unit manajemen hutan tanaman rakyat berbasis kelompok kerja dalam kelompok...
TRANSCRIPT
UNIT MANAJEMEN HUTAN TANAMAN RAKYAT BERBASIS
KELOMPOK KERJA DALAM KELOMPOK TANI HUTAN
(Studi Kasus Kelompok Tani Hutan Bukit Hijau
di Desa Cenrana Kecamatan Camba Kabupaten Maros)
THE MANAGEMENT UNITS OF THE PEOPLE’S PLANTED
FOREST BASED ON THE WORKING GROUP
IN THE FOREST FARMING GROUP
(a Case Study of the Forest Farming Group in Bukit Hijau,
Cenrana Village, Camba Sub-District, Maros Regency)
SUPRIADY SALLE
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASAR
2013
UNIT MANAJEMEN HUTAN TANAMAN RAKYAT BERBASIS
KELOMPOK KERJA DALAM KELOMPOK TANI HUTAN
(Studi Kasus Kelompok Tani Hutan Bukit Hijau di Desa Cenrana, Kecamatan Camba, Kabupaten Maros)
Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister
Program Studi
Ilmu Kehutanan
Disusun dan diajukan oleh
SUPRIADY SALLE
kepada
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASAR
2013
UNIT MANAJEMEN HUTAN TANAMAN RAKYAT BERBASIS
KELOMPOK KERJA DALAM KELOMPOK TANI HUTAN
(Studi Kasus Kelompok Tani Hutan Bukit Hijau di Desa Cenrana, Kecamatan Camba, Kabupaten Maros)
Disusun dan diajukan oleh
SUPRIADY SALLE
Nomor Pokok P2700210504
telah dipertahankan di depan Panitia Ujian Tesis
pada tanggal 10 Juli 2013
dan dinyatakan telah memenuhi syarat
Menyetujui
Komisi Penasihat,
Prof. Dr. Ir. Muh. Dassir, M.Si Dr. Ir. H. Mas’ud Junus, M.Sc Ketua Anggota
Ketua Program Studi Direktur Program Pascasarjana Ilmu Kehutanan, Universitas Kehutanan,
Prof. Dr. Ir. Djamal Sanusi Prof. Dr. Ir. Mursalim, M.Sc
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS
Yang bertanda tangan di bawah ini
Nama : Supriady Salle
Nomor Pokok : P2700210504
Program studi : Ilmu Kehutanan
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang berjudul: Unit
Manajemen Hutan Tanaman Rakyat Berbasis Kelompok Kerja Dalam
Kelompok Tani Hutan (Studi Kasus Kelompok Tani Hutan Bukit Hijau di
Desa Cenrana, Kecamatan Camba, Kabupaten Maros) merupakan hasil
karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan tulisan atau
pemikiran orang lain. Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan
bahwa sebagian atau keseluruhan tesis ini hasil karya orang lain, saya
bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.
Makassar, 10 Juli 2013
Yang menyatakan
Supriady Salle
ABSTRAK SUPRIADY SALLE. Unit Manajemen Hutan Tanaman Rakyat Berbasis Kelompok Kerja dalam Kelompok Tani Hutan (Studi Kasus Kelompok Tani Hutan Bukit Hijau di Desa Cenrana, Kecamatan Camba, Kabupaten Maros) (dibimbing oleh Muhammad Dassir dan Mas’ud Junus).
Penelitian ini bertujuan mengetahui (1) mekanisme kerja kelompok kerja HTR pada KTH Bukit Hijau, dan (2) bentuk pengelolaan HTR oleh kelompok kerja pada unit manajemen HTR yang dapat diterapkan di lokasi KTH Bukit Hijau.
Penelitian ini dilaksanakan di KTH Bukit Hijau Desa Cenrana,
Kecamatan Camba, Kabupaten Maros. Data dikumpulkan melalui diskusi kelompok berfokus, wawancara, dan survey lapangan. Analisis data menggunakan metode analisis kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif digunakan untuk menjelaskan unit manajemen berbasis kelompok kerja dan sistem pengaturan hasil. Adapun analisis kuantitatif digunakan untuk mengetahui kelayakan finansial pengelolaan HTR dengan kriteria layak secara finansial jika NPDP < HTB, NRER > 1, NPV > 0, B/C > 1 dan IRR > i. Analisis spasial digunakan untuk menentukan areal yang tidak produktif, pembagian hak kelola, pembentukan unit manajemen HTR, dan pembagian petak.
Dari hasil analisis finansial budidaya sengon dan budidaya kacang
tanah, pembangunan HTR melalui unit manajemen HTR berbasis kelompok kerja dalam KTH Bukit Hijau menggunakan pengaturan hasil berdasarkan luas, layak untuk dilaksanakan karena bersifat padat karya yang melibatkan masyarakat yang tidak memiliki lahan, menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat serta meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan bagi pemilik hak kelola dan masyarakat yang terlibat dalam kelompok kerja. Hal ini dapat dilihat dari analisis finansial dengan hasil: (a) NPDP lebih kecil dari HTB; (b) NRER bernilai positif; (c) NPV HTR bernilai positif; (d) B/C lebih dari satu, dan (e) IRR lebih tinggi dari tingkat suku bunga diskonto yang digunakan (suku bunga BLU P2H, 7%/tahun). Kata kunci : unit manajemen HTR , kelompok kerja
ABSTRACT SUPRIADY SALLE. The Management Units of the People’s Planted Forests (HTR) Based on the Working Group in the Forest Farming Group (KTH): a Case Study of the Forest Farming Group in Bukit Hijau, Cenrana Village, Camba Sub-District, Maros Regency) (Supervised by Muhammad Dassir and Mas’ud Junus)
This research aimed to find out (1) the working mechanism the working groups of HTR in KTH of Bukit Hijau; and (2) the management forms of HTR by the working groups in each management unit of HTR, which could be applied in Bukit Hijau KTH.
The research was conducted in Bukit Hijau KTH, Cenrana Village,
Camba Sub-District, Maros Regency. The data were collected through focused group discussions, interviews, and field surveys. The analysis of the data used the qualitative and quantitative methods. The qualitative analysis was carried out in order to explain the group-based management units and yield-sharing system; while the quantitative analysis was carried out in order to find out the financial feasibility of the HTR management: it was considered financially feasible if the NPDP < HTB, NRER > 1, NPV > 0, BCR > 1, and IRR > i. Finally, the spatial analysis was carried out in order to determine the unproductive areas, the division of the management rights, the formation of the HTR management units, and the division of the compartements.
The financial analysis of the culvation of the Albizzia sp and the peanuts,
and the development of HTR through the management units of the working-group-based HTR in Bukit Hijau KTH had shown feasible results because those labor-intensive activities involved landless community members, provided them with job opportunities, increased the incomes and improved the prosperities of those management right owners and of those who were involved in the working groups. All these could be seen in the results of the financial analysis: (a) the NPDP was smaller than HTB, (b) the value of NRER was positive, (c) the value of NPV HTR was positive, (d) B/C was greater than 1, and (e) IRR was higher than the current discount interest rate (the interest rate of BLU P2H was 7%/year.
Keywords: HTR management unit, working unit.
PRAKATA
Segala puji dan syukur penulis haturkan bagi Allah SWT atas
segala rahmat, dan karunia-Nya, sehingga tesis yang berjudul “Unit
manajemen Hutan Tanaman Rakyat Berbasis Kelompok Kerja Dalam
Kelompok Tani Hutan (Studi Kasus Kelompok Tani Hutan Bukit Hijau di
Desa Cenrana, Kecamatan Camba, Kabupaten Maros) berhasil
diselesaikan. Dalam tesis ini, penulis bermaksud menyampaikan bentuk
pengelolaan hutan tanaman rakyat berbasis kelompok kerja agar dapat
diterapkan dalam percepatan pembangunan hutan tanaman rakyat.
Pada kesempatan di awal bulan Ramadhan 1434 H yang penuh
berkah, penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sedalam-
dalamnya dari lubuk hati yang paling dalam kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Muhammad Dassir, M.Si. sebagai Ketua Komisi Penasehat
dan Dr. Ir. H. Mas’ud Junus, M.Sc. sebagai Anggota Komisi Penasehat
yang telah membimbing, mengarahkan, memberi semangat, dan
meluangkan waktu kepada penulis hingga penulisan tesis ini bisa
diselesaikan. Semoga Allah SWT membalas kebaikan atas ilmu
pengetahuan yang telah diberikan kepada penulis, Amin.
2. Prof. Dr. Ir. Amran Achmad, M.Sc., Dr. Ir. Beta Putranto, M.Sc., dan
Prof. Dr. Ir. Iswara Gautama, M.Si. sebagai Komisi Penguji yang telah
banyak memberikan masukan berupa saran, perbaikan dan arahan
3. dalam rangka perbaikan hasil penelitian sampai dengan penulisan tesis
ini bisa diselesaikan. Semoga Allah SWT membalas kebaikan atas ilmu
pengetahuan yang telah diberikan kepada penulis, Amin.
4. Prof. Dr. Ir. Djamal Sanusi sebagai Ketua Program Studi Ilmu
Kehutanan, Ibu Ruth Eppi Lobo, S.Sos. dan staf di Fakultas Kehutanan
yang selalu membantu penulis menyelesaikan studi pada Program
Pascasarjana.
5. Kedua orang tuaku Ibunda Alm. Hj. R. Sumiaty dan Ayahanda Alm.
Nuhung Paggo Dg. Salle dan terima kasih atas segala kasih sayangmu
dan doamu, doaku selalu menyertaimu, Amin.
6. Teristimewa untuk istriku yang tercinta: Yulianti, serta jagoan kecilku:
Muhammad Bintang Yudy Prawira dan Lingga Mahardika Rimbawan,
terima kasih atas doa, dorongan semangat, pengorbanan waktu, dan
kesabarannya yang terus diberikan kepada penulis.
7. Dekan Fakultas Kehutanan UNHAS, beserta jajarannya terima kasih
atas dukungan moril yang sangat berharga bagi penulis.
8. Bapak Supriatna, S.Hut. (Kepala BP2HP Wilayah XV Makassar) dan
Ibunda Ir. Siti Aminah, MM. (Kepala Seksi Pemantauan dan Evaluasi
Hutan Produksi BP2HP Wilayah XV Makassar), terima kasih atas
dukungan dan kesempatan yang diberikan kepada penulis sehingga
dapat menyelesaikan penelitian dan tesis ini.
9. Teman-teman mahasiswa Pascasarjana Ilmu Kehutanan, adik-adik
mahasiswa S1 Kehutanan yang membantu proses penelitian di Dusun
10. Holiang dan kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan
kepada penulis.
Penulis menyadari tesis ini masih jauh dari sempurna, oleh karena
itu kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat diharapkan demi
kesempurnaan penulisan ini. Akhirnya dengan segala kerendahan hati
semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.
Makassar, Juli 2013
Supriady Salle
© Hak cipta milik UNHAS tahun 2013 Hak cipta dilindungi undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.
b. Pengutipan yang wajar tidak merugikan kepentingan UNHAS. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh
karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin UNHAS
i
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS
ABSTRAK
ABSTRACT
PRAKATA
DAFTAR ISI i
DAFTARTABEL iv
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN viii
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 3
C. Tujuan Penelitian 4
D. Kegunaan Penelitian 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5
A. Tinjauan Teori dan Konsep 5
1. Defenisi Hutan Tanaman Rakyat 5
2. Kebijakan Hutan Tanaman Rakyat 6
3. Pengaturan Hasil Hutan 10
4. Pengelolaan Hutan 14
5. Pengetahuan Sistem Hutan Tanaman Rakyat 17
6. Batas Kawasan Hutan 18
ii
7. Sistem Informasi Geografis (SIG) 18
8. Jenis-Jenis Tanah Menurut Sistem Pusat Penelitian
Tanah 22
9. Kelompok Tani Hutan 26
10. Kelompok Kerja 29
11. Sistem Tenur Pada Pemanfaatan Kawasan Hutan 31
12. Analisis Biaya dan Manfaat 33
B. Kerangka Pemikiran 36
BAB III METODE PENELITIAN 39
A. Waktu dan Lokasi Penelitian 39
B. Teknik Pengumpulan Data dan Jenis Data 39
1. Wawancara 40
2. Focus Group Discussion 41
3. Survey 42
C. Teknik Analisis Data 44
1. Analisis Deskriptif Kualitatif 44
2. Analisis Kuantitatif 45
3. Analisis Spasial 47
BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI CALON AREAL
IUPHHK-HTR KTH BUKIT HIJAU 51
A. Kondisi Biofisik 51
1. Letak Geografis 51
2. Kawasan Hutan 51
3. Penutupan Lahan 52
4. Ketinggian dan Kelerengan 53
B. Kondisi Sosial Ekonomi 53
1. Letak Administrasi dan Luas Areal 53
2. Keadaan Penduduk 53
3. Aksesibilitas Wilayah 54
iii
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 58
A. Karakteristik Sosial Ekonomi Petani KTH Bukit Hijau 58
1. Sistem Tenur 58
2. Sistem Teknologi Wanatani 62
B. Proses Perizinan Hutan Tanaman Rakyat 62
C. Pembangunan Lembaga 64
D. Penataan Areal dan Pembagian Hak Kelola 68
E. Unit Manajemen HTR Berbasis Kelompok Kerja Dalam
KTH Bukit Hijau 69
1. Pembentukan Unit Manajemen HTR Berbasis
Kelompok Kerja 69
2. Kerjasama KTH Bukit Hijau dalam Pengelolaan Lahan 71
3. Kerjasama Kelompk Kerja KTH Bukit Hijau dalam
Penyakapan Lahan 72
4. Penerapan Sistem Tenure pada Kelompok Kerja
dalam Unit Manajemen HTR KTH Bukit Hijau 73
F. Pengaturan Hasil dan Preskripsi Silvikultur 74
1. Pembagian Petak 74
2. Preskripsi Silvikultur 78
G. Analisis Biaya dan Manfaat Pengelolaan HTR 82
1. Asumsi Perhitungan Analisis Biaya dan Manfaat 82
2. Kelayakan Finansial Budidaya Sengon 84
3. Kelayakan Finansial Budidaya Kacang Tanah Dalam
Areal HTR 88
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 91
A. Kesimpulan 91
B. Saran 92
DAFTAR PUSTAKA 94
LAMPIRAN
iv
DAFTAR TABEL
Nomor halaman
1. Padanan Nama Tanah menurut berbagai Sistem Klasifikasi
25
2. Fungsi dan Lokasi Penerapan Tenur dalam Pengelolaan Lahan
32
3. Fungsi dan Lokasi Penerapan Tenur dalam Pemilikan Lahan
33
4. Jenis dan Sumber Data Penelitian 43
5. Alat dan Bahan Untuk Analisis Spasial 48
6. Kawasan Hutan Kecamatan Camba Kabupaten Maros Provinsi Sulawesi Selatan
52
7. Fungsi dan Lokasi Penerapan Tenurial dalam Pengelolaan Lahan di Dusun Holiang Desa Cenrana Kecamatan Camba
61
8. Daftar Nama Anggota Kelompok Tani Bukit HijauDusun Holiang Desa Cenrana Kecamatan Camba
65
9. Pembagian Areal Kerja IUPHHK-HTR Anggota KTH Bukit Hijau
69
10. Pembagian Unit Manajemen HTR KTH Bukit Hijau
70
11. Sistem Tenur Per Petak pada Kelompok Kerja Dalam UMH KTH Bukit Hijau
74
12. Luas Pembagian Petak Pada Unit Manajemen HTR
75
13. Tabel Pendapatan, Pengeluaran dan NPDP Tanaman Sengon Monokultur Rotasi 5 Tahun/Ha, Suku Bunga 7%/Tahun
85
v
14. Analisis Net Return At The Of End Rotation
(NRER) / Ha Budidaya Sengon Rotasi 5 Tahun, Suku Bunga 7%/Tahun
86
15. Tabel Suku Bunga, Penerimaan, Pengeluaran dan NPV HTR Budidaya Tanaman Sengon Rotasi 5 Tahun
88
16. Perhitungan Nilai Pengembalian Dana Pinjaman Untuk Budidaya Kacang Tanah, Suku Bunga 24%/Tahun
89
17. Rekap Hasil Analisis Finansial Budidaya Sengon Rotasi 5 Tahun Dan Keuntungan Budidaya Kacang Tanah Selama 3 Tahun
90
vi
DAFTAR GAMBAR
nomor halaman
1. Proses Tata Cara Permohonan IUPHHK-HTR Perorangan
7
2. Peta Susunan Kelas Hutan Normal, Rotasi 25 Tahun
11
3. Petak, Nomor Petak dan Perkembangan Susunan Kelas Umur Tahun 1980-2000 Rotasi 25 Tahun
13
4. Bagan Arus Sistem Kerja dalam SIG
19
5. Tahap Pertumbuhan Kelompok (Stage of Group Development)
30
6. Kerangka Pemikiran Penelitian 38
7. Bagan Arus Analisis Penentuan Zona Penyangga
49
8. Bagan Arus Analisis Pembagian Hak Kelola/ Ta’tang
49
9. Bagan Arus Analisis Pembentukan Unit Manajemen HTR
50
10. Jalanan Desa Cenrana 55
11. Jalanan Dusun Holiang 56
12. Jalanan Kampung 57
13. Pola Tanam Budidaya Sengon Polikultur dengan Kacang Tanah
78
21. Kayu Rakyat Jenis Sengon, Panjang 1,2 m dan Diameter > 15 cm di Depan Rumah Masyarakat
100
vii
DAFTAR LAMPIRAN
nomor Halaman
1. Pedoman Wawancara di Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Maros
96
2. Pedoman Wawancara di Dusun Holiang Desa Cenrana, Kecamatan Camba, Kabupaten Maros
98
3. Pedoman Wawancara Dengan Pihak Industri PT. Panply
101
4. Materi yang disampaikan pada FGD 102
5. Peta Pertimbangan Teknis Areal IUPHHK-HTR KTH Bukit Hijau
105
6. Peta Areal Tidak Produktif KTH Bukit Hijau
106
7. Peta Aksesibilitasi/Sarana Jalan KTH Bukit Hijau
107
8. Peta Pembagian Hak Kelola/Ta’tang KTH Bukit Hijau
108
9. Peta Unit Manajemen HTR KTH Bukit Hijau 109
10. Peta Pengaturan Hasil KTH Bukit Hijau 110
11. Perhitungan Biaya Pembangunan HTR Budidaya Sengon/Hektar Rotasi 5 Tahun
111
12. Perhitungan Biaya Budidaya Kacang Tanah/ Hektar Dalam Areal IUPHHK-HTR
112
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sumberdaya hutan merupakan salah satu sumber kekayaan bagi
rakyat Indonesia dan sumberdaya alam andalan bagi Indonesia. Hutan
sebagai sumberdaya alam yang dapat dikelola, mempunyai manfaat dan
fungsi ganda bagi umat manusia baik manfaat ekologi, sosial budaya
maupun ekonomi. Manfaat dan fungsi yang optimal dari hutan tersebut
dapat diperoleh apabila hutan terjamin kelestariannya. Aktivitas sosial
ekonomi baik dalam skala kecil maupun skala besar telah menyebabkan
terjadinya tekanan ekologis berupa degradasi hutan yang berujung pada
perubahan kualitas lingkungan. Pengelolaan yang baik akan memberikan
dampak yang luas dan berjangka panjang, demikian pula sebaliknya,
kesalahan dalam pengelolaan hutan akan dapat menimbulkan degradasi
hutan, bahkan berdampak luas bagi sosial dan ekonomi.
Kondisi saat ini, masyarakat di sekitar dan dalam hutan telah terbiasa
memanfaatkan hutan sebagai salah satu sumber pemenuhan kebutuhan
sehari-hari, sumber penghasilan, dan sebagian besar merupakan
masyarakat yang tergolong miskin. Selain itu, penurunan kondisi hutan juga
mengakibatkan penurunan suplai kayu terhadap industri pengolahan kayu,
2
veneer, kayu lapis dan pulp. Kenyataan tersebut, telah mendorong
pemerintah untuk mengembangkan suatu bentuk pengelolaan hutan yang
diharapkan bisa mengatasi permasalahan tersebut, yaitu program hutan
tanaman rakyat (HTR) yang bertujuan untuk mencapai pemanfaatan
sumberdaya hutan secara optimal dan adil, melalui pengembangan
kapasitas dan pemberian akses masyarakat sekitar hutan dalam rangka
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu program HTR
harus didukung dengan pembinaan kelompok tani hutan (KTH) yang kuat.
Perkembangan pembangunan HTR di Provinsi Sulawesi Selatan dari
tahun 2008 sampai dengan saat penelitian dilakukan realisasinya mencapai
14% atau seluas ± 5.678 ha IUPHHK-HTR yang telah diterbitkan oleh
Bupati dari pencadangan areal HTR seluas ± 40.535 ha yang tersebar di
12 kabupaten. Salah satu kabupaten yang telah diterbitkan IUPHHK-HTR
oleh Bupati adalah Kabupaten Maros, yaitu KTH Pakkaraengan Indah di
Desa Bonto Matinggi Kecamatan Tompobulu dengan luas ± 121 ha,
sedang tiga KTH yang belum diterbitkan IUPHHK-HTRnya, yaitu: (1) KTH
Bangkit Jaya di Desa Bonto Manai Kecamatan Tompobulu; (2) KTH Tunas
Harapan di Desa Cenrana Kecamatan Camba, dan (3) KTH Bukit Hijau di
Desa Cenrana Kecamatan Camba (BP2HP, 2012).
