makna salib kristus bagi paulus

3

Click here to load reader

Upload: lie-chung-yen-aka-martin-suhartono

Post on 18-Jun-2015

617 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

In Indonesian language, "The Meaning of the Cross of Christ for Paul", originally notes of lecture delivered by Martin Suhartono, S.J. to the students of Theology of Hope Project, Faculty of Theology Wedabhakti, University of Sanata Dharma, Yogyakarta, 8 December 1996.

TRANSCRIPT

Page 1: Makna Salib Kristus bagi Paulus

Makna Salib Kristus bagi Paulus

Martin Suhartono, S.J. Pernah ditulis oleh seseorang “The Cross is a symbol of violence to a victim, and Christian theology has made the interpretation of the Cross a central task. How might this task be undertaken today in the light of the burning children of Auschwitz and Hiroshima?” (R.G. Hamerton-Kelly, Sacred Violence. Paul’s Hermeneutic of the Cross, hal. 15). Keprihatinan serupalah yang kiranya mendasari undangan pada saya untuk berbicara di forum terhormat ini. Dalam rangka penderitaan yang saudara/i hadapi dalam kehidupan sehari-hari bersama para pasien di rumahsakit-rumahsakit, apakah Paulus dapat memberikan sumbangan tertentu, paling tidak bagi refleksi saudara/i sendiri? Marilah kita tengok dahulu bagaimana Paulus diperlakukan selama ini, paling tidak dalam pemahaman populer kita. Secara spontan orang akan berbicara tentang Paulus yang menjadi jago gerakan Protestantisme melawan Katolisisme. Katolisisme (dimengerti sebagai Katolisisme Roma) dianggap merupakan penjelmaan Yudaisme pada jaman Paulus. Dan Protestantisme dipandang sebagai perwujudan langsung Kristianisme Awal sebagaimana mau ditegakkan oleh Paulus. Dengan Tauratnya, Yudaisme (dan juga Katolisisme) dianggap mau menegakkan supremasi “perbuatan” manusiawi belaka dalam mencapai keselamatan. Sedangkan Paulus dengan kritik fundamentalnya terhadap Yudaisme dipandang mengunggulkan “iman” pada rahmat Allah yang mendatangkan keselamatan. Problem yang diandaikan dalam kontras ini adalah manakah jalan atau sarana keselamatan, “perbuatan” ataukah “iman”? Dalam konteks permasalahan seperti itu, di manakah letak salib Kristus? Salib Kristus dipandang sebagai ungkapan rahmat Allah yang diberikan secara gratis kepada manusia, tanpa memandang atau lepas sama sekali dari jasa-jasa manusia. Untuk itu kerap dikutip Rom 5:8: “Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati

untuk kita, ketika kita masih berdosa.” Dan apakah artinya ini bagi penderitaan manusia? Penderitaan diterima sebagai partisipasi pada penderitaan Kristus itu, agar dengan demikian diharapkan orang akan dibangkitkan juga bersama Kristus. “Jadi jika kita telah mati dengan Kristus,

kita percaya bahwa kita akan hidup juga dengan Dia” (Rom 6:8). Secara ritual keikutsertaan dalam kematian Kristus itu diungkapkan dalam pembaptisan: “Atau tidak tahukah kamu, bahwa kita semua

yang telah dibaptis dalam Kristus, telah dibaptis dalam kematian-Nya?” (Rom 6:3). Dengan hidupnya sendiri, Paulus memberi kesaksian bagaimana ia sendiri turut serta dalam penderitaan Kristus itu. Bahkan ia menganggap diri sebagai perwujudan derita Kristus itu sendiri: “Kami senantiasa membawa kematian Yesus di dalam tubuh kami, supaya kehidupan Yesus juga

menjadi nyata di dalam tubuh kami” (2 Kor 4:10). Bahkan kerap orang mendapat gambaran betapa bahagia Paulus dalam menanggung derita: “Sekarang aku bersukacita bahwa aku boleh menderita karena kamu, dan menggenapkan dalam dagingku apa yang kurang pada penderitaan Kristus, untuk tubuh-Nya, yaitu jemaat” (kol 1:24). Paulus dapat menanggung semua itu karena berharap pada suatu masa depan, entah kapan, saat derita dihapuskan: “Sebab aku yakin, bahwa penderitaan zaman sekarang ini

tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita” (Rom 8:18), “Sebab penderitaan ringan yang sekarang ini, mengerjakan bagi kami kemuliaan kekal yang melebihi segala-galanya, jauh lebih besar dari pada penderitaan kami” (2 Kor 4:17). Tidak mengherankan bila dalam konteks seperti itu, ada orang yang berdasarkan pendekatan sosiologis setengah menuduh Paulus memanipulasi lambang salib demi keuntungannya sendiri sebagai propagandis dan pemimpin (S. Barton, “Paul and the Cross: A Sociological Approach”, Theology 85/1982, hal. 13-19). Pada masa hidupnya sendiri Paulus sudah kerap dituduh mencari-cari agar berkenan di hati umat (2 Kor 1:15-2:1; 10:1-2; Gal 1:10). Ajaran salib dipandang sarana yang tepat untuk menarik sebagian besar pengikut

