volume 10 nomor 1 a april 2011
TRANSCRIPT
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
ANALISA UNJUK KERJA POMPA HIDRAM PARALEL DENGAN VARIASI BERAT BEBAN DAN PANJANG LANGKAH KATUP LIMBAH
Muhamad Jafri, Ishak Sartana Limbong Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Sains dan Teknik, Universitas Nusa Cendana
ABSTRACT
This study aims to determine the influence of pump efficiency variations hydram with heavy loads and stroke waste valve. The method used is the experimental method used to pump dimensions are 2 inches, has a diameter of inlet (D): 1.5 inch diameter pipe and expenses (d): ½ inch. From the results of testing and regression analysis found that the variation of load weight and stroke waste valve hydram effect on pump efficiency. The highest efficiency of this result on hydram pumps connected in parallel with stroke 0.5 cm and weighs 400 grams valve that is 55.30% in efficiency D'Aubuission. Keywords : pump hydram, waste valve, efficiency.
Kenyataan menunjukkan bahwa
masih banyak pemukiman di pedesaan
yang sulit memperoleh air bersih untuk
keperluan rumah tangga, kehidupan
sayur-sayuran maupun untuk
keberlangsungan hidup bagi hewan
ternak. Kebanyakan sumber air yang ada
berada pada posisi lebih rendah dari
pemukiman penduduk.
Penggunaan pompa Hidraulik Ram
(Hidram) yang mana tanpa membutuhkan
energi listrik, serta pengoperasiannya
sederhana, mempunyai prospek yang
baik.
Pompa hidram merupakan suatu
alat yang digunakan untuk menaikkan air
dari sumber air yang rendah atau yang
berada ke tempat yang lebih tinggi secara
automatik. Sumber energi dari pompa
berasal dari tekanan dinamik atau gaya
air yang timbul karena perbedaan
ketinggian sumber air ke pompa. Gaya
tersebut akan digunakan untuk
mengerakkan katup limbah sehingga
diperoleh gaya yang lebih besar untuk
mendorong air.
Untuk unit-unit pompa yang bekerja
secara paralel, pompa haruslah bekerja
pada daerah yang stabil, ini dapat
diilustrasikan dengan menganggap bahwa
dua unit pompa yang sedang beroperasi
atau bekerja pada kapasitas rendah di
daerah tak stabil karena adanya
perbedaan tekanan dan ketinggian pada
susunan pipa dan kerugian gesekkan.
Penelitian pompa hidram dengan
variasi beban katup limbah dilakukan
oleh Cahyanta, dkk, (2008). Hasil
1
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
penelitian mununjukkan bahwa kapasitas
aliran maksimum, dan efisiensi
maksimum dicapai pada berat beban
katup limbah 410 gram yaitu sebesar
11,146 x 10-5 m3/s, dan efisiensi
maksimum 16,302%.
Penelitian serupa juga dilakukan
oleh Gan, et al. (2002). Hasil percoban
dan analisa varians serta regresi response
surface diporoleh bahwa faktor volume
tabung dan beban katup limbah
berpengaruh pada efisiensi pompa, begitu
pula interaksi antara kedua faktor.
Efisiensi terbaik adalah volume tabung
1300 ml dan beban katup 400 g untuk
mendapatkan efisiensi 42,9209%.
Gambar 1. Instalasi pompa hidram Sumber : Jurnal teknik mesin
Sistem instalasi pompa hidram
terdiri atas beberapa bagian antara lain:
1. Pipa pemasukan
Pipa pemasukan merupakan saluran
antara sumber air dan pompa.
2. Rumah Pompa
Rumah pompa merupakan ruang
utama dan tempat terjadinya proses
pemompaan.
3. Katup limbah
Merupakan tempat keluarnya air yang
berfungsi memancing gerakan air
yang berasal dari reservoir. Katup
limbah yang berat dan langkah katup
yang panjang memungkinkan
kecepatan aliran air dalam pipa
mencapai titik maksimum, sehingga
pada saat katup limbah menutup
terjadi energi tekanan (efek water
hammer) yang besar dan daya
pemompaan yang tinggi, namun debit
2
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
air yang terbuang relatif banyak.
Katup limbah yang relatif ringan dan
langkah yang pendek akan
memberikan denyutan yang lebih
cepat dan hasil pemompaan lebih
besar pada tinggi pemompaan yang
rendah. (Hanafie & Longh, 1979).
Kompoen katup buang jenis kerdam
sederhana;
Gambar 2. Komponen katup limbah jenis kerdam
4. Katup pengantar
Katup yang menghantarkan air dari
rumah pompa ke tabung udara, serta
menahan air yang telah masuk agar
tidak kembali masuk ke rumah
pompa.
5. Tabung udara
Tabung ini berfungsi untuk
memperkuat tekanan dinamik.
6. Pipa pengantar
Pipa pengantar merupakan saluran air
yang mengantarkan air dari pompa ke
bak penampung.
Tinggi Tekan Total (Head)
Head total (H) pompa yang harus
disediakan untuk mengalirkan jumlah air
seperti direncanakan, dapat ditentukan
dari kondisi instalasi yang akan dilayani
oleh pompa (Sularso dan Tahara, 2004) :
dimana :
3
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
: head total pompa (m) : head statis pompa (m)
: selisih head tekanan (m) : kerugian gesek (m)
: head kecepatan (m)
Head Kerugian
Head kerugian terbagi dalam dua
kelompok yaitu mayor losses dan minor
losses. Mayor losses adalah kerugian
yang disebabkan karena gesekan yang
dapat dihitung dengan persamaan Darcy,
sebagai berikut (Sularso dan Tahara,
2004),
dimana : = Koefisien kerugian gesek
= Panjang pipa (m) = Diameter dalam pipa (m) = kecepatan rata-rata aliran
dalam pipa (m/s) Sedangkan minor losses adalah
kerugian akibat perubahan penampang,
perubahan ukuran pada saluran;
sambungan, belokan, katup, dan aksesoris
yang lainnya (Sularso dan Tahara, 2004),
Debit Air
Debit merupakan banyaknya
volume air yang melewati suatu saluran
persatuan waktu. Apabila Q (m3/s )
menyatakan debit air dan v (m3)
menyatakan volume air, sedangkan ∆t (s)
adalah selang waktu tertentu mengalirnya
air tersebut, maka hubungan antara
ketiganya dapat dinyatakan sebagai
berikut:
Efisiensi Pompa Hidram
Untuk mengetahui efisiensi pompa
hidram, dalam penelitian ini digunakan
dua persamaan efisiensi yaitu efisiensi
D’Aubuisson dan efisiensi Rankine.
Efisiensi D’Aubuission dapat dihitung
dengan menggunakan persamaan
(Michael and Kheepar,1997):
dimana : : efisiensi pompa hidram (%)
: debit air pemompaan ( ) : debit air yang terbuang (m 3 /s)
: Tinggi jatuh air (m) : Tinggi angkat (m)
Efisiensi menurut Rankine merupakan
perbandingan antara selisih tinggi tekan
isap dan sisi buang dikali kapasitas
pengisapan, dengan tinggi tekan isap
dikalikan kapasitas air yang dipindahkan
(Michael and Kheepar,1997):
dimana : : efisiensi pompa hidram (%)
Tujuan penelitian adalah untuk
mengetahui pengaruh berat beban dan
panjang langkah katup limbah terhadap
unjuk kerja pompa hidram yang dirangkai
paralel terhadap efisiensi.
Manfaat penelitian adalah
diperolehnya ukuran katup limbah yang
4
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
sesuai kondisi debit air masuk, dan dapat
menghasilkan debit air sesuai kebutuhan.
MATERI DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kali
Bonik Kelurahan Sikumana dari bulan
Juli s/d Agustus 2010.
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan adalah
pompa hidram 2 inchi 2 buah, stopwatch,
meteran air, dan GPS. Sedangkan bahan
yang digunakan : timah, plat 5 ml dan
isolasi.
Rancangan Penelitian
Penelitian dilakukan dengan
melakukan percobaan terhadap objek
penelitian serta adanya kontrol, dengan 7
variasi beban, yakni 400 g sampai 700 g
dengan selisih 50 g, serta variasi panjang
angkah katup limbah, yakni 0,5 cm; 1
cm; 1,5 cm.
Pengambilan Data
Variabel yang akan diamati
adalah; tinggi jatuh air (Hs), tinggi
pemompaan (Hd), debit air terbuang,
debit pemompaan, ukuran diameter
lubang katup dan beban katup limbah,
jarak mata air ke pompa.
Teknik Analisa Data
Hasil penelitian dianalisa
menggunakan rumus yang ada untuk
mengetahui efisiensi pompa dan analisis
regresi sederhana untuk mengetahui
pengaruh antara variabel bebas dan
variabel terikat. Bentuk umum regresi
kuadratik sederhana (Sugiono, 2008):
dimana: Y adalah nilai variabel terikat
yang diprediksikan, a adalah harga Y bila
X = 0 (harga kostan), b1 dan b2 adalah
koefisien regresi, sedangkan X adalah
nilai variabel bebas. Untuk menguji
tingkat signifikansi koefisien regresi,
digunakan rumus (Sudjana, 2002):
Koefisien determinasi adalah suatu
alat ukur untuk mengetahui sejauh mana
tingkat hubungan antar variabel X dan Y.
R = R2 x 100 %
Beban
5
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil eksperimen diperoleh debit air
terbuang (Qp), debit pemompaan (QW)
dan jumlah denyutan adalah sebagai
berikut :
Tabel 1. Debit Pemompaan, Qp (m3/s) Untuk Setiap Variasi Pembebanan dan Panjang Langkah Katup Limbah.
Panjang Langkah (cm) Qp (10
‐5× m3/s) 0,5 1 1,5
400 11,5 9 8,5
450 7 7 6
500 7 6,5 5
550 5 4,5 3,5
600 3,5 3,5 0
650 0 0 0
Ber
at B
eban
kat
up
lim
bah
(g
ram
)
700 0 0 0
Tabel 2. Debit Air Terbuang (Qw) (m3/s) Untuk Setiap Variasi Pembebanan dan Panjang Langkah Katup Limbah
Panjang Langkah (cm) Qp (10
‐5× m3/s) 0,5 1 1,5
400 7 7 7
450 7 8 8
500 7,6 8 9,4
550 9 9,4 1,4
600 1 1 0
650 0 0 0
Ber
at B
eban
kat
up
lim
bah
(g
ram
)
700 0 0 0
Tabel 3. Denyutan Untuk Setiap Variasi Pembebanan dan Panjang Langkah katup limbah.
Panjang Langkah (cm) Denyutan / 20
detik 0,5 1 1,5
400 28 21 20
450 24 19 17
500 20 18 13
550 14 13 6
600 8 4 0
650 0 0 0
Ber
at B
eban
kat
up
lim
bah
(g
ram
)
700 0 0 0
Pengolahan Data
Head efektif untuk pipa pemasukan
dan pipa pengantar diketahui dengan
menghitung head loss pipa pemasukan
dan pengantar. Nilai koefisien untuk
setiap head loss ditunjukkan pada tabel
berikut :
Tabel 4. Data koefisien head loss untuk pipa pemasukan dan pipa pengeluaran
Koefisien head loss Bentuk head loss Pipa
Pemasukan Pipa
pengantarKatup (f) 10,0 10,0 Belokan 90°(f) 1,265 - Pembesaran penampang (f)
1 -
Sambungan T (f) 2,0 2,0 Ujung masuk pipa (f)
0,56 -
Gesekan 0,08 Ujung keluar pipa (f)
- 1,0
Efisiensi Pompa Hidram
Efisiensi pompa hidram
menggunakan persamaan D’Aubuission
dan Rankine.
6
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
Tabel 5. Efisiensi D’Aubuission (%) Untuk Setiap Variasi Pembebanan dan Panjang Langkah Katup Limbah.
Panjang Langkah (cm) ηD(%) 0,5 1 1,5
400 55.3098 43.1137 39.9662
450 31.2452 30.1967 25.0204
500 30.5051 27.5576 20.0879
550 20.0062 17.7927 14.7511
600 13.6169 13.6169 0
650 0 0 0
Ber
at B
eban
kat
up
lim
bah
(g
ram
)
700 0 0 0
Tabel 6. Efisiensi Rankine (%) Untuk Setiap Variasi Pembebanan dan Panjang Langkah Katup Limbah.
Panjang Langkah (cm) ηD(%) 0,5 1 1,5
400 47.9679 35.7997 32.6764
450 24.3696 24.0889 19.3969
500 24.1043 21.6716 15.8373
550 15.5621 13.8573 12.1338
600 10.5935 10.5935 0
650 0 0 0
Ber
at B
eban
kat
up
lim
bah
(g
ram
)
700 0 0 0
Grafik dan Pembahasan
Gambar 3. Grafik Pengaruh Pembebanan dan Panjang Langkah Katup Limbah Terhadap Debit Air Terbuang (Qw).
Grafik ini menunjukkan bahwa
pada awalnya untuk semua variasi
panjang langkah, debit air yang terbuang
cenderung naik. Hal ini terjadi karena
semakin panjang jarak tempuh yang
dijalani torak maka akan memberi waktu
yang lama pada air untuk keluar. Namun
untuk panjang langkah 1,5 cm,
penambahan beban sampai 600 gram
debit air yang terbuang menurun secara
drastis, ini terjadi karena dengan jarak
tempuh yang dilalui katup cukup jauh
dan beban yang diterima oleh katup tidak
sebanding dengan dorongan yang
diberikan air. Sedangkan untuk panjang
langkah 0,5 cm dan 1 cm, debit air baru
mulai menurun ketika penambahan beban
650 gram. Ini juga terjadi karena dengan
jarak tempuh yang dilalui katup cukup
pendek dorongan air yang datang masih
dapat mengimbangi beban 500 gram –
600 gram. Pada pompa hidram yang
dihubungkan secara paralel debit air
terbuang minimum diperoleh 0,0007
m 3 /s pada panjang langkah 0,5 cm dan
berat katup 400 gram.
7
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
Gambar 4. Grafik Pengaruh Berat Beban dan Panjang Langkah Katup Limbah Terhadap Debit Air Pemompaan (Qp).
Grafik di atas menunjukkan bahwa
debit pemompaan di pengaruhi oleh
pembebanan dan panjang langkah katup
limbah. Hasil ini sebenarnya merupakan
kebalikan dari debit air yang terbuang.
Dimana semakin berat beban katup
limbah dan panjang langkah ditambah
maka debit pemompaan yang dihasilkan
akan semakin kecil. Hasil penelitian
menunjukkan debit pemompaan
maksimum pompa hidram paralel
diperoleh sebesar 0,000115 m 3 /s pada
panjang langkah 0,5 cm dan berat beban
katup limbah 400 gram.
Gambar 5. Grafik Pengaruh Berat Beban dan Panjang Langkah Katup Limbah Terhadap Denyutan.
Grafik pada gambar 5 menunjukkan
bahwa penambahan berat beban dan
panjang langkah katup limbah
memperkecil jumlah denyutan, karena
semakin berat katup limbah maka waktu
yang dibutuhkan katup limbah untuk
menutup akan semakin lambat. Semakin
tinggi penambahan panjang langkah
maka semakin kecil jumlah denyutan
yang terjadi. Denyutan terbesar sebanyak
28 kali yaitu pada panjang langkah 0,5
cm dan berat katup 400 gram.
8
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
Gambar 6. Grafik Pengaruh Berat Beban dan Panjang Langkah Katup Limbah Terhadap Efiaiensi (D’Aubuission).
Gambar 7. Grafik Pengaruh Berat Beban dan Panjang Langkah Katup Limbah Terhadap Efisiensi (Rankine).
Grafik pada gambar 6 dan 7,
menunjukkan bahwa efisiensi pompa
hidram dipengaruhi oleh berat beban dan
panjang langkah katup limbah yaitu
efisiensi semakin kecil jika berat beban
dan panjang langkah katup limbah di
tambah. Hubungan ini merupakan
hubungan secara tidak langsung, karena
dari persamaan efisiensi, baik efisiensi
D’Aubuission maupun Rankine besaran
yang digunakan adalah debit air terbuang,
debit air pemompaan, head efektif
masukkan dan head efektif pemompaan.
Walaupun debit air terbuang dan debit air
pemopaan sangat dipengaruhi oleh berat
beban dan panjang langkah katup limbah,
yang telah ditunjukkan oleh grafik pada
gambar 4.1 dan grafik 4.2. Efisiensi
D’aubuission minimum diperoleh sebesar
13,61% terjadi pada berat beban 600 cm
dan panjang langkah katup limbah 1 cm,
sedangkan efisiensi tertinggi dari hasil
eksperimen adalah 55,31% efisiensi
D’Aubuission pada panjang langkah 0,5
cm dan beban katup limbah 400 gram.
Efisiensi Rankine minimum
diperoleh sebesar 10,59% terjadi pada
berat beban katup limbah 600 gram dan
panjang langkah 1 cm, sedangkan
efisiensi tertinggi dari hasil eksperimen
adalah 47,97% efisiensi Rankine pada
panjang langkah 0,5 cm dan berat beban
katup limbah 400 gram pada pompa
hidram yang dihubungkan secara paralel.
9
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
Gambar 8. Grafik Analisa Statistik Pengaruh Berat Beban Terhadap Efiaiensi (D’Aubuission).
Gambar 9. Grafik Pengaruh Panjang Langkah Katup Limbah Terhadap Efisaiensi (D’Aubuission).
Grafik pada gambar 8 dan 9
menunjukkan berat beban lebih
berpengaruh terhadap efisiensi pompa
hidram dibanding dengan panjang
langkah katup limbah, hal ini sesuai
dengan hasil analisa statistik yang telah
dilakukan di mana nilai rata-rata efisiensi
pompa hidram 91,1 % ditentukan oleh
faktor berat beban dengan persamaan
regresi Y = 178,8 - 0,441 X1 – 0,0002 X12
sedangkan nilai rata-rata efisiensi pompa
hidram 3,5% ditentukan oleh faktor
panjang langkah katup limbah dengan
persamaan regresi Y = 22,15 + 0,76 X2 –
4,013 X22.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan
analisis yang telah dilakukankan faktor
beban dan panjang langkah katup limbah
berpengaruh pada efisiensi pompa
hidram. Lebih jauh lagi diperoleh bahwa
untuk pompa hidram yang dirangkai
secara paralel menunjukkan bahwa
penambahan beban dan panjang langkah
katup limbah menurunkan efisiensi
pompa hidram. Efisiensi tertinggi pompa
hidram adalah : 55,30% efisiensi
D’Aubuission pada berat beban 400 gram
dan panjang langkah 0,5 cm. Sedangkan
Efisiensi Rankine yang tertinggi adalah
47,96% pada berat katup 400 gram dan
panjang langkah 0,5 cm. Faktor berat
beban lebih berpengaruh terhadap
efisiensi pompa hidram dibandingkan
dengan panjang langkah katup limbah.
10
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
DAFTAR PUSTAKA
Cahyanta, Y.A., Taufik, I., 2008. Studi Terhadap Prestasi Pompa Hidraulik Ram Dengan Variasi Beban Katup Limbah. Jurnal Ilmiah Teknik Mesin CAKRAM. Vol. 2 No. 2 (92 –96).
Gan, S.S., Santoso, G., 2002. Studi Karakteristik Tabung Udara dan Beban Katup Limbah
Terhadap Efisiensi Pompa Hydraulic Ram. Jurnal Teknik Mesin. Vol.4 No.2 (81 –87).http://puslit.petra.ac.id/journals/mechanical/ .
Hanafie, J., de Longh, H., 1979. Teknologi Pompa Hidraolik Ram Buku Petunjuk Untuk
Pembuatan dan Pemasangan. PTP-ITB Ganesha, Bandung. Michael, A.M., and S. D. Kheper., 1997, Water Well Pump Engineering, McGraw Hill
Publishing Compact Limited, New Delhi. Sudjana., 2002. Metode Statisika. Tarsito, Bandung. Sugiono., 2008. Metode Penelitian Administrasi Dilengkapi Dengan Metode R & D.
Alfabeta, Jakarta. Sularso., Tahara, H,. 2004. Pompa Dan Kompresor Pemilihan, Pemakaian dan
Pemeliharaan. Pradya Paramita, Jakarta.
11
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
ANALISIS KEMAMPUAN MATERIAL REMOVAL RATE DAN ELECTRODE RELATIVE WEAR KOMPOSIT CU – FE SEBAGAI ELEKTRODA EDM
TERHADAP PENAMBAHAN PARTIKEL GRAFIT
Dominggus G.H. Adoe Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Sains dan Teknik, Universitas Nusa Cendana
ABSTRACT
This research studied the effect of adding graphite particles as reinforcement of the ability of the material removal rate (MRR) and electrod erelative wear (ERW) of the composite Cu-Fe as an EDM electrode made using powder metallurgy techniques. Of 0 wt% graphite, 2.5 wt%, 5 wt%, 7.5 wt%, 10 wt%, 5.12 wt% and 15 wt% added to the Cu-1wt% Fe. Each composition of the powder into a green body dikompaksi use single action uniaxial pressing with pressure of 350 MPa, 500 MPa and 650 MPa sintered by using a horizontal tube furnace in an argon gas environment at 840 ° C sintering temperature, 870 ° C and 900 ° C. Tests performed on MRR and ERW EDM machine Genspark 50p with normal polarity and a large current 10 A. Results ability greatest MRR 0.0416 g / min and the smallest ERW 19.31% achieved by the composite with a composition of 15 wt% graphite dikompaksi at 350 MPa pressure and sintered at a temperature of 840 º C. The ability of the highest MRR is achieved on the addition of 7.5 wt% graphite. While the rate decreases with an increase ERW wt% graphite. Keywords: Cu-Fe composites, sintered, EDM, MRR, ERW
EDM (Electrical Discharge
Machining) adalah suatu proses
pemesinan nonkonvensional yang
pemakanan material benda kerja
dilakukan oleh loncatan bunga api listrik
( spark) melalui celah antara elektroda
dan benda kerja yang berisi cairan
dielektrik (Nadkarni, ASM 07,1998).
Tidak terjadi kontak antara benda kerja
dan elektroda pada saat proses
pemakanan material terjadi. Kondisi
pemakanan material yang ideal adalah
ERW yang seminimum mungkin MRR
semaksimal mungkin. Oleh karena itu
diperlukan material elektroda yang
mampu memenuhi kondisi tersebut.
Beberapa jenis material yang lazim
digunakan sebagai elektroda pada proses
EDM antara lain tembaga, grafit, dan
tungsten.
Tembaga murni walaupun
memiliki sifat konduktivitas elektrik dan
panas yang baik, tahan terhadap korosi,
dan mampu terhadap temperatur tinggi
tetapi memiliki machinability yang
buruk sehingga sangat sulit dikerjakan
dengan metode pemesinan konvensional.
Untuk memperbaiki machinability dan
sifat mekanis tembaga perlu
ditambahkan unsur-unsur logam atau
12
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
nonlogam agar mudah dibentuk dengan
metode pemesinan konvensional.
Grafit adalah material yang
paling umum digunakan sebagai bahan
elektroda EDM karenamemiliki sifat
machinability yang baik dan juga
karakteristik keausan yang rendah.
Kelemahan yang ada pada grafit adalah
sifatnya yang rapuh yang menjadi
kendala apabila dikehendaki bentuk
elektroda bersudut tajam karena bagian
ini akan terabrasi oleh aliran cairan
dielektrik pada saat proses pemesinan
EDM berlangsung.
Menggabungkan tembaga dan
grafit menjadi sebuah komposit matriks
logam (MMCs, Metal Matrix Composi
tes) merupakan hal yang banyak
dilakukan pada pembuatan elektroda
EDM, karena MMCs merupakan
gabungan logam matriks dan material
penguat tertentu (serat, whisker atau
partikel) pada skala makroskopis untuk
mendapatkan sifat yang lebih baik dari
material pembentuknya. MMCs memiliki
potensi yang besar pada perkembangan
teknologi karena dapat menghasilkan
paduan baru ke arah hasil yang lebih baik
(Kainer, 2006).
MMCs dengan material penguat
partikel, dibuat dengan metode metalurgi
serbuk yang prosesnya meliputi:
pencampuran serbuk (mixing), kompaksi
serbuk (compaction), dan proses sinter.
Kelebihan metode metalurgi serbuk
diantaranya adalah dapat diperoleh
bentuk akhir komponen sehingga
mengurangi biaya permesinan,
mengurangi tahap - tahap proses
produksi selanjutnya, laju produksi yang
tinggi sehingga sangat cocok untuk
produksi massal, dan hampir tanpa
material limbah (German, 1994).
Serbuk tembaga merupakan
salah satu material dasar pada
pembuatan komponen dengan metode
metalurgi serbuk yang menduduki
peringkat ketiga setelah besi dan baja.
Komposit tembaga secara umum
digunakan untuk komponen elektrik.
Sedangkan penambahan serbuk besi
dalam jumlah tertentu pada matriks
komposit tembaga akan meningkatkan
densitas komposit tersebut (Heikkinen,
2003). Dengan meningkatnya densitas
maka porositas komposit akan menurun
sehingga konduktivitas elektrik akan
meningkat. Selain daripada hal tersebut
diatas, partikel besi juga akan mengikat
unsur karbon yang terdapat pada grafit
dengan lebih baik. Grafit di industri juga
di gunakan sebagai elektroda EDM
karena memiliki sifat tahan terhadap
temperatur tinggi dan tahan kejutan
panas ( thermal-shock ) yang terjadi pada
saat proses discharge berlangsung,
harganya lebih murah. Kelemahan
13
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
material grafit adalah bersifat abrasive
dan getas (Bagiasna, 1979).
Pada penelitian ini dipelajari
pengaruh penambahan partikel grafit
pada komposit matriks logam Cu-1 wt%
Fe terhadap Material Removal Rate ,
dan Electrode Relative Wear yang
digunakan sebagai elektroda EDM.
Komposisi grafit pada komposit adalah 0
wt%, 2.5 wt%, 5 wt%, 7.5 wt%, 10 wt%,
12.5 wt% dan 15 wt%. Variasi tekanan
kompaksi adalah 350 MPa, 500 MPa
dan 650 MPa sedangkan sintering
dilakukan pada temperature 840 0C , 870 0C dan 900 0C.
Penelitian tentang metode
metalurgi serbuk dengan material dasar
tembaga telah dilakukanoleh beberapa
orang peneliti, antara lain : Heikkinen
(2003), Husain dan Han (2005), Chen
dkk(2004), Tsai dkk (2003), Kovacik dkk
(2004 dan 2008), Mataram (2007), dan
Nawangsari (2008).
Heikkinen (2003) menyatakan
bahwa cara terbaik untuk meningkatkan
konduktivitas termal dan elektrik dari
tembaga adalah mengurangi tingkat
ketidakmurnian (impurity levels). Tetapi
penambahan unsur lain juga diperlukan
untuk meningkatkan densitas material
paduan tersebut. Sedangkan densitas
berkaitan erat dengan porositas pada
material yang ada dan semakin rendah
porositas suatu material maka
konduktivitas elektrikalnya akan lebih
baik (German, 1994). Penambahan unsur
besi sebesar 1wt% pada tembaga
menghasilkan nilai resistivitas elektrikal
terendah, yaitu 0,016 Ω mm2
/m.(Heikkinen, 2003).
Hussain dan Han (2005) telah
melakukan penelitian tentang pengaruh
variasi partikel penguat alumina (Al2O3)
berdasar fraksi berat sebesar 2,5; 5; 7,5
dan 10 % pada matriks tembaga yang
dikompaksi pada tekanan 200 MPa dan
disinter pada temperatur 950 0C selama
1 jam, dari hasil penelitiannya
dilaporkan bahwa meningkatnya
kandungan alumina (Al2 O3) nilai
kekerasan komposit akan meningkat,
sedangkan nilai konduktivitas elektrik
dan densitas menurun seiring dengan
meningkatnya komposisi Al2O3.
Komposisi yang stabil untuk mencapai
keseimbangan pada kekerasan dan
konduktivitas elektrik dicapai pada
kandungan 5 % berat.
Selanjutnya dalam penelitian
dengan penambahan partikel penguat
juga d ilakukan oleh Chen dkk (2004),
penelitiannya mempelajari pengaruh
kandungan tembaga dan perunggu
sebesar 0, 4, 8, dan 15 % berat yang
ditambahkan pada Stainless Steel 316L
dengan tekanan kompaksi 650 MPa dan
disinter pada temperatur 1150 °C selama
14
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
1 jam. Hasilnya menunjukkan bahwa
dengan meningkatnya kandungan
tembaga maka densitas komposit
meningkat. Hal ini disebabkan oleh
aktivasi fase cair sintering terjadi pada
tembaga dan perunggu dan dalam
penambahan partikel penguat, densitas
tembaga dan perunggu lebih besar
dibanding dengan Stainless Steel 316L
sehingga komposit matriks Stainless
Steel 316L apabila dipadukan dengan
penguat tembaga dan perunggu nilai
densitas aktual komposit akan
meningkat. Sedangkan penelitian
Mataram (2007) menggunakan serbuk
karbon sebagai penguat sebesar 0, 5, 10,
dan 15% berat dengan matriks tembaga
yang dikompaksi pada tekanan 333 MPa
dan disinter pada variasi temperatur
8000C, 8500C, 9000C, dan 9500C
menyimpulkan bahwa dengan
penambahan penguat karbon sampai 5%
berat dan meningkatnya temperatur
sintering akan meningkatkan sifat
mekanis dari komposit.
Penelitian mengenai pembuatan
elektroda EDM dengan metalurgi serbuk
telah dilakukan oleh Tsai dkk (2003)
tembaga sebagai matriks dipadukan
dengan partikel penguat Cr sebesar 0, 20,
dan 43 wt% untuk membentuk elektroda
EDM dan dikompaksi pada tekanan 10
MPa, 20 MPa, dan 30 MPa hasilnya
menunjukkan bahwa Cu-0% berat Cr
yang dikompaksi 20 MPa diperoleh yang
paling baik.
Elektroda EDM dengan matriks
tembaga dan penguat karbon diteliti oleh
Nawangsari (2008)dengan partikel
penguat C sebesar 0 wt%; 2.5 wt%;
5wt%, dan 7.5 wt% pada tekanan
kompaksi 350MPa hasilnya
menunjukkan MRR tertinggi sebesar
0,067 g/min dicapai oleh spesimen
pengujian dengan penambahan 0%
karbon yang disi nter pada 9000C.
Sedangkan ERW terendah sebesar
16,13% dicapai oleh spesimen dengan
penambahan 5% karbon yang disinter
pada 9000C.
MATERI DAN METODE
Material yang digunakan adalah
copper fine powder ukuran +230 mesh
ASTM (<63 µm) ex Merck sebagai
matriks, iron powder extra pure ukuran
+ 270 mesh ASTM ( <53 µm) ex
Merck sebagai penguat dan serbuk grafit
ex Cina ukuran +270 mesh ASTM
(<53µm) sebagai penguat.
Pembuatan spesimen dan Prosedur Pengujian
Serbuk tembaga dan serbuk besi
dicampur terlebih dahulu d engan
rotating cylinder mixer selama 2 jam
untuk mendapatkan distribusi partikel
tercampur merata, kemudian serbuk
grafit ditambahkan sesuai komposisi
15
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
masing -masing dan pencampuran
dilanjutkan hingga 5 jam.
Green body dengan ukuran Ø 10
mm seberat 4 gram dibuat dengan
menggunakan peralatan kompaksi tipe
uniaxial pressing single action yang
terbuat dari stainless steel AISI 304
untuk die dan baja Special K (ex Böhler)
untuk punch, pada tekanan yang telah
ditentukan dengan menggunakan mesin
Tarno Grocky ti pe UPHG 20.
Selanjutnya green body disinter dengan
horizontal tube furnace (Type HVT
15/75/450 Carbolite) di lingkungan gas
argon dengan variasi temperatur sinter
8400C, 8700C, dan 9000C selama 1 jam
dengan laju pemanasan 50C /min. Hasil
dari contoh spesimen yang sudah disinter
dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Spesimen setelah disinter dengan variasi temperatur dan tekanan kompaksi
Spesimen yang telah disinter
digunakan sebagai elektroda EDM untuk
uji MRR dan ERW pada material benda
kerja baja S45C dengan menggunakan
mesin Genspark 50P. Besar arus 10 A
dan polaritas normal dalam cairan
dielektrik ESSO Univolt 64, waktu
pengujian ditentukan 10 menit.
Pengukuran Material Removal Rate (MRR) dan Electrode Relative Wear (ERW)
Material Removal Rate (MRR)
adalah laju pengerjaan material terhadap
waktu dengan menggunakan elektroda
EDM. MRR diukur dengan membagi
berat benda kerja sebelum dan setelah
proses machining terhadap waktu yang
dicapai (Rival, 2005) atau volume
material yang telah dikerjakan terhadap
waktu (Bagiasna, 1979).