Berdasarkan permasalahan tersebut, penelitian ini ingin mengetahui
hambatan yang dihadapi KTH Bukit Hijau di Desa Cenrana dalam proses
penerbitan IUPHHK-HTR, bagaimana bentuk kelembagaannya dan bentuk
unit manajemen berbasis kelompok kerja pada areal calon HTR KTH Bukit
3
Hijau. Pentingnya penerbitan IUPHHK-HTR di Kabupaten Maros kepada
KTH yang telah bermohon diharapkan dapat meningkatkan kapasitas dan
memberi akses kepada masyarakat agar mampu memanfaatkan dan
mengelola hutan, yang pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Untuk dapat mewujudkan hal tersebut, diperlukan suatu
bentuk pengelolaan oleh Unit Manajemen HTR dan dukungan
kelembagaan berbasis kelompok kerja dalam KTH.
B. Rumusan Masalah
Pengelolaan areal HTR dapat dilaksanakan dengan menyesuaikan
kebiasaan para petani penggarap atau masyarakat setempat. Bentuk
pengelolaan hutan yang baik harus diterapkan untuk mewujudkan
kesejahteraan masyarakat melalui unit manajemen dan dukungan
kelembagaan KTH yang kuat dalam pengelolaan HTR. Rumusan masalah
yang perlu dikaji dan dicari jawabannya dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana sistem kelompok kerja HTR dalam KTH Bukit Hijau?
2. Bagaimana bentuk pengelolaan HTR oleh kelompok kerja pada unit
manajemen HTR yang layak diterapkan oleh KTH Bukit Hijau di Dusun
Holiang, Desa Cenrana, Kecamatan Camba Kabupaten Maros?
4
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian pada latar belakang penelitian dan rumusan
masalah, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Mengetahui mekanisme kerja kelompok kerja HTR pada KTH Bukit
Hijau.
2. Mengetahui bentuk pengelolaan HTR oleh kelompok kerja pada unit
manajemen HTR yang dapat diterapkan di lokasi KTH Bukit Hijau.
D. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini mengkaji unit manajemen HTR serta dukungan
kelembagaan dalam rangka pembangunan HTR, sehingga penelitian ini
dapat berguna dalam hal :
1. Sebagai bahan pertimbangan dalam proses penerbitan IUPHHK-HTR
perorangan KTH Bukit Hijau oleh pemerintah setempat.
2. Dapat diterapkan oleh anggota KTH Bukit Hijau dalam rangka
pengelolaan HTR jika IUPHHK-HTR diterbitkan oleh Bupati Maros.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Teori dan Konsep
1. Defenisi Hutan Tanaman Rakyat
Kebijakan Kementerian Kehutanan untuk memberikan hak akses
bagi masyarakat dalam memanfaatkan kawasan hutan khususnya pada
hutan produksi, salah satunya melalui program pembangunan
HTR.Berdasarkan pasal 37 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun
2007 jo. PP Nomor 3 Tahun 2008 berbunyi ”Pemanfaatan hasil hutan kayu
dalam hutan tanaman pada hutan produksi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 31 ayat (2) huruf d dapat dilakukan pada: (a) HTI (hutan tanaman
industri); (b) HTR (hutan tanaman rakyat); atau (c) HTHR (hutan tanaman
hasil reboisasi)”. Program HTR bertujuan untuk mencapai pemanfaatan
sumberdaya hutan secara optimal dan adil, melalui pengembangan
kapasitas dan pemberian akses masyarakat di sekitar hutan dalam rangka
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Definisi hutan tanaman rakyat
(HTR) adalah hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh
kelompok masyarakat untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan
produksi dengan menerapkan silvikultur dalam rangka menjamin
6
kelestarian sumberdaya hutan. IUPHHK-HTR adalah izin usaha yang
diberikan untuk memanfaatkan hasil hutan berupa kayu dan hasil hutan
ikutannya pada hutan produksi yang diberikan kepada perorangan atau
koperasi untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan
menerapkan sistem silvikultur untuk menjamin kelestarian sumberdaya
hutan (Kementerian Kehutanan, 2011)
2. Kebijakan Hutan Tanaman Rakyat
Pemerintah telah mengatur pemanfaatan dan pengelolaan hutan
yang melibatkan masyarakat melalui program HTR berupa IUPHHK-HTR
perorangan maupun koperasi yang bertujuan untuk meningkatkan potensi
dan kualitas hutan produksi, mewujudkan pemanfaatan sumberdaya hutan
secara optimal dan adil melalui pengembangan kapasitas dan pemberian
akses masyarakat di sekitar hutan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Pemberian IUPHHK-HTR dilakukan pada areal yang telah
ditetapkan oleh Menteri Kehutanan sebagai areal alokasi atau penetapan
IUPHHK-HTR. Areal alokasi dan penetapan IUPHHK-HTR dilakukan pada
kawasan hutan produksi yang tidak produktif dan tidak dibebani izin/hak
lain serta didasarkan pada rencana pembangunan HTR yang diusulkan
oleh Bupati/Walikota atau Kepala KPHP dengan luas areal pencadangan
disesuaikan dengan keberadaan masyarakat di sekitar hutan dan
diutamakan dekat dengan industri kehutanan (Kementerian Kehutanan,
2011).
7
Tata cara permohonan IUPHHK-HTR perorangan (Kementerian
Kehutanan, 2011), sebagai berikut:
1. Pemohon adalah masyarakat yang tinggal di dalam dan/atau di sekitar
hutan sebagai kesatuan komunitas sosial yang mata pencaharian
utamanya bergantung pada hutan dan hasil hutan, khususnya yang
berada di dalam dan di sekitar areal pencadangan HTR. Pemohon
IUPHHK-HTR perorangan membentuk kelompok tani hutan (KTH)
untuk memudahkan pelayanan dalam proses permohonan IUPHHK-
HTR. Perorangan dan/atau ketua kelompok mengajukan permohonan
IUPHHK-HTR kepada bupati/walikota atau kepala KPHP melalui kepala
Pemohon (Perorangan)
Kelompok Tani Hutan
BP2HP
Kepala Desa
Bupati/Walikota/Kepala KPHP
3
3
Dinas Kab./Kota
Camat
2
2
Gambar 1. Proses Tata Cara Permohonan IUPHHK-HTR Perorangan
1
1
Ditujukan/disampaikan
Tembusan
Keterangan:
2
Verifikasi
2
BPKH
Koordinasi
3 3
1
4
8
desa dengan tembusan kepala BP2HP. Permohonan dilampiri
persyaratan permohonan yang diajukan oleh perorangan: (a) foto copy
KTP; (b) keterangan dari Kepala Desa/Lurah bahwa pemohon
berdomisili di desa tersebut, dan (c) sketsa areal yang dimohon.
2. Kepala desa melakukan verifikasi KTP atau domisili berdasarkan
permohonan IUPHHK-HTR, dan hasil verifikasi permohonan
disampaikan kepada kepala dinas kabupaten/kota dan atau kepala
KPHP dengan tembusan kepada camat dan kepala BP2HP.
3. Berdasarkan tembusan hasil verifikasi permohonan IUPHHK-HTR dari
kepala desa, BP2HP berkoordinasi dengan BPKH dan melakukan
verifikasi atas persyaratan administrasi dan sketsa/peta areal yang
dimohon, hasilnya disampaikan kepada bupati/walikota dan atau
kepala KPHP sebagai pertimbangan teknis.
4. Berdasarkan pertimbangan dari kepala BP2HP, bupati/walikota/ kepala
KPHP atas nama menteri menerbitkan IUPHHK-HTR perorangan
dengan tembusan kepada: (a) menteri; (b) gubernur; (c) Direktur
Jenderal Bina Usaha Kehutanan; (d) kepala dinas provinsi yang
membidangi kehutanan; (e) kepala dinas kabupaten yang membidangi
kehutanan, dan (f) kepala BP2HP.
Lebih lanjut menurut Kementerian Kehutanan (2011), kegiatan
IUPHHK-HTR antara lain kegiatan penyiapan lahan, pembibitan,
penanaman, pemeliharaan, pemanenan, dan pemasaran.Tanaman yang
dihasilkan dari IUPHHK-HTR merupakan aset pemegang izin usaha, dan
9
dapat dijadikan agunan sepanjang izin usahanya masih berlaku. Dalam hal
terdapat tegakan hutan alam pada areal yang dicadangkan sebagai areal
pencadangan HTR, areal hutan alam tersebut ditetapkan sebagai areal
perlindungan setempat dan pengembangan hasil hutan bukan kayu
(HHBK). Pembangunan HTR dapat dibiayai melalui Pola Pengelolaan
Keuangan Badan Layanan Umum Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan
(BLU Pusat P2H), perbankan maupun pihak lain yang tidak mengikat.
Dalam hal Pemegang IUPHHK-HTR akan meminjam dana pembangunan
HTR kepada BLU Pusat P2H, maka Pemegang IUPHHK-HTR wajib
melunasi pinjaman tersebut kepada BLU Pusat P2H dan mematuhi
ketentuan perundangan yang berlaku.
Pola HTR terdiri atas:
a. HTR pola mandiri adalah HTR yang dibangun oleh pemegang IUPHHK-
HTR.
b. HTR pola kemitraan adalah HTR yang dibangun oleh pemegang
IUPHHK-HTR bersama dengan mitra berdasarkan kesepakatan
bersama dengan difasilitasi oleh pemerintah/pemerintah daerah agar
terselenggara kemitraan yang menguntungkan kedua belah pihak.
c. HTR pola developer adalah HTR yang dibangun oleh BUMN atau
BUMS atas permintaan pemegang IUPHHK-HTR dan biaya
pembangunannya menjadi tanggung jawab pemegang IUPHHK-HTR.
Menurut Kementerian Kehutanan (2011), budidaya tanaman HTR
dilaksanakan berdasarkan kondisi tapak, sosial ekonomi dan sosial budaya
10
setempat. Jenis tanaman pokok yang dapat dikembangkan untuk
pembangunan usaha pemanfaatan hasil hutan kayu HTR terdiri atas :
a. Tanaman sejenis adalah tanaman hutan berkayu yang hanya terdiri satu
jenis (species) dan varietasnya.
b. Tanaman berbagai jenis adalah tanaman hutan berkayu yang
dikombinasikan dengan tanaman budidaya tahunan yang berkayu
antara lain karet, tanaman berbuah, bergetah dan pohon penghasil
pangan dan energi. Tanaman budidaya tahunan paling luas 40% (empat
puluh persen) dari areal kerja dan tidak didominasi oleh satu jenis
tanaman.
3. Pengaturan Hasil Hutan
Sistem pengelolaan yang lebih intensif merupakan istilah yang
dipakai pada hutan yang tertata penuh (fully-regulated forest), yaitu hutan
dengan tendon penuh diharapkan dapat dipakai pada suatu waktu tertentu,
khususnya pada akhir daur. Selama jangka waktu satu daur tersebut, hutan
akan dikelola dengan teratur untuk memeroleh manfaat hutan yang
maksimal sesuai dengan kebutuhan dan keadaan setempat. Untuk
mewujudkan ketentuan tersebut, pengelolaan hutan harus intensif dan
bervariasi dari petak ke petak (management regimes). Untuk
memaksimalkan setiap jengkal kawasan hutan sesuai dengan kondisi fisik
maupun sosial ekonomi masyarakat (Simon, 2010).
11
Menurut Simon (2010), lahirnya konsep hutan normal sebenarnya
tak dapat dilepaskan dari harapan setelah pelaksanaan sistem pengaturan
hasil yang paling sederhana, yaitu annual coupe atau vak-werk. Dengan
sistem pengaturan hasil ini, setelah rotasi diaplikasikan akan terbentuk
hutan dengan susunan umur yang teratur. Misalkan kelas perusahaan kayu
bakar dengan luas 500 ha dikelola dengan sistem silvikultur pangkas
(coppies sistem) yang menggunakan rotasi 25 tahun. Dengan metoda
pengaturan hasil annual coupe, seluruh kawasan dibagi menjadi 25 petak
yang sama luasnya; jadi luas tiap petak adalah 500:25 = 20 ha. Tiap petak
diberi batas dan nomor yang tetap, yaitu nomor 1 sampai dengan 25.
Secara skematis pembagian kawasan hutan dalam petak-petak kerja (vak-
werk) dilukiskan dalam Gambar 2.
Gambar 2. Peta Susunan Kelas Hutan Normal, Rotasi 25 Tahun (Simon, 2010)
12
Pemberian nomor petak dimulai dari barat laut, berputar mengikuti
arah jarum jam. Misalkan dalam Gambar 2, petak pada jalur A diberi nomor
1 dan 2, demikian seterusnya sampai petak 25 terletak pada jalur E. Posisi
ini terlukis tahun 1950 dalam gambar tersebut, maka pada tahun 1975
diseluruh kawasan hutan telah terbentuk hutan-hutan seumur pada setiap
petak. Umur tegakan di seluruh kawasan hutan bervariasi dari 1-25 tahun,
berurutan dari petak 1 sampai petak 25. Angka-angka yang tertera dalam
Gambar 2 tersebut menunjukkan umur tegakan di petak yang bersangkutan
setelah pelaksanaan selama satu rotasi. Dengan demikian susunan umur
tegakan pada tahun 1975 adalah mulai petak pertama yang berumur 25
tahun, petak kedua berumur 24 tahun dan seterusnya sampai petak 25
berisi tegakan dengan umur satu tahun. Pada tahun 1975 tersebut,
tebangan untuk rotasi kedua dimulai dari petak pertama lagi yang telah
mencapai umur masak tebang (25 tahun). Dengan demikian setiap tahun
dapat dilakukan tebangan terhadap suatu petak yang umur tegakannya
telah mencapai umur daur (25 tahun).Selanjutnya dengan mudah susunan
tegakan pada tahun 1976 dapat dibuat, dan pada waktu itu penebangan
dilakukan pada petak kedua yang umur tegakannya telah bertambah satu
tahun menjadi 25. Demikian seterusnya sehingga pada Tahun 2000
susunan kelas umur sudah kembali seperti pada Tahun 1975. Tahun 2001
mulai lagi dengan tebangan pada rotasi ketiga di petak pertama dengan
kegiatan-kegiatan lainnya seperti yang dilakukan selama penebangan pada
rotasi pertama.Susunan tegakan seperti itu, yang terdiri atas berbagai umur
13
yang komplit dari 1 tahun sampai umur masak tebang atau umur daur, dan
luas masing-masing umur juga sama, dapat dilukiskan dalam bagan
koordinat yang menghubungkan antara umur dan volume tegakan riap
umur. Lukisan tersebut disajikan dalam Gambar 3, tiap kotak dalam gambar
tersebut melukiskan pertumbuhan volume tegakan atau riap setiap tahun
yang telah dilalui oleh tegakan yang bersangkutan. Jadi tegakan yang baru
berumur satu tahun dilukiskan oleh satu kotak, demikian seterusnya sampai
tegakan yang berumur 25 tahun telah memiliki 25 kotak atau riap 25
tahunan (Simon, 2010).
Gambar 3. Petak, Nomor Petak dan Perkembangan Susunan Kelas Umur
Tahun 1980-2000 Rotasi 25 Tahun (Simon, 2010)
14
Daur adalah jangka waktu dalam tahun yang diperlukan oleh suatu
jenis untuk mencapai umur masak tebang, dihitung sejak jenis itu ditanam.
Nampak dari definisi tersebut bahwa konsep daur dipakai untuk
pengelolaan hutan dengan tujuan menghasilkan kayu dari tegakan seumur
yang ditanam secara monokultur. Di kalangan rimbawan istilah daur
(oomlop) sering dianggap sama dengan rotasi (rotatie, rotation). Munculnya
konsep daur tidak dapat dilepaskan dengan konsep hutan normal. Tujuan
dikemukakan konsep hutan normal ditujukan untuk menyajikan susunan
kelas hutan yang memudahkan pelaksanaan konsep kelestarian hasil kayu.
Idealnya, di dalam suatu hutan normal setiap kelompok tegakan akan
ditebang pada umur daur. Oleh karena itu di dalam pengelolaan hutan
seumur, menentukan panjang daur mempunyai peranan yang sangat
penting, yang sangat berpengaruh terhadap efisiensi dan efektifitas
tercapainya tujuan pengelolaan (Simon, 2010).
4. Pengelolaan Hutan
Definisi kelestarian hasil menurut ahli, yaitu:
a. Dalam Conservation Code 1938, Meyer dkk., (1916) dalam Simon
(2010), diterangkan definisi kelestarian hasil adalah pengelolaan
kawasan hutan tertentu yang jelas status kepemilikannya, dengan luas
wilayah yang ekonomis, dan memiliki sistem pengelolaan yang jelas
berdasarkan rencana kerja yang rasional.
15
b. Menurut Osmaton (1968) dalam Simon (2010), mendefinisikan
pengertian kelestarian hasil hutan sebagai suplai hasil hutan yang
teratur dan berkesinambungan (kontinyu) sesuai dengan kapasitas
maksimal suatu kawasan hutan.
Selanjutnya Simon (2010) menjelaskan bahwa definisi tersebut
sudah jauh berkembang dibandingkan dengan definisi kelestarian hasil
hutan yang ditulis oleh Cotta. Kalau Cotta hanya memusatkan kayu sebagai
hasil utama, maka definisi Osmaton sudah memasukkan semua jenis hasil
hutan yang telah dapat dimanfaatkan oleh manusia baik yang dapat dinilai
dengan uang (tangible) maupun yang tidak dapat atau sulit dinilai dengan
uang (intangible). Sampai sekarang hasil hutan masih lazim dipisahkan
antara hasil utama (major products) yang berupa kayu, dan hasil hutan
sampingan (minor products) yang berupa non kayu.
Osmaton (1968) dalam Simon (2010) melukiskan berbagai tipe
pengelolaan hutan sebagai berikut: (a) Hasil integral, yaitu bila hutan
tersusun atas pohon dengan umur yang sama, dan kemudian ditebang lalu
dilakukan permudaan pada waktu yang sama pula. Tipe ini berlaku untuk
kepemilikan hutan yang kecil, khususnya dengan daur pendek sampai
menengah. Di kehutanan daur menengah berkisar 30 sampai 50 tahun,
sedang daur pendek dapat dimulai dari 8 sampai 25 tahun. Untuk daur
panjang penebangan baru dilakukan setelah tegakan berumur 60 tahun
sampai 100 tahun; (b) Hasil yang bergiliran (intermitten yields), yaitu bila di
dalam kawasan hutan ada berbagai kelas umur sehingga pohon yang
16
menyusun hutan tersebut masak stelah mencapai umur tertentu, kemudian
ditebang pada saat-saat tertentu pada waktu ada tegakan yang telah
mencapai umur masak tebang, dan (c) Hasil hutan, bila selalu ada kayu
yang siap ditebang setiap tahun.
Mempelajari pembangunan kehutanan berasaskan kelestarian, yang
berhasil di negara-negara tertentu, menarik untuk dikaji apa sebenarnya
yang menjadi kunci keberhasilan tersebut. Simon (2010) menyimpulkan
bahwa ada tiga syarat penting yang harus dipenuhi, yaitu: (a) adanya batas-
batas kawasan hutan yang tetap dan diakui semua pihak; (b) adanya sistem
silvikultur yang menjamin terlaksananya permudaan hutan yang mesti
berhasil, dan (c) penentuan etat tebangan yang menjamin terwujudnya
kelestarian hasil kayu.
Untuk mencapai hutan normal, diperlukan pemilihan yang tepat
tentang sistem pengaturan hasil dan teknik silvikultur yang akan dipakai.
Perlakuan silvikultur untuk memelihara tegakan harus direncanakan pada
waktu yang tepat dan dengan cara yang memadai, sehingga semua tempat
atau kelompok hutan akan dalam keadaan penuh oleh jenis yang cocok
dengan kondisi tempat tumbuh tersebut. Tegakan akan dijarangi secara
periodik untuk memberi ruang tumbuh yang optimal bagi tegakan tinggal,
dan untuk mencapai riap yang maksimal sesuai dengan dimensi kayu atau
umur yang diperlukan oleh tujuan pengelolaan tertentu (Simon, 2010).
17
5. Pengetahuan Sistem HutanTanaman Rakyat
Hutan rakyat dengan segala produksinya juga memberikan hasil
tambahan bagi ekonomi keluarga. Kebutuhan keluarga yang bersifat
mingguan dan tahunan acapkali dapat terpenuhi dari hasil penebangan
kayu dan hasil hutan non kayu. Potensi hutan rakyat berupa kayu dengan
luasan tertentu yang dimiliki masyarakat melalui wadah kelompok tani hutan
dengan kegiatan inventarisasi dan pemetaan, akan mampu berkembang
menjadi kawasan pengelolaan hutan rakyat kolektif. Sentuhan kalkulasi
yang sederhana dapat menjadikan hutan rakyat dapat dikelola secara
lestari (Awang, 2009).
