aedes mosquito susceptibility test for the … · desain penelitian: jenis penelitian eksperimental...
TRANSCRIPT
7
AEDES MOSQUITO SUSCEPTIBILITY TEST FOR THE INSECTICIDE USED IN DENGUE
HAEMORRHAGICE FEVER (DHF) CONTROLING PROGRAMS
IN CIMAHI CITY OF WEST JAVA PROVINCE
Dindin Wahyudin dan Teguh Budi Prijanto
Politeknik Kesehatan Bandung
Abstract
Background: The use of organophosphate and piretroid insecticides have been started long time ago in the dengue prevention programs in Cimahi City, against Ae. aegypti mosquitoes as the vector. Since 1991 until 2000 the programs used organophosphate (malathion) and in 2001 until now use piretroid (cypermethrin). Insecticides have been used for so long, thus result in decreased susceptibility in the targeted mosquitoes. Resistance mechanism in insect from organophosphate and piretroid insecticides related with the increasing activity of non-specific esterase enzyme and also the activity of monooxygenase enzyme.
Objective: To assess the resistance status of Ae. aegypti mosquitoes against organophosphate and piretroid insecticides in Cimahi City, and to measure the activity of non-specific esterase and monooxygenase enzymes of Ae. aegypti mosquitoes from several populations in Cimahi City against organophosphate and piretroid insecticides.
Research Design: This is an experimental research with the Posttest Only Control Group Design for biological test, and observational with the descriptive and analytic design for biochemical test. The biological test method is based on the WHO standards and the biochemical test follows Lee’s method.
Result: There were high mortality rates of Ae. aegypti because of organophosphate insecticide, i.e. 14.67% in Kelurahan Cimahi, 8.00% in Kelurahan Cibeureum and 2.67% in Kelurahan Cibabat. The mortality rates of Ae. aegypti because of piretroid insecticide were 93.33%, 97.33% and 89.33% in Cimahi, Cibeureum and Cibabat, respectively. The average AV of Ae. aegypti mosquitoes against organophosphate insecticide in Cimahi, Cibeureum and Cibabat, are 0.246±0.094, 0.261±0.066 and 0.218±0.049, respectively. The average AV values of Ae. aegypti mosquitoes against piretroid insecticide in Cimahi, Cibeureum and Cibabat, respectively, were 0.328±0.161, 0.406±0.263 and 0.256±0.084. Average scores for the color intensity of Ae. aegypti to organophosphate insecticide are 1.54 (colorless) in Kelurahan Cimahi, 1.30 (colorless) in Kelurahan Cibeureum and 0.81 (colorless) in Kelurahan Cibabat.
Conclusion: According to biological test, the Ae. aegypti mosquitoes which originated from Cimahi were resistant to organophosphate insecticide and tolerant to piretroid insecticide. The susceptibility status of Ae. aegypti mosquitoes to organophosphate and piretroid insecticides is correlated with the increased activity mechanism of non-specific esterase enzyme and monooxygenase.
Key word: Ae. aegypti, organophosphate, piretroid, non-specific esterase activity,
monooxygenase enzyme.
Abstrak
Latar Belakang: Penggunaan insektisida organofosfat dan piretroid telah lama digunakan
dalam program pengendalian DBD di kota Cimahi, yang sasarannya yaitu nyamuk Ae. aegypti
sebagai vektornya. Sejak tahun 1991 sampai dengan tahun 2000 digunakan organofosfat
8
(malation) dan pada tahun 2001 sampai sekarang piretroid (sipermetrin) sebagai penggantinya.
Penggunaan insektisida dalam jangka waktu yang cukup lama, dapat menyebabkan terjadinya
penurunan kerentanan pada serangga sasaran. Mekanisme resistensi serangga terhadap
insektisida organofosfat dan piretroid, berkaitan dengan peningkatan aktivitas enzim esterase
nonspesifik, dan aktivitas enzim monooxigenase.
Tujuan: Mengetahui status kerentanan nyamuk Ae. aegypti terhadap insektisida organofosfat
dan piretroid di kota Cimahi, dan mengukur aktivitas enzim esterase nonspesifik dan enzim
monooxigenase nyamuk Ae. aegypti yang berasal dari beberapa populasi di kota Cimahi terhadap
insektisida organofosfat dan piretroid.
Desain Penelitian: Jenis penelitian eksperimental dengan rancangan the posttest only control
group design untuk uji hayati. Observasional dengan rancangan deskriptif dan analitik untuk uji
biokemis. Metoda uji hayati menurut standar WHO dan metoda uji biokemis berpedoman pada
Lee.
Hasil: Besar angka kematian Ae. aegypti terhadap insektisida organofosfat dari kelurahan
Cimahi yaitu 14,67%, Cibeureum 8,00% dan Cibabat yaitu 2,67%. Angka kematian Ae. aegypti
terhadap insektisida piretroid sebesar 93,33%, 97,33% dan 89,33% masing-masing dari kelurahan
Cimahi, Cibeureum dan Cibabat. Rerata nilai AV nyamuk Ae. aegypti terhadap insektisida
organofosfat dari kelurahan Cimahi adalah 0,246±0,094, Cibeureum adalah 0,261±0,066 dan
Cibabat adalah 0,218±0,049. Rerata nilai AV nyamuk Ae. aegypti terhadap insektisida piretroid dari
kelurahan Cimahi adalah 0,328±0,161, Cibeureum adalah 0,406±0,263 dan Cibabat adalah
0,256±0,084. Rerata skor intensitas warna Ae. aegypti terhadap insektisida organofosfat dari
kelurahan Cimahi adalah 1,54 (tidak berwarna), Cibeureum adalah 1,30 (tidak berwarna) dan
Cibabat adalah 0,81 (tidak berwarna).
Kesimpulan: Nyamuk Ae. aegypti yang berasal dari kota Cimahi sudah resisten terhadap
insektisida organofosfat, dan toleran terhadap insektisida piretroid berdasarkan hasil uji hayati.
Status kerentanan nyamuk Ae. aegypti terhadap insektisida organofosfat dan pitroid terkait dengan
mekanisme peningkatan aktivitas enzim esterase nonspesifik dan enzim monooxigenase.
