rukhsah dalam ibadah sebagai akibat dari trauma pelvis dan dampak psikososial terhadap remaja
DESCRIPTION
trauma pelvisTRANSCRIPT
“RUKHSAH DALAM IBADAH SEBAGAI AKIBAT DARI TRAUMA PELVIS DAN DAMPAK PSIKOSOSIAL
TERHADAP REMAJA”
LAPORAN KASUS BLOK ELEKTIF
DISUSUN OLEH:
Nandika Nurfitria 1102009201Ratri Ramadianingtyas 1102009238
Kelompok 2 Bidang Kepeminatan Trauma
TUTOR :
dr. Artha Budi Susila Duarsa, M.kes
UNIVERSITAS YARSI
2012
ABSTACT
Background. Emergency consist of trauma and non-trauma. One of example for trauma is traffic accidents. Traffic accidents usually happen in developing country. Most of traffc accidents in Indonesia happened because of motocycle crash like in this case.
Case presentation. A teenager (16 years old) named by miss.A come to emergency room in Bhakti Yudha General Hospital, Depok because of her motorcycle crash. She was driver on that crash. When it happened, she felt in the street with sit-position. And in the same time, a car came and she just pushed under the car. From that, people in that location bring her to hospital and get in to emergency room. She came with combustion in her right hand, and pain in her pelvic. She cried because she has some exam to pass her senior high school soon.
Discussion. Trauma cause physical and psychological injury. Due to age of patient, she may have some psychological reaction. One reason for that, is because she has exam but there is any injury in her right hand. To handle this situation, better to ask that patient for have some pray to her self and patient. From that, we learned that religion also important in this case.
Conclusion. Traffic accident is one of the most reason of death in developing country. Traffic accident not only caused physical injury but also psychological injury. It needs special treatment to handle this case. We also need some religious studies for treat this case and how this patient do some pray with this condition.
Keywords: emergency, accident, trauma, psychological, religion
2
LATAR BELAKANG
Kecelakaan lalu lintas bisa terjadi kapan saja. Namun terdapat saat saat
dimana angka kecelakaan cukup tinggi. Seperti saat musim mudik lebaran maupun
saat musim hujan. Menurut pakar pakar transportasi, Djoko Setyowarno sekitar 70
persen kecelakaan lalu lintas (lakalantas) di jalan raya di Indonesia disebabkan oleh
para pengendara sepeda motor. Data Kepolisian RI tahun 2009 menyebutkan,
sepanjang tahun itu terjadi sedikitnya 57.726 kasus kecelakaan di jalan raya.
(Departemen Perhubungan, 2010) .
Kecelakaan lalu lintas dapat menimbulkan berbagai cedera baik ringan
maupun berat. Cedera kepala, trauma toraks, fraktur extremitas, dan perdarahan
merupakan hal yang biasa ditemukan pada korban kecelakaan lalu lintas. Pada
kecelakaan sepeda motor, sering terjadi trauma pelvis hal ini disebabkan oleh
kemungkinan terjatuh pada posisi duduk.
Kecelakaan lalu lintas bukan hanya menyebabkan cedera atau luka secara
fisik, namun dapat meninggalkan sisa-sisa ingatan atau memori yang dapat
menimbulkan gangguan pada remaja kelas 3 SMA yang akan melaksanakan UN pada
April mendatang. Kekhawatiran akan terganggunya persiapan UN yang dikarenakan
kecelakaan dapat menjadi beban psikis yang berat.
Selain terganggunya persiapan UN, remaja tersebut juga tidak dapat
melakukan ibadah shalat sebagaimana mestinya. Menurut Islam, dalam keadaan sakit
maka Allah memberikan keringanan dalam menjalankan ibadah (rukhsah).
3
PRESENTASI KASUS
RINGKASAN RIWAYAT KLINIK
Identitas pasien
1. Nama : Nn. A
2. Jenis Kelamin : Perempuan
3. Umur : 16 tahun
4. Alamat : Sawangan, Depok.
5. Status kawin : Belum kawin
6. Agama : Islam
7. Pekerjaan : Pelajar
Anamnesis
1. Keluhan Utama
Nyeri tekan pinggul, Luka bakar pada lengan bawah kanan, dan luka luka
superfisial
2. Keluhan Tambahan
-
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Mengalami kecelakaan sepeda motor dimana motor tergelincir dan korban
masuk kedalam kolong mobil yang sedang melintas. Nyeri tekan pada pinggul ,
combusio pada lengan bawah sebelah kanan yang diduga terkena knalpot, serta
luka luka ringan disuperfisial.Pingsan negatif, muntah negatif.
4. Riwayat penyakit keluarga
-
Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum : sedang
b. Kesadaran : composmentis
4
c. Tanda Vital : c/p dalam batas normal, abdomen dalam batas
normal.
Diagnosis Kerja
Cedera Kepala Ringan, Trauma Pelvis, Combustio derajat 1
Penatalaksanaan
1. Penanganan pada luka bakar dengan Burnazin cream, lalu ditutup kasa
2. Pemberian analgetik dengan Remopain IV
3. Pemberian Tetanus Toksoid IM
4. Penanganan luka superfisial dengan alkohol dan povidone iodine, lalu ditutup
kassa
5. Rontgen pelvic dan thorax
6. Infus Ringer Laktat
7. Observasi selama 2 hari untuk melihat kemungkinan adanya gangguan neurologis.
Prognosis
Dubia ad bonam
Pada kasus ini penulis mendapatkan data dari rekam medis pasien yang telah
diizinkan oleh dokter untuk mencatatnya.
5
DISKUSI
Gawat darurat adalah suatu keadaan yang terjadinya mendadak mengakibatkan
seseorang atau banyak orang memerlukan penanganan / pertolongan segera dalam arti
pertolongan secara cermat, tepat dan cepat. Apabila tidak mendapatkan pertolongan
semacam itu maka korban akan mati atau cacat / kehilangan anggota tubuhnya seumur
hidup.
