tinjauan ekonomi keuangan edisi bulan november 2012
DESCRIPTION
Tinjauan Ekonomi dan KeuanganTRANSCRIPT
Pembina : Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Pengarah : Sekretaris Kementerian
Koordinator Bidang Perekonomian, Deputi Ekonomi Makro dan Keuangan Koordinator : Bobby
Hamzar Rafinus Editor : Edi Prio Pambudi, M Edy Yusuf Analis : Rista Amal l ia, Windy Pradipta,
Sandra Kurniawati , Fauzia Suryani Puteri , Masyitha Mutiara Ramadhan, Fitria Faradila, Insani
Sukandar, Alexcius Winang, Andi Distribusi : Chandra Mercury Kontributor : Ir. Iga Mai Sukariyati ,
MM (Kepala Biro Persidangan & Humas Kementerian Koordinator Bidang Ekonomi), Ashley Taylor,
Ratih Purbasari Kania, Puji Gunawan, Gita Putri Pertiwi, Tim Pemantauan dan Pengendal ian Inflasi ,
Komite Kebijakan KUR, Tim Koordinasi Kebijakan Stabil isasi Harga Pangan Pokok.
Tinjauan Ekonomi dan Keuangan diterbitkan dalam rangka meningkatkan pemahaman pimpinan daerah terhadap perkembanganindikator ekonomi makro dan APBN, sebagai salah satu Direktif Presiden pada retreat di Bogor, Agustus 2010
KOORDINASI FISKAL DAN MONETER
10Harmonisasi Kebijakan Moneter IPerjalanan Waktu Kebijakan Fiskal & Moneter
Indonesia IKebijakan Fiskal & Moneter dalam Mendorong
Investasi IThe Effect of Monetary and Policy on Indonesia's
International Trade Performance I
KOORDINASI KEBIJAKAN EKONOMI2Penyempurnaan Skema Asuransi TKI IPerkembangan Stabilisasi Harga Pangan Pokok:
Melonjaknya Harga Daging Sapi
EKONOMI INTERNASIONAL 4Prospek Perekonomian Kian Menurun IKrisis Utang Yunani I
EKONOMI DOMESTIK 6Pertumbuhan Ekonomi I Inflasi I NeracaPembayaran I
EKONOMI DAERAH 9Pengaruh Krisis Global terhadap Ekonomi
Daerah
KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) DAN
UKM 28Realisasi Penyaluran KUR Oktober 2012
OPINI PAKAR 19Dr. Sugiharso Safuan
Dosen dan Peneliti Ilmu Ekonomi UI
BUMN 21Peranan BUMN dalam Perekonomian Nasional
FISKAL DAN REGULASI EKONOMI 25Sekilas tentang PP 52 Tahun 2011
MP3EI 26Konektivitas antar Koridor Ekonomi
KEUANGAN 24Arah Kebijakan Moneter Bank Indonesia
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian RI
KETENAGAKERJAAN 27
Editorial
rofesor Ha-Joon Chang dari Cambrigde
University Inggris dalam buku terbarunya “23
Thinks They Don’t Tel l You About Capital ism”
(Penguin Books, 2011) mengulas tentang
‘Greater macroeconomic stabil l ity has not
made the world economy more stable’ sebagai salah
satu ‘thinks’ dalam praktek kapital isme yang perlu
dipahami dengan kritis. Menurutnya ada hal yang tidak
dijelaskan dibal ik keberhasilan pengendal ian inflasi
selama 30 tahun terakhir, yaitu terjadi ketidakstabilan
pasar tenaga kerja sebagai akibat berkurangnya
perhatian terhadap pentingnya penciptaan lapangan
kerja dan pertumbuhan ekonomi. Stabil itas inflasi yang
diupayakan, terutama pada kelompok negara-negara
maju, sudah pada tingkat yang mengurangi investasi
dan selanjutnya pertumbuhan ekonomi.
Sikap anti-inflasi yang berlebihan pada paham
kapital isme saat ini , menurut Profesor Ha-Joon Chang
tidak terlepas dari sejarah hyper-inflasi (milyaran
persen) yang terjadi di Jerman Barat pada periode
tahun 1922-1923. Lonjakan tingkat inflasi ini ditengarai
menjadi salah satu pendorong terjadinya Perang Dunia
Kedua. Selain itu juga dibentuknya bank sentral Jerman
Barat yaitu Bundesbank setelah Perang Dunia Kedua
usai. Pengalaman akibat hyper-inflasi tersebut
menjadikan sikap anti-inflasi dianut oleh Bundesbank
hingga kini dan berpengaruh besar terhadap arah
kebijakan moneter global . Sebagai contoh pemerintah
Jerman senatiasa mengarahkan Bank Sentral Eropa
untuk menjaga inflasi yang rendah ditengah tingkat
pengangguran yang tinggi pada negara-negara Uni
Eropa. Baru pada tahun 2008 setelah terjadi krisis
keuangan, Bank Sentral Eropa mengikuti langkah
relaksasi moneter yang dilakukan banyak bank sentral
lain.
Sikap anti-inflasi yang berlebihan, menurut Profesor
Ha-joon Chang, saat ini menunjukkan bias terhadap
kepentingan pemegang aset keuangan. Beberapa
penel itian yang dikutip dalam buku tersebut,
menemukan tingkat inflasi maksimal 8 (delapan) hingga
10 (persen) dalam periode tertentu belum
mempengaruhi pertumbuhan ekonomi banyak negara
dalam jangka panjang. Penel itian Kenneth Rogoff dan
Carmen Reinhart mengindikasikan pula kecenderungan
meningkatnya krisis perbankan dan keuangan pada era
semakin rendahnya tingkat inflasi .
Ulasan buku di atas bukan dimaksudkan untuk
mengurangi upaya koordinasi kebijakan fiskal dan
moneter dalam mengurangi penyebab inflasi di
Indonesia, khususnya pada sisi kelancaran penyediaan
barang dan jasa. Hal yang perlu diwaspadai adalah
timbulnya kekhawatiran berlebihan terhadap kenaikan
inflasi namun dengan akibat tingginya biaya ekonomi
(subsidi) sehingga membatasi ruang fiskal untuk
mendorong penciptaan lapangan kerja, pertumbuhan
ekonomi serta pembangunan sumber daya manusia
dalam jangka panjang. Pada era kondisi global yang
tidak kondusif terhadap pertumbuhan ekonomi, ruang
fiskal perlu diperbesar untuk semakin luasnya kegiatan
padat karya dan belanja modal , khususnya yang terkait
dengan peningkatan infrastruktur. Keseimbangan
kemajuan sektor keuangan dengan sektor rii l perlu
dijaga.
PBobby Hamzar Rafinus
Tinjauan Ekonomi dan Keuangan November 2012 1
Indikator Ekonomi
suransi TKI merupakan salah satu bentuk
dari perl indungan atau jaminan dari
resiko-resiko yang dapat dialami oleh TKI
pada pra, masa, dan purna penempatan
di luar negeri. Berdasarkan hasil kajian
Bank Dunia, terdapat dua bentuk
permasalahan produk Asuransi TKI. Pertama,
masalah desain produk yang dimana beberapa
resiko sul it untuk diklaim, actual cost lebih tinggi
dari ni lai pertanggungan, dan kerancuan resiko
yang sifatnya insurable dan non-insurable. Kedua,
masalah operasional yang pola antara TKI-
KONSORSIUM-PIALANG-PPTKIS belum sempurna.
Kedua permasalahan tersebut mengakibatkan
proses pengurusan pencairan asuransi menjadi sul it,
sering muncul pungutan oleh PPTKIS, dan biaya
penanganan kasus-kasus TKI tetap mengandalkan
APBN. Kondisi ini berkembang menjadi sebuah
kekhawatiran akan tingkat kinerja, dan tingkat
efektivitas perl indungan TKI.
Terkait dengan hal ini , Kementerian Koordinator
Bidang Perekonomian mengutarakan tiga poin isu
guna dapat meningkatkan skema perl indungan TKI,
diantaranya (1) melakukan kaji-ulang
penyederhanaan organisasi dan pertanggungan
risiko Asuransi TKI, (2) meningkatkan kapasitas dan
fungsi pelayanan TKI di Kedutaan Besar Republ ik
Indonesia (KBRI) dan Konsulat Jendral Republ ik
Indonesia (KJRI) dan (3) memperkuat pengawasan
terhadap Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja
Indonesia Swasta (PPTKIS) melalui penerapan tolak
ukur kinerja serta sanksi yang transparan dan tegas.
Untuk membahas tiga poin tersebut, Kemenko
Perekonomian mengundang beberapa pihak terkait
seperti Kemenakertrans, Kemenlu, BNP2TKI, dan
Konsorsium Asuransi TKI pada tanggal 25 Oktober
dan 8 November 2012 lalu. Beberapa masukan dari
para peserta diantaranya sebagai berikut: Wakil dari
kemenakertrans menyampaikan bahwa pihak
Kemenakertrans telah bekerjasama dengan
Surveyor Indonesia, melakukan Evaluasi Kinerja
kepada seluruh PPTKIS yang terdaftar sejumlah 565
PPTKIS. J ika dil ihat dari jumlah keseluruhan, hanya
8,18% dari total PPTKIS yang tergolong tidak layak.
PPTKIS yang berada pada kategori tidak layak telah
dijatuhkan sanksi Pencabutan SIPPTKI (41 PPTKIS)
dan sanksi skorsing (22 PPTKIS).
Wakil dari Kemenlu mengemukakan bahwa pihak
perwakilan RI di luar negeri terus berusaha memberikan
pelayanan yang terbaik dan kemudahan bagi TKI yang
berada di negara penempatan termasuk jika TKI
mengalami permasalahan. Sedangkan wakil dari BNP2TKI
menambahkan bahwa BNP2TKI juga telah melakukan
langkah-langkah pembenahan PPTKIS, diantaranya: (i)
penggunaan sistem onl ine data TKI di Kabupaten/Kota, (i i )
pendataan petugas penerimaan TKI secara terinci , dan (i i i )
pemasangan CCTV di tempat pelatihan calon TKI dengan
harapan pelaksanaan pelatihan menjadi maksimal ..
Selain meningkatkan kematangan calon TKI sebelum
diberangkatkan, dibutuhkan juga perwakilan asuransi TKI di
luar negeri yang bekerjasama dengan KBRI atau KJRI.
Kerjasama ini dimaksudkan untuk memperlancar seluruh
proses yang dibutuhkan oleh seorang TKI ketika sedang
berada di negara penempatan, baik dari sisi proses
perpanjangan asuransi, perl indungan, tunjangan, klaim,
pemulangan, dan seluruh aspek lainnya.
Wakil dari Konsorsium Asuransi TKI menyampaikan bahwa
permasalahan utama sebuah klaim menjadi non-insurable
dikarenakan oleh tingkat skill dan kesehatan. Permasalahan
ini bisa dihindarkan dengan pelatihan yang sesuai dan
medical checkup yang benar oleh PPTKIS sebelum
keberangkatan. Masukan dan sharing dari para peserta
akan menjadi bahan pertimbangan utama bagi perbaikan
pelayanan TKI pada umumnya dan asuransi TKI pada
khususnya.
AInsani Sukandar
Penyempurnaan Skema Asuransi TKI
Tinjauan Ekonomi dan Keuangan November 20122
Koordinasi Kebijakan Ekonomi
Tinjauan Ekonomi dan Keuangan November 20122
Tinjauan Ekonomi dan Keuangan November 2012 3
ecara umum, harga bahan pangan
pokok mengalami inflasi sebesar
2,38% (yoy) dan deflasi sebesar
0,12% (mom). J ika dibandingkan
dengan tahun sebelumnya, sebagian
besar bahan pangan pokok
mengalami kenaikan harga . Kenaikan harga
tertinggi terjadi pada komoditas daging sapi.
Daging sapi mengalami kenaikan harga
sebesar 23,83% (yoy) dan 6,58% (mom).
Kenaikan harga ini bersumber dari minimnya
pasokan daging sapi di pasaran. Kelangkaan
daging sapi terutama disebabkan oleh (i)
sebagian besar populasi ternak tersebar
dengan pola usaha yang tradisional dan keterbatasan
hijauan pakan ternak di musim kemarau; (i i )
transportasi dan distribusi ternak hidup terutama dari
daerah sentra ternak luar jawa yang belum lancar; dan
(ii i ) penyediaan kebutuhan daging untuk industri
belum sepenuhnya dapat dipenuhi dari dalam negeri.
