uncitral in brief

15
UNCITRAL UNCITRAL (United Nations Commission on International Trade Law) merupakan sebuah badan dibawah Majelis Umum PBB yang dibentuk melalui Resolusi Majelis Umum No. 2205 (XXI) pada 17 December 1966 1 dengan tujuan untuk mengharmonisasikan dan melakukan unifikasi hukum di bidang perdagangan internasional. Dua dari beberapa produk hukum yang dihasilkan oleh UNCITRAL yang berkaitan dengan arbitrase internasional adalah UNCITRAL Model Law on International Commercial Arbitration (UNCITRAL Model Law) dan UNCITRAL Arbitration Rules. Perbedaan diantara keduanya ialah UNCITRAL Model Law mengandung pengaturan yang dapat diadopsi oleh Pemerintah untuk menjadi peraturan perundang-undangan nasional di bidang arbitrase, sedangkan UNCITRAL Arbitration Rules merupakan peraturan yang dipilih oleh pihak-pihak dalam kontrak, atau ketika sebuah sengketa muncul, untuk mengatur pelaksanaan arbitrase yang bertujuan menyelesaikan sengketa diantara mereka. 2 Intinya, UNCITRAL Model Law ditujukan untuk Negara, sedangkan UNCITRAL Arbitration Rules ditujukan untuk menyelesaikan sengketa diantara para pihak. 3 Dalam hal ini, akan dibahas mengenai UNCITRAL Arbitration Rules sebagai salah satu procedural law yang dapat dipilih para pihak dalam kontrak atau para pihak yang bersengketa, serta penerapannya dalam beberapa kasus. 1 United Nations (1), “A Guide to UNCITRAL: Basic facts about the United Nations Commission on International Trade Law”, http://www.uncitral.org/pdf/english/texts/general/12-57491-Guide-to- UNCITRAL-e.pdf, diakses pada 13 Oktober 2013. 2 UNCITRAL, “FAQ – UNCITRAL and Private Disputes / Litigation”, http://www.uncitral.org/uncitral/en/uncitral_texts/arbitration_faq.html, diakses pada 13 Oktober 2013. “The UNCITRAL Model Law provides a pattern that law- makers in national governments can adopt as part of their domestic legislation on arbitration. The UNCITRAL ARbitration Rules, on the other hand, are selected by parties either as part of their contract, or after a dispute arises, to govern the conduct of an arbitration intended to resolve a dispute or disputes between themselves. Put simply, the Model Law is directed at States, while the Arbitration Rules are directed at potential (or actual) parties to a dispute.” 3 Ibid.

Upload: viera-amelia

Post on 18-Jan-2016

115 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Penjelasan singkat mengenai UNCITRAL dan penerapannya dalam beberapa kasus yang terkait dengan Indonesia

TRANSCRIPT

Page 1: UNCITRAL in brief

UNCITRAL

UNCITRAL (United Nations Commission on International Trade Law) merupakan sebuah

badan dibawah Majelis Umum PBB yang dibentuk melalui Resolusi Majelis Umum No. 2205

(XXI) pada 17 December 19661 dengan tujuan untuk mengharmonisasikan dan melakukan

unifikasi hukum di bidang perdagangan internasional. Dua dari beberapa produk hukum yang

dihasilkan oleh UNCITRAL yang berkaitan dengan arbitrase internasional adalah UNCITRAL

Model Law on International Commercial Arbitration (UNCITRAL Model Law) dan UNCITRAL

Arbitration Rules. Perbedaan diantara keduanya ialah UNCITRAL Model Law mengandung

pengaturan yang dapat diadopsi oleh Pemerintah untuk menjadi peraturan perundang-

undangan nasional di bidang arbitrase, sedangkan UNCITRAL Arbitration Rules merupakan

peraturan yang dipilih oleh pihak-pihak dalam kontrak, atau ketika sebuah sengketa muncul,

untuk mengatur pelaksanaan arbitrase yang bertujuan menyelesaikan sengketa diantara

mereka.2 Intinya, UNCITRAL Model Law ditujukan untuk Negara, sedangkan UNCITRAL

Arbitration Rules ditujukan untuk menyelesaikan sengketa diantara para pihak.3 Dalam hal ini,

akan dibahas mengenai UNCITRAL Arbitration Rules sebagai salah satu procedural law yang

dapat dipilih para pihak dalam kontrak atau para pihak yang bersengketa, serta penerapannya

dalam beberapa kasus.

