laporan final semarang
TRANSCRIPT
Strategi Ketahanan Kota rencana adaptasi Kota SEMARANG hadapi perubahan iklim
Semarang, 7 May 2010 To: Head of Planning Department HKSAR Government Request for talk Dear Sir/Madam, First of all, I would like to introduce my self, Dr. Joesron Alie Sjahbana, and our research
centre, namely Centre for Land Studies and Spatial Development (TAHTA), a part of Research
Centres of Diponegoro University, Indonesia. Located in Semarang, the capital city of Central
Java, the university is one of reputable state university in the country. In collaboration with Master Degree Program in Urban and Regional Development, in which I
also responsible as the head of program, our centre has numbers of activities. Providing
training course with international perspective for Indonesia’s local government staffs is one of
them. This year, we will bear our training participant to visit Hong Kong. Through the visit, we
hope that our training participants are able to get some hands-on knowledge about “The
Urban Planning and Development in Hong Kong”. There will be about 15 participants from
National Planning Board (BAPPENAS) and Bekasi Municipality Government, the biggest
frontier city of Jakarta Metropolitan Area, accompanied by 2 trainers. For that reason, we have a plan to visit your office on Tuesday, 20 July 2010 at 14.00 - 16.00.
We would like to appreciate if your institution can accept us and spent time giving a talk or
presentation to our training participants. We believe that your generous contribution will bring
many advantages not only for skill development of our training participants, but also for
Indonesia’s metropolitan development in the long run. You may make a confirmation for an
exact time of your best convenience. Please confirm through this email or to our contact
person: Mr. Rukuh Setiadi, through email: r.setiadi@ undip.ac.id or [email protected].
For an administrative purpose in our home country, we will grateful if we able to find official
letter of acceptance from your institution as soon as possible. Finally, I appreciate for your
concern and hopefully this activity may encourage a better cooperation between our
organization and your office. With best regards, Centre for Land Studies and Spatial Development (TAHTA) Research Centres of Diponegoro University Head,
Dr. Joesron Alie Syahbana
Asian Cities Climate Change Resilience Network (ACCCRN)
2010
TAHTA bersama dengan CWG (City Working Group) Kota Semarang mengucapkan apresiasi
yang dalam atas kerjasama dan kepercayaan yang diberikan oleh Mercy Corps Indonesia.
Kegiatan ini merupakan salah satu bentuk dukungan kepada Kota Semarang sebagai salah
satu pilot cities dalam program ACCCRN (Asian Cities Climate Change Resilience Network)
yang diinisiasi oleh Rockefeller Foundation (RF) dan ISET (Institute for Social and Environmental
Transformation).
Dokumen ini merupakan rencana Kota Semarang dalam rangka melakukan adaptasi terhadap
tekanan dan goncangan yang mungkin terjadi sebagai akibat perubahan Iklim. Dokumen ini
bukan bersifat ekslusif dalam konteks perencanaan Kota Semarang karena telah disinegikan
penyusunannya dengan tim dan format subtansi RPJM Kota Semarang. Bagian akhir dokumen
ini bisa menjadi inspirasi bagi berbagai SKPD tentang bagaimana mereka bisa berkontribusi
dalam kegiatan adaptasi perubahan iklim. Dokumen ini bukan merupakan dokumen statis
sehingga bisa dengan cepat disesuaikan dengan skenario tambahan yang mungkin terjadi.
Dokumen ini merupakan dasar bagi pembiayaan progam dalam siklus tahunan RF dan menjadi
dasar bagi RF dalam mendapatkan dukungan pembiayaan internasional lainnya. Walau
demikian, CWG merekomendasikan Pemerintah Kota Semarang untuk turut berpartisipasi
dalam implementasi sejumlah kegiatan adaptasi yang dirasa penting melalui sistem pendanaan
daerah dan dukungan nasional.
City Working Group of Semarang CityHernowo B. Luhur (BAPPEDA) Budi Prakosa (BAPPEDA), Feri Prihantoro (BINTARI), Joko San-toso (BAPPEDA), Rukuh Setiadi (UNDIP), Hernowo (BAPPEDA), Gunawan Wicaksono (BLH).
Contributor Team (Technical Team for Climate Adaptation of Semarang City):Abdul Azis (LEPAAS), Budi Satmoko Adji (BAPERMASPER & KB), Wahju Fadjar (BLH), Tri S. Hadi (DinKes), Gatot Hardhiyanto (Dinas Kebakaran), Tjipto Hardono (PDAM), Nora M. Istini (BLH), Sucahyo K (BAPPEDA), Miswan (Dinas Kebersihan), Pasimin (Dinas Pertanian), Moch. A. Roh-
matulloh (DTKP), Prof. Sri Mulyani E.S (UNNES), Purnomo D. Sasongko (BAPPEDA), Handojo Setio (PT. Djarum), Suhardjono (PSDA), Siswanto (DKP), Djoko Suwarno (UNIKA).
For further contact information: Rukuh Setiadi (Department of Urban and Regional Planning. Diponegoro University)[email protected]
This study is sponsored by: The Rockefeller Foundation (USA) with Technical Assistance from: ISET (Canada) and MercyCorps Indonesia
2010
Daftar Isi
1. Pendahuluan 1
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Tujuan 3
1.3. Sasaran 3
1.4. Ruang Lingkup Perencanaan 4
1.5. Tahapan Perencanaan Strategi Ketahanan 5
1.5.1. Persiapan. 5
1.5.2. Brainstorming 7
1.5.3. Konsultasi dan Prioritisasi 7
1.5.4. Finalisasi Dokumen Ketahanan 7
1.6. Sistematika Dokumen Strategi Ketahanan Kota Semarang 8
2. Kerentanan Kota Semarang 10
2.1. Trend Perubahan Iklim di Kota Semarang 10
2.1.1. Temperatur 10
2.1.2. Curah Hujan 13
2.1.3. Peningkatan Paras Air Laut 15
2.1.4. Pola Angin 18
2.2. Wilayah Rentan dan Dampaknya 20
2.2.1. Dataran Rendah Pesisir yang Terekspos Banjir dan Kenaikan Air Laut 21
2.2.2. Wilayah Permukiman di Bantaran Sungai 25
2.2.3. Kawasan Lereng Perbukitan yang Rawan Terhadap Angin Kencang 26
2.2.4. Wilayah yang Terekspose Pergerakan Tanah dan Longsor 27
2.2.5. Kawasan Permukiman Pinggiran Kota yang Jauh dari Sumber Air 29
2.2.6. Kawasan-Kawasan Simpul Pergerakan 30
2.2.7. Kawasan Fungsional Kota 32
2.2.8. Kawasan Industri 32
2.3. Kelompok Rentan 34
3. Kebijakan Nasional dan Kota 37
3.1. Kebijakan Nasional dalam Merespon Perubahan Iklim 37
3.2. Kebijakan Pembangunan Kota Semarang 41
3.2.1. Arah dan Prioritas Pembangunan Jangka Panjang 41
3.2.2. Arah dan Prioritas Pembangunan Jangka Menengah 43
3.3. Isu Aktual dan Dinamika Kegiatan Pembangunan Kota Semarang 44
4. Pengembangan Skenario 46
4.1. Asumsi yang Digunakan 46
4.2. Pengembangan Skenario Perubahan Iklim di Kota Semarang 47
4.2.1. Skenario Musim Kemarau 47
4.2.2. Skenario Musim Kemarau Setelah Pembangunan Waduk Tanpa Konservasi di Upstream 47
4.2.3. Skenario Musim Kemarau Setelah Pembangunan Waduk Dengan Konservasi di Upstream 48
4.2.4. Skenario Musim Hujan 48
4.2.5. Skenario Wilayah Tergenang SLR 50
4.2.6. Skenario SLR dengan Variasi Luasan Konservasi Mangrove 51
5. Strategi dan Aksi Prioritas 52
5.1. Tujuan dan Sasaran Strategi Ketahanan Perubahan Iklim 52
5.1.1. Strategi Ketahanan Sektor Air Bersih 52
5.1.2. Strategi Ketahanan Sektor Infrastruktur 53
5.1.3. Strategi Ketahanan Sektor Lingkungan 54
5.1.4. Strategi Ketahanan Sektor Kelautan dan Perikanan 55
5.1.5. Strategi Pengembangan Kapasitas SDM dan Kelembagaan 55
5.2. Kriteria Strategi Ketahanan 57
5.3. Proses Prioritasi 61
5.4. Kualitatif CBA dan Strategi Prioritas 65
6. Implementasi dan M&E 68
6.1. Implementasi dan Pendanaan Aksi Prioritas 68
6.2. Monitoring dan Evaluasi 71
Referensi 72
Annex 1: Scenario Development 73
Annex 2: Concept Proposal of Prioritized Actions 75
1. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Perubahan yang lebih hangat pada sistem iklim kita pada saat ini tidak hanya argumen saja. Bukti-
bukti pengamatan dan studi terutama yang dilakukan oleh International Panel for Climate Change
(IPCC) selama ini menunjukkan bahwa peningkatan temperatur udara dan lautan, pencairan salju
dan es, dan peningkatan tinggi muka laut tersebut adalah nyata. UNEP (2009) telah
mempublikasikan dokumen yang merangkum studi-studi penting dan terbaru dari IPCC tentang
perubahan iklim global.
Sudah tidak diragukan lagi bahwa perubahan iklim yang terjadi saat ini sebagai akibat dari aktivitas
manusia. Namun aktivitas manusia yang paling signifikan adalah aktivitas dalam kurun 50 tahun
terakhir di seluruh penjuru dunia. Pada periode tersebut sebab-sebab natural, seperti radiasi sinar
matahari memang berkontribusi dalam meningkatkan temperatur atmosfer bumi. Namun demikian
jika dikomparasikan, bukti-bukti ilmiah menunjukan bahwa aktivitas manusia adalah yang paling
berperan dan seharusnya bertanggung jawab atas terjadinya pemanasan global (IPCC dalam UNEP,
2009). Pemanasan ini tidak hanya terkait dengan temperatur tetapi juga menyebabkan perubahan
aspek-aspek lainnya secara ekstrim yang kembali mempengaruhi manusia.
Sebagaimana telah ditunjukkan pada kajian kerentanan (Vulnerability Assessment), pemanasan
global adalah fenomena yang nyata di Kota Semarang. Berdasarkan dua skenario yang ada,
temperatur di Kota Semarang menunjukkan trend yang terus meningkat begitu pula dengan paras
muka air laut. Perubahan temperatur juga memberikan peluang perubahan intensitas presipitasi
terutama pada musim hujan yang diprediksikan akan semakin meningkat. Perubahan iklim secara
ekstrim ini dapat berkontribusi pada kejadian banjir di Kota Semarang. Sementara itu kenaikan muka
air laut juga akan memperparah masalah banjir dan rob yang telah ada.
SEMARANG City Resilience Strategy
1
Disamping banjir dan rob sebagai salah satu bentuk yang paling nyata dari akibat perubahan iklim di
Kota Semarang, juga telah dikonfirmasi dari berbagai kegiatan di lapangan bahwa perubahan iklim
juga meningkatkan resiko longsor, kekeringan, dan abrasi pada sejumlah wilayah di Kota Semarang.
Peristiwa dan kejadian bencana diatas, dalam
s k a l a m a k r o d i k h awa t i r k a n d a p a t
mempengaruhi keberlanjutan pembangunan
di suatu kota. Dan dalam skala yang lebih
mikro, dampak perubahan iklim diatas dapat
menimpa kelompok-kelompok masyarakat yan
ada disuatu kota, khusunya masyarakat miskin
dan kelompok marginal.
Asian Cities Climate Change Resilience
Network (ACCCRN) di Kota Semarang telah
melampaui sejumlah tonggak capaian.
Capaian tersebut diawali dengan dihasilkannya
kajian kerentanan (VA), penerapan proyek
percontohan (P i lot P ro ject ) adaptas i
perubahan iklim, studi sektoral (Sector Studies)
dan dis is ip i dengan se jumlah dia log
pembelajaran (SLDs) secara kontinyu. Sebelum
d i l akukannya imp lementas i adaptas i
perubahan iklim dalam skala kota, semua capaian tersebut sangat penting untuk dikaji lebih
mendalam dan ditindaklanjuti melalui penyusunan ‘Strategi Ketahanan Kota’ (City Resilience
Strategy/ CRS). Oleh karena itu, dokumen CRS dalam kerangka ACCCRN merupakan landasan dasar
bagi pelaksanaan kegiatan-kegiatan implementasi peningkatan ketahanan terhadap perubahan
iklim.
BOX 1: PROSES PERUBAHAN IKLIM GLOBAL
Perubahan iklim terkait erat dengan aktivitas manusia. Aktivi-
tas tersebut bersumber dari 2 (dua) kegiatan yaitu pem-
bakaran bahan bakar fosil dan perubahan guna lahan.
Pembakaran bahan bakar fosil diakibatkan dari berbagai
sektor seperti pertanian, industri, energi, transportasi, dan
lain sebagainya. Kegiatan ini yang menyebabkan peningka-
tan gas rumah kaca di atmosfer, terutama carbon dioxide
(CO2), methane (NH4), dan nitrous oxide (N2O). Gas ini
memiliki kemampuan menyerap panas yang berasal dari
radiasi matahari yang dipancarkan kembali oleh bumi.
Penyerapan ini telah menyebabkan pemanasan atmosfer
atau kenaikan suhu dan perubahan iklim. Sejak revolusi
industri, penggunaan bahan bakar fosil meningkat sangat
cepat. Konsentrasi gas rumah kaca hingga saat ini telah
naik dengan tajam, di mana peningkatan pada tahun 2000
merupakan angka konsentrasi tertinggi sepanjang sejarah.
Sedangkan kegiatan kedua yang berupa perubahan guna
lahan diakibatkan dari urbanisasi perkotaan, konversi lahan
hutan, deforestisasi, yang menyebabkan berkurangnya
kapasitas lingkungan dalam menyerap gas rumah kaca.
Perubahan iklim menyebabkan suhu permukaan dunia
telah naik sekitar 0,6 derajat celcius. Konsekuensi-
konsekuensi lanjutan yang diakibatkan pemanasan global
ini kemudian dikenal sebagai dampak dari perubahan iklim.
SEMARANG City Resilience Strategy
2
Rockefeller dan ISET (2010) mendefinisikan ketahanan sebagai kemampuan sebuah sistem untuk
bertahan terhadap tekanan dan kejutan (shocks) dan kemampuan sebuah sistem memelihara
fungsinya. Kota adalah sebuah sistem yang harus dibuat tahan (resilience). Ketahanan dan adaptasi
menjadi sangat penting karena adanya kerentanan pada sistem perkotaan. Sebagai sebuah sistem,
kota terdiri dari berberapa bagian wilayah (sub-sistem) yang masing-masing memiliki fungsi dan
elemen berbeda. Sebagai sebuah sistem, setiap sub-sistem tadi saling terhubung dan secara
bersama-sama menciptakan fungsi kota. Kesalahan atau kerusakan salah satu sub-sistem perkotaan
atau satu bagian wilayah perkotaan secara ekstrim akan dapat mempengaruhi sub-sistem lainnya,
bahkan sistem secara keseluruhan. Pada dasarnya, sistem ketahanan kota diharapkan mampu
memelihara fungsi utama kota dari berbagai bentuk tekanan dan kejutan yang dihasilkan dari
dampak-dampak perubahan iklim serta mampu membuat kota pulih dengan cepat dari dampak
tersebut.
Dokumen strategi ketahanan dari sisi lain juga dapat dilihat sebagai suatu jalur yang harus ditempuh
(roadmap) untuk menyiapkan kota dalam menghadapi skenario terburuk (the worst scenario) yang
mungkin timbul dari adanya perubahan iklim. Tanpa adanya dokumen strategi ketahanan, fungsi
sistem perkotaan akan terancam begitu pula dengan kelompok-kelompok rentan yang ada.
1.2. Tujuan
Tujuan penyusunan dokumen Ketahanan Kota Semarang adalah untuk menghasilkan sejumlah
strategi ketahanan menghadapi dampak perubahan iklim yang akan terintegrasi dalam kebijakan
pembangunan kota.
1.3. Sasaran
Untuk menghasilkan strategi diatas, berikut ini adalah sejumlah sasaran yang akan dicapai:
SEMARANG City Resilience Strategy
3
1. Identifikasi kondisi eksisting dampak perubahan iklim, kerentanan, serta identifikasi kelompok
rentan di Kota Semarang
2. Pengembangan skenario perubahan iklim dan pengaruhnya di masa yang akan datang
3. Perumusan strategi ketahanan kota secara multi-dimensi
4. Penjabaran strategi ketahanan kota kedalam kegiatan atau aksi adaptasi peningkatan ketahanan
5. Prioritasi kegiatan adaptasi dan penyusunan konsep proposal prioritas
1.4. Ruang Lingkup Perencanaan
Cakupan penyusunan strategi ketahanan kota (CRS) secara garis besar akan meliputi:
Pertama, review hasil-hasil kajian dampak perubahan iklim dan kerentanan Kota Semarang. Review
ini dipertajam dengan pembahasan isu-isu perencanaan dan dinamika pembangunan kota yang
terus berubah. Oleh karena itu review terhadap perubahan iklim dan kerentanan akan tetap melihat
relevansinya dengan isu-isu aktual perencanaan dan pembangunan yang berkembang di Kota
Semarang.
Cakupan kedua merupakan bagian yang paling utama yaitu perumusan rangkaian aksi-aksi
ketahanan. Dalam perumusan ini akan dilihat kontribusi kegiatan secara kualitatif maupun kuantitatif
dalam menciptakan ketahanan kota, manfaatnya bagi kelompok rentan, peran pemerintah dan para
pihak, serta keterkaitannya dengan kegiatan lain.
Sedangkan cakupan yang ketiga adalah prioritasi dari aksi yang telah dirumuskan dan dilengkapi
dengan konsep proposal. Dalam melakukan prioritasi, tercakup perbandingan antara aktivitas
dengan kriteria prioritisasi yang telah disepakati termasuk mekanisme monitoring dan evaluasinya.
Tabel 1.1 berikut ini akan memberikan penjelasan secara sistematis tentang cakupan kegiatan
penyusunan dokumen CRS.
SEMARANG City Resilience Strategy
4
Tabel 1.1: Cakupan Dokumen CRS
Cakupan 1: Cakupan 2: Cakupan 3: Cakupan 4:
Review Kajian Dampak
dan Kerentanan Iklim
Perumusan Strategi &
Usulan Rencana Aksi
Prioritisasi Rencana Aksi Lampiran Konsep
Proposal
Sintesis dokumen
ACCCRN (VA, CBVA,
Sector Studies, Pilot)
Isu tambahan dari SLDs
Isu aktual dan dinamika
pembangunan kota
Studi penunjang
Pengembangan skenario
iklim dan kota
Rangkaian aktifitas utk
ciptakan ketahanan
Gambaran kontribusi
aktifitas usulan
Manfaat bagi kelompok
rentan
Peran stakeholders
Pengembangan kriteria
prioritisasi
Analisa perbandingan
aktivitas usulan
Identifikasi aktifitas
komplementer
Identifikasi pelaksana
Pengembangan
mekanisme monev
Outline budget aktivitas
prioritas
Penyusunan timeline
Penetapan leading
agency/ sector
Sumber: Rockefeller Foundation and ISET (2010)
1.5. Tahapan Perencanaan Strategi Ketahanan
Metodologi yang dikembangkan dalam penyusunan dokumen CRS Kota Semarang tidak jauh
berbeda dengan usulan Rockefeller Foundation dan ISET, (lihat Box 2). Hanya saja di Kota Semarang
lebih disederhanakan dan disesuaikan dengan realitas perencanaan pembangunan yang
berlangsung di daerah. Di bagian awal dimulai dengan tahap persiapan dan diikuti dengan tahap
brainstorming. Tahap selanjutnya adalah konsultasi dan prioritisasi dan diakhiri dengan tahap
penyusunan dokumen dan konsep proposal. Pendekatan umum dalam penyusunan CRS Kota
Semarang dapat dijelaskan sebagai berikut ini:
1.5.1. Persiapan.
Tahap ini serupa dengan ‘plan for planning’. Tahap ini meliputi upaya penyamaan persepsi dan
menjembatani kesenjangan pengetahuan tentang CRS diantara tim kerja kota (City Working Group/
SEMARANG City Resilience Strategy
5
CWG) dan Tim Teknis Adaptasi Perubahan Iklim Kota Semarang. Disamping itu pada tahap awal juga
dimulai dengan menghimpun dukungan dan sinkronisasi dengan penyusunan RPJM Kota
Semarang 2010-2014.
Kegiatan ini dilakukan melalui
sebuah workshop untuk
melakukan review komprehensif
atas hasil-hasil: (1) SLD; (2) Kajian
VA; (3) Sector Studies dan (4)
Pembelajaran dari Pilot Projects.
Disamping itu pada workshop
ini juga dikaji trend
pembangunan dan
perencanaan kota yang akan
mempengaruhi kegiatan
adaptasi. Pada workshop ini juga
dikenalkan tentang ketahanan
kota dan proses
penyusunannya.
Dari workshop ini kesenjangan
pengetahuan diantara CWG dan
c i t y team d ipe rkec i l dan
memperjelas kontribusi dari
masing-masing pihak dalam
rangka penyusunan CRS. Pada tahap ini juga dilakukan dengan komunikasi dan koordinasi dengan
tim penyusun RPJM Kota Semarang melalui serangkain informal workshop lanjutan.
BOX 2: TAHAPAN PENYUSUNAN CRS
!"#$%&'()*+,$-.*+,/.*+,("(*
0-123*45&6$-(*768$9-:*$%2*;15%("$<&5&-3*
=(>(5/8*?(:&5&(%9(*@9A/%:*
@%$53'(*$%2*B"&/"&A'(*!8A/%:*
0(5(9-*B"&/"&A(:*$%2*=(>(5/8*B"/8/:$5:*
7685(6(%-*:199(::C15*8"/8/:$5:*
Tahap pertama berupa plan for planning untuk mengatur sumberdaya yang harus disiapkan, mengidentifikasi siapa saja yang harus dilibatkan dalam perencanaan, dan menyiapkan mekanisme pelibatan stakeholders.
Tahap kedua berupa review terhadap dampak perubahan iklim dan kerentanan di wilayah perencanaan. Adapun tahap ketiga adalah perumusan tindakan-tindakan yang harus dilakukan dalam rangka menciptakan ketahanan.
Tahap keempat dan kelima secara beurutan adalah prioritasi rencana aksi ketahanan dan penyusunan konsep proposal dari rencana ketahanan yang terpilih. Rencana ketahanan yang terpilih karena prioritasnya yang tinggi tersebut selanjutnya diimplementasikan setelah diajukan pada pihak-pihak yang terkait, baik dari sumber pendanaan internal pemerintah kota, nasional, maupun donor internasional.