Kebutuhan daging sapi diperkirakan akan terus
meningkat. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh IPB
pada Agustus 2012, kebutuhan daging sapi tahun
2012, 2013, dan 2014 masing-masing sebesar 509,89
juta kg, 549,18 juta kg, dan 592,46 juta kg. Dari total
kebutuhan tahun 2012, 81,37% atau sebesar 414,87
juta kg akan dipenuhi dari produksi dalam negeri,
sedangkan 18,63% atau sebesar 95,02 juta kg akan
dipenuhi oleh impor.
Untuk mendorong produksi domestik dan untuk
mengatasi permasalahan yang terjadi saat ini ,
pemerintah akan mengambil kebijakan, sebagai
berikut:
(i) Integrasi ternak dengan perkebunan dan
tanaman pangan;
(i i ) Penerbitan perda tentang larangan
pemotongan sapi betina produktif;
(i i i ) Penerbitan peraturan perundangan
mengenai kawasan pengembalaan ternak;
(iv) Fasi l itas distribusi transportasi ternak
dengan kereta api dan kapal laut; dan
(v) Revital isasi pemotongan hewan.
Referensi:
Tim Koordinasi Kebijakan Stabilisasi Harga Pangan
Pokok
Perkembangan Stabilisasi Harga Pangan Pokok:Melonjaknya Harga Daging Sapi
Fitria Faradila
S
Sumber: BPS, diolah *) Minggu keempat November 2012
Sumber: Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementan
ada bulan Oktober 2012 lalu , IMF
menurunkan proyeksinya atas pertumbuhan
perekonomian dunia. Pertumbuhan PDB rii l
dunia diperkirakan tumbuh 3,3% (yoy) dan
3,6% (yoy) pada tahun 2012 dan 2013. Angka
ini lebih rendah dari proyeksi sebelumnya
yang diri l is pada Jul i 2012. Proyeksi ini masih lebih
tinggi dari Oxford Economics yang pada November
2012 memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia
pada tahun 2012 sebesar 2,2% (yoy) dan 2013 sekitar
2,5%.
IMF memperkirakan perekonomian Kawasan Eropa
sebagai episentrum kekhawatiran global masih
mengalami kontraksi minus 0,4% (yoy) pada tahun
2012 dan mulai pul ih tahun 2013 dengan laju 0,2%
(yoy). Pada triwulan III-2012, pertumbuhan Kawasan
Eropa turun dari minus 0,4% (yoy) periode sebelumnya
menjadi minus 0,6% (yoy). Berbagai negara anggota
Kawasan Eropa yang mengalami krisis Utang seperti
Yunani dan Spanyol tidak dapat mengatasi masalah
ekonominya dengan mendevaluasi ni lai mata uangnya.
Sebagai konsekuensinya, negara-negara tersebut harus
melakukan penghematan dalam negeri diantaranya
melalui pemangkasan transfer sosial dan menurunkan
tingkat upah. Sebal iknya, beban pajak masyarakat
ditingkatkan untuk menggenjot pendapatan nasional .
Selain pertumbuhan, masalah yang sangat mendesak
adalah tingkat pengangguran Kawasan Eropa yang
terus merangkak naik. Pada September 2012, tingkat
pengangguran Kawasan Eropa tercatat 11,6%. Bahkan
angka pengangguran di Yunani sekitar 25,4% pada
Agustus 2012 dan di Spanyol sekitar 25,8%.
Rista Amal l ia
Pemerintah melakukan penghematan anggaran dan
peningkatan pajak. IMF memproyeksi perekonomian
AS tumbuh sekitar 2,2% (yoy). Kabar menggembirakan
mengenai program pengentasan pengangguran di
bawah The US Jobs Act yang dinilai cukup berhasil
menekan jumlah pengangguran AS meskipun masih
tergolong tinggi yaitu 7,9% pada Oktober 2012.
Rendahnya prospek pertumbuhan negara-negara maju
berimpl ikasi pada perekonomian negara-negara
pertumbuhan baru terutama melalui perdagangan.
Volume perdagangan internasional diperkirakan hanya
tumbuh 3,3% pada tahun 2012 dibandingkan tahun
sebelumnya 5,8%. Akibatnya, perekonomian Cina yang
tumbuh pesat sekitar 9-10% mulai melambat. IMF
memperkirakan pertumbuhan ekonomi Cina sebesar
7,8% pada tahun 2012. Pada tahun sebelumnya,
pertumbuhan ekonomi Cina sebesar 9,2%.
Perekonomian India pun diperkirakan mulai melambat
setelah sebelumnya tumbuh hingga 10,1% (yoy) pada
tahun 2010. PDB rii l d iproyeksikan hanya tumbuh 4,9%
(yoy) pada tahun 2012 dari 6,8% pada tahun
sebelumnya.
Gejolak perekonomian global berimbas pada
perekonomian Indonesia baik melalui transmisi
langsung maupun tidak langsung. Khususnya
pelambatan ekonomi Cina dan India akibat masalah
ekonomi di AS dan Kawasan Eropa mengancam
permintaan ekspor di Indonesia. Mengingat selama ini
Indonesia merupakan salah satu pemasok bahan baku
utama ke dua negara pertumbuhan baru tersebut.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan III-
2012 sebesar 6,17% (yoy) yaitu
di bawah target nasional 6,5%
(yoy). Untuk tahun 2012, IMF
memprediksikan Indonesia
hanya tumbuh 6,04% (yoy) di
bawah prediksi Bank Dunia
dan Oxford Economics sebesar
6,1% (yoy). Untuk tahun 2013
IMF dan Bank Dunia
memproyeksikan
pertumbuhan Indonesia 6,3%
(yoy), jauh di bawah target
pemerintah dalam RAPBN
2013 sebesar 6,8%.
Prospek Perekonomian Kian Menurun
EKONOMI INTERNASIONAL
Tinjauan Ekonomi dan Keuangan November 20124
P
Sejak bergabung untuk menggunakan mata uang
tunggal , Euro, perekonomian Yunani tidak memenuhi
Kriteria Maastricht karena defisit anggaran Yunani lebih
dari besar dari 3%. Rasio hutang terhadap PDB di atas
60% dan inflasi lebih dari 1,5%. Dengan bergabung ke
dalam Kawasan Eropa, nilai tukar Yunani (drachma)
terapresiasi dari sekitar 1,3 drachma/euro menjadi 1
dracma/euro. Apresiasi ni lai tukar menyebabkan daya
saing ekspor Yunani menurun dan memperbesar defisit
transaksi berjalan.
Keanggotaan Yunani dalam Kawasan Eropa
memberikan keleluasaan bagi pemerintah Yunani untuk
menaikkan pengeluaran pemerintah. Peningkatan
pengeluaran tersebut lebih banyak dibiayai melalui
utang luar negeri. Selanjutnya, kenaikan utang luar
negeri Yunani berimbas pada keengganan investor
asing untuk berinvestasi di Yunani. Imbal hasil
instrumen utang Yunani kian meningkat menyebabkan
biaya utang semakin tinggi.
Berdasarkan kondisi pada bulan Oktober 2012,
perekonomian Yunani masih menunjukkan
perlambatan. Defisit primer Yunani selama Januari-
September 2012 mencapai 2 milyar Euro. Sedangkan
rasio utang terhadap PDB sebesar 170.6% pada tahun
2011 diperkirakan akan menurun menjadi 161,5% pada
tahun 2012 ini. IMF memperkirakan pada tahun 2013
rasio utang ini justru kembal i meningkat menjadi
181,8%.
Neraca perdagangan Yunani hingga Agustus 2012
mengalami defisit sekitar 9 milyar Euro karena
meskipun ekspor naik 6,2% (yoy) atau mencapai 11
milyar Euro, nilai impor bahkan lebih besar lagi, yaitu
sebesar 20 milyar Euro. PMA di Yunani berhasil
mencapai 3,3 milyar Euro pada tahun 2011 dan
diharapkan terus meningkat dengan adanya promosi
reformasi atas peraturan investasi dan program PSI
(Private Sector Innitiative).
Berbagai permasalahan ekonomi yang masih dihadapi
Yunani melebar menjadi krisis sosial . Pemicunya adalah
lonjakan tingkat pengangguran hingga Agustus 2012
tercatat sebesar 25,4%. Di tengah tingkat
pengangguran yang meningkat, Pemerintah Yunani
justru harus menyepakati paket pengetatan anggaran
dan restrukturisasi tenaga kerja. Paket pengetatan yang
mencakup pemotongan belanja pegawai hingga
pemecatan pegawai negeri sipi l memicu aksi-aksi
demonstrasi kembal i marak di Athena, Ibu kota Yunani.
Yunani mengalami hambatan untuk segera keluar dari
krisis karena masih tingginya tingkat ketergantungan
terhadap negara lain dan korupsi. Untuk membantu
perbaikan perekonomian Yunani dan mencegah
penyebaran dampak krisis, sejak bulan Mei 2010 EU,
ECB dan IMF yang disebut Troika menyetujui paket
utang sebesar 110 milyar Euro. Dana talangan tersebut
telah dicairkan sebesar 73 milyar Euro melalui enam
tahap:
Tahap 1: Mei 2010 sebesar 20 milyar Euro
Tahap 2: September 2010 sebesar 9 milyar Euro
Tahap 3: Desember 2010 sebesar 9 milyar Euro
Tahap 4: Maret 2011 sebesar 15 milyar Euro
Tahap 5: Jul i 2011 sebesar 12 milyar Euro
Tahap 6: Desember 2011 sebesar 8 milyar Euro
Pada Februari 2012 Troika kembal i menyetujui dana
talangan tahap kedua bagi Yunani sebesar 130 milyar
Euro. Akan tetapi pencairan dana tersebut masih
menunggu langkah pemerintah Yunani dalam
menerapkan paket pengetatan anggaran sebagaimana
yang telah disepakati . H ingga 27 November 2012, para
menteri keuangan Kawasan Eropa menyepakati
pemotongan utang Yunani sebesar 40 milyar Euro dan
pencairan dana bailout sekitar 44 milyar Euro.
Para pimpinan negara Kawasan Eropa tersebut
menyampaikan bahwa kesepakatan ini tidak sekedar
suntikan dana, melainkan juga merupakan janji bagi
masyarakat Yunani atas masa depan perekonomian
yang lebih baik. Sedangkan bagi Kawasan Eropa,
kebijakan ini merupakan tes kredibil itas, ujian atas
kemampuan organisasi ekonomi regional terbesar
tersebut dalam mengatasi tantangan terbesar yang
tengah dihadapi.
Rista Amal l ia
Krisis Utang YunaniPelajaran untuk Pengelolaan Fiskal yang Berkelanjutan
Tinjauan Ekonomi dan Keuangan November 2012 5
Pertumbuhan Ekonomi IndonesiaEkonomi Indonesia Tumbuh 6,17% pada Triwulan III2012
Ekonomi Indonesia padatriwulan III-2012 tumbuh
sebesar 6,17% (yoy), lebihrendah dibandingkanpertumbuhan pada triwulanII-2012 yang sebesar 6,40%(yoy). Dari sisi pengeluaran,pertumbuhan PDB triwulan III-2012 ditopang oleh kenaikankomponen PembentukanModal Tetap Bruto (PMTB)atau investasi sebesar 10,02%dan komponen PengeluaranKonsumsi Rumah Tanggasebesar 5,68%. Sementarakomponen lainnya mengalamipenurunan, sepertiPengeluaran KonsumsiPemerintah turun sebesar3,22%, Ekspor Barang danJasa turun sebesar 2,78%, danImpor Barang dan Jasa turunsebesar 0,54%.
Berdasarkan jenis lapangan
usaha, sektor ekonomi yang
tumbuh dengan angka tertinggi
adalah sektor pengangkutan
dan komunikasi sebesar
1 0,48%, sedangkan sektor
ekonomi dengan angka
pertumbuhan terendah adalah
sektor pertambangan dan
penggalian sebesar 0,09%.
Walaupun demikian, sektor
industri pengolahan merupakan
sumber pertumbuhan ekonomi
terbesar pada triwulan III-2013
yaitu sebesar 1,62%. Hal ini dapat
dil ihat dari kontribusi sektor ini yang
mencapai 23,87% dan tumbuh
sebesar 6,36% (yoy).