Kata kunci: Ae. aegypti, organofosfat, piretroid, aktivitas esterase nonspesifik, enzim
monooxigenase
A. PENDAHULUAN
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) sudah menjadi permasalahan kesehatan
serius Penyebarannya sangat cepat dan sering menimbulkan kejadian luar biasa (KLB) dan
menimbulkan banyak korban kematian. Penyakit DBD disebabkan oleh virus dengue yang
ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti atau Aedes albopictus sebagai vektornya
Dinas Kesehatan Jawa Barat menyebutkan, selama tahun 2007 jumlah penderita DBD di
Jawa Barat mencapai 2.674 orang. Sebanyak 55 pasien di antaranya meninggal dunia. Melihat
peningkatan kasus di beberapa daerah, Dinas Kesehatan Jawa Barat kemudian menyatakan
DBD sebagai KLB di tujuh kota dan kabupaten. Daerah tersebut adalah Kota Cimahi, Kota
Bogor, Kabupaten Bogor, Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Bandung,
dan Kota Bandung. Situasi tersangka penderita DBD di Propinsi Jawa Barat khususnya di kota
9
Cimahi pada tahun 2007, dengan jumlah penduduk 500.250 jiwa sebanyak 1.505 penderita dan
meninggal sebanyak 9 orang (CFR = 0,60%).
Sampai saat ini, obat spesifik untuk pengobatan DBD dan vaksin belum ditemukan.
Pengendalian vektor merupakan satu-satunya cara memutus rantai penularan. Upaya
penanggulangan penyakit DBD telah dilakukan dengan fogging fokus, fogging sebelum musim
penularan, abatisasi massal dan abatisasi selektif, serta pemberantasan sarang nyamuk
melalui program 3M (menutup, menguras, mengubur barang bekas)3.
Pada KLB dan dalam musim penularan penyakit DBD, penggunaan insektisida tidak
dapat dihindarkan. Pengendalian nyamuk Ae. aegypti dengan insektisida biasanya dilakukan
secara thermal fogging atau ULV. Untuk membunuh nyamuk dewasa dapat dipergunakan
penyemprotan (fogging)4,5,6.
Upaya pemberantasan vektor secara kimia dengan menggunakan insektisida dengan
cara pengasapan (fogging) yaitu campuran antara malation dan solar. Studi aplikasi Ultra Low
Volume (ULV)-malation diberapa daerah untuk program pengendalian DBD cenderung kurang
efektif karena adanya kecenderungan resistensi nyamuk terhadap insektisida. Hasil studi di
Srilanka dan Yogyakarta, menunjukkan adanya resistensi terhadap malation pada beberapa
nyamuk Anopheles spp dan beberapa Culex spp karena peningkatan enzim esterase7,8.
Insektisida malation yang tergolong jenis organofosfat, sejak tahun 1972 sudah digunakan
dalam pengendalian vektor DBD9. Menurut Dinas Kesehatan Kota Cimahi, sejak tahun 1991
sampai dengan tahun 2000, malation digunakan dalam program pengendalian DBD di kota
Cimahi dengan metoda pengasapan (fogging). Mulai tahun 2001 sipermetrin digunakan
sebagai pengganti malation dengan alasan insektisida tersebut berbeda golongan, dimana
malation termasuk golongan organofosfat sedangkan sipermetrin golongan piretroid, relatif
mudah untuk memperolehnya dan lebih murah harganya.
Penggunaan satu jenis insektisida di dalam pengendalian nyamuk vektor disuatu wilayah
akan efektif pada tahun-tahun pertama, tetapi apabila jenis tersebut dipakai secara terus
menerus dalam waktu yang lama akan menimbulkan kekebalan pada nyamuk sasaran.
Penggunaan insektisida untuk pengendalian vektor akan bermanfaat apabila digunakan pada
keadaan yang tepat. Insektisida apabila digunakan dalam skala luas secara terus menerus
dalam jangka waktu cukup lama dan frekuensi tinggi dapat menimbulkan terjadinya penurunan
kerentanan pada nyamuk sasaran10,11.
Uji biokemis adalah teknik mendeteksi status kerentanan nyamuk terhadap insektisida
yang sangat esensial berdasarkan kuantifikasi enzim yang bekerja pada proses penurunan
status kerentanan serangga. Keunggulan uji biokemis yaitu informasi status kerentanan yang
diperoleh lebih cepat dan dapat menunjukan mekanisme penurunan kerentanan yang diukur
pada serangga secara individu. Dua mekanisme penurunan status kerentanan serangga
terhadap golongan insektisida piretroid sintetik yang diketahui yaitu peningkatan aktivitas enzim
monooxygenase dan peningkatan aktivitas enzim esterase (Est) nonspesifik15.
Teknik uji hayati dilakukan untuk mengetahui mengenai status kerentanan nyamuk Ae.
aegypti terhadap insektisida malation dan sipermetrin, sedangkan uji biokemis mendeteksi
mekanisme resistensi nyamuk Ae. aegypti terhadap insektisida malation dan sipermetrin.
10
B. METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini, yang menjadi subyeknya yaitu nyamuk Ae. aegypti yang berasal dari
beberapa daerah endemis DBD di kota Cimahi, yaitu kelurahan Cimahi, Cibeureum dan
Cibabat. Nyamuk Ae. aegypti dari laboratorium B2P2VRP Salatiga sebagai kontrol (-).
Pengujian status kerentanan nyamuk dilakukan secara uji hayati di laboratorium B2P2VRP
Salatiga, sedangkan pengujian mekanisme resistensi nyamuk terhadap insektisida malation
dan piretroid melalui uji biokemis dilakukan di laboratorium Bagian Parasitologi, Fakultas
Kedokteran UGM yogyakarta.
Koleksi nyamuk dari masing-masing kelurahan dilakukan dengan cara pengambilan larva
dari rumah-rumah, yaitu 50 rumah untuk setiap kelurahan. Larva yang diperoleh dikumpulkan
dan dipisahkan untuk setiap kelurahan, dipelihara hingga dewasa. Selanjutnya nyamuk
dikolonisasi sampai mendapatkan F1 yang cukup untuk penelitian. Kolonisasi nyamuk
dilakukan di laboratorium B2P2VRP Salatiga.
