muhammad ali azhar public policy and public policy resistanceerepo.unud.ac.id › id › eprint ›...
TRANSCRIPT
-
Muhammad Ali Azhar Public Policy and
Public Policy Resistance
SPEKTRUM Vol. 14, No. 2, Juli 2013
Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional
-
Muhammad Ali Azhar Public Policy and
Public Policy Resistance
SPEKTRUM Vol. 14, No. 2, Juli 2013
Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional
-
Muhammad Ali Azhar Public Policy and
Public Policy Resistance
SPEKTRUM Vol. 14, No. 2, Juli 2013
Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional
-
Muhammad Ali Azhar Public Policy and
Public Policy Resistance
SPEKTRUM Vol. 14, No. 2, Juli 2013
Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional
-
Muhammad Ali Azhar Public Policy and
Public Policy Resistance
SPEKTRUM Vol. 14, No. 2, Juli 2013
Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional
PUBLIC POLICY AND PUBLIC POLICY RESISTANCE:
Critical Analysis toward Badung Regency Government Policy in Operating
Mengwi Terminal
Oleh:
Muhammad Ali Azhar
Political Science Program
Faculty of Social and political Sciences
Udayana University
E-mail: [email protected]
Abstract
Policy is an instrument of government, not just in the sense of government as state
officials, but also various forms of governance that touches both private
institutions, businesses, and civil society. If they are not involved in government
policy, some institutional forms as mention above will be resistant to the policy.
This paper reviews resistance about the government's policy in Mengwi terminal
operations. Start at 22nd of June 2012, through decree number SK.1543/AJ.106/DR
JD in 2012, the government of Badung regency which is related to its ranks;
government of Denpasar, Bali's provincial and central government decided that
Mengwi terminal operated. However, operationally decision, not necessarily get a
positive response from the object being regulated. It is caused, they are not
engaged by the Badung regency government in their policy development terminal.
As a result, the terminal is operated only half-heartedly by the holders discretion.
Key words : policy, model and policy approaches, resistance policy
-
Muhammad Ali Azhar Public Policy and
Public Policy Resistance
SPEKTRUM Vol. 14, No. 2, Juli 2013
Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional
A. Latar Belakang
Kebijakan merupakan kata kunci dalam penyelenggaraan pemerintahan. Pentingnya
kebijakan dalam pemerintahan karena segala urusan pemerintahan senantiasa berhubungan erat
dengan pekerjaan; mengurusi, memberi, dan melayani kebutuhan warga masyarakat. Maka untuk
melaksanakan tugas-tugas tersebut pemerintah butuh kebijakan untuk mencapainya. Hal tersebut
dimaksudkan untuk memberikan perhatian kepada warga masyarakat, baik berupa pelayanan
kenyamanan ataupun keamanan.
Sejatinya sebuah kebijakan akan lebih bermakna apabila kebijakan itu selaras dengan
keinginan publiknya1. Karena yang namanya kebijakan, pasti memiliki obyek yang diaturnya dalam
menanggapi isu-isu pokok yang dihadapinya. Namun bagaimana kalau kebijakan itu bertentangan
dengan obyek yang diaturnya sendiri. Tentu kebijakan tersebut akan menimbulkan resistensi
dikalangan elemen masyarakat yang menjadi obyek dari pelaksanaan kebijakan tersebut.
Pertentangan antara kebijakan pemerintah dan keinginan publiknya diatas, seperti yang terjadi pada
kebijakan pengoperasian ‚terminal mengwi‛ oleh pemerintah daerah kabupaten Badung provinsi
Bali.