J ika dil ihat dari struktur menurut
pengeluaran, PDB pada triwulan III-
2012 masih didominasi oleh
pengeluaran konsumsi rumah
tangga sebesar 54,79%, diikuti oleh
investasi sebesar 33,18%. Hal ini
sejalan dengan pandangan Wakil
Sekretaris Jenderal OECD, Rintaro
Tamaki, yang menyatakan bahwa
pertumbuhan permintaan domestik,
khususnya konsumsi pribadi dan
investasi , akan menjadi penggerak.
“Pertumbuhan akan menjadi kurang
dapat diandalkan dalam ekspor
bersih dibandingkan di masa lalu .
Perluasan kelas menengah
tampaknya akan terus mendorong
permintaan domestik," ujar Rintaro
Tamaki.
Di sisi lain, j ika dil ihat secara spasial ,
Indonesia masih mengalami
masalah ketimpangan pendapatan
wilayah antara Pulau Jawa dan Luar
Jawa. Hal ini dapat dil ihat dari
struktur perekonomian Indonesia
secara spasial pada triwulan III-2012
masih didominasi oleh kelompok
provinsi di Pulau Jawa yang
memberikan kontribusi terhadap
Produk Domestik Bruto sebesar
57,5%, kemudian diikuti oleh Pulau
Sumatera sebesar 23,83%, Pulau
Kal imantan 9,26%, Pulau Sulawesi
4,75%, dan sisanya 4,64% di pulau-
pulau lainnya.
Sandra Kurniawati
Ekonomi Domestik
Tinjauan Ekonomi dan Keuangan November 20126
Inflasi Oktober 2012Ekspektasi inflasi 2013 diperkirakan akan meningkat
I nflasi bulan Oktober 201 2
mengalami peningkatan.
Inflasi tercatat sebesar
0,1 6% (mom) atau 4,61%
(yoy). Nilai ini lebih tinggi
dari tingkat inflasi bulan
September 201 2 yang
mencapai 0,01 % (mom)
dan 4,31% (yoy).
Peningkatan inflasi
bersumber dari kenaikan
tarif sewa dan kontrak
rumah serta kenaikan harga
beberapa komponen
volatile food. Walaupun
mengalami peningkatan,
tingkat inflasi masih relatif
stabil .
Berdasarkan jenisnya, Inflasi inti
pada bulan Oktober 2012 tercatat
sebesar 0,33% (mom) dan 4,59%
(yoy). Faktor utama yang
mendorong naiknya tingkat
inflasi inti adalah meningkatnya
tarif sewa dan kontrak rumah.
Kenaikan ini masih relatif stabil .
Stabilnya inflasi inti bersumber
dari menurunnya imported
inflation akibat penurunan harga
pangan global , terjaganya
stabil itas rupiah dan ekspektasi
inflasi , serta respon sisi
penawaran yang memadai.
Inflasi volatile food pada bulan
Oktober 2012 tercatat -0,41%
(mom) dan 6,66% (yoy). Koreksi
harga yang masih berlanjut dan
minimalnya dampak perayaan
Idul Adha mendorong deflasi
volatile food. Komponen volatile
food yang mengalami deflasi
antara lain telur ayam, ikan segar,
aneka bawang dan minyak
goreng. Sementara itu,
komponen volatile food yang
mengalami inflasi antara lain
daging, telur ayam, cabe, daging
sapi, dan wortel .
Inflasi administered price pada
bulan Oktober 2012 tercatat
sebesar 0,23% (mom). Secara
tahunan, Inflasi administered price
mengalami peningkatan dari
2,74% pada bulan September
2012 menjadi 2,82% pada bulan
Oktober 2012. Adanya kebijakan
kenaikan tarif parkir di DKI
Jakarta mendorong inflasi
administered price walaupun tidak
signifikan. Secara spasial , 37 dari
66 kota IHK mengalami inflasi .
Inflasi tertinggi tercatat di kota
Manokwari yaitu sebesar 0,97%
(mom). Sebal iknya, deflasi
tertinggi terjadi di kota Ambon
sebesar 2,44% (mom).
Inflasi diperkirakan stabil pada
kisaran 4,5%±1% sampai akhir
tahun 2012. Perkiraan ini didasari
oleh perkembangan inflasi yang
rendah di bulan Oktober 2012
dan resiko minimum di waktu
mendatang.
Fitria Faradila
Tinjauan Ekonomi dan Keuangan November 20126Tinjauan Ekonomi dan Keuangan November 2012 7
Neraca Pembayaran IndonesiaNeraca Pembayaran Indonesia (NPI) kembali surplus pada
triwulan III-2012 sebesar US$0,8 miliar.
N eraca Pembayaran
Indonesia (NPI) triwulan
I I I -201 2 kembali surplus
sebesar US$0,8 mil iar. Faktor
pendorong terbesar berasal
dari transaksi modal dan
finansial karena peningkatan
arus masuk investasi
langsung asing ke Indonesia.
Sementara itu, transaksi
berjalan mengalami
penurunan defisit karena
membaiknya kinerja neraca
perdagangan. Akibatnya,
jumlah cadangan devisa
meningkat menjadi US$ 11 0,2
mil iar setara dengan 6 bulan
impor dan pembayaran utang
luar negeri.
Surplus transaksi modal dan
finansial pada triwulan III-2012
mengalami peningkatan menjadi
US$6,0 mil iar dari US$5,1 mil iar
pada triwulan II-2012. Seiring
dengan kinerja investasi yang masih
tumbuh kuat (10,02%), arus masuk
investasi langsung asing ke
Indonesia (PMA) meningkat
signifikan menjadi US$ 5,5 mil iar
dari US$ 3,2 mil iar di triwulan II-
2012. Peningkatan tersebut
mendorong investasi langsung neto
sebesar US$ 3,6 mil iar.
Sementara itu, neraca investasi
portofol io juga memberikan
kontribusi positif dari meningkatnya
al iran masuk modal asing pada
instrumen berdenominasi rupiah
berupa pembel ian obl igasi
pemerintah dan saham perusahaan.
Arus masuk dana asing pada
investasi portofol io selama triwulan
III-2012 masih deras meski sedikit
lebih rendah dibanding triwulan
sebelumnya.
Transaksi berjalan mengalami defisit
sebesar US$5,3 mil iar (2,4% terhadap
PDB), lebih kecil dibanding defisit
US$7,7 mil iar (3,5% terhadap PDB)
pada triwulan II-2012. Menurunnya
defisit transaksi berjalan ini terutama
disebabkan oleh membaiknya
kinerja perdagangan nonmigas
seiring penurunan impor yang cukup
dalam di tengah ekspor yang masih
terus menurun. Selain itu, perbaikan
transaksi berjalan juga didukung
oleh defisit neraca jasa yang lebih
rendah seiring penurunan impor,
serta berkurangnya defisit neraca
perdagangan minyak dan gas akibat
impor minyak yang lebih rendah .
Akan tetapi, tekanan inflasi di tahun
2013 diperkirakan akan meningkat.
Adanya rencana kenaikan tarif TDL
rata-rata sebesar 15% akan
mendorong tingkat inflasi
administered price. Selain itu,
rencana pemerintah untuk
meningkatkan upah minimum
diperkirakan juga mendorong inflasi .
Namun, ekonom Citi Bank, Helmi
Arman menyatakan bahwa kenaikan
upah tidak akan berdampak besar
terhadap inflasi . Hal ini disebabkan
sebagian besar pekerja masih
berada di sektor informal .
Untuk mengantisipasi tingkat inflasi
di masa mendatang, Tim Pengendal i
Inflasi (TPI) pusat dan daerah akan
melakukan hal-hal sebagai berikut:
(i) mendorong peningkatan
kerjasama perdagangan antar
daerah dalam rangka menurunkan
tekanan inflasi volatile food; (i i )
menjaga ekspektasi inflasi agar
tetap terkendal i ; dan (i i i )
meminimal isir dampak inflasi dari
kebijakan administered price.
Referensi:
Anal isis Inflasi Oktober 2012-Tim
Pemantau dan Pengendal i Inflasi ;
Indonesia Macro Flash- Citi Bank
Economics Research
Fauzia Suryani Puteri
Tinjauan Ekonomi dan Keuangan November 20128
erekonomian global terl ihat belum benar-
benar pul ih terl ihat dari pertumbuhan
ekonomi dunia yang masih cenderung
lambat. Bahkan krisis ekonomi di Eropa
semakin meluas dari kawasan pinggiran
menuju pusat Eropa seperti Perancis dan Jerman. Selain
itu, pertumbuhan ekonomi Cina dan India masih
dibayangi tren bergejolak yang dikuatirkan semakin
berimbas pada kinerja ekonomi Indonesia. Hingga
triwulan III-2012, ketahanan ekonomi Indonesia masih
relatif kuat. Namun demikian, situasi perekonomian
dunia saat ini semakin nyata berimbas pada
perekonomian nasional dan secara langsung
berpengaruh pada kondisi perekonomian daerah.
Apakah ada pengaruh krisis global terhadap
perekonomian daerah di Indonesia? Pengaruh ini dapat
ditelurusi dari pencapaian beberapa indikator makro
terkait pertumbuhan ekonomi daerah seperti produk
domestik regional bruto, perkembangan inflasi daerah,
investasi daerah, belanja pemda, serta pengaruh ekspor
dan impor daerah.
Pada kenyataannya, perekonomian sebagian besar
daerah diperkirakan masih relatif tumbuh kuat, namun
beberapa daerah telah merevisi target proyeksinya.
Sebagian daerah di Jawa dan Kal imantan
mengindikasikan potensi melambatnya pertumbuhan.
Secara spasial , struktur perekonomian Indonesia masih
didominasi oleh kelompok provinsi di Pulau Jawa yang
berkontribusi terhadap PDB sebesar 57,52% dan diikuti
oleh Pulau Sumatera, Kal imantan, dan Sulawesi.
Secara nasional prospek inflasi akhir tahun ini akan
berada dalam target, namun inflasi daerah seperti di
wilayah Jawa mengalami tren yang meningkat. Inflasi
tertinggi di wilayah Jawa pada Oktober 2012 terjadi di
Jakarta sebesar 0.53% dan inflasi terendah terjadi di
Kediri sebesar 0.01%. Inflasi IHK tetap terkendal i karena
dukungan inflasi di wilayah Sumatera yang menurun.
Investasi di sebagian besar daerah pada triwulan III-
2012 diperkirakan tumbuh cukup tinggi, namun
menunjukkan indikasi melambat. Untuk wilayah Jawa,
investasi masih kuat karena dampak dari tingkat
aglomerasi yang lebih besar dan dukungan infrastruktur
yang lebih baik. Di Kawasan Indonesia Timur (KTI),
investasi mengalami perlambatan terutama dipengaruhi
oleh infrastruktur pendukung yang masih terbatas
mel iputi akses transportasi dan logistik, ketersediaan
energi serta fasi l itas pelayanan publ ik lainnya.
Menurut ri l is Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan
dan Pengendal ian pembangunan (UKP4), pengeluaran
pemerintah daerah pada triwulan III-2012 baru
tereal isasi secara rata-rata sebesar 43.9%. Real isasi ini
lebih rendah dari tahun lalu yang mencapai sekitar 45%.
Penyerapan belanja yang rendah tersebut terkendala
oleh beberapa hal seperti pemahaman yang masih
rendah mengenai proses pengadaan barang dan jasa
pemerintah, dokumen pengadaan yang tidak lengkap,
masalah pengadaan lahan, pergantian pimpinan daerah,
serta perbedaan pemahaman atas upaya percepatan
real isasi APBD. Penyerapan anggaran yang rendah ini
tentu saja mempengaruhi optimal isasi fiskal daerah dan
peran daerah dalam mendukung investasi infrastruktur
di daerah.
Pengeluaran untuk Belanja Modal pada APBD secara
umum masih tercatat rendah. Mayoritas pengeluaran
digunakan untuk pengadaan barang dan jasa
dibandingkan untuk pembangunan infrastruktur dan
prasarana publ ik. Hanya pemerintah DKI Jakarta dan
Kal imantan yang mampu menganggarkan lebih dari
30% APBD untuk Belanja Modal pada tahun 2012.
Sebenarnya persentase Belanja Modal terhadap APBD di
wilayah KTI dan Sumatera lebih tinggi di bandingkan
dengan wilayah Jawa sejalan dengan kebutuhan
infrastruktur, namun nilai Belanja Modal di kedua
kawasan tersebut masih jauh dari kebutuhan secara
optimal .