A. UNCITRAL Arbitration Rules

UNCITRAL Arbitration Rules dibentuk oleh UNCITRAL melalui Resolusi Majelis Umum

PBB pada 15 Desember 1976.4 Indonesia merupakan salah satu negara yang turut

menandatangai Resolusi Majelis Umum PBB tersebut. UNCITRAL Arbitration Rules

diamandemen pada tahun 2010, dan didalamnya terkandung empat bagian utama, yakni:

Pengaturan Umum (Introductory Rules); Komposisi Majelis Arbitrase (Composition of Arbitral

Tribunal), Proses Arbitrase (Arbitral Proceeding); dan Putusan Arbitrase (The Award). Apabila

sebuah perjanjian arbitrase dibuat setelah tanggal 15 Agustus 2010, maka yang berlaku bagi

para pihak dalam perjanjian tersebut adalah UNCITRAL Arbitration Rules yang telah

1 United Nations (1), “A Guide to UNCITRAL: Basic facts about the United Nations Commission on International Trade Law”, http://www.uncitral.org/pdf/english/texts/general/12-57491-Guide-to-UNCITRAL-e.pdf, diakses pada 13 Oktober 2013.2 UNCITRAL, “FAQ – UNCITRAL and Private Disputes / Litigation”, http://www.uncitral.org/uncitral/en/uncitral_texts/arbitration_faq.html, diakses pada 13 Oktober 2013. “The UNCITRAL Model Law provides a pattern that law-makers in national governments can adopt as part of their domestic legislation on arbitration. The UNCITRAL ARbitration Rules, on the other hand, are selected by parties either as part of their contract, or after a dispute arises, to govern the conduct of an arbitration intended to resolve a dispute or disputes between themselves. Put simply, the Model Law is directed at States, while the Arbitration Rules are directed at potential (or actual) parties to a dispute.”3 Ibid.4 Suleman Batubara dan Orinton Purba, Arbitrase Internasional; Penyelesaian Sengketa Investasi Asing Melalui ICSID, UNCITRAL dan SIAC, (Jakarta: Raih Asa Sukses, 2013), hal. 66.

Page 2: UNCITRAL in brief

diamandemen, kecuali para pihak memilih untuk menggunakan versi yang sebelumnya

(UNCITRAL Arbitration Rules 1976).5

Dalam hal para pihak dalam kontrak, ataupun para pihak bersengketa, sepakat untuk

memilih UNCITRAL Arbitration Rules sebagai procedural law bagi penyelesaian sengketa

diantara mereka, maka bentuk arbitrase yang dapat diselenggarakan ialah arbitrase ad hoc6.

Adapun prosedur arbitrase menurut UNCITRAL Arbitration Rules, secara garis besar ialah:

Notice of Arbitration

Berdasarkan Pasal 3 UNCITRAL Arbitration Rules, pihak yang hendak mengajukan

sengketa untuk diselesaikan melalui arbitrase (Penggugat / Claimant) harus memberi notifikasi

(pemberitahuan) kepada pihak Tergugat (Respondent). Notifikasi tersebut memuat

permohonan diselesaikannya sengketa melalui arbitrase, identitas para pihak, kontrak beserta

klausula arbitrase atau perjanjian arbitrase yang menjadi dasar, ringkasan klaim dan ganti rugi

yang dikehendaki, serta usulan jumlah arbiter, bahasa, dan tempat arbitrase apabila belum

disetujui sebelumnya oleh para pihak. Waktu diterimanya notifikasi oleh Tergugat dianggap

sebagai waktu mulainya proses arbitrase. Selanjutnya,7 dalam waktu 30 hari sejak diterimanya

notifikasi oleh Tergugat, maka Tergugat harus memberikan tanggapan terhadap notifikasi

5 United Nations (2), UNCITRAL ARbitration Rules, 2010, Ps. 1 ayat (2).6 Arbitrase Ad Hoc adalah arbitrase yang dibentuk khusus untuk menyelesaikan atau memutus perselisihan tertentu, atau dengan kata lain, arbitrase Ad-Hoc bersifat insidentil. A.Rahmat Rosyadi dan Ngatino, Arbitrose dotam Perspektif Islam dan Hukum Positif, dikutip dalam Jafar Sidik, “Seputar Arbitrase Institusional dan Arbitrase Ad Hoc”, Jurnal Ilmu Hukum Wacana Paramarta, hal. 28.7 United Nations (2), loc.cit., Ps. 4.

Notice of Arbitration

Appointment of Arbitrators

Place of Arbitration

Statement of Claim

Statement of Defence

Further Written Statement

Evidence and Hearings (Factual and Expert Written Statements)

Award

Page 3: UNCITRAL in brief

tersebut yang berisi nama dan kontak Tergugat, serta tanggapan atas hal-hal yang terkandung

dalam notifikasi.