Sumber: ISET & ROCKEFELLER FOUNDATION (2010)
SEMARANG City Resilience Strategy
6
1.5.2. Brainstorming
Kegiatan kedua merupakan kegiatan yang ditujukan untuk menghasilkan strategi-strategi ketahanan
kota. Secara substansial, ketahanan kota dapat dicapai dengan berbagai kegiatan adaptasi, baik yang
bersifat fisik maupun non fisik dan dari berbagai dimensi seperti infrastruktur, lingkungan, sosial-
ekonomi, maupun kelembagaan. Namun demikian agar relevan dan memiliki basis yang kuat,
perumusan strategi dan aksi adaptasi didasarkan pada hasil skenario iklim. Oleh karena itu, kegiatan
brainstorming ini diwujudkan dalam serial workshop. Pada seri yang pertama, workshop diarahkan
untuk mengembangkan skenario iklim dengen mempertimbangkan kecenderungan
pembangunan kota. Sedangan pada seri kedua, workshop diarahkan untuk merumuskan strategi
dan aksi ketahanan secara multi-sektor yang didasarkan atas skenario iklim yang dihasilkan.
1.5.3. Konsultasi dan Prioritisasi
Kegiatan ketiga ini merupakan kegiatan yang ditujukan untuk melakukan verifikasi dari kegiatan
perumusan strategi dan aksi adaptasi peningkaan ketahanan. Disamping itu tahap ini juga
dimaksudkan untuk memperoleh legitimasi dari kelompok target dan expert di masing-masing
bidang. Dalam tahap ini tercakup pula workshop prioritisasi strategi dan aksi adaptasi perubahan
iklim. Metoda Qualitative Cost and Benefit Analysis (QualCBA) diterapkan untuk kegiatan prioritisasi
ini.
1.5.4. Finalisasi Dokumen Ketahanan
Kegiatan ini adalah kegiatan teknis yang terakhir dalam rangka penyusunan dokumen CRS
Semarang. Penyusunan strategi ketahanan kota diintegrasikan dengan penyusunan dokumen
perencanaan normatif (dalam hal ini RPJPD dan RPJMD) dan tetap konsisten terhadap dokumen
lainnya (seperti RTRW Kota). Diharapkan hasil akhir tidak saling berbenturan dan selanjutnya dapat
digunakan oleh instansi pemerintah dalam penjabaran kegiatan tahunan. Dalam finalisasi ini juga
tercakup penyusunan konsep proposal dari strategi atau aksi adaptasi peningkatan ketahanan.
Dalam dokumen CRS ini konsep proposal adalah lampiran yang dapat didetailkan sebagai suatu
proposal yang dapat diajukan oleh berbagai pihak yang terlibat dalam penyusunan CRS ke
pemerintah daerah, pusat, maupun donor internasional. Konsep proposal akan mencakup aktivitas
SEMARANG City Resilience Strategy
7
prioritas, budget yang dibutuhkan, timeline atau jadwal kerja, dan pihak yang bertanggung jawab
(PIC). Dengan demikian, strategi ketahanan akan terdiri dari serangkaian aksi adaptasi dan dilengkapi
dengan proposal aksi adaptasi prioritas. Dan yang tidak kalah penting, strategi ketahanan kota
adalah dokumen yang dapat menghubungkan dan mengkoordinasikan kegiatan tambahan untuk
pendanaan donor. Dari penjelasan diatas maka tahapan penyusunan CRS di Kota Semarang dapat
diilustrasikan pada Gambar 1.1 berikut ini.
Gambar 1.1: Pendekatan Penyusunan CRS Kota Semarang
Persiapan!• Penyamaan persepsiantara
CWG dan Tim Kota!• Koordinasi dengan
penyusunan RPJM!
Brainstorming!• Pengembangan skenario
iklim dan pembangunan kota!• Perumusan strategi dan aksi
adaptasi!
Konsultasi dan Prioritisasi!• Workshop dengan target
group dan expert!• Prioritisasi!
Finalisasi!• Penulisan dokumen!• Penyusunan konsep proposal!
1.6. Sistematika Dokumen Strategi Ketahanan Kota SemarangDokumen Strategi Ketahanan Kota Semarang terdiri atas 6 Bab. Setelah pengantar ini bagian kedua
berisi tentang deskripsi kerentanan Kota Semarang terhadap perubahan iklim yang didalamnya akan
mencakup skenario perubahan iklim di Kota Semarang, dampaknya terhadap sistem internal kota,
SEMARANG City Resilience Strategy
8
dan deskripsi terhadap kelompok rentan. Selanjutnya, bagian ketiga dari laporan ini akan
mendiskripsikan arah dan kebijakan pembangunan kota yang didalamnya mencakup kebijakan yang
sudah ada dalam merespon dampak perubahan iklim dan isu-isu aktual dan dinamika
pembangunan Kota Semarang sebagai dasar pengembangan skenario kota.
Bagian keempat berisi tentang pengembangan skenario iklim dan skenario pembangunan Kota
Semarang. Dari pengembangan skenario ini kemudian disintesis isu terkait dan cakupan sektor
perubahan iklim di Kota Semarang. Bagian kelima berisi penjabaran strategi dan aksi ketahanan yang
diturunkan dari pengembangan skenario. Penjabaran tersebut dirinci dikelompokkan berdasarkan
sektor terkait dan diikuti dengan prioritasi. Bagian terakhir berisi kerangka monitoring dan evaluasi
bagi strategi ketahanan kota yang diusulkan.
SEMARANG City Resilience Strategy
9
2. Kerentanan Kota Semarang
2.1. Trend Perubahan Iklim di Kota Semarang
Skenario perubahan iklim di Kota Semarang akan ditinjau dari temperatur, curah hujan, kenaikan
muka air laut, dan pola angin. Skenario ini berbasis dari kajian kerentanan (VA) dan didukung dari
studi perubahan iklim di wilayah pantai utara jawa (DKP, 2008).
2.1.1. Temperatur
Berdasarkan data suhu CRU TS2.0 yang diambil untuk Semarang, CC-ROM IPB (2010) menemukan
adanya peningkatan tren selama 100 tahun terakhir di setiap musim (Gambar 2.1). Pada musim
basah (DJF), suhu rata-rata meningkat dari 25,9 ke 26,3 derajat C. Sementara pada musim kering (JJA)
suhu meningkat dari 25.3 ke 26.3 derajat C.
Gambar 2.1: Temperatur Rata-Rata di Kota Semarang Tahun 1902-2002 (CCROM IPB, 2010: 44)
!
""!!
Gambar 3.7.
Komponen frekuensi rendah dari CH musiman di Semarang yang ditentukan oleh 13 tahun moving average.
3.2.2. Tren Suhu
Berdasarkan data suhu CRU TS2.0 yang diambil untuk Semarang, kami menemukan adanya peningkatan tren di setiap musim (Gambar 3.8). Peningkatan tren ini juga berkaitan dengan adanya peningkatan tren suhu maksimum harian (Gambar 3.9). Selain itu, kami menemukan terjadinya kisaran suhu harian (Daily Temperature Range, DTR) yang menunjukkan tren menurun (Gambar 3.9). Hal ini terkait dengan tentunya terkait dengan peningkatan tren suhu harian minimum yang lebih tajam dibandingkan dengan peningkatan tren suhu harian maksimum.
Gambar 3.8.
Trend suhu rata-rata untuk setiap musim di kota Semarang (110.25E-110.51E, 7.12S-6.95S) diekstraksi dari data CRU TS2.0.
SEMARANG City Resilience Strategy
10
Peningkatan tren ini juga berkaitan dengan adanya peningkatan tren suhu maksimum harian (lihat
Gambar 2.2). Pada msuim basah (DJF) suhu rata-rata maximum meningkat dari 31,4 ke 31,9 derajat
C., sedangkan di musim kering suhu rata-rata maksimum meningkat dari 31,2 ke 32,2 derajat C.
Selain itu,ditemukan pula terjadinya kisaran suhu harian (Daily Temperature Range) yang
menunjukkan tren menurun (Gambar 2.3) yang mengindikasikan bahwa peningkatan tren suhu
harian minimum yang terjadi lebih cepat dibandingkan dengan peningkatan tren suhu harian
maksimum.
Gambar 2.2: Temperatur Rata-Rata Maximum di Kota Semarang Tahun 1902-2002 (CCROM IPB, 2010: 45)!
"#!!
Gambar 3.9.
Trend musiman suhu harian maksimum di kota Semarang (110.25E-110.51E, 7.12S-6.95S) diekstraksi dari data CRU TS2.0.
Gambar 3.10.
Trend musiman rentang suhu harian di kota Semarang (110.25E-110.51E, 7.12S-6.95S) diekstraksi dari data CRU TS2.0.
3.3. Analisis proyeksi perubahan iklim Proyeksi iklim masa depan ditentukan berdasarkan data historis hasil
permodelan dengan menggunakan RegCM3 juga data proyeksi luaran 14 GCMs yang terdiri dari: (i) bccr_bcm2_0, (ii) cccma_cgcm3_1, (iii) cnrm_cm3, (iv) gfdl_cm2_0, (v) gfdl_cm2_1, (vi) giss_model_e_r, (vii) inmcm3_0, (viii) ipsl_cm4, (ix) miroc3_2_medres, ( x) miub_echo_g, (xi) mpi_echam5, (xii) mri_cgcm2_3_2a, (xiii) ukmo_hadcm3, dan (xiv) ukmo_hadgem1. Data luaran GCM tersebut diperoleh
SEMARANG City Resilience Strategy
11
Gambar 2.3: Tren Penurunan DTR di Kota Semarang Tahun 1902-2002 (CCROM, 2010: 42)
42
Figure 3.9: Trends of seasonal daily maximum temperature in Semarang city (110.25E-110.51E, 7.12S-6.95S) extracted from CRU TS2.0 dataset.
Figure 3.10: Trends of seasonal daily temperature range in Semarang city (110.25E-110.51E, 7.12S-6.95S) extracted from CRU TS2.0 dataset.
3.3 Climate Change Projections
Projection of climate to future was developed using REGional Climate Model version 3 (RegCM3) model and 14 GCMs. The 14 GCMs include (i) bccr_bcm2_0, (ii) cccma_cgcm3_1, (iii) cnrm_cm3, (iv) gfdl_cm2_0, (v) gfdl_cm2_1, (vi) giss_model_e_r, (vii) inmcm3_0, (viii) ipsl_cm4, (ix) miroc3_2_medres, (x) miub_echo_g, (xi) mpi_echam5, (xii) mri_cgcm2_3_2a, (xiii) ukmo_hadcm3, and (xiv) ukmo_hadgem1. These GCM outputs were provided by NIES (National Institute for Environmental Studies Japan; Masutomi, 2009) . The resolution is 1 degree and the climate variables are precipitation and temperature with 2021 -2030, 2051-2060, and 2081-2085.
Adapun dalam 30 tahun terakhir ini kondisi temperatur rata-rata bulanan di wilayah Semarang dapat
dilihat pada Gambar 2.4. Temperatur rata-rata bulanan dari tahun 1977 sampai dengan 2007
mengalami kenaikan (DKP, 2008). Persamaan linear yang didapatkan dari grafik tersebut adalah Y =
0,0017X + 27.16 (dimana x = bulan ke-x dimulai dari januari 1977). Dari persamaan tersebut dapat
diketahui bahwa kenaikan temperatur rata-rata bulanan selama 3 dekade terakhir sekitar 0.62°C
atau 0,02°C/tahun.
Gambar 2.4: Trend Kenaikan Temperatur di Wilayah Kota Semarang (DKP, 2008)
BAB IV HASIL DAN ANALISA DATA 4 - 4
Laporan Pertengahan PT. Pillar Nugraha Consultants
Strategi Adaptasi Dan Mitigasi Bencana Pesisir Akibat Perubahan Iklim Terhadap Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil
Gambar 4.1.5 Temperatur rata – rata bulanan di wilayah Tegal, Prov. Jawa Tengah
(tahun 1980 – 2008)
Gambar 4.1.6 Temperatur rata – rata bulanan di wilayah Semarang, Prov. Jawa Tengah
(tahun 1977 – 2008)
Kondisi temperatur rata – rata bulanan di wilayah Semarang dapat dilihat pada gambar di
bawah ini, dari gambar tersebut diketahui bahwa temperatur rata – rata bulanan tahun
1977 sampai dengan 2007 mengalami kenaikan. Persamaan linear yang didapatkan dari
grafik tersebut adalah Y = 0,0017X + 27,16 (dimana x = bulan ke-x dimulai dari januari
1977). Dari persamaan tersebut dapat diketahui bahwa kenaikan temperatur rata – rata
bulanan selama 30 tahun tersebut adalah 0,62°C atau 0,02°C/tahun. Perubahan
!"#$%
!&#$%
!'#$%
!(#$%
!)#$%
*$#$%
*+#$%
!"#"
$%&'($
)*#"+$
!"%
!&%
!'%
!(%
!)%
*$%
*+%
!"#"
$%&'($
)*#"+$
Y = 0,0018X + 26,71 R! = 0,078
Y = 0,0017X + 27,16 R! = 0,066
SEMARANG City Resilience Strategy
12
Perubahan temperatur udara di wilayah Semarang ini diperkirakan akan semakin meningkat, Bahkan
untuk 100 tahun mendatang diperkirakan temperatur udara di wilayah ini akan naik 2.7°C dari
temperatur 2007. Sementara itu studi yang dilakukan oleh CCROM-IPB (2010) menyebutkan bahwa
peningkatan temperatur diperkirakan berkisar antara 0.5-0.7°C di tahun 2025; antara 1.1-1.2°C di
tahun 2050; dan antara 1.9-2.9°C di tahun 2100. Prediksi tersebut adalah nilai relatif terhadap suhu
di 2002. Terdapat selisih perbedaan yang tipis antara analisis skenario perubahan temperatur.
Tabel 2.1: Skenario Perubahan Temperatur di Kota Semarang (CCROM IPB, 2010)
2000 2025 2050 2100
SRESA2: moderat 0.2 0.5 1.2 2.9
Range 0.15-0.25 0.3-0.7 0.8-1.6 2.0-4.1
SRESB1: moderat 0.2 0.7 1.1 1.9
Range 0.15-0.25 0.5-0.9 0.7-1.6 1.2-2.27
Perubahan temperatur sebagaimana diindikasikan pada analisisl diatas akan memberikan peluang
perubahan intensitas presipitasi terutama pada musim hujan yang diprediksikan akan semakin
meningkat.
2.1.2. Curah Hujan
Berdasarkan rekaman data hujan dalam 100 tahun CRU TS2.0 dataset, diketahui bahwa curah hujan
di Kota Semarang meningkat dari 950 menjadi 1000 mm, sementara pada SON, curah hujan
meningkat dari 250 menjadi 300 mm (lihat Gambar 2.5). Tren peningkatan curah hujan selama
musim penghujan (SON dan DJF) diasosiasikan dengan peningkatan frekuensi jumlah hari hujan
pada musim tersebut, dari 44 menjadi 47 hari pada SON dan dari 67 menjadi 68 hari pada DJF (lihat
Gambar 2.6). Hal ini mengindikasikan bahwa peningkatan curah hujan selama abad 20 di Kota
Semarang disebabkan oleh hujan yang datang lebih sering dan meningkatkan peluang terjadinya
banjir di Semarang.
SEMARANG City Resilience Strategy
13
Sebaliknya, terdapat tren penurunan pada musim kering (MAM) yang mengindikasikan penurunan
frekuensi hari hujan dari 70 menjadi 67 hari. Hal ini diasosiasikan dengan peluang datangnya musim
kering yang lebih cepat (lihat Gambar 2.5 dan 2.6). Sedangkan frekuensi hari hujan pada JJA
menunjukkan tren yang relatif datar, yaitu sekitar 40 hari dengan trend yang meningkat tipis.
CCROM-IPB (2010) memberikan analisa ambang batas (threshold) atas kondisi curah hujan di Kota
Semarang dan menyimpulkan bahwa banjir akan terjadi jika curah hujan berada diatas angka 302
mm, sedangkan akan mengalami kekeringan jika curah hujan kurang dari 84 mm. Namun
sayangnya, proyeksi yang akan datang terhadap curah dan dan jumlah hari tidak tersedia di Kota
Semarang. Laporan ini selanjutnya mengasumsikan bahwa musim kering akan meningkat satu
bulan lebih lama dari tren saat ini dan musim hujan akan meningkat sampai dengan 2 bulan lebih
lama dari tren saat ini.
Gambar 2.5: Tren Curah Hujan Musiman 100 tahun di Kota Semarang (CCROM IPB, 2010: 42)!
"#!!
Gambar 3.5.
Tren musiman CH di kota Semarang (110.25E-110.51E, 7.12S-6.95S) diekstraksi dari data CRU TS2.0.
Selain analisis tren CH di atas, kami juga menganalisa tren frekuensi hari
hujan dalam skala musiman. Data yang digunakan juga berasal dari data CRU TS2.0. Gambar 3.6 menunjukkan tren frekwensi hari hujan serupa dengan tren CH (Gambar 3.5) untuk semua musim kecuali JJA. Tren CH yang menaik selama musim basah (SON dan DJF) terkait dengan kecenderungan peningkatan frekuensi hari hujan di musim yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa tren peningkatan CH selama abad ke-20 di kota Semarang disebabkan oleh hujan yang datang lebih sering sehingga berpotensi meningkatkan peluang banjir di wilayah ini. Sebaliknya, tren menurun yang muncul pada MAM menunjukkan penurunan frekuensi hari hujan yang berhubungan dengan peningkatan peluang musim kemarau yang datang lebih awal. Khusus untuk frekuensi hari hujan selama JJA, terlihat tren yang relatif datar dengan peningkatan yang sangat lambat.
SEMARANG City Resilience Strategy
14
Gambar 2.6: Tren Frekuensi Jumlah Hari Hujan 100 tahun di Kota Semarang (CCROM, 2010: 43)!
"#!!
Gambar 3.6
Tren frekuensi hari hujan skala musiman di kota Semarang (110.25E-110.51E, 7.12S-6.95S) yang dianalisa dari data CRU TS2.0.
Berdasarkan hasil yang ditunjukkan pada Gambar 3.5 terkait dengan tren
signifikan yang ditemukan pada data CH, jelas bahwa pemanasan global mempunyai peran penting dalam perubahan ini. Selain itu, osilasi frekuensi rendah yang ditemukan pada data CH kemungkinan besar terkait dengan pengendali iklim frekuensi rendah di wilayah Indo-Pasifik seperti Interdecadal Pacific Oscillation (IPO, Folland et al. 1999) atau Pacific inter-Decadal Oscillation (PDO, Mantua & Hare 2002; Mantua et al. 1997). Beberapa studi telah menunjukkan hubungan yang kuat antara fenomena keragaman iklim antar-dekadal dengan perubahan intensitas dan frekuensi ENSO (Saji & Yamagata 2003; Salinger et al. 2001; Wang et al. 2008; Barnett et al., 1999, White & Cayan, 2000). Selama fase negatif PDO/IPO, jumlah peristiwa La Nina meningkat cukup signifikan dibandingkan dengan El Nino, seperti yang terjadi pada periode antara 1948-1976. Sebaliknya, selama fase positif, contohnya pada periode 1972-1990-an, jumlah kejadian El Nino meningkat lebih banyak dibandingkan La Nina.
Studi ini menekankan bahwa perubahan curah hujan jangka panjang yang
terjadi di kota Semarang tidak hanya dipengaruhi oleh faktor perubahan iklim, tetapi juga oleh fenomena pengendali keragaman iklim frekuensi rendah. Oleh karena itu, diperlukan kehati-hatian dalam menentukan analisis tren terutama jika ditujukan untuk analisa dampak perubahan iklim, karena penggunaan rentang data yang pendek bisa menyebabkan kesalahan analisa. Jika kedua komponen ini, yaitu perubahan iklim dan keragaman iklim frekuensi rendah, terus menunjukkan perubahan di masa akan datang dibandingkan kondisi saat ini, hal ini dapat menyebabkan ketidakpastian pada perubahan CH hujan yang mungkin terjadi di kota Semarang. Gambar 3.7 menunjukkan komponen frekuensi rendah ditentukan oleh rataan bergerak sederhana (simple moving average) dari data CH bulanan.
2.1.3. Peningkatan Paras Air Laut
Perairan Semarang terus mengalami kenaikan muka air laut dari tahun 1985 sampai dengan tahun
2008 (Gambar 2.7). Kenaikan muka air laut di Perairan Semarang dari tahun 1985-1998 adalah 58,2
cm, dengan rata-rata kenaikan muka laut tiap tahun sebesar 4,47 cm/tahun (DKP, 2008). Selanjutnya
pada tahun 1998-2003 permukaan laut mengalami penurunan. Akan tetapi penurunan muka air laut
yang terjadi dari tahun 1998-2003 dianggap tidak valid.1 Berdasarkan data muka air dari tahun
2003-2008 diketahui kembali adanya tren kanaikan muka air laut (Gambar 2.7). Sedangkan untuk
kenaikan muka air laut di Perairan Semarang dari tahun 2003 -2008 adalah 37,2 cm, dengan rata-rata
kenaikan muka laut tiap tahun sebesar 7,43 cm/tahun (DKP, 2008).
SEMARANG City Resilience Strategy
15
1 Diduga alat pengukur pasut telah mengalami koreksi, yaitu dinaikkannya posisi rambu pasut karena tenggelamnya rambu pasut tersebut akibat naiknya muka air laut. Selain itu juga kemungkinan disebabkan oleh rusaknya alat pengukur pasut
Gambar 2.7: Kenaikan Muka Air Laut Perairan Semarang 1985-2008
Sumber: Data Bakosurtanal, 2002 diolah DKP (2008)
Untuk mengetahui nilai kenaikan muka air laut akibat pengaruh pemanasan global di Perairan
Semarang, maka perhitungan yang digunakan yaitu menghitung selisih antara nilai kenaikan muka
air laut total dengan nilai penurunan tanah pada lokasi stasiun pasang surut. Data kenaikan muka air
laut adalah data tahun 1985-1998 dan 2003-2008. Perhitungan kenaikan muka air laut akibat
pemanasan global dengan mempertimbangkan penurunan tanah dilokasi pengukuran sebesar
5.165 cm/ tahun, maka kenaikan muka air laut akibat pemanasan global adalah sekitar 7.8 mm/
tahun.2
Sementara itu Kajian VA mengestimasikan bahwa peningkatan paras muka air laut rata- rata
diperkirakan sekitar 21 cm di tahun 2050; dan 48-60 cm pada tahun 2100. Berikut ini adalah tabel
skenario perubahan iklim yang diperoleh sebelumnya dari kajian kerentanan di Kota Semarang
(CCROM IPB, 2010).
