fakultas pertanian universitas lampung bandar …digilib.unila.ac.id/59717/3/skripsi tanpa bab...
TRANSCRIPT
STUDI POTENSI ENERGI DAN REDUKSI EMISI GAS RUMAH KACADARI LIMBAH INDUSTRI TAPIOKA DI LAMPUNG
(Skripsi)
Oleh
SHINTA TRI AJI NURAYU
FAKULTAS PERTANIANUNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG2019
ABSTRACT
STUDY OF ENERGY POTENTIAL AND REDUCTION OFGREENHOUSE GAS EMISSION FROM TAPIOCA INDUSTRY WASTE
IN LAMPUNG PROVINCE
By
SHINTA TRI AJI NURAYU
Tapioca industry is one of the fast growing agroindustries in Lampung Province.
The large number of industries directly affect the amount of waste that can be
produced from processing cassava into tapioca. One of the utilization of tapioca
industry waste is by making alternative energy sources. The process of utillizing
waste potentially produce biogas with the main composition gasses are methane
gas (CH4) and carbon dioxide gas (CO2) that include as green house gasses
(GHG) which cause global warming. The purpose of this research was biogas and
GHG emission potential from tapioca industry as well as calculating potential
energy produced from cassava production in Lampung.
This research was done by directly measuring the samples by collecting the waste
quantity and quality data and calculating based on global emission factors. The
results of this research showed that tapioca industry has potential produce biogas
of 43,91 m3 /ton cassava and can reduce GHG emission it is 428,10 kgCO2e/ ton
cassava. Based on the calculation, energy potential from tapioca industry in
Lampung of 1.086.031.462 kWh/ton cassava
Keywords : Biogas, Greenhouse Gas Emission, Tapioca Industry,Energy Potential
Shinta Tri Aji Nurayu
ABSTRAK
STUDI POTENSI ENERGI DAN REDUKSI EMISI GAS RUMAH KACADARI LIMBAH INDUSTRI TAPIOKA DI PROVINSI LAMPUNG
Oleh
SHINTA TRI AJI NURAYU
Industri tapioka merupakan salah satu agroindustri yang berkembang pesat di
Provinsi Lampung. Banyaknya jumlah industri yang ada secara langsung
mempengaruhi jumlah limbah yang dapat dihasilkan dari proses pengolahan singkong
menjadi tapioka. Salah satu pemanfaatan limbah industri tapioka yaitu dengan
membuat sumber energi alternatif. Proses pemanfaatan limbah tersebut berpotensi
menghasilkan biogas dengan komposisi gas utama yaitu gas metana (CH4) dan gas
karbondioksida (CO2) yang termasuk dalam Gas Rumah Kaca (GRK) yang dapat
mengakibatkan pemanasan global. Tujuan dari penelitian ini adalah menghitung
potensi biogas dan reduksi emisi gas rumah kaca dari limbah Industri Tapioka serta
menghitung potensi energi yang dihasilkan dari produksi singkong di Lampung.
Metode penelitian yang digunakan yaitu penelitian dilakukan dengan metode
pengukuran langsung pada sampel dengan mengumpulkan data kuantitas dan kualitas
air limbah serta dilakukan perhitungan berdasarkan faktor-faktor emisi yang telah
disepakati secara global. Hasil penelitian menunjukkan bahwa industri tapioka
berpotensi menghasilkan biogas sebesar 43,91 m3 / ton singkong dan dapat mereduksi
emisi GRK (Gas Rumah Kaca) sebesar 428,10 kgCO2e/ton singkong. Berdasarkan
hasil perhitungan, potensi energi yang dihasilkan dari industri tapioka di Provinsi
Lampung sebesar 1.086.031.462 kWh/ton singkong
Kata kunci : Biogas, Emisi Gas Rumah Kaca, Industri Tapioka, Potensi Energi
Shinta Tri Aji Nurayu
STUDI POTENSI ENERGI DAN REDUKSI EMISI GAS RUMAH KACADARI LIMBAH INDUSTRI TAPIOKA DI PROVINSI LAMPUNG
Oleh
Shinta Tri Aji Nurayu
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai GelarSARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
pada
Jurusan Teknologi Hasil PertanianFakultas Pertanian Universitas Lampung
FAKULTAS PERTANIANUNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG2019
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 16 April 1997, sebagai anak
ketiga dari tiga bersaudara buah hati pasangan Bapak Kasnuri dan Ibu
Hermilinora. Pendidikan penulis diawali di TK Kartika II-26 Bandar Lampung,
diselesaikan pada tahun 2002, dilanjutkan pendidikan dasar di SDS Kartika II-5,
Bandar Lampung, lulus pada tahun 2008. Pada tahun yang sama, penulis
melanjutkan pendidikan menengah di SMP Negeri 1 Bandar Lampung, kemudian
pada tahun 2011 penulis melanjutkan pendidikannya ke SMA Negeri 3 Bandar
Lampung, lulus pada tahun 2014. Penulis diterima sebagai mahasiswa Jurusan
Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung pada tahun
2014 melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi (SNMPTN) .
Penulis melaksanakan Praktik Umum (PU) di PT. Sumber Pangan Jaya, Cikarang
Utara, Bekasi dengan judul “Mempelajari Proses Produksi dan Pengawasan Mutu
Chicken Nugget di PT. Sumber Pangan Jaya, Cikarang Utara, Bekasi” pada Juli
s.d Agustus 2017. Pada bulan Januari s.d Maret 2018, penulis melaksanakan
Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Candra Kencana, Kecamatan Tulang Bawang
Tengah , Kabupaten Tulang Bawang Barat dengan tema “Pariwisata dan Budaya
dalam Membangun dan Menigkatkan Kemajuan Desa”. Selama menjadi
mahasiswa, penulis pernah aktif pada lembaga kemahasiswaan Himpunan
Mahasiswa Jurusan Teknologi Hasil Pertanian (HMJ THP), Fakultas Pertanian,
Universitas Lampung sebagai anggota pada tahun 2015-2016. Penulis pernah
menjadi asisten praktikum di beberapa mata kuliah yaitu mata kuliah Pengolahan
Limbah Agroindustri pada tahun 2016-2017 dan mata kuliah Teknologi
Komponen Bioaktif pada tahun 2017-2018.
SANWACANA
Alhamdulillahirobbil’alamin. Puji syukur Penulis hanturkan kepada Allah SWT.
atas rahmat dan ridho-Nya lah, Penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul “Studi Potensi Energi dan Reduksi Emisi Gas Rumah Kaca dari
Limbah Industri Tapioka di Provinsi Lampung“. Skripsi ini dapat selesai
karena bimbingan, bantuan dan dorongan dari berbagai pihak. Oleh karena itu,
pada kesempatan ini Penulis mengucapkan terima kasih yang tulus kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Irwan Sukri Banuwa, M.Si., selaku Dekan Fakultas
Pertanian Universitas Lampung.
