asma bronkial

24
ASMA BRONKIAL I. Definisi Asma adalah penyakit heterogen, dikarateristikan dengan inflamas kronis saluran pernapasan. idefinisikan dengan ri!ayat ge"ala respirator seperti mengi, sesak napas, dada rasa tertekan dan atau #atuk, oleh karna limitasi aliran udara ekspirasi $%INA, &'()*. Menurut N+LBI $ -pert anel Report /0 %uidelines for the iagnosis and Management of Asthma &''1* asma adalah penyakit inflamasi kronik saluran napas dimana #anyak sel #erperan terutama sel mast, eosinophil, limfosit 2, makrofag, neutrophil, dan sel epitel. ada indi3idurentan proses inflamasiterse#ut menye#a#kan wheezing atau mengi yang #erulang, sesak napas, dada rasa penuh $chest tightness* dan #atuk terutama malam dan atau men"elang pagi $4i#isono et al , &'('*. II. Epidemiologi Menurut data studiSur3ey Kesehatan Rumah 2angga $SKR2* di #er#agai propinsi di Indonesia, pada tahun (567 asma menduduki urutan kelima dari sepuluh penye#a# kesakitan$mor#iditas* #ersama8sama dengan #ronkitis kronik dan emfisema. ada SKR2 (55&, asma, #ronkitis kronik, dan emfisema se#agai penye#a# kematian $mortalitas* keempat di Indonesia atau se#esar 9,7:. Lalu pada SKR2 (559, dilaporkan pre3alensi asma di seluruh Indonesia se#esar (/ per (.''' penduduk $ I, &''/*. III. Faktor Risiko 1. Genetik Se;ara umum telah diketahui #ah!a terdapat kontri#usi herediter pada etiologi asma dimana pola herediter komplek dan asma tidak dapat diklasifikasikan se;ara sederhana ;ara pe!arisannya seperti autosom dominant, resesif, atau sex-linked . Kadar serum Ig yang tinggi telah diketahui ada hu#ungan dengan kromosom 9<, ((<, dan (&<. Se;ara kliik ada hu#ungan kuat antara hiperesponsif saluran nafas dengan peningkatan kadar Ig dan #ukti ter#aru menun"ukkan co-inheritance dari

Upload: otton-arrianto

Post on 05-Nov-2015

225 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

refrat asma

TRANSCRIPT

ASMA BRONKIAL

I. Definisi

Asma adalah penyakit heterogen, dikarateristikan dengan inflamasi kronis saluran pernapasan. Didefinisikan dengan riwayat gejala respiratorik seperti mengi, sesak napas, dada rasa tertekan dan atau batuk, oleh karna limitasi aliran udara ekspirasi (GINA, 2014).

Menurut NHLBI (Expert Panel Report 3: Guidelines for the Diagnosis and Management of Asthma 2007) asma adalah penyakit inflamasi kronik saluran napas dimana banyak sel berperan terutama sel mast, eosinophil, limfosit T, makrofag, neutrophil, dan sel epitel.

Pada individu rentan proses inflamasi tersebut menyebabkan wheezing atau mengi yang berulang, sesak napas, dada rasa penuh (chest tightness) dan batuk terutama malam dan atau menjelang pagi (Wibisono et al, 2010).II. Epidemiologi

Menurut data studi Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di berbagai propinsi di Indonesia, pada tahun 1986 asma menduduki urutan kelima dari sepuluh penyebab kesakitan (morbiditas) bersama-sama dengan bronkitis kronik dan emfisema. Pada SKRT 1992, asma, bronkitis kronik, dan emfisema sebagai penyebab kematian (mortalitas) keempat di Indonesia atau sebesar 5,6%. Lalu pada SKRT 1995, dilaporkan prevalensi asma di seluruh Indonesia sebesar 13 per 1.000 penduduk (PDPI, 2003).

