skripsi studi penggunaan laksatif pada …repository.unair.ac.id/53806/2/ff fk 39 16.pdfconstipation...
TRANSCRIPT
SKRIPSI
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF PADA
PASIEN GERIATRI
(Penelitian dilakukan di Poli Geriatri
RSUD Dr. Soetomo Surabaya)
SRI PUJI PURWANTI
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
DEPARTEMEN FARMASI KLINIS
SURABAYA
2016
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF... SRI PUJI PURWANTISKRIPSI
i
SKRIPSI
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF PADA
PASIEN GERIATRI
(Penelitian dilakukan di Poli Geriatri
RSUD Dr. Soetomo Surabaya)
SRI PUJI PURWANTI
NIM: 051211132025
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
DEPARTEMEN FARMASI KLINIS
SURABAYA
2016
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF... SRI PUJI PURWANTISKRIPSI
ii
Lembar Persetujuan Publikasi Ilmiah
Demi perkembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui
skripsi/karya ilmiah saya, dengan judul:
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF PADA PASIEN GERIATRI
(Penelitian dilakukan di Poli Geriatri RSUD Dr. Soetomo Surabaya)
Untuk dipublikasikan atau ditampilkan di internet atau media lain yaitu
Digital Library Perpustakaan Universitas Airlangga untuk kepentingan
akademik sebatas sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta.
Demikian pernyataan pesetujuan publikasi karya ilmiah ini saya
buat dengan sebenarnya.
Surabaya, 11 Agustus 2016
Sri Puji Purwanti NIM: 051211132025
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF... SRI PUJI PURWANTISKRIPSI
iii
Halaman Pernyataan
Saya yang bertanda tangan di bawah ini,
Nama : Sri Puji Purwanti
NIM : 051211132025
Fakultas : Farmasi
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa hasil tugas akhir yang saya tulis
dengan judul:
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF PADA PASIEN GERIATRI
(Penelitian dilakukan di Poli Geriatri RSUD Dr. Soetomo Surabaya)
Adalah benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri. Apabila di
kemudian hari diketahui bahwa skripsi ini merupakan hasil plagiarisme,
maka saya bersedia menerima sangsi berupa pembatalan kelulusan dan atau
pencabutan gelar yang saya peroleh.
Demikian surat pernyataan ini saya buat untuk dipergunakan sebagaimana
mestinya.
Surabaya, 11 Agustus 2016
Sri Puji Purwanti NIM: 051211132025
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF... SRI PUJI PURWANTISKRIPSI
iv
Lembar Pengesahan
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF PADA PASIEN GERIATRI
(Penelitian dilakukan di Poli Geriatri RSUD Dr. Soetomo Surabaya)
SKRIPSI
Dibuat Untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Farmasi
di Fakultas Farmasi Universitas Airlangga
2016
Oleh :
SRI PUJI PURWANTI NIM: 051211132025
Skripsi ini Telah Disetujui
September 2016
Oleh :
Pembimbing Fakultas
Bambang S. Z, S.Si., M.Clin.Pharm., Apt
NIP. 197205021999031002
Pembimbing Klinisi
Jusri Ichwani, dr, Sp.PD, K-Ger, FINASIM
NIP. 195207221981101001
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF... SRI PUJI PURWANTISKRIPSI
v
KATA PENGANTAR Segala puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, karena
atas rahmat dan karuniaNya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan
sebai-baiknya.
Dengan selesainya skripsi yang berjudul “STUDI
PENGGUNAAN LAKSATIF PADA PASIEN GERIATRI (Penelitian
dilakukan di Poli Geriatri RSUD Dr. Soetomo Surabaya)” ini, maka
saya ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bambang Subakti Zulkarnain, S.Si., M.Clin.Pharm, Apt selaku
pembimbing utama yang dengan tulus ikhlas dan penuh kesabaran,
membimbing, memberikan motivasi dan doa kepada penulis sehingga
dapat menyelesaikan skripsi ini.
2. Jusri Ichwani, dr., Sp.PD., K-Ger., FINASIM selaku pembimbing serta
yang dengan tulus ikhlas dan penuh kesabaran, membimbing,
memberikan motivasi dan doa kepada penulis sehingga dapat
menyelesaikan skripsi ini.
3. Dr. Budi Suprapti., Apt., M. Si dan Dra. Toetik Aryani., M. Si., Apt.
selaku penguji atas saran dan masukan yang diberikan kepada penulis
untuk memperbaiki skripsi ini.
4. Prof Dr. Mohammad Nasih, SE., MT., Ak., CMA., selaku Rektor
Universitas Airlangga yang telah memberikan dukungan selama
pendidikan di Universitas Airlangga.
5. Dekan Fakultas Farmasi Universitas Airlangga Surabaya Dr.Umi
Athiyah, M.S., Apt. atas kesempatan yang diberikan kepada penulis
untuk mengikuti pendidikan program sarjana di Fakultas Farmasi
Universitas Airlangga.
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF... SRI PUJI PURWANTISKRIPSI
vi
6. Dewi Melani Hariyadi., S. Si., Apt., M. Phil., PhD. sebagai dosen wali
yang dengan tulus ikhlas dan kesabaran memberi nasehat serta
membimbing penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas
Farmasi Universitas Airlangga.
7. Seluruh dosen dan guru yang telah mendidik dan mengajarkan ilmu
pengetahuan hingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan sarjana.
8. Kedua orang tua dari penulis, Ayah Umar Said dan Ibu Wuryaningsih
yang selalu memberikan perhatian, motivasi serta selalu memanjatkan
doa terbaik untuk penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini
dengan baik.
9. Kedua kakak Agus Sugiyono dan Ari Setiyarini juga adik Catur Satrio
Pribowo serta keluarga besar yang selalu memberikan semangat dan
doanya kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
10. Semua sahabat dan teman-teman terbaik yang selalu memberikan
semangat dan doanya kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini
dengan baik.
11. Seluruh pihak yang telah membantu menyelesaikan skripsi ini yang
tidak dapat disebutkan satu persatu.
Akhir kata, semoga Allah SWT selalu membalas kebaikan bapak,
ibu dan saudara-saudara sekalian dengan pahala yang berlipat ganda. Dan
semoga skripsi ini bisa bermanfaat untuk kemajuan ilmu pengetahuan.
\
Surabaya, 11 Agustus 2016
Penulis
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF... SRI PUJI PURWANTISKRIPSI
vii
RINGKASAN
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF PADA PASIEN GERIATRI (Penelitian dilakukan di Poli Geriatri RSUD Dr. Soetomo Surabaya)
Sri Puji Purwanti
Masalah yang kerap muncul pada usia lanjut yang disebut sebagai
a series of I’s (Ouslanderet al, 2004), salah satunya yaitu irritable colon. Bersaman dengan proses penuaan, kolon menjadi lebih kecil dan lebih dipadati oleh serat kolagen dibarengi dengan menurunnya jumlah neuron myenterik plexus, penuaan berhubungan dengan berubahnya anatomi kolon dan fisiologinya, hal tersebut yang berkontribusi menimbulkan konstipasi. prevalensi konstipasi meningkat secara drastis seiring dengan meningkatnya usia, hal ini berpengaruh kepada 1 hingga 2 orang berusia lebih dari 80 tahun (Gandell et al., 2013). Hal tersebut mempengaruhi jumlah penggunaan laksatif pada orang usia lanjut, 76% pasien usia lanjut yang dirawat di Rumah Sakit menggunakan laksatif (Kinnuen et al., 1991)
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui studi penggunaan laksatif dan mengidentifikasi adanya Drug Related Problem (DRP) terhadap pasien lanjut usia di poli geriatri RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Penelitian dimulai pada bulan April hingga Juli 2016 dengan metode studi retrospektif. Sampel meliputi seluruh pasien di poli geriatri yang mendapatkan resep laksatif pada periode waktu Mei 2015 hingga Desember 2015 yang memenuhi kriteria inklusi.
Jumlah total sampel yang memenuhi kriteria inklusi adalah sebanyak 59 pasien. Sampel tersebut dikategorikan berdasarkan usia menurut Principles of Geriatric Physiotherapy (Narinder et al., 2007) yaitu kelompok usia <65, young old (65 – 75 tahun), middle old (75 - 85 tahun), old-old (lebih dari 85 tahun). Berdasarkan pembagian kelompok usia tersebut, maka didapatkan data bahwa pasien yang menerima peresepan laksatif di Instalasi Rawat Jalan Poli Geriatri RSUD Dr. Soetomo pada usia <65 sebesar 21 pasien, young old (65 – 75 tahun) sebesar 23 pasien, middle old (75 - 85 tahun) sebesar 15 pasien, old-old (lebih dari 85 tahun) sebesar 0 pasien. Dari distribusi jumlah pasien tersebut diperoleh hasil bahwa pasien lanjut usia yang menerima resep laksatif paling tinggi adalah pada kelompok usia 65-75 tahun (young old) dengan persentase 38,9%. Pada kategori jenis kelamin, pasien wanita yang mendapatkan resep laksatif berjumlah sebesar 54,23% dan pria berjumlah lebih sedikit dibandingkan wanita yaitu sebesar 45,76%. Hal tersebut merupakan sesuatu yang lazim
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF... SRI PUJI PURWANTISKRIPSI
viii
dikarenakan wanita dipengaruhi oleh faktor hormonal, sehingga menyebabkan resiko konstipasi lebih tinggi selama fase luteal dalam siklus menstruasi (Suzanne et al., 2011).
Diabetes Mellitus merupakan penyakit yang kemungkinan paling banyak menyebabkan konstipasi pada penelitian ini yaitu sebesar 66,67%. Penyebab kedua terbanyak yang dapat memicu konstipasi adalah efek samping obat. Sedangkan obat yang mendominasi pada urutan pertama yang kemungkinana dapat menyebabkan konstipasi adalah golongan CCBs yaitu sebesar 28,3%. Menurut Drug-Induced Constipation (Rebecca et al., 2009) bahwa faktanya CCBs (Calcium Channel Blockers) menyebabkan konstipasi dengan cara mengurangi motilitas usus (kolon spesifik).
Terapi konstipasi yang umum digunakan pada pasien geriatri di RSUD Dr. Soetomo adalah laksatif laktulosa, bisakodil, dan laxadin. Dari data hasil penelitian, peresepan laksatif yang paling banyak didominasi oleh laktulosa yaitu sebesar 40,9%. Sedangkan laxadine dan bisakodil penggunaannya sebesar 31,8% dan 27,2%. Berdasarkan Impact Guidelines: Medical Management Of Constipation In The Older Person (Gibson et al., 2010), frekuensi pemberian laktulosa pada pasien di poli geriatri yaitu sehari satu kali hingga tiga kali dengan dosis sekali minum satu sendok makan (15 ml). Pemberian dosis tersebut telah sesuai dengan pustaka dari PDR Pharmacopoeia: Pocket Dosing Guide (Montvale et al., 2004)
Laktulosa merupakan first line konstipasi, sehingga hal tersebut menjadikan laktulosa sebagai laksatif pilihan paling banyak untuk pasien usia lanjut di poli geriatri. Bisakodil menjadi laksatif yang paling rendah digunakan di poli geriatri adalah karena obat ini merupakan obat lanjutan apabila konstipasi sudah tidak dapat lagi ditangani oleh golongan osmotik dan golongan softener stool. Terutama untuk bisakodil rute per rektal, merupakan pilihan lanjutan apabila rute per oral sudah tidak dapat mengatasi konstipasi sehingga jumlahnya sangat sedikit diresepkan (Algorithm For The Treatment Of Adult Patients With Functional, Normal Transit Constipation (Locke et al., 2004)). Dalam penelitian ini terjadi Drug Related Problem (DRP) potensial pada pasien yaitu interaksi laksatif laktulosa dengan diuretik furosemid.
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF... SRI PUJI PURWANTISKRIPSI
ix
ABSTRACT
DRUG UTILIZATION STUDY OF LAXATIVE IN GERIATRIC PATIENT
(The Study Conducted in Geriatric clinic RSUD Dr. Soetomo Surabaya)
Sri Puji Purwanti
Background. Straining is the most commonly identified symptom by older adults, even though physicians tend to rely on bowel movement frequency to diagnose constipation. Additionally, patients tend to underestimate their frequency of bowel movements Objectives. The aim of this research was to review the use of laxative in geriatric clinic RSUD Dr. Soetomo Surabaya that given to all patients who came and identify Drug Related Problem (DRPs) that occur when using laxative. Methods. The analysis was conducted descriptively using retrospective data (medical record) then it was compared with Algorithm for the treatment of adult patients with functional, normal transit constipation. Data was collected from May 2015 until December 2015. Results. Based on this study, there were 61 datas including. The result was women more suffer from constipation than men. And then, base on classification age group by Principles of Geriatric Physiotherapy, age group that mostly suffer from constipation was young old (65-75 years old). Constipation had comorbid and Diabetes Mellitus dominated in geriatric patients. In this study, kind of laxatives that used were bisacodyl, lactulose and laxadine. Lactulose was the most prescribed in geriatric clinic. Conclusion. Lactulose was mostly prescribed in geriatric clinic due to it was first line therapy for consipation. And that was appropiate with algoritm, beside that lactulose had adverse effect more tolerated than others. For dosage that given to patient was appropiate with literature, one of them like laxadine was combination more than one substance so the evidence was limited because laxative in every country wasn’t same. Other DRPs that happened to patient were drugs interaction, and that was just one patient. Keyword: Drug Utilization Study, Constipation, Laxative, Elderly, Descriptive Analytics, Medical Record
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF... SRI PUJI PURWANTISKRIPSI
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI ILMIAH..................................... ii
HALAMAN PERNYATAAN BUKAN HASIL PLAGIARISME ............... iii
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................. iv
KATA PENGANTAR ..................................................................................... v
RINGKASAN ................................................................................................... vii
ABSTRACT ..................................................................................................... ix
DAFTAR ISI .................................................................................................... x
DAFTAR TABEL ............................................................................................ xv
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xvi
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xvii
DAFTAR SINGKATAN ................................................................................. xviii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................ 5
1.3 Tujuan Penelitian ......................................................................................... 5
1.4 Manfaat Penelitian ....................................................................................... 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 6
2.1 Usia Lanjut .................................................................................................. 6
2.2.1 Definisi Usia Lanjut ......................................................................... 6
2.2.2 Klasifikasi Usia Lanjut ..................................................................... 7
2.2.3 Klasifikasi Masalah pada Usia Lanjut .............................................. 8
2.2 Kondisi Yang Membutuhkan Terapi Laksatif ............................................. 9
2.2.1 Konstipasi ......................................................................................... 9
2.2.2 Hepatik Ensephalopati ...................................................................... 16
2.2.3 Peningkatan Asam Lambung ............................................................ 20
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF... SRI PUJI PURWANTISKRIPSI
xi
2.3 Jenis Laksatif ............................................................................................... 22
2.3.1 Laksatif serat dan bulk-forming ....................................................... 22
2.3.2 Laksatif Osmotik .............................................................................. 22
2.3.3 Laksatif Stimulan ............................................................................. 24
2.3.4 Enemas dan suppositoria rektal ........................................................ 26
2.3.5 Terapi farmakologi misel ................................................................. 27
2.3.6 Terapi Baru ....................................................................................... 28
2.4 Laksatif Off Label ........................................................................................ 32
2.4.1 Laksatif untuk Hepatik Ensephalophati ............................................ 32
2.4.2 Laksatif sebagai Antasida ................................................................. 33
2.4.3 Laksatif digunakan pada pasien penyakit jantung, hipertensi,
hemorrhoid, hernia .................................................................................... 34
2.5 Drug Utilization Studies (DUS) ................................................................... 34
2.5.1 Definisi DUS .................................................................................... 34
2.5.2 Cakupan DUS ................................................................................... 34
2.5.3 Tipe Informasi Penggunaan Obat ..................................................... 35
2.5.4 Tipe DUS ......................................................................................... 36
2.5.5 Rancangan Penelitian ....................................................................... 37
2.5.6 Identifikasi Obat ............................................................................... 38
2.6 Drug Related Problems (DRPs) ................................................................... 39
2.6.1 Definisi DRP .................................................................................... 39
2.6.2 Klasifikasi DRP ................................................................................ 40
BAB III KERANGKA PENELITIAN ........................................................... 42
3.1 Uraian Kerangka Konseptual ....................................................................... 42
3.2 Skema Kerangka Konsep ............................................................................. 44
BAB IV METODE PENELITIAN ................................................................. 45
4.1 Rancangan Penelitian ................................................................................... 45
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF... SRI PUJI PURWANTISKRIPSI
xii
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian ...................................................................... 45
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian ................................................................... 45
4.3.1 Populasi Penelitian ........................................................................... 45
4.3.2 Sampel Penelitian ............................................................................. 45
4.3.3 Kriteria Inklusi ................................................................................. 46
4.4 Cara Pengambilan Sampel ........................................................................... 46
4.5 Definisi Operasional dan Istilah dalam Penelitian ....................................... 46
4.6 Analisis Data ................................................................................................ 46
4.7 Kerangka Operasional.................................................................................. 48
BAB V HASIL PENELITIAN ........................................................................ 49
5.1 Demografi Pasien ......................................................................................... 49
5.2 Penyebab Konstipasi .................................................................................... 50
5.2.1 Sebaran Penyebab Konstipasi berdasarkan Dua Data Tertinggi yaitu
Penyakit dan Efek Samping Obat ...................................................................... 51
5.3 Profil Penggunaan Laksatif pada Pasien Lanjut Usia di Poli Geriatri
RSUD Dr. Soetomo Surabaya ........................................................................... 52
5.4 Drug Related Problem ............................................................................... 53
BAB VI PEMBAHASAN ................................................................................ 55
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................ 66
7.1 Kesimpulan ............................................................................................... 66
7.2 Saran.......................................................................................................... 66
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 67
LAMPIRAN ..................................................................................................... 76
Lampiran 1 ......................................................................................................... 76
Lampiran 2 ......................................................................................................... 77
Lampiran 3 ......................................................................................................... 78
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF... SRI PUJI PURWANTISKRIPSI
xv
DAFTAR TABEL
II.1 Patofisiologi Konstipasi .............................................................................. 13
II.2 Kriteria Diagnosis Rome ............................................................................. 15
II.3Derajat Rekomendasi American College of Gastroenterology, Onset
Kerja, Dosis, dan Efek Samping Dari Terapi Farmakologi Konstipasi ........ 29
II.4 Ringkasan Efek-Efek Beberapa Laksatif Terhadap Fungsi Usus ................ 30
II.5 Klasifikasi dan Perbandingan antar Laksatif ............................................... 31
II.6 Klasifikasi DRP Menurut PCNE versi 6.2 Tahun 2010 .............................. 40
V.1 Persentase Sebaran Pasien yang Mendapat Resep Laksatif berdasarkan
Jenis kelamin dan Usia di RSUD Dr. Soetomo periode Mei –
Desember 2015 .......................................................................................... 49
V.2 Persentase Sebaran Pasien yang Mendapat Resep Laksatif berdasarkan
Kemungkinan Penyebab Konstipasi di RSUD Dr. Soetomo periode
Mei 2015 – Desember 2015 ...................................................................... 50
V.3 Persentase Sebaran Pasien yang Mendapat Resep Laksatif berdasarkan
Dua Penyebab Konstipasi Tertinggi (Penyakit dan ESO) di RSUD Dr.
