daftar isi · systems coordinated effort to maintain homeostasis in the body ... siklus umpan balik...
TRANSCRIPT
v
DAFTAR ISI
Judul ............................................................................................. i
Kata Pengantar ........................................................................... iii
Daftar Isi ...................................................................................... v
Peran Psikoneuroalergologi pada Dermatologi ......................... 1
Dr. dr. Cita Rosita Sigit Prakoeswa, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV
Psikoneuroimunologi Berbasis Neurosains .............................. 13
Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K)
Role of Neurotransmitter in Skin Immunity ............................ 21
Dr. dr. Made Wardhana, Sp.KK(K), FINSDV
Psikoneuroimunologi pada Dermatitis Atopik ........................ 43
Prof. Dr. dr. Endang Sutedja, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV
Psoriasis Based on Psychoneuroimmunology ......................... 57
Dr. dr. Luh Made Mas Rusyati, Sp.KK, FINSDV
Stres Psikologis, Kondisi Sehat, dan Pengukurannya .............. 67
Made Diah Lestari, S.Psi, M.Psi.
vi
Mendeteksi Gangguan Perilaku dan Psikologis pada Anak-anak
dengan Masalah Kulit ............................................................... 79
Dra. Retno IG Kusuma, Psi
Diagnosis and Management of Psychosomatic Disease ......... 93
Dr. dr. Cokorda Bagus Jaya Lesmana, Sp.KJ(K)
Psiko-neuro-imunologi dalam Dermatologi ........................... 107
Robby K.T. Ko MD FINSDV
Skin Disease Related to Psychiatric Disorder ......................... 115
Prof. dr. Made Swastika Adiguna, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV
Stress Questionaire: Stress Investigation From Dermatolgist
Perpective ............................................................................... 135
dr. IGAA Elis Indira, Sp.KK
Uji Tusuk dan Uji Tempel ....................................................... 153
dr. Nyoman Suryawati, M.Kes, Sp.KK
Terapi Laser Excimer 308-nm pada Penyakit Kulit Alergi ...... 167
Dr. dr. IGAA Praharsini, SpKK, FINSDV
Clinical Hypnosis: Hipnosis di Bidang Kedokteran ................ 179
Dr. dr. Made Wardhana, Sp.KK(K), (CHT)
Psychoneuroimmunology in Dermatology 20
ROLE OF NEUROTRANSMITTER IN SKIN IMMUNITY
Dr. dr. Made Wardhana, Sp.KK(K), FINSDV
Departement of Dermatology and Venereology
Faculty of Medicine, Udayana University/
Sanglah General Hospital, Denpasar
ABSTRAK Hubungan antara sistem saraf, endokrin dan sistem imunologis telah lama diketahui, ke tiga sistem berkomunikasi melalui jalur; sinyal listrik, sinyal biokimiawi dan jalur hormon. Komunikasi tersebut tersebut berkoordinasi dalam upaya menjaga homeostatis tubuh. Neurotransmiter adalah senyawa organik endogenus membawa sinyal di antara neuron, neurotransmiter terimpan di dalam vesikel sinapsis, sebelum dilepaskan bertepatan dengan adanya potensial aksi (sinyal elektrik). Neurotransmiter mengirimkan sinyal dari neuron ke sel target di sinaps dan kemudian dilepaskan ke dalam celah sinaptik, yang diikat pada reseptor membran pada sisi postsynaptic dari sinaps. Sistem saraf dengan milyaran neuronnya akan menghasilkan neurotransmiter dan juga adanya sinyal listrik sebagai potelsial aksi akan membantu pelepasan neurotransmiter. Sistem endokrin dengan produk hormonnya dan sistem imun dengan berbagai jenis sitokinnya. Semua mediator tersebut saling mempengaruhi antar ke tiga sistem tersebut. Stres psikologis (stres) merupakan salah satu meningkatkan sintesis dan pelepasan neurokimiawi tersebut melalui suatu sistem konversi perilaku (behaviour) akan mempengaruhi sinyal-sinyal pada sistem neuroendokrin baik sinyal kimiawi maupun sinyal listrik dan pada akhirnya dapat mencapai target pada kompartement imunologis. Setelah dalam aliran darah, neurotrasmiter kemudian dapat berdifusi ke ruang extraneuronal dan memiliki efek terhadap sistem imun. Beberapa dari neurotransmiter tersebut dan sitokin akan mempengaruhi terjadi inflamasi neurogenik. Inflamasi
Psychoneuroimmunology in Dermatology 21
neurogenik ini sebagai suatu respons yang dapat terjadi pada beberapa kelainan kulit.
Dalam tulisan singkat ini akan dibahas beberapa neurotransmiter yang memiliki pengaruh terhadap respon imun dan manifestasinya pada kulit. Kata kunci: Stres psikologis, neurotransmiter, Sistem imun. ABSTRACT The relationship between the nervous system, endocrine and immune systems have long been known, the three major systems coordinated effort to maintain homeostasis in the body. Neurotransmitters are endogenous organic substances carries signals between neurons, neurotransmitters storage in synaptic vesicles, before being released to coincide with the action potential. Neurotransmitters transmit signals from neuron to a target cell in the synapse and then released into the synaptic cleft, which is tied to membrane receptors on the postsynaptic side of the synapse. The nervous system with billions neurons will produce abundant neurotransmitter and also the electrical signals as potensial action will help the release of neurotransmitters. The endocrine system is the product of hormones and the immune system with various types of cytokines. All these as mediators interplay between all three systems. Psychological stress (stress) is one of the neurochemical increase the synthesis and release through a conversion system behavior (behavior) will affect the signals on both the neuroendocrine system of chemical signals and electrical signaling and eventually may circulate to the target in the immunological compartment. Once in the bloodstream, neurotransmitter then diffuses into space extraneuronal and have an effect on the immune system. Some of these neurotransmitters and cytokines will affect neurogenic inflammation. This neurogenic inflammation can occur in some skin disorders.