III. Faktor Risiko

1. Genetik

Secara umum telah diketahui bahwa terdapat kontribusi herediter pada etiologi asma dimana pola herediter komplek dan asma tidak dapat diklasifikasikan secara sederhana cara pewarisannya seperti autosomal dominant, resesif, atau sex-linked. Kadar serum IgE yang tinggi telah diketahui ada hubungan dengan kromosom 5q, 11q, dan 12q. Secara kliik ada hubungan kuat antara hiperesponsif saluran nafas dengan peningkatan kadar IgE dan bukti terbaru menunjukkan co-inheritance dari gen untuk atopi dan airway hypereactivity (AHR) dijumpai pada kromosom yang sama.

2. Gender dan Ras

Pada anak, asma lebihs sering dijumpai pada anak laki-laki tetapi menjadi berlawanan pada pubertas dan dewasa. Di Amerika Serikat, ras kulit hitam diketiahui mempunyai risiko tinggi kematian, tidak terdantung status sosial ekonomi dan pendidikan. Prevalensi secara keseluruhan wanita lebih banyak dari pria.

3. Faktor Lingkungan

Penyebab terpenting asma adalah alergen dan occupational factor. Beberapa studi epidemiologi menunjukan korelasi antara paparan alergen dan prevalensi asma serta perbaikan asma bila paparan alergen menurun. Alergen indoor yang penting adalah: tungai debu rumah, alergen hewan (kucing, anjing, roden), alergen kecoak dan jamur. Debu rumah terutama beberapa senyawa organic dan inorganic. Outdoor alergen termasuk didalamnya bahan-bahan dari pohon, weeds dan grasses serta fungi, dan molds dan yeast.

4. Polusi Udara

Bahan polusi/polutan didalam maupun diluar rumah memiliki kontribusi perburukan gejala asma dengan merangsang bronkokonstriksi, meningkatkan hiperesponsif saluran napas dan meningkatkan respon terhadap aeroallergen. Dua polutan outdoor yang oentiung yaitu industriak smog ( sulfur dioxide, particulate complex) dan photochemical smog (ozone dan nitrogen oxides).

5. Faktor Lain

Beberapa studi epidemiologi menemukan hubungan antara risiko terjadinya asma dengan atopi. Pertumbuhan di daerah pertanian menurunkan risiko atopi dan rhinitis alergi pada dewasa dan mengesankan bahwa faktor lingkungan mempunyai efek protektif pada timbulnya alergi. Penggunaan bahan bakar modern ada hubungannya dengan peningkatan angka sensitisasi alergik dan gejala. Di Negara sedang berkembang perpindahan ke kota dihubungkan dengan perubahan dari bahan bakar biomassal seperti kayu, batu bara, dan animal waste ke gas dan listrik (Wibisono et al, 2010).

(sumber: PDPI 2003)IV. Patofisiologi

Hambatan aliran udara pada asma disebabkan oleh berbagai perubahan dalam saluran napas seperti:

A. Bronkokonstiksi

Pada eksaserbasi asma, bronkospasme akut yang menyebabkan penyempitan saluran nafas sebagai respon terhadap berbagai stimuli seperti alergen atau iritan. Bronkokonstriksi akut akibat alergen terjadi lewat IgE-dependent release of mediator dari sel mast. Bronkokonstriksi akut merupakan konsekuensi dari pelepasan mediator IgE setelah terpapar aeroallergen dan merupakan komponen primer dari respon awal asma (Wibisono et al, 2010). Pada reaksi tipe cepat, alergen akan terikat pada IgE yang menempel pada sel mast dan terjadi degranulasi sel mast tersebut. Degranulasi tersebut mengeluarkan preformed mediator seperti histamin, protease dan newly generated mediator seperti leukotrin, prostaglandin dan PAF yang menyebabkan kontraksi otot polos bronkus, sekresi mukus dan vasodilatasi (PDPI, 2003).