Soetomo periode Mei 2015 – Desember 2015 .......................................... 51
V.4 Persentase Sebaran Pasien yang Mendapat Resep Laksatif berdasarkan
Jenis Laksatif di RSUD Dr. Soetomo periode Mei 2015 – Desember
2015 ........................................................................................................... 52
V.5 Jenis, Rute, Dosis, Frekuensi, dan Kesesuaian Dosis Laksatif pada
Pasien Lanjut Usia yang Mendapat Resep Laksatif Berdasarkan Jenis
Laksatif di RSUD Dr. Soetomo (Mei 2015 – Desember 2015) ................. 53
V.6 Efek Samping yang Kemungkinan Penggunaan Laksatif pada Pasien
Pasien Lansia di Poli Geriatri RSUD Soetomo Surabaya periode Mei
2015 – Desember 2015 .............................................................................. 53
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF... SRI PUJI PURWANTISKRIPSI
xvi
DAFTAR GAMBAR
2.1 Defekasi: istirahat dan normal ..................................................................... 11
2.2 Defekasi ketika konstipasi ........................................................................... 11
2.2 Metabolisme Amonia Oleh Berbagai Organ Dalam Tubuh ......................... 18
2.3 Patofisiologi Ensefalopati Hepatik .............................................................. 20
2.4 Peptic Ulcer ................................................................................................. 20
3.1 Kerangka Konseptual ................................................................................... 44
4.1 Kerangka Operasional.................................................................................. 48
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF... SRI PUJI PURWANTISKRIPSI
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
1. Lembar Pengumpulan Data ................................................................. 76
2. Surat Kelaikan Etik ............................................................................. 77
3. Tabel Induk Penelitian ......................................................................... 78
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF... SRI PUJI PURWANTISKRIPSI
xviii
DAFTAR SINGKATAN
ACG : American College of Gastroenterology
ARD : Anorectal Dysfunction
CCBs : Calcium Channel Blocker
DDs :Defecation disorders
DRPs : Drug Therapy Problems
DU : Drug Utilization
DUS : Drug Utilization Study
GI : Gastrointestinal
HAPCs : High Amplitude Propagated Contractions
hERG : Ether-a-go-go Related Gene protein
IBS : Irritable Bowel Syndrome
IBS-C : Irritable Bowel Syndrome with Constipation
Lansia : Lanjut usia
MODS : Modified Obstructed Defecation Syndrome
MOM : Milk Of Magnesia
NTC : Normal Transit Constipation
NSAID : Non-Steroid Anti Inflamantory Disease
NT3 : Neurotrophine-3s
ODS : Obstructed Defecation Syndrome
OTC : Over the Counter
PEG : Polietilenglikol
PPI : Proton Pump Inhibitor
RCT : Randomized Controlled Trial
RI : Republik Indonesia
STC : Slow Transit Constipation
TSH : Thyroid Stimulating Hormone
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF... SRI PUJI PURWANTISKRIPSI
xix
US : United States
WGO : World Gastroenterology Organization
WHO : World Health Organisation
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF... SRI PUJI PURWANTISKRIPSI
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Usia lanjut adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 (enam
puluh) tahun keatas (Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 79 Tahun 2014 Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Geriatri Di
Rumah Sakit). Pasien usia lanjut sering mengalami konstipasi yang
didefinisikan sebagai kebutuhan mengejan daripada didefinisikan sebagai
tidak teraturnya defekasi (Firth dan Prather, 2002). Kejadian ini disebabkan
oleh faktor resiko, yaitu kurangnya asupan serat dan cairan, kurang bergerak
karena menderita penyakit kronis, kebiasaan makan dan dari terapi berbagai
macam obat (Bosshard et al., 2004).
Masalah umum yang sering terjadi pada usia lanjut terangkum dalam
I’s series yaitu immobility, instability, incontinence, intellectual
impairment, infection, impairment of vision and hearing, irritable colon,
isolation (depression), inanition (malnutrition), impecunity, iatrogenesis,
insomnia, immune deficiency, impotence (Ouslander et al, 2004). Irritable
colon merupakan salah satu masalah yang terjadi pada usia lanjut yang pada
akhirnya menyebabkan konstipasi. Tidak hanya menderita konstipasi saja,
orang berusia lanjut merupakan prediktor kuat terjadinya penyakit arteri
koroner dan penyakit-penyakit kronis lainnya.
Usia lanjut yang menderita penyakit kronis dan mengalami
konstipasi mengalami pemanjangan waktu transit saluran cerna total sampai
4-9 hari (normal < 3 hari), evakuasi feses tertunda saat melalui bagian
terbawah usus besar dan rektum. Fungsi kolon tampaknya lebih dipengaruhi
oleh faktor-faktor yang berhubungan dengan penuaan (penyakit kronis,
imobilisasi, dan pengobatan) dibanding usia itu sendiri. Perubahan-
perubahan neurodegeneratif sistem saraf enterik atau enteric nervous system
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF... SRI PUJI PURWANTISKRIPSI
2
(ENS) yang berkaitan dengan usia merupakan kunci perubahan-perubahan
fungsional pada usia lanjut. Pada kolon orang berusia lanjut yang berumur
lebih dari 65 tahun mengalami kehilangan 37% neuron-neuron enterik,
sedangkan usia dewasa muda kurang dari itu. Para peneliti menyimpulkan
bahwa penurunan densitas neuron sesuai usia akan disertai dengan
peningkatan komponen-komponen fibrosis ganglion mesenterikus. Temuan-
temuan tersebut menunjukkan bahwa perubahan-perubahan
neurodegeneratif berkontribusi pada gangguan motilitas kolon pada
populasi usia lanjut (Lindsay et al., 2008).
Penggunaan laksatif pada orang usia lanjut cukup besar. Laksatif
merupakan obat yang pada umumnya digunakan sebagai terapi secara over
the couter oleh orang usia lanjut. Namun penggunaan secara mandiri oleh
pasien bukan satu-satunya, 76% usia lanjut yang dirawat di Rumah Sakit
dan 74% pasien dirawat di rumah juga menentukan banyaknya penggunaan
laksatif (Kinnuen et al., 1991). Penggunaan yang tinggi terhadap laksatif
bukan hanya digunakan oleh orang yang menderita konstipasi saja, namun
ada juga yang menggunakan laksatif yang menganggap dirinya tidak
mengalami konstipasi (Donald et al., 1985).
Terdapat beberapa macam oral laksatif serta mekanisme kerja yang
berbeda-beda. Tipe laksatif bermacam-macam yaitu meliputi laksatif bulk-
forming tidak dicerna namun mengabsorpsi cairan di usus dan mengembang
menjadi bentuk lebih lembut. Kemudian usus secara normal terstimulasi
oleh massa feses yang mengembang. Laksatif hiperosmotik mendorong
pergerakan usus dengan mekanisme menarik cairan kedalam usus dengan
cara mengelilingi jaringan. Ada tiga tipe laksatif hiperosmotik yang
digunakan secara oral yaitu saline, laktulosa, dan polimer. Laksatif tersebut
digunakan sebagai terapi konstipasi jangka lama dan untuk terapi berulang.
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF... SRI PUJI PURWANTISKRIPSI
3
Dengan dosis lebih kecil dari dosis yang digunakan sebagai terapi
konstipasi, laksatif saline dapat berfungsi sebagai antasida. Hal ini hanya
berlaku jika dokter yang meresepkan. Informasi yang tertera hanya
menunjukkan bahwa laksatif digunakan sebagai terapi konstipasi. Sodium
phosphate juga dapat diresepkan untuk kondisi lain selain konstipasi sesuai
dengan keputusan yang dibuat oleh dokter. Laktulosa merupakan tipe obat
yang mirip dengan laksatif gula, memiliki memiliki mekanisme kerja seperti
saline. Laktulosa terkadang digunakan sebagai terapi pengobatan untuk
mengurangi jumlah ammonia yang berlebih didalam darah (Goodman et al.,
2006).
Laksatif lubrikan meliputi minyak mineral, menyebabkan dorongan
pergerakan usus lebih cepat dengan mekanisme melapisi usus dan massa
feses dengan lapisan antiair. Hal ini menjaga massa feses tetap lembab
sehingga feses menjadi lembut dan mudah dikeluarkan. Laksatif yang tidak
hanya memiliki efek penyembuhan pada konstipasi yaitu laksatif stimulan
yang juga digunakan sebagai terapi pada biliary tract, salah satunya yaitu
asam dehydrocholic. Penggunaan laksatif tidak hanya berikan secara
tunggal saja namun juga kombinasi, hal ini yang menyebabkan efek
samping dari laksatif tersebut meningkat dikarenakan bermacam-macam
bahan yang terkandung. Sehingga harus diketahui tata cara penggunaan
laksatif kombinasi yang benar serta tindakan pencegahan dari masing-
masing efek bahan yang terkandung (Truven Health Analytics, 2016).
Laksatif juga digunakan pada kondisi penyakit dimana penyakit
tersebut akan bertambah parah jika pasien mengejan, seperti contohnya
penyakit jantung, hemorrhoid, hernia, tekanan darah tinggi (hipertensi).
Laksatif juga dapat digunakan selain sebagai terapi konstipasi, disertai
dengan menggunakan resep dokter. Meskipun tidak tertera dalam label
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF... SRI PUJI PURWANTISKRIPSI
4
psyllium hydrophilic mucilloid digunakan sebagai terapi pengobatan
hiperkolesterolemia (kolesterol tinggi) (Truven Health Analytics, 2016).
Masyarakat terkadang menggunakan laksatif yang dipercaya dapat
menurunkan berat badan dengan cara menginduksi diare serta mencegah
penyerapan makanan. Walaupun hal ini tidak bekerja dikarenakan laksatif
bekerja pada usus bagian akhir sehingga nutrisi akan tetap terserap. Namun,
efek berbahaya yang dapat terjadi yaitu ketidakseimbangan elektrolit hingga
harus mendapatkan terapi medis darurat (Roerig et al., 2010).
Usia lanjut adalah kelompok individu yang unik serta memiliki
kebutuhan medis yang berbeda dengan kelompok usia muda. Frekuensi
penggunaan laksatif pada usia lanjut kemungkinan disebabkan karena
pasien meremehkan gejala sulit buang air besar dan juga penggunaan
laksatifnya (Harari et al., 1994). Kebiasaan menggunakan laksatif dapat
menyebabkan diare kronis pada pasien ini. Dalam sebuah investigasi medis
yang luas, pasien tinggal dalam jangka waktu yang lama di Rumah Sakit
dikarenakan oleh diare yang tidak diketahui penyebabnya (Roerig et al.,
2010).
Laksatif stimulan adalah golongan laksatif yang paling sering
digunakan dan juga merupakan laksatif yang dilaporkan memiliki hubungan
dengan lebih besarnya psikopatologi, namun tidak dalam seluruh
investigasi. Secara pasti, penggunaan pencahar yang berlebihan memiliki
resiko lebih tinggi daripada yang tidak menggunakan (Roerig et al., 2010).
Dari latar belakang diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa
penggunaan laksatif pada usia lanjut cukup tinggi. Hal ini yang
menyebabkan pentingnya pemahaman terapi laksatif pada orang berusia
lanjut dan juga diperlukan pengetahuan tentang penggunaan laksatif yang
tepat dan benar. Serta dikarenakan penggunaan laksatif pada pasien selain
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF... SRI PUJI PURWANTISKRIPSI
5
konstipasi cukup beragam maka perlu dilakukan penelitian terkait dengan
penggunaan laksatif.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana pola penggunaan laksatif pada pada pasien usia lanjutdi
poli geriatri RSUD Dr. Soetomo Surabaya?
1.3 Tujuan Penelitian
Mengetahui pola penggunaan laksatif pada pasien usia lanjut di
poli geriatri RSUD Dr. Soetomo Surabaya.
Studi penggunaan laksatif meliputi ketepatan indikasi pada
pemberian laksatif, kesesuaian dosis yang diberikan, frekuensi
penggunaan obat, efek samping dan interaksi obat yang terjadi
(DRPs).
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat dalam penelitian ini mengarah kepada aspek berikut :
1. Keilmuan
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dalam
bidang kelimuan mengenai studi penggunaan laksatif pada pasien
usia lanjut di poli geriatri RSUD Dr. Soetomo Surabaya
2. Praktis
Secara praktis, penelitian ini bermanfaat untuk memberikan
pengetahuan kepada petugas pelayanan kesehatan publik dalam hal
ini pihak Rumah Sakit Dr. Soetomo mengenai studi penggunaan
laksatif pada pasien usia lanjutdi poli geriatri RSUD Dr. Soetomo
Surabaya.
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF... SRI PUJI PURWANTISKRIPSI
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Usia Lanjut
2.1.1 Definisi Usia Lanjut
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 79
Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Geriatri Di Rumah Sakit
dan World Health Organisation (WHO) dikatakan bahwa usia lanjut adalah
seseorang yang telah mencapai usia 60 (enam puluh) tahun ke atas.
Sedangkan geriatri adalah cabang disiplin ilmu kedokteran yang
mempelajari aspek kesehatan dan kedokteran pada warga usia lanjut
termasuk pelayanan kesehatan kepada usia lanjut dengan mengkaji semua
aspek kesehatan berupa promosi, pencegahan, diagnosis, pengobatan, dan
rehabilitasi. Di negara Eropa pada umumnya usia lanjut didefinisikan pada
umur 65 tahun atau lebih tua, pembagiannya yaitu early elderly atau usia
lanjut awal yaitu mulai umur 65 tahun hingga 74 tahun dan yang lebih dari
75 tahun disebut sebagai late elderly (Orimo et al., 2006). Usia lanjut
merupakan kelompok umur pada manusia yang telah memasuki tahapan
akhir dari fase kehidupannya. Kelompok yang dikategorikan usia lanjut ini
akan mengalami suatu proses yang disebut Aging Process atau proses
penuaan.
Menua atau menjadi tua adalah suatu keadaan yang terjadi didalam
kehidupan manusia. Proses menua merupakan proses sepanjang hidup, tidak
hanya dimulai dari suatu waktu tertentu, tetapi dimulai sejak permulaan
kehidupan. Menjadi tua merupakan proses alamiah, yang berarti seseorang
telah melalui tiga tahap kehidupannya yaitu anak, dewasa, dan tua. Tiga
tahap ini berbeda, baik secara biologi maupun psikologi. Memasuki usia tua
berarti mengalami kemunduran, contohnya kemunduran fisik yang ditandai
dengan kulit yang mengendur, rambut memutih, gigi mulai ompong,
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF... SRI PUJI PURWANTISKRIPSI
7
pendengaran kurang jelas, penglihatan semakin memburuk, gerakan lambat,
dan figure tubuh yang tidak proposional. Undang-Undang nomor 13 tahun
1998 tentang kesejahteraan lanjut usia pada Bab 1 pasal 1 ayat 2
menyebutkan bahwa umur 60 tahun disebut sebagai usia lanjut. Menua
bukanlah suatu penyakit, tetapi merupakan proses yang berangsur-angsur
mengakibatkan perubahan yang kumulatif, merupakan proses menurunnya
daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam dan luar tubuh
yang berakhir pada kematian.
Proses penuaan adalah siklus kehidupan yang ditandai dengan
tahapan-tahapan menurunnya berbagai fungsi organ tubuh, yang ditandai
dengan semakin rentannya tubuh terhadap berbagai serangan penyakit yang
dapat menyebabkan kematian misalnya pada sistem kardiovaskuler dan
pembuluh darah, pernafasan, pencernaan, endokrin dan lain sebagainya. Hal
tersebut disebabkan seiring meningkatnya usia sehingga terjadi perubahan
dalam struktur dan fungsi sel, jaringan, serta sistem organ. Perubahan
tersebut pada umumnya berpengaruh pada kemunduran kesehatan fisik dan
psikis yang pada akhirnya akan berpengaruh pada ekonomi dan sosial usia
lanjut. Sehingga secara umum akan berpengaruh pada activity of daily living
(Fatmah, 2010).
2.1.2 Klasifikasi Usia Lanjut
Menurut Principles of Geriatric Physiotherapy, usia lanjut dibagi menjadi
tiga kelompok:
a. Young old: kelompok ini terdiri dari populasi yang berusia antara
65 dan 75 tahun. Young old dapat dikatakan sama seperti pasien
middle age. Mereka memiliki level minimal disabilitas. Dengan
ekspektasi usia sekitar 15 hingga 20 tahun, terapi fisik ditujukan
untuk mencegah penyakit. Sebagai contohnya, dengan cara
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF... SRI PUJI PURWANTISKRIPSI
8
berpartisipasi dalam program mengurangi berat badan, pasien
obesitas dapat mengurangi resiko terkena penyakit kardiovaskular.
b. Middle old: populasi antara usia 75 dan 85 tahun termasuk
kedalam kelompok ini. Mereka biasanya mengalami penyakit
kronis. Terapis seharusnya berusaha lebih keras dalam mengani
masalah seperti contohnya osteoporosis, diabetik neuropati, jatuh
dan lain sebagainya.
c. Old-old: grup ini terdiri dari populasi yang berusia lebih dari 85
tahun. Dengan ekspektasi usia sekitar 5 hingga 6 tahun, old-old
memiliki keterbatasan untuk terus bertahan pada masa terapi.
Terapis seharusnya memikirkan kenyamanan pasien. Seperti
contohnya pergerakan pasif pasien, posisi duduk dan tidur,
perhatian dan kontak mata juga cukup signifikan dalam
mempengaruhi kebahagiaan pasien.
2.1.3 Klasifikasi Masalah pada Usia Lanjut
Beberapa masalah yang kerap muncul pada usia lanjut, yang disebut
sebagai I’s (Ouslander et al, 2004). Mulai dari immobility (imobilisasi),
instability (instabilitas dan jatuh), incontinence (inkontinensia), intellectual
impairment (gangguan intelektual), infection (infeksi), impairment of vision
and hearing (gangguan penglihatan dan pendengaran), isolation (depresi),
Inanition (malnutrisi), insomnia (ganguan tidur), hingga immune deficiency
(menurunnya kekebalan tubuh).
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF... SRI PUJI PURWANTISKRIPSI
9
2.2 Kondisi Yang Membutuhkan Terapi Laksatif
2.2.1 Konstipasi
(1) Definisi
Konstipasi bukan suatu penyakit namun merupakan gejala dari
penyakit lain atau kondisi tertentu. Kondisi yang dapat menyebabkan
konstipasi yaitu kelainan saluran cerna, diet yang rendah serat atau
penggunaan obat yang dapat menyebabkan konstipasi misalnya opioid,
sebab lainnya adalah kelainan metabolik dan endokrin, kehamilan, kelainan
neurogenik (stoke, trauma kepala, tumor sistem saraf pusat, penyakit
parkinson) dan konstipasi psikogenik (Terry et al., 2009).