Dosis diagnosis insektisida organofosfat dan piretroid sintetik yang digunakan dalam
pengujian kerentanan secara hayati yaitu malation 0,8% berdasarkan referensi WHO dan
sipermetrin 0,05% referensi B2P2VRP Salatiga. Uji hayati menggunakan metode baku stándar
WHO dengan impregnated paper. Nyamuk yang digunakan adalah hasil kolonisasi dari lokasi
penelitian dengan kondisi perut kenyang darah, kemudian dipersiapkan 4-5 tabung standar
WHO dan pada setiap tabung uji (yang diberi tanda merah) dipasang kertas berinsektisida
secara melingkar.
Nyamuk betina sebanyak 20-25 ekor dengan kondisi perut kenyang darah selanjutnya
dimasukan ke dalam tabung uji tanda merah dan dipapar dengan insektisida malation 0,8%
selama 1 jam. Kelompok kontrol digunakan 2 tabung yang diberi tanda hijau dan dilengkapi
kertas tanpa insektisida (pelarut). Satu jam setelah nyamuk dipapar dengan insektisida
kemudian dipindahkan kedalam tabung holding (penyimpanan) yang diberi tanda hijau.
Kematian nyamuk dihitung /diamati setelah 24 jam penyimpanan. Selama penyimpanan dijaga
dan pada tabung holding dilengkapi handuk basah. Jumlah nyamuk yang diperiksa untuk
masing-masing kelurahan adalah 100 ekor, yaitu 3 replikat dan satu kontrol untuk satu jenis
insektisida. Kriteria: kematian < 80% adalah resisten/kebal, kematian 80-98% adalah toleran
dan kematian 99-100% adalah rentan12.
Nyamuk Ae. aegypti yang masih hidup hasil dari uji hayati/ bioassay, langsung diuji
biokemis, yaitu untuk mengetahui mekanisme resistensi Ae. aegypti terhadap insektisida
organofosfat maupun piretroid.
Pengujian harus diulangi jika ada kematian pada kelompok kontrol lebih dari 20%.
Kematian nyamuk uji dikoreksi dengan formula Abbot (WHO) jika ada kematian pada kelompok
kontrol sebesar 5 – 20% dengan rumus :
a – b X = x 100% 100 – b
Keterangan: X adalah persentase nyamuk mati setelah dikoreksi, a adalah persentase
nyamuk mati pada perlakuan dan b adalah persentase nyamuk mati pada kontrol.
11
Pengujian nyamuk Ae. aegypti terhadap insektisida sipermetrin dilakukan sama seperti di
atas demikian pula untuk nyamuk pembanding dari B2P2VRP.
Uji secara biokemis aktivitas enzim esterase nonspesifik. Metode ini diterapkan untuk
mengetahui peningkatan aktivitas enzim esterase nonspesifik dalam tubuh nyamuk
dewasa/larva13. Nyamuk dewasa kenyang darah secara individual digerus menggunakan
tabung reaksi pada cawan porselin untuk dibuat homogenat, kemudaian dilarutkan kedalam
0,5ml larutan buffer fosfat. Homogenat sebanyak 50µ1 dipindahkan ke dalam mikroplet dengan
menggunakan mikropipet. setiap mikroplet yang berisi homogenat ditambahkan 50µ1 bahan
subtrat, dan dibiarkan selama 60 detik kemudian mikroplet ditambahkan 50µ1 bahan coupling
reagent. Reaksi berlangsung 10 menit, warna biru muda yang mula-mula timbul berangsur-
angsung berubah menjadi biru. Reaksi dihentikan dengan penambahan 50µl asam asetat 10%
ke dalam tiap mikroplet yang berisi homogenat. Intensitas warna akhir produk reaksi
menggambarkan aktivitas enzim esterase (Est) nonspesifik, dan tingkatannya dapat dibedakan
secara visual. Larutan dalam mikroplet dibaca absorbance value (AV) dengan menggunakan
ELISA reader pada λ=450nm. Jumlah nyamuk yang diperiksa untuk masing-masing kelurahan
adalah 16 ekor (8 ekor perlakuan, 8 ekor kontrol) dengan jumlah replikat 32
Uji secara biokemis aktivitas enzim monooxigenase (MO). Metode pemeriksaan ini
diterapkan untuk mengetahui peningkatan aktivitas enzim monooxigenase dalam tubuh nyamuk
dewasa/larva14,15. Nyamuk kenyang darah/ gula digerus secara individual dengan
menggunakan tabung reaksi pada cawan perselin dalam 50µ1 aquades steril kemudian
diencerkan 150µ1 aquades steril. Sebanyak 20µ1 homogenat diambil dan ditempatkan pada
masing-masing mikroplet kemudian ditambahkan 80ul potassium phosphate buffer (PPB)
0,0625M pada pH7,2. Larutan campuran antara 0,01g tetramethyl benzidine (TMBZ) dalam 5ml
metanol dengan 15ml sodium asetat buffer 0,25M pada pH5,0 kemudian diambil sebanayak
200µ1 dan dimasukan kedalam masing-masing mikroplet. Masing-masing sumuran ditambah
25µ1 hydrogen peroxide 3%. Larutan dalam mikroplet tersebut dibiarkan selama 2jam dan
dibaca absorbance value (AV) dengan ELISA reader pada (λ)=595nm akan terjadi perubahan
warna menjadi biru. Kontrol negatif hanya ditambah 20µ1 larutan buffer kemudian dibaca
dengan ELISA reader pada λ=595nm dan larutan campuran tetap jernih tanpa adanya
perubahan warna. Jumlah nyamuk yang diperiksa dari kelurahan Cimahi yaitu 13 ekor, jumlah
replikat 26. Cibeureum 10 ekor dengan jumlah replikat 20 dan Cibabat 16 ekor dengan jumlah
replikat 32.
Dengan menggunakan patokan rerata nilai Absorbance Value (AV) kontrol negatif + 2
SD16. Untuk menentukan status resistensi secara kualitatif, digunakan cara menurut Lee
berdasarkan kriteria, yaitu skor < 2,0 (tidak berwarna) menunjukkan masih Sangat sensitif (SS);
skor 2,00 – 2,5 (biru muda (menunjukkan resisten sedang (RS) dan skor > 2,5 (biru tua)
menunjukkan resisten tinggi (RT)17,18.