Perhitungan etat yang menggambarkan jumlah tebangan kayu yang
diperbolehkan dalam satu tahun, dapat menjadi acuan bagi organisasi
kelompok tani hutan dalam mengelola hutan rakyat secara kolektif. Etat
tebangan secara kolektif ini dapat berguna untuk mengontrol jumlah
tebangan kayu di masing-masing keluarga. Sesungguhnya pengetahuan
tentang pengaturan hasil hutan rakyat dapat diterapkan dalam rencana
kelola hutan rakyat di desa-desa kajian. Tentu saja juga pengaturan hasil
tersebut menyangkut hasil hutan kayu, jasa rekreasi, peternakan, dan bisnis
gula kelapa (Awang, 2009).
18
6. Batas Kawasan Hutan
Adanya batas kawasan hutan yang tetap sangat penting, sebab
kalau tidak demikian kegiatan membangun hutan akan sangat terganggu
karena masa berproduksi hutan bersifat jangka panjang dan
pengelolaannya tidak dapat diatur untuk cepat mengalami perubahan
dalam waktu singkat atau mendadak. Misalnya, kalau tidak ada batas
kawasan hutan yang tetap, pekerjaan membangun hutan dapat sia-sia
kalau sebelum waktu masak tebang batas kawasan hutannya dilanggar
untuk kepentingan pertanian, peternakan, dan perkebunan (Simon, 2010).
Awal kegiatan pengelolaan hutan, seringkali penentuan batas
kawasan hutan tidak hanya bersaing dengan tiga macam kegiatan
pengelolaan lahan lainnya itu. Penentuan kawasan hutan juga berhadapan
dengan hak ulayat atau nilai-nilai adat yang berkaitan dengan penguasaan
lahan. Kegiatan pertanian, peternakan, dan perkebunan tidak terlepas
dengan hak individu masyarakat berkaitan dengan pemilikan lahan (land
tenure) (Simon, 2010).
7. Sistem Informasi Geografis (SIG)
a. Pengertian SIG
SIG atau Geographical Information Systems (GIS) merupakan
sistem informasi yang digunakan untuk memasukan, menyimpan,
menelusuri, memanipulasi, analisis, dan keluaran data bereferensi
19
geografik atau data geospatial untuk pengambilan keputusan. Sistem terdiri
dari pengambilan, seleksi (sorting), pemeriksaan (checking), pengintegrasi,
analisa, dan penayangan (displaying) data mengenai bumi (earth) yang
mempunyai referensi spasial. Pada dasarnya, SIG menyertakan basis data
bereferensi spasial dan aplikasi-aplikasi perangkat lunak. Data spasial
menggambarkan lokasi spasial objek. Gambaran data diwakili oleh unsur
titik, garis, dan area (polygon) (Atmadilaga. A. H, 2010).
b. Kemampuan SIG
Definisi-definisi tersebut menjelaskan bahwa secara umum SIG
memiliki kemampuan dalam menangani data yang bereferensi geografis
yang dapat dijelaskan secara sederhana pada gambar di bawah ini:
Pemasukan
Data Manipulasi danPengelompokan
Data Keluaran Data
Gambar 4. Bagan Arus Sistem Kerja dalam SIG (Prahasta, 2002)
20
c. Pemasukan Data
Data input (pemasukan data) memiliki fungsi dalam mengkonversi
dan mentransformasikan ke dalam format yang dapat digunakan oleh SIG.
Bentuk data dalam SIG dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu data
raster dan data vektor. Data raster adalah data dimana semua obyek
disajikan secara sekuensial pada kolom dan baris dalam bentuk sel-sel atau
yang sering disebut sebagai pixel (picture element). Masing-masing sel
mewakili suatu areal yang berbentuk segi empat dan umumnya bujur
sangkar. Dalam model ini, setiap objek baik yang berbentuk titik, garis dan
polygon semuanya disajikan dalam bentuk sel (titik). Setiap sel memiliki
koordinat dan informasi (Prahasta, 2002).
d. Manajemen Data
Manajemen data sebagai suatu kegiatan mengorganisasikan baik
data spasial maupun data atribut ke dalam sebuah basis data sedemikan
rupa sehingga mudah dipanggil, diupdate dan diedit. Setelah data diinput
ke dalam SIG, data tersebut dikoreksi dan diperbaiki serta dibuat topologi,
yaitu menghubungkan data spasial dan data atribut sebelum disimpan
untuk dianalisis (Prahasta, 2002).
e. Manipulasi dan Pengelompokan Data
Fungsi manipulasi dan analisis data adalah memungkinkan
pengguna data melakukan berbagai jenis kegiatan, seperti mengubah
bentuk data, melakukan perbaikan data, melakukan penampalan (overlay)
data dan perhitungan aritmetik atau generalisasi tentang informasi yang
21
diperoleh. Pada dasarnya, manipulasi dan analisis data yang terdapat
dalam SIG, diantaranya yaitu klasifikasi dan pengumpulan kembali sifat
data, perbaikan geometri, rotasi, pemberian skala, kombinasi dan konversi,
penempatan dan pembagian garis, konversi struktur data, analisis ruang
dan hubungan secara statistik, pengukuran jarak dan arah, analisis statistic.
Manipulasi merupakan kegiatan menentukan informasi yang dapat
dihasilkan oleh SIG serta melakukan manipulasi dan permodelan untuk
menghasilkan informasi yang diharapkan (Widjoyo dalam Bagja (2000)).
f. Keluaran Data
Merupakan suatu prosedur dimana informasi SIG dipresentasikan
dalam bentuk yang dinginkan oleh user atau pengguna. Keluaran data
terdiri atas: hardcopy, softcopy, dan elektronik (Atmadilaga. A. H, 2010).
g. Aplikasi SIG
Aplikasi SIG sangat menarik untuk digunakan dalam berbagai bidang
ilmu, yaitu SIG sangat efektif, dapat digunakan sebagai alat bantu, mampu
menguraikan unsur-unsur yang terdapat di permukaan bumi ke dalam
bentuk beberapa layer atau coverage data spasial, memiliki kemampuan
yang sangat baik dalam memvisualisasikan data spasial dan bentuk atribut-
atributnya serta dapat menurunkan data-data secara otomatis tanpa
keharusan untuk melakukan interpretasi secara manual (Prahasta, 2002).
22
8. Jenis-jenis Tanah Menurut Sistem Pusat Penelitian Tanah
Nama-nama tanah dalam tingkat jenis dan macam tanah dalam
sistem Pusat Penelitian Tanah yang disempurnakan sangat mirip dengan
sistem FAO/UNESCO (Tabel 1). Walapun demikian nama-nama lama yang
sudah terkenal tetap dipertahankan, tetapi menggunakan definisi-definisi
baru (Hardjowigeno, S. 2003).
Nama-nama tanah dan definisinya yang disederhanakan menurut
Hardjowigeno, S. (2003):
Organosol : Tanah organik (gambut yang tebalnya lebih dari 50 cm.
Litosol : Tanah mineral yang tebalnya 20 cm atau kurang. Di bawahnya
terdapat batuan keras yang padu.
Rendzina : Tanah dengan epipedon mollik (warna gelap, kandungan
bahanorganik lebih 1 %, kejenuhan basa lebih 50 %,
dibawahnya terdiri dari batuan kapur.
Grumusol : Tanah dengan kadar liat lebih dari 30 % bersifat mengembang
dan mengkerut. Kalau musim kering tanah keras dan retak-
retak karena mengkerut, kalau basah lengket (mengembang).
Gleisol : Tanah yang selalu jenuh air sehingga berwarna kelabu atau
menunjukkan sifat-sifat hidromorfik lain.
Aluvial : Tanah berasal dari endapan baru, berlapis-lapis, bahan organik
jumlahnya berubah tidak teratur dengan kedalaman. Hanya
terdapat epipedon ochrik, histik atau sulfurik, kandungan pasir
kurang dari 60 %.
23
Arenosol : Tanah berstektur kasar dari bahan albik yang terdapat pada
kedalaman sekurang-kurangnya 50 cm dari permukaan atau
memperlihatkan ciri-ciri mirip horison argilik, kambik atau
oksik, tetapi tidak memenuhi syarat karena tekstur teralu
kasar. Tidak mempunyai horison penciri kecuali epipedon
ochrik.
Andosol : Tanah-tanah yang umumnya berwarna hitam (epipedon mollik
atau umbrik dan mempunyai horison kambik; bulk density)
kerapatan lindak kurang dari 0.85 gr/cm3; banyak
mengandung bahan amorf, atau lebih dari 60 % terdiri dari abu
vuklanik vitrik, cinders, atau bahan pryroklasik lain.
Latosol : Tanah dengan kadar liat lebih dari 60 %, remah sampai
gumpal, gembur,warna seragam dengan batas-batas horison
yang kabur, solum dalam (lebih dari 150 cm),kejenuhan basa
kurang dari 50 %, umumnya mempunyai epipedon umbrik
dan horison kambik.
Brunizem : Seperti Latosol, tetapi kejenuhan basa lebih dari 50 %.
Kambisol : Tanah dengan horison kambik, atau epipedon umbrik, atau
mollik. Tidak ada gejala-gejala hidromorfik (pengaruh air).
Nitosol : Tanah dengan penumbunan liat (horison argilik). Dari horison
penimbunan liat maksimum ke horison-horison dibawahnya,
kadar liat kurang dari 20 %. Mempunyai sifat ortosik
(Kapasitas Tukar Kation kurang dari 24 me/100 gr liat).
24
Podsolik : Tanah dengan horison penimbunan liat (horison argilik), dan
kejenuhan basa kurang dari 50 %. Tidak mempunyai horison
albik.
Mediteran : Seperti tanah Podsolik mempunyai horison argilik tetapi
kejenuhan basa lebih dari 50 %.
Planosol : Tanah dengan horison albik yang terletak di atas horison
dengan permeabilitas lambat (misalnya horison argilik atau
natrik yang memperlihatkan perubahan tekstur nyata, adanya
liat berat atau pragipan, dan memperlihatkan ciri-ciri
hidromorfik sekurang-kurangnya pada sebagaian dari horison
albik.
Podsol : Tanah hosison penimbunan besi, Al oksida dan bahan organik
(horison spodik). Mempunyai horison albik.
Oksisol : Tanah dengan pelapukan lanjut dan mempunyai horison oksik,
yaitu horison dengan kandungan mineral mudah lapuk
rendah, fraksi liat dengan aktifitas rendah, Kapasitas Tukar
Kation rendah (kurang dari 16 me/100 gr liat). Tanah ini juga
mempunyai batas-batas horison yang tidak jelas.
25
Tabel 1. Padanan Nama Tanah menurut berbagai Sistem Klasifikasi (Hardjowigeno, S. 2003)
No. Sistem Dudal-
Soepraptohardjo
(19561961).
Modifikasi
1978/1982
(PPT)
FAO/UNESCO
(1974)
USDA Soil
Taxonomy
(1975)
1. Tanah Aluvial Tanah Aluvial Fluvisol Entisol
2. Andosol Andosol Andosol Inceptisol
3. Brown Forest Soil Kambisol Cambisol Andisol
4. Grumusol Grumusol Vertisol Inceptisol
5. Latosol Kambisol
Latosol
Lateritik
Cambisol
Nitosol
Ferralsol
Vertisol
Inceptisol
Ultisol
6. Litosol Litosol Litosol Entisol
7. Mediteran Mediteran Luvisol Alfisol/Inceptisol
8. Organosol Organosol Histosol Histosol
9. Podsol Podsol Podsol Spodosol
10. Podsol Merah Kuning Podsolik Acrisol Ultisol
11. Podsol Coklat Kambisol Cambisol Inceptisol
12. Podsol Coklat Podsolik Acrisol Ultisol
Kekelabuan
13. Regosol Regosol Regosol Entisol/Inceptisol
14. Renzina Renzina Renzina Rendoll
15. - Ranker Ranker -
16. Tanah-tanah Berglei
Glei Humus
Glei Humus Rendah
Hidromorf
Kelabu
Aluvial Hidromorf
Gleisol
Gleisol Humik
Gleisol
Podsolik
Gleiik
Gleisol Hidrik
Gleysol
Gleyic
Acrisol
Aquic Sub ordo
Inceptisol (Aquept)
Inceptisol (Aquept)
Ultisol
(Aquult)
Inceptisol (Aquept)
17. Planosol Planosol Planosol Inceptisol (Aquept)
26
9. Kelompok Tani Hutan
a. Kelompok Tani
Definisi Kelompok menurut para ahli, yaitu:
1) Kelompok adalah sekumpulan orang yang mempunyai tujuan bersama,
yang berinteraksi satu sama lain untuk mencapai tujuan bersama,
mengenal satu sama lainnya, dan memandang mereka sebagai bagian
dari kelompok tersebut (Mulyana, 2000).
2) Kelompok tani adalah petani yang dibentuk atas dasar kesamaan
kepentingan kesamaan kondisi lingkungan (sosial, ekonomi,
sumberdaya) keakraban dan keserasian yang dipimpin oleh seorang
ketua (Trimo, 2006).
3) Kelompok Tani menurut Mardikanto (1993), diartikan sebagai kumpulan
orang-orang petani dewasa (pria/wanita) maupun petani taruna
(pemuda/pemudi) yang terikat secara formal dalam suatu wilayah
keluarga atas dasar keserasian dan kebutuhan bersama serta berada di
lingkungan pengaruh dan pimpinan seorang kontak tani.
Menurut Suhardiyono (1992), kelompok tani biasanya dipimpin oleh
seorang ketua kelompok yang dipilih atas dasar musyawarah dan mufakat
diantara anggota kelompok tani. Pada waktu pemilihan ketua kelompok tani
sekaligus dipilih kelengkapan struktur organisasi kelompot tani, yaitu
sekretaris kelompok, bendahara kelompok, serta seksi-seksi yang
mendukung kegiatan kelompoknya. Seksi-seksi yang ada disesuaikan
dengan tingkat dan volume kegiatan yang akan dilakukan. Masing-masing
27
pengurus dan anggota kelompok tani harus memiliki tugas dan wewenang
serta tanggung jawab yang jelas dan dimengerti oleh setiap pemegang
tugasnya. Selain itu juga kelompok tani harus memiliki dan menegakkan
peraturan-peraturan yang berlaku bagi setiap kelompoknya dengan sanksi-
sanksi yang jelas dan tegas. Biasanya jumlah anggota kelompok tani
berkisar antara 10-25 orang anggota.
Menurut Samsudin (1993), suatu kelompok sosial seperti halnya
kelompok tani, selalu mempunyai apa yang disebut external structure atau
socio group dan internal structure atau psycho group. External structure
dalam kelompok tani adalah dinamika kelompok, yaitu aktivitas untuk
menanggapi tugas yang timbul karena adanya tantangan lingkungan dan
tantangan kebutuhan, antara lain termasuk tuntutan meningkatkan
produktivitas usahatani, sedang internal structure adalah menyangkut
norma atau pranata dan kewajiban dalam mencapai prestasi kelompok.
Internal structure akan sekaligus merupakan dasar solidaritas kelompok
yang timbul dari adanya kesadaran setiap anggota kelompok tani yang
bersangkutan.
b. Dinamika Kelompok Tani
Menurut Suhardiyono (1992), dinamika kelompok tani adalah
gerakan bersama yang dilakukan oleh anggota kelompok tani secara
serentak dan bersama-sama dalam melaksanakan seluruh kegiatan
kelompok tani dalam mencapai tujuannya, yaitu peningkatan hasil produksi
dan mutu yang gilirannya nanti akan meningkatkan pendapatan mereka.
28
Dinamika kelompok tani mencakup seluruh kegiatan, meliputi inisiatif, daya
kreatif dan tindakan nyata yang dilakukan oleh pengurus dan anggota
kelompok tani dalam melaksanakan rencana kerja kelompoknya yang telah
disepakati bersama.Untuk melakukan analisis terhadap Dinamika
Kelompok, pada hakekatnya dapat dilalukan melalui dua macam
pendekatan, yakni: (1) Pendekatan sosiologis, yaitu analisis dinamika
kelompok melalui analisis terhadap proses sistem sosial dan (2)
Pendekatan psiko-sosial, yaitu analisis dinamika kelompok melalui analisis
terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi dinamika kelompok itu
sendiri.Pendekatan seperti ini, lebih sering diterapkan pada kelompok-
kelompok-kelompok tugas. Meskipun demikian, karena banyak kelompok
(seperti halnya kelompok tani) masih merupakan bentuk peralihan dari
kelompok sosial ke kelompok tugas, di dalam analisis dinamika
kelompoknya seringkali masih dilakukan penggabungan terhadap kedua
macam pendekatan tersebut (Mardikanto, 1996).
c. Kelompok Kerja Paguyuban
Menurut Marsali (2011), mekanisme gemeinschaft bekerja melalui
penjati dirian yang kuat dari masing-masing anggota terhadap semua
anggota komunitas yang lain. Seseorang merasakan bahwa dirinya menjadi
satu dengan komunitas desanya. Tidak ada lagi orang per orang,yang ada
adalah seseorang yang merupakan bagian dari komunitas. Jika setiap
orang punya rasa identifikasi komunitas yang sangat kuat dalam jaringan
kegiatan komunitas, dan jika dia merasa bahwa nasib dirinya adalah nasib
29
komunitasnya juga, maka dia akan menjalankan kegiatan untuk menjamin
kemakmuran bersama. Di desa-desa, kita mengenal satu pameo populer
untuk menyatakan hal tersebut, yaitu”satu untuk semua, semua untuk satu”
atau “dari kita, oleh kita, untuk kita”. Situasi gemeinschaft (guyub) yang
seperti ini biasanya hidup dalam komunitas-komunitas kecil yang tertutup
dan terisolasi dari dunia luar, dimana semua anggota saling kenal mengenal
satu sama lain dalam waktu yang lama. Mereka telah terikat kuat satu sama
lain, dan juga terikat dengan institusi-institusi yang hidup dalam komunitas.
Hal seperti ini masih dapat ditemui pada masyarakat desa Dayak Tradisonal
di hutan-hutan pedalaman Kalimantan. Namun situasi seperti tentu itu akan
luntur bila desa tumbuh menjadi makin modern, makin besar, dan
penduduknya makin heterogen dan mobile, dan yang lebih penting lagi
adalah kalau desa tersebut terkena pengaruh ekonomi pasar (market).
10. Kelompok Kerja
Kelompok kerja adalah sekumpulan orang, terdiri atas dua anggota
atau lebih yang mempunyai tujuan yang sama, kepentingan sama, saling
bekerjasama, saling berhubungan, memiliki rasa ikut bertanggung jawab,
dan saling tergantung satu dengan lainnya.Kelompok kerja adalah
kelompok yang terutama berinteraksi untuk membagi informasi dan
keputusan untuk membantu tiap anggota dalam bidang tanggungjawabnya.
Tim kerja adalah kelompok yang upaya-upaya individunya menghasilkan
suatu kinerja yang lebih besar daripada jumlah dari masukan-masukan
30
individual.Klasifikasi kelompok yaitu: (a) kelompok formal, suatu kelompok
kerja yang ditandai dengan adanya struktur organisasi; (b) kelompok
komando, soeang manajer dan bawahan-bawaahan langsungnya; (c)
kelompok tugas, mereka yang bekerja bersama-sama untuk
menyelesaikan suatu tugas pekerjaan; (d) kelompok informal, suatu
kelompok yang tidak terstruktur secara formal muncul sebagai tanggapan
terhadap situasi sosial; (e) kelompok kepentingan, mereka yang bekerja
bersama-sama untuk mencapai sasaran khusus yang menjadi kepedulian
dari tiap anggotanya, dan (f) kelompok persahabatan, mereka yang
bergabung bersama-sama karena mereka berbagi satu karakteristik atau
lebih (elloppedia.blogspot.com/2010/09/kelompok-kerja.html).
Gambar 5. Tahap Pertumbuhan Kelompok (Stage of Group Development)
(ellopedia.blogspot.com, 2010).
Tahap pertumbuhan kelompok (stage of group development), yaitu:
(a) pembentukan, ketidakpastian yang cukup tinggi dalam tujuan, struktur,
perilaku, dan kepemimpinan; (b) konflik, perbedaan ide, cara kerja, nilai
31
dan perilaku; (c) kohesif, terciptanya hubungan yang dekat, komunikasi
dua arah, kelompok sepakat tentang harapan dan perilaku kelompok serta
suaasana menyenangkan, dan (d) produktif, semua energy diarahkan
untuk pencapaian tujuan kelompok. Tahap pertumbuhan kelompok (stage
of group development) dapat dilihat pada Gambar 4 (elloppedia.blogspot.
com/2010/09/kelompok-kerja.html).
11. Sistem Tenur pada Pemanfaatan Kawasan Hutan
Menurut Dassir (2010), kawasan hutan di Sub DAS Minraleng Hulu
banyak dimanfaatkan sebagai lahan untuk memeroleh hijauan ternak
kambing dan sapi, tempat berladang, tempat memanen lebah madu, tempat
mengambil kayu bakar untuk kebutuhan rumah tangga, mengambil nira
aren untuk pembuatan gula merah, dan tempat mengambil kayu untuk
pagar kebun dan sawah. Tenurial pemanfaatan kawasan hutan untuk
berbagai kegiatan yaitu:
a. Sistem memanen lebah madu tenurialnya secara individu.
b. Penggembalaan ternak sapi pada padang rumput di kawasan hutan
secara dilepas ataupun sebagai lahan memungut pakan hijauan ternak.
c. Areal berladang.
d. Pemungutan nira aren.
e. Pemungutan kayu bakar dan kayu pagar untuk kebun, ladang, dan
sawah.
f. Tenur sumberdaya air.
