prestãsi 95

28
Edisi 95, Maret 2014 * Kairo - Mesir * P Media Silaturahmi, Informasi dan Analisa RESTãSI RESTãSI RESTãSI RESTãSI P P Office : 7/1 Ahmed E1 Zumr St. Block 21 Tenth District Nasr City Cairo Egypt Edisi 95, Maret 2014 Edisi 95, Maret 2014 URBANISASI BUDAYA - Wawancara - dengan Ronny G. Brahmanto, Pimpinan MPA PPMI Periode 2009/2010, Pimpinan MPA KSW Periode 2010/2011 “Ketika ada kejadian yang menggemparkan menjadi perubahan dialektik yang dimaklumi. Yang sebelumnya evolutif sekarang menjadi cepat. Salah satunya misalkan laku-laku bisnis cepat, mungkin juga teknologi. Itu menjadi signifikan apa yang dinamakan urban. Tapi kalau di Kairo apakah sudah dikaji apa belum, belum ada. Hanya pendapat orang yang barangkali hanya baca literatur, yang disepakati dengan diam, dan tiba-tiba diikuti.” -Ronny G. Brahmanto- Komersialisasi dan Kesadaran Tidak Wajar - Teras - - Opini - Urbanisasi Budaya Masisir; Antara Progresifitas Dan Degradasi - Sastra - Memiliki Cinta

Upload: elmuzakky

Post on 26-Nov-2015

51 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Majalah Prestasi adalah majalah yang diterbitkan oleh Kelompok Studi Walisongo (KSW), yaitu kelompok mahasiswa di Mesir yang berasal dari daerah Jawa Tengah dan Yogyakarta.

TRANSCRIPT

Page 1: PRESTãSI 95

Edisi 95, Maret 2014

* Kairo - Mesir * PMedia Silaturahmi, Informasi dan AnalisaRESTãSIRESTãSIRESTãSIRESTãSIPPP

Of

fic

e :

7/

1 A

hm

ed

E1

Zu

mr

St

. B

lo

ck

21

Te

nt

h D

ist

ric

t N

as

r C

ity

Ca

iro

Eg

yp

tEdisi 95, M

aret 2014Edisi 95, M

aret 2014

UR BA N ISA S I BUDA Y A

- Wawancara -

dengan Ronny G. Brahmanto, Pimpinan MPA PPMI Periode 2009/2010, Pimpinan MPA KSW Periode 2010/2011

“Ketika ada kejadian yang menggemparkan menjadi perubahan dialektik yang dimaklumi. Yang

sebelumnya evolutif sekarang menjadi cepat. Salah satunya misalkan laku-laku bisnis cepat, mungkin

juga teknologi. Itu menjadi signifikan apa yang dinamakan urban. Tapi kalau di Kairo apakah sudah dikaji apa belum, belum ada. Hanya pendapat orang

yang barangkali hanya baca literatur, yang disepakati dengan diam, dan tiba-tiba diikuti.”

-Ronny G. Brahmanto-

Komersialisasi dan Kesadaran Tidak Wajar

- Teras -

- Opini -Urbanisasi Budaya Masisir;

Antara Progresifitas Dan Degradasi

- Sastra -Memiliki Cinta

Page 2: PRESTãSI 95

Assalamu'alaikum wa rahmatullah wa barakatuh.

Alhamdulillah, Buletin PRESTãSI Edisi ke-95 terlahir

dari rahim euforia di sepertiga musim dingin, entah

pada hembusan angin ke berapa yang masuk lewat

celah-celah retakan 'imarah. Kesempatan kali ini,

terkhusus sebagai Kru Redaksi PRESTãSI baru, kami

mengangkat tema kebudayaan untuk mengawali

kinerja tim kami. Sebagaimana sebuah hasil

pemikiran manusia yang tidak selalu sama setiap

masanya dan seringkali berganti secara periodik,

tradisi atau budaya juga seringkali bergeser ke

berbagai arah dan nilai mengikuti kondisi

lingkungan dimana manusia hidup. Kami mencoba

menganalisa beberapa isu yang terkait dengan

problematika kebudayaan di lingkungan masisir,

untuk mengetahui ada tidaknya pergeseran dan

nilai apa yang terarahkan dari pergeseran tersebut.

Pergeseran budaya di lingkungan masisir yang kami

amati kami analogikan dengan budaya pedasaan

dan budaya perkotaan, sebagaimana perpindahan

dari desa ke kota atau diistilahkan Urbanisasi. Maka

kami sebut “Urbanisasi Budaya” untuk tema buletin

kali ini. Kritik yang disampaikan semoga dapat

mendapat respon yag baik dari pembaca, dan agar

diniliai sebagai pembelajaran kepada sesama. Kami

ucapkan selaksa terima kasih kepada para redaktur,

Pengurus KSW, para pembimbing atas dukungannya

dan membuat mungkin ini semua terjadi. Harap-

harap cemas tidak berhenti sampai membaca saja

kemudian berlalu, semoga.Sekian, terima kasih. Selamat membaca!

PMedia Silaturahmi, Informasi dan AnalisaRESTãSIRESTãSIRESTãSIRESTãSIPPP

Pelindung: Ketua KSW | Dewan Redaksi: Ronny G. Brahmanto, Landy T. Abdurrahman, Muhammad Fardan Satrio Wibowo, Uly Ni'matil Izzah, Nashifuddin Luthfi | Pimpinan

Umum: Choiriya Dina Safina | Pimppinan Redaksi: Muhammad Fadhilah Rizqi | Pimppinan Usaha: Sopandi | Sekretaris Redaksi: Wais Al-Qorny | Redaktur Pelaksa: Muhammad Miftakhuddin Wibowo, Zulfah Nur Alimah, Zuhal Qobili, Rizqi Fitrianto | Reporter: Muhammad Nurul Mahdi, Iis Isti'anah, Fathimah Imam Syuhodo | Distributor: Azhar Hanif, Mahfud Washim | Layouter: Alaik Fashalli, al-Muzakky | Karikaturis: Rijal Rizkillah | Editor: Muhammad Ulul Albab Mushofa, Annisa Fadhilah, Abdul Wahid Satunggal

Redaksi menerima tulisan dan artikel yang sesuai dengan visi-

misi buletin. Saran dan kritik kirim

ke facebook kami: Prestãsi KSW.

Dari Redaksi 02

Editorial 03

Teras 04

Analisa Nusantara 06

Timur Tengah 08

Opini 10

Kajian 12

Lensa KSW 16

Wawancara 18

Resensi 20

Oase 21

Sastra 23

Serba-Serbi 25

Catatan Pojok 27

Daftar Isi

PMedia Silaturahmi, Informasi dan AnalisaRESTãSIRESTãSIRESTãSIRESTãSIPPP

Dar

i R

edak

si

02PMedia Silaturahmi, Informasi dan Analisa

RESTãSIRESTãSIRESTãSIRESTãSIPPP KSW, Edisi 95, Maret 2014

Kru PMedia Silaturahmi, Informasi dan AnalisaRESTãSIRESTãSIRESTãSIRESTãSIPPP

Page 3: PRESTãSI 95

alau. Mungkin ini adalah sebuah Gbentuk ekspresi kita (pelaku) dalam menjajaki kehidupan yang tak

selamanya tanpa masalah, karena sejatinya hidup tak akan indah tanpa diromantiskan dengan masalah. Banyak pemandangan kegelisahan yang kita jumpai di setiap lalu-lalangnya rutinitas sehari-hari. Baik dalam hubungannya dengan diri kita pribadi, atau pribadi dengan masyarakat.

Di zaman maju ini apalagi, muntahan kegelisahan dari bentuk standarisasi sosial; berjam-jam di kamar dengan game lebih terasa nikmat daripada berkumpul dengan sahabat, atau berkomunikasi lewat whatsApp lebih laris dari pada bertatap muka. Atau kegelisahan dari sisi akademik, rutinitas lazim bagi mahasiswa; masuk kuliah tidak penting asal nilai bagus semua berjalan mulus (mempeng kul iah menjamin kesuksesan masa depan?).

Ada perasaan aneh atau bahkan lucu, saat menilik kembali ragam wujud kegelisahan yang menelur dari interaksi sosial dengan anggapan hal itu sudah menjadi lumrah, tanpa disadari. Kondisi ini tidak muncul dengan sendirinya tanpa adanya gesekan-gesekan dari luar sehingga ada sesuatu yang terlupakan; budaya.

Budaya. Ya, istilah yang lama tak terdengar akhir-akhir ini, apalagi hidup di era globalisasi seperti ini, dengan ikon modernitasnya. Modernisme menjadi wacana yang banyak dibicarakan dimana-mana, bahkan laris terjual, setidaknya hampir secara kolektif dijajakan di berbagai “lapak-lapak dagang”. Pembelinya bukanlah seorang anak kecil dengan berwajah polos, tapi mereka yang sedang mencari-cari bentuk ke-eksistensi-an dalam ruang lingkup sosial. Akibat wacana ini, membanjir lah pola hidup yang serba dipaksakan tanpa memperhatikan kualitas diri. Dalam pengertian, dengan bertransformasinya zaman yang dewasa ini menjadi semakin

modern, di dukung dengan berbagai tekhnologi, muncul lah perubahan tindak-tanduk kultural dalam rutinitas hidup baik itu di kota maupun orang yang hidup di desa.

Fakta atas penilaian bahwa modernisasi merupakan jendela bagi perubahan budaya saat ini mungkin ada benarnya. Dulu, perilaku tolong menolong adalah hal biasa yang sering dilakukan oleh kalangan tua ataupun kaula muda. Karena dalam kebiasaan tolong menolong terdapat unsur-unsur positif yang bersifat rekonstruktif pada interaksi sosial, sehingga terciptanya suatu keadaan yang guyub, kompak, membaur-harmonis dan menjalin erat hubungan antara satu dengan lainnya. Namun sekarang Jika melihat kondisi –meroketnya fasilitas teknologi secara sporadis dimana-mana- saat ini, kegiatan seperti itu sudah mulai terkikis dan agaknya sudah mulai ditinggalkan. Lewat media sosial wujud dari kegiatan tolong-menolong mungkin sudah terwakilkan bahkan sering dikomersialkan. Efeknya adalah timbulnya tendensi individual-kapitalisme dan pergeseran pola pikir yang menyebabkan terjadinya pengaburan esensi budaya dalam praksis sosial.

Dalam perjalanannya, keberadaan budaya saat ini mengalami “kekejangan”; satu sisi ia digigit erat dan merupakan benteng kekuatan serta jati diri (huwiyyah) dari suatu bangsa yang memiliki idiologi pancasila serta beragam adat-istiadat dari berbagai daerah di dalamnya; namun di sisi lain ia rapuh, terkapar dan goyah terhempas arus modernisasi akibat mewabahnya jaringan akses dan pelayanan teknologi yang justru membuat ketentramannya menjadi terusik.

Pada akhirnya, itu semua kembali pada diri kita –sebagai pelaku sosial sekaligus mahasiswa dengan nalar kritisnya. Kalau saja kita bisa menyikapinya dengan seimbang maka akan ada benang merah: mau ke arah mana etika berbudaya kita mesti dibawa?

Modernisasi; Kekejangan Budaya

Editorial

03PMedia Silaturahmi, Informasi dan Analisa

RESTãSIRESTãSIRESTãSIRESTãSIPPP KSW, Edisi 95, Maret 2014

Wais al-Qorni

Page 4: PRESTãSI 95

Kehidupan tidak akan pernah lepas dari yang namanya uang. Walaupun ada yang bilang “uang bukanlah segalanya di dunia ini”, namun tidak bisa dipungkiri segalanya yang ada di dunia ini hampir semuanya membutuhkan uang. Makan butuh uang, minum butuh uang, komunikasi butuh uang, mencari ilmu butuh uang, semuanya membutuhkan uang. Karena sangat pentingnya keberadaan uang ini bagi manusia untuk memenuhi kebutuhannya, seluruh manusia terutama yang berposisi sebagai orang tua melakukan apa saja (bekerja) demi memperoleh uang, untuk kemudian digunakan sebagai alat tukar atas segala sesuatu yang dibutuhkan.Tidak hanya yang sudah berstatus sebagai orang tua, para pelajar yang telah mencapai jenjang kuliah secara umum dan masisir pada khususnya pun sudah banyak yang turut meramaikan lahan bisnis untuk memenuhi kebutuhan masing-masing. Bisa kita lihat dalam sebuah group facebook yang bernama “forum jual beli masisir” selaku penjembatan para pebisnis masisir, banyak disana akun-akun fb masis ir yang menawarkan produk maupun jasanya. Mengenai fenomena ini setidaknya ada dua alasan umum kenapa mereka sampai lebih memilih untuk ikut serta terjun ke dalam dunia mencari uang dan tidak hanya fokus menekuni tugas belajarnya sebagai mahasiswa :1. Karena tidak semua orang tua mampu

untuk membiayai semua kebutuhan keluarganya. Apalagi di tambah biaya hidup dan pendidikan sekarang semakin mahal. Maka, banyak dari mahasiswa lebih memilih nyambi kerja guna membantu orang tua mereka dalam memenuhi kebutuhannya selama proses mencari ilmu, “masisir secara finansial kan majemuk. Terutamanya dari kalangan menengah ke bawah, pastinya mereka butuh makan.Jadi wajarlah, m a n u s i a b u t u h m e n g h i d u p i

keberlangsungan hidupnya”. Ucap kang Tsabit Qodami, salah satu masisir asal Cilacap.

2. Karena mereka merasa bahwa dirinya sudah dewasa. Oleh karena itu mereka lebih memilih untuk belajar mandiri dengan bekerja di samping tugas utamanya, belajar sebagai seorang mahasiswa, “Untuk mendapatkan pengalaman berbisnis dan belajar hidup mandiri”. Tanggap salah satu masisir pemilik akun fb voip masisir.

