chapter ii (2)dm

Upload: putriarifiana

Post on 07-Jul-2018

215 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 8/18/2019 Chapter II (2)dm

    1/23

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 

    Pengetahuan dan Perilaku

    Menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini

    terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu.

    Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia yakni indera penglihatan,

     pendengaran, penciuman, dan rasa. Pengetahuan atau kognitif merupakan hal yang

    sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang. Pengetahuan dapat diperoleh

    dari proses belajar yang dapat membentuk keyakinan tertentu sehingga seseorang

     berperilaku sesuai dengan keyakinan yang diperoleh, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin besar kemampuan menyerap, menerima dan

    mengadopsi informasi yang didapat. Sementara Soekamto (1997) berpendapat,

     pengetahuan merupakan hasil dari tahu setelah melakukan penginderaan terhadap

    suatu obyek tertentu yang diperoleh dari pendidikan, pengalaman sendiri maupun

    orang lain, media massa maupun lingkungan sekitarnya. Adanya perubahan perilaku

     pada seseorang merupakan suatu proses yang kompleks dan memerlukan waktu

    relatif lama dimana tahapan yang pertama adalah pengetahuan. Sebelum seseorang

    mengadopsi perilaku baru maka harus tahu terlebih dahulu apa arti atau manfaat

     perilaku tersebut bagi dirinya maupun terhadap keluarga atau orang lain.10

    Menurut Gibson.dkk (2001), kemampuan seseorang dapat dipengaruhi oleh

     pengetahuan dan ketrampilan, sedangkan pengetahuan dapat diperoleh melalui

    latihan, pengalaman kerja maupun pendidikan, dan ketrampilan dapat dipengaruhi

    oleh berbagai faktor diantaranya sejenis pendidikan, kurikulum, pengalaman praktik

    dan latihan.10

    Pengetahuan terdiri atas fakta, konsep generalisasi dan teori yang

    memungkinkan manusia dapat memahami fenomena dan memecahkan masalah.

    Menurut Gibson.dkk, (2001) ada empat cara memperoleh pengetahuan yaitu :

    Universitas Sumatera Utara

  • 8/18/2019 Chapter II (2)dm

    2/23

    1.  Melalui pengalaman pribadi secara langsung atau berbagai unsur

    sekunder yang memberi berbagai informasi yang sering kali berlawanan

    satu dengan yang lain

    2. 

    Mencari dan menerima penjelasan-penjelasan dari orang tertentu yang

    mempunyai penguasaan atau yang dipandang berwenang

    3.  Penalaran deduktif

    4.  Pencarian pengetahuan yang dimulai dengan melakukan observasi

    terhadap hal-hal khusus atau fakta yang nyata (induktif).

    Pengetahuan mempunyai 5 tingkatan sebagai berikut :11

    1.  Kesadaran (awareness), orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui

    terlebih dahulu terhadap stimulus (obyek).

    2.  Tertarik (interest), orang mulai tertarik kepada stimulus.

    3.  Evaluasi (evaluation), orang sudah mulai menimbang-nimbang terhadap

     baik tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya.

    4.  Mencoba (trial), orang telah mulai mencoba perilaku baru.

    5.  Menerapkan (adoption), subyek telah berperilaku baru sesuai dengan

     pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.

    Sementara itu, Kurt Lewin (1951) merumuskan suatu model hubungan perilaku

    yang mengatakan bahwa perilaku adalah fungsi karakteristik individu dan

    lingkungan. Karakteristik individu meliputi berbagai variabel seperti motif, nilai-

    nilai, sifat kepribadian, dan sikap yang saling berinteraksi satu sama lain dan

    kemudian berinteraksi pula dengan faktor-faktor lingkungan dalam menentukan

     perilaku. Faktor lingkungan memiliki kekuatan besar dalam menentukan perilaku,

     bahkan kadang-kadang kekuatannya lebih besar daripada karakteristik individu. Hal

    inilah yang menjadikan prediksi perilaku lebih kompleks.12

    Untuk tidak sekedar memahami, tapi juga agar dapat memprediksi perilaku,

    Icek Ajzen dan Martin Fishbein mengemukakan Teori Tindakan Beralasan (Theory of

     Reasoned Action). Dengan mencoba melihat penyebab perilaku volisional (perilaku

    Universitas Sumatera Utara

  • 8/18/2019 Chapter II (2)dm

    3/23

    yang dilakukan atas kemauan sendiri), teori ini didasarkan pada asumsi-asumsi

     bahwa:

    a)  Manusia umumnya melakukan sesuatu dengan cara-cara yang masuk akal.

     b) 

    Manusia mempertimbangkan semua informasi yang ada, dan

    c)  Secara eksplisit maupun implisit, manusia memperhitungkan implikasi

    tindakan mereka.

    Teori Tindakan Beralasan mengatakan bahwa sikap mempengaruhi perilaku

    lewat suatu proses pengambilan keputusan yang teliti dan beralasan, dan dampaknya

    terbatas hanya pada tiga hal, yaitu:

    a)  Perilaku tidak banyak ditentukan oleh sikap umum, tetapi oleh sikap yang

    spesifik terhadap sesuatu.

     b)  Perilaku dipengaruhi tidak hanya oleh sikap, tetapi juga oleh norma-norma

    subjektif, yaitu suatu keyakinan mengenai apa yang orang lain inginkan

    agar kita perbuat.

    c)  Sikap terhadap suatu perilaku bersama norma-norma subjektif membentuk

    suatu intensi atau niat untuk berperilaku tertentu.

    Gambar. 1. Teori Tindakan Beralasan12

    Dari bagan di atas, tampak bahwa intensi merupakan fungsi dari dua

    determinan dasar, yaitu sikap individu terhadap perilaku (merupakan aspek personal)

    Sikap

    terhadap

    perilaku

    Norma-norma

    subjektif

    Intensi untuk

    berperilaku PERILAKU

    Universitas Sumatera Utara

  • 8/18/2019 Chapter II (2)dm

    4/23

    dan persepsi individu terhadap tekanan sosial untuk melakukan atau untuk tidak

    melakukan perilaku yang bersangkutan atau yang disebut dengan norma subjektif.

    Secara sederhana, teori ini mengatakan bahwa seseorang akan melakukan suatu

     perbuatan apabila ia memandang perbuatan tersebut positif dan ia percaya bahwa

    orang lain ingin agar ia melakukannya.12

    2.2  Pencabutan Gigi

    Menurut Pedlar dkk (2001), pencabutan gigi adalah suatu prosedur bedah yang

    dapat dilakukan dengan tang, elevator, atau dengan pendekatan transalveolar.

