inovasi dalam organisasi
TRANSCRIPT
INOVASI DALAM ORGANISASI DAN
KONSEKUENSI-KONSEKUENSI INOVASI BAGI INDIVIDU DAN SISTEM SOSIAL
Laporan Bab 10 dan 11:
Rogers, Everett M. 1971. Diffusion of Innovation. New York, USA: The Free Press,
Macmillan Publishing Co. Inc.
1. Pendahuluan
Kreativitas dan inovasi mengalami peningkatan sebagai sesuatu yang sangat
penting dalam pembangunan masyarakat ilmu pengetahuan pada abad ke-21. Kedua
hal tersebut sangat berkontribusi misalnya terhadap perkembangan ekonomi, sosial,
dan kehidupan individu sebagai faktor pendukung kompetitif dan kedinamisan
kehidupan secara global.
Selain itu, kreativitas dan inovasi juga memiliki hubungan yang erat dengan
pengetahuan dan belajar. Sementara intelegensia tidak dipandang sebagai prakondisi
lahirnya kreatifitas, banyak penelitian menunjukkan keterkaitan antara pengetahuan
sebelumnya yang dimiliki seseorang ternyata menjadi dasar bagi terciptanya
kreativitas dan pemupukan pengetahuan. Banyak peneliti memandang kreativitas
sebagai format penyusunan pengetahuan dan pembentukan pemahaman individual.
Pemahamn individual kemudian menjadi dasar bagi terciptanya pemahaman yang
lebih luas melalui saluran-saluran organisasi atau sistem sosial lainnya.
Melalui bukunya Diffusion of Innovation (1971), Everett M. Rogers
mengembangkan konsep difusi inovasi yang dirangkum dalam sebelas bab
pembahasan. Dalam laporan bab ini, akan ditampilkan intisari dari bab 10 dan 11. Bab
10 membahas tentang inovasi dalam organisasi yang diteliti dengan riset variansi,
yaitu diteliti korelasinya dengan sejumlah variabel bebas yang merupakan komponen-
komponen sebuah organisasi. Sedangkan bab 11 membahas tentang konsekuensi
inovasi sebagai perubahan yang terjadi pada individu atau sistem sosial sebagai akibat
dari adopsi suatu inovasi.
2. Isi Bab 10 dan 11
2.1 Bab 10: Inovasi dalam Organisasi
Kebanyakan buku yang terbit pada masa kini memusatkan perhatiannya
kepada difusi inovasi terhadap individu. Banyak inovasi, bagaimanapun juga, yang
sebenarnya diaopsi pula oleh organisasi-organisasi. Dan dalam banyak hal, seorang
individu tidak dapat mengadopsi suatu gagasan baru sampai suatu organisasi telah
terlebih dahulu mengadopsinya; misalnya seorang guru sekolah tidak dapat
menggunakan komputer sampai distrik tempat sekolah itu berada memutuskan untuk
membeli perlengkapan tersebut.
Berdasarkan konsep tersebut, bab 10 difokuskan khususnya pada keputusan-
keputusan kolektif dan otoritas, karena kedua tipe ini biasanya memerlukan organisasi
sebagai sistem dimana keputusan-inovasi tersebut terjadi. Di sini ditelusuri perubahan-
perubahan yang penting dari studi-studi keinovatifan organisasional, di mana data
dikumpulkan dari suatu sampel yang besar berupa organisasi-organisasi dalam usaha
menentukan karakteristik-karakteristik dari organisasi-organisasi yang lebih atau
kurang inovatif, menuju penyelidikan proses inovasi dalam organisasi-organisasi. Studi
tersebut umumnya telah dilakukan sejak kira-kira pertengahan tahun 1970-an, berupa
studi-studi kasus dari proses keputusan-inovasi. Pendekatan penelitian proses seperti
itu telah menyediakan pengetahuan yang penting dalam hakekat proses inovasi dan
tingkah laku organisasi-organisasi ketika organisasi itu berubah.
Studi-studi proses inovasi menekankan fase-fase implementasi yang terlibat
dalam menempatkan suatu gagasan baru ke dalam pemakaian oleh suatu organisasi;
dengan demikian, studi-studi ini telah menyempurnakan penelitian difusi sebelumnya,
yang umumnya berhenti dengan kurangnya menyelidiki implementasi dengan
memfokuskan pada keputusan untuk mengadopsi atau menolak. Penelitian-penelitian
masa kini yang diingatkan dalam bab ini menunjukkan bahwa implementasi suatu
inovasi bukanlah suatu kepastian, ketika keputusan untuk mengadopsi dibuat. Bila
dibandingkan dengan proses keputusan inovasi oleh individu, proses inovasi dalam
organisasi jauh lebih rumit. Hal tersebut terjadi karena dalam proses inovasi organisasi
mungkin melibatkan sejumlah individu yang masing-masing memainkan peranan yang
berbeda dalam keputusan inovasi.
Organisasi
Organisasi merupakan suatu sistem yang stabil terdiri dari individu-individu
yang bekerjasama untuk mencapai tujuan bersama melalui hirarki pangkat dan suatu
pembagian pekerjaan. Organisasi dibentuk untuk menangani tugas rutin dan untuk
meminjamkan stabilitas kepada hubungan manusia. Efisiensinya organisasi sebagai
alat untuk mengorganisasikan usaha manusia sebagian disebabkan oleh stabilitas ini,
yang berasal dari tingkat yang relatif tinggi dari struktur yang dibebankan pada pola
komunikasi.
Struktur organisasi yang stabil dan dapat diramalkan diperoleh melalui:
a) tujuan-tujuan yang ditentukan terlebih dahulu;
b) perincian tugas;
c) struktur otoritas;
d) kebiasaan dan peraturan; serta
e) pola-pola informal.
