non chemical weed control paper
DESCRIPTION
sistem pertaanian berkelanjutan (organik)TRANSCRIPT
PENGENDALIAN GULMA TANPA BAHAN KIMIA
Weed control without chemical substances D. Kurniadie
Department of Agronomy Faculty of Agriculture Padjadjaran UniversityJl. Raya Bandung Sumedang Km 21 Jatinangor 40600 Bandung
ABSTRACT
The purpose of writing this article was to give some information about how to control weeds without using chemicals, especially in some developed countries. Non-chemical weed control method was getting more popular to be used by farmers in various countries, due to side effects of using chemicals or herbicides on environmental pollution, human health disorders and various types of weed resistance to herbicides. In line with the increase in economic living standards and awareness of environmental and health care, organic farming system has also getting more popular. Non-chemical weed control consists of preventive control of weed, use of cover crops, mulch, technical culture, plants producing allelopathy, biological control and mechanical control is expected to replace or reduce the role of herbicides to control weeds that caused many environmental pollution problems.
Keywords: non-chemical methods, environmental pollution, cover crops, allelopathy
ABSTRAK
Penulisan artikel ini bertujuan untuk memberi beberapa informasi tentang cara pengendalian gulma tanpa menggunakan bahan kimia terutama di beberapa negara maju. Metoda pengendalian gulma non kimia semakin banyak dilakukan petani di berbagai negara, karena pengendalian gulma dengan menggunakan bahan kimia atau herbisida dalam perjalanannya ternyata banyak menimbulkan masalah pencemaran lingkungan, gangguan kesehatan manusia dan resistensi berbagai jenis gulma terhadap herbisida. Sejalan dengan meningkatnya taraf hidup ekonomi serta kesadaran memelihara lingkungan dan kesehatan, budidaya pertanian organik semakin banyak dilakukan orang. Pengendalian gulma non kimia yang terdiri dari pengendalian preventiv, penggunaan tanaman cover crops, penggunaan mulsa, penggunaan kultur teknis, penggunaan tanaman penghasil allelopathy, pengendalian biologis serta pengendalian mekanis diharapkan bisa mengganti atau mengurangi peranan herbisida untuk mengendalikan gulma yang banyak menimbulkan masalah pencemaran lingkungan.
Kata Kunci: metoda non kimia, pencemaran lingkungan, cover crops, allelopathy
1
PENDAHULUAN
Pada umumnya masalah gulma muncul kepermukaan akibat suatu jenis tumbuhan
atau kelompok tumbuhan mulai mengganggu aktivitas manusia seperti dalam bercocok
tanam, pariwisata, kehutanan dan transportasi. Gulma di masyrakat juga disebut dengan
berbagai istilah seperti tumbuhan pengganggu, tumbuhan liar, rerumputan liar atau ada juga
yang menyebut jukut liar. Menurut Cob dan Reade (1992), gulma adalah tumbuhan yang
tumbuh pada tempat yang salah, jumlah yang salah dan waktu yang salah. Menurut Rao
(2000) gulma adalah tumbuhan yang tidak dikehendaki dan tidak diperlukan dan
mengganggu penggunaan tanah, air, unsur hara, serta mengganggu kesejahteraan manusia.
Gulma akan tumbuh dengan subur apabila tumbuh pada tempat dimana nutrisi dan cahaya
matahari cukup tersedia. Gulma pada umumnya mampu menyerap unsur hara lebih cepat
dan lebih besar dibandingkan tanaman budidaya sehingga gulma selalu menang dalam
kompetisi hara dengan tanaman pokok (Al Kamper, 1976). Pada tanah pertanian dan
kehutanan gulma berkompetisi dengan tanaman budidaya dan menyebabkan kehilangan
hasil serta mengurangi kualitas produksi. Menurut Rao (2000) kerugian akibat gulma jauh
diatas kerugian oleh hama, penyakit, tikus, nematode dan yang lainnya. Salah satu
kerugian akibat adanya gulma adalah kehilangan hasil tanaman budidaya. Kehilangan hasil
pertanian di negara Amerika serikat adalah sekitar 12% atau diperlukan biaya sebesar US
9-10 milyar dollar untuk mengendalikan gulma setahun, sedangkan kehilangan hasil
tanaman akibat gulma di beberapa negara berkembang dan kurang berkembang yang masih
menggunakan pola pertanian tradisional lebih besar lagi. Hasil penelitian kehilangan hasil
tanaman akibat interfensi gulma di beberapa negara adalah tanaman ketela pohon di
Venezuela hasil panen berkurang 92% akibat gulma, tanaman padi di Colombia hasil panen
berkurang sebanyak 30-73%, serta tanaman gandum di Inggris hasil panen berkurang
sebanyak 66% (Moss, 1987). Kehilangan hasil tanaman semusim akibat gulma adalah
berkisar antara 10% sampai 15% (De Datta, 1995). Menurut Watson et al. (1977) hasil
panen tanaman padi di Asia pada tahun 90-an hilang sebesar 100 juta ton setiap tahun.
Kehilangan hasil tanaman yang diakibatkan oleh gulma di British Columbia Canada adalah
lebih dari 50 juta dollar per tahun (Miles dan Nicholson, 2003). Pada umumnya akibat dari
2
intervensi gulma pada tanaman budidaya akan mengurangi hasil panen paling sedikit
sebanyak 10-15%.
Masalah kehilangan hasil akibat gulma di beberapa Negara maju belum merupakan
masalah besar, karena mereka selalu menggunakan herbisida yang selektive (Cousens dan
Mortimer, 1995), sedangkan di negara negara berkembang seperti di Indonesia, dimana
herbisida belum terlalu dikenal oleh para petani karena harganya masih dirasa terlalu
mahal, petani memerlukan alternative pengendalian gulma yang murah dan aman bagi
lingkungan. Sejak ditemukannya herbisida pada tahun 1942, para petani sudah terbiasa
menggunakan bahan kimia herbisida untuk mengendalikan gulma. Penggunaan herbisida
tidak hanya meningkatkan hasil tanaman tetapi juga bisa mengurangi biaya dan tenaga
kerja. Pengendalian gulma dengan menggunakan herbisida dalam perjalanannya ternyata
menimbulkan banyak masalah terutama masalah pencemaran lingkungan, resistensi gulma
terhadap herbisida serta kesehatan manusia. Saat ini terutama di beberapa negara maju
banyak dipromosikan pertanian organik yang ramah lingkungan dan berkelanjutan
(sustainable), sehingga penggunaan herbisida sebagai alat untuk mengendalikan gulma
bisa dihindari. Salah satu metoda pengendalian gulma yang sekarang banyak digunakan
oleh para petani organik di Negara maju dan para petani di Negara berkembang adalah
pengendalian gulma tanpa menggunakan bahan kimia.