Dampak melambatnya perekonomian global terhadap
kinerja ekspor daerah semakin terasa dan diperkirakan
berlangsung lebih lama. Kinerja ekspor Jawa termasuk
Jakarta cenderung terus menurun, terutama komoditas
teksti l dan bahan kimia. Perkembangan impor di
kawasan Jawa termasuk Jakarta juga mulai melambat,
baik pada bahan baku, barang modal , dan barang
konsumsi. Ekspor di wilayah KTI dan Sumatera
melambat cukup besar dan terjadi sejak triwulan I-2012.
Penurunan kinerja ekspor di KTI dan Sumatera berimbas
besar pada penurunan kinerja ekspor nasional . Oleh
karena itu, upaya untuk meredam perlambatan ekspor
daerah sangat diperlukan saat ini agar ketahanan
ekonomi nasional dapat berkelanjutan.
(Sumber data: Berita Resmi Satatistik-BPS, Tinjauan
Ekonomi Regional Triwulan III-BI)
P
Pengaruh Krisis Global terhadapEkonomi Daerah
Ratih Purbasari Kania
Ekonomi Daerah
Sumber: http://wiryanto.fi les.wordpress.com
Tinjauan Ekonomi dan Keuangan November 2012 9
D
"Kendala yang dihadapi dalam rangkakoordinasi kebijakan moneter-fiskalselama ini berupa penyaluraninformasi yang kurang lancar sertamasalah birokrasi terutama yangterkait dengan pengambilankeputusan"
Laporan Utama
Harmonisasi Kebijakan MoneterRista Amall ia
Di tengah tantangan ekonomi global , Bank Indonesia
sebagai otoritas moneter berupaya mendukung upaya
pemerintah dalam melakukan mitigasi berbagai risiko
eksternal . Beberapa upaya dan kebijakan yang telah
diambil oleh Bank Indonesia: Memperpanjang tenor
SBI; Menerapkan Month Holding Period (MHP) SBI; dan
Optimal isasi Instrumen Operasi Moneter non SBI
seperti Term Deposit, Reverse Repo SBN dan Foreign
Exchange Swap.
Berbagai kebijakan antisipasi dampak krisis global yang
dilakukan oleh Bank Indonesia merupakan bagian dari
upaya menjaga stabil itas ekonomi nasional . Untuk
keberhasilan pencapaian tujuan tersebut, Bank
Indonesia sebagai pemangku kebijakan moneter
berusaha meningkatkan sinergi dengan pemerintah
sebagai otoritas fiskal . Beberapa bentuk harmonisasi
yang telah dilakukan terutama terkait dengan upaya
meningkatkan akurasi proyeksi ekonomi dan l ikuiditas
keuangan, koordinasi mengenai pengelolaan uang dan
aset negara, serta koordinasi terkait Crisis Management
Protocol (CMP).
Menurut Direktur Pengelolaan Moneter Bank Indonesia,
Hendar, kendala yang dihadapi dalam rangka
koordinasi kebijakan moneter-fiskal selama ini
diantaranya berupa penyaluran informasi yang kurang
lancar dan masalah birokrasi terutama yang terkait
dengan pengambilan keputusan. Selain itu, kendala
yang dihadapi juga terkait dengan masalah teknis
seperti deviasi hasi l proyeksi yang mempengaruhi
akurasi proyeksi lainnya.
Tantangan lain dalam koordinasi kebijakan moneter-
fiskal juga terkait dengan penerapan otonomi daerah.
Dengan diterapkannya otonomi daerah, tugas otoritas
moneter dalam menjaga inflasi menjadi lebih menyebar
dan sul it untuk dikontrol . Dengan otonomi tersebut,
masing-masing daerah memil iki kewenangan yang
lebih luas untuk mengatur interaksi antara permintaan
dengan pasokan di daerahnya masing-masing.
Beberapa daerah dengan kondisi tekanan harga yang
meningkat akan cenderung mengambil kebijakan untuk
mel indungi daerahnya sendiri , sehingga kadangkala
dapat memberikan dampak negatif bagi daerah lain
atau pada perekonomian nasional .
Oleh karena itu dalam era otonomi daerah, Bank
Indonesia bersama jajaran pemerintah baik pusat dan
daerah berupaya mengelola inflasi melalui Tim
Pengendal i Inflasi (TPI) tingkat nasional dan Tim
Pengendal i Inflasi (TPID) yang tersebar di 66 kota di
Indonesia. Ini salah satu bentuk nyata dari sinergi
kebijakan fiskal-moneter. Melalui TPI dan TPID tersebut,
komunikasi menjadi lebih intensif di antara berbagai
pemangku kebijakan baik ditingkat pusat dan daerah
untuk mendorong perdagangan antar daerah.
Di waktu mendatang, Bank Indonesia akan terus
berupaya untuk menjaga stabil itas ekonomi makro
melalui strategi harmonisasi . Langkah harmonisasi yang
akan dilakukan adalah penajaman koordinasi Crisis
Management Protocol dan peningkatan sinergi untuk
menciptakan ketapatan akurasi proyeksi.
Narasumber:HendarDirektur Eksekutif Pengelolaan MoneterBank Indonesia
Tinjauan Ekonomi dan Keuangan November 2012 12Tinjauan Ekonomi dan Keuangan November 2012 11
12
1953: Pemerintah Indonesia
mengeluarkan UU no. 11 Tahun 1 953
tentang tugas pokok Bank Indonesia
sebagai bank sentral yang mengatur ni lai
satuan uang Indonesia.
Perjalanan Waktu Kebijakan
1983: Diterapkannya PAKJUN 1 983
(Kebijakan deregulasi perbankan) yang
mengatur kebebasan bank pemerintah dalam
menetapkan suku bunga deposito serta
ketentuan pagu kredit.
1968: Dikeluarkannya UU No. 1 3 Tahun 1 968
tentang Bank Sentral. Berdasarkan UU
tersebut maka tugas BI adalah mengatur,
menjaga dan memelihara stabil itas nilai
rupiah.
1988: Pemerintah mengeluarkan Paket 27 Oktober
1 988 dan Paket Kebijakan 20 Desember 1 988 yang
merupakan paket penyempurnaan kebijakan-
kebijakan sebelumnya dibidang keuangan, moneter
dan perbankan.
1953: Pemerintah Indonesia
mengeluarkan UU no. 11 Tahun 1 953
tentang tugas pokok Bank Indonesia
sebagai bank sentral yang mengatur ni lai
satuan uang Indonesia.
1828: Pemerintah Hindia Belanda
Mendirikan De Javasche Bank (DJB)
sebagai bank sirkulasi dan
percetakan uang.1983: Pemerintah melaksanakan kredit
selektif. Hal ini di lakukan agar jumlah uang
beredar dan inflasi tetap terkendali .
1966: Pemerintah menetapkan anggaran
berimbang dengan cara menghentikan
proyek-proyek yang tidak produktif dan
fokus pada kegiatan yang menghasilkan
pendapatan.
1966: Pemerintah menutup defisit APBN
dengan ULN tanpa disertai dengan
pencerakan uang baru
1967-1968: Pemerintah mengeluarkan UU
No. 1 tahun 1 967 tentang PMA dan UU No.
6 Tahun 1 968 tentang PMDN untuk
mendorong produksi dengan
menggalakan investasi
1983: Pemerintah juga mengeluarkan
UU No.7 tahun 1 983 tentang pajak
penghasilan dalam rangka
penyederhanaan, pemerataan, dan
peningkatan pendapatan.
PemerintahanOrde Lama
PemerintahanOrde Baru
Tinjauan Ekonomi dan Keuangan November 201212
Tinjauan Ekonomi dan Keuangan November 2012 13
Selama dan Setelah KrisisMoneter 1997-1998
Setelah Krisis FinansialGlobal 2008
Agustus 2009: Penurunan BI Rate dari
9,5% pada tahun 2008 menjadi 6,5%
pada tahun 2009.
Februari 2011: Bank Indonesia menaikan
BI Rate dari 6,5% menjadi 6,75%
Oktober 2011: Penurunan BI Rate
menjadi 6,5 kembali .
November 2011: Penurunan BI Rate
menjadi 6%.
Februari 2012: Penurunan BI Rate
menjadi 5,75%.
1997: BI menerapkan kebijakan moneter
ketat dengan menaikan suku bunga SBI .
SBI 1 bulan yang pada awal tahun 1 997
sebesar 1 2,1 5 % pada pertengahan
tahun 1 998 melambung menjadi 70,81 %.
1997: Pemerintah mengurangi pengeluaran
untuk kegiatan-kegiatan tidak produktif dan
mengalihkannya pada pengeluaran untuk
kegiatan yang diharapkan dapat mengurangi
biaya sosial akibat krisis ekonomi.
1999: Diberlakukannya UU No. 23 tahun
1 999 sebagai pengganti UU. No. 1 3
tahun 1 968. Tujuan utama Bank
Indonesia adalah mencapai dan
memelihara kestabilan nilai rupiah. BI
menjadi lembaga Independen.
1999: Diberlakukannya UU No. 3 tahun
2004 sebagai pengganti UU No. 23 tahun
1 999. Undang-undang ini membentuk
Dewan Supervisi pengawas BI ,
mengizinkan BI memberikan fasil itas
pembiayaan darurat dan mewajibkan BI
memberikan pertimbangan terhadap
2009: Pemerintah menyediakan paket
stimulus fiskal sejumlah Rp 71 ,3 tri l iun
dalam rangka meringankan beban
masyarakat melalui subsidi BBM dan
pemberian intensif pajak. Pemerintah
juga menyiapkan dana sekitar 4 tri l iun
untuk pembelian kembali aset-aset
BUMN yang memil iki kinerja baik.
2008: Pemerintah membentuk CrisisManagement Protocol untuk mencegah dan
menangani krisis. Dikeluarkannnya Perpu No.
3 tahun 2008 tentang Perubahan atas UU No.
24 tahun 2004 tentang LPS.
Fiskal dan Moneter Indonesia
Referensi:
Adiningsih, Sri . 2012. Koordinasi dan Interaksi Kebijakan Fiskal-Moneter: Tantangan ke Depan . Yogyakarta: Kanisius.
Dukungan Kebijakan Fiskal & Moneteruntuk Mendorong Pertumbuhan Investasi
I r. Tamba Hutapea, MCP
Deputi Bidang PerencanaanPenanaman Modal, BadanKoordinator PenanamanModal (BKPM)
Narasumber
Laporan Utama
DPertumbuhan investasi di Indonesia terus
mengalami peningkatan. Pertumbuhan
investasi pada triwulan III-2012
meningkat sebesar 10,02% dibandingkan
periode yang sama tahun lalu. Real isasi
investasi hingga September 2012, telah
mencapai 81,1% dari target investasi
tahun 2012. Derasnya al iran masuk dana
asing pada pada triwulan III-2012 ini
menandai sentimen positif para investor
global pada prospek ekonomi domestik.
Badan Koordinasi Penanaman Modal
(BKPM) memainkan peran strategis
sebagai penghubung utama antara dunia
usaha dan pemerintah. BKPM mendapat
mandat untuk terus mendorong investasi
langsung, baik dari dalam negeri maupun
luar negeri, dengan menciptakan ikl im
investasi yang kondusif. Untuk
mempercepat pertumbuhan ekonomi
Indonesia serta menarik investor untuk
melakukan investasi jangka panjang di
Indonesia, Pemerintah perlu
mengeluarkan kebijakan-kebijakan baik
berupa kebijakan perbaikan infrastruktur,
ikl im investasi , maupun inisiatif-inisiatif
lainnya di bidang keuangan.
Deputi Perencanaan Penanaman Modal ,
Tamba Hutapea dalam kesempatan
wawancara TEK menyatakan “BKPM
berkoordinasi dengan Badan Kebijakan
Fiskal (BKF), Kementerian Keuangan,
lebih terkait dengan insentif fiskal yang
diberikan untuk meningkatkan daya saing
investasi”. Tamba mencontohkan insentif
fiskal yang dikeluarkan oleh Kementerian
Keuangan berupa tax holiday, perluasan
tax allowance, dan streamlining
pembebasan biaya bea masuk.
