sketsa konsep literasi modern dalam bidang bahasa

12
27 SKETSA KONSEP LITERASI MODERN DALAM BIDANG BAHASA Florianus Dus Arifian Prodi PGSD STKIP Santu Paulus, Jl. Jend. Ahmad Yani, No. 10, Ruteng-Flores 86508 e-mail: arifianfl[email protected] Abstract: Sketches of Modern Literacy Concepts in Language. The meaning of literacy evolves over time despite the key essence in the evolution. In addition, literacy spread to various areas of life so that the meaning needs to be excavated based on the characteristics of the fields it enters. The aims of this paper was to explains the sketches of the modern literacy concept in language field. To achieve these objectives, the authors conducted literature study using reading and record techniques. The views of various literatur are compiled critically by the author. The results of the study show that modern literacy in the language field means being able to link text and the kontex and perform a critical reflection on that relationship. Keywords: literacy, language, text, kontex, critical Abstrak: Sketsa Konsep Literasi Modern dalam Bidang Bahasa. Pengertian literasi ber-evolusi sepanjang waktu walaupun tetap ada esensi kunci di tengah evolusi tersebut. Selain itu, litersi menjalar ke berbagai bidang kehidupan sehingga maknanya perlu digali berdasarkan karakteristik bidang yang dimasukinya. Tulisan ini bertujuan menggali gambaran konsep literasi modern dalam bidang bahasa. Untuk mencapai tujuan tersebut, penulis melakukan studi pustaka dengan menggunakan teknik baca dan catat. Pandangan dari berbagai bahan pustaka tersebut dikompilasi secara kritis oleh penulis. Hasil studi menunjukkan bahwa literasi modern dalam bidang bahasa berarti mampu menghubungkan teks dan koteks dan melakukan refleksi kritis atas hubungan itu. Kata Kunci: literasi, bahasa, teks, konteks, kritis PENDAHULUAN Belakangan ini konsep literasi mencuat dalam berbagai bidang. Bahkan, konsep itu menjadi barometer mutu pendidikan level mondial. Maka dari itu, tak jarang juga konsep tersebut menjadi titik tolak dan kerangka acuan strategi pembangunan pendidikan. Berbagai studi tentang kualitas pendidikan dari berbagai lembaga saat ini, semisal PIRLS (Progress in International Reading Literacy Study) dan PISA (Programme for International Student Assessment), menerapkan konsep literasi sebagai patokan mutu. Konon dari beberapa kali penelitian lembaga-lembaga tersebut terungkap bahwa mutu pendidikan Indonesia selalu pada posisi buntut. Salah satu penyebabnya adalah belum dirangkulnya konsep literasi modern dalam kurikulum pendidikan nasional Indonesia. Konsep literasi modern baru mulai diperhitungkan dengan serius dalam Kurikulum 2013 saat ini. Selain muncul dalam aneka bidang, konsep literasi mengalami evolusi makna dari waktu ke waktu seiring dengan perkembangan peradaban manusia. Oleh karena ber-evolusi, apa yang dilihat sebagai literasi pada masa lampau bisa jadi kurang relevan pada masa kini atau apa yang dipahami sebagai kemampuan literasi pada zaman dahulu bisa jadi dinilai tidak cukup pada zaman sekarang. Uraian di atas menegaskan dua hal berikut ini. Pertama, konsep literasi sudah patut dan layak didiskusikan karena telah merasuki berbagai bidang kehidupan dan menjadi pertimbangan pokok dalam menakar mutu dan merumuskan strategi pembangunan pendidikan. Kedua, sudah saatnya pula bahwa pemahaman atas konsep literasi terus diperbarui sebab konsep tersebut bersifat dinamis. Kedua poin ini penting dihayati terutama oleh pihak-pihak yang berkecimpung di bidang pendidikan.

Upload: others

Post on 03-Oct-2021

4 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: SKETSA KONSEP LITERASI MODERN DALAM BIDANG BAHASA

27

SKETSA KONSEP LITERASI MODERN DALAM BIDANG BAHASA

Florianus Dus ArifianProdi PGSD STKIP Santu Paulus, Jl. Jend. Ahmad Yani, No. 10, Ruteng-Flores 86508

e-mail: [email protected]

Abstract: Sketches of Modern Literacy Concepts in Language. The meaning of literacy evolves over time despite the key essence in the evolution. In addition, literacy spread to various areas of life so that the meaning needs to be excavated based on the characteristics of the fields it enters. The aims of this paper was to explains the sketches of the modern literacy concept in language field. To achieve these objectives, the authors conducted literature study using reading and record techniques. The views of various literatur are compiled critically by the author. The results of the study show that modern literacy in the language field means being able to link text and the kontex and perform a critical reflection on that relationship.

Keywords: literacy, language, text, kontex, critical

Abstrak: Sketsa Konsep Literasi Modern dalam Bidang Bahasa. Pengertian literasi ber-evolusi sepanjang waktu walaupun tetap ada esensi kunci di tengah evolusi tersebut. Selain itu, litersi menjalar ke berbagai bidang kehidupan sehingga maknanya perlu digali berdasarkan karakteristik bidang yang dimasukinya. Tulisan ini bertujuan menggali gambaran konsep literasi modern dalam bidang bahasa. Untuk mencapai tujuan tersebut, penulis melakukan studi pustaka dengan menggunakan teknik baca dan catat. Pandangan dari berbagai bahan pustaka tersebut dikompilasi secara kritis oleh penulis. Hasil studi menunjukkan bahwa literasi modern dalam bidang bahasa berarti mampu menghubungkan teks dan koteks dan melakukan refleksi kritis atas hubungan itu.

Kata Kunci: literasi, bahasa, teks, konteks, kritis

PENDAHULUAN

Belakangan ini konsep literasi mencuat dalam berbagai bidang. Bahkan, konsep itu menjadi barometer mutu pendidikan level mondial. Maka dari itu, tak jarang juga konsep tersebut menjadi titik tolak dan kerangka acuan strategi pembangunan pendidikan. Berbagai studi tentang kualitas pendidikan dari berbagai lembaga saat ini, semisal PIRLS (Progress in International Reading Literacy Study) dan PISA (Programme for International Student Assessment), menerapkan konsep literasi sebagai patokan mutu. Konon dari beberapa kali penelitian lembaga-lembaga tersebut terungkap bahwa mutu pendidikan Indonesia selalu pada posisi buntut. Salah satu penyebabnya adalah belum dirangkulnya konsep literasi modern dalam kurikulum pendidikan nasional Indonesia. Konsep literasi modern baru mulai diperhitungkan dengan serius dalam Kurikulum 2013 saat ini.

Selain muncul dalam aneka bidang, konsep literasi mengalami evolusi makna dari waktu ke waktu seiring dengan perkembangan peradaban manusia. Oleh karena ber-evolusi, apa yang dilihat sebagai literasi pada masa lampau bisa jadi kurang relevan pada masa kini atau apa yang dipahami sebagai kemampuan literasi pada zaman dahulu bisa jadi dinilai tidak cukup pada zaman sekarang.

Uraian di atas menegaskan dua hal berikut ini. Pertama, konsep literasi sudah patut dan layak didiskusikan karena telah merasuki berbagai bidang kehidupan dan menjadi pertimbangan pokok dalam menakar mutu dan merumuskan strategi pembangunan pendidikan. Kedua, sudah saatnya pula bahwa pemahaman atas konsep literasi terus diperbarui sebab konsep tersebut bersifat dinamis. Kedua poin ini penting dihayati terutama oleh pihak-pihak yang berkecimpung di bidang pendidikan.

