jurnal arsitektur & · pdf filemodel perancangan parametrik struktur beton dengan sistem...

64
JURNAL ARSITEKTUR & PERENCANAAN JOURNAL OF ARCHITECTURE & PLANNING STUDIES Diterbitkan oleh: JURUSAN TEKNIK ARSITEKTUR DAN PERENCANAAN FAKULTAS TEKNIK - UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA ISSN 1829-6610 Vol. 6 No. 2, Oktober 2013

Upload: ngocong

Post on 02-Feb-2018

223 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

JURNAL ARSITEKTUR& PERENCANAANJOURNAL OF ARCHITECTURE & PLANNING STUDIES

Diterbitkan oleh:JURUSAN TEKNIK ARSITEKTUR DAN PERENCANAANFAKULTAS TEKNIK - UNIVERSITAS GADJAH MADAYOGYAKARTA

ISSN 1829-6610 Vol. 6 No. 2, Oktober 2013

JURNAL ARSITEKTUR& PERENCANAANJOURNAL OF ARCHITECTURE & PLANNING STUDIES

Diterbitkan oleh:JURUSAN TEKNIK ARSITEKTUR DAN PERENCANAANFAKULTAS TEKNIK - UNIVERSITAS GADJAH MADAYOGYAKARTA

ISSN 1829-6610 Vol. 6 No. 2, Oktober 2013

i

JURNAL ARSITEKTUR DAN PERENCANAAN (JAP)

(JOURNAL OF ARCHITECTURE AND PLANNING STUDIES)

Editorial Board:

Prof. Ir. Achmad Djunaedi, MUP, Ph.D Prof. Ir. Sudaryono, M.Eng., Ph.D

Dr. Ir. Budi Prayitno, M.Eng.

Dr. Ir. Ahmad Sarwadi, M.Eng. Diananta Pramitasari, ST., M.Eng., Ph.D.

Managing Director:

Syam Rachma Marcillia, ST., M.Eng., Ph.D.

Editorial Assistant:

Nadia Aghnia Fadhillah

Editorial and Distribution Address:

Jurusan Arsitektur dan Perencanaan Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada

Jalan Grafika No.2, Yogyakarta, 55281, Indonesia

Telp.: +62 274 902320/902321 Fax.: +62 274 580854

Website: www.archiplan.ugm.ac.id

E-mail: [email protected], [email protected]

ii

iii

CONTENTS

Model Perancangan Parametrik Struktur Beton dengan Sistem Stacked Arch Dome (SAD) __ 01

Agus Hariyadi, Kurnia Widiastuti

Eksistensi Konsep Natah pada Tata Ruang Rumah Tinggal Orang Bali di Yogyakarta______ 11

Ahmad Saifullah Malangyudo , T.Yoyok Wahyu Subroto

Morfologi Kampung Kalengan Kelurahan Bugangan Kota Semarang____________________ 20

Arief Fadhilah, Titien Woro Murtini, Bambang Supriyadi

Aspek Visual Rumah Susun di Kawasan Jogoyudan Sungai Code Yogyakarta_____________ 28

Ashri Amalia Hadi

Konservasi Lahan Sebagai Upaya Melindungi Kawasan Resapan Air______________ 35 di Kota Depok Hendro Pratikno, Mussadun

Adaptive Reuse Design of Historic Context___________________________________________ 44

Two Cases: Yame City and Daimyo Area of Fukuoka City, Japan Kurnia Widiastuti, Atsushi Deguchi

iv

Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2013/2 1

Model Perancangan Parametrik Struktur Beton dengan Sistem Stacked Arch Dome (SAD)

Agus Hariyadi1, Kurnia Widiastuti

1,

Zaqi Fathis2, Zuardin Akbar

2, Dhoni Yudhanto

2, Atika Nur Fitriana

2, Rovinida Fitriana

2, Dea Mahsa Talitha

2

1Dosen, Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada 2Mahasiswa, Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada

Abstract

Structure and construction plays an important role in architecture, particularly at the introduction of a variety of structural systems, one of them was stacked arch dome (SAD). However, in architectual research, there was a new modelling system, called parametric, which is used to create high level of complexity architectural design. It could be used to create varoius complexity form, which couldn’t be build by coven- tional modelling system. This research present the potential of a new modelling system, called parametric to build a stacked arch dome structural system creatively. The aim of this research is to design a prefabrication

parametric structure by using SAD structural system using concrete materials. Parametric modelling system is used to obtain the best design from several alternatives. Then, selected design is fabricated to analize structural performance.

Keywords: stacked arch dome, parametric, prefabrication, concrete

I. Latar Belakang

1.1. Stacked Arch Dome (SAD) Sistem SAD merupakan sistem struktur yang ter-

diri atas beberapa baris tumpukan unit lengkung pe- nyangga struktur yang membentuk segi banyak sisi pada denahnya [Moussavi, 2009]. Pada prinsipnya sistem ini dimulai dari bagian atas yang berupa cincin

yang menjadi penyangga unit lengkung teratas. Ma- sing-masing unit lengkung penyangga saling bertum- pu dan berotasi sehingga unit bertumpu pada tepat di titik puncak tengah unit. Di bagian terbawah, sistem ini diakhiri dengan elemen/batu pengunci pada bagian dasarnya.

Gambar 1 Prinsip Dasar Sistem Struktur SAD [2]

Sistem SAD menghasilkan efek yang terkesan me-

nyerupai pola jaring atau jala. Oleh karena itu, sistem ini merupakan desain struktur yang berfungsi pula se- cara estetik pada ruang di dalamnya. Pada kasus lain, struktur ini juga bermanfaat untuk menciptakan efek akustik dari pola langit-langit yang dibentuknya.

Sistem ini memiliki fleksibilitas dalam desainnya

dan sangat dekat dengan kemungkinan prefabrikasi karena dibangun dari unit-unit kecil terpisah. Unit-unit kecil ini memungkinkan efisiensi bahan dengan tetap mempertahankan kekuatan. Fleksibilitas desainnya terlihat dalam hal skala, kedalaman, profil dan efek optis. Skala ukuran polygon dapat memiliki bermacam

ukuran. Kedalaman area di bawah dan di antara unit lengkung dapat dirancang dengan bermacam variasi, sementara profil SAD dapat membentuk pola kurva konsentris maupun horisontal. Efek optis SAD pun dapat menciptakan kesan dan pola tumpukan, leng- kung, rotundity (kubah), facet (seperti pola potongan

pada berlian), stellatedness (pola bintang bersegi ba- nyak), dan conical (kerucut).

Gambar 2 Variasi Sistem Struktur SAD [2]

Agus Hariyadi

--- Dosen, Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan,

Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada

Tel: 08156895532 E-mail: [email protected]

Kurnia Widiastuti

--- Dosen, Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan,

Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada

Tel: 08562892575 E-mail: [email protected]

2 JAP Vol.6 No.2 Okt. 2013 Agus Hariyadi

Prinsip perancangan SAD yang cukup sederhana

dan matematis ini sangat berpotensi untuk dikembang- kan dalam perancangan berbasis parametrik untuk menghasilkan konfigurasi baru dalam model SAD.

1.2. Permodelan Parametrik

Permodelan parametrik merupakan hasil dari ke-

majuan teknologi komputer dalam perancangan. Pe- rancangan parametrik dilakukan dengan memindah- kan, memahami dan membentuk elemen perancangan dengan mendasarkan pada analisis. Permodelan para- metrik umumnya dilakukan dengan plug-in Grasshop- per pada software Rhino

TM . Dengan piranti lunak ini

pengembangan geometri dapat dilakukan sekaligus dengan memasukan banyak variabel dan batasan tek- nis, material, lingkungan dan lain-lain [3]

Gambar 3 Model Karton Kubah Parametrik [7]

Schumacer (dalam [4]) menyatakan beberapa lima

penggunaan perancangan parametrik, yaitu (a) inter- artikulasi parametrik dalam subsistem, (b) aksentuasi parametrik, (c) representasi (figuration) parametrik,

(d) responsifitas parametric, dan (e) urbanisme para- metrik. Jenis penggunaan pertama adalah identifikasi aspek dalam desain dalam keterkaitan dengan faktor keruangan lainnya, sementara jenis kedua menekan- kan pada kesan terhadap integrasi organik dalam pe- nataan ruang. Jenis ke tiga adalah penggunaan dalam

menguji konfigurasi permodelan yang kompleks, se- dang jenis keempat adalah keterkaitan elemen ling- kungan (faktor eksternal) dengan kriteria penataan keruangan. Jenis terakhir mengidentifikasi elemen pe- rancangan dan keterkaitannya dalam konteks kota. Pada penelitian ini, sistem parametrik yang digunakan

cenderung pada jenis ketiga, yaitu representasi para- metrik.

II. Metode Penelitian 2.1 Bahan atau material penelitian

Pada permodelan analog, peneliti menggunakan

berbagai bahan untuk model dan cetakan. Untuk mo- del, tim menggunakan plastisin (pembentukan dengan tangan dan cetak) dan gips (cetak/casting), sedangkan untuk cetakan, tim menggunakan bahan lasercutting akrilik, resin, silikon, dan gips.

2.2 Alat penelitian Penelitian ini menggunakan piranti Rhino

TM dan

plug-in Grasshopper, mesin lasercutter, dan peralatan pencetakan plastisin, akrilik, resin, silikon, dan gips.

2.3 Prosedur pelaksanaan

Penelitian ini direncanakan dalam tiga tahap, yaitu tahap pertama (1) menggunakan computer dan piranti lunak Rhino

TM dan plug-in Grasshopper untuk men-

ciptakan alternatif desain. Tahap kedua (2), berupa permodelan fisik, dan ketiga (3) berupa analisis per- forma pabrikasi dan konstruksi.

Pada pelaksanaannya, tahap pertama dan kedua di- lakukan secara bersamaan/simultan untuk mendapat- kan alternatif sekaligus menguji kelayakan secara geo- metri. Dari hasil tersebut kemudian diuji pada tahap (tiga) pabrikasi menggunakan bahan gips, sebelum dicetak dalam skala 1:1 menggunakan material beton.

2.4 Analisis hasil

Model fisik yang dihasilkan penelitian ini akan di- analisis dari sisi perancangan dan pabrikasi-kon- struksinya. Analisis perancangan dilakukan dengan mencermati kesesuaian dalam prinsip SAD, meliputi

formula matematis strukturnya. Sementara analisis pabrikasi-konstruksi dilakukan dengan perbandingan proses pada sistem struktur yang lain, terutama pada sistem interlock sambungan dan kekakuan sistem stacking.

III. Hasil dan Pembahasan Hasil dari penelitian ini terdiri atas empat bagian,

yaitu: (1) brief (tor/guideline) rancangan, (2) alterna- tif-alternatif pada eksperimen rancangan (proses, hasil dan perbandingan), (3) permodelan fisik (unit), dan (4) skema rencana pabrikasi dan konstruksi.

3.1. Brief (tor/guideline rancangan)

Brief perancangan disusun untuk memberi batasan dan mendorong kreatifitas dalam pembentukan alter- natif desain. Brief tersebut terdiri dari beberapa kriteria. Kriteria dalam brief ini disusun dari landasan-landasan teori, batasan teknis, biaya riset, serta kebutuhan dise- minasi lebih lanjut.

Kriteria perancangan : - SAD konvensional memiliki 3 tipe hubungan antar

unit: unit menempel, unit berpotongan, unit ber- jarak

- Model dirancang bisa dengan cara Form to Unit, atau Unit to Form

- Uji bentuk simetri dan asimetri - Unit mudah disimpan (ringkas/multifungsi (bench)) - Portable Unit (berat <15 kg, bentuk mudah dipin-

dah) - Unit individual vs unit tipikal - Skala Pavillion (1-2 orang)

3.2. Alternatif 1 : Bucks Ball

a. Eksperimentasi Perancangan (Dijital) SAD Konsep Konsep berawal dari sebuah bola, yang mempu-

nyai elemen hexagon dan pentagon. Elemen ini yang dijadikan dasar sebagai unit pembentuk dome. Geo-

Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2013/2 3

desik paling atas berbentuk segi lima/pentagon yang kelima sisinya dikelilingi bentuk segi enam/hexagon.

Gambar 4 Elemen hexagon dan pentagon

Gambar 5 Jusifkasi ukuran dan bentuk

Gambar 6 Model rhino bucks ball

Gambar 7 Definisi grasshopper bucks ball

b. Permodelan Fisik [Analog] SAD Penelitian pertama dengan menggunakan plastisin

untuk model percobaan. Kelebihan dalam mengguna- kan plastisin ini mudah pembuatan unitnya. Dengan

menggunakan cetakan yang terbuat dari polyfoam da- pat mempermudah dalam pembuatan unit ini serta menjadikan ukuran tiap unit mempunyai modul yang sama. Permodelan unit ini menggunakan satu modul ukuran.

Kekurangan penggunaan plastisin ketika semua

unit ditumpuk untuk membentuk sebuah dome. Sifat plastisin yang lunak menyulitkan proses menumpuk tiap unit. Dome yang dibentuk dari unit yang terbuat dari plastisin akan lebih mudah runtuh.

Setiap unit modelnya dibuat menggunakan materi- al plastisin membentuk octahedron dengan dimensi

yang relatif sama. Dimensi modelnya adalah 6 cm x 6 cm.

Gambar 8 Model Plastisin Bucks Ball

Percobaan dilakukan untuk menemukan dua alter- natif, yaitu bentuk simetris dan asimetris. Berdasarkan hasil percobaan, bentuk simetris terbukti lebih rigid dibandingkan dengan yang alternatif. Hal ini dikarena- kan bentuk unit yang simetris, dan sistem tumpuk yang hanya bertumpu pada tiga sisi.

4 JAP Vol.6 No.2 Okt. 2013 Agus Hariyadi

Gambar 9 alternatif bentuk simetris

Gambar 10 Alternatif bentuk asimetris

Percobaan berikutnya membuat cetakan dengan resin. Cetakan ini berukuran 20 cm x 20 cm. Untuk membuat unitya menggunakan gypsum. Ketika hasil cetakan degan menggunakan resin ini mengering dan

sudah dapat digunakan, ternyata cetakan ini terlalu kaku. Sehingga gypsum yang terbentuk tidak mudah untuk dikeluarkan. Hasilnya, gypsum yang sudah tercetak akan pecah.

Gambar 11 Proses Pencetakan/casting

Gambar 12 Proses Pencetakan mal dengan resin

c. Analisis Fabrikasi dan Konstruksi

Selanjutnya membuat cetakan dengan bahan yang lebih lentur, yaitu menggunakan silikon sebagai cetak- an agar model unit yang terbentuk oleh gypsum m- udah untuk dilepaskan dari cetakan.

Gambar 13 Proses pencetakan mal dengan silikon

Gambar 14

Hasil unit gysum yang dicetak menggunakan silikon

3.3. Alternatif 2 : The Eye a. Eksperimentasi Perancangan

Konsep Dasar bentuk diperoleh dari bentuk kotak. Saat

bentuk kotak disusun saling bertumpu akan memiliki kestabilan yang baik. Namun hanya dapat bertumpu secara vertikal saja. Untuk dapat bertumpu secara vertikal maupun horizontal secara bersamaan diperlu- kan manipulasi dari bentuk dasar tersebut.

Pertimbangan/justifikasi ukuran, bentuk (matema-

tika).

Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2013/2 5

Gambar 15 Justifikasi matematis The Eye

Gambar 16 Model Rhino dan Grasshopper The Eye

Gambar 17 Sistem Stacking

b. Permodelan Fisik Penelitian pertama dengan menggunakan plastisin

untuk model percobaan. Kelebihan dalam mengguna- kan plastisin ini mudah pembuatan unitnya. Dengan menggunakan cetakan yang terbuat dari polyfoam da- pat mempermudah pembuatan unit ini serta menjadi- kan ukuran tiap unit mempunyai modul yang sama. Permodelan unit ini menggunakan satu modul ukuran.

Kekurangan penggunaan plastisin ketika semua unit ditumpuk untuk membentuk sebuah dome. Sifat plastisin yang lunak menyulitkan proses menumpuk

tiap unit. Dome yang dibentuk dari unit yang terbuat

dari plastisin akan lebih mudah runtuh. Setiap unit modelnya dibuat menggunakan materi-

al plastisin membentuk bentuk octahedron dengan di- mensi yang relatif sama. Dimensi modelnya adalah 5 cm x 3 cm.

Gambar 18 Model Plastisin

Percobaan dilakukan untuk menemukan dua alter- natif, yaitu bentuk simetris dan asimetris. Kelemahan unit ini untuk dijadikan sebagai bentuk yang simetris

atau dome adalah ketika unit ini ditumpuk, bagian atasnya tidak bisa tertutup secara sempurna. Karena bentuk dari setiap unintnya akan terus saling menum- puk ke atas dan tidak bisa melengkung ke dalam untuk menghasilkan dome yang tertutup.

Gambar 19 Alternatif dengan bentuk simetris/dome

Alternatif berikutnya dengan melakukan percobaan

membuat bentuk yang asmetris. Bentuk berawal dari 2 kurva melengkung yang digabungkan dengan cara melengkungkan bidang yang terbentuk dari 2 kurva itu ke atas. Alternatif ini lebih memungkinkan untuk dikembangkan karena semua sisi dari setiap unitnya saling menumpu. Kelemahan dari bentuk ini ketika

volume tiap unitnya terlalu berat, struktur stacking da- pat melemah dan mudah runtuh. Oleh karena itu, se- tiap unitnya diberi elemen void untuk memperingan volume setiap unitnya.

Gambar 20 Alternatif dengan bentuk asimetris

6 JAP Vol.6 No.2 Okt. 2013 Agus Hariyadi

Percobaan berikutnya membuat cetakan dengan

akrilik. Cetakan ini berukuran 9 cm x 18,5 cm. Cetak- an ini menggunakan sisi negatif dari model the eye. Untuk membuat unitnya menggunakan gypsum. Akri- lik ini dipotong tiap lembarnya dengan menggunakan lasercutting dan ditumpuk secara contouring. Dengan ketebalan setiap lembarnya 0,5 cm.

Gambar 21 Model penumpukan akrilik secara contouring

Gambar 22 Proses Pencetakan mal pada lasercutting akrilik

Akrilik merupakan bahan yang bersifat kaku dan keras. Dengan bentuk unit yang asimetris ini, penggu- nakan bahan akrilik sebagai cetakan membuat hasil cetakan gypsum tidak mudah dilepas dari cetakan dan mudah pecah karena modelnya yang saling mengunci akibat bentuk yang asimetris ini.

c. Analisis Pabrikasi dan Konstruksi

Selanjutnya membuat cetakan dengan bahan yang lebih lentur, yaitu menggunakan silikon sebagai cetak- an agar model unit yang terbentuk oleh gypsum mu- dah untuk dilepaskan dari cetakannya.

Gambar 23 Proses Pencetakan mal pada silikon

Gambar 24 Hasil unit gysum yang dicetak menggunakan

silikon

Gambar 25 Studi Model

Gambar 26 Studi Sistem Stacking

3.4. Alternatif 3 : Octahedron

a. Eksperimentasi Perancangan Konsep Ide awal diperoleh dari bentuk dasar segitiga. Ben-

tuk dasar segitiga sama sisi dipilih agar setiap unitnya dapat bertumpu dan berhubungan pada sisi-sisinya ke- tika disusun dalam bentuk dome. Namun, bentuk segi-

tiga sama sisi cederung tidak stabil ketika disusun sa- ling bertumpu membentuk struktur SAD. Oleh karena itu, bentuk dasar segitiga sama sisi kemudian dikem- bangkan pada sumbu x, y, dan z. Model unit yang terbentuk adalah octahedron.

Octahedron adalah bentuk tiga dimensi yang me-

miliki delapan permukaan, bentuk solid yang teratur dengan delapan permukaan triangular yang sama sisi. Bentuk ini memungkinan unitnya disusun dan bertum- pu satu sama membentuk struktur SAD.

Secara umum, prinsip struktur SAD dengan satuan unit bentuk octahedron menyerupai prinsip struktur

pemecah ombak yang umum digunakan di area pantai. Pada sistem pemecah ombak, unitnya adalah tetrahed-

Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2013/2 7

ron yang disusun menumpu satu sama lain. Struktur

ini cenderung stabil dan tidak mudah runtuh ketika mendapatkan tekanan horisontal yang disebabkan oleh ombak.

Gambar 27 Konsep Breakwater

Dimensi unit octahedronnya adalah 60 cm x 60 cm x 60 cm. Dimensi ini ditentukan berdasarkan pertim- bangan fungsi. Setiap unit octahedron akan dapat di- fungsikan sebagai unit furniture.

Pertimbangan/justifikasi ukuran, bentuk (matema-

tika).

Gambar 28 Justifikasi Matematis octahedron

Gambar 29 Model Rhino octahedron

Gambar 30 Model Grasshopper octahedron

Gambar 31 Sistem Stacking octahedron

b. Permodelan Fisik Model Plastisin Permodelan fisik pertama menggunakan material

plastisin. Material plastisin dipilih karena mudah di- bentuk sesuai dengan bentuk yang diinginkan. Namun, material plastisin memiliki kelemahan dalam beberapa hal, bentuknya tidak kaku, bentuknya tidak presisi, dan volumenya ringan sehingga kurang sesuai dalam merepresentasikan model fisik asli yang terbuat dari

beton. Setiap unit modelnya dibuat menggunakan mate-

rial plastisin membentuk bentuk octahedron dengan dimensi yang relatif sama. Dimensi modelnya adalah 4 cm x 4 cm x 4 cm.

Gambar 32 Model Plastisin Bentuk Asimetris

8 JAP Vol.6 No.2 Okt. 2013 Agus Hariyadi

Struktur SAD dibentuk dari setiap unit octahedron.

Unit octahedron saling bertumpu satu sama lain dan mampu disusun menjadi bentuk dome yang asimetris dengan prinsip struktur SAD.

Model gypsum

Material gypsum digunakan untuk menghasilkan

model fisik yang mampu merepresentasikan model fi- sik asli yang terbuat dari beton. Proses pembuatan model fisik unit octahedronnya harus dicetak dengan menggunakan cetakan.

Cetakan pertama dibuat dari material gypsum de- ngan dimensi sama seperti model plastisin, yaitu 4 cm

x 4 cm x 4 cm. Namun pada pelaksanaannya, konsep pembuatan model dengan cetakan gypsum tidak ber- jalan dengan baik. Cetakan yang terbuat dari gypsum tidak sesuai untuk djadikan sebagai cetakan karena si- fat bahan yang sama-sama kaku. Hal ini menyulitkan proses pelepasan model dari cetakan.

Gambar 33 Proses Pencetakan/casting gypsum

Cetakan kedua dibuat dari material akrilik dengan dimensi lebih besar dari model plastisin, yaitu 20 cm x 20 cm x 20 cm. Cetakan dibuat untuk mencetak sete- ngah dari unit octahedron. Proses pencetakan model unitnya cukup sulit dilaksanakan. Model unit yang ter-

buat dari gypsum cukup sulit dilepaskan dari cetakan karena sifat akrilik dan gypsum yang sama-sama kaku. Hampir seluruh bagian model menempel pada cetakan akrilik.

Gambar 34 Proses Pencetakan mal dengan lasercutting

c. Analisis Pabrikasi dan Konstruksi Selanjutnya membuat cetakan dengan bahan yang

lebih lentur, yaitu menggunakan silikon sebagai cetak-

an agar model unit yang terbentuk oleh gypsum mu- dah untuk dilepaskan dari cetakannya.

Gambar 35 Proses pencetakan unit dengan silikon

Gambar 36 Studi Model yang dilakukan

Gambar 37 Skenario Furniture

3.5. Analisis Hasil Tiga alternatif rancangan SAD diuji dan diban-

dingkan berdasarkan kriteria-kriteria tertentu yang di- tetapkan untuk menilai dan menentukan alternatif yang terbaik. Kriteria tersebut dipilih berdasarkan ba-

tasan perancangan yang telah ditentukan sebelumnya. Kriteria tersebut antara lain, symetry, stability, artistic, weight/volume, bench, portability, dan casting.

Kriteria stability menunjukan tingkat kestabilan struktur model SAD. Kriteria artistic menunjukkan tingkat kualitas estetika bentuk model keseluruhan.

Kriteria Weight/Volume menunjukkan tingkat volume dan berat model keseluruhan. Kriteria bench menun- jukkan tingkat kemungkinan satuan unitnya diman- faatkan sebagai tempat duduk. Kriteria portability menunjukkan tingkat kemudahan portabilitas. Kriteria casting menunjukkan tingkat kemudahan pabrikasi

dan konstruksi unit.

Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2013/2 9

Tabel 1. Perbandingan Tiga Alternatif Rancangan SAD

Alternatif

Rancangan

SAD Sym

met

ry

Sta

bil

ity

Art

isti

c

Wei

ght/

Volu

me

Ben

ch

Port

abil

ity

Cas

ting

Skor

Alt_1

Bucks Ball

Sym 4 2 1 2 3 2 12

Asym 1 3 1 2 3 2 10

Alt_2

Eye

Sym 3 4 3 4 3 3 17

Asym 1 4 3 4 3 3 15

Alt_3

(octa)Hedr

on

Sym 3 4 3 3 4 2 17

Asym 3 4 3 3 4 2 17

Dengan data tersebut di atas, skor yang paling ting-

gi adalah pada alternatif ketiga, octahedron, diikuti dengan alternatif kedua dan kesatu. Octahedron me- miliki keunggulan pada fleksibilitas terutama bentuk simetri maupun asimetri, kemudahan pabrikasi (mo-

dul), serta kemudahan portabilitas. Namun model ini memiliki titik lemah pada berat model dan bentuk cetakan yang cukup rumit.

Gambar 38. Hasil jadi model octahedron dengan material beton

Gambar 39. Model unit octahedron sebagai furniture

IV. Kesimpulan dan Rekomendasi

Kesimpulan Berdasarkan sistem stacking yang menunjukkan

octahedron merupakan alternatif yang paling fleksibel

dalam menghasilkan bentuk SAD. Dengan sistem ini,

SAD yang terbentuk dapat berupa bentuk SAD yang simestris dan asimetris. Perhitungan unit meliputi banyak dimensi, yaitu: kurva vertikal, kurva horizon- tal, modul derajat segmen, dan sistem kunci antar unit.

Logika bahan moden dan bahan konstruksi agak sedikit meleset. Pada percobaan dengan menggunakan

plastisin, model fisik kurang representatif karena sifat plastisin cenderung lunak dan mempunyai volume yang ringan.

Hal yang perlu diperhatikan dalam membuat cetak- an (logika casting) adalah bahan pembentuk cetakan. Akan lebih mudah jika bahan pembentuk cetakan

merupakan bahan yang elastis, sehingga memudahkan untuk melepaskan unit yang akan dicetak. Dalam per- cobaan yang telah dilakukan, bahan yang paling mu- dah digunakan dalam mencetak adalah silikon.

