uncitral in brief
DESCRIPTION
Penjelasan singkat mengenai UNCITRAL dan penerapannya dalam beberapa kasus yang terkait dengan IndonesiaTRANSCRIPT
![Page 1: UNCITRAL in brief](https://reader036.vdocuments.us/reader036/viewer/2022082613/55cf9462550346f57ba1a312/html5/thumbnails/1.jpg)
UNCITRAL
UNCITRAL (United Nations Commission on International Trade Law) merupakan sebuah
badan dibawah Majelis Umum PBB yang dibentuk melalui Resolusi Majelis Umum No. 2205
(XXI) pada 17 December 19661 dengan tujuan untuk mengharmonisasikan dan melakukan
unifikasi hukum di bidang perdagangan internasional. Dua dari beberapa produk hukum yang
dihasilkan oleh UNCITRAL yang berkaitan dengan arbitrase internasional adalah UNCITRAL
Model Law on International Commercial Arbitration (UNCITRAL Model Law) dan UNCITRAL
Arbitration Rules. Perbedaan diantara keduanya ialah UNCITRAL Model Law mengandung
pengaturan yang dapat diadopsi oleh Pemerintah untuk menjadi peraturan perundang-
undangan nasional di bidang arbitrase, sedangkan UNCITRAL Arbitration Rules merupakan
peraturan yang dipilih oleh pihak-pihak dalam kontrak, atau ketika sebuah sengketa muncul,
untuk mengatur pelaksanaan arbitrase yang bertujuan menyelesaikan sengketa diantara
mereka.2 Intinya, UNCITRAL Model Law ditujukan untuk Negara, sedangkan UNCITRAL
Arbitration Rules ditujukan untuk menyelesaikan sengketa diantara para pihak.3 Dalam hal ini,
akan dibahas mengenai UNCITRAL Arbitration Rules sebagai salah satu procedural law yang
dapat dipilih para pihak dalam kontrak atau para pihak yang bersengketa, serta penerapannya
dalam beberapa kasus.
A. UNCITRAL Arbitration Rules
UNCITRAL Arbitration Rules dibentuk oleh UNCITRAL melalui Resolusi Majelis Umum
PBB pada 15 Desember 1976.4 Indonesia merupakan salah satu negara yang turut
menandatangai Resolusi Majelis Umum PBB tersebut. UNCITRAL Arbitration Rules
diamandemen pada tahun 2010, dan didalamnya terkandung empat bagian utama, yakni:
Pengaturan Umum (Introductory Rules); Komposisi Majelis Arbitrase (Composition of Arbitral
Tribunal), Proses Arbitrase (Arbitral Proceeding); dan Putusan Arbitrase (The Award). Apabila
sebuah perjanjian arbitrase dibuat setelah tanggal 15 Agustus 2010, maka yang berlaku bagi
para pihak dalam perjanjian tersebut adalah UNCITRAL Arbitration Rules yang telah
1 United Nations (1), “A Guide to UNCITRAL: Basic facts about the United Nations Commission on International Trade Law”, http://www.uncitral.org/pdf/english/texts/general/12-57491-Guide-to-UNCITRAL-e.pdf, diakses pada 13 Oktober 2013.2 UNCITRAL, “FAQ – UNCITRAL and Private Disputes / Litigation”, http://www.uncitral.org/uncitral/en/uncitral_texts/arbitration_faq.html, diakses pada 13 Oktober 2013. “The UNCITRAL Model Law provides a pattern that law-makers in national governments can adopt as part of their domestic legislation on arbitration. The UNCITRAL ARbitration Rules, on the other hand, are selected by parties either as part of their contract, or after a dispute arises, to govern the conduct of an arbitration intended to resolve a dispute or disputes between themselves. Put simply, the Model Law is directed at States, while the Arbitration Rules are directed at potential (or actual) parties to a dispute.”3 Ibid.4 Suleman Batubara dan Orinton Purba, Arbitrase Internasional; Penyelesaian Sengketa Investasi Asing Melalui ICSID, UNCITRAL dan SIAC, (Jakarta: Raih Asa Sukses, 2013), hal. 66.
![Page 2: UNCITRAL in brief](https://reader036.vdocuments.us/reader036/viewer/2022082613/55cf9462550346f57ba1a312/html5/thumbnails/2.jpg)
diamandemen, kecuali para pihak memilih untuk menggunakan versi yang sebelumnya
(UNCITRAL Arbitration Rules 1976).5
Dalam hal para pihak dalam kontrak, ataupun para pihak bersengketa, sepakat untuk
memilih UNCITRAL Arbitration Rules sebagai procedural law bagi penyelesaian sengketa
diantara mereka, maka bentuk arbitrase yang dapat diselenggarakan ialah arbitrase ad hoc6.