Persamaan yang digunakan adalah:
dengan :
Wb = berat benda kerja sebelum machining (g)
Wa = berat benda kerja setelah machining (g)
tm = waktu yang digunakan untuk proses machining (min)
16
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
Nilai MRR sangat penting untuk
menunjukkan efisiensi dan efektivitas
biaya dari proses EDM.
Sedangkan ERW adalah material
removal yang terjadi pada elektroda dan
persamaan yang digunakan untuk
menghitung nilai ERW adalah :
dengan, EWW : selisih berat elektroda
sebelum dan setelah digunakan (g)
WRW : selesih berat benda kerja sebelum
dan setelah dikerjakan (g)
Semakin kecil nilai ERW
menunjukkan minimumnya perubahan
bentuk dari elektroda, sehingga akan
menghasilkan ketelitian yang lebih baik
dari produk yang dihasilkan. Contoh
spesimen elektroda komposit dan benda
kerja S45C yang telah diuji MRR dan
ERW dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Contoh hasil Uji MRR dan ERW
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pengujian MRR dan ERW
untuk masing-masing specimen dapat
dilihat pada grafikgrafik di bawah ini.
Gambar 3. Grafik wt% grafit vs MRR dari spesimen yang disinter pada temperatur 8400C
Gambar 4. Grafik wt% grafit vs ERW dari spesimen yang disinter pada temperatur 8400C
Penambahan partikel grafit akan
meningkatkan MRR komposit yang
disinter pada temperatur 8400C dalam
berbagai variasi tekanan kompaksi. Nilai
MRR tertinggi dicapai oleh komposit
dengan penambahan grafit sebesar 7.5
wt% tetapi kemampuan MRR akan
menurun apabila partikel grafit. > 7.5
wt% seperti yang terlihat pada Gambar 3.
Sedangkan pengaruh peningkatan wt%
partikel grafit terhadap nilai ERW
menunjukkan kecenderungan menurun
seiring dengan bertambahnya wt%
partikel grafit. Nilai ERW paling rendah
dicapai oleh komposit dengan partikel
grafit sebesar 15 wt%. Kecenderungan
17
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
yang sama terjadi pada komposit yang
disinter pada temperatur 870ºC dan
900ºC dalam berbagai tingkat tekanan
kompaksi. Ini membuktikan bahwa
tingkat tekanan kompaksi yang bervariasi
dari 350 MPa sampai 650 MPa pada saat
pembuatan green body tidak memberikan
pengaruh yang berarti terhadap
kemampuan MRR dan ERW komposit.
SIMPULAN
Komposit Cu-1wt% Fe akan
mengalami peningkatan MRR apabila
ditambah dengan partikel grafit karena
grafit adalah penghantar listrik yang baik
dan peningkatan kemampuan MRR
tertinggi dicapai oleh komposit pada
penambahan partikel grafit sebesar 7.5
wt%, tetapi apabila penambahan partikel
grafit > 7.5 wt% terjadi penurunan
kemampuan MRR seiring besarnya wt%
partikel grafit. Hal ini dikarenakan
semakin besar wt% grafit pada komposit
densitas semakin rendah.
Nilai ERW akan menurun sesuai
peningkatan wt% partikel grafit pada
komposit karena selain penghantar listrik
yang baik grafit adalah material elektroda
EDM yang terbaik.
Komposit Cu-1wt% Fe-Grafit
yang memiliki komposisi 10 wt% grafit
dengan tekanan kompaksi 350 Mpa dan
disinter pada 840 ºC merupakan bahan
elektroda EDM yang terbaik karena
memiliki kemampuan MRR terbesar dan
ERW terendah, yaitu 0,0534 g/mnt dan
20,22 % masing-masing.
Ucapan Terima Kasih
Pada kesempatan ini diucapkan
terima kasih kepada Kepala
Laboratorium Bahan Teknik, Jurusan
Teknik Mesin dan Industri, Fakultas
Teknik, Universitas Gadjah Mada dan
Kepala Laboratorium Teknik Produksi
Jurusan Teknik Mesin Universitas Negeri
Yogyakarta atas fasilitas dan bantuan
selama penelitian, serta ucapan terima
kasih yang sama kepada Bapak Aryo
Satito, Bapak Sunadji dan Bapak
Profesor Jamasri atas bantuan dan
kerjasama selama penelitian.
DAFTAR PUSTAKA ASM International, 2002,” ASM Introducing to Machining Process vol. 16” Bagiasna, K., 1979,”Proses-proses Pemesinan Nonkonvensional”, Departemen Mesin,
ITB. pp. 78-95
18
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
Callister, W.,2001,”Fundamental of Material Science and Engineering”, John Willey & Son Inc.
German, R.M, 1994, "Powder Metallurgy Science, 2nd edition", Metal Powder Industries
Federation, Princenton, New Jersey. Heikkinen, Samuli,2003,” Copper Alloy Properties”, Kovave Materialy, 38 Hussain, Z., dan Han, K., 2005, "Studies on Alumina Dispersion-Strengthened Copper
Composite Trough Ball Milling and Mechanical Alloying Method", Jurnal Teknologi, vol. 43, pp. 1-10.
Kainer, K.U., 2006,” Metal Matrix Composites, Custom Made Material for Automotive
and Aerospace Engineering”, Willey-VCH Verlag GmBH & Co. KGAa, WeinHeim.
Kovacik,J.,Emmer, S., Bielek, J., and Kalesi, L., 2004, "Thermal Properties of of Cu-
graphite Composites", Kovave Materialy, 42 Mataram, A., 2007, " Studi Sifat Fisis dan Mekanis komposit Cu/C", Thesis S2, Teknik
Mesin UGM. Nawangsari, Putri., 2008, “ Pengaruh Penambahan Partikel Karbon Terhadap Densitas,
Kekerasan, Konduktivitas Panas, Material Removal Rate, dan Electrode relative wear Pada Komposit Matriks Tembaga Sebagai Elektroda EDM”, Thesis S2, Teknik Mesin UGM
Rival, 2005, "Electrical Discharge Machining of Titanium Alloy Using Copper Tungsten
Electrode With SiC Powder Suspension Dielectric Fluid", Thesis S2, Fakulti Kejuruteraan Mekanikal, Universiti Teknologi Malaysia.
Tsai, H.C., Yan, B.H., dan Huang, F.Y., 2003, "EDM Performance of Cu/Cr- Based
Composite Electrode", International Journal of Machine Tool & Manufacture, vol 43, pp. 245 – 252.
19
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
APLIKASI METODE ELECTRE PADA PENGAMBILAN KEPUTUSAN MULTI KRITERIA (Literature Review)
Marlina Setia Sinaga Jurusan Matematika, Fakultas Sains dan Teknik, Universitas Nusa Cendana
ABSTRACT
In this paper, we analyze application of the ELECTRE method for multicriterial decision making. Over the last three decades a large body of research in the field of ELECTRE family methods appeared. Using the ELECTRE evaluation method in the absence of a differentiation process may produce results opposite to those desired by a decision maker. The purpose of this paper is to present a survey of the ELECTRE methods since their first appearance in mid-sixties, when ELECTRE I was proposed by Bernard Roy. Keywords: ELECTRE, decision making, evaluation method
Terjadinya proses pengambilan
keputusan disebabkan adanya beberapa
alternatif keputusan yang dapat
dipertimbangkan. Pada problema tertentu,
tidak cukup hanya pengidentifikasian
semua alternatif yang ada, tetapi juga
harus memilih keputusan optimal
berdasarkan berbagai hal antara lain
seperti: tujuan yang ingin dicapai, nilai-
nilai yang telah ditetapkan dengan
objektip, dan lain sebagainya (Harris,
1998). Tulisan ini akan mengkaji metode
ELECTRE sebagai salah satu metode
yang dapat dipergunakan untuk masalah
pengambilan keputusan. ELimination Et
Choix Traduisant la REalité atau
ELimination and Choice Expressing
REality (ELECTRE) mulai dikenal di
Eropa pada pertengahan tahun 1960
sebagai salah satu metode analisa
keputusan multi kriteria. ELECTRE
pertama kali diperkenalkan oleh Bernard
Roy melalui tulisannya pada jurnal
operations research di Prancis (Roy,
!968). Pada awalnya ELECTRE
merupakan metode pemilihan aksi terbaik
dari sekumpulan aksi yang ada, namun
selanjutnya dengan cepat berkembang
pada tiga ide dasar yakni: memilih,
meranking dan mensortir. Belakangan
ELECTRE berevolusi menjadi
ELECTRE I, ELECTRE II, ELECTRE
III, ELECTRE IV, ELECTRE IS, DAN
ELECTRE TRI (Figueira dkk, 2005).
PENGKAJIAN
ELimination and Choice Expressing REality (ELECTRE)
Aplikasi metode ELECTRE
terdiri dari dua fase yakni fase pertama
pembentukan dari satu atau beberapa
relasi outranking dengan tujuan untuk
20
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
membandingkan setiap pasangan aksi
atau alternatif, dan fase kedua merupakan
eksploitasi dari hasil yang telah diperoleh
pada fase pertama. Keseluruhan evolusi
dari metode ELECTRE seperti
ELECTRE I, ELECTRE II, ELECTRE
III, ELECTRE IV, ELECTRE IS, DAN
ELECTRE A berdasarkan pada indeks
konkordansi dan indeks diskordansi.
Untuk menghindari perbedaan keputusan
(kejanggalan/ diskordansi) berdasarkan
subjektifitas pengambil keputusan atau
setidaknya untuk memperkecil
perbedaan, maka tentunya seorang
pengambil keputusan harus memiliki
informasi selengkap mungkin dan
memahami setiap keanekaragaman
alternatif yang ada. Maka evaluasi
terhadap indeks diskordansi menjadi
tolak ukur pada metode evaluasi
ELECTRE (Huang-Chen, 2005).
Indeks konkordansi
Berdasarkan data pada matriks
keputusan, asumsikan bobot dari semua
kriteria sama dengan 1. Jika problema
pengambilan keputusan multi kriteria
berbentuk:
maxf1(a), f2(a),...,fk(a) : aA
(P)
maka untuk setiap pasangan aksi atau
pasangan alternatif (Al, Ak), atau al, ak
A memiliki indeks konkordansi clk
sebagai jumlah dari bobot semua kriteria
dengan syarat bahwa alternatif al tidak
lebih lemah atau setidaknya sama kuat
dengan alternatif ak.
clk = iafafi
wkili
)()(/
; l,k = 1, ..., n;
l k.
dimana A adalah himpunan alternatif
keputusan sebanyak n, dan f1, f2, ..., fk
adalah kriteria-kriteria yang digunakan
untuk mengevaluasi alternatif keputusan.
Indeks konkordansi hanya akan berkisar
diantar nilai 0 dan 1 (Fülöp,_).
Nilai dari semua indeks-indeks
konkordansi dapat dibentuk sebagai
matriks konkordansi C. Indeks
konkordansi adalah merupakan ukuran
tingkat dominasi alternatif al terhadap
alternatif ak (Hunjak,1997).
Indeks diskordansi
Indeks diskordansi menunjukkan
tingkat resistensi dari suatu alternatif
terhadap alternatif yang dominan
(Hunjak,1997). Karena setiap kriteria
memiliki ukuran tingkat resistensi yang
berbeda-beda maka dilakukan
normalisasi vektor agar semua ukuran
dapat dibandingkan satu sama lain.
Normalisasi untuk problema (P)
dilakukan pada kriteria fj(ai):
kkj
ij
x
x2
dimana xij = fj(ai).
Indeks diskordansi dkl dihitung sebagai
berikut:
21
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
dkl = **
**
)()(/
max
max
ljkjJj
ljkjafafj
xx
xxkjlj
Selanjutnya matriks diskordansi D
dibentuk dari indeks-indeks diskordansi.
Matriks MI dibentuk dari matriks
konkordansi dan matriks diskordansi.
Ambil c i d sebagai nilai rata-rata
indeks konkordansi dari indeks
diskordansi untuk membentuk matriks
MI.
mij =
selainnya,0
ddan c jika hanyadan jika,1 ijij dc
Jika mij = 1 artinya alternatif ai
mendominasi alternatif aj sehingga
terbentuk matriks dari indeks graph
dimana alternatif-alternatif sebagai buhul
dan alternatif yang dominan terhubung
oleh arch. Alternatif yang dominan
menjadi buhul ujung dari suatu arch.
Alternatif-alternatif yang tidak dominan
membentuk kernel graph. Keputusan
akhir diambil berdasarkan analisis kernel
dengan menghitung perubahan nilai dari
indeks c i d dan bobot dari kriteria.
Selanjutnya untuk meranking semua
alternatif pada set A dapat dilanjutkan
dengan menggunakan metode ELECTRE
II. Dengan memakai metode ELECTRE
II harus dihitung nilai konkordansi dari
dominan
ck =
n
kiikic
,1
-
n
kiiikc
,1
dan juga nilai diskordansi dari dominan
dk =
n
kiikid
,1
-
n
kiiikd
,1
Alternatif-alternatif diranking
berdasarkan nilai rata-rata tertinggi.
Pada ELECTRE TRI pengambian
keputusan multi kriteria ditambahkan
dengan teknik untuk mensortir kriteria,
dan harus ditetapkan pula nilai untuk
parameter yang digunakan.
Contoh sederhana normalisasi
Pada Tabel 1, diberikan tiga
alternatif a1, a2, a3 dan enam kriteria c1,
c2, c3, c4, c5, c6. Dengan hipotesa ketiga
alternatif melebihi threshold dari indeks
konkordansi dan nilai penyebut dari
indeks diskordansi sama.
Tabel 1. Data contoh pembentukan normalisasi
c1 c2 c3 c4 c5 c6
a1 2 2 2 2 2 4
a2 3 3 3 3 3 1
a3 3 7 5 1 5 6
Diasumsikan bahwa nilai preferensi dari
pengambil keputusan untuk setiap kriteria
adalah 1, artinya j = 1 adalah nilai dari
penyebut untuk setiap kriteria. Untuk
menghitung indeks diskordansi
digunakan evaluasi maksimum selisih
22
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
absolut dan jumlah selisih absolut,
sebagai berikut:
a12 = max (|2-3|,|2-3|,|2-3|,|2-3|,|2-3|)
= max (1,1,1,1,1) = 1
a21 = max (|1-4|) = max (3) = 3
a13 = max (|2-3|,|2-7|,|2-5|,|2-5|,|4-6|)
= max (1,5,3,3,2) = 5
a31 = max (|1-4|) = max (3) = 3
a23 = max (|3-7|,|3-5|,|3-5|,|1-6|)
= max (4,2,2,5) = 5
a32 = max (|1-3|) = max (2) = 2
Dari hubungan a1 dan a2 dapat
dibandingkan bahwa a12 < a21, maka
untuk indeks diskordansi a1 superior
terhadap a2. Selanjutnya dengan cara
yang sama semua hubungan alternatif
masing-masing dibandingkan dan hasil
akhir diperoleh bahwa a3>a1>a2.
Pada metode evaluasi ELECTRE,
alternatif dengan indeks diskordansi lebih
kecil akan menjadi alternatif yang dipilih.
Evaluasi jumlah selisih absolut.
a12 = (|2-3|+|2-3|+|2-3|+|2-3|+|2-3|)
= (1+1+1+1+1) = 5
a21 = (|1-4|) = (3) = 3
a13 = (|2-3|+|2-7|+|2-5|+|2-5|+|4-6|)
= (1+5+3+3+2) = 14
a31 = (|1-4|) = (3) = 3
a23 = (|3-7|+|3-5|+|3-5|+|1-6|)
= (4+2+2+5) = 13
a32 = (|1-3|) = (2) = 2
Dengan cara yang sama seperti evaluasi
maksimum selisih absolut, dibandingkan
setiap hasil sehingga diperoleh hasil akhir
bahwa a3>a2>a1.
Dapat dilihat bahwa hasil yang diperoleh
dengan menggunakan evaluasi
maksimum selisih absolut (a3>a1>a2)
berbeda dari hasil yang diperoleh dengan
evaluasi jumlah selisih absolut
(a3>a2>a1). Posisi urutan ranking
alternatif a1 dan a2 bertukar tempat pada
kedua hasil tersebut. Sementara alternatif
a3 merupakan alternatif yang paling
optimal, maka tentu saja perbedaan relatif
antara a3 dengan a1 dan a3 dengan a2
akan berubah secara signifikan. Misalnya
a3 dengan a1, indeks diskordansi kedua
alternatif tersebut akan meningkat dari 4
(a13 - a31 = 5 - 1 = 4) menjadi 13 (a13 -
a31 = 14-1 = 13) dengan demikian
perbedaannya sangatlah signifikan.
Perbedaan bahkan bisa lebih signifikan
jika jumlah kriteria evaluasi bertambah
banyak. Namun sesungguhnya kedua cara
evaluasi tersebut memberikan makna
yang berbeda. Evaluasi maksimum selisih
absolut menujukkan bahwa fokus dari
pembuat keputusan adalah pada
perbedaan utilitas terbesar dari kriteria,
sementara evaluasi jumlah selisih absolut
fokus pada jumlah perbedaan utilitas.
PENUTUP
Simpulan
Dengan menggunakan metode
evaluasi, nilai mutlak dari perbedaan
23
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
maksimum antara alternatif-alternatif
digunakan sebagai indeks diskordansi.
Pada artikel ini difokuskan pada
perbedaan dari kriteria dominan tunggal.
Nilai mutlak dari jumlah semua
perbedaan kriteria dipakai pada
keseluruhan kriteria-kriteria yang
digunakan.
Elemen utama dari metode evaluasi
adalah perhitungan indeks konkordansi
dan indeks diskordansi.
Rekomendasi
Banyak penelitian yang telah
dilakukan pada metode ELECTRE
dengan perspektif yang berbeda-beda.
Tentunya masih terbuka peluang yang
besar untuk melanjutkan penelitian yang
lebih rasional untuk evaluasi ELECTRE.
Metode evaluasi ELECTRE dapat
diterapkan bersama-sama dengan metode
evaluasi lainnya untuk menentukan
urutan ranking alternatif-alternatif.
Namun, tentunya perlu diteliti lebih
lanjut apa keuntungan dan kelemahan
dari kombinasi berbagai metode evaluasi
serta perbedaan-perbedaan di antara
metode tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Figueira, José; Salvatore Greco, Matthias Ehrgott, 2005. Multiple Criteria Decision Analysis: State of the Art Surveys, New York: Springer Science + Business Media.
Fülöp, J., ________, Introduction to Decision Making Methods, Hungarian Academy of
Sciences. Harris, R., 1998. Introduction to Decision Making, VirtualSalt.
http://www.virtualsalt.com/crebook5.htm Huang, W. C and Chen, C. H, 2005. Using The Electre II Method to Apply and Analyze the
Differentiation Theory, Proceedings of the Eastern Asia Sociaty for Transportation Studies, Vol. 5, pp. 2237-2249.
Hunjak, T., 1997. Mathematical Foundations of The Methods for Multicriterial Decision
Making, Mathematical Communications 2: pp 161-169 Roy, Bernard, 1968. “Classement et choix en presence de points de vue multiples (la
méthode ELECTRE)”. la Revue d’Informatique et de Recherche Opérationelle (RIRO) (8): 57-75.
24
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
DEGRADASI PARAQUAT (1,1-DIMETIL-4,4-BIPIRIDILIUM) DALAM LINGKUNGAN TANAH DESA OEMATANUNU
KECAMATAN KUPANG BARAT
Hermania Em Wogo, Sherlly M.F. Ledoh, Philiphi de Rozari, Andri Dikson Mbolik Jurusan Kimia, Fakultas Sains dan Teknik, Universitas Nusa Cendana
ABSTRACT
In this research, the kinetics of paraquat degradation in a medium of Oematanunu soil filtrate medium at two conditions, i. e. light condition and dark condition (on direct sunshine for 8 hours per day) has been studied. To study the effect of sunshine in paraquat degradation, it has been carried out a paraquat degradation in medium of sterilized aquadest, sterilized well water, sterilized Oematanunu soil filtrate, medium without sterilization like: medium aquadest, medium well water and medium Oematanunu soil filtrate without sterilization. On certain time interval, the rest of paraquat was determined by UV-Vis spectrophotometry after being reduced with sodium dithionite at a maximum wavelength of 604 nm. The results indicated that sunshine increased the rate of paraquat degradation. Paraquat degradation studied medium followed kinetics of the first order. The rate constant of paraquat in Oematanunu soil filtrate medium (0,06998 0,00336 day-1) higher than that in medium without sterilization and anothers sterilization medium, as well as in well water medium (0,06217 ± 0,00317 day-1), aquadest medium (0,03458 ± 0,00252 day-1), for anothers sterilized medium as Oematanunu soil filtrate medium (0,06086 ± 0,00285 day-1), sterilized well water medium (0,04720 ± 0,00182 day-1) and sterilized aquadest medium (0,03472 0,00251 day-1). Keywords: Kinetics, Degradation, Paraquat, Oematanunu
Perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi dalam perekonomian, dapat
membantu meningkatkan taraf hidup
masyarakat. Peningkatan taraf hidup
masyarakat dapat dilakukan melalui
sektor pertanian, karena Indonesia
merupakan negara agraris. Pertanian
merupakan andalan untuk meningkatkan
taraf hidup masyarakat, sehingga harus
dimaksimalkan kegiatan peningkatan
kemajuan pertanian. Berbagai cara telah
dilakukan dalam upaya untuk
meningkatkan produksi hasil pertanian.
Salah satu cara yang dilakukan adalah
dengan menggunakan bahan-bahan kimia
yang diproduksi untuk keperluan
pertanian. Hal ini dilakukan untuk
membasmi hama, penyakit dan gulma
yang dapat merusak tanaman yang akan
penyebabkan menurunnya hasil
pertanian. Salah satu bahan kimia yang
digunakan adalah pestisida.
Pestisida adalah semua zat kimia
dan bahan lain serta jasad renik dan virus
yang dipergunakan sebagai pemberantas
atau pencegah hama atau penyakit yang
25
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
dapat merusak tanaman atau hasil
pertanian (Peraturan pemerintah No.7
Tahun 1973 dalam Sudarmo, 1991).
Penggunaan pestisida semakin meningkat
dari tahun ke tahun hal ini dikarenakan
oleh formulasi produk pestisida yang
telah terdaftarkan dan diizinkan
penggunaannya di Indonesia semakin
banyak (Sudarmo, 1991). Kebutuhan
pestisida akan terus meningkat sebelum
ditemukan adanya cara-cara lain yang
lebih baik di dalam mengendalikan
organisme penggangu tanaman yang
menyebabkan menurunnya produktivitas
hasil pertanian.
Menurut Djojosumarto (2000)
herbisida merupakan jenis pestisida yang
digunakan untuk mengendalikan gulma
atau tumbuhan penggangu yang tidak
dikehendaki. Semakin banyak produsen
yang memakai herbisida maka perlu
adanya perhatian khusus dalam hal ini
sebab akan semakin meningkat pula
residu yang akan tertinggal di dalam
tanah yang dapat merusak tanaman yang
sangat peka pada musim tanam
berikutnya. Gramoxone adalah salah satu
jenis herbisida yang berbahan aktif
paraquat (1,1-dimetil-4,4-bipiridilium)
yang banyak digunakan di lahan
pertanian (Muktamar, dkk., 2004).
Paraquat yang merupakan bahan aktif
dari jenis herbisida gramoxone dan
paracol diklarifikasikan sebagai herbisida
purna tumbuh golongan piridin yang
bersifat kontak non selektif (Nanik, dkk.,
2006).
Menurut Nanik dkk., (2006),
paraquat diketahui sebagai senyawa yang
sangat toksik. Oleh karena itu semakin
meningkatnya pemakaian gramoxone
dalam kurun waktu yang panjang dapat
mengganggu kesetimbangan ekosistem,
maka diperlukan sebuah studi dalam
memahami perilaku gramoxone di dalam
tanah untuk mencegah bahaya yang
mungkin ditimbulkan terhadap
lingkungan. Dari uraian di atas tentang
penggunaan gramoxone oleh masyarakat
di sektor pertanian telah mendorong
penulis untuk melakukan sebuah peneliti
untuk melakukan penelitian guna
mengetahui perilaku gramoxone di
lingkungan sehingga dapat digunakan
sebagai bahan referensi dan informasi
bagi masyarakat pertanian dalam
mengurangi dampak negatif dari
penggunaan herbisida.
MATERI DAN METODE
Sampel dari penelitian ini diambil
dari tanah pertanian yang berlokasi di
kabupaten Kupang yakni, tepatnya di
desa Oematanunu kecamatan Kupang
Barat. Sampel tanah yang digunakan
dalam penelitian ini diambil masih dalam
bentuk bongkahan. Sampel tanah yang
26
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
diambil mempunyai kedalaman 0–30 cm
dari atas permukaan tanah.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah: Sampel tanah dari
desa Oematanunu, larutan Paraquat
aplikasi (gramoxon), NaOH (E.Merck),
Natrium ditionit (E.Merck), air sumur
dan akuades.
Alat yang digunakan dalam
penelitian ini meliputi spektrofotometer
UV-VIS (Spektronik 21D milton roy),
ayakan 60 dan 80 mesh, neraca analitik,
sentrifius, botol film atau selongsong
film, kertas karbon, kertas saring
Whatman 42, pH meter, shaker, autoklaf
dan alat-alat penunjang berupa alat-alat
gelas laboratorium.
Prosedur Penelitian Preparasi tanah
Sampel tanah dikering-anginkan
dan diayak dengan menggunakan ayakan
60-80 mesh. Tanah hasil ayakan dioven
selama ± 4 jam pada suhu 70 oC untuk
menurunkan kadar air dalam tanah.
Persiapan pembuatan sampel
a. Seratus gram tanah dicampur dengan
satu liter air sumur sedikit demi
sedikit dan diaduk dengan
menggunakan shaker selama ± 3 jam.
Campuran didiamkan selama ± 24
jam, disentrifius dan disaring dengan
menggunakan kertas saring Whatman
42.
b. Lima ratus mililiter filtrat hasil
penyaringan disterilkan dengan
autoklaf. Sterilisasi juga dilakukan
terhadap akuades dan air sumur
sebagai pembanding.
c. Wadah yang digunakan adalah botol
film sebanyak 240 buah. Sebelum
digunakan, botol film dicuci dan
dikeringkan. Seratus dua puluh botol
diantaranya dibalut kertas karbon
untuk kondisi gelap.
d. Membuat media A yaitu larutan hasil
penyaringan tanpa sterilisasi. Diambil
1,1 mL larutan paraquat 2760 mg/L
(hasil pengenceran 100 kali paraquat
stok) dan diencerkan sampai 100 mL
dengan larutan hasil penyaringan
tanpa sterilisasi sehingga diperoleh
larutan paraquat dengan konsentrasi
30,36 mg/L. Pengenceran dilakukan
sebanyak empat kali sehingga
diperoleh 400 mL larutan paraquat
dengan pelarut filtrat tanah tidak steril
30,36 mg/L.
e. Membuat media B yaitu larutan hasil
penyaringan dengan sterilisasi dengan
cara yang sama seperti media A
sehingga diperoleh 400 mL larutan
paraquat dengan pelarut filtrat tanah
yang disterilkan sehingga
konsentrasinya 30,36 mg/L.
f. Membuat media C yaitu akuades
steril dengan cara yang sama seperti
media A sehingga diperoleh 400 mL
27
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
larutan paraquat dengan pelarut
akuades steril sehingga
konsentrasinya 30,36 mg/L.
g. Membuat media D yaitu akuades
tidak steril dengan cara yang sama
seperti media A sehingga diperoleh
400 mL larutan paraquat dengan
pelarut akuades tidak steril sehingga
konsentrasinya 30,36 mg/L.
h. Membuat media E yaitu air sumur
steril dengan cara yang sama seperti
media A sehingga diperoleh 400 mL
larutan paraquat dengan pelarut air
sumur steril sehingga konsentrasinya
30,36 mg/L.
i. Membuat media F yaitu air sumur
tidak steril dengan cara yang sama
seperti media A sehingga diperoleh
400 mL larutan paraquat dengan
pelarut air sumur tidak steril sehingga
konsentrasinya 30,36 mg/L.
j. Larutan dari tiap media (A, B, C, D,
E, F) masing-masing diambil 10 mL
dan dimasukan ke dalam botol film
sehingga terdapat 40 wadah dimana
20 wadah tanpa kertas karbon dan 20
wadah lain dibalut seluruh permukaan
botolnya dengan kertas karbon untuk
kondisi gelap.
k. Seluruh sampel disinari dengan sinar
matahari. Sampel yang dikondisikan
untuk kondisi terang saat dijemur
harus dibuka tutup botolnya sehingga
sinar matahari dapat masuk tanpa
dihalangi. Sedang yang dikondisikan
untuk kondisi gelap tetap tertutup
seluruh permukaannya dengan kertas
karbon. Penjemuran dilakukan selama
8 jam sehari dengan waktu antara jam
07:00 sampai 15:00 WITA.
Kehilangan volume karena
penguapan segera diganti sesudah
dilakukan penjemuran sehingga
volume sampel tetap. Sampel diambil
untuk dianalisis pada hari ke 0, 1, 2,
5, 7, 10, 14, 26, 38 dan 50. Setiap
pengambilan sampel langsung
dilakukan preparasi dan ditentukan
jumlah paraquat hari itu juga.
Penentuan panjang gelombang maksimum
Dalam penentuan panjang
gelombang maksimum dibuat larutan
paraquat dengan konsentrasi 30,36 mg/L
dari larutan stok (konsentrasi 276
gram/L). Kemudian ditimbang 0,05 gram
natrium dithionit dan dilarutkan dengan 5
mL larutan NaOH 4 % b/v sehingga
diperoleh larutan natrium dithionit 1 %
dalam NaOH 4 % b/v. Dari 10 mL
larutan paraquat 30,36 mg/L kemudian
ditambah 2 mL larutan 1 % natrium
dithionit dalam NaOH 4 % dan direkam
spektra absorbansinya pada λ antara 500
sampai 800 nm dengan menggunakan
spektrofotometer UV-Vis. Hasil
pengukuran absorbansi ditampilkan
dalam bentuk grafik A vs λ dan dapat
28
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
ditentukan panjang gelombang
maksimumnya.
Penetapan konsentrasi paraquat dalam sampel dengan spektrofotometer a. Pembuatan kurva standar
1. Paraquat dengan konsentrasi 27,6
mg/L diambil masing-masing 1,0;
2,0; 3,0; 4,0 dan 6,0 mL dan
dimasukan pada labu takar 10 mL
kemudian diencerkan dengan
akuades, sehingga diperoleh seri
larutan paraquat dengan konsentrasi
berturut-turut: 2,76; 5,52; 8,28; 11,04;
13,8 dan 16,56 mg/L. Diambil juga
1,0 mL paraquat 27,6 mg/L dan
dimasukan dalam labu takar 25 mL
kemudian diencerkan dengan akuades
sehingga diperoleh larutan paraquat
dengan konsentrasi 1,104 mg/L.
2. Masing-masing konsentrasi larutan
standar diambil 10 mL dan ditambah
dengan 2,0 mL larutan natrium
dithionit 1 % dalam larutan NaOH 4
% dan direkam absorbansinya pada
panjang gelombang maksimum. Dari
data tersebut dapat dibuat kurva
standar Absorbansi lawan
konsentrasi.
3. Untuk setiap pengukuran konsentrasi
paraquat dalam sampel dibuat seri
larutan standar terlebih dahulu.
b. Pengukuran absorbansi sampel
Pengukuran absorbansi sampel
dilakukan pada hari ke 0, 1, 2, 5, 7, 10,
14, 26, 38 dan 50. Dari setiap media
diambil dua botol sampel yang
dikondisikan dalam keadaan terang dan
dua botol sampel yang lain dikondisikan
dalam keadaan gelap.
Masing-masing sampel dengan
volume 10 mL ditambahkan 2 mL larutan
natrium dithionit 1 % dalam larutan
NaOH 4 % dan diukur absorbansinya
pada panjang gelombang maksimum.