Proses perancanganya memadukan antara metode analog (kreatifitas spontan) dan permodelan dijital

(presisi). Kedua metode tersebut saling melengkapi satu sama lain dalam prosesnya, sehingga rancangan yang dihasilkan tidak hanya mengedepankan nilai ke- tepatan tetapi juga kreatifitas perolehan bentuk.

Rekomendasi

Penelitian ini diharapkan bermanfaat umumnya un- tuk mata kuliah Struktur Konstruksi 4 dan Studio De- sain Arsitektur 4, terutama dalam hal prinsip rancang- an dan performa pabrikasi dan konstruksi arch dome sebagai materi tambahan dan pengayaan pada SK 4, serta menghasilkan alat peraga untuk kepentingan per-

kuliahan. Pada jangka panjang, cara pandang penelitian ini

yang mengintegrasikan cara pandang struktur-kon- struksi dan perancangan diharapkan dapat menjadi jembatan dan solusi dalam pembelajaran struktur da- lam studio, maupun sebaliknya, pembelajaran peran-

cangan dalam berfikir struktur. SAD memiliki potensi untuk dikembangkan dalam

desain industrial menjadi sebuah sistem pabrikasi pada konstruksi off-site. Praktis yang bisa diproduksi masal, sehingga menekan biaya produksi dan trans- portasi karena merupakan kesatuan unit-unit yang

berukuran relatif kecil. Sementara perancangan para- metrik memungkinkan perancangan SAD dengan tiap unit yang berbeda ukuran atau tidak identik, sehingga batasan industrial tidak lagi membatasi.

Referensi

[1] Khabazi, Zubin, 2010, Generative Algorithms using Grasshopper

(Manual), diterbitkan secara dijital pada http://www.grasshopper

3d.com/page/tutorials-1 (diakses pada 1/11/2012)

[2] Moussavi, Farshid (Author), 2009, Function of Form, Actar and

Harvard Graduate School of Design, Massachusett

[3] http://en.wikipedia.org/wiki/Generative_Design (diakses pada 5/11

/2012)

[4] http://en.wikipedia.org/wiki/Parametricism (diakses 5/11/2012)

[5] Sven Havemann, DieterW. Fellner, 2003, Generative Parametric

Design of Gothic Window Tracery (Technical Report), Institute of

10 JAP Vol.6 No.2 Okt. 2013 Agus Hariyadi

Computer Graphics, TU Braunschweig, Jerman

[6] Zhi-Hua CHEN, Hong-Bo LIU, 2009, Design Optimization and

Structural Property Study on Suspendome with Stacked Arch in

Chiping Gymnasium, Proceedings of the International Associa-

tion for Shell and Spatial Structures (IASS) Symposium 2009,

Valencia, Spanyol

[7] http://www.flickr.com/photos/51678540@N07/7168898347/in/pho

tostream (diakses pada 14/11/12)

[8] http://www.behance.net/gvoudouri/frame/1484405 (diakses pada

14/11/12)

[9] http://oxforddictionaries.com/definition/english/octahedron

(diakses pada 14/01/13)

[10] http://bldgblog.blogspot.com/2010/08/pallet-house.html (diakses

pada 28/12/12)

[11]http://www.zigersnead.com/current/blog/post/blobwall-the-curse-of

-customization/09-03-2008/1582/ (diakses pada 02/01/13)

Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2013/2 11

Eksistensi Konsep Natah pada Tata Ruang Rumah Tinggal Orang Bali

di Yogyakarta

Ahmad Saifullah Malangyudo 1, T.Yoyok Wahyu Subroto

1

1 Dosen Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada

Abstract

It is identified that most Balinese houses in Yogyakarta have own their performance appearance different

from their origin one in Bali. In addition, the visual existence of natah bale does not appear as an open space and the point of orientation of the house as well. The goal of this research is directed to see the

existence of the concept of natah in some types to include the natah bale of Balinese houses in Yogyakarta.

This research used observation method and questionnaires in collecting the data. Meanwhile the rational- istic paradigm is also used as the basic approach in understanding the phenomenon which is followed by the

descriptive analysis and statistic correlational analysis. The data analysis consist of (1) the identification of

the inhabitant’s perception toward natah in their houses, (2) the identification of the types of natah within 25 Balinese houses in 8 district of Yogyakarta that refer to the characteristic of the natah’s setting pattern and

(3) the identification of the relationship between the inhabitant’s perception and the characteristic of the

natah’s setting pattern. The research result can be formulated as follows, (1) the inhabitants have a positive

perception toward the natah, (2) there are 3 (three) zoning-patterns of natah in the system of setting on the Balinese houses in Yogyakarta and its surrounding yard, (3) there is a significant relationship between the

inhabitant’s perception (mainly in spatial treatment) within in the system of setting on the Balinese houses in

Yogyakarta. It is concluded that the existence of the concept of natah has been implemented by the principal of nawasanga of Balinese houses in Yogyakarta. It is developed by inhabitants in some modifications of spa-

tial setting pattern according to the limitation of their lands.

Keywords: houses, natah, Balinese culture, perception, nawasanga, the pattern of natah’s zoning

I. Pendahuluan Penduduk asli Yogyakarta masih sangat kental de-

ngan budaya Jawa. Keberadaan masyarakat Bali yang

jumlahnya relatif kecil dibandingkan penduduk asli

Yogyakarta, merupakan pertemuan dua budaya yang

berbeda namun satu cikal bakal, merupakan suatu hal

yang cukup menarik sehingga mendorong Yogyakar-

ta digunakan sebagai lokasi penelitian. Hasil obser-

vasi awal menunjukkan bahwa sebagian besar rumah

tinggal orang Bali di Yogyakarta merupakan rumah

dengan lahan terbatas dan mempunyai KDB (Koefi-

sien Dasar Bangunan) yang cukup besar. Hal tersebut

sesuai sebagai ciri rumah tinggal di daerah urban.

Apabila dilihat dari aspek visual appearence, sebagi-

an besar rumah tinggal orang Bali di Yogyakarta tdak

jauh berbeda dengan rumah tinggal penduduk Yogya-

karta, dan sebagian kecil yang lain, di antaranya ma-

sih menampakan berbagai ragam hias khas Bali.

Rumah tinggal orang Bali di Yogyakarta, apabila di-

bandingkan dengan rumah tinggal orang Bali yang

tinggal di pulau Bali tampak agak jauh berbeda.

Rumah tinggal orang Bali di Pulau Bali tampak

sebagian besar masih menggunakan prinsip-prinsip

tata ruang berdasar konsep arsitektur Bali baik orna-

men, material bangunan maupun prinsip zoning (kon-

sep Nawa Sanga) dan tata letak ruangnya. Dalam sis-

tem ruang rumah tinggal orang Bali terdapat empat

jenis Natah yaitu: Natah Merajan, Natah Bale, Natah Penunggun Karang dan Natah Paon/Lebuh. Ruang

Natah Bale sebagai ruang terbuka dan aplikasi titik

nol (pralina) dalam konsep Catuspatha, berfungsi

sebagai pusat sistem tata ruang rumah sesuai budaya

Bali (I Nengah Sudata, 2002). Hasil pengamatan dan

wawancara dengan I.M.A.Gumbara, tokoh masyara-

kat Bali di Yogyakarta pada Desember 2012, menje-

laskan bahwa masyarakat Bali di Yogyakarta masih

cukup taat untuk tetap melestarikan budaya dan tradi-

sinya yang erat berkaitan dengan aspek religi yang

dianut yaitu agama Hindu Bali. Hal tersebut tampak

pada aktivitas memperingati berbagai peringatan hari

besar baik yang berhubungan dengan agama/keperca-

yaan maupun tradisi. Tingkat ketaatan seseorang (in-

dividu) terhadap sesuatu, merupakan cerminan dari

tingkat persepsinya, dan tingkat persepsi merupakan

Ahmad Saifullah Malangyudo

--- Dosen Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan,

Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada

Email: [email protected] Phone: 081328557040

T. Yoyok Wahyu Subroto

--- Dosen Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan,

Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada

12 JAP Vol.6 No.2 Okt. 2013 Ahmad Saifullah Malangyudo

embrio bagi perilaku mereka memperlakukan sesua-

tu, termasuk menciptakan ruang yang mereka perlu-

kan. Untuk itulah persepsi penghuni terhadap Natah pada rumah tinggal dan tapaknya merupakan faktor

yang penting karena berhubungan dengan perlakuan-

nya terhadap tapak dan bangunan rumah. Fakta la-

pangan yang lain menunjukkan bahwa Natah Bale

sebagai ruang terbuka dan pusat orientasi dalam sis-

tem tata ruang rumah tinggal orang Bali, secara

visual tampak kurang eksis (kurang terlihat keberada-

annya) di sebagian besar rumah tinggal orang Bali di

Yogyakarta. Untuk itu tepatlah jika keberadaan/eksis-

tensi konsep Natah pada rumah tinggal masyarakat

Bali yang tinggal di Yogyakarta digunakan sebagai

objek kajian utama dalam penelitian ini.

Gambar 1 Natah Penunggun Karang dan Natah Bale

(Sumber: Survey 2012)

Gambar 2 Natah Penunggun Karang (Sumber: Survey 2012)

Gambar 3 : Sanggah Natah Penunggun Karang (Sumber: Survey 2012)

Tujuan penelitian ini adalah melihat eksistensi

konsep Natah di rumah tinggal orang Bali di Yogya-

karta. Eksisitensi Konsep Natah dapat dijelaskan me-

lalui kajian terhadap: (1) bentuk persepsi penghuni

terhadap Natah, (2) karakteristik pola Natah dalam

sistem tata ruang rumah tinggal, (3) hubungan antara

persepsi penghuni terhadap Natah dengan karakteris-

tik pola Natah dalam sistem tata ruang rumah tinggal.

II. Studi Pustaka

Studi pustaka merupakan dasar dalam perumusan

landasan teori sebagai basis perumusan hipotesis,

penyusunan alat ukur persepsi, dan sebagai alat untuk

mengidentifikasi karakteristik pola ruang Natah. Teo-

ri yang dikaji adalah sebagai berikut:

a. Teori Ruang terdiri atas teori ruang, fungsi dan

bentuk (DK. Ching, 1983. Louis I. Khan, 1957. Cor-

nelis van de Ven, 1987), teori tempat, teori ruang fi-

sik geometris, dan teori ruang intuisi metafisik (Cor-

nelis van de Ven, 1987). Prinsip Arsitektur, secara

substansial akan selalu berorientasi dan tersusun dari

tiga aspek utama yaitu: bentuk (form), ruang (space)

dan susunan (order). Ruang menjadi salah satu bagi-

an yang penting dalam arsitektur. Arsitektur berarti

penciptaan ruang melalui cara yang benar-benar di-

rencanakan dan dipikirkan. Kepastian eksistensi ru-

ang secara filosofis dalam lingkup arsitektur dapat di-

maknai dan dipahami bahwa ruang tersebut pada

dasarnya selalu ada (exist). Logika selanjutnya adalah

bagaimana membaca dan berusaha mengerti atau me-

mahami, kalau ruang tersebut ada, maka pertanyaan

selanjutnya ialah di mana ruang tersebut ? Selanjut-

nya secara filosofis tempat dan objek pada dasarnya

merupakan unsur pembentuk ruang, walaupun mung-

kin dalam arti kata yang bersifat abstrak, karena tem-

pat adalah nir–bentuk dan nir-wujud. Dengan kata

lain konsep filosofis ruang bisa bermakna ruang non -

fisik walaupun pada dasarnya ruang tersebut tetap

eksis dengan batas/lingkup tertentu. Eksistensi ruang

maya berada di pikiran penggagasnya. Eksistensi ru-

ang fisik bisa diperjelas melalui prinsip ruang geo-

metri tiga demensional, atau dengan kata lain di-

mungkinkan ruang merupakan realitas wadaqi yang

eksis. Ruang bukan hanya sekadar sesuatu yang em-

pirik bersifat fisik tiga demensional, tetapi juga ruang

yang berada dalam konsep pemikiran atau tataran

intuitif manusia.

b. Teori Fungsi dan Bentuk (Cornelis van de

Ven, 1987. Suwondo B. Sutedjo, 1982). Kompleksi-

tas fungsi selalu dikaitkan dengan kebudayaan ma-

syarakat. Oleh karena itu fungsi ruang dalam konteks

budaya masyarakat selalu tidak bisa dilepaskan oleh

tuntutan-tuntutan budaya masyarakat baik yang ber-

kaitan dengan aspek spiritual (religi dan kepercaya-

an), tradisi dan kultural, juga tidak bisa melepaskan

diri dari tuntutan aspek sosial dan ekonomi masyara-

katnya. Bentuk menjadi fungsional ketika ia dapat

memenuhi tuntutan fungsi baik fungsi fisik maupun

fungsi non-fisik.

Sanggah

pameraja

n

N

at

ah

Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2013/2 13

c. Teori Tempat Tinggal/ Rumah dan Halaman

(Jatman, 1983 mengutip Maslow. Puspowardoyo,

1982. Blaang, 1986. Richard Unterman, et al, 1981

dikutip Vincent, 1983. Lang, 1987 mengutip Pasta-

lan, 1970). Posisi rumah dalam hirarkhi motif-motif

berada di level pertama dari kebutuhan dasar manu-

sia. Hakikat rumah pada dasarnya haruslah selalu di-

hubungkan dengan karakteristik manusia yang me-

nempatinya, sehingga hubungannya bukanlah sekadar

instrumen, tetapi merupakan hubungan struktural,

artinya rumah merupakan pengejawantahan diri pri-

badi manusia penghuninya. Rumah dalam pengertian

makna sepenuhnya bersifat multi dimensional. Seper-

ti halnya bangunan rumah, maka halaman rumah pun

dapat berperan seperti halnya rumah yaitu sebagai

media untuk mengekspresikan jati diri pemiliknya.

Perlakuan terhadap halaman oleh pemiliknya dapat

berupa pemberian simbol – simbol, pengolahan per-

mukaan lahan sesuai tuntutan fungsionalnya, serta

pemberian batas fisik.

d. Persepsi (Robert A. Baron, et al, 1991.

Davidoff, 1981 dalam Walgito, 2000. Desiderato,

1979 dalam Rakhmat, 1996. Kenneth E. Anderson,

1972. Krech dan Crutchfield dalam Rakhmat 1996.

Walgito, 2000). Persepsi individu terhadap lingkung-

an di sekitarnya, merupakan cerminan persepsi ke-

adaan lingkungan tersebut dan juga tentang keadaan

diri individu yang bersangkutan. Persepsi merupakan

aktivitas yang terintegrasi, maka seluruh apa yang

terdapat di dalam individu seperti perasaan, penga-

laman, kemampuan berpikir, kerangka acuan dan as-

pek-aspek lainnya yang ada di dalam diri individu

akan ikut berperan. Dalam konteks persepsi terhadap

ruang fisik, maka dapat dilakukan melalui tanda-tan-

da visual dari ruang. Sifat stimuli ruang yang bersifat

fisik, memorinya lebih berstruktur, sehingga persep-

tor lebih bisa merekam fakta-fakta dan menggunakan

pengetahuannya tentang fakta-fakta tersebut untuk

membimbing perilakunya. Dalam konteks (ruang)

non fisik, perseptor dapat mempersepsikan tentang

nila–nilai, pengertian, dan pemahamannya berdasar

pengalaman.

e. Karakteristik Orang Bali, Perubahan Tradi-si (Sudata, 2002. Aldo Rossi, dalam Malcolm Miles

et al, 2000. Gaston Bachelard, dalam Malcolm Miles

et al, 2000). Masyarakat Bali pada dasarnya merupa-

kan gambaran masyarakat yang religius, yang dilan-

dasi oleh ajaran agama Hindu Bali. Dasar ajaran aga-

ma Hindu adalah filsafat, etika, dan ritual. Keyakinan

ini melandasi sikap dan perilaku masyarakat Bali

dalam kehidupannya sehari-hari, baik yang berhu-

bungan dengan lingkungan maupun rumah tinggal-

nya. Apabila memori diaplikasi ke dalam ruang pri-

vat, maka akan sangat bergantung kepada pola kehi-

dupan dan memiliki nilai kolektifitas (dimensi kolek-

tif). Oleh sebab itu memori yang terkumpul dapat di-

gunakan untuk menilai persepsi masa kini.

f. Konsep Zonasi Ruang (Natah) dalam Budaya Bali (I Nyoman Galebet, 2002. Ida Bagus Mantra,

1996. Purnawan, 2009, mengutip Galebet, 1982. Gus-

ti Ayu Made Suartika, 2010. Sudata, 2002). Konsep

Desa Kala Patra sebagai salah satu Landasan Kebu-

dayaan Bali, merupakan konsep ruang yang menye-

suaikan diri dengan keadaan tempat dan waktu dalam

menghadapi permasalahan. Konsep ini memberi lan-

dasan yang fleksibel dalam komunikasinya, baik ke

luar maupun ke dalam, dan menerima perbedaan ser-

ta variasi menurut faktor tempat, waktu dan keadaan.

Secara spasial konsep zona dalam budaya Bali

didasari oleh kombinasi antara konsep hirarki Tri Angga, Konsep keseimbangan Tri Hita Kharana dan

Konsep Perbedaan Rwa Bhineda. Zona dibagi dalam

tiga tingkatan mikro zona yang diorientasikan dari

utara selatan (orientasi kosmik) dan timur barat

(orientasi alamiah). Dalam skala rumah tangga, peka-

rangan sebuah rumah tradisional, zona yang dianggap

paling sakral (utama=kepala) adalah lokasi pura ru-

mah tangga (sanggah/merajan) berada. Area di tem-

pat anggota keluarga tinggal diklasifikasikan sebagi

zona madya (badan), dan area tempat pembersihan

diklasifikasikan sebagai zona nista (kaki). Dalam

skala yang lebih besar, di level Bali sebagai sebuah

pulau secara keseluruhan, zona utama adalah tempat

gunung (arah utara, area tertinggi) sedangkan area

permukiman adalah zona madya dan area pembersih-

an direpresentasikan tempat air atau laut (arah sela-

tan) berlokasi. Natah sesuai konsep ruang budaya

Bali merupakan ruang terbuka baik dalam skala

makro (kota), meso (desa) maupun mikro (tapak/

rumah). Secara filosofis konsep ruang terbuka Natah

sebagai pencerminan hubungan antara unsur langit

(akasa) dan unsur bumi (pertiwi). Terdapat 4 (empat)

jenis Natah dalam skala rumah tinggal, keempatnya

berada di zona hirarkis yang sudah ditentukan sesuai

prinsip Sanga Mandala. Lihat Tabel 1 (Andhika,

1994, dalam Sudata, 2002 yang dimodifikasi oleh

penulis).

Tabel 1. Berdasar Sumbu Matahari :

Matahari

terbenam

Matahari

terbit

NISTA

MADYA

UTAMA

Tabel 2. Berdasar Sumbu Kaja Kelod (Gunung-Laut) :

KAJA

(Gunung)

UTAMA

DATARAN MADYA

KELOD

(Laut)

NISTA

14 JAP Vol.6 No.2 Okt. 2013 Ahmad Saifullah Malangyudo

Melalui superposisi antara konsep sumbu mataha-

ri dengan sumbu Kaja Kelod, didapatlah Konsep Sa-nga Mandala (Nawa Sanga) seperti tersebut di bawah

ini. Pada sistem ruang (Natah) Bali, Nawa Sanga

merupakan zona hirarkhis Natah. Tabel 3. Zona Hirarkhis Natah / Konsep Nawa Sanga

Utamaning

Nista (D)

Utamaning

Madya

Utamaning

Utama (A)

Madyaning

Nista

Madyaning

Madya (B)

Madyaning

Utama

Nistaning

Nista (C)

Nistaning

Madya

Nistaning

Utama

Notasi : (A) : Natah Merajan, (B): Natah Bale, (C):

Natah Paon/Lebuh dan (D): Natah Penunggun Karang

Gambar 1 : Tipikal Rumah Bali (Sumber: Source Book, by Alfred A.K.Inc, 1997, dengan tambahan keterangan oleh pe-nulis)

III. Landasan Teori

Secara teoritik ruang dapat dipahami sebagai ru-

ang fisik/visual dan ruang non fisik/maya. Ruang ma-

ya atau ruang imaginer merupakan ruang kosong

tanpa batas visual tetapi diyakini keberadaannya dan

dipahami tempat kedudukannya (place) berdasar

prinsip-prinsip nilai dan kualitas ruang yang ada

dalam pikiran pengamat. Ruang maya mempunyai

tingkat relatifitas dan subyektifitas yang tinggi,

tergantung bagaimana pengamat mempersepsikan-

nya. Oleh karena itu persepsi terhadap ruang maya

adalah sebuah keniscayaan. Ruang fisik merupakan

ruang yang secara fisik/visual dapat ditangkap oleh

panca indera dan eksistensinya dapat dilihat secara

nyata melalui keberadaannya pada locus tertentu, se-

hingga persepsi terhadap ruang fisik menjadi lebih

mudah dilakukan. Eksistensi konsep ruang maya

maupun konsep ruang visual dapat dilihat dari signi-

fikansi hubungan antara ruang visual maupun maya

sebagai stimulus dengan persepsi terhadap nilai-nilai

ruang yang dipahami. Ruang fisik secara visual eksis-

tensinya dapat diidentifikasi secara jelas apabila

mempunyai batas dan mempunyai kemampuan untuk

mengakomodir aktifitas dengan fungsi tertentu.

Natah sebagai salah satu unsur penting dalam tat-

anan ruang rumah orang Bali. Hirarki, zoning dan

layout-nya sangat ditentukan oleh prinsip Sanga Mandala atau Nawa Sanga. Hirarki Natah tertinggi

adalah Natah Merajan, kemudian berturut–turut Na-

tah Bale, Natah Paon/Lebuh dan Natah Penunggun Karang. Natah Bale sebagai pusat orientasi sistem

ruang rumah tinggal orang Bali. Persepsi terhadap

Natah pada prinsipnya mengandung pengertian ba-

gaimana perseptor mempersepsi Natah dalam berba-

gai konteks meliputi aspek non-fisik (pengertian, ni-

lai filosofis, dan fungsi), dan aspek fisik (aktifitas,

bentuk, tata letak, pengadaan/perlakuan, dan aspek

lahan), sesuai dengan nilai-nilai dan tata cara budaya

Bali. Persepsi terhadap Natah pada dasarnya merupa-

kan embrio bagaimana perseptor bersikap untuk

memperlakukan Natah khususnya dalam hubungan-

nya dengan pola ruang, zoning dan hirarkhi yang ter-

bentuk, di mana Natah berada.

IV. Hipotesis Berdasar latar belakang, tinjauan pustaka dan la-

pangan serta landasan teori, maka dapat disusun

hipotesis penelitian sebagai berikut :

1. Terdapat bentuk persepsi penghuni terhadap Natah melalui variabel tematik meliputi: definisi Natah,

kosmologi /filosofi Natah, fungsi Natah, bentuk

Natah, letak Natah, lahan terbatas Natah, dan per-

lakuan terhadap Natah, di mana sebagian besar

mampu memberikan gambaran persepsi yang cu-

kup mendukung terhadap prinsip Natah, sehingga

mampu mendukung eksistensi Natah dalam ting-

katan konsepsual.

2. Terdapat berbagai karakteristik pola zoning Natah

yang sesuai budaya Bali (konsep Nawa Sanga)

pada sistem tata ruang rumah orang Bali dan hala-

mannya, dimana hal tersebut cukup mampu untuk

menunjukkan eksistensi prinsip Natah pada rumah

tinggal masyarakat Bali di Yogyakarta.

3. Terdapat hubungan yang posistif antara persepsi

penghuni terhadap Natah dengan karaktersitik

pola zoning Natah pada sistem tataruang rumah

dan halaman orang Bali di Yogyakarta. Kekuatan/

signifikansi hubungan mampu menunjukkan ek-

sistensi prinsip Natah pada rumah tinggal orang

Bali di Yogyakarta.

V. Metode Penelitian

a. Metoda

Metoda yang digunakan ialah metode observasi

dan kuisioner dengan paradigma rasionalistik dan

cara analisis diskriptif dan korelasional dengan

menggunakan statistik (SPSS versi 12) dan analisis

superposisi, sebagai alat bantu analisis. Sumber acu-

an literasi dan fakta empirik lapangan baik hasil ob-

servasi di pekarangan/tapak dan rumah dan hasil per-

sepsi pemilik rumah terhadap Natah, merupakan hal

Natah Bale

Natah Penunggun Karang

Sanga Mandala yang terbentuk oleh konsep Nawa Sanga dan Tri Angga. Konsep ini telah membentuk zona ruang secara hirarkhis untuk berbagai penempatan fungsi aktifitas dalam bangunan maupun diluar bangunan, baik dalam skala makro, meso maupun mikro. Natah pada konsep ruang budaya Bali merupakan ”ruang terbuka” baik dalam skala makro(kota), meso (desa) maupun mikro (tapak/rumah). Secara filosofis konsep ruang terbuka pada natah sebagai pencerminan hubungan antara unsur langit (akasa) dan unsur bumi (pertiwi).Terdapat empat jenis Natah

Natah Paon/Lebuh

Angkul

2

Sanggah/Merajan dgn Natar/ Natah Merajan

Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2013/2 15

yang sangat penting sebagai input analisis. Hasil ana-

lisis terhadap persepsi pemilik rumah, observasi fisik

terhadap sistem tata ruang (Natah) di tapak dan ba-

ngunan rumah tinggal, dan hubungan keduanya, da-

pat memberikan gambaran eksistensi konsep Natah

rumah tinggal orang Bali di Yogyakarta.

b. Lokasi Lokasi sampel penelitian tersebar di 8 (delapan)

kawasan di wilayah Yogyakarta, meliputi kawasan:

Nogotirto, Sidoarum, Sariharjo, Berbah, Bantul, Ka-

sihan, Giwangan, dan Kalongan. Penentuan sampel

responden dipilih secara purposive sebanyak 25 sam-

pel, dengan kriteria: (a) responden merupakan kepa-

la keluarga dari unit rumah yang di-survey (b) res-

ponden adalah pemilik rumah tinggal beserta hala-

mannya (tapak) (c) responden merupakan anggota

masyarakat Bali yang beragama Hindu (d) responden

telah tinggal di Yogyakarta relatif lama (5 th sd 20

th).

c. Tahapan penelitian dan teknik analisis Tahap 1, pengumpulan data sistem ruang rumah

dan halaman melalui observasi lapangan, serta angket

persepsi Natah dengan variabel tematik persepsi me-

liputi: (subtema 1) persepsi tentang pengertian Natah

pada rumah tinggal, (subtema 2) persepsi tentang

kosmologi/filosofi Natah, (subtema 3) persepsi terha-

dap fungsi Natah di rumah tinggal, (subtema 4) per-

sepsi terhadap bentuk Natah pada rumah tinggal,

(subtema 5) persepsi terhadap tata letak Natah, (sub-

tema 6) persepsi tentang Natah jika lahan terbatas,

dan (subtema 7) persepsi tentang perlakuan terhadap

Natah. Uji validitas dan reliabilitas butir angket per-

sepsi. Uji validitas menggunakan teknik korelasi

Pearson. Uji Reliabilitas menggunakan Cronbach’s

Alpha (CA), dengan ketentuan jika nilai CA > nilai

product moment pada N-2 maka angket dinyatakan

reliabel.

