paper shale gas

10
POTENSI DAN KENDALA SHALE GAS SEBAGAI ENERGI MURAH PENDONGKRAK REVOLUSI INDUSTRI DI INDONESIA Yusuf Anugerah, Jeanett Nadia Geology Engineering Department, Faculty of Earth Science and Energy, Trisakti University St. Kyai Tapa No. 1 Grogol, West Jakarta, Indonesia ABSTRACT Energi merupakan suatu kebutuhan yang sangat mendasar di era globaliasasi ini selain kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Dengan ketersediaan energi yang murah serta berlimpah maka suatu industri pada umumnya akan lebih maju. Meskipun hal tersebut tidak langsung dapat menurunkan harga, tetapi setidaknya dapat mengurangi kelangkaan energi dalam negeri yang menyebabkan ketergantungan dengan luar negeri. Ditengah persaingan energi konvensional di Indonesia yang produksinya semakin hari semakin menurun, hadir suatu inovasi energi non-konvensional, salah satunya adalah shale gas. Shale gas merupakan gas alam yang terkandung di dalam batu serpih yang umumnya berada jauh dibawah permukaan. Shale gas saat ini secara potensial di ambil dengan menggunakan teknik horizontal drilling dan hydraulic fracturing, yaitu perekahan buatan dengan menggunakan air sebagai media pendorong. Meskipun memiliki keunggulan emisi karbon yang lebih sedikit dibandingkan dengan batubara serta ketersediannya di Indonesia diperkirakan mencapai 574 TSCF, shale gas memiliki kelemahan dari sisi teknologi produksi yang sulit sehingga dikhawatirkan akan mencemari lingkungan apabila tidak ditangani dengan baik.

Upload: andrew-graves

Post on 14-Sep-2015

227 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

paper shale gas

TRANSCRIPT

KATA PENGANTAR

POTENSI DAN KENDALA SHALE GAS SEBAGAI ENERGI MURAH PENDONGKRAK REVOLUSI INDUSTRI DI INDONESIA

Yusuf Anugerah, Jeanett NadiaGeology Engineering Department, Faculty of Earth Science and Energy, Trisakti UniversitySt. Kyai Tapa No. 1 Grogol, West Jakarta, Indonesia

ABSTRACT

Energi merupakan suatu kebutuhan yang sangat mendasar di era globaliasasi ini selain kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Dengan ketersediaan energi yang murah serta berlimpah maka suatu industri pada umumnya akan lebih maju. Meskipun hal tersebut tidak langsung dapat menurunkan harga, tetapi setidaknya dapat mengurangi kelangkaan energi dalam negeri yang menyebabkan ketergantungan dengan luar negeri. Ditengah persaingan energi konvensional di Indonesia yang produksinya semakin hari semakin menurun, hadir suatu inovasi energi non-konvensional, salah satunya adalah shale gas. Shale gas merupakan gas alam yang terkandung di dalam batu serpih yang umumnya berada jauh dibawah permukaan. Shale gas saat ini secara potensial di ambil dengan menggunakan teknik horizontal drilling dan hydraulic fracturing, yaitu perekahan buatan dengan menggunakan air sebagai media pendorong. Meskipun memiliki keunggulan emisi karbon yang lebih sedikit dibandingkan dengan batubara serta ketersediannya di Indonesia diperkirakan mencapai 574 TSCF, shale gas memiliki kelemahan dari sisi teknologi produksi yang sulit sehingga dikhawatirkan akan mencemari lingkungan apabila tidak ditangani dengan baik.