Psychoneuroimmunology in Dermatology 22
In this short article will discuss some of the neurotransmitters that have an influence on the immune response and its manifestations in the skin. Keywords: Psychological stress, neurotransmitter, immune system. PENDAHULUAN
Susunan saraf pusat, sistem endokrin dan sistem imun,
merupakan tiga sistem besar untuk kehidupan mahluk hidup,
ketiganya terkoordinasi satu sama lain dalam
mempertahankan homeostatis. Ketiganya saling
berkomunikasi satu sama lain melalui berbagai jalur, baik
secara anatomi, biokimiawi dan melalui sinyal-sinyal listrik
(electrical signaling). Telah lama diketahui bahwa stres
psikologis (stres) memegang peran dalam memicu maupun
memperberat penyakit, banyak peneliti dapat telah
membuktikan peran stres psikologis dalam patobiologi
beberapa penyakit, ternyata diketaui pula sistem stres
mempengaruhi ketiga sistem tersebut.
Konsep hubungan antara stres dengan penyakit
(tubuh) telah ada sejak era Hipocrates yang mengatakan
bahwa ”kesalahan besar para dokter adalah memisahkan
antara badan dan pikiran”. Rene Descrates (1650) yang
menyatakan pikiran dan tubuh tidak terpisahkan dalam
kehidupan. Ivan Petrovich Pavlov (1849) dengan anjing
percobaannya membuktikan bahwa kognitif yang dikondisikan
dengan lonceng maka asam lambung keluar tanpa melihat
makanannya. Sejak tahun 1920 Dr. Walter Cannon, menkaji
secara ilmiah dengan mengemukakan teori homeostatis dan
teori “fight or flight”. Hans Selye (1936) memperkenalkan
respon biologis dan fisiologis dari stres melalui teori “General
Adaptation Syndrome”. Istilah Psikoneuroimunologi pertama
Psychoneuroimmunology in Dermatology 23
kali di perkenalkan oleh Dr. Robert Ader (1975), yang
mengungkapkan terjadi suatu learning process tubuh sehingga
tubuh merespon stres dengan melibatkan multiorgan.
Menurut Hans Selye, “Stres adalah respons yang bersifat
nonspesifik terhadap setiap tuntutan kebutuhan yang ada
dalam dirinya”. Stres adalah reaksi atau respons tubuh
terhadap stresor psikososial (tekanan mental atau beban
kehidupan)”.
Sinyal stres pada awalnya diterima oleh prefrontal
cortex dari perifer, sinyal diteruskan ke sistem lymbic, disini
Hipotalamus akan menterjemahkan sebagai stress perception.
Kemudian hipotalamu-hipofisis-adrenal aksis (HPA) dan
simpatik-adrenal medula aksis (SAM) sebagai sumbu utama
dalam memberikan respon terhadap stres (stress response).
Stres akan merangsang hipotalamus untuk menghasilkan
corticotropic-releasing hormone (CRH) yang menyebabkan
pelepasan adreno-corticotroprin hormone (ACTH) di hipofisis.
Pelepasan ACTH menimbulkan stimulasi korteks adrenal untuk
mensintesis kortisol. Melalui paraventrikular dari hipotalamus,
mensintesis dan melepaskan (CRH), hormon ini menstimuli
kelenjar pituitari anterior mensekresi (ACTH), ACTH pada
gilirannya bekerja pada adrenal korteks, yang menghasilkan
glukokortikoid hormon (terutama kortisol pada manusia)
sebagai tanggapan terhadap rangsangan oleh ACTH.
Glukokortikoid pada gilirannya kembali bertindak hipotalamus
dan hipofisis (untuk menekan produksi CRH dan ACTH dalam
siklus umpan balik negatif.
Corticotropin-releasing (CRH) adalah hormon peptida
dan neurotransmitter yang terlibat dalam respon stres.
Neurokimia adalah substansi biokimiawi (neurohormon,
neuropeptid dan neurotransmiter) yang disintesis di jaringan
Psychoneuroimmunology in Dermatology 24
saraf maupun di organ lain, selain berperan dalam sistem saraf
juga berperan dalam sistem imun, baik selular maupun
humural.
Tulisan ini akan membahas secara singkat peran
neurotransmiter dan neuropeptid terhadap respon imunitas
dan beberapa penyakit yang berhubungan dengan stres
psikologis dengan neurokimiawi dan resons imun.
PERAN NEUROTRANSMITER TERHADAP RESPON IMUN
Neurotransmiter adalah senyawa organik endogenus yang
mengantarkan sinyal dari neuron ke neuron lainnya.
Neurotransmiter berada dalam gelembung (vesikel)
presynaptic dan akan dilepaskan dari akson terminal melalui
eksositosis ke dalam celah sinaptik, melalui membran pada sisi
postsynaptic dari neuron terdekat dan juga direabsorpsi untuk
daur ulang. Pelepasan neurotransmiter mengikuti adanya
potensial aksi (electrical signaling) pada sinapsis. Jadi
perantaran sinyal dalam neuron dapat melalui chemical
signaling dan electrical signaling. Neurotransmiter tidak saja
bekerja pada neuron tetapi juga pada organ tubuh yang
lainnya.
Belakangan penelitian tentang peran neurotransmiter
sangat berkembang, karena peranan stres psikologis (stres)
berdampak terhadap pada mekanisme suatu penyakit, hal ini
dapat diterangkan karena peran neurotransmiter. Sampai saat
ini banyak jenis neurotransmiter, pada dasarnya ada bagaian
besar: neurotransmiter klasik dengan berat molekul kecil dan
neurotransmiter dengan berat molekul besar yang lazim
disebut neuropeptid. Perbedannnya dapat dilihat dalam tabel
dibawah ini.