32
Tabel 2. Fungsi dan Lokasi Penerapan Tenur dalam Pengelolaan Lahan (Dassir, 2010)
Tenurial pengelolaan
lahan
No Nama
Tenurial Fungsi Tenurial
Lokasi Penerapan
Tenurial
1. Ma’dumme (Ronda kelompok)
pengendalian hama babi & monyet pada kelompok peladang/ petani sawah
Ladang, sawah
2. Massaro - kekurangan tenaga kerja pemanen padi, kemiri, dan cengkeh)
- Individu-komunal untuk subsistensi pangan antar distrik/masyarakat
Sawah, hutan kemiri dan kebun cengkeh
3. Ma’deppa - kepadatan penduduk rendah
- pencurian kemiri
4. Mallolo - Peremajaan kemiri - Keberlangsungan hak
kepemilikan lahan
Hutan
Kemiri
5. Pemagaran
lahan
- Pembuatan pagar keliling lahan
- Tanda batas areal pengelolaan
Ladang,
kebun,
sawah
6. Persiapan
lahan
- Pembersihan lahan - Pengolahan tanah
Ladang,
kebun,
sawah
33
Tabel 3. Fungsi dan Lokasi Penerapan Tenur dalam Pemilikan Lahan (Dassir, 2010)
Tenurial
Pemilikan
Lahan
No. Nama
Tenurial
Fungsi Tenurial
Lokasi
Penerapan
Tenurial
1. Lakara/
Ta’tang
- Penanda kepemilikan - Pertambahan
penduduk
- Ladang - Sawah - Kawasan
hutan
2. Sanra
(sawah)
- Distribusi lahan - Kebutuhan uang tunai
pemilik lahan
- Sawah
Sanra
(kemiri)
- Distribusi lahan - Kebutuhan uang tunai
pemilik lahan
- Kemiri
3. Teseng
(sawah)
- Distribusi lahan - Patron-klien
- Sawah
4. Te'seng (kemiri)
- Distribusi lahan - Patron-klien
- Kemiri
5. Paje - Usaha komoditas komersial
- Distribusi dan intensifikasi lahan subur antar petani
- Sawah
12. Analisis Biaya dan Manfaat
Dasar utama discount rate adalah bahwa individu atau masyarakat
yang menghargai nilai sekarang lebih tinggi dibandingkan dengan nilai yang
akan datang dan masalah ketidakpastian terhadap peristiwa yang akan
datang menyebabkan nilai sekarang lebih dihargai. Apabila biaya dan
pendapatan dari tahun ke tahun selama investasi telah disesuaikan dengan
nilai saat ini (present value) maka dapat diambil keputusan apakah suatu
investasi ditolak atau diterima (Soemitro, 2005).
34
Menurut Gray dkk., (1985), analisis finansial melihat suatu proyek
atau kegiatan dari sudut pandang individu pemilik, sehingga dalam menilai
manfaat maupun biaya hanya dari sudut pandang individu atau swasta yang
mempunyai kepentingan secara langsung dalam proyek tersebut. Suatu
perhitungan dikatakan analisis ekonomi atau perhitungan sosial bila yang
berkepentingan langsung dalam benefit dan biaya adalah pemerintah atau
masyarakat secara keseluruhan. Nilai dari setiap barang/produk, faktor atau
sumberdaya yang akan digunakan atau dihasilkan dinilai berdasarkan
kontribusinya terhadap kemakmuran Negara atau masyarakat.
Kelayakan finansial dan ekonomi suatu kegiatan ditunjukkan oleh
nilai NPV (Net Present Value), B/C (Benefit Cost ratio) atau IRR (Internal
Rate of Return). Nilai NPV, B/C dan IRR sesungguhnya saling
berhubungan. Suatu kegiatan dikatakan layak secara finansial
(menguntungkan bagi perusahaan) bila nilai NPV positif. Bila NPV positif
artinya B/C lebih besar dari satu dan nilai IRR lebih besar dari tingkat suku
bunga diskonto (discount rate) yang dipergunakan dalam perhitungan nilai
NPV sehingga salah satu dari ketiga nilai tersebut dapat dipergunakan
untuk mengambil keputusan apakah suatu kegiatan akan menguntungkan
layak) atau tidak secara finansial (Gray dkk., 1985).
B = Manfaat (Benefit) C = Biaya (Cost)
t
n
t i
CtBtNPV
)1(0
(1)
Keterangan:
35
t = Rotasi i = Tingkat suku bunga diskonto (Discount rate)
Benefit Cost ratio (B/C) adalah perbandingan antara benefit bersih
dari tahun ke tahun bersangkutan yang telah di-presenvalue-kan yang
bernilai negatif. Untuk menghitung indeks B/C terlebih dahulu dihitung
(Bt-Ct)/(1+i)t untuk setiap tahun t. Dengan demikian, B/C merupakan
perbandingan antara jumlah present value yang positif (sebagai pembilang)
dengan jumlah present value yang negatif (sebagai penyebut). Kriteria ini
memberikan pedoman bahwa proyek yang akan dipilih apabila B/C>1. Juga
sebaliknya, bila suatu proyek mempunyai B/C <1, maka tidak akan dipilih.
Secara umum rumus B/C (Gray dkk.,1985), dituliskan sebagai berikut:
B/C=
n
ltt
n
ltt
i
Ct
i
Bt
)1(
)1(
Gray dkk., (1985) menerangkan bahwa jika ternyata Internal Rate of
Return (IRR), suatu proyek sama dengan i yang berlaku sebagai social
discount rate, maka NPV proyek itu adalah nol. Jika IRR lebih kecil dari
pada social discount rate, berarti NPV lebih kecil dari pada nol. Oleh karena
itu, nilai IRR yang lebih besar atau sama dengan social discount rate
menyatakan tanda ‘go’ untuk suatu proyek, sedang IRR kurang dari social
discount rate menyatakan tanda ‘ no go’ untuk suatu proyek. Rumus IRR
dapat dituliskan sebagai berikut:
(2)
36
Keterangan :
i’ = Nilai percobaan pertama untuk discount rate i” = Nilai percobaan kedua untuk discount rate NPV’ = Nilai percobaan pertama untuk NPV NPV” = Nilai percobaan kedua untuk NPV
Untuk menghitung pendapatan di akhir rotasi (Net Return at The End
of Rotation) digunakan rumus NRER yang dituliskan sebagai berikut:
t
j
jtiCjIjNRER0
)1)((
Keterangan : Ij = Penerimaan pada tahun ke-j Cj = Pengeluaran pada tahun ke-j t = Rotasi j = Tahun Transaksi Penerimaan/Pengeluaran i = Suku bunga
B. Kerangka Pemikiran
Salah satu kabupaten yang telah diterbitkan IUPHHK-HTR oleh
Bupati adalah Kabupaten Maros, dimana berdasarkan Keputusan Menteri
Kehutanan nomor SK.372/Menhut-VI/2008 tanggal 8 Agustus 2008,
penetapan pencadangan areal HTR di Kabupaten Maros seluas ± 8.580 ha,
dan KTH yang telah memohon IUPHHK-HTR sebanyak 4 KTH dengan luas
± 433 ha. IUPHHK-HTR yang telah diterbitkan sebanyak 12 IUPHHK-HTR
perorangan berasal dari KTH Pakkaraengan Indah di Desa Bonto Matinggi
)'"("'
'ii
NPVNPV
NPViIRR
(4)
(3)
(3)
37
Kecamatan Tompobulu dengan luas ± 121 ha, sedang tiga KTH yang
belum diterbitkan IUPHHK-HTR yaitu: (1) KTH Bangkit Jaya di Desa Bonto
Manai Kecamatan Tompobulu; (2) KTH Tunas Harapan di Desa Cenrana
Kecamatan Camba, dan (3) KTH Bukit Hijau di Desa Cenrana Kecamatan
Camba (BP2HP, 2012).
Penjelasan dan data mengenai proses perizinan IUPHHK-HTR
usulan KTH Bukit Hijau Dusun Holiang Desa Cenrana Kecamatan Camba
Kabupaten Maros di Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Maros,
di Kantor Desa Cenrana, dan KTH Bukit Indah di Dusun Holiang,
bagaimana kelembagaan dan bentuk pengelolaan HTR yang akan
dilaksanakan oleh KTH jika IUPHHK-HTR diterbitkan oleh Bupati Maros,
dan mengumpulkan data untuk mengetahui bentuk pengelolaan HTR yang
layak diterapkan di areal HTR tersebut serta analisis biaya dan manfaat
dalam pengelolaan HTR. Dalam pelaksanaan pengelolaan areal HTR,
diperlukan unit manajemen HTR guna kelestarian produksi hasil hutan
sesuai kesepakatan dan tujuan oleh anggota KTH. Gambaran secara rinci
kerangka pemikiran penelitian ini disajikan pada Gambar 6.
38
Gambar 6. Kerangka Pemikiran Penelitian
KELOMPOK KERJA
ANALISIS BIAYA DAN MANFAAT
ATURAN/NORMA KTH
PENGATURAN HASIL HUTAN
PENATAAN AREAL/ PEMBAGIAN HAK KELOLA
KERJASAMA PENGELOLAAN DAN
PENYAKAPAN LAHAN
PROGRAM HTR (PERMENHUT NO.
P.55/MENHUT-II/2011)
HUTAN NEGARA/ HUTAN PRODUKSI
AREAL PENCADANGAN HTR
SOSIAL EKONOMI
- MATA PENCAHARIAN - SISTEM TENUR - TEKNOLOGI WANA TANI
KELOMPOK TANI HUTAN BUKIT HIJAU
PERORANGAN
UNIT MANAJEMEN HUTAN TANAMAN RAKYAT BERBASIS KELOMPOK KERJA DALAM KELOMPOK TANI HUTAN
BUKIT HIJAU
BAB III
METODE PENELITIAN
A. WAKTU DAN LOKASI PENELITIAN
Penelitian dilakukan di Desa Cenrana Kecamatan Camba
Kabupaten Maros Provinsi Sulawesi Selatan, mulai awal Nopember 2012
sampai akhir Januari 2013.
B. TEKNIK PENGUMPULAN DATA DAN JENIS DATA
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri atas data primer
dan data sekunder (Tabel 4). Data primer diperoleh melalui wawancara,
focus group discussion (FGD), dan survey. Sedang data sekunder diperoleh
melalui informasi penunjang dari data dan laporan dari instansi BMKG,
BPS, Kehutanan, Citra Satelit, Kantor Desa, hasil kajian pustaka, hasil
penelitian, kebijakan pemerintah maupun dokumentasi atau laporan-
laporan relevan yang didapatkan melalui internet.
40
1. Wawancara
a. Wawancara di Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Maros
Wawancara pertama dilakukan di Kantor Dinas Kehutanan dan
Perkebunan Kabupaten Maros. Informan dari Dinas Kehutanan dan
Perkebunan Kabupaten Maros sebanyak dua orang, yaitu Kepala Bidang
Pengusahaan Hutan dan Pendamping HTR. Data primer yang diperoleh
dari hasil wawancara, yaitu informasi permasalahan proses perizinan
IUPHHK-HTR di Kabupaten Maros dan khususnya KTH Bukit Hijau.
Panduan pertanyaan sebagai pedoman wawancara di Dinas Kehutanan
dan Perkebunan Kabupaten Maros dapat di lihat pada Lampiran 1.
b. Wawancara di Dusun Holiang Desa Cenrana Kecamatan Camba Kabupaten Maros
Wawancara kedua dilakukan di Dusun Holiang, Desa Cenrana
Kecamatan Camba Kabupaten Maros. Informan kunci sebanyak sepuluh
orang dari pemohon IUPHHK-HTR yang merupakan orang terlibat langsung
dengan program HTR. Data primer yang diperoleh dari hasil wawancara di
Dusun Holiang, Desa Cenrana, Kecamatan Camba, Kabupaten Maros,
yaitu: (1) data sosial ekonomi masyarakat di Dusun Holiang Desa Cenrana
Kecamatan Camba, menyangkut mata pencaharian, sistem tenur dan
teknologi wanatani ; (2) kelembagaan KTH Bukit Hijau, menyangkut struktur
organisasi KTH bukit Hijau dan aturan internal kelompok alam penyakapan
lahan dan pengelolaan lahan, dan (3) proses perizinan IUPHHK-HTR KTH
Bukit Hijau. Panduan pertanyaan sebagai pedoman wawancara di Dusun
41
Holiang Desa Cenrana, Kecamatan Camba Kabupaten Maros dapat dilihat
pada Lampiran 2.
c. Wawancara dengan pihak Industri PT. Panca Usaha Palopo Plywood (PT. Panply) di Kabupaten Luwu
Wawancara dilakukan di industri PT. PT. Panca Usaha Palopo
Plywood di Kabupaten Luwu Desa Bua Kabupaten Luwu. Informan kunci
sebanyak satu orang yaitu Manager Tata Usaha Kayu yang merupakan
orang mengurusi suplay bahan baku yang berasal dari hutan rakyat. Data
primer yang diperoleh dari hasil wawancara dengan pihak industri, yaitu: (1)
kebutuhan bahan baku yang berasal dari kayu rakyat (hutan hak); (2) harga
kayu, dan (3) tatacara pembelian kayu rakyat. Panduan pertanyaan sebagai
pedoman wawancara dengan pihak industri PT. Panply dapat dilihat pada
Lampiran 3.
2. Focus Group Discussion
Jumlah peserta FGD sebanyak empat belas orang yang terdiri atas:
(a) sepuluh orang pemohon IUPHHK-HTR; (b) Kepala Desa Cenrana; (c)
fasilitator; (d) pencatat, dan (e) peneliti. Tempat diadakan FGD dilakukan di
rumah Kepala Desa Cenrana dan diadakan pada malam hari pukul 19.00
s/d 21.00 Wita, karena siang hari peserta tidak dapat berkumpul/hadir
dengan alasan pada pagi sampai sore mereka bekerja di kebun/ladang.
Materi yang disampaikan pada FGD dapat dilihat pada Lampiran 4. Jenis
data primer yang diperoleh melalui FGD ini adalah sebagai berikut:
42
a. Sistem Kelembagaan Kelompok Kerja dalam KTH
b. Dukungan Lembaga KTH dalam proses perizinan HTR KTH Bukit Hijau
c. Batas Kawasan Hutan dan Pembagian Petak Kerja
d. Sistem Pengaturan Hasil Hutan (pemilihan jenis pohon dan pola tanam,
daur/rotasi tebang, dan sistem silvikultur).
3. Survey
Kegiatan survey dilakukan pada penelitian ini untuk memeroleh data
primer dari lapangan yang terdiri atas: (a) letak lokasi areal pencadangan
HTR; (b) letak calon areal IUPHHK-HTR, (c) batas zona penyangga, (d)
kondisi tutupan lahan dan jenis pohon yang dominan tumbuh di calon areal
IUPHHK-HTR KTH Bukit Hijau, dan (e) data koordinat lapangan
menyangkut letak lokasi hak kelola pemohon IUPHHK-HTR. Data lapangan
diolah menggunakan program ArcGis 10.1, Xtool Pro 9.2 dan DNRGPS
untuk pembagian petak dan unit manajemen HTR.
43
Tabel 4. Jenis dan Sumber Data Penelitian
Jenis Data Data Sumber Data
Sekunder Demografi Wilayah dan curah hujan tahunan
BMKG, BPS, Desa, Kecamatam dan Kabupaten
Data Kehutanan meliputi: peta pencadangan HTR, peta kawasan hutan, citra satelit, peta tanah, dan peta RBI
BP2HP, BPKH dan Dinas Kehutanan Provinsi Sulsel dan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Maros, Bakosurtanal
Peraturan perundang-undangan Internet Penelitian terdahulu yang terkait Internet dan perpustakaan
Primer Sosial ekonomi KTH HTR di Dusun Holiang, meliputi: a. Mata pencaharian b. Sistem tenur c. Teknologi wanatani
Focus Group Discussion (FGD) dan wawancara
Primer Norma atau aturan KTH, meliputi : a. Struktur organisasi KTH b. Aturan intern kelompok
Focus Group Discussion (FGD) dan wawancara
Primer Pembagian hak kelola dan unit manajemen HTR meliputi : a. Koordinat lokasi kerja hak kelola b. Lokasi zona penyangga c. Kondisi lapangan seperti tutupan lahan
dan jenis pohon yang dominan tumbuh di areal calon IUPHHK-HTR KTH Bukit Hijau
Survey
Primer Kerjasama pengelolaan dan penyakapan lahan, meliputi : a. Kerjasama pengelolaan lahan b. Kerjasama penyakapan lahan
Focus Group Discussion (FGD) dan wawancara
Primer Pengaturan Hasil Hutan Seumur, meliputi : a. Pemilihan jenis pohon dan pola tanam b. Rotasi tebang c. Sistem silvikultur yang diterapkan
Focus Group Discussion (FGD), dan wawancara
Sekunder Analisa biaya dan manfaat pengelolaan areal HTR, meliputi: a. Perhitungan Biaya Pembangunan HTR b. Perhitungan Biaya Budidaya Kacang
Tanah c. Perhitungan NPDP, NRER, NPV, BCR,
dan IRR
Internet dan perpustakaan
44
C. TEKNIK ANALISIS DATA
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian adalah
analisis deskriptif kualitatif, analisis kuantitatif, dan analisis data spatial.
Gambaran pelaksanaan masing-masing analisis data pada penelitian ini
diuraikan berikut ini.
1. Analisis Deskriptif Kualitatif
Data primer yang diperoleh dari hasil wawancara, FGD dan survei
lapangan selanjutnya ditabulasi untuk mendeskripsikan pengelolaan HTR
oleh KTH Bukit Hijau, menyangkut :
a. Karakteristik sosial ekonomi petani KTH Bukit Hijau, menyangkut
sistem tenurial, dan sistem teknologi wanatani
b. Proses perizinan hutan tanaman rakyat, terdiri atas: Kelembagaan
KTH Bukit Hijau, pemetaan partisipatif di calon areal IUPHHK-HTR
KTH Bukit Hijau, dan penutupan lahan di calon areal IUPHHK-HTR
KTH Bukit Hijau
c. Deskripsi Unit manajemen HTR berbasis kelompok kerja, terdiri
atas kerjasama KTH dalam pengelolaan lahan, kerjasama kelompok
kerja pada KTH Bukit Hijau dalam penyakapan lahan, penerapan
sistem tenure pada kelompok kerja dalam unit manajemen KTH Bukit
Hijau.
45
d. Pengaturan Hasil Hutan, terdiri atas: pemilihan jenis pohon, pola
tanam, dan sistem silvikultur yang akan diterapkan
2. Analisis Kuantitatif
Analisis biaya dan manfaat yang merupakan analisis kuantitatif pada
penelitian ini digunakan untuk mengetahui kelayakan pengelolaan HTR
dengan menghitung Nilai Pengembalian Dana Pinjaman (NPDP), Net
Return at The End of Rotation (NRER), Net Present Value (NPV), Internal
Rate of Return (IRR), dan Benefit Cost ratio (B/C). Kriteria pengelolaan HTR
dikatakan layak jika NPDP < pendapatan setelah dikurangi nilai pokok
pinjaman ditambah bunga pinjaman, perhitungan NRER untuk mengetahui
nilai pendapatan di akhir rotasi, NPV > 0, B/C > 1 dan IRR > i. Rumus yang
digunakan untuk menghitung kelayakan ekonomi pengelolaan HTR,
sebagai berikut:
a. Nilai Pengembalian Dana Pinjaman (NPDP)
t
j
jtiCjNPDP0
)1(
Keterangan : C j = Jumlah dana yang dipinjam pada tahun ke-j t = Rotasi i = Suku bunga pinjaman BLU P2H j = Tahun transaksi dana pinjaman berjalan
(5)
46
b. Net Return at The End of Rotation (NRER)
t
j
jtiCjIjNRER0
)1)((
Keterangan :
Ij = Penerimaan pada tahun ke-j Cj = Pengeluaran pada tahun ke-j t = Rotasi j = Tahun Transaksi Penerimaan/Pengeluaran i = Suku bunga
c. Net Present Value (NPV) Hutan Tanaman Rakyat
Keterangan :
HTB = Pendapatan dari Harga Tegakan Berdiri NPDP = Nilai Pengembalian Dana Pinjaman t = Rotasi i = Suku bunga pinjaman BLU P2H
d. Benefit/Cost ratio (B/C) Hutan Tanaman Rakyat (HTR)
Keterangan : HTB = Pendapatan dari Harga Tegakan Berdiri NPDP = Nilai Pengembalian Dana Pinjaman t = Rotasi i = Suku bunga pinjaman BLU P2H
)1()1()(
i
NPDP
i
HTBHTRNPV
tt
B/C (HTR)=
t
t
i
NPDP
i
HTB
)1(
)1(
(6)
(7)
47
e. Internal Rate of Return (IRR) Hutan Tanaman Rakyat (HTR)
Keterangan : FDP = Faktor Diskonto Positif NPVP = NPV Positif NPVN = NPV Negatif FDN = Faktor Diskonto Negatif 3. Analisis Spasial
Analisis spasial merupakan analisis relasi spasial antara obyek
spasial dengan atribut yang terdiri atas: (a) query; (b) reklasifikasi; (c)
membangun coverage baru (topology rebuilding); (d) tumpang-susun
(overlay), dan (e) analisis konektifitas. Proses analisis menggunakan
program ArcGis 10.1, program DNRGPS, dan ekstentesi ArcGis seperti
Xtool Pro 9.2, dan Bing Maps. Alat dan bahan yang digunakan untuk
analisis spasial dan fungsinya dapat dilihat pada Tabel 5.