(2) Fisiologi Defekasi
Fungsi kolon yaitu menyerap air dan mengirimkan sisa makanan
yang tidak diperlukan tubuh ke rektum melalui kontraksi yang terkoordinasi
atau dikenal sebagai High Amplitude Propagated Contractions (HAPCs).
HAPCs mempengaruhi proses defekasi, dimana penurunan frekuensi
HAPCs menyebabkan konstipasi. HAPCs biasanya terjadi pada pagi hari
dan menjadi semakin kuat dengan adanya faktor pencetus seperti minuman
atau makan, sebaliknya frekuensi dan kekuatan HAPCs menurun pada
malam hari. Sebab itu gerakan usus pada malam hari atau defekasi pada
malam hari (terutama bila terjadi diare malam hari) dianggap sebagai
sesuatu yang abnormal.
Sebagian besar absorpsi dalam usus besar terjadi pada pertengahan
proksimal kolon, sehingga bagian ini dinamakan kolon pengabsorpsi,
sedangkan kolon bagian distal pada prinsipnya berfungsi sebagai tempat
penyimpanan feses sampai waktu yang tepat untuk ekskresi feses, oleh
karena itu disebut kolon penyimpanan. Banyak bakteri, khususnya basil
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF... SRI PUJI PURWANTISKRIPSI
10
kolon, secara normal berada pada kolon pengabsorpsi. Bakteri-bakteri ini
mampu mencerna sejumlah kecil selulosa, sehingga menghasilkan beberapa
kalori nutrisi tambahan untuk tubuh (Guyton, 2008).
Waktu transit kolon normal pada orang dewasa sekitar 20-72 jam,
feses yang terlalu lama di kolon menyebabkan feses menjadi semakin keras
karena kandungan air didalamnya akan terus diabsorpsi. Setelah berada di
rektum, sisa makanan atau feses menyebabkan distensi dan merangsang
keinginan defekasi.
Proses defekasi normal membutuhkan antara lain yaitu isi kotoran di
rektum, otot-otot dasar panggul yaitu muskulus puborektal yang berfungsi
untuk mengatur sudut rektoanal. Pada proses defekasi otot dasar panggul
mengalami relaksasi dan menyebabkan sudut rektoanal lurus (Gambar 2.1),
sehingga feses mudah keluar. Relaksasi sfingter anal internal dan eksternal.
Kontraksi otot abdomen dan diafragma.
Pada saat defekasi normal, feses akan meregangkan dinding rektum,
menyebabkan relaksasi sfingter anal internal dan eksternal dan
menghasilkan presepsi atau keinginan untuk defekasi. Apabila waktu untuk
defekasi sudah tepat, dengan posisi duduk, pengambilan nafas dan
melakukan gerakan mengejan, maka secara simultan terjadi kontraksi otot
abdomen, relaksasi otot puborektalis dan sfingter anal internal-eksternal,
maka hasilnya adalah feses dapat dikeluarkan dari tubuh.
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF... SRI PUJI PURWANTISKRIPSI
11
Gambar 2.1 anorektum pada saat istirahat (A) dan saat defekasi (B).
Pada saat istirahat sudut anorektal pada 80-110o oleh otot dasar panggul dan
saat defekasi otot dasar panggul relaksasi sehingga sudut anorektal
mendekati lurus, selain itu sfingter ani internal dan eksternal relaksasi
(Lembo dan Camilleri., 2003).
Pasien yang mengalami konstipasi memiliki persepsi gejala yang
berbeda-beda. Menurut World Gastroenterology Organization (WGO)
beberapa pasien (52%) mendefinisikan konstipasi sebagai defekasi dengan
feses keras, tinja seperti pil atau butir obat (44%), ketidakmampuan defekasi
saat diinginkan (34%), atau defekasi yang jarang atau tidak teratur (33%).
Gambar 2.1 Defekasi: istirahat (A), normal (B) (Andrews, 2011)
Gambar 2.2 Defekasi ketika Konstipasi (Andrews, 2011)
A
B A
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF... SRI PUJI PURWANTISKRIPSI
12
Menurut North American Society of Gastroenterology and Nutrition,
konstipasi didefinisikan sebagai kesulitan atau lamanya defekasi, yang
terjadi selama 2 minggu atau lebih, serta menyebabkan ketidaknyamanan
pada pasien. Paris Consensus on Childhood Constipation Terminology
menjelaskan definisi konstipasi sebagai defekasi yang terganggu selama 8
minggu dengan mengalami minimal dua gejala sebagai berikut: defekasi
kurang dari 3 kali per minggu, inkontinensia, frekuensi defekasi lebih dari
satu minggu, massa tinja yang keras yang dapat mengetuk kloset, massa
tinja teraba di abdomen, perilaku menahan defekasi, nyeri saat defekasi.
(3) Epidemiologi
Sebagai konsekuensi dari berbagai macam definisi yang digunakan
maka variasi dari konstipasi yang ditemukanpun juga beragam. Sebagai
contohnya pada sebuah studi case-control yang membandingkan gejala
konstipasi pada usia lanjut yang masuk Rumah Sakit dan mencocokkannya
dengan praktek pada umumnya ditemukan hasil bahwa usia lanjut yang
masuk Rumah Sakit lebih tinggi sebesar dua kalinya yaitu sebesar 55% vs
23% (Donald et al., 1985)
Berdasarkan suatu survey yang telah dilakukan pada populasi usia
lanjut penderita konstipasi dengan cara melaporkan secara individu
mengenai konstipasi yang diderita, ditemukan hasil sebesar 30%, sedangkan
berdasarkan hasil survey ditemukan bahwa prevalensi yang didapatkan
sebesar 15-20% (Stewart et al., 1999). Dari seluruh studi tersebut
ditemukan bahwa konstipasi pada wanita lebih tinggi dua kali hingga tiga
kali lipat dibandingkan pada pria.
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF... SRI PUJI PURWANTISKRIPSI
13
(4) Etiologi dan Patofisiologi
Pada konstipasi terdapat beberapa penyebab yaitu primer dan
sekunder. Konstipasi primer timbul dari defekasi intrinsik pada fungsi kolon
atau malfungsi saat proses defekasi. Penyebab konstipasi telah diatur dalam
Tabel II.1. Ketika penyebab konstipasi tidak jelas, treatment empiris sering
dimulai dengan suplemen serat atau laksatif. Jika treatment berhasil maka
tidak diperlukan terapi yang lebih jauh.
Patofisiologi Konstipasi Penyebab primer Penyebab sekunder Normal transit (paling umum) Obat-obatan Transit lambat Obstruksi Kelainan evakuasi Metabolik (hipotiroid, hiperkalsemia)
Neurologikal (multipel sklerosis, parkinson) Sistemik (amylodosis, skleroderma) Psikiatrik (depresi, makan tidak teratur)
Konstipasi normal-transit (dikenal dengan konstipasi “functional”)
adalah bentuk konstipasi paling umum yang sering diamati oleh klinisi.
Pada situasi ini, pasien melaporkan bahwa sering mengalami gejala yaitu
feses keras atau mengalami sulit defekasi. Namun pada saat dites, feses
tidak terlambat keluar dan frekuensi defekasi cukup sering seperti saat
normal. Pasien mungkin mengalami kembung dan nyeri atau
ketidaknyamanan pada perut, dan akan ditemui kriteria seperti pada
irritable bowel syndrome with constipati on (IBS-C) (Longstreth GF et al.,
2006).
Konstipasi slow-transit menyebabkan pergerakan usus besar yang
tidak teratur (kurang dari sekali dalam seminggu) dan paling umum dialami
Tabel II.1 Patofisiologi Konstipasi (Lembo et al., 2003)
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF... SRI PUJI PURWANTISKRIPSI
14
oleh wanita muda (Preston DM et al., 1986). Biasanya, pasien tidak
merasakan ingin berdefekasi dan tidak mengeluh kembung serta
ketidaknyamanan pada perut.
Defecation disorders (DDs) merupakan abnormalitas fungsi dan
anatomi dari anorektum yang menyebabkan konstipasi. Pasien dengan DDs
mengalami ketegangan yang signifikan saat defekasi, seringkali
menghabiskan waktu lama didalam toilet setiap harinya.
Konstipasi sekunder disebabkan oleh obat, beberapa efek samping
obat dapat menyebabkan konstipasi. Obat antihipertensi seperti clonidine,
calcium antagonis dan ganglionic bloker dapat menurunkan kontraktilitas
usus halus dan dapat menyebabkan konstipasi (Fosnes GS et al., 2011).
Penyakit yang mempengaruhi sistem saraf dapat juga menyebabkan
konstipasi. Penyakit ini meliputi neuropaty autonom, diabetes melitus, dan
penyakit endokrin lain.
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF... SRI PUJI PURWANTISKRIPSI
15
(5) Diagnosis
(6) Faktor Resiko
Pada orang yang sehat dan usia lanjut yang beraktifitas aktif, faktor
resiko mungkin bisa terjadi
Asupan cairan: hal ini merupakan faktor resiko dari konstipasi karena
dengan asupan cairan yang rendah maka akan berpengaruh terhadap
transit kolon yang lambat dan lemahnya pengeluaran feses.
Diet (makanan): prevalensi dari penyakit pencernaan meningkat
dikarenakan makanan yang kasar. Studi menyebutkan bahwa serat
makanan meningkatkan waktu transit usus besar, meningkatkan berat
feses dan meningkatkan pergerakan usus.
Mobilitas: konstipasi sering terjadi pada orang yang melakukan aktifitas
sedikit.
Kriteria Diagnosis Konstipasi Fungsional 1. 1. Harus termasuk kedalam 2 kriteria dibawah ini:
A. Mengejan saat defekasi setidaknya 25% dari total defekasi yang dilakukan
B. Feses berbentuk tidak halus atau keras setidaknya 25% dari total defekasi yang dilakukan
C. Merasa kurang puas setelah defekasi setidaknya 25% dari total defekasi yang dilakukan
D. Merasakan obstruksi/sumbatan ketika defekasi setidaknya 25% dari total defekasi
E. Menggunakan bantuan ketika defekasi minimal 25% dari total defekasi (contonhya evakuasi digital, menyokong dinding pelvic)
F. Defekasi kurang dari tiga kali dalam seminggu 2. 2. Untuk mengeluarkan feses harus menggunakan laksatif 3. 3. Untuk irritable bowel syndrome kriteria tidak mencukupi 4. *kriteria tersebut digunakan setidaknya selama 3 bulan terakhir dengan
gejala yang terjadi paling tidak 6 bulan untuk menentukan diagnosisnya
Tabel II.2 Kriteria Diagnosis Rome III (Appendix A: Rome III Diagnostic Criteria for FGIDs)
Kriteria Diagnosis Konstipasi Fungsional 1. 1. Harus termasuk kedalam 2 kriteria dibawah ini:
A. Mengejan saat defekasi setidaknya 25% dari total defekasi yang dilakukan
B. Feses berbentuk tidak halus atau keras setidaknya 25% dari total defekasi yang dilakukan
C. Merasa kurang puas setelah defekasi setidaknya 25% dari total defekasi yang dilakukan
D. Merasakan obstruksi/sumbatan ketika defekasi setidaknya 25% dari total defekasi
E. Menggunakan bantuan ketika defekasi minimal 25% dari total defekasi (contonhya evakuasi digital, menyokong dinding pelvic)
F. Defekasi kurang dari tiga kali dalam seminggu 2. 2. Untuk mengeluarkan feses harus menggunakan laksatif 3. 3. Untuk irritable bowel syndrome kriteria tidak mencukupi 4. *kriteria tersebut digunakan setidaknya selama 3 bulan terakhir dengan
gejala yang terjadi paling tidak 6 bulan untuk menentukan diagnosisnya (Appendix A: Rome III Diagnostic Criteria for FGIDs)
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF... SRI PUJI PURWANTISKRIPSI
16
Lingkungan: kurangnya waktu ke toliet atau jarang ke toilet akan
menyebabkan konstipasi
Obat-obatan
a. Opioid
b. Antikolinergik (antidepresan trisiklik, antispasmodik, antipsikotik,
antiparkinson)
c. Obat yang mengandung kation (besi, aluminium, kalsium)
d. Neurally active agent (antihipertensi, calcium channel blocker,
antikonvulsan)
e. Diuretik
f. Anti-inflamantori
g. Miscellaneous agent
2.2.2 Hepatik Ensephalopati
(1) Definisi dan Mekanisme
Ensefalopati hepatik (EH) merupakan sindrom neuropsikiatri yang
dapat terjadi pada penyakit hati akut dan kronik berat dengan beragam
manifestasi, mulai dari ringan hingga berat, mencakup perubahan perilaku,
gangguan intelektual, serta penurunan kesadaran tanpa adanya kelainan
pada otak yang mendasarinya (Ferenci P etal., 1998). Di Indonesia,
prevalensi EH minimal (grade 0) tidak diketahui dengan pasti karena
sulitnya penegakan diagnosis, namun diperkirakan terjadi pada 30%-84%
pasien sirosis hepatis. Data dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
mendapatkan prevalensi EH minimal sebesar63,2% pada tahun 2009.4 Data
pada tahun 1999 mencatat prevalensi EH stadium 2-4 sebesar 4,9% (Zubir
N et al., 2009)
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF... SRI PUJI PURWANTISKRIPSI
17
(2) Etiologi dan Patofisiologi
Beberapa kondisi berpengaruh terhadap timbulnya EH pada pasien
gangguan hati akut maupun kronik, seperti keseimbangan nitrogen positif
dalam tubuh (asupan protein yang tinggi, gangguan ginjal, perdarahan
varises esofagus dan konstipasi), gangguan elektrolit dan asam basa
(hiponatremia, hipokalemia, asidosis dan alkalosis), penggunaan obat-
obatan (sedasi dan narkotika), infeksi (pneumonia, infeksi saluran kemih
atau infeksi lain) dan lain-lain, seperti pembedahan dan alkohol. Faktor
tersering yang mencetuskan EH pada sirosis hati adalah infeksi, dehidrasi
dan perdarahan gastrointestinal berupa pecahnya varises esofagus (Wakim
et al., 2011)
Terjadinya EH didasari pada akumulasi berbagai toksin dalam
peredaran darah yang melewati sawar darah otak (Riggio et al., 2010).
Amonia merupakan molekul toksik terhadap sel yang diyakini berperan
penting dalam terjadinya EH karena kadarnya meningkat pada pasien sirosis
hati (Frederick et al., 2011). Beberapa studi lain juga seperti yang
digambarkan pada gambar 2.3, amonia diproduksi oleh berbagai organ.
Amonia merupakan hasil produksi koloni bakteri usus dengan aktivitas
enzim urease, terutama bakteri gram negatif anaerob, Enterobacteriaceae,
Proteus dan Clostridium (Frederick et al., 2011). Enzim urease bakteri akan
memecah urea menjadi amonia dan karbondioksida. Amonia juga
dihasilkan oleh usus halus dan usus besar melalui glutaminase usus yang
memetabolisme glutamin (sumber energi usus) menjadi glutamat dan
amonia.
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF... SRI PUJI PURWANTISKRIPSI
18
19
amonium dalam tubuh sehingga menyebabkan hiperamonia. Amonia akan
masuk ke dalam hati melalui venaporta untuk proses detoksifiaksi.
Metabolisme oleh hati dilakukan di dua tempat, yaitu selhati periportal yang
memetabolisme amonia menjadi urea melalui siklus Krebs-Henseleit dan sel
hati yang terletak dekat vena sentral dimana urea akan digabungkan kembali
menjadi glutamin (Frederick et al., 2011).
Pada keadaan sirosis, penurunan massa hepatosit fungsional dapat
menyebabkan menurunnya detoksifikasi amonia oleh hati ditambah adanya
shunting portosistemik yang membawa darah yang mengandung amonia
masuk ke aliran sistemik tanpa melalui hati (Chatauret et al., 2004).
Peningkatan kadar amonia dalam darah menaikkan resiko toksisitas amonia.
Meningkatnya permebialitas sawar darah otak untuk amoniapada pasien
sirosis menyebabkan toksisitasamonia terhadap astrosit otak yang berfungsi
melakukan metabolisme amonia melalui kerjaenzim sintetase glutamin.
Disfungsi neurologis yang ditimbulkan pada EH terjadi akibat edema
serebri, dimana glutamin merupakan molekul osmotik sehingga
menyebabkan pembengkakan astrosit. Amonia secara langsung juga
merangsang stres oksidatif dan nitrosatif pada astrosit melalui peningkatan
kalsium intraselular yang menyebabkan disfungsi mitokondriadan
kegagalan produksi energi selular melalui pembukaan pori-pori transisi
mitokondria. Amonia juga menginduksi oksidasi RNA dan aktivasi protein
kinase untuk mitogenesis yang bertanggung jawab pada peningkatan
aktivitasi sitokin dan repson inflamasi sehingga mengganggu aktivitas
pensignalan intraselular (Norenberg et al., 2009). Mengemukakan faktor
pencetus lain penyebab EH seperti pada gambar 2.4 berikut.
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF... SRI PUJI PURWANTISKRIPSI
20
21
asam dalam cairan lambung tergantung dari adanya ion hidrogen yang sulit
diukur melalui titrasi alkali apapun. Terdapat berbagai teknik pengukuran
konsentrasi ion hidrogen, salah satu yang dikembangkan akhir-akhir ini
adalah teknik elektrolisis. Faktor lain yang mempengaruhi konsentrasi asam
lambung adalah adanya pepton dan albumosis. Konsentrasi asam lambung
yang tinggi dapat mengakibatkan terjadinyaedema serta ulkus pada lambung
atau duodenum yang menyebabkan timbulnya rasa nyeri. Hiperasiditas
lambung dapat mempengaruhi saluran cerna atas maupun bawah. Saluran
cerna atas dimulai dari faring, esophagus, gaster dan duodenum sedangkan
saluran cerna bawah meliputi intestinal hingga anus. Makanan pedas dan
berlemak, obat-obatan seperti NSAID dan alkohol juga dapat meningkatkan
produksi asam yang mengakibatkan terjadinya ulkus. Selain itu,stres fisik
seperti sepsis, trauma berat maupun psikis jugadapat menyebabkan
hiperasiditas lambung.
(2) Gejala
Gejala hiperasiditas lambung seperti rasa terdapat gas berlebihan
dalam lambung, kembung, rasa terbakar di ulu hati, dada, bagian belakang
badan/punggung dan anus, nyeri perut, nyeri punggung, sakit kepala dan
rasa penat (dizziness), rasa lapar disertai nyeri 1-2 jam setelah makan,
sendawa (burping) yang berlebihan, mual, muntah, konstipasi, diare, kram
otot pada leher dan bahu, mulut terasa panas, batuk berulang serta gejala
lain yang timbul pada saluran nafas seperti faringitis dan asma, dan gejala
yang timbul pada penyakit telinga hidung dan tenggorokan serta kerusakan
gigi.