SEMARANG City Resilience Strategy
162 4.47+7.432 cm/tahun - 5.165 cm/tahun = 0.78 cm/tahun = 7.8 mm/tahun
Tabel 2.2: Skenario Perubahan Ketinggian Sea Level Rise di Kota Semarang (CCROM IPB, 2010)
2000 2025 2050 2100
SRESA2: moderate 2 10 21 60
Range 0-4 4-20 9-41 15-112
SRESB1: moderate 2 10 21 48
Range 0-4 4-22 9-42 18-85
Sumber: CCROM-IPB (2010)
Estimasi SLR yang dilakukan oleh DKP sedikit lebih pesimistik dari estimasi CCROM-IPB, dengan
selisih sekitar 20 cm pada 100 tahun yang akan datang. Walau demikian, DKP memberikan analisis
spasial yang jauh lebih lengkap tentang konsekuensi perubahan tersebut. Dengan estimasi kenaikan
muka air laut sebesar 0.8 m untuk 100 tahun mendatang maka diperkirakan genangan rob di Kota
Semarang akan mencapai jarak berkisar antara 1.7-3.0 km ke arah darat, dimana total luas
genangannya mencapai 8537,9 Ha.
Gambar 2.8 (a): Area Genangan Rob di Kota Semarang 100 tahun mendatang dengan Estimasi SLR 80 cm
SEMARANG City Resilience Strategy
17
Gambar 2.8 (a) menunju-
kan simulasi genangan
akibat SLR pada 100
tahun yang akan datang
di Kota Semarang. Warna
biru tua di sebelah timur
dan barat merepresenta-
sikan 20 cm genangan.
Seiring berjalannya waktu,
area berwarna biru se-
makin bertambah. Area
biru paling muda
merepresentasikan 80 cm
genangan. Gradasi biru
diantaranya merepresen-
tasikan 40 cm dan 60 cm
genangan akibat SLR.
Gambar 2.8 (a): Area Genangan Rob di Kota Semarang 100 tahun mendatang dengan Estimasi SLR 80 cm BAB IV HASIL DAN ANALISA DATA 4 - 38
L A P O R A N A K H I R
Strategi Adaptasi Dan Mitigasi Bencana Pesisir Akibat Perubahan Iklim Terhadap Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil
Gambar 4.2.17 Area genangan rob di Kota Semarang pada 100 tahun mendatang dengan
estimasi kenaikan muka air laut sebesar 0,8 m
18. Kenaikan Muka Air Laut di Kabupaten Demak
Dengan estimasi kenaikan muka air laut sebesar 0,8 m untuk 100 tahun mendatang
maka diperkirakan genangan rob di Kabupaten Demak akan mencapai jarak berkisar
antara 2,70 – 8,50 km ke arah darat, dimana total luas genangannya mencapai 14.682,1
Ha. Sektor yang terkena dampak terbesar dari kenaikan muka air laut tersebut adalah
sektor perikanan (tambak) dan pertanian. Area pemukiman dimana area pemukiman
yang akan terkena dampak mencapai 440,3 Ha atau 13.209 unit rumah.
Sumber: DKP (2008)
2.1.4. Pola Angin
Kajian DKP (2008) menyebutkan bahwa distribusi arah datang angin rata-rata di Kota Semarang dari
tahun 1977 sampai dengan tahun 2008 tidak didominasi dari arah tertentu karena persentase
distribusi anginnya hampir sama (untuk arah angin sebagian besar berasal dari arah Barat Laut, Utara,
Timur dan Tenggara). Kecepatan angin terbanyak dari tahun 1980 hingga 2008 berkisar antara 1-3
m/det (75,2%). Disamping itu, DKP (2008) membagi musim di Kota Semarang yang terdiri atas 4
musim, yaitu Musim Barat, Musim Peralihan 1, Musim Timur dan Musim Peralihan 2.
Pada Musim Barat kondisi angin yang dominan datang dari arah Barat-Baratlaut dan didominasi oleh
angin dengan kecepatan antara 1-3 m/detik (70%).. Pada Musim Peralihan 1, arah kedatangan angin
terbesar dari arah Utara, Timur dan Tenggara. Kisaran kecepatan angin rata -rata yaitu 1-3 m/det
(70,7%).
SEMARANG City Resilience Strategy
18
Gambar 2.8 (b) mengilus-
trasikan kisaran proyeksi
dari tekananSLR di wi-
layah Kota Semarang.
Desakan SLR ke daratan
bervariasi diantara 1,7
Km (terdendek) hingga
3.2 Km (terjauh) di bagian
utara Kota Semarang.
Gambar 2.9: Data Kecepatan Angin di Kota Semarang 1994-1999 (CCROM IPB, 2010)
!
"#!!
angin kencang. Berdasarkan rekam data harian yang dikumpulkan dari stasiun cuaca di Semarang dan Ahmad Yani, kecepatan angin ekstrim cenderung terjadi secara lokal (Gambar 3.2). Di stasiun Semarang, kecepatan angin ekstrim di atas 60 km/jam (17,2 m/s atau 62 km/jam) terjadi pada tanggal 15 Juni 1994, sementara kecepatan angin tertinggi di stasiun Ahmad Yani terjadi pada 5 Maret 1995 (12,5 m s atau 45 km/jam). Karena keterbatasan data, sulit untuk menganalisis acara ekstrim ini, terutama dalam mendefinisikan periode perulangan.
Gambar 3.2.
Kecepatan angin harian di dua stasiun pengamatan di kota Semarang, a) Stasiun Semarang, b) Stasiun Ahmad Yani, dan c) rataan kedua stasiun (1 Januari 1994 - 31
Desember 1999).
Sumber: CC-ROM, 2010: 39
SEMARANG City Resilience Strategy
19
Pada Musim Timur, angin dominan berhembus dari arah Timur dan Tenggara. Kondisi angin dari
arah Timur berhembus lebih kencang dari pada angin yang berasal dari arah Tenggara. Kisaran
kecepatan angin rata-rata yaitu 1-3 m/det (77,9%). Pada Musim Peralihan 2, kondisinya hampir sama
dengan Musim Peralihan 1, hanya distribusi angin terbanyak datang dari empat arah yaitu Barat Laut,
Utara, Timur dan Tenggara. Kisaran kecepatan angin rata -rata yaitu 1-3 m/det (78,4%). Secara umum
tidak ada perubahan yang signifikan pada pola angin di Kota Semarang, dimana arah angin yang
dominan dari tahun 1977-2008 adalah angin yang datang dari arah Timur dan Tenggara.
Selain pengaruh peristiwa iklim ekstrim yang disebabkan oleh keragaman iklim antar tahun, Kota
Semarang juga dipengaruhi kondisi cuaca ekstrim, seperti angin kencang. Berdasarkan rekam data
harian yang dikumpulkan dari stasiun cuaca di Semarang dan Ahmad Yani, CCROM IPB (2010)
menyatakan bahwa kecepatan angin ekstrim cenderung terjadi secara lokal (Gambar 2.9). Di stasiun
Semarang, kecepatan angin ekstrim di atas 60 km/jam (17,2 m/s atau 62 km/jam) terjadi pada
tanggal 15 Juni 1994, sementara kecepatan angin tertinggi di stasiun Ahmad Yani terjadi pada 5
Maret 1995 (12,5 m s atau 45 km/jam).
2.2. Wilayah Rentan dan Dampaknya
Kajian kerentanan masyarakat yang telah dilakukan sebelumnya juga mengindikasikan sejumlah
karakteristik wilayah rentan di Kota Semarang. Wilayah rentan dan dampaknya yang terjadi dapat
dikelompokkan sebagai berikut (Mercy Corps, 2009):
1. Kawasan dataran rendah pesisir yang terekspose bajir dan kenaikan permukaaan laut
2. Pemukiman bantaran sungai yang terekspos banjir
3. Lereng bukit yang terekspos angin kencang
4. Kawasan yang terekspos pergerakan tanah dan longsor
5. Kawasan permukiman di pinggiran yang jauh dari sumber air
SEMARANG City Resilience Strategy
20
Adapun kategori kawasan lain yang penting untuk dipertimbangkan sebagai kawasan yang rentan
memiliki pengaruh secara luas terhadap Kota Semarang diantaranya adalah (Setiadi dan Kunarso,
2009):
6. Kawasan simpul-simpul pergerakan (yang terdiri atas bandara, pelabuhan, stasiun kereta, dan
terminal)
7. Kawasan fungsional perkotaan (dengan penekanan pada kawasan perdagangan dan industri)
8. Kawasan bersejarah dan aset budaya (kawasan kota lama Semarang)
Berikut ini adalah penjelasan dari masing-masing wilayah rentan tersebut diatas
2.2.1. Dataran Rendah Pesisir yang Terekspos Banjir dan Kenaikan Air Laut
Kawasan permukiman yang berada di wilayah pesisir terancam genangan sebagai akibat kenaikan
muka air laut. Kawasan tersebut saat ini dihuni hampir 300 ribu penduduk Kota Semarang.
Diperkirakan total luasan yang akan tergenang hampir 7.500 Hektar. Berikut ini adalah kelurahan-
kelurahan dan total luasan di setiap kecamatan yang akan tergenang sebagai akaibat kenaikan SLR:
Tabel 2.3: Estimasi Wilayah Permukiman yang akan Tergenang sebagai Akibat SLR
Kecamatan Kelurahan Area Tergenang
(Ha)
% Area thd
Kecamatan
GenukTrimulyo, Terboyo Wetan, Terboyo Kulon, Muktiharjo
Lor, Genuksari, Gebangsari, Bangetayu Kulon1892.4 1.65
Tugu Mangkang Kulon, Mangunharjo, Jerakah, Tugurejo 1952.1 0.56
Semarang Utara
Panggung Lor, Panggung Kidul, Bulu Lor, Purwosari,
Plombokan, Bandatharjo, Kuningan, Dadapsari,
Tanjung Emas, Plombokan, Panggung Kidul,
1481.2 4.95
Semarang BaratKarang Ayu, Tawangsari, Tawang Mas, Gisikdrono,
Krobokan, Tambakharjo, Krobokan, 1287.1 2.22
Gayamsari Kaligawe, Tambak Rejo, Sawah Besar 257.3 0.98
SEMARANG City Resilience Strategy
21
Kecamatan Kelurahan Area Tergenang
(Ha)
% Area thd
Kecamatan
Semarang Timur Kemijen, Mlatibaru 184.7 0.23
Pedurungan Muktiharjo Lor, Muktiharjo Kidul 431.7 0.12
Semarang Tengah Pandansari, Purwodinatan 280.1 0.13
TOTAL 7487 10.85
Sumber: Setiadi dan Kunarso (2009)
Demikian pula dengan kawasan tambak di Kota Semarang juga akan tergenang sebagai akibat
kenaikan muka air laut. Luas kawasan tambak di Kota Semarang yang akan tergenang diperkirakan
seluas 44,5 Ha. Hal tersebut tidak menutup kemungkinan bahwa sektor perikanan Kota Semarang
akan mengalami penurunan produksi. Penurunan produksi pada sektor perikanan juga akan
memberi dampak turunan pada penduduk yang bermatapencaharian sebagai petambak. Saat ini
sekitar 2.500 penduduk Kota Semarang (tidak termasuk anggota keluarganya) yang memiliki mata
pencaharian sebagai petambak akan terancam kehilangan pekerjaannya. Informasi tentang jumlah
orang yang mengungsi akibat SLR tidak tersedia. Namun, data migrasi dalam 5 tahun terakhir
menunjukkan suatu penurunan angka migrasi di wilayah pesisir Kota Semarang.
Gambar 2.10: Net Migrasi di Wilayah Pesisir Kota Semarang (Tahun 2003-5 dan 2007-8)
!"###$
!%##$
#$
%##$
"###$
"%##$
&###$
&%##$
"$ &$ '$ ($ %$
)*+,$"$ )*+,$&$ )*+,$'$
Sumber: Setiadi dan Kunarso (2010)
SEMARANG City Resilience Strategy
22
Gambar 2.10 menunjukkan tren penurunan net-migrasi
dari area Kota Semarang yang potensial tergenang akibat
SLR. Unit data yang digunakan adalah data tingkat kelu-
rahan dari BPS (2003-2008). Zone 1 terdiri dari beberapa
kelurahan yang saat ini mengalami genangan. Sementara
itu, zone 2 dan 3 terdiri dari kelurahan yang akan terge-
nang SLR dalam jangka menengah (SLR 35 cm) dan
jangka panjang (SLR 65 cm).Sejak tahun 2005 (axis 3),
net-migrasi telah menurun yang mengindikasikan bahwa
semakin sedikit orang datang untuk menetap pada ketiga
area tersebut. Disamping itu, mungkin untuk menyatakan
bahwa area tersebut tidak menarik bagi migrasi. Bahkan
di beberapa kelurahan memiliki net-migrasi yang negatif.
Gambar 2.11: Dampak Kenaikan SLR di Kota Semarang
SEMARANG City Resilience Strategy
23
Studi valuasi ekonomi juga telah dilakukan secara umum oleh DKP (2008). Adapun studi secara detail
pada kawasan padat permukiman Kota Semarang telah dilakukan oleh yayasan Bintari (2007) dan
diperbaharui oleh Sectoral Studies Mercy Corps (2010). Berikut ini adalah gambaran kerugian
sebagai akibat kenaikan muka air laut dan banjir di Kota Semarang
Tabel 2.4: Valuasi Ekonomi Kerusakan di Wilayah Pesisir Secara Umum (Studi DKP, 2008)
Jenis Kegiatan Dampak Kerugian Ekonomi (Rp)
Ekosistem Mangrove Hektar 729.351.612*
Pertamabakan 2.889 Hektar 110.937.600.000
Lahan Sawah 902 Hektar 29.221.560.000
Permukiman 10.425 Rumah 208.500.000.000
Infrastruktur 2,27 Km 5.602.961.405
Keterangan: * dihitung dari total nilai ekonomi (Per Ha/Thn)
Tabel 2.5: Kerugian Rata-Rata Tahunan Tiap Responden Akibat Banjir dan Rob di Kelurahan Kemijen
Aspek Penilaian Tahun 2007 (Rupiah) Tahun 2010 (Rupiah)
Permukiman 5.000.000 5.004.000
Produktivitas 1.000.000 10.800.000
Pendidikan 0 1.110.000
Kesehatan 0 1.440.000
TOTAL 6.000.000 18.354.000
Sumber: Bintari (2007) dan PLRT FT UNDIP (2010)
SEMARANG City Resilience Strategy
24
Kerugian ekonomi pada sektor pendidikan dan kesehatan yang tidak ditekankan pada studi di tahun 2007, dilakukan melalui studi sek-
tor tahun 2010. Studi terakhir tsb mengkalkulasi kerusakan peralatan sekolah dan penambahan biaya transport untuk anak-anak yang
sekolah diluar Kelurahan Kemijen. Adapun kerugian ekonomi pada sektor kesehatan dihitung dari pengeluaran masyarakat untuk pera-
watan kesehatan yang mengikuti setelah kejadian banjir. Kerugian produktivitas dihitung dari hilangnya pendapatan langsung akibat
banjir. Perbedaan kerugian produktivitas dari studi 2007 dan 2010 sangat berbeda akibat hilangnya hari kerja akibat banjir meningkat
signifikan dan disisi lain rata-rata pendapatan masyarakat di Kelurahan Kemijen relatif stagnan.
2.2.2. Wilayah Permukiman di Bantaran Sungai
Kawasan permukiman yang berada di wilayah bantaran sungai juga tergolong sebagai wilayah yang
rentan . Berikut ini adalah peta kawasan permukiman yang berada di sekitar bantaran sungai-sungai
utama di Kota Semarang.
Gambar 2.12: Wilayah Permukiman di Bantaran Sungai Kota Semarang
SEMARANG City Resilience Strategy
25
2.2.3. Kawasan Lereng Perbukitan yang Rawan Terhadap Angin Kencang
Sebagai akibat terjadinya cuaca ekstim, angin kencang juga sering memberikan ancaman kawasan-
kawasan di Kota Semarang. Tidak ada catatan yang akurat tentang intensitas peristiwa ini. Kejadian
angin kencang ditemui di wilayah perbukitan Kecamatan Tembalang yaitu di Kelurahan
Sendangguwo, Bulusan, dan Tandang. Sedangkan di wilayah dataran rendah angin kencang pernah
terjadi di kelurahan Tugurejo, Kecamatan Tugu dan Kelurahan Tanjung Mas, Kecamatan Semarang
Utara. Namun demikian, kejadian angin ribut yang paling intens terdapat di Kelurahan Tandang.
Gambar 2.13: Wilayah Rentan Angin Kencang di Kota Semarang
SEMARANG City Resilience Strategy
26
2.2.4. Wilayah yang Terekspose Pergerakan Tanah dan Longsor
Curah hujan yang lebih intensif di musim basah sebagai akibat perubahan iklim dapat
memperburuk kemungkinan pergerakan tanah dan longsor di beberapa area perbukitan Kota
Semarang. Sementara itu, sirkulasi gelombang memicu terjadinya abrasi di bagian barat pantai Kota
Semarang. Berikut adalah wilayah Kota Semarang yang rawan pergerakan tanah, longsor, dan abrasi
di Kota Semarang berdasarkan studi yang telah dilakukan oleh CCROM IPB (2010).
Gambar 2.14: Peta RawanGerakan Tanah, Longsor, dan Abrasi
`
Adapun berdasarkan kajian sector studies (PLTR FT UNDIP, 2010) ditemukan lokasi-lokasi yang secara
spesifik krusial untuk ditangani dari ancaman kelongsoran karena kondisi lokasi tersebut: (1) berupa
SEMARANG City Resilience Strategy
27
permukiman dengan kelerengan diatas 25%, (2) pada saat yang sama tidak memiliki jaringan
drainase yang memadahi, dan (3) lokasi tersebut berada pada kategori kerentanan tinggi
berdasarkan kajian kerentaranan (VA). Berikut ini adalah lokasi yang dimaksud.
Gambar 2.15: Lokasi Krusial untuk Ditangani dari Bahaya Kelongsoran (PLRT FT UNDIP, 2010)
!"
!"#"
!"#$"% &'()*"+","- ./#012#"- .%23%24", ./-"-5"-"- 6%"2-",/ 72-510-5"-
8"90- :;;)
!"#$"% &'()< *"+","- ./#012#"- .%23%24", ./-"-5"-"- 6%"2-",/ 72-510-5"-8"90- :;;)
!"
!"#"
!"#$"% &'()*"+","- ./#012#"- .%23%24", ./-"-5"-"- 6%"2-",/ 72-510-5"-
8"90- :;:<
!"#$"% &'()= *"+","- ./#012#"- .%23%24", ./-"-5"-"- 6%"2-",/ 72-510-5"-8"90- :;:<
!"
!"#"
!"#$"% &'()* +","-". /0#123#". /%34%35"- /0.".6".". 7%"3."-0 83.621.6".9":1. ;<=<
!"
!"#"
!"#$"% &'()* +","-". /0#123#". /%34%35"- /0.".6".". 7%"3."-0 83.621.6".9":1. ;<=<
SEMARANG City Resilience Strategy
28
2.2.5. Kawasan Permukiman Pinggiran Kota yang Jauh dari Sumber Air
CCROM IPB (2010) mengidentifikasi sejumlah bagian wilayah Kota Semarang yang mengalami
kekeringan karena jauh dari sumber air. Hasil identifikasi tersebut dapat dilihat dari peta berikut ini.
Gambar 2.16: Wilayah Rawan Kekeringan di Kota Semarang
SEMARANG City Resilience Strategy
29
2.2.6. Kawasan-Kawasan Simpul Pergerakan
Pada wilayah yang akan tergenang juga terdapat prasarana transportasi vital bagi Kota Semarang
seperti Bandara Ahmad Yani, Pelabuhan Tanjung Mas, Stasiun Tawang, dan Terminal Terboyo.
Bandara Ahmad Yani pernah mengalami lumpuh dalam sehari karena hujan deras yang memicu
terjadinya banjir di landasan pacu. Stasiun Tawang juga pernah lumpuh beberapa hari hanya karena
hujan yang terjadi dalam beberapa jam saja. Prasarana strategis ini, khususnya Stasiun Tawang,
Pelabuhan Tanjung Emas, dan Terminal Bus Terboyo menjadi langganan banjir dan genangan
pasang air laut. Padahal prasarana tersebut adalah urat nadi bagi pergerakan manusia, barang, dan
komoditas yang vital bagi bergeraknya roda perekonomaian. Berikut ini adalah situasi dan kondisi
dari kawasan-kawasan simpul pergerakan yang terancam akibat perubahan iklim di Kota Semarang.
Gambar 2.17: Lokasi Stasiun Kereta Api di Kota Semarang Pada Lokasi Rawan Banjir dan Rob
BAB IV HASIL DAN ANALISA DATA 4 - 117
Laporan Pertengahan PT. Pillar Nugraha Consultants
Strategi Adaptasi Dan Mitigasi Bencana Pesisir Akibat Perubahan Iklim Terhadap Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil
4.3.4 Genangan Air Pasang (Rob)
1. Kota Semarang
Kondisi genangan air pasang di Kota Semarang sudah mencapai tahap yang
mengkhawatirkan. Selain karena dampak kenaikan muka air laut, kondisi rob diperparah
dengan adanya penurunan tanah (land subsidence). Genangan air pasang ini masuk ke
daratan melalui saluran tambak, sistem darianase pemukiman dan perkotaan yang
kondisinya kurang baik. Dampak yang diakibatkan rob ini sangat luas, seperti : terganggunya
aktifitas pelabuhan, perkantoran, industri, pasar tradisional, terminal bis, pemukiman, fasilitas
pendidikan, fasilitas perkeretaapian, fasilitas listrik, jalan dan lain sebagainya. Kondisi rob di
Kota Semarang selengkapnya dapat dilihat pada gambar berikut ini :
Gambar 4.3.65 Batas terluar genangan air pasang di Kota Semarang
Untuk mengetahui hubungan antara genangan air pasang, penurunan tanah dan sebaran
pemukiman di kota Semarang dapat dilihat dalam gambar berikut ini :
Sumber DKP, 2008
SEMARANG City Resilience Strategy
30
Gambar 2.18: Simpul Pergerakan yang Rawan Tergenang akibat Kenaikan SLR
SEMARANG City Resilience Strategy
31
Kenaikan muka laut sangat berpengaruh terhadap kenaikan Wave Set-up dan Wave Run-up yang
terdapat pada bangunan dinding laut vertikal pelabuhan (di sebelah timur banjir kanal barat
Semarang). Dari perhitungan kenaikan muka laut rata-rata sebesar 8 mm/tahun, pada simulasi 20
tahun kenaikan muka laut sebesar 16 cm akan menaikan Wave Set-up sebesar 4,1 cm atau 10,59%
dan Wave Run-up 7,7 cm atau 1,51%. Sebaliknya, dengan asumsi yang sama akan terjadi penurunan
angka faktor keamanan (FS) sebesar 0,37 cm atau 18,45 % (DKP, 2008).