Psychoneuroimmunology in Dermatology 25
Neurotansmiter (Klasik)
Neuropeptid
Berat molekul Kecil, satu asam amino
Besar, memiliki panjang 2-40 asam amino
Sintesis Sitosol pada ujung sinaps
Badan Golgi/retikulum endoplasmik neuron (badan sel) berjalan ke ujung sinap melalui transportasi akson
Pelepasan Terminal akson Terminal akson, dapat bersama neurotransmiter
Kecepatan & durasi kerja
Respon cepat & singkat
Respon lambat, berkepanjangan
Tempat kerja Membran subsinaps sel pasca sinaps
Nonsinaps di sel prasinaps atau pascasinaps dengan konsentrasi lebih kecil dari neurotransmiter
Efek Mengubah potensial sel dengan membuka saluran ion
Meningkatkan atau menekan efektivitas sinaps pada sintesis neurotransmiter atau reseptor pascasinap
Neurotransmiter & Respon Imun
Banyak dikenal neurotransmiter, tapi hanya beberapa jenis
yang sudah jelas perannya terhadap respon imun, terutama
penyakit imunodermatologi.
1. Noradrenalin (Norepinefrin)
Epinefrin (adrenalin) dan norepinefrin (noradrenalin) yang
dikenal sebagai neurotransmiter yang berasal dari tirosin.
Kedua bahan kimia ini mengatur perhatian, fokus mental,
gairah, dan kognisi pada manusia. Tugasnya adalah membuat
otak tetap sadar dan terjaga (tugas noradrenalin ini mirip
Psychoneuroimmunology in Dermatology 26
dengan tugas hormon adrenalin yang dihasilkan oleh kelenjar
anak ginjal (adrenal gland) yang terletak diatas ginjal hanya
saja noadrenalin dihasilkan oleh otak).
Norepinefrin bersama epinefrin dan dopamin
merupakan keluarga dari katekolamin, yang disintesis di
berbagai tempat. Norepinefrin sebagai neurotransmiter
kimiawi dilepas dari sinap semua ujung saraf pascaganglion
simpatis. Norepinefrin akan dilepaskan diantara sinap,
sebagian ada yang di reuptake kembali oleh neuron yang
mensekresinya. Norepinefrin juga di produksi oleh locus
seruleus dan nukleus lain di pons dan batang otak. Akson-
akson tersebut turun akan menstimuli paraventricular nucleus
(PVN) di batang otak yang akan mengaktivasi sumbu
Hypothalamus-Pituitary-Adrenal (HPA axis).
Sejak lama telah diketahui bahwa norepinefrin
memediasi respon fisiologis terhadap keadaan gawat yang
dikenal sebagai respon fight or flight (melawan atau lari), strs
akut dengan peran untuk memobilisasi energi, peningkatan
aliran darah pada otot dan sebagainya. Secara langsung
norepinefrin berefek meningkatkan aktivitas monosit dan sel
natural killer dan juga secara langsung meningkatkan aktivitas
sel Th-naif sehingga terjadi pengalihan (shift) ke arah Th2
sehingga meningkatkan peran imunitas humoral. Norefinefrin
juga dapat meningkatkan sintesis cortico-tropin-releasing
hormon. Cortico-tropin-releasing hormon (CRH) akan
menstimuli kelenjar hipofise anterior untuk memproduksi
adrenocorticotropic hormone (ACTH), yang kemudian akan
menstimuli korteks adrenal untuk mensintesis kortisol, sebagai
produk akhir dari sumbu HPA. Norepinefrin juga mempunyai
efek terhadap peningkatan produksi IL-10 dari monosit melalui
reseptor β-adrenergic, interleukin ini sebagai stimulator utama
Psychoneuroimmunology in Dermatology 27
Th2 untuk memproduksi IL-4 dan IL-5, norepinefrin melalui
reseptor beta adrenergik pada sel penyaji antigen akan
meningkatkan sintesis IL-10, interleukin ini secara langsung
meningkatkan sintesis IL-4 oleh Th2 dan menghambat
aktivitas sel Th1. Sebagai akibat, terjadi peningkatan IL-4 dan
IL-5, ke dua sitokin ini sangat berperan dalam
imunopatogenesis dermatitis atopik. Dengan demikian
norepinepfrin secara tidak langsung juga mempengaruhi
keseimbangan Th1/Th2. Secara anatomis, jalur CRH – Sel Mast
dan jalur neuropeptid, jalur-jalur tersebut langsung
mempengaruhi aktivitas sel Mast. Telah terbukti pada psoriasis
dan dermatitis atopik, psoriasis urtikaria kronis norepinefrin
meningkat secara bermakna.
2. Serotonin (Serotonine)
Hormon serotonin diproduksi di saluran pencernaan, kelenjar
pineal, sistem saraf pusat, dan platelet. Serotonin sering juga
disebut 5-HT atau 5-hydroxytryptamines (serotonin) adalah
neurotransmiter monoamine, bertugas sebagai penenang
sehingga sangat dibutuhkan untuk menjaga stabilitas emosi
dan membuat kita tidur. Jika kita kekurangan serotonin sedikit
saja, maka hal itu dapat memunculkan perilaku yang dapat
membahayakan orang yang bersangkutan (misalnya timbulnya
penyakit bulimia, munculnya kecenderungan adiksi
(kecanduan) terhadap bahan-bahan berbahaya seperti
alkohol, tembakau dan sebagainya). Serotonin berperan dalam
mengontrol berbagai tingakatan emosional. Serotonin juga
berperan dalam mengendalikan mood, kegelisahan, depresi,
dan lain sebagainya.