12
C. HASIL PENELITIAN dan PEMBAHASAN 1. Hasil uji hayati Ae. aegypti terhadap malation dan sipermetrin
Hasil uji kerentanan nyamuk Ae. aegypti terhadap insektisida organofosfat (malation)
dan peretroid (sipermetrin) dari beberapa kelurahan di kota Cimahi sebagai berikut
Tabel 1. Jumlah dan Persen (%) Nyamuk Ae. Aegypti Mati Pada Uji Hayati Terhadap
Insektisida Malation dan Sipermetrin
Daerah
Penelitian
(Kelurahan)
Jumlah
Nyamuk
uji
Malation 0,8% Sipermetrin 0,05%
Jumlah
Mati
Persentase
(%)
Jumlah
Mati
Persentase
(%)
Cimahi 75 11 14,67 70 93,33
Cibeureum 75 6 8,00 73 97,33
Cibabat 75 2 2,67 67 89,33
Kontrol (-) * 75 75 100,00 75 100,00
*) Kontrol Ae. aegypti dari laboratorium B2P2VRP salatiga yang telah lebih 3 tahun
dikolonisasi di laboratorium
Dari Tabel 1 dapat dilihat, bahwa populasi nyamuk Ae. aegypti yang berasal dari
kelurahan Cibabat, Cibeureum dan Cimahi telah resisten terhadap insektisida
organofosfat (malation) dengan persentase kematian nyamuk masing-masing sebesar
2,67%, 8,00% dan 14,67%.
Populasi nyamuk Ae. aegypti yang berasal dari kelurahan Cibeureum, Cimahi dan
Cibabat dengan persentase kematian nyamuk yaitu 97,33%, 93,33% dan 89,33%
menunjukkan status toleran terhadap insektisida piretroid (sipermetrin).
Tabel 2. Jumlah Nyamuk Ae. aegypti berasal dari beberapa populasi di kota Cimahi dan Kontrol (-) yang lumpuh (knockdown) terhadap insektisida sipermetrin dengan uji hayati
Waktu
Jml.
Nyamuk *)
Daerah Penelitian
Kontrol (-) **) Kel. Cimahi Kel. Cibeureum Kel. Cibabat
Lumpuh % Lumpuh % Lumpuh % Jml.
Nyamuk**)
Lumpuh %
5 Menit 75 0 0,00 0 0,00 0 0,00 100 0 0
10 Menit 75 0 0,00 0 0,00 0 0,00 100 0 0
15 Menit 75 2 2,67 4 5,33 1 1,33 100 16 16,00 20 Menit 75 16 21,33 19 25,33 14 18,67 100 59 59,00 25 Menit 75 23 30,67 21 28,00 29 38,67 100 87 87,00 30 Menit 75 38 50,67 38 50,67 38 50,67 100 94 94,00 40 Menit 75 45 60,00 61 81,33 66 88,00 100 97 97,00 50 Menit 75 64 85,33 70 93,33 71 94,67 100 100 100,0 60 Menit 75 72 96,00 72 96,00 74 98,67 100 100 100,0
*) Tiga kali ulangan, masing-masing 25 ekor nyamuk **) Empat kali ulang, masing-masing 20 ekor nyamuk, asal B2P2VRP Salatiga
13
Pada tabel di atas populasi nyamuk Ae. aegypti dari kelurahan Cimahi, Cibeureum dan
Cibabat mempunyai nilai knockdown yang sama yaitu 50,67% dalam waktu 30 menit.
Dalam waktu 60 menit populasi nyamuk dari daerah Cimahi dan Cibeureum mengalami
knockdown sebesar 96,00% lebih kecil dari daerah Cibabat yaitu 98,67%. Sedangkan
populasi nyamuk Ae. aegypti dari B2P2VRP Salatiga sebagai kontrol (-) nilai knockdown
94% dalam waktu 30 menit, dan 100% dalam waktu 50 menit.
Hasil analisis probit nyamuk Ae. aegypti dari kelurahan Cimahi diperoleh persamaan
garis regresi yaitu y=5,1977x – 2,7763, kelurahan Cibeureum persamaan garis regresi
Y = 5,19771x – 2,77627 dan dari kelurahan Cibabat dengan persamaan garis regresi yaitu
Y = 6,93344x – 5,05918 sedangkan kontrol (-) persamaan garis regresi yaitu
Y= 8,268018x – 5,618116.
0
20
40
60
80
100
120
15 20 25 30 40 50 60
waktu (menit)
Kelumpuhan (%)
Cimahi Cibeureum Cibabat Kontrol (-)
Gambar 5. Grafik garis regresi mortalitas Ae. aegypti berasal dari beberapa populasi di
kota Cimahi dan waktu (menit) terhadap insektisida sipermetrin
Analisa probit memprediksi KT50, kelumpuhan nyamuk dari kelurahan Cimahi yaitu
31,33977 menit, pada kisaran batas bawah 29,59948 menit dan kisaran batas atas
33,18238 menit. Kelurahan Cibeureum KT50 yaitu 28,7927 menit, pada kisaran batas
bawah 27,29193menit dan kisaran batas atas 30,37599 menit. Kelurahan Cibabat KT50,
yaitu 28,23724 menit, pada kisaran batas bawah 26,9175 menit dan kisaran batas atas
29,62168 menit. Kontrol (-) KT50, yaitu 19,24153 menit pada kiasaran batas bawah
17,62001 dan kiasaran batas atas 21,01215 menit. Menunjukkan bahwa efektivitas
insektisida sipermetrin terhadap knockdown time (KT50) dan KT95 pada nyamuk Ae.
aegypti di Cibabat lebih cepat dibandingkan di Cibeureum dan Cimahi,
14
2. Hasil uji biokemis Ae. aegypti terhadap malation dan sipermetrin
Distribusi dan persentase nilai Absorbance Value (AV) nyamuk Ae. aegypti dari
beberapa populasi di kota Cimahi terlihat pada table berikut:
Tabel 4. Distribusi, Frekuensi Dan Persentase Nilai AV Dari Aktivitas Enzim Esterase
Nonspesifik Nyamuk Ae. Aegypti Yang Berasal Dari Beberapa Populasi Di Kota
Cimahi Dengan Uji Biokemis.
