volume 04 issue 1 september 2017 - icel ... cetakan kedua, 2005, h. 19-86. suparto wijoyo, refleksi...

176
VOLUME 04 ISSUE 1 SEPTEMBER 2017

Upload: ngongoc

Post on 28-May-2018

215 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

VOLUME 04

ISSUE 1

SEPTEMBER 2017

VO

LU

ME

04

ISS

UE

1, S

EP

TE

MB

ER

20

17

i

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

Jurnal Hukum

lingkungan indonesia

Volume 4 Issue 1, September 2017

ISSN: 2355-1350

Indonesian Center for Environmental Law

Lembaga Pengembangan Hukum Lingkungan Indonesia

ii

Jurnal Hukum lingkungan indonesia

Vol. 4 Issue 1 / September / 2017ISSN: 2355-1350Website: www.icel.or.id/jurnalE-mail: [email protected]

Diterbitkan oleh:IndonesIan Center for envIronmental law (ICel)Jl. Dempo II no. 21, Kebayoran BaruJakarta Selatan 12120Telp. (62-21) 7262740, 7233390Fax. (62-21) 7269331

Desain Sampul : Suparlan, S.Sos.Tata Letak : Gajah Hidup

Redaksi mengundang para akademisi, pengamat, praktisi, mahasiswa dan mereka yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. Tulisan dapat dikirimkan melalui pos atau e-mail sesuai dengan ketentuan dalam Pedoman Penulisan (hal. ix)

DISCLAIMEROpini yang dimuat dalam Jurnal ini tidak mewakili pendapat resmi ICEL, melainkan merupakan pendapat pribadi masing-masing Penulis.

iii

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

r e d a k s I d a n m I t r a B e B e s t a r I

Dewan Penasehat

Dr. Mas Achmad Santosa, SH. LL.M.

Prof. Dr. Muhammad Zaidun, SH. M.Si.

Prof. Dr. Asep Warlan Yusuf, SH., M.H.

Indro Sugianto, SH. M.H.

Sandra Moniaga, SH., LL.M.

Ir. Yuyun Ismawati, M.Sc.

Dadang Trisasongko, S.H.

Penanggung Jawab

Henri Subagiyo, S.H., M.H.

Pemimpin Redaksi

Margaretha Quina, S.H., LL.M.

Redaktur Pelaksana

Grita Anindarini, S.H.

Sidang Redaksi

Laode M. Syarief, S.H., LL.M., Ph.D.Wiwiek Awiati, S.H., M.Hum.

Sukma Violetta, S.H., LL.M.Josi Khatarina, S.H., LL.M.

Rino Subagyo, S.H.Windu Kisworo, S.H., LL.M.

Prayekti Murharjanti, SH., M.Si.Feby Ivalerina, S.H., LL.M.

Dyah Paramitha, S.H., LL.M.Rika Fajrini, S.H., M.H.

Raynaldo G. Sembiring, S.H.Astrid Debora, S.H.Ohiongyi Marino, S.H.Isna Fatimah, S.H.Rayhan Dudayev, S.H.Wenni Adzkia, S.H.Fajri Fadhillah, S.H.Kemala Nababan, S.H.Shafira Anindia Alif Hexagraha, S.H.

Mitra Bebestari

Andri Gunawan Wibisana, S.H., LL.M., Ph.D.

Redaksi dan segenap Penulis Artikel mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan saran yang diberikan dalam

penyempurnaan Artikel Ilmiah yang diterima.

iv

v

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

P e n g a n t a r r e d a k s i

“Membedah Tantangan dalam Kerangka Gagasan Hukum dan

Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Hidup”

T antangan yang dihadapi pengarus-utamaan kebijakan lingkungan

tidak dapat semata diidentifikasi melalui seberapa banyak isu

lingkungan dalam komposisi kebijakan publik atau menyeimbangkan

dominasi pembangunan industrial dengan narasi pembangunan berkelanjutan.

Sebelum mengawal translasi kehendak politik, tugas besar dalam menjaga

harmonisasi berbagai elemen dalam lingkungan hidup saat ini adalah memastikan

bahwa medium hukum dan kebijakan lingkungan hidup bebas dari patologi

berpikir yang dapat meruntuhkan upaya-upaya konservatif maupun restoratif di

tengah laju kerusakan lingkungan yang harus dapat senantiasa diantisipasi.1

Karakter prinsipil dari hukum lingkungan pun menyediakan ruang

eksplorasi lebih lanjut. Sebagai salah satu subsistem hukum, hukum lingkungan

mengandung karakter paradoks yaitu ketidakpastian (uncertainty) dan probabilitas

dari lingkungan dan hukum yang bertugas menciptakan suatu tatanan yang

teratur. Karakter paradoks dalam hukum lingkungan tersebut terus bertumbuh

dalam suatu kecenderungan diferensiasi konstan dari tatanan ortodoks hukum

seperti tradisi, konsep, dan prosedur.2 Sebagai konsekuensinya, eksaminasi yang

sepatutnya dilakukan untuk membebaskan hukum dan kebijakan lingkungan

hidup dari patologi berpikir adalah penelaahan kritis yang diantaranya dilakukan

dengan menggeser paradigma dari penelahaan praktis terhadap hukum

lingkungan menjadi penelaahan praksis yaitu resiprositas observasi dan tindakan

yang saling menjaga relevansi antara teori dan kenyataan sosial.3

1 Michael M’Gonigle and Louise Takeda, The Liberal Limits of Environmental Law: A Green Legal Critique, 30 Pace Environmental Law Review, 2003, pp. 1005-1115, hlm. 1005.

2 Andreas Philippopoulos-Mihalopoulos, Absent Environments: Theorising Environmental Law and the City, (New York: Routledge, 2007), hlm. 24-25.

3 Paradigma ini ditawarkan sebagai basis dari proposal Green Legal Theory yang ditulis oleh Michael M’Gonigle dan Louise Takeda, Op.Cit, hlm. 1113. Selain Green Legal Theory, perkem-bangan studi hukum lingkungan juga ditopang oleh studi multidisiplin hukum (legal multi-disciplinary) sebagaimana yang ditulis dalam Michael G. Faure dan Nicole Niessen (ed.), En-vironmental Law in Development: Lessons from The Indonesia Experience, (Massachusetts: Edward Elgar Publishing, Inc., 2006), hlm. 4-6.

vi

Adanya paradoks tidak serta merta meniadakan area persinggungan. Hukum

lingkungan hendaknya selalu berupaya menjaga continuum yaitu menyeimbangkan

produk kekuasaan dengan terus melakukan katalisasi upaya emansipatoris melalui

kebijakan dan hukum lingkungan itu sendiri. Demikian, idealnya diharapkan

perubahan dapat terwujud secara efektif karena pewacanaan yang didorong oleh

dua polar kekuasaan tersebut.

Redaksi mengucapkan terima kasih kepada para Penulis yang telah

mendedikasikan waktu, tenaga dan pikirannya dalam menyelesaikan artikel ini

dan melakukan revisi berdasarkan masukan substantif dari penelaahan sejawat

dan Sidang Redaksi. Terima kasih juga kami ucapkan kepada segenap anggota

Sidang Redaksi yang telah menelaah dengan cermat dan memberikan masukan

substantif bagi tiap artikel. Tidak lupa kepada Mitra Bebestari edisi ini, Andri

G. Wibisana, S.H., LL.M., Ph.D. yang telah melakukan blind peer review terhadap

artikel dalam jurnal edisi ini.

Akhir kata, JHLI Vol. 4 Issue 1 (September 2017) ini tidak lepas dari kekurangan.

Redaksi mempersilakan semua pihak memberikan kritik dan masukan untuk

memperbaiki proses maupun substansi, maupun hasil akhir artikel yang dimuat

dalam jurnal ini.

Jakarta, September 2017,

Redaksi

vii

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

d a f t a r i s i

Redaksi & Mitra Bebestari ........................................................................................... iii

Pengantar Redaksi ......................................................................................................... v

Daftar Isi ........................................................................................................................ vii

Artikel Ilmiah

1. Tata Kelola Pertambangan dalam Kerangka Indonesia Incorporated

untuk Mewujudkan Negara Kesejahteraan

Dr. Suparto Wijoyo, S.H., M.Hum, ............................................................ 1

2. Audit Kepatuhan Terpadu dalam Pencegahan Kebakaran Hutan

dan Lahan

Lakso Anindito, S.H. ................................................................................. 31

3. Tantangan Tata Kelola Kebijakan Perubahan Iklim di Indonesia

(Studi Kasus: Komparasi Antara Penerapan Desentralisasi dan

Multi-Level Governance)

Rifka Sibarani, S.IP., M.A. ........................................................................... 61

4. Signifikansi Pendekatan Kehati-hatian dalam Pengaturan Organisme

Transgenik di Indonesia

Wahyu Yun Santoso, S.H., M.Hum., LL.M. ; Prof. Dr. Sunarto, M.S. ;

Prof. Dr. Ir. Edhi Martono, M.Sc. ; Dr. Harry Supriyono, S.H., M.Si. ....... 87

5. Peradilan Internasional dan Diplomasi dalam Sengketa Lingkungan Hidup

Andreas Pramudianto, S.H., M.Si. ........................................................... 111

Ulasan Peraturan: Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2017 tentang Rencana

Umum Energi Nasional

Grita Anindarini Widyaningsih, S.H. .................................................................... 139

Anotasi Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Bandung Mengenai Izin

Lingkungan Pembangkit Listrik Tenaga Uap Batubara (PLTU-B) 1x1.000 MW

a/n PT. Cirebon Energi Persada

Margaretha Quina, S.H., LL.M. ............................................................................... 153

Pedoman Penulisan Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia ................................... ix

viii

1

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

TaTa Kelola PerTambangan dalam KerangKa IndonesIa

IncorPoraTed unTuK mewujudKan negara KesejahTeraan

Oleh: Suparto Wijoyo1

Abstrak

Aspek yuridis tata kelola pertambangan diformulasi memberikan konstruksi

baru yang solutif bagi kesejahteraan rakyat. Tata kelola pertambangan yang

baik dapat menjadikan Indonesia sebagai superkoridor ekonomi dunia melalui

implementasi konsepsi Indonesia Incorporated. Gagasan ini dicitakan meneguhkan

karakter NKRI sebagai negara hukum berkesejahteraan rakyat dengan

memanfaatkan sumber daya pertambangan. Kajian normatif ini menghadirkan

kewajiban Indonesia yang memakmurkan rakyat dari sektor pertambangan

sedasar Pasal 33 UUD 1945.

Pengembangan Indonesia Incorporated dalam sistem hukum nasional

dimaksudkan untuk menyelenggarakan pertambangan bervisi negara

kesejahteraan. Hal ini mendorong dilakukannya penguatan pengaturan hukum

sebagai basis keabsahan kebijakan pertambangan yang berkerakyatan. Tata

kelola pertambangan dibingkai dalam piranti legal framework yang berkeadilan

sosial sebagai manifestasi negara kesejahteraan. Kegiatan pertambangan yang

tidak mensejahterakan rakyat niscaya kehilangan legitimasi filosofis (Pancasila),

konstitusional (UUD 1945), dan sosial. Tata kelola pertambangan mutlak berpijak

pada prinsip pembangunan berkelanjutan bagi kesejahteraan rakyat.

Kata Kunci: Indonesia Incorporated, negara hukum, negara kesejahteraan, tata

kelola pertambangan, pembangunan berkelanjutan.

1 Penulis adalah Dosen Hukum Lingkungan Fakultas Hukum Universitas Airlangga, dan Koor-dinator Magister Sains Hukum & Pembangunan Sekolah Pascasarjana, Universitas Airlangga

2

Abstract

Legal aspect of mining governance formulated to give solutive new contraction for

people welfare. Good mining governance can make Indonesia as the super corridor of world

economy through implementation of Indonesia Incorporated concept. This idea was created

to affirm the character of the Unitary State of the Republic of Indonesia as a rule of law

on the welfare of the people by utilizing mining resources. This normative study explains

Indonesia’s obligation to prosper the people from the mining sector under Article 33 of the

1945 Constitution.

The development of Indonesia Incorporated in the national legal system is intended to

conduct state welfare mines. It encourages the strengthening of legal arrangements as the

basis for the legitimacy of a sustainable mining policy. Mining governance is framed in a

legal justice framework as a manifestation of the welfare state. Mining activities that do not

prosper the people undoubtedly lose philosophical legitimacy (Pancasila), constitutional

(UUD 1945), and social. Mining governance absolutely stands on the principle of

sustainable development for people’s welfare.

Keywords: Indonesia Incorporated, state law, welfare state, mining governance,

sustainable development

I. Pendahuluan

Berbagai referensi yuridis dan ekologis telah memberikan deskripsi faktual

bahwa kekayaan tambang suatu wilayah, ternyata tidak serta-merta mensejahterakan

rakyat di daerah yang kaya bahan tambang.2 Kompleksitas permasalahan semakin

rumit dengan memasuki masa transisi atas berlakunya Undang-undang No. 23 Tahun

2 Berbagai pemberitaan media massa dapat dirujuk dan dapat dibaca Sukarno, Indonesia Menggugat: Pidato Pembelaan Bung Karno Dimuka Hakim Kolonial, SK. Seno, Djakarta, 1956, h. 63-67. Ignatius Haryanto dkk (Editor), Kehutanan Indonesia Pasca Soeharto: Reformasi Tanpa Perubahan, Pustaka Latin, Jakarta, 1998, h. 11-46. Kerry B. Collison, Indonesia Gold, Sid Har-ta Publishers, Australia, 2002, h. 449-486. Leontine E. Visser dan Amapon Jos Marey, Bakti Pamong Praja Papua, Kompas, Jakarta, 2008, h. 335-360. Freddy Numberi, Quo Vadis Papua, PT. Buana Ilmu Populer, Jakarta, 2013, h. 187-258 Frento T. Suharto, Menambang Kekayaan Dari Bisnis Emas Tanpa Mengeruk Alam, PT Elex Media Komputindo, Jakarta, 2014, h. 87-101. Suparto Wijoyo, Reklamasi itu Kebutuhan Siapa, Forum Keadilan, No. 22, 16 Oktober 2016. Weekly Sindo, Uji Nyali Freeport, No. 52 Tahun V, 27 Februari-5 Maret 2017.

SUPARTO WIJOYO

3

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda). Konflik kewenangan dan orientasi

ekonomi menyelimuti pengelolaan pertambangan yang tidak menguntungkan

rakyat dengan penegakan hukum (lingkungan) yang sangat lemah.3

Pemerintah daerah kabupaten/kota tidak pula memberikan fasilitasi dengan

melakukan pengorganisasian para penambang liar untuk diberikan solusi yuridis,

ekonomis dan ekologis sesuai dengan kaedah pembangunan berkelanjutan

(sustainable development). Pengabaian pengakuan terhadap hak-hak masyarakat

lokal, khususnya masyarakat hukum adat acapkali masih terjadi. Benturan

kepentingan antara penduduk lokal dengan perusahaan tambang merupakan

fenomena harian yang seringkali terlambat direspon, sehingga menimbulkan

disharmoni sosial.

Berbagai realitas pertambangan telah mendiskripsikan pula kurangnya

pendayagunaan sarana administrasi (dalam klausula perizinan) maupun

instrumen ekonomi yang berupa jasa lingkungan dan jaminan reklamasi sebagai

sarana legal pengelolaan pertambangan yang berwawasan lingkungan. Di banyak

daerah justru instansi pemerintah kabupaten/kota tidak menginternalisir biaya

lingkungan sebagai bagian dari manajemen pertambangan.4 Kenyataan ini sangat

rentan dengan tindakan korupsi di bidang pertambangan berupa pungli terhadap

alat angkut maupun volume bahan tambang.

Terdapat pula kecenderungan bahwa kepala daerah kabupaten/kota

melakukan pembiaran atas kerusakan areal pertambangan hanya semata-mata

karena alasan kewenangan yang sudah beralih ke pemerintah provinsi. Padahal

pejabat yang membiarkan kerusakan ekosistem berdasarkan Undang-undang

No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU

PPLH), dapat dikualifikasi sebagai pejabat yang melakukan tindakan kejahatan

3 Suparto Wijoyo, Penyelesaian Sengketa Lingkungan (Environmental Disputes Resolution), AUP, Surabaya, Cetakan Kedua, 2005, h. 19-86. Suparto Wijoyo, Refleksi Matarantai Pengaturan Hu-kum Pengelolaan Lingkungan Secara Terpadu, AUP, Surabaya, 2005, h. 4-14. Suparto Wijoyo, Karakteristik Hukum Acara Peradilan Administrasi, AUP, Surabaya, Cetakan Kedua, 2005, h. 34-67. Suparto Wijoyo, Kusebut Indonesia: Dari Keanekaragaman Menuju Keseragaman Hayati, AUP, Surabaya, 2012, h. 45-78. Kementerian Lingkungan Hidup, Himpunan Hasil-hasil Putu-san Pengadilan Tentang Tindak Pidana Lingkungan, KLH, Jakarta, 2007.

4 Suparto Wijoyo, Birokrasi Pungli Menghambat Biocracy, Koran Sindo, 25 Oktober 2016. Suparto Wijoyo, Menggugat Makna Negara, Jawa Pos, 1 November 2016. Suparto Wijoyo, Pentas Hukum dan Keadilan, Jawa Pos, 16 Desember 2016. Suparto Wijoyo, Menggugat Negara Soal Banjir, Jawa Pos, 13 Maret 2017.

4

lingkungan.5 Kenyataan demikian semakin memperburuk potret pertambangan

nasional di kancah perkembangan dunia yang sangat ekstrim.6

Kondisi faktual dunia saat ini menunjukkan adanya: pengurasan energi

yang terus diperebutkan, keamanan yang mengancam, konflik dan peperangan

yang masih mewarnai berbagai belahan bumi, bencana alam dan jihadist war,

pertumbuhan penduduk dan culture war, krisis pangan dan indentitas, terutama

kemiskinan yang melanda disetiap segmen geografis dunia.7 Terhadap hal ini

terdapat tulisan lama James Goldsmit, The Trap yang disampaikan dihadapan

2000 orang di Grand Amphitheatre Universitas Sorbonne, Paris bahwa:8

Setiap masyarakat di dunia modern sedang menghadapi problem rumit dan tidak

ada solusi yang sederhana dan universal. Tetapi banyak di antara problem ini

memiliki akar yang sama. Ilmu, teknologi dan ekonomi telah diperlakukan oleh

masyarakat modern ini sebagai tujuan itu sendiri, bukannya sebagai sarana

penting untuk meningkatkan kesejahteraan.

Meningkatnya pengangguran, kekerasan, kemiskinan, kemerosotan

lingkungan dan kesadaran umum bahwa telah terjadi kesalahan yang mendasar

dalam pengelolaan perekonomian negara seperti yang dilansir James Goldsmit

tersebut telah sampai pada tataran merenungkan kembali keberadaan negara

kesejahteraan yang dalam ungkapan Bjorn Hettne: Negara Kesejahteraan

Dipertanyakan. Peran negara dan pemerintah untuk mensejahterakan rakyat harus

ditata kembali dengan menyodorkan Paradigma Theory & Policy Making dalam

lingkup Good Corporate Governance. Dinamika dunia memang turut menentukan

pergerakan ekonomi suatu bangsa.9 Kebijakan pertambangan untuk kesejahteraan

5 Suparto Wijoyo, Tak Lelah Dirundung Bencana, Jawa Pos, 28 Desember 2016. Suparto Wijoyo, Negara Hukum Dalam Daulat Kuasa, Jawa Pos, 14 Januari 2017.

6 Diolah dari pemikiran James Canton, The Extreme Future, Alvabet, Jakarta, 2010, hlm. 68.7 Daniel, Yergin The Quest: Energy, Security, and the Remaking of the Modern World, The Penguin Press,

New York, 2011. George Friedman, The Next 100 years, Anchor Books, New York, 2009. Thomas L. Friedman, The World Is Flat: Sejarah Ringkas Abad Ke-21, Dian Rakyat, Jakarta, 2006, h. 67-98.

8 James Goldsmith, Perangkap, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1996, h.3. Suparto Wijoyo, Me-nyoal Legitimasi Reklamasi, Kompas, 4 Oktober 2016.

9 Bjorn Hettne, Teori Pembangunan Dan Tiga Dunia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001. Iida, Akira, Paradigm Theory & Policy Making: Reconfiguring The Future, TUTLE, 2004, h. 23-36. Eric Schlosser,, Command And Control, The Penguin Press, New York, 2013. Nicholas Mousis,, Guide to European Policies, 6th edition, European Study Service, BP29-B-1330 Rixensart, Belgium, 2000, h. 67-90. Meene van de, Ineke and Benjamin van Rooij, Access to Justice And Legal Empower-ment: Making the Poor Central in Legal Development Co-operation. Leiden University Press.

SUPARTO WIJOYO

5

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

rakyat, meminjam bahasa Alan Gart dirumuskan dalam ranah RDR, yaitu:

Regulation-Deregulation-Reregulation.10 Dengan RDR berarti konsepsi GCG (Good

Corporate Governance) sebagai tuntutan tata kelola pemerintahan modern tetap

berada dalam kerangka welfare state yang tetap bertumpu pada negara hukum

(rechtsstaat) sebagaimana diamanatkan UUD 1945. Permasalahannya adalah:

bagaimanakah mengimplementasikan konsepsi yuridis Indonesia Incorporated

dalam tata kelola pertambangan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat?11

II. Good Corporate Governance (GCG) Sektor Pertambangan Dalam

Konstelasi Bernegara

Konsepsi Good Corporate Governance (GCG) merupakan produk dari

perkembangan sejarah bernegara melalui peraturan perundang-undangan. Dasar

pemikiran ini dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 1: Evolusi Pergerakan GCG Menuju Indonesia Incorporated

Negara sebagai “a society politically organized” yang dalam pemikiran J.J.

Rousseau (1712-1778) merupakan resultan “The Social Contract”, tersusun

10 Gart, Alan, Regulation, Deregulation, Reregulation: The Future of the Banking, Insurance, and Se-curities Industries, John Wiley & Sons, Inc, 1994. Wijoyo, Suparto, Ilmu Hukum, Airlangga Universy Press, Surabaya, 2005, h. 37-47.

11 Pengkajian ini juga diinspirasi pembahasan dalam Al Gore, The Future, A Random House Group Company, 2013. Robert C. Guell,, Issues in Economics Today, McGraw-Hill, 2012. Tom Gorman, The Complete Ideal’s Guides, Economics, Prenada, 2009, 87-90.

Good Corporate Governance:INDONESIA INCORPORATED

Good Governance

Governance

NEGARA(State)

6

atas elementasi wilayah, rakyat, pemerintah maupun kedaulatan. Pemerintah

mengimplementasikan tujuan negara secara terorganisir12 dengan melakukan

tata kelola pemerintahan (governance) guna menjalankan tugas fungsional: “self-

organizing, interorganizational networking” yang berkarakter “interdependence,

resource-exchange, rule of the game, and significant autonomy from the state”.13 Tata

kelola negara dalam konsepsi governance pada perkembangannya harus mampu

menyelenggarakan kepentingan publik.

Sektor publik akhirnya menjadi pusat perhatian tata kelola pemerintahan

(“governance”) yang kemudian mendapatkan tambahan atribut “yang baik”,

sehingga disebut “good governance”. Negara pada akhirnya harus diterima sebagai

kenyataan publik untuk menjadi bagian integral yang saling bersinggungan pada

ruang governance dalam hubungan antar sektor:14

Gambar 2: Hubungan Antarsektor dalam Good Governance

12 Lihat Algra, N.E., at., all., Profiel van het Recht, Kluwer, 1999. Ash Garton, Timothy, Free World: America, Europe and the Surprising Future Of The West, Random House, Inc., New York, 2004, 104-157. Friedmann, W., The State And The Rule Of Law in a Mixed Economy, Stevens & Sons, London, 1971., h. 2-5. Francis Fukuyama, Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal, Qa-lam, Yogyakarta, 2001, h. 89-128.

13 Baca Francis E. Rourke, Bureaucracy Politics, and Public Policy, Little, Brownand Company, Bos-ton, 1976. Geoffrey Samuel,, The Foundations of Legal Reasoning, MAKLU, 1994. Ruud Lubbers, at.all., Inspiration for Global Governance: The Universal Declaration of Human Rights and the earth Charter, Kluwer, 2008. Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 2015.

14 Lembaga Administrasi Negara dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, Akuntabilitas dan Good Governance, Jakarta, 2000, h. 6-7. Laurence Boulle,, The Law Of Glo-balization An Introduction, Wolters Kluwer, 2009. Gill, Indermit S., and Todd Pugatch, At the Frontlines of Development Reflection From the World Bank, The World Bank, D.C., 2005. Soek-arwo, Meneguhkan Demokrasi Musyawarah Demi Kesejahteraan Rakyat, Orasi Pelantikan, Ge-dung Negara Grahadi, Surabaya, 2014. Ibid. Jimoh Omo-Fadaka, Development From Within, Dialogue, Vol. 11 No. 2, 1978, h. 59. Daoed Joesoef, Industrialisasi dan Pembangunan Manusia Pembangunan, dalam CSIS, Industrialisasi Dalam rangka Pembangunan nasional, Jakarta, 1982, h. 94. A.G. Pringgodigdo, Perjuangan Bangsa Indonesia Menegakkan Pancasila Dalam Masa Penjaja-han/Pendudukan Jepang, dalam Santiaji Pancasila, h.174.

State

SocietyPrivateSector

SUPARTO WIJOYO

7

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

UNDP memaparkan good governance sebagai hubungan yang sinergis dan

konstruktif antara negara, sektor privat dan masyarakat dengan mengajukan

karakteristik berikut ini: 15

1. Participation, setiap warga negara mempunyai suara dalam pembuatan

keputusan, baik secara langsung maupun melalui intermediasi institusi

legitimasi yang mewakili kepentingannya. Partisipasi seperti ini dibangun atas

dasar kebebasan berasosiasi berbicara serta berpartisipasi secara konstruktif.

2. Rule Of Law, kerangka hukum harus adil dan dilaksanakan tanpa pandang

bulu, terutama hukum untuk hak asasi manusia.

3. Transparency, transparansi dibangun atas dasar kebebasan arus komunikasi.

Proses-proses, lembaga-lembaga dan informasi secara langsung dapat diterima

oleh mereka yang membutuhkan. Informasi harus dapat dipahami dan dapat

dimonitor.

4. Responsiveness, lembaga-lembaga dan proses-proses harus mencoba melayani

setiap stake holders.

5. Consensus Orientation, good governance menjadi perantara kepentingan yang

berbeda untuk memperoleh pilihan terbaik bagi kepentingan yang lebih luas

baik dalam hal kebijakan-kebijakan maupun prosedur-prosedur.

6. Equity, semua warga negara, baik laki-laki maupun perempuan, mempunyai

kesempatan untuk meningkatkan atau menjaga kesejahteraan mereka.

7. Effectiveness and Efficiency, proses-proses dan lembaga-lembaga menghasilkan

sesuai dengan apa yang telah digariskan dengan menggunakan sumber-

sumber yang tersedia sebaik mungkin.

8. Accountability, para pembuat keputusan dalam pemerintahan, sektor swasta

dan masyarakat (civil society) bertanggungjawab kepada publik dan lembaga-

lembaga stake holder. Akuntabilitas ini tergantung pada organisasi dan sifat

keputusan yang dibuat, apakah keputusan tersebut untuk kepentingan internal

atau eksternal organisasi.

9. Strategic vision, para pemimpin dan publik harus mempunyai perspektif “good

governance” dan pengembangan manusia yang luas dan jauh kedepan sejalan

dengan apa yang diperlukan untuk membangun hal semacam ini.

15 LAN, op.cit.

8

Terdapat pemahaman esensial tentang “good governance” yang mencerminkan

ketertiban antarsektor dengan enam elemen utama “good governance” yang berupa:

The Rule of Law; The Rule of Integrity; The Rule of Transparency; The Rule of Participation;

The Rule of Accountability; dan The Rule of Value for Money.16 Tatanan pemerintahan

yang berbasis prinsip good governance ini kemudian berkembang dalam wadah

paradigmatik “good corporate governance” (GCG). Government yang bersendikan

GCG harus memperhatikan: “aturan main”, integritas, transparansi, partisipasi,

akuntabilitas dan bervisi keuangan secara yuridis tengah memasuki tren ekonomi

pada pusaran globalisasi yang dapat penulis gambarkan sebagai berikut:

Gambar 3: Karakter Substansial GCG

Tata kelola pemerintahan tidak lagi dapat dilihat secara parsial dan tradisional.

Sektor-sektor kehidupan publik yang menyangkut state tidak bisa lagi dilakukan

menurut standar organisasi pemerintahan konvensional, tetapi dengan menerima

kenyataan bahwa negara telah hadir sebagai “korporasi” yang menggerakkan

ekonomi global-nasional-lokal. Pergerakan ekonomi yang saling mempengaruhi ini

menandakan lahirnya public-sector reform dalam kerangka “corporation”, terutama

bidang perekonomian sebagai sektor yang sangat menguasai public-interest (dalam

bahasa Pasal 33 UUD 1945 “... yang menguasai hajat bidup orang banyak ...”).

16 The Civil Service Commission, Thailand, 1999. Sebagai tambahan Suparto Wijoyo, Hukum Lingkungan di Antara Para Pemalas, AUP, Surabaya, 2012, h. 68-143.

Aturan main(rule of law)

Integritas

Transparansi Partisipasi

Society

Private Sektor

State-Public Sektor

Keuangan:PembiayaanEkonomiPublik

Akuntabilitas

SUPARTO WIJOYO

9

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

GCG hadir mendorong ekonomi global terus bergulir, termasuk di sektor

pertambangan nasional,17 dan melahirkan “the emerging global economy” di berbagai

negara.18 Ekonomi dunia dengan sendirinya bergerak menuju apa yang dinamakan

“breaking boundaries”, dan hadirlah “competition policy in a change world” perdagangan

dalam segala tingkatannya.19 Tata kelola pertambangan model Undang-undang

No. 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) dalam

dinamikanya wajib membuka ruang “politic and social opportunities” sebagai

bagian dari pengambilan “the strategy and the feasibility of (Toward) Social Welfare”

untuk kepentingan Rakyat. Negara dengan struktur birokrasi dalam membentuk

public policy mesti menyadari untuk selalu melakukan improvement sebagai suatu

korporasi guna membangun corporate culture for sustainable growth, karena memang

selalu ada development challenges.20

III. Fungsi Negara Sebagai Korporasi Untuk Mewujudkan

Indonesia Incorporated Sektor Pertambangan

Sebagaimana negara-negara lain di dunia yang merumuskan tujuan negara

dalam konstitusinya, Indonesia menetapkan tujuan negara yang secara konstitusional

harus diwujudkan. Tujuan NKRI dituangkan dalam Pembukaan UUD 1945 adalah

“... melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk

memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan

17 Soekarwo dkk, Pakde Karwo Pintu Gerbang MEA 2015 Harus Dibuka, Kencana, Prenada Media Group, Jakarta, 2015, h. 545-580. The Wordlwatch Institute, State Of The World Our Urban Fu-ture, W.W. Norton & Company, New York-London, 2006, h. 67-98. Kohli, Atul, State-Directed Development, Political Power and Industrialization in the Global Periphery, Cambridge University Press, 2004, h. 109-116.

18 Merit E. Janow, at.all., The WTO: Governance, Dispute Settlement & Developing Countries, Juris Publishing, Inc., 2008. Hwan-Yun Kim, Local Government Finance and Bond Markets, Asian De-velopment Bank, 2003. Suparto Wijoyo, Otoda Dari Mana Dimulai?, AUP, Surabaya, 2005, 25-63.

19 Joseph E. Pattison, Breaking Boundaries, Peterson’s Book, New Jersey, 1996. Nicholas Moussis, Guide To European Policies, European Study Service, 2000. Suatu bacaan yang menarik men-genai hal ini juga adalah Laurence Boulle,, The Law Of Globalization An Introduction, Wolters Kluwer, 2009, h. 67-90.

20 Robert C. Guell, Issues in Economics Today, McGraw-Hill, 2012. Jerald Hage, and Charles H. Powers, Post-Industrial Lives: Roles and Relationships in the 21st Century, SAGE, London, 1992, h. 32-57. CHR. Jimmy L. Gaol,, A to Z, Human Capital: Manajemen Sumber Daya Manusia: Konsep, Teori, Dan Pengembangan Dalam Konteks Organisasi Publik Dan Bisnis, PT. Grasindo, Jakarta, 2014, h. 76-98. Pakde Karwo, Pintu Gerbang ... op.cit., h. 3-34.

10

ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial ...”.

Tujuan ini mendapatkan landasan ideologis bahwa pencapaiannya harus dipandu

dengan dasar filosofis (philosofische gronslag) Pancasila.

Pemerintah mendapatkan amanat ideologis dan konstitusional untuk

mewujudkan tujuan negara dengan konsepsi yang dewasa ini memasuki babak

GCG. Terhadap hal ini secara yuridis-ekonomi terdapat pemikiran sistematis yang

disodorkan W. Friedman dalam The State and The Rule of Law in A Mixed Economy.

Dikemukakan bahwa terdapat empat fungsi negara dalam ekonomi campuran

yang dapat digambarkan dengan grafis seperti di Gambar 4.21

Keempat fungsi negara bukan untuk dibenturkan tetapi disinergiskan,

terutama di sektor pertambangan. Negara dibentuk memang untuk menyediakan

layanan publik (public-services) bagi rakyatnya dengan fungsi provider, sekaligus

harus mengendalikan perilaku ekonomi dalam bingkai fungsi controller, termasuk

pada aktivitas badan usaha milik negara (BUMN) – public sectors atau swasta

(BUMS) – private sector, karena negara berfungsi selaku entrepreneur dengan tetap

menjamin keadilan bagi seluruh pelaku ekonomi, mengingat negara memangku

juga fungsi umpire.

Gambar 4: Fungsi Negara dalam Pembangunan Ekonomi

21 Diolah dari pemikiran W. Friedmann, The State And The Rule Of Law in a Mixed Economy, Stevens & Sons, London, 1971, h. 24-99.

•Negara memainkan fungsi sebagai penyedia social services

•Negara menyelenggarakan perannya selaku social welfare state

•Menyediakan perangkat legislatif, administratif dan peradilan untuk mewujudkan keadilan bagi seluruh pelaku ekonomi termasuk negara sebagai enterprises

•Negara melakukan peran sebagai controller: the power to regulate

•Melakukan kontrol eskpor-impor, industrial licensing control, dll

•Mengoperasikan sektor ekonomi tertentu

•Negara memiliki korporasi serta menjamin keseimbangan sektor publik dan privat

The State as Regulator

The State asEntrepreneur

The State asProvider

The State asUmpire

SUPARTO WIJOYO

11

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

Negara memainkan peran dalam menciptakan keseimbangan seluruh dunia

usaha (enterprise) agar “public and private power” tidak saling menjatuhkan, tetapi

mendukung demi terwujudnya “balance between public and private enterprise”.

Fungsi NKRI secara ekonomi dalam pikiran W. Friedmann sebenarnya telah

diformulasikan UUD 1945. Norma hukum yang tercermin dalam Pasal 33 UUD

194522 memberi pesan fundamental mengenai penyelenggaraan perekonomian

nasional “... yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak

dikuasai oleh negara; kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara

dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat; dan perekonomian nasional

diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi

berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga

keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”.

Pasal 33 UUD 1945 mengalirkan pandangan bahwa pada hakekatnya negara

harus hadir dan dirasakan keberadaannya oleh rakyat. Dalam perkembangan

perekonomian global sejak abad ke-20 dan awal abad ke-21 ini, jelaslah bahwa

the state as entrepreneur-corporation yang bertumpu pada prinsip-prinsip GCG

berkewajiban memberi yang terbaik pada rakyatnya. Cita konstruktif demikian

dalam tindakan negara dihadirkan untuk “melayani rakyat” layaknya hubungan

“produsen-konsumen” atau “korporasi bisnis dengan customers”. Hubungan

demikian mengacu pada bahasa David Straker masuk pada lingkup The Quality

Conspiracy. Negara sebagai korporasi memberikan jaminan mutu hidup yang

berkualitas kepada rakyat yang multi perspektifnya diolah dari David Straker dan

tersajikan berikut ini:23

Gambar 5: Mutu Hidup yang Berkualitas Bagi Rakyat

22 Terhadap hal ini sebaiknya dibaca Mohammad Hatta, Penjabaran Pasal 33 UUD ’45, Muti-ara, Jakarta, 1980. Mohammad Hatta, Politik, Kebangsaan, Ekonomi (1926-1977), Kompas, 2015. Mohammad Hatta, Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun: Gagasan & Pemikiran, Kom-pas, 2015. LP3ES, Karya Lengkap Bung Hatta, Jakarta, 2015, 43-98.

23 Diolah dari pemikiran dan gagasan Straker, David, The Quality Conspiracy, Gower, 1998, h. 12-53.

BUSINESS - CUSTOMERSPEMBERIAN TERBAIK:

TOTAL OFFERING - PROCESSES

PEOPLE - LEADERSHIP

•Business: profit = revenue - cost

•Customers: satisfied or delighted

•Total Offering: superior product + price + delivery + communication

•Processes:effective and efficient

•People: able and motivated•Leadership: committed and

consistent

12

Pikiran dasar yang ditawarkan David Straker dapat menjadi pedoman yang

dapat digunakan untuk menyelenggarakan tata kelola pertambangan dengan

melakukan “policy change in public sector reforms”.24 GCG yang dibarengi dengan

kemampuan paradigmatik keterpaduan pengelolaan ekonomi negara secara

korporatif yang integral menjadikan model Good Corporate Governance System

sebagai GCG integratif, dimana dominasi keterpaduan menjadi orientasi penting

membangun pertambangan nasional. Interkoneksi antar sektor ekonomi maupun

antar wilayah dibangun dengan komitmen dan konsistensi kepemimpinan yang

mampu memberikan “jalan alternatif” (jalan lain) adanya keterpaduan fungsi-

fungsi negara sebagai provider, regulator, dan korporasi maupun wasit. Pola

pemikiran ini digambarkan sebagai berikut:25

Gambar 6: Kepemimpinan dalam Keterpaduan Fungsi Negara

Tindakan pemerintahan tidak boleh terpisah dengan kebutuhan publiknya

(integral bestuur), karena semua urusan negara menjadi tanggungjawab pemerintah

yang menyentuh kepentingan pasar dengan tindakan yang patut (“behoorlijkheid”).

Dengan demikian negara melakukan pengaturan (“command”) dan pengawasan

24 Sebagai tambahan dapat dibaca Jacques Laffont, Jean, Regulation and Development, Cam-bridge University Press, UK, 2005. Richard J. Pierce, JR, Regulated Industries In A Nutshell, West Publishing CO, 1984, h. 56-99.

25 Diolah dari berbagai referensi, Jonah Goldberg, Liberal Fascism: The Secret History of the Ameri-can Left from Mussolini to the Politics of Meaning, Doubleday, 2007, h. 154-212. Tom Gorman, The Complete Ideal’s Guides, Economics, Prenada, 2009. Habermas Jurgen, Teori Tindakan Komunika-tif Buku Satu: Rasio dan Rasionalisasi Masyarakat, Kreasi Wacana,Bantul, 2012. Craig Burnside, (Editor), Fiscal Sustainability in Theory and Practice, The World Bank Washington D.C., 2005.

Leadership: committed and

consistentEntrepreneur

Provider

Regulator

Umpire

SUPARTO WIJOYO

13

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

(“control”) dalam segala dimensinya, khususnya jalannya perekonomian agar tetap

terjamin adanya “the stability and the sustainability”.26 Hal demikian harus dibarengi

dengan perubahan paradigma pemimpin yang secara psikologis menurut Carol S.

Dweck lazim disebut “change your mindset change your life”. Pengelola kekayaan

tambang harus membuka diri dari keterikatan birokratik yang kaku menjadi

birokrat yang responsif.27

Untuk memudahkan pemahaman atas peran birokratik dalam pemerintah

yang terpadu dalam mempersiapkan hadirnya (state) incoproprated sektor

pertambangan adalah dengan cara: (i) membangun tata kelola pemerintahan yang

terpadu dalam segala prosedur birokratiknya; (ii) memberikan jaminan stabilitas

ekonomi dengan pertumbuhan dan pemerataan yang inklusif; (iii) pasar yang

kondusif bagi produksi pertambangan dengan daya beli masyarakat yang terus

bergerak serta infrastruktur yang memadai; (iv) jajaran birokrasi yang responsif

dengan kemudahan pelayanan yang ramah investasi; dan (v) pengaturan yang

berkepastian hukum dengan implikasi negatifnya berupa persepsi munculnya

“negara yang terlalu turut campur”.

Manajemen pertambangan yang mengkorporasikan fungsi negara memang

akan menimbulkan kesan hadirnya “interventionist state”.28 Terhadap hal demikian

ini dapat dikemukakan pandangan W. Friedmann di atas yang menyebut negara

aktif (“the active state”). Negara memang harus aktif atau responsif (dalam

ungkapan leluhur “tanggap ing sasmito”) dalam melayani rakyat melalui

regulasi untuk mengatasi problem “equality and fair competition” di sektor

pertambangan. Penataan ini tentu saja dengan jejaring “administrative justice”

maupun “government policy”.29

26 Beberapa pustaka dapat dirujuk, antara lain A.J. Hoekema et.al., Integraal Bestuur, Amster-dam University Press, 1998, h. 67-98. R. Crince Le Roy,, Bestuur en Norm, Kluwer-Deventer, 1986, h. 12-45. Richard A. Posner, Economic Analysis Of Law, Little, Brown and Company, 1992. Heemskerk W.H., Vorm en Wezen, Uitgeverij LEMMA B.W., Utrecht, 1991.

27 Carol S. Dweck,, Cara Baru Melihat Dunia Dan Hidup Sukses Tak Berhingga, Serambi Ilmu Se-mesta, 2007.

28 Secara khusus dapat dibaca Jonah Goldberg, Liberal Fascism: The Secret History of the American Left from Mussolini to the Politics of Meaning, Doubleday, 2007. Michel Foucault, Kegilaan dan Peradaban, Madness and Civilization, Ikon Teralitera, Yogyakarta, 2002, h. 67-98.

29 Fritjof Capra, Titik Balik Peradaban: Sains, Masyarakat dan Kebangkitan Kebudayaan, Yayasan Ben-tang Budaya, Yogyakarta, 1997, 145-187. Graydon Carter,, What We’ve Lost, Little, Brown, 2004. Kerry B. Collison,, Indonesian Gold, Sid Harta Publishers, Australia, 2012. Budi Sulistyo, dkk., MDGs Sebentar Lagi: Sanggupkah Kita Menghapus Kemiskinan Di Dunia?, KOMPAS, Jakaarta,

14

Kecenderungan tata kelola tambang dengan konstruksi GCG harus dibarengi

leadership yang berkomitmen mensejahterakan rakyat dalam figur Indonesia

Incorporated. Negara dikorporasikan dalam makna tata kelolanya yang mampu

memadukan antara sektor publik-privat dan sosial. Dalam lingkup demikian

terdapat tulisan Declan Hayes, Japan’s Big Bang: The Deregulation and Revitalization

of The Japanese Economy yang mengulas secara komprehensif mengenai Japan Inc.30

Kehadiran Jepang sebagai supremasi ekonomi dunia melalui export-oriented

products: cars, cameras, electrical goods dan sebagainya tidak lepas dari perombakan

paradigma perekonomiannya menjadi Japan Incoporated. Ekonomi dibangun

dengan membuka akses dan kesempatan untuk mentransformasi corporate

culture antara dunia usaha publik-privat dan sosial. Pemerintah mengambil peran

sebagai pembuat kebijakan ekonomi yang tergolong “overall guidelines” sebagai

wujud “government-guaranteed” yang dituangkan dalam wujud “administrative

guidance”. Konstruksi Japan Inc. terbangun dengan sikap solidaritas kelompok dan

pemimpin yang cerdas serta patriotik sebagai syarat utamanya.31

Gambar 7: Konstalasi Pergerakan Menuju Indonesia Incorporated

2010. Terutama lagi adalah Timothy Ash Garton,, Free World: America, Europe and the Surprising Future Of The West, Random House, Inc., New York, 2004. Ahmad Asnawi,, Sejarah Para Filsuf Dunia: 90 Pemikir Terhebat Paling Berpengaruh di Dunia, Indoliterasi, Yohyakarta, 2014.

30 Declan Hayes, Japan’s Big Bang: The Regulation and Revitalization of the Japanese Economy, Tuttle, Boston, 2000. Francis Fukuyama, Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal, Qalam, Yogya-karta, 2001. Francis Fukuyama, The End of History and The Last Man, Qalam, Yogyakarta, 2003. Francis Fukuyama, Trust: Kebajikan Sosial Dan Penciptaan Kemakmuran, Qalam, Yogyakarta, 2010.

31 Sayidiman Suryohadiprojo, 2012 dan juga lihat ibid dan M. Harvey Brenner,, Pengaruh Eko-nomi Terhadap Perlaku Jahat dan Penyelenggaraan Perailan Pidana, CV. Rajawali, Jakarta, 1986. Eka Budianta, Moral Industri, Laporan dan Renungan, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1999, h. 67-90.

Administrative guidance:Kepemimpinan yang cerdas

Solidaritas kelompok (gotong royong - kesetiakawanan)Patriotik (kepahlawanan-nasionalisme)

Sektor publik

Administrative guidance:Kepemimpinan yang cerdas

Solidaritas kelompok (gotong royong - kesetiakawanan)Patriotik (kepahlawanan-nasionalisme)

Sektor Privat

Administrative guidance:Kepemimpinan yang cerdas

Solidaritas kelompok (gotong royong - kesetiakawanan)Patriotik (kepahlawanan-nasionalisme)

Sektor sosial

SUPARTO WIJOYO

15

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

Makna suatu negara menjadi incorporated dengan rumusan konsepsional

administrative guidance; kepemimpinan yang cerdas; solidaritas kelompok, dan

patriotisme tertuang dalam Gambar 7 tersebut. UUD 1945 memberikan optimisme

bahwa Indonesia Incorporated dapat diwujudkan karena masyarakat Indonesia

sesungguhnya memiliki watak dasar yang dipersyaratkan dalam tatanan

Indonesia Incorporated tersebut, yaitu: solider (kesetiakawanan dan gotong

royong), serta patriotik (kepahlawanan-nasionalisme) dengan kepemimpinan

yang visioner.32 Regulasi pertambangan dalam jiwa Indonesia Incorporated harus

bermanfaat dan berorientasi kesejahteraan rakyat. Praktik pertambangan selama

ini belum memberikan “kesejahteraan rakyat” sesuai Pasal 33 UUD 1945.

Kreasi hukum pertambangan dalam kontektualitas Indonesia Inc. disusun

sesuai dengan esensi negara kesejahteraan dengan hukum yang berkeadilan.

Ini merupakan wujud pengembangan corporate culture, solidaritas atau gotong

royong serta patriotisme alias nasionalisme. Sehubungan dengan hal ini, nilai-nilai

kepercayaan menjadi penentu langkah praktis yang terus dikembangkan guna

merealisasi agenda kolektif terwujudnya Indonesia Inc. Langkah dan upaya

itu selanjutnya dilakukan dengan memperkuat moralitas segitiga timbal balik

berikut ini:

Gambar 8: Segi Tiga Moralitas Pertambangan untuk Indonesia Incorporated

32 Dapat dibaca A. Appadorai, The Substance of Politics, Ninth Edition, Oxford University Press, Amen House, London E.C.4, 1961 p. 63. Warren, Leinenweber and Andersen, Our Democary at Work, Second Edition, Prentice-Hall, INC, Englewood Cliffs, N.J., 1967, p.477-480. United States Information service, Embassy of the United States ff America, Deklarasi Kemerdekaan, 200 Tahun Undang- Undang Dasar Amerika Serikat, tth. H. 1-6. Philip Selznick, Law, Society, and Industrial Justic, Russel Sage Foundation, 1969; I.T. Smith and Sir John C. Wood, Industrial Law, Butterworths, London, 1980; S. Takdir Alisjahbana (Ed), Dasar-dasar Kerisis Semesta dan Tanggung Jawab Kita, Dian Rakyat, Jakarta, 1984; dan Y.B. Mangunwijaya, Teknologi dan Dam-pak Kebudayaannya, Vo. I dan II, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1993.

Trust & Relationship

Leadership & Partnership Solidarity -Nasionalism

16

IV. Menata Pertambangan yang Meneguhkan Negara Kesejahteraan

Dalam semangat mewujudkan Indonesia Incorporated dibutuhkan langkah

mengkonstruksi hukum yang mampu mendorong percepatan realisasi ketentuan

Pasal 33 UUD 1945. Membuat legal framework di bidang perekonomian secara tepat

dan kontekstual bagi kesejahteraan rakyat merupakan pilihan solutif. Mengingat

tata kelola tambang selama ini memberikan data yang sangat memprihatinkan,

antara lain: (a) memburuknya kualitas lingkungan akibat pertambangan; (b)

kesenjangan ekonomi semakin menganga; (c) bagi hasil yang tidak proporsional

antara pusat dan daerah; (d) kemiskinan meningkat di daerah kaya tambang;

(e) konflik sosial yang terus mewarnai dunia pertambangan; (e) penguasaan

areal tambang yang tidak sesuai dengan hukum (UU Minerba, UU Agraria,

UU Kehutanan, UU Perkebunan, dan UU Konservasi Tanah); (f) pelanggaran

tata ruang di bidang pertambangan (merujuk UU No. 26 Tahun 2007 tentang

Penataan Ruang); (g) tumpang tindih regulasi antara pengaturan pertambangan

dengan pemerintahan daerah (UU Minerba vs UU Pemda); (h) pelanggaran

hukum pertambangan secara sengaja maupun akibat ketidakpahaman (seperti

pengabaian pengenaan jaminan pertambangan, reklamasi pasca tambang, dan

jasa lingkungan); (i) meluasnya pungutan liar; dan (j) degradasi lingkungan yang

semakin masif. 33

Untuk itulah tata kelola pertambangan, meminjam bahasa Alan Gart saatnya

dikonstruksi dalam konsep RDR, yaitu: Regulation-Deregulation-Reregulation.34

RDR ditawarkan mampu memberikan ruang dinamik menata sektor pertambangan

33 Berbagai bahan pemberitaan mengenai data ini dapat diikuti dari beragam media massa sep-erti: Tempo, “Lobi Emas Freeport-Istana”, 19-25 Oktober 2016. Tempo, Goyang Mundur Setya, 21-27 Desember 2016. Tempo, “Morat Marit Paket Ekonomi”, 11-17 Juli 2016. Times, “Bumi Meleleh”, 8-14 Juni 2015. Sindo Weekly, “Uji Nyali Freeport”, 5 Maret 2017, dan ikuti pemberi-taan Koran KOMPAS, Republika sepanjang tahun 2017 ini saja akan dapat diketahui betapa memburuknya tata kelola pertambangan nasional.

34 Alan Gart, Regulation, Deregulation, Reregulation: The Future of the Banking, Insurance, and Secu-rities Industries, John Wiley & Sons, Inc, 1994. RDR pada mulanya memang hanya disodorkan untuk merespon percepatan gerak dunia perbankan, asuransi dan securities industries dengan pangsa pasarnya yang terus bergerak progresif Robert H. Lauer, Perspektif tentang Perubahan Sosial, (Terjemahan Alimandan S.U.), Rieneka Cipta, Jakarta, 1993, h. 409-415, CSIS, op.cit h. 59-117. Jimoh Omo-Fadaka, Development From Within, Dialogue, Vol. 11 No. 2, 1978, h. 59.