B. Edema Saluran Napas

Inflamasi berperan sentral pada patofisiologi asma. Inflamasi melibatkan interaksi banyak sel dan berbagai mediator. Bagaimana peristiwa interaktif terjadi dan menuju ke asma klinik masih dalam investigasi. Pola inflamasi saluran napas asma tidak harus bervariasi tergantung pada keparahan, persistensi, dan durasi penyakit. Salah satu sel inflamasi saluran napas yaitu limfosit T, memegang peranan penting dalam regulasi inflamasi saluran napas melalui pelepasan sitokin yang cukup banyal. Komponen sel lainnya seperti fibriblast, sel ebdotel, dan sel epitel berkontribusi terhadap proses kronik penyakit asma. Sel mediator yang dilepaskan mempengaruhi tonus otot polos pada saluran pernapasan, perubahan struktur, serta remodeling dari saluran napas. Inflamasi kronis berhubungan dengan peningkatan hiperesponsivitas saluran pernapasan, yang menyebabkan terjadinya bronco spasme, mengi, sesak napas, dan batuk setelah terpapar alergen, polutan udara, virus, udara dingin, dan olahraga/latihan (Wibisono, 2010)Sel inflamasi saluran napasSel structural saluran napas yang terlibat pathogenesis asmaMediator asma

Sel mastSel epitel saluran napasKemokin

Eosinophil Sel otot polos saluran napasSitokin

Sel limfosit TSel endotel Cysteinyl leukotriene

Sel dendriticSel fibriblast dan mioifobroblastHistamine

Makrofag Saraf saluran napasNitrit okside

Neutrophil Prostaglandin D2

C. Hipersekresi Mukus

Sekresi mukus pada saluran nafas pasien asma tidak hanya berupa peningkatan volume saja tetapi juga perbedaan pada viskoelastisitas. Penebalan dan perlengketan dari sekret tidak hanya sekedar penambahan produksi musin saja tetapi terdapat juga penumpukan sel epitel, pengendapan albumin yang bersal dari mikrovaskularisasi bronkial, eosinofil, dan DNA yang berasal dari sel inflamasi yang mengalami lisis (Makmuri et al, 2008). Hipersekresi mukus merefleksikan dua mekanisme patofisiologi yaitu mekanisme terhadap sekresi sel yang mengalami metaplasia dan hyperplasia dan mekanisme patofisologi hingga terjadi sekresi sel granulasi. Degranulasi diprovokasi oleh mediator inflamasi, dengan aktivitas perangsang sekret, seperti neutrofil elastase, kimase sel mast, leukotrien, histamin, produk neutrofil non-protease.V. Diagnosis

Beberapa hal yang khas pada asma, jika terdapat pada pasien, maka meningkatkan kemungkinan pasien tersebut memiliki penyakit asma:

Terdapat lebih dari satu gejala yaitu mengi, sesak napas, batuk, dan dada rasa tertekan, terutama pada dewasa.

Gejala lebih berat pada malam hari atau pada pagi hari

Intensitas dan gejala bervariasi dari waktu ke waktu/berbeda-beda

Gejala dicetuskan oleh infeksi virus, latihan, terpajan alergen, perubahan cuaca, tertawa, atau iritan seperti asap knalpot, rokok, atau bau-bauan yang kuat.

Beberapa hal yang menurunkan kemungkinan gejala berkaitan dengan penyakit asma:

Batuk merupaka satu-satunya gejala respiratori

Produksi sputum kronis

Nyeri dada

Dyspneu yang diinduksi oleh latihan dengan bising inspirasi

(sumber: GINA, 2014)

VI. Diagnosis Banding PPOK Bronkitis kronis Gagal jantung kongestif Batuk kronik akibat lain Disfungsi laring Obstruksi mekanis (misal tumor) Emboli paru, (PPDI, 2003)

(sumber: GINA, 2014)

VII. Klasifikasi

Klasifikasi derajat asma berdasarkan gambaran klinis sebelum pengobatan:

Klasifikasi derajat berat asma pada penderita dalam pengobatan:

(Sumber: PDPI, 2003)

VIII. Penatalaksanaan

Tujuan utama penatalaksanaan adalah tercapainya asma yang terkontrol. Menurut PPDI 2003 tujuan penatalaksaan asma yaitu menghilangkan dan mengendalikan gejala asma, mencegah eksaserbasi akut, meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin, mengupayakan aktivitas normat termasuk olahraga/latihan, menghindari efek samping obat, mencegah terjadinya keterbatasan aliran udara (airflow limitation) ireversibel, dan mencegah kematian karena asma

Asma dikatakan terkontrol bila gejala minimal (sebaiknya tidak ada), termasuk gejala malam, apabila tidak ada keterbatasan aktivitas termasuk latihan, kebutuhan bronkodilator (agonis b2 kerja singkat) minimal (idealnya tidak diperlukan), variasi harian APE kurang dari 20%, nilai APE normal atau mendekati normal, efek samping obat minimal (tidak ada), tidak ada kunjungan ke unit gawat darurat.

Penatalaksanaan/terapi asma dibagi menjadi non farmakologi dan farmakologi. Non farmakologi termasuk diantaranya edukasi, menghindari pencetus, dan olahraga sebagai tambahan. Farmakologi dibagi menjadi controller atau obat pengendali dan reliever atau obat pelega.

Menurut PDPI 2003, Program penatalaksanan asma meliputi 7 komponen: 1. Edukasi

2. Menilai dan memonitor keparahan asma secara berkala

3. Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus

4. Merencanakan dan memberikan pengobatan jangka panjang

5. Menetapkan pengobatan pada serangan akut

6. Kontrol secara teratur

7. Pola hidup sehat Farmakologi1). Obat Pengontrol (Controllers)Pengontrol adalah obat asma yang digunakan jangka panjang untuk mengontrol asma, karena mempunyai kemampuan untuk mengatasi proses inflamasi yang merupakan patogenesis dasar penyakit asma. Obat ini diberikan setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma terkontrol pada asma persisten, dan sering disebut sebagai obat pencegah. Berbagai obat yang mempunyai sifat sebagai pengontrol, antara lain: Corticosteroid inhalasi, corticosteroid sistemik, sodium chromoglicate, nedochromil sodium, methylxanthine, agonis 2 kerja lama (LABA) inhalasi, Leukotriene modifiers, antihistamin (antagonis H1) generasi kedua

a. Corticosteroid Inhalasi.Sebagai anti inflamasi, kortikosteroid bekerja melalui beberapa mekanisme yaitu:

1) Menghambat metabolism arachidonic acid sehingga mempengaruhi produksi leukotriene dan prostaglandin.

2) Mengurangi kebocoran mikrovaskuler

3) Mencegah migrasi berbagai mediator inflamasi langsung ke sel-sel inflamasi

4) Menghambat produksi cytokines

5) Meningkatkan kepekaan reseptor 2 pada otot polos bronkus

Keuntungan pemberian obat secara inhalasi adalah:

1) Dosis yang digunakan relatif rendah

2) Efek samping minmal

3) Bekerja terbatas pada saluran pernapasan (topikal), dengan mula kerja obat (onset of action) yang cepat.

4) Dapat memobilisasi sekret di saluran pernapasan.