Appointment of Arbitrators

Dalam arbitrase, para pihak yang bersengketa berhak untuk memilih arbiter atau

Majelis Arbiter sesuai kehendak mereka untuk menyelesaikan sengketa diantara mereka.

Berdasarkan Pasal 6 ayat (1) UNCITRAL Arbitration Rules, mereka dapat pula memilih institusi

atau perorangan yang diberi kewenangan untuk menentukan arbiter bagi mereka (appointing

authority). Apabila institusi atau perorangan tersebut menolak, atau gagal, untuk menentukan

arbiter bagi para pihak, mereka dapat memohonkan kepada Sekretaris Jenderal PCA

(Permanent Court of Arbitration) untuk menentukan appointing authority.

Selain menentukan arbiter, para pihak juga berhak untuk menentukan jumlah arbiter.

Menurut Pasal 7 UNCITRAL Arbitration Rules, apabila para pihak belum menyepakati jumlah

arbiter, dan apabila dalam waktu 30 hari sejak diterimanya notifikasi arbitrase oleh Tergugat

para pihak belum menyepakati untuk menunjuk arbiter tunggal (sole arbitrator), maka jumlah

arbiter yang harus ditunjuk adalah tiga.

Selanjutnya, dalam hal para pihak telah menyepakati bahwa arbitrase akan dilakukan

dengan arbiter tunggal namun dalam jangka waktu 30 hari sejak notifikasi diterima Tergugat

para pihak belum menentukan arbiter, maka berdasarkan Pasal 8 ayat (1) UNCITRAL

Arbitration Rules, appointing authority, berdasarkan permintaan para pihak, harus menentukan

arbiter bagi mereka. Dalam hal para pihak menyepakati bahwa arbitrase dilakukan dengan tiga

arbiter,8 maka masing-masing pihak berhak untuk menunjuk satu arbiter, yang kemudian kedua

arbiter tersebut akan menunjuk arbiter ketiga yang bertindang sebagai pemimpin atau ketua.

Manakala ditengah proses arbitrase seorang arbiter harus diganti,9 maka arbiter

pengganti harus segera ditunjuk sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam Pasal 8 – Pasal 11

UNCITRAL Arbitration Rules. Selanjutnya,10 setelah proses penggantian arbiter, proses arbitrase

dilanjutkan pada tahap dimana arbiter yang terdahulu digantikan, kecuali Majelis Arbiter

berkata lain.

Place of Arbitration

Dalam hal para pihak belum menentukan tempat dimana arbitrase dilangsungkan,

Majelis Arbiter berwenang untuk menentukan tempat arbitrase menurut Pasal 18 ayat (1)

UNCITRAL Arbitration Rules, dengan mempertimbangkan hal-hal terkait sengketa. Putusan

arbitrase dibuat ditempat dimana arbitrase dilaksanakan.

8 Ibid., Ps. 9 ayat (1).9 Ibid., Ps. 14 ayat (1).10 Ibid., Ps. 15.

Page 4: UNCITRAL in brief

Statement of Claim

Statement of claim merupakan pokok gugatan yang diajukan oleh pihak Penggugat.

Penggugat, berdasarkan Pasal 20 UNCITRAL Arbitration Rules, harus menyampaikan statement

of claim kepada Tergugat dan Majelis Arbiter secara tertulis dalam waktu yang ditentukan oleh

Majelis . Notifikasi arbitrase yang disampaikan sebelumnya juga dapat menjadi statement of

claim dari Penggugat, selama memenuhi ketentuan-ketentuan dalam Pasal 20 ayat (2) – ayat

(4), yang mensyaratkan bahwa statement of claim harus memenuhi ketentuan:

berisikan nama dan detil kontak para pihak, fakta-fakta pendukung gugatan, pokok

masalah, ganti rugi yang dimintakan, dan dasar hukum yang mendukung gugatan;

lampiran berupa salinan dari kontrak atau produk hukum lainnya yang berkaitan dengan

sengketa; dan

lampiran berupa seluruh dokumen dan bukti yang mendukung Penggugat.