Terminal Mengwi merupakan terminal yang dibangun secara tripartit oleh pemerintah
daerah Kabupaten Badung bersama pemerintah provinsi Bali dan pemerintah pusat. Pemerintahan
tripartit ini, mulai mengoperasikan terminal tersebut lewat surat keputusannya bernomor
1543/AJ.106/DR JD tahun 2012. Terminal ini merupakan terminal terbesar di provinsi Bali yang
dibangun setaraf dengan standar-standar terminal terbesar di Indonesia2. Dengan kelengkapan
fasilitasnya terminal ini dibangun untuk melayani arus penumpang baik yang berasal dari dalam
maupun luar daerah Bali. Selain itu, rencana membangun terminal ini adalah untuk menggantikan
terminal lama, ‘terminal Ubung’ yang dianggap sudah tidak memadai lagi untuk melayani arus
mobilitas jasa transportasi dan peningkatan arus jumlah penumpang yang ada di Kota Denpasar.
Sejak terminal Mengwi dioperasikan perduapuluh dua Juni tahun 2012 sudah mulai terlihat
adanya tanda-tanda penolakan dari berbagai pihak, baik dari pengguna jasa transportasi maupun
penyedia jasa transportasi umum3. Padahal seyogyanya tujuan dari dibangunnya sebuah terminal
adalah untuk melayani kebutuhan masyarakat akan kemudahan pelayanan untuk mengakses
transportasi sesuai yang diinginkan. Pembangunan terminal yang seharusnya menjadi sebagai
sebuah produk kebijakan publik yang mengayomi dan memuaskan kebutuhan para pengguna dunia
transportasi, tetapi yang terjadi malah sebaliknya.
Persoalan pun semakin tidak dapat terurai, dimulai dari persoalan akses lokasi yang sangat
jauh dari jangkauan penumpang, sampai dengan kegamangan pemerintah dalam melakukan
tindakan pemaksaan terhadap pengguna jasa terminal menjadi tontotan menarik. Penolakan pun
semakin tidak bisa dihindari, seperti ketidakpatuhan para sopir angkot, terlebih para sopir mobil
lintas (trans) daerah dalam menaikan dan menurunkan penumpang di sana. Kondisi ini semakin
diperparah dengan ulah penumpang dan sopir yang bekerjasama tidak bersedia turun di terminal
tersebut. Padahal, sebagai sebuah terminal akhir sebaiknya naik turunnya penumpang dilakukan
disana.
Melihat persoalan diatas, tentu ada persoalan serius yang terjadi dengan kebijakan
pemerintah dalam pembangunan terminal, terlebih lagi pemindahan lokasi terminal tersebut seolah
mengabaikan aspirasi dan keinginan masyarakat luas. Kebijakan yang semestinya mampu
memberikan pelayanan yang prima terhadap publiknya, yang terjadi malah sebaliknya. Bahkan
kebijakan tersebut bukan hanya menimbulkan resistensi ditingkat masyarakat, akan tetapi telah
mengakibatkan konflik ditingkat jajaran pengatur transportasi diantara ketiga pemerintahan tersebut.
1 Miftah Thoha, (1992). Dimensi-dimensi Prima Ilmu Administrasi Negara. Jakarta; CV Rajawali 2 Terminal Mengwi merupakan terminal yang dibangun oleh pemerintah daerah setaraf dengan pelayanan internasional, karena mengikuti ikon Bali sebagai pusat pariwisata dunia. 3 Bali Pos, Denpasar, 16 Agustus 2012
-
Muhammad Ali Azhar Public Policy and
Public Policy Resistance
SPEKTRUM Vol. 14, No. 2, Juli 2013
Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional
Sehubungan dengan persoalan diatas, pertanyaan kunci yang menarik untuk dijelaskan
dalam tulisan ini, ‚mengapa terjadi penentangan publik terhadap implementasi kebijakan tersebut‛?
B. Kebijakan Publik
Kebijakan pada intinya merupakan keputusan-keputusan, pilihan-pilihan tindakan yang
secara langsung mengatur pengelolaan dan pendistribusian sumber daya alam, financial dan
manusia demi kepentingan publik, yakni rakyat banyak, penduduk, masyarakat, atau warga negara.
Kebijakan merupakan hasil dari adanya sinergi, kompromi atau bahkan kompetisi antar berbagai,
gagasan, teori, dan kepentingan yang mewakili sistem politik suatu negara.