SUPARTO WIJOYO

17

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

dengan ketepatan pengambilan kebijakan ekonomi pada laju ekspresif GCG (Good

Corporate Governance) dengan pijakan regulasi yang selalu tepat. William Safire

dalam karyanya The Right Word in The Right Place at The Right Time mengajarkan

perlunya legal framework pertambangan yang: tepat kata (perumusannya), tepat

tempat (wilayahnya), dan tepat waktunya.35 Perpaduan konsep “DRD” dan “tiga

ketepatan” dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 9: RDR Alan Gart dan Tiga Ketepatan William Safire

RDR dengan prinsip “Tiga Ketepatan” merupakan tuntutan tata kelola

pertambangan yang berada dalam kerangka welfare state sebagaimana diamanatkan

UUD 1945. Rekonstruksi norma tata kelola pertambangan yang tersebar di bidang

investasi, market economy, korporasi, moda transportasi, distribusi, perbankan,

keuangan, asuransi, industri, perdagangan, ekspor impor, 36 dan sektor lainnya mutlak

segera dilakukan, karena terdapat cenderungan hanya untuk “mengeruk kekayaan

alam demi peningkatan PAD (pendapatan asli daerah)”. Potret ini sudah diketahui

publik, sehingga perlu diadakan evaluasi (deregulasi) sekaligus reregulasi.

Rekonstruksi terhadap perumusan, penetapan dan pelaksanaan kebijaksanaan

dapat dimengerti dari konsep legal policy yang dikemukankan Petrazycki:37 “The

35 William Safire, The Right Word in the Right Place at the Right Time, Simon & Schuster, New York, 2004, h. 240-287.

36 Joseph A. Schumpeter, Capitalism, Socialism & Democracy, Pustaka Pelajar, 2003. Peter, Senge, at.all., The Necessary Revolution: How Individuals and Organizations Are Working Together to Cre-ate a SustainableWorld, Nicholas Brealey, London, 2008. Dani W. Munggoro, dkk., Menggugat Ekspansi Industri Pertambangan di Indonesia, LATIN, Bogor, 1999. P. Dvorin, Eugene and Rob-ert H. Simmons, Dari Amoral sampai Birokrasi Humanisme, Prestasi Pustakaraya, Jakarta, 2000.

37 Alan B. Mountjoy, Industrialisasi dan Negara-negara Dunia Ketiga, (Alih Bahasa D.H. Gulo), Bina Aksara, Jakarta, 1983. Margareth M. Poloma, Sosiologi Kontemporer (Terjemahan YAS-OGAMA), Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994, h. 380, 387-389. J.B.J.M. Berge Ten, Bescherm-

Perkembangan Ekonomi Global - Regional - Nasional - Lokal

Negara Kesejahteraan

RDR yang merefleksikan The Right Word in The Right Place at The Right Time

18

essence of the problem of the policy of law consists in scientifically justified prediction of the

effect if certain legal enactments are introduce and elaborating principles which will bring

about some desirable effect”. Perputaran pembaruan hukum di sektor pertambangan

dengan RDR yang dikaitkan dengan kebijakan publik perekonomian suatu negara,

dapat dituangkan dalam siklus skematis di bawah ini:

Gambar 10: Perputaran Pembaruan RDR Pertambangan Berkelanjutan

Dewasa ini RDR telah dilakukan untuk melaksanakan GCG di bidang

pertambangan. Penerbitan Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2017 tentang

Perubahan Keempat Atas PP Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan

Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, tertanggal 11 Januari 2017 berikut

aturan turunannya, merupakan penjelmaan konsepsi RDR-GCG tata kelola

pertambangan. PP No. 1 Tahun 2017 yang ditindaklanjuti dengan hadirnya Permen

ESDM No. 5 Tahun 2017 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral melalui Kegiatan

Pengolahan dan Pemurnian Mineral di dalam Negeri dan Peraturan Menteri ESDM No.

6 Tahun 2017 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pemberian Rekomendasi Pelaksanaan

Penjualan Mineral ke Luar Negeri Hasil Pengolahan dan Permurnian, dapat dipahami

sebagai keseriusan Pemerintah mengurai ragam kepentingan pertambangan.38

ingtegendeoverheid, W.E.J. Tjeenk Willink Zwolle, 1993. Velix V.Wanggai, Pembangunan Untuk Semua: Mengelola Pembangunan Regional a la SBY, Indomultimedia Communication Group, 2012. Richard A. Wasserstrom, Morality and the Law, Wadsworth Publishing Company, Inc., Bellmont, California, 1971.

38 Pengaturan tambang (terutama kasus Freeport) mengenai kewajiban divestasi 51% meru-pakan bentuk reregulasi pertambangan. Masalah divestasi 51% ini berdasarkan Pasal 24

Reregulasi (Reformulasi)

Implementasi dan Evaluasi

Regulasi (Formulasi)

DeregulasiImplementasi dan Evaluasi

SUPARTO WIJOYO

19

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

RDR untuk pertambangan di negara kesejahteraan dalam bingkai Indonesia

Incorporated, dapat digambarkan seperti di bawah ini:

Gambar 11: Rute Perwujudan RDR dalam Pertambangan Berkelanjutan Indonesia Incorporated

Apa yang menjadi ukuran suatu negara dinamakan negara kesejahteraan?

Secara teoritis, menurut Bismarck, keberhasilan penerapan Negara Kesejahteraan

diukur dari tiga variabel, yaitu:39 (1) pemenuhan kebutuhan biologis warga, (2)

pemenuhan kebutuhan pengembangan diri dan sosial warga serta (3) ketersediaan

fasilitas umum bagi warga.40 Kesejahteraan akan tercipta secara teoritis bersentuhan

dengan tiga dimensi: politik, sosial, dan ekonomi. Indonesia Inc. sejatinya

menggulirkan konsepsi bahwa negara harus hadir membuat kebijakan ekonomi

untuk kesejahteraan rakyat, serta membuka akses secara adil dan keterbukaan

pemerintahan (openbaar bestuur).41

Kontrak Karya (KK) tahun 1991, sebenarnya harus tuntas tahun 2011. Dalam KK ini, Freeport dibahasakan oleh hukum telah melakukan wanprestasi, mengabaikan isi perjanjian yang telah disepakati sendiri. Hadirnya kebijakan pertambangan yang telah diperbuat Pemer-intah dimaksud secara konstitusional hendak memperkuat peneguhan diri sebagai negara kesejahteraan dengan semangat Indonesia Incorporated terus dimatangkan. Perkembangan dinamik fungsi pemerintah dalam perekonomian negara kesejahteraan yang berkomitmen mewujudkan Indonesia Incorporated telah membawa catur fungsi negara berjalan paralel.

39 Tri Widodo, “MEA dan Jawa Timur”, dalam Soekarwo, Soekarwo dkk., Pintu Gerbang MEA 2015 Harus Dibuka, Prenada Media Group, Jakarta, 2016, h. 39-57.

40 Mahmud Syaltout, “Negara Kesejahteraan dan Posisi Jawa Timur”, dalam Soekarwo dkk., Pintu Gerbang MEA 2015 Harus Dibuka, Prenada Media Group, Jakarta, 2016, h. 87-90.

41 James Garvey, 20 Karya Filsafat Terbesar, Kanisius, Yogyakarta, 2010. H.L.A. Hart, Law Liberty-And Morality: Hukum, KebeasanDan Moralitas, Genta Publishing, PO.BOX 1095 YK-55000, 2000.

RDR Legal Framework Substansi

StrukturKulturNegaraKesejahteraan

IndonesiaIncorporated

KesejahteraanRakyat

PerekonomianBerkelanjutan

PERTAMBANGANDALAM

PEMBANGUNANBERKELANJUTAN

20

Kristalisasi konsepsi GCG yang implementatif untuk pertambangan yang

mensejahterakan rakyat saya tawarkan dengan rumusan berikut ini:

Gambar 12: Implementasi GCG dan Ekonomi Inovasi dalam Tata Kelola Pertambangan

Indonesia Incorporated

Pertambangan dalam Indonesia Incorporated harus dikelola secara GCG

melalui paradigma corporate philosophy and corporate culture for sustainable

growth dengan pemerintahan yang integratif.42 Tata kelola ini untuk mewujudkan

negara kesejahteraan berlegitimasi RDR seperti gambar berikut ini:

Paul Hawken, The Ecology of Commerce: A Declaration of Sustainability, Harper-Business, New York, 1993. G.W.F. Hegel, Filsafat Sejarah, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001. A. Hoogerwert, Ilmu Pemerintahan,Erlangga, Jakarta, 1983. Ten Berge, at.all., Verklarendwoordenboek Openbaar Bestuur, Tjeenk Willink, 1992. CH, J. Enschede, De Macht Van De Rechtswetenschap: Overheids-beleiden maatschappijwetenschappen, Universitaire PersLeiden, Kluwer-Deventer, 1979.

42 Bandingkan Karl R. Popper, Masyarakat Terbuka dan Musuh-musuhnya, Pustaka Pelajar, Yog-yakarta, 2001. John Rawls,, A Theory of Justice: Teori Keadilan, Dasar-dasar Filsafat Politik untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial dalam Negara, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2011, h. 234-289. Y.B. Mangunwijaya, Teknologi dan Dampak Kebudayaannya, Volumen II, Yayasan Obor Indo-nesia, Jakarta, 1985. Alfred Marshall, Principles Of Economics, Macmillan & Co Ltd, London, 1959. Donella Meadows,, at.all., Batas-Batas Pertumbuhan, Gramedia, Jakarta, 1982. Reihard Mohn, An Age of New Possibilities: How Humane Values andan Entrepreneurial Spirit Will Lead Us into the Future, Crown Publishers, New York, 2004. Baca pula Aseem Shrivastava and Ashish Kothari, Churning The Earth, Penguin Book, India, 2012. Thomas Crump, How The Industrial Revolution Change The World, Robinson, UK, 2010. Robert D. Kaplan, The Revenge of Geography, Random House Trade Paperbacks, New York, 2012. Chris Goodall, Ten Technolo-gies To Fix Energy and Climate, Mixed Sources, London, 2008, h. 76-98.

Inovasi + Distribusi

Pendapatan yang Merata (Relasi dan

Infrastruktur)

Pembangunan Berkelanjutan

(Ekonomi-Ekologi-Sosial) + Demokrasi

yang Bertumpu RDR

Kesejahteraan Rakyat Berkelanjutan (Negara

Kesejahteraan) dari Tata Kelola Pertambangan

=Indonesia Incorporated

SUPARTO WIJOYO

21

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

RDR

Gambar 13: Lingkar Esensial GCG-RDR-Indonesia Incorporated dalam Negara Kesejahteraan

Negara Kesejahteraan berdasarkan UUD 1945 melakukan tata kelola

pertambangan43 sesuai dengan Public Interest GCG-RDR-Indonesia Incorporated

sebagaimana Gambar ini:

Gambar 14: Konstelasi Tata Kelola Tambang dalam Perwujudan GCG-RDR-Indonesia

Incorporated

Untuk merealisir itu semua dibutuhkan manajemen kepemimpinan yang

harus mampu menjadi generator perubahan besar bagi kesejahteraan rakyat yang

berbasis public-participation. Pertambangan di NKRI harus ditata kelola dengan

berpijak pada Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika:

43 Lihat Tony Evans, Human Rights in The Global Political Economy, Lynne Rienner Publishers, Lon-don, 2011. Armando Mahler, dan Nurhadi Sabirin, Dari Grasberg Sampai Amamapare, PT. Grame-dia Pustaka Utama, Jakarta, 2008. Daron Acemoglu, dan James A. Robinson, Mengapa Negara Ga-gal, Awal Mula Kekuasaan, Kemakmuran, dan Kemiskinan, PT. Elex Media Komputindo, New York, 2012. N.E. Algra, at., all., Profiel van het Recht, Kluwer, 1999. Erich Fromm, Akar Kekerasan, Analisis Sosio-Psikologis atas Watak Manusia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000, h. 145-256.

Kebutuhan Rakyat sebagai Sumber Legitimasi yang PARTISIPATORIS

Perwujudan tata kelola pemerintahan model GCG

Kesejahteraan Rakyat dengan RDR yang meneguhkan realisasi INDONESIA INCORPORATED

•RDR + SDM/L + IT + Control dan partisipatoris•Ekonomi inovasi•Administrative guidance

•Formulasi kebijakan untuk rakyat•Evaluasi•Pengawasan

•Struktur Pemerintahan•Kultur masyarakat•Demokrasi ekonomi inovasi di pasar bebas

Indonesia Incorporated

From Government to Governance and GCG

22

Gambar 15: Pijakan Tata Kelola Pertambangan Berkelanjutan

Dengan demikian akan terwujud tata kelola pertambangan yang partisipatoris

dalam setiap penentuan kebijakan, perizinan, dan pengendaliannya. Investasi

pertambangan dilaksanakan secara terbuka dengan siklus RDR yang menjunjung

tinggi nilai-nilai kebangsaan dan keadilan. Tidak boleh lagi ada daerah kaya

tambang yang rakyatnya miskin.

•PANCASILA

•BHINNEKA TUNGGAL IKA

•UUD 45

•NKRI

Konstitusionalisme vvv Tata Kelola vvvv Pertambangan vvvvvvv (Indonesia bbbbb Incorporated)

dddd Struktur vvv Negara yang diemban Tata Kelola Pertambangan (Indonesia Incorporated)

Ideologi Tata Kelola

Pertambangan (Indonesia ggg

Incorporated) ggg

Kultur -mmm Tata Kelola

Pertambangan (Indonesia

Incorporated)

SUPARTO WIJOYO

23

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

V. Penutup

Kesimpulan:

a. Pertambangan untuk kesejahteraan rakyat adalah amanat konstitusional UUD

1945 yang harus dikelola melalui perumusan legal framework pertambangan

yang: tepat kata (perumusannya), tepat tempat (wilayahnya), dan tepat

waktunya sedasar konsepsi GCG-RDR-Indonesia Incorporated.

b. Pemikiran konseptual dan implementatif tata kelola pertambangan untuk

mewujudkan Indonesia Incorporated yang berorientasi kepada kemakmuran

rakyat sebagaimana dinormakan UUD 1945 mempersyaratkan perlakuan secara

konsisten prinsip-prinsip bekerjanya GCG yang ditopang oleh mekanisme

RDR, SDM dan leadership yang profesional, pemanfaatan Teknologi Informasi

secara fungsional, serta kontrol publik yang demokratis.

Saran:

a. Pengaturan sektor pertambangan harus dirumuskan ulang untuk memperkuat

perekonomian nasional di kancah global dengan orientasi utama tata kelola

tambang bagi “sebesar-besar kemakmuran rakyat” guna mengembalikan

karakter NKRI sebagai negara (hukum) kesejahteraan.

b. Dalam kerangka Indonesia Incorporated, meminjam kata-kata Peter Senge,44

merekonstruksi regulasi pertambangan sesungguhnya the necessary revolution

untuk melakukan tata kelola yang berkelanjutan dengan menetapkan kebijakan

sesuai pesan utama Pasal 33 UUD 1945: “untuk sebesar-besar kemakmuran

rakyat”.

Akhirnya, sebagai negara kaya tambang, Indonesia seyogianya mengambil

prakarsa menyediakan Jalan Baru perwujudan Negara Kesejahteraan dari sektor

pertambangan. Publik menyadari bahwa masa depan memang menyediakan

pikiran baru (new thinking), pilihan baru (new choices) dan awal baru (new beginnings),

tetapi masa depan baru itu dimulai dari komitmen dan konsistensi leader dalam

mengambil keputusan. Suara tata kelola pertambangan yang menyejahterakan

rakyat akan terus menggema dalam wadah Indonesia Incorporated dengan hukum

yang to create a sustainable development.

44 Peter Senge,, at.all., The Necessary Revolution: How Individuals and Organizations Are Working Together to Create a SustainableWorld, Nicholas Brealey, London, 2008.

24

DAFTAR PUSTAKA

Acemoglu, Daron dan James A. Robinson, Mengapa Negara Gagal, Awal Mula

Kekuasaan, Kemakmuran, dan Kemiskinan, PT. Elex Media Komputindo, New

York, 2012.

Algra, N.E., at., all., Profiel van het Recht, Kluwer, 1999.

Al Gore, The Future, A Random House Group Company, 2013.

Appadorai, A. , The Substance of Politics, Ninth Edition, Oxford University Press,

Amen House, London E.C.4, 1961.

Ash Garton, Timothy, Free World: America, Europe and the Surprising Future Of The

West, Random House, Inc., New York, 2004.

Asnawi, Ahmad, Sejarah Para Filsuf Dunia: 90 Pemikir Terhebat Paling Berpengaruh di

Dunia, Indoliterasi, Yohyakarta, 2014.

Berge Ten, at.all., Verklarendwoordenboek Openbaar Bestuur, Tjeenk Willink, 1992.

Boulle, Laurence, The Law Of Globalization An Introduction, Wolters Kluwer, 2009.

Brenner, M. Harvey, Pengaruh Ekonomi Terhadap Perlaku Jahat dan Penyelenggaraan

Perailan Pidana, CV. Rajawali, Jakarta, 1986.

Budiardjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 2015.

Budianta, Eka, Moral Industri, Laporan dan Renungan, Pustaka Sinar Harapan,

Jakarta, 1999.

Burnside, Craig (Editor), Fiscal Sustainability in Theory and Practice, The World Bank

Washington D.C., 2005.

Capra, Fritjof, Titik Balik Peradaban: Sains, Masyarakat dan Kebangkitan Kebudayaan,

Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta, 1997.

Carter, Graydon, What We’ve Lost, Little, Brown, 2004.

Collison, Kerry B., Indonesian Gold, Sid Harta Publishers, Australia, 2012.

Crump, Thomas, How The Industrial Revolution Change The World, Robinson, UK,

2010.

Diamond, Jared, Guns, Germs & Stell, Gramedia, Jakarta, 2013.

--------, Collapse, Gramedia, Jakarta, 2014.

--------, The World Until Yesterday, Gramedia, Jakarta, 2015

Dweck, Carol S., Cara Baru Melihat Dunia Dan Hidup Sukses Tak Berhingga, Serambi

Ilmu Semesta, 2007.

SUPARTO WIJOYO

25

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

Budi Sulistyo, dkk., MDGs Sebentar Lagi: Sanggupkah Kita Menghapus Kemiskinan Di

Dunia?, Gramedia, Jakaarta, 2010.

E. Visser, Leontine dan Amapon Jos Marey, Bakti Pamong Praja Papua, Kompas,

Jakarta, 2008.

Enschede, CH, J., De Macht Van De Rechtswetenschap: Overheidsbeleiden

Maatschappijwetenschappen, Universitaire PersLeiden, Kluwer-Deventer, 1979.

Evans, Tony, Human Rights in The Global Political Economy, Lynne Rienner

Publishers, London, 2011.

Foucault, Michel, Kegilaan dan Peradaban, Madness and Civilization, Ikon Teralitera,

Yogyakarta, 2002.

Friedman, George, The Next 100 years, Anchor Books, New York, 2009.

Friedman, Thomas L., The World Is Flat: Sejarah Ringkas Abad Ke-21, Dian Rakyat,

Jakarta, 2006.

Friedmann, W., The State And The Rule Of Law in a Mixed Economy, Stevens & Sons,

London, 1971.

Friedmann, Wolfgang Law in a Changing Society, Penguin Books,England, 1972.

Fukuyama, Francis, Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal, Qalam,

Yogyakarta, 2001.

--------, The End of History and The Last Man, Qalam, Yogyakarta, 2003.

--------, Trust: Kebajikan Sosial Dan Penciptaan Kemakmuran, Qalam, Yogyakarta,

2010.

--------, Political Order and Political Decay: From The Industrial Revolution To The

Globalization of Democracy, Farrar, Straus and Giroux, New York, 2014.

Fromm, Erich, Akar Kekerasan, Analisis Sosio-Psikologis atas Watak Manusia, Pustaka

Pelajar, Yogyakarta, 2000.

Gaol, CHR. Jimmy L., A to Z, Human Capital: Manajemen Sumber Daya Manusia:

Konsep, Teori, Dan Pengembangan Dalam Konteks Organisasi Publik Dan Bisnis,

PT. Grasindo, Jakarta, 2014.

Gart, Alan, Regulation, Deregulation, Reregulation: The Future of the Banking,

Insurance, and Securities Industries, John Wiley & Sons, Inc, 1994.

Garvey, James, 20 Karya Filsafat Terbesar, Kanisius, Yogyakarta, 2010.

Giddens, Anthony, Jalan Ketiga: Pembaruan Demokrasi Sosial, Gramedia Pustaka

Utama, Jakarta, 1999.

26

-----------, The Constitution of Society: Teori Strukturasi untuk Analisis Sosial, Pedati,

Pasuruan.

Gill, Indermit S., and Todd Pugatch, At the Frontlines of Development Reflection From

the World Bank, The World Bank, D.C., 2005.

Goodman, Amy, The axception to the rulers: exposing oily politicians, war profiteers,

andthe medis that love them, Hyperion, New York, 2004.

Goldsmith, James, Perangkap, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1996.

Goodall, Chris, Ten Technologies To Fix Energy and Climate, Mixed Sources, London,

2008.

Goldberg, Jonah, Liberal Fascism: The Secret History of the American Left from Mussolini

to the Politics of Meaning, Doubleday, 2007.

Gorman, Tom, The Complete Ideal’s Guides, Economics, Prenada, 2009.

Guell, Robert C., Issues in Economics Today, McGraw-Hill, 2012.

Habermas Jurgen, Teori Tindakan Komunikatif Buku Satu: Rasio dan Rasionalisasi

Masyarakat, Kreasi Wacana,Bantul, 2012.

Hage, Jerald and Charles H. Powers, Post-Industrial Lives: Roles and Relationships in

the 21st Century, SAGE, London, 1992.

Hart, H.L.A., Law LibertyAnd Morality: Hukum, KebeasanDan Moralitas, GENTA

PUBLISHING, PO.BOX 1095 YK-55000, 2000

Hatta, Mohammad, Penjabaran Pasal 33 UUD ’45, Mutiara, Jakarta, 1980.

--------, Politik, Kebangsaan, Ekonomi (1926-1977), Kompas, 2015.

--------, Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun: Gagasan & Pemikiran, Kom-

pas, 2015.

Haryanto, Ignatius dkk (Editor), Kehutanan Indonesia Pasca Soeharto: Reformasi

Tanpa Perubahan, Pustaka Latin, Jakarta, 1998.

H. Lauer, Robert, Perspektif tentang Perubahan Sosial, (Terjemahan Alimandan S.U.),

Rieneka Cipta, Jakarta, 1993.

Hayes, Declan, Japan’s Big Bang: The Regulation and Revitalization of the Japanese

Economy, Tuttle, Boston, 2000.

Hawken, Paul, The Ecology of Commerce: A Declaration of Sustainability, Harper-

Business, New York, 1993.

Heemskerk W.H., Vorm en Wezen, Uitgeverij LEMMA B.W., Utrecht, 1991.

Hegel, G.W.F., Filsafat Sejarah, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001.

SUPARTO WIJOYO

27

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

Hettne, Bjorn, Teori Pembangunan Dan Tiga Dunia, PT. Gramedia Pustaka Utama,

Jakarta, 2001.

Hoogerwert, A., Ilmu Pemerintahan, Erlangga, Jakarta, 1983.

Jacques Laffont, Jean, Regulation and Development, Cambridge University Press,

UK, 2005.

J. Pierce, JR, Richard, Regulated Industries In A Nutshell, West Publishing CO, 1984.

Janow, Merit E, at.all., The WTO: Governance, Dispute Settlement & Developing

Countries, Juris Publishing, Inc., 2008.

Kaplan, Robert D. The Revenge of Geography, Random House Trade Paperbacks,

New York, 2012.

Kementerian Lingkungan Hidup, Himpunan Hasil-hasil Putusan Pengadilan Tentang

Tindak Pidana Lingkungan, KLH, Jakarta, 2007.

Kim, Hwan-Yun, Local Government Finance and Bond Markets, Asian Development

Bank, 2003.

Kohli, Atul, State-Directed Development, Political Power and Industrialization in the

Global Periphery, Cambridge University Press, 2004.

Kramer, Peter D, Against Depression, Viking Penguin, 2005.

Iida, Akira, Paradigm Theory & Policy Making: Reconfiguring The Future, TUTLE, 2004.

Lembaga Administrasi Negara dan Badan Pengawasan Keuangan dan

Pembangunan, Akuntabilitas dan Good Governance, Jakarta, 2000.

LP3ES, Karya Lengkap Bung Hatta, Jakarta, 2015.

Loury, Glenn C., at.,all., Ethnicity, Social Mobility and Public Policy, Cambridge

University Press, 2005.

Lubbers, Ruud, at.all., Inspiration for Global Governance: The Universal Declaration of

Human Rights and the earth Charter, Kluwer, 2008.

Mahler, Armando dan Nurhadi Sabirin, Dari Grasberg Sampai Amamapare, PT.

Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008.

Mangunwijaya, Y.B., Teknologi dan Dampak Kebudayaannya, Volumen II, Yayasan

Obor Indonesia, Jakarta, 1985.

Marshall, Alfred, Principles of Economics, Macmillan & Co Ltd, London, 1959.

Meadows, Donella, at.all., Batas-Batas Pertumbuhan, Gramedia, Jakarta, 1982.

Meene van de, Ineke and Benjamin van Rooij, Access to Justice And Legal

Empowerment: Making the Poor Central in Legal Development Co-operation.

Leiden University Press.

28

Mohn, Reihard, An Age of New Possibilities: How Humane Values andan Entrepreneurial

Spirit Will Lead Us into the Future, Crown Publishers, New York, 2004.

Mousis, Nicholas, Guide to European Policies, 6th edition, European Study Service,

BP29-B-1330 Rixensart, Belgium, 2000.

Munggoro, Dani W., dkk., Menggugat Ekspansi Industri Pertambangan di Indonesia,

LATIN, Bogor, 1999.

Numberi, Freddy, Quo Vadis Papua, PT. Buana Ilmu Populer, Jakarta, 2013.

Omo-Fadaka, Jimoh Development From Within, Dialogue, Vol. 11 No. 2, 1978.

P. Dvorin, Eugene and Robert H. Simmons, Dari Amoral sampai Birokrasi Humanisme,

Prestasi Pustakaraya, Jakarta, 2000.

Pierce, Richard J. JR, Regulated Industries In A Nutshell, West Publishing CO, 1984.

Popper, Karl R., Masyarakat Terbuka dan Musuh-musuhnya, Pustaka Pelajar,

Yogyakarta, 2001.

Posner, Richard A., Economic Analysis Of Law, Little, Brown and Company, 1992.

Qrebech, Peter, at.all., The Role of Customary Law in Sustainable Development,

Cambridge University Press, 2005.

Rawls, John, A Theory of Justice: Teori Keadilan, Dasar-dasar Filsafat Politik untuk

Mewujudkan Kesejahteraan Sosial dalam Negara, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,

2011.

Rourke, Francis E., Bureaucracy Politics, and Public Policy, Little, Brownand

Company, Boston, 1976.

Roy, R. Crince Le, Bestuur en Norm, Kluwer-Deventer, 1986.

Safire, William, The Right Word in the Right Place at the Right Time, Simon & Schuster,

New York, 2004.

Sawer, Geoffrey, Law in Society, Oxford at the Clarendum, London. 1973.

Samuel, Geoffrey, The Foundations of Legal Reasoning, MAKLU, 1994.

Schumpeter, Joseph A., Capitalism, Socialism & Democracy, Pustaka Pelajar, 2003.

Schlosser,Eric, Command And Control, The Penguin Press, New York, 2013.

Selznick, Philip, Law, Society, and Industrial Justice, Russel Sage Foundation, 1969

Senge, Peter, at.all., The Necessary Revolution: How Individuals and Organizations

Are Working Together to Create a SustainableWorld, Nicholas Brealey, London,

2008.

Schendler, Auden, GETTING Green Done, Hard Truths from the Front Lines of the

Sustainability Revolution, Public Affairs, New York, 2009.

SUPARTO WIJOYO

29

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

Shrivastava, Aseem and Ashish Kothari, Churning The Earth, Penguin Book, India,

2012.

Smith, T. and Sir John C. Wood, Industrial Law, Butterworths, London, 1980

Soekarwo dkk, Pakde Karwo Pintu Gerbang MEA 2015 Harus Dibuka, Kencana,

Prenada Media Group, Jakarta, 2015.

--------, dkk, Pintu Gerbang MEA 2015 Harus Dibuka, Kencana, Prenada Media

Group, Jakarta, 2015.

-------, Administrative Reform: Birokrasi Itu Melayani, Kencana, Prenada Media

Group, Jakarta, 2016.

Straker, David, The Quality Conspiracy, Gower, 1998.

Stein, Peter, Legal Evolution: The Story Of An Idea, Cambridge University Press, 1980.

Suharto, Frento T. Menambang Kekayaan Dari Bisnis Emas Tanpa Mengeruk Alam, PT

Elex Media Komputindo, Jakarta, 2014.

Sukarno, Indonesia Menggugat: Pidato Pembelaan Bung Karno Dimuka Hakim Kolonial,

SK. Seno, Djakarta, 1956.

Tantular, Mpu, Kakawin Sutasoma, Komunitas Bambu, Jakarta, 2009, h. 538-539.

Ten, Berge J.B.J.M., Beschermingtegendeoverheid, W.E.J. Tjeenk Willink Zwolle, 1993.

The Wordlwatch Institute, State Of The World Our Urban Future, W.W. Norton &

Company, New York-London, 2006.

Wanggai, Velix V., PembangunanUntuk Semua: Mengelola Pembangunan Regional a la

SBY, Indomultimedia Communication Group, 2012.

Warren, Leinenweber and Andersen, Our Democary at Work, Second Edition,

Prentice-Hall, INC, Englewood Cliffs, N.J., 1967.

Wasserstrom, Richard A., Morality and the Law, Wadsworth Publishing Company,

Inc., Bellmont, California, 1971

W.H., Heemskerk, Vorm en Wezen, Uitgeverij LEMMA B.W., Utrecht, 1991.

Wijoyo, Suparto, Ilmu Hukum, Airlangga Universy Press, Surabaya, 2005.

-------, Reklamasi itu Kebutuhan Siapa, Forum Keadilan, No. 22, 16 Oktober 2016.

-------, Penyelesaian Sengketa Lingkungan (Environmental Disputes Resolution), AUP,

Surabaya, Cetakan Kedua, 2005.

-------, Refleksi Matarantai Pengaturan Hukum Pengelolaan Lingkungan Secara Terpadu,

AUP, Surabaya, 2005.

-------, Karakteristik Hukum Acara Peradilan Administrasi, AUP, Surabaya, Cetakan

Kedua, 2005.

30

--------, Kusebut Indonesia: Dari Keanekaragaman Menuju Keseragaman Hayati, AUP,

Surabaya, 2012.

-------, Hukum Perlindungan Lingkungan Hidup, Airlangga University Press, Sura-

baya, 2017.

Wilcox, Clair, Toward Social Welfare, Richard D. Irwin, Inc, 1969.

Yahya, Arief, Great Spirit, Grand Strategy, Corporate Philosophy, Leadership

Architecture, and Corporate Culture for Sustainable Growth, PT. Gramedia,

Jakarta, 2013.

Yergin, Daniel, The Quest: Energy, Security, and the Remaking of the Modern World,

The Penguin Press, New York, 2011.

Yudhoyono, Susilo Bambang, Selalu Ada Pilihan, Kompas, Penerbit Buku, Jakarta,

2014.

Yoesoef, Abdul Jabar, Jangan Biarkan Asing Kuras Tambang Kita, PT. Elex Media

Komputindo, Jakarta, 2011.

Zalasiewics, Jan, The Earth After Us, What Legacy Will Humans Leave In The Rocks?,

Oxford University Press, 2008.

SUPARTO WIJOYO

31

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

Audit KepAtuhAn terpAdu dAlAm pencegAhAn

KebAKArAn hutAn dAn lAhAn

Oleh : Lakso Anindito1

Abstrak

Pelaksanaan audit kepatuhan terpadu memiliki peran yang strategis dalam

memetakan akar permasalahan, memastikan pelaksanaan kewajiban dan

mendukung proses penegakan hukum khususnya hukum adminsitratif dalam

mencegah kebakaran hutan dan lahan. Persoalannya, sampai saat ini, pendekatan

audit kepatuhan secara terpadu belum dilakukan dan dimanfaatkan secara optimal

oleh pemerintah karena perpindahan kepemimpinan pada tingkat nasional. Untuk

itu, tulisan ini akan membahas beberapa aspek. Pertama, tulisan ini akan membahas

peranan audit kepatuhan terpadu sebagai inovasi. Kedua, penggunaan konsep

pertanggungjawaban korporasi dalam hal kepatuhan pencegahan kebakaran

hutan dan lahan sebagai landasan dalam menentukan ukuran kepatuhan dalam

pelaksanaan audit kepatuhan terpadu. Ketiga, kewenangan pemerintah dalam

pelaksanaan audit kepatuhan terpadu. Keempat, prasyarat efektivitas pelaksanaan

audit kepatuhan. Berdasarkan aspek-aspek maka dapat disimpulkan bahwa apabila

audit kepatuhan terpadu dilaksanakan dengan memenuhi perasyarat maka dapat

menjadi perangkat efektif dalam mencegah kebakaran hutan dan lahan.

Kata Kunci: Audit Kepatuhan Terpadu, Teori Kebijakan Pencegahan (prevention

policy theory), Kepatuhan, Penegakan Hukum Administrasi, Kebakaran Hutan dan Lahan

1 Penulis merupakan pegiat dibidang penegakan hukum yang menjadi tim audit kepatuhan dalam rangka pencegahan kebakaran hutan dan lahan tahun 2014. Pernah bekerja di Satuan Tugas Presiden Pemberantasan Mafia Hukum, Satuan Tugas Presiden Persiapan Kelem-bagaan REDD+ dan Badan Pengelola REDD+. Mempunyai ketertarikan diisu penegakan hukum, sumber daya alam dan pertanggungjawaban pidana korporasi.

32

Abstract

Based on the theory of prevention policy, audit compliance has an important role as

instrument to prevent haze pollution that is caused by forest and land fires. This approach is

potentially used by the government to find roots of the problem of haze pollution related with

forest and land fires, to encourage compliance of object of audit and to get early information

and data for administrative law enforcement. In this paper, audit compliance is elaborated

in four aspects comprehensively. Firstly, the role of audit compliance as instrument of

prevention policy. Secondly, corporate liability and compliance standard to prevent forest

and land fires. Thirdly, legal basis of government to conduct audit compliance. Finally, the

prerequisites to conduct audit compliance effectively. In conclusion, the audit compliance

program has strategist function as an instrument to prevent forest and land fires based on

prevention policy theory as long as the prerequisite are fulfilled.

Key Words: Compliance Audit, Prevention Policy Theory, Compliance, Administrative

Enforcement, Land and Forest Fire.

I. Pendahuluan

Secara umum audit kepatuhan lingkungan hidup (environmental auditing)

didefinisikan sebagai:

“Environmental auditing is essentially an environmental management tool for

measuring the effects of certain activities on the environment against set criteria

or standards.”2

Definisi tersebut berbeda dengan analisis dampak lingkungan (environmental

impact assessment) yang dilakukan sebelum kegiatan usaha terlaksana dan

berisi perkiraan dampak dari kegiatan tersebut.3 Pelaksanaan audit kepatuhan

tersebut dapat dilakukan oleh pemerintah secara langsung, seperti program

audit kepatuhan yang dilakukan oleh Environmental Protection Authority (EPA)

Australia terhadap kegiatan industri dengan resiko tinggi yang ditentukan oleh

2 https://www.soas.ac.uk/cedep-demos/000_P508_EAEMS_K3736-Demo/unit1/page_14.htm diakses pada 24 Juli 2017

3 https://www.soas.ac.uk/cedep-demos/000_P508_EAEMS_K3736-Demo/unit1/page_14.htm diakses pada 24 Juli 2017

LAKSO ANINDITO

33

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

pemerintah.4 Selain itu, audit kepatuhan juga dapat dilakukan secara mandiri oleh

korporasi baik dengan menunjuk pihak ketiga ataupun dilakukan sendiri oleh

korporasi dengan standar pelaksanaan yang sudah ditentukan oleh pemerintah

sebagaimana diterapkan oleh Environmental Protection Agency (EPA) di Amerika

Serikat.5 Pada bidang lain, pedoman untuk melakukan audit mandiri dilakukan

pula di Inggris dalam pencegahan tindak pidana korupsi sebagaimana diterapkan

sesuai pedoman prinsip-prinsip adequate procedure yang bahkan dapat digunakan

sebagai pembelaan ketika tindak pidana terjadi.6

Pada perkembangannya, di Indonesia, mewacana konsep audit kepatuhan

terpadu yang secara tujuan mirip dengan audit kepatuhan lingkungan hidup

(environmental auditing). Secara definisi, audit kepatuhan terpadu adalah audit yang

dilakukan oleh pemerintah melalui tim terpadu lintas kementerian/lembaga serta

ahli dalam rangka mendapatkan gambaran secara menyeluruh tingkat kepatuhan

objek audit. Berdasarkan pelaksanaan yang pernah dilakukan, objek dari audit

kepatuhan tersebut dapat dilakukan terhadap korporasi maupun pemerintah

daerah.7 Tulisan ini akan memfokuskan pembahasan pada audit kepatuhan

terpadu dalam pencegahan kebakaran hutan dan lahan yang selanjutnya disebut

sebagai audit kepatuhan terpadu.

Berdasarkan objek maupun pelaksana, audit kepatuhan terpadu berbeda

dengan konsep audit lingkungan hidup yang dilaksanakan oleh auditor

lingkungan hidup dengan objek korporasi sebagaimana diatur dalam Undang-

Undang tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH).8

Akan tetapi, secara prinsip, audit kepatuhan terpadu dan audit lingkungan hidup

memiliki tujuan yang sama karena dilakukan pada saat korporasi tersebut telah

beraktivitas (ex post) bukan sebelum aktivitas dilakukan (ex ante).9

4 Sophie Martin, Epa Industry Compliance Audit Report For The Surface Coating Sector, (Adelaide: EPA, 2008), hlm. 1-3

5 https://www.epa.gov/compliance/audit-protocols diakses pada tanggal 8 Juni 2017 6 Adequate procedure adalah 6 (enam) prinsip pencegahan yang wajib dilaksanakan oleh ko-

rporasi dalam mencegah korupsi. Lihat : Nicholls QC, Colin et al., Corruption and Misuse of Public Office: Second Edition, (Oxford: Oxford University Press, 2011), hlm. 89

7 Tim Audit Kepatuhan Terpadu, Ringkasan Eksekutif (Executive Summary) Audit Kepatu-han Dalam Rangka Pencegahan Kebakaran Hutan Dan Lahan Di Provinsi Riau, (Jakarta: BP REDD+, 2014), hlm. 4-5

8 Indonesia (a), Undang-Undang tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 32 Tahun 2009, LN No. 140 Tahun 2009, TLN No. 5059, ps. 49 – 51.

9 Ibid., ps. 1 angka 28.

34

Untuk mendalami hal tersebut, tulisan ini akan menggunakan pendekatan

Teori Kebijakan Pencegahan (prevention policy theory) yang dikembangkan oleh Ian

Gough dalam menguji peranan audit kepatuhan terpadu sebagai upaya intervensi

pemerintah dalam melakukan pencegahan. Sedangkan, pada lingkup yang lebih

detail yang melihat audit kepatuhan terpadu sebagai bagian dari penegakan

hukum administrasi untuk mendorong kepatuhan, digunakan pendekatan Albert

J. Reiss jr.

II. Peranan Audit Kepatuhan Terpadu

Keberhasilan pencegahan kebakaran hutan dan lahan merupakan tujuan utama

dari dilakukannya audit kepatuhan terpadu. Untuk dapat mengukur peranan

dari audit kepatuhan terpadu tersebut dalam mencegah kebakaran hutan dan

lahan, diperlukan adanya pemahaman yang sama mengenai ukuran pencegahan.

Menurut Ian Gough pencegahan tidak dapat ditafsirkan secara langsung sesuai

definisi yang ada dalam kamus yang membatasi hanya pada menghentikan sesuatu

sehingga tidak terjadi. Akan tetapi, harus dilihat dari konteks tujuan dilakukannya

pencegahan yang didasarkan pada kondisi faktual sesuatu yang harus dicegah

dan dalam tahapan apa pencegahan tersebut dilakukan.10 Pada konteks tersebut,

pencegahan dapat dibagi dalam tiga tahap, yaitu: pencegahan dalam konteks

primer, sekunder dan tersier. Primer adalah tujuan utama dari pencegahan

sebelum terjadi. Sekunder adalah upaya mitigasi efek dari hal yang sudah terjadi

khususnya pada kelompok tertentu. Sedangkan, tersier adalah mencegah dampak

yang lebih besar dari dampak yang tidak mungkin dihindari (Lihat Tabel 1).11

10 Ian Gough (a), Understanding prevention policy: A theoretical approach, (London:LSE, 2013), hlm. 2

LAKSO ANINDITO

35

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

Sesuai dengan tabel tersebut, perlu dilakukan pendalaman untuk melihat

posisi audit kepatuhan terpadu dalam tahapan pencegahan kebakaran hutan dan

lahan (primer, sekunder dan tersier). 12 Pada level primer, perlu diuji apakah audit

kepatuhan terpadu dapat mencegah kejahatan dengan memodifikasi keadaan fisik

dan/atau lingkungan sosial sehingga kebakaran dapat dicegah sebelum terjadi.

Pada konteks sekunder, pada kondisi faktual kebakaran hutan dan lahan yang pasti

terjadi disetiap tahunnya dengan tingkat luas kebakaran berbeda-beda, apakah

audit kepatuhan terpadu mampu mengindentifikasi resiko serta menganalisis

faktor-faktor penyebabnya sehingga pencegahan dapat dilakukan dalam konteks

mitigasi untuk mencegah dampak. Pendekatan sekunder biasanya digunakan

pada konteks kondisi yang sedang terjadi tetapi untuk menghidari dampak, seperti

perubahan iklim yang sedang terjadi sehingga dapat dilakukan langkah-langkah

pencegahan segera agar tidak terjadi secara meluas.13 Pada level tersier, apakah

audit kepatuhan dapat menghentikan dampak yang saat pencegahan dilakukan

sudah terjadi dan dampaknya tidak mungkin dihindari. Sebagai contoh: kebakaran

sedang terjadi secara meluas. Untuk melihat posisi dan peranan audit kepatuhan

terpadu melalui pendekatan tersebut, maka perlu dilihat pelaksanaan audit

kepatuhan terpadu yang sudah pernah dilakukan baik pada tataran pelaksanaan

maupun konsep yang melandasi pelaksanaan audit kepatuhan.

12 Anna Coote menggunakan istilah Upstream, Midstream dan Downstream, silahkan lihat A Coote, The Wisdom of Prevention (London: nef, 2012) hlm.9-11

13 Ian Gough (b),Climate Change and Public Policy Futures, A Report Prepared for the British Academy, (London : The British Academy, 2011) hlm. 31-34

36

Pada tahun 2014, pemerintah melakukan audit kepatuhan terpadu sebagai

salah satu langkah melakukan pencegahan kebakaran hutan dan lahan. Audit

kepatuhan terpadu tersebut dilakukan oleh tim lintas Kementerian/Lembaga

yang terdiri dari Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian

Pembangunan (UKP-PPP), Badan Pengelola Penurunan Emisi Gas Rumah

Kaca Dari Deforestasi, Degradasi Hutan dan Lahan Gambut (BP REDD+),

Kementerian Kehutanan, Kementerian Pertanian dan Kementerian Lingkungan

Hidup.14 Pelaksanaan audit kepatuhan tersebut didukung pula oleh Kepolisian,

Kejaksaan dan Pemerintah Daerah yang memberikan askes data, informasi dan

pengamanan saat dibutuhkan. Melalui pelaksanaan audit kepatuhan tersebut,

terdapat beberapa manfaat pelaksanaan audit kepatuhan terpadu tersebut dalam

mencegah kebakaran hutan dan lahan dihubungkan dengan pencegahan dalam

tahap primer, sekunder dan tersier.

Pertama, mengukur kepatuhan objek audit dalam pencegahan kebakaran

hutan dan lahan. Secara konsep, pelaksanaan audit kepatuhan terpadu berperan

penting untuk mengukur apakah perusahaan dan pemerintah daerah sudah

melakukan upaya optimal dalam pencegahan kebakaran hutan dan lahan.

Pengetahuan tingkat kepatuhan tersebut dapat ditindaklanjuti dengan mendorong

perusahaan untuk melakukan upaya segera sebelum kondisi rawan kebakaran

baik yang diakibatkan dari kondisi alam, seperti: keadaan cuaca yang mendorong

mudahnya terjadi kebakaran,15 maupun diakibatkan kondisi bukan alam, seperti:

musim tanam. Kondisi rawan tersebut menjadikan kebakaran hutan dan lahan

mempunyai kemungkinan yang tinggi untuk terjadi setiap tahunnya.16 Untuk itu,

data dan informasi memiliki fungsi penting untuk mencegah agar tidak terjadi

dengan skala meluas dan masif dengan berhasilnya dilakukan pemetaan data dan

informasi pada objek tertentu sebagai bahan intervensi pemerintah.

Tujuan audit kepatuhan untuk memperoleh informasi dan data terkait

kepatuhan korporasi dilakukan pula di negara lain, sebagai contoh adalah salah

satu dari tujuan pelaksanaan audit kepatuhan di New South West, Australia, yaitu:

14 Tim Audit Kepatuhan Terpadu, Ringkasan Eksekutif… (n6) hlm. 3-515 Lihat https://www.lapan.go.id/index.php/subblog/read/2014/838/KEKERINGAN-TA-

HUN-2014-NORMAL-ATAUKAH-EKSTRIM/1653 diakses pada tanggal 3 Agustus 201716 Andrew P. Vadya, Explaining Indonesian Forest Fires: Both Ends of the Firestick dalam

D.G. Bates and J. Tucker (eds.), Human Ecology: Contemporary Research and Practice, (NY, Spinger, 2010) hlm. 19

LAKSO ANINDITO

37

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

“…improving compliance with legislative requirements…, ensuring that

statutory instruments are robust and are appropriately used to achieve desired

environmental and conservation outcomes…”17

Secara praktek, hasil pelaksanaan audit kepatuhan terpadu pada tahun 2014

yang mampu menggambarkan tingkat kepatuhan kegiatan usaha pada 17 (tujuh

belas) konsesi yang dimiliki 15 (lima belas) korporasi yang pernah terdeteksi

terdapat kebakaran diwilayahnya. (lihat Diagram 1 dan Diagram 2).

Diagram 1. Hasil Penilaian Tingkat Kepatuhan Perusahaan di 5 (lima) konsesi

Perkebunan Dalam Rangka Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan18

Diagram 2. Hasil Penilaian Tingkat Kepatuhan Perusahaan Kehutanan di 12 (dua belas)

Konsesi Korporasi Dalam Rangka Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan

17 Departement of Environment and Conservation Team, Audit Compliance Handbook, (NSW: DEC, 2006). Hlm. 1-2

18 Tim Audit Kepatuhan Terpadu, Ringkasan Eksekutif… (n6) Hlm. 5-6

38

Pelaksaaan audit kepatuhan terpadu tersebut menunjukan bahwa seluruh

perusahaan baik perkebunan dan kehutanan belum memenuhi standar minimal

dalam pencegahan kebakaran hutan dan lahan.19 Melalui pengukuran tersebut

maka tim terpadu dapat melakukan indentifikasi kewajiban yang harus dilakukan

oleh perusahaan secara mendetail masing-masing perusahaan yang harus dipenuhi

dalam jangka waktu tertentu.20

Data dan informasi tersebut penting untuk mencegah terjadinya kejahatan

dengan memotong salah satu penyebab terjadinya kebakaran hutan dan lahan

secara sistematis serta meluas dengan memastikan kepatuhan korporasi. Sesuai

dengan salah satu elemen penting dalam teori pencegahan adalah dengan

mencegah salah satu penyebab kejahatan tersebut dilakukan.21

Kedua, penegakan hukum administrasi. Data dan informasi yang didapat

dari audit kepatuhan terpadu dapat digunakan sebagai informasi awal bagi

pemerintah daerah maupun Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

untuk melaksanakan penegakan hukum administrasi apabila diperlukan untuk

mencegah kebakaran hutan dan lahan. Kewenangan tersebut sebagai bagian dari

lingkup pengawasan untuk memastikan korporasi melakukan kewajibannya

sesuai rekomendasi.22

Melalui penegakan hukum adminsitrasi tersebut maka dapat dipastikan

ketaatan korporasi untuk menindaklanjuti hasil temuan tim terpadu sebelum

tindak pidana terjadi. Mengingat proses audit kepatuhan terpadu melibatkan

pula aparatur yang memiliki kewenangan dalam pengawasan lingkungan

hidup sehingga mempunyai kewenangan dalam melakukan penegakan hukum

administrasi. Hal tersebut selaras dengan tujuan penegakan hukum, khususnya

19 Dari 5 (lima) perusahaan perkebunan yang diaudit, 1 perusahaan tergolong sangat tidak patuh (18,50 % dari 97 kewajiban) dan 4 (empat) perusahaan tergolong tidak patuh (antara 23 % sampai 48 % dari 97 kewajiban). Lebih lanjut, Perusahaan Kehutanan : Dari 12 (tujuh belas) konsesi yang diaudit 1 (satu) konsesi perusahaan tergolong sangat tidak patuh (7,22% dari 122 kewajiban), 10 (sepuluh) konsesi perusahaan tergolong tidak patuh (antara 26, 19 % sampai 47, 54 % dari 122 kewajiban) dan 1 (satu) konsesi perusahaan tergolong kurang patuh (52, 38 % dari 122 kewajiban).

20 Tim Audit Kepatuhan Terpadu, op.cit., hlm. 6-7.21 Lihat Nick Tilley dan Aiden Sidebottom terkait Theory for Crime Prevention dalam Nick

Tilley dan Aiden Sidebottom (ed). Handbook of Crime Prevention and Community Safety. (London dan New York: Routledge, 2017) hlm. 8-10

22 Indonesia (a), op.cit., ps. 76 dan ps. 77

LAKSO ANINDITO

39

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

dalam tujuan untuk mendorong kepatuhan sesuai pendapat Albert Reiss Jr., yaitu:

“Compliance and deterrence strategies of law enforcement have different objectives.

The principal objective of compliance law enforcement is to secure conformity

with law by resorting to means that induce conformity or by taking actions

to prevent law violations without the necessity of detecting, processing, and

penalizing violators. The principal objective of deterrence law enforcement is to

secure conformity with the law by detecting violations of the law, determining

who is responsible for the violations, and penalizing violators to inhibit future

violations by those who are punished and to inhibit those who might be inclined

to violate the law if violators were not penalized. There are two principal types of

compliance strategies of law enforcement, one based on incentives to comply, and

the other on threats to invoke penalties for noncompliance unless actions to comply

are taken. Compliance is voluntary in incentive-based systems whereas it is to

some degree coerced in threat based systems.”23

Sesuai pendapat Reis tersebut, bahwa terdapat perbedaan tujuan prinsip dari

penegakan hukum yang berorientasi pada kepatuhan dan efek jera. Kepatuhan

menekankan pada mendorong kepatuhan terhadap hukum dengan menggunakan

sarana untuk mendorong kesesuaian hukum atau dengan mengambil tindakan

untuk mencegah pelanggaran hukum tanpa keharusan menghukum pelaku

melalui penghukuman yang menimbulkan efek jera melalui pemidanaan.