Penulisan artikel ini bertujuan untuk memberikan beberapa informasi tentang cara
pengendalian gulma tanpa menggunakan bahan kimia terutama di beberapa negara maju.
PENGENDALIAN GULMA SECARA PREVENTIF
Pengendalian gulma secara preventive merupakan salah satu usaha untuk mencegah
gulma tumbuh pada lahan yang ditanami tanaman budidaya. Muenscher (1955)
mendifinisikan pengendalian gulma preventive sebagai usaha atau upaya untuk
menghindari lahan pertanian bebas dari gulma. Pengendalian gulma secara preventive
merupakan integrasi dari beberapai teknis dan kebijakan pengendalian gulma dengan tujuan
untuk mencegah masuk dan menyebarnya berbagai species gulma pada lahan pertanian.
Pengendalian gulma secara preventive ini merupakan salah satu pengendalian gulma yang
cocok bagi berbagai jenis tanaman budidaya. Menurut Norris et al. (2003) pengendalian
3
gulma secara preventive merupakan salah satu bagian dari Integrated Pest Management
(IPM) yang bersifat murah serta menggabungkan berbagai usaha pengendalian dan
kebijakan yang bertujuan untuk mencegah masuk dan menyebarnya berbagai jenis gulma
pada lahan pertanian. Pencegahan gulma secara preventive ini cocok untuk digunakan pada
lahan pertanian kecil sampai besar yang ditanami berbagai tanaman budidaya. Beberapa
upaya yang biasa dilakukan dalam pengendalian gulma secara preventive adalah
pencegahan masuknya gulma baru, pencegahan produksi biji gulma dan pengendalian
gulma yang sudah ada. Pencegahan gulma secara preventive harus dimulai pada saat
pembelian biji yang bebas gulma, transportasi hasil panen, pencucian alat-alat pertanian,
irigasi serta pemupukan dan pasca panen.
Penyebaran biji gulma memegang peranan penting dalam pengendalian gulma
secara preventive. Beberapa cara penyebaran biji gulma yaitu melalui angin, air, bantuan
hewan burung, mamalia serta bantuan manusia. Jarak biji gulma yang bisa disebarkan oleh
angin sangat tergantung pada species gulma. Transportasi biji gulma oleh binatang banyak
terjadi dan sangat tergantung pada jenis tanaman dan jenis binatang. Burung bisa
menyebarkan biji gulma baik pada jarak pendek maupun jarak jauh. Beberapa jenis
invertebrate dan hewan jenis tikus juga berperanan dalam penyebaran biji gulma jarak
pendek. Penyebaran biji gulma melalui aktivitas manusia memegang peranan penting pada
penyebaran dan distribusi berbagai species gulma. Pada umumnya penyebaran gulma
dengan bantuan manusia adalah melalui introduksi species tanaman baru pada ekosistem
baru. Panicum miliaceum pertama kali didatangkan ke Canada pada tahun 1800 an sebagai
tanaman pangan penghasil biji-bijian, tetapi akhirnya beradaptasi pada habitat baru di
Amerika utara dan menjadi gulma yang sangat agresive selama 25 tahun terakhir ini
(Bough et al., 1986). Zimdahl (1999) melaporkan bahwa Cynodon dactylon, Sorghum
halepense, dan Digitaria Spp pada awalnya diintroduksi oleh beberapa negara sebagai
tanaman makanan ternak, tetapi akhirnya sekarang menjadi gulma. Tumbuhan eceng
gondok atau Eichornia crasipes pertama kali didatangkan ke Indonesia dari Amerika
selatan sebagai tanaman hias, tetapi karena tumbuhnya sangat pesat akhirnya sekarang
menjadi salah satu gulma air utama di Indonesia. Beberapa species lainnya yang akhirnya
menjadi gulma adalah Ageratum conyzoides, Linaria vulgaris, Nicandra physalodes,
4
Opuntia stricta, Pistia stratiotes, Salvinia Spp, dan Sagittaria montevidensis. Masalah
introduksi tanaman baru ke suatu negara merupakan masalah yang sulit dikendalikan
walaupun beberapa negara sudah mempunyai aturan dan hukum yang mengatur dan
mengendalikan keluar masuknya suatu species tanaman ke suatu negara. Pada umumnya
larangan baru dikeluarkan oleh suatu negara setelah species tanaman menjadi gulma.
Seharusnya dibuat suatu model yang memungkinkan suatu negara melarang masuknya
suatu species tanaman sebelum species tanaman itu menjadi gulma di negaranya. Cara
penyebaran biji gulma lainnya adalah melalui pengolahan tanah, penggunaan peralatan
pengolahan tanah serta peralatan untuk panen. Pengolahan tanah mampu menyebarkan biji
biji gulma pada jarak pendek (1-2 m), sedangkan penggunaan alat-alat transportasi mampu
menyebarkan biji biji gulma pada jarak yang lebih jauh terutama apabila digunakan
peralatan transportasi yang sering berpindah pindah dari satu tempat ke tempat lainnya.
Penyebaran biji biji gulma dengan bantuan binatang bisa melalui penyebaran melalui
penempelan biji gulma pada bulu binatang dan penyebaran biji gulma dengan cara dimakan
atau ditelan oleh binatang. Penyebaran melalui penempelan pada bulu binatang
dimungkinkan karena bentuk struktur dari biji gulma yang mudah menempel pada bulu
binatang misalnya biji gulma Bidens Spp, Cynodon dactylon, Digitaria sanguinalis,
Hypericum perforatum dan Xanthium strumaticum (Radosevich dan Holt, 1984).
Penyebaran biji gulma karena ditelan oleh binatang sangat tergantung pada species gulma
dan jenis binatang (Thill et al., 1986). Hasil penelitian menunjukkan bahwa binatang
kambing dan kuda lebih efektif menghancurkan biji biji gulma dengan cara dimakan yang
menyebabkan biji biji gulma menjadi tidak viable dibandingkan dengan binatang sapi,
sedangkan binatang unggas termasuk binatang yang paling efektif menghancurkan biji
gulma yang viable (Stanton et al., 2002). Tiap jenis binatang mempunyai kemampuan yang
berbeda beda dalam menghancurkan biji gulma yang viable, tetapi tidak ada satupun
binatang yang mampu menghancurkan biji gulma yang viable secara total (Blackshaw dan
Rode, 1991). Pengomposan kotoran ternak merupakan salah satu cara untuk membunuh
biji biji gulma yang viable tetapi tergantung pada lamanya proses pengkomposan, metoda
pengkomposan dan temperature. Penyebaran biji gulma lainnya bisa dilakukan melalui air
5
irigasi atau aliran sungai. Biji biji gulma berbagai species akan tetap viable dalam air
sampai 5 tahun lamanya.
