d0213049.docx · web viewyang diartikan sebagai transformasi dari media komunikasi yang difokuskan...

34
DRAMA KOREA DAN PEMBENTUKAN REALITAS (Studi Deskriptif Pembentukan Hiperrealitas melalui Tayangan Drama Korea “Goblin” di Kalangan Penontonnya) I’anah Marfu’ah Aryanto Budhy Sulihyantoro Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta Abstract Korean drama Goblin are the fantasy figures of popular culture products in Korea and really have an effect on people's lives. The research used qualitative research methods with obsevvasi, in-depth interviews, as well as literature review, as a data retrieval technique. It used interactive analysis in analyzing data and also source triangulation as a data validation technique. Based on the results of data analysis, In the Korean drama Goblin, there are four simulations that form the audiences hyperreality. Goblin is a drama that reflects the social life of Korean society, creates a artificial reality that seems real, showcases fantasy and illusions of stories with modern technological sophistication, so the audience seems to believe that simulations in Goblin drama are real although Goblin drama actually offers something which are not exist in the real world, but the audiences love it. The Korean drama Goblin is just a simulacrum, which is a space or a room where the simulation process takes place or happens. It is creating a simulation that can spoil the audience. Korean drama Goblin, has its own impact on the audiences, the excessive hyperreality in assuming that the story shown in the Goblin drama is real, as if they were directly involved in the drama , as well as 1

Upload: lyliem

Post on 11-May-2018

220 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: D0213049.docx · Web viewyang diartikan sebagai transformasi dari media komunikasi yang difokuskan pada perkembangan teknologi, dari sini media baru dapat dipahami bukan hanya sebagai

DRAMA KOREA DAN PEMBENTUKAN REALITAS

(Studi Deskriptif Pembentukan Hiperrealitas melalui Tayangan Drama

Korea “Goblin” di Kalangan Penontonnya)

I’anah Marfu’ah

Aryanto Budhy Sulihyantoro

Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik

Universitas Sebelas Maret Surakarta

Abstract

Korean drama Goblin are the fantasy figures of popular culture products in Korea and really have an effect on people's lives. The research used qualitative research methods with obsevvasi, in-depth interviews, as well as literature review, as a data retrieval technique. It used interactive analysis in analyzing data and also source triangulation as a data validation technique. Based on the results of data analysis, In the Korean drama Goblin, there are four simulations that form the audiences hyperreality. Goblin is a drama that reflects the social life of Korean society, creates a artificial reality that seems real, showcases fantasy and illusions of stories with modern technological sophistication, so the audience seems to believe that simulations in Goblin drama are real although Goblin drama actually offers something which are not exist in the real world, but the audiences love it. The Korean drama Goblin is just a simulacrum, which is a space or a room where the simulation process takes place or happens. It is creating a simulation that can spoil the audience. Korean drama Goblin, has its own impact on the audiences, the excessive hyperreality in assuming that the story shown in the Goblin drama is real, as if they were directly involved in the drama , as well as excessive hypereality in wanting accessories that related to Goblin dramas such as Goblin dolls and scarves. Then it continues to imitative behaviour of the audience in the form of photo editing of sword stabbing. Moreover, audiences tend to have more curiosity about their idol's personal life.

Keywords : Hypereality, Popular Culture, Korean Drama

1

Page 2: D0213049.docx · Web viewyang diartikan sebagai transformasi dari media komunikasi yang difokuskan pada perkembangan teknologi, dari sini media baru dapat dipahami bukan hanya sebagai

Pendahuluan

Saat ini media massa sudah menjadi sebuah bagian yang tidak dipisahkan

dengan masyarakat. Seiring perkembangan teknologi media massa juga

mengalami perkembangan yang begitu pesat. Seperti yang dikatakan Roger Fidler

(2002:4) dalam buku New Media Teori dan Aplikasi karangan Chatia Hapsari

dkk, bahwa mediamorphosis yang diartikan sebagai transformasi dari media

komunikasi yang difokuskan pada perkembangan teknologi, dari sini media baru

dapat dipahami bukan hanya sebagai media yang benar-benar baru muncul dalam

bentuk media komunikasi. New media muncul dari inovasi-inovasi media lama

yang kurang relevan lagi pada perkembangan teknologi dimasa sekarang. Seperti

yang dikatakan Filder (2011: 5), media baru lainnya saat ini adalah menonton

dengan sambungan internet atau yang disebut video streaming bahkan kini video

tersebut dapat diunduh secara gratis.

Diawali dari konsumsi media sosial inilah, penyebaran budaya asing mulai

terjadi. Berkaitan dengan budaya asing, budaya asing yang telah menjadi populer

yang saat ini banyak menarik perhatian dunia adalah kebudayaan populer dari

Korea Selatan. Fenomena budaya populer Korea Selatan atau Hallyu Wave telah

membawa aliran nilai-nilai budaya Korea meluas ke berbagai negara dan menarik

banyak massa. Istilah Hallyu sendiri mungkin bukan sesuatu yang menarik bagi

masyarakat umum. Kecintaan mereka terhadap demam Korea itu muncul dari

musik-musik Korea, film, drama, game dan bahkan gaya berpakaian mereka dan

juga gaya bicaranya pun terpengaruh dengan adanya Hallyu di Indonesia, mereka

terjangkit virus dari apa yang mereka tonoton lewat drama, film dan music. Dalam

penelitian Wuryanta (2011), dikatakan bahwa awal masuk budaya populer di

Indonesia adalah melalui saluran televisi swasta nasional yang ada di negara

Indonesia. Sepanjang tahun 2003 - 2008, RCTI dan Indosiar menayangkan

beberapa judul drama Korea secara simultan. Rating yang tinggi dan permintaan

pasar membuat stasiun televisi menayangkan drama Korea secara bergantian.

Kemunculan drama-drama Korea masih digemari hingga saat ini.