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF... SRI PUJI PURWANTISKRIPSI
22
2.3 Jenis Laksatif
2.3.1 Laksatif serat dan bulk-forming
Agen utama pada kelas laksatif serat dan bulk-forming (psyllium,
bran, methylcellulose, ispaghula dan polikarbofil) mudah didapatkan.
Mekanisme utama yang umun adalah meningkatkan berat dan absorbsi air
pada feses, hasilnya adalah meningkatkan kecepatan pergerakan dorongan
pada usus. Laksatif ini biasanya memerlukan beberapa hari untuk bekerja
dan pasien yang menderita konstipasi dianjurkan untuk mengkonsumsi air
yang banyak untuk menghindari obstruksi. Kerja dari laksatif ini cukup
terbatas terutama pada pasien usia lanjut yang terbaring di tempat tidur
(Golzarian et al., 1994). Laksatif tersebut meningkatkan motilitas usus,
hasilnya adalah penurunan waktu transit kolon dan meningkatkan frekuensi
dari pergerakan usus (Tramonte et al., 1997). Banyak studi menyebutkan
bahwa laksatif dapat mengurangi nyeri perut serta menyebabkan kentut, dan
juga membuat perut kembung yang merupakan efek samping yang
mengarah pada spasmodik nyeri perut. Efek ini telah dilaporkan merupakan
akibat dari penggunaan serat alami (psyllium), dan hal ini dihubungkan
dengan degradasi bakteri. Sedangkan pada methylcellulose (serat
semisintetis) efek sampingnya tidak terlalu sering ditemui dan tidak terjadi
pada polikarbofil (serat sintesis dari polimer asam akrilat) (Francis et al.,
1994).
2.3.2 Laksatif Osmotik
Laksatif osmotik meliputi laksatif saline (magnesium hidroksida,
magnesium sitrat), dan yang terbaru adalah macrogols (PEG). Walaupun
absorbsi terhadap gula rendah dan PEG terkadang diklasifikasikan terpisah
dari laksatif saline, senyawa ini memiliki mekanisme umum yaitu
memproduksi gradien osmotik, menahan cairan pada lumen kolon dan
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF... SRI PUJI PURWANTISKRIPSI
23
menyebabkan feses lunak dan memperbaiki dorongan usus. Perbedaan dari
senyawa-senyawa ini adalah interaksinya terhadap bakteri usus yang dapat
menimbulkan efek samping kentut dan menurunkan keefektifan laksatif.
Magnesium klorida merupakan salah satu senyawa yang cukup tua di
kelasnya. Senyawa ini meningkatkan motilitas kolon dan sekresi usus
terhadap air dan garam mineral. Pada suatu penelitian pada instituisi dan
Rumah Sakit ditemukan bahwa senyawa dapat meningkatkan pergerakan
usus lebih sering daripada laksatif bulk-forming tunggal maupun
dikombinasi dengan sorbitol dosis kecil (Kinnunen et al., 1989). Selain
tidak mahal, menggunakan magnesium pada usia lanjut memberikan efek
samping yang lebih kecil, seperti contohnya kentut, kram perut dan
toksisitas magnesium (Golzarian et al., 1994), senyawa ini dapat diganggu
absorbsinya oleh beberapa medikasi (tetrasiklin, digoksin, klorpromazin dan
isoniazide).
Laktulosa adalah disakarida sintesis nonabsorable, dimetabolisme
oleh bakteri kolon menjadi asam laktat dan asam inorganik lain (asam
asetat, asam propanoat dan asam butirat). Asam-asam ini bisa diabsorbsi
oleh mukosa usus. Efek osmotik dari laktulosa biasanya terjadi setelah 2-3
hari, segera sesudah kapasitas bakteri untuk memetabolisme senyawa telah
melebihi dan hasilnya meningkatkan gerak peristaltik kolon. Efek samping
utama yaitu kentut, kram perut sementara dan hipokalemi (Passmore et al.,
1993).
Sorbitol adalah gula alkohol nonabsorable yang memliki
kemampuan osmotik dan bekerja pada level kolon. Jika dibandingkan
dengan laktulosa yang diberikan pada pasien usia lanjut maka memberikan
hasil yang sama, tetapi sorbitol tidak terlalu mahal jika dibandingkan
dengan laktulosa dan sedikit menyebabkan pusing. Bagaimanapun, efek
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF... SRI PUJI PURWANTISKRIPSI
24
samping lain seperti nyeri perut dan kentut tergolong sering dan terbatas
pada toleransi pasien.
Macrogol merupakan agen terakhir pada kelas ini. PEG adalah
laksatif osmotik yang bisa mengikat molekul air. Larutan elektrolit PEG
telah digunakan secara luas untuk membersihkan usus sebelum adanya
colonoscopy atau operasi usus. Senyawa ini tidak diabsorbsi dan tidak
dimetabolisme oleh bakteri kolon. Volume feses ditingkatkan dan
kosistensinya dilembutkan, menghasilkan peningkatan gerak peristaltik
(Corazziari et al., 2000).
2.3.3 Laksatif Stimulan
Laksatif stimulan adalah laksatif yang sering digunakan secara luas,
selain itu juga memiliki efek samping yang lebih rendah. Laksatif stimulan
meliputi anthroquinones (sena, aloes, cascara), turunan diphenylmethane
(bisacodyl, sodium picosulfate). Castrol oil merupakan laksatif stimulan
menjadi kuno serta memiliki efek samping malabsorpsi, dehidrasi, dan
lipoid pneumonia. Sementara itu, agen lainnya yaitu phenolphthalein telah
ditinggalkan di US dikarenakan karsinogeniknya. Agen ini menyebabkan
peningkatan motilitas usus dan sekresi yang disebabkan oleh stimulasi
plexus myenterik dan merubah cairan serta aliran elektrolit. Efek laksatif ini
adalah dose dependen, dengan cara menghambat absorpsi dari natrium dan
air pada dosis rendah dan stimulasi dari natrium dan influk air dalam lumen
kolon pada dosis besar (Lembo Aet al., 2003). Onset of action terjadi
sekitar 8-12 jam tetapi pada pasien usia lanjut yang lemah mungkin akan
menghasilkan respon yang lebih lambat.
Anthraquinone (senna, cascara) tidak direabsorpsi dan diubah oleh
bakteri kolon kedalam bentuk aktifnya. Pada studi sebelumnya, telah
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF... SRI PUJI PURWANTISKRIPSI
25
dibandingkan antara kombinasi serat senna dan laktulosa pada penduduk
yang menderita konstipasi (rata-rata berumur 82 tahun hingga 83 tahun
dalam trial pertama dan kedua secara berturut-turut) (Passmore et al., 1993).
Pada kedua studi tersebut, kombinasi serat senna secara signifikan lebih
efektif dibandingkan dengan laktulosa (meningkatkan pergerakan usus per
minggu, secara berturut-turut). Tidak ada perbedaan efek samping yang
terlihat pada studi ini. Mengenai hasil keamanan dari anthraquinone tentang
toksisitas selulernya telah diteliti secara in vitro, dideskripsikan pada
penggunaan dalam jangka panjang dan perkembangan dari melanosis coli
(Wald et al., 2003). Meskipun asosiasi antara kanker colorectal dan
melanosis coli masih kontroversi (Nascimbeni et al., 2002). Pada
kenyataannya, tidak ada data epidemiologi yang didokumentasikan oleh
asosiasi menegenai penggunaan anthraquinone dan peningkatan resiko
kanker colorectal pada manusia (Nusko et al., 2000). Efek sampingnya
mungkin lebih rendah pada pasien usia lanjut.
Turunan diphenylmethane meliputi bisacodyl dan natrium
picosulfate. Bisacodyl tersedia dalam bentuk oral dan suppositoria,
belakangan ini ada bentuk yang digunakan untuk manajemen terapi pasien
dengan pengeluaran yang lambat. Bioavailabilitas sistemiknya sangat
lambat namun suppositoria dapat menyebabkan rasa terbakar pada anus
sehingga penggunaan setiap hari harus dihindari. Onset of action dari
sediaan oral adalah sekitar 6-12 jam dan untuk suppositoria 15-30 menit
(NHS Center for Reviews and Dissemination., 2001).
Natrium picosulfate dihidrolisa oleh enzim bakteri kolon dan hanya
menimbulkan efek pada kolon. Sediaan ini menstimulasi mukosa kolon
sehingga menginduksi gerakan peristaltik dari kolon. Onset of action nya
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF... SRI PUJI PURWANTISKRIPSI
26
terjadi sekitar 6-12 jam (NHS Center for Reviews and Dissemination.,
2001).
Stool softener (sodium dioctyl sulfosuccinate dan parafin liquid)
sudah tidak direkomendasikan untuk terapi konstipasi. Parafin liquid
memiliki efek samping yang potensial yaitu mereduksi absorpsi vitamin
larut lemak dan resiko lipoid pneumonia setelah aspirasi (Wanda et al.,
2004).
2.3.4 Enemas dan suppositoria rektal
Enemas menginduksi pergerakan usus dengan menggelembungkan
rektum dan kolon. Usia lanjut yang memiliki masalah mobilitas yang serius
adakalanya membutuhkan enemas untuk menghindari faecal impaction.
Tap water enemas digunakan untuk disimpaction akut dan
merupakan tipe penggunaan yang tetap. Evakuasi feses terjadi 2-5 menit
setelah administrasi.
Enemasphosphat telah ditingkatkan efek laksatifnya sehingga
berpengaruh pada keosmotikannya namun hiperfosfatemia dan hipokalemia
dapat terjadi jika enemas ditahan. Sering juga menyebabkan kram perut dan
diare. Pada insufficiency renal akut dan kronik, enemas ini seharusnya tidak
diadministrasikan karena resiko hiperfosfatemia. Enemas soapsubs (buih
sabun) menyebabkan mukosa rektal rusak dan nekrosis sehingga seharusnya
tidak digunakan.
Suppositoria gliserol menstimulasi sekresi rektal dengan aksi
osmotik dan menyulut refleks defekasi. Onset of action terjadi dalam
beberapa menit. Gliserol dapat digunakan untuk menghindari mengejan
ketika defekasi. Penggunaan jangka panjang dapat menyebabkan iritasi
anorektal.
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF... SRI PUJI PURWANTISKRIPSI
27
2.3.5 Terapi farmakologi misel
Colchicine merupakan salah satu alkaloid antimitotik digunakan
sebagai profilaksis demam Mediterranean dan terapi gout artritis. Diare
merupakan efek samping yang umun dan terbatas pada masing-masing
individu. Colchicine 0.6mg tiga kali dalam sehari selama 4 minggu secara
signifikan meningkatkan pergerakan usus dan menurunkan waktu transit
kolon dibandingkan dengan plasebo. Meskipun begitu tidak ada pasien yang
menderita efek samping serius, nyeri perut setelah penggunaan colchicine.
Dari semua data yang didapatkan, sangat terbatas sekali untuk bisa
merekomendasikan terapi ini kepada usia lanjut.
Misoprostol merupakan sebuah analog prostalglandin E1 sintesis,
digunakan sebagai pencegah dan terapi induksi NSAID penyakit peptik
ulcer. Diare merupakan efek samping yang umum terjadi, misoprostol juga
pernah diteliti sebagai terapi untuk konstipasi berat (Roarty et al., 1997).
Studi ini menemukan bahwa sediaan ini dapat memperbaiki waktu transit
kolon, berat feses dan jumlah buang air besar per minggu. Walaupun studi
ini hanya sedikit meneliti tentang usia lanjut secara individual, dikarenakan
tidak selesainya percobaan karena timbulnya efek samping. Misoprostol
sangat sedikit digunakan sebagai terapi konstipasi pada pasien usia lanjut.
Neurotrophine-3 (NT3), merupakan protein growth factor yang
terlibat dalam pengembangan sistem saraf (Chalazonitis et al., 2001), cukup
sering diinvestigasi sebagai terapi konstipasi. Pada suatu studi menyebutkan
bahwa NT3 meningkatkan frekuensi defekasi dan melembutkan feses sebaik
meningkatkan proses defekasi pada pasien konstipasi normal (Parkman et
al., 2003).
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF... SRI PUJI PURWANTISKRIPSI
28
2.3.6 Terapi Baru
Lubiprostone merupakan asam lemak bisiklik oral yang mengaktifasi
kanal klorid tipe 2 pada sel epitel, mensekresi klorid dan air di lumen usus
(Cuppoletti et al., 2004). Pada suatu RCT, lubiprostone dibandingkan
dengan plasebo memperlihatkan kenaikan pergerakan usus per minggu,
sebaik memperbaiki konsistensi feses, mengejan, konstipasi dengan feses
yang keras yang dilaporkan memeberikan terapi yang efektif (Johanson et
al., 2008). Salah satu studi menyebutkan, 10% dari studi tersebut adalah
terhadap usia lanjut.
Prucalopride adalah turunan dihidrobenzofurancarboxamide,
merupakan selektif agonis reseptor 5HT4 memliki afinitas tinggi (Camilleri
et al., 2008). Tidak seperti obat lain dalam kelasnya seperti tegaserod,
mosapride dan renzapride, prucalopride memiliki afinitas lebih rendah pada
hERG (Ether-a-go-go Related Gene protein) (Camilleri et al., 2008). Hal
tersebut dipercaya bahwa efek pada kanal hERG memiliki keuntungan pada
profil jantung dibandingkan dengan tegaserod. Penelitian baru dengan RCT
double-blind menggunakan 84 usia lanjut yang dirawat di rumah dengan
kontipasi kronik, 2 mg prucalopride sekali dalam sehari selama 4 minggu
cukup aman dan toleransinya baik. Saat ini prucalopride telah diedarkan di
Eropa namun bukan di USA.
Linaclotide merupakan agonis reseptor guanilat siklase C yang
menstimulasi sekresi cairan intestinal dan transit, hal tersebut sudah
diperlihatkan pada studi terhadap binatang (Lembo et al., 2010). Linaclotide
menunjukkan keefektifannya dalam meningkatkan endpoint sekunder,
seperti misalnya konsistensi feses, mengejan, ketidaknyamanan perut,
kembung, serta kualitas hidup. Diare merupakan efek samping yang paling
sering.
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF... SRI PUJI PURWANTISKRIPSI
29
Alvimopan (Gonenne et al., 2005) dan methylnaltrexone telah
diperkenalkan sebagai terapi konstipasi opioid-induce. Kedua agen ini
bekerja sebagai antagonis reseptor peripheral yang tidak menembus
membran barier otak. Sehingga didapatkan hasil bahwa agen ini mempunyai
keutungan yaitu menghambat efek analgesik dari opioid. Pada suatu
penelitian secara random yang melibatkan 168 pasien, alvimopan dengan
dosis yang baik secara signifikan memproduksi paling sedikit 1 kali
defekasi selama 8 jam (Paulson et al., 2005).
Agen Usus Kecil Kolon
Waktu Transit
Kontraksi Campuran
Kontraksi Propulsif
Kerja Massa
Air Tinja
Serat dalam diet ? ? Magnesium - Laktulosa ? ? ? Metoclopramide ? ? - Cisapride ? ? Erythromycin ? ? ? ? Naloxone - - Anthraquinone Diphenylmethane Docusate ? ? ? - Ket: meningkat, menurun, ? data tidak tersedia, - tidak terdapat efek pada parameter ini
Tabel II.3 Derajat Rekomendasi American College of Gastroenterology, Onset Kerja, Dosis, dan Efek Samping Dari Terapi Farmakologi Konstipasi (Vasanwala et al., 2009)
Tabel II.4 Derajat Rekomendasi American College of Gastroenterology, Onset Kerja, Dosis, dan Efek Samping Dari Terapi Farmakologi Konstipasi (Vasanwala et al., 2009)
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF... SRI PUJI PURWANTISKRIPSI
30
Golongan Obat Rekomendasi ACG
Mula Kerja Dosis Efek Samping
Bulk-forming
laxative Psyllium Methylcellulose Polycarbophil calcium
B
B
B
3-4 hari
3-4 hari
3-4 hari
10-20 g malam hari dengan air 3-6 g/hari dengan air 4-8 g/hari
Flatulens, kram perut, reaksi alergi Sama seperti psyllium tapi flatulens lebih jarang Flatulens lebih jarang dibandingkan bulk laxative lain
Bulk-forming
laxative Psyllium Methylcellulose Polycarbophil calcium
B
B
B
3-4 hari
3-4 hari
3-4 hari
10-20 g malam hari dengan air 3-6 g/hari dengan air 4-8 g/hari
Flatulens, kram perut, reaksi alergi Sama seperti psyllium tapi flatulens lebih jarang Flatulens lebih jarang dibandingkan bulk laxative lain
Laksatif osmotik Magnesium hydroxide
B
1-3 jam
30-60 mL/hari
Flatulens, hipermagnesia pada pasien dengan gagal ginjal, hipokalemia
Laktulosa Proplenglikol (PEG 3350)
A
A
24-48 jam 24-48 jam
10-30 mL/hari, sampai 2 kali sehari 10-30 g/hari, sampai 2 kali sehari
Flatulens, kram dan tidak nyaman di perut, hipokalemia Flatulens (jarang), nyeri perut
Tabel II.4 Ringkasan Efek-Efek Beberapa Laksatif Terhadap Fungsi Usus (Goodman & Gilman’s Manual Of Pharmacology and Therapeutics)
Tabel II.3 Ringkasan Efek-Efek Beberapa Laksatif Terhadap Fungsi Usus (Goodman & Gilman’s Manual Of Pharmacology and Therapeutics)
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF... SRI PUJI PURWANTISKRIPSI
31
Efek dan Interval Waktu Laksatif pada Dosis Klinis Lazim Melembutnya Feses, 1-3 hari Feses Lunak atau Semi Cair,
6-8 jam Feses Cair, 1-3 jam
Bulk-forming laxative Bran Preparat psyllium Methylcellulose Calcium poycarbophil
Laksatif stimulan Derivat diphenylmethane Bisacodyl
Laksatif osmotik Sodium phosphate Magnesium sulfate Susu magnesia Magnesium citrate
Laksatif surfaktan Docusate Polaxamer
Derivat anthraquinone Senna Cascara sagrada
Castor oil
Golongan Obat Rekomendasi ACG
Mula Kerja Dosis Efek Samping
Laksatif stimulan Anthraquinolone (senna, cascara) Derivat diphenylmethane
B
B
8-12 jam 6-12 jam
12-30 mg/hari 5-10 mg/hari, sampai 3 kali seminggu, 10 mg/hari per rektal
Kram perut, hipokalemia Kram perut, flatulens, rasa terbakar pada rektal dengan bentuk suppositoria
Enema Phosphate enema
-
Bebe-rapa
menit
Jika
diperlukan
Perlu pemantauan gangguan keseimbangan air & elektrolit yang bermakna, bahkan fatal, dapat terjadi dengan penggunaan sodium phosphate enema pada pasien yang rentan, sepertigangguan ginjal dan penyakit jantung
Tabel II.5 Klasifikasi dan Perbandingan Antar Laksatif (Goodman & Gilman’s manual of pharmacology and therapeutics)
Tabel II.5 Klasifikasi dan Perbandingan Antar Laksatif (Goodman & Gilman’s manual of pharmacology and therapeutics)
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF... SRI PUJI PURWANTISKRIPSI
32
2.4 Laksatif Off Label
2.4.1 Laksatif untuk Hepatik Ensephalophati
Laktulosa merupakan lini pertama dalam penatalaksanaan EH
(Riggio et al., 2010). Sifatnya yang laksatif menyebabkan penurunan
sintesis dan uptake amonia dengan menurunkan pH kolon dan juga
mengurangi uptake glutamin (Frederick et al., 2011 dan Zhan, 2012). Selain
itu, laktulosa diubah menjadi monosakarida oleh flora normal yang
digunakan sebagai sumber makanan sehingga pertumbuhan flora normal
usus akan menekan bakteri lain yang menghasilkan urease. Proses ini
menghasilkan asam laktat dan juga memberikan ion hidrogen pada amonia
sehingga terjadi perubahan molekul dari amonia (NH3) menjadi ion
amonium (NH4+). Adanya ionisasi ini menarik amonia dari darah menuju
lumen.