Statement of Defence

Statement of defence merupakan jawaban atau tanggapan dari pihak Tergugat atas

gugatan yang diajukan terhadapnya. Tergugat harus menyampaikan statement of defence

kepada Penggugat dan Majelis Arbiter secara tertulis dalam jangka waktu yang ditentukan

Majelis .11 Pihak Tergugat juga dapat menggunakan jawaban atau tanggapan atas notifikasi

arbitrase dari Penggugat sebagai statement of defence, selama hal tersebut disertai dengan

dokumen-dokumen dan bukti-bukti lainnya yang mendukung jawaban Tergugat.12 Selain itu,

dalam Pasal 21 ayat (3) UNCITRAL Arbitration Rules, diatur bahwa pihak Tergugat dapat

mengajukan gugatan balik (counterclaim) dalam statement of defence tersebut.

Further Written Statement

Pada dasarnya, pernyataan lanjutan bukanlah prosedur yang wajib ada dalam proses

arbitrase menurut UNCITRAL Arbitration Rules. Pernyataan lanjutan ini hanya diajukan apabila

baik pihak Penggugat maupun Tergugat merasa perlu untuk menambahkan argumen-argumen

atau fakta-fakta baru yang belum tercantum dalam statement of claim ataupun statement of

defence. Menurut Pasal 24 UNCITRAL Arbitration Rules, majelis harus menentukan pula apakah

pernyataan lanjutan tersebut dianggap perlu.

Evidence and Hearings

11 Ibid., Ps. 21 ayat (1).12 Ibid., Ps. 21 ayat (1) jo. Pasal 21 ayat (2).

Page 5: UNCITRAL in brief

Pembuktian dalam proses arbitrase meliputi pemeriksaan alat bukti yang diajukan para

pihak serta keterangan dari para saksi (evidence and hearing). Setiap dalil gugatan dan bantahan

yang diajukan para pihak harus didukung oleh pembuktian. Untuk itu, para pihak “dibebani”

kewajiban untuk membuktikan setiap dalil yang mereka ajukan (burden of proving the facts).

Berdasarkan Pasal 27 ayat (2), kesaksian dapat dilakukan secara tertulis, kecuali ditentukan

lain oleh Majelis. Selain kewajiban pembuktian dari masing-masing pihak, selama proses

pemeriksaan, Majelis juga dapat meminta para pihak untuk menyediakan dokumen atau bukti-

bukti lainnya dalam periode yang ditentukan, serta menentukan diterimanya, relevansi, dan

bobot dari setiap bukti yang diajukan.

Mengenai pembuktian berdasarkan kesaksian (hearing), kesaksian dilakukan menurut

tata cara yang ditentukan oleh Majelis. Proses hearing didokumentasikan dengan kamera,

kecuali para pihak tidak menyetujuinya. Selama proses pemeriksaan, Majelis dapat

mengabulkan pengunduran diri seorang atau beberapa orang saksi13, dan dapat pula menunjuk

saksi yang dianggap perlu dalam penyelesaian sengketa tersebut.14

Award

Putusan dibuat secara tertulis, berisi pertimbangan dan alasan dari putusan, dan

bersifat final dan mengikat para pihak. Berdasarkan Pasal 34 ayat (5), putusan dapat

dipublikasikan apabila disepakati oleh para pihak, sepanjang publikasi tersebut dilakukan

untuk memenuhi kewajiban hukum tertentu.

Hal penting lainnya terkait dengan proses berarbitrase menurut UNCITRAL Arbitration

Rules adalah jurisdiksi dari Majelis Arbiter dalam menyelesaikan sengketa melalui arbitrase.

Dalam Pasal 23 ayat (1) UNCITRAL Arbitration Rules, diatur bahwa Majelis Arbiter memiliki

jurisdiksi atas penyelesaian sengketa dan penentuan keabsahan dari klausula arbitrase. Apabila

terdapat argumen atau bantahan mengenai keabsahan klausula arbitrase, makan klausula

tersebut harus diperlakukan sebagai bagian yang terpisah dari kontrak. Argumen atau bantahan

bahwa Majelis Arbiter tidak memiliki jurisdiksi harus dinyatakan paling lambat pada saat

diajukannya statement of defence, atau dapat pula dimasukkan ke dalam counterclaim.15 Majelis

dapat memutus bantahan tersebut sebagai putusan sela ataupun disertakan dalam putusan

akhir, apabila dianggap lebih memenuhi baik untuk jalannya pemeriksaan. Majelis dapat

melanjutkan proses arbitrase dan membuat putusan, meskipun bantahan mengenai jurisdiksi

dari Majelis belum diselesaikan.