Trauma adalah cedera salah satu anggota fisik baik secara langsung ataupun
tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologi yaitu gangguan fisik,
kognitif, fungsi psikososial baik temporer maupun permanen ( PERDOSSI, 2006
dalam Asrini, 2008 ).
Trauma juga bisa diartikan sebagai luka/ syok/kekagetan yang disebabkan
oleh peristiwa yang terjadi secara tiba-tiba, di luar kendali, menekan, sangat
menyakitkan, membahayakan kehidupan, dan mengancam jiwa. (Yayasan Pulih,
2011).
Untuk kasus trauma khususnya trauma akibat kecelakaan, korban harus
mendapat pertolongan menyeluruh, yaitu pemeriksaan fisik maupun pengumpulan
informasi tentang korban. Pemeriksaan fisik dilakukan terlebih dahulu, baru
kemudian pengumpulan informasi mengenai riwayat korban. Secara keseluruhan
pemberian pertolongan pertama pada korban medis dan trauma melalui tahap-tahap
berikut ini:
› penilaian keadaan
› penilaian dini
› pemeriksaan fisik
› pemeriksaan tanda vital
› pengumpulan informasi riwayat korban
› pemeriksaan berkala
6
› pelaporan
Sedangkan psikososial adalah suatu keadaan dimana menekankan pada
hubungan yang dekat dan dinamis, dekat antara aspek psikologis dari pengalaman
seseorang (pemikiran, perasaan, tingkah laku) dan pengalaman sosial yang ada
disekelilingnya (hubungan dengan orang lain, tradisi, budaya), yang secara terus
menerus saling mempengaruhi satu sama lain. (Yayasan Pulih, 2011). Psikososial
juga bisa diartikan sebagai setiap perubahan dalam kehidupan individu, baik yang
bersifat psikologik maupun sosial yang mempunyai pengaruh timbal balik.
Pada studi kasus ini, kami melampirkan pandangan mengenai kasus dari segi
klinis, psikososial, dan agama Islam.
Permasalahan Klinis
Permasalahan klinis yang terjadi pada pasien adalah :
- Cedera Kepala Ringan (CKR)
- Trauma Pelvis
- Combustio derajat 1
A. Cedera Kepala Ringan
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan
utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu
lintas (Mansjoer, 2007: 3).
Di dunia diperkirakan sebanyak 1,2 juta jiwa nyawa melayang setiap
tahunnya sebagai akibat kecelakaan bermotor, diperkirakan sekitar 0,3-0,5%
mengalami cedera kepala. Di Indonesia diperkirakan lebih dari 80% pengendara
kendaraan mengalami resiko kecelakaan. 18% diantaranya mengalami cedera kepala
dan kecederaan permanen, tingginya angka kecelakaan lalu lintas tidak terlepas dari
makin mudahnya orang untuk memiliki kendaraan bermotor dan kecelakaan manusia.
(Shell, 2008)
Pengertian
7
Cedera kepala ringan adalah hilangnya fungsi neurology atau menurunnya
kesadaran tanpa menyebabkan kerusakan lainnya (Smeltzer, 2001:2211).
Cedera kepala ringan adalah trauma kepala dengan GCS: 15 (sadar penuh)
tidak ada kehilangan kesadaran, mengeluh pusing dan nyeri kepala, hematoma,
laserasi dan abrasi (Mansjoer, 2000:4).
Etiologi
Trauma tumpul : Kecepatan tinggi (tabrakan motor dan mobil) kecepatan
rendah (terjatuh, dipukul)
Trauma tembus : Luka tembus peluru dari cedera tembus lainnya
(Mansjoer, 2000: 3)
Klasifikasi Klinis
Cedera kepala ringan
CGS : 15, Tidak ada konkusi, pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing,
pasien dapat menderita abrasi, laserasi atau hematoma kulit kepala.
Cedera kepala sedang
CGS : 9-14, konkusi, amnesia pasca trauma, muntah, tanda fraktur tengkorak,
kejang.
Cedera kepala berat
GCS : 3-8, penurunan derajat kesadaran secara progresif, Tanda neurologist
fokal.
(Mansjoer, 2000 :4)
Tanda dan Gejala
Hilangnya tingkat kesadaran sementara
Hilangnya fungsi neurology sementara
Sukar bangun
Sukar bicara
Konkusi
Sakit kepala berat
8
Muntah
Kelemahan pada salah satu sisi tubuh
B. Trauma Pelvis
Definisi
Patah tulang panggul adalah gangguan struktur tulang dari pelvis. Pada orang
tua, penyebab paling umum adalah jatuh dari posisi berdiri. Namun, fraktur
yang berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas terbesar melibatkan pasukan
yang signifikan misalnya dari kecelakaan kendaraan bermotor atau jatuh dari
ketinggian.
Etiologi
Dengan makin meningkatnya kecelakaan lalu lintas mengakibatkan dislokasi
sendi panggul sering ditemukan. Dislokasi panggul merupakan suatu trauma hebat.
Patah tulang pelvis harus dicurigai apabila ada riwayat trauma yang menekan
tubuh bagian bawah atau apabila terdapat luka serut, memar, atau hematom di
daerah pinggang, sacrum, pubis atau perineum.
Anatomi
9
Mekanisme Trauma
Mekanisme trauma pada cincin panggul terdiri atas: 3
Kompresi Antero-Posterior (APC)
Hal ini biasanya terjadi akibat tabrakan antara seorang pejalan kaki kendaraan.
Ramus pubis mengalami fraktur , tulang inominata terbelah dan mengalami
rotasi eksterna disertai robekan simfisis . Keadaan ini disebut sebagai open
book injury. Bagian posterior ligamen sakro iliaka mengalami robekan parsial
atau dapat disertai fraktur bagian belakang ilium.
Kompresi Lateral (LC)
Kompresi dari samping akan menyebabkan cincin mengalami keretakan . Hal
ini terjadi apabila ada trauma samping karena kecelakaan lalu lintas atau jatuh
dari ketinggian . Pada keadaan ini ramus pubis bagian depan pada kedua
sisinya mengalami fraktur dan bagian belakang terdapat strain dari sendi sakro
iliaka atau fraktur ilium atau dapat pula fraktur ramus pubis pada sisi yang
sama.
