92,00%.
Disamping itu dipersyaratkan pula, pada setiap
SMP/MTs tersedia guru dengan kualifikasi
akademik S1 atau D IV dan telah memiliki
sertifikat pendidik masing-masing satu orang
untuk mapel Matematika, IPA, Bahasa
Indonesia, dan Bahasa Inggris. Berdasarkan
standar ini, Pemerintah Kota Salatiga telah
mampu menyiapkan guru yang dipersyaratkan
sekitar 40% dari seluruh SMP/MTs. Dukungan
tenaga kependidikan dalam peningkatan mutu
pendidikan dasar mencakup kualifikasi
pendidikan dan sertifikasi pendidikan Kepala
SD/MI dan SMP/MTs. Kepala SD/MI
berkualifikas akademik S-1 atau D-IV dan telah
memiliki sertifikat pendidik sekitar 76% dan
pada SMP/MTs berkualifikas akademik S-1
atau D-IV dan telah memiliki sertifikat
pendidik sekitar 60%. Semua Pengawas
SD/MI/SMP/MTs di Kota Salatiga
berkualifikas akademik S-1 atau D-IV dan telah
memiliki sertifikat pendidik. Prosentase ruang
kelas yang layak di Kota Salatiga, pada SD/MI
sekitar 82,49% dan SMP/MTs sekitar 87,76%.
Tingkat kecukupan ruang kelas yang dilengkapi
dengan meja dan kursi yang cukup untuk
Peserta Didik dan guru, papan tulis, pada
tingkat SD/MI sekitar 70,10% dan SMP/MTs
sekitar 96%. Standar penyediaan 1 ruang guru
di SD/MI yang dilengkapi dengan meja dan
kursi untuk setiap orang guru, kepala sekolah,
dan staf kependidikan lainnya pada tingkat
SD/MI sekitar%. Sedangkan tingkat SMP/MTs
di Kota Salatiga sekitar 60%.
Pemerintah Kota Salatiga telah mampu
menyiapkan laboratorium IPA yang dilengkapi
dengan meja dan kursi yang cukup untuk 36
peserta didik sekitar 92% dan minimal satu set
peralatan praktek IPA untuk demonstrasi dan
eksperimen peserta didik sekitar 8% dari
seluruh SMP/MTs Kota Salatiga.
Akses dan Partisipasi Program Keaksaraan
Akses terhadap pendidikan berbasis
kesetaraan dan keadilan gender telah
berkembang secara bertahap semenjak
keluarnya kebijakan tentang pengarusutamaan
gender tahun 2001. Kesenjangan gender di
tingkat sekolah dasar, sekolah menengah
pertama, dan sekolah menengah tingkat atas
telah menurun secara keseluruhan, baik di
pedesaan maupun perkotaan. Partisipasi Siswa
SD/MI/Paket A dalam Perspektif Gender
Partisipasi pendidikan dilihat dari 3 kategori
yaitu: Angka Partisipasi Kasar (APK), dan
Angka Partisipasi Murni (APM). Dalam hal
partisipasi, paritas gender pada pendidikan
dasar sudah cukup baik. Seperti terlihat pada
tabel di bawah ini. Jumlah siswa SD/MI/Paket
A tidak terlalu berbeda antara siswa laki-laki
dan perempuan.
Tabel 4 Perkembangan Jumlah Siswa SD/MI/Paket A Kota Salatiga Menurut Kesetaraan Gender Tahun
2012-2014
No Indikator Tahun
2012 2013 2014
1 Siswa Laki-laki 9489 9578 9985
2 Siswa Perempuan 8829 9329 9247
3 Jumlah rata-rata 18318 18907 19232
4 % Laki-laki 51.80 50.66 51.92
5 % Perempuan 48.20 49.34 48.08
6 Paritas Gender (PG) -3.6 -1.32 -3.84
Sumber: Dinas Pendidikan Kota Salatiga
Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017
8
Salah satu target indeks pembangunan
manusia adalah terwujudnya kesetaraan gender
melalui pembangunan sumber daya manusia
yang berkualitas tanpa membedakan peran laki-
laki dan perempuan. Beberapa upaya yang telah
dilakukan untuk meningkatkan kualitas hidup
dan peran perempuan adalah mensejajarkan
mereka di dalam pembangunan nasional.
Pengarusutamaan gender di dalam pendidikan
disadari sebagai program peningkatan kapasitas
di bidang pendidikan. Peningkatan kapasitas
tersebut meliputi pelatihan yang diberikan
kepada pengambil keputusan, perencana, dan
penyusun buku teks pelakaran, serta tenaga
kependidikan termasuk kepala
sekolah/lembaga, guru dan tenaga
kependidikan nonformal. Dasar hukum
pelaksanaan pengarusutamaan gender di bidang
pendidikan adalah Instruksi Presiden Nomor 9
tahun 2000 tentang Pengarusutamaan gender
bidang pendidikan di semua program
pembangunan juga di semua jenjang
kepemerintahan, serta Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional No. 84 tahun 2008 tentang
Pengarusutamaan Gender bidang Pendidikan.
Tabel 5 Perkembangan APK SMP/MTS/Paket B menurut jenis kelamin tahun 2012-2014
No Kab./Kota 2012 2013 2014
L P Jml. L P Jml. L P Jml.
1 Argomulyo 100,13 101,29 100,70 98,54 98,43 98,48 101,00 101,12 101,06
2 Tingkir 99,34 99,31 99,32 100,99 100,50 100,74 102,39 101,91 102,15
3 Sidomukti 100,12 96,85 98,49 96,14 100,18 98,16 101,67 101,10 101,39
4 Sidorejo 99,64 99,08 99,36 99,24 98,47 98,84 98,61 99,46 99,03
Salatiga 102,17 101,50 101,83 99,83 99,80 99,82 100,25 100,03 100,14
Sumber: Dinas Pendidikan Kota Salatiga
Berdasarkan tabel berikut, peserta didik
untuk jenjang SMP/MTS terus meningkat
selama kurun waktu 2012-2014. Hal ini
menunjukkan bahwa persentase siswa
SMP/MTs terhadap anak kelompok usia 13-15
tahun (Angka Partisipasi Kasar) anak laki-laki
lebih rendah dibanding anak perempuan.
Peningkatan partisipasi anak laki-laki lebih
tinggi dibanding dengan peningkatan
partisipasi anak perempuan ke jenjang
SMP/MTs. Bila dilihat Indeks Paritas Gender
(IPG) APK SMP/MTs dalam kurun waktu yang
sama menunjukkan sedikit kenaikan. IPG
sebesar itu menunjukkan bahwa kesetaraan dan
keadilan gender masih belum tercapai.
Tabel 6 Perkembangan Jumlah Siswa SMP/MTs/Paket B Menurut PG dan IPG Tahun 2012-2014
No Indikator Tahun
2012 2013 2014
1 APK Laki-laki 102,17 99,83 100,25
2 APK Perempuan 101,50 99,80 100,03
3 Jumlah rata-rata 101,83 99,82 100,14
4 % Laki-laki 49,72 51,84 51,01
5 % Perempuan 50,28 48,16 48,99
6 Paritas Gender (PG) 0,56 -3,68 -2,02
Sumber: Dinas Pendidikan Kota Salatiga
Kinerja Pendidikan Dasar Dalam Implementasi Program Pendidikan Untuk Semua | Bambang Ismanto, dkk.
9
Selama kurun waktu 2012-2014
menunjukkan bahwa persentase siswa
SMP/MTs kelompok usia 13-15 tahun terhadap
anak kelompok usia 13-15 tahun (APK) anak
laki-laki lebih rendah dibanding anak
perempuan. Hal itu terlihat dari Paritas Gender
(PG) dalam kurun waktu tersebut dengan nilai
negatif, kecuali pada tahun 2012. Ini berarti
bahwa peningkatan partisipasi anak laki-laki
lebih tinggi dibanding dengan peningkatan
partisipasi anak perempuan pada jenjang
SMP/MTs pada tahun 2014. Pada tahun 2012,
kesetaraan dan keadilan gender mencapai
keadaan yang seimbang dengan IPG sebesar
0,56 Namun pada tahun selanjutnya
menunjukkan bahwa kesetaraan dan keadilan
gender anak laki-laki dan anak perempuan
dalam posisi yang belum setara.
Pemerintah Kota Salatiga telah
menempatkan kebijakan sistem dan manajemen
sekolah berbasis kinerja merupakan hal yang
penting bagi peningkatan mutu pendidikan.
Kebijakan Pemerintah Kota Salatiga yaitu: (a)
membuat peraturan dan undang-undang yang
memuat tentang kewenangan dan tanggung
jawab kepala sekolah dan komite sekolah; (b)
menyusun panduan pelaksanaan manajemen
berbasis hasil (result based management) di
sekolah-sekolah; (c) mengadakan pelatihan
kepala sekolah, tata kelola-manajemen komite
sekolah di seluruh Indonesia (Disdikpora:
2015).
Evaluasi keberhasilan Pendidikan
Untuk Semua di Kota Salatiga, didukung oleh
aspek-aspek (Disdikpora: 2016): (1) Komitmen
politik (political will) & kepemimpinan
(leadership) dari lembaga-lembaga eksekutif,
yudikatif, dan legislative; (2) Adanya kerangka
kebijakan (policy framework) sebagai wujud
komitmen pemerintahan nasional, provinsi,
kab/kota dalam Program PUS; (3) Struktur dan
mekanisme pemerintahan daerah yg
mendukung pelaksanaan Program PUS; (4)
Sumber-sumber daya yang memadai; (5)
Sistem informasi dan data yg komprehensif
baik di persekolahan maupun di luar sekolah
dan terpilah menurut jenis kelamin; (6) Alat
analisis untuk perencanaan, penganggaran serta
pemantauan dan evaluasi yg mendukung
pelaksanaan Program PUS; (7) Dorongan dari
pemangku kepentingan (stakeholder)
pendidikan lain dalam pelaksanaan Program
PUS; (8) Sistem informasi dan data yg
komprehensif baik di persekolahan maupun di
luar sekolah dan terpilah menurut jenis
kelamin; (9) Alat analisis untuk perencanaan,
penganggaran serta pemantauan dan evaluasi
yg mendukung pelaksanaan Program PUS; dan
(9) Dorongan dari pemangku kepentingan
(stakeholder) pendidikan lain dalam
pelaksanaan Program PUS. Berdasarkan
evaluasi tersebut, Pembangunan Pendidikan
Pasca 2015, Dinas Pendidikan, Pemuda dan
Olah Raga merekomendasi: (1) Tata kelola dan
penganggaran yang lebih transparan, (2)
Meningkatkan koordinasi antar sector, (3)
Meningkatkan kualitas pendidikan, (4)
Distribusi guru yang lebih merata, (5)
Memastikan pemuda dan orang dewasa
memiliki kesempatan belajar yang sama, (6)
Meningkatkan pemanfaatan Teknologi
Informasi dan Komunikasi (TIK) untuk
membantu meningkatkan belajar mengajar dan
akses pendidikan
Tindaklanjut dari tujuan pembangunan
milinium adalah Pembangunan berkelanjutan
(suistainability development goals/SGDs).
SDGs memiliki 5 pondasi yaitu manusia,
planet, kesejahteraan, perdamaian, dan
kemitraan yang ingin mencapai tiga tujuan
mulia di tahun 2030 berupa mengakhiri
kemiskinan, mencapai kesetaraan dan
mengatasi perubahan iklim
(http://sdgsindonesia.com/2016/09/07/mengen
al-17-bidang-sdgs/). Thema pembangunan
Pendidikan Tahun 2016-2030 adalah Menuju
Pendidikan dan Pembelajaran Sepanjang Hayat
untuk Semua yang Inklusif, Adil dan Bermutu
dengan 7 (Tujuh) Target/Goals). Target
Pendidikan Tahun 2030 pada Pembangunan
Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017
10
berkelanjutan pada bidang pendidikan adalah
(1) Memastikan seluruh anak laki-laki dan
perempuan memperoleh pendidikan dasar dan
menengah yang bebas biaya, berkeadilan, dan
bermutu yang mengarah pada keluaran
pembelajaran yang relevan dan efektif; (2)
Memastikan seluruh anak laki-laki dan
perempuan memperoleh akses ke
perkembangan, perawatan dan pendidikan pra-
sekolah dasar yang bermutu untuk memastikan
kesiapan memasuki pendidikan dasar; (3)
Memastikan adanya akses merata bagi laki-laki
dan perempuan untuk memperoleh pendidikan
teknik, vokasi dan tinggi yang terjangkau dan
bermutu; (4) meningkatkan jumlah penduduk
remaja dan dewasa yang memiliki kemampuan
relevan, termasuk keterampilan teknik dan
vokasi, untuk memperoleh pekerjaan dan
kewirausahaan; (5) Menghapuskan
ketimpangan gender dalam pendidikan dan
memastikan akses merata terhadap seluruh
tingkat pendidikan dan pelatihan vokasi bagi
kelompok rentan, termasuk penduduk dengan
keterbatasan fisik, penduduk asli tradisional,
dan anak-anak dalam situasi rentan; (6)
Memastikan seluruh remaja dan dewasa, baik
laki-laki maupun perempuan, memperoleh
kemampuan keaksaraan dan berhitung; (7)
Memastikan seluruh peserta didik memperoleh
pengetahuan dan keterampilan yang
dibutuhkan untuk meningkatkan pembangunan
berkelanjutan, termasuk di antaranya melalui
pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan
dan gaya hidup berkelanjutan, hak azasi
manusia, kesetaraan gender, peningkatan
budaya damai dan anti kekerasan,
kewarganegaraan global, dan penghargaan
terhadap keragaman budaya dan kontribusi
budaya terhadap pembangunan berkelanjutan.
PEMBAHASAN
Berdasarkan temuan dan bahasan
penelitian tentang kinerja pendidikan dasar
dapat disimpulkan bahwa (1). Angka
Partisipasi Kasar tingkat SD/MI dan SMP/MTs
Kota Salatiga telah mencapai 100%. Ini berarti
seluruh penduduk usia 7-12 tahun telah
mendapatkan pelayanan wajib belajar dalam
program pendidikan untuk semua (2). Indeks
Paritas Gender relatif tinggi. Ini berarti bahwa
pendudukan berjenis kelamin laki-laki dan
perempuan telah memperoleh kesempatan yang
sama dalam mengikuti wajib belajar 9 tahun
dalam implementasi program pendidikan untuk
semua. (3). Jumlah dan kualifikasi pendidikan
serta sertifikasi pendidik dan tenaga
kependidikan mendukung peningkatan mutu
program pendidikan untuk semua di Kota
Salatiga (4). Jumlah dan jenis Sarana dan
prasarana mendukung peningkatan mutu
program pendidikan untuk semua di Kota
Salatiga.
Berdasarkan kesimpulan di atas
direkomendasikan: (1). Kinerja pencapaian
program pendidikan semua hendaknya menjadi
acuan dalam perencanaan program pendidikan
berkelanjutan (2). Pemerintah Kota dan DPRD
di Salatiga hendaknya menetapkan kebijakan
alokasi anggaran, pemenuhan kebutuhan
pendidik, tenaga kependidikan, sarana
prasarana dan manajemen sekolah yang relevan
dengan peningkatan akses dan mutu pendidikan
universal tingkat SMA/MA/SMK (3).
Peningkatan partisipasi masyarakat dalam
mendukung pembiayaan pendidikan dan
manajemen pendidikan yang dapat
meningkatkan akses dan mutu pendidikan
tingkat SMA/MA/SMK sebagai implementasi
program pendidikan berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA
Akib, Haedar, 2010, Implementasi Kebijakan:
Apa, Mengapa, dan Bagaimana, Guru
Besar Ilmu Administrasi Universitas
Negeri Makassar,
http://digilib.unm.ac.id/files/disk1/4/ -
universitas% 20negeri%20makassar-
digilib-unm-haedarakib-165-1-haedara-
b.pdf
Kinerja Pendidikan Dasar Dalam Implementasi Program Pendidikan Untuk Semua | Bambang Ismanto, dkk.
11
Aneta, Asna, 2010, Implementasi Kebijakan
Program Penanggulangan Kemiskinan
Perkotaan (P2KP) Di Kota Gorontalo,
Jurnal Administrasi Publik, Volume 1
No. 1 Thn. 2010,
http://digilib.unm.ac.id/files/disk1/4/un
iversitas%20negeri%20makassar-
digilib-unm-asnaaneta-173-1-asnaane-
a.pdf, diunduh 30 November 2016, jam
4.36
Dinas Pendidikan, 2016, Strategi Program PUS
Pasca 2015 Dan Capaian Program PUS
Tahun 2016 Provinsi Jawa Tengah,
Disampaikan pada Workshop Program
PUS 2016 di Kota Salatiga, 20 Oktober
2016, Dinas Pendidikan, Provinsi Jawa
Tengah,
Dwiyanto, Agus. 1995. Penilaian Kinerja
Organisasi Pelayanan Publik.
Yogyakarta: UGM.
Forum Koordinasi Pendidikan Untuk Semua,
2015, Laporan tahunan Pendidikan
Untuk Semua (PUS), Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah,
Salatiga, 2015
Islamy, Irfan, 2000, Prinsip-Prinsip Perumusan
Kebijaksanaan Negara, Jakarta: Bumi
Aksara, Jakarta
Kebijakan Daerah Kota Salatiga Di Bidang
Pendidikan, Disampaikan Walikota
Salatiga pada: Workshop Pendidikan
Untuk Semua (PUS) Tahun 2016, 19-20
Oktober 2016
Kementerian Perencanaan Pembangunan
Nasional/Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional (BAPPENAS),
2012, Laporan Pencapaian Tujuan
Pembangunan Milenium Di Indonesia
2011,
http://www.bappenas.go.id/files/1913/5
229/9628/laporan-pencapaian-tujuan-
pembangunan-milenium-di-indonesia-
2011__20130517105523__3790__0.pd
f
Nugroho, D. Riant. 2006. Kebijakan Publik:
Formulasi, Implementasi dan Evaluasi.
Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.
Peraturan Pemerintah, Nomer 47 Tahun 2008,
tentang Wajib Belajar
Suharto, Edi. 1997. Kemiskinan dan
Perlindungan Sosial di Indonesia.
Bandung: Penerbit Alfabeta
___________. 2005. Analisis Kebijakan
Publik: Panduan Praktis Mengkaji
Masalah dan Kebijakan Sosial.
Bandung: Penerbit Alfabeta
Wahab, Sholichin Abdul, 2008, Analisis
Kebijaksanaan, Dari Formulasi ke
Implementasi Kebijaksanaan Negara.
Bumi Aksara, Jakarta
Magister Manajemen Pendidikan FKIP Universitas Kristen Satya Wacana [email protected]
ISSN 2549-9661 Volume: 4, No. 1, Januari-Juni 2017
Halaman: 12-27
12
KETERLAKSANAAN STANDAR PENGELOLAAN PENDIDIKAN DI
SMA TERAKREDITASI
Krisma Widi Wardani
Pendidikan Guru Sekolah Dasar
FKIP-Universitas Kristen Satya Wacana
Lobby Loekmono
Magister Manajemen Pendidikan
FKIP-Universitas Kristen Satya Wacana
Supramono
Magister Manajemen Pendidikan
FKIP-Universitas Kristen Satya Wacana
ABSTRACT
This study aims: (1) to find out the significance of differences in the implementation of the
Education Management Standards in Semarang Regency Accredited Senior High School, and
(2) to know the implementation of components in the Education Management Standards at
Senior High School accredited A and B in Semarang Regency which is still in the Very Low
category. The type of this research is descriptive comparative with quantitative approach. The
school as a unit of analysis. The sample in this study consists of 6 Accredited A and 3 Accredited
B Senior High Schools. Data or information obtained from the principal, Vice Principals and
Teachers. There are 30 respondents from 6 Accredited A and 15 people from 3 Accredited B
Senior High Schools. This study used a Monitoring and Evaluation of Education Management
Standards questionnaire developed by BSNP 2012. The results of this research showed that the
average in Accredited A are higher from Accredited B Senior High Schools. While from the
comparative test results obtained: there is no significant difference in the implementation of
education management standards between Accredited A and Accredited B Senior High Schools
in Semarang Regency. The result of the categorization statistics is the result that there is no
component whose implementation in the Very Low category in both Accredited A and
Accredited B Senior High School. However, there are components whose implementation is
still in the Moderate category of the Component Management Information System.
Keywords: Accreditation, Implementation, Accredited Senior High School, Education
Management Standards.
Keterlaksanaan Standar Pengelolaan Pendidikan di SMA Terakreditasi | Krisma W. Wardani, Dkk.
13
PENDAHULUAN
Setiap warga negara berhak
memperoleh pendidikan yang bermutu. Untuk
dapat menyelenggarakan pendidikan yang
bermutu, setiap satuan pendidikan harus
memenuhi Standar Nasional Pendidikan yang
dilakukan melalui kegiatan akreditasi terhadap
kelayakan setiap satuan/program pendidikan.
Standar Nasional Pendidikan yang berkaitan
dengan perencanaan, pelaksanaan, dan
pengawasan kegiatan pendidikan pada tingkat
satuan pendidikan, kabupaten/kota, provinsi,
pemerintah atau nasional agar tercapai efisiensi
dan efektif penyelenggaraan pendidikan yaitu
terdapat dalam Standar Pengelolaan Pendidikan
diatur dalam Permendiknas No. 19 Tahun 2007.
Dalam Standar Pengelolaan Pendidikan
terdapat enam komponen kegiatan penting yang
harus dilaksanakan oleh setiap satuan
pendidikan dasar dan menengah, yaitu: 1)
Perencanaan Program; 2) Pelaksanaan Rencana
Kerja; 3) Pengawasan dan Evaluasi; 4)
Kepemimpinan Sekolah/Madrasah; 5) Sistem
Informasi Manajemen; dan 6) Penilaian
Khusus. Apabila setiap jenjang pengelola
satuan pendidikan berupaya memberi jaminan
mutu dan dilakukan secara terstandar
berkelanjutan, maka mutu pendidikan
Indonesia secara nasional akan meningkat.
Peningkatan mutu pendidikan akan berdampak
pada mutu sumber daya manusia secara
nasional. Untuk memelihara efektivitas peran
para konstituen dalam pengembangan
kebijakan, pengambilan keputusan, dan
penyelenggaraan pendidikan diperlukan sistem
tata pamong (governance). Tata pamong yang
baik (good governance) jelas terlihat dari lima
kriteria yaitu kredibilitas, transparansi,
akuntabilitas, tanggung-jawab, dan adil (BAN-
PT 2010:17).
Berdasarkan Instrumen Akreditasi
SMA/MA dari BAS S/M (2014), tanpa
mengabaikan 7 standar lainya dalam Standar
Nasional Pendidikan, secara khusus dalam
penilaian Standar Pengelolaan Pendidikan
ditentukan kualifikasi berdasarkan enam
komponen pengukuran standar pengelolaan
yang dijabarkan sebagai berikut: (1)
Sekolah/Madrasah mendapat kualifikasi A
apabila: Merumuskan dan menetapkan visi,
mudah dipahami dan sering disosialisaikan.
Sedangkan sekolah akan mendapat kualifikasi
B jika merumuskan dan menetapkan visi,
mudah dipahami dan pernah di-sosialisasikan;
(2) Sekolah/Madrasah mendapat kualifikasi A
apabila: Sekolah/-Madrasah memiliki pedoman
yang mengatur tujuh atau lebih aspek
pengelolaan secara tertulis. Sedangkan
kualifikasi B jika memiliki pedoman yang
mengatur lima atau enam aspek pengelolaan
secara tertulis; (3) Sekolah/Madrasah mendapat
kualifikasi A apabila: Memiliki struktur
organisasi yang dipajang di dinding dan disertai
uraian tugas yang jelas. Sedangkan kualifikasi
B jika Memiliki struktur disertai uraian tugas
yang jelas; (4) Sekolah/Madrasah mendapat
kualifikasi A apabila: Sebanyak 76%-100%
kegiatan sesuai dengan rencana kerja tahunan.
Sedangkan kualifikasi B Sebanyak 51%-75%
kegiatan sesuai dengan rencana kerja tahunan;
(5) Sekolah/Madrasah mendapat kualifikasi A
apabila: Melaksanakan empat atau lebih
kegiatan kesiswaan. Sedangkan kualifikasi B
melaksanakan tiga kegiatan kesiswaan; (6)
Sekolah/Madrasah mendapat kualifikasi A
apabila: Melaksanakan empat atau lebih
kegiatan pengembangan kurikulum dan
pembelajaran. Sedangkan kualifikasi B
melaksanakan tiga kegiatan pengembangan
kurikulum dan pembelajaran.
Dari sebagian komponen pengukuran
tersebut di atas jelas membedakan kualifikasi
sekolah berperingkat A dan B dengan sangat
jelas. Meski begitu, Soedjono (2012:2)
mengungkapkan faktanya penyelenggaraan
akreditasi Sekolah/Madrasah saat ini
menghadapi beberapa persoalan diantaranya
(1) hasil akreditasi belum menggambarkan
kondisi objektif sekolah; (2) hasil akreditasi
Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017
14
belum menunjukkan indikator akuntabilitas; (3)
hasil akreditasi sekolah belum dijadikan
sebagai alat pembinaan, pengembangan dan
peningkatan mutu pendidikan di sekolah; (4)
peringkat hasil akreditasi belum
menggambarkan kelayakan sekolah; dan (5)
hasil akreditasi belum mampu memberikan
rekomendasi tentang penjaminan mutu
pendidikan. Menurut Asmani (2010:27) banyak
pihak yang selama ini skeptis terhadap
objektivitas proses dan hasil akreditasi, mereka
mengukur ada banyak kejanggalan,
penyalahgunaan, dan penyimpangan yang
dilakukan, baik oleh pihak sekolah yang di
akreditasi maupun oleh tim asesor yang
berkaitan dengan korupsi, kolusi, dan
nepotisme (KKN), karena assesor tidak jarang
memberi kesempatan untuk mengadakan apa
yang belum tersedia di lapangan.
Subagyo (2013) dalam penelitiannya
mengatakan tidak ada perbedaan yang
signifikan antara SD/MI Terakreditasi A
dengan SD/MI Terakreditasi B dalam
keterlaksanaan Standar Pengelolaan
Pendidikan di Kota Salatiga. Kesimpulan dari
penelitian ini kemudian dapat dijadikan
landasan bahwa terdapat kesenjangan antara
kondisi ideal dengan praktek. Idealnya sekolah
yang terakreditasi A merupakan bukti bahwa
peringkat itu menunjukkan pengelolaan
pendidikan di sekolah telah memenuhi seluruh
standar pengelolaan pendidikan. Hasil
penelitian tentang Pengelolaan Pendidikan di
SMK Farmasi “Yayasan Pharmasi” Semarang
oleh Haryono (2010) menemukan bahwa SMK
Farmasi Semarang belum melakukan
pengelolaan pendidikan sesuai dengan Standar
Pengelolaan Pendidikan secara maksimal,
sekolah yang diteliti kurang memahami Standar
Pengelolaan Pendidikan.
Berdasarkan hasil penelitian dan uraian
di atas ditemukan bahwa pada kondisi ideal
sekolah yang terakreditasi A memiliki
kualifikasi lebih tinggi dari sekolah
terakreditasi B. Namun dari penelitian Subagyo
(2013) menunjukkan bahwa Keterlaksanaan
Standar Pengelolaan Pendidikan di SD/MI
Terakreditasi A dan B di Kota Salatiga tidak
ada perbedaan signifikan. Begitu juga dengan
penelitian Haryono (2010). Kontradiksi antara
keadaan ideal dan hasil penelitian tersebut
menarik untuk dilakukan penelitian mengenai
keterlaksanaan standar pengelolaan pendidikan
di SMA Terakreditasi A dan B di Kabupaten
Semarang.
Di Kabupaten Semarang terdapat 26
SMA Negeri dan Swasta. Bedasarkan
penelitian pendahuluan diperoleh data
Akreditasi SMA seperti Tabel 1 berikut ini:
Tabel 1 Daftar Akreditasi SMA Kabupaten Semarang
Peringkat Akreditasi Jumlah Sekolah
Jumlah Total Negeri Swasta
A 8 4 12
B 0 6 6
C - - -
Terakreditasi sebelum
2009/2010 3 0 3
Tidak Terakreditasi 0 3 3
Tidak Terlacak 0 2 2
Jumlah Total 11 15 26
Sumber: Penelitian Pendahuluan, Mei 2015
Jumlah SMA yang telah terakreditasi
dan yang belum terakreditasi di Kabupaten
Semarang selisihnya cukup banyak, terlebih
apabila menyangkut masa berlaku akreditasi
bagi SMA Terakreditasi A dan Terakreditasi B
di Kabupaten Semarang perlu untuk dilihat
Keterlaksanaan Standar Pengelolaan Pendidikan di SMA Terakreditasi | Krisma W. Wardani, Dkk.
15
keterlaksanaan standar pengelolaan pendidikan
agar dapat terus menjamin keberlanjutan
penjaminan mutu pendidikan. Melalui
penelitian ini akan dilihat apakah ada perbedaan
atau tidak mengenai keterlaksanaan standar
pengelolaan di sekolah terakreditasi A dan B di
Kabupaten Semarang, serta belum adanya
penelitian yang menjelaskan komponen mana
dalam standar pengelolaan pendidikan di SMA
Terakreditasi A dan B di Kabupaten Semarang
yang keterlak-sanaannya masih berada pada
kategori Sangat Rendah.
Berdasarkan masalah di atas, maka
rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1) Adakah perbedaan signifikan keterlaksanaan
Standar Pengelolaan Pendidikan di SMA
terakreditasi A dan SMA terakreditasi B di
Kabupaten Semarang? 2) Komponen Standar
Pengelolaan Pendidikan mana yang
keterlaksanaannya masih berada dalam
kategori Sangat Rendah pada SMA
terakreditasi A dan B?. Sedangkan tujuan
penelitian ini untuk: 1) Mangetahui signifikansi
perbedaan keterlaksanaan Standar Pengelolaan
Pendidikan di SMA terakreditasi A dan B di
Kabupaten Semarang; 2) Mengetahui
komponen mana dalam Standar Pengelolaan
Pendidikan di SMA terakreditasi A dan B di
Kabupaten Semarang yang keterlaksanaannya
masih berada pada kategori Sangat Rendah.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang digunakan adalah
deskriptif komparatif dengan pendekatan
kuantitatif. Penelitian ini menggunakan sekolah
sebagai unit analisis. Unit analisis menurut
Arikunto (2010; 187) adalah satuan tertentu
yang diperhitungkan sebagai subyek penelitian.
Dalam pengertian yang lain, unit analisis
diartikan sebagai sesuatu yang berkaitan
dengan fokus/komponen yang diteliti. Sehingga
selain sekolah sebagai unit analisis juga
merupakan subjek penelitian, dalam hal ini
adalah SMA Terakreditasi A dan B yang berada
di wilayah Kabupaten Semarang.
Populasi subjek penelitian dalam
penelitian ini adalah 12 SMA Terakreditasi A
dan 6 SMA Terakreditasi B di Kabupaten
Semarang. Sampel adalah sebagian dari jumlah
karakteristik yang dimiliki oleh populasi.
Teknik pengambilan sample berfokus pada
teknik purposive sampling. Sample dalam
penelitian ini adalah 6 SMA Terakreditasi A
dan 3 SMA Terakreditasi B di Kabupaten
Semarang. Data atau informasi diperoleh dari
“informan (responden) penelitian” yaitu Kepala
Sekolah, Wakil Kepala Sekolah dan Guru.
Informan/responden dalam penelitian ini
bersifat kolektif (satu kesatuan) tidak
individual. Setiap sekolah diambil sebanyak 5
orang narasumber yang terdiri dari 1 kepala
sekolah, 3 wakil kepala sekolah dan 1 guru.
Definisi operasional keterlaksanaan
standar pengelolaan pendidikan adalah
terlaksananya keseluruhan standar pengelolaan
pendidikan yang mencakup perencanaan
program; sistem informasi manajemen;
pelaksanaan rencana kerja meliputi: Pedoman
Pengelolaan, Aspek pendukung dalam
penyusunan Pedoman pengelolaan dan Struktur
organisasi; Kepemimpinan Sekolah; dan
pengawasan dan evaluasi yang diukur melalui
angket pemantauan dan evaluasi standar
pengelolaan pendidikan yang dikembangkan
oleh BSNP 2012.
Proses pengumpulan data yang
digunakan adalah dengan menggunakan
pengisian angket. Adapun yang mengisi angket
keterlaksanaan standar pengelolaan pendidikan
ini melibatkan 9 (sembilan) kepala sekolah dan
36 (tiga puluh enam) guru dari sembilan SMA
di Kabupaten Semarang. Untuk menentukan
empat guru dari setiap sekolah yang akan
mengisi angket peneliti melakukan koordinasi
dengan memohon petunjuk kepala sekolah
untuk menunjukkan guru-guru yang
mengetahui tentang akreditasi sekolah atau
yang terlibat aktif dalam akreditasi sekolah
sebanyak 1 (satu) guru dan 3 (tiga) guru yang
lain adalah dari wakil kepala sekolah. Maka
Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017
16
secara umum kriteria pengisi angket adalah
guru yang paham dan berperan aktif dalam
akreditasi sekolah.
Data yang terkumpul akan dianalisis
dengan menggunakan teknik analisis statistik,
yakni analisis deskriptif, uji validitas item dan
uji reliabilitas instrumen penelitian, uji
normalitas dan analisis perbedaan. Untuk
mengetahui apakah setiap butir dalam
instrumen valid atau tidak dapat diketahui
dengan cara mengkorelasikan antara skor butir
dengan skor total. Uji reliabilitas menunjukkan
sejauh mana suatu hasil pengukuran relatif
konsisten apabila pengukuran dilakukan
terhadap aspek yang sama di waktu yang
berbedabeda. Azwar (2012:7) menyatakan
bahwa suatu alat ukur pada prinsipnya
dikatakan reliabel apabila mampu
menunjukkan sejauh mana alat ukur tersebut
dapat memberi hasil yang relatif tidak berbeda
bila dilakukan pengukuran kembali terhadap
subyek yang sama. Rumus Alpha Cronbach
seperti yang dikutip dari Arikunto (2010),
dipakai untuk menguji reliabilitas instrumen
penelitian. Penentuan kategori tingkat
reliabilitas dengan koefisien Alpha Cronbach,
didasarkan pada pendapat George & Mallery
(1995).
Analisis deskriptif bertujuan
mendeskripsikan hasil pengukuran dari
variabel keterlaksanaan standar pengelolaan
pendidikan. Selanjutnya data keterlaksanaan
standar pengelolaan pendidikan yang
terkumpul dibagi ke dalam 5 kelas interval.
Masing-masing kelas selanjutnya akan diberi
kategori yaitu: Sangat Tinggi; Tinggi; Sedang;
Rendah; Sangat Rendah yang berlaku pada tiap
komponen. Interval untuk masing-masing
komponen dalam konsep ialah: skor maksimal
dikurangi skor minimal di bagi jumlah katagori
sehingga diperoleh interval seperti yang
terdapat pada Tabel 2 berikut ini:
Tabel 2 Perhitungan Interval masing-masing Komponen
Komponen Jumlah Soal Skor Min Skor Max Interval
1. Perencanaan Program 27 27 108 16
2. Sistem Informasi Manajemen 4 4 16 2
3. Rencana Kerja 27 27 108 16
4. Kepemimpinan Sekolah 20 20 80 12
5. Pengawasan dan Evaluasi 25 25 100 15
Dari tabel perhitungan interval
selanjutnya di susun kelas interval untuk setiap
komponen. Adapun hasil kelas interval
diperoleh dengan cara datum terkecil sebagai
batas bawah kelas pertama, untuk menentukan
batas atas kelas pertama yaitu dengan cara:
menjumlahkan datum terkecil dengan panjang
interval kelas kemudian dikurangi satu (1).
Begitu juga dengan batas bawah kelas kedua
dengan melanjutkan batas atas kelas pertama
dijumlahkan dengan panjang interval kelas
kemudian kurangi satu (1). Begitu seterusnya,
sehingga diperoleh kelas interval sebagai
berikut:
Tabel 3 Kelas Interval masing-masing komponen
No. Kls Kategori Komponen
1 2 3 4 5
1 Sangat Rendah 27-42 4-6 27-42 20-31 25-39
2 Rendah 43-58 7-9 43-58 32-43 40-54
3 Sedang 59-74 10-12 59-74 44-55 55-69
4 Tinggi 75-90 13-14 75-90 56-67 70-84
5 Sangat Tinggi 91-108 15-16 91-108 68-80 85-100
Keterlaksanaan Standar Pengelolaan Pendidikan di SMA Terakreditasi | Krisma W. Wardani, Dkk.
17
Untuk melihat apakah ada signifikansi
perbedaan keterlaksanaan standar pengelolaan
pendidikan SMA Terakreditasi A dan SMA
Terakreditasi B, digunakan uji beda rata-rata
yang juga dikenal dengan nama t-test. Untuk
mendapatkan hasil yang signifikan (mendekati
kebenaran) maka digunakan derajat/tingkat
keyakinan 95% (α = 5%). Namun demikian,
penulis memperhitungkan dan
mempertimbangkan hasil uji t yang termasuk
dalam derajat/tingkat keyakinan 90% atau
signifikan 10%. Sugiyono (2014) menyatakan
bahwa untuk melakukan uji signifikansi
komparasi data dua sampel dengan data interval
atau ratio digunakan teknik statistik t-test,
untuk menunjukkan bahwa dua sampel yang
tidak berhubungan tersebut memiliki nilai
rerata yang berbeda. Syarat atau asumsi utama
yang harus dipenuhi dalam menggunakan t-test
adalah data harus berdistribusi normal. Untuk
menentukan apakah data yang telah
dikumpulkan berdistribusi normal maka
diperlukan uji normalitas. Uji normalitas dalam
penelitian ini menggunakan kolmogrov-
smirnov.
HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
Deskripsi Subyek Penelitian
Terdapat kecenderungan SMA
terakreditasi A dalam pelibatan guru relatif
sedikit dari SMA terakreditasi B. Hal tersebut
didasari dari konsultasi dengan pihak sekolah
terutama wakil kepala sekolah yang lebih
mengarahkan supaya responden adalah wakil
kepala sekolah, sebab mereka yang terlibat aktif
dalam akreditasi. Adapun rincian subyek dan
narasumber penelitian terdapat pada Tabel 4
dan Tabel 5.
Tabel 4 Subyek dan Narasumber Penelitian SMA Terakreditasi A
A. Sekolah Kepala Sekolah Wakil Kepsek Guru Total
SMA Terakreditasi A L P L P L P
1 SMA Negeri 1 Ambarawa 1 - 3 - 1 - 5
2 SMA Islam Sudirman Amb. 1 - 1 2 1 - 5
3 SMA Kartika III-1 Banyubiru 1 - 2 1 - 1 5
4 SMA Negeri 1 Suruh 1 - 3 0 1 - 5
5 SMA Negeri 1 Bringin - 1 1 2 - 1 5
6 SMA Negeri 1 Tuntang 1 - 1 2 - 1 5
Jumlah 6 21 6 30
Tabel 5 Subyek dan Narasumber Penelitian SMA Terakreditasi B
B. Sekolah Kepala Sekolah Wakil Kepsek Guru Total
SMA Terakreditasi B
1 SMA Wira Usaha Jimbaran 1 - - 1 3 - 5
2 SMA Islam Sudirman Bringin 1 - - 1 1 2 5
3 SMA Islam Plus Bina Insani 1 - - 1 - 3 5
Jumlah 3 3 9 15
Sumber data: Dokumen Sekolah yang diolah, 2015
Tabel 4 menunjukkan SMA
Terakreditasi A, masing-masing sekolah ada
yang memiliki empat wakil kepala sekolah dan
tiga wakil kepala sekolah. Untuk sekolah
dengan empat wakil kepala sekolah artinya
rombongan belajar di sekolah tersebut lebih
dari 27 rombongan belajar (rombel) dan untuk
sekolah dengan tiga kepala Sekolah, artinya
jumlah rombongan belajar terdiri dari 19-27
rombongan belajar. Sedangkan pada SMA
terakreditasi B hanya terdapat satu wakil kepala
sekolah, sebab dalam satu sekolah tersebut
terdapat kurang dari 7 rombongan belajar, hal
Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017
18
ini sesuai dengan permendiknas No. 19 Tahun
2007.
Uji Validitas
Hasil uji validitas pada angket
Keterlaksanaan Standar Pengelolaan
Pendidikan dipaparkan pada Tabel 4.2 dengan
kriteria seleksi item dilakukan berdasarkan
koefisien korelasi item total terkoreksi
(corrected item-total correlation). Apabila
terdapat item yang memiliki skor corrected
item-total correlation dibawah 0,30, maka item
tersebut tidak valid sehingga tidak digunakan
dalam penelitian (Sugiyono, 2014:174, Azwar,
2012:164). Berikut pada Tabel 4.2 disajikan
rangkuman hasil uji validitas item.
Tabel 6 Rangkuman Hasil Uji Validitas
Variabel
Penelitian Sub Variabel
No. item
Instrumen
Range corrected
item-total
correlation
Validitas
Standar
Pengelolaan
Pendidikan
Komponen 1
Keterlaksanaan perencanaan program
1-27
0,349 – 0,811
√
Komponen 2
Keterlaksanaan sistem informasi manajemen
28-31
0,713 – 0,855
√
Komponen 3
Keterlaksanaan rencana kerja (Rencana Kerja,
Pedoman Penge-lolaan, Aspek pendukung dalam
penyusunan Pedoman penge-loaan, Struktur
organisasi)
32-35
36-48
69-73
74-78
0,347 – 0,883
√
Komponen 4 Keterlaksanaan Kepemimpinan
Sekolah
49-68 0,474 – 0,817 √
Komponen 5
Keterlaksanaan pengawasan dan evaluasi,
79-103
0,507 – 0,843
√
Sumber data: Lampiran 2 yang diolah, 2015
Dari Tabel 4.2 di atas semua item dalam
instrumen dinyatakan valid, dengan corrected
item-total correlation di atas 0,30. Pada
Komponen keterlaksanaan perencanaan
program diketahui corrected item-total
correlation terendah adalah 0,349, yang
terdapat pada item nomor 25 mengenai
keterlibatan Dewan Pendidik dalam penentuan
Wakil Kepala Sekolah/Madrasah. Sedangkan
corrected item-total correlation tertinggi adalah
0,811 pada item nomor 8 mengenai keterlibatan
Komite Sekolah dalam penetapan tujuan
sekolah/madrasah. Pada Komponen
keterlaksanaan sistem informasi manajemen
yang terdiri dari 4 item, corrected item-total
correlation terendah 0,713 pada item nomor 30
mengenai Pelaporan data dan informasi
sekolah/-madrasah kepada dinas
Kabupaten/Kota atau Kantor Kementrian
Agama Kabupaten/Kota. Tertinggi adalah
0,855 pada item nomor 29 mengenai Penugasan
guru/tenaga kependidikan untuk penanganan
sistem informasi manajemen
Sekolah/Madrasah. Komponen ketiga yaitu
keterlaksanaan rencana kerja corrected item-
total correlation terendah adalah 0,347 pada
item nomor 73 mengenai Sosialisasi atau
Bimbingan Teknis dari Dinas Pendidikan
Kabupaten/Kota atau Kantor Kementrian
Agama Kabupaten/Kota. Corrected item-total
correlation tertinggi adalah 0,883 pada item
nomor 37 tentang Peraturan Akademik. Pada
komponen keempat yaitu keterlaksanaan
Kepemimpinan Sekolah, corrected item-total
correlation terendah adalah 0,474 terdapat pada
item nomor 66 tentang menjalin kerja sama
dengan orang tua peserta didik dan masyarakat,
dan komite Sekolah/Madrasah sedangkan
corrected item-total correlation tertinggi adalah
0,817 pada item nomor 55 mengenai
komunikasi untuk menciptakan dukungan
intensif dari orang tua peserta didik dan
Keterlaksanaan Standar Pengelolaan Pendidikan di SMA Terakreditasi | Krisma W. Wardani, Dkk.
19
masyarakat. Pada komponen Keterlaksanaan
pengawasan dan evaluasi, corrected item-total
correlation terendah adalah 0,507 pada item
nomor 86 mengenai pelaporan hasil evaluasi
belajar dan penilaian kepada orang tua/wali
setiap akhir semester dan corrected item-total
correlation tertinggi 0,843 pada item nomor 96
mengenai pelaksanaan evaluasi diri,
sekolah/madrasah menyusun program penilaian
kinerja untuk peningkatan kinerja sekolah.
Uji Reliabilitas
Instrumen pada prinsipnya dikatakan
reliabel apabila mampu menunjukkan sejauh
mana alat ukur tersebut dapat memberi hasil
yang relatif tidak berbeda bila dilakukan
pengukuran kembali terhadap subyek yang
sama. Penentuan kategori tingkat reliabilitas
dengan koefisien Cronbach’s Alpha,
didasarkan pada pendapat George & Mallery
(1995) yang menjelaskan bahwa hasil uji
reliabilitas dikategorikan Sangat Tinggi apabila
Cronbach’s Alpha > 0,900. Berikut pada Tabel
7 disajikan rangkuman hasil uji reliabilitas.
Tabel 7 Hasil Uji Reliabilitas Keterlaksanaan Standar Pengelolaan Pendidikan
Variabel
Penelitian Sub Variabel
No. item
Instrumen
Cronbach's
Alpha
Reliabellity
Standar
Pengelolaan
Pendidikan
Komponen 1
Keterlaksanaan perencanaan program
1-27 0,939
Sangat
Tinggi
Komponen 2
Keterlaksanaan sistem informasi manajemen
28-31 0,843 Tinggi
Komponen 3
Keterlaksanaan rencana kerja (Rencana Kerja,
Pedoman Penge-lolaan, Aspek pendukung dalam
penyusunan Pedoman pengeloaan, Struktur
organisasi)
32-35
36-48
69-73
74-78
0,949 Sangat
Tinggi
Komponen 4 Keterlaksanaan Kepemimpinan
Sekolah 49-68 0,936
Sangat
Tinggi
Komponen 5
Keterlaksanaan pengawasan dan evaluasi,
79-103 0,955
Sangat
Tinggi
Sumber data: Lampiran 3 yang diolah, 2015
Tabel 7 menunjukkan bahwa komponen
sistem informasi manajemen memliki nilai
Cronbach`s Alpha 0,843 berada pada kategori
Tinggi, dan pada sub variabel komponen yang
lain Cronbach`s Alpha berada di atas 0,900
(kategori sangat tinggi). Hal ini menunjukkan
bahwa instrumen penelitian ini reliabel,
sehingga dapat dilanjutkan melakukan analisis.
Analisis Deskriptif
Untuk menentukan tinggi rendahnya
hasil pengukuran variabel keterlaksanaan
standar pengelolaan pendidikan SMA
terakreditasi A maupun B digunakan 5 kategori
pada tiap komponen yaitu: Sangat Tinggi;
Tinggi; Sedang; Rendah; Sangat Rendah. Oleh
karena semua butir item dalam angket
dinyatakan valid maka tidak ada perubahan
interval dari Tabel 3.
Pengukuran keterlaksanaan standar
pengelolaan pendidikan SMA Terakreditasi
A dan B
Adapun tinggi-rendahnya hasil
pengukuran frekuensi Keterlaksanaan
Perencanaan Program SMA terakreditasi A dan
B dapat dikategorikan sebagai berikut:
Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017
20
Tabel 8 Statistik Kategorisasi Keterlaksanaan Perencanaan Program SMA Terakreditasi A dan B
Kelas Interval Kategori Frekuensi
SMA Terakreditasi A SMA Terakreditasi B
Jml Persentase Jml Persentase
27-42 Sangat Rendah 0 0
43-58 Rendah 0 0
59-74 Sedang 0 0 0
75-90 Tinggi IIII 66,66% II 66,66%
91-108 Sangat Tinggi II 33,33 % I 33,3%
Jumlah 6 100 % 3 100 %
Sumber data: Lampiran 4 yang diolah, 2015
Tabel 8 menunjukkan bahwa
Keterlaksanaan Perencanaan Program pada
SMA terakreditasi A di Kabupaten Semarang
ada di kategori Tinggi – Sangat Tinggi.
Sedangkan keterlaksanaan Perencanaan
Program di SMA terakreditasi B ada di kategori
Tinggi – Sangat Tinggi. Hal ini sangat menarik
karena SMA Terakreditasi B memiliki
kecenderungan ke arah kategori Tinggi di
dalam melaksanakan perencanaan program,
sebanding dengan keterlaksanaan Perencanaan
Program di SMA Terakreditasi A.
Tabel 9 Statistik Kategorisasi Keterlaksanaan Sistem Informasi Manajemen SMA Terakreditasi A dan B
Kelas Interval Kategori Frekuensi
SMA Terakreditasi A SMA Terakreditasi B
Jml Persentase Jml Persentase
4-6 Sangat Rendah 0 0
7-9 Rendah 0 0
10-12 Sedang I 16,66% III 100 %
13-14 Tinggi IIII 66,66% 0
14-16 Sangat Tinggi I 16,66% 0
Jumlah 6 100% 3 100%
Sumber data: Lampiran 4 yang diolah, 2015
Tabel 9 menunjukkan bahwa
Keterlaksanaan Sistem Informasi Manajemen
pada SMA Terakreditasi A memiliki
kecenderungan ke arah Sedang – Tinggi -
Sangat Tinggi. Sementara pada SMA
Terakreditasi B cenderung pada kategori
Sedang. Yang menarik dalam hal ini adalah
SMA Terakreditasi A memiliki kecenderungan
kategori Sedang - Tinggi - Sangat Tinggi.
Nampak bahwa keterlaksanaan Sistem
Informasi Manajemen pada SMA Terakreditasi
A lebih tinggi dibanding SMA Terakreditasi B.
Tabel 10 Statistik Kategorisasi Keterlaksanaan Rencana Kerja SMA Terakreditasi A dan B
Kelas Interval Kategori Frekuensi
SMA Terakreditasi A SMA Terakreditasi B
Jml Persentase Jml Persentase
27-42 Sangat Rendah 0 0
43-58 Rendah 0 0
59-74 Sedang 0 0
75-90 Tinggi IIII 66,66% III 100%
91-108 Sangat Tinggi II 33,33% 0
Jumlah 6 100% 3 100%
Sumber data: Lampiran 4 yang diolah, 2015
Keterlaksanaan Standar Pengelolaan Pendidikan di SMA Terakreditasi | Krisma W. Wardani, Dkk.
21
Pada Tabel 10 menunjukkan bahwa
keterlaksanaan Rencana Kerja SMA
Terakreditasi A di Kabupaten Semarang masuk
pada kategori Tinggi - Sangat Tinggi.
Sementara Keterlaksanaan Rencana Kerja
SMA Terakreditasi B pada kategori Tinggi,
Sehingga keterlaksanaan Rencana Kerja pada
SMA Terakreditasi A cenderung lebih tinggi
dibanding SMA Terakreditasi B.
Tabel 11 Statistik Kategorisasi Keterlaksanaan Kepemimpinan Sekolah SMA Terakreditasi A dan B
Kelas Interval Kategori Frekuensi
SMA Terakreditasi A SMA Terakreditasi B
Jml Persentase Jml Persentase
20-31 Sangat Rendah 0 0
32-43 Rendah 0 0
44-55 Sedang 0 0
56-67 Tinggi IIII 66,66 % III 100 %
68-80 Sangat Tinggi II 33,33 % 0
Jumlah 6 100% 3 100%
Sumber data: Lampiran 4 yang diolah, 2015
Tabel 4.7 menunjukkan bahwa
Keterlaksanaan Kepemimpinan Sekolah pada
SMA Terakreditasi A dan B memiliki
kecenderungan pada kategori Tinggi - Sangat
Tinggi dan pada SMA Terakreditasi B pada
katagori Tinggi. Nampak Bahwa
keterlaksanaan Kepemimpinan Kepala Sekolah
pada SMA Terakreditasi A lebih tinggi
dibanding SMA Terakreditasi B.
Tabel 12 Statistik Kategorisasi Keterlaksanaan Pengawasan dan Evaluasi SMA Terakreditasi A dan B
Kelas Interval Kategori Frekuensi
SMA Terakreditasi A SMA Terakreditasi B
Jml Persentase Jml Persentase
25-39 Sangat Rendah 0 0
40-54 Rendah 0 0
55-69 Sedang 0 0
70-84 Tinggi IIIII 83,33% III 100%
85-100 Sangat Tinggi I 16,66% 0
Jumlah 6 100% 3 100%
Sumber data: Lampiran 4 yang diolah, 2015
Pada tabel 12 menunjukkan
Keterlaksanaan Pengawasan dan Evaluasi pada
SMA terakreditasi A dan B sama-sama
memiliki kecenderungan pada kategori Tinggi.
Hal ini sangat menarik karena SMA
Terakreditasi A dan B dalam Keterlaksanaan
Pengawasan dan evaluasi diri menilai Tinggi.
Analisis Perbedaan
Uji normalitas terhadap variabel keterlaksanaan
standar pengelolaan pendidikan di SMA
Terakreditasi A dan SMA Terakreditasi B
dalam penelitian ini tampak pada Tabel 4.9 di
bawah ini.
Tabel 13. Tests of Normality
Sekolah
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Skor Akreditasi A .269 6 .200 .930 6 .582
Akreditasi B .280 3 . .938 3 .520
a. Lilliefors Significance Correction
Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017
22
Tabel 13 menunjukkan bahwa hasil uji
normalitas SMA Terakreditasi A mempunyai
tingkat probabilitas sebesar 0,582 > 0,05 dan
SMA Terakreditasi B mempunyai tingkat
probabilitas sebesar 0,520 > 0,05. Hal ini
bermakna bahwa data rata-rata skor angket
keterlaksanaan standar pengelolaan pendidikan
SMA Terakreditasi A dan B Kabupaten
Semarang mempunyai distribusi normal.
Untuk mengetahui ada atau tidaknya
signifikansi perbedaan keterlaksanaan standar
pengelolaan pendidikan antara SMA
Terakreditasi A dengan SMA Terakreditasi B,
dilakukan dengan menggunakan analisis
statistik Uji-T. Hasil Uji-T yang telah dilakukan
dapat dilihat pada Tabel 4.10 berikut ini:
Tabel 14 Hasil Analisis Keterlaksanaan Standar Pengelolaan Pendidikan antara SMA Terakreditasi A
dengan SMA Terakreditasi B
Panel A. Deskriptif
Akreditasi Sekolah N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
AKreditasi A 6 683.83 49.418 20.175
Akreditasi B 3 661.67 18.583 10.729
Panel B. Uji Statistik Perbedaan (T-Test)
Levene's Test for Equality of
Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df Sig. (2-tailed)
Equal variances assumed 2.459 .161 .730 7 .489
Equal variances not assumed .970 6.857 .365
Sumber data: Lampiran 5, 2016
Tabel 4.10 bagian Independent Samples
Test, kolom Levene’s test adalah untuk uji
homogenitas (perbedaan varians). Pada tabel
tampak bahwa F = 2.459 (p = 0,161) karena p
diatas 0,05 maka dapat dikatakan bahwa tidak
ada perbedaan varians pada data keterlaksanaan
standar pengelolaan pendidikan atau dapat
disimpulkan bahwa data hasil penelitian ini
adalah homogen maka selanjutnya yang dibaca
adalah equal variance assumed. Terlihat bahwa
nilai t hitung = 0.730 dan probabilitas 0,489 (sig
< 0,05), artinya tidak ada perbedaan
keterlaksanaan standar pengelolaan pendidikan
antara SMA terakreditasi A dan SMA
Terakreditasi B. Dengan demikian ini
bermakna bahwa tidak ada perbedaan
signifikan dalam keterlaksanaan standar
pengelolaan pendidikan antara SMA
terakreditasi A dengan SMA Terakreditasi B.
Pada Panel A menunjukkan bahwa
keterlaksanaan standar pengelolaan pendidikan
SMA Terakreditasi A lebih tinggi dibanding
SMA Terakreditasi B (683,83 > 661,67).
Meskipun tidak ada perbedaan signifikan,
namun dapat dikatakan bahwa SMA
Terakreditasi A memiliki rerata (mean) lebih
tinggi, tetapi dari uji-t terlihat bahwa tidak ada
perbedaan yang signifikan. Hal ini dikarenakan
selisihnya tipis.
Analisis Perkomponen
Pada Tabel 4.11 Panel A menunjukkan
bahwa Skor rerata (mean) keterlaksanaan
Perencanaan Program (item 1-27) SMA
Terakreditasi A lebih tinggi dibanding SMA
Terakreditasi B (88,16 > 87,66) dengan selisih
yang tipis.
Keterlaksanaan Standar Pengelolaan Pendidikan di SMA Terakreditasi | Krisma W. Wardani, Dkk.
23
Tabel 15 Hasil Analisis Komponen Perencanaan Program
Panel A. Deskriptif
Sekolah N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
AKreditasi A 6 88.1667 6.79461 2.77389
Akreditasi B 3 87.6667 3.05505 1.76383
Panel B. Uji Statistik Perbedaan (T-Test)
Levene's Test for Equality of
Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df Sig. (2-tailed)
Equal variances assumed 1.773 .225 .118 7 .909
Equal variances not assumed .152 7.000 .883
Hasil uji-t pada komponen Perencanaan
Program menunjukkan t hitung = 0,118 dengan
probabilitas 0,909 > 0,05 maka dapat
disimpulkan tidak ada perbedaan yang
signifikan pada komponen Perencanaan
Program dalam Standar Pengelolaan
Pendidikan antara SMA Terakreditasi A dan
SMA Terakreditasi B.
Dalam keterlaksanaan Sistem Informasi
Manajemen antara SMA Terakreditasi A dan
SMA Terakreditasi B (item 28-31)
menunjukkan bahwa ada perbedaaan rerata
dimana SMA Terakreditasi A lebih tinggi dari
SMA Terakreditasi B (13,16 > 11,00). Hal ini
menunjukkan bahwa ada selisih rerata SMA
Terakreditasi A dan B di Kabupaten Semarang
dalam melaksanakan Sistem Informasi
Manajemen. Meskipun memliki selisih yang
tipis kedua rerata tersebut berada pada kategori
yang berbeda (SMA Terakreditasi B Sedang
dan SMA Terakreditasi A Tinggi). Hal ini
diperkuat dengan hasil uji-t seperti pada Tabel
4.12 berikut ini.
Tabel 15 Hasil Analisis Komponen Sistem Informasi Manajemen
Panel A. Deskriptif
Sekolah N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
AKreditasi A 6 13.1667 1.32916 .54263
Akreditasi B 3 11.0000 1.00000 .57735
Panel B. Uji Statistik Perbedaan (T-Test)
Levene's Test for Equality of
Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df Sig. (2-tailed)
Equal variances assumed .145 .714 2.463 7 .043
Equal variances not assumed 2.735 5.406 .038
Tabel 15 Panel B menunjukkan hasil
uji-t pada komponen Sistem Informasi
Manajemen t hitung = 2.463 dan p = 0,043 (sig
< 0,05) artinya ada perbedaan yang signifikan
pada komponen Sistem Informasi Manajemen
dalam Standar Pengelolaan Pendidikan antara
SMA Terakreditasi A dan SMA Terakreditasi
B.
Dalam komponen Pelaksanaan Rencana
Kerja (item 32-48; 69-78) SMA Terakreditasi
A memiliki rerata lebih tinggi dibanding SMA
terakreditasi B (89,33 > 85,00) seperti Pada
Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017
24
Tabel 15 Panel A, selisih keduanya tipis dan
berada pada kategori yang sama yaitu Tinggi.
Hal ini menunjukkan bahwa SMA terakreditasi
A dan B di dalam melaksanakan Rencana Kerja
sama-sama memiliki kecenderungan ke arah
kategori Tinggi.
Tabel 16 Hasil Analisis Komponen Pelaksanaan Rencana Kerja
Panel A. Deskriptif
Sekolah N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
AKreditasi A 6 89.3333 5.88784 2.40370
Akreditasi B 3 85.0000 1.73205 1.00000
Panel B. Uji Statistik Perbedaan (T-Test)
Levene's Test for Equality of
Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df Sig. (2-tailed)
Equal variances assumed 2.442 .162 1.211 7 .265
Equal variances not assumed 1.664 6.401 .144
Hal ini diperkuat dengan hasil uji-t
seperti tampak pada Tabel 4.13. t hitung =
1.211 dan p = 0,265 (sig > 0,05) artinya tidak
ada perbedaan yang signifikan pada komponen
Pelaksanaan Rencana Kerja dalam Standar
Pengelolaan Pendidikan antara SMA
Terakreditasi A dan SMA Terakreditasi B.
Dalam keterlaksanaan Kepemimpinan
Sekolah (item 49-68) SMA Terakreditasi A
memiliki rerata lebih tinggi dari SMA
Terakreditasi B (66,16 > 64,66) meskipun
memiliki selisih tipis dan keduanya berada pada
kategori Tinggi.
Tabel 17 Hasil Analisis Komponen Kepemimpinan Sekolah
Panel A. Deskriptif
Sekolah N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
AKreditasi A 6 66.1667 5.56477 2.27181
Akreditasi B 3 64.6667 2.51661 1.45297
Panel B. Uji Statistik Perbedaan (T-Test)
Levene's Test for Equality of
Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df Sig. (2-tailed)
Equal variances assumed 1.638 .241 .434 7 .678
Equal variances not assumed .556 6.999 .595
Berdasarkan Tabel 17 menunjukkan t
hitung = 0,434 dengan probabilitas 0,678 >
0,05. Hal ini bermakna tidak ada perbedaan
signifikan pada komponen Kepemimpinan
Sekolah dalam Standar Pengelolaan Pendidikan
antara SMA Terakreditasi A dengan SMA
Terakreditasi B.
Dalam keterlaksanaan Pengawasan dan
Evaluasi (item 79-103) terlihat bahwa rerata
SMA Terakreditasi A lebih tinggi dari SMA
terakreditasi B (78,66 > 77,66) dengan selisih
tipis dan berada pada kategori yang sama yaitu
kategori Tinggi.
Keterlaksanaan Standar Pengelolaan Pendidikan di SMA Terakreditasi | Krisma W. Wardani, Dkk.
25
Tabel 18 Hasil Analisis Komponen Pengawasan dan Evaluasi
Panel A. Deskriptif
Sekolah N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
AKreditasi A 6 78.6667 7.47440 3.05141
Akreditasi B 3 77.6667 1.52753 .88192
Panel B. Uji Statistik Perbedaan (T-Test)
Levene's Test for Equality of
Variances t-test for Equality of Means
F Sig. T df Sig. (2-tailed)
Equal variances assumed 4.425 .073 .222 7 .831
Equal variances not assumed .315 5.770 .764
Bedasarkan Tabel 18 terlihat bahwa t
hitung = 0,222 dengan p = 0,831 > 0,05, hal ini
bermakna tidak ada perbedaan signifikan pada
komponen Pengawasan dan Evaluasi dalam
Standar Pengelolaan Pendidikan antara SMA
Terakreditasi A dan SMA Terakreditasi B.
Sehingga dapat disimpulkan meski SMA
Terakreditasi A lebih tinggi keterlaksanaannya,
tapi dari uji-t terlihat bahwa tidak ada
perbedaan yang signifikan. Hal ini karena
selisihnya sangat tipis.
Pembahasan Hasil Penelitian
Dari hasil analisis komparatif yang
dilakukan, terlihat tidak ada perbedaan
signifikan antara SMA Terakreditasi A dengan
SMA Terakreditasi B dalam Keterlaksanaan
Standar Pengelolaan Pendidikan. Meskipun
tidak ada perbedaan signifikan, namun dapat
dikatakan bahwa SMA Terakreditasi A
memiliki rerata (mean) lebih tinggi meskipun
selisihnya hanya tipis.
Dalam hal ini, SMA Terakreditasi B
dalam evaluasi diri dapat dikatakan menilai
tinggi sedangkan assesor tidak, sehingga
berfikir terakreditasi A. Sedangkan tuntutan
untuk Terakreditasi A lebih tinggi dari
Terakreditasi B. Dari hasil informasi mengenai
keterlaksanaan Standar Pengelolaan
Pendidikan di sekolah, Peneliti percaya dengan
hasil angket penilaian yang diberikan oleh
pihak sekolah (responden), sehingga tidak
kembali mempertanyakan keberadaan bukti
fisik. Sementara dalam wawancara singkat
dengan beberapa Responden, kecenderungan
yang ditemui adalah keterangan jawaban
memang berpatokan pada keberadaan alat bukti
fisik sehingga responden memberi penilaian
tinggi, namun tidak berlanjut pada keterukuran
apakah yang tertulis telah terlaksana sesuai
pada substansi tujuan atau belum. Dapat
dikatakan bahwa responden memiliki
kecenderung memberi nilai tinggi pada setiap
poin, namun belum ada keterukuran yang sama
antar responden pada satu sekolah hal ini terjadi
karena adanya pemahaman yang berbeda-beda
antar pelaksana program. Misalnya pada visi,
misi, tujuan, KTSP, Pembagian tugas
kependidikan, kode etik sekolah, pembinaan
prestasi unggulan, layanan bimbingan
konseling, pelacakan lulusan, peningkatan
mutu pendidikan, kepala laboratorium, evaluasi
dan pengembangan KTSP semua telah ada
namun tidak benar-benar menjadi acuan dalam
menjalankan dan tidak dilengkapi dengan
metode pelaksanaan yang terukur hanya sebatas
sosialisasi.
Sedangkan untuk SMA Terakreditasi A,
dalam evaluasi diri menilai dengan hati-hati
sehingga nampak seperti “pelit nilai” atau dapat
dikatakan faking bad terhadap sekolahnya
sendiri sehingga ini berakibat pada hasil. Secara
kasar tidak ada perbedaan signifikan antara
SMA Terakreditasi A dengan SMA
Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017
26
Terakreditasi B. Pada Sekolah yang
terakreditasi A tuntutan yang harus dipenuhi
dalam penilaian tentu lebih tinggi dari sekolah
yang terakreditasi B. Sekolah Terakreditasi A
memliki program unggulan atau spesifikasi.
Ketika tidak ada perbedaan signifikan
pada Keterlaksanaan Standar Pengelolaan
Pendidikan maka dibuatlah analisis komponen.
Hasil dari analisis komponen diketahui
bahwa pada Komponen Sistem Informasi
Manajemen terdapat perbedaan signifikan
antara SMA Terakreditasi A dan SMA
Terakreditasi B. Pada Komponen Sistem
Informasi Manajemen diketahui pada analisis
deskriptif menunjukkan bahwa terdapat selisih
rerata (kolom mean dan Katagori) dan
meskipun memiliki selisih tipis namun
keduanya berada pada kategori yang berbeda.
Hal ini terjadi karena di SMA Terakreditasi A
dalam Keterlaksanaan Sistem Informasi
Manajemen telah tersedia fasilitas sistem
informasi manajemen sekolah yang memadai,
ada penugasan guru dan bahkan tenaga
kependidikan untuk penanganan sistem
informasi manajemen sekolah sehingga
pelaporan data dan informasi sekolah kepada
dinas Kabupaten atau kantor kementrian lebih
tertangani tepat waktu, keberadaannyapun
dapat dipahami oleh warga sekolah. Sedangkan
pada SMA Terakreditasi B ketersediaan
Fasilitas sistem Infromasi Manajemen masih
terbatas jumlahnya dan tidak dapat memenuhi
ratio siswa, sehingga dalam
pemanfaatannyapun dibatasi hanya untuk Guru
terutama penggunaan media komputer dan
internet sekolah. Hal tersebut selanjutnya juga
berimbas pada pelaporan data dan informasi
sekolah ke dinas Kabaupaten dan Kantor
Kementrian Agama yang lebih sering dituntut
dilakukan secara online akan tetapi karena
akses internet terbatas sehingga itu terkadang
menjadi kendala. Keberadaan Sistem Informasi
Manajemen Sekolah dapat di pahami oleh
warga sekolah, meskipun fasilitas terbatas
melalui papan pengumuman.
Sedangkan hasil analisis 4 komponen
lainnya yaitu keterlaksanaan Perencanaan
Program; Keterlaksanaan Rencana Kerja;
Kepemimpinan Sekolah; dan yang terakhir
Pengawasan dan Evaluasi tidak ada perbedaan
signifikan. Hal ini terjadi karena di SMA
Terakreditasi A dalam memberikan penilaian
pada keterlaksanaannya tidak jauh berbeda
dengan SMA Terakreditasi B. Hal ini nampak
pada analisis deskriptif, yang menunjukkan
rerata (mean) memiliki selisih yang tipis dan
berada pada kategori yang sama.
SIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah
dilakukan berkenaan dengan keterlaksanaan
Standar Pengelolaan Pendidikan SMA
Terakreditasi A dan SMA Terakreditasi B di
Kabupaten Semarang, dengan merujuk pada
rumusan masalah simpulan penelitian ini
adalah:
1. Tidak ada Perbedaan Signifikan
Keterlaksanaan Standar Pengelolaan
Pendidikan SMA Terakreditasi A dan SMA
Terakreditasi B di Kabupaten Semarang.
2. Bahwa tidak ada Komponen yang
keterlaksanaannya berada pada kategori
Sangat Rendah baik di SMA Terakreditasi A
maupun SMA Terakreditasi B. Namun
demikian ada komponen yang
keterlaksanaannya masih berada pada
kategori Sedang yaitu Komponen Sistem
Informasi Manajemen. Hal ini disimpulkan
dari hasil analisis deskriptif dalam statistik
kategorisasi keterlaksanaan Sistem
Informasi Manajemen.
Saran untuk peneliti selanjutnya perlu
mengembangkan pengayaan instrumen Standar
Pengelolaan Pendidikan serta mengukur
Keterlaksanaan Standar Pengelolaan
Pendidikan dari perspektif penerima manfaat
(Murid, orang tua, masyarakat dan dunia usaha)
karena penelitian ini belum mencakup pada
bagian itu.
Keterlaksanaan Standar Pengelolaan Pendidikan di SMA Terakreditasi | Krisma W. Wardani, Dkk.
27
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, 2010. Prosedur Penelitian: Suatu
Pendekatan Praktik. (Edisi Revisi).
Jakarta: Rineka Cipta.
Asmani, J. M. 2010. Tips Lulus Akreditasi
Sekolah/-Madrasah Panduan
Manajemen Mutu Sekolah/-Madrasah
Berorientasi Kompetitif, Yogyakarta:
Laksana.
Azwar, S. 2012. Reliabilitas dan Validitas edisi
IV, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
BAN PT. 2010. Akreditasi Program Studi
Magister Buku I Naskah Akademik BAN
PT 2009, Jakarta: Badan Akreditasi
Nasional Perguruan Tinggi
Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah.
2014. Instrumen Akreditasi SMA/MA.
Jakarta: BAN S/M diakses pada: 12
Maret 2015
BSNP, 2012. Instrumen Evaluasi Diri Sekolah,
Jakarta: Badan Standar Nasional
Pendidikan.
_______, ____. Naskah Akademik Standar
Pengelolaan Pendidikan Dasar dan
Menengah, Jakarta: Badan Standar
Nasional Pendidikan.
George, D & Mallery, P., 1995. SPSS/PC + by
step α simple Guide and Reference.
Belmont: Wadsworth Pub.Co.
Haryono, 2010. “Analisis Perbandingan Sistem
Penge-lolaan Pendidikan di SMK
Farmasi Semarang”, Tesis, Salatiga:
MMP Universitas Kristen Satya
Wacana.
Jumlah Sekolah, Murid dan Guru SMA
http://semarangkab.bps.go.id/ diakses
pada 10 Januari 2015 Pukul 20.00
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
Republik Indonesia Nomor 19 Tahun
2007 Tentang Standar Pengelolaan
Pendidikan Oleh Satuan Pendidikan
dasar dan Menengah.
Subagyo, W. 2013. “Perbedaan
keterlaksanaan Standar Pengelolaan
Pendidikan antara SD/MI terakre-ditasi
A dengan B di Kota Salatiga”, Tesis,
Salatiga: MMP Universitas Kristen
Satya Wacana.
Sugiyono, 2014. Metode Penelitian Kombinasi
(Mixed Method), Bandung: Alfabeta.
Magister Manajemen Pendidikan FKIP Universitas Kristen Satya Wacana [email protected]
ISSN 2549-9661 Volume: 4, No. 1, Januari-Juni 2017
Halaman: 28-36
28
EFEKTIVITAS PENGEMBANGAN KEPROFESIAN
BERKELANJUTAN UNTUK GURU
Nurkolis
Manajemen Pendidikan
Universitas PGRI Semarang
Yovitha Yuliejantiningsih
Manajemen Pendidikan
Universitas PGRI Semarang
Sunandar
Manajemen Pendidikan
Universitas PGRI Semarang
ABSTRACT
The main problem in this article is how effective of continuity professional development
(CPD) implementation for teachers. This study used a descriptive qualitative approach
in Demak District Central Java Province. Demak Regency is a district that implemented
the CPD seriously so that containing Regents Regulation, RPJMD, and Strategic
Planning of Education Office. Data collection using interviews and documentation.
Research result showed that CPD implementation have been running effectively. Three
indicators found: regulations governing CPD implementation, details of the CPD
programs and activities, and controlling of CPD regulation with programs and activities.
The CPD implementation in Demak District can be implemented in forms: structured
training activities, workshops, seminars, others scientific meeting; mentoring for teacher
and headmaster conducted by facilitators; activities at professional learning community;
and induction program or internship of beginner to advance. In order to make
implementation of CPD more effectively so needs regulatory refinements.
Keywords: continuous professional development; scientific meeting; professional
learning community; and induction program.
Efektivitas Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan Untuk Guru | Nurkolis, dkk.
29
PENDAHULUAN
Guru adalah pendidik profesional
sebagaimana dinyatakan dalam Undang-
Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan
Dosen dan Peraturan Pemerintah Nomor 74
Tahun 2008 tentang Guru. Tugas utama guru
adalah mendidik, mengajar, membimbing,
mengarahkan, melatih, menilai, dan
mengevaluasi. Artinya seorang guru memiliki
tugas yang berat untuk mengembangkan dan
menciptakan masa depan anak. Adalah suatu
keharusan apabila seorang guru harus
profesional.
Guru sebagai sebuah profesi memiliki
pengaruh besar terhadap hasil belajar anak.
Chang (2010: 9) mengutip Hattie menyebutkan
bahwa terdapat 5 faktor penentu hasil belajar
peserta didik yaitu karakteristik peserta didik
(49 %), guru (30 %), lingkungan sekolah,
lingkungan keluarga, dan teman sebaya yang
masing-masing memiliki pengaruh 7 %.
Artinya guru memiliki pengaruh besar terkait
keberhasilan siswa.
Tapi kenyataannya guru di Indonesia
belum profesional. Menurut Mendiknas nilai
rata-rata uji kompetensi guru (UKG) tahun
2012 hanya 44,50 dari nilai yang diharapkan 70
(Baswedan, 2014: 13). Hasil UKG tahun 2015
lebih baik yaitu rata-rata mencapai 53,05.
Berdasarkan jenjang pendidikan, kompetensi
guru SD mendapatkan nilai rata-rata paling
rendah yaitu 50,55 dan tertinggi diraih guru
SMK yaitu 58,23 (Dirjen GTK, 2015: 12).
Berdasarkan nilai UKG di atas jelas
menunjukkan bahwa kompetensi para guru
perlu ditingkat secara terus menerus melalui
program Pengembangan Keprofesian
Berkelanjutan (PKB).
Di Indonesia, gema PKB baru terasa
dalam satu dasa warsa terakhir ini. Sebelumnya
istilah PKB bahkan belum dikenal. Hal ini
dapat ditelusur dari undang-undang pendidikan
dan dokumen resmi otoritas pendidikan seperti
Rencana Strategis (Renstra) Kementerian
Pendidikan. PKB baru dikenal dalam UU No.
14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen bahwa
guru harus dibina dan dikembangkan. Pasal 32
menjelaskan, pembinaan dan pengembangan
guru meliputi pembinaan dan pengembangan
profesi dan karier. Namun di dalam Renstra
Departemen Pendidikan Nasional Tahun 2005-
2009 belum ada istilah PKB. Tetapi kata
profesi dan profesional sudah sering
dipergunakan.
Kata profesi dan profesional di Renstra
Depdiknas Tahun 2005-2009 muncul pada
kebijakan terkait pendidik dan tenaga
kependidikan. Misalnya, program rekrutmen
pendidik dan tenaga kependidikan dalam
rangka mendukung kebijakan untuk
pemerataan dan perluasan akses pendidikan
maka “rekrutmen dilakukan dengan
mempertimbangkan kecukupan jumlah dan
kualifikasi guru profesional di berbagai jenjang
dan jenis pendidikan, pemerataan penyebaran
secara geografis, keahlian, dan kesetaraan
gender”. Demikian pula dengan kebijakan
untuk peningkatan mutu, relevansi, dan daya
saing pendidikan dilakukan dengan
pengembangan guru sebagai profesi.
PKB tertuang dalam Renstra
Kementerian Pendidikan Nasional Tahun 2010-
2014 yaitu pada sasaran strategis dalam rangka
mencapai enam tujuan strategis yang telah
ditetapkan. Istilah yang digunakan adalah
pelatihan profesional berkelanjutan (PPB).
Sebagai contoh, salah satu sasaran strategis
untuk mencapai tujuan strategis kedua adalah
“seluruh kepala sekolah dan seluruh pengawas
SD/SDLB dan SMP/SMPLB mengikuti
pelatihan profesional berkelanjutan”. Demikian
pula untuk mencapai tujuan kedua, salah satu
sasaran strategisnya adalah “seluruh kepala
sekolah dan seluruh pengawas SMA/SMLB
dan SMK mengikuti pelatihan profesional
berkelanjutan.”
Strategi pencapaian tujuan strategis
juga telah memuat PKB. Misalnya untuk
mencapai tujuan pertama melalui penyediaan
Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017
30
pendidikan PAUD berkompeten dan
penyediaan manajemen PAUD berkompeten
diperlukan “pendidikan dan pelatihan PTK
yaitu “implementasi peningkatan kompetensi
dan profesionalisme guru berkelanjutan”.
Strategi ini juga digunakan untuk jenjang SMA-
SMK.
Tahun 2011 Kementerian Pendidikan
mengeluarkan buku pedoman PKB. Pada buku
pedoman pengelolaan PKB dijelaskan, PKB
adalah bentuk pembelajaran berkelanjutan bagi
guru dalam upaya membawa perubahan yang
diinginkan berkaitan dengan keberhasilan
siswa. Melalui PKB guru dapat memelihara,
meningkatkan dan memperluas pengetahuan
dan keterampilannya serta membangun kualitas
pribadi yang dibutuhkan di dalam kehidupan
profesionalnya.
PKB guru semakin kuat gemanya pada
era pemerintahan Joko Widodo, yang tertuang
dalam Peraturan Presidan RI No. 2 Tahun 2015
tentang RPJMN 2015-2019. Pada Buku II
Agenda Pembangunan Bidang, khususnya arah
kebijakan dan strategi pembangunan bidang
pendidikan salah satunya adalah
“meningkatkan profesionalisme, kualitas, dan
akuntabilitas guru dan tenaga kependidikan”
diantaranya melalui pelaksanaan
pengembangan profesional berkesinambungan
(PPB) bagi guru dalam jabatan melalui latihan
berkala dan merata, serta penguatan KKG dan
MGMP.
Dalam Renstra Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 2015-2019
terdapat enam permasalahan pembangungan
pendidikan dan kebudayaan yaitu peningkatan
manajemen guru, pendidikan keguruan, dan
reformasi lembaga pendidikan tenaga
kependidikan (LPTK) bagian b tentang
kualitas, kompetensi, dan profesionalisme guru
masih harus ditingkatkan. Tertulis
“peningkatan kualitas, kompetensi, dan
profesionalisme guru masih harus ditingkatkan
karena hingga saat ini tidak terdapat hubungan
linier antara peningkatan kualifikasi dan
sertifikasi profesi pendidik terhadap hasil
belajar siswa.”
Olehkarenannya arah kebijakan,
strategi, dan sasaran strategis Kemdibud 2015-
2019 diarahkan untuk PPB. Hal ini terlihat pada
sasaran strategis ke-10 yaitu: meningkatkan
profesionalisme, kualitas, serta akuntabilitas
guru dan tenaga kependidikan, melalui
beberapa strategi yang salah satunya adalah
pelaksanaan PPB bagi guru dan tenaga
kependidikan dalam jabatan.”
Namun kenyataannya banyak
pemerintah kabupaten dan kota yang belum
menerapkan PKB. Penelitian tentang
implementasi PKB jarang di lakukan di
Indonesia. Beberapa penelitian sebelumnya
menunjukkan bahwa implementasi PKB belum
berjalan secara efektif. Misalnya di Kabupaten
Demak dan Pemalang (Nurkolis dan
Yuliejantiningsih, 2015), di Kabupaten Batang
(Nurkolis dan Yuliejantiningsih, 2015), di
Kabupaten Kudus (Yuliejantiningsih dan
Nurkolis, 2016).
Pertanyaannya, apakah saat ini
implementasi PKB sudah berjalan dengan
efektif? Untuk menjawab pertanyaan tersebut
maka permasalahan utama penelitian ini adalah
“bagaimanakah efektivitas implementasi PKB
di tingkat kabupaten?” Masalah tersebut dirinci
menjadi: (a) bagaimanakah efektivitas
perencanaan PKB?, (b) bagaimanakah
efektivitas pelaksanaan PKB?, dan (c)
bagaimanakah efektivitas tindak lanjut PKB?
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan
kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif di
Kabupaten Demak. Hingga pertengahan tahun
2017 ini dari 514 kabupaten dan kota di
Indonesia, belum ada 20 kabupaten dan kota
yang telah memiliki aturan PKB. Kabupaten
Demak adalah salah satu kabupaten yang telah
memiliki aturan yang jelas tentang PKB. Waktu
penelitian 6 bulan, mulai bulan April hingga
September 2016. Responden wawancara dalam
Efektivitas Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan Untuk Guru | Nurkolis, dkk.
31
penelitian ini adalah staf Bidang Pendidik dan
Tenaga Kependidikan atau staf Bidang PTK
Dinas Pendidikan Kabupaten Demak. Teknik
pengumpulan data juga dilengkapi dengan
dokumentasi berupa Perda tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah
(RPJMD), Peraturan Bupati, dan Daftar
Kegiatan Dinas Pendidikan tahun 2016.
Langkah-langkah analisis kualitatif adalah
sebagai berikut: a) pengumpulan data, b) hasil
wawancara dan penusuran dokumen dituliskan
ke dalam memo, c) temuan tersebut
dikategorisasikan sehingga ditemukan
hubungan antar masalah, dan d) menarik
kesimpulan. Untuk mengukur efektivtas
implementasi PKB digunakan indikator sebagai
berikut: 1) ada rincian program dan kegiatan
PKB, 2) ada regulasi yang mengatur
pelaksanaan PKB, dan 3) keterlaksanaan
regulasi tentang PKB.
HASIL DAN PEMBAHASAN
a. Efektifitas Perencanaan PKB
Secara teori, Seyfarth (2002: 112 &
121) mengatakan bahwa PKB adalah
kesempatan yang diberikan kepada guru,
tenaga profesional lain, dan personil
pendukung untuk mendapatkan pengetahuan-
pengetahuan dan sikap-sikap baru, yang akan
membawa pada perubahan perilaku, sehingga
meningkatkan prestasi siswa.
Oleh karena itu untuk dapat
melaksanakan PKB dengan baik perlu
dilakukan perencanaan yang baik. Termasuk
dalam tahap perencanaan di sini adalah
identifikasi kebutuhan yang mencapai siapa
yang membutuhkan pengembangan tertentu
dengan materi pengembangan yang mana.
Karena berdasar sebuah penelitian secara
keseluruhan terdapat perbedaan prioritas
kebutuhan materi pengembangan
profesionalisme berkelanjutan ditinjau dari
perbedaan jenjang jabatan fungsional guru
(Waluyanti dan Sunaryo, 2014: 156).
Di Kabupaten Demak, perencanaan
PKB guru dimulai dari Rencana
Pembangungan Jangka Menengah Daerah
(RPJMD). RPJMD Kabupaten Demak Tahun
2011-2016 dalam bidang pendidikan
menghadapi masalah terkait dengan
profesionalisme guru sebagai berikut: (a)
kualifikasi pendidikan guru SD yang belum
setara S1/D4 masih 83%, kualifikasi
pendidikan guru TK/RA yang belum setara
S1/D4 masih 94%, dan 28% guru SMP
Kabupaten Demak belum berkualifikasi S1/D4.
Perencanaan peningkatan
profesionalisme pendidik terlihat jelas tertulis
di Rencana Strategis (Renstra) Dinas
Pendidikan Kabupaten Demak. Isu strategis di
Renstra Dinas Pendidikan Kabupaten Demak
Tahun 2011-2016 misalnya tertulis: (a)
sebagian pendidik belum memenuhi standar
kualisasi pendidik SI/D4, (b) sebagian pendidik
belum bersertifikat pendidik, dan (c)
keterbatasan aktivitas dan media
pengembangan profesi pendidik”.
Berdasarkan isu strategis tersebut maka
salah satu tujuan Dinas Pendidikan Kabupaten
Demak adalah meningkatkan kompetensi
pendidik dan tenaga kependidikan pada tingkat
TK, SD, SMP,SMA dan SMK. Strategi untuk
mencapai tujuan tersebut adalah: (a) memberi
subsidi bantuan peningkatan kualifikasi
pendidikan D4/S1, (b), mendorong guru yang
belum berkualifikasi pendidikan D4/S1 untuk
melanjutkan studi D4/S1 dengan biaya mandiri,
dan (c) melakukan penilaian kinerja terhadap
kepala sekolah.
Strategi tersebut disusul dengan
kebijakan di bidang ketenagaan antara lain:
fasilitasi dana untuk kegiatan penilaian kinerja
kepala sekolah, fasilitasi dana untuk kegiatan
pembekalan tim penilaian angka kredit (PAK),
kerja sama dengan pihak ketiga yang
berkualifikasi dan berkompeten mengadakan
seleksi kepala sekolah, pemberian subsidi bagi
guru yang melakukan studi lanjut peningkatan
kualifikasi, kerja sama dengan perguruan tinggi
Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017
32
untuk peningkatan kualifikasi pendidikan guru,
fasilitasi dana untuk kegiatan bintek
manajemen kepala dekolah, dan fasilitasi dana
untuk kegiatan bintek pengelolaan administrasi
Kasubbag TU UPTD (Unit Pelaksana Teknis
Daerah), SMP, SMA dan SMK.
Perencanaan PKB yang dilakukan di
Kabupaten Demak telah dilakukan sesuai
dengan kebutuhan, artinya sudah sesuai dengan
Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur
Negara dan Reformasi Birokrasi No. 16 Tahun
2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan
Angka Kreditnya menyebutkan bahwa PKB
adalah pengembangan kompetensi guru yang
dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan,
bertahap, berkelanjutan untuk meningkatkan
profesionalitasnya.
b. Efektifitas Pelaksanaan PKB
Pelaksanaan PBK di Kabupaten Demak
telah diatur dengan dikeluarkannya Peraturan
Bupati Demak No. 53 Tahun 2015. Salah
satunya mengatur bahwa sebelum melakukan
pengembangan keprofesian berkelanjutan
didahului dengan penilaian kinerja guru.
Pengembangan keprofesian berkelanjutan
meliputi tiga hal yaitu kegiatan pengembangan
diri, publikasi ilmiah, dan karya inovatif.
Peraturan Bupati tersebut telah mengatur tata
cara pelaksanaan PKB. Satuan pendidikan
melakukan perencanaan kebutuhan pembinaan
dan pengembangan keprofesian berkelanjutan
bagi guru berdasarkan evaluasi diri guru dan
penilaian kinerja guru. Kepala dinas
penetapkan pelaksanaan pembinaan dan
pengembangan keprofesian berkelanjutan bagi
guru berdasarkan usulan dari satuan
pendidikan.
Pasal 17 Perbub Kabupaten Demak
Nomor 53 Tahun 2015 mengatur sumber biaya
untuk pengembangan keprofesian
berkelanjutan pendidik dan tenaga
kependidikan, yaitu pemerintah daerah,
sekolah, yayasan, guru sendiri, dan sumber lain
yang sah. Bahkan pada ayat (4) disebutkan
secara khusus bahwa bagi guru penerima
tunjangan profesi pendidik wajib secara
mandiri mendanai kegiatan pengembangan
keprofesian berkelanjutan untuk dirinya
sekurang-kurangnya 4% dari tundangan profesi
pendidik yang diterima.
Perencanaan PKB yang tertuang dalam
RPJMD Kabupaten Demak dan Renstra Dinas
Pendidikan Kabupaten Demak telah
dilaksanakan pada tahun anggaran 2016. Di
dalam daftar pelaksanaan anggaran Dinas
Pendidikan Kabupaten Demak, terdapat
program dan kegiatan yang dirancang untuk
mengembangkan keprofesian pendidik dan
tenaga kependidikan. Misalnya pelatihan
pembelajaran bagi guru, pelatihan manajemen
bagi kepala sekolah, dan pelatihan administrasi
bagi tata usaha. Para guru secara rutin telah
melakukan pertemuan di Kelompok Kerja Guru
(KKG) atau Musyawarah Guru Mata Pelajaran
(MGMP) dalam rangka mengembangkan
profesionalismenya.
Implementasi PKB di Kabupaten
Demak merupakan penerapan dari sebagian
strategi yang dikenalkan Buss dan Bell (2002:
108) yaitu menjadi komunitas belajar
profesional. Bentuk dari kegiatannya adalah
pelatihan dan workshop di KKG atau MGMP.
Sementara itu strategi lain yang bisa diperankan
oleh Pemerintah Kabupaten Demak namun
belum dilakukan secara baik adalah
membiasakan para guru dengan hasil-hasil
penelitian terbaru serta membiasakan guru
melakukan penelitian dan menulis di jurnal
ilmiah.
Hal ini sesuai dengan pendapat
Kennedy (2005: 236-237) mengidentifikasi
sedikitnya terdapat sembilan model PKB yaitu
pelatihan, pemberian penghargaan, defisit,
cascade, pembinaan/ pendampingan, berbasis
standar, praktik dan komunitas, penelitian
tindakan, dan transformatif.
Sementara itu dua strategi lain yang
dikenalkan oleh Buss dan Bell di atas telah
ditetapkan dan diimplementasikan oleh
Efektivitas Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan Untuk Guru | Nurkolis, dkk.
33
Pemerintah Pusat yaitu: (a) menetapkan standar
nasional profesional guru yaitu nilai UKG 80,
dan (b) manajemen kinerja serta penggajian
berdasarkan kinerja yaitu memberikan
tunjangan profesi guru sebanyak satu kali gaji
bagi guru yang telah profesional.
Agar implementasi PKB bisa berjalan
dengan efektif, sebaiknya mengikuti langkah-
langkah yang dikenalkan para ahli seperti Luke
& McArdl (2009: 239) mengusulkan sebuah
model PKB yang terdiri dari 6 tahap yaitu
mengidentifikasi prioritas kebijakan,
membingkai ulang dan menentukan masalah
dan sasaran pendidikan, mengidentifikasi
kohort guru, mengkategorikan pembelajaran
dan pengetahuan guru, memilih mode
pengembangan profesional, dan mengevaluasi
program.
c. Efektifitas Tindak Lanjut PKB
Peraturan Bupati Demak Nomor 53
Tahun 2015 tentang PKB telah diatur tindak
lanjut yaitu monitoring dan evaluasi. Pada pasal
16 disebutkan bahwa Dinas Pendidikan
melakukan monitoring dan evaluasi kegiatan
PKB yang telah dilakukan oleh satuan
pendidikan, KKG, dan MGMP untuk menjamin
terlaksananya kegiatan secara efektif, efisien,
objektif, adil dan akuntabel.
Menurut para informan, Dinas
Pendidikan Kabupaten Demak telah melakukan
monitoring dan evaluasi sebagai tindaklanjut
pelaksanaan PKB. Namun hingga laporan ini
dibuat belum ada laporan tertulis terkait hasil
monitoring dan evaluasi serta tindak lanjutnya.
Tindaklanjut PKB di Kabupaten Demak
sangat perlu dilakukan mengingat strategisnya
PKB bagi pengembangan keprofesian para
guru. Apalagi anggaran untuk pengembangan
keprofesian guru dari pemerintah pusat sangat
terbatas. Berdasarkan pendapat Damin (2011:
8) bahwa hanya sekitar 5 % guru yang
berpeluang mengikuti pengembangan profesi
secara terlembaga sebanyak satu kali dalam 20
tahun, jika kesempatan diberikan secara merata.
Mencermati kondisi tersebut maka sangat tepat
apabila sumber pembiayaan PKB tidak hanya
mengandalkan pemerintah pusat saja.
Pemerintah Provinsi, Kabupaten, Kota,
sekolah, guru, serta pihak lain yang peduli
pendidikan terus didorong untuk berpartisipasi
untuk mengembangkan profesionalisme guru.
Siapakah yang bertanggung jawab
terhadap PKB? Menurut Jovanova-Mitkovska
(2010: 2926) PKB melibatkan model kerjasama
dinamis yang kompleks dalam serangkaian
institusi yang berbeda mencakup dosen,
lembaga penelitian, lembaga pemerintah atau
nonpemerintah, dan para ahli. Dilihat dari
tingkatannya maka PKB menjadi tanggung
bersama antara pemerintah pusat, pemerintah
provinsi, pemerintah kabupaten dan kota,
organisasi profesi, LPTK, para ahli pendidikan,
dan para guru sendiri. Sehingga sangatlah wajar
apabila guru diwajibkan untuk menyisihkan
sebagaian pendapatannya untuk pengembangan
profesi.
Song (2008: 445) menyimpulkan bahwa
pemerintah kabupaten harus memberi perhatian
lebih pada PKB guru. Bukti penelitian yang
dilakukan di Korea menunjukkan bahwa
beberapa aspek kondisi kabupaten dapat
dianggap bermanfaat sebagai strategi efektif
untuk meningkatkan pengembangan
profesional guru. Misalnya, penyediaan
program pengembangan profesional untuk
kepala sekolah dapat membantu guru pada
waktu yang tepat. Pembuat kebijakan
kabupaten juga dapat merangsang partisipasi
guru dalam pengembangan profesional dengan
memberikan indikator kinerja yang penting,
seperti menetapkan harapan umum akan
perbaikan sekolah dan komitmen khusus
terhadap pembelajaran guru.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kabupaten Demak merupakan
kabupaten yang telah serius dalam
mengimplementasikan PKB. Sampai saat ini
hanya sedikit kabupaten yang secara serius
Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017
34
membuat perencanaan PKB mulai dari
penilaian kinerja guru hingga membuat
kebijakan tertulis seperti Peraturan Bupati,
RPJMD, hingga Renstra Dinas Pendidikan.
Implementasi PKB di Kabupaten
Demak sudah berjalan dengan efektif. Hal ini
dapat dibuktikan dari terpenuhinya tiga
indikator sebagai berikut: (a) ada regulasi yang
mengatur pelaksanaan PKB baik Perda maupun
Perbub, (b) ada rincian program dan kegiatan
PKB, dan (c) keterlaksanaan regulasi tentang
PKB yaitu terlasananya program dan kegiatan
PKB.
Kabupaten Demak sebagai model
kabupaten yang telah memiliki aturan yang
jelas untuk PKB guru. Aturan terkait
perencanaan PKB tertuang pada RPJMD dan
Renstra Dinas Pendidikan. Aturan terkait
Pelaksanaan tertuang dalam Perbub dan daftar
pelaksanaan anggaran Dinas Pendidikan
Kabupaten. Aturan-aturan tersebut telah
memiliki kekuatan hukum untuk mengatur
implementasi PKB.
Pelaksanaan PKB di Kabupaten Demak
dilaksanakan dalam empat bentuk yaitu: (a)
kegiatan terstruktur baik berupa pelatihan,
lokakarya, seminar, kolokium, dll; (b)
pendampingan kepada masing-masing guru
atau kepala sekolah yang dilakukan oleh
fasilitator; (c) melalui komunitas pembelajar
seperti kegiatan di KKG atau MGMP, dan
kegiatan mandiri yang dilakukan oleh masing-
masing guru; dan (d) program induksi atau
magang oleh guru pemula kepada guru-guru
yang telah senior.
Kabupaten Demak telah mengatur
dengan jelas tata cara PKB guru. Juga telah
tiatur dengan jelas kelembagaan, pendanaan,
dan bentuk-bentuk PKB. Di Kabupaten Demak
diatur secara spesifik bahwa bagi guru yang
telah mendapatkan tunjangan sertifikasi
diminta untuk menyisihkan 4 % dari
tunjangannya untuk PKB.
Agar implementasi PKB di Kabupaten
Demak lebih efektif maka perlu ada
penyempurnaan regulasi pada RPJMD,
Renstra, Perbub, keputusan Kepala Dinas
Pendidikan. Penyempurnaan regulasi terkait
dengan konsistensi antara perencanaan,
pelaksanaan, dan tindak lanjut.
Akhirnya efektivitas implementasi PKB
di Kabupaten Demak dapat dilihat dari
keterkaitan antara perencanaan, pelaksanaan,
dan pengendalian program PKB. Ketika di
dalam perencanaan (RPJMD dan Resntra)
sudah diprogramkan peningkatan
profesionalisme pendidik dan tenaga
kependidikan, maka dalam pelaksanaan akan
menuju ke pengembangan profesionalisme
pendidik. Implementasi ini dapat dilihat dari
dukungan kebijakan yang dikeluarkan oleh
Bupati dalam bentuk Peraturan Bupati atau
keputusan kepala dinas pendidikan tentang
pelaksanaan PKB. Setelah direncanakan dan
dilaksanakan, maka dinas pendidikan memiliki
tugas untuk mengawasi dan mengendalikannya
yang merupakan tindak lanjut PKB.
Disarankan kepada pemerintah
kabupaten dan kota di lingkungan Provinsi
Jawa Tengah untuk mengikuti langkah
Kabupaten Demak dengan membuat aturan
hukum yang jelas terkait PKB. Hal ini penting
sebagai acuan para pelaksana dan para guru
untuk mendapatkan kepastian hukum.
Juga disarankan agar dalam membuat
peraturan tentang PKB untuk menyebutkan
dengan jelas sumber dananya. Termasuk
berasan sumber dana yang berasal dari guru
yang telah mendapatkan tunjangan profesi,
sebaiknya disebutkan prosentasenya dan
semakin tingga prosesntasenya akan semakin
baik. Hal ini sesuai dengan tujuan pemberian
tunjungan profesi pendidik adalah untuk
meningkatkan profesionalisme guru.
Dinas Pendidikan Kabupaten Demak
disarankan untuk membuat laporan tertulis
pelaksanaan monitoring dan evaluasi
pelaksanaan pelatihan, serta melakukan tindak
lanjut dari hasil monitoring dan evaluasi.
Efektivitas Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan Untuk Guru | Nurkolis, dkk.
35
DAFTAR PUSTAKA
Baswedan, Anies. (2014). Gawat Darutat
Pendidikan di Indonesia. Presentasi
Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan yang disampaikan dalam
Silaturrahmi Kementerian dengan
Kepala Dinas Pendidikan Provinsi dan
Kabupaten Kota tanggal 1 Desember
2014.
Buss, T & Bell, L. (Ed). (2002). The Principles
and Practice of Educational
Management. London: Paul Chapman
Publishing.
Chang, M.C. (2010). Supporting Teacher
Reform in Indonesia (Presentasi).
Jakarta: Kongres Guru Indonesia 2010.
Danim, S. (2011). Pengembangan Profesi
Guru: Dari Prajabatan, Induksi, Ke
Profesional Madani. Jakarta: Kencana.
Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan. (2015).
Laporan Sementara Hasil UKG 2015.
Tanggal 8 Desember 2015. Tidak
diterbitkan.
Kementerian Pendidikan Nasional, Ditjen
Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga
Kependidikan 2011 tentang Pedoman
Pengelolaan Pengembangan
Keprofesian Berkelanjutan, Buku 1.
Kennedy, Aileen. (2005). Models Of
Continuing Professional Development:
A Framework For Analysis. Journal of
In-Service Education, Volume 31,
Number 2, 2005, 235-250.
Luke, Allan & McArdl, Felicity. (2009). A
model for research-based State
professional development policy. Asia-
Pacific Journal of Teacher Education.
Vol. 37, No. 3, August 2009, 231–251.
Nurkolis & Yuliejantiningsih, Y. (2015).
Strategi Pengembangan Keprofesioan
Berkelanjutan Guru (Studi Kasus di
Kabupaten Batang Provinsi Jawa
Tengah). Surabaya 14-16 Agustus
2015. Prosiding Pertemuan Ilmiah
Nasional APMAPI 2015, ISSN 978-
602-71375-7-8.
Nurkolis. (2016). Continuous Professional
Development of Primary School
Teachers. Yogyakarta 17-19 May 2016.
Proceeding International Conference
on Teacher Education and Professional
Development (InCoTEPD) 2016.
Peraturan Bupati Demak Nomor 53 Tahun 2015
tentang Pembinaan dan Pengembangan
Keprofesian Berkelanjutan Bagi Guru
di Lingkungan Pemerintah Kabupaten
Demak.
Peraturan Daerah Kabupaten Demak Nomor 1
Tahun 2012 tentangan Rencana
Pembangunan Jangka Menengah
Daerah Kabupaten Demak Tahun 2011-
2016.
Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008
tentang Guru.
Peraturan Presidan RI No. 2 Tahun 2015
tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional 2015-2019.
Permenegpan dan Reformasi Birokrasi No. 16
Tahun 2009 tentang Jabatan
Fungsional Guru dan Angka Kreditnya.
Rencana Strategis Departemen Pendidikan
Nasional Tahun 2005-2009.
Rencana Strategis Dinas Pendidikan Kabupaten
Demak Tahun 2011-2016.
Renstra Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Tahun 2015-2019.
Renstra Kementerian Pendidikan Nasional
Tahun 2010-2014.
Seyfarth, John T. (2002). Human Resources
Management for Effective Schools.
Boston: Allyn and Bacon.
Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017
36
Snezana Jovanova-Mitkovska. (2010). The
need of continuous professional teacher
development. Procedia Social and
Behavioral Sciences 2 (2010), 2921–
2926.
Song, Kyoung-oh. (2008). The Impacts of
District Policy and School Context on
Teacher Professional Development.
Asia Pacific Education Review. Vol. 9,
No.4, 436-447.
Suyanto & Hisyam, D. (2000). Refleksi dan
Reformasi Pendidikan Di Indonesia
Memasuki Milenium III. Yogyakarta:
Adicita Karya Nusa.
Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang
Guru dan Dosen.
Waluyanti, Sri & Soenarto. (2014). Analisis
Kebutuhan Materi Pengembangan
Profesionalisme Berkelanjutan Guru
SMK Teknik Audio Video. Jurnal
Kependidikan, Volume 44, Nomor 2,
November 2014, 146-157.
Yuliejantiningsih, Y. & Nurkolis. (2016).
Continuous Professional Development
Of Elementary School Teachers.
Makassar 15-16 April 2016. Prosiding
Pertemuan Ilmiah Nasional APMAPI
2016.
Magister Manajemen Pendidikan FKIP Universitas Kristen Satya Wacana [email protected]
ISSN 2549-9661 Volume: 4, No. 1, Januari-Juni 2017
Halaman: 37-47
37
PENINGKATAN KEMAMPUAN GURU SEKOLAH DASAR
DALAM PENYUSUNAN INSTRUMEN RANAH SIKAP MELALUI
IN HOUSE TRAINING
Suhandi Astuti
Pendidikan Guru Sekolah Dasar
FKIP-Universitas Kristen Satya Wacana
Slameto
Magister Manajemen Pendidikan
FKIP-Universitas Kristen Satya Wacana
Yari Dwikurnaningsih
Magister Manajemen Pendidikan
FKIP-Universitas Kristen Satya Wacana
ABSTRACT
This study departs from the issues of teacher skills gaps in Elementary School of
Laboratorium Satya Wacana in arranging the instrument of attitudes assessment. This
gap problems would be solved by school action research which aims to determine the
steps of in-house training that can improve teachers’ skills in preparing attitudes
instrument. The subjects of this study involved 15 primary school teachers of
Laboratorium Kristen Satya Wacana. The research model that used was Stringer Model
which consist of 3 aspects, namely : Look, Think, and Act. Instruments in this study were
observation sheet and booklet. The data was analyzed quantitatively and qualitatively.
The result showed: 1) The steps of in-house training that can improve teachers’ skills are
planning, implementing, and evaluating in house training. On the steps of planning,
activities of the formation of a committee, determine the trainer, participants, material
and schedule. During the implementation phase carried out activities ranging from
pretest, delivery and discussion materials and posttest. At this stage of the evaluation
carried out assessments throughout the in house training activities; 2) In-house training
can enhance teachers’ skills in arranging attitudes assements during the learning process.
The contribution of this research theoritically maintains the arranging steps of Likert
assessment scale and practically improve teachers’ skills in arranging attitude assessment
in teaching and learning process.
Keywords : IHT, teachers’ skills, the instrument of attitudes assessment.
Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017
38
PENDAHULUAN
Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional Nomor 16 Tahun 2007 Tanggal 4 Mei
2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik
dan Kompetensi Guru secara lengkap
merumuskan kompetensi guru SD/MI. Menurut
Permendiknas No.16 Tahun 2007, salah satu
kompetensi pedagogik yang melekat pada
profesi guru adalah menyelenggarakan
penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar
serta memanfaatkan hasil penilaian dan
evaluasi untuk kepentingan pembelajaran.
Rumusan kompetensi guru di atas
menjelaskan bahwa guru SD di samping
menjalankan kewajiban sebagai guru juga harus
melakukan penilaian pembelajaran. Penilaian
dilakukan dengan tahapan awal memahami
hakikat penilaian, memahami cakupan ranah
atau aspek yang dinilai, merancang prosedur
penilaian, menyusun instrumen, melaksanakan
penilaian, mengadministrasikan hasil,
mengolah hasil, melaporkan hasil dan
menggunakan hasil penilaian untuk melakukan
pembinaan siswa dan memperbaiki
pembelajaran.
Popham seperti dikutip oleh Naniek
Sulistyawardani, dkk (2012: 94) menyatakan
bahwa keberhasilan seseorang dipengaruhi oleh
kondisi afeksinya. Seseorang dengan
kemampuan afektif yang buruk tentu akan
kesulitan mencapai keberhasilan belajar yang
optimal. Oleh karena itu, pendidikan harus
memberikan perhatian yang serius menyangkut
pengembangan penilaian ranah afektif.
Camellia dan Umi Chotimah (2012)
meneliti tentang kebiasaan guru dalam
melakukan penilaian di Ogan Ilir, menemukan
bahwa : 1) guru sering menilai siswa hanya dari
sisi kemampuan kognitif saja, 2) guru
sebenarnya mengetahui akan pentingnya
penilaian ranah sikap siswa, 3) guru belum bisa
secara maksimal membuat dan melaksanakan
penilaian ranah sikap, 4) guru ingin membuat
instrumen penilaian ranah sikap.
Permasalahannya adalah apakah para
guru SD telah merancang dan melaksanakan
penilaian ranah sikap tersebut dengan baik?
Pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan
melihat fenomena yang terjadi melalui kajian
penelitian yang sudah ada dan studi awal
penelitian.
Hasil studi pendahuluan yang dilakukan
peneliti dengan melibatkan 13 guru SD
Laboratorium Kristen Satya Wacana
menunjukkan temuan berikut : 1) Hanya 31%
guru yang telah melakukan penilaian mencakup
tiga ranah (kognitif, afektif, dan psikomotor); 2)
Hanya 31% guru yang melakukan penilaian non
tes jenis skala sikap untuk mengukur sikap
siswa; 3) Hanya 23% guru yang memiliki
pemahaman yang cukup untuk
mengembangkan penilaian sikap; dan 4) Hanya
15% guru yang memiliki pemahaman yang
cukup untuk mengembangkan instrumen
penilaian skala sikap model Likert.
Berdasarkan gab dan riset di lapangan
seperti yang telah diuraikan di atas, nampak
bahwa terdapat kesenjangan yang sangat besar
antara praktik penilaian yang ideal dengan
kenyataan yang terjadi, secara berturut-turut
69%, 69%, 77% dan 85%. Kesenjangan yang
besar ini merupakan kebutuhan yang harus
dipenuhi melalui tindakan pelatihan. Model
tindakan pelatihan untuk memperbaiki
fenomena rendahnya kemampuan guru dalam
menyusun instrumen penilaian ranah sikap
adalah model In House Training (IHT).
Terdapat sejumlah penelitian tentang
IHT yang efektif meningkatkan kemampuan
guru. Pertama, penelitian Fidyawati (2013)
yang berjudul “Efektifitas In House Training
dalam Peningkatan Kompetensi Guru di SMA
Laboratorium Percontohan UPI Bandung”,
menemukan bahwa In House Training (IHT)
mempunyai peranan yang sangat penting bagi
guru PKn dalam meningkatkan kompetensi
melalui pelatihan-pelatihan. Kedua, penelitian
Heldy Eriston (2011) berjudul “Meningkatkan
Kemampuan Guru dalam Membuat Powerpoint
Peningkatan Kemampuan Guru Sekolah Dasar Dalam Penyusunan Instrumen Ranah Sikap … | Suhandi Astuti, dkk.
39
melalui In House Training di SMK Teknik
Industri Purwakarta”, hasilnya menyimpulkan
In House Training bermanfaat untuk
meningkatkan kemampuan guru membuat
powerpoint untuk media pembelajaran.
Tindakan yang telah mencapai hasil 86%
melampaui indikator yang telah ditetapkan yaitu
75% menunjukkan bahwa IHT dapat secara
signifikan meningkatkan kemampuan guru
membuat powerpoint untuk media
pembelajaran. Ketiga, penelitian Shakoor, A.,
Ghumman, M.S., Mahmood, T. (2013) berjudul
“Effect of In Service Training on the Working
Capacity and Performance of Science Teachers
at Secondary Level”, hasil penelitian
menunjukkan In Service Training memiliki
dampak capaian yang tinggi dan positif pada
kompetensi profesional, serta membuat
pelaksanaan kurikulum lebih efektif. Keempat,
penelitian Naill Hegarty (2014) berjudul “Can
in-house training programs replace the
graduate degree? An exploration of differences
and learning objectives in terms of career
advancement”, hasil temuan menunjukkan
program pelatihan sangat penting, karena
melalui perbaikan program pelatihan tujuan
organisasi maupun individu dapat tercapai.
Berkaitan dengan kompetensi guru
Mulyasa (2003: 20) mengemukakan bahwa
kompetensi guru : “…is a knowledge, skills,
and abilities or capabilities that a person
achieves, which become part of his or her being
to the extent he or she can satisfactorily
perform particular cognitive, affective, and
psychomotor behaviors”. Dalam hal ini,
kompetensi guru diartikan sebagai
pengetahuan, ketrampilan, dan kemampuan
yang dikuasai oleh guru yang telah menjadi
bagian dari dirinya, sehingga ia dapat
melakukan perilaku-perilaku kognitif, afektif,
dan psikomotorik dengan sebaik-baiknya.
Sejalan dengan itu Mulyasa (2003: 21)
mengartikan kompetensi guru sebagai
penguasaan terhadap suatu tugas, keterampilan,
sikap, dan apresiasi yang diperlukan untuk
menunjang keberhasilan. Muhaimin (2004: 59)
menjelaskan kompetensi adalah seperangkat
tindakan intelegen penuh tanggung jawab yang
harus dimiliki seseorang sebagai syarat untuk
dianggap mampu melaksanakan tugas-tugas
dalam bidang pekerjaan tertentu. Sifat intelegen
harus ditunjukkan sebagai kemahiran,
ketetapan, dan keberhasilan bertindak. Sifat
tanggung jawab harus ditunjukkan sebagai
kebenaran tindakan baik dipandang dari sudut
ilmu pengetahuan, teknologi maupun etika.
Depdiknas (2005 : 34) merumuskan
definisi kompetensi guru sebagai pengetahuan,
ketrampilan, dan nilai-nilai dasar yang dimiliki
oleh seorang guru, yang direfleksikan dalam
kebiasaan berfikir dan bertindak. Menurut Syah
(2000: 35), “kompetensi” adalah kemampuan,
kecakapan, keadaan berwenang, atau
memenuhi syarat menurut ketentuan hukum.
Selanjutnya masih menurut Syah, dikemukakan
bahwa kompetensi guru adalah kemampuan
seorang guru dalam melaksanakan kewajiban-
kewajiban secara bertanggung jawab dan layak.
Tentang In House Training menurut
Sujoko (2012: 40) In House Training
merupakan program pelatihan yang
diselenggarakan di tempat sendiri, sebagai
upaya untuk meningkatkan kompetensi guru
dalam menjalankan pekerjaan dengan
mengoptimalkan potensi-potensi yang ada.
Sedangkan menurut Danim (2011: 94) In
House Training (IHT) merupakan program
pelatihan yang dilaksanakan secara internal
oleh kelompok kerja guru, sekolah atau tempat
lain yang ditetapkan sebagai penyelenggaraan
pelatihan yang dilakukan berdasarkan pada
pemikiran bahwa sebagian kemampuan dalam
meningkatkan kompetensi dan karier guru tidak
harus dilakukan secara eksternal, namun dapat
dilakukan secara internal, Danim juga memberi
batasan peserta dalam IHT minimal 4 orang
dan maksimal 15 orang. Berdasarkan
pengertian dari Sujoko dan Danim, nampak
bahwa esensi dari IHT adalah kegiatan untuk
meningkatkan kompetensi guru dengan
Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017
40
menggunakan segala sarana dan prasarana
yang ada di sekolah.
Tujuan IHT menurut Lulu Kamaludin
(2011: 2) dan Meldona (2009: 234) yaitu: a)
meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia
(SDM); b) memperbaiki kinerja, c)
menciptakan interaksi antar peserta; d)
mempererat rasa kekeluargaan dan
kebersamaan; serta e) meningkatkan motivasi
dan budaya belajar yang berkesinambungan.
Dari sisi keuntungan Lulu Kamaludin (2011: 2)
menyebutkan: a) Hasil lebih maksimal, b)
Materi lebih spesifik, c) Biaya lebih murah.
Berkaitan dengan langkah-langkah IHT,
Marwansyah (2012: 170), menjelaskan bahwa
IHT dilakukan melalui tiga fase, yaitu: 1) fase
Perencanaan, hal-hal yang perlu dilakukan pada
fase ini adalah: menentukan sasaran pelatihan;
menentukan tujuan pelatihan; menentukan
pokok bahasan/ materi pelatihan; menentukan
pendekatan dan metodologi pelatihan;
menentukan peserta pelatihan dan fasilitator
(trainer); menentukan waktu dan tempat
pelatihan; menentukan semua bahan yang
diperlukan dalam pelatihan; menentukan model
evaluasi pelatihan; menentukan sumber dana
pembiayaan yang dibutuhkan, 2) fase proses
penyelenggaraan, proses penyelenggaraan
pelatihan pada dasarnya merupakan
implementasi dari perencanaan. Fase ini dibagi
menjadi dua tahapan yaitu tahap persiapan dan
tahap pelaksanaan pelatihan. Pada tahap
persiapan, proses pelatihan meliputi:
mempersiapkan kelengkapan bahan pelatihan
(undangan pemberitahuan, materi, jadwal,
media, daftar hadir, instrumen evaluasi) dan
kesiapan sarana prasarana (tempat, fasilitas,
konsumsi, peserta maupun trainer) (Nawawi,
2008 : 228), 3) fase evaluasi pelatihan, fase
evaluasi adalah fase penilaian terhadap
kegiatan pelatihan yang telah dilaksanakan.
Berdasarkan uraian di atas maka
rumusan masalah dalam penelitian ini adalah 1)
Bagaimanakah langkah-langkah pelatihan
model In House Training yang terbukti
meningkatkan kemampuan guru SD dalam
menyusun instrumen penilaian ranah sikap dan
2) Apakah pelatihan model In House Training
dapat meningkatkan kemampuan guru SD
dalam menyusun instrumen penilaian ranah
sikap.
Kontribusi temuan penelitian tindakan
sekolah melalui In House Training ini adalah
memberikan pembuktian bahwa peningkatan
kemampuan guru dalam menyusun instrumen
penilaian ranah sikap dapat ditingkatkan
melalui kegiatan In House Training.
METODE PENELITIAN
Penelitian tindakan sekolah ini
dikategorikan sebagai penelitian tindakan
kolaboratif atau collaborative action research.
Desain penelitian ini menggunakan model
Stringer yang ditandai dengan tiga kata : 1)
Look (melihat) yaitu kegiatan untuk memahami
permasalahan melalui pengumpulan data dan
mendeskripsikan situasi; 2) Think (berfikir)
yaitu kegiatan menganalisis apa yang terjadi
dan menginterpretasikan bagaimana dan
mengapa hal itu terjadi; 3) Act (berbuat) yaitu
melakukan tindakan (Yaumi & Damopolli,
2014: 10).
Penelitian ini terdiri dari 2 siklus yang
masing-masing siklus terdiri dari 2 pertemuan.
Penelitian dilaksanakan di SD Laboratorium
Kristen Satya Wacana Salatiga pada bulan
Agustus sampai bulan Oktober 2016. Subyek
penelitian tindakan sekolah ini yaitu guru-guru
SD Laboratorium Kristen Satya Wacana
dengan jumlah guru sebanyak 15 orang.
Sumber data dalam penelitian ini adalah guru,
kepala sekolah, dan catatan lapangan oleh
peneliti.
Teknik dan instrumen pengumpulan
data menggunakan teknik tes berupa soal
pretest dan posttest dan non tes berupa
instrumen observasi dan dokumentasi.
Ketentuan indikator keberhasilan
penerapan pelatihan model IHT dikatakan
berhasil apabila skor aktivitas trainer dan guru
Peningkatan Kemampuan Guru Sekolah Dasar Dalam Penyusunan Instrumen Ranah Sikap … | Suhandi Astuti, dkk.
41
sebagai peserta pelatihan mencapai kategori
baik, dan skor kemampuan guru minimal 60,
dengan ketuntasan klasikal peserta pelatihan
mencapai 80%. Teknik analisis data
menggunakan teknik deskriptif kategoris dan
komparatif. Teknik komparatif digunakan
untuk mendeskripsikan capaian kemampuan
peserta IHT antar siklus. Sedangkan teknik
deskriptif kategoris digunakan untuk
mendeskripsikan kategori hasil observasi
aktivitas trainer dan peserta IHT serta
kemampuan guru, dengan kategori berikut:
Tabel 1 Tabel Katagorisasi
Capaian hasil (%) Kategori
81 – 100 Baik sekali
61 – 80 Baik
41 – 60 Cukup
21- 40 Kurang
1 – 20 Kurang sekali
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Kemampuan awal guru SD
Laboratorium Kristen Satya Wacana dalam
menyusun instrumen penilaian ranah sikap
masih rendah. Hal ini nampak pada data awal
yang dikumpulkan melalui observasi dan
angket yang dilakukan terhadap guru.
Berdasarkan data yang dikumpulkan 31% guru
melakukan penilaian mencakup tiga ranah
kognitif, afektif, dan psikomotor, 31% guru
melakukan penilaian non tes jenis skala sikap
untuk mengukur sikap siswa, 23% guru yang
memiliki pemahaman cukup untuk
mengembangkan penilaian sikap dan 15% guru
memiliki pemahaman cukup untuk
mengembangkan instrumen penilaian skala
sikap model Likert. Dalam upaya
meningkatkan kemampuan melakukan
penilaian ranah sikap terhadap guru SD
Laboratorium Kristen Satya Wacana, maka
perlu dilakukan tindakan IHT.
Penelitian ini terdiri dari 2 siklus,
masing-masing siklus terdiri dari 2 pertemuan.
Pada siklus 1 pertemuan pertama materi
pelatihan yang diberikan mencakup: a) analisis
kompetensi dasar, b) pengantar umum
penilaian, c) hakikat penilaian sikap. Materi
siklus 1 pertemuan kedua mencakup materi: d)
teori penyusunan instrumen penilaian sikap
model skala Likert, dan e) menentukan obyek
sikap skala Likert.
Pada siklus 2 pertemuan pertama materi
yang diberikan mencakup: a) uji coba
instrumen skala Likert, b) menentukan skor
hasil uji coba instrumen. Materi Siklus 2
pertemuan kedua mencakup materi menghitung
tingkat reliabilitas dan validitas instrumen skala
sikap. Ketuntasan hasil kegiatan IHT siklus I
dapat dilihat pada tabel 2 dibawah ini.
Tabel 2 Rekapitulasi Ketuntasan Hasil Kegiatan
IHT Siklus I
No Kriteria Angka %
1 KKM ≥ 60
2 Tuntas 10 orang 76,92%
3 Tidak tuntas 3 orang 23,07%
4 Rata-rata 64,6
5 Nilai tertinggi 75
6 Nilai terendah 55
Pencapaian kemampuan hasil belajar
pada Siklus I, meskipun telah mencapai KKM
sebesar 76, 92% peserta telah memperoleh skor
≥ 60, namun capaian Siklus I ini belum berhasil.
Dilihat dari rerata skor posttest Siklus I juga
Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017
42
belum tinggi, baru mencapai 64, 6. Hal ini
disebabkan trainer cenderung memaparkan
atau mempresentasikan materi ketimbang
melakukan kegiatan mendorong peserta untuk
membaca materi dalam hand out. Ketuntasan
hasil kegiatan IHT siklus II dapat dilihat pada
tabel dibawah ini.
Tabel 3 Rekapitulasi Ketuntasan Hasil Kegiatan
IHT Siklus II
No Kriteria Angka %
1 KKM ≥ 60
2 Tuntas 12 80%
3 Tidak tuntas 3 20%
4 Rata-rata 60,33
5 Nilai tertinggi 70
6 Nilai terendah 45
Dari data dalam tabel nampak bahwa
pencapaian kemampuan hasil belajar pada
Siklus II telah berhasil, karena terdapat 80%
peserta IHT memperoleh skor ≥ 60. Meskipun
rerata capaian kemampuan belajar peserta
masih rendah, yaitu 60,33. Data rerata ini lebih
rendah dari rerata kemampuan hasil belajar
Siklus I (64,6). Secara visual komparasi pretest
dan posttest siklus I dan II dapat dicermati pada
grafik berikut.
Gambar 1 Grafik Komparasi Rerata dan
Persentase Capaian Kemampuan Hasil IHT Siklus
I dan II
Berdasarkan data komparasi seperti di
atas, dapat dikemukakan beberapa temuan
berikut: a) IHT penulisan instrumen penilaian
kawasan afektif pada Siklus I belum berhasil.
Ketidakberhasilan ini didasarkan pada temuan
hasil belajar peserta IHT yang baru mencapai
76, 92%, padahal berdasarkan kriteria IHT
berhasil jika minimal 80% peserta mencapai
skor ≥ 60; b) IHT penulisan instrumen penilaian
kawasan afektif pada Siklus II berhasil.
Keberhasilan ini didasarkan pada temuan hasil
belajar peserta IHT yang telah mencapai
minimal 80% peserta mendapat skor ≥ 60;
meskipun ada penurunan rerata skor dari 64,6
pada Siklus I menjadi 60,33 pada Siklus II.
PEMBAHASAN
Penelitian Tindakan Sekolah
menggunakan model IHT ini bermula dari
permasalahan praktik penilaian di SD
Laboratorium Kristen Satya Wacana yang
belum menggunakan instrumen penilaian
ranah sikap. Salah satu penyebab adalah
kemampuan guru dalam menyusun instrumen
penilaian ranah sikap masih belum memadai.
Kepala sekolah memutuskan bahwa tindakan
pemecahan masalah yang dilakukan adalah
dengan melaksanakan penelitian tindakan
sekolah (PTS).
Ada dua pertanyaan penelitian yang
dijadikan pedoman dalam melaksanakan PTS
ini, yaitu: Bagaimanakah langkah-langkah
pelatihan model In House Training yang dapat
meningkatkan kemampuan guru SD
Laboratorium Kristen Satya Wacana dalam
menyusun instrumen ranah sikap?; dan Apakah
pelatihan model In House Training dapat
meningkatkan kemampuan guru SD
Laboratorium Kristen Satya Wacana dalam
menyusun instrumen penilaian ranah sikap?
Berdasarkan dua pertanyaan penelitian di atas,
berikut ini dipaparkan temuan dan pembahasan
dua permasalahan tersebut.
IHT dilakukan melalui tiga fase, yaitu
fase perencanaan, fase proses penyelenggaraan
dan fase evaluasi. Melalui diklat model IHT,
guru mengasah kemampuan secara aktif dengan
mengeksplorasi materi pelatihan secara
konsisten, persisten dan mengarah pada tujuan
0
20
40
60
80
100
Siklus 1 Siklus 2
Mean
% KKM
Peningkatan Kemampuan Guru Sekolah Dasar Dalam Penyusunan Instrumen Ranah Sikap … | Suhandi Astuti, dkk.
43
yang ingin dicapai dan kemudian
mengelaborasi dengan mengerjakan tugas-
tugas mandiri maupun kelompok. Langkah-
langkah pelatihan model IHT yang
menyebabkan keberhasilan pelatihan ini
terlihat dari aktivitas setiap langkah IHT,
terutama langkah-langkah pada fase proses
penyelenggaraan IHT.
Hasil observasi aktivitas trainer
maupun peserta IHT menunjukkan perolehan
skor 71% sampai 95% artinya berada pada
kategori baik dan sangat baik. Sedangkan
aktivitas peserta memperoleh skor 93,2%
sampai 98% artinya berada pada ketegori
sangat baik. Dilihat dari hasil postes, pada
Siklus I mencapai rata-rata 64,6 dan persentase
ketuntasan 76,92%. Pada Siklus II mencapai
rata-rata 60,33 dan ketuntasannya mencapai
80%. Jika temuan ini dikaitkan dengan kriteria
keberhasilan PTS dengan indikator
keberhasilan pelatihan IHT dikatakan berhasil
apabila skor aktivitas trainer dan guru sebagai
peserta pelatihan mencapai kategori baik dan
skor kompetensi guru minimal 60 dengan
ketuntasan klasikal peserta pelatihan mencapai
80%, maka dapat dikatakan bahwa PTS siklus I
dan II semuanya berhasil.
Keberhasilan aktivitas PTS pada siklus
I ditunjukkan oleh langkah-langkah berikut: a)
trainer menyampaikan materi teori penyusunan
instrumen penilaian sikap model skala Likert;
b) trainer membagi menjadi 4 kelompok dan
selanjutnya peserta secara kelompok
melakukan analisis kasus contoh instrumen
penilaian sikap yang benar dan kurang benar
kemudian dianalisis sesuai dengan langkah-
langkah skala sikap model Likert; c)
selanjutnya peserta melakukan diskusi
kelompok untuk menyusun item pernyataan
skala sikap sesuai obyek sikap yang telah
ditentukan; d) trainer berkeliling ke setiap
kelompok untuk memantau, membimbing serta
memberikan kesempatan kepada kelompok
untuk menanyakan materi yang belum dikuasai.
Berdasarkan hasil refleksi bahwa
aktivitas IHT pada siklus I berhasil, maka pada
siklus II langkah-langkah IHT secara umum
sama, yaitu: a) trainer mendorong peserta
untuk membaca materi dalam hand out tentang
berbagai teori mengenai instrumen penilaian
skala sikap; b) trainer membagi peserta
menjadi 4 kelompok dan selanjutnya peserta
melakukan diskusi kelompok; c) trainer
berkeliling ke setiap kelompok untuk
memantau dan membimbing setiap kelompok
dan d) trainer memberikan kesempatan kepada
kelompok untuk bertanya tentang materi yang
belum difahami/ dimengerti.
Hasil evaluasi pelaksanaan IHT
berkaitan dengan pertanyaan apakah materi
bermanfaat bagi peserta, 97% peserta
menyatakan bermanfaat. Hal ini didukung juga
oleh respon terhadap pertanyaan apakah
interaksi antara trainer dengan peserta dan
penggunaan alat bantu pelatihan efektif.
Responnya berturut-turut mencapai 96% dan
96% menyatakan efektif. Keefektifan langkah-
langkah IHT ini sejalan dengan pandangan
Marwansyah (2012: 170) yang menjelaskan
bahwa IHT dilakukan melalui tiga fase, yaitu
fase perencanaan, fase proses penyelenggaraan
dan fase evaluasi. Temuan keberhasilan
langkah-langkah PTS ini mendukung juga teori
In House Training, yang merupakan program
pelatihan yang diselenggarakan di tempat
sendiri dan diupayakan untuk meningkatkan
kompetensi guru dalam menjalankan
pekerjaannya dengan penggunaan alat peraga,
dan dilaksanakan di sekolah tempat guru
tersebut bekerja (Sujoko, 2012: 40; dan Danim,
2011:94).
Temuan dalam penelitian ini
menunjukkan bahwa IHT yang dilaksanakan di
SD Laboratorium Kristen Satya Wacana
berhasil meningkatkan kemampuan guru dalam
menyusun instrumen penilaian ranah sikap.
Pada saat kondisi awal hanya 15% guru atau
hanya 2 guru yang memiliki pemahaman yang
cukup untuk mengembangkan instrumen
Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017
44
penilaian skala sikap model Likert. Dari data
yang sudah dipaparkan di atas tampak pada
siklus 1 tingkat ketuntasan mencapai 76.9%
atau 10 guru dari 13 guru SD Laboratorium
Kristen Satya Wacana mampu memenuhi
Kriteria Ketuntasan Minimal yaitu mencapai
skor 60. Meskipun capaian ini belum dikatakan
berhasil. Baru pada siklus 2 tingkat ketuntasan
mencapai 80% atau 12 guru dari 15 guru SD
Laboratorium Kristen Satya Wacana mampu
memenuhi Kriteria Ketuntasan Minimal yaitu
mencapai skor 60. Dengan demikian capaian
ketuntasan peserta IHT pada siklus ke II ini
dikatakan berhasil.
Temuan keberhasilan langkah-langkah
PTS ini sesuai dengan Tujuan IHT menurut
Lulu Kamaludin (2011: 2) dan Meldona (2009:
234) yaitu: a) meningkatkan kualitas Sumber
Daya Manusia (SDM); b) memperbaiki
kinerja, c) menciptakan interaksi antara peserta;
d) mempererat rasa kekeluargaan dan
kebersamaan; serta e) meningkatkan motivasi
dan budaya belajar yang berkesinambungan.
Dari sisi keuntungan Lulu Kamaludin (2011: 2)
menyebutkan: a) Hasilnya lebih maksimal, b)
Materinya lebih spesifik, c) Biaya lebih murah.
Temuan keberhasilan IHT untuk
meningkatkan kompetensi guru ini sesuai
dengan hasil penelitian yang dikemukakan oleh
Fidyawati (2013) dalam penelitiannya tentang
Efektifitas In House Training dalam Peningkatan
Kompetensi Guru di SMA Laboratorium
Percontohan UPI Bandung, menemukan bahwa
In House Training (IHT) mempunyai peranan
yang sangat penting bagi guru PKn dalam
meningkatkan kompetensi melalui pelatihan-
pelatihan.
Temuan penelitian ini mendukung
penelitian tindakan yang dilakukan penulis
khususnya tentang Efektifitas In House
Training dalam meningkatkan kompetensi
guru. Seperti penelitian Heldy Eriston (2011)
yang melakukan penelitian tindakan sekolah
tentang Meningkatkan Kemampuan Guru
dalam Membuat Powerpoint melalui In House
Training di SMK Teknik Industri Purwakarta.
Hasilnya menyimpulkan In House Training
bermanfaat untuk meningkatkan kemampuan
guru membuat powerpoint untuk media
pembelajaran. Tindakan yang telah mencapai
hasil 86% melampaui indikator yang telah
ditetapkan yaitu 75% menunjukkan bahwa IHT
dapat secara signifikan meningkatkan
kemampuan guru membuat powerpoint untuk
media pembelajaran. Temuan lain dikemukakan
oleh Shakoor, A., Ghumman, M.S., Mahmood,
T. (2013) yang meneliti tentang pengaruh In
Service Training terhadap kapasitas kerja dan
kinerja guru sain di tingkat menengah. Hasil
penelitian menunjukkan In Service Training
memiliki dampak capaian yang tinggi dan
positif pada kompetensi profesional, serta
membuat pelaksanaan kurikulum lebih efektif.
Demikian juga dengan penelitian Naill Hegarty
(2014) menulis tentang keefektifan program
pelatihan dalam hal tujuan pembelajaran,
sebagai sebuah media untuk meningkatkan
karir individu, dan sebagai suatu bentuk dari
pendidikan yang diakui. Hasil temuan
menunjukkan program pelatihan sangat
penting, karena melalui perbaikan program
pelatihan tujuan organisasi maupun individu
dapat tercapai.
Kontribusi temuan penelitian tindakan
sekolah melalui In House Training ini adalah
memberikan pembuktian bahwa peningkatan
kemampuan guru dalam menyusun instrumen
penilaian ranah sikap dapat ditingkatkan
melalui kegiatan In House Training.
Kemampuan yang meningkat berkaitan dengan
pemahaman konsep mengenai kemampuan
memahami pengantar umum penilaian,
memahami hakekat penilaian sikap,
mendiskripsikan teori penyusunan instrumen
penilaian sikap model skala Likert. Kontribusi
penelitian ini secara teoritis
memantapkan/menguatkan teori Azwar tentang
langkah-langkah penyusunan skala sikap model
skala Likert.
Peningkatan Kemampuan Guru Sekolah Dasar Dalam Penyusunan Instrumen Ranah Sikap … | Suhandi Astuti, dkk.
45
Kontribusi penelitian ini secara praktik
dapat meningkatkan kemampuan menganalisis
kompetensi dasar dalam silabus kurikulum SD
2013, menyusun instrumen penilaian sikap
model skala Likert, melakukan uji coba
instrumen, menghitung tingkat reliabilitas dan
validitas instrumen skala sikap. Dan
selanjutnya menyusun instrumen penilaian
ranah sikap dalam pembelajaran pada topik-
topik tertentu.
Kontribusi secara konsep dan praktek
yang telah diuraikan itulah yang membedakan
dengan hasil penelitian relevan hasil terdahulu.
Temuan Fidyawati (2013) sebatas peran In
House Training dalam meningkatkan
kompetensi guru PKn. Temuan Heldy Eriston
(2011) sebatas manfaat In House Training
dalam meningkatkan kemampuan guru
membuat powerpoint untuk media
pembelajaran. Temuan Shakoor, A.,
Ghumman, M.S., Mahmood, T. (2013) sebatas
dampak In Service Training pada kompetensi
guru. Temuan Nail Hegarty (2014) sebatas
pentingnya program pelatihan untuk
tercapainya tujuan organisasi maupun individu.
SIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan temuan dan hasil
pembahasan di atas, berikut disampaikan dua
simpulan dari Penelitian Tindakan Sekolah ini.
Pertama, langkah-langkah pelatihan model In
House Training yang dapat meningkatkan
kemampuan guru SD Laboratorium Kristen
Satya Wacana dalam menyusun instrumen
ranah sikap adalah perencanaan, pelaksanaan
dan evaluasi IHT. Pada langkah perencanaan
dilakukan kegiatan: a) membentuk panitia IHT;
b) menghubungi ahli yang berkompeten dalam
bidang penyusunan instrumen penilaian ranah
sikap untuk menjadi trainer; c) mengundang
guru untuk menjadi peserta; d) menyiapkan
materi; dan e) membuat jadwal pelaksaaan.
Pada langkah pelaksanaan dilakukan
kegiatan: a) memberikan pretest sebelum
dilakukan sesi pelatihan, b) melakukan sesi
pelatihan dengan tahapan: (1) trainer
mendorong peserta untuk aktif membaca materi
pelatihan dalam bentuk hand out; (2) peserta
pelatihan dengan bimbingan trainer membagi
menjadi 4 kelompok dan selanjutnya peserta
melakukan diskusi kelompok; (3) trainer
berkeliling ke setiap kelompok untuk
memantau dan membimbing diskusi kelompok;
dan (4) trainer memberikan kesempatan kepada
kelompok untuk bertanya tentang materi yang
belum dimengerti, c) melakukan observasi
untuk memantau aktivitas trainer dan peserta
pelatihan.
Pada langkah evaluasi dilakukan
kegiatan: a) posttest untuk mengetahui
sejauhmana tingkat kemampuan guru dalam
menyusun instrumen penilaian ranah sikap
dapat tercapai; dan b) evaluasi program IHT
secara keseluruhan mencakup
pengorganisasian, pelaksanaan, kemanfaatan
materi pelatihan, kompetensi trainer, kepuasan
peserta pelatihan.
Kedua, pelatihan model In House
Training dapat meningkatkan kemampuan guru
SD Laboratorium Kristen Satya Wacana dalam
menyusun instrumen penilaian ranah sikap;
Simpulan ini didasarkan data peningkatan
persentase peserta pelatihan yang mencapai
KKM (kriteria keberhasilan ≥ 60) dari 76, 92%
pada siklus I menjadi 80% pada siklus II.
Simpulan ini juga didukung capaian aktivitas
trainer maupun peserta pelatihan pada kategori
baik dan sangat baik untuk semua siklus.
SARAN
Berdasarkan simpulan Penelitian
Tindakan Sekolah tentang pelatihan model In
House Training dalam rangka meningkatkan
kemampuan guru SD Laboratorium Kristen
Satya Wacana dalam menyusun instrumen
ranah sikap, dapat disampaikan saran-saran
berikut:
a. Bagi guru, disarankan menerapkan
kemampuannya menyusun instrumen
penilaian ranah sikap dalam pembelajaran,
Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017
46
khususnya yang berkaitan dengan domain
kompetensi inti (KI) sikap.
b. Bagi kepala sekolah disarankan agar
melanjutkan penelitian tindakan sekolah
menggunakan model IHT untuk
meningkatkan kemampuan gurunya.
Khususnya kemampuan dalam menyusun
instrumen penilaian ranah sikap.
c. Bagi pengawas, dapat disarankan
mendorong para kepala sekolah dan guru
agar terus-menerus meningkatkan
kemampuannya melalui kegiatan IHT di
sekolah. Khususnya kemampuan dalam
menyusun penilaian ranah sikap.
d. Bagi peneliti lain yang akan melakukan
penelitian lanjutan, disarankan agar
melakukan penelitian ulang tentang
penyusunan instrumen ranah sikap model
Likert minimal tiga siklus, dengan harapan
hasilnya akan lebih meningkat.
DAFTAR PUSTAKA
Alfaris, Sujoko. 2012. Peningkatan
Kemampuan Guru Mata Pelajaran
Melalui In House Training. Jurnal
Pendidikan Penabur. 11 (18): 27-39
Camelia dan Umi Chotimah. 2012.
Kemampuan Guru Membuat Instrumen
Penilaian Domain Afektif Mata
Palajaran PKn di SMP Negeri Se-
Kabupaten Ogan Ilir. Jurnal Forum
Sosial, Kajian Pendidikan Ilmu
Pengetahuan Sosial dan Ilmu Sosial. V
(02):114 – 122.
Danim Sudarwan dan Khairil. 2011. Profesi
Kependidikan. Bandung. Alfabeta
Eriston Heldy. 2011. Meningkatkan
Kemampuan Guru dalam Membuat
Power point melalui in House Training
di SMK Teknik Industri Purwakarta.
Fidyawati. 2013. Efektifitas In House Training
Dalam Peningkatan Kompetensi Guru, di
SMA Laboratorium Percontohan UPI di
Bandung. Bandung: Universitas
Pendidikan Indonesia.
Hegarty, N. 2014. Can in-house training
programs replace the graduate degree?
An exploration of differences and
learning objectives in terms of career
advancement.BRC Journal of Advances
in Education, 2 (1): 13-34.
Lulu Kemaludin. 2011. Pengertian In House
Training, tujuan dan Manfaatnya.
http://tikettraining.com/pengertian-in-
house-training-tujuan-dan-manfaatnya.
Diunduh tanggal 9 Oktober 2015.
Mawansyah. 2010. Manajemen Sumber Daya
Manusia. Bandung: Alfabeta
Meldona. 2009. Manajemen Sumber Daya
Manusia. Malang : UIN Malang Press.
Muhaimin 2004. Paradigma Pendidikan Islam.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Muhammad Yaumi & Muljono Damopolli.
2014. Action Research: Teori, Model,
dan Aplikasi. Jakarta: Kencana Prenada
Group.
Mulyasa, E., 2003. Kurikulum Berbasis
Kompetensi: Konsep, Karakteristik, dan
Implementasi. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya
Nawawi, H. 1997. Manajemen Sumber Daya
Manusia. Yogyakarta. Gajah Mada
Universitas Press.
Shakoor, A., Ghumman, M.S., Mahmood, T.
2013. Effect of In Service Training on
the Working Capacity and Performance
of Science Teachers at Secondary
Level. Jurnal of Educational and Sosial
Research MCSER Publishing, Rome-
Italy, 3(3), pp. 337-342.
Sulistyawardani, Naniek dkk. 2012. Asesmen
Pembelajaran Bahan Belajar Mandiri
SD. Salatiga: Widya Sari Press Salatiga.
Peningkatan Kemampuan Guru Sekolah Dasar Dalam Penyusunan Instrumen Ranah Sikap … | Suhandi Astuti, dkk.
47
Syah, Muhibbin. 2000. Psikologi Pendidikan
dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
---------2005. Undang-Undang RI No. 14 Th.
2005 Tentang Guru dan Dosen. Jakarta:
Depdiknas.
---------2007. Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional No. 16 Tahun 2007 tentang
Standar Kompetensi Guru.
Jakarta:Depdiknas.
Magister Manajemen Pendidikan FKIP Universitas Kristen Satya Wacana [email protected]
ISSN 2549-9661 Volume: 4, No. 1, Januari-Juni 2017
Halaman: 48-58
48
EVALUASI PROGRAM BUDAYA MEMBACA DI SEKOLAH
DASAR NEGERI
Andri Sulistyo
SMP Kristen Terang Bangsa
Cirebon-Jawa Barat
ABSTRACT
The purpose of this study is to evaluate implementation of literacy program in Public
Elementary School Tengaran (SD N Tengaran), District of Semarang. Evaluation using
CIPP model. Data collection through interview, documentation, and observation with
triangulation technique. The data is analyzed by description, reduction, data display and
data verification. The result shows that from context aspect, students in Public
Elementary School Tengaran (SD N Tengaran) need this literacy program; in input
aspect, this program has answered the needs of students with support by human
resources, infrastructure, budget, schedule and adequate working mechanisms; process
aspect, the implementation is implemented according to plan, although there were
obstacles in routine activities such as teacher’s and student’s low consistency as well as
poor support from parents; and in product aspect, the result of literacy program is 90%
of students have read fluently, 60% of students are confidence to do presentation, 66% of
students are able to make bulletin board independently, 66% of students are able to write
resume independently, 90% of students actively write their personal experience in the
diary, one of 65 students passed the selection to the district level in reading poetry
competition, and one student passed and get third place in speech competition in sub-
district level. Based on the findings, literacy program should be continued but need
improvement.
Keywords: Evaluation program, literacy, CIPP model
Evaluasi Program Budaya Membaca di Sekolah Dasar Negeri | Andri Sulistyo
49
PENDAHULUAN
Tingkat literasi membaca di Indonesia
sangatlah rendah. Berdasarkan uji literasi yang
dilakukan oleh IEA tahun 2011 (data PIRLS),
Indonesia menempati peringkat ke 45 dari 48
negara yang menjadi peserta dengan skor 428
(skor rata-rata semua peserta 500) (Direktorat
Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan
Tahun 2016 hal 1). Sementara itu, uji literasi
membaca menurut data PISA 2009
menunjukkan peserta didik Indonesia berada
pada peringkat ke 57 dengan skor 396 (skor
rata-rata 493), sedangkan data PISA 2012
menunjukkan peserta didik Indonesia berada
pada peringkat ke 64 dengan skor 396 dari rata-
rata skor OECD 496, sebanyak 65 negara
berpartisipasi dalam PISA 2009 dan 2012
(Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan
Menengah Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan Tahun 2016 hal 2). Berdasarkan
data PISA 2015 tingkat literasi di Indonesia
belum menunjukkan peningkatan yang
signifikan yaitu sebesar 1 poin dari skor 396 di
tahun 2012 menjadi 397 di tahun 2015.
Peningkatan tersebut mengangkat posisi
Indonesia 6 peringkat ke atas (peringkat 62 dari
70 peserta) bila dibandingkan posisi peringkat
kedua dari bawah pada tahun 2012 (OECD,
2015), meski terdapat peningkatan namun
tingkat literasi di Indonesia masih tergolong
rendah. Rendahnya keterampilan membaca
membuktikan bahwa proses pendidikan di
Indonesia belum mengembangkan kompetensi
dan minat peserta didik terhadap pengetahuan.
Berdasarkan data PIRLS dan PISA
diatas, Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan mengembangkan Gerakan Literasi
Sekolah. Gerakan Literasi Sekolah adalah
kemampuan mengakses, memahami, dan
menggunakan sesuatu secara cerdas melalui
berbagai aktivitas, antara lain membaca,
melihat, menyimak, menulis, dan atau
berbicara. Disini sekolah diwajibkan
meluangkan waktu 15 menit sebelum
pembelajaran untuk membaca buku non
akademik. Tujuan umum dari gerakan literasi
adalah untuk menumbuhkembangkan budi
pekerti peserta didik melalui pembudayaan
ekosistem literasi sekolah yang diwujudkan
dalam Gerakan Literasi Sekolah agar mereka
menjadi pembelajar sepanjang hayat
(Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Dan
Menengah Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan Tahun 2016 hal 2). Gerakan
Literasi Sekolah sendiri harus dilaksanakan
untuk memperluas ilmu pengetahuan siswa
sesuai dengan Peraturan Menteri Nomor 23
Tahun 2015 tentang penumbuhan budi pekerti
yang menyebutkan bahwa:
“Penghargaan terhadap keunikan potensi
peserta didik untuk dikembangkan, yaitu
mendorong peserta didik gemar membaca dan
mengembangkan minat yang sesuai dengan
potensi bakatnya untuk memperluas
cakrawala kehidupan di dalam
mengembangkan dirinya sendiri”.
Didukung dengan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003
Tentang Sistem Pendidikan Nasional BAB III
Pasal 4 Nomor 5 yang tertulis bahwa:
“Pendidikan diselenggarakan dengan
mengembangkan budaya membaca, menulis,
dan berhitung bagi segenap warga
masyarakat”.
Salah satu temuan dari penelitian Heather
Thomas (2013: 56) menyatakan bahwa
program literasi berkontribusi dalam
meningkatkan prestasi siswa.
Dalam upaya mensukseskan Gerakan
Literasi Sekolah, SD N Tengaran merancang
program budaya membaca. Program budaya
membaca di SD N Tengaran merupakan suatu
program yang dirancang agar siswa saat
membaca tidak hanya mahir membaca, akan
tetapi siswa dapat memahami isi bacaan. Hal ini
sesuai dengan pengertian dari program yaitu
serangkaian kegiatan yang
dirancang/direncanakan oleh suatu organisasi,
yang dalam pelaksanaannya berlangsung
Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017
50
melalui proses yang berkesinambungan
(Wirawan, 2011: 17; Arikunto, 2010: 4;
Widoyoko, 2009: 8). Sedangkan pengertian
budaya membaca adalah suatu sikap dan
tindakan membaca sudah menjadi bagian yang
lekat dan mengikat dalam kehidupan sehari-
hari seseorang sehingga membaca dilakukan
secara teratur dan berkelanjutan (Umar, 2013:
127; Gol A Gong & Agus M. Irkham, 2012:
62).
Program budaya membaca di SD N
Tengaran diputuskan dan dilaksanakan mulai
tahun ajaran 2014/2015. Program budaya
membaca di sekolah merupakan program yang
diharapkan dapat membuat para guru dan
seluruh siswa meningkatkan intensitas
membaca, sehingga pengetahuan guru dan
siswa dapat meningkat. Kepala sekolah, guru
dan para siswa diharapkan dapat berperan aktif
dalam mengawasi dan melaksanakan program
budaya baca. Dalam hal ini SD N Tengaran
mewajibkan siswa satu kali dalam satu minggu
membuat rangkuman untuk menjadi bukti
pemahaman siswa dalam membaca. Hasil
rangkuman wajib dikumpulkan ke sekolah
melalui guru-guru kelas. Setelah siswa dapat
memahami dan mengerti dari isi bacaan
tentunya diharapkan pengetahuan dari siswa
dapat meningkat, sehingga prestasi dan mutu
sekolah dapat meningkat.
Permasalahan yang timbul dalam
melaksanakan program budaya membaca yang
pertama adalah tentang konsistensi guru-guru.
Beberapa guru terkadang malas dalam
melaksanakan apa yang menjadi tugas
(mengumpulkan hasil rangkuman) dan
mengawasi kegiatan program budaya
membaca. Hal ini dikarenakan banyaknya tugas
dan kegiatan lain para guru di sekolah. Adapun
data pengumpulan hasil rangkuman tiga bulan
terakhir sebagai berikut:
Tabel 1 Daftar pengumpulan hasil rangkuman pada bulan April - Juni 2016
(Wawancara tanggal 10 Agustus 2016)
No Kelas Jumlah
Siswa
Rangkuman
terkumpul
Rangkuman yang
tidak terkumpul
April Mei Juni April Mei Juni
1. I 40 siswa 38 40 35 2 0 5
2. II 44 siswa 39 36 44 5 9 0
3. III 75 siswa 75 70 72 0 5 3
4. IV 68 siswa 66 67 64 2 1 4
5. V 65 siswa 60 58 65 5 3 0
6. VI 64 siswa 63 64 64 1 0 0
Terlihat dari data di atas selama bulan
April, Mei dan Juni 2016 pada kelas 1 terdapat
7 rangkuman yang tidak terkumpul, kelas II
terdapat 14 rangkuman yang tidak terkumpul,
kelas III terdapat 8 rangkuman yang tidak
terkumpul, kelas IV terdapat 7 rangkuman yang
tidak terkumpul, kelas V terdapat 8 rangkuman
yang tidak terkumpul, serta pada kelas VI
terdapat 1 rangkuman yang tidak terkumpul.
Dari tiga bulan terakhir saja terdapat 47
rangkuman yang tidak terkumpul. Hal ini dapat
mengakibatkan kelancaran program budaya
membaca dapat terganggu sehingga tujuan dari
program budaya membaca sangat sulit dicapai.
Permasalahan yang kedua yaitu kurangnya
pengawasan dari orang tua juga menjadi
kendala dalam melaksanakan program budaya
membaca. Orang tua lebih fokus kepada
pekerjaan dan tidak sempat mengawasi
kegiatan belajar anak di rumah. Permasalahan
yang terakhir yang muncul adalah kurangnya
jumlah buku yang menjadi pembaharuan.
Jumlah siswa yang banyak, intensitas membaca
yang cepat mengakibatkan perputaran buku
dari siswa ke siswa lain juga cepat, sehingga
siswa akan menjadi bosan dalam membaca jika
Evaluasi Program Budaya Membaca di Sekolah Dasar Negeri | Andri Sulistyo
51
buku yang dibaca hanya itu-itu saja. Ketiga
permasalahan tersebut tidak bisa dianggap
remeh, karena permasalahan-permasalahan
tersebut dapat menghambat proses kegiatan
program budaya membaca dan tujuan akhir dari
program budaya membaca yaitu meningkatkan
mutu sekolah tidak akan terwujud.
Permasalahan tersebut serupa dengan
penelitian yang dilakukan oleh Tahira DuPree
Chase (2011: 5) yang berjudul The Children
Left Behind: An Evaluation of a Reading
Intervention Program for Upper Elementary
Students, yang menyatakan bahwa adanya
penurunan kemampuan membaca saat siswa
memasuki sekolah tingkat menengah.
Penelitian tersebut berfokus pada siswa kelas 5
yang menunjukkan kesulitan membaca padahal
di sana ada program membaca yaitu program
membaca intervensi. Selain itu permasalahan
yang dihadapi oleh Heather Thomas (2013)
yang berjudul An evaluation of the literacy
program at Garibaldi Grade School
menyatakan bahwa sejak tahun 2006 sekolah
Neah-Kah-Nie sudah mengembangkan
program literasi membaca. Guru memanfaatkan
model literasi yang seimbang antara teori dan
praktek dalam lima bidang utama membaca:
fonemik kesadaran, phonics, kelancaran,
kosakata, dan pemahaman. Siswa kelas lima
dinilai tiga kali dalam setahun menggunakan
DIBELS (Dynamic Indicators of Basic Early
Literacy Skills), yang dikembangkan oleh
University of Oregon. Meskipun sudah
dilakukan penilaian secara rutin tetapi masih
belum diketahui apakah program literasi efektif
meningkatkan kemampuan membaca siswa di
sekolah Garibaldi Grade. Penelitian yang
dilakukan Corinne Serra Smith, M.S. ED
(2009) yang berjudul An Analysis and
Evaluation of Sit Stay Read: Is the Program
Effective in Improving Student Engagement and
Reading Outcomes? menyatakan bahwa
program “Sit Stay Read” yang memanfaatkan
anjing terapi untuk meningkatkan keterampilan
membaca dan menumbuhkan kasih belajar pada
anak-anak yang kurang beruntung di kelas
kedua dan ketiga (usia 7-9) ini efektif dalam
meningkatkan kemampuan membaca anak.
Akan tetapi belum diketahui apakah program
ini meningkatkan prestasi belajar anak-anak di
Chicago. Dari beberapa permasalahan tersebut,
solusi yang dinilai tepat untuk mengatasi
permasalahan permasalahan yang muncul
adalah dilakukannya evaluasi suatu program
yang berkaitan dengan meningkatkan
kemampuan baca anak tersebut.
Dengan berdasar pada uraian tersebut
maka penulis tertarik untuk mengadakan
penelitian tentang evaluasi program budaya
membaca di SD N Tengaran Kabupaten
semarang. Pengertian dari evaluasi adalah suatu
kegiatan mengumpulkan, menganalisis, dan
menyajikan informasi dengan cara
membandingkan antara kegiatan yang
direncanakan terhadap kegiatan yang
dilaksanakan dan membandingkan antara
tujuan program terhadap hasil yang tercapai,
yang selanjutnya informasi tersebut digunakan
untuk mengetahui efektivitas dan efisiensi
proyek, kebijakan dan program yang dipakai
untuk menentukan alternatif yang tepat dalam
mengambil suatu keputusan (Sukardi, 2008: 1);
Arikunto, 2010: 2; Wirawan,2011: 7).
Sedangkan pengertian dari evaluasi program
adalah metode sistematik untuk
mengumpulkan, menganalisis, dan memakai
informasi dengan tujuan untuk mengetahui
efektivitas dan efisiensi proyek, kebijakan dan
program (Wirawan,2011: 17; Weiss (Sugiyono,
2014: 741); Sugiyono, 2014: 742). Sementara
itu tujuan dari evaluasi program adalah untuk
mengetahui apakah tujuan program telah
tercapai dan serta mengetahui penyebab-
penyebabnya yang selanjutnya hasil evaluasi
dapat digunakan untuk mengambil keputusan
tentang keberlanjutan sebuah program perlu
diteruskan, diperbaiki atau dihentikan
(Wirawan, 2011: 17; Arikunto, 2010: 18;
Endang, 2011: 144-145).
Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017
52
Model yang akan digunakan dalam
mengevaluasi program ini adalah CIPP yang
dikembangkan oleh Stufflebeam. CIPP
singkatan dari context, input, process and
product. Tujuan utama penelitian ini adalah
untuk memberi masukan untuk perbaikan
pelaksanaan program budaya membaca di SDN
Tengaran, sehingga dilakukan analisis serta
evaluasi tentang program budaya membaca di
SD N Tengaran guna mengetahui: 1) Konteks
program budaya membaca di SD N Tengaran
Kabupaten Semarang; 2) Input program budaya
membaca di SD N Tengaran Kabupaten
Semarang; Proses program budaya membaca di
SD N Tengaran Kabupaten Semarang dan; 4)
Produk program budaya membaca di SD N
Tengaran Kabupaten Semarang.
Menurut Wirawan (2011: 92-94) model
evaluasi CIPP dalam menganalisa program
dilaksanakan berdasarkan komponen-
komponennya yang dapat dijelaskan sebagai
berikut: a) Evaluasi konteks adalah upaya
mengidentifikasi dan menilai kebutuhan-
kebutuhan yang mendasari disusunnya suatu
program. Evaluasi konteks untuk menjawab
pertanyaan: Apa yang perlu dilakukan?(What
needs to be done?). b) Evaluasi Masukan
(input) untuk mencari jawaban atas pertanyaan:
Apa yang harus dilakukan? (What should be
done?). Evaluasi ini mengidentifikasi problem,
asset dan peluang untuk membantu para
pengambil keputusan mengidentifikasi tujuan,
prioritas, dan manfaat-manfaat dari program,
menilai pendekatan alternatif, rencana
tindakan, rencana staf dan anggaran untuk
feasibilitas dan potensi cost effectiveness untuk
memenuhi kebutuhan dan tujuan yang
ditargetkan. Para pengambil keputusan
memakai evaluasi masukan dalam memilih
rencana-rencana yang ada, menyusun proposal
pendanaan, alokasi sumber-sumber,
menetapkan staf, menskedul pekerjaan, menilai
rencana-rencana aktivitas, dan penganggaran.
3) Evaluasi Proses berupaya untuk mencari
jawaban atas pertanyaan dari: Apakah program
sedang dilaksanakan? (Is it being done?).
Evaluasi ini berupaya mengakses pelaksanaan
dari rencana untuk membantu staf program
melaksanakan aktivitas dan kemudian
membantu kelompok pemakai lebih luas
menilai program dan menginterpretasikan
manfaat. 4) Evaluasi produk diarahkan untuk
mencari jawaban pertanyaan: Did it succed?.
Evaluasi ini berupaya mengidentifikasi dan
mengakses keluaran dan manfaat, baik yang
direncanakan atau tidak direncanakan, baik
jangka pendek maupun jangka panjang.
Evaluasi produk merupakan tahap akhir dari
serangkaian evaluasi program. Jadi setelah
evaluasi produk selesai dapat
direkomendasikan hasil program yang berjalan
untuk merumuskan kebijakan berikutnya.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini merupakan
penelitian evaluatif menggunakan pendekatan
deskriptif kualitatif. Tempat penelitian di SD N
Tengaran Kecamatan Tengaran Kabupaten
Semarang Provinsi Jawa Tengah. Subyek
dalam penelitian ini adalah Kepala Sekolah,
pendidik, dan peserta didik SD N Tengaran.
Teknik pengumpulan data menggunakan
wawancara, observasi dan studi dokumen.
Instrumen pengumpulan data berupa lembar
wawancara, lembar observasi dan lembar
dokumentasi. Untuk menguji keabsahan data
pada penelitian ini digunakan teknik triangulasi
sumber dan tringulasi teknik. Teknik analisis
data yang digunakan adalah analisa data
kualitatif. Analisa data di dalam penelitian
kualitatif ini didasarkan pada metode evaluasi
program dengan model CIPP.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Konteks Program Budaya Membaca di SD N
Tengaran Kabupaten Semarang
Komponen pada evaluasi konteks
adalah: 1) apakah program budaya membaca
merupakan kebutuhan sekolah; 2) apa tujuan
dari program budaya membaca serta; 3) siapa
Evaluasi Program Budaya Membaca di Sekolah Dasar Negeri | Andri Sulistyo
53
sasaran dari program budaya membaca. Latar
belakang dirancangnya program budaya
membaca di SD N Tengaran adalah Kepala
Sekolah melihat bahwa kemampuan baca tulis
siswa masih kurang, yaitu ada beberapa siswa
kelas 1, 2, 3 bahkan kelas 5 belum lancar
membaca. Hal ini terlihat ketika salah satu
siswa kelas 5 diberi tugas untuk membacakan
UUD 1945 ketika Upacara Bendera hari senin
namun siswa tersebut belum lancar membaca.
Permasalahan ini serupa dengan penelitian
yang dilakukan oleh Nurfalah (2015) yang
menyatakan bahwa siswa kelas II di SDN 1
Wosu Kecamatan Bungku Barat Kabupaten
Morowali belum lancar membaca, serta
penelitian yang dilakukan oleh Sukartiningsih
(2005) yang menemukan bahwa siswa kelas I
SD N Arjosari 1 belum lancar membaca dan
menulis.
Untuk mengatasi permasalahan
rendahnya kemampuan membaca siswa SD N
Tengaran pihak sekolah merancang program
budaya membaca. Melalui program ini
diharapkan kegiatan membaca menjadi
kebiasaan bagi siswa selanjutnya kemampuan
membaca siswa meningkat. Hal ini sesuai
dengan pengertian program menurut Widoyoko
(2009: 8) yaitu serangkaian kegiatan yang
direncanakan dengan seksama dan dalam
pelaksanaannya berlangsung dalam proses
yang berkesinambungan, dan terjadi dalam
suatu organisasi yang melibatkan orang
banyak. Berdasarkan permasalahan tersebut
dapat diketahui bahwa program budaya
membaca merupakan kebutuhan siswa SD N
Tengaran. Hal ini senada dengan pengertian
kebutuhan menurut Wirawan (2011: 19) yaitu
ketimpangan antara kondisi dan keadaan
sekarang atau apa yang terjadi dengan keadaan
yang diinginkan atau keadaan yang seharusnya.
Tujuan dari program budaya membaca
di SD N Tengaran adalah untuk melatih
keterampilan membaca dan menulis, khususnya
meningkatkan literasi bagi siswa. Hal ini sesuai
dengan tujuan Gerakan Literasi Sekolah yaitu
untuk menumbuhkembangkan budi pekerti
peserta didik melalui pembudayaan ekosistem
literasi sekolah yang diwujudkan dalam
Gerakan Literasi Sekolah agar mereka menjadi
pembelajar sepanjang hayat (Direktorat
Jenderal Pendidikan Dasar Dan Menengah
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan
Tahun 2016 hal 2). Program budaya membaca
sendiri sangat penting bagi siswa SD N
Tengaran karena dengan adanya program
budaya membaca siswa akan mempunyai
wawasan yang lebih luas, serta program ini
dapat membantu siswa dalam mengikuti proses
pembelajaran dan pengembangan diri. Hal ini
serupa dengan hasil penelitian yang dilakukan
oleh Heather Thomas (2013: 56) menyatakan
bahwa program literasi berkontribusi dalam
meningkatkan prestasi siswa.
Input Program Budaya Membaca di SD N
Tengaran Kabupaten Semarang
Program budaya membaca merupakan
jawaban dari permasalahan dari rendahnya
kemampuan membaca siswa SD N Tengaran.
Hal ini sesuai dengan pendapat dari Wirawan
(2011: 19) yang menyatakan bahwa assesmen
kebutuhan perlu dilakukan sebelum
merencanakan suatu kebijakan, program atau
proyek, Hal ini dilakukan untuk
mengidentifikasi dan mendefinisikan
kebutuhan dan mengumpulkan sejumlah
alternatif untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Dari alternatif yang dipilih merupakan inti dari
rencana program untuk memenuhi kebutuhan.
Program budaya membaca di SD N
Tengaran sudah sesuai dengan juklak dan
juknis yang dibuktikan dengan 7 kegiatan
program yaitu membaca 5 menit sebelum PBM,
membaca masal, membuat mading, cipta baca
puisi, membuat pidato, merangkum hasil
bacaan dan menulis buku harian (Diary). Tiga
kegiatan bersifat rutin (membaca 15 menit
sebelum PBM, merangkum hasil bacaan dan
menulis buku harian (Diary)) serta empat
kegiatan yang dilakukan ketika jeda semester
Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017
54
(membaca masal, membuat mading, cipta baca
puisi, membuat pidato), namun terkhusus untuk
kegiatan cipta baca puisi dan membuat pidato
sering dipersiapkan untuk mengikuti
perlombaan.
Program hanya bisa berjalan komponen
pendukung berfungsi sebagaimana mestinya,
adapun komponen pendukung meliputi: 1)
Sumber daya manusia; 2) Sarana prasarana
pendukung; 3) Dana/anggaran; 4) Berbagai
prosedur dan aturan yang diperlukan. Oleh
karena itu dapat diketahui sumber daya
pendukung program budaya membaca di
sekolah ini dari visi dan misi serta tujuan
sekolah. Karakteristik pemimpin, guru dan
warga sekolah harus melingkupi visi dan misi
serta tujuan sekolah.
Kepala Sekolah mempunyai tanggung
jawab yang besar terhadap pelaksanaan
program budaya membaca. Kemampuan
manajemen Kepala Sekolah dalam
menjalankan program budaya membaca ini
berpengaruh dalam pelaksanaan program.
Kebijakan dan keputusan yang diambil Kepala
Sekolah dalam mengatasi kendala yang muncul
pada saat proses pelaksanaan program budaya
membaca sangat menentukan keberhasilan
program tersebut. Kemampuan Kepala Sekolah
dalam bekerja sama dengan guru dapat
melancarkan pelaksanaan sehingga tidak
muncul masalah dalam melaksanakan kegiatan
program budaya membaca di SD N Tengaran.
Guru sebagai SDM juga mempunyai peranan
yang besar dalam mensukseskan kegiatan
program budaya membaca. Untuk itu guru
mendapatkan pelatihan dari Sekolah berupa
supervisi guru, selain itu guru juga
mendapatkan pelatihan dari USAID
PRIORITAS mengenai budaya membaca, guna
mempersiapkan diri untuk melaksanakan
kegiatan-kegiatan pada program budaya
membaca. Berdasarkan uraian tersebut dapat
diketahui bahwa SDM sudah memadahi untuk
menunjang kegiatan program budaya
membaca.
Selain kredibilitas pengelola,
pelaksanaan program budaya membaca di SD
N Tengaran harus didukung keuangan sekolah.
Besaran dana yang dialokasikan untuk
pelaksanaan kegiatan program budaya
membaca di SD N Tengaran yang tercantum
dalam RKAS sebesar 5% dari penerimaan dana
BOS pertahunnya. Besaran dana tersebut
dinilai sudah memadahi untuk menunjang
kegiatan budaya membaca di SD N Tengaran.
Pengadaan sarana prasarana juga sebagai input
pelaksanaan program budaya membaca di SD
N Tengaran juga sudah memadahi. Adapun
sarana prasarana yang dipersiapkan antara lain
adalah, buku, ruang baca, teras baca (pralon
baca), sudut baca (didalam kelas), taman baca
(gazebo) serta peralatan lain yang mendukung
terlaksananya program tersebut. Dengan
adanya dukungan peralatan tersebut
pelaksanaan program menjadi lancar serta tidak
ada kendala.
Aturan-aturan juga dibuat untuk
mensukseskan kegiatan program budaya
membaca. Selain itu jadwal yang baik membuat
peminjaman buku berlangsung secara teratur.
Jadwal serta aturan dipajang pada tempat-
tempat yang strategis supaya siswa dengan
mudah membaca serta memahami kegiatan-
kegiatan program budaya membaca dengan
mudah. Penerapan pelaksanaan program
budaya membaca mendapat dukungan dari
beberapa pihak antara lain, warga sekolah,
komite sekolah, serta orang tua murid. Pihak
sekolah memiliki kapasitas yang tinggi sebagai
perencana dan pelaksana program budaya
membaca. Hal ini berkaitan dengan
keberhasilan pelaksanaan program budaya
membaca.
Proses Program Budaya Membaca di SD N
Tengaran Kabupaten Semarang
Pada tahun ajaran 2014/2015 program
budaya membaca mulai dilaksanakan. Hal ini
sebagai tindak lanjut dari kerjasama pihak
sekolah dengan USAID PRIORITAS. Pada
Evaluasi Program Budaya Membaca di Sekolah Dasar Negeri | Andri Sulistyo
55
tahap awal pelaksanaan program budaya
membaca SD N Tengaran membentuk panitia
literasi, yang selanjutnya menyusun rencana
program budaya membaca, kemudian
dimusyawarahkan kepada seluruh guru dalam
rapat kerja tahunan, dan akhirnya
disosialisasikan kepada seluruh warga sekolah
termasuk orangtua siswa. Rencana anggaran
biaya untuk koleksi buku dan fasilitas untuk
membaca harus disediakan. Dalam rencana
anggaran tersebut diuraikan jenis-jenis fasilitas
yaitu, ruang baca, sudut baca, teras baca serta
taman baca.
Pada dasarnya evaluasi proses untuk
mengetahui sampai sejauh mana rencana telah
diterapkan dan komponen apa yang perlu
diperbaiki. Dimulai dari peran guru dalam
melaksanakan kegiatan program budaya
membaca di sekolah sangatlah dibutuhkan agar
nantinya siswa benar-benar paham dan
mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Hal ini sesuai dengan temuan pada penelitian
yang dilakukan oleh Heather Thomas (2013),
bahwa guru merupakan komponen yang sangat
mendukung peningkatan kemampuan membaca
siswa terutama pada program literasi.
Namun kendala yang di hadapi oleh SD
N Tengaran adalah kurangnya komitmen guru
dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan
program budaya membaca, terutama pada
kegiatan yang bersifat rutinitas yaitu pada
kegiatan membaca 15 menit sebelum PBM dan
kegiatan merangkum. Pada kegiatan membaca
15 menit sebelum PBM belum berjalan sesuai
dengan jadwal, kendala yang dihadapi adalah
beberapa guru belum hadir saat kegiatan
berlangsung sehingga banyak kelas yang tidak
tertunggui, akibatnya kegiatan membaca 15
menit sebelum PBM terhambat pada
pelaksanaannya. Untuk mengatasi hal tersebut
dari pihak sekolah sudah melakukan berbagai
solusi antara lain adalah Kepala Sekolah
memberikan motivasi kepada guru-guru agar
mempunyai komitmen yang tinggi dalam
melaksanakan kegiatan membaca 15 menit
sebelum PBM. Selain itu guru lain yang sudah
hadir sebelum kegiatan berlangsung dimintai
tolong untuk menghendel kelas-kelas yang
belum tertunggui oleh guru kelas.
Pada kegiatan merangkum selain
konsistensi guru-guru yang lemah, pengawasan
orangtua yang kurang juga menjadi kendala.
Beberapa anak tidak melaksanakan kegiatan
ini. Hal ini dikarenakan kegiatan merangkum
dilaksanakan dirumah siswa, sehingga peran
orangtua menjadi sangat krusial dalam
melancarkan kegiatan merangkum. Solusi yang
sudah dilakukan pihak sekolah adalah guru
harus senantiasa bekerja sama dengan pihak
orangtua untuk selalu mengawasi kegiatan
belajar siswa ketika dirumah.
Berdasarkan hasil temuan di lapangan
dan kajian dokuman diperoleh informasi bahwa
pada aspek proses pelaksanaan program budaya
membaca di SD N Tengaran belum sepenuhnya
terlaksana dengan baik. Namun kendala-
kendala yang muncul pada tahap proses teratasi
dengan baik. Hal ini karena adanya kerja sama
yang baik dengan berbagai pihak yang terlibat
dalam proses pelaksanaan program budaya
membaca.
Produk Program Budaya Membaca di SD N
Tengaran Kabupaten Semarang
Evaluasi produk merupakan penilaian
yang dilakukan guna untuk melihat
ketercapaian/ keberhasilan suatu program
dalam mencapai tujuan yang ditentukan
sebelumnya. Hasil yang didapatkan dari
evaluasi produk adalah keuntungan
pelaksanaan program budaya membaca di SD
N Tengaran. Siswa mampu untuk membaca dan
menulis secara lancar sehingga mampu
membantu siswa dalam meningkatkan prestasi
belajar.
Dari ketujuh kegiatan program budaya
membaca terdapat lima kegiatan dengan ukuran
keberhasilan baru pada tingkat keterlibatan
siswa, bahwa ukuran kualitas belum
dimasukkan, yaitu 15 menit sebelum PBM
Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017
56
terdapat 90% siswa SD N Tengaran mampu
lancar membaca, 60% siswa SD N Tengaran
berani presentasi, 66% siswa mampu membuat
pidato secara mandiri, 66% siswa mampu
membuat merangkum hasil bacaan secara
mandiri, serta 90% siswa aktif menulis buku
harian (Diary), sedangkan untuk dua kegiatan
lain tingkat keberhasilan ukuran kualitas sudah
dimasukkan yaitu kegiatan cipta baca puisi dan
membuat pidato dipersiapkan untuk mengikuti
perlombaan. Untuk kegiatan cipta baca puisi
dari kelas 5 dan 6 yang dipersiapkan, kemudian
diseleksi untuk diperlombakan, satu anak lolos
seleksi tingkat Kecamatan untuk lomba
membaca puisi ketingkat Kabupaten,
sedangkan untuk kegiatan membuat pidato dari
65 siswa yang dipersiapkan, setelah melalui
seleksi, terdapat satu anak yang mendapat
peringkat 3 pada tingkat kecamatan.
Produk yang berupa hasil karya siswa
berupa hasil rangkuman (resume), buku harian
(diary), puisi, naskah pidato sederhana serta
karya-karya yang dipajang pada majalah
dinding (mading) juga merupakan ciri utama
keberhasilan pelaksanaan program budaya
membaca di SD N Tengaran. Keberhasilan
pelaksanaan program budaya membaca dapat
dilihat juga dari prestasi siswa SD N Tengaran
yang mampu menjuarai perlombaan membaca
pidato dan lomba membaca puisi tingkat
kecamatan, serta dengan meningkatnya nilai
siswa pada mata pelajaran bahasa Indonesia.
Selain daripada itu bertambahnya koleksi buku,
terciptanya taman baca, sudut baca, teras baca
serta ruang baca yang memadai, kondusif dan
menyenangkan. Berdasarkan uraian di atas
dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan program
budaya membaca di SD N Tengaran Kabupaten
Semarang menghasilkan produk yang sesuai
dengan yang diharapkan. Dampak positif dari
pelaksanaan program budaya membaca adalah
meningkatnya kemampuan dan minat membaca
siswa SD N Tengaran Kabupaten Semarang.
Hal ini sesuai dengan penelitian terdahulu yang
dilakukan oleh Syarifatul Fitria dan Suparno
(2016), bahwa dengan adanya pembelajaran
keterampilan membaca permulaan,
kemampuan membaca siswa TK Fastrack Fun
School Kelas A berkembang sesuai dengan
harapan. Hasil yang berbeda pada penelitian
yang dilakukan oleh James D. Quinn (2014),
bahwa model “Read to Learn” secara statistik
tidak memberikan dampak pada kelancaran
maupun pencapaian dalam membaca.
SIMPULAN
Pada aspek konteks, program budaya
membaca sangat dibutuhkan siswa di SD N
Tengaran. Adapun sasaran program budaya
membaca adalah seluruh warga sekolah
khususnya siswa. Tujuan dari program budaya
membaca adalah untuk melatih keterampilan
membaca dan menulis, khususnya
meningkatkan literasi bagi siswa. Pada spek
input, program budaya membaca di SD N
Tengaran sudah menjawab kebutuhan sekolah
dengan ditopang kegiatan, SDM, sarana dan
prasarana, dana serta mekanisme kerja yang
memadai.. Pada aspek proses pelaksanaan
program budaya membaca berjalan lancar
meski terdapat beberapa kendala kendala. Serta
pada aspek produk program budaya membaca
telah tercapai sesuai dengan rencana awal,
walaupun tingkat keberhasilan pada lima
kegiatan masih pada tingkat keterlibatan siswa
diantaranya: kegiatan membaca 15 sebelum
PBM, merangkum, menulis buku harian
(diary), membaca masal dan membuat mading,
sedangkan dua yang lain sudah pada tingkat
kualitas, yaitu kegiatan cipta baca puisi dan
membaca pidato.
SARAN
Saran yang bisa diberikan untuk
simpulan diatas bagi sekolah adalah:
1. Bagi Kepala Sekolah
Kepala Sekolah hendaknya menambah
pelatihan-pelatihan yang berkaitan dengan
program budaya membaca, agar motivasi
guru meningkat sehingga program budaya
Evaluasi Program Budaya Membaca di Sekolah Dasar Negeri | Andri Sulistyo
57
membaca dapat dilanjutkan dan berjalan
sesuai dengan rencana.
2. Bagi team literasi SD N Tengaran
a. Team literasi sekolah hendaknya
meningkatkan kualitas produk dari
setiap kegiatan dengan menetapkan
kriteria penilaian yang jelas.
b. Team literasi hendaknya menambah
kegiatan-kegiatan baru yang sesuai,
untuk mengembangkan program
budaya membaca.
3. Bagi Guru SD N Tengaran
Guru hendaknya senantiasa bekerja sama
dengan orangtua siswa agar meluangkan
waktu untuk mengawasi anak-anaknya
ketika belajar disekolah maupun dirumah.
4. Bagi sekolah lain
Sekolah-sekolah yang melaksanakan
program yang serupa, hendaknya selalu
mengevaluasi program secara mendalam
setidaknya satu atau dua tahun sekali agar
program yang sudah berjalan dapat
dilanjutkan sesuai dengan perencaan.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi dan Jabar, epi Safruddin
Abdul. 2010. EVALUASI PROGRAM
PENDIDIKAN: Pedoman Teoretis
Praktis Bagi Mahasiswa dan Praktisi
Pendidikan. Edisi Kedua, Cetakan ke
empat, Jakarta: Bumi Aksara.
Corinne Serra Smith, M.S. ED. 2009. An
Analysis and Evaluation of Sit Stay
Read: Is the Program Effective in
Improving Student Engagement and
Reading Outcomes?. Dissertations.
National-Louis University.
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Dan
Menengah Kementerian Pendidikan
Dan Kebudayaan. 2016. Panduan
Gerakan Literasi Sekolah Di Sekolah
Sekolah Dasar. Jakarta: Bagian
Perencanaan dan Penganggaran
Sekretariat Direktorat Jenderal
Pendidikan Dasar dan Menengah.
Endang Mulyaningsih. 2011. Riset Terapan
Bidang Pendidikan dan Teknik.
Yogyakarta: UNY Pres.
Fitria, Syarifatul & Suparno, 2016. Evaluasi
Pembelajaran Keterampilan Membaca
Permulaan Di Tk Fastrack Funschool
Kelas A Program Nusantara
Yogyakarta. jurnal Pendidikan dan
Pemberdayaan Masyarakat Volume 3
Nomor 1, Maret 2016, (85 - 96).
Gol A Gong & Agus M. Irkham. 2012. Gempa
Literasi. Dari Kampung Untuk
Nusantara. Jakarta: PT Gramedia.
Heather Thomas. 2013. An evaluation of the
literacy program at GaribaldiGrade
School. Doctor of Education. George
Fox University.
James D. Quinn. 2014. A Program Evaluation
of the Impact of a "Read to Learn"
Model on Alternative High School
Students' Lexile Levels and Reading
Achievements. A Dissertation
Submitted to the Gardner-Webb
University School of Education.
Nurfalah, 2015. Upaya Meningkatkan
Kemampuan Membaca Permulaan
Melalui Pendekatan Proses pada Siswa
Kelas II SDN 1 Wosu Kec. Bungku
Barat Kab. Morowali. Jurnal Kreatif
Tadulako Online Vol. 3 No. 1 ISSN
2354-614X.
OECD. (2015). PISA 2015 Results in Focus.
Programme for International Student
Assessment, 1–16.
https://www.oecd.org/pisa/pisa-2015-
results-in-focus.pdf
Peraturan Menteri Nomor 23 Tahun 2015
Tentang Penumbuhan Budi Pekerti.
Sugiyono, 2014. Metode Penelitian
Manajemen, Bandung: CV. Alfabeta.
Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017
58
Sukardi, 2008. EVALUASI PENDIDIKAN:
Prinsip & Operasionalnya. Jakarta:
Bumi Aksara.
Sukartiningsih, Wahyu, 2005. Peningkatan
Kemampuan Membaca Dan Menulis
Permulaan Melalui Pembelajaran
Konstruktivisme. JURNAL
PENDIDIKAN DASAR, VOL.6 NO.2.
Program PGSD FIP Universitas Negeri
Surabaya.
Tahira DuPree Chase. 2011. The Children Left
Behind: An Evaluation of a Reading
Intervention Program for Upper
Elementary Students. Education
Doctoral. St. John Fisher College.
Umar, Touku. 2013. Perpustakaan sekolah
dalam menanamkan budaya membaca.
Jurnal: UIN Alauddin, Gowa.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20
Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional BAB III Pasal 4 Nomor 5.
Widoyoko, Eko Putro. 2009. EVALUASI
PROGRAM PEMBELAJARAN:
Panduan Praktis Bagi Pendidik dan
Calon Pendidik. Yogyakarta: Pustaka
Belajar.
Wirawan, 2011. EVALUASI: Teori, Model,
Standar, Aplikasi, dan Profesi. Jakarta:
Rajawali Pers.
Magister Manajemen Pendidikan FKIP Universitas Kristen Satya Wacana [email protected]
ISSN 2549-9661 Volume: 4, No. 1, Januari-Juni 2017
Halaman: 59-71
59
PENGEMBANGAN MODEL MANAJEMEN PEMBELAJARAN
BERBASIS TIK DI SEKOLAH DASAR
Edna Maria
Magister Manajemen Pendidikan
FKIP-Universitas Kristen SatyaWacana
Eko Sediyono
Pasca Sarjana Sistem Informasi
FTI-Universitas Kristen Satya Wacana
ABSTRACT
The aim of this study is to develop model of ICT-based learning management. With this
tools and model, school can be easily monitor and evaluate the educational process. This
research done by Research and Development (R&D). The place of the research is at SD
Kristen Satya Salatiga, and data collection used interviews, observation and
documentation. The data were analyzed using descriptive analysis and triangulation
technique to test data validation. The result of the research are: The first step is Decision
Making of ICT-based Learning, The second step is Planning of ICT-based Learning, The
Third step is Implementation of ICT-based Learning, The Fourth step is Evaluation of
ICT-based Learning. The key success factor of this model is on the second step that is how
the teachers make the lesson plans and cooperate with all the parties related to the ICT-
based learning management.
Keywords : model, management, ICT-based learning
Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017
60
PENDAHULUAN
Tantangan pendidikan era modern salah
satunya adalah membekali generasi dengan
keterampilan abad 21 (Anderson, 2010:20).
Keterampilan yang harus dimiliki salah satunya
adalah keterampilan berkomunikasi
menggunakan TIK. Sekolah sebagai
penyelenggara pendidikan diharapkan dapat
menjadi wadah pelatihan bagi para siswa
dengan keterampilan tersebut. Sekolah dasar
jika dikembangkanmenjadi sekolah modern
yang memahami kebutuhan masa depan,
diharapkan dapat menjadi wadah untuk
membekali para siswa dengan keterampilan
abad 21. Oleh karena itu, mutu pembelajaran
perlu ditingkatkan.
Salah satu strategi peningkatan mutu
pembelajaran yang perlu dioptimalkan oleh
Sekolah Dasar yang modern adalah
menyelenggarakan pembelajaran berbasis TIK.
Pembelajaran berbasis TIK adalah
pembelajaran yang mengintegrasikan TIK
dalam pengelolaannya. Oleh karena itu,
diperlukan suatu model untuk melaksanakan
manajemen pembelajaran berbasis TIK di
Sekolah Dasar.Fakta di tempat penelitian
menunjukkan bahwa sekolah berpotensi
melaksanakan pembelajaran berbasis TIK
namun belum memiliki model dapat menjadi
acuan guru dan pihak-pihak yang terkait
langsung maupun tidak langsung dengan
manajemen pembelajaran berbasis
TIK.Pengembangan manajemen akan
dilakukan apabila ternyata di dalam
pelaksanaan manajemen terdapat masalah.
Manajemen pada hakikatnya merupakan proses
pemecahan masalah, sehingga langkah-langkah
manajemen tidak ubahnya sebagaimana
langkah-langkah pemecahan masalah, yaitu: (1)
Identifikasi masalah, (2) Diagnosis masalah, (3)
Penetapan tujuan, (4) Pembuatan Keputusan,
(5) Perencanaan, (6) Pengorganisasian, (7)
Pengkoordinasian, (8) Pendelegasian, (9)
Penginisiasian, (10) Pengkomunikasian, (11)
Kerja dengan kelompok-kelompok, (12)
Penilaian (Gorton, 1976).
Proses pembelajaran perlu
direncanakan, dilaksanakan, dinilai, dan
diawasi agar terlaksana secara efektif dan
efisien. Hal ini mengandung arti bahwa perlu
ada manajemen agar pembelajaran dapat
terlaksana sesuai tujuan yang diharapkan.
Manajemen yang dimaksud adalah manajemen
pembelajaran.Manajemen Pembelajaran
melibatkan 4 fungsi pokok yang menjadi
langkah dalam kegiatan manajemen. Menurut
Sa’ud dan Sumantri (2007:131) ada 4 peranan
guru sebagai manajer dalam proses pengajaran
yaitu:
1. Merencanakan yaitu: Menyusun tujuan
belajar mengajar (pengajaran).
Perencanaan yang dimaksud dilakukan
dengan mengembangkan perencanaan
tahunan, rencana semester, rencana bagian
(pokok bahasan), rencana mingguan dan
rencana harian (rencana pelajaran)
(Syafaruddin dan Nasution, 2005:94).
Perencanaan pembelajaran yaitu
seperangkat rencana dan pengaturan
kegiatan pembelajaran, media
pembelajaran, waktu, pengelolaan kelas,
dan penilaian belajar. Manfaat
perencanaan pembelajaran adalah untuk
memudahkan pembuatan persiapan
pembelajaran dan memudahkan
pengembangan pembelajaran yang aktif,
kreatif, efektif dan menyenangkan
(Triwiyanto, 2015:97-98).
2. Mengorganisasikan, yaitu menghubungkan
atau menggabungkan seluruh sumber daya
belajar mengajar dalam mencapai tujuan
secara efektif dan efisien.
3. Memimpin, yaitu memotivasi para peserta
didik untuk siap menerima materi
pelajaran,
4. Mengawasi, yaitu apakah pekerjaan atau
kegiatan belajar mengajar mencapai tujuan
pengajaran, salah satunya melalui evaluasi
Pengembangan Model Manajemen Pembelajaran Berbasis TIK di Sekolah Dasar | Edna Maria & Eko Sediyono
61
pengajaran, sehingga diketahui hasil yang
dicapai.
Fungsi pokok manajemen pembelajaran
adalah perencanaan, pengorganisasian,
kepemimpinan dan pengawasan (Sa’ud dan
Sumantri, 2007:131). Berkaitan dengan
integrasi TIK dalam pembelajaran, semua
fungsi pokok manajemen pembelajaran
tersebut dilaksanakan memanfaatkan
keunggulan teknologi informasi dan
komunikasi. Fungsi perencanaan, menurut
Kusmana (2011:44), bukti otentik terjadinya
pembelajaran berbasis TIK dapat dicermati dari
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
yang disusun dan implementasinya yang
dilaksanakan oleh setiap guru mata pelajaran di
sekolah. Hal tersebut sesuai dengan prinsip
pengembangan atau penyusunan RPP menurut
Triwiyanto (2015:100) yaitu menerapkan
teknologi informasi dan komunikasi serta
mempertimbangkan penerapan TIK secara
terintegrasi, sistematis, dan efektif sesuai
dengan situasi dan kondisi. Menurut Kusmana
(2011:44), RPP yang mengintegrasikan TIK
dalam pembelajaran dapat disusun melalui 2
(dua) pendekatan, pendekatan idealis dan
pendekatan pragmatis.Pendekatan idealis
dimulai dengan menentukan topik kemudian
tujuan pembelajaran yang ingin dicapai dan
menentukan aktifitas pembelajaran dengan
memanfaatkan TIK yang relevanuntuk
mencapai tujuan pembelajaran tersebut.
Pendekatan pragmatis dapat diawali dengan
mengidentifikasi TIK yang ada atau mungkin
bisa dilakukan atau digunakan, kemudian
memilih topik-topik apa yang bisa didukung
oleh keberadaan TIK tersebut, dan diakhiri
dengan merencanakan strategi pembelajaran
yang relevan untuk mencapai kompetensi dasar
dan indikator capaian hasil belajar dari topik
pelajaran tersebut.
Pembelajaran yang efektif, tentu
memerlukan manajemen yang efektif pula.
Menurut Syafaruddin dan Nasution (2005:17)
pembelajaran efektif ditangani oleh guru
profesional melalui manajemen pembelajaran
yang baik. Penelitian relevan terdahulu oleh
Kyakulumbye, dkk. (2013:453) mengenai
manajemen praktis integrasi TIK ke dalam
kurikulum SD di Uganda menemukan
bahwagaya dan strategi manajemen yang
terukur diperlukan agar integrasi TIK ke dalam
kurikulum SD sukses dilakukan. Diperlukan
manajemen kurikulum dan pembelajaran yang
baik dalam mengintegrasikan TIK ke dalam
kurikulum. Oleh karena itu, guru sebagai
manajer utama dalam pembelajaran yang
berbasis TIK memerlukan model manajemen
yang memberikan gambaran secara
keseluruhan tentang tahapan manajemen
pembelajaran berbasis TIK.
Berdasarkan latar belakang masalah
tersebut, rumusan masalah penelitian ini adalah
bagaimana mengembangkan dan
mengimplementasikan model manajemen
pembelajaran berbasis TIK sehingga
menghasilkan pembelajaran yang efektif.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian dan
pengembangan (Research and Development)
yang dikembangkan oleh Sugiyono (2012).
Langkah-langkah pengembangan yang
dimaksud adalah sebagai berikut: (1) potensi
dan masalah; (2) pengumpulan data; (3) desain
produk; (4) validasi desain; (5) perbaikan
desain; (6) Ujicoba produk; (7) Revisi Produk;
(8) Ujicoba pemakaian; (9) Revisi Produk; dan
(10) Produksi Masal. Langkah penelitian dan
pengembangan ini dilakukan secara terbatas
mulai dari langkah pertama sampai dengan
langkah kelima.
Langkah awal dilakukan studi
pendahuluan di lapangan mengenai potensi dan
masalah berkaitan dengan man/SDM,
method/model manajemen pembelajaran,
material/sarana dan prasarana,
machine/perangkat TIK dan money/dana yang
dialokasikan untuk integrasi TIK dalam
pembelajaran.Pada langkah kedua,
Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017
62
Pengumpulan data dilakukan melalui
wawancara, observasi dan studi dokumen.
Penelitian dilakukan di SD Kristen Satya
Wacana Salatiga. Subyek penelitian adalah
Kepala Sekolah, Koordinator Kurikulum,
Koordinator Sarana dan Prasarana, Koordinator
IT, dan guru.Uji validitas dan reliabilitas data
yang telah didapat menggunakan uji
kredibilitas (validitas internal).Teknik
trianggulasi sumber dan trianggulasi teknik
dilakukan sebagai pengujiannya.Teknik
analisis data yang digunakan adalah analisis
deskriptif kualitatif.Pada langkah ketiga,
Desain Produk dilakukan denganmerumuskan
desain model pembelajaran berbasis TIK
menggunakan pendekatan teori Gorton dan
mendukung terwujudnya PAIKEM. Model
yang digunakan yaitu paduan model deskriptif
dan model prediksi (Haryati, Sri, 2012). Model
ini menerangkan langkah-langkah dalam
mencapai tujuan dan pengaruh setiap langkah
pada langkah lainnya secara lebih aktual berupa
konsep yang belum diaplikasikan dalam uji
coba namun telah melewati uji validasi. Pada
langkah keempat, Validasi Desain dilakukan uji
validasi produk yang memenuhi standar teori
dan ilmiah oleh dua orang pakar, seorang
pengambil kebijakan yaitu Kepala Sekolah SD
Kristen Satya Wacana. Pada langkah kelima,
Perbaikan Desain berdasarkan hasil validasi
dan saran dari validator sehingga diperoleh
model manajemen pembelajaran berbasis TIK
yang dapat dijadikan acuan dalam
melaksanakan manajemen pembelajaran.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan penelitian dan
pengembangan yang dilakukan, maka
dijabarkan langkahnya sebagai berikut:
Potensi dan Masalah
Berkaitan dengan Man/SDM, SD
Kristen Satya Wacana memiliki potensi SDM
yang memadai.Guru-guru mayoritas sudah
memanfaatkan TIK sehingga sangat berpotensi
jika pengelolaan pembelajaran terintegrasi
dengan TIK. Namun masih ada beberapa guru
yang masih merasa nyaman dengan
pembelajaran konvensional, sehingga tidak
mengupayakan diri belajar menguasai TIK. Hal
ini sesuai dengan wawancara dengan
Koordinator Kurikulum ketika ditanya
mengenai kesulitan guru-guru dalam
merencanakan pembelajaran yang
memanfaatkan TIK.
“Mayoritas guru memakai TIK sehingga tidak
ada kendala yang berarti bagi guru-guru dalam
merencanakan pembelajaran yang
memanfaatkan TIK.”
(Wawancara, dengan Koordinator
Kurikulum, 28 Juni 2016)
Diperjelas oleh Koordinator IT dan Kepala
sekolah saat ditanya mengenai potensi
pembelajaran yang memanfaatkan TIK:
“Potensi pembelajaran yang memanfaatkan
TIK besar karena guru-guru di sekolah ini mau
belajar hanya 1 atau 2 guru yang benar-benar
tidak mau belajar menggunakan TIK.”
(Wawancara, dengan Koordinator IT, 01 Juli
2016)
“Sejauh ini integrasi TIK dalam pembelajaran
masih tergantung pada guru, belum semua
melaksanakan karena ada beberapa guru yang
penguasaan TIKnya belum optimal. Namun
guru yang sudah menguasai pasti selalu
menggunakan TIK.”
(Wawancara, dengan Kepala Sekolah, 30 Juni
2016)
Data dari hasil wawancara dengan guru,
Koordinator IT bahwa guru masih mengalami
kesulitan dalam menguasai TIK dikuatkan
dengan data dokumentasi RKS (Rencana Kerja
Sekolah) tahun pelajaran 2015/2016 mengenai
pengadaan pelatihan TIK di SD Kristen Satya
Wacana yang belum dilaksanakan padahal
target yang diharapkan dilaksanakan dua kali
dalam satu tahun pelajaran. Hal ini tentu saja
akan mengurangi kesempatan pembekalan TIK
bagi guru terutama yang belum menguasai TIK.
Berkaitan dengan method/model
manajemen pembelajaran, Manajemen
Pengembangan Model Manajemen Pembelajaran Berbasis TIK di Sekolah Dasar | Edna Maria & Eko Sediyono
63
pembelajaran yang dilakukan di SD Kristen
Satya Wacana menganut kurikulum baru yaitu
kurikulum 2013.Pelaksanaan pembelajaran
yang memanfaatkan TIK oleh guru sudah
dilakukan namun dalam hal perencanaan
pembelajaran guru-guru merasa kesulitan
dalam hal penyiapan administrasi kelas seperti
pembuatan silabus dan RPP.Jika dikaitkan
dengan efektivitas manajemen pembelajaran
yang dilaksanakan di SD Kristen Satya
Wacana, dapat dinilai belum maksimal.
Berdasarkan fakta di lapangan bahwa dari
semua guru SD Kristen Satya Wacana yang
diwawancara, sebagian besar belum membuat
RPP sebagai pedoman bagi perencanaan
pembelajaran. Perencanaan yang baik disertai
dengan rincian yang teliti dan harus dilakukan
dengan sebaik-baiknya (Bafadal, 2009:41-42).
Berkaitan dengan material/sarana dan
prasarana, SD Kristen Satya Wacana dalam hal
sarana prasarana cukup memperhatikan dalam
hal pemenuhan kebutuhan bagi berlangsungnya
pembelajaran. Hal ini dikemukakan dalam
wawancara dengan guru-guru dan Koordinator
Sarpras bahwa sekolah sudah mengupayakan
pengadaan sarana prasarana semaksimal
mungkin sesuai anggaran. Masalah yang
dikelukan adalah dalam hal pemeliharaan
sarana prasarana yang sudah tersedia.Data yang
peneliti peroleh mengenai Sarana dan Prasarana
di SD Kristen Satya Wacana dikuatkan oleh
wawancara, observasi dan dokumentasi.
Berkaitan dengan machine/perangkat
TIK, pembelajaran yang memanfaatkan TIK
tidak lepas dari perangkat TIK. SD Kristen
Satya Wacana sudah berusaha mengupayakan
pengadaan perangkat TIK.Masalah yang
selama ini menjadi kendala berkaitan dengan
perangkat TIK yang dimiliki sekolah adalah
dalam hal pemeliharaan. Seperti yang
terungkap dari wawancara dengan Koordinator
IT dan guru-guru bahwa laboratorium
komputer dalam keadaan rusak, hanya
beberapa komputer saja yang dapat dipakai,
yang lain meski sudah diperbaiki tetap saja
rusak lagi, sehingga ini menghambat
pembelajaran yang menggunakan laboratorium
komputer.Data yang terangkum telah
diverifikasi oleh data terbaru dari Koordinator
Sarpras.
Berkaitan dengan money/dana yang
dialokasikan untuk integrasi TIK dalam
pembelajaran, secara lebih spesifik
pengalokasian dana untuk integrasi TIK dalam
pembelajaran sudah ada namun terbatas dan
masih menjadi kendala utama. Hal ini
dikemukakan oleh Kepala Sekolah dalam
wawancara mengenai pengelolaan infrastruktur
TIK di sekolah dan kendala integrasi TIK
dalam pembelajaran seperti dikutip sebagai
berikut:
“...Kebutuhan akan pendanaan dengan batasan
lima ratus ribu rupiah, di atas nilai tersebut
pengadaan infrastruktur seijin kepalasekolah
namun di bawah nilai tersebut langsung
dengan Koordinator Sarpras. ...Kendala utama
ada pada biaya, misalnya mengenai pengadaan
laboratorium komputer, pemeliharaan LCD,
setting ruang khusus TIK belum ada, dana
untuk kebutuhan fotocopy lembar aktifitas
siswa cukup besar kurang lebih dua juta per
bulan.”
(Wawancara, dengan Kepala Sekolah, 30
Juni 2016)
Data wawancara mengenai dana dengan kepala
sekolah dikuatkan dengan data dari
Koordinator Sarpras dan Kepala Tata Usaha.
Desain Produk
Pengembangan model manajemen
pembelajaran berbasis TIK dilakukan dengan
merumuskan desain model manajemen
pembelajaran dengan pendekatan teori oleh
Gorton. Langkah 1-4 merupakan model
pengambilan keputusan (Usman, 2006:322-
325). Langkah manajemen dengan pendekatan
teori Gorton dapat disederhanakan menjadi
empat tahap berdasarkan kebutuhan akan
manajemen pembelajaran, yakni Tahap
Pengambilan Keputusan Pembelajaran, Tahap
Perencanaan Pembelajaran, Tahap Pelaksanaan
Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017
64
Pembelajaran, dan Tahap Evaluasi
Pembelajaran. Tahap - tahap tersebut dapat
dikembangkan menjadi model manajemen
pembelajaran berbasis TIK.Berdasarkan hasil
analisis potensi dan masalah, maka dibuat
desain model manajemen pembelajaran
berbasis TIK yang mendukung terwujudnya
PAIKEM. Langkah manajemen tersebut
terlihat seperti gambar di bawah ini:
Gambar 1 Langkah Manajemen Pembelajaran Pendekatan Teori Gorton
Model manajemen pembelajaran
berbasis TIK ini melibatkan pihak-pihak yang
terkait baik langsung maupun tidak langsung
dalam pembelajaran yang berbasis TIK
diantaranya adalah: Kepala Sekolah,
Koordinator bidang Kurikulum, Koordinator
bidang IT, Koordinator bidang Sarana dan
Prasarana, serta guru. Masing-masing pihak
memiliki peran dalam langkah manajemen
seperti pada gambar di bawah ini:
Pengembangan Model Manajemen Pembelajaran Berbasis TIK di Sekolah Dasar | Edna Maria & Eko Sediyono
65
Gambar 2 Tahapan dan Pelaksana Manajemen Pembelajaran Berbasis TIK
Tahap Pengambilan Keputusan
Pembelajaran Berbasis TIK melibatkan tim
yang terdiri dari: Kepala Sekolah, Koordinator
bidang Kurikulum dan Guru. Pada Tahap
Perencanaan Pembelajaran Berbasis TIK
melibatkan Kepala Sekolah, Guru, Koordinator
Kurikulum, Koordinator IT, serta Koordinator
Sarana dan Prasarana. Pada Tahap Pelaksanaan
Pembelajaran Berbasis TIK melibatkan Guru,
Koordinator IT dan Koordinator Sarana dan
Prasarana. Pada Tahap Evaluasi Pembelajaran
Berbasis TIK melibatkan Kepala Sekolah,
Koordinator Kurikulum, Kurikulum IT,
Koordinator Sarana dan Prasarana serta Guru.
Pada tahap pengambilan keputusan
pembelajaran berbasis TIK, Kepala Sekolah
berhak mengambil segala keputusan terhadap
adanya pembelajaran. Kepala Sekolah terlebih
dahulu mengidentifikasi masalah pembelajaran
berbasis TIK, apakah berkaitan dengan
kebijakan ataukah berkaitan dengan
pembiayaan. Setelah didiagnosis apakah ada
kecukupan anggaran atau dasar kebijakan untuk
program pembelajaran berbasis TIK yang
diajukan oleh Koordinator Kurikulum maka
perlu ditetapkan tujuan program pembelajaran
berbasis TIK sehingga berujung kepada
pembuatan keputusan berdasar kebijakan atau
kecukupan anggaran program pembelajaran
tersebut.
Pada tahap pengambilan keputusan,
guru juga mempunyai wewenang dalam hal ini
berkaitan langsung dengan materi
pembelajaran yang akan diberikan pada siswa
di kelas. Guru sebelum merencanakan
pembelajaran berbasis TIK perlu
mengidentifikasi dan mendiagnosis masalah
yang berkaitan dengan kebutuhan integrasi TIK
dalam pembelajaran seperti materi
pembelajaran dalam bentuk konten digital,
kebutuhan siswa, ketersediaan infrastruktur
untuk kemudian menetapkan tujuan
pembelajaran dan membuat keputusan
pembelajaran berbasis TIK sesuai dengan
keputusan Kepala Sekolah.