Adapun prosedur arbitrase menurut UNCITRAL Arbitration Rules, secara garis besar ialah:
Notice of Arbitration
Berdasarkan Pasal 3 UNCITRAL Arbitration Rules, pihak yang hendak mengajukan
sengketa untuk diselesaikan melalui arbitrase (Penggugat / Claimant) harus memberi notifikasi
(pemberitahuan) kepada pihak Tergugat (Respondent). Notifikasi tersebut memuat
permohonan diselesaikannya sengketa melalui arbitrase, identitas para pihak, kontrak beserta
klausula arbitrase atau perjanjian arbitrase yang menjadi dasar, ringkasan klaim dan ganti rugi
yang dikehendaki, serta usulan jumlah arbiter, bahasa, dan tempat arbitrase apabila belum
disetujui sebelumnya oleh para pihak. Waktu diterimanya notifikasi oleh Tergugat dianggap
sebagai waktu mulainya proses arbitrase. Selanjutnya,7 dalam waktu 30 hari sejak diterimanya
notifikasi oleh Tergugat, maka Tergugat harus memberikan tanggapan terhadap notifikasi
5 United Nations (2), UNCITRAL ARbitration Rules, 2010, Ps. 1 ayat (2).6 Arbitrase Ad Hoc adalah arbitrase yang dibentuk khusus untuk menyelesaikan atau memutus perselisihan tertentu, atau dengan kata lain, arbitrase Ad-Hoc bersifat insidentil. A.Rahmat Rosyadi dan Ngatino, Arbitrose dotam Perspektif Islam dan Hukum Positif, dikutip dalam Jafar Sidik, “Seputar Arbitrase Institusional dan Arbitrase Ad Hoc”, Jurnal Ilmu Hukum Wacana Paramarta, hal. 28.7 United Nations (2), loc.cit., Ps. 4.
Notice of Arbitration
Appointment of Arbitrators
Place of Arbitration
Statement of Claim
Statement of Defence
Further Written Statement
Evidence and Hearings (Factual and Expert Written Statements)
Award
![Page 3: UNCITRAL in brief](https://reader036.vdocuments.us/reader036/viewer/2022082613/55cf9462550346f57ba1a312/html5/thumbnails/3.jpg)
tersebut yang berisi nama dan kontak Tergugat, serta tanggapan atas hal-hal yang terkandung
dalam notifikasi.
Appointment of Arbitrators
Dalam arbitrase, para pihak yang bersengketa berhak untuk memilih arbiter atau
Majelis Arbiter sesuai kehendak mereka untuk menyelesaikan sengketa diantara mereka.
Berdasarkan Pasal 6 ayat (1) UNCITRAL Arbitration Rules, mereka dapat pula memilih institusi
atau perorangan yang diberi kewenangan untuk menentukan arbiter bagi mereka (appointing
authority). Apabila institusi atau perorangan tersebut menolak, atau gagal, untuk menentukan
arbiter bagi para pihak, mereka dapat memohonkan kepada Sekretaris Jenderal PCA
(Permanent Court of Arbitration) untuk menentukan appointing authority.
Selain menentukan arbiter, para pihak juga berhak untuk menentukan jumlah arbiter.
Menurut Pasal 7 UNCITRAL Arbitration Rules, apabila para pihak belum menyepakati jumlah
arbiter, dan apabila dalam waktu 30 hari sejak diterimanya notifikasi arbitrase oleh Tergugat
para pihak belum menyepakati untuk menunjuk arbiter tunggal (sole arbitrator), maka jumlah
arbiter yang harus ditunjuk adalah tiga.
Selanjutnya, dalam hal para pihak telah menyepakati bahwa arbitrase akan dilakukan
dengan arbiter tunggal namun dalam jangka waktu 30 hari sejak notifikasi diterima Tergugat
para pihak belum menentukan arbiter, maka berdasarkan Pasal 8 ayat (1) UNCITRAL
Arbitration Rules, appointing authority, berdasarkan permintaan para pihak, harus menentukan
arbiter bagi mereka. Dalam hal para pihak menyepakati bahwa arbitrase dilakukan dengan tiga
arbiter,8 maka masing-masing pihak berhak untuk menunjuk satu arbiter, yang kemudian kedua
arbiter tersebut akan menunjuk arbiter ketiga yang bertindang sebagai pemimpin atau ketua.
