prinsip perlakuan khusus dan berbeda dalam … · perdagangan multilateral wto itu sendiri,...
TRANSCRIPT
SIPENDIKUM 2018
394
PRINSIP PERLAKUAN KHUSUS DAN BERBEDA DALAM SISTEM
PERDAGANGAN MULTILATERAL WORLD TRADE ORGANIZATION:
SUATU TINJAUAN YURIDIS HUKUM
Maslihati Nur Hidayati1
Email: [email protected]
Abstract
The existence of the World Trade Organization (WTO) is expected to be
instrumental in promoting economic development of countries in the world,
particularly the developing country members. Various kinds of
arrangements, principles and rules have been agreed among the members in
order to harmonize all the existing rules applicable for international trade,
which then is expected to create a multilateral trading system acceptable to
all parties. One important principle in the WTO Agreement is the principle
of special and differential treatment; i.e. different treatment for developing
countries (and also the least developed countries) in their obligations to
apply the WTO Agreement. Hopefully, the existence of this principle is not
contrary to the multilateral trading system that should be always free and
fair. Nevertheless, the application of this principle can become questionable
if we compare it to the sense of justice in general. On the other hand, the
usefulness of this principle depends on how each of developing and
underdeveloped countries utilize it in order to facilitate the economic
development of their country. This study will analyze how developing
countries can take full advantage of the international trade arrangement
and implement the principles and rules on special and differential treatment
in the various rules in the field of international trade within the context of
economic development. This can be crucial, considering that developing
countries members is currently working hard to develop the economy, to
reduce poverty and to align themselves with other countries in the world.
This is the basic core of the existence of the WTO's multilateral trading
system.
Keywords: special and differential treatment, developing countries.
Pendahuluan
Seperti diketahui bersama, perdagangan internasional tidak saja baru dimulai
ketika perundingan General Agreement on Tarrifs and Trade dimulai pada tahun 1947
yang lalu (dan untuk selanjutnya disebut dengan GATT 1947). Munculnya perdagangan
yang bersifat lintas batas telah ada jauh sebelumnya. Seperti dikutip oleh Raj Bhala
yang berasal dari essay pada zaman Roman (65-8 BC), bahwa ”Tuhan menciptakan
lautan dalam rangka mendukung adanya interaksi dan memfasilitasi perdagangan bagi
1 Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia.
SIPENDIKUM 2018
395
seluruh manusia di bumi. Dengan adanya laut pertukaran menjadi mungkin...manusia
akan buas dan miskin”.2
Dapat dikatakan bahwa hadirnya perdagangan internasional merupakan
pengejewantahan adanya doktrin ”universal economy”, dimana harapannya
perdagangan antar wilayah (region) adalah yang membawa kebermanfaatan dan bebas
dari intervensi.3 Selanjutnya di jelaskan bahwa hendaknya makna perdagangan
internasional ini dalam rangka memberikan nilai tambah (value added) bagi umat
manusia, tidak hanya merupakan aktivitas ekonomi semata akan tetapi ada nilai moral
didalamnya. Ditegaskan pula, bahwa produksi dalam negeri (domestic production)
dianggap lebih bermartabat dibandingkan perdagangan itu sendiri.4
Doktrin tersebut, pada akhirnya menghasilkan suatu aktivitas lintas batas yang
disebut dengan globalisasi ekonomi. Adapun yang dimaksud dengan globalisasi seperti
yang dikutip oleh Peter van den Bossche mengenai konsep globalisasi sebagai berikut5:
“the closer integration of the countries and peoples of the world has been
brought about by the enermous redustion of costs of transportation and
communication, and the breaking down of artificial barriers to the flow of
goods, capital, knowledge and (to a lesser extent) people across border”
Sedangkan perdagangan yang terjadi antar wilayah/negara adalah sebagai akibat
dari adanya globalisasi itu sendiri. Berdasarkan semangat itulah, perjalanan perundingan
dalam bidang perdagangan internasional dimulai. Pada akhirnya, melahirkan satu
organisasi perdagangan dunia pada tahun 1994 yang lalu.
Keberadaan World Trade Organization (WTO) sebagai suatu organisasi
internasional, memiliki peran yang penting dalam lalu lintas perdagangan internasional,
khususnya dalam meningkatkan pembangunan ekonomi dan pengurangan kemiskinan.6
Lebih khusus keberadaan organisasi ini harus memastikan bahwa terpenuhinya semua
kebutuhan dan keuntungan atas kesempatan kesejahteraan yang semakin meningkat
dalam konteks sistem perdagangan multilateral khususnya bagi negara-negara
berkembang dimana sebagian besar negara-negara anggota WTO berada dalam kategori
ini, sebagaimana para anggota WTO menyatakan pada Doha Ministerial Declaration,
bahwa:7
"International trade can play a major role in the promotion of economic
development and the alleviation of poverty. We recognize the need for all our
peoples to benefit from the increased opportunities and welfare gains that the
2 Raj Bhala, International Trade Law: Interdisciplinary Theory and Practices, 3
rd ed, (San Francisco:
LexisNexis, 2008), hal. 3. 3 Ibid., hal. 4. Menurut data yang penulis dapat, ahli yang mengemukakan doktrin “universal economy”
ini dikemukakan oleh Seneca The Younger (4 BC-50 AD) dalam Naturale Quaestiones. 4 Ibid., hal ini dikemukakan oleh St. Aquinas dalam Summa Theologia.
5 Peter van den Bossche, The Law and Policy of the World Trade Organization: Text, Cases and
Materials, (New York: Cambridge University Press, 2005), hal.3. 6 Jane Kelsey, “World Trade And Small Nations In The South Pasific Region”, Kansas Journal Law &
Public Policy, Winter, 2005, hal. 247. 7 Lihat Pada Doha Ministerial Declaration.
SIPENDIKUM 2018
396
multilateral trading system generates. The majority of WTO members are
developing countries. We seek to place their needs and interests at the heart of
the Work Programme adopted in this Declaration. Recalling the Preamble to the
Marrakesh Agreement, we shall continue to make positive efforts designed to
ensure that developing countries, and especially the least-developed among
them, secure a share in the growth of world trade commensurate with the needs
of their economic development…..”..