PENDAHULUAN

Energi merupakan suatu kebutuhan yang sangat mendasar di era globaliasasi ini selain kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Dengan ketersediaan energi yang murah serta berlimpah maka suatu industri pada umumnya akan lebih maju. Meskipun hal tersebut tidak langsung dapat menurunkan harga, tetapi setidaknya dapat mengurangi kelangkaan energi dalam negeri yang menyebabkan suatu ketergantungan dengan luar negeri. Dewasa ini energi non-konvesional sudah mulai dikembangkan oleh beberapa negara di dunia. Hal tersebut diakibatkan oleh kelangkaan energi konvensional serta telah suksesnya Amerika Serikat dalam mengembangkan energi non-konvensional tersebut. Energi non-konvensional yang akan dibahas pada paper ini adalah shale gas. Shale gas merupakan gas alam yang terkandung di dalam batu serpih yang umumnya berada jauh dibawah permukaan. Shale gas saat ini diproduksi dengan menggunakan metode dan teknik khusus, yaitu hydraulic fracturing. Hydraulic fracturing merupakan perekahan buatan dengan menggunakan air sebagai media pendorong. Metode dan teknik ini dilakukan karena shale gas terkandung didalam batuan serpih yang merupakan batuan dengan butiran halus dan permeabilitas rendah, sehingga apabila diproduksi dengan pengeboran vertikal maka jumlah shale gas yang terambil menjadi tidak potensial. Amerika Serikat mulai mengembangkan shale gas pada tahun 1821. Pada tahun tersebut untuk pertama kalinya dilakukan ekstraksi shale gas. Namun kondisi perekonomian dan teknologi yang sangat mahal menyebabkan penelitian ini terhenti. Pada tahun 1973, Amerika Serikat mendapatkan embargo minyak dan gas yang dilakukan Negara Timur Tengah. Embargo tersebut menyebabkan Amerika Serikat sadar akan nilai vital pengamanan cadangan energi nasional, lalu melakukan penelitian besar terhadap energi non-konvensional tersebut. Dampak dari suksesnya pengembangan shale gas di Amerika Serikat adalah turunnya harga gas alam dikarenakan produksi shale gas yang melimpah. Hal tersebut menjadi faktor pendongkrak berkembang pesatnya industri di Amerika Serikat, Energi yang menjadi murah menyebabkan para investor tertarik untuk menanamkan sahamnya di sektor industri,PEMBENTUKAN SHALE GAS

Shale gas terbentuk pada batuan serpih, batuan yang memiliki kandungan material organik yang tinggi. Shale gas dapat terbentuk apabila batuan serpih tersebut berada di kedalaman yang besar. Pada kedalaman tersebut, temperatur akan sangat tinggi sehingga akan terbentuk gas (Gambar 1).

Gambar 1. Grafik hubungan antara elemen petroleum dengan kedalaman dan temperatur.

Batuan serpih merupakan batuan sedimen yang terdiri dari komposisi butiran berukuran lempung dan lanau dengan karakteristik laminasi planar (Potter, 1981). Gas yang terkandung didalam batuan serpih terbagi menjadi dua, antara lain sorbed gas dan free gas (Farizi, 2014). Sorbed gas adalah gas yang terserap pada material organik, sedangkan free gas adalah gas yang terjebak pada rekahan atau pori. Permeabilitas pada batuan serpih sangat rendah, yaitu < 10 mD. Berdasarkan penelitian shale gas yang telah di lakukan di Sumatera Utara oleh berbagai peneliti, batuan serpih penghasil shale gas diendapkan selama fase transgresi dalam lingkungan euxinic hingga pelagic (Ruswandi dkk, 2011).

CEKUNGAN POTENSI SHALE GAS DI INDONESIA

Potensi shale gas di Indonesia terdapat di cekungan-cekungan minyak dan gas konvensional. Hal tersebut dikarenakan shale gas berada di dalam satu konsep petroleum system dengan minyak dan gas konvensional. Hal yang membedakannya adalah batuan serpih merupakan batuan induk dalam konsep petroleum system (Gambar 2).

Gambar 2. Lokasi keterdapatan gas alam.

Cekungan-cekungan yang berpotensi sebagai penghasil shale gas antara lain Cekungan Sumatera Tengah, Cekungan Sumatera Selatan, Cekungan Jawa Barat, Cekungan Jawa Timur, Cekungan Kutai, Cekungan Barito, dan Cekungan Tarakan. Namun selain cekungan tersebut tedapat pula satu Formasi non cekungan yang potensial akan shale gas, yaitu Formasi Klasafet. Umur dari Formasi penghasil shale gas umumnya berkisar dari Late Oligocene hingga Late Miocence. Umur tersebut secara tektonik yang berkembang di Indonesia merupakan faktor penentu posisi dari kedalaman batuan serpih yang membentuk shale gas pada temperature yang tinggi. Potensi keterdapatan shale gas di Indonesia diperkirakan mencapai 574 TSCF (Tabel 1).

Tabel 1. Tabel potensi shale gas di beberapa cekungan di Indonesia.

