laporan pbl 1 fix

Upload: sendyka-rinduwastuty

Post on 02-Mar-2016

53 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

PBL

TRANSCRIPT

LAPORAN PROBLEM BASED LEARNING IBLOK EARLY CLINICAL AND COMMUNITY EXPOSURE (ECCE) I

Tutor :

dr. Nendyah Roestijawati, MKkDisusun Oleh :

Kelompok 10

Fikrianisa Safrina

G1A011014

Mumtaz Maulana H

G1A011037

Sendyka RinduwastutyG1A011038

Auladi Mizani

G1A011055

Prasthiti Dewi HasdiniG1A011067

Bayu Aji Pamungkas

G1A011071

Brahma Putra J.

G1A011077

Riyanda Rama Putri

G1A011107

Annisa Noor A.

G1A011109

Wahyu Eko Pratomo

G1A011120

Risma Pramudya W.

G1A010045

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN

JURUSAN KEDOKTERAN

PURWOKERTO2013

BAB I

PENDAHULUAN

Info 1

Ny. Bimbi berusia 38 tahun datang sendiri ke dokter keluarga (DK) untuk memeriksakan keluhan gatal pada daerah lipat paha sejak 5 hari yang lalu. Awal mulanya gatal dirasakan pada lipat paha kiri. Rasa gatal yang hebat ini membuat Ny.Bimbi selalu menggaruknya hingga kulit berwarna kemerahan. Pasien juga mengeluh sulit untuk tidur, badan terasa lemah, pusing dan tengkuk terasa tegang. Ny. Bimbi sudah berusaha membeli obat di warung tetapi belum sembuh juga. Keluhan gatal dirasakan semakin berat, bila Ny. Bimbi beraktivitas, berkeringat dan ketika menggunakan pakaian ketat. Keluhan-keluhan tersebut dirasakan mengganggu karena membatasi aktivitas kerja Ny. Bimbi. Ny.Bimbi khawatir penyakitnya semakin bertambah parah dan berharap ingin cepat sembuh.

Info 2

Riwayat Penyakit DahuluNy. Bimbi tidak pernah menderita penyakit gatal seperti ini sebelumnya. Ny. Bimbi juga tidak mempunyai riwayat alergi makanan. Selain gatal, 1 tahun yang lalu Ny. Bimbi ke puskesmas karena keluhan sering pusing. Dokter menyatakan tensi Ny. Bimbi tinggi dan disarankan kontrol rutin dan minum obat secara teratur. Tetapi Ny. Bimbi tidak pernah minum obat teratur dan kontrol rutin, hanya membeli obat penghilang rasa sakit di warung dan selalu sembuh dalam beberapa hari. Ny. Bimbi tidak pernah dirawat di RS, tidak pernah dioperasi dan tidak pernah mengalami kecelakaan. Penyakit lain yang pernah diderita hanya influenza, sakit maag ataupun diare yang selalu sembuh setelah minum obat warung atau berobat ke puskesmas. Frekuensi penyakit tersebut juga jarang, mungkin kurang dari setahun sekali. Ny. Bimbi juga tidak menggunakan KB hormonal.Riwayat Keluarga

Adik (perempuan) Ny. Bimbi mempunyai keluhan yang sama, yaitu gatal-gatal di lipat paha. Keluhan yang sama pada ibunya disangkal.

Ayah Ny. Bimbi telah meninggal dunia 4 tahun yang lalu saat berusia 60 tahun karena menderita penyakit hipertensi lama dan stroke. Ibu Ny. Bimbi berusia 58 tahun telah menderita kencing manis selama 5 tahun dan rutin kontrol ke dokter spesialis penyakit dalam. Kakak laki-laki pertama Ny. Bimbi yang berusia 40 juga menderita penyakit hipertensi. Sementara 2 saudara kandung lainnya (perempuan) diketahui tidak memiliki riwayat medis yang penting.

Riwayat medis dari keluarga ayah Ny. Bimbi cukup banyak. Kakek juga telah meninggal dunia karena penyakit hipertensi, sedangkan neneknya meninggal dengan sebab yang tidak diketahui oleh Ny. Bimbi. Ayahnya merupakan anak ke-4 dari 7 bersaudara. Kaka pertamanya (laki-laki) telah meninggal dengan sebab yang tidak diketahui, kaka kedua (laki-laki) menderita penyakit hipertensi, kakak ketiga (perempuan) telah meninggal beberapa saat setelah melahirkan, adik pertamanya (laki-laki) tidak memiliki riwayat penyakit yang penting, adik kedua (perempuan) menderita penyakit hipertensi dan adik bungsu (perempuan) tidak memiliki riwayat medis yang penting.Riwayat medis dari keluarga ibu Ny. Bimbi juga banyak. Kakek telah meninggal dunia karena penyakit kencing manis. Nenek masih sehat dan tidak memiliki riwayat medis yang penting. Ibu Ny. Bimbi merupakan anak pertama dari 5 bersaudara. Adik pertamanya (laki-laki) meninggal dunia karena kecelakaan lalu lintas. Adik kedua (laki-laki) juga menderita kencing manis. Adik ketiga dan keempat tidak diketahui memiliki riwayat medis yang penting.

Riwayat Sosial dan Ekonomi

Ny. Bimbi telah menikah dengan Tn. Bomba selama 5tahun, dan mempunyai anak laki-laki usia 5 tahun. Ny. Bimbi tinggal di Purwokerto sedangkan Tn. Bomba tinggal di Jakarta. Tn. Bomba datang ke Purwokerto datang sebulan sekali, sedangkan Ny. Bimbi kadang-kadang ajah datang ke Jakarta. Ny. Bimbi sebenarnya ingin mengikuti suaminya, tetapi ia juga tidak mau melepaskan pekerjaannya sebagai karyawati sebuah hotel.