Harapannya, setiap negara akan mendapatkan manfaat dari adanya
perdagangan internasional,8 tidak terkecuali Indonesia. Supachai Panitchpakdi
9, seperti
yang dikutip oleh Peter van den Bossche, menyatakan adanya perdagangan
internasional meningkatkan perdagangan diantara negara berkembang khususnya, dan
perdagangan dunia pada umumnya.10
Dapat dipahami, bahwa keberadaan negara yang memiliki kepentingan
ekonominya masing-masing menuntut untuk semakin meningkatkan interaksi antar
negara. Adapun yang menjadi tujuan dari proses interaksi ini pada umumnya adalah
agar masing-masing negara memiliki kesempatan untuk memenuhi kebutuhan dalam
negeri bagi negaranya, hal ini mengingat bahwa keberadaan negara-negara di dunia
memiliki perbedaan kemampuan dari segi ekonomi maupun teknologinya.11
Globalisasi,
menurut penulis mengakibatkan berkembangnya saling ketergantungan pelaku-pelaku
ekonomi dunia. Kecenderungan manusia untuk tidak dapat lepas dari bantuan dan
pertolongan orang lain, dapat dilihat dalam interaksi kehidupan antar negara.
Perbedaan kemampuan ekonomi dan teknologi yang berbeda dari masing-
masing negara mengakibatkan adanya pengklasifikasian negara-negara. Pada umumnya,
keberadaan negara-negara di dunia dapat dikelompokkan dengan beberapa klasifikasi.
Klasifikasi yang pertama adalah klasifikasi negara maju, negara berkembang dan
negara-negara yang tergabung dalam Least Economic Development Country (LEDC)
atau yang biasa dikenal dengan negara-negara terbelakang.12
Pengklasifikasian negara-
negara tersebut sederhananya didasarkan pada kemampuan ekonomi masing-masing
negara.13
Walaupun secara sedehana, atas pengkajian terhadap pembangunan ekonomi
8 Peter van den Bossche, The Law and Policy of the World Trade Organization: Text, Cases and
Materials, (New York: Cambridge University Press, 2005), hal. 19. 9 Merupakan Direktur Jenderal WTO periode 2002-2005 yang berasal dari Thailand.
10 Menyatakan sebagai berikut: ”Enhanced South-South activity offers a potentially great source of
expanded trade opprtunities in the coming trade. Between 1990 and 2001, South-South trade grew faster
than world trade with the share of intra-develboping country trade in world merchandise exports rising
from 6,5 % to 10,6 %”. Lihat selanjutnya dalam Peter Van Den Boscche, op.cit., hal. 9. 11
Michael J. Trebilcock dan Robert Howse, The Regulation of International Trade, (London: TJ
International Ltd, 1995), hal., 367. 12
. Lihat dalam http://www.data.world bank.org/region. Diakses pada 24 Maret 2014 pukul 04.30 WIB.
Lihat juga dalam E. Wayne Nafziger, The Economics of Developing Countries, (New Jersey: Prentice-
Hall Inc, 1990), hal. 20. 13
Andrew D Mitchell, A legal principle of special and differential treatment for WTO disputes, World
Trade Review, Cambridge University Press, 2013, hal. 447.
SIPENDIKUM 2018
397
atas suatu negara, klasifikasi negara dibedakan atas negara kaya dan negara miskin (rich
and poor countries).14
Kelemahan ekonomi yang dimiliki oleh negara berkembang dan negara
terbelakang menuntut negara-negara untuk terus melakukan aspek pembangunan bagi
negaranya.15
Salah satu caranya adalah dengan terlibat aktif dalam kegiatan-kegiatan
perdagangan internasional,16
khususnya melalui keterlibatan aktif dalam sistem
perdagangan multilateral WTO itu sendiri, termasuk di antaranya adalah Indonesia.
Namun demikian, permasalahan yang muncul adalah kemampuan ekonomi yang
jauh lebih lemah dibandingkan dengan negara maju seringkali mengakibatkan negara
berkembang tidak memiliki posisi tawar atas kebijakan liberalisasi perdagangan yang
ada.17
Di sisi lain, bagi negara-negara berkembang terhadap negara-negara maju,
menuntut adanya suatu sistem yang mampu memberikan perlakuan yang berbeda bagi
negara-negara anggota lainnya yang jauh lebih lemah sehingga mampu menutupi
perbedaan kemampuan yang dimiliki.18
Hal ini mengingat, negara berkembang selalu
dihadapkan pada persepsi mengenai ketidakmampuan melaksanakan beban dan
kewajiban yang timbul dari kebijakan-kebijakan perdagangan.19
Hal inilah yang menurut penulis, perlu diperhatikan oleh WTO sebagai
organisasi perdagangan dunia saat ini. Dimana tugas utama WTO saat ini adalah
sebagai organisasi perdagangan dunia yang bertujuan dalam rangka meningkatkan
perdagangan dunia melalui pengurangan hambatan baik yang bersifat tarif maupun non-
tarif. Selain itu, dengan kehadiran organisasi ini, diharapkan dapat menata sistem
perdagangan dunia yang efektif dan efisien bagi para pelaku ekonomi dunia.20
Disisi
lain, organisasi ini diharapkan dapat menjadi forum negosiasi masing-masing negara
anggotanya atas kepentingan ekonomi masing-masing.21
14
Ibid., pembahasan selanjutnya mengenai klasifiasi negara lihat pada bagian konsep. 15
Edward Kwakwa, “Reflections on Development, Developing Countries And The Progressive
Development Of International Trade And Intellectual Property Law”, Denver Journal of International
Law And Policy, 40Th
Anniversar"y Edition, 2012, hal. 222. 16
Sayera J Iqbal Qasim, “Collective Action In The WTO: A Developing Movement Toward Free Trade”,
University of Memphis Law Review, 2008, hal. 155. 17
Hikmahanto Juwana, Dalam Pidato Pengukuhan diucapkan pada upacara penerimaan jabatan Guru
Besar Tetap dalam bidang Hukum Internasional pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia Depok, 10
November 2001, hal. 13-14. Liberalisasi itu sendiri erat kaitannya dengan makna liberalism yang
dimaknai dengan pandangan yang beranggapan bahwa untuk mencapai kemajuan ekonomi, negara
sedapat mungkin tidak campur tangan dalam kehidupan ekonomi (lihat selanjutnya dalam Peter van den
Bossche, op.cit., hal. 17). 18
HS Kartadjoemena, GATT dan WTO: Sistem,Forum dan Lembaga Internasional di Bidang
Perdagangan, (Jakarta: UI Press, 1996), hal., 230. 19
Ibid., hal., 346. 20
Ernst-Ulrich Petersman, International Trade Law and the GATT/WTO Disputes Settlement System,
(London: Kluwer Law International Ltd, 1997), hal.11. 21
Ibid., hal. 12. Dikemukakan sebagai berikut WTO adalah “As a global integration agreement, which
regulates international movements of goods, services, persons, capital and related payment in an
integrated manner, the WTO Agreement reduces the current frmentation of separate international
agreement and organizations for movements of goods, services, persons, capital and payment”.