Pada tahap Perencanaan Pembelajaran
Berbasis TIK, Kepala Sekolah ikut terlibat
dalam perencanaan pembelajaran berbasis TIK
selaras dengan perencanaan pembelajaran oleh
guru dan sesuai dengan pengembangan
kurikulum serta penjadwalan guru oleh
Koordinator Kurikulum. Perencanaan
pembelajaran berbasis TIK yang dibuat oleh
Guru bekerjasama dengan Koordinator IT dan
Koordinator Sarpras dalam hal kesiapan
infrastruktur, konten digital dan penjadwalan
penggunaan sarpras yang dibutuhkan pada saat
pelaksanaan pembelajaran. Guru dapat
menggunakan salah satu dari dua pendekatan
perencanaan pembelajaran yang berbasis TIK
yaitu pendekatan idealis atau pendekatan
pragmatis. Guru juga harus merencanakan
strategi pembelajaran yang relevan (Kusmana,
2011:44).
Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017
66
Tahap Pelaksanaan Pembelajaran
Berbasis TIK melibatkan Guru sebagai manajer
utama dalam pembelajaran. Guru melakukan
pengorganisasian sumber daya belajar yang
berbasis TIK, kemudian mengkoordinasikan
tugas-tugas pembelajaran dengan siswa sesuai
dengan RPP yang telah dibuat. Guru
selanjutnya mendelegasikan tugas-tugas
tersebut pada siswa sesuai dengan kemampuan
siswa menggunakan TIK.
Pada pelaksanaan pembelajaran guru
juga melakukan penginisiasian yaitu
pengerahan atau kepemimpinan dimana guru
memotivasi peserta didik untuk siap berperan
aktif dalam pembelajaran. Guru kemudian
mengkomunikasikan materi yang berupa
konten digital kepada siswa menggunakan
perangkat TIK yang telah direncanakan.
Pembelajaran berbasis TIK dapat dilaksanakan
dengan teknik berkelompok. Hal ini akan
memudahkan siswa dalam bekerjasama dan
bertukar informasi serta mengatasi pemerataan
kemampuan siswa dalam menggunakan TIK
dalam pembelajaran. Pada tahap ini, Kepala
Sekolah juga melakukan monitoring dan
evaluasi melalui kegiatan supervisi terhadap
pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan oleh
guru (Triwiyanto, 2015:66).
Tahap terakhir dalam manajemen
pembelajaran berbasis TIK adalah Evaluasi
Pembelajaran berbasis TIK. Pada tahap ini
melibatkan Koordinator Kurikulum dalam hal
mempersiapkan penjadwalan kegiatan evaluasi
seperti Tes yang bersifat formatif seperti
ulangan harian dan sumatif yaitu Tes Tengah
Semester, Tes Akhir Semester. Koordinator
Kurikulum bekerjasama dengan guru dalam
pengadaan soal tes yang berbasis TIK dibantu
oleh Koordinator IT dan Koordinator Sarpras.
Kepala Sekolah pada tahap ini juga
melaksanakan kegiatan supervisi pembelajaran
untuk memantau evaluasi pembelajaran.
Hasil akhir yang diharapkan dari setiap
tahapan adalah sebagai berikut:
- Tahap Pengambilan Keputusan
Pembelajaran Berbasis TIK menghasilkan
Program Pembelajaran yang tertuang
dalam RKS (Rencana Kerja Sekolah) serta
Program dan Anggaran tiap bidang
berkaitan dengan anggaran kebutuhan
program pembelajaran berbasis TIK.
Program pembelajaran yang direncanakan
dapat berupa program e-education
misalnya e-learning, e-library. Setelah
dibuat keputusan bersama untuk tiap
bidang yang terkait langsung dengan
pembelajaran di kelas (Bidang Kurikulum,
Bidang Sarana Prasarana, Bidang IT) dan
disahkan oleh Kepala Sekolah, maka dapat
dilanjutkan ke tahap selanjutnya.
- Tahap Perencanaan Pembelajaran Berbasis
TIK menghasilkan Prota, Promes, Silabus,
Rencana Mingguan serta Rencana Harian
atau RPP dengan pendekatan integrasi
TIK. RPP yang terintegrasi TIK ini disusun
dan dikembangkan bersama melibatkan
Kepala Sekolah berkaitan dengan supervisi
pembelajaran; Koordinator Kurikulum;
berkaitan dengan program dan anggaran
yang telah dibuat; Koordinator Sarpras
berkaitan dengan ketersediaan dan
penjadwalan penggunaan sarpras;
Koordinator IT dibantu dengan timnya
berkaitan dengan materi pembelajaran
berupa konten digital atau aktifitas
pembelajaran yang memanfaatkan TIK
yang harus dipersiapkan.
- Tahap Pelaksanaan Pembelajaran Berbasis
TIK menghasilkan PAIKEM
(Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif,
Efektif, Menyenangkan). Siswa melalui
TIK dimungkinkan untuk ikut aktif dalam
pembelajaran, menghasilkan karya yang
bersifat inovatif, kreatif sehingga siswa
mencapai tujuan pembelajaran
sebagaimana yang diharapkan.
Keterlibatan siswa membuat siswa belajar
asyik dengan percaya diri dan tertantang
Pengembangan Model Manajemen Pembelajaran Berbasis TIK di Sekolah Dasar | Edna Maria & Eko Sediyono
67
untuk melakukan hal serupa atau bahkan
hal yang lebih berat lagi.
- Tahap Evaluasi Pembelajaran Berbasis
TIK menghasilkan hasil penilaian yang
sahih, objektif, adil, terpadu, terbuka,
menyeluruh dan berkesinambungan,
sistematis, beracuan kriteria, serta
accountable (Triwiyanto, 2015:190). Hal
tersebut dimungkinkan dengan
melaksanakan tes berbasis komputer.
Pengelolaan sistem penilaian ini akan
menjadi efisien dalam hal penghematan
biaya pengadaan kertas dan waktu untuk
proses koreksi, karena tergantikan dengan
sistem komputer yang dibuat dalam bentuk
program komputer. Hasil penilaian
dilaporkan kepada orangtua siswa dalam
bentuk rapor baik laporan pendidikan di
tengah semester maupun di akhir semester
dalam bentuk digital (berbasis web atau
berbasis mobile) dan atau kertas.
Berkaitan dengan kegiatan supervisi
pembelajaran berbasis TIK yang merupakan
bagian dari pengawasan atau monitoring dan
evaluasi, Kepala Sekolah akan lebih mudah
melaksanakannya jika semua tahap masuk
dalam sistem berbasis internet yang dapat
diakses dimana saja dan kapan saja. Model
manajemen pembelajaran berbasis TIK seperti
gambar di bawah ini:
Gambar 3 Model Manajemen Pembelajaran Berbasis TIK
ValidasiProduk
Model Pembelajaran Berbasis TIK
divalidasi oleh 3 Validator yaitu: (1) Dr.
Bambang Suteng Sulasmono, M. Si. (2) Dr.
Dra. Ade Iriani, M. M. (3) Pujiono, S. Pd.
Beberapa saran dari validator tersebut antara
lain: Validator 1: Terdapat banyak struktur
kalimat yang perlu diperbaiki. Beberapa bagian
perlu dielaborasi lebih lanjut agar semakin
jelas, Validator 2: Perbaikan tata bahasa dalam
bahasa Indonesia yang baik, Validator 3: Perlu
ditambahkan tujuan yang sasarannya untuk
siswa. Perlu penataan sub judul agar tidak
terpisah dari uraiannya agar memudahkan
dalam membaca.
Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017
68
PerbaikanProduk
Berdasarkan hasil validasi dan saran
dari validator, selanjutnya dilakukan perbaikan
sehingga diperoleh model manajemen
pembelajaran berbasis TIK yang dapat
dijadikan acuan untuk pelaksanaan manajemen
pembelajaran. Perbaikan yang dilakukan antara
lain: memperbaiki struktur kalimat,
mengelaborasi pada bagian konsep
pembelajaran berbasis TIK dan menambahkan
halaman rujukan pada bagian yang memerlukan
rujukan konsep; memperbaiki tata bahasa yang
belum menggunakan bahasa Indonesia yang
baik sehingga jelas subyek, predikat, obyek dan
keterangannya; menambahkan tujuan yang
berkaitan dengan siswa dan menata kembali sub
judul agar tidak terpisah dari uraiannya
sehingga mudah dibaca.
Pembahasan
Model ini disesuaikan dengan situasi
dan kondisi tempat penelitian agar dapat
diimplementasikan dengan mudah.
Keberhasilan implementasi model kembali
kepada pelaksanaan secara menyeluruh,
bertahap dan sesuai dengan kerjasama semua
pihak yang terkait dengan pembelajaran.
Kunci keberhasilan model manajemen
pembelajaran berbasis TIK terletak pada tahap
perencanaan pembelajaran berbasis TIK yang
dikerjakan oleh guru melibatkan pihak-pihak
yang terkait langsung dengan pembelajaran
berbasis TIK. Sesuai fungsi dari perencanaan
pembelajaran adalah sebagai panduan atau
pedoman dalam penyusunan program
pembelajaran, penyiapan proses pembelajaran,
penyiapan bahan/media/sumber belajar, dan
penyiapan perangkat penilaian sehingga
memudahkan pembuatan persiapan
pembelajaran dan pengembangan pembelajaran
PAIKEM (Triwiyanto, 2015:97-98).
Melalui perencanaan pembelajaran,
persiapan integrasi TIK dalam RPP disusun
dengan pertimbangan sedemikian rupa
menyesuaikan situasi dan kondisi sekolah.
Kesulitan yang dihadapi guru dalam
pengembangan RPP dapat diatasi dengan
melakukan kerjasama dengan guru lain yang
memegang tingkat kelas yang sama dengan
fasilitasi dan supervisi oleh kepala sekolah atau
guru senior yang ditunjuk.
Penelitian terdahulu yang berkaitan
dengan pengembangan manajemen
pembelajaran lebih memfokuskan pada
integrasi TIK dalam pembelajaran, penelitian
lain yang dilakukan mengembangkan model
sistematik integrasi TIK (Wang dan Woo,
2007:148-156) dan mengenai model umum
untuk membimbing integrasi TIK dalam
pengajaran dan pembelajaran (Wang,
2008:411-419). Kedua penelitian ini
merupakan bagian dari manajemen
pembelajaran namun bukan model manajemen
pembelajaran itu sendiri.
Penelitian lainlebih menekankan pada
manajemen integrasi TIK ke dalam kurikulum
sekolah dasar (Kyakulumbye dan Katono,
2013). Fungsi manajemen yang digunakan
hanya tiga yaitu perencanaan, pengorganisasian
dan pengkoordinasian. Kesamaan kunci model
pada penelitian ini adalah pada fungsi
perencanaan. Perencanaan menjadi salah satu
aspek kunci dalam manajemen kurikulum.
Fungsi manajemen yang dikaji pada penelitian
tersebut melibatkan manajer sekolah dan guru.
Hampir sama namun belum menjelaskan secara
lengkap sampai kepada fungsi manajemen yang
terakhir namun penting yaitu evaluasi. Menurut
Triwiyanto (2015:183) fungsi evaluasi
dilakukan untuk menilai efisiensi, efektivitas,
manfaat, dampak dan keberlanjutan suatu
program atau kegiatan dalam hal ini program
pembelajaran. Dari fungsi evaluasi akan dapat
diukur ketercapaian program yaitu sejauh mana
kegiatan pembelajaran dapat dilaksanakan.
Ada tiga komponen kunci yang
mempengaruhi efektivitas integrasi TIK dalam
pengajaran dan pembelajaran yaitu pedagogi,
interaksi sosial dan teknologi. Namun selain
ketiga komponen tersebut, kemampuan
Pengembangan Model Manajemen Pembelajaran Berbasis TIK di Sekolah Dasar | Edna Maria & Eko Sediyono
69
manajemen juga merupakan keterampilan yang
penting diperlukan dalam rangka melaksanakan
pembelajaran berbasis TIK (Wang, 2008:417).
Model manajemen pembelajaran berbasis TIK
ini berfokus pada fungsi manajemen yang
diperlukan dalam melaksanakan pembelajaran
berbasis TIK dari awal sampai akhir. Faktor
kunci yang berkaitan dengan implementasi TIK
selain sikap dan etos yaitu koordinasi dan
manajemen (Tearle, 2004). Secara teori, model
ini sudah mendapat landasan yang kuat bahwa
diperlukan gambaran manajemen yang jelas
dan terukur untuk mencapai tujuan
pembelajaran berbasis TIK.
Model manajemen pembelajaran
berbasis TIK ini cukup lengkap dikembangkan
dengan tujuan agar efektivitas manajemen
diperoleh secara maksimal. Jika ditinjau dari
manfaat teoritis, model ini menyajikan lengkap
dengan tahap pengambilan keputusan yang
dilaksanakan sebelum tahap perencanaan.
Inilah yang menjadi kebaruan dari model
manajemen pembelajaran ini. Masalah yang
ditemukan berdasarkan evaluasi pembelajaran
yang lalu dapat menjadi dasar pengambilan
keputusan bagi perencanaan pembelajaran yang
akan datang. Hasil penelitian terdahulu
menyatakan bahwa sekolah berbasis TIK perlu
rencana kebijakan TIK yang jelas agar
koordinator yang ditunjuk sebagai pemimpin
memiliki arahan kerja yang jelas pula
(Vanderlinde, dkk, 2012). Hasil evaluasi proses
pembelajaran yang sebelumnya perlu
dipertimbangkan dalam rangka membuat
keputusan. Temuan masalah yang didapat dari
tahap ini akan menjadi dasar untuk menentukan
kebutuhan pembelajaran yang akan datang.
Kemudahan dalam monitoring dan
evaluasi proses pembelajaran yang dilakukan
baik oleh guru maupun kepala sekolah akan
terwujud. Hal ini dimungkinkan dengan adanya
teknologi komputer yang menghilangkan
batasan waktu dan jarak dalam melaksanakan
proses monitoring dan evaluasi pembelajaran.
Pimpinan sekolahperlu mengelola pemanfaatan
TIK dengan beberapa strategi pengelolaan TIK
agardapat bermanfaat bagi peningkatan
pembelajaran (Adu, Olatundun, 2013:11).
Kepala sekolah dapat mengembangkan teknik
supervisi memanfaatkan teknologi komputer
sebagai alat untuk melaksanakan proses
monitoring dan evaluasi pembelajaran.
Supervisi dengan teknik kunjungan kelas sudah
biasa dilakukan bahkan telah diteliti
(Danurwati dan Slameto, 2015:99-109). Guru
mendapatkan bantuan berupa arahan dan
dorongan secara langsung setelah supervisor
melakukan kunjungan kelas. Ada beberapa
kelemahan jika supervisor hadir dalam kelas,
guru ataupun murid merasa canggung dengan
kehadiran orang lain yang tidak biasa di dalam
kelas selama proses pembelajaran. Jika tujuan
kunjungan kelas adalah untuk memperoleh data
mengenai proses pembelajaran yang
dilaksanakan, maka dengan memanfaatkan
model manajemen pembelajaran berbasis TIK,
supervisor dapat memperoleh data proses
pembelajaran dengan bantuan teknologi
jaringan dan dengan bantuan kamera. Hal
tersebut tidak akan mengganggu
berlangsungnya proses pembelajaran namun
justru mempermudah. Supervisor juga dapat
melihat data perencanaan pembelajaran yang
dibuat oleh guru dengan mengakses ke sebuah
webdatabase dengan password khusus serta
kemudian mengevaluasi apakah sudah sesuai
dengan pelaksanaan pembelajaran, sehingga
dapat diperoleh solusi yang tepat bagi kesulitan
yang guru hadapi.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Melalui kegiatan penelitian dan
pengembangan ini telah didapatkan gambaran
mengenai manajemen pembelajaran yang saat
ini dibuat dan dilaksanakan di SD Kristen Satya
Wacana Salatiga bahwa selain guru ada
keterlibatan kepala sekolah, koordinator
kurikulum, koordinator IT serta koordinator
sarpras. SD Kristen Satya Wacana mempunyai
Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017
70
potensi untuk melaksanakan pembelajaran
berbasis TIK namun masih ada masalah dalam
perencanaan manajemen pembelajaran yang
berbasis TIK.Manajemen pembelajaran yang
sudah dilaksanakan di SD Kristen Satya
Wacana belum efektif karena sebagian besar
guru belum menyusun dan mengembangkan
RPP yang menjadi acuan rinci bagi guru dalam
melaksanakan pembelajaran terutama
pembelajaran yang berbasis TIK.
Model manajemen pembelajaran
berbasis TIK yang dikembangkan terdiri dari 4
tahap yakni: (1) Tahap Pengambilan Keputusan
Pembelajaran Berbasis TIK; (2) Tahap
Perencanaan Pembelajaran Berbasis TIK; (3)
Tahap Pelaksanaan Pembelajaran Berbasis
TIK; dan (4) Tahap Evaluasi Pembelajaran
Berbasis TIK. Ada hasil akhir yang diharapkan
dari masing-masing tahapan yakni: (1) RKS
yang berisi program pembelajaran berbasis
TIK; (2) RPP yang terintegrasi dengan TIK; (3)
PAIKEM; (4) Hasil Evaluasi yang sahih,
objektif, adil, terpadu, terbuka, menyeluruh dan
berkesinambungan, sistematis, beracuan
kriteria, serta accountable. Kunci Keberhasilan
terletak pada Tahap Perencanaan Pembelajaran
Berbasis TIK dimana guru melibatkan pihak
terkait dengan pembelajaran berbasis TIK
dalam pembuatan RPP yang terintegrasi dengan
TIK. Model ini juga dapat dikembangkan untuk
melakukan supervisi pembelajaran dengan
berbasis TIK.
Saran
Implementasi model manajemen
pembelajaran berbasis TIK ini perlu
memperhatikan beberapa hal, yakni: (1) Bagi
pihak sekolah, dalam rangka mewujudkan
PAIKEM serta visi sekolah, model manajemen
pembelajaran berbasis TIK ini dapat dijadikan
sebagai acuan untuk meningkatkan manajemen
pembelajaran berbasis TIK pelaksanaannya
belum efektif. Perlu ada kesiapan SDM,
insfrastruktur dan peserta didik; (2) Bagi Guru
perlu kerjasama dan komunikasi yang baik
dengan pihak-pihak intern dan ekstern yang
terkait langsung dengan pembelajaran; (3) Bagi
kepala sekolah perlu meningkatkan supervisi
pembelajaran agar manajemen pembelajaran
terlaksana secara efektif dan efisien serta
mengadakan pelatihan TIK secara berkala bagi
guru-guru; (4) Koordinator IT perlu
membentuk tim IT terdiri dari laboran dan
programer yang membantu guru
mempersiapkan konten digital yang sesuai
dengan RPP yang terintegrasi dengan TIK; (5)
Sekolah perlu memikirkan strategi untuk
menggalang dana bagi peningkatan
infrastruktur TIK dan pemeliharaannya; (6)
Bagi penelitian selanjutnya, model manajemen
pembelajaran ini dapat diteliti lebih lanjut
apakah model ini dapat diterapkan pada
lembaga pendidikan yang lain atau untuk
dikembangkan bagi kegiatan supervisi
pembelajaran.
UCAPAN TERIMAKASIH
Terimakasih yang sebesar-besarnya
diucapkan kepada Prof. Dr. Slameto, M.Pd.
yang telah memberikan bimbingan dalam
penulisan artikel ini.
DAFTAR PUSTAKA
Adu, E.O. dan Olatundun, S. A. 2013. The Use
And Management Of ICT In Schools:
Strategies For School Leaders.
European Journal of Computer Science
and Information Technology
(EJCSIT)Vol.1, No.2, pp.10-16,
September.
Anderson, Jonathan. 2010. ICT Transforming
Education. Bangkok: UNESCO.
Sumber:
http://www.unescobkk.org/education/n
ews/article/ict-transforming-education-
a-regional-guide-1/
Bafadal, Ibrahim. 2009. Manajemen
Peningkatan Mutu Sekolah Dasar.
Jakarta: Bumi Aksara.
Pengembangan Model Manajemen Pembelajaran Berbasis TIK di Sekolah Dasar | Edna Maria & Eko Sediyono
71
Danurwati, Suprih dan Slameto. 2015.
Penerapan Supervisi Kunjungan Kelas
untuk Meningkatkan Kinerja Guru
Sekolah Dasar Negeri. Jurnal Kelola
Manajemen Pendidikan Vol.2 No.1
Januari-Juni 2015.
Gorton, Richard A. 1976. School
Administration. New York: Wm. C.
Brown Company Publishers.
Haryati, Sri. 2012. Research and Development
(R&D) Sebagai Salah Satu Model
Penelitian dalam Pendidikan. Jurnal
UTM Volume 37 No.1 15 September
2012. Sumber:
http://jurnal.utm.ac.id/index.php/MID/a
rticle/viewFile/13/11 diakses tanggal 3
November 2015.
Kusmana, Ade. 2011. E-learning dalam
Pembelajaran. Lentera Pendidikan
Volume 14 No. 1 Juni.
Kyakulumbye, Stephen and Katono, Isaac
Wasswa. 2013. The Management
Practises of ICT Integration in the
Curriculum of Primary Schools in
Uganda. Proceedings of the
International Conference on e-
Learning, Academic Conferences &
Publishing International Ltd.
Sa’ud, Udin Syaefudin and Sumantri, Mulyani
(Tim Pengembang Ilmu Pendidikan
FIP-UPI). 2007. Ilmu dan Aplikasi
Pendidikan. Bandung: PT.IMTIMA,
Grasindo.
Sugiyono. 2012. MetodePenelitianPendidikan-
PendekatanKuantitatif, Kualitatif, dan
R & D. Bandung: Alfabeta.
Syafaruddin dan Nasution, Irwan. 2005.
Manajemen Pembelajaran. Jakarta:
Quantum Teaching.
Tearle, Penni. 2004. A Theoretical and
Instrumental Framework for
Implementing Change in ICT in
Education. Cambridge Journal of
Education Vol. 34, No. 3, November.
Triwiyanto, Teguh. 2015. Manajemen
Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta:
BumiAksara.
Usman, Husaini. 2006. Manajemen Teori,
Praktik, dan Riset Pendidikan. Jakarta:
Bumi Aksara.
Vanderlinde, Ruben, Sara Dexter dan Johan van
Braak, 2012. School-based ICT policy
plans in primary education:Elements,
typologies and underlying processes.
British Journal of Educational
TechnologyVol 43 No 3.
Wang, Qiyun., & Woo, H. L. 2007. Systematic
Planning for ICT Integration in Topic
Learning. Educational Technology &
Society, 10 (1), 148-156.
Wang, Qiyun. 2008. A Generic Model for
Guiding the Integration of ICT into
Teaching and Learning. Innovations in
Education and Teaching International
Vol. 45, No. 4, November 2008, 411–
419.
Magister Manajemen Pendidikan FKIP Universitas Kristen Satya Wacana [email protected]
ISSN 2549-9661 Volume: 4, No. 1, Januari-Juni 2017
Halaman: 72-82
72
EVALUASI PROGRAM SEKOLAH SEHAT DI SEKOLAH DASAR
NEGERI
Siti Zubaidah
Magister Manajemen Pendidikan
FKIP-Universitas Kristen Satya Wacana
Bambang Ismanto
Magister Manajemen Pendidikan
FKIP-Universitas Kristen Satya Wacana
Bambang Suteng Sulasmono
Magister Manajemen Pendidikan
FKIP-Universitas Kristen Satya Wacana
ABSTRACT
The aimed of this study was to evaluate the context, input, process, product of Healthy
School program in Public School Kuntowinangun 04 Salatiga (SD Negeri Kutowinangun
04 Salatiga). This study was evaluative research using CIPP model. The technique of
collecting data using interviews, observation and documentation. Some of the steps being
taken in the analysis of the data included: data collection, data reduction, data display
and verification. Validation of data using triangulation techniques and resources. The
results showed: (1) from the aspects of Context, the Healthy School program was the
policy of the central government to improve the quality of education through the
improvement of students health, in addition to the schools' needs, especially the students
in Public School Kuntowinangun 04 Salatiga (SD Negeri Kutowinangun 04 Salatiga)
were still low level of health, (2) from the aspect of Input, design program proved to be
able to answer the need for the program to address the low level of students health, and
supported by human resources, facilities and infrastructure, adequate cost, 3) from the
aspect of Process, Healthy School Program has been run in accordance with program
planned but on its implementation there were obstacles where schools have limited funds
and inadequate infrastructure, and (4) from the aspect of Product, all targets to be
achieved in program planned has been reached so that impacted the improvement of the
quality of education in Public School Kuntowinangun 04 Salatiga (SD Negeri
Kutowinangun 04 Salatiga) and therefore eligible to continue in the next period with
several aspects improvements.
Keywords: Program Evaluation, Healthy School, CIPP
Evaluasi Program Sekolah Sehat di Sekolah Dasar Negeri | Siti Zubaidah, dkk.
73
PENDAHULUAN
Pada era globalisasi ini banyak
tantangan bagi peserta didik yang dapat
mengancam kesehatan fisik dan jiwanya. Tidak
sedikit anak yang menunjukkan perilaku tidak
sehat, seperti lebih suka mengkonsumsi
makanan tidak sehat yang tinggi lemak, gula,
garam, rendah serat, meningkatkan resiko
hipertensi, diabetes, obesitas dan sebagainya.
Siswa sebelum makan tidak mencuci tangan
terlebih dahulu, sehingga memungkinkan
masuknya bibit penyakit kedalam tubuh. Hal ini
mengacu pada pemikiran Hamiyah dan Jauhar
(2015) bahwa perilaku tidak sehat ini juga
disebabkan oleh lingkungan yang tidak sehat,
seperti kurang bersihnya rumah, sekolah, atau
lingkungan masyarakatnya.
Rendahnya upaya untuk menumbuhkan
kesadaran hidup bersih dan sehat kepada
peserta didik, berdampak pada siswa sekolah
dasar yang belum sepenuhnya mengetahui
bagaimana cara yang benar untuk memelihara
kesehatan pribadi ataupun lingkungannya. Hal
ini sejalan dengan hasil penelitian Teguh (2012)
bahwa masih ada siswa yang menderita
penyakit kulit, membiarkan rambut dan kuku
memanjang tidak terawat, menderita gigi
berlubang, kurang bersih dan rapi dalam
berpakaian, kurang serius dalam melaksanakan
senam setiap jumat pagi, seringnya membuang
sampah sembarangan, siswa jajan sembarangan
dan tidak memperhatikan kebersihan jajanan.
Hasil penelitian tersebut juga sejalan dengan
penelitian Diana (2013:48) yang menunjukkan
bahwa pelaksanaan program perilaku hidup
bersih dan sehat yang masih rendah dapat
berakibat pada kualitas lingkungan sekolah
yang rendah dan masih tingginya angka
penyakit yang menyerang anak usia sekolah.
Pemerintah mengeluarkan kebijakan
sebagai upaya untuk meningkatkan kesehatan
siswa dengan program “Sekolah Sehat”.
Sekolah Sehat adalah sekolah yang berhasil
membantu peserta didik unggul secara optimal
dengan mengedepankan aspek kesehatan.
Sekolah Sehat selalu berusaha membangun
kesehatan jasmani dan kesehatan rohani
melalui pemahaman, kemampuan, dan perilaku
yang bertanggung jawab, pengambilan
keputusan terbaik untuk terciptanya kesehatan
secara mandiri dapat diwujudkan (Arthur dan
Barnard, 2011:4). Hasil penelitian diatas
sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Hermiyanti (2016:14) bahwa Sekolah Dasar
Bersih Sehat (SDBS) adalah Sekolah Dasar
yang warganya secara terus-menerus
membudayakan PHBS, dan memiliki
lingkungan sekolah yang bersih, indah, sejuk,
segar, rapih, tertib, dan aman.
Menurut Panduan Pengembangan
Model Sekolah Sehat di Indonesia (2009: 4),
manfaat yang didapat dari program Sekolah
Sehat antara lain: 1) bagi masyarakat yaitu
sebagai tempat menghasilkan siswa yang
mempunyai budaya hidup sehat dan aktif, 2)
bagi pemerintah yaitu sebagai tempat
pembelajaran yang dapat dijadikan
percontohan bagi sekolah-sekolah lain karena
diharapkan sekolah tersebut dapat
menghasilkan sumber daya yang berkualitas,
dan 3) bagi swasta atau dunia kerja yaitu dapat
memberi peluang pada swasta untuk berperan
dalam pengembangan Sekolah Sehat.
Kemendiknas Direktorat Jenderal
Pendidikan Dasar (2009: 9) menjelaskan bahwa
standar Sekolah Sehat meliputi: 1) Standar fisik
sekolah yang meliputi: Bangunan sekolah yang
memenuhi pembakuan standar minimal
Depdiknas, aekolah memiliki akreditasi dari
pemerintah, minimal B, sekolah yang
memenuhi persyaratan kesehatan (fisik, mental,
lingkungan), sekolah yang memiliki pagar,
sekolah yang memiliki ruang terbuka yang
memadai untuk pembelajaran pedidikan
jasmani, dan sekolah memiliki sertifikat hak
milik (SHM). 2) Standar sarana prasarana yang
meliputi: memiliki sarana prasarana untuk
pendidikan kesehatan yang memadai, memiliki
sarana prasarana untuk pendidikan jasmani,
Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017
74
memiliki sarana prasarana penunjang kegiatan
UKS, 3) Standar ketenagaan yang meliputi:
memiliki guru pendidikan jasmani, olahraga
dan kesehatan, memiliki guru pembina UKS,
memiliki kader kesehatan sekolah (dokter kecil,
kader kesehatan remaja), 4) Standar peserta
didik yang meliputi: memiliki derajat kesehatan
yang optimal, tumbuh kembang secara optimal,
dan memiliki tingkat kebugaran jasmani yang
optimal.
Program Sekolah Sehat perlu
disosialisasikan dan dilakukan dengan baik
melalui pelayanan kesehatan yang didukung
secara mantap dan memadai oleh sektor terkait
lainnya, seperti partisipasi masyarakat, dunia
usaha, dan media massa. Hal tersebut sesuai
dengan pemikiran Hamiyah dan Jauhar
(2015:267) yang menyatakan bahwa sekolah
sebagai tempat berlangsungnya proses
pembelajaran harus menjadi ”Sekolah Sehat”,
yaitu sekolah yang dapat meningkatkan derajat
kesehatan warga sekolahnya. Upaya ini
dilakukan karena sekolah memiliki lingkungan
kehidupan yang mencerminkan hidup sehat.
Mengupayakan pelayanan kesehatan yang
optimal, sehingga terjamin berlangsungnya
proses pembelajaran dengan baik dan
terciptanya kondisi yang mendukung
tercapainya kemampuan peserta didik untuk
berperilaku hidup sehat. Pendapat diatas sejalan
dengan penelitian Irwandi (2016:492-495)
bahwa program sekolah berupa operasi semut,
sabtu bersih, upacara bendera, senam pagi, doa
bersama, aubade dan UKS, merupakan kegiatan
yang efektif untuk menumbuhkembangkan
perilaku hidup sehat, yang melibatkan peran
kepala sekolah, guru dan personil sekolah.
SD Negeri Kutowinangun 04 Salatiga
merupakan salah satu Sekolah Dasar Negeri
yang ada di kota Salatiga yang sudah
menerapkan program Sekolah Sehat sejak
tahun 2009. Berdasarkan wawancara dengan
ibu Sri Haryati selaku Kepala Sekolah, sejak
awal dijalankannnya program Sekolah Sehat
mulai tahun 2009 sampai 2016 belum pernah
dilakukan penelitian untuk mengevaluasi
pelaksanaan program Sekolah Sehat di SD
Negeri Kutowinangun 04 Salatiga. Maka dari
itu, ketika peneliti datang ke sekolah, kemudian
muncul ketertarikan peneliti untuk melakukan
evaluasi terhadap program Sekolah Sehat yang
sudah berjalan sekitar 7 (tujuh) tahun. Arikunto
dan Jabar (2014: 17) menyatakan bahwa
evaluasi program adalah upaya untuk
mengetahui efektivitas komponen program
dalam mendukung pencapaian tujuan program.
Tujuan evaluasi program adalah untuk
menentukan apakah layanan atau intervensinya
telah mencapai tujuan yang ditetapkan dan
supaya dapat diketahui dengan pasti apakah
pencapaian hasil, kemajuan dan hambatan yang
dijumpai dalam pelaksanaan program dapat
dinilai dan dipelajari untuk perbaikan
pelaksanaan program dimasa yang akan
mendatang (Wirawan: 2011).
Penelitian ini menggunakan model
evaluasi CIPP yang dikembangkan oleh
Stufflebeam pada tahun 1966. Menurut
Arikunto & Jabar (2014), apabila kegiatan
evaluasi menggunakan model CIPP, analisis
program harus berdasarkan pada komponen-
komponen tersebut (CIPP), komponen dalam
model evaluasi CIPP dapat dijelaskan sebagai
berikut: 1) Evaluasi konteks berupaya
mengidentifikasi mengenai kebutuhan
lingkungan yang belum terpenuhi, populasi
sampel yang dilayani dan tujuan
program/proyek, 2) Evaluasi masukan
berupaya mengidentifikasi tentang kemampuan
awal dari komponen yang ada (siswa atau
sekolah) dalam menunjang pelaksanaan
program tersebut, 3) Evaluasi proses
mengidentifikasi mengenai pelaksanaan dari
suatu program yang dapat meliputi program apa
yang akan dilaksanakan, siapa penyelenggara
program tersebut, waktu pelaksanaan program
tersebut, dan 4) Evaluasi produk berupaya
untuk mengidentifikasi hal-hal atau perubahan
yang terjadi dalam pelaksanaan program
Evaluasi Program Sekolah Sehat di Sekolah Dasar Negeri | Siti Zubaidah, dkk.
75
tersebut, serta ketercapaian dari pelaksanaan
program.
Berdasarkan masalah diatas, penelitian
ini akan mengevaluasi context, input, process,
dan product program Sekolah Sehat di SD
Negeri Kutowinangun 04 Salatiga. Tujuan
penelitian ini adalah untuk memberi
rekomendasi/masukan kepada SD N
Kutowinangun 04 Salatiga tentang pelaksanaan
program Sekolah Sehat yang baik dan benar
serta untuk mengevaluasi context, input,
process, dan product program sekolah sehat di
SD Negeri Kutowinangun 04 Salatiga.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini termasuk
penelitian kualitatif evaluatif dengan model
CIPP. Penelitian dilaksanakan di SD Negeri
Kutowinangun 04 Salatiga dengan alamat Jalan
Butuh 1-A RT 004/09 kota Salatiga. Sumber
informasi meliputi: Kepala Sekolah, Guru,
Koordinator Program Sekolah Sehat, Tenaga
Pendidikan SD Negeri Kutowinangun 04
Salatiga. Data-data mengenai studi kelayakan,
hasil analisis, SK penyelenggaraan, jadwal
penyelenggaraan kegiatan, rencana program,
piagam dan laporan penyelenggaraan program
juga menjadi sumber data dalam penelitian.
Teknik pengumpulan data yang digunakan
dalam penelitian evaluasi program Sekolah
Sehat di SD Negeri Kutowinangun 04 Salatiga
adalah wawancara, observasi, dan studi
dokumentasi. Beberapa tahapan yang dilakukan
dalam analisis data dalam penelitian ini
meliputi: (1) Pengumpulan data, (2) Reduksi
Data, (3) Display Data, (4)
Verifikasi/Kesimpulan data. Uji validitas data
yang digunakan dalam penelitian ini
menggunakan teknik triangulasi sumber dan
triangulasi teknik.
HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Untuk mendapatkan data pada tahap
context, input, process, dan product, peneliti
melakukan wawancara terhadap Kepala
Sekolah SD Negeri Kutowinangun 04 Salatiga,
Ketua Program Sekolah Sehat, Guru Kelas,
Tenaga Kependidikan serta melakukan studi
dokumentasi dengan dokumen berupa Juknis
Pengembangan Model Sekolah Sehat Tahun
2009, laporan penggunaan dana bantuan
sekolah sehat, laporan kesehatan siswa,
dokumen tentang data-data sekolah.
1. Evaluasi Context Program Sekolah Sehat
di SD Negeri Kutowinangun 04 Salatiga
Pada tahap context, peneliti akan
menganalisis tentang kebutuhan program,
tujuan, manfaat dan peluang, serta sasaran
program sekolah sehat di SD Negeri
Kutowinangun 04 Salatiga. Berdasarkan hasil
wawancara dan telaah dokumen, latar belakang
dilaksanakannya program ini adalah
penunjukan langsung oleh pemerintah pusat
kepada SD Negeri Kutowinangun 04 Salatiga
untuk menyelenggarakan program tersebut
dikarenakan pihak pemerintah pusat
memandang sekolah ini mampu dan layak baik
dari segi SDM (Kepala Sekolah, Guru, Tenaga
Kependidikan, Siswa, Komite), lingkungan
maupun sarana prasarana dalam menunjang
kelancaran penyelenggaraan program sekolah
sehat disamping menjawab kebutuhan sekolah
sebagai upaya peningkatan kesehatan siswa
yang tergolong masih rendah. Tujuan
pembentukan program Sekolah Sehat di SD
Negeri Kutowinangun 04 Salatiga adalah untuk
meningkatkan taraf kesehatan dan kebugaran
jasmani para warga sekolah yaitu Siswa, Guru,
Tenaga Kependidikan, Kepala Sekolah; agar
memiliki sarana dan prasarana untuk
pendidikan jasmani yang memadai serta
menciptakan lingkungan sekolah yang bersih
dan sehat yang mana hal tersebut juga akan
berpengaruh terhadap proses belajar mengajar
disekolah dan tujuan akhirnya adalah
Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017
76
meningkatnya mutu pendidikan sekolah baik
prestasi akademik maupun non akademik.
Manfaat yang diharapkan dari program
Sekolah Sehat adalah meningkatnya tingkat
kesehatan dan kebugaran jasmani siswa yang
berdampak pada peningkatan kualitas
pendidikan di sekolah, membuat lingkungan
menjadi lebih bersih dan sehat dan membuat
kondisi pembelajaran menjadi lebih nyaman
dan prestasi sekolah meningkat, orang tua dan
masyarakat lebih tenang menitipkan anak-anak
mereka karena pola hidup sehat di sekolah akan
terbawa dalam kehidupan di masyarakat, dan
sekolah dapat menghasilkan sumber daya
generasi penerus bangsa yang berkualitas.
Sasaran program Sekolah Sehat yaitu Siswa,
Guru, Tenaga Kependidikan, Kepala Sekolah,
lingkungan, serta sarana dan prasarana.
2. Evaluasi Input Program Sekolah Sehat di
SD Negeri Kutowinangun 04 Salatiga
SD Negeri Kutowinangun 04 Salatiga
telah membuat perencanaan sebelum
pelaksanaan program sekolah sehat. Didalam
perencanaan tersebut terdapat beberapa bidang
yang akan dikembangkan dalam program
Sekolah Sehat yang meliputi 6 bidang yaitu:
Pengembangan Program Pembelajaran,
Pengembangan Sarana dan Prasarana,
Pengembangan Ketenagaan, Pengembangan
Manajemen Sekolah, Pengembangan Program
Kemitraan, dan Pembiayaan. Selain berisi
tentang beberapa macam kegiatan yang akan
dijalankan, dalam perencanaan ini juga berisi
tentang jadwal pelaksanaan, SDM yang
bertanggung jawab dan terlibat, sarana
prasarana dan biaya yang diperlukan untuk
mendukung pelaksanaan setiap kegiatan dalam
program sekolah sehat. Semua warga sekolah
mulai dari kepala sekolah, guru, tenaga
kependidikan, komite sekolah, siswa terlibat
dalam perencanaan tersebut.
Dalam menjalankan program Sekolah
Sehat, SD Negeri Kutowinangun 04 Salatiga
menerima bantuan pembiayaan dari Pemerintah
Pusat melalui Direktorat Pusat Pengembangan
Kualitas Jasmani-DEPDIKNAS. Adapun
jumlah bantuan yang diberikan adalah
67.600.000 (Enam puluh tujuh juta enam ratus
ribu rupiah) yang diberikan pada Tahun 2009.
Dana tersebut digunakan pada awal
dijalankannya program sekolah sehat di SD
Negeri Kutowinangun 04 Salatiga untuk
melengkapi sarana prasarana (pembangunan
fisik sekolah). Pada tahun-tahun berikutnya,
pihak sekolah menggunakan dana BOS dan
dana bantuan dari komite atau swasta dalam
menjalankan program Sekolah Sehat
khususnya yang berkaitan dengan bidang non
fisik.
Mekanisme pelaksanaan program
sekolah sehat yang dilaksanakan di SD Negeri
Kutowinangun 04 Salatiga berpedoman pada
juklak dan juknis dari pemerintah yang mana
kepala sekolah, ketua program sekolah sehat
dan guru yang sudah ditunjuk berperan sebagai
penanggung jawab dalam pelaksanaannya.
Mekanisme penyaluran dana dari pusat ke
sekolah juga sangat jelas mulai dari prosesnya,
jumlahnya, dan penggunaan dana untuk
program sekolah sehat sudah sesuai dengan
prosedur dari pemerintah.
3. Evaluasi Process Program Sekolah Sehat
di SD Negeri Kutowinangun 04 Salatiga
a. Pengembangan Program Pembelajaran
Pada aspek Pengembangan Program
Pembelajaran, proses implementasinya sudah
baik dari setiap indikator, dari tahun 2014 dan
tahun 2015 mengalami peningkatan dalam
pengembangan program pembelajaran.
Kendala yang dihadapi sehingga belum bisa
mencapai target 100% antara lain terkendala
masalah anggaran. Pada implementasi adanya
peran aktif “pendidik sebaya” dalam PKHS
juga belum mencapai 100% keberhasilan. Hal
tersebut dikarenakan oleh pengetahuan dan
kemampuan siswa dalam hal PKHS juga masih
terbatas. Selain itu, banyak siswa yang tidak
Evaluasi Program Sekolah Sehat di Sekolah Dasar Negeri | Siti Zubaidah, dkk.
77
percaya diri apabila menjelaskan pengetahuan
mereka tentang kesehatan kepada teman yang
lain. Sedangkan pada aspek pelaporan penilaian
kepada orang tua sudah berjalan sesuai target
yang diinginkan. Kegiatan tersebut sudah
mencapai keberhasilan 100% dilaksanakan
oleh sekolah pada tahun 2014 dan 2015. Faktor
yang mendukung atas kelancaran kegiatan
tersebut tidak lepas dari peran serta semua
warga sekolah mulai dari kepala sekolah, guru,
tenaga kependidikan, komite sekolah, siswa
dan juga orang tua siswa.
b. Pengembangan Sarana dan Prasarana
Pada subprogram sarana dan prasarana
pendidikan kesehatan pihak sekolah belum
memiliki ruang konseling yang khusus
digunakan untuk membimbing dan memberi
arahan kepada siswa yang membutuhkan.
Belum adanya ruang konseling di SD Negeri
Kutowinangun 04 Salatiga dikarenakan sekolah
tidak mempunyai lahan yang cukup untuk
dibangun kelas konseling dan juga selain lahan,
sekolah juga terkendala dalam masalah dana
untuk memperlancar proses pembangunannya.
Pada implementasi pengembangan sarana
prasarana UKS sebagian besar sudah berjalan
dengan baik, sebagian besar peralatan UKS
yang ideal sudah tersedia di UKS SD Negeri
Kutowinangun 04 Salatiga. Pada implementasi
pengembangan sarana prasarana pendidikan
jasmani masih banyak indikator yang belum
mencapai target 100% yaitu pada indikator
ruang kelas memenuhi syarat kesehatan
(ventilasi dan pencahayaan), memiliki lapangan
terbuka dan atau aula, serta lapangan yang ada
layak untuk PBM penjas. Hal tersebut
dikarenakan pihak sekolah belum bisa
merenovasi ruang kelas yang memenuhi syarat
kesehatan seperti yang ada dalam peraturan.
c. Pengembangan Ketenagaan
Sebagian besar indikator dalam
pengembangan ketenagaan sudah mencapai
target, namun ada 2 indikator yang masih
kurang dari target yaitu memiliki guru BP/BK
dan juga memiliki guru Pembina UKS yang
terlatih dengan jumlah yang memadai di SD
Negeri Kutowinangun 04 Salatiga memang
tidak ada guru yang khusus menjadi guru
BP/BK untuk menangani masalah anak. Guru
BP/BK dirangkap oleh Guru Kelas dibawah
pengawasan dan bimbingan oleh kepala
sekolah.
d. Pengembangan Manajemen Sekolah
Implementasi pengembangan
manajemen sekolah yang diarahkan pada
pemenuhan desain kriteria Sekolah Sehat di SD
Negeri Kutowinangun 04 Salatiga sudah
dilaksanakan dengan baik, dari 12 indikator
dalam program pengembangan manajemen
sekolah hanya ada 1 indikator yang masih jauh
dari harapan yaitu ada forum diskusi kelompok
terarah dari pendidik sebaya/konselor sebaya.
Faktor yang menjadi kendala hal tersebut yaitu
pendidik sebaya yang masih berusia anak-anak
dan seharusnya dapat dijadikan contoh oleh
teman yang lain masih memiliki mental yang
kurang percaya diri untuk saling berdiskusi
bertukar pendapat dengan teman yang lain. Hal
tersebut membuat forum diskusi antar konselor
sebaya menjadi tidak berjalan dengan baik.
e. Pengembangan Program Kemitraan
Hampir semua kegiatan sudah
terlaksana dengan baik, terjadi peningkatan
pada setiap indikator dari tahun 2014 ke tahun
2015 walaupun semua indikator belum
mencapai 100% keberhasilan. Tetapi hal
tersebut bertentangan dengan indikator adanya
dukungan dari pemerintah daerah dan dewan.
Indikator tersebut belum bisa terwujud dengan
baik karena minimnya perhatian yang diberikan
oleh PEMDA dan dewan terhadap program
sekolah sehat. Kendala yang menghambat
pengembangan kemitraan memang berasal dari
waktu yang terbatas yang dimiliki oleh kepala
sekolah dan guru yang seharusnya
Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017
78
bertanggungjawab dalam menjalin kerjasama
dengan mitra.
f. Pengembanan Pembiayaan
Implementasi pengembangan
pembiayaan program sekolah sehat di SD
Negeri Kutowinangun 04 Salatiga sudah
berjalan dengan baik. Hanya saja perhatian dari
Pemerintah Daerah sangatlah minim, hal
tersebut dibuktikan oleh tidak adanya dukungan
dana dari APBD untuk program Sekolah Sehat.
Sekolah menggunakan dana BOS dan
dukungan dana dari pihak swasta dan orangtua
siswa. Faktor pendukung pengembangan
pembiayaan tersebut adalah adanya kesadaran
yang besar dari orangtua siswa untuk
mendukung setiap kegiatan program sekolah
sehat. Selain itu kemampuan menjalin
kerjasama dengan pihak swasta serta mengelola
keuangan dana BOS oleh pihak sekolah juga
sangat mempengaruhi pembiayaan sekolah
sehat.
4. Evaluasi Product Program Sekolah Sehat
di SD Negeri Kutowinangun 04 Salatiga
SD Negeri Kutowinangun 04 Salatiga
telah mencapai tujuan dan target program
Sekolah Sehat dengan baik. Tercapainya tujuan
dan target awal dibuktikan dengan nilai tes
kebugaran jasmani siswa per semester,
meningkatkan pola hidup bersih dan sehat
warga sekolah dibuktikan dengan prestasi siswa
yang mengalami peningkatan 5% per semester,
meningkatkan sarana dan prasarana penjas
yang sebelumnya hanya tersedia 50%
meningkat menjadi 85%, menciptakan
lingkungan sekolah yang bersih dan nyaman
untuk kegiatan belajar dibuktikan dengan
dokumentasi lingkungan SD Negeri
Kutowinangun 04 Salatiga.
Dampak yang telah dirasakan adalah
kesehatan siswa dan warga sekolah lain
menjadi lebih optimal ditunjukkan dengan nilai
tes kebugaran jasmani siswa meningkat 5% dari
65 menjadi 70. Hal tersebut memicu
konsentrasi siswa dalam melakukan aktifitas
PBM maupun kegiatan di luar kelas. Apabila
siswa fokus dan aktif dalam setiap kegiatan
maka akan berdampak pada meningkatnya
prestasi siswa baik akademik maupun non
akademik yang telah ditunjukkan dengan
meningkatnya prestasi siswa serta dapat
meningkatkan mutu sekolah. Program Sekolah
Sehat akan terus dilanjutkan di SD Negeri
Kutowinangun 04 Salatiga untuk tahun-tahun
berikutnya walaupun masih ada banyak
perbaikan dalam implementasi kegiatan
program.
Pembahasan
1. Evaluasi Context
Berdasarkan hasil penelitian yang
peneliti lakukan, evaluasi context program
Sekolah Sehat di SD Negeri Kutowinangun 04
Salatiga sudah sesuai dengan teori dan Juknis
dari pemerintah. Selain merupakan kebijakan
dari Pemerintah, program Sekolah Sehat juga
dibutuhkan oleh sekolah mengingat tingkat
kesehatan siswa yang sangat rendah. Tujuan
dan manfaat program Sekolah Sehat juga sangat
dirasakan dalam membantu sekolah mencapai
kualitas pendidikan yang optimal. Sasaran
program sekolah sehat sudah sesuai dengan
teori dan Juknis bahwa siswa merupakan
sasaran utama yang harus diperhatikan dalam
penyelenggaraan program Sekolah Sehat. Hasil
penelitian tersebut sejalan dengan penelitian
yang pernah dilakukan oleh Sari (2013) bahwa
tujuan dari pendidikan kesehatan adalah
mengubah perilaku yang tidak sehat menjadi
sehat baik pada individu, kelompok, dan
masyarakat. Siswa sebagai subjek dalam
pembelajaran pendidikan kesehatan diharapkan
mampu menerapkan hidup sehat dalam
kehidupan sehari-hari.
2. Evaluasi Input
Program Sekolah Sehat di SD Negeri
Kutowinangun 04 Salatiga dilihat dari segi
input sudah menjawab kebutuhan program
Evaluasi Program Sekolah Sehat di Sekolah Dasar Negeri | Siti Zubaidah, dkk.
79
yang terdiri dari 6 bidang pengembangan yaitu
(1) Pengembangan Program Pembelajaran, (2)
Pengembangan Sarana dan Prasarana, (3)
Pengembangan Ketenagaan, (4)
Pengembangan Manajemen Sekolah, (5)
Pengembangan Program Kemitraan, (6)
Pengembangan Pembiayaan. Masing-masing
bidang pengembangan terdiri atas beberapa
subprogram dan indikator kegiatan yang
disusun sesuai dengan Juknis yang ditentukan
pemerintah dan dilengkapi dengan SDM,
sarana dan prasarana serta dana yang memadai.
Hasil penelitian diatas sejalan dengan
penelitian Ahmad (2013) yang menyatakan
bahwa keberhasilan pencapaian suatu program
dipengaruhi oleh ketersediaan dana. Sejalan
dengan penelitian tersebut, hasil penelitian
Handayani (2008) juga menyatakan bahwa
fasilitas/sarana prasarana diposisikan sebagai
faktor pendukung untuk keberhasilan suatu
program.
3. Evaluasi Process
a. Pengembangan Program Pembelajaran
Pengembangan program pembelajaran
di SD Negeri Kutowinangun 04 Salatiga sudah
berjalan dengan baik yaitu tercapai lebih dari
80%. Pihak sekolah telah berusaha untuk
memaksimalkan pengembangan program
pembelajaran, karena mereka sadar dengan
program pembelajaran yang berkualitas maka
juga akan tercipta SDM yang berkualitas. Hal
tersebut sejalan dengan pendapat Abdul Majid
(2006) yang mengatakan bahwa pengembangan
pembelajaran perlu dikelola dengan baik agar
dapat mencapai hasil yang optimal. Untuk
mewujudkan hal tersebut, pengelolaan
pembelajaran merupakan kunci keberhasilan
menuju pembelajaran yang berkualitas.
b. Pengembangan Sarana dan Prasarana
Pengembangan sarana prasarana
pendidikan kesehatan pada program Sekolah
Sehat di SD Negeri Kutowinangun 04 Salatiga
telah dilaksanakan dengan baik, dari 11
indikator terdapat 10 indikator yang
pencapaiannya sudah 100%. Sarana prasarana
yang lengkap akan berdampak pada mutu
pendidikan di sekolah tersebut. Hasil penelitian
ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan
oleh Setyorini (2009) yang menemukan bahwa
Sarana dan prasarana yang baik sangat
membantu keberhasilan mutu pendidikan.
Semakin lengkap dan dimanfaatkan secara
optimal, sarana dan prasarana suatu sekolah
tentu semakin mempermudah murid dan guru
untuk mencapai target secara bersama-sama.
c. Pengembangan Ketenagakerjaan
Pengembangan ketenagaan di SD
Negeri Kutowinangun 04 Salatiga sudah cukup
baik. Sekolah sudah memiliki tenaga pengajar
pendidikan jasmani yang memenuhi
kualifikasi. Sejalan dengan Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2005 yang mengatakan bahwa
guru adalah tenaga pendidik yang profesional
yang bertugas mendidik, mengajar, melatih,
membimbing, dan mengevaluasi peserta didik.
Guru adalah tenaga pendidik yang
berpengalaman dalam bidang profesinya yang
memberikan sejumlah ilmu pengetahuan
kepada siswanya di sekolah. Dengan ilmu yang
dimilikinya, guru dapat menjadikan siswanya
menjadi cerdas dan memiliki pribadi yang baik.
d. Pengembangan Manajemen Sekolah
Pengembangan manajemen sekolah
berbasis pemenuhan kebutuhan kriteria desain
sekolah sehat di SD Negeri Kutowinangun 04
Salatiga sudah berjalan dengan baik. Kerjasama
dan tanggung jawab yang tinggi dari semua
warga sekolah merupakan kunci utama
suksesnya manajemen sekolah. Hasil tersebut
sejalan dengan pendapat Danim (2012) yang
mengatakan bahwa salah satu faktor pendukung
peningkatan mutu pendidikan di sekolah adalah
Jaringan Kerjasama, dimana jaringan
kerjasama tidak hanya terbatas pada lingkungan
sekolah dan masyarakat semata (orang tua dan
Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017
80
masyarakat) tetapi dengan organisasi lain,
seperti perusahaan / instansi sehingga output
dari sekolah dapat terserap didalam dunia kerja.
e. Pengembangan Program Kemitraan
Pengembangan program kemitraan di
SD Negeri Kutowinangun 04 Salatiga berjalan
cukup baik, hanya saja dukungan dari
pemerintah daerah dan dewan untuk program
Sekolah Sehat masih sangat rendah. Rendahnya
dukungan dari pemerintah daerah bertolak
belakang dengan pendapat Dwiyanto (2005)
yang mengatakan bahwa Pemerintah Daerah
seharusnya memiliki kebijakan untuk
memberikan pelayanan kepada masyarakat atau
institusi pendidikan terkait dengan program-
program yang ada dan dijalankan oleh
masyarakat atau lembaga terkait.
f. Pengembangan Pembiayaan
Pengembangan pembiayaan program
sekolah sehat di SD Negeri Kutowinangun 04
Salatiga sudah berjalan dengan baik. Dana
progam sekolah sehat berasal dari Pemerintah
Pusat dan bantuan dari orangtua siswa. Kepala
dan Bendahara Sekolah harus pandai dalam
mengalokasikan sebagian dana BOS untuk
digunakan dalam implementasi program
Sekolah Sehat. Hal tersebut sejalan dengan
pendapat Fattah (2009) mengatakan bahwa jika
tidak memungkinkan menggantungkan
sepenuhnya pada subsidi pemerintah
diperlukan kemampuan dalam menyerap dana
masyarakat, akan tetapi jangan sampai
membebani peserta didik dari latar belakang
keluarga yang kurang mampu.
4. Evaluasi Product
SD Negeri Kutowinangun 04 Salatiga
telah mencapai tujuan dan target program
Sekolah Sehat dengan baik. Dampak yang telah
dirasakan adalah kesehatan siswa dan warga
sekolah lain menjadi lebih optimal sehingga
dapat meningkatkan prestasi siswa baik
akademik maupun non akademik. Kesehatan
merupakan salah satu faktor penentu
keberhasilan belajar siswa, sejalan dengan
pendapat Kartono Kartini dalam Tulus Tu’u
(2004) bahwa faktor-faktor yang menghambat
prestasi belajar siswa antara lain penghambat
dari dalam dan penghambat dari luar.
Penghambat dari dalam meliputi salah satunya
adalah faktor kesehatan. Siswa yang
kesehatannya sering terganggu menyebabkan
anak tertinggal pelajarannya, oleh karena itu
orang tua dan sekolah harus memperhatikan
kesehatan anak-anaknya dengan makanan yang
bergizi dan pola hidup sehat, begitu juga
sebaliknya apabila kesehatan siswa optimal
maka anak akan maksimal dalam pelajarannya.
Program Sekolah Sehat akan terus dilanjutkan
di SD Negeri Kutowinangun 04 Salatiga untuk
tahun-tahun berikutnya walaupun masih ada
banyak perbaikan dalam implementasi kegiatan
program.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Pada evaluasi context, program Sekolah
Sehat di SD Negeri Kutowinangun 04 Salatiga
sudah sesuai dengan teori dan Juknis dari
pemerintah, Program Sekolah Sehat di SD
Negeri Kutowinangun 04 Salatiga dilihat dari
segi input sudah menjawab kebutuhan program
yang terdiri dari 6 bidang pengembangan yang
disusun sesuai dengan Juknis yang ditentukan
pemerintah dan dilengkapi dengan SDM,
sarana dan prasarana serta dana yang memadai.
Penyelenggaraan program Sekolah Sehat di SD
Negeri Kutowinangun 04 Salatiga dari segi
process telah dilaksanakan sesuai dengan
perencanaan program walaupun masih ditemui
kendala dalam pelaksanaannya yaitu terbatas
oleh biaya dan sarana prasarana. Product dari
penyelenggaraan program Sekolah Sehat di SD
Negeri Kutowinangun 04 Salatiga adalah a)
pembangunan fisik sekolah menjadi lebih baik
dan lengkap, b) bidang non fisik meliputi
peningkatan kesehatan dan kebugaran jasmani
warga sekolah, pola hidup bersih dan sehat
Evaluasi Program Sekolah Sehat di Sekolah Dasar Negeri | Siti Zubaidah, dkk.
81
warga sekolah, lingkungan sekolah menjadi
lebih bersih dan nyaman untuk belajar sehingga
akan berdampak pada peningkatan prestasi
siswa baik akademik maupun non akademik
serta peningkatan mutu sekolah. Program
Sekolah Sehat di SD Negeri Kutowinangun 04
Salatiga akan tetap dilanjutkan pada tahun-
tahun berikutnya mengingat banyak manfaat
yang positif baik untuk siswa maupun sekolah.
Saran
Terdapat beberapa saran yang peneliti
sampaikan guna perbaikan penyelenggaraan
program Sekolah Sehat pada periode
berikutnya, yaitu:
1. Bagi sekolah
a. Sekolah harus lebih intensif dalam
menjalin kerjasama dengan pihak lain
(swasta, komite, orangtua, APBD) dan
yang terkait dengan program sekolah
sehat lainnya untuk mendapatkan bantuan
dana dalam mendukung pelaksanaan
program.
b. Sekolah harus melengkapi sarana dan
prasarana yang belum dimiliki yaitu
ruang BP/BK, ruangan aula, ruang
khusus untuk pengumpulan hasil bank
sampah dan juga tempat untuk
pembuatan pupuk kompos.
2. Bagi Dinas Pendidikan
Dinas perlu melakukan monitoring dan
evaluasi terhadap penyelenggaraan program
sekolah sehat di sekolah-sekolah
penyelenggara program sekolah sehat,
khususnya di SD Negeri Kutowinangun 04
Salatiga. Dengan demikian, Dinas Pendidikan
dapat mengambil kebijakan berupa perbaikan
atau penyempurnaan proses penyelenggaraan
program Sekolah Sehat di masa datang.
3. Bagi Instansi pemberi dana (Direktorat
Pusat Pengembangan Kualitas Jasmani)
Program Sekolah Sehat sebaiknya tetap
dilanjutkan dengan penyempurnaan serta
dukungan dana mengingat banyak manfaat
yang diperoleh dari program ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul, Majid. 2006. Perencanaan
Pembelajaran. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya
Ahmad, Asiah Hamzah dan Ida Leida Maria.
2013. Pelaksanaan Program Jaminan
Persalinan (Jampersal) Di Dinas
Kesehatan Kabupaten Buol. Jurnal
AKK, Vol. 2, No 2.Mei, hal: 19-28
Arikunto, Suharsimi dan Cepi Safrudin Abdul
Jabar. 2014. Evaluasi Program
Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara
Arthur Sue, Matt Barnard, DKK. 2011.
Evaluation Of National Healthy
Schools Programme. Department of
Health
Danim, Sudarwan. (2012). Inovasi Pendidikan
Dalam Upaya Peningkatan
Profesionalisme Tenaga Kependidikan.
Bandung: Pustaka Setia
Diana, Fivi Melva, dkk. 2013. Pelaksanaan
Program Perilaku Hidup Bersih dan
Sehat (PHBS) Di SD Negeri 001
Tanjung Balai Karimun. Jurnal
Kesehatan Masyarakat. Vol.8, No.1,
September, hal: 46-51
Dwiyanto, Agus. 2005. Mewujudkan Good
Governance Melalui Pelayanan Publik.
Yogyakarta: Gajah Mada University
Press.
Fattah, Nanang. (2009). Ekonomi dan
Pembiayaan Pendidikan. Bandung:
Remaja Rosdakarya
Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017
82
Hamiyah, Nur dan Jauhar. 2015. Pengantar
Manajemen Pendidikan Di Sekolah.
Jakarta: Prestasi Pustakaraya
Handayani, Lina. 2008. Evaluasi Program
Pemberian Makanan Tambahan Anak
Balita. FKM Universitas Ahmad
Dahlan, Yogyakarta
Hermiyanty, Lusia Salmawati, Fandi Oktavian.
2016. Evaluasi Implementasi Program
Sekolah Dasar Bersih dan Sehat Di
Kota Palu.
Irwandi, Satria. 2016. Peran Sekolah Dalam
Menumbuhkembangkan Perilaku Hidup
Sehat Pada Siswa Sekolah Dasar (Studi
Multi Situs Di SD Negeri 6 Mataram
dan SD Negeri 41 Mataram Kota
Mataram Nusa Tenggara Barat).
Malang: Manajemen Pendidikan
Pascasarjana-Universitas Negeri
Malang.
Kemendiknas Direktorat Jenderal Pendidikan
Dasar Tahun 2009 Tentang Panduan
Pengembangan Model Sekolah Sehat di
Indonesia
Sari, Indah Prasetyawati. 2013. Pendidikan
Kesehatan Sekolah Sebagai Proses
Perubahan Perilaku Siswa. Jurnal
Pendidikan Jasmani Indonesia. Volume
9, No 2, November, hal: 141-147
Setyorini dkk. 2009. Masalah Pendidikan di
Indonesia. Solo: Universitas Negeri
Sebelas Maret.
Sudijono, Anas. 2006. Pengantar Evaluasi
Pendidikan. Jakarta: Radja Grafindo
Persada.
Teguh A. 2012. Survei Pelaksanaan UKS dan
Pola Hidup Sehat Siswa SD Kelas V se-
Gusek Bramasari, Kecamatan Leksono,
Kabupaten Wonosobo Tahun 2012.
UNY
Tulus, Tu’u. 2004. Peran Disiplin Pada
Perilaku dan Prestasi Siswa. Jakarta :
PT. Gramedia Widia Sarana Indonesia.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005
Tentang Guru dan Dosen
Wirawan. 2011. Evaluasi (Teori, Model,
Standar, Aplikasi, dan Profesi). Jakarta:
Rajagrafindo Persada.
Magister Manajemen Pendidikan FKIP Universitas Kristen Satya Wacana [email protected]
ISSN 2549-9661 Volume: 4, No. 1, Januari-Juni 2017
Halaman: 83-96
83
STRATEGI PENINGKATAN MUTU SEKOLAH BERDASARKAN
ANALISIS SWOT DI SEKOLAH MENENGAH PERTAMA
Edi Sujoko
Sekolah Tinggi Teologi Simpson
Kabupaten Semarang-Jawa Tengah
ABSTRACT
This research was a research and development study. The purpose of this research are
(1) Describe what factors are the strengths, weaknesses , opportunities and threats in
improving the quality in SMPN1 Bawen ;(2) Develop a strategy that needs to be done to
improve the quality SMPN1 Bawen based on SWOT analysis. Data was collected through
interviews, observation, study of document and focus group discussion (FGD). The results
of the SWOT analysis is to improve the quality of schools stated position SMPN1 Bawen
be in SO quadrant, which supports an aggressive strategy to support the growth of the
school created a strategic plan that leverages the power to capture the opportunities that
exist . Draft strategic aspects: inputs , processes , and outputs include : developing the
ideal school environment , through programs 7 K ( Health , Order , Beauty , Shade ,
Security , Comfort , and Kinship ) , Optimization of teacher professional development
programs , and improve academic achievement and non- academic as optimal as possible.
Keywords : Schools quality, SWOT Analysis, Strategic Plan.
Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017
84
PENDAHULUAN
Saat ini persaingan antar SMP tidak
dapat dihindarkan. Tiap sekolah memiliki
strategi sendiri untuk bersaing, hal tersebut
sudah menjadi tuntutan yang harus dilakukan
untuk memperbaiki mutu dan meningkatkan
mutu pendidikan. SMP di Kabupaten Semarang
dibagi menjadi 7 sub rayon, khususnya di
subrayon 02 terdapat 17 SMP. Dari 17 SMP
tersebut terdapat 6 sekolah negeri dan 11
sekolah swasta. Banyaknya SMP dalam
lingkup sempit membuat persaingan semakin
ketat. Hal ini menjadi masalah bagi SMP yang
kalah bersaing di mana mereka pasti akan
kesulitan untuk mendapatkan target peserta
didik baru yang diharapkan. Namun, bagi
sekolah yang siap dan mampu bersaing pasti
akan mendapatkan target yang diharapkan,
bahkan lebih.
Orang tua peserta didik biasanya
melihat dan mengukur sebuah sekolah baik atau
tidak dengan melihat prosentase kelulusan
peserta didik, nilai rata-rata yang dicapai
sekolah dan peringkat sekolah (Sumarni, 2011).
Maka hal ini menjadikan masing-masing
sekolah menengah pertama berlomba-lomba
menyusun strategi untuk meningkatkan mutu
sekolah dengan tujuan memiliki prosentase
kelulusan tinggi, nilai rata-ratanya tinggi dan
juga mendapatkan peringkat yang baik. Selain
dalam bidang akademis sekolah juga berlomba-
lomba untuk meningkatkan bidang non-
akademis, contohnya: kegiatan ekstrakurikuler
sekolah.
Keadaan tersebut juga dialami oleh
SMP Negeri 1 Bawen, yang terletak di Jl.
Soekarno-Hatta no. 54. Sekolah ini merupakan
sekolah yang paling strategis dibandingkan
dengan SMP yang lainnya di sub rayon 02
Kabupaten Semarang. Lokasinya terletak di
pinggir jalan raya dan semua angkutan umum
dapat menjangkau sekolah ini. Selain itu
sekolah memiliki luas area yang luas untuk
mengembangkan sekolah. Namun demikian
masih kalah saing dengan sekolah lainnya
dalam beberapa hal, salah satunya adalah
prestasi akademis. Sebagai contoh, adalah
peringkat ujian nasional dari tahun 2008 sampai
sekarang sekolah ini belum pernah menjadi
yang terbaik meskipun memiliki banyak
keunggulan dari beberapa sisi. Berikut ini
adalah data yang menunjukkan bahwa SMP
Negeri 1 Bawen belum bisa mengoptimalkan
potensi yang ada. Pada Tabel dibawahinidapat
dilihat data prosentase kelulusan dan peringkat
lulusan tahun 2008/2009 s.d. 2012/2013.
Tabel 1 Prosentase Kelulusan dan Peringkat SMPN 1 Bawen Tahun 2008/2009 s.d. 2012/2013
TahunPelajaran Prosentasekel
ulusan
Rata-
rata
Nilai
Jumlah
yang
tidak
Lulus
Peringkat
Sekolah
2008/2009 100 % 7.09 0 3
2009/2010 89.02 % 6.63 29 3
2010/2011 100 % 7.02 0 3
2011/2012 100 % 7.10 0 2
2012/2013 99.60 % 6.50 1 2 Sumber: Data Sekunder, diolah
Tahun 2008/2009 prosentase
kelulusannya 100% dengan peringkat 3,
sedangkan tahun 2009/2010 prosentase
kelulusan turun drastis menjadi 89,02% dengan
peringkat 3. Meskipun ada sekitar 29 anak yang
tidak lulus, tetapi mereka mendapatkan
kesempatan untuk mengulangnya dan akhirnya
lulus 100%. Ditahun 2012/2013 ada 1 peserta
didik yang tidak lulus dan peringkat sekolah
meningkat menjadi 2. Namun pada tahun
Strategi Peningkatan Mutu Sekolah Berdasarkan Analisis SWOT di Sekolah Menengah Pertama | Edi Sujoko
85
tersebut tidak ada ujian ulang sehingga satu
peserta didik yang tidak lulus harus diikutkan
paket C.
Dalam bidang non-akademis SMPN 1
Bawen juga belum menunjukkan prestasi yang
memuaskan dari waktu ke waktu, meskipun ada
beberapa cabang kegiatan ekstrakurikuler yang
sudah memiliki prestasi yang cukup baik.
Berikut ini data kegiatan non-akademis yang
diselenggarakan sekolah beserta kejuaraan
yang diperoleh.
Tabel 2 Prestasi Bidang Non – Akademis Tingkat Kecamatan, Kabupaten dan Propinsi
Sumber : Data Sekunder, diolah
Selama kurun waktu sekitar 4 tahun
pencapaian bidang non-akademis SMPN 1
Bawen masih kurang memuaskan. Sekolah
jarang mendapatkan nomor kejuaraan di tingkat
kabupaten apalagi provinsi. Berdasarkan
pengamatan dan wawancara dengan Kepala
Sekolah SMPN 1 Bawen dan beberapa guru hal
tersebut disebabkan kurang optimalnya
pembimbing dalam melakukan pembimbingan
serta masih rendahnya motivasi peserta didik
dalam mengikuti kegiatan non-akademis
tersebut.
Melihat data-data di atas, maka bisa
dikatakan bahwa SMPN 1 Bawen perlu strategi
alternatif untuk meningkatkan mutu pendidikan
agar mampu bersaing. Guna meningkatkan
mutu pendidikan ditentukan oleh aspek input,
proses , dan output yang ada pada sekolah
tersebut, dengan melakukan perbaikan secara
berkesinambungan.
Manajemen strategis semakin penting
arti dan manfaatnya apabila diingat bahwa
lingkungan organisasi mengalami perubahan
yang semakin cepat dan komplek, sehingga
keberhasilan manajemen strategis ditentukan
oleh para manajer atau pimpinannyadalam
proses peningkatan mutu pendidikan secara
berkesinambungan. Menurut Rindaningsih
(2009) pengertian manajemen strategis adalah
proses atau rangkaian kegiatan pengambilan
keputusan yang bersifat mendasar dan
menyeluruh, disertai penetapan cara
Jenis Kegiatan
Peringkat yang diperoleh
2011 2012 2013 2014
Kec
.
Kab
.
Pro
p.
Kec
.
Kab
.
Pro
p.
Kec
.
Kab
.
Pro
p.
Kec
.
Kab
.
Pro
p.
Pramuka - - - - 2 - - - - - - -
PMR - - - - - - - - - - - -
Band - 1 - - 2 - - 3 - - 3 -
Vocal - - - - - - - 3 - - - -
Seni Lukis - 1 - - 1 - - - - - - -
Rebana - - - 1 - - - - - - - -
Pildacil - - - - - - 1 1 - - 1 -
Pencak Silat 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Bola Voli - - - - 2 - - - - - - -
Basket - - - - - - - 3 - - - -
Sepak Bola- - 1 - - 1 - - 1 - - 1 3
Bulutangkis - 2 - - 2 - - 2 - - - -
Renang - - - - - - - - - - - -
Jurnalistik - - - - - - - - - - - -
Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017
86
pelaksanaannya, yang dibuat oleh manajemen
puncak dan diimplementasikan oleh seluruh
jajaran di dalam suatu organisasi, untuk
mencapai tujuannya.
Hal penting selanjutnya guna mencapai
mutu pendidikan yang optimal danber-
kesinambungan adalah rencana strategis
pendidikan. Dalam penelitian ini adalah
rencana yang dilakukan oleh stakeholder
sekolah dengan memperhatikan prinsip
perbaikan hasil pendidikan, membawa
perubahan yang lebih baik, prioritas
kebutuhan, partisipasi, keterwakilan, realitas
sesuai dengan hasil analisis SWOT,
mendasarkan pada hasil review dan evaluasi,
keterpaduan menyeluruh, transparan, dan
keterkaitan serta kesepadanan secara vertikal
dan horizontal dengan rencana-rencana lain.
Mutu pendidikan tidak hanya
ditentukan oleh sekolah sebagai lembaga
pengajaran tetapi juga disesuaikan dengan apa
yang menjadi harapan dan pandangan
masyarakat yang cenderung berkembang
seiring dengan kemajuan jaman. Bertitik tolak
pada kecenderungan ini penilaian masyarakat
tentang mutu lulusan sekolahpun terus
berkembang. Karena itu sekolah harus terus-
menerus meningkatkan mutu lulusannya
dengan menyesuaikan dengan perkembangan
tuntutan masyarakat menuju pada mutu
pendidikan yang dilandasi tolok ukur norma
ideal (Sumarni, 2011).
Lewis dan Smith (dalam Tjiptono &
Diana, 2003) mengatakan bahwa pendekatan
sistem terbuka menekankan kebutuhan kualitas
pada ketiga tahap utama, yaitu akreditasi,
proses transformasi, dan assessment. Akreditasi
berkaitan dengan input, sedangkan assessment
berkaitan dengan output. Input meliputi
kemampuan dasar peserta didik, sumber daya
pendanaan, fasilitas, dan program. Proses
meliputi desain pembelajaran, metode
pembelajaran, dan sistem analisis data.
Sedangkan output adalah prestasi peserta didik
dan pasca kelulusan.
Mutu tidak terjadi begitu saja, namun
perlu suatu proses perencanaan. Mutu menjadi
bagian penting dari strategi institusi dan harus
didekati secara sistematis dengan
menggunakan proses perencanaan strategis.
Tanpa arahan jangka panjang yang jelas,
sekolah sebagai sebuah institusi pendidikan
tidak dapat merencanakan peningkatan mutu
(Rozari, 2011). Oleh sebab itu rencana strategis
peningkatan mutu mutlak dilakukan oleh
institusi pendidikan untuk mempertahankan
sekolah dari persaingan yang semakin ketat.
Rencana strategis merupakan rencana
komprehensif dengan melibatkan semua
sumber dan kemampuan untuk meningkatkan
kualitas proses belajar mengajar, mencapai
sasaran sekolah, dan juga memenangkan
persaingan yang ada.
Rencana strategis peningkatan
mutu sekolah dalam implementasinya tidak
lepas dari manajemen peningkatan mutu
sekolah. Berkaitan dengan hal ini, Usman
(2002) menyatakan bahwa manajemen
peningkatan mutu memiliki prinsip (1)
peningkatan mutu harus dijalankan di sekolah,
(2) peningkatan mutu hanya dapat dilaksanakan
dengan adanya kepemimpinan yang baik, (3)
peningkatan mutu harus didasarkan pada data
dan fakta baik bersifat kualitatif maupun
kuantitatif, (4) peningkatan mutu harus
memberdayakan dan melibatkan semua unsur
yang ada di sekolah, (5) peningkatan mutu
memiliki tujuan bahwa sekolah dapat
memberikan kepuasan kepada peserta didik,
orang tua dan masyarakat.
Dalam merumuskan rencana strategis
untuk meningkatkan mutu sekolah diperlukan
alat analisa. Adapun alat analisa yang sering
digunakan adalah analisa SWOT. SWOT
adalah singkatan dari Strengths, Weaknesses,
Opportunities, dan Threats. Rangkuti (2009)
menjelaskan Strengths adalah beberapa hal
yang merupakan kelebihan dari sekolah yang
bersangkutan. Weaknesses adalah komponen-
komponen yang kurang menunjang
Strategi Peningkatan Mutu Sekolah Berdasarkan Analisis SWOT di Sekolah Menengah Pertama | Edi Sujoko
87
KUADRAN I
keberhasilan penyelenggaraan pendidikan yang
ingin dicapai sekolah. Opportunity adalah
kemungkinan-kemungkinan yang dapat dicapai
apabila potensi-potensi yang ada di sekolah
mampu dikembangkan secara optimal. Threats
adalah kemungkinan yang mungkin terjadi atau
pengaruh terhadap kesinambungan dan
keberlanjutan kegiatan penyelenggaraan
sekolah. Berikut ini adalah diagram analisis
SWOT.
BERBAGAI
PELUANG
(O)
2. Mengubah Strategi ( - , +) 1. Strategi Agresif (+, +)
KELEMAHAN
INTERNAL(W)
KEKUATAN
INTERNAL(S)
3. Strategi bertahan (- , - ) 4. Strategi Diversifikasi (+, - )
Gambar 1 Diagram Analisis SWOT
Sumber: Rangkuti, 2009
Berdasarkan latar belakang di atas maka
rumusan masalah yang dapat diangkat dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Apa saja yang menjadi faktor kekuatan,
kelemahan, peluang dan ancaman dalam
meningkatkan mutu di SMPN 1 Bawen?
2. Strategi apa saja yang perlu dilakukan
untuk meningkatkan mutu SMPN 1 Bawen
berdasarkan analisis SWOT?
Berdasarkan rumusan masalah di atas
maka yang menjadi tujuan dalam penelitian ini
adalah:
1. Mendeskripsikan faktor apa saja yang
menjadi kekuatan, kelemahan, peluang dan
ancaman dalam meningkatkan mutu di
SMPN 1 Bawen;
2. Menyusun strategi yang perlu dilakukan
untuk meningkatkan mutu SMPN 1 Bawen
berdasarkan analisis SWOT.
METODE PENELITIAN
Desain yang digunakan untuk penelitian
ini adalah desain penelitian pengembangan.
Dalam penelitian ini dibatasi sampai
menghasilkan produk saja yaitu sampai
menghasilkan rencana strategis peningkatan
mutu SMPN 1 Bawen. Penelitian dilakukan di
SMPN 1 Bawen yang berlokasi di Jl. Soekarno
– Hatta No. 54 Bawen. Penelitian berlangsung
pada tanggal 1 Agustus 2014 sampai dengan 27
Agustus 2014. Data primer dari penelitian ini
adalah data yang didapatkan secara langsung
dari objek yang diteliti, diperoleh dari data
pertama atau pihak yang dianggap paling tepat
untuk memberikan informasi. Dalam penelitian
ini data primer berupa faktor-faktor kekuatan,
kelemahan, peluang, dan ancaman bagi
peningkatan mutu sekolah di SMPN 1 Bawen.
Subjek utama dalam penelitian ini adalah
kepala sekolah, guru, staf, dan komite.
KUADRAN II KUADRAN IV
KUADRAN III
BERBAGAI
ANCAMAN (T)
Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017
88
Gambar 2 Desain Penelitian
(Diadaptasi dari Sugiyono dan Arikunto)
Sedangkan data sekunder adalah data
yang telah diolah lebih lanjut dan disajikan
dengan baik oleh pengumpul data atau pihak
lain. Dalam penelitian ini data sekunder
diperoleh dari sumber tertulis melalui studi
dokumentasi seperti profil sekolah, data guru,
hasil kelulusan peserta didik, rencana strategis
sekolah, prestasi akademik dan non-akademis,
daftar inventaris, dan jumlah peserta didik.
Metode pengumpulan data dari penelitian dapat
dilihat melalui tabel sebagai berikut:
Tabel 3 Metode Pengumpulan Data
No Data Sumber Data
Metode
Pengumpulan
Data
Instrumen
1
Bagaimana rencana strategis
sekolah di-susun dan
dampaknya selama ini.
Dokumen, kepala
sekolah, guru, staff,
dan komite sekolah
Studi dokumen, dan
teknik wawancara
Pedoman
wawancara
2 Kekuatan, kelemahan,
peluang, dan ancaman
Kepala sekolah, guru,
staff, dan komite
sekolah
FGD Pedoman FGD
3 Fasilitas sekolah, kegiatan
sekolah. Bukti fisik Observasi Lembar obser-vasi
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Analisis SWOT SMPN 1 Bawen
a. Rencana Strategis Peningkatan Mutu
Sekolah Aspek Input
Tabel 4 Skor Akhir IFAS dan EFAS Aspek Input
IFAS EFAS
Kategori Total
Skor
Kategori Tota
l
Skor
Kekuatan (S) 4,01 Peluang (O) 3,50
Kelemahan
(W)
3,00 Ancaman
(T)
2,70
Total (S-W) 1,01 Total (S-T) 0,80
Dari hasil matrik IFAS dan EFAS
diketahui skor akhir IFAS adalah 1,01 dan
total skor akhir EFAS adalah 0,80. Hasil
tersebut kemudian ditunjukkan melalui matrik
SWOT di bawah ini:
Menyusun Rancangan Penelitian
Potensi dan Masalah Pengumpulan data
Desain ProdukValidasi Desain
PenelitianPerbaikan Desain
Strategi Peningkatan Mutu Sekolah Berdasarkan Analisis SWOT di Sekolah Menengah Pertama | Edi Sujoko
89
Gambar 3 Matrik SWOT Skor Akhir IFAS dan EFAS Aspek Input
Tabel 4 Rencana Strategis Berdasarkan Hasil Analisis SWOT
Faktor Eksternal Peluang
Faktor Internal Min
at ti
nggi
ora
ng t
ua
men
yek
ola
hkan
anak
ke
SM
PN
1
Baw
en.
Per
ekem
ban
gan
TIK
sem
akin
mudah
untu
k d
iakse
s
Hubungan
yan
g s
angat
bai
k
den
gan
din
as p
endid
ikan
kab
upat
en
Sem
akin
men
ingkat
nya
per
an
kom
ite
Ban
yak
fih
ak l
uar
yan
g t
erta
rik
untu
k bek
erja
sam
a
1 2 3 4 5
Kekuatan Strategi S - O (Strength - Opportunity)
Lokasi sekolah sangat strategis 1. Mengembangkan lingkungan sekolah menuju komunitas
belajar yang ideal, yaitu melalui program 7 K (Kebersihan,
Ketertiban, Keindahan, Kerindangan, Keamanan, Kenyamanan,
dan Kekeluargaan).
2. Membentuk klub-klub prestasi untuk mengembangkan potensi
peserta didik, baik dari sisi akademis ataupun non akademis.
3. Memberdayakan tenaga pendidik dan kependidikan melalui
pelatihan-pelatihan intensif sehingga akan meningkatkan
kinerja.
4. Pengembangan fasilitas sekolah berbasis TIK sebagai sarana
untuk belajar peserta didik.
5. Dibentuk Tim Evaluasi program dan kegiatan sekolah secara
efektif dan efisien.
98 % guru berpendidikan S1
Kamampuan dasar peserta didik baik
Jumlah buku ajar untuk guru dan
peserta didik mencukupi
Kemampuan manajemen kepala
sekolah cukup baik
Dana untuk operasi sekolah
mencukupi
Fasilitas cukup lengkap
- 4
- 3
- 2
- 1
- -1
- -2
- -3
- -4
I I I I I I I I
-4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4
Ancaman
Kekuatan Kelemahan
Peluan
g
Kuadran 1 ( S – O)
Strategi Agresif
Memanfaatkan kekuatan untuk
menangkap peluang yang ada
(1,01; 0,08)
Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017
90
Berdasarkan hasil analisis SWOT
tersebut maka rencana strategis yang perlu
dibuat sebagai upaya peningkatan mutu sekolah
untuk aspek input di SMPN 1 Bawen adalah
sebagai berikut: (1) Mengembangkan
lingkungan sekolah menuju komunitas belajar
yang ideal, yaitu melalui program 7 K
(Kebersihan, Ketertiban, Keindahan,
Kerindangan, Keamanan, Kenyamanan, dan
Kekeluargaan); (2) Membentuk klub-klub
prestasi untuk mengembangkan potensi peserta
didik, baik dari sisi akademis ataupun non
akademis; (3) Mengoptimalkan peran kepala
sekolah dalam memberdayakan dan melatih
kepemimpinan dan manajerial tenaga pendidik
dan dan tenaga kependidikan; (4)
Pengembangan fasilitas sekolah berbasis TIK
sebagai sarana untuk belajar peserta didik; (5)
Dibentuk Tim Evaluasi program dan kegiatan
sekolah secara efektif dan efisien.
b. Rencana Strategis Peningkatan Mutu
Sekolah Aspek Proses
Setelah mengidentifikasi berbagai
faktor kekuatan, kelemahan, peluang dan
ancaman untuk aspek proses kemudian diberi
bobot dan skor maka hasil perhitungan untuk
total skor akhir adalah sebagai berikut ini:
Tabel 5 Skor Akhir IFAS dan EFAS Aspek Proses
IFAS EFAS
Kategori Total
Skor
Kategori Total
Skor
Kekuaran (S) 3,80 Peluang (O) 3,60
Kelemahan (W) 2,75 Ancaman (T) 2,90
Total (S-W) 1,05 Total (S-T) 0,70
Dari hasil matrik IFAS dan EFAS
diketahui skor akhir IFAS adalah 1, 05 dan
total skor akhir EFAS adalah 0,70. Hasil
tersebut kemudian ditunjukkan melalui matrik
SWOT di bawah ini:
Gambar 4 Matrik SWOT Skor Akhir IFAS dan EFAS Aspek Proses
- 4
- 3
- 2
- 1
- -1
- -2
- -3
- -4
I I I I I I I I
-4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4
Ancaman
Kekuatan Kelemahan
Peluang
Sel 1 ( S – O)
Strategi Agresif
Memanfaatkan kekuatan
untuk menangkap peluang
yang ada
(1,05; 0,70)
Strategi Peningkatan Mutu Sekolah Berdasarkan Analisis SWOT di Sekolah Menengah Pertama | Edi Sujoko
91
Tabel 5 Rencana Strategis Berdasarkan Hasil Analisis SWOT
Faktor Eksternal
Peluang
Faktor Internal Sem
akin
men
ing
kat
ny
a k
esad
aran
ora
ng
tu
a p
enti
ng
ny
a k
ual
itas
pen
did
ikan
Lo
kas
i se
ko
lah
diw
ilay
ah i
nd
ust
ri,
pas
ar,
dan
per
kan
tora
n s
ehin
gg
a id
eal
un
tuk
pem
bel
ajar
an k
on
tek
stual
.
Sem
akin
ban
yak
ny
a k
egia
tan
pen
gem
ban
gan
pro
fesi
gu
ru
Sem
akin
mel
imp
ahn
ya
med
ia
pem
bel
ajar
an
Ad
any
a p
erh
atia
n k
hu
sus
dar
i
pem
erin
tah
kab
up
aten
ter
had
ap
sek
ola
h.
Ad
any
a b
eap
eser
ta d
idik
bag
i g
uru
un
tuk
mel
anju
tkan
pen
did
ikan
ke
un
iver
sita
s d
alam
neg
eri
mau
pu
n l
uar
neg
eri.
1 2 3 4 5 6
Kekuatan Strategi S - O (Strength - Opportunity) Kualifikasi pendidikan guru
sesuai dengan pelajaran yang
diampu.
1. Mengoptimalkan kegiatan-kegiatan pengembangan profesi guru
baik di tingkat lokal sekolah ataupun diluar sekolah dengan menitik
beratkan kualitas bukan sekedar mengikuti kegiatan sebagai
formalitas.
2. Mengembangkan pembelajaran yang aktif, Inovatif, kreatif, efektif
dan menyenangkan, sesuai dengan K.13
3. Dibentuk Tim Evaluasi yang efektif dan efisien untuk memantau
dan memastikan kemampuan profesi guru berkembang dari sisi
kualitas.
4. Mengoptimalkan program dan kegiatan ekstrakurikuler mulai dari
perencanaan, pelaksanaan sampai evaluasi untuk mencapai target-
target yang diharapkan.
5. Lebih meningkatkan kerjasama dengan pengajar atau pelatih dari
luar sekolah untuk mengoptimalkan mutu prestasi non akademis
(ekstrakurikuler).
6. Mengembangkan program character building untuk peserta didik.
KKM sekolah minimal 75
Terdapat banyak kegiatan
ekstrakurikuler yang
diselenggarakan oleh sekolah
Kemampun manajemen kepala
sekolah cukup baik
Adanya jam tambahan untuk
kelas IX
Guru mau mengikuti kegiatan
pengembangan profesi.
Berdasarkan hasil analisis SWOT
tersebut maka rencana strategis yang perlu
dibuat sebagai upaya peningkatan mutu sekolah
untuk aspek prosesdi SMPN 1 Bawen adalah
sebagai berikut: (1) Mengoptimalkan kegiatan-
kegiatan pengembangan profesi guru baik di
tingkat lokal sekolah ataupun di luar sekolah
dengan menitikberatkan kualitas bukan sekedar
mengikuti kegiatan sebagai formalitas; (2)
Mengembangkan pembelajaran yang aktif,
inovatif, kreatif, efektif dan menyenangkan,
sesuai dengan K.13; (3) Dibentuk Tim Evaluasi
yang efektif dan efisien untuk memantau dan
memastikan kemampuan profesi guru
berkembang dari sisi kualitas; (4)
Mengoptimalkan program dan kegiatan
ekstrakurikuler mulai dari perencanaan,
pelaksanaan sampai evaluasi untuk mencapai
target-target yang diharapkan; (5) Lebih
meningkatkan kerjasama dengan pengajar atau
pelatih dari luar sekolah untuk mengoptimalkan
mutu prestasi non akademis (ekstrakurikuler);
(6) Supervisi dan monitoring efektif dan efisien
yang dilakukan oleh kepala sekolah.
c. Rencana Strategis Peningkatan Mutu
Sekolah Aspek Output
Setelah mengidentifikasi berbagai
faktor kekuatan, kelemahan, peluang dan
ancaman untuk aspek output kemudian diberi
bobot dan skor maka hasil perhitungan untuk
total skor akhir adalah sebagi berikut ini:
Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017
92
Tabel 6 Skor Akhir IFAS dan EFAS Aspek Output
IFAS EFAS
Kategori Total
Skor
Kategori Total
Skor
Kekuatan (S) 3,70 Peluang (O) 4,20
Kelemahan (W) 3,20 Ancaman (T) 3,30
Total (S-W) 0,50 Total (O-T) 0,90
Dari hasil matrik IFAS dan EFAS
diketahui skor akhir IFAS adalah 0,50 dan
total skor akhir EFAS adalah 0,90. Hasil
tersebut kemudian ditunjukkan melalui matrik
SWOT di bawah ini:
Gambar 5 Matrik SWOT Skor Akhir IFAS dan EFAS Aspek Proses
- 4
- 3
- 2
- 1
- -1
- -2
- -3
- -4
I I I I I I I I
-4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4
Ancaman
Kekuatan
Kelemahan
Peluang
Kuadran 1 ( S – O)
Strategi Agresif
Memanfaatkan kekuatan untuk
menangkap peluang yang ada
(0,50; 0,90)
Strategi Peningkatan Mutu Sekolah Berdasarkan Analisis SWOT di Sekolah Menengah Pertama | Edi Sujoko
93
Tabel 7 Rencana Strategis Berdasarkan Hasil Analisis SWOT
Faktor Eksternal Peluang
Faktor Internal
Kep
erca
yaa
n m
asyar
akat
terh
adap
sek
ola
h t
ing
gi
Har
apan
ora
ng
tu
a ag
ar tu
a
aga
lulu
san
tid
ak h
nya
ber
pre
stas
i d
alam
bid
ang
akad
emis
tet
api
juga
no
n
akad
emis
Lu
lusa
n m
emil
iki
kar
akte
r
ku
at.
Pel
aung
men
jali
n h
ub
un
gan
ker
ja s
ama
yan
g l
ebih
era
t
den
gan
mas
yar
akat
dan
alum
ni.
1 2 3 4
Kekuatan Strategi S - O (Strength - Opportunity) Pencapaian prestasi non
akademis kegiatan non
akademis (ekstrakurikuler)
semakin lebih baik.
a. Meningkatkan prestasi non-akademis sekolah dengan
seoptimal mungkin.
b. Meningkatkan pembelajaran yang menitikkan pada
pembangunan karakter peserta didik untuk membangun
image positif.
c. Membangun jaringan alumni yang lebih efektif dan
terorganisir.
d. Melakukan terobosan-terobosan untuk percepatan
pencapaian prestasi akademis.
Peringkat sekolah dari tahun ke
tahun mulai meningkat
Prosentase jumlah kelulusan
dari tahun ke tahun meningkat.
Banyak peserta didik diterima di
sekolah favorit.
Berdasarkan hasil analisis SWOT
tersebut maka rencana strategis yang perlu
dibuat sebagai upaya peningkatan mutu sekolah
untuk aspek output di SMPN 1 Bawen adalah
sebagai berikut: (1) Meningkatkan prestasi non-
akademis sekolah dengan seoptimal mungkin;
(2) Meningkatkan pembelajaran yang
menitikberatkan pada pembangunan karakter
peserta didik untuk membangun image positif;
(3) Membangun jaringan alumni yang lebih
efektif dan terorganisir; (4) Melakukan
terobosan-terobosan untuk percepatan
pencapaian prestasi akademis.
Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa perencanaan strategis yang disusun
secara sistematis berdasarkan analisis SWOT
dapat menghasilkan produk renstra yang
nantinya diharapkan dapat meningkatkan mutu
pendidikan sekolah. Hal itu sesuai dengan
pendapat Rangkuti (2009) yang menjelaskan
dengan analisis SWOT dapat diketahui
Strengths atau hal-hal yang merupakan
kelebihan dari organisasi; Weaknesses atau
komponen-komponen yang kurang menunjang
keberhasilan penyelenggaraan organisasi;
Opportunity atau kemungkinan-kemungkinan
yang dapat dicapai apabila potensi-potensi yang
ada dalam organisasi mampu dikembangkan
secara optimal, dan Threats atau kemungkinan
yang mungkin terjadi atau pengaruh terhadap
kesinambungan dan keberlanjutan
organisasi.Melalui analisis SWOT pula dapat
diketahui pada posisi kuadran manakah
organisasi yang bersangkutan. Dalam
penelitian ini, hasil analisis SWOT
menunjukkan bahwa baik pada aspek input,
proses maupun output semuanya berada pada
kuadran S-O yang bermakna bahwa organisasi
tersebut kuat dan berpeluang untuk
memenangkan persaingan dan rekomendasi
strategi yang diberikan adalah progresif, artinya
organisasi dalam kondisi prima dan mantap
sehingga sangat dimungkinkan untuk terus
melakukan ekspansi, memperbesar
Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017
94
pertumbuhan dan meraih kemajuan secara
maksimal.
Hal tersebut senada dengan penelitian
yang dilakukan oleh Rozari pada tahun 2011 di
SMK St. Petrus Comoro Dili Timor Leste. Juga
sesuai dengan hasil penelitian Suharti pada
tahun 2013 di SDN 1 Ngadirejo Kecamatan
Ngadirejo Kabupaten Temanggung dan hasil
penelitian Sumarni pada tahun 2011 di SMP
Kristen Satya Wacana Salatiga yang
mengungkapkan bahwa untuk menggali
kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman
suatu organisasi dibutuhkan media analisa yang
akurat yaitu analisa SWOT yang selanjutnya
digunakan untuk menentukan posisi kuadran.
Dari posisi kuadaran masing-masing organisasi
selanjutnya diturunkan menjadi rancangan
rencana strategis.
Berdasarkan hasil penelitian ini
diharapkan penyusunan renstra dapat menjadi
titik tolak peningkatan mutu sekolah,
mengevaluasi diri dengan analisis SWOT akan
semakin memantapkan pijakan perencanaan.
Sekolah akan tahu persis dititik mana posisinya
berada dengan segala kelebihan, kekurangan,
peluang, dan hambatan yang dimiliki, dengan
demikian perencanaan akan lebih matang.
Sehingga tidak ada istilah, renstra hanya
sebagai formalitas pelengkap administrasi.
Tidak adalagi menyusun renstra dengan
mengcopy renstra sekolah lain, karena tiap
sekolah pasti memiliki analisis SWOT yang
berbeda. Jika sekolah sadar akan betapa
pentingnya sebuah renstra untuk peningkatan
mutu sekolah, maka seyogyanya sekolah harus
berbenah dan serius dalam menyusun renstra.
Seperti pepatahs aat orang gagal
merencanakan, maka ia sedang merencanakan
kegagalan. Begitu juga saat sekolah gagal
menyusun renstra, maka jangan berharap
bahwa mutu sekolah akan meningkat.
SIMPULANDANSARAN
Simpulan
Berdasarkan hasil analisis dan
pembahasan, maka kesimpulan yang dapat
diambil adalahhasil analisis SWOT dari aspek
input, proses, dan output untuk meningkatkan
mutu sekolah menunjukkan posisi SMPN 1
Bawen berada pada kuadran I (SO) yang
mendukung pada strategi agresif untuk
mendukung pertumbuhan mutu sekolah maka
dibuatlah rencana strategis yang menggunakan
kekuatan dari lingkungan internal sekolah
untuk dapat menangkap peluang dari
lingkungan eksternal sekolah.
Rencana strategis yang dibuat untuk
meningkatkan mutu dari aspek input adalah: (1)
Mengembangkan lingkungan sekolah menuju
komunitas belajar yang ideal, yaitu melalui
program 7 K (Kebersihan, Ketertiban,
Keindahan, Kerindangan, Keamanan,
Kenyamanan, dan Kekeluargaan); (2)
Membentuk klub-klub prestasi untuk
mengembangkan potensi peserta didik, baik
dari sisi akademis ataupun non akademis; (3)
Mengoptimalkan peran kepala sekolah dalam
memberdayakan dan melatih kepemimpinan
dan manajerial tenaga pendidik dan tenaga
kependidikan; (4) Pengembangan fasilitas
sekolah berbasis TIK sebagai sarana untuk
belajar peserta didik; (5) Dibentuk Tim
Evaluasi program dan kegiatan sekolah secara
efektif dan efisien.
Rencana strategis yang dibuat untuk
meningkatkan mutu aspek proses: (1)
Mengoptimalkan kegiatan-kegiatan
pengembangan profesi guru baik di tingkat
lokal sekolah ataupun di luar sekolah dengan
menitikberatkan kualitas; (2) Mengembangkan
pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif,
efektif dan menyenangkan; (3)
Mengoptimalkan program dan kegiatan
ekstrakurikuler mulai dari perencanaan,
pelaksanaan sampai evaluasi untuk mencapai
target-target yang diharapkan; (4) lebih
meningkatkan kerjasama dengan pengajar atau
pelatih baik dari luar ataupun dari dalam
Strategi Peningkatan Mutu Sekolah Berdasarkan Analisis SWOT di Sekolah Menengah Pertama | Edi Sujoko
95
sekolah untuk mengoptimalkan mutu prestasi
non akademis (ekstrakurikuler).
Rencana strategis yang dibuat untuk
meningkatkan mutu aspek output adalah; (1)
Meningkatkan prestasi non-akademis sekolah
dengan seoptimal mungkin; (2) Meningkatkan
pembelajaran yang menitikberatkan pada
pembangunan karakter peserta didik untuk
membangun image positif; (3) Membangun
jaringan alumni yang lebih efektif dan
terorganisir; (4) Melakukan terobosan-
terobosan untuk percepatan pencapaian prestasi
akademis.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini, saran
yang dapat diberikan adalah:
a. Bagi Kepala Sekolah
Hasil analisis SWOT posisi SMPN 1
Bawen berada pada posisi kuadran I (SO) yang
mendukung pada strategi agresif yang
mendukung pertumbuhan dengan
memanfaatkan kekuatan yang dimiliki sekolah
untuk menangkap peluang yang ada. Hal
tersebut perlu keterlibatan semua komponen
sekolah dan fihak stakeholder.
Kepala sekolah sebagai manajemen
puncak seyogianya bertanggung jawab penuh
terhadap pengelolaan dan pemanfaatan semua
potensi dan sumber daya sekolah untuk
mewujudkan visi misi sekolah, tujuan sekolah
dan memenangkan persaingan positif yang ada.
Selain itu kepala sekolah sebaiknya lebih
mengoptimalkan supervisi, monitoring serta
membentuk tim evaluasi untuk memastikan
program-progam yang dijalankan dapat
berjalan sesuai dengan yang diharapkan dan
untuk mengevaluasi kinerja guru.
Selanjutnya diperlukan komitmen yang
kuat dari kepala sekolah untuk
mengimplementasikan program-program
sekolah secara konsisten dan
berkesinambungan. Hal tersebut menjadi
sangat penting dalam proses peningkatan mutu
sekolah baik dalam jangka menengah ataupun
jangka panjang.
Selain itu kepala sekolah seyogianya
merangkul dan melibatkan semua stakeholder
sekolah dalam menyusun rencana strategis agar
output atau hasil dari renstra nyata-nyata potret
sekolah. Jika hal tersebut dapat terwujud maka
renstra sekolah akan mampu menjawab
persoalan-persoalan yang muncul.
Penulis memberikan sebuah model
ataupun draft rencana strategis peningkatan
mutu sekolah berdasarkan analisis SWOT
SMPN 1 Bawen yang telah diuji oleh pakar.