Ny. Bimbi merupakan klulusan SMK dan mempunyai pekerjaan resepsionis hotel di Purwokerto. Selain bekerja, Ny. Bimbi biasa menghabiskan waktu untuk menjalankan hobbynya karoke bersama teman-temannya.ny. Bimbi gemar makan apa saja, dan hampir setiap hari makan cemilan asnan setiap hari. Ny. Bimbi jarang berolah raga, terkadang merokok karena ajakan temennyatetapi tidak meminum alkohol.

Ny. Bimbi merupakan anak keempat dari lima bersaudara, kakak pertamanya laki-laki, kedua adiknya perempuan. Saat ini Ny. Bimbi tinggal di perumahan bersama anak, ibu, dankeluarga adinya yang ketiga yang telah dikaruinai tiga oranganak. Rumah yang di tempat cukup luas, kurang lebih berukuran 10x12 m, terdiri dari ruang tamu, ruang keluarga, 4 kamar tidur, dapur , 2 kamar mandi, ventilasi cukup terpasang eternit dan ubin.

Ny. Bimbi dan keluarganya mempunyaikebiasaan mandi pagi dan sore hari dengan menggunakan 2 handuk secara bersama-sama yang di cuci 1 bulan sekali. Tidur dengan kasur yang jarang di jemur, seprei dicuci sebulan sekali. Ny. Bimbi juga mempunyai kebiasaan bergantian celana jeans dengan adik perempuannya karena ukurannya sama. Ny. Bimbi sering tidak merasa nyaman berada di rumah karena ia merasa tidak cocok dan sering bertengkar dengan adik iparnya serta suasana rumah yang sangat ramai oleh anak-anak. APGAR Score 3.

Ny. Bimbi mempunyai hubungan yang cukup baik dengan tetangganya meskipun tidak pernah mengikuti kegiatan-kegiatan bersama seperti pengajian dan arisan. Untuk berobat Ny. Bimbi ditanggung oleh fasilitas jam sostek yang ada di tempat kerjanya.

Review of System

Ny. Bimbi mengeluh gatal pada lipat paha kiri, rasa gatal disertai kemerahan karena garukan. Ny. Bimbi juga mengaku sulit untuktidur, badan terasa lemah, pusing dan tengkuk terasa tegang. Ia menyangkal nyeri dada, gangguan buang air besar atau buang air kecil, bengkak di kedua kaki, perubahana pola makan. Ia juga menyangkal mengalami emotional distress meskipun serign tidak puas dengan kehidupan keluarga dan pernikahannya.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Klarifikasi Istilah

1. Gatal atau disebut pruritus did efinisikan sebagai sensasi tidak nyaman pada kulit yang inginmenimbulkan keinginan untuk meggaruk daerah tertentu untuk mendapatkan kelegaan (Djuanda, 2007).B. Batasan Masalah

Keluhan Utama: Gatal

Lokasi : paha kiri

Onset : 5 hari

Keluahan penyerta: susah untuk tidur, pusing, tengkuk terasa tegang, badan terasa lemah

Faktor memperingan: -

Faktor memperberat: beraktivitas, berkeringat

RPD: -

RPK: -

RPSOS: -

C. Analisis Masalah

1. Anamnesis tambahan apa saja yang perlu diberikan pada Ny. Bimbi?

a. Faktor yang memperingan: Obat dari warung memperingan gejala atau tidak?

b. Riwayat penyakit dahulu: Dulu alami hal yang serupa atau tidak? Ada penyakit sistemik atau tidak? Konsumsi obat-obatan atau tidak?

c. Riwayat penyakit dahulu : apakah pernah mengalami peningkatan tekanan darah dan kencing manis atau tidak ?d. Riwayat penyakit keluarga: Apakah ada keluarga yang mengalami hal yang serupa (keturunan atau penularan)?

e. Riwayat penyakit keluarga: Apakah keluarga Ny. Bimbi mempunyai riwayat tekanan darah tinggi dan kencing manis atau tidak?f. Riwayat sosial ekonomi: Kebiasaan diet dan olahraga? Bagaimana higienitas? Pendapatan keluarga dari Ny. Bimbi? Pendidikan keluarga Ny.Bimbi? Hubungan dengan anggota keluarga dan lingkungan sekitar?

2. Apa saja diagnosis banding yang mungkin terjadi pada Ny. Bimbi?

a. Tinea Cruris

Tinea adalah penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk, misalnya lapisan teratas pada kulit pada epidermis, rambut, dan kuku, yang disebabkan golongan jamur dermatofita (jamur yang menyerang kulit). Tinea cruris sendiri merupakan penyakit kulit yang disebabkan oleh jamur pada daerah genitokrural (selangkangan), sekitar anus, bokong dan kadang-kadang sampai perut bagian bawah (Djuanda, 2009).