SIPENDIKUM 2018
398
Keberadaan WTO dihadapkan pada tuntutan perlakuan yang sama diantara
seluruh negara anggotanya tanpa terkecuali. Prinsip non diskriminasi hadir sebagai
salah satu core principle yang mendasari seluruh perjanjian dan menjiwai seluruh
perundingan yang ada.22
Tanpa meniadakan kenyataan bahwa kemampuan masing-
masing negara memang dihadapkan pada kemampuan ekonomi yang berbeda, sehingga
akan selalu dihadapkan pada kemampuan yang berbeda dalam melaksanakan setiap
kewajiban sebagai hasil perundingan dari WTO Agreement itu sendiri.
Adanya kepentingan dan kebutuhan dari negara-negara berkembang, khususnya
negara-negara terbelakang, telah menjadi suatu kebutuhan yang sangat besar melebihi
apa yang menjadi kegiatan dan perhatian WTO selama ini sejak tahun 2001 setelah
pertemuan tingkat menteri pada Doha Round. Pada pertemuan Doha itu sendiri, para
anggota WTO telah mengadopsi Decisions on Implementation Related Issues and
Concerns, berkaitan dengan masalah-masalah yang dihadapi oleh negara berkembang
dalam melaksanakan WTO Agreement yang merupakan hasil dari perundingan Uruguay
Round.23
Hal inilah yang selanjutnya mendasari berkembang salah satu prinsip penting
dalam keseluruhan perundingan perdagangan internasional yang terwadahi melalui
forum WTO, yaitu special and differential treatment (dan untuk selanjutnya disebut
sebagai perlakuan khusus dan berbeda). Harapannya, prinsip mengenai perlakuan
khusus dan berbeda ini hadir dalam rangka menjamin bahwa negara berkembang,
khususnya negara terbelakang, dapat tetap bergabung dalam sistem perdagangan
multilateral dan juga dapat meningkatkan peran mereka dalam perdagangan
internasional, WTO telah memberikan berbagai macam perlakuan khusus yang
disesuaikan dengan kebutuhan dan kepentingan mereka pada perdagangan
internasional24
. WTO Agreement telah memfasilitasi dengan adanya ketentuan
mengenai perlakuan khusus dan berbeda yang tersebar di berbagai perjanjian dalam
WTO Agreement.25
Metode
Pendekatan Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian yang menggunakan pendekatan Black Letter.
Menurut Michael Salter dan Julie Mason dalam bukunya yang berjudul Writing Law
22
Bernard Hoekman, “Proposals For WTO Reform: A Systhesis And Assessment”, Minnesota Journal of
International Law, Summer, 2011, hal. 329. 23
http://www.unctad.org/dispute/courses, Dispute Settlement Training Course Modules, 3.1 overview,
hal. 30. 24
Douglas Ierley, “Defining The Factors That Influence Developing Country Compliance With And
Participation In The WTO Dispute Settlement System: Another Look At The Dispute Over Bananas”, Law
and Policy in International Business, 2002. 25
Nandang Sutrisno, ” Substantive Justice Formulated, Implemented, And Enforced as Formal and
Procedural Justice: A lesson From WTO Special And Differential Treatment Provisions For Developing
Countries”, Journal of Gender, Race and Justice, Spring 2010. hal. 678-679.
SIPENDIKUM 2018
399
Dissertations: An Introduction and Guide the Conduct of Legal Research bahwa
pendekatan black letter adalah cara khusus dalam menginterpretasikan apa yang
dianggap sebagai penelitian hukum, termasuk didalamnya bahan-bahan apa saja yang
dianggap relevan. Dengan kata lain, pendekatan ini bukan hanya sekedar membahas
mengenai perspektif saja, atau bahkan gaya dalam mengartikulasikan, tetapi merupakan
skema interpretatif terhadap semua kategori dari cara pandang dan asumsi yang ada,
memperhatikan bekerjanya dua hal tersebut (skema interpretatif dan asumsi) dan
membatasi maksud yang ada didalamnya.26
Dalam konteks yang lain, menurut penulis
pendekatan black letter ini adalah apa yang dianggap sebagai penelitian hukum
normatif, yaitu metode penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum untuk
memahami penerapan norma-norma hukum terhadap fakta-fakta yang tersaji yang
dalam hal ini keberadaannya untuk mengubah keadaan dan menawarkan penyelesaian
yang berpotensi untuk menyelesaikan setiap masalah kemasyarakatan yang konkret27
.
Pilihan tersebut di atas penulis pilih dalam rangka memahami penerapan norma-norma
hukum yang terdapat dalam perjanjian WTO dengan terlebih dahulu mengungkapkan
latar belakang pentingnya perlakuan khusus dan berbeda dalam konteks perdagangan
internasional khususnya.