Apabila dihitung selama 100 tahun dimana terjadi kenaikan muka laut sebesar 80cm terjadi kenaikan
Wave Set-up sebesar 10 cm atau 51,73% dan Wave Run-up sebesar 1,6 m atau 31,64%. Artinya
bahwa semakin tinggi SLR nya maka Kenaikan wave Set-up dan Wave Run-up nya juga semakin
besar, dan angka faktor keamanannya (FS) semakin rendah(DKP, 2008).
2.2.7. Kawasan Fungsional Kota
Kondisi genangan air pasang di Kota Semarang sudah mencapai tahap yang mengkhawatirkan.
Selain karena dampak kenaikan muka air laut, kondisi rob diperparah dengan adanya penurunan
tanah (land subsidence). Genangan air pasang ini masuk ke daratan melalui drianase perkotaan yang
kondisinya kurang baik. Dampak yang diakibatkan rob ini sangat luas, seperti : terganggunya aktifitas
industri dan pasar regional. Kondisi rob di Kota Semarang dan pengaruhnya pada kawasan
fungsional perkotaan dapat selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 2.19.
2.2.8. Kawasan Industri
Pada bagian utara Kota Semarang terdapat sejumlah kawasan industri, terutama di Kecamatan
Genuk dan Kecamatan Tugu. Berdasarkan proyeksi kenaikan muka air laut, kawasan industri tersebut
juga akan tergenang. Jenis industri ini terdiri dari berbagai macam, mulai dari industri rumah tangga,
industri kecil, sampai industri besar. Jika kawasan industri ini tergenang maka akan mengakibatkan
beberapa dampak, diantaranya (Setiadi dan Kunarso, 2009): (1) aktivitas produksi yang ada akan
terhambat; (2) kegiatan ekspor-impor akan terganggu; (3) kawasan pesisir tidak menarik lagi menarik
sebagai lokasi berinvestasi; (4) berkurangnya permintaan tenaga kerja di sektor industri; dan (5)
menurunnya PAD Kota Semarang. Adapun luas kawasan industri yang akan tergenang sekitar 108,2
SEMARANG City Resilience Strategy
32
Ha. Terancamnya kawasan industri di Semarang bagian utara akibat kenaikan muka air laut juga
berdampak pada mata pencaharian masyarakat, terutama yang bekerja sebagai buruh. Adapun
jumlah tenaga kerja sebagai buruh industri di wilayah yang akan tergenang ini sekitar 65.737 jiwa.
Masyarakat tersebut adalah masyarakat yang rentan kehilangan mata pencahariannya.perubahan
iklim dapat mengakibatkan tingkat perekonomian masyarakat akan semakin menurun dan
mempengaruhi kesejahteraan hidupnya.
Gambar 2.19: Kawasan Fungsional Perkotaaan yang Terancam akibat Perubahan Iklim
SEMARANG City Resilience Strategy
33
Gambar 2.20: Kawasan Kota Lama Semarang yang Terancam akibat Perubahan Iklim
2.3. Kelompok RentanDari penjelasan diatas dapat dilihat bahwa perubahan iklim mengakibatkan berbagai bencana
seperti longsor, angin kencang, dan kekeringan. Disamping itu naiknya muka air laut dan curah
hujan tinggi yang diikuti banjir tidak hanya menimbulkan dampak secara fisik di Kota Semarang, tapi
juga berdampak pada bidang sosial, ekonomi, budaya, dan kesehatan masyarakat. Pengaruh-
pengaruh tersebut dapat mengakibatkan investasi pemerintah dan masyarakat di kawasan tersebut
menjadi tidak berarti. Di Kota Semarang telah teridentifikasi sejumlah kelompok rentan yang perlu
diperhatikan dalam penyusunan strategi ketahanan kota. Kelompok rentan tersebut terdiri atas
(Mercy Corps, 2009-11):
SEMARANG City Resilience Strategy
34
• Penduduk miskin kota. Kelompok miskin perkotaan dikategorikan rentan karena mereka pada
umumnya menempati lahan atau area yang akan paling terekspos oleh berbagai resiko. Dengan
mencari daerah yang tidak mahal, mudah ditempati, dan dekat dengan tempat dan peluang
kerja mereka akhirnya terpaksa tinggal ditempat-tempat yang tidak menguntungkan seperti
bantaran sungai, perbukitan terjal, pinggiran rel kereta, atau lahan-lahan terlantar dan bahkan di
sekitar dan bekas tempat pembuangan sampah. Karena tidak ada pengakuan hukum (legal) dari
pemukiman semacam ini atau setidaknya toleransi dari pemerintah kota bagi status mereka,
mereka berada pada situasi yang tidak menentu. Mereka tidak diakui penuh secara legal dan
sementara ini diijinkan untuk menetap, sehingga sedikit investasi publik dicurahkan dan
kerentanan terus melekat pada kelompok ini.
• Kelompok peserta program relokasi pemerintah. Program relokasi pemerintah dimasa lalu
memang tidak dipersiapkan secara matang. Kelompok masyarakat besera keluarganya yang
dipindahkan dari suatu permukiman ke permukiman lainnya oleh program relokasi pemerintah
khusususnya adalah kelompok yang rentankarena perubahan kehidupan yang begitu mendadak
dan sulitnya bertahan di kehidupan pada lingkungan yang baru. Sejumlah kelompok masyarakat
yang saat ini tinggal Kelurahan Tandang dan Sukorejo adalah beberapa contoh ketika pemerintah
melaksanakan program normalisasi sistem drainase banjir kanal barat. Tanpa akses ke pekerjaan,
keterbatasan modal, dan tercerabut dari komunitas sebelumnya, masyarakat ini sering mengalami
penderitaan yang berat dan panjang dalam memulai kehidupan barunya. Akibatnya mereka hidup
dalam situasi yang tidak diharapkan, dengan keterbatasan atau tidak adanya jaminan sosial jika
mereka gagal untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan barunya.
• Penduduk yang tinggal di lokasi yang akan menjadi tapak proyek-proyek infrastruktur besar.
Pembangunan yang terus bergulir sebagai akibat dari permintaan akan infrastuktur perkotaan
seperti fasilitas penampungan dan pemompa air skala besar, waduk, jalan toll, normalisasi sungai,
pembangunan real estat dan kawasan industri membutuhkan lahan-lahan baru untuk
pengembangannya. Masyarakat yang sudah menetap disana namun tidak memiliki hak legal
rentan karena mereka bisa terusir dari tempat tersebut tanpa kompensasi yang adil atau tidak
memiliki peluang untuk menegosiasikan jalan terbaik.
SEMARANG City Resilience Strategy
35
• Penduduk yang bergantung pada industri di dataran rendah. Kelompok masyarakat yang
tergantung pada industri tertentu seperti pelabuhan dan manufaktur adalah rentan karena
mereka sangat bergantung pada pekerjaan-pekerjaan dari satu sektor saja. Hal ini berlasan karena:
(i) jika terjadi perubahan pasar yang drastis, masyarakat ini dihadapkan pada peluang ekonomi
yang terbatas; (ii) mereka tidak memiliki kemampuan untuk memindahkan tempat tinggalnya ke
daerah yang lebih aman meskipun mereka menguras habis sumberdaya finansial yang mereka
miliki. Mereka sangat tergantung pada gaji tetap yang diberikan oleh industri pelabuhan dan
manufaktur.
• Pendatang baru perkotaan (migrant) yang miskin. Pendatang baru di perkotaan berasal dari
pinggiran atau kota lain tergolong rentan karena mereka memiliki peluang yang terbatas
mendapatkan perumahan. Mereka selanjutnya tinggal di daerah-daerah marginal yang tidak
dimanfaatkan atau memiliki status ilegal dan seringkali adalah bagian kota yang paling rentan.
• Kaum usia lanjut. Kelompok usia lanjut adalah kelompok rentan karena mereka sering tidak dapat
atau tidak mau untuk beradaptasi terhadap perubahan. Pada kondisi yang tidak diharapkan seperti
banjir atau relokasi projek infrastruktur, kelompok ini serngkali menolak untuk mengubah budaya
hidupnya karena sudah biasa tinggal di lingkungannya dan tidak mampu beradaptasi dengan
cepat. Kelompok usia lanjut yang tidak didukung oleh jejaring keluarga yang dapat membantunya
tergolong lebih rentan.
• Keluarga yang dipimpin perempuan. Kepala keluarga perempuan, baik janda maupun orang tua
tunggal, memikul beban berat untuk menopang kehidupan anak-anaknya dan orang tua adalah
kelompok yang rentan sebagai akibat perubahan cepat yang mempengaruhi mata pencaharian ,
kondisi lingkungannya, dan cuaca. Mereka seringkali memiliki kesulitan dalam melakukan
pemeliharaan rumah atau menyelesaikan pekerjaan lain yang biasanya dilakukan kaum pria demi
keselamatan atau sekuritasnya.
SEMARANG City Resilience Strategy
36
3. Kebijakan Nasional dan Kota
3.1. Kebijakan Nasional dalam Merespon Perubahan Iklim
Pada tingkat nasional telah terdapat dokumen Roadmap Sektoral Perubahan Iklim atau lebih dikenal
dengan The Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap (ICCSR). Dokumen tersebut dimaksudkan
untuk memberi masukan pada RPJM Nasional 2010-2014. dan juga RPJP Nasional hingga tahun
2030. Dokumen tersebut menekankan sejumah tantangan yang muncul seiring perubahan iklim
pada sektor kehutanan, energi, industri, pertanian, transportasi, wilayah pesisir, air, persampahan, dan
kesehatan. Strategi adaptasi perubahan iklim dirumuskan lebih banyak pada sektor pertanian, air
bersih, pesisir, dan kesehatan daripada sektor lainnya yang ada.
Tabel 3.1: Arah Kebijakan Adaptasi dalam ICCSR
Sektor Arahan Adaptasi (dan Mitigasi)
Pertanian Pada tanaman pangan dan hortikultura melalui: Perbaikan manajemen pengelolaan air, termasuk sistem
dan jaringan irigasi; Pengembangan teknologi panen air (embung, dam parit) dan efisiensi penggunaan air
seperti irigasi tetes dan mulsa; Pengembangan jenis dan varietas tanaman yang toleran terhadap stres
lingkungan seperti kenaikan suhu udara, kekeringan, genangan (banjir), dan salinitas; Pengembangan
teknologi pengelolaan tanah dan tanaman untuk meningkatkan daya adaptasi tanaman; dan
Pengembangan sistem perlindungan usahatani dari kegagalan akibat perubahan iklim atau crop weather
insurance.
Pada tanaman perkebunan melalui: Pengembangan komoditas yang mampu bertahan dalam cekaman
kekeringan dan kelebihan air; Penerapan teknologi pengelolaan tanah dan tanaman untuk meningkatkan
daya adaptasi tanaman; Pengembangan teknologi hemat air; Penerapan teknologi pengelolaan air,
terutama pada lahan yang rentan terhadap kekeringan.
Pada pengelolaan peternakan: Pengembangan ternak yang adaptif terhadap lingkungan yang lebih
ekstrim (kekeringan, suhu tinggi, genangan); Pengembangan teknologi silase untuk mengatasi kelangkaan
pangan musiman; Pengembangan sistem integrasi tanaman-ternak (crop livestock system, CLS) untuk
mengurangi risiko dan optimalisasi penggunaan sumberdaya lahan.
SEMARANG City Resilience Strategy
37
Sektor Arahan Adaptasi (dan Mitigasi)
Kesehatan Memperkuat sistem kewaspadaan dini dan tanggap darurat bencana di masyarakat; Memperkuat kajian
kerentanan dan penilaian risiko sektor kesehatan akibat perubahan iklim; Mengembangkan kerangka kerja
kebijakan yang didukung dengan peraturan perundangan dan pengaturannya; Mengembangkan
perencanaan dan pengambilan keputusan berbasiskan evidence wilayah; Meningkatkan kerjasama lintas
sektoral; Meningkatkan partisipasi masyarakat, swasta,dan perguruan tinggi; Memperkuat kemampuan
pemerintah daerah; Pengembangan networking dan sharing informasi; dan meningkatkan kualitas dan
kuantitas sarana air bersih dan sanitasi masyarakat.
Sampah dan
Limbah
Melaksanakan kajian inventarisasi GRK dari sektor sampah yang lebih lengkap dan sempurna dengan
disertai rencana pengurangan GRK yang sistematis; Menerapkan kebijakan pembangunan infrastruktur
bidang persampahan berwawasan lingkungan yang didukung oleh pengembangan dan penelitian
teknologi terapan berwawasan lingkungan; Mengembangkan penerapan kebijakan lingkungan hidup
untuk prinsip 3R (reduce, reuse, recycle) dalam pengelolaan persampahan; Mengembangkan
pembangunan infrastruktur yang berkelanjutan (dengan menjaga keseimbangan 3 pilar pembangunan,
yaitu ekonomi, sosial, dan lingkungan) dengan mengurangi emisi GRK (Gas Rumah Kaca) dan
meningkatkan penyerapan karbon; Menyelenggarakan pembangunan infrastruktur bidang persampahan
yang lebih memperhatikan aspek peningkatan kapasitas (capacity building) SDM dan institusi termasuk
kompetensi dan kemandirian pemda dalam pembangunan infrastruktur yang berwawasan lingkungan
serta mendorong peran sektor swasta dan masyarakat; Mengembangkan teknologi pengelolaan sampah
yang ramah lingkungan dan antisipatif terhadap perubahan iklim; Mengembangkan penerapan EPR
(Extended Producer Responsibility) untuk produsen dan importir limbah B3; Mengembangkan teknologi
peningkatan kualitas landfill.
Kelautan Pada kelompok kegiatan inventarisasi data dan riset meliputi: Menguatkan kapasitas penelitian tentang
fenomena, bahaya, dan potensi dampak perubahan iklim; Menguatkan kapasitas pengkajian adaptasi dan
mitigasi yang lebih tepat guna sesuai dengan kondisi kerentanan dan kearifan lokal.
Pada kelompok kegiatan perencanaan: Mengintegrasikan perubahan iklim dalam dokumen perencanaan
dan pengelolaan kelautan dan perikanan.
Pada kelompok kegiatan kebijakan, regulasi, dan penguatan kapasitas: Penyusunan norma, standar, dan
panduan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim; Penyesuaian regulasi dan kegiatan yang terkait dengan
perubahan iklim; Mengkselerasi keputusan kepala daerah dalam penyusunan Rensta Kelautan dan
Perikanan yang telah mempertimbangkan isu perubahan iklim; Peningkatan kapasitas kelembagan dan
pengawasan serta pengendalian.
Pada kelompok kegiatan implementasi: Penyesuaian eleasi dan kekuatan struktur bangunan pantai,
Pemeliharaan dan rehabilitasi ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil, Mengantisipasi tenggelamnya pulau
kecil, terutama pulau-pulau kecil terluar, Penanggulangan kebencanaan terkait cuca ekstrim dan
variabilitas iklim di pesisir, Antisipasi pergeseran area fishing ground kearah laut dan keberlanjutan
produksi ikan tangkap, Melakukan antisipasi pada jenis ikan yang tidak resisten terhadap perubahan
suhu.
SEMARANG City Resilience Strategy
38
Sektor Arahan Adaptasi (dan Mitigasi)
Sumberdaya
Air
Melaksanakan kajian bahaya, kerentanan, dampak perubahan iklim pada sektor SDA yang lebih rinci;
MeningkatkankapasitasdatadaninformasiSDA,meliputiketersediaan,kebutuhan,sumber, dan cara
penduduk memperoleh air; melalui pemutakhiran, peningkatan, penyediaan dan akses masyarakat
terhadap data dan informasi SDA; Meningkatkan kapasitas sumber air guna meningkatkan keadaan
penyediaan air; Meningkatkan atau menerapkan konsep conjunctive use pada daerah yang potensi air
permukaannya kurang; Meningkatkan penyediaan serta akses masyarakat terhadap data dan informasi
tentang bencana terkait air dan perubahan iklim seperti banjir, kekeringan, dan tanah longsor; pengaturan
(regulasi) lebih lanjut dari UU SDA di tingkat nasional dan daerah yang mempertimbangkan isu perubahan
iklim; Menetapkan atau mengamankan daerah atau tangakap air atau perlindungan kawasan lindung
sumber air serta sosialisasi dan kampanye adaptasi perubahan iklim sektor air.
Energi Penetapan harga bahan bakar dengan lebih imbang (fair); Kebijakan harga sumberdauya energi
terbaharukan; Mewajibkan sumberdaya energi terbaharukan; Pajak atau carbon tax dari kegiatan
pemangaatan bahan bakar; Pembangunan infrastruktur penyuplai bahan bakar gas; Pengenalan teknologi
baru dan teknologi ang lebih bersih dengan menggunakan batu bara; dan Kebijakan pencampuran
dengan bahan bakar nabati
Industri Memperbaiki efisiensi energi dan diversifikasi energi; Monitoring emisi GHG; Modifikasi dan penggantian
teknologi
Terdapat dua jalan pembiayaan guna mengimplementasikan kebijakan yang tertuang dalam ICCSR
kedalam tindakan-tindakan operasional. Pertama, kebijakan ICCSR akan didanai oleh APBN setelah
kebijakan tersebut dielaborasi sebagai program didalam Rencana Pembangunan Jangka MEnengah
Nasional (RPJMN). Masih dari sumber yang ama, implementasi ICCSR pada tingkat kota juga didanai
melalui mekanisme Dana Alokasi Khusus (DAK) dari kementrian dan department pusat kepada
pemerintah provinsi yang selanjutnya diteruskan ke tingkat kota. Kota Semarang sejauh ini telah
menerima DAK dari Kementrian Lingkungan Hidup (KLH) dan Kementrian Kelautan dan Perikanan
(KKP).
Kedua, kebijakan dalam ICCSR juga akan didanai melalui Indonesian Climate Change Trust Fund
(ICCTF) yang dikoordinasikan oleh BAPPENAS. ICCTF menampung dana dan hibah dari berbagai
donor internasional maupun APBN. Diharapkan bahwa ICCTF dapat diakses oleh ornaisasi apapun,
termasuk pemerintah kota dan LSM lokal yang bekerja pada akar rumput dan memberi perhatian
pada adaptasi maupun mitigasi perubahan iklim. Oleh karena itu keberadaan organisasi pada tingkat
SEMARANG City Resilience Strategy
39
kota yang secara khusus dapat mendukung pemerintah dalam mentransformasikan kebijakan ICCSR
dalam tindakan operasional menjadi sangat penting. Sementara ini dapat disimpulkan bahwa dalam
merealisasikan ICCSR mekanisme pertama pada dasarnya lebih formal, sedangkan mekanisme kedua
lebih cepat dan fleksibel. Namun sayangnya sejauh ini masih terdapat banyak kritik khususnya
tentang kejelasan prosedur dalam mengakses ICCTF.
Gambar 3.1: Impelementasi ICCSR Pada Tingkat Nasional dan Kota
!
"#$%!
&'#! &#()%! &#(#%!
&*%("!'+! &*%,-&"!'+!
#./0123!
#./0123! #./0123!
#./0123!455,&!
#./0123! #./0123!
455-6!
78%8&9!:&"%-!
"#$7!
&#(#7!&#()7!&'#7!
&*%("!,'#7!
&*%,-&"!,'#7!
7"'!
%;3</=;>!+1?1>!
5<3@!+1?1>!
455,&!AB=C<=D!6>/E!
71?1>/FG1=3!#>;==<=D!#./21HH!
SEMARANG City Resilience Strategy
40
3.2. Kebijakan Pembangunan Kota Semarang
Sebagaimana diatur dalam UU Sistem Perencanaan dan Pembangunan Nasional 25/2004, kebijakan
pembangunan Kota Semarang dituangkan dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Daerah (RPJPD) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Masing-
masing dokumen akan diuraikan dalam sub bab berikut ini:
3.2.1. Arah dan Prioritas Pembangunan Jangka Panjang
Dengan mereview dokumen RPJP Kota Semarang Tahun 2005-2025, dapat diuraikan arah
pembangunan Kota Semarang dalam beberapa puluh tahun yang akan datang. Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Kota Semarang berisi beberapa isu strategis dan kondisi yang ingin
diharapkan untuk Kota Semarang dalam jangka waktu 25 tahun kedepan. Adapun tabel berikut akan
menyajikan secara ringkas arah dan prioritas pembangunan jangka panjang tersebut.
Tabel 3.2: Review Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Kota Semarang
PROGRAM TUJUAN KONDISI YANG INGIN DICAPAI
PEREKONOMIANPEREKONOMIANPEREKONOMIAN
Perdagangan - jasa
Meningkatkan kontribusi sumberda-ya perdagangan yang mencapai 35.45% pada tahun 2004
Meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang diikuti dengan pendapatan perkapita masyarakat
Mengantisipasi globalisasi perdagangan yang ber-dampak pada mengetatnya persaingan usaha.
UKM & Koperasi Memperkuat ekonomi masyarakat menengah ke bawah
Menemukan potensi ekonomi dan meningkatkan daya saing produk UKM
Menekan tingkat kemiskinan di masyarakat yang mengalami kenaikan 0.21% sepanjang1993 - 2004
Mengupayakan masyarakat mandiri secara eko-nomi
Menembus pasar ekspor dan meningkatkan pen-dapatann nasional
Investasi Menciptakan iklim investasi yang kondusif, yaitu terutama perlindung-an terhadap investor, dan penyeder-hanaan birokrasi investasi
Menarik minat investor baik domestik maupun dari luar negeri karena adanya keamanan dan kemuda-han untuk berinvestasi
Pertumbuhan ekonomi meningkat
Ketenagakerjaan Menciptakan lapangan kerja baru bagi angkatan kerja yang semakin meningkat.
Mengurangi kesenjangan sosial
Menekan tingkat kriminalitas yang disebabkan oleh masalah tingginya pengangguran, selama periode tahun 2000-2003 terjadi lonjakan gangguan masy-arakat dari 302 kali pada tahun 2000 menjadi 316 kali pada tahun 2003
Menekan tingginya angka pengangguran yang di-proyeksikan mencapai 62.84% pada tahun 2025
SEMARANG City Resilience Strategy
41
PROGRAM TUJUAN KONDISI YANG INGIN DICAPAI
Industri Mensosialisasikan industri ramah lingkungan / green industry
Membangun kemitraan Industri pa-dat modal dengan industri kecil yang saling menguntungkan
Kepekaan sosial terhadap global warming dan meningkatkan kesehatan lingkungan
Mendukung eksistensi industri kecil dengan ada-nya kemitraan dengan industri besar.