Beberapa cara pengendalian gulma secara preventive adalah a) mengurangi atau
mencegah masuknya species gulma baru dan juga mengurangi jumlah biji biji gulma yang
memasuki seed bank, b) menanam benih bebas gulma, c) mencegah gulma perennial untuk
menghasilkan biji dan menyimpan cadangan makanannya pada organ tumbuh yang berada
dibawah permukaan tanah, d) penggunaan alat panen, mesin pertanian dan alat transportasi
harus bebas gulma, e) teknik pengomposan yang baik, dan f) meningkatkan peranan
karantina.
PENGENDALIAN GULMA MENGGUNAKAN COVER CROPS
Tanaman penutup tanah baik dalam bentuk hidup maupun dalam bentuk yang tidak
hidup berupa residu tanaman banyak digunakan dalam pengendalian gulma. Efektifitas
tanaman penutup tanah hidup lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman penutup tanah
tidak hidup. Penutup tanah hidup lebih menekan perkecambahan gulma, munculnya gulma,
pertumbuhan gulma dan produksi bibit gulma dibandingkan penutup tanah tidak hidup
(Upadhyaya dan Blackshaw, 2007). Tanaman penutup tanah hidup mampu menyerap sinar
merah yang menghambat pembentukan phytochrome yang akan menghambat
perkecambahan biji gulma. Tanaman penutup tanah hidup juga mampu berkompetisi
dengan gulma yang baru berkecambah terutama dalam hal nutrisi. Penanaman tanaman
penutup tanah hidup Portulaca oleracea L. sebelum transplanting tanaman bunga kol
(Brassica oleracea L. var. botrytis L.) mampu menekan gulma tanpa mempengaruhi hasil
tanaman pokok (Ellis et al., 2000). Terdapat pengurangan biomass gulma rata-rata sebesar
40% sampai 97% sebagai akibat dari penggunaan tanaman penutup tanah pada berbagai
musim di berbagai negara di dunia (Sheaffer et al., 2002). Beberapa jenis tanaman penutup
tanah hidup yang banyak digunakan untuk mengendalikan gulma yaitu Mucuna, Spp, Vigna
unguiculata, Crotalaria juncea, Pureraria javonica, Calopogonium mucunoides dan
Centrosema pubescens Jenis jenis tanaman penutup tanah ini di Indonesia banyak
digunakan untuk mengendalikan gulma pada tanaman karet dan kelapa sawit. Menurut
(Taimo et al., 2005) penggunaan tanaman penutup tanah Mucuna pruriens, Calopogonium
6
mucunoides, Crotalaria juncea dan Canavalia brasiliensis berhasil menekan pertumbuhan
gulma gulma Imperata cylindrica, Cynodon dactylon dan Cyperus Sp.
Selain tanaman penutup tanah hidup, tanaman penutup tanah tidak hidup juga bisa
digunakan untuk menutupi permukaan tanah, sehingga bisa merangsang pertumbuhan
tanaman budidaya karena dapat meningkatkan kelembaban tanah (Galagher et al., 2003).
Tanaman penutup tanah tidak hidup ini bisa menekan pertumbuhan gulma baik secara fisik
maupun secara kimiawi (allelopati). Tanaman penutup tanah tidak hidup yang berupa
mulsa penutup tanah mempunyai kandungan biomass serta C/N rasio yang tinggi dan
mampu menekan pertumbuhan gulma. Residu dari tanaman penutup tanah atau tanaman
penutup tanah yang tidak hidup dapat mempengaruhi perkecambahan biji gulma karena
residu tanaman penutup tanah dapat mengurangi cahaya matahari yang masuk, serta
mengeluarkan phytotoxin, sehingga menghambat perkecambahan biji gulma. Residu
tanaman penutup tanah yang masih segar akan didekomposisi dan dihasilkan phytotoxin
atau phatogen yang menghambat perkecambahan dan pertumbuhan awal dari gulma.
Residu tanaman penutup tanah berfungsi hanya pada saat biji gulma belum berkecambah.
Pada saat biji gulma telah berkecambah residu tanaman penutup tanah bersifat merangsang
pertumbuhan gulma, karena residu tanaman penutup tanah akan memberikan nutrisi
tanaman dan memperbaiki kelembaban serta temperature tanah. Beberapa keuntungan
tanaman penutup tanah adalah a) mampu menahan pukulan hujan, b) mampu menahan laju
air limpasan, c) menambah kandungan nitrogen, d) memperbaiki sifat fisik, kimia, biologi
tanah, e) melindungi permukaan tanah dari erosi, f) mengurangi pencucian unsur hara, g)
mempercepat pelapukan residu organik dan h) menekan pertumbuhan gulma.
PENGENDALIAN GULMA MENGGUNAKAN MULSA
Pada umumnya jenis mulsa dibagi dua bagian, yaitu a) potongan potongan kecil
baik bahan organik maupun anorganik yang disebarkan secara merata sehingga bisa
menutupi permukaan tanah dan b) mulsa berupa lembaran yang berasal dari bahan alami
atau sintetis yang digunakan untuk menutupi permukaan tanah. Mulsa plastik sintetis dibuat
dalam berbagai warna, karena warna ini mempengaruhi temperature mulsa dan lapisan
tanah dibawahnya. Pada mulsa warna putih serta mulsa kombinasi warna putih dan hitam
7
atau mulsa warna silver (perak) temperature tanah menjadi lebih rendah satu derajat, karena
sinar matahari dipantulkan kembali pada kanopi tanaman. Perbedaan warna pada mulsa
plastik akan membedakan persentase cahaya yang dipantulkan. Mulsa plastik putih akan
memantulkan cahaya maximal sebesar 85%, sedangkan mulsa hitam tidak memantulkan
cahaya tetapi memanaskan tanah. Mulsa berwarna hitam yang terbuat dari bahan polythene
merupakan jenis mulsa yang paling banyak digunakan oleh petani untuk mengendalikan
gulma baik pada sistim pertanian organik maupun sistim pertanian konvensional. Pada
umumnya penggunaan mulsa plastik bisa meningkatkan temperature tanah dibawahnya dan
bisa meningkatkan pertumbuhan tanaman dan mempercepat waktu panen (Grundy dan
Bond, 2007). Menurut Runham (1998) temperature tanah dibawah mulsa lebih tinggi baik
pada siang hari maupun pada malam hari, sehingga bisa meningkatkan proses mineralisasi
nitrogen dari residu organik. Kandungan nitrogen nitrate dibawah mulsa plastik hitam
lebih tinggi dibandingkan dengan tanah tanpa mulsa plastik hitam (Davies et al,. 1993).
Beberapa jenis mulsa lainnya adalah mulsa kertas koran, karton, bahan geotextile,
carpet bekas serta mulsa limbah pertanian dan kehutanan seperti kompos, serbuk gergaji,
kulit kayu, dan potongan kecil kayu. Menurut Ligneau dan Watt (1995), tebal kompos
sebesar 3 cm mampu mencegah munculnya gulma setahun. Gulma biasanya akan semakin
tertekan dengan semakin tebalnya lapisan mulsa non hidup ini (Ozores-Hampton, 1998).