Sekiranya draft tersebut bermanfaat untuk
membantu sekolah dalam menyusun renstra
sekolah yang akan habis berlakunya sampai
dengan tahun 2015. Sekiranya draft tersebut
dapat menjadi bahan masukan untuk sekolah
dalam menyusun dan mengembangkan rencana
strategis sekolah.
b. Bagi guru dan staf
Para guru dan staf SMP Negeri 1 Bawen
seyogianya berkomitmen bersama untuk
berperan secara aktif dalam mengoptimalkan
pelaksanaan rencana strategis yang sudah
disepakati dan disusun bersama dengan tujuan
agar sekolah mampu meningkatkan mutu
pendidikan. Salah satunya adalah mutu lulusan.
DAFTAR PUSTAKA
Rangkuti, F. 2009. Analisis SWOT Teknik
Membedah Kasus Bisnis, Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Rindaningsih, Ida. (2012). Pengembangan
Model Manajemen Stategik Berbasis
(Beyond Center and Circle Time) BCCT
Pada PAUD. Halaqa Jurnal Fakultas
Tarbiyah, Keguruan dan Ilmu
Pendidikan UMSIDA. vol. 1. No. 2 Juni
2012.
Rozari, A.M. 2011. Rencana Strategis
Peningkatan Mutu Sekolah Dengan
Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017
96
Analisis SWOT di SMK St. Petrus
Comoro Dili Timor Leste. Tesis.
Salatiga: Program Pasca Sarjana
Magister Manajemen Pendidikan
Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif
Kualitatif dan R & D, Bandung:
Alfabeta.
Suharti, R. 2013. Alternatif Strategi
Peningkatan Mutu Sekolah
Berdasarkan Analisis SWOT di SDN 1
Ngadirejo Kecamatan Ngadirejo
Kabupaten Temanggung. Tesis.
Salatiga: Program Pasca Sarjana
Magister Manajemen Pendidikan.
Sumarni, N. 2011. Strategi Peningkatan Mutu
Sekolah Berdasarkan Analisa SWOT
Pada SMP Kristen Satya Wacana
Salatiga. Tesis, Salatiga: Program
Pasca Sarjana Magister Manajemen
Pendidikan.
Tjiptono, F dan Diana, A, 2003. Total Quality
Management. Andi Offset, Yogyakarta
Usman, U. 2002. Menjadi Guru Profesional.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Magister Manajemen Pendidikan FKIP Universitas Kristen Satya Wacana [email protected]
ISSN 2549-9661 Volume: 4, No. 1, Januari-Juni 2017
Halaman: 97-108
97
PENGEMBANGAN MODEL PEMBINAAN SEKOLAH IMBAS
ADIWIYATA BERBASIS PARTISIPASI
Ratih Sulistyowati
Magister Manajemen Pendidikan
FKIP-Universitas Kristen Satya Wacana
Slameto
Magister Manajemen Pendidikan
FKIP-Universitas Kristen Satya Wacana
Yari Dwikurnaningsih
Magister Manajemen Pendidikan
FKIP-Universitas Kristen Satya Wacana
ABSTRACT
The aim of this study is to see the shape of the model of impact school coaching
management. This study is Research and Development (R & D). Data collection use
interviewed, documentation, and Focus Group Discussion. The development phase is
carried out through: (1) preliminary study, (2) arrangement model, (3) validation by
expert from academic and also practitioner, (4) revision of product design and (5) proper
model of coaching is tested. Data analysis conducted during in the field with the steps of
data reduction, data display, and image/verification conclusions. The results showed that
running coaching is difficult to finish. In addition, there is no structured and systematic
planning, causing the implementation of coaching run by chance, depend on the demand
from the school. There is no evaluation program for the coaching itself. The product of
this study is coaching model Adiwiyata school impact base on participation that
completed. Based on the feasibility result test conducted by experts and practitioners, the
model is considered feasible to be tested by practitioners.
Keywords: development, coaching model, impact school, adiwiyata, participation
Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017
98
PENDAHULUAN
Program Adiwiyata merupakan
program yang dicanangkan oleh pemerintah
sejak tahun 2004 dalam rangka mendorong
terciptanya pengetahuan dan kesadaran warga
sekolah dalam upaya pelestarian lingkungan
hidup melalui prinsip edukatif, partisipatif dan
berkelanjutan. Program Adiwiyata adalah
program yang dibentuk dalam rangka
mendorong terciptanya pengetahuan dan
kesadaran warga sekolah dalam upaya
pelestarian lingkungan hidup. Tujuan program
Adiwiyata sendiri sesuai dengan konsepnya
adalah mewujudkan warga sekolah yang
bertanggung jawab dalam upaya perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup melalui tata
kelola sekolah yang baik untuk mendukung
pembangunan berkelanjutan (KLH, 2012: 3).
Prinsip dasar yang dipegang oleh program
Adiwiyata adalah partisipasi, dimana seluruh
komponen turut berperan aktif dan berlanjutan,
dimana program ini dilakukan secara terus
menerus (KLH, 2012: 3).
Dalam pelaksanaan program tersebut,
sekolah-sekolah diberi pembinaan agar berhasil
menjadi sekolah Adiwiyata. Pembinaan
dilakukan oleh Dinas terkait di masing-masing
kota hingga dari provinsi. Salah satu
penghargaan Adiwiyata yaitu sekolah
Adiwiyata Mandiri, merupakan penghargaan
kepada sekolah yang telah berhasil
mendapatkan penghargaan Adiwiyata tingkat
nasional dan memiliki minimal 10 sekolah
imbas Adiwiyata, dimana sekolah-sekolah
imbas tersebut diberi pembinaan oleh calon
sekolah Adiwiyata Mandiri dan berhasil
menjadi sekolah Adiwiyata.
Berdasarkan hasil wawancara awal
yang dilakukan kepada ketua Adiwiyata calon
sekolah Adiwiyata Mandiri didapatkan bahwa
pembinaan Adiwiyata dilakukan oleh ketua
Adiwiyata sekolah dan bersifat monitoring.
Tinjauan atau kunjungan ke sekolah-sekolah
imbas jarang dilakukan, dan apabila dilakukan
hanya jika ada sekolah imbas yang meminta
agar pembina datang untuk melihat capaian
sekolah imbas itu sendiri. Lebih lanjut
dikatakan bahwa hal tersebut terjadi karena
adanya kesulitan pembina dalam membagi
waktu untuk membina sekolah imbas. Dalam
proses pembinaan, pembina merasa kesulitan
karena ada beberapa sekolah imbas kurang
memiliki motivasi dan antusias, serta komitmen
dalam mengikuti program Adiwiyata. Selain itu
belum ada pembentukan tim khusus
pembinaan, sehingga selama ini yang
melakukan pembinaan hanya ketua Adiwiyata.
Hal ini juga menjadi kendala karena seluruh
tugas dan peran dalam pembinaan dikerjakan
oleh pembina. Untuk pelaksanaan pembinaan
belum berjalan dengan efektif dan maksimal
dikarenakan sekolah imbas belum banyak
berpartisipasi secara utuh karena kurang
termotivasi dan juga masih memiliki komitmen
yang rendah dalam melaksanakan program
Adiwiyata ini, padahal keberhasilan untuk
mewujudkan harapan seperti tertuang dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997
tentang pengelolaan lingkungan hidup,
sesungguhnya membutuhkan partisipasi
masyarakat melalui berbagai aktivitas yang
dapat dihubungkan dengan pembinaan untuk
kepentingan pelestarian lingkungan hidup,
sehingga evaluasi yang dilakukan oleh pembina
belum dapat mempengaruhi sekolah imbas
secara optimal.
Paparan tersebut menunjukkan bahwa
model pembinaan Adiwiyata yang ada belum
dapat menjawab permasalahan di dalam
melaksanakan pembinaan. Pembinaan belum
terkonsep dengan baik serta kurangnya
partisipasi secara tidak langsung pula memberi
dampak negatif baik kepada sekolah induk
maupun sekolah imbas dimana program
Adiwiyata sulit atau tidak berjalan sebagaimana
mestinya dan pada akhirnya tujuan program
Adiwiyata sulit untuk tercapai.
Jika merujuk kepada teori mengenai
pembinaan sebuah organisasi yang
dikemukakan oleh Sudjana (2010: 199)
Pengembangan Model Pembinaan Sekolah Imbas Adiwiyata Berbasis Partisipasi | Ratih Sulistyowati, dkk.
99
pembinaan dapat diartikan sebagai upaya
memelihara atau membawa sesuatu keadaan
yang seharusnya terjadi atau menjaga sesuatu
keadaan sebagaimana seharusnya. Sedangkan
Ivancevich (2009: 46) pembinaan adalah
sebuah proses sistematis untuk mengubah
perilaku kerja seorang/sekelompok pegawai
dalam usaha meningkatkan kinerja organisasi.
Untuk menghasilkan kinerja pada tingkat yang
tinggi, maka seorang manajer atau pemimpin
berjuang untuk memotivasi orang-orang di
dalamnya dengan melibatkan mereka untuk
turut ambil bagian dalam setiap prosesnya,
sehingga muncul pertanggungjawaban dalam
diri mereka untuk melaksanakan setiap tugas
dan tanggungjawab yang diberikan. Sehingga
dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk
melakukan pembinaan harus jelas prosesnya
dan harus sistematis, tahapan-tahapannya harus
jelas mulai dari perencanaan hingga
evaluasinya sehingga pembinaan dapat berjalan
dengan efektif. Selain itu pula, motivasi di
dalam diri seseorang atau dalam organisasi
diperlukan dalam membantu ketercapaian
strategi yang telah direncanakan. Motivasi
dapat dimunculkan melalui pelibatan secara
langsung ke dalam setiap tahapan pembinaan.
Dalam hal ini berarti diperlukan sebuah model
pembinaan Adiwiyata yang terkonsep mulai
dari tahap perencanaan hingga tahap
evaluasinya secara kongkret. Selain itu
memasukkan basis partisipasi dalam model
sangat diperlukan sehingga dapat memotivasi
sekolah-sekolah imbas dan dapat memunculkan
keberanian dalam diri sekolah imbas untuk
menjalin kerja sama dengan pihak atau instansi
lainnya. Dengan adanya model pembinaan
berbasis partisipasi pula akan diketahui
seberapa jauh keefektifan dan keberhasilan
pembinaan tersebut dilakukan. Selain itu bila
dilihat dari segi waktu akan menjadi lebih
efisien serta apabila sewaktu-waktu sekolah
imbas dilepas atau dihentikan pembinaannya,
mereka dapat berdiri sendiri karena sudah
memiliki patokan yang jelas dalam
melaksanakan program Adiwiyata.
Yang Ying Ming dkk. (Haryati,
2012:19) menyatakan bahwa model
menggambarkan langkah atau prosedur dalam
mencapai suatu tujuan, sekaligus dapat
digunakan sebagai tolok ukur pencapaian
tujuan. Kemudian Richey, dkk (Suparman,
2014: 8) menyatakan bahwa model
menggambarkan realitas dengan menampilkan
struktur dan tingkatan untuk menyatakan
idealisasi dan pandangan tentang suatu realitas.
Berdasarkan beberapa pendapat diatas
dipahami bahwa istilah model digunakan untuk
menjelaskan konsep yang bervariasi karena
perlu disesuaikan dengan konteks yang akan
digambarkannya serta dapat dikatakan bahwa
model memiliki karakteristik: (1) deskriptif
naratif; (2) ada prosedur atau langkah; (3) ada
tujuan khusus; (4) digunakan untuk mengukur
ketercapaian; dan (5) merupakan
menggambarkan suatu sistem. Setiap model
memiliki tujuan untuk menghasilkan suatu
sistem yang efektif dan efisien dalam
memfasilitasi pencapaian tujuan. Menurut
Marrelli, dkk. (Haryati, 2012: 22), ciri model
yang baik adalah: 1) simple, 2) applicable, 3)
important, 4) controllable, 5) adaptable, dan 6)
communicable. Borg & Gall (Sugiyono, 2016:
35-36) mengembangkan 10 tahapan dalam
mengembangkan model, yaitu: (1) Research
and information collecting; (2) Planning; (3)
Develop preliminary form of product; (4)
Preliminary field testing; (5) Main product
revision; (6) Main field testing; (7) Operational
product revision; (8) Operational field testing;
(9) Final product revision; (10) Dissemination
and implementation.
Partisipasi adalah pelibatan seseorang
atau beberapa orang dalam suatu kegiatan, baik
berupa keterlibatan mental dan emosi serta fisik
dalam menggunakan segala kemampuan yang
dimilikinya (berinisiatif) dalam segala kegiatan
yang dilaksanakan serta mendukung
pencapaian tujuan dan tanggungjawab atas
Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017
100
segala keterlibatan (Astuti, 2009: 31-32).
Berkenaan dengan pembinaan Adiwiyata
kepada sekolah imbas berbasis partisipasi,
maka pembinaan adalah upaya untuk membawa
dan memelihara atau menjaga agar sekolah
imbas dapat menjadi sekolah Adiwiyata
maupun mempertahankan sebagai sekolah
Adiwiyata. Pelaksanaan pembinaan ditujukan
agar kegiatan atau program yang sedang
dijalankan yang dalam hal ini adalah program
Adiwiyata selalu sesuai dengan rencana atau
tidak menyimpang dari rencana yang telah
ditetapkan yaitu sekolah imbas dapat menjadi
sekolah Adiwiyata. Jika terjadi penyimpangan,
segera dapat dilakukan upaya untuk
mengembalikan kegiatan pada yang seharusnya
dilakukan. Dalam setiap tahap pembinaan
dimasukkan unsur partisipasi dari peserta
pembinaannya, mulai dari materi pembinaan,
bentuk pembinaan, pengambilan keputusan
dalam pembinaan, pelaksanaan pembinaan,
hingga bentuk evaluasinya. Sehingga setiap
orang yang terlibat dalam pembinaan
termotivasi dan melakukan tugasnya secara
bertanggungjawab. Keberhasilan pembinaan
berbasis partisipasi disebabkan karena adanya
pembinaan yang berdasarkan kebutuhan tiap
peserta pembinaan, yaitu keinginan atau
kehendak yang dirasakan oleh peserta
pembinaan, baik berupa pengetahuan,
keterampilan, dan sikap, kemudian adanya
pembinaan yang berorientasi kepada tujuan
yang telah disepakati bersama, adanya
pembinaan yang berpusat kepada peserta
pembinaan, dimana kegiatan pembinaan
bertolak dari kondisi setiap peserta pembinaan,
seperti kondisi ekonomi, lingkungan, sarana
pendukung, dan lainnya, serta adanya
pembinaan yang berdasarkan pada pengalaman
masing-masing peserta, dimana kegiatan
pembinaan mengacu pada pengalaman-
pengalaman yang dimiliki oleh setiap peserta
pembinaan, berupa pengetahuan, keterampilan,
dan sikap.
METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan di salah satu
sekolah swasta yang sedang mengikuti program
Adiwiyata Mandiri di Salatiga pada Oktober
2016 sampai Mei 2017. Penelitian ini dirancang
melalui pendekatan Research and Development
(RnD) yang didalamnya terdapat dua kegiatan
yaitu meneliti lalu hasil penelitian tersebut
dikembangkan guna memperbaiki program
yang sudah ada sebelumnya. Produk yang
dihasilkan dalam penelitian ini dikembangkan
melalui langkah-langkah pengembangan oleh
Borg and Gall (Sugiyono, 2016: 35-36)
sehingga dihasilkan sebuah model pembinaan
bagi sekolah imbas Adiwiyata. Namun pada
penelitian ini dibatasi hingga pada tahap yang
kelima yaitu hingga menghasilkan model yang
telah divalidasi oleh ahli dan layak untuk
diujicobakan mengingat adanya keterbatasan
waktu, biaya, dan tenaga oleh peneliti.
Berdasarkan langkah-langkah pengembangan
Borg dan Gall, kemudian disusun kembali
langkah-langkah pengembangan model
pembinaan sebagai berikut:
Gambar 1 Alur Penelitian Reseacrh and
Development Model Pembinaan
STUDI PENDAHULUAN
(Analisis Kebutuhan)
Kajian
Empiris
Validasi Praktisi
(FGD) PRAKTISI
Model yang layak diujicobakan
Penyusunan Model
Awal
Model Faktual Kajian
Teoretis
Validasi Pakar AKADEMISI
Revisi Model
Revisi Model
Pengembangan Model Pembinaan Sekolah Imbas Adiwiyata Berbasis Partisipasi | Ratih Sulistyowati, dkk.
101
Data diperoleh melalui wawancara
dengan beberapa narasumber terkait, studi
dokumentasi, dan FGD. Aktivitas dalam
analisis data baik sebelum dilapangan maupun
selama di lapangan, yaitu data reduction, data
display, dan conclusion drawing/verivication.
Reduksi data digunakan untuk memilah data,
dalam artian berarti merangkum, memilih hal-
hal pokok, menfokuskan pada hal-hal yang
penting, dicari tema dan polanya. Dengan
demikian data yang telah direduksi akan
memberikan gambaran yang lebih jelas, dan
mempermudah peneliti untuk mengumpulkan
data selanjutnya, dan mencarinya bila
diperlukan. Data yang telah direduksi
kemudian disajikan sedemikian rupa dalam
bentuk uraian singkat dan bagan yang padu
sehingga akan memudahkan untuk memahami
apa yang terjadi, merencanakan kerja
selanjutnya berdasarkan apa yang telah
dipahami tersebut. Data yang telah disajikan
secara padu akan menghasilkan sebuah
kesimpulan, baik yang bersifat sementara
maupun yang akan berubah seiring banyaknya
temuan yang akan didapatkan peneliti.
Teknik validasi menggunakan uji
kredibilitas atau kepercayaan terhadap data
(validasi internal). Pengujian data yang
diperoleh dilakukan sebelum dilapangan dan
selama dilapangan dengan menggunakan
teknik triangulasi yang diartikan sebagai
pengecekan data dari berbagai sumber dengan
berbagai cara, dan berbagai waktu. Dalam hal
ini digunakan teknik triangulasi sumber yaitu
membandingkan hasil wawancara yang
didapatkan dari beberapa narassumber terkait
untuk melihat kebenaran data.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan temuan-temuan pada studi
pendahuluan mengenai model faktual
pembinaan yang selama ini digunakan tertuang
dalam gambar berikut.
Gambar 2 Model Faktual Pembinaan Sekolah Imbas Adiwiyata
Berdasarkan gambar 2 dapat dijelaskan
bahwa penyelenggaraan pembinaan sekolah
imbas Adiwiyata yang selama ini dilaksanakan
adalah sebagai berikut. Program Adiwiyata
merupakan program yang dibuat dengan tujuan
untuk membentuk rasa kepedulian dan cinta
lingkungan dari masyarakat, yang dimulai dari
lingkungan sekolah. Program ini memiliki
empat jenis penghargaan yang bertahap, mulai
dari tingkat kabupaten/kota, provinsi, nasional,
dan pada akhirnya menjadi sekolah Adiwiyata
Mandiri, dimana syarat untuk menjadi sekolah
Adiwiyata Mandiri adalah sekolah tersebut
sudah mencapai penghargaan Adiwiyata
tingkat nasional serta memiliki minimal 10
sekolah binaan sebagai imbas Adiwiyata.
Sosialisasi dan Bimbingan
teknik Pelaksanaan pembinaan Evaluasi hasil
Laporan Akhir
Sekolah Adiwiyata
tingkat Kab/kota
Sekolah Adiwiyata
tingkat provinsi
Sekolah Adiwiyata
tingkat Nasional
Sekolah Adiwiyata
Mandiri
Kepedulian dan cinta lingkungan Program Adiwiyata
Menjadi sekolah Adiwiyata Nasional dan
mempunyai 10 sekolah imbas
Program Pembinaan Adiwiyata
bagi sekolah imbas
Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017
102
Dalam program pembinaan, sebelum
pembinaan dilaksanakan dilakukan sosialisasi
dan bimbingan teknik kepada sekolah-sekolah
imbas mengenai pengenalan program
Adiwiyata, administrasinya, serta bagaimana
penerapannya di sekolah, setelah itu baru
pembinaan dilaksanakan.
Selama melaksanakan pembinaan,
calon sekolah Adiwiyata Mandiri atau disebut
sekolah induk mengalami kesulitan.
Keefektifan pembinaan Adiwiyata yang
dilakukan oleh sekolah masih rendah yang
ditunjukkan dengan belum adanya perencanaan
khusus untuk pembinaan itu sendiri karena
mengingat adanya beberapa pertimbangan
terutama waktu, sehingga pembinaan bisa
dilakukan ketika ada waktu kosong dan juga
harus menyesuaikan dengan waktu yang
dimiliki oleh sekolah imbas itu sendiri,
sehingga dalam hal ini dapat dikatakan bahwa
pembinaan masih bersifat insidental. Selain itu
pula adanya perubahan rencana karena antara
pihak sekolah imbas dan sekolah induk sering
berbenturan jadwalnya dengan kegiatan dinas
lainnya. Dalam pengorganisasiannya sendiri
belum ada pembentukan tim khusus
pembinaan, sehingga selama ini yang
melakukan pembinaan hanya ketua Adiwiyata.
Hal ini juga menjadi kendala karena dengan
begitu seluruh tugas dan peran yang seharusnya
tidak dikerjakan oleh pembina, maka kemudian
dikerjakan oleh pembina. Untuk pelaksanaan
pembinaan belum berjalan dengan efektif dan
maksimal dikarenakan sekolah imbas belum
banyak berpartisipasi secara utuh karena
kurang termotivasi dan juga masih memiliki
komitmen yang rendah dalam melaksanakan
program Adiwiyata ini, padahal keberhasilan
untuk mewujudkan harapan seperti tertuang
dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997
tentang pengelolaan lingkungan hidup,
sesungguhnya membutuhkan partisipasi
masyarakat melalui berbagai aktivitas yang
dapat dihubungkan dengan pembinaan untuk
kepentingan pelestarian lingkungan hidup,
sehingga evaluasi yang dilakukan oleh pembina
belum dapat mempengaruhi sekolah imbas
secara optimal.
Hasil Pengembangan
Model pembinaan sekolah imbas
Adiwiyata berbasis partisipasi dikembangkan
berdasarkan hasil studi pendahuluan mengenai
analisis terhadap model faktual dalam
pembinaan. Pengembangan ini juga didasarkan
pada hasil kajian teoretis terhadap manajemen
dalam pembinaan. Pengembangan model
dilaksanakan dengan tahap-tahap: (1)
identifikasi kebutuhan dalam pembinaan yang
didapat melalui analisis model faktual dalam
pelaksanaan pembinaan selama ini, (2)
penyusunan program pembinaan, (3) validasi
isi oleh pakar dalam bidang manajemen, pakar
Adiwiyata, serta praktisi pembinaan.
Penyusunan model pembinaan yang
telah dikembangkan meliputi: (1) pendahuluan,
dimana didalamnya berisi latar belakang, dasar
hukum, tujuan, manfaat model, dan spesifikasi
model; (2) kajian teori mengenai pembinaan
berbasis partisipasi; (3) persyaratan pokok
model; (4) deskrispi model yang meliputi,
gambar model, rasional model, materi
pembinaan, serta deskripsi tahap perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan, dan evaluasi.
Pada perencanaan meliputi identifikasi
kebutuhan pembinaan, perumusan tujuan
pembinaan, mengembangkan struktur program
pembinaan, rencana pelaksanaan pembinaan,
materi pembinaan, mengembangkan buku
panduan pembinaan untuk pembina dan peserta
pembinaan, panduan monitoring dan evaluasi
pembinaan, serta merencanakan waktu
pembinaan. Dalam pengorganisasian
pembinaan meliputi pengorganisasian sumber
daya manusia, dimana didalamnya disusun
struktur kepengurusan pembinaan, jabaran
tugas masing-masing, persyaratan personil,
serta mekanisme kerja dalam kepengurusan
pembinaan. Sedangkan pada pada pelaksanaan
pembinaan terdiri dari sosialisasi pengenalan
Pengembangan Model Pembinaan Sekolah Imbas Adiwiyata Berbasis Partisipasi | Ratih Sulistyowati, dkk.
103
Adiwiyata, tujuan, pengenalan dari segi
administrasi Adiwiyata, dan bimbingan teknik
pelaksanaan Adiwiyata serta pembinaan
Adiwiyata. Setelah itu pelaksanaaan pembinaan
itu sendiri, dimana didalamnya ada kegiatan
monitoring dan evaluasi, serta rencana tindak
lanjut. Pada bagian evaluasi meliputi evaluasi
peserta pembinaan, pembina, dan evaluasi
program pembinaan. Berikut adalah gambar
desain model pembinaan.
Gambar 3 Desain Model Pembinaan Sekolah Imbas Adiwiyata
Setelah dibuat perancangan desain
model pembinaan sekolah imbas Adiwiyata
berbasis partisipasi kemudian dilakukan
validasi oleh ahli secara teoretis terhadap desain
model tersebut. Validasi model oleh ahli
dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan
masukan tentang kelemahan-kelemahan model
dipandang dari segi teotiris oleh para ahli.
Kelemahan-kelemahan tersebut kemudian
diusahakan untuk dikurangi atau diperbaiki
melalui revisi desain.
Validasi model dilakukan melalui uji
pakar, yaitu 1 (satu) pakar dalam bidang
manajemen, 1 (satu) pakar dalam bidang
Adiwiyata, dan 1 (satu) pakar dalam bidang
khusus pembinaan Adiwiyata. Validasi model
dilakukan dengan menggunakan instrumen
berupa angket yang disertai dengan kolom
cacatan atau komentar tambahan yang dapat
diberikan oleh para ahli.
Untuk mengetahui rentang tingkat
kelayakan model dapat digunakan rumus:
Sehingga: 𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑡𝑒𝑟𝑡𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖−𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑡𝑒𝑟𝑒𝑛𝑑𝑎ℎ
𝑎𝑟𝑎𝑠 𝑘𝑒𝑙𝑎𝑦𝑎𝑘𝑎𝑛 =
4−1
3 = 1
Sehingga rentang nilai kelayakan dapat
diketahui sebagai berikut ini:
Tidak Layak = 0,0 – 1,0
Cukup Layak = 1,1 – 2,0
Layak = 2,1 – 3,0
Sangat Layak = 3,1 – 4,0
Berdasarkan hasil analisis data validasi ahli
diperoleh rerata 2,7, sehingga untuk setiap
komponen model dapat dikatakan layak untuk
diujicobakan.
Desain model yang telah diberi
penilaian oleh pakar dan telah di revisi
kemudian di uji kelayakannya. Uji kelayakan
dilakukan melalui Focus Group Discussion
(FGD) dengan menghadirkan praktisi-praktisi
Pembinaan
sekolah imbas
Manajemen
Pembinaan
sekolah imbas
berbasis
partisipasi
Identifikasi
Kebutuhan
Perumusan
Tujuan
Penyusunan
Kegiatan
Perencanaan
Koordinasi
dengan Dinasi
Pendidikan dan
Dinas
Lingkungan
Hidup
Pengorganisasi
an pengurus
dan sekolah
imbas
Kegiatan pra-
pembinaan:
sosialisasi &
bimbingan
teknik
Kegiatan Akhir:
Refleksi dan
rencana tindak
lanjut
Pengorganisasian & pelaksanaan Monitoring &
Evaluasi
Tujuan
Pembinaan:
sekolah
imbassekolah
Adiwiyata
Monitoring &
Evaluasi
program
Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017
104
dalam bidang pembinaan Adiwiyata, baik
penyelenggara atau dari sekolah induk, maupun
peserta atau dalam hal ini adalah sekolah imbas,
sebagai sekolah yang dibina. Dalam hal ini
selain dilakukan diskusi, diberikan juga angket
yang disertai dengan kolom cacatan atau
komentar tambahan yang dapat diberikan oleh
para praktisi. Berdasarkan hasil analisis data
validasi ahli diperoleh rerata 3,4, sehingga
untuk setiap komponen model dapat dikatakan
sangat layak untuk diujicobakan.
Berikut adalah tabel perbandingan
untuk melihat pengembangan model pada
setiap tahapan pengembangan.
Tabel 1 Hasil Pengembangan Model Pada setiap Tahapan Pengembangan
Pembahasan
Model pembinaan sekolah imbas
Adiwiyata dikembangkan dengan berbasis
partisipasi dengan harapan dapat mengatasi
kelemahan-kelemahan yang ada pada model
pembinaan yang dilaksanakan sebelumnya.
Bertolak dari adanya hambatan-hambatan
tersebut, maka diperlukan pengembangan
model pembinaan yang dapat mengatasi
masalah atau hambatan tersebut.
Pengembangan model dilakukan
dengan merujuk kepada 4 komponen
manajemen, yaitu perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan, dan monitoring
dan evaluasi, dimana dalam setiap komponen
dimasukkan konsep partisipasi, yaitu partisipasi
dari sekolah imbas agar sekolah imbas turut
bertanggungjawab dalam pelaksanaan
pembinaan. Gagasan ini didukung oleh
penelitian yang dilakukan oleh Karim (2012:
Pengembangan Model Pembinaan Sekolah Imbas Adiwiyata Berbasis Partisipasi | Ratih Sulistyowati, dkk.
105
56) mengenai “Manajemen Pendidikan
Lingkungan Hidup Berbasis Partisipasi” yang
menyatakan bahwa partisipasi dapat
memberikan kontribusi untuk mengisi dan
mengatasi berbagai permasalahan lingkungan.
Bentuk-bentuk partisipasi bisa mulai dari
spektrum yang paling ekstrim sampai pada
bentuk kemitraan. Melalui partisipasi yang
aktif, mereka dapat mengeksplorasikan
kepeduliaannya maupun melakukan kontrol.
Hal ini juga sejalan dengan penelitian yang
dilakukan Bandiyah (2016: 12) tentang
“Pelatihan dan Pendampingan Penyusunan
Rencana Penyusunan Jangka Menengah
(RPJM) Desa Berbasis Partisipatif di Desa
Lokasari, Sidemen, Karangasem, Bali” yang
mengatakan bahwa hasil sebuah perencanaan
dapat diterima dengan baik oleh masyarakat
setempat apabila dalam penyusunannya
melibatkan partisipasi dari masyarakat. Tanpa
partisipasi, biasanya hasil perencanaan
berakibat pada kekecewaan karena tidak sesuai
dengan keinginan dan harapan dari masyarakat.
Di samping itu, akan sulit mengharapkan
masyarakat untuk mematuhi dan menjaga
pelaksanaan kegiatan yang telah dibuat
sebelumnya.
Penelitian lainnya dilakukan oleh
Wiyono, dkk (2014: 170) tentang “Grand
Design Model Pembinaan Profesional Guru
Berbasis Determinan Kinerja Guru” yang
dalam mengembangkan model pembinaan bagi
guru juga menemukan hambatan yang sama
seperti yang ditemukan oleh peneliti dalam
rangka pengembangan model pembinaan ini,
yakni dimana hambatan yang paling dominan
adalah kurangnya waktu dan banyaknya tugas
atau pekerjaan lainnya yang harus dilakukan.
Hal ini serupa dengan yang ditemukan oleh
peneliti, dimana salah satu kendala
terhambatnya pelaksanaan pembinaan kepada
sekolah imbas ini adalah waktu pembinaan
yang tidak terstruktur karena kesibukan
masing-masing, baik dari pihak sekolah induk,
maupun sekolah imbas. Lebih lanjut Wiyono
(2016: 170) menyarankan langkah yang
ditempuh dalam mengatasi hambatan tersebut
adalah mengatur jadwal kegiatan dengan
sebaik-baiknya, mengatur waktu secara efisien,
mencari informasi melalui berbagai sumber
(teknologi, teman, atau sumber lainnya),
memanfaatkan fasilitas yang ada secara
optimal, mengembangkan diri secara mandiri,
menindaklanjuti hasil pembinaan, mengadakan
forum pembinaan mandiri, menambah jam
pelajaran, mengadakan pembinaan secara
pribadi, menyusun program pembinaan,
meningkatkan kerjasama, dan mengadakan
pembinaan secara berkelanjutan. Hasil
penelitian tersebut kemudian menjadi acuan
bagi peneliti sehingga perlu mengembangkan
model pembinaan sekolah imbas Adiwiyata ini.
Dengan desain manajemen program yang jelas,
segala kebutuhan yang berhubungan dengan
pembinaan sekolah imbas Adiwiyata, akan
memberikan kejelasan tentang model
pembinaan sekolah imbas Adiwiyata mulai dari
perencanaan, tujuan, materi pembinaan, strategi
pembinaan, dan evaluasi hasil yang diperoleh.
Penelitian lainnya yang dilakukan oleh
Dewi (2013: 135) tentang “Pengembangan desa
wisata berbasis partisipasi Masyarakat lokal di
desa wisata Jatiluwih Tabanan, Bali”
mengatakan bahwa parameter yang digunakan
untuk menentukan derajat partisipasi
masyarakat dalam tahap perencanaan adalah
keterlibatan dalam identifikasi masalah,
perumusan tujuan, dan pengambilan keputusan
terkait. Dalam hal ini, temuan penelitian Dewi
kemudian menjadi acuan dalam perencanaan
kegiatan pembinaan yang dikembangkan.
Dari beberapa paparan penelitian di atas
dapat diketahui basis partisipasi yang dipilih
merupakan langkah yang tepat untuk mengatasi
kendala yang ada selama proses pembinaan
yang selama ini berlangsung, dimana dengan
menerapkan konsep partisipasi maka untuk
jadwal pembinaan dapat ditentukan secara
bersama pada awal perencanaan, sehingga
apabila ada kegiatan dinas lainnya, maka dapat
Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017
106
dengan cepat dicarikan solusi bersama untuk
pelaksanaan waktu pembinaan. Kemudian,
dengan adanya konsep partisipasi yang
melibatkan sekolah imbas pada seluruh tahapan
manajemen pembinaannya akan memberikan
respon positif dari sekolah imbas agar lebih
bertanggungjawab dalam pelaksanaan
program, dan memunculkan motivasi serta
komitmen dari skeolah imbas itu sendiri.
Dengan selalu menjaga komitmen tersebut,
maka rotasi kepala sekolah kemudian tidak
menjadi halangan putusnya rantai Adiwiyata
dalam pembinaan tersebut.
Dalam pengimplementasian model
pembinaan sekolah imbas Adiwiyata berbasis
partisipasi, maka empat komponen manajemen
yang ada dalam model, yaitu perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan, serta
monitoring dan evaluasi dilaksanakan dengan
melibatkan sekolah imbas dengan harapan
bahwa nantinya pembinaan dapat berjalan
dengan efisien karena sesuai dengan kebutuhan
dan kemampuan masing-masing sekolah imbas
dan juga sekolah imbas dapat termotivasi untuk
melaksanakan program Adiwiyata disekolah
masing-masing. Dalam perencanaan sekolah
imbas berpartisipasi dengan sekolah induk
dalam menentukan kebutuhan dan kemampuan
serta keadaan lingkungan masing-masing
sekolah imbas dalam rangka mewujudkan
program Adiwiyata, dimana hal tersebut
kemudian menjadi dasar dalam menentukan
tujuan pembinaan dan materi pembinaan serta
bentuk pelaksanaan pembinaan.
Dalam pengorganisasian, sekolah imbas
berpartisipasi dalam keanggotaan pengurus
pembinaan, sehingga, dapat memudahkan
dalam mengatur waktu dan tempat pembinaan,
selain itu pula, apabila sekolh imbas mengalami
kesulitan dalamm pelaksanaan Adiwiyata
disekolahnya, maka dapat secara langsung
mendiskusikan dengan anggota pengurus
lainnya, sehingga masalah tersebut dapat secara
langsung teratasi.
Dalam pelaksanaan, sekolah imbas
berpartisipasi dalam mengikuti kegiatan
pembinaan secara utuh dan pelaksanaan
pembinaan dilaksanakan sesuai dengan jadwal
dan tempat yang telah ditentukan bersama
sekolah imbas dan sekolah induk. Sedangkan
dalam kegiatan monitoring dan evaluasi,
sekolah induk dan sekolah imbas turut
berpartisipasi dalam memonitoring jalannya
pembinaan, pelaksanaan program Adiwiyata
disekolah masing-masing sekolah imbas, dan
juga bersama dengan sekolah induk
mengevaluasi proses pembinaan, hasil
pembinaan, serta program pembinaan yang
telah dilaksanakan sehingga didapatkan
kesimpulan bersama untuk mengetahui
keberhasilan program pembinaan yang telah
dilaksanakan, kekurangan yang ditemukan
selama pelaksanaan program sehingga dapat
menjadi saran untuk memperbaiki program
pembinaan tersebut kedepannya.
Kelebihan model pembinaan sekolah
imbas Adiwiyata yang dikembangkan ini
adalah: (1) adanya analisis kebutuhan
pembinaan, rumusan tujuan, dan penentuan
materi pembinaan yang dibuat bersama dengan
sekolah imbas, sehingga pembinaan akan
terlaksana sesuai dengan kebutuhan masing-
masing sekolah imbas untuk memenuhi adanya
keragaman masing-masing sekolah imbas; (2)
model dikembangkan menjadi 4 komponen
manajemen, yaitu perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan, dan monitoring
dan evaluasi; (3) model dikembangkan berbasis
kepada partisipasi; (4) pada aspek perencanaan
dilakukan perencanaan yang sistematis,
mengacu kepada kebutuhan sekolah imbas; (5)
pada aspek pengorganisasian dirincikan tugas
dan prasyarat masing-masing pihak yang
terlibat dalam pembinaan; (6) pada aspek
pelaksanaan pembinaan dijabarkan kembali
menjadi 4 kegiatan, yaitu kegiatan persiapan,
pra-pembinaan, pelaksanaan, dan kegiatan
akhir. Selain itu pula untuk waktu pembinaan
dibuat berdasarkan kesepakatan sekolah induk
Pengembangan Model Pembinaan Sekolah Imbas Adiwiyata Berbasis Partisipasi | Ratih Sulistyowati, dkk.
107
dan sekolah imbas di awal sebelum pembinaan
dilaksanakan; (7) pada aspek monitoring dan
evaluasi dilakukan monitoring oleh sekolah
induk maupun oleh sekolah imbas terhadap
seluruh rangkaian kegiatan pembinaan. Selain
itu pula dilakukan evaluasi oleh sekolah induk
dan sekolah imbas untuk keseluruhan
komponen manajemen pembinaan, evaluasi
proses, dan evaluasi hasil; (8) selama ini belum
pernah ada dilakukan penelitian mengenai
pengembangan model pembinaan sekolah
imbas Adiwiyata.
Adapun kekurangan model ini adalah:
(1) pada dasarnya sudah ada penelitian
terdahulu dengan basic atau dasar yang sama
mengenai Adiwiyata, namun untuk penelitian
yang lebih spesifik terutama mengenai
pembinaan sekolah imbas Adiwiyata belum
ditemukan, sehingga pengembangan model
hanya didasarkan pada teori-teori yang ada,
bukan berdasarkan pada kekurangan temuan
penelitian terdahulu; (2) perlu dilakukan
ujicoba baik ujicoba skala terbatas, maupun
secara luas terhadap model untuk melihat
keefektivitasan model dalam pembinaan.
Implikasi Hasil Penelitian
Implikasi dari hasil penelitian ini
meliputi: (1) secara teoretis, hasil penelitian ini
memberikan implikasi terhadap pengembangan
model pembinaan sekolah imbas Adiwiyata
berbasis partisipasi, dimana model
dikembangkan dalam 4 komponen manajemen,
sehingga kegiatan pembinaan memiliki tujuan
dan arah yang jelas serta dapat dijalankan lebih
efisien; (2) secara teoretis, hasil penelitian ini
memberikan implikasi terhadap pengembangan
model pembinaan sekolah imbas Adiwiyata
berbasis partisipasi, dimana partisipasi yang
dilibatkan dalam pembinaan memberikan
kontribusi sangat besar dalam pelaksaaan
pembinaan sehingga bisa lebih efisien; (3)
penerapan model pembinaan sekolah imbas
Adiwiyata berbasis partisipasi menuntut baik
Pembina maupun sekolah imbas untuk
bertanggungjawab dan berkomitmen atas
keseluruhan tahapan pembinaan, sehingga
pembinaan dapat berhasil dan kedua pihaks
aling diuntungkan; (4) penerapan model
pembinaan sekolah imbas Adiwiyata berbasis
partisipasi berimplikasi pada upaya
peningkatan capaian sekolah imbas dalam
mengikuti program Adiwiyata. Selain itu pula,
berimplikasi pada upaya peningkatan
partisipasi sekolah imbas dalam program
Adiwiyata.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Model pembinaan sekolah imbas
Adiwiyata yang selama ini dijalankan belum
baik. Hal ini ditunjukkan dengan: (1) belum
adanya perencanaan pembinaan yang disusun
dengan matang, (2) tidak ada analisis
kebutuhan yang mendasari kegiatan
pembinaan, (3) tidak ada rumusan tujuan
pembinaan yang dibuat, (4) belum pernah
dilakukan evaluasi program pembinaan.
Berdasarkan hal tersebut, maka
kemudian disusun desain model pembinaan
sekolah imbas Adiwiyata berbasis partisipasi
yang layak diterapkan, meliputi: (1)
perencanaan pembinaan yang terdiri dari 3
kegiatan utama, yaitu: analisis kebutuhan,
perumusan tujuan, penyusunan materi
pembinaan, kemudian pemaparan tujuan,
manfaat, dan materi pembinaan Adiwiyata
secara umum, mengembangkan materi berbasis
partisipasi, media dan perangkat evaluasi,
mengembangkan buku panduan bagi pembina,
sekolah imbas, dan panduan monitoring dan
evaluasi, merencanakan konsep pelaksanaan;
(2) pengorganisasian struktur pengurus
pembinaan, syarat personil dan tugas personil
yang terlibat dalam pembinaan (3) pelaksanaan
pembinaan terdiri dari: kegiatan persiapan, pra-
pembinaan, pelaksanaan pembinaan, dan
kegiatan akhir (4) evaluasi pembinaan yang
terdiri dari: evaluasi proses, evaluasi hasil,
evaluasi program, evaluasi sekolah imbas, dan
Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017
108
evaluasi sekolah induk/pembina. Model
pembinaan sekolah imbas Adiwiyata berbasis
partisipasi adalah model yang didapatkan
setelah dilakukan uji kelayakan oleh ahli secara
teoretis dan ahli implementasi atau praktisi
dilapangan. Hasil ujicoba kelayakan
menunjukkan bahwa model layak untuk
diujicobakan.
Saran
Saran disampaikan kepada pihak yang
terlibat dalam pelaksanaan pembinaan, yaitu
Pembina dari sekolah induk, sekolah imbas, dan
peneliti selanjutnya. Bagi sekolah induk, dalam
mengembangkan pembinaan hendaknya: (1)
membuat perencanaan pembinaan yang
berdasarkan dengan kebutuhan sekolah imbas,
(2) melakukan monitoring selama kegiatan
pembinaan secara rutin, (3) mengadakan
evaluasi terhadap program pembinaan, (4)
mengembangkan pembinan sekolah imbas
Adiwiyata berbasis partisipasi agar dapat
menjangkau pembinaan lebih luas lagi. Bagi
sekolah imbas hendaknya memotivasi diri serta
tetap menjaga komitmen untuk senantiasa
mengembangkan diri sehingga berhasil
menjadi sekolah Adiwiyata. Bagi peneliti
selanjutnya, untuk mengetahui efektivitas
model yang dikembangkan ini, maka perlu
dilakukan pengembangan tahapan selanjutnya
baik ujicoba terbatas, maupun diperluas.
Adapun keterbatasan dalam penelitian
ini adalah pengembangan model pembinaan
sekolah imbas Adiwiyata berbasis partisipasi
ini di fokuskan kepada sistem manajemen
pembinaannya yang dapat berjalan dengan baik
asal seluruh pihak yang terlibat
bertanggungjawab dan juga mengikuti runtutan
langkah dalam manajemen ini. Capaian
pengembangan model ini masih perlu
dikembangkan melalui tahap penelitian
selanjutnya, ujicoba terbatas dan ujicoba yang
lebih luas. Selain itu subyek ujicoba model ini
hanya dilakukan pada satu sekolah calon
Adiwiyata mandiri yang ada di Salatiga,
sehingga belum dapat menjamin bahwa model
ini dapat memecahkan semua kendala yang ada
dalam pembinaan sekolah imbas Adiwiyata.
DAFTAR PUSTAKA
Astuti, D. 2009. Desentralisasi dan Partisipasi
Dalam Pendidikan. Yogyakarta: UNY
Bandiyah. 2016. Pelatihan dan Pendampingan
Penyusunan RPJMDesa Berbasis
Partisipasi di Desa Lokasari, Sidemen,
Karangasem, Bali. Jurnal Pengabdian
Pada Masyarakat; Volume 1, No. 1,
Desember 2016: Page 11-17; P-ISSN;
2540-8739 || E-ISSN: 2540-8747.
Dewi, dkk. 2013. Pengembangan Desa Wisata
Berbasis Partisipasi Masyarakat Loka di
S=Desa Wisata Jatiluwih Tabanan, Bali.
Jurnal Kawistara hal: 117-226 Volume
3, No. 2, 17 Agustus 2013.
Haryati, S. 2012. Research and Development
(RnD) Sebagai Salah Satu Model
Penelitian Dalam Bidang pendidikan.
Vol. 37 No. 1, 15 September 2012 : 11-
26
Ivancevich, J., dkk. 2009. Perilaku dan
Manajemen Organisasi Edisi Ketujuh.
Jakarta: Erlangga.
Karim, A. 2012. Manajemen Pendidikan
Lingkungan Hidup Berbasis
Partisipasi. Yogyakarta: Pustaka Ifada.
KLH. 2012. Panduan Adiwiyata 2012. Jakarta:
KLH
Sudjana, N. 2010. Pembinaan dan
Pengembangan Kurikulum di Sekolah.
Bandung: Sinar Baru Algesindo.
Sugiyono. 2016. Metode Penelitian dan
Pengembangan. Bandung: Alfabeta
Suparman, A. 2014. Desain Instruksional
Modern. Jakarta: Erlangga
Wiyono, dkk. 2014. Grand Design Model
Pembinaan Profesional Guru Berbasis
Determinan Kinerja Guru. Jurnal Ilmu
Pendidikan, Jilid 20, Nomor 2,
Desember 2014, hlm. 165-175.
Magister Manajemen Pendidikan FKIP Universitas Kristen Satya Wacana [email protected]
ISSN 2549-9661 Volume: 4, No. 1, Januari-Juni 2017
Halaman: 109-120
109
EVALUASI PELAKSANAAN PROGRAM INKLUSI SEKOLAH
DASAR
Rika Widyawati
SDN Cukilan 01
Kabupaten Semarang-Jawa Tengah
ABSTRACT
This study aimed to evaluate the implementation of inclusive program in Public
Elementary School 2 Klero (SD Negeri 2 Klero), Tengaran, Semarang. This study is an
evaluation research with descriptive qualitative approach with CIPP model. The data
source consisted of teachers, headmaster, and school committee. The data were collected
through interview, observation and documentation. The results of this study: on Context
evaluation showed that the school already has got the permission as well as the guidance
in order to implement the inclusive program; on Input evaluation showed that the special
infrastructures were inadequate, the curriculum had already been modified, special
trainings had not been spread evenly, and there was no special assistant in school; on
Process evaluation showed that the results of teachers’ competency were acceptable in
dealing with children with special needs, individual treatment, but BOS fund is the only
financial support and there was no continual monitoring from government; and on
Product evaluation the result showed that the academic and non academic achievements
of children with special needs were average.
Keyword: Inclusive Education, Evaluation Program, CIPP Model
Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017
110
PENDAHULUAN
Pendidikan adalah usaha sadar
terencana untuk mewujudkan suasana belajar
dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan
negara (UU Sisdiknas, 2003). Dalam Undang-
Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan UU No.
20 tahun 2003 tentang Sitem Pendidikan
Nasional Bab IV pasal 5 ayat 1 dinyatakan
bahwa setiap warga negara mempunyai hak
yang sama untuk memperoleh pendidikan yang
bermutu. Warga negara yang memiliki kelainan
fisik, emosional, mental, intelektual dan atau
sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.
Hal ini menunjukkan bahwa anak yang
memiliki kelainan dan/atau memiliki
kecerdasan dan bakat istimewa berhak pula
memperoleh kesempatan yang sama dengan
anak lainnya (anak normal) dalam pendidikan.
Pendidikan inklusi dinilai dapat
menjadi jembatan untuk mewujudkan
pendidikan untuk semua (education for all),
tanpa ada seorangpun yang tertinggal dari
layanan pendidikan (Kemendikbud, 2012).
Menurut Smart (2010), pendidikan inklusi
adalah pendidikan pada sekolah umum yang
disesuaikan dengan kebutuhan siswa yang
memerlukan pendidikan khusus pada sekolah
umum dalam satu kesatuan yang sistemik.
Sekolah inklusi menyediakan program
pendidikan yang layak, menantang, tetapi
disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan
setiap murid maupun bantuan dan dukungan
yang dapat diberikan oleh para guru, agar anak-
anak berhasil (Nashokha, tth.).
Sekolah pelaksana pendidikan inklusi
dengan berbagai keragaman karakteristik
peserta didik dan kondisi lingkungan maka
sekolah perlu melakukan penyesuaian untuk
meningkatkan kualitas pendidikan. Kondisi ini
memerlukan upaya yang sungguh-sungguh,
agar anak yang berkebutuhan khusus
mendapatkan akses pendidikan yang layak. Hal
yang tidak boleh dilupakan sebagai bagian dari
upaya pembudayaan pendidikan inklusi adalah
kegiatan monitoring dan evaluasi pelaksanaan
dan pengembangan pendidikan inklusi dari
waktu ke waktu (Kemendikbud, 2013).
Evaluasi merupakan hal yang harus
dilakukan dalam sebuah program. Sebuah
kegiatan evaluasi akan diketahui bagaimana
keberlangsungan program, kendala yang
dihadapi dalam sebuah program, dan
mendapatkan masukan bagi kelanjutan
program tersebut. Evaluasi merupakan suatu
proses sistematis dalam mengumpulkan,
menganalisis, dan meng¬interpretasi-kan
informasi untuk mengetahui tingkat
keberhasilan pelaksanaan pendidikan inklusi
dengan kriteria tertentu yang telah ditetapkan
untuk pengambilan suatu keputusan
(Kustawan, 2012). Salah model evaluasi
program yang tepat yaitu model CIPP. Model
CIPP adalah model evaluasi yang memandang
program yang dievaluasi sebagai sebuah system
(Arikunto, 2010). Melalui kegiatan evaluasi ini
diharapkan dapat dirumuskan strategi untuk
memperbaiki program kedepan sehingga
pendidikan inklusi dapat berjalan secara baik
dari sebelumnya.
Di Kabupaten Semarang terdapat
delapan SD yang ditunjuk sebagai SD inklusi.
Salah satunya adalah SD Negeri Klero 02
Kecamatan Tengaran. SD tersebut menjadi SD
Inkusi mulai tahun 2010 dan merupakan satu-
satunya SD inklusi di Kecamatan Tengaran. SD
Negeri Klero 02 telah menerima peserta didik
yang memiliki kebutuhan khusus sejak tahun
ajaran 2010/2011. SD Negeri Klero 02 telah
menangani peserta didik yang memiliki
kebutuhan khusus seperti kesulitan belajar, tuna
netra dan tuna wicara. Dalam pelaksanaannya
SD Negeri Klero 02 masih mengalami banyak
hambatan sehingga dalam pembelajarannya
kurang maksimal. Untuk mengetahui
bagaimana pelaksanaan program inklusi di SD
Evaluasi Pelaksanaan Program Inklusi Sekolah Dasar | Rika Widyawati
111
Negeri Klero 02, maka peneliti tertarik untuk
mengevaluasi pelaksanaan program inklusi di
sekolah tersebut.
Pendidikan inklusi merupakan konsep
pendidikan yang tidak membeda-bedakan latar
belakang kehidupan anak kerena keterbatasan
fisik maupun mental (Ilahi, 2013). Menurut
Kustawan (2012; Kamalfuadi, 2011)
pendidikan inklusi adalah sistem pendidikan
yang terbuka bagi semua individu serta
mengakomodasi semua kebutuhan sesuai
dengan kondisi masing-masing individu.
Konsep inklusi memberikan pemahaman
mengenai pentingnya penerimaan anak-anak
yang memiliki hambatan ke dalam kurikulum,
lingkungan, dan interaksi sosial yang ada di
sekolah (Smith, 2006). Dalam konteks yang
lebih luas, pendidikan inklusif juga dapat
dimaknai sebagai satu bentuk reformasi
pendidikan yang menekankan sikap anti
diskriminasi, perjuangan persamaan hak dan
kesempatan, keadilan dan perluasan akses
pendidikan bagi semua, peningkatan mutu
pendidikan, upaya strategis dalam menuntaskan
wajib belajar 9 tahun, serta upaya mengubah
sikap masyarakat terhadap anak berkebutuhan
khusus (Ilahi, 2013; Shabillah, 2015).
Pendidikan inklusi dinilai dapat
menjadi jembatan untuk mewujudkan
pendidikan untuk semua (education for all),
tanpa ada seorangpun yang tertinggal dari
layanan pendidikan (Kemendikbud, 2012).
Tujuan dari pendidikan inklusi adalah agar
semua anak memperoleh pendidikan yang
bermutu sesuai dengan kebutuhan dan
kemampuannya serta untuk mewujudkan
penyelenggaraan pendidikan yang menghargai
keanekaragaman dan diskriminatif bagi semua
anak (Kustawan, 2012). Sekolah yang ditunjuk
mengadakan layanan pendidikan inklusi berhak
melakukan berbagai modifikasi atau
penyesuaian, baik dalam hal kurikulum, sarana
dan prasarana, tenaga pendidikan, sistem
pembelajaran serta sistem penilaiannya
(Sulihandari, 2013).
Dari uraian diatas pendidikan inklusi
merujuk pada suatu sistem pendidikan yang
memberikan kesempatan kepada semua anak
tanpa membeda-bedakan latar belakang anak
karena keterbatasan fisik ataupun mental untuk
mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam
lingkungan pendidikan pada umumnya. Jadi,
pendidikan inklusi adalah sistem pendidikan
yang mengakomodasi semua anak
berkebutuhan khusus untuk belajar di sekolah-
sekolah umum agar dapat belajar bersama
teman seusianya. Anak berkebutuhan khusus
yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu anak-
anak yang mengalami kekurangan atau
ketunaan dalam fisik ataupun mental pada
kategori ringan, bukan anak yang berkebutuhan
khusus yang cerdas istimewa.
Menurut Widoyoko (2014) evaluasi
program merupakan rangkaian kegiatan yang
dilakukan dengan sengaja dan secara cermat
untuk mengetahui tingkat keterlaksanaan atau
keberhasilan suatu program dengan cara
mengetahui efektifitas masing-masing
komponennya, baik terhadap program yang
sedang berjalan maupun program yang telah
berlalu (Nuraeni, 2013). Selanjutnya Suharsimi
Arikunto (2004) menambahkan evaluasi
program adalah proses penetapan secara
sistematis tentang nilai, tujuan, efektivitas atau
kecocokan sesuatu sesuai dengan kriteria dan
tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.
Evaluasi program adalah upaya untuk
mengetahui tingkat keterlaksanaan suatu
kebijaksanaan secara cermat dengan cara
mengetahui efektivitas masing-masing
komponennya (Arikunto, 2010). Evaluasi
program dilakukan untuk mengetahui seberapa
jauh tujuan yang sudah tercapai, dan bagian
mana yang belum tercapai serta apa
penyebabnya.
Wirawan (2012) mengungkapkan
evaluasi program adalah evaluasi dengan
objeknya program pendidikan, yaitu aktivitas
yang dilaksanakan untuk waktu yang tidak
terbatas. Evaluasi dilakukan untuk
Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017
112
mengevaluasi berbagai aspek pendidikan
misalnya, kurikulum, proses dan metode
pembelajaran mata pelajaran, layanan
pendidikan, tenaga pendidik, dan sebagainya.
Tayibnapis (2008) menjelaskan suatu evaluasi
program harus mengumpulkan informasi yang
valid, informasi yang dapat dipercaya,
informasi yang berguna untuk program yang
dievaluasi. Informasi dari program yang ingin
dievaluasi haruslah jelas dan berdasarkan
kondisi nyata sehingga evaluasi dapat berjalan
sesuai dengan tujuan dan mendapatkan hasil
yang maksimal.
Dari uraian diatas bahwa evaluasi
program merujuk pada suatu kegiatan yang
dilakukan untuk mengumpulkan informasi
terhadap jalannya suatu program guna
mengetahui efektivitas masing-masing
komponennya. Evaluasi program berguna
untuk mengetahui tujuan yang sudah tercapai,
dan bagian mana yang belum tercapai serta apa
penyebabnya. Dari hasil evaluasi dapat sebagi
bahan pertimbangan untuk menentukan
alternatif kebijakan yang tepat untuk
mengambil sebuah keputusan.
Menurut Arikunto dan Cepi (2010)
model CIPP adalah model evaluasi yang
memandang program yang dievaluasi sebagai
sebuah sistem. Dengan demikian, jika tim
evaluator sudah menentukan model CIPP
sebagai model yang akan digunakan untuk
mengevaluasi program maka harus dianalisis
terlebih dahulu berdasarkan komponen-
komponennya. Evaluasi model CIPP dapat
diterapkan dalam berbagai bidang, seperti
pendidikan, manajemen, perusahaan, dan
sebagainya serta dalam berbagai jenjang baik
itu proyek, program maupun institusi (Anggun,
2013). Model CIPP yang dikenalkan oleh
Stufflebeam ini meliputi hal-hal sebagai
berikut:
a) Evaluasi Konteks (Context Evaluation),
merupakan penggambaran dan spesifikasi
tentang lingkungan program, kebutuhan
yang belum dipenuhi, karakteristik
populasi dan sampel dari individu yang
dilayani dan tujuan program. Evaluasi
konteks membantu merencanakan
keputusan, menentukan kebutuhan yang
akan dicapai oleh program dan
merumuskan tujuan program.
b) Evaluasi Masukan (Input Evaluation),
membantu mengatur keputusan,
menentukan sumber-sumber yang ada,
alternatif apa yang diambil, apa rencana
dan strategi untuk mencapai tujuan,
bagaimana prosedur kerja untuk
mencapainya. Informasi yang terkumpul
selama tahap penilaian hendaknya
digunakan untuk menentukan sumber dan
strategi di dalam keterbatasan dan
hambatan yang ada.
c) Evaluasi Proses (Process Evaluation)
digunakan untuk mendeteksi atau
memprediksi rancangan prosedur atau
rancangan implementasi selama tahap
implementasi, menyediakan informasi
untuk keputusan program dan sebagai
rekaman atau arsip prosedur yang telah
terjadi. Pada dasarnya evaluasi proses
untuk mengetahui sampai sejauh mana
rencana telah diterapkan dan komponen
apa yang perlu diperbaiki.
d) Evaluasi Produk/Hasil (Product
Evaluation), merupakan penilaian yang
dilakukan untuk mengukur keberhasilan
dalam pencapaian tujuan yang telah
ditetapkan. Dari hasil evaluasi proses
diharapkan dapat membantu untuk
membuat keputusan yang berkenaan
dengan kelanjutan, akhir maupun
modifikasi program, karena data yang
dihasilkan akan sangat menentukan apakah
program diteruskan, dimodifikasi, atau
dihentikan (Widoyoko, 2011).
Arikunto (2008) menjelaskan secara rinci
terkait evaluasi model CIPP, evaluasi context
adalah upaya untuk menggambarkan dan
merinci lingkungan, kebutuhan yang tidak
terpenuhi, populasi dan sampel yang dilayani,
Evaluasi Pelaksanaan Program Inklusi Sekolah Dasar | Rika Widyawati
113
dan tujuan. Evaluasi masukan (input),
merupakan evaluasi yang bertujuan
menyediakan informasi untuk menentukan
bagaimana menggunakan sumber daya yang
tersedia dalam mencapai tujuan program.
Evaluasi proses menunjuk pada apa kegiatan
yang dilakukan dalam program, siapa orang
yang ditunjuk sebagai penanggungjawab
program, kapan kegiatan akan selesai
dilksanakan. Evaluasi product merupakan
kumpulan deskripsi dan “jugement outcomes”
dalam hubungannya dengan context, input, dan
process, terkait dengan perencanaan,
pelaksanaan, dan keber¬hasilan program
sekolah inklusi (Keyla, 2011).
Berdasarkan latar belakang di atas maka
perumusan masalahnya adalah bagaimana
pelaksanaan program inklusi di SD Negeri
Klero 02 Kecamatan Tengaran Kabupaten
Semarang. Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk mengevaluasi pelaksanaan program
inklusi SD Negeri Klero 02 Kecamatan
Tengaran Kabupaten Semarang.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah penelitian
evaluasi dengan pendekatan kualitatif.
Penelitian evaluasi ditujukan untuk
mengevaluasi pelaksanaan program inklusi di
SD Negeri Klero 02 Kecamatan Tengaran
Kabupaten Semarang. Pendekatan kualitatif
diharapkan dapat menghasilkan informasi yang
mendalam dan rinci tentang pelaksanaan
program inklusi.
Lokasi pada penelitian ini yaitu di SD
Negeri Klero 02 Kecamatan Tengaran
Kabupaten Semarang. Subjek dalam penelitian
ini yaitu kepala sekolah, guru, dan komite
sekolah. Data penelitian diperoleh melalui
teknik wawancara, observasi, dan dokumentasi.
Dimana peneliti menyiapkan instrumen berupa
pertanyaan-pertanyaan tertulis. Untuk
melengkapi hasil wawancara tersebut
dilakukan studi dokumentasi dan observasi.
Uji keabsahan yang digunakan adalah
triangulasi sumber dan triangulasi teknik.
Triangulasi sumber digunakan untuk
mendukung hasil wawancara. Hasil wawancara
guru dicocokan (cross check) dengan hasil
wawancara kepala sekolah, guru dan komite
sekolah dengan instrumen pertanyaan yang
sama. Triangulasi teknik digunakan untuk
mencocokan data yang diperoleh dari
wawancara, observasi dan dokumentasi.
Teknik analisis data dalam penelitian
kualitatif dilakukan sebelum penelitian, selama
penelitian dan sesudah penelitian. Analisis data
selama dilapangan dilakukan secara terus
menerus hingga datanya jenuh dan memperoleh
hasil yang di inginkan. Aktivitas tersebut
meliputi reduksi data, display data dan
kesimpulan atau verifikasi yang kemudian akan
di bawa untuk analisis setelah penelitian.
HASIL PENELITIAN
Tujuan penelitian ini adalah
mengevaluasi pelaksanaan program pendidikan
inklusi di SD Negeri Klero 02 Kecamatan
Tengaran Kabupaten Semarang. Hasil dari
evaluasi diharapkan dapat memberikan manfaat
sebagai bahan rekomendasi dalam pelaksanaan
program pendidikan inklusi di SD Negeri Klero
02. Hal tersebut sejalan dengan pengertian
evaluasi (Widoyoko, 2014) yaitu penyediaan
informasi yang dapat dijadikan sebagai bahan
pertimbangan dalam mengambil keputusan.
Penelitian dimulai dari proses
mengumpulkan data, menilai, dan
menyimpulkannya. Berbagai latar belakang dan
kemungkinan yang diperoleh dari hasil
wawancara, observasi dan dokumentasi yang
akan diketahui keberlangsungan pelaksanaan
program inklusi SD Negeri Klero 02
Kecamatan Tengaran Kabupaten Semarang.
Konteks
Evaluasi konteks terhadap pelaksanaan
program inklusi di SD Negeri Klero 02 meliputi
unsur penilaian terhadap latar belakang, tujuan
Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017
114
pendidikan inklusi, kerjasama terhadap instansi
lain, dan penerimaan peserta didik.
Berdasarkan hasil penelitian
menunjukkan bahwa SD Negeri Klero 02
melaksanakan progam inklusi karena adanya
penunjukan dari dinas pendidikan kabupaten.
Selain itu juga adanya anak-anak di sekitar
sekolah yang masuk dalam kategori ABK
namun orang tuanya belum memunyai
kesadaran menyekolahkan di SLB. SD Negeri
Klero 02 ditunjuk dan dicanangkan sebagai
sekolah pilot project pelaksana program
pendidikan inklusi di Kecamatan Tengaran.
Hasil temuan ini sudah sesuai dengan
Permendiknas No. 70 Tahun 2009 pasal 4 ayat
1 dimana “pemerintah kabupaten/kota
menunjuk minimal satu sekolah dasar, dan satu
sekolah menengah pertama pada setiap
kecamatan dan satu satuan pendidikan
menengah untuk menyelenggarakan
pendidikan inklusi yang wajib menerima
peserta didik” dengan kebutuhan khusus.
Sekolah mendapat manfaat atas
kepercayaan dan apresiasi dari masyarakat
khususnya orang tua ABK. Tujuan dalam
dalam penyelenggaraan program inklusi di SD
Negeri Klero 02 adalah pemerataan akses
pendidikan yang ramah dan adil tanpa
diskriminatif. ABK yang berada dilingkungan
sekitar agar bisa bersekolah seperti anak-anak
normal seusianya. Hal ini sesuai yang dengan
Permendiknas No. 70 Tahun 2009 pasal 3 ayat
1 dimana peserta didik dengan kelainan fisik,
emosional, mental, sosial atau memiliki potensi
kecerdasan dan/atau bakat istimewa berhak
mengikuti pendidikan inklusif pada satuan
pendidikan tertentu sesuai dengan kebutuhan
dan kemampuannya.
Izin penyelenggaraan program inklusi
disekolah ini sudah ada karena sekolah ditunjuk
dinas untuk menyelenggarakan program
inklusi. Namun sampai sekarang sekolah belum
mendapatkan SK yang menerangkan sebagai
sekolah penyelenggara program inklusi.
Sekolah dalam melaksanakan program
inklusi berdasarkan pedoman yang diberikan
dinas. Untuk menunjang berjalannya program
tersebut sekolah melakukan kerjasama dengan
lembaga lain. Sekolah menjalin kerjasama
dengan SLB Salatiga. Kerjasama dilakukan
untuk memberikan bimbingan dalam pelayanan
terhadap ABK. Temuan ini sudah sesuai
dengan Direktorat Pembinaan PKLK
Pendidikan Dasar Tahun 2012 dan
Permendiknas No. 70 Tahun 2009 pasal 11 ayat
1-5. Sejalan dengan penelitian Sunardi (2011)
bahwa dalam hal manajemen institusi,
mayoritas sekolah-sekolah ini telah
mengembangkan rencana strategis (untuk
program inklusif), secara sah mengangkat para
koordinator, melibatkan beberapa kelompok
terkait, dan menyelenggarakan serangkaian
rapat koordinasi rutin.
Sasaran program inklusi di SD Negeri
Klero 02 yaitu anak usia sekolah yang terdapat
disekitar sekolah. Dalam penerimaan peserta
didik baru sekolah tidak melakukan proses
seleksi. ABK yang diterima secara umum
masih bisa mengikuti pelajaran atau arahan
guru, mandiri, percaya diri, dan bisa mengikuti
proses pembelajaran dengan anak normal. ABK
yang dilayani ada 12 anak yang tersebar dari
kelas I sampai keas V. ABK yang ada terdiri
dari 5 anak tuna Grahita, 3 anak autis, 2 anak
lamban belajar, 1 anak tuna laras, dan 1 anak
tuna daksa.
Pada proses penerimaan peserta didik
baru sekolah biasanya melakukan pengamatan
ketika peserta didik mendaftar sekolah. Sekolah
menerima ABK dengan menyesuaikan pada
jenis kebutuhan atau kelainan yaitu kategori
ringan, dan dimana ABK berdomisili dekat
lingkungan sekolah. Hasil temuan ini sesuai
dengan Permendiknas No. 70 Tahun 2009 pasal
5 ayat 1 sekolah menerima peserta didik dengan
kelainan dan/atau potensi kecerdasan dan/atau
bakat istimewa atas pertimbangan terhadap
sumber daya yang dimiliki sekolah tersebut.
Evaluasi Pelaksanaan Program Inklusi Sekolah Dasar | Rika Widyawati
115
a. Input
Evaluasi input terhadap
penyelenggaraan program pendidikan inklusi di
SD Negeri Klero 02 meliputi sarana prasarana,
kurikulum, dan sumber daya manusia.
Sekolah menggunakan sarana prasarana
yang sudah ada sebelumnya. Sarpras umumnya
digunakan secara merata baik siswa reguler
maupun ABK. Hal ini sesuai dengan Direktorat
Pembinaan SLB (2007) dimana sarana dan
prasarana umum yang dibutuhkan sekolah
penyelenggara program pendidikan inklusi
cenderung sama dengan sekolah reguler pada
umumnya.
Ketersediaan sarana dan prasarana yang
ada di sekolah masih terbatas. Selama ini
sekolah telah mendapatkan bantuan sarana
berupa alat musik, alat memasak, drum band,
alat menjahit, dan berbagai alat lainnya yang
menunjang untuk mengembangkan
keterampilan siswa. Bantuan tersebut diberikan
oleh Pemerintah provinsi pada tahun 2010
sebesar Rp. 50.000.000,00. Selain itu, sekolah
belum didukung dengan prasarana yang
memadai seperti ruang atau kelas khusus guna
melayani ABK. Sejalan dengan pendapat
Mitiku et all. (2014) ada beberapa peluang yang
mendukung penddidikan inklusif tidak dapat
diambil sebagai jaminan karena kurangnya
kesadaran, komitmen, dan kolaborasi serta ada
tantangan nyata yang menghambat
implementasi penuh dari pendidikan inklusi.
Kurikulum yang digunakan adalah
kurikulum nasional dan dimodifikasi sesuai
dengan ABK yang ada. Sekolah mengacu pada
kurikulum SLB dengan melakukan
penyesuaian di berbagai komponen sesuai
karakteristik peserta didik. Sekolah melakukan
modifikasi mulai dari materi pembelajaran,
media pembelajaran, penilaian, pelayanan
tambahan jam belajar, remedial, atau
pembimbingan khusus diluar jam sekolah. Hal
ini diperkuat dalam Permendiknas No. 70
Tahun 2009 pasal 7 bahwa kurikulum yang
digunakan adalah kurikulum tingkat satuan
pendidikan yang mengakomodasi kebutuhan
dan kemampuan ABK sesuai bakat, minat dan
potensinya. Sejalan dengan penelitian
Mohammed (2014) yang menyatakan bahwa
guru bersikap positif terhadap inklusi tetapi
memiliki sedikit pengetahuan tentang praktek
inklusi. Hal ini terbukti dalam pengunaan
adaptasi pembelajaran yang terbatas untuk
memenuhi kebutuhan individu
Sebagian guru di sekolah belum pernah
mendapatkan workshop, diklat, sosialisasi
dan/atau pelatihan khusus untuk meningkatkan
kompetensi. Temuan ini tidak sesuai dengan
Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 pasal 10
ayat 3, yang menjelaskan bahwa pemerintah
kabupaten/kota wajib meningkatkan
kompetensi di bidang pendidikan khusus bagi
tenaga pendidik dan tenaga kependidikan pada
satuan pendidikan penyelenggara pendidikan
inklusif (Pokja Pendidikan Inklusif Kota Metro,
2015). Maka dari itu, pemerataan dalam
keikutsertaan atau keterlibatan guru dalam
workshop, diklat, sosialisasi/pelatihan khusus
perlu ditingkatkan karena berpengaruh
terhadap kompetensi guru dalam menangani
ABK.
Sementara dalam hal sumber daya
manusia (SDM) yaitu guru pendamping khusus
(GPK), SD Negeri Klero 02 belum memiliki
GPK yang berlatar belakang pendidikan khusus
atau pendidikan luar biasa. Sekolah
mengangkat guru umum untuk menjadi GPK.
Temuan ini tidak sesuai dengan Permendiknas
No. 70 tahun 2009 pasal 10 ayat 1 dimana
“pemerintah kabupaten/kota wajib
menyediakan paling sedikit satu orang GPK
pada satuan pendidikan yang ditunjuk untuk
menyelenggarakan pendidikan inklusif”.
Penanganan ABK ditangani oleh guru kelas.
Hasil temuan ini belum sesuai karena idealnya
selain guru kelas dan guru mata pelajaran,
sekolah harus memiliki guru pendidikan khusus
yang memiliki kompetensi sesuai keahlian
dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar
(Direktorat Pembinaan SLB 2007.
Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017
116
b. Process
Evaluasi Proses terhadap
penyelenggaraan program pendidikan inklusif
di SD Negeri Klero 02 meliputi pembelajaran,
pelayanan ABK, pembiayaan, dan monitoring.
Dalam proses pembelajaran di dalam kelas,
menunjukkan bahwa guru telah memiliki
kompetensi yang cukup memadai. Hal ini
terbukti dari penyusunan RPP, pemberian
materi dan bahan ajar kepada ABK dengan
menggunakan kurikulum dan materi/bahan ajar
yang sama atau reguler.
Guru tidak membedakan kurikulum dan
materi/bahan ajar secara terstruktur. Guru
menggunakan RPP reguler yang diberikan
secara merata kepada semua siswa. Hasil
temuan ini sesuai Direktorat Pembinaan PKLK
Pendidikan Dasar (2012) kurikulum yang
digunakan dalam penyelenggaraan pendidikan
inklusif pada dasarnya adalah kurikulum
standar nasional yang berlaku di sekolah
umum. Akan tetapi karena ragam hambatan
ABK sangat bervariasi, maka dalam
implementasinya harus ada modifikasi
kurikulum tingkat satuan pendidikan yang
sesuai dengan standar nasional dan kebutuhan
ABK.
Hasil temuan menunjukkan sekolah
melakukan penyesuaian (modifikasi) dengan
meringankan materi, dan pemberian atau
pelayanan tambahan terhadap ABK. Dalam
penggunaan kurikulum dan pemberian soal
latihan tetap sama tapi penyesuaian dilakukan
secara individu dalam hal evaluasi dan
pelayanan lainnya. Bagi ABK biasanya standar
nilai dibedakan dan disesuaikan yaitu
diturunkan dari standar KKM siswa normal
pada umumnya. Hasil temuan tidak sesuai
dengan hasil penelitian Winda (2013) bahwa
pelaksanaan inklusi tidak berjalan sebagai
mana mestinya dalam mengidentifikasi,
asesmen, RPP, PPI, tanggung jawab dan
peranan guru.
ABK akan mendapatkan pelayanan
lebih apabila dianggap perlu untuk remedi baik
di saat jam istirahat maupun di luar jam
sekolah. Hasil temuan ini sesuai menurut
Direktorat Pembinaan PKLK Pendidikan Dasar
(2012) tentang salah satu prinsip pembelajaran
sekolah inklusif yaitu prinsip individual,
dimana “guru perlu mengenal kemampuan awal
dan karakteristik setiap anak secara mendalam,
baik dari segi kemampuan maupun
ketidakmampuannya dalam menyerap materi
pelajaran, kecepatan maupun kelambatannya
dalam belajar, dan perilakunya, sehingga setiap
kegiatan pembelajaran masing-masing anak
mendapat perhatian dan perlakuan yang sesuai”
(Ulfia Rahmi, 2011).
Pada pelaksanaan pembelajaran dikelas
guru melakukan pengaturan tempat duduk.
Biasanya anak yang berkebutuhan khusus
ditempatkan didepan. Hal itu dilakukan agar
guru mudah memberikan perhatian pada anak
ABK. Pendampingan pembelajaran dilakukan
terhadap ABK pada saat pembelajaran
berlangsung namun belum sepenuhnya karena
keterbatasan kemampuan guru dan belum
adanya guru pendamping khusus.
Pendampingan pembelajaran dilakukan diluar
pelajaran disaat jam tambahan.
Evaluasi dilakukan untuk mengetahui
tingkat kemampuan atau prestasi yang dicapai
oleh peserta didik berkebutuhan khusus setelah
menjalani proses pembelajaran. Penilaian yang
dilakukan oleh GPK terhadap peserta didik
berkebutuhan khusus. GPK melakukan
modifikasi sistem evaluasi terhadap peserta
didik berkebutuhan khusus dengan bekerja
sama dengan guru kelas.
Dalam penyelenggaraan program
pendidikan inklusi di SD Negeri Klero 02,
sumber dana khusus untuk melayani dan
membantu ABK belum ada yang diterima dari
pemerintah. Sekolah mengambil dan
menggunakan dana BOS untuk memenuhi
kebutuhan dalam penyelenggaran program
inklusi. Hal tersebut tidak sesuai PP nomor 48
Tahun 2008 Bab V pasal 51 ayat 2 menegaskan
bahwa seharusnya pemerintah, pemerintah
Evaluasi Pelaksanaan Program Inklusi Sekolah Dasar | Rika Widyawati
117
daerah, dan masyarakat memberikan kontribusi
terhadap pembiayaan pendidikan inklusi agar
lebih efektif.
Dalam penyelenggaraan program
inklusi di SD Negeri Klero 02 belum ada
monitoring langsung dari dinas. Padahal dari
pihak sekolah sangat membutuhkan adanya
monitoring dan pendampingan terhadap
penyelenggaraan program inklusi ini. Temuan
ini tidak sesuai dengan Permendiknas No. 70
Tahun 2009 pasal 12 dimana “pemerintah,
pemerintah provinsi dan pemerintah
kabupaten/kota melakukan pembinaan dan
pengawasan pendidikan inklusif sesuai dengan
kewenangannya”. Sekolah SD Negeri Klero 02
sangat mendukung pelaksanaan program
inklusi ini namun harus dibarengi dengan
adanya dukungan dari berbagai pihak terkait.
c. Product
Evaluasi produk terhadap
penyelenggaraan program pendidikan inklusi di
SD Negeri Klero 02 berupaya untuk melakukan
penilaian terhadap dampak prestasi peserta
didik dan hambatan penyelenggaraan program
inklusi. Sehubungan dengan penerimaan ABK
yang sudah berjalan cukup lama sejak 2010,
maka dampak penerapan program tersebut
dapat dilihat khususnya dari perkembangan
maupun prestasi ABK. Sebagian besar ABK
memiliki perkembangan akademik dibawah
rerata atau standar. Dalam hal ini ABK belum
mampu mencapai nilai standar sesuai KKMnya
sehingga ada yang tidak naik kelas.
Sementara perkembangan non
akademik ABK cukup baik atau rata-rata.
Terdapat peserta didik ABK yang pandai dalam
menggambar walaupun belum pernah menang
dalam perlombaan. Dapat disimpulkan bahwa
perkembangan atau prestasi ABK secara garis
besar cukup baik dan rata-rata prestasi baik
akademik maupun akademiknya cukup
mengalami perkembangan. Hasil temuan ini
sesuai dengan Mudjito (2012) yang
menjelaskan bahwa setidaknya ada 4 ranah
pendidikan yang harus diberikan dalam proses
belajar mengajar yang mencakup ranah kognitif
(pembentukan kemampuan ilmu atau daya
nalar), psikomotorik (pembentukan bakat
keterampilan), soft skills (pembentukan
intrapersonality, interpersonality, karakter
pribadi untuk dirinya, sosial dan dengan sang
Pencipta), dan karakter (pembentukan hard
skills dan soft skills).
Pendukung program inklusi disekolah
ini adalah adanya dukungan dari masyarakat.
Dukungan itu berupa antusias masyarakat
sekitar yang mempunyai ABK untuk
menyekolahkan anaknya di SD Negeri Klero
02. Dengan adanya dukungam masyarakat
tersebut diharapkan membantu
penyelenggaraan program inklusi agar lebih
baik.
Terdapat berbagai hambatan dalam
pelaksanaan program inklusi ini. Sekolah
belum mempunyai guru pendamping khusus
yang benar-benar ahli dalam menangai anak
ABK. Sarana prasarana disekolah yang ada
belum mampu melayani kebutuhan anak ABK.
Pendanaan dalam pelaksaaan program inklusi
hanya mengandalkan dari dana BOS saja.
Keterbatasan guru dalam menangani anak ABK
juga menambah deretan hambatan yang ada
(bandingkan dengan Dwi Sartica dan Bambang
Ismanto, 2016).
Terkait dengan hambatan yang dialami,
sekolah telah melakukan beberapa usaha untuk
menanggulanginya. Sekolah mengangkat
seorang guru umum untuk menjadi seorang
guru GPK. Sekolah juga melakukan kerjasama
dengan instasi atau lembaga untuk menangani
ABK.
Dengan adanya program inklusi di SD
Negeri Klero 02 berharap sekolah dapat ikut
andil dalam menyukseskan wajib belajar 9
tahun untuk semua anak pada usia sekolah.
Selain itu adanya perhatian pemerintah dan
menindak lanjuti dengan memberikan tenaga
GPK, dana, sarana dan prasarana yang
Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017
118
memadai merupakan harapan terbesar yang
dinanti oleh pihak sekolah.
Penelitian ini diharapkan akan memberi
manfaat bagi pengembangan program yang ada
di SD Negeri Klero 02 yang telah
menyelenggarakan program selama 6 tahun.
Sesuai dengan pendapat Arikunto (2010)
bahwa kegiatan evaluasi program dimaksudkan
untuk mengambil keputusan atau melakukan
tindak lanjut dari program yang telah
dilaksanakan. Hasil dari penelitian ini bagi guru
dapat digunakan sebagai masukan dalam
rangka memecahkan masalah yang selama ini
dihadapi dalam pelaksanaan program inklusi.
Manfaat bagi kepala sekolah dengan
hasil penelitian ini diperoleh gambaran tentang
penyelenggaraan program inklusi yang selama
ini telah berjalan sehingga dapat mengambil
keputusan untuk meningkatkan program
pendidikan inklusi. Bagi dinas pendidikan
penelitian ini diharapkan dapat menjadi
masukan dalam rangka pembinaan dan
peningkatan kualitas program pendidikan
inklusi.
SIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian dan
pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya
maka disimpulkan bahwa: 1) Berdasarkan
evaluasi terhadap komponen context, bahwa
pelaksanaan program inklusi disekolah ini
adanya penunjukan dari dinas. Sekolah sudah
mempunyai ijin dan pedoman dalam
melaksanakan program inklusi. Sekolah telah
bekerjasama dengan lembaga lain yang terkait.
Populasi yang dilayani sudah sesuai dengan
Permendiknas No. 70/2009 pasal 3 ayat 1,
dimana ABK yang dimaksud adalah anak
dengan kebutuhan khusus dalam kategori
ringan hingga sedang serta bisa ditangani oleh
sekolah. 2) Berdasarkan evaluasi terhadap
komponen input, menunjukkan ketersediaan
sarpras secara umum sudah memenuhi
kebutuhan semua siswa. Namun ketersediaan
sarpras khusus bagi ABK belum memadai.
Kurikulum sudah dimodifikasi sesuai
karakteristik peserta didik. Pelatihan khusus
bagi guru yang ada di sekolah belum merata.
Sekolah juga belum memiliki GPK yang sesuai
dengan kompetensinya. 3) Berdasarkan
evaluasi terhadap komponen process,
Kompetensi guru cukup memadai dalam
menangani ABK, penanganan diberikan secara
individual. Pembiayaan pelaksanaan program
di sekolah masih diambil dari alokasi dana
BOS. Selain itu belum ada monitoring lebih
lanjut dari dinas terkait. 4) Berdasarkan
evaluasi terhadap komponen product, dampak
dari pelaksanaan program terletak pada
perkembangan prestasi ABK. Perkembangan
akademik dan non akademik ABK cukup baik.
Sementara, jumlah ABK yang terlayani
tergolong variatif dan semua ABK dilayani
sekolah dengan menyesuaikan terhadap
keadaan dan kemampuan sekolah. 5)
Pendukung penyelenggaraan program inklusi
yaitu antusias masyarakat sekitar yang
mempunyai ABK menyekolahkan anaknya di
SD Negeri Klero 02. Selain pendukung masih
banyak faktor penghambat dalam
penyelenggaraan program pendidikan inklusi
yaitu belum ada GPK yang sesuai dengan
kompetensi, keterbatasan guru dalam
menangani ABK, kesadaran orang tua
mengenai program inklusi, sarpras yang kurang
memadai bagi ABK, pendanaan, monitoring
dan evaluasi dari dinas.
Beberapa temuan yang dapat
direkomendasikan adalah: 1) Guru dan kepala
sekolah perlu mengikuti kegiatan diklat dalam
penanganan ABK, pelatihan khusus dan
sejenisnya. Saling berbagi pengalaman dengan
guru lain baik dalam perencanaan
pembelajaran, penanganan ABK, dan evaluasi.
2) Sekolah perlu melibatkan dan bekerja sama
dengan orang tua ABK dalam hal penyampaian
evaluasi, perkembangan atau pencapaian
prestasi ABK baik di kelas maupun di luar
kelas. Dengan demikian, orang tua bisa
berkontribusi terhadap perkembangan ABK.
Evaluasi Pelaksanaan Program Inklusi Sekolah Dasar | Rika Widyawati
119
Sekolah mengusulkan untuk memperoleh
bantuan dana dan sarpras khusus bagi ABK. 3)
Dinas perlu melakukan monitoring dan evaluasi
secara seksama dan berkelanjutan terhadap
penyelenggaraan program inklusi. Program
yang sudah direncanakan apakah sudah sesuai
tujuan. Selanjutnya dinas pendidikan dapat
membuat kebijakan perbaikan atau keputusan
lebih lanjut.
DAFTAR PUSTAKA
Anggun. 2013. Evaluasi Peserta dan Instruktur
Pelatihan.
https://goenable.wordpress.com/
tag/evaluasi-peserta-dan-instruktur-
pelatihan/
Arikunto, Suharsimi dan Jabar, Cepi Safruddin
Abdul. 2010. Evaluasi Program
Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara
Direktorat Pembinaan PKLK Pendidikan
Dasar. 2012. Permendiknas Nomor 70
Tahun 2009. Jakarta: Direktorat
Jenderal Pendidikan Dasar Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan.
Direktorat Pembinaan SLB. 2007. Pedoman
Umum Penyelenggaraan Pendidikan
Inklusif. Jakarta: Depdiknas.
Dwi Sartica dan Bambang Ismanto, 2016.
Evaluasi Penyelenggaraan Program
Pendidikan Inklusif di Kota Palangka
Raya, Kelola Jurnal Manajemen
Pendidikan Magister Manajemen
Pendidikan. Volume: 3, No. 1, 2016,
halaman: 49-66
Ilahi, Muhammad Takdir. 2013. Pendidikan
Inklusif. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media
Kamalfuadi. 2011. Pengertian Pendidikan
Inklusif.
https://fuadinotkamal.wordpress.com/
2011/04/12/pendidikan-inklusif/
Keyla F.W. 2011. Ilmu Pengetahuan.
http://ulankeyla.blogspot.co.id/2011_1
1_01_archive. html
Kustawan, Dedy. 2012. Pendidikan Inklusif &
Upaya Implementasinya. Jakarta: PT.
Luxima Metro Media.
Mitiku et all. 2014. Challenges and
Opportunities to Implement Inclusive
Education. Asian Jurnal of Humanity,
Art and Literature (AJHAL). Vol 1, no
2, 2014, hal 118-136. Ethiophia:
Unervisity of Gondar.
Mohammed, A. Alhassan. 2014.
Implementation of Inclusive Education
in Ghanaian Primary Schools: A Look
at Teachers’ Attitudes. American Jurnal
of Educational Research 2014, vol 2 no
3, hal 142-148.
Mudjito, dkk. 2012. Pendidikan Inklusif.
Editor: Wardi. Jakarta: Baduose Media.
Nashokha, Imam. Tth. Pendidik Saatnya
Menjadikan Pendidikan Inklusi sebagai
Alternatif Model Pendidikan untuk
Semua.
https://www.academia.edu/5078049/
Nuraeni. 2013. Permasalahan Program
Evaluasi Pendidikan.
http://nuraeni68.blogspot.co.id/2013/03
/permasalahan-evaluasi-program-
pendidikan.html
Pokja Pendidikan Inklusif Kota Metro. 2015.
Pedoman Umum Penyelenggaraan
Pendidikan Inklusif Kota Metro.
Disdikbud Pemuda dan Olah Raga Kota
Metro.
Shabillah, D.A. 2015. Pendidikan Inklusif bagi
Penyandang Disabilitas.
http://indonesiana.tempo.co/read/40111
/2015/04/22/Pendidikan-Inklusif-Bagi-
Penyandang-Disabillitas
Jurnal , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2017
120
Sulihandari, Hartanti. 2013. Pendidikan Agama
Islam Berbasis Inklusi Bagi Siswa
Tunanetra Di SMA Negeri 1 sewon
Bantul. Yogyakarta: UIN Sunan
Kalijaga
Sunardi, Mucawir Yusuf, Gunarhadi, Priyono,
John L. Yeager. 2011. The
Implementation of Inclusive Education
for Students with Special Needs in
Indonesia.
https://ehe.pitt.edu/ojs/index.php/ehe/ar
ticle/view/27
Smart, Aqila. 2010. Anak Cacat Bukan Kiamat
(Metode Pembelajaran Terapi untuk
Anak Berkebutuhan Khusus).
Jogjakarta: Kata Hati.
Smith, J. David. 2006. Inklusi Sekolah Ramah
Untuk Semua. Bandung: Nuansa.
Toyibnapis, Farida Yusuf. 2008. Evaluasi
Program dan Instrumen Evaluasi.
Untuk Program Pendidikan dan
penelitian. Jakarta: Rineka Cipta
Ulfia Rahmi. 2011. Kegiatan Belajar
Mengajar.
https://tepenr06.wordpress.com/2011/1
1/04/kegiatan-belajar-mengajar/
Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional
Nomor 20 Tahun 2003. Jakarta.
Widoyoko, Eko Putro. 2014. Evaluasi Program
Pembelajaran: Panduan Praktis Bagi
Pendidik dan Calon Pendidik.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Windasari, Quinda. 2012. Pelaksanaan Inklusif
di Sekolah Dasar Negeri 14 Pakan
Sinayan Payakumbuh. Jurnal Ilmiah
Pendidikan Khusus (Online), Vol.1,
No.1.
Wirawan. 2012. Evaluasi: Teori, model,
standar, aplikasi dan profesi. Jakarta:
Rajawali Pers.
Magister Manajemen Pendidikan FKIP Universitas Kristen Satya Wacana [email protected]
e-ISSN 2549-9661 Volume: 4, No. 2, Juli-Desember 2017
Halaman: 121-134
121
Evaluasi Implementasi Kebijakan Pendidikan Inklusi
Sasadara Wahyu Lukitasari
Magister Manajemen Pendidikan
Universitas Kristen Satya Wacana
Bambang Suteng Sulasmono
Magister Manajemen Pendidikan
Universitas Kristen Satya Wacana
Ade Iriani
Magister Manajemen Pendidikan
Universitas Kristen Satya Wacana
ABSTRACT
The purpose of this study is to evaluate the implementation of inclusive education
policy in Salatiga City. This study used a qualitative evaluative approach to the research
subject of Dinas Pendidikan and inclusion schools in Salatiga. In-depth interviews,
document studies, and observations were used to collect data and then analyzed using an
Edwards III implementation model that looked at communication, resource, disposition,
and bureaucratic structure. The results showed that the implementation of inclusive
education policy in Salatiga is considered good, that is the achievement of 65%.
Communication is an aspect that requires a lot of improvement, as well as the
bureaucratic structure and disposition that is still not a good implementation. While the
best aspect is the resources. The impact of this policy is evident from the increasing
number of students in regular schools from year to year and the reduced discrimination
experienced by ABK students by peers, teachers and the community.
Keywords: evaluation, inclusive education, policy implementation
Article Info
Received date: 24 Mei 2017 Revised date: 13 Oktober 2017 Accepted date: 13 Oktober 2017
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017
122
PENDAHULUAN
Model pendidikan inklusi merupakan
sebuah alternatif yang ditawarkan oleh
pemerintah untuk melayani Anak
Berkebutuhan Khusus (ABK). Pendidikan ini
bukan digunakan untuk menggantikan
pendidikan segregasi dalam konteks
pendidikan luar biasa di Indonesia yang selama
ini terlayani dengan Sekolah Luar Biasa (SLB)
dan Sekolah Terpadu. Sistem ini
memungkinkan ABK bersekolah di sekolah
reguler sehingga membuka akses pendidikan
yang lebih luas, bagi para ABK. Sekolah inklusi
dimaksudkan untuk memperpendek akses
pendidikan bagi ABK yang biasanya bertempat
tinggal jauh dari pusat kota dimana terdapat
SLB sehingga mereka tidak mengalami putus
sekolah. Subagya dalam Haryono (2015:122-
123) menyebutkan bahwa terdapat 26.568
(79,37%) ABK di Jawa Tengah belum sekolah.
Para ABK ini tidak mendapatkan pendidikan
karena beberapa alasan, seperti jauhnya tempat
tinggal ABK dari sekolah khusus, ABK ditolak
bersekolah di sekolah terdekat, banyak orang
tua ABK menyembunyikan ketunaan anaknya
dan rendahnya motivasi orang tua untuk
menyekolahkan anak mereka yang
berkebutuhan khusus.
Persoalan-persoalan tersebut di atas
barang tentu tidak dapat diselesaikan sendiri
oleh masyarakat, sehingga diperlukan
penanganan oleh pemerintah melalui kebijakan
publik. Kebijakan publik dapat dirumuskan
sebagai sebuah aksi yang dilakukan oleh aktor
politik sebagai strategi untuk mengatasi
masalah publik dengan mempertimbangkan
hambatan dan potensi yang ada guna mencapai
tujuan yang dicita-citakan. Alur pembuatan
kebijakan publik dimulai dari adanya isu
kebijakan, perumusan kebijakan, implementasi
kebijakan dan evaluasi kebijakan. Nugroho
(2009: 145) menambahkan bahwa kegiatan
setelah evaluasi kebijakan diperlukan lagi revisi
kebijakan untuk merumuskan kembali
kebijakan.
Tahap implementasi kebijakan adalah
tahap yang sangat penting dalam proses
kebijakan. Kebijakan yang sudah terencana
dengan sempurna bila kurang bagus proses
implementasinya oleh para pelaksana maka
kebijakan itu akan menemui kegagalan. Wahab
(2015: 132-133) menjelaskan bahwa menurut
sudut pandang teori siklikal (Cyclical Theory)
implementasi kebijakan merupakan bagian dari
tahapan dalam proses kebijakan berupa bentuk
produk hukum, dan aktivitas lanjutan sesudah
diberlakukannya produk hukum tersebut. Dapat
diartikan bahwa implementasi kebijakan adalah
tindakan saling kerja sama antar pemerintah
dengan pihak swasta untuk melaksanakan
kebijakan yang telah ditetapkan pada tahap
sebelumnya guna mencapai tujuan yang
ditetapkan.
Ketika kebijakan tidak dijalankan secara
baik, maka akan timbul kesenjangan
implementasi (implementation gap) yang
diartikan sebagai “perbedaan antara hukum
yang tertulis dengan prakteknya di lapangan”.
Biasanya implementation gap ini terlihat dan
sering dirasakan pada level bawah (Nakagaki,
2013:1). Penyebab adanya implementation gap
dapat berasal dari faktor politik, ekonomi, dan
sosial budaya. Untuk mengatasi
implementation gap dibutuhkan pendekatan
yang berfokus pada kualitas kebijakan dan
memastikan bahwa kebijakan tersebut benar-
benar sesuai dengan kebutuhan sasaran
(masyarakat). Pemerintah, sektor swasta dan
masyarakat harus bekerja sama untuk
mengatasi implementation gap ini.
George Edward III (1980) menyatakan
bahwa jika implementasi kebijakan publik
kurang diberi perhatian, maka implementasi
tidak efektif sehingga kebijakan itu tidak akan
berhasil dijalankan. Untuk menjamin
keberhasilan implementasi kebijakan perlu
diperhatikan empat hal, yaitu komunikasi,
sumber daya, disposisi, dan struktur birokrasi.
Komunikasi. Komunikasi kebijakan
adalah proses penyampaian informasi tentang
kebijakan dari pembuat kepada pelaksana
kebijakan (implementor) (Widodo, 2011:97).
Hal ini penting dilakukan supaya pelaksana
kebijakan dapat memahami hakikat kebijakan,
isi, tujuan, arah, cara pelaksanaan, batasan,
evaluasi, kelompok sasaran dan lain sebagainya
Evaluasi Implementasi Kebijakan Pendidikan Inklusi | Sasadara Wahyu L., dkk.
123
sehingga dapat mempersiapkan pelaksanaan
kebijakan agar proses implementasi berjalan
lancar dan efektif. Faktor-faktor yang penting
dalam penyampaian informasi, adalah transmisi
(cara penyampaian), clarity (kejelasan
informasi), dan consistency (konsistensi
informasi).
Sumber Daya. Sumber daya berkaitan
dengan ada tidaknya sumber daya pendukung,
khususnya kualitas sumber daya manusia untuk
menjalankan kebijakan secara efektif. Widodo
(2011:98) menyebutkan bahwa walaupun
aturan yang dibuat sudah jelas dan akurat,
namun implementasi tidak akan efektif jika
sumber daya pelaksana kebijakan kurang
bertanggung-jawab dalam melaksanakan
kebijakan yang bersangkutan. Potensi sumber
daya yang tinggi akan membuat implementasi
berjalan dengan baik, sebaliknya, rendahnya
potensi sumber daya akan menjadi penyebab
gagalnya implementasi kebijakan. Sumber daya
tersebut terdiri dari sumber daya manusia,
anggaran, fasilitas, informasi, dan kewenangan. Disposisi. Edward (1980:89)
mendefinisikan disposisi sebagai pembawaan,
kepribadian, pandangan, ideologi pelaksana
kebijakan publik. Kemauan dan dedikasi serta
karakteristik para implementor kebijakan untuk
melaksanakan kebijakan sangat penting untuk
keberlangsungan implementasi kebijakan.
Struktur birokrasi. Struktur birokrasi
disini adalah semua instrumen organisasi secara
menyeluruh dan terstruktur. Terdapat dua aspek
struktur organisasi ini, yaitu mekanisme dan
struktur birokrasi. Mekanisme biasanya dibuat
dalam Standard Operational Procedure(SOP)
yang merupakan pedoman langkah-langkah
berupa keseragaman pola dalam pelaksanaan
implementasi kebijakan supaya tidak
melenceng dari yang sudah ditetapkan. Aspek
penting lain dari struktur birokrasi adalah ada
atau tidaknya fragmentasi atau perpecahan di
kalangan birokrasi pelaksana kebijakan
Fragmentasi di lingkungan birokrasi pelaksana
kebijakan akan membuat permasalahan dalam
implementasi.
Pendidikan Inklusi. Konsep inklusi
dijelaskan oleh Smith (2006: 43) sebagai
pembauran anak-anak berkelainan ke dalam
program sekolah regular. Selain itu inklusi
dapat diartikan sebagai akseptasi siswa dengan
keterbatasan dalam kurikulum, lingkungan,
interaksi sosial dan konsep diri sekolah. Hal
yang senada diungkapkan Valle & Connor
dalam Santrock (2014:226) yang menyatakan
bahwa inklusi berarti memberi pendidikan anak
dengan pendidikan khusus secara penuh-waktu
di kelas reguler. Namun dia memberi catatan
bahwa hal tersebut tergantung pada tingkat
disabilitasnya. Sedangkan dalam Permendiknas
No. 70 Tahun 2009 pasal 1 diterangkan bahwa
pendidikan inklusi adalah “sistem
penyelenggaraan pendidikan yang memberikan
kesempatan kepada semua peserta didik yang
memiliki kelainan dan memiliki potensi
kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk
mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam
satu lingkungan pendidikan secara bersama-
sama dengan peserta didik pada umumnya.”
Siswa dengan kelainan fisik, emosional,
mental, dan sosial atau memiliki potensi
kecerdasan dan/atau bakat istimewa memiliki
hak untuk ikut mengenyam pendidikan secara
inklusi pada satu sekolah sesuai kebutuhan dan
kemampuannya. Sedangkan yang dimaksud
kelainan itu adalah tunanetra, tunarungu,
tunawicara, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras,
berkesulitan belajar, lamban belajar, autis,
memiliki gangguan motorik, menjadi korban
penyalahgunaan narkoba, obat terlarang, dan
zat adiktif lainnya, memiliki kelainan lainnya,
tunaganda. Dari pengertian diatas, penulis
berpendapat bahwa pendidikan inklusi adalah
layanan pendidikan untuk anak berkebutuhan
khusus dengan keterbatasan fisik, mental,
berkemampuan istimewa, korban narkoba,
minoritas, dan keterbatasan belajar lainnya
yang menyatu dengan sekolah reguler di dekat
tempat tinggalnya.