    Pencabutan bersifat irreversibel dan terkadang menimbulkan komplikasi. Pencabutan

    gigi yang ideal adalah pencabutan sebuah gigi atau akar yang utuh tanpa

    menimbulkan rasa sakit dengan trauma yang sekecil mungkin pada jaringan

     penyangganya sehingga luka bekas pencabutan akan sembuh secara normal dan tidak

    menimbulkan masalah prostetik pasca-bedah.13

    Menurut Starshak (1980) dan Kruger (1974), indikasi dilakukannya pencabutan

    gigi adalah sebagai berikut13

    :

    a)  Gigi dengan patologis pulpa, baik akut maupun kronis, yang tidak mungkin

    dilakukan terapi endodontik dan harus dicabut.

     b) 

    Gigi dengan karies yang besar, baik dengan atau tanpa adanya penyakit

     pulpa atau periodontal, harus dicabut ketika restorasinya akan menyebabkan

    kesulitan keuangan bagi pasien dan keluarga.

    c)  Penyakit periodontal yang terlalu parah untuk dilakukan perawatan.

    Pertimbangan ini juga meliputi keinginan pasien untuk kooperatif dalam

    rencana perawatan total dan untuk meningkatkan oral hygiene  sehingga

    menghasilkan perawatan yang bermanfaat.

    d) 

    Gigi malposisi dan overerruption.

    e)  Gigi impaksi dalam denture bearing area harus dicabut sebelum dilakukan

     pembuatan protesa.

    f)  Gigi yang mengalami trauma harus dicabut untuk mencegah kehilangan

    tulang yang lebih besar.

    Universitas Sumatera Utara

  • 8/18/2019 Chapter II (2)dm

    5/23

    g)  Beberapa gigi yang terdapat pada garis fraktur rahang harus dicabut untuk

    meminimalisasi kemungkinan infeksi, penyembuhan yang tertunda, atau

    tidak menyatunya rahang.

    Menurut Starshak (1980), kontraindikasi pencabutan gigi terbagi menjadi dua,

    yaitu kontraindikasi lokal dan kontraindikasi sistemik. Adapun kontraindikasi lokal

     pencabutan gigi yaitu13

    :

    a)  Infeksi dental akut yang harus dievaluasi tergantung pada kondisi pasien

     b)  Perawatan infeksi perikoronal akut yang berbeda dengan abses periapikal.

    Pada abses periapikal, drainase dapat dilakukan dengan pencabutan gigi,

    sedangkan infeksi perikoronal dapat menyebar jika gigi yang terlibat

    dicabut selama fase akut.

    Sedangkan kontraindikasi sistemiknya adalah sebagai berikut13

    :

    a)  Penyakit medis yang tidak terkontrol, seperti hipertensi, coronary artery

    disease, kelainan jantung, anemia parah, leukemia, dan blood dyscrasias 

    yang membutuhkan manajemen medis yang tepat sebelum pencabutan gigi

    dapat dilakukan.

     b) 

    Penyakit kronik seperti diabetes, nefritis, dan hepatitis yang dapat

    menyulitkan pencabutan gigi karena dapat menghasilkan infeksi jaringan,

     penyembuhan yang tidak sempurna, dan penyakitnya semakin memburuk.

    c)   Neuroses dan  psychoses  merupakan kontraindikasi yang cenderung

    menyulitkan perawatan dental.

    d)  Kehamilan merupakan kondisi fisiologis normal dan tidak diperhatikan

    sebagai kontraindikasi pencabutan gigi, kecuali jika terdapat beberapa

    komplikasi

    2.3  Diabetes Melitus

    Diabetes mellitus adalah keadaan peninggian kadar glukosa darah yang kronik

    dan sering disertai dengan abnormalitas metabolisme pada karbohidrat, lipid, dan

    Universitas Sumatera Utara

  • 8/18/2019 Chapter II (2)dm

    6/23

     protein yang menghasilkan defisiensi insulin yang absolut ataupun relatif yang

    menyebabkan resistensi jaringan terhadap efek metabolik selulernya.2,14

      Diabetes

    mellitus juga merupakan kelainan metabolik yang dikarakteristikkan dengan

    hiperglikemia kronik yang dihasilkan dari kerusakan sel beta pankreas (sel penghasil

    insulin), reaksi insulin yang tidak seimbang, atau keduanya.15

    Hiperglikemia kronis pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka

     panjang, adanya disfungsi dan kegagalan organ-organ lainnya, terutama mata, ginjal,

    saraf, jantung, dan pembuluh darah.16

    2.3.1 Patofisiologi

    Pada individu yang sehat, kadar gula darah biasanya dipertahankan antara 60-

    150 mg/dL per harinya. Insulin memiliki peranan penting dalam regulasi gula darah.

    Insulin disintesis di sel beta pankreas dan disekresikan dengan cepat ke dalam darah

    sebagai respon untuk meningkatkan gula darah, misalnya setelah makan. Insulin

    mengatur homeostasis glukosa dengan cara meningkatkan penyerapan glukosa dari

    darah ke dalam sel dan menyimpannya di dalam liver dalam bentuk glikogen. Insulin

     juga meningkatkan penyerapan asam lemak dan asam amino, sebagaimana yang

    selanjutnya diubah menjadi trigliserida dan cadangan protein.6

    Terdapat beberapa proses patogenesis yang terkait dalam pembentukan

    diabetes. Hal ini berkisar dari rusaknya autoimun sel beta pankreas dengan akibat

    defisiensi insulin yang menyebabkan resistensi insulin. Dasar abnormalitas pada

    metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein pada diabetes adalah kurangnya insulin

     pada jaringan. Dengan kata lain, kelainan utamanya adalah karena berkurangnya

    insulin di dalam sirkulasi darah. Meningginya gula darah terjadi karena bertambahnya

    glukosa yang dikeluarkan oleh hati, sedangkan penggunaan glukosa oleh jaringan

     perifer menurun. Defisiensi insulin akan menyebabkan sekresi insulin yang inadekuat

    dan berkurangnya respon jaringan terhadap insulin dalam reaksi hormon.