Tahap 2, penyebaran angket persepsi pasca uji

validitas dan reliabilitas, analisis dengan scoring

Lickert Scale, di mana hasil angket persepsi diguna-

kan untuk melihat bentuk kecenderungannya terha-

dap prinsip Natah (pembuktian hipotesis ke1).

Tahap 3, melakukan analisis verifikatif dengan

teknik superposisi antara pola ruang/zoning eksisting

hasil observasi lapangan dengan pola ruang/zoning

berdasar konsep Nawa Sanga, untuk melihat karak-

teristik pola Natah dalam sistem ruang rumah tinggal

(pembuktian hipotesis ke 2)

Tahap 4, Melakukan analisis dengan teknik ana-

lisis korelasional Chi Square antara persepsi terhadap

Natah dengan karakteristik pola Natah pada sistem

ruang rumah tinggal. Hal ini untuk melihat kekuatan

hubungan keduanya (pembuktian hipotesis ke 3)

VI. Hasil dan Pembahasan

a. Hasil 1) Hasil uji validitas dan Reliabilitas.

Hasil uji validitas angket persepsi dengan teknik

korelasi Pearson secara keseluruhan, menunjukkan

dari 29 butir/construct (+) dan (-) pada 7 subtema

persepsi, dinyatakan valid pada 24 butir/construct

dan 5 butir tidak valid. Hasil uji reliabilitas dengan

menggunakan Cronbach’s Alpha (CA), dengan ke-

tentuan jika nilai CA> nilai product moment pada N-

2 maka angket dinyatakan reliabel, hasilnya semua

butir angket dinyatakan reliabel. Dari hasil uji validi-

tas dan reliabilitas dapat disimpulkan bahwa angket

persepsi layak untuk digunakan sebagai alat ukur

persepsi.

2) Analisis Hasil angket persepsi:

Analisis hasil angket persepsi pada keseluruhan

butir angket yang telah dinyatakan valid dan reliabel

dengan menggunakan kriteria jumlah responden se-

suai Lickert Scale dapat dijelaskan sebagai berikut:

Subtema1: persepsi terhadap definisi/pengertian

Natah pada rumah menunjukkan sebagian besar res-

ponden (14 responden = 56% dari 25 responden) ber-

keyakinan bahwa pengertian tentang Natah merupa-

kan ruangan yang berada di tengah/pusat di antara

ruangan-ruangan lain yang ada di bangunan rumah,

sehingga Natah bisa berada di dalam atau di luar ru-

mah yang berfungsi sebagai pusat orientasi dan sirku-

lasi serta wadah aktifitas yang bersifat madya. Se-

dang sisanya 11 responden berkeyakinan bahwa Na-

tah tetap harus berada di luar rumah dan merupakan

pusat orientasi.

Subtema 2: sebagian besar responden (20 orang

atau 80%) masih memegang prinsip filosofis Natah

sesuai budaya Bali.

Subtema 3: sebagian responden (8 responden)

berpendapat bahwa tidak setuju apabila fungsi kultur-

al dan ritual Natah lebih dominan dibanding fungsi

sosialnya, 8 responden tidak berpendapat (abstain)

dan 9 responden menyatakan setuju.

Subtema 4: sebagian responden bisa menyetujui

(dalam tataran yang ideal) dengan menilai bahwa

bentuk Natah Bale pada rumah tinggal terbentuk oleh

bangunan–bangunan yang mengelilinginya (bale si-kepat, bale sikenam, bale tiang sanga, dll). Namun

sebagian responden dengan score yang lebih kecil

menyetujui konsep Natah harus berbentuk kotak dan

sebagian yang lain bahkan lebih luwes dengan me-

nyetujui bahwa Natah bisa berupa ruang abstrak yang

ada dan diyakini dalam pikiran sesuai kepercayaan

mereka.

Subtema 5: sebagian responden (21 orang atau

84%) berpendapat menentukan letak Natah pada

bangunan rumah harus mengikuti ketentuan-ketentu-

an kultur/budaya Bali (Asta Bumi) ialah arah dua

sumbu ialah sumbu timur barat dan utara selatan

(kaja kelod dan kangin kauh). Pada score yang lebih

16 JAP Vol.6 No.2 Okt. 2013 Ahmad Saifullah Malangyudo

rendah di bawahnya, dengan selisih yang tidak terlalu

banyak dengan score tertinggi, sebagian responden

menyetujui konsep Natah yang cukup lentur, moderat

terhadap prinsip-prinsip kepercayaan.

Subtema 6: responden meyakini (19 orang atau

76%) bahwa Natah dalam bentuk apapun tetap harus

ada (eksis), walaupun lahan pekarangan yang ada

sangat terbatas. Serta (21 orang atau 84%) berpenda-

pat bahwa sekecil apapun ruang luar yang ada di

tengah antara bangunan–bangunan rumah tinggal bisa

disebut sebagai Natah. Sebagian responden (11 orang

atau 44%) berpendapat bahwa teras, halaman, bisa di-

fungsikan sebagai area Natah, dan sebagian yang lain

bahkan (10 orang atau 40%) setuju dengan konsep

Natah secara abstrak/maya, di mana eksistensinya

diyakini dalam alam pikiran mereka.

Subtema 7: responden (12 orang atau 48%) me-

yakini bahwa agar nyaman (tidak kepanasan atau ke-

hujanan) secara visual natah boleh ditutup dengan

atap yang bersifat sementara. Sebagian kecil respon-

den (5 orang atau 20%) berpendapat bahwa konsep

Natah bisa bersifat abstrak/maya, ada dalam pengha-

yatan pikiran mereka, dan sebagian besar (16 orang

atau 64%) menyatakan tidak setuju.

Analisis persepsi dengan menggunakan kriteria

score sesuai Likert Scale, rangkuman score dapat di-

lihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 6. Rangkuman Hasil Scoring Persepsi Terhadap Natah

Sub Tema

Persepsi

Skor Aitem Butir Persepsi Skor

Total

Skor

Rata-rata 1 2 3 4 5

a.Definisi/

pengertian

Natah

- 62 77 73 74 286 71,50

b.Kosmologi /filosofis

Natah

101 101 83 285 95

c.Fungsi/

Aktifitas pada Natah

- 58 73 60 - 191 63,66

d.Bentuk

Natah 93 - - 75 80 248 82,67

e.Tata letak

Natah 99 70 78 247 82.30

f.Keberadaan

Natah pd lahan

terbatas

68 94 94 79 53 388 77,6

g.Perlakuan thd Natah

72 - 64 136 68

Keterangan : (-) = Gugur Sumber: Analisis, 2012

Dari rangkuman hasil score persepsi Natah di

atas, kemudian dilakukan analisis regresi (dengan

mengubah score persepsi menjadi katagori) hal ini

untuk melihat bentuk/kecenderungan persepsi Natah

pada rumah tinggal secara keseluruhan. Hasilnya

dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

Tabel 7. Klasifikasi Bentuk Persepsi Terhadap Natah Pada

Rumah Tinggal. Sub Tema Persepsi Natah Kurang Sedang Baik Total

a. Persepsi terhadap Definisi Natah 28 % 36 % 36 % 100 %

b. Persepsi thd Kosmologi/Filosofi Natah 4 % 28 % 68 % 100 %

c. Persepsi thd Fungsi/Aktifitas

pada Natah

0 % 44 % 56 % 100 %

d. Persepsi thd bentuk Natah 16 % 52 % 32 % 100 %

e. Persepsi thd tata letak Natah 4 % 56 % 40 % 100 %

f. Persepsi thd keberadaan Natah

jika lahan terbatas

0 % 84 % 16 % 100 %

g. Persepsi ttg perlakuan thd Natah 32 % 56 % 12 % 100 %

Score Persepsi Natah secara Keseluruhan 0 % 84 % 16 % 100 %

Sumber: Analisis, 2012

Dilihat hasil persepsi parsial (per subtema) mayo-

ritas mempunyai berbagai variasi, namun dengan ke-

cenderungan score katagori sedang/moderat dan baik

yang lebih besar dibanding score persepsi dengan

katagori kurang. Untuk score keseluruhan terlihat

kecenderungan persepsi Natah pada rumah tinggal

berada pada posisi moderat/sedang: 84% dan baik

(taat azas): 16%. Secara keseluruhan tidak ditemukan

persepsi yang negatif (0%).

3) Analisis karakteristik pola Natah pada sistem

ruang rumah dan halaman Identifikasi terhadap 25 unit rumah orang Bali, di-

lakukan berdasar kondisi eksisting ruang di rumah

dan halaman dengan melihat pada aspek: KDB serta

orientasi rumah dan pekarangan. Identifikasi dilaku-

kan dengan metoda superposisi antara pola Nawa

Sanga dengan denah eksisting. Variabel Kontrol

meliputi: KDB (A:< 60%, B:60%-80%, C:81%-

100%) dan orientasi bangunan (barat, timur, selatan,

dan utara). Tabel 8 menjelaskan identifikasi dengan

superposisi:

Tabel 8. Identifikasi Karateristik Pola Natah pada sistem tata

ruang rumah dan halaman No Superposisi Denah & Tapak Eksisting dengan Pola

Zoning Nawa Sanga

KDB Orien

tasi ba

ngun

an

A B C

1

Lt.1 Lt.2

Barat

2 Lt.1 Lt.2 Lt.3

Timur

3

Dengan cara superposisi yang sama (analog), maka

gambar denah eksisting dengan superposisi pola Nawa

Sanga karena keterbatasan halaman, tidak ditampilkan.

Timur

4 Selatan

5 Selatan

6 Timur

7 Selatan

8 Selatan

9 Timur

10 Utara

11 Timur

12 Utara

Natah Merajan

Natah Bale /Rg.Kelg

Natah

Penunggun Karang

Natah

Paon

Natah Penunggun

Karang

Natah

Bale

Natah

Paon Natah

Merajan

Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2013/2 17

13 Barat

14 Selatan

15 Barat

16 Timur

17 Barat

18 Utara

19 Utara

20 Utara

21 Timur

22 Utara

23 Timur

24 Timur

25 Barat

Sebagian besar rumah orang Bali yang diteliti

mempunyai KDB yang cukup besar ialah KDB 60%

s/d 80% sebanyak 6 unit rumah (24%) dan KDB 80%

s/d 100% sebanyak 12 unit rumah (48%). Hanya ada

7 unit (28%) dengan KDB<60% (fakta menunjukkan

masih di atas 50%). Hal ini menunjukkan sebagian

besar rumah (72%) berada di lahan terbatas, di mana

keberadaan ruang terbuka sangat minimal. Hasil

identifikasi pola Natah di bangunan rumah dan hala-

man menghasilkan tiga karakteristik pola Natah dan

beberapa varian yang berada di dalamnya. (Lihat

tabel 9, 10, dan 11).

Tabel. 9 Klasifikasi Pola Natah type I Karakteristik Pola

Natah Dalam Sistem

Tataruang Rumah

Tinggal

Eksistensi Natah No

Natah

Pamera

jan (A)

Natah

Bale

(B)

Natah

Panung

gun

Karang

(C)

Natah

Paon /

Lebuh

(D)

1

(D)

4 7

(A)

2 5

(B)

8

3

(C)

6

9

Notasi Zona Nawa

Sanga :

1: Nistaning Utama

2: Nistaning Madya 3: Nistaning Nista

4: Madyaning Utama

5: Madyaning Madya

6: Madyaning Nista 7: Utamaning Utama

8: Utamaning Madya

9: Utamaning Nista

Posisi di

ruang terbuka

zona 7

Wujud:

San gah (Catatan:

Letak:

lt.1 atau

lt.2 atau lt. 3 dan

tetap

berada di

zona 7, tergantun

g luasan

lahan)

Posisi di

ruang ruang

tertutup

di zona 5,

Wujud: Sanggah

(Catatan:

hanya

terdapat 1 (satu)

sampel

(resp. no

25) di ruang

terbuka .

Posisi di

ruang terbuka

zona 5,

Wujud:

Sanggah (Catatan:

Letak di

seluruh

zona nista,

zona

3,6,9 )

Posisi di

ruang tertutup,

zona 1,

keberadaa

nnya ditunjukk

an oleh

adanya

Sanggah atau

signage

yang

cukup signifikan

menunjuk

kan

kebera daannya.

1 ,

2, 3,

7,

9,

11, 13,

14,

15,

20,25

Tabel. 10 Klasifikasi Pola Natah type II.

Karakteristik Pola

Natah Dalam Sistem

Tataruang Rumah

Tinggal

Eksistensi Natah No

Natah

Pameraj

an (A)

Natah

Bale

(B)

Natah

Panunggun

Karang

(C)

Natah

Paon /

Lebuh

(D)

1

4 7

(A)/

(C)

2

5

(B)

8

3

(D)

6 9

Notasi Zona Nawa

Sanga :

1: Nistaning Utama 2: Nistaning Madya

3: Nistaning Nista

4: Madyaning Utama

5: Madyaning Madya 6: Madyaning Nista

7: Utamaning Utama

8: Utamaning Madya

9: Utamaning Nista

Posisi di

ruang

terbuka zona 7

dengan

Sanggah

(catatan: Letak di

lt.1 atau

lt.2

tergantung

ketersedia

an lahan.

Catatan sebagai

varian:

Natah

Pamerajan juga

terda pat

di zona 8

dan 9 .

Posisi di

ruang

tertutup di zona 5

dengan

Sang gah

atau signage

yang

cukup

signifi kan

menun

jukkan

keberadaan Natah

Bale

secara

visual.

Posisi di

ruang zona 7

dengan Sang gah (Catatan

: berada satu

zona dengan

Sanggah Mera

jan.) Sebagai

varian :

Letak di zona 8 dan

9.

Posisi di

ruang

ruang tertutup

pada zona

3, dengan

signage yg cukup

signifi

kan

menun jukkan

keberadaa

nnya.

Catatan: Letak di

zona 1

dan zona

2.

10,

12,

17,18,

19,

22,

21,23

dan

24

Tabel. 11 Klasifikasi Pola Natah type III Karakteristik Pola

Natah Dalam Sistem

Tataruang Rumah

Tinggal

Eksistensi Natah No

Natah

Pamera

jan (A)

Natah

Bale

(B)

Natah

Panung

gun

Karang

(C)

Natah

Paon /

Lebuh

(D)

1

4 7

(A)

2 5

(B)

8

3 6

9

(C)

Notasi Zona Nawa

Sanga :

1: Nistaning Utama

2: Nistaning Madya 3: Nistaning Nista

4: Madyaning Utama

5: Madyaning Madya

6: Madyaning Nista 7: Utamaning Utama

8: Utamaning Madya

9: Utamaning Nista

Posisi di

ruang

terbuka di

zona 7. Letak

Di lt.1

atau lt.2

tergan tung

ketersedia

an lahan nya.

Catatan:

Sebagai

varian posisi

Natah

Pameraja

n berada di zona 4

dan 8)

Merupaka

n ruang

tertutup ,

berupa Sanggah

atau

signage

yang cukup

signifikan

menun jukkan

keberadaa

n Natah

Bale.

Posisi di

ruang

terbuka

keberadaannya di

tunjukkan

oleh Sang

gah (Catatan:

sebagai

varian Natah

Panunggu

n Karang

berada di zona 6,9

dan 1 )

Pada

ruang

terbuka

maupun ruang

tertutup

tidak

ditemu kan

sanggah

atau signage

yang

signifi

kan mendu

kung

keberadaa

n Natah Paon

pada type

ini.

4,5,

6,8

dan

16

4). Analisis korelasi persepsi penghuni terhadap

Natah dengan klasifikasi karakteristik pola

Natah Untuk melihat korelasi/hubungan kedua variabel

tersebut, maka perlu uji korelasi Chi Square antara

Karakteristik Pola Natah dengan Persepsi terhadap

Natah.

Tabel 14. Korelasi persepsi terhadap Natah dengan

karakteristik pola Natah Pola Natah (Kor)

*Persepsi Natah

Asymp.Sig.

(2-sided)

χ 2 hitung χ 2 tabel

Tema a 0,246 5.432 9.488

Tema b 0,289 4.980 9.488

Tema c 0,979 0,043 5.991

Tema d 0,296 4.913 9.488

Tema e 0,699 2.202 9.488

Tema f 0,879 0,259 5.991

Tema g 0,048 9.574 9.488

Persepsi Total 0,879 0,259 5.991

Keterangan: Asymp.Sig. (2-sided) : nilai signifikansi korelasi χ 2 hitung : nilai Chi Square hitung

χ 2 tabel :nilai Chi Square tabel (α = 5 %) Jika nilai signifikansi > α dan χ 2 hitung < χ 2 tabel maka Ho diterima Jika nilai signifikansi < α dan χ 2 hitung > χ 2 tabel maka Ho ditolak

Berdasarkan hasil uji korelasi dapat diketahui ter-

dapat satu korelasi yang signifikan yaitu antara ka-

rakteristik pola Natah dengan persepsi terhadap Na-

tah pada tema G (Perlakuan terhadap Natah), dengan

nilai signifikansi 0,048. Atau dengan kata lain karak-

teristik pola Natah yang terdiri atas tiga klasifikasi

pola tersebut dipengaruhi dengan kuat oleh bagaima-

na penghuni memperlakukan Natah.

18 JAP Vol.6 No.2 Okt. 2013 Ahmad Saifullah Malangyudo

Pembahasan

Sebagian besar responden dalam mempersepsi

Natah (khususnya Natah Bale) mempunyai pandang-

an cukup moderat dalam kaitan pemahaman prinsip

filosofis, fungsi, bentuk, maupun letak dan perlakuan

terhadap Natah. Moderat diartikan mudah menye-

suaikan terhadap kondisi lingkungan dan tidak terlalu

kaku menerapkan Natah Bale sesuai prinsip ruang

terbuka dan titik nol (pralina) sesuai konsep Cathus-patha. Konsep ruang terbuka sebagai cerminan hu-

bungan unsur akasa (langit) dengan pertiwi (bumi)

disikapi oleh persepsi yang cukup moderat, bahwa

untuk menjamin aktifitas di Natah Bale dari gang-

guan cuaca, terjaminnya kenyamanan aktifitas dan

antisipasi dari keterbatasan ruang terbuka, maka

sangat dimungkinkan diletakkannya Natah Bale di

ruang tertutup (ruang di bawah atap, misal: ruang

keluarga). Persepsi moderat ini sangat sesuai dengan

konsep Desa Kala Patra yang menjadi salah satu

pedoman kehidupan masyarakat Bali. Dalam kaitan

teori, maka pandangan persepsual orang Bali terha-

dap Natah di lahan terbatas dan minimnya ruang

terbuka, sangat sesuai dengan konsep lokus dan kon-

sep ruang intuitif imajiner. Keberadaan tempat

(place) sebagai locus menjadi prioritas utama di sam-

ping ruang sebagai cerminan bidang atas dan bidang

bawah. Orientasi menjadi pedoman tegas penerapan

konsep zoning Nawa Sanga. Hasil klasifikasi pola Natah di rumah orang Bali

mencerminkan gambaran konsep diri penghuni ru-

mah yang menerapkannya dalam konsep rumah se-

suai hirarkhi motif Maslow. Hasil analisis terhadap

karakteristik pola Natah yang menghasilkan 3 (tiga)

tipe klasifikasi pola Natah, lebih memperjelas mode-

rasi pemikiran orang Bali di Yogyakarta terhadap

aplikasi berbagai tipe Natah (khususnya Natah Bale)

dalam sistem tataruang rumah tinggalnya. Dari varia-

bel kontrol yang menggambarkan sebagian besar

KDB cukup tinggi dan ketersediaan ruang terbuka

sangat minimal, mendorong penerapan aplikasi ruang

untuk Natah menjadi sangat fleksibel, namun tetap

mengikuti pedoman prinsip zoning Nawa Sanga.

Keterbatasan lahan terpaksa memindahkan Sanggah

Pamerajan di lantai bangunan di atasnya. Secara spi-

ritual Sanggah Pamerajan mempunyai kedudukan

tertinggi dibandingkan Natah/Sanggah lainnya, se-

hingga konsep letak di atas bisa dilakukan. Sebagian

besar Natah Bale berada di ruang tertutup (ruang

keluarga, ruang tamu dan ruang tidur) ditandai oleh

keberadaan Sanggah sebagai signage yang berkaitan

dengan fungsi Natah Bale sebagai fungsi sosial dan

kultural dalam skala terbatas (keluarga/ kerabat).

Hubungan aspek persepsi penghuni terhadap Na-

tah dengan 3 (tiga) klasifikasi pola Natah masih

kurang kuat mencerminkan hubungan keseluruhan

subtema persepsi tentang Natah, kecuali subtema

perlakuan terhadap Natah. Dari substansi butir per-

sepsi terdapat 2 katagori dalam perlakuan terhadap

Natah, yaitu: perlakuan untuk menjamin kenyamanan

aktifitas di Natah dan diakuinya eksistensi prinsip

Natah yang berada dalam tataran konsep berpikir

mereka (ruang maya). Kedua kalimat kunci ini yang

mendasari pemikiran moderat perseptor. Tuntutan

kenyamanan kemungkinan diorientasikan untuk

mengatasi kendala kendala berupa: keterbatasan la-

han dengan minimnya ruang terbuka, rumah dengan

ruang yang bersifat given (khususnya rumah-rumah

KPR) dan suasana lingkungan yang mungkin sangat

berbeda dengan daerah asalnya di Bali, sangat men-

dominasi pikiran persepsual mereka.

VII. Kesimpulan.

Secara persepsual eksistensi Konsep Natah pada ru-mah tinggal orang Bali berada di posisi moderat, ialah

fleksibel dalam konteks menyesuaikan dengan kendala

kendala yang ada berupa keterbatasan lahan dengan

minimnya ruang terbuka. Secara aplikatif eksistensi

konsep Natah sebagai ruang fisik tampak melalui

klasifikasi pola Natah yang mencerminkan upaya yang

moderat dan win win solution, ialah menerapkan prinsip

Natah melalui upaya mengatasi kendala keterbatasan

lahan dan minimnya ruang terbuka di satu sisi dengan

keinginan untuk tetap memenuhi prinsip zoning Nawa

Sanga. Korelasi persepsi dengan pola Natah melalui

kekuatan hubungan perlakuan terhadap Natah dengan 2 kategori perlakuan untuk menjamin kenyamanan ak-

tivitas di Natah dan diakuinya eksistensi prinsip Natah

yang berada dalam tataran konsep berpikir orang Bali di

Yogyakarta (ruang maya), hal ini mencerminkan eksis-

tensi Konsep Natah yang cukup moderat.

Wawancara dan Diskusi 1) Ketua LPD yang juga Ketua Jero Bendesa Desa Pedungan, Drs. I

Wayan Sumartha, 29 Oktober 2011 di Kantor LPD desa

Pedungan,Denpasar Bali.

2) Wawancara dengan I Ketut Adhimastra, 29 dan 30 Oktober 2011 ,

Desa Pedungan , Denpasar Bali.

3) Wawancara dengan I Made Arjana Gumbara, Desember 2012,

Yogyakarta.

References 1) Blaang, Djemabut.C.(1986) Perumahan Dan Pemukiman

Sebagai Kebutuhan Pokok, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

2) Cornelis Van de ven, Space In Architecture, Van Gorcum &

Comp.B.V.,P.O.Box 43,9400 AA Assen, The Netherlands, third

revised edition published 1987

3) Gusti Ayu Made Suartika (2010), Substansi Budaya Dalam

kebijakkan Tata Ruang Di Bali. Humaniora, Volume 22, No.3

Oktober 2010.

4) Ida Bagus Mantra (1996),Landasan Kebudayaan Bali,Yayasan

Dharma Sastra , Denpasar.

5) I Nyoman Galebet(2002), Arsitektur Tradisional Bali, Badan

Pengembangan Budaya dan Pariwisata Deputi Bidang pelestarian

dan pengembangan Budaya Bagian Projek Pengkajian dan

Pemanfaatan Sejarah dan Tradisi Bali.

6) Jatman, Darmanto (1983) Mendiami Rumah Susun, Makalah Seminar, Jurusan Arsitektur Unika Sugijapranata, 22 Nopember 1983

7) Lang, Jon.( 1987) Creating Architectural Theory, The Role of The

Behaviour Science In Environmental Design, Van Nostrand

ReinholdCo.,New York.

Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2013/2 19

8) Poespowardojo (1982), Beberapa Pokok Pikiran Fundamental

Dalam Rangka Perencanan Perumahan, Jurnal IAI , Nomor

Perdana, Oktober 1982.

9) Rakhmat, Jalaluddin (1991) Psikologi Komunikasi, Bandung:

Penerbit PT.Remaja Resda karya.

10) Robert a.Baron et al, (1991) Understanding Human Relations ,a

Practical Guide to People at Work.

11) I Nengah Sudata(2002) Persepsi Masyarkat Bali Terhadap Sistem

Nilai Ruang Terbuka Tradisional di Kota Den Pasar, Penerbit

PPS, UNDIP, Semarang.

12) Suwondo, Sutedjo Bismo, Peran, Kesan Dan Pesan Bentuk-

Bentuk Arsitektur, Penerbit Djambatan, 1982

13) Vincent (1983) Perencanan Tapak Untuk Perumahan

(Terjemahan dari : Site Planning For Cluster Housing by Richaed

Untermman et.al)

14) Walgito, Bimo (1989) Psikologi Sosial, Penerbit: Yayasan

Penerbit Fakultas Psikologi UGM, Yogyakarta.

20 JAP Vol.6 No.2 Okt. 2013 Arief Fadhilah

Morfologi Kampung Kalengan Kelurahan Bugangan Kota Semarang

Arief Fadhilah1, Titien Woro Murtini

2, Bambang Supriyadi

2

1 Mahasiswa, Magister Teknik Arsitektur Konsentrasi Perancangan Kota, Universitas Diponegoro 2Dosen, Magister Teknik Arsitektur, Universitas Diponegoro

Abstract

The existence of the city as a space where people do various activities was being object of discussion that is never completed. Likewise Kampung Kalengan, an urban village in Bugangan Semarang City which is known as home industry area for can or metal craft. This is interesting due to its special historical re- construction phenomenon which industrial activities were performed at daily home environment. This research made to know the morphological development phenomenon of Kampung Kalengan, through his- torical approach, by using qualitative method. Space reconstruction analysis showed that the morphology development of Kampung Kalengan can be divided into 5 (five) phases, with indication of industrial units development into the east side, along pre-post construction of Barito Street. Spatial integration between the home environment and industrial units initially was a unity, then become two sides of spatial, but still can’t be separated. It was found that there are external and internal aspects which are taking a part in the

morphological formation of Kampung Kalengan, they are accessibility, government’s policy, local wisdom, and adaptability of Bugangan own residents.