2

Page 3: D0213049.docx · Web viewyang diartikan sebagai transformasi dari media komunikasi yang difokuskan pada perkembangan teknologi, dari sini media baru dapat dipahami bukan hanya sebagai

Drama Korea (Hangul: 한국드라마; RR: hanguk deurama) atau K-drama

mengacu pada drama televisi di Korea, dalam sebuah format miniseri, yang

diproduksi dalam bahasa Korea. Banyak dari drama ini telah menjadi populer di

seluruh Asia dan telah memberi kontribusi pada fenomena umum dari gelombang

Korea, dikenal sebagai Hallyu (bahasa Korea: 한류), dan juga "Demam Drama"

di beberapa negara seperti di negara-negara Amerika Latin, Timur Tengah, dan

Asia termasuk Indonesia. Dalam drama Korea ada dua genre utama drama Korea.

Genre pertama dengan plot pendek, berakhir cepat, dan tanpa referensi seksual

yang jelas, yang biasanya sering ditemukan di drama barat. Drama Korea

berlangsung dari 16 episode sampai lebih dari 100 episode (biasanya tidak lebih

dari 200 episode). Genre utama lainnya adalah mengenai drama sejarah Korea

(juga dikenal sebagai sa geuk), yang merupakan dramatisasi fiksi sejarah Korea.

Perkembangan drama Korea di Indonesia sangat pesat, hal ini didukung dengan

kemudahan mengakses khususnya dimedia online. Di Indonesia banyak sekali

media online yang menjadi alternative untuk mendapatkan serta menonton drama

maupun film korea melalui situs-situs Online

Drama Korea Goblin: The Lonely and Great God / Guardian: The Lonely

and Great God menjadi drama yang mendulang sukses khususnya di Indonesia,

K-drama yang berakhir pada bulan Januari 2017 masih saja menjadi perbincangan

hangat netizen di Indonesia. Goblin menjadi drama Korea paling populer di

Indonesia, dari data pantauan dari Isentia terlihat bahwa drama “Goblin” menjadi

pembicaraan sebesar 39,73 persen netizen di Indonesia atau sekitar 23.000 dari

total pembicaraan, dengan rata-rata mendapat 461 buzz setiap harinya. Goblin

juga merupakan drama Korea yang banyak di tonton, mersih rating tinggi dan

juga banyak meraih penghargaan

Hiperrealitas juga merupakan sebuah gejala dimana banyak bertebaran

realitas-realitas buatan yang nampak riil diabandiangkan dengan realitas yang

sebenarnya. Hiperrealitas pada akhirnya menciptakan keadaan ketika sesuatu yang

nyata bercampur dengan sesuatu yang abstrak atau keadaan di mana sudah tidak

ada lagi perbedaan mana yang nyata dan mana yang abstrak (Hidayat, Medhy

3

Page 4: D0213049.docx · Web viewyang diartikan sebagai transformasi dari media komunikasi yang difokuskan pada perkembangan teknologi, dari sini media baru dapat dipahami bukan hanya sebagai

Aginta. Kebudayaan Posmodern Menurut Jean Baudrillard (2008). Dengan

prinsip-prinsip hiperrealitas citraan yang disajikkan dalam drama Korea Goblin

merupakan tokoh-tokoh fantasi produk budaya popular di Korea. Drama Korea

yang diproduksi kini benar-benar berpengaruh pada kehidupan masyarakat.

Hiperealitas menyebabkan seseorang terperangkap dalam sesuatu yang

tidak nyata (semu) dan menganggap kondisi demikianlah yang sebenarnya ada

dalam dunia remaja. Sekilas dampak simulasi media untuk membentuk

hiperrealitas ini memang tidak tampak namun realitas semu ini akan sangat

berbahaya. Dampak yang dihasilkan dari hiperreality adalah adanya kepercayaan

masyarakat terhadap kenyataan yang sebenarnya yang bukan kenyataan.

Pembodohan atas realitas ini dapat menghasilkan pola budaya yang mudah meniru

(imitasi) apa yang dilihatnya sebagai sebuah kenyataan di media televisi

direalisasikan dalam kehidupan keseharian serta hiperrealitas membuat

masyarakat berlebihan dalam mengkonsumsi sesuatu bukan karena kebutuhan

ekonominya melaikan karena pengaruh model yang menyebabkan gaya hidup

yang berbeda.

Rumusan Masalah

1. Bagaimana simulasi dalam drama Korea Goblin?

2. Bagaimana pembentukan hiperrealitas melalui tayangan Drama Korea Goblin

di kalangan penontonnya?

Tinjauan Pustaka

1. Komunikasi dan Komunikasi Massa

1.1 Komunikasi

Gerald R. Miller (2010:68) dalam buku Ilmu Komunikasi Suatu pengantar

karangan Dedy Mulyana, bahwa komunikasi terjadi ketika suatu sumber

menyampaikan suatu pesan kepada penerima dengan niat yang disadari

untuk mempengaruhi perilaku penerima. Sedangkan menurrut Everett M.

Rogers (2010: 69) , komunikasi adalah proses diamana suatu ide dialihkan

dari sumber kepada suatu penerima atau lebih, dengan maksud untuk

4

Page 5: D0213049.docx · Web viewyang diartikan sebagai transformasi dari media komunikasi yang difokuskan pada perkembangan teknologi, dari sini media baru dapat dipahami bukan hanya sebagai

mengubah tingkah laku mereka. Harold Laswell, komunikasi adalah “ Who

Says What In Wich Channel To Whom With What Effect? “, berdasarkan

definisi Laswell ini dapat diturunkan menjadi lima unsur komunikasi yang

saling bergantung satu dengan yang lainnya, yaitu sumber ( source), atau

yang sering disebut pengirim ( sender) , pesan . saluran atau media,

penerima ( receiver), dan yang terakhir efek.