Hasil penelitian Munn (1992), menunjukkan bahwa sobekan kertas koran sebanyak 4,75 -
10 ton per hektar memberikan pengaruh yang sama dengan perlakuan jerami dalam
menekan gulma setahun dan gulma tahunan pada tanaman jagung manis, kedelai, dan
tomat. Limbah alfalfa dan mulsa rumput yang digunakan sebelum tanam tanaman jagung
mampu menekan perkecambahan dan munculnya biji gulma (Yih, 1989).
Penggunaan mulsa dari bahan organik selain bisa mengendalikan gulma juga bisa
menambah bahan organik tanah, sehingga bisa memperbaiki struktur tanah, menambah
kesuburan tanah, mengurangi hilangnya nitrate karena leaching, sehingga nitrat tetap
berada pada daerah perakaran dan mengurangi erosi air.
8
PENGENDALIAN GULMA SECARA KULTUR TEKNIS
Konsep pengendalian gulma terpadu pada dasarnya memadukan pengetahuan
tentang aspek biologis dan ekologis dari gulma dan mengerti bagaimana keberadaan gulma
dapat diatasi oleh kegiatan kultur teknis. Manajemen pengendalian gulma jangka panjang
harus berubah dari konsep pengendalian gulma kepada konsep yang mengurangi
tumbuhnya gulma dan mengurangi kompetisi antara gulma dengan tanaman pokok. Gulma
cenderung beasosiasi dengan tanaman yang mempunyai siklus hidup yang sama. Rotasi
tanaman dengan tanaman yang mempunyai siklus hidup yang berbeda akan mengganggu
asosiasi tanaman dengan gulma (Derksen et al., 2002). Pada umumnya kepadatan gulma
pada tanaman monokulture lebih banyak dibandingkan dengan kepadatan gulma pada rotasi
tanaman. Rotasi tanaman kanola (Brasica rapa) dengan tanaman gandum (Triticum
aestivum) mampu mengurangi kepadatan gulma sampai 50 tumbuhan per m2 dibandingkan
dengan monokultur tanaman gandum selama 6 tahun berturut turut sebesar 740 tumbuhan
per m2 (Blackshaw, 1994a). Selanjutnya Blackshaw (1994b) melaporkan bahwa kepadatan
gulma Bromus tectorum (L.) tidak bertambah pada tanaman gandum (Triticum aestivum L.)
yang ditanam pada musim winter dan dirotasikan dengan tanaman kanola (Brassica napus
L.), sedangkan kepadatan gulma meningkat secara cepat pada saat tanaman gandum
ditanam secara monokultur.
Salah satu usaha pengendalian gulma melalui kultur teknis adalah menggunakan
jenis tanaman budidaya yang mempunyai daya kompetisi yang tinggi terhadap gulma.
Jenis tanaman budidaya yangt toleran terhadap kompetisi dengan gulma harus memiliki
beberapa sifat yaitu mampu berkecambah dengan cepat, pertumbuhan batang dan akar
cepat, mempunyai daya menutup kanopi yang cepat, mempunyai nilai index luas daun
yang tinggi serta cepat menghasilkan cabang dan anakan (Blackshaw et al., 2007).
Manipulasi agronomis yang bisa dilakukan untuk menghasilkan tanaman budidaya yang
mempunyai daya kompetisi tinggi terhadap kompetisi gulma adalah dicari dari jenis
species, kultivar, kualitas biji, jarak tanam, populasi biji atau benih, penempatan biji dalam
tanah dan pengaturan penempatan pupuk. Pada umumnya tanaman serelalia lebih toleran
terhadap kompetisi dengan gulma dibandingkan dengan tanaman legum. (Blackshaw et al.,
9
2007). Genotype yang berbeda pada satu jenis tanaman akan mempunyai kemampuan
yang berbeda dalam kompetisi dengan gulma. Perbedaan genotype ini sangat berhubungan
dengan kecepatan biji berkecambah dan kemampuan menutup kanopi secara cepat dan
tingkat pertumbuhan yang tinggi pada fase awal pertumbuhan tanaman (Rasmussen dan
Rasmussen, 2000). Tidak semua sifat genotype yang bisa menyebabkan tanaman
mempunyai daya kompetisi yang tinggi terhadap gulma bisa menghasilkan hasil panen
yang tinggi. Menurut Gibson dan Fischer (2004) umumnya kultivar yang mempunyai
bentuk morfologi tinggi lebih kompetitive dibanding jenis kultivar yang mempunyai
morfologi rendah. Salah satu cara untuk mendapatkan tanaman yang punya daya kompetisi
yang tinggi adalah dengan memilih bibit atau benih yang sehat dan menempatkan biji pada
tanah dengan kedalamam yang tepat. Penggunaan jarak tanam yang sempit atau
meningkatkan jumlah populasi bibit tanaman juga bisa meningkatkan daya kompetitif
tanaman terhadap gulma (Mohler, 1996). Semakin sempit jarak tanam akan semakin cepat
kanopi tanaman menutup, tetapi sangat tergantung pada jenis species dan kultivar yang
ditanam. Penggunaan benih pindah tanam pada tanaman sayuran mampu meningkatkan
daya kompetitif dari tanaman budidaya terhadap gulma. Hasil penelitian di India
menyebutkan bahwa padi pindah tanam memberikan hasil panen yang sama dengan padi
tanam langsung (Singh, et al., 2003).
Cara kultur teknis lainnya yaitu cara penggunaan pupuk anorganik nitrogen.
Pemupukan nitrogen yang lebih awal dapat meningkatkan daya kompetisi tanaman
terhadap gulma. Tanaman bunga matahari yang dipupuk oleh nitrogen sebelum tanam
mampu menekan gulma gulma Chenopodium album, Solanum nigrum dan Xanthium
strumarium dibandingkan dengan pemakaian pupuk 50 % sebelum tanam dan 50% lagi
setelah tanam (Paolini et al., 1998). Penempatan pupuk nitrogen yang tidak tepat dapat
mengurangi jumlah pupuk nitrogen yang bisa diserap tanaman, bahkan dapat memperkuat
daya kompetisi gulma terhadap tanaman budidaya (Supasilapa et al., 1992). Pupuk
nitrogen sebaiknya ditempatkan 10 cm dibawah permukaan tanah dekat dengan tanaman
budidaya, sehingga biji gulma tidak mampu menggunakannya. Penempatan pupuk nitrogen
ini mampu menurunkan daya kompetisi beberapa jenis gulma (Blackshaw et al., 2004).
