review morgenthau iii - vii
TRANSCRIPT
Makalah Mata Kuliah Theories of War and Modern Strategy
Program Studi Disaster Management for National Security Universitas Pertahanan Indonesia 2010
1
TUGAS MATA KULIAH
THEORIES OF WAR AND MODERN STRATEGY
REVIEW BUKU POLITIK ANTARBANGSA
Hans J. Morgenthau
BAGIAN
KEKUATAN NASIONAL
KELOMPOK 1 • Ardian Perdana Putra
• Ayu Chandra
• Danang Insita Putra
• Eva Gracetyane Sutisna
• Oki Bakti Imansyah
• Pujiyanto
PROGRAM STUDI DISASTER MANAGEMENT FOR NATIONAL SECURITY
UNIVERSITAS PERTAHANAN INDONESIA
DESEMBER 2010
Makalah Mata Kuliah Theories of War and Modern Strategy
Program Studi Disaster Management for National Security Universitas Pertahanan Indonesia 2010
2
BAB III
KEKUATAN NASIONAL
INTI KEKUATAN NASIONAL
Negara merupakan bentuk abstraks dari sejumlah individu yang mempunyai kesamaan
ciri khas tertentu, dan ciri khas inilah yang menjadikan mereka anggota negara yang
sama. Pada zaman dahulu kekuatan nasional berasal dari kolektifitas kekuasaan dan
cita-‐cita yang ditentukan oleh ikatan darah, agama atau kesetiaan bersama terhadap
raja atau pemimpinnya. Pada masa sekarang, kekuatan berasal dari kekuasaan
masyarakat yang membentuk jaringan peraturan-‐peraturan dan kebijaksanaan-‐
kebijaksanaan serta alat-‐alat kelembagaan yang mengendalikan gerakan perorangan,
sehingga gerakan perorangan tersebut tidak dapat membahayakan masyarakat, karena
mereka akan ditindak atau dilemahkan sama sekali atau bahkan didukung penuh.
Masyarakat akan mengidentifikasikan dirinya dengan negaranya, serta membandingkan
dirinya dengan warga negara asing. Sebagai contoh warga Amerika Serikat, sebagai
bagian dari warga negara yang sangat kuat dan mempunyai kemampuan industri serta
kekayaan material yang sangat besar pula, maka mereka akan dapat menyanjung diri
sendiri dan merasakan suatu kebanggan yang sangat besar pula, gejala psikologis ini
mendapat dukungan dalam peraturan kebijaksanaan dan lembaga negaraya, sehingga
masyarakat tersebut dapat menjadi pendukung negara yang paling agresif untuk
kekuatan nasional di bidang politik international, kelompok inilah yang dapat
memberikan warna pada politik luar negari suatu bangsa. Tetapi ada juga masyarakat
yang menolak untuk mengidentifikasikan diri mereka erat dengan negara mereka, atau
bahkan lebih senang menunjukkan bahwa mereka erat dengan musuh negara.
UNSUR –UNSUR KEKUATAN NASIONAL
Untuk menentukan kekuatan dari suatu bangsa, maka faktor-‐faktor dan komponen-‐
komponen yang harus dipertimbangkan adalah :
Makalah Mata Kuliah Theories of War and Modern Strategy
Program Studi Disaster Management for National Security Universitas Pertahanan Indonesia 2010
3
a. GEOGRAFI
Geografi merupakan faktor yang paling stabil dan merupakan andalan kekuatan
dari suatu negara. Sebagai contoh, Amerika Serikat merupakan suatu negara
dengan benua sendiri yang dibatasi dan dipisahkan dengan benua Eropa dan
Asia oleh perairan yang sangat luas, dan bukan langsung berbatasan dengan
negara lain, misalnya Perancis, Cina dan Rusia. Hal ini menjadikan
pertimbangan bagi negara lain untuk melaksanakan politik luar negerinya.
Geografis negara-‐negara yang berbatasan langsung dengan geografis negara lain
tentu sering menimbulkan konflik diantara dua negara tersebut. Hal inilah yang
menjadikan letak geografis tersebut menguntungkan atau tidak bagi suatu
negara. Negara-‐negara yang berbatasan langsung akan lebih sering mengalami
konflik perbatasan kekuasaan wilayah negara.
b. SUMBER DAYA ALAM
Sumber daya alam merupakan faktor paling stabil lainnya selain geografis.
Komponen sumber daya alam meliputi :
1) Pangan
Negara yang menikmati swasembada pangan tidak perlu mengalihkan energi
nasional dan politik luar negerinya dari tujuan utama yaitu menjamin
penduduknya tidak kekurangan pangan atau kelaparan pada saat perang.
Dengan demikian negara yang telah berswasembada pangan dapat menempuh
politik yang lebih keras dan terus menuju sasaran.
Pada saat perang, kelaparan dapat ditimbulkan dengan sengaja oleh pihak lawan
yang mengakibatkan pembunuhan secara langsung terhadap berjuta-‐juta orang
pada wilayah yang ditaklukkan. Kekurangan pangan dalam negera sendiri dapat
menjadikan kelemahan yang permanen pada negara tersebut. Dengan demikian
swasembada pangan selalu menjadi sumber kekuatan yang besar.
2) Bahan mentah
Dibebaskannya energi atom dari atom uranium dan pemakaian energi tersebut
untuk perang , segera mengubah hierarki aktual dan potensial negara-‐negara
mengingat kekuatan mereka masing-‐masing. Negara-‐negara yang menguasai
Makalah Mata Kuliah Theories of War and Modern Strategy
Program Studi Disaster Management for National Security Universitas Pertahanan Indonesia 2010
4
energi atom tersebut telah meningkat dalam perhitungan kekuatan, seperti
Amerika Serikat, Uni Soviet, Kanada, Cekoslowakia, dan Uni Afrika Selatan.
Sedangkan negara-‐negara yang tidak memiliki energi atom tersebut menjadi
kekuatan relatif.
3) Minyak Mentah
Minyak sebagai sumber energi telah menjadi semakin bertambah penting untuk
industri dan perang, sebagaian besar dari senjata dan kendaraan yang
digerakkan dengan minyak, akibatnya begara-‐negara yang banyak sekali
memiliki endapan minyak memperoleh kekuatan dalam urusan internasional.
Kekuatan yang diberikan oleh minyak merupakan akibat dari perkembangan
teknologi negara-‐negara industri yang modern. Negara-‐negara penghasil minyak
yang besar dapat bekerja sama dan mengkoordinir untuk memaksakan syarat-‐
syarat politis terhadap negara-‐negara konsumen, risiko yang dihadapi bila
negara-‐negara konsumen tersebut menolak adalah kekacauan politik, ekonomi,
dan sosial yang besar.
c. KEMAMPUAN INDUSTRI
Walaupun suatu negara memiliki bahan mentah yang banyak tetapi tidak memiliki
industri untuk mengolahnya, maka bahan mentah tersebut belum tidak dapat
mempengaruhi kekuatan politik dan hubungan luar internasional negaranya,
misalnya Kongo. Negara yang memiliki bahan mentah dan didukung oleh
kemampuan industri untuk mengolahnya berarti peingkatan kekuasaan yang besar
sekali untuk negaranya, contoh negaranya Inggris, uni Soviet, Amerika Serikat dan
Cekoslowakia. Hasil energi yang dihasilkan dari industri tersebut dapat
dimanfaatkan oleh negara-‐negara lain baik dimasa perang atau damai., sehingga
negara-‐negara yang tidak mempunyai industri untuk mengolah bahan mentahnya
menjadikan negara tersebut tidak mampu memainkan peranan penting dalam
politik internasionalnya.
d. KESIAGAAN MILITER
Faktor geografi, sumber daya alam dan kemampuan indusri memberikan arti
penting bagi kekuatan negara yang menunjang kesiagaan militer. Ketergantungan
Makalah Mata Kuliah Theories of War and Modern Strategy
Program Studi Disaster Management for National Security Universitas Pertahanan Indonesia 2010
5
kekuatan nasional atas kesiagaan militer sangat jelas terlihat. Kesiagaan militer
memerlukan pranata militer yang mampu mendukung politik luar negeri yang
ditempuh. Komponen kesiagaan militer tersebut meliputi :
1) Teknologi,
2) Kepemimpinan,
3) Kuantitas dan kualitas angkatan bersenjata.
e. PENDUDUK
Semakin besar jumlah penduduk suatu negara, maka semakin besar pula kekuatan
negara terebut, karena ukuran penduduk merupakan salah satu faktor tempat
berpijakkekuatan nasional, dan oleh sebab kekuatan sebuah negara selalu relatif
dengan negara lain, yang membedakan kekuatannya adalah jumlah penduduknya.