Page 2: SKETSA KONSEP LITERASI MODERN DALAM BIDANG BAHASA

28 Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Missio, Volume 10, Nomor 1, Januari 2018, hlm. 1-136

Tulisan ini merupakan salah satu ikhtiar untuk mendiskusikan konsep literasi. Tulisan ini juga menjadi salah satu upaya untuk memperbarui pemahaman atas konsep literasi sehingga berdasarkan pemahaman tersebut praktik pendidikan secara umum dan pembelajaran secara khusus dapat diperbarui pula. Namun, konsep literasi yang dikaji dalam tulisan ini dibatasi dalam bidang bahasa. Secara teknis, tulisan ini dibagi atas pendahuluan, pengertian konsep literasi, tantangan yang mengubah literasi, literasi modern bidang bahasa, dan penutup.

PENGERTIAN KONSEP LITERASI Pengertian konsep literasi telah diuraikan

dalam banyak sumber dengan sudut pandang masing-masing. Namun, sebagai patokan pemahaman dalam tulisan ini disadur pengertian literasi dari tulisan Arifian (2016: 234-235) dengan mempertimbangkan pandangan dari sumber lain seperti tampak dalam uraian berikut ini.

Mula-mula konsep literasi dipahami secara terbatas sebagai kemampuan memahami simbol-simbol bahasa secara tertulis (Abidin, 2014: 181). Oleh karena itu, dikatakan bahwa kemampuan literasi merupakan kemampuan membaca dan menulis atau kemampuan mamahami dan menggunakan huruf/aksara. Hal ini senada dengan pendapat Barton (Nurgiyantoro, 2010: 120) bahwa kemampuan literasi berarti being able to read and write. Dari pengertian ini tampak bahwa pada awal mula literasi menjadi garapan ekslusif bidang bahasa. Namun, pandangan tersebut tidak mutlak benar sebab sesuatu yang berwujud simbolis melalui tulisan bukan hanya huruf melainkan juga angka. Jika alasan ini diterima, literasi berarti sesuatu yang berhubungan dengan huruf dan angka. Dengan demikian kemampuan literasi berarti kemampuan membaca, menulis, dan berhitung.

Menurut Kern (Hayat & Yusuf, 2010: 25), pengertian awal di atas bersifat tradisional sebab relevan dengan zaman lampau yang di dalamnya manusia melihat kemampuan membaca dan menulis melalui pengenalan huruf sebagai kompetensi utama. Kompetensi ini kemudian dikenal dengan 2R (Reading dan wRiting). Sejalan dengan paradigma ini, di bidang matematika pada zaman lampau diutamakan kemampuan mengoperasi

bilangan sehingga dikenal satu kompetensi lagi, yakni berhitung (aRithmetic). Dengan demikian, pada masa lampau kemampuan literasi berpautan dengan 3R (Reading, wRiting, dan aRithmetic). Dalam bahasa Indonesia 3R ini dikenal dengan akronim calistung: membaca, menulis, dan berhitung.

Dalam perkembangan selanjutnya, konsep literasi mengalami perluasan makna. Perluasan pertama terjadi di dalam bidang bahasa yang dipicu dengan munculnya wacana sebagai segmen bahasa terlengkap dan terluas setelah huruf, kata, kalimat, dan paragraf (Abidin, 2014: 181). Ketika wacana muncul, kemampuan literasi tidak hanya berarti melek huruf/kata/kalimat/paragraf, tetapi juga melek wacana.

Pengertian wacana kemudian meluas dari semula sebagai satuan bahasa terlengkap dan terluas ke segala sesuatu yang menjadi pokok pembahasan. Perluasan ini berhadapan dengan konsekuensi bahwa wacana tidak hanya menjadi milik eksklusif bidang bahasa. Wacana juga menjadi milik universal berbagai disiplin ilmu. Pada titik inilah istilah literasi mulai ditafsir dalam aneka bidang. Untuk mengacu kepekaan terhadap budaya, misalnya, dikenal literasi budaya (Ghazali, 2010: 228). Untuk mengacu kemampuan mengkritisi informasi di internet, misal yang lainnya, muncul literasi internet (Kompas, 27 Agustus 2015). Sementara itu, semakin populer pula penggunaan istilah literasi agama, literasi politik, literasi hukum, dan sebagainya. Dalam bidang pendidikan, muncul istilah literasi sains, literasi matematika, dan sebagainya. Namun, patut dicermati bahwa walaupun ditafsir dalam multibidang, dasar literasi bahasa tetap melekat pada setiap tafsiran tersebut. Hal inilah yang juga dapat menjelaskan dasar penempatan literasi bahasa lewat kegiatan membaca dan menulis sebagai lokomotif penarik pembelajaran bidang lain dalam perspektif Kurikulum 2013.

Pembahasan di atas lebih menginformasikan perubahan konteks penggunaan istilah literasi, yakni dari semula pada bidang bahasa sampai pada berbagai bidang dewasa ini. Akan tetapi, satu pertanyaan mahapenting adalah apakah esensi terdalam dari konsep literasi di tengah perubahannya? Uraian berikut ini memaparkan

Page 3: SKETSA KONSEP LITERASI MODERN DALAM BIDANG BAHASA

29Arifian, Sketsa Konsep Literasi Modern Dalam Bidang Bahasa

esensi konsep literasi di tengah perubahan tersebut. Secara hakiki, kemampuan literasi pertama-

tama adalah ihwal kemampuan membaca, menulis, dan berhitung (calistung) atau kemampuan pada 3R (Reading, wRiting, dan aRithmetic). Hal ini telah disinggung dalam uraian pada bagian ini. Esensi literasi yang terpaut pada calistung memang bersifat tradisional dan lebih relevan untuk zaman lampau. Akan tetapi, ketiga kemampuan inti tersebut tetap menjadi dasar untuk mencapai kemampuan literasi yang selaras dengan dewasa ini.

Secara hakiki pula kemampuan literasi adalah ihwal kemampuan pada R yang ke-4, yakni kemampuan Reasoning (Hayat & Yusuf, 2010: 28). Kemampuan reasoning secara sederhana berarti kemampuan menggunakan akal atau daya pikir, kemampuan mempertimbangkan atau menghadapi sesuatu dengan kekuatan pengolahan pikiran secara matang. Dengan adanya unsur reasoning ini, seorang yang belajar IPA, misalnya, selain harus memiliki wawasan koseptual IPA, juga harus menyelidiki dan mengaplikasikan pengetahuan IPA dalam berbagai konteks secara luas; seseorang yang belajar matematika, selain mampu berhitung, juga mematematikakan permasalahan umum ke dalam gagasan matematika dan memecahkan permasalahan itu dengan konsep matematika pula.

Kemampuan reasoning atau bernalar merupakan esensi penting dari konsep literasi pada zaman ini, selain kompetensi 3R sebelumnya. Jadi, dalam konteks kekinian literasi terpaut dengan kemampuan pada 4R: Reading, wRiting, aRithmetic, dan Reasoning. Dengan dasar seperti ini, secara luas literasi berarti pengetahuan dan keterampilan untuk tidak hanya dapat ber-calistung, tetapi juga memberdayakan diri dalam peradaban modern dengan menggunakan pengetahuan dan keterampilan yang telah dimiliki terutama dengan pengetahuan dan keterampilan calistung itu. Pada tataran contoh konkret, dalam perspektif literasi yang luas seseorang tidak hanya belajar membaca, tetapi juga membaca untuk belajar; tidak hanya bisa membaca, tetapi juga mencintai kegiatan membaca.