1.2 Komunikasi Massa

Komunikasi Massa memiliki beberapa unsur penting, sebagai

Komunikator, Media Massa, Informasi Massa, Gatekeeper, Khalayak, dan

Umpan Balik seperti yang dijelaskan dalam buku Teori Komunikasi

Massa karangan Denis McQuali ( 2011 ), sebagai berikut : Komunikator ,

Media Massa , Informasi ( pesan ) massa, Gatekeeper , Khalayak ( Publik),

Umpan Balik

Dari keenam unsur-unur komunikasi massa , maka dapat diketahui

bahwa komunikasi massa memiliki fungsi, fungsi media yang banyak

dikenal sebagai fungsi informasi, fungsi pendidikan, fungsi control

sosial,dan fungsi hiburan. Tetapi apa yang ada pada tayangan televise ,

fungsi yang banyak ditonjolkan yaitu sebagai fungsi hiburan.

2. New Media

Menurut Terry flew (2002:10) dalam buku New Media teori dan

aplikasi 2011, new media ditekankan pada format isi media yang

dikombinasikan dan kesatuan data baik teks, suara, gambar, dan

sebagainya dalam format digital, kemudian ditambah pada system

penyebarannya yaitu melalui jaringan internet. Pada era sekarang jaringan

internet dapat diakses dengan mudah, cepat, dimana saja dan kapanpun,

masyarakat dapat dengan mudah untuk mendapatkan hiburan atau

informasi, dapat megakses bentuk baru dari media komunikasi, misalnya

untuk mencari hiburan pada tayangan serial drama Korea, dengan cepat

hanya online dan mendownloadnya melalui situs-situs atau website yang

menyediakannya diantaranya : Nontons.tv, Drakorindo.com,

Khsowsubindo.com, Cinemaindo.net , dll

5

Page 6: D0213049.docx · Web viewyang diartikan sebagai transformasi dari media komunikasi yang difokuskan pada perkembangan teknologi, dari sini media baru dapat dipahami bukan hanya sebagai

3. Budaya Populer dan Drama Korea

3.1 Budaya Populer

Budaya pouler merupakan cermin dari dinamika sosial, yang

memiliki kekuatan untuk membentuk dan mencerminkan cita-cita budaya ,

menghasilkan perlwanan dan aktivitas, serta memperesntasikan perubahan

relitas sosial. Menurut Williams , ia memberikan empat makna yakni

popular berarti, : (1) banyak disukai orang; (2) jenis kerja rendahan; (3)

karya yang dilakukan untuk menyenangkan orang; (4) budaya yang

memang dibuat oleh orang untuk dirinya sendiri.(Williams, 1983:237).

Budaya popular Korea atau Korean Wave pada hakikatnya

merupakan fenomena demam Korea yang disebarkan melalui Korean Pop

Culture ke seluruh penjuru dunia lewat media massa, dan yang terbesar

lewat jaringan internet dan televisi. Korean Wave adalah istilah yang

diberikan untuk tersebarnya budaya Pop Korea secara global di seluruh

dunia tidak terkecuali Indonesia, yang secara singkat mengacu pada

globalisasi budaya Korea Selatan (Ulfianti, 2011:1). Sejalan dengan apa

yang diutarakan sebelumya. Korean Wave adalah istilah yang diberikan

untuk tersebarnya budaya pop Korea secara global di berbagai negara di

dunia, (Muti’ah, dkk,iii:2012). Budaya pop korea disebarkan melalui

produk drama korea, film korea boyband dan girlband korea.

3.2 Drama Korea

Drama Korea (Hangul: 한국드라마; RR: hanguk deurama) atau K-

drama mengacu pada drama televisi di Korea, dalam sebuah format

miniseri, yang diproduksi dalam bahasa Korea. Banyak dari drama ini

telah menjadi populer di seluruh Asia dan telah memberi kontribusi pada

fenomena umum dari gelombang Korea, dikenal sebagai "Hallyu (bahasa

Korea: 한류 )". Dalam drama Korea ada dua genre utama drama Korea.

Genre pertama menyerupai opera sabun barat dengan plot pendek,

berakhir cepat, dan tanpa referensi seksual yang jelas, yang biasanya

sering ditemukan di drama barat Drama Korea berlangsung dari 16

episode sampai lebih dari 100 episode (biasanya tidak lebih dari 200

6

Page 7: D0213049.docx · Web viewyang diartikan sebagai transformasi dari media komunikasi yang difokuskan pada perkembangan teknologi, dari sini media baru dapat dipahami bukan hanya sebagai

episode). K-Drama merupakan salah satu bagian dari Hallyu (Korean

wave) bahkan K-Drama merupakan penyebab terjadi Korean wave di

berbagai negara.

Drama Korea Goblin drama garapan Kim Eun Sook bergenre

fantasy romance. dengan 16 episode yang tayang pada slot Jumat-Sabtu

pukul 20:00 KST di salah satu channel Tv berbayar yaitu TVN. Drama

bertema fantasi yang ditulis oleh Kim Eun Sook (Juga menulis drama

DOTS, The Heirs, Secret Garden dan sederet drama fenomenal lainnya)

ini mendapatkan reaksi yang positif dan menjadi demam tersendiri bagi

pencinta drama korea di negara-negara lain. Selain cerita yang menarik,

efek grafis yang baik, soundtrack yang merajai tangga lagu, serta para

aktor tampan dan artis cantik yang tak diragukan lagi kemampuan

aktingnya membuat drama ini semakin dicintai oleh penikmat drama. Dan

tentu saja, drama ini meraup rating yang cukup tinggi untuk ukuran rating

tv berbayar.

4. Teori Simulasi dan Hiperrealitas Jean Baudrillard

Istilah hiperrealitas ini dikemukakan oleh seorang pemikir Prancis

Jean Baudrillard, khususnya dipakai dalam ranah komunikasi menyangkut

media massa di era globalisasi. Jean Baudrillard menggunakan istilah

hiperrealitas untuk menjelaskan perekayasaan makna di dalam media.

Hiperrealitas media menciptakan suatu kondisi sedemikian rupa sehingga

kondisinya semakin remang-remang, kepalsuan-kepalsuan informasi

dianggap sebagai kenyataan, isu-isu yang beredar lebih dipercayai

daripada kebenaran faktual. Sehingga publik akhirnya tidak bisa

membedakan mana kebenaran sejati dengan kebenaran semu.(Piliang,

2005: 222).