Penambahan 2 mL larutan natrium
dithionit 1 % dalam NaOH 4 %
dilakukan saat akan diukur absorbansi
sampelnya.
c. Penetapan konsentrasi paraquat
Data absorbansi sampel yang
diperoleh diekstrapolasikan ke kurva
standar dan diperoleh konsentrasi sampel
dari tiap media pada masing-masing
kondisi. Hasil akhir berupa grafik
konsentrasi vs waktu untuk tiap media
yang masing-masing terdiri dari kondisi
gelap dan terang. Kemudian dilakukan
penentuan konstanta laju degradasi
paraquat pada kondisi terang dan gelap
untuk mengetahui kinetika degradasi
paraquat.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Evaluasi Metode Analisis Paraquat Secara Spektrofotometri UV-Vis Penentuan Panjang Gelombang Maksimum
Penetapan panjang gelombang
maksimum untuk paraquat secara
29
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
spektrofotometri Ultra Violet-Visibel
dilakukan mengikuti metode analisis
yang dikembangkan oleh Constenla
(1990) dengan mengukur larutan standar
paraquat 30,36 mg/L yang telah direduksi
dengan natrium ditionit dalam suasana
basa. Syarat terjadinya reaksi dalam
mereduksi paraquat adalah dalam suasana
basa maka digunakan larutan natrium
dithionit 1% dalam larutan NaOH 4%.
Warna larutan yang telah direduksi akan
menghasilkan warna biru dengan serapan
pada panjang gelombang sekitar 600 nm.
Pengukuran panjang gelombang
yang memberikan serapan maksimum
dari larutan paraquat yang telah direduksi
dilakukan pada panjang gelombang
antara 500 sampai 800 nm, seperti terlihat
pada Gambar 1.
Gambar 1. Kurva panjang gelombang maksimum paraquat tereduksi
Berdasarkan hasil pengukuran
panjang gelombang maksimum yang
dilakukan dengan menggunakan
spektofotometer UV-Vis diperoleh
serapan maksimum paraquat tereduksi
pada panjang gelombang 604 nm, artinya
pada panjang gelombang ini paraquat
tereduksi menyerap radiasi sinar Ultra
Violet-Visibel. Panjang gelombang
maksimum inilah yang akan digunakan
dalam melakukan pengukuran absorbansi
untuk menghitung konsentrasi paraquat
dalam sampel. Dalam melakukan
pengukuran absorbansi paraquat hal yang
perlu diperhatikan adalah stabilitas
reduktor natrium ditionit, hal ini perlu
dilakukan karena natrium ditionit sebagai
pereduktor sangat menentukan besarnya
nilai absorbansi yang akan terukur oleh
alat spektrofotometri UV-Vis.
Reduksi paraquat dengan
menggunakan natrium ditionit dalam
suasana basa akan menghasilkan radikal
kation yang bersifat kurang stabil yang
berwarna biru (Hassal, 1982). Radikal
kation ini akan mengalami autooksidasi
sehingga akan kembali membentuk ion
paraquat karena keberadaan air dan
oksigen seperti terlihat jelas dari
persamaan reaksi pada Gambar 2.
Mengingat sifat dari paraquat tereduksi
yang kurang stabil ini maka dalam
melakukan analisis dengan metode yang
dikembangkan oleh Constenla (1990)
harus dilakukan secepat mungkin.
30
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
Gambar 2. Skema proses reduksi paraquat
Sensitivitas dan Batas Deteksi
Hal yang perlu diperhatikan dalam
melakukan suatu analisis adalah
parameter sensitivitas dan batas deteksi
karena dapat memberikan informasi
mengenai metode yang digunakan dalam
suatu penelitian apakah sudah memiliki
ketelitian dan ketepatan yang tinggi atau
belum. Kedua jenis parameter ini dapat
ditentukan dengan membuat kurva
hubungan antara absorbansi dan
konsentrasi dari setiap seri larutan standar
yang dibuat setiap kali melakukan
analisis sampel.
Pada penelitian ini dilakukan
pembuatan kurva kalibrasi dengan
menggunakan panjang gelombang
serapan maksimum paraquat diklorida
tereduksi dengan natrium ditionit dalam
suasana basa yakni pada panjang
gelombang 604 nm. Konsentrasi seri
larutan standar yang diukur untuk
membuat kurva kalibrasi dibuat pada
rentang konsentrasi 1,104 mg/L sampai
16,56 mg/L. Konsentrasi seri larutan
standar yang telah diukur akan digunakan
untuk menganalisis sampel pada waktu
yang telah ditentukan yakni pada hari ke-
0, 1, 2, 5, 7, 10, 14, 26, 38, dan 50.
Setiap pengukuran seri larutan
standar, data-data yang diperoleh
diplotkan dalam sebuah kurva sehingga
dari setiap kurva kalibrasi yang dibuat
diperoleh persamaan regresi linear (y =
ax + b ), dengan (a) adalah slop dan (b)
adalah intersep. Besarnya nilai slop dari
setiap kurva kalibrasi yang dibuat
menunjukkan sensitivitas (Skoog, 1985).
Nilai slop dari setiap kurva kalibrasi yang
dibuat pada penelitian ini jika
dibandingkan setiap kali melakukan
pengukuran konsentrasi sampel tidak
berbeda secara signifikan (Tabel 1),
dengan rata-rata sensitivitas adalah
0,0399 LA/mg. Hal ini menunjukkan
bahwa kurva standar yang diperoleh
dapat digunakan untuk menganalisis
konsentrasi paraquat dalam sampel. Pada
Tabel 1 juga disajikan nilai batas deteksi
dari masing-masing kurva kalibrasi,
dimana batas deteksi merupakan
konsentrasi analit terendah yang masih
terukur yang dapat ditentukan berbeda
nyata secara statistik dari pengukuran
blanko (Skoog, 1985).
NCH3 N CH3
2
Autooksidasi 2O2 + 2H2O 2H2O2 + O2e
NH3C N CH3
31
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
Tabel 1. Data Kurva kalibrasi dan parameter analitik
Kurva Kalibrasi Parameter Analitik Hari Persamaan regresi
linear r
Sensitivitas (LA/mg)
Batas deteksi
0 Y = 0,03792x + 0,01705 0,99994 0,03792 0,14456 1 Y = 0,03854x + 0,05694 0,99958 0,03854 0,38546 2 Y = 0,03989x + 0,00857 0,99994 0,03989 0,14478 5 Y = 0,04242x + 0,01526 0,99953 0,04242 0,40741 7 Y = 0,04881x + 0,01445 0,99964 0,04881 0,35818 10 Y = 0,04707x + 0,00971 0,99980 0,04707 0,26397 14 Y = 0,05267x – 0,00344 0,99986 0,05267 0,22320 26 Y = 0,05075x – 0,00136 0,99968 0,05075 0,33677 38 Y = 0,04120x + 0,02549 0,99966 0,04120 0,34924 50 Y = 0,04058x + 0,02530 0,99972 0,04058 0,31739
Menurut Miller dan Miller (1991)
batas deteksi dapat ditentukan sebagai
konsentrasi yang menghasilkan
absorbansi sebesar tiga kali standar
deviasi intersep (3 x Sa intersep) dibagi
slop dari kurva kalibrasi, dimana standar
deviasi intersep dihitung dengan
menggunakan program microsoft office
excel. Sehingga dari hasil perhitungan
didapat batas deteksi dari masing-masing
kurva standar seperti yang disajikan pada
Tabel 1.
Suatu kurva kalibrasi memiliki
ketelitian yang cukup tinggi apabila
koefisien korelasinya (r) mendekati satu.
Dari hasil perhitungan seperti yang
disajikan pada Tabel 1, dapat dilihat nilai
koefisien dari masing-masing kurva
kalibrasi berkisar antara 0,99953 sampai
0,99994.
Kinetika Degradasi Paraquat
Hasil perhitungan yang diperoleh
dengan menggunakan kurva kalibrasi
selanjutnya digunakan untuk mempelajari
kinetika degradasi paraquat diklorida.
Dalam penelitian ini dipelajari pengaruh
sinar matahari yang diduga dapat
meningkatkan laju degradasi paraquat.
Dalam penelitian ini dilakukan dua
macam perlakuan sampel yakni
perlakuan pada kondisi terang dimana
sampel dibiarkan berkontak dengan sinar
matahari secara langsung tanpa ada
penghalang. Sedangkan pada kondisi
gelap dimana semua permukaan wadah
sampel dibalut dengan menggunakan
kertas karbon. Kedua jenis perlakuan ini
masing-masing masih dibedakan
berdasarkan kesterilan sampel dengan
menggunakan autoklaf dan tanpa
sterilisasi.
Pengaruh sinar matahari terhadap
laju degradasi ditinjau berdasarkan
perbandingan antar media pada masing-
masing kondisi berdasarkan berbagai
media percobaan. Hasil perhitungan yang
32
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
diperoleh dari percobaan menunjukkan
bahwa telah terjadi penurunan
konsentrasi paraquat pada kondisi terang
untuk keenam media yang dibuat yaitu
akuades steril, air sumur steril, filtrat
tanah Oematanunu steril, akuades tidak
steril, air sumur tidak steril dan filtrat
tanah Oematanunu tidak steril. Hal ini
dapat terlihat jelas pada Gambar 3, yang
menunjukkan perbandingan penurunan
konsentrasi paraquat pada kondisi terang
dan gelap untuk keenam media percobaan
yang digunakan dalam penelitian ini.
a. Media akuades steril
b. Media air sumur steril
33
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
c. Media filtrat tanah Oematanunu steril
d. Media akuades tidak steril
e. Media air sumur tidak steril
34
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
f. Media filtrat tanah Oematanunu tidak steril
Gambar 3. Grafik hubungan antara konsentrasi paraquat dan waktu pada berbagai media percobaan
Pada keenam gambar grafik pada
Gambar 3, untuk media kondisi terang
menunjukkan telah terjadi penurunan
konsentrasi yang sangat berbeda pada
keenam media percobaan. Hal ini
menurut Hassal (1982) disebabkan oleh
karena sinar ultra violet dari sinar
matahari yang diserap oleh molekul
paraquat diklorida dapat menyebabkan
terjadinya pembukaan salah satu cincin
piridin yang menghasilkan N-metil-4-
karboksipiridinium (Gambar 4).
N N
+N NH
CHO
CH3
CH3
H3C
H3C Cl-
2+
2Cl-
+NH3C COO Cl- + CH3NH2HCl
Gambar 4. Skema degradasi paraquat oleh sinar UV dari matahari (Wogo, 2002)
Media percobaan untuk kondisi
gelap dari grafik yang disajikan tidak
menunjukkan penurunan yang begitu
berbeda untuk keenam media yang
dibandingkan. Dari perbandingan ini
dapat dikatakan bahwa pada media
percobaan untuk kondisi terang telah
terjadi peristiwa degradasi paraquat oleh
sinar UV matahari. Sedangkan untuk
35
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
keenam media percobaan pada kondisi
gelap tidak terjadi peristiwa degradasi.
Kajian kinetika degradasi dari
masing-masing media dalam penelitian
ini dilakukan melalui penentuan orde
dan konstanta degradasi. Hasil
perhitungan orde dan konstanta laju
degradasi paraquat pada kondisi terang
dari masing-masing media dapat dilihat
pada Tabel 2.
Tabel 2. Data orde dan konstanta laju degradasi paraquat (k) dari berbagai media
Media Orde k Standar deviasi Akuades steril 1 0,02984 ± 0,00408 Akuades tidak steril 1 0,03458 ± 0,00252 Air sumur steril 1 0,04720 ± 0,00182 Air sumur tidak steril 1 0,06217 ± 0,00317 Filtrat Oematanunu steril 1 0,06086 ± 0,00285 Filtrat Oematanunu tidak steril 1 0,06998 0,00336
Sinar matahari dapat meningkatkan laju
degradasi paraquat. Penyinaran selama 50
hari (8 jam/hari) mampu mendegradasi
paraquat mencapai 96,00501 % untuk
media filtrat tanah Oematanunu tidak
steril, media filtrat tanah Oematanunu
steril mencapai 93,95629 %, media air
sumur tidak steril mencapai 94,27148 %,
media air sumur steril mencapai
90,56803 %, media akuades tidak steril
mencapai 81,97919 % dan media akuades
steril mencapai 71,65681 %.
SIMPULAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan
uraian pada pembahasan yang telah
dilakukan dapat diambil beberapa
kesimpulan sebagai berikut:
1. Dari keenam media yang dibuat
(akuades steril, air sumur steril, filtrat
tanah Oematanunu steril, akuades
tidak steril, air sumur tidak steril dan
filtrat tanah Oematanunu tidak steril).
Pada kondisi terang dan gelap
mengikuti reaksi orde I, dengan
konstanta laju degradasi paraquat
dalam media steril dan tidak steril
pada kondisi terang adalah :
a. Media steril: akuades (0,02984
hari-1), air sumur (0,04720 hari -1 ),
filtrat tanah Oematanunu (0,06086 -1).
b. Media tidak steril: akuades
(0,03458 hari-1), air sumur
(0,06217 hari-1), filtrat tanah
Oematanunu (0,06998 hari -1).
2. Sinar matahari dapat meningkatkan
degradasi paraquat dengan lama
36
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
penyinaran selama 50 hari (8 jam/
hari) mampu mendegradasi paraquat
mencapai 71,65681 - 96,00501 %.
Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih
lanjut mengenai proses lain yang dapat
menurunkan konsentrasi paraquat di
dalam lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA Constenla, M.A., 1990, Paraquat Behavior in Costa Rica Soils and Residues in Coffee,
Journal Agriculture Food Chemistry, Vol. 38 Djojosumarto, P., 2000, Teknik Aplikasi Pestisida Pertanian, Kanasius, Yogyakarta Hassal, K.A., 1982, The Biochemistry and Uses of Pesticides, 2nd edition, Macmillan Press,
New York Miller, J. C., and Miller, J. N., diterjemahkan oleh Suroso, 1991, Statistika Untuk Kimia
Analitik, ITB, Bandung Muktamar, Z., Sukisno dan Nanik, S., 2004, Adsorpsi dan Desorpsi Herbisida Paraquat
Oleh Bahan Organik Tanah, Jurnal Akta Agrosia Vol. 7, Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu
Nanik, S., Zainal, M., Doni, H., 2006, Mobilitas Herbisida Paraquat Melalui Kolom Tanah
Dystrandept dan Dystrudept, Jurnal Akta Agrosia Vol. 9, Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu
Skoog, D.A., 1985, Principles of Instruments Analysis, 3rd edition, Saunders College
Publishing Sudarmo, S., 1991, Pestisida, Kanisius, Yogyakarta Wogo, H.E., 2002, Studi Kinetika Degradasi Paraquat (1,1-Dimetil-4,4-Bipiridilium)
Dalam Lingkungan Tanah Lombok, Skripsi, UGM, Yogyakarta
37
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
ISOLASI METIL OLEAT HASIL TRANSESTERIFIKASI MINYAK JARAK PAGAR (JATROPHA CURCAS L) MENGGUNAKAN KROMATOGRAFI KOLOM
Febri Odel Nitbani Jurusan Kimia, Fakultas Sains dan Teknik, Universitas Nusa Cendana
ABSTRACT Isolation methyl oleic from transesterification product mixture of castrol oil
(Jatropha curcas L.) has been done. The process of methyl oleic isolation via colum cromatography was done using chloroform : n-hexsane : formic acid (90:10:1) as an eluen and silica gel H40 as a stationary fase. The methyl oleic was tested with Gas Chromatography-Massa Spectroscopy (GC-MS). The result showed that the percentage of methyl oleic is 65,18 %.
Keywords : Castrol oil, methyl oleic, colum chromatography
Indonesia adalah salah satu
negara penghasil minyak nabati di dunia.
Minyak nabati yang dihasilkan seperti,
minyak sawit, minyak jarak, minyak
kopra, dalam jumlah yang cukup besar.
Minyak nabati yang terkandung dalam
biji tumbuhan merupakan trigliserida
(gambar 1) yang tersusun oleh asil-asil
dari asam lemak jenuh maupun tidak
jenuh yang diperoleh melalui proses
maserasi menggunakan pelarut polar dan
non polar( Gunston dan Hamilton, 2001).
H2C O C R1
O
H2C O C R2
OHC O C R3
O
Gambar 1 Trigliserida
Transesterifikasi berkatalis basa
minyak jarak pagar (Jatropha curcas L.)
menghasilkan metil oleat 33%
(Kusumawati, 2009). Hidrolisis metil
oleat akan menghasilkan asam oleat yang
merupakan asam lemak esensial.
Senyawa-senyawa asam lemak seperti
asam oleat berperan untuk menghasilkan
produk yang secara komersil penting dan
ditemukan aplikasinya dalam berbagai
bidang diantaranya sebagai pemplastis
(plastizier) dan penstabil (stabilizer)
untuk resin polivinil klorida (PVC)
(Yadav dan Satoskar, 1997). Sumber-
sumber asam oleat dalam minyak nabati
terutama dihasilkan dari zaitun, kedelai
dan biji bunga matahari (Gan et al, 1992).
Lemak atau minyak merupakan
salah satu jenis makanan yang banyak
digunakan untuk diet sehari- hari.
Beberapa hal yang mempengaruhi sifat-
38
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
sifat minyak adalah asam lemak
penyusunnya yaitu asam lemak jenuh
(Saturated fatty acid) dan asam lemak tak
jenuh (Unsaturated fatty acid), yang
terdiri atas Monounsaturated fatty acid
(MUFA) dan poly unsaturated fatty acid
(PUFA). Salah satu jenis MUFA adalah
asam oleat (asam lemak omega 9)
mampu menurunkan lipoprotein yang
densitasnya sangat rendah (low density
lipoprotein = LDL) dan meningkatkan
lipoprotein yang densitasnya tinggi (High
density lipoprotein = HDL). Asam lemak
Omega 9 mampu mencegah penyakit
jantung koroner yang sudah teruji secara
laboratoris dan epidemologis. Asam oleat
banyak terdapat pada bahan makanan
seperti minyak kelapa sawit, yoghurt,
susu, keju, miyak zaitun, tempe, tahu dan
lain-lain.
Metode kromatografi kolom
sudah digunakan sebagai metode
pemisahan untuk memisahkan metil ester
dari asam-asam lemak dalam minyak
kemiri (Tarigan, 2009). Berdasarkan
hasil penelitian bahwa minyak jarak
pagar mengandung metil oleat 33 % dan
manfaat penting asam oleat sebagai asam
lemak esensial maka melalui penelitian
ini akan dilakukan isolasi metil oleat
hasil transesterifikasi minyak jarak pagar
(Jatropha curcas L.) menggunakan
teknik pemisahan kromatografi kolom.
Penelitian ini diharapkan menaikkan nilai
guna biji jarak pagar selain sebagai bahan
bakar juga dapat dimanfaatkan sebagai
sumber asam lemak esensial.
MATERI DAN METODE Bahan
Bahan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah biji jarak pagar
(Jatropha curcas L ), Petroleum eter,
metanol, NaOH, Na2SO4 anhidrat, Silika
gel H- 40, Kloroform, n-Heksana dan
Asam format.
Alat Alat-alat yang digunakan dalam
penelitian ini adalah : alat gelas
laboratorium, satu set alat ekstraksi
sokhlet, satu set alat evaporator Buchii
tipe R-124, alat timbangan elektrik
(Libror EB-330 Shimadzu), tabung
kolom, pipa kapiler, plat kromatografi
lapis tipis, pipet tetes dan Kromatografi
Gas–Spektroskopi Massa ( GC-MS,
Shimadzu QP-2010).
Prosedur Kerja
a. Penyiapan sampel campuran metil ester minyak jarak pagar (Kusumawati, 2009)
Ekstraksi Biji Jarak Pagar Minyak biji jarak pagar
(Jatropha curcas L) diperoleh dengan
ekstraksi pelarut menggunakan petroleum
eter menghasilkan minyak berwarna
kuning dan berbau kas minyak jarak
kemudiaan dilakukanan dengan tahap
netralisasi yang merupakan proses
pemurnian minyak jarak pagar.
39
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
Reaksi Transesterifikasi Minyak jarak pagar (Jatropha
curcas L) yang sudah dinetralisasi
sebanyak 100 gram dimasukkan ke dalam
labu yang sudah dilengkapi dengan
pengaduk magnet dan larutan metoksida
(campuran 20 mL metanol 90% dan 2
gram NaOH yang telah tercampur
sempurna). Campuran diaduk selama 90
menit sampai reaksi transesterifikasi
sempurna. Hasil reaksi dievaporasi dan
residu dilarutkan dalam 75 mL PE ,
dimasukkan dalam corong pisah dan
dicuci dengan air sampai pH netral.
Lapisan organik dikeringkan dengan
Na2SO4 anhidrat, dan filtratnya
dievaporasi.
b. Isolasi Metil Oleat Isolasi metil oleat dilakukan
dengan menggunakan kromatografi
kolom menggunakan silika gel H-40 dan
eluent yang digunakan kloroform : n-
heksana : asam format 90:10:1 (v:v:v).
hasil yang diperoleh kemudian dianalisis
menggunakan GC-MS.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini bertujuan untuk
mengisolasi metil oleat dari campuran
metil ester hasil transesterifikasi minyak
jarak pagar (Jatropha curcass L)
menggunakan kromatografi kolom.
Bahan dasar untuk proses isolasi ini
menggunakan minyak jarak pagar yang
sudah ditransesterifikasi menggunakan
katalis basa oleh Kusumawati (2009).
Berdasarkan hasil penelitian
Kusumawati, metil oleat yang terdapat
dalam campuran metil ester hasil
transesterifikasi minyak jarak adalah
sebesar 33 %. Untuk teknik pemisahan
dengan kromatografi kolom digunakan
fase diam berupa silika gel H40 dan fase
gerak berupa campuran kloroform : n-
heksana : asam format (90: 10 : 1).
Campuran metil ester minyak jarak pagar
dimasukan dalam kolom berisi fase diam
dan dialiri eluen dengan laju satu tetes
setiap 15 menit. Komponen- komponen
yang terpisah akan terbawa oleh fase
gerak keluar kolom dan ditampung tiap 5
ml dalam botol sampel. Tiap sampel
hasil kolom kromatografi dianalisis
menggunakan kromatografi lapis tipis
dan sampel-sampel yang menujukkan
noda atau harga Rf yang sama
dikumpulkan jadi satu. Sampel dengan
harga Rf 0,9 cm selanjutnya dianalisis
menggunakan Kromatografi gas–
spektroskopi massa (KG–MS). Analisis
Menggunakan KG-MS menghasilkan
kromatogram seperti ditampilkan pada
gambar
40
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
Gambar 2. Kromatogram sampel Rf= 0,9
Kromatogram (Gambar 2)
menunjukkan bahwa terdapat 5 puncak
dengan waktu retensi dan kadar yang
berbeda-beda yang berarti terdapat 5
senyawa berbeda dalam sampel yang
dianalisis. Masing-masing puncak
dideskripsikan secara lengkap dalam
tabel 1. Puncak 3 dengan waktu retensi
17,33 menit merupakan puncak dengan
kelimpahan terbesar dalam campuran
yaitu 65,18 %, sedangkan puncak lain
berada dalam kelimpahan yang kecil
yaitu dibawah 25 %.
Tabel 1. Waktu retensi dan kadar senyawa dalam sampel dengan Rf 0,9 cm
Puncak dan Waktu retensi
(menit) Persentase(%)
(1) 15.234 1.773
(2) 15.489 21.965
(3) 17.332 65.185
(4) 17.442 10.706
(5) 19.093 0.370
Spektra massa puncak 1 dengan
waktu retensi 15.234 menit yang
memiliki kadar 1.77 % ditampilkan pada
gambar 3.
Gambar 3. Spektra massa puncak 1
Spektra massa (gambar 3)
menunjukkan ion molekuler pada m/z =
281 dan puncak dasar pada m/z = 55,1
yang sesuai sesuai dengan berat molekul
metil palmitoleat (gambar 4).
O
O Gambar 4. Struktur senyawa metil
palmitoleat
Spektra massa senyawa puncak 2
dengan waktu retensi 15.489 menit dan
kadar 21 % memberikan ion molekuler
pada m/z =283 yang sesuai dengan berat
molekul dari metil palmitat dan memiliki
struktur seperti pada gambar 5.
O
O Gambar 5. Struktur senyawa metil
palmitat Spektra massa senyawa puncak 3
dengan waktu retensi 17.332 menit dan
kelimpahan terbesar yaitu 65.185 %
ditunjukan pada gambar 6.
41
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
Gambar 6. Spektra massa puncak 3
Dari spektrum massa dengan ion
molekuler pada m/z = 296 dan puncak
dasar pada m/z = 55 dapat disimpulkan
bahwa senyawa puncak 3 adalah metil
oleat (gambar 7). Pemurnian atau
pemisahan metil oleat dalam campuran
metil ester hasil transesterifikasi dengan
kromatografi kolom ternyata menaikkan
kemurnian metil oleat dari 33 % menjadi
65 %.
Metil oleat sendiri merupakan
ester dari asam oleat dimana asam oleat
adalah asam lemak omega 9 yang
merupakan asam lemak esensial dan
sangat penting bagi kesehatan manusia.
Asam oleat sendiri dapat diperoleh
dengan menghidrolisis metil oleat. Selain
fungsi kesehatan, asam oleat juga banyak
digunakan sebagai bahan baku dalam
industri makanan, kosmetik maupun
polimer. Oleh karena itu menemukan
bahan atau sumber asam oleat merupakan
hal yang sangat penting apalagi
sumbernya berasal dari sumber bahan
alam terbarukan yaitu biji jarak pagar.
O
O Gambar 7. Struktur senyawa metil oleat
Spektra masa puncak 4 (gambar
8) pada waktu retensi 17.442 menit
dengan kadar relatif 10 % menunjukan
ion molekuler pada m/z = 298 sangat
sesuai dengan berat molekul metil stearat
(gambar 9). Hidrolisis terhadap metil
stearat akan menghasilkan asam stearat
sebagai suatu asam lemak jenuh.
Gambar 8. Spektra massa puncak 4
O
O
Gambar 9. Struktur senyawa metil
stearat Spektra masa puncak 5 (gambar
10) pada waktu retensi 19,093 menit
dengan kadar relatif 0,3 % menunjukan
ion molekuler pada m/z = 326 sangat
sesuai dengan berat molekul metil
arakidonat (gambar 11).
42
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
Gambar 10. Spektra massa puncak 5
O
O
Gambar 11. Struktur senyawa metil
arakidonat Berdasarkan hasil interpretasi
spektrum massa masing-masing puncak
kromatogram maka dapat disimpulkan
bahwa sampel hasil kromatografi kolom
dari campuran metil ester minyak jarak
mengandung senyawa-senyawa seperti
yang dirangkum dalam tabel 3.
Tabel 3. Jenis senyawa hasil kolom kromatografi campuran metil ester
PuncakWaktu retensi (menit)
Senyawa Kadar
(%)
1 15,237 Metil palmitoleat
1,773
2 15,491 Metil palmitat
21,965
3 17,334 Metil oleat 65,185
4 17,443 Metil stearat
10,706
5 19,093 Metil arakidonat
0,370
SIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan diperoleh kesimpulan sebagai
berikut :
1. Metil oleat dapat dipisahkan dari
campuran metil ester minyak jarak
pagar (Jatropha curcas L.)
menggunakan teknik kromatografi
kolom
2. Metil oleat yang dihasilkan memiliki
kadar 65,185 %
3. Teknik pemisahan dengan
kromatografi kolom dapat menaikkan
kemurnian metil oleat
DAFTAR PUSTAKA Gunstone, F.D., dan Hamilton, R.J., 2001, Oleochemical Manufacture and Applications,
Sheffield Academic Press Ltd, London Gan, L.H., Goh, S.H., dan Ooi, K.S., 1992, Kinetic Studies of Epoxidation and Oxiran
Cleavage of Palm Oil Methyl Esters, J. Am. Oil Chem. Soc, 69(4):347-349
43
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
Kusumawati, A, 2009, Sintesis senyawa Epoksida Turunan Minyak Jarak (Jatropha curcas L.) Melalui Reaksi Transesterifikasi Dan Epoksidasi, Universitas Nusa Cendana-Kupang
Silverstein, R.M., dan Bassler, G.C., 1991, Spectrometric Identification of Organic
Compounds, Fourth Edition, John Wiley and Sons, New Yor Tarigan, D., 2009, Pembuatan Senyawa Alkanolamida Tetrahidroksi Oktadekanoat yang
Diturunkan dari Minyak Kemiri, Indo.J.Chem., 9 (2), 271-277 Yadav, G. D., dan Satoskar, D. V., 1997, Kinetic of Epoxidation of Alkyl Esters of
Undecylenic Acid: Comparation of Traditional Routes vs Ishii-Venturello Chemistry, J. Am. Oil Chem. Soc,74(4):397-407.
44
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
KARAKTERISTIK PASANG SURUT LAUT DAN PASANG SURUT BUMI DI DAERAH CILACAP
Abdul Wahid Jurusan Fisika, Fakultas Sains dan Teknik, Universitas Nusa Cendana
ABSTRACT
It has been done a research about earth tide characteristic to the ocean tide analysis at station Cilacap, . The aim is to determine the characteristic of the earth tide and the ocean tide, and the existence of semidiurnal variation, diurnal variation, periodicity and correlation of both natural phenomena (earth tide and ocean tide).The analysis was done by three stages, i.e: phase different analysis, periodicity analysis, and correlation analysis.
Based on the analysis, it reveals that there are phase lags of the ocean tide from the earth tide, i.e: the north beach stations Cilacap, is 100 minutes in average. The periodicity at the north beach stations have tide prevailing semidiurnal variation.
Keywords: tide, correlation, semidiurnal variation
Pasang surut merupakan salah
satu gejala alam yang perubahannya
secara periodik sesuai dengan posisi dan
letak benda angkasa (utamanya bulan dan
matahari) terhadap bumi, sehingga
terjadinya gaya pembangkit pasang surut,
secara garis besar gaya pembangkit
pasang surut ditimbulkan oleh tiga
gerakan utama: revolusi bulan terhadap
bumi, revolusi bumi terhadap matahari
dan rotasi bumi terhadap sumbunya
(Wahid, 2008).
Pasang surut bumi sangat penting
untuk koreksi pada pengukuran gravitasi
dengan menggunakan alat gravitymeter
La Coste Romberg yang variasinya antara
puncak positif dan negatif adalah 300
mikrogal serta dimanfaatkan pada
pengukuran sifat datar teliti. Pasang surut
laut digunakan untuk kepentingan
perhubungan pelayaran laut, pemanfaatan
sumberdaya hayati perairan, pariwisata,
pencemaran lingkungan, pertahanan
nasional serta pengembangan
pemanfaatan pasang surut laut sebagai
salah satu sumber energi alternatif .
Secara umum tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui
dan memahami karakteristik pasang surut
bumi dan pasang surut laut Stasiun
Cilacap, serta menganalisa data pasang
surut laut dan data pasang surut bumi
sehingga dapat diperoleh informasi
tentang: adanya variasi tengah harian
(semidiurnal variation) dan variasi harian
(diurnal variation) jenis periodesitas
serta korelasinya.
45
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
Dengan memperhatikan letak
Perairan Indonesia yang diapit oleh
Lautan Pasifik dan Lautan Hindia serta
merupakan perairan yang setengah
tertutup, terlihat bahwa Perairan
Indonesia agak terbatas untuk
berinteraksi secara maksimal dengan
gaya pembangkit pasang surut, tetapi
merupakan reaksi dari sistem pembangkit
pasang surut dari Lautan Pasifik dan
Lautan Hindia. Disamping kondisi
tersebut, pengaruh resonansi lokal berupa
bentuk, luas, kedalaman, keadaan
topografi bawah air dan lain-lain, juga
memiliki andil dalam proses perambatan
pasang surut di Perairan Indonesia
(Pariwono, 1989)
MATERI DAN METODE MATERI Pasang Surut Bumi
Pada dasarnya semua benda-
benda angkasa yang memiliki massa akan
mempengaruhi titik-titik massa di bumi,
tapi karena posisinya sangat jauh maka
pengaruh tersebut dapat diabaikan, hal ini
sesuai dengan Hukum Newton tentang
gravitasi (Longman,1959):
12212
2121 ˆ)( r
r
mmGrF
(1)
dimana: F adalah gaya tarik menarik, G
konstanta gravitasi, m1 dan m2 massa
benda 1 dan benda 2, r jarak antara
benda1 ke benda 2.
Gaya – gaya Pasang Surut Akibat Bulan dan Matahari
Besarnya potensial pada
sembarang titik di permukaan bumi
akibat dari gaya gravitasi bulan dan rotasi
bulan, jika bumi dianggap sebagai benda
rigid, maka kuat medan gravitasi pasang
surut bumi pada titik P dipermukaan
bumi akibat gaya dari bulan adalah
(Stacey,1977):
1cos3 23
R
Gmag (2)
Dari persamaan (2) terlihat bahwa
pasang surut yang diakibatkan oleh bulan
berbanding terbalik dengan jarak pangkat
tiga, sehingga gaya pasang surut karena
matahari adalah 0,46 kali dari pasang
surut akibat bulan.