Pada tinea kruris, bahan untuk pemeriksaan jamur sebaiknya diambil dengan mengerok tepi lesi yang meninggi atau aktif. Khusus untuk lesi yang berbentuk lenting-lenting, seluruh atapnya harus diambil untuk bahan pemeriksaan. Pemeriksaan mikroskopik (dengan menggunakan mikroskop) secara langsung menunjukkan artrospora (hifa yang bercabang) yang khas padainfeksi dermatofita. (Djuanda 2009).

b. KandidiasisKandidiasis merupakan penyakit kulit yang disebabkan oleh jamur intermediet yang menyerang kulit, subkutan, kuku, selaput lendir, dan alat-alat dalam. Penyakit ini dapat menyerang segala umur, terutama pekerja kebun, tukang cuci, dan petani. Riwayat DM merupakan salah satu faktor yang mempermudah berkembangnya kuman penyebab kandidiasis (Siregar, 2005).Kandidiasis dapat terjadi pada kulit bokong sekitar anus, lipat ketiak, lipat paha, bawah payudara, sekitar pusat, garis-garis kaki dan tangan. Gejala kandidiasis pada kulit yaitu gatal hebat disertai panas terbakar, terkadang nyeri jika ada infeksi sekunder. Efloresensinya berupa daerah eritematosa, erosive, kadang-kadang dengan papula dan bersisik. Pada keadaan kronik, daerah likenifikasi, hiperpigmentasi, hyperkeratosis, dan terkadang berfisura (Siregar, 2005).Pemeriksaan penunjangnya yaitu dengan kerokan kulit dengan KOH 10%. Hasilnya adalah ditemukan sel-sel ragi. Pada media Sabouroud akan ditemukan koloni coklat mengkilat, permukaan basah. Sifat dari kuman ini adalah meragikan fruktosa dan glukosa pada pemeriksaan fermentasi gula (Siregar, 2005).

c. Dermatitis Kontak IritanDermatitis Kontak Iritan (DKI) adalah dermatitis (peradangan kulit) yang terjadi karena reaksi peradangan kulit non imunologik (Djuanda, 2009).

Penyebab muculnya dermatitis jenis ini ialah bahan yang bersifat iritan, misalnya bahan pelarut, detergen, minyak pelumas, asam, alkali dan serbuk kayu. Kelainan kulit yang terjadi selain ditentukan oleh ukuran molekul, daya larut, konsentrasi bahan tersebut dan vehikulum, juga dipengaruhi oleh faktor lain. Faktor yang dimaksud yaitu: lama kontak, kekerapan (terus menerus atau berselang), adanya oklusi menyebabkan kulit lebih permeabel, demikian pula gesekan dan trauma fisis. Suhu dan kelembapan lingkungan juga ikut berperan. Faktor individu juga ikut berpengaruh pda DKI, misalnya perbedaan ketebalan kulit di berbagai tempat menyebabkan perbedaan permeabilitas, usia (anak dibawah 8 tahun dan usia lanjut lebih mudah teriritasi), ras (kulit hitam lebih tahan daripada kulit putih), jenis kelamin (insidens DKI lebih banyak pada wanita), penyakit kulit yang pernah atau sedang dialami (ambang rangsang terhadap bahan iritan menurun), misalnya dermatitis atopik (Djuanda, 2009).

d. Neurodermatitis

Kemungkinan Ny. Bimbi mengalami neurodermatitis karena berhubungan dengan faktor stres.

3. Bagaimana diagnosis holistik dari kasus tersebut?

a. Aspek Personal1. Keluhan utama : gatal2. Gejala penyerta :a) Pusing b) Tengkuk terasa tegangc) Sulit tidur d) Badan terasa lemah3. Concern : ganggu aktivitas4. Expected : ingin sembuh5. Anxiety : takut penyakitnya tambah parahb. Aspek Klinis

DK1: Tinea crurisDD: Kandidiasis, DKI, neurodermatitisDK2: Hipertensi grade I

c. Aspek Faktor Risiko Internal

1) Hipertensi

2) Tidak minum obat secara rutin

3) Jarang kontrol tekanan darah ke dokter

4) Gemar mengkonsumsi asinan

5) Jarang olahraga

6) Merokok

7) Mengganti celana dengan adiknya

8) Usia 38 tahun

9) Riwayat Penyakit Keluarga, yaitu ibu Ny. Bimbi yang menderita DM dan ayah Ny. Bimbi yang menderita hipertensi

10) Gemar memakai baju ketat

d. Aspek Faktor Risiko Eksternal

1) APGAR Score = 3

2) Kasur keluarga jarang dijemur

3) Handuk dan sprei dicuci satu bulan sekali

4) Mandi keluarga dengan 2 handuk secara bergantian

5) Iklim tropis

6) Cuaca lembap

7) Ajakan teman untuk merokok

e. Aspek Skala Fungsi Sosial

Tabel 2.1 Skala Sosial

DerajatDeskripsi

1Melakukan pekerjaan seperti sebelum sakitMandiri dalam perawatan diri dan bekerja di dalam dan luar rumah

2Pekerjaan ringan sehari-hari, di dalam dan luar rumahAktivitas kerja mulai berkurang

3Pekerjaan ringan dan bisa melakukan perawatan diriPekerjaan ringan dan perawatan diri masih dikerjakan sendiri

4Perawatan diri hanya keadaan tertentu, posisi duduk dan berbaringTidak melakukan aktivitas kerja. Perawatan diri oleh keluarga

5Perawatan diri oleh orang lain, posisi berbaring pasifSangat bergantung dengan orang lain (misal tenaga medis)

D. Sasaran Belajar

1. Anatomi Kardiovaskular

Gambar 2.1 Anatomi Jantung

Gambar 2.2 Katup Jantung

2. Fisiologi KardiovaskularTekanan dalam suatu pembuluh darah merupakan tekanan yang bekerja terhadap dinding pembuluh darah. Tekanan tersebut berusaha melebarkan pembuluh darah karena semua pembuluh darah memang dapat dilebarkan. Pembuluh vena dapat dilebarkan delapan kali lipat pembuluh arteri. Selain itu tekanan menyebabkan darah keluar dari pembuluh melalui setiap lubang, yang berarti tekanan darah normal yang cukup tinggi dalam arteri akan memaksa darah mengalir dalam arteri kecil, kemudian memalui kapiler dan akhirnya masuk ke dalam vena. Oleh karena itu tekanan darah penting untuk mengalirkan darah dalam lingkaran sirkulasi (Guyton, 2007).