Nilai
AV
Kel. Cimahi Kel. Cibeureum Kel. Cibabat Kontrol (-)
Frek. % Frek. % Frek. % Frek %
0,101 – 0,200 13 40,63 5 15,63 14 43,75 13 46,43
0,201 – 0,300 13 40,63 19 59,37 16 50,00 15 53,57
0,301 – 0,400 4 12,50 7 21,87 2 6,25 - -
0,401 – 0,500 - - 1 3,13 - - - -
0,501 – 0,600 2 6,25 - - - - - -
0,101 – 0,700
Jml. Nyamuk
32
16
100 32
16
100 32
16
100 28
7
100
Dari Tabel tersebut di atas dapat dilihat bahwa nilai AV nyamuk Ae. aegypti dari
masing-masing populasi bervariasi, yaitu berkisar 0,101 sampai dengan 0,600. Nilai AV
nyamuk kontrol negatif berkisar 0,101 sampai dengan 0,300.
Nilai AV nyamuk Ae. aegypti dari masing-masing populasi disetiap kelurahan dirata-
ratakan, sebagai berikut :
Tabel 5. Rerata Nilai AV Dari Aktivitas Enzim Esterase Nonspesifik Nyamuk Ae. Aegypti Yang Berasal Dari Beberapa Populasi Di Daerah Kota Cimahi Dengan Uji Biokemis
No. Asal nyamuk Rerata AV Simpangan baku
1 Kelurahan Cimahi 0,246 ± 0,094
2 Kelurahan Cibeureum 0,261 ± 0,066
3 Kelurahan Cibabat 0,218 ± 0,049
4 B2P2VRP (Kontrol negatif) 0,204 ± 0,026
Berdasarkan penelitian Hardiyanto, penetuan nilai cut off positive diambil dengan
menggunakan patokan rerata AV kontrol negatif + 2 SD , yaitu 0,204 + 2(0,026) = 0,256.
Nyamuk yang berasal dari populasi daerah dapat digolongkan ke dalam beberapa
kategori, yaitu sangat sensitif (SS) apabila nilai rerata AV kurang dari cut off positive,
resisten sedang (RS) apabila nilai rerata AV sama dengan dan lebih besar dari nilai cut off
positive dan lebih rendah dari kontrol positif, sedangkan resistensi tinggi (RT) apabila nilai
rerata AV lebih besar dari kontrol positif.
Nyamuk Ae. aegypti asal kelurahan Cibeureum dikategorikan resisten sedang,
sedangkan nyamuk Ae. aegypti asal kelurahan Cimahi dan Cibabat dikategorikan sangat
sensitif. Karena tidak ada kontrol positif, maka status resistensi nyamuk Ae. aegypti dari
15
populasi beberapa kelurahan di kota Cimahi dapat digolongkan pada kategori seperti di
bawah ini.
Tabel 6. Gambaran Status Resistensi Nyamuk Ae. Aegypti Yang Berasal Dari Beberapa
Populasi Di Kota Cimahi Terhadap Insektisida Organofosfat Dengan Uji
Biokemis
Asal populasi
Nyamuk
Status resistensi nyamuk (%)
Sangat sensitif (SS) AV
< 0,256
Resisten sedang (RS)
AV ≥ 0,256
Resistensi tinggi
(RT)
Cimahi 62,50 37,50 -
Cibeureum 62,50 37,50 -
Cibabat 93,75 6,25 -
Berdasarkan tabel di atas bahwa populasi nyamuk Ae. aegypti dari kelurahan Cimahi,
Ciberem dan Cibabat dikategorikan dalam resistensi sedang terhadap insektisida
organofosfat (malation).
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4
A B
Gambar 6. Hasil ELISA aktivitas enzim esterase nonspesifik populasi nyamuk Ae. aegypti berasal
dari Cimahi, Cibeureum dan Cibabat kota Cimahi terhadap insektisida organofosfat
(malation) pada λ= 450nm
Keterangan A: A 1,2 – H 1,2 : Ae. aegypti (perlakuan) dari kelurahan Cimahi A 3,4 – H 3,4 : Ae. aegypti (kontrol) dari kelurahan Cimahi A 5,6 – H 5,6 : Ae. aegypti (perlakuan) dari kelurahan Cibeureum A 7,8 – H 7,8 : Ae. aegypti (kontrol) dari kelurahan Cibeureum
16
A 9,10 – H 9,10 : Ae. aegypti (perlakuan) dari kelurahan Cibabat A 11,12 – H 11,12 : Ae. aegypti (kontrol) dari kelurahan Cibabat Keterangan B: A 1,2,3,4 – G 1,2,3,4 : Ae. aegypti kontrol (-) dari laboratorium B2P2VRP H 1,2,3,4 : Blanko
Berdasarkan pengamatan secara kualitatif (skor warna) diketahui bahwa populasi
nyamuk Ae. aegypti yang berasal dari kelurahan Cimahi, Cibeureum dan Cibabat
menunjukkan status resistensi sedang terhadap insektisida organofosfat (malation).
Tabel 7. Status Resistensi Nyamuk Ae. Aegypti Yang Berasal Dari Beberapa Populasi Di
Kota Cimahi Terhadap Insektisida Organofosfat Dengan Uji Biokemis Dengan
Pengamatan Secara Kualitatif
Daerah penelitian Jumlah
nyamuk
Jumlah replikat Rerata skor intensitas
warna
Status resistensi
Cimahi 16 32 2,22 (biru) RS
Cibeureum 16 32 2,44 (biru) RS
Cibabat 16 32 2,00 (biru) RS
Control (-) 7 28 1,32 ( biru muda) SS
SS (Sangat sensitif) : rerata skor < 2,00 (tidak berwarna/ biru muda) RS (resisten sedang) : rerata skor 2,00 – 2,50 (biru) RT (resisten tinggi) : rerata skor > 2,50 (biru tua)
Hasil uji biokemis populasi nyamuk Ae. aegypti yang resisten (masih hidup) terhadap
insektisida sipermetrin setelah uji hayati dari masing-masing kelurahan. Nyamuk dari
kelurahan Cimahi sebanyak 13 ekor (5 ekor perlakuan dan 8 ekor kontrol), dari
Cibeureum sebanyak 10 ekor (2 ekor perlakuan dan 8 ekor kontrol), dari Cibabat
sebanyak 16 ekor (8 ekor perlakuan dan 8 ekor control). Uji biokemis untuk mengetahui
status resistensi nyamuk Ae. aegypti terhadap insektisida piretroid (sipermetrin) dan
mekanisme resistensi yaitu melihat aktivitas enzim monooxygenase. Distribusi dan
persentase nilai Absorbance Value (AV) nyamuk Ae. aegypti dari beberapa populasi di
kota Cimahi terlihat pada Table berikut:
Tabel 8. Distribusi , Frekuensi Dan Persentase Nilai AV Dari Aktivitas Enzim
Monooxygenase Nyamuk Ae. Aegypti Yang Berasal Dari Beberapa Populasi Di
Kota Cimahi Dengan Uji Biokemis
Nilai AV
Kel. Cimahi Kel. Cibeureum Kel. Cibabat Kontrol (-)
Frek. % Frek. % Frek. % Frek %
0,101 – 0,200 5 19,23 - - 9 28,13 26 92,86 0,201 – 0,300 10 38,46 11 55,00 15 46,88 1 3,57 0,301 – 0,400 4 15,39 3 15,00 6 18,75 1 3,57 0,401 – 0,500 2 7,69 2 10,00 1 3,12 - - 0,501 – 0,600 2 7,69 1 5,00 1 3,12 - - 0,601 – 0,700 3 11,54 - - - - - - 0,701 – 0,800 - - - - - - - -
17
0,801 – 0,900 - - - - - - - - 0,901 – 1,000 - - 3 15,00 - - - -
0,101 – 1,000 Jml. Nyamuk
26 13
100 20 10
100 32 16
100 28 7
100
Dari Tabel tersebut di atas dapat dilihat bahwa nilai AV nyamuk Ae. aegypti dari
masing-masing populasi bervariasi, yaitu berkisar antara 0,101 sampai dengan 1,000.