13 Ibid., Ps. 28 ayat (3).14 Ibid., Ps. 2915 Ibid., Ps. 23 ayat (2)

Page 6: UNCITRAL in brief

B. Implementasi UNCITRAL Arbitration Rules dalam Beberapa Kasus

1. ICS Inspection and Control Services Ltd. (United Kingdom) v. Republik Argentina 16

Salah satu penyelesaian sengketa yang menggunakan UNCITRAL Arbitration Rules

(1976) adalah kasus antara ICS Inspection and Control Services Ltd. (United Kingdom) sebagai

Penggugat dengan Republik Argentina sebagai Tergugat. Hubungan diantara keduanya dimulai

ketika Argentina mengeluarkan Keputusan Presiden (Presidential Decree) No. 477/97pada 22

Mei 1997 mengenai pengawasan terhadap barang-barang yang akan diimpor ke Argentina. ICS

Inspection and Control Services Ltd. (“ICS”) merupakan perusahaan yang memenangkan tender

sebagai perusahaan yang akan melakukan audit terhadap pemeriksaan barang-barang yang

sebelum diimpor ke Argentina oleh Perusahaan Inspeksi Pra-Pengiriman (Pre-Shipment

Inspection Companies). Berdasarkan Klausul 3 dalam kontrak antara ICS dengan Kementerian

Perekonomian dan Pekerjaan Umum Argentina (Ministerio de Economía y Obras y Servicios

Públicos / “MECON”), yang kemudian diperbaharui pada 11 September 1998 melalui Resolusi

No. 1106/98, biaya untuk audit yang dilakukan oleh ICS ialah 80% dari biaya yang diterima oleh

Perusahaan Inspeksi Pra-Pengiriman untuk setiap sertifikat inspeksi yang diaudit oleh ICS.

Sebagai tambahan, ICS juga akan menerima minimal 4% dan maksimal 10% dari biaya yang

dibayarkan kepada Perusahaan Inspeksi Pra-Pengiriman (“10% Fee Cap”).

Gugatan terhadap Pemerintah Argentina melalui Permanent Court of Arbitration (“PCA”)

diajukan akibat kegagalan pembayaran oleh Pemerintah Argentina terhadap jasa audit yang

telah dilakukan oleh ICS sejak tahun 1998 hingga tahun 2001. Sebelumnya, ICS telah

mengajukan gugatan administratif pada tahun 2002 dan 2004 namun tidak membuahkan hasil

yang memuaskan. ICS membawa sengketa ini untuk diselesaikan melalui arbitrase berdasarkan

Pasal 8 Perjanjian Investasi Bilateral (Bilateral Investment Treaty / BIT) antara UK dan

Argentina, yang menyatakan bahwa sengketa yang muncul berdasarkan BIT tersebut akan

diselesaikan melalui majelis arbitrase berdasarkan UNCITRAL 1976. Melalui Notice of

Arbitration yang diterima oleh Argentina pada 30 Juni 2009, ICS memohon kepada PCA untuk

menyelesaikan sengketa melalui arbitrase dan memutus hal-hal sebagai berikut, yakni bahwa:

a. PCA memiliki jurisdiksi atas sengketa tersebut;

b. Pemerintah Argentina telah melanggar Pasal 2 ayat (2) Perjanjian Investasi Bilateral

antara UK dan Argentina;

c. Pemerintah Argentina harus membayar ganti rugi paling sedikir US$ 25.2777.011,10

kepada ICS; dan

d. Pemerintah Argentina harus mengganti segala kerugian yang diderita ICS dan segala

biaya pemulihan ICS, serta seluruh biaya yang timbul dalam proses arbitrase ini.

16 ICS Inspection and Control Services Ltd. (United Kingdom) vs. The Argentine Republic, PCA Case No. 2010-9, Award on Jurisdiction, 10 Februari 2012.

Page 7: UNCITRAL in brief

Argumen-argumen yang diajukan para pihak selama proses arbitrase, ialah:

i. Mengenai jurisdiksi Majelis berdasarkan Pasal 8 BIT antara UK-Argentina, pihak Tergugat

mengemukakan bahwa Majelis tidak berwenang untuk menyelesaikan sengketa yang

bersangkutan, karena pihak Penggugat tidak membawa sengketa ke hadapan Pengadilan

Argentina sebelum membawanya ke hadapan Majelis arbitrase, sebagaimana

dipersyaratkan dalam Pasal 8 ayat (1) dan (2) BIT antara UK-Argentina. Ketentuan

mengenai mekanisme penyelesaian sengketa dalam BIT tersebut bersifat multi-layered,

sehingga prosedur yang dilaksanakan harus bertahap sesuai dengan urutan dalam

perjanjian. Tergugat menambahkan, bahwa penggunaan kata ‘shall’ (harus) dalam klausula

tersebut menandakan bahwa berbagai tahapan penyelesaian sengketa yang terkandung

didalamnya harus diikuti sedemikian rupa, bukan merupakan alternatif. Tergugat

memberikan beberapa contoh kasus yakni Maffezini v. Spanyol17 dan Wintershall v.