Dapat memberikan kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi yang menunjukkan trend positif 3.35% sampai dengan 3.95% dari tahun 2000 sampai dengan 2004
Transportasi Memperbaiki dan mengoptimalkan kondisi jalan yang rusak sepanjang 638.754 km dari keseluruhan pan-jang jalan yang mencapai 2.762.731 km untuk dapat lebih bermanfaat.
Mewujudkan sistem jaringan transportasi yang efektif dan efisien sesuai dengan hirarki dan fungsi jalan serta terwujudnya sistem jaringan transportasi darat, laut dan udara yang terpadu.
Terwujudnya transportasi cepat dan masal (mass and rapid transportation).
PEMERINTAHANPEMERINTAHANPEMERINTAHAN
Pelayanan umum Meningkatkan kepuasan publik pada pelayanan pemerintah dengan membentuk unit pelayanan terpadu (UPT), aplikasi standard pelayanan minimal, pengaduan dan hotline ser-vice untuk peningkatan kinerja, mengembangkan kualitas birokra-si,mengembangkan infrastruktur, mewujudkan ruang partisipasi publik.
Meningkatnya kepercayaan publik kepada pe-merintah yang menimbulkan dukungan publik ter-hadap program-program pemerintah
Hukum Memperbaiki kinerja penegakan hukum dan kualitas produk hukum daerah.
Meningkatkan stabilitas penegakan hukum sehing-ga dapat mendukung program-program pemerin-tah.
INFRASTRUKTUR DAN LINGKUNGANINFRASTRUKTUR DAN LINGKUNGANINFRASTRUKTUR DAN LINGKUNGAN
Tata Ruang Penciptaan struktur dan pola tata ruang yang efektif dan efisien sesuai dengan hirarki dan fungsi pengem-bangannya
keserasian, kelestarian dan optimalisasi pemanfaa-tan ruang sesuai dengan potensi dan daya dukung wilayah
Sumber daya air Keberlanjutan dukungan sumberdaya air bagi akti-vitas perkotaan
Drainase Penciptaan keterpaduan dalam pengeloaan drainase dari hulu ke hilir
Sistem drainase perkotaan yang berkelanjutan
Limbah Pengintegrasian sistem pengelolaan limbah dalam skala perkotaan
Sistem pengelolaan limbah perkotaan yang berke-lanjutan
Polusi Pengelolaan yang ramah lingkungan dan pengembangan sistem ruang terbuka hijau
Peningkatan kualitas lingkungan perkotaan
Perumahan dan Permukiman
Pemenuhan kebutuhan rumah seca-ra kuantitas dan kualitas seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk
Pengelolaan lingkungan permukiman yang sehat berbasis masyarakat
SEMARANG City Resilience Strategy
42
PROGRAM TUJUAN KONDISI YANG INGIN DICAPAI
Fasilitas Umum Pemenuhan kebutuhan masyarakat perkotaan dan fasilitas perkotaan
Penyediaan fasilitas umum perkotaan yang mampu mendukung Kota Semarang sebagai kota perda-gangan dan jasa skala metropolitan
SUMBERDAYA MANUSIASUMBERDAYA MANUSIASUMBERDAYA MANUSIA
Kesehatan Peningkatan derajat kesehatan ma-syarakat melalui:
Kegiatan promotif, preventif dan ku-ratif
Penciptaan lingkungan yang sehat
Dukungan profesionalisme aparatur kesehatan
Sarana dan prasarana kesehatan yang memadai
Pengembangan sistem layanan ke-sehatan masyarakat
Meningkatnya derajat hidup masyarakat dapat dili-hat dalam indikator:
Angka Harapan Hidup pada tahun 2025 akan mencapai 75 tahun, Angka Kematian Bayi menca-pai 4,00/1000 kelahiran, Angka Kematian Ibu mencapai 42/100.000 melahirkan
Cakupan pelayanan kesehatan mencapai 100% dari jumlah penduduk
Pariwisata dan
budaya
Pengembangan pariwisata sebagai pemenuhan kebutuhan masyarakat dan daya tarik kota
Pengembangan kebudayaan lokal sebagai potensi pariwisata
Peningkatan kontribusi pariwisata dalam pereko-nomian kota
Pelestarian kebudayaan lokal sebagai aspek pem-bentuk karakteristik masyarakat
Pendidikan Peningkatan kepedulian masyarakat terhadap pentingnya pendidikan bagi upaya peningkatan kualitas hidup
Tingkat pendidikan Kota Semarang mampu meny-elesaikan sampai dengan tingkat menengah
Peningkatan partisipasi masyarakat terhadap pen-didikan
Tercapainya angka partisipasi kasar dalam tiap jenjang pendidikan
Dengan memahami arah pembangunan Kota Semarang yang akan datang, diharapkan strategi dan
aksi adaptasi perubahan iklim yang akan dirumuskan tetap sinergis dan kontributif dalam bingkai
pembangunan kota secara komprehensif.
3.2.2. Arah dan Prioritas Pembangunan Jangka Menengah
RPJP sebagai acuan pembangunan jangka panjang dijabarkan operasionaliasinya dalam dokumen
RPJM. Dalam dokumen RPJM ini, isu dan arahan pembangunan pada setiap urusan dan
kewenangan dijabarkan. Pada saat ini RPJM Kota Semarang Tahun 2010-2015, sedang berlangsung
pada saat yang sama dengan penyusunan CRS. Oleh karena itu isu-isu terkait perubahan iklim di
SEMARANG City Resilience Strategy
43
Kota Semarang diperkenalkan pada penyusunan RPJM. Dinyatakan dalam RPJM 2010-2014 bahwa:
“degradasi dan kualitas lingkungan Kota Semarang diperburuk dengan ancaman perubahan iklim
dan urgen bagi pemerintah kota untuk melakukan aksi dalam penanganan perubahan iklim”. Hasil
rumusan strategi dan aksi ketahanan dalam dokumen CRS akan dimasukkan sesuai dengan
pembagian urusan dan kewenangan pemerintahan. Bagian ini akan difokuskan kembali diakhir
strategi dan aksi priotitas.
3.3. Isu Aktual dan Dinamika Kegiatan Pembangunan Kota Semarang
Terdapat beberapa projek pembangunan Isu aktual pembangunan di Kota Semarang yang diduga
secara signifikan akan mempengaruhi kegiatan adaptasi perubahan iklim diantaranya adalah:
1. Pembangunan Kali Banger Poleder Project, sebagai bagian kerjasama dengan Belanda dan
bantuan dana dari JBIC (Japan Bank for Inetrnational Cooperation). Pembangunan polder
diperkirakan akan mengurangi tekanan banjir di wilayah utara dan timur Kota Semarang.
2. Pembangunan Waduk Jatibarang, sebagai bagian dari kerjasama dengan JBIC (Japan Bank for
Inetrnational Cooperation). Pembangunan waduk diperkirakan akan menambah pasokan air
baku bagi PDAM dan mengurangi tekanan kebutuhan air bersih terutama pada musim kemarau.
3. Pembangunan Tanggul Laut. Tanggul laut akan membentang di bagian utara kota.
Pembangunan tanggul laut menjadi isu yang digulirkan olek Pemerintah Kota Semarang dalam
rangka menangani banjir dan rob yang sudah menjadi permasalahan lama yang belum
tertangani secara tuntas.
Ketiga projek tersebut dapat dikatakan sebagai mega-projek di Kota Semarang sehingga akan
diperhatikan keberadaannya dalam analisis pengembangan skenario yang akan disajikan pada bab
selanjutnya. Gambar berikut adalah sejumlah komponen yang direncanakan dalam masterplan
drainase Kota Semarang yang implementasinya akan berdampak positif dalam penanganan
masalah banjir dan genangan rob.
SEMARANG City Resilience Strategy
44
Gambar 3.2: Rencana Pembangunan Komponen Infrastruktur Drainase di Kota Semarang
!"
!"#"
!"#$"% &'&( )*#+*,-, .%"/,"0- )*1" 2-#"%",3Sumber: Dokumen Masterplan Drainase kota Semarang dalam PLRT FT UNDIP (2010)
SEMARANG City Resilience Strategy
45
4. Pengembangan Skenario
4.1. Asumsi yang Digunakan
Berikut ini adalah data-data dan asumsi-asumsi yang digunakan untuk melakukan pengembangan
skenario iklim di Kota Semarang.
1. Luas Kota Semarang adalah: 37.330 hektar (BPS), sedangkan area pesisir Kota Semarang adalah:
4.575 hektar (DKP).
2. Laju pertumbuhan penduduk untuk proyeksi adalah: 1.2% (RTRW) dengan menggunakan model
estimasi eksponensial.
3. Intensitas banjir dari 1989-2007: 21 bulan atau setara dengan 1,2 bulan pertahun atau setara
dengan 36 hari. Batas margin curah hjan yang membawa banjir adalah: 302 mm/bulan (CC-ROM
IPB, 2010). Sedangkan peningkatan curah hujan maksimum adalah 50 mm/ bulan. Jumlah bulan
basah dan bulan kering berdasarkan pengolahan CRU TS2.0 dataset yang diolah CCROM-IPB
(2010).
4. Data dasar untuk asumsi SLR dalam 50 tahun yang akan datang adalah: SRESA B1/A2: 21 cm (CC-
ROM IPB, 2010) dan proyeksi yang lebih ekstrim adalah 38 cm (DKP, 2008).
5. Jumlah orang yang dilayani oleh PDAM saat ini adalah 11.000 rumah tangga, atau setara dengan
550.000 jiwa.
6. Dengan konservasi upstream Waduk Jatibarang, debit yang dihasilkan oleh waduk adalah 0.26
m3 . Standard kebutuhan air bersih adalahr 12o liters/jiwa/ hari atau itu setara dengan 600 liter/
rumah tangga/hari (BPS), sehingga waduk menghasilkan tambahan air bersih bagi 37.500 rumah
tangga. Tanpa konservasi di upstream, kontribusi yang diharapkan dari waduk akan menurun
setengahnya atau hanya memberikan tambahan bagi 18.500 rumah tangga.
SEMARANG City Resilience Strategy
46
7. Panjang garis pantai Semarang adalah 25 km. Tebal ideal mangrove untuk perlindungan pesisir
adalah 100 meter, sehingga luas total ideal mangrove untuk pesisir Kota Semarang adalah 250
hektar
8. Luas tambak saat ini digunakan data 2009 seluas 1002.1 Ha. Penurunan tambak adalah 42 hektar
dalam 5 tahun (DKP, 2010). Satuan ekonomi untuk hilangnya per hektar tambak adalah Rp.18
Juta/ hektar.
4.2. Pengembangan Skenario Perubahan Iklim di Kota Semarang
4.2.1. Skenario Musim Kemarau
Berdasarkan trend data musim kemarau di Kota Semarang rata-rata berlangsung dalam 3 (tiga)
bulan. Seiring dengan perubahan iklim, musim kemarau diperkirakan akan semakin panjang menjadi
4 (empat) bulan. Jika saat ini penduduk Kota Semarang adalah 1.4 juta jiwa, maka dalam 50 tahun
yang akan datang jumlah penduduk akan menjadi 2.9 juta jiwa. Musim kemarau yang semakin
panjang akan memberikan efek pada ketersediaan air oleh PDAM. Jika saat ini 60% penduduk kota
tidak dilayani oleh PDAM, maka tanpa ada tambahan air baku dan lama musim kemarau tetap
berkisar 4 bulan maka 80% penduduk dalam 50 tahun yang akan datang tidak akan mendapatkan
layanan PDAM. Jika dalam waktu yang dekat musim kemarau menjadi satu bulan lebih lama, maka
jumlah orang yang tidak terlayani PDAM akan meningkat menjadi 70% dan dalam 50 tahun yang
akan datang diprediksikan 85% penduduk tidak mendapatkan pelayanan PDAM.
4.2.2. Skenario Musim Kemarau Setelah Pembangunan Waduk Tanpa Konservasi di Upstream
Pembangunan Waduk Jatibarang yang akan selesai pada tahun 2015 memberikan implikasi positif
walaupun masih menyisakan masalah. Dengan waduk tanpa konservasi pada tahun 2015 dan lama
musim kemarau 3 bulan maka akan ada 54% penduduk yang tidak terlayani air bersih PDAM dan
angka tersebut meningkat menjadi 63% jika musim kemarau terjadi 1 bulan lebih lama. Dengan
skenario yang masih sama, pada tahun 2050 jumlah penduduk yang tidak terlayani air bersih PDAM
menjadi 78% dan 82%.
SEMARANG City Resilience Strategy
47
4.2.3. Skenario Musim Kemarau Setelah Pembangunan Waduk Dengan Konservasi di Upstream
Konservasi upstream Waduk Jatibarang akan memberikan pengaruh yang lebih baik bagi
ketersediaan air. Pembangunan waduk yang didukung kegiatan konservasi, pada tahun 2015 dan
lama musim kemarau 3 bulan maka akan ada 47% penduduk yang tidak terlayani air bersih PDAM
dan angka tersebut meningkat menjadi 58% jika musim kemarau terjadi 1 bulan lebih lama. Dengan
skenario yang masih sama, pada tahun 2050 jumlah penduduk yang tidak terlayani air bersih PDAM
menjadi 75% dan 80%.
Tabel 4.1: Skenario Musim Kemarau di Kota Semarang
Populasi 1,4 Juta Jiwa
(Current)
Populasi 1,4 Juta Jiwa
(Current)
Populasi 2,9 Juta Jiwa
(Next 50 years)
Populasi 2,9 Juta Jiwa
(Next 50 years)
Penduduk tidak terlayani PDAMPenduduk tidak terlayani PDAMPenduduk tidak terlayani PDAMPenduduk tidak terlayani PDAM
Musim Kemarau 3 Bulan 60%60% 80%80%
Musim Kemarau 4 Bulan 70%70% 85%85%
Post Development of
Dam
without Upstream
Conservation
with Upstream
Conservation
without Upstream
Conservation
with Upstream
Conservation
Musim Kemarau 3 Bulan 54% 47% 78% 75%
Musim Kemarau 4 Bulan 63% 58% 82% 80%
4.2.4. Skenario Musim Hujan
Berdasarkan trend data musim hujan di Kota Semarang rata-rata berlangsung dalam 2-3 bulan.
Seiring dengan perubahan iklim, musim hujan diperkirakan akan semakin panjang menjadi 4-6
bulan. Jika saat ini masterplan drainase kota hanya terealisasi 9%, maka pada situasi yang normal
10,8% wilayah Kota Semarang akan tergenang banjir dengan total 36 hari banjir pertahun. Dalam 50
tahun yang akan jika setengah dari masterplan drainase terealisasi maka masih terdapat
6,5% .wilayah Kota Semarang yang akan tergenang dengan total hari banjir 22 hari pertahun. Musim
hujan yang semakin panjang akan memberikan efek pada semakin luasnya daerah genangan. Jika
capaian masterplan drainase tidak berubah sebagaimana kondis saat ini maka wilayah yang akan
SEMARANG City Resilience Strategy
48
tergenang meningkat menjadi 13% seiring dengan musim hujan yang semakin panjang. Total hari
banjir pertahun juga meningkat menjadi 72 hari. Dengan terealisasinya setengah dari masterplan
drainase kota, musim hujan yang lebih panjang masih menyebabkan sekitar 7,8% dari wilayah Kota
Semarang tergenang banjir dengan total hari banjir pertahun sebanyak 44 hari.
Dengan sistem drainase yang kurang optimal saat ini, diestimasikan sekitar 30% sumur umum dan
sumur pribadi yang dimanfaatkan oleh sekitar 51.000 rumah tangga terkontaminasi. Jika musim
hujan semakin panjang, maka jumlah sumur yang terkontaminasi semakin banyak, dimana jumlah
masyarakat yang terkena dampak meningkat menjadi sekitar 58.500 rumah tangga. Perbaikan sistem
drainase dalam 50 tahun yang akan datang diestimasikan mampu mengurangi jumlah sumur
terkontaminasi menjadi 20% dan sekitar 92.800 rumah tangga memanfaatkan sumber tersebut. Jika
musim hujan semakin panjang maka dalam 50 tahun yang akan datang jumlah masyarakat yang
terkena pengaruh meningkat hingga sekitar 98.600 rumah tangga.
Tabel 4.2: Skenario Musim Hujan di Kota Semarang
9% Masterplan Drainase
terealisasi (Current)
50% Masterplan Drainase
terealisasi (Next 50 years)
Persentase Area TergenangPersentase Area Tergenang
Musim Hujan 2-3 Bulan 10.8% 6.5%
Musim Hujan 4-6 Bulan 13% 7.8%
Jumlah Hari BanjirJumlah Hari Banjir
Musim Hujan 2-3 Bulan 36 22
Musim Hujan 4-6 Bulan 72 44
Jumlah Rumah Tergenang dan Sumur yang TerkontaminasiJumlah Rumah Tergenang dan Sumur yang Terkontaminasi
Musim Hujan 2-3 Bulan 51.000 92.800
Musim Hujan 4-6 Bulan 58.500 98.600
Daerah Rawan LongsorDaerah Rawan Longsor
Musim Hujan 2-3 Bulan 23 Kelurahan 8 Kelurahan
Musim Hujan 4-6 Bulan 38 Kelurahan 19 Kelurahan
SEMARANG City Resilience Strategy
49
Daerah rawan longsor di Kota Semarang juga diprediksikan akan meningkat seiring dengan laju
presipitasi yang ekstrim. Berdasarkan identifikasi diketahui terdapat 23 kelurahan yang dikategorikan
sebagai daerah rentan dan berkelerengan tinggi. Jumlah kelurahan ini meningkat menjadi 38
kelurahan di tahun 2050 atau terjadi pada saat ini jika musim hujan berlangsung 4-6 bulan. Dimasa
yang akan datang perbaikan sistem drainase diasumsikan akan mampu mengurangi 65% resiko
pada musim hujan normal 2-3 bulan dan hanyana mampu mengurangi resiko 50% pada musim
hujan yang lebih ekstrim (4-6 bulan).
4.2.5. Skenario Wilayah Tergenang SLR
Pada saat ini capaian masterplan drainase Kota Semarang (MercyCorps, 2010) hanya sekitar 9% dan
diprediksikan dalam 50 tahun yang akan datang masterplan drainase hanya akan mampu
dilaksanakan hingga 50%. Dalam kurun waktu 50 tahun yang akan datang SLR akan meningkat
sebesar 21 cm (CC-ROM IPB, 2010). Adapun pediksi yang lebih ekstrim SLR akan meningkat sebesar
38 cm (DKP, 2008). Jika tidak ada upaya percepatan implementasi masterplan drainase maka SLR
pada tingkat yang moderat akan mengakibatkan 53% dari total luas wilayah pesisir akan tergenang.
Dengan perbaikan sistem drainase dalam 50 tahun yang akan datang masih terdapat 13% dari total
luas wilayah pesisir akan tergenang. Pada situasi peningkatan SLR yang lebih ekstrim capaian
drainase saat ini akan membuat 68% dari total wilayah pesisir Kota Semarang akan tergenang. Dalam
50 tahun kedepan jika setengah dari target masterplan drainase terealisasi, maka masih terdapat
sekitar 28% dari total area di wilayah pesisir akan tergenang.
Tabel 4.3: Skenario Kenaikan Muka Air Laut di Kota Semarang
9% Masterplan Drainase
terealisasi (Current)
50% Masterplan Drainase
terealisasi (Next 50 Years)
Persentase Genangan di Wilayah PesisirPersentase Genangan di Wilayah Pesisir
SLR 21 Cm 10.8% 6.5%
SLR 38 Cm 13% 7.8%
SEMARANG City Resilience Strategy
50
4.2.6. Skenario SLR dengan Variasi Luasan Konservasi Mangrove
Pada saat ini Kota Semarang hanya memiliki 37% dari total luas ideal konservasi mangrove. Dengan
persentase tersebut, kenaikan SLR sebesar 21 cm (CC-ROM IPB, 2010) menyebabkan 40% lahan
tambak saat ini akan tergenang. dengan total kerugian sekitar 7.2 Milyar pertahun. Dengan pediksi
yang lebih ekstrim dimana SLR akan meningkat sebesar 38 cm (DKP, 2008), maka 75% lahan tambak
saat ini akan tergenang dengan total kerugian mencapai 13,2 Milyar pertahun. Luas mangrove di
Kota Semarang menunjukkan trend yang terus menurun. Dalam 50 tahun yang akan datang
diestimasikan bahwa Kota Semarang hanya memiliki 18% dari total luas ideal konservasi mangrove
yang disarankan. Atau dengan kata lain luas konservasi mangrove turun setengah dari saat ini. Pada
situasi ini, kenaikan SLR sebesar 21 cm menyebabkan 50% lahan tambak saat ini akan tergenang
dengan total kerugian sekitar 9 Milyar pertahun. Dengan pediksi yang lebih ekstrim dimana SLR akan
meningkat sebesar 38 cm, maka 90% lahan tambak yang ada saat ini akan tergenang dengan total
kerugian sebesar 16,3 Milyar pertahun
Tabel 4.4: Skenario Kenaikan Muka Air Laut dalam Beragam Variasi Luas Konservasi Mangrove
Mangrove 37% dari Total
Luas Ideal (Current)
Mangrove 18% dari Total
Luas Ideal (Next 50 Years)
Persentase Hilangnya Area Tambak dari Saat iniPersentase Hilangnya Area Tambak dari Saat ini
SLR 21 Cm 40% 50%
SLR 38 Cm 75% 90%
Hilangnya Nilai Produksi (Milyar/Thn)Hilangnya Nilai Produksi (Milyar/Thn)
SLR 21 Cm 7.2 9
SLR 38 Cm 13.2 16.3
SEMARANG City Resilience Strategy
51
5. Strategi dan Aksi Prioritas
5.1. Tujuan dan Sasaran Strategi Ketahanan Perubahan Iklim
Berdasarkan sintesis atas pemahaman terhadap kajian kerentanan kota terhadap perubahan iklim
dan skenario perubahan iklim sebagaimana telah diuraikan pada bagian ini, terdapat lima sektor
yang perlu difokuskan dalam perumusan strategi ketahanan di Kota Semarang. Sektor tersebut
adalah air bersih, infrastruktur, kelautan dan perikanan, lingkungan, dan pengembangan
sumberdaya manusia. Tujuan strategi ketahanan pada setiap sektor adalah sebagai berikut:
5.1.1. Strategi Ketahanan Sektor Air Bersih
Strategi ketahanan air bersih ditujukan sebagai upaya untuk menjamin ketersediaan air minum bagi
masyarakat di Kota Semarang dalam kondisi perubahan iklim yang ekstrim, baik ketika terjadi banjir
maupun kekeringan yang berkepanjangan. Sasaran strategi ini diprioritaskan pada kelompok
masyarakat yang tidak terlayani jaringan PDAM dan mereka yang berada jauh dari sumber air.