Banyak sekali mengenai defenisi kebijakan. Dalam beberapa defenisi sulit sekali
membedakan defenisi kebijakan itu terpisah dengan defenisi kebijakan publik. Sebagian besar para
ahli langsung memberikan pengertian kebijakan ini disertai dengan kebijakan publik. Sebagian besar
mereka memberikan pengertian kebijakan publik dalam kaitannya keputusan atau ketetapan
pemerintah untuk melakukan suatu tindakan yang dianggap akan membawa dampak baik bagi
kehidupan warganya. Bahkan dalam pengertian yang lebih luas, kebijakan (lih. publik) sering
diartikan sebagai ‘apa saja yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan’.
Seperti yang dikemukakan oleh Thomas R. Dye (1992;2) diartikan seperti “whatever government choose
to do or not to do”.
Islamy (1984;12), memberikan defenisi kebijakan publik adalah apa pun yang pemerintah
pilih untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu atau apa yang pemerintah katakan dan
dilakukan atau tidak dilakukan.
Leslie A. Pal (1987;2) mengkategorikan defenisi ini menjadi dua macam. Kategori pertama,
defenisi yang lebih mengedepankan kepada maksud dan tujuan utama sebagai kunci kriteria
kebijakan. Kategori kedua, lebih mengedepankan pada dampak tindakan pemerintah berkaitan
dengan pemerintah tersebut.
Sebagai tulisan yang menganalisa dampak dari suatu kebijakan pembangunan. Pendapat
Leslie A. Pal (1987;4) memberikan defenisi yang tepat mengenai kebijakan publik untuk tulisan ini
sebagai berikut; pertama, what government actually do and why, kedua, action taken by government dan
ketiga, a policy may usefull be considered as a cource action or inaction rather than specifik decision or action,
and such a course has to be perceived and indentified by the analyst in question.
Berdasarkan defenisi diatas, kebijakan atau kebijakan publik adalah merupakan upaya untuk
memahami dan mengartikan apa yang dilakukan atau yang tidak dilakukan oleh pemerintah
mengenai suatu masalah, mengenai apa yang menyebabkan atau mempengaruhinya dan apa
pengaruh dan dampak dari kebijakan tersebut4.
C. Model dan Pendekatan Kebijakan
Sebagai sebuah hasil dari proses kebijakan, pembangunan terminal mengwi seharusnya tidak
menimbulkan persoalan seperti yang terjadi saat ini. Bila ada persoalan tentu ada sesuatu yang
kontroversial dalam proses pengambilan keputusan pembangunan terminal. Dalam hal ini
penyebabnya adalah para pengambil keputusan dalam proses penentuan kebijakan tersebut. Boleh
jadi para pengambil keputusan dalam pembangunan terminal ini adalah para pengambil keputusan
yang menganut pola pemikiran tertentu dalam mengambil keputusan (kebijakan umum) ini.5
Dalam berbagai literatur kebijakan, pola pemikiran yang diambil oleh para pengambilan
keputusan tersebut, dapat dilihat dalam model dan pendekatan kebijakan publik oleh pemerintah.