Republik Argentina18, dimana para Majelis dalam kasus-kasus tersebut menolak

permohonan arbitrase oleh para Penggugat, karena perjanjian diantara mereka

mengandung klausula multi-layered yang harus dipenuhi sebelum diajukannya sengketa ke

arbitrase.

ii. Mengenai klausula most favoured nations19 dalam Pasal 3 BIT UK-Argentina, Penggugat

menyatakan bahwa dengan diakuinya prinsip tersebut, maka persyaratan penyelesaian

sengketa di Pengadilan Argentina sebelum dibawa ke Majelis arbitrase dapat ditiadakan,

mengingat dalam BIT antara Argentina-Lithuania, tidak ditemukan persyaratan seperti itu.

Sehingga, perlakuan yang sama juga harus diterapkan kepada UK. Menanggapi hal tersebut,

Tergugat menyatakan bahwa prinsip most favoured nations tidak berlaku dalam masalah

penyelesaian sengketa.

iii. Mengenai klausula payung (umbrella clause)20, Penggugat menyatakan bahwa umbrella

clause dalam BIT UK-Argentina dapat digunakan sebagai dasar penghubung antara

17 Maffezini v. Kingdom of Spain, ICSID Case No. ARB/97/7, Decision on Objection to Jurisdiction, 25 Januari 2000.18 Wintershall Aktiengesellschaft v. Argentine Republic, ICSID Case No. ARB/04/14, Award, 8 Desember 2008.19 Prinsip Most Favoured Nations merupakan prinsip yang diakui oleh masyarakat Internasional, khususnya Negara-Negara anggota WTO, yang mengatur bahwa perlakuan suatu Negara terhadap Negara atau Warga Negara yang satu tidak boleh berbeda, atau lebih buruk, dibandingkan dengan perlakuan terhadap arga Negara lainnya. World Trade Organization, “Understanding the WTO: Principles of the Trading System – Trade Without Discrimination”, http://www.wto.org/english/thewto_e/whatis_e/tif_e/fact2_e.htm#seebox, diakses pada 13 Oktober 2013. “Most Favoured Nations: treating people equally ...countries cannot normally discriminate between their trading partners. Grant someone a special favour (such as a lower customs duty rate for one of their products) and you have to do the same for all other WTO members”.20 Umbrella Clause merupakan klausula yang memberikan perlindungan tambahan kepada investor dalam sebuah perjanjian investasi. Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), “Interpretation of the Umbrella Clause in Investment Agreement”,Working Papers on International Investment 3, (Oktober, 2006) : 3. “Clauses of this kind have been added to provide additional protection to investors and are directed at covering investment agreements that host countries frequently conclude with foreign investors.”

Page 8: UNCITRAL in brief

pelanggaran kontrak yang dilakukan MECON dengan pelanggaran BIT UK-Argentina.

Penggugat meminta Majelis untuk melihat latar belakang dan tujuan dari dibentuknya

umbrella clause dalam BIT tersebut. Klausula tersebut dimaksudkan untuk

diinterpretasikan secara luas untuk melindungi segala bentuk investasi yang dilakukan

antara UK-Argentina, sehingga pelanggaran terhadap kontrak dalam hal ini juga berarti

pelanggaran umbrella clause tersebut. Tergugat menyatakan bahwa Penggugat tidak dapat

menggunakan pelanggaran BIT sebagai dasar dibawanya sengketa ke Majelis arbitrase,

karena kontrak antara ICS dan MECON yang diatur dengan hukum Argentina tidak dapat

dipersamakan dengan BIT UK-Argentina yang diatur dengan hukum internasional.

Karenanya, pelanggaran kontrak tidak sama dengan pelanggaran BIT. Tergugat

menggunakan contoh kasus Serbian Loans v. ELSI21 dimana tribunal pada saat itu

menyatakan bahwa investor tidak dapat mengajukan gugatan kepada Negara hanya dengan

dasar pelanggaran kontrak.