Page 2: Makna Salib Kristus bagi Paulus

Salib Paulus/hal. 2

Paulus, yang berasal dari golongan sosio-ekonomis rendah dalam masyarakat Romawi-Yunani saat itu: “Ingat saja, saudara-saudara, bagaimana keadaan kamu, ketika kamu dipanggil: menurut ukuran manusia tidak banyak orang yang bijak (sophos), tidak banyak orang yang berpengaruh (dynatos), tidak banyak orang yang terpandang (eugenês)” (1 Kor 1:26). Diandaikan mereka menerima lambang salib itu dengan antusias karena menganggapnya sarana ampuh yang memungkinkan mereka memiliki akses pada sumber alternatif kekuasaan, yang didasarkan pada ideologi bahwa yang pertama akan menjadi yang terkemudian, yang terakhir menjadi yang pertama, bahwa yang paling menderita akan menerima pahala paling banyak, dan yang lemah akan mendahului yang kuat (S. Barton, art.cit., hal. 15). Kini banyak orang ragu apakah pandangan populer kita tentang Yudaisme abad pertama itu memang tepat, yaitu bahwa mereka dikuasai legalisme hukum, asal taat pada hukum Taurat mereka akan diselamatkan. Orang saat kini akan cenderung melihat Yudaisme abad pertama itu bukan sebagai hidup keagamaan yang didasarkan pada “pembenaran karena perbuatan”, melainkan pada “nomisme perjanjian”, yaitu: ketaatan pada hukum dilaksanakan karena mereka telah menjadi umat yang terikat pada perjanjian dengan Allah; ketaatan bukan dihayati sebagai sarana keselamatan, melainkan sebagai tanggapan kasih terhadap cinta dan penyelamatan Allah yang telah mereka alami lebih dahulu (Ul 7:7) (tesis E. P. Sanders dalam Paul and Palestinian Judaism). Paulus kini tidak dipandang lagi sebagai orang yang membuang Yudaisme sama sekali. Pola keagamaan Yahudi (panggilan Allah dan tanggapan manusia) tetap dipertahankan Paulus, hanya saja elemen pola itu diubah: Kristus menggantikan Perjanjian Sinai dan Roh menggantikan peranan Taurat (M. Hooker, “Paul and Covenantal Nomism”, dalam M. Hooker dan S.G. Wilson, Paul and Paulinism, hal. 47-56). Paulus dianggap hanya menolak aspek tertentu Yudaisme atau sikap tertentu umat Yahudi terhadap Taurat, yaitu esklusionisme Yahudi sebagaimana tampak dalam sunat, Sabbath dan aturan tentang makanan halal. Paulus menentang Taurat bukan karena hakekat Taurat itu sendiri buruk, melainkan karena diselewengkan untuk menyingkirkan bangsa lain dan memuliakan bangsa Yahudi sendiri (Hamerton-Kelly, op.cit., hal. 8). Lebih-lebih kini dipahami bahwa pertentangan yang dihadapi Paulus bukanlah pertentangan antara orang-orang Yahudi (dengan “perbuatan legalistis”) dan orang-orang Kristen (dengan “iman”), melainkan antar sesama orang Kristen, yaitu antara sebagian orang Kristen Yahudi dan orang Kristen non Yahudi, jadi antar orang yang sama-sama telah memiliki iman kepada Kristus. Persoalan pokok adalah: Apakah cara hidup orang Yahudi masih diperlukan selain iman kepada Kristus? Jadi yang dipertentangkan bukanlah “perbuatan” dan “iman”, melainkan “Taurat” (hidup secara Yahudi: Gal 2:14) dengan “Yesus” (Gal 2:16). Di manakah letak salib Kristus dalam konteks pemahaman semacam ini terhadap Paulus? Dalam konteks ini tampaklah aspek lain penyaliban Kristus. Tampaklah bahwa Yesus yang tersalib adalah korban penyelewengan hukum Taurat. Taurat tidak dilaksanakan seturut maksud Allah semula, yaitu membuat orang tinggal dalam cinta Allah sebagai UmatNya -bagi Paulus “kasih adalah kegenapan hukum Taurat” (Rom 13:10)- melainkan diabdikan pada kekerasan. Menyingkirkan Kristus dan menyingkirkan bangsa-bangsa lain adalah ungkapan Hukum Allah yang diselewengkan untuk mengabdi kekerasan, dan bukan mengabdi cinta: “Bahkan orang-orang Yahudi itu telah membunuh Tuhan Yesus dan para nabi dan telah menganiaya kami. Apa yang berkenan kepada Allah tidak mereka pedulikan dan semua manusia mereka musuhi, karena mereka mau menghalang-halangi kami memberitakan firman kepada bangsa-bangsa lain untuk keselamatan mereka” (1 Tes 2:15-16). Paulus mengalami bahwa kekerasan akibat hukum Taurat itu paling memuncak dalam dirinya ketika ia sendiri menjadi penganiaya jemaat Kristen; ia tampaknya menganggap kegiatan itu sebagai ungkapan kesempurnaannya dalam menaati hukum Taurat (Gal 1:13-14;