Sedangkan, efek jera menekankan pada mendorong kepatuhan melalui proses

penghukuman terhadap pelaku untuk mencegah kembali terjadinya pelanggaran

hukum. Selain itu, meminimalisir kemungkinan pelaku untuk melakukan

kejahatan.24 Tujuan penegakan hukum yang berorentasi pada kepatuhan adalah

mengutamakan perlindungan lingkungan hidup dengan mendorong kepatuhan

melalui pendekatan penegakan hukum administrasi, sebagaimana diungkapkan

Mas Achmad Santosa, yaitu:

23 Albert J. Reiss Jr., Consequences Of Compliance And Deterrence Models of Law Enforcement For The Exercise of Police Discretion, Duke University School of Law Journal of Law and Con-temporary Problems, Volume 47, No.4, (Durham: Duke University School of Law, 1984), hlm. 91-92

24 Brandon C. Welsh dan David D Farrington, Crime Prevention and Public Policy dalam The Ox-ford Handbook of Prevention. (New York: Oxford University Press, 2011), hlm. 4

40

“Diskusi mengenai teori/argumentasi pendekatan compliance versus deterrence

ini menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa dalam konteks perlindungan dan

pengelolaan lingkungan hidup, pendekatan compliance harus lebih diutamakan

dibandingkan dengan pendekatan deterrence... Oleh sebab itu, pendekatan ultimum

remedium (pendekatan penegakan hukum administrasi didahulukan sebelum

diterapkan penegakan hukum pidana) yang dipersyaratkan oleh Pasal 100 UU No. 32

Tahun 2009 tentang PPLH merupakan pendekatan yang sudah benar dan tepat.”25

Ketiga, pemetaan akar permasalahan dan perumusan kebijakan. Pelaksanaan

audit kepatuhan terpadu juga dapat dikembangkan untuk memahami akar

permasalahan dari kebakaran hutan dan lahan. Hasil observasi yang dilakukan

di lapangan dan interaksi dengan pemangku kepentingan dapat menghasilkan

data dan informasi yang relevan dalam memahami akar permasalahan kebarakan

hutan dan lahan. Sebagai contoh, pada audit kepatuhan terpadu kebakaran hutan

dan lahan tahun 2014, beberapa akar persoalan yang muncul karena kebijakan

perlindungan lahan gambut tidak memadai, perencanaan tata ruang bermasalah,

konflik agraria yang terkait dengan kebakaran, komitmen korporasi yang rendah

dalam menyediakan sarana dan prasarana pencegahan, sampai dengan sarana

Pembukaan Lahan Tanpa Bakar (PLTB) oleh pemerintah daerah yang belum jadi

prioritas.26 Persoalan-persoalan tersebut menghasilkan 9 (sembilan) rekomendasi,

yaitu: 1) perbaikan kebijakan perlindungan di kawasan rawan kebakaran baik

dari hulu sampai hilir; 2) evaluasi konsensi korporasi didasarkan kesanggupan

korporasi dalam menjaga kawasannya; 3) Penguatan Kapasitas Pemerintah Daerah

dalam Resolusi Konflik; 4) penguatan sistem informasi karhutla; 5) penguatan

legislasi khususnya terkait pedoman kewajiban pencegahan kebakaran hutan dan

lahan; 6) penguatan pengawasan berjenjang melalui optimalisasi pengawas daerah;

7) pemberdayaan Masyarakat sekitar korporasi oleh korporasi dalam pencegahan

kebakaran; 8) Dukungan Pembukaan Lahan Tanpa Bakar (PLTB) dan Insentif Lain

bagi Masyarakat yang tidak membakar; dan 9) dukungan alokasi anggaran yang

memadai serta tepat sasaran dalam mencegah kebakaran hutan dan lahan.27

25 Mas Achmad Santosa, Efektivitas Penegakan Hukum Administrasi Dalam Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Di Indonesia: Studi Kasus Di Provinsi Jawa Tengah, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2014) hlm. 73-74

26 Tim Audit Kepatuhan Terpadu, op.cit., hlm. 8-11.27 Loc.cit., hlm. 12-15

LAKSO ANINDITO

41

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

Pada tingkat korporasi, mendorong agar korporasi melakukan langkah-

langkah perbaikan sebelum terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Sebagai contoh,

kewajiban perusahaan membangun menara dan mengatur tingkat ketinggian air

dilahan gambut. Pada tingkat perumusan kebijakan, diharapkan pemerintah pusat

dan daerah melakukan kebijakan tertentu, seperti evaluasi konsesi audit sehingga

kebakaran hutan dan lahan dapat dicegah.

Berdasarkan ketiga manfaat tersebut, maka tergambarkan bahwa audit

kepatuhan terpadu berperan dalam konteks pencegahan sekunder (mitigasi). Hal

tersebut didasarkan beberapa alasan. Pertama, sebagaimana penjelasan pertama,

potensi kebakaran hutan dan lahan terjadi hampir disetiap tahun. Langkah

yang dilakukan adalah untuk mencegah agar keadaan rawan kebakaran tidak

menjadikan kebakaran hutan dan lahan terjadi meluas karena adanya prilaku dari

korporasi maupun pelaku lainnya. Kedua, sebagaimana peranan pertama dan

ketiga, audit kepatuhan terpadu mampu memetakan resiko dari potensial pelaku

korporasi maupun dari sisi tata kelola yang membuat kebakaran yang terjadi secara

sistematis dan meluas sehingga dapat dilakukan pencegahan. Ketiga, data dan

informasi tersebut digunakan untuk melakukan intervensi pemerintah baik berupa

penegakan hukum administrasi, kebijakan tata kelola atau tindakan lainnya.

III. Konsep Pertanggungjawaban Korporasi dan Pemenuhan Kepatuhan

Dasar dari pelaksanaan audit kepatuhan adalah untuk mengukur kepatuhan

korporasi dalam menjalankan kewajibannya dalam mencegah kebakaran di

wilayah konsensinya. Pertanyaan selanjutnya adalah sejauh apa kewajiban

korporasi dalam melakukan pencegahan. Untuk itu, konsep pertanggungjawaban

korporasi ini menjadi hal penting untuk dapat mengetahui sejauh apa kewajiban

yang harus dilaksanakan oleh korporasi sehingga akan menentukan pula ukuran

kepatuhan dalam pelaksanaan audit kepatuhan terpadu.

Legislasi kehutanan mewajibkan perusahaan kehutanan untuk mencegah

kebakaran di wilayah kerja sesuai izin yang diberikan. Hal tersebut sesuai dengan

Undang-Undang Tentang Kehutanan (UU Kehutanan)28 sebagai berikut:

28 Indonesia (b), Undang-Undang tentang Kehutanan, UU No. 41 Tahun 1999, sebagaimana di-

42

“Pemegang izin usaha pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

27 dan Pasal 29, serta pihak-pihak yang menerima wewenang pengelolaan hutan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, diwajibkan melindungi hutan dalam

areal kerjanya.”29

Kewajiban tersebut dijelaskan lebih lanjut bahwa:

“Kewajiban melindungi hutan oleh pemegang izin meliputi pengamanan hutan

dari kerusakan akibat perbuatan manusia, ternak, dan kebakaran.”30

Apabila dihubungkan antara bunyi pasal dan penjelasan maka perusahaan

kehutanan mempunyai kewajiban untuk melindungi areal kerjanya dari

kebakaran hutan. Artinya korporasi mempunyai kewajiban untuk melakukan

langkah-langkah dalam mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Lebih

lanjut, pada sisi pertanggungjawaban atas tidak terlaksananya kewajiban, terdapat

penegasan mengenai pertanggungjawaban korporasi sebagaimana diatur dalam

UU Kehutanan, sebagai berikut:

“Pemegang hak atau izin bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan di

areal kerjanya”31

Pengaturan tersebut meletakkan beban pertanggungjawaban atas terjadinya

kebakaran di areal kerja korporasi kepada korporasi tanpa secara tegas mengatur

perlunya pembuktian siapa yang melakukan pembakaran. Konsep yang sebenarnya

mirip dengan konsep tanggung jawab seketika (strict liability). Walaupun

pengaturan tersebut belum dapat dikategorikan sebagai tanggungjawab seketika

(strict liability) karena tidak mengatur secara jelas bentuk pertanggungjawabannya

apakah pidana, perdata atau administratif serta sejauh apa korporasi harus

bertanggungjawab. Konsep stirict liability tersebut akan dibahas kemudian.

Oleh karena itu, UU Kehutanan menempatkan tanggungjawab korporasi tidak

terbatas pada tindakan aktif dari korporasi untuk membakar wilayahnya, tetapi

sikap pasif dengan tidak mencegah menjadikan korporasi bertanggungjawab.

ubah dengan UU Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, LN No. 86 Tahun 2004, LN No. 29 Tahun 2004.

29 Ibid., ps. 48 ayat (3) 30 Ibid.

31 Ibid., ps. 49.

LAKSO ANINDITO

43

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

Sebagai contoh: pertanggungjawaban bukan hanya untuk tindakan perusahaan

untuk membuka kawasan (land clearing), tetapi temasuk juga sikap pasif (omission)

untuk tidak melakukan tindakan pencegahan yang optimal sehingga terjadinya

kebakaran. Hal tersebut menunjukan bahwa legislasi kehutanan melihat kewajiban

korporasi pada keberhasilan dari melakukan pencegahan berbasis dampak (materil)

yaitu memastikan tidak terjadinya kebakaran. Walaupun sudah menyediakan

sarana dan prasarana pencegahan kebakaran hutan, korporasi tetap dapat

dimintakan pertanggungjawaban apabila kebakaran terjadi sehingga upaya yang

dilakukan oleh korporasi harus sedemikian rupa sehingga kebakaran tidak terjadi.

Pendekatan legislasi perkebunan memliki pendekatan yang berbeda. Hal

tersebut sesuai Undang Undang No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan (UU

Perkebunan),32 yaitu:

“(1) Setiap Pelaku Usaha Perkebunan dilarang membuka dan/atau mengolah lahan

dengan cara membakar. (2) Setiap Pelaku Usaha Perkebunan berkewajiban memiliki

sistem, sarana, dan prasarana pengendalian kebakaran lahan dan kebun.”33

Kewajiban dalam UU Perkebunan tersebut bersifat larangan membakar

dalam melakukan pembukaan lahan (land clearing) serta kewajiban bagi korporasi

untuk memiliki sistem, sarana dan prasarana pengendalian kebakaran lahan dan

kebun sebagaimana UU Kehutanan. Selain itu, UU Perkebunan menyebutkan

mengenai kewajiban perusahaan dalam melakukan pelestarian lingkungan tetapi

tidak menjelaskan mengenai tanggungjawab korporasi ketika terjadi kebakaran

diwilayahya. Legislasi terbatas pada kewajiban penyediaan sarana, prasarana,

dan sistem tanggap darurat yang memadai untuk menanggulangi terjadinya

kebakaran, sebagaimana berikut:

“Untuk memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud

pada ayat (1), sebelum memperoleh izin Usaha Perkebunan, Perusahaan

Perkebunan harus: … c. membuat pernyataan kesanggupan untuk menyediakan

sarana, prasarana, dan sistem tanggap darurat yang memadai untuk

menanggulangi terjadinya kebakaran.”34

32 Indonesia (c), Undang-Undang tentang Perkebunan, UU Nomor 39 Tahun 2014, LN No. 308 Tahun 2014, TLN No. 5613.

33 Ibid., ps. 56 ayat (1) dan (2). 34 Ibid., ps. 67 ayat (3).

44

Ketentuan tersebut tidak mengatur secara tegas mengenai pembebanan

pertanggungjawaban kepada korporasi apabila terjadi kebakaran pada areal

kerjanya selama korporasi sudah menyediakan pencegahan kebakaran lahan dan

kebun yang memadai, tanpa penjelasan lebih lanjut ukuran memadai. Hal tersebut

berpotensi menimbulkan dua tafsir pada ukuran “memadai”. Tafsir pertama, ukuran

memadai dinilai dari keberhasilan sarana dan prasarana tersebut dalam mencegah

kebakaran hutan dan lahan sehingga bersifat materil. Sedangkan, tafsir kedua,

ukuran memadai mengikuti ukuran tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah

yang menyebabkan tafsirnya menjadi bersifat formil. Dampaknya adalah apabila

ditafsirkan secara formil, selama perusahaan perkebunan sudah mengikuti

ketentuan mengenai ukuran “memadai” yang diwajibkan oleh pemerintah dan

terjadi kebakaran lahan dan kebun maka menurut ketentuan undang-undang

perkebunan, perusahaan tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban.

Kelemahan pendekatan UU Perkebunan tersebut terjawab dalam legislasi

lingkungan hidup yang mengatur lintas sektor, mulai dari pertambangan,

kehutanan sampai perkebunan. UU PPLH mengatur bahwa:

“Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban: a.

memberikan informasi yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan

lingkungan hidup secara benar, akurat, terbuka, dan tepat waktu; b. menjaga

keberlanjutan fungsi lingkungan hidup; dan c. menaati ketentuan tentang baku

mutu lingkungan hidup dan/atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.”35

Ketentuan tersebut mewajibkan korporasi untuk menjaga keberlanjutan fungsi

lingkungan hidup dan menaati ketentuan tentang baku mutu lingkungan hidup

dan/atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. Lingkup kriteria baku mutu

kerusakan lingkungan termasuk juga kebakaran hutan dan lahan.36 Pembebanan

tersebut dipertegas dengan adanya pertanggungjawaban korporasi baik secara

perdata, pidana maupun administratif. Untuk perdata, bahkan menggunakan

pendekatan tanggungjawab seketika bersifat mutlak (strict liability), yaitu:

“Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan

B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan

ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas

35 Indonesia (a), op.cit., ps. 68. 36 Ibid., ps. 21 ayat (3).

LAKSO ANINDITO

45

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.”37

Artinya apabila kebakaran hutan dan lahan terjadi di wilayah korporasi,

korporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban tanpa melihat siapa yang

melakukan pembakaran. Konsep strict liability merupakan konsep pembebanan

pertanggungjawaban tanpa pembuktian elemen kesalahan yang berangkat

dari kebutuhan melindungi masyarakat dari kejahatan tertentu yang sulit

pembuktiannya. Hal tersebut sebagaimana diungkapkan Richard G. Singer dan

John Q. La Fond, sebagai berikut:

“The courts here relied on two main premises: (1) legislature were unrestrained

in their ability to proscribe conduct and did not have to require mens rea (a

jurisprudential philosophy known as legal positivism); (2) there was a compelling

need to protect society, particularly minors, against such evils (sex, liquor, etc),

and it was too hard to prove mens rea.

During the first half of the twentieth century, some courts applied these

decisions to newly enacted “regulatory” statutes, such as those prohibiting… (3)

environmental damage”38

Pada pendekatan pidana, korporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban

apabila gagal dalam mencegah kebakaran hutan dan lahan sehingga menimbulkan

dampak baik karena secara aktif membakar, mendiamkan kebakaran dan tidak

melaksanakan kewajiban pencegahan (omission)39 maupun kelalaian40. Hal tersebut

mengingat bahwa kewajiban dalam pencegahan kebakaran merupakan kewajiban

hukum (legal obligation) sehingga tidak dilakukannya pencegahan menjadikan

perbuatan tersebut dapat digolongkan sebagai dengan sengaja tidak melakukan

(omission).41 Di Indonesia, hal tersebut selaras, berdasarkan pertimbangan hakim

agung dalam putusan PT Kalista Alam :

“…Bahwa dan segi kesalahan perusahaan tidak menyediakan sarana dan

prasarana dapat dikategorikan dengan sengaja…”42

37 Ibid., ps. 88. 38 Richard G. Singer dan John Q. La Fond, Criminal Law: Examples and Explanations, Sixth

Edition, (New York: Wolters Kluwer, 2013) hlm. 12139 Indonesia (a), op.cit., ps. 98. 40 Ibid., ps. 99. 41 Richard G. Singer dan John Q. La Fond, op.cit., hlm. 39.42 Putusan No. 1554 K/Pid.Sus/2015 dengan Terpidana PT Kalista Alam

46

Melalui berbagai pendekatan berbagai undangan tersebut, terdapat kemiripan

dari UU Kehutanan dan UU PPLH dalam melihat pertanggungjawaban korporasi

dengan pertanggungjawaban yang bersifat materil. Perbedaan terdapat pada UU

Perkebunan yang bersifat formil. Akan tetapi, sebagaimana penjelasan sebelumnya,

UU PPLH menjadi rujukan utama karena mengatur secara lebih khusus dari

berbagai legislasi yang khusus (systematische specialiteit) yaitu UU Perkebunan

maupun UU Kehutanan karena kebakaran hutan dan lahan merupakan ranah

secara dampak masuk dalam lingkup lingkungan hidup sehingga diutamakan

dibandingkan kedua legislasi lain. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa

pencegahan kebakaran hutan maupun lahan terhadap korporasi bersifat materil

baik terhadap perkebunan maupun kehutanan karena adanya legislasi lingkungan

hidup. Melalui pencegahan yang bersifat materil tersebut, korporasi diwajibkan

untuk melakukan pencegahan yang memastikan tidak terjadinya kebakaran.

Pedoman kewajiban pencegahan yang diterbitkan pemerintah hanya bersifat

sebagai pedoman standar minimal. Apabila terdapat kondisi tertentu (lokasi, jenis

tanah gambut dan lain-lain) dan berdasarkan analisis resiko korporasi diperlukan

upaya lebih dari pedoman yang dibentuk pemerintah maka upaya tersebut harus

dilakukan.

IV. Landasan Kewenangan Pelaksanaan Audit Kepatuhan Terpadu

Dasar hukum dari kewenangan pemerintah dalam melaksanakan audit

kepatuhan terpadu menjadi hal yang menarik dibahas, mengingat ketentuan yang

spesifik mengenai hal tersebut secara spesifik tercantum dalam Peraturan Menteri

Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang Pengendalian Kebakaran Hutan dan

Lahan (Peraturan Menteri LHK tentang Pengendalian Kebakaran Hutan dan

Lahan).43 Sedangkan, pelaksanaan audit kepatuhan terpadu pada tahun 2014

didasarkan pada keputusan Kepala Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan

dan Pengendalian Pembangunan (UKP PPP) dengan merujuk pada UU PPLH.

Berkaitan dengan hal tersebut, terdapat dua isu, yaitu: dasar hukum dari audit

43 Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehu-tanan Tentang Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan, Permen LHK No. P.32/MenLHK/Setjen/Jum.1/3/2016, ps. 105.

LAKSO ANINDITO

47

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

kepatuhan terpadu sebagai instrumen pencegahan kerusakan lingkungan hidup

dan tim terpadu yang melaksanakan audit kepatuhan terpadu tersebut.

Dasar hukum kewenangan pemerintah dalam melakukan audit kepatuhan

terpadu didasarkan pada legislasi lingkungan hidup. Berdasarkan UU PPLH,

Pemerintah mempunyai kewajiban sebagai berikut:

“(1) Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup

dilaksanakan dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup.

(2) Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. pencegahan; b. penanggulangan; dan c.

pemulihan.

(3) Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah,

pemerintah daerah, dan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan sesuai

dengan kewenangan, peran, dan tanggung jawab masing-masing.”44

Sesuai dengan ketentuan tersebut, pemerintah memiliki kewajiban untuk

melakukan pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan yang

terdiri dari pencegahan, penanggulangan dan pemulihan. Untuk melaksanakan

kewajiban tersebut baik pencegahan, penanggulangan dan pemulihan dilakukan

melalui berbagai instrumen. Adapun instrumen-instrumen pencegahan tersebut

terdiri dari:

“Instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup terdiri

atas: a. KLHS; b. tata ruang; c. baku mutu lingkungan hidup; d. kriteria baku

kerusakan lingkungan hidup; e. amdal; f. UKL-UPL; g. perizinan; h. instrumen

ekonomi lingkungan hidup; i. peraturan perundang-undangan berbasis lingkungan

hidup; j. anggaran berbasis lingkungan hidup; k. analisis risiko lingkungan hidup;

l. audit lingkungan hidup; dan m. instrumen lain sesuai dengan kebutuhan dan/

atau perkembangan ilmu pengetahuan.”45

Instrumen tersebut terdiri dari 12 (dua belas) instrumen yang secara spesifik

ditentukan oleh undang-undang dan 1 (satu) instrumen yang dapat dikembangkan

oleh pemerintah. Instrumen audit kepatuhan terpadu tidak menjadi salah satu

44 Indonesia (a), op.cit., ps. 13.45 Ibid.,ps. 14

48

instrumen yang secara spesifik disebutkan. Adapun, pengaturan yang ada hanyalah

audit lingkungan hidup. Perbedaannya, pada sisi pelaksana, audit kepatuhan

hanya dapat dilaksanakan oleh auditor lingkungan hidup yang dipekerjakan

oleh perusahaan baik dengan dipilih oleh perusahaan atau dipilih oleh menteri

apabila perusahaan tidak mau melakukan audit kepatuhan.46 Mengenai hal yang

diaudit, terbatas pada cara pandang auditor lingkungan hidup tanpa melihat

aspek lainnya yang terkait kebakaran hutan dan lahan secara komprehensif. Selain

itu, pada beberapa kasus rawan terjadi konflik kepentingan karena dibiayai oleh

perusahaan.

Peluang audit kepatuhan terpadu didasarkan dari turunan dari instrumen

ke-13 (ketiga belas) dari berbagai instrumen pencegahan pencemaran dan/atau

kerusakan lingkungan hidup, yaitu:

“ .. m. instrumen lain sesuai dengan kebutuhan dan/atau perkembangan ilmu

pengetahuan.”

Instrumen tersebut memungkinkan pemerintah untuk membentuk instrumen

lain sesuai kebutuhan dan/atau perkembangan ilmu pengetahuan. Dari berbagai

hasil penelitian secara ilmiah, audit kepatuhan terpadu dibutuhkan untuk melihat

bukan hanya dari sudut pandang lingkungan hidup tetapi aspek lain lain, seperti:

kebijakan, tata kelola, kepentingan47 dan konflik sosial.48 Hal tersebut berangkat

dari kebutuhan dalam melihat persoalan kebakaran hutan dan lahan secara

komprehensif baik untuk mendorong kepatuhan maupun perbaikan kebijakan.

Secara teoritis, bukan hanya normatif undang-undang, landasan ilmiah dari

dilaksanakannya audit kepatuhan terpadu tersebut juga selaras dengan salah satu

landasan dalam pembuatan suatu kebijakan publik sebagaimana disampaikan Ian

Gouh. Secara teori, menurut Ian Gouh dengan mengutip hasil penelitian Richard

Freeman dan elaborasi yang dilakukannya bahwa kebijakan pencegahan didasarkan

dari dua pondasi utama. Pertama, pemahaman ilmiah terhadap penyebab dan efek

serta kemungkinan untuk memprediksi (scientific understandings of cause and effect

and the possibility of prediction). Audit kepatuhan terpadu berangkat dari kebutuhan

46 Ibid., ps. 48-51 47 Helena Varkkey. The Haze Pollutin Problem in Southeast: Palm Oil and Patronage Asia.

(London and New York: Routledge, 2016) hlm 1848 Charles Victor Barber, Forests, Fires and Confrontation in Indonesia, (IISD, 2002), Hlm.110

LAKSO ANINDITO

49

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

audit dengan melihat aspek yang komprehensif sesuai ilmu pengetahuan

sebagaimana penjelasan sebelumnya. Kedua, kebijakan pencegahan tersebut

diduga mempunyai kapasitas oleh pemerintah dalam melakukan intervensi yang

dapat dikontrol dalam kehidupan sosial (prevention policy presumes some capacity

for controlled intervention by government in social life).49 Pengambilan kebijakan audit

kepatuhan terpadu merupakan bagian dari intervensi dalam upaya mencegah

kebakaran hutan dan lahan khususnya dalam fungsi pencegahan sekunder

sebagaimana dibahas sebelumnya.

Selanjutnya, kewenangan untuk membetuk audit kepatuhan terpadu tersebut

teratribusi50 kepada Pemerintah. Sesuai dengan UU PPLH, kata “Pemerintah”

merujuk pada:

“Pemerintah pusat, yang selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden

Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik

Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945.”51

Berdasarkan hal tersebut, Presiden mendapatkan atribusi kewenangan dari

undang-undang untuk membentuk dan melaksanakan audit kepatuhan terpadu.

Pada pelaksanannya, sesuai dengan Peraturan Presiden Tentang Penataan Tugas

dan Fungsi Kabinet Kerja52 dan Peraturan Presiden Tentang Kedudukan, Tugas,

dan Fungsi Kementerian Negara serta Susunan Organisasi, Tugas, Dan Fungsi

Eselon I Kementerian Negara, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan53

mempunyai tugas membantu Presiden dalam urusan lingkungan hidup dan

kehutanan. Artinya Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mempunyai

kewenangan dalam perumusan dan penetapan kebijakan di bidang lingkungan

hidup yang dalam hal ini adalah audit kepatuhan terpadu. Kebijakan tersebut

49 Ian Gough (a), op.cit, hlm.350 Philupus M. Hadjon, Fungsi Normatif Hukum Administrasi Dalam Mewujudkan Pemerin-

tahan Yang Bersih, Pidato Peresmian Penerimaan Jabatan Guru Besar Dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Airlangga., 1994, hlm. 7

51 Indonesia (a), op.cit., ps. 1 angka 37 52 Presiden RI (a), Peraturan Presiden tentang Penataan Tugas Dan Fungsi Kabinet Kerja, Perpres

Nomor 165 Tahun 2014, ps. 553 Presiden RI (b), Peraturan Presiden tentang Kedudukan, Tugas, Dan Fungsi Kementerian Negara

Serta Susunan Organisasi, Tugas, Dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara, Perpres No. Nomor 24 Tahun 2010, ps. 574 dan ps. 575.

50

dibentuk dalam Peraturan Menteri LHK tentang Pengendalian Kebakaran Hutan

dan Lahan.

Kesimpulannya, dasar kewenangan dalam pelaksanaan audit kepatuhan

terpadu didasarkan pada kewenangan pemerintah dalam membentuk instrumen

pencegahan (sebagai instrumen ke-13 (tiga belas)) didasarkan pada UU PPLH.

Sedangkan, pada tahap pelaksanaan diturunkan secara teknis dalam Peraturan

Menteri KLHK tentang Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan walaupun

tidak mengatur secara detail bagamana tata cara pelaksanaannya secara detail.

V. Prasyarat Pelaksanaan Audit Kepatuhan

Terdapat beberapa prasyarat yang diperlukan dalam mewujudkan audit

kepatuhan terpadu secara optimal. Prasyarat tersebut terbagai dalam dua isu

utama, yaitu: tim terpadu dan perangkat yang digunakan untuk melakukan audit.

Tim terpadu terkait dengan kemampuan tim dalam melakukan indentifikasi

persoalan dan pengukuran kepatuhan secara objektif, independen, komprehensif

dan akuntabel. Sedangkan, perangkat yang digunakan adalah instrumen yang

digunakan sebagai panduan dan ukuran kepatuhan dari objek yang diaudit.

Tim terpadu yang berintegritas dan profesional memiliki fungsi penting dalam

melakukan audit kepatuhan. Untuk memenuhi hal tersebut dibutuhkan pemenuhan

beberapa syarat. Pertama, tim terpadu harus didasarkan dari keterpaduan keahlian

dan kewenangan yang relevan dengan sektor yang mempengaruhi pencegahan

kebakaran hutan dan lahan. Pelibatan ahli dari universitas maupun lembaga

riset yang menguasai bidang ilmunya memiliki fungsi penting untuk dilibatkan

sehingga proses audit kepatuhan dilakukan secara ilmiah dan menggunakan

metode yang tepat. Sebagai contoh, pada audit kepatuhan terpadu tahun 2014,

terdapat ahli yang memahami kebakaran hutan dan lahan, kerusakan tanah dan

hukum lingkungan hidup.54 Lebih lanjut, kewenangan dari Kementerian/Lembaga

54 Sesuai dengan Dokumen Audit Kepatuhan dalam Rangka Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan, ahli yang digunakan antara lain: Bambang Hero Saharjo, ahli kebakaran hu-tan dan lahan, serta Basuki Wasis, ahli kerusakan tanah dari Institut Pertanian Bogor (IPB) memiliki peran penting dalam membangun instrumen audit sehingga audit dapat dilak-sanakan sesuai dengan metode ilmiah. Hal tersebut diperkuat dengan tersedianya masukan pemenuhan sesuai legislasi yang berlaku dari Mas Achmad Santosa yang saat itu sekaligus

LAKSO ANINDITO

51

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

yang dilibatkan memiliki fungsi penting sehingga temuan-temuan tersebut dapat

ditindaklanjuti sesuai kewenangannya. Sebagai contoh, pada audit kepatuhan

terpadu tahun 2014, pelibatan perwakilan dari Kementerian Lingkungan Hidup,

Kementerian Kehutanan dan Kementerian Perkebunan memiliki peran untuk

mendukung fleksibilitas pelaksanaan audit terkait kewenangan yang melekat

padanya serta dukungan data serta informasi pendukung, seperti Amdal atau

UKL-UPL, yang dimiliki kementerian tersebut. Ke depan, perlu dipertimbangkan

pelibatan Kementerian Dalam Negeri karena memiliki kewenangan terkait

pemerintah daerah yang menjadi mitra sekaligus objek audit kepatuhan terpadu.

Kedua, integritas dan indepedensi pelaku audit. Menjadi hal penting bagi tim

audit untuk menghindarkan diri dari benturan kepentingan (conflict of interest).

Benturan kepentingan tersebut dapat terjadi dari 2 (dua) pendekatan. Pendekatan

pertama adalah pembiayaan. Pembiayaan yang dilaksanakan untuk mendukung

proses audit seharusnya harus bebas dari pembiayaan oleh korporasi dengan

tujuan menghindari konflik kepentingan. Apabila dikarenakan kondisi harus

menggunakan sarana korporasi, seperti pada kondisi audit yang dilakukan melalui

kanal dimana hanya korporasi yang memiliki kapal maka sedapat mungkin biaya

penggunaan kapal tetap dibayarkan oleh tim audit kepatuhan terpadu. Pendekatan

kedua adalah interaksi dengan objek audit kepatuhan dan kepentingan dari

kementerian/lembaga yang terlibat. Sebagai contoh, Kementerian Kehutanan

memiliki kewenangan dalam penerbitan izin dan mempunyai kepentingan dalam

mendorong industri kehutanan untuk dapat meningkatkan produksi. Di sisi lain,

Kementerian Kehutanan memiliki kewenangan untuk melakukan penegakan

hukum atas pelanggaran yang terjadi. Untuk itu, menjadi penting untuk melibatkan

Direktorat Jenderal yang melakukan pengawasan dan penegakan hukum

administratif apabila audit melibatkan Direktorat Jenderal yang mendukung

pelaksanaan produksi dari industri kehutanan. Hal tersebut untuk memastikan

adanya masukan yang berimbang. Pada konteks ahli, pembacaan rekam jejak ahli

yang terlibat menjadi penting khususnya terkait interaksi dengan korporasi. Hal

tersebut untuk memastikan audit dilaksanakan secara berintegritas.

menjabat sebagai pengarah tim audit sekaligus Deputi Unit Kerja Presiden Bidang Peren-canaan dan Pengawasan Pembangunan (UKP PPP) dan ahli hukum lingkungan hidup dari Universitas Indonesia.

52

Perangkat audit kepatuhan terpadu menjadi isu penting untuk memastikan

metode dan proses audit dilaksanakan secara objektif baik ukuran kepatuhan

maupun pemilihan objek audit. Perangkat audit kepatuhan harus dapat

mencerminkan segala aspek terkait kebakaran hutan dan lahan secara

komprehensip. Pada audit kepatuhan terpadu tahun 2014, audit dilakukan

dengan menggunakan tiga pendekatan, yaitu: aspek sistem dan kelembagaan,

aspek sarana prasarana dan sumber daya manusia serta aspek biofisik dan sosial

kemasyarakatan.

Aspek sistem dan kelembagaan digunakan untuk mengukur kesiapan

korporasi dalam membangun sistem yang digunakan untuk mencegah kebakaran

hutan dan lahan. Sebagai contoh, keberadaan Standard Operating Procedure (SOP)

dan pelaksanaan SOP tersebut secara teknis di lapangan sehingga tidak terbatas

hanya dokumen. Sedangkan, kelembagaan digunakan untuk melihat kesiapan

kelembagaan korporasi dalam mencegah dan menangani kebakaran hutan dan

lahan, seperti: kesediaan unit khusus yang memastikan kepatuhan korporasi dalam

mencegah kebakaran khususnya dalam membaca potensi rawan kebakaran baik

terkait faktor alam (contohnya: musim kemarau) maupun bukan alam (contohnya:

musim tanam serta masyarakat sekitar) serta kemampuan merumuskan langkah-

langkah yang dilakukan berdasarkan pembacaan kondisi tersebut.

Aspek sarana prasarana digunakan untuk mengukur kesediaan sarana

dan prasarana yang digunakan baik untuk mencegah maupun menanggulangi

kebakaran yang terjadi. Sebagai contoh, kesediaan alat pemantau titik api, kesediaan

sarana pemadam api dan keterbukaan akses untuk memadamkan api. Untuk itu,

kewajiban dihimpun dari adanya kewajiban dalam regulasi dan komitmen dalam

dokumen Amdal atau UKL-UPL.

Secara regulasi, standar sarana dan prasanana pencegahan dan penanggulangan

kebakaran hutan dan lahan belum secara terpadu diatur dalam satu regulasi di

Indonesia. Untuk itu, pada audit kepatuhan terpadu tahun 2014, kewajiban standar

minimal sarana dan prasarana pencegahan kebakaran dihimpun dari sedikitnya

12 (dua belas) regulasi untuk bidang kehutanan55 dan 8 (delapan) regulasi bidang

55 Dasar hukum untuk bidang kehutanan tersebut: a. Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan; b. Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 2001 tentang Pen-gendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan; c. Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 16 Tahun

LAKSO ANINDITO

53

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

perkebunan56. Berbagai regulasi tersebut yang menjadi dasar pembuatan standar

kepatuhan audit. 57

Untuk mengakomodir kebutuhan minimal sarana dan prasarana dengan

didasarkan analisis resiko yang diturunkan pada komitmen masing-masing

perusahaan dalam dokumen Amdal atau UKL-UPL korporasi tersebut. Hal

tersebut didasarkan pada kondisi bentang alam konsesi yang berbeda-beda

sehingga dokumen Amdal atau UKL-UPL menjadi media yang penting untuk

memperkirakan resiko dari aktivitas korporasi dan memastikan komitmen

2011 tentang Peningkatan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Presiden Repub-lik Indonesia; d. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 10 Tahun 2010 ten-tang Mekanisme Pencegahan Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan; e. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.12/Menhut-II/2009 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan; f. Keputusan Direktur Jen-deral Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam No. 48/KPTS/DJ-VI/1997 tentang Sistem Komando Pemadaman kebakaran Hutan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam; g. Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestar-ian Alam No. 243/KPTS/DJ-VI/1994 tentang Petunjuk teknis Pencegahan dan Penang-gulangan Kebakaran Hutan di Areal Pengusahaan Hutan dan Areal Penanggulangan Lainnya; h. Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam No. 244/KPTS/DJ-VI/1994 tentang Petunjuk Teknis Pemadaman Kebakaran Hutan; i. Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam No. 245/KPTS/DJ-VI/1994 tentang Prosedur Tetap Pemakaian Peralatan Pemadam Kebakaran Peralatan Pemadam Kebakaran Hutan; j. Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hu-tan dan Pelestarian Alam No. 246/KPTS/DJ-VI/1994 tentang Petunjuk Pembuatan dan Pemasangan Rambu-Rambu Kebakaran Hutan; k. Keputusan Direktur Jenderal Perlindun-gan Hutan dan Pelestarian Alam No. 247/KPTS/DJ-VI/1994 tentang Petunjuk Standarisasi Sarana Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran Hutan; dan l. Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam No. 248/KPTS/DJ/VI/1994 tentang Prosedur Tetap Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran Hutan.

56 Dasar Hukum Kerangka Audit Bidang Perkebunan: a. Undang-Undang No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan; b. Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pedoman atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan; c. Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 16 Tahun 2011 tentang Peningkatan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan; d. Per-aturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 10 Tahun 2010 tentang Mekanisme Pencegahan Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan; e Peraturan Menteri Pertanian No. 19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang Persyaratan Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil/ISPO); f. Peraturan Menteri Pertanian No. 98 Tahun 2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan; g. Peraturan Menteri Pertanian No. 47/Permentan/OT.140/4/2014 tentang Brigade dan Pedoman Pelaksanaan Pencegahan ser-ta Pengendalian Kebakaran Lahan dan Kebun; dan h. Pedoman Pengendalian Kebakaran Lahan dan Kebun Direktorat Perlindungan Perkebunan Direktorat Jenderal Perkebunan Kementrian Pertanian Tahun 2010.

57 Tim Audit Kepatuhan Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan, Laporan Audit Kepatuhan Kebakaran Hutan dan Lahan di Provinsi Riau, (Jakarta: BP REDD+, 2014).

54

korporasi untuk memenuhinya sehingga kerusakan lingkungan hidup dapat

dicegah.

Mengenai sarana prasarana, menjadi catatan penting bahwa pemenuhan

sarana prasarana sesuai regulasi tidak berarti korporasi dapat melepaskan diri

dari pertanggungjawaban korporasi baik perdata maupun pidana apabila terjadi

kebakaran. Hal tersebut didasarkan tanggungjawab korporasi dalam pencegahan

kebakaran hutan dan lahan bersifat materil sesuai dengan pembahasan pada

pertanggungjawaban pidana korporasi. Adapun, penggunaan standar regulasi

dan Amdal atau UKL/UPL sebagai dasar audit adalah untuk menetapkan standar

yang sama dalam proses audit kepatuhan terpadu.

Aspek Biofisik dan sosial kemasyarakatan digunakan untuk mengevaluasi

persoalan dari kondisi biofisik dan sosial kemasyarakatan serta pengaruhnya

terhadap kebakaran hutan dan lahan. Aspek biofisik melihat apakah aktivitas

yang dilakukan oleh korporasi dilakukan di kawasan yang sesuai dengan legislasi

yang berlaku. Sebagai contoh, pengukuran kedalaman gambut di dalam wilayah

konsesi dihubungkan dengan kesesuaian legislasi perlindungan gambut serta

perlindungan flora dan fauna.

Aspek sosial kemasyarakatan menilai potensi konflik yang terjadi disekitar

konsesi. Kebakaran terkadang disebabkan oleh ketidakjelasan tata kelola kawasan

serta pemberian konsesi yang menyebabkan konflik sehingga pembukaan lahan

dengan menggunakan pembakaran terjadi di wilayah sengketa.

Berbagai instrumen tersebut dibentuk didasarkan pada pemikiran faktor-faktor

yang berpengaruh terhadap kesiapan dalam pencegahan kebakaran hutan dan

lahan. Selain itu, instrument-instrumen tersebut berperan untuk dapat memahami

persoalan pencegahan kebakaran hutan dan lahan secara komprehensif.

Menjadi hal penting untuk memastikan seluruh aspek tersebut dihitung secara

cermat melalui metode perhitungan yang terukur. Hal tersebut untuk memastikan

terciptanya proses audit yang akuntabel dan adil antar perusahaan yang menjadi

objek audit kepatuhan.

LAKSO ANINDITO

55

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

Tabel 1. Contoh Bagian Hasil Perhitungan Pada Pelaksanaan Audit Kepatuhan 201458

4. Aspek biofisik 0,14 0,0281. Kedalaman dan sebaran gambut 0,4 0

2 1 sesuai standartidak sesuai standar

2. Tata Kelola Air 0,4 0,23 1 sistem tata kelola air ada dan efektif2 0,5 sistem tata kelola air ada namun tidak efektif1 0 sistem tata kelola air tidak ada

3 Keragaman spesies flora dan fauna 0,2 0t o t a l 0,2 2 1 sesuai standar

1 0 tidak sesuai5 Aspek Sosial kemasyarakatan 0,091 0,015

1. Konflik Agraria 0,667 03 1 tidak ada konflik2 0,5 ada konflik namun sudah di selesaikan dengan baik1 0 ada konflik namun tidak di selesaikan dengan baik

2. Pola Kemitraan 0,333 0,167t o t a l 0,167 3 1 ada kemitraan dan terbina dengan baik

0,3832 2 0,5 ada kemitraan namun tidak terbina dengan baik38,32 0 tidak ada pola kemitraan

Penentuan objek audit memiliki peran penting juga untuk melaksanakan audit

pada objek yang tepat. Hal tersebut untuk mendorong objek audit yang berpotensi

terjadinya kebakaran dikonsesinya untuk patuh. Penentuan objek korporasi dan

pemerintah daerah yang menjadi objek didasarkan pada pembacaan sejarah

tingkat tingginya titik api maupun lokasi terbakar secara aktual. Hal tersebut

untuk memastikan adanya lokasi yang tepat dalam melakukan audit kepatuhan.

VI. Penutup

Audit kepatuhan terpadu yang dilaksanakan secara tepat dapat menjadi

salah satu instrumen yang efektif dalam mencegah kebakaran hutan dan lahan.

Hal tersebut terkait peran audit kepatuhan terpadu untuk mengukur kepatuhan

korporasi, sehingga dapat ditindaklanjuti segara untuk memastikan korporasi

memenuhi kewajibannya. Selain itu, audit kepatuhan terpadu berperan penting

untuk menjadi dasar informasi dan data dalam kerangka penegakan hukum

administrasi khususnya optimalisasi peran pengawasan pemerintah. Audit

kepatuhan terpadu juga menjadi dasar untuk menemukan akar permasalahan

sehingga dapat menjadi dasar perumusan kebijakan.

58 Tim Audit Kepatuhan Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan, op.cit., hlm. 35.

56

Untuk mendukung terciptanya audit kepatuhan terpadu, perlu dipenuhi

prasyarat baik terkait dengan tim terpadu yang melaksanakan audit maupun

instrumen yang digunakan sebagai acuan dalam pelaksanaan audit kepatuhan.

Pemilihan objek audit dengan mempertimbangkan resiko maupun sejarah objek

audit juga menjadi penting untuk membangun audit kepatuhan yang adil.

Ke depan, pelaksanaan audit kepatuhan sudah seharusnya dilaksanakan secara

rutin dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Hal tersebut untuk

memastikan upaya pencegahan kebakaran hutan dan lahan menjadi optimal serat

memperkuat kapasitas pemerintah daerah dalam mencegah kebakaran hutan dan

lahan.

LAKSO ANINDITO

57

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

DAFTAR PUSTAKA

Buku dan Tulisan

Albert J. Reiss Jr. 1984. Consequences Of Compliance And Deterrence Models of

Law Enforcement For The Exercise of Police Discretion, Duke University School

of Law Journal of Law and Contemporary Problems, Volume 47, No.4.

Durham: Duke University School of Law

Philupus M. Hadjon. 1994. Fungsi Normatif Hukum Administrasi Dalam Mewujudkan

Pemerintahan Yang Bersih, Pidato Peresmian Penerimaan Jabatan Guru Besar

Dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Airlangga.

Barber, Charles Victor. 2002. Forests, Fires and Confrontation in Indonesia. IISD

Departement of Environment and Conservation Team. 2006. Audit Compliance

Handbook. NSW: DEC.

Sophie Martin. 2008. EPA Industry Compliance Audit Report for The Surface Coating

Sector. Adelaide: EPA.

Tucker, J. and Bates, D.G (eds.). 2010. Human Ecology: Contemporary Research

and Practice. New York: Spinger.

Nicholls QC, Colin et al. 2011. Corruption and Misuse of Public Office: Second Edition.

Oxford: Oxford University Press.

Brandon C. Welsh dan David D Farrington (eds.). 2011. Crime Prevention and Public

Policy dalam The Oxford Handbook of Prevention. New York: Oxford University

Press.

Gough, Ian. 2011. Climate Change and Public Policy Futures, A Report Prepared for the

British Academy. London: The British Academy.

Coote, A. 2012. The Wisdom of Prevention. London: nef.

Gough, Ian. 2013. Understanding prevention policy: A theoretical approach. London:

London School of Economic and Political Science

Richard G. Singer dan John Q. La Fond. 2013. Criminal Law: Examples and

Explanations, Sixth Edition. New York: Wolters Kluwer.

Mas Achmad Santosa. 2014. Efektivitas Penegakan Hukum Administrasi Dalam

Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Di Indonesia: Studi Kasus Di

Provinsi Jawa Tengah. Jakarta: Universitas Indonesia.

58

Tim Audit Kepatuhan Terpadu. 2014. Ringkasan Eksekutif (Executive Summary) Audit

Kepatuhan Dalam Rangka Pencegahan Kebakaran Hutan Dan Lahan Di Provinsi

Riau. Jakarta: BP REDD+.

Tim Audit Kepatuhan. 2014. Laporan Lengkap Audit Kepatuhan Dalam Rangka

Kebakaran Hutan dan Lahan di Provinsi Riau. Jakarta: BP REDD+.

Helena Varkkey. The Haze Pollutin Problem in Southeast: Palm Oil and Patronage

Asia. (London and New York: Routledge, 2016)

Nick Tilley dan Aiden Sidebottom (eds.). 2017. Handbook of Crime Prevention and

Community Safety. London dan New York: Routledge

https://www.soas.ac.uk/cedep-demos/000_P508_EAEMS_K3736-Demo/unit1/

page_14.htm diakses pada tanggal 24 Juli 2017

https://www.lapan.go.id/index.php/subblog/read/2014/838/KEKERINGAN-

TAHUN-2014-NORMAL-ATAUKAH-EKSTRIM/1653 diakses pada tanggal

3 Agustus 2017

https://www.epa.gov/compliance/audit-protocols diakses pada tanggal 8 Juni 2017

Peraturan dan Putusan

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana diubah

dengan UU Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perubahan

Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Menjadi

Undang-Undang

Undang-Undang No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan

Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan

atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran

Hutan dan atau Lahan

Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan

atau Pedoman atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan

dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan

Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan

LAKSO ANINDITO

59

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, Dan Fungsi

Kementerian Negara Serta Susunan Organisasi, Tugas, Dan Fungsi Eselon I

Kementerian Negara

Peraturan Presiden Nomor 165 Tahun 2014 tentang Penataan Tugas Dan Fungsi

Kabinet Kerja

Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 16 Tahun 2011 tentang Peningkatan

Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan .

Peraturan Menteri Kehutanan No. P.12/Menhut-II/2009 tentang Pengendalian

Kebakaran Hutan.

Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 10 Tahun 2010 tentang

Mekanisme Pencegahan Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan

Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan.

Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 10 Tahun 2010 tentang

Mekanisme Pencegahan Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan

Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan

Peraturan Menteri Pertanian No. 19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang

Persyaratan Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia

(Indonesian Sustainable Palm Oil/ISPO)

Peraturan Menteri Pertanian No. 98 Tahun 2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha

Perkebunan

Peraturan Menteri Pertanian No. 47/Permentan/OT.140/4/2014 tentang Brigade

dan Pedoman Pelaksanaan Pencegahan serta Pengendalian Kebakaran

Lahan dan Kebun

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.32/MenLHK/

Setjen/Jum.1/3/2016 Tentang Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan

Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam

No. 243/KPTS/DJ-VI/1994 tentang Petunjuk teknis Pencegahan dan

Penanggulangan Kebakaran Hutan di Areal Pengusahaan Hutan dan

Areal Penanggulangan Lainnya

Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam No. 244/

KPTS/DJ-VI/1994 tentang Petunjuk Teknis Pemadaman Kebakaran Hutan.

Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam

No.245/KPTS/DJ-VI/1994 tentang Prosedur Tetap Pemakaian Peralatan

Pemadam Kebakaran Peralatan Pemadam Kebakaran Hutan.

60

Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam No.

246/KPTS/DJ-VI/1994 tentang Petunjuk Pembuatan dan Pemasangan

Rambu-Rambu Kebakaran Hutan.

Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam No.

247/KPTS/DJ-VI/1994 tentang Petunjuk Standarisasi Sarana Pencegahan

dan Penanggulangan Kebakaran Hutan.

Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam

No. 248/KPTS/DJ/VI/1994 tentang Prosedur Tetap Pencegahan dan

Penanggulangan Kebakaran Hutan.

Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam No.

48/KPTS/DJ-VI/1997 tentang Sistem Komando Pemadaman kebakaran

Hutan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam.

Pedoman Pengendalian Kebakaran Lahan dan Kebun Direktorat Perlindungan

Perkebunan Direktorat Jenderal Perkebunan Kementrian Pertanian Tahun

2010

Putusan No. 1554 K/Pid.Sus/2015 dengan Terpidana PT Kalista Alam

LAKSO ANINDITO

61

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

TanTangan TaTa Kelola KebijaKan Perubahan iKlim di indonesia

(sTudi Kasus: KomParasi anTara PeneraPan desenTralisasi dan

Multi-level Governance)

Rifka Sibarani 1

Abstrak

Intergovernmental Panel of Climate Change (IPCC) menyarankan untuk

menggunakan pendekatan multi-level governance (MLG) untuk mengimplementasi

kebijakan perubahan iklim, seperti yang telah diterapkan di Uni Eropa. Indonesia

adalah salah satu negara yang masih menggunakan pendekatan desentralisasi

dalam implementasi kebijakan perubahan iklim dan kondisi ini memiliki tantangan

tersendiri.

Artikel ini menggunakan pendekatan studi pustaka dan berfokus pada

dokumen pemerintah, laporan dari media massa dan studi akademis untuk

mengeksplorasi tantangan tata kelola kebijakan perubahan iklim di Indonesia dalam

perspektif multi-level governance (MLG) di Indonesia, dengan melihat implementasi

RAD-GRK di Sumatera Utara. Temuan dalam studi ini menunjukkan bahwa

desentralisasi merupakan tantangan kebijakan perubahan iklim di Indonesia, yang

mana manghasilkan permasalahan, antara lain, koordinasi yang buruk di instansi

pemerintah dan tidak ada keharusan hukum bagi pemerintah daerah dan kota

untuk memberikan tingkat emisi mereka.

Kata kunci: multi-level governance, climate change policy, decentralisation

1 Penulis adalah pengajar di Universitas Atma Jaya Yogyakarta

62

Abstract

The Intergovernmental Panel of Climate Change (IPCC) recommends using the Multi-

Level Governance (MLG) approach to implementing climate change policies, as applied in

the EU. Indonesia is one of the countries that still uses decentralization approach in the

implementation of climate change policy and this condition has its own challenges.

This article uses a literature approach and focuses on government documents, media

reports and academic studies to explore the challenges of climate change governance in

Indonesia by comparing the MLG and the decentralisation approaches and looking the

implementation of RAD-GRK in North Sumatera, Indoensia The findings in this study

indicate that decentralisation is a challenge to climate change policy in Indonesia, which

creates problems, among others, poor coordination in government agencies and there is no

legal requirement for local and municipal governments to provide their emission levels.

Keywords: multi-level governance, climate change policy, decentralization

I. Pendahuluan

Dalam studi kebijakan publik dan hubungan internasional, kebijakan

perubahan iklim merupakan isu yang pelik. Dikarenakan lingkup permasalahan

kebijakan yang kompleks, beberapa studi menyebut isu kebijakan perubahan

iklim sebagai “the super wicked problem”.23 Kompleksitas permasalahan kebijakan

perubahan iklim serta skala dari kompleksitas penanganan dampak dari perubahan

iklim tersebut membuat perubahan iklim sebagai krisis global yang sangat penting

di abad ini bagi negara maju dan berkembang,4 termasuk Indonesia.