Corticosteroid inhalasi adalah medikasi jangka panjang merupakan obat yang paling efektif untuk mengontrol asma. Berbagai penelitian menunjukkan penggunaan steroid inhalasi menghasilkan perbaikan faal paru, menurunkan hiperesponsif jalan napas, mengurangi gejala mengi, frekuensi dan beratnya serangan dan memperbaiki kualitas hidup . Pada asma persiten berat, dibutuhkan dosis yang tinggi dan dosis maksimal yang dapat diberikan adalah 2000 mikrogram. Namun beberapa penelitian menyatakan bahwa kurva dosis respons steroid inhalasi adalah relatif datar, yang berarti peningkatan dosis steroid inhalasi tidak selamanya sejalan dengan efek yang dihasilkannya. Dengan demikian, peningkatan dosis inhalasi corticosteroid tidak memberikan efek lebih baik dibandingkan bila inhalasi corticosteroid dikombinasi dengan agonis 2 kerja lama (LABA) (GINA, 2014). Steroid inhalasi adalah pilihan bagi pengobatan asma persiten (ringan sampai berat). Steroid inhalasi ditoleransi dengan baik aman pada dosis yang direkomendasikan.

Beberapa glucorticosteroid yang digunakan di sistem pelayanan kesehatan memberikan potensi dan bioavaibiliti setelah inhalasi yang berbeda. Dapat dilihat kesamaan potensi dari beberapa glucorticosteroid berdasarkan perbedaan tersebut. Kurva dosis respons steroid inhalasi adalah relatif datar, yang berarti meningkatkan dosis steroid tidak akan banyak menghasilkan manfaat untuk mengontrol asma (gejala,faal paru, hiperesponsif saluran pernapasan), bahkan meningkatkan risiko timbulnya efek samping.

Efek samping steroid inhalasi adalah efek samping lokal seperti kandidiasis orofaring, disfonia dan batuk karena iritasi saluran pernapasan atas. Efek samping tersebut dapat dicegah dengan penggunaan spacer, higiene mulut yang baik atau berkumur-kumur setelah melakukan inhalasi corticostreoid, untuk membuang steroid yang tersisa pada rongga mulut.

b. Corticosteroid SistemikObat corticosteroid sistemik diberikan pada serangan asma akut bila pemberian secara inhalasi belum dapat mengontrol serangan asma akut yang terjadi. Pemberian steroid oral selama 57 hari biasa digunakan sebagai terapi permulaan pengobatan jangka panjang maupun sebagai terapi awal pada asma yang tidak terkontrol, atau ketika terjadi perburukan penyakit. Meskipun tidak dianjurkan, steroid oral jangka panjang terpaksa diberikan apabila pasien asma persiten sedang-berat tidak mampu membeli steroid inhalasi. Namun, pemberiannya memerlukan monitoring ketat terhadap gejala klinis yang ada dan kemungkinan kejadian efek samping obat yang akan lebih mudah muncul pada pemberian obat secara sistemik. Dengan demikian, pemberian corticosteroid oral jangka panjang dilakukan dengan mempertimbangkan hal-hal di bawah ini, untuk mengurangi kemungkinan efek samping obat yang terjadi:

1) Gunakan prednisone atau methylprednisolone, karena mempunyai efek mineralo-corticoid minimal, waktu paruh pendek dan efek striae pada otot minimal.

2) Gunakan bentuk oral, bukan parentral.