Namun akhir-akhir ini muncul fenomena baru yang semakin marak di dalam social media “forum jual beli masisir” tersebut. Yaitu semakin banyaknya warga masisir yang suka menawarkan barang-barang secondnya untuk di jual melalui sosial media tersebut.Sebenarnya jual beli merupakan suatu kegiatan yang wajar dan sah-sah saja walaupun barang yang di jual merupakan barang second. Namun agaknya menjadi sesuatu yang berbeda ketika barang-barang second yang d i tawarkan tersebut merupakan barang-barang yang nilainya tidak terlalu mahal. “Mungkin terlalu berlebihan kalau ada yang sampai menjual barang bekas yang terlalu murah, semisal ember dan semacamnya”.Tukas Zulfikar salah satu masisir asal Jawa Timur.Masisir adalah mahasiswa Indonesia yang sedang menuntut ilmu di negeri Mesir. Mahasiswa yang kebanyakan berasal dari kalangan pesantren dan Madrasah Aliyah yang berkeinginan untuk memperdalam keilmuan agamanya di negeri para Nabi itu.Sebagaimana yang kita tahu,madrasah dan pesantren merupakan sebuah institusi pendidikan yang bernuansa Islam. Dalam pengoprasiannya, ada madrasah yang berdiri sendiri tanpa pesantren, ada pesantren yang berdiri sendiri tanpa madrasah, ada juga pesantren yang sekaligus mempunyai madrasah sendiri. Sedangkanperbedaan antara keduanya, di madrasah selain diajari ilmu umum

Komersialisasi dan Kesadaran Tidak Wajar

Tera

s

04PMedia Silaturahmi, Informasi dan Analisa

RESTãSIRESTãSIRESTãSIRESTãSIPPP KSW, Edisi 95, Maret 2014

Zuhal Qobili

Page 5: PRESTãSI 95

sebagaimana yang diajarkan di sekolah-sekolah menengah atas dan sedrajat juga diajari ilmu agama Islam sebagaimana yang diajarkan di pesantren. Sedangkan pesantren lebih khusus hanya mempelajari ilmu agama saja.Terkhusus pesantren, selain diajari pelajaran yang berbentuk ilmu pengetahuan, di p e s a nt re n j u ga d i te ka n ka n u nt u k mengaplikasikan ilmu tersebut dalam kehidupan sehari-hari, yaitu pengetahuan-pengetahuan yang bersifat tindakan social (akhlak). Namun akhir-akhir ini salah satu budaya tersebut yaitu jiwa ringan tangan seakan semakin luntur melihat sekarang semakin biasa kita saksikan, masisir lebih suka menjual barang-barang secondnya ketimbang menyumbangkannya kepada kawan-kawannya yang membutuhkan. Padahal barang-barang tersebut bukanlah sesuatu yang harganya terlampau mahal, bahkan bisa dibilang agak remeh dan murah.Mungkin tetap menjadi sesuatu yang biasa ketika dia yang menjual tersebut menjualnya dengan alasan sangat membutuhkan uang. Tapi rasanya sangat tidak mungkin kalau sampai masisir menjual barang-barang murah tersebut untuk kebutuhan makan sehari dua hari. Bahkan dari hasil pengamatan, kebanyakan dari para penjual barang murah tersebut tergolong orang yang mampu dan menjualnya semata-mata karena tidak dibutuhkan.“Ooh ya. Kebetulan saya bulan november kemarin baru kembali dari Indonesia ke Cairo dan baru pindah juga. Jadi ada 3 alasan : 1) Itu barang-barang yang sudah tidak terlalu saya butuhkan lagi (tas troli, tas laptop sama vas bunga), padahal tas troli hanya kepakai sekali liburan ke Indo kemarin, tas laptopnya juga itu tasnya laptop yang baru, jadi saya ada dua. Kalau vas bunganya dari rumah lama tapi bunganya sudah rusak. hahhaha. 2) Oleh-oleh dari Indo untuk teman-teman dan orang-orang yang saya kenal, tapi nggak jadi diambil karena kurang cocok. Itu masih baru 100% (mukena mini, kaos sama

koko). 3) Barang-barang yang dibelikan ibu di Indo untuk saya bawa ke Mesir, tapi saya rasa saya tidak membutuhkan untuk memakainya. Jadi daripada hanya numpuk di lemari ya mending saya jual saja. seperti minyak angin, balsem, dll. Semuanya masih baru 100% juga.” jawab salah satu masisiryang meminta untuk di jaga privasinya.Lebih ironisnya lagi. Bahkan terjadi masisir yang hendak pulang ke tanah air karena sudah menamatkan proses belajarnya pun tetap lebih memilih mengkomersilkan barang secondnya ketimbang membagi-bagikannya secara cuma-cuma kepada kawan atau adik kelasnya, sebagaimana kebiasaan yang telah membumi di kalangan para santri. “saya menjual barang-barang tersebut karena saya mau pulang ke tanah air. Selama barang itu bisa diuangkan dan saya juga tidak membutuhkannya saat pulang ya mendingan dijual aja”.Terang Andika salah satu masisir asal Aceh.Walaupun yang demikian tadi masih merupakan kelompok minoritas jika dibandingkan masisir yang -masih- berjiwa ringan tangan atau “nyah-nyoh” kepada kawan, agaknya tetap harus diwaspadai dan disikapi karena penyakit seperti ini lebih gampang menularnya. Sebab ketika masisir sudah terjangkiti virus “komersialisai” barang, maka demikianlah masisir, berubah haluan budayanya yang asalnya lebih ke-desa-an (suka bersosial dan gotong-royong) menjadi ke-kota-an (individualis). Pada akhirnya, nanti setelah pulang kedaerah masing-masing, mereka akan lebih tidak peka dengan keadaan sosial karena sudah terbiasa hidup demikian di Mesir. Dan hal itu pastinya sedikit tidak akan menjatuhkan nama besar Al-Azhar sebagai institusi pendidikan Islam tertua yang mengajarkan keilmuan dan kebudayaan Is lam. Karena musl im sejat i yaitu sebagaimana pribadi Rasul Muhammad, dan keindahan pribadi Nabi Muhammad sudah masyhur.

Teras

05PMedia Silaturahmi, Informasi dan Analisa

RESTãSIRESTãSIRESTãSIRESTãSIPPP KSW, Edisi 95, Maret 2014

Page 6: PRESTãSI 95

Te r k u n g k u n g d a l a m c e n g k r a m a n

pemerintah selama tiga puluh tahun,

akhirnya pada 1998 rakyat berhasil

menumbangkan rezim Suharto. Indonesia

pun mengalami masa transisi, sistem lama

dihapus dengan ditawarkannya sistem baru;

Demokrasi. Rakyat diizinkan berpartisipasi

langsung dalam menentukan pemimpin

mereka, dengan harapan kelaliman masa

lalu tak akan terulang. Dapat dibilang,

penerapan sistem baru ini berjalan mulus.

Susilo Bambang Yudhoyono tampil menjadi

presiden pertama yang terpilih melalui jalur

demokrasi, yang mana pada 5 juli 2014 nanti,

rezimnya akan berakhir setelah mampu

mempertahankan kursi presiden di dua

periode. Namun sebelumnya, rakyat terlebih

dahulu harus memilih beberapa orang untuk

duduk di kursi legislatif sebagai perwakilan

dalam menyuarakan aspirasi rakyatpada 9

April 2014.

Tak berlebihan rasanya, berasusmsi bahwa

pesta demokrasi 2014 adalah fenomena lucu

dalam sejarah dinamika perpolitikanrakyat

Indonesia. Pasalnya, kalau kita perhatikan,

kampanye kali ini lebih mirip iklan sponsor

televisi. Bisa kita lihat beberapa deret nama

artis yang mendadak alih profesi menjadi

politisi. Partai-partai politik pun terlihat

berkompetisi dalam merekrut jajaran artis,

sebut saja mantan istri penyanyi dangdut

Angel Lelga yang diusung oleh PPP, Desy

Ratnasari dari PAN, model cantik, Arzety

Bilbina, penyanyi dangdut Cinta Penelope,

Mandala Shoji, , Khrisna Mukti dan penyanyi

Ressa Herlambang dan pemain sinetron

Tommy Kurniawan dari PKB, penyanyi

dangdut Dessy Koes Endang dari Golkar,

model majalah dewasa, Destiya Purna Panca

dari PKPI, dan masih banyak lainnya yang tak

mungkin cukup tuk dituliskan disini.

Bertolak pada undang-undang, kompetisi

politik memang boleh diikuti oleh seluruh

lapisan masyarakat dari berbagai kalangan.

Karena point ini, kita tak bisa semerta-merta

menjustifikasi para artis yang tiba-tiba terjun

dalam dunia politik , mereka sah di mata

konstitusi. Namun fenomena ini harus diakui

telah mengundang decak keheranan yang

memunculkan serentetan pertanyaan:

Apakah bangsa ini telah kehabisan stok

pemimpin, sehingga harus merekrut jajaran

artis? Apakah para artis ini mempunyai

kapabilitas dalam masalah perpolitikan?

Ditambah lagi, jika mengingat bahwa hidup

yang mereka jalani adalah kehidupan

belakang layar kaca yang sifatnya fantasi dan

dramatis? Yang dimiliki penyanyi dangdut

adalah suara dan goyangan, yang dimilki

pemain sinetron adalah wajah berstandar

dan bakat akting, yang dimiliki model adalah

pose menawan, sedang yang dibutuhkan

bangsa ini adalah pendidikan, industri dan

moral. Apakah seorang yang tidak

mempunyai sesuatu dapat memberikan

sesuatu?

Selain kasus korupsi dan kenaikan harga

pokok makanan dan BBM, fenomena artis

nyaleg yang terkesan guyonan dan

mempermainkan rakyat ini, ditaksir akan

sangat berpotensi dalam mendorong

masyarakat tuk bersikap apatis dan skeptis

terhadap politik, yang akhirnya akan

berujung pada golput. Sebagian orang

menganggapnya bukan sebagai sebuah

solusi, namun bagi sebagian yang lain,

mungkin golput adalah cara terbaik dalam

menyelamatkan rakyat dari tikaman

pemimpin licik yang gila kekuasaan.

Tentu saja kita harus bersikap obyektif dan

tak memungkiri, jika terdapat beberapa artis

wa l a u j u m l a h nya s e ge l i nt i r, ya n g

Caleg Yang Tertukar!

Anal

isa

Nusa

ntar

a

06PMedia Silaturahmi, Informasi dan Analisa

RESTãSIRESTãSIRESTãSIRESTãSIPPP KSW, Edisi 95, Maret 2014

Zulfah Nur Alimah

Page 7: PRESTãSI 95

mempunyai kapabilitas dalam meminggul

amanah rakyat dan memperjuangkan

aspirasi rakyat.

Pesta demokrasi 2014semakin lucu dan

ramai dengan tampilnya “wong cilik” dalam

pemilihan legislatif. Sebut saja, Hery Satuso

yang berprofesi sebagai tukang parkir,

mengaku siap tuk ikut bertarung dalam

pemilihan caleg April nanti. Tak ketinggalan,

Uripan si tukang becak, juga berani

mencalonkan diri sebagai caleg melalui

partai Nasdem. Begitu juga, Tarsono si

tukang es balok dan Bahraini si tukang

traktor.Tentu terlintas dalam benak,

bagaimana wong-wong cilik ini memutuskan

diri tuk terjun dalam persaingan politik,

mengingat bahwa seorang caleg harus

merogoh kocek yang konon sekitar 1 miliyar

untuk dapat menarik simpati publik?

J a w a b a n ny a , b i s a j a d i , p e r t a m a :

memperbaiki nasib dan meraibkeuntungan

materi. Kedua: melihat realita bahwa wong

cilik hanyalah dijadikan sebagai pemanis

kampanye, namun pada aplikasinya,wong

cilik semakin cilik, sedang kaum gede

semakin buncit perutnya. Jika kaum elit

politisi sudah tak mampu membela hak

wong cilik, maka tak ada pilihan selain terjun

langsung membela hak diri. Sebagaimana

ungkap Ur ipan saat d iwawancara i

beritajatim,”Orang miskin tak boleh

dijadikan objek penindasan”.

Serangkaian fenomena yang ada, patut

menjadi bahan renungan bagi setiap warga

Indonesia secara umum dan kaum politisi

atau kaum intelektual secara khusunya.

Sudah tak terhitung, jumlah anak bangsa

yang sukses dalam dunia akademik. Bahkan,

mayoritas yang duduk di kursi pemerintahan

adalah lulusan universitas terkenal luar

negri. Potensi bagus ini akan berdampak

konstruktif, jika diarahkan dengan benar. Jika

yang terjadi sebaliknya, maka bangsa ini

benar-benar merugi. Tanpa bermaksud

religius, bangsa ini perlu membangun

kembali kesadaran moral, karena sumber

tragedi bermula saat moral bangsa ini,

terdegradasi oleh germelapnya materi

dunia. Korupsi dan penyuapan tak akan

pernah terberantas walau jumlah anggota

KPK selalu ditambah.

Sistem demokrasi sejatinya menawarkan

keadilan dan kesejahteraan. Namun sistem

tetaplah sistem stagnan yang tak akan

bergerak tanpa si penggerak, yaitu manusia.

Dan sistem ini akan membuahkan hasil, jika

para manusianya bahu-membahu dan

rangkul-merangkul. Sebagai rakyat kita

gunakan hak pilih kita, karena memilih

merupakan bentuk kepedulian kita kepada

masa depan negara. Dan bagi calon

pemimpin, hendaknya mengevaluasi diri,

memperbaharui niat dan mengasah potensi

sebelum berani menjanjikan masa depan

kepada rakyat, sehingga ia akan mampu

diterima walaupun latar belakangnya adalah

artis ataupun wong cilik.