Hiperealitas lahir dari sebuah proses simulasi dan simulacra.

Simulasi merupakan adanya proses penciptaan bentuk nyata melalui model

yang tidak ada asal usulnya yang mengakibatkan peleburan atau tidak bisa

membedakan asli atau butan , antara fakta dan citra. Proses simulasi inilah

7

Page 8: D0213049.docx · Web viewyang diartikan sebagai transformasi dari media komunikasi yang difokuskan pada perkembangan teknologi, dari sini media baru dapat dipahami bukan hanya sebagai

yang mendorong terbentuknya ”hiperrealitas” , di mana tidak ada lagi yang

lebih realistis sebab yang nyata tidak lagi menjadi rujukan. Baudrillard

memandang era simulasi dan hiperrealitas sebagai bagian dari rangkaian

fase citraan yang berturut-turut: Merefleksikan kenyataan , Menutupi atau

menyesatkan kenyataan, Menutupi ketiadaan dalam kenyataan dan

Menunjukkan tidak adanya hubungan diantara kenyataan manapun dan

murni hanya sebagai simulacrum.

Simuarcum adalah ruang dimana proses simulasi berlangsung dan

ditandai oleh kehadiran teknologi beserta bentuk kecanggihan didalamnya.

Keadaan dari hiperrealitas ini membuat masyarakat modern ini menjadi

berlebihan dalam pola mengkonsumsi sesuatu yang tidak jelas esensinya.

Jean Baudrillard dalam hal ini menyebut sebagai hiperrealitas sebagai

akibat budaya konsumsi yang terus menerus dikalangan masyarakat

sebagai sebuah bentuk perkembangan disegala aspek kehidupan manusia

yang telah menjerumuskan masyarakat sekarang dalam dunia

komsumerisme.

Baudrillard mengungkapkan bahwa apa yang direproduksi dalam

dunia hiperealitas tidak saja realiitas yang hilang, tetapi juga dunia tak

nyata,hanya fantasi, mimpi, ilusi, halusinasi atau science fiction. Khalayak

seolah-olah berada diantara realitas dan ilusi, tidak bisa membedakan yang

nyata dan apa yang ada di layar. Hiperrealitas pada akhirnya menciptakan

keadaan ketika sesuatu yang nyata bercampur dengan sesuatu yang abstrak

atau keadaan di mana sudah tidak ada lagi perbedaan mana yang nyata dan

mana yang abstrak (Hidayat, Medhy Aginta. Kebudayaan Posmodern

Menurut Jean Baudrillard (2008). Internet, televisi, dan beberapa produk

teknologi lainnya mensimulasikan segala hal yang mencakup semuanya

(kebahagiaan, hiburan, dan kesenangan), Baudrillard menyebut hal ini

dengan hiperrealitas, di mana kita dijejali dengan citra dan informasi.

Media membuat penonton tengelam pada hiperrealitas, Drama Korea

sebagai media kekuatannya terletak pada kemampuan untuk merekayasa

8

Page 9: D0213049.docx · Web viewyang diartikan sebagai transformasi dari media komunikasi yang difokuskan pada perkembangan teknologi, dari sini media baru dapat dipahami bukan hanya sebagai

fakta dan fiksi, realitas dan ilusi, kebenaran dan kepalsuan, dapat

menghayati isi cerita dalam drama

Metodologi Penelitian

Penelitian ini dikategorikan dalam penelitian deskriptif kualitatif, dengan

menggunakan model pengambilan purposive sampling. Teknik pengambilan data

menggunanan observasi non partisipan, wawancara mendalam (in-depth

interview) dan studi pustaka. Sedangkan teknik analisis data dalam penelitian ini

menggunakan model analisis interaktif dari Miles dan Huberman, yaitu (1)

pengumpulan data, (2) reduksi data, (3) penyajian data, (4) penarikan kesimpulan.

Sajian Data

A. SIMULASI DAN SIMUKARCA DALAM DRAMA KOREA

“GOBLIN”

Simulasi merupakan suatu proses, menghasilkan simulacra. Dalam

dunia pascamoderen dengan kecangihan teknologinya mampu

menciptakan berbagai tanda, namun tanda tercebut berupa citraan. Citraan

merupakan segala sesuatu yang tampak oleh indra namun tidak

mempunyai realitas yang real (Selu,2011:128). Bentuk media massa

seperti drama Korea mampu menciptakan simulasi , menciptakan realitas

dan membentuk hiperrealitas. Simulasi sendiri dapat dipahami sebagai

sebuah tindakan meniru, dengan tujuan untuk menipu, atau semacam

teknik meniru dari beberapa situasi. Simulasi sendiri tidak harus sesuatu

yang rasional. Simulasi dapat merupakan sesuatu yang menarik minat

manusia, termasuk tokoh khayalan. Simulasi juga akan sebar luaskan

kepada masyarakat melalui media secara berulang sehingga konsep

tersebut tertanam di dalam benak masyarakat. Simulasi merupakan usaha

untuk mengubah gambaran tentang dunia nyata melalui imajinasi. Proses

simulasi membawa masyarakat untuk menikmati sebuah realitas, padahal

realitas itu hanya realitas semu atau kosong belaka. Realitas yang

9

Page 10: D0213049.docx · Web viewyang diartikan sebagai transformasi dari media komunikasi yang difokuskan pada perkembangan teknologi, dari sini media baru dapat dipahami bukan hanya sebagai

direkayasa yang disampaikan oleh media massa dan terus menerus

disampaikan dan dikonsumsi oleh penonton. Dalam drama Korea

“Goblin” simulasi muncul pada cerita dan tayangan dalam drama tersebut.