Trauma Vertikal (SV)
10
Tulang inominata pada satu sisi mengalami pergerakan secara vertikal disertai
fraktur ramus pubis dan disrupsi sendi sakro iliaka pada sisi yang sama. Hal
ini terjadi apabila seseorang jatuh dari ketinggian pada satu tungkai.
Trauma Kombinasi (CM)
Pada trauma yang lebih hebat dapat terjadi kombinasi kelainan diatas.
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan bila ditemukan nyeri subjektif dan objektif, dan
pergerakan abnormal pada gelang panggul. Untuk itu, pelvis ditekan ke belakang dan
ke medial secara hati-hati pada kedua spina iliaka anterior superior, ke medial pada
kedua trokanter mayor, ke belakang pada simpisis pubis, dan ke medial pada kedua
krista iliaka. Apabila pemeriksaan ini menyebabkan nyeri, patut dicurigai adanya
patah tulang panggul.
Kemudian dicari adanya gangguan kencing seperti retensi urin atau
perdarahan melalui uretra, serta dilakukan pemeriksaan colok dubur untuk melakukan
penilaian pada sakrum, atau tulang pubis dari dalam.
Sinar X dapat memperlihatkan fraktur pada rami pubis, fraktur ipsilateral atau
kontra lateral pada elemen posterior, pemisahan simfisis, kerusakan pada sendi
sacroiliaca atau kombinasi. CT-scan merupakan cara terbaik untuk memperlihatkan
sifat cidera.
Manajemen Trauma Pelvis
Identifikasi dan Pengelolaan Fraktur Pelvis 5
a. Identifikasi mekanisme trauma yang menyebabkan kemungkinan fraktur
pelvis misalnya terlempar dari sepeda motor, crush injury, pejalan kaki
ditabrak kendaraan, tabrakan sepeda motor.
b. Periksa daerah pelvis adanya ekhimosis, perianal atau hematoma scrotal, darah
di meatus uretra.
c. Periksa tungkai akan adanya perbedaan panjang atau asimetri rotasi panggul.
d. Lakukan pemeriksaan rectum, posis dan mobilitas kelenjar prostat, teraba
fraktur, atau adanya darah pada kotoran.11
e. Lakukan pemeriksaan vagina, raba fraktur, ukuran dan konsistensi uterus ,
adanya darah. Perlu diingat bahwa penderita mungkin hamil.
f. Jika dijumpai kelainan pada B sampai E, jika mekanisme trauma menunjang
terjadinya fraktur pelvis, lakukan pemeriksaan ronsen pelvis AP (mekanisme
trauma dapat menjelaskan tipe fraktur).
g. Jika B sampai E normal, lakukan palpasi tulang pelvis untuk menemukan
tempat nyeri.
h. Tentukan stabilitas pelvis dengan hati-hati melakukan tekanan anterior-
posterior dan lateral-medial pada SIAS. Pemeriksaan mobilitas aksial dengan
melakukan dorongan dan tarikan tungkai secara hati-hati, tentukan stabilitas
kranial-kaudal.
i. Perhatian pemasangan kateter urine, jika tidak ada kontraindikasi, atau
lakukan pemeriksan retrograde uretrogram jika terdapat kecurigaan trauma
uretra.
j. Penilaian foto ronsen pelvis, perhatian kasus pada fraktur yang sering disertai
kehilangan darah banyak, misalnya fraktur yang meningkatkan volume pelvis.
1. Cocokan identitas penderita pada film
2. Periksa foto secara sistemik ;
a. Lebar simpisis pubis-pemisahan lebih dari 1 cm menunjukkan ada
trauma pelvis posterior
b. Integritas ramus superior dan inferior pubis bilateral
c. Integritas asetabulum, kapsul dan kolum femur
d. Simetri ileum dan lebarnya sendi sakroiliaka
e. Simetri foramen sacrum dengan evaluasi linea arkuata
f. Fraktur prosessus transversus L5
3. Ingat, karena tulang pelvis berbentuk lingkaran jarang kerusakan hanya
pada satu tempat saja.
4. Ingat, fraktur yang meningkatkan volume pelvis, misalnya vertical shear
dan fraktur open-book, sering disertai Perdarahan banyak.
k. Teknik mengurangi Perdarahan
1. Cegah manipulasi berlebihan atau berulang-ulang
2. Tungkai bawah di rotasi ke dalam untuk menutup fraktur open-book.
Pasang bantalan pada tonjolan tulang dan ikat kedua tungkai yang
12
dilakukan rotasi. Tindakan ini akan mengurangi pergeseran simpisis,
mengurangi volume pelvis, bermanfaat untuk tindakan sementara
menunggu pengobatan definitif.
3. Pasang dan kembangkan PASG. Alat ini bermanfaat untuk
membawa/transport penderita.
4. Pasang external fixator pelvis (konsultasi orthopedi segera)
5. Pasang traksi skeletal (konsultasi orthopedi segera)
6. Embolisasi pembuluh darah pelvis melalui angiografi
7. Lakukan segera konsultasi bedah/ orthopedi untuk menentukan
prioritas
8. Letakkan bantal pasir di bawah bokong kiri-kanan jika tidak terdapat
trauma tulang belakang atau cara menutup pelvis yang lain tidak
tersedia.
9. Pasang pelvic binder
10. Mengatur untul transfer ke fasilitas terapi definitive jika tidak mampu
melakukannya.
Komplikasi
a. Nyeri sacroiliaca sering ditemukan setelah fraktur pelvis tak stabil dan kadang
memerlukan artrodesis pada sendi sacroiliaca. Cidera saraf skiatika biasanya
sembuh tetapi kadang memerlukan eksplorasi. Cidera uretra berat bisa
menimbulkan striktur uretra, inkontinensia dan impotensi (Apley, 1995)
b. Ruptur uretra posterior paling sering disebabkan oleh fraktur tulang pelvis.