Pengertian literasi secara luas di atas dalam pandangan Abidin (2014: 181) diformulasikan sebagai “alat yang dapat diguankan untuk beroleh dan mengomunikasikan informasi”. Alat dalam

konteks ini tentu tidak mengarah ke benda yang dipakai untuk mendapatkan dan menyebarkan informasi seperti laptop dan HP, tetapi mengacu pada berbagai kemampuan dan strategi seseorang untuk memperoleh, mengolah, memakai, dan mengomunikasikan pengetahuan dan keterampilan demi pemberdayaan diri. Dengan perkataan lain, literasi adalah kemampuan yang memungkinkan seseorang mengakses, memproses, dan mengomunikasikan pengetahuan dan keterampilan sekaligus membina dan memperkaya jiwa dan semangat belajar (Abidin, 2014: 186).

Beberapa kesimpulan dari uraian di atas adalah sebagai berikut. Pertama, istilah literasi memiliki konteks/bidang penggunaan. Kedua, konteks/bidang penggunaan istilah literasi berkembang dari waktu ke waktu. Ketiga, istilah literasi mula-mula digunakan dalam bidang bahasa kemudian menjalar ke berbagai bidang. Keempat, esensi literasi mula-mula adalah kemampuan calistung kemudian meluas dan menggapai kemampuan bernalar. Kelima, dalam arti terbaru literasi adalah kemampuan memperoleh, mengolah, memakai, dan mengomunikasikan pengetahuan dan keterampilan demi pengembangan/pemberdayaan diri dalam peradaban modern. Hal ini berarti bahwa dalam literasi modern seseorang tidak sekadar bisa ber-calistung, tetapi menggunakan kemampuan calistung itu untuk menguasai dan bertindak etis atas diri sendiri dan lingkungan sekitar.

TANTANGAN YANG MENGUBAH LITERASI

Pada uraian sebelumnya ditegaskan bahwa konsep literasi senantiasa ber-evolusi sebagai respon atas perkembangan peradaban manusia. Jadi, tantangan kehidupan manusia mengubah konsep literasi. Sehubungan dengan hal ini, wajah literasi modern terbentuk karena tantangan kehidupan abad modern.

Menurut Morocco (Abidin, 2014: 184), tantangan kehidupan modern yang memicu dan memacu perubahan konsep literasi terkristalisasi dalam tantangan pembentukan empat kelompok kompetensi, yakni (1) pemahaman konseptual (conceptual understanding), (2) berpikir kritis (critical thinking), (3) berpikir kreatif (creative thinking), dan (4) berkolaborasi dan berkomunikasi

Page 4: SKETSA KONSEP LITERASI MODERN DALAM BIDANG BAHASA

30 Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Missio, Volume 10, Nomor 1, Januari 2018, hlm. 1-136

(collaboration and communication). Kelompok kompetensi poin (1) bertalian dengan kemampuan seseorang untuk memiliki pemahaman yang dalam, tajam, luas, dan bervariasi tentang berbagai bidang ilmu apalagi bidang ilmu yang digelutinya secara spesifik. Oleh karena itu, diperlukan berbagai upaya yang mendukung terbentukanya wawasan keilmuan pada manusia abad modern. Kelompok kompetensi poin (2) berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk mendayagunakan kekuatan nalar guna menimbang berbagai situasi sehingga mampu menempatkan diri secara tepat dan mengubah situasi itu menjadi hal yang menguntungkan. Kelompok kompetensi poin (3) bertalian dengan kemampuan produktif seseorang dalam hal gagasan dan karya inovatif. Hal ini dapat menggaransi kehidupan yang layak pada abad modern. Adapun kelompok kompetensi poin (4) berpautan dengan kemampuan seseorang untuk bersinergi dan berinteraksi dengan orang lain. Dengan begitu seseorang mampu menunjukkan eksistensinya dengan membagikan wawasan konseptual, pikiran kritis plus kreatif, dan karya yang dimilikinya kepada sesama.

Dari paparan di atas disimpulkan bahwa kompetensi pemahaman konseptual, berpikir kritis, berpikir kreatif, dan berkolaborasi serta berkomunikasi menjadi tantangan abad modern yang mengubah konsep literasi. Untuk menghadapi tantangan semacam ini tentu tidak cukup dengan memiliki kemampuan literasi sebatas bisa ber-calistung. Sesungguhnya tantangan kompetensi semacam itu bisa dihadapi jika seseorang juga dapat menggunakan calistung sebagai senjata untuk memberdayakan diri sendiri dan orang lain.

LITERASI MODERN BIDANG BAHASA

Pengertian Literasi BahasaSejalan dengan makna luas konsep literasi,

menurut Kern (Hayat & Yusuf, 2010: 31) literasi bahasa tidak sekadar berarti mampu membaca dan menulis huruf atau kata atau yang sejenisnya, tetapi terutama mampu menghubungkan teks dan konteks serta mampu melakukan refleksi kritis atas hubungan itu baik dalam kegiatan menyimak, berbicara, membaca, maupun menulis.

Jika dicermati kembali, salah satu esensi pandangan Kern di atas adalah literasi bahasa berarti

mampu menghubungkan teks dan konteks. Apakah yang dimaksudkan dengan konteks? Menurut KBBI (2011: 728), konteks berarti bagian suatu uraian atau kalimat yang dapat mendukung atau menambah kejelasan makna. Selain itu, konteks berarti situasi yang ada hubungannya dengan suatu kejadian. Ditegaskan pula di dalam kamus tersebut beberapa istilah berikut: (1) konteks budaya, (2) konteks semotaktis, (3) konteks sintaktis, dan (4) konteks situasi.

Konteks budaya berarti keseluruhan budaya atau situasi nonlinguistis tempat sebuah komunikasi terjadi. Contohnya adalah penggunaan kata meka ‘tamu’ dalam budaya Manggarai untuk mengacu kodé ‘kera’ pada musim jagung muda, melalui pengacuan secara tak langsung itu diyakini serangan kera terhadap tanaman jagung berkurang. Konteks semotaktis adalah lingkungan semantik yang ada di sekitar suatu unsur bahasa atau makna unsur bahasa. Contohnya adalah kata apel dalam konteks ia membeli apel berbeda artinya dalam konteks apel berlangsung pada hari Senin. Sementara itu, konteks sintaksis merupakan lingkungan gramatikal dari suatu unsur bahasa yang menentukan kelas dan fungsi unsur tersebut. Contohnya adalah kata beruang dalam konstruksi beruang hidup di hutan berkategori nomina dan berfungsi sebagai subjek, sedangkan dalam konstruksi ia beruang banyak berkategori verba dan berfungsi sebagai predikat (Ghufron, 2015: 156). Adapun konteks situasi adalah lingkungan nonlinguistis ujaran yang merupakan alat untuk memerinci ciri-ciri situasi yang diperlukan untuk memahami ujaran. Konteks ini berkaitan dengan apa, siapa, dengan siapa, kapan, dan di mana suatu ujaran berlangsung.

Sesuai dengan pengertian dan macam-macam konteks di atas, literasi bahasa berarti kemampuan untuk tidak hanya memahami secara terbatas huruf atau kata-kata yang dilihat secara langsung pada teks, tetapi juga membuat kaitan dengan hal-hal di seputar atau di luar teks. Dengan penjelasan lain, literasi bahasa berarti kemampuan untuk tidak saja berpikir dengan bertumpu pada teks, tetapi juga berpikir dengan bertumpu pada hal-hal di seputar atau di luar teks. Andaikan teks itu seperti kotak, literasi bahasa berarti kemampuan untuk melihat tidak saja pada hal-hal di dalam kotak, tetapi juga hal-hal di luar kotak, thinking in and out of the box.