Tanpa jumlah penduduk yang besar, tidak mungkin mendirikan dan terus
menjalankan pabrik industri yang diperlukan untuk melaksanakan perang modern,
untuk mengirimkan prajurit ke medan perang didarat, laut dan udara, dan akhirnya
untuk mengisi kader-‐kader pasukan yang jumlahnya jauh melebihi jumlah pasukan
tempur, harus menyediakan pangan, alat transpotasi dan komunikasi, amunisi serta
senjata. Itulah sebabnya negara-‐negara imperialis seperti Nazi jerman dan Fasis
Italia, memakai pertumbuhan itu sebagai dalih ideologi untuk melakuka nekspasi
uang imperialistis.
f. KARAKTER NASIONAL
Karakter nasional suatu bangsa pasti akan mempengaruhi kekuatan nasionalnya,
Bagi mereka yang berkarya untuk negara dala keadaan damai dan perang,
merumuskan melaksanakan dan menyokong politiknya, memilih dan dipilih,
menggalang opini umum, menghasilkan dan menghabiskan, mengemban kesan
tentang kualitas intelektual dan moral yang membentuk karakter nasional, seperti
contoh kegigihan dan keuletan orang Rusia, inisiatif dan daya cipta orang Amerika,
pemikiran sehat orang Inggris yang tidak dogmatis, disiplin dan ketelitian orang
jerman, adalah merupakan kualitas diri dalam semua kegiatan pribadai dan kolektif
dimana semua anggota bangsa dapat terlibat.
Makalah Mata Kuliah Theories of War and Modern Strategy
Program Studi Disaster Management for National Security Universitas Pertahanan Indonesia 2010
6
Ada tiga faktor manusia yang bersifat kualitatif dan berpengaruh atas kekuatan
nasional, yakni karakter nasional dan moral nasional yang menonjol dalam sifat
eksklusif mereka serta pengaruh yang permanen dan menentukan terhadap politik
internasional.
g. MORAL NASIONAL
Moral nasional adalah tingkat kebulatan tekad suatu bangsa untuk mendukung
politik luar negeri pemerintahnya dimasa damai dan perang. Moral nasional lebih
sulit untuk dipahami dan kurang stabil, akan tetapi moral nasional tidak kalah
pentingnya dari semua faktor lain yang berpengaruh atas kekuatan nasional. Moral
nasional ini menyebar keseluruh kegiatan negara, produksi pertaian, industri,
mupun pranata militer serta dinas diplomatiknya. Dalam bentuk opini umum, moral
nasional memberikan faktor yang tidak dapat diraba, tidak ada perintah, demokrasi
dan otokrasi yang mampu menjalankan politiknya dengan sepenuh keefektifan.
Moral nasional di pengaruhi oleh ketidakstabilan dan kualitas masyarakat dan
pemerintah sebagai faktor penentunya. Pada titik tertentu moral dapat patah,
ketidakstabilan ini dapat diakibatkan oleh perang yang dapat menimbulkan
kerugian yang amat besar dan sia-‐sia serta tekanan politik. Kekalahan yang amat
besar dapat meruntuhkan moral nasional. Bagi masyarakat yang merasa haknya
dan partisipasinya yang penuh dalam kehidupan negara dicabut secara permanen,
cenderung mempunyai moral nasional yang lebih rendah, kurang patriotis,
dibanding dengan mereka yang mempunyai cita-‐cita vital akan tetapi berbeda dari
polotik permanen yang ditempuh oleh mayoritas maupun pemerintahan. Manakala
konflik yang mendalam sampai merusak dan memecah belahrakyat, maka dukungan
rakyat yang dapat dihimpun untuk politik luar negerinya akan selalu sulit dan
sangat kecil dukungannya.
h. KUALITAS DIPLOMASI
Dari segenap faktor yang menyebabkan kekuatab suatu negara, yang terpenting
walaupun tidak stabil adalah kualitas diplomasi. Kualitas diplomasi suatu negara
menggabungkan faktor-‐faktor yang berlainan itu menjadi suatu keseluruhan yang
Makalah Mata Kuliah Theories of War and Modern Strategy
Program Studi Disaster Management for National Security Universitas Pertahanan Indonesia 2010
7
terpadu, memberikan arah dan bobot, dan membangkitkan kemampuan yang tidak
aktif dengan memberikan napas kekuatan yang sesungguhnya.
Cara melaksanakan hubungan luar negari suatu negara oleh para diplomatnya untuk
kekuatan nasional dalam masa damai sama halnya dengan siasat taktik militer oleh
para pemimpin militernya untuk kekuatan nasional dimasa perang. Hal ini
merupakan sebuat kiat supaya unsur kekuatan yang berbeda-‐beda tersebut
mempunyai pengaruh maksimum atas msalah-‐masalah dalam situasi internasional
yang langsung menyangkut kepentingan negara.
i. KUALITAS PEMERINTAHAN
Politik luar negeri yang disusun dengan baik dan dilaksanakan dengan mahir, yang
memanfaatkan sumber daya material dan manusia yang berlimpah-‐limpah, pasti
menjadi sia-‐sia kalau politik itu tidak dapat memanfaatkan perintah yang baik. Dari
segi kekuatan nasional, perintah yang baik tersebut berarti tiga hal yaitu :
- Perimbangan antara sumber daya material dan manusia yang ikut membentuk
kekuatan nasional dan politik luar negeri yang akan ditempuh,
- Perimbangan antara sumber daya – sumber daya yang ada,
- Dukungan rakyat untuk politik luar negeri yang akan ditempuh.
Kualitas pemerintah dipengaruhi oleh masalah perimbangan sumberdaya dan politik,
Masalah perimbangan diantara sumber daya, masalah dukungan rakyat dan pemerintah
dalam negeri dan politik luar negeri.
KESIMPULAN EVALUASI ATAS KEKUATAN NASIONAL
Terdapat tiga faktor yang menjadi penentu dalam kekuatan suatu bangsa yaitu
Geopolitik, Nasionalisme dan Militerisme. Faktor geopolitk menjadi hal yang mutlak
yang menentukan kekuatan suatu bangsa, meskipun geografi bersifat statis, tetapi
masyarakat yang hidup didalamnya bersifat dinamis.
Makalah Mata Kuliah Theories of War and Modern Strategy
Program Studi Disaster Management for National Security Universitas Pertahanan Indonesia 2010
8
BAB IV
BATAS-‐BATAS KEKUATAN NASIONAL :
PERIMBANGAN KEKUASAAN
Perimbangan kekuasaan dan politik adalah aspirasi beberapa pihak bangsa untuk
memperoleh kekuasaan dan masing-‐masing berupaya mempertahankan atau
menumbangkan status quo, memaksakan perkembangan kearah suatu susunan
(konfigurasi) baru. Politik luar negeri berdasarkan perimbangan kekuasaan merupakan
salah satu dari sekian banyak politik luar negeri. Politik perimbangan kekuasaan yang
bertujuan melestarikan sangat perlu sebagai faktor stabilitas didalam masyarakat
bangsa-‐bangsa yang berdaulat.