Dalam drama Korea “Goblin” berbagai unsur: fiksi dan fakta, realitas dan

ilusi, kebenaran dan kepalsuan, yang direkayasa, disimulasi sehingga

seolah-olah nyata. Simulacra adalah ruang tempat mekanisme simulasi

berlangsung. Manusia, dalam konteks perkembangan teknologi virtual,

mengutip Baudrillard, dijebak dalam ruang realitas yang dianggapnya

nyata, padahal sesungguhnya semu dan penuh rekayasa. Dalam dunia

simulasi ini, bukan realitas yang menjadi cermin kenyataan, melainkan

model-model (Baudrillard, 1987).

1. Merefleksikan kenyataan atau realitas dasar

Drama “Goblin” memberikan gambaran mengenai dua dunia, yaitu

dunia manusia biasa dan dunia tentang kehidupan makhluk yang dikutuk

menjadi siluman dan dewa. Drama ini mengambarkan kehidupan atau

simualasi dari kenyataan. Drama ini mengisahkan kehiduapan yang

berlatar belakang di Negara Korea, yang menceritakan kehidupan Eun Tak

dan Sunny yang menunjukan kehidupan sosial masyarakat Korea seperti

layaknya masyarakat Korea biasa yang sekolah dan juga bekerja. Jadi

drama ini merupakan refleksi dari kenyataan kehidupan masyarakat Korea

2. Memiliki arti lain atau menutupi atau menyesatkan kenyataan

Beberapa bagian dalam drama ini merupakan refleksi dari

kenyataan, namun ada beberapa hal yang berbeda dari kenyataan atau

realitas yang sebenarnya seperti adanya “Goblin”, hantu, malaikat maut.

“Goblin” merupakan cerita rakyat dari masyarakat Korea, atau dalam

Korea meneyebutnya dokabbie makhluk mitologi atau transformasi dari

benda mati yang berwujud menakutkan dan juga kerdil, suka mencuri dan

juga memiliki tongkat sihir. Tetapi dalam drama “Goblin”, “Goblin”

merupakan kutukan dari jendral zaman Goreyo yang dikutuk, “Goblin”

dalam drama ini berwujud manuisa tinggi dan rupawan, samasekali tidak

10

Page 11: D0213049.docx · Web viewyang diartikan sebagai transformasi dari media komunikasi yang difokuskan pada perkembangan teknologi, dari sini media baru dapat dipahami bukan hanya sebagai

menakutkan bahkan berwujud pria menawan dan juga bukan tongkat sihir

melainkan pedang yang tertancap di tubuhnya. Hantu, malaikat maut pada

kenyataannya ada tetapi sebagai manusia kita tidak mungkin bisa

melihatnya, tetapi dalam drama Eun Tak bisa berinteraksi dan

berhubungan dengan hantu dan malaikat maut, dan juga malaikt maut

digambarkan sosok manusia yang tampan dengan topi vedora. Hal ini

tentu menutupi bahkan tidak berdasarkan realitas nyata dan cenderung

menyesatkan.

3. Menyamarkan fakta atau menutupi ketiadaan dalam kenyataan

Dalam kehidupan nyata untuk pergi ke suatu Negara kita

membutuhkan waktu dan harus menaiki transportasi udara, akan tetapi

dalam drama “Goblin” Eun Tak dan “Goblin” bisa pergi ke Kanada hanya

lewat sebuah pintu ajaib. Selain itu dalam drama ini cara memangil dan

jika ingin bertemu kekasihnya hanya dengan meniup lilin atau korek api

maka dengan sekejap bisa langsung bertemu, tentunya dalam kehidupan

nyata sesungguhnya untuk bertemu dengan seseorang kita harus mengirim

pesan lewat handpone, tetapi di Drama Korea Eun Tak hanya meniup api.

4. Sesuatu yang tidak terjadi di kehidupan nyata dan murni hanya

sebagai simulrcum.

Simulasi pada drama “Goblin” sesungguhnya tidak dapat

ditemukan dalam kehidupan nyata, misalnya hidup ratusan tahun,

berengkarnasi, berpindah Negara dengan pintu ajaib, mempunyai kekutan

dapat menghentikan waktu, bahaya dan kematian dan malaikat maut yang

dapat berkomukasi dan mejalin hubungan dengan manusia serta berubah

wujud, itu semua tidak bisa ditemukan dalam kehidupan nyata sehingga

drama “Goblin” dapat dikatakan sebagai sebuah simulacrum. Simulacrum

tempat berlangsungnya simulasi.

11

Page 12: D0213049.docx · Web viewyang diartikan sebagai transformasi dari media komunikasi yang difokuskan pada perkembangan teknologi, dari sini media baru dapat dipahami bukan hanya sebagai

B. HIPEREALITAS DRAMA KOREA “GOBLIN” TERHADAP

PENONTON

Kemunculan drama-drama Korea juga menunjukakn adanya

gejala Hiperrealitas, yaitu adanya perubahan yang terjadi pada

masyarakat yang disebut Jean Beaudrilard dengan masyarakat simulasi

dan hiperrealitas. Jean Beaudrilard mengembangkan pemikirannya

yang dapat digunakan untuk melihat realitas dalam masyarakat

modern, terutama masyarakat consumer. Pemikiran Baudrillard

tentang dunia simulasi dan gagasan tentang fenomena hiperrealitas

dapat dijelaskan secara gamblang dan menjadi mudah dipahami

melalui film, televisi dan video game (Baudrillard, 1987: 33). Dalam

wacana televisi, film dan video game mengikuti Baudrillard

berkumpul berbagai unsur: fiksi dan fakta, realitas dan ilusi, kebenaran

dan kepalsuan, yang direkayasa, disimulasi sehingga seolah-olah

nyata. Menurut Baudrillard inilah lukisan dari kehidupan

postmodernisme yaitu terbentuknya hiperrealitas (realitas semu).

1. Menggangap bahwa kejadian yang ditampilkan merupakan

suatu realitas atau berasal dari kenyataan.

Dampak yang dihasilkan dari hiperrealitas adalah adanya

kepercayaan masyarakat terhadap kenyataan yang sebenarnya

bukan kenyataan. Runtuhnya realitas karena rekayasa model-model

(citraa, halusianasi,simulasi) yang diangap lebih nyata dari realitas

yang sebenarnya, sehingga perbedaan keduanya menjadi kabur

(Piliang dalam Selu, 2011:121). Seperti yang dikatan oleh

informan bahwa mereka beranggapan bahwa apa yang ada dalam

drama “Goblin” merupakan ceriminan kehidupan serta cerita

rakyat orang Korea.