4 Joko Widodo, (2009). Analisis Kebijakan Publik; konsep dan aplikasi analisa proses kebijakan publik. Malang; Bayumedia Publishing, hal. 13 5 Dua bentuk keputusan politik (kebijakan umum) yang mempunyai ruang lingkup pengaruh yang berbeda. Pertama, kebijakan umum yang mampu menimbulkan perubahan mendasar dan menyeluruh disebut sebagai keputusan yang komprehensif. Keputusan yang komprehensif biasanya lebih mungkin terjadi dalam sistem politik totaliter karena jumlah orang yang membuat keputusan pada umumnya relatif sedikit dan dilakukan secara sentralisasi. Kedua, kebijakan umum yang mampu menimbulkan perubahan pada perubahan dan “pingir-pinggir” permasalahan saja atau keputusan yang bersifat marjinal atau keputusan yang bersifat “tambal sulam”. Paul Con dalam Ramlan Surbakti, (2007), memahami ilmu politik, hal. 200
-
Muhammad Ali Azhar Public Policy and
Public Policy Resistance
SPEKTRUM Vol. 14, No. 2, Juli 2013
Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional
Model kebijakan adalah representasi sederhana mengenai aspek-aspek yang terpilih dari suatu
kondisi masalah yang disusun untuk tujuan-tujuan tertentu. Seperti halnya masalah-masalah
kebijakan yang merupakan bangunan mental yang berdasarkan pada konseptualisasi dan spesifikasi
elemen-elemen kondisi masalah, model-model kebijakan merupakan rekonstruksi artifisial dari
realitas dalam wilayah yang merentang dari energi dan lingkungan sampai ke kemiskinan,
kesejahteraan dan kejahatan. Sementara pendekatan kebijakan adalah pilihan strategis pemerintah
melakukan pendekatan terhadap jalannya kebijakan6.
Dalam tulisan ini pilihan penulis kepada model kebijakan elitis dan pendekatan kelompok
merupakan pilihan paling tepat sebagaimana dijelaskan berikut ini;
1. Model Elitis
Kalau kita menyelami lebih jauh kebijakan publik, orientasinya tunggalnya adalah pada
kepentingan publik. Maka tiap-tiap kebijakan publik seyogyanya memiliki ‘semangat kepublikan’
yang mau tidak mau implikasinya harus menempatkan publik sebagai aktor utama dalam tiap
proses kebijakan publik’7.
Namun seringkali kebijakan itu berjalan hanya menguntungkan segelintir orang. Pada
umumnya kebijakan seperti ini dilakukan hanya berdasarkan preferensi dan nilai dari kalangan
tertentu, misalnya kalangan elite penguasa. Hal itu sejalan dengan teori elite yang menyatakan
bahwa masyarakat bersifat apatis dan kekurangan informasi mengenai kebijakan publik. Oleh
karena itu, kelompok elitelah yang akan memproduksi dan mempertajam pendapat umum.
Semantara pejabat administrator hanyalah pelaksana kebijakan yang telah ditentukan oleh
kelompok elite tersebut.
Tidak dipungkiri memang pada awal perkembangannya kebijakan publik sering disebut
sebagai ilmunya para penguasa. Pada masa awal perkembangannya kebijakan publik itu benar-
benar hanya menjadi bahan pembicaraan di tingkat elit politik saja. Yaitu para pemegang
kekuasaan politik dan pakar-pakar kebijakan publik umum dan sektoral.
Hal itu, dibuktikan di negara kita sendiri di Indonesia pada dekade 80-an, perumusan
kebijakan yang terjadi bersifat sangat elitis8. Agenda kebijakan lebih didasarkan pada kepentingan
pemerintah bukan negara sebagai suatu keseluruhan dengan komponen swasta maupun
masyarakat. Pemerintah memiliki kekuatan besar dalam menentukan arah kebijakan yang
diambil. Keterlibatan stakeholder lain seperti swasta maupun masyarakat sangat dibatasi. Swasta
sebagai pemilik modal dilibatkan karena memiliki akses terhadap peluang untuk investasi bagi
berkembangnya industri. Sedangkan masyarakat yang diwakili oleh lembaga perwakilan (DPR)
kurang berperan bahkan cenderung sebagai ‘stempel’ atas kebijakan yang diputuskan pemerintah.
Dalam proses implementasi kebijakan, perumusan kebijakan elitis diatas sejalan dengan
model elitis. Model ini mempuyai asumsi bahwa kebijakan publik dapat dipandang sebagai nilai-
nilai dan pilihan-pilihan dari elit yang memerintah. Argumentasi pokok dari model ini adalah
bahwa bukan rakyat atau ‚massa‛ yang menentukan kebijakan publik melalui tuntutan-tuntutan
dan tindakan mereka, tetapi kebijakan publik ditentukan oleh elit yang memerintah dan
dilaksanakan oleh pejabat-pejabat dan badan-badan pemerintah yang berada di bawahnya.