EKUILIBRIUM SOSIAL
Berarti stabilitas di dalam suatu system yang terdiri dari beberapa kekuatan yang
otonom, dan apabila ekuilibriumnya terganggu oleh kekuatan luar ataupun oleh
perubahan salah satu dari unsur penyusunan system, maka system tersebut cenderung
mengembalikan pada keadaan semula atau mencapai ekuilibrium yang baru.
a. Pola Utama Dari Perimbangan Kekuasaan
1. Pola perlawanan langsung
2. Pola persaingan
b. Cara Perimbangan Kekuasaan
1. Memecah belah untuk menguasai
2. Kompensasi-‐kompensasi
3. Persenjataan
4. Persekutuan
KONSEP EKUILIBRIUM = PERIMBANGAN
Makalah Mata Kuliah Theories of War and Modern Strategy
Program Studi Disaster Management for National Security Universitas Pertahanan Indonesia 2010
9
c. Struktur Perimbangan Kekuasaan
1. Sistem Dominan
2. Sistem Bergantung
BAB V
BATAS-‐BATAS KEKUATAN NASIONAL :
MORAL INTERNASIONAL DAN OPINI UMUM DUNIA
Aturan perilaku yang berbeda-‐beda dalam masyarakat cenderung saling bebenturan,
sehingga suatu masyarakat dapat berhadapan dengan dua aturan yang saling bertolak
belakang di saat bersamaan. Setiap individu masyarakat akan cenderung berpihak pada
salah satu dan mengabaikan yang lain, tergantung kekuatan relatif dari masing-‐masing
aturan tersebut. Menurut Morgenthau, sepanjang abad pertengahan hingga abad ke-‐19,
peradaban barat tidak berhasil menghilangkan perebutan kekuasaan dalam negeri,
tetapi telah terjadi pergeseran metode perebutan kekuasaan yang relatif lebih maju.
Pada tataran teori, banyak konsep yang berkembang mengenai norma yang seharusnya
berlaku dalam hubungan internasional. Namun seberapa efektifnya konsep-‐konsep
tersebut mengendalikan para pelakunya masih banyak dipertanyakan. Pada
prakteknya, ada semacam penghalang para negarawan yang membatasi gerak mereka
sehingga tidak bertindak semaunya dalam memperjuangkan eksistensi negaranya
dalam politik internasional. Dalam catatan sejarah, hambatan-‐hambatan norma tersebut
relatif lebih efektif dalam menjaga perdamaian antar bangsa.
EVOLUSI KONSEP PERLINDUNGAN JIWA MANUSIA
A. Dalam Situasi Damai
Pada era dimana Eropa dikuasai oleh kerajaan-‐kerajaan, pembunuhan terhadap lawan
politik atau musuh kerajaan menjadi suatu hal yang lazim dalam hubungan antar
negara. Pada era selanjutnya (era republik), berangsur-‐angsur cara tersebut hilang dan
dianggap sebagai perbuatan tercela serta melanggar moral dalam politik internasional.
Hal ini membuat kalangan aristokrat atau penguasa negara cenderung tidak memilih
cara ini demi untuk menjaga nama baiknya dimata bangsa lain.
Makalah Mata Kuliah Theories of War and Modern Strategy
Program Studi Disaster Management for National Security Universitas Pertahanan Indonesia 2010
10
B. Dalam Situasi Perang
Pada abad pertengahan, perang dianggap suatu hal yang melibatkan semua lapisan
masyarakat dari dua pihak/negara yang bertikai. Hal ini menyebabkan pada masa
tersebut perang dapat berakhir dengan suatu pembantaian massal dari pihak yang
kalah, termasuk perempuan dan anak-‐anak yang sebenarnya tidak terlibat dalam
perang tersebut. Sejak perang Tiga Puluh Tahun, terjadi perubahan mendasar dengan
adanya batasan bahwa perang terjadi hanya antara angkatan bersenjata yang
berkonflik. Salah satu konsekuensi dari aturan ini, warga sipil yang tidak ikut
mengangkat senjata harus dilindungi keselamatannya. Konsep ini kemudian dituangkan
dalam berbagai perjanjian serta termanifestasikan dengan terbentuknya Palang Merah
Internasional. Selain itu, dalam perjanjian antar negara setelah abad ke-‐18 juga muncul
poin-‐poin tentang pembatasan kerusakan akibat perang, seperti pembatasan perang
laut (Deklarasi Paris 1856), pembatasan persenjataan (deklarasi Den Haag 1899). Meski
demikian, catatan Morgenthau tidak ada konsekuensi yang tegas sehingga pelanggaran
perjanjian oleh salah satu pihak amat mungkin terjadi.
C. Kutukan Moral atas Perang
Pembatasan melalui norma sebagaimana disebutkan sebelumnya telah berdampak pada
munculnya keraguan kalangan negarawan mengenai kebijakan yang harus diambil
seputar konflik luar negeri. Hal ini mendorong negara-‐negara Eropa cenderung
mengambil langkah yang mencegah terjadinya perang, meskipun langkah tersebut
terkadang merugikan mereka. Kehancuran sistemik yang disebabkan perang pada masa
sebelumnya membuat negara-‐negara cenderung mengeluarkan kecaman atas
peperangan yang terjadi di negara lain, untuk menghindari imbas negatif pada
negaranya.
MORALITAS INTERNASIONAL DAN PERANG TOTAL
Makalah Mata Kuliah Theories of War and Modern Strategy
Program Studi Disaster Management for National Security Universitas Pertahanan Indonesia 2010
11
Batasan-‐batasan moral internasional yang diharapkan dapat mencegah pecahnya
perang, berhadapan dengan munculnya gagasan mengenai adanya keterikatan antara
industri serta sumberdaya sipil dengan kekuatan angkatan bersenjata suatu negara.
Perkembangan gagasan ini menurut Morgenthau melemahkan batasan norma
internasional seiring meningkatnya pembenaran-‐pembenaran dari pihak-‐pihak yang
melancarkan aksi agresif yang melanggar batasan norma tersebut. Morgenthau, yaitu
perkembangan moralitas perang modern.
Puncaknya adalah saat Perang Dunia II dimana teknologi sudah sedemikian
berkembang. Kemajuan teknologi memungkinkan pihak-‐pihak yang bertikai tidak
berhadapan satu-‐lawan-‐satu di medan perang. Senjata pemusnah massal dapat
diluncurkan hanya dengan menekan tombol sehingga jatuhnya korban sipil oleh pihak
yang bertikai tidak mampu ditahan dengan batasan norma yang ada. Hal ini membuat
batasan norma internasional dapat berlaku dimasa damai tetapi menjadi sangat tidak
efektif ketika perang terjadi.
MORALITAS UNIVERSAL VS UNIVERSALISME NASIONALIS
Etika Pribadi dalam Dunia yang Aristokratis
Sistem pemerintahan monarki dan aristokrasi yang dominan digunakan pada abad ke-‐
17 dan ke-‐18 memiliki suatu kelebihan dalam beberapa sisi. Pada era ini dimungkinkan
pejabat dari suatu negara/kerajaan memiliki kerabat yang menjadi pejabat di negara
yang berbeda. Selain itu, praktek suap kepada diplomat atau pejabat dari negara lain
merupakan suatu hal yang lazim terjadi. Hubungan diplomatik antara dua negara dapat
berjalan damai dengan adanya hadiah-‐hadiah diplomatik yang diberikan kepada para
diplomat asing. Kombinasi kedua kondisi tersebut menciptakan sistem pengendali yang
cukup efektif untuk mencegah perang di masa tersebut. Konflik antar negara dapat
berakhir dengan jalan kompromistis yang lebih damai dibandingkan berakhir dengan
peperangan.
Pada era aristokrasi ini, moralitas internasional menjadi tanggung jawab penguasa
tinggi (raja atau segolongan kecil aristokrat). Kedua kondisi diatas membentuk sistem
nilai yang bertujuan menjaga eksistensi kalangan aristokrasi yang bersifat
Makalah Mata Kuliah Theories of War and Modern Strategy
Program Studi Disaster Management for National Security Universitas Pertahanan Indonesia 2010
12
supranasional. Kepatuhan seorang kepala negara atau penentu kebijakan terhadap
norma diatas menjadi penentu harga diri dan martabat kepala negara diantara kepala
negara lain serta kalangan aristokrat disekitarnya. Secara tidak langsung, ini menjadi
batasan norma internasional yang efektif pada masa tersebut.