Tekanan darah dari suatu tempat peredaran darah ditentukan oleh tiga macam faktor, yaitu (Guyton, 2007):

a. Jumlah darah yang ada di dalam peredaran yang dapat membesarkan pembuluh darah

b. Aktivitas memompa jantung, yaitu mendorong darah sepanjang pembuluh darah

c. Tahanan perifer terhadap aliran darah.

Selanjutnya faktor-faktor yang mempengaruhi tahanan perifer yaitu (Guyton, 2007):

a. Viskositas darah

b. Tahanan pembuluh darah (jenis pembuluh darah, panjang, dan diameter)

c. Turbulence (kecepatan aliran darah, penyempitan pembuluh darah, dan keutuhan jaringan).

Upaya menjaga agar aliran darah dalam sirkulasi sistemik tidak naik atau turun disebabkan oleh tekanan darah yang berubah-rubah, maka penting untuk mempertahankan tekanan arteri rata-rata dalam batas konstan. Hal tersebut dapat dicapai melalui serangkaian mekanisme yang meliputi susunan saraf, ginjal, dan beberapa mekanisme hormonal. Hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut (Guyton, 2007):a. Pengaturan Melalui Saraf

Pengaturan tekanan arteri dalam jangka waktu yang waktu pendek, yaitu selama beberapa detik atau menit, hampir seluruhnya dicapai melalui refleks saraf. Salah satu yang paling penting ialah refleks baroreseptor. Bila tekanan darah menjadi terlalu tinggi , reseptor khusus yang disebut baroreseptor akan digiatkan. Reseptor tersebut terletak di dinding aorta dan arteri karotis interna. Baroreseptor kemudian mengirimkan sinyal ke medula oblongata di batang otak. Dari media dikirimkan sinyal melalui susunan saraf otonom yang menyebabkan:

1) pelambatan jantung

2) pengurangan kekuatan kontraksi jantung

3) dilatasi arteriol

4) dilatasi vena besar

Kesemuanya bekerja bersama untuk menurunkan tekanan arteri ke arah normal. Efek sebaliknya terjadi bila tekakan terlalu rendah baroreseptor menghilangkan ransangannya. b. Pengaturan Melalui Ginjal

Tanggung jawab terhadap pengaturan tekanan darah arteri jangka panjang hanpir seluruhnya dipegang oleh ginjal. Dalam hal ini ginjal berfungsi melalui dua mekanisme penting, yaitu mekanisme hemodinamik dan mekanisme hormonal. Mekanisme hemodinamik sangat sederhana. Bila tekanan arteri naik melewati batas normal, tekanan yang besar dalam arteri renalis akan menyebabkan lebih banya cairan yang disaring sehingga air dan garam yang dikeluarkan dari tubuh juga meningkat. Hilangnya air dan garam akan mengurangi volume darah, dan sekaligus menurunkan tekanan darah kembali normal. Sebaliknya bila tekanan turun di bawah normal, ginjal akan menahan air dan garam sampai tekanan naik kembali menjadi normal.

c. Pengaturan Melalui Hormon.

Beberapa hormon memainkan peranan penting dalam pengaturan tekanan, tetapi yang terpenting adalah sistem hormon renin-angiotensin dari ginjal. Bila tekanan darah terlalu rendah sehingga aliran darah dalam ginjal tidak dapat dipertahankan normal, ginjal akan mensekresikan renin yang akan membentuk angiotensin. Selanjutnya angiotensin akan menimbulkan konstriksi arteriol diseluruh tubuh, sehingga dapat meningkatkan kembali tekanan darah ke tingkat normal (Guyton, 2007).

Berdasarkan gambar di atas dapat dijelaskan pada uraian berikut. Renin bekerja secara enzimatik pada protein plasma lain, yaitu suatu globulin yang disebut bahan renin (atau angiotensinogen), untuk melepaskan peptida asam amino-10, yaitu angiotensin I. Angiotensin I memiliki sifat vasokonstriktor yang ringan tetapi tidak cukup untuk menyebabkan perubahan fungsional yang bermakna dalam fungsi sirkulasi. Renin menetap dalam darah selama 30 menit sampai 1 jam dan terus menyebabkan pembentukan angiotensin I selama sepanjang waktu tersebut (Guyton, 2007).

Dalam beberapa detik setelah pembentukan angiotensin I, terdapat dua asam amino tambahan yang memecah dari angiotensin untuk membentuk angiotensin II peptida asam amino-8. Perubahan ini hampir seluruhnya terjadi selama beberapa detik sementara darah mengalir melalui pembuluh kecil pada paru-paru, yang dikatalisis oleh suatu enzim, yaitu enzim pengubah, yang terdapat di endotelium pembuluh paru yang disebut Angiotensin Converting Enzyme (ACE). Angiotensin II adalah vasokonstriktor yang sangat kuat, dan memiliki efek-efek lain yang juga mempengaruhi sirkulasi. Angiotensin II menetap dalam darah hanya selama 1 atau 2 menit karena angiotensin II secara cepat akan diinaktivasi oleh berbagai enzim darah dan jaringan yang secara bersama-sama disebut angiotensinase (Guyton, 2007).

Selama angiotensin II ada dalam darah, maka angiotensin II mempunyai dua pengaruh utama yang dapat meningkatkan tekanan arteri. Pengaruh yang pertama, yaitu vasokontriksi, timbul dengan cepat. Vasokonstriksi terjadi terutama pada arteriol dan sedikit lebih lemah pada vena. Konstriksi pada arteriol akan meningkatkan tahanan perifer, akibatnya akan meningkatkan tekanan arteri. Konstriksi ringan pada vena-vena juga akan meningkatkan aliran balik darah vena ke jantung, sehingga membantu pompa jantung untuk melawan kenaikan tekanan (Guyton, 2007).