Nilai AV nyamuk kontrol negatif berkisar antara 0,101 sampai dengan 0,400.
Nilai AV nyamuk Ae. aegypti dari masing-masing populasi disetiap kelurahan dirata-
ratakan sebagai berikut.
Tabel 9. Rerata Nilai AV Dari Aktivitas Enzim Monooxygenase Spesifik Nyamuk Ae.
Aegypti Yang Berasal Dari Beberapa Populasi Di Daerah Kota Cimahi Dengan
Uji Biokemis
No. Asal nyamuk Rerata AV Simpangan baku
1 Kelurahan Cimahi 0,328 ± 0,161
2 Kelurahan Cibeureum 0,406 ± 0,263
3 Kelurahan Cibabat 0,256 ± 0,084
4 B2P2VRP (Kontrol negatif) 0,178 ± 0,032
Nilai cut off positive= 0,242. Nyamuk Ae. aegypti asal kelurahan Cimahi, Cibeureum
dan Cibabat dikategorikan resisten sedang, karena nilai rerata AV lebih besar dari nilai cut
off positive.
Karena tidak ada kontrol positif, maka status resistensi nyamuk Ae. aegypti dari
populasi beberapa daerah di kota Cimahi dapat digolongkan pada kategori seperti di
bawah ini.
Tabel 10. Gambaran Status Resistensi Nyamuk Ae. Aegypti Yang Berasal Dari Beberapa
Populasi Di Kota Cimahi Terhadap Insektisida Piretroid Dengan Uji Biokemis
Asal populasi
Nyamuk
Status resistensi nyamuk (%)
Sangat sensitif (SS) AV
< 0,242
Resisten (RS
AV ≥ 0,242
Resistensi
tinggi
Cimahi 53,85 46,15 -
Cibeureum 30,00 70,00 -
Cibabat 68,75 31,25 -
Berdasarkan tabel di atas bahwa populasi nyamuk Ae. aegypti dari kelurahan Cimahi,
Ciberem dan Cibabat resistensi sedang terhadap insektisida piretroid (sipermetrin).
18
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4
A B
Gambar 7. Hasil ELISA aktivitas enzim monooxygenase populasi nyamuk Ae. aegypti
berasal dari Cimahi, Cibeureum dan Cibabat kota Cimahi terhadap insektisida
piretroid (sipermetrin) pada λ= 595nm
Keterangan A:
A 1,2 – E 1,2 : Ae. aegypti (perlakuan) dari kelurahan Cimahi
A 3,4 – H 3,4 : Ae. aegypti (kontrol) dari kelurahan Cimahi
A 5,6 – B 5,6 : Ae. aegypti (perlakuan) dari kelurahan Cibeureum
A 7,8 – H 7,8 : Ae. aegypti (kontrol) dari kelurahan Cibeureum
A 9,10 – H 9,10 : Ae. aegypti (perlakuan) dari kelurahan Cibabat
A 11,12 – H 11,12 : Ae. aegypti (kontrol) dari kelurahan Cibabat
Keterangan B:
A 1,2,3,4 – G 1,2,3,4 : Ae. aegypti kontrol (-) dari laboratorium B2P2VRP
H 1,2,3,4 : Blanko
Nyamuk Ae. aegypti yang berasal dari kelurahan Cibabat, Cibeuruem dan Cimahi
sudah mengalami penurunan kerentanan, yaitu status resisten terhadap insektisida
organofosfat (malation) berdasarkan hasil uji hayati dengan kematian Ae. aegypti di
bawah 80% (Tabel 1). Hal ini tidak relevan lagi penggunaan insektisida malation dalam
program pengendalian vektor DBD di kota Cimahi. Walaupun Insektisida malation sudah
lebih dari 6 tahun tidak digunakan, namun masih mempunyai pengaruh terhadap status
kerentana populasi nyamuk Ae. aegypti di daerah tersebut. Lamanya proses resistensi
19
pada serangga terhadap insektisida sangat bervariasi, dari 1 – 2 tahun sampai berpuluh
tahun19.
Hasil uji biokemis, rerata nilai AV dari aktivitas enzim esterase nonspesifik nyamuk Ae.
aegypti dari beberapa populasi di kota Cimahi menunjukkan perbedaan (Tabel 4).
Aktivitas enzim esterase nonspesifik populasi nyamuk Ae. aegypti dari kelurahan
Cibeureum lebih lebih tinggi (0,261), dibandingkan dengan kelurahan Cimahi dan Cibabat
yaitu 0,246 dan 0,218. Hal ini sesuai dengan terjadinya perubahan warna hasil baca
dengan ELISA reader (Gambar 6), dimana secara visual, densitas warna biru lebih
mendominasi populasi nyamuk dari Cibeureum kemudian Cimahi dan Cibabat. Artinya
penurunan kerentanan nyamuk Ae. aegypti terhadap insektisida organofosfat (malation)
dari Cibeureum lebih besar dibandingkan dengan Cimahi dan Cibabat. Hal ini berkaitan
dengan aplikasi malation dalam program pengendalian DBD di wilayah tersebut.