Indonesia merupakan salah satu pihak yang meratifikasi piagam United

Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Indonesia telah

menandatangani berbagai kerjasama internasional di bidang lingkungan hidup

dan pinjaman luar negeri dengan agenda untuk menurunkan emisi gas rumah kaca

2 J. Fitzgibbon dan K. Mensah, “Climate Change as a Wicked Problem”, SAGE Open, Vol 2, No. 2 (2012), hal. 2

3 R. Grundmann, R, “Climate change as a wicked social problem”, Nature, Geoscience, Vol 9, No. (8), (2016), hal. 562

4 J. Fitzgibbon dan K. Mensah, loc. cit., hal. 2

RIFKA SIBARANI

63

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

di tingkat nasional sebesar 21% tanpa bantuan dana internasional, dan 41% dengan

dana internasional, khususnya di bidang kehutanan.5 Terhitung sejak tahun 2011,

misalnya, Indonesia telah meminjam dari Asian Development Bank sebesar $US

100 juta6 dan World Bank sebesar $US 200.000,7 untuk berbagai kegiatan terkait

manajemen penurunan emisi gas rumah kaca di Indonesia. Namun hingga saat ini

hasilnya masih belum memuaskan, terutama dari program REDD+,8 9 sedangkan

dampak perubahan iklim di Indonesia semakin jelas dan berbahaya.

Perubahan iklim merupakah salah satu isu global yang dibingkai sebagai isu

yang dibedah dengan sistem antar pemerintah yang telah diatur oleh negara-negara

lain memiliki kepentingan bersama (intergovernmental regime). Salah satu hasil dari

sistem ini adalah Intergovernmental Panel of Climate Change (IPCCC) yang telah

mengeluarkan beragam laporan dan manual untuk diikuti negara-negara anggota

guna menurunkan emisi karbon mereka, termasuk Indonesia. Salah satu anjuran

5 Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Ikim, Indonesia-Norway Partnerships on REDD+, Liputan Khusus COP 21 2015, http://ditjenppi.menlhk.go.id/program/liputan-khusus-cop-21-2015/indonesia-norway-partnerships-on-redd.html, diakses pada 13 April 2017

6 Asian Development Bank, News Releases, ADB $100 Million Loan Aids Low Carbon Growth, Climate Resilience in Indonesia, https://www.adb.org/news/adb-100-million-loan-aids-low-carbon-growth-climate-resilience-indonesia, diakses pada 5 April 2017

7 World Bank, Projects and Operations, Indonesia Climate Change Development Policy Proj-ect, http://projects.worldbank.org/P120313/indonesia-climate-change-development-poli-cy-project?lang=en, diakses 30 Maret 2017

8 Norwegia telah menyatakan ketidakpuasannya sebab tidak adanya kemajuan yang telah dicapai Indonesia dalam program REDD+. Pada tahun 2010, Norwegia setuju untuk meny-erahkan dana sebesar US $ 1 miliar kepada Indonesia untuk mendanai program pengurangan emisi terkait sektor kehutanan dan tanah gambut. Menteri Lingkungan dan Iklim Norwegia, Vidar Helgesen, dalam kunjungannya di bulan Febuari 2016, mengungkapkan apresiasinya terhadap pemerintah Indonesia dalam upaya pengurangan emisi dari sektor kehutanan dan lahan gambut, namun Helgesen menyayangkan kualitas implementasi program REDD+ yang rendah dan progressnya yang lambat. Sumber: Jakarta Post, 2016, Norway Slams Slow REDD+ Project Progress, http://www.thejakartapost.com/news/2016/02/04/norway-slams-slow-redd-project-progress.html, diakses 20 Mei 2017

9 Menurut penelitian sebelumnya, Indonesia dinilai menujukkan performa kinerja REDD+ yang lebih baik dibandingkan dengan negara REDD+ lainnya seperti Vietnam, Peru, dan Cameroon. Biarpun demikian, Indonesia masih menghadapi banyak kekurangan dalam ke-siapan program REDDD+. Sebagai contoh, penelitian ini melihat bahwa tanggung jawab in-stitusi dalam menjalankan program REDD+ masih belum jelas hingga perlu dipertimbang-kan alternatif. Kemudian tidak ada prosedur MRV yang disiapkan oleh pemerintah, serta skema pembiayaan yang jelas – padahal Norwegia sudah menyediakan dana dengan jumlah yang besar untuk progam REDD+. Lihat Minang, Peter Akong, Meine Van Noordwijk, Lalisa A. Duguma, Dieudonne Alemagi, Trong Hoan Do, Florence Bernard, Putra Agung, et al. “REDD+ Readiness Progress Across Countries: Time for Reconsideration.” Climate Policy 14, no. 6 (2014): hal 685-708.

64

IPCC adalah menggunakan pendekatan multi-level governance (MLG),10 11 seperti

yang telah diterapkan di Uni Eropa. IPCC menganjurkan MLG sebab sebagai

pendekatan dalam studi ilmu pemerintahan, pendekatan ini merupakan sebuah

model tata kelola pemerintahan yang sesuai untuk program-program dengan tema

pembangunan berkelanjutan (sustainability) dan kemudian juga penerapannya

di bidang lain seperti perlindungan iklim atau ekonomi hijau.12 Serta dalam

penerapannya, pendekatan MLG lebih menekankan pada aspek kerja sama antar

lembaga yang meminimalisir birokrasi kelembagaan yang pada implementasinya

banyak memperlambat program-program pemerintahan dan inisiatif masyarakat.

Pada tahun 2011 Indonesia meluncurkan rencana aksi nasional (RAN-GRK)

untuk mengurangi emisi dari kehutanan dan sektor penggunaan lahan masing-

masing sebesar 26% dan 41% pada tahun 2020. Namun pendekatan yang dipakai

masih belum menggunakan MLG, seperti anjuran IPCC. Pendekatan yang

dipakai dalam pengembangan dan implementasi kebijakan perubahan iklim di

Indonesia masih dipengaruhi oleh sistem politik desentralisasi yang kemudian

pada praktiknya justru membatasi otoritas dan partisipasi daerah dalam politik

internasional seperti perubahan iklim.13 Berbeda dengan desentralisasi, MLG

menawarkan sebuah sistem tata kelola yang partisipatif dan inklusif.

Suatu perubahan dari tata kelola yang tersentralisasi menjadi terdesentralisasi

bukanlah suatu langkah yang mudah karena desentralisasi dapat diinterpretasikan

secara berbeda oleh pihak-pihak yang berbeda. Di sektor kehutanan, sejumlah

pemerintah daerah telah menginterpretasikan desentralisasi sebagai

kebebasan sepenuhnya untuk melakukan apapun yang mereka inginkan

dengan sumberdaya hutan di wilayah mereka. Salah interpretasi tak pelak

10 Kirsten Jörgensen, Anu Jogesh, dan Arabinda Mishra. “Multi-level climate governance and the role of the subnational level.” Journal of Integrative Environmental Sciences no. 4, (2015), hal. 236

11 Kirsten Jörgensen, Barbara Saerbeck, dan Martin Janicke. “The Multi-Level System of Global Climate Governance - the Model and its Current State.” Environmental Policy and Gover-nance, 2, 27, (2017), hal. 109

12 Schreurs MA, Tiberghien Y. Multi-level reinforcement: explaining European Union lead-ership in climate change mitigation. Global Environmental Politics, 7,4, (2007), hal: 19–46. DOI:10.1162/glep.2007.7.4.19

13 Carol J. Pierce Colfer dan Doris Capistrano, eds, Politik Desentralisasi Hutan, Kekuasaan dan Rakyat Pengalaman di berbagai Negara, (Bogor: Center for InternationalForestry Re-search (CIFOR), 2006), hal.

RIFKA SIBARANI

65

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

lagi membahayakan keberadaan sumberdaya hutan.14

Studi ini dikembangkan dengan mempelajari berbagai dokumen pemerintah

dan penelitian sebelumnya seputar kebijakan perubahan iklim di Sumatera Utara

2011-2015, sebelum isu perubahan iklim diikutsertakan ke dalam implementasi

agenda Sustainable Development Goals (SDGs) dan NAWA CITA. Adapun dokumen-

dokumen strategis yang digunakan antara lain Rencana Aksi Daerah Penurunan

Emisi Gas Rumah Kaca Provinsi Sumatra Utara 2010-2020 serta Peraturan Daerah

Provinsi Sumatera Utara Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah

(RPJPD) Provinsi Sumatera Utara Tahun 2005 – 2025.

Pertimbangan untuk menganalisis kedua dokumen ini adalah karena

kedua dokumen ini membahas detail penting tentang pelaksanaan kebijakan

pengurangan emisi di kawasan Sumatera Utara. Sebagai pembanding antara

kemajuan dari kebijakan ini dengan keadaan di lapangan, penelitian ini juga

menganalisis laporan evaluasi kebijakan program pengurangan emisi baik dari

eksternal maupun internal pemerintah. Tidak hanya itu, studi ini juga menganalisis

pemberitaan di media massa Indonesia khususnya dari periode 2011-2015 untuk

melihat bagaimana implementasi program di lapangan.

Jika melihat perkembangan yang signifikan sebagai implikasi dari agenda SDGs

dan NAWA CITA di Indonesia dan data sekunder yang digunakan, maka studi ini

akan terlihat tertinggal waktu. Oleh sebab itu, kedua hal diatas menjadi batasan

dari studi ini. Biarpun demikian, argumen dan data sekunder yang digunakan

dalam studi ini berkontribusi kepada pembelajaran implementasi sebuah

kebijakan yang secara global diakui sulit dengan menganalisis konteks politik

lokal di Indonesia. Penelitian ini disususun untuk memberikan latar belakang

teoritis untuk memahami tentang tantangan tata kelola kebijakan perubahan iklim

di Indonesia. Adapun tujuan ini berusaha dicapai dengan membandingkan dua

pendekatan teoritis, yaitu desentralisasi dan MLG, serta penerapannya di negara-

negara lain untuk kemudian dibandingkan dengan kondisi di Indonesia.

14 Wandojo Siswanto dan Wahjudi Wardojo, “Desentralisasi Sektor Kehutanan: Pengalaman Indonesia” dalam Carol J. Pierce Colfer dan Doris Capistrano, eds, Politik Desentralisasi Hutan, Kekuasaan dan Rakyat Pengalaman di berbagai Negara, (Bogor: Center for Interna-tionalForestry Research (CIFOR), 2006)

66

II. Pendekatan Multilevel Governance (MLG)

MLG merupakan sebuah pendekatan tata kelola yang identik dengan sistem

pemerintahan Uni Eropa yang berawal sejak awal tahun 1990-an.15 Kata kunci yang

penting dari teori dan pendekatn MLG adalah kolaborasi.16 Bache dan Flinders

(2004) menggunakan konsep MLG untuk memahami hubungan timbal balik

dinamis di dalam dan di antara berbagai tingkat pemerintahan dan pemerintahan.17

Meskipun gagasan tentang tata kelola multilevel pada awalnya dikembangkan di

sekitar Uni Eropa, banyak bentuknya telah diterapkan di bidang studi lain seperti

studi negara-negara federal dalam politik komparatif. McCormick berpendapat

bahwa “tata kelola bertingkat adalah sepupu konseptual dari dua konsep lama

lainnya, federalisme dan konfederelisme”.18 MLG juga dapat dipahami sebagai

sebuah sistem pemerintahan polisentrik yang berarti sebuah sistem pemerintahan

yang mana setiap bagian yang terlibat didalamnya tidak melihat sistem tersebut

sebagai tantangan, namun sebagai sebuah inovasi, proses pembelajaran, serta

bauran teknologi untuk mendukung instrumen kebijakan.19

Terdapat dua jenis MLG.20 Tipe I merupakan pendekatan hierarkis yang

berfokus pada cara kompetensi dan otoritas dibagi antara berbagai tingkat

pemerintahan; Tipe II merupakan model polisentrik di mana beberapa bidang

otoritas horizontal yang saling tumpang tindih dan saling berhubungan terlibat

dalam mengatur isu-isu tertentu. Sebagai sebuah sistem tata kelola lingkungan,

MLG sangat penting karena beberapa alasan, antara lain: (1) sifatnya yang

terintegrasi dari global hingga lokal; (2) Peran masing-masing level - dari global ke

lokal - sangat spesifik; (3) Interaksi vertikal menawarkan potensi tambahan MLG

15 Literatur tentang konsep MLG dapat dilihat di Marks, 1993; Scharpf, 1997; Benz and Eber-lein, 1999; Börzel and Risse, 2000; Hooghe and Marks, 2001; Kern, 2010

16 Coopenergy, What is Multi-Level Governance? http://www.coopenergy.eu/book/what-multi-level-governance, diakses 25 Juli 2017

17 Kern K, Bulkeley H, “Cities, Europeanization and multi-level governance: governing cli-mate change through transnational municipal networks”. JCMS: Journal of Common Market Studies Vol 47, No. 2, hal 309–332.

18 M. Jänicke, M, M. Schreurs, dan K. Töpfer, 2015, The Potential of Multi-Level Global Climate Governance, https://goo.gl/XLiz8v, diakses 29 Mei 2017

19 Lihat K. Sovacool, “An International Comparison of Four Polycentric Approaches to Climate and Energy Governance”, Energy Policy, Vol. 39, No. 6 (2015), hal. 3832–3844.

20 L. Hooghe dan G. Marks, “Types of Multi-Level Governance”, European Integration Online Papers (EIoP), Vol. 5, No. 11, (2011), hal. 4-6

RIFKA SIBARANI

67

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

sebagai sebuah sistem; (4) Multi-sektoral dan multi-stakeholder.21 Adapun ilustrasi

dari kedua tipe MLG dan relasi antar aktor, tingkat yuridiksi, permasalahan yang

diatur dapat dilihat dalam gambar dibawah ini:

Gambar 1 ‘Model Rio’ dari tata kelola pemerintahan multi-level dan multi-sektor yang berkelanjutan 22

Ilustrasi diatas menggambarkan bagaimana pembangunan berkelanjutan dan

juga perlindungan iklim memerlukan pendekatan pendekatan global. Tata kelola

global, bagaimanapun, membutuhkan pemerintah pada tingkat nasional hingga

lokal yang menjadi bagian dari sistem politik global. Peran masing-masing level

- dari global ke lokal - sangat spesifik. Pemerintah dari tiap tingkat memiliki

tanggung jawab, tantangan dan peluang tersendiri dan memiliki dinamika

horizontal yang spesifik: pembelajaran, kompetisi dan kerja sama antar lembaga.

Jaringan horizontal kota dan provinsi / negara bagian telah menjadi pemain

global dalam tata kelola iklim. Interaksi vertikal menawarkan potensi tambahan

MLG sebagai sebuah sistem: peningkatan praktik terbaik melalui kebijakan dan

dukungan kebijakan tingkat tinggi terhadap tingkat yang lebih rendah. Interaksi

MLG vertikal dan horizontal telah menjadi pusat dari pembelajaran interaktif yang

tinggi dan difusi inovasi teknis dan politik yang cepat.23 Ini pada dasarnya adalah

21 M. Jänicke, “The Multi-Level System of Global Climate Governance – the Model and Its Cur-rent Status”, Environmental Policy and Governance, Vol. 27, (2017), hal 110-111

22 Gambar diambil dari M. Jänicke, “The Multi-Level System of Global Climate Governance – the Model and Its Current Status”, Environmental Policy and Governance, Vol. 27, (2017), hal 110

23 Ibid., hal. 112-114

68

sistem multi-impuls untuk inovasi terkait perubahan iklim. Hal ini menjadikan

MLG sebagai sebuah model yang tidak hanya dapat menangani semua skala tetapi

juga semua kelompok kepentingan terkait dalam tata kelola iklim global. Hal ini

diilustrasikan sebagai berikut:

Tingkat Pemerintah Peran

Global

Badan-badan internasional seperti United Nations Environment Programme (UNEP) dan Commission on Sustainable Development berperan sebagai badan yang mengatur agenda kebijakan iklim global untuk kemudian diteruskan ke negara anggota

Negara persatuan Memainkan peran dalam artikulasi supranasional untuk kepentingan bersama dan pembahasan solusi untuk masalah umum di wilayah ini

Nasional Memiliki tanggung jawab khusus dalam pelaksanaan kebijakan nasional.

Provinsi/ Daerah Ini adalah level dimana sebagian besar peraturan nasional harus dilaksanakan

Masyarakat Penggerak inisiatif / ide teknologi/ gaya hidup ramah lingkungan

Individu Anggota tata kelola dan sasaran dan dasar dari pengetahuan iklim global (misalnya, laporan IPCC)

Tabel 1 Peran tiap aktor dalam sistem tata kelola MLG menurut Jänicke (2017)

Kriteria kesuksesan implementasi dapat dilihat dari enam faktor,24 antara

lain: (1) Visi bersama (shared vision); (2) Kerja sama efektif (effective partnership);

(3) Keterlibatan pemangku kepentingan (stakeholder involvement); (4) Ketersediaan

dana (funding availability); (5) Keahlian teknis (technical expertise); (6) Tata kelola

pemerintahan yang terstruktur (structured governance).

Beberapa contoh implementasi MLG yang sukses dapat dilihat dalam upaya-

upaya pengembangan kebijakan perubahan iklim yang terintegrasi di negara-

negara Eropa. Sebagai contoh, Perjanjian Convenant of Mayors yang dipelopori oleh

para walikota di kawasan Rhine-Neckar Metropolitan dinyatakan sebagai salah

satu contoh penerapan MLG yang sukses dalam kategori tata kelola pemerintahan

yang terstruktur (structured governance). Menurut laporan Coopenergy Eropa,25

24 Coopenergy, Good Practice Resources, http://www.coopenergy.eu/good-practice-resourc-es, diakases 20 Juli 2017

25 Coopenergy, Rhine-Neckar Metropolitan Region-Promotion of the Covenant of Mayors, http://www.coopenergy.eu/sites/default/files/good_practice_files/27_Rhine-Neckar%20Metropolitan%20Region%2C%20DE%20%20Promotion%20of%20the%20Covenant%20of%20Mayors.pdf, diakses pada 20 Juli 2017

RIFKA SIBARANI

69

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

kesuksesan ini dinilai dari keberhasilan para mayor dalam kawasan tersebut

dalam menghasilkan sebuah perjanjian yang mengikat seluruh mayor dalam

kawasan Metropolitan tersebut. Adapun tujuan dari perjanjian ini adalah untuk

mengimplementasikan kebijakan perubahan iklim serta melibatkan pemangku

kepentingan (dari pihak swasta) dalam menjalan rencana menurunkan emisi kota-

kota mereka–seluruh kegiatan perencanaan dan pertemuan resmi tidak memiliki

anggaran sehingga inisiatif ini dinilai lebih efisien dan efektif.

Swedia juga dinilai telah menerapkan program kebijakan perubahan iklim

dengan pendekatan MLG dengan sangat baik, terutama dari segi kerjasama yang

efektif.26 Contohnya adalah perwujudan inisiatif Sustainable Energy Community

(SEC) of Kalmar County merupakan inisiatif MLG dari proyek European City.

Melalui inisiatif ini, Badan Energi untuk Swedia Tenggara mendukung 5 dari 12

kota di Kalmar untuk menjadi ‘komunitas energi berkelanjutan’ yang mengurangi

emisi CO2 oleh setidaknya 30% pada tahun 2030. Kolaborasi ini diformalkan

melalui penandatanganan dokumen strategis serta policy tool kit yang disusun oleh

masyarakat itu sendiri. Pengalaman SEC Kalmar ini menunjukkan pentingnya

pembangunan kapasitas di tingkat masyarakat untuk membuat kebijakan, hingga

kolaborasi di kalangan pegawai pemerintahan dan pakar teknis guna mewujudkan

komitmen politik dalam pengembangan kebijakan perubahan iklim di tingkat lokal.

Strategi pemberdayaan masyarakat dan pemerintah tingkat lokal ini tidak hanya

menghasilkan data yang lebih baik guna memantau perkembangan kebijakan

perubahan iklim yang sudah dibuat bersama tersebut, namun juga memastikan

bahwa kebijakan yang dibuat menjawab permasalahan nyata di lingkungan

masyarakat.

III. Desentralisasi : tantangan MLG

Desentralisasi dapat dipahami sebagai ‘penyerahan kewenangan politik,

keuangan dan administrasi dari pemerintah pusat ke daerah (kabupaten atau

26 Coopenergy, Southeast Sweden – Sustainable Energy Community of 5 municipalities in Kalmar County,http://www.coopenergy.eu/sites/default/files/good_practice_files/150_Southeast%20Sweden%20%E2%80%93%20Sustainable%20Energy%20Community%20of%205%20municipalities%20in%20Kalmar%20County.pdf, diakses pada 20 Juli 2017

70

kota) sehingga pemerintah dapat menyediakan dan menjamin pelayanan publik

yang lebih baik bagi masyarakat’.27 Terdapat beberapa faktor-faktor pendukung

kesusksesan sistem desentralisasi, antara lain: (1) Lembaga dan sumber daya

manusia (SDM) yang memiliki kualifikasi untuk mengimplementasikan program

dalam sistem desentralisasi; (2) Infrastruktur, teknologi, akses informasi, SDM,

kapasitas kelembagaan dalam perencanaan, dan distribusi keuntungan

sumberdaya alam yang layak.28

Konsep desentralisasi, telah menjadi strategi bagi berbagai negara untuk

menjaga kelestarian lingkungan, untuk menjaga distribusi sumber daya dan

kekuasaan hingga ke tingkat masyarakat yang sesuai dengan semangat demokrasi,

pluralisme, dan persamaan hak.29 Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa

desentralisasi justru menghambat perkembangan kebijakan perubahan iklim

sebab, antara lain: (1) Hubungan birokrasi antar tingkatan pemerintah dalam sistem

desentralisasi (federalisme) kompleks dan temuan di lapangan menujukkan bahwa

justru memperlambat progress kebijakan perubahan iklim di daerah dan nasional30;

(2) Dalam sistem desentralisasi (federalisme) terdapat pengaruh kuat dari partai

politik dari pemerintahan yang berkuasa, sehingga tidak jarang membatasi gerak

inisatif politik lingkungan yang bertentangan dengan kepentingan politik partai

yang mendominasi sistem pemerintahan31; (3) Kurang pekanya pemerintah pusat

(federal) terhadap isu sosial, politik, serta budaya masyarakat daerah sehingga

kebijakan yang dibuat justru tidak sesuai dengan kebutuhan atau kebiasaan lokal32.

Studi tentang kebijakan perubahan iklim di sektor undang-undang bangunan

(building policy) di Austria berargumen bahwa sistem tata kelola perubahan iklim

27 Carol J. Pierce Colfer dan Doris Capistrano, eds, Politik Desentralisasi Hutan, Kekuasaan dan Rakyat Pengalaman di berbagai Negara, (Bogor: Center for International Forestry Re-search (CIFOR), 2006), hal. 178

28 Ibid29 Agrawal, Arun dan Elinor Ostrom. “Collective Action, Property Rights, and Decentraliza-

tion in Resource use in India and Nepal.” Politics & Society 29, no. 4 (2001), hal. 48730 Steurer, Reinhard, and Christoph Clar. “Is decentralisation always good for climate change

mitigation? How federalism has complicated the greening of building policies in Austria.” Policy Sciences 48, no. 1 (March 2015): 85-107. Business Source Ultimate, hal. 99-100

31 Rabe, Barry. “Contested Federalism and American Climate Policy.” Publius: The Journal of Federalism 41, no. 3 (June 2011): 494-521. Political Science Complete, hal. 518

32 E. Ampaire, L. Jassogne, H. Providence, M. Acosta, J. Twyman, L. Winowiecki, dan P. Asten, “Institutional challenges to climate change adaptation: A case study on policy action gaps in Uganda”. Environmental Science & Policy, Vol. 75, hal. 88

RIFKA SIBARANI

71

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

yang terdesentralisasi justru cenderung menyulitkan, sebab hubungan birokrasi

antar tingkatan pemerintah dalam sistem desentralisasi (federalisme) kompleks

serta justru memperlambat progress kebijakan perubahan iklim di daerah

dan nasional33. Misalnya dalam kasus kebijakan bangunan Austria, Menteri

Lingkungan di tingkat federal (pusat) dikonfrontasi oleh dua menteri lainnya dan

sembilan kepala provinsi, kebijakan bangunan justru menjadi terbentur di tengah

jalan karena kemudian mendapat tentangan dari pihak provinsi yang kemudian

hanya melakukan sebatas keharusan administratif. Menteri Lingkungan Austria

kemudian kesulitan untuk menjalankan agenda perubahan iklimnya, karena

tanggung jawab menjalankan kebijakan tersebut ada di kementerian lain.

Selain itu, politik perubahan iklim akan dipengaruhi oleh politik pemerintah

federal, sehingga rentan gagal jika tidak didukung oleh pemerintah federal dan

kekuatan partai politik di belakangnya, walaupun publik mendukung isu, seperti

di Amerika Serikat.34 Kebijakan perubahan iklim Amerika Serikat dibawah

kepemimpinan George Bush, Jr., Barrack Obama, dan Donald Trump mengalami

masa-masa kritis yang akhirnya diperburuk dengan keputusan Donald Trump untuk

menutup Environmental Protection Agency Amerika Serikat, departemen utama di

tingkat federal dan lokal yang berfokus memanajemen urusan perubahan iklim dan

lingkungan di Amerika Serikat.35 Partai Republikan merupakan partai politik terbesar

yang selalu menentang kebijakan perubahan iklim dengan alasan akan merugikan

industri Amerika Serikat. Partai Demokrat juga tidak lebih progresif dari Republikan,

malah figur-figur penting dari Demokrat seperti Barrack Obama dan Hillary Clinton

justru tidak mampu mendorong isu perubahan iklim di partai mereka sendiri.36 37

33 Steurer, R., dan C. Clar,”Is Decentralisation Always Good for Climate Change Mitigation? How Federalism Has Complicated the Greening of Building Policies in Austria”, Policy Sci-ences, (2015), Vol. 48, hal. 94

34 Koski, C., dan A. Siulagi, “Environmental harm or natural hazard? Problem identification and adaptation in U.S. municipal climate action plans.” The Review of Policy Research No. 3: (2016), hal. 270-290

35 http://edition.cnn.com/2017/04/29/politics/trump-epa-cuts-infighting-climate-change/index.html

36 Naomi Klein, Opinion, We’re out of time on climate change. And Hillary Clinton helped get us here, https://www.theguardian.com/commentisfree/2016/apr/07/out-of-time-cli-mate-change-hillary-clinton, diakses 25 Juli 2017

37 Naomi Klein, Opinion, Climate change is a global emergency. Stop waiting for politicians to sound the alarm, https://www.theguardian.com/commentisfree/2014/sep/20/climate-change-global-emergency-alarm, diakses 25 juli 2017

72

Studi di Uganda, misalnya, adalah sebuah contoh tata kelola perubahan

iklim yang tidak efektif dan berakibat pada ketidaksuksesan program kebijakan

iklim mereka. Selama lebih dari satu dekade pemerintah nasional telah mengatur

banyak peran yang harus dimainkan oleh pemerintah daerah seperti, (i) menunjuk

dan memberi penghargaan kepada para pemimpin kabupaten, (ii) menghapuskan

sumber pendapatan tingkat daerah, dan (iii) mengalokasikan anggaran kecil ke

sektor non-produktif. Hal ini menempatkan kabupaten pada tahap penerimaan,

tanpa mengambil keputusan. Juga, mereka tidak berada dalam posisi untuk

meminta para pejabat untuk bertanggung jawab, yang telah melakukan “hubungan

patron-klien” antara pemerintah pusat dan pemimpin lokal.38

Sedangkan di Indonesia, penelitian Siswanto dan Wardojo menemukan

beberapa permasalahan penting dari praktik desentralisasi di sektor tata kelola

kehutanan di Indonesia. Penelitian ini menemukan beberapa permasalahan krusial

dalam sektor pemerintahan yang berbeda, seperti: (1) Birokrasi pusat-daerah;

(2) Perundangan; (3) Pemerintah lokal/ masyarakat. Menurut penelitian ini,

memahami semangat dari otonomi, implementasi desentralisasi kehutanan

seharusnya tidak terperangkap dalam permasalahan otoritas kewenangan antara

pusat-daerah39. Misalnya saja, di tingkat provinsi dan kabupaten, status hierarkis

di sektor publik sering membatasi pegawai negeri eselon yang lebih rendah untuk

mengkoordinasikan atau mengarahkan kepala lembaga lain dengan status eselon

yang lebih tinggi.40 Namun harus tetap berpijak dari semangat membangun

kesejahteraan sosial bagi rakyat dan pencapaian pengelolaan hutan yang

berkelanjutan.41

Studi ini juga berargumen bahwa kedua dimensi tersebut dapat dicapai

melalui koordinasi dan kesatuan visi yang sama antara pusat dan daerah. Batasan

38 E. Ampaire, L. Jassogne, H. Providence, M. Acosta, J. Twyman, L. Winowiecki, dan P. Asten, loc. cit., hal. 86

39 Wandojo Siswanto dan Wahjudi Wardojo, “Desentralisasi Sektor Kehutanan: Pengalaman Indonesia” dalam Carol J. Pierce Colfer dan Doris Capistrano, eds, Politik Desentralisasi Hutan, Kekuasaan dan Rakyat Pengalaman di berbagai Negara, (Bogor: Center for Interna-tionalForestry Research (CIFOR), 2006), hal 178-179

40 J. McCarthy dan Z. Zen, “Regulating the Oil Palm Boom: Assessing the Effectiveness of En-vironmental Governance Approaches to Agro-Industrial Pollution in Indonesia”, Law amd Policy, Vol. 32, No. 1 (2010), hal. 153-179.

41 Wandojo Siswanto dan Wahjudi Wardojo, Op.cit., hal. 178

RIFKA SIBARANI

73

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

administratif seharusnya tidak menjadi penghalang dalam pengelolaan di sektor

kehutan. Sebaliknya pemerintah, swasta, dan masyarakat harus saling bekerja sama

untuk mencapai kesejahteraan sosial dari hasil hutan tersebut melalui program-

program yang berkelanjutan. Kegagalan sistem politik desentralisasi kehutanan di

Indonesia dapat dilihat dari lambatnya birokrasi di sektor kehutanan, munculnya

konflik di antara berbagai pemangku kepentingan akibat kompleksitas

permasalahan di lapangan serta kesalahan dalam menafsirkan model pengelolaan

hutan, juga terjadinya degradasi hutan.42 Adapun beberapa hambatan dari sistem

politik desentralisasi terhadap pengelolan sektor kehutanan di Indonesia dapat

dilihat dalam tabel berikut:

Tingkat Pemerintah Peran

Global

Badan-badan internasional seperti United Nations Environment Programme (UNEP) dan Commission on Sustainable Development berperan sebagai badan yang mengatur agenda kebijakan iklim global untuk kemudian diteruskan ke negara anggota

Negara persatuan Memainkan peran dalam artikulasi supranasional untuk kepentingan bersama dan pembahasan solusi untuk masalah umum di wilayah ini

Nasional Memiliki tanggung jawab khusus dalam pelaksanaan kebijakan nasional.

Provinsi/ Daerah Ini adalah level dimana sebagian besar peraturan nasional harus dilaksanakan

Masyarakat Penggerak inisiatif / ide teknologi/ gaya hidup ramah lingkungan

Individu Anggota tata kelola dan sasaran dan dasar dari pengetahuan iklim global (misalnya, laporan IPCC)

Tabel 2 : Hambatan Dari Sistem Politik Desentralisasi Terhadap Sektor Kehutanan di berbagai Negara, (Bogor: Center for InternationalForestry Research (CIFOR), 2006)

IV. Perkembangan kebijakan perubahan iklim Indonesia

Indonesia adalah negara kepulauan dengan tiga puluh empat provinsi dimana

berbagai tindakan dan rencana iklim yang berbeda direncanakan dan dilaksanakan

secara berbeda dari satu provinsi dengan provinsi lainnya sebagai implementasi

42 Ibid. Hal 183

74

dari sistem pemerintahan terdesentralisasi. Keterlibatan Indonesia dalam politik

internasional perubahan iklim sudah dimulai sejak tahun 1992 ketika perwakilan

Indonesia menghadiri Konvensi Kyoto Protokol tahun 1992. Seiring dengan

liberalisasi pasar Orde Baru, terjadi berbagai permasalahan lingkungan hidup akibat

ekploitasi pertambangan, pembukaan lahan untuk perkebunan dan transmigrasi,

serta pembangunan resot dan hotel, namun tidak banyak yang bisa dilakukan

karena pengaruh besar Soeharto dan kroninya hingga pedesaan di Indonesia

berbagai aktivitas ekonomi seperti eksploitasi pertambangan, pembukaan hutan

untuk industri perkebunan, dan pembukaan lahan untuk industri pariwisata.43

Namun tidak banyak yang bisa dilakukan pada masa itu karena pengaruh

Soeharto dan kroninya yang mengakar hingga pedesaan dan keterlibatan

masyarakat dengan perkembangan politik lingkungan internasional bisa dikatakan

minimal dan tidak signifikan.44 Komitmen internasional yang rendah ini memiliki

implikasi negatif pada politik dan kebijakan lingkungan domestik. Sebaliknya,

jika komitmen internasional yang tinggi akan berdampak positif pada kedua hal

tersebut. Sebagai contoh, Uni Eropa yang memiliki komitmen yang tinggi terhadap

lingkungan, seperti Jerman4546 dan Belanda, dengan komitmen politik yang tinggi

terhadap politik lingkungan internasional memiliki kebijakan dan partisipasi

masyarakat yang tinggi.47

43 G. Andrew, The floracrats: state-sponsored science and the failure of the Enlightenment in Indonesia, (Madison, Wis: University of Wisconsin Press, 2011), hal. 75

44 Colin MacAndrews, “Politics of the Environment in Indonesia”, Asian Survey, Vol. 34, No. 4: 369 (1994), hal 373-380

45 Berlin, Jerman, bersiap-siap menghadapi dampak perubahan iklim dengan merancang kota mereka agar mampu menyerap air dan emisi karbon dengan memperbanyak lahan hijau dan mendorong masyarakat menanam tanaman yang menyerap air dan emisi karbon. Ren-cana Aksi Iklim Jerman 2050 (Klimaschutzplan 2050) adalah dokumen kebijakan perlindun-gan iklim yang disetujui oleh pemerintah Jerman pada tanggal 14 November 2016. Rencana tersebut menguraikan langkah-langkah yang dengannya Jerman dapat memenuhi berbagai tujuan pengurangan emisi gas rumah kaca nasionalnya sampai tahun 2050 dan memberi-kan komitmen internasionalnya berdasarkan Perjanjian Iklim Paris 2016. Lihat: Nils Zim-mermann, “Sponge City: Berlin plans for a hotter climate”, Deutsche Welle, http://www.dw.com/en/sponge-city-berlin-plans-for-a-hotter-climate/a-19420517, diakses pada 15 Ma-ret 2017

46 Federal Ministry for the Environment, Nature Conservation, Building and Nuclear Safety, Climate Action Plan 2050: Principles and goals of the German’s government climate policy, UNFCCC International, https://unfccc.int/files/focus/long-term_strategies/application/pdf/161114_climate_action_plan_2050_en_bf.pdf, diakses pada 1 Maret 2017

47 Belanda mengintegrasikan agenda kebijakan iklim domestiknya ke dalam kebijakan luar negeri sebagai bentuk komitmen Belanda terhadap politik kebijakan iklim internasional.

RIFKA SIBARANI

75

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

Pada tahun 2011, Pemerintah Indonesia meluncurkan rencana strategis untuk

menurunkan emisi nasional Indonesia. Dokumen tersebut adalah RAN-GRK

yang diturunkan dari COP21 di Bali dan Copenhagen Accord. RAN-GRK adalah

dokumen strategis yang menjelaskan tentang strategi nasional untuk menurunkan

emisi rumah kaca dari lima sektor, yaitu: konsumsi energi, transportasi, kehutanan

dan lahan gambut, dan kegiatan rumah tangga. Adapun RAN-GRK merupakan

kebijakan yang bersifat top-down sehingga fokus pengembangan hingga

implementasi tersentral sejak di tingkat kementerian.48

Deforestasi di Indonesia terjadi pada tingkat yang mengkhawatirkan dan

masalah ini telah terjadi Pusat Rencana Aksi Nasional Pengurangan Emisi

Gas Rumah Kaca (RAN GRK). Pada 2011, Presiden Indonesia, Susilo Bambang

Yudhoyono, berjanji untuk mengurangi emisi dari sektor kehutanan dan sektor

pemanfaatan lahan masing - masing sebesar 26% dan 41% dari garis dasar Business

as Usual (BAU) (berdasarkan dukungan bantuan internasional) pada tahun 2020.

Untuk mencapai target tersebut, Indonesia mengikuti Intergovernmental Panel

on Climate Change (IPCC) untuk mengembangkan Mitigasi yang Layak secara

Nasional Tindakan (NAMAs) dan contoh kota-kota Eropa untuk menggunakan

tata kelola iklim bertingkat sebagai pendekatan dalam mengembangkan dan

menerapkan strategi mitigasi dan adaptasi iklim mereka.

COP-13 2007 Bali memiliki pengaruh yang besar bagi perkembangan kebijakan

perubahan iklim di Indonesia. Hasil penting dari COP-13 antara lain dituangkan

dalam Bali Action Plan yang mengatur skema pengurangan emisi dari deforestasi

negara berkembang; pengembangan serta transfer teknologi yang didukung

secara finansial oleh negara-negara maju. Kemudian hasil penting lainnya adalah

keluarnya laporan Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate

Tidak hanya itu, di tahun 2015 Pengadilan Tinggi Den Haag memenangkan gugatan hukum masyarakat kota Den Haag terhadap pemerintah kota sebab pemerintah kota dinilai ber-salah tidak memenuhi tugas dan tanggung jawab mereka memitigasi dampak perubahan iklim atas kota mereka Inisiatif masyarakat, didukung oleh komitmen politik pemerintah menciptakan teknologi serta terobosan kebijakan perubahan iklim yang komprehensif dan Uni Eropa adalah negara kesatuan yang berhasil mewujudkannya. Lihat: Arthur Neslen, “Dutch government ordered to cut carbon emissions in landmark ruling”, The Guardian, https://www.theguardian.com/environment/2015/jun/24/dutch-government-ordered-cut-carbon-emissions-landmark-ruling, diakses pada 3 Maret 2017

48 BAPPENAS, Laporan Dua Tahun Pelaksanaan RAN-GRK dan RAD-GRK, http://ran-radgrk.bappenas.go.id/rangrk/admincms/downloads/publications/Laporan_Dua_Ta-hun_Pelaksanaan_RAN-GRK_RAD-GRK.pdf, diakses 12 Febuari 2017

76

Change. Selain itu Indonesia telah mengeluarkan undang-undang yang secara

spesifik mengatur tentang mitigasi perubahan iklim.

Sebelumnya, Indonesia sudah memiliki beberapa undang-undang tentang

perubahan iklim antara lain; Undang – Undang 1994 Nomor 6 Tahun 1994 Tentang

Pengesahan United Nations Framework Convention on Climate Change (Konvensi

Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-bangsa Mengenai Perubahan Iklim). Setelah

COP-13, Indonesia kemudian mengeluarkan undang-undang perubahan iklim

yang menjabarkan tentang peran pemerintah dalam prosesnya. Undang-undang

Republik Indonesia nomor 16 Tahun 2016 tentang pengesahan Paris Agreement to

The United Nations Framework Convention on Climate Change (Persetujuan Paris Atas

Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan Iklim);

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2004 Tentang Pengesahan

Kyoto Protocol To The United Nations Framework Convention On Climate Change

(Protokol Kyoto Atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-bangsa

Tentang Perubahan Iklim); dan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31

Tahun 2009 Tentang Meteorologi, Klimatologi, Dan Geofisika (selanjutnya disebut

“UU No. 31 Tahun 2009”). UU No. 31 Tahun 2009 menjadi landasan hukum yang

kuat sebab undang-undang tersebut menjelaskan langkah-langkah apa saja yang

harus diambil untuk mitigasi maupun adaptasi.

“Pemerintah wajib melakukan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. (2)

Untuk mendukung mitigasi dan adaptasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

Pemerintah wajib melakukan: a) perumusan kebijakan nasional, strategi, program,

dan kegiatan pengendalian perubahan iklim; b) koordinasi kegiatan pengendalian

perubahan iklim; dan c) pemantauan dan evaluasi penerapankebijakan tentang

dampak perubahan iklim”49

Melalui serangkaian kebijakan perubahan iklim tersebut, Indonesia telah

menyiapkan beberapa dokumen strategis terkait penangangan dampak perubahan

iklim yang berfokus pada mitigasi, adaptasi, serta pembiayaan program perubahan

iklim di Indonesia. Sifat rencana strategis ini merupakan rencana strategis

desentralisasi, yang mana implikasi kebijakan dalam sistem seperti ini memiliki

tantangan dan potensi tersendiri di Indonesia.

49 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31, Tentang Meteorologi, Klimatologi, Dan Geofisika, tahun 2009, pasal 65

RIFKA SIBARANI

77

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011 mengatur tentang Rencana Aksi

Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (Selanjutnya disebut dengan “Perpres

No. 61 Tahun 2011”). Berdasarkan Perpres No. 61 Tahun 2011, RAN GRK tidak

hanya mencakup kegiatan yang perlu dilakukan oleh pemerintah pusat, tetapi

juga menjadi acuan bagi pemerintah daerah dan sektor swasta dalam perencanaan

dan dukungan kegiatan penurunan GRK. Dalam hal ini, di beberapa provinsi juga

memasukkan kegiatan mitigasi sebagai bagian dari RAD-GRK yang sebelumnya

sudah tercantum dalam RAN-GRK. Usulan kegiatan RAD-GRK juga umumnya

didesain untuk melibatkan sumber pendanaan tidak hanya dari APBD tetapi

juga dari APBN dan BUMN ataupun dari sektor swasta.50 Kedua rencana aksi ini

mengatur tentang rencana nasional dan daerah untuk menyusun data inventori

emisi tiap daerah yang nantinya akan digunakan sebagai dasar penghitungan

penurunan emisi nasional dan prioritas pembangunan daerah. Dalam rencana

tersebut, setiap daerah diwajibkan merancang rencana penurunan emisi daerah

mereka dengan tetap mengikuti prioritas pembangunan daerah. Sumber dana

kegiatan RAD-GRK berasal dari berbagai sumber, termasuk APBN, APBD, swasta,

masyarakat, hingga donor internasional.51

V. Tantangan Penerapan RAD GRK di Sumatera Utara

Perspektif MLG menerangkan bahwa desentralisasi justru menghambat

perkembangan kebijakan perubahan iklim di tingkat lokal. Oleh sebab itu, bagian ini

akan membahas bagaimana tantangan RAD GRK di Sumatera Utara sebagai sebuah

produk dari desentralisasi kebijakan di Indonesia. Sumatera Utara merupakan

provinsi di Indonesia dengan laju kebakaran hutan yang cepat. Namun demikian,

pada tahun 2011 Sumatera Utara mengumumkan menjadi salah satu provinsi

pertama yang akan menjalankan RAD GRK, yang kemudian kebijakan mitigasinya

difokuskan pada isu deforestasi. Kemudian strategi adaptasinya berfokus pada

50 Dari beberapa dokumen RAD-GRK, beberapa kegiatan bersifat usulan atau masih meru-pakan nonfundedactivities terkait dengan belum adanya komitmen dari segi pendanaan aktifitas.

51 Irfa Ampri, PhD, “Pendanaan Perubahan Iklim di Indonesia”, (makalah disampaikan dalam Diskusi Publik Kesiapan Indonesia Menghadapi Perundingan Perubahan Iklim Doha, 2012), hal. 7

78

penguatan produksi padi dalam konteks perubahan iklim.52 Untuk melaksanakan

program adaptasi, pemerintah Sumatera Utara bekerja sama Japan International

Cooperation Agency. Sumatera Utara merupakan salah satu provinsi di Indonesia

yang berkomitmen untuk mengimplementasikan RAD-GRK di tahun 201153 . RAD-

GRK Provinsi Sumatera Utara 2010-2020 telah disahkan dengan Peraturan Gubernur

Sumatera Utara Nomor 36 Tahun 2012 tentang Rencana Pembangunan Jangka

Panjang Daerah Provinsi Sumatera Utara Tahun 2005 – 2025. Sedangkan kebijakan

adaptasi perubahan iklim dituangkan dalam strategi Upaya Pengamanan Produksi

Beras di Sumatera Utara 2012-2020 yang telah disahkan dengan Intruksi Gubernur

Sumatera Utara Nomor 188.54/05/INST/2012, yang juga merupakan turunan

dari Pergub No. 36 tahun 2012. Kedua regulasi ini juga diintegrasikan kedalam

RPJMD 2014-2018 yang mana pemantapan pembangunan secara menyuluruh

dengan penekanan pada daya saing daerah, yang dilandaskan pada sumber daya

manusia dan sumber daya alam, melalui pemanfaatan teknologi. Integrasi ini juga

mendukung visi RPJPD Sumatera Utara 2005-2025 yaitu masyarakat Sumatera Utara

yang Beriman, Maju, Mandiri, Mapan dan Berkeadilan di dalam ke Bhinnekaan

yang didukung oleh tata pemerintahan yang baik.

Komitmen ini secara simbolik memiliki pengaruh yang positif bagi citra

internasional Indonesia karena Sumatera Utara tercatat memiliki permasalahan

kebakaran hutan, perubahan lahan, serta polusi udara dari transportasi dan kegiatan

produksi pabrik yang tinggi. Untuk mengatasi permasalahan ini, pemerintah

daerah Sumatera Utara mengadaptasi RAD-GRK dan telah sampai pada proses

inventarisasi emisi lokal mereka. Namun proses ini terhenti di tengah jalan ketika

Gubernur Sumatera Utara saat itu menjadi tersangka kasus korupsi. Hingga kini,

belum banyak perkembangan signifikan dari RAD-GRK di Sumatera Utara.

Laporan kemajuan implementasi RAD GRK Sumatera Utara menguraikan

empat masalah terkait pengawasan dalam pelaksanaan RAD GRK: 1) koordinasi

yang buruk antar instansi pemerintah; 2) Sumatera Utara tidak dapat mengejar

ketinggalan dengan pengembangan model persediaan emisi gas rumah kaca

dari pemerintah nasional karena ketidakkonsistenan perencanaan, 3) Tidak ada

52 BAPPEDA Sumatera Utara, Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Provinsi Sumatra Utara 2010-2020, (Medan: BAPPEDA Sumatera Utara), hal. 6-10

53 BAPPENAS, Satu Tahun RAN-GRK, (Jakarta: BAPPENAS), hal. 23

RIFKA SIBARANI

79

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

keharusan hukum bagi pemerintah daerah dan kota untuk memberikan inventoris

tingkat emisi GRK mereka, sehingga sulit menyusun sebuah RAD-GRK yang

berbasis bukti inventoris emisi rumah kaca; 4) terbatasnya sumber daya manusia

yang mahir dalam perhitungan emisi gas rumah kaca.54

Seperti yang telah disebutkan di bagian sebelumnya, bahwa koordinasi

antara pemerintah provinsi dan pemerintah pusat dapat menjadi tantangan nyata

dalam iklim bertingkat atau pengaturan tata kelola lingkungan di Indonesia. Hal

ini juga dialami di dalam implementasi RAD GRK di Sumatera Utara. Sebagai

contoh, dalam hal pengelolaan limbah di Sumatera Utara, pemerintah kabupaten

hanya fokus pada penanganan limbah daripada bekerja sama dengan tingkat

pemerintahan dan bisnis lainnya untuk memastikan pengelolaan lingkungan

dianggap sebagai ‘keseluruhan masalah pemerintah’.55

Kedua, masalah koordinasi dapat menyebabkan penundaan yang signifikan

dalam pelaksanaan dan mengevaluasi program. Misalnya, menurut pedoman RAD

GRK, Sumatera Utara telah menetapkan target untuk menghasilkan lebih banyak

energi terbarukan di daerah-daerah terpencil antara tahun 2013 dan 2020. Namun,

menurut survei Biro Statistik pada tahun 2015, masih ada 36 keluarga di Sumatera

Utara yang tidak memiliki akses listrik.56 Pemerintah Sumatera Utara menjelaskan

bahwa alasan di balik lambatnya pelaksanaan proses penyediaan masyarakat

terpencil dengan akses terhadap energi terbarukan (misalnya panel surya) adalah

karena Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia

Nomor: 17 Tahun 2013 Tentang Pembelian Tenaga Listrik oleh PT. Perusahaan

Listrik Negara (Persero) dari Pembangkit Listrik Tenaga Surya Fotovoltaik yang

bedampak pada Perusahaan Listrik Nasional (PLN) daerah.57

54 Departemen Lingkungan Hidup Sumatera Utara, Pelaksanaan Inventarisasi Gas Rumah Kaca (GRK) di Provinsi Sumatera Utara, http://lcs-rnet.org, diakses 14 Oktober 2015

55 BPS Sumatera Utara, Survei: Statistik Infrastuktur di Sumatera Utara.diakses 30 Maret 2017ns, In2001; era Utaraluarkan undang-undang perubahan iklim yang menjabarkan ten-tang peran pemerintah dalam https://sumut.bps.go.id/backend/pdf_publikasi/Statistik-Infrastruktur-Sumatera-Utara-2014.pdf, diakses pada 10 Oktober 2015

56 BPS, Banyaknya Desa / Kelurahan Menurut Keberadaan Keluarga Pengguna Listrik dan Sumber Penerangan Jalan Utama Desa, https://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1759, diakses 20 Juli 2017

57 E. Siregar, “Pemerintah perlu dorong investasi energi di Sumatera Utara”, http://www.antaranews.com/ diakses pada 12 Oktober 2015

80

Ketiga, lemahnya komitmen politik dari pemerintah (dalam hal ini baik pusat

maupun lokal) yang wujudnya adalah tidak ada keharusan pemerintah kabupaten

untuk menyediakan data persediaan GRK, maka mengumpulkan data emisi dari

tingkat kabupaten merupakan tugas yang sulit. Hal ini berdampak pada kualitas

data inventaris emisi rumah kaca yang kemudian dikumpulkan ke pemerintah

provinsi untuk kemudian diteruskan ke level nasional. Hal ini juga terkait dengan

masalah keempat, yaitu hanya sedikit orang yang mengerti bagaimana melakukan

akuntansi karbon di tingkat kabupaten. Dengan keterbatasan sumber daya

manusia yang memahami pelaksanaan RAD GRK, ada kemungkinan besar gagal

di tingkat kabupaten.

VI. Kesimpulan

Sumatera Utara adalah salah satu provinsi di Indonesia yang pertama kali

mengambil inisiatif untuk mengembangkan RAD-GRK pada masa awal inisasinya.

Namun pada perjalanannya, RAD-GRK di Sumatera Utara justru mengalami

stagnansi dan kemunduran. Melalui perspektif MLG, desentralisasi dilihat sebagai

salah satu faktor penyebab kebijakan iklim gagal atau berjalan lambat di suatu

daerah atau negara.