    Pengurangan sekresi insulin dan kerusakan pada reaksi insulin biasanya terjadi pada

     pasien yang sama, dan biasanya tidak jelas mana yang menjadi abnormalitas, dan jika

    salah satu saja, maka penyebab utamanya adalah hiperglikemia.5,16

     

    Universitas Sumatera Utara

  • 8/18/2019 Chapter II (2)dm

    7/23

    Kekurangan insulin atau resistensi insulin yang terlihat pada DM menyebabkan

    sel insulin tidak mampu menggunakan gula darah sebagai sumber energi. Trigliserida

    yang tersimpan kemudian dirusak menjadi asam lemak, kemudian menjadi sumber

    alternatif sebagai bahan bakar, dan terjadi peningkatan keton pada darah sehingga

    akan menyebabkan ketoasidosis. Ketika kadar gula darah meningkat (hiperglikemia),

    glukosa diekskresikan melalui urin dan terjadilah urinasi yang berlebihan (poliuria)

    karena diuresis osmotik. Kehilangan cairan yang terus-menerus ini dapat memicu

    dehidrasi dan perasaan haus yang berlebihan (polidipsia). Karena sel menjadi

    kekurangan glukosa, pasien akan mengalami peningkatan rasa lapar (polifagia). Maka

    dari itu, pasien diabetes sering mengalami penurunan berat badan karena sel tidak

     bisa menyerap glukosa. Hal inilah yang menjadi tanda dan simptom DM.6 

    Pembedahan dan luka jaringan pada pasien non-diabetik menyebabkan

    timbulnya respon katabolik yang dikarakteristikkan dengan peningkatan laju

    metabolisme, peningkatan degradasi protein, dan intoleransi glukosa. Respon

    katabolik ini terjadi sebagai akibat dari peningkatan sirkulasi berbagai jenis hormon

    stress, seperti katekolamin, kortisol, glukagon, dan growth hormone, sebagaimana

     penurunan pada sirkulasi konsentrasi insulin. Katekolamin yang meningkat

    menyebabkan glukoneogenesis dan lipolisis. Peningkatan level kortisol akan

    menyebabkan pemecahan protein pada jaringan ekstrahepatik dan meningkatkan

    aliran prekursor glukoneogenik. Peningkatan glukagon memiliki efek utama pada

    liver dalam menaikkan glukoneogenesis, glikogenolisis, dan keton, sedangkan

     peningkatan growth hormone  menyebabkan peningkatan lipolisis. Kombinasi

    hormon-hormon stress ini dapat menyebabkan efek katabolis.17

     

     Namun, tidak ada di antara hormon tersebut yang dapat menyebabkan efek

    katabolik secara tunggal tanpa hormon lainnya. Oleh karena itu, defisiensi insulin

    memainkan peranan penting selama peningkatan kadar hormon stress pada saat

     peristiwa katabolik dalam pembedahan.17

     

    Penurunan pelepasan insulin selama proses pembedahan disebabkan oleh5,17

    :

    Universitas Sumatera Utara

  • 8/18/2019 Chapter II (2)dm

    8/23

    - Efek inhibitor langsung karena adanya agen anestesi. Anestesi dapat

     berpengaruh pada metabolisme glukosa, yaitu mengakibatkan hiperglikemia

    karena adanya pemecahan glikogen menjadi glukosa.

    Efek inhibitor stimulasi adrenomedulari insulin yang disebabkan oleh rasa

    sakit dan stress.

    Penurunan insulin dan kelebihan hormon stress menyebabkan kekacauan

    metabolis yang dikarakteristikkan dengan peningkatan glukoneogenesis,

    hiperglikemia, glikosuria, osmotik diuresis, kehilangan elektrolit, peningkatan

    degradasi protein, dan keseimbangan nitrogen negatif.17

     

    Osmotik diuresis semakin memperburuk kehilangan elektrolit yang terjadi

    sebagai akibat dari proses operatif itu sendiri. Defisiensi insulin absolut pada pasien

    diabetes akan menggabungkan ketidakseimbangan metabolisme ini dengan

    katabolisme dan gangguan elektrolit. Respon katabolik terhadap pembedahan pada

     pasien diabetes juga berhubungan dengan tingkat keparahan operasi, jaringan luka

    yang luas dan komplikasi efek shock dan infeksi.17

    2.3.2 Klasifikasi Diabetes Melitus

    Dalam menentukan jenis diabetes mellitus pada seseorang sering kali

     bergantung pada kondisi yang terjadi pada saat diagnosis, dan banyak penderita

    diabetes yang tidak dapat digolongkan dalam satu klasifikasi dengan mudah.16

     Pada

    tahun 1999, American Diabetes Association’s Expert Committee pada Diagnosis dan

    Klasifikasi Diabetes Melitus menyetujui revisi nomenklatur dan sistem klasifikasi

     berikut, yang berdasarkan pada etiologi penyakit daripada tipe spesifik perawatan

    yang digunakan.6 

    2.3.2.1  Diabetes Melitus Tipe 1

    Pada diabetes jenis ini, yang prevalensinya terjadi sekitar 5-10% dari seluruh

    kasus diabetes dan disebut juga dengan insulin-dependent diabetes mellitus (IDDM)

    Universitas Sumatera Utara

  • 8/18/2019 Chapter II (2)dm

    9/23

    atau juvenile onset diabetes, biasanya merupakan hasil dari kerusakan autoimun pada

    sel beta pankreas.6,16

     

     Immune mediated diabetes biasanya terjadi pada masa kanak-kanak dan remaja,

    tetapi dapat juga terjadi di semua usia. Hal ini terjadi karena defisiensi insulin dan

     pasien memiliki insiden komplikasi yang parah. Penyebabnya adalah dikarenakan

    oleh penghancuran autoimun-mediasi pada sel beta pankreas yang memproduksi

    insulin. Jadi, pasien DM tipe 1 cenderung mengalami ketoasidosis, komplikasi dan

    metabolisme akut yang mengancam kehidupan, dan sepenuhnya tergantung pada

    insulin eksogen untuk bertahan hidup. Ketoasidosis dapat menurunkan pH dalam

    darah dengan cepat, yang mengarah pada koma dan kematian. Tanda dan simptom

     pada pasien ini relatif tiba-tiba dan biasanya timbul pada usia muda, misalnya 15

    tahun, walaupun diabetes tipe ini dapat terjadi pada semua usia.6,14

     