Fraktur yang mengenai ramus atau simfisis pubis dan menimbulkan kerusakan
pada cincin pelvis dapat menyebabkan robekan uretra pars prostate-
membranacea. Fraktur pelvis dan robekan pembuluh darah yang berada di
kavum pelvis menyebabkan hematom yang luas di kavum retzius sehingga
jika ligamentum pubo-prostatikum ikut robek, prostat beserta buli-buli akan
terangkat ke cranial. (Purnomo, 2007)
13
Ruptur uretra anterior , cidera dari luar yang sering menyebabkan kerusakan
uretra anterior adalah straddle injury (cidera selangkangan) yaitu uretra terjepit
diantara tulang pelvis dan benda tumpul. Jenis kerusakan uretra yang terjadi
berupa kontusio dinding uretra, rupture parsial, atau rupture total dinding
uretra. Pada kontusio uretra pasien mengeluh adanya perdarahan per-uretram
atau hematuria. Jika terdapat robekan pada korpus spongiosum, terlihat adanya
hematom pada penis atau butterfly hematom. Pada keadaan ini seringkali
pasien tidak dapat miksi. (Purnomo, 2007)
c. Fraktur Acetabulum
Terjadi apabila kaput femoris terdorong ke dalam pelvis. Fraktur ini
menggabungkan antara kerumitan fraktur pelvis dengan kerusakan sendi. Ada
4 tipe fraktur acetabulum yaitu fraktur kolumna anterior, fraktur kolumna
posterior, fraktur melintang, dan fraktur kompleks. Gambaran klinis agak
tersamarkan krena mungkin terdapat cidera lain yang lebih jelas/mengalihkan
perhatian dari cidera pelvis yang lebih mendesak. Pemeriksaan foto sinar-X
perlu dilakukan (Apley, 1995)
d. Cidera pada sacrum dan koksigis
Pukulan dari belakang atau jatuh pada tulang ekor dapat mematahkan sacrum
dan koksigis. Terjadi memar yang luas dan nyeri tekan muncul bila scrum atau
koksigis dipalpasi dari belakang atau melalui rectum. Sensasi dapat hilang
pada distribusi saraf sakralis. Sinar-X dapat memperlihatkan ; 1) fraktur yang
melintang pada sacrum dapat disertai fragmen bawah yang terdorong ke
depan, 2) fraktur koksigis kadang disertai fragmen bagian bawah yang
menyudut ke depan, 3) suatu penampilan normal kalau cidera hanya berupa
strain pada sendi sacrokoksigeal.(Apley, 1995)
Kalau fraktur bergeser, sebaiknya docoba untuk melakukan reduksi. Fragmen
bagian bawah dapat terdesak ke belakang lewat rectum. Reduksi bersifat
stabil, suatu keadaan yang menguntungkan. Pasien dibiarkan untuk
melanjutkan aktifitas normal, tetapi dianjurkan untuk menggunakan suatu
cincin karet atau bantalan Sorbo bila duduk. Kadang disertai keluhan sulit
kencing.(Apley, 1995). Nyeri yang menetap, terutama saat duduk sering
ditemukan setelah cidera koksigis. Kalau nyeri tidak berkurang dengan
14
penggunaan bantalan Sorbo atau oleh injeksi anastetik lokal kedalam daerah
yang nyeri, dapat dipertimbangkan eksisi koksigis (Apley, 1995).
C. Combustio
Definisi
Luka bakar merupakan bentuk spesifik dari trauma (Rakel&Bope, 2006).
Luka bakar secara sederhana dipahami sebagai trauma panas pada kulit. Luka bakar
merupakan cedera yang cukup sering terjadi yang memperlihatkan morbiditas dan
derajat yang relatif lebih tinggi bila dibandingkan dengan cedera oleh sebab lain
(Sjamsuhidajat & Jong, 2004).
Etiologi
Terdapat beberapa faktor yang menjadi penyebab terjadinya luka bakar,
yaitu:
1. Api
2. Cairan panas
3. Bahan Kimia
4. Listrik
5. Kontak dengan benda panas
6. Suhu sangat dingin (forst bite)
Patofisiologi
Patofisiologi dari luka bakar dapat dipahami dengan melihat respon tubuh
terhadap luka yang terjadi baik secara lokal ataupun sistemik.
Manifestasi Klinik
Manifestasi klinik dari luka bakar tergantung dari kedalaman dan luas luka
bakar. Kedalaman luka bakar dinyatakan dalam derajat (grade) sedangkan luas luka
bakar dinyatakan dalam persentase.
15
Klasifikasi
Derajat satu
Biasanya disebut superficial burn atau epidermal burn. Luka bakar ini hanya
mengenai lapisan epidermis dan biasanya sembuh dalam 5-7 hari. Luka berupa
eritema dengan keluhan rasa nyeri dan hipersensitivitas setempat. Misalnya :
luka tersengat matahari
Derajat dua
Biasa disebut partial thickness burn. Luka ini mencapai lapisan dermis, tetapi
masih terdapat eleman epitel sehat yang masih tersisa. Luka ini dapat sembuh
dengan sendirinya dalam 2-3 minggu. Luka bakar derajat dua ini dibagi
menjadi dua macam, yaitu superficial dermal (luka yang mengenai lapisan
dermis bagian atas, biasanya tampak melepuh) dan deep dermal (luka yang
mengenai hingga lapisan dermal bagian bawah). Gejala yang timbul biasanya
berupa nyeri, gelembung atau bula berisi cairan eksudat yang keluar dari
pembuluh karena permeabilitas dinding pembuluh yang meningkat.
Derajat tiga
Biasanya disebut sebagai full thickness burn. luka ini mengenai hingga seluruh
kedalaman kulit dan mungkin sub kutis atau organ yang lebih dalam. Pada
luka derajat ini tidak ada elemen epitel hidup yang tersisa yang
memungkinkan penyembuhan luka dari dasar luka. Penyembuhan dari luka
bakar derajat ini dilakukan dengan pencangkokan kulit (skin grafting).
Gejalanya berupa kulit tampak pucat berwarna abu-abu atau hitam dengan
permukaan yang lebih rendah dari jaringan sekeliling yang masih sehat, tidak
terdapat bula, dan tidak terasa nyeri.