Keywords: morphology, urban village, industry, qualitative, Kampung Kalengan

I. Pendahuluan Arsitektur dan urban design banyak dipandang

sebagai hal-hal yang berkaitan dengan keindahan- keindahan bangunan dan desain perkotaannya. Me- mang tidak salah, namun pandangan tersebut belum menyeluruh (Budihardjo, 1994). Bernard Rudolsky (1965) juga menyatakan bahwa karya lingkungan atau bangunan yang terbentuk secara spontan oleh mereka

yang tidak memiliki pendidikan formal arsitektur, ternyata tidak kalah nilainya sebagai karya arsitektur.

Indonesia adalah wadah di mana isu ‘kampung kota’ (sebutan untuk kampung-kampung rakyat yang masih berada di wilayah perkotaan) menjadi wacana perko-

taan dan ‘arsitektur populis’ yang menarik, dengan 33 provinsi dan 497 kabupaten/kota (398 kabupaten dan 93 kota serta 5 kota administratif dan 1 kabupaten administratif di Provinsi DKI Jakarta) (KOMPAS, 2011). Zahnd (2006) menjelaskan pernyataan Hanan (1996) bahwa 60-70% populasi penduduk di kota-kota

Indonesia tinggal di kampung kota mengindikasikan kampung kota memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam perkembangan kota. Selain menjadi potensi, tentu juga memberikan masalah terhadap kotanya. Kajian tentang kampung kota mau tidak mau harus

tetap dilakukan, guna perbaikan dan perkembangan kota tersebut.

Kampung Kalengan adalah kampung kota di Sema- rang, yang masuk dalam wilayah administrasi Kelu- rahan Bugangan, Kecamatan Semarang Timur. Sebut- an ‘Kampung Kalengan’ memang tidak terdaftar seca- ra administratif, namun sudah dikenal oleh masyarakat sebagai sebuah kumpulan industri rumah tangga

dengan kerajinannya yang berbahan kaleng/logam (Suara Merdeka, 2012). Unit-unit usaha industri Kam- pung Kalengan berkembang dari lingkungan rumah tinggal dan terjadi dalam rentang waktu tertentu, sekaligus menjadi refleksi kekhasannya. Perkembang-

an ruang dan dinamika aspek lain yang mengikutinya dapat dipelajari dengan sebuah kajian morfologi ruang. Dari rumusan di atas, maka saya membuat pertanyaan penelitian sebagai berikut: - Bagaimanakah perkembangan morfologi Kam-

pung Kalengan Bugangan Semarang? - Apakah yang melatarbelakangi perkembangan

morfologi tersebut?

II. Tujuan dan Sasaran Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui

fenomena perkembangan morfologi Kampung Ka-

lengan Bugangan Semarang yang terjadi dalam be- berapa fase secara kontekstual, dengan sasaran: - Rekonstruksi perkembangan ruang - Analisis keruangan kampung - Penggalian hal yang melatarbelakangi

perkembangan morfologi yang terjadi

Arief Fadhilah

-- Mahasiswa Magister Teknik Arsitektur Konsentrasi

Perancangan Kota Universitas Diponegoro

Jl. Hayam Wuruk No. 5 Gedung Teknik Lt. 1 dan 3

Peleburan, Semarang

Hp: 085265361225 Telp: 024 8312418 Fax: 024 8312418

e-mail: [email protected]

Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2013/2 21

III. Morfologi Kampung Kota

Kampung kota didefinisikan sebagai bentuk permu- kiman perkotaan khas Indonesia dengan ciri ikatan kekeluargaan yang erat, kondisi fisik bangunan dan lingkungan kurang baik dan tidak beraturan, dan ber- bagai permasalahan lainnya (Suryandari, 2007). Kam- pung kota biasanya terbentuk secara organis dan tanpa

arahan formal. Kostov (1991) memandang fenomena pembentukan ruangnya bercirikan organic pattern, melalui alur waktu dan kehidupan keseharian, fungsi dan bentuk menjadi satu kesatuan bersama, tidak da- pat dipisahkan secara jelas antara kepentingan indi- vidu/privat maupun kepentingan umum/publik.

Menurut Rossi (1982), morfologi adalah usaha da- lam mendeskripsikan suatu urban artefak, dengan penggambaran perkembangannya. Menurut Shultz dalam Zahnd (1999), melakukan kajian morfologi akan berkaitan dengan kualitas figurasi melalui peng- hubungan pola-pola, hirarki ruang maupun hubungan

ruang yang satu dengan ruang lainnya. Mengkaitkan antara ruang kampung dengan pemba-

hasan morfologi ternyata sejalan dengan apa yang telah dikemukakan oleh Carmona et.al. (2003), di mana kajian morfologi didefinisikan sebagai kajian tentang bentuk dan proses terbentuknya suatu permu-

kiman atau perkampungan, yang menekankan pada analisis evolusi perubahan permukiman. Beberapa ele- men pembentuk morfologi ruang, yaitu:

- Land use (penggunaan lahan)

Elemen ini bersifat temporer, dapat dijadikan

dasar untuk membangun kembali dan merencana- kan fungsi baru dari suatu bangunan yang akan dibuat.

- Building structures (tipe dan massa bangunan) Massa bangunan memiliki peran yang kuat da-

lam membentuk struktur kawasan dan jaringan

jalan, dan sering menjadi refleksi dari kawasan itu sendiri.

- Plot pattern (pola kapling) Pola kapling dapat berubah karena adanya ak-

tivitas jual beli kapling. Pengurangan akibat pem- bagian kapling, atau penambahan akibat pengga-

bungan kapling biasa terjadi dalam suatu kawasan. - Street pattern (pola-pola jalan/sirkulasi)

Jaringan jalan merupakan elemen morfologi yang cukup mudah terlihat perkembangannya, baik melanjutkan pola yang sudah ada, atau terbentuk pola baru melalui suatu proses.

Selain keempat elemen tersebut, perubahan domi- nasi aktivitas industri ternyata juga berpengaruh terha- dap perkembangan morfologi sebuah kampung (Pri- yatmono, 2009).

IV. Materi dan Metode

Penelitian dilakukan di kawasan Kampung Kaleng- an dengan luas ±7,5 Ha, terletak di dalam wilayah Kelurahan Bugangan, Kecamatan Semarang Timur, Kota Semarang. Cakupan penelitian membahas ruang kampung dalam lingkup meso. Setelah melakukan mini-tour dan dengan memperhatikan sasaran peneliti-

an, diperoleh rumusan unit analisis sebagai pengarah penelitian dan dasar pembentuk garis besar pertanya- an-pertanyaan dalam wawancara. Dirumuskan bahwa kajian tentang ruang kampung tidak hanya membica- rakan elemen fisik, namun juga aspek nonfisik seperti sosial, budaya, dan ekonomi, sesuai keadaan konteks-

tual. Berikut yang menjadi unit analisis penelitian. - Elemen perkembangan ruang kampung

• skema sirkulasi • penggunaan lahan • massa bangunan

Gambar 1. Lokasi Penelitian dilihat dari Kawasan Kota Semarang

(Sumber: Dinas Tata Ruang Kota Semarang – CAD Kota Semarang, 2013)

22 JAP Vol.6 No.2 Okt. 2013 Arief Fadhilah

- Komponen Fisik penyusun ruang kawasan kam-

pung • ruang halaman/lapangan • ruang jalan

- Komponen Non Fisik penyusun ruang • aspek sosial ekonomi • aspek sosial budaya

Kajian morfologi dilakukan melalui pendekatan his-

toris dengan metode kualitatif, di mana objek peneliti- an tidak akan dilepaskan dari konteksnya dan dilihat dalam kerangka holistik (Muhadjir, 1996). Teknik pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan mela-

lui beberapa cara, yaitu: 1. Observasi

Observasi di lapangan dilakukan dengan men- data objek fisik spasial, aktivitas beserta pelaku pengisi ruang kampung di waktu dan hari yang berbeda (pagi, siang, malam, weekday, weekend)

sehingga tidak hanya gambaran fisik ruang kam- pung yang diperoleh, namun juga pola kehidupan warga kampung yang mengisinya.

2. Wawancara • wawancara terstruktur, memperoleh informasi

yang sama untuk setiap responden, seperti data-

data kepemilikan ruang dan unit usaha, jumlah unit usaha, dan lain-lain.

• wawancara terbuka, dilakukan secara lebih mendalam dengan pedoman garis-garis besar pertanyaan yang ingin disampaikan.

Hasil wawancara dituangkan dalam catatan

lapangan. Catatan lapangan, menurut Bogdan dan Biklen (1982) dalam Moleong (2000), adalah catatan tertulis tentang apa yang didengar, dilihat, dialami, dan dipikirkan dalam rangka pengumpul- an data dan refleksi terhadap data dalam penelitian kualitatif. Catatan lapangan dikumpulkan dan dibe-

ri kode-kode untuk mempermudah pengelompok- kan informasi. Teknik wawancara dilakukan de- ngan bantuan recorder sehingga proses peng- galian informasi bisa lebih fokus, tanpa harus banyak terbagi dengan aktivitas mencatat jawaban dari informan. Target yang akan dicapai adalah

terkumpulnya informasi mengenai perkembangan kampung dan berbagai aspek non fisik.

3. Dokumentasi Dengan foto-foto lapangan, sketsa suasana ling-

kungan, rekam audio dan video, dan penggalian dokumen-dokumen instansi pemerintahan dan in-

forman. Sedangkan alat-alat yang digunakan ada- lah sebagai berikut: • Daftar pertanyaan wawancara terstruktur • Daftar acuan pertanyaan wawancara terbuka • Alat tulis dan kelengkapannya • Kamera foto

• Recorder • Alat ukur ruang (meteran) • Foto udara objek penelitian • Peta

Gambar 2. Format Catatan Lapangan Penelitian Morfologi

Kampung Kalengan Bugangan

(Sumber: Rumusan Peneliti, 2013).

V. Sejarah Kampung Kalengan Cikal bakal Kampung Kalengan ini bermula ketika

Mbah Pon dan Mbah Saleh, warga lingkungan rumah

tinggal Bugangan, membuat produk kebutuhan rumah tangga seperti ember, angklo, dan kompor sumbu yang berbahan dasar seng di tahun 1950-an. Penduduk se- kitar sebagian tertarik untuk belajar membuat produk yang sama, dan akhirnya menjadi pengrajin perka- lengan dengan membuka usaha mandiri. Rentang

waktu hingga 1980-an, perkembangan pesat Kampung Kalengan terdengar sampai ke ibukota, ditandai dengan kunjungan wakil presiden Adam Malik tahun 1982 sekaligus memprakarsai pameran produk peng- rajin Kampung Kalengan.

VI. Keadaan Sosial Budaya Kampung Kalengan memiliki hubungan sosial bu-

daya yang cukup terjalin, baik sesama pengrajin per- kalengan, atau antar pengrajin dengan penduduk per- mukiman Bugangan. Keberadaan paguyuban peng- rajin Kampung Kalengan, BINA WARGA, hadir seba-

gai simbol budaya guyub dalam kehidupan bersosial antar pengrajin, dengan kegiatan rutin arisan setiap bulan secara bergilir di rumah anggota pengrajin. Di arisan tersebut, biasanya membicarakan kegiatan ke- seharian di Kampung Kalengan, dan kelangsungan ko- perasi BIWA KOPIN yang dibentuk oleh anggota pa-

guyuban.

Gambar 3. Aktivitas Pengrajin membuat Produk

Perkalengan

(Sumber: Survai Lapangan, 2012)

Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2013/2 23

Gambar 4. Berbagai Produk Pengrajin Berbahan Dasar

Kaleng

(Sumber: Survai Lapangan, 2012).

Gambar 5. Rumah Asli di antara Rumah-Rumah Modern

(Sumber: Survai Lapangan, 2013).

Gambar 6. Arisan Paguyuban BINA WARGA Kampung

Kalengan

(Sumber: Survai Lapangan, 2013).

VII. Hasil dan Pembahasan Dari fakta dan informasi yang diperoleh, dilakukan

penyusunan runtutan peristiwa berkaitan dengan Kam- pung Kalengan sebagai berikut (bagian yang diblok menandakan peristiwa yang cukup penting).

Tabel 1 Urutan Peristiwa terkait Perkembangan Kampung

Tahun Peristiwa Kode

Pra

1950-an

Mbah Pon dan Mbah Saleh sudah

memiliki pengalaman kerajinan

3.2.m

1950-an Ayah Bapak Soleman sudah membuat

kerajinan ember, dalam satu masa

dengan Mbah Pon dan Mbah Saleh

3.2.m

1960-1963 Pemindahan pasar Regol 3.3.h

1966 Pembongkaran rumah-rumah tepi Banjir

Kanal Timur, Jalan Bugangan Raya

sudah ada

3.1.i

1970 Bapak Mulyoto datang

Bapak Marino ikut kerja dengan

pengrajin (usia 18 tahun)

3.2.a

1.1.g

1970-an Masalah rob dan genangan air 3.5.b, 4.3.f

1971 Pembongkaran kios-kios di dekat pasar

Regol

3.3.j

1971-1972 Perbaikan kali dan tanggul kanal 3.3.k

1971 Bekas benteng di bantaran Banjir Kanal

Timur

3.5.l

1972 Bapak Mulyoto menikah 3.2.b

1974 Mulai pembangunan Jalan Barito 1.2.g, 1.2.h,

3.3.o

1975 Peresmian Jalan Barito 3.3.o

1976 Pengrajin memulai usaha mandiri 1.2.c

1977-1978 Pembongkaran tanah pemakaman 4.4m, 6.4.c

1978-an Pengrajin mulai mendirikan

‘emplek-emplek’

1.2.j

1980 PT. Djamin membuat LIK 3.3.q

1982 Pindahnya sebagian unit usaha ke LIK

Bugangan Baru

3.4.c, 3.4.e,

3.4.g, 4.2.c,

4.2.g, 7.2.l

1982-an Pameran Kampung Kalengan

diprakarsai wakil presiden RI Adam

Malik

3.4.n, 3.4.o,

7.3.d

1982-an Pendirian ‘emplek-emplek’ oleh

pengrajin

1.2.j, 3.5.c,

3.5.d, 4.5.h

1987-1988 Pelebaran Jalan Barito, Pembangunan

SDN Bugangan 02

4.4.m

1990 Pembangunan jalan arteri di selatan 3.3.p

1990-an Mulai ada kios-kios unit usaha di Jalan

Barito

1.3.d, 3.5.c

1992 Penertiban sesuai perda oleh panitia

(pembagian kapling dan pembuatan

batas trotoar)

4.2.n, 4.5.j,

7.1.d

1992-1993 Perbaikan jalan (KIP) oleh pemerintah

daerah

4.4.h

1994-1998 Pembangunan jalan arteri

Soekarno-Hatta

3.4.p

Data di atas kemudian dikelompokkan dalam dua

tipe yaitu peristiwa fisik keruangan dan non-fisik ke- ruangan. Diperoleh bahwa perkembangan Kampung Kalengan dapat dibagi ke dalam 5 fase yang memiliki

kekhasan dan pertimbangan masing-masing, yaitu: - Fase I, sebagai masa embrio lahirnya Kampung

Kalengan (1950an-1965) - Fase II, sebagai masa pertumbuhan pertama

Kampung Kalengan (1966-1973) - Fase III, sebagai masa perkembangan Kampung

Kalengan (1974-1987) - Fase IV, sebagai masa penstabilan Kampung

Kalengan (1988-1994) - Fase V, sebagai masa eksisting Kampung Kalengan

saat ini (1995-2013)

Perkembangan ruang Kampung Kalengan direkam kemudian dituangkan dalam bentuk rekonstruksi ru- ang kampung dengan beberapa analisis sketsa untuk menggambarkan kondisi pada tiap fase. Rekonstruksi tersebut menjadi modal utama dalam analisis mor- fologi ruang yang dipaparkan dalam uraian berikut.

a) Morfologi Kampung Kalengan

Morfologi Fase I Fase I adalah fase embrio Kampung Kalengan di

(Sumber: Survai Lapangan, 2013)

24 JAP Vol.6 No.2 Okt. 2013 Arief Fadhilah

dalam lingkungan rumah tinggal Bugangan, di mana

Mbah Pon dan Mbah Saleh sebagai perintisnya. Lingkungan rumah tinggal Bugangan masih sangat alami, dengan kerapatan bangunan yang jarang dan kondisi lingkungan buruk. Semakin ke barat, kondisi lingkungan semakin baik karena dekat dengan Jalan Citarum Raya sebagai akses paling utama, sedangkan

semakin ke timur, kondisi lingkungan semakin buruk karena faktor topografi dan masih belum adanya ruang jalan di tepi sungai (masih berupa rumah-rumah pen- duduk).

Morfologi Fase II

Fase II diawali dengan pembongkaran rumah-ru- mah di tepi Banjir Kanal Timur Semarang yang me- nyebabkan berubahnya struktur keruangan, walaupun belum diikuti dengan perubahan fungsi yang signifi- kan. Dalam masa ini, unit-unit usaha Kampung Ka- lengan semakin bertambah di dalam lingkungan ru-

mah tinggal Bugangan mengingat banyaknya peng- rajin yang membuka usaha mandiri dan mulai mun- culnya para pendatang dari luar Kota Semarang untuk bekerja di Bugangan.

Morfologi Fase III Pembangunan Jalan Barito (1974) mulai mengubah

struktur aktivitas penduduk dan pengrajin sehingga tidak sepenuhnya bertumpu pada Jalan Citarum Raya di sebelah barat, melainkan mulai memanfaatkan Jalan Barito sebagai jalur alternatif aktivitas (supplay and demand). Jalan dan pembagian bentuk ruang terbukti

menjadi penentu arah perkembangan sebuah place/ tempat, termasuk dalam aspek sosial dan ekonominya (Scheer-Ferdelman, 2001).

Kampung Kalengan semakin berkembang hingga dikenal sampai keluar Kota Semarang. Puncaknya ta- hun 1982, wakil presiden Adam Malik berkunjung un-

tuk meresmikan pameran produk perkalengan di Kam- pung Kalengan Bugangan. Mulai tahun 1980-an PT. Djamin (developer) membuat LIK (Lingkungan In- dustri Kecil) Bugangan Baru sebagai tempat usaha alternatif bagi pengrajin.

Gambar 7. Sketsa Lingkungan Tepi Kanal pada Fase Awal

(Sumber: Analisis, 2013).

Gambar 8. Kondisi Fisik Ruang Jalan Lingkungan pada

Fase I-II

(Sumber: Analisis, 2013).

Gambar 9. Sketsa Tipe Rumah pada Fase I-II

(Sumber: Analisis, 2013).

Tabel 2 Perkembangan Keruangan Kampung Kalengan Fase I - V

(Sumber: Survai Lapangan, 2013)

Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2013/2 25

Sebagian pengrajin mencoba untuk membuka usa- ha di LIK, namun selang beberapa bulan, mereka kembali ke Bugangan karena berbagai faktor baik ekonomi, aksesibilitas, dan sosial.

Morfologi Fase IV Fase IV, banyak dilakukan perbaikan dan pelebaran

jalan dan lingkungan Bugangan oleh pemerintah. Ja- lan Barito menjadi jalan utama dan jalur alternatif bagi kendaraan-kendaraan bermotor dari arah utara- selatan atau sebaliknya. Tahun 1992, terjadinya pener- tiban unit-unit usaha Kampung Kalengan sesuai Perda

Semarang dengan melakukan pembagian kapling usaha dan pembuatan trotoar sebagai batas kapling usaha dengan jalan. Perkembangan unit usaha di Jalan Barito semakin pesat, tetapi masih banyak menyisakan lahan kosong di kanan dan kiri unit usaha sekaligus sebagai usaha penggalakkan taman untuk mendukung

Semarang Adipura.

Morfologi Fase V Pada fase V, unit-unit usaha tumbuh sampai meme-

nuhi tepi Jalan Barito dengan menyisakan beberapa ruang terbuka untuk beberapa fungsi. Rumah-rumah

di tepi Jalan Barito berevolusi menjadi tempat-tempat unit usaha, selaras dengan perkembangan industriali- sasi. Fakta tersebut dipandang sebagai tradisi lokal (Dufaux, 2000).

Ruang terbuka biasanya dibuat untuk TPS (Tempat Pembuangan Sementara) berukuran sekitar 5x7 m di

beberapa lokasi. Terbentuknya gang-gang kecil di se- tiap seberang gapura Jalan Bugangan I-V menuju ke arah sungai sebagai jalur sirkulasi ke sungai.

b) Untuk menjawab pertanyaan penelitian kedua, di- perlukan pembahasan mengenai latar belakang yang

mempengaruhi perkembangan morfologi tersebut. Pe- nulis mencoba menganalisis pola perkembangan ruang jalan, persebaran penggunaan bangunan dan tempat usaha, peristiwa-peristiwa yang sering diingat-dibica- rakan warga kampung yang disesuaikan dengan fakta dokumen-peta, sehingga dirumuskan dua aspek hal

yang melatarbelakanginya perkembangan morfologi Kampung Kalengan, yaitu sebagai berikut:

Tabel 3 Perkembangan Sirkulasi dan Penggunaan Lahan Kampung Kalengan Fase I - V

(Sumber: Analisis, 2013)

26 JAP Vol.6 No.2 Okt. 2013 Arief Fadhilah

Aspek Eksternal

• Aksesibilitas Aspek aksesibilitas menjadi penting terhadap mor-

fologi Kampung Kalengan fase III, IV, dan V. Jalan Barito yang mulai dibangun tahun 1974 (fase III)

mempengaruhi pengrajin untuk memanfaatkan akses tersebut sebagai akses utama aktivitas industri perka- lengan, baik produksi, pemasaran, maupun supplay and demand. Ditambah lagi pelebaran Jalan Barito ta- hun 1988 (fase IV) yang membuat semakin banyaknya

unit-unit usaha perkalengan di tepi Jalan Barito. • Kebijakan pemerintah, Kebijakan pemerintah baik pusat maupun daerah

beberapa kali memberikan dampak terhadap morfo- logi Kampung Kalengan, terutama pada fase III, IV, hingga ke-V. (i) Kunjungan wakil presiden Bapak

Adam Malik difase III ke Bugangan menjadi bentuk nyata dukungan pemerintah pusat untuk pengembang- an Bugangan sebagai kampung industri. Momen terse- but menggugah semangat pengrajin untuk membuka unit-unit usaha baru di lingkungan rumah tinggal Bu- gangan. (ii) Keluarnya peraturan daerah dari walikota

Semarang pada tahun 1992 (fase IV) yang memberi- kan izin kepada pengrajin Kampung Kalengan untuk membuka unit usaha di tepi Jalan Barito. (iii) Pada fase ke-V, Dinas Perindustrian Provinsi Jawa Tengah mempatenkan lokasi industri perkalengan tersebut se- bagai “Sentra Industri Perkalengan Bugangan Sema-

rang”.

Aspek Internal

• Kearifan lokal,

Inisiatif penduduk Bugangan sendiri sangat me- nentukan dimulainya perkembangan Kampung Ka- lengan, terutama pada fase I dan II. Pada fase tersebut kondisi lingkungan Bugangan masih buruk, dan dido- minasi oleh penduduk berekonomi menengah ke ba- wah. Namun karena tuntutan ekonomi, sebagian pen-

duduk berkreativitas membuka usaha perkalengan,

dan akhirnya diikuti oleh penduduk lainnya. Hal ini

menyebabkan tumbuhnya unit-unit usaha perkalengan di dalam lingkungan rumah tinggal Bugangan.

• Kemampuan adaptasi penduduk, Sejak fase I-III, sekitar 30 tahun lamanya unit-unit

usaha Kampung Kalengan berkembang dan bertahan di dalam lingkungan rumah tinggal. Hal ini menunjuk-

kan adanya kemampuan adaptasi penduduk Bugangan sendiri atas segala aktivitas usaha perkalengan yang mungkin bagi orang lain tidak mudah diterima, misal- nya terhadap kebisingan suara produksi dan adanya toleransi keluwesan keruangan. Kemampuan ini seka- ligus menjadi nilai dan kekuatan kampung untuk tum-

buh dan bertahan sebagai kampung kota yang terus melakukan aktivitas kekhasannya, yakni usaha perka- lengan.

VIII. Kesimpulan a) Perkembangan morfologi Kampung Kalengan Bu-

gangan (dapat dibagi dalam 5 fase) erat kaitannya dengan lingkungan rumah tinggal Bugangan.

• Perkembangan unit-unit usaha Kampung Kalengan dari fase I – V mengindikasikan perkembangan ke arah timur, seiring dengan pra-pasca pembangunan Jalan Barito.

• Pada Fase I-II, unit usaha Kampung Kalengan berada di dalam lingkungan rumah tinggal. Pada fase III, sebagian unit usaha Kampung Kalengan berada di dalam lingkungan rumah tinggal dan se- bagian di tepi Jalan Barito, dan sebagian lagi men- coba membuka usaha di LIK Bungangan Baru.

Fase IV-V, hampir seluruh unit usaha Kampung Kalengan berada di sepanjang Jalan Barito.

• Integrasi keruangan antara lingkungan rumah ting- gal Bugangan dan unit usaha Kampung Kalengan awalnya adalah kesatuan, kemudian menjadi dua sisi keruangan, namun tetap tidak dapat dipisah-

kan. •

b) Perkembangan morfologi Kampung Kalengan dila- tarbelakangi oleh beberapa aspek yang dirangkum ke dalam dua bagian, yaitu:

Gambar 11. Perkembangan Integrasi Keruangan Kampung

Kalengan

(Sumber: Analisis, 2013)

Fase I Fase II

Fase I Fase II Fase III

Gambar 10. Plang Identitas Kampung Kalengan

(Sumber: Analisis, 2013)

Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2013/2 27

Aspek Eksternal

• Aksesibilitas, perkembangan Jalan Barito ber- kaitan dengan peningkatan aktivitas supplay and demand kampung.

• Kebijakan pemerintah, intervensi terhadap ek-

sistensi Kampung Kalengan.

Aspek Internal

• Kearifan lokal, keberanian warga menciptakan

jatidiri kampung lewat aktivitas industri. • Kemampuan adaptasi penduduk, memperkuat

karakter kampung sebagai kampung industri rakyat.

IX. Rekomendasi

a) Rekomendasi prosedural: Pengembangan Kampung Kalengan Bugangan

harus memperhatikan perjalanan morfologinya agar eksistensi sebagai kampung beridentitas industri rakyat tetap terjaga.

Kampung Kalengan Bugangan memiliki ke-

mampuan adaptasi penduduk yang baik, sehingga memungkinkan untuk dikembangkan sebagai kampung mix use activities.

Kegagalan LIK Bugangan Baru dapat menjadi sumbangan pengetahuan bagi pemerintah bah- wa ada beberapa industri (berbasis kampung)

yang harus tetap bersinergi dengan kehidupan masyarakatnya.

b) Rekomendasi substansial: Penelitian ini difokuskan pada morfologi ruang

dengan pendekatan history, sehingga celah pembahasan seperti peran policy pemerintah

dalam pembentukan ruang kampung masih dapat diteruskan untuk dikaji lebih dalam.