Cara utama kedua dimana angiotensin meningkatkan tekanan arteri adalah dengan bekerja pada ginjal untuk menurunkan eksresi garam dan air. Ketika tekanan darah atau volume darah dalam arteriola eferen turun (kadang-kadang sebagai akibat dari penurunan asupan garam), enzim renin mengawali reaksi kimia yang mengubah protein plasma yang disebut angiotensinogen menjadi peptida yang disebut angiotensin II. Angiotensin II berfungsi sebagai hormon yang meningkatkan tekanan darah dan volume darah dalam beberapa cara. Sebagai contoh, angiotensin II menaikan tekanan dengan cara menyempitkan arteriola, menurunkan aliran darah ke banyak kapiler, termasuk kapiler ginjal. Angiotensin II merangsang tubula proksimal nefron untuk menyerap kembali NaCl dan air. Hal tersebut akan jumlah mengurangi garam dan air yang diekskresikan dalam urin dan akibatnya adalah peningkatan volume darah dan tekanan darah (Guyton, 2007).

Pengaruh lain angiotensin II adalah perangsangan kelenjar adrenal, yaitu organ yang terletak diatas ginjal, yang membebaskan hormon aldosteron. Hormon aldosteron bekerja pada tubula distal nefron, yang membuat tubula tersebut menyerap kembali lebih banyak ion natrium (Na+) dan air, serta meningkatkan volume dan tekanan darah. Hal tersebut akan memperlambat kenaikan voume cairan ekstraseluler yang kemudian meningkatkan tekanan arteri selama berjam-jam dan berhari-hari. Efek jangka panjang ini bekerja melalui mekanisme volume cairan ekstraseluler, bahkan lebih kuat daripada mekanisme vasokonstriksi akut yang akhirnya mengembalikan tekanan arteri ke nilai normal (Guyton, 2007).

d. Preload dan Afterload

Preload merupakan panjang dari serabut otot jantung ventrikel selama ventrikel diastole. Preload berhubungan langsung dengan EDV, semakin besar EDV maka semakin besar juga preloadnya (Martini et al, 2012).

Afterload merupakan sejumlah hambatan bagi ventrikel untuk kontraksi ventrikel yang berguna untuk membuka katup semilunar dan ejeksi darah. Afterload meningkat saat periode isovolumetric panjang dan durasi ventrikel ejection singkat (Martini et al, 2012).3. Definisi Tinea Cruris

Tinea cruris merupakan infeksi jamur dermatofita pada daerah cruris (daerah lipat paha, perineum, dan sekitar anus). Kelainan ini dapat bersifat akut ataupun menahun (kronis). Lesi kulit berbatas di daerah genitor-krusial saja atau meluas ke daerah anus dan gluteus (Budimulja, 2010). Nama lain Tinea cruris adalah (Siregar, 2003)::

a. Eczema marginatum

b. Dhobie itch

c. Jockey itch

d. Ringworm of the groin

4. Epidemiologi Tinea Cruris

Tinea Cruris lebih sering diderita oleh orang dewasa. Angka insidensi pada laki-laki lebih tinggi di bandingkan wanita. Penyakit ini terdapat di seluruh dunia dan lebih sering di daerah tropis yang memiliki iklim panas. Iklim panas ini berhubungan dengan produksi keringat berlebih pada saat panas dan menyebabkan suasana lembab pada kulit. Selain kelembaba, faktor kebersihan juga menjadi penyebab. Tinea cruris sering terjadi di lingkungan yang kotor (Siregar, 2004).5. Etiologi Tinea Cruris

Sering disebabkan oleh Epidermophyton flocossum, tetapi dapat juga oleh Trycophyton rubrum dan Trycophyton mentagrophytes yang ditularkan secara langsung ataupun tidak langsung (Siregar, 2004).6. Faktor Predisposisi Tinea Cruris

Timbulnya tinea cruris dapat dipicu oleh beberapa faktor, yaitu sebagai berikut ( Boel, 2003):

a. Faktor virulensi dari dermatofitaVirulensi ini bergantung pada afinitas jamur, jamur antropofilik, zoofilik, geofilik. Selain afinitas ini massing-masing jamur berbeda pula satu dengan yang lain dalam hal afinitas terhadap manusia maupun bagian-bagian dari tubuh misalnya:Trichopyhton rubrumjarang menyerang rambut,Epidermophython fluccosumpaling sering menyerang lipat paha bagian dalam.b. Faktor traumaKulit yang utuh tanpa lesi-lesi kecil lebih susah untuk terserang jamur.

c. Faktor suhu dan kelembapanKedua faktor ini jelas sangat berpengaruh terhadap infeksi jamur, tampak pada lokalisasi atau lokal, dimana banyak keringat seperti pada lipat paha, sela-sela jari paling sering terserang penyakit jamur.

d. Keadaan sosial serta kurangnya kebersihanFaktor ini memegang peranan penting pada infeksi jamur dimana terlihat insiden penyakit jamur pada golongan sosial dan ekonomi yang lebih rendah sering ditemukan daripada golongan ekonomi yang baik.

e. Faktor umur dan jenis kelamin7. Penegakan Diagnosis Tinea Cruris

Pada tinea kruris, bahan untuk pemeriksaan jamur sebaiknya diambil dengan mengerok tepi lesi yang meninggi atau aktif. Khusus untuk lesi yang berbentuk lenting-lenting, seluruh atapnya harus diambil untuk bahan pemeriksaan. Pemeriksaan mikroskopik (dengan menggunakan mikroskop) secara langsung menunjukkan artrospora (hifa yang bercabang) yang khas padainfeksi dermatofita. (Djuanda 2009).8. Patofisiologi Tinea Cruris