Inklusi diperlukan agar terjadi
pemerataan pendidikan dengan memperpendek
akses pendidikan ke pendidikan khusus dan
memenuhi hak pendidikan anak. Dengan ini
dapat membantu siswa dengan pemenuhan
pendidikan yang berkualitas, membantu
mengoptimalkan potensi mereka sehingga
dapat berkontribusi terhadap komunitas dan
masyarakat. Inklusi juga dimaksudkan untuk
mempromosikan perubahan dan nilai-nilai
sosial dan mengurangi diskriminasi dalam
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017
124
masyarakat. Dengan menempatkan siswa ABK
setara dengan siswa normal, masyarakat
diharapkan dapat melihat perbedaan yang ada
sebagai keanekaragaman dalam masyarakat
(Walker, tth:15)
Mangunsong (2009:4) menjelaskan
bahwa Anak Berkebutuhan Khusus atau Anak
Luar Biasa adalah anak yang berbeda dibanding
anak normal kebanyakan dalam hal: ciri-ciri
mental, kemampuan-kemampuan sensorik,
fisik dan neuro-maskular, perilaku sosial dan
emosional, kemampuan berkomunikasi,
maupun kombinasi dua atau lebih dari hal-hal
diatas; selama mereka membutuhkan
modifikasi tugas sekolah, metode belajar atau
pelayanan terkait lainnya, bertujuan untuk
pengembangan potensi atau kapasitasnya
secara maksimal. Diretcgov merujuk ABK
kepada anak yang memiliki kesulitan belajar
yang membuatnya lebih sulit untuk belajar atau
mengakses pendidikan dibandingkan
kebanyakan anak seusianya. Menurut penulis,
ABK adalah anak-anak yang memiliki
keterbatasan dalam hal fisik maupun mental
sehingga mengalami kesulitan belajar atau
mengakses pendidikan dibandingkan anak
lainnya.
Disabilitas sangat erat kaitannya dengan
kemiskinan. Terdapat siklus yang terus
berulang. Orang dengan disabilitas memiliki
kemungkinan untuk berada di golongan
ekonomi lemah (Walker, tth:13). Oleh karena
ABK atau difabel harus memiliki pendidikan
yang layak dan berkualitas untuk mengurangi
tingkat kemiskinan dan meningkatkan taraf
hidup mereka.
Selain anak berbekutuhan khusus
pendidikan inklusi juga melayani anak Cerdas
Istimewa dan Bakat Istimewa (CIBI).
Munandar dalam Wulan (2011:260)
menjelaskan bahwa anak CIBI membutuhkan
penanganan khusus dalam pendidikan karena
beberapa karakteristik yang dimiliki anak-anak
tersebut membuat mereka berbeda dengan
siswa lain. Sehingga untuk mengembangkan
potensinya secara optimal, dibutuhkan
kurikulum dan metode yang berbeda dalam
pengajarannya sesuai minat, dan bakat mereka.
Supaya tidak dianggap “aneh” atau under
achiever (prestasi tidak sesuai dengan
kemampuannya) maka dibutuhkan pelayanan
yang berbeda dengan sekolah reguler. Hertzog
dalam Santrock (2014:232-233) mengusulkan
beberapa program untuk menangani anak
berbakat, yaitu kelas khusus, percepatan
(akselerasi) dan pengayaan dalam pengaturan
kelas reguler, mentor dan program magang
serta kerja/studi dan/atau program layanan.
Kebijakan Pendidikan Inklusi di
Indonesia. Indonesia mulai mengupayakan
pendidikan inklusi sejak dikeluarkannya Surat
Edaran Dirjen Dikdasmen
Depdiknas No.380/C.C6/MN/2003 pada 20
Januari 2003 kemudian diperkuat dengan
dikeluarkannya Permendiknas No. 70 tahun
2009 tentang Pendidikan Inklusi bagi peserta
didik yang memiliki kelainan dan memiliki
potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa.
Hal ini memang sejalan dengan hasil
kesepakatan Konferensi Dunia di Salamanca
pada tahun 1994 dan Deklarasi Dakar tahun
2000 yang berupaya mengakomodasikebutu
han dasar masya-rakat tentang pendidikan
untuk semua (Education for All) tanpa
memandang ras, agama dan potensi peserta
didik. Sambutan masyarakat terhadap model ini
pun cukup tinggi ditandai dengan jumlah
sekolah penyelenggara inklusi dan siswanya
yang meningkat secara signifikan. Walaupun
begitu, implementasi di lapangan masih jauh
dari apa yang diharapkan. Hal tersebut terutama
dikarenakan kurangnya komitmen dan
dukungan pemerintah.
Penyelenggaraan pendidikan inklusi di
Kota Salatiga telah berjalan sejak 2010 di
sejumlah sekolah. Kebijakan ini tertuang dalam
Perwali No. 11 Tahun 2013 tentang
Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi. Adanya
kebijakan ini membuat semua sekolah dari
tingkat SD sampai SMA wajib menerima anak-
anak berkebutuhan khusus (Salatiga Miliki Unit
Layanan Konsultasi Pendidikan, 2013).
Supriyanto (2013:8-9) menjelaskan bahwa
Salatiga ditunjuk sebagai Kota inklusi sejak
tahun 2012. Pemerintah telah menunjuk
Evaluasi Implementasi Kebijakan Pendidikan Inklusi | Sasadara Wahyu L., dkk.
125
beberapa sekolah untuk menjadi pilot project
penyelenggaraan inklusi dengan pola
menjadikan SLB sebagai pusat sumber belajar.
Piloting melibatkan 6 SMP dan 6 SD untuk
kategori inklusi dan CIBI. Data yang didapat
dari Dinas Pendidikan Kota Salatiga tahun
2015 terdapat 431 siswa ABK yang bersekolah
di 15 sekolah regular jenjang SD dan SMP
dengan program inklusi, dan 213 siswa dengan
program CIBI (Cerdas Bakat Istimewa) di 5
sekolah di jenjang yang sama.
Hasil wawancara dengan Kepala Sekolah
SDN Blotongan 3 pada bulan Mei 2016 dan
Koordinator Program Akselerasi di SMP 2 pada
bulan yang sama menunjukkan bahwa terdapat
beberapa permasalahan yang terjadi pada
implementasi program inklusi. Pemerintah
seperti kurang serius menangani sekolah inklusi
di Salatiga ini, mulai dari pendanaan, Guru
Pendamping Khusus dan lain-lain. Program
inklusi di SMP 2 untuk kategori Cerdas
Istimewa dihentikan karena tidak adanya dana
dari pemerintah. Selain itu banyak sekolah
inklusi yang tidak berjalan sebagaimana
mestinya karena tidak adanya Guru
Pendamping Khusus seperti yang
dipersyaratkan. Sehingga dipertanyakan
masihkah Kota Salatiga pantas disebut sebagai
Kota Inklusi, dan efektifkah model inklusi
diterapkan untuk menjawab kebutuhan
pendidikan anak berkebutuhan khusus.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka
peneliti tertarik untuk mengevaluasi
implementasi kebijakan pendidikan inklusi di
Kota Salatiga dengan rumusan masalah
“Bagaimana implementasi program inklusi di
Kota Salatiga dilihat dari komunikasi, sumber
daya, struktur birokrasi dan disposisinya?”
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian
evaluatif. Evaluasi implementasi kebijakan ini
menggunakan model evaluasi kebijakan
sistematis terhadap faktor komunikasi, sumber
daya, disposisi, dan struktur birokrasi
sebgaiman dimaksud dalam model
implementasi Edwards III. Penelitian dilakukan
di beberapa sekolah yang ditunjuk sebagai pilot
project program inklusi di Kota Salatiga di
tingkat pendidikan dasar, yaitu SD dan SMP.
Subyek penelitian ini adalah Dinas Pendidikan
Kota Salatiga, serta sekolah-sekolah di tingkat
SD dan SMP di Salatiga yang menerapkan
program inklusi. Data penelitian diperoleh
melalui wawancara mendalam, studi dokumen,
kuesioner dan observasi. Teknis validasi yang
digunakan dalam penelitian ini adalah
triangulasi sumber dan triangulasi teknik.
Dalam teknik triangulasi sumber, peneliti
mengecek kebenaran data dari beragam
sumber. Data-data tersebut dideskripsikan,
dikategorikan, dicari pandangan yang sama dan
berbeda serta yang lebih spesifik. Setelah
dianalisis dan ditarik kesimpulan, sumber data
diminta kesepakatan (member check) tentang
data tersebut.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pencanangan program inklusi di Salatiga
dilaksanakan pada tanggal 12 Desember 2012.
Sejak itu Kota Salatiga mulai melaksanakan
pendidikan inklusi di beberapa sekolah yang
ditunjuk sebagai pilot project-nya. Hasil
penilaian terhadap implementasi kebijakan
program inklusi dapat dilihat di Tabel 1.1.
Secara keseluruhan implementasi kebijakan
program inklusi ini masuk dalam kategori baik
dengan pencapaian 65%. Komunikasi
mendapatkan nilai yang paling rendah
dibandingkan aspek lain, sedangkan sumber
daya merupakan aspek yang paling bagus.
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017
126
Tabel 1.1
Hasil Evaluasi Implementasi Kebijakan Program Inklusi Kota Salatiga
Aspek Nilai /Nilai total tiap aspek Capaian
(dalam %)
Tujuan Program 3 / 4 75%
Komunikasi 11 / 20 55%
Struktur Birokrasi 5/8 63%
Sumber daya 14/20 70%
Disposisi 5/8 63%
Dampak 9/12 75%
Total 47/72 65%
Sumber: Data penelitian diolah
Dari segi komunikasi data evaluasi
menunjukkan adanya permasalahan di hampir
semua aspek komunikasi karena empat dari
lima aspek yang ada menunjukkan penilaian
yang kurang baik. Aspek tersebut antara lain
dalam hal saluran komunikasi, kejelasan
informasi yang diterima, kelengkapan
informasi yang diterima kelompok sasaran, dan
konsistensi informasi kebijakan. Penilaian yang
baik terdapat pada aspek adanya persepsi yang
yang sama antara pembuat kebijakan dan
pelaksana kebijakan mengenai kebijakan yang
dijalankan.
Komunikasi berupa sosialisasi yang
dilakukan satu arah kepada pelaksana kebijakan
dan kelompok sasaran dilakukan dengan
berbagai cara, antara lain rapat dan sosialisasi
formal ke sekolah-sekolah, seminar, pameran,
klinik konseling, media massa, rapat orang tua,
brosur dan formulir pendaftaran. Walaupun
begitu penyampaian informasi tentang
kebijakan program inklusi kepada
implementator dan kelompok sasaran masih
dirasa kurang sehingga banyak terjadi kekurang
pahaman dan ketidaktahuan tentang program
ini. Masyarakat umum masih banyak yang
belum mengetahui mengenai program ini selain
dari pihak sekolah sendiri. Hal ini ditandai
dengan masih sedikitnya jenis ketunaan siswa
di sekolah reguler. Masih banyak orang tua
siswa yang belum mengetahui jika anak dengan
disabilitas bisa bersekolah di sekolah reguler
bersama teman yang normal.
Sementara itu dalam hal clarity
(kejelasan), kebijakan ini dinilai masih kurang
baik. Walaupun kebijakan ini mudah dipahami
dan kontroversi mengenai kebijakan ini sudah
mereda, namun juklak dan juknis yang ada
dirasa masih kurang jelas bagi beberapa
pelaksana kebijakan. Informasi yang diterima
pun juga kurang jelas. Sebelumnya pelatihan
yang diberikan dirasa kurang optimal sehingga
pemahaman GPK dirasa masih kurang dalam
menyelenggarakan pendidikan inklusi.
Dari sisi struktur birokrasi,
implementasi kebijakan pendidikan inklusi di
aras kota dikelola oleh sebuah Kelompok Kerja
(Pokja). Para pihak yang terlibat dalam Pokja
antara lain Dinas Pendidikan, Pemuda dan
Olahraga, Kementrian Agama, Bappeda, SLB,
Sekretariat Daerah dan dari universitas, antara
lain Universitas Negeri Semarang, Universitas
Kristen Satya Wacana, Sekolah Tinggi Agama
Islam Negeri Salatiga. Di samping itu Pokja
Inklusi Kota Salatiga kemudian menjadikan
UPTD sebagai pusat sumber sendiri yang
berupa Klinik Konseling, dan bukan
bekerjasama dengan SLB sebagai pusat
sumber.
Dalam kenyataan belum semua pihak
terlibat aktif dalam implementasi kebijakan.
Porsi utama dalam Pokja adalah pada Dinas
Pendidikan Pemuda dan Olahraga. Adanya
perbedaan pandangan antara SLB, Pokja
Inklusi dalam memandang Pusat Belajar dan
peran lembaga masing-masing, serta belum
samanya pandangan antara Kementerian
Agama dan Pokja inklusif dalam melihat
keterlibatan MI dan MTs untuk menjalankan
program inklusi ini memperlihatkan adanya
miskomunikasi yang terjadi antar lembaga
Evaluasi Implementasi Kebijakan Pendidikan Inklusi | Sasadara Wahyu L., dkk.
127
tersebut. Bisa juga dikatakan ini adalah sebuah
fragmentasi diantara pelaksana kebijakan.
SOP program ini adalah Pedoman Umum
Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi yang
dikeluarkan oleh Direktorat PPK-LK
Pendidikan Dasar Kementerian Pendidikan
Dan Kebudayaan. Pedoman inilah yang
kemudian digunakan sebagai panduan sekolah-
sekolah penyelenggara inklusi dalam
penyelenggaraan inklusi di sekolah masing-
masing. Hampir semua sekolah sudah
menerima pedoman ini dan melaksanakan
seperti petunjuk di dalam buku tersebut. Dalam
panduan tersebut lebih banyak penjelasan yang
hanya dapat diterapkan pada sekolah/kelas
inklusi dengan siswa ABK yang memiliki
keterlambatan belajar. Sedangkan panduan
untuk siswa dengan kecerdasan dan
keberbakatan istimewa masih dirasa kurang.
Dari sisi sumber daya, evaluasi
menunjukkan bahwa secara keseluruhan
sumber daya implementasi kebijakan termasuk
kategori baik yang ditandai dengan adanya
penilaian baik terhadap empat dari lima
indikator penilaian. Indikator yang memperoleh
nilai baik adalah jumlah SDM, fasilitas
pendukung, relevansi informasi, dan anggaran
untuk menjalankan program/kebijakan.
Penilaian yang kurang baik terdapat pada
kualitas SDM pelaksana kebijakan ini.
Sumber daya yang diperlukan dalam
implementasi kebijakan antara lain sumber
daya manusia, fasilitas, pendanaan dan
informasi. Dari segi kuantitas, jumlah GPK di
sekolah-sekolah penyelengara inklusi sudah
memenuhi standar nasional, yaitu minimal 1
(satu) orang GPK per sekolah. Namun Kota
Salatiga memiliki standar sendiri, yaitu 1
sekolah harus terdapat 2 (dua) orang GPK,
sehingga jumlah GPK di Salatiga sudah
melebihi standar yang ditetapkan. Hanya saja
dari segi kualitas, SDM pelaksana program ini
dinilai kurang baik. Banyak GPK yang belum
melaksanakan tupoksi secara optimal.
Beberapa sebabnya antara lain kurangnya
pengetahuan tentang tupoksi GPK, dan
terbatasnya waktu GPK untuk mengajar.
Sumber daya berupa informasi dirasa
masih kurang lengkap di awal-awal masa
pencanangan pendidikan inklusi di tahun 2012
karena masih belum tersosialisasinya program
ini secara meluas, serta pelatihan dan sosialisasi
yang kurang masif. Namun dengan adanya
pelatihan-pelatihan dan sosialisasi yang lebih
masif dilakukan pada akhir tahun 2016,
informasi yang diterima oleh pelaksana
kebijakan mengenai apa yang harus dilakukan
dan bagaimana melakukannya semakin jelas
dan lengkap. Sayangnya ini belum dibarengi
dengan adanya pusat data dan informasi
(Padati) ABK yang valid dan reliable untuk
mendukung kerja pelaksana kebijakan dan
masyarakat pada umumnya.
Dari segi anggaran, pemenuhan biaya
untuk menjalankan program inklusi di Kota
Salatiga ini sudah baik. Ini dibuktikan dengan
adanya anggaran yang dialokasikan dari
pemerintah Kota Salatiga mulai tahun anggaran
2014 sampai sekarang. Sebelum itu, anggaran
dari APBD berasal dari Provinsi Jawa Tengah,
dan APBN melalui Dirjen PPLK, walaupun
anggaran ini tidak rutin turun setiap tahunnya.
Belum terdapat partisipasi masyarakat berupa
bantuan sosial.
Dari sisi disposisi pelaksana kebijakan,
komitmen pelaksana kebijakan untuk
melaksanakan program ini dinilai baik, walau
masih dirasa adanya permasalahan dalam hal
penghargaan bagi pelaksana kebijakan.
Baiknya dedikasi dan kemauan pelaksana
kebijakan ditandai oleh adanya komitmen
sekolah untuk menyelenggarakan program
inklusi serta kesediaan para guru melaksanakan
tupoksinya sebagai GPK. Adanya komitmen
sekolah dalam menyelenggarakan pendidikan
inklusi juga dapat dilihat dengan tidak adanya
sekolah yang menolak masuknya siswa yang
berkebutuhan khusus di sekolah mereka.
Walaupun beberapa sekolah menerapkan
kriteria jenis ketunaan yang bisa diterima, yaitu
kategori ringan dan tidak menganggu teman
lainnya. Sayangnya komitmen ini belum
dibarengi dengan lingkungan sekolah ramah
ABK, terutama dalam hal penyediaan fasilitas
yang ramah terhadap ABK.
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017
128
Disposisi yang baik biasanya ditunjang
dengan adanya penghargaan yang diberikan
kepada pelaksana kebijakan. Sayangnya hal ini
dinilai masih kurang berjalan dengan baik.
Guru (khususnya yang berstatus sebagai
Pegawai Negeri Sipil) yang merangkap sebagai
GPK belum mendapatkan angka kredit yang
berguna untuk kenaikan jabatan/golongan.
Selain itu selama program berjalan selama 4
tahun, belum ada penghargaan yang diberikan
kepada pelaksana kebijakan yang berperan
penting dalam perkembangan pendidikan
inklusi di Kota Salatiga.
Pembahasan
Komunikasi dalam Implementasi Kebijakan
Pendidikan Inklusi di Kota Salatiga
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pada sisi komunikasi aspek transmisi dinilai
kurang baik, aspek kejelasan juga kurang baik,
sedang aspek konsistensi dinilai cukup baik.
Oleh karena itu dapat dipahami jika masih
terjadi kesenjangan implementasi kebijakan
pendidikan inklusi di kota Salatiga. Hal ini
dapat dipahami dari teori Edward III (Winarno,
2011: 181) yang menyatakan bahwa “
...semakin cermat keputusan-keputusan dan
perintah-perintah pelaksanaan diteruskan
kepada mereka yang harus melaksanakan-nya,
maka makin tinggi pula probabilitas keputusan-
keputusan kebijakan dan perintah perintah
pelaksanaan tersebut dilaksanakan”
Sedang keengganan orang tua untuk
menyekolahkan anak berkebutuhan khususnya
ke sekolah dapat dijelaskan melalui pendapat
Nagakaki (2013:4) yang menyatakan bahwa
salah satu penyebab adanya implementation
gap adalah faktor sosial budaya. Adanya
warisan budaya yang tertanan selama beberapa
generasi menyebabkan stereotipe budaya.
Dengan ini paradigma masyarakat akan susah
dirubah dengan sesuatu yang baru. Begitu
halnya dengan pendidikan segregatif yang
sudah lebih dari seabad ada di Indonesia.
Sekolah untuk siswa ABK dimulai sejak jaman
sebelum kemerdekaan pada tahun 1901 di
Bandung untuk para tunanetra, sedangkan
setelah kemerdekaan pendidikan untuk ABK
dijamin oleh UU Pendidikan No 12 tahun 1954
tentang pendidikan dan pengajaran luar biasa.
Adanya UU tersebut muncullah SLB sebagai
layanan pendidikan bagi penyandang
disabilitas (Sunanto:6). Untuk itulah diperlukan
suatu terobosan untuk memperkenalkan konsep
pendidikan inklusif ke masyarakat sehingga
dapat merubah paradigma masyarakat bahwa
ABK tidak harus bersekolah di SLB.
Di samping itu forum untuk orang tua
atau masyarakat juga belum terbentuk di Kota
Salatiga. Padahal forum ini sangat penting
keberadaannya sdan bahkan telah dituangkan
dalam Progam Pendidikan Inklusif Kota
Salatiga di tahun ketiga (2014) yaitu
“terbentuknya forum dan atau asosiasi orang
tua dan pemangku kepentingan pendidikan
inklusi”. Memang hal semacam itu tidak hanya
terjadi di Kota Salatiga saja. Penelitian oleh
Haryono (2015:124) yang menjangkau Provinsi
Jawa Tengah juga menemukan hal yang serupa,
yaitu banyak sekolah yang belum melibatkan
masyarakat dalam penyelengga-raan
pendidikan inklusif. Padahal komunikasi dan
kerjasama dengan masyarakat dan beberapa
stakeholder sangat penting bagi pendidikan
ABK agar mendapat pendidikan yang
berkualitas dalam lingkungan yang inklusif dan
ramah terhadap pembelajaran (LIRP).
Nagakaki (2013:7) menyatakan bahwa
peran aktif masyarakat dapat mengurangi
adanya kesenjangan implementasi, salah satu
yang bisa dilakukan adalah bekerjasama
dengan organisasi yang lebih besar dan
berpengalaman. Keterlibatan keluarga dan
anggota masyarakat lain sangat penting dalam
implementasi pendidikan inklusif. Kerjasama
bisa dilakukan dengan kemitraan antar Dinas,
misalnya Dinas Sosial, Dinas Tenaga Kerja,
dan Dinas Kesehatan. Selain antar dinas,
kemitraan juga harus menjangkau masyarakat,
orang tua, para pengusaha, tokoh masyarakat
yang memiliki kepentingan. Hal ini dapat
dilakukan secara individual atau level
organisasi, baik organisasi kemasyarakatan
yang dibentuk oleh Pemerintah (GO) maupun
non pemerintah (NGO) (Wasliman, 2009:137-
138).
Evaluasi Implementasi Kebijakan Pendidikan Inklusi | Sasadara Wahyu L., dkk.
129
Struktur Birokrasi dalam Implementasi
Kebijakan Pendidikan Inklusi di Kota
Salatiga Menurut Nagakaki (2013: 2) salah satu
penyebab adanya implementation gap adalah
faktor politik. Dalam kasus Kota Salatiga,
struktur birokrasi merupakan salah satu
penyebab adanya implementation gap dalam
implementasi kebijakan pendidikan inklusi.
Terdapat ketidakjelasan atau tanggung jawab
yang tumpang tindih pada struktur birokrasi.
Pokja yang melibatkan beberapa instansi belum
semua terlibat dalam pelaksanaan program.
Porsi utama dalam Pokja adalah pada Dinas
Pendidikan Pemuda dan Olahraga, namun dinas
lain yang terkait juga harusnya bisa dilibatkan
karena peran dinas lain juga semestinya tidak
kecil. SLB dapat melakukan tugas di bidang
pendidikan dan pelatihan bagi para GPK yang
berlatar belakang bukan PLB (Pendidikan Luar
Biasa) sehingga para GPK di SD reguler
mendapatkan wawasan bagaimana sebenarnya
menangani siswa ABK. Selain itu peran
Kementerian Agama yang membawahi MI dan
MTs semestinya juga tidak kecil. Tercatat pada
tahun 2010/2011 terdapat 12 MI dan 3 MTs.
Jika program inklusi juga diterapkan di dua
lembaga tadi, siswa-siswa ABK pastilah
tertangani dengan lebih baik. Selain itu instansi
ini bisa mendapatkan fasilitas berupa dana, atau
bantuan pendidikan bagi guru untuk
penanganan siswa ABK. Selain itu birokrasi
dimana pendidikan dasar yang meliputi SD dan
SMP merupakan wewenang Pemerintah Kota,
sementara SMA/SMK berada di level Provinsi
membuat sekolah inklusi di tingkat sekolah
menengah atas belum dapat dilaksanakan.
Pusat sumber sangat penting peranannya
sebagai sistem pendukung implementasi
pendidikan inklusif. Menurut Saepul (2013, 30-
33), pusat sumber adalah “suatu unit atau
institusi yang berfungsi memberikan pelayanan
pendukung bagi sekolah-sekolah reguler yang
menyelenggarakan pendidikan inklusif, baik
secara teknis (operasional) maupun
konsultatif.” Pusat sumber ini berfungsi sebagai
pusat pendidikan dan layanan kepada siswa
ABK, pusat asesmen, penyediaan sumber
belajar, pusat penyediaan alat bantu belajar dan
mengajar serta pusat penelitian dan
pengembangan. Salah satu tugasnya adalah
menghadirkan GPK profesional sebagai guru
kunjung. Guru ini akan membantu guru di
sekolah reguler untuk memberikan pendidikan
kepada siswa ABK. Pusat sumber juga bertugas
untuk memberikan media belajar yang
diperlukan, memberikan pelatihan tertentu bagi
GPK sekolah reguler, maupun orang tua. Untuk
memberikan dukungan kepada sekolah reguler,
diperlukan satu atau dua pusat sumber untuk
setiap kota/kabupaten. Pusat sumber ini dapat
berupa lembaga baru atau pengembangan peran
dan fungsi SLB. Idealnya memang sebuah
pusat sumber memiliki bangunan sendiri yang
dibentuk oleh pemerintah atau masyarakat
dengan managemen yang dikelola sendiri, serta
sekolah umum sebagai pusat sumber. Dalam
kasus di Indonesia, banyak daerah yang
menggunakan SLB sebagai pusat sumber untuk
mempercepat keberadaanya serta untuk
efektifitas.
Di Salatiga, Pokja inklusif rupanya ingin
membuat UPTD pusat sumber berupa Klinik
Konseling, bukan bekerjasama dengan SLB
sebagai pusat sumber. Menurut Subagya
(2011:4) kelemahan UPTD pusat sumber ini
diantaranya adalah mahalnya proses
pembentukannya, pendiriannya memerlukan
proses yang lama. Sedangkan keuntungan dari
SLB sebagai pusat sumber adalah memiliki
tenaga terdidik untuk melayani ABK, memiliki
sarpras, alat media untuk ABK. Dalam
kasusnya di Salatiga, strategi pusat sumber ini
penulis anggap kurang efektif karena
kelemahan yang dimiliki UPTD pusat sumber
seperti dijelaskan di atas, yaitu memakan waktu
yang cukup lama. Keberadaan pusat sumber ini
baru diwujudkan pada tahun keempat dari
pencanangan, yang dirasa cukup terlambat.
Sehingga pelaksanaan program inklusi di
Salatiga ini dalam jangka waktu 2012-2016
dianggap jalan ditempat.
Seperti yang dilakukan oleh Kota
Sidoarjo sebagai salah satu kota yang bagus dan
memiliki perkembangan yang cepat dalam
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017
130
menyelenggarakan program inklusi, 3 SLB
ditunjuk untuk menjadi Pusat Sumber, yaitu
SLBN Gedangan, SLB DWP Sidoarjo, dan
SLB Veteran Wonoayu. Pusat Sumber ini
menyediakan informasi bagi para sekolah
mengenai hal teknis, dan diproyeksikan untuk
deteksi dini dan penyelenggaran pendidikan
transisi (Sulistyadi, 2014:5).
Selain birokrasi, faktor politik lain yang
juga berpengaruh adalah adanya Agenda
politik yang berbeda. Seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya, Klinik Konseling
merupakan program inovasi yang diunggulkan
oleh Dinas Pendidikan. Hal ini agak rancu
karena klinik tersebut merupakan hasil dari
program inklusi yang ditangani oleh Pokja
Inklusi dimana (harusnya) terdapat beberapa
dinas lain yang terlibat. Kurang terlibatnya
dinas-dinas lain dalam pelaksanaan program ini
bisa membuat Klinik Konseling “dipunyai”
oleh Dinas Pendidikan. Walaupun memang
Dinas Pendidikan berperan utama dalam
program ini.
Sumber Daya dalam Implementasi
Kebijakan Pendidikan Inklusi di Kota
Salatiga
Dari sisi sumber daya, kualitas GPK
menjadi keprihatinan tersendiri dalam
implementasi kebijakan pendidikan inklusi di
Kota Salatiga. GPK memiliki peran penting
bagi keberhasilan pendidikan inklusif di
sekolah karena GPK terlibat langsung dan
berhadapan dengan siswa ABK. Pemenuhan
GPK dalam program inklusi merupakan
masalah yang umum terjadi (bandingkan
Sulasmono dan Zanuet Indah, 2015; Dwi
Sartika dan Bambang Ismanto, 2016;
Sulasmono dan Tri Sulistyowati, 2016;
Widyawati, 2017).
Idealnya menurut Subagya (2011:9) GPK
seharusnya bukan guru kelas, bukan guru mata
pelajaran, bukan guru pembimbing dan
penyuluhan, melainkan “guru yang memiliki
kualifikasi/ latar belakang pendidikan luar biasa
yang bertugas menjembatani kesulitan ABK
dan guru kelas/ mapel dalam proses
pembelajaran serta melakukan tugas khusus
yang tidak dilakukan oleh guru pada umumnya.
Tugas khusus itu adalah tugas yang berkaitan
dengan kebutuhan khusus ABK”. Sedangkan
untuk memenuhi persyaratan ideal tersebut
pada prakteknya di sekolah umum merupakan
hal yang sangat sulit. Selain karena minimnya
sumber daya yang ada, dana juga masalah lain
yang akan muncul. Sehingga dalam kebijakan
disebutkan bahwa selain guru yang berlatar
belakang PLB, GPK bisa berasal dari guru yang
diberi pelatihan. Guru-guru tersebut merupakan
guru kelas, guru mata pelajaran atau guru BK
yang sudah ada di sekolah itu sebelumnya.
Sehingga persoalan yang muncul lainnya
adalah keterbatasan waktu yang dimiliki para
GPK untuk membina siswa ABK disamping
peran utamanya di sekolah tersebut sebagai
guru utama. Kasus ini ditemui hampir disemua
sekolah inklusi di Salatiga. Selain itu penelitian
lain oleh Zakia (2015:114-115) di sekolah-
sekolah inklusi di Kabupaten Sukaharjo juga
menemukan hal yang serupa, yaitu “GPK masih
bertugas seperti guru pada umumnya yaitu
berdiri di kelas dan mengajar anak-anak
berkebutuhan khusus. GPK ini mengajar
layaknya guru kelas dan bahkan ada juga yang
menjadi guru kelas karena permasalahan
kekurangan guru yang dialami pihak sekolah.”
Selain itu, pelatihan yang kurang memadai
dalam membentuk GPK dari guru kelas/guru
mata pelajaran/guru BK sebelum program
inklusi dijalankan, membuat GPK sulit
menjalankan fungsinya karena karena
kurangnya kompetensi yang dimiliki.
Dilema yang muncul adalah jika GPK
berasal dari GPK khusus yang berlatar PLB.
Dana merupakan persoalan yang utama, karena
pembiayaan inklusi tidak dapat diambilkan dari
dana BOS, sehingga sekolah harus
mengupayakan sendiri untuk hal ini. Sekolah-
sekolah swasta tidak mengalamami kesulitan
dalam hal ini. Shadow teacher untuk siswa yang
memerlukan dampingan biasanya didanai oleh
orang tua siswa yang bersangkutan. Sedangkan
siswa ABK di sekolah negeri biasanya
memiliki latar belakang ekonomi lemah yang
tidak memungkinkan melakukan hal yang
serupa. Konsep shadow teacher ini belum
Evaluasi Implementasi Kebijakan Pendidikan Inklusi | Sasadara Wahyu L., dkk.
131
menjadi pilihan bagi sekolah negeri inklusi di
Salatiga.
Dengan diterapkannya konsep GPK yang
berasal dari guru kelas, guru mata pelajaran dan
guru BK maka adanya pelatihan yang intensif
secara terjadwal dan berkala sangat penting.
Berdasarkan data yang ada, pelatihan hanya
dilakukan pada tahun 2012,2013 dan 2016
ketika terdapat dana dari APBN melalui Dirjen
PKLK. Ketika dana tersebut tidak turun pada
2014 dan 2015 maka tidak diadakan
peningkatan kapasitas oleh Pokja bagi GPK.
Sebenarnya dengan dialokasikannya program
inklusi dalam APBD Kota Salatiga merupakan
suatu langkah besar, karena hal ini
menunjukkan komitmen pemerintah dalam
penyelenggaraan program. Namun alokasi
anggaran sebagian besar masih digunakan
untuk honor GPK, bukan untuk peningkatan
kompetensi SDM. Walaupun honor tidak kalah
penting, namun jika hal ini tidak dibarengi oleh
upaya peningkatan profesionalisme GPK, maka
kualitas pendidikan inklusif sulit untuk
berkembang.
Gambaran di atas membenarkan
Nagakaki (2013:3) bahwa salah satu faktor
kesenjangan implementasi adalah faktor
ekonomi. Biaya implementasi suatu aturan
memang mahal, namun yang lebih penting
bukan jumlahnya namun bagaimana sumber
daya tersebut dialokasikan. Sehingga
dibutuhkan asesmen kebutuhan dan
pengalokasian anggaran yang sangat tepat
sehingga anggaran yang ada bisa digunakan
secara efisien dan tepat sasaran.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh
Haryono (2015:124) tentang program inklusi di
Jawa Tengah, komponen utama yang menjadi
prioritas terselenggaranya program inklusi
adalah pembiayaan dan infrastruktur. Dalam
temuannya didapat bahwa sarana dan prasarana
untuk membantu proses belajar dan
pengembangan bakat dan minat masih
disamakan dengan siswa normal. Aksesibilitas
di sekolah-sekolah inklusi di Salatiga juga
masih diupayakan untuk dikembangkan.
Aksesibilitas diartikan sebagai lingkungan dan
fasilitas yang mudah dan sebaiknya tersedia
bagi siswa terutama bagi siswa berkebutuhan
khusus, misalnya jalan di lingkungan sekolah
atau toilet yang bisa digunakan oleh anak yang
berkursi roda. Sekolah-sekolah inklusi di
Salatiga hampir semua tidak memiliki ruang
sumber karena terkendala masalah pendanaan.
Padahal menurut Saepul (2013:23-24).dalam
pengembangan untuk mencapai standar,
sekolah perlu memperhatikan faktor keamanan,
kenyamanan dan kemudahan bagi yang
menggunakannya.
Disposisi dalam Implementasi
Kebijakan Pendidikan Inklusi di Kota
Salatiga
Evaluasi terhadap disposisi para
pelaksanaan menunjukkan hasil yang baik. Satu
hal yang masih perlu dibahasa disini adalah
peran Kepala sekolah. Peran Kepala Sekolah
sangat penting bagi keberhasilan program
inklusi di tingkat sekolah. Dibutuhkan
komitmen Kepala Sekolah yang tinggi sehingga
dapat mengeluarkan kebijakan-kebijakan
tingkat sekolah yang membuat lingkungan
ramah terhadap inklusi. Diharapkan para kepala
sekolah mendayagunakan potensi yang ada.
Managemen Berbasis Sekolah memberi
keleluasaan pada Kepala Sekolah untuk
merencanakan, mengorganisasikan,
mengarahkan, mengkoordinasikan, meng-
awasi, dan mengevaluasi komponen-komponen
pendidikan dalam sekolah agar pendidikan
inklusif berjalan optimal. Kepala Sekolah juga
diharapkan pro-aktif dalam mensosialisasikan
program ini ke masyarakat, mencari adanya
ABK di lingkungan sekitar, ataupun mencari
bantuan dari masyarakat untuk mendukung
program di sekolah.
Hal ini sejalan dengan penelitian
Yuliastutik (2011) yang menemukan bahwa
pemimpin pembelajaran sekolah inklusif
idelanya memiliki sifat “familiar, low
profile, bijaksana, suportif, humoris, penuh
kasih dan peduli dan menjaga keterlibatan para
orang tua siswa, pemerintah, dan PT dalam
pengembangan profesional guru”. Dia juga
memberi saran agar Dirjen PMPTK dan Kepala
P4TK mengembangkan pendidikan dan
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017
132
pelatihan kepala sekolah inklusif, khususnya
bidang kepemimpinan pembelajaran serta
Kepala Dinas Pendidikan dan Pengawas
membuat sosialisasi pendidikan inklusif secara
intens, memilih kepala sekolah yang mengerti
manajemen pembelajaran sekolah inklusif.
Hal itu juga sejalan dengan testimoni
Septin Pujiati, salah satu GPK yang mendapat
beasiswa PLB di Universitas Negeri Surabaya,
yang menyatakan bahwa ketika sedang praktek
di beberapa sekolah inklusi di Surabaya,
sekolah yang maju program inklusinya
memiliki Kepala Sekolah yang kreatif, inisiatif
dan aktif serta tidak menunggu bantuan dan
perintah dari Dinas/Pokja saja. Hal inilah yang
belum terjadi di Salatiga. Selama ini pihak
sekolah hanya mengandalkan apa yang
diperintah dan diberi oleh Dinas. Memang
diperlukan pelaksana kebijakan yang memiliki
semangat dalam menjalankan program ini,
bukan hanya “robot” yang melaksanakan apa
yang diperintah dan berhenti ketika perintah
dihentikan.
Selain itu Kepala Sekolah juga harus
berperan sebagai manager, motivator dan
teladan bagi warga sekolah untuk bagaimana
seharusnya memperlakukan dan melayani
siswa ABK. Sebagai manager, Kepala Sekolah
sebaiknya membuat program di sekolah terkait
inklusi baik fisik berupa bangunan, media
pembelajaran dan lainnya serta non fisik, yaitu
menyiapkan mental warga sekolah agar
menerima keberadaan siswa ABK dan
sosialisasi kepada masyarakat. Peran Kepala
Sekolah sebagai motivator untuk
menumbuhkan kesadaran warga masyarakat
juga penting. Program inklusi di sekolah ini
dilakukan secara bertahap sesuai kemampuan
dan kesiapan pihak sekolah.
Selain komitmen dari pihak sekolah,
dibutuhkan juga komitmen dari Pokja Inklusi
selaku pelaksana kebijakan dengan melakukan
tugas dan fungsinya, salah satunya
melaksanakan monitoring dan evaluasi.
Evaluasi sangat penting peranannya dalam
managemen yaitu untuk mengetahui
ketercapaian dan efektifitas program. Sehingga
dapat diketahui keberhasilan dan kekurangan
serta hal-hal yang tidak berjalan sebagaimana
mestinya. Sehingga dapat diketahui apa yang
harus diperbaiki dan ditingkatkan, diteruskan
ataupun dihentikan pelaksanannya. Belum
adanya evaluasi yang terstruktur pada program
ini membuat Pokja sulit untuk melihat
perkembangan implementasi program ini di
lapangan dan memperbaiki kekurangan yang
ada pada program. Evaluasi program idealnya
dilakukan rutin secara periodik, pertahun atau
per empat tahun bergantung pada desain atau
rencana yang telah dibuat sebelumnya.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan Program inklusi sejalan dengan
kebutuhan masyarakat dunia pendidikan yang
ada di Salatiga. Implementasi kebijakan
program inklusi di Salatiga ini dinilai baik,
yaitu dengan pencapaian 65%. Komunikasi
merupakan aspek yang paling lemah, ditandai
dengan kurangnya komunikasi antar pelaksana
kebijakan dan komunikasi kepada kelompok
sasaran, dan kurang jelasnya informasi yang
diterima. Struktur birokrasi masih kurang baik
dilihat dari adanya panduan (SOP) dari
Pemerintah Pusat namun masih terdapat
fragmentasi dalamstruktur birokrasi ketika
Kementerian Agama dan SLB belum aktif
terlibat dalam program. Penilaian yang baik
terdapat pada aspek sumber daya, ditandai
dengan jumlah GPK yang sudah melebihi
standar yang ditetapkan; SDM memiliki latar
belakang PLB atau sudah mendapatkan
pelatihan khusus; GPK ditunjang oleh fasilitas
yang dinilai cukup baik; anggaran berasal dari
APBN, APBD Provinsi dan APBD Kota
walaupun belum ada partisipasi masyarakat
berupa bantuan sosial. Terbatasnya waktu GPK
untuk mengajar ABK karena GPK merangkap
sebagai guru kelas, guru mata pelajaran atau
guru BK; dan lemahnya pusat data dan
informasi (Padati) ABK yang valid dan reliable
menjadi poin yang kurang baik. Disposisi
pelaksananprogram ini juga masih ada aspek
yang kurang baik, dilihat dari GPK yang
berstatus sebagai PNS belum mendapatkan
angka kredit yang berguna untuk kenaikan
Evaluasi Implementasi Kebijakan Pendidikan Inklusi | Sasadara Wahyu L., dkk.
133
jabatan/golongan dan selama program berjalan
selama 4 tahun belum ada penghargaan yang
diberikan kepada pelaksana kebijakan yang
berperan penting dalam perkembangan
pendidikan inklusi di Kota Salatiga, namun
sudah terdapat komitmen sekolah untuk
menyelenggarakan program inklusi dan
tersedia honor untuk GPK.
Saran
Penulis memberikan beberapa saran agar
penyelenggaraan program inklusi dapat
terlaksana lebih baik lagi ke depannya. Bagi
Pemerintah (Pokja Inklusi) diharapkan
membentuk dan mengaktifkan saluran
komunikasi antar GPK berupa KKG/MGMP;
membuat komunikasi dengan lembaga lain
dalam Pokja, yaitu Kementrian Agama dan
SLB untuk menjangkau sekolah berbasis agama
dan mengembangkan pusat sumber; menjalin
kerjasama dengan DUDI untuk membuat
kebijakan pro ABK, penyaluran lulusan, dan
mengembangkan program inklusi melalui dana
CSR; melakukan pelatihan yang intensif secara
bergantian bagi para GPK; memperkuat sistem
pendataan sekolah inklusi (Padati);
melaksanakan monitoring dan evaluasi secara
berkala; melakukan sosialisasi kepada
masyarakat luas melalui brosur/leaflet tentang
pendidikan inklusi yang tersimpan/tersebar di
sekolah, kantor pemerintahan dll serta
memasang spanduk/banner di sekolah atau area
publik tentang pendidikan inklusi. Sedangkan
bagi sekolah, antara lain Kepala Sekolah
menciptakan LIRP (Lingkungan Inklusi Ramah
pembelajaran); membuat managemen waktu
yang efektif untuk pembelajaran ABK dengan
GPK; Kepala sekolah lebih aktif dan memiliki
inisiatif dalam mengembangkan program
Inklusi di sekolah masing-masing; memberikan
motivasi kepada guru untuk memberikan
pelayanan yang bagus dan ikhlas bagi ABK
serta kepada murid untuk menerima perbedaan
yang ada. Secara bertahap membangun
lingkungan fisik yang aksesibel untuk siswa
ABK, menyediakan ruang sumber dan
memenuhi sarana dan media pembelajaran
sesuai kebutuhan ABK.
DAFTAR PUSTAKA
Edward III, George C. 1980. Implementing
Public Policy. USA: Congresssional
Quarterly Inc.
Sartika, Dwi dan Ismanto, Bambang. 2016.
Evaluasi Penyelenggaraan Program
Pendidikan Inklusif di Kota
Palangkaraya. Jurnal Kelola 3 (1): 49-
66.
Haryono, A. S. 2015. Evaluasi Pendidikan
Inklusi bagi Anak ABK di Provinsi
Jawa Tengah. Jurnal Penelitian
Pendidikan. 32 (2):119-126.
Nakagaki, M. 2013. Closing the
Implementation Gap. CIPE Economic
Reform , June (15): 1-8.
Nugroho, Riant. 2009. Public Policy. Jakarta:
Elex Media Komputindo
Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 tentang
Pendidikan Inklusi Bagi Peserta Didik
Yang Memiliki Kelainan Dan Memiliki
Potensi Kecerdasan Dan/Atau Bakat
Istimewa
Sunaryo. 2009. Manajemen Pendidikan Inklusi.
Diakses pada 1 Agustus 2016 dari
http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._
PEND._LUAR_BIASA/195607221985
031-SUNARYO/Makalah_Inklusi.pdf
Santrock, W. John. 2014. Psikologi
Pendidikan. Edisi 5-Buku 1. Jakarta:
Salemba Humanika
Stufflebeam D.L. dan Anthony J. Shinkfield
(1985). Systematic Evaluation: A Self-
Instructional Guide to Theory and
Practice (Evaluation in Education and
Human Services) 1985th Edition.
Boston : Kluwer-Nijhoff
Subagya. 2011. Pusat Sumber, Pendidikan
Khusus Dan Peran Dan Tugas Guru
Pembimbing Khusus (GPK)
disampaikan pada Workshop
Pendidikan Inklusi tanggal 18 Januari
2011 di FKIP UNS Surakarta
Sulasmono, B.S. dan Yanuet Indah Z.T. 2015.
Evaluation of Inclusive Education
Program for Slow Learners in SD
Negeri Pulutan 02 Salatiga.
International Seminar "Quality
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017
134
Assurance For Education Proceeding.
Yogyakarta: UST Sarjanawiyata.
Sulasmono, B.S. dan Tri Sulistyowati. 2016.
Context, Input, Process and Product
Evaluation of the Inclusive Education
Program in Public Elementary School.
ICERI 2016 Proceeding. Yogyakarta:
Universitas Negeri Yogyakarta.
Supriyanto, Tedjo. 2013. Salatiga Menyambut
Sekolah Inklusi. Majalah Hatti
Beriman, 07 (04)
Wahab, S. A. 2015. Analisis Kebijakan: Dari
Formulasi ke Penyusunan Model-
Model Implementasi Kebijak an Publik.
Jakarta: Bumi Aksara.
Walker, Jo. tth. Equal Right, Equal Opprtunity.
Inclusive Education For Children With
Disabilities. Global Campaign for
Education, Handicap International.
Widodo, J. 2011. Analisis Kebijakan Publik.
Malang: Bayumedia.
Widyawati, R. 2017. Evaluasi Pelaksanaan
Program Inklusi Sekolah Dasar. Jurnal
Kelola 4 (1): 109-120
Winarno, Budi. 2011. Kebijakan Publik (Teori
Proses, dan Studi Kasus). Yogyakarta:
CAPS
Wulan, Dwi Kencana. 2011. Peran Pemahaman
Karakteristik Siswa Cerdas Istimewa
Berbakat Istimewa (Cibi) Dalam
Merencanakan Proses Belajar Yang
Efektif Dan Sesuai Kebutuhan Siswa.
Humaniora 2 (1): 269-276
Yuastutik, Ida. 2011. Kepemimpinan
Pembelajaran Kepala Sekolah Inklusi:
Studi Multikasus Tiga Sekolah Inklusi
di Kota Malang. Disertasi, Program
Studi Manajemen Pendidikan, Program
Pascasarjana, Universitas Negeri
Malang. Diakses pada 30 Maret 2017
dari http://karya-
ilmiah.um.ac.id/index.php/disertasi/arti
cle/view/11266
Zakia, Dieni L. 2015). Guru Pembimbing
Khusus (Gpk): Pilar Pendidikan Inklusi.
Prosiding Seminar Nasional
Pendidikan “Meretas Sukses Publikasi
Ilmiah Bidang Pendidikan Jurnal
Bereputasi” Kerjasama Program Studi
S-3 Ilmu Pendidikan Program Studi S-2
Pendidikan Luar Biasa Universitas
Sebelas Maret Surakarta dan ISPI
Wilayah Jawa Tengah. Surakarta.
______.Salatiga Miliki Unit Layanan
Konsultasi Pendidikan. (2013,
Desember 2). Wawasan , p. 23.
Magister Manajemen Pendidikan FKIP Universitas Kristen Satya Wacana [email protected]
e-ISSN 2549-9661 Volume: 4, No. 2, Juli-Desember 2017
Halaman: 135-145
135
Teknik Pengambilan Keputusan Dalam Menentukan
Model Manajemen Pendidikan Menengah
Muhdi
Manajemen Pendidikan
Universitas PGRI Semarang
Nurkolis
Manajemen Pendidikan
Universitas PGRI Semarang
Suwarno Widodo
Pendidikan Kewarganegaraan
Universitas PGRI Semarang
ABSTRACT
The main problem in this research is how the model of secondary education management
in Central Java Province. Issues divided into a) what are the expectations of various parties
regarding the transfer of secondary education management, b) how are the challenges of various
parties related to the transfer of secondary education management, and c) which management
model is most effective for managing secondary education in Central Java Province. This
research is descriptive qualitative. Data collection through FGD was recorded with video and
government policies related to secondary education. The number of informants is nine people.
Research data is processed using qualitative research software, NVivo 11 Plus for Windows. The
study was conducted over three months from October to December 2016. The results were a)
some expectations: improving the quality of education, improving access and equity of education,
improving teacher welfare and promoting professionalism. teacher; b) some of the challenges
faced: the province will ignore the welfare of non-civil servant teachers and reduce the free
education of secondary education; c) the most effective model is co-administration. It is
recommended that the government immediately make government regulations on the management
of secondary education. At the provincial level was directly made education policy. East Java
provincial government has now chosen alternative "based region" in six regions of former
residency in Central Java. This alternative needs to be tested for its effectiveness, if it is not
effective then it is advisable to use co-administration.
Keywords: secondary education, model of secondary education management, co-administration,
decision making
Article Info
Received date: 9 September 2017 Revised date: 19 Oktober 2017 Accepted date: 22 Oktober 2017
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017
136
PENDAHULUAN
Sejak berlakunya Undang-Undang
Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah maka terjadi pergeseran pembagian
kewenangan dalam urusan pendidikan
menengah dari pemerintah kabupaten atau kota
ke pemerintah provinsi. Berdasar Undang-
Undang No. 22 tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah yang diperbaharui
beberapa kali dan terakhir dengan Undang-
Undang No. 23 tahun 2014, urusan pendidikan
menengah menjadi kewenangan pemerintah
kabupaten atau kota. Dalam UU No. 23 tahun
2014, pendidikan merupakan urusan
pemerintahan konkuren wajib terkait dengan
pelayanan dasar yang menjadi kewenangan
pemerintah daerah sebagaimana tertuang pada
pasal 12.
Menurut UU No. 23 tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, urusan pemerintahan
dibagi menjadi 3 yaitu: urusan absolut, urusan
konkuren, dan urusan umum. Urusan absolut
sepenuhnya menjadi urusan pemerintah pusat.
Urusan umum menjadi kewenangan presiden
sebagai kepala pemerintahan. Urusan konkuren
adalah urusan yang dibagi antara pemerintah
pusat, pemerintah daerah provinsi, dan
pemerintah daerah kabupaten atau kota. Urusan
konkuren terdiri dari urusan wajib dan urusan
pilihan. Urusan wajib terkait dengan pelayanan
dasar dan bukan pelayanan dasar. Pendidikan
merupakan pelayanan dasar yang menjadi
urusan konkuren wajib.
Pada lampiran UU No. 23 tahun 2014
tertuang pembagian urusan pemerintahan
konkuren antara pemerintah pusat, pemerintah
provinsi, dan pemerintah kabupaten atau kota.
Terdapat pembagian urusan pemerintahan
bidang pendidikan yang mencakup enam sub
urusan yaitu: manajemen pendidikan,
kurikulum, akreditasi, pendidik dan tenaga
kependidikan, perizinan pendidikan, serta
bahasa dan sastra. Fokus penelitian ini hanya
terkait dengan sub urusan manajemen
pendidikan.
Dalam sub urusan manajemen
pendidikan, pemerintah pusat memiliki
kewenangan menetapkan standar nasional
pendidikan dan pengelolaan pendidikan tinggi.
Pemerintah provinsi memiliki kewenangan
mengelola pendidikan menengah dan
mengelola pendidikan khusus. Sementara itu
pemerintah kabupaten atau kota memiliki
kewenangan mengelola pendidikan dasar,
mengelola pendidikan usia dini, dan mengelola
pendidikan nonformal.
Berdasarkan UU Pemerintahan Daerah
terbaru, manajemen pendidikan menengah
yaitu SMA dan SMK kewenangannya
dipindahkan dari pemerintah kabupaten atau
kota ke pemerintah provinsi. UU No. 23 tahun
2014 ini mulai diberlakukan tanggal 1 Januari
2017, sehingga belum ditemukan penelitian
yang relevan. Oleh karena itu penting untuk
dilakukan penelitian tentang “model
manajemen pendidikan menengah”, khususnya
di Provinsi Jawa Tengah.
Masalah utama dalam penelitian ini
adalah “bagaimanakah model manajemen
pendidikan menengah di Provinsi Jawa
Tengah?” yang dirinci menjadi: a).
bagaimanakah harapan pengalihan pengelolaan
pendidikan menengah, b). bagaimanakah
tantangan pengalihan pengelolaan pendidikan
menengah, dan c). bagaimanakah model
manajemen pendidikan menengah yang efektif
di Provinsi Jawa Tengah?
Seluruh pemerintah provinsi di Indonesia
pada akhir tahun 2016 harus membuat
keputusan terkait model manajemen
pendidikan menengah yang paling tepat di
wilayahnya. Permasalahan ini harus segera
dipecahkan dengan memilih model manajemen
apa yang paling tepat. Oleh karena itu dalam
menentukan model manajemen yang paling
tepat dan efektif diperlukan teknik pengambilan
keputusan yang sesuai.
Menurut Drummond (1993) pengambilan
keputusan adalah usaha untuk menciptakan
kejadian-kejadian masa depan. Sementara itu
Harrison (1992: 5) berpendapat bahwa
pengambilan keputusan adalah proses
mengevaluasi berbagai alternatif yang
berhubungan dengan tujuan individu atau
organisasi. Pengambilan keputusan erat
kaitannya dengan upaya untuk memecahkan
Teknik Pengambilan Keputusan Dalam Menentukan Model Manajemen … | Muhdi, dkk.
137
masalah atau potensi masalah yang dihadapi
seseorang atau organisasi.
Selanjutnya Drummond mengatakan
bahwa keputusan yang baik terjadi jika
pengambil keputusan sepenuhnya mengerti
latar belakang, tujuan dan sasaran, alternatif
penyebab tindakan, serta konsekuensi-
konsekuensi yang mungkin timbul dari
keputusan. Namun keputusan yang dibuat
dengan baik belum tentu menjadi keputusan
yang efektif.
Menurut Vroom dan Jago sebagaimana
dikutip Hoy dan Miskel (2014) keputusan yang
efektif bergantung pada tiga hal yaitu kualitas
keputusan, penerimaan bawahan, dan ketepatan
waktu. Keputusan dikatakan berkualitas jika
mampu memecahkan masalah yang dihadapi
seseorang atau organisasi. Keputusan yang
efektif juga ditunjukkan dengan tidak adanya
resistensi pada pelaksana dan pihak-pihak yang
terkait langsung dengan keputusan. Akhirnya
keputusan yang efektif terjadi bila dekat dengan
waktu terjadinya permasalahan yang akan
dipecahkan. Artinya keputusan yang efektif
adalah keputusan yang dibuat dengan baik dan
dapat diimplementasikan dengan baik pula.
Proses pengambilan keputusan yang
efektif menuruf Harrison (1992: 24) dapat
dilihat pada gambar 1.
Gambar 1. Proses Pengambilan Keputusan
Dalam studi tentang pengambilan
keputusan dikenal tiga teori yaitu: teori
probabilitas, teori utilitas, dan teori permainan
(Harrison, 1992: 219-252). Teori probabilitas
didasarkan pada peluang hasil bila dalam
periode waktu tertentu suatu kejadian diulang-
ulang. Teori utilitas didasarkan pada seberapa
besar manfaat yang diperoleh dari sebuah
kejadian yang dipilih. Teori permainan
digunakan apabila seorang pengambil
keputusan tidak mengetahui sutiasi dan kondisi
yang riil, dan biasanya digunakan dalam situasi
konflik.
Berdasarkan teori pengambilan
keputusan tersebut, terdapat beberapa teknik
pengembilan keputusan yang merupakan
perpaduan dari teori probabilitas dan teori
utilitas.
Pertama, teknik pengambilan keputusan
expected values. Teknik ini
mempertimbangkan kemungkinan munculnya
kejadian dan kemungkinan hasil. Kombinasi
dua kemungkinan tersebut menghasilkan nilai
moneter yang diharapkan. Kejadian yang
memiliki nilai moneter paling tinggi akan
menjadi pilihan seorang pengambil keputusan.
Kedua, teknik pengambilan keputusan
payoff tables. Teknik ini memperhitungkan
alternatif kejadian yang muncul dan alternatif
situasi yang menguntungkan atau tidak
mengungtungkan. Kombinasi kedua alternatif
tersebut akan memberikan gambaran hasil
moneter yang berbeda-beda. Kejadian yang
a. Penentuan
Tujuan/Sasaran
b. Mencari Berbagai
Alternatif
c. Bandingkan &
Evaluasi Alternatif
e. Implementasi Keputusan
d. Memilih Diantara Alternatif
f. Tindaklanjut & Kontrol
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017
138
memberi hasil maksimal akan menjadi pilihan
seorang pengambil keputusan untuk
memecahkan masalah.
Ketiga, teknik pengambilan keputusan
decision trees. Keputusan dilakukan dengan
cara membuat anatomi sebuah pohon yang
terdiri dari titik dan cabang. Penilaian kejadian
dimulai dari titik dengan melewati cabang,
setiap cabang mengambarkan kemungkinan
keberhasilan sebuah kejadian. Semakin besar
kemungkinan keberhasilannnya akan menjadi
pilihan seorang pengambil keputusan.
Berdasarkan ketiga teknik pengambilan
keputusan tersebut, teknik payoff tables dinilai
yang paling cocok dengan fokus penelitian ini.
Alternatif kejadian keputusan ada empat yaitu:
manajemen terpusat di kantor provinsi,
manajemen dengan membuka kantor di setiap
kabupaten atau kota, manajemen dengan
membuka enam Unit Pelaksana Pendidikan
(UPP) di setiap eks karesidenan, dan
manajemen dengan bekerjasama dengan kantor
dinas kabupaten atau kota untuk membentuk
tugas pembantuan.
Situasi keputusan yang bernilai positif
atau negarif dikaitkan dengan enam kesiapan
yaitu: ketersediaan sarana dan prasarana yang
memadai, ketersediaan sumber daya manusia
yang kompeten, untuk menjaga hubungan kerja
sama dengan pemerintah kabupaten atau kota,
untuk mengakomodasi keinginan kabupaten
atau kota guna berpartisipasi dalam
pengelolaan pendidikan menengah, efisiensi
operasional pendidikan, dan kemudahan
operasional pendidikan.
Kombinasi dari alternatif kejadian dan
situasi keputusan akan dihitung dengan
menambahkan nilai positif dan mengurangkan
nilai yang negatif. Alternatif kejadian yang
memiliki nilai positif paling tinggi yang akan
diambil sebagai alternatif terpilih karena
memiliki kelayakan paling tinggi untuk dapat
berhasil bila dioperasikan. Artinya model yang
terpilih adalah yang memiliki efektivitas paling
tinggi dan kemungkinan berhasilnya juga
paling tinggi.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan
kualitatif jenis deskriptif. Pengumpulan data
melalui focus group discussion (FGD) dengan
sembilan (9) orang ahli manajemen pendidikan
yang direkem dengan video. Data dilengkapi
dengan sepuluh (10) undang-undang dan
kebijakan pemerintah terkait manajemen
pendidikan. Rekaman video dari hasil FGD
ditranskripsi secara verbatim sesuai dengan
aslinya untuk mendukung data penelitian sesuai
dengan fokus yang diinginkan. Analisis data
penelitian ini menggunakan software NVivo 11
Plus. Langkah-langkah analisis kualitatif
adalah sebagai berikut: a) melakukan FGD pada
tanggal 28 Desember 2016 yang direkam
dengan video dan mengunduh file PDF UU dan
kebijakan pemerintah yang relevan dengan
pengelolaan pendidikan menengah; b) data
mentah yang diperoleh diimpor ke software
NVivo 11 Plus untuk dibuat nodes dan cases, b)
nodes dan cases selanjutnya dilakukan coding
c) akhirnya menarik kesimpulan dari temuan
berdasarkan nodes dan cases. Untuk
menentukan model manajemen yang tepat
dibantu dengan teknik pengambilan keputusan
menggunakan payoff table yang dimodifikasi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Harapan Pengalihan Manajemen
Pendidikan Menengah
Harapan stakeholders pendidikan
terutama dari pemerintah provinsi bisa berjalan
dengan lancar sesuai dengan target waktu yang
telah ditentukan oleh pemerintah pusat.
Pemeritah provinsi menyatakan siap untuk
mengelola pendidikan menengah, dan tidak ada
satupun pejabat provinsi yang resisten apalagi
menolak pengalihan pengelolaan pendidikan
menengah dari pemerintah kabupaten atau kota.
Harapan yang baik juga disampaikan oleh
para pengamat pendidikan, akademisi, kepala
sekolah, dan guru bahwa setelah dikelola
pemerintah provinsi maka mutu pendidikan
menjadi lebih baik, dan tingkat kesejahteraan
guru termasuk di dalamnya gaji guru non PNS
menjadi lebih baik.
Teknik Pengambilan Keputusan Dalam Menentukan Model Manajemen … | Muhdi, dkk.
139
Peningkatan mutu dan pemerataan akses
pendidikan menengah menjadi harapan banyak
pihak ketika pendidikan menengah beralih
pengelolaannya dari pemerintah kabupaten atau
kota ke pemerintah provinsi. Tidak banyak
gubernur yang peduli terhadap peningkatan
mutu pendidikan seperti Gubernur Jawa
Tengah dan Gubernur Jawa Barat.
Pemerintah Provinsi Jawa Tengah akan
membuat gebrakan baru dalam peningkatan
mutu pendidikan yaitu memberikan muatan
lokal. Ada tiga syarat yang harus dikuasai siswa
untuk lulus SMA-SMK yaitu kemampuan
berbahasa asing, bisa memainkan alat musik,
dan menguasai satu cabang olah raga. Dengan
adanya 3 syarat tersebut Gubernur Jawa Tengah
menilai akan menjadikan generasi muda
memiliki badan sehat, kesimbangan antara otak
kiri dan kanan, serta memiliki kemampuan
komunikasi yang bagus.
Selama ini terjadi kesenjangan
pendidikan menengah antara satu kabupaten
atau kota dengan yang lain. Kesenjangan mutu
pendidikan menengah terjadi antara kabupaten
dengan kota. Misalnya diakui oleh informan
dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan
Provinsi Jawa Tengah bahwa di Jawa Tengah
SMA dan SMK yang bermutu berada di Kota
Semarang, Solo, Salatiga, dan Magelang.
Sementara itu di kabupaten-kabupaten di
pinggiran mutunya belum bisa menyamai mutu
pendidikan di perkotaan.
Dari sisi pembiayaan pendidikan yang
menjadi pemicu permasalahan akses
pendidikan selama ini besarannya juga belum
merata. Buktinya ada beberapa kabupaten atau
kota yang mampu mengalokasikan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk
menggratiskan pendidikan mulai dari
pendidikan dasar hingga pendidikan menengah.
Sementara itu banyak kabupaten atau kota yang
tidak mampu mengalokasikan APBD untuk
mendukung pendidikan menengah universal
yang akan mengarah ke pendidikan gratis. Di
Provinsi Jawa Tengah, beberapa kabupaten
atau kota yang telah mengalokasikan anggaran
pendidikan hingga pendidikan menengah
antara lain Kota Semarang, Kota Salatiga, Kota
Magelang, Kota Surakarta, Kabupaten
Karanganyar, dan Kabupaten Sukoharjo.
Namun demikian pendidikan gratis lebih
banyak bernuansa politis. Berdasarkan hasil
penelitian pendidikan di kota Surakarta belum
dapat dirasakan oleh semua lulusan SMP atau
yang sederajat, terbukti masih banyak lulusan
SMP atau sederajat yang tidak melanjutkan ke
sekolah SMA atau SMK. Program pendidikan
gratis yang difasilitasi oleh pemerintah belum
dapat diterapkan 100% oleh sekolah karena
bantuan dari pemerintah belum dapat
mencukupi biaya operasional sekolah sehingga
program sekolah gratis di Kota Surakarta belum
dapat dirasakan oleh semua masyarakat (Lestari
dan Susena, 2014: 1-9).
Penting kiranya Pemerintah Provinsi
Jawa Tengah untuk membuat program
pendidikan menengah yang meringankan
masyarakat terutama yang tidak mampu secara
ekonomi. Program semacam ini sebaiknya jauh
dari kepentingan politik, yang selama ini
dimanfaatkan oleh para calon pimpinan daerah
untuk mendapatkan dukungan suara dari para
pemilih. Jika ingin membuat program
“pendidikan gratis” atau “pendidikan murah
dan terjangkau” maka perlu dihitung berapa
kebutuhan persiswa pertahun. Agar hasil
hitungan akurat dan dapat
dipertanggungjawabkan maka perlu
mengundang ahli dari perguruan tinggi, pakar
pendidikan, atau konsultan pendidikan.
Para guru dan kepala sekolah berharap
dengan pengambilalihan pendidikan menengah
ini gaji guru semakin baik. Gaji guru PNS akan
lebih baik, karena selain mendapat gaji dan
tunjangan, para guru juga akan mendapatkan
tunjangan profesi dan Tambahan Penghasilan
Pegawai (TPP) yang dialokasikan dari APBD
Provinsi, seperti di Provinsi Jawa Tengah.
Sedangkan harapan guru non PNS, dengan
diambil alih oleh pemerintah provinsi
kesejahteraan mereka menjadi lebih baik.
Selama ini gaji guru non PNS bervariasi antara
satu kabupaten dengan kabupaten yang lain.
Sebagian guru hanya mengandalkan gaji dari
yayasan, sementara yang lainnya juga
mendapatkan tunjangan dari APBD kabupaten.
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017
140
Setelah dialihkan ke pemerintah provinsi,
harapannya para guru non PNS mendapatkan
gaji dan tunjangan dari pemerintah provinsi.
Berdasarkan berbagai harapan tersebut,
jelas merupakan beban berat bagi pemerintah
provinsi untuk mewujudkan harapan menjadi
kenyataan. Berbagai harapan tersebut akan
menjadi kenyataan apabila didukung oleh
sumber daya manusia yang memadai, anggaran
yang mencukupi, dan kepemimpinan yang
mampu menggerakkan semua sumber daya
yang tersedia demi terlaksananya pendidikan
menengah yang bermutu.
Tantangan Manajemen Pendidikan
Menengah
Tantanan terbesar pengalihan
pengelolaan pendidikan menengah dari
pemerintah kabupaten atau kota ke pemerintah
provinsi adalah terkait anggaran, baik anggaran
untuk membayar tunjangan kepada guru PNS,
gaji kepada guru non PNS, dan mendanai biaya
operasional sekolah yang selama ini ditanggung
oleh pemerintah kabupaten atau kota.
Tantangan dalam pengalihan pengelolaan
pendidikan menengah lebih banyak terkait
dengan penggajian guru non PNS dan
pengalokasian BOSDA (Bantuan Operasional
Sekolah Daerah) Provinsi yang diprediksi
banyak pihak tidak akan sanggup mencukupi
kebutuhan gaji guru non PNS dan pendidikan
gratis untuk pendidikan jenjang menengah.
Di provinsi dengan jumlah satuan
pendidikan menengah dan jumlah siswa yang
banyak seperti di Provinsi Jawa Tengah, akan
menghadapi tantangan terkait pengalokasian
anggaran gaji guru non PNS. Di Jawa Tengah
total non PNS mencapai 16.220 orang. Dengan
rincian guru non PNS SMA 3.772 orang, SMK
4.871 orang, tenaga pendidik non PNS SMA
4.266 orang, dan SMK 3.311 orang. Oleh
karena itu perlu aturan yang ketat terkait
penggajian guru non PNS tersebut seperti
disampaikan Kepala Dinas Pendidikan dan
Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah.
Resistensi stakeholder pendidikan lebih
banyak berasal dari pemerintah kabupaten atau
kota dan satuan pendidikan. Hal ini dapat
dilihat dari adanya penolakan kepala daerah di
tingkat kabupaten atau kota hingga penolakan
atau kesanksian kepala sekolah dan siswa.
Bahkan ada bupati di Provinsi Jawa Tengah
yang secara terang-terangan melakukan orasi
dihadapan stakeholder pendidikan untuk
menolak pengambilalihan pendidikan
menengah.
Tantangan yang paling menonjol dalam
pengalihan pengelolaan pendidikan menengah
ini adalah terkait dengan gaji guru non PNS.
Tantangan ini berasal dari kabupaten dan kota
yang selama ini telah mengalokasikan APBD
untuk gaji guru non PNS. Para guru, kepala
sekolah, bahkan bupati khawatir dengan
pengalihan pengelolaan ini para guru non PNS
akan menurun kesejahteraannya karena tidak
dialokasikan gaji non PNS dari APBD Provinsi.
Seperti dikemukakan oleh informan FGD (28
Desember 2016) dari Dinas Pendidikan dan
Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah bahwa gaji
guru non PNS menjadi tanggungan
penyelenggara pendidikan masing-masing
satuan pendidikan yaitu yayasan.
Namun bagi guru non PNS yang
memenuhi syarat, yaitu memenuhi kualifikasi
pendidikan S1 dan mengajar 24 jam perminggu
maka akan ada kontrak dengan pemerintah
provinsi dan mendapatkan gaji dari APBD
provinsi. Hal ini juga menjadi kekhawatiran
para guru yang selama ini sudah mendapatkan
gaji yang cukup besar dari APBD kabupaten,
sehingga kalau sumbernya dari APBD provinsi
maka gaji guru non PNS akan menurun. Karena
UMR provinsi ditentukan berdasarkan UMR
kabupaten atau kota yang paling rendah.
Tantangan lain terkait pembiayaan
pendidikan adalah BOSDA dari pemerintah
kabupaten atau kota yang cukup memiliki
kemampuan keuangan seperti di Kota
Semarang, Kota Magelang, Kota Surakarta,
Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten
Karanganyar, Kota Cirebon, dan Kabupaten
Karawang yang selama ini telah
mengalokasikan APBD kabupaten atau kota
untuk mendanai pendidikan gratis. Dengan
pengalihan ini maka dipastikan BOSDA dari
pemerintah provinsi tidak sebesar yang
Teknik Pengambilan Keputusan Dalam Menentukan Model Manajemen … | Muhdi, dkk.
141
diberikan dari pemerintah kabupaten atau kota.
Jika saat ini dari pemerintah kabupaten atau
kota bisa memberikan BOSDA sebesar Rp.
650.000-Rp. 1 juta persiswa pertahun, maka
kemampuan provinsi tidak akan sebesar
kemampuan pemerintah kabupaten atau kota.
Misalnya di Provinsi Jawa Tengah diprediksi
pemerintah provinsi hanya akan mampu
memberi BOSDA untuk siswa SMA-SMK Rp.
200.000-Rp. 400.000 saja pertahun.
Kabupaten dan Kota yang telah menaruh
perhatian besar terhadap kemajuan pendidikan
bakal kecewa jika Pemerintah Provinsi tidak
memberikan anggaran yang seimbang dalam
pemenuhan anggaran pendidikan menengah.
Kota Surabaya merupakan salah satu contoh
Kota yang telah mengalokasikan Biaya
Operasional Pendidikan Daerah (BOPDA)
mulai pendidikan dasar hingga pendidikan
menengah. BOPDA telah berdampak positif
terhadap peningkatan akses pendidikan bagi
masyarakat kota Surabaya dan pelaksanaan
pendidikan menengah menjadi lebih baik
(Aulia, 2012: 204).
Berdasarkan hasil penelitian, para guru
SMK masih mengalami kendala dalam
pengembangan keprofesian berkelanjutan.
Kendalanya antara lain kendala waktu, dana,
usia, sarana prasarana, motivasi, kebijakan
pimpinan, dan akses jaringan internet
(Sumardjoko dan Prasetyo, 2016: 77-89).
Berdasarkan kenyataan ini maka pemerintah
provinsi perlu memprogramkan pengembangan
keprofesian berkelanjutan bagi guru-guru SMA
dan SMK.
Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa
belum seluruh guru SMK dapat melakukan
kegiatan ilmiah terutama menulis karya ilmiah.
Sementara itu forum peningkatan kompetensi
profesional sangat tinggi pengaruhnya pada
pengembangan profesi guru (Suwandi, 2016:
90-100). Sudah sepantasnya Dinas Pendidikan
dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah
membuat program pelatihan penulisan karya
ilmiah sebagai bagian dari pengembangan
keprofesian berkelanjutan guru pendidikan
menengah.
Model Manajemen Pendidikan Menengah
Terdapat tiga (3) teori dalam mengambil
keputusan yaitu teori utilitas, teori probabilitas,
dan teori permainan. Dalam membuat
keputusan dikenal tiga (3) teknik yaitu
berdasarkan nilai yang diharapkan (expected
values), berdasarkan pertimbangan alternatif
dan situasi atau sering disebut payoff tables, dan
pohon keputusan. Dari ketiga teknik tersebut,
yang cocok untuk membantu mengambil
keputusan dalam penelitian ini adalah payoff
tables yang dimodifikasi.
Tanggapan informan terkait model
pengelolaan pendidikan menengah hanya ada 5.
Tiga diantaranya berpendapat dengan
membuka kantor perwakilan provinsi di setiap
wilayah. Wilayah ini mencakup beberapa
kabupaten atau kota terdapat satu unit
pelaksana pendidikan (UPP) untuk menangani
pendidikan menengah. Satu informan lebih
setuju dibuka di setiap kabupaten atau kota,
sedangkan satu orang lagi sependapat bahwa
tugas pembantuan bisa diterapkan setelah
dilakukan evaluasi unit pelaksana perwilayah
dipandang kurang efektif. Sementara itu tidak
ada satupun responden yang berpendapat
bahwa pengelolaan pendidikan menengah akan
efektif bila diurus langsung dari kantor provinsi
atau Dinas Pendidikan dan Kebudayaan
Provinsi.
Menurut UU No. 23 tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah dijelaskan bahwa tugas
pembantuan adalah penugasan dari pemerintah
pusat kepada daerah otonom untuk
melaksanakan sebagian urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangan pemerintah pusat
atau dari pemerintah paerah provinsi kepada
paerah kabupaten atau kota untuk
melaksanakan sebagian urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangan daerah provinsi.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 18 Tahun 2016 Tentang Perangkat
Daerah pasal 22 mengatur bahwa Perangkat
Daerah yang melaksanakan urusan
pemerintahan bidang pendidikan dan urutan
pemerintahan yang hanya diotonomikan
kepada daerah provinsi dapat dibentuk cabang
dinas pendidikan kabupaten atau kota.
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017
142
Di sisi lain, surat edaran Mendikbud No.
6/2016 menyarankan untuk memilih opsi tugas
pembantuan dengan pertimbangan: efisiensi
karena tidak harus membentuk kantor baru,
SDM yang menangani sudah tersedia,
menjamin keberlangsungan hubungan kerja
antara provinsi dan kabupaten atau kota, dan
sebagai alternatif solusi keinginan kabupaten
atau kota untuk tetap dapat berperanserta dalam
penanganan pendidikan menengah.
Walaupun informan lebih banyak yang
mengusulkan untuk memilih model membuka
UPP di setiap wilayah, tapi ada peluang untuk
menerapkan model tugas pembantuan.
Dipilihnya alternatif membentuk UPP di setiap
wilayah karena beberapa kabupaten atau kota
menolak untuk secara bersama-sama mengelola
pendidikan menengah dengan model tugas
pembantuan.
Jika dianalisis dari penolakan pemerintah
kabupaten atau kota mengalihkan pengelolaan
pendidikan ke pemerintah provinsi, ini sebuah
pertanda bahwa pemerintah kabupaten atau
kota memiliki keingingan untuk terus
mengelola pendidikan menengah. Keinginan
ini memiliki peluang untuk diterapkan secara
bersama-sama dengan pemerintah provinsi
dalam mengelola pendidikan menengah.
Keempat model pengelolaan pendidikan
menengah dianalisis mengguna-kan payoff
table yang telah dimodifikasi seperti tampak
pada tabel 1.
Teknik Pengambilan Keputusan Dalam Menentukan Model Manajemen … | Muhdi, dkk.
143
Tabel 1
Analisis Manfaat Model Manajemen Pendidikan Menengah di Jawa Tengah
Model-Model Manajemen
Faktor Yang
Dipertimbangkan
Manajemen
Terpusat di
Kantor Provinsi
Manajemen
dengan
Membuka
Kantor di
Setiap
Kabupaten
Manajemen
dengan
Membuka UPP
di 6 Wilayah
Eks
Karesidenan
Manajemen
dengan
Membentuk
Tugas
Pembantuan
1. Ketersediaan Sarpras Cukup
tersedia lahan
dan gedung
(+)
Cukup
tersedia
sarana (+)
Tidak tersedia
lahan &
gedung (-)
Tidak tersedia
sarana (-)
Cukup
tersedia lahan
& gedung di
setiap eks
karesidenan
(+)
Cukup
tersedia
sarana (+)
Cukup
tersedia lahan
dan gedung
(+)
Cukup
tersedia
sarana (+)
2. Ketersediaan SDM yang
kompeten Tidak cukup
tersedia SDM
yang
kompeten (-)
Tidak cukup
tersedia SDM
yang
kompeten (-)
Tidak cukup
tersedia SDM
yang
kompeten (-)
Sangat cukup
SDM yang
kompeten
(++)
3. Menjaga Hubungan Kerjasama
dg Kab/Kota Sangat tidak
cukup terjaga
hubungan (--)
Tidak cukup
terjaga
hubungan (-
)
Tidak cukup
terjaga
hubungan (-)
Sangat cukup
terjaga
hubungan
(++)
4. Mengakomodasi keinginan
kab/kota untuk berpartisipasi
dalam pengelolaan pendidikan
menengah
Sangat tidak
cukup bisa
berpartisipasi
(--)
Tidak cukup
berpartisipasi
(-)
Tidak cukup
berpartisipasi
(-)
Sangat cukup
berpartissipas
i (+)
5. Efisiensi Operasional
Pendidikan Sangat tidak
efisien (--)
Sangat tidak
efisien (--)
Cukup efisien
(+)
Sangat cukup
efisien (++)
6. Kemudahan Operasional
Pendidikan
Sangat tidak
mudah (--)
Sangat tidak
mudah (--) Mudah dalam
operasional
(+)
Sangat mudah
dalam
operasional
(++)
Total Manfaat + = 2
- = 9
Final: -7
+ = 0
- = 9
Final: -9
+ = 4
- = 3
Final: 1
+ = 11
- = 0
Final: 11
Kesimpulan (rank) 3 4 2 1
Keterangan:
(++) sangat cukup,
(+) cukup,
(--) sangat tidak,
(-) tidak
Positif/+ = menambah manfaat
Negatif/- = mengurangi manfaat
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017
144
Berdasarkan tabel 1 di atas diketahui
yang paling memberi manfaat dalam mengelola
pendidikan menengah adalah model tugas
pembantuan yaitu memiliki nilai positif 11
dengan nilai negatif 0. Sementara itu alternatif
membuka UPP disetiap wilayah eks
karesidenan memiliki nilai positif 4 dan
memiliki nilai negatif 3. Alternatif membuka
kantor hanya di kantor provinsi saja dan
membuka kantor di setiap kabupaten atau kota
sama-sama memiliki nilai negatif 9. Maka jelas
sekali bahwa model pengelolaan pendidikan
menengah yang disarankan adalah model tugas
pembantuan.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Harapan Pengalihan Pengelolaan
Pendidikan Menengah. Setelah pengelolaan
pendidikan menengah dialihkan dari
pemerintah kabupaten atau kota ke pemerintah
provinsi banyak harapan yang muncul dari para
pemangku kepentingan pendidikan. Harapan
tersebut antara lain agar dapat meningkatkan
mutu pendidikan, akses dan pemerataan
pendidikan, peningkatan kesejahteraan dan
profesionalisme pendidik dan tenaga
kependidikan.
Para guru PNS yang bertugas di satuan
pendidikan menengah akan lebih sejahtera
karena selain mendapatkan gaji rutin mereka
juga akan mendapatkan Tambahan Penghasilan
Pegawai (TPP). Bagi guru yang sudah memiliki
sertifikat pendidik, mereka juga akan
mendapatkan tunjangan profesi guru (TPG).
Artinya guru PNS akan semakin sejahtera.
Tantangan Pengelolaan Pendidikan
Menengah. Beberapa tantangan yang muncul
terutama dari pemerintah kabupaten atau kota
yang memiliki kemampuan untuk pendanaan
pendidikan dari APBD kabupaten atau kota.
Tantangan itu muncul karena adanya
kekhawatiran pengelolaan pendidikan
menengah di tingkat provinsi
akan mengabaikan kesejahteraan guru non PNS
dan menghilangkan pendidikan gratis hingga
tingkat pendidikan menengah.
Tantangan tersebut didasarkan pada
kenyataan bahwa kemampuan pemerintah
provinsi untuk membiayai pendidikan
menengah dipandang kurang. Padahal jumlah
siswa SMA dan SMK cukup besar yang selama
ini didistribusikan di tingkat kabupaten atau
kota. Jika ini terjadi maka cita-cita untuk
meningkatkan akses pendidikan menengah
yang di Jawa Tengah baru mencapai 70% akan
gagal dicapai.
Model Pengelolaan Pendidikan
Menengah. Model yang paling efektif adalah
model tugas pembantuan seperti yang
disarankan oleh Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan. Diikuti secara berturut-turut
model manajemen dengan membentuk kantor
di setiap wilayah eks karesidenan, model
manajemen dikelola secara sentralistis di kantor
Dinas Pendidikan di Provinsi Jawa Tengah, dan
terakhir adalah model manajemen dengan
membentuk kantor Dinas Pendidikan dan
Kebudayaan di setiap kabupaten atau kota
hanya untuk mengurus pendidikan menengah.
Saran
Hingga saat ini belum ada peraturan yang
jelas bagaimana bentuk kerjasama antara
pemerintah kabupaten atau kota dengan
pemerintah provinsi untuk secara bersama-
sama mendanai pendidikan. Oleh karena itu
yang paling mendesak saat ini adalah agar
Pemerintah segera membuat peraturan
pemerintah terutama terkait pengalokasian
anggaran pendidikan di kabupaten atau kota
untuk mendanai pendidikan menengah yang
sudah bukan kewenangannya.
Di tingkat pemerintah daerah provinsi
juga segera dibuat kebijakan pendidikan apakah
dalam bentuk Peraturan Daerah atau Peraturan
Gubernur. Kebijakan tersebut mencakup
delapan standar nasional pendidikan jenjang
pendidikan menengah. Dengan demikian para
penyelenggara pendidikan baik di tingkat
satuan pendidikan, dinas pendidikan dan
kebudayaan kabupaten, dan dinas pendidikan
dan kebudayaan provinsi bisa menjalankan
tugas dan tanggung jawab ini dengan baik.
Pemerintah Provinsi Jawa Tengah saat ini
telah memilih alternatif membentuk UPP di
Teknik Pengambilan Keputusan Dalam Menentukan Model Manajemen … | Muhdi, dkk.
145
setiap wilayah eks karesidenan di Jawa Tengah.
Alternatif ini perlu diuji coba efektivitasnya
selama 1-3 tahun ke depan. Apabila dalam
pelaksanaan ini mengalami berbagai kendala,
maka alternatif yang disarankan adalah
membentuk tugas pembantuan antara
pemerintah provinsi dan kabupaten atau kota.
Karena berdasarkan pembahasan di atas, tugas
pembantuan adalah yang paling efektif diantara
model yang lain karena memiliki nilai positif
yang paling besar.
DAFTAR PUSTAKA
Aulia, Sitta. 2012. Desentralisasi Kebijakan
Pendidikan (Studi Tentang Pelaksanaan
Wajib Belajar 12 Tahun Di Kota
Surabaya Pada Tingkat Pendidikan
Menengah dan Kejuruan). Jurnal Politik
Muda. 2 (1), 204-216.
Drummond, H., 1993. Effective Decision
Making: A Practical Guide for
Management. London: Kogan Page
Limited.
Harrison, E.F., 1992, The Managerial
Decision-Making Process. Boston:
Houghton Miffin Company.
Hoy, W.K dan Miskel, C.G. 2014. Administrasi
Pendidikan: Teori, Riset, dan Praktik.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
(terjemahan).
Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor
061/2911/SJ Tahun 2016 tentang Tindak
Lanjut Peraturan Pemerintah Nomor 18
Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah.
Lestari, D. A. dan Susena, E., 2014. Analisis
Pendidikan Gratis Di SMA – SMK Di
Surakarta Menuju Pendidikan Indonesia
Yang Berkeadilan. Jurnal Sainstech
Politeknik Indonusa Surakarta. 1 (2), 1-
9.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 18 Tahun 2016 tentang
Perangkat Daerah.
Sumardjoko, B dan Prasetyo, A. 2016.
Pengembangan Profesionalisme Guru
SMA, MA, dan SMK Muhammadiyah
Sukoharjo Jawa Tengah. Varia
Pendidikan. 28 (1), 77-89.
Surat Edaran Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Nomor 6 Tahun 2016
tentang Pedoman Organisasi Perangkat
Daerah Bidang Pendidi-kan Dan
Kebudayaan.
Suwandi, 2016. Analisis Studi Kebijakan
Pengelolaan Guru SMK Dalam Rangka
Peningkatan Mutu Pendidi-kan, Jurnal
Ilmiah Pendidikan Teknologi dan
Kejuruan . 23 (1), 90-100.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah.
Magister Manajemen Pendidikan FKIP Universitas Kristen Satya Wacana [email protected]
e-ISSN 2549-9661 Volume: 4, No. 2, Juli-Desember 2017
Halaman: 146-160
146
Pengembangan Model Kemitraan Sekolah Dengan Orang Tua Melalui Media
Sosial Dalam Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah
di Sekolah Menengah Swasta
Mutia Ayu Krismanda
Magister Manajemen Pendidikan
Universitas Kristen Satya Wacana
Bambang Ismanto
Magister Manajemen Pendidikan
Universitas Kristen Satya Wacana
Ade Iriani
Magister Manajemen Pendidikan
Universitas Kristen Satya Wacana
ABSTRACT
The purpose of this research is to analyze the factual model of school partnership
with parents through social media in school-based quality improvement management in
SMA Kristen 1 Salatiga and result in the development of school partnership model with
parents through social media in school-based quality improvement management in
private high schools. It is Research and Development (R & D) research. Data collection
techniques used interviews and documentation studies. The development phase is done
through (1) Potential and Problem, (2) Data Collection, (3) Product Design, (4) Design
Validation, and (5) Design Repair. The results showed that SMA Kristen 1 Salatiga had
run the family education program quite well. Several activities in the family education
program at the school has been implemented before the schools get funding from the
government partnership program. Schools have also begun to seek the use of social media
as a means of strengthening communication with parents and other stakeholders, but
nevertheless in its development in the field of management has not been maximized. The
researchers also found no model formulated by the school associated with this family
education program because the new school programmed the partnership into a family
education program within one year. The product of this research is a school partnership
model with parents through social media at a private high school equipped with guides
for the implementing parties.
Keywords: Research and Development (R&D), Model, School and Parents Partnership,
Social Media
Article Info
Received date: 30 Mei 2017 Revised date: 14 Juni 2017 Accepted date: 2 Juli 2017
Pengembangan Model Kemitraan Sekolah Dengan Orang Tua Melalui … | Mutia Ayu Krismanda, dkk.
147
PENDAHULUAN
Demi tercapainya peningkatan mutu yang
diharapkan, sekolah perlu memahami dan
melaksanakan prinsip dan karakteristik MBS
atau yang kini disebut dengan Manajemen
Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah
(MPMBS). Hal ini seperti yang telah diatur oleh
pemerintah dalam Undang-Undang No. 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional Pasal 51 ayat 1 yang menyatakan
bahwa pengelolaan satuan pendidikan anak usia
dini, pendidikan dasar, dan pendidikan
menengah dilaksanakan berdasarkan standar
pelayanan minimal dengan prinsip manajemen
berbasis sekolah/ madrasah. Manajemen
Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah dapat
disimpulkan sebagai sistem pengelolaan
persekolahan yang mengacu pada manajemen
sumber daya secara mandiri untuk
meningkatkan mutu sekolah dengan
memberikan kewenangan dan kekuasaan
kepada sekolah yang melibatkan partisipasi
masyarakat, warga sekolah dan orang tua secara
langsung pada proses pengambilan keputusan.
Pengelolaan sekolah juga hendaknya
disesuaikan dengan potensi, tuntutan dan
kebutuhan sekolah yang bersangkutan dan
ditetapkan oleh masing-masing sekolah sesuai
dengan tujuan dan strateginya, sehingga dapat
mengarahkan organisasi sekolah kedepan
(Slameto, 2015: 13; Daryanto, 2013: 176;
Mulyasa, 2012: 177). MPMBS ini bertujuan
memandirikan dan memberdayakan sekolah
melalui pemberian kewenangan (otonomi)
terhadap sekolah dalam mengelola sumber daya
yang dimiliki secara efektif dan efisien, serta
mendorong sekolah untuk melakukan
pengambilan keputusan yang tepat secara
partisipatif, transparan, dan akuntabel dalam
mencapai tujuan yang telah ditetapkan
(Syaifudin, 2013; Mulyasa, 2012:179).
Salah satu dari ketiga pilar MBS yaitu
peran serta masyarakat. Dapat disimpulkan dari
pernyataan Slameto
(2015) dan Mulyasa (2012) bahwa penerapan
MPMBS khususnya dalam meningkatkan
partisipasi orang tua dan masyarakat, maka
sekolah dapat melakukan hal-hal yang
berkaitan sebagai berikut: (1) Penggunaan
sumber daya pendidikan lebih efisien dan
efektif bilamana dikontrol oleh masyarakat
setempat dengan mengembangkan norma
kebersamaan dan kerjasama dengan kegiatan
belajar dan perencanaan bersama; (2)
Keterlibatan semua warga sekolah dan
masyarakat dalam pengelolan sekolah
khusunya pengambilan keputusan sekolah
menciptakan transparansi dan demokrasi yang
sehat, salah caranya dengan memberikan
kepada “dewan sekolah” sebagai badan
pembuat keputusan bukan sekedar penasehat;
(3) Sekolah dapat bertanggung jawab tentang
mutu pendidikan masing-masing kepada
pemerintah, orang tua peserta didik, dan
masyarakat pada umumnya, sehingga dia akan
berupaya semaksimal mungkin untuk
melaksanakan dan mencapai sasaran mutu
pendidikan yang telah direncanakan, hal ini
berarti tidak hanya melaksanakan MBS dengan
mengimplikasikan peningkatan peluang wakil
orang tua murid dan masyarakat untuk
memberikan masukan dalam pegambilan
keputusan disekolah, melainkan juga
meyediakan pelatihan untuk menolong mereka
agar lebih mampu menjadi partisipan dalam
upaya perencanaan maupun pengambilan
keputusan; (4) Sekolah dapat secara cepat
merespon aspirasi masyarakat dan lingkungan
yang berubah dengan cepat.
Peran serta masyarakat dalam satuan
pendidikan diwadahi melalui komite sekolah.
Komite sekolah meliputi orang tua dan
stakeholder lainnya. Secara normatif Komite
Sekolah semestinya menjalankan empat
fungsinya yaitu fungsi sebagai pemberi
pertimbangan dalam pengambilan keputusan,
fungsi kontrol dan akuntabilitas publik, fungsi
pendukung, serta fungsi mediator antara
sekolah dengan masyarakat yang diwakilinya
(Rodliyah, 2013: 43). Namun dari beberapa
penelitian (Armansayah, 2009, Gelgel, 2005,
Junaedi, 2011, Larasati, 2009, Mulyono, 2014)
pada kenyataanya masih banyak ditemukan
komite sekolah yang belum maksimal
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017
148
menjalankan fungsi dan perannya. Sehingga
saat ini mulai bermunculan kembali pola-pola
partisipasi sekolah yang langsung kepada orang
tua yang dianggap sebagai bagian dari
masyarakat. Pola partisipasi sekolah dan orang
tua inilah yang diangkat menjadi topik
penelitian ini.
Partisipasi atau keterlibatan orang tua
dalam satuan pendidikan tidak hanya
dibutuhkan pada tingkat taman kanak-kanan
atau sekolah dasar saja namun di tingkat
sekolah menengah pula. Dalam usia 11-17
tahun, anak-anak justru sedang berada pada
masa puberitas, transisi dan pengembangan
kemampuan berpikir abstrak. Pada usia
tersebut, anak-anak juga dianggap sebagai anak
pada usia yang tingkat kerawanannya tinggi.
Mereka dapat mudah terpengaruh dengan
narkoba, tawuran, putus sekolah dan kejahatan
lain serta mengalami gangguan psikologi.
Dalam masa seperti ini dukungan dari orang tua
sangat dibutuhkan untuk menghindari hal-hal
tersebut. Kemitraan sekolah dengan orang tua
pada tingkat sekolah menengah memang
memiliki perbedaan dengan tingkat sekolah
dasar. Dalam tingkat sekolah menengah, anak
lebih membutuhkan hubungan yang
mengutamakan kepedulian dan kepercayaan
terhadap anak. Para siswa sekolah menengah
memerlukan kesempatan untuk membentuk
identitas diri mereka masing-masing,
mengekspresikan diri dan terlibat dalam
pengalaman yang memiliki tantangan yang
dapat mengembangkan kemapuan dan harga
diri mereka. Mereka menginginkan otonomi,
kebebasan dan waktu dengan teman sebaya
namun disaat yang sama mereka juga
membutuhkan orang tua atau orang dewasa
yang dapat diandalkan. (Havard Family
Research Project, 2007: 1).
Model partisipasi orang tua di sekolah
merupakan konsep yang multidimensional.
Bahkan sering juga digunakan istilah-istilah
lain dan tidak seragam seperti: parent
participation, parent involvement, home-school
connection, home-school participation atau
family-school relationships (Greenfield 2003:
2). Maka dalam memahami model partisipasi
orang tua di sekolah diperlukan pemahaman
beberapa model yang telah terdefinisikan.
Havard Family Research Project (2002:
1-2) mengembangkan empat model partisipasi
orang tua seperti berikut ini. 1) Model
Parenting Practice: keyakinan, sikap dan
kegiatan-kegiatan orang tua untuk mendukung
anaknya belajar baik disekolah maupun
dirumah. 2) Model School-Family Partnership:
didasarkan ide bahwa keluarga dan sekolah
merupakan lingkungan yang mempengaruhi
belajar anak, walau begitu sekolah mempunyai
tanggung jawab utama untuk menjangkau
orang tua dan masyarakat, maka perlu
dikembangkan kemitraan antar pihak. 3) Model
Democratic Participation: partisispiasi orang
tua dapat berarti sebagai partisipasi dalam
kelembagaan masyarakat. Orang tua dan
masyarakat adalah pihak yang memiliki
kekuatan sebagai agen pembaruan sosial dapat
berperan serta secara efektif dalam reformasi
sekolah (MBS) baik secara konfrontatif
maupun kolaboratif. 4) Model School Choice:
partisipasi orang tua terkait dengan pilihan
sekolah, sekolah manayang dipilih orang tua
untuk anaknya. Pemilihan sekolah dan
program-programnya sesuai prinsip pasar itu
menentukan partisipasi orang tua anak.
Menyadari pentingnya pola partisipasi
orang tua di sekolah, Direktorat Jenderal
Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan
Masyarakat juga membentuk program
Kemitraan Sekolah dengan Keluarga dan
Masyarakat. Salah satu sekolah yang ditunjuk
sebagai sekolah percontohan program tersebut
adalah SMA Kristen 1 Salatiga. Berdasarkan
studi pendahuluan di SMA Kristen 1 Salatiga
yang mengadakan program Pendidikan
Keluarga, maka peneliti melihat pentingnya
program kemitraan sekolah yang mendorong
orang tua dalam keterlibatannya pada
pendidikan seluruh peserta didik. Partisipasi
atau keterlibatan orang tua dalam satuan
pendidikan tidak hanya dibutuhkan pada
tingkat taman kanak-kanan atau sekolah dasar
saja namun di tingkat sekolah menengah pula.
Pengembangan Model Kemitraan Sekolah Dengan Orang Tua Melalui … | Mutia Ayu Krismanda, dkk.
149
Hasil studi pendahuluan menunjukan
bahwa SMA Kristen 1 Salatiga telah dirasa
cukup mampu untuk mengembangkan program
sekolah berbasis kemitraan. Meskipun sudah
diadakan beberapa program kemitraan dengan
keluarga yang sudah dirasakan manfaatnya,
namun program ini masih perlu dikembangkan
lagi. Beberapa masalah anak yang saat ini harus
segera ditangani oleh sekolah yaitu meliputi
pengawasan dan pengenndalian anak dalam
menggunakan gadget dan media sosial serta
kedekatan anak dengan orang tua sehingga
menimbulkan catatan buruk bagi prestasi anak
dan kedisiplinanya disekolah. Jika hal ini tidak
segera mendapatkan solusinya maka akan
berdampak pada prestasi siswa dan menurun-
nya mutu sekolah. Oleh karena itu, sekolah
harus terus meningkatkan kerjasama dengan
orang tua atau wali murid untuk mengatasi
masalah tersebut.
Dalam mewujudkan program pendidikan
keluarga sekolah juga telah berupaya menjalin
komunikasi dengan orang tua atau wali murid
lebih intens lagi melalui website sekolah, akun
facebook, pesan singkat, whatsapp (WA), BBM
(Blackberry Massenger) dan email sebagai
sarana komunikasi di era digital ini.
Penggunaan media sosial dianggap sebagai
inovasi yang positif dalam suatu program
kemitraan. Mazza (2013) melihat beberapa
fungsi media sosial disekolah-sekolah yang
sudah menggunakannya. Fungsi media sosial
dalam memperkuat kemitraan sekolah dengan
keluarga dan masyarakan serta pemangku
kepentingan lainnya diantaranya yaitu: (1)
Menginformasikan orang tua mengenai
kegiatan sekolah yang up to date; (2)
Memberikan kesempatan komunitas untuk
mengenal para pendidik dan tenaga pendidik
sekolah; (3) Mendorong partisipasi global; (4)
Membangun kepercayaan; (5) Mendukung
dana bagi kegiatan sekolah; (6) Berbagi fakta
mengenai pencapaian atau prestasi siswa,
pendidik atau tenaga kependidikan; (7)
Menggungah pengingat hal-hal penting seperti
rapat pertemuan atau kegiatan sekolah pada
keluarga; (8) Berbagi sumber bacaan atau
artikel yang dapat mendukung atau mendorong
pedidikan dirumah; (9) Menunjukan
penghargaan kepada pemangku kepentingan;
(10) Berbagi informasi untuk kegiatan atau
peristiwa masa lalu, sekarang dan yang akan
datang. Selain itu studi Cox (2012) juga telah
menemukan hasil positif dari penggunaan
media sosial di sekolah menggunakan empat
tema besar. Keempat tema besar itu meliputi
interaksi, hubungan, dampak dan harapan.
Berdasarkan tema tersebut dihasilkan bahwa
pertama, alat komunikasi media sosial
memungkinkan interaksi yang lebih luas antara
adminstrasi sekolah dan para pemangku
kepentingan, kedua alat komunikasi media
sosial memberikan hubungan yang lebih kuat
kepada peran pemangku kepentingan lokal,
memberikan jaringan rekan kerja sesama
pendidik pada dunia yang lebih luas, ketiga
penggunaan media sosial dapat memiliki
dampak signifikan dalam perkembangan ke-
profesionalan administrator sekolah, dan yang
terakhir penggunaan media sosial adalah
sebuah harapan yang berarti bukan hanya
sekedar sebuah pilihan. Dalam hal ini
penggunaan media sosial merupakan harapan
akan penguatan kemitraan yang lebih baik.
Melihat hal tersebut penggunaan media sosial
dalam pengembangannya di bidang manajemen
pada program kemitraan di SMA Kristen 1
Salatiga saat itu dirasa belum maksimal.
Permasalahan lain yang ditemukan dalam
penelitian ini adalah belum adanya model yang
dibuat sekolah terkait dengan program
pendidikan keluarga ini karena sekolah baru
memprogramkan kegiatan kemitraan menjadi
program pendidikan keluarga dalam satu tahun
ini. Hasil penelitian ini diharapkan dapat
menjadi saran-saran perbaikan dan
pengembangan model kemitraan sekolah
dengan orang tua melalui media sosial untuk
mewujudkan program pendidikan keluarga
dalam rangka meningkatkan mutu sekolah yang
dapat menjadi contoh bagi sekolah lainnya
juga, khususnya sekolah menengah swasta.
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017
150
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian dan
pengembangan atau Research and
Development (R & D) dengan menggunakan
langkah-langkah dari Sugiyono yang
dilaksanakan dengan tujuan untuk menyusun
pengembangan model kemitraan sekolah
dengan orang tua melalui media sosial dalam
manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah
di sekolah menengah swasta. Namun dalam
penelitian dan pengembangan ini hanya
dibatasi sampai pada tahap kelima dari langkah-
langkah pengembangan Sugiyono tersebut,
yaitu : 1) potensi dan masalah; 2) pengumpulan
data; 3) desain produk; 4) validasi desain; 5)
revisi desain. Hal ini dilakukan sampai
menghasilkan produk saja yang berupa model
kemitraan sekolah dengan orang tua melalui
media sosial.
Penelitian ini dilakukan di SMA Kristen
1 Salatiga dengan sumber data yang terdiri dari
stakeholder yang saling terkait dengan
penyelenggaran dan pengelolaan program
kemitraan keluarga di SMA Kristen 1 Salatiga
yaitu: (1) Kepala Sekolah; (2) Ketua program
pendidikan
keluarga Keluarga (Wakasek Humas); (3)
Koordinator Program Kemitraan (Guru BK);
(4) Sekretaris program pendidikan keluarga
(Pengelola sistem informasi sekolah). Teknik
Pengumpulan data yang digunakan adalah
melalui wawancara, studi dokumentasi dan
FGD. Metode analisis data yang digunakan
dalam penelitian ini yaitu analisis SWOT dan
MAS. Tahap yang digunakan adalah
menggunakan analisis matrik IFAS (Internal
Factors Analysis Summary), dan analisis matrik
EFAS (External Factors Analysis Summary)
berdasarkan analisis matrik SWOT (Strengths,
Weaknesses, Opportunities and Threats).