Page 3: Makna Salib Kristus bagi Paulus

Salib Paulus/hal. 3

Fil 3:6), baru setelah ia berjumpa dengan Yesus yang bangkit ia dapat memahami kehinaan tindakan itu (1 Kor 15:9). Justru dalam perjumpaan dengan Yesus yang bangkit itulah ia menyadari kekeliruan pelaksanaan Taurat. Orang yang dihukum dan terkutuk menurut Taurat (Ul 21:23) ternyata dibenarkan oleh Allah sebagaimana tampak dari kebangkitan Yesus (Gal 3:13). Dalam penyaliban Yesus itulah tampak kegagalan Taurat yang diabdikan pada kekerasan. Jadi Salib Yesus bukan merupakan tanda kemenangan Taurat -sebagaimana diharapkan oleh orang Yahudi- melainkan justru merupakan tanda kekalahan Taurat. Dalam konteks bahasa masa kini bisa dikatakan sbb.: bila Salib Yesus itu dimengerti sebagai pengorbanan, yaitu seperti pada umumnya dipahami dalam konteks Allah yang mengorbankan Putera TunggalNya atau umat yang mengorbankan korban sembelihan dan bakaran demi penghapusan dosa, maka “The Cross is not a sacrificial mechanism but the

deconstruction of sacrifice.” (Hamerton-Kelly, op.cit., hal. 60). Menurut Hamerton-Kelly, makna simbolis Salib harus diolah bukan berdasarkan ideologi pengorbanan, melainkan berdasarkan isi historisnya, yaitu: kematian mengenaskan seorang pria muda tanpa salah yang diakibatkan oleh tindak kekerasan suatu institusi. Ini merupakan dekonstruksi dan bukan destruksi karena struktur pengorbanan tetap dibiarkan ada tapi sekaligus dibuka kedoknya agar kelihatan belangnya sehingga struktur itu sendiri kehilangan kredibilitasnya (ibid.). Uraian di atas hanya mau menunjukkan dua cara memahami hubungan Paulus dengan Yudaisme dan konsekuensinya terhadap pemahaman Paulus tentang Salib Yesus. Uraian tersebut bukan dimaksudkan untuk memberikan jawaban menyeluruh terhadap pertanyaan tentang teologi Salib Paulus dan penderitaan umat manusia, melainkan sekedar sebagai pemicu diskusi dalam forum terhormat ini. Pernah ada ucapan populer: “Tentang Auschwitz, agama bertanya, Di manakah Tuhan? Humanisme bertanya, Di manakah manusia?” Inikah dua alternatif cakrawala pandangan kita tentang penderitaan? Atau adakah alternatif lain? Dalam kisah nyata tulisannya tentang Auschwitz, Night, Elie Wiesel mengisahkan bagaimana pada suatu hari mereka harus menyaksikan seorang anak kecil mati digantung, karena badannya yang ringan, anak itu menggelepar-gelepar antara hidup dan mati selama setengah jam, saat itu ada seseorang di belakang Wiesel bertanya “Di mana Tuhan sekarang?” Dan Wiesel mendengar di dalam lubuk hatinya sebuah suara yang menjawab “Di mana Dia? Dia di sini - Dia sedang tergantung di sini di tiang gantungan itu.”

(Kuliah pada para mahasiswa peserta Proyek Harapan, Fakultas Teologi Wedabhakti - Sanata Dharma

Yogyakarta, 8 Desember 1996)