Page 5: SKETSA KONSEP LITERASI MODERN DALAM BIDANG BAHASA

31Arifian, Sketsa Konsep Literasi Modern Dalam Bidang Bahasa

Esensi yang lain dari pandangan Kern di atas adalah literasi bahasa berarti kemampuan mencerminkan atau menggambarkan secara kritis hubungan antara teks dan konteks tidak hanya melalui kegiatan membaca dan menulis, tetapi juga menyimak dan berbicara. Pandangan ini menegaskan bahwa literasi modern di bidang bahasa tidak lagi dikerangkeng dalam pandangan yang kaku dan sempit, yakni sebatas kegiatan membaca dan menulis. Sebaliknya, literasi modern di bidang bahasa membutuhkan elaborsi melalui integrasi yang solid empat aspek keterampilan berbahasa, yakni menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Oleh karena itu, seorang guru yang membelajarkan aspek membaca dalam perspektif literasi modern tidak hanya membelajarkan siswanya kegiatan membaca, tetapi juga menghubungkan aspek membaca tersebut dengan tiga aspek keterampilan berbahasa yang lain, tentu hal ini ditempuh sejauh memiliki relevansi yang logis. Demikian juga ketika guru tersebut membelajarkan aspek menyimak, berbicara, dan menulis.

Selain itu, proses refleksi atau penggambaran hubungan di antara teks dan konteks melalui integrasi aspek-aspek keterampilan berbahasa tersebut dilakukan secara kritis. Kritis berarti hubungan tersebut dianalisis secara tajam sehingga selain diperoleh pengetahuan dan keterampilan yang dalam, tajam, luas, dan bervariasi; juga dibentuk karakter positif berupa tekun, teliti, mandiri, aktif mencaritemukan sesuatu, dan sebagainya. Sampai pada titik ini, dalam perspektif literasi modern, misalnya, adalah keliru ketika seorang guru membelajarkan aspek membaca dengan cara menyuruh siswa membaca teks lalu menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan pemahaman atas teks tersebut. Walaupun berisi aktivitas membaca, pembelajaran semacam itu dinilai jauh dari prinsip ‘merefleksikan secara kritis hubungan antara teks dan konteks’. Semestinya, guru tersebut merancang rupa-rupa aktivitas pembelajaran pada tahap prabaca, tahap baca, dan tahap pascabaca yang di dalamnya dipadukan aspek menyimak, berbicara, atau menulis sehingga memungkinkan siswa ‘menganalisis secara tajam hubungan antara teks dan konteks’.

Sebagai penegasan dapat dikemukakan poin-poin berikut. Pertama, literasi bahasa berarti mampu

menghubungkan teks dengan konteks. Konteks mencakup konteks linguistis dan nonlinguistis. Konteks linguistis mencakup konteks semotaktis dan sintaksis, sedangkan konteks nonlinguistis mencakup konteks budaya dan situasi yang dapat memperjelas pemahaman atas teks. Menurut penulis, konteks budaya dan situasi dapat dilihat sebagai skemata. Jika pandangan ini diterima, literasi bahasa berarti mampu menghubungkan skemata dengan teks atau teks dengan skemata, atau menghadapi teks secara top down dan bottom up seturut pemikiran Ghazali (2010:208). Kedua, literasi bahasa berarti mampu menunjukkan analisis yang matang tentang hubungan antara teks dan konteks melalui perpaduan empat aspek keterampilan berbahasa (menyimak, berbicara, membaca, dan menulis) dengan rupa-rupa aktivitas pada setiap tahap mempelajari aspek keterampilan berbahasa tersebut.

Prinsip Literasi BahasaKern mengidentifikasi tujuh prinsip literasi

bahasa (Hayat & Yusuf, 2010: 31-33). Ketujuh prinsip tersebut diolah kembali penulis seperti tampak dalam poin-poin berikut ini.

Pertama, literasi bahasa berhubungan dengan kegiatan interpretasi. Dalam sudut pandang literasi, kegiatan berbahasa adalah kegiatan menginterpretasi atau menafsir realita yang dihadapi, dan realita itu ditafsir ke dalam bahasa pula. Kegiatan menginterpretasi berarti kegiatan menyampaikan pendapat, kesan, pandangan terhadap sesuatu.

Sejalan dengan pengertian di atas, kegiatan membaca sebenarnya merupakan kegiatan menginterpretasi tulisan atau teks yang sedang dibaca. Artinya, informasi dari teks tidak diterima begitu saja, tetapi dikomentari atau diberi pendapat atau kesan oleh pembaca. Berbagai bentuk latihan dapat dirancang agar pembaca dapat menggunakan kemampuan interpretasinya secara kreatif. Memparafrase atau menceritakan kembali apa yang sudah dibaca dan memprediksi lanjutan dari bacaan yang dipenggal adalah beberapa contohnya.

Kegiatan menulis pun dapat dipandang sebagai kegiatan menafsir objek yang ditulis. Ini berarti penulis tidak sekadar mengumpultumpukkan gagasan atau pendapat orang lain dalam

Page 6: SKETSA KONSEP LITERASI MODERN DALAM BIDANG BAHASA

32 Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Missio, Volume 10, Nomor 1, Januari 2018, hlm. 1-136

tulisan, tetapi gagasan tersebut dikritisi dengan pertimbangan yang matang. Dengan perkataan lain, penulis harus memiliki kemandirian pikiran/gagasan di tengah arus gagasan dari berbagai sumber ketika menulis.

Kedua, literasi berarti kolaborasi. Kolaborasi menjadi tahap penting dalam belajar bahasa. Dengan bekerja sama, siswa mendapatkan arena latihan penggunaan bahasa dan memperoleh kepercayaan diri sebelum menggunakan bahasa secara mandiri. Oleh karena itu, rupa-rupa kerja sama harus didorong dalam literasi bahasa baik untuk pembelajaran keterampilan menyimak, berbicara, membaca, maupun menulis. Dalam kegiatan menulis, misalnya, siswa berkolaborasi dengan teman atau guru pada tahap mengedit, merevisi, dan mempublikasikan tulisan. Dalam konteks ini, siswa-penulis akan mendapat masukan dari temannya sehingga dapat mengedit dan merevisi, dan mempublikasikan tulisan. Jadi, teman atau guru dipandang sebagai calon pembaca yang dapat memberikan masukan bagi perbaikan tulisan sebelum dibaca oleh pembaca yang sesungguhnya.

Ketiga, literasi berarti menggunakan konvensi. Konvensi adalah kebiasaan-kebiasaan yang ada dalam budaya yang berdampak pada berbagai aspek bahasa yang dipelajari. Belajar bahasa juga berarti belajar beradaptasi dengan konvensi-konvensi tersebut. Dalam menulis surat sakit, misalnya, siswa harus mengetahui bentuk standar penulisan surat sakit. Bentuk standar tersebut mencakup tata letak dan cara penulisan tanggal surat, tata letak dan cara penulisan alamat penerima surat, tata letak dan cara penulisan salam pembuka surat, dan sebagainya. Selain mengetahui bentuk standar seperti itu, siswa juga harus patuh dalam menggunakan ejaan entah menyangkut huruf kapital, entah tanda baca, entah yang lainnya.

Keempat, literasi melibatkan pengetahuan budaya. Sejalan dengan poin ketiga, penerapan konvensi umumnya berkaitan dengan pengetahuan budaya. Penggunaan bahasa tanpa mengindahkan nilai-nilai budaya dapat mencederai nilai tenggang rasa pemakai bahasa. Menanyakan usia, misalnya, merupakan hal yang wajar dalam budaya Indonesia, tetapi sesuatu yang dapat menyinggung perasaan bagi orang Inggris. Mengatakan wina dami ‘istri kami’ dan rona disé ‘suami mereka’

dalam budaya Manggarai, misal yang lainnya, tidak berarti bahwa di Manggarai terjadi poliandri dan poligini (Barung, 2015: 13). Bentuk-bentuk penggunaan bahasa yang tidak sejalan dengan budaya tersebut mengindikasikan bahwa semantik linguistik tidak selalu sejalan dengan semantik kultural. Oleh karena itu, literasi bahasa juga perlu mempertimbangkan literasi kultural.