Di tingkat internasional, berbagai penelitian mencoba menjelaskan mengapa

banyak negara gagal dalam menjalankan program mitigasi dan adaptasi perubahan

iklim. Salah satu elemen yang diteliti adalah aspek tata kelola pemerintahan

(governance), yang menunjukkan bahwa sistem yang terdesentralisasi cenderung

membuat program mitigasi dan adaptasi iklim terhambat untuk beberapa

alasan, antara lain: sifatnya yang sangat birokratis dan sedikit membuka cela

bagi keterlibatan masyarakat serta tidak mampu mengakomodasi program yang

sifatnya intranasional seperti, perubahan iklim

Untuk Indonesia sendiri, perubahan iklim menjadi penting ketika Sustainable

Development Goals (SDGs) memasukkan perubahan iklim sebagai salah satu isu

strategis SDGs di negara-negara berkembang pada tahun 2015. Hal ini melegitimasi

isu perubahan iklim sebagai agenda penting dalam RPJM Indonesia hingga ke

RIFKA SIBARANI

81

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

tingkat daerah. Hingga saat ini strategi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim

menjadi strategi penting guna mengurangi resiko bencana akibat perubahan iklim

di berbagai daerah yang rentan.

Sejak tahun 2007, pemerintah Indonesia telah mengembangkan dua rencana

aksi nasional (RAN-GRK) dan daerah (RAD-GRK) sebagai peta jalan penurunan

emisi gas rumah kaca sesuai dengan anjuran IPCCC. Hal ini berdampak positif bagi

citra Indonesia di panggung politik lingkungan internasional serta Indonesia juga

mampu menarik dana internasional yang signifikan untuk mengembangkan dan

melaksanakan program RAN GRK dan RAD-GRK. Indonesia telah menurunkan

beberapa kebijakan dan undang-undang terkait perubahan iklim namun

hasilnya belum signifikan karena Indonesia masih menghasilkan emisi yang

mengkhawatirkan, seperti kebakaran hutan di Sumatera Utara tahun 2015. Maka

tidak heran ketika pemerintah Indonesia juga mendapat kritik atas permasalahan

kebakaran hutan, yang telah membuat komitmen perubahan iklim Indonesia

sebagai agenda politik yang oportunistik dan tidak realistis.

RAN-GRK dan RAD-GRK dikembangkan berdasarkan pendekatan

desentralisasi, serta belum memenuhi pendekatan tata kelola multilevel seperti

yang dianjurkan oleh UNFCCC dan dicontohkan dalam tata kelola perubahan

iklim di sejumlah wilayah di Eropa. Desentralisasi telah menciptakan faktor

tambahan yang terbukti bermasalah bagi tata kelola iklim yang sukses di

Indonesia, dan salah satu contohnya dapat dilihat pada penerapan kebijakan

iklim di Sumatera Utara. Hambatan ini dapat dilihat dari beberapa aspek, antara

lain: (1) Sistem desentralisasi tidak mendukung pendanaan yang tidak sesuai

dengan kebijakan pemerintah pusat, padahal banyaknya kegiatan perubahan

iklim di daerah membutuhkan pendanaan khusus dan berbeda dari daerah

lainnya; (2) Desentralisasi telah menciptakan situasi yang lebih kompleks di mana

koordinasi antara banyak pusat kekuasaan dan otoritas menjadi lebih sulit. Hal

ini juga berdampak pada perencanaan koordinasi dan konsistensi; (3) Oleh karena

karakteristik distribusi tanggung jawab tidak diikuti dengan peningkatan kapasitas

masyarakat lokal secara teknis dan distribusi otoritas yang lebih besar di tingkat

lokal juga tidak disertai dengan pengembangan keterampilan teknis yang sesuai di

tingkat lokal untuk melaksanakan tugas yang diperlukan seperti pencatatan emisi

gas rumah kaca yang akurat.

82

DAFTAR PUSTAKA

Agrawal, A, dan E. Ostrom. “Collective Action, Property Rights, and Decentralization

in Resource Use in India and Nepal.” Politics & Society No. 4 (2001): 485-514

Ampaire, Edidah L., Laurence Jassogne, Happy Providence, Mariola Acosta,

Jennifer Twyman, Leigh Winowiecki, dan Piet van Asten. “Institutional

challenges to climate change adaptation: A case study on policy action gaps

in Uganda.” Environmental Science and Policy Vol. 75, (2017): 81-90.

Andrea, Ciampani. “Social Europe as a Multilevel Governance: The Italian

Perspective.” Directory of Open Access Journals, Journal of Mediterranean

Knowledge, Vol 1, Iss 1, Pp 65-77 (2016)

Bache, I, dan Matthew Flinders. Multi-level governance. Cheltenham: Edward Elgar

Pub. Ltd, 2015

BAPPENAS, Laporan Dua Tahun Pelaksanaan RAN-GRK dan RAD-GRK, http://

ranradgrk.bappenas.go.id/rangrk/admincms/downloads/publications/

Laporan_Dua_Tahun_Pelaksanaan_RAN-GRK_RAD-GRK.pdf,

Benz, A, dan B Eberlein. “The Europeanization of regional policies: patterns of

multi-level governance.” Journal of European Public Policy, Vol. 6, No. 2 (1999):

329-348

Börzel, T., dan Risse, TH. Who is afraid of a European federation? How to

constitutionalize a multi-level governance system? di dalam What Kind of

Constitution for What Kind of Polity? Responses to Joschka Fischer, edited by

Joerges C, Mény Y, Weiler JHH European University Institute: Florence, 2000

BPS, Banyaknya Desa / Kelurahan Menurut Keberadaan Keluarga Pengguna Listrik dan

Sumber Penerangan Jalan Utama Desa. September 2015, https://www.bps.

go.id/linkTabelStatis/view/id/1759, diakses pada 20 Juli 2017

Brockhaus, M., & H. Kambiré, Decentralization: A window of opportunity for

successful adaptation to climate change?” Adapting to Climate Change (2009):

399-416

Brondizio ES, Ostrom E, Young OR. Connectivity and the governance of multi-

level social-ecological systems: the role of social capital. Annual Review of

Environment and Resources ,34,1, (2009), hal. 253–278. DOI: 10.1146/annurev.

environ.020708.10070

RIFKA SIBARANI

83

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

Carol J. Pierce Colfer dan Doris Capistrano, eds, Politik Desentralisasi Hutan, Kekua-

saan dan Rakyat Pengalaman di berbagai Negara, (Bogor: Center for Internation-

alForestry Research (CIFOR), 2006)

Colin MacAndrews, “Politics of the Environment in Indonesia”, Asian Survey, Vol.

34, No. 4: 369 (1994), hal 373-380

Coopenergy, Rhine-Neckar Metropolitan Region-Promotion of the Covenant of Mayors,

https://goo.gl/KgorCy, diakses pada 20 Juli 2017

Coopenergy, Southeast Sweden – Sustainable Energy Community of 5 municipalities

in Kalmar County, https://goo.gl/GjwSNw, diakses pada 20 Juli 2017

Departemen Lingkungan Hidup Sumatera Utara, Pelaksanaan Inventarisasi Gas

Rumah Kaca (GRK) di Provinsi Sumatera Utara, http://lcs-rnet.org, diakses

pada 15 Mei 2017

E. Ampaire, L. Jassogne, H. Providence, M. Acosta, J. Twyman, L. Winowiecki, dan

P. Asten, “Institutional challenges to climate change adaptation: A case study

on policy action gaps in Uganda”. Environmental Science & Policy, Vol. 75: 81-90

Eyre, N. “Decentralization of governance in the low-carbon transition” di dalam

Handbook on Energy and Climate Change, diedit oleh Roger Fouquet, 581-597.

Edward Elgar, 2013

Federal Ministry for the Environment, Nature Conservation, Building and Nuclear

Safety, Climate Action Plan 2050: Principles and goals of the German’s government

climate policy, https://goo.gl/Br5ydC, diakses pada 15 Juli 2017

Fitzgibbon, J., dan Mensah, K. O. “Climate Change as a Wicked Problem”. SAGE

Open, Vol.2, No. 2 (2012): 1-14

Grundmann, R. “Climate change as a wicked social problem”. Nature Geoscience,

Vol 9, No. 8 (2016): 562-563

Jakarta Post, Norway Slams Slow REDD+ Project Progress. Febuari 4, 2016. http://

www.thejakartapost.com/news/2016/02/04/norway-slams-slow-redd-

project-progress.html, diakses 20 Mei 2017

Jänicke, M. “The Ambivalence of Environmental Governance” di dalam

Environmental Governance in Europe, edited by Meuleman, L., Niestroy, I.,

Hey, Chr. RMNO: Den Haag, 2003

Jänicke, M., Schreurs, M., & Töpfer, K, The Potential of Multi-Level Global Climate

Governance, https://goo.gl/XLiz8v, diakses 15 Mei 2017

84

Johnson, C. A., Toly, N. J., & Schroeder, H. (n.d.). The Urban climate challenge:

Rethinking the role of cities in the global climate regime. London: Routledge

Jordan A, van Asselt H, Berkhout F, Huitema D, Rayner T. “Understanding the

paradoxes of multilevel governing: climate change policy in the European

Union”. Global Environmental Politics 12(2), (2012), hal. 43–66. DOI:10.1162/

GLEP_a_00108.

Kern K, Bulkeley H. (2009). Cities, Europeanization and multi-level governance:

governing climate change through transnational municipal networks.

JCMS: Journal of Common Market Studies 47(2): 309–332. DOI:10.1111

/j.1468-5965.2009.00806. x.00806. x.

Kern, K. (2010.). Climate governance in the European Union multilevel

system: The role of cities. Multilevel Environmental Governance, 111-130.

doi:10.4337/9780857939258.00016

Kirsten Jörgensen, Anu Jogesh, dan Arabinda Mishra. “Multi-level climate

governance and the role of the subnational level.” Journal of Integrative

Environmental Sciences no. 4, (2015)

Koski, C., & Siulagi, A. (2016, 04). Environmental Harm or Natural Hazard?

Problem Identification and Adaptation in U.S. Municipal Climate Action

Plans. Review of Policy Research, 33(3), 270-290. doi:10.1111/ropr.12173

L. Hooghe dan G. Marks, “Types of Multi-Level Governance”, European Integration

onlineOnline Papers (EIoP), Vol. 5, No. 11, (2011): 4-6

Larson, A. M., & Soto, F. (2008, 11). Decentralization of Natural Resource Governance

Regimes. Annual Review of Environment and Resources, 33(1), 213-239. DOI:

10.1146/annurev.environ.33.020607.095522

Levin, K., Cashore, B., Bernstein, S., & Auld, G. (2009, 02). Playing it forward: Path

dependency, progressive incrementalism, and the “Super Wicked” problem

of global climate change. IOP Conference Series: Earth and Environmental

Science, 6(50), doi:10.1088/1755-1307/6/0/502002

M. Jänicke, “The Multi-Level System of Global Climate Governance – the Model

and Its Current Status”, Environmental Policy and Governance, Vol. 27, (2017):

hal 110-111

Marks, G. “Structural policy and multi-level governance in the EC”. di dalam The

State of the European Community vol. 2: The Maastricht Debates and Beyond,

Cafruny AW, Rosenthal G (eds). Lynne Reiner: Boulder, CO, 2003

RIFKA SIBARANI

85

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

Minang, Peter Akong, Meine Van Noordwijk, Lalisa A. Duguma, Dieudonne

Alemagi, Trong Hoan Do, Florence Bernard, Putra Agung, et al. “REDD+

Readiness Progress Across Countries: Time for Reconsideration.” Climate

Policy 14, no. 6 (2014): 685-708.

Multilevel Constitutionalism for Multilevel Governance of Public Goods: Methodology

Problems in International Law. Vol. 2017. Beaverton: Ringgold Inc, 2017

Naomi Klein, Climate change is a global emergency. Stop waiting for politicians to

sound the alarm. September 20, 2014. https://www.theguardian.com/

commentisfree/2014/sep/20/climate-change-global-emergency-alarm,

diakses 25 juli 2017

Naomi Klein, We’re out of time on climate change. And Hillary Clinton helped get us

here. April 7, 2016. https://www.theguardian.com/commentisfree/2016/

apr/07/out-of-time-climate-change-hillary-clinton, diakses 25 Juli 2017

Rabe, Barry. “Contested Federalism and American Climate Policy.” Publius: The

Journal of Federalism 41, no. 3. (Juni, 2011)Political Science Complete: 494-521.

Salahuddin, M. The UNFCCC in the REDD: Compliance through transnational legal

process in decentralised Indonesia: A thesis submitted for the degree of Doctor of

Philosophy at the University of Otago, Dunedin, New Zealand, 2013

Scharpf, FW. “Introduction: the problem-solving capacity of multi-level

governance”. Journal of European Public Policy 4(4), (1997): 520–538.

DOI:10.1080/135017697344046

Schreurs MA, Tiberghien Y. “Multi-level reinforcement: explaining European

Union leadership in climate change mitigation”. Global Environmental Poli-

tics, 7,4, (2007), hal: 19–46. DOI:10.1162/glep.2007.7.4.19

Sovacool, K. An International Comparison of Four Polycentric Approaches to

Climate and Energy Governance, Energy Policy, Vol. 39 (6), (2011): 3832–3844.

Steurer, Reinhard, and Clar, Christoph. “Is decentralisation always good for climate

change mitigation? How federalism has complicated the greening of building

policies in Austria”. Policy Sciences, 48(1), (2014): 85-107. doi:10.1007/s11077-

014-9206-5

Sun, J., & Yang, K. “The Wicked Problem of Climate Change: A New Approach

Based on Social Mess and Fragmentation”. Sustainability, 8(12), (2016): hal:

1-14. doi:10.3390/su8121312

86

Weibust, I. What is multilevel environmental governance? When does it work? Multilevel

Environmental Governance, (n.d.): 249-270. doi:10.4337/9780857939258.00022

World Bank, Indonesia Climate Change Development Policy Project, http://projects.

worldbank.org/P120313/indonesia-climate-change-development-policy-

project?lang=en, diakses 30 Maret 201

Yang, Anastasia L., Mark D. A. Rounsevell, and Claire Haggett. “Multilevel

Governance, Decentralization and Environmental Prioritization: How is it

working in rural development policy in Scotland?” Environmental Policy &

Governance 25, Environment Complete, no. 6, (2015): 399-411. DOI:10.1002/

eet.1690

Zeemering, E. S. What are the challenges of multilevel governance for urban

sustainability? Evidence from Ottawa and Canada’s national capital region.

Canadian Public Administration, 59(2), (2016): 204-223. doi:10.1111/capa.12167

RIFKA SIBARANI

87

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

SignifikanSi Pendekatan kehati-hatian dalam Pengaturan

OrganiSme tranSgenik di indOneSia

Wahyu Yun Santoso1, Sunarto2, Edhi Martono3, Harry Supriyono4

Abstrak

Status megabiodiversity yang melekat pada Indonesia memberikan potensi

besar akan pemanfaatan dan komersialisasi sumber daya alam hayati, yang salah

satunya adalah sumber daya genetik. Tulisan ini hendak memaparkan penggunaan

pendekatan kehati-hatian dalam pengaturan sumberdaya genetik. Utamanya

membahas secara normatif pentingnya penerapan pendekatan kehati-hatian

dalam pengaturan organisme transgenik di Indonesia. Pembahasan paper diawali

dengan mendeskripsikan konsep pendekatan kehati-hatian, terutama dari sudut

pandang CBD; konsep pengelolaan sumberdaya genetik Indonesia dan isu krusial

yang ada; serta penerapan pendekatan kehati-hatian untuk pengaturan organisme

transgenik di Indonesia.

Kata kunci: biodiversitas, sumberdaya genetik, bioteknologi, pendekatan

kehati-hatian.

Abstract

The “Megabiodiversity” status adhere to the massive potency of Indonesian natural

resources is having consequences in the management of natural resources, as well as its

protection and preservation. One of the element of genetic resources is living modified

1 Departemen Hukum Lingkungan, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada2 Profesor Geografi Lingkungan, Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada 3 Profesor Ilmu Penyakit dan Tanaman, Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada4 Departemen Hukum Lingkungan, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada

88

organisms or transgenic organism. This paper discusses normatively the importance of

precautionary approach in the genetic resources policy in Indonesia. The discussion in this

paper is outlined with the description of the precautionary approach concept, particularly

from CBD perspective; management of genetic resources in Indonesia and its crucial issues;

and the implementation of precautionary approach for regulating transgenic organisms in

Indonesia.

Keywords: biodiversity, genetic resources, biotechnology, precautionary approach.

I. Pendahuluan

Sebagai “megabodiversity country”, keanekaragaman hayati merupakan aset

penting bagi bangsa Indonesia, dan untuk dunia. Ratifikasi the Nagoya Protocol on

Access and Benefit Sharing5 melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2013, menjadi

bagian integral dari kerangka pengaturan Nasional tentang keanekaragaman

hayati yang sekaligus mempertegas arti penting valuasi akan sumberdaya genetik.

Hal ini menjadi signifikan saat potensi bioprospeksi6 berbanding lurus dengan

risiko pencurian biodiversitas (biopiracy) kekayaan Indonesia.7

5 Nama lengkap dan resmi Protokol Nagoya adalah The Nagoya Protocol on Access to Genetic Resources and the Fair and Equitable Sharing of Benefits Arising from their Utilization to the Con-vention on Biological Diversity.

6 Bioprospeksi atau bioprospecting secara mudah dapat dikatakan sebagai eksplorasi atas keanekaragaman hayati baik untuk kepentingan ilmu pengetahuan maupun untuk komer-sil.Tidak ada definisi yang diterima secara internasional tentang bioprospeksi, namun dari pendapat secara umum yang dapat dirangkum, bioprospeksi merupakan upaya pen-elusuran atau penelitian dalam ranah biodiversitas, dan upaya pengambilan sampel dari organisme biologis untuk kepentingan riset pengetahuan maupun komersial. Memang menjadi sulit untuk membedakan antara riset terhadap sumberdaya genetik yang murni di-tujukan untuk kepentingan ilmu pengetahuan, dengan riset yang dilakukan untuk aktivitas komersial. Karena seringnya penelitian untuk aktivitas komersial pun dilakukan dengan menggandeng institusi riset sebagai mitranya, dan demikian sebaliknya.

7 Biopiracy merupakan praktik eksploitasi sumber daya alam dan pengetahuan masyarakat tentang alamnya tanpa izin dan pembagian manfaat. Salah satu kasus biopirasi yang jelas isu maupun kronologisnya pernah terjadi pada awal tahun 2012. Saat itu Peneliti LIPI terlibat penemuan spesies baru tawon Megalara garuda dalam proyek kerjasama dengan Univer-sity of California, Davis. Namun, ternyata dalam publikasi tentang temuan spesies tersebut tidak disebutkan peneliti Indonesia maupun wilayah Indonesia sebagai tempat diketemu-kannya spesies baru tersebut. (http://sains.kompas.com/read/2012/05/04/08175361/LIPI.Akan.Selidiki-.Praktik.Biopiracy).

SIGNIFIKANSI PENDEKATAN KEHATI-HATIAN DALAM PENGATURAN ORGANISME...

89

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

Salah satu prinsip yang telah diadopsi di dalam pengaturan hukum

keanekaragaman hayati adalah “precautionary approach” atau pendekatan kehati-

hatian.8 Pendekatan kehati-hatian menjadi prinsip utama yang perlu diterapkan

dalam pengaturan kebijakan terkait penerapan teknologi yang berkembang

cepat. Dengan loncatan kuantum yang terjadi di dalam perkembangan ilmu

pengetahuan, setiap hari penemuan-penemuan baru sangat dimungkinkan untuk

ditemukan dan memberi pengaruh signifikan dalam kehidupan. Namun demikian,

bukti-bukti ilmiah (scientific evidence) yang ada seringnya bersifat tidak lengkap

(incomplete) dan tidak pasti (uncertain).9 Penggunaan yang bijak, berhati-hati, serta

bertanggungjawab dari keberadaan bukti-bukti ilmiah yang menjadi pangkal dari

kemajuan teknologi inilah, termasuk bioteknologi, yang utama untuk diperhatikan

sebagai suatu langkah kehati-hatian.10

Pendekatan kehati-hatian menegaskan bahwa dalam hal terdapat aras ilmiah

yang cukup beralasan untuk mempercayai atau menduga bahwa suatu produk

atau prosesnya tidak aman, produk atau proses tersebut tidak semestinya/diijinkan

untuk diteruskan hingga ada bukti meyakinkan bahwa risiko yang ada cukup

kecil atau berbanding jauh dengan kemanfaatannya.11 Pendekatan kehati-hatian

juga dapat diterapkan pada suatu teknologi yang sudah ada ketika ditemukan

satu bukti yang menunjukkan kenyataan bahwa teknologi tersebut (ternyata) lebih

berbahaya dampaknya daripada yang diperkirakan sebelumnya. Contoh yang

mudah dikenali pada konsep terakhir ini dapat meliputi bahaya rokok, CGCs, gas

rumah kaca (greenhouse gasses), dan sekaligus produk rekayasa genetik.

Pada konteks ini, ketika risiko yang muncul kemudian diperkirakan lebih

berbahaya dari sebelumnya, diperlukan suatu penelitian terpadu untuk mencari

solusi atau upaya pencegahan dan penanganan dampaknya, dan untuk sementara

8 Konsep pendekatan kehati-hatian tercantum dalam Prinsip 15 Rio Declaration on the Environ-ment and Development 1992 serta di dalam pembukaan (preamble) dari United Nations Conven-tion on the Biological Diversity 1992 yang diratifikasi melalui UU Nomor 5 Tahun 1994.

9 Sekurangnya tiga poin ini yang menjadi alasan di dalam riwayat penerapan pendekatan kehati-hatian. Lihat Phillipe Sands, Principles of International Environmental Law: Second Edi-tion, (UK: Cambridge University Press, 2003), hlm.269-270.

10 Peter T Saunders, Use and Abuse of Precautionary Approach. (Article on the ISIS submission to US Advisory Committee on International Economic Policy (ACIEP) Biotech. Working Group, July 13, 2000, hlm. 11.

11 Prinsip 15 Rio Declaration, sebagaimana dijelaskan oleh Per Sandin, The Precautionary Prin-ciple: From Theory to Practice (Stockholm: Mistra, 2002), hlm.5

90

penggunaan teknologi tersebut semestinya dibatasi atau dihentikan untuk mengurangi

ketergantungan. Lebih lanjut, jika ternyata bahaya yang ada dianggap cukup serius,

prinsip kehati-hatian menekankan perlunya untuk menarik semua produk dan

melarang penggunaannya atau melakukan moratorium untuk sementara waktu.12

Meskipun demikian, pendekatan kehatian-hatian tidak mengharuskan

kepada pelaku usaha untuk menyediakan dan menunjukkan bukti-bukti yang

mutlak tentang risiko dan tingkat keamanan dari produk atau proses baru dalam

skema produksi mereka. Memang, ini akan menjadi satu permintaan yang tidak

mungkin dilaksanakan karena akan mematikan penemuan teknologi. Karena pada

prinsipnya, pendekatan kehati-hatian justru ditujukan untuk keadaan-keadaan

ketika tidak terdapat kepastian ilmiah yang mutlak.

Secara konseptual, pendekatan kehati-hatian menjadi terobosan kebijakan

yang dapat diterapkan untuk melakukan upaya konservasi dan perlindungan

keanekaragaman hayati. Paper ini memaparkan secara singkat tentang konsep

dan penerapan pendekatan kehati-hatian dalam kaitannya dengan perlindungan

keanekaragaman hayati dari komersialisasi genetik di Indonesia.

II. Biodiversitas dan Konsep Pendekatan Kehati-hatian

Pendekatan kehati-hatian menjadi sangat penting dan mendesak saat

dihadapkan pada situasi ketika terdapat pem-biar-an atau tidak cukupnya

informasi untuk menangani suatu akibat atau dampak dari sesuatu teknologi

atau invensi. Frank Knight, seorang ekonom dari University of Chicago, pada

masa-masa awal pembahasan tentang pendekatan kehati-hatian berpendapat

bahwa ketidakpastian (uncertainty) terutama yang “tidak terukur” (unmeasurable

uncertainty) merupakan suatu hal yang umum dalam pengambilan kebijakan

ekonomi.13 Knightian uncertainty,14 berlawanan dengan risiko yang merupakan

12 Peter T Saunders (2000). Op. Cit.13 Knight dalam karya klasiknya di tahun 1921, Risk, Uncertainty, and Profit, membedakan an-

tara risiko, sebagai sebuah kesempatan, dan ketidakpastian, sebagai kemungkinan yang tidak terukur. Menurut Knight, pembedaan itu penting karena risiko dapat dihitung dan dicegah atau dialihkan, sementara ketidakpastian merupakan jalan masuk dari kesem-patan-kesempatan bisnis untuk menghasilkan keuntungan. Lihat David Cowan, Frank H. Knight. Great Thinkers in Economics (London: Palgrave Macmillan, 2016), hlm.27.

14 Ibid. Istilah Knightian Uncertainty ini ada dalam pembahasan Chapter 2. Knightian Uncer-

SIGNIFIKANSI PENDEKATAN KEHATI-HATIAN DALAM PENGATURAN ORGANISME...

91

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

ketidakpastian namun dapat diperkirakan (measurable or probabilistic uncertainty),

yang menyebutkan bahwa perkiraan atau kemungkinan-kemungkinan tersebut

dapat dilekatkan pada suatu peristiwa tertentu dan sekaligus dapat dihitung

melalui ukuran-ukuran tertentu upaya penanganannya. Teori ini pula yang

mendasari bahwa kerangka pikir yang tepat dapat diterapkan untuk menganalisa

suatu ketidakpastian ilmiah (scientific uncertainty).

Ekonom umumnya berpikiran dan mencoba untuk mengelola ekosistem dan

keanekaragaman hayati dalam suatu langkah kebijakan yang seoptimal mungkin,

meskipun kompleksitas dari permasalahan yang ada di alam tidak memungkinkan

optimasi hasil pada pencapaiannya.15 Pada tataran inilah, pemikiran untuk

menjaga kelestarian alam dan keanekaragaman hayati yang ada, akan lebih tepat

untuk menggunakan pendekatan safety rules atau peraturan-peraturan pengaman,

yang dalam penerapannya diharapkan dapat mencegah proses kepunahan dari

satu atau sekelompok spesies.

The Cartagena Protocol on Biosafety,16 sebuah perjanjian internasional yang

mengatur tentang tata cara perpindahan lintas batas (transboundary movement),

penanganan, dan penggunaan dari living modified organisms (LMOs), adalah salah

satu produk hukum yang menekankan perlunya precautionary approach. Article 1

the Cartagena Protocol secara terang menekankan alasannya:

In accordance with the precautionary approach, contained in Principle 15 of the

Rio Declaration on Environment and Development, the objective of the Protocol

is to contribute to ensuring an adequate level of protection in the field of the safe

transfer, handling and use of living modified organisms resulting from modern

biotechnology that may have adverse effects on the conservation and sustainable

use of biological diversity, taking also into account risks to human health, and

specifically focusing on transboundary movements.17

“Sesuai dengan pendekatan kehati-hatian, termuat dalam Prinsip 15 Deklarasi

Rio tentang Lingkungan Hidup dan Pembangunan, tujuan dari Protokol ini adalah

tainty hlm 27-55.15 Gaskell, G. et.al., Europeans and Biotechnology in 2005: Pattern and Trends, Eurobarometer 64.

3 (Brussels: European Commission D-G Research, 2006). Hlm 516 Protokol untuk Konvensi Keanekaragaman Hayati yang ditandatangani di Cartagena pada

tahun 2000.17 Pasal 1 Protokol Cartagena, lihat pada https://bch.cbd.int/protocol

92

untuk memberikan dan menjamin level perlindungan yang memadai dalam hal

perpindahan yang aman, penanganan, dan penggunaan dari organisme hidup

modifikasi genetika yang dihasilkan dari bioteknologi modern, yang dapat

memiliki dampak merugikan bagi konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan

biodiversitas, pertimbangan kesehatan manusia, dan secara khusus difokuskan

pada perpindahan lintas batas”.

Tujuan utama dari penerapan pendekatan kehati-hatian ini untuk menjamin

adanya level perlindungan yang cukup dan layak dalam perpindahan, penanganan,

serta penggunaan dari LMOs atau dalam terjemah resminya, Organisme Hasil

Modifikasi Genetika (OHMG). Aplikasi OHMG terbukti menawarkan prospek

yang positif untuk kesehatan manusia dan hewan yang lebih baik, peningkatan

kualitas pangan, maupun juga dalam perlindungan lingkungan. Tanpa terkecuali,

perhatian terhadap dampak dari aplikasi rekayasa genetika ini, terutama untuk

Tanaman Pangan Rekayasa Genetika (TPRG) juga cukup tinggi di beberapa

kalangan seperti konsumer, petani, masyarakat tradisional/adat, serta organisasi-

organisasi lingkungan di seluruh dunia yang meningkat sejak akhir 1980an.18

Perhatian ini terutama difokuskan pada keseluruhan dampak yang mungkin

timbul pada lingkungan, kesehatan, maupun kehidupan masyarakat di area

pedesaan yang masih alami karena adanya komersialisasi genetik atas pangan dan

pakan yang dihasilkan melalui rekayasa genetika ini.

Pendekatan kehati-hatian muncul dalam rumusan Prinsip 15 Deklarasi Rio19

yang dinyatakan bahwa:

“In order to protect the environment, the precautionary approach shall be widely

applied by States according to their capabilities. Where are threats of serious or

irreversible damage, lack of full scientifc certainty shall not be used as a reason for

postponing cost-efective measures to prevent environment degradation”.20

“Dalam rangka melindungi lingkungan, pendekatan kehati-hatian semestinya

diterapkan secara menyeluruh oleh Negara sesuai dengan kemampuan masing-

18 INSIST, Politik Pangan: Perlu Perubahan Paradigma. (Yogyakarta: Penerbit INSIST, 2008), hlm 38.19 Deklarasi Rio merupakan kesepakatan berisikan 25 prinsip yang dihasilkan dalam The Unit-

ed Nation Conference on Environment and Development yang berlangsung pada Tahun 1992 di Rio de Janeiro Brazil.

20 Prinsip 15 Rio Declaration.

SIGNIFIKANSI PENDEKATAN KEHATI-HATIAN DALAM PENGATURAN ORGANISME...

93

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

masing. Bahwa adanya ancaman bahaya yang serius atau kerusakan yang tidak

dapat diperbaiki, kurangnya kepastian ilmiah yang memadai semestinya tidak

menjadi alasan untuk menunda langkah-langkah yang efektif untuk mencegah

penurunan kualitas lingkungan”.

Dalam penerapannya, prinsip 15 Deklarasi Rio ini menekankan bahwa

pendekatan kehati-hatian wajib untuk diterapkan dalam hal analisis risiko atas

suatu kegiatan atau introdusir substansi tertentu menunjukkan adanya ancaman

bahaya atau dampak yang cukup besar yang mungkin ditimbulkan, sementara jika

didasarkan pada pembuktian terlebih dahulu dapat menjadi penghalang untuk

pengambilan keputusan yang bersifat segera.

Per Sandin memberikan penafsiran atas konsep pendekatan kehati-hatian

melalui 4 aspek:21

a. adanya threats atau ancaman karena suatu kegiatan yang berpotensi bahaya

(potentially dangerous action);

b. ketidakpastian ilmiah (before scientific proof established);

c. adanya tindakan untuk membatasi, mengatur, atau mencegah; dan

d. sifat wajib dari tindakan tersebut (mandatory).

Adapun dari sekian rumusan yang ada tentang penerapan pendekatan kehati-

hatian, secara umum batasan pengertiannya mengerucut pada tiga hal, yaitu: sifat

ancaman kerusakan lingkungan begitu serius dan bersifat tidak dapat dipulihkan

(irreversible); terdapat ketidakpastian ilmiah (scientifc uncertainty); dan perlunya

preventif, mencakup upaya pencegahan hingga biaya-biaya yang mendukung

penanganan secara efektif (cost efectiveness).22

Pendekatan kehati-hatian dalam perkembangannya tidak hanya menjadi

sekedar pendekatan umum terkait perlindungan lingkungan dan kesehatan,

namun juga menjadi dasar pengaturan tentang risiko hingga sebuah pola kebijakan

terkait riset keilmuan dan perdagangan.23 Beberapa versi yang berbeda dari prinsip

21 Per Sandin, Dimensions of the Precautionary Principle, (Human and Ecological Risk Assessment: An International Journal, Vol 5 No. 5 1999), hlm. 889-907, DOI:10.1080/10807039991289185 hlm.890-891

22 Philippe Sands, (2003). Op. Cit. Hlm. 269-271.23 Kriebel, D., Tickner, J., Epstein, P., Lemons, J., Levins, R., Loechler, E. L., et al., The Precaution-

ary Principle in Environmental Science. (Environmental Health Perspectives, 2001 Vol 109), hlm. 871–876

94

ini juga bermunculan dari aspek pendekatan ekosentris hingga antroposentris,

maupun dari aspek penghindaran risiko atau penanganan risiko yang ada.24

Bahkan beberapa pendapat membuat pembedaan dari aspek preskriptif atau

petunjuk-petunjuk umum tentang prinsip pendekatan kehati-hatian dan aspek

argumentatif atau alasan-alasan dibalik prinsip tersebut.25

Pada konteks ini, pendekatan kehati-hatian dapat digunakan sebagai satu

opsi untuk mengelola risiko pada saat risiko tersebut telah diidentifikasi melalui

analisis untung-rugi dan risiko (risk-cost-benefit analyses). Pada saat penerapannya,

baik risiko maupun kemanfaatannya perlu diidentifikasi dan perkiraan atas

risiko yang ada perlu dinilai berbasis pada bukti-bukti statistik serta dipantau

secara berkala sebelum diputuskan hasilnya.26 Meskipun, terdapat satu kritisi dari

Levidow yang mempertanyakan kegunaan dari kriteria efektivitas biaya ini karena

ketika pendekatan ini diterapkan, justru semakin menegaskan bahwa berarti

pengetahuan yang ada cukup tersedia untuk memperkirakan tingkat bahaya yang

potensial sehingga memungkinkan adanya penilaian risiko berbasis efektivitas

biaya tersebut.27

Pada situasi yang dipengaruhi oleh ketidakpastian dan kompleksitas,

tidaklah mungkin untuk mendapat bukti ilmiah yang meyakinkan dan konklusif

dari dampak negatifnya. Pada titik singgung inilah, pendekatan kehati-hatian

menjadi sangat substantif karena pada saat terjadi ketidakpastian ilmiah,

maupun perdebatan ilmiah tentang relevansi produk/teknologi dengan dampak

negatifnya, risiko terhadap lingkungan atau kesehatan dapat menjadi isu minor

yang dipertimbangkan, sehingga prinsip kehati-kehatian perlu diutamakan.28

Lebih lanjut, pada tataran preskriptif, pendekatan kehati-hatian semestinya

menjadi dasar dari setiap aktivitas usaha/kegiatan yang dapat menimbulkan

24 C Weiss, Defining Precaution. (Environment, 2007, Vol 49. No. 8), hlm. 36–39.25 P. Sandin, The Precautionary Principle and the Concept of Precaution. (Environmental Values,

2006 No. 13), hlm. 461–467.26 M. Karlsson, The Precautionary Principle, Swedish Chemicals Policy and Sustainable Development.

(Journal of Risk Research, 2006, No. 9), hlm. 337–36027 L. Levidow, Precautionary Uncertainty: Regulating GM Crops in Europe. (Social Studies of Sci-

ence, 2001, No. 31), hlm. 842–874.28 Anne Ingeborg Myhr & T. Traavik, Sustainable Development and Norwegian Genetic Engineering

Regulations: Applications, Impacts and Challenges. (Journal of Agricultural and Environmental Ethics, 2003, No. 16), hlm. 317–335

SIGNIFIKANSI PENDEKATAN KEHATI-HATIAN DALAM PENGATURAN ORGANISME...

95

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

risiko bahaya atau dampak negatif. Ketika sebuah aktivitas usaha berpotensi

menimbulkan ancaman bahaya pada kesehatan manusia atau lingkungan,

pendekatan kehati-hatian wajib diterapkan meskipun penyebab dari ancaman

bahaya maupun kausalitasnya tidak dapat dijelaskan secara ilmiah.29

Pendekatan kehati-hatian secara khusus difokuskan untuk mengetahui dan

mengatasi problem kenihilan data pada saat pengambilan keputusan (problem

of incertitude in decision-making).30 Karena secara tradisional, metode kuantitatif

seperti instrumen statistik atau prediksi tingkat kesalahan dapat memetakan

ketidakpastian dan variabel yang ada, namun tidak semua aspek uncertainty

dapat dijangkau melalui metode ini.31 Berbasis pada pendekatan sumber serta

tipe ketidakpastian, terdapat pembedaan antara (a) linguistic uncertainty dan (b)

incertitude.32 Linguistic uncertainty lebih dimaksudkan karena ketidakpastian yang

diawali dari ketidakpastian data awal, atau secara mudah dari aspek bahasa saja

sudah uncertain. Sedangkan incertitude lebih menekankan pada situasi terdapatnya

kekurangan kepahaman ilmiah atau tidak lengkapnya deskripsi dari suatu

peristiwa, sehingga dasar untuk menentukan kemungkinan-kemungkinan lain

yang relevan juga tidak cukup kuat.33

Poin yang tertera pada bahasan di atas cukup krusial karena uncertainty

atau ketidakpastian, terlebih pada komersialisasi genetik, dapat terjadi karena (i)

novelty atau kebaruan dari aktivitas penerapannya bioteknologi,34 atau (ii) tidak

lengkapnya deskripsi dari mekanisme atau proses yang ada. Lebih lengkapnya,

terkait dengan OHMG, ketidakpastian menjadi sangat relevan jika dikaitkan pada

aspek-aspek sebagai berikut:35

29 Anne Ingeborg Myhr, A Precautionary Approach to Genetically Modified Organisms: Challenges and Implications for Policy and Science, (Journal of Agriculture and Environment Ethics, 2010, 23:501–525). Hlm. 504

30 Ibid.31 Ibid. Hlm. 50632 Ibid. Hlm.510

33 Ibid. Hlm. 511-512

34 Bioteknologi berkembang sangat cepat, yang mana meninggalkan gap yang cukup lebar dengan kesiapan hukum dan kesiapan – penerimaan masyarakat. Pengembangan di dalam bioteknologi dilakukan pada level sel, yang mana, tingkat kebaruan sangat terbuka, meski untuk satu obyek yang sama.

35 Anne Ingeborg Myhr, (2010). op. cit. hlm. 516

96

a. Adanya perubahan substantif pada OHMG atau produk turunannya. Struktur

DNA dari organisme yang dimodifikasi merupakan struktur yang kompleks,

sehingga implikasinya ekspresi genetis yang dibawa dapat jadi menimbulkan

efek yang tidak diduga sebelumnya.

b. Efek sekunder yang timbul dari introduksi gen termodifikasi di lapangan.

Beberapa contoh yang ada menunjukkan bahwa introdusir gen baru di

lapangan sangat rentan dalam menimbulkan hama baru.

c. Adanya perubahan pada interaksi alam dan respon lingkungan (daya

dukungnya). Introdusir OHMG jelas akan menimbulkan interaksi dengan

organisme lain, sehingga kondisi lingkungan yang berbeda, termasuk karena

adanya perubahan iklim, dapat mempengaruhi tingkat persistensi dari OHMG

itu sendiri.

III. Konsep Pendekatan Kehati-hatian dalam Pengaturan Organisme

Transgenik36

Basis perdebatan umum yang sering terjadi, pada pendukung mengklaim

bahwa organisme transgenik, yang terutama nampak pada tanaman pangan

dan produk pakan hasil rekayasa genetika, dibutuhkan Dunia untuk mengatasi

ancaman kelaparan; kurangnya ketersediaan pangan; kemiskinan di masa depan;

dampak perubahan iklim; hingga pada alasan bahwa selain aman, TPRG dapat

meningkatkan produksi pertanian.37 Pada sisi yang berseberangan, terutama

organisasi non pemerintah (ornop) merasa bahwa isu risiko yang ada jauh lebih

besar, dan sekaligus adanya skeptisme bahwa motivasi produsen yang senyatanya

hanya untuk mencapai kepentingan ekonomi semata.38

36 Isitlah transgenik yang berasal dari trans-genetic, merupakan istilah populer yang disemat-kan pada OHMG. Istilah OHMG sendiri merupakan istilah legal formal yang diadopsi oleh Indonesia untuk menterjemahkan LMOs yang tercantum dalam Protocol Cartagena.

37 Gaskell, et.al, (2006).Op. Cit. Hlm. 838 Ibid. Di Indonesia, ornop memberi perhatian dalam organisme transgenik memiliki kecend-

erungan yang sama, yaitu skeptisme dan sekaligus “penolakan” terhadap produk transge-nik. Memang yang menjadi permasalahan adalah isu ini masih menjadi isu minor di negara berkembang seperti Indonesia.

SIGNIFIKANSI PENDEKATAN KEHATI-HATIAN DALAM PENGATURAN ORGANISME...

97

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

Pada konteks negara maju seperti di Amerika maupun di Eropa, publik

memahami adanya keberadaan OHMG ini dan berbagi perhatian yang sama

terkait aspek sosio-ekonomis serta aspek biodiversitas.39 Beberapa riset yang

dilaksanakan oleh komunitas-komunitas sosial, seperti komunitas konsumen di

Amerika, mengisi diskursus ini dengan isu risiko dari OHMG,40 sementara para

ilmuwan justru berbeda pandangan tentang ada tidaknya risiko nyata dari dampak

yang merugikan terhadap kesehatan dan lingkungan.41

Penilaian risiko atas TPRG selama ini telah menghasilkan produk-produk

kebijakan yang berbeda tergantung pada apakah institusi pengambil kebijakan terkait

memiliki dan memahami cukup bukti ilmiah sebagaimana halnya ketidakpastian

ilmiah yang ada. Hal ini berpengaruh pada munculnya dua kubu yang sama-sama

kuat, pertama yang mendukung signifikansi dari bukti ilmiah mengingat risiko

yang mungkin ditimbulkan, serta yang kedua lebih mendukung didasari atas poin

kemanfaatan yang ada. Terutamanya, poin pembahasan utama ada pada peran dari

pendekatan kehati-hatian ini dalam penilaian risiko serta proses manajemen dari

komersialisasi genetika yang terkadang menimbulkan kontroversi.42

Penerapan pendekatan kehati-hatian juga mengharuskan adanya pengetahuan

atau bukti ilmiah minimal untuk dapat mengalaskan signifikasi dari pencegahan

bahaya atau ancaman bahaya tersebut. Bukti ilmiah minimal ini juga perlu

didokumentasikan dengan metodologi ilmiah sebelum prinsip kehati-hatian dapat

diterapkan. Sehingga dapat dikatakan, bahwa dalam hal bahaya atau ancaman

bahaya tersebut murni sebatas hipotesis atau imajinasi semata, dengan ketiadaan

indikasi ilmiah apapun terkait potensi bahayanya, pendekatan kehati-hatian tidak

dapat diterapkan.43

39 Perbedaan tingkat kepahaman publik sangat berbeda antara negara maju dengan negara berkembang. Isu ini juga menjadi alasan mendesaknya suatu konsep besar dalam kerangka pengaturan OHMG di Indonesia.

40 I. De Melo-Martin & Z. Meghani, Beyond Risk. (EMBO Reports, 2008 No. 9), hlm. 302–308. Dapat diunduh pada http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/journals/118/

41 Dalam tulisannya, Andow menyinggung tentang perubahan aspek dalam penilaian risiko atas tanaman transgenik. Utamanya diperluas dari sekedar non-target species, hingga ke local environment. Perluasan dalam environmental assessment ini sendiri menimbulkan di antara akademisi. Lihat D. A Andow & C Zwahlen, Assessing Environmental Risks of Trans-genic Plants. (Ecological Letters, 2006, 9: 196–214), hlm. 197-198.

42 Anne Ingeborg Myhr, (2010). Op. Cit. Hlm. 50543 Ibid.

98

Meskipun demikian, kriteria apa yang dapat diterima sebagai bukti ilmiah

untuk dasar penerapan precautionary approach ini belum dibedakan dan didefinisikan

secara tegas. Sebagai contoh pada Pasal 15 ayat (1) Protokol Cartagena disebutkan

bahwa:

“Risk assessments undertaken pursuant to this Protocol shall be carried out

in a scientifically sound manner… Such risk assessments shall be based, at a

minimum, on information provided in accordance with Article 8 and other

available scientific evidence in order to identify and evaluate the possible adverse

effects of living modified organisms on the conservation and sustainable use of

biological diversity, taking also into account risks to human health”. 44

“Penilaian risiko berdasarkan Protokol ini harus dilakukan dengan tata

cara yang tepat secara ilmiah… Penilaian risiko tersebut harus dilandaskan,

sekurangnya, pada informasi yang tersedia sesuai dengan Pasal 8 dan bukti ilmiah

lain yang tersedia untuk mengidentifikasi dan menilai potensi dampak merugikan

dari organisme hidup modifikasi genetika pada konservasi dan pemanfaatan

berkelanjutan biodiversitas, dan mempertimbangkan risiko pada kesehatan

manusia”.

Bagaimana menerjemahkan “available scientific evidence” atau “bukti ilmiah

yang tersedia” akan tergantung pada pengalaman keilmuan yang dimiliki oleh

para ahli yang di dalam suatu negara. Salah satu contoh kasus yang pernah

terjadi di Uni Eropa dapat menjadi satu rujukan yang bagus dalam memahami

konteks penerapan pendekatan kehati-hatian ini. Bahwa setelah adopsi dari

the EU Directive 90/220 pada tahun 1990, perselisihan serius terjadi antara the

European Council dengan otoritas-otoritas nasional berkaitan dengan bukti-bukti

ilmiah yang diperlukan dalam penerapan precautionary measures.45 Perselisihan

ini berujung pada dua putusan penting terkait dengan penggunaan OHMG dan

pelepasannya di Uni Eropa. Pertama, Dewan Menteri dari the European Council

menyetujui adanya moratorium komersialisasi genetik dari OHMG pada bulan

Juni 1999. Kedua, Uni Eropa mengeluarkan kebijakan baru dalam “membaca”

44 Article 15 (1) the Cartagena Protocol on Biosafety

45 EEA: European Environment Agency. Late Lessons from Early Warnings: The Precautionary Principle 1896–2000, (Brussell; 2002) http://reports.eea.eu.int/environmental_issue_re-port_2001_22/

SIGNIFIKANSI PENDEKATAN KEHATI-HATIAN DALAM PENGATURAN ORGANISME...

99

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

Directive 90/220/EEC.46 Peraturan baru yang telah direvisi sekaligus menggantikan

peraturan yang lama, EU Directive 2001/18/EC,47 yang secara tegas memasukkan

precautionary principle pada pasalnya dan menambahkan persyaratan yang lebih

ketat untuk persetujuan OHMG. Sebagai tambahan pada tahun 2000, the European

Commission mengeluarkan satu communication paper yang menjelaskan pendekatan-

pendekatan apa yang diperlukan dalam menerapkan prinsip kehati-hatian, yang

menegaskan bahwa kebijakan lingkungan di Eropa juga didasarkan dari prinsip

tersebut sebagaimana dinyatakan pada Pasal 174 (2) Piagam Uni Eropa.48

Permintaan atas adanya “available scientific evidence” juga menimbulkan

ambiguitas pada redaksional Protokol Cartagena itu sendiri, terutama jika

diperbandingkan dengan yang dinyatakan pada Pasal 10:

“Lack of scientific certainty due to insufficient relevant scientific information

and knowledge regarding the extent of the potential adverse effects of a living

modified organism on the conservation and sustainable use of biological diversity

in the Party of import, taking also into account risks to human health, shall not

prevent that Party from taking a decision, as appropriate, with regard to the

import of the living modified organism in question as referred to in paragraph 3

above, in order to avoid or minimize such potential adverse effects”.49

“kurangnya kepastian ilmiah dikarenakan tidak cukupnya informasi ilmiah

dan pengetahuan yang relevan mengenai tingkat potensi dampak merugikan

dari organisme hidup modifikasi genetika pada konservasi dan pemanfaatan

berkelanjutan biodiversitas dari Negara importir, dan mempertimbangkan risiko

terhadap kesehatan manusia, tidak membatasi Negara untuk membuat putusan,

sewajarnya, terkait impor tersebut, untuk menghindari atau mengurangi potensi

dampak merugikan”.

Pasal ini memberikan penegasan bahwa sangat dimungkinkan adanya

ketidakcukupan informasi ilmiah yang relevan terkait dengan dampak negatif

46 Ibid.

47 CEC, European Council Directive 2001/18/EC, http://eur-lex.europa.eu/legal-content/EN/TXT/?uri=celex%3A32001L0018

48 CEC, Communication From the Commission on the Precautionary Principle, 2000, http://europa.eu.int/comm/dgs/health_consumer/library/pub/pub07_en.pdf

49 Article 10 the Cartagena Protocol on Biosafety

100

yang potensial, yang sekaligus merefleksikan sebuah kesadaran bahwa tidak cukup

hanya pada kuantitas dari informasi ilmiah saja, tapi juga kualitas informasi ilmiah

yang perlu diperhatikan dalam penilaian suatu risiko. Penafsiran dalam Pasal 10

Protokol Cartagena ini juga nampak pada komunikasi EC tentang prinsip kehati-

hatian50 dan laporan dari UNESCO51 yang sama-sama menekankan pentingnya

kuantitas dan kualitas dari informasi ilmiah. Pada konteks ini, penerapan

pendekatan kehati-hatian tidak hanya ditentukan oleh jumlah informasi yang ada,

namun juga macam kepahaman ilmiah yang sudah diketahui tentang suatu risiko

bahaya dan adakah kekurangan dari informasi tersebut.

Dari dokumen komunikasi EC, prinsip pendekatan kehati-hatian perlu

diterapkan pada saat terdapat dasar pertimbangan yang beralasan (reasonable ground

for concern) dan oleh karena itu dapat melegitimasi putusan-putusan dan tindakan-

tindakan yang diambil, terutama pada saat kepahaman ilmiah tentang dampak

negatif yang ada hanya dimiliki oleh sebagian atau jumlahnya sangat terbatas.

Sedangkan pada versi Laporan UNESCO, kondisi untuk dapat menerapkan

prinsip kehati-hatian adalah adanya bahaya yang secara ilmiah masuk akal tetapi

memiliki ketidak pastian (harm that is scientifically plausible but uncertain). Sehingga,

dapat dikatakan bahwa kedua versi penafsiran dari precautionary approach dari

dokumen-dokumen tersebut mengakui bahwa prinsip kehati-hatian dapat

diterapkan pada saat terdapat kemungkinan timbulnya dampak negatif yang tidak

dapat diperkirakan waktunya, atau dengan bahasa mudahnya: dampak negatif

secara ilmiah masuk akal untuk terjadi, tapi keterkaitan antara aktivitas usaha

dengan dampak yang ada belum cukup buktinya.

Meskipun pada tataran teoretis dan regulatif sudah cukup jelas dan tegas,

pada kenyataan di lapangan, peran prinsip kehati-hatian ini dalam penilaian risiko

dan pengelolaan OHMG menjadi satu obyek perdebatan dan kontroversi publik

yang sangat panas. Dari pihak yang menolak, beralasan bahwa penerapan prinsip

kehati-hatian menambah beban penaatan hukum dalam penggunaan OHMG,

sehingga mengurangi kemanfaatan inovasi, membatasai pemanfaatannya secara

50 Ibid.51 UNESCO COMEST, The Precautionary Principle, (Paris, 2005) http://unesdoc.unesco.org/

images/0013/001395/139578e.pdf

SIGNIFIKANSI PENDEKATAN KEHATI-HATIAN DALAM PENGATURAN ORGANISME...