Bersama skema representasi dari efek nikotin dan 5-
HT pada pelepasan sitokin dalam populasi sel darah yang
Psychoneuroimmunology in Dermatology 28
berbeda. 5-HT sebagai inhibitor yang kuat terhadap pelepasan
TNF tapi mempunyai efek berlawanan terhadap IL-1, dan IFN-
ɣ.
Sebaliknya, 5-HT dilaporkan dapat memfasilitasi
pelepasan IFN- ɣ dan natural killer cell (NK cell) dan IL-16 dalam
sel T helper. Oleh karena itu, 5-HT tampaknya berperan
perkembangan proses peradangan neurogenik (neurogenic
inflammatory) dengan ikut meningkatkan sintesis sitokin
proinflamasi. Penelitian terakir, serotonin berperan sebagai
pruritogenik pada pasien penyakit kulit alergi seperti
dermatitis atopik dan urtikaria kronis. Psoriasis yang dipicu
stres, inflamasi kronis berhubungan dengan inflamasi
neurogenik akibat peran sistem serotonergik.
3. Dopamin (Dopamine)
Dopamin diproduksi di beberapa daerah otak terutama di
hipoalamus, substantia nigra dan daerah tegmental ventral,
dopamin juga merupakan neurohormon. Dopamin
menghantarkan sinyal antar sel saraf atau dengan sel lainnya.
Awalnya dopamin dikenal sebagai neurotransmiter yang
menghantarkan sinyal hanya di dalam otak, namun juga
diketahui memiliki fungsi pada organ lain. Di dalam susunan
saraf pusat, dopamine memiliki peran dalam mengatur
pergerakan, pembelajaran, daya ingat, emosi, rasa senang,
tidur, dan kognisi. Perannya adalah mengatur gerakan motorik
kita dan membentuk postur tubuh kita agar menjadi
proporsional. Kekurangan dopamin akan mengakibatkan
timbulnya penyakit Parkinson. Dopamin merupakan major
neurotransmiter mentranmisi sinyal melalui beberapa
transmembrane reseptor D1–D5.
Psychoneuroimmunology in Dermatology 29
Beberapa studi telah menunjukkan bahwa dapat
memberikan kontribusi pada modulasi imunitas melalui
reseptor diekspresikan pada sel-sel kompartemen imun.
Sebelumnya telah dibuktikan bahwa Dopamin sebagai
autokrin dan parakrin pada sel dendritik (DC), dalam proses
presentasi Antigen ke sel CD4+ dan T naif, hal ini diperankan
reseptor D1. Penelitian lain menyatakan peran system
dopaminergik merespon Th-17 dalam patogenesis rheumatoid
arthritis (RA). Dalam sel CD4 + T naif, dopamin meningkat IL-6
tergantung sintesis IL-17 reseptor D1. Secara bersama-sama,
temuan ini menunjukkan bahwa dopamin dilepaskan oleh DC
menginduksi sumbu IL-6 dan Th17 dan menyebabkan
peradangan sinovial RA. Penelitian lain juga menunjukkan
peran dopamin berlebihan dalam patogenesis psoriasis, efek
pada patogenesis polimorfisme gen pada psoriasis yang
terlibat dalam metabolisme dopamin. Demikian juga
peningkatan C-reactive protein sangat berkorelasi dengan
peran dopamin, namun belum jelas perannya terhadap
hambatan terhadap TNF-α, IL-1, IL-12, IL-6 dan IL-8.
4. Asetilkolin (Acetylcholine)
Asetilkolin (Ach) merupakan molekul ester-kolin yang pertama
diidentifikasi sebagai neurotansmitter. ACh dibuat di dalam
susunan saraf pusat oleh neuron dan badan selnya yang
terdapat pada batang otak dan forebrain, selain itu disintesis
juga dalam saraf lain di otak. ACh beraksi pada sistem saraf
otonom di perifer dan di pusat, dan merupakan transmitter
utama pada saraf motorik di neuromuscular junction pada
vertebrata.
Asetilkolin memiliki peran dalam penyimpanan
memori. Mahluk hidup membutuhkan asetilkolin ketika
Psychoneuroimmunology in Dermatology 30
konsentrasi dan kognisi. ACh ini terbentuk pada akson terminal
neuron, sebagai neurotransmiter, dimulai saat potensial aksi
sudah sampai pada terminal akson. Hal ini akan bersamaan
dengan meningkatnya kalsium yang bermuatan dan aktifnya
asetilkolin. Asetilkolin yang aktif akan segera direspon oleh
ACh reseptor sel neuron terdekat. Selain itu, Ach menstimuli
sitokin proinflamasi dan menginduksi aktivasi sistem saraf
simpatik dan sumbu HPA. Terakhir ditemukan jalur baru dari
regulasi otak memediasi respon imun perifer disebut Jalur
kolinergik-antiinflamasi, hal ini mungkin langsung memodulasi
respon imun terhadap invasi patogen. Stimulasi listrik
(electrical signaling) dari saraf vagus eferen tampaknya secara
signifikan Ach menekan pelepasan sitokin IL-1β, IL-6, TNF-α
dan IL-18 tetapi tidak terhadap produksi IL-10 dalam
percobaan kultur makrofag. Ach mengaktivasi cholinergic anti-
inflammatory pathway dan menghambat TNF-α pada tikus
percobaan. Ach dikatakan berperan dalam penyakit urtikaria
kolinergik atau urtikaria yang dicetuskan keringat. Pada pasien
dengan peripheral arterial occlusive disease (PAOD) Ach
mempunyai efek ringan terhadap vasodilatasi lokal dengan
meningkatkan fungsi Ach dalam vaskular kulit.