Menurut Plato, adil adalah jika seseorang

duduk anteng menempati posisi masing-

masing, wong cilik harus duduk dikursi wong

cilik, wong cilik tak boleh lancang dengan

menduduki kursi priyayi dan begitu pula

sebaliknya. Tentu saja, kita tak akan

menganalogikan dengan konsep tersebut,

karena adil pada hakekatnya berorientasikan

pada kesungguhan.Semua kalangan baik

pengusaha, kiayi, militer, guru artis ataupun

wok cilik boleh berkompetisi dalam satu

ruang, namun hanya yang bersungguh-

sungguhlah yang mampu keluar menjadi

pemenang dan menarik simpati rakyat.

Kiranya, kesungguhan inilah yang harus

dibuktikan oleh para caleg kepada rakyat,

sehingga pesta demokrasi 9 april nanti tidak

berakhir dengan ending yang dramatis;

Caleg Yang Tertukar!

Analisa Nusantara

07PMedia Silaturahmi, Informasi dan Analisa

RESTãSIRESTãSIRESTãSIRESTãSIPPP KSW, Edisi 95, Maret 2014

Page 8: PRESTãSI 95

esir belum berhenti memanas. MSetelah disulut pertama kalinya oleh revolusi 25 januari 2011

dengan penjatuhan rezim Husni Mubarok, dilanjutkan dengan revolusi jilid dua yang segera menyusul pada 30 juni 2013 dengan penjatuhan presiden terpilih, Mohammad Mursi, hingga kini suhu Mesir belum hendak mendingin. Lahirnya dustur atau Undang-Undang 2013 yang dibentuk oleh Komite 50 bahkan menjadi sumbu terbaru yang menyulutkan kembali pergesekan diantara rakyat Mesir yang memang belum stabil.

Komite 50 sendiri adalah gabungan dari para pakar pembuat undang-undang, perwakilan dari kalangan liberal, kalangan sekuler dan kalangan islam, yang berjumlah 50 orang. Perwakilan-perwakilan tersebut berkumpul untuk menjalankan referendum yang disebut sebagai Referendum As Sisi. Mereka bergabung untuk membentuk sebuah rancangan undang-undang dasar pengganti undang-undang yang telah disahkan oleh presiden Mursi beberapa bulan sebelum penjatuhannya.

Jika melihat pada kejadian 30 juni lalu, bisa kita dapati bahwa salah satu penyebabnya adalah kekecewaan sebagian kalangan terhadap undang-undang bentukan pemerintahan Mursi yang dianggap menguntungkan sebagian pihak. Sikap kontra pun kian bermunculan dari berbagai kalangan, terutama dari para anti-islamis yang waswas akan diubahnya Mesir menjadi negara islam dan dengan demikian terjadi perpecahan. Pergolakan berlangsung dan berakhir dengan jatuhnya presiden Mursi serta pembekuan undang-undang dasar negara yang diumumkan oleh jendral As sisi dalam waktu yang sama.

Lalu, selamatkah Referendum As Sisi yang diterjemahkan dalam Undang-Undang 2013 ini dari sandungan pro kontra? tentunya tidak. Referendum adalah bagian

dari krisis politik Mesir yang tak kunjung berkesudahan. Dan setiap krisis selalu menimbulkan pertikaian, setiap pertikaian niscaya memunculkan pro dan kontra. Meskipun pro dan kontra adalah hal yang wajar, karena tabiat manusia memang selalu bertikai satu sama lain. Namun, apa yang terjadi dalam pergolakan politik Mesir adalah sikap pro dan kontra tersebut pada akhirnya selalu meminta tebusan korban jiwa. Tercatat ada sebilan orang kehilangan nyawanya di hari pertama pemungutan suara untuk Undang-Undang 2013.

Penyebabnya, tentu banyak. Yang paling klasik adalah adanya dua kubu fanatis di Mesir ini yang secara otomatis akan menjadi rival dalam suatu keputusan yang ditetapkan oleh salah satu pihak. Jika dulu para anti-islamis yang belakangan banyak menjadi simpatisan As sisi berteriak menolak undang-undang hasil bentukan pemerintahan Mursi, maka ketika As sisi naik dan merubah undang-undang tersebut, sikap kontra akan datang dari pihak lain yang telah mati-matian membentuk undang-undang sebelumnya. Namun, diluar dua golongan tersebut, masih banyak rakyat Mesir yang melihat referendum ini dengan kacamata yang lebih jernih tanpa frame fanatisme yang mereka pasang. Diantara mereka yang pro atau setuju dengan pengesahan undang-undang baru dan memilih “ya, untuk dustur 2013” tersebut adalah mereka yang memiliki harapan sederhana bahwa Mesir akan segela pulih apabila undang-undang tersebut disahkan. Meskipun harapan tersebut hanya sebatas anggapan, yang belum tentu menjadi sebuah kenyataan.

Terjadi banyak perubahan pada tubuh Undang-Undang Dasar 2013 ini jika dibandingkan dengan undang-undang sebelumnya. Mulai dari penambahan butir, yang sebelumnya berjumlah 236 menjadi

Undang-Undang 2013, Mau Dibawa Kemanakah Mesir Selanjutnya?

Tim

ur T

enga

h

08PMedia Silaturahmi, Informasi dan Analisa

RESTãSIRESTãSIRESTãSIRESTãSIPPP KSW, Edisi 95, Maret 2014

Iis Isti’anah

Page 9: PRESTãSI 95

247 butir, hingga bentuk teks pembukaan undang-undang pun banyak juga yang diubah. Dari 247 butir UU tersebut, 42 diantaranya adalah undang-undang baru yang tidak terdapat pada undang-undang sebelumnya. 18 butir diantaranya berbicara mengenai hak dan kebebasan dan 42 lainnya membahas permasalahan buruh dan tani, dengan perombakan dimana-mana. Dari banyaknya perubahan, tak ayal jika banyak kalangan menolak sebutan amandemen terhadap UU 2013 tersebut, menurut mereka hal tersebut lebih pantas disebut sebagai dekonstruksi.

Contoh perubahan dalam butir undang-undang yang menimbulkan banyaknya perlawanan dari beberapa kalangan adalah pasal 219 yang merupakan tafsiran dari pasal 2 tentang dasar negara, yang berbunyi bahwa islam adalah agama resmi negara Mesir dan prinsip islam m e r u p a ka n s u m b e r p o ko k d a l a m pembentukan undang-undang. Dalam tafsirannya, yaitu pasal 219 disebutkan bahwa yang dimaksud oleh prinsip atau mabaadi syariah mencakup semua dalil-dalil dari sumber yang mu'tabaroh, yaitu al Quran dan as sunnah juga kaidah-kaidah ushuliyah dan fiqhiyyah yang sesuai dengan mazhab ahlus sunnah wal jamaah (sunni).

Kalangan anti-islamis menilai pasal tersebut terlalu menyempitkan dan hanya akan menimbulkan potensi berdirinya Mesir sebagai negara islam sehingga akan timbul perpecahan. Maka pada undang-undang hasil referendum 2013 pasal 219 resmi dihapuskan. Penghapusan pasal tersebut lah yang mengaungkan kembali teriakan kontra dari pihak lain.

Yang paling banyak menentang penghapusan butir UU tersebut tentunya adalah kalangan islamis, yang memandang bahwa pasal tersebut layak diterapkan di bumi Kinanah ini. Namun secara hukum, mereka jelas tidak bisa memperjuangkan apa-apa, kecuali berorasi di jalanan atau

melakukan pemboikotan. Karena dalam kancah yang lebih resmi, partai An Nour telah berdiri mewakili suara dari kalangan islamis untuk menyetujui undang-undang tersebut.

Contoh lain dari perubahn yang terjadi dalam tubuh UU 2013 adalah perubahan sistem pemerintahan dari demokrasi musyawarah menjad i s i stem semi presindensial, juga penghapusan MPR sebagai lembaga negara dan hanya mengaktifkan satu majelis yaitu majelis nuwwab atau DPR, yang semakin menjauhkan Mesir dari rancangan negara demokratis.

Namun, segaduh apapun pergantian pro kontra ini diteriakan, toh undang-undang tersebut sudah resmi disahkan. Rakyat Mesir menjawab sendiri apa yang mereka perdebatkan. 98,13% dar i mereka mengatakan ya untuk undang-undang 2013 dan siap untuk diatur dibawah apa yang tertera pada kitab undang-undang anyar mereka.

Meskipun kemenangan tersebut dipertanyakan validitasnya. Karena faktanya angka 90,13% adalah hasil dari 19.985.389 jiwa yang memilih “ya” untuk UUD 2013 dari jumlah pemilih sebanyak 20.613.677. Dengan rincian 381.341 atau 1,87% memilih tidak dan sisanya adalah suara tidak sah. Sedangkan jumlah penduduk Mesir per Januari 2013 adalah sebanyak 83.661.000 jiwa. Lalu kemanakah puluhan ribu lainnya dari penduduk Mesir terkait UU 2013?

Akhirnya, Mesir belum akan berhenti memanas. Dari tiga agenda Khooritotu Toriiq atau rancangan kerja yang diumumkan As Sisi dalam pidatonya beberapa waktu lalu, pengesahan UUD 2013 adalah agenda pertama yang sudah berhasil. Masih ada a g e n d a p e m i l i h a n p r e s i d e n d a n pembentukan DPR yang akan segera m e n g h a n gat ka n ke m b a l i o b ro l a n , perdebatan, pertikaian atau bahkan pertumpahan darah di bumi Kinanah ini.

Timur Tengah

09PMedia Silaturahmi, Informasi dan Analisa

RESTãSIRESTãSIRESTãSIRESTãSIPPP KSW, Edisi 95, Maret 2014

Page 10: PRESTãSI 95

Membincang masisir memang tak akan pernah usai. Dari segi jumlahnya yang setiap tahun jarang mengalami penurunan, menunjukkan meningkatnya minat pelajar Indonesia yang ingin melanjutkan kuliah di Mesir walupun kondisi negara hingga saat ini belum bisa dikatakan stabil. Dengan jumlah yang tidak sedikit, sudah barang tentu tidak semuanya memiliki kecenderungan yang sama. Beragam bakat, minat, karakter dan budaya yang mereka usung dari daerah asalnya masing-masing kian mewarnai dunia masisir.

Menilik dari perjalanan dan perkembangan masisir yang telah ada sejak dulu, agaknya mahasiswa Indonesia yang ada di Mesir telah menciptakan semacam karakter budaya tersendiri, baik mereka sadari atau tidak. Budaya yang tercipta pun meluas sampai beberapa bidang, mulai dari bidang pendidikan, sosial budaya, ekonomi dan politik. Budaya tersebut pun secara perlahan mengalami perkembangan dan perubahan s e s u a i p e r k e m b a n g a n z a m a n . Perkembangan dan perubahan beberapa bidang tersebut ada kalanya baik dan buruk. Baik dalam artian mengalami kemajuan, sedangkan buruk dalam artian mengalami penurunan.

Meminjam istilah dalam Ilmu Pengetahuan Sosial, perubahan dan perkembangan budaya yang terjadi bisa kita istilahkan dengan urbanisasi budaya. Kita mengetahui istilah urbanisasi adalah sebagai suatu perpindahan penduduk dari desa ke kota untuk mendapati kehidupan yang lebih baik dan layak. Mengapa urbanisasi budaya? Karena nilai/norma yang berjalan dulu ibarat “desa” sedangkan yang tengah berjalan sekarang ibarat “kota”. Contoh sederhana dari peng-ibarat-an tersebut adalah, desa; kita maknai sebagai tempat yang sejuk,

t e n a n g , d a m a i , t e r w u j u d ny a t a l i persaudaraan dan rasa saling tolong menolong antar sesama yang erat. Budaya kedesaan inilah yang berlaku di kalangan masisir dulu. Sedangkan kota; kita maknai sebagai tempat yang bising, penuh polusi, padat akan tata letak rumah dan p e n d u d u k n y a , m e t r o p o l i t a n d a n matreal ist is ; segala sesuatu mulai diperhitungkan atas dasar faktor tuntutan kehidupan yang layak. Setidaknya itulah gambaran budaya masisir sekarang. Dari sini lah muncul opini bahwa budaya masisir saat ini tengah mengalami pergeseran, meskipun tidak dipungkiri bahwa sisi baik dari pergeseran ini juga ikut menjadi dampak positif atas perkembangan budaya tersebut.

Urbanisasi budaya masisir berdasarkan beberapa aspek penting, dapat penulis uraikan sebagai berikut:

Pertama, pendidikan. Sisi yang ingin penulis utarakan adalah perihal belajar muqorror. Beberapa tahun yang lalu, tidak ada sistem bimbingan muqorror secara kelompok dengan sistem instan, berlaku di masisir. Semua muqorror dibaca sendiri sesuai kemampuan pembaca. Memang peringkat yang dicapai tidak sebagus sekarang, akan tetapi kesadaran dan kemandirian belajar sebagai mahasiswa, nyata adanya. Sedangkan yang terjadi sekarang, bimbingan muqorror banyak kita temui. Maka sebenarnya pembelajaran masa kini cenderung memanjakan mahasiswa dan kurang ba ik untuk perkembangan akademiknya, walaupun hasil prestasi akademik meningkat dilihat dari perolehan peringkat jayyid jiddan dan mumtaz yang cukup banyak dibanding tahun-tahun ke belakang.