Tepatnya pada tanggal 15 Agustus 2011
Pemerintah telah memberlakukan
kebijakan pemberian insentif pajak untuk
penanaman modal berupa Tax Holiday
bagi industri pionir melalui Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 130 Tahun
2011. Di samping memberikan tax
holiday, pemerintah juga memberikan
alternatif fasi l itas Pajak Penghasilan
dengan menerbitkan kebijakan insentif
perpajakan pada tanggal 22 Desember
2011 yang diatur dalam Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 52 Tahun 2011
tentang Fasil itas Pajak Penghasilan untuk
Penanaman Modal di Bidang-Bidang
Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-
Daerah Tertentu. PP 52 tahun 2011
tersebut merupakan revisi kedua dari PP
No 1 Tahun 2007, yang pada dasarnya
merupakan paket kebijakan pemberian
insentif berupa investment allowance,
bagi industri yang mendapat prioritas
tinggi dalam skala nasional .
Tamba berpendapat bahwa dengan
adanya tax holiday dan tax allowance,
investor akan memil iki pil ihan saat
berinvestasi di Indonesia. Namun, insentif
fiskal yang diberikan saat ini masih perlu
disempurnakan mengenai kejelasan
jangka waktu, dan persyaratannya agar
lebih menarik bagi para investor. Dalam
Dalam usaha meningkatan investasi jangka panjang, Pemerintah telah
mengeluarkan berbagai kebijakan termasuk insentif di bidang keuangan.
Namun, Tamba Hutapea berpendapat bahwa berbagai fasi l itas fiskal dan
moneter yang ada saat ini masih perlu diharmonisasi dan disempurnakan
guna mendukung terciptanya ikl im investasi yang kondusif.
Sandra Kurniawati dan Fauzia Suryani Puteri
Tinjauan Ekonomi dan Keuangan November 201214
pendapatnya, j ika insentif tax
holiday batas waktunya hanya
sampai tahun 2014, and then what
next? Banyak proyek jangka
panjang yang membutuhkan
kejelasan mengenai jangka waktu
berlakunya tax holiday. Misalnya
investor smelter yang sudah pasti
akan menempatkan dana jangka
panjang kemungkinan baru
mengajukan tax holiday pada tahun
2015. Tamba menambahkan bahwa
persyaratan yang ditentukan dalam
peraturan tersebut masih
memberatkan investor untuk
berinvestasi . Sebagai gambaran
syarat investasi awal senilai 1 tri l iun
Rupiah sul it dipenuhi. Investor
energi terbarukan seperti tenaga
angin akan kesul itan jika harus
langsung menginvestasikan 1 tri l iun
Rupiah karena keuntungan investasi
diperoleh secara bertahap.
Persyaratan yang ditentukan dalam
regulasi insentif fiskal semestinya
tidak terlalu rigid, misalnya industri
damar harus menyerap 300 orang
tenaga kerja. J ika yang mampu
dipekerjakan hanya 285 orang,
maka artinya industri tersebut tidak
memenuhi persyaratan peraturan.
Padahal jumlah tenaga kerja yang
terserap relatif cukup besar.
Di samping penyempurnaan
fasil itas fiskal yang sudah ada,
masih diperlukan bentuk insentif
lainnya seperti insentif untuk
proyek infrastruktur. PP Nomor 52
Tahun 2011 memang mengatur
beberapa insentif yang terkait
dengan proyek infrastruktur.
Namun, persyaratan di peraturan
tersebut seringkal i tidak sesuai
dengan pasar yang dituju oleh
investor. Contohnya, proyek
konstruksi jalan raya serta
pengelolaan dan pembuangan
sampah yang tidak berbahaya,
dalam PP 52/2011 mengecual ikan
proyek yang diinvestasikan di Pulau
Jawa. Padahal pembangunan Trans
Jawa dan masalah sampah yang
krusial justru berada di Pulau Jawa.
Tamba berpendapat bahwa regulasi
insentif untuk proyek investasi
infrastruktur perlu dibuat khusus
terutama proyek dengan pola
Kerjasama Pemerintah-Swasta.
“Proyek tersebut ‘kan mil ik
Pemerintah, mengajak swasta untuk
terl ibat. Dalam hal ini seharusnya
Pemerintah memberikan
Government Support dan
Government Guarantee, salah
satunya dengan menjelaskan tata
cara dan prosedur mengenai
insentif perpajakan,” ujar Tamba.
Selain berkoordinasi dengan
Kementerian Keuangan terkait
fasi l itas fiskal , BKPM juga
melakukan koordinasi dengan Bank
Indonesia terkait dengan kebijakan
Sumber : http: //westjavainvest.com/
Tinjauan Ekonomi dan Keuangan November 2012 12Tinjauan Ekonomi dan Keuangan November 2012 15
moneter yang terkait dengan
investasi . Tamba menjelaskan
bahwa BKPM dan BI sering
melakukan Focus Group Discussion
(FGD) yang membahas berbagai isu
seperti yang saat ini membahas
proyek dengan pola Kerjasama
Pemerintah-Swasta dari segi
pembiayaan.
Dalam forum diskusi, BKPM
biasanya menyampaikan himbauan-
himbauan terkait kebijakan moneter
yang dapat mendukung ikl im
investasi yang kondusif. Pada salah
satu diskusi dengan BI, BKPM
menghimbau kepada BI agar tidak
menaikkan BI rate serta mampu
mengeluarkan kebijakan yang lebih
agresif dibandingkan kebijakan-
kebijakan yang bersifat moral
suasion. Hal ini terkait dengan net
interest margin bank yang
sebaiknya tidak terlalu tinggi. Saat
ini rata-rata net interest margin
(NIM) sekitar 5,4% dari BI rate
dinilai masih terlalu tinggi. Untuk
proyek jangka panjang, masih di
atas 10%. Sementara di Singapura,
NIM-nya hanya sekitar 1% dan
negara lain sekitar 3%. Hal tersebut
akan memberatkan jika terjadi krisis
global .
Untuk meningkatkan ikl im investasi
yang kondusif perlu dilakukan
beberapa hal seperti
penyempurnaan dan harmonisasi
peraturan agar cocok dengan
kebutuhan dunia bisnis. Tamba
mengungkapkan bahwa persoalan
lahan dan Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) daerah masih
menghambat perencanaan
investasi . Banyak kabupaten/kota
saat ini belum memil iki RTRW,
menghambat investor untuk
mendapatkan izin dari Pemerintah
Daerah. Masalah lain adalah tenaga
kerja dan keamanan yang menjadi
faktor sangat penting untuk
menentukan kenyamanan investor.
Pelayanan administrasi hingga saat
ini menurut penilaian Tamba masih
belum optimal , sehingga perlu
dilakukan percepatan dan
peningkatan kual itas Pelayanan
Terpadu Satu Pintu (PTSP) di
daerah-daerah. Oleh karena itulah
BKPM Pusat selalu melakukan
sosial isasi dan penyamaan
pandangan mengenai peran PTSP
ini yang seharusnya mempermudah
investasi . “Baru ada 268 PTSP pada
tingkat Provinsi dan
Kabupaten/Kota yang kual ifikasinya
sama dengan ketentuan pusat”,
ungkap Tamba.
Setiap tahun BKPM Pusat
mendorong akselerasi PTSP daerah
melalui pemberian award kepada
instansi penanaman modal di
daerah yang memenuhi kual ifikasi
BKPM Pusat. Hasil survei terbaru
menunjukkan daerah yang memil iki
PTSP dengan kual ifikasi yang sesuai
adalah Provinsi Jawa Timur,
Sumatera Selatan, dan Jawa Barat.
Sedangkan untuk tingkat
Kabupaten/Kota adalah Kota
Palembang, Semarang, dan Salatiga,
serta Kabupaten Sragen,
Purwakarta, dan Trenggalek.
Untuk mendukung investasi daerah,
yang terpenting adalah pendirian
PTSP yang qualified serta
pemenuhan Standar Pelayanan
Minimum (SPM) yang terdiri dari
kebijakan, kerjasama, promosi,
pelayanan, pengendal ian
pelaksanaan, pengelolaan data dan
sistem informasi, serta
penyebarluasan, pendidikan, dan
pelatihan penanaman modal .
“Saya rasa jika SPM tersebut
dipenuhi, daerah akan mampu
menggerakkan investasi di
daerahnya masing-masing” saran
Tamba. Selain itu, hal yang
terpenting adalah sebaiknya daerah
menawarkan proyek-proyek dengan
skema bisnis yang matang dan
mampu mengangkat potensi
daerah agar menarik bagi investor.
“Tidak perlu membuat usulan
proyek yang terlalu banyak. Lebih
baik sedikit, namun dengan
perencanaan yang matang”, ujar
Tamba Hutapea menyudahi
wawancara.
Sumber : http: //jakartainvestmentgroup.com
Tinjauan Ekonomi dan Keuangan November 201216
Looking at the medium-term trends in Indonesia’s
export structure can be helpful in analyzing the export
dynamics we have seen over 2012. In recent years,
Indonesia’s exports have increasingly ti l ted towards
agricultural resource-based manufactures and raw-
commodity exports, at the expense of the share of non-
resource based manufactured exports. The importance
of exports of raw commodities, such as coal and copper,
has increased significantly as a result of the global
commodity price boom that took place between 2003
and 2008. Similar factors have driven the rising share in
exports of agriculture resource-based manufacture
exports, e.g. rubber and palm oil .
Countries which have shown strong demand for such
commodities, such as China, now account for a larger
share of exports than five years ago, for example. The
relative importance of direct exports to higher-income
markets such as the USA, Europe and Japan has fal len
(although these markets remain as significant export
destinations and also as indirect drivers of demand for
from other trading partners). These trends mean that
developments in China are now clearly a key driver of
the outlook for Indonesia’s exports. For example, recent
IMF analysis (IMF Selected Issues, 2012) notes that a fal l
in China’s real estate investment of 10 percentage
points, equivalent to a one percent fal l in China’s
growth, is estimated to lead to a fal l in Indonesia’s real
exports of 0.4 percentage points of GDP through
combined direct and indirect effects, including through
the impact on global commodity prices.
So, over the course of 2012 the value of Indonesia’s
exports have been affected by both decl ining
commodity prices as wel l as by a weakening in external
demand, both in high income economies, such as in the
Euro zone, and in China (although there have been
some signs from the latest monthly Indonesian and
international data that export demand is stabil izing). For
many commodities it has been price fal ls which have
primarily driven the decl ine in export values. For
example, in the first eight months of 2012 the value of
Indonesia’s exports of rubber fel l by 32 percent, of
which an estimated 27 percent was due to price fal ls
and 5 percent due to lower volumes. For other
commodities such as copper, whose export value was
down almost 50 percent over this period, the
contribution of fal ls in volumes was more important. For
palm oil , another important commodity export, the two
factors moved in the opposite direction – rising
volumes set against fal l ing prices.
It is worth noting that the decl ine in Indonesia's exports
seen over 2012 is in l ine with that seen in many other
commodity-exporting countries. Indeed, given the
magnitude of the movements seen in international
The Effect of Monetary and Fiscal Policies onIndonesia's International Trade Performance
Tinjauan Ekonomi dan Keuangan November 2012 12Tinjauan Ekonomi dan Keuangan November 2012 17
commodity prices it is relatively difficult to disentangle
the impact of other factors on export performance
within this short time range (although in June there was
a particularly sharp fal l in some mineral exports related
to the transition to the new export regulations). Other
factors affecting export performance could include
recent trends of FDI and the growing integration of
manufacturing companies into global and regional
supply chains. In addition, a whole host of domestic
issues affect the relative cost competitiveness of
Indonesia’s manufacturing firms, and hence their export
performance, ranging from infrastructure and
regulatory pol icies though to availabil ity of skil ls and
labor costs, as discussed further below.
The bulk of Indonesia’s imports consist of raw materials
and capital goods, for use in domestic production to
meet both domestic consumption and investment
demand as wel l as to produce export products. Final
consumption goods are only a smal l share of imports.
The rising influence of global production networks is
one explanation behind the rising trend of intermediate
and capital goods imports seen not only in Indonesia
but in many countries global ly, as discussed in the July
2012 World Bank’s Indonesia Economic Quarterly.
These networks create a positive relationship between
the growth of imported intermediate goods and that of
the manufactured exports for which they are an input
and, indeed, Indonesia’s imports show a strong
historical l ink with exports. In that sense, some of the
pressure on the trade balance through mid-2012 due to
fal l ing exports could be viewed as partly self-correcting
as import demand related to export production would
have been expected to decl ine.