Kelima, literasi adalah kemampuan memecahkan masalah. Dalam perspektif literasi, kegiatan belajar bahasa perlu melibatkan proses berpikir baik secara faktual maupun imajinatif untuk memecahkan masalah. Setiap orang yang melakukan suatu tindakan bahasa, misalnya berbicara, pada dasaranya sedang memecahkan masalah tentang topik pembicaraan. Cara mengungkapkan gagasan dan memilih kosakata sesuai dengan target audiensnya. Dalam kegiatan membaca pun pada dasarnya pembaca memecahkan masalah lewat menemukan hubungan antara makna guna memahami gagasan penulisnya.

Oleh karena berkaitan dengan kemampuan memecahkan masalah, literasi juga berkaitan dengan jiwa inkuiri (Abidin, 2014). Dengan jiwa yang aktif mencaritemukan pengetahuan dan keterampilan siswa dapat menyelesaikan persoalan yang dihadapinya. Dengan aktif menggali informasi melalui kultur membaca yang mumpuni pada berbagai sumber, misalnya, siswa mampu mengidenfikasi dan mengatasi hoax yang menyebar pada media sosial.

Keenam, literasi adalah kegiatan refleksi. Refleksi adalah kegiatan menilai penggunaan bahasa oleh diri sendiri dan orang lain. Dalam kehidupan setiap hari seseorang berinteraksi dengan penggunaan bahasa dari orang lain. Dalam dialektika itu terjadi proses belajar. Setiap penggunaan bahasa yang baik dan benar perlu dicontohi, sebaliknya penggunaan bahasa yang buruk dibuang atau diperbaiki. Contoh kecil penerapan dari prinsip ini adalah dengan mengajak siswa untuk mengevaluasi penampilan dengan kawan-kawannya setelah memerankan sebuah drama melaui kegiatan diskusi performa.

Ketujuh, literasi adalah kemampuan menggunakan bahasa lisan dan tulis untuk menciptakan wacana. Dalam perspektif literasi, belajar bahasa berarti meningkatkan kemampuan

Page 7: SKETSA KONSEP LITERASI MODERN DALAM BIDANG BAHASA

33Arifian, Sketsa Konsep Literasi Modern Dalam Bidang Bahasa

lisan (oracy) menuju kemampuan menangani teks tertulis (literacy). Prinsip ini berhubungan dengan kemampuan untuk menggunakan bahasa lisan dan tulis dalam kehidupan praktis setiap hari seperti mengisi formulir di sekolah, membuat surat sakit, menanyakan informasi pada narasumber, menulis undangan ulang tahun, dan sebagainya.

Berdasarkan ketujuh prinsip di atas tampak bahwa dalam literasi bahasa siswa tidak mempelajari bahasa tanpa pengolahan yang matang. Sebaliknya siswa mempelajari bahasa dengan memberikan komentar/tafsiran, menggunakan konvensi, menggunakan pengetahuan budaya, melakukan kerja sama, membuat refleksi, memecahkan masalah, dan menciptakan wacana. Kegiatan-kegiatan semacam ini dipandang sebagai bentuk membangun hubungan antara teks dan konteks serta menganalisis secara kritis hubungan tersebut.

Hakikat Pembelajaran Bahasa Berbasis Literasi Modern

Sejalan dengan prinsip literasi bahasa terdapat sejumlah poin esensi pembelajaran bahasa berbasis literasi. Menurut Anthony et all (Hayat & Yusuf, 2010: 38-39), hakikat pembelajaran bahasa berbasis literasi tampak pada poin-poin berikut.

Pertama, pendidikan bahasa bersifat holistik. Keterampilan berbahasa (menyimak, berbicara, membaca, dan menulis) saling berhubungan dan bersifat utuh. Apabila bahasa itu dipecah menjadi bagian-bagian yang terpisah, bahasa itu bukanlah bahasa senyatanya (real language). Hal ini seumpama memisahkan oksigen dan hidrogen dari air yang mana masing-masing molekul hasil pemisahan itu bukanlah air. Menurut penulis, pandangan ini merupakan suatu inspirasi sekaligus imperasi untuk mengemas pembelajaran bahasa secara terpadu terutama terpadu secara intradisipliner, yakni perpaduan secara internal antara aspek-aspek di dalam bidang bahasa itu sendiri. Jadi, pembelajaran bahasa berbasis literasi modern ditandai dengan pendesainan secara terpadu.

Kedua, kemampuan berbahasa tidak muncul secara tiba-tiba. Kompetensi berbahasa diperoleh melalui proses yang tidak pernah final, berlangsung sepanjang hayat selama manusia menggunakan bahasa. Menurut penulis, hal ini mengisyaratkan

guru untuk tidak mengabaikan aspek proses dalam pembelajaran bahasa seturut perspektif literasi modern. Dalam kegiatan menulis, misalnya, selain berorentasi pada hasil, yakni adanya karangan yang dikumpulkan siswa, guru perlu menggarap dengan matang proses kegiatan menulis yang dilakukan siswa sehingga menggaransi hasil yang baik. Dalam hal ini, guru mungkin membimbing siswa untuk bergerak mulai dari tahap pramenulis, menulis draf, merevisi, mengedit, menulis final, dan mempublikasikan karangan. Di dalam setiap tahap tersebut terkandung rangkaian aktivitas dan produk-produk autentik yang dihasilkan siswa sebagai bukti kinerjanya

Ketiga, belajar bahasa adalah proses yang bersifat konstruktif dan generatif. Pandangan ini menunjukkan bahwa dalam belajar bahasa siswa belajar membangun dengan menggunakan unsur-unsur bahasa. Selain itu, siswa belajar menerangkan tata bahasa dengan kaidah-kaidah yang merupakan pemerian struktur kalimat yang terdapat di dalam bahasa. Menurut penulis, hal ini menunjukkan pembelajaran unsur atau tata bahasa secara induktif dan deduktif. Belajar unsur bahasa secara induktif berarti siswa terlebih dahulu mencipatakan kalimat atau karangan lalu memerikan unsur atau tata bahasa yang ada di dalamnya. Adapun belajar bahasa secara deduktif berarti siswa terlebih dahulu mempelajari unsur atau tata bahasa lalu menulis kalimat atau karangan dengan menerapkan tata bahasa yang telah dipelajari. Namun, dari kedua arah tersebut pendekatan induktif lebih efektif daripada deduktif (Ghazali, 2010: 106 ).

Keempat, dalam belajar bahasa setiap orang memiliki kekhasan masing-masing. Setiap pemakaian bahasa tidak selalu harus sama, tetapi bersifat unik dan idiosinkretik, bergantung pada pengalaman dan latar belakang masing-masing. Menurut penulis, hal ini mengindikasikan bahwa guru perlu memperhatikan kekhasan dan skemata siswa dalam mendesain pembelajaran bahasa berbasis literasi modern.

Kelima, bahasa adalah medium bagi siswa untuk mengembangkan dan memberdayakan diri. Lewat bahasa siswa membentuk dan mengisi substansi pikirannya, tumbuh dan berkembang sambil berinteraksi dengan sekelilingnya, dan membentuk realitas kepribadiannya. Menurut

Page 8: SKETSA KONSEP LITERASI MODERN DALAM BIDANG BAHASA

34 Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Missio, Volume 10, Nomor 1, Januari 2018, hlm. 1-136

penulis, hal ini merupakan imperasi agar pembelajaran bahasa bersifat fungsional. Artinya, siswa mempelajari bahasa tidak hanya untuk lulus, tetapi juga untuk mempelajari pengetahuan dan keterampilan lain serta digunakan dalam medan kehidupan setiap hari. Pada tataran yang lebih konkret, misalnya, siswa belajar membaca tentu untuk kemudian beralih ke membaca untuk belajar, dari bisa membaca lalu mencintai kegiatan membaca. Membaca untuk belajar berarti kegiatan membaca sudah menjadi senjata untuk menghadapi berbagai persoalan kehidupan. Pada titik inilah terletak nilai pemberdayaan sebagai spirit literasi modern.