iv. Tergugat mendalilkan bahwa pihak Penggugat telah secara diam-diam menyetujui

(acquiescence) perbuatan Tergugat perihal pengurangan jumlah pembayaran dan

kebijakan-kebijakan lainnya. Tergugat juga menyatakan bahwa pada saat Penggugat

mengajukan gugatan administratif pada tahun 2002, Penggugat tidak menyebutkan

mengenai pelanggaran BIT, dan barulah pada tahun 2006 Penggugat menyebutkan hal

tersebut. Dalam hal ini, Penggugat dianggap telah secara sukarela tidak

mempermasalahkan pelanggaran BIT selama lebih dari empat tahun dan karenanya,

gugatan atas pelanggaran BIT dianggap tidak beralasan. Menanggapi pernyataan ini,

Penggugat menyatakan bahwa pihak Tergugat telah salah menginterpretasikan konsep dari

sengketa yang ada. Selama tahun 2002 hingga 2006, Penggugat tidak hanya diam dan terus

melakukan upaya untuk mendapatkan pembayaran sesuai kontrak, sehingga tidak dapat

dikatakan sebagai pembiaran ataupun persetujuan diam-diam terhadap perbuatan

Tergugat.

Pertimbangan Majelis arbiter terhadap argumen-argumen tersebut, yakni:

a. Mengenai persyaratan arbitrase, Majelis menemukan bahwa yang dimaksud dalam Pasal 8

BIT UK-Argentina adalah benar dan tanpa ambiguitas, bahwa penyelesaian sengketa yang

timbul berdasarkan BIT tersebut harus diselesaikan secara bertahap (multi-layered),

melalui penyelesaian secara damai, kemudian apabila tidak berhasil maka harus dibawa ke

Pengadilan Argentina, dan apabila tidak berhasil juga barulah diselesaikan dengan

arbitrase. Majelis menemukan penggunaan kata ‘shall’ secara jelas mengatur keharusan

21 Case concerning Elettronica Sicula S.p.A. (ELSI) (Amerika Serikat v. Italia), ICJ, Judgment, 20 Juli 1989.

Page 9: UNCITRAL in brief

para pihak untuk mengikuti prosedur yang ada. Sehingga, Penggugat telah gagal dalam

menjalankan ketentuan dalam BIT.

b. Mengingat tidak dipenuhinya persyaratan arbitrase oleh Penggugat, Majelis

mempertimbangkan pertanyaan apakah prinsip most favoured nations berlaku terhadap

penyelesaian sengketa. Majelis mempertimbangkan bahwa untuk berlaku terhadap

penyelesaian sengketa, klausula most favoured nation tidak dapat sekedar memuat

ketentuan bahwa Negara tidak boleh melakukan diskriminasi terhadap Negara atau Warga

Negara lainnya, melainkan harus secara tegas disebutkan keberlakuan prinsip atau

klausula tersebut terhadap penyelesaian sengketa. Majelis menggunakan kasus Plama v.

Bulgaria22 sebagai contoh.

c. Mengenai apakah BIT Argentina-Lithuania mengandung perlakuan yang lebih

menguntungkan (more favourable treatment) dibandingkan dengan BIT UK-Argentina,

Majelis berpendapat bahwa untuk menentukan hal tersebut tidak dapat dilakukan dengan

melihat sekedarnya saja. Penilaian terhadap untung-tidaknya isi perjanjian juga tidak dapat

secara parsial, melainkan harus secara keseluruhan dan mempertimbangkan akibat dari

keseluruhan klausula tersebut. Dalam klausula penyelesaian sengketa BIT Argentina-

Lithuania, diatur bahwa dalam hal terjadi sengketa, para pihak harus melakukan negosiasi,

dan apabila tidak berhasil, mereka harus memilih salah satu diantara litigasi dan arbitrase.

Hal ini dianggap tidak lebih menguntungkan menurut Majelis, karena dengan ketentuan

seperti ini, para pihak hanya dapat memilih salah satu diantara litigasi dan arbitrase, dan

ketika mereka memilih salah satu, maka pilihan lainnya akan lenyap. Hal ini berbeda

dengan klausula di dalam BIT UK-Argentina yang memberikan para pihak kesempatan

untuk membawa sengketa ke Pengadilan terlebih dahulu sebelum arbitrase, sehingga para

pihak dapat menikmati kedua fasilitas. Sehingga, klausula penyelesaian sengketa dalam BIT

Argentina-Lithuania tidak dianggap lebih menguntungkan oleh Majelis.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan diatas, Majelis memutuskan bahwa

Penggugat telah gagal dalam menjalankan kewajiban pengajuan sengketa ke Pengadilan

Argentina sebelum membawanya ke arbitrase, dan bahwa Penggugat tidak dapat menggunakan

prinsip most favoured nations dalam BIT UK-Argentina sebagai dasar peniadaan persyaratan

tersebut. Sehingga, Majelis tidak memiliki jurisdiksi untuk menyelesaikan sengketa antara ICS

dengan Argentina, dan harus menolak sengketa tersebut.