-Goblin berasal dari legenda orang Korea

12

Page 13: D0213049.docx · Web viewyang diartikan sebagai transformasi dari media komunikasi yang difokuskan pada perkembangan teknologi, dari sini media baru dapat dipahami bukan hanya sebagai

Dari beberapa informan mereka percaya bahwa “Goblin”

itu merupakan mitos , legenda atau cerita rakyat orang Korea,

Konsep Baudrillard mengenai simulasi adalah tentang penciptaan

kenyataan melalui model konseptual atau sesuatu yang

berhubungan dengan “mitos” yang tidak dapat dilihat kebenaran

dan kenyataannya. Model ini menjadi faktor penentu pandangan

kita tentang kenyataan, seperti yang Mayang

“Kalo aku baca beberapa sumber, sebenernya bukan goblin namanya tapi dokkaebi. Dokkaebi itu salah satu mitos makhluk halus di korea. Jadi mitos Dokkaebi emang beneran ada, tapi kalo yg kehidupan zaman goryo aku pikir itu cuma tambahan fiksi aja dari penulisnya.” (Mayang, 20 Juli 2017)

-Reingkarnasi

Selain itu informan juga mengungkapkan bahwa cerita

rengkarnasi yang di alami Kim Shin , raja Waang Yoo dan Ratu

Kim Sun itu benar-benar mencerminkan realitas yang terjadi

diKorea .

“Kalo rengkarnasi kan menang kepercayaannya masyarakat korea gitu , ya Cuma aku jadi emang iya gitu ya gitu sih jadi punya pandangan juga oh prosesnya egkarnasi gitu ya.” (Fafah, 14 Juli 2017)

-Adanya Hantu (Makhluk Halus) dan manusia dapat

berinteraksi

Hiperrealitas adalah hasil rekayasa banyak tayangan-

tanyangan yang menampilkan cahaya, pada setasiun Tv cahaya

tersebuut dinamai hantu (Selu, 2011:127) itu merupakan tanda

adanya hantu, penampakan atau roh yang bergentayangan. Padahal

keaslian adanya hantu masih terus dipertanyakan. Media massa

dengan segala tipu muslihatnya mampu meyakinkan sebagian

besar bahwa itu hantu (Selu,2011:128). Perdedaan mana yang yang

benar, ilusi, fantasi sangat tipis , maka dari data yang diperoleh

13

Page 14: D0213049.docx · Web viewyang diartikan sebagai transformasi dari media komunikasi yang difokuskan pada perkembangan teknologi, dari sini media baru dapat dipahami bukan hanya sebagai

infoman pun percaya adanya Hantu, dan manusia juga dapat

berinteraksi dengan mahkluk yang tidak terlihat seperti yang ada

dalam tayangan drama ini.

“Klo maslaah makhluk halus aku percaya kan di sini juga

memang ada yang bisa lihat makhluk halus. Ya pas cerita ji

eun tak bisa melihat dengan hantu kan di dunia nyata juga

ada kan orang yang bisa melihat hantu” (Rizka, 21 Juli

2017)

-Kehidupan EunTak yang malang

Dalam masyarakat Global peran televise sanagt besar,

sebuah tayangan informasi disiarkan dengan format memikat dan

medramatisir. Dalam tayangan darama “Goblin” ini tokoh utama Ji

Eun Tak meruapakan gadis yang sejak kecil sudah hidup menderita

karena Ibunya meninggal serta ia hidup degan bibinya dan dua

saudara tirinya. Realitas yang ada di media inilah membuat

pandagan penoton bahwa apa yang terjadi dengan Eun Tak juga

dapat terjadi dan dialami oleh masyarakat lain.

“yang Ji Eun Tak , kan di situ dia diceritakan jadi orang

miskin, tapi karena dia pinter dia bisa ketrima di universitas

dia bisa milih sesuai yang ia pilih , kalo menurutku di dunia

nyata memang begitu yaa.” (Lela, 20 Juli 2017)

Dampak yang dihasilkan dari hiperrealitas ini adanya

kepercayaan masyarakat khusunya penonton drama Goblin terhadap

kenyataan yang sebenarnya bukan kenyataan.

2. Ikut melebur pada layar virtual melalui fantasi yang

berlebihan

Penonton yang menonton tayangan drama “Goblin” ini

tidak hanya percaya apa yang ditontonkan adalah kenyataan akan

14

Page 15: D0213049.docx · Web viewyang diartikan sebagai transformasi dari media komunikasi yang difokuskan pada perkembangan teknologi, dari sini media baru dapat dipahami bukan hanya sebagai

tetapi juga telah ikut terlibat di dalamnya. Cerita yang disuguhkan

mengharu biru, menggembirakan dan menghibur dapat melarutkan

pula perasaan dari penontonnyaa. Fakta ini ditunjukan oleh

kenyataan baru bahwa drama Korea “Goblin” telah menjadi

pelarian seseorang dari kenyataan kehidupannya sehari-hari yang

penuh dengan permasalahan yang semakin menghimpit. Sehingga

merekapun terlibat dan larut dalam dunia televisi dan begitupun

sebaliknya.

“Itu kan ceritanya tragis banget ya antara goblin dan

pengantinya mereka saling sayang saling cinta tapi salah

satu harus mati jadi pas nonton itu sedih banget jadi ikut

nangis. Pas goblin ditarik pedangnya sama ji eun tak terus

jadi abu itu sedih banget aku ikut nangis lama , dewanya

ikut nagis , jadi terbawa-bawa gitu terus pas ji eun tak pas

disiksa sama bibinya itu ceritanya sedih , aku nontonnya

ikut sedih ikut nangis. Pokoknya klo sedih ikut sedih pas

baper juga baper gitu.” (Rizka, 21 Juli 2017)

Para penonton telah melibatkan emosi dan perasaannya ketika

menonton drama “Goblin”, mereka merasakan adanya perasaan

senang, kecewa dan marah saat menonton drama tersebut, bila

dikaitkan dengan teori dan konsep Jean Baudrilard hal ini

mencerminkan terbentuknya hiperrealitas

3. Terbentuknya pola pikir yang serba instans, membentuk

manusia yang segala sesuatunya ingin cepat saji.