Dengan demikian, penelitian ini adalah penelitian doktrinal28
yaitu penelitian
untuk menemukan kaedah hukum, dalam hal ini, kaedah hukum tersebut adalah kaedah
yang akan menentukan apa yang menjadi kewajiban dan hak yuridis subyek hukum
dalam situasi kemasyarakatan tertentu berdasarkan kerangka tatanan hukum yang
berlaku dengan selalu mengacu kepada positivitas, koherensi, keadilan dan martabat
manusia29
. Dalam hal ini untuk mengetahui keberadaan prinsip perlakuan khusus dan
berbeda dalam sistem perdagangan multilateral WTO.
Pengumpulan Data
Sebagai suatu penelitian hukum normatif, penelitian ini mengacu pada analisis norma
hukum, dalam arti law as it is written in the books. Dengan demikian, objek yang
dianalisis adalah norma hukum yang terdapat dalam data sekunder yang dikumpulkan
dengan melakukan studi pustaka, yaitu mengkaji tentang perjanjian-perjanjian yang
26
Michael Salter dan Julie Mason, Writing law Dissertation: An Introduction and Guide to the Conduct
of Legal Research, (England: Pearson Longman, 2007), hal. 44-45. Dalam bukunya, Michael Salter dan
Julie Mason menjelaskan bahwa “A central goal of black letter analysis is to reveal the presence of series
of rules based upon a smaller number of general legal principles defining, for instance, the difference
between valid, voidable and void marriages. The central assumption is that the detailed rules give effect
to, and specify, certain underlying and more general legal principles, such that law can be interpreted as
a more or less rational and coherent system of rules”. Selanjutnya dijelaskan bahwa “…black letter
methodology requires student to rigorously exclude supposedly „external‟ factors, such as policy,
ideological and moral issues regarding same-sex relationships, forced marriages and property ownership
within cohabitation”. 27
Jonny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia Publishing,
2006), hal. 162. 28
Ibid., hal. 163. 29
Ibid.,
SIPENDIKUM 2018
400
terangkum dalam WTO Agreement, khususnya yang pengaturan yang terdapat dalam
Agreement on Agriculture.
Adapun data sekunder yang akan digunakan adalah sebagai berikut:
1. Primary resources, seperti General Establishing of World Trade Organization
dan Agreement on Agriculture.
2. Secondary resources, seperti bahan yang memberikan penjelasan tentang bahan
hukum primer antara lain berupa tulisan atau pendapat pakar hukum mengenai
masalah ekonomi dan perdagangan internasional dalam WTO.
Analisis Data
Analisis yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan metode interpretasi.30
Metode ini digunakan dengan melakukan cross-referencing terhadap semua kategori
bahan hukum yang ada, baik aturan, prinsip hukum, fakta hukum dan kasus-kasus yang
ada.31
Dengan metode ini, berusaha untuk menganalisis sumber hukum secara
mendalam dan menyeluruh. Pilihan atas metode tersebut agar dapat diperoleh gambaran
yang menyeluruh dari fenomena hukum yang dikaji. Sehingga dengan demikian
penelitian ini akan mendapatkan jawaban dari permasalahan yang diangkat dalam
penelitian ini.
Results
Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa prinsip perlakuan khusus dan
berbeda merupakan upaya positif yang dilakukan terus menerus dalam rangka
mengintegrasikan negara-negara berkembang dan negara terbelakang dalam sistem
perdagangan dunia.32
Adapun yang menjadi inti dari perlakuan khusus dan berbeda ini
adalah negara berkembang dihadapkan pada penafsiran bahwa adanya persepsi
mengenai perbedaan kemampuan dalam menjalankan kewajiban-kewajiban yang timbul
akibat dari perjanjian yang ada dalam WTO. Perbedaan kemampuan itu diakibatkan
karena adanya perbedaan kemampuan yang dimiliki antara negara maju dan negara
berkembang serta negara terbelakang.33
Selanjutnya, dijelaskan bahwa perlakuan khusus dan berbeda ini dapat dibagi
dalam enam kategori, sebagai berikut:34
1. Ketentuan-ketentuan yang ditujukan dalam meningkatkan kesempatan
perdagangan bagi anggota yang berasal dari negara berkembang.
2. Ketentuan-ketentuan yang mengharuskan negara-negara anggota lainnya
melindungi kepentingan dari anggota yang berasal dari negara berkembang.
30
Michael Salter dan Julie Mason, op.cit., hal. 109. 31
Ibid., hal. 113. 32
Peter Van Den Bosche, op.cit., hal. 697. 33
Chiedu Osakwe, “Developing Countries and GATT/WTO Rules: Dynamic Transformations In Trade
Policy Behavior And Performance”, Minnesota Journal of International Las, Summer 2011, hal. 1. 34
Peter Van Den Bosce, op.cit., hal. 697.
SIPENDIKUM 2018
401
3. Ketentuan yang memperbolehkan fleksibilitas komitmen, atas tindakan dan
penggunaan instrument-instrumen kebijakan.
4. Periode waktu transisi.
5. Pendampingan teknis.
6. Ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan anggota yang berasal dari negara
terbelakang.