Selain itu hasil dari analisis SWOT
dimodifikasi dengan MAS (Modify, Add, Size),
hal ini dimaksudkan agar hasil dari penelitian
ini dapat menjadi suatu ide baru bagi sekolah
yang tentunya disesuaikan oleh kondisi
sekolah.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Secara aktif SMA Kristen 1 Salatiga telah
memprakarsai beberapa program sesuai analisis
kebutuhan yang dilakukan sekolah. Beberapa
kegiatan dalam program pendidikan keluarga
sesungguhnya telah mulai dilaksanakan SMA
Kristen 1 Salatiga sebelum pemerintah
mencanangkan program tersebut menjadi
program resmi. Program pendidikan keluarga
yang dilaksanakan oleh sekolah saat ini terdiri
dari 2 bagian yaitu program penguatan
kemitraan keluarga dan program penguatan
ekosistem pendidikan. Namun dalam penelitian
ini fokus pengembangan model dibatasi hanya
pada pengembangan program penguatan
kemitraan keluarga. Kemitraan sekolah tersebut
dilakukan dengan para orang tua, alumni yang
sebagian besar juga merupakan alumni sekolah
serta kemitraan dengan universitas lain
disekitar sekolah.
Berdasarkan hasil studi pendahulan
dengan teknik wawancara dan studi
dokumentasi saat survey lapangan maka
dirumuskanlah model faktual kemitraan yang
menjadi acuan dalam pengembangan model
kemitraan sekolah dengan orang tua melalui
media sosial. Model faktual ini meliputi
perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaaan
dan evaluasi program kemitraan sekolah
dengan orang tua. Model faktual kemitraan
sekolah dengan orang tua di SMA Kristen 1
Salatiga dapat dirangkum seperti bagan model
faktual kemitraan sekolah dengan orang tua di
SMA Kristen 1 Salatiga sebagai berikut:
Pengembangan Model Kemitraan Sekolah Dengan Orang Tua Melalui … | Mutia Ayu Krismanda, dkk.
151
Gambar 1
Model Faktual Kemitraan Sekolah dengan Orang di SMA Kristen 1 Salatiga
Hasil evaluasi formatif juga digunakan
sebagai data menganalisis kebutuhan model.
Analisis kebutuhan model yang digunakan
dalam penelitian ini adalah SWOT dan MAS
yang dipaparkan sebagai berikut:
Tabel 1
Hasil Analisis Faktor Kekuatan dan Kelemahan Matrik IFAS
(Internal Factors Analysis Summary)
No Faktor-faktor Internal
Bobot Skor Total Bobot x
Skor Kekuatan (Strength)
1 Teamwork yang solid 0,07 4 0,28
2 Komitmen dari warga sekolah untuk mewujudkan program. 0,07 4 0,28
3 Kemampuan sumber daya manusia yang cukup baik dan
kreatif dalam mengembangkan program. 0,1 4 0,4
4 Sekolah juga mengadakan penguatan ekosistem untuk
meningkatkan kinerja sekolah. 0,06 4 0,24
5 Sekolah memiliki moto custumor staisfication. 0,06 3 0,18
6 Pemimpin yang humanis. 0,07 3 0,21
7 Pemimpin yang cukup aktif menjalin hubungan kerjasama
dengan pihak masyarakat. 0,09 4 0,32
8
Sekolah telah memiliki kesadaran untuk melaksanakan
beberapa kegiatan dalam program pendidikan keluarga
sebelum mendapatkan bantuan pemerintah.
0,07 4 0,28
9 Sekolah telah mengikuti pembinaan dan bimbingan teknis
penyelenggaraan pendidikan keluarga dari dinas pendidikan. 0,06 3 0,18
Action Plan dan
Penyusunan RKAS
Tujuan Program
Penyusunan Tim
Program Pendidikan
Keluarga
Tim
Penguatan
Kemitraan
Tim
Penguatan
Ekosistem
Program penguatan
kemitraan sekolah
dengan keluarga
dan masyarakat
1. Orangtua
- “Tea Time”
Penyambutan hari
pertama
- Sosialisasi program
- Sarasehan dan
sambung rasa
- Parenting day
- Kelas Inspirasi
- Pelibatan sebagai
Pembina upacara
- Expo pendidikan
- Forum komuniksi-
paguyuban orang tua
(wa/bbm)
2. Alumni
- Career Day
3. Masyarakat lain
- Expo pendidikan
(kerjasama dengan
universitas-
universitas)
- Ektrakurikuler
Koordinasi Kepala
Sekolah dan Tim
Program Pendidikan
Keluarga
Program
Pendidikan
Keluarga
Program penguatan
ekosistem
pendidikan
1. Guru dan Karyawan
- Pelatihan dan motivasi
- Pelatihan pola
pendampingan
- Pengadaan ruang tamu/
ruang tunggu keluarga
1. Evaluasi diri dari
pihak sekolah
2. Evaluasi dari Dinas
Pendidikan dan
Pengawas
Media Sosial
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017
152
No Faktor-faktor Internal
Bobot Skor Total Bobot x
Skor Kekuatan (Strength)
10 Sekolah telah menganggarkan untuk penyelenggaran
program pendidikan keluarga melalui RKAS. 0,09 4 0,32
11
Sekolah memiliki program unggulan lainnya yang dapat
mendukung kegiatan-kegiatan dan pendanaan pada program
kemitraan sekolah.
0,08
3
0,24
12 Sekolah telah memiliki tim pengelola sistem informasi
manajemen. 0,05 4 0,20
13 Daya dukung sarana prasarana yang cukup memadai. 0.06 3 0,18
14 Menggunakan media sosial untuk menjalin komunikasi
dengan stakeholder. 0.07 4 0,28
Total Skor 1 3,59
Kelemahan (Weaknesses)
1 Waktu pelaksanaan kegiatan program yang melibatkan orang
tua terbatas karena mayoritas orang tua bekerja. 0,14 1 0,14
2 Waktu pelaksanaan kegiatan program kadang bersamaan
dengan kegiatan program lain. 0,13 2 0,26
3 Banyaknya program sekolah dapat mengurangi jam pelajaran
siswa. 0,13 1 0.13
4 Beberapa media komunikasi tersedia yang masih kurang
accessible. 0,12 2 0,24
5 Masih ada beberapa media komunikasi sekolah yang masih
kurang maksimal penggunaanya misalnya web dan blog. 0,13 2 0,26
6 Sekolah masih kurang melibatkan orang tua dalam proses
pembelajaran anak di bidang akademik. 0,12 1 0,12
7
Beberapa guru masih kurang memiliki motivasi untuk
menggunakan dan mengembangkan media pembelajaran
seperti Edmodo dan blog.
0,12 2 0,24
8 Kegiatan kolaborasi anak dan orang tua dalam bidang
akademik dan non akademik masih kurang. 0,11 1 0,11
Total Skor 1 1,5
Total SkorAkhir (Kekuatan – Kelemahan)
2.09
Dari data pada tabel diatas dapat
disimpulkan bahwa total bobot dikalikan skor
pada faktor kekuatan adalah 3,59 sedangkan
total bobot dikalikan skor pada faktor
kelemahan adalah 1,5 sehingga skor akhir IFAS
yaitu faktor kekuatan dikurangi faktor
kelemahan adalah 2,09. Hal ini menunjukkan
bahwa faktor kekuatan adalah faktor yang lebih
dominan dibandingkan dengan faktor
kelemahan. Oleh karena itu sekolah dapat
mengoptimalkan kekuatan yang dominan yang
dimiliki untuk mengatasi kelemahan-
kelemahan yang ada.
Tabel 2
Hasil Analisis Faktor Peluang dan Ancaman Matrik EFAS
(External Factors Analysis Summary)
No Faktor-faktor Eksternal
Bobot Skor Total Bobot x
Skor Peluang (Opportunity)
1 Sekolah telah dipilih menjadi salah satu sekolah percontohan
program pendidikan keluarga. 0,13 3 0,39
2
Dukungan dana dari pemerintah berupa bantuan dana program
Kemitraan Sekolah dengan Keluarga dan Msayarakat serta
monitoring.
0,17 3 0,51
Pengembangan Model Kemitraan Sekolah Dengan Orang Tua Melalui … | Mutia Ayu Krismanda, dkk.
153
No Faktor-faktor Eksternal
Bobot Skor Total Bobot x
Skor Peluang (Opportunity)
3 Mendapatkan dukungan dari beberapa alumni yang cukup
berpotensi. 0,14 4 0,56
4 Kepercayaan masyarakat masih cukup tinggi. 0,14 4 0,56
5 Mendapat dukungan orang tua baik dari dana maupun fasilitas. 0,15 4 0,6
6 Beberapa komite bersedia terjun langsung membantu dan
mendukung kegiatan atau program sekolah. 0,12 3 0,36
7 Sudah terbentuknya paguyuban orang tua wali murid 0,15 4 0,6
Total Skor 1 3,58
Ancaman (Threat)
1 Sebagian orang tua yang masih berprinsip “pasrah bongkoan” 0,23 1 0,23
2 Belum ada rapat rutin komite karena terhalang oleh kesibukan
masing-masing komite. 0,18 2 0,36
3 Kesibukan orang tua sehingga sulit menemukan waktu yang tepat
untuk mengadakan pertemuan bersama. 0,25 1 0,25
4 Pengetahuan media komunikasipada orang tua yang masih perlu
ditingkatkan 0,18 2 0,36
5 Beberapa orang tua yang masih berada di kalangan ekonomi
menengah kebawah. 0,16 3 0,48
Total Skor 1 1,68
Total SkorAkhir (Peluang – Ancaman)
2,9
Dari data pada tabel diatas dapat
disimpulkan bahwa total bobot dikalikan skor
pada faktor peluang adalah 3,58 sedangkan
total bobot dikalikan skor pada faktor ancaman
adalah 1,68 sehingga skor akhir EFAS yaitu
faktor peluang dikurangi faktor ancaman adalah
2,9. Dari hasil analisis faktor eksternal tersebut
diketahui bahwa sekolah memiliki beberapa
peluang yang dapat dimanfaatkan untuk
memberikan kontribusi dalam meningkatkan
kemitraan sekolah dengan orangtua dan
masyarakat.
Berdasarkan hasil analisis SWOT sekolah
tersebut diketahui skor akhir IFAS adalah 2.09
sedangkan skor akhir EFAS adalah 2,9. Hasil
analisis ini menunjukkan bahwa strategi berada
di kuadran SO (strength oportunity) yang
mendukung strategi agresif. Sehingga pihak
sekolah semestinya dapat menggunakan
kekuatan dari lingkungan internal sekolah dan
meraih peluang yang ada pada lingkungan
eksternal untuk kemitraan sekolah dengan
orangtua. Selanjutnya setelah mengetahui hasil
analisis SWOT tersebut dibuatlah strategi-
strategi untuk meningkatkan jalinan kemitraan
sekolah dengan orang tua serta masyarakat dan
meminimalisasi faktor kelemahan dan ancaman
yang dapat menghambat penyelenggraan
program pendidikan keluarga tersebut. Dalam
hal ini peneliti mengkategorikan beberapa
aspek strategi tersebut berdasarkan analisis
MAS yaitu strategi yang meliputi perubahan
(modify), penambahan (add) dan perluasan atau
penyempitan (size). Hasil analisis tersebut
dipaparkan sebagai berikut:
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017
154
Pengembangan dalam aspek pengawasan
yang mengikutsertakan orang tua pada
pembelajaran akademik para siswa dapat
dilakukan melalui blog guru dan Edmodo.
Penggunaan blog guru dapat diisi dengan
summary materi pembelajaran, bahan materi
tambahan, menunjukan project siswa terbaik,
dll. Sedangkan penggunaan media Edmodo
digunakan untuk pemberian tugas-tugas kepada
siswa, diskusi diluar jam pelajaran, berbagi file,
Pengembangan Model Kemitraan Sekolah Dengan Orang Tua Melalui … | Mutia Ayu Krismanda, dkk.
155
membuat game berdasarkan standar
pembelajaran dll. Aplikasi Edmodo ini juga
memberi kesempatan orang tua untuk ikut
bergabung didalamnya sehingga dapat turut
serta mengawasi perkembangan akademik para
siswa bahkan terlibat dalam proses
pembelajaran anak mereka. Dalam hal ini
sekolah mungkin tidak akan meminta orang tua
untuk membantu mengajarkan PR mata
pelajaran tertentu namun lebih kepada berbagi
ide, pendapat dan bahkan pengetahuan kepada
para siswa (Havard Family Research Project,
2007: 4). Contohnya dengan kolaborasi
pembuatan portofolio dengan pertanyaan yag
telah diarahkan oleh guru.
Selain itu, demi memperkuat komunikasi
dan hubungan sekolah dengan orang tua maka
sekolah dapat mengadakan acara Family Fun
Day. Hal ini dapat dilakukan dengan
mengadakan lomba atau kegiatan games antara
orang tua dan para peserta didik yang dibuat
dan dipimpin oleh trainers berpengalaman
sehingga game tersebut memiliki tujuan untuk
mempererat hubungan orang tua dan para
peserta didik terlebih lagi dengan sekolah yang
telah mengadakan acara tersebut dan berperan
sebagai jembatan positif bagi mereka. Sekolah
juga dapat menggunakan program “Three
Contribution for School” sebagai sarana
mengundang orang tua berpartisipasi sebagai
relawan dalam kepanitiaan, acara-acara
sekolah, pembuatan school newsletter, kegiatan
dikelas, atau bahkan kegiatan sekolah yang
dilakukan dirumah dll. (Corolado Springs
School District 11, 2014: 6). Tentunya hal ini
harus didiskusikan dan disepakati oleh orang
tua atau komite sekolah sebagai perwakilan.
Program “School Newletter” merupakan
sarana orang tua untuk dapat mengetahui
sekolah lebih dalam lagi, setiap programnya
baik yang sudah diadakan maupun yang akan
dilaksanakan serta profil sekolah, profil anak
berprestasi dll yang terdapat pada rubrik-rubrik
didalamnya. Dalam penulisan “School
Newletter” ini tidak hanya dilakukan oleh tim
saja atau dari pihak sekolah namun dapat
melibatkan orang tua dan para peserta didik.
Strategi lain yang dapat dilakukan yaitu melalui
kegiatan Night Sharing yang dapat dilakukan
sebagai solusi untuk kehadiran orang tua yang
belum maksimal dalam pertemuan yang
diadakan sekolah kepada orang tua. Kesibukan
orang tua pada pagi hingga sore hari kerap kali
menjadi hambatan dalam mengundang orang
tua dalam pertemuan sekolah dengan orang tua,
sehingga pertemuan tersebut menjadi kurang
menjadi efektif dan efisien. Melalui kegiatan ini
kedua belah pihak dapat berdiskusi jika ada
beberapa hal yang perlu ditingkatkan, dirubah
dan disepakati bersama dalam rangka
mengasuh dan mendidik anak lebih baik lagi
sehingga dapat mencetak lulusan yang unggul
dalam prestasi dan karakter.
Selain memasukan unsur strategi-strategi
yang telah dipaparkan diatas, pengembangan
bentuk model ini mengacu pada model
kemitraan sekolah dengan keluarga dan
masyarakat oleh pemerintah dan dikembangkan
dengan mengadaptasi dari beberapa model
kemitraan yang dianggap mampu
mengakomodasi kekurangan model yang sudah
ada, yaitu mengadaptasi dari model PTA
National Standards for Family-School
Partnership dan model dari Penelitian Family
Involvement in middle and High School’s
Education dari Havard Family Research
Project. Tidak hanya itu, pengembangan model
juga memadukan penggunaan media sosial
dalam usaha peningkatan keefektifan
komunikasi yang terjalin dalam suatu program
kemitraan.
Tujuan model kemitraan sekolah dengan
orang tua melalui media sosial ini adalah
memberikan panduan bagi kepala sekolah,
guru, tenaga kependidikan, komite serta orang
tua untuk secara bersama-sama menciptakan
dan mendukung pelaksanaan program
kemitraan sekolah dengan orang tua dan
mensukseskan pendidikan semua peserta didik.
Sedangkan sasaran model kemitraan ini yaitu;
Pertama, Kepala sekolah, guru, dan tenaga
kependidikan sekolah swasta dalam
melaksanakan kemitraan dengan keluarga dan
masyarakat; Kedua, Orang tua/ wali murid
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017
156
sekolah swasta sebagai mitra kerja dalam
merencanakan, melaksanakan, dan meng-
evaluasi program-program sekolah; Ketiga,
Komite sekolah sekolah swasta sebagai mitra
kerja dalam merencanakan, melaksanakan, dan
mengevaluasi program-program sekolah;
Keempat, Organisasi mitra yang berkaitan
dengan pelaksanaan program kemitraan
sekolah dengan orang tua melalui media sosial;
dan kelima, Dinas Pendidikan kota dan Provinsi
sebagai pembina teknis satuan pendidikan
menengah dan pendidikan khusus. Spesifikasi
model pengembangan kemitraan sekolah dan
orang tua melalui media sosial yaitu: (1)
Definisi dan deskripsi setiap bentuk kemitraan;
(2) Tujuan dan hasil yang diharapkan dalam
setiap bentuk kemitraan (3) Rekomendasi
kegiatan yang dapat dikembangkan pada setiap
bentuk kemitraan; (4) Indikator pada setiap
bentuk kemitraan; (5) Peran pihak sekolah dan
orang tua dalam menjalankan setiap bentuk
kemitraan.
Dalam mengimplementasi model
kemitraan sekolah dengan orang tua melalui
media sosial ini maka pihak-pihak yang terkait
harus memperhatikan setiap bentuk kemitraan
yang sudah dipaparkan dalam model.
Rekomendasi kegiatan yang telah diberikan
dalam model tersebut dapat dipertimbangkan
sesuai dengan tahap keterlaksanaan program
kemitraan sekolah serta situasi dan kondisi
sekolah. Keterlaksanaan setiap indikator yang
sudah dijalankan harus disertai dengan evaluasi
dan supervisi yang rutin sehingga dapat
mencapai keberhasilan yang maksimal. Selain
itu, sekolah yang hendak menggunakan model
kemitraan ini harus senantiasa berusaha
memenuhi beberapa faktor yang
mempengaruhi efektifitas keterlaksanaan
model, seperti persyaratan pokok model, profil
sekolah, peran dan karakter dan monitoring dan
evaluasi. Panduan-panduan yang telah dibuat
diharapkan dapat membantu pihak-pihak
terkait yang akan menjalankan program
kemitraan ini. Model kemitraan sekolah dengan
orang tua melalui media sosial ini diharapkan
penulis dapat membantu sekolah dalam
mengembangkan dan melaksanakan program
kemitraan sekolah dengan orang tua yang
tentunya hal tersebut harus disesuaikan dengan
kondisi sekolah masing-masing. Berikut ini
adalah gambar model kemitraan dan orang tua
melalui media sosial:
Pengembangan Model Kemitraan Sekolah Dengan Orang Tua Melalui … | Mutia Ayu Krismanda, dkk.
157
Pembahasan
Terdapat beberapa penelitian yang
relevan terkait dengan penelitian ini. Penelitian
oleh Mazza (2013) dan Coz (2012) memiliki
kesamaan dengan penelitian ini yaitu sama-
sama mengangkat tema kemitraan melalui
media sosial. Dalam penelitiannya, Mazza
hanya sebatas mendeskripsikan bagaimana
penggunaan media sosial berpengaruh terhadap
komunkasi antara sekolah dan para orang tua
dan Coz mencoba mendeskripsikan,
menganalisa dan mentafsirkan pengelaman
beberapa kepala sekolah dan pengawas dalam
menggunakan beragam alat komunikasi seperti
media sosial untuk berkomunikasi dengan para
pemangku kepentingan sebagai suatu sistem
komunikais yang komprehensif, sedangkan
dalam penelitian ini peneliti tidak hanya
mendeskripsikan dan menganalisa saja namun
mencoba menghasilkan suatu produk yang
berupa model kemitraan sekolah dengan orang
tua yang didalamnya mengandung unsur
penggunaan media sosial sebagai alat penguat
komunikasi dalam kemitraan tersebut.
Penelitian tentang model kemitraan masih
jarang ditemui di Indonesia, namun demikian
peneliti menemukan satu penelitian yang
hampir mirip dengan model kemitraan sekolah
dengan orang tua yaitu model kolaborasi guru,
orang tua dan masyarakat oleh Jamalludin
(2015). Penelitian Jamalludin dan penelitian ini
hampir sama yaitu mencoba membuat model
yang berhubungan dengan kemitraan atau
kolaborasi antara pihak sekolah dengan orang
tua dan masyarakat melalui beberapa tahap,
Jamalludin dengan tahap Borg and Gall
sedangkan penelitian pengembangan ini
menggunakan tahap Sugiyono. Namun terdapat
keistimewaan produk penelitian ini yaitu
dengan menambahkan penggunaan media
sosial sebagai alat komunikasi yang diharapkan
dapat membantu menguatkan komunikasi antar
pihak terkait. Teknik analisis yang digunakan
dalam penelitian ini pun juga hampir sama
seperti teknik analisis yang digunakan dalam
penelitian Rosita (2009) dan Prastawa (2010)
yang juga menggunakan teknik analisis SWOT
untuk melihat potensi kekuatan, kelemahan,
hambatan dan peluang sebelum membuat
strategi-strategi dalam penelitian pe-
ngembangannya, perbedaanya dalam penelitian
ini untuk mendapatkan strategi-strategi dalam
pengembangan model yang dibuat peneliti
tidak hanya menggunakan SWOT namun juga
menggunakan teknik analisis MAS untuk
memaksimalkan hasil pengembangan model.
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017
158
Meskipun memiliki perbedaan, kelima
penelitian yang relevan yang telah dipaparkan
diatas menjadi bahan pertimbangan yang
bermanfaat bagi penulisan penelitian
pengembangan ini.
Keterbatasan pengembangan model
kemitraan sekolah dengan orang tua dalam
penelitian dan pengembangan ini meliputi hal
sebagai berikut: 1) Keterbatasan
pengembangan dibatasi pada studi pendahuluan
di satu lingkup satu sekolah saja. Sekolah
tersebut dipilih karena mayoritas baik pendidik
maupun orang tua atau wali murid peserta didik
telah dianggap cukup mengikuti perkem-
bangan era digital dalam berkomunikasi.
Artinya penggunaan smart phone dan media
sosial cukup populer dikalangan warga sekolah.
2) Dalam menerapkan model kemitraan sekolah
dengan orang tua sebagai hasil dari produk
penelitian ini, satuan pendidikan dan warga
sekolah harus memiliki media sosial yang
prima, artinya media sosial harus dipersiapkan
dengan baik penggunaanya dengan stakeholder
terkait termasuk sosialisasi spesifikasi
penggunaanya dan analisis kebutuhan yang
harus dilakukan sebelum penggunaan, selain itu
dalam penggunaanya juga harus memiliki etika
dalam berkomunikasi menggunakan media
sosial, etika tersebut dapat dibuat dan
disepakati bersama dengan perwakilan
stakeholder terkait, dan tidak kalah penting
penggunaan media sosial juga harus dievaluasi
untuk peningkatan komunikasi yang lebih baik.
3 Penggunaan media sosial hanya sebatas alat
pendukung komunikasi dalam program
kemitraan sekolah dan orang tua, tanpa budaya
berkomunikasi yang baik dari sekolah ke orang
tua maupun sebaliknya penggunaan alat
pendukung ini tidak akan berjalan efektif.
Sekolah adalah pihak pertama yang harus
membangun budaya komunikasi yang baik
dengan orang tua maupun masyarakat, hal
tersebut dapat dilakukan melalui program-
program pertemuan sekolah dan orang tua atau
masyarakat untuk menjalin komunikasi dengan
baik. 4) Penelitian dan pengembangan ini hanya
dibatasi sampai pada tahap uji pakar oleh para
pakar yaitu ahli dibidang Manajemen dan
pengamat program Pendidikan Keluarga.
PENUTUP
Simpulan
Berdasarkan hasil evaluasi formatif
yang telah dilakukan dibuatkah model faktual
kemitraan sekolah dengan orang tua yang
dikemas dalam program pendidikan keluarga di
SMA Kristen 1 Salatiga. Model faktual yang
dirumuskan meliputi dari perencanaan,
pengorganisasian dan pelaksanaan dan
evaluasi. Dalam model faktual tersebut
program dibagi menjadi dua, program
penguatan kemitraan dan program penguatan
ekosistem. Namun penelitan ini fokus pada
pengembangan program penguatan kemitraan.
Program penguatan kemitraan keluarga
merupakan program yang bertujuan untuk
menguatkan jalinan kemitraan antara orang tua
maupun masyarakat. Beberapa media sosial
juga telah digunakan sekolah sebagai media
pendukung dalam memperkuat komunikasi
antara sekolah dengan stakeholder lainnya
termasuk orang tua, namun pengembangan
manajemen penggunaannya dirasa belum
maksimal.
Demi meningkatkan mutu sekolah
melalui peningkatan peran serta masyarakat
pada pengelolaan sekolah yang merupakan
salah satu pilar MBS dibuatlah pengembangan
model kemitraan sekolah dengan orang tua
melalui media sosial. Model yang dihasilkan
terdiri dari pendahuluan, rasional model,
spesifikasi model, bentuk-bentuk kemitraan
dan indikator tiap bentuk, gambar model,
efektifitas model, dan dilengkapi dengan
panduan-panduan pelaksanaan. Produk yang
berupa model kemitraan sekolah dengan orang
tua melalui media sosial yang telah disusun
diharapkan dapat membantu dan memberi
inspirasi bagi sekolah yang hendak atau sedang
menyelenggarakan program kemitraan sekolah
dengan orang tua agar implementasi yang
dilaksanakan sesuai dengan rancangan-
rancangan yang telah dirumuskan.
Pengembangan Model Kemitraan Sekolah Dengan Orang Tua Melalui … | Mutia Ayu Krismanda, dkk.
159
Saran
Bagi sekolah yang menyelenggarakan
program kemitraan sekolah dengan orang tua
agar peng-implementasian model program
kemitraan sekolah dengan orang tua melalui
media sosial berjalan dengan efektif, maka
disarankan:
1) Penyelenggaraan dapat mencakup semua
bentuk kemitraan yang sudah
dikembangkan oleh peneliti.
2) Saran yang telah dibuat dalam matrik EFAS
IFAS dalam bentuk MAS agar dapat
dilaksanakan.
3) Kegiatan perlu diakhiri dengan evaluasi
sehingga terlihat ketercapaian pada setiap
bentuk kemitraan sesuai dengan tujuan dan
indikator yang ada.
4) Pihak sekolah dan orang tua/ wali murid
dan masyarakat yang menjalankan program
kemitraan sekolah dan keluarga hendaknya
selalu menjaga berkomitmen terhadap
pelaksanaan kegiatan, pengadaan sarana
dan prasarana serta pendanaan.
Bagi penelitian selanjutnya dapat
dilakukan penelitian pengembangan dengan
topik yang sama namun dengan langkah
pengembangan Sugiyono yang lebih dari tahap
lima atau melanjutkan penelitian ini ke tahap
pengembangan selanjutnya, serta menyertakan
orang tua dan yayasan sekolah sebagai
narasumber wawancara untuk mendapatkan
data yang lebih luas.
DAFTAR PUSTAKA
Armansyah. 2009. Peranan dan Pemberdayaan
Komite Sekolah Dalam Pemberdayaan
Pendidikan SMA Negeri Kota Binjai.
Medan: Universitas Sumatera Utara.
Cox, Daniel Dean. 2012. "School
communications 2.0: A social media
strategy for K-12 principals and
superintendents". Graduate Theses and
Dissertations.Paper 12301.Iowa State
University.
Daryanto, Farid. 2013. Konsep Dasar
Manajemen Pendidikan di Sekolah.
Yogyakarta: Gava Media.
Gelgel, I Nengah. 2005. Evaluasi Kinerja
Komite Sekolah Jenjang Sekolah
Menengah Pertama (SMP) Di Kabupaten
Buleleng Tahun 2005. IKIP Negeri
Singaraja.
Greenfield, D.B. (2003).Parent Involvement
Project. http://www.psy.miami.edu/
faculty/dgreenfield/research/parent_invo
lvement.html.
Havard Family Research Project, 2002. Family
and School Together: Building
Organizational Capacity for Family
School Partnership. Havard: Havard
College.
Havard Family Research Project, 2007. Family
Involvement Makes A Difference:
Evidence That Family Involvement
Promotes School Success For Every
Child of Every Age. Havard: Havard
College.
Jamaluddin. 2015. Model Kolaborasi Guru,
Orangtua Dan Masyarakat di Satuan
Pendidikan Dasar (Studi Pengembangan
Di SD Negeri Inpres 1 Kabupaten Barru
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.
2015. Petunjuk Juknis Penguatan
Kemitraan Keluarga, Satuan Pendidikan,
SMA/ SMK.
Larasati, S.Y. 2009. Peran Komite Sekolah
Dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan
Di SMA Ronggolawe Kota Semarang.
Semarang: Universitas Negeri Semarang.
Mazza, Joseph. 2013. The Use of Social Media
Tools By School Principals To
Communicate Between Home And
School. A Dissertation.United States:
ProQuest LLC
Mulyasa. 2012. Manajemen dan
Kepemimpinan Kepala Sekolah. Jakarta:
Bumi Aksara
Mulyono, W.D. 2014. Peran Komite Sekolah
Dalam Penyelenggaraan Pendidikan
SMK Di Kabupaten Lamongan, Jawa
Timur. Jurnal Pendidikan Vokasi, 4/3,
November 2014. Yogyakarta: UNY
Prastawa.H, dkk. 2010. Pengembangan Hutan
Pinus Masyarakat Berbasis Kemitraan
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017
160
Sebagai Model Pemberdayaan
Masyarakat Sekitar Hutan. Jurnal Teknik
Industri, 11/2, Agustus 2010: 178–183.
Rodliyah. 2013. Partisipasi Masyarakat Dalam
Pengambilan Keputusan dan
Perencanaan di Sekolah. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Rosita, Tita. 2009. Pengembangan Model Pola
Pengasuhan Berbasis Keluarga di Panti
Asuhan Dalam Meningkatkan Kreativitas
Seni Anak (Studi Deskriptif Tentang
Pengasuhan Di Kinderdorf SOS Desa
Taruna Lembang. Bandung: Universitas
Pendidikan Indonesia.
Slameto. 2015. Manajemen Berbasis Sekolah
(MBS). Salatiga: satya Wacana
University Press.
Syaifudin, M. dkk. 2006. Manajemen Berbasis
Sekolah. Jakarta: Dirjen Dikti.
Magister Manajemen Pendidikan FKIP Universitas Kristen Satya Wacana [email protected]
e-ISSN 2549-9661 Volume: 4, No. 2, Juli-Desember 2017
Halaman: 161-170
161
Peningkatan Aktivitas Komunikasi Interpersonal Dalam Organisasi Melalui
Perbaikan Efikasi Diri, Kepemimpinan Dan Kekohesifan Tim
Rais Hidayat
Universitas Pakuan, Bogor, Jawa Barat
ABSTRACT
The purpose of this research is to explain ways to improve communication,
especially interpersonal communication in an organization through self-efficacy,
leadership and team cohesiveness. This research uses quantitative research approach.
Data analysis using path analysis. Research conducted in 2015 at 3 Private Universities
in Bogor. Prior to use, the research instrument was piloted against 30 respondents to
gain validity and reliability. Prior to hypothesis testing, test requirement analysis is tested
linearity and normality test. The research findings are that interpersonal communication
in the organization is positively and significantly influenced by self-efficacy, leadership
behavior, and team cohesiveness. This means that the higher the self-efficacy, leadership
behavior and team cohesiveness, the higher the interpersonal communication activity in
the organization.
Keywords: interpersonal communication, leadership behavior, self-efficacy, team
cohesiveness
Article Info
Received date: 30 Oktober 2017 Revised date: 11 November 2017 Accepted date: 11 November 2017
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017
162
PENDAHULUAN
Peran komunikasi menempati posisi yang
sangat strategis bagi pengelolaan sebuah
organisasi. Baik buruk organisasi tergantung
pada kualitas komunikasinya. Ada istilah yang
sudah dipahami bersama yaitu tidak ada
masalah selama komunikasi masih berjalan
dengan baik. Hal ini sejalan dengan pendapat
George dan Jones (2012: 403) bahwa
komunikasi sangat penting karena komunikasi
dapat memengaruhi segala hal dalam
organisasi.
Komunikasi banyak manfaatnya.
Komunikasi dapat mencegah salah pengertian
(misunderstanding) antara manajer dengan
anak buahnya (Gibson et al., 2006:427). Walau
sekarang komunikasi sudah menggunakan
berbagai cara, namun komunikasi interpersonal
merupakan hal yang terpenting karena
komunikasi interpersonal tidak tergantung pada
teknologinya namun pada kualitas orangnya
(Gibson et al., 2006)).
Newstrom (2007:46) menjelaskan arti
penting komunikasi antara lain untuk
menciptakan koordinasi dan kerjasama semua
elemen yang ada dalam organsasi,
terlaksananya fungsi-fungsi manajemen seperti
perencanaan, pengorganisasian,
kepemimpinan, dan pengontrolan dalam
mencapai tujuan organisasi. George dan Jones
(2012:404) menjelaskan fungsi dan peranan
komunikasi dalam organisasi antara lain untuk
mengpresikan perasaan (expressing feeling),
menyampaikan pengetahuan (providing
knowledge), memotivasi anggota organisasi,
dan mengontol dan mengelola organisasi.
Fungsi utama komunikasi dalam organisasi
yaitu untuk mengontrol, memotivasi,
mengexpresikan emosi (Kelner, 1970:21)
Terdapat beragam istilah komunikasi
dalam organisasi. Newstrom dan Davis
(2002:524) menyebutkan beberapa istilah
antara lain: komunikasi dua arah (two-way
communication), komunikasi dari bawah ke
atas (upward communication), komunikasi
antar budaya (cross-cultural communica-tion),
komunikasi tidak formal (informal
communication), komunikasi elektronik
(electronic communication), komunikasi intim
(intimate communication), komuni-kasi lateral
(lateral communication) dan komunikasi
terbuka (open communication). Schermerhorn
et al. (2010:258) memerinci jenis komunikasi
antara lain komunikasi dari atas ke bawah
(downward communication), komunikasi non-
verbal (non-verbal communication), dan
komunikasi interpersonal (interpersonal
communication).
Sehubungan dengan arti penting
komunikasi dalam organisasi, khususnya
organisasi pendidikan seperti universitas
swasta, maka penelitian ini akan membuktikan
beberapa faktor yang dapat memperbaiki
komunikasi, khususnya komunikasi
interpersonal dalam organisasi. Penelitian ini
mendeskripsikan pengaruh langsung variabel
efikasi diri, perilaku kepemimpinan dan
kekohesifan tim terhadap aktivitas komunikasi
interpersonal dalam organisasi.
Komunikasi Interpersonal. Istilah
interpersonal merujuk pada adanya interaksi
antara dua orang atau lebih dalam organisasi
(Newstrom dan Davis, 2002:4). Ketika terjadi
perilaku interpersonal, maka terdapat 4
orientasi yaitu : (1) saya tidak oke, kamu oke,
(2) saya tidak oke, kamu tidak oke, (3) saya oke,
kamu tidak oke, dan (4) saya oke, kamu oke.
Dari 4 orientasi tersebut, tentu saja yang paling
positif yaitu ketika perilaku interpersonal sama-
sama oke atau sama-sama untung.
Komunikasi interpersonal tidak bisa
dilepaskan dari komunikasi antar dua orang
atau lebih yang didasari oleh saling kenal,
hormat, senang dan nyaman (Nelson dan
Quick, 2006:250), melibatkan sejumlah orang
yang terbatas, yang sudah saling mengenal satu
dengan lainya, terjadi timbal balik dengan
segera dan saling percaya (Slocum dan Don
Hellriegel, 2007:278). Komunikasi
interpersonal yang efektif menurut Nelson dan
Quicks (2006) tergantung pada 5 kunci
komunikasi, yaitu: expresive speaker
(pembicara yang expesif), empathic listeners
(pendengar yang empatik), persuasive leader
(pemimpin yang persuasif), sensitive people
(sensitif pada perasaan lawan bicara), dan
informative managers (manajer yang
informatif).
Griffin dan Moorhead (2007:231)
menyatakan bahwa perilaku komunikasi
interpersonal yang saling menguntungkan
harus didasari oleh saling kenal atau saling
mengetahui (know each other), memiliki rasa
saling hormat (have mutual respect), memiliki
Peningkatan Aktivitas Komunikasi Interpersonal Dalam Organisasi Melalui … | Rais Hidayat
163
rasa memiliki atau afeksi (affection), dan rasa
senang dan nyaman (enjoy interacting with one
another).
Berdasarkan konsep-konsep di atas dapat
disintesiskan bahwa komunikasi interpersonal
adalah aktivitas dalam bertukar informasi dan
makna yang dilakukan dua orang atau lebih atas
dasar sudah saling mengenal, percaya,
menghormati, rasa memiliki dan rasa senang
Efikasi Diri. Efikasi diri merupakan
persepsi pada diri seseorang bahwa dirinya
memiliki kemampuan untuk mencapai tingkat
yang ia inginkan. Efikasi diri dapat
memengaruhi pikiran, motivasi dan perasaan
seseorang. Lussier (2008:83) menyatakan
bahwa efikasi diri merupakan keyakinan pada
diri seseorang akan kemampuan untuk berhasil
melakukan pekerjaan. George dan Jones
(2012:141) menyatakan bahwa efikasi diri
merupakan keyakinan seseorang tentang
kemampuan-nya untuk melakukan suatu
pekerjaan dengan sukses. Menurut Gibson et
al., (2006:161) efikasi diri sebagai kepercayaan
bahwa seseorang dapat berkinerja secara
memadai dalam situasi khusus.
Woolfolk (2007:332) mendefinisikan
efikasi diri sebagai keyakinan untuk mampu
dalam mengerjakan suatu pekerjaan secara
efektif. Newstrom (2007:113) menyatakan
bahwa efikasi diri adalah sebuah kepercayaan
dari dalam individu yang terkait dengan
kemampuan dan kompetensinya dalam
melakukan tugas atau pekerjaan. Mc Shane dan
Von Glinow (2010:45) menyatakan efikasi diri
mengacu pada keyakinan seseorang bahwa dia
dapat melaksanakan tugas dengan sebaik-
baiknya. Efikasi diri memiliki dampak positif
dalam pelaksanaan tugas-tugas. Dampak sese-
orang memiliki efikasi diri antara lain ia akan
sungguh-sungguh dalam mencapai suatu yang
diinginkan (Lussier, 2008:83), rasa percaya diri
dalam melaksanakan tugas-tugas (Roobins dan
Judge, 2013:249)
George dan Jones (2012:142)
menjelaskan beberapa sumber efikasi diri
antara lain: (1) kinerja masa lalu (past
performance), yaitu karyawan yang sukses
pada pekerjaan masa lalunya, akan memiliki
efikasi diri lebih tinggi dari karyawan yang
masa lalunya dipenuhi kegagalan, (2) observasi
dari yang lain (observation of others),
karyawan yang melihat temannya berhasil akan
memiliki efikasi diri lebih tinggi daripada
melihat temannya yang gagal, (3) persuasi
verbal (verbal persuasion), karyawan yang
mendapat bujukan atau nasihat dari karyawan
yang sukses akan lebih memiliki efikasi yang
tinggi dan sebaliknya, dan (4) aktivitas
membaca dan belajar (reading and learning)
karyawan akan menambah efikasi diri
karyawan.
Berdasarkan konsep di atas dapat
disintesiskan bahwa efikasi diri adalah
keyakinan dari dalam diri seseorang mengenai
kemampuan dan kompetensi untuk
melaksanakan tugas-tugas secara berhasil.
Perilaku Kepemimpinan. Teori perilaku
kepemimpinan berfokus pada apa yang
dikatakan dan dilakukan pemimpin (Achua dan
Lussier, 2010: 64). Sementara itu Slocum dan
Hellriegel (2007:170) menyatakan perilaku
kepemimpinan fokus membahas terhadap apa
yang dilakukan pemimpin dan bagaimana
pemimpin melakukannya. Hughes, Ginnett,
dan Curphy (2009:262) menyatakan bahwa
pertanyaan untuk menguji perilaku
kepemimpinan sebagai berikut: perilaku
pimpinan apakah yang dapat membangun tim
atau mencapai tujuan dengan sukses? Dengan
kata lain perilaku kepemimpinan adalah
apakah yang dilakukan pemimpin terhadap
pengikutnya sehingga ia berhasil membentuk
sebuah tim atau mencapai tujuan.
Perilaku kepemimpinan yang paling
memengaruhi bawahan dalam mencapai tujuan
organisasi menurut Hugehes, Ginnet, dan
Curphy (2009:48) antara lain: perilaku yang
berorientasi pada karyawan (employee-
centered), perilaku yang fokus pada tugas (job-
centered), dan konsen pada keduanya.
Yukl (2008:119) menyata-kan bahwa
perilaku yang paling memengaruhi bawahan
sebagai berikut: perilaku berorientasi pada
tugas (task-oriented behavior), perilaku
berorientasi pada hubungan (relation-oriented
behavior), dan perilaku berorientasi pada
perubahan (change-orented behavior).
Perilaku kepemimpinan yang efektif
memengaruhi bawahan menurut Slocum dan
Hellriegel (2007:170) yaitu: (1) pemimpin
membangun hubungan yang berpusat pada
tugas yaitu memengaruhi karyawan agar fokus
pada kuantitas dan kualitas kerja mereka, dan
(2) mempertimbangkan dan mendukung
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017
164
karyawan yaitu pemimpin mendukung
karyawan agar setiap karyawan mencapai
tujuan personalnya, seperti kepuasan, promosi,
dan pengakuan dengan cara penyelesaian
konflik dengan cepat, menjaga agar karyawan
tetap gembira, memberikan dukungan dan
penguatan yang positip.
Berdasarkan pemaparan konsep di atas
maka dapat disintesiskan bahwa perilaku
kepemimpinan adalah tindakan yang dilakukan
seorang pemimpin untuk memengaruhi anggota
organisasi agar mereka mengerjakan tugas
secara berhasil, berdaya, puas dan organisasi
mencapai kualitas yang tinggi.
Kekohesifan Tim. Kekohesifan tim
terkait dengan sejauh mana keeratan anggota
tim untuk tetap mengikat diri menjadi anggota
tim dan komitmen mencapai tujuan tim (Achua
dan Lussier, 2010:250), atau tingkat dimana
seorang anggota tertarik ke dalam grup dan
ingin tetap berada dalam grup (Vecchio,
2006:225). Menurut Kreitner dan Kinicki
(2010:319), kekohesifan tim mengacu kepada
proses menjadi bersama-sama karena sudah
mampu mengatasi perbedaan dan motivasi
individual, sedang (Gibson et al., 2006: 242)
menyatakan bahwa kekohesifan tim terkait
dengan kehendak dari anggota tim untuk tetap
berada dalam tim.
Faktor yang menentukan terjadinya
kekohesifan sangat beragam. Vecchio (2006)
mengidentifikasi beberapa faktor terjadinya
kekohesifan dalam tim sebagai berikut: (1)
kesamaan sikap dan tujuan dari anggota tim, (2)
adanya ancaman pada tim, (3) ukuran tim,
semakin kecil semakin kohesif, (4) sistem
penghargaan dalam grup, (5) kesamaan dalam
pekerjaan, dan (5) isolasi, yaitu semakin jauh
dari grup lain maka semakin kohesif grup
tersebut.
Ivancevich, Konopaske, dan Matteson
(2008:278) menyatakan bahwa terdapat
sejumlah persyaratan untuk dapat membuat tim
yang efektif, antara lain: (1) open-mindedness,
seorang yang memiliki cara berpikir terbuka
cenderung mampu hidup dalam suasana yang
terus berubah, (2) emotional stability, seorang
yang memiliki emosi yang stabil akan lebih
mampu menyesuaikan diri dengan situasi yang
berbeda-beda, (3) accountability, dapat
bertanggung jawab, (4) problem-solving
abilities, dapat menganalisis problem dan
menemukan solusinya, (5) communication
skill, memiliki keterampilan berkomunikasi, (6)
conflict resolution skill, mampu memimpin dan
menyelesaikan konflik, dan (7) trust, dapat
dipercaya.
Berdasarkan pemaparan konsep-konsep
di atas dapat disintesiskan bahwa kekohesifan
tim adalah tingkat ketertarikan dan kedekatan
seorang anggota tim dengan tim dan para
anggotanya sehingga ia tidak ingin keluar dari
tim dan berkomitmen untuk mencapai tujuan
tim.
Adapun rumusan masalah dalam
penelitian yang kemudian diuji dengan
pengujian hipotesis sebagai berikut: (1) Apakah
efikasi diri berpengaruh langsung positif
terhadap komunikasi interpersonal; (2) Apakah
perilaku kepemimpinan berpengaruh langsung
positif terhadap komunikasi interpersonal; dan
(3) Apakah kekohesifan tim berpengaruh
langsung positif terhadap komunikasi
interpersonal.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk
mendeskripsikan pengaruh dari variabel efikasi
diri, perilaku kepemimpinan dan kekohesifan
tim terhadap perilaku komunikasi interpersonal
dalam organisasi. Penelitian dilaksanakan
tahun 2015 di 3 universitas swasta di Bogor dan
sekitarnya yang merupakan bagian dari
Koordinator Perguruan Tinggi Swasta Wilayah
IV yang meliputi Jawa Barat dan Banten,
Indonesia.
Metode penelitian yang digunakan adalah
metode kuantitatif kausal dengan pengujian
hipotesis penelitian menggunakan teknik path
analysis. Populasi dalam penelitian ini 707
dosen tetap yang memiliki Nomor Induk Dosen
Nasional (NIDN). Unit dan sampel penelitian
adalah dosen sebanyak 130.
Pengukuran komunikasi interpersonal
dilakukan terhadap dosen melalui instrumen
angket yang berisi pernyataan-pernyataan
mengenai komunikasi interpersonal dosen
dengan indikator sebagai berikut: (1) nyaman
saat berkomunikasi; (2) memastikan pesan
diterima; (3) menjadi pendengar yang aktif; (4)
berkomunikasi langsung; (5) memberi
feedback; dan (6) berkomitmen tindak lanjut.
Pengukuran efikasi diri dilakukan
terhadap dosen melalui instrument angket yang
Peningkatan Aktivitas Komunikasi Interpersonal Dalam Organisasi Melalui … | Rais Hidayat
165
berisi pernyataan-pernyataan mengenai efikasi
diri dosen dengan indikator sebagai berikut: (1)
memiliki keyakinan untuk sukses, (2)
pembelajar, (3) menerima persuasi, (4)
mengubah diri, (5) mengevaluasi diri, (6)
mengevaluasi tugas, dan (7) mengevaluasi
situasi.
Pengukuran perilaku kepemimpinan
dilakukan oleh dosen terhadap perilaku
kepemimpinan Ketua Program Studi melalui
instrumen angket yang berisi pernyataan-
pernyataan mengenai perilaku kepemimpinan
dengan indikator: (1) berorientasi
keberhasilan, (2) berorientasi peningkatan
hubungan, (3) berorientasi perubahan, (4)
berorientasi pemberdayaan, dan (5) berorientasi
kualitas.
Pengukuran kekohesifan tim dilakukan
terhadap dosen melalui instrument angket yang
berisi pernyataan-pernyataan mengenai
kekohesifan tim dengan indikator: 1) bertahan
bekerja, (2) percaya (3) bekerja sama (4)
berkomitmen, (5) menyelesaikan konflik, dan
(6) menjaga kesetabilan emosi.
Ujicoba instrumen dilakukan kepada 30
responden diluar sampel. Validitas instrumen
penelitian diuji melalui teknik korelasi Product
Moment Pearson. Uji reliabilitas instrumen
penelitian meng-gunakan perhitungan Alpha
Cronbach. Sedangkan analisis data
menggunakan statitik inferensial dengan
menggunakan uji analisis varian dan regresi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis
menunjukkan bahwa efikasi diri berpengaruh
langsung positif terhadap komunikasi
interpersonal. Hal ini terlihat dari nilai
koefisien jalur yang diperoleh ρ41 = 0,279
dengan nilai thitung = 3,167 sedangkan nilai ttabel
(α= 0,05) = 1,960. Fakta ini mengungkapkan
bahwa thitung > ttabel yang berarti H0 ditolak dan
H1 diterima bahwa koefisien jalur ρ41 = 0,279
adalah signifikan pada taraf signifikansi α=
0,05. Dengan demikian telah teruji melalui
penelitian ini bahwa efikasi diri berpengaruh
langsung positif terhadap komunikasi
interpersonal. Ini berarti makin tinggi efikasi
diri maka akan semakin tinggi aktivitas
komunikasi interpersonal seseorang.
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis
menunjukkan bahwa perilaku kepemimpin-an
ketua program studi (Kaprodi) berpengaruh
langsung positif terhadap komunikasi
interpersonal. Hal ini terlihat dari nilai
koefisien jalur yang diperoleh ρ42 = 0,233
dengan nilai thitung = 2,610 sedangkan nilai ttabel
(α= 0,05) = 1,960. Fakta ini mengungkapkan
bahwa thitung > ttabel yang berarti H0 ditolak dan
H1 diterima bahwa koefisien jalur ρ42 = 0,233
adalah signifikan pada taraf signifikansi α=
0,05. Dengan demikian telah teruji melalui
penelitian ini bahwa perilaku kepemimpinan
Kaprodi berpengaruh langsung positif terhadap
komunikasi interpersonal. Ini berarti makin
tinggi pengaruh perilaku kepemimpinan dalam
organisasi maka akan semakin tinggi aktivitas
komunikasi interpersonal.
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis
menunjukkan bahwa kekohesifan tim
berpengaruh langsung positif terhadap
komunikasi interpersonal. Hal ini terlihat dari
nilai koefisien jalur yang diperoleh ρ43 = 0,200
dengan nilai thitung = 2,430 sedangkan nilai ttabel
(α= 0,05) = 1,960. Fakta ini mengungkapkan
bahwa thitung > ttabel yang berarti H0 ditolak dan
H1 diterima bahwa koefisien jalur ρ43 = 0,200
adalah signifikan pada taraf signifikansi α=
0,05. Dengan demikian telah teruji melalui
penelitian ini bahwa kekohesifan tim
berpengaruh langsung positif terhadap
komunikasi interpersonal. Ini berarti makin
tinggi kekohesifan tim dalam organisasi maka
akan semakin tinggi aktivitas komunikasi
interpersonal. Gambar berikut menunjukkan
hasil uji hipotesis dalam penelitian ini.
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017
166
Gambar 1 Hasil Perhitungan Koefisien Jalur
Pembahasan
Pengaruh efikasi diri terhadap komunikasi
interpersonal
Efikasi diri yang tinggi berdasarkan
penelitian ini berpengaruh pada cara seseorang
berkomunikasi interpersonal. Semakin tinggi
efikasi diri seseorang maka semakin tingggi
pula kemampuan berkomunikasi
interpersonalnya. Adanya pengaruh efikasi diri
terhadap komunikasi interpersonal sejalan
dengan penelitian Cowan et al. (2012:28)
bahwa ‘.....a significant correlation between
self-efficacy and informational social support
was found”. Sejalan juga dengan penelitian
Romadona (2017: 55-64) yang menyatakan
efikasi diri yang tinggi sangat penting dalam
mewujudkan produktivitas kerja yang tinggi,
termasuk dalam perilaku berkomunikasi.
Efikasi diri seseorang memengaruhi
banyak hal. Menurut Lussier (2008:115) efikasi
diri memengaruhi perilaku (behavior)
termasuk perilaku dalam berkomunikasi karena
menurutnya komunikasi adalah perilaku“...
behavior is what we do and say; thus
communication is behavior”. Penelitian
Nwankwo dan Onyishi (2012) menemukan
bahwa efikasi diri berperan siginifikan dalam
mengatasi stress para atlit. Berdasarkan temuan
ini dapat dijelaskan bahwa seorang yang
memiliki efikasi diri yang baik akan cenderung
terlepas dari stress karena mereka mampu
menjalin komunikasi dengan baik dengan orang
sekitarnya. Penelitian Hidayat (2017)
menemukan bahwa efikasi berpengaruh pada
perilaku etis dan penelitian Wahyuni (2015)
yang menyatakan efikasi diri yang tinggi
berpengaruh pada kemampuan berkomunikasi
di depan umum.
Temuan penelitian ini sejalan dengan
konsep efikasi diri yang menyatakan bahwa
efikasi merupakan keyakinan dari dalam diri
sendiri mengenai kemampuan dan kompetensi
untuk melaksanakan tugas dengan berhasil.
Menurut Bandura (1998) bahwa sesorang yang
memiliki efikasi diri yang tinggi maka orang
tersebut akan lebih sukses diabdingkan yang
lainnya. Berdasarkan konsep tersebut, maka
efikasi diri pada seseorang berpengaruh pada
rasa percaya akan sukses. Semakin yakin
efikasi diri seseorang, maka semakin tinggi
kepercayaan diri seseorang akan meraih
kesuksesan. Robbins dan Judge (2013:249)
menyatakan bahwa ‘the higher your self-
efficacy, the more confidence you have in your
ability to success’ Kepercayaan akan
kesuksesan pada akhirnya membentuk
keberanian seseorang untuk berkomunikasi,
termasuk berkomunikasi interpersonal.
Titik temu antara efikasi diri dengan
berkomunikasi interpersonal yaitu untuk
melakukan sebuah komunikasi interpersonal
dibutuhkan rasa percaya akan kemampuan dan
kompetensi yang dimiliki sehingga
menimbulkan keyakinan untuk berhasil.
Melalui keyakinan untuk berhasil tersebut,
maka seseorang akan leluasa dan bebas
mengekpresikan pesan dan informasi kepada
rekan kerja. Akhirnya dia akan melakukan
Peningkatan Aktivitas Komunikasi Interpersonal Dalam Organisasi Melalui … | Rais Hidayat
167
tukar informasi dengan rasa percaya,
menghormati, rasa memiliki dan rasa senang.
Hal ini sejalan pendapat Nelson dan Quicks
(2006:256) bahwa keberhasilan komunikasi
ditentukan oleh antara lain oleh expresive
speaker (pembicara yang expesif), empathic
listeners (pendengar yang empatik) dan
sensitive people (sensitif pada perasaan lawan
bicara). Semua persyaratan keberhasilan
komunikasi tersebut membutuhkan efikasi diri.
Para dosen yeng memiliki efikasi diri
yang baik akan terlihat dari bagaimana mereka
mengejar kesuksesan dalam pengajaran,
penelitian maupun pengabdian masyarakat,
terlihat pula dalam bagaimana mereka
membekali diri dengan belajar terus menerus
dan tidak puas dengan keadaan diri mereka
sekarang, dan terlihat dalam bagaimana mereka
melakukan evaluasi diri, lingkungan dan
pekerjaan mereka sehingga mereka terus
melakukan upaya-upaya komunikasi
interpersonal dengan sesama dosen di dalam
maupun di luar kampus.
Adapun cara untuk meningkatkan efikasi
diri untuk memengaruhi aktivitas komunikasi
dalam organisasi menurut penelitian ini antara
lain: (1) dosen harus didorong untuk memiliki
keyakinan sukses dalam mengerjakan fungsi
dan tugasnya; (2) dosen didorong untuk
menjadi pembelajar secara terus menerus,
jangan berhenti belajar; (3) dosen harus
dibiasakan untuk menerima persuasi dari pihak
lain, jangan membiasakan egois dan menang
sendiri; (4) dosen harus dibiasakan untuk
mampu mengubah diri, jangan stagnan; dan (5)
dosen harus dibiasakan untuk melakukan
evaluasi diri sendiri; evaluasi tugas yang
dilaksanakan , dan mengevaluasi situasi yang
terus berubah dan berkembang.
Pengaruh perilaku pemimpin terhadap
komunikasi interpersonal Perilaku kepemimpinan yang tinggi
berdasar penelitian ini berpengaruh pada
komunikasi dalam organisasi. Penelitian
Hidayat (2013) menunjukan bahwa
kepemimpinan berpengaruh pada komunikasi
dalam organisasi. Penelitian Linjuan Men
(2012) menemukan bahwa kepemimpinan
transformasional dan kepemimpinan authentic
keduanya berpengaruh dalam pengembangan
sistem komunikasi simetris dalam internal
organisasi. Ini berarti kepemimpinan
berpengaruh pada proses komunikasi dalam
sebuah organisasi.
Temuan ini sejalan dengan teori bahwa
kepemimpinan dapat memengaruhi semua
domain dalam organisasi, termasuk aspek
berkomunikasi. Pengaruh kepemimpinan pada
semua aspek organisasi. Newstrom (2007:159)
menyatakan kepemimpinan adalah proses
mempengaruhi dan mendukung yang lain untuk
bekerja secara antusias untuk mencapai tujuan
organisasi. Kepemimpinan berkaitan dengan
proses pengembangan ide-ide dan visi,
memberikan contoh untuk mengembangkan ide
dan visi tersebut, mempengaruhi yang lain agar
mereka melaksanakan ide dan visi tersebut,
membuat keputusan yang berat yang
menyangkut sumber daya manusia dan sumber
daya lainya (Slocum dan Hellriegel, 2007:162).
Ketua program studi (Kaprodi) dalam
konteks kepemimpinannya dapat
memengaruhi semua domain organisasi dengan
upaya-upaya atau proses-proses menginspirasi,
memengaruhi, memotivasi, mendukung,
membimbing, mengarahkan, mengembangkan
ide dan visi agar anggota prodi dapat bersama-
sama mencapai tujuan prodi. Dalam mencapai
tujuan tersebut, Kaprodi tidak akan lepas dari
upaya berkomunikasi dengan dosen di
lingkungan Prodi. Dalam konteks inilah
Kaprodi dapat memberi contoh dan
mengispirasi para dosen dalam menunaikan
tugas, membangun relasi dan membangun
perubahan ke arah yang lebih baik dengan
melakukan komunikasi interpersonal, yaitu
komunikasi yang dilakukan dengan didasari
rasa saling percaya, menghormati, memiliki
dan rasa senang dalam Prodi.
Adapun perbaikan kepemimpinan agar
dapat meningkatkan aktivitas komunikasi
interpersonal menurut penelitian ini dapat
dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut: (1)
kepemimpinan harus berorientasi pada
keberhasilan atau pencapaian tujuan
organisasi; (2) kepemipinan harus berorientasi
pada peningkatan hubungan secara vertikal
yaitu antara bawahan dengan atasan dan
horizontal yaitu antar karyawan; (3) pemimpin
harus beroreintasi pada perubahan, (4)
pemimpin harus berorientasi pemberdayaan
organisasi dan karyawan; dan (5) pemimpin
harus berorientasi pada kualitas organisasi.
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017
168
Pengaruh kekohesifan tim terhadap
komunikasi interpersonal Kekohesifan tim berperan dalam
komuniasi interpersonal. Makin kohesif maka
makin tinggi komuniasi dalam tim tersebut.
Pengaruh kekohesifan tim dalam organisasi
terhadap aktivitas komunikasi dalam organisasi
sejalan dengan pendapat Gibson (2006:257)
bahwa kekohesifan tim berpengaruh pada
komunikasi dalam organisasi. Vecchio
(2006:226) memper-kuat penjelasan di atas
dengan menjelaskan bahwa pengaruh
kekohesifan tim terjadi pada: kepuasan kerja,
komunikasi, dan produktivitas. Penelitian
Nachrowi (2012) menunjukan bahwa
kekohesifan berperan dalam kinerja karyawan.
Mc Shane dan Von Glinow (2010:251)
menjelaskan bahwa karyawan yang memiliki
rasa kekohesifan tim yang tinggi sangat
termotivasi untuk memelihara keanggotaan tim
dan berupaya menolong tim berkinerja efektif.
Dibandingkan dengan orang yang memiliki
rasa kohesi tim yang rendah, anggota yang
memiliki rasa kekohesifan tim yang tinggi akan
menghabiskan waktu lebih banyak untuk
bersama anggota tim lainnya, melakukan tukar
informasi secara berkala, dan saling
memuaskan satu dengan lainnya. Mereka
melakukan upaya saling membantu dalam
situasi yang dipenuhi stress. Mereka lebih
sensitif atas kebutuhan anggota lainya,
memiliki hubungan interpersonal yang baik dan
mengurangi segala yang menyebabkan tidak
berfungsinya tim. Ketika terjadi konflik,
mereka akan menyelesaikannya dengan efektif.
Mereka juga mampu bekerjasama dengan lebih
baik dan mentaati norma dan nilai-nilai lebih
baik daripada mereka yang tidak memiliki rasa
kohesifitas yang tinggi pada tim.
Lussier (2008) mengutip hasil penelitian
yang dilakukan G. Brown, T.B Lawrence, dan
S.L. Robinson bahwa organisasi-organisasi
sekarang ini terus melakukan pencapian hasil
kinerja tertinggi melalui kerja tim karena kerja
tim berbiaya lebih rendah dan waktu yang
digunakan lebih sedikit. Atas dasar penelitian
tersebut maka kekohesifan tim sangat
dibutuhkan dalam organisasi, termasuk untuk
menciptakan komunikasi interpersonal pada
anggota organisasi.
Titik temu kekohesifan tim dengan
komunikasi interpersonal terletak pada
karakteristik kekohesifan tim yaitu senantiasi
berinteraksi antara satu anggota dengan
anggota lainya, saling ketergantung-an pada
antar anggotanya dan adanya upaya mencapai
tujuan yang sama. Schermerhorn et al.
(2010:157) menjelaskan bahwa tim adalah
sejumlah orang yang secara kolektif
bertanggung-jawab untuk menggunakan
kemampuan mereka dalam mencapai tujuan
bersama. Untuk menjadi anggota tim, maka
anggota tim harus mengkontribusikan hal-hal
berikut: mempersembahkan kemampuan
(talent), mendorong dan memotivasi anggota
tim, menerima usulan, mendengarkan pendapat
yang berbeda, mengkomunikasikan informasi
dan ide-ide, membujuk yang lain untuk mau
bekerja, menyelesaikan dan menegosiasikan
konflik, membangun konsensus, memenuhi
segala komitmen, dan menghindari perilaku
dan kata-kata yang dapat merusak tim
(Schermerhorn et al.,2010).
Kekohesifan tim dalam konteks prodi
ditunjukkan dengan perilaku menjaga
hubungan baik atau berinterinteraksi dengan
baik dengan sesama anggota prodi,
mendengarkan pendapat yang berbeda,
mengkomunikasikan informasi dan ide-ide,
membujuk yang lain untuk mau bekerja,
menyelesaikan dan menegosiasikan konflik, ia
akan merasakan bahwa tujuan prodi tidak akan
tercapai tanpa saling bekerjasama, dan ia juga
akan mennyukseskan tujuan prodi secara
maksimal. Berdasar karakteristik tersebut,
maka kekohesifan tim akan melahirkan
komunikasi interpersonal, yaitu saling
berinteraksi atas dasar saling menghormati dan
saling percaya untuk mencapai tujuan prodi.
Adapun cara-cara untuk memperbaiki
kekohesifan tim dalam organisasi menurut
penelitian ini antara lain: (1) memperkuat
karyawan agar terus bertahan atau tidak
mengundurkan dari organisasi; (2) memperkuat
rasa percaya karyawan pada organisasi; (3)
meningkatkan kerja sama antar karyawan; (4)
meningkatkan komitmen karyawan pada
organisasi; (5) lembaga harus segara
menyelesaikan jika terjadi konflik dalam
organisasi; dan (6) lembaga harus menjaga
kesetabilan emosi para karyawannya.
Peningkatan Aktivitas Komunikasi Interpersonal Dalam Organisasi Melalui … | Rais Hidayat
169
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Komunikasi interpersonal dalam
organisasi dipengaruhi secara positif dan
signifikan oleh efikasi diri, perilaku
kepemimpinan dan kekohesifan tim dalam
organisasi. Ini berarti semakin tinggi efikasi
diri, perilaku kepemimpinan dan kekohesifan
tim maka semakin tinggi pula aktivitas
komunikasi interpersonal dalam organisasi.
Saran
Adapun perbaikan efikasi diri dapat
dilakukan dengan cara-cara berikut:
memperbaiki keyakinan sukses dalam
mengerjakan fungsi dan tugas, menjadi
pembelajar secara terus menerus, jangan
berhenti belajar; membiasakan diri untuk
menerima persuasi dari pihak lain, jangan
membiasakan egois dan menang sendiri;
membiasakan untuk mampu mengubah diri,
jangan stagnan; membiasakan untuk
melakukan evaluasi diri sendiri; evaluasi tugas,
dan evaluasi situasi yang terus berubah dan
berkembang. Perbaikan kepemimpinan dapat
dilakukan dengan cara-cara berikut: pemimpin
harus berorientasi pada keberhasilan atau
pencapaian tujuan organisasi; berorientasi pada
peningkatan hubungan secara vertikal dan
horizontal; beroreintasi pada perubahan,
berorientasi pemberdayaan organisasi dan
karyawan; dan berorientasi pada kualitas
organisasi. Sedangkan perbaikan kekohesifan
tim dapat dilakukan dengan cara berikut:
memperkuat karyawan agar terus bertahan atau
tidak mengundurkan dari organisasi;
memperkuat rasa percaya karyawan pada
organisasi; meningkatkan kerja sama antar
karyawan; meningkatkan komitmen karyawan
pada organisasi; menyelesaikan konflik dalam
organisasi; dan menjaga kesetabilan emosi para
karyawannya.
DAFTAR PUSTAKA
Achua, Christopher F., Robert N. Lusier. 2010.
Efective Leadership. Singapore: South-
Western.
Bandura, Albert. Self-efficacy. In V. S.
Ramachaudran (Ed.), Encyclopedia of
humanbehavior (4: 71-81). New York:
Academic Press. (Reprinted in H.
Friedman [Ed.], 1998. Encyclopedia of
mental health. San Diego: Academic
Press.
Cowan Jenna C., Lynn Slogrove & Christopher
N. Hoelson. 2012. Self-Efficacy And
Social Support of Academy Cricketers.”
South African Journal for Research in
Sport, Physical Education and
Recreation, 34(2): 27-39, ISBN: 0379-
9069.
George, Jennifer M., Gareth R. Jones. 2012.
Understanding and Managing
Organizatioanl Behavior. Boston:
Printice Hall.
Gibson, James L., John M.Ivancevich, James H.
Donnelly,Jr, Robert Konopaske. 2006.
Organizations, Behavior, Sructure and
Proceses. Boston: McGraw-Hill.
Griffin, Rcky W., Gregory Moorhead. 2007.
Organizational Behavior, Managing
People and Organizatios. Boston:
Houghton Mifflin Company
Hidayat, Rais. 2017. Perilaku Etis Dosen
Dalam Perspektif Efikasi Diri,
Kepemimpinan, Dan Komunikasi
Interpersonal. Pedagonal, Jurnal Ilmiah
Pendidikan, 1(1) E-ISSN 2550-0406.
Hidayat, Rachmad. 2013. Pengaruh
Kepemimpinan terhadap Komuni-kasi,
Kepuasan Kerja, dan Komitmen
Organisasi pada Industri Perbankan.
Makara Seri Sosial Humaniora, 17(1):
19-32 DOI: 10.7454/mssh.v17i1.1799.
Hughes, Richard L., Robert C. Ginnett, Gordon
J. Curphy.2009. Lead ership,
Enhancing the Lesson of Experience.
Boston: McGraw-Hill.
Ivancevich, John M., Robert Konopaske,
Michael E. Matteson. 2008.
Organizational Behavior and
Management. New York: McGraw-
Hill.
Kelner, John W. 1970. Interpersonal Speech-
Communication, Element and
Structure. California: Wads-worth
Publishing Company, Inc.
Kreitner, Robert and Anggelo Kinicki. 2010.
Organizational Behavior, Ninth
Edition. New York: McGraw-Hill.
Lussier, Robert N. 2008. Human Relations in
Organization. Boston: McGraw-Hill.
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017
170
McShane, Steven L., Mary Ann Von
Glinow.2010. Organizational Behavior.
Boston: McGraw-Hill.
Men, Linjuan. 2012. “The Effects of
Organizational Leadership on Strategic
Internal Communication and Employee
Outcomes.” Open Access
Dissertations, University of Miami,
Scholarly Repository,
http://scholarlyrepository.miami.edu/oa
_dissertations (diakses 12 Oktober
2014).
Nachrowi, Ditha Ria Karinda. 2012. Pengaruh
Kekohesifan Kelompok terhadap
Kinerja Karyawan PT Jaya Lestari.
Skripsi. Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Prodi Adminis-trasi, Peminatan
Admisitrasi Niaga,
(lib.ui.ac.id/file?file=digital/20320248-S-
PDF, diakses Nopember 2017)
Nelson, Debra L., James Campbell Quick.
2006. Organizational Behavior.
Foundations, Realities & Challenges.
Ohio: Thomson South-Western.
Newstrom, John W. and Keit Davis. 2002.
Organizational Behavior, Human
Behavior at Work. Boston: McGraw-
Hill.
Newstrom, John. 2007. Organizational
Behavior, Human Behavior at Work.
Boston: McGraw-Hill.
Newstrom, John. 2007. Organizational
Behavior, Human Behavior at Work.
Boston: McGraw-Hill.
Nwankwo, Benedict C. and Ike E. Onyishi.
2012. Role of Self-Efficacy, Gender and
Category of Athletes in Coping with
Sports Stress, Ife PsychologIA, 20 (2).
Robbins, Stephen P. dan Timothy A Judge.
2013. Organizational Behavior
Fifteenth Edition. New Jersey: Prentice
Hall.
Robbins, Stephen P. 2013. Organizational
Behavior Fifteenth Edition. New Jersey:
Prentice Hall.
Romadona, Mia Rahma. 2017. Peran Efikasi
Diri dan Kemampuan Komunikasi
Peneliti Terhadap Iklim Organisasi di
Pusat Pene-litian X. Jurnal
Pekommas, 2 (1).
Schermerhorn, John R., James G. Hunt, Ricard
N. Osborn, Mary Uhl-Bien. 2010.
Organizational Behavior. Danvers
USA: John Wiley & Sons, Inc.
Slocum, John W. and Don Hellriegel. 2007.
Fundamental of Organizational
Behavior. Ohio: Thomson- South-
Western.
Veccio, Robert P. 2006. Organizational
Behavior, Core Concept. Ohio:
Thomson.
Woolfolk, Anita. 2007. Educational
Psychology. Boston: Pearson.
Wahyuni, Endang. 2015. Hubungan Self-
Effecacy dan Keterampilan
Komunikasi dengan Kecemasan
Berbicara di Depan Umum. Jurnal
Komunikasi Islam , ISBN 2088-6314 ,
05 (01).
Yukl, Gary. 2008. Leadership in Organization.
New York: Pearson Educational Int.
Magister Manajemen Pendidikan FKIP Universitas Kristen Satya Wacana [email protected]
e-ISSN 2549-9661 Volume: 4, No. 2, Juli-Desember 2017
Halaman: 171-183
171
Evaluasi Program Pelatihan In House Training (IHT)
di Sekolah Dasar Swasta
Aih Ervanti Ayuningtyas
Magister Manajemen Pendidikan
Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga
Slameto
Magister Manajemen Pendidikan
Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga
Yari Dwikurnaningsih
Magister Manajemen Pendidikan
Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga
ABSTRACT
The purpose of this study is to evaluate the instructional, institutional, and
behavioral dimensions of the In-House Training (IHT) program at the SD
Muhammadiyah (Plus) Salatiga Academic Year 2013/2014. This is an evaluative study
with Three Dimensional Cube Model. Data collection techniques used interviews,
questionnaires, and document studies. Collected data then analyzed descriptively, ordinal
data were analyzed using Three Box Method. Validation of data using technique and/or
source triangulation. The results showed: (1) In the instructional dimension including
organization, content/material, methodology, facilities, and cost included in good
category, although there is little improvement in adjusting method with program
objectives; (2) In the institutional dimension that includes speakers, trainees,
administrator/committees, education specialists, families, and communities are included
in either category, although there is still need for improvement in terms of needs analysis
in terms of the needs of teachers; (3) In the behavioral dimension that is the goal of the
IHT program and is divided into the cognitive, affective, and psychomotor domains
almost all have been achieved well, although there is one goal in the psychomotor realm
that has not been achieved well because one goal is not a priority to be achieved in time
of three years. Recommendations for program sustainability, programs can be continued
with improvements.
Keywords: IHT, program evaluation, Three Dimensional Cube
Article Info
Received date: 30 Mei 2017 Revised date: 10 November 2017 Accepted date: 10 November 2017
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017
172
PENDAHULUAN
Guru yang bermutu merupakan salah satu
kunci keberhasilan dari pendidikan yang
bermutu. Guru dikatakan bermutu jika ia
memiliki kompetensi yang baik. Oleh karena
itu seiring dengan perkembangan zaman yang
semakin maju maka guru harus senantiasa
meningkatkan kompetensinya. Salah satu cara
untuk meningkatkan kompetensi guru adalah
dengan pendidikan dan pelatihan (diklat).
Diklat dapat dilakukan melalui lembaga
penyelenggara diklat maupun pihak sekolah
sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai.
Guna meningkatkan kompetensi sesuai dengan
visi, misi, tujuan, permasalahan maupun
potensi yang dimiliki sekolah maka diklat dapat
dilakukan secara mandiri oleh sekolah melalui
In House Training (IHT).
Secara umum, Basri dan Rusdiana (2015:
227) mengemukakan bahwa In House Training
adalah program pelatihan yang diselenggarakan
di tempat peserta pelatihan atau di sekolah
dengan mengoptimalkan potensi-potensi yang
ada di sekolah, menggunakan peralatan kerja
peserta pelatihan dengan materi yang relevan
dan permasalahan yang sedang dihadapi,
sehingga diharapkan peserta dapat lebih mudah
menyerap dan mengaplikasikan materi untuk
menyelesaikan dan mengatasi permasalahan
yang dialami dan mampu secara langsung
meningkatkan kualitas dan kinerjanya. Musfah
(2011: 82) mengemukakan bahwa pelatihan
pada dasarnya bertujuan untuk
mengembangkan kompetensi guru.
Kompetensi guru yang dimaksud antara lain
pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Hal
senada diungkapkan Sherwood dan Best
(Sudjoko, 2012: 40-45) bahwa pelatihan adalah
proses membantu sumber daya dalam suatu
organisasi agar mendapat efektivitas dalam
pekerjaan mereka yang sekarang atau yang
akan datang melalui pengembangan skill,
knowledge, dan atittude. Berdasarkan
pemaparan-pemaparan tersebut dapat
disimpulkan bahwa IHT merupakan program
yang diselenggarakan di sekolah atau tempat
lain menggunakan peralatan dan materi yang
relevan dengan permasalahan yang dihadapi,
tujuannya adalah untuk mengembangkan
kompetensi berupa skill, knowledge,dan
atittude.
SD Muhammadiyah (Plus) Salatiga
adalah salah satu sekolah yang menerapkan
pelatihan In House Training secara mandiri dan
terprogram. Dikatakan mandiri, karena sekolah
ini mengadakan program pelatihan IHT atas
prakarsa dan biaya sendiri, dan dikatakan
terprogram karena program pelatihan IHT di
sekolah ini dilaksanakan setiap tahun.
Berdasarkan wawancara kepada Wakil Kepala
SD Muhammadiyah (Plus) tanggal 23
September 2016, program pelatihan IHT telah
dilaksanakan secara intensif sejak tujuh tahun
lalu. IHT sendiri diselenggarakan untuk
meningkatkan kompetensi guru dalam rangka
mencapai visi sekolah sebagai “sekolah
unggulan”.
Berdasarkan hasil wawancara kepada
Wakil Kepala SD Muhammadiyah (Plus)
tanggal 23 September 2016, diketahui bahwa
program pelatihan IHT SD Muhammadiyah
(Plus) Salatiga utamanya diselenggarakan
setahun sekali, yaitu setiap libur kenaikan kelas.
Akan tetapi ada kalanya program pelatihan
tersebut dilaksanakan lagi di waktu lain jika
terdapat kompetensi guru yang penting dan
mendesak untuk segera dikembangkan. Pada
tahun pelajaran 2013/2014 SD Muhammadiyah
(Plus) Salatiga menyelenggarakan IHT dengan
tema “Melejitkan Prestasi Tiada Henti”. Tujuan
khusus dari kegiatan IHT tersebut adalah untuk
meningkatkan kompetensi guru dari segi
pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Target
pencapaian tujuan dari kegiatan IHT tersebut
dapat diketahui tiga tahun sejak
diselenggarakannya program pelatihan IHT,
yaitu pada tahun 2016/2017. Oleh karena itu
program IHT SD Muhammadiyah (Plus)
Salatiga tahun pelajaran 2013/2014 tersebut
perlu dilakukan evaluasi.
Pada beberapa kasus, pelatihan memang
berhasil meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan guru. Akan tetapi pada beberapa
penelitian diketahui bahwa adakalanya
pelatihan gagal dalam meningkatkan
kompetensi guru karena disebabkan oleh
Evaluasi Program Pelatihan In House Training (IHT) Di Sekolah Dasar Swasta | Aih E. Ayuningtyas, dkk.
173
beberapa faktor. Berdasarkan hasil penelitian
Eliyanto (2013: 34-47) faktor penyebab
ketidak-efektifan pelatihan dalam
meningkatkan profesionalisme guru adalah
pemberian materi yang kurang tepat sehingga
tidak terjadi peningkatan pengetahuan dan
keterampilan, pelatihan kurang direncana-kan
dengan matang, komponen pelatihan seperti
penyajian teori, umpan balik, dan lainnya tidak
dilakukan dengan baik, penggunaan metode
pelatihan kurang tepat, dan motivasi dalam
mengikuti pelatihan rendah. Berdasarkan hasil
meta analisis yang dilakukan Sudana (2011:
133-156) terdapat beberapa faktor yang
menyebabkan guru tidak produktif pasca
pelatihan, yaitu: belum adanya manajemen
yang dibakukan pasca pelatihan oleh sekolah,
kurangnya dukungan fasilitas yang dimiliki
sekolah, rendahnya kinerja guru, tidak
sesuainya materi pelatihan yang diberikan
dengan fasilitas yang dimiliki sekolah, dan
kurangnya inisiatif guru yang bersangkutan
dalam mengembangkan hasil pelatihan.
Berdasarkan uraian yang telah
dipaparkan, penelitian ini dimaksudkan untuk
mengevaluasi ketercapaian tujuan khusus pada
program pelatihan IHT SD Muhammadiyah
(Plus) Salatiga dan faktor keberhasilan atau pun
kegagalannya. Evaluasi ini dibatasi dengan
model evaluasi Three Dimensional Cube.
Model evaluasi ini digunakan dengan
pertimbangan bahwa Three Dimensional Cube
tidak hanya bertujuan untuk mengetahui
ketercapaian tujuan program tetapi juga
menganalisis faktor keberhasilan atau
kegagalan program. Hammond (1968: 1-9)
berpen-dapat bahwa keberhasilan atau
kegagalan suatu program ditentukan oleh
interaksi komponen-komponen dalam
pendidikan. Komponen-komponen tersebut
selanjutnya dikelompokkan dalam struktur tiga
dimensi. Interaksi antar variabel dari masing-
masing dimensi menghasilkan kombinasi
variabel dan digambarkan sebagai faktor yang
perlu dipertimbangkan dalam evaluasi
program.
Three Dimensional Cube merupakan
model evaluasi yang terdiri dari dimensi
instructional, dimensi institutional, dan
dimensi behavior. Dimensi instructional terdiri
dari lima variabel, yaitu variable organisasi,
konten, metodologi, fasilitas, dan biaya.
Dimensi institutional terdiri dari variabel siswa,
guru, administrator, spesialis pendidikan,
keluar-ga dan komunitas. Adapun dimensi
behavior terdapat tiga variabel, yaitu kognitif,
afektif dan psikomotor.
Rivai dan Murni (2012: 12) serta Basri
dan Rusdiana (2015: 38-41) mengemukakan
beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam
pelaksanaan suatu program agar berhasil,
diantaranya: tujuan, instruktur, materi, metode,
peserta, pembagian waktu, lingkungan, dan
media. Selain itu Hammond (1968:2-6)
menambahkan beberapa faktor lain, yaitu
pembagian waktu dalam satu materi, fasilitas,
biaya, administrator atau panitia, spesialis
pendidikan, keluarga dan komunitas.
Adapun kajian hasil penelitian terdahulu
yang relevan dengan penelitian ini, antara lain:
pertama adalah penelitian Putri (2013: 522-
527). Penelitiannya bertujuan untuk
mengevaluasi program pelatihan Pendekatan
Matematika Realistik Indonesia (PMRI) bagi
guru matematika di Sumatera Selatan. Hasil
temuan dari evaluasi dengan model Kirkpatrick
ini menunjukkan bahwa seluruh peserta
mempunyai reaksi positif terhadap program
pelatihan karena materi yang diberikan relevan
dengan kebutuhan dan tugas guru di sekolah,
peserta mampu mengajarkan materi dengan
baik saat dilakukan simulasi, serta seluruh
peserta dapat memahami materi pelatihan
dengan baik, sehingga dapat dilakukan
pelatihan lanjutan.
Kedua adalah penelitian dari Riza (2014:
90-100) yang bertujuan untuk mengetahui
efektivitas Program Pendidikan dan Latihan
Berjenjang Tingkat Dasar Pendidik dan Tenaga
Kependidikan (PTK) PAUD. Hasil evaluasi
dengan model evaluasi Kirkpatrick ini
diketahui bahwa penyelengaraan diklat
termasuk dalam kategori baik walaupun masih
perlu dilakukan perbaikan pada rekrutmen
peserta yang tidak sesuai dengan kriteria yang
ditetapkan, jadwal pelatihan terlalu padat,
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017
174
narasumber terlalu teoretis, tidak adanya
evaluasi dan monitoring pasca evaluasi, ada
beberapa materi yang kurang relevan dengan
tugas guru di sekolah masing-masing, pasca
pelatihan peserta belum sepenuhnya melakukan
pembelajaran seperti yang diajarkan pada
Diklat, serta dampak dari segi kualitas dan
jumlah hasil karya guru belum sepenuhnya
meningkat.
Ketiga adalah penelitian Pahlevi (2016)
yang bertujuan untuk mengevaluasi konteks,
input, proses, dan produk penyelenggaraan
Program Diklat Kompe-tensi Plus di
BPDIKJUR. Penelitian dengan model evaluasi
CIPP (Context, Input, Process, Product) ini
menunjukkan bahwa pelaksanaan Program
Diklat diharapkan dapat meningkatkan
kompetensi guru seiring dengan kemajuan
teknologi; program diklat mampu
menjembatani kesenjangan antara hasil
pembelajaran dengan standar kerja yang
dibutuhkan; program diklat memiliki
stakeholder yang selalu mendukung
pelaksanaan program, dan sangat membantu
keberhasilan program; pelaksanaan program
diklat berjalan dengan baik walupun terdapat
beberapa kendala. Oleh karena itu, Program
Diklat Kompetensi Plus di BPDIKJUR dapat
terus dilakukan dengan perbaikan pada sistem
perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.
Keempat adalah penelitian yang
dilakukan Uysal (2014: 17-26). Tujuan
penelitiannya adalah untuk mengevaluasi
keberhasilan program in-service education
training (INSET) dalam mencapai tujuan
khusus, serta kegunaan dan dampak program
pada afektif guru, pengetahuan guru, serta
praktek mengajar di kelas. Hasil evaluasi
dengan model evaluasi Guskey ini
menunjukkan bahwa secara umum para guru
menunjukkan sikap positif terhadap program
dan pelaksanaan program memiliki banyak segi
positif. Akan tetapi pada tahap perencanaan dan
evaluasi program masih terdapat masalah,
antara lain: program belum memiliki komponen
tindak lanjut (follow up), tidak mencukupinya
materi dan sumber daya, seting pelatihan yang
tidak nyaman, dan yang lebih serius adalah isi
dari program pelatihan tidak berdasarkan
kebutuhan kontekstual guru karena guru tidak
dilibatkan dalam perencanaan dan pelaksanaan
program.
Terakhir adalah penelitian dari Yussof,
dkk (2016: 630-636). Penelitiannya bertujuan
untuk menilai reaksi guru terhadap in-service
teacher training program pada School Based
Assessment. Hasil evaluasi dengan model
Kirkpatrick ini menunjukkan bahwa SBA in-
service teacher training program telah
mencapai tujuan. Tingkat kepuasan peserta atas
reaksi terhadap fasilitas fisik memuaskan,
reaksi terhadap materi pembelajaran
memuaskan, reaksi terhadap materi pengajaran
memuaskan, reaksi terhadap penyampaian
materi oleh fasilitator memuaskan, reaksi
terhadap konten umum pelatihan memuaskan.
Berdasarkan hasil analisis kuantitatif diketahui
bahwa aspek konten umum, fasilitas fisik dan
materi pembelajaran memiliki korelasi
signifikan dan kontribusi terhadap perubahan
pengetahuan dan keterampilan guru, dan aspek
konten umum, materi konstruksional dan
materi pembelajaran memiliki korelasi
signifikan terhadap perubahan sikap guru. Oleh
karena itu program dapat dilanjutkan dengan
beberapa peningkatan.
Beberapa hal yang membedakan antara
penelitian ini dengan lima penelitian
sebelumnya antara lain penelitian ini
menggunakan model evaluasi Three
Dimensional Cube sehingga tahapan penelitian
serta aspek yang diteliti terdapat perbedaan.
Perbedaan tersebut terletak pada aspek
organisasi, spesialis pendidikan, keluarga,
komunitas, dan tujuan program yang
disesuaikan dengan visi misi sekolah dan
yayasan yang menaungi sekolah.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian
evaluatif menggunakan model evaluasi Three
Dimensional Cube. Penelitian dilakukan di SD
Muhammadiyah (Plus) Salatiga mengenai
evaluasi Program In House Training (IHT)
tahun pelajaran 2013/2014. Sumber informasi
dalam penelitian ini adalah Wakil Kepala
Evaluasi Program Pelatihan In House Training (IHT) Di Sekolah Dasar Swasta | Aih E. Ayuningtyas, dkk.
175
Sekolah, panitia penyelenggara IHT, dan guru
sebagai peserta IHT. Teknik pengumpulan data
yang digunakan adalah dengan wawancara,
angket, dan studi dokumen. Adapun dokumen
yang digunakan adalah “Panduan In House
Training SD Muhammadiyah (Plus) Kota
Salatiga Tahun Ajaran 2013/2014”.
Angket menggunakan rating scale dari
skala 1 sampai 5, untuk mengetahui tingkat
kepuasan peserta terhadap IHT. Uji validitas
korelasi Product Moment dengan nilai rtabel
pada taraf signifikansi 5% dan N=13 adalah
0,553 menunjukkan bahwa pada try out 1
terdapat dua item yang tidak valid, sehingga
perlu direvisi dan diujikan kembali. Pada try out
2 seluruh item dinyatakan valid. Pada uji
reliabilitas didapat nilai Cronbach’s Alpha
sebesar 0,755 sehingga lebih dari 0,6.
Data kualitatif maupun kuantitatif yang
telah terkumpul selanjutnya dianalisis secara
deskriptif. Data angket yang bersifat ordinal
dianalisis menggunakan three box method yaitu
data angket ditabulasi untuk dihitung nilai
indeksnya, kemudian dikelompokkan ke dalam
kategori rendah, sedang, atau tinggi. Berikut
merupakan rentang untuk masing-masing
kategori:
Tabel 1 Rentang Kategori Angka Indeks
NO RENTANG KATEGORI
1 3,2 – 7,4 rendah
2 7,5 – 11,7 sedang
3 11,8 – 16,0 tinggi
Sumber: data angket yang ditabulasi
HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Dimensi Instructional
Dimensi instructional terdiri dari variabel
organisasi, konten, metodologi, fasilitas, dan
biaya. Organisasi meliputi kesesuaian materi
pelatihan terhadap level peserta, pengurutan
materi dari mudah ke sulit, dan durasi waktu
dalam satu materi. Materi atau konten berisi
topik-topik yang diberikan dalam pelatihan,
dan kesesuaian topik dengan tujuan pelatihan.
Metodologi meliputi aktivitas mengajar
(pemilihan dan kesesuaian metode
penyampaian materi), tipe interaksi, dan
prinsip-prinsip pembelajaran atau teori belajar
yang digunakan dalam pelatihan. Fasilitas
meliputi pelayanan dan fasilitas yang
diperlukan dalam pelatihan (ruang pelatihan,
media dll). Biaya meliputi penggunaan biaya
untuk pelatihan.
Tabel 2 Hasil Tabulasi Angket Dimensi Instructional
NO INDIKATOR INDEKS KATEGORI
1 Organisasi 14.6 Tinggi
2 Konten 15.6 Tinggi
3 Metodologi 14 Tinggi
4 Fasilitas 15.3 Tinggi
Rata-rata 14.7 Tinggi
Sumber: data penelitian yang diolah dan dikelompokkan sesuai
kategori
Berdasarkan tabel 2 diketahui bahwa
rata-rata nilai indeks untuk dimensi
instructional sebesar 14.7, artinya persepsi
peserta terhadap variabel organisasi, konten,
metodologi dan fasilitas termasuk dalam
kategori tinggi.
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017
176
Selain itu, berdasarkan data angket,
wawancara dan dokumentasi pada kategori
organisasi diketahui bahwa informasi dari materi
yang disampaikan sesuai dengan profesi peserta,
materi yang disampaikan dalam IHT sesuai
dengan level peserta atau tidak melenceng dari
profesi peserta sebagai guru di SD
Muhammadiyah (Plus) Salatiga, materi diurutkan
dari materi mudah ke materi sulit, durasi IHT
yang diselenggarakan selama dua hari sudah baik.
Pada kategori konten diketahui bahwa topik-topik
yang diberikan dalam pelatihan didasarkan pada
kebutuhan guru yang disesuaikan dengan visi,
misi sekolah, topik yang diberikan sesuai dengan
tujuan IHT karena tujuan IHT dirumuskan
bersama antara guru dan pimpinan sekolah. Pada
kategori metode diketahui bahwa metode
penyampaian materi dalam IHT sesuai dengan
materi yang diberikan, fasilitas yang sering
dimanfaatkan dalam penyampaian materi adalah
IT (Teknologi Informasi), interaksi antara
pemateri dan peserta dilakukan dengan baik, dan
penggunaan teori belajar sudah sangat baik. Pada
kategori fasilitas diketahui bahwa IHT
diselenggarakan di hotel karena lebih terjamin
kenyamanan yang ditawarkannya, mulai dari
makanan, penginapan, ruang presentasi hingga
media untuk presentasi. Pada kategori biaya
diketahui bahwa seluruh biaya yang diperlukan
untuk IHT berasal dari anggaran sekolah, dan jika
anggaran sekolah tidak mencukupi maka panitia
mencari donatur dari luar sekolah untuk menutupi
kekurangan tersebut.
Dimensi Institutional
Dimensi institutional terdiri dari variabel
siswa, guru, administrator, spesialis pendidikan,
keluarga dan komunitas. Siswa atau peserta IHT
berisi identifikasi usia, jenis kelamin, prestasi,
serta minat atau motivasi. Guru atau pemateri
berisi identifikasi latar belakang pendidikan, dan
pengalaman kerja. Panitia mengenai pemilihan
dan kualifikasinya. Spesialis pendidikan
mengenai keterlibatannya dalam pelatihan.
Keluarga dan komunitas perlu mengenai bentuk
dukungannya terhadap keberhasilan program
pelatihan.
Tabel 3 Hasil Tabulasi Angket Dimensi Institutional
NO INDIKATOR INDEKS KATEGORI
1 Pemateri 15.2 Tinggi
2 Dukungan Keluarga 15.6 Tinggi
3 Dukungan Komunitas 16 Tinggi
Rata-rata 15.4 Tinggi
Sumber: data penelitian yang diolah dan dikelompokkan sesuai kategori
Berdasarkan tabel 3 diketahui bahwa
pada dimensi institutional diperoleh nilai
indeks sebesar 15.5. Hal ini berarti persepsi
peserta terhadap pemateri, dukungan keluarga
dan dukungan komunitas termasuk dalam
kategori tinggi.
Selain itu, berdasarkan data angket,
wawancara dan dokumentasi pada kategori
pemateri diketahui bahwa pemateri menguasai
materi dengan baik, jelas, dan tepat sasaran
karena pemateri merupakan para ahli di
bidangnya. Selain itu pemateri memberikan
kesempatan kepada peserta untuk menanyakan
materi yang kurang jelas. Walaupun secara
umum pemateri mendapat penilaian yang baik
dari para peserta, namun peserta mengharapkan
agar pada IHT yang diselenggarakan tahun
depan dihadirkan seorang motivator agar lebih
termotivasi lagi untuk mengajar. Pada kategori
peserta diketahui bahwa seluruh peserta
pelatihan merupakan seluruh guru SD
Muhammadiyah (Plus) Salatiga yang mengajar
dari kelas satu sampai enam. Berdasarkan
angket terbuka, diketahui motivasi peserta
untuk mengikuti IHT adalah program IHT
merupakan program wajib yang harus diikuti
oleh seluruh guru, karena program IHT dapat
menambah wawasan yang dapat menunjang
profesinya, menyatukan visi misi,
meningkatkan komitmen guru sebagai bagian
dari SD Muhammadiyah (Plus) Salatiga,
meningkatkan semangat dan etos kerja,
mempererat tali persaudaraan antar teman
sekerja, dan dapat menyusun program-program
berkualitas yang akan berdampak pada
kemajuan sekolah. Pada kategori spesialis
Evaluasi Program Pelatihan In House Training (IHT) Di Sekolah Dasar Swasta | Aih E. Ayuningtyas, dkk.
177
pendidikan diketahui bahwa spesialis
pendidikan memberikan dukungan kepada
sekolah-sekolah yang hendak mengembangkan
kompetensi guru melalui pelatihan yang
diadakan secara mandiri. SD Muhammadiyah
(Plus) Salatiga pun melibatkan spesialis
pendidikan sebagai salah satu pemateri dalam
IHT. Pada kategori keluarga diketahui bahwa
keluarga mendukung para peserta untuk
mengikuti IHT karena keluarga menyadari
bahwa kegiatan IHT merupakan kegiatan yang
wajib untuk diikuti peserta sebagai bagian dari
profesionalisme kerja di SD Muhammadiyah
(Plus) Salatiga. Pada kategori komunitas
diketahui bahwa komunitas turut memberi
dukungan dan menjadi perantara pimpinan
sekolah untuk mengawasi perubahan perilaku
guru setelah mengikuti IHT.
Dimensi behavior
Terdapat tiga variabel dalam dimensi
behavior, yaitu kognitif, afektif dan
psikomotor. Pada penelitian ini ketiga variabel
dijabarkan sebagai berikut: a) variabel kognitif
dibatasi dalam dua tingkatan, yaitu menambah
pengetahuan dan wawasan dan
mengaplikasikan pengetahuan dari materi yang
disampaikan dalam IHT; b) variabel afektif
yang meliputi sikap guru dalam mendukung
visi sekolah, peningkatan minat mengajar,
peningkatan ketertiban dalam melaksanakan
ibadah, dan penyesuaian diri dalam organisasi;
dan c) variabel psikomotor meliputi
kemampuan memberi penilaian hasil belajar
siswa sesuai K-13, kemampuan melakukan
diversifikasi model dan metode pembelajaran,
kemampuan membuat inovasi teknologi dalam
pembelajaran, penggunaan bahan ajar yang
bervariasi, merencanakan pengembangan karir
akademik berbasis prestasi, penggunaan
Bahasa Arab dan Bahasa Inggris,
meningkatkan praktek religiusitas, serta
peningkatan prestasi guru.
Tabel 4 Hasil Tabulasi Angket Dimensi behavior
NO INDIKATOR INDEKS KATEGORI
1 Kognitif 14 Tinggi
2 Afektif 15.3 Tinggi
3 Psikomotor 13.2 Tinggi
Rata-rata 14 Tinggi
Sumber: data penelitian yang diolah dan dikelompokkan sesuai kategori
Berdasarkan tabel empat diketahui bahwa
rata-rata indeks dimensi behavior sebesar 14.
Hal ini berarti bahwa pencapaian tujuan khusus
pada aspek kognitif, afektif, dan psikomotor
peserta pelatihan termasuk dalam kategori
tinggi.
Berdasarkan angket dan wawancara
diketahui bahwa pada aspek kognitif nilai
indeks tertinggi terdapat dalam indikator
kontribusi pelatihan IHT dalam menambah
pengetahuan Kemuhammadiyahan karena
materi banyak yang membahas dan berdasar
pada kemuhammadiyahan. Adapun nilai indeks
terendah ada pada indikator kontribusi IHT
dalam menambah pengetahuan tentang
penilaian hasil belajar Kurikulum 2013.
Bahkan ada beberapa guru yang menilai bahwa
IHT kurang atau tidak memiliki kontribusi
dalam menambah pengetahuan tentang
penilaian hasil belajar Kurikulum 2013.
Alasannya adalah karena guru tersebut tidak
mendapat kesempatan untuk mempraktekan
penilaian hasil belajar Kurikulum 2013 tersebut
secara langsung. Keterangan tersebut
nampaknya sesuai dengan dokumen Panduan
Kegiatan IHT yang tertulis bahwa metode yang
digunakan hanya ceramah, tanya jawab, dan
diskusi tanpa ada praktek atau simulasi. Pada
aspek afektif nilai indeks tertinggi terdapat pada
indikator dukungan guru terhadap misi sekolah
dam minat mengajar guru. Guru banyak yang
beralasan bahwa keikutsertaannya dalam
kegiatan IHT selain untuk melaksanakan
kewajiban tetapi juga ingin menyatukan misi
dan untuk meningkatkan minat mengajar di SD
Muhammadiyah (Plus) Salatiga. Adapun nilai
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017
178
indeks terendah terdapat pada indikator
ketertiban guru dalam melaksanakan ritual
ibadah. Walaupun memiliki indeks terendah,
tetapi indikator tersebut masih termasuk dalam
kategori tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa
IHT telah berhasil mencapai tujuan khusus
program dari segi afektif peserta IHT. Pada
aspek psikomotor walaupun rata-rata nilai
indeks termasuk kategori tinggi tetapi ada satu
indikator yang masih termasuk kategori cukup,
yaitu pada kategori kemampuan menggunakan
Bahasa Arab dan Bahasa Inggris. Hal ini
nampaknya terjadi karena kemampuan
menggunakan Bahasa Arab dan Bahasa Inggris
bukan menjadi prioritas dalam tujuan khusus
program. Sedangkan nilai indeks tertinggi
terdapat pada indikator kemampuan guru dalam
melakukan diversifikasi model dan metode
pembelajaran setelah mengikuti pelatihan IHT.
Pembahasan
Dimensi Instructional
Pada sub variabel organisasi diketahui
bahwa materi yang diberikan sesuai dengan
level peserta yang dalam penelitian ini adalah
guru SD Muhammadiyah (Plus) Salatiga. Hasil
temuan ini berbeda dengan temuan dalam
penelitian yang dilakukan oleh Pahlevi (2016)
bahwa pengelompokan materi pelatihan yang
belum tersusun berdasarkan level membuat
peta kompetensi pendidik sulit terlacak yang
akhirnya dapat menghambat keberhasilan
program. Selain itu, pembagian durasi waktu
masing-masing materi dalam jadwal diklat juga
perlu dipertimbangkan. Berdasarkan temuan
dalam penelitian ini, pembagian waktu dalam
IHT SD Muhammadiyah (Plus) Salatiga
mendapat penilaian baik dari para peserta. Hal
ini dikarenakan materi yang diberikan tidak
terlalu banyak dan waktu yang dialokasikan
cukup untuk penyampaian materi dan tanya
jawab. Lain halnya dengan hasil temuan dalam
penelitian Riza (2014: 90-100) bahwa jadwal
diklat terlalu padat sehingga menyulitkan
peserta dalam membagi waktu untuk berbagai
aktivitas dalam diklat. Pengaturan jadwal yang
tidak efektif tersebut dikarenakan terlalu
banyak materi yang diberikan.
Pada sub variabel konten Pahlevi (2016)
mengemukakan bahwa diperlukan analisis
kebutuhan yang disesuaikan dengan tujuan
penyelenggara untuk menentukan topik
pelatihan agar dapat meningkatkan kompetensi
pesertanya. Hal ini senada hasil temuan dalam
penelitian ini bahwa topik IHT dipilih
berdasarkan kebutuhan guru di SD
Muhammadiyah (Plus) Salatiga yang
disesuaikan dengan visi, misi, dan tujuan
sekolah. Topik sendiri dipilih dengan cara
musyawarah antar warga sekolah, terutama
guru dan para pimpinan sekolah. Pada variabel
materi, seluruh materi dalam IHT SD
Muhammadiyah (Plus) Salatiga penting untuk
menunjang kompetensinya. Hasil ini berbeda
dengan hasil penelitian Riza (2014: 90-100) dan
Uysal (2014: 17-26) bahwa tidak semua materi
dalam diklat dapat menunjang pekerjaan
peserta, dan terdapat materi yang tidak sesuai
dengan kebutuhan guru sehingga tujuan
program tidak dapat tercapai dengan baik.