Dapat dilakukan penelitian mendalam tentang tipologi bangunan-bangunan di Kampung Ka- lengan yang mungkin dipengaruhi sekaligus mengalami adaptasi terhadap aktivitas industri.

Kampung Kalengan memiliki indikasi dengan teori genius loci, sehingga dapat dilakukan penelitian fenomenologi lingkungan rumah tinggal Bugangan sebagai ‘raga’ dari aktivitas industri perkalengan sebagai ‘jiwa’-nya.

Ucapan Terima Kasih

Saya mengucapkan terimakasih kepada masyarakat dan pengrajin Kampung Kalengan Bugangan Sema- rang, terutama pada Bapak Soleman dan Mulyoto selaku kepala dan mantan kepala paguyuban kampung atas segala informasi yang diberikan, yang sangat membantu dalam proses penelitian ini.

Daftar Referensi 1) Budihardjo, E (1994), Percikan Masalah Arsitektur Perumahan

Perkotaan, Gadjah Mada University Press: Yogyakarta.

2) Carmona, M. et al. (2003), Public Places-Urban Spaces,

Architectural Press: Oxford.

3) Dufaux, F (2000), A New World from Two Old Ones: the

Evolution of Montreal’s Tenements. 1850-1892, Jurnal

Internasional: Urban Morphology 4 hal. 9-19.

4) Kostof, S (1991), The City Shaped, London Press.

5) LOK (2011), Jumlah Kota di Indonesia Meningkat 57 Persen

Lebih: Pemekaran Daerah, Kompas: 12 Oktober.

6) Moleong, L. J. (1996), Metode Penelitian Kualitatif, PT. Remaja

Rosda Karya, Bandung.

7) Muhadjir, N (1998), Metode Penelitian Kualitatif, Rake Sarasin,

Yogyakarta.

8) Priyatmono, A. F. (2009), Studi Kecenderungan Perubahan

Morfologi Kawasan di Kampung Laweyan Surakarta, Jurnal

Arsitektur dan Perencanaan Vol. 1 No. 1 April hal. 15-21.

9) Rossi, A (1982), The Architecture of The City, Cambridge Mass

MIT Press.

10) Rudofsky, B (1965), Architecture Without Architect, Doubleday &

Company, Inc., Garden City, New York.

11) Scheer, B.C. dan Daniel Ferdelman (2001), Inner-city Destruction

and Survival: the Case of Over-the-Rhine, Cincinnati, Jurnal

Internasional: Urban Morphology 5 hal. 15-27.

12) Suryandari, P (2007), Geliat Nafas Kampung Kota sebagai Bagian

dari Permukiman, Jurnal Program Kajian Teknik Arsitektur

Fakultas Teknik - Universitas Budi Luhur Vol. 3 No. 1 hal. 54-72.

13) Syukron, M (2012), Bugangan Lebih Dikenal dengan Kampung

Kalengan, Menjadi Pusat Produksi Kerajinan dari Kaleng, Suara

Merdeka: 19 Juli, hal 21&27.

14) Zahnd, M (1999), Perancangan Kota secara Terpadu, Penerbit

Kanisius, Yogyakarta.Zahnd, M (2006), Traditional Urban

Quarters in Semarang and Yogyakarta, Indonesia, PhD-Research

Publication, University of Stuttgart, Germany.

28 JAP Vol.6 No.2 Okt. 2013 Ashri Amalia Hadi

Aspek Visual Rumah Susun di Kawasan Jogoyudan

Sungai Code Yogyakarta

Ashri Amalia Hadi1

1 Mahasiswa, Magister Teknik Arsitektur, Universitas Diponegoro

Abstract

Development of rental house flats is one of Indonesian Government's program to reorganize slums area,

so that the resident can live properly and the area visual can be better. But that goal are not achieved

maximum because of the implementation of the construction of buildings has less attention to the facade and

exterior look of the buildings, so they looks dirty and innevective in improving regional visual. These prob-

lems occured in the region of Jogoyudan Yogyakarta on the flats Jogoyudan rental house flats, where the

existence of the flats gives the impact to regional visual of residents that located in the centre of the city.

From the analysis of the visual system (optic, place, content) and visual quality (alignment, proportion,

scale, balance, rhythm, and color), it is known that the visual aspect of the facade at Jogoyudan flats are

influenced by the form of buildings, building functions, the quality of building materials, and social culture.

Keywords: visually, facade, rental house flats, the area

I. Pendahuluan

Permasalahan di bidang perumahan dan permukim-an bagi masyarakat berpenghasilan rendah adalah munculnya pemukiman yang padat, tidak teratur, kotor, dan memberikan pengaruh yang negatif terha-dap visual ruang kota (Budiharjo,1994). Permasalahan tersebut timbul dikarenakan berkembangnya permu-

kiman padat penduduk tidak ditunjang dengan infra-struktur lingkungan yang baik, serta kualitas fisik bangunan yang tidak memenuhi standar bangunan rumah tinggal.

Pembangunan rumah susun merupakan salah satu program pemerintah yang bertujuan untuk menang-

gulangi permasalahan kebutuhan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah, serta menata kem-bali lingkungan permukiman kumuh sehingga warga dapat hidup dengan layak dan visual kawasan dapat menjadi lebih baik.

Sesuai yang tertuang dalam Undang-Undang No.

16 Tahun 1985, tujuan dari pembangunan rumah su-sun adalah sebagai upaya untuk meremajakan daerah-daerah kumuh agar tertata menjadi sebuah lingkungan yang sehat, serta mendorong pembangunan permu-kiman yang berkepadatan tinggi. Menurut Yudohuso-do (1991) rumah susun dapat menjadi suatu alternatif

dalam peremajaan lingkungan terutama di perkotaan

dengan mengubah struktur fisik lingkungan permu-

kiman sehingga memberi dampak positif terhadap vi-sual kawasan.

Menurut Pedoman Penyiapan Pengelola dan Peng-huni Rusunawa Balai Litbang Sosekling Bidang Permukiman Puslitbang Sosekling Kementerian PU, permasalahan kekumuhan pada rumah susun terjadi

karena masalah kepenghunian dan pengelolaan yang kurang baik. Dalam beberapa tahun pascahuni ba-ngunan rumah susun terlihat kurang terawat, kotor, banyak jemuran pakaian yang tidak pada tempatnya, dan rusaknya elemen bangunan. Kondisi tersebut ter-lihat dari tampilan luar bangunan rumah susun, ter-

utama fasad bangunan bangunan rumah susun Dalam kajian arsitektur, fasad menjadi bagian yang

penting untuk mengkomunikasikan fungsi dan nilai dari suatu bangunan. Menurut Prijotomo (1987) fasad merupakan bagian yang pertama kali mendapat apre-siasi baik atau buruk dari dari subjek pengamat. Fasad

dari bangunan-bangunan yang terdapat pada sebuah kawasan dapat memberi kesan visual bagi kawasan tersebut. Adanya kondisi ini mendorong timbulnya urgensi untuk mempertanyakan bentuk penerapan aspek visual fasad bangunan rumah susun dalam sebuah lingkungan permukiman padat penduduk.

Di Kota Yogyakarta langkah peremajaan telah dilakukan dengan membangun 3 (tiga) rumah susun di bantaran Sungai Code. Salah satunya rumah susun Jogoyudan. Lokus pada rumah susun Jogoyudan dika-renakan pertimbangan karakter visual dan perannya dalam membentuk wajah kota Yogyakarta cukup

besar. Berlandaskan rumusan masalah tersebut, pene-liti mengkaji mengenai aspek visual fasad rumah

Ashri Amalia Hadi

-- Mahasiswa Magister Teknik Arsitektur UNDIP

Alamat: Jalan Hayam Wuruk No.5 lantai 1 dan 3 Semarang

50241, Jawa Tengah

Tel: 024 8312418 Fax: 024 8312418

e-mail: [email protected]

Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2013/2 29

susun Jogoyudan dengan memfokuskan suatu tujuan

penelitian sebagai berikut: a. untuk mengetahui aspek visual fasad rumah susun

dalam memberikan pengaruh yang positif atau negatif terhadap visual kawasan peremajaan per-mukiman di desa Jogoyudan Yogyakarta

b. Mengetahui elemen dari fasad yang paling mem-

pengaruhi visual kawasan permukiman Jogoyu-dan Yogyakarta.

II. Materi dan Metode

Burden (1990) mengemukakan bahwa fasad ba-ngunan adalah, “external face or elevation of a build-

ing, especially the principal front”. Hal ini berarti fasad bangunan merupakan wajah utama atau tampak depan dari sebuah ekterior bangunan sehingga dapat dilihat dari jalan atau area publik lainnya. Dengan kata lain fasad merupakan bagian eksterior dari keseluruh-an bangunan, bagian depan, bagian samping, ataupun

belakang. Pendapat tersebut didukung oleh Krier (1992) yang mengungkapkan bahwa fasad memiliki peran penting dalam visual kawasan karena berperan dalam mengomunikasikan fungsi dan nilai suatu bangunan, menyampaikan keadaan budaya kawasan tersebut saat bangunan itu dibangun, dan memberikan

identitas terhadap suatu atau komunitas pada kawasan tersebut.

Sebagai wajah dari sebuah bangunan, terdapat ele-

men-elemen yang membentuk sebuah fasad, yaitu: a. Selubung Bangunan (atap, dinding, lantai, struktur)

b. Bukaan (jendela, pintu, boven, rooster) c. Sistem Pelindung Bukaan

Untuk menampilkan fasad bangunan yang baik,

elemen-elemen pada fasad seharusnya memiliki krite-ria bentuk untuk mendapatkan visual yang baik. Me-

nurut DK. Ching (1979) sebuah elemen bentuk sebaiknya mempertimbangkan kriteria visual sebagai berikut:

Keberadaan fasad dalam suatu kawasan akan

mem-pengaruhi sistem visual dan kualitas visual pada suatu kawasan. Menurut Cullen (1961) menambahkan bah-wa terdapat 3 hal penting yang mendukung sistem

visual antara lain rangkaian pandangan (optic), reaksi pengamat dengan tempat (place), dan elemen-elemen ruang didalamnya (content). Rangkaian 3 elemen ter-sebut menjadi poin penting yang menentukan pe-mandangan kawasan:

a. Optic (Pemandangan) Optic adalah pemandangan kawasan yang diung-

kapkan dalam suatu rangkaian pandangan dalam sebuah pergerakan. Rangkaian pemandangan dalam

pergerakan ini disebut dengan istilah serial visions.

Serial visions didapat dari kesatuan antara peman-dangan elemen-elemen yang sudah ada sebelumnya (existing view) dan pemandangan elemen-elemen baru yang muncul (emerging view) dalam satu tem-pat.

b. Place (Tempat) Place adalah reaksi posisi pengamat dengan ruang

dalam lingkungannya. Reaksi posisi pengamat terse-but membantu pengamat dalam mengidentifikasi lingkungannya, sehingga terdapat rasa memiliki atau kecocokan, pengalaman visual pengamat saat mele-

wati kawasan, keterlingkupan, pemandangan elemen yang menonjol atau dominan.

c. Content (Elemen Pengisi Kawasan)

Content adalah beragam elemen yang ada dalam suatu ruang, dalam hal ini yaitu kawasan. Content berkenaan dengan bentuk elemen ruang kawasan se-perti warna, tekstur, skala, style, karakter, personalitas dan keunikan.

Untuk mengetahui pengaruh fasad bangunan rumah

susun di kawasan Jogoyudan Yogyakarta dibutuhkan

suatu kajian secara menyeluruh dengan penjabaran data dan analisa secara kualitatif melalui observasi, wawancara yang dilakukan terhadap responden yang mengetahui kondisi visual kawasan rumah susun Jo-goyudan sebelum dan sesudah dibangun, dan doku-mentasi baik fisik kawasan, maupun aktivitas masya-

rakat yang mempengaruhi visual kawasan. Untuk memenuhi tujuan penelitian digunakan analisis visual yang mengkaji objek penelitian berdasarkan sistem visualnya (optic, place, content) dan kualitas visual (keterpaduan, proporsi, skala, keseimbangan, irama, dan warna).

III. Hasil dan Pembahasan a. Area Studi

Kawasan kampung Jogoyudan terletak di Kelu-rahan Gowangan, Kecamatan Jetis, Kota Yogyakarta. Wilayah yang didominasi oleh perumahan 1 hingga 2

lantai sehingga dibangunnya rumah susun Jogoyudan yang memiliki ketinggian 4 lantai menjadi bangunan yang paling tinggi hingga fasad bangunan tersebut dapat terlihat dari 4 sudut pandang : a. Dari arah tenggara yaitu jalan Kleringan b. Dari arah barat daya yaitu jalan lingkungan kam-

pung Jogoyudan c. Dari arah barat laut yaitu jalan Poncowinatan d. Dari arah timur laut yaitu jalan lingkungan kam-

pung Kota Baru Visual fasad rumah susun Jogoyudan, dapat dije-

laskan dengan peta dan gambar di bawah ini.

e. Orientasi f. Posisi g. Skala h. Proporsi

a. Wujud b. Dimensi c. Warna d. Tekstur

30 JAP Vol.6 No.2 Okt. 2013 Ashri Amalia Hadi

Gambar 1

. Peta Lokasi Kawasan Penelitan dan Tampak Bangunan Rumah

Susun dari 4 Sudut Pandang (sumber: Survai dan Analisa, 2013)

b. Optic (Pemandangan) Fasad rumah susun di kawasan Jogoyudan Yogya-

karta menjadi elemen emerging view yang member-kan pemandangan baru di kawasan permukiman terse-but. Dari hasil wawancara yang telah dilakukan peneliti, didapatkan tanggapan responden mengenai

tampilan fasad rumah susun di kawasan Jogoyudan Yogyakarta sebagai berikut.

Gambar 2. Grafik Hasil Wawancara Mengenai Tampilan Fasad

Rumah Susun di Kawasan Jogoyudan (sumber: Analisa, 2013)

Diagram di atas menunjukkan bahwa responden

menilai sistem visual optic pada fasad rumah susun di kawasan Jogoyudan memiliki pengaruh positif. Res-ponden menilai positif sebanyak 53,33%, yang meni-lai memiliki pengaruh negatif 23,33%, responden yang menilai ada sisi positif dan negatif sebanyak 15%, dan responden yang netral sebanyak 8,33%.

Pendapat responden dalam menentukan penilaian didasarkan pada berbagai alasan. Peneliti mengklasifi-kasikan dalam 4 (empat) kategori yaitu mengenai wu-jud bangunan, kualitas material bangunan, fungsi bangunan, serta sosial budaya.

a. Wujud Bangunan Bangunan rumah susun didesain dengan tampilan

yang lebih menarik pandangan masyarakat baik peng-huni maupun warga yang tinggal di rumah susun tersebut. Bangunan rumah susun tersebut terlihat kontras dengan bangunan rumah tinggal lain yang

berada pada kawasan Jogoyudan. Dibangunnya rumah susun dapat memperbaiki kekumuhan yang terjadi pada kampung Jogoyudan.

b. Fungsi Bangunan

Pada fasad rumah susun Jogoyudan terlihat bahwa

bangunan tersebut mengikuti fungsi dan modul ruang yang ada di dalamnya. Perancang bangunan rumah susun tersebut telah mendesain sebuah ruang jemur pada setiap unit tinggal pada rumah susun Jogoyudan, supaya penghuni tidak menjemur pakaian sembarang-an di luar jendela. Namun fungsi ruang jemur tersebut

masih kurang maksimal, karena pada fasad rumah su-sun Jogoyudan elemen bukaan seperti jendela dan kisi-kisi besi sering dipergunakan untuk menggantung sesuatu benda yang seharusnya tidak digantung di tem-pat tersebut, misalnya gantungan pakaian.

Gambar 3. Penggunaan Elemen Bangunan Tidak Sesuai

Fungsi (sumber: Survai, 2013)

c. Kualitas Material Bangunan

Perbaikan wujud bangunan yang disertai dengan perbaikan material bangunan rumah susun menjadi material permanen menunjang perbaikan visual fasad bangunan rumah susun. Namun jika dianalisa lebih

dalam lagi ternyata terdapat kekurangan.

0

5

10

15

20

25

30

Pengaruh Positif Pengaruh Negatif

Wujud Bangunan

Kualitas Bangunan

Fungsi Bangunan

Sosial Budaya

Wujud dan Kualitas Bangunan

Wujud dan Fungsi Bangunan

Wujud Bangunan dan Sosial

Budaya

Kualitas dan Fungsi Bangunan

Kualitas Bangunan dan Sosial

Budaya

Fungsi Bangunan dan Sosial

Budaya

Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2013/2 31

Rumah susun Jogoyudan dibangun dalam 2 tahap

pembangunan dengan jangka waktu yang berbeda. Terdapat perbedaan kualitas antara material yang di-gunakan pada rumah susun Blok A dan B dengan rumah susun blok D dan E. Pada elemen dinding dan struktur yang terlihat pada fasad rusun blok D dan blok E terdapat kerusakan kolom sebagai hasil dari

kualitas material yang kurang bagus.

Gambar 4. (a) Kerusakan pada Kolom Blok D dan Blok E

(b) Kolom Asli pada Bangunan Blok A dan Blok B

(sumber: Survai, 2013)

d. Sosial Budaya Kawasan permukiman Jogoyudan memiliki bebe-

rapa fase pembangunan, yaitu fase rumah sosial, ke-mudian didirikan bangunan asrama buruh 2 lantai, dan

saat ini telah dibangun rumah susun Jogoyudan 4 lantai. Seiring peremajaan permukiman yang dilaku-kan, jumlah pendatang semakin bertambah, khususnya yang tinggal di rumah susun. Hal ini mengakibatkan adanya perubahan tatanan sosial masyarakat terutama dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan wawancara

yang telah dilakukan dengan warga, didapatkan kete-rangan bahwa warga pendatang kurang dapat mem-baur dengan penduduk yang telah lama tinggal pada permukiman Jogoyudan. Permasalahan ini berdampak pada kurangnya sense of belonging warga terhadap kawasan Jogoyudan. Perawatan bangunan rumah su-

sun serta lingkungan sekitarnya diserahkan sepenuh-nya kepada paguyuban rumah susun. Sedangkan pihak paguyuban tidak memiliki cukup dana untuk melaku-kan perawatan dan kebersihan secara berkala dan rutin. Sehingga kerusakan-kerusakan bangunan tidak dapat segera ditanggulangi dan kondisi bangunan rumah susun menjadi kurang terawat.

c. Place (Tempat)

Gambar 5. Hasil Wawancara Mengenai Fase Peremajaan

di Kawasan Jogoyudan (sumber: Analisa, 2013)

Aspek place merupakan reaksi pengamat dalam

mengidentifikasi lingkungannya, sehingga terdapat rasa memiliki atau kecocokan. Pengalaman visual pengamat dapat terjadi pada saat pengamat berada pada suatu kawasan, atau pengamat melihat peman-dangan elemen yang menonjol dan dominan.

Pada Kawasan Jogoyudan terjadi beberapa fase

peremajaan kawasan yang mempengaruhi pengalam-an visual warga permukiman Jogoyudan. Pada dia-gram di atas menunjukkan bahwa responden respon-den menyukai fase I sebanyak 50%, fase II 0%, fase III sebanyak 40%, dan responden yang memilih netral sebanyak 10%.

Sebagian besar responden memilih fase I yaitu fase dimana kawasan kampung Jogoyudan masih berupa rumah tinggal sendiri-sendiri dan rumah sosial. Pada saat fase peremajaan I mereka merasa nyaman dengan tinggal dan beraktivitas di rumah milik pribadi. Keber-sihan dan perawatan rumah juga ditunjang oleh pemi-

lik masing-masing rumah. Pada Fase II, tidak ada responden yang memilih,

karena pada fase tersebut bangunan asrama buruh 2 lantai merupakan bangunan dengan material yang tidak permanen, menggunakan papan tripleks, dan atap berupa seng yang tidak di-finishing.

Sedangkan bangunan rumah susun yang saat ini mereka huni merupakan bangunan tempat tinggal bersama. Penghuni rumah susun masih membawa kebiasaan-kebiasaan lama saat masih tinggal di rumah pribadi dulu. Keterbatasan yang terdapat pada rumah susun membuat mereka melakukan hal-hal yang

melanggar peraturan rumah susun. Belum ada kesa-daran masyarakat untuk berpartisipasi dalam pera-watan dan kebersihan bangunan rumah susun.

d. Content (Elemen Kawasan)

Gambar 6. Hasil Wawancara Mengenai Warna dan Material

pada Fasad Rumah Susun Jogoyudan

(sumber: Analisa, 2013)

Berdasarkan wawancara dengan warga didapatkan identifikasi bahwa aspek content yang berperan pada fasad rumah susun Jogoyudan terhadap kawasan permukiman adalah elemen warna dan material. Dia-gram di atas menunjukkan bahwa responden menyu-kai warna yang diterapkan pada fasad bangunan ru-

mah susun Jogoyudan. Penerapan warna yang terang yaitu warna krem, memberikan kesan visual yang baik. Terbukti responden yang menilai warna fasad rumah susun Jogoyudan positif sebesar 88,33%,

(a) (b)

32 JAP Vol.6 No.2 Okt. 2013 Ashri Amalia Hadi

responden yang menilai negatif sebanyak 10%, se-

dangkan sebanyak 1,67% responden memilih Netral. Hasil wawancara dengan warga mengenai material

bangunan menunjukkan bahwa banyak responden yang memilih netral. Hal ini dikarenakan pengerhauan warga Jogoyudan mengenai material bangunan kurang begitu baik. Sehingga mereka cenderung menerima

apa adanya bangunan rumah susun yang mereka huni. Hal ini terbukti pada warga yang menilai positif sebe-sar 31,67%, responden yang menilai negatif 10%, responden yang menilai netral 26,67%, dan 21,67% responden memiliki pendapat positif dan negatif mengenai aplikasi material pada fasad bangunan ru-

mah susun. e. Elemen Fasad yang Berpengaruh

Gambar 7. Grafik Hasil Wawancara

Mengenai Elemen Fasad yang Berpengaruh

(sumber: Analisa, 2013)

Gambar 8. (a) Rekonstruksi Potongan Kawasan Asrama Buruh

Ledok Code, (b) Modelling Kawasan Rusun Jogoyudan

(sumber: Survai, 2013)

Dari hasil wawancara yang telah dilakukan pada

warga penghuni rumah susun Jogoyudan, elemen yang memiliki pengaruh positif terhadap fasad rumah susun

adalah elemen dinding, yaitu dengan angka responden

yang memilih sebanyak 27 orang dengan prosentase 45%. Elemen dinding memiliki pengaruh dalam mem-bentuk massa bangunan rusun yang berbentuk menye-rupai balok, dan memberi tampilan desain bangunan yang lebih baik dari fase bangunan sebelumnya yaitu asrama buruh dua lantai.

Tabel 1. Unsur Bentuk pada Elemen Dinding

Unsur Bentuk Keterangan

Wujud Bentuk geometris persegi

panjang, menggunakan material yang solid sehingga lebih kokoh

Warna Krem, difinishing dengan cat dinding eksterior berwarna te-rang

Tekstur Halus, karena pasangan batako telah ditutup dengan acian

Posisi

Sejajar dengan bidang datar, me-rupakan bidang terletaknya ele-men-elemen fasad yang lain seperti bukaan, Sun Shading, dll.

Skala dan Proporsi

Menggunakan skala manusia yaitu ukuran dan proporsi yang secara fungsional mewadahi aktivitas sesuai dengan tubuh manusi

Sumber: Analisa, 2013

Penerapan warna terang pada dinding juga menjadi

faktor yang mempengaruhi elemen tersebut sehingga bangunan rumah susun Jogoyudan terlihat menonjol dan kontras dari bangunan rumah tinggal di sekitar-nya.

Selain itu dinding menggunakan elemen material yang permanen tidak seperti fase pembangunan sebelumnya sehingga tampilan fasad bangunan terlihat lebih ko-koh. Kondisi tersebut berbedda dengan fase pemba-ngunan sebelumnya yaitu asrama Ledok Code yang hanya menggunakan material triplek atau papan tanpa

finishing. Sedangkan elemen yang memiliki pengaruh negatif

dari hasil wawancara warga adalah jendela dan buka-an dinding samping, dengan jumlah responden yang berpendapat bahwa elemen yang memiliki pengaruh buruk pada fasad rumah susun sebanyak 15 orang dengan prosentase 25%.

Gambar 9. Detail Jendela dan Pemanfaatan Jendela yang

Tidak Sesuai dengan Fungsinya oleh Penghuni (sumber:

Analisa, 2013)

(a)

(a)

(b)

Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2013/2 33

Aktivitas penghuni rusun yang menjemur pakaian

di jendela mengganggu pemandangan orang sekitar yang melihat. Apalagi bangunan rumah susun memi-liki 4 lantai sehingga jemuran penghuni semakin ter-lihat jelas. Bahkan terdapat penghuni yang melakukan penambahan pada unitnya dengan membuat atap tritisan kecil untuk menaungi pakaian yang dijemur.

Selain jemuran pakaian, banyak penghuni yang meng-gantung antena pada jendela unit yang mereka tem-pati. Sehingga membuat pemandangan pada fasad rumah susun kurang baik.

Gambar 10. Potongan Elemen Sun Shading pada Rusun serta

Jendela yang Ditutup oleh Penghuni

(sumber: Analisa, 2013)

Jika dilihat dari gambar potongan di atas, pelin-dung bukaan hanya memiliki panjang 40 cm, sehingga ukuran tersebut kurang maksimal dalam menaungi bukaan yang berada di bawahnya. Sinar matahari ma-sih dapat masuk ke dalam ruangan karena tidak ternaungi. Kondisi tersebut membuat penghuni harus

membuat teknik pengendalian sinar secara internal dengan memasang tirai tambahan pada jendela.

IV. Kesimpulan

Berdasarkan analisa sistem visual kawasan yang meliputi aspek optic (pemandangan), place (tempat),

dan content (isi), serta analisa kualitas visual meliputi keterpaduan, proporsi, skala, keseimbangan, irama, dan warna, fasad rumah susun Jogoyudan memiliki pengaruh yang positif terhadap visual kawasan kam-pung Jogoyudan Yogyakarta. Dari hasil wawancara responden diklasifikasikan aspek visual fasad rumah

susun Jogoyudan dipengaruhi oleh aspek-aspek seba-gai berikut : a. Wujud Bangunan

Konfigurasi wujud massa bangunan rumah susun Jogoyudan didesain lebih baik sehingga terlihat menonjol di antara bangunan-bangunan rumah

tinggal lain, sehingga memberi dampak visual yang baik bagi kawasan permukiman Jogoyudan

b. Fungsi Bangunan Terjadi penyimpangan fungsi ruang jemur menjadi dapur atau ruang lain dalam unit rumah susun. Sehingga jendela yang terletak pada ruang dapur

dimanfaatkan penghuni untuk menjemur pakaian.