Beberapa alternatif aksi untuk menciptakan ketahanan sumber air ini diantaranya adalah:
• Pemanenan air hujan (Rain harvesting). Pemanenan air hujan ditujukan untuk memenuhi
kekurangan air bagi rumah tangga dengan penerapan teknologi yang disesuaikan dengan
karakteristik wilayah (baik kawasan hulu, pekotaan padat, maupun di hilir/ pesisir). Kegiatan
pemanenan air hujan dalam hal ini dapat dilakukan dengan berbagai variasi maupun teknik
seperti: pembuatan embung, water tank diatap bangunan, waduk, sumur buatan, dan biopori.
• Penghematan air. Penghematan air bertujuan untuk mengurangi tingakt pemanfaatan air bersih
baik secara individual maupun kolektif. Kegiatan untuk mengoperasionalkan strategi ini
diantaranya melalui pembangunan kesadaran atau kepedulian, penerapan teknologi, dan regulasi.
• Purifikasi air sumur/ sumber air bersih masyarakat. Purifikasi bertujuan untuk menjamin bahwa
air sumur atau sumber air bersih lainnya yang dimiliki masyarakat tetap dapat dimanfaatkan baik
pada saat maupun pasca terjadinya dampak perubahan iklim yang ekstrim, seperti banjir dan
SEMARANG City Resilience Strategy
52
inflitrasi air laut. Purifikasi dapat dilakukan dengan cara-cara konvensional maupun penerapan
teknologi khusus, disesuaikan dengan tingkat kontaminasinya.
• Pemanfaatan air laut (desalinisasi). Pemanfaatan air laut melalui proses desalinisasi merupakan
salah satu strategi dalam peningkatan ketahanan pada sektor air bersih, khususnya dalam situasi
yang darurat/ emergency. Pengadaaan instalasi pengolah air (IPA) yang bersifat mobile atau
mudah untuk dipindah-pindahkan merupakan salah satu bentuk intervensi yang bisa dilakukan.
5.1.2. Strategi Ketahanan Sektor Infrastruktur
Strategi ketahanan sektor infrastruktur ditujukan sebagai upaya untuk mengurangi dampak negatif
dari banjir ketika intensitas dan level curah hujan meningkat secara ekstrim maupun peningkatan
muka air laut. Sasaran strategi ini diprioritaskan pada kelompok masyarakat yang berada di sekitar
bantaran sungai, permukiman pesisir, dan kawasan-kawasan pusat perekonomian dan simpul-
simpul pergerakan. Beberapa alternatif aksi untuk menciptakan ketahanan dari sisi infrastruktur
diantaranya adalah:
• Pembangunan tanggul laut (sea wall). Pada prinsipnya tanggul laut adalah salah satu
infrastruktur yang diperlukan agar air laut dapat dicegah dan tidak masuk ke wilayah daratan.
Tanggul laut ini dapat dibangun di daratan maupun di lepas pantai. Selain sebagai tanggul fungsi
tambahan yang bisa dimasukkan adalah untuk peningkatan aksesibilitas jika bagian atas tanggul
dapat dirancang sebagai jalan.
• Pembangunan saluran sabuk. Saluran sabuk merupakan saluran drainase dalam skala kota untuk
memecah atau mendistribusikan limpasan dari sungai-sungai yang mengalir dari selatan menuju
utara. Saluran sabuk yang melintang pada arah barat dan timur akan memperlambat aliran dan
mengurangi resiko banjir di pusat kota dan simpul-simpul perekonomian.
• Penerapan Sistem Polder.
• Pembangunan jaringan drainase lingkungan (tersier). Drainase lingkungan merupakan salah
satu komponen infrastruktur untuk meningkatkan ketahanan kota, khususnya pada wilayah-
wilayah rawan longsor yang ada di perbukitan dengan kemiringan lereng lebih dari 15%. Jaringan
drainase yang kurang memadahi ini sering menyebabkan longsor dan erosi tanah. Pembangunan
SEMARANG City Resilience Strategy
53
jaringan drainase tersier ini sepertinya cenderung diabaikan dalam masterplan drainase kota dan
kurang mendapat prioritas pendanaan Padahal, keberadaan drainase tersier ini akan
mempengaruhi efektifitas dan keberlanjutan dari sistem jaringan darianse yang lebih besar.
• Pembangunan shelter banjir. Pembangunan shelter banjir ditujukan untuk meningkatkan
ketahanan masyarakat pada saat terjadinya curah hujan ekstrim dan kegagalan sistem drainase.
Pembangunan shelter banjir di lakukan pada pusat-pusat permukiman dengan
mempertimbangkan jarak tempuh. Shelter banjir bisa berupa bangunan baru atau diintegrasikan
fungsinya dengan bangunan lain yang telah ada.
5.1.3. Strategi Ketahanan Sektor Lingkungan
Strategi ketahanan sektor lingkungan ditujukan sebagai upaya untuk mendukung keberlanjutan
berbagai program pembangunan dari sektor air bersih maupun infrastruktur yang telah ada.
Dengan strategi ini diharapkan manfat dari program air bersih dan infrastruktur dapat bertahan lama
dan langsung dapat dirasakan oleh target sasaran. Sasaran strategi ini diprioritaskan pada kelompok
masyarakat yang berada di daerah rawan dari sekitar bantaran sungai dan kawasan-kawasan pusat
perekonomian dan simpul-simpul pergerakan. Beberapa alternatif aksi untuk menciptakan
ketahanan dari perspektif lingkungan diantaranya adalah:
• Konservasi upstream Dam Jatibarang. Konservasi upstram Dam Jatibarang pada dasarnya
adalah serangkaian aktivitas yang mencakup penanaman wilayah upstream dengan vegetasi-
vegetasi yang sesuai, penerapan konsep agro-forestry, dan juga kegiatan regulatif untuk
mengontrol pendirian bangunan-bangunan di wilayah upstream Dam Jatibarang.
• Perlindungan sumber air bersih melalui pengelolaan limbah cair dan sampah rumah tangga.
Pengelolaan limbah padat dapat mencakup pembangunan dan pengelolaan di Tempat
Pembuangan Sampah Sementara, penerapan 3R, memperluas cakupan layanan pengangkutan
sampah, dan peningkatan sistem pengelolaan di Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Adapun untuk
pengelolaan limbah cair mencakup pembangunan instalasi pengolahan air limbah (IPAL) dengan
teknologi yang disesuaikan dengan karakteristik masing-masing wilayah. Disamping itu
peningkatan akses sanitasi melalui kredit sanitasi bagi masyarakat miskin juga merupakan salah
SEMARANG City Resilience Strategy
54
satu kegiatan yang patut dicatat sebagai salah satu komponen kegiatan dalam strategi ini.
Penanganan vegetaif pada umumnya lebih murah dan lebih berwawasan lingkungan daripada
pendekatan struktur.
• Penanganan vegetatif untuk daerah rawan longsor. Penanganan vegetatif dapat dilakukan
melalui penanaman rumput vertiver, bambu, atau dengan tanaman keras lainnya yang sesuai.
5.1.4. Strategi Ketahanan Sektor Kelautan dan Perikanan
Strategi ketahanan sektor kelautan dan perikanan memiliki katerkaitan yang kuat dengan sektor
lingkunganlingkungan. Strategi ketahanan ini ditujukan sebagai upaya untuk mendukung
menyelamatkan kegiatan pertambakan di Kota Semarang dari ancaman SLR dan abrasi. Sasaran
strategi ini diprioritaskan pada kelompok masyarakat petani tambak di wilayah pesisir Kota
Semarang. Beberapa alternatif aksi untuk menciptakan ketahanan pada sektor kalutan dan perikanan
ini diantaranya adalah:
• Pembuatan green belt sepanjang pantai di areal pertambakan. Berbagai teknik penanaman
vegetasi pantai baik yang bersifat konvensional dan inovatif - misalnya yang dikombinasikan
dengan ban bekas sebagai pemecah ombak - dapat diterapakan.
• Diversifikasi usaha perikanan. Diversifikasi usaha dimaksudkan agar secara ekonomi masyarakat
pesisir yang berkerja di sektor perikanan dan kelautan dapat meningkatkan taraf kehidupannya
sehingga membuat mereka mampu untuk menjangkau kegiatan adaptasi. Diversifikasi usaha
perikanan dalam hal ini dapat mencakup jenis usaha dan pengolahannya.
5.1.5. Strategi Pengembangan Kapasitas SDM dan Kelembagaan
Pengembangan kapasitas SDM bagi masyarakat umum dan aparatur pemerintah menjadi strategi
yang penting dalam adaptasi perubahan iklim. Pengetahuan dan ketrampilan yang diperoleh akan
mempermudah pelaksanaan dan mendorong keberhasilan program dan aksi adaptasi perubahan
iklim yang dilakukan. Beberapa alternatif intervensi yang bisa dilakukan adalah:
• Mengintegrasikan perubahan iklim dalam kurikulum pendidikan. Tujuan dari kegiatan ini agar
masyarakat secara umum memiliki pengetahuanyang mamadahi tentang perubahan iklim.
SEMARANG City Resilience Strategy
55
Muatan materi disesuaikan dengan tingkat pendidikan, mulai dari pendidikan dasar, menegah,
hingga perguruan tinggi.
• Pendirian Center for Cities and Climate Change (C4). Pengembangan institusi ini ditujukan
untuk penguatan kapasitas pemerintah dengan penyedian informasi atau kajian yang akurat bagi
pengabilan kebijakan pembangunan. Organisasi ini memberikan pelatihan dan training kepada
aparatur pemerintah untuk dapat menterjemahkan rencana strategis penanganan perubahan
iklim menjadi tindakan operasional yang dapat implementatif. Organisasi ini juga bisa memberikan
pelatihan dan advis kepada pihak-pihak diluar pemerintah jika diminta. Walaupun institusi ini
diletakkan dibawah struktur organisasi pemerintah (tepatnya dibawah Pusat Informasi
Pembangunan/ PIP), peluang partnership dengan universitas dan lembaga non-pemerintah tetap
dimungkinkan. Tim teknis perubahan iklim yang telah ada saat ini dapat menjadi embrio institusi
ini.
• Pelibatan sektor swasta dalam adaptasi perubahan iklim. Tujuan pelibatan sektor swasta ini
untuk mengarahkan agar sektor swasta bersedia mengalokasikan dana corporate social
responsibility (CSR) untuk kegiatan adaptasi perubahan iklim yang terjadi disekitarnya. Kegiatan ini
dapat dilakukan dengan mengembangkan forum komunikasi diantara sektor bisnis, pemerintah,
dan organisasi civil society dengan misi khusus tentang CSR dan perubahan iklim.
• Kajian Lingkungan Hidup Strategis terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah Kota dengan
Kriteria Perubahan Iklim. Masterplan Kota Semarang 2010-2030 mungkin tidak dapat bekerja jika
perubahan ekstrim pada curah hujan dan SLR terjadi. Pembangunan dan investasi publik yang
tetap dipertahankan di wilayah pesisir dataran rendah seperti airport, stasiun kereta, kawasan
industri, dan pusat perdagangan dan jasa mungkin akan gagal mengemban fungsinya masing-
masing. Disisi lain, masterplan Kota Semarang juga mengalokasikan fungsi-fungsi baru pada
bagian wilayah lain. Pengalokasian tersebut akan terpengaruh oleh perubahan iklim. Oleh karena
itu, kajian lingkungan hidup strategis dalam perspektif perubahan iklim terhadap Rencana Tata
Ruang Wilayah dan Kota sangat diperlukan.
SEMARANG City Resilience Strategy
56
5.2. Kriteria Strategi Ketahanan
Dalam mengusulkan kegiatan-kegiatan adaptasi guna ketahanan kota, kriteria ketahanan harus tetap
diperhatikan. Adapun kriteria ketahanan meliputi (Rockefeller Foundation and ISET, 2010):
• Redundansi: berbagai cara untuk mencapai tugas-tugas sistem yang esensial harus
dikembangkan dalam perumusan aksi-aksi peningkatan ketahanan.
• Fleksibilitas: aksi-aksi yang dikembangkan harus memiliki fleksibilitas karena sistem diharapkan
juga dapat mengakomodasi kondisi tanpa kesalahan (ketika situasi ekstrim tidak terjadi). Jika
kesalahan terjadi dibawah kondisi ekstrim, dapat diprediksi, dapat dikendalikan, dan dapat pulih
dengan cepat.
• Kemampuan reaksi/reorganisasi: aksi-aksi yang dikembangkan diharapkan dapat menunjang
sistem dalam membentuk kembali dirinya dengan cepat dalam kondisi yang tidak diharapkan.
• Pembelajaran: aksi-aksi yang dikembangkan diupayakan untuk memanfaatkan mekanisme dari
pengalaman-pengalaman yang telah ada untuk mempercepat proses akumulasi pengetahuan.
Aksi-aksi adaptasi yang diusulkan sebaiknya bukan aksi yang belum teruji.
Tabel 5.1: Kriteria Ketahanan Usulan Aksi Adaptasi Perubahan Iklim
CLIMATE ADAPTA-TION STRATEGIES
REDUNDANCY FLEXIBILITY/ ROBUSTNESS
REORGANIZATION/RESPONSIVENESS
LEARNING
1. Rain Harvesting Bisa dilakukan dengan membuat embung, su-mur resapan, atau me-nangkap air langsung dari atap.
Hasil tangkapan air hujan bisa langsung digunakan untuk MCK atau melalui pengola-han terlebih dahulu sebagai air minum.
Rain harvesting men-gurangi debit run-off hujan yang berpotensi timbulkan banjir.
Sudah ada inisiasi penerapan rainhar-vesting secara indi-vidual
2. Penghematan Penggunaan Air dan Re-use
Pengurangan juga bisa mencakup penggunaan kembali dalam menggu-nakan air dan dapat dilakukan dalam berba-gai aktivitas rumah tangga.
Penghematan air bisa dilakukan pada musim kemarau ataupun pen-ghujan.
Penghematan air juga bisa menyediakan pasokan air di musim kering.
Sudah banyak kam-panye tentang penghematan air.
SEMARANG City Resilience Strategy
57
CLIMATE ADAPTA-TION STRATEGIES
REDUNDANCY FLEXIBILITY/ ROBUSTNESS
REORGANIZATION/RESPONSIVENESS
LEARNING
3. Purifikasi Sumur/Sumber Air Bersih yang Terkontaminasi
Purifikasi bisa dilakukan dengan berbagai cara, baik tradisional maupun penerapan teknologi tepat guna.
Sistem penyaringan dirancang supaya da-pat berjalan saat banjir dan rob.
Pada saat banjir dan rob, purifikasi menja-min ketersediaan air bersih bagi masyarakat dan mengurangi biaya masyarakat untuk pembelian air bersih.
Purifikasi sudah dit-erapkan, misal, di Aceh
4. Desalinasi Air Laut Desalinasi dilakukan pada situasi darurat, misalnya saat banjir.
Fasilitas desalinasi didesain dengan konsep mobile supaya bisa menjangkau wilayah yang banjir.
Dalam keadaan darurat, desalinasi air laut akan menjamin ketersediaan air bersih untuk korban banjir.
Program desalinasi sudah dilakukan di Aceh dan Bali
5. Tanggul Laut Tanggul laut juga akan berfungsi sebagai jalan outer ring road utara Kota Semarang
Untuk kenaikan per-mukaan air laut, tanggul laut dapat mengatasi SLR yang paling ekstrim.
Sudah diterapkan di beberapa negara lain, seperti Belanda dan Korea Selatan.
6. Saluran Sabuk Tengah
Bisa dirancang untuk menampung limpasan air hujan dalam kondisi ekstrim, volume saluran bisa mempertimbang-kan curah hujan kondisi ekstrim.
Bisa mengurangi tekanan banjir yang ada di pusat Kota Semarang
Sudah tertuang ke dalam masterplan drainase Kota Sema-rang. Sudah diterap-kan di beberapa bagian Kota Sema-rang dengan skala kecil.
7. Sistem Drainase Lingkungan (Tersier)
Bisa dirancang untuk menampung limpasan air hujan dalam kondisi ekstrim, design drai-nase seperti volume dan material bisa mempertimbangkan ketersediaan material di tingkat local.
Bisa mengurangi tekanan banjir yang ada di pusat Kota Semarang, khususnya di lingkun-gan pemukiman, memperbaiki dan meningkatkan kuali-tas kesehatan masyarakat.
Sudah diterapkan di beberapa bagian Kota Semarang den-gan skala kecil, seperti KIP, PNPM Mandiri, dll.
8. Shelter Banjir Harus didesain dengan elevasi minimum yang lebih tinggi dari keting-gian banjir pada saat curah hujan ekstrim.
Pembangunan shelter banjir dialokasikan un-tuk pusat pemukiman dengan pertimabangan waktu dan jarak tem-puh. Bangunan ini bisa berupa bangunan baru ataupun terintegrasi secara fungsional den-gan bangunan yang sudah ada.
Ketahanan masyarakat akan bertambah jika terjadi curah hujan ekstrim atau terjadi masalah pada system drai-nase.
Korban banjir sering melakukan evakuasi mandiri ke tempat yang lebih tinggi, yang umumnya merupakan bangu-nan umum yang dekat dengan rumah, seperti mesjid, gereja, dan sekolah.
SEMARANG City Resilience Strategy
58
CLIMATE ADAPTA-TION STRATEGIES
REDUNDANCY FLEXIBILITY/ ROBUSTNESS
REORGANIZATION/RESPONSIVENESS
LEARNING
9. Konservasi di Wi-layah Upstream Waduk Jatibarang
Bisa dilakukan dengan berbagai cara, seperti agroforestry.
Penanaman bisa dila-kukan di musim hujan, dan perawatan difokus-kan pada musim kema-rau.
Bisa memberikan nilai tambah secara ekonomi bagi masyarakat disamp-ing mengurangi sedimentasi ke dam Jatibarang.
Sudah dilakukan studi oleh pemerintah daerah, pemerintah pusat, dan JICA.
10. Perlindungan Sumber Air Baku melalui Pengelolaan Limbah Cair Rumah Tangga
Bisa dilakukan melalui pengelolaan limbah pa-dat dan limbah cair.
Bisa dilakukan dalam skala individual maupun komunal. Design bisa disesuaikan dengan karakteristik permasa-lahan sanitasi di tingkat lingkungan.
Meningkatkan kese-hatan lingkungan.
Sudah ada inisiasi kegiatan yang dit-erapkan oleh Pemkot dan LSM.
11. Penanganan Vegetatif untuk Men-gatasi Longsor di Daerah Kelerangan Tinggi
Tersedia berbagai ma-cam spesies (vetiver, bambu, tanaman keras) dan teknik penanaman di daerah rawan longsor.
Penanaman bisa dila-kukan di musim hujan, dan perawatan difokus-kan pada musim kema-rau
Selain melindungi rumah dan mencegah korban jiwa, berkon-tribusi dalam men-gurangi sedimentasi pada jaringan drai-nase perkotaan.
Sudah ada inisiasi kegiatan yang dit-erapkan melalui pilot project ACCCRN.
12. Green Belt dise-panjang Garis Pantai di Lahan Pertam-bakan
Tersedia berbagai ma-cam spesies dan teknik penanaman mangrove.
Penanaman bisa dila-kukan di musim hujan, dan perawatan difokus-kan pada musim kema-rau
Selain melindungi tambak, juga men-ingkatkan keragaman hayati di kawasan pesisir, memberikan manfaat tambahan untuk pendidikan dan wisata.
Sudah ada inisiasi kegiatan yang dit-erapkan oleh Pemkot dan LSM.
13. Diversifikasi Usaha dan Produk Kelautan dan Perika-nan
Pengembangan usaha perikanan dan kelautan yang tidak sensitif terhadap kenaikan muka air laut dan curah hujan ekstrim.
Pengembangan usaha dan produk yang mengikuti permintaan pasar.
Memberikan peningkatan ekonomi kepada orang-orang yang bekerja di sektor perikanan dan kelautan supaya menjadi lebih stabil dan mampu mengupayakan adaptasi secara mandiri jika diperlukan.
Terdapat banyak pilihan kegiatan untuk mengembangkan sektor ini.
SEMARANG City Resilience Strategy
59
CLIMATE ADAPTA-TION STRATEGIES
REDUNDANCY FLEXIBILITY/ ROBUSTNESS
REORGANIZATION/RESPONSIVENESS
LEARNING
14. Pengarusuta-maan Perubahan Iklim ke Dalam Kurikulum Pendidi-kan
Dilakukan melalui pen-didikan formal dan non formal baik di kalangan pemerintah maupun masyarakat
Bisa dilakukan setiap saat, didalam penera-pannya bisa terintegrasi atau menyesuaikan dengan system pen-didikan dan pelatihan yang ada.
Memberikan pema-haman terhadap situasi local yang ada dan mendorong program-program adaptasi perubahan iklim di tingkat kota.
Program pendidikan lingkungan sudah diberikan di tingkat formal maupun belum spesifik mengenai perubahan iklim.
15. Pembentukan Center for Cities andClimate Changes
Organisasi ini secara institusi berada di bawah pemerintah setempat tetapi terdiri dari para pihak pembangunan kota (pemerintah, LSM, Universitas, Sektor Pri-vat, Media, dan Kelom-pok Masyarakat.
Format organisasi mengikuti mekanisme dan prosedur yang ada di pemerintah setem-pat. Pengembangan institusi ini bertujuan meningkatkan kapasi-tas pemerintah dengen menyediakan informasi dan database untuk mendukung proses pengambilan keputu-san.
Organisasi ini juga menyediakan pelati-han untuk staf pe-merintah atau pihak lain sesuai permin-taan.
Organisasi semacam ini sudah ada di kota-kota lain dan umumnya berbasis universitas.