Penatalaksanaan
1. Manajemen pernafasan (airway management)
Pada pasien luka bakar, hal terpenting yang harus diperiksa adalah terjadinya
gangguan di bagian pernafasan. Bila terjadi gangguan hingga menimbulkan kesulitan
16
bernafas pada pasien, maka tindakan intubasi dapat dilakukan. intubasi dilakukan
dengan segera pada pasien yang tidak sadar dengan riwayat terkena paparan asap
ataupun api dalam ruangan tertutup ataupun pada pasien dengan resiko tinggi terkena
edema pada saluran pernafasan. Beberapa pasien memerlukan PEEP (positif end-
expiratory pressure) untuk menjaga agar jalan nafas bagian distal tetap terbuka. Bila
sekresi ataupun partikel inhalasi pada saluran nafas pasien terlalu berlebihan yang
dapat mengakibatkan terjadinya bronkospasma, maka pemberian bronkodilator sangat
efektif untuk mengatasi hal tersebut.
2. Resusitasi cairan (fluid resuscitation)
Suatu konsep yang harus dipegang dalam shock luka bakar adalah terjadinya
pergeseran cairan besar-besaran walaupun sisa cairan tubuh total tidak berubah. Oleh
karena itu, resusitasi cairan baik yang berupa koloid, protein ataupun kristaloid harus
segera diberikan kepada pasien luka bakar. Terapi replacement cairan ini dimodifikasi
berdasarkan respon klinik pasien. Resusitasi yang berlebihan dapat menimbulkan
respon udema. Volume cairan yang dibutuhkan untuk resusitasi pada pasien
tergantung dari keparahan luka, status psikologis, usia, dan komplikasi lain.
Perhitungan kebutuhan cairan dihitung dari lama waktu pasien dari kejadian terkena
luka bakar bukan dari waktu pertama kali pasien datang ke UGD. Untuk penanganan
luka bakar yang luasnya lebih dari 15 %, kebutuhan cairan dalam 24 jam pertama
biasanya menggunakan rumus Parkland, yaitu:
4 mL RL(Ringer Lactat) x kg BB x %
Luas Permukaan Tubuh
Setengah dari hasil perhitungan diberikan dalam waktu 8 jam pertama dan sisanya
diberikan selama 16 jam berikutnya. Pada banyak instansi,rumus ini memberikan
output urine yang ideal.
Selain rumus diatas, ada juga rumus modifikasi Brooke yang merekomendasikan
bahwa resusitasi untuk shock luka bakar sebaiknya dimulai dengan pemberian 2 cc/kg
BB/% pada 24 jam pertama. Penggunaan rumus ini menghasilkan edema yang kecil.
Rumus ini sangat sesuai untuk kondisi pasien yang disertai problem seperti penyakit
17
jantung, insufisiensi ginjal, atau pasien yang membutuhkan dialisis. Pada beberapa
burn center, seringkali menggunakan larutan salin hipertonik (RL+50 mEq NaHCO3)
dalam 8 jam pertama menggunakan rumus Parkland untuk pasien luka bakar dengan
luas lebih dari 40%, pasien pediatrik, dan pasien yang memiliki komplikasi pada
saluran pernafasan.
Plasma protein sangat penting peranannya dalam sirkulasi dalam menjaga tekanan
onkotik untuk mengimbangi tekanan hidrostatik kapiler. Akan tetapi batasan jumlah
optimal dari protein ataupun waktu infus yang dibutuhkan belum jelas. Biasanya
bentuk fresh frozen plasma (0,5-1 cc/kgBB/% luka bakar) diberikan pada 24 jam
pertama, dimana pada 8-10 jam pertama akan menghasilkan respon edema kecil dan
penjagaan yang lebih optimal pada stabilitas hemodinamik pasien tertentu. Terapi ini
sesui untuk pasien lansia, pasien dengan luka bakar yang disertai gangguan
pernafasan,dan pasien dengan luka bakar yang luasnya lebih dari 50%.
Untuk pasien anak-anak, resusitasi yang dibutuhkan lebih tinggi dari pada pasien
dewasa dengan luka yang sama. Rata-rata kebutuhan cairan pada anak-anak adalah
5.8 cc/kg/% luka bakar. Pemberian salin hipertonik dan albumin menjadi terapi
standar pada pasien anak-anak. Output urine pada anak dijaga 0,5-1 ml/kg/jam pada
pasien dengan berat badan kurang dari 30 kg. Selain itu, pasien dengan gangguan
pernafasan membutuhkan cairan kristaloid rata-rata 5.7 cc/kg/% luka bakar.
3. Pengatasan nyeri (pain management)
Nyeri dapat menjadi parah, terutama pada pasien dengan luka bakar partial-thickness.
Biasanya, obat-obatan untuk mengatasi rasa nyeri diberikan secara intravena. Obat-
obat yang diberikan biasanya berupa golongan narkotika. Morfin digunakan dengan
dosis 0.1 mg/kg pada pasien dewasa atau 0.05 mg/kg pada lansia. Selain itu, juga
dapat digunakan fentanil dengan dosis 50-100 mcg IV selama 1-3 menit. Penggunaan
fentanil dengan durasi yang pendek (45-90 menit) menimbulkan efek hipotensi yang
ringan (sebagai efek vasodilatasi dari golongan narkotik) karena pemberian yang
cepat dapat dijadikan pilihan terapi bagi pasien yang intoleransi terhadap morfin. Bila
pasien sangat cemas, tidak hipoksia ataupun hipotensi, maka digunakan lorazepam IV 18
dalam dosis kecil. Sedangkan untuk pasien yang stabil dengan nyeri yang parah yang
akan dilakukan tindakan seperti hand escharotomies, major debridement atau fracture
reductions membutuhkan obat dengan tingkat sedasi sedang sampai dalam.