Tinea Cruris adalah penyakit mikosis superficial golongan dermatofitosis. Terjadinya penularan dermatofitosis melalui 3 cara, yaitu (Kurniati dan Cita, 2008):

a. Antropofilik, yaitu penularan jamur dari manusia ke manusia. jamur ditularkan baik secara langsung maupun tidak langsung melalui lantai, kolam renang, dan udara sekitar rumah sakit/klinik, dengan atau tanpa reaksi peradangan (silent carrier).

b. Zoofilik, transmisi dari hewan ke manusia. Jamur ditularkan melalui kontak langsung maupun tidak langsung melalui bulu binatang yang terinfeksi dan melelkat di pakaian, atau sebagai kontaminan pada rumah / tempat tidur hewan, temapat makanan dan minuman hewan. Sumber penularan utama meliputi anjing, kucing, sapi, kuda, dan mencit.

c. Geofilik, penularan dari tanah ke manusia. Secara sporadic menginfeksi manusia dan menimbulkan reaksi radang.

Jamur harus memiliki kemampuan melekat pada kulit dan mukosa pejamu, serta kemampuan untuk menembus jaringan pejamu, dan mampu bertahan dalam lingkungan pejamu. Di samping itu jamur juga harus bisa menyesuaikan diri dengan suhu dan keadaan biokimia pejamu untuk dapat berkembang biak dan menimbulkan reaksi jaringan atau radang. Jamur harus dapat mengatasi pertahanan tubuh baik yang spesifik maupun non-spesifik untuk menimbulkan suatu penyakit.

Infeksi dermatofita melibatkan tiga langkah utama, yaitu:

a. Perlekatan

Jamur superfisial harus melewati berbagai rintangan untuk bisa melekat pada jaringan keratin diantaranya sinar UV, suhu, kelembaban, kompetisi dengan flora normal dan sphingosin yang diproduksi oleh keratinosit. Asam lemak yang diproduksi oleh glandula sebasea juga bersifat fungistatik (Jawetz, 2005).

Perlekatan pada jaringan keratin tercapai maksimal setelah 6 jam, dimediasi dengan serabut dinding terluar dermatofit yang menghasilkan keratinase (keratolitik) yang dapat menghidrolisis keratin dan memfasilitasi pertumbuhan jamur di stratum korneum. Dermatofit juga melakukan aktivitas lain seperti proteolitik dan lipolitik dengan mengeluarkan serine proteinase yang menyebabkan katabolisme protein ekstrasel dalam menginvasi pejamu. Proses tersebut dipengaruhi oleh kedekatan dinding dari kedua sel, dan pengaruh sebum antara artrospor dan korneosit yang dipermudah oleh adanya proses trauma atau adanya lesi pada kulit. Tidak semua dermatofit melekat pada korneosit karena tergantung pada jenis strainnya (Kurniati dan Cita, 2008).

b. Penetrasi

Setelah terjadi perlekatan, spora harus berkembang dan menembus stratum korneum pada kecepatan yang lebih cepat daripada proses desquamasi. Penetrasi juga dibantu oleh sekresi proteinase, lipase dan enzim mucinolitik, yang juga menyediakan nutrisi untuk jamur. Trauma dan maserasi juga membantu penetrasi jamur kejaringan. Fungal mannan didalam dinding sel dermatofita juga bisa menurunkan kecepatan proliferasi keratinosit. Pertahanan baru muncul ketika begitu jamur mencapai lapisan terdalam dari epidermis (Jawetz, 2005).

Spora harus tumbuh dan menembus masuk stratum korneum dengan kecepatan melebihi proses deskuamasi. Proses penetrasi menghasilkan sekresi proteinase, lipase, dan enzim musinolitik, yang menjadi nutrisi bagi jamur pathogen menggunakan beberapa cara, antara lain (Kurniati dan cita, 2008):

1) Penyamaran, antara lain dengan membentuk kapsul polisakarida yang tebal, memicu pertumbuhan filament hifa, sehingga glucan yang terdapat pada dinding sel jamur tidak terpapar oleh dectin-1, dan dengan membentuk biofilamen, suatu polimer ekstra sel, sehingga jamur dapat bertahan terhadap fagositosis.

2) Pengendalian, dilakukan dengan mengaktifkan mekanisme penghambatan imun pejamu atau secara aktif mengendalikan respon imun yang mengarah terhadap pada tipe pertahanan yang tidak efektif, misalnya Adhesin pada dinding sel jamur berikatan dengan CD14 dan komplemen C3 (CR3, MAC1) pada dinding makrofag yang berakibat aktivasi makrofag terhambat.

3) Penyerangan, dengan memproduksi molekul yang secara langsung merusak atau memasuki pertahanan imun spesifik dengan mensekresi toksin atau protease. jamur mensintesa katalase dan superoksid dismutase, mensekresi protease yang dapat menurunkan barier jaringan sehingga memudahkan proses invasi oleh jamur, dan memproduksi siderospore yang digunakan untuk menangkap zat besi untuk kehidupan aerobic.

c. Perkembangan respons host

Derajat inflamasi dipengaruhi oleh status imun pasien dan organisme yang terlibat. Reaksi hipersensitivitas tipe IV, atau Delayed Type Hipersensitivity (DHT) memainkan peran yang sangat penting dalam melawan dermatofita. Pada pasien yang belum pernah terinfeksi dermatofita sebelumnya, infeksi primer menyebabkan inflamasi minimal dan trichopitin tes hasilnya negative.infeksi menghasilkan sedikit eritema dan skuama yang dihasilkan oleh peningkatan pergantian keratinosit. Dihipotesakan bahwa antigen dermatofita diproses oleh sel langerhans epidermis dan dipresentasikan dalam limfosit T di nodus limfe. Limfosit T melakukan proliferasi dan bermigrasi ketempat yang terinfeksi untuk menyerang jamur. Pada saat ini, lesi tiba-tiba menjadi inflamasi, dan barier epidermal menjadi permeable terhadap transferin dan sel-sel yang bermigrasi. Segera jamur hilang dan lesi secara spontan menjadi sembuh (Jawetz, 2005).