Manakala ditengah proses arbitrase seorang arbiter harus diganti,9 maka arbiter
pengganti harus segera ditunjuk sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam Pasal 8 – Pasal 11
UNCITRAL Arbitration Rules. Selanjutnya,10 setelah proses penggantian arbiter, proses arbitrase
dilanjutkan pada tahap dimana arbiter yang terdahulu digantikan, kecuali Majelis Arbiter
berkata lain.
Place of Arbitration
Dalam hal para pihak belum menentukan tempat dimana arbitrase dilangsungkan,
Majelis Arbiter berwenang untuk menentukan tempat arbitrase menurut Pasal 18 ayat (1)
UNCITRAL Arbitration Rules, dengan mempertimbangkan hal-hal terkait sengketa. Putusan
arbitrase dibuat ditempat dimana arbitrase dilaksanakan.
8 Ibid., Ps. 9 ayat (1).9 Ibid., Ps. 14 ayat (1).10 Ibid., Ps. 15.
![Page 4: UNCITRAL in brief](https://reader036.vdocuments.us/reader036/viewer/2022082613/55cf9462550346f57ba1a312/html5/thumbnails/4.jpg)
Statement of Claim
Statement of claim merupakan pokok gugatan yang diajukan oleh pihak Penggugat.
Penggugat, berdasarkan Pasal 20 UNCITRAL Arbitration Rules, harus menyampaikan statement
of claim kepada Tergugat dan Majelis Arbiter secara tertulis dalam waktu yang ditentukan oleh
Majelis . Notifikasi arbitrase yang disampaikan sebelumnya juga dapat menjadi statement of
claim dari Penggugat, selama memenuhi ketentuan-ketentuan dalam Pasal 20 ayat (2) – ayat
(4), yang mensyaratkan bahwa statement of claim harus memenuhi ketentuan:
berisikan nama dan detil kontak para pihak, fakta-fakta pendukung gugatan, pokok
masalah, ganti rugi yang dimintakan, dan dasar hukum yang mendukung gugatan;
lampiran berupa salinan dari kontrak atau produk hukum lainnya yang berkaitan dengan
sengketa; dan
lampiran berupa seluruh dokumen dan bukti yang mendukung Penggugat.
Statement of Defence
Statement of defence merupakan jawaban atau tanggapan dari pihak Tergugat atas
gugatan yang diajukan terhadapnya. Tergugat harus menyampaikan statement of defence
kepada Penggugat dan Majelis Arbiter secara tertulis dalam jangka waktu yang ditentukan
Majelis .11 Pihak Tergugat juga dapat menggunakan jawaban atau tanggapan atas notifikasi
arbitrase dari Penggugat sebagai statement of defence, selama hal tersebut disertai dengan
dokumen-dokumen dan bukti-bukti lainnya yang mendukung jawaban Tergugat.12 Selain itu,
dalam Pasal 21 ayat (3) UNCITRAL Arbitration Rules, diatur bahwa pihak Tergugat dapat
mengajukan gugatan balik (counterclaim) dalam statement of defence tersebut.
Further Written Statement
Pada dasarnya, pernyataan lanjutan bukanlah prosedur yang wajib ada dalam proses
arbitrase menurut UNCITRAL Arbitration Rules. Pernyataan lanjutan ini hanya diajukan apabila
baik pihak Penggugat maupun Tergugat merasa perlu untuk menambahkan argumen-argumen
atau fakta-fakta baru yang belum tercantum dalam statement of claim ataupun statement of
defence. Menurut Pasal 24 UNCITRAL Arbitration Rules, majelis harus menentukan pula apakah
pernyataan lanjutan tersebut dianggap perlu.
Evidence and Hearings
11 Ibid., Ps. 21 ayat (1).12 Ibid., Ps. 21 ayat (1) jo. Pasal 21 ayat (2).
![Page 5: UNCITRAL in brief](https://reader036.vdocuments.us/reader036/viewer/2022082613/55cf9462550346f57ba1a312/html5/thumbnails/5.jpg)
Pembuktian dalam proses arbitrase meliputi pemeriksaan alat bukti yang diajukan para
pihak serta keterangan dari para saksi (evidence and hearing). Setiap dalil gugatan dan bantahan
yang diajukan para pihak harus didukung oleh pembuktian. Untuk itu, para pihak “dibebani”
kewajiban untuk membuktikan setiap dalil yang mereka ajukan (burden of proving the facts).