16. Pelibatan Sektor Privat di dalam Kegi-atan Adaptasi Peru-bahan iklim
Kontribusi swasta dise-suaikan dengan pro-gram dan interest masing-masing swasta
Program CSR diarah-kan untuk berkontri-busi dalam upaya adaptasi perubahan iklim
Beberapa swasta telah mengembang-kan CSR melalui ke-giatan pengelolaan lingkungan
17. Kajian Lingkun-gan Hidup Strategis terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah dengan Kriteria Pe-rubahan Iklim
Terdapat beberapa dokumen ttg peruba-han iklim di Kota Sema-rang sebagai referensiTersedia cukup kapasi-tas SDM untuk melak-sanakan
Output evaluasi akan berguna bagi peru-musan kebijakan pembangunan kota lebih lanjut
Hasil evaluasi dapat menjadi input evaluasi berkala dari RTRW setiap 5 tahunan
Tidak terdapat inisiatif semacam ini di Indo-nesia, tetapi praktek semacam ini telah berlangsung di ne-gara lain spt India (Surat City)
SEMARANG City Resilience Strategy
60
5.3. Proses Prioritasi
Qualitative Cost-Benefit Analaysis (QualBCA) dipilih untuk melakukan proses prioritisasi. Sebelum
kegiatan perhitungan benefit dan cost dilakukan, penjabaran secara kualitatif atas benefit dan cost
telah dilakukan dan dituangkan dalam matrik (Tabel 5.2 dan 5.3) berikut ini.
Tabel 5.2: Biaya (C) Kegiatan Adaptasi
KEGIATAN KETAHANAN IKLIM
BIAYA (COST)BIAYA (COST)BIAYA (COST)BIAYA (COST)KEGIATAN KETAHANAN IKLIM Ekonomi Sosial Lingkungan Lain-lain
1. Rain Harvesting Perlu kajian DED, instalasi, dan pera-watan sistem, pem-bebasan lahan untuk model embung
Persepsi negatif ter-hadap kualitas air hujan yang meru-pakan air kotor.
Modifikasi land-scape untuk model embung memberi-kan pengaruh ter-hadap lingkungan
Tampungan air sebagai media pertumbuhan jentik nyamuk
2. Penghematan air Instalasi, teknologi hemat air
Resistensi masyarakat untuk mengubah gaya hidup
3. Purifikasi sumur-sumur/sumber air ber-sih yang terkontami-nasi
Kajian DED, instalasi, dan perawatan
Kurang praktis di mata masyarakat
4. Pemanfaatan air laut (desalinisasi)
Pengadaan alat, biaya operasional dan per-awatan, kendaraan pengangkut
Tenaga operator yang terlatih
5. Tanggul Laut kajian DED, biaya konstruksi tinggi, per-awatan, pembebasan lahan,
rawan konflik pem-bebasan lahan, hi-langnya mata penca-harian sebagian pen-duduk (tambak)
kerusakan eko-sistem pantai,
meningkatkan kegi-atan penambangan untuk konstruksi tanggul
keselamatan masyarakat terancam jika tanggul mengalami kerusakan
6. Saluran sabuk ten-gah
Kajian DED, biaya konstruksi, dan pera-watan
Pembebesan lahan untuk pelebaran dan pembuatan drainase
Pembangunan pada di pusat kota men-imbulkan kemacetan
Umur drainase berkurang akibat sedimen dan sam-pah
7. Drainase lingkungan (tersier)
Kajian DED, biaya konstruksi, dan pera-watan
Umur drainase berkurang akibat sedimen dan sam-pah
SEMARANG City Resilience Strategy
61
KEGIATAN KETAHANAN IKLIM
BIAYA (COST)BIAYA (COST)BIAYA (COST)BIAYA (COST)KEGIATAN
KETAHANAN IKLIMEkonomi Sosial Lingkungan Lain-lain
8. Pembangunan shel-ter banjir
Kajian DED, biaya pembangunan atau renovasi bangunan, pengadaan lahan untuk bangunan baru, pembebasan lahan, perawatan dan op-erasional bangunan
Persepsi dan pan-dangan negatif ter-hadap pemerintah (mengapa tidak menyelesaikan akar masalah?)
9. Konservasi di wi-layah upstream DAM Jatibarang
pengadaan bibit, penanaman, dan pe-meliharaan
perlu membangun kerjasama dengan pemerintah diluar kota Semarang
Persepsi pemerintah bahwa upaya konservasi tidak memberikan PAD
10. Perlindungan Sumber Air Baku me-lalui Pengelolaan Lim-bah Cair Rumah Tangga
Kajian DED, instalsi pengolah limbah, dan perawatan
Persepsi masyarakat limbah harus segera dibuang jauh dari rumahnya
Penolakan dari masyarakat jika biaya perawatan dibebankan kepada mereka disebab-kan kurangnya pemaha-man dan kemampuan ekonomi.
11 Penanganan vege-tatif di daerah rawan longsor
Bibit vetiver, penana-man, dan perawatan awal
Pembebasan lahan Jangka waktu yang lama antara tindakan penana-man dengan manfaat yang diperoleh
12. Green belt dise-panjang garis pantai di lahan pertambakan
Lahan, bibit man-grove, perawatan
Pembebasan lahan dari masyarakat dan swasta yang telah menguasai wilayah pantai
Persepsi pemerintah bahwa upaya konservasi tidak memberikan PAD
13. Diversifikasi usaha perikanan dan kelautan
Pelatihan, Asistensi usaha, dukungan pembiayaan, dan monitoring.
Penolakan dari masyarakat terhadap sesuatu yang baru
Usaha yang tidak sesuai akan ber-dampak negative terhadap ingkungan
Sektor perikanan dan kelutan kurang mendapat perhatian pemerintah
14. Pengarusutamaan perubahan iklim dalam kurikulum pendidikan
Training, media pem-belajaran
Banyaknya muatan mata pelajaran pada pendidikan formal
Resisten terhadap perubahan pada target usia dewasa
15. Pendirian Center for Cities and Climate Changes
Pelatihan, pengem-bangan alat dan me-dia belajar
Sistem kelembagaan multistakeholder sulit untuk mendapatkan pen-danaan dari pemerintah
SEMARANG City Resilience Strategy
62
KEGIATAN KETAHANAN IKLIM
BIAYA (COST)BIAYA (COST)BIAYA (COST)BIAYA (COST)KEGIATAN KETAHANAN IKLIM Ekonomi Sosial Lingkungan Lain-lain
16. Pelibatan sektor swasta dalam adaptasi perubahan iklim
Pelatihan, seminar, danworkshop
Mengembangkan dialog/forum diantara sektor swasta, pe-merintah, dan masyarakat.
Sistem kelembagaan multistakeholder sulit untuk mendapatkan pen-danaan dari pemerintah
17. Kajian Lingkungan Hidup Strategis terha-dap Rencana Tata Ruang Wilayah dengan Kriteria Perubahan Iklim
Workshop series Hasil evaluasi mung-kin akan sulit dia-dopsi karena me-nangkut biaya sosial yang besar
Kegiatan dengan output non-fifik sering diabaikan karena dianggap tidak memberikan dampak langsung bagi masyarakat
Tabel 5.3: Manfaat (B) Kegiatan Adaptasi
KEGIATAN KETAHANAN IKLIM
MANFAAT (BENEFIT)MANFAAT (BENEFIT)MANFAAT (BENEFIT)MANFAAT (BENEFIT)KEGIATAN KETAHANAN IKLIM Ekonomi Sosial Lingkungan Lain-lain
1. Rain Harvesting Mengurangi biaya pembelian air
Mengurangi kerugian akibat banjir
Sebagai tempat rekreasi,
Mengurangi eksploi-tasi air bawah tanah.
2. Penghematan air Mengurangi biaya pembelian air
Mengurangi tekanan terhadap sumber air
3. Purifikasi sumur-sumur/sumber air ber-sih yang terkontaminasi
Mengurangi biaya pembelian air
Mengurangi resiko penyakit pada saat banjir
4. Pemanfaatan air laut (desalinisasi)
Pengurangan biaya pengadaan air bersih (yang mahal) pada situasi bencana banjir
Kemudahan akses air bersih pada situasi tanggap da-rurat banjir
5. Tanggul Laut Mengurangi kerugian banjir dan rob Meningkatkan aksesi-bilitas
Menciptakan lapan-gan pekerjaan baru pada saat kon-struksi
6. Saluran sabuk ten-gah
Kerugian akibat banjir berkurang
Menciptakan lapan-gan pekerjaan baru pada saat kon-struksi
Mengurangi resiko kesehatan yang disebabkan banjir
SEMARANG City Resilience Strategy
63
KEGIATAN KETAHANAN IKLIM
MANFAAT (BENEFIT)MANFAAT (BENEFIT)MANFAAT (BENEFIT)MANFAAT (BENEFIT)KEGIATAN
KETAHANAN IKLIM Ekonomi Sosial Lingkungan Lain-lain
7. Drainase lingkungan (tersier)
Kerugian akibat banjir local dan longsor berkurang
menciptakan lapan-gan pekerjaan baru saat konstruksi
meningkatkan kese-hatan masyarakat
8. Pembangunan shel-ter banjir
Shelter bisa berfungsi sebagai ruang/fasilitas publik jika tidak ada banjir
Mengurangi resiko kesehatan yang disebabkan banjir
Menciptakan lapan-gan pekerjaan baru pada saat kon-struksi
Kualitas/kondisi shel-ter lebih baik dari-pada rumah mereka pada saat banjir
9. Konservasi di wi-layah upstream DAM Jatibarang
Menjaga pasokan air baku PDAM dari dam
Meningkatkan la-pangan pekerjaan, mendukung pariwi-sata di sekitar dam Jatibarang
Mengurangi sedi-mentasi di dam, berkontribusi terha-dap RTH
10. Perlindungan Sumber Air Baku me-lalui Pengelolaan Lim-bah Cair Rumah Tangga
Konsistensi keterse-diaan air baku non PDAM (sumur)
Limbah menjadi tanggung jawab bersama masyarakat
Meningkatkan kese-hatan masyarakat
Menjaga sumber air baku non PDAM
11 Penanganan vege-tatif di daerah rawan longsor
Mengurangi hilangnya material yang disebab-kan longsor
Mengurangi jumlah korban
Mengurangi sedi-mentasi pada drai-nase dan berkontri-busi terhadap RTH
12. Green belt dise-panjang garis pantai di lahan pertambakan
Penyelamatan sekitar 1000 ha tambak atau setara 18 milyar/ year
Kesejahteraan masyarakat pesisir meningkatKegiatan wisata dan pendidikan man-grove
Keanekaragaman hayati pesisir men-ingkat
13. Diversifikasi usaha perikanan dan kelautan
Menambah pendapatan masyarakat
Tingkat kesejaht-eraan masyarakat tidak menurun.
14. Pengarusutamaan perubahan iklim dalam kurikulum pendidikan
Kerugian akibat keru-sakan lingkungan berkurang
Pemahaman terha-dap perubahan iklim di sekolah dan di universitas.
Berkembangnya aktivitas ramah ling-kungan oleh masyarakat
Kesuksesan implemen-tasi program ketahanan terhadap perubahan iklim
SEMARANG City Resilience Strategy
64
KEGIATAN KETAHANAN IKLIM
MANFAAT (BENEFIT)MANFAAT (BENEFIT)MANFAAT (BENEFIT)MANFAAT (BENEFIT)KEGIATAN KETAHANAN IKLIM Ekonomi Sosial Lingkungan Lain-lain
15. Pendirian Center for Cities and Climate Changes
Ketersediaan informasi, database, dan sumber daya manusia untuk pemerintah setempat
Kapasitas pemerin-tah dan masyarakat akan bertambah
Kesuksesan implemen-tasi program ketahanan terhadap perubahan iklim
16. Pelibatan sektor swasta dalam adaptasi perubahan iklim
Menyediakan alternatif sumber pendanaan untuk adaptasi peruba-han iklim
Meningkatnya aktivi-tas pengelolaan lingkungan akan berkontribusi terha-dap ketahanan
Kesuksesan implemen-tasi program ketahanan terhadap perubahan iklim
17. Kajian Lingkungan Hidup Strategis terha-dap Rencana Tata Ruang Wilayah dengan Kriteria Perubahan Iklim
Sebagai kegiatan non-fisik sehingga tdk ter-lampau mahal
Dampak perubahan iklim pada masyarakat yang akan terjadi di masa depan diantisipasi melalui rencana spasial
Tekanan lingkungan yang memperbarah dampak perubahan iklim dapat diidentifi-kasi
5.4. Kualitatif CBA dan Strategi PrioritasKualitatif Cost Benefit Analysis (KualCBA) dipilih sebagai alat prioritiasi. Penilaian dilakukan kolom
demi kolom, dari kiri (cost) menuju ke kanan (benefit). Pertama, berdasarkan penjabaran kualitatif
sebagaimana dua matriks diatas, CWG kemudian menetapkan srategi dengan nilai tertinggi dan
terendah disetiap kolom. Meskipun nilai maksimum dan minimum masing-masing adalah 5 dan 1,
nilai disetiap kolom tidak harus selalu pada skala maksimum atau minimum. Setelah itu, strategi
lainnya dinilai secara bertingkat diantara nilai tertinggi dan terendah. Matrik berikut ini adalah hasil
penilaian dan perhitungan kualitatif analisa biaya dan manfaat (BCA):
SEMARANG City Resilience Strategy
65
Table 5.4: Kualitatif CBA Strategi Adaptasi Perubahan Iklim di Kota Semarang
KEGIATAN KETAHANAN IKLIMBIAYA (C)BIAYA (C)BIAYA (C)BIAYA (C)BIAYA (C) MANFAAT (B)MANFAAT (B)MANFAAT (B)MANFAAT (B)MANFAAT (B) B/C
RasioKEGIATAN KETAHANAN IKLIMEKON SOS LINGK LAIN2 TOTAL
BIAYAEKON SOS LINGK LAIN2 TOTAL
MANFAAT
B/CRasio
1. Rain Harvesting 3 1 2 1 7 5 3 5 - 13 1.86
2. Penghematan air 3 3 - - 6 4 - 4 - 8 1.33
3. Purifikasi sumur-sumur/sumber air bersih yang terkon-taminasi
3 3 - - 6 3 3 - - 6 1.00
4. Pemanfaatan air laut (desali-nisasi) 4 - - 4 8 2 4 - - 6 0.75
5. Tanggul Laut 5 3 3 4 15 5 3 - - 8 0.53
6. Saluran sabuk tengah 5 3 - 1 9 4 3 - - 7 0.78
7. Drainase lingkungan (tersier)5 - - 3 8 3 3 - - 6 0.75
8. Pembangunan shelter banjir 4 2 - - 6 3 4 3 - 10 1.67
9. Konservasi di wilayah up-stream DAM Jatibarang 2 4 - 3 9 4 2 2 - 8 0.89
10. Perlindungan Sumber Air Baku melalui Pengelolaan Lim-bah Cair Rumah Tangga
4 2 - 2 8 4 3 5 - 12 1.50
11 Penanganan vegetatif di daerah rawan longsor 3 4 - 3 10 3 3 4 - 10 1.00
12. Green belt disepanjang garis pantai di lahan pertam-bakan
3 4 - 3 10 3 2 4 - 10 1.00
13. Diversifikasi usaha perika-nan dan kelautan 3 4 2 3 12 3 3 4 - 10 0.83
14. Pengarusutamaan peruba-han iklim dalam kurikulum pen-didikan
4 4 - - 8 3 3 3 2 11 1.38
15. Pendirian Center for Cities and Climate Changes 3 - - 4 7 4 4 - 3 11 1.57
16. Pelibatan sektor swasta dalam adaptasi perubahan iklim 2 4 - - 6 2 - 3 2 7 1.17
17. Kajian Lingkungan Hidup Strategis terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah dengan Kriteria Perubahan Iklim
1 4 - - 5 1 3 7 1.40
Note : Range penilaian 1 - 5Untuk cost (C) 1 untuk biaya yang rendah/murah dan 5 untuk mahal/tinggiUntuk benefit (B) 1 untuk manfaat rendah/sedikit dan 5 untuk manfaat banyak/tinggi
SEMARANG City Resilience Strategy
66
Dari matriks diatas dapat dirumuskan urutan prioritas aksi adaptasi di Kota Semarang sebagai berikut:
• Rain harvesting (1.86)
• Pembangunan shelter banjir (1.67)
• Pendirian Center for Cities and Climate Change (1.57)
• Perlindungan sumber air baku melalui pengelolaan limbah rumah tangga (1.50)
• Kalian Lingkungan Hidup Strategis Masterplan Kota dengan Kriteria Perubahan Iklim (1.40)
• Pengarusutamaan perubahan iklim dalam kurikulum pendidikan (1.38)
• Penghematan air (1.33)
• Pelibatan sektor swasta dalam adaptasi perubahan iklim (1.17)
• Purifikasi sumur-sumur/sumber air bersih yang terkontaminasi (1.00)
• Penanganan vegetatif untuk mengatasi longsor (1.00)
• Green belt sepanjang garis pantai di lahan pertambakan (1.00)
• Konservasi di wilayah upstream Dam Jatibarang (0.89)
• Diversifikasi usaha perikanan dan kelautan (0.83)
• Saluran sabuk tengah (0.78)
• Pembangunan drainase lingkungan/ sistem drainase tersier (0.75)
• Desalinasi air laut (0.75)
• Tanggul laut (0.53)
SEMARANG City Resilience Strategy
67
6. Implementasi dan M&E
6.1. Implementasi dan Pendanaan Aksi Prioritas
Dokumen strategi ketahanan kota ini bersifat terbuka bagi berbagai pihak yang akan melaksanakan
maupun memberikan pendanaan terhadap aksi prioritas yang telah disusun. Walaudemikian semua
aksi dan pembiayaan akan di koordinasikan oleh Bappeda Kota Semarang dengan dibantu oleh City
Working Group dan Tim Teknis Adaptasi Perubahan Iklim Kota Semarang. Implementasi dan
pendanaan aksi prioritas oleh karena itu dapat dilakukan oleh berbagai pihak, baik Pemerintah
Daerah (APBD), Pemerintah Pusat (APBN, ICCTF), Sektor Swasta (CRS Fund), LSM, Universitas, dan
Lembaga Donor nasional maupun internasional.
Pendekatan implementasi yang berbasis masyarakat (community-based) harus tetap menjadi fokus
perhatian dari rencana aksi. Pelibatan masyarakat sebagaimana telah didemonstrasikan dalam Pilot
Project ACCCRN memberikan pengaruh yang signifikan pada keberhasilan aksi adaptasi yang
dilaksanakan. Pelibatan masyarakat sangat penting terutama ketika kontribusi dari masyarakat akan
diperlukan baik pada saat maupun setelah implementasi suatu tindakan intervensi atau adaptasi.
Pendekatan ini mencakup berbagai bentuk dan tidak terbatas pada pelibatan masyarakat pada saat
konsultasi, pelibatan organisasi sipil dan kemasyarakatan, pemberian tanggungjawab implementasi
dan pengelolaan, dan sharing pembiayaan dan sumberdaya.
Aksi adaptasi perubahan iklim yang telah dirumuskan pada dasarnya dapat dibagi dalam jangka
pendek, menengah, dan jangka panjang. Intervensi jangka panjang memerlukan pembiayaan dan
waktu yang lebih lama dalam merealisasikannya. Disamping itu juga terdapat aksi adaptasi yang
bisa segera direalisasikan dalam kurun waktu yang lebih cepat. Lima besar strategi ketahanan terpilih
digolongkan dalam kegiatan jangka pendek (kurang dari 3 tahun) yang akan diusulkan kepada The
Rockefeller Foundation. Setiap aksi adaptasi tidak ekslusif dimiliki oleh satu lembaga tertentu, tetapi
memungkinkan kolaborasi aksi dalam memrealisasikan aksi adaptasi sesuai dengan kewenangan
SEMARANG City Resilience Strategy
68
masing-masing atau berbasis pada perwilayahan penanganan. Berikut ini adalah matriks untuk
menjabarkan aksi prioritas adaptasi perubahan iklim di Kota Semarang ditinjau dari timeframe,
alokasi dana, dan potensi kolaborasi pelaksanaan.
Tabel 6.1: Matriks Rencana Aksi Prioritas dan Proposal kepada RF (Jangka Pendek - < 3 Tahun)
AKSI ADAPTASI TIME
FRAME
ALOKASI
DANA
PEMBIAYAAN
PROPOSAL
PELUANG KOLABORASI
Rain Harvesting 30 Months 750,000 USD Rockefeller Foundation,
ISET, MercyCorps
BAPPEDA, BLH; Dinas
Kesehatan; BAPERMAS,
University and Research
Institution, and NGOs
Pembangunan Shelter Banjir
18 Months 210,000 USD Rockefeller Foundation,
ISET, MercyCorps
BAPPEDA,PSDA, DPU,
DTK, DKPB, University
and Research Institution,
and NGOs
Pendirian Center for
Cities and Climate
Change
12 Months 100,000 USD Rockefeller Foundation,
ISET, MercyCorps
BAPPEDA, BPS, Litbang,
Bag. Hukum, University
and Research Institution,
and NGOs
Perlindungan Sumber Air Baku melalui Pengelolaan Limbah Cair Rumah Tangga
21 Months 230,000 USD Rockefeller Foundation,
ISET, MercyCorps
BAPPEDA,BLH, Dinas
Kesehatan, DTK,
University and Research
Institution, and NGOs
Kajian Lingkungan Hidup Strategis terha-dap Rencana Tata Ru-ang Wilayah dengan Kriteria Perubahan Iklim
12 Months 100,000 USD Rockefeller Foundation,
ISET, MercyCorps
BAPPEDA, University and
Research Institution, and
NGOs
SEMARANG City Resilience Strategy
69
Table 6.2: Aksi Adaptasi Jangka Menengah (>=5 Tahun) Jangka Panjang (>=10 Tahun)
TIME FRAME ADAPTATION ACTIONS FUNDING
PROPOSAL
COLLABORATION AND FUNDING
Jangka
Menengah
Pengarusutamaan perubahan
iklim dalam kurikulum
pendidikan
APBD, ICCTF Dinas Pendidikan, BLH; University and
Research Institution
Jangka
Menengah
Penghematan Air APBD, ICCTF PSDA, DPU, BAPERMAS, University
and Research Institution, and NGOs
Jangka
Menengah
Pelibatan sektor swasta
dalam adaptasi perubahan
iklim
APBD, ICCTF BAPPEDA, BLH, University and
Research Institution, and NGOs
Jangka
Menengah
Purifikasi Sumber Air Bersih
yang Terkontaminasi
APBD, ICCTF,
DAK
BLH, Dinas Kesehatan, BAPERMAS
Jangka
Menengah
Penanganan Vegetatif untuk
Mengatasi Tanah Longsor
APBD, ICCTF,
DAK
BLH, Dinas Pertanian, Dinas
Pertamanan, NGOs
Jangka
Menengah
Green Belt Sepanjang Pantai
di Areal Pertambakan
APBD, ICCTF,
DAK
DKP, BLH, Dinas Pertanian, NGOs
Jangka
Menengah
Konservasi Wilayah Upstream
Waduk Jatibarang
APBD, ICCTF Pem Provinsi (BLH, Kehutanan), BLH,
Dinas Pertanian
Jangka
Menengah
Diversifikasi usaha perikanan
dan kelautan
APBD, ICCTF,
DAK
DKP, BAPERMAS, Dinas Koperasi
Jangka
Panjang
Pembangunan Saluran Sabuk
Tengah
APBN, ICCTF DPU Pusat, BAPPEDA, DPU, PSDA,
DTKP
Jangka
Panjang
Pembangunan drainase
lingkungan/ sistem drainase
tersier
APBN, ICCTF DPU Pusat, BAPPEDA, DPU, PSDA,
BAPERMAS, DTKP
Jangka
Panjang
Desalinasi Air Laut APBN, ICCTF DPU Pusat, BAPPEDA, DPU, PSDA
Jangka
Panjang
Tanggul Laut APBN, ICCTF DPU Pusat, BAPPEDA, DPU, PSDA,
DTKP
SEMARANG City Resilience Strategy
70
6.2. Monitoring dan Evaluasi
Monitoring dan evaluasi (M&E) kegiatan adaptasi yang dibiayai oleh dana APBD dan APBN dilakukan
mengikuti proses monev yang telah ditetapkan dalam undang-undang dan peraturan yang berlaku.