Thomas R. Dye dan Harmon dalam The Irony of Democracy memberikan suatu ringkasan pemikiran menyangkut perumusan kebijakan model elit ini, yakni 9:
1. Masyarakat terbagi dalam suatu kelompok kecil yang mempunyai kekuasaan (power) dan massa yang tidak mempunyai kekuasaan. Hanya sekelompok kecil saja orang yang
mengalokasikan nilai-nilai untuk masyarakat sementara massa tidak memutuskan kebijakan.
6 Shilatul Hamri, Makalah Model dan pendekatan kebijakan (2012), 7 Fadilah Putra, (2005). Kebijakan tidak untuk publik, Yogyakarta; Resist book, hal. 34 8 Parsons, Wayne, ……, Public Policy: Pengantar Teori dan Praktik Analisa Kebijakan, hal 251
9 Muhammad Afif Bizri, Model-Model dalam Analisis Kebijakan Publik, jurnal online edisi 29 November, 2011
-
Muhammad Ali Azhar Public Policy and
Public Policy Resistance
SPEKTRUM Vol. 14, No. 2, Juli 2013
Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional
2. Kelompok kecil yang memerintah itu bukan tipe massa yang dipengaruhi. Para elit ini (the
rulling class) biasanya berasal dari lapisan masyarakat yang ekonominya tinggi. 3. Perpindahan dari kedudukan non-elit ke elitis sangat pelan dan berkesinambungan untuk
memelihara stabilitas dan menghindari revolusi. Hanya kalangan non-elit yang telah
menerima konsensus elit yang mendasar yang dapat diterima ke dalam lingkaran yang
memerintah.
4. Elit memberikan konsensus pada nilai-nilai dasar sistem sosial dan pemeliharaan sistem.
Misalnya, di Amerika Serikat konsensus elit mencakup perusahaan swasta, hak milik pribadi,
pemerintahan terbatas dan kebebasan individu.
5. Kebijakan publik tidak merefleksikan tuntutan-tuntutan massa, tetapi nilai-nilai elit yang
berlaku. Perubahan-perubahan dalam kebijakan publik adalah secara inkremental daripada
secara revolusioner. Perubahan-perubahan secara inkremental memungkinkan tanggapan-tanggapan yang timbul hanya mengancam sistem sosial dengan perubahan sistem yang
relatif kecil dibandingkan bila perubahan tersebut didasarkan teori rasional komprehensif. 6. Para elit secara relatif memperoleh pengaruh langsung yang kecil dari massa yang apatis.
Sebaliknya, para elit mempengaruhi massa yang lebih besar.
Dalam pandangan diatas, sebenarnya kebijakan pemerintah membangun terminal
merupakan contoh nyata tentang kebijakan yang elitis. Keterlibatan pemerintah daerah sebagai
stakeholder sangat kuat bahkan menjadi penentu pengambilan keputusan atas sebuah kebijakan.
Pemerintah berhak mengeluarkan ijin operasi terminal dalam bentuk hak pengusahaan terminal
yang kemudian diikuti oleh unit pemerintahan dibawahnya tanpa bisa menolak.
2. Pendekatan Kelembagaan
Dalam kaitan dengan pembangunan sarana ini, rupanya pemerintah memakai pendekatan
secara kelembagaan dalam memproduksi kebijakannya. Pendekatan kelembagaan diasumsikan
bahwa sebuah kebijakan publik diambil, dilaksanakan, dan dipaksakan secara otoritatif oleh
lembaga yang ada dalam pemerintahan, misalnya parlemen, kepresidenan, pemerintah daerah,
kehakiman, partai politik dan sebagainya. Kebijakan publik model ini memiliki beberapa
karakteristik yaitu pemerintah mampu memberikan legitimasi atas kebijakan yang dikeluarkan,
kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah mampu bersifat universal artinya menjangkau
semua lapisan masyarakat, terakhir adalah kebijakan yang dikeluarkan pemerintah mampu
memonopoli paksa semua masyarakat, dalam artian mampu menjatuhkan sanksi bagi pelanggar
kebijakan.