PENGHANCURAN MORALITAS INTERNASIONAL
Perubahan sistem kenegaraan menjadi sistem demokratis membuat kekuasaan
pemerintah dapat diduduki oleh masyarakat luas melalui mekanisme pemilihan. Hal ini
banyak berdampak pada sistem nilai yang sebelumnya ada. Kepemimpinan negara yang
sebelumnya berorientasi loyalitas terhadap golongan/dinasti tertentu berubah menjadi
loyalitas terhadap nilai-‐nilai kolektif dan ideologi negara. Gratifikasi atau praktek suap
yang sebelumnya dianggap wajar berubah menjadi suatu praktek pengkhianatan
seorang diplomat terhadap negaranya.
Pada era perkembangan demokrasi pasca abad ke-‐19, nasib pemerintahan ditentukan
oleh hubungan antara legislatif dengan eksekutif. Tidak seperti masa sebelumnya,
pencopotan jabatan publik akibat kebijakan yang diambil menjadi suatu kewajaran.
Kebijakan luar negeri yang diambil oleh negara tidak lagi menjadi tanggung jawab
individu kepala negara tetapi tanggung jawab dari eksekutif dan legislatif kepada
seluruh rakyat yang dinaunginya. Hal ini membuat batasan norma yang ada pada era
aristokrasi tidak lagi efektif. Hal ini menurut Morgenthau merupakan kemunduran
dalam hal hubungan antar negara.
KEHANCURAN MASYARAKAT INTERNASIONAL
Dampak lebih jauh dari perubahan dari era aristokrasi menuju era demokrasi tidak saja
meruntuhkan sistem moral internasional, tetapi juga masyarakat yang ada didalamnya.
Masyarakat internasional, menurut Morgenthau mengalami perubahan dari masyarakat
yang kosmopolitan menjadi negara bangsa yang independen yang mengusung nilai
Nasionalisme masing-‐masing. Hal ini terjadi seiring semakin lemahnya ikatan antar
penguasa dari berbagai negara yang tidak lagi berdasar kekerabatan.
KEMENANGAN NASIONALISME ATAS INTERNASIONALISME
Makalah Mata Kuliah Theories of War and Modern Strategy
Program Studi Disaster Management for National Security Universitas Pertahanan Indonesia 2010
13
Para ideolog demokrasi, berpendapat demokratisasi akan membentuk masyarakat
internasional yang stabil dan minim konflik. Pada kenyataannya, yang terjadi cenderung
sebaliknya. Tidak adanya sistem moral internasional yang menggantikan sistem
aristokrasi di era sebelumnya membuat negara-‐negara yang baru terbentuk cenderung
berjalan sendiri-‐sendiri dengan etika nasionalnya masing-‐masing. Morgenthau
berpendapat bahwa negara-‐negara tersebut akan cenderung memperjuangkan
eksistensi kepentingan nasionalnya dalam hubungan internasional.
Ada tiga perbedaan mendasar dari era demokrasi dibandingkan dengan era
sebelumnya. Pertama, meningkatnya kemampuan negara dalam memberlakukan
tekanan moral kepada anggota-‐anggotanya. Kedua, menguatnya loyalitas individu pada
negaranya dapat menjadi pembenaran seseorang untuk mengabaikan etika
internasional. Konflik moral antara etika internasional dengan kepentingan nasional
akan cenderung dimenangkan oleh kepentingan nasional.
TRANSFORMASI NASIONALISME
Negara-‐negara nasional yang terbentuk pada abad ke-‐19 dan abad ke-‐20, menurut
Morgenthau memiliki kecenderungan yang sama untuk mentransformasi sistem
nilainya masing-‐masing menjadi gagasan sistem moral supranasional sesuai penafsiran
masing-‐masing negara. Dampaknya, politik internasional menjadi arena kompetisi bagi
berbagai konsep sistem moral internasional tersebut. Hal ini menjadi legitimasi dari
negara yang kuat untuk mendorong negara lain menerima konsep mereka. Perang
Dunia II menjadi momentum dimulainya perlombaan sistem moral dan politik yang
berakhir pada dominasi dua kekuatan besar, Demokrasi dan Sosialisme.
HAM DAN MORALITAS INTERNASIONAL
Pada era selanjutnya, masalah HAM dianggap urusan yang tak terpisahkan dari masalah
politik luar negeri dan moralitas internasional. Realita aktual menunjukkan tidak semua
negara demokratis tumbuh menjadi negara sejahtera, ketika pada saat yang sama,
negara otoriter/tidak demokratis justru dapat menjadi negara makmur. Hal ini
memunculkan pemikiran bahwa negara yang dianggap superior (Amerika menurut
pandangan Morgenthau) tidak dapat memaksakan sistem nilainya diadopsi oleh negara
Makalah Mata Kuliah Theories of War and Modern Strategy
Program Studi Disaster Management for National Security Universitas Pertahanan Indonesia 2010
14
lain, tetapi mereka dapat menarik perhatian bangsa lain akan keunggulan sistem nilai
yang mereka miliki. Salah satu sistem nilai yang dimaksud Morgenthau adalah HAM
yang dalam pandangannya merupakan suatu nilai yang telah diterapkan secara mapan
di Amerika. Ia membantah pemikiran Woodrow Wilson tentang cara yang harus
ditempuh Amerika untuk membuat dunia aman bagi keberjalanan demokrasi. Selain
karena masalah HAM tidak dapat dipaksakan untuk diterapkan pada semua negara,
Morgenthau meragukan Amerika (simbol negara adikuasa) dapat bersikap konsisten
dalam penerapan HAM ketika menghadapi pihak-‐pihak yang berbeda.
Contoh gagal dari pemaksaan sistem nilai oleh Amerika kepada negara lain adalah pada
kasus pembantaian rakyat Kamboja sepanjang 1970-‐an akhir hingga 1980-‐an awal.
Kamboja yang pada awalnya tidak terlibat konflik Vietnam-‐AS, dipaksa untuk terlibat
ketika AS memborbardir wilayahnya dan didorong untuk membantu AS dalam usaha
memenangkan perang Vietnam. Uluran bantuan pasca kehancuran sistemik yang
dirasakan Kamboja, tidak lantas membuat AS dapat menghapus ‘dosanya’ tersebut.
Pelajaran yang dapat diambil, para negarawan harus cermat dalam menentukan
kebijakan yang diambilnya dan harus siap bertanggung jawab terhadap dampak tak
terduga dari kebijakan yang diambil.
OPINI UMUM DUNIA
Istilah ‘opini umum dunia’ dapat diartikan sebagai opini kolektif yang menyatukan
berbagai pihak yang berbeda dalam suat kemufakatan yang cakupannya melampaui
batas-‐batas negara. Bagi beberapa pihak, konsep opini umum dunia dianggap sebagai
kunci dari berjalannya Liga Bangsa-‐Bangsa dan berbagai perjanjian antar negara. Tetapi
Morgenthau berpendapat bahwa konsep ini merupakan pemikiran yang keliru dan
tidak terbukti sepanjang catatan sejarah. Menurutnya, meski konsep opini umum dunia
benar-‐benar eksis sekalipun, keberadaannya diragukan dapat mempengaruhi kebijakan
politik luar negeri dari negara yang ditentangnya.
KESATUAN PSIKOLOGIS DUNIA
Berbagai bentuk kebutuhan manusia untuk mempertahankan kehidupannya
memunculkan motif sosial yang dapat menjadi pemicu konflik antar sesamanya. Pola
Makalah Mata Kuliah Theories of War and Modern Strategy
Program Studi Disaster Management for National Security Universitas Pertahanan Indonesia 2010
15
ciri psikologis yang cenderung seragam antara manusia dari berbagai bangsa mendasari
lahirnya teori tentang adanya opini umum dunia. Akan tetapi pada kenyataannya,
konsep moral dan politik yang sama dapat memiliki arti berbeda dalam masyarakat
yang berbeda.
AMBIGUITAS PENYATUAN TEKNOLOGI
Banyak ahli memprediksi bahwa seiring pesatnya perkembangan teknologi, arus
komunikasi dan informasi akan semakin tanpa batas. Hal ini akan mendorong
terbentuknya opini bersama dari berbagai belahan dunia yang cenderung homogen.