3) Penggunaan selang sehari (intermitten therapy) atau sekali sehari pagi hari.c. MethylxanthineTheophylline adalah obat pelega/bronkodilator turunan xanthine dan merupakan bronkodilator yang paling lemah dibandingkan dua golongan bronkodilator lain yaitu agonis 2 dan anticholinergic. Sampai saat ini, theophylline tidak mempunyai bentuk sediaan inhalasi, jadi pemberian theophylline dilakukan secara oral atau pemberian sistemik (parenteral) lainnya, sehingga sering menimbulkan efek samping obat.Theophylline mempunyai efek menguatkan otot diafragma dan juga mempunyai efek anti inflamasi, sehingga berperan juga sebagai obat pengontrol asma. Obat ini dapat diberikan bersama-sama obat anti inflamasi seperti corticosteroid, pada pasien asma persisten berat dan sedang, bila steroid inhalasi pemberian belum memberikan hasil yang optimal. Pada pasien asma dengan gejala asma pada malam hari, pemberiannya pada sore hari dapat menghilangkan gejala yang timbul pada malam hari.Theophylline atau aminophylline lepas lambat dapat juga digunakan sebagai obat pengontrol, meskipun potensinya tidak dapat menyamai corticosteroid. Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian theophylline jangka lama, efektif mengontrol gejala dan memperbaiki faal paru. Preparat lepas lambat mempunyai aksi/waktu kerja yang lama, sehingga dapat digunakan untuk mengontrol gejala asma pada malam hari, dikombinasi dengan anti inflamasi yang lazim digunakan. Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa methylxanthine sebagai terapi tambahan pada pemberian glucocorticosteroid inhalasi dalam berbagai tingkat dosis adalah efektif untuk mengontrol asma. Namun, sebagai terapi tambahan, kombinasi ini tidak seefektif inhalasi kombinasi corticosteroid dengan agonis kerja lama, meskipun masih merupakan obat pilihan, karena harganya yang jauh lebih murah dari sediaan inhalasi.d. Agonis 2 Kerja Lama Inhalasi

Obat yang termasuk ke dalam kelompok LABA ini adalah salmeterol dan formoterol. Kedua obat ini adalah bronkodilator dengan lama kerja obat mencapai 18 jam yang juga mempunyai sifat anti inflamasi, sehingga pemberian obat cukup 2 kali sehari. Karena durasi efek obat yang lama ini, maka LABA lebih sesuai berperan sebagai obat pelega pada pengobatan pemeliharaan (maintenance therapy). Namun, formoterol sebagai salah satu LABA, mempunyai keistimewaan, yaitu mula kerja yang cepat dan durasi kerja obat yang relatif lama. Karena mula kerjanya yang lebih cepat daripada salmaterol, formoterol juga dapat digunakan pada serangan asma akut (rescue medication), yang memerlukan pelega dengan mula kerja (onset of action) yang cepat. Pemberian inhalasi kombinasi LABA dengan corticosteroid, memberikan hasil yang lebih baik daripada terapi corticosteroid tunggal, meskipun dosisnya ditingkatkan. Onset (mula kerja) dan durasi (lama kerja) berbagai agonis 2 inhalasi dapat dilihat pada.

Terapi inhalasi kombinasi yang tetap antara salmeterol dengan fluticasone serta formoterol dengan budesonide, merupakan bentuk terapi yang menjanjikan dalam pengobatan asma. Terapi kombinasi yang tetap ini mempunyai beberapa keuntungan antara lain:

Dosis corticosteroid dan agonis 2 kerja lama (LABA) yang digunakan pada terapi kombinasi, lebih rendah dibandingkan bila obat ini dipakai secara terpisah.

Pemberian inhalasi kombinasi kedua obat ini memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan pemberian steroid dengan dosis dua kali lipat.

Pemberian corticosteroid dapat meningkatkan sintesis reseptor agoni 2 dan menurunkan desensitisasi terhadap agonis 2.

Pemberian agonis 2 menyebabkan reseptor steroid menjadi lebihsiap, sehingga lebih sedikit corticosteroid yang dibutuhkan untuk menghasilkan aktivitas yang diharapkan.

Dengan demikian kombinasi kedua obat ini menghasilkan on and on phenomena(GINA, 2014). Bentuk kombinasi tetap ini dapat digunakan pada penyakit asma persisten ringan, sedang dan berat.