5. Asam Gamma aminobutirat (γ-aminobutyric Acid /GABA)
GABA disintesis pada ujung saraf presinaptik, dan disimpan di
dalam vesikel sebelum di lepaskan. Tugasnya adalah meredam
kecepatan trasmisi pesan-pesan antar neuron. Kalau saja asam
jenis ini tidak ada, maka temperatur di dalam otak akan
meningkat bila digunakan untuk berfikir keras, membantu
untuk memblokir implus yang berhubungan dengan stres dari
mencapai reseptor pada sistem saraf pusat. Peran lain GABA
juga dapat mengurangi perasaan cemas, dan dapat membantu
Psychoneuroimmunology in Dermatology 31
mengatasi gangguan yang terkait dengan stres emosional.
GABA telah dilaporkan dalam kultur makrofag murin, dan juga
ditemukan di ekstrak makrofag dikultur dari monosit darah
perifer. Enzim Glutamic Acid Decarboxylase (GAD) 65 (Salah
satu marker adanya antibodi terhadap enzim glutamat
dekarboksilase) dan anti anti-GAD65 ada dalam jumlah yang
banyak dalam sel dendritik (DC) dan konsentrasi lebih rendah
pada peritoneal makrofag, DC dan limfosit T juga dapat
melepaskan GABA. Stimulasi makrofag dan DC dengan
lipopolisakarida (LPS) terjadi peningkatan ekspresi GAD,
sementara jumlah GABA disekresikan tidak dipengaruhi secara
signifikan. Stimulasi CD4+ sel T dengan anti-CD3 dan antibodi
anti-CD28 juga memiliki berpengaruh pada konsentrasi GABA
dalam plasma. Kehadiran GABA-Transaminase yang
diprodukasi di makrofag dan limfosit mengaktifkan sel T sejak
spesifik limfosit T mitogen (phytohemagglutinin; PHA)
digunakan untuk stimulasi dan sel T sel B dengan rasio sekitar
3:1. Interaksi sel B dan sel T, diduga mempengaruhi ekspresi
sitokin sebagai bagian pada imunitas adaptif, beberapa
antibodi yang diproduksi sebagai respon terhadap infeksi,
seperti Ig M, juga disekresikan secara alami oleh sel B. Limfosit
T dalam fungsinya terdapat beberapa jenis, yang meliputi CD8+
(sitotoksik) sel T, yang dapat diaktifkan dengan CD4+ T (helper)
sel dan CD8+. Jenis lain termasuk T-reg (sel T-regulator) yang
dapat mengendalikan aktivasi sistem imun, dan diduga
berpengaruh terhadap Natural Killer Cell.
Penelitian in vivo maupun in vitro GABA diperifer
menghambat terjadi inflamasi neurogenik pada penyakit
autoimun. Dapat juga dipakai penggunaan lokal (topikal) dan
sistemik untuk kelainan otoimun. GABAA-R (GABA antagonis
reseptor) suatu antagonis dan senyawa yang menghambat
Psychoneuroimmunology in Dermatology 32
sintesis GABA mungkin berguna dalam penanganan supresi
imun akibat obat, misalnya pada pasien yang mendapat
sitostatika. Walaupun efektivitasnya tampaknya belum jelas,
dan lebih efektif pada penyakit didominasi oleh TNF-α, seperti
rheumatoid arthritis, asma dan penyakit radang usus.
6. Asam Glutamin (Glutamic Acid)
Asam glutamat sebagai sebagai imunomodulator penting
dalam inisiasi dan perkembangan imun respons adaptif,
termasuk data tentang ekspresi dan fungsi reseptor glutamat
dan glutamat transporter dalam sel T dan sel-sel lain yang
terlibat dalam aktivasi sel T yang memediasi sistem imun. Pada
tahun-tahun terakhir beberapa reseptor glutamat telah
diidentifikasi pada permukaan sel T. Disamping itu, glutamat
transporter telah dibuktikan berperan pada APC, tergantung
konsentrasinya. Pelepasan glutamat oleh DC baru-baru ini
menunjukkan dan peran regulasi dari asam amino, hal ini
selama DC berinteraksi dengan kelenjar getah bening. DC
merilis glutamat, melalui merangsang glutamat reseptor pada
sel T, dapat mengatur respon sel T untuk APC. Selain itu, pada
penyakit otoimun, ketika glutamat-mengiduski kerusakan
saraf merespon reaktif Th1 dengan menekan IFN-γ. Dengan
demikian induksi mGlu1R (reseptor Glutamat), yang
memstimuli sekresi IFN-γ dapat terjadi ketika ada stimulasi sel
T.
Peran penting bahwa glutamat berperan sistem saraf
pusat telah establis, beberapa reseptor glutamat dan
transporter glutamat telah banyak perannya dalam sistem
saraf pusat, masing-masing memediasi efek glutamate dan
mengatur kadar glutamat ekstrasel. Studi terbaru
menunjukkan bahwa glutamat tidak hanya memiliki peran
Psychoneuroimmunology in Dermatology 33
sebagai neurotransmiter, tetapi juga sebagai
immunomodulator penting. Dalam hal ini, beberapa reseptor
glutamat baru-baru ini telah dijumpai pada permukaan sel-T,
dan transporter glutamat dilaporkan membantu peran APC
seperti sel dendritik dan makrofag. Disamping itu, peningkatan
jumlah glutamin dilaporan telah menjelaskan mekanisme
autoimun sebagi pelindung autoantigen sel T, neurotransmiter
ini dalam sistem saraf melindungi neuron terhadap glutamat
neurotoksisitas. Ada peran glutamat sebagai imunomodulator,
hal penting dalam inisiasi dan perkembangan sistem imun yang
dimediasi sel T pada jaringan perifer dan dalam sistem saraf
pusat.