Kedua, ekonomi. Perbedaan yang signifikan dalam hal ini adalah budaya nyah-nyoh di

Urbanisasi Budaya Masisir;Antara Progresifitas Dan Degradasi

Opi

ni

10PMedia Silaturahmi, Informasi dan Analisa

RESTãSIRESTãSIRESTãSIRESTãSIPPP KSW, Edisi 95, Maret 2014

Choiriya Safina

Page 11: PRESTãSI 95

kalangan masisir yang dulu kian mewarnai. Sedangkan sekarang lebih cenderung diperhitungkan. Misalnya saja jual beli barang peninggalan dengan separuh harga atau lebih. Ditambah dengan adanya grub jual-beli masisir dalam jejaring sosial facebook, menambah kemudahan untuk menjual beberapa barang bekas. Contoh lainnya adalah penjualan space bagasi pesawat, yang biasa dimanfaatkan sebagai sarana pengiriman barang ke Indonesia. Jika hal ini menjamur di kalangan masisir, maka jelas, rasa kekeluargaan yang saling tolong menolong akan pudar secara perlahan.

Adapun sisi progresifitas dalam hal ini adalah munculnya para businessman muda dari kalangan masisir. Dapat dilihat dari banyaknya lahan bisnis yang bermunculan, seperti warung makan Indonesia, butik, biro pengiriman barang, uang dll. Hal ini menunjukkan kemampuan masisir untuk bisa survive secara mandiri selama berada di negeri asing. Bahkan, tidak sedikit dari lulusan Mesir setibanya di Indonesia, langsung mengembangkan bakat bisnisnya dengan membuka usaha.

Ketiga, sosial. Dapat dikatakan, faktor yang paling berpengaruh dalam aspek ini adalah perkembangan teknologi sekaligus jejaring sosial yang merambah, salah satunya facebook. Di kalangan masisir, facebook menjadi hal urgen dan suatu kebutuhan hidup sebagai masisir. Keberadaannya lebih penting dari pada telepon atau berkunjung langsung. Mulai dari organisasi almamater, kekeluargaan, PPMI sampai KBRI, semuanya mempergunakan facebook sebagai media informasi. Karena dirasa lebih cepat penyampaiannya kepada obyek utama, yaitu masisir. Hal ini membuat masisir sekarang, agaknya lebih memilih menghabiskan waktu di depan komputer atau laptop, berselancar di dunia maya, dan lebih memilih chatting untuk mengawali obrolan.

Berbeda dengan dulu, dimana koneksi

internet tidak semudah didapatkan seperti sekarang , sebab harganya kurang terjangkau. Dan sebelum maraknya facebook, berkunjung ke rumah teman untuk sekedar mengakrabkan diri sekaligus menjalin tali silaturrahmi, merupakan hal yang biasa ditemui dan membudaya, ketika itu. Bahkan tidak sedikit dari mereka membuat komunitas bersama teman-teman masisir yang mempunyai hobi dan kecenderungan yang sama. Salah satunya, seperti terwujudnya Rumah Budaya Akar.

Sisi positif dari koneksi internet yang semakin mudah didapat adalah menjadikan penyebaran informasi semakin mudah meluas. Baik informasi lokal yang terjadi di sekitar masisir atau berita dari tanah air , bahkan berita internasional. Dari cakupan wawasan yang meluas ini, masisir sekarang dapat dikatakan lebih gaul. Dalam artian lebih up to date dan tidak ketinggalan informasi perkembangan zaman yang tidak pernah ada hentinya.

Akhirnya, sebuah keniscayaan akan adanya dua sisi positif dan negatif pun berlaku dalam urbanisasi budaya di kalangan masisir. Dampak-dampak negatif yang mengikuti urbanisasi pun bila dilihat dari sisi lain, ada beberapa hal yang justru turut memberikan warna baru positif dalam kehidupan masisir. Tidak bisa dikatakan seperti apa masisir ideal itu? Atau bagaimana cara menjadi masisir ideal? Karena tidak bisa ditemukan jawabannya. Menjaga keseimbangan dan budaya baik yang dirasa masih perlu dilestarikan, bahkan ditingkatkan kembali, mungkin bisa menjadi catatan penting dalam kebermasyarakatan masisir. Menanggalkan adat budaya yang kurang sesuai dengan asas kekeluargaan, layaknya mahasiswa luar negeri lainnya, menjadi dan merasa asing di negara asing. Maka rasa kekeluargaan untuk saling menolong dan mengayomi satu sama lain, hendaknya tumbuh kembali di benak masing-masing diri kita sebagai masisir.

Opini

11PMedia Silaturahmi, Informasi dan Analisa

RESTãSIRESTãSIRESTãSIRESTãSIPPP KSW, Edisi 95, Maret 2014

Page 12: PRESTãSI 95

Kemajuan zaman modern ini, mempunyai perkembangan menarik berkaitan dengan kehidupan manusia pada umumnya, dan pada pola berpikir khususnya. Ia dengan segala keunikan dan kesempurnaan yang dimilikinya, mampu memberi warna baru dalam keseharian manusia di jamannya. Bisa dikatakan mencipta kesan baru untuk dikenang oleh penikmat modernitas dalam segala kebiasaan berulang dan menjadi budaya pada tahap selanjutnya.

Kemunculan dan perkembangan warna baru tersebut bukan karena tanpa sengaja 'ada' tapi sengaja menjadi ada melalui proses ge ja la-geja la pemahaman menjadi pemahaman. Kehadirannya sebagai hasil relasi zaman dalam mengusung trend pasar dan semangat primodial budaya setempat. Sehingga terjadi persilangan nilai asimilasi kultur lokal sampai nasional. Bagi orang yang peka terhadap kultur lokal dengan segala identitasnya, akan menolak dengan positif kehadiran 'warna baru' ini sebagai ancaman. Tapi jika tidak peka, menganggapnya sebagai tuntutan jaman yang harus dipenuhi. Lalu terjadi pendialogkan antara 'warna baru dengan kultur lokal berhasil, jika berhasil akan berdampak positif membentuk budaya baru. Tapi jika tidak, melahirkan friksi pragmatis baru dengan menghalalkan modernitas dan kebebasan. Dari sini, pembahasan Urbanisasi Budaya dimulai, apakah kehadirannya sebuah bentuk negatifitas akan kebutuhan manusia atau kemanjaan yang dilahirkan jamannya?

I

Budaya, dalam KBBI diartikan sebagai hasil dari budi dan daya manusia. Sedangkan dalam Bahasa Inggris, budaya sendiri mengalami perbedaan pemaknaan, dari pengelolahan tanah menjadi tata cara m a n u s i a . Ke b e ra d a a n nya s e b a ga i

representatif nilai dan makna terhadap sistem lokal itas masyarakat dalam bersoalisasi, membentuk citra identitas, dan membuat peraturan untuk dipatuhi oleh masyarakat setempat.

Narasi definisi singkat ini, pastinya tidak mewakili dialektika beragam atas nama budaya. Pemaksaan untuk membahasnya di kajian ini, menjadikan fokus ide budaya dengan urbanisasi sangat jauh. Tidak fokus. Sehingga penulis, hanya mengambil gagasan dasar makna budaya yang menjadi kesepakatan umum sebagai perkumpulan macam-macam nilai yang lahir dari kultur masyarakat dan etika setempat; sistem tata-cara hidup manusia turun temurun.

Pengambilan gagasan dasar dengan alasan, bahwa orisinalitas entitas budaya yang kita pahami saat ini mampu dijelaskan secara reflektif untuk disandingkan makna urbanisasi . Karena dua ist i lah ini , mempunyai sejarah masing-masing dari cara pemaknaannya dan pemahamannya. Jika tidak dilakukan penjernihan kedua istilah tersebut, peletakan atas keduanya, menimbulkan problematik dari segi diskursus masing-masing.

Budaya yang telah dibahas di atas, gagasan besarnya adalah sebagai tata cara hidup turun-temurun dan sistem nilai masyarakat yang harus dijaga dan ditaati. Lalu bagaimana dengan urbanisasi di atas? M e m p u n y a i w e w e n a n g a p a , d i a d isandingkan dengan budaya, j ika pemaknaan terhadap urbanisasi tidak jelaskan terlebih dahulu?

Urbanisasi yang penulis pahami dalam ilmu sosial untuk sementara waktu ini adalah perpindahan penduduk dari desa ke kota. Bukanlah sebuah tata cara hidup manusia atau nilai-nilai kemasyarakatan. Pemaknaan istilah lebih ditekankah pada potret migrasi

Urbanisasi Budaya; Membaca Status Ontologinya

Kaj

ian

12PMedia Silaturahmi, Informasi dan Analisa

RESTãSIRESTãSIRESTãSIRESTãSIPPP KSW, Edisi 95, Maret 2014

Nashifuddin Luthfi

1

2

Page 13: PRESTãSI 95

dan mobilitas penduduk dengan niat untuk tinggal di kota. Sedangkan budaya ada tata cara hidup manusia dalam segi lokalitas dan nilai lokalitas, tidak lebih? Dua estitas berbeda makna ini, secara sengaja harus dihadirkan untuk memotret perkembangan budaya saat ini, ketika transformasi sosial dan etika sosial kehilangan makna istimewanya. Andaikan keseharian berulang dalam kehidupan manusia modern, tentunya penamaan terhadap sebagai budaya harus melalui penyaringan status ontologisnya sebagai 'aku'nya nilai lokalitas. Jika masyarakat setempat yang terhadiri modernitas menerima dan mengelolahnya dengan santun, menggolongkannya sebagai budaya adalah keniscayaan, jika tidak, tentunya pembahasan Urbanisasi Budaya ini habis di sini. Tapi ternyata realita mengatakan bahwa masyarakat modern menerima hadirnya domain-domain ke-m o d e r n i s a s i a n z a m a n . S e h i n g g a pendedahan status ontologisnya menjadi perlu di sini untuk melihat sikap awal manusia terhadap semangat zamanya, sebagai kemanjaan atau kebutuhan. Maka sejak awal, pertanyaan itulah yang coba dihadirkan penulis dalam kajian kali ini.

II

Manusia, dalam prepekstif Freud, dikatakan sebagai representatif lingkungan. Bahwa perkembangan watak manusia dipengaruhi oleh lingkungannya, baik cara hidup keluarga, ataupun genetik keturunannya. Karakter kerasnya, karena keadaan lingkungan menciptakan pribadinya menjadi orang yang keras, karakternya yang lembut, karena lingkungannya juga. Sebagaimana diyakini oleh masyarakat saat ini, bahwa orang-orang laut mempunyai karakter yang keras dan orang pedesaan dalam, lebih mempunyai karakter halus, sebagaimana di pedesaan Jogjakarta atau pun Solo.

Perspektif dasar di atas untuk menganalisa bahwa sejak lahir dalam diri manusia mempunyai macam-macam ego dan

keinginan untuk bisa eksis. Keinginan dan ego ini menciptakan dirinya untuk mempunyai bantuan agar keinginannya bisa tercapai dan terpenuhi. Berangkat dari sebatas ego ini, relasi antar manusia satu dengan la innya ter ja l in , seh ing ga menciptakan aturan dan kesepakatan sosial agar ego-ego masing bisa saling terpenuhi.

Karena sifatnya ego tidaklah pernah puas, maka ada batas-batas untuk diproduksikan dan dikomsusikan kepada publik. Jika tidak ada batas, ego ini meluap dan bisa merusak ego-ego lain sehingga merusak manusia lainnya. Dan hubungan manusia menjadi sebatas saling menguasai, tidak lagi saling memberi (dalam pengertian positif) dan mengayomi. Kenyataan dasar ini menjadi pijakan dalam memahami manusia sebagai bentuk mater ia l yang mempunyai sebongkah keinginan meluap, tidak pernah habis sampai ada kematian menjemputnya.

Di sini, berdasarkan macam-macam pengalaman sosial manusia satu dengan lainnya, merumuskan kesepakatan sosial agar mereka bisa saling membantu. Kesepatakan sosial ini pada putaran selanjutnya menjadi adat istiadat yang harus di taati dan keyakinan setempat, jika ada yang melanggar, mereka pantas untuk diberi hukuman. Karena jika dibiarkan bisa merusak struktur yang terbuat dari masa lalu. Yang tidak lupa juga adalah pengaruh a g a m a d a l a m d i n a m i k a s o s i a l mempengaruhi gerak langkah mereka mengerti kebaikan dan keburukan di sekitar entitas nilai dan norma sosial. Hanya saja, perbincangan mengenai agama di sini, tidak sintesakan lebih mendalam karena kajiannya lebih difokuskan pada proses terjadinya Urbanisasi Budaya sebagai keniscayaan yang patut diapresiasi dan dipahami.

Representatif macam-macam pengalaman ini, memendarkan berbagai domain budaya, kemudian mengurucut pada warisan kultur manusia leluhurnya kepada keturunannya. Sehingga muncul dalam keyakinan

Kajian

13PMedia Silaturahmi, Informasi dan Analisa

RESTãSIRESTãSIRESTãSIRESTãSIPPP KSW, Edisi 95, Maret 2014

3

Page 14: PRESTãSI 95

keturunan mereka bahwa menjaga tradisi dan cara hidup leluhur adalah kebaikan; nilai kebenaran dari sudut pandang subjektif objek. Lalu, dari keyakinan tersebut, lahir persingguhan nilai komunal sebagai penanda waktu bahwa ada semangat zaman yang berubah, dari individualis menjadi sosialis. Menjaga keberlangsungannya adalah aturan lokal untuk bisa dilaksanakan sampai kapanpun.

T it ik poin in i , menyisakan sedik it pertimbangan lain, yakni perkembangan sistem masyarakat modern saat ini sangat cepat bergerak menjajah sistem tradisional yang telah mapan. Sehingga banyak aturan dan tradisi masa lalu bergeming dalam kesunyian untuk diexpresikan dalam pentas nasional atau pun dalam prilaku setempat. Pertimbangan ini wujud adanya tantangan manusia sejamannya dalam mengurai dan mengasimilasi nilai-nilai lama dengan nilai-nilai baru agar mampu berdampingan dengan baik; nilai baru tetap diterima dan nilai tradisional tidak tercerabut akarnya.