Berdasarkan Pasal 27 ayat (2), kesaksian dapat dilakukan secara tertulis, kecuali ditentukan
lain oleh Majelis. Selain kewajiban pembuktian dari masing-masing pihak, selama proses
pemeriksaan, Majelis juga dapat meminta para pihak untuk menyediakan dokumen atau bukti-
bukti lainnya dalam periode yang ditentukan, serta menentukan diterimanya, relevansi, dan
bobot dari setiap bukti yang diajukan.
Mengenai pembuktian berdasarkan kesaksian (hearing), kesaksian dilakukan menurut
tata cara yang ditentukan oleh Majelis. Proses hearing didokumentasikan dengan kamera,
kecuali para pihak tidak menyetujuinya. Selama proses pemeriksaan, Majelis dapat
mengabulkan pengunduran diri seorang atau beberapa orang saksi13, dan dapat pula menunjuk
saksi yang dianggap perlu dalam penyelesaian sengketa tersebut.14
Award
Putusan dibuat secara tertulis, berisi pertimbangan dan alasan dari putusan, dan
bersifat final dan mengikat para pihak. Berdasarkan Pasal 34 ayat (5), putusan dapat
dipublikasikan apabila disepakati oleh para pihak, sepanjang publikasi tersebut dilakukan
untuk memenuhi kewajiban hukum tertentu.
Hal penting lainnya terkait dengan proses berarbitrase menurut UNCITRAL Arbitration
Rules adalah jurisdiksi dari Majelis Arbiter dalam menyelesaikan sengketa melalui arbitrase.
Dalam Pasal 23 ayat (1) UNCITRAL Arbitration Rules, diatur bahwa Majelis Arbiter memiliki
jurisdiksi atas penyelesaian sengketa dan penentuan keabsahan dari klausula arbitrase. Apabila
terdapat argumen atau bantahan mengenai keabsahan klausula arbitrase, makan klausula
tersebut harus diperlakukan sebagai bagian yang terpisah dari kontrak. Argumen atau bantahan
bahwa Majelis Arbiter tidak memiliki jurisdiksi harus dinyatakan paling lambat pada saat
diajukannya statement of defence, atau dapat pula dimasukkan ke dalam counterclaim.15 Majelis
dapat memutus bantahan tersebut sebagai putusan sela ataupun disertakan dalam putusan
akhir, apabila dianggap lebih memenuhi baik untuk jalannya pemeriksaan. Majelis dapat
melanjutkan proses arbitrase dan membuat putusan, meskipun bantahan mengenai jurisdiksi
dari Majelis belum diselesaikan.
13 Ibid., Ps. 28 ayat (3).14 Ibid., Ps. 2915 Ibid., Ps. 23 ayat (2)
![Page 6: UNCITRAL in brief](https://reader036.vdocuments.us/reader036/viewer/2022082613/55cf9462550346f57ba1a312/html5/thumbnails/6.jpg)
B. Implementasi UNCITRAL Arbitration Rules dalam Beberapa Kasus
1. ICS Inspection and Control Services Ltd. (United Kingdom) v. Republik Argentina 16
Salah satu penyelesaian sengketa yang menggunakan UNCITRAL Arbitration Rules
(1976) adalah kasus antara ICS Inspection and Control Services Ltd. (United Kingdom) sebagai
Penggugat dengan Republik Argentina sebagai Tergugat. Hubungan diantara keduanya dimulai
ketika Argentina mengeluarkan Keputusan Presiden (Presidential Decree) No. 477/97pada 22
Mei 1997 mengenai pengawasan terhadap barang-barang yang akan diimpor ke Argentina. ICS
Inspection and Control Services Ltd. (“ICS”) merupakan perusahaan yang memenangkan tender
sebagai perusahaan yang akan melakukan audit terhadap pemeriksaan barang-barang yang
sebelum diimpor ke Argentina oleh Perusahaan Inspeksi Pra-Pengiriman (Pre-Shipment
Inspection Companies). Berdasarkan Klausul 3 dalam kontrak antara ICS dengan Kementerian
Perekonomian dan Pekerjaan Umum Argentina (Ministerio de Economía y Obras y Servicios
Públicos / “MECON”), yang kemudian diperbaharui pada 11 September 1998 melalui Resolusi
No. 1106/98, biaya untuk audit yang dilakukan oleh ICS ialah 80% dari biaya yang diterima oleh
Perusahaan Inspeksi Pra-Pengiriman untuk setiap sertifikat inspeksi yang diaudit oleh ICS.