Salah satu kelemahan pemerintahan dalam pendekatan seperti ini tidak adanya keterlibatan
aktor-aktor lain dalam memutuskan kebijakan. Kebijakan top down, model ini tidak memberikan
curahan perhatian kepada hubungan antar lembaga-lembaga pemerintahan dan substansi dari
kebijakan publik. Setelah diambil alihnya tindakan pengoperasioanalan, banyak tindakan dan aksi
perlawanan masyarakat mengabaikan perintah yang dikeluarkan oleh pemerintah. Hal tersebut
nampak jelas bahwa kebijakan ini tidak melibatkan banyak aktor yang mempunyai kepentingan
dengan target group atau penerima kebijakan ini.
Padahal keterlibatan aktor-aktor itu sangat penting untuk mengkondisikan dan
memunculkan suatu kebijakan yang memuaskan. Misalnya dengan melakukan pendekatan
terhadap suatu lingkungan tertentu. Lingkungan menjadi titik awal untuk mengadaptasikan
kebijakan yang akan dibuat. Seorang analis akan mengidentifikasikan potret suatu lingkungan
sebagai arah dalam pembuatan kebijakan. Dengan mengetahui kondisi lingkungan terhadap suatu
implementasi kebijakan maka akan dengan mudah mengeliminir resiko kegagalan suatu
kebijakan karena analisanya mencoba meramalkan kemungkinan yang akan datang.
Memang terkesan sedikit mendasar, akan tetapi dengan mencoba mengetahui hal-hal yang
mendasar untuk memulai membuat suatu kebijakan sangat penting. Karena sesuatu yang
mungkin hanya dianggap sepele tapi ternyata sangat mempengaruhi terhadap suatu kebijakan.
-
Muhammad Ali Azhar Public Policy and
Public Policy Resistance
SPEKTRUM Vol. 14, No. 2, Juli 2013
Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional
Pada proses awal akan sangat detail sekali dalam melakukan analisis kebijakan karena menjadi
fondasi utama dalam suatu pembuatan kebijakan.
Hal lain yang menyebabkan kebijakan ini mendapatkan perlawanan dari obyek yang
diaturnya, karena tidak adanya pertimbangan suatu nilai, fakta dan tindakan yang hendak
dicapai. Nilai sangat penting karena masyarakat selalu dinamis sehingga akan diimplementasikan
pada tindakan publik. Nilai yang didapat, merupakan hasil dari pencarian, pendefinisian,
spesifikasi, pengenalan masalah sehingga benar-benar tahu dan mengerti mengenai masalah yang
dihadapi. Namun ketika kebijakan yang dijalankan tidak berorientasi kepada nilai, maka
kebijakan akan terjadi benturan dan berujung kepada tidak terimplementasikannya kebijakan.
Persoalan semakin lengkap, setelah kebijakan pembangunan terminal ini disinyalir
mengabaikan proses analisa kebijakan tanpa merujuk pada suatu kajian yang eksploratif. 10
Kecenderungannya banyak yang bersifat politis dan kadang mengabaikan nilai substansi suatu
kebijakan. Memang suatu kebijakan tidak sepenuhnya rasional karena ada muatan-muatan politis
yang masuk. Dominannya kekuatan politis tersebut mengabaikan sisi rasionalitas dengan
berlindung dibawah kepentingan publik atau sosial. Namun dengan mengacu pada sisi
rasionalitas publik seharusnya bisa memberikan acuan mengenai alternatif kebijakan karena
dengan mengacu pada sisi rasionalitas publik dapat diketahui pilihan yang terbaik.