Gambaran mengenai proses inovasi dalam suatu organisasi misalnya dapat
dipahami dalam sebuah contoh urutan kejadian, tindakan-tindakan, dan keputusan-
keputusan melalui gagasan membuat jadwal secara komputerisasi dimulai dan
diimplementasikan di sebuah sekolah menengah pemerintah yang bernama Troy High
School (Troy, Michigan, Detroit, USA).
THS mengadopsi suatu sistem penjadwalan moduler yang fleksibel –perubahan
revolusioner dalam prosedur yang biasa di sekolah tersebut–, pada bulan September
1965. Inonasi tersebut mulanya dikembangkan di Universitas Stanford, berupa sebuah
aplikasi membagi hari sekolah ke dalam 24 modul pengajaran masing-masing selama
15 menit. Modul dikombinasikan ke dalam periode kelas selama empat puluh lima
menit, satu jam, atau satu setengah jam. Masing-masing siswa memiliki jadwal kelas
yang unik, dan dapat memasuki beberapa kelas yang berbeda; sekitar 50 % waktu
siswa tidak dijadwalkan. Siswa bertanggungjawab terhadap dirinya dalam menentukan
bagaimana ia memanfaatkan jam belajar, termasuk masuk atau tidak ke dalam
kelas.masing-masing jadwal harian siswa digeneralisasi oleh komputer Stanford.
Konsekuensi penjadwalan secara komputerisasi tersebut adalah dapat diakses jarak
jauh, menyebabkan setiap siswa, guru, tenaga administrasi, dan orang tua siswa
tersambung secara terus menerus dengan THS. Berkat inovasi tersebut, THS berhasil
meraih penghargaan sebagai salahsatu dari sebelas sekolah yang inovatif di Amerika
Serikat pada tahun 1965.
Setelah beberapa waktu berjalan melaui berbagai proses inisiasi dan
implementasi berkelanjutan, inovasi tersebut mengalami kemunduran pada tahun
1969. Secara garis besar, kegagalan inovasi penjadwalan secara komputerisasi di THS
disebabkan oleh: 1) teknologi yang digunakankan tidak benar-benar dikembangkan
pada saat pertama diadaptasi; 2) inovasi tersebut tidak dipahami secara luas, dan
secara nyata menyebabkan berbagai hal berjalan salah di THS; Kepala Sekolah dan
manajemen sekolah sebagai pemegang kunci terhadap inovasi tersebut, tidak
berpartisipasi secara menyeluruh dalam proses inovasi dari sejak pertama kali inovasi
tersebut diperkenalkan di THS; dan 4) struktur komunikasi staf sekolah tidak dipahami
benar oleh Joe Blanchar (THS Principal) dan juga penggerak-penggerak inovasi yang
lainnya.
Keinovatifan Organisasi
Studi tentang keinovatifan organisasi telah banyak dilakukan sebelumnya.
Dalam kurun tahun 1970, penelitian tentang difusi secara berbeda mulai dilakukan
terhadap organisasi, menelaah-ke-dalam organisasi pada saat proses inovasi. Melalui
berbagai data dalam beberapa penelitian sebelumnya, seperti Mohr (1969), dapat
ditemukan beberapa konsep yang menjelaskan tentang karakteristik keinovatifan
organisasi; beberapa karakteristik ternyata sebanding dengan karakteristik-
karakteristik keinovatifan individual. Contohnya, organisasi yang lebih besar ternyata
lebih inovatif, sama seperti individu yang memiliki pendapatan dan status sosial-
ekonomi yang lebih tinggi. Tapi, beberapa karakteristik khusus hanya dijumpai pada
tingkat organisasi tidak memiliki kesamaan dengan tingkat individu; sebagai contoh,
karakteristik struktur organisasi seperti keterbukaan pada sistem dan formalisasi
ditemukan berhubungan positif dan negatif, berturut-turut, menuju keinovatifan
organisasi.
Setelah beberapa ratus kajian tentang keinovatifan organisasi dilaksanakan,
pendekatan terhadap inovasi dalam organisasi tersebut berakhir dengan
ditemukannya berbagai kelemahan. Hal tersebut disebabkan karena:
a) Studi-studi tentang keinovatifan organisasi menemukan hubungan yang rendah
antara variabel bebas yang diteliti dengan varibel terikat dari keinovatifan.
b) Salahsatu masalah yang menjengkelkan dalam studi-studi keinovatifan organisasi
adalah seberapa cukup data yang disediakan oleh pimpinan organisasi (ketua)
menunjukkan tingkah laku inovasi anggota organisasi tersebut.
Walaupun demikian, ditemukan beberapa konsep tentang keinovatifan
organisasi, di anataranya hubungan antara ukuran dan karakteristik struktur dengan
keinovatifan organisasi. Ukuran sebuah organisasi secara konstan ditemukan secara
positif berhubungan erat dengan keinovatifan. Contohnya, Mytinger (1968)
menemukan keinovatifan empat puluh departemen kesehatan lokal di California yang
berhubungan dengan (1) staf dan anggaran berjumlah besar, (2) ukuran kota yang
besar, dan (3) kekosmopolitan, akreditasi, dan prestise dari kepala kesehatan di
anatara petugas kesehatan di bawahnya. Secara umum, kajian tersebut menunjukkan
bahwa ukuran –komunitas dan departemennya– mungkin merupakan alasan yang
memaksakan kecocokan terhadap keinovatifan. Ukuran mungkin juga merupakan
wakil dari beberapa dimensi yang mengarahkan kepada inovasi, seperti: sumber daya
yang total, kelenturan sumber daya, struktur organisasi, dan sebagainya.