    Hiperglikemia merupakan tanda utama yang muncul pada diabetes mellitus

    karena hal ini adalah komplikasi metabolik kronis. Komplikasi metabolik kronis

    umumnya terjadi lebih parah pada pasien DM tipe 1. Hal ini termasuk pada

    kerentanan terhadap infeksi dan penyembuhan yang melambat, neuropati, retinopati,

    dan nefropati (penyakit mikrovaskular); dipercepat oleh aterosklerosis yang

    kemudian dihubungkan dengan myocardial infark, stroke, aneurisme aterosklerosis

    (penyakit makrovaskular), dan amputasi. Pembentukan lesi sekunder pada pasien

    diabetes berhubungan dengan derajat keparahan dan durasi hiperglikemia.14

     

    Pasien DM tipe 1 juga cenderung mengalami kelainan autoimun lainnya, seperti

    Grave’s disease, Hashimoto’s thyroiditis, dan Addison’s disease. Beberapa kasus DM

    tipe 1 memiliki penyebab yang belum diketahui dan kemungkinan berkaitan dengan

    infeksi viral atau karena faktor lingkungan yang sulit didefinisikan.6 Maka dari itu,

    dokter gigi harus mempertimbangkan dengan hati-hati akan adanya potensi

     pembentukan penyakit endokrin mediasi autoimun yang dikarakteristikkan dengan

    hipofungsi ketika menilai manajemen klinis pada seorang penderita DM tipe 1.14

     

    Universitas Sumatera Utara

  • 8/18/2019 Chapter II (2)dm

    10/23

    2.3.2.2  Diabetes Melitus Tipe 2

    Diabetes mellitus tipe 2 atau yang sering disebut dengan non-insulin-

    dependent-diabetes mellitus (NIDDM) terjadi hampir pada 90-95% kasus diabetes,

    meliputi individu yang resisten terhadap insulin dan biasanya mengalami defisiensi

    insulin relatif.6,14,16

      Yang dimaksud dengan defisiensi insulin relatif adalah kadar

    insulin dalam tubuh masih berada dalam batas normal, tetapi cara kerjanya kurang

    efektif sehingga menunjukkan adanya gejala defisiensi insulin. DM tipe ini juga

    sering disebut dengan diabetes dewasa karena lebih sering terjadi pada umur di atas

    40 tahun dan diturunkan melalui gen dominan dan biasanya dikaitkan dengan

    kegemukan.1 Level insulin yang mempengaruhi pasien bisa normal, meningkat, atau

    menurun, tetapi tidak ada defisiensi insulin yang mendalam. Bagaimanapun juga,

    selama bertahun-tahun, mayoritas penderita DM tipe 2 menunjukkan penurunan level

    insulin secara terus-menerus.14

     

    Etiologi dan patogenesis DM tipe 2 kemungkinan lebih bermacam-macam

    dengan multipel lesi biokemis atau molekuler. Kerusakannya termasuk pada sekresi

    insulin yang terganggu, kerusakan pada reseptor insulin, dan kerusakan pada

     penyerapan glukosa pada hati yang berkontribusi terhadap intoleransi insulin.14

     

    Meskipun penyebab DM tipe 2 ini tidak diketahui secara spesifik, kerusakan

    autoimun pada sel beta pankreas tidak ditemukan. Ketoasidosis tidak ditemukan,

    namun hiperosmolar asidosis non-ketosis dapat terjadi sebagai hasil dari

    hiperglikemia dalam jangka waktu panjang. Insulin eksogen tidak dibutuhkan pada

     perawatan pasien NIDDM untuk bertahan hidup, melainkan digunakan untuk

    meningkatkan kontrol hiperglikemia.6,14

     

    Hiperglikemia pada pasien NIDDM ditemukan karena adanya kegagalan sel

     beta pankreas untuk mengetahui peningkatan permintaan insulin (sekresi insulin

    terganggu karena kerusakan reseptor insulin). Resiko pembentukan DM tipe 2

    meningkat berdasarkan faktor usia, obesitas, dan kekurangan aktivitas fisik. Obesitas

    dan kadar kolesterol yang tinggi dapat memperburuk aterosklerosis. DM tipe 2 juga

    ditemukan lebih banyak pada individu yang mengalami hipertensi atau dislipidemia.

    Universitas Sumatera Utara

  • 8/18/2019 Chapter II (2)dm

    11/23

    Sering pula ditemukan faktor predisposisi genetik dimana faktor ini lebih banyak

    ditemukan pada populasi Afrika-Amerika, Spanyol, dan Amerika-India.6,14

     

    2.3.2.3 

    Diabetes Melitus Gestasional

    Jenis diabetes ini ditandai dengan adanya derajat intoleran glukosa dengan

    onset atau pertama kali dikenali pada masa kehamilan. Di Amerika, GDM

    mengkomplikasi sekitar 4% dari seluruh kehamilan. Pada kebanyakan kasus, regulasi

    glukosa akan kembali normal setelah melahirkan. Bagaimanapun juga, wanita yang

    menderita GDM memiliki resiko untuk mengalami DM tipe 2 setelah masa

    kelahiran.6,15

     

    2.3.3 Tanda dan Gejala Diabetes Melitus

    Adapun tanda-tanda dan gejala pada diabetes mellitus adalah sebagai

     berikut2,4,18,19

    :

    1.  Poliuria, yaitu urinasi yang berlebihan.

    2.  Polidipsia, yaitu perasaan haus yang berlebihan.

    3.  Polifagia, yaitu peningkatan selera makan.

    4.  Glikosuria, yaitu terdapat kandungan glukosa di dalam urin.

    5. 

    Retinopati diabetik, yaitu suatu mikroangiopati progresif yang ditandai oleh

    kerusakan dan sumbatan-sumbatan pembuluh halus yang meliputi arteriol

     prekapiler retina, kapiler-kapiler, dan vena-vena. 

    6.   Neuropati diabetik, yaitu kerusakan saraf sebagai komplikasi serius akibat

    diabetes. Tergantung dari tingkat kerusakan, neuropati diabetik dapat

    menimbulkan nyeri, mati rasa dan gangguan pada saluran pencernaan,

    kemih, pembuluh darah dan jantung.

    7. 

     Nefropati diabetik, yaitu komplikasi Diabetes mellitus pada ginjal yang

    dapat berakhir sebagai gagal ginjal.

    8.  Peningkatan resiko penyakit arteri koroner. 

    9.  Infeksi kandung kemih, terutama infeksi yang disebabkan oleh fungi.

    10. Gatal-gatal, kulit kering, dan lambatnya penyembuhan luka.

    Universitas Sumatera Utara

  • 8/18/2019 Chapter II (2)dm

    12/23

    11. Lemah, lelah, dan simptom seperti flu.

    12. Rasa gatal atau terbakar pada tangan atau kaki (terutama pada DM tipe 2).

    13. Pandangan mengabur.

    14. 