Indeed, while Indonesia’s import growth was sustained
until mid-2012, in the third quarter imports fel l quite
sharply. Intermediate imports contributed to most of
the quarterly decl ine but capital goods also fel l relative
to the second quarter. This contraction in imports led to
a smal l rise in the goods trade surplus in the Balance of
Payments accounts, and to the positive contribution of
net external demand to quarter-on-quarter seasonal ly
adjusted real growth in the quarter. There may also be a
relative price adjustment process playing out, albeit
with some lag, as the relative depreciation in the Rupiah
over recent months, adjusting to changing international
conditions, increases the relative cost of imports and
improves the price competitiveness of exports.
"Promoting macroeconomic stability through
prudent and coordinated monetary and fiscal
policy can play a key role in building
Indonesia's competitiveness and export
performance."
Recent analytical work by the World Bank on “Reviving
growth in Indonesia’s manufacturing sector” confirms
empirical ly that a stable, predictable exchange rate
promotes the growth of manufactured exports. Macro
pol icy stabil ity is also supportive of FDI inflows, which
can lead to knowledge transfer and productivity
improvement to the potential benefit of export
performance, and of aggregate domestic investment
more broadly. For example, the IMF Selected Issues
2012 report finds that among the determinants of the
short-term dynamics of aggregate investment, interest
rate volati l ity has the single biggest impact on
investment growth, with real exchange volati l ity also
having a negative and significant effect.
In addition to further strengthening macroeconomic
resil ience and reducing exchange rate volati l ity, a range
of other pol icy measures are, however, needed to
support Indonesia’s manufactured sector performance,
and its exports, going forward. These include reducing
logistics costs and facil itating the growth of competitive
services industries; reducing regulatory uncertainties
which can delay investment, reduce investment size, or
even diminish Indonesia’s attractiveness as a designated
site for manufacturing investment; improving the
functioning of output and input markets, for example
through addressing difficulties for firms to enter and
exit business; building firms’ learning capabil ity to
innovate, for example, on improving the qual ity of the
skil ls of the workforce, and stimulating the adoption of
new technologies and innovative activities. Within these
areas, fiscal pol icy therefore has another important role
to play in al locating government spending towards
al leviating some of these key constraints, such as in
infrastructure and skil ls.
Contributor:Ashley Taylor
Country Economist
Poverty Reduction and Economic Management Unit
The World Bank Office Indonesia
Tinjauan Ekonomi dan Keuangan November 201218
ebijakan moneter dan fiskal
merupakan bagian dari
kebijakan makroekonomi.
Sedangkan kebijakan
makroekonomi sendiri
memberikan perhatian pada
tiga masalah yaitu pertumbuhan
ekonomi, inflasi , dan pengangguran.
Instrumen kebijakan moneter dan
instrumen kebijakan fiskal baik secara
sendiri-sendiri maupun bersama-sama
mempengaruhi indikator
makroekonomi. Kedua kebijakan dapat
bersifat bersinergi, dan atau sal ing
meniadakan. Untuk mencapai sasaran
akhir dari kedua kebijakan tersebut
maka perlu adanya koordinasi yang baik
antara kebijakan moneter dan fiskal ,
demikian penjelasan Dr. Sugiharso
Safuan, dosen dan penel iti Ilmu
Ekonomi, Universitas Indonesia.
Lebih lanjut bel iau menjelaskan bahwa
di kalangan para ahl i ekonomi masih
terdapat perbedaan pandangan di
dalam pengambilan kebijakan
makroekonomi, khususnya persoalan
mengenai mana yang relatif lebih
mendapat prioritas, apakah inflasi atau
pengangguran. Adanya trade-off antara
kebijakan fiskal dan moneter perlu
ditempatkan dalam konteks diantara
kedua pil ihan kebijakan tersebut yang
memberikan kerugian sosial pal ing
minimal (social welfare loss) .
Kerugian sosial tersebut ditentukan oleh
seberapa besar derajat keberpihakan
dari pembuat kebijakan terhadap inflasi
dan pengangguran. Dalam suatu
masyarakat yang perekonomiannya
masih sangat dipengarui tingkat harga,
akan lebih baik jika bank sentralnya
bersifat independen dan fokus pada
stabil itas inflasi (Rogoff, 1986). Al lesina
dan Gril l i (1992) menambahkan bahwa
kebijakan moneter perlu diisolasi dari
pengaruh pol itik sehingga dapat
mencapai tingkat inflasi yang optimal .
Selain itu, Wil lam Nourdaust (1975)
menjelaskan bahwa kombinasi optimal
antara inflasi dan pengangguran
dipengaruhi oleh sejauh mana sistem
demokrasi yang berlaku di suatu negara.
Indonesia merupakan negara yang
menganut sistem perekonomian
terbuka. Akibat dari perekonomian
K
Koordinasi Kebijakan Moneter – Fiskal:Tantangan Indonesia di Tengah Krisis Global
Fauzia Suryani Puteri
Dr. Sugiharso SafuanPeneliti dan Dosen
I lmu EkonomiUniversitas Indonesia
Opini Pakar
Tinjauan Ekonomi dan Keuangan November 2012 19
Indonesia yang bersifat terbuka, kinerja
mikro dan makro tidak hanya
dipengaruhi oleh faktor domestik tetapi
juga sangat dipengaruhi oleh
perubahan yang terjadi di luar. Krisis
global yang dipicu oleh krisis di
Amerika dan Eropa menyebabkan
kinerja ekspor Indonesia untuk
sejumlah komoditi mengalami
penurunan. Pada gil irannya akan
menurunkan permintaan tenaga kerja
yang terkait dengan produksi komoditi
tersebut. Bila hal ini terjadi secara terus
menerus maka krisis global dapat
berpotensi mengurangi permintaan
tenaga kerja di dalam negeri.
Di sisi lain, pengaruh eksternal juga
dapat berbentuk imported inflation .
Imported inflation merupakan isti lah
yang digunakan oleh para ekonom
untuk menggambarkan bahwa
kenaikan harga-harga domestik
disebabkan oleh kenaikan harga produk
impor. Kenaikan ini khususnya terjadi
pada barang-barang yang memil iki
kandungan impor cukup tinggi seperti
sektor perumahan (housing sector) dan
sektor otomotif. Adanya pengaruh yang
besar dari faktor eksternal dapat
menggambarkan bahwa tantangan
otoritas moneter dan fiskal untuk
mencapai stabil itas makro ekonomi
menjadi semakin kompleks. Untuk itu,
efektivitas kolaborasi dalam
mengimplementasikan kebijakan
bauran (fiskal dan moneter) semakin
perlu ditingkatkan.
Bank Indonesia merupakan instansi
yang ditugasi sebagai pelaksana
kebijakan moneter sedangkan
Kementerian Keuangan bertindak
mewakil i pemerintah sebagai pelaksana
kebijakan fiskal . Dr. Sugiharso Safuan
berpendapat, untuk meminimalkan
terjadinya bias terhadap kepentingan
masing-masing (BI dan Kementerian
Keuangan), perlu dibentuk suatu tim
independen yang beranggotakan ahl i-
ahl i yang memil iki kompetensi di
bidang makroekonomi. Tim ini bersifat
terintegrasi dan bekerja secara
bersama-sama, kontinyu, memberikan
evaluasi terhadap dominasi suatu
kebijakan fiskal-moneter yang
dihasilkan oleh tim perumus dan
memberikan assessment terhadap
pil ihan-pil ihan kebijakan untuk
mengurangi kerugian yang
ditimbulkannya (meminimalkan “welfare
loss”). “Dengan dibentuknya tim
independen tersebut, maka efektivitas
koordinasi kebijakan moneter-fiskal
dapat lebih maksimal”, jelas Dr.
Sugiharso Safuan.
Tinjauan Ekonomi dan Keuangan November 201220
"Untukmeminimalkanterjadinya biasterhadapkepentinganmasing-masing(BI danKementerianKeuangan),perlu dibentuksuatu timindependenyangberanggotakanahli-ahli yangkompeten dibidangmakroekonomi."
Tinjauan Ekonomi dan Keuangan November 2012 21
Peranan BUMN dalam Perekonomian Nasional
Puji Gunawan
anfaat BUMN terhadap pembangunan
nasional secara langsung diberikan
melalui Pajak (PPN, PPh, PPnBM dan
lainnya), deviden dan hasil privatisasi . Di
samping itu, manfaat materi secara tidak
langsung juga diberikan oleh BUMN, misalnya dengan
besarnya belanja modal dan belanja operasional BUMN
yang akan menggerakan sektor-sektor ekonomi lainnya.
Secara rata-rata tiap tahunnya, Belanja modal BUMN
jumlahnya lebih tinggi dibandingkan dengan belanja
modal APBN.
Di samping kontribusi di atas, eksistensi BUMN
ditunjukkan juga di pasar modal . Sebagai contoh
berdasarkan data kapital isasi pasar per 27 Januari 2012,
porsi kapital isasi pasar BUMN publ ik mencapai 22,72%
atau senilai Rp 841,92 tri l iun dari total kapital isasi pasar
Bursa Efek Indonesia. Terkait kinerja BUMN di lantai
bursa, PT. Danareksa juga telah melakukan kajian pada
tahun 2010 yang membandingkan kinerja dari
gabungan 12 BUMN publ ik dengan gabungan 50
perusahaan publ ik non BUMN teratas (berdasarkan
kapital isasi pasar) untuk periode 5 tahun (2005-2009)
dihasilkan :
1. Dari segi Return on Equity (ROE) dan Return on
Asset (ROA) BUMN lebih baik dan lebih menarik
bagi investor;
2. Pertumbuhan laba bersih BUMN (23,7%) ; non
BUMN (19,6%);
3. Pembayaran dividen BUMN secara umum lebih
menarik investor, perbandingan antara Dividend
Pay Out Ratio BUMN dengan non-BUMN adalah
45% : 25%, dengan Dividend Yield yang lebih
tinggi;
4. Posisi hutang BUMN publ ik yang relatif lebih
rendah ;
5. Perkembangan Kapital isasi pasar BUMN publ ik
(25,2%) sedikit di bawah non Publ ik (27,4%) dan
LQ45 (27,6%).
Keberadaan dan market share BUMN yang besar di
sektor-sektor strategis juga membuat BUMN menjadi
bagian yang sangat penting.
Keberadaan BUMN di hampir semua sektor ekonomi
tentunya merupakan peluang sekal igus tantangan
dalam hal membuat positioning, peran dan eksistensi
BUMN di masing-masing sektor dan keberadaannya di
daerah-daerah dapat memberikan kontribusi positif dan
bukan menjadi beban Pemerintah. Saat ini , terdapat 141
BUMN dengan berbagai size maupun skala bisnis. Pada
tahun 2011, dari 141 BUMN, terdapat 7 BUMN yang
memil iki aset lebih dari Rp 100 tri l iun (PT Bank Mandiri ,
PT Bank Rakyat Indonesia, PT PLN, PT Pertamina, PT
Bank Negara Indonesia, PT JAMSOSTEK dan PT Telkom)
dan 58 BUMN memil iki aset kurang dari Rp 1 tri l iun.
M"Sejak era kemerdekaan sampai saat ini, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) telah memberikan
kontribusi yang sangat besar bagi perkembangan perekonomian nasional. Di masa awal
kemerdekaan, BUMN bahkan menjadi soko guru perekonomian nasional mengingat belum
berkembangnya sektor usaha swasta. BUMN memiliki peran yang signifikan terhadap
pembangunan nasional, baik dalam hal kontribusi langsung terhadap anggaran, pengembangan
sektor usaha, maupun dukungan terhadap kegiatan pro rakyat seperti yang diamanatkan
Undang-undang nomor 19 tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara. Karena besar dan
strategisnya peranan BUMN, Pemerintah terus mendorong agar peran BUMN terhadap
perekonomian nasional semakin besar dan dapat menyesuaikan dengan perkembangan zaman."
BUMN
Kontribusi BUMN kepada Perekonomian dan Keuangan Negara
*) Realisasi kumulatif s.d Desember 2011. Sumber: Kementerian BUMN, 2012**) Realisasi KUR s.d Oktober 2012. Sumber : Sekretariat KUR Menko Perekonomian, 2012Realisasi KUR s.d Oktober 2012. Sumber : Sekretariat KUR Menko Perekonomian, 2012
Market Share BUMN
Sumber : Masterplan Kementerian BUMN 2012-2014, 2012
Tinjauan Ekonomi dan Keuangan November 201222
Dari sisi ekuitas, terdapat 2 BUMN yang memil iki ekuitas
lebih dari Rp 100 tri l iun yaitu PT PLN (Persero) dan PT
Pertamina (Persero), sedangkan yang kurang dari Rp
100 mil iar terdapat 44 BUMN (20 diantaranya
mengalami ekuitas negatif) . Dari sisi Pendapatan
terdapat 2 BUMN yang menghasilkan pendapatan lebih
dari Rp 100 tri l iun, (PT Pertamina dan PT PLN) dan 74
BUMN yang menghasilkan pendapatan kurang dari Rp
1 tri l iun. Dari sisi laba bersih, BUMN yang memil iki laba
bersih lebih dari Rp 10 tri l iun adalah PT Pertamina, PT
Bank Rakyat Indonesia, PT Telkom, PT Bank Mandiri dan
PT PLN. Sedangkan BUMN yang mendapatkan laba
bersih kurang dari Rp 10 mil iar, yaitu ada 21 BUMN (23
BUMN diantaranya mengalami kerugian).