)( FDPFDNNPVNNPVP
NPVPFDPIRR
(8)
48
Tabel 5. Alat dan Bahan Untuk Analisis Spasial
Alat dan Bahan Fungsi
A. Alat 1. GPS Garmin Montana Alat untuk mengambil posisi kooordinat
lapangan dan dokumentasi kondisi lapangan
2. Software ArcGis 10.1 Program untuk mengolah data spatial 3. Software DNRGPS Program untuk mengolah data spatial 4. Ekstensi Bing Maps Ekstensi untuk menampilkan citra
satelitsebagai bahan digitasi 5. Ekstensi Xtool Pro 9.2 Ekstensi untuk membantu proses kalkulasi
luas 6. Komputer Alat untuk menjalankan software yang
digunakan dalam penelitian B. Bahan
1. Peta Kawasan Hutan dan Konservasi Perairan Provinsi Sulawesi Selatan
Bahan untuk mengetahui batas-batas kawasan hutan dan rujukan pembagian hak kelola dan unit manajemen HTR
3. Citra Satelit Resolusi Sangat Tinggi
Bahan untuk mengetahui tutupan lahan khusus areal tidak produktif dan areal berhutan
4. Koordinat lapangan Bahan untuk mengetahui lokasi hak kelola dan batas zona penyangga
5. Peta RBI (Digital) Bahan untuk overlay posisi sungai, jalan, dan pemukiman
Data yang telah dianalisis dari hasil analisis spatial adalah sebagai
berikut:
a. Zona Penyangga
Penentuan areal zona penyangga pada calon areal HTR KTH Bukit
Hijau dilakukan melalui analisis spasial dengan menentukan batas kawasan
hutan lindung yang berbatasan dengan areal KTH Bukit Hijau di atas peta,
lalu proses buffer 500 m dari batas hutan lindung, seperti bagan arus pada
Gambar 7.
49
Gambar 7. Bagan Arus Analisis Penentuan Zona Penyangga
b. Pembagian Hak Kelola/Ta’tang
Pembagian hak kelola/ta’tang pada calon areal HTR KTH Bukit Hijau
dilakukan melalui analisis spatial dengan overlay areal tidak produktif areal
zona penyangga untuk mengetahui areal efektif yang dapat dikelola, lalu di
overlay dengan koordinat hak kelola masing-masing pemegang hak kelola
untuk menentukan dan membagi areal hak kelola seperti bagan arus pada
Gambar 8.
Gambar 8. Bagan Arus Analisis Pembagian Hak Kelola/Ta’tang
Areal Tidak Produktif
Zona Penyangga
Areal Efektif
Buffer
Batas Kawasan Hutan
Lindung
Zona Penyangga
Overlay, Erase
Overlay
Koordinat Hak Kelola
Areal Hak Kelola
KTH Bukit Hijau
50
c. Unit Manajemen HTR
Pembentukan unit manajemen HTR KTH Bukit Hijau dilakukan
dengan menggabungkan 2-3 areal hak kelola yang berada dalam satu
hamparan menjadi satu unit manajemen HTR, dimana 2-3 pemegang hak
kelola memiliki kedekatan kekerabatan/keluarga. Setiap unit manajemen
dibagi menjadi lima petak sesuai rotasi yang disepakati oleh pemegang hak
kelola (calon pemegang IUPHHK-HTR). Luas satu petak yang dikelola
minimal 1 ha dan dikelola 1-2 kepala keluarga (KK) yang ditunjuk oleh
pemegang hak kelola. Analisis pembentukan unit manajemen HTR KTH
Bukit Hijau, seperti bagan arus pada Gambar 9.
Gambar 9. Bagan Arus Pembentukan Unit Manajemen HTR
Hak Kelola
KTH Bukit Hijau
Unit Manajemen HTR
- Satu hamparan lahan
- Kedekatan kekerabatan
Unit Manajemen I
Unit Manajemen II
Unit Manajemen IV
Unit Manajemen III
5 Petak
5 Petak
5 Petak
5 Petak
BAB IV
GAMBARAN UMUM LOKASI CALON AREAL IUPHHK-HTR KTH BUKIT HIJAU
A. Kondisi Biofisik
1. Letak Geografis
Calon areal IUPHHK-HTR Perorangan yang akan dikelola oleh KTH
Bukit Hijau berdasarkan Peta Pertimbangan Teknis Areal IUPHHK-HTR
dari BP2HP Wilayah Makassar secara administratif terletak di Dusun
Holiang Desa Cenrana Kecamatan Camba, Kabupaten Maros, Provinsi
Sulawesi Selatan. Secara geografis areal KTH Bukit Hijau terletak pada
5˚0’10,056” LS sampai dengan 5˚0’57,268” LS dan 119˚51’35,044” BT
sampai dengan 119˚52’16,171” BT, dapat dilihat Lampiran 5.
2. Kawasan Hutan
Luas kawasan hutan di Kecamatan Camba Kabupaten Maros seluas
6.416 ha, terdiri atas Hutan Lindung (HL) seluas 342 ha, Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung seluas 3.246 ha, dan Hutan Produksi Terbatas
seluas 2.349 ha, seperti pada Tabel 6.
52
Tabel 6. Kawasan Hutan Kecamatan Camba Kabupaten Maros Provinsi Sulawesi Selatan (BPKH, 2012)
No. Fungsi Hutan Luas (ha)
1. Hutan Lindung 342 2. TN Bantimurung Bulusarauang 3.246 3. Hutan Produksi Terbatas 2.349
Jumlah 6.416
Letak kawasan hutan calon areal IUPHHK-HTR Perorangan KTH
Bukit Hijau di Dusun Holiang berjarak 58 km dari Ibukota Maros, akses jalan
sepanjang ± 52 km dapat ditempuh dengan kendaraan roda empat sampai
Dusun Panagi dan selanjutnya menuju Dusun Holiang ± 4 km dapat
ditempuh dengan kendaraan roda dua. Untuk sampai ke lokasi calon areal
HTR ± 2 km ditempuh dengan jalan kaki.
3. Penutupan Lahan
Penutupan lahan pada calon areal IUPHHK-HTR Perorangan KTH
Bukit Hijau berupa semak belukar dan padang rumput (areal tidak
produktif), sedangkan pada areal yang masih berhutan, pohon yang
dominan tumbuh adalah pohon kemiri, sengon, dan jenis rimba campuran
lainnya. Peta areal tidak produktif pada calon areal IUPHHK-HTR KTH
Bukit Hijau Dusun Holiang Desa Cenrana Kabupaten Maros, dapat dilihat
pada Lampiran 6.
53
4. Ketinggian dan Kelerengan
Ketinggian tempat dari permukaan laut (dpl) calon areal IUPHHK-
HTR Perorangan KTH Bukit Hijau berdasarkan hasil survey lapangan
berkisar 800 m s/d 1.000 m dpl dan kondisi kelerengan di calon areal
IUPHHK-HTR KTH Bukit Hijau adalah agak curam (15% - 25%) sampai
dengan curam (25% - 45%).
B. Kondisi Sosial Ekonomi
1. Letak Administrasi dan Luas Areal
Calon areal IUPHHK-HTR Perorangan KTH Bukit Hijau terletak pada
administrasi Kecamatan Camba dengan luas wilayah Kecamatan Camba
±145,36 km2, terdiri atas enam desa dan dua kelurahan. Desa Cenrana
dengan luas ± 41,97 km2 adalah desa terluas di Kecamatan Camba yaitu
28,87 % dari luas Kecamatan Camba (BPS, 2011).
2. Keadaan Penduduk
Jumlah penduduk di Kecamatan Camba pada tahun 2011 sebanyak
12.575 jiwa, terdiri atas 6.092 laki-laki dan 6.483 perempuan dengan
mayoritas mata pencarian khususnya di Desa Cenrana Dusun Holiang
adalah adalah bertani (BPS, 2011). Pada umumnya masyarakat di Dusun
54
Holiang bertani di kawasan hutan karena kurangnya lahan untuk bertani.
Tanaman pertanian yang mereka tanam adalah padi gogo dan memelihara
pohon kemiri yang sudah berumur 30-40 tahun. Kondisi masyarakat Dusun
Holiang merupakan penduduk termiskin secara struktural di Desa Cenrana,
hal ini dikarenakan wilayahnya hampir semuanya merupakan kawasan
hutan. Sehingga semua petani pada dusun tersebut merupakan petani
gurem. Untuk mencukupi ketersediaan pangan sepanjang tahun, maka
terpaksa menjadi buruh panen padi pada saat panen sawah di ibukota desa
atau tetangga desa, atau menjadi buruh panen cengkeh pada kabupaten
tetangga, yaitu kabupaten Bone.
3. Aksesibilitas Wilayah
Akses jalan sepanjang ± 8 km dari ibukota Kecamatan Camba dapat
ditempuh dengan kendaraan roda empat sampai Dusun Panagi. Dari Dusun
Panagi menuju Dusun Holiang dengan jarak ± 4 km dapat ditempuh dengan
kendaraan roda dua. Dan dari Dusun Holiang menuju areal calon IUPHHK-
HTR dengan jarak± 2 km ditempuh dengan jalan kaki melalui jalan hutan
yang dibuat oleh masyarakat menuju ladang padi di dalam kawasan hutan,
Peta Aksesibilitas KTH Bukit Hijau dapat dilihat pada Lampiran 7.
55
a. Jalan Desa
Jalan desa merupakan salah satu prasarana jalan yang sangat
berpengaruh pada kegiatan masyarakat di Desa Cenrana. Prasarana jalan
desa ini sebagian besar dimanfaatkan oleh masyarakat setempat sebagai
jalur transportasi untuk mengangkut hasil pertanian dan hasil hutan kayu
berupa bantalan kayu jati maupun bantalan kayu kemiri ataupun hasil hutan
bukan kayu berupa getah pinus. Kondisi jalan desa yang terdapat di Desa
Cenrana berupa jalan pengerasan pada tahap stabilitasi tanah dengan
menggunakan batu, pasir dan tanah dengan lebar jalan 3 – 4 meter.
Panjang jalan desa dari jalan utama (jalan provinsi) sekitar ± 8 km. Jalan
desa inilah nantinya yang akan dimanfaatkan oleh anggota KTH untuk
mengangkut hasil hutan kayu dan hasil kebun lainnya sampai ke jalan
provinsi.
Gambar 10. Jalanan Desa Cenrana
56
b. Jalan Dusun
Jalan ini terdapat di Dusun Panagi sampai Dusun Holiang dengan
panjang jalan sekitar 2,3 km dan lebar 3 m. Sebagian jalan dusun ini masih
bisa dilalui oleh kendaraan roda empat dan sebagian lainnya hanya mampu
dilewati dengan kendaraan roda dua. Pada musim hujan sebagian dari jalan
ini hanya mampu dilalui oleh pejalan kaki dikarenakan pengerasan jalan
yang ada masih pada tahap stabilisasi tanah liat dan sebagiannya dalam
tahap pengerasan. Jalan ini menghubungkan jalan desa dengan jalan
kampung dan merupakan jalur angkutan hasil hutan baik itu kayu maupun
non kayu atau hasil-hasil pertanian.
Gambar 11. Jalanan Dusun Holiang
57
a. Jalan Kampung dan Jalan Setapak
Jalan kampung adalah bagian dari jalan dusun. Jalan ini dirintis oleh
penduduk setempat untuk menghubungkan rumah-rumah penduduk yang
tersebar di Dusun Holiang. Jalan ini hanya biasa dilalui oleh pejalan kaki
dan kendaraan roda dua karena kondisi kelerengannya agak curam sampai
curam dan dalam tahap pengerasannya, sehingga tidak memungkinkan
dilalui oleh kendaraan roda empat. Panjang jalan kampung adalah ± 1,7 km
dengan lebar jalan ± 1-2 m. Sementara jalan setapak adalah jalan yang
dibuat oleh anggota KTH untuk menghubungkan rumah penduduk yang
berada sekitar areal HTR dengan lokasi HTR. Panjang jalan ini ± 300 m
dengan lebar jalan ± 1 m.
Gambar 12. Jalanan Kampung
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. KARATERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI KTH BUKIT HIJAU
1. Sistem Tenur
Kawasan hutan di Dusun Holiang, Desa Cenrana, Kecamatan
Camba dimanfaatkan sebagai lahan untuk memeroleh hijauan ternak
kambing dan sapi, tempat berladang, tempat memanen lebah madu, tempat
mengambil kayu bakar untuk kebutuhan rumah tangga, mengambil nira
aren untuk pembuatan gula merah, dan tempat mengambil kayu untuk
pagar kebun dan sawah tadah hujan. Sistem pranata sosial tenur yang
terdapat dalam pemanfaatan kawasan hutan untuk berbagai kegiatan
pada desa bersangkutan, meliputi:
a. Sistem memanen lebah madu tenurialnya secara individu, yaitu siapa
saja masyarakat desa yang melihat pertama kali sarang lebah dapat
memberinya tanda tertentu berupa ”hompong” bahwa sarang lebah
tersebut telah ada yang mengongkonya untuk dipanen pada saat
sarang lebah tersebut telah siap panen dan mengambil madunya
secara individu.
b. Penggembalaan ternak sapi pada padang rumput di kawasan hutan
dengan dilepas atau sebagai lahan memungut pakan ternak.
59
Penggembalaan sapi dilakukan dengan dilepas sepanjang tahun di
kawasan hutan dan hanya pada waktu-waktu tertentu saja diawasi
keberadaan dan kondisi ternaknya. Disamping sebagai lahan
penggembalaan ternak, juga sebagai lahan memungut hijauan ternak
bagi ternak sapinya yang dikandangkan.
c. Areal berladang. Kondisi topografi kawasan hutan di Kecamatan
Camba pada umumnya berbukit, sehingga masyarakat memanfaatkan
kawasan hutan sebagai areal berladang. Penduduk yang tidak dapat
mencukupi kebutuhan pangan dari lahan sawah, atau sama sekali tidak
mempunyai lahan pertanian merupakan faktor utama sehingga
penduduk berladang di kawasan hutan untuk pemenuhan kebutuhan
pangan tersebut.
d. Pemungutan nira aren. Pohon aren yang disadap nira arennya oleh
petani di Kecamatan Camba merupakan hasil dari sistem tenur ongko
pohon nira aren. Proses ongko pohon nira aren, yaitu siapa saja
penduduk yang menandai pohon aren saat pohonnya masih muda
belum disadap arennya, kemudian dipelihara sampai pohon aren
tersebut siap disadap nira arennya, maka petani yang bersangkutan
yang akan memiliki pohon aren tersebut. Penyadapan air nira aren
berlaku secara individu, hanya penyadap gula aren yang mengambil
gula arennya dan sekaligus menjadi petani pembuat gula aren.
e. Pemungutan kayu bakar dan kayu pagar untuk kebun, ladang, dan
sawah. Dikarenakan pemeliharaan ternak sapi masih dilakukan secara
60
dilepas ke kawasan hutan, maka usaha budidaya tanaman di
persawahan, kebun, dan ladang sangat ditentukan keberhasilannya
oleh pengendalian hama ternak sapi tersebut. Teknik pengendalian
hama ternak sapi dilakukan melalui pemagaran lahan pertanian.
Pemenuhan bahan baku untuk pagar dipenuhi dari pohon kayu dari
kawasan hutan. Demikian pula dengan pemenuhan kayu bakar
dilakukan secara merencek kayu dari tegakan hutan. Pengambilan
kayu untuk kayu bakar rumah tangga dan kayu bakar untuk pembuatan
gula merah, serta pagar lahan pertanian dari kawasan hutan, hal ini
menyebabkan terjadinya tragedi open akses.
f. Sistem ongko lahan (lakara)/ta’tang). Sistem tenur ongko (lakara)
melalui wanatani ladang berlangsung pada desa ini dikarenakan tanah-
tanah negara bebas masih banyak tersedia, sehingga tenur lakara
merupakan tanda kepemilikan yang disepakati secara tidak tertulis
diantara penduduk. Sejak ditetapkannya tapal batas kawasan hutan
pada Dusun Holiang, menyebabkan lahan untuk ongko mulai terbatas.
Terjadi konflik lahan antara masyarakat dengan pihak instansi
kehutanan, dikarenakan banyak lahan lakara penduduk terdapat di
dalam patok kawasan hutan.
g. Sistem tenur tolong menolong (mangolli) dalam penanaman padi
dipersawahan dan ladang, dengan kewajiban pihak petani yang
memanggil untuk ditolong menanami lahan sawahnya atau ladangnya
menyediakan makanan selesai penanaman padi.
61
h. Sistem tenur pembagian kerja pembuatan pagar dan perondaan dari
hama tanaman (babi hutan, monyet, dan ternak sapi) dalam
pelaksanaan berladang. Biasanya kelompok petani peladang
(5-7 orang per kelompok peladang) yang akan berladang melakukan
pemagaran areal secara bersambungan antara satu ladang dengan
areal ladang anggota kelompok petani peladang tersebut untuk
melindungi areal ladangnya dari gangguan hama. Demikian pula
dengan perondaan tanaman saat areal ladang telah ditanami dengan
tanaman pertanian (jagung, kacang tanah dan sayur mayur).
Fungsi dan lokasi penerapan tenurial pengelolaan lahan dalam
kawasan hutan di Dusun Holiang Desa Cenrana Kecamatan Camba dapat
di lihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Fungsi dan Lokasi Penerapan Tenurial dalam Pengelolaan Lahan di Dusun Holiang Desa Cenrana Kecamatan Camba
No Nama
Tenurial Fungsi Tenurial Lokasi Penerapan
Tenurial
1. Ma’dumme (Ronda kelompok)
pengendalian hama babi dan monyet pada kelompok peladang/ petani sawah
Ladang, sawah
2. Mallolo - Peremajaan kemiri - Keberlangsungan hak
kepemilikan lahan
Hutan Kemiri
3. Pemagaran
lahan
- Pembuatan pagar keliling lahan - Tanda batas areal pengelolaan
Ladang, kebun,
sawah
4. Persiapan
lahan
- Pembersihan lahan - Pengolahan tanah
Ladang, kebun,
sawah
62
2. Sistem Teknologi Wanatani
Teknologi budidaya wanatani di Dusun Holiang masih sangat
konvensional dimana masyarakat menanam tanaman sayur-sayur di sekitar
halaman rumah untuk di konsumsi dan memenuhi kebutuhan sehari-hari,
dan di dalam kawasan hutan dimanfaatkan untuk menanam padi gogo, ubi
jalar, dan nenas.
Peralatan pengolahan lahan, petani masih menggunakan parang,
cangkul, sedang untuk penggunaan pupuk sintesis dan pestisida sudah
lama dikenal hanya saja intensitas penggunaannya sangat rendah bahkan
petani tidak menggunakannya dikarenakan tidak mampu membeli pupuk
dan pestisida.
B. PROSES PERIZINAN HUTAN TANAMAN RAKYAT
Informasi yang didapatkan di Dinas Kehutanan dan Perkebunan
Kabupaten Maros menyangkut permasalahan KTH Bukit Hijau adalah
sebagai berikut:
1. Kelembagaan KTH Bukit Hijau tidak berjalan,
2. Belum ada pemetaan partisipatif yang dilakukan oleh KTH Bukit Hijau,
3. Sebagian areal yang dimohon tutupan lahannya masih berhutan.
Berdasarkan permasalahan tersebut, Dinas Kehutanan dan
Perkebunan Kabupaten Maros belum memberikan rekomendasi penerbitan
IUPHHK-HTR Perorangan kepada Bupati Maros.
63
Permasalahan pertama adalah kelembagaan KTH Bukit Hijau tidak
berjalan karena pengurus dari KTH Bukit Hijau belum pernah datang ke
Kantor Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Maros untuk
konsultasi dan menanyakan perkembangan proses perizinan HTR
sehingga tidak ada komunikasi antara pihak KTH Bukit Hijau dengan pihak
Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Maros, pihak Dinas tidak
mengetahui siapa yang bertanggung jawab dan diberi kuasa untuk
mengurus perizinan HTR KTH Bukit Hijau.
Permasalahan kedua, yaitu belum dilakukan pemetaan partisipatif
oleh pemohon dari KTH Bukit Hijau. Dalam hal pelaksanaan tata batas
antar pemegang izin perorangan, harus melakukan pengukuran dan
perpetaan partisipatif dengan difasilitasi oleh pendamping HTR. Informasi
yang ditemukan oleh Peneliti bahwa di Dinas Kehutanan dan Perkebunan
Kabupaten Maros telah ditetapkan pendamping HTR oleh Bupati Maros
sebanyak dua orang untuk melakukan pendampingan kepada KTH yang
ada di Kabupaten Maros tetapi pengukuran dan perpetaan partisipatif tidak
difasilitasi oleh Pendamping karena tidak ada alokasi anggaran untuk
kegiatan fasilitasi.
Permasalahan ketiga adalah tutupan lahan pada calon areal
IUPHHK-HTR KTH Bukit Hijau sebagian besar masih berhutan sehingga
areal tersebut harus dikurangi untuk mengetahui luas yang layak diberikan
IUPHHK-HTR dan harus ada pengecekan lapangan di areal tersebut,
64
namun di Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Maros tidak ada
alokasi anggaran untuk kegiatan pengecekan lapangan.