Stigma Negatif Urbanisasi; Pijakan Status Ontologis Urbanisasi Budaya

Pada pembahasan di awal, telah disinggung bahwa urbanisasi adalah pemindahan penduduk dari desa ke kota. Faktor perpindahan penduduk desa ke kota karena ingin mendapatkan kehidupan yang layak, mencari lapangan kerjaan dan mencari sesuatu lainnya untuk kebutuhan hidupnya. Di sini, telah jelas tujuan awal dari definisi tersebut, yakni mencari kehidupan yang lebih layak. Meskipun pada tujuan awalnya adalah sebagai alternatif mencari uang, pekerjaan, kelayakan dan lain-lainnya, untuk cara mempertahankan hidup, lambat laun perpindahan tersebut membuat kemacetan kemakmuran, karena tidak semua yang berpindah ke kota mendapat pekerjaan dan keinginannya. Akibatnya pengangguran menjadi problem baru untuk urbanisasi.

Dari pengangguran itu sendiri melahirkan tindak kriminalitas, karena lebih banyak

setiap manusia berusaha mencari alternatif yang lebih praktis untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sehingga watak dan kepribadian manusia yang seharusnya bisa menuju kemajuan jaman, tak berdaya dari kungkungan sistem perkotaan, karena endapan j iwa manus ia urban isas i mengukuhkannya identitasnya sebagai kaum haus akan kebutuhan.

Wajar saja, jika kemudian hari, urbanisasi dianggap sebagai penyebab kerusakan s istem sos ia l . J ika mel ihat status kemunculannya adalah tujuan tinggal di kota, karena menganggap bahwa di perkotaan segala yang kita butuhkan selalu ada. Dan ketika keinginannya tersebut tidak terpenuhi, egonya mencari alternatif lain untuk memenuhi segala keinginannya.

Pernyataan ini dibuktikan dengan adanya kajian yang membahas tentang sistem urbanisasi agar tidak berdampak negatif pada sistem sosial yang telah terbangun. Tradisi manusia kota tetap berjalan apa adanya, dan tradisi yang dibawa manusia desa bisa berdampingan dengan keyakinan yang telah dianut oleh manusia perkotaan sebagai nalar primodial manusia. Dan yang bisa menjembatani adalah diadakannya kesepakan-kesepakatan sosial yang berada di kota.

Stigma makna negatif yang dibawa oleh kata 'urbanisasi' ini disandingkan dengan kata budaya secara serentak. Sehingga kesan yang didapat dari penyandingan kata ini a d a l a h ke n e ga t i fa n b u d ay a y a n g berkembang sekarang ini dalam skala lokal, interlokal dan nasional. Kesan tersebut menjadi problem pemaknaan terhadap budaya sebagai budaya, karena lahirnya budaya tidaklah sebagai pergumulan hal-hal negatif, tapi sebagai hasil dialetik zaman tentang kerukunan dan kedamaian di masyarakat yang berkembang menjadi tradisi, aturan lokal, nilai, norma dan identitas sosial.

Pendedahan ini sebagai salah satu cara

14PMedia Silaturahmi, Informasi dan Analisa

RESTãSIRESTãSIRESTãSIRESTãSIPPP KSW, Edisi 95, Maret 2014

Kaj

ian

4

5

Page 15: PRESTãSI 95

penyaringan makna-makna yang memendar dari kata urbanisasi untuk diletakan pada diskursus budaya secara mandiri. Sehingga ketika mendengar kata urbanisasi budaya, yang dipahami adalah ada pemindahan status budaya dari lokal menjadi interlokal atau menjadi nasional. Apakah pemindahan status di sini, berupa negatif atau positif, adalah fakta lain dari status ontologisnya di ruang sosial. Kehadirannya budaya urban di suatu komunitas berjiwa desa mengagetkan kesadaran jiwanya (komunitas) dalam meyakini kebenaran sikap yang diwujudkan. Maka kehadirannya menjadi problem yang perlu diselesaikan terlebih dahulu untuk menjawab dampak posit if ataupun negatifnya dari budaya urban.

Berangkat dari pijakan kehadiran budaya urban di suatu komunitas ini, sikap seperti apa yang harus dilakukan oleh anggota komunitasnya dalam menyesuikan nilai-nilai terberi dari hal baru dengan nilai-nilai primodial setiap hasil lingkungan manusia itu berkembang? Stigma negatif, bukanlah alasan budaya itu lahir, tapi alasan budaya lahir di tengah komunitas beragam paradigma adalah per-sekutuan persepsi antara ego satu dengan ego lainnya untuk saling menguasai. Karena terbentuknya persamaan persepsi ini membentuk kesatuan sikap untuk membudayakannya tanpa menyaring dampak dari tindakan berkelanjutan tersebut. Hasilnya, yang dinamakan budaya di tengah hiruk pikuk perkotaan, urban dan interkoneksi global tidak mewakili subtansi nilai lokalitas dan etika sebagaimana ilmu kebudayaan yang berkembang, memuat macam-macam nilai dan etika.

Kesadaran atas realitas ini, menjawab kehadiran budaya urban di tengah-tengah komunitas sosial berada di mana pun dan kapan pun tentang faktor ingatan historis tanah kelahirannya ada tumpang tindih relevansinya. Mengingat di sana ada jeda waktu yang panjang dan retakan identitas manusia dengan relasi sejarah dan budaya

tanah kelahiranya. Sehingga friksi di kebudayaan melahirkan penggeseran nilai budaya semestinya dimiliki realitas bernama budaya, tapi faktanya, saat ini tidak ada untuk komunitas modern menerapkan kebijakan tersebut, sehingga sikap keseharian yang egois, untuk kepentingan diri sendiri menjamur, lalu dinamakan sebagai urbanisasi diakui keberadaannya. Dari sini, status ontologis Urbanisasi Budaya menemui titik finalnya, bahwa kehadirannya adalah hasil intraksi antara kebutuhan manusia dengan hasil pemaknaan terhadap suatu hal baru, praktis dan dinamis.

Sikap paling awal dilakukan oleh siapapun di sini adalah membawa kesadaran pribuminya dan etika sosialnya dalam mengaplikasikan kemodernan.

Dengan kendaraan kesadaraan ini, akulturasi apapun terhadap budaya menghasilkan budaya humanis tanpa mencerabut akar rumput lokalitas. Tapi, jika memanfaatkan hasi l modernisasi tanpa membawa kesadaran lokal, akan membawa pada runtuhnya subtansi budaya sebagai budaya, yang ada hanyalah 'budaya hampa' tanpa jejak sejarah lokalitas dan pergulatan ingatan sosial. Demikian, sejenak refleksikan kembali rutinitas yang kita buat dari mater ia l -materia l modern dan ke-urbanisasian. Agar pengalaman tentang sejarah lokalitas dan nilai etikanya tidak hilang dalam kemajmukan semu. Memberi makna di sela-sela kemajuan, menjadikan penanda penting lahirnya budaya modern yang humanis dan positif.

Penutup

Sebagai penghuni jaman interkoneksi global, kemajuan standar hidup adalah kebutuhan utama dalam ruang sosial. Manusia tidak lagi bisa lari dari rutinitas perangkat modern nan-canggih. Sehingga kenikmatannya terkadang membuat setiap pelakunya lupa dengan pentingnya sikap gotong-royong dan tenggang rasa kapan pun di manapun.

(Bersambung ke halaman 25)

15PMedia Silaturahmi, Informasi dan Analisa

RESTãSIRESTãSIRESTãSIRESTãSIPPP KSW, Edisi 95, Maret 2014

Kajian

Page 16: PRESTãSI 95

Membincang tentang masisir selalu saja menarik. Begitu kompleks dan detailnya keh idupan masyarakat Mahas i swa Indonesia di Mesir ini. Selalu saja ditemukan keunikan-keunikan di berbagai aspek, mulai dari aspek akademis, sosila budaya dan sebagainya. Dan akhir-akhir ini mulai muncul fenomena kehidupan Masisir yang sangat hangat dikaji. Yaitu adanya pergeseran nilai-n i l a i b u d a y a d a l a m k e h i d u p a n bermasyarakat Masisir.Budaya yang dimaksud disini adalah pola pikir dan tingkah lagu Masisir dalam komunikasi dan interaksinya terhadap sesama. Lebih spesifik lagi adalah muncul dan mulai kentaranya kehidupan masyarakat yang cenderung metropolis. Kehidupan yang lebih mengedepankan egoisme pribadi dan cenderung hedonis matrealis.Fenomena ini sebenarnya merupakan fenomena biasa yang sering terjadi di suatu kawasan khususnya perkotaan. Tetapi fenomena ini terlihat tidak biasa jika terjadi di tengah-tengah masyarakat akademisi yang terdidik. Terdidik secara akademis dan moral.Sayangnya lagi fenomena ini muncul di tengah-tengah masyarakat Masis ir. Masyarakat yang menjadi sampel kehidupan dengan penerapan nilai-nilai keberagamaan. Nilai yang selalu mengajarkan rasa persaudaraan, kekerabatan dengan cirinya saling berbagi dan membantu.Menjadi suatu kewajaran apabila seseorang menjual suatu barang atau jasa sesuai dengan nilai yang terkandung di dalamnya. Seperti menjual tempe hasil produksi sendiri ataupun menjual jasa laundry. Akan tetapi fenomena yang muncul kali ini lebih dari itu. Kebiasaan yang sering muncul adalah komersialisasi jasa dan barang yang sewajarnya bisa dibuat sebagai sarana saling berbagi. Atau dalam hal ini disebut komersialisasi yang di luar batas kewajaran. Seperti dijualnya tali jemuran yang sudah t i d a k te r p a ka i l a g i . S e a ka n a ka n

menginginkan sekecil dan sepele apapun itu bisa dijadikan sebagai uang. Padahal tidak ada ruginya kalau dikasihkan kepada orang lain.Dan dalam hal ini KSW sebagai organisasi kekeluargaan memandang fenomena yang terjadi ini adalah keluar dari batas kewajaran. Salah satu ciri organisasi kekeluargaan adalah bergerak dalam aspek sosial yang selalu berusaha saling berbagi dan membantu satu sama lainnya. Dan ketika dihadapkan dengan persoalan seperti ini akan berusaha untuk melawannya. Dalam artian berusaha untuk selalu memberi contoh dan menularkan nilai-nilai berbagi dan saling menolong satu sama lain tanpa embel-embel komersial.Lebih khusus lagi KSW merupakan organisasi yang mengayomi mahasiswa dari Jawa Tengah dan Yogyakarta yang kental degan budaya "njawani". Satu kata yang mencakup berbagai makna. Walaupun tidak lagi berada di tanah kelahiran, tetapi tetap berusaha menjaga budaya-budaya yang dibawa sampai ke Mesir. Dan jangan sampai budaya tersebut hilang termakan dinamika sosial sekitar.Salah satu upaya yang dilakukan untuk menjaga budaya saling berbagi dan membantu adalah dimulai dari lembaga keorganisasian itu sendiri. KSW sebagai salah satu kekeluargaan terbesar berusaha menumbuhkan rasa persaudaraan yang saling membantu dengan dedikasi para pengurusnya. Para pengurus yang dengan suka rela membantu dan menjaga geliat keorganisasian agar tetap hidup. Tanpa ada embel-embel upah ataupun imbalan mereka yang berkecimpung di dalam KSW tetap semangat menjalankan tugasnya.Kelihatannya memang sepele menjadi pengurus atau membantu sebuah organisasi. Tapi pada dasarnya terkantung nilai-nilai budaya berbagi, saling menolong dan menjaga komitmen. Sebagai salah satu contoh, mengapa ada seseorang yang mau

Masisir; Antara Kewajaran dan Keterlaluan

Lens

a K

SW

16PMedia Silaturahmi, Informasi dan Analisa

RESTãSIRESTãSIRESTãSIRESTãSIPPP KSW, Edisi 95, Maret 2014

M. Rosyad Sudrajad*

Page 17: PRESTãSI 95

dengan suka re la begadang demi menyiapkan sebuah acara untuk menghibur atau memberi manfaat kepada orang lain? M e n g a p a a d a o r a n g y a n g m a u mengorbankan tenaga bahkan hartanya untuk kepentingan bersama? Mengapa ada orang yang rela merawat dan menjaga barang yang bukan miliknya? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu sangat sulit sekali dijawab dengan logika. Karena latar belakang dari semuanya itu adalah rasa cinta dan persaudaraan yang kuat. Kalau saja semua pengurus organisasi kekeluargaan memiliki sifat yang hedonis matrealis, bisa saja organisasi tersebut sudah mati. Tak ada lagi yang memikirkan kepentingan bersama. Semuanya hanya tertuju pada kepentingan pribadi.Dan di sini lah pembelajaran kehidupan yang sebenarnya. Pembelajaran yang tidak didapatkan di bangku perkuliahan sekalipun. Karena pembelajaran ini hanya didapat dari enteraksi sosial yang sehat dan penuh dengan nilai kebersamaan.Oleh karenanya demi keberlangsungan nilai budaya berbagi dan menolong, peran organisasi seperti kekeluargaan sangat penting. Dengan menumbuhkan rasa kekeluargaan dan persaudaraan walaupun bukan merupakan saudara sekandung. Akan tetapi di negeri yang nan jauh ini, teman-teman kita sesama Indonesia adalah keluarga. Apa sih yang tidak untuk keharmonisan keluarga. Harta, tenaga dan pikiran pun dengan suka rela dikorbankan. Dan seyogyanya masyarakat Masisir yang dikenal sebagai masyarakat terpelajar bisa memilah antara kebutuhan pribadi dan

kolektif. Bisa membedakan antara hal yang bersifat kebutuhan komersial ataukah sekedar berbagi. Atau lebih mudahnya bisa membedakan antara batas kewajaran dan di luar kewajaran atau lebih tepatnya keterlaluan.Entah kapan pergeseran budaya tersebut mulai terjadi, yang jelas bisa dimulai dari diri sendiri untuk selalu mengedepankan budaya saling berbagi. Sehingga apa yang sudah kita lakukan bisa menjadi contoh bagi orang lain untuk melakukan hal yang sama. Dimulai dari diri sendiri kita buat masyarakat Masisir menjadi masyarakat akademisi yang bermoral dan berbudaya dengan nilai-nilai berbagi dan saling menolongnya.[]*Ketua DP-KSW 2013/2014

تصميم - تصوير - طباعة - كتابة - تجليد

مدينة نصر -الحي العاشر- ش مثلث - السويسري ب عمارة ١٠٢ - ٠١٠١٧٢٦٤٨٤

Lensa KSW

17PMedia Silaturahmi, Informasi dan Analisa

RESTãSIRESTãSIRESTãSIRESTãSIPPP KSW, Edisi 95, Maret 2014

Page 18: PRESTãSI 95

Menurut anda, apakah

k o m e r s i a l i s a s i d i

M a s i s i r m e r u p a ka n

pergeseran budaya kita

y a n g c e n d e r u n g

mengutamakan kebersamaan?