2. Ibu Ir. Susilawati, M.Si. selaku Ketua Jurusan Teknologi Hasil Pertanian,
Fakultas Pertanian Universitas Lampung.
3. Bapak Prof. Dr. Eng. Ir. Udin Hasanudin, M.T. selaku ketua komisi
pembimbing sekaligus pembimbing akademik, terima kasih atas segala
bimbingan, bantuan, saran, dan dukungan yang diberikan
4. Bapak Dr. Ir. Tanto Pratondo Utomo, M.Si. selaku anggota komisi
pembimbing terima kasih atas segala pelajaran, bimbingan, saran, dan
motivasi yang diberikan selama proses penyusunan skripsi penulis.
5. Bapak Dr. Erdi Suroso, S.T.P., M.T.A. selaku penguji utama yang telah
banyak memberikan kritik, saran dan bimbingan terhadap karya skripsi
penulis.
6. Seluruh bapak dan ibu dosen, staff administrasi dan laboraturium di Jurusan
Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung.
7. Keluargaku tercinta: Ayah dan Emak, Kakak Ebi dan Abang Putra. Terima
kasih banyak atas do’a, semangat, nasihat, motivasi, kasih sayang serta waktu
yang telah diluangkan untuk mendengarkan keluh kesahku.
8. Sahabat-sahabatku Ira, Mia, Ica, Peby, Wita, Bela, Windy, Wiji, Lulu, Mm,
Amal, Shahel, Tiara dan Ainun atas segala bantuan, dukungan, semangat,
candatawa, dan kebersamaannya selama ini.
9. Teman seperjuanganku Siti Aisyah, S.T.P, yang selalu bersama melalui angin
badai topan hingga terbit pelangi dalam pengerjaan skripsi.
10. Keluarga besar Laboratorium Pengelolaan Limbah Agroindustri THP FP
Unila: Mbak Ella, Pak Joko, Bu Tifa dan Mas Midi atas dukungan, semangat
dan nasehat kepada penulis.
11. Semua pihak yang telah membantu Penulis menyelesaikan penulisan skripsi
ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memerlukan perbaikan, maka Penulis
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk perbaikan pada
penulisan selanjutnya. Akhir kata, semoga Allah SWT membalas segala
keikhlasannya, Jazakumullah khairan katsiran.
Bandar Lampung, 28 Oktober 2019Penulis,
Shinta Tri Aji Nurayu
vi
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI.............................................................................................. v
DAFTAR TABEL ................................................................................... vii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................... viii
I. PENDAHULUAN ............................................................................ 1
1.1. Latar Belakang ....................................................................... 1
1.2. Tujuan Penelitian .................................................................... 4
1.3. Kerangka Pemikiran................................................................. 4
II. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 6
2.1. Emisi Gas Rumah Kaca............................................................ 6
2.2. Produksi Biogas dari Air Limbah Tapioka .............................. 9
2.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produski Biogas .............. 11
2.3.1. Jenis Substrat.............................................................. 11
2.3.2. Temperatur ................................................................. 12
2.3.3. pH............................................................................... 12
2.3.4. Rasio C/N................................................................... 13
2.3.5. Pengadukan ................................................................ 13
2.4. Potensi Biogas Sebagai Energi Alternatif ................................ 14
2.5. Produksi Singkong di Provinsi Lampung ................................ 15
2.6. Proses Pengolahan Tapioka...................................................... 16
2.7. Limbah Industri Tapioka.......................................................... 20
2.3.1. Limbah Padat ............................................................. 20
2.3.2. Air limbah tapioka ..................................................... 21
vi
III. BAHAN DAN METODE ................................................................ 24
3.1. Tempat dan Waktu Pelaksanaan ............................................ 24
3.2. Alat dan Bahan ......................................................................... 24
3.3. Metode Penelitian ................................................................... 24
3.4. Pelaksanaan Penelitian ............................................................. 25
3.4.1. Pengumpulan Data ..................................................... 25
3.4.2. Pengamatan .............................................................. 26
3.4.3. Perhitungan Potensi Biogas, Emisi Gas Rumah Kaca
dan Energi .................................................................. 27
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN........................................................ 30
4.1. Karakterisasi Limbah Industri Tapioka.................................... 30
4.2. Potensi Biogas dan Emisi Gas Rumah Kaca (GRK)................ 33
4.3. Potensi Energi dari Limbah Industri Tapioka di Lampung...... 36
V. SIMPULAN DAN SARAN.............................................................. 40
5.1. Simpulan................................................................................... 40
5.2. Saran ........................................................................................ 40
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Enam Jenis gas Rumah Kaca Berdasarkan Protokol Kyoto .............. 8
2. Komposisi Biogas .............................................................................. 10
3. Produksi Singkong Provinsi Lampung .............................................. 15
4. Komposisi Kimia Organik ................................................................ 20
5. Baku Mutu Limbah Cair Industri Tapioka......................................... 21
6. Parameter Pengukuran Limbah Industri Tapioka .............................. 25
7. Data Produksi, Hasil Samping dan COD Industri Tapioka di Lampung 33
8. Nilai Total kgCOD per Ton Singkong............................................... 34
9. Potensi Biogas dan Emisi GRK dari Limbah Industri Tapioka di lampungSecara Konvensional.......................................................................... 35
10. Potensi Energi dari Produksi Singkong provinsi LampungTahun 2013-2017 ............................................................................... 37
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Diagram alir kerangka pemikiran penelitian ........................................ 6
2. Diagram alir proses pengolahan tepung tapioka di industri
tapioka skala kecil ................................................................................ 18
3. Diagram alir proses pengolahan tepung tapioka di industri
Tapioka skala besar .............................................................................. 19
3. Nilai COD air limbah dan onggok industri tapioka ............................ 30
4. Nilai pH air limbah tapioka di industri di industri tapioka................... 32
1
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Industri tapioka merupakan salah satu agroindustri yang berkembang pesat di
Provinsi Lampung. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik produksi singkong di
Provinsi Lampung pada tahun 2017 mencapai 5.451.312 ton (BPS Provinsi
Lampung, 2018). Produksi singkong yang sangat tinggi memicu berdirinya
industri-industri tapioka yang tersebar di Provinsi Lampung. Menurut
Kementerian Perindustrian (2019), jumlah industri tapioka di Provinsi Lampung
berjumlah 59 industri mulai dari skala kecil hingga besar. Banyaknya jumlah
industri yang ada secara langsung mempengaruhi jumlah limbah yang dapat
dihasilkan dari proses pengolahan singkong menjadi tapioka. Menurut Koswara
(2013), industri tapioka menghasilkan tapioka sebesar 25% dari singkong dan sisa
pengolahan singkong menjadi tapioka merupakan limbah sebesar 75% dari
singkong. Limbah yang dihasilkan yaitu limbah padat berupa kulit singkong,
onggok dan tanah, selebihnya industri tapioka menghasilkan air limbah.