Ketentuan mengenai hal ini, karena adanya paradigma yang selalu berkembang
dalam perdagangan internasional, sebagai pertimbangan dengan tujuan diharapkan
adanya perkembangan ekonomi bagi negara-negara berkembang. Konsep mengenai
perlakuan khusus dan berbeda ini didasarkan pada konsep mengenai keadilan, yang
selalu dibenarkan atas suatu paradigma liberalisasi yang mengedepankan kebebasan dan
persamaan.35
Inti dasar dari ketentuan mengenai perlakuan khusus dan berbeda ini adalah
bahwa kebutuhan-kebutuhan negara berkembang secara substansi berbeda di
bandingkan dengan negara maju, dengan demikian keberadaan perlakuan khusus dan
berbeda ini pada hal-hal tertentu memperkenankan adanya sisi diskriminasi yang
sebenarnya ingin di hindari dalam sistem perdagangan multilateral di bawah WTO.36
Selanjutnya, bahwa perlakuan khusus dan berbeda ini memang mengakui adanya “gap”
dalam pembangunan ekonomi antara negara maju dan negara berkembang (dan juga
negara terbelakang) sehingga membutuhkan adanya suatu kondisi yang khusus.37
Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa aspek pembangunan ekonomi ini
selalu erat dalam kaitannya dengan meningkatkan standar hidup yang layak bagi seluruh
negara-negara di dunia, dimana hal ini telah di tegaskan dalam bagian pembukaan dari
General Agreement on Trade and Tariff 1947 (dan untuk selanjutnya disingkat dengan
GATT). Kemudian, untuk selanjutnya selalu diupayakan mengenai usaha-usaha positif
untuk memastikan bahwa negara berkembang, dan khususnya negara terbelakang, dapat
tumbuh dan merasakan manfaat positif dari adanya sistem perdagangan multilateral.38
Hal inilah yang mendasari adanya usaha-usaha terus menerus dalam
mengintegrasikan negara-negara berkembang dan negara terbelakang dalam sistem
perdagangan di bawah WTO melalui perlakuan khusus dan berbeda. Usaha-usaha
tersebut pada khususnya menerjemahkan lebih lanjut konteks “perlakuan” atau
treatment yang tidak hanya sebatas pada tataran “kewajiban untuk memperhatikan”
saja, tetapi diterjemahkan lebih lanjut dalam suatu keharusan yang wajib di taati atau
yang bersifat “mandatory” dan lebih jauh menerjemahkan perlakuan khusus dan
35
Andrew D Mitchell, “A legal principle of special and differential treatment for WTO disputes”, World
Trade Review, Cambridge University Press, 2013, hal. 447. 36
Ibid., hal. 446. 37
Andrea M Ewart, “Small Developing States In The WTO: A Procedural Approach To Special And
Differential Treatment Through Reforms To Dispute Settlement”, Syracuse Journal of International Law
and Commerce, 2007, hal. 1. 38
Uche Ewelukwa, Special And Differential Treatment In International Trade Law: A Concept In Search
Of Content, Nort Dakota Law Review, 2003, hal. 832.
SIPENDIKUM 2018
402
berbeda dalam suatu rules yang bersifat binding dan rigid dimana tidak ada
pengecualian bagi siapapun anggota WTO, harus mentaatinya.39
Melepaskan diri dari prinsip dasar non-discrimination yang menjiwai seluruh
perjanjian yang terangkum dalam WTO Agreement, keberadaan perlakuan khusus dan
berbeda ini hadir karena timbulnya perbedaan hak dan tanggung jawab yang
dimandatkan oleh perjanjian itu sendiri.40
Perbedaan tanggung jawab ini hadir karena
dalam perkembangannya, tidak dapat dipungkiri bahwa akan selalu hadir perbedaan
persepsi dalam memikul tanggung jawab atas kewajiban-kewajiban yang dimandatkan
oleh WTO Agreement. Dimana persepsi ini akan selalu hadir dalam konteks
kemampuan berbeda yang dimiliki oleh masing-masing negara anggota WTO.41
Adapun pada dasarnya bukan karena adanya keuntungan yang terbagi rata bagi
negara berkembang dalam konteks perdagangan internasional, akan tetapi didasarkan
pada “perbedaan kondisi” dalam rangka menuju hidup yang lebih baik. Selanjutnya,
ketentuan mengenai perlakuan khusus dan berbeda ini dianggap sebagai legitimate
discrimination atau juga sebagai “illegitimate about tolerated discrimination”.42
Kemudian, apakah kewajiban yang dimiliki oleh negara berkembang sama halnya
dengan kewajiban yang harus dijalankan oleh negara-negara maju lainnya. Inilah yang
mendasari perkembangan dari sistem GATT itu sendiri, dimana adanya upaya berupa
keringanan dan pengecualian yang diberikan kepada negara berkembang.43
Namun demikian, keberadaan pengaturan ini akan terasa keuntungannya bagi
negara berkembang, jika negara berkembang tersebut memanfaatkan perlakuan khusus
dan berbeda ini. Negara berkembang percaya bahwa efektifitas dari penerapan dan
penegakan perlakuan ini akan mendorong pertumbuhan ekonomi negara berkembang
dan dapat mengintegrasikan mereka ke dalam sistem perdagangan multilateral. Akan
tetapi, penerapan dan penegakan perlakuan ini dianggap belum dapat berlaku secara
efektif.44
WTO agreement sendiri telah memfasilitasi setidaknya 145 ketentuan
mengenai perlakuan khusus dan berbeda yang tersebar di seluruh perjanjian yang ada.45
Walaupun disisi lain, secara teoritis, dijelaskan bahwa eksistensi mengenai hal
ini dalam perjanjian WTO masih dipertanyakan. Dijelaskan bahwa eksistensi aturan ini
adalah tidak sejalan dengan kebenaran dasar mengenai filosofis dari suatu perjanjian,
yaitu liberalisme. Filosofi liberal dari WTO, sebagaimana yang direfleksikan dalam
prinsip Most-Favored Nation dan National Treatment yang mensyaratkan adanya
39
Chang-Fa Lo, op.cit., hal. 9. 40
Andrea M. Ewart, Esq, op.cit., hal. 35-40. 41
Ibid., 42
Nandang Sutrisno, op.cit., hal. 673. 43
Ibid., hal.675. 44
Andrea M Ewart, op.cit., hal. 7. 45
Andrea M Ewart, op.cit., hal.7. dengan tujuan sebagai berikut”… aim to increase the trade
opportunities of developing countries, commit to safeguard the interest of developing country members,
provide flexibility of commitments, actions and use of policy instruments, provide transtitional time
periods, promise technical assistance, and assist least-developed country members only.”