Sebagai tambahan, ICS juga akan menerima minimal 4% dan maksimal 10% dari biaya yang
dibayarkan kepada Perusahaan Inspeksi Pra-Pengiriman (“10% Fee Cap”).
Gugatan terhadap Pemerintah Argentina melalui Permanent Court of Arbitration (“PCA”)
diajukan akibat kegagalan pembayaran oleh Pemerintah Argentina terhadap jasa audit yang
telah dilakukan oleh ICS sejak tahun 1998 hingga tahun 2001. Sebelumnya, ICS telah
mengajukan gugatan administratif pada tahun 2002 dan 2004 namun tidak membuahkan hasil
yang memuaskan. ICS membawa sengketa ini untuk diselesaikan melalui arbitrase berdasarkan
Pasal 8 Perjanjian Investasi Bilateral (Bilateral Investment Treaty / BIT) antara UK dan
Argentina, yang menyatakan bahwa sengketa yang muncul berdasarkan BIT tersebut akan
diselesaikan melalui majelis arbitrase berdasarkan UNCITRAL 1976. Melalui Notice of
Arbitration yang diterima oleh Argentina pada 30 Juni 2009, ICS memohon kepada PCA untuk
menyelesaikan sengketa melalui arbitrase dan memutus hal-hal sebagai berikut, yakni bahwa:
a. PCA memiliki jurisdiksi atas sengketa tersebut;
b. Pemerintah Argentina telah melanggar Pasal 2 ayat (2) Perjanjian Investasi Bilateral
antara UK dan Argentina;
c. Pemerintah Argentina harus membayar ganti rugi paling sedikir US$ 25.2777.011,10
kepada ICS; dan
d. Pemerintah Argentina harus mengganti segala kerugian yang diderita ICS dan segala
biaya pemulihan ICS, serta seluruh biaya yang timbul dalam proses arbitrase ini.
16 ICS Inspection and Control Services Ltd. (United Kingdom) vs. The Argentine Republic, PCA Case No. 2010-9, Award on Jurisdiction, 10 Februari 2012.
![Page 7: UNCITRAL in brief](https://reader036.vdocuments.us/reader036/viewer/2022082613/55cf9462550346f57ba1a312/html5/thumbnails/7.jpg)
Argumen-argumen yang diajukan para pihak selama proses arbitrase, ialah:
i. Mengenai jurisdiksi Majelis berdasarkan Pasal 8 BIT antara UK-Argentina, pihak Tergugat
mengemukakan bahwa Majelis tidak berwenang untuk menyelesaikan sengketa yang
bersangkutan, karena pihak Penggugat tidak membawa sengketa ke hadapan Pengadilan
Argentina sebelum membawanya ke hadapan Majelis arbitrase, sebagaimana
dipersyaratkan dalam Pasal 8 ayat (1) dan (2) BIT antara UK-Argentina. Ketentuan
mengenai mekanisme penyelesaian sengketa dalam BIT tersebut bersifat multi-layered,
sehingga prosedur yang dilaksanakan harus bertahap sesuai dengan urutan dalam
perjanjian. Tergugat menambahkan, bahwa penggunaan kata ‘shall’ (harus) dalam klausula
tersebut menandakan bahwa berbagai tahapan penyelesaian sengketa yang terkandung
didalamnya harus diikuti sedemikian rupa, bukan merupakan alternatif. Tergugat
memberikan beberapa contoh kasus yakni Maffezini v. Spanyol17 dan Wintershall v.
Republik Argentina18, dimana para Majelis dalam kasus-kasus tersebut menolak
permohonan arbitrase oleh para Penggugat, karena perjanjian diantara mereka
mengandung klausula multi-layered yang harus dipenuhi sebelum diajukannya sengketa ke
arbitrase.
ii. Mengenai klausula most favoured nations19 dalam Pasal 3 BIT UK-Argentina, Penggugat
menyatakan bahwa dengan diakuinya prinsip tersebut, maka persyaratan penyelesaian
sengketa di Pengadilan Argentina sebelum dibawa ke Majelis arbitrase dapat ditiadakan,
mengingat dalam BIT antara Argentina-Lithuania, tidak ditemukan persyaratan seperti itu.