Morgenthau tidak sepakat dengan anggapan ini. Menurutnya perkembangan
regulasi/aturan akan mengikuti perkembangan teknologi, sehingga informasi yang
tersebar kepada publik cenderung terbatasi oleh kepentingan pihak yang
kuat/berpengaruh. Selain itu adanya sistem nilai (adat istiadat, norma lokal, ideologi,
agama) yang berbeda dari tiap komunitas dan individu menyebabkan distorsi
penafsiran dari informasi tersebut, yang membuat ‘opini umum internasional’ sulit
untuk benar-‐benar terwujud.
HAMBATAN NASIONALISME
Suatu peristiwa besar dalam hubungan internasional seperti konflik atau peperangan
akan memicu respons dari berbagai regional atau negara. Umumnya respon yang
muncul terutama datang dari pihak-‐pihak yang berkepentingan dengan dua kubu yang
bertikai atau berpotensi terkena imbas dari konflik tersebut. Hal ini mendorong pihak-‐
pihak yang khawatir tersebut untuk menggalang dukungan internasional untuk
mengecam terjadinya konflik tersebut, yang kemungkinan akan mendapat respons yang
berbeda-‐beda dari berbagai negara lainnya. Bagai sebagian ahli, hal ini akan mendorong
opini umum internasional untuk terbentuk. Tetapi hal ini sekali lagi dibantah oleh
Morgenthau, karena menurutnya tiap negara tetap memiliki kecenderungan untuk
merespons masalah internasional sebatas yang terkait kepentingan nasionalnya saja.
KESIMPULAN ‘MORAL INTERNASIONAL DAN OPINI UMUM DUNIA’
Ada suatu pola perubahan sistem moralitas internasional seiring perubahan sistem
politik pemerintahan dari negara-‐negara di dunia. Pada era aristokrasi (Abad Ke-‐17 dan
Makalah Mata Kuliah Theories of War and Modern Strategy
Program Studi Disaster Management for National Security Universitas Pertahanan Indonesia 2010
16
Ke-‐18), terbentuk suatu sistem moralitas internasional yang kuat karena adanya
masyarakat internasional yang kosmopolitan dan ikatan kekerabatan antar pemimpin
negara-‐negara di Eropa. Hal ini berubah pada perkembangan era demokrasi, dimana
kepemimpinan negara tidak lagi terikat dengan hubungan kekerabatan dan tiap negara
memegang sistem nilai nasionalnya masing-‐masing. Perubahan ini berdampak pada
melemahnya sistem moralitas internasional yang sebelumnya secara efektif menjaga
perdamaian internasional.
Faktor teknologi yang semakin pesat berkembang dan kekosongan sistem moralitas
internasional pasca era aristokrasi menyebabkan kekuatan sistem nilai nasional di
masing-‐masing negara semakin menguat pengaruhnya, sehingga negara cenderung
membawa sistem nilai nasionalnya kedalam sistem nilai internasional. Hal ini
mendorong terjadinya kompetisi antar berbagai sistem nilai untuk dan muncul usaha
untuk membentuk sistem moralitas internasional yang baru sesuai sistem nilai nasional
masing-‐masing. Morgenthau berpendapat pembentukan sistem nilai internasional yang
baru akan sangat sulit terwujud, karena sistem moral yang sama dapat memiliki arti
yang berbeda bagi masyarakat/bangsa yang berbeda.
Makalah Mata Kuliah Theories of War and Modern Strategy
Program Studi Disaster Management for National Security Universitas Pertahanan Indonesia 2010
17
BAB VI
HAKIKAT HUKUM INTERNASIONAL
PENGERTIAN HUKUM INTERNASIONAL
Hukum Internasional berkembang pada abad ke lima belas dan enam belas pada saat dikukuhkannya. Perjanjian Westphalia yang dianggap sebagai dasar system hukum internasional modern. Hukum internasional disusun untuk menentukan hak dan kewajiban negara dalam hubungannya satu dengan yang lain. Hukum internasional mempunyai dua makna, yaitu Hukum Internasional dalam arti luas dan Hukum Internasional dalam arti sempit. Hukum Perdata Internasional adalah hukum yang mengatur hubungan perdata yang di dalamnya terdapat suatu elemen asing serta menyentuh lebih dari satu tata hukum dari negara-‐negara yang berlainan. Prof. Muchtar Kusumaatmadja mengartikan hukum perdata internasional sebagai keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan hukum perdata antara para pelaku hukum yang masing-‐masing tunduk pada hukum perdata (nasional) yang berlainan (1990:1). Sedangkan mengenai Hukum Publik Internasional banyak istilah yang digunakan. Ada yang menyebutkan Hukum Internasional (International Law), ada juga yang meyebutkan Hukum Bangsa-‐Bangsa (Law of Nation). Brierly, yang menggunakan istilah Hukum Internasional atau Hukum bangsa-‐Bangsa, mendefinisikannya sebagai sekumpulan aturan-‐aturan dan prinsip tindakan yang mengikat atas negara-‐negara yang beradab dalam hubungan mereka satu dengan yang lainnya (1949:1). Michael Akehurst, yang menggunkan tiga istilah secara bersama-‐sama, hukum internasional, atau kadang-‐kadang disebut hukum public internasional, atau hukum bangsa-‐bangsa, mendefinisikan sebagai system hukum yang mengatur hubungan antara negara-‐negara (1986:1). Namun demikian lebih lanjut dia menyatakan, bahwa pada suatu saat hanya negaralah yang mempunyai hak dan kewajiban dalam hukum internasional, namun
Makalah Mata Kuliah Theories of War and Modern Strategy
Program Studi Disaster Management for National Security Universitas Pertahanan Indonesia 2010
18
untuk saat sekarang ini organisasi internasional, kompani maupun individu juga memiliki hak-‐hak dan kewajiban-‐kewajiban di bawah hukum internasional. Rebecca mendefinisikan bahwa hukum internasional sekarang mengacu pada peraturan-‐peraturan dan norma-‐norma yang mengatur tindakan negara-‐negara dan kesatuan lain yang pada suatu saat diakui mempunyai kepribadian internasional, seperti misalnya organisasi internasionaldan individu, dalam hal hubungan satu dengan lainnya (1993:1). Sementara itu Oppenheim mendefinisikan hukum bangsa-‐bangsa atau hukum internasional sebagai suatu sebutan untuk sekumpulan aturan-‐aturan kebiasaan dan traktat yang secara hukum mengikat negara-‐negara dalam hubungan mereka satu dengan yang lainnya (1966:4). Sedangkan menurut Mochtar Kusumaatmadja, hukum internasional didefinisikan sebagai keseluruhan kaidah dan asas yang mengatur hubungan atau pesoalan yang melintasi batas negara antara negara dengan negara, negara dengan subjek hukum lain bukan negara atau subjek hukum bukan negara satu sama lain. Definisi yang lebih lengkap adalah definisi yang dikemukakan oleh Charles Cheney Hyde, sebagaimana dikutip oleh Starke (1984). Hukum Internasional didefinisikan sebagai kumpulan hukum yang untuk sebagian besar terdiri atas prinsip-‐prinsip dan aturan-‐aturan perilaku terhadap mana negara-‐negara tersebut merasa dirinya terikat untuk mentaatinya dank arena itu pada umumnya memang mentaatinya dalam hubungan antar negara itu satu sama lain, dan yang juga meliputi: • aturan-‐aturan hukum yang bertalian dengan berfungsinya lembaga-‐lembaga dan
organisasi-‐organisasi internasional, hubungan-‐hubungna lembaga atau organisasi yang satu dengan lainnya dan hubungan lembaga atau organisasi itu dengan negara-‐negara dan individu-‐individu.
• aturan-‐aturan hukum tertentu yang bertalian dengan individi-‐individu dan satuan-‐satuan bukan negara sejauh hak-‐hak dan kewajiban-‐kewajiban pada individu dan satuan-‐satuan bukan negara itu merupakan kepentingan masyarakat internasional.