10
Rotasi tanaman dan penanaman secara intercropping atau teknik budidaya tanaman
dengan cara menanam lebih dari satu jenis tanaman secara sekaligus pada sebidang lahan
yang sama merupakan salah satu upaya pengendalian gulma secara kultur teknis. Jenis
tanaman yang ditanam bisa campuran dari tanaman setahun dengan tanaman setahun
lainnya, tanaman setahun dengan tanaman tahunan atau tanaman tahunan dengan tanaman
tahunan lainnya (Vandermeer, 1989). Tujuan dari penanaman secara intercropping adalah
mengurangi resiko gagal panen secara total dan mengendalikan gulma. Menurut Chikoye et
al. (2001) penanaman tanaman Mucuna cochinchinesis, Lablab purpureus, Pueraria
phaseoloides yang ditanam secara intecropping dengan tanaman jagung atau ketela pohon
adalah untuk menekan pertumbuhan gulma alang alang (Imperata cylindrica). Penggunaan
intercropping untuk menekan gulma telah banyak dilakukan di negara negara Afrika, Asia
dan Amerika latin, sedangkan di negara negara Eropa dan Amerika utara jarang dilakukan
karena mereka kekurangan tenaga kerja dan sangat tergantung kepada pengendalian kimia
dengan menggunakan herbisida. Peranan penting dari intercropping dalam pengendalian
gulma adalah memberikan naungan pada gulma dan menjadikan tanaman budidaya lebih
mampu berkompetisi dalam menyerap hara dan air dibandingkan dengan tanaman
monokultur (Hauggaard-Nielsen et al., 2001).
PENGENDALIAN GULMA MENGGUNAKAN ALLELOPATHY
Menurut Rice (1984) allelopathy adalah pengaruh langsung atau tidak langsung baik
positive atau negative dari satu tanaman termasuk mikroorganisme kepada tanaman lainnya
melalui pelepasan senyawa kimia ke lingkungan. Penggunaan berbagai tanaman yang
mempunyai potensi allelopathy sekarang banyak diteliti dengan tujuan untuk mengganti
peranan herbisida untuk mengendalikan gulma yang banyak menimbulkan masalah
pencemaran lingkungan. Sebelumnya orang menganggap bahwa allelopathy tidak ada
gunanya, tetapi sekarang orang menyadari bahwa allelopathy mempunyai potensi untuk
digunakan sebagai alat pengendalian hama, penyakit serta gulma dan peningkatan hasil
pertanian. Allelokimia ini dilepaskan oleh tanaman ke lingkungan melalui leachate,
volatilisasi, exudasi akar, residu tanaman yang mati dengan bantuan faktor biotik dan
abiotik (Rice, 1984). Menurut Einhellig (1996) aktivitas biologis dari allelokimia ini
11
tergantung kepada konsentrasi, kultivar, umur tanaman, fase metabolis dari donor tanaman
dan kondisi lingkungan. Potensi allelopathy dapat digunakan untuk mengendalikan gulma
tanpa bahan kimia melalui a) penggunaan tanaman budidaya dan tanaman penutup tanah
yang punya potensi allelopathy dan b) penggunaan allelokimia sebagai bahan herbisida
alami (Bhowmik dan Inderjit, 2003).
Pentingnya allelopathy dalam pertanian praktis menyebabkan banyak penelitian
mencari potensi allelopathy dari berbagai tanaman budidaya. Einhelling dan Leather (1988)
menemukan bahwa bioassay dari kecambah tanaman sorghum dan kacang kedelai mampu
menghambat tanaman Kochia scopria L., Helianthus tuberosus L., Xanthium strumarium
L., Ambrosia trifida L., dan Rumex crispus L. Senyawa yang dikeluarkan oleh tanaman
sorghum pada umumnya adalah dari golongan phenols seperti syrigic, caffeic, and
protocatechuic acids. Chou (1990) menemukan bahwa tanaman padi sawah ternyata juga
mempunyai kandungan bahan kimia allelopati p-hydroxybenzoic, syringic, vanillic, ferulic,
acetic, o-hydroxyphenylacetic, propionic, dan butryric acids. Bahan kimia allelopati ini
berasal dari residu atau jerami tanaman padi yang bisa menurunkan hasil tanaman padi
yang ditanam secara monokultur sebesar 25%. Tanaman lain yang dilaporkan mempunyai
potensi allelopathy adalah tanaman penutup tanah seperti gandum, barley, sorghum, sudan
grass dan rye. Barnes et al. (1986) melaporkan bahwa tanaman penutup tanah hidup rye
mampu menurunkan sampai 90% berat kering gulma dibandingkan kontrol (tanpa tanaman
penutup tanah rye). Hasil lainnya yaitu tanaman kacangan/legume Cajanus cajan dan
Mucuna deeringiana mampu mengurangi gulma penting di dunia seperti Cyperus rotundus
(Hepperly et al. 1992). Tanaman tahunan seperti kopi (Coffee arabica L.) dan tanaman teh
(Camellia sinensis L.) O.Kuntze mempunyai bahan aktif yang bersifat racun yaitu alkaloid
(Rizvi et al.,1981). Pada umumnya bahan kimia allelopati yang mempunyai potensi untuk
digunakan sebagai bahan pengendalian gulma secara biologis adalah dari golongan
flavonoids (tricin, kaempferol, dan quercetin), polyacetylenes, quinones (juglonee), dan
terpenes (mono- dan sesquiterpenes) (Putnam, 1988).
Salah satu potensi dari zat allelokimia untuk mengendalikan gulma adalah melalui
pembuatan herbisida organik. PT Syngenta berhasil menemukan herbisida alami yang
berasal dari tanaman Callistemon citrinus dengan bahan aktiv Mesotrione. Herbisida alami
12
ini bersifat pre dan post emergence untuk mengendalikan gulma gulma daun lebar dan
rumput pada tanaman jagung. Syngenta telah mendaftarkan herbisida alami pertamanya
dengan nama dagang Callisto. Mode of action dari herbisida alami ini adalah menghambat
HPPD (Hydroxy phenyl pyruvate dioxygenase) yang merupakan enzym utama pada
biosintesa carotenoid yang menyebabkan gulma sasaran menderita gejala bleaching.
Herbisida alami pertama ini ternyata cukup efektif untuk mengendalikan gulma gulma
Xantia stumarium, Abutilon theophrasti, Ambrosia trifida, Chenopodium spp, Amaranthus
spp, Polygonum spp, Digitaria spp dan Eichinochloa spp (Wichert et al., 1999). Sampai
saat ini sudah banyak tanaman yang dites untuk diketahui activitas herbisidanya, tetapi baru
beberapa herbisida alami yang berasal dari bahan tanaman telah dijual dipasaran. Salah satu
masalah penggunaan tanaman allelopathy atau residunya untuk digunakan sebagai
herbisida alami adalah pendeknya persistensi atau lamanya tinggal dan aktif dalam tanah
serta kurang baiknya performace di lapangan dibandingkan dengan di laboratorium. Jenis
herbisida alami yang sekarang beredar di pasaran adalah Cinmethylin (Cinch) dan
Mesotrione (Calisto).