Dermatofita tumbuh di dalam jaringan keratin yang mati lalu akan berdifusi ke dalam lapisan malphigi dan melakukan perlekatan dengan hifa. Sewaktu hifa menjadi tua dan memisah dengan spora, sel sel yang mengandung spora akan mengelupas. Hifa akan aktif tumbuh kea arah pinggir sel sel pada stratum korneum yang belum terinfeksi sehingga akan memperlihatkan gambaran seperti cincin karena terjadi penumpukan jamur dipinggir sel dan akan terus berkembang ke perifer. Hal itulah mengapa infeksi akan menetap pada daerah predileksi dalam fase akut (Jawetz, 2005).

Saat terjadi serangan pathogen dari luar, tubuh akan mengaktifkan mekanisme pertahanan. Mekanisme pertahanan tersebut adalah sebagai berikut (Kurniati dan Cita, 2008):

a. Mekanisme Pertahanan Non Sapesifik :

Pertahanan non spesifik atau juga dikenal sebagai pertahanan alami meliputi:

1) Struktur, keratinasi, dan proliferasi epidermis, yang bertindak sebagai barrier jaringan untuk menahan masuknya dermatofit. Stratum korneum secara kontinyu diperbarui dengan keratinasi sel-sel epidermis sehingga bisa menyingkirkan dermatofit yang sedang menginfeksinya. proliferasi epidermis menjadi benteng pertahanan terhadapa dermatofitosisi, yang didalamnya termasuk proses peradangan sebagai wujud dari reaksi imun yang dimediasi oleh sel-T.

2) Akumulasi neutrofil pada epidermis yang secara makroskopis diwujudkan dalam bentuk pustule, sedangkan secara mikroskopis diwujudkan dalam bentuk mikroabses epidermis, yang terdiri dari kumpulan-kumpulan neutrofil di epidermis yang dapat mengahmbat pertumbuhan dermatofit melalui mekanisme oksidatif.

3) Substansi anti jamur, antara lain unsaturated transferin dan 2 macroglobulin keratinase inhibitor dapat melawan invasi dermatofit.

b. Mekanisme Pertahanan Spesifik :

Lokasi infeksi dermatofit yang superficial tetap dapat membangkitkan baik imunitas humoral maupun cell-mediated immunity (CMI). Pembentukkan CMI yang berkolerasi dengan Delayed Type Hipersensitivity (DTH) biasanya berhubungan dengan penyembuhan klinis dan pembentukan stratum korneum pada bagian yang terinfeksi. Kekurangan CMI dapat mencegah suatu respon efektif sehingga berpeluang menjadi infeksi dermatofit kronis atau berulang. Respon imun spseifik ini melibatkan antigen dermatofit dan CMI.

9. Penatalaksanaan Tinea Cruris

Dalam penggunaan obat, perlu diperhatikan efek samping dari masing-masing golongan. Efek samping griseofulvin yaitu sefalgia, gangguan traktus digestinus berupa nausea, vomitus, dan diare. Ketokonazol dan Itrakonazol digunakan untuk kasus kasus yang resisten terhadap griseofulvin, namun perlu diperhatikan bahwa jenis obat tersebut memiliki sifat hepatotoksik sehingga salah satu kontra indikasi yaitu pada orang dengan gangguan hepar (Budimulya, 2010).

a. Penatalaksanaan Medikamentosa :

1) Golongan Azole

Kerja obat : menghambat mitosis sel jamur

a) Imidazol

Pemakaian : 2x /hari

Indikasi : terdapat lesi berat

Kerja obat : membatasi pruritus dan timbulnya sisik

b) Mikonazol,

Pemakaian 2x sehari selama 1 bulan

c) Klotrimazol

Pemakaian 2x/hari selama 1-4 minggu

d) Ekonazol topikal

Pemakaian 1x/hari

e) Sulkonazol

Pemakaian 1-2x/hari

2) Golongan Alinamin

Terbinafin Topikal

Pemakaian : oleskan 1-2x/hari selama 1-4 minggu

Kerja obat : mempengaruhi produksi ergosterol pada jamur yang mengakibatkan kehancuran pada dinding sel jamur, dan mengakibatkan kebocoran isi sel.3) Obat Oral Infeksi Jamur Luas

a) Griseofulvin

Pemakaian : 500mg/hari mikro atau 350 mg/hari ultramikro (sistemik)

Kerja obat

: menghambat mitosis sel jamur, resistensi invasi sel jamur

Harga1 tablet Rp 4000,-

b) Terbinafin

Pemakaian

: 250 mg per hari selama 2-4 minggu

Kerja obat

: Mempengaruhi sintesis dinding sel jamur sehingga terjadi kebocoran isi sel

Memiliki bioavaibilitas yang tinggi dan penyerapannya sempurna

c) Itrakonzaol

Pemakaian

: 100 mg perhari selama 15-30 harib. Penatalaksanaan Non-Medikamentosa

1) Penderita menggunakan pakaian dalam katun longgar agar pakaian tidak menjadi basah ataupun lembab saat berkeringat.