Dari metaanalisis yang dilakukan, terlihat bahwa laktulosa tidak
lebih baik dalam mengurangi amonia dibandingkan dengan penggunaan
antibiotik (Frederick et al., 2011). Akan tetapi, laktulosa memiliki
kemampuan yang lebih baik dalam mencegah berulangnya EH dan secara
signifikan menunjukkan perbaikan tes psikometri pada pasiendengan EH
minimal.
Dosis laktulosa yang diberikan adalah 2 x 15-30 ml sehari dan dapat
diberikan 3 hingga 6 bulan. Efek samping dari penggunaan laktulosa adalah
menurunnya persepsi rasa dan kembung. Penggunaan laktulosa secara
berlebihan akan memperparah episode EH, karena akan memunculkan
faktor presipitasi lainnya, yaitu dehidrasi dan hiponatremia (Zhan, 2012).
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF... SRI PUJI PURWANTISKRIPSI
33
2.4.2 Laksatif sebagai Antasida
Milk of magnesia (MOM) ditemukan oleh Henry Philips pada tahun
1880. Saat ini telah digunakan sebagai antasida oral atau sebagai laksatif.
MOM memiliki nama legal yaitu magnesium hydroxide atau Mg(OH)2.
Obat tersebut dinamakan MOM dikarenakan terlihat seperti susu putih serta
secara alami mengandung mineral magnesium. Milk of magnesia bekerja
sekitar empat hingga enam jam pada dosisnya dan sementara meredakan
konstipasi pada orang tua serta anak-anak. MOM merupakan suspensi
alkali, hal ini mempunyai arti bahwa obat tersebut akan menetralkan jika
berada dalam kondisi asam. Ini yang membuat obat tersebut menjadi
laksatif yang bagus, karena dapat menetralkan asam lambung (HCl) ketika
dikonsumsi.
Apabila tidak diterapi, asam lambung akan menyebabkan heart burn,
indigesti serta tukak lambung. Milk of magnesia digunakan sebagai laksatif
dengan mekanisme kerja mengkombinasi ion hidroksi dengan ion hidrogen
pada HCl untuk mengurangi aktifitas yang berlebihan pada lambung. Ketika
digunakan sebagai laksatif, milk of magnesia membantu menggerakkan usus
dengan cara menstimulasi motilitas usus. Ion magnesium menarik air dari
jaringan sekitar dengan cara osmosis. Cairan ekstra pada usus melebutkan
dan meningkatkan berat feses sehingga menyebabkan terstimulasinya saraf
pada usus. Ion juga mengeluarkan hormon cholecystokinin, yang dapat
menyebabkan meningkatnya air dan elektrolit pada usus sehingga motilitas
usus meningkat.
Efek samping dari MOM meliputi mual, muntah, diare. Sedangkan
efek samping serius meliputi tekanan darah rendah, koma, drowsiness (Ian
et al., 2014).
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF... SRI PUJI PURWANTISKRIPSI
34
2.4.3 Laksatif digunakan pada pasien penyakit jantung, hipertensi,
hemorrhoid, hernia
Apabila mengejan menyebabkan kondisi semakin parah pada
penyakit tertentu misalnya fisura ani, hemorrhoid, angina. Pelembut feses
atau bran atau bulk laksatif lain merupakan pilihan utama (Courtenay dan
Butler, 2000).
2.5 Drug Utilization Studies (DUS)
2.5.1 Definisi DUS
World Health Organization(WHO) pada tahun 1997 mendefinisikan
drug utilization (DU) sebagai kegiatan pemasaran, distribusi, resep, dan
penggunaan obat-obatan di masyarakat dengan penekanan khusus pada
dampak medis yang dihasilkan, konsekuensi sosial dan ekonomi (WHO
Expert Committee, 1977).
2.5.2 Cakupan DUS
Tujuan utama penelitian DU adalah memfasilitasi penggunaan obat
yang rasional dimana resep obat didokumentasikan dalam dosis optimal,
indikasi yang tepat, informasi yang benar dan dengan harga yang
terjangkau. Selain itu, penelitian DU dapat membantu menetapkan prioritas
untuk alokasi anggaran kesehatan yang rasional (WHO, 2003).
Evaluasi penggunaan obat atau studi penggunaan obat (DUS)
merupakan proses pengembangan kualitas secara berkelanjutan, resmi dan
sistematis yang dirancang untuk (Sachdeva et al., 2010) :
a. Review penggunaan obat dan/atau pola peresepan obat.
b. Menyediakan feedback hasil kepada klinisi.
c. Mengembangkan kriteria dan standar sehingga dapat
mendeskripsikan penggunaan obat yang optimal.
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF... SRI PUJI PURWANTISKRIPSI
35
d. Meningkatkan penggunaan obat yang tepat melalui pendidikan dan
intervensi lainnya dengan cara mengamati pola penggunaan obat
untuk pengobatan penyakit tertentu yang sesuai dengan rekomendasi
atau pedoman saat ini.
e. Menyediakan feedback berupa data hasil penggunaan obat kepada
penulis resep.
f. Menghubungkan jumlah kasus tentang efek samping terhadap
jumlah pasien yang terkena efek samping.
g. Evaluasi penggunaan obat pada tingkat populasi berdasarkan jenis
kelamin, usia, kelas sosial, dan lain-lain.
h. Memasukkan konsep kesesuaian yang harus dinilai relatif terhadap
indikasiuntukpengobatan, penyakit yang timbul bersamaan (yang
mungkin kontraindikasi atau terganggu dengan terapi obat yang
dipilih) dan penggunaan obat lain(interaksi). Dengan demikian,
dapat didokumentasikan tingkat ketidaksesuaian peresepan obat dan
juga terkait efek samping, klinis, konsekuensi ekologi dan ekonomi.
2.5.3 Tipe Informasi Penggunaan Obat
Fokus utama DUS adalah pada obat dimana penggunaan obat
tunggal atau sekelompok obat diteliti. Fokus selanjutnya adalah pada
indikasi dimana pengunaan obat untuk kondisi tertentu diteliti (Sachdeva et
al., 2010). Tipe informasi penggunaan obat dideskripsikan di bawah ini
(Sjoqvist and Birkett, 2003) :
a. Informasi berdasarkan obat
Meliputi informasi tentang jumlah penggunaan obat, agregasi
penggunaan obat dalam berbagai tingkatan, informasi tentang
indikasi, regimentasi dosis dan bentuk sediaan obat.
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF... SRI PUJI PURWANTISKRIPSI
36
b. Informasi berdasarkan masalah
Informasi tentang bagaimana suatu masalah dapat diatasi (seperti
pada hipertensi, depresi, dan ulser gastritis.
c. Informasi tentang pasien
Data demografi pasien sangat penting dan berguna. Distribusi usia
pasien, data tentang komorbiditas pasien berguna untuk menentukan
pilihan terapi obat dan efek samping yang mungkin terjadi. Informasi
kuantitatif seperti pengetahuan, kepercayaan, persepsi dan sikap
pasien terhadap obat berguna untuk merancang informasi konsumen
dan program edukasi.
d. Informasi tentang pembuat resep
Perbedaan pada peresepan obat seringkali memiliki kekurangan pada
penjelasan yang rasional dan analisis faktor-faktor yang
mempengaruhi kebiasaan peresepan sangat penting untuk memahami
bagaimana dan mengapa obat yang diresepkan.
e. Farmakoekonomi
DUS juga mengevaluasi dampak ekonomi layanan dan teknologi
kesehatan. Hal ini mencakup studi tentang bagaimana metode
farmakoterapi mempengaruhi pemanfaatan sumber daya di bidang
kesehatan.
2.5.4 Tipe DUS
Terdapat dua macam tipe DUS yaitu kualitatif dan kuantitatif
(Sachdeva et al., 2010).
DUS Kualitatif
DUS kualitatif merupakan kegiatan multidisipliner yang
mengumpulkan, mengatur, menganalisis dan melaporkan informasi tentang
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF... SRI PUJI PURWANTISKRIPSI
37
penggunaan obat. DUS kualitatif biasanya meneliti penggunaan obat
tertentu atau kondisi tertentu yang mencakup beberapa criteria diantaranya
kriteria kualitas, kebutuhan medis dan kesesuaian layanan kesehatan.
Kriteria penggunaan obat berdasar pada indikasi, dosis, frekuensi
penggunaan, dan durasi terapi. Studi kualitatif menilai kesesuaian
penggunaan obat dan umumnya mengaitkan data peresepan dengan alasan
(indikasi) peresepan.
DUS Kuantitatif
DUS kuantitatif melibatkan pengumpulan, pengorganisasian dan
menampilkan perkiraan ukuran penggunaan obat. Informasi ini secara
umum digunakan untuk membuat keputusan mengenai dan persiapan
anggaran dana dan pembelian obat-obatan. Kombinasi DUS kualitatif dan
kuantitaf dapt memberikan informasi tentang pola dan jumlah penggunaan
obat serta kualtias dari penggunaan obat.
2.5.5 Rancangan Penelitian
Terdapat bermacam-macam metode dalam DUS. Penelitian
observasional merupakan metode yang paling banyak dilakukan. Jenis-jenis
penelitian observasional diantaranya (Sachdeva et al., 2010) :
a. Cross-sectional
Meneliti penggunaan obat pada suatu waktu tertentu. Terdapat pula
rancangan penelitian pre dan post yaitu meneliti penggunaan obat
sebelum dan setelah intervensi untuk memperbaiki kualitas peresepan
obat.
b. Prospektif
Mengevaluasi terapi obat yang direncanakan pasien sebelum obat
diberikan.
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF... SRI PUJI PURWANTISKRIPSI
38
c. Concurrent
Penelitian dilakukan selama terapi berjalan serta dilakukan
pemantauan terhadap terapi tersebut. Penelitian ini melibatkan
penggunaan hasil tes laboratorium dan data pemantauan lainnya jika
diperlukan.
d. Retrospektif
Meninjau terapi obat setelah pasien menyelesaikan rangkaian terapi.
2.5.6 Identifikasi Obat
Obat dengan volume penggunaan yang besar, harga yang tinggi, atau
frekuensi kejadian efek samping yang besar merupakan subyek dari DUS.
Target umum DUS meliputi (Sachdeva et al., 2010) :
a. Obat yang sering diresepkan
b. Interaksi obat yang potensial terjadi
c. Obat yang mahal
d. Obat baru
e. Obat dengan indeks terapetik sempit
f. Obat yang menyebabkan efek samping yang serius
g. Obat yang digunakan oleh pasien dengan faktor risiko tinggi
(misalnya pasien usia lanjut, pasien anak-anak)
h. Obat yang digunakan pada manajemen kondisi umum (misalnya RTI
atau UTI)
2.5.7 Rancangan Lembar Pengumpul Data
Pembatasan pengumpulan data pada saat melakukan DUS
merupakan hal yang sangat penting. Pembatasan tersebut meliputi aspek
paling penting dan relevan dari penggunaan obat serta faktor-faktor yang
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF... SRI PUJI PURWANTISKRIPSI
39
dapat mempengaruhi. Beberapa aspek penggunaan obat yang biasanya
disurvey selama DUS antara lain (Sachdeva et al., 2010) :
a. Data demografi pasien
b. Informasi tentang pembuat resep
c. Keparahan penyakit
d. Komorbiditas
e. Indikasi dan kontraindikasi penggunaan obat
f. Efek samping
g. Informasi Dosis
h. Duplikasi obat atau kelompok obat
i. Persiapan dan administrasi
j. Interaksi obat-obat dan obat-makanan
k. Pemantauan terapi obat
l. Edukasi pasien
m. Biaya terapi
2.6 Drug Related Problems (DRPs)
2.6.1 Definisi DRP
Permasalahan terkait obat (Drug Related Problems/DRPs) adalah
suatu peristiwa pada terapi obat yang mengganggu atau berpotensi
mengganggu pencapaian hasil terapi yang diinginkan (PCNE, 2010).
Permasalahan terapi obat (Drug Therapy Problems) adalah setiap kejadian
yang tidak diinginkan, dialami oleh seorang pasien yang melibatkan atau
diduga melibatkan terapi obat sehingga dapat mengganggu tercapainya
tujuan terapi yang diinginkan (Cipolle et al., 2007).
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF... SRI PUJI PURWANTISKRIPSI
40
2.6.2 Klasifikasi DRP
Menurut Cipolle (2007), DRPs diklasifikasikan sebagai berikut
(Cipolle et al., 2007) :
a. Perlu untuk terapi tambahan
b. Terapi yang tidak perlu
c. Obat yang salah
d. Dosis terlalu rendah
e. Reaksi obat yang merugikan
f. Dosis terlalu tinggi
g. Masalah kepatuhan pasien
Tabel II.6 Klasifikasi DRP menurut PCNE versi 6.2 tahun 2010
Klasifikasi DRPs Kode 6.2
Domain primer
Klasifikasi Permasalahan Terkait Obat (DRPs)
P-1
Efektivitas Terapi Timbulnya masalah yang potensial terkait terapi obat
P-2
Efek samping Pasien menderita atau mungkin akan menderita efek obat yang merugikan
P-3
Biaya pengobatan Terapi obat lebih mahal daripada yang diperlukan
P-4 Lain-lain
Klasifikasi Penyebab Permasalahan Terkait Obat (DRPs)
C-1
Pemilihan obat Penyebab DRPs berkaitan dengan pemilihan obat
C-2
Bentuk sediaan obat Penyebab DRPs berkaitan dengan pemilihan bentuk sediaan obat
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF... SRI PUJI PURWANTISKRIPSI
41
Klasifikasi DRPs Kode 6.2
Domain primer
C-3
Pemilihan dosis Penyebab DRP berkaitan dengan dosis dan jadwal penggunaan obat
C-4
Durasi terapi Penyebab DRPs berkaitan dengan durasi terapi
C-8 Lain-lain
Lain-lain
Pada tahap pasien
I-3 Pada tahap pengobatan/terapi
I-4 Intervensi lain
Klasifikasi Intervensi Permasalahan Terkait Obat (DRPs)
I-0 Tidak ada intervensi
I-1 Pada tahap peresepan
I-2 Pada tahap pasien
I-3
Pada tahap pengobatan/terapi
I-4 Intervensi lain
Outcome dari Intervensi Permasalahan Terkait Obat (DRPs)
O-0 Outcome intervensi tidak diketahui
O-1 Masalah terselesaikan
O-2 Sebagian masalah terselesaikan
O-3 Masalah tidak terselesaikan
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF... SRI PUJI PURWANTISKRIPSI
42
BAB III
KERANGKA KONSEPTUAL
3.1 Uraian Kerangka Konseptual
Terdapat beberapa macam oral laksatif serta mekanisme kerja yang
berbeda-beda. Tipe laksatif bermacam-macam yaitu meliputi laksatif bulk-
forming tidak dicerna namun mengabsorpsi cairan di usus dan mengembang
menjadi bentuk lebih lembut. Kemudian usus secara normal terstimulasi
oleh massa feses yang mengembang. Laksatif hiperosmotik mendorong
pergerakan usus dengan mekanisme menarik cairan kedalam usus dengan
cara mengelilingi jaringan. Ada tiga tipe laksatif hiperosmotik yang
digunakan secara oral yaitu saline, laktulosa, dan polimer. Laksatif tersebut
digunakan sebagai terapi konstipasi jangka lama dan untuk terapi berulang.
Dengan dosis lebih kecil dari dosis yang digunakan sebagai terapi
konstipasi, laksatif saline dapat berfungsi sebagai antasida. Hal ini hanya
berlaku jika dokter yang meresepkan. Informasi yang tertera hanya
menunjukkan bahwa laksatif digunakan sebagai terapi konstipasi. Sodium
phosphate juga dapat diresepkan untuk kondisi lain selain konstipasi sesuai
dengan keputusan yang dibuat oleh dokter. Laktulosa merupakan tipe obat
yang mirip dengan laksatif gula, memiliki memiliki mekanisme kerja seperti
saline. Laktulosa terkadang digunakan sebagai terapi pengobatan untuk
mengurangi jumlah ammonia yang berlebih didalam darah.
Laksatif lubrikan meliputi minyak mineral, menyebabkan dorongan
pergerakan usus lebih cepat dengan mekanisme melapisi usus dan massa
feses dengan lapisan antiair. Hal ini menjaga massa feses tetap lembab
sehingga feses menjadi lembut dan mudah dikeluarkan. Laksatif yang tidak
hanya memiliki efek penyembuhan pada konstipasi yaitu laksatif stimulan
yang juga digunakan sebagai terapi pada biliary tract, salah satunya yaitu
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF... SRI PUJI PURWANTISKRIPSI
43
asam dehydrocholic. Penggunaan laksatif tidak hanya berikan secara
tunggal saja namun juga kombinasi, hal ini yang menyebabkan efek
samping dari laksatif tersebut meningkat dikarenakan bermacam-macam
bahan yang terkandung. Sehigga harus diketahui tata cara penggunaan
laksatif kombinasi yang benar serta tindakan pencahan dari masing-masing
efek bahan yang terkandung (Truven Health Analytics, 2016).
Laksatif juga digunakan pada kondisi penyakit dimana penyakit
tersebut akan bertambah parah jika pasien mengejan, seperti contohnya
penyakit jantung, hemorrhoid, hernia, tekanan darah tinggi (hipertensi).
Laksatif juga dapat digunakan secara over the counter (OTC) yang disertai
dengan menggunakan resep dokter. Meskipun tidak tertera dalam label
psyllium hydrophilic mucilloid digunakan sebagai terapi pengobatan
hiperkolesterolemia (kolesterol tinggi) (Truven Health Analytics, 2016).
Hal tersebut diatas yang menyebabkan pentingnya pemahaman terapi
laksatif dan juga memperbaiki cara penggunaan laksatif. Serta dikarenakan
penggunaan laksatif pada pasien selain konstipasi cukup beragama maka
perlu dilakukan penelitian terkait dengan penggunaan laksatif.