Sehingga, perlakuan yang sama juga harus diterapkan kepada UK. Menanggapi hal tersebut,
Tergugat menyatakan bahwa prinsip most favoured nations tidak berlaku dalam masalah
penyelesaian sengketa.
iii. Mengenai klausula payung (umbrella clause)20, Penggugat menyatakan bahwa umbrella
clause dalam BIT UK-Argentina dapat digunakan sebagai dasar penghubung antara
17 Maffezini v. Kingdom of Spain, ICSID Case No. ARB/97/7, Decision on Objection to Jurisdiction, 25 Januari 2000.18 Wintershall Aktiengesellschaft v. Argentine Republic, ICSID Case No. ARB/04/14, Award, 8 Desember 2008.19 Prinsip Most Favoured Nations merupakan prinsip yang diakui oleh masyarakat Internasional, khususnya Negara-Negara anggota WTO, yang mengatur bahwa perlakuan suatu Negara terhadap Negara atau Warga Negara yang satu tidak boleh berbeda, atau lebih buruk, dibandingkan dengan perlakuan terhadap arga Negara lainnya. World Trade Organization, “Understanding the WTO: Principles of the Trading System – Trade Without Discrimination”, http://www.wto.org/english/thewto_e/whatis_e/tif_e/fact2_e.htm#seebox, diakses pada 13 Oktober 2013. “Most Favoured Nations: treating people equally ...countries cannot normally discriminate between their trading partners. Grant someone a special favour (such as a lower customs duty rate for one of their products) and you have to do the same for all other WTO members”.20 Umbrella Clause merupakan klausula yang memberikan perlindungan tambahan kepada investor dalam sebuah perjanjian investasi. Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), “Interpretation of the Umbrella Clause in Investment Agreement”,Working Papers on International Investment 3, (Oktober, 2006) : 3. “Clauses of this kind have been added to provide additional protection to investors and are directed at covering investment agreements that host countries frequently conclude with foreign investors.”
![Page 8: UNCITRAL in brief](https://reader036.vdocuments.us/reader036/viewer/2022082613/55cf9462550346f57ba1a312/html5/thumbnails/8.jpg)
pelanggaran kontrak yang dilakukan MECON dengan pelanggaran BIT UK-Argentina.
Penggugat meminta Majelis untuk melihat latar belakang dan tujuan dari dibentuknya
umbrella clause dalam BIT tersebut. Klausula tersebut dimaksudkan untuk
diinterpretasikan secara luas untuk melindungi segala bentuk investasi yang dilakukan
antara UK-Argentina, sehingga pelanggaran terhadap kontrak dalam hal ini juga berarti
pelanggaran umbrella clause tersebut. Tergugat menyatakan bahwa Penggugat tidak dapat
menggunakan pelanggaran BIT sebagai dasar dibawanya sengketa ke Majelis arbitrase,
karena kontrak antara ICS dan MECON yang diatur dengan hukum Argentina tidak dapat
dipersamakan dengan BIT UK-Argentina yang diatur dengan hukum internasional.
Karenanya, pelanggaran kontrak tidak sama dengan pelanggaran BIT. Tergugat
menggunakan contoh kasus Serbian Loans v. ELSI21 dimana tribunal pada saat itu
menyatakan bahwa investor tidak dapat mengajukan gugatan kepada Negara hanya dengan
dasar pelanggaran kontrak.
iv. Tergugat mendalilkan bahwa pihak Penggugat telah secara diam-diam menyetujui
(acquiescence) perbuatan Tergugat perihal pengurangan jumlah pembayaran dan
kebijakan-kebijakan lainnya. Tergugat juga menyatakan bahwa pada saat Penggugat
mengajukan gugatan administratif pada tahun 2002, Penggugat tidak menyebutkan
mengenai pelanggaran BIT, dan barulah pada tahun 2006 Penggugat menyebutkan hal
tersebut. Dalam hal ini, Penggugat dianggap telah secara sukarela tidak
mempermasalahkan pelanggaran BIT selama lebih dari empat tahun dan karenanya,
gugatan atas pelanggaran BIT dianggap tidak beralasan. Menanggapi pernyataan ini,
Penggugat menyatakan bahwa pihak Tergugat telah salah menginterpretasikan konsep dari
sengketa yang ada. Selama tahun 2002 hingga 2006, Penggugat tidak hanya diam dan terus
melakukan upaya untuk mendapatkan pembayaran sesuai kontrak, sehingga tidak dapat
dikatakan sebagai pembiaran ataupun persetujuan diam-diam terhadap perbuatan
Tergugat.