2) Menjaga hidup bersih

3) Mandi secara teratur minimal 2x sehari

4) Pakaian diganti setiap hari

5) Tidak menggunakan handuk bergantian dengan orang lain

10. Genogram dan Aplikasinya pada Kasus

11. SCREEM dan Aplikasinya pada Kasus

SCREEM score digunakan untuk menilai keadaan patologis pada suatu keluarga dengan rincian sebagai berikut (Prasetyawati, 2011):1. Social (Melihat bagaimana interaksi dengan tetangga sekitar)Pada keluarga Ny. Bimbi skor social adalah negatif.2. Culture (melihat bagaimana kepuasan keluarga terhadap budaya, tata krama, dan perhatian terhadap sopan santun)Pada keluarga Ny. Bimbi skor Culture adalah positif ditandai dengan ketidakikutan Ny. Bimbi padaa kegiatan yang ada di tempat tinggalnya yaitu tidak mengikuti kegiatan-kegiatan arisan/ pengajian.3. Religious (melihat ketaatan anggota keluarga dalam menjalankan ajaran agamanya)Pada keluarga Ny. Bimbi skor Religious adalah negatif.4. Economic (melihat status ekonomi anggota keluarga)Pada keluarga Ny. Bimbi skor Economic adalah negatif karena Ny. Bimbi merupakan keluarga yang kecukupan dalam hal keuangan.5. Educational (melihat tingkat pendidikan anggota keluarga)Pada keluarga Ny. Bimbi skor Educational adalah positif karena pengetahuan yang rendah terhadap suatu penyakit.6. Medical (melihat apakah anggota keluarga ini mampu mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai)Pada keluarga Ny. Bimbi skor social adalah positif karena Ny. Bimbi dalam menjaga kesehatan sangat buruk.12. APGAR dan Aplikasinya pada Kasus

AdaptationKemampuan adaptasi anggota keluarga dengan aggota keluarga lain = 0 (sering bertengkar)Partnership

Saling berbagi dan saling mengisis = 0 (sering pergi karaoke dan suami jauh)

GrowthDukungan terhadap hal baru = 1 (kurang dukungan)Affection

Kasih sayang = 2 (sering pinjam celana jeans)Resolve

Kepuasan anggota keluarga = 0 (tidak ada kepuasan)_________________________________________________________+ 3

Nilai: INTERPRETASI

0 = JARANG /TIDAK SAMA SEKALI 5 = KURANG1 = KADANG-KADANG 6-7 = CUKUP2 = SERING ATAU SELALU 8-10 = BAIK Untuk APGAR Score keluarga ny.Bimbi adalah 3 yang diinterpretasikan kurang menunjukkan keluarga Ny.Bimbi tidak sehat.

13. Penanganan Komprehensif pada KasusTabel 2.2 Penanganan Komprehensif

Patient-centeredPlan Penegakkan DiagnosisTinea crurisTes kerokan kulit KOHHipertensiEKGTes fungsi ginjalKolesterolSkriningTes glukosa

Plan KIEEdukasi penyakit, komplikasi

Edukasi pengobatan

Edukasi life style (aspek internal)

Plan PengobatanMedikamentosa

Tinea cruris

Ketokonazol

Griseofulvin

Hipertensi

Captopril

Amlodipin

Simptomatik

Asam mefenamat

Non-medikamentosa

Olahraga teratur

Diet rendah garam

Istirahat cukup

Plan MonevPengukuran tekanan darah sebulan sekali

Kontrol UKK seminggu

Focus familyPlan KIEEdukasi DM, hipertensi dan Tinea cruris

Skrining Tinea cruris dan familial disease

Meningkatkan higienitas

Keluarga dijadikan nuclear family

Pencegahan Risk FactorPembinaan keluarga ditingkatkan

Support KeluargaMotivasi minum obat

Motivasi agar cepat sembuh

Focus local communityPlan KIEEdukasi penyakit di tempat kerja

Skrining DM, hipertensi, Tinea cruris

PencegahanMeningkatkan PHBS

Hindari merokok

Mengurangi jam kerja

BAB III

KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA

Boel, Trelia. 2003. MikosisSuperfisial. Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara. Digitized by USU Digital Library. Available at: http://library.usu.ac.id/download/fkg/fkg-trelia1.pdf diakses tanggal 12 November 05.00 WIB

Budimulja, Unandar. 2011.Mikosis, dalam Djuanda, A., Hamzah, M. dan Aisah, S. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 6. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta: 35-37Budimulya, Kusnandar. 2010. Mikosis. Ilmu Penyakut Kulit dan Kelamin. Jakarta: FKUI PressDjuanda, Ardhi. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: FK UI.Guyton, Arthur C., John E. 2007. Buku Ajar Fisologi Kedokteran, Edisi 11. Alih Bahasa: Irawati, Luqman Yanuar. Jakarta: EGC

Hamzah, M. dan S. Aisah. 2009. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: FK UI.

Jawetz et al. 2005. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.Kekalih, Aria. 2008. Diagnosis Holistik Pada Pelayanan Kesehatan Primer Pendekatan Multi Aspek. Jakarta: Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas FKUI.

Kurniati, Rosita SP, Cita. 2008. Etiopatogenesis Dermatofitosis. Surabaya. Departement/ SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran UNAIR/ RSU dr. Soetomo. Vol. 20. No. 3.Martini, Frederic H., Judi L. Nath, Edwin F. Bartholomew. 2012. Fundamental of Anatomy and Physiology. San Fransico: Pearson Education.

Prasetyawati, A.E. 2011. Kedokteran Keluarga dan Wawasannya. FK Univeritas Sebelas Maret.Siregar, R.S. 2005. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit Edisi 2. Jakarta: EGC.