FUNGSI LEGISLATIF DALAM HUKUM INTERNASIONAL
Dalam pergaulan internasional hanya ada 2 (dua) hal yang dianggap sebagai alasan
dalam penetapan hukum antar negara, yaitu kepentingan dan kesepakatan bersama.
Makalah Mata Kuliah Theories of War and Modern Strategy
Program Studi Disaster Management for National Security Universitas Pertahanan Indonesia 2010
19
Dalam penetapan hukum internasional terutama yang bersifat bilateral dibutuhkan
kesepakatan antar negara yang bersangkutan, dan kesepakatan ini bersifat mengikat,
artinya apabila salah satu negara melanggar perjanjian tersebut maka secara otomatis
perjanjian tersebut akan batal secara hukum. Karena perjanjian ini tidak mengikat
negara-‐negara lain yang tidak terlibat dalam perjajian tersebut. Dalam implementasi
hukum internasional ini juga bersifat desentralisasi ke negara-‐negara yang
bersangkutan. Peraturan-‐peraturan lain yang terkait secara langsung akan terikat pada
perjanjian yang dibuat. Yang perlu diperhatikan disini terkait dengan desentralisasi
hukum internasioanla adalah kemungkinan adanya interpretasi yang berbeda antar
negara dalam mengimplementasikannya di dalam kebijakan dalam negeri negara
tersebut. Masalah sosialisasi juga sangat diperlukan terutama kepada masyarakat,
karena masyarakat seringkali tidak memahami perjanjian yang telah disepakati
antarnegara, terutama yang terkait langsung dengan masalah individu, misalnya
imigrasi, perdagangan, masalah batas laut dan lain sebagainya.
PENGADILAN INTERNASIONAL
Pada permulaan abad XX, Liga Bangsa-‐Bangsa mendorong masyarakat internasional untuk membentuk suatu badan peradilan yang bersifat permanent, yaitu mulai dari komposisi, organisasi, wewenang dan tata kerjanya sudah dibuat sebelumnya dan bebas dari kehendak negara-‐negara yang bersengketa. Pasal 14 Liga Bangsa-‐Bangsa menugaskan Dewan untuk menyiapkan sebuah institusi Mahkamah Permanen Internasional. Namun, walaupun didirikan oleh Liga Bangsa-‐Bangsa, Mahkamah Permanen Internasional, bukanlah organ dari Organisasi Internasional tersebut. Hingga pada tahun 1945, setelah berakhirnya Perang Dunia II, maka negara-‐negara di dunia mengadakan konferensi di San Fransisco untuk membentuk Mahkamah Internasional yang baru. Di San Fransisco inilah, kemudian dirumuskan Piagam Perserikatan Bangsa-‐Bangsa dan Statuta Mahkamah Internasional. Menurut Pasal 92 Piagam Perserikatan Bangsa-‐Bangsa disebutkan bahwa Mahkamah Internasional merupakan organ hukum utama dari Perserikatan Bangsa-‐Bangsa. Namun sesungguhnya, pendirian Mahkamah Internasional yang baru ini, pada dasarnya hanyalah merupakan kelanjutan dari Mahkamah Internasional yang lama, karena banyak nomor-‐nomor dan pasal-‐pasal yang tidak mengalami perubahan secara signifikan.
Makalah Mata Kuliah Theories of War and Modern Strategy
Program Studi Disaster Management for National Security Universitas Pertahanan Indonesia 2010
20
MAHKAMAH INTERNASIONAL Tahun 1946 PBB mendirikan Mahkamah Internasional atas dasar Piagam Pengadilan Tinggi Internasional. Mahkamah Internasional ini berkedudukan di DenHaag, Belanda. Latar belakang terbentuknya Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ICJ) tidak terlepas dari hasil konverensi internasional yang diadakan di San Fransisco pada tahun 1945. Konverensi ini juga telah melahirkan Perserikatan Bangsa-‐bangsa (The United Nations/UN) yang merupakan organisasi internasional yang memiliki internasional legal personal. Ide mengenai lahirnya PBB tidak terlepas dari konsep pembentukan Liga Bangsa-‐bangsa (League of Nations) tahun 1922 yang juga mendirikan Mahkamah Internasional Permanen (The Permanent Court of International Justice/PCIJ) sebagai upaya untuk mempertahankan perdamaian serta upaya menyelesaikan sengketa secara damai. Namun ada perbedaan mendasar antara PCIJ dan ICJ yaitu bahwa negara anggota Liga Bangsa-‐bangsa tidak secara otomatis menjadi anggota PCIJ. Hal ini berbeda dengan anggota PBB yang otomatis juga merupakan anggota atau pihak yang dapat berperkara dalam Mahkamah Internasional berdasarkan pasal 19 (1) Piagam Mahkamah Internasional. Mahkamah Internasional dibentuk berdasarkan suatu statuta yang dikenal dengan nama Statuta of International Court of Justice. Statuta ini dibentuk berdasarkan statuta Mahkamah Internasional Permanen/PCIJ yang telah dibubarkan dengan berbagai penyesuaian dan perombakan sesuai keadaan organisasi yang baru yaitu sebagai salah satu organ utama PBB. Dengan demikian muncul beberapa pendapat yang menyatakan bahwa Mahkamah Internasional adalah pengganti dari Mahkamah Internasional Permanen/PCIJ yang telah dibubarkan. Sedangkan Pasal 36 (5) Statuta Mahkamah Internasional secara tegas menyatakan bahwa bila ada negara yang menerima yurisdiksi PCIJ dengan suatu deklarasi sepihak maka hal ini dianggap juga ditujukan kepada Mahkamah Internasional. Walaupun demikian hal ini masih tergantung apakah deklarasi tersebut masih berlaku dan memiliki syarat-‐syarat tertentu. Sebagai contoh gugatan yang dilakukan oleh Portugal terhadap India dalam kasus The Right of Passage didasarkan pada Deklarasi tentang penerimaan yurisdiksi PCIJ oleh India pada tahun 1940. Gugatan Portugal yang diajukan kepada Mahkamah
Makalah Mata Kuliah Theories of War and Modern Strategy
Program Studi Disaster Management for National Security Universitas Pertahanan Indonesia 2010
21
Internasional pada tahun 1955 masih dianggap tetap berlaku. Selain itu pasal 37 Statuta Mahkamah menegaskan bahwa suatu perjanjian atau konvensi yang masih mempunyai kekuatan berlaku dan dalam klausulnya menyatakan bahwa bila terjadi sengketa antar pihak-‐pihak akan diselesaikan ke PCIJ, maka penyelesaian sengketa tersebut harus dianggap ditujukan kepada Mahkamah internasional. Hal lainnya yang memperkuat pendapat bahwa Mahkamah Internasional adalah pengganti PCIJ adalah dalam ketentuan hukum acara yang berlaku atau Rules of Court berasal dari Rule of Court PCIJ yang mengalami perubahan. Dengan demikian terbentuknya Mahkamah Internasional tidak bisa dilepaskan dari peran Mahkamah Internasional permanen yang dibentuk oleh Liga Bangsa-‐Bangsa pada tahun 1922. Fakta yang muncul banyak kasus-‐kasu yang PCIJ yang tidak selesai dilanjutkan oleh Mahkamah Internasional. Mahkamah Internasional merupakan salah satu organ utama PBB selain Majelis Umum, Dewan Keamanan, Dewan perwalian, Sekretariat Jenderal dan Dewan Ekonomi dan Sosial serta Mahkamah Internasional. Sebagai salah satu organ utama PBB terbentuknya Mahkamah Internasional tidak terlepas dari tujuan dibentuknya PBB. Hal ini tercantum secara tegas didalam Piagam PBB yang menyatakan : “Untuk mempertahankan perdamaian dan kemanan dunia dan untuk mencapai tujuan tersebut perlu mengadakan tindakan-‐tindakan bersama yang efektif untuk mencegah dan meniadakan ancaman terhadap perdamaian serta untuk menanggulangi tindakan-‐tindakan agresi atau pelanggaran atas perdamaian dengan cara damai sesuai dengan prinsip-‐prinsip keadilan dan ketentuan hukum internasional, perukunan atau penyelesaian sengketa internasional atau keadaan yang mengancam perdamaian internasional.” Tujuan diatas menegaskan perlunya dibentuk suatu lembaga atau badan peradilan yang diberi wewenang menyelesaikan sengketa secara damai. Piagam PBB mengatur mengenai Mahkamah Internasional pada Bab XIV khususnya pasal 92 hingga 96. Fungsi Mahkamah Internasional Menunaikan dua fungsi penting bagi masyarakat internasional : • Pengambil keputusan dalam sengketa dua negara (contentious jurisdiction)
Makalah Mata Kuliah Theories of War and Modern Strategy
Program Studi Disaster Management for National Security Universitas Pertahanan Indonesia 2010
22
Contoh fungsi pertama : Mahkamah Internasional juga memutuskan pertikaian Indonesia Malaysia soal pulau-‐pulau Sipadan dan Ligitan di Selat Sulawesi. Kedua pulau itu diserahkan kepada Malaysia.