Air limbah yang dihasilkan dari industri tapioka dapat mencapai 4-5 m3/ton
singkong dan memiliki nilai COD sebesar 18.000 – 25.000 mg/L (Isdiyanto dan
Hasanudin, 2010). Limbah tersebut apabila dikelola secara tepat akan dapat
mengurangi pencemaran lingkungan dan memiliki nilai ekonomis tinggi.
Pemanfaatan limbah industri tapioka sudah banyak dilakukan dalam mengurangi
2
pencemaran lingkungan, seperti pemanfaatan limbah padat (onggok) sebagai
bahan baku produksi etanol (Nugroho et al., 2015) serta pemanfaatan limbah cair
industri tapioka sebagai produksi biogas (Rahmatul et al., 2013).
Salah satu pemanfaatan limbah industri tapioka yaitu dengan membuat sumber
energi alternatif teknologi biogas. Biogas dapat mengurangi permasalahan
lingkungan, seperti polusi udara, polusi tanah, dan pemanasan global (Wahyuni,
2011). Menurut Suyitno (2010), biogas merupakan campuran gas yang dihasilkan
oleh bakteri metanogenetik, terjadi pada material-material yang dapat terurai
secara alami dalam kondisi anaerobik. Komposisinya terdiri dari gas metana
(CH4) 50-75%, gas karbondioksida (CO2) 25-45% dan gas-gas lainnya dalam
jumlah sedikit (Al Seadi et al., 2008).
Teknologi pengolahan biogas dari limbah industri tapioka merupakan salah satu
cara mengelola limbah organik. Industri tapioka dengan kapasitas produksi 140
ton tapioka per hari dapat menggunakan energi per ton tapioka sebesar 110,98
liter minyak solar atau 71,7 liter minyak solar ditambah 85,4 kg batubara
(Hasanudin, 2008). Potensi energi produksi biogas industri tapioka setara dengan
88,42 liter solar atau 126,74 kg batubara per ton tapioka. Potensi energi yang
dihasilkan industri tapioka hanya dapat memenuhi sekitar setengah kebutuhan
proses produksi atau pengeringan tapioka (Kementerian Negara Lingkungan
Hidup Republik Indonesia, 2009). Oleh sebab itu, untuk memenuhi kebutuhan
biogas dari industri tapioka diperlukan penambahan sumber bahan baku (feed
stock). Selain air limbah yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan
biogas, limbah padat atau onggok juga dapat digunakan sebagai bahan tambahan
pembuatan biogas.
3
Onggok merupakan limbah padat industri tapioka yang diperoleh setelah proses
ekstraksi. Proses ekstraksi singkong menghasilkan ampas tertinggal yaitu
onggok. Pada industri tapioka, untuk memproduksi tepung tapioka dengan bahan
baku satu ton singkong dihasilkan 250 kg tepung tapioka dan 114 kg onggok
(Sihombing, 2007). Pemanfaatan onggok juga dapat memberikan nilai tambah
pada limbah industri tapioka. Namun, untuk mengetahui seberapa besar potensi
energi yang dihasilkan dari penambahan air limbah dan onggok sebagai sumber
bahan pembuatan biogas dilakukan perhitungan terlebih dahulu. Biogas
digunakan sebagai penyedia energi sekaligus pengurangan emisi gas rumah kaca
(GRK). Emisi CO2 semakin menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun,
sehingga perlu adanya strategi dalam mengurangi emisinya. GRK memberikan
dampak pemanasan global yang berbeda-beda, untuk membandingkan dampak
yang ditimbulkan, digunakan Indeks Potensi Pemanasan Global (GWP-Global
Warming Potential).
Indeks GWP ditentukan dengan menggunakan CO2 sebagai acuan, yaitu dengan
cara membandingkan satu-satuan berat GRK tertentu dengan sejumlah CO2 yang
memberikan dampak pemanasan global yang sama. Menurut Janzen (2004), gas
CO2 yang dihasilkan dari perombakan bahan organik secara anaerobik dapat
dimanfaatkan kembali oleh tubuh-tumbuhan di darat dan gangga serta
fitoplankton di laut untuk melakukan fotosintesis yang disebut siklus karbon. Gas
CH4 hanya berkontribusi sekitar 15% namun gas ini 21 kali lebih berpotensi
menyebabkan efek rumah kaca dari gas CO2 (Badan Litbang Pertanian, 2011).
4
1.2. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Menghitung potensi biogas dan reduksi emisi gas rumah kaca dari limbah
industri tapioka di Provinsi Lampung.
2. Menghitung potensi energi yang dihasilkan dari produksi singkong di Provinsi
Lampung
1.3. Kerangka Pemikiran
Proses pengolahan singkong menjadi tapioka menghasilkan hasil samping berupa
limbah padat (onggok) dan air limbah yang berasal dari hasil pencucian dan
ekstraksi. Proses pengolahan tepung tapioka menghasilkan limbah padat sekitar
2/3 hingga 3/4 bagian dari bahan mentahnya, untuk memproduksi tepung tapioka
dengan bahan baku satu ton singkong, dihasilkan 250 kg tepung tapioka dan 114
kg onggok (Sihombing, 2007). Menurut Isdiyanto dan Hasanudin (2010), Air
limbah yang dihasilkan dari setiap 1 ton air limbah yang dihasilkan dari industri
tapioka dapat mencapai 4-5 m3 dan memiliki nilai COD sebesar 18.000 – 25.000
mg/L.
Saat ini, terdapat industri tapioka yang sudah memanfaatkan air limbah sebagai
sumber energi alternatif dan masih banyak industri tapioka yang belum
memanfaatkannya sehingga masih menggunakan bahan bakar minyak atau batu
bara untuk kebutuhan listrik maupun unit pengering. Menurut Hasanudin (2008),
industri tapioka dengan kapasitas kurang dari 140 ton tapioka per hari dapat
menggunakan energi per ton tapioka sebesar 110,98 liter minyak solar atau 71,7
5
liter minyak solar ditambah 85,4 kg batubara. Berdasarkan perhitungan, air
limbah yang dihasilkan dari industri tapioka dengan kapasitas 100 ton
tapioka/hari, akan menghasilkan potensi gas metana 7,39 ton CH4/hari sama
dengan energi sebesar 8.842 liter setara solar/hari atau sekitar 12,674 ton batu
bara/hari.