Neuropeptida & Respon Imun
Beberapa jenis neuropeptita yang penting dalam respon imun
adalah:
1. Substansi P
Substansi P (SP) adalah suatu neuropeptida yang berfungsi
sebagai neurotransmiter dan neuromodulator, dari golongan
neuropeptida takikinin. Selain itu, substansi P juga merupakan
elemen penting di dalam persepsi nyeri. Fungsi sensoris
substansi P diperkirakan berkaitan dengan transmisi informasi
nyeri ke dalam susunan saraf pusat. Substansi P dikaitkan
dengan regulasi gangguan mood, ansietas, stres, neurogenesis
mual/muntah, nyeri dan nosiseptif, dan meningkatkan
permeabilitas pembuluh darah. Banyak bukti menunjukkan
hubungan antara neuron dan sistem kekebalan tubuh sebagai
immunomodulasi aktivasi sintesis pelepasan sitokin dan
kemokin, selain itu, substansi P terbukti memediasi
peradangan, angiogenesis. Substansi P mampu mengaktifkan
Psychoneuroimmunology in Dermatology 34
beberapa sel imun, seperti CD4+ dan limfosit CD8+, sel mast, sel
NK dan makrofag. Dalam studi terbaru menunjukkan bahwa
substansi P dapat mengaktifkan interleukin-8, kemokin CXC,
menunjukkan keterlibatannya dalam chemoattraction
terhadap sel T, dan penting dalam patofisiologi inflamasi
nerogenik yang terjadi pada kulit seperti dermatitis, psoriasis,
diskoid lupus dan lainnya.
2. Neuropeptide Y (NP-Y)
Peran utama dari sistem kekebalan tubuh adalah penahanan
patogen, sel-sel kanker, dan infeksi. Ini juga memainkan peran
sebagai kontrol mencegah munculnya disfungsi limfosit, yang
dapat menyerang jaringan dan menyebabkan penyakit
autoimun seperti lupus eritematosus sistemik (SLE),
rheumatoid arthritis, dan multiple sclerosis. Stres dan episode
emosional yang kuat secara dramatis mengurangi resistensi
kita terhadap infeksi, dan perkembangan sel kanker. Namun,
sampai sekarang, hubungan antara kondisi mental dan
imunitas kanker belum diketahui dengan pasti. Terakhir
ditemukan bahwa neuropeptide Y (NPY), sebagai suatu
hormon yang dikeluarkan selama stres, mengganggu imunitas
seluler dan menghambat respon sel imun yang penting melalui
peran reseptor Y1. Ini adalah penemuan penting untuk
pertama mengkaji link baru antara stres psikologis dan
imunosupresi yang dimediasi NP-Y.
Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa
sistem saraf simpatik mengatur manifestasi klinis dan patologis
chronic relapsing experimental autoimmune encephalomyelitis
(EAE), model penyakit autoimun dimediasi oleh sel Th1 dan
NP-Y. Meskipun peran katekolamin telah ditunjukkan dalam
studi sebelumnya, itu tetap mungkin bahwa neurotransmiter
Psychoneuroimmunology in Dermatology 35
simpatik lainnya seperti NP-Y juga terlibat dalam patogenesis
EAE. Efek NP-Y dan reseptornya mempunyai sifat spesifik pada
oligodendrocyte myelin glikoprotein 35-55 pada tikus,
sedangkan agonis reseptor Y5 atau pemberian antagonis
reseptor Y1 tidak menghambat tanda-tanda EAE. Suatu
penelitian mengungkapkan penghambatan yang signifikan dari
myelin oligodendrocyte glikoprotein terhadap respon sel Th1
spesifik bukan pada sel Th2, pada percobaan tikus yang
diberikan agonis reseptor Y1, analisis in vivo menunjukkan
mekanisme autoimun yang dimediasi sel T secara langsung
dipengaruhi oleh NP-Y melalui reseptor Y1. Kesimpulannya,
bahwa NP-Y merupakan immunomodulator potensial terlibat
dalam regulasi penyakit autoimun. NP-Y dapat menghambat
inflamasi neurogenik dengan menekan produksi Th17 dan Th1-
like cytokines, namun dapat meningkatkan sitokin Th2.
Penelitian terakhir menyatakan NP-Y sebagai
imunoreaktifaktor terhadap sel dendritik epidermal pada
dermtitis atopi, pada psoriasis, dan NP-Y berperan dalam
hantaran rasa gatal.
3. Vasoactive Intestinal Peptide
Vasoactive intestinal peptide (VIP) merupakan peptida yang
tersusun atas 28 asam amino dan dapat ditemukan pada
serabut saraf yang berhubungan dengan pembuluh darah,
kelenjar keringat, folikel rambut dan sel Merkel. Vasoactive
intestinal peptide memperantarai vasodilatasi dan edema
dengan memicu sintesis nitrit oksida serta proliferasi dan
migrasi keratinosit. Selain itu VIP memicu produksi keringat
serta pelepasan histamin sel mast. VIP dan neuropeptida yang
berhubungan secara anatomis dengan pituitary adenylate
cyclase-activating polypeptide (PACAP) sebagai modulator
Psychoneuroimmunology in Dermatology 36
imunitas alami dan didapat, ada dalam organ limfoid,
memodulasi fungsi sel-sel inflamasi melalui reseptornya.
Produksi dan pelepasan baik sitokin pro-inflamasi dan anti-
inflamasi oleh fagosit aktif dalam inisiasi respon imun. Respons
VIP dan PACAP dapat menghambat produksi sitokin pro-
inflamasi TNF-α, IL-6, IL-12 dan nitrit oksida dan merangsang
produksi anti-inflamasi sitokin IL-10.
Penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa bone
marrow-derived dendritic cells (BMDCs) berbeda dengan VIP,
BMDCs oleh diinduksi IL-10/transforming factor growth- β
(TGF)-β yang disintesis sel T regulator (T-reg) in vivo, bahwa
penambahan VIP untuk media kultur awal dalam diferensiasi
monosit manusia untuk monocyte-derived dendritic cells
(MDDC) dirangsang diferensiasi DC yang terpolarisasi pada
CD4+ T sel untuk IL-10/TGF-β memproduksi T-reg dan juga sel
CD8+ T. Sel CD8+ T diproduksi IL-10 dan menunjukkan adanya
perubahan pada CD 28/Antigen limfosit T sitotoksik (CTLA)
fenotipe, dan kedua CD4+ dan CD8+ T-regs dihasilkan oleh
respon imun yang diperantarai oleh VIP. Oleh karena itu, VIP
mungkin memiliki efek yang berbeda dengan DC tergantung
titik tangkap reseptor VIP. Reseptor terhadap VIP disebut
VPAC1, reseptor ini selain di saraf juga ditemukan pada limfosit
T, sehingga dapat mengendalikan sintesis sitokin seperti TNF-
α. Diketahui juga VIP memodulasi sel Mast untuk merespon
stres, hal ini terjadi pada urtikaria kronis dan penyakit alergi
lainnya.
4. β-Endophine
β-Endorphine adalah neuropeptid yang membuat seseorang
merasa senang, nyaman dan untuk aktivasi sistem imun. β-
Endorphine diproduksi oleh kelenjar pituitary yaitu pada saat
Psychoneuroimmunology in Dermatology 37
kita merasa bahagia (tertawa) dan pada saat kita istirahat yang
cukup. neuropeptida ini bertindak seperti morphine (endogen
opioid), bahkan dikatakan 200 kali lebih besar dari morphine.
β-endorphine atau endorphine mampu menimbulkan perasaan
senang dan nyaman hingga membuat seseorang berenergi. β-
endorphine juga memiliki peran terhadap sistem imunitas,
selain menurunkan keadaan emosi. Dengan endorphin
perasaan kita akan lebih rileks, dan tentunya kita pun akan
lebih mudah mengontrolnya, mengontrol rasa amarah
sekaligus berpikir positif dengan mengutamakan kesabaran.
Dapat dikatakan bahwa endorphin itu seperti zat yang
terkandung di dalam es krim atau coklat. Apabila kita
mengkonsumsi es krim atau coklat, kita akan merasakan
kenyamanan. Zat yang membuat kita nyaman pun juga
diproduksi oleh tubuh kita, guna menstabilkan emosi kita.
Dengan zat tersebut, kita dapat merasakan rileks, dan semua
yang berhubungan dengan tekanan pada perasaan kita seperti
marah, sedih dan depresi dapat dikurangi bahkan dihilangkan.
Manfaat endorphin sudah lama dikenal sebagai zat yang
banyak manfaatnya, seperti mengatur produksi growth factors
dan seksualitas, mengendalikan rasa nyeri serta sakit yang
menetap, mengendalikan perasaan stres, serta meningkatkan
sistem kekebalan tubuh. Endhorpine sebenarnya merupakan
gabungan dari endogenous dan morphine, zat yang
merupakan unsur dari protein yang diproduksi oleh sel-sel
tubuh serta sistem syaraf manusia, pelepasan zat ini bisa dipicu
melalui berbagai kegiatan, seperti pernapasan yang dalam,
relaksasi, serta meditasi. Sel natural killer adalah bagian dari
sistem kekebalan tubuh yang membunuh sel kanker atau
patogen lainnya. Stres mempengaruhi kemampuan sel-sel
pembunuh alami ini untuk meningkatan respon imun melalui
Psychoneuroimmunology in Dermatology 38
endorfin. Endorfin juga membantu menurunkan tekanan
darah, dengan memperbaiki enditel pembuluh daran, mampu
berikatan dengan limfosit B, dan untuk meningkat peran sel
natural killer. Sel B dan Sel NK adalah bagian kecil dari
keseluruhan peripheral blood mononuclear cells (PBMC).
Berdasarkan hasil penelitian deskriptif menunjukkan bahwa
dengan latihan pernapasan dapat meningkatkan β–endorphin
terbukti meningkatkan kebugaran fisik dan imuniglobulin-G
dan menekan interleukin 6 pada keadaan stres, sementara
interleukin 2 dan interleukin 4 tidak meningkat secara
bermakna. Demikian juga kortisol tidak menurun secara
signifikan. Penggunaan topikal aplikasi berefek positif pada
hidrasi kulit, elastisitas dan kerutan (wrinkle) pada kulit.
4. Kalsitonin
Kalsitonin (CT) adalah hormon yang berperan didalam regulasi
tulang dan kalsium darah. Neuropeptid ini belum begitu jelas
perannya pada keadaan stress, tetapi berpengaruh terhadap
respon imun. Sumber utama dari CT adalah parafollicular cells
kelenjar tiroid. Sebagian besar dari kelenjar tiroid adalah
folikular sel yang bertanggungjawab untuk sekresi hormon
tiroid. Selain itu, CT juga dijumpai di beberapa organ di dalam
tubuh, termasuk thymus, usus halus, kandung kemih, paru-
paru dan hepar. Kalsitonin adalah polipetida kecil, terdiri dari
32 asam amino dengan berat molekul 3410 Dalton. Sekresi
kalsitonin dipengaruhi oleh adanya serum Ca2+ yang tinggi,
target organ dari hormon ini adalah usus halus dan tulang.
Hormon ini bekerja menurunkan absorbsi Ca2+ dalam usus dan
menurunkan resorpsi Ca2+ dalam tulang sehingga serum
Ca2+ yang semula tinggi menjadi menurun. Hormon ini bekerja
berlawanan dengan hormon paratiroid. Kalsitonin plasma yang
Psychoneuroimmunology in Dermatology 39
lebih tinggi dari normal, dapat menyebabkan gangguan sistem
saraf (refleks lamban, kontraksi otot lamban & lemah
konstipasi & nafsu makan). Kalsitonin dapat mengurangi kadar
kalsium dalam aliran darah dengan menghambat kerja
destruksi sel tulang oleh osteoklas, menghancurkan matrix
ekstraseluler. Sekresi hormone kalsitonin mengontrol umpan
balik negative, ketika kalsium dalam darah tinggi, kalsitonin
menurunkan kalsium dan fosfat dalam darah dan menghambat
resorbsi tulang oleh osteoklas dan meningkatkan uptake
kalsium dan fosfat ke dalam matrix ekstraseluler tulang.