Ketiga permasalahan tersebut yang ditemukan di Dinas Kehutanan
dan Perkebunan Kabupaten Maros diakui oleh pihak KTH Bukit Hijau,
bahwa selama ini tidak berjalan karena KTH Bukit Hijau tidak paham proses
penerbitan IUPHHK-HTR dan persyaratan yang harus dipenuhi, calon
pemegang IUPHHK-HTR Perorangan yang membentuk KTH Bukit Hijau
belum ada pendampingan kelembagaan dan teknis baik dari LSM maupun
dari instansi terkait. Pengetahuan dan pemahaman masyarakat khususnya
pemohon dari KTH Bukit Hijau, dan Kepala Desa Cenrana setelah
diverifikasi secara otomatis IUPHHK-HTR terbit dan masyarakat langsung
bekerja. Untuk mempercepat proses perizinan IUPHHK-HTR perlu
dilakukan sosialisasi HTR ditingkat tapak, pendampingan HTR oleh instansi
terkait atau LSM, pemetaan terhadap areal kawasan hutan yang tidak
produktif, dan pemetaan partisipatif yang difasilitasi oleh pendamping HTR.
C. PEMBANGUNAN LEMBAGA
Pengelolaan HTR berasas kelestarian hasil harus didukung oleh
kelembagaan yang kuat. Esman dalam Eaton (1986) menyatakan titik tolak
untuk model pembangunan lembaga dapat dirumuskan sebagai
perencanaan, penataan, dan bimbingan dari organisasi-organisasi baru
atau yang disusun kembali yaitu: (1) mewujudkan perubahan-perubahan
65
dalam nilai-nilai, fungsi-fungsi, teknologi-teknologi fisik, dan atau sosial; (2)
menetapkan, mengembangkan, dan melindungi hubungan-hubungan
normatif dan pola-pola tindakan baru, dan (3) memeroleh dukungan dan
kelengkapan dalam lingkungan tersebut.
Masyarakat telah membangun lembaga untuk pembangunan Hutan
Tanaman Rakyat tanpa didampingi dan difasilitasi oleh Pendamping HTR.
Pilihan lembaga yang dibentuk adalah Kelompok Tani Hutan (KTH) dengan
harapan izin dapat diberikan adalah izin perorangan atau IUPHHK-HTR
perorangan, disaksikan Kepala Desa Cenrana dan Kepala Dusun Holiang
dengan nama KTH Bukit Hijau yang beranggotakan sebanyak sepuluh
orang, seperti pada Tabel 8.
Tabel 8. Daftar Nama Anggota Kelompok Tani Bukit Hijau Dusun Holiang Desa Cenrana Kecamatan Camba (KTH Bukit Hijau, 2010)
No. Nama Anggota No. KTP Jabatan
1. M. Nur 730902 010167 0002 Ketua 2. M. Arif 21.0802.311269 0575 Sekretaris 3. Sudirman 730902 311271 0004 Bendahara 4. Hamma 730902 311251 0001 Anggota 5. Mende 730902 010755 0002 Anggota 6. Rida 730902 311237 0001 Anggota 7. Abd. Rasyid Koda 730902 010453 0001 Anggota 8. Mekka Sabang H. Dg.
Materu 730902 010730 0003 Anggota
9. Ruppai 730902 311263 0003 Anggota 10. Sappe 730902 311252 0006 Anggota
Dalam pembangunan lembaga yang dibahas adalah siapa saja
menjadi anggota, berapa luas areal dimohon setiap anggota, dan siapa
menjadi Ketua Kelompok. Tidak dibahas mengenai struktur organisasi KTH,
66
peraturan kelompok yang mengatur hak dan kewajiban anggota. Tujuan
dibentuk kelompok tani semata-mata adalah untuk melengkapi persyaratan
permohonan IUPHHK-HTR perorangan.
Melihat proses pembangunan lembaga oleh masyarakat Dusun
Holiang, dapat disimpulkan bahwa pembangunan lembaga hanya
digunakan sebagai persyaratan permohonan HTR, dalam proses
pembangunan lembaga tidak membuat struktur organisasi yang lengkap,
tidak menyusun aturan yang mengikat hak dan kewajiban anggota, tidak
menyusun rencana apa yang dilakukan oleh KTH, bagaimana hubungan
KTH dengan pihak diluar seperti LSM, Dinas terkait, dan Pemerintah
Daerah. Adanya keinginan para petani penggarap mengelola lahan mereka
untuk memanfaatkan dan mengelola kawasan hutan, dan pentingnya
dukungan para pihak (Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, Kabupaten,
Desa, Lembaga Swadaya Masyarakat, dan masyarakat sekitar hutan)
merupakan faktor utama yang mendorong terwujudnya pengelolaan HTR.
Pembangunan lembaga menarik untuk dikaji melalui intervensi
pengetahuan mencakup aktivitas yang terkait dengan penataan kawasan
hutan secara partisipatif, pengaturan hasil hutan, dan perencanaan hutan.
Dilihat dari aspek manajemen, areal HTR memerlukan penanganan yang
lebih serius dan mengarahkan sistem pengelolaannya dari tindakan
keluarga (individual action) menjadi tindakan bersama (collective action).
Aspek kultural dan ekologis mengharuskan pengelolaan hutan sebagai
tindakan kolektif.
67
Hutan yang dikelola atas dasar kepemilikan keluarga, tentu tidak
dapat memenuhi syarat-syarat ekologis jika basis perhitungan hanya satu
keluarga saja, sehingga menjadi beralasan ketika satuan hamparan hutan
yang tersusun atas kepemilikan keluarga-keluarga dipertimbangkan
sebagai satuan unit manajemen pengelolaan hutan tanaman rakyat.
Jadi KTH Bukit Hijau sebagai lembaga harus melakukan perubahan,
yang sebelumnya berbasis keluarga (individual action) menjadi tindakan
yang bersifat komunal. Perubahan tersebut memerlukan kesepakatan atau
perjanjian internal antara kelompok tani dengan calon pemegang IUPHHK-
HTR dan antar calon pemegang IUPHHK-HTR serta masyarakat sebagai
penggarap dengan calon pemegang IUPHHK-HTR, yang berisi hak dan
kewajiban masing-masing pihak serta sanksi apabila melanggar perjanjian
tersebut. Beberapa keuntungan dari sistem ini antara lain:
1. Kegiatan pemanfaatan dan pengelolaan hutan dapat dikoordinir oleh
kelompok tani yang sengaja dibentuk atas dasar kemudahan koordinasi
dan pengawasan (span of control).
2. Keterlibatan masyarakat dalam kegiatan pembangunan hutan dapat
dilakukan secara padat karya atau swadaya oleh masyarakat, sehingga
dapat mengurangi biaya pengelolaan.
3. Unit manajemen HTR yang akan terbentuk akan memudahkan dalam
pengelolaan, pelaporan, dan permohonan pinjaman ke BLU.
4. Keluarga-keluarga yang tidak memiliki lahan garapan dapat dilibatkan
untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan mingguan dengan
68
menanam tanaman kehidupan berupa sayur-sayuran dan tanaman
semusim di areal HTR.
D. PENATAAN AREAL DAN PEMBAGIAN HAK KELOLA
Pembagian hak kelola pada calon areal IUPHHK-HTR Perorangan
KTH Bukit Hijau didapatkan dari survey lapangan dan hasil digitasi citra
satelit resolusi sangat tinggi. Pengurangan luas calon areal IUPHHK-HTR
Perorangan KTH Bukit Hijau dari luas ± 84 ha (berdasarkan rekomendasi
BP2HP Wilayah XV Makassar) menjadi seluas ± 35,70 ha karena areal
yang dimohon sebagian masih berhutan dan adanya zona penyangga 500
meter dari batas hutan lindung yang ditunjuk oleh masyarakat. Sisa areal
yang dapat dikelola dengan tutupan lahan berupa semak belukar dan
padang rumput bekas ladang untuk padi tadah hujan. Terhadap areal yang
masih berhutan masyarakat dapat melakukan pemanfaatan hasil hutan
bukan kayu berupa pemanfaatan buah kemiri, madu, aren, kayu bakar dan
kayu untuk pemagaran ladang/sawah. Areal yang masuk dalam zona
penyangga dapat dimanfaatkan dengan menanam pohon berkayu yang
dapat diambil buahnya seperti kemiri, durian, mangga, rambutan dan
tanaman berbuah lainnya.
Masyarakat sepakat akan melakukan penataan batas dengan
membuat batas-batas areal antar pemohon di lapangan sesuai dengan hak
kelola/ta’tang masing-masing pemohon. Peta pembagian hak kelola/ta’tang
69
calon areal IUPHHK-HTR perorangan KTH Bukit Hijau dapat di lihat pada
Lampiran 8 dan Tabel 9.
Tabel 9. Pembagian Hak Kelola/Ta’tang Pada Areal IUPHHK-HTR KTH Bukit Hijau
No. Nama Anggota Rekomendasi (ha)
Hasil Digitasi (ha)
1. M. Nur 9,00 4,53 2. M. Arif 9,00 4,23 3. Sudirman 8,00 3,62 4. Hamma 8,00 3,17 5. Mende 8,00 4,42 6. Rida 8,00 5,07 7. Abd. Rasyid Koda 9,00 2,15 8. Mekka Sabang H. Dg.
Materu 9,00 1,33
9. Ruppai 8,00 4,06 10. Sappe 8,00 3,12
Pembagian hak kelola/ta’tang dilakukan untuk menghindari konflik
lahan antar pemohon dengan membuat kesepakatan atau aturan intern
kelompok yang memuat hak-hak dan kewajiban anggota kelompok, sistem
pengelolaan atau penyakapan lahan, jenis tanaman, rotasi tebang, sistem
penjualan hasil hutan.
E. UNIT MANAJEMEN HTR BERBASIS KELOMPOK KERJA PADA KELOMPOK TANI HUTAN BUKIT HIJAU
1. Pembentukan Unit Manajemen HTR Berbasis Kelompok Kerja
Penataan areal dan batas luar lokasi KTH Bukit Hijau didasarkan
pada lokasi hak kelola/ta’tang masing-masing anggota KTH dan
70
kesepakatan bersama untuk membentuk unit manajemen HTR.
Pembentukan unit manajemen HTR berdasarkan kedekatan lokasi yang
berada dalam satu hamparan dan pemilik hak kelola/ta’tang memeliki
hubungan kekerabatan atau hubungan keluarga sehingga lebih mudah
untuk bekerjasama dalam pengelolaan HTR. Jumlah anggota KTH yang
akan melakukan pengelolaan hutan dan diusulkan untuk mendapatkan
IUPHHK-HTR perorangan dari Bupati Maros sebanyak sepuluh orang
seperti pada Tabel 10.
Tabel 10. Pembagian Unit Manajemen HTR Pada KTH Bukit Hijau
UM HTR
Nama Anggota KTH
Luas Hak Kelola/Ta’tang
(ha)
Luas UM HTR (ha)
Kelompok Kerja dalam
UMH
I. Hamma 3,17 6,79 6-7 KK
I. Sudirman 3,62 II. Mende 4,42
7,54 7-8 KK II. Sappe 3,12 III. M. Nur 4,53 III. M. Arif 4,23 12,82 12-13 KK III. Ruppai 4,06 IV. Rida 5,07 IV. Abd. Rasyid Koda 2,15 8,55 8-9 KK IV. Mekka Sabang H. Dg.
Materu 1,33
Keterengan: UM HTR : Unit Manajemen Hutan KK : Kepala Keluarga Kelompok kerja yang akan mengelola atau bekerja dalam unit
manajemen HTR KTH Bukit Hijau sebanyak 33-37 KK seperti pada
Tabel 10. Penunjukkan kelompok kerja berdasarkan kedekatan
kekerabatan/hubungan kekeluargaan dengan pemegang hak
71
kelola/ta’tang. Kelompok kerja ini adalah orang yang dipanggil atau diajak
oleh pemegang hak kelola karena tidak memiliki lahan/areal kerja dan bisa
juga pemegang hak kelola sebagai bagian dari kelompok kerja yang ikut
bekerja di areal tersebut. Peta Unit Manajemen HTR KTH Bukit Hijau dapat
dilihat pada Lampiran 9.
2. Kerjasama KTH Bukit Hijau dalam Pengelolaan Lahan
a. Penyiapan Lahan
Sistem tenurial tolong menolong dalam penyiapan lahan di areal
HTR dimana pihak pemegang izin yang memanggil masyarakat lainnya
untuk ditolong membersihkan lahannya, pemegang izin berkewajiban
menyediakan makanan dan minuman. Penyiapan lahan dilakukan secara
gotong royong dengan melibatkan masyarakat dalam pembangunan HTR.
Kegiatan penyiapan lahan berupa pembersihan lahan, dan penandaan
batas antar pemegang izin.
b. Pengusahaan lahan melalui pewaris
Pengusahaan lahan melalui pewaris adalah sistem pemberian atau
mewariskan lahan kepada keluarga terdekat untuk dikelola dengan cara
mengelola sendiri lahan usahatani/wanatani yang telah diwariskan dengan
tanggung jawab atas pengelolaannya menjadi tanggung jawab sepenuhnya
kepada pemilik lahan yang diwariskan. Pewaris lahan mempunyai hak
untuk memeroleh hasil yang diproduksi dari areal hutan yang dikelolanya
serta mempertahankannya, termasuk dalam mengembangkannya, seperti
72
penanaman, pemeliharaan, dan penebangan untuk tujuan peremajaan
(mallolo).
3. Kerjasama Kelompok Kerja pada KTH Bukit Hijau dalam Penyakapan Lahan
a. Penerapan Sistem Mallolo
Pengelolaan dilakukan oleh pakkoko (orang yang ditunjuk atau
dipanggil oleh pemilik hak kelola/ta’tang untuk berladang) untuk membuka
lahan yang akan ditanami untuk peremajan (mallolo) maupun untuk
tanaman baru, kemudian membersihkan lahan sampai siap tanam.
Pakkoko/makkoko adalah suatu kelembagaan yang berlaku di masyarakat
dalam pengelolaan lahan hutan kemiri, sengon, hutan alam dan padang
rumput, dimana pemilik lahan menyerahkan lahannya untuk dikelola oleh
orang lain selama kurun waktu kurang lebih tiga tahun. Aturan yang biasa
menjadi kesepakatan pada kelembagaan ini adalah paddare/pakkoko
membersihkan lahan sampai siap tanam, pemilik menyiapkan bibit tanaman
sekaligus menanami lahannya, pengelola (paddare/pakkoko) melakukan
usaha wanatani tanaman semusim dan mengambil hasilnya selama kurang
lebih tiga tahun sampai tanaman semusim tidak bisa lagi diusahakan
karena sudah tertutup dengan tanaman tahunan, seperti kemiri, sengon,
atau tanaman tahunan campuran lainnya.
73
b. Pengusahaan Lahan Secara Ta’tang
Pengusahaan lahan secara ta’tang atau yang biasa disebut tenurial
ongko (lakara/ta’tang) melalui wanatani ladang berlangsung pada Dusun
Holiang dikarenakan tanah-tanah negara (kawasan hutan) masih banyak
dan masyarakat tinggal di dalam dan di sekitar kawasan hutan, sehingga
tenurial lakara merupakan tanda kepemilikan yang disepakati secara tidak
tertulis diantara penduduk. Sejak ditetapkannya patok batas kawasan
hutan di Dusun Holiang Desa Cenrana menyebabkan lahan untuk ongko
mulai terbatas. Terjadi konflik lahan antara masyarakat dengan pihak
instansi kehutanan karena banyak lahan lakara penduduk terdapat di dalam
patok kawasan hutan.
4. Penerapan Sistem Tenur pada Kelompok Kerja Dalam Unit Manajemen Hutan KTH Bukit Hijau
Penerapan sistem tenur per petak yang akan diberlakukan pada
kelompok kerja dalam KTH Bukit Hijau adalah sistem mallolo, ta’tang,
pemagaran lahan, dan penyiapan lahan. Orang yang ditunjuk atau dipanggil
oleh calon pemegang IUPHHK-HTR (pemilik hak kelola/ta’tang) untuk
berladang dengan membuka lahan yang akan ditanami, melakukan
pemagaran lahan secara bersama-sama sesuai batas-batas areal
pengelolaan, membersihkan lahan, pengolahan tanah sampai siap tanam
serta melakukan perondaan dari serangan hama seperti babi, monyet,
kerbau atau sapi yang masuk ke areal pengelolaan/ladang. Pakkoko
74
umumnya mempunyai kedekatan kekerabatan/hubungan keluarga namun
tidak memiliki lahan yang dikelola untuk memenuhi kehidupannya sehari-
hari. Sistem tenur per petak pada kelompok kerja dalam unit manajemen
hutan KTH Bukit Hijau dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11. Sistem Tenur Per Petak pada Kelompok Kerja Dalam UMH KTH Bukit Hijau
No.
Unit Manajemen
Hutan
Nama Pemegang IUP
No. Petak
Sistem Tenur yang Diterapkan
1. I. Hamma 1,2,3, 4 Mallolo,ta’tang, kerjasama pemagaran lahan, persiapan lahan, dan perondaan dari hama (babi, monyet dan ternak sapi)
2. I. Sudirman 3, 4, 5 3. II. Mende 3, 4, 5 4. II. Sappe 1, 2, 3 5. III. M. Nur 3, 4, 5 6. III. M. Arif 2, 4, 5 7. III. Ruppai 1, 2 8. IV. Rida 2,3,4, 5 9. IV. Abd.Rasyid Koda 6, 7 10. IV. Mekka Sabang H.
Dg. Materu 1
F. PENGATURAN HASIL DAN PRESKRIPSI SILVIKULTUR
1. Pembagian Petak
Setelah dilakukan pembentukan unit manajemen HTR selanjutnya
dilakukan pembagian petak sebanyak lima petak pada setiap unit
manajemen. Dalam pembagian petak di setiap unit manajemen HTR,
bentuk petak dan luas petak tidak sama, luas minimal tiap petak adalah
1 ha, seperti pada Tabel 12 dan Peta Pengaturan Hasil KTH Bukit Hijau
dapat dilihat pada Lampiran 10.
75
Tabel. 12. Pembagian Petak Pada Unit Manajemen HTR
No. Unit Manajemen HTR No. Petak Luas (Ha)
1. I 1 1,344 I 2 1,287 I 3 1,172 I 4 1,784 I 5 1,99
2. II 1 1,345 II 2 1,366 II 3 1,491 II 4 1,578 II 5 1,759
3. III 1 1,962 III 2 2,221 III 3 3,256 III 4 2,735 III 5 2,619
4. IV 1 1,333 IV 2 1,557 IV 3 1,862 IV 4 1,653 IV 5 2,147
Jumlah 35,697
Pada Tabel 12, terlukis bahwa rencana pengaturan hasil hutan kayu
dengan rotasi 5 tahun untuk budidaya sengon pada setiap unit manajemen,
dimana empat unit manajemen HTR dibagi menjadi lima petak dengan
pengaturan hasil sebagai berikut:
a. Pada petak nomor 1, tanaman sengon ditanam pada tahun 2013, pada
tahun 2018 umur tegakan mencapai 5 tahun sudah layak panen, petak
nomor 1 setelah ditebang habis dilakukan permudaan buatan di tahun
2018
76
b. Pada petak nomor 2, tanaman sengon ditanam pada tahun 2014, pada
tahun 2019 umur tegakan mencapai 5 tahun sudah layak panen, petak
nomor 2 setelah ditebang habis dilakukan permudaan buatan di tahun
2019
c. Pada petak nomor 3, tanaman sengon ditanam pada tahun 2015, pada
tahun 2020 umur tegakan mencapai 5 tahun sudah layak panen, petak
nomor 3 setelah ditebang habis dilakukan permudaan buatan di tahun
2020
d. Pada petak nomor 4, tanaman sengon ditanam pada tahun 2016, pada
tahun 2021 umur tegakan mencapai 5 tahun sudah layak panen, petak
nomor 4 ditebang habis dilakukan permudaan buatan di tahun 2021
e. Pada petak nomor 5, tanaman sengon ditanam pada tahun 2017, pada
tahun 2022 umur tegakan mencapai 5 tahun sudah layak panen, petak
petak nomor 5 ditebang habis dilakukan permudaan buatan di tahun
2022.
Susunan tegakan terdiri atas berbagai kelas umur mulai dari satu
tahun sampai umur masak tebang atau umur daur, panen mulai tahun ke-6
dan seterusnya akan dilakukan tebang habis dengan permudaan buatan
(THPB). Berdasarkan penataan petak dan umur daur, selanjutnya disebut
pengaturan hasil hutan yang memuat: (1) Penataan areal yang terdiri atas
pembentukan unit manajamen HTR, dan pembagian petak dimana
pengaturan hasil berdasarkan luas; dan (2) Preskripsi silvikultur yang terdiri
atas sistem silvikultur yang dilakukan meliputi pemilihan jenis tanaman,
77
jarak tanam, penyiapan lahan, penanaman, pemeliharaan, dan
pemanenan.