Pasang Surut Bumi Metode Broucke
Menurut Broucke at al (1972),
besarnya komponen tegak pasang surut
bumi akibat bulan, adalah
(Sunarjo,1988):
23
232 cos1 zkpgm (3)
dengan 2
1a
GMk m ;
zcos21 2 ;
2sin1 fp coscoscossinsincos z
dimana: G konstanta gravitasi, p
horisontal paralaks, mM massa bulan, 1a
jari – jari equator, z sudut zenith bulan,
46
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
lintang tempat pengamat, deklinasi
bulan, sudut jam bulan setempat,
right ascension, f konstanta
penggepengan bumi (1/298), dan
kemiringan bidang eliptik.
Sedangkan pasang surut bumi
komponen tegak akibat matahari adalah:
1cos3 D
rGMg s
s (4)
dimana: sM massa matahari, r jarak
pengamat dengan pusat bumi, D jarak
pusat bumi dengan pusat matahari,
sudut zenith matahari.
Sehingga besar total pasang surut
bumi akibat dari bulan dan matahari
Metoda Bruocke at al (1972) adalah
(Longman,1959):
smtotal ggg (5)
Dari persamaan (3), (4) dan (5)
terlihat bahwa besarnya pasang surut
bumi komponen tegak tergantung pada
posisi pengamat dan waktu.
Pasang Surut Laut
Pasang surut laut merupakan
fenomena naik turunnya muka laut secara
periodik karena adanya gaya pembangkit
pasang surut terhadap massa air di
permukaan bumi, yang dapat diamati
secara nyata di daerah pantai.
Gaya pembangkit pasang surut
Karena adanya rotasi bumi bulan
pada sumbu perputaran bersama maka
setiap titik massa yang ada di permukaan
bumi bekerja gaya sentrifugal (Fc)
arahnya berlawanan dengan posisi bulan,
selain itu titik massa yang ada di
permukaan bumi akan mengalami gaya
gravitasi bulan (Fg) yang arahnya menuju
pusat massa bulan dan besarnya
bergantung pada jarak antara titik massa
yang ditinjau dengan pusat massa bulan.
Proses ini terjadi secara simultan dan
berperiodik menyebabkan peristiwa
pasang surut (Fp) di permukaan bumi
akibat bulan (Gambar1)
Gambar 1. Gaya pembangkit pasang surut akibat bulan (Pariwono, 1989)
Gaya pembangkit pasut yang diakibatkan oleh posisi bulan pada satuan titik massa
di permukaan bumi ketika bulan berada pada titik Zenith atau Nadir adalah:
Fg
Fc
Fp
Bumi
Bumi Bulan
47
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
Tabel 1. Gaya pembangkit pasut akibat bulan (Djaja,1989) Posisi Bulan Gaya Tarik Gaya Sentrifugal Gaya Pembangkit Pasut
Zenith 2rR
GM
2R
GM
322
211
R
rGM
RrRGM
Pusat Bumi 2R
GM
2R
GM
0
Nadir 2rR
GM
2R
GM
322
211
R
rGM
rRRGM
Dimana: G merupakan konstanta
gravitasi, M massa bulan, r jari –jari
bumi, R jarak antara pusat bumi dan
pusat bulan.
Tipe – tipe pasang surut laut
Tipe-tipe pasang surut laut secara
garis besar dibedakan menjadi
(Triatmodjo,1999).:
1. Pasang Surut Tengah Harian (Semi
Diurnal Tide).
2. Pasang Surut Harian (Diurnal Tide).
3. Pasang Surut Campuran Dominan
Tengah Harian (Mixed Tide
Prevailing Semi Diurnal),
4. Pasang Surut Campuran Dominan
Harian (Mixed Tide Prevailing
Diurnal),
Pasang surut perbani dan pasang surut purnama
Karena peredaran bumi dan bulan
pada orbitnya, revolusi bulan terhadap
bumi ,serta rotasi bumi terhadap
matahari, sehingga posisi bulan – bumi –
matahari selalu berubah secara periodik,
sehingga terjadinya pasang surut perbani
(pasang kecil, neap tide) dan pasang surut
purnama (pasang besar , spring tide)
(Wahid,2007).
48
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
Komponen Harmonik Pasang Surut
Tabel 2. Komponen pasang surut yang penting (Pariwono ,1989)
Nama Komponen Simbol Periode (jam) Perbandingan
(relatif) Tengah Harian (semi diurnal)
Principal Lunar
Principal Solar
Larger Lunar Elliptic
Luni Solar semi diurnal
Harian (diurnal) Luni Solar diurnal
Principal Lunar diurnal
Principal Solar diurnal
Larger Lunar Elliptic
Periode Panjang (long period) Lunar fortnightly
Lunar monthly
Solar semi annual
M2 S2 N2 K2 K1 O1 P1 Q1 Mf Mm Ssa
12,42 12,00 12,66 11,96 23,93 25,82 24,07 26,91 328,0 661.0 2.191,0
1,000 0,466 0,192 0,127 0,584 0,415 0,194 0.008 0,017 0,009 0,008
METODE Lokasi dan Posisi Penelitian
Lokasi penelitian adalah pada
Stasiun Pasang Surut Cilacap dengan
posisi 1090 00’E - 70 45’S Sebagai
referensi, pengukuran data pasang surut
gravitasi bumi dilakukan di
Lab.Geofisika UGM posisi 1100 46’E -
70 22’S untuk menguji keakuratan
Program pasang surut teoritik yang di
buat oleh Broucke at al (1972).
Pengukuran pasang surut bumi di Laboratorium Geofisika UGM
Pengukuran pasang surut bumi
dilakukan di laboratorium Geofisika
UGM menggunakan alat La Coste &
Romberg Gravitymeter selama 15 hari
(03 hingga 17 Mei 2001), dengan rentang
waktu data pengukuran satu menit, data
terekam secara otomatis melalui
komputer yang dirangkai dengan alat
tersebut. Program pasang surut teoritik
yang di buat oleh Broucke at al (1972),
melalui program tersebut, data pasang
surut bumi teoritik tanggal 03 hingga 17
mei 2001 dapat diedit secara langsung
dengan input berupa posisi, waktu dan
ketinggian lokasi.
49
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
Melalui program pasang surut
bumi Broucke at al, dapat diperoleh data
pasang surut bumi untuk stasiun
Surabaya, sehingga dapat dilakukan
analisis untuk data sekunder pasang surut
laut pada waktu yang sama
Pengumpulan data pasang surut laut.
Data pasang surut laut merupakan
data sekunder yang diperoleh dari Pusat
Pemetaan Dasar Kelautan dan
Kedirgantaraan BAKOSURTANAL, data
Stasiun Cilacap dengan tahun
pengukuran 1997, dengan bentangan
waktu pengukuran 1 jam, dari data itu
ada beberapa bulan data yang error dan
tidak dapat digunakan.
Pengeditan data pasang surut bumi teoritik
Melalui Program pasang surut
bumi teoritik Metode Broucke at al
(1972), diperoleh data pasang surut bumi,
dengan input posisi, waktu pengukuran
dan ketinggian, pada Stasiun Surabaya,
tahun dan bentangan waktu pengukuran
yang sama dengan stasiun pasang surut
laut, agar dapat dilakukan analisis beda
fase, periodesitas dan korelasi.
Analisis Data
Analisis beda fase dilakukan
untuk melihat seberapa jauh perbedaan
fase yang terjadi antara pengukuran
pasang surut bumi di Lab Geofisika
UGM dengan Metode Broucke dan data
pasang surut laut. Data pasang surut bumi
dan laut diplot dalam bentuk grafik
amplitudo gelombang versus waktu
pengukuran, dengan menggunakan
Program Matlab diperoleh beda fase.
Analisis periodesitas dilakukan
untuk menampilkan periodesitas
komponen harmonik variasi data pasang
surut bumi dan laut , data dalam kawasan
waktu diubah dalam kawasan frekuensi
dengan memanfaatkan Transformasi
Fourier Cepat (Fast Fourier Transform =
FFT). Melalui program Matlab diperoleh
keluaran berupa grafik antara frekuensi
(siklus/jam) versus normalisasi
amplitudo, periodesitas komponen
harmonik variasi harian dan variasi
tengah harian.
Analisis korelasi dilakukan untuk
melihat sejauhmana hubungan antara data
pasang surut bumi dan pasang surut laut
dengan menghitung koefisien korelasinya
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pasang surut bumi pengamatan dan teoritik Lab. Geofisika UGM Dari referensi diperoleh pasang
surut bumi di Laboratorium Geofisika
UGM antara teoritik dan hasil
pengamatan memiliki pola komponen
harmonik yang sama, bertipe variasi
campuran dominan tengah harian
(Wahid. 2007).
50
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
Pasang surut bumi dan pasang surut laut stasiun Cilacap.
Dari analisis beda fase stasiun
pasang surut bumi dan pasang surut laut,
terlihat bahwa pada stasiun pasang surut
Cilacap pasang surut bumi mendahului
pasang surut laut dengan beda fase rata-
rata 100 menit.(Gambar 2)
Dari analisis periodesitas Stasiun
Cilacap memperlihatkan periodesitas
pasang surut bumi dan pasang surut laut
memperlihatkan pola spektrum yang
sama dimana komponen harmonik
pasang surut variasi tengah harian lebih
dominan daripada variasi harian
(komponen pasang surut M2, S2, N2 dan
K2) (Gambar. 3).
Sedangkan dari analisis korelasi
diperoleh bahwa korelasi antara pasang
surut laut dan pasang surut bumi
memiliki korelasi yang sangat kuat
dengan koefisien korelasi rata-rata 0.8960
jauh di atas nilai kritis dari nilai tabel
0.080 untuk taraf kepercayaan 5%
(Gambar 2), (Gambar 3).
Perairan Indonesia tidak
digerakkan oleh aksi gravitasi bulan dan
matahari secara langsung, walaupun ada
tetapi kecil, namun merupakan cerminan
dari sistem pasang surut Lautan Fasifik
dan Lautan Hindia, selain itu resonansi
lokal dan pengaruh topografi dasar
Lautan Indonesia memberikan pengaruh
yang sangat nyata, menyebabkan kondisi
pasang surut Perairan Indonesia menjadi
kompleks .
Pasang surut bumi dan pasang
surut laut untuk stasiun Cilacap memiliki
korelasi yang sangat kuat, karena
keduanya mendapatkan pengaruh
langsung dari gaya pembangkit pasang
surut yang sama.
Stasiun Cilacap pengaruh pasang
surut laut dari gaya pembangkit pasang
surut Lautan Hindia sedangkaan pasang
surut bumi yang didasarkan pada gaya
tarik benda-benda angkasa, posisi, serta
ketinggian dari permukaan laut, atau
dengan kata lain digerakkan oleh gaya
pembangkit pasang surut akibat gravitasi
bulan dan matahari.
51
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
1 0 0 2 0 0 3 0 0 4 0 0 5 0 0 6 0 0 7 0 0 8 0 0 9 0 0 1 0 0 0- 4 0 0
- 3 0 0
- 2 0 0
- 1 0 0
0
1 0 0
2 0 0
3 0 0
4 0 0G e l o m b a n g P a s a n g S u r u t L a u t S t a s i u n C i l a c a p 1 9 9 7
W a k t u P e n g u k u r a n D a l a m J a m
Am
plit
ud
o G
elo
mb
an
g
Da
lam
Cm
100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000-150
-100
-50
0
50
100
150
200
W ak tu Pengukuran Dalam Jam
Am
plit
ud
o G
elo
mb
an
g
Da
lam
Mik
rog
al
Gelom bang Pasang Surut Bum i Teoritik S tas iun Cilacap 1997
Gambar 2. Gelombang pasang surut laut dan pasang surut bumi Cilacap
52
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
1 0 1 2 1 4 1 6 1 8 2 0 2 2 2 4 2 6 2 8 3 00
0 . 1
0 . 2
0 . 3
0 . 4
0 . 5
0 . 6
0 . 7
0 . 8
0 . 9
1
M 2
S 2
K 2
N 2 K 1
P 1
O 1
S p e k t ru m F F T D a t a P a s a n g S u ru t L a u t S t a s iu n C i la c a p 1 9 9 7
No
rma
lisa
si
Sp
ek
tru
m A
mp
litu
do
P e r io d e s i t a s D a la m J a m
1 0 1 2 1 4 1 6 1 8 2 0 2 2 2 4 2 6 2 8 3 00
0 . 2
0 . 4
0 . 6
0 . 8
1M 2
S 2
K 2 N 2 K 1 P 1 O 1
S p e k t ru m F F T D a t a P a s a n g S u ru t B u m i T e o r i t ik S t a s iu n C i la c a p 1 9 9 7
No
rma
lisa
si
Sp
ek
tru
m A
mp
litu
do
2 0 2 1 2 2 2 3 2 4 2 5 2 6 2 7 2 8 2 9 3 00
0 . 0 0 2
0 . 0 0 4
0 . 0 0 6
0 . 0 0 8
0 . 0 1
K 1
P 1
O 1
No
rma
lisa
si
Sp
ek
tru
m A
mp
litu
do
P e r io d e s i t a s D a la m J a m
Gambar 3. Periodesitas pasang surut laut dan pasang surut bumi Cilacap
53
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
SIMPULAN
Berdasarkan analisis beda fase
dan korelasi antara gejala alam pasang
surut bumi dan pasang surut laut untuk
lokasi stasiun Cilacap memperlihatkan
bahwa kejadian pasang surut bumi
mendahului pasang surut laut dengan
beda fase 100 menit, sedangkan dari
analisis periodesitas memiliki pola
spektrum yang sama dimana komponen
harmonik pasang surut variasi tengah
harian lebih dominan daripada variasi
harian.
DAFTAR PUSTAKA
Djaja, R., 1989, Pengamatan pasang surut laut untuk penentuan datum ketinggian, ( Asean Australia Cooperatif Programs on Marine Science Project I : Tides and Tidal Phenomena), LIPI dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi, Jakarta,149-191.
Longman, I.M., 1959, Formulas for computing the tidal accelerations due to the moon and
the sun, JGR, Vol. 64 , 2351-2355. Pariwono, J.I., 1989, Gaya penggerak pasang surut ( Asean Australia Cooperatif
Programs on Marine Science Project I : Tides and Tidal Phenomena), LIPI dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi, Jakarta ,13-22.
Stacey, F.D.,1976, Physics of the earth, second edition, John Willey and Sons, New York . Sunarjo., 1988, Studi perbandingan pasang surut bumi secara teori dan pengamatan,
Fakultas Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Proceedings HAGI. Triatmodjo, B., 1999, Teknik pantai, Beta Offset, Yogyakarta. Wahid, A., 2007, Penentuan Komponen Pasang Surut Bumi pada Bidang Equator Bumi
dengan Metode Broucke, Bulletin Penenlitian Dan Pengembangan , Alumni IAEUP, Vol:8, no: 1, Hlm 13-21
Wahid, A. 2008, Karakteristik pasang surut bumi dan pasang surut laut Stasiun Surabaya,
Bulletin Penenlitian Dan Pengembangan , Alumni IAEUP, Vol:9, no: 1, Hlm 23-31.
54
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
PENENTUAN BEBERAPA SIFAT OPTIK MINYAK KULIT BIJI JAMBU METE ASAL KABUPATEN BELU
Zakarias Seba Ngara Jurusan Fisika, Fakultas Sains dan teknik, Univesitas Nusa Cendana
ABSTRACT
Determination of absorption coefficient, refraction index and dielectric constant of CNSL from Belu regency has been done. The aim of this researching is to find its optic properties such as absorption coefficient, refraction index and dielectric constant of CNSL from Belu regency . Those optic properties can be determined from its absorption analysis. Its Absorption spectra has been obtained in researching that has been done by Ngara and Budiana in 2008.
Based on its absorption spectra, CNSL from Belu has Absorption coefficient value is 410 m-1. While the value of its refraction index and dielectric constant in complex is
ix 61068,886,0 and ix 61054,174,0 , respectively.
Keyword: CNSL, optic property, absorption coefficient, refraction index, dielectric constant
Nusa tenggara Timur (NTT)
merupakan salah satu daerah penghasil
jambu mete Di Indonesia. Di NTT,
daerah penghasil jambu mete adalah
Sumba Barat Daya, Sikka, Flores Timur,
Kupang, Belu, dan Alor (Ngara &
Budiana, 2008; Ngara, 2009).
Tanaman jambu mete merupakan
bahan organik. Pada saat ini, penelitian
sifat-sifat kimia dan fisika bahan-bahan
organik sebagai bahan aktif alternatif
dalam piranti elektronika mengalami
perkembangan pesat mengingat a) bahan-
bahan organik harganya murah dan
melimpah, b) Sifat-sifat kimia dan fisika
material organik dapat dikarakterisasi
dengan sintesis bahan organik yang tepat,
c) Material organik dapat diatur (tuned)
secara kimia untuk mengatur pemisahan
celah energinya (Ngara, 2007), d)
deposisi bahan organik di atas substrat
tertentu dapat dilakukan dengan metoda
evaporasi dan spin-coating (Ngara,
2006).
Sifat-sifat optik material antara
lain koefisien serapan, indeks bias,
konstanta dielektrik, dan lain-lain.
Koefisien serapan dan indeks bias suatu
material dapat ditentukan dari spektrum
serapan material yang diperoleh dari
analisis spektrofotometer UV-VIS
(Ngara, 2009). Sedangkan konstanta
dielektrik diperoleh dari nilai indeks
biasnya (Rachmantio, 2004; Ngara, 2010)
Pada tahun 2008, Ngara &
Budiana, dalam Penelitian Dosen Muda
55
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
(PDM) telah berhasil menentukan celah
energi chasew Nut Shield Liquid (CNSL)
hasil ekstraksi dari kulit biji jambu mete
asal Nusa Tenggara Timur (NTT).
Berdasarkan hasil penelitian mereka,
celah energi CNSL asal Alor, Belu, Kota
Kupang, Sikka, dan Sumba Barat Daya
(SBD) masing-masing adalah 3,02 eV,
3,22 eV, 3,1eV, 2,99 eV, dan 3,06 eV.
Pada tahun 2009, Ngara, dkk telah
berhasil melakukan isolasi CNSL asal
Alor untuk mendapatkan senyawa
kardanol. Penelitian mereka tersebut telah
berhasil pula menentukan celah energi
senyawa kardanol dan
pemanfaatansenyawa kompleks kardanol
sebagai bahan aktif pada sel surya
organik. Indri amitiran, 2010, telah
menentukan koefisien serapan serapan
senyawa kardanol asal Alor dan Belu.
Pada tahun 2009, Astri laka telah
menentukan koefisien serapan dan indeks
bias CNSL asal sumba timur. Pada 2009,
Ngara telah menentukan koefisien
serapan dan indeks bias CNSL asal
sumba Barat Daya dan Sikka (Ngara,
2009). Pada tahun 2010, Ngara telah
menentukan indeks bias dan konstanta
dielektrik senyawa kardanol asal Alor.
Koefisien serapan ini berkaitan
dengan absorbansi dan indeks bias suatu
material. Indeks bias suatu material
diperoleh dari analisis spektrum
serapannya. Dengan mengetahui nilai
indeks bias suatu material, beberapa
besaran fisika dapat ditentukan, antara
lain konduktivitas listrik, permeativitas
dan permeabilitas material, konstanta
dielektrik, dan lain-lain (Rachmantio,
2004). Bahan organik yang dikaji
ditentukan koefisien serapan dan indeks
biasnya dalam tulisan ini adalah CNSL
asal kabupaten Belu dan Kota Kupang.
Penelitian ini mengkaji data-data
sekunder artinya spektrum serapan CNSL
sudah ada yang telah diperoleh dalam
penelitian Dosen Muda yang dilakukan
oleh Ngara dan Budiana pada tahun 2008.
MATERI DAN METODE
Jambu Mete
Ditinjau dari aspek botani,
tanaman jambu mete (anacardium
occidentale L) termasuk dalam famili
anacardiaceae dan Spesis Anacardium
occidentale L (Muljoharjo, 1990) Produk
utama jambu mete adalah biji dan buah
mete. Kulit biji jambu mete jika
diektraksi dengan pelarut organik,
misalnya pelarut etanol (C2H5OH) akan
menghasilkan CNSL. bentuk buah jambu
mete ditunjukkan pada gambar 1.
Kulit biji jambu mete terdiri atas
lapisan epikarp, mesokarp dan endokarp
yang beratnya kira-kira 40-50 % dari
berat total buah mete glondong. Dalam
lapisan mesokarp mengandung CNSL.
Biji mete berwarna putih menyerupai
56
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
buah ginjal seperti yang ditunjukkan pada
Gambar 2 (Muljoharjo, 1990). Komposisi
CNSL terdiri atas asam anakardat
(71,8%), kardol (18,7%), kardanol (4%)
dan dua jenis senyawa minor yang tidak
diketahui (Tyman dan Moris, 1967 dalam
Budiana, 2005). Masing-masing senyawa
fenol tersebut dapat dipisahkan
menggunakan kromatografi terargentasi
perak nitrat.
Spektrum serapan
Spektrum serapan material yang
diperoleh dari analisis spektrokospi UV-
Vis didasarkan pada hukum Beer-
Lambert yang secara matematis dapat
ditulis (Banwell, 1983)
clII exp0 (1) dengan l jarak yang
dapat ditembusi oleh intensitas cahaya
dalam material, c adalah konsentrasi
material dan ε adalah tetapan koefisien
pematian (extinction coefficient).
Berdasarkan Pers.(1), I/I0 berubah secara
eksponensial dengan ketebalan (l ) dan
konsentrasi material (c). Dalam
spektroskopi, absorbansi (absorbance)
(A) didefinisikan sebagai logaritma
perbandingan antara cahaya transmisi
dengan cahaya datang. Secara matematis
dapat ditulis (Banwell, 1983; Ngara &
Budiana, 2008)
010log
I
IA (2)
dengan I adalah intensitas cahaya yang
ditransmisikan, I0 adalah intensitas
cahaya datang.
Untuk menentukan koefisien
serapan digunakan pers.(3) dengan A
adalah absorbansi pada serapan
maksimum dan l adalah tebal sampel
dalam hal ini tebal kuvet, yaitu 1 cm.
Dalam Fisika material, kaitan antara
absorbansi dengan koefisien serapan (α)
dapat ditulis (Tyagi & Vedeshwar, 2001)
epikarp
mesokarp
endokarp
Gambar 2 Penampang melintang biji mete glondong (Muljoharjo,1990)
Buah mete glondong
Buah jambu
Gambar 1 Buah jambu mete (Ngara&Budiana, 2008)
57
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
l
A303,2 (3)
Pita serapan (absorption band)
adalah jangkauan panjang gelombang
yang ekivalen dengan frekuensi dalam
spektrum gelombang elektromagnet di
mana energi elektromagnet diserap oleh
material. Spektrum serapan material
organik seperti yang ditunjukkan pada
Gambar 3 (Ngara, 2009) mempunyai
keistimewaan utama, yaitu pada panjang
gelombang tertentu, yaitu λp1 dan λp2
terjadi serapan maksimum dan λC terjadi
tepi serapan (absorption edge).
Indeks Bias
Indeks bias suatu material pada
dasarnya komplek. Indeks bias kompleks
suatu material dapat diperoleh melalui
pemecahan persamaan Maxwell. Dalam
bidang elektrodinamika, indeks bias
kompleks sebuah material dapat ditulis
(Rachmantio, 2004)
''' innn (4a)
dengan n’ dan n’’ masing-masing adalah
indeks bias bagian real dan imajinair
suatu benda. Indeks bias imajinair ini
memberikan arti fisis sebagai koefisien
pelemahan (extinction coefficient)
material.
Intensitas cahaya yang diserap
oleh suatu material sebagai fungsi
ketebalan material (l) dan indeks bias
bagian imajinair (n“) dapat ditulis
(Rachmantio, 2004)
P
lnInlI
''4
exp, 0'' (4b)
dengan λP adalah panjang gelombang
ketika terjadi serapan maksimum.
Berdasarkan Pers.(4b) dengan melakukan
beberapa langkah operasioanal diperoleh
indeks bias bagian imajinair dari suatu
material, adalah:
l
A
el
An PmaksPmaks
4303,2
log4'' (5)
dengan Amaks adalah serapan maksimum.
Dalam bidang elektrodinamika,
indeks bias bagian riil dan imajinair
suatu material masing-masing dapat
ditulis (Rachmantio, 2004)
2/1
20
2
22
42'
rr
rn (6)
2/1
20
2
22
42''
rr
rn (7)
dengan µr, εr, εo, σ, ω masing-masing
adalah permeabilitas relatif, permeativitas
relatif, permeativitas ruang hampa,
konduktivitas listrik, dan frekuensi sudut.
Untuk menentukan indeks bias
bagian real berdasarkan spektrum serapan
cahaya digunakan persamaan Doyle
(Abdullah, 2009), yaitu
2'21 ncp (8)
Pers.(8) dapat ditulis dalam bentuk yang
lain, yaitu
58
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
12
1'
2
2
c
pn
(9)
dengan c adalah panjang gelombang
ketika terjadi tepi serapan.
Konstanta dielektrik elektronik
Hubungan antara konstanta
dielektrik (K) dengan indeks bias (n)
dapat ditulis (Rachmantio, 2004; Ngara,
2010)
2nK (10)
Jika pers.(4a) dimasukkan ke pers.(10),
diperoleh
2''' innK
''''''2''2' 2 iKKnninnK (11)
dengan
2''2'' nnK (12)
''''' 2 nnK (13)
Berdasarkan pers.(11), konstanta
dielektrik juga merupakan suatu bilangan
kompleks.
Metode Penelitian
Penetuan koefisien serapan,
indeks bias dan konstanta dielektrik
CNSL asal Belu dan kota kupang
menggunakan data-data sekunder dari
penelitian Ngara, dan budiana dalam
penelitian Dosen Muda (2008). Dalam
hal ini spektrum serapan CNSL sudah
ada. Berdasarkan spektrum serapan ini,
nilai koefisien serapan dapat ditentukan
menggunakan pers.(3). Sedangkan indeks
biasnya ditentukan menggunakan pers.(5)
dan pers.(9). Penentuan konstanta
dielektrik digunakan pers.(11), pers.(12)
dan pers.(13).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Perlu dijelaskan terlebih dahulu
bahwa spektrum serapan CNSL asal Belu
yang ditunjukkan pada gambar 4
merupakan hasil penelitian Ngara, &
Budiana dalam penelitian Dosen Muda
pada tahun 2008 di Undana. Parameter
yang telah dikaji oleh mereka adalah
celah energi. Dalam tulisan ini parameter
yang dikaji adalah koefisien serapan,
indek bias dan konstanta dielektriknya.
Ketebalan material yang digunakan
dalam penelitian ini adalah 1 cm (
ketebalan ini merupakan tebal kuvet yang
digunakan).
Berdasarkan gambar 4, diperoleh
beberapa informasi, yaitu Jangkauan
serapan CNSL asal Belu adalah 200 nm
sampai dengan 385 nm. Puncak serapan
Gambar 4 Spektrum serapan CNSL dari daerah Kabupaten Belu
59
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
dan tepi serapan terjadi pada panjang
gelombang masing-masing 266 nm dan
385 nm (Ngara & Budiana, 2008).
Penentuan koefisien serapan CNSL asal Belu
Berdasarkan gambar 5, nilai
serpoan maksimum adalah 1,78.
Ketebalan sampel yang digunakan 1 cm.
Absorbansi ini terjadi pada panjang
gelombang 385 nm. Berdasarkan data-
data ini dan menggunakan pers.(3), nilai
koefisien serapan CNSL asal Belu adalah
410 m-1.
Penentuan indeks bias CNSL asal Belu
Berdasarkan data-data nilai
absorbansi dan panjanhg gelombang
ketika terjadi serapan maksimum dan
menggunakan pers.(5), nilai indeks bias
bagian imajinair CNSL asal Belu adalah
8,68 x 10-5. Berdasarkan gambar 4, tepi
serapan terjadi panjang gelombang 385.
Berdasarkan data-data ini dan dengan
menggunakan pers.(9), indeks bias
realnya adalah 0,86. Dengan demikian,
nilai indeks bias kompleks CNSL asal
Belu, adalah ix 61068,886,0 . Dengan
sifat operasi bilangan kompleks, Besar
indeks bias tersebut adalah 0,86.
Berdasarkan nilai indeks bias
tersebut, terlihat bahwa indeks bias
bagian real jauh lebih besar daripada
indeks bias bagian imajinair. Ini
menunjukkan bahwa material dalam
ukuran makro, pengaruh indeks bias real
lebih besar dibandingkan dengan
pengaruh nilai imajinairnya. Hal ini juga
memberikan makna bahwa jika material
berukuran nano, pengaruh indeks bias
bagian imajinair lebih besar
dibandingkan dengan nilai realnya.
Penentuan konstanta dielektrik
Berdasarkan nilai indeks bias
tersebut dan menggunakan pers.(11),
pers.(12) dan pers.(13), diperoleh
konstanta dielektrik bagian real dan
imajinair dari CNSL asal Belu 0,74 dan
1,54 x 10-5. Dengan demikian, konstanta
dielektrik kompleks SNSL tersebut,
adalah ix 51054,174,0 dengan besanya
adalah 0,74. Berdasarkan nilai konstanta
dielektrik tersebut, pengaruh konstanta
dielektrik bagian real jauh lebih besar
dibandingkan dengan nilai imajinairnya
untuk material berukuran makro
SIMPULAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data
dan pembahasan tersebut di atas, dapat
ditarik kesimpulan, yaitu nilai koefisien
serapan, Indeks bias kompleks dan
Konstanta dielektrik CNSL asal Belu
masing-masing adalah 410 m-1,
ix 61068,886,0 dan ix 51054,174,0 .
Saran
Perlu dilakukan kajian parameter
lain yang berkaiatan dengan indeks bias
60
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
dan konstanta dielektrik seperti
permeabilitas relatif, permeativitas
relative, dan konduktivitas listrik CNSL
asal Belu.
DAFTAR PUSTAKA Banwell, C. N., 1983, Fundamentals of Molecular Spectroscopy, edisi kedua, McGRAW-
Hill Book Company Limited, London. Budiana, I..M.N., 2000, Isolasi dan Identifikasi Senyawa Kardanol dari Kulit Biji Jambu
Mete (Anacardium Occidentale L) asal Flores Timur NTT, Buletin Penelitian dan Pengembangan Alumni IAEUP Undana, Volume 7, Hal: 0-46, ISSN : 1412-3703.
Kim, J.Y., Bard, A.J., 2004, Organic Donor/Acceptor heterojunction Photovoltaic Devices
Based on Zinc Phthalocyanine and a Liquid Crystalline Perylene Diimide, Chemical Physics Letters, Vol. 383, Hal: 11-15.
Laka, A., 2009, Kajian Sifat Optik dan Mekanika CNSL Asal Sumba Timur, Skripsi S1,
Jurusan Fisika FST Undana, Kupang Muljoharjo, 1990, Jambu Mete dan Teknologi Pengelolaannya, Liberty, Yogyakarta. Ngara, Z.S., 2006, Kajian Sifat dan Penentuan Struktur Kristal 3,4,9,10-perylene
Tetracarboxylic Diimede, Tesis S2, UGM, Yogyakarta Ngara, Z.S.,2007, Kajian Spektrum Serapan dan Penentuan Celah Energi Lapisan Tipis
3,4,9,10-Perylene Tetracarboxylic Diimide (CNSL) pada berbagai Tegangan Deposisi, Media Exacta Journal of Science and Engineering, Volume 8, No.1, ISSN: 1412-7717.
Ngara, Z.S., & Budiana, I.M.N., 2008, Kajian Spektrum Serapan dan Penentuan Celah
Energi Minyak Kulit Biji Jambu Mete asal NTT sebagai Bahan Aktif Alternatif pada piranti elektronika, Laporan akhir Penelitian Dosen Muda, Undana.
Ngara, 2009, Kajian Spektrum Serapan dan Penentuan Koefisien Serapan dan Indeks Bias
Minyak Kulit Biji Jambu Mete asal Sumba Barat Daya dan Sikka, Jurnal Biotropikal Sains, Volume 6, N0.3, Hal:40-46, ISSN: 18297323.
Ngara, 2010, Kajian Indeks Bias dan Konstanta Dielektrik Senyawa Kardanol hasil Isolasi
dari CNSL asal Alor Berdasarkan Spektrum Serapannya, Jurnal MIPA, Volume 9, N0.2, Hal:92-98, ISSN: 0216583X.