Karakteristik-karakteristik struktur hubungannya dengan keinovatifan banyak
dikaji antara tahun 1960 sampai 1970. Keinovatifan berhubungan erat dengan variabel
bebas yang diukur sebagai dimensi struktur organisasi, seperti: pemusatan,
kompleksitas, formalisasi, interkoneksi, kelenturan organisasai, dan keterbukaan,
seperti tampak pada bagan berikut ini.
Tahapan Proses Inovasi dalam Organisasi
Proses inovasi biasanya terdiri dari lima tahap, masing-masing ditandai dengan
cakupan sebagian dari peristiwa, aksi, dan keputusan yang dibuat pada titik tersebut.
Kelima tahapan tersebut adalah (1) Latar-Belakang-Agenda, (2) Penyesuaian, (3)
Pemaknaan Ulang/Penstrukturan Ulang, (4) Klarifikasi, dan (5) Pembiasaan,
sebagaimana bagan di bawah ini.
Proses inovasi bisa bergerak lambat atau cepat; tergantung pada penyelesaian
masalah-masalah yang ditemukan pada tahapan sebelumnya. Dimungkinkan pula
bahwa beberapa tahapan dari kelima tahapan diatas, dilewati. Salah satu dari sekian
banyak masalah yang ditemui yang dapat mempengaruhi atau memutuskan tahapan
implementasi dari sebuah inovasi dalam organisasi adalah kenyataan bahwa inovasi
tersebut terlalu besar untuk dimulai.
Contohnya adalah inovasi Dial-A-Ride yang dicoba diimplementasikan sebagai
penggunaan telepon dalam kendaraan pada kurun waktu tahun 1970, mengalami
kegagalan yang oleh Carlson (1976) diidentifikasi memiliki empat penyebab: (1)
Pelaksanaan sistem Dial-A-Ride secara serentak pada berbagai jenis moda kendaraan,
(2) Sistem komunikasi pelanggan yang tidak memadai, (3) Jumlah kendaraan yang
tidak memadai, dan (4) Pengalihoperasian perusahaan taksi.
2.2 Bab 11: Konsekuensi-Konsekuensi Inovasi
Konsekuensi adalah perubahan yang terjadi terhadap seseorang atau
terhadap suatu sistem sosial sebagai dampak pengadopsian atau penolakan
terhadap sebuah pembaharuan (inovasi). sebuah pembaharuan akan berdampak
kecil, bila tidak disebarluaskan kepada suatu kelompok ma-syarakat untuk
mempergunakannya. Sebaliknya, Sebuah inovasi akan ber-dampak besar bila inovasi
tersebut disebarluaskan kepada anggota suatu ke-lompok masyarakat dan
dipergunakannya. Maka, penemuan dan difusi men-jadi tujuan yang ingin dicapai. Dan
ini merupakan konsekuensi dalam menga-dopsi sebuah pembaharuan.
Walaupun konsekuensi dari sebuah inovasi ini suatu hal yang penting, namun
hal ini kurang mendapat perhatian dari para peneliti. Bahkan kurang-nya data dan
perhatian dari para peneliti konsekuensi, menyulitkan peneliti untuk
menggeneralisasikan mengenai konsekuensi dari suatu inovasi. Kita dapat
menguraikan berbagai konsekuensi dan menentukan kategori-kategori untuk
mengklasifikasikan berbagai konsekuensi, namun kita tidak dapat memprediksi kapan
dan bagaimana konsekuensi tersebut akan terjadi.
Bukan saja para peneliti yang kurang memperhatikan hal ini, demikian pula
para agen. Mereka sering berasumsi bahwa mengadopsi suatu inovasi hanya
menghasilkan hal hal yang menguntungkan mereka saja. Asumsi ini termasuk kategori
bias pro inovasi. Agen perubahan seharusnya mengenal kewajiban mereka terhadap
inovasi yang mereka kenal. Mereka harus mam-pu memprediksi kerugian dan
keuntungan sebelum inovasi mereka tersebut diperkenalkan kepada klien mereka,
tetapi ini jarang dilakukan.
(Contoh Kasus: Mobil Salju di Antartika)
Cerita ini menggambarkan bagaimana inovasi dari sebuah mobil salju merubah
tatanan masyarakat di daerah kutub. Mereka yang tadinya menggu-nakan rusa
sebagai alat transportasi, dan hewan peliharaan berubah total sejak hadirnya
mobil salju. Disatu sisi Kehadiran mobil salju ini membawa dampak positif. Dari
jarak tempuh, yang tadinya harus ditempuh dalam 2 hari perjalkanan kini
cukup dalam waktu 5 jam. Hal ini menggeser sistem trans-portasi yang
biasanya menggunakan rusa dan alat ski. Namun, disisi lain, hal ini membawa
dampak negative. Kedekatan antara manusia dan rusa rusa tersebut
terganggu. Ini diakibatkan karena banyak rusa dipotong untuk dijual agar bias
membeli mobil. Lama kelamaan peternakan rusa menurun dan Ini
mengakibatkan banyak orang kehilangan pekerjaan dan menganggur. Revolusi
mobil salju mendorong masyarakat disana menjadi ketergantungan terhadap
uang tunai, utang dan pengangguran.
Sebuah Model dalam mempelajari Konsekuensi
Banyak kajian sebelumnya membahas: ‘variabel apa yang berkaitan dengan
inovasi?’ kini pertanyaannya beralih kepada : ‘Apa dampak-dampak mengadopsi
suatu inovasi?
Pembaharuan, dulu merupakan dependent variabel utama. Kini dia ada-lah
gambaran dari sebuah variabel yang paling utama yakni konsekuensi ino-vasi.