Potensi energi yang dapat dihasilkan dari limbah industri tapioka dapat memenuhi
sebagian kebutuhan energi yang dibutuhkan oleh industri tapioka. Peningkatan
produksi biogas dapat dilakukan dengan penambahan bahan baku kedalam
bioreaktor. Selain air limbah, limbah padat atau onggok juga dapat digunakan
sebagai bahan tambahan pembuatan biogas. Onggok merupakan ampas dari
ekstraksi yang masih mengandung pati sebesar 65,5 % (Djuma’ali, 2011).
Onggok yang akan dicampurkan sebelumnya akan dilakukan pengenceran terlebih
dahulu setelah itu ditambahkan dengan air limbah tapioka untuk bahan pembuatan
biogas. Sehingga nilai tambah dari limbah industri tapioka lebih tinggi. Bila
biogas dapat dimanfaatkan sebagai sumber bahan bakar, maka selain dapat
keuntungan berupa energi dapat juga mengurangi emisi gas rumah kaca (CH4)
Penelitian kali ini melakukan perhitungan mengenai potensi biogas dan potensi
energi serta reduksi emisi gas rumah kaca (GRK) yang dihasilkan dari produksi
singkong di Provinsi Lampung. Potensi emisi gas rumah kaca industri tapioka
disajikan pada diagram alir kerangka pemikiran Gambar 1.
6
Gambar 1. Diagram alir kerangka pemikiran penelitian
Limbah Padat(onggok)
Air Limbah
BIOREAKTOR
Industri Tapioka
Biogas
Potensi Energi dan Emisi Gas Rumah Kaca
Limbah Padat(onggok)
Air Limbah
BIOREAKTOR
Industri Tapioka
Biogas
Potensi Energi dan Emisi Gas Rumah Kaca
7
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Emisi Gas Rumah Kaca
Gas rumah kaca atau biasa disingkat dengan GRK merupakan kumpulan gas-gas
yang dianggap mampu meningkatkan potensi pemanasan global oleh para
ilmuwan di seluruh dunia. Cara kerja GRK adalah gas-gas tersebut seperti rumah
kaca yang berfungsi menahan panas untuk keluar dari sistem sehingga
mengakibatkan perubahan suhu Bumi (Sugiyono, 2006). Awalnya, sinar matahari
masuk ke Bumi sebagai radiasi cahaya matahari dalam bentuk gelombang pendek
dan berubah menjadi radiasi inframerah gelombang panjang. Gas – gas rumah
kaca mampu meneruskan 90 % radiasi matahari pada kisaran panjang gelombang
tampak.
Seluruh radiasi matahari yang masuk ke Bumi akan berubah menjadi radiasi
gelombang panjang dalam bentuk inframerah. Gas-gas rumah kaca dapat
dimasuki oleh radiasi surya namun tidak mengijinkan radiasi inframerah untuk
keluar. Sebagai akibatnya, suhu Bumi akan mengalami peningkatan karena
terakumulasinya energi radiasi di Bumi. Bumi akan menyerap sebagian energi
matahari dan memantulkan kembali sisanya. GRK pada troposfer Bumi mampu
memancarkan sebagian besar radiasi matahari namun juga mampu menahan
radiasi inframerah yang terkandung dalam pantulan tersebut. Akan tetapi GRK
menyelimuti Bumi dengan kadar yang berlebihan, pantulan radiasi inframerah
8
akan terperangkap di atmosfer sehingga suhu bumi meningkat lebih panas
daripada suhu normal dalam jangka waktu yang lama (Cengel, 1997).
IPCC (Intergovermental Panel of Climate Change) melaporkan bahwa Bumi
mengalami kenaikan suhu sebesar 0,6oC pada abad ke-20 dibandingkan dengan
suhu pada masa awal industrialisasi tahun 1750. Suhu bumi diperkirakan akan
terus meningkat hingga 2oC pada tahun 2100. Rata-rata peningkatan sebesar 0,1o
C – 0,2 o C per dekade selama 5 dekade kedepan (IPCC, 1997). Gas-gas yang
tergolong sebagai GRK adalah karbondioksida (CO2), metana (CH4),
nitrogenoksida (N2O), perfluorokarbon (PFC), hidroflorokarbon (HFC) dan
sulfurheksaklorida (SF6), keenam GRK tersebut adalah gas-gas berdasarkan
Protolo Kyoto yang dianggap bertanggung jawab dalam peningkatan pemanasan
global. Gas-gas tersebut memiliki potensi pemanasan global yang diperhitungkan
dalam potensi CO2 atau dikenal sebagai Global Warming Potential (GWP). GWP
merupakan besaran efek radioaktif GRK apabila dibandingkan dengan CO2
(Suarsana dan Wahyuni, 2011). Jenis GRK berdasarkan Protokol Kyoto disajikan
pada Tabel 1.
Tabel 1. Enam Jenis Gas Rumah Kaca Berdasarkan Protokol Kyoto
No Gas Rumah Kaca (GRK) Potensi Pemanasan Global (GWP)
1 Karbondioksida (CO2) 1
2 Metana (CH4) 21
3 Nitrogenoksida (N2O) 310
4 Hidroflorokarbon (HFC) 140-11.700
5 Perflorokarbon (PFC) 6.500-9.200
6 Sulfurheksaklorida (SF6) 23.900
Sumber : Handayani (2008)
9
Kontribusi gas rumah kaca terhadap pemanasan global tergantung dari jenis
gasnya. Setiap gas rumah kaca mempunyai potensi pemanasan global (Global
warming Potential – GWP) yang diukur secara relatif berdasarkan emisi CO2
dengan nilai 1 (satu). Semakin besar nilai GWP maka akan semakin bersifat
merusak (Sugiyono, 2006). CO2 merupakan gas rumah kaca yang terpenting
karena kontribusinya yang paling tinggi terhadap efek rumah kaca, yaitu sebesar
55%. Setiap gas rumah kaca memiliki GWP berbeda-beda dan dibandingkan
dengan besarnya GWP CO2, CH4 memiliki 20-30 kali lebih tinggi dibandingkan
gas CO2 (Porteous, 1998), sedangkan menurut Venterea (2005), CH4 memiliki
GWP 23 kali lebih tinggi dibandingkan gas CO2 dengan demikian gas-gas rumah
kaca termasuk gas yang menimbulkan efek rumah kaca yang menyebabkan
terjadinya pemanasan global.