SIPENDIKUM 2018
403
perlakuan yang setara bagi semua negara anggota. Sedangkan dalam konsep ini
memerlukan perbedaan perlakuan dalam WTO agar adanya keuntungan bagi anggota
dari negara-negara berkembang. Selanjutnya, eksistensi mengenai aturan ini dalam
WTO Agreement adalah didasarkan pada basis rasional mengenai gagasan
pembangunan. Sehingga dengan demikian, yang menjadi pertanyaan adalah apakah
keberadaan aturan mengenai perlakuan khusus dan berbeda dalam WTO Agreement
telah sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan yang direfleksikan dalam liberalisme
perdagangan internasional.46
Adapun yang menjadi pengertian perlakuan khusus dan berbeda dimaknai
sebagai berikut:47
“The term and special and differential treatment (S&D) refers to trade accords
which have been negotiated to grant developing country export preferential
access to markets of developed countries, and operationalise the notion that
developing countries taking part in trade negotiations have no obligation to
reciprocate fully the concessions they receive. (S&D) also implies longer
timeframes and lower levels of obligations for developing countries for
adherence to the rules. It is a fundamental cross cutting issue for develotping
countries in the Multilateral Trading System (MTS) and is an integral part of the
balance of rights and obligations in the Uruguay Round Agreements”
Hal yang harus dipastikan bahwa keberadaan perlakuan ini adalah dalam rangka
adanya keuntungan yang terbagi dalam kaitannya dengan adanya perbedaan posisi yang
dimiliki dan perhatian yang dimiliki oleh masing-masing negara berkembang.
Sebagaimana ditegaskan dalam bagian pembukaan GATT Ministerial Meeting tahun
1963 sebagai berikut: “in the trade negotiations every effort shall be made to reduce
barriers to exports of less developed countries, but that the developed countries cannot
expect to receive reciprocity rom the less developed countries”.48
Berdasarkan hal tersebut di atas telah ditegaskan bahwa yang menjadi tujuan
penting keberadaan WTO adalah dalam rangka menciptakan standar hidup yang layak,
adanya hasil yang dicapai atas tiap pekerjaan yang dilakukan, adanya pembangunan
ekonomi yang berkelanjutan dan efektifitas atas permintaan, ekspansi atas hasil-hasil
produksi perdagangan, baik perdagangan barang maupun jasa, serta perlindungan atas
lingkungan dunia. Selain itu, dalam rangka pengurangan tarif dan hambatan lainnya
dalam perdagangan dunia dan untuk mengurangi diskriminasi karena adanya perbedaan
kemampuan antara masing-masing negara49
.
46
Nandang Sutrisno, op.cit., hal.678. 47
Ibid., hal.676. 48
Chang-fa Lo, “From S&D Treatment to S7D Agreement under the WTO: Developing Friendlier Global
Governance of Trade for Devloping Countries”, Asian Journal of WTO & International Health Law &
Policy, March, 2006, hal. 3. 49
Raj Bhala, International Trade Law: Interdisciplinary Theory and Practice, (New York: Matthew
Bender & Company, 2008), hal. 37.
SIPENDIKUM 2018
404
Seperti diketahui bersama, bahwa sebagian besar anggota WTO terdiri dari
negara-negara berkembang, sekurangnya 2/3 dari keseluruhan negara-negara anggota
WTO diklasifikasikan sebagai negara berkembang. Jika melihat kondisinya saat ini,
negara berkembang telah menjadi bagian dari keanggotaan WTO dan telah memainkan
peranan yang sangat penting dalam keorganisasian WTO itu sendiri50
.
Selain kategori negara berkembang, dalam keanggotaan WTO juga dikenal
dengan negara terbelakang atau yang biasa disebut dengan least-developed countries
(negara-negara terbelakang). Setidaknya ada 34 negara terbelakang51
yang telah menjadi
bagian dari keanggotaan WTO.52
WTO Agreement telah memfasilitasi keberadaan perlakuan khusus dan berbeda
yang tersebar dalam berbagai perjanjian yang ada, antara lain pada Agreement on
Textile, Agreements on Trade in Goods; the General Agreement on Trade in Services;
The Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property; the Understanding
on Rules and Procedures Governing the Settlement of Disputes; and perjanjian lainnya.
Terdapat 145 ketentuan mengenai perlakuan khusus dan berbeda ini, dimana 22
diantaranya dikhususnya bagi negara-negara anggota terbelakang.53
Berikut ini adalah daftar ketentuan mengenai perlakuan khusus dan berbeda
yang tersebar di berbagai perjanjian WTO yang ada:54
Perjanjian Jumlah
Berdasarkan
perjanjian
Agriculture and 19
Decision on NFIDCs
Application of SPS Measures 5
Textiles and Clothing 6
Technical Barriers to Trade 16
Trade-Related Investment Measures 4
Implementation of Article VI of
GATT 1994
1
50
Peter van den Bossche, op.cit., hal.14. Perkembangan yang sangat penting yang secara nyata terlihat
adalah ketika terjadi pertemuan tingkat Menteri di Doha Round pada November 2001 dan telah
direfleksikan melalui WTO Work Programme yang diadopsi di Doha. Lihat selanjutnya dalam
http://www.unctad.org/dispute/courses, Dispute Settlement Training Course Modules, 3.1 overview hal.
19. 51
Dalam situs resminya, WTO mengumumkan 34 negara yang tergolong sebagai Negara terbelakang per
Maret 2013. Akan tetapi, WTO tidak mengumumkan negara-negara mana saja yang dikategorikan
sebagai negara berkembang dan negara maju. Dipersilahkan kepada masing-masing negara anggota untuk
menilai dirinya berada pada kategori yang mana. Lihat selanjutnya dalam http://www.wto.org. 52
Dispute Settlement Training Course Modules, 3.1 overview, op.cit., 53
Lihat selanjutnya dalam Implementation of Special and Differential Treatment Provisions in WTO
Agreement and Decisions, http://www.wto.org, Committee on Trade and Development on 25 October
2000, diakses pada 15 Januari 2014.
54
Ibid.,
SIPENDIKUM 2018
405
Implementation of Article VII of
GATT 1994 and Decision on Texts
Relating to Minimum Values and
Imports by Sole Agents, Sole
Distributors and Sole Concessionaires
10
Import Licensing Procedures 4
Subsidies and Countervailing
Measures
16
Safeguards 2
GATS 7
TRIPS 6
Understanding on Rules and
Procedures Governing the Settlement
of Disputes.