Ilustrasinya dapat dilihat dari pemikiran Mason and Halter (1968) halaman 376.
Asal MulaPembaharuan(Indeependen
Variable)
Pembaharuan Kini(Dependent Varia-
ble lama)KONSEKUENSI PEMBAHARUAN
(Dependent Variable baru)
1. Pendidikan2. Status Sosial
Ekonomi3. Cosmopolitene
ss4. Jalur komun-
nikasi5. Dan lain lain
Kesigapan mengadposi
gagasan baru
Konsékuénsi Langsung :1. Peningkatan
produktifitas dan efisiensi
2. Peningkatan pendapatan
3. Lebih banyak Kesenangan
4. Dan lain-lain
Konsékuénsi Terselubung :1. Mahalnya
ongkos2. Memerlukan
lebih banyak modal
3. Sulitnya pe-merataan ke-pemilikan har ta,pendapatan dan sumber daya lainnya.
4. Dan lain-lain
Penelitian tentang Konsekuensi Inovasi sangat sedikit karena :
1. Agen perubahan, sering kali mensponsori penelitian ini terlalu menekan-kan pada adopsinya saja, beranggapan bahwa keputusan untuk menga-dopsi pembaharuan hanya akan berakibat positif saja.
2. Mungkin metode penelitian yang dipergunakan tidak tepat untuk menyeli-diki konsekuensi inovasi.Penelitian ini sangat rumit mengingat kenyataan bahwa waktu yang diperlukan akan sangat lama dan tidak cukup dengan hanya menambahkan jumlah pertanyaan dalam survey, jumlah sampel, atau jenis pengumpulan data lainnya.
3. Konsekuensi sulit untuk diukur.Seseorang yang menggunakan suatu inovasi biasanya tidak sadar akan akibat
yang akan dihadapinya. Oleh sebab itu, cara apapun yang dipakai untuk meneliti
hal ini mungkin akan berakibat pada kesimpulan yang ti-dak sempurna dan
menyesatkan.
Konsep ‘relativisme budaya’ adalah: suatu sudut pandang bahwa ma-sing
masing budaya seharusnya tidak dipandang dari sisi situasi dan kebutuhannya
semata. Tidak ada satu budayapun yang ‘terbaik’ dalam makna tertentu. Masing
masing budaya memilikii norma, nilai, keper-cayaan, sikap yang berfungsi efektif
dalam lingkungannya sendiri.
Klasifikasi Konsekuensi
Satu langkah untuk meningkatan pemahaman kita akan konsekuensi inovasi
adalah dengan mengklasifikasikannya kedalam suatu taksonomi (sis-tem klasifikasi):
1. Konsekuensi Yang Diharapkan dan Yang Tidak Diharapkan. Konsekuensi yang diharapkan adalah akibat yang bermanfaat yang dipe-roleh
individu atau suatu sistem sosial. Sebaliknya, Konsekuensi yang ti-dak diharapkan
artinya bila inovasi itu tidak berfungsi dengan baik pada individu atau suatu sistem
sosial.
Dalam konsekuensi yang diharapkan akan timbul :
- Keuntungan BerlipatKeuntungan ini adalah suatu keuntungan yang diperoleh oleh orang yang
pertama kali mengadposi ide ide baru dalam suatu sistem sosial. Hal ini
disebabkan karena ketika mulai banyak orang yang menga-dopsi sebuah
inovasi, maka total produksi dan efisiensi meningkat se-hingga harga barang
atau jasa akan turun. Hal ini adalah manfaat dari turunnya biaya produksi.
Mungkin juga pembaharu harus menanggung resiko untuk mendapat-kan rejeki
yang berlipat. Tidak semua ide akan berhasil.
Bahkan mungkin, bukannya keuntungan yang berlipat melainkan keru-gian
yang berlipat.
Keuntungan berganda ini adalah salah satu keuntungan yang relatif yang
diperoleh sebagian orang saja.
- Kesalahan Asumsi Tentang PemisahanMaksudnya adalah: Konsekuensi yang diharapkan dari suatu inovasi teknologi
dapat dipisahkan dari konsekuansi yang tidak diinginkan. Contoh kasus terjadi
di Iran dimana Ayatullah Khomaeni tidak menolak inovasi teknologi dibidang
teknologi seperti media dan alat komunikasi buatan barat tetapi ia mentah
mentah menolak pengaruh yang diaki-batkan oleh barat terhadap pemuda Iran.
Hal ini berkaitan dengan generalisasi 11 – 1: Sulit bahkan tidak mungkin untuk
mengendalikan akibat akibat dari inovasi begitu juga untuk memisahkan antara
konsekuensi yang diharapkan dan yang tidak diharapkan.
2. Konsekuensi Langsung dan Konsekuensi Tidak LangsungKonsekuensi Langsung : Perubahan perubahan yang terjadi langsung saat
meresponse terhadap suatu inovasi. Ilustrasinya ada pada hal. 385 ketika suku
suku di Madagaskar berubah dari sistem sawah kering ke sistem tanah basah.
Perubahan ini merubah tatanan kepemilikan tanah, status social, dan sistem
pemerintahan.
Konsekuensi Tidak Langsung : Perubahan perubahan yang terjadi pada suatu
individu atau sistem social sebagai akibat dari suatu inovasi.
3. Konsekuensi Yang Diduga dan Konsekuensi Yang Tak DidugaKonsekuensi yang Diduga : Konsekuensi yang diketahui dan yang di-inginkan oleh
anggota dari suatu sistem kemasyarakatan.