    Tanda-tanda diabetes lainnya yang timbul di rongga mulut.

    2.3.4 Diagnosis Diabetes Melitus

    Kedua jenis utama DM (tipe 1 dan tipe 2) menyebabkan hiperglikemia atau

    kadar gula darah tinggi jika tidak dilakukan perawatan.4  Pada Februari 2010, ADA

    (American Diabetes Association) secara resmi merekomendasikan penggunaan uji

    hemoglobin glikosilasi (HbA1c) untuk mendiagnosis dan memantau DM.

    Hemoglobin terglikosilasi (HbA1c) merupakan gugus heterogen yang terbentuk dari

    reaksi kimia antara glukosa dan hemoglobin. Kecepatan pembentukan HbA1c

     proporsional dengan konsentrasi glukosa darah. Pemeriksaan ini sangat diperlukan

    dalam upaya manajemen DM yang optimal untuk memperkecil risiko komplikasi

    diabetes. Laporan tahunan ADA mengusulkan bahwa penemuan tingkat HbA1c yang

    lebih dari 6,5% menghasilkan terdiagnosanya diabetes. Standard baru ini didasarkan

     pada sebagian besar bukti ilmiah oleh Diabetes Control and Complication Trial

    (DCCT). Uji diagnostik diabetes lainnya mencakup tingkat gula darah puasa yang

    lebih dari 126 mg/dL, tingkat gula darah 2 jam yang lebih dari 200 mg/dL selama uji

    toleransi glukosa oral (OGTT), dan tingkat glukosa acak lebih dari 200 mg/dL pada

     pasien simptomatik untuk krisis hiperglikemia atau hipoglikemia.15,20

     

    Pemeriksaan HbA1c telah digunakan sebagai penaksiran jangka panjang,

    menyediakan pengukuran untuk regulasi glukosa rata-rata selama 6 sampai 12

    minggu sebelumnya. Tujuan pada pasien diabetes adalah untuk menjaga level HbA1c

    kurang dari 7% dimana glukosa dianggap terkontrol dengan baik. Uji lain, seperti uji

    toleransi glukosa, biasanya digunakan untuk mengidentifikasi pasien dengan diabetes

    gestasional dan gangguan absorpsi glukosa.15

     

    Pasien diabetes harus menjalani pemantauan reguler dengan menguji tingkat

    gula darah puasa dan tingkat HbA1c. Uji serum fruktosamin digunakan untuk

    mengukur kontrol glikemik pasien diabetes selama 2 sampai 3 minggu sebelum

    Universitas Sumatera Utara

  • 8/18/2019 Chapter II (2)dm

    13/23

     pemeriksaan. Telah dilaporkan pada suatu studi adanya korelasi positif antara derajat

     perdarahan gingiva dan tingkat fruktosamin yang tinggi. Pemeriksaan serum

    fruktosamin sering kali terlihat pada wanita hamil dan khususnya wanita hamil yang

    kebutuhan insulin dan glukosanya untuk waktu tertentu dipengaruhi oleh penyakit

    akut maupun sistemik.15

     

    Pemeriksaan gula darah puasa yang hasilnya lebih dari 126 mg/dL terdiagnosa

    akan adanya diabetes. Jika pengukuran gula darah puasa antara 110 sampai 126

    mg/dL, maka pemeriksaan toleransi glukosa oral harus dilakukan untuk menentukan

    derajat intoleransi glukosa. Gula darah puasa lebih dari 126 mg/dL, tingkat glukosa

    acak lebih dari 200 mg/dL, dan di samping gejala DM lainnya (polidipsia, poliuria,

     polifagia, kehilangan berat badan, dan rasa lemah) merupakan indikator yang pasti

    untuk mendiagnosis DM. Penemuan gula darah positif harus dikonfirmasi dengan

    mengulang pemeriksaan pada hari-hari berikutnya.15

     

    2.3.5 Komplikasi Oral yang Ditimbulkan Oleh Diabetes Melitus

    Komplikasi oral yang terjadi pada diabetes mellitus yang tidak terkontrol

    sangatlah merusak. Hal ini mencakup gingivitis dan penyakit periodontal, xerostomia

    dan disfungsi kelenjar saliva, kerentanan pada bakteri yang meningkat, infeksi viral

    dan fungal (kandidiasis), karies, abses periapikal, kehilangan gigi, terganggunya

    kemampuan untuk menggunakan protesa (berhubungan dengan disfungsi kelenjar

    saliva), gangguan pengecapan, lichen planus, dan sindrom mulut terbakar.21

     

    2.3.5.1  Gingivitis dan Penyakit Periodontal

    Kerentanan terhadap penyakit periodontal merupakan komplikasi oral yang

     paling sering ditemukan pada pasien diabetes mellitus. Pasien dengan kontrol

    diabetes mellitus yang rendah memiliki risiko tertinggi dalam pembentukan penyakit

     periodontal. Hal ini dimulai dari gingivitis dan kemudian, dengan kontrol glikemik

    yang rendah, berkembang ke penyakit periodontal lanjutan. Anak-anak dengan

    diabetes dan orang dewasa dengan kontrol metabolik yang dibawah optimal

    menunjukkan kecendrungan ke arah skor gingivitis yang lebih tinggi.21

     

    Universitas Sumatera Utara

  • 8/18/2019 Chapter II (2)dm

    14/23

    Pada sebuah studi menyatakan bahwa prevalensi penyakit periodontal berkisar

    9,8% dari 263 pasien dengan diabetes tipe 1, dibandingkan dengan 1,7% pada pasien

    tanpa diabetes. Beberapa studi telah mendemonstrasikan bahwa pasien dengan

    diabetes tipe 1 dan kronis, kontrol metabolik pada penyakit harus diperpanjang dan

     penyakit periodontal lebih parah daripada pasien yang dengan teliti mengontrol

    diabetesnya. Pasien dengan diabetes tipe 1 dan retinopati cenderung menunjukkan

    kehilangan perlekatan gingiva lebih besar. Jadi, oral hygiene yang baik sangatlah

     penting pada pasien dengan diabetes tipe 1.21

     

    Terdapat studi yang lebih banyak pada pasien dengan diabetes tipe 2 yang

    dihubungkan dengan penyakit periodontal. Studi ini menunjukkan bahwa pasien

    dengan diabetes tipe 2 dapat mengalami penyakit periodontal tiga kali lipat lebih

     banyak dibandingkan dengan pasien tanpa diabetes. Suatu studi pada India Pima,

    dimana 40% orang-orangnya menderita diabetes tipe 2, orang-orang yang usianya

    dibawah 40 tahun mengalami peningkatan kehilangan perlekatan gingiva lebih besar

    dibandingkan dengan orang-orang tanpa diabetes, sebagaimana juga terjadi

    kehilangan tulang alveolar yang berhubungan dengan peningkatan intoleransi glukosa

    atau kontrol metabolik yang rendah. Pada studi ini pula diketahui bahwa kerusakan

     jaringan periodontal meningkat berdasarkan usia dan derajat keparahan diabetesnya.