2). Obat Pelega (Reliever)Merupakan bronkodilator yang melebarkan saluran pernapasan melalui relaksasi otot polos, untuk memperbaiki dan atau menghambat bronkokonstriksi yang berkaitan dengan gejala akut asma, seperi mengi, rasa berat dada dan batuk. Obat pelega tidak memperbaiki inflamasi atau menurunkan hiperesponsif pada saluran pernapasan. Oleh karena itu, penatalaksanaan asma yang hanya menggunakan obat pelega, tidak akan menyelesaikan masalah asma secara tuntas.

a) Obat-obat yang termasuk obat pelega adalah:

b) Agonis 2 kerja singkat dan kerja lama

c) Anticholinergic (atrophine sulphate, ipratropium, tiotropium, dan

lain-lain)

d) Xanthine (Aminophylline)

e) Simpatomimetik lainnya seperti adrenaline, ephedrine, dan lain-

lain. a. Agonis 2 Kerja SingkatObat yang termasuk golongan agonis 2 kerja singkat antara lain: salbutamol, terbutaline, phenoterol, dan procaterol, mempunyai mula kerja (onset of action) yang cepat. Lazimnya golongan obat ini mempunyai mula kerja yang cepat dengan durasi kerja obat yang singkat dan dapat diberikan secara inhalasi atau oral. Pemberian inhalasi memberikan mula kerja obat yang lebih cepat dengan efek samping minimal/tidak ada. Mekanisme kerjanya seperti agonis 2 lainnya, yaitu relaksasi otot polos saluran pernapasan, meningkatkan bersihan mukosilier, menurunkan permeabiliti pembuluh darah dan modulasi penglepasan mediator dari sel mast.

Bentuk aerosol atau inhalasi memberikan efek bronkodilatasi yang sama atau bahkan lebih baik dari bentuk oral. Sedang efek samping kardiovaskuler, tremor dan hipokalemianya lebih sedikit. Peningkatan frekuensi penggunaan agonis 2 mencerminkan perburukan asmanya dan merupakan indikasi untuk pemberian atau peningkatan dosis steroid inhalasi. Obat golongan agonis 2 kerja singkat juga merupakan pilihan pada serangan asma akut dan sangat bermanfaat sebagai praterapi pada Exercise Induced Asthma.

b. MethylxanthineMerupakan bronkodilator yang efek bronkodilatasinya lebih lemah dibandingkan agonis 2 kerja singkat. Aminophylline lepas lambat dapat dipertimbangkan untuk mengatasi gejala, karena durasi kerjanya yang lebih lama daripada agonis 2 kerja singkat. Manfaat aminophylline adalah untuk respiratory drive dan memperkuat otot-otot pernapasan dan mempertahankan respon terhadap agonis 2 kerja singkat. Timbulnya efek samping obat dapat dicegah dengan memberikan dosis yang sesuai dan melaksanakan pemantauan

c. AnticholinergicAnticholinergic inhalasi (ipratropium bromide) menghambat perangsangan nervus vagus di post ganglion. Obat ini bekerja dengan cara menurunkan tonus nervus vagus intrinsik saluran pernapasan. Selainitu, obat ini juga menghambat refleks bronkokonstriksi yang ditimbulkan oleh inhalasi iritan. Efek bronkodilatasi tidak seefektif agonis 2 kerja singkat. Mula kerjanya lama dan membutuhkan 30-60 menit untuk mencapai efek maksimal.Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ipratropium bromide mempunyai efek bronkodilatasi yang setara dengan agonis 2 kerja singkat pada serangan asma, memperbaiki faal paru dan menurunkan risiko perawatan rumah sakit secara bermakna.d. Adrenaline

Dapat digunakan pada asma eksaserbasi sedang sampai berat, bila tidak tersedia agonis 2, atau tidak respons dengan agonis 2 kerja singkat. Pemberian secara subkutan harus dilakukan hati-hati pada penderita usia lanjut atau dengan gangguan vaskuler. Pemberian intravena dapat diberikan bila dibutuhkan, tetapi harus dengan pengawasan sangat ketat (bedside monitoring).