Kedepannya, Pemerintah akan melakukan upaya
penataan kembal i (Perampingan/Rightsizing) BUMN
dengan cara pemetaan secara lebih tajam melalui
regrouping untuk mencapai jumlah dan skala usaha
BUMN yang lebih ideal .
J ika dil ihat dari perkembangannya, peran BUMN kerap
berevolusi disesuaikan dengan kondisi dan situasi.
Seperti misalnya diawal era kemerdekaan, BUMN masuk
ke sektor yang memerlukan biaya maupun investasi
yang besar dan tidak diminiati pihak swasta, namun
keberadaannya dirasakan amat penting. Sampai dengan
saat ini , penugasan kepada BUMN untuk melaksanakan
tugas-tugas khusus diwujudkan melalui Public Service
Obligation (PSO), seperti yang dilakukan oleh PT. PLN,
PT. KAI dan PT. Pos Indonesia.
Pemerintah terus mendorong agar peran BUMN
terhadap perekonomian nasional semakin besar dan
Tinjauan Ekonomi dan Keuangan November 2012
Ukuran dan Skala Bisnis BUMN
Sumber : Masterplan Kementerian BUMN 2012-2014, 2012
menyesuaikan dengan perkembangan zaman.
Indonesia dalam perkembangannya pernah merasakan
krisis ekonomi pada tahun 1998 dan tahun 2008 yang
secara langsung maupun tak langsung mempengaruhi
hampir semua sektor
ekonomi. Sebagai
contoh, untuk meredam
dampak krisis
1997/1998, pemerintah
memutuskan
penggabungan
beberapa bank nasional
BUMN pada tahun 1998
yang dilakukan dalam
rangka memperkuat
struktur permodalan
untuk mengembal ikan
dan memperkuat fungsi
bank sebagai lembaga intermediasi yang akan
menggerakkan sektor ekonomi lainnya.
Disamping itu, BUMN juga dapat membentuk Bond
Stabilization Fund dalam rangka mengatur jumlah uang
beredar, baik melalui kebijakan expansive maupun
contactive (tight money) melalui mekanisme buyback
Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan atau surat Berharga
Pasar Uang (SBPU). Dengan keterl ibatan BUMN dalam
buyback surat berharga, Bank BUMN juga dapat
digunakan Pemerintah sebagai pemberi sinyal kepada
pasar terkait arah kebijakan ekonomi Pemerintah.
Dalam keadaan normal , Bank BUMN juga dapat
melakukan akuisisi bank lokal untuk memperbesar
kapasitasnya. Dengan adanya akusisi ini , Bank BUMN
dapat berperan lebih
dalam stabil itas moneter,
pembiayaan dan dalam
upaya menghadapi
integrasi ekonomi secara
regional maupun
internasional .
Peran strategis BUMN
dalam perekonomian
tentunya perlu terus di
dukung dan ditunjang
agar dapat lebih
berdampak luas pada
perekonomian Indonesia. Masih banyak pekerjaan
rumah yang harus dilakukan, seperti bagaimana
membuat BUMN dapat menggerakkan dan
membangun sektor/usaha yang selama ini sul it
tersentuh oleh lembaga-lembaga pembiayaan seperti
yang usaha-usaha kreatif, usaha yang baru dirintis,
usaha yang minim modal maupun sektor yang selama
ini sul it dibiayai dan tidak populer di mata lembaga
pembiayaan. Usulan ke arah tersebut saat ini sudah
mulai dirintis.
Rapat dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesiapada awal November 2012 memutuskan untukmempertahankan BI Rate sebesar 5,75%.
ebijakan tersebut dilandasi oleh
pertimbangan perkembangan ekonomi
domestik di tengah tantangan ekonomi
internasional . Ketahanan perekonomian
Indonesia di tengah kerentanan kondisi
perekonomian global dini lai masih cukup
baik. Pertumbuhan ekonomi dinilai masih
konsisten dengan tekanan inflasi yang rendah dan
terkendal i sesuai dengan sasaran inflasi tahun 2012
sebesar 4,5% ± 1%.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan III
tercatat sebesar 6,17%, sedikit lebih rendah dari
perkiraan. Kinerja perekonomian dipengaruhi oleh
real isasi ekspor yang turun seiring dengan menurunnya
daya serap negara mitra dagang utama dan rendahnya
harga komoditas. Namun perekonomian masih dapat
tumbuh dengan baik karena ditopang oleh peningkatan
konsumsi rumah tangga dan investasi . Kuatnya
konsumsi rumah tangga sejalan dengan peningkatan
keyakinan konsumen dan terjaganya daya bel i
masyarakat. Sementara tingginya pertumbuhan
investasi didorong oleh pertumbuhan konsumsi rumah
tangga yang masih tinggi dan ikl im usaha yang
kondusif.
Pertumbuhan ekonomi pada Triwulan IV tahun 2012
diperkirakan akan tetap baik, karena ditopang oleh
perekonomian domestik yang kuat, dimana sumber
pertumbuhan ekonomi bersumber dari konsumsi
rumah tangga dan investasi . Belanja Pemerintah
berpotensi meningkat seiring dengan pemenuhan
serapan anggaran pada akhir tahun. Di saat yang sama,
kinerja ekspor diperkirakan membaik sejalan dengan
potensi perbaikan ekonomi di negara mitra dagang
utama dan kenaikan harga komoditi .
Optimisme atas prospek pertumbuhan ekonomi pada
akhir tahun 2012 perlu diimbangi dengan berbagai
risiko khususnya risiko eksternal . Hal yang perlu
dicermati adalah masih lemahnya daya serap negara
tujuan ekspor seperti Eropa. Akan tetapi, upaya
pemerintah memotong bea keluar minyak kelapa sawit
mentah (Crude Palm Oil/ CPO) menjadi 9% pada bulan
November 2012 dari sebelumnya sebesar 13,5%
diperkirakan akan mendorong perbaikan kinerja ekspor.
Sejalan dengan penurunan ekspor impor sebagai
dampak perlambatan perekonomian global ,
pertumbuhan kredit pada September 2012 sebesar
22,9% lebih rendah dibandingkan bulan sebelumnya
yang mencapai 23,6%. Kontribusi perlambatan terbesar
berasal dari real isasi penyaluran kredit modal kerja. Dari
sisi simpanan, Dana Pihak Ketiga pada September 2012
mengalami perlambatan tercatat 19,8% (yoy),
dibandingkan bulan sebelumnya sebesar 21,3% (yoy).
Perlambatan tersebut dikontribusi oleh kinerja giro dan
deposito di tengah pertumbuhan tabungan yang relatif
stabil . Secara historis perlambatan ini sejalan dengan
pola konsumsi masyarakat pasca lebaran.
Kinerja perbankan domestik tetap sol id. Hal ini
ditunjukkan dengan Rasio Kecukupan Modal (Capital
Adequacy Ratio/ CAR) masih terjaga di kisaran 17%-
18%, jauh di atas angka persyaratan minimum sebesar
8%. Dari sisi profitabil itas perbankan, indikator Return
on Asset (ROA) mengalami sedikit peningkatan menjadi
3,1%.
Bank Indonesia akan tetap mengarahkan kebijakannya
untuk mencapai keseimbangan eksternal pada tingkat
yang berkesinambungan dengan tetap memberikan
dukungan terhadap pertumbuhan ekonomi domestik.
Bank Indonesia juga akan terus memperkuat
koordinasi dengan Pemerintah dalam upaya menjaga
kestabilan ekonomi makro dan kesinambungan
pertumbuhan ekonomi nasional . (Referensi: Bank
Indonesia)
K
Arah Kebijakan Moneter Bank Indonesia
Alexcius Winang
Keuangan dan Perbankan
Sumber: www.123rf.com
Tinjauan Ekonomi dan Keuangan November 201224
emerintah telah menargetkan
pertumbuhan ekonomi Indonesia pada
RAPBN 2013 sebesar 6,8%. Salah satu cara
untuk mencapai target tersebut adalah
dengan mendorong kenaikan investasi .
Penanaman investasi diharapkan
meningkat pada wilayah dan sektor yang sesuai
dengan program MP3EI. Salah
satu cara Pemerintah untuk
mendorong ikl im investasi adalah
dengan memberikan fasil itas
pengurangan PPh badan melalui
penerbitan Peraturan Pemerintah
No. 52 Tahun 2011 tentang
Fasil itas Pajak Penghasilan untuk
Penanaman Modal di Bidang-
bidang Usaha Tertentu dan/atau
di Daerah-daerah Tertentu.
PP 52 Tahun 2011 yang diterbitkan pada tanggal 22
Desember 2011 merupakan perubahan kedua dari PP
No.1 Tahun 2007. Dasar hukum yang mendasari PP 52
Tahun 2011 adalah UU Nomor 36 Tahun 2008 Pasal
31A mengenai Pajak Penghasilan. Pada awalnya tujuan
penerbitan PP No. 1/2007 dan perubahan pertamanya
yaitu PP No. 62 Tahun 2008 adalah untuk menarik
investasi , baik yang berasal dari luar negeri maupun
dalam negeri untuk meningkatkan pembangunan
ekonomi dengan mendorong tumbuhnya industri-
industri baru atau pionir di Indonesia. Namun dalam
perkembangannya, PP No. 52/2011 disamping
bertujuan untuk mendorong tumbuhnya investasi , juga
agar pertumbuhan investasi mengarah pada hil irisasi
industri dalam rangka meningkatkan nilai tambah
produk, serta menyelaraskan investasi dengan program
MP3EI.
Terdapat 129 Klasifikasi Baku Lapangan Usaha
Indonesia (KBLI) yang diberikan fasi l itas PPh dalam PP
52/2011 (52 KBLI pada Lampiran I dan 77 KBLI pada
Lampiran II) . Lampiran I adalah untuk Bidang Usaha
Tertentu yang keberadaannya tidak dibatasi oleh
wilayah tertentu (seluruh wilayah Indonesia).
Sedangkan Lampiran II adalah untuk Bidang Usaha
tertentu yang keberadaannya harus pada wilayah yang
telah ditentukan.
Wajib Pajak yang berhak menerima fasil itas PP 52 harus
memenuhi beberapa syarat, antara lain (i) Wajib Pajak
Dalam Negeri berbentuk Perseroan Terbatas (PT) dan
Koperasi (i i ) melakukan penanaman modal (baru
maupun perluasan usaha) serta (i i i ) berinvestasi pada
bidang usaha tertentu di seluruh wilayah Indonesia
(Lampiran I) atau bidang usaha tertentu dan daerah
tertentu (Lampiran II) . Namun bagi Wajib Pajak yang
telah memil iki Ij in Prinsip (IP) atau
ij in penanaman modal sebelum PP
52/2011 berlaku maka harus
memenuhi persyaratan tambahan
yaitu memil iki rencana penanaman
modal pal ing sedikit Rp 1 tri l iun
serta belum beroperasi secara
komersial pada saat PP 52/2011
berlaku.
Terdapat empat fasi l itas bersifat kumulatif yang dapat
dimanfaatkan bagi Wajib Pajak pengguna PP 52 yaitu
(i) pengurangan penghasilan neto sebesar 30% dari
jumlah penanaman modal dibebankan selama 6 tahun
(tax allowance) (i i ) penyusutan dan amortisasi
dipercepat (i i i ) pengenaan PPh atas dividen yang
dibayarkan kepada Subjek Pajak Luar Negeri sebesar
10% atau tarif tax treaty serta (iv) kompensasi kerugian
yang lebih lama dari 5 tahun dan tidak lebih dari 10
tahun dengan persyaratan tertentu. Fasi l itas PP
52/2011 dapat dimanfaatkan setelah Wajib Pajak
mereal isasikan rencana penanaman modalnya minimal
80%.