    Kehilangan gigi juga memiliki persentase 15 kali lebih tinggi pada penderita diabetes

    dibandingkan dengan pasien yang tidak memiliki diabetes.21

     

    2.3.5.2  Disfungsi Kelenjar Saliva dan Xerostomia

    Terdapat beberapa laporan bahwa mulut kering (xerostomia) dan hipofungsi

    kelenjar saliva ditemukan pada pasien diabetes, yang disebabkan oleh poliuria atau

    karena masalah endokrin atau metabolik. Ketika lingkungan normal dalam mulut

     berubah karena adanya penurunan aliran saliva atau perubahan dalam komposisi

    saliva, dalam mulut yang sehat dapat menjadi rentan terhadap karies dental.

    Kekeringan, atropi, dan mukosa oral yang pecah-pecah merupakan komplikasi

    terhadap produksi saliva yang tidak cukup. Disertai dengan mukositis, ulser dan

    deskuamasi, sebagaimana inflamasi dan depapilasi lidah merupakan masalah yang

    Universitas Sumatera Utara

  • 8/18/2019 Chapter II (2)dm

    15/23

     biasa dijumpai. Kesulitan dalam lubrikasi makanan, mengunyah, merasa, dan

    menelan juga merupakan komplikasi dalam disfungsi saliva dan kemungkinan

     berkontribusi dengan gangguan asupan nutrisi.21

     

    Peningkatan jumlah karies dental telah diketahui terjadi pada pasien muda yang

    menderita diabetes dan kemungkinan berhubungan dengan disfungsi saliva. Namun,

    terdapat hubungan antara pasien dewasa dengan diabetes dan karies yang aktif dan

    kehilangan gigi dimana hal ini lebih sering ditemui pada pasien diabetes dengan

    kontrol glikemik yang rendah.21

     

    2.3.5.3  Kandidiasis

    Kandidiasis oral merupakan infeksi fungal yang biasanya berhubungan dengan

    hiperglikemia dan merupakan komplikasi pada diabetes yang terkontrol rendah

    maupun tidak terkontrol. Lesi oral berhubungan dengan kandidiasis, termasuk median

    rhomboid glossitis (atropi papilla tengah), glositis atropik, denture stomatitis,

     pseudomembraneous candidiasis (thrush), dan angular cheilitis. Candida albicans 

    adalah komponen flora oral normal yang jarang berkolonisasi dan menginfeksi

    mukosa oral tanpa faktor pendukung. Hal ini mencakup kondisi yang berkompromis

    dengan imun, misalnya AIDS, kanker, atau diabetes, maupun penggunaan gigitiruan

    yang digubungkan dengan oral hygiene yang buruk dan penggunaan antibiotik

    spektrum luas dalam jangka waktu panjang. Disfungsi saliva, kompromis fungsi

    imun, dan hiperglikemia yang memberikan potensi substrat untuk pertumbuhan fungi

    merupakan faktor utama terjadinya kandidiasis oral pada pasien dengan diabetes.21

     

    2.3.5.4  Sindroma Mulut Terbakar ( Burning Mouth Syndrome)

    Pasien dengan  Burning Mouth Syndrome (BMS) biasanya tidak menunjukkan

    tanda-tanda klinis atau lesi yang terdeteksi, walaupun terdapat simptom rasa sakit dan

    terbakar yang intens. Etiologi BMS bervariasi dan biasanya sulit untuk diuraikan

    secara klinis. Simptom rasa sakit dan terbakar muncul sebagai hasil dari satu faktor

    atau bisa saja dari beberapa faktor yang berkombinasi. Pada diabetes tak terkontrol,

    faktor etiologinya adalah disfungsi kelenjar saliva, kandidiasis, dan abnormalitas

    Universitas Sumatera Utara

  • 8/18/2019 Chapter II (2)dm

    16/23

    neurologi, seperti depresi. Saraf otonom dan sensorik-motorik neuropati merupakan

     bagian dari sindrom diabetes dan prevalensi neuropati pada diabetes mellitus sekitar

    50%, 25 tahun setelah onset pertama diabetes, dengan 30% terjadi pada orang dewasa

    yang mengalami diabetes.21 

     Neuropati dapat menyebabkan simptom parestesi dan kesemutan, mati rasa,

    rasa sakit atau terbakar yang disebabkan oleh perubahan patologis yang melibatkan

    saraf pada daerah oral. Diabetes berhubungan dengan BMS, namun, neuropati dari

    diabetes berhubungan dengan rasa sakit dan terbakar pada bagian tubuh lainnya,

    seperti kaki.21

     

    Pada kasus tertentu menemukan bahwa BMS sering ditemukan pada kasus

    diabetes tipe 2 yang tidak terdiagnosis, dimana kebanyakan kasus juga diselesaikan

    setelah diagnosis medis dan perawatan lebih lanjut saat melakukan kontrol glikemik.

    Kemajuan kontrol glikemik memegang peranan penting dalam menurunkan kejadian

    komplikasi, seperti xerostomia dan kandidiasis, dan faktor-faktor ini kemungkinan

     berkontribusi lebih signifikan terhadap resolusi simptom yang berhubungan dengan

    BMS pada pasien diabetes.21

     

    2.3.5.5  Lichen Planus

    Lichen planus sering dijumpai dan merupakan penyakit mukokutan dengan

     penyebab yang tidak diketahui. Hal ini secara umum dianggap sebagai proses imun

    yang dimediasi yang melibatkan reaksi hipersensitifitas pada level mikroskopik. Hal

    ini dikarakteristikkan dengan infiltrasi limfosit T yang terletak pada jaringan epitel.