Keadaan hiperrealitas ini membentuk pola pikir yang serba

instan serta menjadi berlebihan di dalam mengkonsumsi sesuatu

yang menurut penulis tidak jelas essensinya. Sebagian besar

penonton drama Korea tersebut mengkonsumsi segala hal yang

berkaitan dengan Korea dan “Goblin” karena pengaruh model-

model dari simulasi yang menyebabkan perubahan pada lifestyle

15

Page 16: D0213049.docx · Web viewyang diartikan sebagai transformasi dari media komunikasi yang difokuskan pada perkembangan teknologi, dari sini media baru dapat dipahami bukan hanya sebagai

dan nilai-nilai yang mereka junjung tinggi. Drama Korea “Goblin”

telah menjadi realitas mereka salah satu informan penelitian yang

memiliki boneka yang menjadi iconic drama “Goblin”. Bahkan

Tika mendapatkan boneka Goblin itu langsung dari Korea, dikirim

ke Solo. “Uhhh itu aku dapet 1 boneka goblin dari temenku yg di

korea.” (Tika, 15 Juli 2017)

Mainan ini adalah citraan lain yang sedang ditanamkan ke

dalam pikiran masyarakat bahwa “Goblin” adalah sosok yang

pantas dijadikan role model. Mainan atau boneka Goblin tidak lagi

memiliki nilai guna dan nilai tukar, karena memang hanya

diciptakan unutk memenuhi nilai tanda dan nilai simbol saja.

Dengan membeli boneka “Goblin” seseorang bisa mendapatkan

status sebagai penyuka drama pengikut budaya pop. Sebagian

besar Penonton drama “Goblin” tersebut mengkonsumsi segala hal

yang berkaitan dengan “Goblin” karena pengaruh model-model

dari simulasi yang menyebabkan perubahan pada lifestyle dan

nilai-nilai yang mereka junjung tinggi, “Goblin” telah menjadi

realitas baru bagi mereka. Selain mengkonsusmsi sesuatu yang

tidak ada esensinya para penoton drama “Goblin” juga memiliki

pemikiran yang tidak realistis atau berhayal.

Seperti yang diungkapkan oleh informan “Setelah aku

nonton goblin aku pengen semua adegan di goblin itu kenyataan

kayak cuma meniup lilin bisa langsung pasangannya dateng bisa

langsung ketemu. Pengen kayak cuma buka pintu aaja bisa

keliling ke luar negeri. Aku pengn punya pacar gitu yang

romantic.” (Devi, 15 Juli 2017)

Keadaan hiperrealitas ini lah yang membuat penonton

berlebihan dalm mengkonsumsi sesuatu secara berlebihan dan tidak

ada ensensinya dan mempunyai pemikiran yang tidak rasional, serba

instan dan cepat.

16

Page 17: D0213049.docx · Web viewyang diartikan sebagai transformasi dari media komunikasi yang difokuskan pada perkembangan teknologi, dari sini media baru dapat dipahami bukan hanya sebagai

4. Menghadirkan dlm kehidupan nyata dengan tindakan dan

kegiatan yang irasional

Pembodohan atas realitas ini dapat menghasilkan pola

budaya yang mudah meniru (imitasi) apa yang dilihatnya sebagai

sebuah kenyataan di media televisi direalisasikan dalam kehidupan

keseharian. Dari data informan banyak yang mengikuti dan meniru

seperti yang di simulasikan dalam drama “Goblin” . Tidak hanya

meniru apa yang ada di dalam tayangan drama “Goblin”, para

penonton khususnya informan juga mengatakan bahwa foto hasil

edit kekinian ala “Goblin juga mereka ungah di media sosial

mereka khususnya instagram. Media sosial menjadi ruang terbaik

hiperrealitas, karena dapat merepresentasikan hiperrealitas menjadi

realitas palsu (Sarup, 2003: 293).

Seperti apa yang dikatakan informan, mereka mencari tau

apa yang sedang kekinian dan trend dari drama “Goblin” ini. ” Aku

ikut-ikut edit ketusuk pedang kayak goblin itu yang aku tiru. Aku

uplod diinstagram gitu , Kan setelah drama goblin bermunculan

edit-edit kayak gitu. Aku lagi kkn nah teman-teman ku juga suka

yaudah aku sma temen-teman jadi kepo itu ngeditnya pakai apa

yaudah nemu lagsung edit dan uplod di ig.” (Lela, 20 Juli 2017)

Tidak hanya megikuti tred kekinian pedang Goblin, infroman

bahkan mengatakan ikut mempunyai pasangan yang berbeda umur

seperti halnya pemeran Eun Tak dan Ahjussi Goblin. “iya sih aku

sama pasangan ku juga beda jauh umurnya ya gara-gara drama

goblin ini jadi ngilangin image jelek hubungan yang beda usia , ya

gak maslah sih gitu. Hhehe ya cueknya sama kan kalo di drama

kadang si eun tak menghungi goblin tapi gak dibales ya ya gitu

pasangan ku juga gitu .(Rizka, 21 Juli 2017)

Selain mempunyai pacar yang berbeda umur para informan,

juga cenderung mengikuti kabar dan juga ingin tahu kehidupan

para pemain drama “Goblin”. Hal itu menunjukkan bahwa adanya

17

Page 18: D0213049.docx · Web viewyang diartikan sebagai transformasi dari media komunikasi yang difokuskan pada perkembangan teknologi, dari sini media baru dapat dipahami bukan hanya sebagai

hiperrealitas yaitu berubahnya pandangan tentang waktu, apa yang

dialami dan iformasi dari Korea setiap informan dapat mengetahui

berita tersebut hanya dengan melihat media sosial atau official

account yang mereka ikuti.