Konsekuensi yang Tak Diduga : Sebaliknya
(Cerita tentang kapak besi untuk Suku Aborigin di Jaman Batu)
Dari cerita ini dapat diambil pelajaran mengenai:
BENTUK, FUNGSI DAN MAKNA SEBUAH INOVASI:1. Bentuk (Form): berupa bentuk tampilan/fisik dari sebuah inovasi
yang dapat dilihat.2. Fungsi (Function): manfaat yang dihasilkan dari sebuag inovasi
terhadap cara hidup suatu masyarakat.3. Makna (Meaning): Persepsi yang bersifat subjektif dan sering kali
tidak disadari oleh suatu masyarakat akan sebuah inovasi. TIGA HAL YANG PERLU DIKETAHUI AGEN PERUBAHAN UNTUK
STABILITAS/PENYEIMBANG :1. Stabilitas Yang Tetap: terjadi ketika sama sekali tidak terjadi
perubahan dalam struktur atau fungsi sitem kemasyarakan.2. Stabilitas Yang Dinamis: terjadi ketika tingkat perubahan dalam
sistem kemasyarakatan sesuai dengan kemampuan masyarakat untuk menangani pembaharuan tersebut.
3. Ketidakseimbangan: terjadi ketika tingkat perubahan terlalu cepat untuk mampu dikejar oleh masyarakat.
KEPADA SIAPA INOVASI DIPERKENALKANKetidaktahuan akan budaya dari suatu masyarakat akan membawa
kegagalan sebuah pembaharuan. Masalah kepada siapa inovasi
diperkenalkan membawa kita pada isu pemerataan.
PEMERATAAN DALAM KONSEKUENSI KONSEKUENSI INOVASI
Seperti yang dibahas pada bab sebelumnya, difusi biasanya menyebabkan
kesenjangan social ekonomi karena:
1. Orang yang pertama mengadopsi memiliki sikap yang positif terhadap ide ide baru dan senantiasa berusaha untuk mencari inovasi baru.
2. Agen perubahan professional cenderung untuk berkonsentrasi dengan klien atau orang yang pertama mengadopsi dengan harapan pendapat mereka akan diikuti oleh para pengikutnya.
3. Dengan lebih dulu mengasopsi inovasi, mereka mengharapkan keuntungan yang berlipat ganda.
ISU ISU PENYETARAAN DALAM PROGRAM PEMBANGUNAN
Pentingnya isu penyetaraan baru dirasakan pada tahun 1970. Sebelumnya, isu
ini sering kali diabaikan dan umumnya menganut teori: “trickle down’ untuk mengatasi
kesenjangan difusi inovasi dalam kurun waktu yang panjang. Perubahan pola piker
terjadi pada awal tahun 1970 sebagai bagian dari factor dominan pembangunan.
Kenaikan pendapatan perkapita 5 - 10% dianggap sebagai suatu keberhasilan. Namun
keberhasilan ini dipertanyakan. Misalnya: jika pendapatan perkapita naik dan
dihabiskan untuk membeli minuman alcohol, apakah itu suatu pembangunan?
Pertanyaan yang sulit ini membawa pada suatu penekanan terhadap
penyentaraan dalam munculnya berbagai alternative terhadap paradigm
pembangunan.
Para perencana tingkat nasional tidak mengukur pembangunan hanya
berdasarakan pendapatan perkapita mereka mulai berfikir tentang penyetaraan social
ekonomi sebagai tujuan pembangunan dan memcoba untuk mengukur indikator
indikator non-ekonomi sebagai upaya peningkatan mutu kehidupan.
Ketika para ilmuwan dan agen perubahan mulai untuk membedakan antara: (1)
tingkat barang dan (2) Penyetaraan distribusi barang maka langkah berikutnya adalah
mulai memyelidiki dampak kesenjangan yang luas dan dampak kesenjangan yang
sempit dari sebuag difusi inovasi.
KESENJANGAN DAMPAK DAMPAK KOMUNIKASI DAN KONSEKUENSI
KONSEKUENSI DIFUSI
Masalah ini dimulai dengan pertanyaan: “Apa akibat dari aktivitas komunikasi?”
Efek disini terutama berdasarkan perubahan dalam pengetahuan, sikap, atau perilaku
seseorang. Dimensi ke dua sedikit berbeda: “Apakah aktifitas komunikasi memiliki
akibat yang lebih besar, atau berbeda terhadap seseorang dibandingkan dengan orang
lain?
Ahli dibidang difusi mencoba untuk menganalisa data mereka untuk melihat
saejauh mana program difusi dapat berdampak pada kesenjangan yang lebar atau
sempit (diistilahkan: ‘atas’ dan ‘bawah’). Misalnya: status ekonomi atas dan bawah,
pengadopsi awal dan akhir atau tingkat informasi (kaya dan miskin informasi).
Bagaimanapun ‘atas’ ‘bawah’ diklasifikasikan, keberaturan sebuah penyetaraan akan
ditemukan.
KONSEKUENSI KESENJANGAN YANG LUAS DALAM ADOPSI INOVASI
1. Konsekuensi dari adoptasi inovasi biasanya cenderung untuk memper-besar kesenjangan antara pengadopsi pertama dan terakhir.
2. Konsekuensi dari adposi inovasi biasanya cenderung untuk memperle-bar kesenjangan social ekonomi diantara para segmen masyarakat da-lam status ekonomi tinggi dan rendah.
STRUKTUR SOSIAL DAN KONSEKUENSI PENYETARAAN (Kasus irigasi di
Bangladesh dan Pakistan)
STRATEGI UNTUK MEMPERKECIL KESENJANGAN:
I. Golongan ‘atas’ memiliki akses yang lebih besar terhadap informasi mengenai informasi disbanding golongan ‘bawah’.1. Informasi mungkin terkesan basi untuk kelas ‘atas’ namun bisa saja
disampaikan kepada warga kelas bawah. ‘Efek Langit Langit’ ini berhasil memurunkan kesenjangan social ekonomi di India.