Keenam, segala sesuatu yang berkaitan dengan belajar bahasa harus seiring dan sejalan termasuk evaluasi dan penilaiannya. Pembelajaran bahasa dan evaluasinya harus bersifat holistik dan berpusat pada siswa. Terkait dengan hal ini perlu diperhatikan pokok-pokok pikiran berikut: (1) evaluasi/penilaian hendaknya berorientasi pada proses dan produk, (2) penilaian harus berbasis kelas, sesuai tujuan kurikuler, bersifat komprehensif dan seimbang, (3) evaluasi dan penilaian bahasa harus sistematis, terencana, dan adaptif, (4) guru hendaknya tidak memisahkan pelaksanaan dan evaluasi pembelajaran sebab membatasi peluang siswa mengekspresikan pengalaman berbahasanya, dan (5) bahasa tidak dipelajari secara hierarkis sehingga tidak diperlukan pengetesan secara berurutan.

Menurut penulis, pokok-pokok pikiran tentang evaluasi dan penilaian di atas sejalan dengan konsep penilaian autentik. Dalam penilaian autentik ditekankan penilaian pada aspek proses dan hasil pembelajaran (Arifian, 2015: 135), hal ini sejalan dengan penilaian yang berorientasi pada proses dan produk. Selain itu, penilaian autentik merupakan penilaian yang bermakna atas aktivitas belajar siswa untuk ranah pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Hal ini sejalan dengan gagasan tentang penilaian yang komprehensif dan seimbang. Selain itu pula, penilaian atutentik berfokus pada capaian masing-masing siswa dalam kelasnya, tidak berorientasi untuk membandingkan satu siswa dengan siswa yang lainnya.

Literasi Bahasa Berdasarkan Tantangan Abad Modern

Pada suatu bagian di depan telah diuraikan tantangan abad modern yang mengevolusi konsep literasi. Tantangan tersebut dikristalisasikan ke dalam tantangan pembentukan empat kelompok kompetensi. Untuk pembentukan empat kelompok kompetensi tersebut diperlukan kemampuan multi-literasi yang mencakup (1) keterampilan membaca pemahaman yang tinggi, (2) keterampilan menulis yang baik untuk membangun dan mengekspresikan makna, (3) keterampilan berbicara secara akuntabel, dan (4) keterampilan menguasai berbagai media digital (Morocco dalam Abidin, 2014: 184).

Jika pandangan Morocco dicermati kembali, tiga keterampilan pertama sesungguhnya menjadi garapan utama dari literasi bahasa, sedangkan keterampilan terakhir lebih menjadi garapan dari literasi media. Dalam tulisan ini, literasi bahasa untuk menghadapi tantangan abad modern dilihat tidak hanya pada tiga keterampilan yang disebut Morocco, tetapi juga dilihat pada keterampilan menyimak. Dengan demikian, literasi modern di bidang bahasa mencakup secara utuh empat keterampilan berbahasa seperti diuraikan berikut ini.

Keterampilan Menyimak Menyimak sering dikatakan sebagai

keterampilan yang bersifat reseptif. Walaupun demikian, dalam perspektif literasi modern seorang penyimak tidak boleh menunggu dan menerima bahasa dalam keadaan pasif. Sebaliknya, seorang penyimak harus berpartisipasi aktif baik secara fisik maupun mental. Untuk itu, kegiatan menyimak bisa meminta penyimak untuk berbicara, membaca, menulis atau memberikan respon berupa tindakan terhadap sebuah situasi lisan tertentu (Ghazali, 2010: 189).

Kegiatan menyimak juga dapat dilakukan dengan melibatkan skemata penyimak untuk membantu pemahaman atas bahan simakan. Selain itu, kegiatan menyimak perlu melibatkan berbagai jenis teks, berbagai macam topik, berbagai macam fungsi bahasa, berbagai macam struktur wacana, dan berbagai macam unsur linguistik.

Page 9: SKETSA KONSEP LITERASI MODERN DALAM BIDANG BAHASA

35Arifian, Sketsa Konsep Literasi Modern Dalam Bidang Bahasa

Dalam kegiatan menyimak juga penyimak diminta untuk memberikan berbagai macam respon terhadap teks lisan. Beberapa kemungkinan respon itu adalah membuat ringkasan, menjawab pertanyaan pemahaman, menyimak selektif untuk mendapatkan informasi tertentu, membuat gambar berdasarkan deskripsi dalam teks lisan, membat dramatisasi terhadap teks lisan, melaporkan secara lisan pokok-pokok dari teks lisan, membuat garis besar dari teks lisan, mengisi bagan berdasarkan teks lisan, mengulangi bahasa yang digunakan dalam teks lisan, mengajukan pertanyaan tentang isi dari teks lisan, membuat dialog berdasarkan isi dari teks lisan, dan membuat teks yang mirip dengan teks lisan yang sudah disimak (Ghazali, 2010: 190).

Keterampilan BerbicaraKeterampilan ini merupakan kemampuan

memproduksi ide secara lisan dengan isi yang berkualitas dan saluran penyampaian yang tepat. Oleh karena itu, keterampilan ini juga menjadi tanda kepemilikan pengetahuan yang mendalam, pikiran kirits-kreatif, dan komunikasi yang matang dengan prinsip-prinsip sebagai berikut: (1) berbicara digunakan sebagai sarana memahami teks, (2) berbicara dilakukan dengan mempertimbangkan giliran peran sehingga terjalin komunikasi efektif, (3) berbicara digunakan sebagai sarana berpikir kritis melalui kegiatan diskusi, debat, atau yang lainnya, (4) berbicara dilaksanakan dalam koridor etika berbicara sehingga terjalin komunikasi yang efektif, dan (5) berbicara disertai dengan kesempatan pascabicara yang bersifat terbuka, kritis, dan etis (Abidin, 2014: 193).

Pandangan di atas secara dominan menempatkan kegiatan berbicara dalam konteks ilmiah. Akan tetapi, dalam tulisan ini literasi bahasa melalui kegiatan berbicara ditempatkan dalam konteks yang lebih luas. Dalam hal ini, kegiatan berbicara mesti dilihat sebagai pengemban dari berbagai fungsi bahasa menurut pandangan Halliday yang mencakup fungsi instrumental, regulatoris, representasional, interaksional, personal, heuristik, dan imajinatif (Brown, 2008: 246). Berdasarkan fungsi-fungsi ini kegiatan berbicara dipandang sebagai kegiatan mempengaruhi, menyampaikan ide, menjadi sesama bagi manusia, menyampaikan

perasaan pribadi, bertanya, dan mengungkapkan kreativitas berbahasa.

Keterampilan MembacaKeterampilan membaca merupakan salah

satu cara penting untuk menguasai informasi atau data yang berkembang dengan akselerasi yang tinggi pada abad modern (Nuriadi, 2008: 40). Dengan memiliki keterampilan ini seseorang memiliki wawasan yang tajam, dalam, luas, dan bervariasi sehingga tantangan pembentukan kompetensi pemahaman konseptual abad modern dapat dijawab. Keterampilan membaca terdiri atas beberapa subketerampilan berikut: (1) keterampilan memilih strategi membaca berdasarkan tujuan membaca dan jenis bacaan, (2) keterampilan memahami organsisasi/struktur penyajian teks, (3) keterampilan mengkritisi kebenaran, akurasi sumber, dan kelengkapan teks, dan (4) keterampilan membangun makna kata-kata yang digunakan dalam bidang tertentu (Abidin 2014: 191—192). Uraian berikut ini merupakan komentar atas beberapa subketerampilan tersebut.