101

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

global, dan sekaligus menjadi disinsentif untuk meningkatkan penelitian di aspek

bioteknologi.52

Pendapat lain juga menyatakan bahwa tidak ada satupun definisi dari prinsip

kehati-hatian yang menjelaskan secara spesifik dari intervensi yang diperlukan

serta tidak memperhatikan aspek keseimbangan antara risiko dengan manfaat

yang ada,53 sebagaimana juga kurangnya pendekatan untuk identifikasi risiko

yang muncul dari kebijakan pajak impor yang ada dan kemungkinan menjadi

penghambat bisnis dalam hal prinsip kehati-hatian diterapkan.54 Lebih lanjut

lagi, prinsip kehati-hatian semestinya tidak diterapkan pada proses pengambilan

keputusan (decision-making) karena adanya metode ilmiah kredibel (sound scientific

methods) yang menawarkan dasar yang sangat tepat dan hati-hati dalam pemberian

informasi ke pengambil keputusan.55

Sementara di sisi lain, pendukung prinsip kehati-hatian termotivasi untuk

meningkatkan prosedur keamanan yang kompetitif dengan penerapan prinsip ini,

sekaligus memberi penegasan antara kepentingan lingkungan dan kepentingan

bisnis dalam pengambilan keputusan. Meskipun sebenarnya rerata kritikan

terhadap prinsip kehati-hatian ini hanya didasarkan pada misinterpretasi semata,56

karena pada dasarnya ketiadaan kepastian dan sekaligus rasionalitas ilmiah-lah

yang menjadi alasan penerapan prinsip ini.57 Sementara semestinya hal yang lebih

layak untuk diperdebatkan bukan pada bagaimana menerapkan prinsip kehati-

hatian, karena sangat teknis, tetapi lebih ke pada saat dan pada batasan apa

pendekatan kehati-hatian diperlukan.58

52 J. Morris, The Relationships Between Risk Analysis and the Precautionary Principle. (Toxicology, 2002) hlm 181–182.

53 C. Weiss, (2007). Op. Cit. Hlm. 36-39.54 J. D Graham, & J. B Wiener. The Precautionary Principle and Risk-Risk Tradeoffs: A Comment.

(Journal of Risk Research, 2008 No. 11), hlm. 465–47455 D. M.,Byrd & R. Cothern, Introduction to Risk Analysis. A Systematic Approach to Science-Based

Decision Making. (Rockville US: MD Government Institutes, 2000). Hlm. 25-27.56 P. Sandin., (2006). Op.Cit.Hlm 46557 Starling,, Risk, Precaution and Science: Towards a More Constructive Policy Debate. (EMBO Re-

ports, 2007, Edition 8), hlm. 309–315.58 Wickson, F., Gillund, F. and Myhr, A. I. Treating Nanoparticles with Precaution: The Impor-

tance of Recognising Qualitative Uncertainty in Scientific Risk Assessment. dalam K. Kjølberg, F. Wickson (Eds.). Nano Meets Macro, Social Perspectives on Nanoscience and Nanotechnology. (US: Stanford Publishing., 2010), hlm. 176-179

102

Secara khusus, pendekatan kehati-hatian untuk OHMG memerlukan

“pandangan” baru terhadap ilmu pengetahuan yang menyokong penilaian risiko

dan manajemen dalam penggunaan dan pelepasan OHMG. Hal ini menekankan

bahwa perlu adanya identifikasi piranti-piranti praktis untuk dapat mendisain

penelitian yang berorientasi pada pendekatan kehati-hatian dan sekaligus

mengeksplorasi pentingnya bukti ilmiah yang berbasis kehati-hatian ini dalam

pengambilan putusan dan kebijakan.59 Hal ini sekaligus memerlukan pandangan

kritis mengenai seberapa mungkin (reliable) data yang dapat didapatkan, dan

apakah data tersebut dapat mewakili ketercukupan dari permasalahan yang

sedang diinvestigasi untuk mengurangi insiden yang mungkin timbul akibat

dampak negatif yang terjadi setelah adanya komersialisasi genetik.60

IV. Isu Krusial dalam Pengaturan Organisme Transgenik di Indonesia

Implementasi pendekatan kehati-hatian meminta adanya tanggungjawab dari

para pihak (pengekspor) untuk menunjukkan bahwa OHMG yang bersangkutan

aman. Sehingga, pada penerapannya, rerata Negara mengaplikasikan pendekatan

kehati-hatian secara kasuistis (case-by-case) dan bertahap (step-by-step). Prosedur

kasuistis meminta adanya evaluasi ilmiah wajib dari setiap notifikasi adanya

OHMG. Sedangkan prosedur bertahap memfasilitasi adanya perkembangan

yang progresif dari OHMG dengan mengevaluasi dampak lingkungan yang ada

dari proses pelepasan OHMG. Tujuan dari penerapan kedua prosedur ini adalah

untuk membentuk praktik pembelajaran yang memungkinkan baik pengekspor

maupun otoritas negara untuk mengumpulkan informasi ilmiah yang diperlukan.

Sebagai tambahan, di Uni Eropa, pengekspor juga harus menyerahkan dokumen

tentang program pemantauan (monitoring program) yang berisikan tentang rencana

pemantauan lingkungan yang akan diterapkan setelah komersialisasi OHMG

tersebut dilakukan.61

59 Anne Ingeborg Myhr, (2010). Op. Cit. Hlm. 516

60 Nielsen, K. M., & Myhr, A. I. Understanding the Uncertainties Arising from Technological Inven-tions in Complex Biological Systems: The Case of GMOs. dalam T. Traavik & L. C. Lim (Eds.), Biosafety Frst: Holistic Approaches to Risk and Uncertainty in Genetic Engineering and Genetically Modified Organisms. (Trondheim: Tapir Academic Press, 2007). hlm. 107–123.

61 CEC. Ibid.

SIGNIFIKANSI PENDEKATAN KEHATI-HATIAN DALAM PENGATURAN ORGANISME...

103

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

Satu hal yang cukup menjadi hambatan dalam penerapan pendekatan kehati-

hatian ini adalah menentukan beban pembuktian dan sekaligus beban tanggung

jawab dari masing-masing pihak. Sebagai contoh, bagaimana dapat diyakinkan

bahwa pengembang OHMG telah mengikuti prioritas prosedur penelitian

yang ketat untuk mencegah dan mendeteksi adanya efek berbahaya?62 Pada

perkembangan saat ini, penerapan tanggung jawab (liability) atau jaminan finansial

berbarengan dengan persetujuan bersyarat dan uji coba skala luas dapat menjadi

sarana untuk menjamin adanya tanggung jawab dari pengembang OHMG.

Pembebanan tanggung jawab juga dapat ditambah dengan penilaian keamanan

OHMG oleh tim ahli, yang mengharuskan pengembang OHMG untuk melakukan

uji coba dan menunjukkan hasilnya ke komite ahli, atau mengharuskan untuk

melakukan uji coba pada lembaga akademis yang terakreditasi.63

Selain itu, sebagaimana tertuang dalam pembahasan sebelumnya, salah satu

isu krusial dalam penerapan pendekatan kehati-hatian ini adalah kemungkinan

adanya ketidakcukupan informasi ilmiah yang relevan terkait dengan dampak

negatif yang potensial. Kuantitas dan kualitas informasi ilmiah mengenai OHRG

di Indonesia masih menjadi akses eksklusif sedikit pihak saja. Sementara untuk

informasi publik masih kurang ketersediaannya.

Mengingat keunikan dari OHMG dan sekaligus keanekaragaman hayati itu

sendiri, tingkat ketidakpastian (uncertainty) yang ada, dapat jadi sangat tinggi dan

bervariasi. Praktik baik yang ada pada pengaturan kewajiban dan tanggungjawab

pelaku usaha untuk berhati-hati dalam pemanfaatan OHMG di Eropa disinggung di

atas sebagai konsep rujukan. Indonesia menaruh perhatian terhadap bioteknologi

melalui dukungan peraturan diantaranya Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun

2005 tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetika Peraturan Pemerintah

ini dibuat atas dasar pendekatan kehati-hatian dan mengacu pada Protokol

Cartagena tentang Keamanan Hayati yang telah diratifikasi Indonesia melalui

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2004 tentang Pengesahan Cartagena Protocol On

Biosafety To The Convention On Biological Diversity. Penerapan protokol keamanan

hayati yang tertuang di dalam Protokol Cartagena dilakukan Balai Kliring

Keamanan Hayati (BKKH) yang merupakan perangkat dari Komisi Keamanan

62 Anne Ingeborg Myhr, 2010. Op. Cit. Hlm. 510

63 Ibid.

104

Hayati.BKKH digunakan untuk memfasilitasi konsultasi publik terhadap hasil

pengkajian OHMG.

Keamanan hayati OHMG dimaksudkan bahwa OHMG bersangkutan

tidak mengganggu, merugikan dan/atau membahayakan kesehatan manusia,

keanekaragaman hayati, dan lingkungan. Sesuai dengan amanat dari Protokol

Cartagena, terdapat tiga uji keamanan hayati yang harus ditempuh oleh suatu

OHMG sebelum dapat diperkenalkan ke pasar (komersialisasi) yaitu uji keamanan

lingkungan, uji keamanan pangan, dan uji keamanan pakan.

Sementara, dari aspek pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan

lingkungan hidup, penilaian risiko lingkungan menjadi salah satu solusi yang

dapat diterapkan sesuai prinsip pendekatan kehati-hatian ini. Sebagaimana

diamanatkan di dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya disebut dengan UU Nomor 32 Tahun

2009), bahwa dalam beberapa usaha/kegiatan yang memiliki uncertainty tinggi

dalam dampaknya, perlu menambahkan satu kajian risiko lingkungan selain

kewajiban kajian dampak lingkungan yang diperlukan.64

Kajian penilaian risiko didasarkan pada informasi ilmiah dan dilakukan

oleh tim ahli. Di dalam kajian ini juga terdapat strategi manajemen risiko yang

berisikan program manajemen risiko sebagai instrumen untuk minimalisir atau

mencegah risiko. Penilaian risiko ini bertujuan untuk menyediakan basis ilmiah

yang memadai sebagai dasar pengambilan keputusan, tanpa harus ditujukan

untuk mendapatkan pengetahuan sebanyak mungkin untuk mengesampingkan

semua ketidakpastian yang ada.

Pasal 1 Protokol Cartagena memberi pengkhususan bahwa keseluruhan

agenda dari adopsi protokol tersebut adalah untuk melindungi dan melestarikan

keanekaragaman hayati berbasis pada pendekatan kehati-hatian. Meskipun

pertanyaan utama mengenai apa yang dapat dikategorikan sebagai bahaya atau

ancaman bahaya tetap muncul, kerangka pengaturan tetap diperlukan dikarenakan

64 Pasal 47 UUPPLH mensyaratkan bahwa untuk kegiatan/usaha yang berpotensi meimbul-kan dampak penting bagi lingkungan, ancaman terhadap ekosistem, kehidupan, kesehatan, dan keselamatan manusia wajib melakukan analisis risiko lingkungan. Di dalam penjelasan pasalnya disebutkan anallisis ini dilakukan dalam prosedur yang antara lain digunakan untuk mengkaji pelepasan dan peredaran produk rekayasa genetik

SIGNIFIKANSI PENDEKATAN KEHATI-HATIAN DALAM PENGATURAN ORGANISME...

105

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

pemahaman terhadap bahaya dan ancaman bahaya serta nilai dari biodiversitas

harus didasarkan pada konteks biologi dan sekaligus etis.

Pemerintah sebagai pembuat kebijakan tetap harus dapat membuat

kebijakan atau peraturan didasarkan pada informasi ilmiah yang tersedia.

Sehingga, seberapapun bentuk kebijakan/regulasi dari Pemerintah bahwa suatu

komersialisasi genetik tidak dimungkinkan pelaksanaannya, tetap didasarkan pada

suatu kerangka legal khusus yang telah mempertimbangkan ilmu pengetahuan,

etika, aspek sosio-kultural, pertimbangan ekonomi, keindahan, maupun kriteria

lain yang diperlukan.65 Isu inilah yang menjadi tugas rumah berkepanjangan dari

pemerintah. Komersialisasi produk transgenik perlu dipersiapkan dengan baik,

baik dalam peredarannya maupun penanganan risiko yang mungkin ditimbulkan.

Pemerintah pada konteks ini perlu menempatkan dirinya sebagai pihak yang

bertugas untuk menerjemahkan informasi tentang ketidakpastian melalui artikulasi

dari pertimbangan-pertimbangan normatif sehingga dapat menghasilkan satu

pilihan kebijakan dan proteksi yang dibutuhkan.66 Dengan catatan bahwa jaminan

atas kuantitas dan kualitas informasi, sebagaimana jaminan atas akses informasi

bagi publik diakomodasi dengan baik oleh Pemerintah.

V. Kesimpulan

Penerapan pendekatan kehati-hatian dalam rangka proteksi terhadap

komersialisasi sumber daya genetika pada dasarnya telah dilakukan sesuai amanat

dari Protokol Cartagena. UU Nomor 32 Tahun 2009 pun sudah memasukkan

prinsip kehati-kehatian sebagai prinsip dasar dalam perlindungan dan pengelolaan

lingkungan hidup. Meskipun demikian, dalam mempersiapkan tahapan rilis

komersil TPRG yang telah dimulai dengan izin peredaran pangan beberapa produk

65 Dengan adanya ego sektoral yang masih cukup tinggi, perlu suatu keterpaduan dari as-pek sistem regulasi dan peraturan sehingga kajian penilaian risiko dan strategi manajemen terhadap komersialisasi genetika didasarkan pada satu kerangka spesifik, yang meliputi standar-standar normatif dan pertimbangan tentang pengaruhnya terhadap lingkungan.

66 R. Von Schomberg,. The Precautionary Principle and its Normative Challenges. dalam Chapter 2 dari E. Fisher, et al. (Eds.), Implementing the Precautionary Principle: Perspetives and Prospects. (UK: Cheltenham, 2006), hlm. 19–42

106

pertanian hasil rekayasa genetika,67 masih diperlukan fasilitasi untuk diskusi yang

lebih luas untuk dapat memetakan implikasi sosial, etis, dan legal dari aspek-aspek

risiko yang mungkin timbul dari introdusir OHMG maupun bentuk komersialisasi

genetika lainnya.

Untuk menjembatani diskursus terkait aspek risiko dari OHMG ini, perlu

adanya identifikasi terhadap (i) ancaman terhadap keanekaragaman hayati seperti

apa yang dianggap dapat diterima (acceptable) atau tidak, (ii) instrumen apa yang

diperlukan untuk mencapai level perlindungan yang diharapkan, (iii) adakah

dan data dasar apa yang dapat diterapkan sebagai pembanding dari bahaya atau

ancaman bahaya yang diperkirakan, (iv) capaian normatif yang dituju untuk

mengukur dampak dari OHMG, dan (v) implikasi sosio-kultural yang semestinya

dihindari.

Diskursus ini juga perlu memasukkan informasi perkembangan rekayasa

genetika sekarang dan rencana strategisnya di masa depan, sehingga dapat

dihindari adanya kesenjangan yang cukup tinggi, antara kesiapan normatif dengan

aplikasi bioteknologi di lapangan. Terlebih dengan adanya perkembangan terbaru

dalam rejim hukum perlindungan keanekaragaman hayati, yaitu Protokol Nagoya

tentang Access and Benefit Sharing serta Supplementary Protocol Nagoya-Kuala Lumpur

tentang Redress and Liability,68 Pemerintah dihadapkan pada tuntutan legal framework

yang tepat untuk menghadapi perkembangan teknologi yang cepat. Konsep

“shared benefits, shared responsibility” inilah yang harus dikembangkan sekaligus

dilegalkan, sehingga pemanfaatan bioteknologi oleh semua stakeholders dapat

dilakukan secara baik dan dalam koridor tepat yang memungkinkan pemanfaatan

secara bertanggungjawab. Beberapa hal yang harus dilakukan meliputi:

1. Menyediakan mekanisme penilaian risiko yang tidak hanya memberikan

analisis yang akurat dari risiko dan ketidakpastian yang ada, tetapi juga

transparan dalam hal batasan kepahaman ilmiah yang telah dimiliki.

2. Membuka kesempatan diskusi yang luas tanpa menutup kemungkinan kritik-

kritik ilmiah.

67 Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian, 2014. Buletin Konsumsi Pangan Volume 5 No. 1 Tahun 2014, hlm. 10

68 Pembahasan terpisah tentang NKL Supplementary Protocol ini dapat dilihat pada Santoso, Wahyu Yun, 2016, Bridging the Implementation of Nagoya-Kualalumpur Supplementary Protocol on Liability and Redress in Indonesia. Indonesian Law Review Vol. 6 No. 1 June 2016.

SIGNIFIKANSI PENDEKATAN KEHATI-HATIAN DALAM PENGATURAN ORGANISME...

107

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

3. Perlunya penekanan pada pendekatan yang bersifat interdisipliner dalam

kajian untuk memetakan ketidakpastian ilmiah dari introdusir produk

bioteknologi, terutama yang terkait dengan keanekaragaman hayati.

4. Membuka peluang partisipasi aktif dari seluruh pemangku kepentingan,

sehingga dapat dicapai adanya kesepakatan yang kokoh tentang ketidakpastian

ilmiah yang ada, dan sekaligus dapat memetakan kemanfaatan yang terbaik.

108

DAFTAR PUSTAKA

Andow, D. A., & Zwahlen, C. 2006. Assessing Environmental Risks of Transgenic

Plants. Ecological Letters, 9, 196–214

Byrd, D. M., & Cothern, R. 2000, Introduction to Risk Analysis. A Systematic Approach

to Science-Based Decision Making. Rockville, MD, USA: Government Institutes.

CEC. European Council Directive 2001/18/EC. http://www.europa.eu.int/com-

mm/ food/fs/sc/scp/out31_en.htm

CEC. Communication From the Commission on the Precautionary Principle. 2000. http://

europa.eu.int/comm/dgs/health_consumer/library/pub/pub07_en.pdf

Cowan, David, 2016, Frank H. Knight. Great Thinkers in Economics. London: Palgrave

Macmillan,.

De Melo-Martin, I., & Meghani, Z., 2008. Beyond Risk. EMBO Reports, 9, 302–308.

EEA: European Environment Agency. 2002. Late Lessons from Early Warnings: The

Precautionary Principle 1896–2000, http://reports.eea.eu.int/environmen-

tal_issue_ report_2001_22/

Gaskell, G. et.al., 2006. Europeans and Biotechnology in 2005: Pattern and Trends, Eu-

robarometer 64. 3, Brussels: European Commission D-G Research.

Graham, J. D., & Wiener, J. B. 2008, The Precautionary Principle and Risk-Risk Trad-

eoffs: A Comment. Journal of Risk Research, 11, 465–474

Insist. 2008, Politik Pangan: Perlu Perubahan Paradigma. Yogyakarta: Penerbit INSIST,

Karlsson, M., 2006. The Precautionary Principle, Swedish Chemicals Policy and Sustain-

able Development. Journal of Risk Research (2006), 9, 337–360

Kriebel, D., Tickner, J., Epstein, P., Lemons, J., Levins, R., Loechler, E. L., et al., 2001.

The Precautionary Principle in Environmental Science. Environmental Health

Perspectives, 109, 871–876

Levidow, L. 2001, Precautionary Uncertainty: Regulating GM Crops in Europe. Social

Studies of Science, 31, 842–874.

Morris, J. 2002, The Relationships Between Risk Analysis and the Precautionary Prin-

ciple. Toxicology, 181–182, 127–130

SIGNIFIKANSI PENDEKATAN KEHATI-HATIAN DALAM PENGATURAN ORGANISME...

109

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

Myhr, A. I., & Traavik, T. 2003, Sustainable Development and Norwegian Genetic En-

gineering Regulations: Applications, Impacts and Challenges. Journal of Agricul-

tural and Environmental Ethics, 16, 317–335

Myhr, Anne Ingeborg, 2010. A Precautionary Approach to Genetically Modified Organ-

isms: Challenges and Implications for Policy and Science, Journal of Agriculture

and Environment Ethics (2010) 23:501–525.

Nielsen, K. M., & Myhr, A. I. 2007. Understanding the Uncertainties Arising from Tech-

nological Inventions in Complex Biological Systems: The Case of GMOs. dalam

T. Traavik & L. C. Lim (Eds.), Biosafety Frst: Holistic Approaches to Risk and

Uncertainty in Genetic Engineering and Genetically Modified Organisms. Trond-

heim: Tapir Academic Press.

Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian, 2014. Buletin Konsumsi Pangan Vol-

ume 5 No. 1 Tahun 2014.

Rio Declaration on the Environment and Development 1992

Sands, Phillipe, 2003, Principles of International Environmental Law: Second Edition,

UK: Cambridge University Press,

Saunders, Peter T., 2000. Use and Abuse of Precautionary Approach. Article on the ISIS

submission to US Advisory Committee on International Economic Policy

(ACIEP) Biotech. Working Group, July 13, 2000.

Sandin, Per. 1999, Dimensions of the Precautionary Principle, Human and Eco-

logical Risk Assessment: An International Journal, 5:5, 889-907,

DOI:10.1080/10807039991289185

----------, 2002, The Precautionary Principle: From Theory to Practice, Stockholm: Mis-

tra,

----------, 2004. The Precautionary Principle and the Concept of Precaution. Environmen-

tal Values, 13, 461–475.

The Nagoya Protocol on Access to Genetic Resources and the Fair and Equitable Sharing

of Benefits Arising from their Utilization to the Convention on Biological Diversity.

The United Nations Convention on the Biological Diversity 1992

UNESCO COMEST. 2005. The Precautionary Principle, http://unesdoc.unesco.org/

images/ 0012/001395/139578e.pdf

Weiss, C. 2007. Defining Precaution. Environment, 49.8, 36–39.

110

Wickson, F., Gillund, F. and Myhr, A. I. 2010, Treating Nanoparticles with Precaution:

The Importance of Recognising Qualitative Uncertainty in Scientific Risk Assess-

ment. dalam K. Kjølberg, F. Wickson (Eds.). 2010, Nano Meets Macro, Social

Perspectives on Nanoscience and Nanotechnology. Pan Stanford Publishing.

Von Schomberg, R. 2006, The Precautionary Principle and its Normative Challenges.

dalam Chapter 2 dari E. Fisher, et al. (Eds.), 2006, Implementing the Precaution-

ary Principle: Perspetives and Prospects. UK: Cheltenham.

SIGNIFIKANSI PENDEKATAN KEHATI-HATIAN DALAM PENGATURAN ORGANISME...

111

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

Peradilan internasional dan diPlomasi dalam sengketa

lingkungan HiduP maritim

Oleh: Andreas Pramudianto1

Abstrak

Putusan Mahkamah Arbitrase Permanen (Permanent Court of Arbitration/PCA)

baru-baru ini untuk penyelesaian sengketa maritim di Laut China Selatan antara

China (Tiongkok) dengan Filipina telah menunjukan bahwa semakin pentingnya

penyelesaian sengketa melalui badan peradilan internasional. Walaupun putusan

ini sulit untuk dieksekusi, namun peran peradilan internasional tetap menjadi

pilihan yang penting di masa mendatang. Di sisi lain jalur diplomasi masih tetap

dilakukan baik sebelum sengketa, masa sengketa maupun berakhirnya sengketa.

Sengketa maritim terkait lingkungan hidup yang selama ini disidangkan dan

diputuskan di beberapa peradilan internasional seperti Mahkamah Internasional

(International Court of Justice/ICJ), Studi ini mencoba untuk mendeskripsikan kasus

lingkungan hidup maritim melalui jalur diplomasi dan peradilan internasional

sehingga mampu memberikan hasil yang bermanfaat bagi pengembangan hukum

dan hubungan internasional. Kesimpulan menunjukan bahwa diplomasi dan

putusan peradilan internasional telah memberikan dasar dan petunjuk hukum

bagi negara-negara dan aktor bukan negara dalam hubungan internasional.

Kata kunci : Lingkungan hidup maritim; diplomasi; peradilan internasional;

putusan arbitrase Laut China Selatan; amicus curiae.

1 Penulis merupakan Dosen di Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia (SIL-UI) , serta Peneliti di Pusat Penelitian Sumberdaya Manusia dan Lingkungan Sekolah Ilmu Ling-kungan Universitas Indonesia (PPSML SIL-UI),

112

Abstract

The Permanent Court of Arbitration (PCA) decision for maritime dispute resolution

in the South China Sea between China and the Philippines has shown that the importance

of dispute resolution through the international judiciary. Although this decision is difficult

to execute, the role of international justice remains an important choice in the future. On

the other hand the diplomatic pathway is still done well before, at the time or the end of the

dispute. The related environmental maritime disputes that have been tried and decided in

several international courts such as the International Court of Justice (ICJ), This study

attempts to describe maritime environmental cases through international diplomatic and

judicial channels so as to provide useful outcomes for the development of international law

and international relations. A provisional conclusion shows that international judicial and

diplomacy have provided the legal basis and legal guidance.

Keywords: maritime environment; diplomacy; international justice; South

China Sea arbitration; amicus curiae.

I. Pendahuluan

Putusan Mahkamah Arbitrase Permanen (Permanent Court of Arbitration/

PCA) di Den Haag, Belanda pada 12 Juli 2016 salah satunya menegaskan bahwa

Cina (Tiongkok) tidak mempunyai bukti sejarah kepemilikan dan kekuasaan atas

perairan yang dipersengketakan oleh Filipina di Laut Cina Selatan. Di sisi lain

putusan PCA juga menegaskan bahwa tindakan Tiongkok dalam membangun

dermaga telah menimbulkan kerusakan terumbu karang dan gangguan terhadap

habitat serta satwa langka di sekitar perairan tersebut. Namun Mahkamah Arbitrase

Permanen (PCA) ternyata tidak memiliki jurisdiksi atau kewenangan untuk

memaksakan Tiongkok dalam menerapkan putusan itu. Di sisi lain, kemenangan

Filipina dalam sengketa Laut Cina Selatan ini dapat mempengaruhi pihak lain yang

juga mengklaim sebagian perairan Laut Cina Selatan, seperti Taiwan, Vietnam,

Malaysia dan Brunei untuk melakukan tindakan yang sama2. Di sisi lain, putusan

2 Pengaruh putusan PCA ini mulai dirasakan baru-baru ini dimana Philipina mengganti nama Laut China Selatan menjadi Laut Filipina Barat (Philipina) dan Indonesia mengganti menjadi Laut Natuna Utara (Indonesia) yang kemudian diprotes oleh China, dalam http://ekonomi.kompas.com/read/2017/07/16/113255326/beijing-protes-indonesia-ubah-laut-china-selatan-jadi-laut-natuna, diunduh pada 28 Juli 2017.

ANDREAS PRAMUDIANTO

113

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

ini ternyata mampu meredakan ketegangan antara China dengan Filipina yang

awalnya bersikeras akan menggunakan senjata. Penyelesaian sengketa lingkungan

hidup internasional terkait maritim (international environmental maritime dispute

resolution) merupakan salah satu permasalahan yang menarik untuk dikaji lebih

dalam dalam studi hukum internasional maupun hubungan internasional.

Selama ini, tidak semua perkara yang masuk ke Peradilan internasional,

berhubungan dengan lingkungan hidup dan maritim. Namun demikian, dalam

prakteknya muncul beberapa kasus yang diproses dalam peradilan internasional

terkait lingkungan hidup maritim. Untuk menangani permasalahan atas kasus

yang masuk, maka diperlukan berbagai cara seperti yang dilakukan Mahkamah

Internasional (International Court of Justice/ICJ) yang telah menerima perkara yang

berhubungan dengan lingkungan hidup walaupun tidak berhubungan dengan

maritim yaitu Case Concerning Certain Phosphate Lands in Nauru (Nauru v Australia)

dan Gabcikovo-Nagymaros Project (Hungary v. Slovakia). Dua kasus ini agak berbeda

dan memiliki karakteristik tersendiri dibandingkan dengan kasus sebelumnya.

Sebagai awal untuk menangani kasus ini, maka berdasarkan pertimbangan Pasal

26 Piagam Mahkamah Internasional telah dibentuk the Chamber of Environmental

Dispute pada 19 Juli 1993.3 Kamar sengketa ini diharapkan menjadi bahan dasar

untuk menangani sengketa lingkungan hidup baik di daratan maupun di lautan.

Namun amat disayangkan, kamar sengketa ini terhenti dan dibubarkan walaupun

kasus ini tetap berjalan.

Melalui artikel yang sangat terbatas ini berbagai cara penyelesaian sengketa

maritim telah dilakukan dan dalam prakteknya telah mampu memberikan

peredaan ketegangan (détente) dalam hubungan internasional bagi negara-negara

bersengketa maupun negara-negara sekitarnya. Pada artikel ini akan dijelaskan

mengenai sengketa maritim lintas batas negara (transboundary) yang dimunculkan

oleh negara-negara bersengketa melalui sengketa secara damai baik jalur diplomasi

maupun pendayagunaan beberapa badan peradilan internasional. Beberapa kasus

untuk pembelajaran yang dibangun dalam artikel ini diantaranya kasus Behring Sea

3 ICJ Communique 93/20, 19 Juli 1993. Kamar Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup (Chamber of Environmental Disputte Settlement) terdiri atas 7 orang hakim yaitu Schwebel, Bedjaoui, Evensen, Shahabudeen, Weeramantry, Ranjeva dan Herczegh. Tugas dari kamar ini akan berlaku efektif sejak tanggal 6 Agustus 1993 seperti dalam Sands, P. 1993. Greening International Law, Earthscan Publications Ltd, London. hlm xix dan hlm. 171.

114

Fur (1893), kasus the Trial Smelter (1941), kasus the Corfu Chanel (1948) kasus The

Sunrise Artic (2013), kasus Laut China Selatan (2016) dan beberapa kasus lainnya

yang bermanfaat bagi pengembangan hukum internasional khususnya hukum

lingkungan internasional.

II. Kajian Teoritik Penyelesaian Sengketa Maritim

Hukum internasional memiliki sumber yang terpenting seperti tercantum

dalam Pasal 38 (1) Statuta Mahkamah Internasional (ICJ) terutama terkait dalam

penyelesaian sengketa internasional. Sumber hukum internasional seperti

perjanjian internasional, hukum kebiasaan internasional, prinsip-prinsip hukum

umum, putusan hakim serta doktrin menjadi dasar dalam memutuskan sengketa

yang diajukan kepada Mahkamah Internasional (ICJ). Sengketa internasional

(dispute settlement) dapat terbagi dalam bentuk legal dan non legal.4 Di sisi lain,

tidak semua aktor atau entitas internasional boleh bersengketa dalam peradilan

internasional tertentu. Karena itu hukum internasional mengenal subjek hukum

internasional yaitu negara, individu, organisasi internasional dan beberapa

yang lain seperti Vatikan, Palang Merah internasional dan kaum pemberontak.5

Subjek hukum internasional dalam hal tertentu boleh berperkara dalam peradilan

internasional seperti di Mahkamah Internasional (ICJ), Mahkamah Hukum

Laut (ITLOS), Mahkamah Kejahatan Internasional (ICC). Sementara itu untuk

perusahaan multinasional (Multinational Corporation/MNC) maupun Organisasi

Non Pemerintah (Non Governmental Organization/NGO) sebagai entitas bukan

subjek hukum internasional tidak memiliki hak untuk mengajukan perkaranya

(legal standing) di beberapa peradilan internasional.6

Karena itu sumber hukum internasional dan subjek hukum internasional

menjadi sangat penting dalam memahami penyelesaian sengketa internasional.

Menurut beberapa ahli hukum internasional, penyelesaian sengketa dapat

4 Anton, Donald K et al, International Law : Cases and Materials, Oxford University Press, 2005, hlm 41.

5 Ibid

6 Pernyataan ini ditegaskan dalam Pasal 26 Statuta Mahkamah Internasional dimana hanya negara yang boleh berperkara di hadapan Mahkamah.

ANDREAS PRAMUDIANTO

115

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

digolongkan dalam 2 kategori yaitu :7

a. Penyelesaian sengketa secara damai

Para pihak yang terlibat sengketa bermufakat untuk mencari penyelesaian

secara bersahabat.

b. Penyelesaian sengketa secara paksa

Pemecahannya ditempuh secara paksa atau dengan kekerasan.

Untuk kategori mengenai penyelesaian sengketa di bidang lingkungan

hidup maritim, umumnya dilakukan secara damai dan jarang dilakukan dengan

kekerasan. Sedangkan, penyelesaian sengketa secara paksa dengan kekerasan

dapat terjadi berkaitan dengan masalah perebutan sumberdaya alam atau sengketa

lainnya yang mengakibatkan tindakan paksaan oleh suatu negara kepada negara

lainnya.8 Dalam tulisan ini umumnya dibahas penyelesaian sengketa secara damai.

Merrilss mendefinisikan sengketa sebagai perselisihan mengenai fakta, hukum

atau politik dimana tuntutan atau pernyataan suatu pihak ditolak, dituntut balik

atau diingkari oleh pihak lain.9 Dalam sengketa internasional dapat dikatakan ada,

bila perselisihan seperti ini yang melibatkan pemerintah, lembaga, badan hukum

atau individu dalam bagian dunia yang berlainan. Dari definisi diatas nampak

bahwa tidak hanya persoalan hukum, akan tetapi juga politik memainkan peran

penting dimana diplomasi merupakan salah satu alat politik yang penting. Selain

itu, adanya perbedaan pendapat serta kepentingan juga merupakan masalah

utama yang menyebabkan timbulnya perselisihan. Dalam Behring Sea Fur Case

(1893) Inggris berpendapat bahwa tindakan Amerika Serikat yang telah membeli

Alaska berdasarkan perjanjian tahun 1867 antara Rusia dengan Amerika Serikat

sehingga memperluas jurisdiksinya ternyata telah menimbulkan kerusakan pada

7 JG Starke, Introduction to International Law diterjemahkan oleh Sumitro L.S. Danuredjo, Pen-gantar Hukum Internasional, Aksara Persada Indonesia, Jakarta: 1989, hal.171. Bandingkan dengan karya J.L. Brier ly, atau para pengarang Indonesia seperti Wiryono Projodikoro, Ali Sostroamidjoyo.

8 Misalnya dalam kasus peledakan senjata nuklir oleh Perancis dimana Australia merasa dirugikan karena wilayah udaranya tercemar. Australia kemudian melakukan tindakan boikot terhadap barang-barang Perancis. Hal ini merupakan salah satu penggunaan secara paksa terhadap penyelesaian sengketa. Lihat selanjutnya Starke, op.cit., hlm 203.

9 J.G. Merrills. International Disuputte Settllement disadur oleh Achmad Faudzan, Penyelesaian Sengketa Internasional, Tarsito, Bandung: 1986, hlm 1.

116

kapal Inggris10. Tetapi Amerika Serikat menyatakan bahwa jurisdiksi itu diperluas

untuk melindungi anjing laut dari perburuan kapal-kapal Inggris. Selain itu

sengketa dapat timbul karena diperlukan penegasan hak jurisdiksi khususnya kata

Pacific Ocean seperti pada perjanjian tahun 1825 antara Inggris dengan Russia. 11

Dalam kerangka mencapai kesepakatan untuk diselesaikan melalui jalur

arbitrase dan pembentukan perjanjian internasional, maka jalur diplomasi juga

dilakukan oleh pemerintah Inggris kepada pemerintah Amerika Serikat. Hal ini

dibuktikan melalui surat menyurat diplomatik antara Lord Salisbury ke Sekretriat

Negara Amerika Serikat (US Secretary of State).12 Cooper berpendapat bahwa sengketa

lingkungan hidup internasional timbul ketika adanya suatu konflik kepentingan

antara dua negara atau lebih (atau orang-orang dalam negara) mengenai perubahan

dan kondisi (baik kualitatif maupun kuantitatif) lingkungan hidup fisik.13 Dari

pendapat Cooper ini masalah utama terletak pada perubahan lingkungan hidup

yang dapat mengganggu negara lain atau orang-orang di dalam suatu negara.

Dalam Nuclear Test Case (1974) (Australia v. Perancis) (Selandia Baru v. Perancis)

tindakan Perancis yang melakukan uji coba senjata nuklir di wilayah kepulauan

Pasifik telah digugat oleh Australia dan Selandia Baru dengan alasan bahwa telah

terjadi perubahan lingkungan hidup dimana tes nuklir ini menyebabkan jatuhnya

debu radioaktif baik di daratan maupun lautan di kedua negara ini.

Dari pendapat-pendapat diatas dapat diketahui bahwa pada prinsipnya

sengketa internasional timbul karena adanya konflik diantara pihak-pihak. Suatu

aktivitas yang terjadi di suatu negara kadang-kadang menimbulkan gangguan

pada negara lain.14 Hal ini tentu saja menimbulkan konflik bagi negara lain jika

10 Foster, John W. Results of the Bering Sea Arbitration, The North American Review, Vol. 161.No. 469, 2013, hlm. 702.

11 Diedit dari Parry and Grant. Encyclopaedic Dictionary of International Law, Oceana Publi-cation, 1986, hlm. 42.

12 Cairo AR Robb, et al. International Environmental Law Report, Volume 1, Cambridge Uni-versity Press, 1999, hlm. 50-53

13 Cooper, Catherine. A. 1986. The Management of International Environmental Disputes in the Con-text of Canada-United States Relations : A Survey and Evaluation of Techniques and Mechanisms dalam Canadian Year Book of International Law Vol 24 Januari 1987, hlm. 247-313.

14 Mengenai masalah ini telah dinyatakan dalam Prinsip 21 Deklarasi Stockhlom 1972 dan Prinsip 2 Deklarasi Rio 1992 yang menyatakan :

“ States have, in accordance with the Charter of the United Nations and the principles of in-ternational law, the soverign right to exploit their own resources pursuant to their own envi-ronmnet and development policies , and the responsibility to ensure that activities within their jurisdiction or control do not cause damage to the environmnet of other States or of areas beyond

ANDREAS PRAMUDIANTO

117

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

tidak segera diselesaikan. Sebagai contoh dalam The Trial Smelter Case (1941) (USA

v Canada), suatu pabrik peleburan tembaga (smelter) di Trial, British Colombia,

Kanada telah menimbulkan pencemaran udara dan merusak tanaman serta

menimbulkan gangguan kesehatan pada penduduk yang berada di 7 wilayah

negara bagian Washington (Amerika Serikat) sehingga menimbulkan konflik antar

negara. Timbulnya konflik ini dapat diselesaikan melalui jalur diplomasi dan

arbitrase yang pada intinya harus disepakati oleh pihak-pihak yang bersengketa.

Diplomasi ditempuh diantaranya melalui surat diplomatik15 dan proses negosiasi

yang akhirnya disepakati oleh Amerika Serikat dan Kanada melalui pembentukan

arbitrasi yang akhirnya pada 15 April 1935 ditandatangani Convention for the Final

Settlement of the Difficulties Arising throught the Complaints of Damage Done in the

States of Washington by Fumes Discharged from the Smelter of the Consolidated Mining

and Smelting Company, Trial British Columbia. Banyak model penyelesaian sengketa

internasional yang telah dikenal baik secara teori maupun praktek. Tahun 1907

pernah ditandatangani Hague Convention on the Pacific Settlement of International

Disputes. Mengenai penyelesaian sengketa secara damai, Starke membagi menjadi

4 model yaitu :16

a. Arbitrasi

b. Penyelesaian yudisial

c. Perundingan, jasa-jasa baik, perantaraan, pendamaian atau penyelidikan.

d. Penyelesaian di bawah PBB

Sedangkan Akehurst membagi menjadi 3 model yaitu non-judicial methods of

settlement, setllement of disputes under the United Nations Charter, arbitration and

judicial setllement.17 Berbeda dengan Merrills yang membagi menjadi beberapa cara

the limits of national jurisdiction”.(Negara-negara, sesuai dengan Piagam PBB dan prinsip-prinsip hukum internasional, mempunyai kedaulatan untuk memanfaatkan sumberdaya alam mereka sesuai den-gan kebijakan di bidang lingkungan hidup dan pembangunan dan berkewajiban pula agar kegiatan yang berada dalam wilayah dan wewenangnya tidak akan menyebabkan timbulnya kerusakan terhadap lingkungan hidup di negara lain dan di wilayah di luar batas yurisdiksi nasionalnya).

Prinsip ini kemudian tegaskan dalam Pasal 3 Konvensi Keanekeragaman Hayati 1992. 15 Surat WR Castle kepada William Phillips (US Departement State) tertanggal 20 Agustus 1927

dalam Keith A Muray.1972. The Trial Smelter Case : International Air Pollution in the Co-lumbia Valley dalam http : www. ojs.library.ubc.ca , hlm. 74

16 Starke, J.G., op.cit., hlm 172.17 Michael Akehurst, A Modern Introduction to International Law, 4th ed., George Allen & Unwin

(Publishers) Ltd, London: 1989, hlm 201.

118

yaitu : negosiasi, mediasi, penyelidikan, konsiliasi, arbitrasi, pengadilan dunia,

konvensi hukum laut, PBB dan organisasi regional.18

Dalam penyelesaian kasus lingkungan hidup telah ada dokumen yang

bersifat soft law sebagai patokan dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup. 19

Dokumen ini merupakan hasil KTT Rio 1992 yaitu Deklarasi mengenai Lingkungan

dan Pembangunan atau disebut Deklarasi Rio 1992. Prinsip 26 menyatakan :

“States shall resolve all their environment disputes peacefully and by appropriate

means in accordance with the Charter of the United Nations.”

(Negara-negara hendaknya menyelesaikan perselisihan di bidang

lingkungan hidup secara damai dan melalui cara yang baik sesuai dengan

Piagam PBB).

Berkaitan dengan prinsip diatas, penyelesaian sengketa lingkungan hidup

maritim paling tidak berpedoman pada Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa

(Charter of United Nations) khususnya Bab VI yang mengatur mengenai masalah

penyelesaian pertikaian secara damai. Mengenai cara yang digunakan untuk

menyelesaikan sengketa Pasal 33 (1) Piagam PBB menyatakan :

“ Pihak-pihak yang tersangkut dalam suatu pertikaian yang jika berlangsung

terus menerus mungkin membahayakan pemeliharaan perdamaian dan

keamanan internasional, pertama-tama harus mencari penyelesaian dengan jalan

perundingan, penyelidikan, dengan mediasi, konsiliasi, arbitrasi, penyelesaian

menurut hukum melalui badan-badan atau pengaturan-pengaturan regional,

atau dengan cara damai lainnya yang dipilih mereka sendiri.”

Sehingga berdasarkan pasal diatas, Perserikatan Bangsa-bangsa menggunakan

beberapa model atau cara penyelesaian sengketa yaitu : a) perundingan ; b)

penyelidikan ; c) Mediasi ; d) Konsiliasi ; e) Arbitrasi ; f) Hukum internasional

regional ; g) Pengaturan badan-badan regional ; h) Cara lainnya yang dipilih para

pihak.

18 Merrills kemudian membagi lagi menjadi dua kelompok yaitu penyelesaian diplomatik yang terdiri dari negosiasi, mediasi, penyelidikan, konsiliasi dan penyelesaian hukum yang terdiri dari arbitrasi dan penyelesaian yudisial. Merrills. op.cit., hlm. 72.

19 Mengenai masalah soft law baca selanjutnya Andreas Pramudianto, Soft Law Dalam Perkem-bangan Hukum Lingkungan Internasional dalam Majalah Hukum Pro Justitia Tahun XIII No. 4 Oktober 1995.

ANDREAS PRAMUDIANTO

119

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

III. Penyelesian Sengketa Melalui Jalur di Luar Peradilan

Penyelesaian sengketa di luar peradilan sering disebut sebagai Alternative

Dispute Resolution (ADR). Dalam ADR salah satunya adalah negosiasi dimana

juga melekat dengan diplomasi seperti dinyatakan diplomacy as “the conduct of

international relations by negotiation.20 Dengan demikian penyelesaian sengketa

diluar pengadilan dalam artikel ini juga termasuk jalur diplomasi. 21 Melalui

jalur diplomasi ini terjadi proses diplomasi terlebih dahulu sebelum kasus dapat

diselesaikan dan bahkan jika kasus dapat diselesaikan maka tidak perlu harus ke

pengadilan internasional seperti Mahkamah Internasional (ICJ) atau Mahkamah

Hukum Laut Internasional (ITLOS).

Kedudukan dan peran diplomasi dalam bersengketa dapat berpengaruh pada

keterlibatan suatu negara untuk bersengketa di pengadilan. Proses diplomasi

dapat terjadi pada saat sengketa kemungkinan akan terjadi (pre-existing dispute),

sengketa muncul (pactum de compromittendo), sengketa sedang berjalan (on going

dispute), sengketa berakhir (final dispute) dan pasca sengketa (post-dispute). Sebagai

contoh dalam perkara Sipadan-Ligitan Case (Indonesia v Malaysia) diplomasi

untuk membuat special agreement untuk menyelesaikan kasus ini ke Mahkamah

internasional (ICJ) dilakukan pertemuan diplomatik tahun 1991-1994 melalui

Joint Working Group (JWG) yang akhirnya sepakat untuk ditandatangani di Kuala

Lumpur, Malaysia pada 31 Mei 1997. Contoh lain pada saat sengketa muncul

maka surat Wakil Menteri Luar Negeri Albania telah dibaca oleh Mahkamah

Internasional sebagai pernyataan kesepakatan yang mengikat dan tunduk pada

jurisdiksi untuk menyelesaikan sengketanya dalam Corfu Chanel Case (1949) (UK v

Albania)22. Tindakan diplomasi oleh Albania ini disebut sebagai tindakan memenuhi

20 Oxford English Dictionary dalam Jonsson, Crister dan Karin Aggestam. “Diplomacy and Conflict Resolution”, Prepared for the NISA conference on “Power, Vision and Order in World Politics”, Odense, 23-25 May, 2007.

21 Lihat Huala Adolf, 2004, Umunadi, Ejiwoke Kennedy, 2011, http://www.unwater-coursesconvention.org/the-convention/,

22 Huala Adolf, “Hukum Penyelesaian Sengketa, Tanpa Penerbit”. Diakses melalui http://blog.ub.ac.id/devitrirahayu/files/2012/03/3-HUKUM-PENYELESAIAN-SENGKETA-INTER-NASIONAL1.pdf

120

doktrin forum prorogatum. Pentingnya diplomasi akan menentukan keberhasilan

di kemudian hari dalam proses penyelesaian sengketa. Hal ini dilakukan dengan

jalur penyelesaian sengketa secara damai melalui diplomasi untuk menentukan

status kepemilikan pulau Palmas (Miangas) serta menentukan siapa dan darimana

arbitrator akan dipilih, merupakan proses diplomasi yang harus dilakukan

antara pemerintah Amerika Serikat dan Ratu Belanda agar tercapai hasil yang

memuaskan para pihak. Acta Compromis akhirnya disepakati dan ditandatangani

pada 23 Januari 1925 dimana Presiden Konfederasi Swiss akan ditunjuk dalam

memilih arbitrator.23 Sengketa akhirnya diputus oleh Permanent Court of Justice

(PCA) melalui Hakim Tunggal Max Huber pada 4 April 1928 yang dianggap

sebagai putusan terbaik.

Penyelesaian sengketa melalui jalur di luar pengadilan diantaranya terdiri atas :

a. Arbitrasi (Perwasitan)

Arbitrasi adalah suatu alternatif penyelesaian sengketa melalui pihak ketiga

(badan arbitrase) yang ditunjuk dan disepakati para pihak (negara) secara sukarela

untuk memutus sengketa yang bukan bersifat perdata dan putusannya bersifat

final dan mengikat.24 Beberapa istilah yang hampir mirip dan bermakna sama

diantaranya Tribunal Claim dan Panel. Penyelesaian sengketa melalui arbitrasi

sudah dikenal dalam sejarah hukum internasional.25 Setelah dua abad lebih

jarang digunakan, Amerika Serikat dan Inggris melalui Traktat Jay tahun 1794

memperkenalkan kembali cara arbitrase dengan pembentukan 3 komisi gabungan

yang dipimpin oleh seorang wasit (arbitator).26 Keberhasilan lembaga ini dalam

menyelesaikan Alabama Claims Award (1872) telah membangkitkan kembali

berbagai lembaga arbitrasi. Arbitrasi dapat dibentuk dengan mendasarkan pada

penyerahan penyelesaian sengketa kepada pihak-pihak tertentu yang disebut

23 Lihat Louis Henkin, International Law: Cases and Materials, St. Paul: West Publ., 3rd.ed., 1991 dan D.J. Harris, Cases and Materials on International Law , London: Sweet and Maxwell, 4th.ed., 1991, hlm. 173 dan 182.

24 Definisi ini dinyatakan oleh Huala Adolf (2004) dan lebih menekankan pada sifat hukum internasional publik.

25 Lembaga arbitrasi sudah dikenal pada zaman Yunani Kuno. Pada saat itu banyak kasus-ka-sus yang berkaitan dengan masalah lingkungan hidup seperti sengketa-sengketa mengenai sumber-sumber perairan, hak-hak atas sungai sudah ditangani melalui lembaga arbitrasi. Lihat Nussbaum dan Sam Suhaedi, Sedjarah Hukum Internasional, Bina Cipta, Bandung: 1969, Hlm 9.

26 Lihat selanjutnya Starke., op.cit., hlm 171-173.

ANDREAS PRAMUDIANTO

121

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

sebagai arbitrator. Arbitrator ini dipilih secara bebas oleh pihak-pihak yang

bersengketa. Penunjukan suatu komisi atau perorangan dari warga negara masing-

masing pihak ditambah dengan pihak netral merupakan cara yang umum dipakai.

Dapat juga dibentuk arbitrator tunggal yang berasal dari negara netral. Beberapa

contoh kasus yang menggunakan arbitrasi dalam sengketa lingkungan hidup

maritim adalah Behring Sea Arbitration (1893) (USA v Great Britain), Palma (Miangas)

Case (US v. Netherland).

b. Negosiasi

Jika timbul kasus antar negara, maka wakil-wakil diplomatik atau lembaga

pemerintah yang berkepentingan dipertemukan dalam suatu perundingan. Jika

negara yang bersengketa menolak untuk melakukan perundingan atau pertemuan

dalam satu meja, maka negosiasi dapat mengalami kegagalan atau gagal sama

sekali. Resiko kegagalan melalui negosiasi sangat besar karena biasanya hanya

melibatkan negara-negara yang bersengketa dan tidak melibatkan pihak ketiga.

Dalam Fisheries Jurisdiction Case, Mahkamah Internasional telah menyatakan

bahwa negosiasi merupakan metode yang cocok untuk menerapkannya dalam

kasus ini. 27

c. Mediasi

Jika negosiasi mengalami kegagalan maka dapat dilakukan mediasi. Mediasi

umumnya melibatkan pihak ketiga yang bertindak sebagai mediator. Namun

hal ini tergantung dari kemauan pihak-pihak yang bersengketa melalui suatu

persetujuan tertentu. Mediator biasanya bertindak lebih aktif dengan menawarkan

atau mengajukan proposal pada pihak-pihak yang bersengketa. Dalam kasus

Indus Water Case (India v Pakistan) tentang sengketa pengalihan arus sungai Indus,

International Bank for Reconstructure and Development (IBRD\World Bank) pernah

memainkan peran sebagai mediator dalam penyelesaian sengketa perairan Indus

di tahun 1961.28

d. Badan-badan internasional

Badan-badan internasional seperti badan-badan PBB dan Masyarakat Eropa,

aktif terlibat dalam penyelesaian sengketa yang menyangkut masalah lingkungan

hidup maritim. Bahkan kadang-kadang badan ini menjembatani sengketa yang

27 Sands, P, op.cit., hlm 164.28 Merrills, op.cit., hlm 29.

122

timbul diantara negara-negara. Seperti kasus perairan Indus dimana peran IBRD/

World Bank cukup efektif dalam menjembatani masalah yang timbul antara Pakistan

dan India. Dalam Chorfu Channel Case, Dewan Keamanan awalnya menempuh

proses diplomatik diantaranya memanggil Albania yang kemudian membentuk

komite untuk penyelidikan bukti-bukti mengenai timbulnya sengketa tersebut

melalui Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 19 (1947) tertanggal 27 Februari

1947.29 Setelah melalui jalur diplomatik yang gagal dicapai kesepakatan, maka

akhirnya melalui Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor S 324 tertanggal 9 April

1947 meminta kepada Albania dan Inggris untuk segera menyelesaikan kasusnya

melalui Mahkamah Internasional (ICJ).30

Apabila penyelesaian sengketa gagal dilakukan melalui jalur diplomatik

diatas, maka sengketa dapat dibawa ke pengadilan internasional.