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF... SRI PUJI PURWANTISKRIPSI
44
3.2 Skema Kerangka Konsep
Gambar 3.1 Kerangka Konseptual
Gambar 3.1 Kerangka Konseptual
Jenis Obat
Jenis Obat
prediktor kuat terjadinya
penyakit arteri koroner
prediktor kuat terjadinya
penyakit arteri koroner
Menggunakan obat-obatan yang berefek samping konstipasi
Menggunakan obat-obatan yang berefek samping konstipasi
Gejala ensefalopati hepatik
Gejala ensefalopati hepatik
Ammonia di darah
besar
Ammonia di darah
besar
Studi Penggunaan
Laksatif
Studi Penggunaan
Laksatif
Fisura ani,
hemorrhoid
Fisura ani,
hemorrhoid
Lambung kosong Asam lambung
naik
Lambung kosong Asam lambung
naik
Inanition (kurangnya asupan
makanan)
Inanition (kurangnya asupan
makanan)
Lanjut Usia
Lanjut Usia
Penyakit jantung, tekanan darah tinggi
(hipertensi)
Penyakit jantung, tekanan darah tinggi
(hipertensi)
Tidak boleh mengejan karena akan bertambah
parah
Tidak boleh mengejan karena akan bertambah
parah
Irritable colon (salah satu masalah umum lansia)
Irritable colon (salah satu masalah umum lansia)
Perubahan neurodegeneratif
sistem saraf enterik atau enteric
nervous system (ENS)
Perubahan neurodegeneratif
sistem saraf enterik atau enteric
nervous system (ENS)
Konstipasi
Konstipasi Laksatif
Laksatif
Dosis Obat
Dosis Obat
Frekuensi penggunaan
Frekuensi penggunaan
Waktu penggunaan
Waktu penggunaan
DRPs
DRPs
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF... SRI PUJI PURWANTISKRIPSI
45
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian observasional, pengambilan data
secara retrospektif, dan dianalisis secara deskriptif. Penelitian observasional
yaitu peneliti tidak memberikan suatu perlakuan atau intervensi pada
sampel. Data diambil secara retrospektif karena pengambilan data bersifat
kedepan melalui DMK. Sedangkan data dianalisis secara deskriptif karena
penelitian bertujuan untuk mendiskripsikan secara sistematis mengenai
studi penggunaan laksatif pada pasien geriatri yang menderita konstipasi.
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di poli geriatri RSUD Dr. Soetomo Surabaya
pada periode April – Juli 2016.
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian
4.3.1 Populasi Penelitian
Populasi penelitian yaitu seluruh pasien geriatri yang menderita
konstipasi di poli geriatari RSUD Dr. Soetomo Surabaya
4.3.2 Sampel Penelitian
Sampel penelitian ini adalah pasien geriatri yang mengalami
konstipasi dan mendapat resep laksatif di poli geriatri RSUD Dr. Soetomo
Surabaya pada periode 1 Mei – 31 Desember 2015 yang memenuhi kriteria.
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF... SRI PUJI PURWANTISKRIPSI
46
4.3.3 Kriteria
4.3.3.1 Kriteria Inklusi
1. Seluruh pasien di poli geriatri yang mendapat resep laksatif
4.4 Cara Pengambilan Sampel
Cara pengambilan sampel dengan metode time limited sampling,
yaitu dengan cara setiap pasien yang memenuhi kriteria penelitian selama
periode tertentu dimasukkan sebagai sampel penelitian.
4.5 Definisi Operasional dan Istilah dalam Penelitian
1. Konstipasi
Konstipasi adalah kesulitan atau jarang defekasi yang mungkin
karena feses keras atau kering sehingga terjadi kebiasaan
defekasi yang tidak teratur, faktor psikogenik, kurang aktifitas,
asupan cairan yang tidak adekuat dan abnormalitas usus.
2. Laksatif
Laksatif atau pencahar adalah makanan atau obat-obatan yang
diminum untuk membantu mengatasi sembelit dengan membuat
kotoran bergerak dengan mudah di usus.
3. Pasien Geriatri
Pasien geriatri adalah pasien usia lanjut dengan multipatologi.
4.6 Analisis Data
Analisis data yang dilakukan meliputi:
1. Mendeskripsikan jenis laksatif berdasarkan golongan obat dan
regimentasi dosis.
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF... SRI PUJI PURWANTISKRIPSI
47
2. Mengkaji kaitan laksatif yang diberikan dengan data klinis pada
pasien geriatri di poli geriatri.
3. Menganalisis DRPs potensial yang terjadi, meliputi ketepatan
pemilihan obat/indikasi, ketepatan dosis, efek samping.
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF... SRI PUJI PURWANTISKRIPSI
48
4.7 Kerangka Operasional
Gambar 4.1 Kerangka Operasional
Gambar 4.1 Kerangka Operasional
Identifikasi: Tepat indikasi Kesesuaian dosis,
rute dan lama pemberian
Efek samping Laksatif yang
sering digunakan
Identifikasi: Tepat indikasi Kesesuaian dosis,
rute dan lama pemberian
Efek samping Laksatif yang
sering digunakan
Analisis keterkaitan data pasien dengan terapi yang diambil
Analisis keterkaitan data pasien dengan terapi yang diambil
Mengetahui: Indikasi obat Bentuk sediaan Dosis obat Rute pemakaian Frekuensi dan
lama pemberian obat
Mengetahui: Indikasi obat Bentuk sediaan Dosis obat Rute pemakaian Frekuensi dan
lama pemberian obat
Hasil penelitian: Dapat mengetahui macam-macam laksatif yang digunakan oleh RSUD Dr.
Soetomo pada pasien geriatri serta terapi untuk apa saja laksatif digunakan.
Hasil penelitian: Dapat mengetahui macam-macam laksatif yang digunakan oleh RSUD Dr.
Soetomo pada pasien geriatri serta terapi untuk apa saja laksatif digunakan.
Rekam medik pasien geriatri yang menderita konstipasi poli geriatri RSUD Dr. Soetomo Surabaya periode 1 Mei –
31 Desember 2015
Rekam medik pasien geriatri yang menderita konstipasi poli geriatri RSUD Dr. Soetomo Surabaya periode 1 Mei –
31 Desember 2015 Data demografi pasien Studi terapi (penggunaan
laksatif)
Data demografi pasien Studi terapi (penggunaan
laksatif)
Analisis data
Analisis data
Pencatatan rekam medik pasien yang memenuhi kriteria inklusi
Pencatatan rekam medik pasien yang memenuhi kriteria inklusi
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF... SRI PUJI PURWANTISKRIPSI
49
BAB V
HASIL PENELITIAN
Penelitian studi penggunaan laksatif ini telah mendapatkan
persetujuan kelaikan etik oleh Komite Etik Penelitian Kesehatan RSUD Dr.
Soetomo Surabaya dengan nomor 162/Panke.KKE/III/2016. Adapun hasil
penelitian adalah sebagai berikut:
5.1 Demografi Pasien
Dari penelitian dihasilkan data pasien yang memenuhi kriteria
inklusi yaitu pasien yang mendapatkan resep laksatif sebanyak 59 pasien,
data ini diambil dari rekam medis pada periode waktu bulan Mei hingga
Desember 2015.
Berikut adalah sebaran dari pasien yang mendapatkan resep laksatif
berdasarkan pembagian berdasarkan jenis kelamin dan juga usia, dapat
dilihat pada Tabel V.1. Jumlah pasien wanita yang mendapatkan resep
laksatif lebih besar yaitu 32 pasien (54,23%) sedangkan jumlah pasien laki-
laki sebesar 27 pasien (45,76%).
Tabel V.1 Persentase Sebaran Pasien yang Mendapat Resep Laksatif berdasarkan Jenis kelamin dan Usia di RSUD Dr. Soetomo periode
Mei – Desember 2015 Jenis kelamin Jumlah Persentase
Wanita 32 54,23% Laki-laki 27 45,76%
Usia Jumlah Persentase
< 65 tahun 21 35,5%
Young old (65 – 75 tahun) 23 38,9%
Middle old (75 - 85 tahun) 15 25,4%
Old-old (lebih dari 85 tahun) 0 0%
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF... SRI PUJI PURWANTISKRIPSI
50
Keterangan: Persentase dihitung berdasarkan jumlah pasien yaitu
59 pasien
Pada Tabel V.1 pasien yang mendapatkan terapi laksatif tersebar
antara rentang usia 46 hingga 85 tahun dengan jumlah total pasien sebesar
61 pasien. Berdasarkan Principles of Geriatric Physiotherapy pasien lanjut
usia dibagi kedalam 3 golongan yaitu Young old (65 – 75 tahun), Middle old
(75 - 85 tahun), Old-old (lebih dari 85 tahun). Dari tabel dapat diketahui
bahwa pasien yang mendapatkan resep laksatif yang paling banyak terdapat
pada kisaran umur 65 – 75 tahun, yaitu sebesar 23 pasien dengan persentase
38,9%, selanjutnya yang paling banyak mendapatkan laksatif adalah pasien
berumur <65 tahun berjumlah 21 pasien (35,5%), pasien berumur 75-85
tahun berjumlah 15 pasien (25,4%).
5.2 Penyebab Konstipasi
Konstipasi sekunder disebabkan oleh beberapa hal antara lain
penyakit metabolik, miopati, penyakit neurologis, kondisi psikologis,
kelainan struktur, efek samping dari obat-obatkan dan lain-lain.
Berdasarkan pembagian tersebut maka pada tabel V.1 dipaparkan tentang
sebaran pasien lanjut usia yang mendapatkan resep laksatif di poli geriatri
RSUD Dr. Soetomo pada periode Mei 2015 – Desember 2015.
Tabel V.2 Persentase Sebaran Pasien yang Mendapat Resep
Laksatif berdasarkan Kemungkinan Penyebab Konstipasi di RSUD Dr. Soetomo periode Mei 2015 – Desember 2015
Penyebab konstipasi Jumlah Persentase Efek Samping Obat 19 32,20%
Endokrin 8 13,56% Neurologis 4 6,78%
Kelainan struktur+ESO 2 3,39% Endokrin+ESO 16 27,11%
Neurologis+ESO 9 15,25% Lain-lain 1 1,69%
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF... SRI PUJI PURWANTISKRIPSI
51
Keterangan: Persentase dihitung berdasarkan jumlah pasien yaitu 59 pasien Keterangan penyakit:
Penyakit Keterangan
Endokrin Diabetes Mellitus Neurologis Parkinson
Senility Cerebral Infarction Stroke
Kelainan struktur Malignant neoplasm of colon
5.2.1 Sebaran Kemungkinan Penyebab Konstipasi berdasarkan Dua
Data Tertinggi yaitu Penyakit dan Efek Samping Obat
Tabel V.3 Persentase Sebaran Pasien yang Mendapat Resep Laksatif berdasarkan Dua Kemungkinan Penyebab Konstipasi Tertinggi (Penyakit
dan ESO) di RSUD Dr. Soetomo periode Mei 2015 – Desember 2015 Penyakit Jumlah Persentase
Diabetes Mellitus 24 66,67% Senility 5 13,89% Parkinson 3 8,33% Sequelance of Stroke 1 2,78% Cerebral Infarction 3 8,33%
Golongan Obat Jumlah Persentase Calcium Channel Blocker 34 28,3% Beta Blocker 12 10% NSAID 9 7,5% Diuretik 4 3,3% Opioid 9 7,5% Antiparkinson 8 6,6% Proton Pump Inhibitor 22 18,3% Cation Containing Agent 16 13,3% H2 Reseptor Antagonis 3 2,5% Miscellaneous Agent 3 2,5%
Keterangan: Pasien dapat menderita lebih dari 1 macam penyebab konstipasi
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF... SRI PUJI PURWANTISKRIPSI
52
Keterangan golongan obat: Golongan Nama Obat
Calcium Channel Blocker Amlodipin Nifedipin
Beta Blocker Propanolol Atenolol
NSAID Asam Mefenamat Asetosal
Diuretik Furosemide Opioid Codein Antiparkinson Levodopa
Proton Pump Inhibitor Lansoprazol Omeprazol
Cation Containing Agent Sukralfat
H2 Reseptor Antagonis Ranitidin Miscellaneous Agent Vitamin C
5.3 Profil Penggunaan Laksatif pada Pasien Lanjut Usia di Poli
Geriatri RSUD Dr. Soetomo Surabaya
Jenis laksatif yang diterima oleh pasien lanjut usia di poli geriatri
RSUD Dr. Soetomo Surabaya pada periode Mei 2015 – Desember 2015
yaitu Bisakodil, Laktulosa, Laxadine yang ditunjukkan pada Tabel V.4.
Tabel V.4 Persentase Sebaran Pasien yang Mendapat Resep
Laksatif berdasarkan Jenis Laksatif di RSUD Dr. Soetomo periode Mei 2015 – Desember 2015
Laksatif Jumlah Persentase Bisakodil 18 27,2% Laktulosa 27 40,9% Laxadine 21 31,8%
Keterangan: Pasien dapat menerima lebih dari 1 jenis laksatif
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF... SRI PUJI PURWANTISKRIPSI
53
Tabel V.5 Jenis, Rute, Dosis, Frekuensi, dan Kesesuaian Dosis Laksatif pada Pasien Lanjut Usai yang Mendapat Resep Laksatif Berdasarkan Jenis
Laksatif di RSUD Dr. Soetomo periode Mei 2015 – Desember 2015
Laksatif Rute Frekuensi & Dosis
Jumlah Pasien
Dosis Pustaka Keterangan
Bisakodil
Oral
1x1 5 mg 8
5-10 mg, maks 20 mg/hari
Dosis total sehari sesuai
pustaka
1x2 5 mg 4
3x1 5 mg 1
Rektal 1x1 10 mg 6 1x1
supp/hari Sesuai
Laktulosa Oral
1x1 15 ml 2
15 ml
2x/hari
Dosis total sehari sesuai
pustaka
2x1 15 ml 6
3x1 15 ml 19
Laxadine Oral
2x1 15 ml 14 1-2 sdm
(15-30 ml) 1x/hari
Dosis total sehari sesuai
pustaka 3x1 15 ml 7
Keterangan:
Pasien dapat menerima lebih dari 1 macam terapi selama rawat jalan
5.4 Drug Related Problem 5.4.1 Efek Samping yang Kemungkinan Terjadi
Tabel V.6 Efek Samping yang Kemungkinan Penggunaan Laksatif pada
Pasien Pasien Lansia di Poli Geriatri RSUD Soetomo Surabaya periode Mei 2015 – Desember 2015
Laksatif Efek Samping Jumlah Pasien
Bisakodil
Rasa tidak nyaman perut atau kram Kehilangan cairan elektrolit Diare Reaksi hipersensitif
18
Laktulosa
Rasa tidak nyaman perut yaitu kramp atau flatulen
Mual dan muntah Diare
27
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF... SRI PUJI PURWANTISKRIPSI
54
Laksatif Efek Samping Jumlah Pasien
Kehilangan banyak elektrolit
Laxadine
Ruam kulit Rasa panas terbakar Kehilangan cairan dan elektrolit tubuh Pruritis Diare Mual dan muntah
21
Keterangan:
Persentase dihitung berdasarkan jumlah pasien yaitu 59 pasien
Pustaka: Sweetman et al., 2009
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF... SRI PUJI PURWANTISKRIPSI
55
BAB VI
PEMBAHASAN
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui studi penggunaan
laksatif dan mengidentifikasi adanya Drug Related Problem (DRP) terhadap
pasien lanjut usia di poli geriatri RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Penelitian
dimulai pada bulan April hingga Juli 2016 dengan metode studi retrospektif.
Sampel meliputi seluruh pasien di poli geriatri yang mendapatkan resep
laksatif pada periode waktu Mei 2015 hingga Desember 2015 yang
memenuhi kriteria inklusi.
Jumlah total pasien yang menjalani rawat jalan di poli geriatri RSUD
Dr. Soetomo Surabaya sebanyak 4693 pasien. Dengan total sampel yang
memenuhi kriteria inklusi adalah sebanyak 59 pasien. Sampel tersebut
dikategorikan berdasarkan usia menurut Principles of Geriatric
Physiotherapy (Narinder et al., 2007) yaitu kelompok usia <65, young old
(65 – 75 tahun), middle old (75 - 85 tahun), old-old (lebih dari 85 tahun).
Berdasarkan pembagian kelompok usia tersebut, maka didapatkan data
bahwa pasien yang menerima peresepan laksatif di Instalasi Rawat Jalan
Poli Geriatri RSUD Dr. Soetomo pada usia <65 sebesar 21 pasien, young
old (65 – 75 tahun) sebesar 23 pasien, middle old (75 - 85 tahun) sebesar 15
pasien, old-old (lebih dari 85 tahun) sebesar 0 pasien. Dari distribusi jumlah
pasien tersebut diperoleh hasil bahwa pasien lanjut usia yang menerima
resep laksatif paling tinggi adalah pada kelompok usia 65-75 tahun (young
old) dengan persentase 38,9%. Berdasarkan article review dengan judul A
Review of the Literature on Gender and Age Differences in the Prevalence
and Characteristics of Constipation in North America oleh Lindsay et al
dikatakan bahwa laju konstipasi meningkat setelah umur 50 tahun keatas,
dengan prevalensi peningkatan yang pesat setelah umur 70 tahun. Maka
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF... SRI PUJI PURWANTISKRIPSI
56
dapat disimpulkan bahwa hasil penelitian sesuai dengan pustaka yaitu
konstipasi yang diderita pasien pada umur 65 hingga 75 tahun lebih besar
daripada pasien yang berumur kurang dari 65 tahun, namun pada hasil
penelitian pada rentang umur tertinggi terjadi hal sebaliknya yaitu jumlah
pasien yang menderita konstipasi mengalami penurunan, rentang umur
tersebut adalah pada kelompok umur 75 hingga 85 tahun, hal ini tidak
sesuai dengan pustaka yang menyebutkan bahwa semakin menua umur
maka akan mengalami gejala konstipasi semakin sering, pada sebuah studi
disebutkan bahwa sekitar satu dari ketiga pasien berumur 70 tahun lebih
harus berhubungan dengan persoalan mengejan, jarang BAB, dan seringnya
menggunakan laksatif (Suzanne et al., 2014). Kemungkinan penyebabnya
adalah karena jumlah pasien pada umur 75 hingga 85 tahun hanya sedikit,
bahkan pada umur lebih dari 85 tahun tidak ada pasien sama sekali.