PENGENDALIAN GULMA SECARA BIOLOGIS
Pengendalian gulma secara biologis adalah salah satu usaha menekan, atau
mengurangi kepadatan berbagai jenis gulma sampai pada batas yang tidak merugikan
secara ekonomi (ambang batas ekonomi) dengan menggunakan organisma hidup seperti
virus, bakteria, serangga, siput, crustaceae, nematode, burung, ikan dan mamalia,
sedangkan yang sering digunakan adalah berbagai jenis serangga, mikroorganisme
penyakit, hewan mamalia serta ikan jenis grass carp. Cara musuh alami mengendalikan
gulma adalah dengan cara menghancurkan bagian dari biji gulma, daun, akar atau batang,
menekan atau memperlemah gulma dan atau membatasi kemampuan gulma untuk
berkembang biak. Apabila musuh alami telah menetap pada habitat baru mereka akan terus
menyerang gulma sampai musim tanam berakhir. Beberapa musuh alami yang berupa
bakteri yang hidup pada permukaan akar dan melepaskan racun yang mengganggu
pertumbuhan akar. Banyak musuh alami berupa jamur menginfeksi akar gulma, sehingga
transportasi air terganggu dan pertumbuhan daun gulma terganggu. Musuh alami lain
13
berupa serangga memakan daun gulma, sehingga mengurangi luas permukaan daun yang
akhirnya bisa mengurangi jumlah sinar matahari yang bisa diserap. Jamur dan bakteria
yang menginfeksi daun akan mengurangi kemampuan dari daun untuk menghasilkan gula,
sehingga gulma akan kekurangan energi untuk pertumbuhannya yang akhirnya gulma mati
(http://plants.ifas.ufl.edu/education/misc_pdfs/biocontrol_brochure.pdf).
Menurut Charuddatan (2001) terdapat tiga metoda pendekatan yang digunakan
dalam pengendalian gulma secara biologis, yaitu 1) metoda klasik, 2) metoda augmentative
dan 3) metoda inundative. Metoda pendekatan klasik meliputi usaha introduksi atau
pelepasan musuh alami yang pada umumnya berupa serangga atau penyakit tanaman yang
berasal dari daerah bergulma ke daerah lain yang belum terdapat musuh alami. Metoda
pendekatan klasik atau melakukan impor musuh alami ke daerah atau wilayah yang
sebelumnya musuh alami tersebut tidak ada, biasanya digunakan untuk pengendalian
biologis gulma air, padang rumput dan lahan pengembalaan (Jackman, 2003; Schonbeck,
2010). Metoda pendekatan lainnya adalah metoda augmentative yaitu pelepasan dan atau
distribusi dari musuh alami yang tidak ada secara alami dalam jumlah tertentu secara
berkala untuk mengendalikan gulma. Pendekatan metoda inundative atau penggunaan
herbisida alami ini meliputi pembuatan inokulum secara masal. Beberapa herbisida alami
yang telah beredar di pasaran adalah herbisida alami berbentuk cair Collego yang berasal
dari jamur pathogen Collectotrichum gloeosporioides dan Sacc. f. sp aeschynomene untuk
mengendalikan Aeschynomene virginica pada tanaman padi dan kedelai (Te Beest dan
Templeton, 1985). Herbisida alami lainnya adalah DeVine yang merupakan herbisida
alami berbentuk cairan dan berasal dari jamur endemic tanah Phytophthora palmivora
Butler untuk mengendalikan Morrenia odorata pada tanaman jeruk di Florida
(Charuddatan, 1991). Kelemahan dari beberapa herbisida alami yang telah beredar adalah
mempunyai spectrum pengendalian yang sempit, dimana hanya hampu mengendalikan satu
jenis gulma target saja (single target weed species), sehingga menyebabkan kurang
efisiennya pengendalian dan biaya pengendalian menjadi mahal, karena harus
menggunakan metoda lain terutama pada lahan yang didominasi oleh lebih dari satu jenis
gulma. Bentuk lain dari pengendalian gulma secara biologis adalah menggunakan penyakit
14
tanaman sebagai musuh alami. Keuntungan dari penggunaan penyakit tanaman sebagai
musuh alami atau agen biokontrol dibandingkan dengan menggunakan seranggga adalah a)
pada umumnya agen biokontrol dari penyakit tanaman mempunyai host yang specific dan
b) mudah diaplikasikan dengan menggunakan alat semprot konvensional. Contoh
penggunaan penyakit tanaman dalam pengendalian gulma adalah penggunaan penyakit
karat Puccinia chondrillina yang di introduksi dari Italy ke Australia pada tahun 1971 dan
berhasil mengendalikan gulma Chondrilla juncea yang merupakan gulma utama pada
tanaman gandum (Department of Primary Industries, 2007).
PENGENDALIAN GULMA SECARA MEKANIS
Pengendalian gulma secara mekanis merupakan salah satu pengendalian gulma
yang masih banyak dilakukan terutama pada sistim pertanian organik. Pengendalian gulma
secara mekanik juga dilakukan oleh petani petani di negara maju dengan alasan tertentu,
misalnya adanya resistensi gulma terhadap herbisida atau salah satu usaha dari
pengendalian gulma terpadu. Menurut Cloutier et al. (2007) pengendalian gulma secara
mekanik pada umumnya terbagi dalam a) pengolahan tanah, b) penyiangan dan pencabutan
gulma. Tujuan dari pengolahan tanah yaitu menyebabkan biji biji gulma yang tadinya
dorman dibawah permukaan tanah menjadi berkecambah (Kouwenhoven, 2000),
menghaluskan agregat tanah, mencampurkan bahan bahan lain dengan tanah misalnya
pupuk, pestisida, kapur, pupuk organik dan mengendalikan gulma (ASAE, 2004),
memperbaiki infiltrasi tanah, meratakan tanah, meningkatkan mineralisasi bahan organik,
mempercepat pertumbuhan tanaman dan menghancurkan gulma (Steinmann, 2002).
Pemotongan gulma atau penyiangan gulma bisa dilakukan baik secara manual
dengan mencabutnya dengan tangan atau menggunakan alat pemotong seperti parang,
cangkul, golok, lalandak, mechanical weeder atau menggunakan mesin pemotong rumput.
Penyiangan gulma dengan cara memotong ini bertujuan untuk mengurangi ukuran gulma,
mengurangi produksi biji gulma, mengurangi kompetisi dengan tanaman pokok dan
merangsang pertumbuhan tanaman (Frick, 2005), mengurangi luas daun (Cloutier et al.,
2007). Penyiangan gulma dengan menggunakan parang, cangkul atau mesin penyiang
rumput ini tidak bisa mengendalikan gulma secara total, karena beberapa jenis gulma akan
15
tumbuh kembali (regrowth) apabila mendapatkan faktor sarana tumbuh yang memadai.