D. Resistensi Kebijakan
Sekali kebijakan diputuskan dan disahkan oleh pihak yang berwenang, maka keputusan kebijakan
itu telah siap untuk diimplementasikan (Islamy, 2004:102). Namun, persoalan muncul jika tidak
diikuti dengan proses penyebaran atau sosialisasi kebijakan negara secara baik, masyarakat akan
mengalami kesulitan dalam memahami kebijakan atau keputusan tersebut. Jadi, problemnya ketika
tidak adanya tindakan sosialisasi pemerintah, menyebabkan warga masyarakat merasa kaget dengan
kebijakan yang diputuskan oleh pemerintah. Kondisi diatas tepat sekali untuk menggambarkan
permasalahan yang kini tengah dihadapi oleh terminal Mengwi dan stakeholdernya.
Melihat persoalan diatas, penulis mengutip pendapat James E. Anderson (dalam Irfan Islamy
2004:108) yang mengemukakan beberapa sebab mengapa setiap anggota masyarakat tidak mematuhi
dan melaksanakan kebijakan negara. Faktor-faktor yang menjadi penyebabnya adalah sebagai
berikut ;
Pertama, kebijakan negara yang bertentangan dengan sistem nilai masyarakat. Bila suatu
kebijakan dipandang bertentangan secara tajam dengan sistem nilai yang dianut masyarakat luas
atau kelompok-kelompok tertentu, maka kebijakan seperti itu tidak akan dilaksanakan atau dipatuhi.
Kedua, adanya ketidak patuhan selektif terhadap hukum. Ada beberapa peraturan perundangan
atau kebijakan yang bersifat kurang mengikat pada individu-individu.
Ketiga, keanggotaan seseorang dalam suatu perkumpulan atau kelompok. Seseorang bisa patuh
pada peraturan perundangan atau keputusan/kebijakan negara keterlibatannya dalam keanggotaan
suatu perkumpulan atau kelompok kadang-kadang mempunyai ide-ide atau gagasan-gagasan yang
tidak sesuai/bertentangan dengan hukum atau keinginan pemerintah. Akibatnya mereka cenderung
untuk tidak patuh atau melawan peraturan atau kebijakan negara.
Keempat, ketidak adanya kepastian hukum. Tidak adanya kepastian hukum, ketidakjelasan ukuran
kebijakan yang saling bertentangan satu sama lain dapat menjadi sumber ketidak patuhan orang
pada hukum atau kebijakan negara. Suatu peraturan perundangan atau kebijakan negara yang tidak
pasti, tidak jelas atau isinya bertentangan satu sama lain dapat menyebabkan adanya salah
pengertian terhadap penafsiran peraturan atau kebijakan tersebut. Disamping itu adanya perbedaan
pandangan dan kepentingan antara pejabat pemerintah dan masyarakat menyebabkan penafsiran
mereka terhadap peraturan atau kebijakan itu juga berbeda-beda. Ini semua menyebabkan orang
tidak mematuhi peraturan atau kebijakan negara.
10 Wawancara dengan salah seorang pegawai dishub kota Denpasar. Kamis 27 September 2012
-
Muhammad Ali Azhar Public Policy and
Public Policy Resistance
SPEKTRUM Vol. 14, No. 2, Juli 2013
Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional
Berangkat dari beberapa sebab diatas, poin penting yang mendekati ketidak patuhan atau tindak
resisten elemen masyarakat terhadap pengimplementasian terminal; pertama, kebijakan negara yang
bertentangan dengan nilai yang dianut masyarakat. Masyarakat dan kalangan pengusaha
transportasi (swasta) merasa dirugikan dengan dioperasikannya terminal tersebut. Dari kalangan
penumpang mereka merasa dirugikan secara ekonomi, waktu dan tenaga karena masyarakat sebagai
pihak pengguna jasa transportasi melihat pemindahan lokasi terminal dianggap sangat merugikan.
Hal tersebut karena akses lokasi pemindahan sangat jauh dengan pusat Denpasar sebagai kota
tujuan.