Pada kategori jenis kelamin, pasien wanita yang mendapatkan resep
laksatif berjumlah sebesar 32 pasien (54,23%) dan pria berjumlah lebih
sedikit dibandingkan wanita yaitu sebesar 27 pasien (45,76%). Di Amerika
utara, wanita 2,2 kali lebih banyak dilaporkan menderita konstipasi daripada
pria. Hal tersebut merupakan sesuatu yang lazim dikarenakan wanita
dipengaruhi oleh faktor hormonal, sehingga menyebabkan resiko konstipasi
lebih tinggi selama fase luteal dalam siklus menstruasi dibawah efek dari
progesteron, progesteron dapat menurunkan laju usus kecil dan waktu
transit kolon (Suzanne et al., 2011) serta kerusakan otot bawah panggul
yang kemungkinan terjadi pada wanita selama melahirkan atau operasi
ginekologi (George et al., 2008). Berdasarkan pustaka tersebut, maka hasil
dari penelitian telah sesuai. Pustaka lain menyebutkan bahwa wanita
beresiko tinggi mengalami menderita luka otot dasar panggul dan saraf yang
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF... SRI PUJI PURWANTISKRIPSI
57
Senile dan pre senile demensia, termasuk penyakit alzeimer’s, secara
signifikan berpengaruh pada konstipasi, ditunjukkan oleh rasio antara 1,6-
1,9, ketika senility tanpa demensia sekitar rasio antara 2,7 (Ewe et al.,
1997). Namun, bukan senility yang menjadi penyebab terbanyak terjadinya
peresepan laksatif pada penelitian ini. Penyebab utama pasien menderita
konstipasi adalah dikarenakan banyaknya pasien yang mengidap diabetes
mellitus. Diabetes merupakan penyakit endokrin yang mempengaruhi
banyak sistem organ, tidak terkecuali GI tract. Komplikasi GI dikarenakan
diabetes berhubungan dengan disfungsi neuron-neuron yang mensuplai
sistem saraf enterik. Keterlibatan saraf intestinal ini akan mengarah pada
neurophaty enterik. Sehingga terjadi autonomic atau involuntary neurophaty
dan kemungkinan dapat menyebabkan abnormalitas motilitas intestinal,
sensasi, sekresi, dan absorpsi. Serat saraf yang berbeda dapat menstimulasi
atau menghambat motilitas intestinal dan fungsinya, serta kerusakan dari
saraf ini dapat menyebabkan perlambatan atau mempercepat fungsi dari
intestinal. Salah satu kelainan GI yang terjadi yaitu diabetik gastroparesis,
kondisi dimana pengosongan makanan dari lambung tertunda, sehingga
mengarah ke penyimpanan isi perut. Hal ini menyebabkan pembengkakan,
sakit perut, mual dan muntah. Lambung yang statis kemungkinan akan
mengarah pada memburuknya gastrooesophageal reflux (James et al.,
2000). Penyakit lain yang diderita oleh pasien di poli geriatri sehingga
diberikan resep laksatif adalah penyakit jantung, kebanyakan pasien
penyakit jantung akan menderita konstipasi namun tujuan pemberian
laksatif untuk pasien ini bukan hanya sebagai indikasi konstipasi, akan
tetapi juga agar pasien tidak mengejan karena akan memperberat kerja
jantung.
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF... SRI PUJI PURWANTISKRIPSI
58
Sebagian besar pasien usia lanjut akan menderita lebih dari satu
penyakit dikarenakan terdapat beberapa penyakit yang akan saling memicu
penyakit lain, tidak hanya diabetes saja yang dapat memicu konstipasi,
penyakit neurologis seperti parkinson juga banyak ditemui. Sulitnya
berdefekasi, terlalu berlebihan mengejan, rasa sakit, dan evakuasi feses
yang tidak usai, kemungkinan terjadi pada dua hingga tiga pasien yang
menderita penyakit parkinson. Agar defekasi terjadi dengan efektif, terdapat
beberapa otot yang harus berperan. Disfungsi defekasi terjadi apabila otot-
otot sfingter anal internal dan eksternal tidak bekerja dan kejadian ini dapat
terjadi pada awal penyakit parkinson maupun penyakit lanjutan (Ronald et
al., 2011). Tidak hanya penyakit parkinson saja yang menyebabkan
konstipasi, namun obat antiparkinson seperti contohnya levodopa juga
memiliki efek samping konstipasi. Pernyataan tersebut didukung oleh
pustaka yang menyebutkan bahwa pengobatan yang digunakan untuk terapi
gejala motorik dari penyakit parkinson (levodopa, antikolinergik) telah
terlibat dalam perlambatan dari motilitas gastrointestinal dan pembusukan
karena disfungsi gastrointestinal (Luca et al., 2010).
Selain efek samping obat antiparkinson, terdapat beberapa obat yang
dapat menimbulkan konstipasi. Berdasarkan penelitian, obat yang
menyebabkan konstipasi selain antiparkinson adalah golongan opioid,
calcium channel blocker, NSAID, cation-containing agent, beta-
adrenoceptor antagonists, diuretik, proton pump inhibitor (ppi) (Rebecca et
al., 2009). Terdapat empat obat terbanyak yang memiliki efek samping
konstipasi dan sering diresepkan kepada pasien yaitu CCBs, beta bloker
(bisoprolol, propanolol), proton pump inhibitor atau ppi (omeprazole,
lansoprazole), dan cation containing agent (sukralfate, ferrosulfate). Obat
yang mendominasi pada urutan pertama adalah golongan CCBs, menurut
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF... SRI PUJI PURWANTISKRIPSI
59
Drug-Induced Constipation (Rebecca et al., 2009) bahwa faktanya CCBs
(Calcium Channel Blockers) menyebabkan konstipasi dengan cara
mengurangi motilitas usus (kolon spesifik), yang pada akhirnya
meningkatkan waktu transfer kolon, sehingga meningkatkan absorpsi cairan
dikarenakan meningkatnya waktu kontak mukosa. Dalam penelitian ini
CCBs yang digunakan yaitu nifedipin dan amlodipin. Penyebab lain yang
tidak terlalu banyak yaitu kelainan struktur usus misalnya terjadi
pembengkakan usus yang disebabkan oleh kanker.
Terapi konstipasi yang umum digunakan pada pasien geriatri di
RSUD Dr. Soetomo adalah laksatif laktulosa, bisakodil, dan laxadin. Dari
data hasil penelitian, peresepan laksatif yang paling banyak didominasi oleh
laktulosa. Berdasarkan Impact Guidelines: Medical Management Of
Constipation In The Older Person (Gibson et al., 2010), laksatif osmotik
merupakan first line terapi, pada penelitian ini yang diresepkan adalah
laktulosa. Laktulosa menunjukkan bahwa lebih efektif daripada placebo
pada pasien usia lanjut. Sebuah penelitian menyebutkan laktulosa dan
sorbitol sama-sama menimbulkan keefektifan pada terapi konstipasi berat
pada pasien usia lanjut (Woodward et al., 2002). Frekuensi pemberian
laktulosa pada pasien di poli geriatri yaitu sehari satu kali dengan dosis
sekali minum satu sendok makan (15 ml), frekuensi lain yang diberikan
yaitu sehari dua kali dan tiga kali dengan sekali minum 15 ml (satu sendok
makan). Pemberian dosis tersebut telah sesuai dengan pustaka dari PDR
Pharmacopoeia: Pocket Dosing Guide (Montvale et al., 2004), disebutkan
bahwa laktulosa maksimal dalam sehari dikonsumsi 15 ml hingga 60 ml
dengan 10 g bahan aktif dalam 15 ml larutan. Inisial dosis untuk konstipasi
akut adalah sehari diberikan sekali 15 ml secara oral, terapi dilanjutkan
hingga fungsi usus kembali normal (drugs.com). Laktulosa dapat diberikan
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF... SRI PUJI PURWANTISKRIPSI
60
pada pasien yang menderita hepatik ensefalophati, namun inisial dosis pada
pasien dewasa adalah 30 ml diberikan tiga kali dalam sehari dengan rute
oral, serta maintenance dosisnya sebesar 30 hingga 45 ml diberikan tiga kali
dalam sehari secara oral (drugs.com). Kemungkinan efek samping yang
ditimbulkan oleh laktulosa yaitu ketidaknyamanan perut yang berujung
pada kramp atau flatulen. Mual muntah juga dapat terjadi namun hal ini
terjadi pada pemberian dosis tinggi. Penggunaan laktulosa terlalu lama
dapat menyebabkan diare disertai kehilangan cairan dan elektrolit, sebagian
potasium. Hipernatraemia juga pernah dilaporkan (Sweetman et al., 2009)
Laksatif kedua yang banyak diresepkan yaitu laxadine, berisi per 5
mL Phenolphthalein 55 mg, liquid paraffin 1200 mg, glycerin 378 mg
(MIMS.com). Phenolphthalein merupakan golongan stimulan dan iritan
dengan dosis tipikal over the counter dengan rute oral yaitu 30 mg hingga
200 mg untuk pasien dewasa (IARC 2000). Sehingga dapat ditarik
kesimpulan bahwa dosis phenolphthalein telah sesuai dengan pustaka
tersebut. Namun, di Amerika penggunaan phenolphthalein sudah tidak ada
sejak bahan aktif tersebut dimasukkan dalam daftar laporan bahan
karsinogen, ditambah lagi telah dilakukan identifikasi studi epidemiologi.
Namun disebutkan pada dua penelitian case control sederhana bahwa tidak
ditemukan hubungan statistik yang signifikan antara kanker epitel ovarium
dengan penggunaan phenolphthalein sebagai laksatif (Cooper et al. 2000,
2004).
Bahan kedua yang sebagai komposisi laxadine adalah parafin liquid,
dosis dewasa dimulai dengan dosis sebesar 40 ml hingga 50 ml dalam sehari
serta dapat ditingkatkan atau diturunkan dengan batasan paling besar 5 ml
hingga efek yang diinginkan tercapai (nps.org.au). Sedangkan dari pustaka
lain disebutkan bahwa dosis liquid paraffin dikombinasikan dengan
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF... SRI PUJI PURWANTISKRIPSI
61
phenolphtalein saja adalah sebesar 4,2 g dalam 15 ml larutan oral
(rxwiki.com). Dari data penelitian, komposisi parafin adalah 1200 mg (1,5
ml) dalam 5 ml larutan, berdasarkan pustaka rxwiki.com dalam 5 ml larutan
diperlukan liquid parafin sebesar 1,4 g (1400 mg) maka disimpulkan bahwa
dosis liquid parafin telah sesuai meskipun dosisnya hanya 1,2 g dikarenakan
kombinasi laksatif hasil penelitian adalah tiga bahan aktif sementara dari
pustaka hanya kombinasi dua bahan aktif dan tunggal.
Bahan ketiga adalah gliserin, dosis obat ini berdasarkan pada berat
badan dan ditentukan oleh dokter. Untuk pasien dewasa adalah 1 hingga 2
gram per kilogram berat badan apabila diminum sekali. Dosis gliserin sudah
sesuai dengan pustaka, dikarenakan laksatif yang diberikan adalah
peresepan dokter. Apabila dilihat dari komposisi gliserin pada laxadine,
maka dosis tersebut adalah underdose yaitu 378 mg, namun laxadine adalah
laksatif kombinasi dari tiga bahan aktif yang efeknya sama-sama sinergis
untuk melancarkan BAB jadi dosis tersebut tetap dikatakan efektif.
Laxadine tidak diperbolehkan digunakan dalam jangka lama karena dapat
menyebabkan iritasi, reaksi granulomatus yang disebabkan oleh absorpsi
parafin liquid (terutama dalam bentuk emulsi), lipoid pneumonia, dan
terganggunya penyerapan vitamin yang larut lemak (BNF 61). Berdasarkan
pustaka dari masing-masing bahan aktif telah sesuai dengan data pada
penelitian. Untuk frekuensi penggunaan dari laxadine pada peresepan
adalah dua kali dan tiga kali dalam sehari dengan dosis sekali minum 15 ml.
Data telah sesuai dengan pustaka MIMS yaitu 1-2 sdm (15-30 ml) 1x/hari.
Laksatif terakhir yang diresepkan pada pasien adalah golongan
laksatif stimulan yaitu bisakodil. Bisakodil dibagi kedalam dua rute
pemberian yaitu rute per oral dan rute per rektal. Penggunaan bisakodil per
oral lebih banyak dari pada per rektal. Frekuensi pemberian bisakodil per
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF... SRI PUJI PURWANTISKRIPSI
62
oral pada pasien yaitu meliputi satu kali sehari dalam sekali minum 5 mg
tablet, satu kali sehari dalam sekali minum dua tablet, tiga kali sehari dalam
sekali minum satu tablet, dan sehari satu kali dengan sekali minum empat
tablet. Disebutkan bahwa dosis bisakodil oral adalah 5 hingga 15 mg dalam
sehari (Montvale et al., 2004), maka hasil penelitian dan pustaka telah
sesuai. Untuk rute per rektal, frekuensi penggunaan bisakodil menurut
pustaka yaitu 10 mg pada pagi hari (BNF 61). Hal tersebut telah sesuai
dengan hasil penelitian yaitu bisakodil per rektal digunakan sehari satu
suppositoria dengan dosis 10 mg. Bisakodil dan laksatif stimulan lain
kemungkinan dapat menyebabkan ketidaknyamanan perut seperti kram atau
colic. Penggunaan jangka lama atau overdosis dapat menyebabkan diare dan
kehilangan cairan serta elektrolit, sebagian potasium juga ikut keluar, bisa
juga terjadi kemungkinan berkembang menjadi atonic non-functioning
colon. Ketika digunakan per rektal, bisakodil dapat menyebabkan iritasi
(Sweetman et al., 2009).
Berdasarkan Urganci et al., 2005 parafin liquid lebih dapat
ditoleransi daripada laksatif lainnya serta efek sampingnya ringan dan lebih
dapat diterima daripada efek samping dari laktulosa, akan tetapi komposisi
lain dalam laxadine seperti phenolphtalein dan gliserin juga perlu
dipertimbangkan, apalagi efek sampingnya. Maka selain laktulosa
merupakan first line konstipasi, pertimbangan lainnya tersebut menjadikan
laktulosa sebagai laksatif pilihan paling banyak untuk pasien usia lanjut di
poli geriatri. Terdapat sumber lainnya juga bahwa minyak mineral dapat
mengganggu penyerapan vitamin larut lemak serta beresiko menganggu
respirasi (Montvale et al., 2004). Kemungkinan bisakodil menjadi laksatif
yang paling rendah digunakan di poli geriatri adalah karena obat ini
merupakan obat lanjutan apabila konstipasi sudah tidak dapat lagi ditangani
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF... SRI PUJI PURWANTISKRIPSI
63
oleh golongan osmotik dan golongan softener stool. Terutama untuk rute
per rektal, merupakan pilihan lanjutan apabila rute per oral sudah tidak
dapat mengatasi konstipasi sehingga jumlahnya sangat sedikit diresepkan.
Pernyataan tersebut diperkuat oleh guideline yang memebahas tentang
konstipasi yaitu Algorithm For The Treatment Of Adult Patients With
Functional, Normal Transit Constipation (Locke et al., 2004).
Pada dasarnya algoritma terapi dibeberapa negara adalah sama,
diawali dengan pemeriksaan fisik apakah terjadi kelainan atau tidak.
Namun, di poli Geriatri RSUD Dr. Soetomo tidak dilakukan pengecekan
fisik dikarenakan hal tersebut tidak dimungkinkan dilakukan pada Instalasi
Rawat Jalan, sehingga pengambilan kesimpulan terhadap peresepan laksatif
didsarkan pada lamanya pasien menderita konstipasi. Dan apabila
konstipasi dapat diatasi dengan mengkonsumsi serat dan menambah cairan,
serta melakukan excercise apabila penyebab konstipasi disebabkan oleh
kurangnya gerakan. Maka terapi farmakologi tidak perlu dilakukan, melatih
kebiasaan berdefekasi secara teratur juga dapat membantu mengurangi
resiko konstipasi. Setelah terapi non farmakologi tidak dapat mengatasi
konstipasi, maka beralih pada pemberian laksatif pada beberapa jurnal yang
membahas konstipasi, menyebutkan bahwa bulk laksatif merupakan first
line untuk mengatasi konstipasi, seperti tertera pada Algorithm for the
management of chronic constipation in elderly persons (Bosshard et al.,
2004). Apabila tidak bisa diatasi maka beralih ke laksatif osmotik. Namun
ada juga yang memakai laksatif osmotik sebagai first line seperti Algorithm
for the treatment of adult patients with functional, normal transit
constipation (Locke et al., 2004). Hal tersebut didasarkan pada jenis
konstipasi yang diderita serta ketersediaan laksatif dan kebijakan yang ada
di negara masing-masing.
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF... SRI PUJI PURWANTISKRIPSI
64
Di poli geriatri penggunaan laktulosa adalah yang terbesar, dapat
ditarik kesimpulan bahwa laktulosa merupakan laksatif yang cocok untuk
pasien usia lanjut. Disebutkan pada suatu studi RCTs yang melibatkan
partisipan orang usia lanjut, menghasilkan bahwa terdapat keuntungan dari
laksatif osmotik seperti polietilen glikol dan laktulosa. Bukti menguatkan
golongan laksatif bulk, stool softener, stimulan dan agen prokinetik sangat
terbatas, kurang dan tidak konsisten (Gandell et al., 2013). Meskipun
laksatif merupakan obat yang dapat digunakan sendiri bahkan tanpa
peresepan dari dokter, namun apabila konstipasi yang dialami tidak
diperiksa dengan baik maka dapat terjadi kesalahan penggunaan obat. Efek
samping dari beberapa laksatif juga perlu diberitahukan oleh dokter ke
pasien agar tidak terjadi penggunaan laksatif dalam jangka panjang, karena
dapat menimbulkan penyakit baru atau bahkan konstipasinya tidak akan
sembuh karena terlalu tergantung dengan penggunaan lakstatif. Penggunaan
laksatif juga perlu diberitahukan secara jelas karena ada beberapa pasien
yang mendapatkan resep laksatif lebih dari satu, hal ini disebabkan karena
konstipasi yang diderita cukup lama. Dari data pasien yang mendapat terapi
laksatif kombinasi memiliki tujuan yaitu apabila pada malam hari
pemberian laksatif oral tidak menunjukkan kemajuan dalam berdefekasi,
maka laksatif dengan rute rektal dapat digunakan pada pagi harinya.
Beberapa laksatif juga dapat menimbulkan interaksi dengan obat lain
(DRPs). Parafin liquid dapat mengganggu penyerapan vitamin yang larut
lemak. Laktulosa dapat berinteraksi dengan furosemid, ondansentron
bahkan laksatif yang bergolongan sama seperti PEG. Sedangkan bisakodil
memiliki interaksi dengan beberapa obat yaitu furosemid, albuterol,
prednison, trazodone. Jadi dalam penelitian ini DRPs yang kemungkinan
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF... SRI PUJI PURWANTISKRIPSI
65
terjadi dapat berasal dari efek samping yang mungkin muncul serta interaksi
dengan obat lain.
Dalam penelitian terdapat satu pasien yang kemungkinan mengalami
interaksi obat yaitu laksatif laktulosa dengan diuretik furosemid. Suatu
pustaka menyatakan bahwa penggunaan furosemid bersamaan dengan obat
yang memiliki efek laksatif harus dikonsultasikan dahulu dengan dokter.
Mengkombinasikan obat ini, terutama dalam waktu lama, dapat
menyebabkan resiko dehidrasi dan abnormalitas elektrolit. Pada beberapa
kasus berat, dehidrasi dan abnormalitas elektrolit dapat berujung pada tidak
teraturnya ritmik jantung, seizures, dan permasalahan pada ginjal. Perlu
segera menghubungi dokter apabila paien mengalami kemungkinan gejala
seperti deplesi elektrolit dan cairan seperti pusing, mulut kering, rasa haus,
kelelahan, kramp otot, berkurangnya urin, dan detak jantung meningkat.