Subketerampilan pada poin (1) di atas berkaitan dengan keterampilan membaca secara efektif dan efisien. Membaca secara efektif berarti kegiatan membaca yang dilakukan secara tepat sesuai dengan tujuan pembaca dan jenis bacaan, sedangkan membaca secara efisien berarti membaca yang dilakukan dengan memperhitungkan waktu tempuh atau kecepatan membaca. Pembaca yang terampil mestinya menghemat waktu dalam membaca. Untuk itu, pembaca biasanya tidak membaca teks dengan kecepatan yang sama untuk semua jenis bacaan dan tujuan membaca (Ahuja & Ahuja, 2010: 42).

Salah satu hal yang memprihatinkan sehubungan dengan membaca secara efisien dan efektif di Indonesia adalah belum adanya perhatian terhadap kecepatan siswa dalam membaca. Akibatnya, prestasi membaca siswa Indonesia selalu terbelakang jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Sekadar mengangkat data, UNESCO dalam Global Monitoring Report tahun 2011 melaporkan bahwa 80% murid kelas IV SD di Indonesia berkemampuan membaca di bawah standar internasional (Kompas, 2 Mei 2012). Senada dengan UNESCO, Early Grade Reading

Page 10: SKETSA KONSEP LITERASI MODERN DALAM BIDANG BAHASA

36 Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Missio, Volume 10, Nomor 1, Januari 2018, hlm. 1-136

Assessment tahun 2014 menunjukkan hanya 47% murid kelas I dan II SD di Indonesia yang fasih dan memahami bacaan (Kompas, 5 Maret 2015).

Menurut penulis, belum adanya perhatian terhadap kecepatan membaca tidak terlepas dari kekeliruan instruksi pembelajaran dalam buku teks pelajaran yang beredar di sekolah-sekolah. Buku teks yang berjudul ‘Bina Bahasa Indonesia’ untuk SD kelas IV, yang disusun Tim Bina Karya Guru, yang diterbitkan Erlangga pada tahun 2007, misalnya, hanya mencantumkan instruksi berikut: “Bacalah bacaan berikut dengan saksama!”, “Bacalah bacaan berikut dengan cermat!” (lihat hal. 4 & 13 buku tersebut). Instruksi seperti ini berpengaruh negatif, yakni pembelajaran membaca dilakukan tanpa kejelasan waktu tempuh untuk membaca. Dalam pandangan Brown (2008: 292) hal ini menyebabkan siswa membangun hipotesis yang salah tentang membaca, yakni membaca itu asal membaca saja tanpa perlu memperhatikan kecepatan.

Hal lain yang memprihatinkan adalah pengenalan berbagai strategi membaca kepada siswa belum dilakukan secara kuat. Umumnya pembelajaran membaca terjebak dalam rutinitas kaku seputar meminta siswa membaca teks lalu menjawab pertanyaan pemahaman tentang isi teks. Dalam kondisi semacam ini siswa kurang diperkenalkan dengan berbagai strategi/teknik membaca dengan rupa-rupa aktivitas di dalamnya guna meningkatkan keterampilan membaca. Pada titik ini kritik tajam dari Porter dan Hernacki (2013: 252) bahwa perkembangan yang bagus dalam belajar membaca hanya terjadi ketika kelas rendah SD mendapat legitimasi yang tak terbantahkan. Menurut Porter dan Hernacki, ketika kelas rendah SD kebanyakan anak mulai mengeja dan melafalkan huruf lalu menghubungkannya menjadi kata serta memahami keseluruhan kalimat tanpa mengeja dan melafalkan huruf-hurufnya. Namun, sebagian besar dari anak-anak tidak pernah mengalami kemajuan lagi setelah masa kelas rendah SD.

Subketerampilan pada poin (2) berhubungan dengan kemampuan memahami sistematika penyajiaan informasi di dalam berbagai jenis teks. Dalam hal ini, keterampilan membaca pada abad modern perlu diwarnai pengalaman yang kaya dalam menjumpai berbagai struktur penyajian

informasi dalam beragam teks. Berdasarkan standar yang dipakai dalam pengukuran PISA terdapat minimal dua struktur teks yang perlu dihadapi siswa, yakni teks berkelanjutan (continuous text) dan teks tak berkelanjutan (non-continuous text). Teks berkelanjutan berupa rangkaian kalimat yang dituangkan dalam paragraf. Struktur semacam ini tampak dalam jenis teks deskripsi (deskripsi orang, tempat, atau objek), narasi (cerita, laporan, atau artikel), eksposisi (esai, definisi, eksplanasi, atau kesimpulan), argumentasi/persuasi (argumentasi ilmiah, pendapat), dan injungsi (instruksi, aturan, atau regulasi). Adapun wacana tak berkelanjutan dirancang dalam format matrik. Struktur penyajian semacam ini tampak dalam jenis teks pengumuman (undangan, peringatan, atau catatan), grafik dan gambar, peta, skema, tabel, dan aneka bentuk lainnya (Hayat & Yusuf, 2010: 126).

Kedua struktur wacana di atas dengan beragam teks di dalamnya perlu ditekankan secara seimbang dalam pembelajaran sehingga siswa memiliki pemahaman yang kaya tentang struktur dan ragam wacana. Akan tetapi, pada faktanya kebervariasian struktur dan jenis teks dijumpai siswa Indonesia cenderung pada teks-teks soal ujian akhir nasional daripada teks-teks yang menjadi materi pembelajaran membaca dalam keseharian. Buku-buku teks pelajaran bahasa Indonesia untuk SD seturut KTSP, misalnya, jarang memuat teks yang mengandung grafik, bagan, dan tabel untuk dibaca siswa. Jenis teks seperti itu belum diperhitungkan sebagai materi bacaan penting dalam bidang bahasa.

Subketerampilan pada poin (3) berkaitan dengan kemampuan untuk meragukan kebenaran teks yang sedang dibaca. Bahwa teks adalah karya manusia-penulis yang tidak luput dari berbagai kekeliruan mesti menjadi pola pikir dalam literasi modern. Dengan memiliki kesangsian seperti itu seorang pembaca tidak terjebak dalam pengetahuan yang timpang. Selain itu, kesangsian tersebut juga menjadi kekuatan yang mendorong pembaca untuk mengkajibandingkan satu teks yang dibacanya dengan teks lain yang relevan. Dengan begitu, seorang pembaca akan memiliki perspektif berpikir yang lebih tajam, dalam, luas, dan bervariasi.

Pada tingkat dasar kemampuan mengecek kebenaran teks di antaranya dapat ditempuh

Page 11: SKETSA KONSEP LITERASI MODERN DALAM BIDANG BAHASA

37Arifian, Sketsa Konsep Literasi Modern Dalam Bidang Bahasa

dengan melakukan survei terhadap teks sebelum dibaca. Hal-hal yang disurvei, misalnya, jumlah dan kelengkapan halaman teks, sumber-sumber yang dipakai penulis dalam teks, kata-kata sukar dalam teks, judul dan subjudul dalam teks, daftar isi, tabel atau gambar dalam teks, dan ringkasan atau rangkuman. Survei atas bagian-bagian tersebut selain membantu pembaca untuk dengan cepat memperoleh gambaran umum tetang isi teks juga dengan segera mengetahui kelebihan dan kekurangan dari teks.