Terdapat juga penghuni yang menutup elemen bukaan yaitu jendela dan kisi-kisi besi dengan kardus, triplek, atau kertas karena gangguan silau, dan masuknya binatang karena lubang bukaan yang terlalu besar

c. Kualitas Material Bangunan

Pada fase peremajaan ketiga yaitu pembangunan rumah susun Jogoyudan, dilakukan perbaikan ma-terial bangunan. Karena pada fase kedua yaitu as-rama buruh Ledok Code bangunan menggunakan material yang tidak permanen. Namun material bangunan rusun blok D dan E memiliki kualitas

material yang kurang baik jika dibandingkan de-ngan bangunan rusun blok A dan B, sehingga ter-jadi kerusakan pada beberapa elemen fasad.

d. Sosial Budaya Sebagian besar penghuni rumah susun Jogoyudan masih membawa budaya atau kebiasaan tinggal

pada rumah landed house. Keadaan tersebut diper-parah dengan bertambahnya penghuni dari warga pendatang yang belum bisa berinteraksi sosial dengan penduduk asli setempat mengakibatkan menurunnya kepedulian masyarakat dalam hal perawatan serta kebersihan lingkungan rumah

susun. Berdasarkan analisa unsur bentuk pada elemen

pembentuk fasad rumah susun Jogoyudan, serta ana-lisa hasil wawancara warga dan observasi pada lokasi penelitian, diketahui bahwa elemen yang berpengaruh

terhadap fasad rumah susun Jogoyudan adalah sebagai berikut: a. elemen dinding sebagai elemen yang berpengaruh

positif Dalam analisa unsur bentuk, dinding memiliki pe-ran dalam membentuk massa bangunan dan wujud

tampilan luar bangunan rumah susun. Hal tersebut didukung oleh finishing yang dilakukan pada ele-men dinding dengan cat berwarna cerah yaitu krem dan merah bata. Penerapan warna dinding tersebut disukai oleh sebagian besar warga permukiman Jogoyudan.

b. elemen bukaan yang memiliki pengaruh negatif Kebiasaan penghuni rumah susun menjemur pakai-an pada elemen jendela merupakan tindakan pe-manfaatan elemen yang tidak sesuai dengan fung-sinya. Selain itu, elemen bukaan tidak didukung dengan sistem pengendalian sinar kurang baik,

sehingga sebagian besar penghuni menutup jendela ada unit rumah susun mereka.

Referensi 1) Budihardjo, Eko. 1994. Sejumlah Masalah Permukiman Kota,

Penerbit Bandung

2) Burden, Ernest, 1995, Elemen of Architectural design, a Visual

Resource, Van Norstrand, Reinhold, New York.

3) Ching, Francis D. K, 1991, Arsitektur, Bentuk, Ruang dan Tatanan,

Penerbit Erlangga, Jakarta

4) Cullen, Gordon. 1961. The Concise Townscape, Butterworth

34 JAP Vol.6 No.2 Okt. 2013 Ashri Amalia Hadi

Heinemann, University Press, Cambridge

5) Krier, Rob.1992., Elements of Architecture, The Academy Group

Ltd, London

6) Kukreja, C.P., 1978, Tropical Architecture, Tata McGraw-Hill

Publishing, New Delhi.

7) Nurmasari, Shofiyah. 2008. Hubungan Media Ruang Luar

(Menggunakan Pencahayaan Buatan) dengan Kualitas Visual

Koridor di Malam Hari Menurut Persepsi Masyarakat (Studi

Kasus Koridor Jalan Pahlawan Semarang). Tesis Magister Teknik

Arsitektur. Universitas Diponegoro.Semarang

8) Prijotomo, 1987. Ideas and Forms of Javanese Architecture.

Gadjah Mada University Press : Yogyakarta

9) Prijotomo, 1987. Ideas and Forms of Javanese Architecture.

Gadjah Mada University Press : Yogyakarta

10) Yudohusodo, Siswono. 1991. Rumah Untuk Seluruh Rakyat.

Jakarta: INNKOPPOL

11) Undang Undang No. 16 Tahun 1985 Tentang Rumah Rusun

12) Pedoman Penyiapan Pengelola dan Penghuni Rusunawa Balai

Litbang Sosekling Bidang Permukiman Puslitbang Sosekling

Kementerian PU

13) www.jogjakota.go.id, Peta administrasi, peta pola struktur, peta

kawasan strategis, peta rencana pengembangan kawasan provinsi

Yogyakarta. Diakses pada 6/12/12 pukul 19:30

Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2013/2 35

Konservasi Lahan Sebagai Upaya Melindungi Kawasan Resapan Air di Kota Depok

Hendro Pratikno1, Mussadun

2

1Mahasiswa, Magister Pembangunan Wilayah dan Kota, Universitas Diponegoro 2Dosen, Magister Pembangunan Wilayah dan Kota, Universitas Diponegoro

Abstract

Recharge area gives protection to its area and the areas beneath it. The high growth of settlements and population has led to decrease of water absorption ability. This study aims to formulate land conservation efforts to protect water recharge areas by improving and maintaining water absorption ability. The analyzis methods used in this study are land use change analysis, analysis of potential water recharge areas, analysis

of actual water recharge areas, analysis of changes in water absorption capacity, and analysis of land conservation studies. From this study it can be seen that formulation of land conservation efforts are carried out by the method of vegetative and mechanical conservation through (1) improving the ability of water absorption by making biopori holes in residential areas, improving drainage, creating green space such as RT parks, RW parks, city parks, green lane road, and the green line riparian, and (2) maintaining the ability of water absorption by protecting agricultural and dry land use and so as not to turn the function into non-agricultural land use, using recharge and absorption wells in residential areas, planting trees in the yard, improving the quality of existing green space, and controlling the growth of settlements with low KDB settings.

Keywords: Recharge Area, Land Conservation

I. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang

Kawasan resapan air pada hakikatnya merupakan kawasan lindung yang memiliki fungsi dan peran

dalam menjaga daya dukung lingkungan khususnya sumber daya air untuk pemenuhan berbagai kebutuhan hidup dan aktivitas perekonomian wilayah. Kelestari- an fungsi kawasan resapan air hanya akan terwujud jika ekosistem kawasan tetap terjaga dan terpelihara. Penggunaan lahan kawasan harus selalu diarahkan un-

tuk tidak menyebabkan perubahan ekosistem atau penurunan fungsi kawasan.

Pembangunan Kota Depok memunculkan sifat di- lematis di mana pada satu sisi, sebagian besar wilayah Kota Depok menyandang fungsi kawasan resapan air, sementara sebagian wilayah lainnya menyandang

fungsi sosial ekonomi akibat adanya tekanan pertum- buhan ekonomi dan perkembangan penduduk yang sangat tinggi, yang memerlukan kapasitas lahan dalam jumlah yang cukup besar.

Dari data BPS Kota Depok Dalam Angka diketahui bahwa Kota Depok berkembang sangat pesat yang

ditandai dengan tingginya laju pertumbuhan penduduk dimana laju pertumbuhan penduduk Kota Depok dari tahun 2000 sampai dengan 2010 adalah sebesar 4,27%

yang lebih tinggi dari laju pertumbuhan penduduk se- cara nasional sebesar 1,49%. Selain itu konversi peng- gunaan lahan non permukiman menjadi permukiman dari tahun 2000 sampai dengan 2010 mengalami pe-

nambahan yang cukup pesat yakni sebesar 1.108,72 Ha. Tingginya laju pertumbuhan penduduk yang di- ikuti dengan tingginya konversi penggunaan lahan non-permukiman menjadi permukiman di Kota Depok menyebabkan semakin berkurangnya lahan yang dapat menyimpan ketersediaan air tanah yang akan ber-

pengaruh terhadap terjadinya penurunan kemampuan resapan air. Hal ini mengakibatkan terjadinya berbagai permasalahan lingkungan hidup seperti bencana banjir, longsor, dan kekeringan yang kerap terjadi akhir-akhir ini.

Untuk mengatasi permasalahan terjadinya penu-

runan kemampuan resapan air di Kota Depok diper- lukan delineasi yang jelas batasan kawasan resapan air secara fisik dan pengaruh perubahan penggunaan la- han terhadap kemampuan resapan air sehingga dapat diketahui upaya konservasi lahan yang dapat melin- dungi keberadaan kawasan resapan air.

1.2. Tujuan dan Sasaran Penelitian

Penelitian ini bertujuan merumuskan upaya konser- vasi lahan untuk melindungi kawasan resapan air dengan cara meningkatkan dan mempertahankan ke- mampuan resapan air di Kota Depok.

Adapun sasaran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

Hendro Pratikno

--- Mahasiswa, Magister Pembangunan Wilayah dan Kota,

Universitas Diponegoro

Tel: 08129543708 E-mail: [email protected]

36 JAP Vol.6 No.2 Okt. 2013 Hendro Pratikno

1. Mengidentifikasi penggunaan lahan di Kota Depok

tahun 2000 dan 2010. 2. Mengidentifikasi kondisi fisik lahan (geologi, cu-

rah hujan, jenis tanah, dan kemiringan lereng) di Kota Depok.

3. Menganalisis karakteristik perubahan penggunaan lahan tahun 2000 - 2010 di Kota Depok.

4. Menganalisis kawasan resapan air potensial di Kota Depok.

5. Menganalisis kawasan resapan air aktual tahun 2000 dan 2010 di Kota Depok.

6. Menganalisis perubahan kemampuan resapan air tahun 2000 – 2010 di Kota Depok.

7. Menganalisis upaya konservasi lahan di kawasan resapan air Kota Depok.

II. Metode Penelitian

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif. Metode kuantitatif meru-

pakan metode yang menggunakan data terukur dan dianalisis dengan cara statistik (Cresswell, 2003). Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah distribusi frekuensi, interpretasi data tabel, dan analisis spasial dengan teknik tumpang susun (overlay). Dis- tribusi frekuensi dan interpretasi data tabel digunakan

untuk menganalisis kecenderungan dari suatu data, sedangkan analisis spasial digunakan sebagai media analisis untuk mendapatkan hasil-hasil analisis yang memiliki atribut keruangan dan mendapatkan gambar- an keterkaitan di dalam permasalahan antar wilayah dalam wilayah penelitian. Alat analisis ini bertujuan

untuk mengidentifikasi dan menganalisis perubahan penggunaan lahan, mengidentifikasi dan menganalisis kawasan resapan air potensial berdasarkan kondisi fisik (geologi, curah hujan, jenis tanah, dan kemiringan le- reng), dan mengidentifikasi dan menganalisis kawasan resapan air aktual berdasarkan kondisi fisik dan peng-

gunaan lahan untuk mendapatkan hasil analisis ke- mampuan resapan air, serta merumuskan kajian upaya konservasi lahan untuk meningkatkan dan memperta- hankan kemampuan resapan air di wilayah penelitian berdasarkan hasil analisis kawasan resapan air poten- sial, perubahan kemampuan resapan air, dan perubahan

penggunaan lahannya. Tahapan analisis yang dilaku- kan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

2.1 Analisis Perubahan Penggunaan Lahan

Analisis perubahan penggunaan lahan bertujuan untuk mengidentifikasi laju serta kecenderungan per-

tumbuhan dan perubahan penggunaan lahan di wila- yah penelitian. Data penggunaan lahan yang diguna- kan adalah data time series (tahun 2000 dan tahun 2010) yang digunakan untuk menggambarkan kecen- derungan perubahan penggunaan lahan dalam 2 (dua) periode waktu yang berbeda. Analisis perubahan

penggunaan lahan dilakukan untuk mengetahui per- ubahan dari jenis, sebaran, dan besaran perubahan penggunaan lahannya.

2.2 Analisis Kawasan Resapan Air Potensial

Analisis kawasan resapan air potensial didapat de- ngan melakukan tumpang susun (overlay) mengguna- kan Software ArcGis 10.0 berupa data spasial kondisi fisik lahan yang meliputi geologi, curah hujan, jenis tanah, dan kemiringan lereng. Data-data kondisi fisik lahan dijadikan variabel yang menentukan kawasan

resapan air potensial. Masing-masing variabel (geologi, curah hujan,

jenis tanah, dan kemiringan lereng) mempunyai peng- aruh yang berbeda terhadap resapan air ke dalam tanah yang dibedakan dengan pemberian bobot dan masing-masing variabel tersebut lalu dikelaskan dan

diberi skoring/nilai. Kemudian untuk menentukan tingkat kesesuaian

sebagai kawasan resapan air potensial dilakukan de- ngan menjumlahkan hasil perkalian antara bobot dan nilai pada tiap variabel, dengan menggunakan rumus :

Nilai total = (Gb*Gp) + (Pb*Pp) + (Sb*Sp) + (Lb*Lp)

Dengan : G = Geologi P = Curah hujan rata-rata tahunan S = Jenis Tanah

L = Kemiringan Lereng b = Bobot p = Nilai variabel Berdasarkan rumus tersebut maka akan diperoleh

nilai total dari setiap tempat di wilayah penelitian. Se-

makin besar nilai totalnya maka semakin besar potensi untuk meresapkan air ke dalam tanah dengan kata lain semakin sesuai sebagai kawasan resapan air. Untuk mengklasifikasikannya dibagi menjadi 5 (lima) kelas yakni sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah, dan sangat rendah yang pengkelasannya berdasarkan range nilai

terendah dan tertinggi di wilayah penelitian sehingga didapatkan hasil berupa peta zona kawasan resapan air potensial di Kota Depok.

2.3 Analisis Kawasan Resapan Air Aktual

Analisis kawasan resapan air aktual didapat de-

ngan melakukan tumpang susun (overlay) mengguna- kan Software ArcGis 10.0 antara hasil analisis kawa- san resapan potensial (berupa peta zona kawasan re- sapan air potensial di Kota Depok) dengan data spa- sial penggunaan lahan, di mana data spasial penggu- naan lahan tersebut dikelaskan dan diberi skoring/nilai.

Data spasial penggunaan lahan Kota Depok dipakai data tahun 2000 dan 2010.

Berdasarkan hasil tumpang susun (overlay) terse- but maka akan diperoleh nilai total dari setiap tempat di wilayah penelitian. Semakin besar nilai totalnya maka semakin besar kemampuan untuk meresapkan

air ke dalam tanah. Untuk mengklasifikasikannya dibagi menjadi 5

(lima) kelas yakni sangat tinggi, tinggi, sedang, ren- dah, dan sangat rendah yang pengelasannya berdasar-

Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2013/2 37

kan range nilai terendah dan tertinggi di wilayah

penelitian sehingga didapatkan hasil berupa peta zona kawasan resapan air aktual di Kota Depok pada tahun 2000 dan 2010.

2.4 Analisis Perubahan Kemampuan Resapan Air

Analisis perubahan kemampuan resapan air didapat

dari perubahan zona kawasan resapan air yang terjadi dari peta zona kawasan resapan air aktual tahun 2000 ke tahun 2010 yang dikelompokkan menjadi 4 (empat) zona seperti berikut : a. Zona Penurunan Resapan Air Tinggi merupakan

perubahan penurunan resapan air aktual tahun

2000 ke tahun 2010 sebanyak 3 - 4 tingkat, yakni : kelas sangat tinggi menjadi kelas sangat rendah kelas sangat tinggi menjadi kelas rendah kelas tinggi menjadi kelas sangat rendah

b. Zona Penurunan Resapan Air Sedang merupakan perubahan penurunan resapan air aktual tahun

2000 ke tahun 2010 sebanyak 2 tingkat, yakni : kelas sangat tinggi menjadi kelas sangat sedang kelas tinggi menjadi kelas rendah kelas sedang menjadi kelas sangat rendah

c. Zona Penurunan Resapan Air Rendah merupakan perubahan penurunan resapan air aktual tahun

2000 ke tahun 2010 sebanyak 1 tingkat, yakni : kelas sangat tinggi menjadi kelas tinggi kelas tinggi menjadi kelas sedang kelas sedang menjadi kelas rendah kelas rendah menjadi kelas sangat rendah

d. Zona Resapan Air Tidak Berubah merupakan tidak

adanya perubahan penurunan resapan air aktual tahun 2000 ke tahun 2010.

2.5 Analisis Perumusan Strategi Konservasi Lahan

Analisis perumusan strategi konservasi lahan dida- pat dengan meng-overlay peta kawasan resapan air

potensial dengan peta perubahan kemampuan resapan air, serta melihat perubahan penggunaan lahannya. Analisis perumusan strategi konservasi lahan dilaku- kan dengan mekanisme pengelolaan kawasan resapan air dan pengendalian penggunaan lahan untuk mem- pertahankan dan meningkatkan kemampuan resapan

air. III. Konservasi Lahan

Menurut Puridimaja (2006), konservasi lahan da- lam konteks melindungi sistem tata air merupakan upa- ya untuk mempertahankan dan meningkatkan besaran

infiltrasi (peresapan) air dengan prinsip meminimalisir aliran permukaan. Metode konservasi tanah dapat dibagi dalam 3 (tiga) golongan utama, yaitu metoda konservasi secara vegetatif, metoda konservasi secara mekanis, dan metode konservasi secara kimia. Pada penelitian ini digunakan metoda secara vegetatif dan

metoda konservasi secara mekanis.

3.1. Konservasi secara Vegetatif

Upaya konservasi tanah dan air dapat dilakukan

melalui upaya konservasi secara vegetatif (Utomo,

2001). Konservasi tanah secara vegetatif pada lahan non-pertanian dilakukan penanaman pada seluruh la- han sepanjang waktu. Jika pada upaya konservasi ta- nah dengan cara mekanis hanya dapat diperoleh man- faat dengan adanya penurunan laju erosi, maka de- ngan cara vegetatif diperoleh dua manfaat sekaligus

yaitu penurunan laju erosi dan peningkatan kemam- puan resapan air. Penurunan laju erosi yang diperoleh dari cara vegetatif terjadi karena adanya penurunan energi hujan (sebagai akibat adanya intersepsi oleh tajuk daun) yang sampai ke permukaan tanah, dan se- kaligus adanya penurunan volume serta kecepatan

limpasan permukaan. Penurunan volume limpasan permukaan ini terjadi karena adanya perbaikan sifat fisik tanah, dalam hal ini struktur dan ruang pori tanah, sehingga jumlah air yang dapat masuk ke dalam tanah (infiltrasi dan perkolasi) menjadi besar.

Pada dasarnya semua jenis tanaman dapat diguna-

kan untuk pekerjaan konservasi tanah dan air, namun pemilihan jenis tanaman akan sangat menentukan ke- berhasilan upaya konservasi. Jika dalam konservasi tanah juga diharapkan terjadi konservasi air, maka penggunaan tanaman akan mempunyai laju evapo- transpirasi tinggi (misalnya pinus) supaya dihindari.

Persyaratan pemilihan tanaman bagi metode kon- servasi ini antara lain : - Mempunyai sistem perakaran yang kuat, dalam

dan luas sehingga membentuk jaringan akar yang rapat

- Pertumbuhannya cepat sehingga mampu menutup

tanah dalam waktu singkat - Mempunyai nilai ekonomis baik kayu maupun ha-

sil sampingannya - Dapat memperbaiki kualitas/kesuburan tanah

3.2. Konservasi secara Mekanis

Konservasi secara mekanis mempunyai fungsi (Kodoatie, 2003): Memperlambat aliran permukaan Menampung dan mengalirkan aliran permukaan

sehingga tidak merusak tanah

Memperbesar kapasitas infiltrasi air ke dalam ta- nah dan memperbaiki aerasi tanah

Menyediakan air bagi tanaman Sedangkan usaha konservasi tanah dan air yang

termasuk dalam metode mekanis antara lain: Pengolahan tanah

Pengolahan tanah menurut garis kontur Pembuatan teras Pembuatan saluran air (waterways)

IV. Hasil dan Pembahasan Secara umum, pola perubahan penggunaan lahan

Kota Depok selama kurun waktu 10 tahun dari tahun 2000–2010 ditunjukkan oleh peningkatan jenis peng- gunaan lahan permukiman padat. Permukiman padat

mengalami peningkatan sebesar 3.408,16 Ha, diikuti

38 JAP Vol.6 No.2 Okt. 2013 Hendro Pratikno

oleh peningkatan jenis penggunaan lahan perumahan

developer/formal sebesar 1.019,03 Ha. Sedangkan je- nis penggunaan lahan yang mengalami penyusutan adalah permukiman renggang dengan tingkat penyu- sutan sebesar 3.151,60 Ha, diikuti oleh penyusutan jenis penggunaan lahan pertanian dan tegalan sebesar 1.526,19 Ha.

4.1. Kawasan Resapan Air Potensial

Zona kawasan resapan air di Kota Depok yang me- miliki resapan air potensial sangat tinggi terdapat di bagian selatan Kota Depok meliputi Kecamatan Tapos

sebesar 2.647,28 Ha, Kecamatan Cilodong sebesar 1524,48 Ha, Kecamatan Sukmajaya sebesar 618,26 Ha, dan Kecamatan Cipayung sebesar 275,21 Ha.

Gambar 2 Peta Zona Kawasan Resapan Air Potensial di Kota Depok

Sumber : Hasil Analisis Penyusun, 2013

Gambar 1 Perubahan Penggunaan Lahan Kota Depok Tahun 2000 dan 2010

Sumber: Hasil Analisis Penyusun, 2013

Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2013/2 39

Zona resapan air potensial tinggi terdapat di bagian

tengah Kota Depok dan sebagian kecil di bagian sela- tan Kota Depok meliputi Kecamatan Bojongsari, Sawangan, Pancoran Mas, Cipayung, Sukmajaya, Beji, Cimanggis, Limo, dan Tapos. Zona kawasan resapan air potensial sedang terdapat di bagian tengah Kota Depok dan sebagian kecil di bagian utara Kota Depok

meliputi Kecamatan Bojongsari, Sawangan, Pancoran Mas, Cipayung, Sukmajaya, Beji, Cimanggis, Limo, dan Cinere. Zona kawasan resapan air potensial ren- dah dan sangat rendah terdapat di bagian utara Kota Depok meliputi Kecamatan Limo dan Cinere.

Secara umum wilayah Kota Depok terdapat pada

zona kawasan resapan air potensial sedang sampai dengan sangat tinggi dengan luasan sebesar 17.767,41 Ha atau 88,58% dari luas wilayah Kota Depok.

4.2. Kawasan Resapan Air Aktual

Pada tahun 2000, zona kawasan resapan air aktual di Kota Depok sebagian besar berada pada zona kawa- san resapan air sedang sampai sangat tinggi yakni sebesar 18.659,22 Ha atau 93,02% dari luas wilayah

Kota Depok. Kecamatan yang berada pada zona ka- wasan resapan air sangat tinggi yang memiliki luasan

Gambar 4 Peta Zona Kawasan Resapan Air Aktual Kota Depok Tahun 2010

Sumber : Hasil Analisis Penyusun, 2013

Gambar 3 Peta Zona Kawasan Resapan Air Aktual Kota Depok Tahun 2000

Sumber : Hasil Analisis Penyusun, 2013

40 JAP Vol.6 No.2 Okt. 2013 Hendro Pratikno

paling besar adalah Kecamatan Tapos yakni sebesar

1.153,18 Ha. Pada tahun 2010, zona kawasan resapan air aktual

di Kota Depok yang sebagian besar berada pada zona kawasan resapan air sedang sampai sangat tinggi luasannya semakin menurun di mana pada tahun 2000 sebesar 18.659,22 Ha atau 93,02% dari luas wilayah

kawasan resapan air sedang sampai sangat tinggi luasannya semakin menurun di mana pada tahun 2000 sebesar 18.659,22 Ha atau 93,02% dari luas wilayah Kota Depok, pada tahun 2010 berkurang menjadi 15.049,36 Ha atau 75,03% dari luas wilayah Kota Depok.

4.2. Penurunan Kemampuan Resapan Air

Selama kurun waktu 10 tahun (2000-2010) zona ka-

wasan resapan air yang mengalami penurunan resapan air tinggi terdapat di seluruh kecamatan di Kota Depok. Kecamatan yang mengalami penurunan tinggi paling besar terdapat di Kecamatan Beji sebesar 586,90 Ha atau 40,05% dari luas kecamatannya. Sedangkan untuk kecamatan yang mengalami penurunan tinggi paling

kecil terdapat di Kec. Bojongsari sebesar 1,49 Ha atau 0,08% dari luas kecamatannya.

Secara ekologis Kota Depok memiliki fungsi seba- gai kawasan resapan air terutama di bagian tengah hingga selatan. Berdasarkan overlay peta zona kawa- san resapan air potensial dengan peta zona penurunan

kemampuan resapan air dapat terlihat bahwa penu- runan resapan air tinggi terjadi di bagian tengah dan selatan Kota Depok di mana secara fisik lahan me- rupakan wilayah resapan air potensial tinggi. Wilayah Kota Depok yang harus mendapatkan prioritas utama untuk dilakukan konservasi lahannya adalah Kecamat-

an Cipayung, Sukmajaya, Cilodong dan Tapos. Keem-

pat kecamatan tersebut mengalami penurunan resapan air tinggi, padahal secara fisik lahan merupakan kawa- san resapan air potensial.

Akibat terus mengalami penurunan dalam kemam- puan peresapan air sehingga Kota Depok memerlukan penanganan untuk meningkatkan dan mempertahan-

kan kemampuan resapan air dengan cara melakukan upaya-upaya konservasi lahan. Upaya-upaya konser- vasi lahan dilakukan dengan melihat tipologi resapan air secara potensial dan aktual di wilayah Kota Depok. Berdasarkan kajian konservasi lahan di Kota Depok didapatkan 5 (lima) tipologi konservasi lahan yang

masing-masing tipologi terdiri dari 4 (empat) sub tipologi seperti tabel berikut:

Sumber : Hasil Analisis Penyusun, 2013

No

Kawasan

Resapan

Air

Potensial

Perubahan Kemampuan Resapan Air

Penurunan

Tinggi

Penurunan

Sedang

Penurunan

Rendah Tetap

1 Sangat

Tinggi A1 A2 A3 A4

2 Tinggi B1 B2 B3 B4

3 Sedang C1 C2 C3 C4

4 Rendah D1 D2 D3 D4

5 Sangat

Rendah E1 E2 E3 E4

Gambar 5 Peta Perubahan Kemampuan Resapan Air Di Kota Depok

Sumber : Hasil Analisis Penyusun, 2013

Tabel 1

Matrik Tipologi Kawasan Resapan Air

Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2013/2 41

4.3. Tipologi Kemampuan Resapan Air

Wilayah Tipologi A merupakan daerah yang harus dijaga dan dikendalikan pembangunannya karena me- rupakan zona resapan air potensial sangat tinggi. Tipo- logi A terdapat di bagian selatan dari wilayah Kota De-

pok yang meliputi Kecamatan Tapos, Cilodong, Suk- majaya, dan Cipayung. Pada beberapa tempat tersebut telah mengalami penurunan kemampuan resapan air yang tinggi yang meliputi Kecamatan Cilodong sebesar 344,81 Ha atau 21,31% dari luas wilayah kecamatan-

nya, Kecamatan Sukmajaya sebesar 213,48 Ha atau 13,25% dari luas wilayah kecamatannya, Kecamatan Tapos sebesar 280,23 Ha atau 8,43% dari luas wilayah kecamatannya dan Kecamatan Cipayung sebesar 31,98 Ha atau 3,25% dari luas wilayah kecamatannya.