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF... SRI PUJI PURWANTISKRIPSI
66
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian tentang pola penggunaan laksatif pada
pasien lanjut usia di Instalasi Rawat Jalan Poli Geriatri RSUD Dr. Soetomo
Surabaya pada periode Mei 2015 hingga Desember 2015, dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut:
1. Laksatif yang digunakan pada poli geriatri adalah laktulosa, laxadine
dan bisakodil untuk pasien yang menderita konstipasi. Dengan frekuensi
dan dosis yang telah sesuai dengan pustaka terkait.
2. Drug Related Problem (DRP) yang potensial muncul pada pasien yang
mendapatkan resep laksatif yaitu interaksi laksatif laktulosa dengan
diuretik furosemid.
7.2 Saran
1. Perlu dicantumkan berapa lama pasien menderita konstipasi agar dapat
dipastikan pasien tersebut termasuk kedalam konstipasi berat atau
ringan, sehingga dapat diberikan terapi yang sesuai.
2. Perlu dilakukan monitoring terhadap pasien yang diresepkan laksatif
dikarenakan terdapat efek samping laksatif yang dapat membahayakan
pasien lanjut usia, seperti contohnya kehilangan cairan dan elektrolit
tubuh.
3. Perlu diperhatikan interaksi obat yang mungkin muncul pada terapi
laksatif kombinasi, terutama tentang cara penggunaannya kepada pasien.
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF... SRI PUJI PURWANTISKRIPSI
67
DAFTAR PUSTAKA
Bisoprolol. (2016, August). Dipetik August 06, 2016, dari drugs.com.
dosage/lactulose. (2016, August). Dipetik August 06, 2016, dari drugs.com.
Bosshard Wanda, R. D.-F. (2004). The Treatment of Chronic
Constipation in Elderly People
Brunton LL, Parker KL, Blumenthal DK, Buxton IL. Goodman &
Gilman’s manual of pharmacology and therapeutics. New York:
The McGraw-Hill Companies, Inc.; 2008.
Butt, R. L. (2009). Drug-induced constipation. Adverse drug reaction
bulletin
Camilleri M, Lee JS, Viramontes B, Bharucha AE, Tangalos EG. Insights
into the pathophysiology and mechanisms of constipation,
irritable bowel syndrome, and diverticulosis in older people. J
AmGeriatr Soc 2000; 48: 1142-1150
Camilleri M, Kerstens R, Rykx A, et al. A placebo-controlled trial of
prucalopride for severe chronic constipation. N Engl J Med.
2008;358(22):2344–2354.
Chalazonitis A, Pham TD, Rothman TP, et al. Neurotrophin-3 is required
for the survival-differentiation of subsets of develop- ing enteric
neurons. J Neurosci 2001 Aug 1; 21 (15): 5620-36
Chen, I.-C., Huang, H. J., Yang, S. F., Chen, C. C., Chou, Y. C., & Kuo, T.
M. (2014). Prevalence and Effectiveness of Laxative Use Among
Elderly Residents in a Regional Hospital Affiliated Nursing
Home in Hsinchu County.
Choung RS, Locke GR, Schleck CD, Zinsmeister AR, Talley NJ.
Cumulative incidence of chronic constipation: a population-
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF... SRI PUJI PURWANTISKRIPSI
68
based study 1988–2003. Aliment Pharmacol Ther. 2007;26(11–
12):1521–1528.
Cordoba J, Minguez B. Hepatic Encephalopathy. Semin Liver
Dis.2008;28(1):70-80.
Corazziari E, Badiali D, Bazzocchi G, et al. Long term efficacy safety,
and tolerability of low daily doses of isosmotic polyeth ylene
glycol electrolyte balanced solution (PMF-100) in the treatment
of functional chronic constipation. Gut 2000 Apr; 46 (4): 522-6
Cuppoletti J, Malinowska DH, Tewari KP, et al. SPI-0211 activates T84
cell chloride transport and recombinant human ClC-2 chloride
currents. Am J Physiol Cell Physiol. 2004;287(5):C1173–C1183.
Dipiro J dkk. 2009. Pharmacotherapy Handbook Seventh Edition. New
York. Mc Graw Hill Medical.
Donald IP, Smith RG, Cruikshank JG, Elton RA, Stoddart ME. A study of
constipation in the elderly living at home. Gerontology 1985; 31:
112-118
Engel AF, Kamm MA. The acute effect of straining on pelvic floor
neurological function. Int J Colorectal Dis 1994; 9: 8-12
Ferenci P, Lockwood A, Mullen K, Tarter R, Weissenborn K, Blei AT.
Hepaticencephalopathy—Definition, nomenclature, diagnosis,
and quantification:Final report of the Working Party at the 11th
World Congresses of Gastroenterology, Vienna, 1998.
Hepatology. 2002;35(3):716-21
Fosnes GS, Lydersen S, Farup PG. Constipation and diarrhoea –common
adverse drug reactions? A cross sectional study in the general
population. BMC Clin Pharmacol 2011;11:2.
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF... SRI PUJI PURWANTISKRIPSI
69
Francis CY, Whorwell PJ. Bran and irritable bowel syndrome: time for
reappraisal. Lancet 1994 Jul 2; 344 (8914): 39-40
Frederick RT. Current concepts in the pathophysiology and
managementof hepatic encephalopathy. Gastroenterol Hepatol.
2011;7(4):222-33.
Gandell Dov MDCM, S. E. (2013). Treatment of constipation in older
people.
Golzarian J, Scott Jr HW, Richards WO. Hypermagnesemia-induced
paralytic ileus. Dig Dis Sci 1994 May; 39 (5): 1138-42
Gonenne J, Camilleri M, Ferber I, et al. Effect of alvimopan and codeine
on gastrointestinal transit: A randomized controlled study.
ClinGastroenterol Hepatol. 2005;3(8):784–791.
Harari D, Gurwitz JH, Avorn J, Bohn R, Minaker KL. How do older
persons define constipation? Implications for therapeutic
management. J Gen Intern Med 1997; 12: 63-66
Hartmann IJ, Groeneweg M, Quero JC, Beijeman SJ, de Man RA, Hop WC,
etal. The prognostic significance of subclinical hepatic
encephalopathy. Am JGastroenterol. 2000;95(8):2029-34.
HSIEH CHRISTINE, M. T. (2005). Treatment of Constipation in Older
Adults.
Higgins PD, Johanson JF. Epidemiology of constipation in North
America: a systematic review. Am J Gastroenterol.
2004;99(4):750–759
Ian Penman, J. H. (July 2014). Symptomatic Treatment of Pain Post-
Endoscopic Radiofrequency Ablation (RFA) for Pre-Cancerous
Barretts Oesophagus. NHS
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF... SRI PUJI PURWANTISKRIPSI
70
Interaction between lactulose-bisakodil. (2016, August). Dipetik August
06, 2016, dari drugs.com.
Interaction between lactulose-bisakodil. (2016, August). Dipetik August
06, 2016, dari drugs.com
Johanson JF, Morton D, Geenen J, et al. Multicenter, 4-week,
doubleblind, randomized, placebo-controlled trial of
lubiprostone, a locallyacting type-2 chloride channel activator, in
patients with chronic constipation. Am J Gastroenterol.
2008;103(1):170–177
Kane, R. L., Ouslander, J. G., & Abrass, I. B. (2004). Essentials of Clinical
Geriatrics, 5th Edition. Dalam R. L. Kane, J. G. Ouslander, & I. B.
Abrass, Essentials of Clinical Geriatrics, 5th Edition (hal. 13-14).
McGraw-Hill.
Kasareni J, Hayes M. 2014. Stroke and Constipation. USA. Creative
Common Attribution International License.
Kinnunen O, Salokannel J. Comparison of the effects of magne- sium
hydroxide and a bulk laxative on lipids, carbohydrates, vitamins
A and E, and minerals in geriatric hospital patients in constithe
treatment of constipation. J Int Med Res 1989 Sep; 17 (5): 442-54.
Koch T, Hudson S. Older people and laxative use: literature review and
pilot study report. J Clin Nurs 2000; 9: 516-525
Laurberg S, Swash M. Effects of aging on the anorectal sphincters and
their innervation. Dis Colon Rectum 1989; 32: 737-742
Lembo A, Camilleri M. Chronic constipation. N Engl J Med 2003 Oct 2;
349 (14): 1360-8
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF... SRI PUJI PURWANTISKRIPSI
71
Lembo AJ, Kurtz CB, Macdougall JE, et al. Linaclotide is effective for
patients with chronic constipation. Gastroenterology.
2010;138:886–895.
Lim S, Child C. 2012. A Systematic Review of The Effectiveness of
Bowel Management Strategies for Constipation in Adult with
Stroke. Singapura. International Journal of Nursing Studies
Lindsay G. McCrea, P. C. (2009). A Review of the Literature on Gender
and Age Differences in the Prevalence and Characteristics of
Constipation in North America.
Longstreth GF. Functional bowel disorders: functional constipation. In:
Drossman DA, editor. The Functional Gastrointestinal Disorders.
3rd ed. Lawrence, KS: Allen Press; 2006:515–523.
Longstreth GF, Thompson WG, Chey WD, Houghton LA, Mearin F,Spiller
RC. Functional bowel disorders. Gastroenterology 2006;130:1480-
91.
Luca G, Domenico P, Cterina P, Giovambattista D. 2012. Constipation-
Cause, Diagnosis and Treatment. Europe. Intech.
McH ugh SM, Diamant NE. Effect of age, gender, and parity on anal
canal pressures. Contribution of impaired anal sphincter function to
fecal incontinence. Dig Dis Sci 1987; 32: 726-736
Mullen KD. The Treatment of Patients With Hepatic
Encephalopathy:Review of the Latest Data from EASL 2010.
Gastroenterol Hepatol. s2010;6(7):1-16.
Nascimbeni R, Donato F, Ghirardi M, et al. Constipation, an- thranoid
laxatives, melanosis coli, and colon cancer: a risk assessment
using aberrant crypt foci. Cancer Epidemiol Bitime omarkers
Prev 2002 Aug; 11 (8): 753-7
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF... SRI PUJI PURWANTISKRIPSI
72
Narinder Kaur Multani, S. K. (2007). Principles of Geriatric
Physiotherapy. Delhi: Delhi jurisdiction .
NHS Center for Reviews and Dissemination. Effectiveness of laxatives in
adults. Eff Health Care 2001 Sep; 7 (1): 1-12
Nusko G, Schneider B, Schneider I, et al. Anthranoid laxative use is not a
risk factor for colorectal neoplasia: results of a prospective case
control study. Gut 2000 May; 46 (5): 651-5
Parkman HP, Rao SS, Reynolds JC, et al. Neurotrophin-3 improves
functional constipation. Am J Gastroenterol 2003 Jun; 98 (6):
1338-47
Passmore AP, Wilson-Davies K, Stoker C, et al. Chronic consti- pation in
long stay elderly patients: a comparison of lactulose and a senna-
fibre combination. BMJ 1993 Sep 25; 307 (6907): 769-71
Paulson DM, Kennedy DT, Donovick RA, et al. Alvimopan: An oral,
peripherally acting, mu-opioid receptor antagonist for the
treatment ofopioid-induced bowel dysfunction – a 21-day
treatment-randomized clinical trial. J Pain. 2005;6(3):184–192.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia.Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 79 Tahun 2014 Tentang
Penyelenggaraan Pelayanan Geriatri Di Rumah Sakit. 2014.
Jakarta
NAFIYE URGANCI, B. A. (2005). A comparative study: The efficacy of
liquid paraffin and lactulose in management of chronic
functional constipation. Pediatrics International , 14-19.
Narinder Kaur Multani, S. K. (2007). Principles of Geriatric
Physiotherapy. Delhi: Delhi jurisdiction
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF... SRI PUJI PURWANTISKRIPSI
73
National Toxicology Program, D. o. (t.thn.). Report on Carcinogens,
Thirteenth Edition
Penman Dr Ian, J. H. (July 2014). Symptomatic Treatment of Pain Post-
Endoscopic Radiofrequency Ablation (RFA) for Pre-Cancerous
Barretts Oesophagus. NHS
Peppas George , V. G. (2008). Epidemiology of constipation in Europe
and Oceania: a systematic review. Biomed Central
Pfeiffer, R. F. (2011). Gastrointestinal dysfunction in Parkinson’s
disease. Sciendirect .
Preston DM, Lennard-Jones JE. Severe chronic constipation ofyoung
women: ‘Idiopathic slow transit constipation’.Gut 1986;27:41-8
Ratnaike Ranjit N, A. G. (2010). Drug-Associated Diarrhoea and
Constipation in Older People
Rao SS. Constipation: Evaluation and treatment of colonic and anorectal
motility disorders. Gastroenterol Clin North Am.
2007;36(3):687,711, x.
Rao SSC, Paulson J, Donahoe R, et al. Investigation of dried plums in
constipation – a randomized controlled trial. AM J Gastroenterol.
2009; 104:S496.
Roarty TP, Weber F, Soykan I, et al. Misoprostol in the treat-ment of
chronic refractory constipation: results of a long-termopen label
trial. Aliment Pharmacol Ther 1997 Dec; 11 (6): 1059-66
Riggio O, Ridola L, Pasquale C. Hepatic encephalopathy therapy: An
overview.World J Gastrointest Pharmacol Ther. 2010;1(2):54-63.
Schwinghammer Terry, Dipiro J dkk. 2009. Pharmacotherapy Handbook
Seventh Edition. New York. Mc Graw Hill Medical
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF... SRI PUJI PURWANTISKRIPSI
74
SC, R. S. (2010). Update on the management of constipation in the
elderly: new treatment options
Storr M, Allescher HD. [Motility-modifying drugs]. Internist (Berl)
2000;41:1318-24, 26-30. 31.
Suzanne M. Mugie a, b. M. (2011). Epidemiology of constipation in
children and adults: A systematic review. Sciendirect , 3-8
Talley NJ, O'Keefe EA, Zinsmeister AR, Melton LJ 3rd. Prevalence of
gastrointestinal symptoms in the elderly: a population-based
study. Gastroenterology 1992; 102: 895-901
Tramonte SM, Brand MB, Mulrow CD, et al. The treatment of chronic
constipation in adults: a systematic review. J Gen Intern Med
1997 Jan; 12 (1): 15-24
Truven Health Analytics Inc. (2016, January 01). Dipetik March 13, 2016,
dari Truven Health Analytics Inc: www.mayoclinic.org
Tucker DM, Sandstead HH, Logan GM Jr, et al. Dietary fiber and
personality factors as determinants of stool output.
Gastroenterology. 1981;81(5):879–883.
Vasanwala FF. Management of chronic constipation in the elderly. SFP.
2009; 35(3): 84-92.
Voderholzer WA, Schatke W, Muhldorfer BE, et al. Clinical response to
dietary fiber treatment of chronic constipation. Am J
Gastroenterol.1997;92(1):95–98.
Wald A. Is chronic use of stimulant laxatives harmful to the colon? J
Clin Gastroenterol 2003 May; 36 (5): 386-9
Wald A, Scarpignato C, Mueller-Lissner S, et al. A multinational survey
of prevalence and patterns of laxative use among adults with
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF... SRI PUJI PURWANTISKRIPSI
75
self-defined constipation. Aliment Pharmacol Ther.
2008;28(7):917–930
Winge K, Rasmussen, Werdelin L. 2003. Constipation in Neurogical
Diseases. Denmark. J Neurol Neurosurg Psychiatry
Woodward, M. C. (2002). Constipation in Older People Pharmacological
Management Issues
Zhan T, Stremmel W. The diagnosis and treatment of minimal hepatic
encephalopathy.Dtsch Arztebl Int. 2012;109(10):180-7
Zubir N. Koma hepatik. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
SimadibrataM, Setiati S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Edisi Kelima. Jakarta:Pusat Penerbit Departemen Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas KedokteranUniversitas Indonesia, 2009
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF... SRI PUJI PURWANTISKRIPSI
76
LAMPIRAN 1
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF... SRI PUJI PURWANTISKRIPSI
77
LAMPIRAN 2 LEMBAR PENGUMPUL DATA
NO DMK DATA DEMOGRAFI KETERANGAN Inisial Pasien:
Umur/BB/Tinggi: Jenis Kelamin: MRS: Diagnosa: Penyakit Penyerta: Riwayat Alergi: Riwayat Obat: Status Pembiayaan: Status Fisik:
Drug Related Problem
PROFIL PENGGUNAAN OBAT Jenis Obat Dosis Rute
Pemakaian Frekuensi Pemberian
Indikasi Obat
Waktu Pemberian (Tanggal)
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF... SRI PUJI PURWANTISKRIPSI
78
LAMPIRAN 3 TABEL INDUK HASIL PENELITIAN
No Identitas Pasien Subjektif,Tanda Vital, Objektif, Diagnosis Tanggal
Terapi laksan Terapi lainnya
Laksatif Frekuensi 1
Inisial: Shn No.RM: 0010xxxx Umur: 79 th Jenis kelamin: Laki-laki
Subjektif: - Tanda vital: Tekanan darah: 130/80 mmHg, kesadaran (GCS): 15, tinggi: 164cm, berat: 79 kg, luas permukaan tubuh: 1.90m2 Objektif: - Diagnosis utama: Essential (primary) hypertension Diagnosis sekunder: Constipation
05/05/2015
Laxadine 60 ml syr (oral)
1x1
Adalat Oros 30 mg tab, candesartan 8 mg tab, folic acid 1 mg tab, vit b1 50 mg tab, vit b6 10 mg tab, vit b12 50 mcg tab
Subjektif: - Tanda vital: Tekanan darah: 110/70 mmHg, kesadaran (GCS): 15, tinggi: 164cm, berat: 97 kg, luas permukaan tubuh: 2.10m2 Objektif: - Diagnosis utama: Constitutional aplastic anemia
04/06/2015
Laktulosa syr (oral)
1x2
Nifedipin tab SR 30 mg, vit b complex tab, asam folat tab 1 mg, kandesartan tab 8 mg
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF... SRI PUJI PURWANTISKRIPSI
79
No Identitas Pasien Subjektif,Tanda Vital, Objektif, Diagnosis Tanggal
Terapi laksan Terapi lainnya
Laksatif Frekuensi Diagnosis sekunder:
Essential (primary) hypertension
Subjektif: - Tanda vital: Tinggi: 164 cm, berat: 79 kg, luas permukaan tubuh: 1.90 m2, Tekanan darah: 140/80 mmHg Kesadaran (GCS): 15 Objektif: 06/07/2015 Diagnosis utama: essential (primary) hypertension
06/07/2015 Laktulosa gen 60 ml (oral)
1x2 Adalat oros 30 mg tab, folic acid 1 mg tab, Vit B1 50 mg tab, Vit B6 10 mg, Vit B12 50 mcg, candesartan 16 mg tab
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF... SRI PUJI PURWANTISKRIPSI