Mengapa?

Tentang komersialisasi, mungkin di Kairo itu

tidak jauh dari beberapa elemen yang perlu

diperhatikan tentang apakah bergeser atau

tidak. Pertama, identitas di Kairo sendiri, kita

punya niat apa? Kedua, setelah punya niat,

kita punya realitas yang dihadapi. Misalnya,

kita inginnya belajar dan belajar, tapi

ternyata ada beberapa elemen yang

mendesak. Misalkan, ekonomi atau

tanggung jawab. Misal orang yang sudah

berkeluarga, ternyata dia berkeluarga secara

cepat sehingga mendesak untuk ini, dan ini.

Ketiga, situasi politik setempat. Dalam hal ini

terjadi di Kairo. Setahu saya masalah

komersialisasi dibicarakan setelah revolusi

25 Januari 2011. Dimana banyak orang yang

di Kairo sudah lama, dan sudah punya

standar yang baku. Mulai dari cara hidup,

berteman dan cara menghadapi orang dari

berbagai daerah, dan lain-lain. Akhirnya

pulang, dimana Indonesia yang dibayangkan

ketika dia berangkat ternyata berbeda

setalah pulang ke Indonesia. Rata-rata orang

Indonesia punya standar ingin cepat kaya.

Akhirnya karena sebentar di Indonesia,

karena 2 atau 3 bulan,

jadinya belum sampai

mengamati sisi mendasar apa

yang harus dibawa ke Kairo. Ke

Kairo bawa barang banyak.

Jadinya, perilaku bisnis bukan lagi

dilakukan orang-perorang tapi, hampir

dilakukan oleh semua orang di Kairo.

Apakah tema ini pantas diangkat di tengah-

tengah Masisir yang kondisinya tidak sama

seperti bertahun-tahun yang lalu?

Apakah pantas atau tidak itu begini; apapun

tema yang dibicarakan disebuah media,

mungkin di tim sendiri, itu mempunyai

standar sendiri tentang pantas atau tidak.

Bukan orang lain. Kalau orang lain, mengikuti

tema yang dibacakan. Kalau menurut saya

sendiri, tema ini apakah layak atau tidak,

tentunya sangat layak sekali. Pertama begini,

Urban kan berkumpulnya para pendatang.

Akhirnya pendatang-pendatang ini secara

individu mempunyai perilaku lokal. Misal,

saya orang Nganjuk belajar di Kebumen,

tentunya Nganjuk dan Kebumen mempunyai

kebiasan yang berbeda. Belum lagi dengan

orang Sulawesi, Sumatra, Kalimantan dan

lain-lain. Dari beda-beda ini menciptakan

hubungan dialektik tapi harmonis begitu

berkumpul di satu tempat. Tapi ada hal yang

mempersatukan yakni belajar.

Kajian-kajian itu ketika dimasukkan ke

Wawancaradengan Ronny G. Brahmanto,

Pengamat Sosial Budaya Masisir

Waw

anca

ra

18PMedia Silaturahmi, Informasi dan Analisa

RESTãSIRESTãSIRESTãSIRESTãSIPPP KSW, Edisi 95, Maret 2014

Kru PMedia Silaturahmi, Informasi dan AnalisaRESTãSIRESTãSIRESTãSIRESTãSIPPP

Page 19: PRESTãSI 95

Masisir itu masuk. Karena semua orang

disini itu pendatang, dipersatukan oleh

niatan yang sama, belajar. Ketika ada

kejadian yang menggemparkan menjadi

perubahan dialektik yang dimaklumi. Yang

sebelumnya evolutif sekarang menjadi

cepat. Salah satunya misalkan laku-laku

bisnis cepat, mungkin juga teknologi. Itu

menjadi signifikan apa yang dinamakan

urban. Tapi kalau di Kairo apakah sudah

dikaji apa belum, belum ada. Hanya

pendapat orang yang barangkali hanya baca

literatur, yang disepakati dengan diam, dan

tiba-tiba diikuti.

Kemudian mengenai budaya tontonan

Masisir, menurut anda apakah bergeser ke

arah yang lebih baik atau semakin tidak

berkualitas? Adakah pengaruhnya?

Orang menonton film, sepengetahuan saya

itu ya karena dia suka film. Dan tidak pasti

orang yang suka film tergantung pada

inklinasi kesadaran dia sebagai manusia suka

apa. Tapi komunalitas penyuka film yang

banyak berbeda. Misalkan, dulu banyak

orang suka film musalsal dan nontonnya

bareng-bareng.

Tapi, karena internet sudah banyak, orang

nonton musalsal sendiri-sendiri. Itu kan

perilaku yang berbeda. Akhirnya karena

bergeser seperti itu, cita rasa filmnya

bermacam-macam. Yang dulu sebelumnya

tidak suka Korea, karena banyak temannya

nonton bareng, dia lama-lama akhirnya

suka. Misal saya tidak suka India, karena saya

tidak pernah nonton India. Itukan hak saya

pribadi. Tapi apakah nanti sebuah film itu

dinaikkan kualitasnya, itupun punya standar

sendiri. Hal seperti itu yang belum

diperhatikan. Kadang orang karena beda

selera menganggap film ini tidak berkualitas,

tidak bisa. Tapi apakah dengan beda selera

terus mendelegetimasi kualitas film itu, ya

tidak bisa juga. Jangan sampai kita beda

selera terus tidak suka, itukan nggak

manusiawi.

Sejauh mana anda mengamati bahwa

Masisir tidak lagi mencari dan menonton

berita-berita di channel-channel TV Mesir?

Kalau kita bicara tontonan-tontonan

berkualitas, orang-orang punya standar

masing-masing. Apakah standarnya itu bisa

diikuti komunal banyak orang, ya tergantung

mood orang, apakah mood dia sama dengan

orang lain. Mungkin kalau boleh saya

berpendapat, banyak orang kadang

berbicara bahwa menonton TV-TV yang

tempat dia tinggal itu baik ya memang baik.

Tapi, kalau saya sih lebih ke letak

professional.

Profesionalnya begini, kalau kita berbicara

tentang sebuah peristiwa untuk sebuah

tontonan channel berita-berita Mesir, kalau

peristiwanya di Mesir, lebih otoritatif

memakai berita mesir, kalau peristiwanya di

Indonesia lebih otoritatif memakai sumber

dari Indonesia. Nah, mungkin yang saya

kritisi beberapa teman itu memakai standar-

standar berita nasional Indonesia untuk

merespon berita yang ada di Mesir. Mungkin

dia juga pembaca berita yang di situ. Lebih ke

ideologi. Mungkin juga yang paling

eksistensial dia nggak suka model standarku,

dan dia punya standar berita sendiri.

(Bersambung ke halaman 25)

19PMedia Silaturahmi, Informasi dan Analisa

RESTãSIRESTãSIRESTãSIRESTãSIPPP KSW, Edisi 95, Maret 2014

Kajian-kajian itu ketika dimasukkan ke Masisir itu

masuk. Karena semua orang disini itu pendatang,

dipersatukan oleh niatan yang sama, belajar.

Waw

ancara

Page 20: PRESTãSI 95

Night Train To L i s b o n , merupakan film yang diangkat dari s e b u a h n o v e l

dengan judul yang sama. Film yang mengambil lokasi di Bern, Swiss dan Lisabon ini mengawali ceritanya dari pertemuan seorang profesor bernama Raimund (Jeremy Irons) dengan seorang wanita bernama Caterina Mendez (Sarah Spale) yang akan melakukan aksi bodohnya dengan melompat dari atas jembatan untuk bunuh diri, namun kejadian tragis tersebut belum sempat terjadi karena aksi penyelamatan Raimund. Pertemuan sekilas tersebut menghantarkan cerita panjang yang akan mengemas serunya film ini. Bermula dari ditemukannya sebuah buku kecil disaku mantel yang tidak sengaja ditinggalkan oleh Caterine Mendez, berjudul Ourivas Dos Palavras. Buku itu berkisah tentang kehidupan penulisnya selama masa r e v o l u s i d i P o r t u g a l . A l i h - a l i h mengembalikan buku tersebut pada pemiliknya, Raimund justru tertarik akan kisah dan penulis buku itu sendiri. Kata-kata yang tertuang menyihir pikirannya dan menimbulkan kekuatan tersendiri bagi Raimund, yang cenderung berjiwa sepi. Dengan berbekal tiket kereta yang terselip di buku tersebut, ia akhirnya pergi ke tempat kisah dalam buku itu terjadi, Lisabon. Dari kejadian ini lah judul film ini diambil.Pencariannya dimulai dari rumah sang penulis, Amadeu Del Maida Prado (Jack Huston) seorang tokoh revolusi yang tidak percaya tentang adanya keabadian. Di kediaman Amadeu ini, dia bertemu dengan Adriana (Beatriz Batarda) adik dari Amadeu. Adrianalah yang semula menemukan c a t a t a a n A m a d e u k e m u d i a n menertbitkannya. Buku tersebut hanya

diterbitkan dalam 100 cetakan dan masih tersisa 6 buah di rumah tua peninggalan Amadeu yang sekarang ditinggali oleh A d r i a n a d a n s e o r a n g p e m b a n t u kepercayaannya tersebut. Ia juga menjadi saksi tentang kisah ini. Dari adiknya itulah terkuak kisah keluarga yang berpisah karena perbedaan di antara mereka. Amadeu seorang tokoh yang sangat membenci kediktatoran dan bergabung dengan barisan revolusi, sedangkan ayahnya sendiri adalah seorang hakim penguasa fasisme. Tidak hanya tentang ketidak harmonisan hubungan anak dengan ayahnya, diceritakan pula perjalanan hidup Amadeu bersama seorang sahabatnya yang bernama Jorge (August Diehl) sejak di bangku sekolah hingga pergerakan revolusi yang mereka dalangi. Hambar kiranya ketika sebuah film tidak menyelipkan sisi romantisnya. Disinilah tokoh Stefania (Melanie Laurent) membuat indah cerita masa lalu itu. Wanita cantik yang sangat cerdas karena dapat menghafal dan mengingat kurang lebih 200 nama dan nomor polisi yang banyak membantu mereka dalam barisan revolusi. Selayaknya kisah diantara dua sahabat dengan satu wanita, cinta segitiga pun terjadi yang berakhir dengan putusnya hubungan persahabatan mereka. Tidak adanya kekompakan antara mereka menyebabkan sulitnya pergerakan barisan re vo l u s i ya n g d i s e b a b ka n ka re n a kecemburuan cinta dan juga kebencian Jorge t e r h a d a p A m a d e u k a r e n a t e l a h menyelamatkan nyawa salah satu anggota militer fasisme karena profesinya sebagai dokter. Bagi Amadeu, tidak ada yang boleh merasa sakit, ketika ia masih menjadi dokter, siapapun itu.

(Bersambung ke halaman 26)

Judul Film : Night Train To Lisbon

Sutradara : Bille August

Pemain : Jeremy Irons, Melanie Laurent, Jack Huston, Tom

Courtenay, August Diehl, Beatriz Batarda

Durasi Film : 106 Menit 30 Detik

Res

ensi

20PMedia Silaturahmi, Informasi dan Analisa

RESTãSIRESTãSIRESTãSIRESTãSIPPP KSW, Edisi 95, Maret 2014

Fathimah Imam Syuhodo

Pencarian Jati Diri Seorang Revolusioner Portugal

Page 21: PRESTãSI 95

erbicara Sinai memang tak pernah Bada habisnya, karena Sinai bukan gunung biasa. Selain kaya akan

sumber daya alam, bebatuan yang ada di dalamnya juga menyimpan banyak khazanah sejarah. Karena itulah bumi ini disebut Ardul Fairuz (Bumi permata) dan sering menjadi daerah rebutan sejak masa Fir'aun hingga masa revolusi Mesir. Tercatat Raja Usermaatra Ramses II pernah berperang melawan orang Hitsiyyin (Kerajaan Syam kuno), memperebutkan bumi Sinai. Di masa Revolusi Mesir setelah tahun 1952, Israel berusaha merebut dan menduduki Sinai, karena bagi negara Zionis, Sinai merupakan bagian tanah yang dijanjikan Tuhan. Berkat kegigihan tentara Mesir dan diplomasi Anwar Sadat, Bumi Fairuz kembali ke pelukan negeri Kinanah.Keindahan bentang alam berbalut kekayaan khazanah sejarah, menempatkan Sinai sebagai objek favorit bagi pendaki dan peziarah mancanegara. Jika anda pendaki yang menyukai tantangan dan ingin melihat salju, maka datanglah saat musim dingin. Salju biasanya turun antara akhir bulan Desember hingga pertengahan Januari. Namun jika anda ingin mendaki dengan santai dan menikmati kota pesisir pantai semenanjung ini, maka datanglah pada musim panas. Pada musim ini setelah mendaki Sinai, wisatawan cenderung m e n g u n j u n g i ko t a w i s a t a p e s i s i r semenanjung Sinai, seperti Thaba, Nuwaiba, Dahab dan Sharmu el Sheikh. Di sana wisatawan bisa mencoba berbagai jenis olahraga air dengan low price seperti; berselancar, berlayar, diving, snorkeling atau hanya menghabiskan waktu berjemur sembari menikmati birunya Laut Merah.