2. Saar Papier Vertriebs GmbH (Jerman) v. Polandia 23

22 Plama Consortium Ltd. v. Republic of Bulgaria, ICSID Case No.ARB/03/24, Award, 27 Agustus 2008.23 Saar Papier Vertriebs GmbH (Jerman) v. Polandia, PCA Case, 1995.

Page 10: UNCITRAL in brief

Kasus lainnya yang diselesaikan dengan UNCITRAL Arbitration Rules 1976 adalah kasus

antara Saar Papier Vertriebs GmbH dengan Pemerintah Polandia. Saar Papier merupakan

perusahaan penghasil produk kertas daur ulang asal Jerman yang didirikan di Polandia pada

tahun 1990. Sengketa timbul pada tahun 1991, ketika dikeluarkannnya peraturan mengenai

larangan penggunaan kertas bekas hasil impor oleh Pemerintah Polandia. Hal ini dilakukan oleh

Polandia dengan alasan larangan impor “sampah” untuk melindungi dan memelihara

lingkungan. Kemudian, Saar Papier membawa sengketa ke hadapan Majelis arbiter ad hoc

dengan UNCITRAL Arbitration Rules 1976 sebagai procedural law. Saar Papier mendalilkan

bahwa Polandia telah melanggar hak-hak investor sebagaimana tercantum dalam BIT antara

Jerman-Polandia tahun 1989. Hingga saat ini, putusan dari sengketa ini tidak diumumkan dan

tidak diketahui publik. Namun, diketahui bahwa Majelis memenangkan pihak Saar Papier

sebagai Penggugat, dengan alasan bahwa tindakan yang dilakukan oleh Pemerintah Polandia

setara dengan pengambilalihan (an action tantamount to expropriation), dan karenanya

Polandia harus membayar sejumlah 1.200.000 (Satu Juta Dua Ratus Ribu) Euro.

3. Windstream Energy LLC v. Pemerintah Kanada

Selain dua kasus yang telah dijabarkan diatas, terdapat banyak kasus yang diselesaikan

dengan menggunakan UNCITRAL Arbitration Rules sebagai hukum yang mengatur prosedur

berarbitrase. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, UNCITRAL Arbitration Rules telah

mengalami amandemen pada tahun 2010, sehingga untuk sengketa-sengketa yang muncul

setelah Juli 2010, menggunakan UNCITRAL Arbitration Rules 2010. Salah satu kasus yang

menggunakan peraturan yang baru ini, yakni Windstream Energy LLC v. Pemerintah Kanada.

Windstream adalah sebuah perusahaan yang didirikan di Delaware, Amerika Serikat.

Perusahaan ini melakukan investasi di Ontarion, Kanada, melalui kepemilikan saham sebesar

100 persen pada WWIS, sebuah perusahaan yang didirikan di Kanada. Pada Februari 2008,

WWIS mengajukan izin pembangunan offshore wind facility kepada Kemeterian Sumber Daya

Alam untuk mendapatkan kontrak FIT24. Sengketa timbul ketika setelah 5 tahun proyek

berjalan, Pemerintah Ontario mengeluarkan moratorium terhadap pembangunan fasilitas lepas

pantai yang dilakukan oleh WWIS. Hal ini amat merugikan WWIS yang telah melakukan deposit

sebesar CDN$6.000.000 (Enam Juta Dollar Kanada) dan melakukan mekanisme-mekanisme

lainnya sebagaimana ditentukan dalam FIT program. Akhirnya, pada Januari 2013, Windstream

Energy Co. sebagai pemegang saham WWIS mengajukan gugatan terhadap Pemerintah Kanada

yang dianggap bertanggungjawab atas moratorium dan perbuatan lainnya oleh Pemerintah

24 “FIT” (Feed-in Tariff) adalah program yang terkandung dalam Green Energy Act yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kanada pada tahun 2009, yang menetapkan biaya premium untuk jangka waktu 20 tahun (20-year fixed premium price) yang dibayarkan oleh Ontario Power Authority. Windstream Energy LLC v. Government of Canada, PCA, Notice of Arbitration, 28 Januari 2013, par. 12.

Page 11: UNCITRAL in brief

Ontario, ke Permanent Court of Arbitration untuk diselesaikan melalui arbitrase dengan

menggunakan UNCITRAL Arbitration Rules 2010 sebagai pedoman prosedur. Sampai pada 16

September 2013, sengketa ini baru sampai tahap persetujuan Procedural Order.