IV. Penyelesaian Sengketa Melalui Jalur Peradilan

Selama ini ada beberapa keputusan para hakim yang dijadikan pedoman

dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup maritim diantaranya the Corfu

Chanel Case, 1948 (United Kingdom v. Albania), Anglo Norwegian Fisheries Case (UK

v. Norway), 1951, Case 3 : Southern Bluefin Tuna Case (New Zealand v. Japan) Case 4 :

Southern Bluefin Tuna Case (Australia v. Japan), Gulf of Maine Case (USA v. Canada)

1984, Whaling in the Antarctic (Australia v. Japan: New Zealand intervening), 2010 dan

beberapa kasus lainnya. Walaupun bukan merupakan kasus lingkungan hidup an

sich, akan tetapi dapat diterapkan dalam penyelesaian persoalan lingkungan hidup

maritim khususnya kasus yang menyangkut lintas batas negara atau pengelolaan

sumberdaya alam di lingkungan laut.

Dalam mekanisme peradilan internasional yang berkembang saat ini ada

beberapa sengketa yang melalui Mahkamah Internasional (ICJ), peradilan yang

dibentuk berdasarkan perjanjian internasional tertentu seperti ITLOS, badan

peradilan ad hoc seperti arbitrase ataupun bentuk peradilan lainnya. Karena itu

29 “The Corfu Channel Incidents”, https://undocs.org/S/RES/19(1947), diunduh pada 28 Juli 2017

30 Ibid.

ANDREAS PRAMUDIANTO

123

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

masing-masing putusan peradilan memiliki konsekuensi hukum yang berbeda

terutama dalam hal keterikatannya. Namun demikian keputusan para hakim ini

tetap akan menjadi bahan pertimbangan bagi pengembangan hukum internasional

dan dalam hubungan internasional. Hal ini sesuai dengan Pasal 31 Statuta

Mahkamah Internasional yang menegaskan :

”d) Sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam pasal 59, keputusan para

hakim dan ajaran-ajaran dari para ahli hukum yang tercakup di berbagai

negara, sebagai bahan pelengkap untuk penentuan peraturan-peraturan

hukum.”

Beberapa contoh putusan hakim baik dalam perkara yang diadili melalui

badan peradilan internasional maupun pengadilan nasional :

A. Putusan Badan Peradilan Internasional (Sand: 2015)

A.1. Keputusan Mahkamah Internasional (International Court of Justice)

Sebenarnya sudah sejak dahulu kala sebelum menjadi Mahkamah

Internasional (International Court of Justice atau ICJ), kasus lingkungan

hidup khususnya sumberdaya alam dalam arti luas pernah ditangani oleh

Mahkamah Internasional Permanen (Permanent International Court of Justice/

PICJ). Contohnya dalam penyelesaian kasus pengelolaan sumberdaya air di

antara negara-negara yang berkepentingan telah diterima dua kasus yaitu

Diversion of the Waters from the River Meuse Case (Netherland v. Belgium) 1937

dan Territorial Jurisdiction of the International Commission of the River Oder Case

(United Kingdom v. Poland) 1929.

Mahkamah Internasional (ICJ) juga telah beberapa kali menangani sen-

gketa yang secara tidak langsung bersinggungan juga dengan persoalan mar-

itim diantaranya putusan Corfu Chanel Case, 1948 (United Kingdom v. Albania),

Anglo Norwegian Fisheries Case (UK v. Norway), 1951, Maritime Delimitation in

the Caribbean Sea and the Pacific Ocean (Costa Rica v. Nicaragua), 2014, Alleged

Violations of Sovereign Rights and Maritime Spaces in the Caribbean Sea (Nicaragua

v. Colombia), 2013, Maritime Delimitation in the Indian Ocean (Somalia v. Kenya),

2015, Case concerning Sovereignty over Pedra Branca/Pulau Batu Puteh, Middle

Rocks and South Ledge (Malaysia/Singapore), 2008, Whaling in the Antarctic (Aus-

tralia v. Japan: New Zealand intervening), 2010, Question of the Delimitation of the

124

Continental Shelf between Nicaragua and Colombia beyond 200 nautical miles from

the Nicaraguan Coast (Nicaragua v. Colombia), 2013 Maritime Delimitation in the

Black Sea (Romania v. Ukraine), 2004, Sovereignty over Pulau Ligitan and Pulau

Sipadan (Indonesia/Malaysia), 1998 Kasikili/Sedudu Island (Botswana/Namibia)

1997, Fisheries Jurisdiction (Spain v. Canada) 1995 Oil Platforms (Islamic Republic

of Iran v. United States of America), 1992 Continental Shelf (Libyan Arab Jamahiri-

ya/Malta), 1982, Delimitation of the Maritime Boundary in the Gulf of Maine Area

(Canada/United States of America), 1981 Continental Shelf (Tunisia/Libyan Arab

Jamahiriya), 1978, Aegean Sea Continental Shelf (Greece v. Turkey), 1976, Fisher-

ies Jurisdiction (Federal Republic of Germany v. Iceland) 1972 Fisheries Jurisdiction

(United Kingdom of Great Britain and Northern Ireland v. Iceland), 1972, North

Sea Continental Shelf (Federal Republic of Germany/Netherlands) 1967, North Sea

Continental Shelf (Federal Republic of Germany/Denmark), 1967 Antarctica (United

Kingdom v. Chile), 1955, Antarctica (United Kingdom v. Argentina), 1955

Beberapa diantaranya bersinggungan dengan lingkungan hidup mari-

tim, namun umumnya kasus-kasus tersebut sangat erat persoalannya dengan

masalah perbatasan negara yang kaya akan sumber daya alam hayati maupun

non hayati. Dalam kasus perebutan wilayah perairan yang kaya akan sumber-

daya perikanan telah diselesaikan dua kasus yang terkenal yaitu Anglo-Nor-

wegian Fisheries Case (United Kingdom v. Norway)(1951) dan Fisheries Jurisdiction

(UK v. Iceland v. Federal Republic Germany) (1974). Untuk Gulf of Maine Case

(USA v. Canada) 1984, Mahkamah Internasional juga memperhatikan adanya

sumberdaya alam yang ada melekat dalam batas-batas geografis. Kasus ini

mengenai masalah perbatasan antara Amerika Serikat dan Kanada. Penyele-

saian kasus ini diajukan melalui cara ke pengadilan internasional yaitu Mah-

kamah Internasional. Dalam sengketa ini untuk pertama kalinya Mahkamah

Internasional membentuk Kamar Penyelesaian Sengketa (Chamber of Disputte

Settlement) berdasarkan pasal 26 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional (ICJ

Statute). Persoalan pokok yang diajukan adalah mengenai penetapan perba-

tasan tunggal (single maritime boundary) yang digunakan. Batas Kanada yang

diajukan adalah equidistance line tapi Amerika Serikat menginginkan bahwa

perbatasan tergantung dari keadaan yang relevan di wilayah tersebut. Selain

itu menurut Kanada, Teluk Maine beserta wilayah yang berdekatan termasuk

ANDREAS PRAMUDIANTO

125

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

bagian penting karena memunyai hubungan yang kompleks dan memiliki

proses biologis yang penting. Juga wilayah ini merupakan eksosistem laut

yang penting di wilayah utara. Di lain pihak, Amerika Serikat menyatakan

bahwa wilayah ini memiliki karakteristik berdasarkan 3 prinsip rezim ekolo-

gi. Dalam hal ini ternyata Teluk Maine juga membentuk komunitas flora dan

funa dalam semua siklus jaring makanan dari yang terkecil hingga ikan yang

terbesar.

Dalam kasus-kasus perbatasan yang menyangkut landas kontinen yang

kaya akan sumberdaya alam non hayati Mahkamah Internasional juga telah

menerima dan menyelesaikan beberapa kasus seperti North Sea Continental

Shelf (1969), Continental Shelf (Libyian Arab Jamahiriya v. Malta) (1985) dan

Continental Shelf ( Tunisia v. Libya) (1982). Mahkamah Internasional sebagai

badan peradilan utama di dunia, memiliki kebebasan untuk mendorong

berkembangnya hukum internasional secara progresif sesuai Pasal 13 Piagam

PBB (Charter of the United Nations).

A.2. Putusan Mahkamah Internasional Hukum Laut (International

Tribunal Law of the Sea/ITLOS)

Mahkamah Hukum Laut Internasional (ITLOS) didirikan berdasarkan

United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) tahun 1982. Terdiri

dari 21 Hakim dan menangani berbagai kasus terkait hukum laut yang dimu-

lai sejak tahun 1997. Kasus pertama yang diputuskan adalah Case No. 1 dan

2 : the M/V ”Saiga” Case yang diajukan oleh Saint Vincent dan Grenadines v.

Guena sejak 13 November 1997 hingga diputuskan pada 4 Desember 1997.

Beberapa kasus yang diputuskan terkait dengan lingkungan hidup maritim

diantaranya Case No. 10 : The MOX Plant Case (Ireland v. United Kingdom) tahun

2001, Case No. 12 : Concerning Land Reclamation by Singapore in and Around the

Straits of Johor, (Malaysia v Singapore) tahun 2003, Case No.7 : Concerning the

Conservation and Sustainable Exploitation of Swordfish Stocks in the South-Eastern

Pacific Ocean (Chile v. European Union) tahun 2009, Case No. 17 : Responsibilities

and Obligations of States Sponsoring Persons and Entities with Respect to Activi-

ties in the Area, (Advisory Opinion/AO) oleh International Sea Bad Authority (ISA)

tahun 2011, Case No. 21 : Request for an Advisory Opinion submitted by the Sub-

Regional Fisheries Commission (SRFC) (Advisory Opinion/AO) oleh Sub-Regional

126

Fisheries Commission (SRFC) tahun 2015. Case No. 22 : The “Artic Sunrise” Case

(Kingdom of the Netherlands v. Russian Federation) tahun 2013.

Putusan ITLOS dalam Advisory Opinion on Responsibilities and Obligations

on States in the Area tahun 2011 juga telah memperkuat prinsip-prinsip hukum

internasional yang sedang berkembang seperti prinsip Analisis Mengenai

Dampak Lingkungan (AMDAL) yang merupakan Prinsip 17 Deklarasi Rio

tahun 1992. Sedangkan prinsip pertukaran informasi juga disinggung dalam

The MOX Plant Case (Ireland v. United Kingdom) tahun 2001. Pada sengketa

The Artic Sunrise (Kingdom of the Netherlands v. Russia Federation) tahun 2013,

Greenpeace sebagai NGO Internasional telah bertindak untuk pertama kalinya

di peradilan internasional sebagai teman pengadilan (amicus curiae) pada

peradilan Mahkamah Arbitrase (PCA) dan Mahkamah Hukum Laut (ITLOS)

walaupun akhirnya ditolak.31

A.3. Putusan Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal

Court/ICC)

Statuta Roma (1998) sebagai dasar pendirian Mahkamah Pidana

Internasional (ICC) menegaskan bahwa kejahatan perang (war crime) juga

berhubungan dengan lingkungan hidup yang hal ini tercantum dalam Pasal

8 (2) bagian (b) (iv),(v),(ix),(xvi),(xvii) dan (xviii). Dua kasus yang sedikit

menyinggung persoalan lingkungan hidup seperti : Situation in Darfur, Sudan

Case (ICC-02/05) dimana Presiden Sudan, Omar Al Bashir melakukan tindakan

genocide, kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan termasuk

kejahatan terhadap masyarakt yang memiliki sumur dan air yang kemudian

diracuni oleh tentara Presiden Sudan. Dalam kasus lainnya yaitu Kasus

Kejahatan Perang yang dilakukan oleh Presiden Irak, Sadam Hussein (Irak War

Crime Case), dimana dalam Pre-elimenary Examination (2013) dinyatakan bahwa :

“65. Impact of crimes may be as sessed in light of, inter alia, the sufferings

endured by the victims and their increased vulnerability; the terror

subsequently instilled,or the social, economic and environmental damage

inflicted on the affected communities

31 “International Tribunal Law of the Sea Year 2013 : List of cases No : 22” dalam https://www.itlos.org/fileadmin/itlos/documents/cases/case_no.22/Order/C22_Ord_22_11_2013_orig_Eng.pdf dan PCA Case No. 2014-02 dalam http://www.pcacases.com/web/sendAt-tach/1325 , diunduh pada 28 Juli 2017

ANDREAS PRAMUDIANTO

127

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

Dalam Prosecutor v. Jean-Pierre Bemba (2016) menegaskan bahwa para

pejabat yang menentukan komando/perintah serta bawahannya dibawah

Pasal 28 ICC merupakan peran kunci dari pertanggungjawaban dan ini

merupakan prinsip atas perintah dapat dipertanggungjawabkan the principle

of responsible command yang mana mengakhiri kekebalannya dan dapat

bertindak untuk membantu mencegah kejahatan.32

A.4. Putusan Mahkamah Arbitrase Internasional (Permanent Court of

Arbitration/PCA)33

Sebagai salah satu badan peradilan internasional yang akhir-akhir ini

populer, Mahkamah Arbitrase Permanen (The Permanent Court of Arbitration/

PCA) berdiri tahun 1899 dan berkedudukan di Den Haag, Negeri Belanda.

Dalam aktifitasnya yang berkembang terus, PCA telah menerima berbagai jasa

penyelesaian sengketa internasional di luar makna arbitrase seperti konsiliasi,

fact-finding commission atau inquiry (komisi penyelidik), jasa baik dan mediasi.34

Perkembangan secara keorganisasian dan prosedural dalam proses peradilan

dimana Mahkamah Arbitrase Permanen (The Permanent Court of Arbitration/

PCA) pada tahun 2002 telah berhasil mengadopsi aturan tambahan (optional

rules/OR) yang disebut Optional Rules for Arbitration of Disputes Relating to

Natural Resources and/or the Environment dan tahun 2011 Optional Rules for

Arbitration of Disputes Relating to Outer Space Activities dimana lingkungan

hidup menjadi bagian penting dalam OR ini. PCA pernah menangani kasus

yang kemudian dihubungkan dengan persoalan lingkungan hidup seperti

dalam Iron Rhine (Ijzeren Rijn) Railway Case (Belgium v. Netherland) yang

diputuskan tahun 2005.

Pada 23 April 2013, Timor-Leste mengajukan sengketa melawan

Pemerintah Australia berdasarkan Traktat Laut Timur (Timor Sea Treaty) 20

Mei 2002 berdasarkan Paragraph (b) of Annex B Pasal 23. Sengketa ini mengenai

intepretasi perjanjian internasional terutama terkait dengan pemanfaatan

sumberdaya alam di laut Timor. Kasus ini kemudian diregistrasi dengan nomor

32 Sebagian tulisan ini diambil dari Andreas Pramudianto, Hukum Lingkungan Internasional, CV Rajawali: Jakarta, 2017, hlm. 181-182

33 Ibid, hlm. 183-184.34 .Optional Rules for Arbitrating Disputes between Two States tertanggal 20 Oktober 1992.

128

PCA Case No. 2013-14 : Arbitration under the Timor Sea Treaty (Timor Leste v.

Australia). Berdasarkan Annex VII UNCLOS 1982, 4 Oktober 2013, Pemerintah

Kerajaan Belanda mengajukan sengketa melawan Pemerintah Federasi Russia

mengenai sengketa kapal Greenpeace “Artic Sunrise”. Sengketa berkenaan

dengan penumpang, perampasan dan penahanan awak kapal maupun kapal

milik Greenpeace oleh pemerintah Russia pada waktu ditangkap di Zona

Ekonomi Ekslusif. Sengketa kemudian diajukan ke Mahkamah Arbitrase

Permanen (PCA) dengan registrasi PCA Case No. 2014-02 : The Artic Sunrise

Arbitration (Netherlands v. Russia).

Dalam sengketa Laut Cina Selatan atau In the Matter of South China Sea

Arbitration, PCA Case No. 2013-19 12 Juli 2016, Mahkamah Arbitrase Permanen

telah memutuskan perkara ini yang walaupun perkara ini menyangkut

masalah kemananan, namun salah satu putusannya juga menyinggung

masalah lingkungan hidup maritim khususnya terumbu karang yang rusak

akibat pembangunan pelabuhan di pulau dan karang Laut Cina Selatan.

Seperti dinyatakan dalam putusannya :

1178…..China has aggravated the Parties’ dispute with respect to the

protection and preservation of the marine environment by causing

irreparable harm to the coral reef habitat at Cuarteron Reef, Fiery

Cross Reef, Gaven Reef (North), Johnson Reef, Hughes Reef, Subi Reef,

and Mischief Reef. The Tribunal has already found that China has

seriously violated its obligation to preserve and protect the marine

environment in the South China Sea…….In practical terms, neither

this decision nor any action that either Party may take in response can

undo the permanent damage that has been done to the coral reef habitats of

the South China Sea……

A.5. Peradilan Arbitrase Lainnya

Badan Arbitrase di luar PCA memang sudah ada yang berkembang

hingga saat ini diantaranya diantaranya Sweden`s Arbitration Institute yang

didirikan tahun 1917, International Chamber of Commerce (ICC) yang didirikan

di Paris, Perancis tahun 1923. Walaupun The Trial Smelter Case (1941) yang

merupakan kasus yang ditangani melalui peran arbitrasi yang dibentuk

Amerika Serikat dan Kanada bukan merupakan kasus lingkungan hidup

ANDREAS PRAMUDIANTO

129

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

maritim, namun keputusan badan arbitrase ini ternyata telah mempengaruhi

terbentuknya Prinsip 21 Deklarasi Stockholm tahun 1972 yang juga dijadikan

dasar dalam beberapa pasal di UNCLOS 1982 seperti Bab XII, Bagian 1 Pasal

193. Sedangkan dalam Behring Sea Fur Arbitration (USA v Great Britania) tahun

1893 dimana keputusan arbitrasi ini telah mempengaruhi pembentukan

Treaty for the Preservation and Protection of Fur Seals tahun 1911. Peradilan

arbitrase lainnya dibentuk juga oleh World Bank melalui International Center

for Settlement for Investment Disputes (ICSID) yang menangani kasus Methanex

Corporation v.United States of America pada tahun 2001 yang membuat terobosan

dengan membuka intervensi dan partisipasi diluar pihak bersengketa sebagai

Amici Curiae.35 Dalam kasus lainnya Azinian, Davitian and Baca v. Mexico (1998)

dan Waste Management v. Mexico (2004) merupakan kasus yang berhubungan

dengan limbah bahan berbahaya dan beracun yang diputuskan oleh ICSID.

Dalam kasus kapal laut Rainbow Warrior milik Greenpeace yang dibom oleh

Agen Rahasia Perancis, disepakati juga diselesaikan melalui arbitrase

Sekretariat Jenderal PBB yang ditandatangani di Paris, Perancis pada 9 Juli

1986. 36

A.6. Putusan Badan Peradilan Regional

Badan peradilan regional telah terbentuk di berbagai benua atau

region tertentu. Terbentuknya didasarkan pada organisasi regional ataupun

kebutuhan negara-negara di regional tersebut. Organisasi yang cukup kuat

secara regional seperti Uni Eropa dengan keberadaan Mahkamah Eropa

(European Court of Justce/ECJ) telah menjadi contoh di banyak benua, Model

Mahkamah Eropa ini telah menjadi model terbentuknya East African Court of

Justice pada Masyarakat Afrika Timur (East African Community) dan Andean

Tribunal of Justice, pada Andean Community.37 NAFTA/UNCITRAL juga

membentuk badan peradilan melalui arbitrase dalam Ethyl Corporation v.

35 Rebasti, E dan Luisa Vieruci. “A Legal Status for NGO in Contemporary International Law?” Paper in Workshop Legal for NGO in Contemporary International Law : A Contributuon to the Debate on “Non State Actors” and Public International Law at the Beginning of the Twenty-First Century, European University Institute (EUI) of Florence on 15-16 November 2002.

36 http://legal.un.org/riaa/cases/vol_XX/215-284.pdf. Lihat juga Andreas Pramudiantio loc.cit.

37 Borzel, Tanja A dan Thomas Risse. The Oxford Handbook Comparative Regionalism, Ox-ford University Press, 2016, hlm. 545. Lihat juga Andreas Pramudianto, loc.cit.

130

Canada (1999) yang mendorong agar para pihak taat pada aturan lingkungan

hidup (compliance regulation) domestik. Dalam S.D Mayers.Inc v. Canada

sengketa antara Amerika Serikat dengan Kanada mengenai pembuangan

limbah PCB berdasarkan Basel Convention 1989 juga telah diputuskan.38

A.7. Putusan Badan Peradilan Khusus39

Beberapa badan peradilan khusus telah berhasil dibentuk seperti

Mahkamah Hak Asasi Manusia Eropa (European Court of Human Right/ECHR),

Mahkamah Hak Asasi Antar Amerika (The Inter American Court of Human Right/

IACHR). Di Afrika keberadaan peradilan khusus Hak Asasi Manusia yaitu

Mahkamah Afrika mengenai Hak Asasi Manusia dan Rakyat (African Court

on Human and Peoples Right/ACHPR) dan bersama peradilan tidak tetap yaitu

Mahkamah Afrika (African Court of Justice /ACJ) akan digabungkan menjadi

Mahkamah Keadilan Afrika dan Hak Asasi Manusia (African Court of Justice

and Human Right/ACJHR) berdasarkan keputusan KTT Uni Afrika (Africa

Union) di tahun 2008. IACHR dalam salah satu kasusnya telah memperjelas

hubungan antara lingkungan hidup dengan hak asasi manusia seperti dalam

kasus The Yanomami Indians case, resolution no 12/85 case no 7615 Brazil, 5 Maret

1985. Sementara itu dalam kasus Lopez v.Ostar Case tahun 1994 (application no.

16798/90) ECHR telah menegaskan bahwa terdapat pengertian perluasan pasal

8 yang berlaku dalam hukum lingkungan internasional regional yaitu European

Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedom tahun

1953 yang tidak hanya persoalan hak asasi manusia semata akan tetapi juga

menyangkut sumber pencemar (pollution resources) yang dapat melanggar hak

asasi individu dan keluarga khususnya hak untuk mendapatkan kesehatan.

A.8. Putusan Badan Peradilan Lainnya(WTO)40

Beberapa Peradilan Internasional lainnya dibentuk dalam kerangka

organisasi internasional atau perjanjian internasional yang juga bersifat

khusus. Bentuk badan peradilan atau badan penyelesaian sengketa tersebut

sesungguhnya lebih tepat disebut quasi-pengadilan dikarenakan bukan

pengadilan sesungguhnya. Jika pihak-pihak bersengketa, maka akan diadili

38 Andreas Pramudianto, op.cit., hlm. 18539 Ibid., hlm. 185-186.40 Ibid., hlm. 186-187.

ANDREAS PRAMUDIANTO

131

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

oleh badan tersebut dan putusannya dapat bersifat mengikat. Sebelum

WTO terbentuk yaitu GATT pernah menyelesaikan sengketa yang timbul

antara Amerika Serikat dan Mexico mengenai metode penangkapan ikan

tuna. Sengketa ini menerapkan cara penyelesaian melalui peraturan badan

internasional yaitu General Agreement Tariff and Trade (GATT). Peristiwa

ini bermula dari tindakan pemerintah Amerika Serikat yang melarang

impor ikan tuna yang berasal dari Mexico. Hal ini merugikan Mexico yang

kemudian gugatan diajukan melalui GATT Disputte Pannel I. Dalam sidang

tersebut Amerika Serikat menyatakan bahwa negaranya memiliki alasan

kuat yaitu pelarangan atas penangkapan ikan tuna yang dilakukan melalui

jaring nelayan Mexico ternyata juga telah membunuh anak ikan lumba-lumba

(dolphin) yang dilindungi berdasarkan Mamalia Protection Act 1972. Namun

tindakan ini menurut Mexico merupakan upaya terselubung Amerika Serikat

dengan menggunakan masalah lingkungan hidup menjadi alat perdagangan.

Dari hasil kasus ini nampak bahwa kaitan antara perdagangan dan lingkungan

hidup semakin erat. Sementara ini GATT menunda keputusannya.

Kasus dalam World Trade Organization (WTO) sekarang ini seperti dalam

WTO Appellate Body yang pernah menangani sengketa perdagangan terkait

lingkungan hidup maritim seperti dalam putusannya United States – Import

Prohibition of Certain Shrim and Shrimp Product (1998) antara USA dengan

negara-negara Asia.

B. Putusan Badan Pengadilan Nasional41

Beberapa negara telah membentuk badan peradilan khusus untuk menangani

perkara lingkungan hidup seperti National Environmental Tribunal di Pakistan,

National Environmental Appellete Authority (NEAA) di India, Environmental

National Dispute Resolution Commission di Korea, Environmental National Dispute

Coordination Commission di Jepang.42 Putusan pengadilan nasional dapat menjadi

bahan pertimbangan untuk dapat dibentuknya perangkat hukum internasional

khususnya perjanjian internasional, sehingga putusan badan peradilan nasional

41 Ibid 42 “Asian Judges : Green Court and Tribunal, and Environmental Justice” dalam Law and

Policy Reform Brief No. 1 April 2010 dalam https://www.adb.org/sites/default/files/publication/27654/2010-brief-01-asian-judges.pdf, diunduh pada 28 Juli 2017

132

juga merupakan sumber hukum khususnya hukum lingkungan internasional.

Dalam kasus-kasus pencemaran minyak di laut, banyak permasalahan

tanggungjawab lingkungan (environmental liability) serta ganti rugi (compensation)

seperti diamanatkan dalam Deklarasi Stockholm 1972, untuk dikembangkan

dalam hukum nasional. Kasus-kasus pencemaran minyak yang masuk peradilan

nasional seperti kasus karamnya kapal tanker Argo Merchant tahun 1976 yang

kemduain disidangkan dalam US District Court tahun 1980 dan beberapa kasus

sesudahnya seperti Olympic Games (1976), Sanswena (1976) dan Daphne (1976)

yang kemudian mendorong diperbaharuinya ketentuan dalam Marine Pollution

Convention (MARPOL) 1973/1978.

Dalam Kasus Patmos mengenai pencemaran minyak yang menyebabkan

kerusakan lingkungan di pantai Italia. Kasus ini diselesaikan dengan cara

mengajukan perkara pada pengadilan nasional. Peristiwa ini bermula pada 21

Maret 1985 dimana suatu kapal tanker berbendera Yunani “Patmos” bertubrukan

dengan kapal tanker berbendera Spanyol “Castillo de Monte Aragon”. Akibat

tubrukan ini sekitar 1300 ton dari total 80.000 ton minyak yang dibawa “Patmos”

tumpah di laut yang kemudian tumpahan ini mencapai pantai Sisilia. Gugatan

diajukan oleh pemerintah Italia ke pengadilan Messina dengan alasan adanya

kerusakan ekologis dengan berdasar pada Civil Liability Convention dan Fund

Convention. Pada tanggal 30 Juli 1986 pengadilan menolak gugatan pemerintah

Italia yang diwakili Kementerian Perdagangan Laut dengan alasan kerusakan

ekologis tidak terbukti terjadi pada pantai Italia. Gugatan banding diajukan pada

30 Maret 1989 dan pengadilan banding Messina mengakui kalim yang diajukan

pemerintah Italia.

Contoh yang terkenal adalah hasil putusan pengadilan Amerika Serikat

melalui putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat (US Supreme Court) dalam

kasus New Jersey v. City of New York tahun 1931 (283 US.473) mengenai pencemaran

pantai dan laut teritorial akibat pembuangan limbah kota. Hasil putusan ini menjadi

sumber hukum penting dalam pembentukan Geneva Convention of the High Seas

1958 khususnya mengenai pencemaran pantai. (Kiss:1976). Beberapa kasus lainnya

seperti Japan Whalling Association v. American Cetacean Society (1986), Defender of

Wildlife, Inc v. Endangered Species Scientific Authority (1981), Environmental Defense

Fund v. Massey (2010) merupakan contoh kasus lingkungan hidup maritim.

ANDREAS PRAMUDIANTO

133

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

Dengan demikian putusan pengadilan internasional seperti penerapan

perjanjian internasional dalam hukum nasional dapat menjadi pembelajaran

penting seperti dinyatakan oleh Wirth (1999) dalam Pramudianto (2017) yang

menegaskan :

“The little-taught Japan Whaling case, concerning domestic implementation of

the Whaling Convention, is an excellent example of the way in which legal and

policy considerations unique to foreign relations may generate conflicts with

domestic statutory mandates”.

V. Penutup

Kesimpulan dari artikel ini telah menunjukan bahwa diplomasi dan putusan

peradilan internasional mampu memberikan dasar hukum dan petunjuk hukum

bagi negara-negara dan aktor bukan negara dalam hubungan internasional. Salah

satu putusan peradilan internasional khususnya Permanent Court Arbitration (PCA)

Case No. 2013-19 in the matter of the South China Sea Arbitration (The Republic of Philipines

v. The People Republic of China) telah memperkuat status hukum internasional

suatu ekosistem khususnya perlindungan terhadap ekosistem terumbu karang di

wilayah Laut China Selatan. Selain itu penegakan prinsip-prinsip perlindungan

lingkungan hidup maritim juga menjadi penting. Di sisi lain, pentingnya

pengembangan kelembagaan dalam hukum internasional juga perlu diperhatikan.

Pembentukan kelembagaan untuk penyelesaian sengketa seperti komisi bersama

(joint commission) atau semacam komisi penyelidik (Security Council sub committee)

menjadi penting dalam penyelesaian kasus the Trial Smelter Case (1941) dan the

Corfu Chanel Case (1948). Dalam International Tribunal Law of the Sea (ITLOS) Case

No. 22 : The “Artic Sunrise” Case (Kingdom of the Netherlands v. Russian Federation)

tahun 2013 berperannya Greenpeace sebagai salah satu NGO internasional yang

merupakan entitas bukan subjek hukum internasional bertindak sebagai amicus

curiae di peradilan internasional (ITLOS dan PCA) menjadi sangat penting dalam

kerangka pengembangan hukum internasional khususnya hukum lingkungan

internasional. Walaupun dalam dua peradilan ini, Greenpeace telah ditolak,

namun akan menjadi pembelajaran di kemudian hari. Berbagai kasus lingkungan

134

hidup maritim tersebut yang muncul sesungguhnya tidak terlepas dalam berbagai

kepentingan khususnya kepentingan nasional yang dapat berbenturan dengan

kepentingan nasional lainnya atau bahkan kepentingan global internasional.

Sebagaimana diungkapkan oleh Kementerian Luar Negeri Cina dalam kasus

Laut China Selatan yang mengatakan bahwa negara Tiongkok adalah yang

pertama kali menemukan dan mengeksploitasi pulau-pulau di Laut Cina Selatan,

“sehingga memiliki kedaulatan teritorial serta hak dan kepentingan”. Pernyataan

ini tentu menjadi alasan sengketa bagi negara lain yang memiliki kepentingan

yang sama, sehingga dapat menimbulkan ketegangan dan dapat menimbulkan

tindakan kekerasan yang sesungguhnya tidak menyelesaikan sengketa, bahkan

menimbulkan masalah baru. Karena itu penyelesaian sengketa maritim melalui

diplomasi dan peradilan internasional menjadi sangat penting dalam kerangka

peredaan ketegangan (détente) hubungan bilateral, regional maupun multilateral.

ANDREAS PRAMUDIANTO

135

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

DAFTAR PUSTAKA

I. Buku

Akehurst, Michael. 1983. A Modern Introduction to International Law, 4th

Edition,George Allen & Unwin (Publishers) Ltd.

Anton, Donald K et al. 2005. International Law : Cases and Materials, Oxford

University Press,

Ball, Simon & Stuart Bell. 1992. Environmental Law, Blackstone Press Limited, London.

Borzel, Tanja A dan Thomas Risse.2016. The Oxford Handbook Comparative

Regionalism, Oxford University Press.

D.J. Harris, Cases and Materials on International Law , London: Sweet and Maxwell,

4th.ed., 1991

Henkin, Louis. 1991. International Law: Cases and Materials, St. Paul: West Publ.,

3rd.ed., 1991

Merrills, J.G. 1986. Penyelesaian Sengketa Internasional diterjemahkan oleh Achmad

Faudzan, Tarsito, Bandung.

Nussbaum, Arthur dan Sam Suhaedi. 1969. Sedjarah Hukum Internasional, Bina

Cipta, Bandung.

Pramudianto, Andreas. 2017. Hukum Lingkungan Internasional, Penerbit CV

Rajawali, Jakarta.

___________________.2008. Diplomasi Lingkungan, Penerbit UI Press, Jakarta.

Rasjid, Abdul. 1985. Upaya Penyelesaian Sengketa Antar Negara melalui Mahkamah

Internasional, PT Bina Ilmu, Surabaya.

Sands, Phillipe. 1993. Greening International Law, Earthscan Publication, London.

Starke, J.G. 1989. Pengantar Hukum Internasional diterjemahkan oleh Sumitro LS

Danuredjo, Aksara Persada Indonesia, Jakarta.

II. Makalah

Adolf, Huala. 2004. Hukum Penyelesaian Sengketa, Tanpa Penerbit. Diakses

melalui http://blog.ub.ac.id/devitrirahayu/files/2012/03/3-HUKUM-

PENYELESAIAN-SENGKETA-INTERNASIONAL1.pdf

136

Rebasti, E dan Luisa Vieruci. 2002. A Legal Status for NGO in Contemporary

International Law ? Paper in Workshop Legal for NGO in Contemporary

International Law : A Contributuon to the Debate on “Non State Actors”

and Public International Law at the Beginning of the Twenty-First Century,

European University Institute (EUI) of Florence on 15-16 November 2002.

Cooper, Catherine A. 1986. The Management of International Environmental Dispute

in the Context of Canada-United States Relations : A Survey and Evaluation of

Techniques and Mechanisms dalam Canadian Year Book of International Law,

University of British Columbia Press.

Desai, Bharat. 1993. The Bhopal Gas Leak Disaster Litigation: An Overview dalam Asian

Year Book of International Law, Martinus Nijhoff, Amsterdam.

Jonsson, Crister dan Karin Aggestam. 2007. Diplomacy and Conflict Resolution,

Prepared for the NISA conference on “Power, Vision and Order in World

Politics”, Odense

Keith A Muray.1972. The Trial Smelter Case : International Air Pollution in the

Columbia Valley dalam http : www. ojs.library.ubc.ca

Ospina, E Valencia.1993. The International Court of Justice and International

Environmental Law dalam Asian Year Book of International Law, Martinus

Nijhoff, Amsterdam.

Pramudianto, A. 1995. Soft Law Dalam Perkembangan Hukum Lingkungan Internasional

dalam Majalah Hukum Pro Justitia Tahun XIII Nomor 4 Oktober 1995.

____________1998. Penyelesaian Sengketa Dalam hukum Lingkungan Internasional.

Dalam Majalah hukum Pro Justitia Tahun XVI No.2 April 1998.

______________2006. Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Dalam Perjanjian

Internasional Bidang Pengelolaan B3 dan Limbah B3 dalam Jurnal

Lingkungan dan Pembangunan Volume 26 Nomor 1 Tahun 2006.

III. Dokumen lainnya

UNEP. 1991. Register of International Treaties & Other Agreements in the Field of the

Environment, UNEP, Nairobi.

____________. 1986. Statuta Mahkamah Internasional, Penerbit United Nations

Information Center (UNIC)

ANDREAS PRAMUDIANTO

137

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

ICJ Communique 93/20, 19 Juli 1993

The Corfu Channel Incidents dalam https://undocs.org/S/RES/19(1947)

The Corfu Channel Incidents dalam https://undocs.org/S/RES/22(1947

International Tribunal Law of the Sea Year 2013 : List of cases No : 22 dalam https://

www.itlos.org/fileadmin/itlos/documents/cases/case_no.22/Order/C22_

Ord_22_11_2013_orig_Eng.pdf

PCA Case No. 2014-02 dalam http://www.pcacases.com/web/sendAttach/1325

Asian Judges : Green Court and Tribunal, and Environmental Justice dalam Law

and Policy Reform Brief No. 1 April 2010 dalam https://www.adb.org/

sites/default/files/publication/27654/2010-brief-01-asian-judges.pdf

http://legal.un.org/riaa/cases/vol_XX/215-284.pdf

https ://www.PCA.org/cases/list

http://www.icj-cij.org/docket/index.php?p1=3&p2=2

https://www.itlos.org/cases/list-of-cases/

http://ekonomi.kompas.com/read/2017/07/16/113255326/beijing-protes-

indonesia-ubah-laut-china-selatan-jadi-laut-natuna

138

139

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

ulasan Peraturan

Peraturan Presiden nomor 22 taHun 2017 tentang

rencana umum energi nasional

Grita Anindarini Widyaningsih1

I. Pendahuluan

Pada 13 Maret 2017, Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2017 Tentang Rencana

Umum Energi Nasional (selanjutnya disebut “Perpres RUEN”) diundangkan.2

Diundangkannya Perpres RUEN ini merupakan amanat dari Peraturan Pemerintah

Nomor 79 Tahun 2014 Tentang Kebijakan Energi Nasional.3 Secara keseluruhan,

baik RUEN maupun Kebijakan Energi Nasional ini merupakan amanat dari UU

No. 30 Tahun 2007 Tentang Energi, yang pembentukannya bertujuan untuk dapat

memenuhi kebutuhan energi dalam negeri secara berkelanjutan, berkeadilan dan

optimal dalam rangka mencapai ketahanan energi nasional. Nantinya, rencana

yang ada di Perpres RUEN tersebut akan dijadikan acuan dalam penyusunan

Rencana Umum Energi Daerah (RUED) untuk dapat memenuhi kebutuhan

energi di daerah masing-masing secara berkelanjutan, berkeadilan dan optimal

dalam rangka mencapai ketahanan energi di daerah dan sesuai dengan tujuan

pengelolaan energi secara nasional.4

Secara garis besar, Perpres RUEN ini disusun oleh Pemerintah dan ditetapkan

oleh Dewan Energi Nasional untuk jangka waktu sampai dengan tahun 2050 yang

1 Penulis adalah Asisten Peneliti di Indonesian Center for Environmental Law. 2 Presiden RI (a), Peraturan Presiden tentang Rencana Umum Energi Nasional, Perpres No. 22

Tahun 2017, LN No. 43 Tahun 2017. 3 Indonesia (a), Peraturan Pemerintah tentang Kebijakan Energi Nasional, PP No. 79 Tahun 2014,

LN No. 300 Tahun 2014, TLN No. 5609.4 Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Policy Paper Keselarasan Kebijakan Energi Nasi-

onal Dengan Rencana Umum Energi Nasional dan Rencana Umum Energi Daerah. Jakarta : 2012, hlm. 23.

140

memuat: a) Pendahuluan, kondisi energi nasional saat ini dan ekspektasi masa

mendatang ; b) Visi, misi, tujuan dan sasaran energi nasional ; c) Kebijakan dan

strategi pengelolaan energi nasional; serta d) Penutup. Adapun Perpres RUEN ini

memiliki fungsi sebagai landasan untuk penyusunan rencana-rencana yang lebih

teknis ke depannya, seperti Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik oleh PLN,

rencana penyusunan APBN/APBD oleh Kementerian, Lembaga dan Pemerintah

Daerah terkait, pedoman Kementerian dan Lembaga untuk menyusun rencana

strategis, hingga pedoman Pemerintah Provinsi untuk menyusun Rencana Umum

Energi Daerah Provinsi (RUED-P).5 Mengingat luasnya pembahasan dalam Perpres

RUEN, maka khusus untuk ulasan peraturan perundang-undangan ini, Penulis

akan membatasi pembahasan kepada kebijakan dan strategi pengelolaan energi

nasional serta isu-isu terkait perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup

yang tercantum dalam Perpres RUEN.

II. Kebijakan dan Strategi Pengelolaan Energi Nasional Pasca Perpres

No. 22 Tahun 2017

Pada peraturan induknya, PP No. 79 Tahun 2014 terkait Kebijakan Energi

Nasional, dua arah kebijakan pengelolaan energi nasional telah ditetapkan, yakni

kebijakan utama dan kebijakan pendukung. Lebih jauh, dalam peraturan tersebut

pengelolaan energi nasional diutamakan untuk memenuhi kebutuhan energi

nasional.6 Adanya prioritas ini ditujukan untuk mencapai tujuan utama Kebijakan

Energi Nasional 2050 yaitu Kemandirian dan Ketahanan Energi Nasional. Disamping

kebijakan utama tersebut, pengelolaan energi nasional juga ditujukan untuk

berbagai kebijakan pendukung. Beberapa diantaranya adalah untuk lingkungan

hidup dan keselamatan, penelitian serta pengembangan dan penerapan teknologi

energi, hingga kelembagaan dan pendanaan.7 Untuk dapat mencapai tujuan

5 Humas Sekretariat Kabinet, “RUEN, Rencana Umum Energi Nasional”, http://setkab.go.id/ruen-rencana-umum-energi-nasional/, diunduh pada 21 Agustus 2017.

6 Indonesia (a), op.cit., ps. 3 ayat (2). Lebih lanjut dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa ke-bijakan utama untuk kebijakan energi nasional meliputi: a) Ketersediaan energi untuk ke-butuhan nasional ; b) Prioritas pengembangan energi ; c) Pemanfaatan sumber daya energi nasional ; dan d) Cadangan energi nasional.

7 Ibid., ps. 3 ayat (3).

GRITA ANINDARINI WIDYANINGSIH

141

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

tersebut, Perpres RUEN mendetailkan bahwa prioritas pengembangan energi

Indonesia kedepannya harus didasarkan pada prinsip berikut: 1) Memaksimalkan

penggunaan energi terbarukan dengan memperhatikan tingkat keekonomian ;

2) Meminimalkan penggunaan minyak bumi ; 3) Mengoptimalkan pemanfaatan

gas bumi dan energi baru ; serta 4) Menggunakan batubara sebagai andalan

pasokan energi nasional. Berikut adalah penjabaran lebih lanjut terkait prioritas

pengembangan energi ini.8

II.1. Memaksimalkan Penggunaan Energi Terbarukan

Pada dasarnya, inisiatif untuk mengembangkan Energi Baru dan

Terbarukan (“EBT”) telah ada sejak dulu namun memang pemanfaatan

dan pengembangannya yang belum maksimal. Setidaknya hingga saat ini,

pemanfaatan EBT baru mencapai sekitar 2% dari total potensi EBT yang ada.9

Adapun sebab rendahnya pemanfaatan dan pengembangan EBT ini terjadi

antara lain karena: a) Belum maksimalnya pelaksanaan kebijakan harga ; b)

Ketidakjelasan subsidi EBT pada sisi pembeli (off-taker) ; c) Regulasi yang

belum dapat menarik investasi; d) Belum adanya insentif bagi pengembangan

EBT; e) Minimnya ketersediaan instrumen pembiayaan yang sesuai dengan

kebutuhan investasi; f) Proses perizinan yag rumit; hingga g) permasalahan

lahan dan tata ruang.10 Menghadapi hal ini, RUEN-pun mengamanatkan

untuk mengoptimalkan pengembangan EBT ke depannya. Bahwa setidaknya

rencana pengembangan EBT ke depannya adalah paling sedikit 23% dari total

bauran energi primer pada tahun 2025 dan paling sedikit 31% dari total bauran

energi primer pada tahun 2050.11

Terdapat berbagai sumber EBT yang telah diatur dalam Perpres RUEN yang

untuk kedepannya diharapkan dapat dikembangkan di Indonesia, diantaranya

adalah panas bumi, tenaga air, minihidro dan mikrohidro, bioenergi, tenaga

suya, bayu atau angin, serta arus, gelombang, dan perbedaan suhu lapisan

laut. Pada dasarnya, pengembangan EBT ini tidak hanya diproyeksikan untuk

pembangkit, namun juga EBT ini diharapkan dapat dikembangkan sebagai

8 Presiden RI (a), op.cit., Lampiran I., hlm. 36-38.9 Ibid., Lampiran I, hlm. 2010 Ibid.,Lampiran I, hlm. 1311 Ibid., Lampiran I, hlm. 20

142

energi yang digunakan secara langsung oleh sektor pengguna. Khusus untuk

rencana pembangunan pembangkit tenaga EBT, berikut adalah tabel rencana

pemodelan pembangunan pembangkit tenaga EBT di Indonesia:

Jenis Energi Terpasang

(per 2016)

Target

Tahun 2025

Target

Tahun 2050

Panas Bumi 1.653,5 7.241,5 17.546,0

Air 4.871,7 17.986,7 38.000,0

Minihidro dan mikrohidro

230,5 3.000,0 7.000,0

Bioenergi 1.801,6 5.500,0 26.000,0

Surya 107,8 6.500,0 45.000,0

Angin 3,9 1.800,0 28.000,0

Energi Terbarukan lainnya1

809,8 3.125,0 6.100,0

Tabel 1 : Pemodelan Pengembangan Energi Terbarukan di Indonesia (satuan: MW)2

Sekilas memang terlihat target untuk pemodelan pengembangan

pembangkit EBT tersebut terkesan ambisius. Namun, untuk mencapai target

tersebut, secara umum di dalam Perpres RUEN tersebut telah ditetapkan

beberapa langkah untuk mengejar pembangunan pembangkit EBT ini, yakni:12

1) Membentuk badan usaha EBT tersendiri yang ditugasi Pemerintah untuk

mengembangkan, memanfaatkan, dan/atau membeli EBT;

2) Menerapkan dan menyempurnakan feed in tariff dari pembangkit EBT

keada badan usaha ketenagalistrikan yang berlaku selama harga listrik

EBT lebih tinggi dari harga listrik dari sumber energi primer lainnya;

3) Menyusun pedoman pemberian subsidi energi oleh Pemerintah Daerah

yang anggarannya dialokasikan dalam APBD;

4) Menganggarkan pembangunan infrastruktur EBT secara berkelanjutan

untuk desa-desa yang tidak akan terlistriki dalam jangka panjang;

5) Menugaskan lembaga pembiayaan infrastruktur nasional untuk

membiayai proyek pembangunan EBT; serta

1 Ibid., lampiran I hlm. 63, bahwa yang dimaksud dengan energi terbarukan lainnya adalah PLTD dengan campuran bioenergy, PLT Arus Laut, PLT Gelombang Laut, serta PLT Energi Panas Laut (Ocean Thermal Energy).

2 Disarikan dan dirangkum oleh Penulis dari Lampiran I, hlm. 63-6412 Ibid., lampiran I hlm. 66.

GRITA ANINDARINI WIDYANINGSIH

143

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

6) Mengembangkan sistem tenaga listrik kecil berbasis EBT untuk

penyediaan listrik di wilayah-wilayah yang tidak terjangkau oleh

perluasan jaringan (grid).

II.2. Meminimalkan Penggunaan Minyak Bumi

Menyadari bahwa cadangan sumber daya minyak bumi nasional yang

semakin menipis, Perpres RUEN menetapkan kebijakan untuk pengurangan

penggunaan minyak bumi serta mengurangi ketergantungan terhadap impor.13

Adapun kedepannya diharapkan penggunaan minyak bumi dalam bauran

energi primer adalah sebesar 24,7% pada tahun 2025 dan semakin menurun

menjadi 19,5% pada tahun 2050. Selain itu, berkaitan dengan impor, diharapkan

pada tahun 2025 sudah tidak ada lagi impor BBM. Hal ini merupakan sebuah

pekerjaan rumah yang cukup berat mengingat saat ini porsi impor BBM nasional

masih sekitar 52%14 dan butuh program yang ekstra untuk mewujudkan

pengurangan tersebut. Secara khusus, Perpres RUEN juga menawarkan upaya

untuk pengurangan ketergantungan impor ini, yakni dengan peningkatan

kapasitas kilang melalui pembangunan kilang baru dan revitalisasi kilang

minyak yang telah ada serta diversifikasi ke bahan bakar lain.15

Secara garis besar kecenderungan produksi minyak bumi domestik

diperkirakan menurun karena tambahan produksi dari lapangan baru belum

dapat mengimbangi penurunan produksi dari lapangan lama. Adapun tingkat

penurunan ini rata-rata sekitar 6% per tahun. Adanya penurunan ini tentu

dikhawatirkan akan menjadi penghambat dalam pemenuhan kebutuhan

minyak dalam negeri. Untuk itu, Perpres RUEN memperkirakan tambahan

produksi akan diperoleh dari penemuan cadangan baru dan kegiatan

enhanced oil recovery (EOR).16 Hal ini semata-mata juga dilakukan untuk dapat

13 Ibid., lampiran I hlm. 36.14 Ibid., lampiran I hlm. 40.15 Ibid., Lampiran I hlm. 4016 Ibid., Lampiran I hlm. 42. Adapun perkiraan ini dilakukan dengan asumsi : a) pada tahun

2016 rasio pemulihan cadangan mencapai 60% dan terus meningkat hingga mencapai 100% pada tahun 2025; b) Dalam jangka waktu 5 tahun, 6,4% dari setiap penemuan cadangan baru dapat diproduksikan dengan tetap mempertimbangkan tingkat penurunan sebesar 10% ; dan c) Kegiatan EOR mulai produksi tahun 2020 dengan jumlah cadangan yang bisa dipuli-hkan sampai tahun 2050 sebesar 2,5 miliar barel dengan asumsi penurunan produksi sebesar 10%. Lebih lanjut yang dimaksud dengan Enhanced Oil Recovery (EOR) adalah penggunaan teknik yang berbeda yang dapat dipergunakan untuk meningkatkan produksi minyak men-

144

memastikan produksi minyak bumi tidak kurang dari 567,7 ribu BOPD pada

tahun 2025.

II.3. Mengoptimalkan Pemanfaatan Gas Bumi dan Energi Baru

Dalam RUEN ini juga dijelaskan terkait dengan fokus Pemerintah untuk

mengoptimalkan pemanfaatan gas bumi demi kebutuhan dalam negeri.

Nantinya, gas bumi ini diharapkan dapat dipergunakan untuk bahan bakar

pembangkit tenaga listrik, transportasi, rumah tangga, dan bahan baku

industri. Selain itu, pemanfaatan energi baru juga diprioritaskan. Adapun

yang dimaksud dengan energi baru di sini adalah gasifikasi batubara, batubara

tercairkan, gas metana batubara, serta hidrogen.17 Pemerintah melihat bahwa

energi baru ini memiliki potensi yang cukup besar namun sayangnya hingga

saat ini masih belum dikembangkan.