Kegiatan adaptasi yang dibiayai oleh dana non pemerintah seperti dana hibah dari donor
internasional, LSM internasional, dan sektor swasta disesuaikan dengan siklus monitoring dan
evaluasi penyandang dana. Bappeda, CWG, dan Tim Teknis Adaptasi Perubahan Iklim Kota Semarang
bersama-sama dengan inisiator, pelaksana, dan penyedia dana kegiatan adaptasi menyusun
indikator monitoring dan evaluasi sebelum pelaksanaan kegiatan adaptasi dilakukan. Monitoring
dilaksanakan secara berkala dan evaluasi minimal dilaksanakan setiap tahun.
SEMARANG City Resilience Strategy
71
Referensi
• Bintari. 2007. Kajian Kerugian Ekonomi akibat Banjir di Kelurahan Kemijen Kota Semarang. Semarang.
• CC-ROM IPB for Mercy Corps Indonesia, 2010. Vulnerability and Adaptation Assessment to Climate Change at Semarang City.
• DKP, 2008. Strategi Adaptasi dan Mitigasi Bencana Pesisir sebagai Akibat Perubahan Iklim terhadap Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Jakarta.
• DKP, 2010. Inventarisasi Data Pesisir dan Kelautan Tahun 2009. Semarang.
• ICCSR, 2010. Indonesia’s Climate Change Sectoral Strategy Roadmap. Bappenas. Jakarta.
• Mercy Corps Indonesia, 2009. Community Based Vulnerability and Adaptation Assessment of Semarang City.
• Pemkot Semarang, 2006. Masterplan Drainase Kota Semarang. Semarang.
• Pemkot Semarang , 2007. Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Kota Semarang 2005-2025. Bappeda Kota Semarang. Semarang.
• PLRT FT UNDIP for Mercy Corps Indonesia, 2010 (a). Analisis Dampak Ekonomi terhadap Banjir Tahunan di Kelurahan Kemijen Kota Semarang. Semarang.
• PLRT FT UNDIP for Mercy Corps Indonesia, 2010 (b). Penilaian Masterplan Drainase Kota Semarang dalam Mengatasi Dampak Perubahan Iklim. Semarang.
• Rockefeller Foundation and ISET, 2010. Training Modul for City Resilience Strategy Technical Workshop. Bangkok.
• Setiadi, R dan Kunarso. 2009. ‘Pola Migrasi Masyarakat Pesisir Perkotaan sebagai Akibat Perubahan Iklim dalam Tiga Variasi Jangka Waktu: Studi Kasus Kota Semarang’, Laporan Hibah Kompetitif Riset Strategis Sesuai Prioritas Nasional Batch II 2009, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Jakarta.
• Setiadi, R dan Kunarso. 2010. ‘Pola Migrasi Masyarakat Pesisir Perkotaan sebagai Akibat Perubahan Iklim dalam Tiga Variasi Jangka Waktu: Studi Kasus Kota Semarang’, Laporan Hibah Kompetitif Riset Strategis Sesuai Prioritas Nasional 2010, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Jakarta.
• UNEP, 2009. Climate in peril: a popular guide to the latest IPPC’s reports. GRID Arendal. Norway.
SEMARANG City Resilience Strategy
72
Annex 1: Scenario Development
People uncovered by PDAM
80%! 85%!
60% 70%!
Pop: 2.9 Millions!
Pop: 1.4 Millions!
Dry Season !3 Months !
Dry Season!4 Months!
People uncovered by PDAM
80%! 85%!
60% 70%!
Pop: 2.9 Millions!
Pop: 1.4 Millions!
Dry Season !3 Months !
Dry Season!4 Months!
People uncovered by PDAM after Jatibarang Dam development (2050)
75%! 80%!
78% 82%!
Pop: 2.9 Millions; Dam with up-stream conservation!
Pop: 2.9 Millions; Dam without up-stream conservation !
Dry Season !3 Months !
Dry Season!4 Months !
Coastal Area Covered by SLR with different Drainage Masterplan Implementation
13%! 28%!
53% 68%!
50% of Masterplan Drainage are implemented !
9% of Masterplan Drainage are implemented!
SLR!SRESA B1/A2!
21 cm!
SLR!DKP Projection!38 cm!
SEMARANG City Resilience Strategy
73
Area Covered by Flooding with different Drainage Masterplan Implementation
6.5%! 7.8%!
10.8% 13%!
50% of Masterplan Drainage are implemented !
9% of Masterplan Drainage are implemented!
Wet Season!2-3 Months!
Wet Season!4-6 Months!
Number of Days Flooding with different Drainage Masterplan Implementation
22 days!
44 days!
36 days
72 days!
50% of Masterplan Drainage are implemented !
9% of Masterplan Drainage are implemented!
Wet Season!2-3 Months!
Wet Season!4-6 Months!
Households with Contaminated Private and Public Wells
92.8 Thousand HH
98.6 Thousand HH!
51 Thousand HH
58.5 Thousand HH!
20% well are contaminated!
30 % wells are contaminated!
Wet Season!2-3 Months!
Wet Season!4-6 Months!
Number of Sub-district Prone to Land Slide with different Drainage Masterplan Implementation
8 Sub-district!
19 Sub-district!
23 Sub-district
38 Sub-district!
50% of Masterplan Drainage are implemented !
9% of Masterplan Drainage are implemented!
Wet Season!2-3 Months!
Wet Season!4-6 Months!
Loss of Production Value of Fish Pond Area Covered by SLR with different Mangrove Conservation
9.0 Billions/Year!
16.3 Billions/Year!
7.2 Billions/Year 13.2
Billions/Year!
18% of Total Suggested Areas for Mangrove Conservation!
37% of Total Suggested Areas for Mangrove Conservation!
SLR!SRESA B1/A2!
21 cm !
SLR!DKP Projection!38 cm!
Loss of Fish Pond Area Covered by SLR with different Mangrove Conservation
50%! 90%!
40% 75%!
18% of Total Suggested Areas for Mangrove Conservation!
37% of Total Suggested Areas for Mangrove Conservation!
SLR!SRESA B1/A2!
21 cm !
SLR!DKP Projection!38 cm!
SEMARANG City Resilience Strategy
74
Annex 2: Concept Proposal of Prioritized Actions
SEMARANG City Resilience Strategy
75
SECTION 1 – TITLE, CONTACT DETAILS AND BACKGROUND
1.1 Concept title: Water Resources Management In Dry Vulnerable Area of Semarang through Rain Harvesting Model
SECTION 2 – OUTCOMES, APPROACH, SCOPE AND
2.1 Problem definition
Why is this problem? ! what is the Climate Risk? ! who is vulnerable? ! which Urban Systems are
affected?
! What is the justification? ! What studies/ processes led
to this being identified (e.g. Vulnerability Assessments/ Sector Studies/ SLD Meetings)
• Some of drought area (such a Mangunharjo and Kec Tembalang) have risk climate category Medium-High. In 2025 and 2050, they will expose to high risk climate category.
• People who lives in drought area
• It affected to pipeline or water supply system (infrstructure) and community development
• VA: In drought area, people will dug well to get water. It contribute land subsidence. In some of area, they need to buy water from private provider at a costly high.
• SLD 3: Rainharvesting to solve dry areas
2.2 Method
What is the intended method? ! How would it be done (what
is the intended process) ! Who would do it (project
owner, partners, involved institutions)
• To identify potential water resource in semarang with mapping
• To identify existing water consumption pattern and water needed projection in a future with mapping
• Local Institutional dan community strengthening by training
• To set participatoy planning action to cope with climate change by FGD and training
• DED (detail engineering design) for new water resources utilizing through rainharvesting concept
• Project Implementation
• Monitoring and Evaluation
2.3 Scope
What is the estimated Cost? • Provide a breakdown of
costs by resource and time
What is the estimated timeframe? • Is it a staged approach? • When would outcomes be
achieved or outputs delivered?
Cost
! Prefeasibility study : US$ 25,000
! DED Rain harvesting models: US$ 50,000
! Piloting and Advancing the models: US$ 100,000
! Social marketing and awarenes: US$ 50,000
! Rain harvesting installment: US$ 500,000 USD
! Monev: US$ 25,000
Timeframe
! Prefeasibility study: 6 Months
! DED Rain harvesting models: 3 Months
! Piloting and Advancing the models: 6 Months
! Social marketing and awarenes: 3 Months
! Rain harvesting installment: 1 Years
SEMARANG City Resilience Strategy
76
SECTION 3 – PRINCIPLES AND CRITERIA
3.1 ACCCRN Principles
Does the concept challenge the ACCCRN principles in any way?
! Ecologically Sustainable Development
! Do No Harm
! Yes, It ecological sustainability development and have no ecological impact.
! This intervention doesn’t need chemical or any dangerous materials that can contribute negative impact to environtment. It expanse greenery to make the existing water resource sustainable.
3.2 Criteria 1: Contribution to building Urban climate change resilience (Credibility)
Outline how the proposal meets criteria 1.
! Based on VA, this area is Medium,Medium – High climate risk area and they will move to High climate risk in the future if we do nothing. This intervention will help reduce the exposure of climate risk and improve coping capacity in drought area in Semarang by potential water resource management. It will interfere infrastructure system (such as pipeline) and using water resource and also find new water resource with rainharvesting system.
3.3 Criteria 2: Impact on lives of poor and vulnerable populations (Credibility)
Outline how the proposal meets Criteria 2.
! It does impact to poor and vulnerable people in drought areas in Semarang. They will have good access of water supply, especially in dry season. The management water supply and greenery can be managed by local communities.
3.4 Criteria 10:!Prospects for replication in other places (Replicable and scalable)
Outline how the proposal meets Criteria 10.
! It could be replicate to other city in regional scale and have high potencial for wide and scale up in every drought area in ACCCRN cities, especially in steep/hill areas. Rainharvesting concept is adopted from local communities, e.g, In Bandar Lampung use a tank to catch the rainfall. What we do now is how to distribute and manage the water resource and how the poor and vulnerable people have good access and can get it cheap.
3.5 Criteria 11: Ability to achieve scale (Replicable and scalable)
Outline how the proposal meets Criteria 11.
! The same as above
SEMARANG City Resilience Strategy
77
SECTION 1 – TITLE, CONTACT DETAILS AND BACKGROUND
1.1 Concept title: Disaster Risk Reduction through developing shelter in flood area
SECTION 2 – OUTCOMES, APPROACH, SCOPE AND
2.1 Problem definition Why is this problem? what is the Climate Risk? who is vulnerable? which Urban Systems are
affected?
What is the justification? What studies/ processes led to this being identified (e.g. Vulnerability Assessments/ Sector Studies/ SLD Meetings)
In 2050 SLR will be reach 21 – 38 cm
Base on local government budget ability, drainage master plan will be achieved about 50% from all actions plan.
Currently, implementation of drainage master plan is only 9% with own local government financial ability. Every year local government have ability to implement just 1% from all action plan in drainage master plan without development aid from others resource.
Consequence of that situation is more than 7% of coastal area will getting flood in 2050.
Now, it is about 51,000 household have flood disaster vulnerability and it will be increase until 98,000 household in 2050, or growing about 1,200 household per year with trend of drainage master plan implementation about 1% per year.
VA and sectoral studies show flood disaster give impact to loss of assets, to damage of infrastructure and public facilities, and health problems.
People who rich and has a family will move or evacuate to out of there are, but for poor people especially who hasn’t family, so they don’t have option or capacity to move from their area.
It is needed to develop flood shelter as a evacuation place for community during flood.
Flood shelter is expected to reduce victims of flood disaster because they have save evacuation shelter.
2.2 Method What is the intended method? How would it be done (what is the intended process)
Who would do it (project owner, partners, involved institutions)
Feasibility Study for flood shelter in flood area in Semarang City
- Flood risk mapping and potential location for community evacuation
- Deciding effective and efficient for shelter
- Developing alternative for shelter shape with new building or improving existing building (public facilities)
DED for flood shelter development
Shelter construction which appropriate with location characteristic and technology
Developing disaster risk reduction system for flood disaster in Semarang, which flood shelter as a main component for flood evacuation.
2.3 Scope What is the estimated Cost? Provide a breakdown of costs by resource and time
What is the estimated timeframe?
Cost
Feasibility study : US$ 30,000
DED for flood shelter development : US$ 30,000
Shelter construction : US$ 100,000
Developing disaster risk reduction system : US$ 50,000
SEMARANG City Resilience Strategy
78
Is it a staged approach? When would outcomes be achieved or outputs delivered?
Timeframe
Feasibility study : 3 months
DED for flood shelter development : 3 months
Shelter construction : 6 months
Developing disaster risk reduction system : 6 months
SECTION 3 – PRINCIPLES AND CRITERIA
3.1 ACCCRN Principles Does the concept challenge the ACCCRN principles in any way? Ecologically Sustainable
Development Do No Harm
The function of flood shelter will be integrated with public facility, such as school, sport facility, or meeting place. From shelter management can give contribution for operation and maintenance of shelter.
Feasibility study also considers impact of environment aspect.
3.2 Criteria 1: Contribution to building Urban climate change resilience (Credibility)
Outline how the proposal meets criteria 1.
Shelter will reduce victim with the design consider to the most extreme of rain.
Disaster Risk Reduction system can enhance community participatory and preparedness to cope flood, so it can minimize loss caused by flood disaster.
3.3 Criteria 2: Impact on lives of poor and vulnerable populations (Credibility)
Outline how the proposal meets Criteria 2.
Poor population which has not family connection for evacuation become prioritize from flood shelter development because they are vulnerable group.
Impact of flood will reduce and decreasing community burden.
3.4 Criteria 10:Prospects for replication in other places (Replicable and scalable)
Outline how the proposal meets Criteria 10.
Flood shelter possible for replication in other place with considering climate and development scenario in the future.
Resilience strategy through developing flood shelter can be implemented in coastal cities, especially with lack of local government budget to solve the flood issues
3.5 Criteria 11: Ability to achieve scale (Replicable and scalable)
Outline how the proposal meets Criteria 11.
Integration flood shelter in city disaster risk reduction will help the development process, not only in city level but also for province and national level.
SEMARANG City Resilience Strategy
79
SECTION 1 – TITLE, CONTACT DETAILS AND BACKGROUND
1.1 Concept title: Establishing Center for Cities and Climate Change (C4) as a center of information and capacity building
SECTION 2 – OUTCOMES, APPROACH, SCOPE AND
2.1 Problem definition Why is this problem? what is the Climate Risk? who is vulnerable? which Urban Systems are
affected?
What is the justification? What studies/ processes led
to this being identified (e.g. Vulnerability Assessments/ Sector Studies/ SLD Meetings)
Climate change issue is new issue, especially for local government, so just a few people have understanding with this issue.
Although climate change impact have felt by community but it’s difficult to make climate projection and estimation of impact to city development.
Government has normative development plan system with guidance from central government. The guidance makes development plan process is easy but create boundary for local government to integrate new development issues into planning system.
It is needed integration and sustainability efforts for integrating climate change issue into city development plan system.
It is needed institution for providing information about city and climate change as a part from decision making process. The institution has regular program to enhance capacity building for local government related with climate change.
2.2 Method What is the intended method? How would it be done (what is the intended process)
Who would do it (project owner, partners, involved institutions)
Training of Trainer for member C4
Developing best practice tools, knowledge, and database
Establishing Center for Cities and Climate Change (C4)
Training trial and tools improvement
Developing C4 business plan
2.3 Scope What is the estimated Cost? • Provide a breakdown of
costs by resource and time
What is the estimated timeframe? • Is it a staged approach? • When would outcomes be
achieved or outputs delivered?
Cost
Training of Trainer for member C4 : US$ 10,000
Developing best practice tools, knowledge, and database : US$ 50,000
Establishing Center for Cities and Climate Change (C4) : US$ 10,000
Training trial and tools improvement : US$ 15,000
Developing C4 business plan : US$ 15,000
Timeframe
Training of Trainer for member C4 : 1 month
Developing best practice tools, knowledge, and database : 6 months
Establishing Center for Cities and Climate Change (C4) : 2 months
Training trial and tools improvement : 1 months
Developing C4 business plan : 2 months
SEMARANG City Resilience Strategy
80
SECTION 3 – PRINCIPLES AND CRITERIA
3.1 ACCCRN Principles Does the concept challenge the ACCCRN principles in any way?
Ecologically Sustainable Development
Do No Harm
C4 will push to enhance local government capacity for understanding and developing strategy of climate change adaptation
C4 as a part of sustainability strategy in city resilience to cope climate change after ACCRN program
3.2 Criteria 1: Contribution to building Urban climate change resilience (Credibility)
Outline how the proposal meets criteria 1.
C4 has capacity to research related with climate change and city development issues for giving important input to decision making process in local government.
C4 will continue to develop adaptation efforts and monitoring evaluation, for increasing city resilience to cope climate change.
3.3 Criteria 2: Impact on lives of poor and vulnerable populations (Credibility)
Outline how the proposal meets Criteria 2.
Increasing of decision maker capacity will create pro-poor development program as a resilience strategy.
3.4 Criteria 10:Prospects for replication in other places (Replicable and scalable)
Outline how the proposal meets Criteria 10.
Periodically, C4 hold training for local government, so the number of people who understand with climate change will increase. Distribution of knowledge to all district in Semarang will occur automatically
3.5 Criteria 11: Ability to achieve scale (Replicable and scalable)
Outline how the proposal meets Criteria 11.
Successful and Sustainability of city to enhance resilience strategy with supported by C4 is a good practice process and it will be disseminated to vulnerable cities in climate change.
SEMARANG City Resilience Strategy
81
SECTION 1 – TITLE, CONTACT DETAILS AND BACKGROUND
1.1 Concept title: Disaster Risk Reduction through developing shelter in flood area
SECTION 2 – OUTCOMES, APPROACH, SCOPE AND
2.1 Problem definition Why is this problem? what is the Climate Risk? who is vulnerable? which Urban Systems are
affected?
What is the justification? What studies/ processes led to this being identified (e.g. Vulnerability Assessments/ Sector Studies/ SLD Meetings)
The number of household which use non-pipe water system is about 170,000 household and about 51,000 is located in coastal area which vulnerable for contamination caused by accumulation from domestic waste water in the river.
SLR will reach until 38 cm and population growth in 2050. Household with contamination of well will increase double from current.
Semarang local government in the progress to develop sanitation master plan as a respond MDGs indicator to enhance quality of sanitation. In draft of sanitation master plan explain several prioritize location for sanitation improvement to protect water resource and increasing public health.
Local government has limitation of budget to finance of domestic waste water treatment facility, cause of local government propose financing mechanism to central government.
Central government also has limitation to support all action in sanitation master plan, so it is needed other opportunity to finance this program
2.2 Method What is the intended method? • How would it be done (what
is the intended process) • Who would do it (project
owner, partners, involved institutions)
Study of appropriate technology for domestic waste water treatment
- Collecting best practice for community base on domestic waste water treatment
- Development options of domestic waste water treatment facilities including design and construction cost estimation
- Choosing appropriate or contextual technology which has resulted by Cost Benefit Analysis
Establishing community organization for waste water treatment facility management
Construction in several prioritize places
Awareness and Social Marketing
2.3 Scope What is the estimated Cost? • Provide a breakdown of
costs by resource and time
What is the estimated timeframe? • Is it a staged approach? • When would outcomes be
achieved or outputs delivered?
Cost
- Study of appropriate technology for domestic waste water treatment : US$ 30,000
- Establishing community organization for waste water treatment facility management : US$ 20,000
- Construction in several prioritize places : US$ 150,000
- Awareness and Social Marketing : US$ 30,000
Timeframe
- Study of appropriate technology for domestic waste water treatment : 3 months
- Establishing community organization for waste water treatment
SEMARANG City Resilience Strategy
82
facility management : 6 months
- Construction in several prioritize places : 6 months
- Awareness and Social Marketing : 6 months
SECTION 3 – PRINCIPLES AND CRITERIA
3.1 ACCCRN Principles Does the concept challenge the ACCCRN principles in any way? Ecologically Sustainable Development
Do No Harm
Domestic waste water treatment will reduce pollution in drainage system which river as end pipe.
Increasing quality of river as water resource also means enhance water supply.
Bacteria in well can be reduced with domestic waste water treatment.
3.2 Criteria 1: Contribution to building Urban climate change resilience (Credibility)
Outline how the proposal meets criteria 1.
Domestic waste water treatment improve sanitation system and health, also increasing city resilience in water sector, because the function of treatment to give protection for non-pipe water resource, especially well.
Increasing sanitation access, public health, and water resource availability will make strength of city system from climate change threat in the future.
3.3 Criteria 2: Impact on lives of poor and vulnerable populations (Credibility)
Outline how the proposal meets Criteria 2.
Bad sanitation and pollution in water resource from well will increasing community cost.
Poor population become most vulnerable group, because price of good water is more expensive compare with normal situation.
Prioritize of location for domestic waste water treatment is vulnerable group, so they can increase saving, because their cost will reduce for health and water resource allocation.
3.4 Criteria 10:Prospects for replication in other places (Replicable and scalable)
Outline how the proposal meets Criteria 10.
Decentralization system of domestic waste water treatment (in community level) can be replicated in other place, especially in priority area in sanitation master plan.
The goals of replication is just in management system, but for technology should consider with local situation.
3.5 Criteria 11: Ability to achieve scale (Replicable and scalable)
Outline how the proposal meets Criteria 11.
If community can saving because their cost will decrease after program, so this system is easier to replicate in other area.
SEMARANG City Resilience Strategy
83