Rachmantio, H., 2004, Pengantar material Sains II Buku Sifat Fisik dan Mekanik,
Tabernakelindo, Yogyakarta, ISBN : 9799878640
Tyagi, P., dan Vedeshwar, A.G., 2001, Grain Size Dependent Optical Band Gap of CdI2 Films, Bull.Mater.Sciences, Volume 24, Hal: 297-300
61
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
PENERAPAN KEBIJAKAN ENERGI DAERAH TERHADAP KETERSEDIAAN BAHAN BAKAR MINYAK DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
TAHUN 2008-2024
Frans J. Likadja Jurusan Teknik Elektro, Fakultas Sains dan Teknik, Universitas Nusa Cendana
ABSTRACT
The implementation of regional autonomy law through UU Nomor 32 tahun 2004 and UU Nomor 25 tahun 1999 on local government and regional finance and UU No. 30 of 2007 on the energy given full authority to local goverment to formulate plans and the regional energy policy (KED) an integrated and synergistic with region to region and with region to center. Goal attainment refers KEN (National Energy Policy), which is to reduce consumption of fuel oil (BBM) to 23% in 2024 to come. With assume that the rate of population growth of NTT 2:07% per year and GDP at 4.9% per year. The results show the application of KED, the composition of the use of premium, kerosene, diesel oil and electricity tend to fall gradually until the upcoming 2024, whereas substituted policies of kerosene to LPG imposed on households and commercial sector in 2012 causes request of LPG will increase and kerosene request depreciation to 10,4% at 2024. Keyword: Energy Availability, Oil Fuel, Regional Energy Policy
Provinsi Nusa Tenggara Timur
(NTT) tidak memiliki sumber energi fosil
dan sangat bergantung dari pasokan
energi daerah lain. Penggunaan energi
masyarakat NTT juga tidak efisien,
terlihat dari angka intensitas dan
elastisitas energi NTT dalam kurun waktu
2004-2008, mencapai 0.40 SBM/ Kapita
dan 4.25, Likadja, 2010. Penerapan
otonomi daerah melalui UU No. 32 tahun
2004 dan UU No. 25 tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah (Pemda) dan
Keuangan Daerah serta UU No. 30 Tahun
2007 tentang energi memberi
kewenangan penuh kepada daerah untuk
menyusun perencanaan dan kebijakan
energi yang terintegrasi dan sinergis baik
antar daerah dengan daerah dan daerah
dengan pusat. Untuk menyusun
perencanaan dan kebijakan energi perlu
upaya pemetaan kebutuhan energi per
sektor pemakai (rumah tangga,
komersial, transportasi, industri), analisis
terhadap jenis energi yang digunakan
(indeksasi), pemetaan dan pemanfaatan
sumber energi baru dan terbarukan
(intensifikasi dan diversifikasi), serta
analisis terhadap efisiensi penggunaan
energi (konservasi energi) di berbagai
sektor.Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui permintaan dan ketersediaan
energi NTT Tahun 2009-2024 dan
62
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
menskenariokan penerapan Kebijakan
Energi Daerah (KED) Nusa Tenggara
Timur 2009-2024 dalam kerangka
pelaksanaan Kebijakan Energi Nasional
(KEN) dengan sasaran yang hendak
dicapai antara lain mengurangi konsumsi
Bahan Bakar Minyak (BBM) hingga 23%
dan rasio elektrifikasi NTT mencapai
100% di tahun 2024 mendatang. Dengan
tersedianya perencanaan dan kebijakan
energi daerah dapat diketahui prioritas
pembangunan dan pemanfaatan sumber
daya energi yang mampu menjamin
ketersediaan energi daerah yang
berkelanjutan, (Yusgiantoro, 2000).
Perencanaan Energi menggunakan LEAP (Long-range Energy Alternative Planning system
LEAP adalah perangkat lunak
komputer yang dapat digunakan untuk
melakukan analisis dan evaluasi
kebijakan dan perencanaan energi. LEAP
dikembangkan oleh Stockholm
Environment Institute, Boston, USA.
LEAP telah digunakan dibanyak negara
terutama negara-negara berkembang
karena menyediakan simulasi untuk
sumber energi. Indonesia melalui Pusat
Informasi Energi (PIE) dan Yayasan
Pertambangan dan Energi, Departemen
Energi dan Sumber Daya Mineral
(ESDM) pada tahun 2002 menerbitkan
buku Prakiraan Energi Indonesia 2010
yang menggunakan LEAP sebagai alat
bantu analisis perencanaan permintaan-
penyediaan energi di Indonesia dari tahun
2000 – 2010, (Anonimus, 2002). Dalam
LEAP terdapat 4 modul utama yaitu
Modul Variabel Penggerak (Driver
Variable), Modul Permintaan (Demand),
Modul Transformasi (Transformation)
dan Modul Sumber Daya Energi
(Resources). Proses proyeksi penyediaan
energi dilakukan pada Modul
Transformasi dan Modul Sumber Daya
Energi, (Anonimus, 2009).
Modul Variabel Penggerak (Driver Variable) Modul ini digunakan untuk
menampung parameter-parameter umum
yang dapat digunakan pada Modul
Permintaan maupun Modul Transformasi.
Parameter umum ini misalnya adalah
jumlah penduduk, PDRB (Produk
Domestik Regional Bruto), jumlah rumah
tangga, dan sebagainya. Modul Variabel
Penggerak bersifat komplemen terhadapa
modul lainnya. Pada model yang
sederhana dapat saja modul ini tidak
digunakan.
Modul Permintaan (Demand)
Modul ini digunakan untuk
menghitung permintaan energi. Metode
analisis yang digunakan dalam model ini
didasarkan pada pendekatan end-use
(pemakai akhir) secara terpisah untuk
masing-masing sektor pemakai sehingga
diperoleh jumlah permintaan energi per
63
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
sektor pemakai dalam suatu wilayah pada
rentang waktu tertentu. Informasi
mengenai variabel ekonomi, demografi
dan karakteristik pemakai energi dapat
digunakan untuk membuat alternatif
skenario kondisi masa depan sehingga
dapat diketahui hasil proyeksi dan pola
perubahan permintaan energi berdasarkan
skenario-skenario tersebut. Metodologi
yang digunakan dalam melakukan
analisis permintaan energi ini adalah:
Modul Sumber Daya Energi (Resources)
Pada metode ini jumlah
permintaan energi dihitung sebagai hasil
perkalian antara aktivitas energi dengan
intensitas energi (jumlah energi yang
digunakan per unit aktivitas). Metode ini
terdiri atas dua model analisis yaitu :
Analisis Permintaan Energi Final (Final
Energy Demand Analysis) dan Analisis
Permintaan Energi Terpakai (Useful
Energy Demand Analysis).
Analisis Permintaan Energi Final (Final Energy Demand Analysis)
Pada metode ini, permintaan
energi dihitung sebagai hasil perkalian
antara aktivitas total pemakaian energi
dengan intensitas energi pada setiap
cabang teknologi (technology branch).
Dalam bentuk persamaan matematika
perhitungan
permintaan energi menggunakan final
energy demand analysis adalah :
tsbtsbtsb xEITAD ,,,,,, ................................1
dimana:
D : Permintaan (Demand)
TA : Aktivitas Total (Total Activity)
EI : Intensitas Energi (Energy
Intensity)
b : Cabang (Branch)
s : Skenario
t : Tahun perhitungan, tahun dasar
≤ t ≤ tahun akhir perhitungan.
Dalam menghitung Aktivitas Total dan
Intensitas Energi digunakan regresi
linear. Setiap pasangan data dapat
digambarkan sebagai suatu titik dimana
nilai-nilai Y dinyatakan pada sumbu
vertikal (ordinat) sedangkan nilai-nilai X
dinyatakan pada sumbu horisontal
(absis):
eYY
Y = a + b (x) + e.....................................3
dimana:Y = nilai-nilai pengamatan;
Y =
persamaan yang menggambarkan pola
relasi antara variabel bebas (X) dan
variabel tak bebas (Y). a = intersep, nilai
variabel tak bebas (Y) apabila variabel
bebas (X) bernilai nol (0). b = koefisien
kemiringan; X = waktu ; e = galat
(error), maka kesalahan kuadrat:
…….4
64
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
Pada data bivariat (data pasangan
variabel acak atau pasangan data deret
berkala) terdapat ukuran statistika untuk
menggambarkan bagaimana dua deret
data tersebut berkaitan satu sama lain.
Ukuran statistika tersebut adalah
koefisien determinasi (R2).Secara umum
R2dapat didefinisikan sebagai berikut:
……...5
Koefisien determinasi memiliki nilai
yang berkisar antara 0 dan 1 (0<R2<1),
nilai R2 yang mendekati 1 berarti pola (ý)
semakin sesuai dengan nilai pengamatan
(Y), juga sebaliknya nilai R2 yang
mendekati nol berarti pola semakin tidak
sesuai dengan nilai pengamatan.
Analisis Permintaan Energi Terpakai (Useful Energy Demand Analysis)
Pada metode ini, intensitas energi
ditentukan pada cabang Intensitas Energi
Gabungan (Aggregate Energy Intensity
Branch), bukan pada cabang Teknologi
(Technology Branch). Pada tahun dasar,
ketika digunakan dua metode sekaligus
(yakni Final Energy Demand dan Useful
Energy Demand), maka intensitas energi
untuk tiap cabang teknologi adalah:
UEb0 = EI b0 x FSb,0 x
EFFb,0......................................................6
dengan:
UEb,0 = useful energy intensity
cabang b pada tahun dasar,
EIAG,0 = final energy intensity cabang
intensitas energi gabungan pada tahun
dasar,
FSb,0 = fuel share cabang b pada
tahun dasar,
EFFb,0 = efisiensi cabang b pada
tahun dasar,
b = 1..B (b adalah salah satu cabang
dari cabang teknologi B)
intensitas energi terpakai dari cabang
intensitas energi gabungan adalah
penjumlah dari intensitas energi terpakai
pada setiap cabang teknologi. Dalam
persamaan matematika ditulis sebagai :
…...7
Bagian aktivitas (activity share) yakni
bagian aktivitas suatu teknologi pada
suatu cabang teknologi terhadap aktivitas
teknologi cabang intensitas energi
gabungan adalah :
………………8
dimana: ASb,0 = activity share cabang b
pada tahun dasar
Modul Transformasi (Transformation)
Modul ini digunakan untuk
menghitung pasokan energi. Pasokan
energi dapat terdiri atas produksi energi
primer (misalnya gas bumi, minyak bumi
dan batubara) dan energi sekunder
65
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
(misalnya listrik, bahan bakar minyak,
LPG, briket batubara dan arang). Susunan
cabang dalam Modul Transformasi sudah
ditentukan strukturnya, yang masing-
masing kegiatan transformasi energi
terdiri atas processes dan output. Data
teknis proses transformasi (pembangkit,
transmisi dan distribusi listrik) dan sistem
yang diperlukan dalam studi ini adalah
Modul Sumber Daya Energi (Resources)
Modul ini terdiri atas Primary
dan Secondary Resources. Kedua cabang
ini sudah default. Cabang-cabang dalam
Modul Resources akan muncul dengan
sendirinya sesuai dengan jenis-jenis
energi yang dimodelkan dalam Modul
Transformationn. Beberapa parameter
perlu diisikan, seperti jumlah cadangan
(misalnya minyak bumi, gas bumi,
batubara) dan potensi energi (misalnya
tenaga air, biomasa).
MATERI DAN METODE
Untuk menentukan metode dan
model analisis terlebih dahulu
menetapkan tahun dasar yaitu tahun 2008
sampai akhir peramalan tahun 2024
sesuai dengan skenario KED. selama 15
(lima belas) tahun kedepan atau dari
tahun 2009-2024 mendatang. Setelah
semua data yang diperlukan
dikelompokkan, data kemudian
diinputkan menggunakan perangkat lunak
LEAP untuk diproses. Seperti terlihat
pada Gambar 1 di bawah ini.
Gambar 1. Susunan Model dalam LEAP
Modul Variabel Penggerak
pada Modul Variabel Penggerak
ditampung parameter-parameter umum
yang nantinya dapat digunakan dalam
proyeksi permintaan dan penyediaan
energi antara lain jumlah penduduk,
jumlah rumah tangga, Pendapatan Daerah
Regional Bruto, pendapatan per kapita,
pertumbuhan jumlah penduduk,
pertumbuhan PDRB dan lain-lain.
Modul Permintaan
Dengan menggunakan perangkat
lunak LEAP prakiran permintaan energi
dihitung berdasarkan besarnya aktivitas
pemakaian energi dan besarnya
pemakaian energi per aktivitas atau
intensitas pemakaian energi. Aktivitas
pemakaian energi sangat berkaitan
dengan tingkat perekonomian dan jumlah
penduduk. Aktivitas pemakaian energi
dikelompokkan menjadi 4 (empat) sektor,
yaitu:
a. Sektor Rumah Tangga,
66
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
b. Sektor Industri,
c. Sektor Transportasi,
d. Sektor Komersial
Sektor Rumah Tangga (RT)
Pemakaian energi di Sektor
Rumah Tangga ditentukan oleh jumlah
penduduk dan pemakaian energi per
pendapatan per kapita. Pendapatan per
kapita penduduk merupakan variabel
aktivitas yang pertumbuhannya
diproyeksikan menurut pertumbuhan
ekonomi dan jumlah penduduk.
Intensitas energi didefinisikan sebagai
energi yang dipergunakan (Setara Barel
Minyak-SBM) per pendapatan per kapita
(juta Rp.). Intensitas energi selama
periode proyeksi diasumsikan tetap.
Sektor Industri
Sektor Industri dibagi menjadi sub
sektor Makanan dan Minuman, Tekstil
dan Barang Kulit, Mesin dan Alat
Angkut, Semen dan Bahan Galian Bukan
Tambang, Pupuk dan lainnya.
pembagian ini didasarkan pada nilai
tambah yang dihasilkan, dimana dari
sembilan KLUI (Kelompok Lapangan
Usaha Indonesia) kelompok usaha
Makanan, Tekstil, Mesin dan Semen
memiliki nilai tambah ekonomi yang
cukup besar. Pembagian sub sektor
industri adalah sebagai berikut :
1. Sub Sektor Makanan dan Minuman
2. Sub Sektor Tekstil dan Barang
Kulit
3. Sub Sektor Mesin dan Alat Angkut
4. Sub Sektor Semen dan Bahan
Galian Bukan Tambang
5. Sub Sektor Pupuk dan Lainnya.
Indikator aktivitas energi Sektor Industri
didefinisikan sebagai nilai tambah yang
dihasilkan per tahun. Data nilai tambah
diperoleh dari BPS NTT. Intensitas
pemakaian energi pada Sektor Industri
adalah pemakaian energi per nilai tambah
yang dihasilkan. Intensitas dianggap tetap
selama periode proyeksi.
Sektor Transportasi
Sektor Transportasi yang diteliti
adalah transportasi darat. Moda
transportasi darat merupakan aktivitas
terbesar dari Sektor Transportasi,
sehingga transportasi darat dibagi lagi
menjadi beberapa kelompok. Indikator
aktivitas transportasi adalah jumlah
kendaraan dengan satuan unit.
Pembagian kelompok dan indikator
aktivitas pada sektor transportasi adalah
sebagai berikut :
1. Mobil Penumpang : jumlah kendaraan
2. Sepeda Motor : jumlah kendaraan
3. Bus : jumlah kendaraan
4. Truk : jumlah kendaraan
Data aktivitas pemakaian energi Sektor
Transportasi diperoleh dari BPS dan
Departemen Perhubungan. Data
intensitas energi didefinisikan sebagai
jumlah bahan bakar yang dikonsumsi tiap
unit kendaraan per tahun.
67
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
Sektor Komersial
Sektor Komersial terdiri atas 7
(tujuh) kelompok usaha, yaitu
Penginapan, Komunikasi, Rumah
Makan, Perdagangan, Jasa Keuangan,
Jasa Hiburan dan Jasa Sosial. Indikator
kegiatan pemakaian energi pada sektor
komersial adalah nilai tambah yang
dihasilkan. Data nilai tambah sektor
diperoleh dari BPS. Intensitas pemakaian
energi pada sektor ini adalah pemakaian
energi per nilai tambah yang dihasilkan
dan diasumsikan tetap selama periode
proyeksi .
Modul Transformasi
Modul ini digunakan untuk
menghitung pasokan energi. Pasokan
energi dapat terdiri atas produksi energi
primer (gas bumi, minyak bumi dan
batubara) dan energi sekunder (listrik,
bahan bakar minyak, LPG, briket
batubara dan arang). Susunan cabang
dalam Modul Transformasi sudah
ditentukan strukturnya, yang masing-
masing kegiatan transformasi energi
terdiri atas processes dan output.
Processes menunjukkan teknologi yang
digunakan untuk konversi, transmisi atau
distribusi energi. Output adalah bentuk
energi yang dihasilkan dari processes.
Perhitungan dilakukan secara Bottom-
Up. Dimulai dari jumlah permintaan
energi, dihitung naik hingga ke sumber
energi primer, seperti terlihat pada
Gambar 2 berikut.
Gambar 2. Proses Perhitungan dalam Modul Transformasi Modul Sumber Daya Energi
Modul ini terdiri atas Primary
dan Secondary Resources. Kedua
cabang ini sudah default. Cabang-cabang
dalam Modul Resources akan muncul
dengan sendirinya sesuai dengan jenis-
jenis energi yang dimodelkan dalam
Modul Transformation, lihat Gambar 2.
Beberapa parameter perlu diisikan,
seperti jumlah cadangan (minyak bumi,
gas bumi dan batubara) dan potensi
energi (tenaga air dan biomasa).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Asumsi-Asumsi
Penyusunan Skenario KED
disesuaikan dengan arah Kebijakan
Energi Nasional, KEN 2003-2020.
Terwujudnya energi mix nasional
sesuai dengan Perpres No. 5 Tahun 2006,
dengan persentase tiap-tiap energi adalah:
1. Minyak bumi menjadi kurang dari
20%;
2. Gas bumi menjadi lebih dari 30%;
68
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
3. Batubara menjadi lebih dari 33% ;
4. Bahan Bakar Nabati menjadi lebih
dari 5%;
5. Panas bumi menjadi lebih dari 5%;
6. Biomassa, Nuklir, Mikrohidro,
Tenaga Surya, dan Tenaga Angin
menjadi lebih dari 5%;
7. Batubara yang dicairkan menjadi
lebih dari 2%;
8. Meningkatnya rasio elektrifikasi
menjadi 100% di tahun 2020;
9. Terjadi konversi energi dari minyak
tanah ke LPG;
10. Tercapainya elastisitas energi yang
lebih kecil dari satu pada tahun 2024
11. Pertumbuhan penduduk NTT 2.07%
per tahun
12. PDRB NTT 4.9% per tahun
Skenario KED
Minyak Tanah – LPG
Target konversi minyak tanah,
kayu bakar ke LPG dan dari minyak
tanah ke kayu bakar berbeda antara
wilayah desa dan kota. Dengan
mengasumsikan persentasi jumlah
penduduk desa dan kota adalah 40%
berbanding 60%, serta dengan
mengklasifikasikan sasaran konversi
energi berdasarkan pendapatan, maka
target konversi minyak tanah ke LPG,
kayu bakar ke LPG dan dari kayu bakar
ke minyak tanah diilhat pada Tabel 1, 2
dan 3 berikut.
Tabel 1 . Target Konversi Minyak Tanah ke LPG sektor Rumah Tangga
Target Konversi Minyak Tanah – LPG (Tahun 2020) No Kelompok Pendapatan
Desa Kota 1 Dibawah Garis Kemiskinan 0% 20% 2 Dibawah 1,5 x GK 0% 30% 3 Sedang 0% 50% 4 20 % teratas 10% 80%
Tabel 2. Target Konversi Kayu Bakar ke LPG sektor Rumah Tangga KED
Target Konversi Kayu Bakar – LPG (Tahun 2020) No Kelompok Pendapatan
Desa Kota
1 Dibawah Garis Kemiskinan 0% 5% 2 Dibawah 1,5 x GK 0% 10% 3 Sedang 0% 15% 4 20 % teratas 15% 20%
69
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
Tabel 3. Target Konversi Kayu Bakar ke Minyak Tanah sektor Rumah Tangga KED Target Konversi Kayu Bakar – M. Tanah
(Tahun 2020) No Kelompok Pendapatan Desa Kota
1 Dibawah Garis Kemiskinan 10% 0% 2 Dibawah 1,5 x GK 20% 0% 3 Sedang 5% 0% 4 20 % teratas 0% 0%
Konsumsi Energi berdasarkan Bahan Bakar Konsumsi energi final
berdasarkan jenis bahan bakar terdiri dari
bahan bakar minyak yang meliputi avtur,
premium, minyak tanah, minyak solar,
minyak diesel, LPG (liquefied petroleum
gas), batubara, listrik, arang kayu dan
kayu bakar.
Bahan Bakar Minyak (BBM)
Konsumsi bahan bakar migas
(premium, minyak tanah, solar) di
Provinsi NTT selama kurun waktu tahun
2002-2008 sangat berfluktuasi untuk tiap
jenis bahan bakar. Jumlah pasokan per
jenis BBM dapat dilihat pada Tabel 4 di
bawah ini.
Tabel 4. Konsumsi BBM 2002-2008
Jenis Energi Satuan 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Rerata
Premium Kilo Liter 76,712.14 102,278.85 100,488.46 56,557.27 104,666.24 117,796.40 130,926.56 98,489.42
M. Tanah Kilo Liter 83,610.01 100,845.23 80,592.19 30,381.03 70,920.45 76,333.67 81,746.89 74,918.49
M. Solar Kilo Liter 140,417.14 174,888.63 131,934.11 76,075.87 66,203.45 78,590.39 90,977.32 108,440.98
Jumlah Kilo Liter 300,739.29 378,012.70 313,014.76 163,014.16 241,790.14 272,720.45 303,650.77 281,848.90Pertumbuhan % 25.69448497 -17.1946457 -47.9212527 48.324617 12.79221572 11.34139944 5.51
Sumber : BPH Migas dan Pertamina Unit Pemasaran V, 2010
Konsumsi BBM untuk wilayah
NTT kurun waktu 2002-2008 mengalami
peningkatan dengan rerata pertumbuhan
pasokan sebesar 5.51% per tahun. Pada
tahun 2002, pasokan BBM sebesar
300.739, 29 kl dan pada tahun 2008
meningkat menjadi 303.650,77 kl. Pada
tahun 2004 dan 2005 terjadi penurunan
jumlah pasokan BBM akibat kenaikan
harga BBM yang menyebabkan turunnya
daya beli masyarakat dan melambatnya
laju pertumbuhan PDRB NTT.
Konsumsi LPG
Konsumsi LPG untuk wilayah
NTT mengalami kenaikan dengan rerata
pertumbuhan sebesar 12.76%. Pada tahun
2002 jumlah pasokan LPG adalah 218.99
Ton naik menjadi hampir dua kali lipat
pada tahun 2008 menjadi 441.30 Ton
seperti terlihat pada Tabel 5 di bawah ini.
70
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
Tabel 5. Pasokan LPG 2002-2008 Jenis Energi Satuan 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Rerata
LPG Ton 218.99 204.12 234.84 274.95 321.92 376.91 441.30 296.15Pertumbuhan % -6.7902644 15.04997061 17.08177337 17.08193252 17.08183627 17.0820067 12.76
Sumber : BPH Migas dan Pertamina Unit PemasaranV,2010
Energi Final Berdasarkan Sektor Pemakai
Konsumsi energi final
berdasarkan sektor pemakai/pengguna
energi dikategorikan berdasarkan sektor
rumah tangga dan komersil, sektor
transportasi dan sektor industri.
Konsumsi energi jenis premium
dikonsumsi oleh sektor transportasi dan
industri, konsumsi energi jenis minyak
tanah dan LPG didominasi oleh sektor
rumah tangga dan industri, konsumsi
energi jenis minyak solar didominasi oleh
sektor industri. Konsumsi energi final
berdasarkan sektor pemakai dapat dilihat
pada Tabel 7 di bawah ini.
Tabel 7. Pemakaian Energi Wilayah NTT 2002-2008
Satuan 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
1 Premium
a. Transportasi Kilo Liter 76,712.14 102,278.85 100,227.69 56,423.42 104,440.34 117,564.55 130,691.56
b. Industri Kilo Liter - - 260.77 133.85 225.90 231.85 235.00
2 M. Tanah
a. R. Tangga dan Komersil Kilo Liter 83,610.01 100,845.23 80,280.72 30,260.61 70,632.15 76,015.41 81,397.34
b. Industri Kilo Liter - - 311.46 120.42 288.30 318.25 349.55
3 M. Solar (ADO)
a. Transportasi Kilo Liter 81,709.85 95,557.34 63,828.06 34,068.45 27,301.92 29,695.47 31,342.17
b. Industri Kilo Liter 58,707.28 79,331.29 68,106.05 42,007.42 38,901.53 48,894.91 59,635.15
4 Aviation Gasoil (Avgas)
a Transportasi Kilo Liter 2.37 5,905.00 4.41 3.79 3.26 2.81 2.41
5 Aviation Turbin Gas (Avtur)
a Transportasi Kilo Liter 6,778.14 8,797.34 12,835.61 13,046.71 13,261.28 13,479.38 13,701.06
6 LPG
a R. Tangga dan Komersil Ton 218.99 204.12 234.84 274.95 321.92 376.91 441.30
Bahan Bakar
Pasokan Energi Transaksi Impor – Ekspor
Penyediaan Bahan Bakar Minyak
(BBM) di Provinsi NTT dipasok dari
daerah lain melalui 4 DPPU dan 8
instalasi/ depot yaitu Depot Tenau, Depot
Waingapu, Depot Maumere dan Depot
Ende, Depot Reo, Depot Kalabahi, Depo
Larantuka, Depot Atapupu. Kapasitas
depot BBM (Bahan Bakar Minyak)
secara keseluruhan di NTT adalah
sebesar 40537 KL, dead stock 2.050 KL,
pumpable stock sebesar 37.887 KL.
Jumlah tangki penimbunan BBM di NTT
sebanyak 50 buah tersebar di tujuh lokasi
(depot) dengan kapasitas masing-masing
adalah sebagai berikut. Depot Tenau
kapasitas 20.395 Kl. dead stock 947 Kl.
pumpable stock 19.448 Kl. Depot
71
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
Waingapu kapasitas 5.295 Kl. dead stock
287 Kl. pumpable stock 5.008 Kl. Depot
Maumere kapasitas 5.297 Kl. dead stock
302 Kl. pumpable stock 4.995 Kl. Depot
Ende kapasitas 5.332 Kl. dead stock 298
Kl. pumpable stock 5.034 Kl. Depot
Atapupu kapasitas 1.434 Kl. dead stock
68 Kl. pumpable stock 1.366 Kl. Depot
Larantuka kapasitas 1.342 Kl. dead stock
41 Kl. pumpable stock 1.045 Kl. Depot
Kalabahi kapasitas 1.342 Kl. dead stock
38 Kl. pumpable stock 875 Kl. Depot
Reo kapasitas 1.438 Kl dead stock 69 Kl.
pumpable stock 1.369 Kl.
Kebutuhan LPG
Kebutuhan LPG untuk wilayah
NTT juga didapatkan dari luar daerah dan
di bawah pengelolaan Pertamina. Total
kebutuhan LPG di NTT pada tahun 2008
mencapai 441.3 ton.
Permintaan Energi Berdasarkan Sektor Pemakai
Proyeksi permintaan energi per
sektor pemakai berdasarkan skenario
KED ditunjukan pada Gambar 4 di
bawah ini. Terlihat bahwa total konsumsi
energi NTT pada tahun 2024 untuk sektor
Transportasi 3.337,782 ribu SBM atau
menjadi 346% dibandingkan konsumsi
energi pada tahun 2008. Sektor Rumah
Tangga sebesar 1.596,588 ribu SBM atau
naik menjadi 184%, sektor Industri
sebesar 1160,912 ribu SBM atau naik
menjadi 293% dan Komersial sebesar
396,676 ribu SBM atau naik menjadi
458%.
Gambar 4. Pertumbuhan konsumsi energi per sektor sekenario KED
Komposisi penggunaan energi
NTT untuk sektor Transportasi pada
skenario KED meningkat dari 41,7 %
pada tahun 2008 menjadi 51,4% pada
tahun 2024; sektor komersial juga
meningkat dari 3,7% pada tahun 2008
menjadi 6,1 % pada tahun 2024;
sedangkan untuk sektor Industri
mengalami kenaikan relative kecil yaitu
dari 17,1 % pada tahun 2008 menjadi
17,9% pada tahun 2024 . Sebaliknya
untuk sektor industri dan rumah tangga
mengalami penurunan masing-masing
dari 37,5% pada tahun 2008 menjadi
24,6% pada tahun 2024, lihat Gambar 5.
72
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
2008
37,5%
3,7%17,1%
41,7% Rumah Tangga
Komersial
Industri
Transportasi
2024
24,6%
6,1%
17,9%
51,4%
Rumah Tangga
Komersial
Industri
Transportasi
Gambar 5. Komposisi energi per jenis bahan bakar Tahun 2008 dan Tahun 2024 Skenario KED
Permintaan Berdasarkan jenis energi
Pemakaian energi berdasarkan
jenis energi untuk penerapan skenario
KED terlihat pada Gambar 6 dibawah ini.
Penggunaan energi final di NTT pada
tahun 2024 masih didominasi oleh
Minyak Solar 3.323,375 ribu SBM dikuti
oleh Premium 1.150,186 ribu SBM,
Listrik 789,123 ribu SBM, Arang
313,540 ribu SBM dan LPG 240,270 ribu
SBM
Gambar 6. Pertumbuhan konsumsi energi per jenis energi bahan bakar Skenario KED
Permintaan energi di NTT pada
tahun 2024 mendatang jika dilihat dari
komposisi energinya, maka Minyak
Diesel mengalami peningkatan dari
25,5% pada tahun 2008 menjadi 51,2%
pada tahun 2024, diikuti oleh
peningkatan permintaan energi listrik dari
9,04% di tahun 2008 menjadi 12,2 pada
tahun 2024; di samping itu, LPG juga
mengalami peningkatan sebesar 0,2% di
tahun 2008 menjadi 3,7% pada tahun
2024 yang diakibatkan oleh penerapan
kebijakan konversi energi minyak tanah
ke LPG. Sedangkan untuk permintaan
energi jenis premium mengalami
penurunan dari 32,9 % tahun 2008
menjadi 17,7% di tahun 2024;
pemanfaatan arang juga mengalami
penurunan 9,2% di tahun 2008 menjadi
4,8% pada tahun 2024. Permintaan
minyak tanah mengalami penurunan dari
23,1% tahun 2008 menjadi 10,4%
ditahun 2024 akibat konversi energi
tersebut dengan LPG, lihat Gambar 7.
73
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
2008
9,2% 0,2%
23,1%
32,9%
9,0%
25,5% Wood
LPG
Kerosene
Gasoline
Electricit
Diesel
2024
4,8% 3,7%10,4%
17,7%
12,2%
51,2%
Wood
LPG
Kerosene
Gasoline
Electricit
Diesel
Gambar 7. Komposisi energi per jenis bahan bakar 2008 dan 2024 Skenario KED
SIMPULAN
1. Target kebijakan energi daerah yang
juga mengacu pada target kebijakan
energi nasional dapat tercapai
dengan mempercepat pengalihan
minyak tanah ke LPG secara
bertahap dimulai dengan penduduk
yang tinggal di daerah perkotaan.
Penerapan kebijakan konversi energi
minyak tanah ke LPG menyebabkan
permintaan LPG meningkat dari
0,2% di tahun 2008 menjadi 3,7%
pada tahun 2024 dan permintaan
minyak tanah mengalami penurunan
dari 23,1% tahun 2008 menjadi
hanya 10,4% ditahun 2024
2. Permintaan energi berdasarkan jenis
energi hingga pada tahun 2024
mendatang masih didominasi oleh
Minyak Solar dikuti oleh Premium,
Listrik, Arang dan LPG sedangkan
jika dilihat dari permintaan energi
per sektor pemakai didominasi oleh
sektor Transportasi, diikuti oleh
sektor Rumah Tangga, Komersil dan
Industri
Ucapan terimakasih
Diucapkan terimakasih kepada
DP2M Ditjen Dikti yang telah membiayai
penelitian ini selama periode 2009-2010.