2. Seseorang dapat merangkai pesan pesan komunikasi terutama untuk para ekonomi kelas bawah dengan mempertimnangkan karakteristik mereka seperti: pendidikan, kepercayaan, kebiasaan komunikasi, dan sejenisnya.
3. Seseorang seharusnya menggunakan jalur komunikasi agar mampu mengangkat golongan ‘bawah’ sehingga akses bukan menjadi penghalang dalam memperoleh kesadaran untuk memperoleh inovasi.
4. Golongan ‘bawah’ dapat diorganisir kedalam kelompok kecil dimana mereka dapat mempelajari tentang inovasi dan mendiskusikan ide ide baru ini.
5. Konsentrasi para agen perubahan dapat dialihtugaskan dari innovator kr pengadopsi awal.
II. Golongan ‘atas’ Memiliki Akses Yang Lebih Besar Terhadap Informasi Evaluasi suatu Inovasi dari Teman Temannya Dibanding Golongan ‘bawah’.1. Pendapat para pemimpin dari kelompok yang kurang beruntung dapat
diketahui dan agen perubahan dapat dilimpahkan kepada mereka.2. Pembantu pembantu agen perubahan diambil dari kelompok ‘bawah’
sebagai penyampai inovasi. 3. Grup grup resmi dari kelompok ‘bawah’ dapat diatur untuk memperoleh
pendidikan kepemimpinan dan memajukan pembuatan keputusan inovasi.
III. Golongan ‘atas’ Memiliki Keleluasan Sumber Daya Untuk Mengadopsi Inovasi Dibanding Kelompok ‘Bawah’.1. Prioritas dapat diberikan untuk pengembangan dan rekomendasi
sebuah inovasi kepada kelompok bawah. 2. Organisasi Sosial dapat diberikan pada tingkat local sehingga golongan
‘bawah’ dapat memperoleh penyetaraan dengan golongan ‘atas’ dalam keleluasaan menggunakan sumber daya untuk mengadopsi inovasi.
3. Alat harus diberikan agar golongan ‘ bawah’ dapat berpartisipasi untuk merencanakan dan melaksanakan program inovasi. Termasuk pengaturan prioritas program.
4. Agen agen difusi khusus dapat dibentuk untuk bekerja dengan golongan ‘bawah’ sehingga agen perubahan mampu untuk me-ngetahui kebutuhan golongan sosialk ekonomi rendah.
5. Penekanan harus dialihkan dari yang bersifat sentralisasi kepa-da desentralisasi.
KESENJANGAN YANG LEBIH LUAS DAPAT DIPREDIKSI
Hal ini berdasarkan Generalisasi 11 – 7: Ketika upaya upaya khusus dibuat oleh
agen perubahan, maka mungkin untuk memperkecil atau setidaknya tidak
memperluas kesenjangan social ekonomi dalam suatu sistem masyarakat. Kasus ini
berhasil di India ketika informasi tentang pertanian disampaikan melalui televisi.
Rolling (at all, 1976) menyimpulkan bahwa: ‘Difusi generalisasi secara tepat
memberikan kesimpulan tentang usaha usaha pada saat ini, tetapi hal ini mungkin
sangat berbeda dari menyajikan rekomendasi untuk usaha yang lebih optimal’.
3. Pembahasan
Perubahan organisasi adalah “usaha yang direncanakan oleh manajemen untuk
menghasilkan prestasi keseluruhan individu, kelompok dan organisasi dengan
mengubah struktur, perilaku dan proses”. Perubahan seperti itu bukanlah sekedar
berubah saja, tetapi perubahan yang disertai dengan pembaruan dalam berbagai hal
berdasarkan perencanaan yang telah ditetapkan sebelumnya, dan hal inilah yang
sering dimaknai sebagai pembaruan atau inovasi. Inovasi itu lebih dari sekedar
perubahan, walaupun semua inovasi melibatkan perubahan.
Dalam inovasi ada kegiatan menciptakan sesuatu hal baru yang bertujuan
untuk meningkatkan kinerja organisasi. Penciptaan sesuatu hal baru di sini erat
kaitannya dengan teknologi baru, produk-produk baru maupun metode yang baru,
sehingga ketika menyebut istilah inovasi membuat sebagian besar orang berpikir
pertama-tama tentang teknologi, produk-produk baru, dan metode-metode baru untuk
membuatnya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, agar setiap organisasi dapat
sustainnable dalam lingkungan dinamis yang selalu berubah, maka perlu
menumbuhkan dan me-lakukan inovasi secara terus-menerus yang dikenal dengan
inovasi tiada henti. Inovasi yang tiada henti itu maksudnya adalah inovasi yang
dilakukan secara terus menerus dalam berbagai hal dan selalu menyesuaikan dengan
perkembangan zaman.
Siapakah pihak yang berperan melakukan inovasi dalam suatu organisasi?
Tidak lain adalah setiap orang atau individu yang ada di dalam organisasi tersebut.
Prestasi organisasi tergantung dari prestasi individu. Sedangkan prestasi individu
merupakan bagian dari prestasi kelompok yang pada gilirannya merupakan prestasi
organisasi. Karena itu semua unsur di dalam organisasi, baik pimpinan maupun
anggota harus mempunyai niat dan perhatian serta konsistensi yang terintegrasi dan
berkesinambungan. Hal ini penting ditekankan agar semua pihak yang berperan serta
dalam proses inovasi, mulai dari pimpinan tertinggi hingga anggota terendah pun
mengetahui tujuan-nya, sasarannya dan perencanaan maupun strategi yang
dipergunakan, sehingga hasilnya dapat memenuhi harapan organisasi.