Pada sub variabel metodologi, Pahlevi
(2016) mengemukakan metode pelatihan yang
digunakan dalam diklat adalah metode
ceramah, dan praktek langsung karena materi
diklat lebih menitikberatkan pada bidang
kejuruan. Uysal (2014: 17-26) mengemukakan
bahwa sehubungan dengan topik pelatihan
mengenai keterampilan mengajar bahasa maka
panitia menggunakan metode simulasi agar
peserta dapat mempraktekkan secara secara
langsung tugas yang diberikan pelatih, tetapi
kelas tidak disetting dengan baik sehingga kelas
terlalu sesak. Lain halnya dalam penelitian ini,
IHT menggunakan metode ceramah, tanya
jawab, dan diskusi ini dipilih karena sesuai
dengan materi yang hendak disampaikan dalam
IHT yang lebih banyak pada teori dan
penyusunan strategi. Selain itu, terdapat
variabel lain yang tidak dikemukakan dalam
penelitian sebelumnya, yaitu prinsip-prinsip
belajar untuk menguatkan sikap yang
menggambarkan pencapaian tujuan,
membangun motivasi agar tujuan pelatihan
dapat dicapai secara efektif, mengaplikasikan
prinsip pemecahan masalah, merencanakan
pembelajaran agar sesuai dengan kecakapan
Evaluasi Program Pelatihan In House Training (IHT) Di Sekolah Dasar Swasta | Aih E. Ayuningtyas, dkk.
179
peserta, membuat peserta mampu melakukan
hal-hal yang diajarkan dalam pelatihan, dan
peserta ikut berpartisipasi dalam pelatihan
tersebut.
Pada sub variabel fasilitas, Putri (2013:
522-527) mengemukakan bahwa yang
termasuk dalam fasilitas adalah fasilitas
akomodasi, konsumsi, dan tentang pelayanan
dari panitia penyelenggara. Lain halnya dengan
Riza (2014: 90-100) yang mengemukakan
bahwa fasilitas yang diberikan dalam pelatihan
yang ditelitinya antara lain akomodasi,
konsumsi, dan fasilitas ruangan, tetapi tidak
disediakannya ruang khusus untuk ibadah dapat
menghambat efektivitas pelaksanaan pelatihan.
Temuan lain dari Pahlevi (2016) dijelaskan
bahwa fasilitas yang diberikan oleh
penyelenggara mulai dari penginapan, sarana
peralatan untuk praktek dan ruang untuk
menyampaikan materi, akan tetapi fasilitas
penginapan yang diberikan tidak sama antara
peserta satu dengan peserta lain sehingga
mempengaruhi kepuasan dan kenyamanan
peserta. Selain itu sarana peralatan untuk
praktek yang terkini yang sesuai dengan
kebutuhan industri juga masih kurang, sehingga
dapat menghambat ketercapaian tujuan
program. Lain halnya pada temuan Uysal
(2014: 17-26) bahwa dari berbagai fasilitas
yang diberikan, terdapat satu fasilitas yang
kurang baik, yaitu ketersediaan materi yang
tidak mencukupi untuk seluruh peserta dan
tidak ada materi baru yang dikembangkan pihak
penyelenggara. Temuan-temuan yang telah
dikemukakan berbeda dengan hasil temuan
dalam penelitian di SD Muhammadiyah (Plus)
Salatiga. Fasilitas yang diberikan dalam IHT
merupakan fasilitas yang disediakan oleh
tempat atau hotel dimana IHT diselenggarakan,
yaitu berupa penginapan, makanan, tempat
untuk pertemuan, dan kualitas media. Peserta
menilai pelayanan dan fasilitas pelatihan IHT
sudah memuaskan.
Pada sub variabel biaya, Pahlevi (2016)
dalam penelitiannya mengemukakan bahwa
biaya yang diperlukan untuk diklat berasal dari
dana APBD sehingga besarnya anggaran
menjadi masalah tersendiri bagi
penyelenggaraan program diklat karena akan
berpengaruh terhadap jumlah peserta dan durasi
waktu diklat. Dalam penelitiannya dikatakan
bahwa panitia akan menyesuaikan jumlah
peserta dengan dana yang ada. Temuan tersebut
berbeda dengan temuan dalam penelitian ini
karena biaya yang diperlukan untuk IHT
berasal dari sekolah. Walapun biaya memang
berpengaruh terhadap jumlah peserta, fasilitas
yang akan diberikan kepada peserta dan durasi
waktu untuk IHT, akan tetapi panitia IHT di SD
Muhammadiyah (Plus) Salatiga selalu berusaha
untuk mencukupi biaya yang diperlukan agar
IHT dapat berjalan dengan baik sesuai dengan
rencana dan tujuan. Apabila sumber dana yang
dialokasikan sekolah kurang, maka panitia akan
mencari sponsor untuk menutupi kekurangan
tersebut daripada harus mengurangi peserta
atau mengubah rencana dan tujuan IHT. Usaha
yang dilakukan panitia ini merupakan cara yang
baik karena kualitas IHT yang diselenggarakan
dapat terjaga.
Dimensi Institutional
Pada sub variabel pemateri, Riza (2014:
90-100) mengemukakan bahwa pemateri atau
narasumber tidak menguasai metode dengan
baik karena pemateri terlalu teoritis dan tidak
memberikan contoh konkrit pada materinya
sehingga peserta sulit memahami materi yang
disampaikan. Adapun temuan yang diperoleh
dalam penelitian ini para peserta menilai bahwa
para pemateri merupakan orang kompeten yang
dapat menyampaikan materi sesuai dengan
kebutuhan guru dan pemateri dapat
memberikan materi secara jelas. Walaupun
begitu para guru mengharapakan agar pada IHT
berikutnya panitia mengundang motivator agar
para guru lebih termotivasi dalam mengajar.
Pada sub variabel peserta pelatihan, Riza
(2014: 90-100) mengemukakan bahwa
rekrutmen peserta dalam penelitian termasuk
dalam kategori baik namun dalam
pelaksanaannya belum sesuai dengan kriteria
umum dan khusus, yang diantaranya usia
melebihi batas maksimal dan kualifikasi
akademik tidak sesuai dengan syarat yang telah
ditentukan. Adapun Pahlevi (2016)
menjelaskan bahwa peserta diklat dipilih oleh
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017
180
panitia dan diambil dari sekolah yang memiliki
paket keahlian sesuai dengan topik pelatihan
dan memiliki peralatan yang menunjang di
sekolah. Lain halnya dalam penelitian ini,
peserta tidak diseleksi atau direkrut
berdasarkan syarat-syarat tertentu karena
pelatihan atau IHT hanya dilakukan dalam
lingkup sekolah sehingga peserta IHT
merupakan seluruh guru SD Muhammadiyah
(Plus) Salatiga.
Pada sub variabel panitia, Putri (2013:
522-527) menjelaskan bahwa pelatihan
diselenggarakan oleh lembaga diklat yang
professional, sehingga mendapat tanggapan
yang positif dari peserta. Selain itu, Pahlevi
(2016) juga mengemukakan bahwa diklat
diselenggarakan oleh lembaga diklat yang
khusus menangani pendidikan kejuruan, akan
tetapi lemahnya motivasi sebagian pegawai
dalam melaksanakan tugas dapat menghambat
keberhasilan program. Temuan-temuan yang
telah dipaparkan agaknya tidak sama dengan
temuan dalam penelitian ini karena
penyelenggara IHT merupakan warga sekolah
dan bukan lembaga yang secara khusus
menangani program pelatihan. Penyelenggara
merupakan panitia yang terdiri dari guru-guru
SD Muhammadiyah (Plus) Salatiga. Walaupun
begitu, panitia IHT memiliki semangat dan
komitmen yang tinggi untuk mencapai
keberhasilan program. Hal ini dibuktikan pada
usaha panitia yang menggalang dana jika
anggaran yang diberikan oleh sekolah kurang.
Panitia IHT selalu berusaha untuk memberikan
kualitas yang baik dalam pelaksanaan IHT.
Pada sub variabel spesialis pendidikan,
penelitian yang dilakukan oleh Putri (2013:
522-527), Riza (2014: 90-100), Pahlevi (2016),
Uysal (2014: 17-26) dan Yussof, dkk (2016:
630-636) selurunya mengemukakan bahwa
pelatihan merupakan inisiatif dari dinas
pendidikan atau menteri pendidikan (spesialis
pendidikan) setempat sehingga seluruh biaya
ditanggung oleh pemerintah. Lain halnya
dengan pelatihan dalam penelitian ini, IHT di
SD Muhammadiyah (Plus) Salatiga merupakan
inisiatif dari sekolah, sehingga biaya yang
dibutuhkan pun berasal dari sekolah. Peran
spesialis pendidikan dalam IHT ini adalah
memberikan izin terkait penyelenggaraan
program IHT di SD Muhammadiyah (Plus)
Salatiga. Selain itu, sehubungan dengan
pegawai dinas pendidikan yang merupakan
para ahli di bidang pendidikan, maka panitia
IHT mengundang salah seorang pegawai dinas
pendidikan untuk memberikan materi yang
terkait dengan Kurikulum 2013.
Keluarga dan komunitas menjadi faktor
yang juga turut andil dalam mencapai
keberhasilan program pelatihan. Pada
penelitian-penelitian terdahulu keluarga dan
komunitas tidak dijelaskan sebagai faktor yang
mempengaruhi keberhasilan program. Pada
penelitian ini keluarga turut berperan dalam
mempengaruhi motivasi peserta untuk
mengikuti kegiatan IHT. Keluarga yang
memberikan dukungan kepada peserta untuk
mengikuti IHT akan menambah motivasi
peserta, begitu pun sebaliknya. Selain itu
komunitas guru turut mendukung dalam
mencapai tujuan program karena komunitas
dapat digunakan sebagai sarana untuk
memantau perubahan perilaku yang
ditunjukkan guru sebagai dampak dari
pelatihan. Komunitas juga dapat digunakan
sebagai sarana untuk sharing terhadap masalah-
masalah yang dihadapi guru pada saat
mengimplementasikan materi pelatihan.
Dimensi Behavior
Tujuan kognitif dari penelitian yang
dilakukan oleh Putri (2013: 522-527) adalah
meningkatkan kemampuan peserta mengenai
Pendidikan Matematika Realistik Indonesia
(PMRI) yang diukur dengan tes, dan
mengaplikasikan materi melalui simulasi yang
diukur melalui observasi. Adapun Riza (2014:
90-100) mengemukakan bahwa tujuan kognitif
dari pelatihan dalam penelitiannya adalah
meningkatkan pengetahuan akademik yang
diukur dengan menggunakan tes. Hal senada
juga ditunjukkan oleh Yussof, dkk (2016: 630-
636) bahwa tujuan kognitif dalam penelitiannya
adalah meningkatkan pengetahuan peserta yang
diukur melalui tes. Tes dalam penelitian-
penelitian tersebut berfungsi untuk mengetahui
perubahan pengetahuan peserta secara
Evaluasi Program Pelatihan In House Training (IHT) Di Sekolah Dasar Swasta | Aih E. Ayuningtyas, dkk.
181
langsung setelah mengikuti pelatihan. Dalam
penelitian ini tujuan kognitif dari penelitian
adalah untuk meningkatkan pengetahuan dan
mengaplikasikan materi IHT. Akan tetapi
sehubungan dengan pelaksnaan IHT yang
dilakukan tiga tahun yang lalu, dan baru dapat
dilihat setelah tiga tahun sejak pelatihan
dilakukan maka kurang efektif jika diukur
menggunakan tes. Selain itu, tidak
digunakannya tes dalam penelitian karena
adanya keterbatasan waktu dan perizinan untuk
memberikan tes kepada guru yang sebagian
besar merupakan guru baru yang tidak
mengikuti IHT tahun 2013/2014 ini.
Berdasarkan temuan dalam penelitian ini,
seluruh tujuan kognitif IHT telah tercapai
dengan baik. Akan tetapi masih ada kekurangan
yang perlu diperbaiki untuk kelanjutan
program, yaitu mengenai kesesuaian metode
dengan materi yang diberikan. Pada temuan ini
ada beberapa guru yang menilai bahwa IHT
kurang memiliki kontribusi dalam menambah
pengetahuan tentang penilaian hasil belajar
Kurikulum 2013 karena guru tersebut tidak
mendapat kesempatan untuk mempraktekan
penilaian hasil belajar Kurikulum 2013 tersebut
secara langsung. Temuan ini menunjukkan
bahwa metode yang digunakan masih perlu
dikaji ulang agar lebih sesuai sehingga dapat
mencapai tujuan dengan lebih baik lagi.
Tujuan afektif dalam pelatihan merujuk
pada perubahan sikap peserta setelah mengikuti
pelatihan. Riza (2014: 90-100) mengemukakan
bahwa peserta yang mengikuti pelatihan tidak
menunjukkan perubahan sikap sesuai dengan
materi yang diajarkan dalam pelatihan.
Penyebabnya adalah tidak adanya monitoring
dari lembaga diklat setelah pelatihan selesai.
Hasil temuan tersebut berbeda dengan hasil
temuan pada penelitian ini karena tujuan afektif
IHT yang meliputi kontribusi IHT dalam
menambah dukungan misi sekolah,
meningkatkan minat mengajar guru,
meningkatkan ketertiban guru dalam
melaksanakan ritual ibadah, dan kemampuan
guru untuk menyesuaikan diri dalam organisasi
sekolah seluruhnya dapat tercapai dengan baik.
Ketercapaian itu merupakan hasil dari
pengawasan yang dilakukan oleh pemimpin
sekolah melalui komunitas-komunitas yang ada
di sekolah.
Psikomotor merupakan tujuan pelatihan
yang berkaitan dengan peningkatan
keterampilan peserta setelah mengikuti
pelatihan. Penelitian yang dilakukan oleh Riza
(2014: 90-100) menghasilkan temuan bahwa
tidak sepenuhnya tujuan psikomotor dapat
dicapai, karena guru mempunyai prioritas
sendiri tentang keterampilan yang penting
untuk digunakan di tempat kerjanya. Oleh
karena itu, materi yang tidak diprioritaskan
tersebut kurang berhasil dalam meningkatkan
keterampilan peserta. Temuan tersebut juga
ditemukan dalam penelitian ini. Tujuan
psikomotor dalam penelitian ini dibatasi pada
kemampuan memberi penilaian hasil belajar
siswa sesuai K13, kemampuan melakukan
diversifikasi model dan metode pembelajaran,
kemampuan melakukan inovasi teknologi
dalam pembelajaran, penggunaan bahan ajar
yang bervariasi, merencanakan pengembangan
karir akademik berbasis prestasi, penggunaan
Bahasa Arab dan Bahasa Inggris,
meningkatkan praktek religiusitas, peningkatan
prestasi guru. Hasilnya hampir semua tujuan
psikomotor dapat tercapai dengan baik, tetapi
ada satu tujuan yang masih belum tercapai,
yaitu pada kategori kemampuan menggunakan
Bahasa Arab dan Bahasa Inggris. Hal ini terjadi
karena kategori tersebut bukan menjadi
prioritas untuk segera dicapai dalam waktu tiga
tahun. Tujuan psikomotor program lebih
diprioritaskan pada pencapain prestasi sekolah.
Akan tetapi prestasi yang diprioritaskan adalah
peningkatan prestasi siswa. Oleh karena itu
seharusnya peningkatan prestasi tidak hanya
difokuskan untuk siswa saja, tetapi juga prestasi
sekolah pada umumnya. Sekolah perlu
memberikan dukungan untuk peningkatan
prestasi guru. Walaupun beberapa guru sudah
mewakili sekolah di tingkat kota, provinsi,
bahkan nasional namun masih ada guru yang
mempunyai minat tinggi untuk turut serta
dalam meningkatkan prestasi tetapi kurang
mendapat perhatian oleh pihak sekolah.
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017
182
Pada akhirnya, penelitian ini mendukung
temuan Astuti, S., Slameto, S., &
Dwikurnaningsih, Y. (2017) yang menyatakan
bahwa pelatihan model In House Training dapat
meningkatkan kemampuan guru SD
Laboratorium Kristen Satya Wacana dalam
menyusun instrumen penilaian ranah sikap;
Temuan ini didasarkan data peningkatan
persentase peserta pelatihan yang mencapai
KKM (kriteria keberhasilan ≥ 60) dari 76, 92%
pada siklus I menjadi 80% pada siklus II.
Simpulan ini juga didukung capaian aktivitas
trainer maupun peserta pelatihan pada kategori
baik dan sangat baik untuk semua siklus.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Pada dimensi Instructional terdapat lima
sub variabel, yaitu organisasi, konten/materi,
metodologi, fasilitas, dan biaya. Rata-rata nilai
indeks pada dimensi ini termasuk dalam
kategori tinggi. Masing-masing sub variabel
dalam dimensi Instructional ini pun termasuk
dalam kategori tinggi.
Dimensi Institutional pada penelitian ini
membahas tentang personil-personil yang
berperan dalam IHT. Adapun sub variabel pada
dimensi ini adalah pemateri, peserta,
administrator atau panitia, spesialis pendidikan,
keluarga, dan komunitas. Nilai indeks dari
masing-masing sub variabel pada dimensi ini
termasuk dalam kategori tinggi. Bahkan
komunitas memiliki peran yang penting dalam
mencapai tujuan program karena melalui
komunitas, pemimpin sekolah dapat
mengawasi perubahan perilaku guru setelah
mengikuti pelatihan dalam rangka mencapai
tujuan program IHT. Walaupun begitu para
guru mengharapakan agar pada IHT berikutnya
panitia mengundang motivator agar para guru
lebih termotivasi dalam mengajar.
Dimensi behavior dalam penelitian ini
menyangkut tujuan khusus dari program IHT
yang di selenggarakan oleh SD
Muhammadiyah (Plus) Salatiga. Adapun tujuan
khusus yang dimaksud adalah peningkatan
kompetensi guru yang terbagi dalam
pengetahuan (kognitif), sikap (afektif), dan
keterampilan (psikomotor). Seluruh tujuan
kognitif tersebut dapat tercapai dengan baik,
walaupun perlu ada perbaikan pada metode
penyampaian materi agar dapat menambah
pengetahuan lebih optimal lagi. Adapun tujuan
afektif seluruhnya dapat tercapai dengan baik.
Pada tujuan psikomotor hampir seluruhnya
termasuk kategori baik. Akan tetapi masih ada
satu tujuan psikomotor yang belum tercapai
dengan baik, yaitu kemampuan menggunakan
Bahasa Arab dan Bahasa Inggris. Hal ini terjadi
karena kategori tersebut bukan menjadi
prioritas untuk segera dicapai dalam waktu tiga
tahun.
Berdasarkan penlitian dengan
menggunakan model evaluasi Three
Dimensional Cube Hammond untuk
menganalisis Program Pelatihan In House
Training (IHT) di SD Muhammadiyah (Plus)
Salatiga, dapat disimpulkan bahwa program
IHT yang dilaksanakan pada tahun ajaran
2013/2014 telah mencapai tujuan walaupun
masih perlu perbaikan.
Saran Berdasarkan simpulan yang telah
dipaparkan, maka dapat disarankan agar
sekolah hendaknya membuat perencanaan yang
lebih matang dengan mempertimbangkan
metode penyampaian materi yang sesuai
dengan tujuan materi; sekolah hendaknya
melakukan analisis kebutuhan bukan hanya
untuk menentukan topik tetapi juga untuk
menentukan pemateri yang dibutuhkan peserta;
sekolah hendaknya tidak memprioritaskan
beberapa tujuan saja, agar seluruh tujuan dapat
dicapai secara optimal dan menetapkan
kegiatan untuk mencapai tujuan tersebut,
misalnya untuk meningkatkan kemampuan
Bahasa Arab dan Bahasa Inggris perlu diadakan
hari bahasa untuk hari-hari tertentu.
Rekomendasi Keberlanjutan Program
Berdasarkan pemaparan-pemaparan
mengenai IHT SD Muhammadiyah (Plus)
Salatiga dari segi dimensi instructional,
institutional, dan behavior maka dapat
disimpulkan bahwa program IHT tersebut
memiliki pengaruh yang baik untuk
meningkatkan kompetensi guru. Oleh karena
Evaluasi Program Pelatihan In House Training (IHT) Di Sekolah Dasar Swasta | Aih E. Ayuningtyas, dkk.
183
itu, program tahunan SD Muhammadiyah
(Plus) Salatiga ini perlu dilanjutkan dengan
beberapa perbaikan. Perbaikan tersebut antara
lain: (1) panitia perlu menyusun perencanaan
tentang penggunaan metode yang lebih sesuai
dengan materi dan tujuan yang hendak dicapai,
khususnya pada materi yang memerlukan
praktek secara langsung atau simulasi; (2)
panitia perlu melakukan analisis kebutuhan
guru secara lebih detail, sebagai contoh
kebutuhan guru untuk mendapat motivasi dari
seorang motivator; dan (3) pihak sekolah perlu
memberikan perhatian kepada guru yang ingin
mengembangkan prestasinya dengan
memberikan pengarahan-pengarahan, atau pun
kegiatan-kegiatan yang dapat menunjang
potensi guru untuk berprestasi.
DAFTAR PUSTAKA
Astuti, S., Slameto, S., & Dwikurnaningsih, Y.
(2017). Peningkatan Kemampuan Guru
Sekolah Dasar Dalam Penyusunan
Instrumen Ranah Sikap Melalui In
House Training. Kelola: Jurnal
Manajemen Pendidikan, 4 (1), 37-47.
Basri, Hasan dan Rusdiana, A. 2015.
Manajemen Pendidikan dan Pelatihan.
Bandung: Pustaka Setia
Eliyanto dan Udik Budi Wibowo. 2016.
Pengaruh Jenjang Pendidikan,
Pelatihan, dan Pengalaman Mengajar
Terhadap Profesionalisme Guru SMA
Muhammadiyah di Kabupaten
Kebumen. Jurnal Akuntabilitas
Manajemen Pendidikan. 1 (1), 34-47.
Hammond, Robert L. 1968. Evaluation at The
Local Level. Tucson: Project EPIC
Musfah, Jejen. 2011. Peningkatan Kompetensi
Guru, Melalui Pelatihan dan Sumber
Belajar Teori dan Praktik. Jakarta:
Kencana
Pahlevi, Reza. 2016. Evaluasi Program Diklat
Kompetensi Guru Sekolah Menengah
Kejuruan (SMK) di Balai
Pengembangan Pendidikan Kejuruan
Provinsi Jawa Tengah. Tesis: Magister
Manajemen Pendidikan, Universitas
Kristen Satya Wacana
Putri, Ratu Ilma Indra. 2013. Evaluasi Program
Pelatihan Pendidikan Matematika
Realistik Indonesia (PMRI) Bagi Guru
Matematika Sumatera Selatan.
Prosiding Seminar Nasional Evaluasi
Pendidikan, 1 (1), 522-527.
Rivai, Veithzal dan Murni, Sylviana. 2012.
Education Management: Analisis Teori
dan Praktik. Jakarta: PT Rajagrafindo
Persada
Riza, Eva. 2014. Efektivitas Diklat Berjenjang
tingkat Dasar Pendidik Dan Tenaga
Kependidikan PAUD. Jurnal
Pendidikan Usia Dini 8 (1), 90-100.
Sudana, I Made. Analisis Meta Pada
Manajemen Pasca Pelatihan Untuk
Meningkatkan Produktivitas Guru di
SMK. Jurnal Pendidikan Vokasi. 1
(1),133-156.
Sudjoko, Alfaris. 2012. Peningkatan
Kemampuan Guru Mata Pelajaran
Melalui In-House Training. Jurnal
Pendidikan Penabur, 18 (11), 36-55.
Uysal, Hacer H. 2012. Evaluation of an In-
service Training Program for Primary-
school Language Teachers in Turkey.
Australian Journal of Teacher
Education. 37 (7), 14-29.
Yusoff, Mohd Azmi Mat, dkk. 2016.
Evaluation of School Based Assessment
Teacher Training Programme. Creative
Education. 2016 (7), 627-638.
Magister Manajemen Pendidikan FKIP Universitas Kristen Satya Wacana [email protected]
e-ISSN 2549-9661 Volume: 4, No. 2, Juli-Desember 2017
Halaman: 184-194
184
Dampak Biaya Kuliah Tunggal Terhadap Kualitas Layanan Pendidikan
Sumarno
Pendidikan Ekonomi, FKIP, Universitas Riau
Gimin
Pendidikan Ekonomi, FKIP, Universitas Riau
Syakdanur Nas
Pendidikan Ekonomi, FKIP, Universitas Riau
ABSTRACT
This study aims to determine the differences in the number of single tuition fees and
non-single tuition; the proportion of resources and the allocation of funds before and
after the single tuition policy; and the quality of educational services by single tuition and
non-single tuition college students. The data was collected from students and leaders at
the University of Riau through questionnaires, documentation, and interviews. Data were
analyzed descriptively and different test. The results show that the amount of a single
tuition fee is not much different from the non-single tuition fee. The proportion of funding
sources from the public increased after a single tuition policy, but the proportion of
allocations for operational costs decreased. Single tuition college students rated the
quality of educational services lower than the non-single tuition of students with
significant differences. Single tuition does not significantly affect the quality of education
services.
Keywords: single tuition fee, education services
Article Info
Received date: 2 Oktober 2017 Revised date: 5 November 2017 Accepted date: 5 November 2017
Dampak Biaya Kuliah Tunggal Terhadap Kualitas Layanan Pendidikan | Sumarno, dkk.
185
PENDAHULUAN
Uang Kuliah Tunggal menurut Peraturan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
(Permendikbud) No. 55 Tahun 2013 antara lain
dimaksudkan untuk meringankan beban
mahasiswa terhadap pembiayaan pendidikan.
Dalam pasal 5 disebutkan bahwa perguruan
tinggi negeri tidak boleh memungut uang
pangkal dan pungutan lain selain uang kuliah
tunggal dari mahasiswa baru program sarjana
(S1) dan program diploma mulai tahun
akademik 2013/2014.
Kebijakan Permendikbud tentang uang
kuliah tunggal (UKT) dimaksudkan untuk
meringankan beban mahasiswa, namun dalam
pelaksanaannya menuai banyak kritikan dan
penolakan karena justru dianggap
memberatkan mahasiswa. Kritikan dan
penolakan terhadap kebijakan UKT tersebut
juga muncul dari mahasiswa Universitas Riau.
Sebagaimana diberitakan di berbagai media
(riaupos.co, 26 Mei 2013;
bahanamahasiswa.co, 10 Juni 2013;
kampus.okezone.com, 08 Oktober 2013;
pewarta-indonesia.com, 09 Oktober 2013;
gagasanriau.com, 05 Desember 2013) yang
intinya mahasiswa keberatan dan menolak
kebijakan UKT karena terlalu mahal,
memberatkan, dan tidak transparan.
Menurut PP No.17 Tahun 2010 tentang
Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan,
Bab II Pasal 3 ayat b, pengelolaan pendidikan
ditujukan untuk menjamin mutu dan daya saing
pendidikan serta relevansinya dengan
kebutuhan dan/atau kondisi masyarakat.
Karena pengelolaan pendidikan ditujukan
untuk menjamin mutu maka pembiayaan
pendidikan dimaksudkan untuk meningkatkan
mutu pendidikan, sebagaimana pendapat
Wissema (2009) bahwa salah satu faktor
intrinsik yang berpengaruh besar terhadap
peningkatan mutu pendidikan di perguruan
tinggi adalah ketersediaan dana. Begitu juga
hasil penelitian Moses & Rahmayanti (2008)
tentang Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Kualitas Pendidikan Pada Perguruan Tinggi
menyimpulkan bahwa faktor keuangan
berpengaruh secara signifikan terhadap kualitas
pendidikan. Dalam UU No. 12 Tahun 2012
tentang Pendidikan Tinggi pasal 83 (1)
disebutkan bahwa Pemerintah menyediakan
dana Pendidikan Tinggi yang dialokasikan
dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN). Di samping dana dari APBN,
pendanaan pendidikan tinggi juga dapat
bersumber dari pemerintah daerah, masyarakat,
maupun biaya yang ditanggung mahasiswa
sesuai dengan kemampuan mahasiswa, orang
tua mahasiswa, atau pihak lain yang
membiayainya.
Mulyasa (2004) mengungkapkan bahwa
komponen keuangan dan pembiayaan
merupakan komponen yang menentukan
terlaksananya kegiatan proses belajar mengajar
yang penggunaannya antara lain untuk biaya
fasilitas dan alat-alat pengajaran (barang habis
pakai). Begitu juga Michael (2005) yang
menyatakan bahwa pengurangan pendanaan
menyebabkan kondisi layanan yang memburuk,
pemeliharaan bangunan yang terbengkalai, dan
penurunan kualitas akademis. Pernyataan
tersebut juga sesuai pendapat Sumarno (2012)
yang mengungkapkan bahwa rendahnya mutu
Perguruan Tinggi (PT) di Indonesia salah
satunya disebabkan oleh rendahnya dana untuk
membiayai PT. Pengaruh pendanaan terhadap
mutu pendidikan juga dibuktikan oleh data
yang terungkap dalam penelitiannya Sumarno,
Kartikowati, & Astuti (2014) bahwa besarnya
uang komite yang ditanggung siswa pada
sekolah unggul besarnya tiga kali lipat daripada
uang komite sekolah biasa. Hal itu
menunjukkan bahwa bila dana pendidikannya
kecil, maka mutunya terbatas atau menjadi
rendah.
Proporsi sumber dana masyarakat
(termasuk didalamnya uang kuliah dari
mahasiswa) setelah penerapan UKT mengalami
kenaikan, yaitu menjadi sebesar 75,8%
sedangkan sebelumnya hanya 67,4%. Proporsi
alokasi dananya juga ada yang mengalami
kenaikan yaitu alokasi untuk belanja barang
yaitu menjadi sebesar 52,4% dari sebelumnya
48,7%; sedangkan alokasi untuk belanja modal
menurun yaitu menjadi 13,1% dari sebelumnya
sebesar 14,7%. Adanya kenaikan sumber dana
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017
186
masyarakat dan alokasinya untuk belanja
barang, secara teoretik akan menaikan mutu
layanan pendidikannya.
Menurut Ruben (1999), ada lima hal
pokok yang harus diperhatikan oleh manajemen
perguruan tinggi agar terjaga mutu
pendidikannya, yaitu: 1) teaching/ learning; 2)
service/ outreach; 3) schollarship/ research; 4)
workplace satisfaction, dan 5) financial. Lebih
lengkap (Ruben, Schreiner dan Juillerat, 2009)
dalam mengukur layanan pendidikan
menggunakan Student Satisfaction Inventory
yang meliputi 9 aspek, yaitu: 1) academic
advising effectiveness, 2) campus climate, 3)
campus life, 4) campus support services, 5)
instructional effectiveness, 6) recruitment and
financial aid effectiveness, 7) registration
effectiveness, 8) safety and security, and 9)
student centeredness.
Mengacu pada permasalahan dan
pemikiran di muka, penelitian ini mengkaji
tentang UKT dan pengaruhnya terhadap
layanan pendidikan. Tujuan penelitian ini untuk
mengetahui: a) Ada tidaknya perbedaan
besaran UKT dan uang kuliah sebelum
kebijakan UKT diterapkan, b) Proporsi sumber
dan alokasi dana pendidikan sebelum dan
sesudah penerapan UKT, c) Mutu layanan
pendidikan yang dirasakan mahasiswa UKT
dan non-UKT.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian
deskriptif yang mencoba mengungkap tentang
penerapan UKT dan pengaruhnya terhadap
mutu layanan pendidikan yang dirasakan
mahasiswa. Penelitian dilakukan di Universitas
Riau, dengan respondennya adalah unsur
pimpinan dan mahasiswa di lingkungan
Universitas Riau. Responden pimpinan di
lingkungan Universitas diambil dengan teknik
purposive sampling, yaitu para pimpinan, baik
di tingkat universitas maupun fakultas, yang
memahami tentang kebijakan keuangan UKT/
non-UKT dan pengelolaan keuangannya.
Responden mahasiswa diambil dengan teknik
cluster random sampling, yaitu kelompok
mahasiswa UKT (angkatan 2013/2014) dan
kelompok mahasiswa non-UKT (angkatan
sebelum 2013). Masing-masing kelompok
UKT dan non-UKT tersebut diambil secara
acak di sembilan fakultas, dengan jumlah
mahasiswa 30 orang setiap fakutas (15 orang
mahasiswa UKT dan 15 orang mahasiswa non-
UKT) sehingga jumlah sampel mahasiswa
sebanyak 270 orang (135 mahasiswa UKT dan
135 mahasiswa non-UKT). Data penelitian
dikumpulkan dengan teknik pemberian angket,
dokumentasi, dan wawancara. Angket
digunakan untuk mengumpulkan data tentang
mutu layanan pendidikan dan biaya pendidikan
yang dikeluarkan oleh mahasiswa nonUKT.
Instrumen angket tentang mutu layanan
pendidikan merupakan angket tertutup yang
disusun berdasarkan konsep mutu layanan
pendidikan sembilan indikator dengan skala
penilaian 1 hingga 5 (Tidak Memuaskan hingga
Sangat Memuaskan). Instrumen angket tentang
biaya penndidikan mahasiswa non-UKT
merupakan angket terbuka yang disusun
berdasarkan konsep biaya pendidikan yang
dikeluarkan mahasiswa untuk keperluan
kuliahnya, selain biaya pribadi. Dokumentasi
untuk mengumpulkan data tentang pembiayaan
pendidikan yang dikelola oleh universitas, baik
yang bersumber dari mahasiswa maupun dari
sumber lainnya.
Data dianalisis secara deskriptif dan uji
beda. Analisis deskriptif untuk mendapatkan
gambaran tentang: biaya kuliah baik yang UKT
maupun non-UKT, mutu layanan pendidikan
yang diterima mahasiswa, serta proporsi
sumber dan alokasi dana pendidikan
Universitas Riau. Analisis uji beda dengan
teknik uji t beda rata-rata, untuk menganalisis
ada tidaknya perbedaan besarnya biaya kuliah
UKT dan non-UKT serta perbedaan layanan
pendidikan yang diterima mahasiswa UKT dan
non-UKT.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Pada hasil penelitian ini akan dipaparkan
mengenai biaya pendidikan oleh mahasiswa
UKT dan non-UKT serta perbedaannya;
proporsi sumber dan alokasi dana pendidikan
universitas; serta layanan pendidikan yang
Dampak Biaya Kuliah Tunggal Terhadap Kualitas Layanan Pendidikan | Sumarno, dkk.
187
diterima oleh mahasiswa UKT dan non-UKT
beserta perbedaannya.
Biaya pendidikan mahasiswa UKT dan Non-
UKT
Data biaya pendidikan yang dikeluarkan
oleh mahasiswa UKT mapun non-UKT di
Universitas Riau dapat ditunjukkan pada tabel
1 berikut.
Tabel 1. Data Biaya Pendidikan Mahasiswa
Kelompok UKT dan Non-UKT
Indeks Mhs UKT
(Rp)
Mhs Non-UKT
(Rp)
Minimum 500.000,00 750.000,00
Maksimum 13.425.000,00 27.000.000,00
Rata-rata 3.749.614,81 3.578.950,77
Mode 3.125.000,00 904.200,00
Sumber: data penelitian, diolah
Tabel 1. di atas menunjukkan bahwa rata-
rata dan mode biaya pendidikan yang
dikeluarkan kelompok mahasiswa UKT di
Universitas Riau lebih tinggi dibanding
kelompok non-UKT. Nilai rata-rata yang lebih
tinggi (Rp3.749.614,81 dibanding
Rp3.578.950,77) menggambarkan bahwa
penerapan kebijakan UKT di Universitas Riau
secara umum meningkatkan jumlah absolut
biaya pendidikan yang harus
ditanggung/dikeluarkan mahasiswa. Begitu
juga nilai mode yang lebih tinggi
Rp3.125.000,00 dibanding Rp904.200,00),
menggambarkan bahwa mahasiswa kelompok
UKT yang membayar biaya pendidikan lebih
tinggi jumlahnya lebih banyak dibandingkan
mahasiswa kelompok non-UKT. Hanya saja
rentang jumlah biaya pendidikan mahasiswa
kelompok UKT (minimum Rp500.000,00
maksimum Rp13.425.000,00) lebih rendah
disbandingkan mahasiswa kelompok non-UKT
(minimum Rp750.000,00 maksimum
Rp27.000.000,00). Artinya bahwa pada
mahasiswa kelompok UKT hanya menanggung
biaya pendidikan antara Rp500.000,00 hingga
Rp13.425.000,00; sedangkan mahasiswa
kelompok non-UKT tanggungan biaya
pendidikannya antara Rp750.000,00 hingga
Rp27.000.000,00. Rentang besaran uang kuliah
mahasiswa non-UKT yang lebih besar tersebut
dapat menggambarkan bahwa masyarakat/
mahasiswa memiliki kemampuan ekonomi
untuk menanggung biaya kuliah yang lebih
tinggi dari besaran UKT (Rp500.000,00 hingga
Rp13.425.000,00).
Walaupun secara absolut ada perbedaan
rata-rata biaya pendidikan antara mahasiswa
kelompok UKT dan Non UKT, namun secara
statistik ternyata tidak ada perbedaan yang
signifikan, sebagaimana ditunjukkan oleh hasil
uji beda seperti tabel 2 berikut.
Tabel 2. Hasil Uji Beda Biaya Pendidikan Mahasiswa
Kelompok UKT dan Non-UKT
Uji
Perbedaan
Varians
Uji Perbedaan Rata-
rata
F Sig. t df Sig.
Biaya
Pendi-
dikan
Varians sama 8.020 .005 .348 268 .728
Varians tidak
sama
.348 217.650 .728
Sumber: Hasil pengolahan data
Tabel 2. di atas menunjukan thitung 0,348
dengan probabilitas 0,728 > 0,05. Itu berarti
bahwa rata-rata biaya pendidikan dari kedua
kelompok sampel tersebut tidak ada perbedaan
yang signifikan. Tidak adanya perbedaan
secara statistik antara biaya pendidikan
mahasiswa UKT dan non-UKT memberikan
gambaran bahwa besaran biaya pendidikan
diantara kedua kelompok mahasiswa tersebut
secara umum tidak berbeda secara signifikan.
Hal ini dapat diartikan bahwa secara
keseluruhan besaran biaya pendidikan UKT
dan non-UKT relatif sama. Hal tersebut
mengandung makna bahwa biaya pendidikan
mahasiswa non-UKT yang dikeluarkan
sepanjang semester hampir (relatif) sama
dengan biaya kuliah mahasiswa UKT yang
dikeluarkan (dibayar) sekaligus pada saat
membayar uang kuliah pada awal semester.
Pengeluaran yang hanya sekaligus tersebut
yang kemungkinan menjadi keberatan
mahasiswa, karena harus ada dana sejumlah
kelompok UKT-nya pada saat membayar uang
kuliah (SPP).
Proporsi sumber dan alokasi dana
pendidikan di universitas
Penerimaan Universitas Riau (UR) tahun
2013 (sebelum UKT) sebesar
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017
188
Rp394.166.849.000,00 sedangkan tahun 2014
(sesudah UKT) sebesar Rp413.728.568.000,00.
Jumlah absolut tersebut menunjukkan bahwa
dana pendidikan sesudah kebijakan UKT lebih
besar dibandingkan sebelum kebijakan UKT.
Hal itu sesuai dengan hasil uji deskriptif biaya
pendidikan mahasiswa, bahwa dengan adanya
penerapan kebijakan UKT dana pendidikan
yang diterima universitas meningkat karena
rata-rata dan jumlah mahasiswa yang
membayar biaya pendidikan lebih besar setelah
penerpan kebijakan UKT.
Dana tersebut digunakan untuk
membiayai berbagai kegiatan baik untuk untuk
kegiatan fakultas maupun lembaga-lembaga
pendukung lainnya, baik untuk investasi
maupun biaya operasional. Sumber penerimaan
dua tahun terakhir (2013 dan 2014) sebagian
besar berasal dari dana masyarakat sebesar
67,4% dan 75,8% yang berupa PNBP
(Penerimaan Negara Bukan Pajak) sebesar
100% dan 99,9%. Sumber lainnya yaitu dari
Pemerintah sebesar 32,6% dan 24,2% yang
berupa BOPTN (Biaya Operasional Perguruan
Tinggi Negeri) sebesar 100% dan 85,1%.
Meskipun pada tahun 2014 ada sumber dari
kegiatan usaha tetapi proporsinya sangat kecil
yaitu hanya 0,1%. Besarnya peningkatan
sumber dana dari dana masyarakat pada tahun
2014 (dari 67,4% menjadi 75,8%) yang
melebihi dari peningkatan sumber kegiatan
usaha (dari 0% menjadi 0,1%) menunjukkan
bahwa sumber dana dari uang kuliah
mahasiswa (PNBP) pada tahun 2014 (setelah
penerapan UKT) meningkat.
Dilihat dari penggunaanya, dana tersebut
sebagian besar teralokasi untuk membiayai
“Belanja Pegawai” dan “Belanja Barang”, yaitu
pada tahun 2013 masing-masing 34,5% dan
52,4%; sedangkan tahun 2014 masing-masing
34,4% dan 48,7%. Penggunaan dana untuk
belanja modal relatif kecil (13,1% dan 14,7%),
begitu juga untuk bantuan sosial (0,00%dan
2,2%). Proporsi belanja pegawai pada tahun
2014 (sesudah penerapan UKT) dan pada tahun
2013 (sebelum penerapan UKT) ternyata relatif
sama yaitu masing-masing sebesar 34,4% dan
34,5%, sedangkan proporsi belanja barang
(operasional non gaji/ tunjangan) pada tahun
2014 (sesudah penerapan UKT) ternyata lebih
kecil dibanding pada tahun 2013 (sebelum
penerapan UKT), yaitu menjadi 48,7% dari
sebelumnnya sebesar 52,4%. Hal itu dapat
menunjukkan bahwa biaya untuk kegiatan
operasional setelah penerapan UKT (tahun
2014) menurun dibanding sebelum penerapan
UKT (tahun 2013). Proporsi sumber dan
penggunaan dana beserta unsur masing-
masingnya dapat ditunjukkan seperti pada tabel
3 berikut.
Tabel 3. Proporsi Sumber dan Penggunaan Dana
Universitas Riau Tahun 2013 dan 2014
Sumber Dana Tahun Proporsi
1. Pemerintah: 2013 (non UKT) 32,6%
2014 (UKT) 24,2%
a. Bantuan
Operasional Perguruan Tinggi
Negeri (BOPTN)
2013 100,0%
2014 85,1%
b. Hibah 2013 0,0%
2014 14,9%
2. Masyarakat: 2013 (non UKT) 67,4%
2014 (UKT) 75,8%
a. Penerimaan Negara
Bukan Pajak (PNBP)
2013 100,0%
2014 99,9%
b. Kegiatan usaha 2013 0,0%
2014 0,1%
Penggunaan Dana 2013 (non UKT) 100%
2014 (UKT) 100%
1. Belanja Pegawai 2013 34,5%
2014 34,4%
2. Belanja Barang 2013 52,4%
2014 48,7%
3. Belanja Modal 2013 13,1%
2014 14,7%
4. Belanja Bantuan Sosial
2013 0,0%
2014 2,2%
Sumber: Bag. Keuangan UR, diolah.
Mutu Layananan Pendidikan
Menurut penilaian mahasiswa secara
keseluruhan (mahasiswa UKT dan non-UKT),
mutu layanan pendidikan di Universitas Riau
secara umum sudah masuk kategori tinggi.
Adapun sebarannya dapat ditunjukkan seperti
dalam tabel berikut.
Dampak Biaya Kuliah Tunggal Terhadap Kualitas Layanan Pendidikan | Sumarno, dkk.
189
Tabel 4. Mutu Layanan Pendidikan Universitas Riau
Menurut Persepsi Mahasiswa
Kategori Frekuensi % % Kumulatif
Sangat Tinggi 17 6.3 6.3
Tinggi 223 82.6 88.9
Rendah 23 8.5 97.4
Sangat Rendah 7 2.6 100.0
Jumlah 270 100.0
Sumber: Hasil Pengolahan data
Tabel 4. di atas menunjukan bahwa secara
umum (82,6%) mahasiswa responden menilai
mutu layanan pendidikan Universitas Riau
tergolong kategori tinggi, bahkan 6,3%
menyatakan sangat tinggi. Meskipun ada
mahasiswa yang merasakan mutu layanan
pendidikan Universitas Riau pada kategori
rendah dan sangat rendah, namun relatif kecil
yaitu sebesar 11,1%. Bila dilihat dari masing-
masing kelompok mahasiswa UKT dan non-
UKT, mutu layanan pendidikannya nampak
dalam tabel berikut.
Tabel 5. Skor Mutu Layanan Pendidikan Universitas
Riau Berdasar Kelompok Uang Kuliah Mahasiswa
Kelompok n Rata-rata Simpangan
baku
Layanan
Pendidikan
UKT 135 2,973 0,5416
Non UKT 135 3,209 0,4203
Sumber: Hasil pengolahan data
Rata-rata Skor mutu layanan pendidikan
pada Tabel 5. di atas nampak bahwa kelompok
mahasiswa non-UKT lebih besar daripada
kelompok mahasiswa UKT. Hal itu
menunjukkan bahwa mahasiswa Non-UKT
rata-rata memberikan penilaian mutu pelayanan
yang lebih tinggi dibanding mahasiswa UKT
(3,209 > 2,973). Ini berarti bahwa layanan
pendidikan yang dirasakan oleh mahasiswa
UKT lebih rendah dibanding yang dirasakan
oleh mahasiswa non-UKT. Perbedaan tersebut
ternyata terbukti signifikan secara statistik,
dimana nilai thitung sebesar -3.992 dengan
signifikansinya sebesar 0,000 < 0,05). Hal
tersebut menggambarkan bahwa secara absolut
dan relatif mahasiswa kelompok UKT
merasakan layanan pendidikan yang lebih
rendah dibandingkan layanan pendidikan yang
dirasakan oleh mahasiswa kelompok non-UKT.
Hasil uji beda statistik tentang mutu layanan
dari kelompok mahasiswa UKT dan kelompok
mahasiswa non-UKT tersebut dapat
ditunjukkan pada tabel 6.
Adanya perbedaan secara signifikan mutu
layanan yang dirasakan oleh kedua kelompok
mahasiswa tersebut dapat dikatakan bahwa
penerapan UKT menurunkan mutu layanan
yang dirasakan mahasiswanya. Kondisi
tersebut dapat diduga disebabkan oleh adanya
penurunan proporsi penggunaan dana untuk
belanja barang (operasional non gaji/tunjangan)
pada masa penerapan UKT. Tetapi dapat saja
disebabkan mahasiswa kelompok UKT
“merasa” membayar uang kuliah yang lebih
besar sebagaimana terungkap pada rata-rata dan
modus biaya pendidikan mahasiswa UKT yang
lebih besar daripada mahasiswa non-UKT.
Tabel 6. Hasil Uji Beda Mutu Layanan Pendidikan
Mahasiswa UKT dan Non-UKT
Uji Perbedaan
Varians Uji Perbedaan Rata-rata
F Sig t df Sig.
Layan
an
Pendi
dikan
Varians
sama
2,195 0,140 -3,992 268 0,000
Varians
tidak
sama
-3,992 252,440 0,000
Sumber: hasil pengolahan data
Pengelolaan UKT di Universitas Riau
Besaran UKT di Universitas Riau dibagi
dalam lima kategori yang didasarkan pada
kelompok kemampuan ekonomi
orangtua/mahasiswa. Kelompok 1 merupakan
kategori uang kuliah per semester yang paling
rendah yang diperuntukkan bagi orang
tua/mahasiswa yang kemampuan ekonominya
termasuk tidak mampu atau miskin. Kelompok
2 merupakan uang kuliah yang besarnya lebih
tinggi daripada Kelompok 1 yang
diperuntukkan bagi orangtua/mahasiswa yang
kemampuan ekonominya lebih tinggi daripada
Kelompok 1. Begitu seterusnya, peningkatan
kelompoknya merupakan peningkatan besaran
uang kuliahnya, hingga Kelompok 5 yang
besarnya uang kuliahnya paling tinggi.
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017
190
Sebaran proporsi jumlah mahasiswa UKT
Kelompok 4 dan 5 pada tahun 2014 sebanyak
76% (15,5% + 60,5%). Jumlah ini mengalami
peningkatan 3,2% dari tahun sebelumnya yang
jumlahnya 72,8% (14,8% + 58%). Disisi lain,
jumlah mahasiswa pada UKT Kelompok 1 pada
tahun 2014 sebanyak 1,9%. Jumlah ini
mengalami penurunan sebesar 3,3% dari tahun
sebelumnya yang jumlahnya 5,2%. Penurunan
jumlah mahasiswa UKT Kelompok 1 pada
tahun 2014 tersebut terjadi pada semua
fakultas. Penurunan tersebut menyebabkan
proporsi jumlah mahasiswa UKT Kelompok 1
pada tahun 1014 tidak memenuhi jumlah
minimal (5%) dari jumlah mahasiswa yang
diterima, sesuai Permendikbud. Hal yang
demikian dapat terjadi karena kekeliruan dalam
pembagian proporsi jumlah mahasiswa dalam
kelompok UKT; tetapi hal yang positifnya
dapat menggambarkan bahwa kemampuan
ekonomi orang tua/mahasiswa yang masuk
kategori tidak/kurang mampu hanya sedikit,
yaitu hanya 1,9% dari seluruh mahasiswa UKT.
Pembahasan
Dari hasil penelitian tentang biaya
pendidikan atau uang kuliah mahasiswa seperti
diungkapkan di muka, secara absolut nominal
rata-rata uang kuliah mahasiswa kelompok
UKT lebih besar, namun secara statistik
menunjukkan tidak ada perbedaan yang
signifikan. Artinya, besaran uang kuliah
mahasiswa UKT dan mahasiswa non-UKT
relatif tidak berbeda. Besaran rata-rata uang
kuliah mahasiswa kelompok UKT yang lebih
besar dapat dipandang bahwa masyarakat
memiliki kemampuan yang lebih besar untuk
membiayai pendidikan mereka di perguruan
tinggi. Di sisi yang lain dapat juga dipandang
bahwa masyarakat memiliki kesadaran untuk
dapat mengalokasikan sumber daya keuangan
rumah tangganya untuk kepentingan
pendidikan anak yang lebih baik. Hal itu sesuai
pendapat Elfindri (2011) bahwa anggaran
pendidikan di Indonesia perlu memenuhi unsur
rational choice untuk memenuhi pencapaian
target pendidikan, pemerataan, dan kualitas,
yang antara lain dengan mengajak masyarakat
agar sadar dan mampu mengalokasikan sumber
dayanya secara optimal untuk kepentingan
kesejahteraan rumah tangga.
Walaupun secara relatif uang kuliah
mahasiswa UKT tidak berbeda dengan
mahasiswa non-UKT, tetapi karena
pengeluaran uang kuliah mahasiswa UKT harus
dibayarkan sekaligus pada awal semester, maka
seolah-olah besarannya lebih besar secara
signifikan. Karena dibayar sekaligus pada awal
semester, mereka juga merasa bebannya
menjadi berat. Hal demikian menyebabkan
mahasiswa merasa bahwa penerapan kebijakan
UKT menjadikan uang kuliahnya terlalu mahal
dan memberatkan sebagaimana yang dilansir
dalam media massa seperti: riaupos.co, 26 Mei
2013; bahanamahasiswa.co, 10 Juni 2013;
kampus. okezone.com, 08 Oktober 2013;
pewarta-indonesia.com, 09 Oktober 2013;
gagasanriau.com, 05 Desember 2013. Kondisi
mahasiswa UKT yang merasa bahwa UKT
menjadi mahal dan memberatkan tentu menjadi
dilema bagi universitas karena untuk
menyelenggarakan pendidikan yang bermutu,
perguruan tinggi memerlukan biaya besar dan
mahal (Indrawan, 2008). Terhadap masalah ini
universitas perlu melakukan pemahaman
kepada mahasiswa secara masif.
Bila mencermati rentang besaran uang
kuliah kelompok mahasiswa UKT yang lebih
rendah daripada mahasiswa non-UKT, berarti
dengan adanya penerapan UKT secara
kolektivitas sebenarnya meringkankan beban
biaya kuliah mahasiswa, terutama bagi
mahasiswa yang kemampuan ekonominya
terbatas, karena uang kuliah yang ditanggung
menjadi lebih rendah (UKT Kelompok 1). Hal
yang demikian sesuai dengan pertimbangan di-
keluarkannya Peraturan Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan Republik Indonesia
(Permendikbud) Nomor 55 Tahun 2013, hal
Menimbang huruf b yang mengungkapkan
“bahwa untuk meringankan beban mahasiswa
terhadap pembiayaan pendidikan, perlu
menetapkan uang kuliah tunggal di perguruan
tinggi negeri di lingkungan Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan”.
Dampak Biaya Kuliah Tunggal Terhadap Kualitas Layanan Pendidikan | Sumarno, dkk.
191
Penerimaan universitas tahun 2014
(sesudah penerapan UKT), yaitu sebesar
Rp413.728.568.000,00 yang mengalami
peningkatan sebesar 4,97% dari penerimaan
tahun sebelumnya (sebelum penerapan UKT)
sebesar Rp394.166.849.000. Hal itu didukung
dari data proporsi penerimaan universitas yang
bersumber dari masyarakat, yaitu meningkat
8,4% menjadi 75,8% pada tahun 2014 (sesudah
penerapan UKT) dibanding pada tahun 2013
(sebelum penerapan UKT) yang hanya sebesar
67,4%. Peningkatan tersebut juga didukung
dari data tentang rata-rata UKT dan modusnya
yang lebih besar dari rata-rata dan modus uang
kuliah mahasiswa non-UKT. Peningkatan dana
yang diperoleh universitas tersebut sesuai
tujuan kebijakan UKT yaitu untuk
meningkatkan pelayanan dengan cara
membebankan biaya pendidikan kepada
masyarakat secara proporsional sesuai
kemampuannya.
Penggunaan dana universitas untuk biaya
operasional (belanja barang di luar
gaji/tunjangan) pada tahun 2014 (setelah
penerapan UKT) justru mengalami penurunan
sebesar 3,7% menjadi 48,7% dibanding tahun
2013 (sebelum penerapan UKT) sebesar 52,4%.
Penurunan alokasi untuk biaya operasional
tersebut kemungkinan disebabkan adanya
kelambatan dalam mengalokasikan biaya
operasional ke unit-unit yang menjalankan
layanan pendidikan secara langsung kepada
mahasiswa. Mengingat biaya operasional
sangat bersentuhan langsung dengan layanan
pendidikan, maka penurunan ini dapat
mengakibatkan penurunan layanan pendidikan-
nya. Tetapi di lain pihak adanya peningkatan
belanja bantuan sosial yang dapat untuk
membantu masyarakat yang kurang mampu
secara ekonomi untuk dapat mengenyam
pendidikan tinggi. Untuk menjaga alokasi biaya
operasional tidak menurun dapat dilakukan
pengalokasian dana kepada unit-unit yang
menjalankan layanan pendidikan kepada
mahasiswa, secara cepat, tepat, dan akurat
karena dana dari uang kuliah yang masuk sudah
diketahui pada awal semester.
Dari sisi mutu pelayanan, hasil penelitian
menunjukkan bahwa mutu layanan pendidikan
yang dirasakan mahasiswa kelompok UKT
lebih rendah dibanding menurut mahasiswa
Non-UKT. Perbedaan yang lebih rendah
setelah penerapan UKT tersebut secara statistik
terbukti signifikan. Hal ini dapat dipahami
karena mahasiswa kelompok UKT merasa
bahwa layanan pendidikan yang diterimanya
tidak sebanding dengan uang kuliah yang
mereka bayarkan, karena uang kuliahnya lebih
besar dibanding uang kuliah mahasiswan non-
UKT. Hal itu juga didukung oleh jumlah
mahasiswa yang membayar uang kuliah lebih
tinggi dibanding mahasiswa non-UKT, yaitu
dari rata-rata dan mode biaya pendidikan
mahasiswa kelompok UKT yang lebih tinggi
daripada mahasiswa kelompok non-UKT. Bila
mencermati bahasan tentang alokasi dana untuk
biaya operasional di atas, mutu layanan yang
lebih rendah menurut mahasiswa kelompok
UKT juga disebabkan oleh penurunan proporsi
biaya operasional pada tahun 2014 (setelah
peneerapan UKT). Proporsi biaya operasional
pada tahun 2014 (setelah penerapan UKT)
justru menurun, maka penilaian mutu layanan
pendidikan menurut mahasiswa kelompok
UKT menjadi lebih rendah dibanding penilaian
mahasiswa non-UKT karena dengan
menurunnya biaya operasional maka kegiatan
yang berkenaan dengan layanan mahasiswa
juga menurun. Hal ini misalnya terjadi pada
ujian semester yang pada masa sebelum UKT
mahasiswa langsung membayar biayanya ke
fakultas dan langsung digunakan untuk
membiayai kebutuhan pelaksanaan ujian oleh
fakultas. Tetapi dengan adanya penerapan
UKT, biaya tersebut harus diminta ke
universitas sehingga menjadi terkendala seperti
terlambat ataupun tidak sesuai yang
dibutuhkan. Begitu juga untuk kegiatan-
kegiatan operasional yang lain seperti tes
TOEFL dan kegiatan kemahasiswaan.
Mutu layanan pendidikan yang dirasakan
mahasiswa UKT ternyata lebih rendah dari
mutu layanan pendidikan yang dirasakan
mahasiswa non-UKT dan perbedaannya
signifikan, sedangkan besaran uang kuliah yang
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017
192
dikeluarkan mahasiswa UKT relatif sama
dengan mahasiswa non-UKT. Hal itu berarti
bahwa antara besaran UKT walaupun besaran
uang kuliah mahasiswa yang dibayarkan tidak
seiring dengan mutu layanan pendidikan yang
diterima mahasiswa. Ini menunjukkan bahwa
UKT tidak berpengaruh terhadap mutu layanan
pendidikan universitas. Hal yang demikian
sejalan dengan hasil penelitian Suhaylide
(2013) yang mengungkapkan bahwa pengaruh
biaya pendidikan terhadap kepuasan
mahasiswa berada pada kategori sedang.
Pengelolaan UKT di Universitas Riau
pada tahun 2014 masih menimbulkan persoalan
sehingga menimbulkan dampak yang
menghambat layanan pendidikan. Di samping
dari segi pengalokasian biaya operasional yang
menurun dari tahun sebelumnya, dari segi
proporsi jumlah mahasiswa yang masuk dalam
Kelompok UKT 1 masih berada di bawah 5%.
Hal ini memang dapat meningkatkan
pendapatan dana universitas menjadi lebih
besar, namun proporsi yang kurang dari 5%
belum sesuai dengan Permendikbud Nomor 73
Tahun 2014 Pasal 4 ayat (1) yang menyatakan
bahwa uang kuliah tunggal kelompok 1
diterapkan paling sedikit 5 (lima) persen dari
jumlah mahasiswa yang diterima di setiap
perguruan tinggi negeri. Bila proporsi minimal
dapat dipenuhi, sebenarnya memberikan
manfaat bagi universitas yang berupa
timbulnya atau meningkatnya citra baik
universitas, sebagaimana diungkapkan Wijatno
(2009) bahwa cost leadership strategy yang
berupa harga jual yang lebih rendah merupakan
salah satu strategi mengelola citra. Pemenuhan
proporsi jumlah mahasiswa UKT kelompok 1
sebenarnya dapat dilakukan dengan
mengalihkan sebagian mahasiswa UKT
kelompok 2 (sebanyak 0,8%) dan sebagian
mahasiswa UKT kelompok 3 (sebanyak 2,3%).
Agar pengalihan sebagian jumlah mahasiswa
tersebut tidak mengurangi dana yang diterima
universitas, maka perlu juga mengalihkan
sebagian mahasiswa UKT kelompok 3 ke UKT
kelompok 4 atau UKT kelompok 4 ke UKT
kelompok 5. Pengalihan sebagian mahasiswa
ke UKT kelompok 3 atau 4 ke UKT kelompok
yang lebih besar juga memungkinkan karena
rentang maksimum besaran uang kuliah non-
UKT (Rp 27.000.000,00) masih dapat
dijangkau. Artinya mahasiswa yang memiliki
kemampuan untuk membayar UKT kelompok
4 ataupun kelompok 5 masih ada potensinya.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Besaran uang kuliah mahasiswa UKT
secara relatif tidak berbeda dengan uang kuliah
mahasiswa non-UKT. Mahasiswa UKT
“merasa” uang kuliahnya lebih besar karena
membayarnya sekaligus pada saat awal
semester (masa pembayaran uang kuliah)
sedangkan mahasiswa non-UKT membayar
biaya kuliah secara berangsur sesuai jenis
biayanya selama satu semester. Proporsi
sumber dana yang berasal dari masyarakat yang
berupa penerimaan negara bukan pajak (PNBP)
meningkat setelah penerapan UKT. Tetapi
proporsi alokasi dana untuk biaya operasional
(belanja barang) justru menurun. Mahasiswa
kelompok UKT menilai mutu layanan
pendidikan lebih rendah dibanding mahasiswa
kelompok non-UKT dan perbedaanya terbukti
signifikan. Hal ini dapat terjadi karena
mahasiswa UKT “merasa” membayar uang
kuliah lebih besar daripada mahasiswa non-
UKT atau karena alokasi dan untuk biaya
operasional (belanja barang) menurun. Mutu
layanan pendidikan tidak dipengaruhi oleh
UKT, tetapi lebih dipengaruhi oleh alokasi dan
yang diperuntukkan bagi biaya operasional
pendidikan. Kebijakan UKT dapat membantu
masyarakat yang memiliki kemampuan
akademik tetapi ekonominya tidak/kurang
mampu, untuk dapat mengenyam pendidikan
tinggi. Bantuan tersebut tercermin pada
Pengelompokan besarnya UKT yang
didasarkan kemampuan ekonomi orangtua/
mahasiswa dari kelompok ekonomi tidak
mampu (UKT kelompok 1) hingga kelompok
ekonomi sangat mampu (UKT kelompok 5).
Saran
Bagi Universitas dan fakultas: a) perlu
lebih memberdayakan sumberdaya manusia
dosen untuk menggali dana-dana kerjasama
Dampak Biaya Kuliah Tunggal Terhadap Kualitas Layanan Pendidikan | Sumarno, dkk.
193
untuk meningkatkan penerimaan, b) perlu
meningkatkan program yang berkenaan
dengan/berorientasi pada kepentingan
pembelajaran mahasiswa baik program
pendidikan, penelitian, maupun pengabdian
kepada masyarakat, c) Pengalokasian dana,
khususnya yang bersumber dari uang kuliah
mahasiswa, diprioritaskan untuk program
kegiatan yang bersentuhan langsung dengan
layanan pendidikan bagi mahasiswa. Bagi
pihak lain yang berkepentingan perlu dilakukan
penelitian lebih lanjut tentang faktor yang
mempengaruhi mutu layanan pendidikan,
sehigga dapat digunakan sebagai bahan untuk
menggerakan peningkatan mutu layanan
pendidikan secara lebih efektif dan efisien.
DAFTAR PUSTAKA
Bahana Mahasiswa. 10 Juni, (2013). Uang
Kuliah Tunggal UR Ada Yang Janggal,
(Online), http://bahana mahasiswa.co/?
p=699.
Dedi Supriadi. (2006). Satuan Biaya
Pendidikan Dasar dan Menengah.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Elfindri. (2011). Pendidikan Sebagai Barang
Ekonomi. Bandung: Lubuk Agung.
Gagasan Riau. (2013). Desak Batalkan UKT,
Mahasiswa Unri Duduki Kantor
Rektorat,http://gagasanriau.com/desak-
batalkan-ukt-mahasiswa-unri-duduki-
kantor-rektorat/
Indrawan, R. 2008). Manajemen Kinerja dalam
Meningkatkan Akuntabilitas
Pengelolaan PTS. Makalah disampai-
kan pada Penataran Bagi Pengurus
Yayasan, Pimpinan PTS dan Dosen di
lingkungan PTS Kopertis Wilayah IV
Jabar dan Banten, 22-23 Juli.
John, R. L. & Morphet, E.L. (1997). The
Economic and Financing of Education.
New Jersey: Prentice Hall.
Kampus Okezone. (2013). UKT Tak
Transparan, Ribuan Mahasiswa UNRI
Demo Rektorat, http://kampus.-
okezone.com/read/2013/10/08/373/
878576/ukt-tak-transparan-ribuan-
mahasiswa-unri-demo-rektorat.
Mulyasa. (2004). Manajemen Berbasis
Sekolah: Konsep, Strategi, dan
Implementasi. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Michael, S. O. (2005). Financing Higher
Education In A Global Market: A
Contextual Background. Financing
Higher Education In A Global Market.
Editor: Steve O. Michael and Mark A.
Kretovics. New York: Algora
Publishing.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 48 Tahun 2008 tentang
Pendanaan Pendidikan.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 17 Tahun 2010 tentang
Pengelolaan dan Penyelenggaraan
Pendidikan.
Permendikbud Nomor 55 Tahun 2013 tentang
Biaya Kuliah Tunggal dan Uang Kuliah
Tunggal Pada Perguruan Tinggi Negeri
Di Lingkungan Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan.
Pewarta Indonesia. (2013). Ribuan Mahasiswa
Universitas Riau Pertanyakan
Tranparansi Dana UKT, http://pewarta-
indonesia.com/berita/
pendidikan/12479-ribuan-mahasiswa-
universitas-riau-pertanyakan-
tranparansi-dana-ukt.html.
Ruben, B. D. (1999). Toward A Balanced
Scorecard for Higher Education:
Rethinking the College and University
Excellence Indicator Framwork. Higher
Education Forum 99-02 Fall, 1999. New
Jersey: The Hunter Group in their
Higher Education White Paper Series.
Schreiner, L. A. & Juillerat, S. L. (2009). The
Student Satisfaction Inventory,
(http://www.ecsu.edu/academics/office
s/iera/docs/SSIInterpretiveGuide2009-
10.pdf),
Singgih, M. L. & Rahmayanti. (2008). Faktor-
Faktor yang Mempengaruhi Kualitas
Pendidikan Pada Perguruan Tinggi.
Prosiding Seminar Nasional Teknoin
2008 Bidang Teknik Industri.
Yogyakarta, 22 November 2008.
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017
194
Suharsimi Arikunto, dan Lia Yuliana. (2009).
Manajemen Pendidikan. Yogyakarta:
Aditya Media.
Suhaylide, I. S. (2013). Pengaruh Mutu
Layanan Akademik dan Biaya
Pendidikan Terhadap Kepuasan
Mahasiswa Pada Sekolah Tinggi
Pariwisata Bandung. Masters thesis,
http://repository.upi.edu/2812/.
Sumarno. (2012). Rendahnya Mutu Pendidikan
Tinggi di Indonesia: Penyebab dan
Strategi Peningkatannya. Jurnal
Pendidikan. 3(2) 75-83.
Sumarno, Kartikowati, S., & Astuti, R. (2014).
Pembiayaan Pendidikan SMA
“Unggul” di Kota Pekanbaru dan
Pengaruhnya Terhadap Mutu Hasil
Belajar Siswa. http://repository.unri.
ac.id/xmlui/handle/123456789/6378.
Tilaar, H.A.R. (2008). Manajemen Pendidikan
Nasional: Kajian Pendidikan Masa
Depan. Bandung: Rosdakarya.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12
Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
Wissema, J.G. 2009. Towards the Third
Generation University: Managing the
University in Transition. Cheltenham:
Edward Elgar
Wijatno, S. (2009). Pengelolaan Perguruan
Tinggi Secara Efisien, Efektif, dan
Ekonomis: Untuk meningkatkan Mutu
Penyelenggaraan Pendidikan dan Mutu
Lulusan. Jakarta: Salemba Empat.
Magister Manajemen Pendidikan FKIP Universitas Kristen Satya Wacana [email protected]
e-ISSN 2549-9661 Volume: 4, No. 2, Juli-Desember 2017
Halaman: 195-204
195
Strategi Perencanaan Pembiayaan Sekolah dalam Peningkatan Mutu
di SMP Negeri
Ririn Tius Eka Margareta
Magister Manajemen Pendidikan
Universitas Kristen Satya Wacana
Bambang Ismanto
Magister Manajemen Pendidikan
Universitas Kristen Satya Wacana
ABSTRACT
The purpose of this study is to determine the school financing planning strategy in
improving the quality of schools. Strategy determination using EFE (Internal Factor
Evaluation), IFE (Internal Factor Evaluation), and SWOT (Strengths, Weaknesses,
Opportunities, and Threats) analysis. This research is a qualitative research focusing on
determining financing planning strategy in SMP Negeri 1 Salatiga. Sources of data come
from principals and school treasurers. The technique of collecting data using interviews
and documentation. Data analysis included: data collection, data reduction, data display
and drawing conclusion/ verification. The result of the research is the appropriate school
financing strategy for SMP Negeri 1 is to implement WO strategy or to support defensive
strategy that is strategy that minimmize weakness to exploit opportunity. In other words,
schools use the number of human resources and limited costs to the maximum by using
the funds owned and utilize the role of committees, parents, and alumni. For example, a
school can scale priorities together with committee-related competitions to be followed,
communicate school needs to the committee in order to improve the quality of education,
and submit proposals to alumni to contest, establish school facilities and infrastructure,
or salary of honorary teachers/staff.
Keywords: IFE, EFE, school quality, school financing planning strategy, SWOT
Article Info
Received date: 17 Agustus 2017 Revised date: 13 November 2017 Accepted date: 13 November 2017
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017
196
PENDAHULUAN
Tujuan pendidikan merupakan tujuan
seluruh pihak yang terkait dalam dunia
pendidikan. Pemerintah (Pemerintah Pusat),
Pemerintah Daerah, Satuan Pendidikan, dan
masyarakat merupakan pihak-pihak yang
memiliki peran penting dalam keberhasilan
tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan nasional
yaitu mengembangkan potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab (Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2003). Peserta didik
merupakan input sekaligus output pendidikan
yang membutuhkan pendidikan bermutu.
Indikator minimal dari pendidikan bermutu
dapat ditinjau dari tercapainya Standar
Nasional Pendidikan (SNP). Dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan dinyatakan bahwa
Standar Nasional Pendidikan (SNP) adalah
kriteria minimal tentang sistem pendidikan di
seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Standar Nasional
Pendidikan (SNP) terdiri dari standar isi,
proses, pendidik dan tenaga kependidikan,
kompetensi lulusan, sarana dan prasarana,
pembiayaan, pengelolaan, dan penilaian.
Dengan adanya standar nasional tersebut, maka
arah peningkatan mutu pendidikan Indonesia
menjadi lebih jelas (Raharjo, 2012: 301). Hal
ini ditegaskan juga oleh Hidayah, Susilowati,
dan Sukirman (2014: 15-16), yang menyatakan
bahwa pemenuh-an SNP dilakukan guna
mewujudkan pelaksanaan pendidikan yang
bermutu.
Sekolah merupakan lembaga yang diberi
kewenangan untuk menghasilkan generasi-
generasi penerus bangsa. Sekolah yang
bermutu akan menghasilkan output yang
bermutu pula. Mutu merupakan suatu konsep
atau pandangan mengenai mutu produk yang
sesuai harapan dengan tingkat kepuasan
tertentu yang dirasakan oleh pelanggan dan
seluruh stakeholder (Sallis, 2010: 29-35).
Dalam sudut pandang sekolah, mutu sekolah
adalah nilai tinggi rendahnya jasa yang
diberikan kepada pelanggan baik pelanggan
internal maupun eksternal. Pelanggan internal
merupakan pelanggan yang berada di dalam
sistem sekolah dan berpengaruh terhadap
output sekolah (Wijaya, 2012). Pelanggan
internal misalnya guru dan siswa memiliki andil
untuk mewujudkan output sekolah yang
bermutu. Pelanggan eksternal merupakan
pelanggan yang ada di luar sistem sekolah dan
menerima/ menikmati output sekolah (Wijaya,
2012). Sebagai contoh, pelanggan eksternal
misalnya pengelola sebuah perusahaan yang
menerima karyawan dari output sekolah.
Mereka yang akan menikmati mutu output yang
juga merupakan mutu sekolah.
Definisi lain dari mutu adalah pernyataan
yang dinamis terkait dengan produk, pelayanan,
orang, proses kerja, lingkungan, dan setiap
aspek dalam organisasi yang dapat memenuhi
atau melebihi harapan pelanggan (Goetsch and
Davis, Ishikawa dalam Rahardjo, 2012: 515).
Artinya, sekolah dikatakan bermutu jika
memberikan pelayanan jasa yang sesuai/
melebihi ekspektasi pelanggan. Guru
mengharap supaya sekolah memberi gaji sesuai
dengan kebutuhannya maka sekolah yang
bermutu akan memberikan gaji sesuai atau
lebih dari kebutuhan guru tersebut. Calon siswa
akan memilih sekolah yang memiliki banyak
prestasi daripada sekolah yang kurang
berprestasi maka sekolah bermutu akan
mengusahakan sedemikian rupa supaya setiap
siswa dan atau guru mampu berprestasi/
bersaing dengan siswa/ guru-guru dari sekolah
lain.
Kriteria minimal (nilai kumulatif)
pemenuhan SNP yang harus dipenuhi oleh
setiap satuan pendidikan merupakan Standar
Pelayanan Minimal (SPM) (Permendikbud
Nomor 8 Tahun 2017). Sekolah yang hanya
memenuhi SNP perlu meningkatkan pelayanan
untuk meningkat-kan standar pelayanan
sekaligus meningkat-kan mutu sekolah.
Peningkatan mutu pendidikan selama ini
belum sesuai dengan harapan karena
disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya
adalah strategi pembangunan pendidikan yang
lebih bersifat “input oriented” dan “macro
oriented” yang cenderung diatur oleh birokrasi
ditingkat pusat (Suti, 2011). Meskipun telah
diberlakukan otonomi daerah, campur tangan
Pemerintah masih cukup dominan. Hal ini
membatasi sekolah khususnya sekolah negeri
untuk mengarah pada “customer oriented”
yaitu peningkatan mutu yang berfokus pada
Strategi Perencanaan Pembiayaan Sekolah Dalam … | Ririn T. E. Margareta & Bambang Ismanto
197
kebutuhan pelanggan. Untuk memenuhi
kebutuhan pelanggan sekaligus meningkatkan
mutu, sekolah membutuhkan biaya yang
terkadang tidak dapat/ kurang jika hanya
menggunakan biaya pendidikan dari
pemerintah dan sumbangan sukarela.
Standar pembiayaan adalah standar yang
mengatur komponen dan besarnya biaya
operasi satuan pendidikan yang berlaku selama
satu tahun dan terdiri dari biaya investasi, biaya
operasional, dan biaya personal (Peraturan
Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005). Dalam hal
ini, pemerintah telah berupaya sedemikian rupa
dalam peningkatan mutu pendidikan misalnya
melalui pembiayaan berupa Dana Bantuan
Operasional Sekolah (BOS), Bantuan
Operasional Sekolah Daerah (BOSDA),
Bantuan Operasional Pendidikan (BOP), Dana
Alokasi Khusus (DAK), dan sebagainya.
Berbagai peraturan dan kebijakan juga telah
dibuat sedemikian rupa guna peningkatan mutu
pendidikan. Namun pertanyaannya adalah
sudahkah mutu pendidikan meningkat. Sampai
saat ini, kebijakan pemerintah dalam
menentukan dan memberikan dana “sama rata”
pada satuan pendidikan belum menjamin
peningkatan mutu pendidikan secara maksimal.
Hal ini dikarenakan setiap sekolah memiliki
kebutuhan yang berbeda-beda. Artinya, setiap
sekolah membutuhkan dana yang berbeda pula.
Misalnya, bagi sekolah yang memiliki banyak
siswa-siswi berprestasi akan membutuhkan
lebih banyak dana (misalnya untuk lomba)
daripada sekolah yang memiliki sedikit siswa-
siswi berprestasi. Selain itu, jumlah guru dan
pegawai tidak tetap (GTT/PTT/honorer) juga
tidak merata di setiap sekolah. Hal ini perlu
evaluasi dan tindak lanjut penanggung jawab
pendanaan pendidikan yaitu Pemerintah,
pemerintah daerah, dan masyarakat, serta
pihak-pihak terkait.
Strategi Perencanaan Pembiaya-an Sekolah.
Pembiayaan pendidikan merupakan tanggung
jawab Pemerintah, pemerintah daerah, dan
masyarakat (Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2003). Biaya satuan pendidikan terdiri atas
biaya investasi (lahan pendidikan dan selain
lahan pendidikan), biaya operasi (personalia
dan nonpersonalia), bantuan biaya pendidikan,
dan beasiswa (Peraturan Pemerintah Nomor 48
Tahun 2008). Sumber biaya utama satuan
pendidikan di tingkat Sekolah Menengah
Pertama (SMP) Negeri berasal dari Pemerintah
dan Pemerintah Daerah. Dalam hal ini,
pemerintah memiliki kebijakan dan peraturan
terkait dengan pembiayaan satuan pendidikan/
sekolah. Pembiayaan sekolah adalah proses
dimana pendapatan dan sumber daya yang
tersedia digunakan untuk memformulasikan
dan mengoperasionalkan sekolah di berbagai
wilayah geografis dan tingkat pendidikan yang
berbeda-beda (Levin dalam Subarna: 2014).
Tidak hanya tingkat dan wilayah geografis,
perhitungan kebutuhan sekolah dari berbagai
aspek perlu dipertimbangkan dan diputuskan
secara bijaksana. Sekolah dengan jumlah siswa
sedikit tetapi memiliki lahan dan bangunan
sekolah yang luas membutuhkan biaya
perawatan yang memadai. Demikian pula
dengan sekolah yang memiliki banyak guru/
pegawai tidak tetap membutuhkan biaya
operasional untuk menggaji dan memberi
tunjangan yang layak.
Dengan kebijakan dan peraturan yang
“sama”, beberapa sekolah tidak dapat
meningkatkan mutu dengan maksimal.
Kebijakan dan peraturan yang “sama” misalnya
jumlah dana Bantuan Operasional Sekolah
(BOS) yang diterima oleh setiap siswa SMP. Seharusnya, biaya satuan setiap siswa adalah biaya
rata-rata per siswa yang dihitung dari total
pengeluaran sekolah dibagi seluruh siswa yang ada di
sekolah dalam kurun waktu tertentu. Satuan biaya
pendidikan tiap siswa merupakan ukuran yang
menggambarkan seberapa besar uang yang
dialokasikan sekolah (sumber dari Pemerintah,
pemerintah daerah, orang tua, dan masyarakat) secara
efektif untuk kepentingan siswa dalam menempuh
pendidikan, maka sekolah harus mengetahui besaran
untuk keperluan penganggaran yang setidaknya
mendekati ketepatan. Total pengeluaran sekolah atau
besar anggaran pembiayaan pendidikan mencakup:
biaya pengembangan guru dan tenaga kependidikan,
honor non PNS Guru Tidak Tetap (GTT) dan Honor
Non PNS Pegawai Tidak Tetap (PTT), Biaya Operasi
Pendidikan Langsung Non Personalia (Belanja
Barang dan Jasa), serta pengadaan peralatan
penunjang pendidikan/pembelajaran (Belanja Modal)
(Hidayah, Susilowati, dan Sukirman, 2014: 15-17).
Dengan pemberian bantuan seperti dana
Bantuan Operasional Sekolah dan sumbangan
sukarela diharapkan mampu memenuhi
kebutuhan sekolah. Pada kenyataannya, setiap
sekolah memiliki jumlah pengeluaran dan
siswa yang berbeda-beda. Besarnya bantuan
dan sumbangan sukarela yang diterima tidak
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017
198
dapat menjamin kebutuhan sekolah terpenuhi.
Bagi sekolah swasta, kebutuhan sekolah
mungkin dapat diatasi dengan iuran siswa
namun tidak demikian dengan sekolah negeri.
Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun
2008, sekolah (pemerintah/ negeri) tidak
diperkenankan melakukan pungutan terhadap
siswa. Meskipun memiliki aturan yang berbeda,
sekolah swasta maupun negeri membutuh-kan
strategi perencanaan pembiayaan yang tepat
untuk mempertahankan bahkan meningkatkan
mutu sekolah.
Strategi adalah pendekatan secara
keseluruhan yang berkaitan dengan
pelaksanaan gagasan, perencanaan, dan
eksekusi sebuah aktivitas dalam kurun waktu
tertentu (Maretsya, Soegiarto, dan Heriyanto,
2015). Strategi pembiayaan meliputi strategi
perencanaan (pelaksanaan gagasan),
pelaksanaan, evaluasi, dan tindak lanjut.
Strategi perencanaan pembiayaan pendidikan
pada SMP, diawali dengan disusunnya Visi dan
Misi Sekolah, strategi perencanaan dan
penyusunan RAPBS dilaksanakan melalui
analisis SWOT sederhana (Subarna, 2014: 81).
Strategi perencanaan pembiayaan sekolah
merupakan bagian penting dari manajemen
yang perlu ditentukan sesuai dengan faktor
internal dan eksternal suatu perusahaan/
lembaga termasuk sekolah. Selain itu hasil dari
penentuan strategi perencanaan akan
berimplikasi pada strategi pelaksanaan.
Kebijakan pemerintah terkait dengan
pendidikan gratis membuat sekolah tidak perlu
lagi memikirkan tentang menghimpun dana
dari orang tua dan masyarakat tetapi di sisi lain
menjadi gamang bagaimana mengembangkan
program pendidikan sesuai keinginan
masyarakat sebagai customer (Subarna, 2014:
81). Sekolah yang memiliki input siswa yang
kurang baik secara jumlah, akademis dan non
akademis biasanya tidak terlalu terbeban
dengan peningkatan mutu. Berbeda dengan
sekolah yang memiliki jumlah siswa yang
banyak dan hampir semua siswa memiliki
kemampuan akademik dan atau non akademik
yang cemerlang. Sekolah dapat menentukan
strategi perencanaan pembiayaan yang tepat
untuk memenuhi kebutuhan sekolah termasuk
kebutuhan siswa. Strategi pembiayaan yang
dapat diterapkan untuk melaksanakan proses
pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan
belajar peserta didik, harus memfokuskan pada
program-program yang menjadi objek biaya,
supaya efektivitas dan efisiensi pembiayaan
pendidikan dapat tercapai (Kurniady, 2011:
43). Dalam hal ini, kemampuan pengelola
pembiayaan sekolah dalam menentukan
strategi menjadi faktor penting. Salah satu
kunci keberhasilan dalam pembangunan
pendidikan, terletak pada kemampuan SDM
dalam mengelola dana yang tersedia dengan
mengacu pada kebutuhan pokok dan skala
prioritas program pembangunan pendidikan
dari tahun ke tahun secara bertahap dan
berkesinambungan sesuai dengan perencanaan
program (Ferdi, 2013: 566). Dalam
peningkatan mutu sekolah juga dibutuhkan
SDM yang mampu mengelola dana dan
menentukan strategi pembiayaan dari strategi
perencanaan sampai strategi tindak lanjut
pembiayaan.
Berdasarkan studi pendahuluan, hal
serupa dialami oleh SMP Negeri 1 Salatiga
yaitu dana BOS hanya memenuhi SNP
minimal. Banyaknya siswa-siswi berprestasi
dan berbakat serta banyak GTT/PTT
membutuhkan dana yang cukup besar. Sesuai
dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Nomor 44 Tahun 2012, SMP
Negeri 1 Salatiga tidak menerima pungutan
melainkan sumbangan sukarela. Meskipun
demikian, biaya untuk meningkatkan mutu
sekolah masih kurang. Salah satu faktor
penyebabnya yaitu strategi perencanaan
pembiayaan sekolah yang sekolah miliki belum
tepat. Dalam penyusunan perencanaan
anggaran, banyak sekolah tidak mengawali
dengan analisis kebutuhan (need assesment)
lingkungan internal dan eksternal atau analisis
SWOT (Haryati, 2011: 73). Oleh karena itu,
penulis hendak menentukan strategi
perencanaan pembiayaan di SMP Negeri 1
Salatiga guna meningkatkan mutu sekolah.
Penentuan strategi perencanaan pembiayaan
menggunakan analisis IFE, EFE, dan SWOT
sebagai teknik analisis dengan mengetahui
faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan
faktor eksternal (peluang dan ancaman)
sekolah.
Analisis EFE, IFE, dan SWOT.
Analisis EFE (External Factor Evaluation) dan
IFE (Internal Factor Evaluation) digunakan
untuk mengetahui kondisi internal dan
Strategi Perencanaan Pembiayaan Sekolah Dalam … | Ririn T. E. Margareta & Bambang Ismanto
199
eksternal suatu perusahaan dan dirumuskan
menjadi strategi yang mendetail melalui analisi
SWOT (Strengths (S), Weakness (W),
Opportunitiess (O) dan Threats (T)) (Sudarma,
2012). Dalam mengembangkan Matriks EFE/
IFE, faktor-faktor eksternal yang ditemukan
diberi bobot dengan skala 0,0 (tidak penting) –
1,0 (sangat penting) dan total seluruh bobot
harus sama dengan satu, kemudian diberi
rating/ nilai antara 1-4, dan skor bobot dihitung
dari hasil perkalian bobot dengan nilai.
Penentuan bobot dan skor menggunakan skala
prioritas. Berdasarkan perhitungan skor faktor
internal dan eksternal, selanjutnya dihitung
skor faktor internal pada tabel IFE dihitung
Selisih Total Kekuatan dan Total Kelemahan (S
– W) dan pada tabel EFE dihitung Selisih Total
Peluang dan Total Ancaman (O – T). Besarnya
IFE dan EFE yang telah dianalisis dimasukan
ke dalam diagram keputusan analisis SWOT
yaitu hasil IFE berada pada sumbu x dan hasil
EFE berada pada sumbu y.
SWOT merupakan salah satu teknik
analisis yang dapat digunakan untuk
menentukan strategi-strategi yang dapat
membantu perusahaan/ lembaga termasuk
sekolah dalam peningkatan mutu. SWOT
adalah metode perencanaan strategis yang
digunakan untuk mengevaluasi kekuatan
(strengths), kelemahan (weaknesses), peluang
(opportunities), dan ancaman (threats) dalam
suatu proyek atau suatu spekulasi bisnis
(Wikipedia, tt). Analisis SWOT adalah
identifikasi berbagai faktor secara sistematis
dari berbagai faktor sistematis untuk
merumuskan strategi perusahaan (Maretsya,
Soegiarto, dan Heriyanto, 2015). Faktor yang
dimaksud yaitu internal (strengths dan
weakness) faktor eksternal (opportunities dan
threats). Kekuatan (Strengths) dapat diartikan
sebagai segala sesuatu yang dimiliki oleh
sekolah dan mendukung visi, misi, dan tujuan
sekolah. Kelemahan (Weakness) adalah hal-hal
yang menjadi kelemahan sekolah misalnya
kinerja pegawai yang buruk. Peluang
(Opportunitiess) adalah kesempatan yang
berasal dari luar sekolah dan dapat
dimanfaatkan untuk mencapai visi, misi, dan
tujuan sekolah. Ancaman/ hambatan (Threats)
adalah hal-hal yang dapat mengamcam/
menghambat pencapaian sekolah misalnya
munsul pesaing baru yang lebih unggul.
Secara lebih terperinci, strategi-strategi
yang dapat dihasilkan dari analisis SWOT
dijelaskan dalam tabel berikut:
Tabel 1. Strategi-strategi berdasarkan analisis SWOT
(Marimin, 2004: 60)
IFA/EFA STRENGTHS (S) WEAKNESS (W)
OPPORTUNITIES (O)
Strategi SO
Menciptakan strategi yang
menggunakan kekuatan untuk
memanfaatkan peluang. Digunakan
jika perusahaan/ lembaga berada
pada kuadran I
Strategi WO
Menciptakan strategi yang
meminimalkan kelemahan untuk
memanfaatkan peluang. Digunakan
jika perusahaan/ lembaga berada
pada kuadran III
TREATHS (T)
Strategi ST
Menciptakan strategi yang
menggunakan kekuatan untuk
mengatasi ancaman. Digunakan jika
perusahaan/ lembaga berada pada
kuadran II
Strategi WT
Menciptakan strategi yang
meminimalkan kelemahan dan
menghindari ancaman. Digunakan
jika perusahaan/ lembaga berada
pada kuadran IV
Suatu organisasi harus membuat
perencanaan dan pendefinisian strategi yang
tepat agar dapat membuat keputusan mengenai
pengalokasian sumberdaya yang ada secara
tepat dalam menjalankan strategi tersebut dan
untuk mengukur dan melihat apakah strategi
yang direncanakan dan dijalankan berhasil atau
tidak, maka harus dipilih pengukuran yang
akurat, seimbang, terintegrasi dan selaras
(Susanto, 2014: 11-13). Dalam hal ini, analisis
SWOT dapat dijadikan salah satu alat ukur
dalam menentukan strategi yang tepat. Melalui
kekuatan dan peluang yang ada, sekolah dapat
meningkatkan mutu. Selain itu, sekolah dapat
meminimalkan kelemahan dan ancaman yang
ada dengan strategi yang tepat.
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017
200
Penelitian tentang strategi pembiayaan
sekolah sulit ditemukan karena belum banyak
yang melakukan penelitian terkait. Penelitian
Sudarsana (2016) menyatakan bahwa
perkembangan ekonomi merupakan salah satu
alat untuk memenuhi permintaan masyarakat
terhadap pendidik-an, karena pendidikan
memerlukan biaya. Hal tersebut menegaskan
bahwa upaya sekolah baik dalam bentuk
kegiatan atau program membutuhkan biaya
untuk memenuhi permintaan pelanggan
sekaligus meningkatkan mutu. Hal ini
ditegaskan dalam penelitian Suti (2011), unsur
pendanaan/pembiayaan pendidikan yang
memungkinkan semua program pendidikan di
lembaga pendidikan/ sekolah dapat
berlangsung. Tanpa biaya, kegiatan tidak
terlaksana yang berarti tujuan kegiatan/
program pendidikan/ sekolah tidak tercapai.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian
kualitatif yang memaparkan tentang strategi
perencanaan pendidikan. Dalam penelitian ini,
tingkat strategi yang digunakan adalah tingkat
unit/ fungsional dengan lokasi penelitian di
SMP Negeri 1 Salatiga. Subyek penelitian yaitu
kepala sekolah dan bendahara. Pengumpulan
data melalui wawancara dan studi dokumen.
Data yang terkumpul direduksi dengan cara
mengidentifikasi faktor internal dan eksternal
sekolah. Kemudian data diolah sesuai dengan
aturan analisis IFE, EFE, dan SWOT dan
disajikan dalam bentuk tabel dan diagram.
Setelah itu strategi yang dihasilkan merupakan
kesimpulan penelitian. Dalam penelitian ini
juga dilakukan triangulasi sumber dengan
melakukan klarifikasi kebenaran data kepada
subyek penelitian.
HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Faktor internal sekolah di SMP Negeri 1
Salatiga yaitu: 1) Kekuatan: a) Sekolah
memiliki kantin dan koperasi sebagai sumber
pendapatan internal lainnya, b) Partisipasi
karyawan (bukan pengelola) dalam
pengelolaan pembiayaan, dan c) Partisipasi
siswa dalam pembiayaan sekolah; dan 2)
Kelemahan: a) Jumlah SDM yang mengelola
pembiayaan sekolah, b) Pembiayaan untuk
lomba, c) Pembiayaan untuk pengadaan/
perbaikan sarana dan prasarana sekolah, dan d)
Biaya untuk gaji guru/tenaga honorer.
Faktor eksternal sekolah di SMP Negeri 1
Salatiga yaitu: 1) Peluang: a) Dana rutin dari
Pemerintah dan Pemerintah Daerah, b) Peran
komite dan orang tua (misalnya memberi dana
sukarela), dan c) Kontribusi/ bantuan dari
alumni; 2) Ancaman/ hambatan: a) Peran
pemerintah dalam pengadaan tenaga PNS, b)
Keterlambatan pemerintah dan penerbit buku
merealisasikan pengadaan buku Kurikulum
2013 (K-13), dan c) Honor untuk guru/ tenaga
honorer.
Pengelola pembiayaan sekolah telah
berupaya meningkatkan mutu dengan
menentukan skala prioritas. Pertimbangan
terkait anggaran yang dimiliki dan prioritas
pemenuhan kebutuhan sekolah dilakukan
bersama seluruh stakeholders sekolah. Mulai
dari penyebaran angket kebutuhan selama satu
tahun ajaran hingga pengambilan keputusan,
didiskusikan secara kekeluargaan oleh pihak-
pihak terkait (Kepala sekolah, bendahara, guru,
karyawan, dan komite).
Pembahasan
Berdasarkan faktor internal dan eksternal
Sekolah dapat diperoleh analisis sebagai
berikut:
Strategi Perencanaan Pembiayaan Sekolah Dalam … | Ririn T. E. Margareta & Bambang Ismanto
201
Tabel 2. Faktor Internal dan Faktor Eksternal Sekolah di SMP Negeri 1 Salatiga
KEKUATAN
No Nama Faktor Bobot Nilai Skor Bobot
1 Sekolah memiliki kantin dan koperasi sebagai sumber pendapatan
internal lainnya. 0,2 8 0,8
2 Partisipasi karyawan (bukan pengelola) dalam pengelolaan
pembiayaan 0,15 2 0,3
3 Partisipasi siswa dalam pembiayaan sekolah 0,1 1 0,1
1,2
KELEMAHAN
No Nama Faktor Bobot Nilai Skor Bobot
1 Jumlah SDM yang mengelola pembiayaan sekolah 0,3 3 0,9
2 Pembiayaan untuk lomba 0,15 2 0,3
3 Pembiayaan untuk pengadaan/ perbaikan sarana dan prasarana
sekolah 0,05 2 0,1
4 Biaya untuk gaji guru/tenaga honorer 0,1 2 0,2
1,5
Tabel 3. Faktor Eksternal Sekolah di SMP Negeri 1 Salatiga
PELUANG
No Nama Faktor Bobot Nilai Skor Bobot
1 Dana rutin dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah 0,25 4 1
2 Peran komite dan orang tua (misalnya memberi dana sukarela) 0,2 4 0,8
3 Kontribusi/ bantuan dari alumni 0,1 1 0,1
1,9
ANCAMAN
No Nama Faktor Bobot Nilai Skor Bobot
1 Peran pemerintah dalam pengadaan tenaga PNS 0,2 1 0,2
2 Keterlambatan pemerintah dan penerbit buku merealisasikan pengadaan
buku Kurikulum 2013 (K-13) 0,1 1 0,1
3 Honor untuk guru/ tenaga honorer 0,15 1 0,15
0,45
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017
202
-0,3
1,45
Berdasarkan Tabel EFE dan EFE dapat
dihitung:
Total skor bobot kekuatan - Total skor bobot
kelemahan = 1,2 – 1,5 = - 0,3
Total skor bobot peluang - Total skor bobot
ancaman = 1,9 – 0,45 = 1,45
Sehingga diperoleh titik (-0,3 , 1,45) pada
diagram SWOT atau berada di kuadran 2
seperti gambar di bawah ini:
Gambar 1. Diagram SWOT: Perencanaan Strategi Pembiayaan Sekolah
Berdasarkan diagram SWOT di atas dapat
diketahui bahwa stategi yang cocok dengan
kondisi internal dan eksternal sekolah adalah
strategi WO atau mendukung strategi defensive
yaitu strategi yang meminimalkan kelemahan
untuk memanfaatkan peluang. Berikut strategi-
strategi alternatif yang disajikan pada Tabel 4:
Tabel 4. Strategi-Strategi Alternatif dalam Perencanaan Strategi Pembiayaan Sekolah
IFA/EFE
Kekuatan (S):
-Sekolah memiliki kantin dan
koperasi sebagai sumber
pendapatan internal lainnya. (S1)
-Partisipasi karyawan (bukan
pengelola) dalam pengelolaan
pembiayaan (S2)
-Partisipasi siswa dalam
pembiayaan sekolah (S3)
Kelemahan (W):
-Jumlah SDM yang mengelola
pembiayaan sekolah (W1)
-Pembiayaan untuk lomba (W2)
-Pembiayaan untuk pengadaan/
perbaikan sarana dan prasarana
sekolah (W3)
-Biaya untuk gaji guru/tenaga
honorer (W4)
Peluang (O)
-Dana rutin dari Pemerintah dan
Pemerintah Daerah (O1)
-Peran komite dan orang tua
(misalnya memberi dana
sukarela) (O2)
-Kontribusi/ bantuan dari alumni
(O3)
Strategi SO:
-Membentuk grup alumni untuk
menggali dana guna menaikkan
mutu (S2, O3).
-Menambah varian penjualan yang
dibutuhkan oleh warga sekolah
(S1, O2, O3).
Strategi WO:
-Membuat skala prioritas bersama
dengan komite terkait lomba-
lomba yang akan diikuti. (W2, O1)
-Mengkomunika- sikan kebutuhan
sekolah kepada komite dalam
rangka meningkatkan mutu
pendidikan (W2, W3, W4, O2)
-Mengajukan proposal kepada
alumni untuk mengikuti lomba,
mengadakan sarana dan prasarana
sekolah, atau gaji guru/ tenaga
honorer. (W4, W2, W3, O3)
Berbagai Peluang
Kelemahan
Eksternal
Kekuatan
Internal
Berbagai Ancaman
KUADRAN 3 KUADRAN 1
KUADRAN 2 KUADRAN 4
Strategi Perencanaan Pembiayaan Sekolah Dalam … | Ririn T. E. Margareta & Bambang Ismanto
203
Ancaman (T)
Peran pemerintah dalam
pengadaan tenaga PNS (T1)
Keterlambatan pemerintah dan
penerbit buku merealisasikan
pengadaan buku Kurikulum 2013
(K-13) (T2)
Honor untuk guru/ tenaga honorer
(T3)
Strategi ST:
-Mengopti-malkan bantuan
pegawai (bukan pengelola) dalam
mengelola pembiayaan.
-Mengadakan pelatihan terkait
pengelolaan pembiayaan bagi
karyawan yang terlibat/
diperbantukan dalam mengelola
keuangan (S1, T3)
-Mengajukan permintaan
penambahan tenaga PNS dari
Pemerintah (S1, T3).
Strategi WT:
-Mensosialisasikan cara merawat
saran dan prasarana yang dimiliki
oleh sekolah (W3, T3).
Strategi-strategi pembiayaan sekolah
merupakan upaya untuk mencapai tujuan
sekolah yaitu terselenggaranya pendidikan
yang sesuai dengan kebutuhan siswa pada
khusunya dan masyarakat pada umumnya. Hal
ini sejalan dengan pendapat Sudarsana (2016)
dan Suti (2011) bahwa pendidikan memerlukan
biaya untuk memenuhi permintaan masyarakat
dan melaksanakan seluruh program pendidikan.
Strategi pembiayaan sekolah mempengaruhi
mutu sekolah yang bersangkutan. Sependapat
dengan hal tersebut, Asmawi (2010)
menyatakan bahwa pembiayaan merupakan
salah satu aspek yang menentukan mutu
pendidikan. Lebih luas lagi, hasil kajian Ferdi
(2013) menyatakan bahwa pembiayaan
merupakan proses yang kompleks sehingga
strategi perencanaan pembiayaan sekolah
merupakan hal yang krusial. Pentingnya
perencanaan strategi pembiayaan sekolah
dalam meningkatkan mutu perlu diketahui,
disadari, dan ditinjau ulang oleh pihak-pihak
terkait sehingga membawa perubahan positif
bagi keberlangsungan dan pencapaian tujuan
sekolah.
Sumber pembiayaan dapat berasal dari
pemerintah, sumbangan, dan usaha lain yang
sesuai dengan peraturan yang berlaku. Bagi
sekolah swasta misalnya pesantren, biaya dapat
berasal dari pungutan (Rifqi, 2015). Hal ini
berarti, setiap sekolah dan pihak-pihak terkait
perlu mengidentifikasi peluang-peluang untuk
sumber pembiayaan yang mungkin dapat digali
dan digunakan untuk mencapai tujuan sekolah
termasuk melaksanakan program dan
memenuhi kebutuhan pelanggan pendidikan.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan pembahasan dapat
disimpulkan bahwa strategi pembiayaan yang
tepat bagi SMP N 1 Salatiga yaitu menerapkan
strategi WO atau mendukung strategi defensive
yaitu strategi yang meminimalkan kelemahan
untuk memanfaatkan peluang. Dengan kata lain
sekolah menggunakan jumlah SDM dan biaya
terbatas secara maksimal dengan menggunakan
dana yang dimiliki serta memanfaatkan peran
komite, orang tua, dan alumni. Misalnya
sekolah dapat membuat skala prioritas bersama
dengan komite terkait lomba-lomba yang akan
diikuti, mengkomunikasikan kebutuhan
sekolah kepada komite dalam rangka
meningkatkan mutu pendidikan, dan
mengajukan proposal kepada alumni untuk
mengikuti lomba, mengadakan sarana dan
prasarana sekolah, atau gaji guru/ tenaga
honorer.