Subketerampilan pada poin (4) berhubungan dengan kemampuan memahami teks. Dalam studi PISA kemampuan memahami teks tidak hanya berkutat pada fakta-fakta yang terdapat dalam teks, tetapi juga mencakup kemampuan mencari dan menemukan informasi, kemampuan mengembangkan informasi berdasarkan bacaan, kemampuan membuat inferensi (kesimpulan) yang bertalian dengan penggunaan satu atau lebih inforamsi, dan kemampuan melakukan refleksi dan evaluasi terhadap isi wacana dalam kaitan dengan pengalaman atau skemata yang dimiliki pembaca.

Sejalan dengan standar dari PISA, dalam studi PIRLS proses pemahaman atas teks mencakup proses memahami informasi eksplisit dalam bacaan; menarik kesimpulan dari bacaan; menafsirkan dan mengintegrasikan gagasan dalam bacaan; dan menilai isi, bahasa dan unsur-unsur teks. Bentuk-bentuk pemahaman tersebut dijabarkan dalam rupa-rupa kegiatan seperti mengidentifikasi informasi yang relevan dengan tujuan membaca, mencari gagasan tertentu, mencari definisi kata/ungkapan, mengidentifikasi setting cerita, menemukan kalimat topik/gagasan utama, menarik kesimpulan kausatif peristiwa dalam teks, menyimpulkan gagasan pokok dari rangkaian argumentasi, menentukan acuan dari sesuatu (biasanya kata ganti), mengidentifikasi generalisasi dalam bacaan, menggambarkan hubungan antara dua karakter tokoh, membedakan keseluruhan pesan/tema bacaan, mempertimbangkan alternatif tindakan tokoh dalam cerita, membandingkan dan mengontraskan informasi dalam cerita, menafsirkan suasana cerita, menafsir penerapan informasi dalam teks, mengevaluasi kebenaran peristiwa dalam bacaan, menguraikan cara pengarang mengakhiri cerita, menilai kejelasan atau kelengkapan

informasi pada teks, dan menentukan perspektif pengarang dalam bacaan (Hayat & Yusuf, 2010: 63—69).

Keterampilan MenulisDalam konteks literasi modern, keterampilan

menulis digunakan untuk membangun dan mengekspresikan makna (Abidin, 2014: 192). Hal ini berarti kegiatan menulis dilakukan tidak sekadar mentransfer ide orang lain, tetapi juga menyalurkan ide kritis dan kreatif penulis sendiri sehingga pemahamannya atas sesuatu hal akan semakin meningkatkan

Keterampilan menulis untuk mengekspresikan makna akan terwujud jika diterapkan dengan memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut. Pertama, keterampilan menulis diperlakukan sebagai sarana untuk memahami teks. Hal ini berarti siswa tidak diam pascabaca, tetapi mengembangkan beberapa jenis tulisan berdasarkan teks yang telah dibaca. Beberapa jenis tulisan yang dapat dikembangkan adalah intisari bacaan, sinopsis, visual teks (tabel, grafik, gambar, dan lain-lain). Kedua, keterampilan menulis diperlakukan untuk mengkritisi isi bacaan. Artinya, tulisan perlu dilihat sebagai alat untuk berpikir kritis sebagai respon terhadap teks yang dibaca. Ketiga, tulisan yang dihasilkan hendaknya mempertimbangkan jenis, tujuan, dan sasarannya. Berdasarkan hal ini, siswa harus memahami secara benar susunan berbagai jenis tulisan, tujuan menulis, dan sasaran/pembaca tulisan.

Menurut penulis, dua bentuk dasar dari kegiatan menulis yang tidak sekadar menumpukkan gagasan orang lain adalah membuat ringkasan dan ikhtisar. Kedua bentuk ini dilihat sebagai dasar karena dalam membuat ringkasan dan ikhtisar seseorang hanya mereproduksi gagasan orang lain dan tidak terutama memproduksi gagasan sendiri. Oleh karena itu, membuat ringkasan dan ikhtisar perlu dilatih sebagai keterampilan menulis dasar kepada siswa dan mesti dintegrasikan secara kokoh dengan kegiatan membaca teks. Sekadar diketahui bahwa ringkasan berbeda dengan ikhtisar. Ringkasan merupakan bentuk pendek dari teks yang masih mempertahankan urutan gagasan dari teks yang diringkas, isi dan susunannya harus persis sama dengan teks yang diringkas (Heuken, 2008:

Page 12: SKETSA KONSEP LITERASI MODERN DALAM BIDANG BAHASA

38 Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Missio, Volume 10, Nomor 1, Januari 2018, hlm. 1-136

17); sedangkan ikhtisar merupakan bentuk singkat dari teks yang tidak mengikuti urutan gagasan dari teks yang diikhtisar (Nurhadi, 2010: 137).

KESIMPULANKonsep literasi mengalami perubahan

makna dari masa ke masa. Dalam bidang bahasa, literasi tidak lagi sekadar berarti bisa membaca dan menulis, tetapi lebih berarti bagaimana seseorang menggunakan membaca dan menulis itu sebagai senjata untuk memberdayakan diri sehingga dapat menguasai dan bertindak etis atas diri sendiri dan dunia sekitar. Untuk itu, literasi bahasa mengandaikan pengolahan yang matang dalam mempelajari bahasa baik pada keterampilan menyimak, berbicara, membaca, maupun menulis. Dengan pengolahan semacam itu ada garansi bagi seseorang untuk menguasai pengetahuan dan keterampilan berbahasa serentak dapat menghadapi persoalan di medan kehidupan dengan menggunakan pengetahuan dan keterampilan berbahasa itu pula.

DAFTAR RUJUKAN Abidin, Y. 2014. Desain Sistem Pembelajaran

dalam Konteks Kurikulum 2013. Bandung: PT Refika Aditama.

Ahuja P. & Ahuja G. C. 2010. Membaca secara Efektif dan Efisien. Bandung: PT Kiblat Buku Utama

Arifian, D. F. Juni 2015. “Penilaian Autentik sebagai Pemandu Pembelajaran”. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Missio, Volume 7, Nomor 1, hlm. 133-141.

Arifian, D. F. Juni 2016. “Penanaman Pengalaman Literasi Dini Menurut Pemikiran Tompkins dan Hoskisson”. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Missio, Volume 8, Nomor 2, hlm. 233-244.

Barung, K. 2015. “Kajian Permulaan Potensi Bahasa dan Sastra untuk Pendidikan Karakter”. Proseding Makalah Seminar Dosen PBSI. Ruteng: Prodi PBSI STKIP St. Paulus.

Brown, H. Douglas. 2008. Prinsip Pengajaran dan Pengajaran Bahasa (Terjemahan Noor Cholis dan Y. Avianto Pareanom). Jakarta: Kedutaan Besar Amerika Serikat.

Ghazali, S. 2010. Pembelajaran Keterampilan Berbahasa Dengan Pendekatan Komunikatif-Interaktif. Bandung: PT Rafika Aditama.

Ghufron, S. 2015. Kesalahan Berbahasa: Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Ombak.

Hayat, B. & Yusuf, S. 2010. Benchmark Internasional Mutu Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Heuken, A. 2008. Teknik Mengarang. Yogyakarta: Kanisius.

Nurgiyantoro, B. 2010. Sastra Anak Pengantar Pemahaman Dunia Anak. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Nurhadi. 2010. Bagaimana Meningkatkan Kemampuan Membaca?. Bandung: Sinar Baru Algensindo.

Nuriadi, S. S. 2008. Teknik Jitu Menjadi Pembaca Terampil. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Porter, D. B. & Hernacki, M. 2013. Quantum Learning. Bandung: Kaifa.

Priyatma, J. E. 27 April 2016. “Transaksi Dairing dalam Pendidikan”. Kompas, hlm. 7.

Pusat Bahasa Depdiknas. 2011. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Keempat). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Tim Bina Karya Guru. 2007. Bina Bahasa Indonesia untuk SD Kelas IV. Jakarta: Erlangga.