TEKNIK PRODUKSI SHALE GAS

Shale gas dapat diproduksi secara potensial dan ekonomis dengan menggunakan teknik pengeboran horizontal dan hydraulic fracturing (Gambar 3). Hal tersebut perlu dilakukan karena permeabilitas pada batuan serpih yang sangat kecil, yaitu < 10 mD. Apabila dilakukan pengeboran secara vertikal maka secara kuantitas produksi tidak ekonomis. Material yang terkandung pada teknik hydraulic fracturing antara lain 80% fluida, 15% bahan kimia, serta 5% mineral kuarsa.

Gambar 3. Teknik horizontal drilling dan hydraulic fracturing untuk produksi shale gas.

NILAI KEEKONOMIAN DAN REVOLUSI INDUSTRI

Salah satu implikasi dari produksi shale gas di Indonesia adalah pengurangan impor energi konvensional. Kemandirian dalam mengelola produksi shale gas yang besar akan menumbuhkan sektor industri dalam negeri. Berdasarkan data BPPT, konsumsi energi final (termasuk biomassa) pada kurun waktu 2000-2011 meningkat dari 764 juta SBM pada tahun 2000 menjadi 1.044 juta SBM pada tahun 2011 atau meningkat rata-rata 2,87% per tahun. Konsumsi energi final tersebut tidak mempertimbangkan other petroleum products di sektor industri. Pangsa konsumsi energi final tahun 2000 adalah sektor rumah tangga (38,8%), industri (36,5%), transportasi (18,2%), lainnya (3,8%), dan komersial (2,7%). Komposisi ini berubah pada tahun 2011 menjadi industri (37,2%), rumah tangga (30,7%), transportasi (26,6%), komersial (3,2%), dan lainnya (2,4%). Selama kurun waktu 2000-2011 tersebut, sektor transportasi mengalami laju pertumbuhan per tahun terbesar mencapai 6,47% per tahun, disusul sektor komersial (4,32%), sektor industri (3,05%), dan sektor rumah tangga (0,7%). Sedangkan sektor lainnya mengalami penurunan dengan laju penurunan sebesar -1,47% (Gambar 4).

Gambar 4. Konsumsi energi final per sektor (BPPT, 2013).

Konsumsi energi final menurut jenisnya selama tahun 2000-2011 masih didominasi oleh BBM (avtur, avgas, bensin, minyak tanah, minyak solar, minyak diesel, dan minyak bakar). Selama kurun waktu tersebut, total konsumsi BBM relatif konstan dengan kisaran 312-364 juta SBM, tetapi mengalami komposisi yang berbeda antara satu jenis BBMdengan jenis BBM lainnya. Pada tahun 2000, konsumsi minyak solar merupakan terbesar (42%) disusul minyak tanah (23%), bensin (23%), minyak bakar (10%), dan avtur (2%). Namun pada tahun 2011 urutannya berubah menjadi minyak solar dan biodiesel (46%), bensin (42%), avtur (6%), minyak tanah (3%), dan minyak bakar (3%). Konsumsi batubara meningkat pesat dari 36,1 juta SBM pada tahun 2000 menjadi 144,6 juta SBM pada tahun 2011 atau meningkat rata-rata 13,4% per tahun. Seluruh konsumsi batubara tersebut berlangsung untuk memenuhi kebutuhan energi sektor industri, terutama oleh industri semen, dan oleh industri yang melakukan diversifikasi energi seiring dengan semakin mahalnya harga BBM, seperti industri tekstil, kertas, dan lainnya.Konsumsi gas bumi meningkat relatif terbatas selama kurun waktu tersebut. Gas bumi merupakan energi yang bersih dan murah serta sangat dibutuhkan oleh sektor industri. Keterbatasan infrastruktur distribusi dan transmisi gas nasional menyebabkan pasokan gas bumi untuk memenuhi kebutuhan industri terbatas. Produksi gas bumi saat ini masih dijadikan sebagai andalan ekspor nasional. Sedangkan konsumsi listrik selama kurun waktu tahun 2000-2011 mengalami pertumbuhan rata-rata 6,5% per tahun, masih lebih rendah dibanding batubara (13,4%) dan LPG (14,6%). Rasio elektrifikasi nasional pada tahun 2011 yang masih 73% dan konsumsi listrik per kapita tahun 2011 masih rendah (sekitar 660 kWh/kapita) (Gambar 5).