4. Pengatasan komplikasi yang potensial ataupun aktual dari luka bakar (Management
of Associated Injuries)
Komplikasi dari luka bakar tergantung dari kronologis peristiwa luka bakar yang
dialami. Salah satu contoh adalah pasien luka bakar yang pada saat peristiwa disertai
dengan paparan CO, maka terapi standarnya adalah dengan cara memberikan oksigen
100% selama 6-12 jam. Terapi oksigen hiperbarik diperlukan ketika pasien yang
terpapar CO kondisi level carboxyhemoglobinnya lebih dari 25% disertai status
depresi mental. Pasien seperti ini harus stabil secara hemodinamik dahulu sebelum
memperoleh resusitasi cairan. Pasien luka bakar dengan luas lebih dari 25% harus
dipasang NGT (nasogastric tube) untuk mencegah terjadinya vasokonstriksi splanik.
5. Perawatan luka (wound care)
Pasien dengan luka besar yang akan dibawa ke burn center, lukanya sebaiknya ditutup
dengan pembalut atau kasa steril untuk meminimalkan paparan organisme
multiresisten diluar rumah sakit. Apabila masih memungkinkan sebaiknya sebelum
ditutup, luka dicuci dengan larutan salin steril dan dibersihkan dengan sabun yang
lembut. Pada kasus luka bakar, sebagian besar antibiotik topikal yang digunakan
adalah silver sulfadiazin (SSD) yang merupakan antibiotik broadspectrum yang non
toksik. Tetapi, penggunaan SSD ini dapat menimbulkan alergi dengan kejadian
sebesar 5-7%. Antibiotik ini sebaiknya tidak digunakan pada ibu hamil ataupun ibu
menyusui serta tidak digunakan pada wajah karena dapat meninggalkan noda.
Sebaiknya SSD tidak diberikan pada pasien yang akan dibawa ke burn center, karena
dapat mempersulit assessment kondisi luka, selain itu juga SSD akan tercuci sebagai
upaya pembersihan luka. Salah satu contoh pembalut yang digunakan untuk
perawatan luka adalah duoderm. Duoderm merupakan pembalut steril fleksibel yang
memiliki dua lapisan yaitu lapisan terluar berupa polyurethane foam dan lapisan
perekat bagian dalam yang berupa hydrocolloid polyurethane complex. Duoderm ini
dapat menyembuhkan luka lebih cepat dengan memperbaiki penampilan luka, dan
19
dibutuhkan dalam jumlah sedikit serta tidak begitu mahal. Pemilihan jenis pembalut
sebaiknya didasarkan pada beberapa pertimbangan sesuai dengan kondisi luka pasien.
Permasalahan Psikososial
Adalah masalah kejiwaan dan kemasyarakatan yang mempunyai pengaruh timbal
balik, sebagai akibat terjadinya perubahan sosial dan atau gejolak sosial dalam
masyarakat yang dapat menimbulkan gangguan jiwa.
Contoh-contoh masalah psikosial antara lain :
a. Psikotik Gelandangan.
b. Pemasungan Penderita Gangguan Jiwa.
c. Masalah Anak : Anak Jalanan, Penganiayaan Anak.
d. Masalah Anak Remaja : Tawuran, Kenakalan.
e. Penyalahgunaan Narkotika Dan Psikotropika.
f. Masalah Seksual : Penyimpangan Seksual, Pelecehan Seksual, Eksploitasi
Seksual.
g. Tindak Kekerasan Sosial.
h. Stress Pasca Trauma.
i. Pengungsi/Migrasi.
j. Masalah Usia Lanjut Yang Terisolir.
k. Masalah Kesehatan Kerja : Kesehatan Jiwa di Tempat Kesrja,Penurunan
Produktifitas,Stres di Tempat Kerja.
l. Dan Lain-Lain : HIV/AIDS.
Jika berbicara tentang tindak kekerasan dan trauma, ada suatu istilah yang
dikenal sebagai Post Traumatic Stress Disorder atau PTSD (gangguan stres pasca
20
trauma). Yaitu gangguan stres yang timbul berkaitan dengan peristiwa traumatis luar
biasa. Misalnya, melihat orang dibunuh, disiksa secara sadis, korban kecelakaan,
bencana alam, dan lain-lain.
PTSD merupakan gangguan kejiwaan yang sangat berat, karena biasanya
penderita mengalami gangguan jiwa yang mengganggu kehidupannya. Secara umum
gejala PTSD dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
Pertama, Reexperiencing. Penderita seperti mengalami kembali kejadian
traumatis yang pernah dialami. Biasanya kondisi ini akan muncul ketika
penderita sedang melamun atau melihat suasana yang mirip dengan pengalaman
traumatisnya. Penderita dapat berperilaku mengejutkan, tiba-tiba berteriak,
menangis, atau berlari ketakutan.
Kedua, Hyperarousal. Suatu keadaan waspada berlebihan, seperti mudah
kaget, tegang, curiga menghadapi gejala sesuatu, benda yang jatuh dia anggap
seperti jatuhnya sebuah bom, dan tidur sering terbangun-bangun.
Ketiga, Avoidance. Seseorang akan selalu menghindari situasi yang
mengingatkan ia pada kejadian traumatis. Seandainya kejadiannya saat suasana
ramai, dia akan menghindari mall atau pasar. Begitu juga sebaliknya jika ia
mengalami pada waktu sendiri, maka ia akan menghidari tempat-tempat sepi.
Berbagai faktor yang mempengaruhi berkembangnya suatu gangguan stres pasca
trauma adalah
Tingkat keparahan stres/trauma
Kerentanan pasien : Anak-anak umumnya lebih rentan dari pada para dewasa
muda. Hal ini karena anak-anak belum memiliki mekanisme pertahanan yang
memadai, sedangkan para usia lanjut umumnya sudah terlalu kaku dengan
mekanisme pertahanan mereka.
Pengenalan : Reaksi individu terhadap kejadian hebat dan luar biasa ini amat
bervariasi antar individu,
tampak tidak berpengaruh sama sekali
21
mengalami reaksi ringan
menampilkan reaksi dalam waktu singkat
menunjukkan reaksi hebat dan menetap dalam waktu yang cukup lama,disebut
gangguan stres pasca trauma.