Jarak tanam yang akan dipakai yaitu 3 m x 3 m sehingga dalam 1 ha
dapat ditanam sengon sebanyak 1.111 pohon dengan tanaman sela
(tanaman semusim) kacang tanah yang dikombinasikan dengan tanaman
kehidupan berupa tanaman sayur-sayuran untuk kebutuhan sehari-hari,
dapat dilihat pada Gambar 13.
Peta Pengaturan Hasil KTH Bukit Hijau pada Lampiran 10,
memperlihatkan juga pengaturan hasil budidaya kacang tanah sebagai
tanaman semusim pada setiap petak:
a. Petak nomor 1, kacang tanah dapat ditanam selama tiga tahun yaitu
2013, 2014, dan 2015 dapat dipanen setiap tahunnya
b. Petak nomor 2, kacang tanah dapat ditanam selama tiga tahun yaitu
2014, 2015, dan 2016 dapat dipanen setiap tahunnya
c. Petak nomor 3, kacang tanah dapat ditanam selama tiga tahun yaitu
2015, 2016, dan 2017 dapat dipanen setiap tahunnya
d. Petak nomor 4, kacang tanah dapat ditanam selama tiga tahun yaitu
2016, 2017, dan 2018 dapat dipanen setiap tahunnya
e. Petak nomor 5, kacang tanah dapat ditanam selama tiga tahun yaitu
2016, 2017, dan 2018 dapat dipanen setiap tahunnya.
78
Gambar 13. Pola Tanam Budidaya Sengon Polikultur dengan Kacang Tanah
Keterangan: S = Pohon Sengon Ж ж = Kacang Tanah ѱ ѱ = Tanaman Kehidupan (Subsisten)
2. Preskripsi Silvikultur
a. Pola Tanam dan Jenis Tanaman
Jenis pohon yang akan ditanam pada calon areal IUPHHK-HTR KTH
Bukit Hijau adalah sengon karena hasil survey lapangan pada calon areal
S Жж S Жж S Жж S Жж S ѱ ѱ
Жж
Жж
Жж
Жж
Жж
Жж
Жж
Жж
Жж
Жж
Жж
Жж
Жж
Жж
Жж
Жж
ѱ ѱ
ѱ ѱ
ѱ ѱ
ѱ ѱ
S Ж ж S Ж ж S Ж ж S Ж ж S ѱ ѱ
Жж
Жж
Жж
Жж
Жж
Жж
Жж
Жж
Жж
Жж
Жж
Жж
Жж
Жж
Жж
Жж
ѱ ѱ
ѱ ѱ
ѱ ѱ
ѱ ѱ
S Ж ж S Ж ж S Ж ж S Ж ж S ѱ ѱ
3 m Pohon Sengon polikultur
Kacang Tanah
Tanaman
Kehidupan
3 m
79
IUPHHK-HTR KTH Bukit Hijau banyak ditemukan pohon sengon yang
tumbuh dengan dengan diameter 30 cm - 50 cm. Menurut informasi dari
masyarakat bahwa umur sengon berkisar 7-8 tahun dimana masyarakat
menanam sebagai tanaman peneduh dan bibit didapatkan dari penyuluh
kehutanan. Tanaman semusim yang akan ditanam adalah kacang tanah
yang dapat dipanen dua kali dalam setahun dikombinasikan dengan
tanaman sayur-sayuran untuk kebutuhan sehari-hari. Pola tanam bududaya
sengon dengan kacang tanah dapat di lihat pada Gambar 13.
Menurut Hadi dan Napitupulu (2011), persyaratan tumbuh untuk
jenis sengon adalah:
1) Sengon tumbuh dengan baik pada tanah regosol, aluvial, dan latosol
yang berstruktur lempung berpasir atau lempung berdebu, selain itu
sengon bisa tumbuh pada tanah dengan kisaran drainase dari agak
buruk hingga baik dan kedalaman efektif tanah minimal 40 cm
2) Ketinggian tempat yang optimal untuk sengon antara 0-800 m dpl.
Walaupun demikian, sengon masih bisa tumbuh sampai ketinggian
1.500 m dpl.
3) Sengon termasuk jenis tanaman tropis sehingga memerlukan suhu
sekitar 18-27°C. Sengon membutuhkan curah hujan minimal yang
sesuai,yaitu 15 hari hujan dalam 4 bulan kering, tidak terlalu basah, dan
curah hujan tahunan antara 2.000 – 4.000 mm. Adapun kelembaban
yang dibutuhkan berkisar 50-75%.
80
b. Penyiapan Lahan
Penyiapan lahan dilakukan dengan pemagaran batas-batas areal
pengelolaan, pembersihan lahan dari semak belukar dan rumput.
Masyarakat biasa melakukan pembersihan lahan dengan membakar
semak/rumput.
c. Persemaian dan Pembibitan
Pembuatan persemaian dan pembibitan dilakukan di dekat sungai
Holiang karena dekat lokasi areal penanaman. Jumlah bibit sengon
disesuaikan dengan RKTUPHHK-HTR KTH Bukit Hijau.
d. Penanaman
Kegiatan penanaman pada awal musim hujan. Penanaman
dilakukan dengan cara menanam bibit setelah lahan dibakar dan
dibersihkan. Penanaman dalam bentuk bibit dilakukan dengan membuat
lubang tanaman 20 cm x 15 cm x 15 cm.
Waktu penanaman sengon dilakukan pada awal musim hujan untuk
selanjutnya dilakukan penanaman tanaman semusim seperti kacang tanah
dan sayur-sayuran. Usahatani ini dilakukan selama 2-3 tahun atau sampai
tanaman semusim tidak dapat diusahakan lagi karena lahan tersebut sudah
tertutup oleh tajuk pohon sengon.
e. Pemeliharaan
Pemeliharaan tanaman dilakukan petani hutan ini setiap hari dengan
cara membersihkan tanaman pengganggu yang ada di areal IUPHHK-HTR
81
terutama disekitar tanaman musiman. Selain membersihkan gulma pada
lahan yang ditanami tanaman musiman, petani juga menjaga tanaman dari
gangguan binatang yang kemungkinan akan merusak tanaman musiman
dan tanaman pokok dengan mengontrol areal tersebut.
Kegiatan pemeliharaan juga termasuk penyulaman, pendangiran,
penyiangan dan pemangkasan terhadap tanaman sengon yang menjadi
tanaman pokok kehutanan dan diharapkan pertumbuhan yang maksimal
sampai umur daur.
f. Sistem Pemanenan
1) Rancangan Pemanenan
Pemanenan dilakukan dengan sistem tebang habis permudaan
buatan, dimana pohon sengon yang sudah berumur lima tahun akan di
tebang habis. Pembagian batang disesuaikan dengan kebutuhan pembeli.
Rencana yang akan membeli adalah PT. Panply untuk bahan baku veneer
sehingga ukuran kayu bulat yang diterima, yaitu: (1) Panjang kayu 1,2
meter, dan (2) Diameter > 15 cm. Kayu yang telah ditebang diberi paku S
agar batang kayu tidak mudah pecah. Paku S terbuat dari plastik karena
tidak merusak rotari, dapat dilihat pada Gambar 14 dan Gambar 15.
2) Rancangan Pembukaan Wilayah Hutan (PWH)
Pembukaan PWH untuk lokasi KTH Bukit Hijau dalam rangka
pembangunan HTR menggunakan jalan yang sudah ada. Jalan menuju
areal KTH Bukit Hijau adalah jalan hutan atau jalan kampung yang dibuat
82
oleh masyarakat dengan topografi agak curam hingga curam dan bisa
dilalui kuda sebagai alat angkut hasil hutan di saat panen.
Gambar 14. Kayu Bulat Sengon, Panjang 1,2 m dan Diameter > 15 cm
G. ANALISIS BIAYA DAN MANFAAT PENGELOLAAN HTR
1. Asumsi Perhitungan Analisis Biaya dan Manfaat
Menurut Martawijaya dkk., (1989), pohon sengon merupakan salah
satu spesies cepat tumbuh dimana riap diameter batangnya mampu
mencapai 8 cm/tahun pada awal-awal tahun pertumbuhannya. Pohon
sengon berukuran sedang sampai besar. Tinggi total dapat mencapai 40 m
dengan tinggi batang bebas cabang 20 m. Kayunya mempunyai banyak
83
kegunaan antara lain untuk konstruksi ringan, kerajinan tangan, kotak
cerutu, veneer, kayu lapis, korek api, alat musik, dan pulp. Pohon sengon
sudah sejak lama dikenal dan dimanfaatkan oleh masyarakat untuk bahan
bangunan ataupun meubel. Tanaman ini sudah pula dibudidayakan baik
oleh pemerintah maupun masyarakat. Sampai saat ini tanaman sengon
ditebang pada umur yang tidak sama, sampai timbul istilah di masyarakat
“daur butuh”, yaitu ditebang bila petani memerlukan uang. Untuk dapat
digunakan sebagai bahan kayu pertukangan, maka daur teknis tanaman ini
perlu diketahui dengan tepat agar diperoleh kayu dengan kualitas yang
sesuai dengan peruntukannya.
Menurut Hidayat (2002), sengon merupakan salah satu spesies
paling cepat tumbuh di dunia, dimana riap diameternya dapat mencapai
delapan cm/tahun dalam tahun pertama penanaman. Kayunya memiliki
banyak kegunaan, mulai dari bahan untuk pembuatan batang korek api,
kerajinan tangan, kotak cerutu, alat musik, veneer dan kayu lapis, hingga
untuk konstruksi ringan dan pulp. Daunnya dapat digunakan sebagai pakan
ayam dan kambing. Di Ambon,kulit batang sengon digunakan untuk
penyamak jaring, kadang-kadang sebagai pengganti sabun. Sengon juga
ditanam sebagai pohon pelindung, tanaman hias, reboisasi dan
penghijauan.
Pohon sengon dengan umur tegakan 5 s/d 6 tahun akan dibeli
dengan harga Rp. 150.000,- s/d Rp. 250.000,- per pohon di lokasi
(Kecamatan Camba Kabupaten Maros) dengan sistem pemanenan
84
dilakukan oleh pihak perusahaan dan masyarakat menjual standing stock
atau tegakan berdiri. Jika masyarakat mengantarkan langsung ke industri
PT. Panply di Kabupaten Luwu maka kayu sengon dibeli dengan harga Rp.
800.000/m3 s/d Rp. 1.000.000/m3 disesuaikan dengan ukuran diameter
kayu. Semakin besar ukuran diameter kayu maka semakin tinggi harga
kayunya.
2. Kelayakan Finansial Budidaya Sengon
Berdasarkan perhitungan biaya pembangunan HTR untuk budidaya
sengon/ha dengan rotasi lima tahun secara lengkap dapat dilihat pada
Lampiran 11 dan perhitungan biaya dan pendapatan budidaya kacang
tanah dapat dilihat pada Lampiran 12. Hasil analisis kelayakan finansial
budidaya tanaman sengon menggunakan Nilai Pengembalian Dana
Pinjaman (NPDP), Net Return at The End of Rotation (NRER), Net Present
Value (NPV), Benefit Cost ratio (B/C) dan Internal Rate of Return (IRR),
yang menunjukkan asumsi rencana pengelolaan hutan oleh calon
pemegang IUPHHK-HTR perorangan pada KTH Bukit Hijau Dusun Holiang,
Desa Cenrana Kecamatan Camba Kabupaten Maros, layak secara
finansial jika dikelola dengan menggunakan suku bunga BLU Pusat
Pembiayaan Pembangunan Hutan (P2H) sebesar 7%/tahun dan
menggunakan standar biaya pembangunan HTI dan HTR (Kementerian
Kehutanan, 2009).
85
a. Nilai Pengembalian Dana Pinjaman (NPDP)
Penentuan besarnya Nilai Pengembalian dana Pinjaman (NPDP)
budidaya sengon di KTH Bukit Hijau berdasarkan hasil analisis
menggunakan rumus NPDP diperoleh hasil seperti diperlihatkan pada
Tabel 13 dan uraian secara lengkap perhitungan biaya budidaya sengon/ha
rotasi lima tahun dapat dilihat pada Lampiran 11.
Tabel 13. Tabel Pendapatan, Pengeluaran dan NPDP Tanaman Sengon Monokultur Rotasi 5 Tahun/Ha, Suku Bunga 7%/Tahun
Pendapatan
(HTB) (Rp)
Dana
Pinjaman/
Pengeluaran
(Rp)
(1+i)t NPDP
- 6,746,800 1.4026 9,462,736
- 1,132,900 1.3108 1,485,001
- 1,045,200 1.2250 1,280,415
- 773,500 1.1449 885,580
- 594,300 1.0700 635,901
112,500,000 -
112,500,000 10,292,700 13,749,633
3
4
5
Tahun
0
1
2
Tabel 13 menunjukkan Nilai Pengembalian Dana Pinjaman (NPDP)
pada akhir rotasi sebesar Rp. 13.749.633 dari total pokok pinjaman sebesar
Rp. 10.292.700 dengan suku bunga 7%/tahun. Pendapatan dari harga
tegakan berdiri (HTB) sebesar Rp. 112.500.000 sehingga pendapatan yang
diperoleh di akhir rotasi setelah dikurangi pokok pinjaman dan bunga
pinjaman adalah Rp. 112.500.000 – Rp. 13.749.633 = Rp. 98.750.367.
b. Net Return at The End of Rotation (NRER)
Penentuan nilai NRER budidaya sengon rotasi lima tahun
berdasarkan hasil analisis menggunakan rumus NRER seperti diperlihatkan
86
pada Tabel 14 dan uraian secara lengkap perhitungan biaya HTR tanaman
sengon/ha rotasi 5 tahun dapat dilihat pada Lampiran 11.
Tabel 14. Analisis Net Return at The End of Rotation (NRER) /Hektar Budidaya Sengon Rotasi 5 Tahun, Suku Bunga 7%/Tahun
Tabel 14 menunjukkan nilai Net Return at The End of Rotation
(NRER) nilai penerimaan pada umur tanaman tahun ke-0 sampai dengan
tahun ke-4 nilai NRER lebih bernilai minus, sedang tahun ke-5 nilai NRER
bernilai positif sebesar Rp.112.500.000 (asumsi penjualan pohon berdiri
dengan harga beli PT. Panply pada bulan Desember 2012) dan di akhir
rotasi nilai NRER sebesar Rp. 98.750.367,09 yang memperhitungkan
secara akumulasi dari tahun ke-0 sampai tahun ke-5 atau di akhir rotasi.
c. Net Present Value (NPV) Hutan Tanaman Rakyat (HTR)
Penentuan besarnya NPV (HTR) pembangunan HTR tanaman
sengon di KTH Bukit Hijau berdasarkan hasil analisis menggunakan rumus
NPV (HTR) dan berdasarkan Tabel Pendapatan, Pengeluaran dan NPDP
Tanaman Sengon Monokultur Rotasi 5 Tahun/ha, Suku Bunga 7%/tahun
pada Tabel 13 diperoleh hasil sebagai berikut:
No Umur
Tanaman
Penerimaan
(Ij) (Rp.)
Pengeluaran
(Cj) (Rp.) (Ij-Cj) (1+i)t-j (Ij-Cj)(1+i)t-j
1 0
0 6.746.800 -6.746.800 1,402552 -9.462.736,02
2 1 0 1.132.900 -1.132.900 1,310796 -1.485.000,80
3 2 0 1.045.200 -1.045.200 1,225043 -1.280.414,94
4 3 0 773.500 -773.500 1,1449 -885.580,15
5 4 0 594.300 -594.300 1,07 -635.901,00
6 5 112.500.000 - 112.500.000 1 112.500.000,00
NRER 98.750.367,09
87
4026,1
633.749.13.
4026,1
000.500.112.)(
RpRPHTRNPV
647.407.70.298.803.9.945.210.80.)( RpRpRpHTRNPV
Hasil analisis NPV (HTR) diperoleh nilai NPV (HTR) di akhir rotasi
sebesar Rp. 70.407.647, berarti NPV bernilai positif atau NPV > 0.
d. Benefit Cost ratio (B/C) Hutan Tanaman Rakyat (HTR)
Berdasarkan hasil perhitungan NPV (HTR) KTH Bukit Hijau,
selanjutnya dilakukan perhitungan B/C yaitu:
18,8298.803.9.
945.210.80./
Rp
RpCB
Hasil perhitungan B/C HTR diperoleh hasil 8,18 atau B/C >1, yang
berarti usaha budidaya tanaman sengon pada KTH Bukit Hijau memberikan
pendapatan bersih (benefit) lebih besar dari biaya (cost) yang dikeluarkan.
e. Internal Rate of Return (IRR)
Penentuan besarnya nilai IRR dalam budidaya sengon dilakukan
dengan terlebih dahulu menentukan nilai NPV positif (NPVP) yang
mendekati 0 yaitu I = 65% dan nilai NPV negatif (NPVN) yang mendekati 0
yaitu I = 70% seperti diperlihatkan pada Tabel 15.
Tabel 15. Tabel Suku Bunga, Penerimaan, Pengeluaran dan NPV HTR Budidaya Tanaman Sengon Rotasi 5 Tahun
Suku Bunga/ Tahun ∑ Penerimaan (Rp) ∑ Pengeluaran (Rp) NPV (Rp)
0,07 (7%) 80.210.945 9.803,298 70.407.647 0,10 (10%) 69.853.649 9.627.568 60.226.081 0,20 (20%) 45.211.227 9.150.947 36.060.280 0,30 (30%) 30.229.521 8.796.875 21.502.646
0,65 (65%) 9.198.834 8.069.689 1.129.146 0,70 (70%) 7.923.333 8.003.468 -80.135
88
)65,070,0()80135(1129146
112914665,0
IRR
)05,0(1209280
112914665,0 IRR
69669,0)05,093373,0(65,0 xIRR atau 69,67%
Hasil perhitungan diperoleh nilai IRR lebih tinggi dari tingkat suku
bunga yang digunakan (7%).
3. Kelayakan Finansial Budidaya Kacang Tanah Dalam Areal HTR
Penentuan kelayakan finansial budidaya kacang tanah pada
pembangunan HTR KTH Bukit Hijau dilakukan menggunakan data pada
Lampiran 12 dan dihitung menggunakan rumus NPDP. Hasil analisis NPDP
diperlihatkan pada Tabel 16.
Tabel 16. Perhitungan Nilai Pengembalian Dana Pinjaman Untuk Budidaya Kacang Tanah, Suku Bunga 24%/Tahun
Tahun Pendapatan (Rp.) Ongkos (Rp.) NPDP (Rp.) Keuntungan (Rp.)
I 4.800.000 2.562.500 3.177.500 1.622.500
II 4.800.000 2.362.500 2.929.500 1.870.500
III 4.800.000 2.362.500 2.929.500 1.870.500
Jumlah 14.400.000 7.287.500 9.056.500 5.363.500
Berdasarkan Tabel 16, besarnya ongkos/pengeluaran budidaya
kacang tanah pada tahun pertama adalah Rp. 2.562.500 dan pendapatan
dari kacang tanah (harga jual petani pada bulan Desember 2012) pada
Perhitungan IRR sebagai berikut:
89
tahun pertama adalah sebesar Rp. 4.800.000. Pinjaman untuk ongkos
budidaya kacang dikembalikan dalam setahun dengan bunga 24%/tahun
sehingga petani harus mengembalikan pokok pinjaman dan bunga
pinjaman (NPDP) sebesar Rp. 3.177.500 dan keuntungan yang diperoleh
oleh petani setelah pendapatan tahun pertama dikurangi dengan NPDP
tahun pertama sebesar Rp.1.622.500. Demikian juga pada tahun kedua
keuntungan yang diperoleh setelah pendapatan tahun kedua dikurangi
dengan NPDP tahun kedua, diperoleh keuntungan sebesar Rp.1.870.500
dan keuntungan tahun ketiga, pendapatan tahun ketiga dikurangi dengan
NPDP tahun ketiga, diperoleh keuntungan sebesar Rp.1.870.500.
Keuntungan yang didapatkan oleh petani sebesar Rp. 5.363.500,- selama
tiga tahun.
Dari hasil analisis finansial budidaya sengon dan budidaya kacang
tanah, pembangunan HTR melalui unit manajemen HTR berbasis kelompok
kerja dalam KTH Bukit Hijau menggunakan pengaturan hasil berdasarkan
luas, layak untuk dilaksanakan karena bersifat padat karya yang melibatkan
masyarakat yang tidak memiliki lahan, menciptakan lapangan kerja bagi
masyarakat serta meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan bagi
pemilik hak kelola dan masyrakat yang terlibat dalam kelompok kerja. Hal
ini dapat dilihat dari analisis finansial dengan hasil sebagai berikut:
(a) NPDP lebih kecil dari HTB; (b) NRER bernilai positif, NPV HTR bernilai
positif, B/C lebih dari satu, dan IRR lebih tinggi dari tingkat suku bunga
diskonto yang digunakan (7%), rekap hasil analisis finansial budidaya
90
sengon rotasi lima tahun dan keuntungan budidaya kacang tanah selama 3
tahun dapat dilihat pada Tabel 17.