Pemangkasan atau penyiangan gulma ini lebih cocok untuk digunakan mengendalikan
gulma gulma setahun terutama gulma golongan daun lebar yang mempunyai titik tumbuh
berada diatas permukaan tanah. Penyiangan gulma dengan membabat sebaiknya dilakukan
pada saat gulma gulma menjelang berbunga atau saat pertumbuhan vegetatif gulma lagi
aktif. Penyiangan atau pemotongan gulma pada tanaman biasanya dilakukan beberapa kali
tergantung pada populasi gulma dan jenis tanaman yang ditanam. Pada umumnya petani
melakukan penyiangan sebanyak 2-3 kali selama satu musim tanaman, sedangkan waktu
penyiangan yang tepat sangat tergantung pada periode kritis tanaman.
Metoda pengendalian gulma mekanik lainnya yaitu dengan menggunakan nyala api
atau flame, air panas, sinar infra merah dan sinar ultra violet. Beberapa kendala dari
penggunaan metoda ini adalah memerlukan bahan dan tenaga kerja yang banyak, sehingga
hanya cocok untuk digunakan pada areal yang sempit.
KESIMPULAN
1. Manajemen pengendalian gulma harus berdasarkan konsep mengurangi tumbuhnya
gulma dan mengurangi kompetisi gulma dengan tanaman pokok.
2. Penggunaan herbisida harus dikurangi atau dihindari dengan menggunakan metoda
pengendalian lain yang lebih aman bagi lingkungan.
3. Metoda pengendalian gulma non kimia melalui pengendalian preventiv,
penggunaan tanaman cover crops, penggunaan mulsa, penggunaan kultur teknis,
penggunaan tanaman penghasil allelopathy, pengendalian biologis serta
pengendalian mekanis diharapkan bisa menjadi salah satu alternatif pengendalian
gulma untuk mengganti atau mengurangi penggunaan herbisida dalam
mengendalikan gulma.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Deutsche Akademishe Austausch Dienst
(DAAD) Jerman yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk berkunjung ke
16
Jerman selama dua bulan untuk menyelesaikan penulisan paper ini. Terima kasih juga saya
sampaikan kepada Prof. Dr. Derck dari Institut Für Gartenbau Fachhochschule Erfurt yang
telah bersedia menjadi host selama penulis berada di Jerman.
DAFTAR PUSTAKA
Alkamper, J. (1976). Influence of Weed Infestation on Effect of Fertilizer Dressings.
Pflanzenschutz-Nachrichten 29, pp. 191-235.
ASAE (2004). Terminology and definitions for agricultural tillage implements. ASAE
standards: ASAE S414 FEB 04, pp. 270-282.
Barnes, J.P. and A.R. Putnam (1986). Evidence for allelopathy by residues and aqueous
extracts of rye. Weed Science 34, 384-390.
Bhowmik, P.C. and Inderjit, (2003). Chalenges and opportunities in implementing
allelopathy for natural weed management. Crop Protection 22; 661-671.
Blackshaw, R.E. and Rode, L.M. (1991). Effect of ensiling and rumen digestion
by cattle on weed seed viability. Weed Science 39, 104-108.
Blackshaw, R.E. (1994a). Rotation affects downy brome (Bromus tectorum) in winter
wheat (Triticum aestivum). Weed technology 8, 728-732.
Blackshaw, R.E. (1994b). Rotation acts downy brome (Bromus tectorum) in winter
wheat (Triticum aestivum). Weed Technology 8, 728-732.
Blackshaw, R.E., Semach, G., and Janzen, H.H. (2002). Fertilizer application method
affects nitrogen uptake in weed and wheat. Weed Science 50, 634-641.
Blackshaw, R.E., Molnar, L.J., and Janzen, H.H. (2004). Nitrogen fertilizer timing and
application method affects weed growth and competition with spring wheat. Weed
Science 52, 614-622.
Blackshaw, R.E., Anderson, R.L., and Lemerle, D. (2007). Cultural weed management.
In: Non chemical weed management. Principles, concepts and technology.
Upaddhyaya, M.K and R.E. Blackshaw (eds.). www. Cabi.org.
Bough, M., Colosi, J.C. and Cavers, P.B. (1986). The majors weed biotypes of
proso millet (Panicum miliaceum) in Canada. Canadian Journal of Botany
64, 1188-1198.
17
Charuddatan, R. (1991). The Mycoherbicide approach with plant phatogens. New York
Chapman and Hall.
Charuddatan, R. (2001). Biological control of weeds by means of plant phatogens:
Significance for integrated weed management in modern agroecology. Biocontrol
46, 229-260.
Chikoye, D., Ekeleme, F., and Udensi, U.E. (2001). Cogongrass supression by
intercropping cover crops in corn/cassava systems. Weed Science 49, 658-667.
Chou, C. H. (1990). The role of allelopathy in agroecosystems: studies from tropical
Taiwan. In: Gliessman, S. R. (ed) . Agroecology: Researching the ecological
basis for sustainable agriculture. Ecological studies 78. Springer-Verlag. Berlin. p.
105-121.
Cobb, A. and Reade, J. (1992). Herbicide and plant physiology. Willey, J. UK
Cloutier, D.C, van der Weide, R.J., Peruzi, A, and M.L. Leblanc (2007). Mechanical weed
control. In: Non-Chemical Weed Management, Principles, Concepts and Technology
(eds.) M.K. Upadhyaya and R.E. Blackshaw. CAB International.
Davies, D. H.K, Drysdale A, McKinlay R J, Dent J B. (1993). Novel approaches to
mulches for weed control in vegetables. Proceedings Crop Protection in Northern
Britain, Dundee, UK, 271-276.
Department of Primary Industries, Australia. (2007). Biological control of weeds.
Derksen, D.A., Anderson, R.L., Blackshaw, R.E. and Maxwell, B. (2002). Weed
dinamics and management strategies for cropping systems in the northern great
plain. Agronomy Journal 94, 174-185.
Einhellig, F. A. and G. R. Leather. (1988). Potentials for exploiting allelopathy to enhance
crop production. J. Chem Ecol. 14(10):1829-1842.
Einhellig, F.A. (1996). Interactions involving allelopathy in cropping systems. Agronomy
Journal 88: 886-893.
Ellis, D.R, Guillard K and Adams R G. (2000). Purslane as a living mulch in
broccoli production. American Journal of Alternative Agriculture 15, 50-59
Frick, B. (2005). Weed control in organic systems. In: Ivany, J.A. (ed.) Weed
18
management in transition: topics in Canadian Weed Science, Volume 2. Canadian
Weed Science Society, Sainte-Anne-de-Bellevue, Quebec, Canada, pp. 3-22.