Intensitas warna yang terjadi dari hasil reaksi tersebut menggambarkan aktivitas enzim
esterase nonspesifik pada masing-masing nyamuk yang diuji, diperkirakan berkolerasi
dengan mekanisme terjadinya resistensi. Tinggi rendahnya aktivitas enzim esterase
nonspesifik dapat dibedakan secara visual, yaitu dengan melihat perubahan warna yang
terjadi (kualitatif), dan densitas warna yang terjadi dapat dibaca dengan ELISA reader
pada λ=450nm.
Melihat Tabel 6, dari 16 ekor nyamuk hasil uji hayati dari Cimahi, setelah diuji biokemis
bahwa 10 ekor (62,50%) status rentan, maka aktivitas enzim esterase nonspesifik rendah
dan 6 ekor (37,50%) kategori resisten, maka sudah mengalami peningkatan aktivitas
enzim esterase, sama seperti dari kelurahan Cibeureum. Dari Cibabat 15 ekor (93,75%)
stautus resistensi rendah/ rentan, maka aktivitas enzim esterasenya rendah pula dan 1
ekor (6,25%) status resisten, maka aktivitas enzim esterasenya tinggi. Pada nyamuk yang
status resistensi rendah, maka aktivitas enzim esterasenya masih rendah pula, sehingga
pada waktu terpapar oleh insektisida organofosfat (temefos) nyamuk masih bisa
keracunan secara akut, karena kehilangan sistem kontrol kerja saraf. Transmisi impuls
saraf pada nyamuk diperantarai oleh asetilkolin yang bertindak sebagai neurotrnsmitter.
Kerja asetilkolin dipengaruhi oleh enzim asetilkolinesterase, yang akan menghidrolisis
asetilkolin menjadi kolin dan asam asetat untuk menghentikan impuls saraf20.
Peningkatan enzim esterase nonspesifik adalah salah satu proses penting dalam
detoksifikasi insektisida, sehingga menyebabkan serangga sasaran menurun status
kerentanannya21.
Naymuk Ae. aegypti dari kelurahan Cibeureum, Cimahi dan Cibabat sudah toleran
terhadap insektisida piretroid (sipermetrin). Hal ini berdasarkan hasil uji hayati
menunjukkan angka kematian nyamuk dari masing-masing daerah sebesar 97,33%,
93,33% dan 89,33%. Dengan demikian penggunaan insektisida piretroid (sipermetrin)
dalam program pengendalian vektor DBD di kota Cimahi perlu dimonitoring. Penurunan
status kerentanan nyamuk Ae. aegypti di daerah tersebut dimungkinkan karena
insektisida sipermetrin digunakan sudah lebih dari 6 tahun. Kemungkinan lain dari
insektisida rumah tangga, yaitu kebiasaan masyarakat menggunakan obat nyamuk agar
terhindar dari gigitan nyamuk, Obat nyamuk tersebut kebanyak tergolong ke dalam
insektisida piretroid. Penurunan kerentanan nyamuk terjadi pula di kecamatan Srumbung
kabupaten Magelang, hasil penelitian Akhid Darwin, bahwa nyamuk An. balabacensis
20
toleran terhadap insektisida piretroid sintetik (alfasipermetrin dan permetrin) dan nyamuk
An. aconitus dari kecamatan Kajoran toleran terhadap insetisida permetrin.
Dari 2,67% nyamuk Ae. aegypti yang masih hidup (2 ekor) hasil uji hayati dari
kelurahan Cibeureum, bahwa 50% (1 ekor) menunjukkan terjadi peningkatan aktivitas
enzim monooxygenase berdasarkan hasil uji biokemis yaitu nilai rerata AV-nya di atas cut
off positive (0,242) secara kualitatif menunjukkan warna biru. Sedangkan 50% (1 ekor)
nilai rerata AV di bawah cut off positive, secara kualitatif tidak menunjukkan warna biru
(Gambar 7). Peningkatan aktivitas enzim monooxygenase akan menurunkan dosis letal
insektisida piretroid menjadi subletal, sehingga tidak lagi mematikan serangga sasaran.
Nyamuk Ae. aegypti dari kelurahan Cimahi yang masih hidup setelah uji hayati sebesar
6,67% (5 ekor) menunjukkan, bahwa 60% (3 ekor) menunjukkan terjadi peningkatan
aktivitas enzim monooxygenase berdasarkan hasil uji biokemis yaitu nilai rerata AV-nya di
atas cut off positive (0,242) secara kualitatif menunjukkan warna biru. Sedangkan 40% (2
ekor) nilai rerata AV di bawah cut off positive, secara kualitatif tidak menunjukkan warna
biru (Gambar 7).
Nyamuk Ae. aegypti dari kelurahan Cibabat yang masih hidup setelah uji hayati sebesar
10,67% (8 ekor) menunjukkan, bahwa 37,50% (3 ekor) menunjukkan terjadi peningkatan
aktivitas enzim monooxygenase berdasarkan hasil uji biokemis yaitu nilai rerata AV-nya di
atas cut off positive (0,242) secara kualitatif menunjukkan warna biru, dan 62,5% (5 ekor)
nilai rerata AV di bawah cut off positive, secara kualitatif tidak menunjukkan warna biru
(Gambar 7). Mekanisme penurunan status kerentanan serangga terhadap insektisida
golongan piretroid sintetik tersebut menunjukkan kesamaan dengan uji yang telah
dilakukan oleh Chareonviriyaphap et al., (2003), berkaitan dengan mekanisme resistensi
nyamuk An. minimus terhadap insektisida piretroid sintetik yaitu terjadinya perubahan
warna menjadi biru apabila terdapat adanya peningkatan enzim monooxygenase.
Monooxygenase merupakan rantai enzim yang terkait dengan cytocrome P-450 dan
peletakan enzim monooxygenase tersebut dapat menunjukkan tingkat toleransi terhadap
sintetik piretroid 22.