2.2. Produksi Biogas dari Air Limbah Tapioka
Proses produksi biogas dari air limbah tapioka dilakukan melalui proses
penguraian secara anaerobik. Proses penguraian senyawa-senyawa organik yang
terkandung dalam air limbah oleh mikroorganisme pada kondisi anaerobik akan
menghasilkan gas metana (CH4) dan karbon dioksida (CO2). Air limbah yang
memiliki kandungan bahan-bahan organik dengan konsentrasi tinggi merupakan
limbah yang sesuai untuk diproses dalam sistem fermentasi anaerobik. Menurut
Haryanto (2014), komposisi biogas akan bervariasi bergantung pada substrat
(bahan baku) yang diolah. Namun, secara umum komposisi biogas dapat
disajikan pada Tabel 2.
10
Tabel 2. Komposisi Biogas
No Komposisi Rumus Kimia Jumlah (%)
1 Methan CH4 54-742 Karbondioksida CO2 27-753 Nitrogen N2 3-54 Hidrogen H2 0-15 Karbonmonoksida CO 0,16 Oksigen O2 0,17 Hidrogen sulfide H2S Sedikit
Sumber : Sukmana dan Anny (2011).
Menurut Grady dan Lim (1980) dalam Hasanudin (2012), tahap awal fermentasi
pembentukan gas metan akan terjadi perombakan senyawa organik kompleks
berupa polimer seperti lipida, polisakarida dan protein menjadi senyawa yang
lebih sederhana berupa monomernya yaitu asam lemak, gliserin, mono dan
disakarida serta asam amino yang akan dihidrolisis oleh bakteri hidrolitik di
dalam air limbah dengan melibatkan enzim ekstra seluler seperti sellulase,
protease, dan lipase. Tahap kedua melibatkan bakteri asidogenik untuk
mendegradasi komponen yang telah dihasilkan pada tahap pertama menjadi hasil
antara seperti asam lemak volatil, alkohol, asam laktat, senyawa mineral seperti
karbondioksida (CO2), hidrogen (H2), amoniak (NH3) dan hidrogen sulfida (H2S).
Tahap ketiga merupakan metano genesis yang melibatkan bakteri perombak hasil
antara menjadi produk akhir berupa metana dan karbondioksida. Bakteri
metanogenik pada dasarnya tidak dapat merombak alkohol selain methanol dan
asam organik selain asam asetat dan asam format sehingga diperlukan bakteri
asidogenik sebagai penghasil hidrogen untuk membentuk metanol dan asam asetat
dari alkohol dan asam organik lain. Metana dihasilkan dari asetat atau dari
11
reduksi karbondioksida oleh bakteri asetotropik dan hidrogenotropik dengan
menggunakan hidrogen.
Biogas sendiri mempunyai ciri tidak berbau dan berwarna, apabila dibakar akan
menghasilkan nyala api biru yang cerah seperti gas LPG (Wahyuni, 2011).
Biogas terdiri dari campuran metana (54-74%), CO2 (27-75%) dan sejumlah kecil
H2 ,N2, H2S. Biogas digunakan sebagai energi alternatif untuk menghasilkan
energi listrik, setiap satu m3 metana setara dengan 10 kWh. Nilai ini setara dengan
0,61 liter fuel oil, sebagai pembangkit listrik, energi yang dihasilkan oleh biogas
setara dengan 60-100 watt penerangan selama 6 jam (Hambali, 2007).
2.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Biogas
Pada tahap proses pembentukan biogas terdapat beberapa faktor yang perlu
diperhatikan sebagai kendali kerberhasilan produksi biogas. Beberapa faktor
tersebut diantaranya substrat bahan organik, total solid (TS), derajat keasaman
(pH), nisbah C/N, suhu, zat toksik, pengedukan, starter, dan waktu retensi.
2.3.1. Jenis Substrat
Jenis substrat yang digunakan sebagai bahan baku merupakan faktor yang sangat
penting. Hal ini, sangat berpengaruh terhadap lamanya waktu dekomposisi bahan
sampai terbentuknya gas metan. Bahan organik yang mengandung selulosa dan
lignin lebih lama terdekomposisi dibanding dengan limbah kotoran ternak.
Sehingga untuk menghasilkan proses yang optimal, bahan yang digunakan
sebaiknya merupakan campuran limbah pertanian dengan kotoran ternak
(Wahyuni, 2011).
12
2.3.2. Temperatur
Selama proses fermentasi untuk menghasilkan biogas dalam digester anaerob
diperlukan pengendalian suhu atau temperatur yang tepat, karena temperatur
berperan penting dalam mengatur jalannya reaksi metabolisme bagi bakteri
khususnya bakteri metanogenik. Kisaran suhu yang baik untuk perkembangan
bakteri metanogenik yaitu pada kisaran mesofilik, antara 25-30°C (Wahyuni,
2011). Sedangkan menurut Tuti (2006), kondisi termofilik pembentukan biogas
ideal pada kisaran 50 - 55°C. Temperatur yang melebihi batas akan menyebabkan
rusaknya protein dan komponen sel esensial lainnya sehingga sel akan mati.
Demikian pula bila temperatur dibawah batas akan menyebabkan transportasi
nutrisi akan terhambat dan proses kehidupan sel akan terhenti, dengan demikian
temperatur berpengaruh terhadap proses perombakan bahan organik dan produksi
gas. Kondisi temperatur pada digester tidak hanya berpengaruh terhadap
tingginya produksi biogas namun berpengaruh juga terhadap kecepatan waktu
untuk menghasilkan produksi pada nilai optimum (Darmanto et al., 2012).
2.3.3. pH
Derajat keasaman (pH) menunjukan sifat asam atau basa pada suatu bahan.
Faktor pH sangat berperan pada dekomposisi anaerob karena apabila pH tidak
sesuai, mikroba tidak dapat tumbuh dengan maksimum dan bahkan dapat
menyebabkan kematian. Pada akhirnya kondisi ini dapat menghambat perolehan
gas metana. Derajat keasaman yang optimum bagi kehidupan mikroorganisme
adalah 6,8-7,8 (Simamora et al., 2006). Menurut Wahyuni (2011), bakteri
13
metanogenik berkembang biak pada pH 6,6-7. Bakteri metanogenik menghendaki
pH asam, akan tetapi tidak lebih dari 6,2.