Penatalaksanaan
Berdasarkan kondisi stres pasca trauma, penyedian pelayanan dilakukan secara
berjenjang,yaitu untuk penanganan tingkat awal sampai rujukan tertinggi.
Tingkat pelayanan tersebut sebagai berikut :
1. Pelayanan tingkat masyarakat
Dilakukan oleh relawan yang tergabung dalam lembaga/organisasi masyarakat luas
atau keagamaan maupun kader atau petugas pemerintah di tingkat desa atau
kecamatan,berupa :
a. Penyuluhan
b. Bimbingan
c. Membentuk “kelompok tolong diri”
d. Rujukan
2. Pelayanan tingkat Puskesmas/RSU Kelas C dan D
Konseling, dilakukan terhadap penderita yang berpotensi untuk mengalami
gangguan stres pasca trauma. Dilakukan secara individu oleh seorang konselor
yang sudah terlatih terhadap penderita
Rujukan, pada kasus yang tak dapat ditangani dengan konseling awal dan
membutuhkan konseling lebih lanjut/psikoterapi atau penanganan lebih lanjut
3. Pelayanan tingkat spesialistik
22
Penderita yang tak dapat ditangani di tingkat Puskesmas akan dirujuk ke RSJ atau
Bagian Psikiater RSU Kelas A dan B. Di tingkat ini penderita akan dilayani secara
lebih spesialistik oleh seorang tenaga terampil (psikiater atau psikolog ) sesuai dengan
kebutuhan penderita. Penderita mungkin membutuhkan medikasi sementara untuk
membantu mengatasi masalahnya yang mendesak sehingga dapat dilakukan
konseling/psikiterapi yang lebih mendalam.
Pencegahan
Stres pasca trauma dapat dideteksi sampai batas tertentu sehingga dapat
dicegah agar tidak menjadi gangguan yang kronik (menahun).
Intervensi sedini mungkin akan menghasilkan terapi yang lebih memuaskan
dan akan mencegah berkembangnya stres pasca trauma menjadi gangguan
stres pasca trauma
Agama
Pada dasarnya orang sakit sama dengan orang sehat dalam hal kewajiban
melaksanakan shalat, hanya bagi orang sakit ada beberapa rukhsah (keringanan)
dalam melaksanakannya. Di dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa agama Islam itu
mudah tidak sulit, dan Allah tidak menjadikan untuk kita dalam agama suatu
kesempitan.
Ketika akan melaksanakan shalat hendaklah melakukan wudhu terlebih dahulu.
Apabila ia tidak mampu melakukannya dengan menggunakan air, maka hendaklah ia
melakukan tayamum sebagai pengganti, yaitu, dengan menekankan kedua telapak
tangan ke tanah atau tempat yang mengandung unsur tanah/ debu, kemudian meniup
kedua telapak tangan tersebut, lalu mengusapkannya pada muka dan kedua punggung
telapak tangan masing-masing satu kali.
Orang sakit selama ia mampu melakukan shalat dengan berdiri, maka hendaklah ia
shalat dengan berdiri. Jika ia tidak mampu melaksanakannya dengan berdiri, maka
shalatlah dengan duduk, baik dengan duduk bersila maupun dengan cara duduk
tawaruk atau iftirasy.23
Jika tidak mampu duduk karena mendapatkan kesulitan ketika duduk atau
mendapatkan madharat, seperti penyakitnya bertambah parah, maka hendaklah ia
melaksanakan shalat dengan tidur miring. Tata cara shalat orang sakit seperti itu
ditegaskan dalam hadits sebagai berikut;
الله – – – صلى �ى� �ب الن ل ت�� أ ف�س� ير� �و�اس� ب �ى ب �ت �ان ك ق�ال� عنه الله رضى ن� ح�ص�ي ن� ب ان� ع�م ر� ع�ن
: – �ط�ع ت �س ت �م ل �ن ف�إ ف�ق�اع�د,ا، �ط�ع ت �س ت �م ل �ن ف�إ ، �م,ا ق�ائ ص�ل0 ف�ق�ال� �ة� الص�ال ع�ن� وسلم عليه
] [ . البخارى رواه ب ج�ن ف�ع�ل�ى
Artinya: “Diriwayatkan dari Imran bin Husein ra., ia berkata; ”Saya menderita
penyakit wasir, lalu saya bertanya kepada Rasulullah saw., maka beliau menjawab:
“Shalatlah kamu sambil duduk. Jika tidak mampu (duduk), maka hendaklah shalat
sambil berbaring.” ]HR. al-Bukhari[
Gerakan atau cara ruku’ dan sujud orang sakit hendaklah dibedakan. Untuk sujud
caranya dengan membungkukkan badan lebih rendah (bawah) dari ruku’.
: - - �ص�ل0ى ي ق�ال� وسلم عليه الله صلى �ى0 �ب الن ع�ن� ه� ع�ن الله� ض�ى� ر� ط�ال�ب� �ى ب� أ ن� ب ع�ل�ى0 ع�ن
،� و م�أ� أ ج�د� �س ي ن
� أ �ط�ع ت �س ي �م ل �ن ف�إ ق�اع�د,ا، ص�ل�ى �ط�ع ت �س ي �م ل �ن ف�إ �ط�اع�، ت اس �ن� إ �م,ا ق�ائ م�ر�يض� ال
م�ن� ي� األ �ه� ب ن ج� ع�ل�ى ص�ل�ى ق�اع�د,ا �ص�ل0ى ي ن
� أ �ط�ع ت �س ي �م ل �ن ف�إ �وع�ه�، ك ر� م�ن �خ ف�ض� أ س�ج�ود�ه� و�ج�ع�ل�
�ل�ى ي م�م�ا �ه� ل ر�ج ,ا ق�ي �ل ت م�س ص�ل�ى م�ن� ي� األ �ه� ب ن ج� ع�ل�ى �ص�ل0ى� ي ن
� أ �ط�ع ت �س ي �م ل �ن ف�إ �ة�، ل ق�ب ال �ل� �ق ب ت م�س
] والدارقطنى. ] البيهقى رواه �ة� ل ق�ب ال
Artinya: “Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib ra., dari Nabi saw. beliau bersabda:
Orang sakit melakukan shalat dengan berdiri jika ia mampu berdiri. Jika ia tidak
mampu (berdiri), shalatlah ia dengan duduk. Jika ia tidak mampu sujud ke tanah
(tempat sujud), maka ia memberi isyarat, dan ia menjadikan sujudnya lebih rendah
(posisi atau caranya) dari ruku’nya. Jika ia tidak mampu shalat dengan duduk, maka
ia shalat dengan tidur miring ke sebelah kanan dan menghadap kiblat. Jika tidak
mampu tidur miring ke sebelah kanan, maka ia shalat dengan menghadapkan kedua
kakinya ke arah kiblat.” ]HR. al-Baihaqi dan ad-Daruquthni[
Dari kedua hadits di atas (hadits riwayat Imran bin Husein dan riwayat Ali bin Abi
Thalib) dapat disimpulkan bahwa tatacara shalat bagi orang sakit adalah sebagai
berikut:
24
1. Jika ia mampu berdiri hendaklah ia melakukannya dengan berdiri
2. Jika tidak mampu berdiri, hendaklah melakukannya dengan duduk, baik duduk
iftirasy, duduk tawarruk atau cara duduk yang ia mampu lakukan.