• Sebagai pemberi nasihat hukum atas sebuah permasalahan yang diajukan oleh Majelis Umum PBB (advisory opinion) Contoh fungsi kedua :Sidang Majelis Umum PBB pada Desember 2003 pernah meminta pendapat Mahkamah Internasional tentang dampak hukum pembangunan tembok pemisah antara wilayah Israel dan Palestina. Berlawanan dengan keinginan Israel dan Amerika Serikat, Mahkamah Internasional berpendapat bahwa tembok itu ilegal dan oleh karenanya pendudukan Israel di wilayah Palestina bertentangan dengan hukum internasional.
Proses Penyelesaian Sengketa Oleh Mahkamah Internasional Dalam proses penyelesaian sengketa Mahkamah Internasional bersifat pasif artinya hanya akan bereaksi dan mengambil tindakan-‐tindakan bila ada pihak-‐pihak berperkara mengajukan ke Mahkamah Internasional. Dengan kata lain Mahkamah Internasional tidak dapat mengambil inisiatif terlebih dahulu untuk memulai suatu perkara. Sebenarnya hanya negara sebagai pihak yang boleh mengajukan perkara kepada Mahkamah Internasional. Karena itu perseorangan, badan hukum, serta organisasi internasional tidak dapat menjadi pihak untuk berperkara ke Mahkamah internasional. Jika masalah antara dua negara tidak bisa diselesaikan melalui jalur diplomasi maka bisa diajukan ke Mahkamah Internasional. Tidak hanya persoalan-‐persoalan politik saja, tapi juga untuk kasus lingkungan hidup, ekonomi dll. Keputusan Mahkamah Internasional menurut dia bersifat mutlak, artinya pihak yang kalah tidak dapat mengganggu gugat dan mengajukan banding atas keputusan itu. Secara umum, Mahkamah Internasional mempunyai kewenangan untuk:
1. Melaksanakan “Contentious Jurisdiction”, yaitu yurisdiksi atas perkara biasa, yang didasarkan pada persetujuan para pihak yang bersengketa;
2. Memberikan “Advisory Opinion”, yaitu pendapat mahkamah yang bersifat nasehat. Advisory Opinion tidaklah memiliki sifat mengikat bagi yang meminta, namun biasanya diberlakukan sebagai “Compulsory Ruling”, yaitu keputusan
Makalah Mata Kuliah Theories of War and Modern Strategy
Program Studi Disaster Management for National Security Universitas Pertahanan Indonesia 2010
23
wajib yang mempunyai kuasa persuasive kuat (Burhan Tsani, 1990; 217) Sedangkan, menurut Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional, sumber-‐sumber hukum internasional yang dipakai oleh Mahkamah dalam mengadili perkara, adalah:
1. Perjanjian internasional (international conventions), baik yang bersifat umum, maupun khusus;
2. Kebiasaan internasional (international custom); 3. Prinsip-‐prinsip hukum umum (general principles of law) yang diakui oleh
negara-‐negara beradab; 4. Keputusan pengadilan (judicial decision) dan pendapat para ahli yang telah
diakui kepakarannya, yang merupakan sumber hukum internasional tambahan. Mahkamah Internasional juga sebenarnya bisa mengajukan keputusan ex aequo et bono, yaitu didasarkan pada keadilan dan kebaikan, dan bukan berdasarkan hukum, namun hal ini bisa dilakukan jika ada kesepakatan antar negara-‐negara yang bersengketa. Keputusan Mahkamah Internasional sifatnya final, tidak dapat banding dan hanya mengikat para pihak. Keputusan juga diambil atas dasar suara mayoritas. Yang dapat menjadi pihak hanyalah negara, namun semua jenis sengketa dapat diajukan ke Mahkamah Internasional. Masalah pengajuan sengketa bisa dilakukan oleh salah satu pihak secara unilateral, namun kemudian harus ada persetujuan dari pihak yang lain. Jika tidak ada persetujuan, maka perkara akan di hapus dari daftar Mahkamah Internasional, karena Mahkamah Internasional tidak akan memutus perkara secara in-‐absensia (tidak hadirnya para pihak).
BENTUK-‐BENTUK PERJANJIAN
Dalam hukum internasional, perjanjian memainkan peran yang sangat signifikan. Selain sebagai sumber hukum formil, perjanjian juga mencantumkan hak dan kewajiban masing-‐masing subyek hukum. Oleh karena itu, untuk meneguhkan komitmen dalam sebuah relasi, saat ini negara-‐negara lebih banyak untuk memformulasikanya dalam bentuk perjanjian. Pilihan bentuk perjanjian dalam hukum internasional dewasa ini dapat di bagi dua yaitu bentuk hard law atau soft law. Dalam literatur hukum internasional, argumentasi
Makalah Mata Kuliah Theories of War and Modern Strategy
Program Studi Disaster Management for National Security Universitas Pertahanan Indonesia 2010
24
perbedaan antara kedua bentuk perjanjian tersebut masih menjadi perdebatan. Namun, secara sederhana, biasanya hard law diartikan sebagai perjanjian yang memiliki kekuatan mengikat secara hukum sedangkan soft law hanya mengikat secara moral. Untuk memudahkan identifikasi antara perjanjian yang bersifat hard law dengan soft law, biasanya dapat dikenali dari penggunaan nama perjanjian itu. Hard law umumnya akan menggunakan istilah konvensi, konvenan, protokol dan treaty, sedangkan soft law menggunakan istilah deklarasi, rekomendasi, serta rencana aksi (action of plan). Bentuk dan istilah perjanjian Internasional antara lain adalah : Konvensi / Covenant Istilah ini digunakan untuk perjanjian – perjanjian resmi yang bersifat multilateral, termasuk perjanjian perjanjian yang dibuat oleh lembaga dan organisasi internasional, baik yang berada si bawah PBB maupun yang independen (berdiri sendiri).
Protokol Bisa termasuk tambahan suatu kovensi yang berisi ketentuan – ketentuan tambahan yang tidak dimasukkan dalam kovensi, atau pembatasan-‐pembatasan oleh negara penandatangan. Protokol juga dapat berupa alat tambahan bagi kovensi, tetapi sifat dan pelaksanaannya bebas, dan tidak perlu diratifikasi. Ada juga protokol sebagai perjanjian yang sama sekali berdiri sendiri (independen).
Persetujuan (agreement) Persetujuan (agreement) biasanya bersifat kurang resmi dibanding perjanjian atau kovensi. Umumnya persetujuan (agreement) digunakan untuk persetujuan – persetujuan yang ruang lingkupnya lebih sempit atau yang sifatnya lebih tehnis dan administratif, dan pihak – pihak yang terlibat lebih sedikit dibandingkan kovensi biasa. Persetujuan (agreement) cukup ditandatangani oleh wakil – wakil departemen pemerintahan dan tidak perlu ratifikasi.
Arrangement Hampir sama dengan persetujuan (agreement), umumnya digunakan untuk hal – hal yang sifatnya mengatur dan temporer.