2.3.4. Rasio C/N
Nisbah C/N merupakan perbandingan antara karbon dan nitrogen pada suatu
bahan organik. Karbon dan nitrogen merupakan dua unsur utama yang
membentuk substrat bahan organik, keduanya diperlukan sebagai sumber energi
mikroorganisme dalam melakukan perombakan. Perubahan senyawa organik
menjadi gas metana dan gas karbondioksida memerlukan persyaratan rasio C/N
antara 20-30. Nilai C/N yang tinggi akan mengakibatkan kinerja mikroba menjadi
rendah sehingga produksi gas metan juga akan rendah. Sebaliknya jika rasio C/N
rendah, nitrogen akan dibebaskan dan berakumulasi dalam bentuk amonia (NH4)
yang dapat meningkatkan pH, jika pH lebih tinggi dari 8,5 akan menunjukkan
pengaruh negatif pada populasi bakteri metanogen (Tuti, 2006). Sedangkan rasio
C/N yang ideal untuk isian digester adalah 25-30 (Wahyuni, 2011).
2.3.5. Pengadukan
Pengadukan dan pembuatan biogas perlu dilakukan, hal ini bertujuan untuk
menghomogenkan bahan baku agar mempercepat kontak substrat dengan
mokroorganisme pada pembuatan biogas, seperti kotoran ternak, limbah
pertanian, dan bahan-bahan lainnya. Pada saat pencampuran dilakukan, bahan-
bahan tersebut tidak tercampur dengan baik dan merata. Pengadukan dapat
dilakukan sebelum dimasukan ke dalam digester atau ketika bahan sudah berada
di dalam digester (Wahyuni, 2011). Pencampuran dapat dilakukan melalui
metode mekanik atau resirkulasi gas. Metode ini meliputi pompa eksternal,
14
injeksi gas atau resirkulasi dari lantai atau atap digester, baling-baling atau turbin,
dan konsep tabung. mixer mekanik lebih efektif daripada resirkulasi gas, tetapi
mereka sering menjadi tersumbat (Gerardi, 2003).
2.4. Potensi Biogas Sebagai Energi Alternatif
Biogas adalah gas metana yang dihasilkan dari proses fermentasi bahan organik
secara anaerobik menggunakan bantuan mikroorganisme. Gas metana (CH4)
merupakan hidrokarbon paling sederhana dengan wujud gas, tidak berbau,
berwarna pada suhu ruang dengan tekanan standar, tidak beracun dan sangat
mudah terbakar. Gas metana adalah gugus alkana yang dapat mengalami reaksi
pembakaran sempurna dengan oksigen menghasilkan gas karbondioksida dan uap
air dengan reaksi: CH4(g) + 2O2(g) CO2(g) + 2H2O(g). Biogas dapat
digunakan sebagai energi alternatif pengganti bahan bakar fossil seperti minyak
tanah dan solar, kayu bakar, batu bara, dan gas alam. Biogas dapat dikompresi
dengan tekanan tinggi untuk dirubah menjadi cair seperti gas alam. Penggunaan
biogas sebagai energi dapat mengurangi biaya bahan bakar industri. Selain itu
juga dapat mengurangi biaya pengolahan limbah industri. Biogas memiliki
kesetaraan energi dengan sumber energi lain adalah sebagai berikut:
Volume Biogas Kesetaran
1 m3 0,46 Kg gas LPG
0,62 Liter minyak tanah
3,5 Kg kayu bakar
0,62 Liter minyak solar
Sumber: Wahyuni (2011)
15
Gas metana terdiri dari satu atom karbon (C) dan empat atom hidrogen (H) yang
berikatan dan mudah terbakar. Satu mol metana membutuhkan dua mol oksigen
untuk mengoksidasi metana menjadi satu mol karbondioksida (CO2) dan dua mol
air (H2O). Setiap stabilisasi 1 pound COD dapat menghasilkan 5,2 ft3 metana atau
0,35 m3 metana per kilogram COD (Grady and Lim, 1980 dalam Haryati, 2006).
Sehingga air limbah tapioka memiliki potensi menghasilkan lebih dari 35 m3 gas
metana atau 58 m3 biogas per ton singkong dengan COD rata-rata 25.000 mg/L,
kandungan gas metana 60% dan air limbah sebesar 5 m3/ton singkong.
2.5. Produksi Singkong di Provinsi Lampung
Singkong merupakan komoditi pertanian yang utama di Provinsi Lampung.
Produksi singkong dalam jumlah ton di Provinsi Lampung tahun 2013-2017
disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Produksi Singkong Provinsi Lampung Tahun 2013-2017
Tahun Luas Panen (Ha) Singkong (ton)
2013 318.107 8.329.201
2014 304.468 8.032.016
2015 279.337 7.387.084
2016 251.079 6.572.090
2017 208.662 5.451.312Sumber : BPS Provinsi Lampung (2018)
Industri tapioka merupakan salah satu agroindustri yang berkembang pesat di
Provinsi Lampung. Industri ini berpotensi tinggi untuk terus dikembangkan di
Provinsi Lampung. Berkembang pesatnya industri tapioka, membawa dampak
positif dan negatif bagi kehidupan masyarakat. Dampak positif yang timbul
16
diantaranya ialah meningkatnya perekonomian petani singkong karena secara
tetap hasil panen mereka sudah dapat disalurkan kepada pabrik yang
memproduksi tapioka, sekaligus juga peningkatan penyerapan tenaga kerja di
wilayah pabrik tersebut. Sedangkan dampak negatif yang dapat muncul
diantaranya limbah hasil produksi tapioka yang berpotensi mengancam
lingkungan, sehingga pabrik dituntut untuk melakukan pengelolaan limbah
melalui pendekatan teknologi pengolahan limbah.
2.6. Proses Pengolahan Tapioka
Proses produksi tepung tapioka merupakan suatu mata rantai yang dimulai dari
proses penerimaan bahan baku, pembersihan, pemotongan, pemarutan,
penyaringan, pemurnian, pengeringan, pengayakan, pengemasan, dan
penggudangan. Singkong pertama-tama dilakukan pengupasan kulit dan
pencucian yang bertujuan untuk memisahkan kotoran, kerikil, pasir, dan kulit
singkong. Selama pengupasan, sortasi juga dilakukan untuk memilih singkong
berkualitas tinggi dari singkong lainnya. Kemudian akan dilakukan tahap
pengecilan ukuran dan pemarutan yang bertujuan untuk memperkecil ukuran
dari singkong serta membantu untuk menghancurkan dinding sel singkong agar
diperoleh hasil yang maksimal (Priyati, 2005).