11
GATT 1994 Article XVIII 3
GATT 1994 Article XXXVI 8
GATT 1994 8
Article XXXVII
GATT 1994 7
Article XXXVIII
Enabling Clause 4
Decision on Measures in Favour of
Least-Developed Countries
7
Waiver preferential tariff treatment of
LDCs.
1
Total 145
Seperti yang telah di jelaskan pada bab sebelumnya, bahwa prinsip perlakuan
khusus dan berbeda adalah salah satu prinsip penting yang menaungi dalam perumusan
berbagai perjanjian WTO. Sebagai salah satu prinsip yang penting, hendaknya prinsip
ini dapat di wujudkan dalam berbagai perjanjian WTO yang ada dalam bentuk
pengaturan konkrit sehingga dapat memiliki kekuatan mengikat bagi negara-negara
peserta WTO untuk dapat mematuhinya.
Pada akhirnya, penerapan prinsip perlakuan khusus dan berbeda terbagi menjadi
6 (enam) kategori dasar, yaitu:55
1. Ketentuan-ketentuan yang bertujukan dalam rangka meningkatkan peluang
perdagangan bagi negara berkembang. Setidaknya terdapat 12 aturan dalam
55
WT/COMTD/W/77 dated 25 October 2000, Implementation On Special and Differential Treatment
Provisions In WTO Agreement And Decisions.
SIPENDIKUM 2018
406
perjanjian WTO mengenai hal ini, antara lain: GATT 1994 (Articles XXXVI-
XXXVIII); Agreement on Agricultur; Textiles and Clothing; the GATS; dan the
Enabling.
2. Ketentuan-ketentuan yang mengharuskan setiap negara anggota menjaga
kepentingan dari negara berkembang. Setidaknya, terdapat 49 ketentuan dalam
13 perjanjian WTO yang mengatur mengenai hal ini, antara lain: Part IV of
GATT 1994; Application of SPS Measures; Textiles and Clothing; Technical
Barriers to Trade; Implementation of Article VI of GATT 1994; Implementation
of Article VII of GATT 1994; Import Licensing Procedures; Subsidies and
Countervailing Measures; Safeguards; GATS; TRIPS; the Understanding on
Rules and Procedures Governing the Settlement of Disputes; the Decision on
Measures Concerning the Possible Negative Effects of the Reform Programme
on Least-Developed and Net Food-Importing Developing Countries dan the
Decision on texts relating to Decision on Texts Relating to Minimum Values
and Imports by Sole Agents, Sole Distributors and Sole Concessionaires.
3. Ketentuan mengenai fleksibilitas atas komitmen, tindakana-tindakan dan
penggunaan instrument kebijakan. Ketentuan ini berkaitan dengan tindakan-
tindakan dari negara berkembang yang mungkin saja akan diambil melalui
pembebasan dari disiplin lain yang berlaku bagi negara-negara anggota secara
umum, pengecualian atas komitmen yang berlaku bagi negara-negara anggota
secara umum, atau untuk mengurangi level komitmen bagi negara berkembang
yang mungkin saja diambil jika dibandingkan dengan anggota lainnya secara
umum. Setidaknya terdapat 30 aturan dalam 9 perjanjian WTO yang berbeda,
yaitu: : GATT 1994 (pasal XVIII and pasal XXXVI); the Agreement on
Agriculture; Technical Barriers to Trade; Trade-Related Investment Measures;
Subsidies and Countervailing Measures; GATS; Understanding on Rules and
Procedures Governing the Settlement of Disputes; GATT 1994 Article XVIII;
dan the Enabling Clause.
4. Ketentuan mengenai periode waktu transisi. Ketentuan ini berkaitan dengan
peniadaan keterikatan periode waktu transisi yang secara umum mengikat bagi
negara-negara anggota secara umum. Setidaknya terdapat 18 aturan dalam 8
perjanjian WTO mengenai hal ini, yaitu: Agriculture; Application of SPS
Measures; Technical Barriers to Trade; Trade-Related Investment Measures;
Implementation of Article VII of GATT 1994; Import Licensing Procedures;
Subsidies and Countervailing Measures; dan Safeguards.
5. Ketentuan mengenai pendampingan teknis. Menurut ketentuan ini, negara
berkembang (dan juga negara terbelakang) dimungkinkan mendapatkan
pendampingan teknis yang disediakan oleh WTO Secretariat dalam kaitannya
dengan pelaksanaan ketentuan-ketentuan WTO yang dianggap masih terlalu sulit
maupun dalam sengketa yang menghadapkan negara berkembang (dan negara
terbelakang) versus negara maju. setidaknya terdapat 14 aturan dalam 6
SIPENDIKUM 2018
407
perjanjian WTO dan satu putusan, yaitu: Application of SPS Measures;
Technical Barriers to Trade; Implementation of Article VII of GATT 1994;
GATS; TRIPS; Understanding on Rules and Procedures Governing the
Settlement of Disputes; and the Decision on NFIDCs.
6. Ketentuan yang dikhususkan bagi negara-negara anggota terbelakang (LDCs).
Ketentuan ini secara eksklusif diberikan kepada negara anggota WTO yang
termasuk dalam kategori negara terbelakang yang pada intinya dalam rangka
meningkatkan kesempatan perdagangan bagi negara terbelakang dan
pengurangan kemiskinan. Setidaknya terdapat 22 aturan dalam 7 perjanjian dan
3 putusan, yaitu: the Agriculture; Textiles and Clothing; Technical Barriers to
Trade; Trade-Related Investment Measures; GATS; TRIPS; Understanding on
Rules and Procedures Governing the Settlement of Disputes; the Enabling
Clause; the Decision on Measures in Favour of Least-Developed Countries; and
the Waiver for preferential market access for LDCs.