DAFTAR PUSTAKA Anonimus, 2009, LEAP: User Guide for LEAP Version 2008, Stockholm Environtment
Institute Anonimus, 2002, Prakiraan Energi Indonesia 2010, Pusat Informasi Energi Departemen
Energi dan Sumber Daya Mineral Badan Pusat Statistik Propinsi NTT, 2007, Nusa Tenggara Timur Dalam Angka
74
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
Badan Pusat Statistik Propinsi NTT, 2008, Nusa Tenggara Timur Dalam Angka Badan Pusat Statistik Propinsi NTT, 2009, Nusa Tenggara Timur Dalam Angka http://www.bphmigas.go.id/, BPH Migas dan Pertamina Unit Pemasaran V, diakses pada
tanggal 19 Desember 2009 Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, 2004, Kebijakan Energi Nasional 2003-
2020, Jakarta Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi NTT, 2009, Buku Potensi dan Pengembangan
Energi NTT Likadja, Frans James, Analisis Permintaan terhadap Ketersediaan Energi Sektor Rumah
Tangga dan Komersil di Provinsi Nusa Tenggara Timur Menggunakan Perangkat Lunak LEAP, Buletin Penelitian dan Pengembangan, Forum Alumni Indonesia Australia Eastern Universities Project (IAEUP) Volume 11, Juli 2010
PT PLN Wilayah NTT, 2009, Statistik PT.PLN wilayah NTT, Kupang Yusgiantoro, Purnomo, 2000, Ekonomi Energi: Teori dan Praktik, Pustaka LP3ES
Indonesia.
75
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
PENGATURAN BANDWIDTH MENGGUNAKAN METODE HIRACHICAL TOKEN BUCKET (HTB)
Marlina Program Studi Teknik Informatika, STIKOM Uyelindo Kupang
ABSTRACT From the service provider view, the most important part is he maximum bandwidth each customer can use, so they can sell the rest of the bandwidth to other customer. On the other side, from the customer view, the most important part in Quality of Service is the guarantee for the bandwidth they can use, according to what they pay. HTB is a complete bandwidth manager, which can satisfy both of them. This journal is done to know the relation between queueing rule and their respective parent, total number of the limitation and their respective parent, and priority effect to bandwidth distribution to each customer Keyword: bandwidth, HTB, queue, quality of service
Jaringan internet merupakan
jaringan antara client terhadap server
sebagai provider dan sebaliknya.
Kecepatan access penggunaan jaringan
internet dipengaruhi oleh besarnya lebar
pita (bandwidth) yang digunakan sebagai
layer network untuk browsing pada
server yang ada.
Untuk dapat mengatur bandwidth
kepada client tersebut diperlukan sistem
pengaturan yang bergantung kepada
besarnya bandwidth yang tersedia dan
banyaknya client yang menggunakan
jaringan internet. Beberapa model antrian
dalam pengaturan bandwidth, salah
satunya adalah melalui metode Hirachical
Token Bucket (HTB)
Jurnal internasional : A
Framework for Alternate Queuing oleh
Kenjiro Cho dalam IEEE INFOCOM,
USENIX Annual Technical Conference
(No. 98), New Orleans, Louisiana, HTB
mengatur dengan cara memberikan batas
maksimum dari bandwidth setiap client
dan bersifat statis sesuai pengaturannya,
selain itu total dari setiap client berada
dibawah maksimum bandwidth yang ada.
Dengan HTB perioritas dari masing-
masing client boleh diatur tidak sama
sehingga sangat berguna untuk penentuan
prioritas.
Permasalahan yang ada
bagaimana memanfaatkan metode HTB
agar dapat mengatur bandwidth
berdasarkan prioritas dan bagaimana
mengatur bandwidth berdasarkan limit
yang diberikan. Pada banyak kasus
prioritas dari setiap client tidak sama
misalnya dikantor kecepatan akses untuk
direktur lebih besar dibandingkan
76
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
karyawan, begitu juga pada universitas
tentulah kecepatan akses untuk seorang
pimpinan lebih tinggi dari mahasiswa.
Adapun tujuan dari penelitian ini:
1. Mengatur bandwidth dengan metode
HTB agar kecepatan dari masing-
masing client berbeda sesuai dengan
prioritas dan limit yang diberikan.
2. Mengetahui penyebab-penyebab yang
menyebabkan prioritas dan limit yang
diberikan tidak berfungsi
3. Mengetahui akibat yang terjadi jika
semua client diberikan prioritas dan
limit yang sama
Manfaat penelitian Sebagai pembelajaran
pengaturan bandwidth pada jaringan
dengan menggunakan metode HTB, pada
jaringan komputer
MATERI DAN METODE HTB termasuk jenis antrian yang
berkelas, dimana antrian ini sangat cocok
digunakan jika ada beberapa jenis trafik
yang harus diperlakukan berbeda. Ketika
trafik masuk keantrian berkelas, maka
paket tersebut harus dikelompokan lalu
dikirim ke subkelas yang diinginkan.
Klasifikasi ini menggunakan filter. Setiap
subkelas dapat menggunakan disiplin
antrian lain. Kebanyakan disiplin antrian
berkelas juga membatasi kecepatan
transfer data. Hal ini sangat berguna
untuk melakukan pengontrolan
kecepatan, maupun pengaturan jadwal.
Menurut Devera, setiap interface
mempunyai satu disiplin antrian utama
yang disebut root. Setiap disiplin antrian
berkelas mempunyai sebuah filter yang
dapat digunakan untuk pengaturan
selanjutnya, dimana filter ini mempunyai
dua bagian yaitu rate maksimum dan rate
minimum.
Menurut Pindo (2002), Untuk
menggunakan antrian HTB penggunakan
filter untuk mengklasifikasikan aliran
data digunakan hirarki sebagai berikut:
Paket diantrikan dari root qdisc yang
merupakan satu-satunya kelas yang akan
berhubungan dengan kernel. Paket
kemudian dapat diklasifikasikan dengan
urutan sbb: 1: ->1:1->1:12->12:->12:2.
Paket kemudian diantrikan pada 12:2.
Pada contoh ini filter dipasang pada
setiap titik dalam pohon diagram, dimana
pada setiap titik paket data mengikuti
filter yang diberikan hingga mencapai
kelas yang diinginkan. Namun bisa saja
paket difilter langsung dari 1:->12:2
dalam kasus ini filter yang terpasang
pada root langsung mengirimkan paket ke
12:2.
77
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
Gambar 1. Pembagian hirarki HTB
HTB memungkinkan membuat
antrian menjadi lebih terstruktur, dengan
melakukan pengelompokan-
pengelompokan bertingkat. Pada
beberapa antrian yang tidak
menggunakan HTB maka ada beberapa
parameter yang tidak bekerja yaitu
prioritas, dan tidak bekerjanya batas atas
dan batas bawah bandwidth.
HASIL DAN PEMBAHASAN Ujicoba pada jaringan lokal
Gambaran rinci topologi jaringan
yang digunakan pada ujicoba ini adalah:
Gambar 2. Topologi Jaringan Percobaan
Penelitian ini menggunakan perangkat
keras (hardware) sebagai berikut:
Laptop dengan spesifikasi sebagai
berikut: Processor Intel Core Duo,
memori 1 GB, harddisk 80 GB dan
DVD Drive (dibutuhkan untuk
menginstal dari media DVD) sebagai
pengatur bandwidth merangkap
sebagai web server
Laptop dengan spesifikasi Processor
Intel Atom N270, memory 1 GB,
harddisk 120 GB sebagai client 1
78
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
Laptop dengan spesifikasi Processor
Intel Atom N270, memory 1 GB,
harddisk 120 GB sebagai client 2
Laptop dengan spesifikasi Processor
Intel Core Duo, Memory 1 GB,
harddisk 80 GB sebagai client 3
Switch 10/100 Mbps
Beberapa buah kabel UTP.
Pada penelitian ini dialokasikan
bandwidth sebesar 400kbps untuk 3
client, di mana masing-masing client bisa
mendapatkan maksimal 200kbps. Di
antara ketiga client tersebut, memiliki
prioritas yang berbeda, yaitu: 1,2, dan 3.
Untuk mempermudah pemantauan dan
pembuktian, kita akan menggunakan
queue tree.
Cara paling mudah untuk melakukan
queue dengan queue tree, adalah dengan
menentukan parameter :
parent (yang harus diisi dengan
outgoing-interface),
packet-mark (harus dibuat terlebih
dahulu di ip-firewall-mangle),
max-limit (yang merupakan batas
kecepatan maksimum), atau
dikenal juga dengan MIR
(Maximum Information Rate)
Ujicoba ini dilakukan dalam beberapa
tahap yaitu:
1. Untuk percobaan awal, semua priority
diisi angka yang sama: 8, dan
parameter limit tidak diisi, maka akan
terlihat gambar seperti berikut.
Gambar 3. HTB dengan priority yang sama
Karena alokasi bandwidth yang
tersedia hanya 400kbps, sedangkan
total akumulasi ketiga client
melebihinya (600 kbps), maka ketiga
client akan saling berebut, dan tidak
bisa diprediksikan computer mana
yang akan menggunakan bandwidth
secara penuh dan komputer mana
yang tidak mendapatkan bandwidth
yang sesuai.
2. Percobaan dengan berbagai prioritas.
q1 adalah client dengan prioritas
tertinggi, lalu q2 sebagai prioritas
kedua dan q3 adalah client dengan
prioritas terbawah. Maka hasilnya
adalah:
79
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
Gambar 4. HTB dengan priority yang berbeda
Dari hasil di atas, meskipun sekarang
q1 sudah memiliki prioritas tertinggi,
namun ketiga client masih berebutan
bandwidth dan belum terkontrol.
3. Percobaan dengan berbagai
penglimitan
Penglimitan adalah CIR (Committed
Information Rate), merupakan
parameter di mana suatu client akan
mendapatkan bandwidthnya, apapun
kondisi lainnya, selama
bandwidthnya memang tersedia.
Dimana baik q1, q2 dan q3 dilimit
batas minimum 100K dan batas
maksimum 200K.
Gambar 5. HTB dengan penglimitan
Dari hasil diatas terlihat q1 masih
tidak mendapatkan bandwidth sesuai
dengan CIR-nya. Padahal, karena
bandwidth yang tersedia adalah
400kbps, seharusnya mencukupi
untuk mensuplai masing-masing
client sesuai dengan limitannya.
4. Percobaan menggunakan parent
queue, dan menempatkan ketiga
client tadi sebagai child queue dari
parent queue yang akan kita buat.
Pada parent queue, kita cukup
memasukkan outgoing-interface pada
parameter parent, dan untuk ketiga
child, kita mengubah parameter
parent menjadi nama parent queue.
Pertama-tama, kita belum akan
memasukkan nilai max-limit pada
parent-queue, dan menghapus semua
parameter limitan pada semua client.
80
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
Gambar 6. HTB dengan hirarki
Tampak pada hasil di atas, karena
belum memasukkan nilai maksimum
limit pada parent, maka priority pada
child pun belum bisa terjaga.
Setelah kita memasang parameter
maksimum limit pada parent queue,
barulah prioritas pada client akan
berjalan.
Gambar 7. HTB dengan penglimitan secara maksimum
Tampak pada hasil diatas, q1 dan q2
mendapatkan bandwidth hampir
sebesar maksimum limitnya,
sedangkan q3 hampir tidak kebagian
bandwidth. Prioritas telah berjalan
dengan baik.
5. Percobaan dengan nilai limitan yang
sama pada masing-masing client.
Nilai limitan ini adalah kecepatan
minimal yang akan di dapatkan oleh
client, dan tidak akan terganggu oleh
client lainnya, seberapa besarpun
client lainnya 'menyedot' bandwidth,
ataupun berapapun prioritasnya.
Semua client dipasang nilai 75kbps
sebagai limitan.
Gambar 8. HTB dengan limit yang sama
Dari Hasil terlihat bahwa q3, yang
memiliki prioritas paling bawah,
mendapatkan bandwidth sebesar
limitannya. q1 yang memiliki
81
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
prioritas tertinggi, bisa mendapatkan
bandwidth sebesar maksimum
limitnya, sedangkan q2 yang
prioritasnya di antara q1 dan q3, bisa
mendapatkan bandwidth di atas
limitan, tapi tidak mencapai
maksimum limit. Pada contoh di atas,
semua client akan terjamin
mendapatkan bandwidth sebesar
limitan, dan jika ada sisa, akan
dibagikan hingga jumlah totalnya
mencapai max-limit parent, sesuai
dengan prioritas masing-masing
client.
6. Percobaan dengan jumlah akumulatif
dari limitan melebihi maksimum limit
parent.
Gambar 9. HTB dengan akumulasi limit melebihi limit parent
Dari hasil diatas terlihat jika jumlah
limitan ketiga client melebihi parent
maka prioritas tidak bekerja, total
client adalah 600kbps, sedangkan
nilai maksimum limit parent hanyalah
400kbps, dan sistem prioritas menjadi
tidak bekerja.
7. Percobaan dengan maksimum limit
client yang lebih besar dari
maksimum limit parent.
Gambar 10. HTB dengan maksimum limit client yang lebih dari limit parent
Dari hasil diatas terlihat bahwa jika
maksimum limit client lebih besar
dari maksimum limit parent maka
system prioritas tidak bekerja.
8. Percobaan dengan prioritas yang
sama.
82
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
Gambar 11. HTB dengan parent dan perioritas sama
Dari hasil terlihat bahwa jika semua
client memiliki prioritas yang sama,
maka client akan berbagi bandwidth
sisa. Tampak pada contoh di bawah
ini, semua client mendapatkan
bandwidth yang sama, sekitar
130kbps (total 400kbps dibagi 3).
SIMPULAN
1. HTB hanya bisa berjalan, apabila rule
antrian client berada di bawah
setidaknya 1 level parent, setiap
antrian client memiliki parameter
limitan dan max-limit, dan parent
queue harus memiliki besaran max-
limit.
2. Prioritas tidak akan berfungsi jika
jumlah seluruh limitan client melebihi
maksimum limit parent.
3. Jika diberikan prioritas yang sama
untuk masing-masing client maka
bandwidth yang ada akan dibagikan
ke masing-masing client dengan
sama.
DAFTAR PUSTAKA
Kenjiro. Cho. June 1998, A Framework for Alternate Queueing. (Jurnal dalam “Proceedings of IEEE INFOCOM, USENIX Annual Technical Conference (NO 98)”;New Orleans, Louisiana (http:// http://www.usenix.org/publications/library/proceedings/lisa97/failsafe/usenix98/full_papers/cho/cho_html/cho.html#Disciplines.
Martin Devera. HTB Linux queuing discipline manual user quide Pindo, Michael. 2002. Scheduling Theory, Algorithms and Sysems second edition.
83
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
PROTOTIPE SPUL SASANDO TESTER SEBAGAI ALAT PENGUJI LOLOS FUNGSIONAL SPUL SECARA EFEKTIF PADA PRODUKSI SASANDO
ELEKTRIK DI EDON SASANDO ELEKTRIK
Ali Warsito1, Lewi Jutomo2, Muntasir3 1) Jurusan Fisika, Fakultas Sains dan Teknik, Universitas Nusa Cendana
2) Jurusan GKM, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Nusa Cendana 3) Jurusan AKK, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Nusa Cendana
ABSTRACT
Has been done to build prototipe of spool tester of electrical sasando at industry partners, Edon Sasando elektrik. The goal is to eliminate the risk of functional failure of the spool at a crucial phase at the time of manufacture of the component pick-up or spool sasando which is a transducer that converts vibrations into electrical signals sasando strings.. By designing the hardware and software aspects have acquired a potential initial prototype to be developed. Hardware configuration is done has shown that the handshaking between the modules are well maintained, marked by testing the communication lines between sub modules which provide a good enough response. The limitations of this prototype is obtained is not packed in a package is good, because actually the prototype is not yet final, and can not be used directly in the production process sasando electrically. Keyword : spool sasando tester, electrical sasando, hardware, software, microcontroller,
prototype
Sasando adalah sebuah alat
instrumen musik petik. Instrumen musik ini
berasal dari pulau Rote, Nusa Tenggara
Timur. Bentuk sasando ada miripnya
dengan instrumen petik lainnya seperti
gitar, biola, dan kecapi. Bagian utama
sasando berbentuk tabung panjang yang
biasa terbuat dari bambu. Lalu pada bagian
tengah, melingkar dari atas ke bawah diberi
ganjalan-ganjalan di mana senar-senar
(dawai-dawai) yang direntangkan di
tabung, dari atas ke bawah bertumpu.
Ganjalan-ganjalan ini memberikan nada
yang berbeda-beda kepada setiap petikan
senar. Lalu tabung sasando ini ditaruh
dalam sebuah wadah yang terbuat dari
semacam anyaman daun lontar yang dibuat
seperti kipas. Wadah ini merupakan tempat
resonansi sasando.
Edon Sasando Elektrik sesuai
dengan namanya, lebih difokuskan
memproduksi Sasando Elektrik yang
berbasiskan spul sasando disamping tetap
memproduksi sasando tradisional. Spul
Sasando merupakan transduser yang
mampu mengubah getaran senar sasando
menjadi sinyal listrik yang selanjutnya
diubah menjadi suara audio, sehingga tidak
lagi memerlukan anyaman lontar sebagai
ruang resonansi.
84
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
Proses pembuatan sasando elektrik
dari awal pengolahan bahan sampai
finishing membutuhkan waktu kurang
lebih 25 hari. Ada beberapa tahapan
berkaitan dengan pengolahan bahan baku
bambu/kayu, pembuatan spul sasando
elektrik, pemasangan kawat senar, sekrup
besi pengatur, dan lain-lain.
Sasando elektrik yang sudah
selesai, dapat memproduksi bunyi setelah
dihubungkan dengan seperangkat sound
system. Sistem multimedia saat ini yang
terintegrasi & kompatibel, lebih
memudahkan Sasando berinteraksi dengan
perangkat musik yang lain dibandingkan
dengan sasando tradisional. Kelebihan
lainnya, adalah output bunyi yang
diproduksi adalah hanya berasal dari
getaran senar sasando, tidak seperti
sasando tradisional yang ditangkap
bunyinya menggunakan microphone yang
ditempelkan pada ruang resonansi,
memiliki kelemahan yaitu bunyi-bunyi
noise gesekan microphone, getaran ruang
resonansi serta bunyi dari lingkungan-pun
akan tertangkap.
Fase yang krusial dan
membutuhkan waktu lama adalah
pembuatan komponen pick up atau spul
sasando yang merupakan transducer
penangkap sekaligus pengubah getaran
senar sasando menjadi sinyal listrik.
Pembuatannya dilakukan secara manual
dengan bantuan mesin gerindra, sebagai
penggerak putaran dengan tetap
memperhatikan proses penggulungan
lilitan kawat email sebanyak N lilitan
sehingga didapatkan besar resistansi (R)
tertentu dalam skala k. Kecepatan rotasi
penggulungan yang tidak tepat bisa
menyebabkan putusnya kawat email.
Ketidakcermatan dalam memperhatikan
rapatan kawat lilitan juga dapat
menyebabkan kegagalan fungsi spul
sekaligus inefisiensi bahan kawat email
sehingga terbuang - tidak terpakai lagi.
Kontribusi dari penelitian ini
adalah adanya penerapan teknologi yang
tepat dalam pembuatan pick up atau spul
sasando ini akan mampu mengeliminasi
aspek krusial fase ini serta mereduksi
waktu dan efisiensi perakitan spul yang
tepat dalam pembuatan sasando elektrik
secara keseluruhan. Tujuan akhirnya
adalah peningkatan produksi sasando
elektrik per-bulannya. Peralatan teknologi
yang dibutuhkan industri mitra untuk fase
ini adalah penggulung spul (wire winding)
presisi tinggi yang dilengkapi dengan
deteksi jumlah lilitan dan atau besar k.
Kontribusi teknologi yang ditargetkan dari
program Hi-Link Undana ini adalah Spul
Sasando tester yang mampu menguji
fungsionalitas spul sasando sebelum
dikemas secara otomatis.
85
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
MATERI DAN METODE Perancangan Konfigurasi Hardware Prototipe
Dalam penelitian ini dikembangkan
prototipe untuk mengukur resistance/
hambatan spull sasando elektrik
berdasarkan jumlah lilitan kawat yang
dipakai untuk membuat spull sasando
elektrik. Pembuatan prototipe ini
menggunakan Mikrokontroler AT89C51,
Sensor Optocoupler, Motor Servo dan
LCD display. Prinsip dari prototipe ini
adalah jumlah putaran yang dihasilkan
sama dengan besar hambatan yang
dibutuhkan untuk membuat spull. Pada
prototipe ini akan ditentukan terlebih
dahulu berapa banyak putaran yang
memenuhi hambatan yang sesuai untuk
spull. Jumlah putaran ini diset pada
Mikrokontroler AT89C51 sebagai nilai
setpoint sehingga prototipe ini berkerja
berdasarkan nilai setpoint tersebut.
Konfigurasi interface prototipe ini
diperlihatkan dalam bentuk blok diagram
pada Gambar 1.
Pada Gambar, mikrokontroler
AT89C51 digunakan sebagai pengendali
dari seluruh rangkaian sistem. Motor Servo
dipakai sebagai rotator untuk menggulung
kawat. Motor Servo dapat bekerja dengan
baik untuk membuat gulungan kawat
karena motor ini dapat berputar secara
kontinue dan kecepatan putarnya dapat
diatur melalui mikrokontroler. Pada Motor
Servo dilengkapi dengan sebuah piringan
dan piringan ini diberi lubang pada salah
satu bagiannya. Pemberian lubang ini
bertujuan agar bagian piringan yang
berlubang ketika melewati sensor dapat
melewatkan cahaya yang akan terdeteksi
oleh bagian penerima dari sensor sehingga
terjadi perubahan sinyal. Setiap terjadi
perubahan sinyal ini yang kemudian akan
dihitung sebagai jumlah lilitan.
Gambar 1. Blok Diagram Sistem Secara Keseluruhan
Sensor yang dipakai pada sistem ini
adalah sensor Optocoupler yang prinsip
kerjanya berdasarkan perubahan cahaya
yang terdeteksi oleh fototransistor. Sensor
86
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
ini terdiri dari 2 bagian yaitu transmiter
(LED) dan receiver (fototransistor). LED
berfungsi sebagai sumber cahaya dan
fototransistor berfungsi mendeteksi cahaya
yang dipancarkan oleh LED. Bagian
fototransistor dapat menghasilkan tingkat
tegangan yang berubah-ubah (high dan
low) berdasarkan ada tidaknya cahaya yang
terdeteksi oleh fototransistor. Dengan
prinsip ini dapat dihitung berapa banyak
putaran berdasarkan perubahan sinyal pada
kaki fototransistor. Pada prototipe ini LCD
digunakan sebagai penampil untuk
menampilkan jumlah lilitan. Jenis LCD
yang dipakai adalah LCD 16 x 2 karakter.
Rangkaian Sensor Optocoupler
Sensor Optocoupler merupakan
gabungan LED infra merah dan
fototransistor yang terbungkus menjadi
satu chip.Optocoupler digunakan sebagai
saklar elektrik, yang bekerja secara
otomatis. Optocoupler merupakan
komponen penggandeng (coupling) antara
rangkaian input dengan rangkaian output
yang menggunakan media cahaya (opto)
sebagai penghubung. Prinsip kerja sensor
Optocoupler adalah ketika ada benda yang
berada di antara celah sensornya, maka
cahaya yang dikirimkan tidak bisa diterima
oleh bagian penerimanya, sehingga
menghasilkan tegangan keluaran yang
nilainya mendekati VCC, begitu juga
sebaliknya, jika tidak ada benda diantara
celah sensornya maka akan menghasilkan
tegangan keluaran yang nilainya mendekati
0 volt.
Prinsip kerja sensor Optocoupler
dapat dimanfaatkan untuk menghitung
jumlah putaran berdasarkan perubahan
sinyal (high dan low) yang dihasilkan oleh
sensor yang kemudian dikirimkan kepada
Mikrokontroler AT89C51 untuk dihitung
jumlah putaranya. Perubahan sinyal dari
high ke low atau sebaliknya dari low ke
high akan dihitung pada Mikrokontroler
AT89C51 sebagai 1 buah putaran. Ketika
terjadi perubahan tegangan pada kaki
sensor akan memnyebabkan counter pada
mikrokontroler bertambah satu. Rangkaian
sensor optocoupler yang digunakan pada
prototipe ini diperlihatkan pada Gambar 2 .
Pada gambar rangkaian di atas
dapat lihat bahwa kaki-kaki dari sensor
optocoupler dihubungkan masing-masing
dengan Vcc dan Ground. Kaki LED dan
fototransistor tidak langsung dihubungkan
dengan Vcc karena bisa menyebabkan
kerusakan sehingga pada rangkaian ini
dipakai resistor untuk melindungi LED dan
fototransistor. Keluaran dari sensor
optocoupler masuk ke komparator LM399
dan dipadukan dengan tegangan dari
potensiometer. Kedua tegangan yang
masuk pada komparator ini akan
menghasilkan ouput tegangan high atau
low berdasarkan logika AND. Keluaran
dari komparator ini akan masuk ke
mikrokontroler melalui kaki P3.4. Pada
87
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
rangkaian ini dilengkapi dengan lampu led
sebagai indikator untuk menunjukkan
apakah tegangan keluaranya berupa sinyal
high atau low.
Gambar 2. Rangkaian Sensor Optocoupler
Perancangan Sistem Minimum Rangkaian Mikrokontroler AT89C51
Rangkaian sistem dari
Mikrokontroler AT89C51 terdiri dari
rangkaian osilator dan rangkaian power on
reset. Rangkaian osilator digunakan untuk
membangkitkan clock. Pada rangkaian
osilator ini digunakan kristal 12 MHz dan
dua buah kapasitor 30 pF. Sedangkan
rangkaian power on reset berfungsi untuk
menjaga agar pin RST mikrokontroler
selalu berlogika rendah pada saat
mikrokontroler mengeksekusi program.
Mikrokontroler direset pada transisi
tegangan tinggi ke tegangan rendah oleh
karena itu, pada pin RST dipasang
kapasitor 10 uF yang terhubung ke Vcc dan
resistor 10 k ke ground yang menjaga
RST bernilai 0 saat pengisian kapasitor dan
bernilai 1 saat kapasitor penuh. Pada saat
sumber tegangan diaktifkan kapasitor
terhubung singkat sehingga arus mengalir
dari Vcc langsung ke kaki RST sehingga
reset berlogika 1, kemudian kapasitor terisi
hingga tegangan pada kapasitor sama
dengan Vcc pada saat kapasitor penuh.
Dengan demikian tegangan reset akan
berubah menjadi 0 sehingga kaki RST
berlogika 0. Rangkaian minimum sistem
Mikrokontroler AT89C51 dapat dilihat
pada Gambar 3.3 berikut :
88
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
Gambar 3. Rangkaian Minimum Mikrokontroler AT89C51
Rangkaian Motor Servo
Dalam penelitian ini digunakan
Motor Servo sebagai penggerak piringan
lilitan. Motor Servo sangat mudah untuk
konfigurasikan dengan mikrokontroler
sehingga memudahkan dalam
pemroraman. Salah satu kehebatan dari
Motor Servo yakni gerakan motor yang
dapat dikontrol secara halus mulai dari
diam sampai cepat sekali. Tergantung dari
lama status tingginya. Bahkan jika motor
ini dikendalikan dengan mikrokontroler,
motor dapat dikontrol untuk mengikuti
gerakan sehalus gerakan sebuah
potensiometer. Konfigurasi Motor Servo
dan mikrokontroler dapat dilihat pada
Gambar 4 di bawah ini :
Gambar 4. Konfigurasi Motor Servo dan Mikrokontroler AT89C51
Motor hanya memiliki 3 kabel
dalam mengkofigurasikannya dengan
mikrokontroler. Kabel warna merah
digunakan sebagai sumber tegangan 5
VDC, kabel hitam digunakan sebagai
ground dan kabel putih dipakai sebagai
kontrol yang dihubungkan dengan kaki
P1.0 dari mikrokontroler. Untuk
mengontrol putaran motor ini digunakan
cara Modulasi Lebar Pulsa.
89
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
Pada prototipe ini motor servo
diberikan lebar pulsa 1,3 ms yang berarti
motor berputar ke kiri dengan cepat. Untuk
menghentikan putaran motor maka akan
diberikan lebar pulsa 1,5 ms. Lebar pulsa
ini akan diberikan secara kontinue dan
bekerja pada kondisi high yang diselingi
dengan pulsa low selama 20ms. Motor
dikontol (ON/OFF) berdasarkan nilai
setpoint (jumlah putaran). Jika jumlah
putaran belum memenuhi setpoint maka
akan diberikan pulsa 1,3 ms sehingga
motor terus berputar sedangkan jika jumlah
putaran sudah memenuhi nilai setpoint
maka akan diberikan lebar pulsa 1,5 ms
sehingga motor berhemti berputar.
Rangkaian LCD 16 x 2 Karakter
Pada sistem ini digunAkan LDC 16
x 2 karakter sebagai penampil untuk
menampilkan julmah putaran kawat lilitan.
Data akan ditampilkan langsung pada layar
LCD berdasarkan kontrol dari
mikrokontroler. Konfigurasi LCD dan
mikrokontroler dapat dilihat pada gambar
rangkaian di bawah ini :
Gambar 5. Rangkaian Konfigurasi LCD dengan Mikrokotroler AT89C51
Pada gambar diatas dapat dilihat
bahwa LCD dikonfigurasikan dengan
mikrokontroler melalui kaki port P0.1
sampai P1.7. Hal ini menunjukkan bahwa
pengiriman data ke LCD menggunakan
komunikasi data 8 bit yaitu bit P0.1 sebagai
LSB dan P0.7 sebagai MSB. Pada
perancangan ini LCD memiliki 2 pin
kontrol untuk mengatur tampilan data pada
LCD yaitu pin RS dan pin EN. Pin RS
(Register Select) digunakan untuk
memberitahukan LCD bahwa ada perintah
khusus (membersihkan layar, menentukan
letak posisi kursor dan lain-lain) yang
dikimimkan ke LCD. Sedangkan pin EN
(Enable) digunakan untuk memberitahukan
LCD bahwa ada data yang kirimkan ke
LCD. Untuk menanpikan data maupun
menuliskan perintah pada LCD dapat di
atur dengan kedua pin ini.
Pada rangkaian LCD ini digunakan
sumber tegangan 5 VDC yang diatur oleh
90
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
kaki 2 LCD dan LCD juga dihubungkan
dengan Ground yang diatur oleh kaki 1
LCD. Untuk mengatur kontras LCD maka
digunakan potensiometer yang berukuran
10 kΩ yang dikonfigurasikan dengan kaki
3 dari LCD.
Perancangan Perilaku & Sotfware
Aspek yang diperhatikan dalam
perancangan software adalah inisialisasi
sensor optocoupler, mikrokontroler AT
89C51, serta fungsional display LCD.
Sementara variabel yang harus diatur
adalah menentukan jumlah putaran motor
servo – hal ini berkaitan dengan laju
putaran motor servo di dalam memutar
gulungan kawat email.
Cuplikan implementasi dari
deskripsi diatas dalam bahasa program
adalah sebagai berikut:
;--------------------------------------------------- ;Program Untuk Mengukur Jumlah Putaran Motor Servo ;--------------------------------------------------- ;Definisi Variabel Untuk Operasi Sensor OptoCoupler ;-------------------------------------------------- Sensor Bit P3.4 Ratusan Equ 32H Puluhan Equ 33H Satuan Equ 34H ;-------------------------------------------- ;Definisi Variabel Untuk Operasi LCD Display ;-------------------------------------------- LCD_Port Equ P0 RS Bit P2.6 EN Bit P2.7 ;------------------------------------------- ;Definisi Variabel Untuk Operasi Motor Servo ;-------------------------------------------
Motor_Servo Bit P1.0 ;--------------------------- ;Alamat Awal Memulai Program ;--------------------------- Org 00H Ajmp start Org 0BH Ajmp Timer0_Interrupt Reti ;---------------------------------------------- ; Program Utama ;---------------------------------------------- Start : Lcall Init_LCD Lcall Selingan Lcall Init_Timer Lcall Putar_Servo … Ajmp Start ;--------------------------------------------------- ; Rutin Inisialisasi Timer ;--------------------------------------------------- Init_Timer : Mov TMOD,#15H Mov TH0,#64H Mov TL0,#00H Setb EA Setb ET0 Setb TR0 Ret ;--------------------------------- ; Rutin Ukur Pulsa ;--------------------------------- Ukur_Lagi: JB Sensor,$ Inc TL0 JNB Sensor,$ Ajmp Ukur_Lagi Ret ;------------------------------------------- ; Rutin Hitung Jumlah Putaran ;------------------------------------------- Hitung_Jumlah_Putaran : Push Acc Mov A,TL0 Mov B,#100D Div AB Mov Ratusan,A
91
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
… Pop Acc Ret ;------------------------------------------- ; Rutin Interrupsi Timer ;------------------------------------------- Timer0_Interrupt : Mov A,TL0 CJNE A,#TH0,Ukur_Lagi Mov A,#100 Setb Motor_Servo Acall Delay15ms_MotorServo Clr Motor_Servo Acall Delay20ms_MotorServo Ajmp Timer0_Interrupt ;--------------------------------------------------- ; Rutin Inisialisasi LCD dan Perintah LCD ;--------------------------------------------------- Init_LCD : Mov R1,#00111000B Lcall Kirim_PerintahToLCD Mov R1,#00001100B Lcall Kirim_PerintahToLCD Mov R1,#00000001B Lcall Kirim_PerintahToLCD … Kirim_PerintahToLCD : Mov LCD_Port,R1 Clr RS … Kirim_DataToLCD : Mov LCD_Port,R1 Clr RS Setb EN … Selingan : Mov DPTR,#Pesan_Jumlah_Putaran Mov R3,#16 Mov R1,#80H … Selingan1 : Clr A Movc A,@A+DPTR Mov R1,A … ;---------------------------------
; Rutin Putar Servo ;--------------------------------- Putar_Servo : Mov A,#10 Setb Motor_Servo Lcall Delay13ms_MotorServo … ;-------------------------------------------------- ; Rutin Tampil To LCD ;-------------------------------------------------- TampilToLCD : Mov R1,#0C7H Lcall Kirim_PerintahToLCD Mov A,Ratusan Add A,#30H Mov R1,A Lcall Kirim_DataToLCD … ;--------------------------------------------------- ; Rutin Delay Untuk LCD ;--------------------------------------------------- DelayToLCD : Mov R7,#50h DelayToLCD1 : Mov R5,#0ffh DJNZ R5,$ DJNZ R7,DelayToLCD1 Ret ;--------------------------------------------------- ; Rutin Delay Untuk Motor Servo ;--------------------------------------------------- Delay13ms_MotorServo : DJNZ Acc,$ Mov R7,#12 Delay13ms1_MotorServo : Mov R5,#50 DJNz R5,$ DJNZ R7,Delay13ms1_MotorServo Mov R7,#5 DJNZ R7,$ Ret Delay15ms_MotorServo : DJNZ Acc,$ Mov R7,#14 Delay15ms1_MotorServo : Mov R5,#50 DJNz R5,$ …
92
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
DB ' Jumlah Putaran : ',0FFH End.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Konfigurasi hardware yang telah
dilakukan telah menunjukkan bahwa
handshaking antar bagian modul sudah
terjalin dengan baik, ditandai dengan
pengetesan jalur komunikasi antar sub
modul yang memberikan respon cukup
baik.