3. Apabila ia tidak mampu melaksanakan shalat dengan duduk, maka ia dapat
melakukannya dengan cara tidur miring ke sebelah kanan dan menghadap
kiblat jika memungkinkan.
4. Jika tidak mampu tidur miring, maka ia menghadapkan kedua kakinya ke arah
kiblat jika memungkinkan.
5. Jika tidak memungkinkan menghadap ke arah kiblat, maka shalat tetap dapat
dilakukan ke arah mana saja orang sakit itu menghadap. Allah berfirman:
[ . البقرة، Iيم� ع�ل Iع و�اس� الله� �ن� إ الله� و�ج ه� �م� ف�ث Kوا �و�ل ت �م�ا ن ي� ف�أ م�غ ر�ب� و�ال ر�ق� م�ش ال �ه� �ل [115: 2و�ل
Artinya: “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu
menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya)
lagi Maha Mengetahui.” ]QS. al-Baqarah (2): 115[
SIMPULAN
Trauma akibat kecelakaan lalu lintas tidak hanya menyebabkan luka fisik,
tetapi juga menimbulkan gangguan psikososial terutama pada pada remaja. Terlebih
lagi, dalam kasus ini korbanlah yang mengendarai sepeda motor. Kecelakaan ini jelas
menyebabkan kekhawatiran atau bahkan ketakutan pada diri korban bila ingin
mengendarai sepeda motor kembali. Untuk itu sangat diperlukan dukungan keluarga
terutama orang tua untuk mengatasi masalah kekhawatiran dan kecemasan pada
remaja dan memompa rasa percaya diri yang mungkin sedikit menurun akibat luka
luka pasca kecelakaan.
25
Selain dukungan orang tua, mendekatkan diri kepada Allah juga merupakan
suatu upaya agar selalu merasa dalam lindunganNya. Oleh sebab itu, menjalankan
ibadah disaat sakitpun tetap harus dilaksanakan sebagaimana Allah telah meringankan
beban ibadahnya melalui Rukhshah.
Saran-saran yang dapat dipertimbangkan :
1. Selain focus pada proses penyembuhan luka, perlu diperhatikan juga sisi
psikologis akibat kecelakaan ini.
2. Perlu komunikasi antara dokter kepada korban untuk menenangkan bahwa
luka trauma bisa disembuhkan, mengingat emosi pada remaja yang tidak stabil
dikhawatirkan korban resah akan lukanya.
3. Pemberian edukasi dalam aspek social dan agama bahwa cobaan yang datang
menjadi pengingat untuk lebih dekat dengan Allah SWT.
ACKNOWLEDGEMENT
Pertama sekali penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Allah swt atas
segala rahmatNya, tak lupa juga shalawat serta salam kita panjatkan kepada Nabi
Besar Muhammad SAW. Kepada orang tua yang selalu memberikan dukungan moral
maupun spritual kepada penulis. Kepada Rumah Sakit Umum Bhakti Yudha, Depok
yang telah memberikan kesempatan untuk berkunjung dan melakukan observasi yang
diperlukan untuk penyelesaian laporan kasus ini. Kepada dr. Hj. Susilowati, Mkes dan
Dr. Drh. Hj. Titiek Djannatun selaku koordinator blok elektif. Kepada dr. Yuzrizal
dan dr.Nur yang memberikan ilmu pengetahuan tentang trauma dan penanganan
26
pasien gawat darurat dengan cepat, tenang dan tepat saat kami melakukan kunjungan.
Terimakasih pula kepada pasien kami untuk laporan kasus ini. Serta ucapan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada pembimbing kelompok 2 kepeminatan trauma dr.
Artha Budi Susila Duarsa,M.Kes, atas bimbingan dan dukungannya selama ini.
Kemudian terakhir kepada rekan-rekan sejawat di Fakultas Kedokteran Universitas
YARSI 2009 terutama untuk kelompok 2 kepeminatan trauma atas berbagai
kontribusinya.
DAFTAR PUSTAKA
1. www.muhammadiyah.or.id
2. Ningrum, Manajemen Perdarahan pada fraktur pelvis yang mengancam jiwa. Diakses dari:www.ejournal.unid.ac.id/manajemen%20%20perdarahan%padafrakturpelvis%20mengancam%20jiwa%.html.
3. Fraktur pelvis. http://www.scribd.com/doc/52302577/24/Fraktur-tulang-panggul4. Sulistyanto R. Fraktur Pelvis. 2010. Diakses dari : http://fraktur%20pelvis/fraktur-
pelvis.html
27
5. Jong Wim de. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Penerbit EGC. 2004: 874-6 6. Advanced Trauma Life Support. Seven edition. American college of surgeons.
2004; 252-2537. Hettiaratchy, S., et.al., 2004. ABC of Burn. An electronic publishing media.
London : BMJ 329:504–6
28