D. KESIMPULAN dan SARAN
1. Kesimpulan a. Nyamuk Ae. aegypti telah mengalami penurunan kerentanan, yaitu di kelurahan
Cimahi, Cibeureum dan Cibabat sudah resisten terhadap insektisida organofosfat
(malation).
b. Nyamuk Ae. aegypti telah mengalami penurunan kerentanan, yaitu di kelurahan
Cimahi, Cibeureum dan Cibabat toleran terhadap insektisida piretroid (sipermetrin).
c. Terjadi peningkatan aktivitas enzim esterase nonspesifik pada nyamuk Ae. aegypti
terhadap insektisida malation (organofosfat) baik secara kualitatif maupun kuantitatif.
d. Terjadi peningkatan aktivitas enzim monooxygenase pada nyamuk Ae. aegypti
terhadap insektisida sipermetrin (piretroid) baik secara kualitatif maupun kuantitatif.
21
2. Saran a. Malation tidak digunakan lagi dalam thermal fogging, karena nyamuk Ae. aegypti di
lokasi tersebut resisten diganti dengan insektisida lain yang berbeda golongan
maupun cara kerjanya dan pengendalian larva menggunakan IGR.
b. Sebelum dilakukan thermal fogging dengan insektisida, sebaiknya dilakukan uji hayati
nyamuk Ae. aegypti di lokasi tersebut terhadap insektisida yang akan digunakan.
c. Penelitian yang sama terhadap kelurahan yang belum diteliti, untuk memperoleh
gambaran tentang status kerentanan/ resistensi secara menyeluruh dan sebaiknya
disertakan nyamuk Ae. aegypti yang resisten sebagai kontrol positif.
d. Pada waktu melakukan uji biokemis sebaiknya dalam 1 mikroplet terdiri dari nyamuk
uji, kontrol (-), kontrol (+) dan Blanko.
DAFTAR PUSTAKA
Rezeki S. Demam Berdarah Dengue. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, 2004
Depkes, RI. Perilaku dan Siklus Hidup Nyamuk Aedes aegypti Sangat Penting Diketahui Dalam Melakukan Kegiatan Pemberantasan Sarang Nyamuk Termasuk Pemantauan Jentik Secara Berkala. Bulletin Harian. Jakarta, 2004
Depkes, RI. Kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) di Indonesia. Bulletin Harian. Jakarta, 2005
Reiter P and Gubler D.J. Surveillance and control of urban dengue vectors. In Gubler D.J. and Kuno G.(Eds). Dengue and dengue hemorrhagic fever. CAB International. Pp. 425-462, 1997
Rigau-Perez J.G. and Gubler D.J. Surveillance for dengue and dengue hemorrhagic fever. In Gubler D.J. and Kuno G.(Eds). Dengue and dengue hemorrhagic fever. CAB International. Pp. 405-423, 1997
Rodriguez M.M., Bisset J.A., Mila L.H., Calvo E., Diaz C and Alain Soca L. Levels of insecticide resistance and its mechanisms in a strain of Aedesaegyptie of Santiago de Cuba. Rev Cubana Med Trop 5:83-88, 1999
Karunaratne SHP and Hemingway J. Malathion Resistance and Prevalence of the Malathion Carboxylesterase Mecanism in Population of Mosquito Vector of Disease in Sri Langka. Bulletin of the World Health Organization. 2001; 79(11): 1060 – 1064, 2001
Kusbaryanto, Mardihusodo SJ, Tjokrosonto S. Deteksi resistensi larva Culex quinquefasciatus say terhadap malathion dengan teknik bercak kertas saring di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, J.Ked.Yarsi 2002; 10(1): 14 – 25, 2002
Sudijono. Malathion. Ditjen P3M Depkes RI. Jakarta, 1983
WHO Studi Group. Vector Control for Malaria and Other Mosquito Borne Diseases. WHO Technical Report Series. No. 857. WHO. Geneva. 91 p, 1995
22
Georghiou, G.P. and R.B. Mellon. Pesticide Resistence in Time and Space. In: Pest Resistence to Pesticides (Eds. G.P. Georghiou & T. Saito). Plenum Press, New York. P. 1-46, 1983
WHO. Evaluation and Testing of Insecticides, Geneva, 34, 1996
Lee, H.L. A Rapad and Simple Biochemical Method for the Detection of insecticida Resistance Due to Elevate Esterase Activity in Culex quinquefasciatus. Tropical Biomedicine. 7: 21-26, 1990
Brogdon W.G., R.F Beach., A.M Brber and C.C Rosales. A Generalyzed Approach to Detection of Organophosphate Resistance in Mosquitoes. Medical and Veterinary Entomology 6, 110-114, 1992
Chareonviriyaphap., Rongnoparut P., Chantarumporn P.J., Bang Michael. Biochemical detection of pyretroid resistance mechanisms in Anopheles minimus in Thailand. Journal of Vector Ecology. 28: 108-116, 2003
Hardiyanto, S. Infeksi Subklinis Mycobacterium leprae dan hubungannya dengan Faktor-faktor Risiko di Indonesia. Kajian Seroepidemiologik dan Imunogenetik. Desertasi. UGM. Yogyakarta, 1996
Mardihusodo S.J. Deteksi Resistensi Insektisida Organofosfat pada Nyamuk Aedes aegypti Linn. Dengan metode uji noda kertas saring. Lembaga penelitian Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta, 1995
Lee, H.L. Esterase Activity and Temephos Susceptibility in Aedes aegypti (L) Larvae. Mosquito Borne Disease Bull. 8: 91-94, 1991
Georghiou, G.P. The Magnitude of Resistance Problem. Pesticide Resistance. National Academy Press. Washington, 1986
Mulyaningsih Budi. Penentuan Status Resistensi Larva Aedes albopictus Skuse dari beberapa populasi di Daerah Istimewa Yogyakarta terhadap Insektisida Organofosfat dengan cara mengukur aktivitas Esterase Nonspesifik. Hasil Penelitian. FK. UGM. Yogyakarta, 2003
Yasutomi. K. Role of detoxication esterase in insecticide resistences in G.P. Georghiou & T. Saiti (ed): Pest Resistance to pesticide. Plenum Press. New York, 1976
Nelson. D.R., L. Koymans, T. Kamataki, J.J. Stegman, R. Feyereisen, D.J. Waxman, M.R. Waterman, O. Gotoh, M.J. Coon, R.W. Eastbrook, I.C. Gunsalus, and D.W. Nebert. P450 superfamily. Update onnew squences. Gene mapping, accession numbers and nomenclature numbers Pharmacogene tics 6: 1-42, 1996