Namun inti dari penjalanan ke bumi Fairuz yaitu saat kita bisa mencapai puncak Jabal Musa (2.285m). Untuk mencapai puncak, para pendaki akan dihadapkan dengan ratusan tangga dan melewati 6 pos dengan jarak yang berbeda. Durasi pendakian biasanya berkisar 3-5 jam tergantung pada tingkat kebugaran pendaki. Pendakian bisa dimulai setelah persiapan lengkap dan lolos pos pemeriksaan, setiap rombongan pendaki akan ditemani oleh seorang pemandu asli Badui. Bagi yang ingin melihat sunrise di puncak, wisatawan harus mulai mendaki antara pukul 00.00-01.30 dini hari. Setelah melewati pos pemeriksaan hingga pos 1, medan yang dilewati masih landai dan ringan. Jalan berbatu dan jurang mengaga di kanan kiri jalan akan menemani para pendaki setelah pos 1 hingga pos 6. Bagi para pendaki yang kelelahan bisa beristirahat di setiap pos dan melanjutkan perjalanan menggunakan jasa penyewaan unta. Sampai di pos 6, pendaki yang menggunakan unta harus rela turun. Karena pos ini merupakan pos terakhir dengan anak tangga yang semakin terjal yang hanya bisa dilewati dengan berjalan kaki. Anda bisa mulai tersenyum bila sebuah gereja dan musala mulai terlihat, itu pertanda bahwa pendakian telah sampai di area puncak. Di puncak Jabal Musa, anda akan menemukan 2 buah situs suci, sebuah gereja trinitas dan musala yang di sampingnya terdapat gua Musa menerima wahyu. Dan di puncak inilah Allah. Swt pernah menampakan diri dan menjadi salah satu tempat yang mustajab untuk berdoa. Saat matahari mulai terbit, perlahan keindahan pegunungan Sinai tersingkap. Barisan pegunungan berbatu coklat berbalut

Menelusuri Jejak Wahyu di Bumi Sinai

Oase

21PMedia Silaturahmi, Informasi dan Analisa

RESTãSIRESTãSIRESTãSIRESTãSIPPP KSW, Edisi 95, Maret 2014

M. Miftahuddin Wibowo

Page 22: PRESTãSI 95

cahaya mentari kuning keemasan, sekarang tepat di depan mata. Bentang alam yang luas nan indah membuat siapa saja bedecak kagum melihatnya. Inilah puncak dari pendakian Sinai.Ketika turun, anda baru menyadari bahwa betapa tinggi pendakian yang telah anda lewati. Untuk mendapatkan pengalaman yang lebih, cobalah turun melalui Sullam at-Taubat atau tangga taubat. Sepanjang jalan anda akan menemui banyak situs, seperti; Desa Nabi Ilyas, tree of thousand years, pintu taubat dan batu ratapan Yahudi hingga sampai ke gereja dan benteng Saint Catherine. Jalur ini memang sangat menantang dengan rute yang terjal tapi sangat efisien waktu. Setelah sampai di lembah el-Deir tempat Benteng St. Catherine

berada, sempatkan mengunjungi benteng untuk melihat Sajarotul 'Aliqah, Achtiname Mohammed atau surat perjanjian antara Nabi. Saw dan Pendeta Sinai, Sumur Nabi Syu'aib dan Masjid al Hakim bi Amrillah yang dibangun pada masa Fatimiyah.Sebelum meninggalkan Taman Nasional St. Catherine, singgahlah untuk melihat Golden Calf patung Samiri yang disembah bani Israil, dan berziarah ke makam Nabi Harun dan Shaleh. Betapapun menakjubkannya sebuah perjalanan, yang terpenting adalah kita bisa mengambil pelajaran dan hikmah dari berbagai kisah yang bertebaran di gunung Sinai. Karena buah tangan paling berharga dari sebuah perjalanan adalam pengalaman. Selamat berpetualang!

MASISIR MODER VS MASISIR DOELOE ?

Oas

e

22PMedia Silaturahmi, Informasi dan Analisa

RESTãSIRESTãSIRESTãSIRESTãSIPPP KSW, Edisi 95, Maret 2014

Page 23: PRESTãSI 95

Malam agaknya masih setia menyelimuti langit. Pohon-pohon menari kegirangan menyambut pagi. Angin sepoi-sepoi berhembus melewati celah jaket, meraba tubuhku yang masih terbujur kaku di atas karpet tipis warna biru. Mungkin ia bermaksud baik, ingin membangunkanku dari tidur. Tak mau kalah dengan angin, ayam pun melantunkan suara emas dengan cengkok khas miliknya, seolah ia berkata; "Dengarkanlah aku sedang bernyanyi". Aku pun terbangun, menggeliat sebentar, menatap wajah teman-temanku yang nampak masih nyenyak tidurnya. Kemudian aku melipat karpet tipis bewarna biru dan kutaruh di pojok kanan kamar Al-Azhar. Sekilas, nama Al-Azhar mirip dengan nama universitas tertua di dunia yang telah banyak melahirkan ilmuwan-ilmuwan tawadhu, kritis, dan terkenal akan toleransinya. Ya, kamar ini memang sengaja diberi nama yang serupa dengan universitas Al-Azhar sebagai bentuk kecintaan dan harapan agar kelak para santri yg menghuni kamar itu bisa mengais ilmu di negeri para nabi.Sisa-sisa angin pagi masih terasa hembusannya. Baju koko yang kukenakan pun terasa tak mampu menghalangi hembusan angin pagi yang ingin memeluk tubuhku. Di jalan nampak banyak santri yang berjalan tergesa-gesa menuju masjid sambil sesekali bercanda atau meletakkan kedua tangannya di atas dada karena kedinginan.Pondok ini sudah banyak mengalami perubahan. Banyak gedung baru, jalan yang sudah diaspal, taman yang semakin mempercantik pemandangan di sekitar masjid, toko kitab, dan kantin megah yang melengkapi tempat di mana aku menghabiskan masa SMA. Pondok Al-Kautsar ini cukup menarik dan berkembang, bahkan pondok pesantren yang menempati tanah sekitar 5 hektar ini lebih menakjubkan jika dibanding saat kutinggalkan sepuluh tahun yang lalu.Selepas pengajian di masjid, aku mencoba bernostalgia sendiri berjalan menelusuri setiap tempat yang dulu menjadi saksi bisu keberadaanku di pesantren. Dimulai dari gedung sekolah yang menjadi tempat menorehkan prestasiku sewaktu SMA, lapangan sepakbola tempat melepas penat, hingga

kios yang dulu diduduki penjual nasi uduk langgananku. Entah bagaimana nasib bu Zizah setelah tempat ia berjualan dulu dirubah menjadi mini market, mungkin bu Zizah pindah lapak atau berhenti jualan mengingat usianya yang sudah semakin menua.Tak terasa sudah sejam lebih kutelusuri tempat-tempat bersejarah bagi hidupku. Aku pun kembali ke kamar untuk mempersiapkan segala sesuatu karena nanti jam 10 siang akan ada reuni akbar pondok pesantren Al-Kautsar.Detik berganti dengan detik, menit pun silih berganti. Tak aku sangka waktu berlari dengan kencangnya, satu per satu alumni mulai berdatangan hingga tiba saat di mana reuni akbar pun tiba. Saat aku beserta teman-teman berjalan mendatangi aula audatorium pesantren, tiba-tiba ada seorang anak kecil memegang tanganku sambil menangis.“Lho, adek kenapa nangis?” Tanyaku tersenyum.“Mama, mama...” Jawabnya terisak-isak.“Ya udah om kasih permen mau nggak? Tapi jangan nangis lagi yah?” Rayuku sambil kutaruh dia di pangkuanku.“Mau!” Jawabnya polos sambil mengangguk.“ N a m a a d e k s i a p a ? ” T a n y a k u m e n g g o d a .“Andi om, Muhammad Andi Maulana.” Jawabnya tenang.Aku tertegun mendengar jawaban anak kecil itu, entah karena kebetulan namanya sama denganku atau sebenarnya dia sudah mengenalku sejak lama.“Ah, masa anak kecil yg masih polos ini bercanda, paling cuma kebetulan.” Gumamku dalam hati.“O iya, tadi terakhir kali mama Andi ada di mana?” Tanyaku penasaran.“Di sana.” Jawabnya sambil menunjuk masjid pesantren.“Ya udah, om antar ke masjid yah, barangkali mama Andi masih di sana.“ Hiburku sambil tersenyum.Kali ini Andi hanya mengangguk tanpa bicara sepatah kata pun. Aku gendong Andi menuju masjid pesantren sambil melihat-lihat barangkali ada ibu yang sedang mencari anaknya. Ketika aku sampai di serambi masjid, tiba-tiba ada suara seorang wanita

Memiliki Cinta

Sastra

23PMedia Silaturahmi, Informasi dan Analisa

RESTãSIRESTãSIRESTãSIRESTãSIPPP KSW, Edisi 95, Maret 2014

M. Nurul Mahdi

Page 24: PRESTãSI 95

memanggil namaku.“Andi... Andi..” Aku pun menoleh ke arah datangnya suara itu dan tak ku sangka ternyata wanita yang memanggil namaku tadi adalah seseorang yang telah lama aku kenal.“Mas Andi?” Tanyanya kaget.”Iya. Kamu Rini? Syahrini yang dulu jadi wakil ketua OSIS bukan? Jawabku sambil memastikan apakah dia benar-benar wanita yang dulu pernah menjadi partnerku di OSIS.”Iya mas.“ Jawabnya tersipu malu.” O w h , i n i a n a k m u R i n ? ” t a n y a k u s a m b i l melemparkan senyuman.“Iya mas, maaf yah udah ngrepotin. Tadi aku tinggal sebentar ke kamar mandi, tapi Andi malah jalan-jalan.” Jawabnya sambil memandang Andi kecil.“Nggak papa kok, nggak ngrepotin. O iya aku mau ke aula dulu ya Rin, nanti selesai acara kita sambung lagi obrolannya.” Sahutku sambil menyerahkan Andi kecil kepada rini.“Iya mas, makasih mas.” Jawabnya pendek disertai senyuman.Sejenak aku tenggelam dalam lautan memori masa lalu. Berfikir betapa cantiknya gadis berkulit kuning langsat itu, matanya yang kecil bak bintang film korea. Bibirnya yang tipis membuat banyak teman pria ingin dekat dengannya. Badannya yang ramping membuatnya pantas mengenakan busana apapun, wajahnya berseri dengan bumbu senyuman manis yang terpancar dari bibirnya, ah, siapapun pasti terpikat olehnya.Aku jadi ingat waktu itu, saat ia mengahampiriku dengan adik kelasnya ingin menceritakan semua mimpinya yang berkaitan denganku beberapa hari sebelumnya. Ia bermimpi ketika ia hampir terjatuh ke jurang yang tak terlihat dasarnya, tiba-tiba tanganku meraih tangannya dan menyelamatkannya. Kemudian ketika ia dipermalukan di depan umun dan aku datang membelanya. Dan yang takkan terlupakan olehku ketika ia bercerita bahwa dia dan aku menikah sampai dikaruniai dua anak laki-laki dan perempuan. Tapi bodohnya aku yang menganggap semua itu tak lebih dari sekedar bunga tidur. Mungkin karena egoku yang masih sangat besar atau mimpiku yang juga ada kaitan dengannya. Di dalam mimpiku, Rini meninggal setelah

melahirkan anak keduanya dan itu membuatku trauma dan selalu berfikir bahwa aku tak harus bersamanya. Semenjak kejadian itu, aku mungkin agak berbeda dari sebelumnya, sikapku yang selalu perhatian dengannya, wajah periangku, sampai le luconku mungkin tak sebelumnya. Tapi sebenarnya, aku diam bukan berarti aku tak mencintainya, tak bertegur sapa bukan berarti aku tak peduli. Tapi aku diam karena aku tak tahu alasan betapa aku sangat mencintainya, tak bertegur sapa karena lidahku seakan-akan membeku ketika melihat senyum manis di bibirnya.“Ndi, mau sampai kapan duduk di sini terus? Acaranya udah selesai tuh. Ayo ngumpul bareng temen-temen yang lain” ucap Faisal sambil menepuk pundakku.“Iya Sal, ntar aku nyusul. Tadi udah ada janji sama temen lama, hahaha” celotehku mencari alasan.“Ya sudah ntar nyusul yah!” sahut Faisal.“Sip!” jawabku enteng.Aku pun beranjak dari tempat duduk menuju masjid dengan harapan Rini dan Andi kecil masih ada di sana. Ternyata memang benar Rini menepati janjinya untuk sekedar melanjutkan obrolan yang sempat tertunda. Tak lama setelah kami melanjutkan obrolan, datang laki-laki berjas rapi dengan perawakan tinggi layaknya polisi datang menghampiri kami dengan menggendong balita perempuan.“Mah, ayo pulang. Takut kejebak macet di jalan.” Kata laki-laki tadi kepada Rini.“Iya pah. O iya kenalin ini temenku dulu waktu SMA, Andi.” Rini memperkenalkan.“Saya Andi, mas.” Ucapku memperkenalkan diri.“Owh, saya Yuda suaminya Rini.” Sahut Yuda.“Kalo gitu kami pamit dulu ya mas Andi, takut kena macet di jalan.” pamit Rini.“Iya Rin, mas Yuda. Hati-hati di jalan.” Pungkasku.Pertemuan yang singkat ini mengandung makna yang sangat mendalam dalam hidupku. Dari nama anak laki-lakinya yang sama dengan namaku, aku cukup tahu kalau Rini tidak benar-benar menghapus namaku dari buku catatan kehidupannya. Dan bagiku cinta memang tak selamanya harus memiliki. Terkadang ketika seseorang yang kita cintai hidup bahagia dengan orang lain, itu sudah lebih dari cukup untuk membuat kita merasakan kebahagiaan yang sama.[]

Sast

ra

24PMedia Silaturahmi, Informasi dan Analisa

RESTãSIRESTãSIRESTãSIRESTãSIPPP KSW, Edisi 95, Maret 2014

Page 25: PRESTãSI 95

(Sambungan Halaman 15)

Yang terjadi, sejak dalam pikirannya adalah bisa meraih segala kebutuhan egonya agar bisa dikatakan eksis.