Tahap selanjutnya pengekstraksian yang bertujuan untuk memisahkan antara
cairan yang mengandung pati dengan ampas. Pada tahap ini didapatkan ampas
singkong yang disebut onggok dengan jumlah yang relatif banyak. Selanjutnya
tahap pemurnian yang bertujuan untuk memperoleh suspensi pati yang bebas
dari komponen-komponen non pati seperti protein, lemak, serat, asam-asam
17
terlarut, dan kotoran-kotoran lain yang tersisa. Pada tahap pemurnian ini
dihasilkan suspensi pati dengan kemurnian berkisar antara 70-80% kandungan
patinya. Tingginya kemurnian suspensi pati yang dihasilkan maka akan
semakin baik pula mutu tapioka yang dihasilkan. Hasil pemurnian ini akan
ditampung dalam tangki yang kemudian akan dipompakan untuk diproses
ketahapan selanjutnya yaitu penurunan kadar air. Tahapan ini bertujuan untuk
memisahkan pati dengan air pada suspensi pati sehingga dihasilkan sagu basah
dengan kadar air 30-35%.
Tahapan selanjutnya pengeringan yang bertujuan untuk menurunkan kadar air
tapioka basah menjadi tepung tapioka yang memiliki kadar air sekitar 12,5%
kemudian diteruskan dengan dilakukannya pengayakan. Produk yang
dihasilkan dari proses pengayakan berupa tepung halus yang kemudian
dilakukan tahapan akhir proses yaitu pengemasan dengan menggunakan karung
yang terbuat dari nilon. Pada proses pengolahan tepung tapioka dibutuhkan air
bersih sekitar 5 m3/ton singkong. Air bersih tersebut digunakan pada semua
proses produksi tepung tapioka baik pada proses pemarutan, ekstraksi,
pemisahan, dan penurunan kadar air. Selain untuk kelancaran proses produksi
air bersih ini juga digunakan sebagai pembersihan alat dan lantai pabrik,
sehingga dapat dikatakan limbah cair yang dihasilkan berasal dari proses
pencucian, pembersihan alat produksi, lantai pabrik, serta dari proses
pengolahan tepung tapioka (Priyati, 2005). Proses pengolahan tepung tapioka
di industri pada umumnya disajikan pada Gambar 2.
18
Gambar 2. Diagram Alir Proses Pengolahan TepungTapioka di Industri Tapioka Skala Kecil
Sumber : Kementerian LH (2009)
Pengayakan
Pengupasan kulit
Pencucian umbi
Pemarutan
Pencucian
Penyaringan + air
Endapan pati
Penjemuran
Penggilingan
Tepung Tapioka
Kulit + Kotoran
Air Buangan
Air Buangan
Air Buangan
Onggok
Air
Air
Singkong
19
Gambar 3. Diagram Alir Proses Pengolahan TepungTapioka di Industri Tapioka Skala Besar
Sumber : Kementerian LH (2009)
20
2.7. Limbah Industri Tapioka
2.7.1. Limbah Padat
Ampas Onggok merupakan limbah padat yang dihasilkan pada industri tapioka.
Onggok memiliki kandungan utama yaitu pati dan serat kasar. Onggok tidak ikut
terekstrak pada proses produksi tapioka. Menurut Djuma’ali (2011), onggok
memiliki komposisi pati 65,5%; selulosa 8,1%. Kandungan pati pada onggok
tidak ikut terembil pada proses ekstraksi. Kandungan pati yang tinggi disebabkan
karena pati terjebak dalam matriks polimer kompleks. Komposisi kimia onggok
disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Komposisi Kimia Onggok
Komposisi Kimia Jumlah presentase (%)Air -Protein 3,1Lemak 0,2Abu 5,7Serat Kasar 13,1Pati 65,5
Sumber: Djuma’ali (2011).
Onggok mengandung bahan organik yang sangat tinggi. Onggok memiliki
kandungan utama pati dan serat kasar. Kandungan tertinggi onggok merupakan
pati dengan bentuk granula-granula. Pati pada onggok terdiri dari amilosa dan
amilopektin. Pati mengandung amilosa berkisar 15% - 30% amilopektin berkisar
antara 70% - 85% dan serat kasar onggok terdiri dari selulosa dan hemiselulosa
(Arnata, 2015).
21
2.7.2. Air Limbah Tapioka
Singkong diolah menjadi tapioka menghasilkan air limbah yang berasal dari
beberapa sumber antara lain bersala dari pencucian singkong, air buangan,
pencucian alat dan separator. Menurut Hasanudin (2006) dalam Adnan (2009),
berdasarkan neraca massa proses produksi tapioka terlihat bahwa air limbah yang
dihasilkan dalam jumlah yang relatif besar yaitu ±20 m3/ton singkong yang terdiri
dari air proses dan air dalam bahan baku singkong. Baku mutu limbah cair
industri tapioka disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Baku Mutu Limbah Cair Industri Tapioka
Sumber : Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No 5 Tahun 2014
a. Padatan tersuspensi
Padatan tersuspensi (total suspended solid/TSS) dalam limbah cair tapioka, yaitu
berkisar 1.500-5.000 mg/l. Padatan tersuspensi ini merupakan suspensi pati yang
terendapkan. Adapun tingginya kandungan padatan tersuspensi pada limbah cair
tapioka menandakan bahwa proses pengendapan belum sempurna. Nilai padatan
tersuspensi berkaitan dengan kandungan BOD dan COD, semakin tinggi nilai TSS
maka nilai COD dan BOD limbah cair juga akan semakin tinggi.
Parameter Kadar paling tinggi(mg/L)
Beban PencemaranPaling Tinggi (kg/ton)
BOD5 150 4,5COD 300 9
TSS 100 3
Sianida (CN) 0,3 0,009
pH 6,9 – 9,0
Debit Limbah Maksimum 30 m3 per ton produk tapioka
22
b. Derajat Keasaman (pH)
Derajat keasaman merupakan suatu nilai yang menunjukkan tingkat keasaman
atau alkinitas dari air limbah tapioka. Penurunan pH menandakan bahwa di dalam
limbah cair tapioka ini sudah terjadi aktifitas jasad renik yang mengubah bahan
organik yang mudah terurai menjadi asam-asam. Air limbah tapioka yag masih
segar memiliki nilai pH berkisar 6-6,5; nilai pH tersebut akan turun menjadi
sekitar setelah beberapa hari (Prayitno, 2008).