“Kepo aktor aktris nya , aku selalu ngikuti makanya pas awal

kim sho hyun uplod fto di ig dia pakai baju kerajaan trus aku

drama apa tapi aku ttp ngikuti sealau kan aku bias sejati ( fans

fanatik), duhh deket banget appalagi ya pernah tiba2 ada yg

namanya kim sho hyun follow ig aku duh dpnya sama aku

seneng banget sampe aku screen soot ya mbk sampe mau tak

uoplod tak buat story eh ternya akun itu hanya fans base, Trus

klo dia uplod aku ya like aku ya komen gt huhu meskipun gak

pernah direspon.” (Devi, 15 Juli 2017)

Pada akhirnya drama Goblin bukan sekedar hiburan saja

tetapi sudah berubah menjadi akivitas semu sehari-hari, dengan

meniru sesuatu yang ada dalam drama dan juga membuat penonton

menjadi megikuti hal-hal yang berkaitan dengan actor dan

dramanya.

Kesimpulan

Berdasarkan data wawancara dan observasi non partisipan yang

peneliti lakukan dan dievaluasi dengan model analisis interaktif dengan

pendekatan kualitatif dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1. Dalam tayangan drama Korea goblin ada empat simulasi:, bahwa

drama Korea Goblin merupakan drama yang mencerimkan atau

merefleksikan kehidupan sosial masyarakat Korea, menciptakan

rekayasa realitas yang tampak seperti nyata, menampilkan fantasi dan

khayalan cerita dengan kecanggihan teknologi modern, sehingga

penonton seakan-akan percaya bahwa simulasi dalam tayangan drama

Goblin nyata dan drama Goblin sebenarnya menawarkan sesuatu

18

Page 19: D0213049.docx · Web viewyang diartikan sebagai transformasi dari media komunikasi yang difokuskan pada perkembangan teknologi, dari sini media baru dapat dipahami bukan hanya sebagai

yang sebetulnya tidak ada didunia nyata. Drama Korea Goblin hanya

sebuah simulacrum, yaitu ruang dimana proses simulasi berlangsung,

menciptakan simulasi yang dapat memanjakan penontonnya.

2. Dari simulasi- simulasi dalam tayangan drama Korea Goblin,

mempunyai dampak tersendiri terhadap penontonnya, yaitu adanya

Hiperrealitas yang berlebihan dalam menganggap cerita yang di

tampilkan dalam tayangan drama Goblin merupakan sesuatu yang

nyata atau kenyataan dari masyarakat Korea, penonton cenderung

menikmati drama dengan melibatkan perasaan dan emosinya, seperti

merasa sedih, nangis dan bahagia seolah mereka mengalami dan

terlibat seperti dalam tayang drama, dan juga Hyperealitas yang

berlebihan dalam menginginkan aksesoris dalam Drama tersebut,

mulai dari ingin memiliki semua barang yang berkaitan dengan

drama Goblin seperti boneka Goblin dan syal dan berlanjut pada

perilaku imitasi yang berupa mengedit foto tertusuk pedang dan

cenderung berfikiran yang tidak rasional seperti berhayal memiliki

pasangan dengan wajah yang rupawan seperti pemain drama Goblin

dan juga ikut memperagakan adegan daalam drama dikehidupan

kesehariannya. Selain itu penonton mengikuti kegiatan aktor drama

tersebut, memiliki rasa ingin tahu yang lebih terhadap kehidupan

pribadi idola mereka.

Saran

Beberapa saran yang dapat penulis berikan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk penelitian skripsi selanjutnya, penelitian ini bisa dijadikan

acuan untuk melakukan sebuah penelitian yang bertemakan budaya

popular yang kedepannya semakin bervariasi dan tentunya menarik

untuk diteliti, mengingat budaya Populer Korea sangat berkembang

dan digembari berbagai kalangan.

2. Bagi masyarakat umum khusunya para pnonton dan pecinta drama

Korea, dalam menonton drama Korea seharusnya tidak berlebihan dan

19

Page 20: D0213049.docx · Web viewyang diartikan sebagai transformasi dari media komunikasi yang difokuskan pada perkembangan teknologi, dari sini media baru dapat dipahami bukan hanya sebagai

juga kita dapat membedakan mana yang adegan dalam drama yang

nyata dan fantasi. Penonton seharusnya lebih memahami isi dari

tayangan yang ditampilkan oleh media massa khusunya drama Korea

Sehingga kedepannya tidak mudah terpengaruh dan meniru apa yang

ada dalam tayangan itu sendiri agar tidak menimbulkan efek

hiperrealitas.

Daftar PustakaBungin, Burhan. (2008). Kontruksi Sosial Media Massa. Jakarta: Kencana.Demartoto. Argyo. (2009). Membedah Gagasan Post Modernisme Baudrillard:

Realitas Semu. UNS. ISSN : 0215 - 9635, Vol 21. No. 2 Tahun 2009.Euny, Hong. (2016). Korean Cool , Strategi Inovatif di Balik Ledakan Budaya

Pop Korea. Bandung: Bentang.Fisher, Aubery. (1986). Teori- Teori Komunikasi. Bandung : Remaja Karya.Hastari Chati, dkk. (2011). New Media : Teori dan Aplikasi. Surakarta: Lindu

Pustaka.Hidayat, Medhy. (2008). Kebudayaan Posmoderen Menurut Jean Baudrillard.. McQuail, Denis. (2005). Teori Komunikasi Massa Suatu Pengantar. Jakarta:

Aksara Pratama.Morissan. (2013). Teori Komunikasi : Individu Hingga Massa. Jakarta: Kencana.Nurudin. (2003). Komunikasi Massa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.Selo,Margaretha. (2011). Hiperrealitas dan Ruang Publik. Jakarta: Penaku.Yasraf A Pillang. (1998). Dunia Yang Dilipat. Bandung: Penerbit Mizan.

20