Inilah tantangan bagi organisasi yang bergerak di bidang pendidikan.
Bagaimana organisasi pendidikan mengantisipasi perubahan tersebut? Apa langkah-
langkah yang perlu dilakukan sehingga penyelenggara pendidikan kita di Indonesia ini
mampu menem-patkan kualitas sumber daya manusia kita pada level yang patut
diperhitungkan di kancah global? Hal ini merupakan tugas yang tidak ringan, terutama
bagi penyelenggara kegiatan pendidikan. Di sini dibutuhkan manajemen pendidikan
yang baik (well manage) dan stra-tegi pelaksanaan inovasi agar organisasi pendidikan
mampu menghasilkan SDM yang berkualitas.
Inovasi merupakan perubahan yang direncanakan oleh organisasi dengan
kegiatan yang berorientasi pada pengembangan dan penerapan gagasan-gagasan
baru agar menjadi kenyataan yang bermanfaat dan menguntungkan. Proses inovasi
dapat dianalogikan seba-gai proses pemecahan masalah yang di dalamnya
terkandung unsur kreativitas. Dalam hal inovasi pendidikan sebagai usaha perubahan
pendidikan tidak bisa berdiri sendiri, tetapi harus melibatkan semua unsur yang terkait
di dalamnya, seperti inovator, penyelenggara inovasi seperti kepala sekolah, guru dan
siswa.
Perubahan–perubahan yang terjadi dalam lingkungan eksternal suatu
organisasi pada umumnya akan memaksa organisasi terus melakukan perubahan.
Adanya paradigma–paradigma yang berubah baik secara internal sebagai tanggapan
dari adanya perubahan eksternal mendesak juga untuk berubah. Perubahan–
perubahan dalam struktur organisasi, kultur dan filosofi yang mendasari organisasi
akan memerlukan sejumlah inovasi untuk menyesuaikan diri dengan perubahan.
Perubahan dan Inovasi dalam organisasi Pendidikan juga perlu dikembangkan dengan
tujuan untuk orientasi kerja, kehidupan masa depan dalam koridor long life education.
Inovasi dalam dunia pendidikan meliputi organisasi sekolah sebagai suatu sistem,
mencakup mulai dari input, proses, output dan outcome. Pengelolaan Pendidikan
mendasarkan pada Broad Based Society yang kemudian membuat satu terobosan
inovasi dengan manajemen berbasis sekolah, dalam bentuk proses pembelajaran juga
mencakup metode–metode seperti Contextual teaching and learning, group learning,
dan metode pembelajaran lain. Inovasi yang terus berkembang dalam organisasi
adanya reengineering yang mencakup berbagai aspek dengan tujuan terjadinya
efisiensi dan efektifitas.
Joyce Wycoff (2004) mengemukakan tentang 10 langkah praktis untuk
mempertahankan kehidupan inovasi dalam suatu organisasi. Kesepuluh langkah
tersebut adalah:
1. Hilangkan rasa takut dalam organisasi. Innovasi artinya melakukan sesuatu yang
baru dan sesuatu yang baru itu mungkin akan gagal, jika orang-orang senantiasa
diliputi ketakutan akan kegagalan.
2. Jadikan inovasi sebagai bagian dari sistem penilaian kinerja setiap orang. Tanyakan
kepada mereka, apa yang akan mereka ciptakan atau tingkatkan pada masa-
masa yang akan datang, kemudian ikuti kemajuannya.
3. Dokumentasikan setiap proses inovasi dan pastikan setiap orang dapat memahami
peran didalamnya dengan sebaik-baiknya.
4. Berikan keluasaan kepada setiap orang untuk dapat mengeksplorasi kemungkinan-
kemungkinan baru (new possibilities) dan berkolaborasi dengan orang lain, baik
yang ada dalam organisasi maupun di luar organisasi.
5. Pastikan setiap orang dapat memahami strategi organisasi dan pastikan pula
bahwa semua usaha inovasi benar-benar sudah selaras dengan strategi yang
ada.
6. Belajarkan setiap orang untuk mampu memindai lingkungan, seperti tentang trend
baru, teknologi atau perubahan mindset pelanggan.
7. Belajarkan setiap orang untuk menghargai keragaman, baik dalam gaya berfikir,
perspektif, pengalaman maupun keahlian, karena keragaman seluruh aktivitas ini
merupakan bagian yang penting dan tidak dapat dipisahkan dalam proses
menuju inovasi.
8. Tentukan kriteria yang terukur dengan fokus pada cita-cita masa depan organisasi.
Kriteria yang ketat hanya akan menghambat terhadap pencapaian cita-cita dan
melestarikan berbagai asumsi dan mindset masa lampau. Curahkan waktu untuk
pengembangan dan kesuksesan yang hendak organisasi pada masa yang akan
datang.
9. Team Inovasi berbeda dengan team proyek regular. Oleh karena itu, dibutuhkan
perlengkapan dan mindset yang berbeda pula. Sediakanlah pelatihan yang cukup
sehingga setiap orang dapat bekerja dalam inovasi secara sukses.