Gambar 5. Konsumsi energi final per jenis (BPPT, 2013).

Dengan terus meningkatnya pertumbuhan penduduk yang mengalami tingkat pertumbuhan yang landai, maka harus ditunjang dengan adanya peningkatan energi. Energi non-konvensional merupakan salah satu alternatif untuk menjaga stabilitas pasokan energi nasional. Saat ini dengan pasokan shale gas yang melimpah, apabila di produksi secara besar, maka shale gas secara ekonomi bernilai lebih murah dibandingkan BBM. Hal tersebut akan mengakibatkan perubahan neraca pada sektor industri dengan konsumsi energi sebesar 37,2%, konsumsinya akan terus meningkat dan dengan jenis konsumsi terbesar yaitu pada biomassa dan BBM akan beralih ke shale gas.Potensi cadangan migas non konvensional Indonesia menurut Kementrian ESDM tidak kurang dari 1037 TCF. Cadangan tersebut berasal dari shale gas sebesar 574 TCF dan CBM sebesar 453 TCF. Sedangkan migas konvensional saat ini menurutBP Statistical Review World Energy2011, cadangan minyak mentah Indonesia (terbukti dan potensial) turun sekitar 19% dari 9,6 miliar barel pada tahun 2000 menjadi 7,8 miliar barel pada tahun 2010. Sementara jumlah cadangan terbukti 4,2 miliar barel pada tahun 2010, turun 17% dari tahun 2000. Cadangan gas alam (terbukti) sebesar 108,4 TSCF meningkat sekitar 14% dari tahun 2000.Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan ketahanan energi nasional sangat bergantung kepada migas non konvensional apabila tidak ingin bergantung pada asing untuk melakukan impor (Gambar 6).

Gambar 6. Impor energi Indonesia (ESDM, 2011).

KURANG PERBANDINGAN HARGA PER JENIS ENERGI BAIK KONVENSIONAL MAUPUN NON KONVENSIONAL

KENDALA PENGEMBANGAN SHALE GAS DI INDONESIA

Beberapa kendala yang dihadapi oleh pemerintah dan juga para investor untuk mengembangkan shale gas di Indonesia antara lain :1. Teknologi, untuk dapat memproduksi shale gas dibutuhkan teknologi canggih sehingga jumlah yang dapat terambil bersifat ekonomis.2. Lingkungan, produksi shale gas di prediksi dapat mencemari air tanah yang diakibatkan oleh teknik hydraulic fracturing.3. Rendahnya harga gas alam, faktor ini merupakan kendala besar apabila tidak diperhitungkan dengan matang. Dengan rendahnya harga gas alam, produksi shale gas tidak akan memberikan penurunan yang signifikan terhadap harga gas alam tersebut. 4. Mafia migas dan batubara, kendala ini merupakan salah satu faktor yang paling berpengaruh apabila ingin mengembangkan shale gas. Dengan berkembangnya shale gas, komoditas migas dan batubara akan mengalami penurunan harga yang mungkin grafiknya akan selalu turun seiring produksi shale gas yang makin besar. Hal tersebut akan membuat mafia di sektor migas dan batubara mempersulit regulasi shale gas.

KESIMPULAN

Beberapa kesimpulan yang dapat diambil dari paper ini antara lain : Dikarenakan permeabilitas daripada batu serpih sangat kecil (< 10 mD), maka teknik pemboran yang dilakukan adalah horizontal drilling dan juga perlu dilakukan hydraulic fracturing, yaitu perekahan buatan dengan menggunakan air, penambahan rekahan bertujuan untuk menambah permeabilitas sehingga kuantitas gas yang terambil akan lebih ekonomis.Saat ini, Indonesia sudah dapat dikatakan membutuhkan shale gas karena kebutuhan energi yang semakin meningkat dan produksi energi konvensional semakin hari semakin menurun, serta dibandingkan dengan BBM, shale gas jika diproduksi dalam jumlah yang melimpah akan jauh lebih murah sehingga Indonesia tidak bergantung lagi dengan impor BBM, tetapi oleh karena lingkungan produksi shale gas yang dikhawatirkan dapat mencemari air tanah, harus dipelajari dulu lebih lanjut cara penanggulangannya sebelum memutuskan untuk menggunakan shale gas sebagai energi alternatif.