Adapun parameter yang telah dapat
dipantau sejauh ini adalah kontrol
kecepatan telah dapat dilakukan terhadap
motor servo, kelajuan yang stabil
menunjukkan stabilitas komponen
hardware serta adaptifnya program,
indikator dari LED yang dengan tepat
menunjukkan keadaan / status hardware.
Pencangkokan software pada
mikrokontroler AT89C51 memanfaatkan
DT HiQ telah dilakukan dan program
terimplementasi sebagaimana fungsional
yang diinginkan. Dalam tahap konfigurasi
software tentu memperhatikan spesifikasi
hardware yang terpasang baik dalam
setting delay time, pembangkitan pulsa
dan inisialisasi tipe IC. Tidak serta merta
software yang di-cangkok set langsung
memberikan respon yang baik, dan testing
dilakukan berulang-ulang untuk
mendapatkan keadaan yang paling stabil.
Keterbatasan yang didapatkan
adalah prototipe ini belum dikemas dalam
suatu package yang baik, karena
sesungguhnya prototipe belum final, dan
belum dapat digunakan secara langsung
pada proses produksi sasando elektrik.
Untuk dapat dicapai sebagai Spul
sasando Tester atau Alat penguji lolos
fungsional spul secara efektif, harus
diketahui secara eksas besar resistansi
sesuai dengan diamter/jenis kawat email,
sehingga dapat ditetapkan kecepatan rotasi
atau laju putaran motor servo serta jumlah
putaran idealnya. Dengan konstanta-
konstanta tersebut, prototipe akan dapat
bekerja otomatis, dimana mikrokontroler
akan memberi perintah STOP ketika
parameter telah tercapai.
93
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
Gambar 9. Gambaran prototipe saat proses penggulungan
Saat optocoupler mengenai bagian
lempeng logam rotator yang berlubang
akan terdeteksi jumlah putaran dan dapat
langsung ditampilkan di display LCD
Logam rotator pada prototipe akan
dihubungkan dengan tabung silinder
tempat kawat email akan dililitkan
sementara gulungan induk kawat email
diletakkan sejajar dengan posisi tabung
silinder. Koneksi antara logam rotator
dengan tabung silinder harus stabil dan
fixed, tetapi jika proses penggulungan
selesai dengan mudah dapat dicopot.
Gambar 9 adalah gambaran
prototipe jika bekerja dalam proses
penggulungan kawat email. Dalam
aplikasi lanjutnya kecepatan putar atau laju
putaran motor bisa diatur sesuai dengan
pertimbangan diameter (mencerminkan
jenis dan kekuatan kawat) serta efisiensi
waktu. Pengaturan dapat dilakukan dengan
pilihan kecepatan secara hardware dengan
menempatkan tombol speed swicth.
SIMPULAN
Kesimpulan
Telah dikonfigurasi prototipe Spul
sasando Tester atau Alat penguji lolos
fungsional spul, dimana konfigurasi
hardware yang dilakukan telah
menunjukkan bahwa handshaking antar
bagian modul sudah terjalin dengan baik,
ditandai dengan pengetesan jalur
komunikasi antar sub modul yang
memberikan respon cukup baik.
Keterbatasan yang didapatkan adalah
prototipe ini belum dikemas dalam suatu
package yang baik, karena sesungguhnya
prototipe belum final, dan belum dapat
94
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
digunakan secara langsung pada proses
produksi sasando elektrik.
Dalam aplikasi lanjutannya laju putaran
motor servo penggulung kawat email bisa
diatur sesuai dengan pertimbangan
diameter (mencerminkan jenis dan
kekuatan kawat) serta efisiensi waktu.
Pengaturan dapat dilakukan dengan pilihan
kecepatan secara hardware dengan
menempatkan tombol speed swicth.
Saran
Perlu juga memperhatikan desain
lebih lanjut dari prototipe ini untuk (1)
model geometri lilitan yang diaplikasikan
dalam tekukan setengah lingkaran, dan
(2) testing fungsional bahwa lilitan tidak
ada yang terputus di dalam, sehingga
dapat dipastikan lolos uji sebelum
pemasangan
Ucapan Terima Kasih
Pada kesempatan ini, kami
mengucapkan terima kasih kepada
program Hi-Link Undana 2010 yang
telah mendanai penelitian ini sebagai
bagian dari kegiatan Diversifikasi
Peningkatan Kualitas dan Perluasan
Pemasaran Produksi Industri Alat Musik
Sasando Tradisional dan Elektrik Sebagai
Upaya Melestarikan Budaya Lokal
melalui DP2M Dikti, terimakasih juga
pada Industri Mitra yaitu Edon Sasando
Elektrik, dan Lembaga Pemda Mitra
yaitu Deperindag Propinsi NTT.
95
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
DAFTAR PUSTAKA Budiharto, W dan Firmansyah, S., 2005. Elektronik Digital dan Mikroprosesor. Andi:
Jakarta. Curtis, D.J., 1997. Process Control Instrumentation Technology, Fifth Edition, Prentice
Hall International Inc. Edon,CD Habel, 2010. Serba-Serbi Sasando,
http://sasandoelektrik.com/index_files/Page670.htm Jutomo, L., Muntasir, Warsito,A., Jati, H., 2010. Diversifikasi Peningkatan Kualitas dan
Perluasan Pemasaran Produksi Industri Alat Musik Sasando Tradisional dan Elektrik Sebagai Upaya Melestarikan Budaya Lokal. Laporan program Hi-Link Undana 2010.
Snell, R., 1999. Web Based Device Monitoring and Control, Intelligent Instrumentation
Inc.,Tucson,Az USA. Symon, Keith R,. Mechanics. 3rd ed. Reading,Mass , Addison Wesley, 1971 Tanembaum, A.S., 1996. Computer Networks”, Prentice Hall. Warsito, Ali, 2010. Seputar Sasando 01: Sejarah Alat Musik Tradisional NTT, http://www.
kupangntt.wordpress.com/seputar-sasando-01-alat-musik-tradisional-rote-ntt/ Warsito, Ali, 2010. Seputar Sasando 02: Sejarah Sasando Elektrik, http://www.
kupangntt.wordpress.com/seputar-sasando-02-sejarah-sasando-elektrik /
96
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
SISTEM MONITORING BANJIR MEMANFAATKAN FASILITAS SMS BERBASIS MIKROCONTROLLER AT89C51
Jonshon Tarigan, Bernandus Jurusan Fisika, Fakultas Sains dan Teknik, Universitas Nusa Cendana
ABSTRACT
This experiment was conducted to study apparatus design which will be able to do water height measurement and reports the result periodically to an officer. The apparatus is constructed from network microcontroller by using potentiometer and floater, so that water height can be detected through the ADC port of the microcontroller. Result of output is baited to computer and data is delivered through the SMS. SMS will be directly accepted by the hand phone of an officer, when water level at location of monitoring is higher than boundary value, warning wil be delivered automatically by SMS, so that officer can anticipate the situation around location to open the gate or command to evacuate the resident. Results of appliance examination indicate that the peripheral can identify and do the water height measurement automatically. Appliance can be used as prototype self-supporting system to monitoring floods. Keywords: SMS, Floods, monitoring and Censor
Pada saat musim hujan yang
terjadi di beberapa wilayah Indonesia
telah menjadi hancaman yang cukup
menakutkan. Karena ketika musim hujan
datang, sebagaian besar wilayah akan
menjadi tergenang air. Semakin
meningkatnya curah hujan maka
ketinggian air akan semakin bertambah,
sehingga akan mengakibatkan banjir.
Kerugian yang ditimbulkan akibat banjir
tentu cukup besar karena sebagian besar
aset yang dimiliki masing-masing
individu akan terendam air. Untuk
menekan kerugian tersebut maka
masyarakat yang memiliki aset biasanya
akan mengungsikan aset dan jiwa yang
ada ke wilayah yang aman ketika banjir
datang.
Untuk melakukan evakuasi
tersebut sangat diperlukan sistem
monitoring banjir yang cukup praktis dan
mudah diakses oleh masyarakat dan
pejabat lokal yang berwenang. Mencegah
banjir pada saat musim hujan merupakan
sesuatu yang masih jauh dari harapan
namun yang bisa diupayakan saat ini
adalah menekan angka kerugian yang
dapat ditimbulkan oleh banjir.
Dilatarbelakangi oleh beberapa
permasalahan tersebut, maka akan
dilakukan perancangan terhadap suatu
sistem pengukuran jarak jauh dan
peringatan dini banjir yang dapat
97
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
diletakkan di wilayah-wilayah sumber
banjir serta pemantauan dapat dilakukan
dari jarak jauh pada lintasan banjir.
Sistem dirancang dengan sangat
sederhana agar dapat dengan mudah
dioperasikan oleh masyarakat tanpa
memerlukan teknisi khusus untuk
melakukan pemantauan.
Dari latar belakang masalah di
atas dapat dirumuskan permasalahan
pada perancangan ini yaitu : merancang
suatu sistem peringatan dini dan
antisipasi banjir untuk wilayah lintasan
banjir. Kemudian membuat cara kerja
sistem secara spesifik untuk melakukan
penanggulangan permasalahan tersebut.
Tujuan penelitian ini adalah :
Mengaplikasikan sistem telemetri untuk
mengetahui ketinggian air secara
otomatis dan untuk mengetahui informasi
bahaya banjir yang dimonitor oleh
komputer dan dikirim melalui
pengiriman SMS pada saat ketinggian air
melampaui ambang batas yang
ditentukan.
Manfaat penelitian ini adalah
dengan merancang alat ini dapat
digunakan untuk monitoring banjir
dengan menggunakan komputer dan
komputer ini juga menyimpan data
ketinggian air setiap saat, kemudian
mengirimkan sms kepada penerima.
MATERI DAN METODE
Peralatan Penelitian
Telemetri memberikan
kemudahan dalam pengukuran dan
pemantauan jarak jauh, telemetri
biasanya diterapkan pada pemantauan
suhu gunung berapi, pemantauan suhu
pada peleburan baja, pemantauan cuaca
yang tidak memungkinkan manusia untuk
melakukan pengukuran secara langsung
pada jarak yang dekat (Sukiswo, 2005).
Untuk itu pengolahan awal sinyal
yang dipilih akan sangat menentukan
kehandalan sistem telemetri tersebut yang
ditunjukkan pada gambar 1.
Dari gambar 1. di atas dapat dilihat
sistem telemetri yang umum
dipergunakan untuk berbagai macam
sistem pengukuran jarak jauh dan
pemantauan. Garis putus-putus
menunjukkan bahwa setelah data
diterima oleh komputer dan kemudian
dikirim melalui handphone. Sistem
seperti inilah yang nantinya akan
dirancang pada penelitian ini.
Sensor yang digunakan pada
penelitian ini menggunakan sensor
analog dari komponen elektronika yang
sederhana yakni potensiometer, dimana
dapat berfungsi sebagai pembagi
tegangan. As potensiometer dihubungkan
dengan perputaran pergeseran tali
pelampung dan dihubungkan dengan
sumber catu, sehingga titik tengah dari
98
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
kaki potensiometer tersebut akan
mengeluarkan tegangan yang berubah-
ubah sesuai dengan perubahan yang
terjadi pada as potensiometer tersebut.
Nilai tegangan ini kemudian
dihubungkan dengan masukan pada ADC
untuk mengubah nilai tegangan analog
yang dihasilkan menjadi bentuk hexa
kemudian dikonversi menjadi data
ketinggian air yang diproses lebih lanjut
oleh microcontroller.
Untuk mengontrol peralatan
dalam penelitian ini digunakan berbasis
Mikrocontroller AT89C51 merupakan
salah satu jenis mikrokontroler CMOS 8
bit yang memiliki performa yang tinggi
dengan disipasi daya yang rendah, cocok
dengan produk MCS-51. Kemudian
memiliki sistem pemograman kembali
Flash Memori 4 Kbyte dengan daya tahan
1000 kali write/erase. Disamping itu
terdapat RAM Internal dengan kapasitas
128 x 8 bit. Dan frekuensi pengoperasian
hingga 24 MHz. Mikrokontroler ini juga
memiliki 32 port I/O yang terbagi
menjadi 4 buah port dengan 8 jalur I/O,
kemudian terdapat pula Sebuah port
serial dengan kontrol serial full duplex,
dua timer/counter 16 bit dan sebuah
osilator internal dan rangkaian pewaktu.
(Putra, A. E, 2006)
Dalam melakukan komunikasi
serial Mikrocontroller AT89C51
memiliki Universal Asyncronous
Receiver Transmimeter (UART). UART
berguna untuk mengkonversi Oleh karena
itu data dari dan ke serial port harus
dikonversikan ke dan dari bentuk paralel
untuk bisa digunakan. Menggunakan
hardware, hal ini bisa dilakukan oleh
Universal Asyncronous Receiver
Transmimeter (UART), kelemahannya
adalah dibutuhkan software yang
menangani register UART yang cukup
rumit dibanding pada parallel port.
Komunikasi melalui serial port
adalah asinkron, yakni sinyal detak tidak
dikirim bersama dengan data. Setiap
word disinkronkan dengan start bit, dan
sebuah clock internal di kedua sisi
menjaga bagian data saat pewaktuan
(timing) (Sutadi, 2003).
Banyak sekali kegunaan LCD
dalam perancangan suatu sistem yang
menggunakan microcontroller. LCD
berfungsi menampilkan suatu nilai hasil
sensor, menampilkan teks, atau
menampilkan menu pada aplikasi
microcontroller. LCD M1632 merupakan
modul LCD dengan tampilan 16 x 2 baris
dengan konsumsi daya rendah. Modul
tersebut dilengkapi dengan
microcontroller yang didesain khusus
untuk mengendalikan LCD.
. LCD yang digunakan pada alat ini
adalah LCD M1632, LCD ini merupakan
modul LCD dengan tampilan 16 x 2 baris
99
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
dengan konsumsi daya yang rendah.
Modul ini dilengkapi dengan LCD
microcontroller HD44780 buatan Hitachi
yang berfungsi sebagai pengendali. LCD
ini mempunyai CGROM (Character
Generator Read Only Memory), CGRAM
(Character Generator Random Access
Memory) dan DDRAM (Display Data
Random Access Memory), dan juga
memiliki 3 bit kontrol yaitu E yang
merupakan input clock, R/W sebagai
input untuk memilih read atau write dan
RS sebagai register select, juga memiliki
8 bit data yaitu DB0 sampai DB7.
Komputer digunakan untuk
mencatat data ketinggian air setiap saat
dan setelah ketinggian air melewati
ambang batas maka akan dikirim sms ke
handphone si penerima.
Prosedur Kerja
Prinsip kerja dari alat monitoring
jarak jauh sebagai peringatan dini bahaya
banjir melibatkan piranti keras dan piranti
lunak. Piranti keras pada sistem antara
lain adalah sensor ketinggian air
(potensiometer), mikrokontroler, telepon
seluler, LCD, dan komputer.
Proses perancangan meliputi perancangan
piranti keras dan perancangan piranti
lunak. Secara garis besar cara kerja
sistem yang akan dibuat adalah sebagai
berikut:
Sensor akan mengukur ketinggian
air, oleh mikrokontroler data akan
dikirimkan ke LCD untuk ditampilkan
sebagai data ketinggian air. Ketika
ketinggian sama dengan atau melebihi
batas 30 cm maka komputer akan
mengirimkan SMS ke handphone
pemantau secara otomatis. Dalam periode
5 detik, maka program akan melakukan
pengecekan ulang, jika ketinggian masih
melebihi batas maka SMS akan terus
dikirimkan hingga alat direset atau
ketinggian air menurun.
Perancangan perangkat keras ini
terdiri dari sensor ketinggian air
(potensiometer), Mikrocontroller
AT89C51. Komunikasi piranti dengan
handphone dan penampil LCD 16x2
karakter. Berikut diagram blok lengkap
dari sistem pemantauan ketinggian air
jarak jauh.
Diagram blok pada gambar 2.
dapat dijelaskan sebagai berikut :
Ketinggian permukaan air yang
dideteksi oleh pelampung akan
berpengaruh terhadap perputaran
potensiometer yang terhubung ke
pelampung. Akibat perubahan ini
tegangan keluaran (output) dari
potensiometer akan berubah mulai dari 0
volt hingga 5 volt. Perubahan tegangan
ini seiring dengan perubahan ketinggian
permukaan air. Perubahan tegangan ini
kemudian dideteksi oleh ADC0 dari
Mikrocontroller AT89C51 yang memiliki
tegangan refrerensi sebesar 5V. Data
100
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
hexa kemudian diubah menjadi data
desimal dan ASCII untuk ditampilkan ke
LCD. Data ditampilkan ke LCD
microcontroller akan mengirimkan data
setiap saat ke komputer ketika air
melebihi atau sama dengan 30 cm maka
akan dikirim SMS ke handphone
pemantau yang akan memberi informasi
bahaya banjir.
Perancangan Perangkat Lunak
Diagram Alir sub program sensor
untuk pengukuran ketinggian air jarak
jauh pada bagian pemancar adalah
sebagai berikut:
Urutan Program diagram alir
pemancar adalah sebagai berikut :
1. Pengubahan data tegangan dari
microcontroler
2. Konversi data tegangan menjadi hexa,
karena mnggunakan resolusi 10 bit maka
data menjadi 0 – 1023 hexa.
3. Konversi data hexa menjadi data
ketinggian air..
4. Menghitung ketinggian, jika
ketinggian sama dengan atau lebih dari
30 cm maka program akan berlanjut
5. Mengecek kondisi tidak aman.
6. Mengirimkan SMS “Bahaya!!!Waduk
Meluap!”
7. Mengecek kembali setelah 5 menit
jika ya akan kembali ke t = 0 untuk
mengecek kembali ketinnggian air, jika
tidak maka akan kembali ke awal
program.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengujian Sistem Rangkaian Sensor
Rangkaian sensor yang
dipergunakan dalam sistem telemetri ini
berupa pelampung yang dihubungkan
dengan potensiometer yang akan berubah
hambatannya seiring dengan perubahan
ketinggian permukaan air, perubahan ini
akan mengakibatkan terjadinya
perubahan tegangan yang akan
dihubungkan langsung pada port ADC
(Analog to Digital Converter) kemudian
sebagai masukan pada Mikrocontroller
AT89C51.
Pengujian rangkaian sensor
dapat diukur dengan menggunakan multi
meter yaitu saat keadaan kenaikan tiap 5
cm maka akan diukur besarnya
perubahan tegangan keluarannya.
Pengamatan dan pengujian ketinggian
permukaan air di sini dilakukan dengan
mengukur tegangan keluaran dari sensor
ketinggian permukaan air yang dimulai
dari ketinggian 0 cm – 70 cm.
Untuk menampilkan data pada
LCD maka pin RS dihubungkan ke port
PD.5, pin R/W dihubungkan ke port PD.6
dan pin E dihubungkan ke port PD.7
sedangkan 8 bit datanya (DB0 – DB7)
dihubungkan ke port C (PC.0 – PC.7).
101
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
Perangkat lunak menggunakan
program Assembly yang diperlukan
untuk mengambil data ketinggian air
yang berasal dari sensor, menampilkan
data pada LCD, kemudian disimpan oleh
komputer setiap saar ketinggian air, pada
saat ketinggian air melewati batas yang
telah ditentukan maka akan dikirim sms
ke handphone petugas. Komputer
terhubung dengan mikrokontroler melalui
melalui kabel serial Db9, dimana
komunikasi yang berlangsung
menggunakan standar UART RS232.
Pengujian Sistem SMS pada Handphone
Pada Sistem ini menggunakan
komputer dan handphone sebagai
penerima untuk menerima SMS pada saat
ketinggian air sudah mencapai 30 cm
atau lebih dari 30 cm yang berisi pesan
Bahaya Waduk Meluap!!!!. Ketinggian
air dapat dilihat dengan mengamati
perubahan yang tertera pada LCD.
Handphone akan mengirim SMS setiap 5
detik sekali ketika air sudah mulai
mencapai 30 cm dan komputer akan
mengirimkan sms, ini merupakan
pemberitahuan informasi tanda bahaya.
Perubahan ketinggian air yang
diamati setiap saat dapat memberikan
informasi tentang peringatan dini banjir
yang disampaikan dan diterima dengan
cepat, sehingga dapat mengantisipasi
pencegahan secara dini resiko banjir yang
dialami.
Hasil pengamatan ini ditunjukkan
pada tabel 2. Berikut ini :
Tabel 2. Data ketinggian air pada LCD
Tinggi Kondisi
No LCD (Data disimpan di Komputer)
SMS
Cm
1 0,0 Tidak ada SMS
2 5,0 Tidak ada SMS
3 9,9 Tidak ada SMS
4 15,0 Tidak ada SMS
5 20,1 Tidak ada SMS
6 25,0 Tidak ada SMS
7 29,9 Ada SMS
8 34,9 Ada SMS
9 39,6 Ada SMS
10 44,6 Ada SMS
11 49,4 Ada SMS
12 54,4 Ada SMS
13 59,4 Ada SMS
14 64,3 Ada SMS
15 68,3 Ada SMS
Dari tabel 2. dapat dilihat bahwa
ketinggian air yang mulai mencapai 30
cm akan mengalami kondisi ada sms dan
akan berulang seterusnya setiap 5 detik
sekali.
SIMPULAN
Sistem yang dibangun dengan
menggunakan handphone Siemens C35
serta piranti keras adalah sensor
ketinggian air (potensiometer),
microcontroller, LCD, dan komputer.
102
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
dan piranti lunak menggunakan program
Assembly untuk melakukan deteksi dini
bahaya banjir maka dapat ditarik
beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Sistem telemetri ini dapat melakukan
pengukuran ketinggian air secara
akurat.
2. Komputer menyimpan data-data
ketinggian air dari 0-70 cm
3. Piranti akan mengirimkan SMS
peringatan bahaya dalam waktu 5
detik sekali jika ketinggian air 30 cm
atau lebih.
Gambar 1. Sistem Telemetri
Gambar 2. Diagram Blok Sistem
Microcontroller
AT89C51
LCD M1632
Input digital
Catu Daya
Komputer Sensor Ketinggian
Air
input
Output
Output
Sensor Potensiometer
Mikrokontoler
LCD
SMS
KOMPUTER
103
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
Gambar 3. Diagram alir sub program Pemancar
t = 0
t 5 detik (8)
t = t + 1
Ya
Kirim SMS “bahaya” (7)
Tidak
Ketinggian >= 30 cm
(5)
Kondisi Tidak aman (6)
t = 0
Konversi menjadi data ketinggian air (3)
Tampilan LCD (4)
Konversi menjadi data hexa (2)
Data tegangan dari potensiometer (1)
Mulai
t = 0
Tidak
ya
104
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
DAFTAR PUSTAKA Budiharto, W., dan Rizal, G., 2007, Belajar Sendiri 12 Proyek Mikrokontroler Untuk
Pemula, Cetakan kedua, Penerbit Elex Media Komputindo , Jakarta. Istiyanto, J.E, dan Y. Efendy, 2004. Rancangan dan Implementasi Prototipe Sistem
Kendali Jarak Jauh Berbasis Mikrokontroler AT89C52 dan SMS GSM, Jurnal Ilmu Dasar, FMIPA Universitas Jember.
Khang, B.,2002, Trik Pemrograman Aplikasi Berbasis SMS, Cetakan Pertama, Penerbit
Elex Media Komputindo, Jakarta. Misiek, 2002, Siemens Interface, http://www.gsm hacking.com/help/cables/siemens/
index.htm,. Munaf,D.R., 2007, Prinsip Interkoneksi Informasi Dalam Penanganan Bencana Banjir,
Jurnal Sosioteknologi, Vol. 10, No. 6 hal : 156 – 160, Jurusan Ilmu Kemanusiaan ITB, Bandung.
Pitowarno, E., (2006) Robotika Desain, Kontrol, Dan Kecerdasan Buatan, Edisi I, Penerbit Andi, Yogyakarta
Putra, A. E, 2006, Belajar Mikrokontroler AT89C51/52/55 Teori Dan Aplikasi, Edisi 2, Gava Media: Yogyakarta.
Sanjaya, A., 2005, Mengirim SMS dari PC, [email protected] Sukiswo, 2005, Perancangan Telemetri Suhu Dengan Modulasi Digital FSK FM,
Transmisi, Vol. 10 No. 2, hal : 1 – 8, Jurusan Teknik Elektro Universitas Diponegoro, Semarang
Sutadi, D.,2003, I/O Bus dan Motherboard, Cetakan pertama, Penerbit Andi , Yogyakarta.
105
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
UJI AKTIVITAS ANTIKANKER EKSTRAK ETANOL KULIT BUAH JAMBU MENTE (Anacardium occidentale L.) TERHADAP MULTIPLE MYELOMA
DENGAN METODE MICROCULTURE TETRAZOLIUM
Ermelinda Dheta Meye Jurusan Biologi, Fakultas Sains dan Teknik, Universitas Nusa Cendana
ABSTRACT
The research was carried out in order to determine the activity anticancer of cashew nut shell (Anacardium occidentale L.) ethanol extract to multiple myeloma use microculture tetrazolium method..The concentration of cashew nut shell ethanol extract which is used 12.5, 25, 50, 100, 200, 400 μg/mL, The result of this research showed that cashew nut shell ethanol extract has citotoxicity activity to myeloma cells with LC50 = 49,792 μg/mL. The result of this research could be concluded that of cashew nut shell ethanol extract have anticancer activity.
Keywords: Cashew, multiple myeloma, microculture tetrazolium
Jumlah penderita kanker di
Indonesia terus meningkat. Para ilmuwan
telah melakukan serangkaian penelitian
yang berhubungan dengan faktor-faktor
penyebab kanker. Faktor-faktor tersebut
meliputi faktor genetik dan faktor
lingkungan. Ada 2 kategori perubahan
genetik yang menyebabkan kanker yaitu
aktivasi proto-oncogens menjadi
oncogenes dan aktivasi gen supresor
tumor. Faktor-faktor lingkungan
penyebab kanker antara lain radiasi (sinar
uv, sinar X), radikal bebas, bahan bakar
minyak, virus, senyawa-senyawa organik
seperti asap rokok dan beberapa polutan
lingkungan, substansi kimia yang bersifat
karsinogen (nitroso-nor-nicotine, vinyl
clorida, benzo(a)pyren, metal, asbes,
nikel, cadmium, uranium, benzidine,
benzene, pestisida dan pola makan
dengan kadar lipid tinggi. Makanan
dengan kadar lipid tinggi menjadi faktor
pemicu kanker seperti kanker otak dan
prostat (Mader, 2006).
Selain leukemia, tipe kanker
darah lainnya adalah multiple myeloma.
Berdasarkan hasil diagnosis, usia rata-
rata terjadinya myeloma adalah ± 68
tahun dan hanya 1 % kasus di bawah 40
tahun. (Sagar, 2005). Sampai dengan saat
ini penyebab multiple myeloma belum
diketahui dengan pasti, tetapi diduga
penyebabnya adalah radias Infeksi virus,
stimulasi antigen berulangkali dan faktor
genetik (Kresno,1996).
Diagnosis multiple myeloma dapat
ditegakkan dengan 2 kriteria yaitu kriteria
mayor dan minor. Kriteria mayor antara
lain minimal terdapat 10 % sel plasma
dalam sum-sum tulang, lesi osteolitik
106
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
atau osteoporosis dan terdapat protein M
(monoklonal) dalam serum atau urine.
Kriteria minor meliputi anemia,
hiperkalsemia dan gangguan fungsi ginjal
yang ditandai dengan peningkatan kadar
kreatin (Abbas & Lichtman, 2005;
Kresno, 1996). Level antibodi
(imunoglobulin) pada sel mieloma
menurun sehingga tubuh menjadi rentan
terhadap infeksi (Sagar, 2005).
Pemanfaatan tumbuhan sebagai
alternatif pengobatan kanker telah banyak
dilakukan akhir-akhir ini. Salah satu
tumbuhan yang punya efek antikanker
adalah kulit buah jambu mente
(Anacardium occidentale L.). Cairan alkil
fenol/ cashew nut shell liquid (CNSL) di
dalam kulit buah jambu mente
mempunyai aktivitas biologis seperti
anti-tumor dan anti-oksidan (Cavalcante
et al., 2005; Kubo et al., 1993b; Trevisan
et al., 2006). CNSL juga mempunyai
aktivitas antikanker terhadap sel HeLa
(Ola, et al., (2008).
Pada umumnya masyarakat di
Indonesia termasuk di NTT hanya
memanfaatkan buah semu .dan buah
jambu mente saja, sedangkan kulit
buahnya dibuang setelah diambil
buahnya. Oleh karena itu, penelitian
tentang aktivitas antikanker kulit buah
jambu mente khususnya pada sel
mieloma perlu dilakukan untuk
menambah informasi ilmiah. Selain itu
untuk meningkatkan nilai ekonomis kulit
buahnya baik sebagai bahan baku industri
(cat, vernis, politur) maupun sebagai
senyawa antikanker
Untuk mengetahui kemampuan
kulit buah jambu mente sebagai agen
antikanker dapat dilakukan dengan uji
sitotoksisitas. Uji sitotoksisitas
merupakan uji invitro yang digunakan
untuk mengevaluasi keamanan obat, zat
aditif makanan, kosmetik, pestisida dan
juga digunakan untuk mendeteksi
aktivitas suatu senyawa dengan
menggunakan kultur sel. Salah satu
metode uji sitotoksisitas adalah MTT
(Microculture Tetrazolium). Perhitungan
jumlah sel dengan metode MTT
berdasarkan aktivitas enzim yang dapat
diukur secara kolorimetri (Castell
Lechon, 1997; Doyle & Griffiths, 2000).
MATERI DAN METODE Bahan
Bahan yang digunakan adalah
sel mieloma, ekstrak etanol kulit buah
jambu mente, Dimetil Sulfoksida
(DMSO) 10%, medium RPMI (Rosewell
Park Memorial Institute) 1640 (Sigma),
medium kultur (penumbuh) RPMI 1640
yang mengandung Fetal Bovin Serum
(FBS) 10% (Gibco), fungizon 0,5 % (v/v)
(Gibco) dan antibiotik Penisilin-
Streptomisin 1% (v/v) (Gibco),
phosphate buffered saline (PBS) 20 %
107
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
(Sigma), reagen MTT (3-(4,5-dimethyl
thiazol-2-yl)-2,5-diphenyltetrazolium
bromide) 5 mg/mL PBS (Sigma), reagen
Stopper yaitu Sodium Dodecyl Sulphate
(SDS) 10 % dalam HCl 0,01 N (Merck)
dan doxorubicin (Gibco).