Pertimbangan Majelis arbiter terhadap argumen-argumen tersebut, yakni:
a. Mengenai persyaratan arbitrase, Majelis menemukan bahwa yang dimaksud dalam Pasal 8
BIT UK-Argentina adalah benar dan tanpa ambiguitas, bahwa penyelesaian sengketa yang
timbul berdasarkan BIT tersebut harus diselesaikan secara bertahap (multi-layered),
melalui penyelesaian secara damai, kemudian apabila tidak berhasil maka harus dibawa ke
Pengadilan Argentina, dan apabila tidak berhasil juga barulah diselesaikan dengan
arbitrase. Majelis menemukan penggunaan kata ‘shall’ secara jelas mengatur keharusan
21 Case concerning Elettronica Sicula S.p.A. (ELSI) (Amerika Serikat v. Italia), ICJ, Judgment, 20 Juli 1989.
![Page 9: UNCITRAL in brief](https://reader036.vdocuments.us/reader036/viewer/2022082613/55cf9462550346f57ba1a312/html5/thumbnails/9.jpg)
para pihak untuk mengikuti prosedur yang ada. Sehingga, Penggugat telah gagal dalam
menjalankan ketentuan dalam BIT.
b. Mengingat tidak dipenuhinya persyaratan arbitrase oleh Penggugat, Majelis
mempertimbangkan pertanyaan apakah prinsip most favoured nations berlaku terhadap
penyelesaian sengketa. Majelis mempertimbangkan bahwa untuk berlaku terhadap
penyelesaian sengketa, klausula most favoured nation tidak dapat sekedar memuat
ketentuan bahwa Negara tidak boleh melakukan diskriminasi terhadap Negara atau Warga
Negara lainnya, melainkan harus secara tegas disebutkan keberlakuan prinsip atau
klausula tersebut terhadap penyelesaian sengketa. Majelis menggunakan kasus Plama v.
Bulgaria22 sebagai contoh.
c. Mengenai apakah BIT Argentina-Lithuania mengandung perlakuan yang lebih
menguntungkan (more favourable treatment) dibandingkan dengan BIT UK-Argentina,
Majelis berpendapat bahwa untuk menentukan hal tersebut tidak dapat dilakukan dengan
melihat sekedarnya saja. Penilaian terhadap untung-tidaknya isi perjanjian juga tidak dapat
secara parsial, melainkan harus secara keseluruhan dan mempertimbangkan akibat dari
keseluruhan klausula tersebut. Dalam klausula penyelesaian sengketa BIT Argentina-
Lithuania, diatur bahwa dalam hal terjadi sengketa, para pihak harus melakukan negosiasi,
dan apabila tidak berhasil, mereka harus memilih salah satu diantara litigasi dan arbitrase.
Hal ini dianggap tidak lebih menguntungkan menurut Majelis, karena dengan ketentuan
seperti ini, para pihak hanya dapat memilih salah satu diantara litigasi dan arbitrase, dan
ketika mereka memilih salah satu, maka pilihan lainnya akan lenyap. Hal ini berbeda
dengan klausula di dalam BIT UK-Argentina yang memberikan para pihak kesempatan
untuk membawa sengketa ke Pengadilan terlebih dahulu sebelum arbitrase, sehingga para
pihak dapat menikmati kedua fasilitas. Sehingga, klausula penyelesaian sengketa dalam BIT
Argentina-Lithuania tidak dianggap lebih menguntungkan oleh Majelis.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan diatas, Majelis memutuskan bahwa
Penggugat telah gagal dalam menjalankan kewajiban pengajuan sengketa ke Pengadilan
Argentina sebelum membawanya ke arbitrase, dan bahwa Penggugat tidak dapat menggunakan
prinsip most favoured nations dalam BIT UK-Argentina sebagai dasar peniadaan persyaratan
tersebut. Sehingga, Majelis tidak memiliki jurisdiksi untuk menyelesaikan sengketa antara ICS
dengan Argentina, dan harus menolak sengketa tersebut.
2. Saar Papier Vertriebs GmbH (Jerman) v. Polandia 23
22 Plama Consortium Ltd. v. Republic of Bulgaria, ICSID Case No.ARB/03/24, Award, 27 Agustus 2008.23 Saar Papier Vertriebs GmbH (Jerman) v. Polandia, PCA Case, 1995.