Kedua, adanya ketidak patuhan selektif terhadap hukum. Yakni adanya perundangan atau
kebijakan yang sifatnya kurang mengikat pada individu-individu atau lembaga. Hal tersebut
dibuktikan dengan tidak adanya regulasi yang optimal menyebabkan pemerintah tidak dapat
memaksakan kehendak kepada masyarakat untuk mematuhi kebijakan yang telah diputuskan.
Melihat kondisi tersebut, perbedaan pandangan dan kepentingan antara pemerintah dan
masyarakat serta sektor swasta tidak bisa dihindari. Pihak penyedia jasa transportasi tidak bisa
mematuhi aturan pemerintah karena menghadapi dua tekanan arus besar, pertama dari pihak
penumpang atau masyarakat pengguna jasa transportasi tidak bersedia di turunkan di terminal baru
(mengwi) tersebut. Kedua, ada kekuatan tersembunyi di balik pro dan kontra pemindahan terminal
yang merasa akan kehilangan sumber dan keuntungan ekonomis akibat dari pemindahan terminal11.
Ketegasan pemerintah semakin tidak optimal, setelah diantara dua terminal (pihak pemerintah)
tidak saling koordinasi dan kerjasama untuk mendukung bagi terlaksananya operasional terminal.
Walaupun telah terjadi penurunan tingkat pada terminal Ubung dari tipe A turun menjadi tipe B. Hal
tersebut disebabkan, antara pihak pemerintah kota Denpasar dan pemerintah kabupaten Badung
tidak terjadi kesepahaman karena salah satunya (pemerintah Kota Denpasar) menganggap proyek
pembangunan terminal mengwi dilakukan tanpa koordinasi dengan pihak mereka12.
E. Kesimpulan
Dari penjelasan dan argumentasi diatas penulis mengambil kesimpulan bahwa terjadinya
tindakan pengabaian komponen masyarakat terhadap pengoperasionalan terminal mengwi saat ini,
disebabkan karena ada persoalan serius disekitar munculnya kebijakan pemerintah kabupaten
Badung dalam rencana pembangunan terminal.
Diantaranya yang menjadi penyebab kebijakan atau keputusan tersebut ditolak dalam proses
implementasinya, pertama, kelompok sasaran tidak mengetahui kebijakan atau keputusan tersebut
dibuat. Dalam arti tidak ada pelibatan dalam rencana pembuatan kebijakan. Bisa ditebak bahwa
keputusan yang ditolak tersebut dulunya dirumuskan dalam suatu proses konversi yang elitis.
Kebijakan mengalir secara top down dari kehendak elit ke administrator atau birokrat dan bersasaran
pada rakyat.
Kedua, dampak dari ditolaknya keputusan atau kebijakan oleh target group menyebabkan
kebijakan dijalankan hanya setengah hati oleh pemangku kepentingan atau pemerintah daerah,
sehingga sampai saat ini terjadi dualisme terminal yang beroperasi di provinsi Bali.
Daftar Pustaka
Budi Winarno (2007). Kebijakan Publik; Teori dan Proses. Yogyakarta: Media Pressindo.
Fadillah Putra, (2005). Kebijakan Tidak untuk Publik, Yogyakarta: Resist Book
Miftah Toha (2005). Dimensi-Dimensi Prima Ilmu Aministrasi Negara. Jakarta:
Rajagrafindo Persada.
11 Wawancara dengan salah seorang staf dishub kota Denpasar 12 Ibid.
-
Muhammad Ali Azhar Public Policy and
Public Policy Resistance
SPEKTRUM Vol. 14, No. 2, Juli 2013
Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional
Muhammad Afif Bizri, (2011). Model-Model dalam Analisis Kebijakan Publik, Jurnal
Edisi 29 November 2011.
Riant Nugroho, (2003). Kebijakan Publik: formulasi, implementasi, dan evaluasi. Jakarta:
Elex Media Komputindo.
Samodra Wibawa, (2005), Politik Perumusan Kebijakan Publik”. Yogyakarta;
William N. Dunn (1999). Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Yogyakarta:Gadjah Mada University
Press.