Saran
Saran diberikan kepada:
1) Pemerintah membuka kesempatan kepada
CPNS untuk menjadi PNS dan ditempatkan di
sekolah-sekolah yang membutuhkan. Dengan
diangkatnya CPNS, biaya yang dimiliki
sekolah dapat digunakan untuk membiayai hal
lainnya guna peningkatan mutu,
2) Kepala sekolah melakukan analisis faktor
internal dan eksternal secara berkala sehingga
dapat membuat strategi yang lebih baik, dan
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017
204
3) Masyarakat diharapkan lebih peduli dengan
pembiayaan sekolah karena biaya merupakan
salah satu unsur yang penting dalam
peningkatan mutu dan pencaaian visi dan misi
sekolah.
DAFTAR PUSTAKA
Asmawi, M. R.2010. Strategi meningkatkan
lulusan bermutu di perguruan
tinggi. Makara Hubs-Asia, 8 (3).
Ferdi, W. P. 2013. Pembiayaan Pendidikan:
Suatu Kajian Teoritis. Jurnal
Pendidikan dan Kebudayaan, 19 (4):
565-578.
Haryati, S. 2011. Pengembangan Model
Manajemen Pembiayaan Sekolah
Menengah Pertama (SMP) Rintisan
Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI)
di Kota Magelang, 36 (2): 64-86.
Hidayah, I., Susilowati, E. dan Sukirman. 2014.
Analisis Pembiayaan Pendidikan SMA
di Kota Semarang. Riptek, 8 (2): 13-22.
Indonesia, P. R. 2003. Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun
2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional.
Kebudayaan, M. P. 2012. Peraturan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 44
Tahun 2012 tentang Pungutan dan
Sumbangan Biaya Pendidikan pada
Satuan Pendidikan Dasar.
Kementerian Hukum, HAM. 2008. Peraturan
Pemerintah Nomor 48 Tahun 2008
tentang Pendanaan Pendidikan.
Kurniady, D. A. 2011. Pengelolaan
Pembiayaan Sekolah Dasar Di
Kabupaten Bandung. Jurnal Penelitian
Pendidikan 12 (1): 34.
Maretsya, A., & H Eddy Soegiarto K, H. 2015.
Analisis strategi pembiayaan (finance)
dalam upaya merebut pangsa.
Ekonomia, 4(2): 185-191.
Marimin. 2004. Teknik dan Aplikasi
Pengambilan Kriteria Majemuk.
Jakarta: Grasindo.
Peraturan Menteri Pendidikan Dan
Kebudayaan Republik Indonesia
Nomor 8 Tahun 2017 Tentang
Petunjuk Teknis Bantuan Operasional
Sekolah
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005
tentang Standar Nasional Pendidikan.
Raharjo, S. B. 2012. Evaluasi trend kualitas
pendidikan di indonesia. Jurnal
Penelitian dan Evaluasi
Pendidikan, 16(2): 511-532.
Rifqi, A. 2014. Strategi Peningkatan Dan
Pemanfaatan Sumber Pembiayaan
Mandiri di Pondok Pesantren, 24 (4):
325.
Sallis, E. 2010. Total Quality Management in
Education (Manajemen Mutu
Pendidikan). Yogyakarta: IRCiSoD.
Subarna, B. 2014. Pendidikan Gratis Sekolah
Menengah Pertama: Antara Harapan
dan Kenyataan. Yogyakarta:
Deepublish.
Sudarma, M. 2012. Analisis Swot Sebagai
Dasar Perumusan Dan Penerapan
Strategi Pada Perusahaan (Studi Kasus
di Telkom Malang). Jurnal Ilmiah
Mahasiswa FEB, 1(2).
Sudarsana, I. K. (2016). Peningkatan Mutu
Pendidikan Luar Sekolah Dalam Upaya
Pembangunan Sumber Daya
Manusia. Jurnal Penjaminan Mutu,
1(1): 1-14.
Susanto, A. B. 2014. Manajemen Strategik
Komprehensif untuk Mahasiswa dan
Praktisi. Jakarta: Erlangga.
Suti, M. 2011. Strategi Peningkatan Mutu di
Era Otonomi Pendidikan. Jurnal
Medtek, 3.
Wijaya, D. 2012. Pemasaran Jasa Pendidikan.
Jakarta: Salemba.
Wikipedia. (tt). Analisis SWOT. Diakses dari
https://id.wikipedia.org/wiki/Analisis_
SWOT pada tanggal 14 Agustus 2017.
Magister Manajemen Pendidikan FKIP Universitas Kristen Satya Wacana [email protected]
e-ISSN 2549-9661 Volume: 4, No. 2, Juli-Desember 2017
Halaman: 205-212
205
Analisa Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Proses Belajar Guru-Guru Sekolah
Dasar
Indri Anugraheni
PGSD, Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga
ABSTRACT
The purpose of this research is to know and describe factors influencing elementary
school teachers in Biak Numfor District, and efforts made by elementary school teachers
of Biak and suggestions for the development of education especially in Biak Numfor
District. The method used in this research is descriptive. The research subjects were
elementary school teachers in Biak Numfor District. Data obtained by distributing
instrument in the form of Questionnaire. The results of a questionnaire that was
distributed to 31 elementary school teachers in Biak Numfor district showed that many
of the obstacles experienced by teachers. Obstacles experienced by elementary school
teachers in Biak Numfor district are teachers experiencing obstacles in preparing the
lesson, teachers experience barriers in determining methods and media used in learning,
teachers experience barriers in determining the evaluation used in learning. Efforts by
teachers to overcome these obstacles are many students who do not have a handbook then
the teachers, and teachers use the media in school. Teachers hope the attention of local
governments need to be improved again.
Keywords: factors that influence, learning, efforts undertaken
Article Info
Received date: 23 Oktober 2017 Revised date: 15 November 2017 Accepted date: 15 November 2017
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017
206
PENDAHULUAN
Pendidikan mempunyai peran dalam
perkembangan suatu bangasa. Pendidikan
mampu menghasilkan sumber daya manusia
yang berkualitas. Guru mempunyai peranan
penting dalam menciptakan sumberdaya
manusia yang berkualitas. Undang-undang No
14 Tahun 2005 pasal 1 menyatakan bahwa
Guru adalah pendidik profesional dengan tugas
utama mendidik, mengajar, membimbing,
mengarahkan, melatih, menilai, dan
mengevaluasi peserta didik pada pendidikan
anak usia dini jalur pendidikan formal,
pendidikan dasar, dan pendidikan
menengah.Guru mampu mendidik dan
menumbuhkan kedewasaan siswa. Guru
mampu mengajar dengan mengatur dan
menciptakan kondisi lingkungan sehingga
siswa dapat melakukan kegiatan pembelajaran.
Membimbing adalah usaha yang dilakukan
guru untuk mengantarkan siswa kearah ke-
dewasaan baik secara jasmani atu rohani. Selain
membimbing, guru juga diharapkan mampu
mengarahkan, melatih serta mengevaluasi
siswa (peserta didik).
Guru dalam proses pemelajaran di kelas
dipandang dapat memainkan peranan penting
terutama dalam membantu peserta didik untuk
membangun sikap positif, membangkitkan rasa
ingin tahu, mendorong kemandirian dan
ketepatan logika intelektual, serta menciptakan
kondisi-kondisi untuk sukses dalam belajar
(Muh. Ilyas I, 2010: 45). Menurut abdul Azis
(2014: 51) guru memiliki kemampuan dalam
menyusun rencana pembelajaran serta
kemampuan dalam melaksanakan interaksi atau
kegiatan pembelajaran.
Peraturan Pemerintah (PP) Republik
Indonesia Nomor 74 Tahun 2008 mengatur
tentang Guru bahwa salah satu kompetensi
yang harus dimiliki oleh seorang guru adalah
kompetensi pedagogik, yakni kemampuan guru
dalam mengelola pembelajaran yang
didalamnya antara lain perencanaan
pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran yang
mendidik dan dialogis, dan evaluasi hasil
belajar. Perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi
merupakan kompetensi yang perlu dimiliki oleh
guru. Dengan perencanaan yang baik
diharapkan kegiatan pembelajaran dapat
berlangsung sesuai dengan perencanaan yang
sudah disiapkan. Evaluasi dilakukan sesuai
dengan aspek-aspek yang akan diukur.
Standar Kompetensi merupakan suatu
ukuran yang ditentukan dan dipersyaratkan
untuk dimiliki seorang guru. Suparlan
(2006:87) menyatakan standar kompetensi
tersebut terdiri atas tiga komponen yaitu:
pengelolaan pembelajaran, pengembangan
profesi dan penguasaan akademik. Komponen
pengelolaan pembelajaran terdiri atas
penyusunan rencana pembelajaran,
pelaksanaan interaksi belajar mengajar,
penilaian prestasi belajar peserta didik,
pelaksanaan tindak lanjut hasil penilaian
prestasi belajar peserta didik. Komponen
pengembangan profesi terdiri dari
pengembangan profesi. Komponen penguasaan
akademik terdiri dari pemahaman wawasan
kependidikan, dan penguasaan bahan kajian
akademik. Salah satu komponen yang harus
dimiliki oleh seorang guru adalah kompetensi
dalam mengelola pembelajaran. Berhasil
tidaknya suatu pembelajaran tergantung dari
bagaimana guru tersebut mampu mengelola
pembelajaran di kelas.
Menurut Permendiknas nomor 16 tahun
2007 ada 4 kompetensi yang harus dimiliki
seorang guru meliputi: 1) Kompetensi
pedagogik, 2) kompetensi kepribadian, 3)
kompetensi sosial, 4) kompetensi professional.
Kompetensi Pedagogik meliputi pemahaman
terhadap peserta didik, perancangan dan
pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil
belajar, dan pengembangan peserta didik untuk
mengaktualisasikan berbagai potensi yang
dimiliki. Kompetensi kepribadian merupakan
kemampuan personal yang mencerminkan
kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif,
dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta
didik, dan berakhlak mulia. Kompetensi sosial
merupakan kemampuan guru untuk
Analisa Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Proses Belajar Guru-Guru Sekolah Dasar | Indri Anugraheni
207
berkomunikasi dan bergaul secara efektif
dengan peserta didik, sesame pendidik, tenaga
kependidikan, orangtua/wali peserta didik, dan
masyarakat sekitar. Kompetensi professional
merupakan penguasaan materi pembelajaran
secara luas dan mendalam yang mencakup
penguasaan materi kurikulum mata pelajaran di
sekolah dan substansi keilmuan yang menaungi
materinya, serta penguasaan terhadap struktur
dan metodologi keilmuannya.
Peneliti melakukan penelitian tentang
analisis hambatan-hambatan yang dilakukan
guru Sekolah Dasar di daerah Kabupaten Biak
Numfor, Papua. Penelitian ini dimaksudkan
untuk menjawab permasalahan: (1) faktor-
faktor apa sajakah yang menjadi pengaruh
dalam mempersiapkan kegiatan pembelajaran?,
(2) faktor-faktor apa sajakah yang menjadi
pengaruh dalam melaksanakan kegiatan pem-
belajaran?, (3) faktor-faktor apa sajakah yang
menjadi pengaruh dalam melaksanakan
evaluasi pembelajaran?, (4) Bagaimana usaha-
usaha yang dilakukan guru-guru dalam
mengatasi kesulitasi hambatan tersebut?.
Penelitian yang dilakukan Syamsul Bahri
(2011) menjelaskan bahwa guru tidak membuat
rencana pembelajaran, kurangnya kepedulian
dalam menganalisis hasil evaluasi, dan
terbatasnya informasi yang diperoleh terkait
pengayaan ilmu yang dimiliki, sarana dan
prasarana yang kurang mendukung dalam
melaksanakan pembelajaran.
Sedangkan Titik Rosilawati (2014: 61)
menjelaskan bahwa rendahnya kinerja guru
dalam pempersiapkan pembelajaran di-
pengaruhi oleh kualitas komitmen dan
kompetensi yang dimiliki guru tersebut.
Penelitian tersebut sejalan dengan penelitian
yang dilakukan Heri Retnawati (2015) bahwa 4
kompetensi yang diukur dalam pembelajaran
yaitu: penilaian kompetensi penilaian sikap
spiritual, penilaian sikap sosial, penilaian
pengetahuan dan penilaian keterampilan.
Penelitian yang membahas tentang
faktor-faktor yang mempengauhi pembelajar-
an, penelitian yang Titik Rosilawati (2014; 58)
bahwa guru belum meiliki kecakapan atau
keterampilan menyusun perangkat persiapan
untuk pembelajaran, guru enggan untuk
membuat perangkat pembelajaran.
Adapun peran dan fungsi guru dalam
meningkatkan mutu pendidikan menurut
Usman (2004:6-9) meliputi: 1) Guru sebagai
demonstrator berfungsi untuk
mendemonstrasikan suatu materi pembelajaran,
sehingga lebih mudah dimengerti dan dipahami
oleh siswa. Oleh karena itu guru harus mampu
menguasai bahan atau materi pelajaran yang
akan diajarkannya serta senantiasa
mengembangkan kemampuannya yang pada
akhirnya mampu memperagakan apa yang
diajarkannya secara didaktis. 2) Guru sebagai
pengelola kelas berfungsi untuk mengendalikan
dan mengorganisasikan siswa di dalam kelas
agar lebih terarah kepada tujuan pembelajaran.
Oleh karena itu guru harus mampu mengelola
kelas karena kelas merupakan lingkungan
belajar serta merupakan suatu aspek dari
lingkungan sekolah yang perlu diorganisasikan.
3) Guru sebagai mediator dan fasilitator
berfungsi untuk memperagakan suatu media
atau alat pembelajaran yang mendukung materi
sehingga siswa lebih merasa jelas. Oleh karena
itu guru hendaknya memiliki pengetahuan dan
pemahaman yang cukup tentang media
pendidikan sebagai alat komunikasi guna
mengefektifkan pembelajaran. 4) Guru sebagai
evaluator berfungsi untuk mengevaluasi hasil
belajar siswa. Oleh karena itu guru harus
melaksanakan evaluasi pada waktu-waktu
tertentu selama satu periode pendidikan untuk
mengadakan penilaian terhadap hasil yang telah
dicapai, baik oleh pihak terdidik maupun oleh
pendidik.
Kompetensi guru mengambarkan
kompetensi yang dituntut dari seseorang yang
memangku jabatan profesi guru. Artinya
kompetensi yang ditampilkan itu menjadi ciri
profesionalismenya, walaupun tidak semua
kompetensi yang dimiliki seseorang
menunjukkan bahwa apa dan bagaimana
melakukan pekerjaan semata-mata, tetapi juga
menguasai mengapa hal itu dilakukan
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017
208
berdasarkan konsep dan teori tertentu (Pranowo
Narjosoeripto, 2012: 113).
Guru harus memiliki 4 kompetensi
sebagai guru yang professional tetapi pada
kenyataannya di Indonesia masih banyak guru-
guru yang professional. Banyak guru-guru di
Indonesia yang belum memiliki 4 kompetensi
sebagi seorang guru, hal tersebut juga dialami
oleh guru-guru Sekolah Dasar di Kabupaten
Biak Numfor, Papua. Salah satu kompetensi
yang masih kurang dimiliki guru adalah
kompetensi pedagogik.
Hasil diskusi dengan guru-guru Sekolah
Dasar di Kabupaten Biak Numfor, Papua
menunjukkan bahwa masih banyak guru-guru
yang mengalami kesulitan dalam
pengembangan kompetensi pedagogik.
Kompetensi pedagogik terkait dengan
perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi
pembelajaran. Guru mengalami kesulitan
bagaimana merencanakan suatu pembelajaran
yang baik dengan menggunakan model-model
pembelajaran yang inovatif. Pada saat
pelaksanaan pembelajaran, guru kesulitan
menentukan media, sember belajar yang
mampu menumbuhkan kreativitas siswa. Selain
itu, evaluasi yang dilakukan guru hanya
mengukur ranah kognitif saja dan biasanya
dilakukan hanya di akhir semester. Hanya
sedikit guru yang mengevaluasi siswa dari
ranah psikomotorik dan afektif. Oleh karena itu
peneliti menganalisis faktor-faktor apa sajakah
yang mempengaruhi guru dalam pelaksanaan
pembelajaran khususnya di daerah Kabupaten
Biak Numfor, Papua.
Hambatan-hambatan ini juga relevan
dengan penelitian yang dilakukan Heri
Retnawati (2015) yang menyatakan bahwa guru
mengalami hambatan dalam mengatur waktu
pada perencanaan pembelajaran, merencanakan
pembelajaran, merencanakan penilaian sikap,
penilaian keterampialan, penilaian
pengetahuan, serta guru mengalami hambatan
dalam pembuatan RPP. Hal ini juga sejalan
dengan penelitian Akhmad Wahyuddin (2009)
yang menyebutkan bahwa guru masih
mengalami hambatan dalam menyusun
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran, guru juga
masih mengalami kesulitan dalam menyusun
penilaian.
Penelitian yang dilakukan Hilda S.M dan
Supramono (2015) menyebutkan bahwa guru
belum fokus pada siswa secara individu, guru
masih kurang pengetahuan akan manajemen
kelas.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah penelitian
deskriptif. Penelitian ini dilaksanakan di bulan
Oktober 2016 dan dilaksanakan di Universitas
Kristen Satya Wacana Salatiga. Subjek
penelitian ini adalah guru-guru Sekolah Dasar
di Kabupaten Biak Numfor yang berjumlah 31
orang dengan jumlah 18 orang guru laki-laki
dan 13 orang guru perempuan. Jenis penelitian
yang digunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian diskriptif, karena hanya menjelaskan
keadaan sesungguhnya dari objek yang diteliti.
Teknik pengumpulan data dengan
menggunakan non tes yang berupa angket dan
wawancara. Sebelum disebarkan kepada
responden, angket terlebih dahulu divalidasi.
Pada penelitian ini, angket sudah divalidasi
sebelumnya.
Hasil validasi menunjukkan bahwa
angket valid dan reliabel. Hasil validasi
instrument berupa angket terdiri dari 15 (lima
belas) pernyataan yang diujikan, ada 14 (empat)
pernyataan yang valid dan yang tidak valid ada
1 (satu) penyataan. Dengan demikian instrumen
yang berupa angket tersebut dapat digunakan
sebagai
Hasil uji reliabilitas instrumen berupa
angket yang digunakan diketahui bahwa
reliabilitasnya 0,805 sehingga masuk dalam
kriteria reliabilitas bagus dan diterima untuk
digunakan.
Teknik analisis yang digunakan dalam
penelitian ini adalah mencari frekuensi dan
presentase dari hasil angket, kemudian hasil
presentase angket digunakan untuk men-
deskripsikan hambatan-hambatan yang dialami
Analisa Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Proses Belajar Guru-Guru Sekolah Dasar | Indri Anugraheni
209
guru-guru SD di Kabupaten Biak Numfor serta
usaha-usaha yang dilakukan guru-guru dalam
mengatasi hambatan-hambatan tersebut.
Peneliti membagi menjadi 3 indikator yaitu:
persiapan guru sebelum melaksanakan
pembelajaran, perencanaan guru dalam
menggunakan metode dan media, penilaian
yang dilakukan guru. Masing-masing aspek
akan diukur dengan berpedoman pada
indikator. Persiapan guru sebalum
melaksanakan pembelajaran, terdiri dari aspek:
Persiapan sebelum pembelajaran, hambatan
dalam melakukan persiapan, membuat RRP,
hambatan membuat RPP, mengembangkan
bahan Ajar. Perencanaan guru dalam
menggunakan metode dan media terdiri dari
aspek: Merencanakan metode yang digunakan,
ambatan dalam pemilihan metode,
menggunakan media dalam kegiatan
pembelajaran, hambatan dalam pemilihan
media. Penilaian yang dilakukan guru terdiri
dari: Melakukan penilaian dan hambatan dalam
melakukan penilaian (penilaian proses dan
akhir).
HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
guru mengalami hambatan dalam pelaksanaan
pembelajaran matematika. Berikut ini adalah
tabel hasil analisis angket:
Tabel 1. Analisis Persiapan guru sebelum melaksanakan pembelajaran
Aspek yang diukur Frekuensi Presentase
Y T Y T
Persiapan sebelum pembelajaran
Hambatan dalam melakukan persiapan
Membuat RRP
Hambatan membuat RPP
Mengembangkan bahan Ajar
Hambatan mengembangkan Bahan Ajar
30
15
28
23
26
25
1
16
3
8
5
6
96,80
48,40
90,30
74,20
83,90
80,60
3,20
51,60
9,70
25,80
16,10
19,40
Berdasarkan analisis tabel 1 diatas
menunukkan bahwa 96,80% guru di SD di
Kabupaten Biak Numfor melakukan persiapan
sebelum pembelajaran dan 3,20% guru tidak
melakukan persiapan. selain itu, 48,40% guru
mengalami hambatan dalam mempersiapan
pembelajaran, sedangkan 51,60% guru tidak
mengalami hambatan. Hambatan-hambatan
tersebut dikarenakaa 1) kurangnya buku
penunjang bagi guru, 2) kurangnya buku siswa,
3) karena kurangnya tenaga pendidik sehingga
guru harus merangkap sebagai kepala sekolah,
guru harus mengajar lebih dari satu kelas secara
bersamaan, 4) Jarak yang jauh antara sekolah
dengan tempat tinggal sehingga guru tidak
sempat untuk mempersiapkan pembelajaran.
Berdasarkan kenyataan tabel 1 baris
ketiga kolom kelima menunjukkan bahwa
90,30 guru membuat RPP dan hanya 9,70
persen yang tidak membuat RPP. 74,20% guru
mengalami hambatan dalam membuat RPP dan
25,80% tidak mengalami hambatan. Hambatan-
hambatan yang dialami guru-guru SD di
Kabupaten Biak Numfor karena faktor 1)
kurikulum yang berubah-ubah (pemahaman
kurikulum ktsp belum kuat sudah ditambah
dengan kurikulum 2013), 2) kurangnya
sosialisasi kurikulum 2013 (pembuatan RPP).
Dari tabel 1 tampak bahwa 83,90% guru
mengembangkan bahan ajar dan 16,10% tidak
mengembangkan bahan ajar. 80,60%
menngalami kesulitan dalam mengembangkan
bahan ajar dan 19,40% tidak mengalami
hambatan dalam mengembangkan bahan ajar.
Hambatan-hambatan ini dikarenakan 1) guru
masih kurang menguasai materi yang akan
diajarkan, 2) terbatasnya buku pegangan guru
dan buku siswa.
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017
210
Hambatan ini juga sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Surahman
(2015) yang menyatakan bahwa fasilitas
penunjang dalam penyususnan RPP dan
penunjang proses pembelajaran yang sangat
kurang.
Tabel 2. Analisis Perencanaan guru dalam menggunakan metode dan media
Aspek yang diukur Frekuensi Presentase
Y T Y T
Merencanakan metode yang digunakan
Hambatan dalam pemilihan metode
Menggunakan media dalam kegiatan pembelajaran
Hambatan dalam pemilihan media
29
24
23
30
2
7
8
1
93,50
77,40
74,20
96,80
6,50
22,60
25,80
3,20
Berdasarkan kenyataan yang tampak dari
tabel 2 bahwa 93,50% guru merencanakan
metode dalam pembelajaran dan 6,50% tidak
merencanakan metode yang akan digunakan
dalam pembelajaran. 77,40% guru mengalami
hambatan dalam menentukan metode yang
digunakan pada saat pembelajaran dan 22,60%
guru tidak mengalami hambatan. Hambatan-
hambatan tersebut terdiri dari 1) kurangnya
pengetahuan tentang motode-metode, model-
model, serta trategi-strategi dalam
pembelajaran,; 2) matri yang ada dibahan ajar
tidak sesuai dengan kondisi di lapangan
(contohnya: materi tentang candi Borobudur
tidak sesuai dengan kondisi di Biak karena di
Biak tidak ada candi; materi tentang
transportasi seperti becak, di Papua tidak ada
becak sehingga anak kesulitan untuk
membayangkan alat transportasi becak),
Berdasarkan tabel 2 menunjukkan bahwa
74,20% guru SD di Kabupaten Biak Numfor
menggunakan media dalam pembelajaran dan
25,80% tidak menggunakan media dalam
pembelajaran. 96,80% mengalami hambatan
dalam memilih media yang tepat dengan
pembelajaran dan 3,20% guru tidak mengalami
hambatan. Hambatan yang dialami guru adalah
1) kurangnya refrensi (sumber-sumber) media
pembelajaran serta buku pembelajaran yang
sesuai dengan materi yang akan diajarkan, 2)
terbatarnya pengetahuan tentang media
pembelajaran yang sesuai dengan materi yang
diajarkan, 3) terbatasnya dana bagi pembuatan
media. Media pembelajaran, buku-buku
pembelajaran merupakan fasilitas yang harus
dimiliki siswa tetapi pada kenyataannya masih
banyak fasilitas yang belum dimiliki. Hal ini
sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Rini Kristiantari (2014) menyebutkan bahwa
sekolah masih kesulitan dalam penyediaan
fasilitas pembelajaran.
Tabel 3. Analisis Penilaian yang dilakukan guru
Aspek yang diukur Frekuensi Presentase
Y T Y T
Melakukan penilaian
Hambatan dalam melakukan penilaian
(penilaian proses dan akhir)
31
28
0
3
100,00
90,30
0,00
9,70
Dari analisis tabel 3 menyatakan bahwa
semua guru-guru SD di Kabupaten Biak
Numfor melakukan penilaian. 90,30%
mengalami kesulitan dalam melakukan
penilaian baik penilaian proses maupun
penilaian produk. Hal ini dikarenakan
kurangnya pengetahun tentang penilaian
psikomotorik, penilaian afektif sehingga guru
Analisa Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Proses Belajar Guru-Guru Sekolah Dasar | Indri Anugraheni
211
hanya melakukan penilaian kognitif di akhir
pembelajaran, jarak sekolah dengan tempat
tinggal yang jauh sehingga guru tidak sempat
melakukan penilaian proses.
Hal ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan Syamsul Bahri di daerah dataran
Tinggimoncong menyebutkan bahwa faktor
yang mempengaruhi guru dalam pembelajaran
adalah guru tidak membuat rencana
pembelajaran, kurangnya kepedulian dalam
menganalisis hasil evaluasi belajar, terbatasnya
informasi yang diperoleh serta sarana dan
prasarana yang tidak memadai dalam
melaksanakan pembelajaran.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Dari hasil angket yang dibagikan kepada
31 guru-guru SD di Kabupaten Biak Numfor
menunjukan bahwa banyak hambatan-
hambatan yang dialami guru. Hambatan-
hambatan yang dialami guru SD di Kabupaten
Biak Numfor yaitu: 1) analisis persiapan guru
sebelum melaksanakan pembelajaran, 2)
analisis perencanaan guru dalam menggunakan
metode dan media, 3) analisis penilaian yang
dilakukan guru.
Hambatan-hambatan yang dialami guru
dalam mempersiapkan pembelajaran adalah: 1)
kurangnya buku penunjang bagi guru, 2)
kurangnya buku siswa, 3) karena kurangnya
tenaga pendidik sehingga guru harus
merangkap sebagai kepala sekolah, guru harus
mengajar lebih dari satu kelas secara
bersamaan, 4) Jarak yang jauh antara sekolah
dengan tempat tinggal sehingga guru tidak
sempat untuk mempersiapkan pembelajaran.
Hambatan-hambatan yang dialami guru-guru
SD di Kabupaten Biak Numfor karena faktor 1)
kurikulum yang berubah-ubah (pemahaman
kurikulum KTSP belum kuat sudah ditambah
dengan kurikulum 2013), 2) kurangnya
sosialisasi kurikulum 2013 (pembuatan RPP).
Hambatan-hambatan yang dialami guru
dalam merencanakan dan menggunakan
metode serta media yang sesuai dengan
pembelajaran yaitu: 1) kurangnya pengetahuan
tentang motode-metode, model-model, serta
trategi-strategi dalam pembelajaran, 2) matri
yang ada dibahan ajar tidak sesuai dengan
kondisi di lapangan (contohnya: materi tentang
candi Borobudur tidak sesuai dengan kondisi di
Biak karena di Biak tidak ada candi; materi
tentang transportasi seperti becak, di Papua
tidak ada becak sehingga anak kesulitan untuk
membayangkan alat transportasi becak).
Hambatan yang dialami guru adalah 1)
kurangnya refrensi (sumber-sumber) media
pembelajaran yang sesuai dengan materi yang
akan diajarkan, 2) terbatarnya pengetahuan
tentang media pembelajaran yang sesuai
dengan materi yang diajarkan, 3) terbatasnya
dana bagi pembuatan media.
Hambatan-hambatan yang dialami guru
dalam melakukan kegiatan evaluasi
pembelajaran adalah: 1) kurangnya pengetahu-
an tentang penilaian psikomotorik, penilaian
afektif sehingga guru hanya melakukan
penilaian kognitif di akhir pembelajaran. 2)
jarak sekolah dengan tempat tinggal yang jauh
sehingga guru tidak sempat melakukan
penilaian proses.
Usaha-usaha yang dilakukan guru dalam
mengatasi hambatan tersebut adalah1) banyak
siswa yang tidak mempunyai buku pegangan
maka guru menatat materi di papan tulis, 2)
guru menyiapkan pembelajaran sesuai dengan
kemampuan guru, 3) guru menggunakan media
yang ada di sekolah.
Saran
Saran bagi pemerintah daerah Kabupaten
Biak Numfor adalah perlunya a) pelatihan-
pelatihan terkait pembengangan kompetensi
bagi guru-guru di Kabupaten Biak Numfor,
Papua; b) Seminar terkait model-model
pembelajaran, media pembelajaran, evaluasi
pembelajaran (ranah kognitif, afektif dan
psikomotorik) bagi guru-guru di Kabupaten
Biak Numfor, Papua. Saran bagi FKIP UKSW
Salatiga adalah menjalin kerjasama dan
mengadakan program-program atau kegiatan-
kegiatan yang mampu meningkatkan
kompetensi guru untuk menjadi guru yang
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017
212
professional. Saran bagi Guru (pendidik)
adalah mengikuti pelatihan-pelatihan, seminar
yang diadakan oelh Dinas Pendidikan;
mengembangkan diri dengan membaca buku-
buku refrensi.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Azis. 2014. Kompetensi Guru dalam
penggunaan media Mutu Pembelajaran.
Jurnal Pelopor Pendidikan, Vol 5 no 1.
(49-57).
Akhmad Wahyuddin Rauf. (2009). Deskripsi
Tentang Hambatan Guru Dalam
Implementasi Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP) Di SMU
Negeri 4 Watampone. Jurnal Medtek,
1(1).
Heri Retnawati. (2015). Hambatan Guru
Metamtika Sekolah Menengah Pertama
Dalam Menerapkan Kurikulum Baru.
Jurnal Cakrawala Pendidikan, Th
XXXIV (3), 390 – 403.
Hilda Saranita M dan Supramono. (2015).
Analisis Akar Masalah Ketidakefektifan
Manajemen Kelas di Sekolah Dasar di
Salatiga dan Sekitarnya. Jurnal Kelola
(Jurnal Manajemen Pendidikan), 2(2),
221 – 235.
Mg. Rini Kristiantari. (2014). Analisis
Kesiapan Guru Sekolah Dasar Dalam
Mengimplementasikan Pembelajara
Tematik Integratif Menyongsing
Kurikulum 2013. Jurnal Pendidikan
Indonesia, 3(2), 460 – 470.
Muh. Ilyas Ismail. (2010). “Kinerja dan
Kompetensi Guru dalam Pembelajar-
an”. Jurnal Lentera Pendidikan, Vol 13
(No 1), 44 – 63.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
Republik Indonesia No. 16 Tahun 2007
tentang Standar Kualifikasi Akademik
dan Kompetensi Guru.
Pranowo Narjosoeripto. (2012). Profesionalis-
me Guru dan Perspektif Global.
Procceding Seminar Nasional
“Profesionalisme Guru dalam
Perspektif Global”. Univet Bantara
Sukoharjo, 112 – 119.
Suparlan. (2006). Guru Sebagai Profesi.
Yogyakarta: Hikayat Publishing.
Surahman Nur. (2015). Studi tenang Faktor
Pengaruh Guru Biologi dalam
menyusun Rancangan Pelaksanaan
Pembelajaran Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan di SMP Sek
Kecamatan Bastem Kabupaten Luwu.
Jurnal Bionature, 2 (Oktober 2015),
110 – 116.
Syamsul Bahri. (2011). Faktor yang
mempengaruhi Kinerja Guru SD di
Dataran Tinggimonco Gowa. Jurnal
Medtek, Vol 3, No 2 (Oktober 2011).
Titik Rosilawati. (2014). Supervisi Akademik
dalam Upaya Peningkatan Motivasi
Guru Menyusun Perangkat Persiapan
Pembelajaran. Jurnal Penelitian
Pendidikan Tindakan Sekolah, Vol 1
(No 2), 57 – 62.
Usman. 2004. Menjadi Guru Profesional.
Bandung: Angkasa.
Undang-undang Republik Indonesia, Nomor 14
tahun 2005. Tentang guru dan dosen.
Magister Manajemen Pendidikan FKIP Universitas Kristen Satya Wacana [email protected]
e-ISSN 2549-9661 Volume: 4, No. 2, Juli-Desember 2017
Halaman: 213-219
213
Teori dan Implementasi Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah
Nasib Tua Lumban Gaol
Insitute of Education, National Taiwan Ocean University
Universitas Pelita Harapan Medan
ABSTRACT
Indonesia faces many problems in education. The main problem is raised from the
low ability of the headmaster to manage the school. This is related to leadership style.
This study aims to explore leadership styles in the field of education and discusses how
headmasters should apply leadership styles in schools. Some appropriate leadership
styles are applied by the headmaster consisting of (1) managerial leadership, (2)
transformational leadership, (3) transactional leadership, (4) instructional leadership
and (5) positive leadership. Therefore, the headmaster not only applies a leadership style
while managing the school but must be able to combine and contextualize leadership
styles based on the need to obtain school goals.
Keywords: education management, headmaster, leadership style
Article Info
Received date: 22 Oktober 2017 Revised date: 12 November 2017 Accepted date: 12 November 2017
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017
214
PENDAHULUAN
Kualitas pendidikan sangat ditentukan
oleh keberhasilan proses pembelajaran di
lembaga pendidikan. Sekolah sebagai lembaga
pendidikan membutuhkan kepala sekolah yang
mampu memimpin dan mengelola sekolah
dengan profesional. Wiyono (2017)
menyatakan bahwa kepemimpinan kepala
sekolah merupakan salah satu aspek yang
menentukan keberhasilan pendidikan di
sekolah. Hal tersebut dikarenakan kepala
sekolah memiliki peran penting untuk
melakukan peningkatan dan pengembangan
sekolah secara berkelanjutan (Yang, 2014).
Kepala sekolah membutuhkan
kompetensi yang memadai. Ini bertujuan
supaya setiap permasalahan dan pengem-
bangan sekolah dapat dilakukan oleh kepala
sekolah. Adapun kompetensi yang dibutuhkan
oleh kepala sekolah adalah
(1) kompetensi personal, (2) manajerial, (3)
supervisi, (4) interpreneurship, dan (5) sosial
(Wiyono, 2017). Selain itu, berdasarkan hasil
penelitian Ross dan Cozzens (2016),
ditemukan kompetensi utama yang harus
dimiliki oleh kepala sekolah, yaitu: (1)
Assessment, (2) Instructional Leadership, (3)
Unity of Purpose, (4) Visionary Leadership, (5)
Diversity, (6) Learning Community, (7)
Reflection, (8) Organizational Management,
(8) Professional Development, (9)
Collaboration, (10) Curriculum and
Instruction, (11) Professionalism.
Namun, pada kenyataannya, terdapat
permasalahan mendasar yaitu masih banyak
kepala sekolah di Indonesia yang tidak
mengetahui bagaimana menggunakan
wewenang yang dimiliki untuk mengelola
sekolah yang dipimpin karena takut membuat
perubahan (Sofo, Fitzgerald & Jawas, 2012).
Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan
kepala sekolah di Indonesia masih lemah dalam
mengelola sekolah.
Silfianti (2013) menemukan beberapa
fenomena kritis terhadap kondisi sekolah yang
dikaitkan dengan ketidakmampuan kepala
sekolah mewujudkan sekolah yang efektif di
Indonesia. Pertama, kepala sekolah masih
kurang mampu dalam memelihara fasilitas
sekolah. Fasilitas belajar tidak terkelola dengan
baik sehingga mengakibatkan suasana belajar
di lingkungan sekolah tidak begitu efektif.
Misalnya adalah kondisi kursi, meja, dan lemari
sekolah yang sudah rusak. Kondisi yang
demikian ini membuat siswa tidak nyaman
untuk belajar.
Kedua, kepala sekolah tidak mampu
menciptakan budaya dan suasana sekolah yang
kondusif. Hubungan di antara sesama guru dan
staf kependidikan lainnya sering sekali tidak
baik. Akibatnya, lingkungan kerja di sekolah
menjadi tidak baik karena ada beberapa guru
memiliki konflik interpersonal dengan guru
atau staf kependidikan lainnya.
Ketiga, kepala sekolah juga kurang
mampu melibatkan para personil sekolah
supaya aktif dalam berbagai kegiatan di
sekolah. Lemahnya kemampuan kepala sekolah
dalam melibatkan para personil sekolah baik
guru maupun tenaga kependidikan menjadi
permasalahan mendasar di sekolah. Artinya,
baik guru maupun tenaga kependidikan tidak
dapat memaksimalkan kontribusinya dalam
mewujudkan pengembangan sekolah karena
kepala sekolah tidak berkompeten untuk
memberdayakan sumberdaya manusia yang ada
di sekolah.
Keempat, kepala sekolah juga tidak
mampu mengarahkan para guru supaya
menyusun dan mengembangkan silabus dan
RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran).
Kecenderungan guru adalah menggunakan RPP
dari sekolah lain atau hanya menggunakan RPP
dari situs internet. Dalam kasus ini sebenarnya,
peran kepala sekolah sebagai pemimpin
pengajaran telah gagal.
Kelima, kepala sekolah cenderung tidak
melibatkan para guru dalam komite sekolah
untuk pengambilan keputusan. Kepala sekolah
selalu mendominasi dalam setiap pengambilan
keputusan. Kemampuan kepala sekolah secara
sosial maupun kooperatif adalah penyebab
utamanya.
Selanjutnya, Sofo, Fitzgerald dan Jawas
(2012) menyatakan bahwa permasalahan
kepemimpinan pendidikan dan reformasi
sekolah yang ada di Indonesia sangatlah
penting, akan tetapi kedua topik tersebut masih
terabaikan pada kajian literatur yang
dipublikasikan. Dengan demikian, karena
lemahnya kemampuan kepala sekolah dalam
mengelola sekolah dan minimnya kajian
literature tentang kepemimpinan pendidikan
terkhusus kepala sekolah di Indonesia, maka
Teori Dan Implementasi Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah | Nasib Tua Lumban Gaol
215
dianggap penting untuk melakukan kajian
secara teoritis dan menemukan hal penting
untuk diimplementasikan oleh kepala sekolah
dari berbagai gaya kepemimpinan.
Oleh karena itu, yang menjadi rumusan
permasalahan dalam tulisan ini adalah: (1)
Apakah teori-teori gaya kepemimpinan yang
relevan untuk diimplementasikan di sekolah
yang ada di Indonesia? (2) Bagaimanakah
implementasi gaya kepemimpinan dapat
dilakukan oleh kepala sekolah?
Tulisan ini memberikan kontribusi
signifikan baik secara teoritis maupun praktis.
Secara teoritis, menambah temuan baru tentang
gaya kepemimpinan pendidikan yang relevan
untuk diimplementasikan di Indonesia. Secara
praktis, memberikan pemahaman baru kepada
kepala sekolah dan para stakeholder dalam
mengelola lembaga pendidikan sekolah
sehingga diharapkan akan terwujud sekolah
yang efektif di Indonesia.
PEMBAHASAN
Kepemimpinan adalah sangat kompleks
dan memiliki berbagai konsep. Northouse
(2013) memfokuskan konsep kepemimpinan
hanya pada empat komponen penting, yaitu (1)
pengaruh, (2) proses, (3) komunitas, dan (4)
tujuan bersama.
Tetapi, Abbas (2014) menyatakan bahwa
kepemimpinan adalah kemampuan untuk
menggerakkan segala sumber daya yang ada
pada organisasi, sehingga dapat didayagunakan
secara maksimal, guna mencapai tujuan yang
telah ditetapkan. Meskipun ada perbedaan
tentang konsep kepemimpinan, tetapi teori
kepemimpinan tetap saja memberikan
kontribusi penting dalam berbagai bidang,
termasuk pendidikan.
Kepemimpinan dalam pendidikan
menjadi sangat penting karena kepemimpinan
kepala sekolah memiliki pengaruh signifikan
terhadap kualitas pendidikan. Beberapa hasil
studi terbaru telah menunjukkan bahwa ada
hubungan yang signifikan antara kemampuan
kepemimpinan kepala sekolah dengan
efektifitas sekolah (Bolanle, 2013; Moorosi &
Bantwini &, 2016; Boonla & Treputtharat,
2014).
Sebenarnya, dengan adanya kemampuan
yang memadai dan gaya kepemimpinan yang
sesuai, kepala sekolah pasti mampu
mewujudkan sekolah yang efektif. Namun
karena kendala dalam memahami dan
mengimplementasikan gaya-gaya
kepemimpinan pendidikan di sekolah, sekolah
tidak begitu berhasil sebagai wadah
pendidikan.
Dengan demikian, ada beberapa gaya
kepemimpinan yang dapat diimplementasikan
oleh kepala sekolah di Indonesia ketika
mengelola sekolah supaya efektif dan mencapai
tujuan pendidikan, yaitu kepemimpinan
manajerial, kepemimpinan transformasional,
kepemimpinan transaksional, Pengajaran
(Bush, 2008; 2015), dan positif (Chen, Tsai,
Chen & Wu, 2016).
Gaya Kepemimpinan Manajerial
Kepemimpinan manajerial lebih
memfokuskan pada setiap hal supaya dapat
terkelola dengan baik. Bush (2015) menyatakan
“managerial leadership assumes that the focus
of leadership ought to be on functions, task, and
behaviors and if these functions are carried out
completely, the work of others in the
organization will be facilitated. Oleh karena itu,
setiap bagian pada organisasi sekolah harus
diposisikan dengan benar supaya tujuan
sekolah dapat tercapai. Namun, kelemahan
pada kepemimpinan manajerial ini adalah
tidakmengikutsertakan konsep visi (Bush,
2008). Artinya, kepemimpinan manajerial lebih
memfokuskan diri pada pengelolaan berbagai
kegiatan supaya berhasil. Sehingga kepala
sekolah dengan gaya kepemimpinan manajerial
memiliki kecenderungan untuk mengurusi
kegiatan-kegiatan sekolah, misalnya kegiatan
lomba, perayaan event tertentu, dan lain
sebagainya.
Meskipun demikian, gaya kepemimpinan
manajerial sebenarnya memberikan dampak
positif terhadap sekolah. Karena dengan
kemampuan mengorganisir program yang
dimiliki oleh kepala sekolah akan membawa
suasana educatif dan tidak membosankan bagi
guru dan peserta didik yang berada di
lingkungan sekolah.
Selain membuat program sekolah
terlaksana dengan baik, kepemimpinan
manajerial juga dapat memberikan dampak
postif terhadap guru-guru di sekolah. Penelitian
menunjukkan bahwa gaya kepemimpinan
manajerial berpengaruh terhadap kepuasan
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017
216
guru. Misalnya, Silfianti (2013) menemukan
bahwa kompetensi manajerial yang dimiliki
oleh kepala sekolah berkontribusi positif
terhadap motivasi kerja guru. Ketika motivasi
kerja guru semakin baik, maka guru akan
memiliki kinerja lebih baik lagi dalam
mendidik dan menjalin hubungan sosial degan
guru dan staf kependidikan lainnya. Dengan
adanya kontribusi positif dari gaya
kepemimpinan manajerial kepala sekolah
terhadap motivasi kinerja guru, tentu membawa
dampak positif juga dalam mewujudkan
peningkatan efektifitas sekolah karena guru
memiliki semangat dan loyalitas terhadap
sekolah.
Gaya Kepemimpinan Transformasional
Kepemimpinan transformasional adalah
komprehensif karena memiliki pendekatan
normatif terhadap kepemimpinan sekolah.
Fokus utama kepemimpinan transformasional
adalah pemimpin menemukan aktifitas yang
memiliki pengaruh dan hasil (Bush, 2008;
2015). Northouse (2013) menyatakan ada lima
faktor penting yang berkaitan dengan
kepemimpinan transformasional, yaitu: (1)
pengaruh ideal, (2) karisma, (3) motivasi yang
menginspirasi, (4) rangasangan intelektual, dan
(5) pertimbangan yang diadaptasi. Dengan
adanya faktor-faktor ini kepala sekolah
didorong supaya lebih bijak dalam bertindak
dan berhadapan dengan para guru dan staf
kependidikan di lingkungan sekolah.
Oleh karena itu, pemimpin
transformasional adalah pemimpin yang
cendurung mengadopsi pendekatan demokratis
pada gaya kepemimpinannya (Giltinane, 2013).
Sebagai hasilnya, ketika kepala sekolah
mengimplementasikan gaya kepemimpinan
transformasional dengan baik, maka akan
memiliki potensi untuk melibatkan para
steakholder dalam mencapai tujuan-tujuan
pendidikan (Bush, 2015). Misalnya, ketika
kepala sekolah memiliki kepemimpinan
transformasional yang baik, maka kepala
sekolah mampu melibatkan para guru, staf
kependidikan, dan orang tua siswa sehingga
berperan aktif untuk pengembangan efektivitas
sekolah. Dalam konteks Indonesia, gaya
kepemimpinan ini sangat dibutuhkan karena
dengan adanya prinsip demokratis dalam
pengelolaan sekolah akan mendorong semakin
munculnya ide-ide kreatif dan inovasi untuk
memajukan sekolah dari berbagai pihak.
Lebih lanjut, kepemimpinan
transformasional yang efektif membutuhkan
kepercayaan antara pemimpin dan bawahan
(Giltinane, 2013). Kepala sekolah yang
memiliki gaya kepemimpinan transformasional
berperan dalam mendorong pengembangan
sekolah (Yang, 2014). Dengan demikian,
kepala sekolah harus mampu membangun
kepercayaan terhadap guru dan staf
kependidikan sehingga guru dan staf
kependidikan juga mampu mengembangkan
kepemimpinan dan tanggung jawabnya. Selain
itu, kepala sekolah juga harus membagikan visi
dan misi sekolah kepada warga sekolah
sehingga ini akan mewujudkan suasana
kondusif untuk pembelajaran.
Gaya Kepemimpinan Transaksional
Gaya kepemimpinan transaksional adalah
berorientasi pada tugas dan bisa efektif ketika
berhadapan dengan deadline (Giltinane, 2013).
Northouse (2013) menyatakan bahwa
kepemimpinan transaksional berbeda dengan
kepemimpinan transformasional. Hal tersebut
dikarenakan pemimpin yang
mengimplementasikan gaya kepemimpinan
transaksional tidak menyesuaikan kebutuhan
pengikut, tetapi berfokus pada pengembangan
pribadi para anggota.
Pada umumnya, ada tiga tipe
kepemimpinan transaksional, yaitu: Continget
reward (Pemberian penghargaan saat target
tercapai), management by exception active (ada
intervensi sebelum terjadi permasalahan), dan
managemen by exception-passive (ada
intervensi ketika permasalahan muncul)
(Giltinane, 2013). Ketiga tipe kepemimpinan
ini sangat efektif untuk mencegah dan
menyelesaikan permasalahan yang ada di
lingkungan sekolah.
Oleh karena itu, di lingkungan sekolah,
kepemimpinan transaksional dapat
diimplementasikan dengan cara pemberian
penghargaan kepada setiap yang telah
memberikan kinerja terbaik dalam
melaksanakan tugasnya. Selain itu, kepala
sekolah juga dapat membantu guru yang
terkendala dengan tugas mengajar atau
permasalahan yang dihadapi dengan siswa atau
dengan orang tua murid. Dan juga kepala
Teori Dan Implementasi Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah | Nasib Tua Lumban Gaol
217
sekolah dapat memberikan seminar atau
pelatihan kepada para guru ketika guru tidak
mampu dalam mengajar dengan metode yang
kreatif. Pengimplementasian strategi ini akan
semakin mendorong para guru semakin
memiliki kinerja yang baik dan profesional
dalam mengerjakan tugasnya.
Gaya Kepemimpinan Pengajaran
Gaya kepemimpinan pengajaran terdiri
atas konsep khusus dan umum (Ng, dkk, 2015).
Konsep khusus mendefinisikan kepemimpinan
pengajaran sebagai tindakan yang secara
langsung berkaitan dengan pengajaran dan
proses belajar. Misalnya adalah kepala sekolah
melakukan pengamatan langsung di dalam
kelas. Sedangkan konsep kepemimpinan
pengajaran umum mendefenisikan
kepemimpinan pengajaran sebagai tindakan
kepemimpinan yang secara tidak langsung
mempengaruhi belajar siswa. Misalnya kepala
sekolah menciptakan budaya dan penentuan
waktu yang efektif di sekolah .
Hallinger dan Murphy (1985) merupakan
ahli utama yang mengembangkan konsep
kepemimpinan pengajaran. Hallinger dan
Murphy mengajukan 10 aspek penting dalam
kepemimpinan pengajaran, yaitu: (1) framing
the school’s goals, (2) communicating the
school’s goals, (3) coordinating the
curriculum, (4) supervising and evaluating
instruction, (5) monitoring student progress,
(6) protecting instructional time, (7) providing
incentives for teachers, (8) providing incentives
for learning, (9) promoting professional
development dan (10) maintaining high
visibility.
Dari kesepuluh aspek kepemimpinan
pengajaran tersebut, kepala sekolah harus
mampu menjadi inisiator dan fasilitator dalam
mengupayakan proses belajar mengajar di
sekolah terlaksana dengan baik. Selain itu,
kepala sekolah juga harus mampu menciptakan
budaya organisasi di sekolah sekondusif
mungkin sehingga prestasi belajar siswa dan
kinerja guru dapat meningkat.
Gaya Kepemimpinan Positif
Gaya kepemimpinan positif adalah gaya
kepemimpinan yang baru dikembangkan dari
konsep positif. Chen, Tsai, Chen dan Wu
(2016) menyatakan kepemimpinan positif
adalah tipe pemimpin yang mengurusi berbagai
hal dengan melibatkan pemikiran positif
sehingga terwujud situasi yang memaafkan,
simpatik, dan penuh kasih. Selain itu, tipe
kepemimpinan ini mengupayakan adanya
saling mendukung satu sama lain di antara
anggota-angota supaya saling peduli dan
mengasihi untuk menciptakan hubungan positif
di tempat kerja.
Hasil penelitian Chen, dkk (2016)
membuktikan bahwa kepemimpinan positif
berhubungan signifikan dengan efektifitas
sekolah yang dimediatori oleh budaya
organisasi sekolah. Pentingnya seorang
pemimpin yang berpikiran positif sangat
mendukung dalam mewujudkan lingkungan
sekolah yang kondusif. Artinya kepala sekolah
harus melakukan yang benar dan memiliki
optimis.
Penerapan gaya kepemimpinan positif
dipandang penting dilakukan oleh kepala
sekolah di Indonesia. Pada umumnya sekolah di
Indonesia terdiri dari berbagai ras, suku, dan
agama. Oleh karena itu, kepala sekolah harus
mampu memiliki pola pikir positif supaya dapat
mewujudkan suasana sekolah yang kondusif
dan demokratis sehingga dapat terwujud
sekolah yang efektif.
SIMPULAN
Kepemimpinan merupakan hal yang
penting dalam dunia pendidikan.
Kepemimpinan kepala sekolah sangat
menentukan peningkatan dan pengembangan
sekolah untuk selanjutnya. Tanpa adanya
kemampuan yang memadai dalam
mengimplementasikan gaya kepemimpinan,
kepala sekolah akan menemukan berbagai
kesulitan dalam mewujudkan sekolah yang
efektif. Oleh karena itu, kepala sekolah harus
mampu mengimplementasikan gaya
kepemimpinan manajerial, transformasional,
transaksional, pengajaran, dan positif supaya
sekolah dapat menjadi wadah pembelajaran
yang efektif.
Proses implementasi dari lima gaya
kepemimpinan kepala sekolah (manajerial,
transformasional, transaksional, pengajaran dan
positif) dapat dilakukan dengan cara: (1)
mengkonsep setiap program sekolah dengan
efektif dan efisien, (2) memberikan pengaruh
yang berdampak signifikan kepada setiap
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017
218
warga sekolah (guru, staf kependidikan, dan
siswa) dan stekeholder, (3) mengembangkan
profesionalisme guru maupun staf
kependidikan, (4) menciptakan proses
pembelajaran dan iklim organisasi sekolah
yang kondusif, (5) memiliki persepsi positif
dalam mengelola sekolah.
Untuk mengembangkan kemampuan
kepala sekolah dalam mengimplementasikan
gaya kepemimpinan, maka pemerintah dapat
memberikan program pelatihan dan
kepemimpinan kepada para kepala sekolah.
Misalnya, pemerintah dapat bekerja sama
dengan Perguruan Tinggi untuk merancang
program pengembangan kepemimpinan kepala
sekolah. Program ini akan membantu kepala
sekolah dalam mengelola sekolah.
Kepala sekolah sebagai pengelola
sekolah harus berusaha mengimplemen-tasikan
berbagai gaya kepemimpinan dalam mengelola
sekolah. Hal ini akan meningkatkan iklim dan
kualitas sekolah menjadi lebih baik. Selain itu
kepala sekolah juga dapat melakukan
kunjungan ke beberapa sekolah untuk
melakukan diskusi dengan kepala sekolah lain.
Kunjungan sekolah tersebut bisa dilakukan di
kota atau provinsi yang berbeda. Kegiatan ini
dapat mendorong kepala sekolah supaya lebih
aktif dalam pengembangan sekolah.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, S. (2014). Manajemen Perguruan
Tinggi. Jakarta: Kencana.
Bolanle, A. O. (2013) Principals’ Leadership
Skills and School Effectiveness: The
Case of South Western Nigeria. World
Journal of Education. 3 (5), 26-33.
Moorosi, P. & Bantwini, B. D. (2016). School
District Leadership Styles and School
Improvement: Evidence from Selected
School Principals in the Eastern Cape
Province. South African Journal of
Education. 36(4), 1-9.
Boonla, D. & Treputtharat, S. (2014). The
Relationship between the Leadership
Style and School Effectiveness in
School under the office of Secondary
Education. Procedia Social and
Behavioral Sciences. 112 (2014), 991
– 996.
Bush, T. (2008). Leadership and Management
Development. London : SAGE
Publication Ltd.
Bush, T. (2015). Organisation Theory in
Education: How does in inform school
leadership? Journal of Organizational
Theory in education. 1 (1), 35-47.
Bush, T. & Glover, D. (2014). School
Leadership models: What we do know?
School Leadership & Management. 34
(5), 553-571.
Chen, C., Tsai S., Chen, H., & Wu, H.
(2016) .The Relationship between the
Principal’s Positive Leadership and
School Effectiveness-Take School
Organizational Culture as The
Mediator. European Journal of
Psychological Research. 3 (2), 12-23.
Giltinane, CL. (2013) . Leadership Style and
Theories. Nurshing Standard. 27 (41),
35-39.
Hallinger, P., & Murphy, J. (1985). Assessing
the Instructional Leadership Behavior
of Principals. Elementary School
Journal. 86 (2), 217-248.
Ng, F.S.D., Nguyen, T. D., Wong, K.S.B., &
Choy, K. W. W. (2015). Instructional
leadership practices in Singapore.
School Leadership & Management. 35
(4), 388-407.
Ross, D. J. & Cozzens, J. A. (2016). The
Principalship: Essential Core
Competencies for Instructional
Leadership and Its Impact on School
Climate. Journal of Education and
Training Studies. 4 (9), 162-176.
Sofo, F., Fitzgerald, R., & Jawas, U. (2012).
Instructional Leadership in Indonesian
School reform: Overcoming the
problems to move forwad. School
Leadership and Management. 32 (5),
503-522.
Northouse, P. G. (2013). Kepemimpinan:
Theori dan Praktik (Terjemahan),
Jakarta: PT. Indeks.
Wiyono, B. B. (2017). The Effect of Self-
evaluation on the Principals’
Transformational Leadership,
Teachers’ Work Motivation, Teamwork
Effectiveness, and School
Improvement. International Journal of
Leadership in Education, 1-21.
Teori Dan Implementasi Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah | Nasib Tua Lumban Gaol
219
Silfianti. (2013). Kontribusi kompetensi
manajerial kepala sekolah terhadap
motivasi kerja guru SMP Negeri di
Kecamatan Padang Timur. Jurnal
Manajemen Administrasi Pendidikan. 1
(1), 220-461.
Yang, Y. (2014). Principal’s Transformational
Leadership in School Improvement.
International Journal of Educational
Management, 28 (3), 279-288.
Magister Manajemen Pendidikan FKIP Universitas Kristen Satya Wacana [email protected]
e-ISSN 2549-9661 Volume: 4, No. 2, Juli-Desember 2017
Halaman: 220-230
220
Pengaruh Kreativitas dalam Peningkatan Kompetensi Kepemimpinan Alumni Magister
Manajemen Pendidikan Pada Kurikulum Berbasis Kompetensi
Krisma Widi Wardani
Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Kristen Satya Wacana
ABSTRACT
This study aims to find out: 1) whether or not the leadership quality of the alumni
of MMP FKIP UKSW is affected by creativity and curriculum; and 2) the determinants
of the alumni's leadership level: creativity or curriculum factor. The participants of this
research are those who have graduated (alumni) from MMP FKIP UKSW Salatiga,
working in Temangung regency. There were as many as 35 alumni in 2014/2015 selected
to join this research. The data was collected using self-rating scale consisting of 32 items
that have been tested valid and reliable, then it was reduced to 3 variables. The analysis
process was undertaken by using SPSS 24 assisted analysis technique. The result of this
research showed that curriculum have nothing to do with the level of leadership.
Meanwhile, alumni’s leadership level is significantly determined by the creativity. This
finding is very important for the aspect of course quality improvement management that
supposed to be conducted by professional lecturers. MMP FKIP UKSW refines its
learning activities on creativity-based lectures which will bring positive influence on
leadership level.
Keywords: Creativity, Curriculum Relevance, Leadership
Article Info
Received date: 5 Desember 2017 Revised date: 12 Desember 2017 Accepted date: 13 Desember 2017
Pengaruh Kreativitas dalam Peningkatan Kompetensi Kepemimpinan Alumni … | Krisma W. Wardani
221
PENDAHULUAN
Kata kunci atau faktor utama
kepemimpinan adalah proses mempengaruhi
(Yukl, 2010). Kepemimpinan dipandang
sebagai faktor yang sangat penting untuk
efektivitas organisasi, bahkan juga
mempengaruhi hampir semua kehidupan
manusia (Handoyo, S., 2011). Kepemimpinan
menurut Bush (2008) “I mean influencing
others actions in achieving desirable ends”,
kepemimpinan ialah mempengaruhi tindakan
orang lain untuk mencapai tujuan akhir yang
diharapkan. Kepemimpinan merupakan salah
satu faktor penting dalam mencapai tujuan
organisasi (Robbins, 1996).
Kepemimpinan, sampai hari ini tetap
dianggap sangat penting; Goleman, D., R.
Boyatzis, & McKee (2003) menemukan bahwa
ada hubungan antara keberhasilan dan
kegagalan organisasi dengan kepemimpinan,
dengan adanya kecerdasan emosional
pemimpin mampu mengelola kekuasaan dan
meningkatkan kinerjanya secara optimal serta
menularkan kepada bawahannya. Seorang
pemimpin hanya dapat melakukan
kepemimpinannya apabila memiliki
kekuasaan, namun begitu pengaruh kekuasaan
dapat memberi manfaat atau justru
menyengsarakan (Usman, H., 2016). Frost
(2003) menekankan bahwa akibat krisis
kepemimpinan, banyak orang yang menderita,
yang mengalami burn-out, yang tidak dapat
menikmati hidup dalam pekerjaannya, serta
banyak biaya yang dikeluarkan untuk
mengobati sakit emosional di tempat kerja.
Berdasarkan pendekatan sifat-sifat pemimpin
menyebutkan bahwa pemimpin itu dilahirkan
bukan diciptakan (leader are born, not built),
artinya seseorang telah membawa bakat
kepemimpinan sejak dilahirkan bukan dididik
dan dilatih. Teori itu disebut teori The Great
Man yang ada sejak zaman Yunani Kuno dan
Roma (Usman, H., 2016). Namun demikian
kepemimpinan yang efektif terletak pada
seberapa jauh sifat pemimpin dapat mengatasi
keadaan yang dihadapinya. Ada kebutuhan
besar pada saat ini untuk melakukan
pendidikan kepemimpinan untuk generasi
yang akan datang, termasuk kepemimpinan
melalui institusi pendidikan tinggi.
Pendidikan tinggi mempunyai
karakteristik khas sehingga membutuhkan
kepemimpinan tertentu (Handoyo, S., 2011).
Menurut Notohamidjojo, O., (2011; 14) salah
satu tugas Perguruan Tinggi Guru Indonesia
dalam masyarakat yaitu mendidik pemimpin-
pemimpin akademis, sebab fungsi perguruan
tinggi itu tempat calon pemimpin. Seseorang
yang menduduki jabatan pemimpin dalam
manajerial suatu organisasi (termasuk
pendidikan tinggi) mempunyai peranan
penting. Peran-peran tersebut yaitu: sebagai
katalisator, sebagai fasilitator, sebagai
pemecah masalah, sebagai penghubung
sumber, dan sebagai komunikator.
Keberhasilan kepemimpinan seseorang
dapat diukur atau ditandai oleh empat hal,
yaitu : moral, disiplin, jiwa korsa (esprit
de corps) dan kecakapan (Faisal Burhanudin,
2012/2013). Kepemimpinan masa depan
adalah kepemimpinan yang memiliki sifat
jujur, berani, visioner, kompeten,
penginspirasi, dan meberdayakan (Usman, H.,
2016). Mengingat demikian penting peran
kepemimpinan, apalagi program studi
Manajemen Pendidikan, maka salah satu
bentuk/ indikator keberhasilan program studi
yang bersangkutan adalah seberapa tinggi
kadar kepemimpinan mahasiswa lulusannya;
sehingga seluruh sarana dan prasarana
diupayakan untuk mendukung capaian
mahasiswa selagi perkuliahan berlangsung
sebagai basis manajemen program studi yang
bersangkutan. Permasalahannya, hingga kini
belum ditemukan seberapa besar pengaruh
kreativitas yang menentukan kualitas
kepemimpinan alumninya.
Kepemimpinan menurut Hughes, R.,
Ginnett, R., & Curphy, G. (2002) berkenaan
dengan keberanian mengambil risiko dengan
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017
222
perhitungan yang matang, dinamika,
kreativitas, inovasi, perubahan dan visi.
Pemimpin itu harus memiliki beberapa
kelebihan, yaitu: 1) Kapasitas: kecerdasan,
kewaspadaan, kemampuan berbicara atau
verbal facility, keaslian, kemampuan menilai.
2) Prestasi/achievement: gelar kesarjanaan,
ilmu, pengetahuan, peroleha dalam olag raga
dan atletik dan lain lain. 3) Tanggung jawab:
mandiri, berinisiatif, tekun, ulet, percaya diri,
agresif, dan punya hasrat untuk unggul. 4)
Partisipasi: aktif, memiliki sosiabilitas tinggi,
mampu bergaul, kooperatif atau suka bekerja
sama, mudah menyesuaikan diri, punya rasa
humor. 5) Status: meliputi kedudukan sosial-
ekonomi yang cukup tinggi, populer, tenar.
Seorang pemimpin harus memiliki ciri yang
unggul, yaitu: 1) Kekuatan 2) Stabilitas emosi
3) Pengetahuan tentang relasi insani 4)
Kejujuran 5) Objektif 6) Dorongan hati 7)
Keterampilan berkomunikasi 8)
Kemampungan mengajar 9) Keterampilan
sosial 10) Kecakapan teknis dan kecakapan
manajerial (G. R Terry dalam Kartini Kartono,
2006). Kepimpinan adalah kemampuan
seseorang mempengaruhi orang lain dalam
melaksanakan tugas mencapai tujuan yang
telah ditetapkan. Adapun indikator
kepemimpinan adalah: memberikan dukungan,
mengembangkan, memberikan pengakuan,
memberikan imbalan, mengelola konflik dan
membangun jaringan kerja (Wibowo, B.,
Machfudz, M., & Sunaryo, H., 2015) [Y].
Kurikulum adalah seperangkat rencana
dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan
bahan ajar serta cara yang digunakan sebagai
pedoman penyelenggaraan kegiatan
pembelajaran untuk mencapai tujuan
Pendidikan Tinggi (Pasal 35 Bagian 9 UU No.
12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi).
Kurikulum pendidikan tinggi adalah
seperangkat rencana dan pengaturan mengenai
isi maupun bahan kajian dan pelajaran serta
cara penyampaian dan penilaiannya yang
digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan
kegiatan belajar-mengajar di perguruan tinggi
(Pasal 1 Butir 6 Kepmendiknas No.
232/U/2000 tentang Pedoman Penyusunan
Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian
Hasil Belajar Mahasiswa). Kurikulum
pendidikan tinggi dikembangkan oleh
Perguruan Tinggi yang bersangkutan dengan
mengacu Standar Nasional Pendidikan untuk
setiap program studi. Kurikulum tidak hanya
gagasan pendidikan tetapi juga termasuk
seluruh program pembelajaran yang terencana
dari suatu institusi pendidikan. Kurikulum
merupakan wujud materi yang diajarkan dalam
proses pembelajaran (Rohman, A., 2011, 168).
Pada saat sekarang istilah kurikulum memiliki
empat dimensi, satu dimensi dengan dimensi
lainnya saling berhubungan. Keempat dimensi
kurikulum tersebut yaitu: (1) kurikulum
sebagai suatu ide/gagasan; (2) kurikulum
sebagai suatu rencana tertulis yang sebenamya
merupakan perwujudan dari kurikulum
sebagai suatu ide; (3) kurikulum sebagai suatu
kegiatan yang sering pula disebut dengan
istilah kurikulum sebagai suatu realita atau
implementasi kurikulum. Secara teoretis
dimensi kurikulum ini adalah pelaksanaan dari
kurikulum sebagai suatu rencana tertulis; dan
(4) kurikulum sebagai suatu hasil yang
merupakan konsekuensi dari kurikulum
sebagai suatu kegiatan. Kurikulum dalam
pendidikan formal memiliki peranan yang
sangat strategis dan menentukan pencapaian
tujuan pendidikan. Salah satu tugas pendidikan
yaitu mempengaruhi dan membina perilaku
mahasiswa sesuai dengan nilai-nilai sosial
yang hidup di lingkungan masyarakatnya.
Peranan ini menekankan bahwa kurikulum
harus mampu mengembangkan sesuatu yang
baru sesuai dengan perkembangan yang terjadi
dan kebutuhan-kebutuhan masyarakat pada
masa sekarang dan masa mendatang.
Kurikulum harus mengandung hal-hal yang
dapat membantu setiap mahasiswa
mengembangkan semua potensi yang ada pada
dirinya untuk memperoleh pengetahuan-
Pengaruh Kreativitas dalam Peningkatan Kompetensi Kepemimpinan Alumni … | Krisma W. Wardani
223
pengetahuan baru, kemampuan-kemampuan
baru, serta cara berpikir baru yang dibutuhkan
dalam kehidupannya [X1].
Menurut Santrock dalam Sujiono
(2010: 38) kreativitas adalah kemampuan
untuk memikirkan sesuatu dengan cara-cara
yang baru dan tidak biasa serta melahirkan
suatu solusi yang unik terhadap masalah-
masalah yang dihadapi. Slameto (2010)
menjelaskan bahwa kreativitas berhubungan
dengan penemuan sesuatu, mengenai hal yang
menghasilkan sesuatu yang baru dengan
menggunakan sesuatu yang telah ada. Sesuatu
yang baru ini dapat berupa perbuatan atau
tingkah laku, bangunan, dan lain-lain.
Kreativitas mengandung pengertian, yaitu:
menciptakan sesuatu yang asalnya tidak ada,
hasil kerja sama masa kini untuk memperbaiki
masa lalu dengan cara yang baru, dan
menghilangkan sesuatu untuk menciptakan
sesuatu yang lebih sederhana dan lebih baik.
Kreativitas seseorang adalah
kemampuan untuk menciptakan konsep,
gagasan atau cara-cara baru dalam usahanya
memecahkan masalah. Kreativitas diukur
berdasarkan pada keterbukaan terhadap
pengalaman baru, kebebasan dalam
berekspresi, minat terhadap aktivitas kreatif,
fleksibel dalam berfikir serta percaya terhadap
gagasan sendiri sehingga menimbulkan
motivasi untuk mengembangkan diri.
Kreativitas mahasiswa adalah kemampuan
untuk menciptakan konsep, gagasan atau cara-
cara baru dalam usahanya memecahkan
masalah. Dengan adanya kreativitas,
diharapkan mahasiswa dapat mengembangkan
kemampuan dan keterampilan sebagai
alternatif pemecahan masalah apabila belum
mendapatkan kesempatan bekerja baik di
instansi pemerintahan maupun swasta, dan
mampu memilih pekerjan yang sesuai dengan
keinginannya.
Ciri-ciri individu dengan potensi
kreatif adalah sebagai berikut: 1) hasrat
keingintahuan yang cukup besar. 2) bersikap
terbuka terhadap pengalaman baru. 3) panjang
akal. 4) keinginan untuk menemukan dan
meneliti. 5) cenderung lebih menyukai tugas
yang berat dan sulit. 6) cenderung mencapai
jawaban yang luas dan memuaskan. 7)
memiliki dedikasi bergairah serta aktif dalam
melaksanakan tugas. 8) berfikir fleksibel. 9)
menanggapi pertanyaan yang diajukan serta
cenderung memberi jawaban yang lebih
banyak. 10) kemampuan membuat analisis dan
sitesis. 11) memiliki semangat bertanya serta
meneliti. 12) memiliki daya abstraksi yang
cukup baik. 13) memiliki latar belakang
membaca yang cukup luas (sud dalam slameto,
2003).
Dyer, J., Gregersen, H., & Christensen,
C. M. (2011) menyatakan bahwa dua pertiga
dari kemampuan kreativitas seseorang
diperoleh melalui pendidikan, dan sisanya
berasal dari genetik. Kemampuan kreativitas
diperoleh melalui mengamati (observing),
menanya (questioning), mencoba
(experimenting), menalar (associating), dan
membentuk jaringan (networking) (Untayana,
J. R., & Harta, I., 2016). Faktor yang
mempengaruhi kreativitas yaitu: 1) Waktu,
sebaiknya jangan terlalu banyak diatur, 2)
Kesempatan, kesempatan untuk menyendiri
diperlukan guna mengembangkan kehidupan
imajinatif yang kaya. 3) Dorongan, didorong
untuk kreatif dan bebas dari ejekan/kritikan. 4)
Sarana, harus disediakan guna merangsang
dorongan eksperimentasi dan eksplorasi yang
merupakan unsur penting dari kreativitas. 5)
Lingkungan yang merangsang, lingkungan
rumah dan sekolah harus merangsang
kreativitas dengan memberikan bimbingan dan
dorongan untuk menggunakan sarana yang
akan mendorong kreativitas. 6) Hubungan
orang tua dan anak yang tidak posesif, orang
tua yang tidak terlalu melindungi/posesif
terhadap anak mendorong anak untuk mandiri
dan percaya diri yang merupakan dua kualitas
yang sangat mendukung kreativitas. 7) Cara
mendidik anak, mendidik anak demokratis
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017
224
akan menyebabkan anak menjadi kreatif dari
pada cara mendidik anak secara otoriter. 8)
Kesempatan untuk memperoleh pengetahuan,
semakin banyak pengetahuan yang dapat
diperoleh anak semakin baik dasar untuk
mencapai hasil yang kreatif (Elisabert Hurlock
yang diterjemahkan oleh Meitasari Tjandrasa,
2002). Faktor yang mempengaruhi kreativitas
antara lain: adanya waktu, kesempatan
menyendiri, dorongan dari orang lain, sarana,
lingkungan yang mendukung dan kondusif,
hubungan antara anak dengan orang tua, cara
mendidik anak dan kesempatan untuk
memperoleh pengetahuan melalui melalui
kegiatan mengamati (observing), menanya
(questioning), mencoba (experimenting),
menalar (associating), dan membentuk
jaringan (networking) [X2].
Penelitian ini mencoba
mendeskripsikan seberapa tinggi kadar
kepemimpinan alumni yang dikembangkan
melalui implementasi kurikulum 2013 berbasis
KBK Program Manajemen Pendidikan UKSW
Salatiga, dan menemukan variabel manakah
yang menjadi penentu kadar kepemimpinan
alumni yang dimaksud, di antaranya variabel:
kreativitas dan relevansi kurikulum 2013
berbasis KBK. Jawaban atas permasalahan ini
sangat penting bagi manajemen peninkatan
mutu pendidikan berbasis penelitian; yang
selama ini luput dari desain manajemen mutu
PT.
Dalam perspektive manajemen
pendidikan, kualitas kepemimpinan alumni
merupakan salah satu indikator mutu
pendidikan tinggi yang sangat penting; oleh
karena itu perlu diupayakan secara terus
menerus. Masalah dalam penelitian ini adalah:
1) seberapa tinggi tingkat kepemimpinan
alumni yang dikembangkan melalui kurikulum
2013 berbasis KBK Program Manajemen
Pendidikan UKSW Salatiga selama ini, dan 2)
diantara variabel: kurikulum 2013 berbasis
KBK dan kreativitas, manakah yang menjadi
penentu tingkat kepemimpinan alumni yang
dimaksud? Jawaban atas permasalahan ini
sangat penting bagi manajemen peningkatan
mutu pendidikan berbasis penelitian; yang
selama ini sering luput dari desain manajemen
PT.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan berdasarkan
penilaian dari para alumni yang telah lulus
Program Magister Manajemen Pendidikan
UKSW. Populasi dari penelitian ini adalah
alumni MP UKSW Salatiga yang tersebar di 5
wilayah yakni di Kabupaten Demak,
Grobogan, Kendal, Semarang dan
Temanggung. Teknik pengambilan sampel
menggunakan teknik cluster sampling.
Menurut Lusiana, N., Andriyani, R., &
Megasari, M. (2015) cluster sampling
merupakan teknik untuk menentukan sampel
bila objek yang diteliti atau sumber data sangat
luas maka pengambilan sampelnya
berdasarkan daerah yang telah ditetapkan.
Daerah yang telah ditetapkan yaitu Kabupaten
Temanggung yang terdiri dari 36 orang.
Berdasarkan rumusan masalah yang diajukan,
ternyata penelitian ini adalah penelitian
kuantitatif inferensial. Penelitian kuantitatif
mengungkapkan hubungan inferensial antara
dua atau lebih variabel yang bisa menjelaskan
gejala, yang meneliti pengaruh variabel X1
(relevansi kurikulum), terhadap Y
(pengembangan kompetensi kepemimpinan
alumni Program Manajemen Pendidikan
UKSW Salatiga); dan kemudian menemukan
variabel moderator X2 yaitu kreativitas.
Penelitian ini dilakukan pada semester 2
2016/2017.
Hipotesis statistik
Dalam skala ordinal, variabel relevansi
kurikulum, terdapat satu tingkat yang dominan
di antara empat kategori: rendah, sedang,
tinggi dan sangat tinggi. Di antara variabel
independen, berpengaruh positif dan
signifikan terhadap tingkat kepemimpinan
alumni. Dengan kata lain, koefisien regresi
Pengaruh Kreativitas dalam Peningkatan Kompetensi Kepemimpinan Alumni … | Krisma W. Wardani
225
prediktor penentu (b1) adalah positif dan
signifikan. Hipotesis statistik yang diajukan
adalah:
H0: b1 = 0 (tidak ada pengaruh kreativitas
terhadap tingkat
kepemimpinan alumni)
H1: b1 ≠ 0 (ada pengaruh kreativitas
terhadap tingkat
kepemimpinan alumni)
Dampak dari prediktor secara tunggal
maupun ganda yang ditemukan dapat diketahui
dengan melihat nilai b dalam variabel yang
bersangkutan.
Selain itu, pentingnya nilai b akan diuji dengan
t-test. Signifikansi T dapat terlihat pada
nilainya. Jika b positif, dan t signifikan pada
tingkat kesalahan kurang dari 0,05, hipotesis
(H1) akan diterima.
Instrumen dan Teknik Analisis Data
Data penelitian ini adalah data
kuantitatif dalam bentuk angka; Data ordinal
adalah data yang dinyatakan dalam bentuk
kategori dan/ peringkat. Skala ordinal yang
digunakan adalah skala peringkat yang terdiri
dari pernyataan dan pilihan jawaban yang
berjenjang (rendah, sedang, tinggi dan sangat
tinggi) sesuai dengan tujuan pengukuran. Data
dikumpulkan melalui skala self-rating yang
terdiri dari 32 item yang telah terbukti valid
dan reliabel; Skor validitas 0,314 sampai
0,506, dengan indeks reliabilitas Cronbach
Alpha = 0,632. Data setiap variabel dianalisis
dengan menggunakan distribusi frekuensi dan
dilanjutkan dengan analisis regresi linier ganda
dengan Model Entered. Sebelum dianalisis
regresi linier ganda dengan SPSS, data ordinal
dikonvert kedalam data interval terlebih dulu,
baru selanjutnya, peneliti mengembangkan
model hubungan (model kausal). Pola-pola
berpengaruhnya variabel independen terhadap
variabel terikat diuji dengan uji F pada tingkat
0,05. Perhitungan ini dilakukan dengan SPSS
versi 24. Dalam pengujian model, koefisien
determinan dari variabel independen terhadap
variabel dependen dihitung. Hasil perhitungan
koefisien determinasi dari variabel independen
dan moderator dalam penelitian ini terhadap
variabel dependen sebesar koefisien adjusted
R2. Jika signifikansi r kurang dari atau sama
dengan 0,05, maka model ini dinyatakan
signifikan, karena X dan Moderator
mempengaruhi Y, sebesar koefisien adjusted
R2.
HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Setelah data dijaring menggunakan
self-rating scale yang terdiri dari 32 items yang
direduksi menjadi 3, selanjutnya dianalisis
secara descriptive berbantu program SPSS for
windows version 24 diperoleh dalam bentuk
tabel 1 berikut ini.
Tabel 1. Indeks Variabel Penelitian
Mean Median Std. Deviation Minimum Maximum
Kurikulum (X1) 3,5000 3,5000 ,50709 3,00 4,00
Kreativitas (X2) 3,3611 3,0000 ,48714 3,00 4,00
Kepemimpinan (Y) 3,5000 3,5000 ,50709 3,00 4,00
Berdasarkan hasil analisis deskriptif tersaji
pada tabel 1 di atas, sebagian besar responden
memandang relevansi kurikulum 2013
berbasis KBK Magister Manajemen
Pendidikan (X1) pada aras tinggi cenderung
sangat tinggi, Kreativitas (X2) pada aras tinggi,
dan kepemimpinan alumni (Y) pada aras tinggi
cenderung sangat tinggi.
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017
226
Hasil uji hipotesis
Analisis selanjutnya adalah uji
hipotesis untuk mengetahui apakah kedua
variabel bebas yaitu relevansi kurikulum (X1)
dan kreativitas (X2) berpengaruh terhadap
kepemimpinan alumni Manajemen Pendidikan
UKSW Salatiga (Y). Jika benar, berapa besar
pengaruhnya? Hasil analisis regresi ada pada 2
tabel berikut ini.
Tabel 2. Model Summary
Model R R Square Adjusted R Square
Std. Error of the
Estimate
1 ,752a ,565 ,552 ,33925
a. Predictors: (Constant), Kreativitas
Berdasarkan hasil uji regresi pengaruh
kreativitas terhadap kepemimpinan alumni
seperti tersaji pada tabel 2 di atas, ternyata
diperoleh R = 0,752 dan dari hasil
penghitungan diperoleh Adjusted R square
0,552 berarti kreativitas memberikan pengaruh
terhadap kepemimpinan sebesar 55,20%.
Sebagai variabel independen atau prediktor,
kreativitas berpengaruh terhadap
kepemimpinan alumni.
Tabel 3. ANOVAa
Model Sum of Squares Df Mean Square F Sig.
1 Regression 5,087 1 5,087 44,200 ,000b
Residual 3,913 34 ,115
Total 9,000 35
a. Dependent Variable: Kepemimpinan
b. Predictors: (Constant), Kreativitas
Berdasarkan tabel 3 Anova seperti di
atas, ternyata diperoleh F = 44,200 pada
tingkat signifikansi 0,000; Besarnya tingkat
signifikansi 0,000 ini lebih kecil dari 0,05 yang
artinya bahawa kreativitas berpengaruh
terhadap kepemimpinan. Dengan demikian
kreativitas terbukti berperan meningkatkan
kepemimpinan alumni Manajemen Pendidikan
UKSW Salatiga (Y). Selanjutnya untuk
mengetahui peran kreativitas, dapat diperiksa
pada tabel 5 berikut ini.
Tabel 4. Coefficientsa
Model
Unstandardized Coefficients
Standardized
Coefficients
t Sig. B Std. Error Beta
1 (Constant) ,870 ,400 2,176 ,037
Kreativitas ,783 ,118 ,752 6,648 ,000
a. Dependent Variable: Kepemimpinan
Ketika semakin tinggi x2 / kreativitasnya
maka berpengaruh signifikan pada semakin
tingginya kepemimpinan alumni.
Masing-masing Dapat dilihat dari koefisien
dari kreativitas
Pengaruh Kreativitas dalam Peningkatan Kompetensi Kepemimpinan Alumni … | Krisma W. Wardani
227
Berdasarkan tabel 5 Coefisiena
kepemimpinan alumni seperti di atas, ternyata
diperoleh kreativitas dengan T sebesar 6,648
dengan signifikansi 0,000, dengan demikian
H1 yang menyatakan ada pengaruh Kreativitas
(X) terhadap tingkat kepemimpinan alumni
Program Manajemen Pendidikan UKSW
Salatiga dapat diterima. Besarnya pengaruh
kreativitas terhadap tingkat kepemimpinan
alumni = 55,20%. Ketika semakin tinggi
variabel kreativitasnya (X2) maka berpengaruh
signifikan pada semakin tingginya
kepemimpinan alumni.
Pembahasan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
tingkat kreativitas berada pada aras tinggi
cenderung sangat tinggi. Pengaruh kreativitas
terhadap tingkat kepemimpinan alumni
menjadi sangat berarti (55,20%). Walaupun
begitu masih ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan dan dijadikan masukan untuk
penyempurnaan dalam pengelolaan
perkuliahan dalam rangka pengembangan
kepemimpinan alumni Program Manajemen
Pendidikan UKSW Salatiga. Penelitian ini
juga menunjukkan bahwa meskipun kurikulum
diperbaiki atau tidak, tidak akan memberi
pengaruh pada kepemimpinan mahasiswa
sehingga diperlukan tindakan manajemen yang
tepat sasaran.
Perlunya Peningkatan kreativitas dalam
kegiatan perkuliahan
Kolb, A.Y., & Kolb D.A., (2009)
menuliskan bahwa belajar adalah sebuah
proses adaptasi holistik. Belajar bukan hanya
sebuah pengertian, tetapi di dalamnya
mencakup fungsi yang saling berkaitan dari
seseorang-pikiran, perasaan, pemahaman, dan
perilaku. Hal tersebut meliputi model adaptasi
khusus lainnya dari metode ilmiah untuk
pemecahan masalah, pembuatan keputusan
dan kreativitas. Proses perkuliahan yang
dijalankan seorang dosen adalah sebuah proses
yang memadukan semua pihak, termasuk
mahasiswa, dalam sebuah aktivitas interaktif
diantara mereka dengan mentransformasi
sejumlah sumber daya agar pencapaian tujuan
pembelajaran berjalan efektif.
Perkuliahan yang bermutu adalah
perkuliahan yang didasarkan pada upaya
pemenuhan harapan semua pengguna layanan
perkuliahan baik internal ataupun eksternal.
Hill, Lomas, dan MacGregor (2003)
melaporkan dalam penelitian mereka bahwa
persepsi mahasiswa tentang pembelajaran
berkualitas mencakup pengalaman yang
membantu mereka menghubungkan teori
dengan dunia nyata, tugas yang relevan dengan
tempat kerja nyata, diskusi yang mengarah ke
perspektif pemikiran baru, dan kurikulum yang
memperhitungkan pengalaman kelompok
mahasiswa dan memberikan nilai tambah
kepada mahasiswa. Hill juga melaporkan
munculnya tiga strategi pengajaran utama yang
dinilai tinggi oleh mahasiswa di pendidikan
tinggi: strategi dan teknik pengiriman di kelas;
Umpan balik kepada mahasiswa di kelas dan
dalam tugas; dan hubungan dengan mahasiswa
di kelas.
Sumbangan pendidikan tinggi yang
paling nyata adalah lulusannya. Kualitas
lulusan, dari aspek pengetahuan, ketrampilan,
dan sikapnya, akan sangat menentukan
perkembangan bangsa dan kesejahteraan
masyarakat. Mahasiswa adalah pemimpin
masa depan bangsa. Dalam konteks itu,
tantangan pendidikan tinggi adalah membantu
mahasiswa untuk mengembangkan bakat
khusus dan sikap mereka yang memungkinkan
mereka untuk menjadi pemimpin dan agen
perubahan sosial yang efektif. Disamping
melalui modeling dari pemimpin,
pengembangan kepemimpinan mahasiswa
melalui program kurikuler dan kokurikuler
(DirjenDikti, 2004a).
Kegiatan perkuliahan yang dilakukan
yang mendukung pengembangan kreativitas
antara lain kegiatan mengamati (observing),
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017
228
menanya (questioning), mencoba
(experimenting), menalar (associating), dan
membentuk jaringan (networking) yang
direncanakan oleh dosen bersama mahasiswa,
hal tersebut sejalan dengan Dyer, J.,
Gregersen, H., & Christensen, C. M. (2011).
Kolb, A.Y., & Kolb D.A., (2009) menjelaskan
bagaimana Experiential Learning Theory
dapat berfungsi sebagai kerangka kerja yang
bermanfaat untuk merancang dan
mengimplementasikan program manajemen
pendidikan. Dalam pendidikan yang lebih
tinggi, proses belajar dari pengalaman terjadi
dimana-mana, dan hadir dalam kehidupan
dimanapun sepanjang waktu. Hal tersebut
berarti proses pengembangan kreativitas dapat
ditterapkan melalui pembelajaran yang
berbasis masalah, berpikir kritis, pendekatan
kelompok. Melalui pembelajaran tersebut
pelaksanaannya tidak hanya terikat dalam
pembelajaran di kelas semata namun juga di
luar kelas. Banyak gaya pembelajaran
individual dibentuk oleh struktur pengetahuan
sosial dan melalui tindakan-tindakan kreatif
perorangan. Maka dari itu, perkuliahan yang
bermutu haruslah mampu menjawab semua
keinginan, kebutuhan, dan kepuasan semua
pelanggan.
Ada beberapa karakteristik dalam
menerapkan manajemen mutu terpadu dalam
perkuliahan. Karakteristik perkuliahan seperti
ini bisa diadaptasi dari karya Parker dkk.
(Jabar, C. S. A., & Pelanggan, G. S. H.) yaitu:
berorientasi pada mahasiswa, partisipasi/team,
perbaikan berkelanjutan, berorientasi pada
proses, keputusan berdasarkan data,
benchmarking dan dukungan dari pimpinan.
Oleh karena itu perlu desain perbaikan
perkuliahan berkelanjutan, mengingat proses
perkuliahan yang berkualitas adalah proses
perkuliahan yang berupaya memenuhi harapan
para mahasiswa dan membuat mereka puas
mengikuti perkuliahan tersebut. Lebih lanjut,
untuk memperbaiki kualitas pembelajaran dan
interaksi antara mahasiswa dengan dosen, ada
beberapa teknik yang dapat diadopsi dari
Techniques to Improve Teaching Interaction
with Student in the College of Business, The
College of Business at Rochester Intitute of
Technology (RIT) (Bonvillan & Nowlin,
1995).
Untuk memjadikan perkuliahan
berkualitas bukan berarti dengan perbaikan
kurikulum namun pada perkuliahan. Perbaikan
perkuliahan yang dimaksud yaitu pengelolaan
yang melibatkan mahasiswa mulai dari
perencanaan, implementasi hingga pada
evaluasi, agar lebih memberikan pengalaman
belajar kepada mahasiswa. Evaluasi
pembelajaran dalam perkuliahan bukan berupa
tes objektif karna tidak mengembangkan
kreativtas, sehingga waktu dan biaya tidak
menjadi percuma. Untuk memperbaiki
kepemimpinan alumni perlu ada perbaikan
pembelajaran berbasis kreativitas.
Perlunya dosen yang professional
Untuk dapat mewujudkan perkuliahan
yang berbasis pelanggan, diperlukan dosen
yang professional. Profesi dosen
sesungguhnya menunjuk pada upaya-upaya
yang dilakukan oleh tenaga pengajar sebagai
pendidik dan pembelajar realisasi dari peran
selaku di perguruan tinggi (Arikunto,
Suharsimi., 2012). Dengan demikian,
pengembangan profesionalisme dosen dapat
diartikan usaha yang luas untuk meningkatkan
kompetensi, kualitas pembelajaran dan peran
akademis tenaga pengajar di perguruan tinggi.
Dosen dikatakan sebagai “jantung” perguruan
tinggi, sehingga dosen sangat menentukan
mutu pendidikan dan lulusan yang dilahirkan
perguruan tinggi tersebut, di samping secara
umum kualitas perguruan tinggi itu sendiri.
Jika para dosennya bermutu tinggi, maka
kualitas perguruan tinggi tersebut juga akan
tinggi, demikian pula sebaliknya.
Sebaik apapun program pendidikan
yang dicanangkan, bila tidak didukung oleh
para dosen bermutu tinggi, maka akan berakhir
pada hasil yang tidak memuaskan. Hal itu
Pengaruh Kreativitas dalam Peningkatan Kompetensi Kepemimpinan Alumni … | Krisma W. Wardani
229
karena untuk menjalankan program
pendidikan yang baik diperlukan para dosen
yang juga bermutu baik. Dengan memiliki
dosen-dosen yang baik dan bermutu tinggi,
perguruan tinggi dapat merumuskan program
serta kurikulum termodern untuk menjamin
lahirnya lulusan-lulusan yang berprestasi dan
berkualitas istimewa (Sudiro, 2010).
Penelitian ini menemukan variabel
kreativitas pada kurikulum 2013 berbasis KBK
Program Manajemen Pendidikan UKSW
Salatiga berpengaruh pada tingkat
kepemimpinan alumni; Temuan ini sangat
penting bagi manajemen peningkatan mutu
pendidikan berbasis perkuliahan yang diampu
oleh dosen yang profesional.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
sebagian besar alumni memiliki kadar
kepemimpinan yang tinggi; Penentu
kepemimpinan alumni tersebut adalah
Peningkatan kreativitas dalam kegiatan
perkuliahan dan professionalisme dosen; Pada
penelitian ini besarnya pengaruh kreativitas
terhadap kepemimpinan alumni Program
Manajemen Pendidikan UKSW Salatiga =
55,20%. Ini berarti variabel kreativitas
berpengaruh terhadap kepemimpinan alumni
Program Manajemen Pendidikan UKSW
Salatiga terdukung data. Temuan ini sangat
penting bagi manajemen peningkatan mutu
pendidikan melalui perkuliahan berbasis
kreativitas yang diampu oleh dosen yang
profesional.
Saran
Dalam perkuliahan dosen menjadi tempat
tumpuan pengembangan kreativitas, sehingga
perlu merencanakan dan menyusun
perkuliahan berbasis pada kreativitas dengan
pembelajaran yang berbasis masalah, berpikir
kritis, pendekatan kelompok, bukan kegiatan
individu dimana tetap arahnya ke
kepemimpinan.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. 2012. Evaluasi Program
Pendidikan. http://anan-
nur.blogspot.co.id/2012/01/evaluasi-
program-pendidikan-prof-dr.html
(diakses tanggal: 20 November 2017).
Bonvillian, G., & Nowlin, W. (1995).
Integrating principles of TQM into
teaching and learning. Academic
Initiatives in Total Quality for Higher
Education por Harry V. Roberts, ASQC
Quality Press, Milwaukee, Wisconsin,
95-116.
Dyer, J., Gregersen, H., & Christensen, C. M.
2011. The innovator's DNA: Mastering
the five skills of disruptive innovators.
Harvard Business Press.
Entwistle, N. and Ramsden. 1987.
Understanding Student Learning.
London: CroonHelm.
Faisal Burhanudin. 2012/2013. Faktor
Kepemimpinan.
https://www.academia.edu/7119898/
Frost, P.J. 2003. Toxic emotion at work: How
compassionate managers handle pain
and conflict. Boston: Harvard Business
School Press.
Goleman, D., R. Boyatzis, & McKee. 2003 The
New Leaders Transforming, the Art of
Leadership into The Science of Result.
London: Little Brown.
Handoyo, S. (2011). Pengukuran servant
leadership sebagai alternatif
kepemimpinan di institusi pendidikan
tinggi pada masa perubahan
organisasi. Makara Hubs-Asia, 8(3).
Hill, Y., Lomas, L., and MacGregor, J. (2003).
Students’ Perceptions of quality in
higher education. Quality Assurance in
Education, 11(1) 15-20
Hughes, R., Ginnett, R., & Curphy, G. 2002.
Leadership: Enhancing the lessons of
exsperience. New York: McGraw-Hill
Irwin
Jabar, C. S. A., & Pelanggan, G. S. H.
Manajemen Mutu Dalam Pembelajaran
Di Perguruan Tinggi. academia.edu
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017
230
Kolb, A. Y., & Kolb, D. A. 2009. Experiential
learning theory: A dynamic, holistic
approach to management learning,
education and development. The SAGE
handbook of management learning,
education and development, 42-68.
Lusiana, N., Andriyani, R., & Megasari, M.
(2015). Buku ajar metodologi penelitian
kebidanan. Yogyakarta: Depublish.
Notohamidjojo, O. 2011. Kreativitas yang
bertanggungjawab. Universitas Kristen
Satya Wacana
Robbins, Stephen P., 1996. Organizational
Behavior : Concept Controversies
Applications. Sevent Edition,
Diterjemahkan Oleh Dr. Hadyana
Pujaatmaka, Perilaku Organisasi :
Konsep kontroversi Aplikasi, Jakarta:
PT. Prenhallindo.
Rohman, A., & Lamsuri, M. 2009. Memahami
pendidikan & ilmu pendidikan,
Yogyakarta: LaksBang Mediatama
bekerja sama dengan Kantor Advokat
"Hufron & Hans Simaela".
Sudiro. Maret 2010. (Online).
(https://rumahpendidikan.files.wordpres
s.com//makalah-profesionalisme-
dosen.pdf , diakses 27 Pebruari 2015).
Sujiono, Y. N., & Sujiono, B. (2010). Bermain
Kreatif Berbasis Kecerdasan
Jamak. Jakarta: Indeks.
Untayana, J. R., & Harta, I. (2016).
Pengembangan perangkat pembelajaran
limit berbasis pendekatan saintifik
berorientasi prestasi belajar dan
kemampuan komunikasi
matematika. Jurnal Riset Pendidikan
Matematika, 3(1), 45-54.
Wibowo, B., Machfudz, M., & Sunaryo, H.
(2015). Pengaruh Karakteristik
Pekerjaan, Motivasi Dan Kepemimpinan
Terhadap Kinerja Pegawai di Kantor
Imigrasi Kelas I Malang. Warta
Ekonomi, 4(2).
Yukl, G. A. 2010. Leadership in organizations.
Seventeenth Edition. Upper Saddler
River, New Jersey: Pearson Education
India.
Magister Manajemen Pendidikan FKIP Universitas Kristen Satya Wacana [email protected]
e-ISSN 2549-9661 Volume: 4
Juli-Desember 2017
231
INDEKS SUBYEK
A
Accreditation ...................................................... 12
Accredited Senior High School........................... 12
adiwiyata ............................................................ 97
C
CIPP ................................................................... 72
CIPP model ........................................................ 48
CIPP Model ...................................................... 109
coaching model ................................................... 97
co-administration ............................................. 135
continuous professional development ................. 28
Creativity .......................................................... 220
Curriculum Relevance ...................................... 220
D
decision making ................................................ 135
del of secondary education management .......... 135
development ........................................................ 97
E
education management ..................................... 213
Education Management Standards ..................... 12
education services ............................................ 184
EFE ................................................................... 195
efforts undertaken ............................................. 205
elementary education ............................................ 1
evaluation ......................................................... 121
Evaluation program ............................................ 48
Evaluation Program ......................................... 109
F
factors that influence ........................................ 205
H
headmaster ....................................................... 213
Healthy School.................................................... 72
I
ICT-based learning ............................................ 59
IFE ................................................................... 195
IHT ............................................................. 37, 171
impact school ..................................................... 97
Implementation .................................................. 12
inclusive education .......................................... 121
Inclusive Education ......................................... 109
induction program ............................................. 28
interpersonal communication .......................... 161
L
Leadership ....................................................... 220
leadership behavior ......................................... 161
leadership style ................................................ 213
learning ............................................................ 205
literacy ............................................................... 48
M
management ....................................................... 59
model ................................................................. 59
Model ............................................................... 146
P
participation ...................................................... 97
policy implementation ...................................... 121
professional learning community ...................... 28
program evaluation ......................................... 171
Program Evaluation .......................................... 72
PUS ...................................................................... 1
Q
quality .................................................................. 1
R
Research and Development (R&D) ................. 146
Magister Manajemen Pendidikan FKIP Universitas Kristen Satya Wacana [email protected]
e-ISSN 2549-9661 Volume: 4
Juli-Desember 2017
232
S
School and Parents Partnership ....................... 146
school financing planning strategy................... 195
school quality.................................................... 195
Schools quality.................................................... 83
scientific meeting ................................................ 28
SDGs ..................................................................... 1
secondary education ......................................... 135
self-efficacy ....................................................... 161
single tuition fee ............................................... 184
Social Media .................................................... 146
Strategic Plan .................................................... 83
SWOT ............................................................... 195
SWOT Analysis .................................................. 83
T
teachers’ skills ................................................... 37
team cohesiveness ............................................ 161
the instrument of attitudes assessment ............... 37
Three Dimensional Cube ................................. 171
Magister Manajemen Pendidikan FKIP Universitas Kristen Satya Wacana [email protected]
e-ISSN 2549-9661 Volume: 4
Juli-Desember 2017
233
INDEKS PENULIS
A
Ade Iriani .................................................. 121, 146
Aih Ervanti Ayuningtyas .................................. 171
Andri Sulistyo ..................................................... 48
B
Bambang Ismanto ........................... 1, 72, 146, 195
Bambang Suteng Sulasmono ...................... 72, 121
E
Edi Sujoko .......................................................... 83
Edna Maria ......................................................... 59
Eko Sediyono...................................................... 59
G
Gimin ................................................................ 184
I
Indri Anugraheni .............................................. 205
K
Krisma Widi Wardani ................................. 12, 220
L
Lobby Loekmono ............................................... 12
M
Muhdi ............................................................... 135
Mutia Ayu Krismanda ...................................... 146
N
Nasib Tua Lumban Gaol .................................. 213
Nurkolis ..................................................... 28, 135
R
Rais Hidayat .................................................... 161
Ratih Sulistyowati .............................................. 97
Rika Widyawati ............................................... 109
Ririn Tius Eka Margareta ................................ 195
S
Sasadara Wahyu Lukitasari ............................. 121
Siti Zubaidah ...................................................... 72
Slameto ................................................. 37, 97, 171
Suhandi Astuti ................................................... 37
Sumarno ........................................................... 184
Sunandar ............................................................ 28
Supramono ......................................................... 12
Suwarno Widodo ............................................. 135
Syakdanur Nas ................................................. 184
U
Umbu Tagela ....................................................... 1
W
Wasitohadi ........................................................... 1
Y
Yari Dwikurnaningsih .......................... 37, 97, 171
Yovitha Yuliejantiningsih .................................. 28
Magister Manajemen Pendidikan FKIP Universitas Kristen Satya Wacana [email protected]
e-ISSN 2549-9661 Volume: 4
Juli-Desember 2017
234
Ucapan Terima Kasih Kepada Reviewer
Redaksi Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan menyampaikan penghargaan yang setinggi-
tingginya dan terimakasih kepada Mitra Bestari di bawah ini yang telah membantu menelaah
naskah yang dikirimkan kepada Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan.
Nurkolis Siri Kastawi
Universitas PGRI Semarang, Indonesia
Siti Mariah
Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Jogjakarta, Indonesia
Welius Purbo Nuswanto
Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Jogjakarta, Indonesia
Hotmaulina Sihotang
Universitas Kristen Indonesia, Indonesia
Ade Iriani
Magister Manajemen Pendidikan, Universitas Kristen Satya Wacana, Indonesia
Bambang Ismanto
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Kristen Satya Wacana, Indonesia
Wasitohadi
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Kristen Satya Wacana, Indonesia
Yari Dwikurnaningsih
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Kristen Satya Wacana, Indonesia