Statuta Bisa berupa himpunan peraturan – peraturan penting tentang pelaksanaan fungsi lembaga Internasional Statuta juga bisa berupa himpunan peraturan – peraturan yang di bentuk bedasarkan persetujuan internasional tentang pelaksanaan fungsi – fungsi suatu institusi (lembaga) khusus dibawah pengawasan lembaga / badan – badan internasional. Dapat juga statuta sebagai alat tambahan suatu kovensi yang menetapkan peraturan – peraturan yang akan di terapkan.
Deklarasi Istilah ini dapat berarti : Perjanjian yang sebenarnya -‐ Dokumen tidak
Makalah Mata Kuliah Theories of War and Modern Strategy
Program Studi Disaster Management for National Security Universitas Pertahanan Indonesia 2010
25
resmi, yang dilampirkan pada suatu perjanjian. Persetujuan tidak resmi tentang hal yang kurang penting -‐ Resolusi oleh Konferensi Diplomatik
Mutual Legal Assistance Perjanjian yang diadakan antara dua negara atau lebih dalam rangka memberikan bantuan yang bersifat untuk saling membantu.
BAB VII
POLITIK INTERNASIONAL DALAM DUNIA KONTEMPORER
KEKUATAN MORAL BARU UNIVERSALISME NASIONAL
1. Nasionalisme lama dan baru
Menurut Morgenthau, konsep nasionalisme dibedakan menjadi 2 yaitu
nasionalisme lama (tradisional) dan nasionalisme baru (universalisme
nasionalis).
Nasionalisme tradisionil mencadi ciri nasionalisme abad 19, dimana
nasionalisme ini berusaha membebaskan bangsa dari dominasi asing dan
memberikan bangsa yang bersangkutan wujud dari nasionalismenya sendiri.
Dengan kata lain bagi nasionalisme abad 19 ini bangsalah yang menjadi tujuan
akhir tindakan politik. Sekali suatu bangsa dapat mempersatukan anggota-‐
anggotanya dalam suatu Negara maka aspirasi-‐aspirasi nasional telah terpenuhi
sehingga dapat melestarikan negaranya sendiri.
Universalime nasionalis merupakan ciri nasionalisme abad ke 20, dimana bangsa
hanya merupakan titik tolak bagi sebuah misi universal yang tujuan akhirnya
menjangkau batas-‐batas dunia politik. Dengan kata lain universilisme nasionalis
menuntut suatu bangsa dan Negara untuk mengenakan nilai-‐nilainya dan
ukuran-‐ukuan dasarnya sendiri terhadap semua bangsa lainnya.
2. Propaganda.
Kekuatan moral baru dari universalisme nasionalis ini telah menambah dimensi
baru pada susunan politik internasioanal dimensi mengenai peperangan urat
syaraf atau propaganda. Propaganda pada abad sekarang jangkauan dan
Makalah Mata Kuliah Theories of War and Modern Strategy
Program Studi Disaster Management for National Security Universitas Pertahanan Indonesia 2010
26
efektifitasnya telah meningkat dengan hebatnya sejak perang dunia II.
Propaganda merupakan peralatan yang otonom dari politi luar negeri untuk
mencapai tujuan oltik luar negeri yaitu mempromosikan kepentingan sendiri
dengan cara mengubah pikiran penentangnya. Dalam menjalankan propaganda
ada 3 (tiga prinsip yang harus dikelola dengan baik yaitu hubungan antara isi
propaganda dengan efektivitasnya, hubungan antara propaganda dengan
pengalaman-‐pengalaman hidup serta kepentingan-‐kepentingan yang akan
dijangkau serta hubungan antara propaganda dengan politik luar negeri yang
dianutnya.
PERIMBANGAN KEKUASAAN BARU
1. Kecenderungan Kearah Sistem 2 Blok
Perimbangan kekuasaan dalam politik internasional mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Pada pecahnya Perang Dunia I, terdapat 8 (delapan) Negara besar, yaitu Austria, Perancis, Jerman, Inggris Raya, Italia, Jepang, Jumlah negara besar pada akhir Perang Dunia menurun drastis menjadi 3 negara besar yaitu Inggris Raya. Selanjutnya perubahan perimbangan kekuasaan terjadi lagi dengan gagalnya Inggris Raya sebagai kekuatan pengimbang, sehingga sistem kekuasaan dalam politik internasional berubah menjadi sistem 2 blok. Uni Soviet dan Amerika Serikat saling berlomba menanamkan pengaruhnya pada negara lain dengan berbagai cara sehinga dampaknya negara-‐negara di dunia terbagi menjadi 2 dimana negara-‐negara Eropa Timur, Jerman Timur dan beberapa negara Asia seperti Cina, Korea Utara, Kamboja, Laos dan Vietnam berada dibawah pengaruh Uni Soviet yangselanjutnya dikenal dengan Blok Timur. Sementara negara-‐negara Eropa Barat dan banyaknegara di Asia, Afrika, dan Amerika Latin berada dibawah kekuasaan Amerika Serikat yangselanjutnya dikenal dengan Blok Barat.
2. Kelanjutan dari Perang Dingin
Jika dahulu (menurut Von Clausewitz) perang dianggap sebagai kelanjutan
diplomasi dengan sarana lain, maka sekarang seni diplomasi diubah menjadi
suatu jenis dari seni perang. Dalam perang dingin, tujuan-‐tujuan perang
diperjuangkan untuk sementara waktu dengan menggunakan sarana lain yang
bukan kekerasan. Dengan demikian situasi internasional telah menjadi
Makalah Mata Kuliah Theories of War and Modern Strategy
Program Studi Disaster Management for National Security Universitas Pertahanan Indonesia 2010
27
pertunjukan primitive dari dua raksasa yang saling mengawasi dengan penuh
kecurigaan dan kewaspadaan. Masing-‐masing menggalang segala usaha untuk
meningkatkan potensi militernya sampai sebesar-‐besarnya sehingga bisa saling
mengungguli. Kedua-‐duanya bersiap-‐siaga untuk yang pertama memberikan
pukulan yang menentukan, menaklukkan atau ditaklukkan, menggempur atau
digempur, menahan atau ditahan menjadi semboyan perang dingin.
PERANG TOTAL
1. Perang oleh Rakyat Semesta
Perang pada abad 20 dicirikan dengan berubahnya tujuan perang dari
pembebasan nasional dan unifikasi nasional menjadi universalisme nasionalis,
sehingga keterlibatan penduduk dalam peperangan menjadi semakin besar. Pada
negara-‐negara totalizer, wajib militer tidak hanya dikenakan pada penduduk
yang berbadan sehat, tetapi melibatkan juga wanita dan anak-‐anak . Sementara
di negara non totalizer keterlibatan wanita diminta atas dasar sukarela. Pada
abad ke 16,17 dan 18 jumlah tentara yang terlibat perang sampai puluhan ribu.
Pada peperangan napoleon jumlah tentara mencapai ratusan ribu. Pada Perang
Dunia I jumlahnya melewati satu juta , sedangkan pada Perang Dunia II jumlah
tentara mencapai lebih dari sepuluh juta orang. Dengan berkembangnya
mekanisasi persenjataan, perbekalan, transportasi dan komunikasi menuntut
keterlibatan penduduk untuk mengawaki bidang-‐bidang tersebut sehingga
perang modern benar-‐benar telah menjadi perang oleh rakyat semesta.
2. Mekanisasi Total, Perang Total dan Penguasaan Total.
Abad 19 dan 20 diwarnai dengan tiga revolusi besar yaitu revolusi moral, politik
dan teknik. Ketiga revolusi tersebut mempunyai kontribusi terhadap sifat perang
yang disebut dengan perang total yaitu perang mengerahkan segala sumber daya
yang ada pada negara/bangsa untuk menguasai dunia. Menurut Morgenthau
perang total mensyaratkan mekanisasi total, dan perang hanya dapat menjadi
total sampai ke taraf ketotalan mekanisasi dari bangsa yang mengadakan
peperangan tersebut.
Makalah Mata Kuliah Theories of War and Modern Strategy
Program Studi Disaster Management for National Security Universitas Pertahanan Indonesia 2010
28
Perang total yang dilakukan oleh seluruh penduduk demi taruhan-‐taruhan total
dapat berakhir dengan penguasaan dunia atau penghancuran dunia atau kedua-‐
duanya.