    Sel imun lainnya, misalnya makrofag, sel dendrit, dan sel Langerhans, juga terlihat

    mengalami peningkatan jumlah pada lesi lichen planus. Terlihat ada hubungan antara

    lichen planus dan hipertensi ataupun diabetes. Namun, suatu studi pada 40 pasien

    dengan lichen planus ditemukan bahwa 11 pasien (28%) memiliki diabetes,

    dibandingkan dengan kelompok kontrol yang menyatakan bahwa diabetes mungkin

     berhubungan dengan immunopatogenesis lichen planus.21

    2.3.5.6  Infeksi Oral Akut

    Universitas Sumatera Utara

  • 8/18/2019 Chapter II (2)dm

    17/23

    Infeksi oral akut biasanya terjadi pada diabetes dengan kontrol rendah dan

     berdasarkan pada tingkat keparahannya. Kontrol glikemik pada manajemen diabetes

    merupakan kunci utama untuk menurunkan dampak oral infeksi akut.21

     

    2.4  Tindakan Pencabutan Gigi Pada Penderita Diabetes Melitus

    Riwayat medis dan pemeriksaan klinis pada pasien merupakan hal yang penting

    dilakukan untuk memastikan keberhasilan hasil dari prosedur pencabutan gigi.

    Pemeriksaan riwayat medis ditegakkan melalui sejumlah pertanyaan yang

    menyinggung keberadaan kondisi patologis yang mungkin merugikan dan

    mempengaruhi prosedur pencabutan gigi dan membahayakan kehidupan pasien.22

     

    Penaksiran risiko operatif pada pasien dengan diabetes mellitus umumnya mirip

    dengan pasien lain, yakni di antaranya penting untuk mendiagnosis, mengevaluasi,

    dan merawat sistemiknya sebelum pencabutan gigi dilakukan. Sebagai tambahan,

     penaksiran ini harus fokus pada komplikasi jangka panjang yang disebabkan diabetes,

    seperti mikrovaskular, makrovaskular, dan neuropati, yang kemungkinan memiliki

    risiko. Perhatian khusus juga harus diberikan pada pasien yang belum terdiagnosa.

    Maka dari itu, dokter gigi harus sangat berhati-hati apabila akan melakukan tindakan

     pencabutan gigi pada pasien yang memiliki diabetes mellitus, dan hal-hal berikut ini

    diikuti dengan baik.22,23 

    2.4.1  Tes Skrining

    Pemeriksaan kadar glukosa terakhir adalah hal yang sangat penting.

    Pemeriksaan ini dapat dilakukan di praktik dokter gigi sebelum pencabutan gigi

    dilakukan dengan menggunakan glukometer, yaitu suatu alat yang dioperasikan

    dengan tenaga baterai. Setetes darah kapiler dari ujung jari diletakkan pada strip uji

    setelah ditusukkan dengan alat tusuk pada alat tersebut dan dalam satu menit hasilnya

    yang berbentuk numerik akan muncul pada layar.22

     

    Universitas Sumatera Utara

  • 8/18/2019 Chapter II (2)dm

    18/23

    2.4.2  Waktu Pencabutan Gigi

    Untuk menghindari risiko terjadinya reaksi hipoglikemia (syok insulin), maka

    waktu pencabutan gigi yang paling baik adalah dilakukan pada pagi hari, tepatnya

    satu sampai satu setengah jam setelah sarapan dan setelah pasien meminum obat

    diabetes untuk menghindari reaksi puncak bagi pasien yang melakukan injeksi

    insulin. Pencabutan gigi tidak boleh dilakukan pada siang hari atau dijadikan sebagai

     pasien terakhir sebelum makan malam karena kadar gula darah sudah menjadi rendah

    dan prosedur penyembuhan dapat terganggu karena adanya aktifitas makan. Pasien

     juga harus diinformasikan untuk datang ke praktik dokter gigi dalam keadaan sudah

     beristirahat dengan cukup dan tidak stress.4,22

     

    Prosedur pencabutan gigi harus dihindari jika pasien4:

    - Belum makan dan meminum obat antidiabetes

    - Dalam keadaan tidak sehat, misalnya pasien terkena flu, demam, atau terlalu

    letih.

    - Belum mengadakan kunjungan pada dokter yang menangani diabetesnya

    sebelum proses pencabutan gigi dilakukan sehingga tidak diketahui kadar

    gula darah terakhirnya.

    - Memiliki kadar gula darah < 70 mg/dL atau > 150 mg/dL

    Mengalami kegawatdaruratan diabetes.

    2.4.3  Diet

    Diet pada pasien diabetes tidak boleh diubah baik sebelum maupun sesudah

    tindakan pencabutan gigi dilakukan. Sebelum pencabutan, dan khususnya setelahnya,

     pasien sering kali menolak untuk makan atau tidak bisa makan karena adanya rasa

    sakit setelah pencabutan dan perdarahan yang apabila keadaan ini berlanjut maka

    akan menyebabkan hipoglikemia.22

     

    2.4.4  Diabetes dan Infeksi

    Diabetes yang terkontrol dengan baik tidak memerlukan profilaksis antibiotik

    untuk pencabutan gigi. Pasien dengan diabetes tidak terkontrol akan mengalami

    Universitas Sumatera Utara

  • 8/18/2019 Chapter II (2)dm

    19/23

     penyembuhan lebih lambat dan cenderung mengalami infeksi sehingga memerlukan

     pemberian profilaksis antibiotik. Responnya terhadap infeksi tersebut diduga sebagai

    akibat defisiensi leukosit polimorfonuklear dan menurunnya atau terganggunya

    fagositosis, diapedesis, dan kemotaksis karena hiperglikemia. Sebaliknya, infeksi

    orofasial menyebabkan kendala dalam pengaturan dan pengontrolan diabetes,

    misalnya meningkatnya kebutuhan insulin. Pasien dengan riwayat kehilangan berat

     badan yang penyebabnya tidak diketahui yang terjadi bersamaan dengan kegagalan

     penyembuhan infeksi dengan terapi yang biasa dilakukan, bisa dicurigai menderita

    diabetes.1,22

     