10. Kembangkan sistem pengelolaan gagasan dan tangkaplah setiap gagasan untuk
dikembangkan dan dievaluasi berbagai kemungkinannya
4. Kesimpulan
Bab 10 mendefinisikan organisasi sebagai suatu sistem stabil dari sejumlah
individu yang bekerja sama untuk mecapai tujuan bersama lewat suatu hiearki jabatan
dan pembagian tugas. Inovasi dilakukan secara opsional, kolektif atau didasarkan
pada otoritas atau inovasi sebelumnya. Sampai tahun 1970-an, inovasi dalam
organisasi diteliti dengan riset variansi, yaitu diteliti korelasinya dengan sejumlah
variabel bebas. Variabel bebas dan sifat korelasinya dengan keinovatifan (+ atau -)
tersebut adalah (a) karakteristik pemimpin: sikap pemimpin terhadap perubahan (+),
dst.; (b) karakteristik internal struktur organisasi: sentralisasi (-), kompleksitas (+),
formalitas (-), kesalingterkaitan (+), ketersediaan cadangan (+), dst. dan (c )
karakteristik eksternal organisasi: keterbukaan sistem (+), dst. Riset variansi sekarang
diganti dengan riset proses inovasi yang mempunyai dua momen, yaitu inisiasi dan
implementasi. Dalam inisiasi terdapat tahap agenda setting (perumusan masalah) dan
matching (penyelarasan masalah dan solusi), sementara dalam implementasi ada
tahap redefinisi/restruktrurisasi masalah, klarifikasi dan rutinisasi (hasil) inovasi.
Bab 11 mendefinisikan konsekuensi inovasi sebagai perubahan yang terjadi
pada individu atau sistem sosial sebagai akibat dari adopsi suatu inovasi. Konsekuensi
inovasi jarang diteliti karena (a) agensi perubahan memberi perhatian terlalu banyak
pada adopsi dan mengasumsikan konsekuensi adopsi pasti positif, (b) metode riset
survei mungkin tidak cocok untuk meneliti konsekuensi inovasi dan (c) sulitnya
mengukur konsekuensi inovasi. Konsekuensi inovasi dapat dibagi menjadi (a)
diinginkan vs. tidak diinginkan, (b) langsung vs. tidak langsung dan (c) diantisipasi vs.
tidak diantisipasi; sementara itu, dari contoh penggunaan kappa besi di suku
Aborijinal, diketahui tiga unsur intrinsik dari inovasi: (a) bentuk: penampakan fisik dan
substansi inovasi; (b) fungsi: kontribusi inovasi pada cara hidup adopter dan (c)
makna: persepsi subjektif dan sering di bawah sadar dari adopter terhadap inovasi.
Hal lain yang berkaitan dengan konsekuensi inovasi adalah tingkat perubahan dalam
sistem yang mungkin mengalami (a) kesetimbangan stabil (inovasi tidak
menyebabkan perubahan dalam struktur dan/atau fungsi sistem sosial), (b)
kesetimbangan dinamis (perubahan yang disebabkan inovasi setara dengan
kemampuan sistem sosial untuk menanganinya), atau (c) disequilibrium (perubahan
yang disebabkan inovasi terlalu cepat untuk dapat ditangani sistem sosial). Dengan
demikian, tujuan dari inovasi adalah untuk mencapai kesetimbangan dinamis.
Akhirnya, hal lainnya lagi yang harus dikaji dalam konsekuensi inovasi adalah
cara mengatasi kenyataan bahwa inovasi sering memperlebar kesenjangan sosio-
ekonomik masyarakat. Beberapa cara tersebut adalah (a) menangani kecenderungan
orang kaya mempunyai akses lebih banyak dibanding orang miskin: pesan
disampaikan lewat (a1) cara masal seperti lewat radio atau televisi; penggunaan
bahasa yang dimengerti orang miskin; penggunaan multi-media yang didasarkan
kondisi sosial budaya orang miskin; penyampaian dalam kelompok kecil di mana orang
miskin biasanya berkumpul, dan pengubahan fokus dari sasaran inovasi tradisional
(yaitu pada kelompok yang paling berpotensi untuk berubah) ke kelompok yang paling
tidak berpotensi untuk berubah; (b) menangani kecenderungan orang kaya
mempunyai akses lebih banyak pada hasil evaluasi inovasi dibanding orang miskin:
pemimpin opini orang miskin harus ditemukan (meski pun relatif lebih sulit dibanding
dengan menemukan pemimpin opini orang kaya) dan hubungan agen perubahan
dikonsentrasikan pada mereka, aide dari kalangan orang miskin digunakan untuk
menghubungi kelompok homofilinya dan kelompok formal di kalangan orang miskin
diperkuat dan/atau dibina serta ( c) menangani kecenderungan orang kaya
mempunyai sumber daya lebih dibanding orang miskin: pemilihan inovasi yang cocok
untuk orang miskin; membangun organisasi (misalnya koperasi) di kalangan orang
miskin; memberi kesempatan orang miskin berpartisipasi dalam perencanaan dan
pelaksanaan inovasi; pengembangan programdan/atau agensi yang diperuntukkan
khusus orang miskin dan pergeseran dari difusi inovasi yang datang dari riset dan
pengembangan (R & D) formal ke penyebaran informasi tentang gagasan yang
didasarkan pada pengalaman lewat sistem difusi desentralistik: sering untuk ikatan
intelektual dari kebijakan konvensional adalah eksperimen di lapangan.
Bibliografi
Ferrari, Anusca, Romina Cachia dan Yves Punie. 2009. Innovation and Creativity in
Education and Training in the EU Member States: Fostering Creative Learning and
Supporting Innovative Teaching. Seville, Spain: European Commission.
Innovation Journal, Volume 10, Issue 3. 2005. http://www.innovation.cc/ [diakses 1 Juni
2010]
Rogers, Everett M. 1971. Diffusion of Innovation. New York, USA: The Free Press,
Macmillan Publishing Co. Inc.
Wlodkowski, Raymon J. 1991. Developing Motivation for Lifelong Learning. Dalam In
Context #27. USA: Context Institute.
Wycoff, Joyce. 2004. Ten Practical Steps to Keep Your Innovation System Alive & Well.
http://thinksmart.com/ [diakses 1 Juni 2010]