Terkait dengan pemanfaatan gas bumi untuk kebutuhan dalam negeri

ini, Negara tetap bergantung kepada produksi gas bumi dalam negeri dan

impor LPG sebagai pemenuhannya. Untuk produksi gas bumi dalam negeri,

nantinya akan dimanfaatkan untuk menghasilkan energi final berupa listrik,

LPG, dan dimethyl Ether (campuran LPG). Di samping itu, untuk hasil

impor LPG nantinya akan langsung dimanfaatkan untuk sektor industri,

transportasi, rumah tangga, komersial, dan sektor lainnya oleh para end-user.18

Adanya impor gas alam ini dibutuhkan karena Pemerintah memperkirakan

bahwa pada tahun 2020, Indonesia berpotensi mengalami defisit gas dan

akan terus meningkat hingga tahun 2050.19 Secara garis besar, pada tahun

2020 kebutuhan gas bumi dalam negeri akan mencapai 6.037,8 MMSCFD,

sementara kemampuan berproduksi diperkirakan hanya 5.732,0 MMSCFD.

Adapun kejadian defisit ini diperkirakan akan terus meningkat hingga 2050.

tah dari sumur. Pada dasarnya, metode yang dipergunakan adalah dengan thermal, bahan kimia, serta penggunaan gas. Dikutip dari: “Enhanced Oil Recovery (EOR)”, https://www.petropedia.com/definition/202/enhanced-oil-recovery-eor, diunduh pada 23 Agustus 2017.

17 Ibid., Lampiran I hlm. 3618 Ibid., Lampiran I hlm. 48. 19 Ibid., Lampiran I hlm. 51. Adapun dalam keterangannya diperkirakan bahwa pada tahun

2020 Indonesia akan mengalami defisit pasokan gas bumi sebesar 401,8 MMSCFD dan akan meningkat hingga 20.201,0 MMSCFD pada tahun 2050. Adapun angka ini diperhitungkan dengan membandingkan kebutuhan gas bumi dalam negeri dan committed production pada tahun berjalan. Angka ini tidak termasuk kebutuhan impor LPG.

GRITA ANINDARINI WIDYANINGSIH

145

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

Selain itu, demand terkait LPG-pun terus meningkat. Pada 2017 diperkirakan

permintaan mencapai 7,3 juta ton dan akan terus meningkat hingga 13,2 juta

ton pada 2050.20

Untuk mencapai sasaran pengembangan energi gas bumi tersebut,

beberapa kegiatan yang dicanangkan akan dilakukan diantaranya:21 a)

Memastikan produksi gas bumi menjadi tidak kurang dari 6.700 juta

MMSCFD pada tahun 2025 ; b) Menyelesaikan kebijakan harga gas bumi

dengan membentuk badan penyangga gas nasional ; c) Meningkatkan rasio

pemulihan cadangan gas bumi hingga mencapai 100% pada tahun 2025,

dengan meningkatkan kegiatan eksplorasi secara masif menjadi tiga kali

lipat ; d) Mempercepat penyelesaian proyek gas bumi ; e) Mempercepat

penyelesaian pembangunan infrastruktur gas bumi ; f) Mengendalikan impor

LPG menjadi di bawah 50% dari kebutuhan gas nasional pada tahun 2050 ;

hingga g) menetapkan harga gas yang kompetitif untuk konsumen dalam

negeri untuk meningkatkan nilai tambah.

Terkait dengan pengembangan energi baru, hal ini belum terlalu banyak

dibahas secara detail di dalam RUEN ini. Namun, beberapa hal yang telah

dibahas pemanfaatannya adalah Pemerintah memiliki strategi untuk

melakukan komersialisasi menara bor purwarupa (prototype rig) untuk coal

bed methane (CBM) yang telah dibuat dengan target 2 unit per tahun, dalam

rangka meningkatkan dan mengefisienkan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi

CBM.22 Selain itu, untuk pengembangan coal liquefaction (batubara tercairkan),

nampaknya hingga saat ini masih dalam tahap pengembangan awal. Dalam

RUEN dijelaskan bahwa Pemerintah masih mengarahkan untuk adanya

penyusunan peta jalan dan kebijakan pengembangan sumber energi batubara

berbentuk cair tersebut. Di samping itu, perlu adanya pengembangan

teknologi produksi dan penggunaan bahan bakar sintetis dan hidrogen

untuk transportasi serta arahan untuk mempercepat pengembangan batubara

tercairkan sebagai bahan bakar cair.23

20 Ibid., Lampiran I hlm. 52. 21 Ibid., Lampiran I hlm. 54 - 56.22 Ibid., Lampiran II, hlm. 10. 23 Ibid., Lampiran II, hlm. 45.

146

II.4. Menggunakan batubara sebagai andalan pasokan energi nasional

Pemerintah menyadari bahwa Indonesia memiliki potensi sumber daya

batubara yang cukup besar. Untuk itu, Pemerintah tetap memprioritaskan

sumber energi primer ini sebagai pasokan energi nasional. Namun, dalam

Perpres RUEN sendiri, batubara diupayakan untuk dapat digunakan sebagai

pilihan “terakhir” untuk pemenuhan kekurangan kebutuhan dalam negeri

setelah memaksimalkan penggunaan energi terbarukan, meminimalkan

penggunaan minyak bumi, dan mengoptimalkan pemanfaatan gas bumi dan

energi baru.24 Pemerintah juga mengupayakan untuk mengolah batubara

tersebut dengan menggunakan teknologi bersih yang ramah lingkungan.

Secara garis besar, Pemerintah Indonesia mencanangkan untuk mengurangi

ketergantungan terhadap batubara hingga hanya 30,0% (119,8 MTOE) pada

tahun 2025 dan 25,3% (255,9 MTOE) pada tahun 2050. Selain itu, Pemerintah

juga mencanangkan untuk mengendalikan produksi batubara mulai tahun

2019 hingga sebesar 400 juta ton – kecuali kebutuhan domestik melebihi 400

juta ton. Selain itu, ekspor batubara juga akan dihentikan paling lambat pada

tahun 2046.25 Dalam kaitannya untuk mengendalikan produksi batubara

tersebut, Pemerintah akan melakukan moratorium pemberian Izin Usaha

Pertambangan dan Izin Usaha Petambangan Khusus batubara di hutan alam

primer dan lahan gambut yang berada di hutan konservasi, hutan lindung,

hutan produksi, dan area penggunaan lain.26 Namun sayangnya, belum

dijelaskan bagaimana tahap moratorium ini dilakukan.

Adapun Pemerintah juga menyadari bahwa batubara hingga saat ini

masih menjadi tumpuan untuk sektor kelistrikan. Mengingat pembangunan

PLTU Batubara hingga saat ini menjadi salah satu sumber emisi terbesar di

Indonesia27, hal ini tentu menjadi pertanyaan tersendiri mengingat komitmen

Indonesia untuk dapat mengambil cara-cara strategis dalam mengurangi

emisi gas rumah kaca. Menanggapi hal itu, Pemerintah akan mewajibkan

pemanfaatan teknologi energi batubara yang ramah lingkungan (Clean Coal

24 Ibid., Lampiran I hlm. 3725 Ibid., Lampiran I, hlm. 59.26 Ibid., Lampiran I, hlm. 60.27 Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Data Inventory Emisi GRK Sektor Energi, (Ke-

menterian ESDM, Jakarta: 2016), hlm. v.

GRITA ANINDARINI WIDYANINGSIH

147

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

Technology) dan efisiensi tinggi (Ultra Super Critical) secara bertahap.28 Namun

sayangnya kembali, tidak dijelaskan bagaimana tahap untuk penerapan

teknologi CCT dan USC tersebut.

III. Isu Terkait Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Dalam RUEN

Dalam perjalanannya, pengelolaan energi tidak pernah terlepas dari isu

perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Hal ini juga telah dijabarkan

secara cukup detail dalam RUEN ini. Pada dasarnya, indikator lingkungan hidup

merupakan salah satu dasar dalam penyusunan proyeksi permodelan kebutuhan

dan pasokan energi jangka panjang. Adapun dalam indikator lingkungan hidup

tersebut, indikator yang digunakan adalah jumlah emisi gas rumah kaca, emisi

gas rumah kaca per kapita, dan emisi gas rumah kaca per PDB29. Berdasarkan data

yang dihimpun, emisi GRK di Indonesia dari sektor energi meningkat dari 433,5

juta ton CO2 pada 2013 menjadi 464,4 juta ton CO2 pada 201430. Sebagian besar

sumber emisi GRK tersebut berasal dari pembangkit listrik (33%), diikuti oleh

industri (30%), transportasi (29%), dan sektor lainnya (8%).31 Besarnya emisi ini

disebabkan karena penggunaan energi fosil batubara di sektor pembangkit dan

industri, serta BBM pada sektor transportasi. Adanya pertumbuhan emisi CO2 ini

relatif meningkat seiring dengan peningkatan pertumbuhan PDB. Hal ini berarti

sebagian besar emisi CO2 berkaitan langsung dengan pertumbuhan ekonomi yang

tidak disertai dengan efisiensi emisi CO2.

Melihat permasalahan dalam indikator tersebut, Perpres RUEN telah

menetapkan bahwa isu lingkungan hidup termasuk dalam kebijakan pendukung

dalam pengelolaan energi nasional. Berbagai program dan kegiatan-pun dilancarkan

untuk mendukung pengelolaan tersebut. Adapun program dan kegiatan ini

dilakukan lintas-lembaga dengan menunjuk satu kementerian terkait sebagai

koordinator pelaksananya. Berikut adalah beberapa strategi/program tersebut:

28 Ibid.

29 Ibid., Lampiran I, hlm. 21. 30 Ibid.

31 Ibid., Lampiran I, hlm. 22.

148

III.1. Pengendalian emisi gas rumah kaca dari sektor energi

Berkiatan dengan program ini, terdapat dua Kementerian yang

menjadi koordinator yakni Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral

(“Kementerian ESDM”) serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

(“KLHK”). Adapun seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, Kementerian

ESDM ditugaskan untuk dapat melaksanakan konservasi energi di sisi suplai

energi serta mewajibkan pemanfaatan teknologi energi batubara yang ramah

lingkungan (Clean Coal Technology) dan efisiensi tinggi (Ultra Super Critical)

secara bertahap. Selain itu, KLHK difokuskan untuk dapat melaksanakan

Perpres Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional – Gas Rumah

Kaca (“RAN GRK”)32 secara konsisten untuk mendukung program ini. Secara

koordinatif, Kementerian ESDM dan KLHK juga memiliki tugas untuk dapat

memperhatikan reklamasi lahan pasca tambang batubara serta melaksanakan

program audit dan manajemen energi.33 Keseluruhan kegiatan ini nantinya

akan dituangkan dalam Rencana Strategis Kementerian/Lembaga, kecuali

untuk kegiatan melaksanakan konservasi energi di sisi suplai energi,

yang nantinya akan diatur tersendiri dalam Permen ESDM terkait dengan

konservasi energi.

Sedikit menelisik ke belakang, Indonesia sendiri memang berkomitmen

untuk mengendalikan emisi gas rumah kaca, termasuk dari sektor energi.

Komitmen ini tertuang dalam Paris Agreement, yang mana telah diratifikasi

oleh Indonesia melalui UU No. 16 Tahun 2016 Tentang Pengesahan Paris

Agreement to The United Nations Framework Convention on Climate Change

(Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa

Mengenai Perubahan Iklim). Di dalam persetujuan tersebut, Indonesia bersama

negara-negara di dunia berkomitmen untuk mengurangi kenaikan suhu

di dunia hingga 2 derajat celcius pada tahun 2020 mendatang. Lebih lanjut,

Indonesia juga tengah merancang Nationally Determined Contribution yang

32 Presiden RI (b), Peraturan Presiden tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca, Perpres No. 61 Tahun 2011, ps. 1 ayat (1), yang untuk selanjutnya dijelaskan bahwa RAN-GRK adalah Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dan meru-pakan sebuah dokumen rencana kerja untuk pelaksanaan berbagai kegiatan yang secara langsung dan tidak langsung menurunkan emisi gas rumah kaca sesuai dengan target pem-bangunan nasional

33 Presiden RI (a), op.cit., Lampiran II, Hlm. 70.

GRITA ANINDARINI WIDYANINGSIH

149

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

menggambarkan bagaimana peningkatan aksi dan kondisi yang mendukung

selama periode 2015-2019 yang akan berkontribusi dalam upaya untuk

mencegah kenaikan temperatur global tersebut.34 Dari sektor energi sendiri,

diharapkan dapat berkontribusi untuk mengurangi emisi di Indonesia sebesar

11% dari total NDC apabila dibandingkan dengan sektor lainnya, seperti

limbah, Instalasi Pengontrol Polusi Udara (“IPPU”), pertanian, dan kehutanan.

Untuk mewujudkan hal tersebut, Rida Mulyana, Direktur Jenderal Energi

Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi – Kementerian Energi dan Sumber

Daya Mineral menyampaikan bahwa di sektor energi sendiri, Indonesia

berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sesuai NDC pada

tahun 2030.35 Pihak Kementerian ESDM juga telah menyiapkan rencana

aksi untuk memenuhi hal ini. Beberapa diantaranya adalah menggencarkan

pembangunan pembangkit listrik tenaga energi terbarukan, menggalakkan

reklamasi pasca tambang, penggunaan biodiesel untuk transportasi,

penerapan managemen energi di industri dan bagunan komersial, hingga

penerapan standard/label pada peralatan rumah tangga dan industri. Selain

itu, menyikapi masih diandalkannya PLTU Batubara untuk elektrifikasi

di Indonesia, Rida menegaskan bahwa pihaknya akan mewajibkan bagi

pemanfaatan teknologi CCT dan USC untuk PLTU yang baru.36

III.2. Penyediaan energi dan pemanfaatan energi yang berwawasan lingkungan

Dalam strategi ini, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta

Kementerian Perindustrian akan menjadi koordinator dalam pelaksanaannya.

Adapun strategi ini untuk selanjutnya dibagi menjadi tiga program, yakni:37

1) Pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan dampak lingkungan hidup;

2) Pengurangan dan penggunaan kembali produksi limbah, serta

mengekstrak unsur yang masih bisa dimanfaatkan ; serta

34 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, First Nationally Determined Contribution Republic of Indonesia, Jakarta, hlm. 2.

35 Disampaikan oleh Rida Mulyana, Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konser-vasi Energi – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, dalam acara Parallel Session Seminar “Indonesia NDC: Progress dan Tindak Lanjut” Pada Jum’at, 4 Agustus 2017 di Ke-menterian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

36 Ibid.

37 Presiden RI (a), op.cit., Lampiran 2, hlm. 72.

150

3) Peningkatan koordinasi dan layanan perizinan dalam kawasan hutan.

Terkait dengan strategi pencegahan, penanggulangan dan pemulihan

dampak lingkungan hidup, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

bertanggung jawab untuk mengintegrasikan kebijakan lingkungan mencakup

perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemulihan, pengawasan, dan

penegakan hukum. Sayangnya, dalam kegiatan ini tidak dijelaskan secara

lebih konkrit bagaimana tindak lanjutnya.

Terkait dengan strategi pengurangan dan penggunaan kembali produksi

limbah, serta mengekstrak unsur yang masih bisa dimanfaatkan, beberapa

kegiatan yang akan dilakukan adalah mendorong peningkatan penggunaan

teknologi energi yang ramah lingkungan berdasarkan prinsip 3R (reuse, reduce,

and recycle), memanfaatkan limbah produk energi secara berkelanjutan, serta

memanfaatkan gas buang untuk listrik dan proses termal di industri.38

Terkait dengan peningkatan koordinasi dan layanan perizinan dalam

kawasan hutan adalah memfasilitasi proses layanan penerbitan izin

pemanfaatan kawasan hutan untuk pengusahaan tenaga air, panas bumi,

migas dan batubara termasuk sarana dan prasarana, dan instalasi pembangkit,

transmisi dan distribusi listrik serta teknologi energi baru dan terbarukan

– serta moratorium pemberian izin usaha pertambangan dan izin usaha

pertambangan khusus batubara di hutan alam primer dan lahan gambut

yang berada di hutan konservasi, hutan lindung, hutan produksi, dan area

penggunaan lain.39

IV. Rekomendasi

Pada dasarnya, Perpres RUEN telah memberikan penjelasan yang detail dalam

hal rencana pengelolaan energi di tingkat nasional. Namun, hal yang perlu untuk

diperhatikan lebih lanjut adalah bagaimana Perpres RUEN ini kemudian dapat

diimplementasikan dan disinergiskan dengan peraturan pelaksananya. Sebagai

contoh, ketika Perpres RUEN telah memandatkan untuk membatasi penggunaan

38 Ibid.

39 Ibid., hlm. 73.

GRITA ANINDARINI WIDYANINGSIH

151

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

tenaga batubara hingga 30% pada tahun 2025, namun justru di RUPTL PLN 2017-

2026 ditetapkan bahwa PLTU batubara akan mendominasi jenis pembangkit

yang akan dibangun, yaitu mencapai 41%.40 Pada contoh lain, Perpres RUEN juga

mengamanatkan bahwa paling sedikit pembangunan pembangkit listrik tenaga

EBT adalah 23% dari total pembangkit di Indonesia pada tahun 2025. Namun,

ketika merujuk kepada RUPTL PLN 2017-2026, pembangunan pembangkit tenaga

EBT diperkirakan paling besar 22%. Bahkan, RUPTL PLN juga telah memberikan

rencana cadangan apabila target 22% tersebut tidak terpenuhi, yakni dengan

pengembangan pembangkit listrik dengan gas.

Perlu untuk diperhatikan bahwa seharusnya adanya Perpres RUEN ini

dijadikan sebagai dasar untuk pembentukan peraturan teknis yang lebih

“ambisius” atau setidak-tidaknya dapat sama targetnya dengan yang telah

dicanangkan dalam Perpres RUEN tersebut. Sangat disayangkan apabila Perpres

RUEN ini kemudian tidak ditindaklanjuti dengan peraturan teknis yang sejalan.

Untuk itu rasanya diperlukan peninjauan ulang terhadap RUPTL PLN 2017-2026

agar dapat menyesuaikan dengan Perpres RUEN yang berlaku. Disamping dengan

RUPTL PLN, peran serta masyarakat juga sangat dibutuhkan untuk mengawal

pembentukan RUED-Provinsi yang merupakan pengejawantahan dari Perpres

RUEN tersebut. Harapannya, dengan adanya pengawalan ini dapat menjaga agar

amanat-amanat yang telah tercantum dalam Perpres RUEN dapat ditindaklanjuti

dengan sejalan dalam RUED di daerah terkait.

40 Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Min-eral tentang Pengesahan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik PT. Perusahaan Listrik Negara (Persero) Tahun 2017 s/d 2026, Kepmen ESDM No. 1415 K/20/MEM/2017, hlm. VI-3.

152

DAFTAR PUSTAKA

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Policy Paper Keselarasan Kebijakan En-

ergi Nasional Dengan Rencana Umum Energi Nasional dan Rencana Umum En-

ergi Daerah. Jakarta : Bappenas, 2012.

Humas Sekretariat Kabinet, “RUEN, Rencana Umum Energi Nasional”, http://setk-

ab.go.id/ruen-rencana-umum-energi-nasional/, diunduh pada 21 Agustus

2017.

Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Kebijakan Energi Nasional, PP No. 79 Tahun

2014, LN No. 300 Tahun 2014, TLN No. 5609.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Data Inventory Emisi GRK Sektor

Energi, Jakarta: Kementerian ESDM, 2016

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, First Nationally Determined Con-

tribution Republic of Indonesia. Jakarta: KLHK, 2016.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. Keputusan Menteri Energi dan Sumber

Daya Mineral tentang Pengesahan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik PT.

Perusahaan Listrik Negara (Persero) Tahun 2017 s/d 2026. Kepmen ESDM No.

1415 K/20/MEM/2017.

Presiden RI, Peraturan Presiden tentang Rencana Umum Energi Nasional, Perpres No.

22 Tahun 2017. LN No. 43 Tahun 2017.

_______________. Peraturan Presiden tnetnag Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas

Rumah Kaca, Perpres No. 61 Tahun 2011.

GRITA ANINDARINI WIDYANINGSIH

153

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

anotasi Putusan

Pengadilan tata usaHa negara Bandung

mengenai izin lingkungan PemBangkit listrik tenaga uaP

BatuBara (Pltu-B) 1 x 1.000 mW a/n Pt cireBon energi Persada

Margaretha Quina1

Identitas PerkaraHari/Tanggal Putusan 19 April 2017

Tempat Pemantauan PTUN Bandung

No. Perkara 124/G/2016/PTUN.BDG

Perkara / Kasus Izin Lingkungan Pembangkit Listrik Tenaga Uap Batubara (PLTU-B) 1 x 1.000 MW a/n PT Cirebon Energi Persada

Penggugat Dusmad, dkk.

Tergugat / Turut Tergugat BPMPT Provinsi Jawa Barat

Majelis Hakim/ Hakim Tunggal*

Hakim Ketua: Sutiyono, S.H., M.H.Hakim Anggota:

1. Dewi Asinah, S.H.2. Jusak, S.H.

Panitera Pengganti Retno Widyati, S.H.

I. Kasus Posisi

Perkara ini menguji objek Keputusan Tata Usaha Negara berupa Izin

Lingkungan yang diberikan oleh BPMPT Provinsi Jawa Barat kepada PT Cirebon

Energi Persada untuk konstruksi dan operasi PLTU-B 1 x 1.000 MW (“Objek TUN”).

Lebih dari 90 hari setelah penerbitan Objek TUN, 6 (enam) orang warga yang

bertempat tinggal di sekitar lokasi pembangunan PLTU-B Cirebon 1 x 1.000 MW

dan merasa dirugikan atas penerbitan Izin Lingkungan ini (selanjutnya disebut

“Dusmad, dkk”) mengajukan gugatan tata usaha negara ke PTUN Bandung.

1 Penulis adalah Peneliti di Indonesian Center for Environmental Law

154

Para penggugat adalah Dusmad (72 tahun), Kasneri (64 tahun), Casmina (62

tahun), Sarnen (46 tahun), Surip (40 tahun) dan Warya (39 tahun), kesemuanya

bertempat tinggal di Desa Kanci Kulon, Kecamatan Astanajapura, Kabupaten

Cirebon. Para penggugat bekerja sebagai pencari rebon dan ikan, dengan wilayah

kerja di area yang akan dibangun jetty PLTU-B, sehingga mata pencahariannya

akan hilang atau setidak-tidaknya berkurang. Selain itu, para penggugat

mendalilkan diri sebagai warga terdampak berdasarkan pelingkungan dampak

lingkungan PLTU-B Cirebon 1 x 1.000 MW. Mendalilkan tidak adanya transparansi

dan partisipasi penerbitan Objek TUN in casu, Dusmad, dkk. menyatakan tidak

mengetahui bahwa BPMPT Jawa Barat telah menerbitkan Objek TUN pada 11 Mei

2016, dan baru mengetahui terbitnya Objek TUN in casu beserta dampaknya dari

WALHI Jawa Barat pada 28 September 2016. Selanjutnya, para penggugat baru

mengajukan gugatan pada 6 Desember 2016.

II. Dasar Gugatan

Para Penggugat mendalilkan bahwa Objek TUN in casu bertentangan dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku dan bertentangan dengan asas-

asas umum pemerintahan yang baik (“AUPB”), sebagaimana diatur dalam Pasal

53 ayat (2) UU No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 5 Tahun 1986

tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Lebih spesifik, dasar-dasar gugatan adalah

sebagaimana diuraikan di bawah ini.

Pertama, pemberian Izin Lingkungan PLTU Cirebon 2 yang meliputi daerah

Kecamatan Astanajapura dan Kecamatan Mundu bertentangan dengan Rencana

Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Cirebon Tahun 2011 – 2031. Peraturan

Daerah Kabupaten Cirebon No. 17 Tahun 2011 tentang RTRW Kabupaten Cirebon

Tahun 2011 – 2031 mengatur bahwa pembangunan PLTU direncanakan hanya

di Kecamatan Astanajapura saja. Penggugat juga mengutip asas, tujuan serta

kewenangan dalam penataan ruang (pasal 2, 3 dan 11 UU No. 26 Tahun 2007

tentang Penataan Ruang); serta kewajiban dan sanksi administratif dan sanksi

pidana atas pelanggaran tata ruang (pasal 61, 62 dan 69 UU Penataan Ruang)

dalam menunjukkan bahwa Izin Lingkungan yang diberikan bertentangan dengan

ketentuan penataan ruang yang berlaku, dalam hal ini RTRW Kabupaten Cirebon

MARGARETHA QUINA

155

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

2011 – 2031. Selain itu, para penggugat menunjukkan keterkaitan hukum antara

proses penerbitan Izin Lingkungan, termasuk di dalamnya penilaian AMDAL,

dengan tata ruang, dengan menujukkan kewajiban hukum dalam penilaian

dokumen lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam PP No. 27 Tahun 2012

tentang Izin Lingkungan dan PermenLH No. 8 Tahun 2013 tentang Tata Laksana

Penilaian dan Pemeriksaan Dokumen Lingkungan Hidup serta Penerbitan Izin

Lingkungan. Selain kewajiban untuk memastikan kegiatan dan/atau usaha yang

dinilai sesuai dengan tata ruang (Pasal 4 ayat (3) PP Izin Lingkungan; Pasal 15 huruf

a PermenLH No. 8 Tahun 2013), penggugat juga menunjukkan bahwa PermenLH

No. 8 Tahun 2013 memberikan arahan eksplisit untuk “tidak memproses lebih

lanjut” dokumen Kerangka Acuan ANDAL yang tidak sesuai RTRW.

Kedua, para penggugat mendalilkan pemberian Izin Lingkungan PLTU Cirebon

2 dilakukan tanpa melibatkan partisipasi masyarakat, khususnya para penggugat.

Para penggugat mendalilkan bahwa kewajiban konsultasi mengenai Kerangka

Acuan Amdal, pengumuman permohonan Izin Lingkungan, pembahasan Andal,

dan juga pengumuman penerbitan Izin Lingkungan tidak dilakukan oleh Tergugat

sesuai dengan ketentuan PP No. 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan dan

PermenLH No. 17 Tahun 2012 tentang Keterlibatan Masyarakat dalam Proses

Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup dan Izin Lingkungan.

Ketiga, para penggugat mendalilkan pemberian Izin Lingkungan PLTU

Cirebon 2 didasarkan pada dokumen Amdal yang cacat substantif. Cacatnya

substansi Amdal PLTU Cirebon 2 ini meliputi tiga hal utama, yakni: (a) Rona awal

lingkungan hidup tidak valid dan representatif. Penggugat menunjuk metode

pengujian kualitas udara ambien yang dilakukan oleh penyusun AMDAL, dimana

pengujian kualitas udara ambien di lokasi direncanakannya PLTU Cirebon 2 x

1.000 MW dilakukan dalam periode satu minggu saja, padahal untuk memperoleh

data yang valid dan representatif penyusun AMDAL harus melakukan pengujian

kualitas udara setidaknya selama satu tahun; (b) Prakiraan besaran dan sifat

penting dampak tidak valid dan representatif. Penggugat mendalilkan penilaian

Amdal tidak mempertimbangkan kontribusi particulate matter 2.5 (PM 2.5) terhadap

dampak penurunan kualitas udara ambien. Padahal parameter ini erat kaitannya

dengan dampak penurunan kesehatan masyarakat; (c) Bagian evaluasi secara

holistik dalam Amdal disusun tidak berdasarkan standar yang ada. Penggugat

156

mendalilkan bagian evaluasi secara holistik dalam Amdal PLTU Cirebon 2 tidak

menjelaskan bentuk hubungan keterkaitan dan interaksi dampak penting hipotetik

beserta karakteristiknya, sebagaimana diharuskan oleh peraturan. Dalam menguji

ketiga hal ini, penggugat membandingkan isi AMDAL dengan materi muatan

AMDAL yang diwajibkan dalam PP No. 27 Tahun 2012 dan pedoman penilaian

AMDAL dalam PermenLH No. 8 Tahun 2013.

Keempat, penggugat mendalilkan pemberian Izin Lingkungan PLTU Cirebon

2 tidak mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.

Penggugat mengkonstruksikan ketidaklengkapan data rona awal sebagai kegagalan

Tergugat dalam mempertimbangkan kualitas udara ambien yang sudah buruk di

area PLTU Cirebon 2 x 1.000 MW akan dibangun. Selain itu, Tergugat juga tidak

mempertimbangkan adanya PLTU Tanjung Jati A dengan kapasitas 2x660 MW yang

jaraknya hanya 2 km dari area PLTU Cirebon 2. Menurut penggugat, pemberian

Izin Lingkungan oleh Tergugat kepada PLTu Cirebon 2 berpotensi mengakibatkan

terlampauinya daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.

Berdasarkan pada empat dalil utama tersebut, para penggugat memohon

PTUN Bandung untuk menyatakan Izin Lingkungan PLTU Cirebon 2 batal atau

tidak sah sekaligus memerintahkan Kepala BPMP Provinsi Jawa Barat untuk

mencabut Izin Lingkungan PLTU Cirebon 2.

III. Catatan Hukum atas Pertimbangan PTUN Bandung

Terdapat isu prosedural dan substantif yang menarik dari putusan PTUN

Bandung dalam perkara ini. Dalam aspek prosedural, pertimbangan hakim yang

perlu dicermati adalah mengenai kedudukan hukum dan batas waktu pengajuan

gugatan. Dalam aspek substantif, menarik menyoroti pertimbangan hakim

mengenai penerapan rencana tata ruang wilayah.

(a) Kedudukan Hukum Penggugat

Majelis Hakim menerima kedudukan hukum (legal standing) para penggugat

sebagai “masyarakat yang kepentingannya terdampak / terkena pengaruh”

Objek TUN in casu. Menariknya, Majelis memiliki pertimbangan sendiri dalam

menentukan bahwa Para Penggugat memiliki kepentingan hukum. Dalam

MARGARETHA QUINA

157

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

argumentasinya, Para Penggugat cenderung mengarah pada kepentingan hukum

yang terkait dengan hilangnya mata pencaharian Para Penggugat, dimana “recana

pembangunan PLTU II 1 x 1.000 MW akan berpotensi memperburuk sumber

pendapatan” Para Penggugat. Kepentingan ekonomi ini disanggah Tergugat

sebagai tidak cukup berkaitan dengan keberadaan Objek TUN in casu. Namun,

perdebatan mengenai kepentingan ekonomi ini tidak menjadi dasar pertimbangan

Majelis, dan secara aktif berdasarkan pemeriksaan ahli dan saksi Majelis

mendasarkan adanya kepentingan hukum Para Penggugat berdasarkan hak atas

lingkungan yang baik dan sehat.

Majelis dalam pertimbangannya menghubungkan hak tergugat sebagai warga

negara untuk hidup sejahtera lahir/batin dan berhak menikmati lingkungan

hidup yang sehat dengan merujuk Pasal 51 UU PTUN jo. Pasal 62 ayat (2) UU

No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

(“UU PPLH”). Dalam pertimbangannya, Majelis menghubungkan hak substantif

tersebut dengan hak atas informasi yang transparan dan pelibatan masyarakat

yang mekanismenya diatur secara detail dalam peraturan turunan UU PPLH.

Selain itu, menariknya, Majelis Hakim menghubungkan wilayah tempat para

penggugat melakukan aktivitas mata pencahariannya, yaitu mencari rebon dan

ikan, dengan pelingkungan dampak AMDAL. Majelis menilai, karena lokasi

pembangunan PLTU-B mencakup wilayah di mana para penggugat mencari rebon

dan ikan, para penggugat termasuk masyarakat yang kepentingannya terdampak

atau terkena pengaruh Objek TUN in casu. Menurut Majelis, dengan demikian

“para Penggugat memiliki kedudukan hukum dalam proses penerbitan AMDAL;

dan karena dalam AMDAL Penggugat memiliki kedudukan hukum, maka mutatis

mutandis, para penggugat memiliki hubungan hukum dengan objek sengketa a

quo, sehingga dapat dikualifisir memiliki kepentingan atas KTUN in casu.”

(b) Batas Waktu Pengajuan Gugatan

Hal lain yang cukup menarik dari sisi prosedural adalah diterimanya gugatan

penggugat sekalipun telah melebihi 90 (sembilan puluh) hari dari waktu penerbitan

Objek TUN in casu. Dalam gugatannya, Penggugat mengargumentasikan bahwa

penghitungan waktu pengajuan gugatan tidak diatur secara limitatif, dan bagi

Para Penggugat, yang merupakan pihak yang tidak dituju oleh KTUN, aturan yang

berlaku adalah penghitungan “secara kasuistis sejak saat ia merasa kepentingannya

158

dirugikan oleh KTUN dan mengetahui adanya keputusan tersebut,” sebagaimana

diatur dalam SEMA No. 2 Tahun 1991. Lebih lanjut, Penggugat mendalilkan bahwa

Para Penggugat, yang semuanya adalah masyarakat awam, baru mengetahui

Objek TUN in casu pada tanggal 22 September 2016 karena tertutupnya proses

perizinan. Dengan demikian, gugatan diajukan kurang dari 90 (sembilan puluh)

hari sejak diketahuinya Objek TUN in casu oleh Para Penggugat. Dalil ini dibantah

oleh Tergugat yang berargumen bahwa selayaknya penghitungan dilakukan sejak

Objek TUN in casu diumumkan, mengingat Tergugat telah menempuh mekanisme

pengumuman sesuai peraturan.

Dalam perkara ini, Majelis menerapkan interpretasi batasan waktu 90 hari

secara luas. Merujuk Indroharto, Majelis mempertimbangkan tiga teori dalam

menghitung saat dimulainya penghitungan batas waktu mengajukan gugatan

(90 hari), yaitu teori penerimaan, teori publikasi dan teori pengetahuan. Menurut

Majelis, dalam perkara ini, yang berlaku adalah teori pengetahuan, yaitu bagi

pihak ketiga yang namanya tidak dituju/tercantum, penghitungan secara

kasuistis, berdasarkan pengetahuan mereka berdasarkan KTUN dimaksud

“merasa kepentingannya dirugikan, dan mengetahui keputusan tersebut.” Majelis

mempertimbangkan fakta bahwa sekalipun Objek TUN telah diumumkan dalam

beberapa media, pengetahuan mengenai keberadaan Objek TUN in casu didapatkan

para penggugat dari WALHI, yang mengetahui KTUN in casu dari website JBIC

pada 22 September 2016; dan memberitahukannya kepada salah satu warga (M.

Anwar) yang kemudian memberitahukan kepada warga pada 28 September 2016.

Dengan demikian, Majelis berpendapat bahwa waktu dihitungnya tenggat waktu

90 hari adalah sejak 28 September 2016, yaitu saat para penggugat betul-betul

mengetahui Objek TUN in casu, dan dengan demikian pengajuan gugatan pada 6

Desember 2016 masih dalam tenggat waktu 90 hari.

(c) Penerapan Rencana Tata Ruang Wilayah

Di sisi lain, dalam kasus ini juga terdapat pertimbangan substantif yang baik

dan patut diapresiasi penerapannya dalam hal penegakan penataan ruang. Dari

semua dalil substantif Penggugat, satu-satunya yang kemudian dipertimbangkan

Majelis dalam memutus perkara ini adalah perihal pelanggaran atas Rencana

Tata Ruang Wilayah. Terhadap dalil Penggugat sebagaimana telah diuraikan di

atas, Tergugat membantah dengan menyatakan bahwa pembangunan PLTU-B

MARGARETHA QUINA

159

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

Cirebon 2 x 1.000 MW “telah dikoordinasikan dengan Badan Koordinasi Penataan

Ruang Daerah (“BKPRD”) Kabupaten Cirebon untuk diusulkan di dalam revisi

perubahan RTRW Kabupaten Cirebon tahun 2011-2031.” Selain itu, Tergugat juga

menyatakan bahwa BKPRD Cirebon telah menyatakan “usulan tersebut akan

dijadikan pertimbangan BKPRD dalam menyusun peninjauan kembali RTRW

Kabupaten Cirebon Tahun 2011-2031” dan “telah diakomodir ke dalam Rencana

Revisi RTRW Kabupaten Cirebon Tahun 2011-2031.” Tergugat juga mendalilkan

bahwa karena pembangunan PLTU-B Cirebon II 1 x 1.000 MW merupakan Proyek

Strategis Nasional, maka berdasarkan Perpres No. 3 Tahun 2016 proyek tersebut

“Gubernur atau Bupati/Walikota […] memberikan perizinan dan non-perizinan

yang diperlukan” dan dapat menjadi dasar hukum pembangunan PLTU-B Cirebon

II 1 x 1.000 MW sekalipun tidak ada dalam RTRW Kabupaten Cirebon. Untuk

mendukung argumennya, Tergugat menyitir hierarki perundang-undangan,

dimana Peraturan Presiden lebih tinggi dari Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Dalam pertimbangannya, Majelis menyatakan bahwa “Penerbitan Objek

TUN in casu mengandung kesalahan / kekeliruan yuridis, sehingga mutatis

mutandis cacat yuridis; karena gagal mematuhi persyaratan tata ruang.” Dalam

menyimpulkan hal ini, Majelis menginterpretasikan penataan ruang secara

menyeluruh, mempertimbangkan keterkaitan antara penataan ruang wilayah

Nasional, Provinsi, Kab/Kota yang seharusnya “dilakukan secara berjenjang dan

komplementer, saling melengkapi, bersinergi dan tidak terjadi tumpang tindih.”

Dengan dasar ini, Majelis menyatakan bahwa batu uji kesesuaian tata ruang adalah

RTRW Kabupaten, dan menolak dalil tergugat bahwa pembangunan PLTU-B

Cirebon 2 x 1.000 MW telah sesuai RTRW Provinsi Jawa Barat dan telah mendapatkan

rekomendasi Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) Kab. Cirebon.

Merujuk Pasal 27 UU No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang (“UU Penataan

Ruang”), menurut Majelis, “RTRW Kab/Kota-lah yang menjadi dasar penerbitan

perizinan lokasi dan administrasi pertanahan; dan ketentuan tersebut menghendaki

RTRW Kab/Kota sebagai pengaturan lebih rinci dari RTRW Provinsi.” Majelis

cukup ketat dalam menafsirkan kesesuaian kegiatan dan/atau usaha dengan

RTRW, dimana Majelis tidak hanya melihat pada aspek prosedural berdasarkan

rekomendasi penilaian studi AMDAL, RKL-RPL yang memutuskan AMDAL layak

dan sesuai dengan tata ruang. Dalam pertimbangannya, Majelis menilai bahwa

160

rekomendasi AMDAL secara substantif telah salah karena “pada faktanya” tapak

lokasi pembangunan tidak hanya berada di Kecamatan Astanajapura, namun juga

di Kecamatan Mundu yang tidak tercantum peruntukannya untuk pembangunan

PLTU-B di RTRW Kabupaten Cirebon 2011 – 2031 dan hanya dialokasikan untuk

jaringan transmisi. Jika mengikuti logika ini, maka Majelis menuntut pemberi izin

untuk menilai AMDAL dengan sangat cermat – tidak hanya melihat formalitas

rekomendasi penilaian AMDAL atau bahkan izin pemanfaatan ruang yang terkait,

tetapi betul-betul memeriksa fakta tapak lokasi kegiatan dan/atau usaha.

Pertimbangan hakim dalam menafsirkan kesesuaian kegiatan dan/atau usaha

dengan RTRW yang berlaku ini dapat memberikan pedoman bagi interpretasi

kesesuaian suatu kegiatan dan/atau usaha dengan tata ruang dalam hal terjadi

kesenjangan atau tumpang tindih penataan ruang pada level Kabupaten/Kota,

Provinsi dan Nasional. Lebih jauh, Majelis Hakim juga memberikan pertimbangan

yang cukup penting dalam hubungan antara Izin Lingkungan dengan penataan

ruang. Menurut Majelis, “Oleh karena Kepala BLHD telah salah secara substantif

dalam memberikan rekomendasi AMDAL, secara de facti AMDAL dan Izin

Lingkungan mengandung kesalahan atau kekeliruan yuridis, mutatis mutandis

cacat yuridis.” Hal ini telah sesuai dengan ketentuan dalam PP Izin Lingkungan

dan PermenLH No. 8 Tahun 2013, yang menghendaki KA-ANDAL tidak dinilai

dalam hal tapak kegiatan dan/atau usaha tidak sesuai dengan tata ruang.

Atas dasar hal-hal di atas, Majelis menganggap bahwa Tergugat secara mutatis

mutandis melanggar AUPB, khususnya bahwa pembuat KTUN harus bertindak

berdasarkan ketentuan perundang-undangan, asas kepatutan dan asas kepastian

hukum.

IV. Penutup

Secara umum, terdapat tiga pertimbangan hakim yang cukup penting dan

tepat dalam perkara ini, yang dapat digunakan dalam menalar perkara-perkara

mendatang yang serupa. Pertama, dalam kaitannya dengan kedudukan hukum,

masyarakat terdampak memiliki kepentingan/nilai yang dilindungi berdasarkan

hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat serta kedudukannya dalam

MARGARETHA QUINA

161

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

pelingkupan AMDAL. Kedua, dalam menilai batas waktu pengajuan perkara

oleh masyarakat terdampak, penggunaan teori penerimaan dimungkinkan,

dimana penghitungan dilakukan secara kasuistis ketika pihak ketiga yang tidak

dituju “merasa kepentingannya dirugikan, dan mengetahui keputusan tersebut.”

Lebih jauh lagi, dalam hal Para Penggugat tidak mengetahui Objek Sengketa,

dapat digunakan pendekatan mekanisme pemberian informasi sebagai tolok

ukur penerimaan informasi. Ketiga, dalam hal penerapan rencana tata ruang

wilayah, penataan ruang harus “dilakukan secara berjenjang dan komplementer,

saling melengkapi, bersinergi dan tidak terjadi tumpang tindih.” Majelis menolak

legitimasi pembangunan suatu kegiatan dan/atau usaha yang tidak tercantum

dalam RTRW Kabupaten sekalipun kegiatan dan/atau usaha tersebut merupakan

Proyek Strategis Nasional dan telah dikoordinasikan dengan BKPRD. Selain itu,

dalam kaitannya dalam penerbitan Objek KTUN in casu, Majelis juga menegaskan

hubungan antara Izin Lingkungan dan tata ruang, dengan mengutip ketentuan

bahwa Kerangka Acuan AMDAL seharusnya tidak dinilai apabila kegiatan dan/

atau usaha bertentangan dengan rencana tata ruang wilayah, dalam hal ini RTRW

Kabupaten Cirebon Tahun 2011-2031.

Akan tetapi, perlu dicatat bahwa Majelis tidak mempertimbangkan tiga dalil

substantif lain yang diajukan para penggugat, yaitu perihal pelibatan masyarakat,

cacat substantif dalam dokumen lingkungan hidup yang mendasari penerbitan

Objek TUN in casu, serta tidak dipertimbangkannya daya dukung dan daya

tampung lingkungan hidup dalam penerbitan izin lingkungan.

Tanpa dipertimbangkannya hal-hal tersebut, konsekuensi hukum dari

putusan ini terhadap Objek TUN terbatas pada aspek kesesuaian Izin Lingkungan

dengan RTRW, dimana perbaikan KTUN secara dimungkinkan apabila secara

formil-prosedur dan materiil usaha dan/atau kegiatan telah sesuai dengan RTRW.

Akan tetapi, masih terbuka kemungkinan hal-hal yang belum dipertimbangkan

tersebut diuji kembali dalam perkara TUN, termasuk dipertimbangkan dalam

perkara banding yang sekarang sedang berlangsung.

162

ix

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

P e d o m a n P e n u l I s a n

J urnal Hukum Lingkungan Indonesia (JHLI) adalah media enam bulanan

yang diterbitkan oleh Indonesian Center for Environmental Law (ICEL)

sebagai upaya mempublikasikan ide dan gagasan mengenai hukum

lingkungan dan regulasi mengenai sumber daya alam. Jurnal Hukum Lingkungan

Indonesia ditujukan bagi pakar dan para akademisi, praktisi, penyelenggara

Negara, kalangan LSM serta pemerhati dan penggiat hukum lingkungan dan

permasalahan tata kelola sumber daya alam.

Tema dan Topik

JHLI Volume 4 Issue 2, Desember 2017, memuat tulisan yang mengangkat tema

umum hukum dan kebijakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup

dalam sektor apapun.

Beberapa topik* yang dapat menjadi acuan dalam menyempitkan tema

tersebut adalah: (1) Pencemaran air, udara, tanah dan bahan beracun berbahaya

(B3); (2) Pengelolaan sampah; Perlindungan dan pengelolaan keanekaragaman

hayati; (4) Tata kelola hutan dan lahan; (5) Perlindungan dan pengelolaan sumber

daya alam laut; (6) Kesehatan lingkungan dan hak asasi manusia; (7) Keadilan

lingkungan; (8) Tata ruang dan lingkungan hidup; dan lain-lain.

Untuk setiap topik, diharapkan ulasan dapat menjawab satu atau lebih

pertanyaan kunci berikut:

1. Bagaimana permasalahan hukum/kebijakan dari topik yang bersangkutan

dalam tataran norma?

2. Bagaimana persoalan-persoalan yang dihadapi dalam mengimplemen-

tasikan norma hukum/kebijakan dari topik yang bersangkutan?

3. Bagaimana gagasan-gagasan dalam memperbaiki dan mengembangkan

hukum dan kebijakan terkait topik yang bersangkutan?

*) Topik tidak bersifat wajib/mutlak, melainkan hanya sebagai panduan untuk

mempermudah penulis dalam memilih isu terkait. Penulis dapat memilih topik apa

saja yang masih relevan dan masuk dalam ruang lingkup tema besar.

x

Prosedur Pengiriman**

Untuk Vol. 4 Issue 2 (Desember 2017), Penulis diharapkan mengirimkan abstrak

sebelum 30 September 2017 dengan menyertakan (1) nama lengkap; (2) institusi

asal; (3) nomor telepon yang dapat dihubungi. Redaksi akan menghubungi penulis

yang naskahnya yang diterima. Naskah final diterima redaksi paling lambat 30

November 2017.

Abstrak maupun naskah artikel dapat dikirimkan melalui surat elektronik

maupun melalui pos. Pengiriman melalui surat elektronik ditujukan ke jurnal@

icel.or.id dengan di-cc ke [email protected]. Pengiriman melalui pos

disertai dengan tulisan “Jurnal Lingkungan Hidup Indonesia” di sudut kiri atas

amplop, ditujukan ke alamat berikut:

Indonesian Center for Environmental Law (ICEL)

Jl. Dempo II no. 21, Kebayoran Baru

Jakarta Selatan 12120

DKI Jakarta

Pemilihan Tulisan

Pemilihan abstrak bersifat prosedural untuk menyaring artikel yang relevan

dengan aspek hukum dan kebijakan, dilakukan secara internal oleh para peneliti

ICEL. Redaksi akan menghubungi penulis yang abstraknya diterima.

Pemilihan tulisan akhir melalui penelaahan formil dan plagiarisme oleh

Redaksi, yang dilanjutkan dengan penelaahan substantif oleh Sidang Redaksi

yang terdiri dari para peneliti ICEL dan Mitra Bebestari. Tulisan yang dimuat

akan diberikan honorarium yang layak, sementara tulisan yang tidak dimuat akan

diberikan notifikasi dan merupakan hak penulis sepenuhnya. Sidang Redaksi

dapat meminta penulis untuk melakukan perbaikan substansi maupun teknis

terhadap tulisannya.

Persyaratan Formil

1. Abstrak ditulis dalam dua bahasa (Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris).

Panjang abstrak tidak lebih dari 150 kata yang ditulis dalam satu alinea.

PEDOMAN PENULISAN

xi

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

Abstrak mengandung ringkasan dari latar belakang, tujuan, metodologi, hasil

dan kesimpulan;

2. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai dengan

EYD dengan kalimat yang efektif;

3. Naskah diketik dengan Microsoft Word, ukuran halaman A4 dengan margin

kiri 4 cm; kanan, atas, dan bawah 3 cm. Tulisan menggunakan huruf Times

New Roman (TNR) 12 pt, spasi satu setengah tanpa spasi antar paragraph,

dengan panjang naskah 4000 – 5000 kata (tidak termasuk abstrak, catatan

kaki, daftar pustaka);

4. Tabel atau gambar harus jelas, dan ditempatkan di dalam naskah dengan

keterangan daftar tabel dan/atau gambar pada bagian akhir naskah setelah

daftar pustaka;

5. Artikel yang pernah disajikan dalam pertemuan ilmiah/seminar/lokakarya

namun belum pernah diterbitkan dalam bentuk prosiding, perlu disertai

keterangan mengenai pertemuan tersebut sebagai catatan kaki;

6. Judul artikel singkat dan jelas (maksimal 15 kata), diketik dengan huruf kapital.

Nama ilmiah dan istilah asing lainnya diketik dengan huruf miring;

7. Semua kutipan harus mencantumkan referensi, dengan catatan kaki atau

catatan akhir dengan format Chicago style sebagaimana dijelaskan dalam

poin 7 dan 8, dan daftar pustaka pada bagian akhir naskah.

8. Tabel dan/atau gambar juga harus mencantumkan sumber. Untuk

memudahkan koreksi naskah, diharapkan penulisan catatan kaki (footnote)

mengikuti ketentuan:

a. Phillipe Sands, Principles of Environmental Law, (Cambridge: Cambridge

University Press, 2007), hlm. 342 – 344;

b. Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, Cetakan ke-8, Edisi ke-

5, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1991), hlm. 201 – 208;

c. Paul Scholten, Struktur Ilmu Hukum, Terjemahan dari De Structuur der

Rechtswetenschap, Alih bahasa: Arief Sidharta, (Bandung: PT Alumni, 2003),

hlm. 7;

d. “Peningkatan Kualitas Hakim Lingkungan Mendesak”, Sinar Harapan, 15

Januari 2014;

xii

Sedangkan untuk penulisan Daftar Pustaka sebagai berikut:

a. Sands, Phillipe. 2007. Principles of Environmental Law. Cambridge:

Cambridge University Press.

b. Burchi, Tefano. 1989. “Current Developments and Trends in Water

Resources Legislation and Administration”. Paper presented at the 3rd

Conference of the International Association for Water Law (AIDA).

Alicante, Spain: AIDA, December 11-14.

c. Dewiel, Boris. 2000. “What Is the People? A Conceptual History of Civil

Society,” dalam Democracy, A History of Ideas. Vancouver: University of

British Columbia Press.

d. Rahayu, Muji Kartika. 2006. “Sistem Peradilan Kita Harus Dibenahi:

Analisis Putusan MK tentang UU Komisi Yudisial,” Jurnal Konstitusi,

Volume 3, Nomor 3, September 2006. Jakarta: Mahkamah Konstitusi.

e. Indonesia. Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup.

f. Sinar Harapan. “Peningkatan Kualitas Hakim Lingkungan Mendesak”. 15

Januari 2014.

g. Tjiptoherijanto, Prijono. Jaminan Sosial Tenaga Kerja di Indonesia, http://

www.pk.ut.ac.id/jsi, diakses tanggal 2 Januari 2005.

Panduan lebih detail dalam hal pengutipan akan diberikan Redaksi untuk

Abstrak yang diterima.

9. Identitas penulis meliputi:

a. Nama lengkap penulis (dengan gelar akademis)

b. Asal institusi penulis

c. Keterangan mengenai penulis untuk korespondensi disertai nomor

telepon, handphone dan fax, serta alamat e-mail

**) Tidak berlaku bagi Penulis dengan Undangan

PEDOMAN PENULISAN

e. Prijono Tjiptoherijanto, “Jaminan Sosial Tenaga Kerja di Indonesia”,

http://www.pk.ut.ac.id/jsi, diakses tanggal 2 Januari 2005.

VOLUME 04

ISSUE 1

SEPTEMBER 2017

VO

LU

ME

04

ISS

UE

1, S

EP

TE

MB

ER

20

17