Alat
Alat yang digunakan adalah
ekstraktor soxhlet, rotary evaporator,
autoclave, cawan porselin, inkubator CO2
(Heraeus), tangki nitrogen cair, tabung
conical steril (Nunclone), sentrifuge
Sigma 3K12 (B. Braun Biotech
International), timbangan analitik (AND
GF-2000), timbangan elektrik kapasitas
1200g (Shimadzu), lemari pendingin,
vorteks (Genie), laminar air flow cabinet
(Nuaire), tissue culture flask (Iwaki),
mikropipet (Nichipet ex), blue tip,
yellow tip, tabung eppendorf, ELISA
reader (Benchmark), 96-well plate
(Iwaki), tabung eppendorf, inverted
(Axiovert 25) dan kamera digital
(Canon).
Uji sitotoksisitas dengan metode MTT (Microculture Tetrazolium)
Suspensi sel mieloma sebanyak
100 μl dengan kepadatan 3 x 104 sel/100
μl media didistribusikan ke dalam
sumuran-sumuran pada 96-well plate dan
diinkubasi selama 24 jam. Setelah
diinkubasi, ke dalam sumuran dimasukan
100 μl larutan uji pada berbagai seri
konsentrasi. Sebagai kontrol positif
ditambahkan 100 μl doxorubicin pada
berbagai seri konsentrasi ke dalam
sumuran yang berisi 100 μl suspensi sel.
Sebagai kontrol sel ditambahkan 100 μl
medium kultur ke dalam sumuran yang
berisi 100 μl suspensi sel dan sebagai
kontrol pelarut ditambahkan 100 μl
DMSO ke dalam sumuran yang berisi
100 μl suspensi sel dengan delusi yang
sesuai dengan delusi konsentrasi larutan
uji, kemudian diinkubasi selama 24 jam
dalam inkubator dengan aliran 5 % CO2
dan 95 % O2. Pada akhir inkubasi, media
kultur dibuang lalu ditambahkan 10 μl
larutan MTT (5 mg/mL PBS), kemudian
sel diinkubasi selama 3-4 jam. Reaksi
MTT dihentikan dengan penambahan
reagen stopper SDS (100 μl). Microplate
berisi suspensi sel diseker ± 5 menit
kemudian dibungkus dengan aluminium
foil dan diinkubasi selama 1 malam pada
suhu kamar. Hasil pengujian dibaca
dengan ELISA reader pada panjang
gelombang 595 nm (Ola et al., 2008; Mae
et al., 2000).
Analisis Data
Data yang diperoleh dari hasil
pembacaan ELISA reader (λ = 595 nm)
berupa absorbansi masing-masing
sumuran dikonversikan dalam %
kematian sel dengan rumus:
Kematian sel (%) = A –B x 100 %
C
108
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
Keterangan : A = OD kontrol sel-OD kontrol media B = OD sampel-OD kontrol media C = OD kontrol - OD kontrol media
Persentase kematian sel diubah ke
dalam nilai probit, kemudian dibuat
hubungan antara log konsentrasi (X) dan
nilai probit (Y) sehingga diperoleh
persamaan regresi linier untuk
menghitung harga LC50 dengan
menggunakan analisa probit (Cassaret &
Doull, 1971). Selanjutnya data dianalisis
dengan ANOVA satu arah untuk
mengetahui adanya perbedaan yang
signifikan antar kelompok perlakuan. Jika
terdapat perbedaan yang nyata,
dilanjutkan dengan uji Least Significant
Difference (LSD). Kedua uji tersebut
dilakukan pada taraf kepercayaan 95 %
dengan menggunakan program SPSS 13.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Uji sitotoksisitas dilakukan untuk
mendeteksi aktivitas senyawa antikanker
yang terkandung di dalam kulit buah
jambu mente dengan menggunakan
kultur sel. Dalam penelitian ini
digunakan sel mieloma (Myeloma cell
line). Myeloma cell line menyerupai sel
tumor induk, di mana keduanya dapat
memproduksi gama globulin (IgG-2b)
yang memiliki rantai dimer dan rantai
bebas. Waktu pembelahan sel ± 19 jam,
menunjukkan karateristik struktur plasma
sel dan seperti halnya sel tumor induk
berisi virus tipe A. Sel ini menghasilkan
5-6 μg IgG-2b/sel/menit (Anonim, 1983).
Metode uji sitotoksisitas yang
digunakan adalah metode MTT yang
mempunyai beberapa keuntungan yaitu
cepat, sensitif, akurat, efektif dan hemat
karena beberapa tes dapat dilakukan
sekaligus. Uji sitotoksisitas dengan
metode MTT didasarkan pada
kemampuan enzim dehidrogenase
mitokondrial sel yang hidup untuk
mereduksi substratnya yaitu garam
tetrazolium (MTT) (3-(4,5-dimethyl
thiazol-2-yl)-2,5-diphenyltetrazolium
bromide). MTT berwarna kuning yang
larut air direduksi menjadi formazan
berwarna ungu/biru tua yang tidak larut
air (Castell & Lechon, 1997; Doyle &
Griffiths, 2000).
Kristal formazan dapat menembus
membran sel dan terakumulasi di dalam
sel sehat. Jumlah produk formazan secara
langsung proporsional dengan jumlah sel
hidup. Formazan intrasel tersebut dapat
dilarutkan dengan penambahan SDS
(Sodium dodecyl sulphate) 10%. Sel mati
mitokondrianya tidak mampu berespirasi
sehingga tidak dapat mereduksi reagen
MTT. Akibatnya pada sel mati tidak
terbentuk formazan yang berwarna ungu,
tetapi warnanya tetap kuning (Gambar 1).
109
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
Gambar 1. Pembentukan kristal formazan pada sel hidup (bars = 100μm)
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa persentase kematian sel mieloma
yang diberi perlakuan dengan ekstrak
kulit buah jambu mente lebih tinggi
dibandingkan dengan kontrol (tanpa
perlakuan). Persentase kematian sel
meningkat sejalan dengan peningkatan
konsentrasi ekstrak. Hasil uji LSD
(ά=0,05) pada uji sitotoksisitas tersebut
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan
yang signifikan antara kelompok kontrol
dengan perlakuan (Tabel 1). Hal ini
membuktikan bahwa ekstrak kulit buah
jambu mente bersifat toksik terhadap sel
mieloma.
Tabel 1. Persentase kematian sel mieloma dengan perlakuan ekstrak kulit buah jambu mente (Anacardium occidentale L.)
Konsentrasi (μg/mL)
% Kematian Sel (Metode MTT)
400 83,63a 200 77,81ab 100 61,60bc 50 50,25cd 25 37,60d
12,5 31,70d 0 0f
Angka yang diikuti dengan huruf yang
sama tidak berbeda nyata (ά=0,05)
Hasil konversi persentase
kematian sel ke dalam tabel probit
selanjutnya dibuat grafik regresi linier
untuk menghitung LC50. LC50 adalah
konsentrasi yang dapat menimbulkan
kematian pada 50 % populasi pada sel
yang sama dalam waktu tertentu dan
kondisi percobaan yang sesuai. LC50
digunakan sebagai parameter untuk
mengevaluasi potensi sitotoksisitas
sampel uji terhadap sel mieloma.
Pada gambar 2 dapat dilihat
bahwa grafik yang terbentuk adalah
linier. Hal ini menunjukkan bahwa
semakin besar konsentrasi ekstrak, maka
semakin besar juga persentase kematian
sel mieloma. Nilai LC50 pada uji
sitotoksisitas tersebut adalah 49,792
μg/mL dan angka tersebut mendekati
konsentrasi 50 μg/mL. Menurut Meyer et
al., (1982), suatu senyawa bersifat
sitotoksik bila LC50 lebih kecil dari 1000
Sel hidup
Sel mati
110
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
μg/mL, Jadi, semakin kecil nilai LC50
maka tingkat ketoksikan suatu senyawa
semakin besar.
y = 0,9956x + 3,3103R2 = 0,9751
0,0
1,0
2,0
3,0
4,0
5,0
6,0
7,0
0,0 0,5 1,0 1,5 2,0 2,5 3,0
LOG KONSENTRASI g/ml)
PR
OB
IT
Gambar 2. Grafik regresi linier hasil uji
sitotoksisitas ekstrak etanol kulit buah jambu mente
Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa ekstrak etanol kulit
buah jambu mente bersifat toksik
terhadap sel mieloma. Senyawa aktif
yang diduga berperan dalam aksi
sitotoksisitas adalah komponen fenol
yaitu asam anakardat, kardanol dan
kardol (Ola et al., 2008). Hal ini
didukung oleh penelitian Trevisan et al.,
(2005) yang menyatakan komponen fenol
di dalam cairan kulit buah jambu mente
juga mempunyai kapasitas sebagai
antioksidan. Antioksidan mempunyai
kemampuan menghambat reaksi oksidasi
oleh radikal bebas yang menjadi salah
satu pemicu penyakit kanker.
Berdasarkan penelitian Kubo et
al., (1993b), komponen fenol yang
terdapat di dalam buah semu, buah dan
cairan kulit buah jambu mente
mempunyai gugus alkyl yang panjang
(C15) dengan lebih dari 3 ikatan ganda
pada rantai samping. Hal inilah yang
diduga dapat meningkatkan aktivitas
sitotoksisitasnya. Komponen fenol
tersebut juga dapat menginduksi
kematian sel kanker (apoptosis).
Apoptosis merupakan salah cara yang
efisien dalam proses kemoterapi kanker.
Proses apoptosis diawali dengan
terkondensasinya kromatin di dalam
nukleus menjadi suatu masa yang padat
dan DNA terfragmentasi kemudian
sitoplasmanya menyusut. Selanjutnya
terjadi pelekukan (blebbing) pada
membran sel. Organel sel dan DNA yang
telah terfragmentasi menyebar menuju ke
lekukan-lekukan membran sel
membentuk badan apoptosis yang akan
difagosit oleh makrofag (Rang et al.,
2003).
Untuk mengevaluasi keberhasilan
uji sitotoksisitas, maka digunakan
pembanding sebagai kontrol positif yaitu
doxorubicin. Doxorubicin secara medis
digunakan sebagai obat kanker. Pada
Tabel 2 berikut ini, terlihat bahwa
kematian sel mieloma akibat pemberian
doxorubicin dimulai pada konsentrasi
3,125 μg/mL dengan persentase kematian
sebesar 30,21 %. Persentase kematian sel
mieloma meningkat terus sampai dengan
111
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
konsentrasi tertinggi yaitu 100 μg/mL
sebesar 78,08 %. Hal ini dapat dibuktikan
dengan grafik regresi yang berbentuk
linier (Gambar 3). Hasil uji ANAVA
(ά=0,05) adalah signifikan, tetapi hasil uji
LSD menunjukkan bahwa tidak terdapat
perbedaan nyata antara konsentrasi 100
dan 50 μg/mL serta 12, 5 dan 6,25
μg/mL. Sedangkan antara konsentrasi
lainnya terdapat perbedaan yang nyata.
Tabel 2. Persentase kematian sel mieloma dengan perlakuan doxorubicin
Konsentrasi (μg/mL)
% Kematian Sel (Metode MTT)
100 78,08a
50 73,93a
25 63,55b
12,5 50,86c
6,25 44,98c
3,125 30,21d
0 0e Angka yang diikuti dengan huruf yang
sama tidak berbeda nyata (ά=0,05)
y = 0,8732x + 4,0441
R2 = 0,9804
0
1
2
3
4
5
6
7
0,0 0,5 1,0 1,5 2,0 2,5
LOG KONSENTRASI (g/ml)
PR
OB
IT
Gambar 3. Grafik regresi linier hasil uji sitotoksisitas dengan doxorubicin
Aksi sitotoksik doxorubicin antara
lain dengan mengikat DNA dan
menghambat sintesis DNA maupun
RNA. Selain itu juga menghambat
aktivitas enzim topoisomerase II dengan
cara membentuk kompleks dengan DNA.
Enzim topoisomerase II adalah enzim
yang mampu berikatan dengan DNA
untuk membuka rantai ganda DNA.
Terbentuknya kompleks DNA-
topoisomerase II menyebabkan
terganggunya kerja enzim sehingga
merusak DNA yang dapat memicu
terjadinya apoptosis. Doxorubicin juga
dapat menginduksi terbentuknya radikal
bebas yaitu reactive oxigen species
(ROS) yang akan menginisiasi
serangkaian reaksi yang merusak struktur
sel sehingga sel mengalami kematian
(Govaze et al., 2001; Rang et al., 2003).
Berdasarkan hasil perhitungan,
LC50 pada uji sitotoksisitas dengan
doxorubicin adalah 12,436 μg/mL. Nilai
LC50 tersebut lebih kecil jika
dibandingkan dengan perlakuan dengan
ekstrak yaitu 49.792 μg/mL. Namun hasil
penelitian ini telah membuktikan bahwa
ekstrak etanol kulit buah jambu mente
berpotensi dikembangkan sebagai
senyawa antikanker. Oleh karena itu
perlu dilakukan penelitian lebih lanjut
dengan mengisolasi komponen fenol dan
diujikan pada sel mieloma atau sel kanker
112
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
lainnya untuk melihat efek sitotoksiknya
pada konsentrasi yang lebih kecil.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat
disimpulkan bahwa ekstrak etanol kulit
buah jambu mente (Anacardium
occidentale L.) mempunyai aktivitas
sitotoksisitas terhadap sel mieloma
dengan LC50 sebesar 49.792 μg/mL
sehingga berpotensi dikembangkan
sebagai salah satu senyawa antikanker.
113
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1983. American Type Culture Collection Catlog of Strain II. 4th edition. Liss.Inc., New York.
Abbas, A. K., and A. H. Lichtman. 2005. Celluler and Molecular Immunology. 5th edition.
Elsevier Inc., Saunders. USA. Castell, J. V., and M. J., Lechon. 1997. Invitro Methods in Pharmaceutical Research.
Academic Press, London. Cavalcante, A. A. M., G. Rubensam, B. Erdtmann, M. Brendel, J. A. P. Henriques., 2005.
Cashew (Anacardium occidentale) Apple Juice Lowers Mutagenicity of Aflatoxin B1 in S. typgimurium TA102. J. Genet. Mol. Biol. 28 (2): 1415-4757
Doyle, A., dan J. B. Griffiths., 2000. Cell and Tissue Culture for Medical Research. John
Wiley and Sonc Inc., New York. Govaze, V. R.,, M. E. Mirautt, S. P. Carpentier, R. Salvaire, T. Levade, N. A. Abadie.,
2001. Glutathione Oxidase-I Overexpression Prevents Ceramide Production and Partially Inhibits Apoptosis in Doxorubicin Treated Human Breast Carcinoma Cells. J. Mol. Pharmacol. 60 (3): 488-496
Kresno, S. B., 1996. Imunologi; Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Penerbit Fakultas
Kedokteran, Universitas Indonesia. Jakarta. Kubo, I., M. Ochi, P. C. Vieira and S. Komatsu., 1993b. Antitumor Agens from the
Cashew (Anacardium occidentale) Apple Juice. J. Agric. Food Chem. 41: 1012-1015. Mader, S. S., 2006. Human Biology. 9th ed. McGraw-Hill Companies, Inc., New York. Meyer, , B. N., N. R. Ferrigni, J. E. Putnam, L. B. Jacobsen, D. E. Nichols, J. L.
McLaughlin., 1982. Brine Shrimp; A Convinient General Bioassay for Active Plant Constituent. Planta Med. 45: 31-34
Ola, A. R. B., Ikawati, Z., Sismindari, E. D. Meye, B. D. Tawa., 2008. Identifikasi
Molekuler dan Aktivitas Antikanker Alkil Fenol Dari Minyak Kulit Buah Jambu Mete (Anacardium occidentale, L.) Asal Pulau Timor. J. Farmasi Indonesia. 19 (3): 142-143
Rang, H. P., M. M. Dole, J. M. Ritter, P. K. Moore., 2003. Pharmacology. 5th ed. Churcill
Livingstone, New York. Sagar, L., 2005. Intro to Myeloma, http://www Multiple Myeloma, org/, diakses 7 April
2008 Trevisan, M. T. S., B. Pfundstein, R. Haubner, G. Wurtele, B. Spiegelhalder. H, Bartsch,
R. W. Owen., 2006. Characterization of Alkyl Phenols in Chasew (Anacardium occidentale) Products and Assay of Their Antioxidant Capacity. J. Food Toxy. 44: 188-197
114
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
VALIDASI ATURAN SISTEM PAKAR DIAGNOSIS KERUSAKAN HANDPHONE
Sebastianus Adi Santoso Mola Jurusan Ilmu Komputer, Fakultas Sains dan Teknik, Universitas Nusa Cendana
ABSTRACT
This research is intended to ensure the reliability of expert system in problem solving by checking against the rules. There are two kinds of checking of expert system rules: rules consistency checking and rules completeness checking. Consistency checking ensures rules do not subsumed, not contradictory and do not refer to each other. Completeness checking guarantees every rule and clauses can be achieved and have the correct attribute value. The entire process of checking these rules ensure the validation of each rule in an expert system.
Keywords: expert system, rules consistency checking, rules completeness checking
Sistem pakar merupakan program
komputer yang memiliki derajat
kepakaran tertentu dalam pemecahan
masalah pada domain permasalahan
tertentu yang dapat dibandingkan dengan
kepakaran manusia [Ignizio, 1991]. Lebih
jauh lagi, sistem pakar bahkan dapat
dianggap sebagai sebuah model dan
prosedur-prosedur yang memperlihatkan
kepakaran dalam memecahkan persoalan
tertentu. Dalam sistem pakar bebasis
aturan, pengetahuan yang
merepresentasikan kepakaran disimpan
dalam aturan-aturan. Aturan-aturan
tersebut disimpan dalam sebuah basis
pengetahuan yang dapat saja disimpan
dalam sebuah basis data yang selain
memuat premis dan konklusi juga
memuat aturan yang menghubungkan
premis dan konklusi tersebut.
Sistem pakar diagnosis kerusakan
handphone [Mola, 2010] memperlihatkan
penggunaan basis pengetahuan sebagai
bagian vital dalam pengembangan sebuah
sistem pakar. Basis pengetahuan ini
memuat data tipe handphone, data gejala,
data solusi dan data aturan. Data aturan
merangkai data gejala sebagai premis
aturan dan data solusi sebagai konklusi
aturan untuk setiap jenis handphone.
Basis pengetahuan ini disimpan dalam
bentuk sebuah basis data dan setiap jenis
data (tipe handphone, hejala dan solusi)
maupun data aturan dimanifestasikan
dalam bentuk tabel database. Basis
pengetahuan dari sistem pakar ini
dirangkai dari relasi antartabel yang
memperlihatkan kontribusi dari setiap
data gejala dan solusi dalam membentuk
pengetahuan yang berupa aturan pada
basis data.
115
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
Penelitian ini merupakan kelanjutan
dari penelitian sebelumnya [Mola, 2010]
dimana dalam penelitian ini digunakan
basis pengetahuan yang sama dengan
penelitian sebelumnya. Penelitian ini
bertujuan untuk menyediakan sarana
validasi aturan bagi system pakar
diagnosis kerusakan handphone untuk
menjamin pengetahuan yang disimpan
dalam basis pengetahuan selalu valid
walaupun terjadi perubahan basis
pengetahuan baik berupa penambahan
pengetahuan baru (jenis handphone baru,
jenis kerusakan baru) maupun perubahan
pengetahuan yang sudah ada
(pembeharuan pengetahuan).
MATERI DAN METODE
Validasi dalam sistem berbasis
aturan mencakup 2 macam pengecekan
[Ignizio, 1991] yakni pengecekan
konsistensi dan pengecekan kelengkapan.
Pengecekan konsistensi meliputi:
pengecekan akan adanya redundant rules,
conflicting rules, subsumed rules,
unnecessary premise clauses, dan
circular rules. Pengecekan kelengkapan
meliputi: unreferenced attribute values,
illegal attribute values, unachievable
intermediate conclusions, unachievable
final conclusions, or goals, dan
unachievable premises.
Pengecekan Konsistensi
Apabila bagian konklusi aturan 1
adalah bagian dari konklusi aturan 2
(C(1) C(2)) sedangkan keduanya
memiliki klausa premis yang sama (P(1)
= P(2)) maka aturan 1 disebut aturan
yang berlebihan (redundant). Aturan 1
disebut sebagai aturan yang redundant
jika terdapat aturan 2 apabila:
P(1) = P(2) AND C(1) C(2)…..(1)
Contohnya:
Aturan 1: IF A = X AND B = Y
THEN C = Z
Aturan 2: IF A = X AND B = Y
THEN C = Z AND D = W.
Dua aturan dikatakan saling
bertentangan (conflict) apabila memiliki
klausa premis yang sama (P(1) = P(2))
namun mempunyai konklusi yang
berbeda C(1) ≠ C(2)). Misalnya:
Aturan 1: IF A = X AND B = Y
THEN C = Z
Aturan 2: IF A = X AND B = Y
THEN C = W.
Pada contoh tersebut aturan 1 dan 2
memiliki premis yang sama namun
konklusinya berbeda. Secara formal,
aturan 1 dikatakan bertentangan dengan
aturan 2 apabila:
P(1) = P(2) AND C(1) ≠ C(2)….(2).
Sebuah aturan dikatakan
tercakup/termasuk (subsumed) dalam
aturan lain jika kedua aturan tersebut
memiliki konklusi yang sama (C(1) =
116
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
C(2)) namun aturan pertama memiliki
klausa premis tambahan (Ignizio, 1991).
Pada contoh berikut ini aturan 1 termasuk
dalam aturan 2:
Aturan 1: IF A = X AND B = Y
THEN C = Z
Aturan 2: IF A = X THEN C = Z
Aturan 1 tercakup dalam aturan 2
apabila:
C(1) = C(2) AND P(1) P(2)….(3).
Pengecekan unnecessary premise
dilakukan untuk mengetahui adanya
aturan-aturan yang menghasilkan
konklusi yang sama namun memiliki
sebagian premis yang bertentangan
(Ignizio, 1991). Misalkan terdapat dua
aturan berikut:
Aturan 1: IF A = X AND B = Y
THEN C = Z
Aturan 2: IF A = X AND NOT B
= Y THEN C = Z.
Klausa premis B = Y pada aturan 1 dan
NOT B = Y pada aturan 2 dapat
diabaikan karena saling bertentangan.
Konklusi dapat tercapai tanpa
memertimbangkan nilai dari atribut B.
Aturan 1 dan 2 memiliki klausa premis
yang tidak diperlukan apabila (Ignizio,
1991):
C(1) = C(2) AND some P(1) conflict
with some P(2)…………………..(4).
Beberapa aturan dikatakan
merupakan circular rules jika penalaran
dari aturan-aturan ini menghasilkan loop
atau cycle (Ignizio, 1991). Hal ini dapat
dilihat pada contoh aturan berikut:
Aturan 1: IF A = X THEN B = Y
Aturan 2: IF B = Y AND C = Z
THEN DECISION = YES
Aturan 3: IF DECISION = YES
THEN A = X
dimana ketiga aturan ini akan membentuk
loop (aturan 1 aturan 2 aturan 3
aturan 1, aturan 2 aturan 3 aturan 1
aturan 2, aturan 3 aturan 1
aturan 2 aturan 3).
Proses pengecekan unreferenced
attribute values merupakan pengecekan
nilai suatu nilai atribut namun tidak
pernah digunakan dalam aturan.
Contohnya, nilai atribut sebuah premis
dibedakan menjadi 3 yakni tinggi, sedang
dan rendah, dan terdapat 2 aturan dalam
pengetahuannya yaitu:
aturan 1: IF ketertarikan tinggi THEN
investasi dalam saham
aturan 2: IF ketertarikan rendah THEN
investasi dalam barang.
Dari kedua aturan tersebut, nilai referensi
sedang tidak pernah digunakan. Hal ini
berarti bahwa mungkin ada premis yang
hilang, ada aturan yang hilang, atau
atribut referensi sedang harus dibuang
dari daftar atribut referensi.
Pengecekan illegal attribute
values dapat dilakukan dengan
mencocokan nilai atribut setiap aturan
dengan nilai referensinya. Jika ada nilai
117
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
atribut yang tidak ada referensinya maka
nilai atribut tersebut ilegal. Seperti pada
contoh sebelumnya, jika terdapat:
aturan 3: IF ketertarikan tinggi AND
inflasi ting THEN investasi pada emas
maka aturan ini mempunyai nilai atribut
ting yang tidak mempunyai referensi
(ilegal).
Jika sebuah aturan mempunyai
konklusi intermediate dan konklusi dari
aturan tersebut tidak terdapat pada premis
aturan lain maka aturan tersebut
dikatakan memiliki unachievable
intermediate conclusion.
Sebuah goal akhir (final
conclusion) dikatakan tidak dapat dicapai
(unachievable) jika:
1. tidak ada query untuk premis dari
goal tersebut
2. dan premis dari goal tersebut tidak
berasal dari goal aturan lain.
Sebuah premis aturan (rule premise)
dikatakan tidak dapat dicapai
(unachievable) jika:
1. tidak ada query untuk premis tersebut
2. dan premis dari goal tersebut tidak
berasal dari goal aturan lain.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengecekan Redundant Rules
Tidak ditemukan adanya aturan
yang berlebih pada sistem ini. Hal ini
berarti tidak ada aturan-aturan pada
sistem ini yang memiliki premis yang
sama namun menghasilkan konklusi yang
saling mencakup satu sama lain. Hasil
pengecekan aturan-aturan berlebih dapat
dilihat pada gambar 1.
Gambar 1. Hasil pengecekan aturan-aturan berlebih
Pengecekan Conflicting Rules
Pengecekan aturan-aturan yang
bertentangan pada sistem pakar ini
menghasilkan kesimpulan bahwa terdapat
2 aturan yang saling bertentangan.
Aturan-aturan itu adalah aturan ATR017
dan ATR018 untuk jenis kerusakan
RSK01 (HP tidak dapat hidup/HP mati)
untuk handphone seri 33XX. Aturan
ATR017 memiliki premis yang sama
dengan ATR018 namun kedua aturan ini
memliki solusi yang berbeda yakni
ATR017 memilki solusi SLS017 dan
ATR018 memilki solusi SLS018.
Gambar 3 memperlihatkan hasil
pengecekan aturan-aturan yang
bertentangan.
118
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
Gambar 2. Hasil pengecekan aturan-aturan yang saling bertentangan
Pengecekan Subsumed Rules
Aturan-aturan yang saling
mencakup ini dapat dicek dengan
memilih opsi subsumed rules. Hasil
pengecekan memperlihatkan bahwa
aturan ATR015 mencakup aturan
ATR019. Hal ini dibuktikan dengan
premis dari aturan ATR015 mencakup
premis dari aturan ATR019 sedangkan
keduanya memeliki solusi yang sama
yakni SLS019. Kedua aturan ini terdapat
pada jenis kerusakan RSK01 untuk tipe
handphone 33XX.
Gambar 3. Hasil pengecekan aturan-aturan yang saling mencakup
Pengecekan Unnecessary Premis Clausa
Hasil yang diperoleh setelah
dilakukan pengecekan dengan fasilitas ini
adalah bahwa premis GJL021 pada aturan
ATR003 dan ATR025 merupakan
gejala/klausa yang tidak diperlukan
dalam pembentukan premis pada aturan
ATR003 dan ATR025. Kondisi saling
bertentangan dari klausa premis pada
kedua aturan ini menyebabkan hal
tersebut. Pada premis aturan ATR003
terdapat klausa NGJL021 sedangkan
pada ATR025 terdapat klausa YGJL021.
Kedua klausa ini saling bertentangan
karena yang satu menuntut perpenuhinya
gejala GJL021 sedangkan yang lain
meningkarinya. Gambar 4
memperlihatkan hasil pengecekannya.
Gambar 4. Hasil pengecekan klausa premis yang tidak diperlukan
Pengecekan Circular Rules
Pengecekan circilar rules tidak
menunjukan adanya aturan-aturan pada
sistem ini yang saling merujuk satu sama
lain. Hasilnya dapat dilihat pada gambar
5.
119
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
Gambar 5. Hasil pengecekan circular rules
Pengecekan Unachivable Premis
Hasil yang sama dengan
pengecekan circular rules ketika
dilakukan pengecekan pengecekan
premis-premis yang tidak terjangkau.
Artinya, semua premis dalam sistem ini
menjadi bagian dari aturan.
Gambar 6. Hasil pengecekan premis yang tidak terjangkau
Pengecekan Unachivable Goals
Hasil pengecekan membutikan
bahwa semua solusi yang ada pada sistem
pakar ini dapat dicapai melalui aturan-
aturan dari sistem. Gambar 7
memperlihatkan hasil pengecekannya.
Gambar 7. Hasil pengecekan unachivable goals
Pengecekan Unachievable Intermediate Goals
Pengecekan unachievable
intermediate goals tidak menemukan
adanya intermediate goals yang tidak
dapat dijangkau. Hal ini disebabkan oleh
tidak digunakannya intermediate golas
pada sistem ini. Semua goals yang
digunakan merupakan solusi final atas
kerusakan handphone. Hasil pengecekan
ini terdapat pada gambar 8.
Gambar 8. Hasil pengecekan unachievable intermediate goals
Pengecekan Unachievable Attribute Value dan Illegal Attribute Value
Untuk kedua pengecekan ini tidak
ditemukannya nilai atribut yang tidak
dapat dijangkau maupun nilai atribut
120
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
yang ilegal. Dalam sistem pakar ini, tidak
digunakannya nilai atribut yang bukan
merupakan fungsi fuzzy. Gambar 9, dan
gambar 10 menunjukkan hasil kedua
pengecekan ini.
Gambar 9. Hasil pengecekan unachievable attribute value
Gambar 10. Hasil pengecekan illegal attribute value
SIMPULAN
Sistem pakar deteksi kerusakan
handphone merupakan sistem pakar
berbasis aturan dimana pengetahuan dari
sistem ini disajikan dalam bentuk aturan-
aturan. Implementasi basis pengetahuan
ini diwujudkan dalam bentuk basis data.
Setiap elemen pengetahuan baik tipe
handphone, jenis kerusakan, gejala, solusi
dan aturan disajikan dalam bentuk tabel
dan relasi antartabel.
Untuk menjamin kehandalan dari
sistem pakar ini, dibuatlah sebuah
fasilitas pengecekan konsistensi dan
kelengkapan aturan. Hal ini dimaksudkan
agar setiap aturan memiliki kontribusi
yang unik dalam basis pengetahuan
sistem. Selain itu, setiap klausa
pembentuk aturan harus dijamin
digunakan dalam minimal satu aturan.
Pengecekan kelengkapan aturan
berfungsi untuk meminimalisir
kekurangan pengetahuan dalam inferensi
karena tidak diikutkannya sebuah aturan
dalam inferensi akibat dari tidak
terpicunya aturan tersebut karena
kesalahan referensi nilai atribut.
Dari hasil pengecekan pada basis
pengetahuan dari sistem pakar ini
diperoleh hasil sebagai berikut:
pengecekan konsistensi aturan berhasil
untuk semua jenis pengecekan
konsistensi, pengecekan kelengkapan
aturan untuk unachievable intermediate
goals, unachievable attribute value, dan
illegal attribute value tidak dapat
memberikan hasil karena tidak
digunakannya intermediate goals dalam
sistem pakar dan nilai atribut dari setiap
klausa tidak disajikan dalam variabel
lingistik yang bersifat fuzzy.
Untuk dapat mengecek
kelengkapan aturan pada jenis
121
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
pengecekan unachievable intermediate
goals, unachievable attribute value, dan
illegal attribute value maka sistem pakar
ini dapat dikembangkan sehingga nilai
klausa yang dapat diterima tidak hanya
berupa nilai crisp namun juga fuzzy.
DAFTAR PUSTAKA
Arman, M., Djanis Budi. 2004. Cara Praktis Mamperbaiki Ponsel. Gava Media. Yogyakarta.
Donel, Hendri. 2005. Kupas Tuntas Hardware handphone. Penerbit Vyctoria. Semarang. Giarratano, Joseph. 1993. Expert System, Principle and Programming, Second Edition.
PWS-Kent Publishing Company, Boston. Ignizio, James P. 1991. Introduction to Expert System, The Development and
Implementation of Rule-Based Expert System. McGraw-Hill, Inc. New York. Mola, Sebastianus A.S., 2010., Implementasi Backward Baseline Chaining pada Sistem
Pakar Diagnosis Kerusakan Handphone, Jurnal MIPA Undana volume 8 nomor 1, April 2010 ISSN 0216-583XX.
Mulyanta, Edi S. 2005. Kupas Tuntas Telepon Seluler Anda. Penerbit Andi. Yogyakarta. Turban, Efraim and Jay E. Aronson. 2000. Decision Support Systems and Intelligent
Systems. Prentice Hall Inc. New Jersey.
122