    2.4.5  Pemberian Anestesi Lokal

    Anestesi lokal harus diberikan dengan hati-hati karena konsentrasi

    vasokonstriktornya harus minimal. Adrenalin, yang merupakan salah satu anestesi

    dengan vasokonstriktor yang paling sering digunakan, dapat menyebabkan

    glukoneogenesis dan berinteraksi dengan insulin. Efek vasokonstriktor tersebut yang

    dapat menyebabkan terjadinya glukoneogenesis, dimana proses ini menghancurkan

    glikogen kembali menjadi glukosa lagi dalam aliran darah sehingga hal ini akan

    membahayakan penderita diabetes mellitus. Noradrenalin memiliki efek

    glukoneogenesis yang lebih sedikit jika dibandingkan dengan adrenalin sehingga

    lebih dianjurkan untuk digunakan pada pasien diabetes. Umumnya, karena jumlah zat

    vasokonstriktor sangat kecil dalam satu ampul (konsentrasi terbesar adalah

    1:100.000) sehingga risiko yang ditimbulkan lebih sedikit.22

     

    2.4.6  Pemberian Obat

    Analgesik dosis rendah dan sedatif yang mengandung acetaminophen (Tylenol)

    merupakan obat-obat yang biasa diberikan. Kortikosteroid harus dihindari karena

    adanya reaksi glikogenolitik, begitu pula dengan salisilat (aspirin) karena berpotensi

    menimbulkan reaksi hipoglikemia pada tablet antidiabetik. Pemberian obat anti-

    kecemasan atau antidepresan dianjurkan pada pagi maupun siang sebelum proses

     pencabutan gigi.22

     

    Universitas Sumatera Utara

  • 8/18/2019 Chapter II (2)dm

    20/23

     

    2.4.7  Penyembuhan Luka

    Mikroangiopati yang terjadi pada penderita diabetes mellitus dapat

    menyebabkan pembuluh darah menjadi inefektif. Hal inilah yang menyebabkan

     penyembuhan luka pada penderita diabetes mellitus menjadi lambat. Prosedur

     pencabutan gigi pada rongga mulut harus dilakukan dengan cara yang hati-hati dan

    halus agar memberikan hasil penyembuhan luka yang optimal. Linggir tulang harus

    dihaluskan agar menghindari iritasi gingiva. Penjahitan luka (suturing) juga dapat

    membantu agar luka lebih cepat sembuh.22

     

    2.4.8  Kadar Gula Darah Saat Pencabutan Gigi Dilakukan

    Kadar gula darah yang sebaiknya dimiliki pasien diabetes mellitus saat

     pencabutan gigi akan dilakukan yaitu tidak kurang dari 70 mg/dL dan tidak lebih dari

    150 mg/dL.4,22

     

    2.5  Keadaan Darurat Pada Diabetes Melitus

    Terdapat dua keadaan darurat utama yang akan dihadapi dokter gigi pada

     pasien diabetes, yaitu syok insulin (hipoglikemia) dan ketoasidosis (hiperglikemia).

    Kedua kondisi ini lebih sering timbul pada diabetes tipe 1 daripada tipe 2 karena

    diabetes tipe 1 lebih sulit dikontrol dan perawatannya memerlukan insulin (insulin

    dependent ). Hipoglikemia adalah kasus yang paling penting, dimana muncul pada

    saat kadar gula darah lebih rendah daripada 55mg/100mL. Hipoglikemia muncul

    dengan cepat dan dikarakteristikkan dengan adanya rasa lapar, rasa lelah, berkeringat,

    kebingungan, vertigo, gemetar, wajah memucat, perasaan gelisah, sakit kepala,

     parestesia bibir dan lidah, diplopia dan pandangan mengabur, dan kelainan neurologi.

    Pada kasus yang lebih parah, dapat terjadi pengeluaran keringat yang berlebihan,

    hipertensi otot, dan akhirnya kehilangan kesadaran, koma, bahkan kematian.1,22

     

    Karena hipoglikemia dapat terbentuk dengan cepat, keadaan ini lebih sering

    terlihat pada praktik dokter gigi daripada hiperglikemia. Hipoglikemia muncul karena

    asupan karbohidrat yang inadekuat dalam hubungannya dengan insulin atau karena

    Universitas Sumatera Utara

  • 8/18/2019 Chapter II (2)dm

    21/23

     pemberian obat hipoglikemik. Kemungkinan penyebab yang paling sering yang

    terjadi pada pencabutan gigi adalah ketika pasien menerima dosis normal insulinnya

     pada pagi hari, namun karena rasa cemas dan takut, serta dan pasien tidak makan

    dengan cukup sebelum pencabutan sehingga asupan karbohidratnya kurang.1,3 

    Sementara itu, hiperglikemia atau ketoasidosis biasanya terbentuk secara

     progresif dalam waktu beberapa hari. Hiperglikemia dikarakteristikkan dengan rasa

    lelah, sakit kepala, mual, muntah, xerostomia, dehidrasi, dypsnea, dan akhirnya

    letargi yang menyebabkan koma.22

    Kehilangan atau kekurangan insulin, ditambah

    dengan faktor yang meningkatkan kebutuhan insulin, seperti infeksi, trauma, bedah,

    kehamilan, dan gangguan emosional yang parah, biasanya merupakan penyebab

    utamanya.3 

    Universitas Sumatera Utara

  • 8/18/2019 Chapter II (2)dm

    22/23

    KERANGKA TEORI

    Pencabutan Gigi pada

    Pasien Diabetes Mellitus

    Pengetahuan dan

    Perilaku

    Diabetes

    Mellitus

    Patofisiologi

    Klasifikasi

    DM Tipe 1

    DM Tipe 2

    GDM Tanda dan

    Gejala

    Diagnosis

    Komplikasi

    Gingivitis dan Penyakit

    Periodontal

    Disfungsi kelenjar saliva

    dan xerostomia

    Kandidiasis

     Burning MouthSyndrome (BMS)

    Lichen Planus

    Infeksi Oral Akut

    Tindakan

    Tes Skrining

    Waktu

    Diet

    Diabetes dan

    Infeksi

    Pemberian

    anestesi lokal

    Pemberian

    Penyembuhan

    luka

    KGD saat

     pembedahan

    Keadaan da

     pada DM

    Syok in

    Ketoasid

    Pencabutan

    Gigi

    Universitas Sumatera Utara

  • 8/18/2019 Chapter II (2)dm

    23/23

     

    KERANGKA KONSEP

    Pengalaman Pribadi

    Penjelasan orang lain

    Penalaran deduktif

    Penalaran induktif

    Karakteristik individu

    dan lingkungan

    Pengetahuan Perilaku

    Dokter Gigi

    Diabetes Mellitus

    Patofisiologi

    DM

    Klasifikasi

    DM

    Tanda dan

    Gejala DM

    Diagnosis

    DM

    Komplikasi

    Oral DM

    Keadaan

    Darurat D

    Pencabutan Gigi yang

    Optimal