ASMA EKSASERBASI

Definisi asma eksaserbasi adalah episode peningkatan sesak napas, batuk, mengi (wheezing),dada terasa berat, atau kombinasi gejala-gejala tersebut secara cepat dan progresif, Ditandai dengan penurunan aliran udara ekspirasi, dinilai dari arus puncak ekspirasi (APE) atau volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP-1) (GINA, 2012)

Eksaserbasi asma adalah perburukan progresif dari sesak, batuk, wheezing, dada terasa berat atau kombinasi dari beberapa gejala ini. Eksaserbasi khas ditandai oleh penurunan aliran nafas ekspirasi yang dapat diukur dengan pemeriksaan faal paru. Eksaserbasi biasanya mencerminkan kegagalan penatalaksanaan jangka panjang atau terjadi paparan dengan triger. Derajad berat eksaserbasi asma bervariasi dari ringan sampai yang mengancam jiwa (PDPI, 2003)Derajat berat ringannya serangan asma:Gejala KlinisSerangan RinganSerangan SedangSerangan Berat

Sesak nafasSesak bila berjalan.Sesak bila bicara.Sesak

walau

istirahat.

Duduk

Membungkuk

kedepan

Masih dapat berbaring.Lebih enak duduk,

berbaring sesak

BerbicaraDapatmenyelesaikanBerbicaraSukar

Bicara

karena sesak.

kalimatterputus-putus

KesadaranKadang-kadang gelisahSelalu gelisahSelalu gelisah

FrekuensiMeningkatMeningkat> 30x/menit

nafas

Otot

otot

bantu nafasBiasanya

tidak

DigunakanBiasanya

digunakanBiasanya

digunakan

Bising mengiSedang,

hanya akhir

ekspirasiKerasBiasanya keras

Nadi/menit< 100100-120> 120

PulsusTidak adaBisa ada 10-25Sering ada > 25

paradoksus 80% 60-80% 95%> 60 mmHg

< 45 mmHg

91-95%< 60 mmHg

> 45 mmHg

< 90%

* Tidak semua gejala diperlukan untuk mengklasifikasikan serangan akutPENGOBATAN SERANGAN RINGAN DAN SEDANGBronkodilator :Untuk serangan ringan dan sedang :

Inhalasi agonis beta 2 aksi singkat 2 4 semprot t iap 20 menit dalam satu jam pertama. Dosis agonis beta 2 aksi singkat dapat ditingkatkan sampai 4 10 semprot (GINA, 2012)

Sebagai alternatif :

Inhalasi antikolinergik ( Ipratropium Bromida ) , agonis beta 2 oral atau teofilin aksi singkat . Teofilin jangan dipakai sebagai pelega , jika penderita sudah memakai teofilin lepas lambat sebagai pengontrol .

Kortikosteroid :

Jika respon terhadap agonis beta 2 tidak segera terlihat atau tidak bertahan ( umpamanya APE lebih dari 80 % perkiraan / nilai terbaik pribadi ) setelah 1 jam, tambahkan kortikosteroid oral a.l prednisolon 0,5 1 mg/ kg BB. Dibutuhkan beberapa hari sampai keluhan menghilang dan fungsi paru kembali mendekati normal . Untuk itu pengobatan serangan ini tetap dipertahankan di rumah . Penderita jangan menunda nunda untuk datang ke ru mah sakit bila :

Penderita termasuk golongan resiko tinggi

Serangan berat ( APE kurang 60 % perkiraan )

Respon terhadap bronkodilator tidak cepat dan tidak bertahan sampai 3jam

Tidak ada perbaikan dalam 2 6 jam setelah pemberi an kortikosteroid

Keadaan makin memburuk . Penatalaksanaan eksaserbasi akut menurut algoritma:

DAFTAR PUSTAKA

1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia. 2003. h 73-5

2. Global Initiative For Asthma (GINA)., 2012. Pocket Guide for Asthma Management and Prevention.

3. Global Initiative For Asthma (GINA)., 2014. The Report of Global Strategy for Asthma Management and Prevention.

4. Wibisono, M., Winariani., Hariadi, S., 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Departemen Ilmu Penyakit Paru FK Unair-RSUD Dr. Soetomo; Surabaya