Dengan demikian, bahwa keberadaan prinsip perlakuan khusus dan berbeda
harus terintegrasi dalam setiap perundingan yang dilakukan oleh WTO dan harus
terakomodir dalam berbagai perjanjian yang dihasilkan oleh WTO dalam rangka
menjamin diakomodirnya kepentingan anggota negara berkembang dan negara
terbelakang.
Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut:
Pertama, bahwa keberadaan prinsip perlakuan khusus dan berbeda adalah satu
prinsip penting dalam sistem perdagangan multilateral WTO. Keberadaan prinsip ini
harus mampu mengakomodir kondisi tidak berimbang yang di hadapi baik oleh anggota
negara berkembang dan negara terbelakang dari sisi ekonomi. Keberadaan prinsip ini
pada akhirnya harus membawa misi sistem perdagangan multilateral yaitu dalam
rangka menciptakan sistem perdagangan yang adil dan pengentasan kemiskinan. Pada
akhirnya, keberadaan prinsip ini harus dapat diimplementasikan dalam berbagai
pengaturan yang dihasilkan dalam setiap perundingan WTO sebagai bentuk jaminan
kepastian atas pelaksanaan jaminan kepentingan anggota negara berkembang dan
negara terbelakang.
Kedua, bahwa prinsip perlakuan khusus dan berbeda yang terbagi menjadi 6
kategori telah diimplementasi dalam berbagai perjanjian yang dihasilkan dalam setiap
perundingan WTO. Namun demikian, dalam perjalanan harus terus dilakukan
pengawasan dan evaluasi atas pelaksanaan prinsip ini dalam berbagai perjanjian yang
ada dalam rangka mencapai tujuan WTO sebagaimana di sebutkan dalam bagian
pembukaan dari Agreement Establishing of WTO.
SIPENDIKUM 2018
408
Daftar Pustaka
Agreement Between the World Intellectual Property Organization and the World Trade
Organization (1995); Understanding On Rules and Procedures Governing The
Settlement of Disputes; Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual
Property Rights (TRIPs Agreement) (1994): Provisions mentioned in the TRIPs
Agreement Rome Convention (1961), the Treaty on Intellectual Property in
Respect of Integrated Circuits (1989), the General Agreement on Tarrifs and
Trade 1994 (GATT 1994) and the WTO Dispute Settlement Understanding
(1994) (Geneva: WIPO Publication No.223 (E), 1996.
Annual Report World Trade Organization 2012.
Bossche, Peter Van den. 2005. The Law and Policy of the World Trade Organization.
New York: Cambridge University Press.
Brotosusilo, Agus. 2006. Globalisasi Ekonomi dan Perdagangan Internasional: Studi
Tentang Kesiapan Hukum Indonesia Melindungi Produksi Dalam Negeri Melalui
UndangUndang Anti Dumping Dan Safeguard, (Ringkasan Disertasi Pada
Program Doktor Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006).
Bhala, Raj. 2008. International Trade Law: Interdisciplinary Theory and Practice.
New York: Matthew Bender & Company.
D, Andrew Mitchell, 2013. “A legal principle of special and differential treatment for
WTO disputes”, World Trade Review, Cambridge University Press.
E, Amy Sloan. 2003. Basic Legal Research: Tools and Strategies. New York: Aspen
Publishers.
Fa,Chang-Lo, 2006. “From S&D Treatment to S&D Agreement under the WTO:
Developing Friendlier Global Governance of Trade for Devloping Countries”,
Asian Journal of WTO & International Health Law & Policy, March.
Jane Kelsey, 2005. “World Trade And Small Nations In The South Pasific Region”,
Kansas Journal Law & Public Policy, Winter.
J, Sayera Iqbal Qasim, 2011, “Collective Action In The WTO: A Developing
Movement Toward Free Trade”, University of Memphis Law Review, 2008.
Hoekman, Bernard. “Proposals For WTO Reform: A Systhesis And Assessment”,
Minnesota Journal of International Law, Summer.
Ibrahim, Jhony. 2006. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang:
Bayumedia Publishing.
Ierley, Douglas. 2002. “Defining The Factors That Influence Developing Country
Compliance With And Participation In The WTO Dispute Settlement System:
Another Look At The Dispute Over Bananas”, Law and Policy in International
Business.
Juwana, Hikmahanto. 2001. Pidato Pengukuhan diucapkan pada upacara penerimaan
jabatan Guru Besar Tetap dalam bidang Hukum Internasional pada Fakultas
Hukum Universitas Indonesia Depok, 10 November 2001.
SIPENDIKUM 2018
409
Kartadjoemena, HS. 1996. GATT dan WTO: Sistem, Forum dan Lembaga
Internasional di Bidang Perdagngan. Jakarta: UI Press.
M, Andrea Ewart, 2007, “Small Developing States In The WTO: A Procedural
Approach To Special And Differential Treatment Through Reforms To Dispute
Settlement”, Syracuse Journal of International Law and Commerce.
Osakwe, Chiedu. 2007. “Developing Countries and GATT/WTO Rules: Dynamic
Transformations In Trade Policy Behavior And Performance”, Minnesota Journal
of International Las, Summer 2011.
Salter, Michael dan Julie Mason. Writing law Dissertation: An Introduction and Guide
to the Conduct of Legal Research, (England: Pearson Longman..
Sutrisno, Nandang. 2010. ” Substantive Justice Formulated, Implemented, And
Enforced as Formal and Procedural Justice: A lesson From WTO Special And
Differential Treatment Provisions For Developing Countries”, Journal of Gender,
Race and Justice, Spring.
Trebilcock, Michael J. dan Robert Howse, 1995. The Regulation of International
Trade. London: TJ International Ltd.
Ulrich, Ernst Petersman, 1997. International Trade Law and the GATT/WTO Disputes
Settlement System. London: Kluwer Law International Ltd.
Wayne, E. Nafziger, 1990. The Economics of Developing Countries, New Jersey:
Prentice-Hall Inc.
Internet
“Cases on WTO”, <http://www.wto.org>.
Dispute Settlement Training Course Modules, 3.1 overview,
<http://www.unctad.org/dispute/courses>.