Dengan mengingat kembali stigma manusia sebagai makhluk sosial, sejarah, berakal, berperasaan, tawaran rutinitas kehidupan modern mampu ditundukan dalam ruang etik dan humanis. Keberadaan di saat ini bisa dililitkan kesadaran jiwa membumi sebagai penanda zaman yang berkelanjutan. Komunikasi akftif dan partisipasi positif mampu mengkritik hamparan kebiasaan buruk yang mempengaruhi watak primodial dan kepribadian sosial beradab serta bermusyawarah. Sehingga ruang-ruang sosial benar-benar diisi dengan budaya lokal yang berskala global.

Pada akhirnya, kemampanan budaya di tengah urbanisasi di dalam membangun kedewasaan mental manusia pribumi dimulai sejak kesadaran dalam dirinya, cara berpikirnya dan pemahamannya terhadap identitas lokal sebagai identitas bangsa dan Negara.[]

“Karena tradisi aku mengenal etika, karena agama aku memahami diri-Nya”

___________________________________________________________

1- Gejala-gejala pemahaman ini diilustrasikan dengan penerimaan manusia terhadap hal baru tanpa mengalami resistensi. Penerimaan awal ini, menurut saya, tahap awal sebagai gejala menjadi pemahaman. Karena tanpa ada penerimaan sebagai wujud reaktif-proaktif tidak bisa menjadi hubungan dialog untuk ekternalkan sebagai laku.

2- Hanya saja, pemaknaan terhadap budaya ini mengalami ketegangan istilah untuk ditetapkan dalam konteks diskursus, dari pemilihan kata culture, civization, tsaqofah sampai hadharah. Naser Muhammad Arif, al-Khadzarah dan al-Tsaqofah, Ma'had Alam Al-Fikry al-Islamy, cet. III, h. 19

3- Paul Shey, The Reality of Social Group, Ashagate Publishing, tt, h. 12

4- Berangkat dari beberapa kajian ke etnografian, banyak kasus lokal hangus karena sistem modern, kapatalis. http://etnohistori.org/nasionalisme-bintang-kejora-subaltern-dan-gerakan-sosial-orang-papua-2.htmlhttp://etnohistori.org/nasionalisme-bintang-kejora-subaltern-dan-gerakan-sosial-orang-papua-2.html

5- http://daramuliya.wordpress.com/2013/11/30/ekonomi-pembangunan-urbanisasi-dan-migrasi-desa-kota-teori-dan-kebijakan/

(Sambungan halaman 19)

Terkait pemilu 2014, banyak caleg yang “tertukar”, yang mana mereka tidak berkompeten akan tetapi cukup bermodal untuk bisa menjadi caleg. Bagaimana menurut Anda?

Pertama, saya bukan anggota partai. Kedua, saya tidak pernah terlibat dalam aktifitas politik kenegaraan. Ya partai-partai itu. Saya bukan praktisi hukum konstitusi. Terus apakah nomor urut caleg itu berkualitas atau tidak, itu partainya yang menentukan, bukan kita. Cuma kadang kita bisa menilai dari track record-nya, jejak rekamnya. Tapi setahu saya untuk menentukan caleg itu, beberapa standar yang dipakai partai sangat mempengaruhi. Strategi-strategi politik kan pokoknya bagaimana kata menang itu menjadi strategi untuk menang. Mungkin dari popularitasnya, kualitasnya, elektabilitasnya, keterpilihannya, terus marketingnya (pasarnya). Pasar indonesia itu lagi bagaimana sih calegnya, kemudian diikat dengan visi besar partai. Sebenarnya untuk konteks Masisir menjadi tidak menarik untuk membicarakan partai politik yang sekedar politik praktis. Cuma, animo Masisir lagi seneng

Serba-Serbi

25PMedia Silaturahmi, Informasi dan Analisa

RESTãSIRESTãSIRESTãSIRESTãSIPPP KSW, Edisi 95, Maret 2014

Page 26: PRESTãSI 95

partai politik. Enggak tahu, mulai banyak perwakilan-perwakilan disini. Tapi tidak tahu kenapa masih ada orang yang punya ghiroh yang kuat menjadi perwakilan partai, padahal partai lagi busuk-busuknya partai 2014.

Sebagai pegiat kajian dan pengamat budaya senior di Masisir, apa yang Mas Roni harapkan untuk Masisir ke depannya terkait tema kebudayaan ini?

Ya, Masisir itu menjadi manusia yang sadar saja. Selalu ingat pesan orang tua lebih utama daripada pesan pacar kita. Serta mengamalkannya.

(Sambungan halaman 20)

Dalam film Night Train to Lisbon yang berdurasi seratus enam menit tiga puluh detik ini, bukan hanya menceritakan tentang kisah perjuangan barisan revolusi yang ada dalam buku kecil itu saja. Kisah tentang pertemuan Raimund dengan salah seorang dokter spesialis mata yang pada akhirnya mempertemukan Raimund dengan paman dari dokter tersebut, yang ternyata juga merupakan salah satu tokoh revolusi pada waktu itu. Ia termasuk salah seorang tokoh pergerakan revolusi yang sangat mengenal Amadeu, bahkan hanya Amadeu yang diperbolehkan mengunjunginya ketika kediktatoran menjebloskannya ke penjara. Dari ia lah potongan-potongan cerita tentang penulis buku tersebut menjadi lebih runtut. Pada akhirnya cerita itu menjadi lengkap ketika Raymond bisa bertemu dengan Jorge dan Stefania.

Night Train To Lisbon, dengan alur maju-mundur merupakan karya film yang menarik untuk ditonton. Karena banyak sekali pesan sosial dan moral yang disampaikan di dalamnya. Pertanyaan-pertanyaan Amedeu tentang hidup yang ia tuangkan dalam catatan kecilnya itu, menjadi sisi menarik dari film ini. Misalnya saja pertanyaan filosofi yang ia ungkapkan “ Jika jiwa kita hanyalah sebagian kecil dari kehidupan kita, apa yang terjadi dengan sisanya? Atau “apa yang bisa, apa yang harus dilakukan dengan semua waktu yang tersisa di depan kita? Terbuka dan belum terbentuk? Waktu yang ringan dan bebas tapi terasa berat dengan ketidak pastiannya?. Tidak hanya itu, bagaimana film ini mengemas cerita tetang pencarian jati diri seorang pemuda berjiwa kebebasan yang akhirnya membuat seorang professor merasa hidupnya hanya kosong dibanding dengan apa yang ia lihat dari Amedeu. “Melihat kehidupan Amedeu, stefania dan yang lainnya, hidup mereka penuh vitalitas dan intensitas, walapun hal itu menghancurkan pada akhirnya, tapi mereka tetap hidup. Tapi dimana kehidupanku?” Raimund”

Cerita yang seyogyanya membuat penonton pun lebih bisa memaknai dan mempertanyakan hidup untuk menemukan jawaban dan makna yang lebih baik dari sekedar membiarkannya mengalir tanpa esensi.

“Kita meninggalkan sesuatu dari diri kita, ketika kita pergi ke suatu tempat. Kita tetap berada di sana, walaupun kita pergi. Dan ada hal-hal dalam diri kita, yang bisa kita temukan hanya dengan kembali ke sana. Kita pergi ke diri kita, kita akan menemukan tempat yang pernah kita kunjungi. Entah seberapa singkat itu.” Amadeu Del Maida Prado.

Mas Ronny: “Ya, Masisir itu menjadi manusia yang sadar saja. Selalu ingat pesan orang tua lebih utama daripada pesan pacar kita.”

Serb

a-Se

rbi

26PMedia Silaturahmi, Informasi dan Analisa

RESTãSIRESTãSIRESTãSIRESTãSIPPP KSW, Edisi 95, Maret 2014

Page 27: PRESTãSI 95

Kadangkala manusia mempertaruhkan apa saja untuk mencapai standar tertentu, integritas atau juga popularitas, seperti harga diri bahkan konsekuensi yang sudah jelas untuk merubah mindset diri, kawan, saudara dan siapa saja agar menjadi “lebih baik”. Masisir, tentu adakalanya, juga sama. Mungkin ini terkesan hanya asumsi yang tidak semerta bisa diiyakan begitu saja, namun pencarian jati diri dan haus akan pengakuan adalah sifat manusiawi yang tidak terpungkiri. Di berbagai media, kita seringkali diingatkan bagaimana seharusnya bersikap sebagai seorang masisir, seorang mahasiswa, juga seorang muslim dan tentunya sebagai seorang manusia. Respon datang berbeda-beda, sebagian menaruh harap dan menyimpannya sebagai bekal, sebagian merasa risih dan menggerutu tak j e l a s ; te rs i n g g u n g , s e b a g i a n l a i n menghargainya dan kemudian pergi begitu saja menuju senja.Kita tidak seharusnya berharap terlalu berlebih saat mengkritisi sikap orang lain di sekitar kita, menginginkan agar mereka menempuh jalan yang sama dengan kita dan berpikir kualitas diri sudah cukup untuk jadi teladan. Manusia cenderung kesulitan untuk merubah kebiasaan. Seperti pada suatu diskusi tak menentu beberapa waktu lalu, seorang kawan menyimpulkan bahwa mau bagaimana kerasnya media berniat tulus untuk mengarahkan masisir; mereka tidak akan berubah, atau paling tidak akan sulit berubah. Sebab standar apa yang dijadikan pijakan dalam penilaian?.Bagi masisir, standar-standar yang ditawarkan untuk menjadi mahasiswa ideal terlalu kompleks untuk dicapai. Bahkan terlalu rumit untuk dikategorikan, atau sekedar merumuskan mahasiswa sukses. Lulus cepat atau banyak penghasilan? Atau juga banyak pengalaman di organisasi-organisasi yang bertebaran di tepi jalanan kota Kairo hingga ke daerah-daerah? Padahal semuanya mahasiswa, dari awal

panggung kesuksesan yang dituju tidak lain ialah pencapaian akademis yang baik hingga rampung. Sebagaimana mahasiswa pada umumnya di kampus-kampus tanah air yang mayoritas bersegera mendapat gelar sarjana, tanpa tikungan-tikungan yang berujung buntu di pertengahan jalan perkuliahan. Namun pernah disebutkan bahwa dinamika masisir adalah miniatur dari Indonesia yang hampir seutuhnya, maka tidak heran bila problematika yang muncul di tengah-tengah masisir tidak sesederhana yang terjadi di sekitar mahasiswa-mahasiswa di Indonesia. Hanya saja tetap lebih terjaga dari terjadinya konflik antar masisir sebab persatuan sesama WNI harus diutamakan. Meski dewasa ini perselisihan pemikiran cukup sering berbenturan di social media, namun masih mengendap di kacamata kewajaran dan tidak sampai berdarah-darah. Pembicaraan mengenai bagaimana seorang masisir harus menjalani hidupnya agar cenderung mengutamakan pendidikannya bisa dibilang klise dan naif. Dari waktu ke waktu, banyak sisi-sisi kehidupan masisir yang berubah, khususnya dalam jangka waktu yang panjang. Mulai kebutuhan f i n a n s i a l , b e r b a g a i j a l a n u n t u k mendapatkannya hingga bagaimana respon masisir; senang hati, acuh, jengah, atau tersaingi. Kemudian perolehan informasi yang semakin kekinian semakin beragam media dan sumbernya. Segala bentuk pergeseran nilai apapun, alangkah baiknya tetap dalam perhatian kita. Oleh karenanya, standar juga akan selalu berubah, orang-orang tidak akan selalu setuju pada satu penilaian saja.Bagaimanapun “penampilan” seseorang -masisir- di mata sekitar tidak selalu menentukan bagaimana jati dirinya; don't judge a book by its cover benar adanya. Mungkin sejatinya, masisir ideal itu tidak ada. Serta agar masisir lain, dan penulis tentunya, tidak terlalu khawatir oleh kerumitan ini. *Seorang Perenung

Ideal

Catatan Pojok

27PMedia Silaturahmi, Informasi dan Analisa

RESTãSIRESTãSIRESTãSIRESTãSIPPP KSW, Edisi 95, Maret 2014

Fadhilah Rizqi*

Page 28: PRESTãSI 95

* Kairo - Mesir * PMedia Silaturahmi, Informasi dan AnalisaRESTãSIRESTãSIRESTãSIRESTãSIPPP