Galagher, R.S., Cardina, J. and Loux, M. (2003). Integration of cover crops with
postemergence herbicides in no-till corn and soybean. Weed Science 51, 995-1001.
Gibson, K.D. and Fischer, A.J. (2004). Competitiveness of rice cultivars as a tools for
crop-based weed management. Weed biology and management 4, 517-537.
Grundy, A.C. and Bond, B. (2007). Use of non living mulches for weed control. In:
Non-Chemical Weed Management, Principles, Concepts and Technology (eds.)
M.K. Upadhyaya and R.E. Blackshaw. CAB International.
Hauggaard-Nielsen, H., Ambus, P. and Jensen, E.S. (2001). Interspecific competition, N
use and interference with weeds in pea-barley intercropping. Field Crop Research
70, 101-109.
Hepperly, P. H., A. Erazo., R. Perez, M. Diaz, C. Reyes. (1992). Pigeon pea and velvet
bean allelopathy. In: Rizvi, S. J. H.and V.Rizvi. 1992. Allelopathy: Basic and applied
aspects. Chapman and hall, London. p.357-369.
http://plants.ifas.ufl.edu/education/misc_pdfs/biocontrol_brochure.pdf. Biological control
of weeds- it`Natural !
Jackman, J. (2003). Biological control of weeds in Texas.
http://bc4weeds.tamu.edu/faq.html. Texas Department of Agriculture, USA.
Kouwenhoven, J.K. (2000). Mouldboard ploughing for weed control. In: Cloutier, D.
(ed.) 4th EWRS Workshop on Physical and Cultural Weed Control, Elspeet, The
Netherlands, pp. 19-22.
Ligneau L.A.M, Watt, T.A. (1995). The effects of domestic compost upon the
germination and emergence of barley and six arable weeds. Annals of Applied
Biology 126, 153-162.Ozores-Hampton, 1998).
Mohler, C.L. (1996). Ecological bases for the cultural control of annual weeds. J of
Production Agriculture 9: 468-474.
Muenscher, W.C. (1955). Weeds, 2nd edn. Cornell University Press, Ithaca, NY,
USA.
Munn, D.A. (1992). Comparisons of shredded newspaper and wheat straw as crop
19
mulches. HortTechnology 2 (3), 361-366.
Norris, R.F., Caswell-Chen, E.P. and Kogan, N. (2003). Concepts in integrated pest
management. Prentice Hall, upper Saddle River, NJ, USA, 586 pp.
Ozores-Hampton, M (1998). Compost as an alternative weed control method.
HortScience33 (6), 938-940.
Paolini, R., Principi, M., Del Puglia, S. and Lazzeri, L. (1998). Competitive effects
between sunflower and six broad-leaved weeds. In Proc. 6th EWRS Mediterranean
Symposium, Montpellier, France, 81-88.
Radosevich, S.R. and Holt, J.S. (1984). Dispersal. In: Radosevich, S.R. and
Holt, J.S. (eds.) Weed ecology. John Wiley and Sons, New York, USA, pp. 53-68.
Rao, V. S. (2000). Principle of Weed Science. 2nd ed. Science Publisher, Inc. Enfield, N. H.
Rasmussen, K. & Rasmussen, J. (2000). Barley seed vigour and mechanical weed
control. Weed Res. 40: 219-230.
Rice, E.l. (1984). Allelopathy, Second edition, Orlando, F.L: Academic Press Inc
Rizvi, S. J. H. and V. Rizvi. (1987). Improving crop productivity in India: Role of
allelochemicals. In: Waller G. R.(ed). Allelochemicals: Role in agriculture and
forestry. Acs Symp series 330. Wash DC Amer Chem Soc.
Runham, S. (1998). Clear edge for paper mulch. Grower, Nexus Horticulture, Swanley,
UK, 129 (12), 21-22.
Schonbeck, M. (2010). Virginia Association for Biological Farming.
www.extension.org/article/18548
Sheaffer, C.C., Gunsolus, J.L. Grimsbo Jewett, J. and Lee, S.H. (2002). Annual
Medicago in soybean. Journal of Agronomy and Crop Science 188, 408-416.
Singh, G., Singh, H., Singh, V.P., Singh, R.K., Singh, P., Johnson, D.E., Mortimer, M.
and Orr, A. (2003). Direct seeding as an alternative to transplanting rice for the rice
wheat systems of the Indo-Gangetic plains: sustainability issues related to weed
20
management. In: proceedings of the BPPC International Congress:Crop Science and
Technology. British crop protection Council, Alton, UK, pp. 1035-1040.
Stanton, R., Piltz, J., Pratley, J., Kaiser, A., Hudson, D and Dill, G. (2002). Annual
ryegrass (Lolium rigidum) seed survival and digestibility in cattle and sheep.
Australian Journal of Experimental Agriculture 42, 111-115.
Steinmann, H.H. (2002). Impact of harrowing on the nitrogen dynamics of plants and soil.
Soil and Tillage Research 65, 53-59.
Stout G J. (1985). “Spray on” mulch demo. American Vegetable Grower, Meister
Publishing Company, Ohio, USA.
Supasilapa, S., Steer, B.T. and Milroy, S.P. (1992). Competition between lupin (Lupinus
angustifolia) and great brome (Bromus diandrus Roth): Development of leaf area,
light interception and yields. Australian Journal of experimental agriculture 32, 71-
81.
Taimo, J.P.C., Calegari, A. and Schug, M. (2005). Conservation agriculture approach for
poverty reduction and food security in Sofala Province, Mozambique. III World
Congress on conservation agriculture: Linking Production, Livelihoods and
Conservation. 3-7 October Nairobi.
Te Beest, D.O. and Templeton, G.E. (1985). Mycoherbicides: Progress in biological
control of weeds. Plant Disease 69, 6-10.
Thill, D.C., Zamora, D.L. and Kambitsch, D.L. (1986). The germination and
viability of excreted common crupina (Crupina vulgaris) achenes. Weed Science 34,
273-241.
Upadhyaya, M.K.and Blackshaw, R.E. (2007). Non Chemical Weed Control: Principles,
Concepts and Technology. CAB International.
Vandermeer, J. (1989). The ecology of intercropping. Cambridge University Press,
Cambridge, UK.
Wichert, R.A., Townson, J.K. Barlett, D.W. and Foxon, G.A. (1999). Technical review of
mesotrone, a new maize herbicide, In: Proceedings of the Brighton Crop Protection
Conference, pp. 105-110.
21
Yih W.K. (1989). The effects of plant litter and inorganic fertilizer on crop-weed
interactions in a temperate, rich soil site. Biological Agriculture and Horticulture 6,
59-72.
Zimdahl, R.L. (1999). Fundamentals of weed science. Academic Press, Fort
Collins, CO, USA.
.
22