Wilayah Tipologi B merupakan zona resapan

air potensial tinggi yang terdapat di bagian tengah dari wilayah Kota Depok meliputi Kecamatan Bo- jongsari, Sawangan, Pancoran Mas, dan Cimanggis.

Wilayah Tipologi C merupakan zona resapan air potensial sedang yang terdapat di bagian tengah dari wilayah Kota Depok meliputi Kecamatan Bojongsari,

Sawangan, Pancoran Mas, dan Cimanggis. Wilayah Tipologi D merupakan zona resapan air

potensial rendah yang terdapat di bagian utara dari wi- layah Kota Depok meliputi Kecamatan Beji, Limo, dan Cinere.

Wilayah Tipologi E merupakan zona resapan air

potensial sangat rendah yang terdapat di bagian utara dari wilayah Kota Depok meliputi Kecamatan Beji, Limo, dan Cinere.

4.4. Kajian Konservasi Lahan

Kajian konservasi lahan di Kota Depok dilakukan berdasarkan 5 (lima) tipologi, di mana wilayah Tipo- logi A, B, dan C merupakan wilayah yang harus men- dapatkan prioritas dalam upaya mengonservasi lahan

dikarenakan wilayah tipologi tersebut termasuk ke da- lam kawasan resapan air potensial sedang, tinggi, dan sangat tinggi. Konservasi lahan dilakukan dengan me- tode konservasi vegetatif dan mekanis. Pada masing- masing tipologi tersebut dibagi lagi menjadi 4 sub ti- pologi dimana sub tipologi 1 sampai dengan 3 (A1,

A2, A3, B1, B2, B3, C1, C2, C3) dilakukan upaya konservasi lahan melalui meningkatkan kemampuan resapan air dengan cara pembuatan lubang biopori pada kawasan permukiman, perbaikan drainase, pem- buatan RTH seperti taman RT, taman RW, taman kota, jalur hijau jalan, dan jalur hijau sempadan sungai.

Sedangkan sub tipologi 4 (A4, B4, C4, D4, E4) dilakukan upaya konservasi lahan melalui memper- tahankan kemampuan resapan air dengan cara melin- dungi penggunaan lahan pertanian dan tegalan agar tidak berubah fungsi menjadi penggunaan lahan non-

Gambar 6 Peta Tipologi Kemampuan Resapan Air di Kota Depok

Sumber : Hasil Analisis Penyusun, 2013

42 JAP Vol.6 No.2 Okt. 2013 Hendro Pratikno

pertanian, pembuatan sumur resapan dan biopori pada

kawasan permukiman, penanaman pohon di pekarang- an, meningkatkan kualitas RTH yang sudah ada, dan mengendalikan pertumbuhan permukiman dengan pengaturan KDB rendah.

Untuk Tipologi D dan E walaupun termasuk ke da- lam kawasan resapan air potensial rendah dan sangat

rendah, namun tetap harus dilakukan upaya konservasi lahan dengan cara meningkatkan dan mempertahan- kan kemampuan resapan air sebagai pendukung upaya konservasi lahan di wilayah Tipologi A, B, dan C.

Secara umum wilayah Kota Depok sebagian besar merupakan kawasan resapan air potensial terutama di

wilayah bagian tengah dan selatan dari Kota Depok. V. Kesimpulan 1. Penggunaan lahan Kota Depok pada tahun 2010

sebagian besar berupa permukiman (permukiman padat, permukiman renggang, dan perumahan de-

veloper/formal) sebesar 13.858,08 Ha atau seluas 69,09% dari total seluruh wilayah Kota Depok. Perubahan penggunaan lahan Kota Depok dari ta- hun 2000 – 2010 yang mengalami perkembangan paling pesat berupa permukiman padat yang meng- alami peningkatan sebesar 3.408,16 Ha.

2. Kota Depok secara kondisi fisik memiliki fungsi sebagai daerah tangkapan air, terutama di bagian selatan yang meliputi Kecamatan Tapos, Cilodong, Sukmajaya, dan Cipayung yang termasuk kedalam zona kawasan resapan air potensial sangat tinggi. Wilayah ini harus dikendalikan perkembangannya

untuk melindungi fungsinya sebagai kawasan re- sapan air.

3. Dampak dari adanya perubahan penggunaan lahan adalah perubahan kemampuan resapan air di Kota Depok, di mana dari tahun 2000 – 2010 kemam- puan resapan air semakin berkurang. Hal ini di-

tunjukkan dengan semakin meningkatnya luasan kawasan resapan air aktual sangat rendah sebesar 3.413,82 Ha.

4. Berdasarkan kajian konservasi lahan dapat diketa- hui bahwa Kecamatan Tapos, Cilodong, Sukmaja- ya, dan Cipayung yang termasuk kedalam zona ka-

wasan resapan air potensial sangat tinggi, telah banyak mengalami penurunan kemampuan resapan air yang tinggi yaitu Kecamatan Cilodong sebesar 344,81 Ha atau 21,31% dari luas wilayah kecamat- annya, Kecamatan Sukmajaya sebesar 213,48 Ha atau 13,25% dari luas wilayah kecamatannya,

Kecamatan Tapos sebesar 280,23 Ha atau 8,43% dari luas wilayah kecamatannya, dan Kecamatan Cipayung sebesar 31,98 Ha atau 3,25% dari luas wilayah kecamatannya.

5. Rumusan upaya konservasi lahan diprioritaskan pada Kecamatan Tapos, Cilodong, Sukmajaya, dan

Cipayung yang termasuk kedalam zona kawasan resapan air potensial sangat tinggi. Upaya kon- servasi pada empat kecamatan tersebut meliputi : a. Meningkatkan kemampuan resapan air dengan

cara memperbaiki kondisi permukaan tanah

untuk mendukung terjadinya peresapan air yang lebih baik dan mengurangi limpasan per- mukaan pada lokasi yang telah mengalami pe- nurunan kemampuan resapan air yang tinggi. Peningkatan kemampuan resapan air di antara- nya berupa pembuatan biopori pada kawasan

permukiman, perbaikan drainase, pembuatan RTH seperti taman RT, taman RW, taman kota, jalur hijau jalan, dan jalur hijau sempadan sungai.

b. Mempertahankan kemampuan resapan air pada lokasi yang belum mengalami penurunan ke-

mampuan resapan air dengan cara melindungi penggunaan lahan pertanian dan tegalan agar tidak berubah fungsi menjadi penggunaan lahan non pertanian, pembuatan sumur resapan dan biopori pada kawasan permukiman, penanaman pohon di pekarangan, meningkatkan kualitas

RTH yang sudah ada, dan mengendalikan pertumbuhan permukiman dengan pengaturan KDB rendah.

VI. Rekomendasi 1. Kawasan resapan air merupakan kawasan lindung

yang melindungi kawasan bawahannya, yang arti- nya selain melindungi kawasan setempat (di Kota Depok) namun juga melindungi kawasan-kawasan bawahannya di bagian hilir (Provinsi DKI Jakarta) sehingga diperlukan kerjasama antara Pemerintah Kota Depok dengan Pemerintah Provinsi DKI Ja-

karta dalam pengelolaan kawasan resapan air. 2. Perlu adanya pedoman pengelolaan ruang kawasan

resapan air di Kota Depok yang bertujuan untuk menentukan arahan kebijakan pengelolaan peman- faatan ruang kawasan resapan air dan membuat kri- teria-kriteria teknis pemanfaatan ruang kawasan

resapan air. 3. Perlu adanya kebijakan pengendalian pemanfaatan

ruang yang terkait pengendalian pemanfaatan ka- wasan resapan air dengan cara menyusun peraturan zonasi kawasan resapan air yang dilegalkan dalam bentuk peraturan daerah sehingga pemerintah dae-

rah dapat memiliki landasan yang berkekuatan hu- kum dan peraturan zonasi ini merupakan perangkat utama dalam pengendalian terkait perizinan, meka- nisme insentif dan disinsentif, serta mekanisme pengenaan sanksi.

4. Perkembangan permukiman padat yang sangat

pesat di Kota Depok perlu dibatasi khususnya pada zona kawasan resapan air potensial sangat tinggi yang kemampuan resapan air aktualnya belum mengalami penurunan. Sedangkan untuk permu- kiman padat yang telah berada pada zona kawasan resapan air potensial sangat tinggi perlu diatur agar

tidak bertambah dan dilakukan upaya-upaya untuk meningkatkan kemampuan resapan air dengan cara membuat sumur resapan dan biopori.

Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2013/2 43

5. Perumusan kajian konservasi lahan untuk melin-

dungi (mempertahankan dan meningkatkan) ke- mampuan resapan air perlu ditinjaklanjuti dari arahan menjadi kajian yang sifatnya teknis dan detail, serta adanya kebijakan yang mengatur rencana pengembangan penggunaan lahan di kawa- san resapan air Kota Depok.

Daftar Pustaka 1) Arsyad, Sitanala. 2000. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press.

Bogor.

2) BPS Kota Depok, Depok Dalam Angka 2011.

3) Budiharjo, Eko dan Sujarto, Joko. 1999. Planning Local Economic

Development : Theory and Practice. Sage Publication. 4} Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. 2006. Profil

Geologi Lingkungan Jabodetabek-Punjur. Pusat Lingkungan

Geologi Badan Geologi. Bandung. 5) Departemen Kehutanan dan Perkebunan Republik Indonesia. 2009.

Lampiran Peraturan Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan

Perhutanan Sosial No. P.04/V-SET/2009 tentang Pedoman

Monitoring dan Evaluasi Daerah Aliran Sungai. Jakarta.

6) Hardjowigeno, Sarwono. 2007. Evaluasi Kesesuaian Lahan dan

Perencanaan Tata Guna Lahan. Gadjah Mada University Press.

Yogyakarta.

7) Kodoatie, Robert J. 2003. Manajemen dan Rekayasa Infrastruktur.

Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta. 8) Nazir, Mohamad. 1988. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia,

Bogor. 9) Nugroho, Sutopo Purwo. 2002. Evaluasi Pembangunan Wilayah

Pengembangan Selatan DKI Jakarta Sebagai Kawasan Resapan Air.

Jurnal Teknologi Lingkungan Vol. 3 No. 1 Tahun 2002. Jakarta.

10) Pemerintah Republik Indonesia. 2007. Undang-undang Republik

Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang. Jakarta. 11) Pemerintah Republik Indonesia. 2004. Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Penatagunaan

Tanah. Jakarta. 12) Pemerintah Republik Indonesia. 2008. Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2008 Tentang Rencana Tata

Ruang Wilayah Nasional (RTRWN). Jakarta.

13) Presiden Republik Indonesia. 1990. Keputusan Presiden Republik

Indonesia (Keppres) Nomor 32 Tahun 1990 Tentang Pengelolaan

Kawasan Lindung. Jakarta.

14) Presiden Republik Indonesia. 1999. Keputusan Presiden Republik

Indonesia (Keppres) Nomor 114 Tahun 1999 Tentang Penataan

Ruang Kawasan Bogor-Puncak-Cianjur. Jakarta.

15) Presiden Republik Indonesia. 2008. Peraturan Presiden Republik

Indonesia (Perpres) Nomor 54 Tahun 2008 Tentang Penataan

Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi, Puncak,

Cianjur (Jabodetabekjur). Jakarta.

16) Presiden Republik Indonesia. 2010. Peraturan Presiden Republik

Indonesia (Perpres) Nomor 5 Tahun 2010 Tentang Rencana

Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010 –

2014. Jakarta.

17) Pemerintah Provinsi Jawa Barat. 2010. Peraturan Daerah Nomor

22 Tahun 2010 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)

Provinsi Jawa Barat Tahun 2009 – 2029. Jawa Barat.

18) Pemerintah Kota Depok. 2009. Identifikasi Potensi, Masalah, dan

Penjaringan Issue RTRW Kota Depok. Dinas Tata Ruang dan

Permukiman Kota Depok. Depok, Jawa Barat.

19) Pemerintah Kota Depok tentang Rencana Tata Ruang Wilayah

(RTRW) Kota Depok 2011 - 2031.

20) Puridimaja, Deny Juanda. 2006. Hidrogeologi Kawasan Gunung

Api dan Karst Di Indonesia. Pidato Ilmiah Guru Besar Institut

Teknologi Bandung.

21) Rayes, M. Luthfi. 2006. Metode Inventarisasi Sumber Daya Lahan.

Penerbit ANDI, Yogyakarta.

22) Rustiadi, E., Saefulhakim, S., dan Panuju, D.R. 2007. Perencanaan

dan Pengembangan Wilayah. Institut Pertanian Bogor.

23) Rustiadi, E., and T. Kitamura. 1998. Analysis of Land Use Change

in City Suburbs. Journal of Rural Planning Association. 17 (1), pp

20-31.

24) Sarief, Saifuddin. 1985. Konservasi Tanah dan Air. Penerbit CV.

Pustaka Buana.

25) Suripin. 2002. Pelestarian Sumberdaya Tanah dan Air. Penerbit

Andi. Yogyakarta.

26) Utomo, Wani Hadi. 2001. Menuju Pertanian Berkesinambungan.

Makalah disampai-kan pada Pelatihan Pengelolaan dan Konservasi

Lahan. PPLH Universitas Brawijaya Malang.

27) Waryono, Tarsoen. 2003. Peranan Kawasan Resapan Dalam

Pengelolaan Sumberdaya Air. Makalah pada diskusi profesi

perairan, Persatuan Insinyur Indonesia (PII). Fakultas Teknik UI

Depok.

28) Wibowo, Mardi. 2006. Model Penentuan Kawasan Resapan Air

Untuk Perencanaan Tata Ruang Berwawasan Lingkungan. Jurnal

Hidrosfir Vol. 1 No. 1 Hal. 1-7 Tahun 2006. Jakarta.

29) Zain, A.M, Mukaryanti, dan Diar Shiddiq. 2006. Evaluasi

Kemampuan Alami Wilayah Dalam Konservasi Air dan

Pengendalian Banjir. Jurnal Teknik Lingkungan Vol. 7 No. 1 Tahun

2006. Jakarta.

44 JAP Vol.6 No.2 Okt. 2013 Kurnia Widiastuti

Adaptive Reuse Design of Historic Context

Two Cases: Yame City and Daimyo Area of Fukuoka City, Japan

Kurnia Widiastuti1, Atsushi Deguchi2

1Lecturer, Gadjah Mada University, Indonesia

2Professor, Kyushu University, Japan

Abstract

The adaptive reuse design of two different historic contexts characteristic, Yame City and Daimyo Area, Fukuoka, Japan, are discussed, stressed on physical and social aspects. Measurement of physical changes

was carried by assessing structure and material changes of the present building interiors. Method used was

visual observation and rapid interviews. In Yame case, building preservation by house owners tend in

keeping the original structural frame; while the most changed elements is openings (windows and doors) material. Never had any preservation encouragement, Daimyo has strong atmosphere of old time buildings

traces/revivals. This phenomenon could be understood by analyzing the social aspect. While Yame’s

preservation is strictly carried by government; Daimyo built its strong identity informally, using neighborhood bound. In these cases, there are two types of approaches in building preservation system, one

is by force which brings slight discomfort for occupants, but very effective in protecting the preserved

environment. The other one is by passive persuasion using neighborhood bound, which has loose control, but

not less strength in establishing the identity of local environment. Keywords: adaptive reuse, historic context, yame city, daimyo

I. Introduction

1.1 Background ‘Change’ is a part of growth. Japan has a very long

history of development. There’s no doubt that Japan

faced un-escapable change in economic-social-

political aspect along its long history. This aspect

influenced many dimension, especially in the physical

context, urban form and architecture.

The faith and longing for old tradition versus the

force of new developments. Many historical building

were gone in developmental process, causing fade of

historical context. Inability to adapt to recent demand

and condition made them disappear or lost its identity.

Yame City and Daimyo represent two different

points of view in understanding the change of

historical contexts, beside its similar characteristics.

Each two cases were placed inside ancient Edo era

castles, which make the locations itself has strong

historical context. But the contents of the historical

context, such as the building, road, etc., are different.

Unlike original road pattern and width which still

remained in both cases, number of old buildings in Da-

imyo is much less than in Yame City. This related to

their contrast characteristic of location. Yame city and

Daimyo have different potentials of location. Daimyo

is placed in urban area, where the economic growth is

highly paced, while Yame City is placed in rural quiet

area, where the growth is relatively slow.

The two cases also have different system of

preservation. Yame City has been strictly preserved by

local government, while Daimyo has no support or

encouragement to do such preservation. There’s

uniqueness in both cases. Therefore it is clear that

understanding these two cases stands served important

contribution for the efforts of historic context

preservation.

1.2 Objectives This study goal is to understand, analyze and

redefine the adaptive reuse design of two historic

contexts, which are Yame City and Daimyo, including

the physical and social aspect.

1.3 Method Firstly, physical changes data of the sample

buildings are collected and analyzed to establish the

typology of the changes. Second, non-physical (social-

economic) data were collected to understand the

factors under the physical changes. Conclusion was

made after analyzing all findings. And finally a new

definition of adaptive reuse design was established.

Kurnia Widiastuti

--- Lecturer, Gadjah Mada University, Indonesia

Ph: 08562892575 e-mail: [email protected]

Atsushi Deguchi

--- Professor, Kyushu University, Japan

Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2013/2 45

II. Adaptive Reuse of Yame City’s Historic Context

2.1 General Profile

Figure 1. Old Castle Map of Yame Fukushima [1]

In the old time, Yame City’s was an area inside a

castle. Like other Japanese castle, this castle is

characterized by the trace of its surrounding canal.

There were used to be a multi layer ditches surrounds

the inner castle, but now its only small partial ditches

left.

Figure 2. Map of Present Yame City [1]

In the late of 19th century, in the middle of Meiji

Era, many machiya were constructed. The most of

present traditional buildings of Yame were built in this

time. The Yame City’s building is now about 100 years

old. The common type of architecture in Yame City,

Dozo Zukuri (Dozo-storage, Zukuri-style), built in the

year of 1838.

In June 2001, Ordinance of Yame Cultural

Landscape was established. The base of mechanism

was also being set since then. In May 2002, Yame

Fukushima was designated as an important preserv-

ation area of traditional buildings. This new ordinance

force building-owners to preserve their building’s

façade. Restoration, renovation or other physical

change must be authorized by local government before

being carried out, especially those which related to

façade or elevation changes.

In tolerance, government was also set some

building design guidelines to help resident to adapt

their building interior layout to the recent occupant

needs (such as garage, etc.) while also preserving

façade. Government also distributes subsidy for

building occupants to assure adequate building

maintenance.

The typical original house existed in Yame City is

machiya type2. This house characterized by doma,

earthen floor which runs along the house from the front

(mote-street side) to back yard (ura-garden side).

Kitchen can be found along this doma. In front part of

the house, there’s a shop space called mise (shop) no

ma (room). The shop might be a real shop, a working

place, or a meeting room (which merchants used to

discuss business).

Figure 3. Examples of Machiya in Yame City

Yame city is planned by government for a comer-

cial use surrounded by residential area (yellow zone).

Machiya (the house) itself also has commercial

function, represented by its shop space. Zoning policy

encourages this potential.

2.2 Samples

There were about 30 building samples surveyed in

this study. These samples were selected by choosing

the machiyas concentrated in main road that still has

commercial function, but changed their interiors. The

spread of samples is shown in figure below. Most

commercial type found were shops, followed by

restaurant/café. In table 1, result of physical change is

shown.

Figure 4. Map of Yame Building’s Function [1]

46 JAP Vol.6 No.2 Okt. 2013 Kurnia Widiastuti

Figure 5. Building Samples of Yame City

Table 1.Yame City Building Samples

Code

Function/

Description

Physical Change

Fo

un

dat

ion

Str

uct

ure

Up

per

Str

uct

ure

Flo

or

Wal

ls

Win

do

w

Win

do

w

Fra

me

Do

ors

Do

or

Fra

me

Cei

lin

g

Ro

of

Shops (12)

1-k62 Shop (sweets, food)

2-k61 Buddhist Shop

Garage

5-k42 Antique shop • • • • • • • •

c Cigarette shop •

e-k0 Shop & Cafe • #

i-k24 Perfume shop

j-k21/23 Buddhist shop •

k Grocery Shop • *

t Shop (craft & bread) • • #

h-k22 Shop & Gallery •

o Grocery shop •

Café and Restaurant (6)

m Soba-restaurant

8-k37a cafe

9 Restaurant •

*

d-k5 Restaurants •

f Restaurant • # #

l-k1 Restaurant •

Production (3)

p Tea Shop & Factory •

b (…)Factory •

3-k51 Bamboo workshop •

Printing Service (2)

n Printing Company •

a Printing Company • •

Information Facility (7)

8-k37b gallery

g-k4 a Gallery

6 Machiya Gallery •

7 Culture center (?) • . •

8-k37d Machiya

8-k37c library • • • • •

g-k4 b Information center

Index : original partially new

new • not known

not exist # color change

* mixed with additional element ^ partially missing

Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2013/2 47

2.3 Typology and Pattern of Physical &

Functional Change

From the data of physical analyses of data,

typology of physical change can be categorized into

four types:

a. Old/Original Renovation back to Origin

This type let big part of change, but then re-

changes into original change. For example, a shop

changed its façade into modern concrete structure;

but then re-changed into original style by

replacing concrete wall with wooden wall, etc.

b. Old/Original Preservation

This type didn’t let any change. The physical

condition remains, but only let slight reparation.

For example, some shops that are well maintained

physically until recently.

c. Old/Original New Structure

This type let total change to new structure. For

example, the one that was demolished completely

and replaced by ware house.

d. Old/Original Remain Original, but changed

partially

This type didn’t let any changes, but only small

part which contrasts to the whole. For example,

display window of old machiya changed, using

concrete and wide glass window; but the rest

façade still remains original.

From the rapid tracing of machiya’s functional

change, it can be categorized in to four types:

a. Houses and Commercial (Machiya) Houses and

(different type) Commercial

This type is showed by those machiyas which

still functioned as residential and commercial, but

the type of commercial is changed.

b. Houses and Commercial (Machiya)

Commercial Only

This type is showed by those machiyas which

no longer have residential use, but only

shops/other commercial use instead.

c. Houses and Commercial (Machiyas) House

This type is showed by those machiyas which

no longer have commercial use, but only

residential use remains.

d. Houses and Commercial (Machiya) Vacant

building

This type is showed by those machiyas which

abandoned or no longer occupied.

2.4 System and Stakeholders There’s a clear system of how preservation are

carried in Yame City. There are many stake holders

plays in this system; that is the residents of Yame.

Principally, this system is mainly centered in the

community based promotion organization, named

Community of Yame Fukushima Traditional

Townscape Agreement. This organization delivers

service and information to local Yame residents who

need consultation about preserving their building.

This promotion organization is supported by five (5)

city planning groups as well as cooperated with them.

A project team established by city government

(majoring in 4 sections: Tourism and Commerce;

Welfare & Cultural Asset; Construction; Finance and

Planning Section) also cooperates with this promotion

organization. In case of there’s a project proposal

promoted by this project team, they have to consult

the proposal to the inquiry organization organized by

City Government, Yame Cultural Landscape Board,

which will give advices and approval.

Yame Government takes part in managing all

institutional components, which are Information

Provider, Yame Cultural Landscape Board,

Traditional Townscape Project Team, Community of

Yame Fukushima Traditional Townscape Agreement

and Business Company Association.

III. Adaptive Reuse of Daimyo’s Historic

Context

3.1 General Profile

Figure 7. Map of Daimyo in Edo Era [1]

In the past, Daimyo area was located near the

Fukuoka Castle. Now, only ruins of the castle left,

and Daimyo now situated in the center of Fukuoka

City, near the crowds of Tenjin business district.

Daimyo area is shaped as a small block with strong

atmosphere of old neighborhood, with its narrow

streets and alleys. The streets and alleys in Daimyo

network are shaped in Edo Era. Some form of street

junction is represented old defense technique of

samurai.

In the Edo Era, Daimyo was functioned as

residential area, while Tenjin was commercial one.

Daimyo’s Japanese traditional buildings were built in

this era. Unlike other part of Fukuoka City, this area

suffered less damage from World War II. But these

buildings could not survive long, in 1960-1970; many

traditional buildings were replaced by new apartments.

Since then, most of Daimyo’s buildings are

apartments.

daimyo

48 JAP Vol.6 No.2 Okt. 2013 Kurnia Widiastuti

Figure 6. System for Promoting Community Based Planning in Yame Fukushima3

In 1989, due to increasing economic value of

Tenjin and Daimyo area, these apartments were

being converted into commercial uses. That time,

Tenjin was a main commercial center for popular

culture, and Daimyo, next beside Tenjin, was a

center for sub culture. Daimyo served as a place

where alternative genre of fashion and music was

developed. Lower rental rate of Daimyo and its

strategic location provide suitable location for small

capital business to grow. Daimyo was a leading area

which well known in its sub cultural business.

Although this old historic context of Daimyo has

lost almost all its traditional building, but the shops

owners of Daimyo like to apply old style touch to

their building, interiors or façade. Many case of

mixture between modern and old style building could

be seen in Daimyo.

3.2 Samples There were six buildings samples surveyed in

Daimyo. Some of the cases still have clear trace of

machiya, but other cases were using old apartments.

These samples were chosen by recommendation of

city government officer *. Location of these cases

can be seen in map below.

Most of buildings lots have narrow width but

long length. This is the result of tax rate

measurement in Edo era, which counts on the width

of the lots. Nowadays, the tax rates are counted by

measuring total space area (per m2).

The oldest building in Daimyo is Joukyou Soy

Sauce Shop and Factory. It was built in Edo era.