![Page 10: UNCITRAL in brief](https://reader036.vdocuments.us/reader036/viewer/2022082613/55cf9462550346f57ba1a312/html5/thumbnails/10.jpg)
Kasus lainnya yang diselesaikan dengan UNCITRAL Arbitration Rules 1976 adalah kasus
antara Saar Papier Vertriebs GmbH dengan Pemerintah Polandia. Saar Papier merupakan
perusahaan penghasil produk kertas daur ulang asal Jerman yang didirikan di Polandia pada
tahun 1990. Sengketa timbul pada tahun 1991, ketika dikeluarkannnya peraturan mengenai
larangan penggunaan kertas bekas hasil impor oleh Pemerintah Polandia. Hal ini dilakukan oleh
Polandia dengan alasan larangan impor “sampah” untuk melindungi dan memelihara
lingkungan. Kemudian, Saar Papier membawa sengketa ke hadapan Majelis arbiter ad hoc
dengan UNCITRAL Arbitration Rules 1976 sebagai procedural law. Saar Papier mendalilkan
bahwa Polandia telah melanggar hak-hak investor sebagaimana tercantum dalam BIT antara
Jerman-Polandia tahun 1989. Hingga saat ini, putusan dari sengketa ini tidak diumumkan dan
tidak diketahui publik. Namun, diketahui bahwa Majelis memenangkan pihak Saar Papier
sebagai Penggugat, dengan alasan bahwa tindakan yang dilakukan oleh Pemerintah Polandia
setara dengan pengambilalihan (an action tantamount to expropriation), dan karenanya
Polandia harus membayar sejumlah 1.200.000 (Satu Juta Dua Ratus Ribu) Euro.
3. Windstream Energy LLC v. Pemerintah Kanada
Selain dua kasus yang telah dijabarkan diatas, terdapat banyak kasus yang diselesaikan
dengan menggunakan UNCITRAL Arbitration Rules sebagai hukum yang mengatur prosedur
berarbitrase. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, UNCITRAL Arbitration Rules telah
mengalami amandemen pada tahun 2010, sehingga untuk sengketa-sengketa yang muncul
setelah Juli 2010, menggunakan UNCITRAL Arbitration Rules 2010. Salah satu kasus yang
menggunakan peraturan yang baru ini, yakni Windstream Energy LLC v. Pemerintah Kanada.
Windstream adalah sebuah perusahaan yang didirikan di Delaware, Amerika Serikat.
Perusahaan ini melakukan investasi di Ontarion, Kanada, melalui kepemilikan saham sebesar
100 persen pada WWIS, sebuah perusahaan yang didirikan di Kanada. Pada Februari 2008,
WWIS mengajukan izin pembangunan offshore wind facility kepada Kemeterian Sumber Daya
Alam untuk mendapatkan kontrak FIT24. Sengketa timbul ketika setelah 5 tahun proyek
berjalan, Pemerintah Ontario mengeluarkan moratorium terhadap pembangunan fasilitas lepas
pantai yang dilakukan oleh WWIS. Hal ini amat merugikan WWIS yang telah melakukan deposit
sebesar CDN$6.000.000 (Enam Juta Dollar Kanada) dan melakukan mekanisme-mekanisme
lainnya sebagaimana ditentukan dalam FIT program. Akhirnya, pada Januari 2013, Windstream
Energy Co. sebagai pemegang saham WWIS mengajukan gugatan terhadap Pemerintah Kanada
yang dianggap bertanggungjawab atas moratorium dan perbuatan lainnya oleh Pemerintah
24 “FIT” (Feed-in Tariff) adalah program yang terkandung dalam Green Energy Act yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kanada pada tahun 2009, yang menetapkan biaya premium untuk jangka waktu 20 tahun (20-year fixed premium price) yang dibayarkan oleh Ontario Power Authority. Windstream Energy LLC v. Government of Canada, PCA, Notice of Arbitration, 28 Januari 2013, par. 12.
![Page 11: UNCITRAL in brief](https://reader036.vdocuments.us/reader036/viewer/2022082613/55cf9462550346f57ba1a312/html5/thumbnails/11.jpg)
Ontario, ke Permanent Court of Arbitration untuk diselesaikan melalui arbitrase dengan
menggunakan UNCITRAL Arbitration Rules 2010 sebagai pedoman prosedur. Sampai pada 16
September 2013, sengketa ini baru sampai tahap persetujuan Procedural Order.