Dalam sistem imun dikatakan bahwa kalsitonin tidak
hanya stimulasi IL-1, IL-6, TNF-a, dan IL-12 tetapi juga IL-2, IL-8
dan IL-10 dalam peranan dalam etiopatogenesis osteoporesis.
Pada kelenjar hipofisis, kalsitonin diserap oleh reseptor C2a
dan menginduksi produksi cAMP. Setelah itu CT akan
menginduksi produksi IL-6 melalui jalur protein kinase A (PKA)
dan protein kinase C (PKC), atau menghambatnya melalui
aktivasi protein G1/G0, menghambat sekresi prolaktin, akan
memicu berbagai proses angiogenesis pada sel endothelial dan
pengaruh pada perkembangan sel
kanker payudara dan prostat.
DAFTAR PUSTAKA 1. Levite M. et al. Nerve-driven immunity: Neuropeptides regulate
cytokine secretion of Tcells and intestinal epithelial cells in a direct, powerful and contextual manner. Annals of Oncology, 2001 12 (Suppl. 2): S19-S25.
2. Margaret E. Understanding the interaction between psychosocial stress and immune-related diseases: A stepwise progression. Brain, Behavior, and Immunity, 2007; 21: 1009–1018
Psychoneuroimmunology in Dermatology 40
3. Hayashi T. Conversion of psychological stress into cellular stress response: Roles of the sigma-1 receptor in the process. Psychiatry and Clinical Neurosciences 2015; 69: 179–191
4. Merlin. NJ. Neuropeptides –A Review. Asian J. Pharm. Res. 2014; 4: 4:198-200
5. Ganea D. Neuropeptides: Active Participants in Regulation of Immune Responses in the CNS and Periphery. Brain Behav Immun. 2008; 22[1]: 33–34.
6. Moreira LS. Neuropeptides as Pleiotropic Modulators of the Immune Response. euroendocrinology, 2012;6: 1-12
7. Nardocci G, et al. Neuroendocrine mechanisms for immune system regulation during stress. Fish & Shellfish Immunology 40 (2014) 531-538
8. Jara LJ. Immune-neuroendocrine interactions and autoimmune diseases. Clinical & Developmental Immunology, June–December 2006; 13[2]: 109–123
9. Tsigos C, et al. Hypothalamic–pituitary–adrenal axis, neuroendocrine factors and stress. Journal of Psychosomatic Research, 2002;53: 865– 871
10. Kojima M., et al. Effects of Neuropeptides in the Development of the Atopic Dermatitis of Mouse Models. Allergology International. 2004; 53: 169-78.
11. Mustafa GA. Neurogenic Inflammation and Allergy. J Pediatr Allergy Immunol. 2009; 7[2]: 45-58
12. Hodeib A., et al. Nerve Growth Factor, Neuropeptides and Cutaneous Nerves in Atopic Dermatitis. Indian J Dermatol. 2010; 55[2]: 135-9.
13. Botchkarev VA., et al. Neurothropins in Skin Biology and Pathology. J Invest Dermatol. 2006; 126: [17]:19-27.
14. Operacz MC. Et al. Clinical and experimental aspects of cutaneous neurogenic inflammation. British Journal of Pharmacology, 2013; 170: 38–45
15. Mikolajczak ET.,et al. Neurogenic Markers of the Inflammatory Process in Atopic Dermatitis: Relation to the Severity and Pruritus. Postep Derm Alergol. 2013; 30[5]: 286-292.
16. Hosoi T, et al. 2004. Functional Role of Acetylcholine in The Immune System. Frontiers in Bioscience 9: 2414-2419
17. Pacheco R. Role of glutamate on T-cell mediated immunity. Journal of Neuroimmunology, 2007;185: 9–19
Psychoneuroimmunology in Dermatology 41
18. Mackay F. The Role of Neuropeptide Y and its Receptors in the Immune System and Immune Disorders
19. Katsanos G.S. Impact of Substance P on Cellular Immune. Journal of Biological Regulator & Homeostatic Agent.2008; 22[2]: 93-98
20. Inhibitory role for GABA in autoimmune inflammation Roopa Bhata,1 . 2580–2585 | PNAS | February 9, 2010 | vol. 107 | no. 6
21. Szczepanik, M. Melatonin and its Influence on Immune System. Jour of Physiology and Pharmacology. 2007;58[6]:115-124
22. Delgado M. al. The Significance of Vasoactive Intestinal Peptide in Immunomodulation Pharmacological Review, 2011;56[2]: 249-290
23. Mikami N, Calcitonin Gene-Related Peptide Is an Important Regulator of Cutaneous Immunity: Effect on Dendritic Cell and T Cell Functions. The Journal of Immunology, 2011, 186: 6886–6893.
24. Wanhong Ding .Calcitonin Gene-Related Peptide Biases Langerhans Cells toward Th2-Type Immunity1. The Journal of Immunology, 2008, 181: 6020 – 6026.
25. Ganea D. Neuropeptides as Modulators of Macrophage Functions. Regulation of Cytokine Production and Antigen Presentation by VIP and PACAP. A rchivum Immunologiae et Therapiae Experimentalis, 2001, 49, 101–110
26. Henricks PA. GABA receptors and the immune system. Arne Lucas ten Hoeve. Bachelor Biomedical Sciences 2011 Utrecht University.