Tabel 17. Rekap Hasil Analisis Finansial Budidaya Sengon Rotasi 5 Tahun Dan Keuntungan Budidaya Kacang Tanah Selama 3 Tahun
Analisis Finansial Hasil Analisis
Jumlah dana pinjaman/pengeluaran (Rp.) 10.292.700 Jumlah nilai pengembalian dana pinjaman (NPDP) (Rp.) 13.749.633 Jumlah pendapatan/Harga Tegakan Berdiri (HTB) (Rp.) 112.500.000 Tingkat diskon (suku bunga) 7 % Jumlah NPDP terdiskon (Rp.) 9.803.298 Jumlah pendapatan/HTB terdiskon (Rp.) 80.210.945 NRER 98.750.367 NVP HTR 70.407.647 B/C HTR 8,18 IRR 69,67% Jumlah keuntungan budidaya kacang tanah (Rp.) 5.363.500
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
1. KTH Bukit Hijau dibentuk menjadi empat unit manajemen HTR. Setiap
unit manajemen HTR terbagi dalam lima petak. Pengelolaan di setiap
petak dilakukan oleh kelompok kerja. Kelompok kerja yang akan
mengelola atau bekerja dalam unit manajemen HTR KTH Bukit Hijau
sebanyak 33-37 Kepala Keluarga. Kelompok kerja ini adalah orang
yang dipanggil atau diajak oleh pemegang hak kelola karena tidak
memiliki lahan/areal kerja dan bisa juga pemegang hak kelola sebagai
bagian dari kelompok kerja yang ikut bekerja di areal tersebut sesuai
sistem tenur yang berlaku di Desa Cenrana. Hasil hutan kayu pada saat
pemanenan menjadi hak pemegang IUPHHK-HTR atau pemilik hak
kelola/ta’tang sedangkan hasil tanaman semusim (kacang tanah),
tanaman sayur-sayuran dan kayu hasil penjarangan menjadi hak
kelompok kerja. Kewajiban dari pemilik hak kelola menyediakan bibit
sengon membayar biaya budidaya sesuai kesepakatan internal dan
kewajiban dari kelompok kerja membantu budidaya sengon sampai
sengon siap tebang.
92
2. Pembentukan unit manajemen HTR KTH Bukit Hijau dilakukan dengan
menggabungkan 2-3 areal hak kelola yang berada dalam satu
hamparan menjadi satu unit manajemen HTR, dimana 2-3 pemegang
hak kelola memiliki kedekatan kekerabatan/keluarga. Unit manajemen
HTR berbasis kelompok kerja pada calon areal IUPHHK-HTR
perorangan KTH Bukit Hijau menggunakan pengaturan hasil
berdasarkan luas dengan rotasi lima tahun dengan memadukan antara
budidaya sengon dengan kacang tanah layak dikelola secara finansial
menggunakan analisis finansial NPDP, NRER, NPV, B/C, dan IRR.
B. SARAN
1. Hasil penelitian dapat dijadikan panduan dalam pembangunan HTR
khususnya pengelolaan areal HTR di Desa Cenrana Kecamatan Camba
Kabupaten Maros sehingga penerbitan IUPHHK-HTR oleh Bupati dapat
ditindaklanjuti untuk percepatan pembangunan HTR untuk
kesejahteraan masyarakat yang sangat bergantung kehidupannya
dalam kawasan hutan produksi.
2. Adopsi sistem tenur lokal dalam aturan internal organisasi KTH Bukit
Hijau perlu disosialisasikan kepada anggota KTH (pemilik hak kelola)
dan masyarakat yang terlibat dalam pembangunan HTR, sehingga
pemilik hak kelola dan masyarakat yang terlibat dalam kelompok kerja
dapat memahami hak dan kewajibannya dalam pengelolaan areal HTR.
93
3. Kegiatan pemetaan partisipatif jangan dibebankan kepada masyarakat
karena memiliki kemampuan dan pengetahuan melakukan pemetaan
lokasi serta tidak memiliki peralatan pengukuran sederhana seperti
GPS, kompas, dan komputer untuk mengolah data. Peraturan Menteri
Kehutanan Nomor: P.55/Menhut-II/2011 tanggal 6 Juli 2011 tentang
Tatacara Permohonan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada
Hutana Tanaman Rakyat dalam Hutan Tanaman khususnya pasal 18
diubah agar pengukuran dan pemetaan dilakukan pemegang IUPHHK-
HTR bersama-sama dengan instansi terkait.
94
DAFTAR PUSTAKA
Atmadilaga, A.H. 2010. Kamus Survei dan Pemetaan Berilustrasi. Badan
Sertifikasi Asosiasi ISI.Bandung. Awang, et al. 2009. Kontruksi Pengetahuan dan Unit Manajemen Hutan
Rakyat. Makalah. Disampaikan pada lokakarya hutan rakyat di Kabupaten Ciamis.
Bagja, Bukti. 2000. Aplikasi Sistem Informasi Geografis dalam Penentuan
Status Pemenuhan Kebutuhan Kayu Bakar di Daerah Penyangga Taman Nasional Gunung Gede Pangrango: kasus Desa Galudra dan Sukamulya, Kecamatan Cugeneng, Kabupaten Cianjur [skripsi]. Bogor: Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Dassir, et al. 2010. Reforma Agraria Melalui Lembaga Desa Pada Proses
Pemberian Hak Kelola Kawasan Hutan pada Masyakarat Sekitar Hutan untuk Mengatasi Kemiskinan Struktural di Sub DAS Minraleng Hulu Kabupaten Maros. LPPKM Unhas. Makassar.
elloppedia.blogspot.com/2010/09/kelompok-kerja.html, diupload pada
tanggal 20 Dember 2012. Gray, C., L. Karlina dan Kadariah. 1985. Pengantar Evaluasi Proyek. Edisi
Pertama PT. Gramedia.Jakarta. Hardjowigeno, S. 2003. Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis.
CV. Akademika Pressindo, Jakarta. Hidayat, J. 2002. Informasi Singkat Benih Paraserianthes falcataria (L.)
Nielsen. Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Kementerian Kehutanan. 2009. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor
P.64/Menhut-II/2009 tentang tentang Standar Biaya Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat dan Hutan Tanaman Rakyat.
. Kementerian Kehutanan. 2011. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor
P.55/Menhut-II/2011 Tahun 2011 tentang Tata Cara Permohonan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Rakyat dalam Hutan Tanaman.
95
Kementerian Kehutanan. 2012. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.3/Menhut-II/2011 Tahun 2012 tentang Rencana Kerja pada Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Rakyat.
Kementerian Negara Riset dan Teknologi Bidang Pendayagunaan dan
Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. 2010. Budi Daya Pertanian Jenis Kacang Tanah (Arachis hypogeae L.). Jakarta
Mardikanto, T. 1993. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. UNS Press.
Surakarta. Mardikanto, T. 1996. Penyuluhan Pembangunan Kehutanan. Pusat
Penyuluhan Kehutanan Republik Indonesia. Jakarta. Marsali, A.1985. Antropologi dan Kebijakan Publik. Edisi Pertama Kencana
Perdana Media Group.Jakarta. Martawijaya A., I. Kartasujana, K. Kadir, S. A. Prawira. l989. Atlas Kayu
Indonesia. Jilid II. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor.
Mulyana, D. 2000. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. PT Remaja
Rosdakarya. Bandung. Pemerintah RI. 2007. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang
Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan.
Prahasta, E. 2002. Konsep-Konsep Dasar Sistem Informasi Geografis.
Bandung: Informatika. Samsudin. 1993. Manajemen Penyuluhan Pertanian. Bina Cipta. Bandung. Simon, H. 2010. Perencanaan Pembangunan Sumber Daya Hutan. Timber
Manajemen. Jilid 1A. Pustaka Pelajar:Yogyakarta. Soemitro, A. 2005. Analisis Kebijakan Revitalisasi Hutan di Indonesia.
Debut Press.Yogyakarta. Suhardiyono. 1992. Penyuluh Petunjuk Bagi Pertanian Pertanian. Erlangga.
Jakarta. Trimo, STP. 2006. Evaluasi Penyuluhan Pertanian Permasalahan dan
Upaya Pemecahannya di Kecamatan Banyudono Kabupaten Boyolali. Unpublished.
96
Lampiran 1.
TOPIK WAWANCARA
PADA DINAS KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN KAB. MAROS
Nama Informan :
Jabatan :
1. Berapa banyak KTH yang sudah dilakukan verifikasi oleh BP2HP
Wilayah XV Makassar?
2. Apakah KTH yang sudah diverifikasi sudah mendapatkan
pertimbangan teknis calon IUPHHK-HTR?
3. Berapa banyak IUPHHK-HTR yang sudah diterbitkan oleh Bupati
Maros dan berasal dari KTH mana yang mendapatkan IUPHHK-HTR?
4. Bagaimana proses perizinan terhadap KTH yang belum mendapatkan
IUPHHK-HTR?
5. Apa alasan dan kendala proses perizinan terhadap KTH Bukit Hijau
sampai saat ini belum diproses?
6. Siapa yang Ketua KTH Bukit Hijau dan apakah Ketua KTH Bukit Hijau
pernah melakukan koordinasi dengan pihak Dinas Kehutanan dan
Perkebunan Kabupaten Maros?
7. Apakah ada pendamping HTR yang ditetapkan oleh bupati untuk
mendampingi KTH?, apa nama KTH yang didampingi oleh
pendamping HTR?
97
8. Apa persyaratan yang harus dipenuhi oleh KTH Bukit Hijau dan KTH
lainnya agar proses perizinan HTR bisa diajukan ke Bupati Maros?
98
Lampiran 2.
TOPIK WAWANCARA
DI DUSUN HOLIANG DESA CENRANA KECAMATAN CAMBA
KABUPATEN MAROS
Nama Informan :
Jabatan dalam KTH :
1. Dimana tempat tinggal bapak?, sudah berapa lama tinggal di tempat
ini?
2. Apa pekerjaan bapak sehari-hari?
3. Berapa anggota keluarga bapak?
4. Apakah bapak anggota KTH Bukit Hijau?, apakah bapak tahu siapa
ketua KTH Bukit Hijau?, dan berapa banyak anggota KTH Bukit Hijau?
5. Apakah ada aturan internal KTH Bukit Hijau?, kalau ada, bagaimana
aturannya?
6. Apakah bapak pernah bermohon IUPHHK-HTR melalui KTH Bukit
Hijau?, berapa luas areal yang dimohon?
7. Apakah bapak tahu dimana areal yang dimohon?, apakah bapak dapat
menunjukkan areal tersebut?
8. Apa jenis tanaman yang ditanam di areal tersebut?, dan sudah berapa
lama bapak bekerja di areal tersebut?
9. Apakah bapak pernah diverifikasi oleh Tim dari instansi BP2HP
Wilayah XV Makassar?, kapan dan apa yang ditanyakan oleh Tim?
99
10. Berapa banyak anggota KTH Bukit Hijau yang sudah dilakukan
verifikasi oleh BP2HP Wilayah XV Makassar?
11. Apakah KTH Bukit Hijau sudah mendapatkan pertimbangan teknis
calon IUPHHK-HTR?
12. Apa yang bapak ketahui tentang proses perizinan terhadap KTH Bukit
Hijau?
13. Apakah KTH Bukit Hijau didampingi oleh Pendamping HTR dari Dinas
Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Maros?
14. Apa alasan dan kendala proses perizinan terhadap KTH Bukit Hijau
sampai saat ini belum diproses?
15. Apa jenis tanaman berkayu yang bapak akan tanam kalau
mendapatkan IUPHHK-HTR?, dan mengapa memilih jenis tanaman
tersebut?
16. Apa jenis tanaman semusim yang bapak akan tanam di areal IUPHHK-
HTR?, dan berapa kali panen dalam setahun?, berapa hasilnya per
hektar?
17. Berapa luas areal yang mampu bapak garap atau kelola dalam
setahun?
18. Siapa yang akan membantu bapak menggarap atau mengelola areal
tersebut?, bagaimana bentuk kerjasamanya (sistem tenur) dengan
orang yang membantu bapak?
19. Siapa yang akan membeli kayu dan tanaman semusim?
100
Lampiran 3.
TOPIK WAWANCARA
PT. PANCA USAHA PALOPO PLYWOOD (PT. PANPLY)
KABUPATEN LUWU
Nama Informan :
Jabatan :
1. Apa produksi utama PT. Panply?
2. Dari mana sumber bahan baku PT. Panply?
3. Kayu jenis apa yang dibutuhkan untuk pasokan bahan baku PT.
Panply?
4. Khusus kayu dari hutan hak, jenis apa yang paling banyak dibutuhkan
oleh PT. Panply?
5. Berapa diameter terkecil pohon yang bisa diproduksi untuk bahan baku
PT. Panply?
6. Berapa harga beli kayu atau pohon dari hutan hak?
101
Lampiran 4.
MATERI FOCUS GROUP DISCUSSION (FGD)
DI DUSUN HOLIANG DESA CENRANA KECAMATAN CAMBA
KABUPATEN MAROS
1. Sistem Kelembagaan Kelompok Kerja dalam KTH
a. Aspek kepemimpinan lembaga terkait proses pengambilan
keputusan dan pola kepemimpinan
b. Doktrin berupa nilai-nilai, tujuan dan aturan internal kelompok
menyangkut peran (hak dan kewajiban, Ketua, Sekretaris,
Bendahara, dan Anggota kelompok sesuai peraturan kehutanan di
bidang HTR serta norma sosial yang terdapat dalam pengelolaan
lahan di lokasi studi, meliputi penyakapan lahan (sistem tenancy
reform), sistem kerjasama dalam pemagaran lahan, penyiapan
lahan, pemeliharaan tanaman, dan pemanenan hasil
c. Program berupa rencana dan kegiatan terkait pengelolaan HTR
d. Sumber daya, antara lain: sumber daya manusia, permodalan dan
potensi kawasan di lokasi pencadangan areal HTR
e. Stuktur intern antara lain struktur organisasi KTH dan hubungannya
dengan instansi terkait.
102
2. Dukungan Lembaga KTH dalam proses perizinan HTR yang
meliputi:
a. Mendiskusikan peran serta KTH dalam mendukung percepatan
penerbitan IUPHHK-HTR dan tahapan proses dilakukan oleh Ketua
KTH dan anggota setelah mendapatkan pertimbangan teknis
IUPHHK-HTR.
b. Mendiskusikan dan solusi pemecahan masalah yang menghambat
proses penerbitan IUPHHK-HTR KTH Bukit Hijau.
3. Batas Kawasan Hutan dan Pembagian Petak Kerja
a. Peneliti menyiapkan peta areal kerja usulan kelompok HTR, peta
tutupan lahan di Dusun Holiang Kecamatan Camba.
b. Mendiskusikan batas-batas areal hak kelola anggota KTH
c. Mengidentifikasi sejarah individu yang pernah memanfaatkan lahan
di dalam kawasan hutan (pemlik ta’tang), siapa dan dimana letaknya
dalam areal tersebut
d. Membangun kesepakatan pembagian letak lahan, luas hak kelola
individu anggota KTH HTR, serta batas-batas yang dipakai antar
lahan hak kelola individu anggota kelompok
4. Sistem Pengaturan Hasil
a. Mendiskusikan jenis tanaman kehutanan, tanaman perkebunan dan
tanaman semusim yang disepakati akan ditanam
103
b. Mendiskusikan pola tanam (jarak tanam, pencampuran tanaman,
dan letak tanaman) yang akan diterapkan pada masing-masing
individu pada areal hak kelola HTR yang akan dikelola
c. Mendiskusikan sistem pemanenan yang akan diterapkan pada
tanaman semusim, tanaman perkebunan dan tanaman kehutanan
d. Menentukan rotasi tanaman yang akan diterapkan pada areal hak
kelola HTR
104
105
106
107
108
109
110
Lampiran 11
Perhitungan Biaya Pembangunan HTR Budidaya Sengon/ha Rotasi 5 Tahun
HARGA SATUAN TOTAL BIAYA PENDAPATAN
JUMLAH SATUAN HOK (Rp./ha) (Rp./TAHUN) (Rp./TAHUN)
I A. PEMBUATAN SAPRAS
1 Pembuatan Pondok Kerja 1 ha 100,000 100,000
B. PENANAMAN
1 Persemaian dan Pembibitan 1 ha 2,038,200 2,038,200
2 Persiapan Lahan 1 ha 2,706,500 2,706,500
3 Penanaman 1 ha 575,700 575,700
C. PEMELIHARAAN
1 Pemeliharaan Tahun I 1 ha 911,200 911,200
D.
1 Pengendalian Hama dan Penyakit 1 ha 219,200 219,200
2 Pengendalian Kebakaran 1 ha 93,000 93,000
3 Pengamanan Hutan 1 ha 103,000 103,000
Jumlah 6,746,800 -
II A. PEMELIHARAAN
1 Pemeliharaan Tahun II 1 ha 717,700 717,700
B. PERLINDUNGAN DAN
PENGAMANAN HUTAN
1 Pengendalian Hama dan Penyakit 1 ha 219,200 219,200
2 Pengendalian Kebakaran 1 ha 93,000 93,000
3 Pengamanan Hutan 1 ha 103,000 103,000
Jumlah 1,132,900 -
III A. PEMELIHARAAN
1 Pemeliharaan Tahun III 1 ha 630,000 630,000
B.
1 Pengendalian Hama dan
Penyakit 1 ha 219,200 219,200
2 Pengendalian Kebakaran 1 ha 93,000 93,000
3 Pengamanan Hutan 1 ha 103,000 103,000
Jumlah 1,045,200 -
IV A. PEMELIHARAAN
1 Pemeliharaan Lanjutan I 1 ha 358,300 358,300
C.
1 Pengendalian Hama dan Penyakit 1 ha 219,200 219,200
2 Pengendalian Kebakaran 1 ha 93,000 93,000
3 Pengamanan Hutan 1 ha 103,000 103,000
Jumlah 773,500 -
V A. PEMELIHARAAN
1 Pemeliharaan Lanjutan II 1 ha 179,100 179,100
B.
1 Pengendalian Hama dan Penyakit 1 ha 219,200 219,200
2 Pengendalian Kebakaran 1 ha 93,000 93,000
3 Pengamanan Hutan 1 ha 103,000 103,000
Jumlah 594,300 -
VI Produksi kayu Sengon
750 pohon @ Rp. 150.000,- 112,500,000
Jumlah - 112,500,000
JUMLAH TOTAL 10,292,700 112,500,000
Sumber : Kementerian Kehutanan (2009)
PERLINDUNGAN DAN
PENGAMANAN HUTAN
PERLINDUNGAN DAN
PENGAMANAN HUTAN
PERLINDUNGAN DAN
PENGAMANAN HUTAN
TAHUN NO URAIANPENGGUNAAN/HA
PERLINDUNGAN DAN
PENGAMANAN HUTAN
111
Lampiran 12
Perhitungan Biaya Budidaya Kacang Tanah/ha Dalam Areal IUPHHK-HTR
Lampiran 12
HARGA SATUAN TOTAL BIAYA PENDAPATAN
JUMLAH SATUAN (RP/Unit) (RP/THN) (RP/THN)
I. 1. Benih Kacang Tanah 200 Kilogram 4,000 800,000
2. Pupuk
a. Urea 100 Kilogram 1,500 150,000
b. TSP 100 Kilogram 1,800 180,000
c. KCl 50 Kilogram 1,650 82,500
3. Peralatan 1 Paket 200,000 200,000
4. Tenaga Kerja
a. Pengolahan Tanah 10 HOK 25,000 250,000
b. Penanaman dan pemupukan 10 HOK 25,000 250,000
c. Penyiangan dan pembubuhan 10 HOK 25,000 250,000
5. Panen dan Pasca Panen 10 HOK 25,000 250,000
6. Lain-lain 150,000 150,000
7. Produksi Kacang Tanah/Ha 1,200 Kilogram 4,000 - 4,800,000 2,562,500 4,800,000
II. 1. Benih Kacang Tanah 200 Kilogram 4,000 800,000
2. Pupuk
a. Urea 100 Kilogram 1,500 150,000
b. TSP 100 Kilogram 1,800 180,000
c. KCl 50 Kilogram 1,650 82,500
3. Tenaga Kerja
a. Pengolahan Tanah 10 HOK 25,000 250,000
b. Penanaman dan pemupukan 10 HOK 25,000 250,000
c. Penyiangan dan pembubuhan 10 HOK 25,000 250,000
4. Panen dan Pasca Panen 10 HOK 25,000 250,000
5. Lain-lain 150,000 150,000
6. Produksi Kacang Tanah/Ha 1200 Kilogram 4,000 - 4,800,000 2,362,500 4,800,000
III. 1. Benih Kacang Tanah 200 Kilogram 4,000 800,000
2. Pupuk
a. Urea 100 Kilogram 1,500 150,000
b. TSP 100 Kilogram 1,800 180,000
c. KCl 50 Kilogram 1,650 82,500
3. Tenaga Kerja
a. Pengolahan Tanah 10 HOK 25,000 250,000
b. Penanaman dan pemupukan 10 HOK 25,000 250,000
c. Penyiangan dan pembubuhan 10 HOK 25,000 250,000
4. Panen dan Pasca Panen 10 HOK 25,000 250,000
5. Lain-lain 150,000 150,000
6. Produksi Kacang Tanah/Ha 1200 Kilogram 4,000 - 4,800,000
2,362,500 4,800,000
7,287,500 14,400,000
Sumber : Kementerian Negara Riset dan Teknologi (2010)
Total (Jumlah 1 + Jumlah 2 + Jumlah 3)
Jumlah 2
Jumlah 3
Perhitungan Biaya Budidaya Kacang Tanah/ha Dalam Areal IUPHHK-HTR
Jumlah 1
THN NO URAIANPENGGUNAAN/HA