Dengan terbitnya aturan pelaksana berupa Peraturan
Menteri Keuangan No. 144/PMK.011/2012 tentang
Pemberian Fasil itas Pajak Penghasilan untuk
Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu
dan/atau di Daerah-daerah Tertentu, telah dilaksanakan
sosial isasi di Bandung dan Surabaya. Tujuan sosial isasi
ini adalah memberikan informasi kepada para
stakeholders terutama bagi para pelaku usaha
mengenai persyaratan dan fasil itas pada PP 52/2011.
Disadari bahwa pemanfaatan fasi l itas tersebut sampai
saat ini dirasa belum optimal yang mungkin
disebabkan oleh kurangnya sosial isasi atau memang
para calon investor belum berminat untuk berinvestasi
pada bidang-bidang usaha yang diberikan fasi l itas
tersebut.
Sekilas Tentang PP 52 Tahun 2011 (Investment Allowance)
Gita Putri Pertiwi
Kebijakan Insentif Fiskal untuk Mendorong Investasi
Peraturan Pemerintah
Nomor 52 tahun 2011
sebagai Fasilitas penunjang
pertumbuhan investasi
dalam bentuk insentif
pajak bagi investor.
P
Fiskal dan Regulasi Ekonomi
Tinjauan Ekonomi dan Keuangan November 2012
ertumbuhan perekonomian Indonesia
masih melaju di atas 6%, cukup tinggi
dibandingkan dengan pertumbuhan
ekonomi sebagian besar negara di
dunia. Indikator ekonomi makro
terl ihat masih cukup menggembirakan.
Dalam dua tahun terakhir, tingkat inflasi nasional
terjaga dengan baik (dalam rentang yang
ditargetkan) dan dinilai cukup stabil . Selain itu,
prospek investasi yang positif diyakini mampu
mendorong pertumbuhan ekonomi lebih tinggi.
Edimon Ginting, ekonom Asian Development Bank
(ADB) dalam kesempatan diskusi terbatas di
Kementeriaan Koordinator Bidang Perekonomian
menjelaskan, walaupun tanda-tanda perekonomian
tumbuh dengan menggembirakan, ada beberapa hal
yang masih menjadi pekerjaan rumah. Salah satunya
adalah masalah ketimpangan.
Ketimpangan antar wilayah di Indonesia masih cukup
tinggi. Sejak tahun 2008 sampai tahun 2011, nilai
koefisien gini Indonesia semakin besar dan telah
melewati tingkatan tertinggi yang pernah terjadi. Hal ini
mengindikasikan pertumbuhan ekonomi yang tinggi
belum diiringi dengan pemerataan pendapatan antar
wilayah di Indonesia. Tingkat nutrisi di wilayah
Indonesia timur pada tahun 2010 tidak banyak berubah
dari kondisi tahun 2005.
Edimon berpendapat bahwa salah satu cara untuk
mengurangi ketimpangan adalah dengan menciptakan
konektivitas. Menurutnya, konektivitas akan mendorong
adanya integrasi antar pasar domestik dan penurunan
biaya transportasi sehingga mampu meningkatkan daya
saing Indonesia.
Lebih lanjut Edimon menjelaskan dua indikator penting
konektivitas. Indikator pertama terkait konektivitas
intrapulau, yaitu kondisi jalan. Data menunjukan bahwa
41% jalan di daerah pinggiran Indonesia dalam kondisi
rusak karena tidak tersedia biaya pemel iharaan yang
cukup dan angkutan barang di luar batas beban. Hal ini
menyebabkan biaya dan waktu perjalanan menjadi
tidak efisien. J ika membandingkan biaya transportasi di
Indonesia dan Malaysia, biaya transportasi dari
Cikarang (daerah industri) ke Tanjung Priok sebesar
$750. Sementara dengan jarak yang sama
di Malaysia, biaya angkutan sebesar $450. Tingginya
biaya transportasi di Indonesia menjadi salah satu
penghambat untuk meningkatkan daya saing
Indonesia, terutama di sektor perdagangan.
Indikator kedua terkait dengan konektivitas dengan
dunia internasional , seperti waktu bongkar-muat
barang di pelabuhan yang menentukan masa tinggal
barang di pelabuhan. Kondisi ini penting menjadi
perhatian karena semakin pendek masa tinggal barang
di pelabuhan, maka akan semakin cepat barang
tersebut bermanfaat untuk putaran aktivitas ekonomi.
Peningkatan efisiensi dalam mengatur sistem
perkapalan dan logistik di Indonesia sangat diperlukan,
terutama pelabuhan Tanjung Priok yang menjadi
pelabuhan utama perdagangan dari dalam dan luar
negeri.
Berdasarkan survei Bank Dunia tahun 2010, masa
tinggal barang di pelabuhan Tanjung Priok yang
mencapai 6 hari relatif pal ing lama jika dibandingkan
dengan proses di pelabuhan lain di dunia. Singapura
hanya membutuhkan waktu pal ing lama 1 hari.
Edimon sangat mendukung bahwa stategi konektivitas
antar koridor ekonomi dalam MP3EI akan mampu
mengurangi ketimpangan antar wilayah Indonesia.
Untuk itu, MP3EI perlu meletakkan proyek-proyek
pembangunan yang berkaitan erat dengan konektivitas.
Kebijakan konektivitas juga diperlukan, antara lain (i)
kebijakan akuisisi lahan dan mekanisme pemel iharaan
jalan (i i) peningkatkan jasa perkapalan terutama di
wilayah Indonesia bagian timur dengan insentif dan
kontrak jangka panjang, dan (ii i ) regulasi tenaga kerja
yang lebih kompetitif.
Konektivitas antar Koridor Ekonomi
Masyitha Mutiara R
Mampukah mengatasi ketimpangan?
Kolom MP3EI
P
Tinjauan Ekonomi dan Keuangan November 201226
JJumlah angkatan kerja pada bulan Agustus 2012
mencapai 118,04 juta orang yaitu meningkat 0,57%
(yoy). Di saat yang sama, jumlah orang yang bekerja
meningkat sebesar 1,03% (yoy) sehingga total orang
yang bekerja saat ini mencapai 110,8 juta orang.
Tingginya pertumbuhan orang yang bekerja
menyebabkan penurunan jumlah pengangguran
sebesar 5,98% (yoy). Jumlah pengangguran tercatat
7,24 juta orang, menurun dibandingkan bulan Agustus
2011 yang mencapai 7,7 juta orang. Keadaan tersebut
menghasilkan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT)
sebesar 6,14%.
Berdasarkan tingkat pendidikan, sebagian besar
pengangguran merupakan tamatan sekolah menengah,
baik Sekolah Menengah Atas (SMA) maupun Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK). Tingkat pengangguran
lulusan SMA dan SMK masing-masing tercatat 9,5% dan
9,87%. Sementara itu, pengangguran lulusan SD ke
bawah sebesar 3,64%.
Sektor informal masih mendominasi penyerapan tenaga
kerja. Sektor informal mampu menyerap tenaga kerja
sebanyak 66,64 juta orang atau sebesar 60,14% dari
total orang yang bekerja. Sebagian besar tenaga kerja
di sektor informal berstatus buruh tidak tetap.
Sementara itu, sektor formal menyerap tenaga kerja
sebanyak 44,16 juta orang atau sebesar 39,86% dari
total orang yang bekerja. Sebagian besar tenaga kerja
sektor formal berstatus buruh atau karyawan.
Fitria Faradila
Berdasarkan lapangan usaha, sektor pertanian,
kehutanan, perburuan, dan perikanan mencatatkan
kontribusi pal ing tinggi yaitu 35,09% dari total orang
yang bekerja. Walaupun memberikan kontribusi
yang tinggi, jumlah orang yang bekerja di sektor ini
cenderung menurun. Pada bulan Agustus 2012,
jumlah tenaga kerja sektor pertanian, kehutanan,
perburuan, dan perikanan tercatat 38,88 juta orang,
menurun dibandingkan bulan Agustus 2011 yang
mencapai 39,33 juta orang.
Tenaga kerja yang masih terkonsentrasi di sektor
informal menyebabkan kepastian pemenuhan hak-
hak tenaga kerja menjadi menurun. Oleh karena itu,
penyerapan tenaga kerja di sektor formal perlu terus
ditingkatkan.
Sektor informal masihmendominasi penyerapan
tenaga kerja
Perkembangan Angkatan Kerja Indonesia
KETENAGAKERJAAN
Tinjauan Ekonomi dan Keuangan November 2012 27
Sumber: BPS
KUR dan UKM
ada Oktober 2012,
real isasi KUR tercatat
sebesar Rp 2,83 tri l iun.
Dengan demikian
penyaluran KUR selama
tahun 2012 telah
mencapai Rp 26,9
tri l iun. Secara agregat, real isasi KUR
sejak November 2007 sebesar Rp
90,3 tri l iun yang disalurkan kepada
7,3 juta debitur. Rata-rata tiap
debitur menerima kredit sebesar Rp
12,4 juta dengan tingkat NPL 3,7%.
Penyaluran KUR dilakukan oleh
tujuh bank penyalur dan BPD yang
tersebar di seluruh Indonesia. Dari
ketujuh bank tersebut, BRI
merupakan bank penyalur terbesar.
Real isasi KUR Mikro BRI pada
Oktober 2012 mencapai Rp 43,2
tri l iun. Pada saat yang sama,
real isasi KUR Ritel BRI sebesar Rp
11,9 tri l iun.
Disisi lain, penyaluran KUR oleh
BPD masih perlu
terus ditingkatkan.
Real isasi penyaluran
KUR oleh BPD pada
bulan Oktober 2012
mencapai Rp 357
mil iar yang
disalurkan kepada
4.696 debitur.
Tingkat NPL rata-
rata untuk BPD
sebesar 6.3%.
Diantara BPD
penyalur, Bank
Jatim dan Jabar
Banten merupakan
penyalur KUR
tertinggi masing-
masing sebesar Rp
3,19 tri l iun dan Rp
2,14 tri l iun.
Menurut sebaran regional , secara
kumulatif sejak November 2007,
penyaluran terbesar terdapat di
provinsi Jawa Timur sebesar Rp 13,9
tri l iun dan provinsi Jawa Tengah
sebesar Rp 13,5 tri l iun. Sebal iknya
penyaluran KUR di luar Jawa masih
sangat rendah, khususnya di
Maluku Utara dan Papua Barat,
masing-masing sebesar Rp 363
mil iar dan Rp 462 mil iar. Hal ini
sekal igus mencerminkan masih
terpusatnya sebaran KUR di pulau
Jawa. Untuk meningkatkan
penyaluran KUR di Indonesia
bagian timur, maka perlu adanya
kerjasama antara perbankan dan
pemerintah daerah.
Secara sektoral , pada bulan
Oktober 2012 penyaluran terbesar
terjadi pada sektor perdagangan
sekitar 57% dari total plafon KUR.
Sedangkan untuk urutan kedua
pada sektor pertanian sebesar 16%.
Sementara itu, laporan KUR TKI saat
ini terus mengalami peningkatan.
Pada Oktober 2012, real isasi KUR
TKI tercatat mencapai Rp 22,7 mil iar
dengan jumlah debitur mencapai
2.274 TKI. Mayoritas KUR TKI
diberikan kepada pekerja yang
ditempatkan di Korea dan Malaysia
masing-masing sebesar Rp 14,9
mil iar dan Rp 3,7 mil iar. Di saat
yang sama plafon KUR sebagian
besar disalurkan ke lapangan kerja
manufaktur yaitu sebesar Rp 15,6
mil iar.
P "Semakin optimismencapai target
KUR 2012 sebesarRp 30 tri l iun"
Penyaluran KUR Oktober 2012Windy Pradipta
Tinjauan Ekonomi dan Keuangan November 201228
KUR dan UKM
Sumber: Komite Kebijakan KUR
Selamat Hari PahlawanPerjuangan Belum Berakhir
Untuk informasi lebih lanjut hubungi :
Redaksi Tinjauan Ekonomi dan Keuangan
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian
Gedung Sjafruddin Prawiranegara (d.h. Gd. PAIK I I ) Lantai 4
Jalan Lapangan Banteng Timur No. 2-4 Jakarta, 1 071 0
Telepon. 021 -3521 843, Fax. 021 -3521 836
Email : tinjauan.ekon@gmail .com
Tinjauan Ekonomi dan Keuangan dapat didownload pada website
www.ekon.go.id