Figure 3. Samples Map of Daimyo [1]

Legend

information and service

line

consultation line

cooperate and support line

cooperate line

answer and reply line

question inquiry line

management line

residents

Part of Residents

(Building Owner who

Support the Actions)

[COMMUNITY BASED

PROMOTION ORGANIZATION]

Community of Yame Fukushima

Traditional Townscape Agreement

30 persons

Member :

- Head community (12 person)

- Representatives of Supporting

Residence

- Representatives of Organization

[CITY GOVERNMENT]

Traditional Townscape

Project Team

Consist of 4 section

1. Tourism & Commerce

Section

2. Welfare & Cultural Asset

Section

3. Construction Section

(City Planning, Civil

Engineering)

4. Finance and Planning

Section

[INQUIRY

ORGANIZATION]

Yame Cultural Landscape

Board

15 persons

Experts :

- Professors

- Representatives of

Community

- Representatives of

Related organizations

[CITY PLANNING

GROUPS]

Organization and

Community Based

Planning

Group of Yame Main

Street Lovers

(50 persons)

Yame Hometown

(School)

(40 persons)

NPO Yame Machiya

Regeneration Supporters

(15 persons)

Activities :

- Event/Promotion by

local residents to utilize

the traditional townscape

- Plan & Execution of

events

- Rent, Sale and Re-use

Coordination of Vacant

Machiya

[Yame Commerce Chamber]

Business Company Association

Yame Government

[INFORMATION PROVIDER]

Machiya Information

Exchange

Representatives Community

Based Organization

NPO : Yame Townscape Design

Study Group

Consist of : professionals (architect offices and small construction

company)

Activities :

1. Building repairs and restorations 2. Constructions

3. Guide Group

4. Consultation for Machiya

repair/re-construction

Union of Retailer

233 Persons

13 Retailer Organization

6

1

1 2 4 3

5 6

Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2013/2 49

Table 2. Daimyo’s Building Sample Analyses

Figure 4. Samples of Daimyo

3.3 Typology and Pattern of Physical & Func-

tional Change There are three types of physical-functional

change in Daimyo:

a. Japanese House Apartments/other Shop

In this type, present shops were conversion of old

apartments into shops. Example of this type is

Kids Bar.

b. Japanese House Preserved, commercial Fa-

cility Added

This type represents the preserved old Japanese

house which reused and added by new structure

to support its commercial function. Example for

this type is Joukyou Soy Sauce Shop and Factory.

c. Japanese House Convert into shop

This type represents old Japanese house which

preserved and reused as shops with slight reno-

vation. Examples for this type are the two

merchandise shops.

d. Japanese House Others new structures

This type represent old Japanese house which

converted into new apartments structures, and

still remains until now.

3.4 System and Stakeholders Unlike Yame City, Daimyo has no formal system

for preserving their environment. The friendship

among the communities was served as major factor

which unites their neighborhood identity.

Twenty years ago, Daimyo emerged as a center

for sub culture activities. This area facilitate informal

ways to develop actions and networking for business

purpose and entertainment. The common informal

gatherings were parties, clubs, etc.

It has to be remembered that the Old Daimyo

served as a residential environment since long time

ago. This kind of informal gathering probably was a

newer form of old community gathering. It aimed

mainly for safety and cleanliness of their environ-

ment. After new interest of sub culture activities

started to develop in Daimyo, it influenced whole

identity of Daimyo area.

IV. Conclusion The most physical changes found in buildings in

Yame City and Daimyo were the floors, walls and

openings part of the buildings; while the most un-

Code

Function/

Description

Physical Change

Fo

un

dat

ion

Str

uct

ure

Up

per

Str

uct

ure

Flo

or

Wal

ls

Win

do

w

Win

do

w

Fra

me

Do

ors

Do

or

Fra

me

Cei

lin

g

Ro

of

Café and Restaurant (3)

1 Kids Bar Café

2 Cafe • •

3 Restaurant with doma • • •

Shops (3)

4 Merchandise Shop •

5 2nd

story merchandise

shop • ^

6 Joukyou Soy Sauce

Shop and Factory

Index :

original

partially new

new

• not known

not exist

# color change

* mixed with additional element

^ partially missing

Sample 1. Kids Bar

Café

Sample 2, café

Sample 3. Restaurant

Sample 4 Cleaning

Service and

Merchandise Shop

Sample 5,

Merchandise

Shops

Sample 6 Joukyou

Soysauce

50 JAP Vol.6 No.2 Okt. 2013 Kurnia Widiastuti

changed part was structural frame. In general, Yame

had fewer changes than Daimyo. Different pace of

economic changes brought different level of changes.

Daimyo faced higher pace of economic development

for its strategic location, but Yame had slow pace of

development, even Yame government has to involve

actively in developing economic of this historic con-

text.

In this research, there are two approaches to

maintain the social aspect of preservation, by active

force and by passive persuasion. The Yame City case

showed the first approach, the force came from the

local government. This strong power might not very

comfortable for the resident, but effectively carried.

To balance this power, the system also involves

participation of local community.

Daimyo might had less meaning or historical

traces, but the way it develop its identity without any

formal system or institution brought the idea of

preserving historical context by firstly establishing

the spirit of the community. Combination of these

two approaches explained above would bring better

preservation method of such historic context.

It must be noticed that changes are consequences

of growth and sometimes cannot be avoided. The

only matter’s that these changes must be maintained

in harmony and be controlled well in order to prevent

chaotic changes of environment.

Re-defining the Adaptive Re-use Adaptive reuse was defined as the act of finding a

new use for a building. It is often described as a

“process by which structurally sound older buildings

are developed for economically viable new uses”

(Austin, Richard, 1988). It’s also accepted that

Adaptive Reuse is a process that adapts buildings for

new uses while retaining their historic features.

From this research, there are some questions

about definition above. In adaptive reuse design,

targets that being studied most are the physical

feature, functional change, or other tangible aspect,

but not yet the intangible aspect. For example, a

building can be 100 percent changed physically, but

the spatial arrangement or basic concept might still

remain. Vice versa, a building can be only changed

less than 20 percent physically; but if it’s analyzed

using the philosophical dimension, the building

might loose its original concept. This is a possibility

of other dimension or typology of adaptive reuse.

Therefore, the definition of adaptive reuse can be

redefined as followed: ‘Adaptive’ can be described

as –adjective- ‘adjusted’, or ‘responsive’ to recent

condition/context; ‘Re-use’ can be described as –

verb-,‘re’ = repeating, the ‘use’ = apply, etc. ‘Use’ in

this ‘adaptive reuse’ term is often confused between

‘use’ as noun or ‘use’ as verb. This study proposed

‘use’ as verb, because it has more comprehensive

point of view. In other words, ‘adaptive reuse’ is a

technique which repeating the usage of certain past

condition/context by responding to recent condi-

tion/context.

Resources [1] Provided by Laboratory of Department of Architecture and Urban

Design, Faculty of Human-Environment Studies, Kyushu

University

[2] Linam Jr., John E., Thesis : Machiya and Transition; A Study of

Developmental Vernacular Architecture, 1999, Virginia

Polytechnic Institute and State University, Virginia

[3] Translated from Building Guidelines documents of Yame City

Government

[4] Austin, Richard l, ASLA, Adaptive Reuse: Issues and Case

Studies in Building Preservation, Van Nostrand Reinholdt

Company, 1988, New York

PEDOMAN BAGI PENULIS

Deskripsi Jurnal Arsitektur dan Perencanaan (JAP) Jurnal Arsitektur dan Perencanaan (JAP) diterbitkan pertama kali tahun 2004 oleh Jurusan Teknik Arsitektur dan

Perencanaan Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada. Sesuai dengan namanya, jurnal ini mempunyai misi

sebagai media pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya dalam bidang arsitektur dan

perencanaan. Area tulisan dalam jurnal ini sangat luas, mulai dari teknologi bangunan, arsitektur, disain kota,

sampai perencanaan lingkungan kota, dan beberapa derivasinya. Cakupan penulisan mulai dari teori maupun

praktik yang ditulis dengan kaidah-kaidah penulisan ilmiah yang baik dan benar. JAP direncanakan terbit 2 kali

dalam setahun.

Kriteria Tulisan JAP menerima dan menerbitkan tulisan ilmiah yang memenuhi persyaratan atau kriteria dengan tipe atau kualitas

sebagai berikut:

1. Tulisan mengandung materi asli yang bermanfaat bagi pengembangan ilmu di bidang arsitektur dan

perencanaan.

2. Tulisan memberi kerangka penelitian atau proyek yang ringkas, jelas dan pembahasan yang sesuai dengan

tujuan penulisannya.

3. Tulisan mengandung informasi dan referensi detail yang bisa diketahui pembaca, sehingga bila dikehendaki

pembaca akan mudah memverifikasi keakuratannya.

4. Tulisan bebas dari usaha komersial, kepentingan pribadi, atau pun politik, di samping tidak mengandung

unsur SARA.

5. Kontribusi lain berupa diskusi yang terkait dengan tulisan yang pernah dipublikasikan juga dimungkinkan

untuk diterbitkan, dengan memenuhi persyaratan yang berlaku.

Persiapan Tulisan Tulisan seharusnya ditulis dan diatur dalam sebuah format atau gaya yang singkat, padat, jelas, serta mudah untuk

diikuti. Sebuah tulisan informatif dengan judul yang singkat, diawali oleh abstrak dan kata kunci yang

representatif. Sebuah latar belakang atau pengantar yang ditulis secara baik akan membantu mewujudkan tujuan

ini. Jika ditulis dalam Bahasa Indonesia, seharusnya menerapkan kaidah penulisan dalam Bahasa Indonesia yang

baik dan benar. Ditulis dengan bahasa yang sederhana, berstruktur kalimat singkat, dengan pemilihan istilah yang

tepat akan membantu mengkomunikasikan informasi yang ada dalam tulisan lebih efektif. Penyimpangan

pembahasan dari pokok yang seharusnya dituju sebaiknya dihindari. Tabel dan gambar seharusnya digunakan

untuk lebih membuat jelas tulisan. Pembaca seharusnya dipandu secara hati-hati, tetapi jelas, dalam memahami

keseluruhan tulisan. Penulis dituntut untuk selalu berpikir bagi kepentingan pembaca.

Tulisan diskusi atau tanggapan (discussion manuscript) juga harus mengikuti persyaratan aturan tulisan baku.

Tulisan jenis ini harus dikirimkan paling lambat 6 bulan setelah tulisan yang ditanggapi terbit.

Prosedur Review Redaksi akan menyerahkan tulisan yang telah diterima kepada sidang redaksi untuk menentukan review bagi

tulisan yang telah diterima. Pada dasarnya setiap tulisan akan direview oleh seorang ahli (mitra bestari) yang

berkompeten di bidang yang menjadi fokus tulisan. Sistem yang dipakai adalah ”double blind” proses, di mana

mitra bestari tidak akan mengetahui penulis, dan sebaliknya penulis juga tidak akan mengetahui nama mitra

bestari.

Berdasar hasil review pertama, Sidang Redaksi akan menentukan prosedur lanjutan dari sebuah tulisan, diterima

dengan perbaikan minor; diterima dengan perbaikan mayor, atau ditolak. Tulisan yang telah direview dan

memerlukan perbaikan, akan segera dikirim kepada penulis kontak yang tertera dalam tulisan. Selain substansi

tulisan yang diatur dalam proses review, Redaksi juga berhak meminta perbaikan teknis, sebelum tulisan

benar-benar diterbitkan. Waktu perbaikan harus memenuhi ketentuan seperti yang diberikan. Setelah proses

perbaikan selesai, dan tulisan dinyatakan siap terbit, maka penulis juga harus menyerahkan pernyataan pengalihan

hak cipta bagi distribusi tulisan kepada Redaksi JAP atau Penerbit. Semua tulisan yang masih dalam proses review,

menjadi tanggung jawab redaksi dan redaksi akan bertanggung jawab terhadap kerahasiaan isi tulisan. Semua

tulisan dan dokumen lain yang telah diserahkan kepada redaksi tidak akan dikembalikan.

Redaksi menghimbau bagi tulisan yang ditulis dengan bahasa Inggris dan penulis tidak sebagai penutur asli,

sebaiknya mencantumkan hasil review bahasa, sebelum diserahkan ke redaksi.

Biaya Penerbitan Tidak dikenakan biaya pada tulisan maupun pembahasan yang diterbitkan. Namun demikian, perubahan format

dari standar penerbitan yang diminta oleh penulis, akan dibebankan pada penulis. Untuk semua kontak

penggandaan tulisan, silakan kontak alamat redaksi.

Hak Cipta Penyerahan tulisan pada JAP ini mengimplikasikan bahwa tulisan yang diterbitkan harus orisinal, karya sendiri,

belum pernah atau tidak sedang dalam proses penerbitan di publikasi yang lain. Penulis akan diminta

menyerahkan surat keterangan bermaterai yang berisi penyerahan hak cipta (copyright) tulisan kepada penerbit,

dalam hal ini redaksi JAP. Hak cipta ini secara ekslusif akan meliputi hak untuk memproduksi, menterjemahkan,

atau mengambil sebagian/utuh tulisan (termasuk tabel, gambar, lampiran) untuk kepentingan pengembangan ilmu

pengetahuan. Jika ada pihak ketiga yang mengajukan izin untuk memproduksi atau menggandakan tulisan, maka

seharusnya Redaksi JAP yang dihubungi, kemudian Redaksi akan menghubungi penulis untuk meminta

persetujuannya. Penulis yang menginginkan mempublikasikan ilustrasi atau gambar dan akan digunakan dalam

tulisan, seharusnya memperoleh izin tertulis dari penerbit yang bersangkutan, termasuk memuatnya dalam

keterangan ucapan terima kasih (acknowledgement) dalam gambar yang digunakan. Izin tertulis hendaknya

disertakan dalam versi final tulisan sebelum diterbitkan.

PEDOMAN FORMAT TULISAN

Tulisan ditulis dengan software pengolah kata (saat ini yang paling disarankan adalah MS World, sementara Page

Maker dan software lainnya belum diterima) dalam kertas ukuran A4 (210x297cm). Tepi atas dan bawah adalah

25mm dan tepi samping (kanan maupun kiri) adalah 20mm. Tulisan diatur dalam 2 kolom, dengan lebar kolom

adalah 82mm dan jarak antarkolom selebar 6mm. Gambar, tulisan, dan keterangannya diletakkan dan diatur

(lay-out) masuk dalam tulisan.

Tulisan ditulis dalam bahasa Indonesiaa (dengan abstrak berbahasa Inggris) atau keseluruhan dalam bahasa

Inggris, menggunakan jenis huruf Times New Roman ukuran 10.5point. Sebisa mungkin atur spasi dalam area

tulisan untuk bisa mengakomodasi 59 baris tulisan dari atas sampai bawah. Tulisan tangan akan langsung ditolak.

Jumlah halaman dihitung mulai halaman judul.

Panjang tulisan yang diserahkan harus memenuhi ketentuan batas halaman yang diizinkan. Tulisan –dalam hal ini

termasuk gambar, tabel, referensi, maupun ruang sisa- tidak diperkenankan melebihi 8 halaman.

Halaman judul adalah halaman pertama tulisan. Halaman judul ini harus mengandung judul tulisan, penulis (bisa

perseorangan atau pun grup penulis), posisi, afiliasi, dan kontak penulis yang berisi nama, posisi, afiliasi, alamat

lengkap yang disertai nomer telpun, faksimili, dan e-mail. Judul tulisan tidak diizinkan melebihi 75 karakter,

termasuk spasi di antara judul.

Abstrak dan kata/frase kunci dimuat pada halaman pertama (halaman judul). Abstrak tidak lebih dari 200 kata dan

ditulis dalam bahasa Inggris. Abstrak harus secara jelas menjelaskan isi tulisan, mulai permasalahan, metode,

termasuk kesimpulannya. Kata kunci (keywords) juga perlu dipilih secara hati-hati, sehingga pembaca terbantu

secara mudah dalam pencariannya.

Tulisan utama dibagi-bagi ke dalam beberapa bagian (heading) yang mencerminkan urutan sekaligus

mengantarkan cerita dalam tulisan. Misalnya: Pengantar akan mendeskripsikan latar belakang, motivasi, atau

maksud riset; metode akan memberikan informasi yang diperlukan sehingga pembaca bisa memahami dan

mengikuti pekerjaan atau riset yang sama; Keseimpulan akan menyatakan kesimpulan dari fokus yang dikerjakan

secara jelas, sehingga bebas dari interpretasi.

Referensi menggunakan Harvard System. Referensi dalam teks seharusnya dikutip sesuai aturan yang ada,

misalnya Katz (1994) atau (Jenks dan Burgess, 2000) atau jika lebih dari 2 orang, Williams, dkk. (1998).

Referensi atau daftar pustaka ini harus disusun berdasar abjad di akhir tulisan dengan menampilkan nama keluarga

penulis (surname). Jika ada daftar pustaka yang ditulis orang yang sama dalam tahun yang sama, maka harus

dibedakan dengan tambahan abjad, seperti 2000a dan 2000b. Aturan penulisan referensi atau daftar pustaka ini

seharusnya mengikuti contoh berikut:

Referensi dalam bentuk buku

Nama keluarga penulis, Inisial (tahun publikasi), Judul, Edisi (jika bukan edisi pertama), Penerbit, Tempat

diterbitkan Misalnya:

Ronald, A (2005), Nilai-Nilai Arsitektur Rumah Tradisional Jawa, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta

Referensi dalam bentuk jurnal

Nama keluarga penulis, Inisial (tahun publikasi), Judul Tulisan, Judul Jurnal, Volume dan nomer jurnal,

Penerbit, Halaman Misalnya:

Sarwadi, A; Tohiguchi, M; Hashimoto, S. (2001) A typological analysis of houses and people-gathering places in

an urban riverside settlement. A Case Study in the Musi Urban Riverside Settlement, Palembang City, Sumatra,

Indonesia, Journal of Architecture, Planning, and Environmental Engineering (Transactions of AIJ) No 546,

207-214

Referensi dari internet, sesedikit mungkin digunakan. Jika digunakan, maka penulisannya pun tetap harus

mengikuti kaidah penulisan referensi yang ada, ditambah tanggal terakhir diakses. .

Catatan kaki masih dimungkinkan bila tulisan memang memerlukan keterangan tambahan, tetapi hendaknya

dibatasi. Cara penulisannya harus disesuaikan, dengan memberi keterangan angka yang lebih kecil (superscript) pada akhir kalimat yang akan diberi keterangan. Daftar keterangannya diletakkan sesuai nomer urut pada bagian

akhir tulisan, sebelum daftar pustaka, dengan ukuran tulisan yang lebih kecil (9point).

Rumus matematika dan simbolnya juga dimungkinkan untuk ditambahkan, dengan memperhatikan penulisan

rumus yang benar dan meletakkan angka atau tanda yang lebih kecil secara benar (subscript atau superscript). Standar internasioanl (SI) untuk ukuran seharusnya digunakan bila mencantunkannya. Bila ukuran tidak dalam SI

maka persamaan dalam standar SI seharusnya ditulis dibelakangnya menggunakan tanda kurung.

Tabel dan gambar bisa ditata hanya menggunakan satu kolom (82mm) atau dua kolom sekaligus (170mm), sesuai

kebutuhan dan mengingat estetika perletakan. Cara penulisan tabel atau gambar adalah diurutkan dan

menggunakan angka arab, misalnya Tabel 1, Tabel 2, atau Gambar 1, Gambar 2, dan seterusnya. Isi tabel atau pun

detil gambar sebisa mungkin harus tetap terbaca dengan jelas. Untuk diharap memperhatikan kekontrasan

maupun resolusi gambar, sehingga memungkinkan perbesaran/perkecilan dengan baik. Untuk negatif gambar,

tidak akan diterima dan saat penerbitan izin dari penggunaan gambar (orang lain atau sumber asli) harus

disertakan.

Pada dasarnya JAP diterbitkan dalam format hitam-putih. Cetak warna dimungkinkan dengan biaya tambahan

dibebankan pada penulis. Sebaiknya hindari teknik gambar transparansi.

Penulis dalam mempersiapkan tulisan, disarankan dengan sangat untuk menggunakan model format (template)

yang telah disediakan dan dapat diunduh (download) di http://www.archiplan.ugm.ac.id/

GUIDELINES FOR WRITERS

The Description on Journal of Architecture and Planning Studies (JAP) Journal of Architecture and Planning Studies (JAP) was first published in 2004 by Department of Architecture and

Planning, Faculty of Engineering, Gadjah Mada University. As the name implies, this journal has a mission as a

medium for the development of science and technology, especially in architecture and planning studies. JAP has

broad topics of writing, ranging from technology of building, architecture, city design, to urban environmental

planning and its derivations. The coverage of writing in JAP starts from theories to practices, and they are

well-writen according to the correct scientific writing rules. JAP is planned to publish twice a year.

Writing Criteria JAP accepts and publishes scientific papers that meet requirements or criteria as follows:

1. It contains beneficial authentic material for science development in architecture and planning studies.

2. It gives brief and clear research of project framework, as well as an appropriate explanation due to the

purpose of writing.

3. It contains detail information and references generally known so that readers are able to verify its

accurancy if it is needed.

4. It is free from any commercial, personal or political interests, and does not contain the four elements of

SARA (ethnicity, religions, races, and inter-classes).

5. Another contribution in the form of discussion related to published paper is also possible to publish, with

terms and conditions applied.

Writing Preparation Papers should be written and arranged in a consice, clear, and understandable format. It is also should be

informative with brief title, preceded by abstract and representative keywords, plus a well-writen background or

introductory paragraph. If it is written in Indonesian, the rules on good and correct writing in Indonesian should be

applied. Furthermore, papers should be written in simple language, short-sentence structured with appropriate

terms and dictions. Deviation from the main discussion should be avoided. Tables and figures should be used to

clarify the papers. Readers should be guided carefully but clearly, in understanding the whole text. The author is

required to think for the benefit of the readers.

Discussion manuscript or written responses also must follow the requirements of standard written rules. This type

of writing should be submitted no later than 6 months after the paper responded is published.

Procedure Review The Editor will submit all papers received to editorial staff to determine the paper review. Basically, every article

submitted to editorial staff will be reviewed by a competent expert (mitra bestari). The system used is “double

blind” process, where the mitra bestari will not recognize the author, and the author will not recognize also the

name of the mitra bestari.

Based on the results of the first review, Editor Meeting will determine the continuation procedures of a paper,

which are: accepted with minor revision, accepted with major revision, or rejected. Papers reviewed and in need

of revision will be sent to the authors according to the listed contacts. The Editor has a right to regulate the writing

substance in review process and to request technical improvements, before the writing is actually published. The

revision period has to meet the requirement. After revision process is completed and papers are declared to be

ready to publish, the authors must submit a statement of copyright transfer toward the writing distribution to the

JAP Editor or Publisher. All writing in the review process becomes the responsibility of the Editor and the

confidentiality of the writing contents is guaranteed. All papers and other documents submitted to the Editor will

not be returned.

The Editor suggests to Indonesian authors who submit their English written papers to include the language review

before it submitted to the Editor.

Publishing Cost The papers and discussions published are not charged. However, if the author requests for any format changes, the

cost will be charged upon the author. For all copies made, please contact the Editor address.

Copyright The Editor accepts only authentic and original writings that have not published yet or not in the process of

publishing in other publications. The author will be asked to submit a stamped letter containing the writing

copyright transfer to the Editor of JAP. This copyright will exclusively include the right to reproduce, translate, or

take part/whole text (including tables, images, attachments) to interest of science development. If there is a third

party who asks for a permission to produce or reproduce the writing, the Editor of JAP should be contacted, then

the Editor will ask the authors for approval. The author, who would like to publish illustrations or images will be

used in his/her writing, should obtain the written permission from the related publisher, including put down the

acknowledgement for images used. Written permission should be included in the final version writing before

publication.

Guidelines for Writing Format The paper is written with word processing software (most recommended is MS Word, while Page Maker and other

software are not yet suggested). It is written in A4 size paper (210x297 cms), with top and bottom edge is 25 mms

and the margin (right and left) is 20 mms. The writing is formatted in 2 columns with its column width is 82 mms

and its inter-column width is 6 mms. Images, writings, and notes are placed and formatted into the text.

The paper written in Indonesian (with English abstract) or a whole paper is in English should use Times New

Roman font with 10,5 point. Wherever possible, please arrange the space in the writing area to accomodate 59

lines of sentences from top to bottom. Handwriting will automatically be rejected. The number of page is

calculated from the title page.

The length of submitted paper must comply with the provisions of the page limit allowed. A paper – including

images, tables, references, and remained space – are not allowed to exceed 8 pages.

The title page is the first page of the paper. The title page should contain title, author (could be individual or group

of authors), position, affiliation, and author’s contact contained of name, positions, affiliation, complete address

with telephone number, fax, and email. The paper title is not permitted beyond 75 characters, including spaces

between titles.

The abstract and keywords/keyphrases are stated in the first page (the title page). The abstract is no more than 200

words and written in English. It must clearly describe the contents of writings, problem formulation, methods, and

the conclusion. Keywords should be selected carefully, so that readers can be easily understood.

The main writings are divided into several headings which reflect the order and its discussion, for example:

Introduction will describe the background, motivation, or the research aims; Methods will provide the necessary

information so that readers can understand and follow the discussion; Conclusion will wrap up the focus in clear

explanation and interpretation free.

The writing on references should use the Harvard System. References in text should be cited according to the

rules, for example Katz (1994) or (Jenks and Burgess, 2000) or if it is more than two people: Williams, et al.

(1998). References or bibliography should be arranged alphabetically in the end of text by displaying the author ’s

family name/surname first. If there is a reference written by the same person in the same year, it must be

distinguished by additional letters, such as 2000a or 2000b. Rules on writing references or bibliography should go

after example follows:

References from Books

Author’s surname, Initial (year of publication), Title, Edition (if it is not the first edition), Publisher, Place

of publication

For example:

Ronald, A (2005), Nilai-Nilai Arsitektur Rumah Tradisional Jawa, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

References from Journals

Author’s surname, Initials (year of publication), Paper Title, Journal Title, Volume and number of journal,

Publisher, Page For example:

Sarwadi, A; Tohiguchi, M; Hashimoto, S. (2001), A typological analysis of houses and people gathering places in

an urban riverside settlement. A Case Study in the Musi Urban Riverside Settlement, Palembang City, Sumatra,

Indonesia, Journal of Architecture, Planning, and Environmetal Engineering (Transactions of AIJ) No. 546,

207-214.

References from internet are used as little as possible. If it is used, the writing still follows the rules of referencing,

plus the last data accessed.

Footnote is still possible if the paper requires additional infornations, but it should be limited instead. Its format

should be adjusted too, by using superscript format at the end of the sentence which needs additional notes. The

description list is placed according to serial number at the end of the writing before bibliography, with a smaller

size text (9 points).

Any mathematical formulas and symbols are also possible to add by putting more attention to the correct formula

writing and putting the numbers or smaller signs correctly (either subscript or superscript). The International

Standard (SI) for measure should be used if it is required. If the measurement is not in the SI equation, thus it

should be written using parentheses behind.

Tables and images can be arranged using only one column (82 mms) or two columns at once (170 mms),

according to the needs and layout aesthetic. The format on putting tables or drawings are sorted by using Arabic

numbers, such as Table 1, Table 2, or Figure 1, Figure 2, and so on. The content of tables or detail images should

be clearly readable as good as possible. Please notice to the contrast or image resolution, so the magnification/

reduction can be well applied if it is needed. The negative image will not be accepted. The permission letter of

pictures using from others or original sources should be included when it is published.

Basically, JAP is published in black and white format. Color printing is possible with additional fees charged to

the author. Avoid transparency image technique.

In preparing paper, it is suggested to the authors to use the template format provided and can be downloaded at

http://www.archiplan.ugm.ac.id/