c. COD (Chemical Oxygen Demand)
COD (chemical oxygen demand) merupakan banyaknya oksigen (mg) yang
dibutuhkan oksidator untuk mengoksidasi bagan/zat organik dan anorganik dalam
satu liter air limbah (Manik, 2016). COD menggambarkan jumlah total oksigen
yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan organik secara kimiawi, baik yang
dapat didegradasi secara biologis (biodegradable) maupun yang sukar didegradasi
secara biologis (non biodegradable) menjadi CO2 dan H2O. Jika kandungan
senyawa organik dan anorganik cukup besar, maka oksigen yang terlarut dalam
air akan mencapai nol, sehingga tidak memungkinkan hidupnya biota air. Adapun
limbah cair industri tapioka memiliki kisaran COD sebesar 7.000-30.000 mg/l
(Prayitno, 2008).
d. BOD (Biological Oxygen Demand)
BOD merupakan banyaknya oksigen (mg) yang diperlukan oleh bakteri untuk
menguraikan atau mengoksidasi bahan organik dalam satu liter air limbah selama
pengeraman (5 × 24 jam pada suhu 20oC). Sehingga dapat dijelaskan bahwa BOD
23
merupakan jumlah oksigen terlarut yang dibutuhkan oleh mikroba untuk
memecah atau mengoksidasi bahan-bahan pencemar yang terdapat di dalam suatu
perairan (Manik, 2016). Kandungan BOD dalam limbah cair tapioka berkisar
antara 3.000-6.000 mg/l. Dalam limbah cair tapioka juga terdapat kandungan
sianida yang bersifat toksik. Sianida ini larut dalam air dan akan mudah menguap
apabila terdapat aerasi. Kandungan sianida bervariasi tergantung pada jenis
singkong yang digunakan (Prayitno, 2008).
e. Warna
Warna air limbah yang berasal dari proses pencucian umumnya putih kecoklatan
disertai dengan suspensi yang berasal dari kotoran dan kulit singkong. Sedangkan
air limbah yang berasal dari proses pemisahan pati berwarna putih kekuningan.
Air limbah yang masih baru biasanya berbau khas seperti singkong, namun
semakin lama akan semakin menyengat karena proses pembusukan ( Prayitno,
2008).
24
III. BAHAN DAN METODE
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di salah satu industri tapioka di Provinsi Lampung dan
Laboratorium Pengelolaan Limbah Agroindustri Jurusan Teknologi Hasil
Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung pada bulan September sampai
Desember 2018.
3.2. Alat dan Bahan
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah reaktor unit DRB200,
HACH spektrofotometer DR4000, flowmeter, pH meter, stopwatch, refrigerator,
sentrifuge AS-ON.E dan beberapa alat gelas lainnya. Bahan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah onggok, air limbah industri tapioka dan reagent COD.
3.3. Metode Penelitian
Metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah metode survei dan pengukuran
langsung di industri tapioka. Sampel yang digunakan berupa air limbah yang
diambil langsung dari industri tapioka di provinsi Lampung. Pengamatan yang
dilakukan terhadap sampel yaitu nilai Chemical Oxygen Demand (COD) dan pH.
Proses pengamatan dan pengambilan sampel di lapangan dilakukan setiap jam
selama 6 jam/ hari untuk 3 hari, kemudian sampel dilakukan analisis di
25
laboratorium Pengelolaan Limbah Agroindustri. Data dari nilai COD onggok dan
COD air limbah digunakan untuk menghitung potensi energi dan potensi reduksi
emisi GRK yang ditentukan berdasarkan faktor-faktor emisi yang sudah
disepakati secara global (IPCC, 2006). Data dari hasil pengamatan disajikan
dalam bentuk diagram dan tabel kemudian dibahas secara deskriptif.
3.4. Pelaksanaan Penelitian
3.4.1. Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan air limbah tapioka, air limbah tapioka yang diambil
yaitu outlet saluran limbah yang berada dekat dengan flow meter, ditentukan
karakterisasinya dengan menganalisis nilai COD dan pH. Pengambilan sampel
menggunakan botol sampel berukuran 500 mL. Jumlah air yang digunakan
selama proses produksi berlangsung pada flow meter juga dilakukan pencatatan.
Data hasil pengamatan yang diperoleh ditampilkan dalam bentuk tabel dan
diagram, kemudian digunakan untuk mengitung potensi energi dan reduksi emisi
GRK. Proses pengambilan sampel dan pengukuran air limbah industri tapioka
yang tercatat pada flow meter disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Parameter Pengukuran Limbah Industri Tapioka.
No Parameter Metode Keterangan
1 Debit air limbah Pencatatan air limbah padaflowmeter
Pengukuranselama 6 jam
2 Produksi Onggok Pengukuran bobot denganmenggunakan jembatan timbang
Pengukuranselama 6 jam
3. Produksi Tapioka Pencatatan logbook produksi Pengukuranselama 6 jam
26
3.4.2. Pengamatan
Pengamatan yang dilakukan adalah pengukuran COD dan pH dari air limbah
industri tapioka.
Pengukuran COD Air Limbah
Total kebutuhan oksigen untuk mengoksidasi bahan organik yang ada di dalam air
limbah secara kimia dapat diketahui dengan melakukan pengukuran COD. Proses
yang dilakukan yaitu dengan mengambil sampel limbah (diaduk terlebih dahulu)
sebanyak 0,2 mL menggunakan mikropipet. Sampel tersebut dicampurkan
dengan reagen COD di dalam vial, lalu dipanaskan dengan menggunakan reactor
unit DBR 200 dengan suhu 150oC selama 2 jam. Setelah dipanaskan, vial
dikeluarkan dan dibiarkan hingga dingin (suhu ruang) kemudian dilakukan
pengukuran nilai COD dengan HACH Spektrofotometri DR4000 (HACH
Company, 2004).
Pengukuran COD Onggok
Proses pengukuran COD onggok dilakukan yaitu dengan cara pengenceran.
Sampel limbah onggok diambil sebesar 90 gram dan ditambahkan 1 liter aquades.
Sampel diaduk hingga tercampur. Sampel tersebut dicampurkan dengan reagent
COD di dalam vial, lalu dipanaskan dengan menggunakan reactor unit DRB 200
dengan suhu 150oC selama 2 jam. Setelah dipanaskan, vial dikeluarkan dan
dibiarkan hingga dingin (suhu ruang) kemudian dilakukan pengukuran nilai COD
dengan HACH Spektrofotometri DR4000 (HACH Company, 2004).
27
Pengukuran pH
Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan pH meter. Sampel diletakkan
dalam erlenmeyer dan pH meter kemudian dipersiapkan. Kemudian pH meter
dicelupkan ke dalam sampel yang berada di erlenmeyer lalu diaduk-aduk. Angka
pada layar pengukuran akan terus berubah, pengukuran pH dengan menggunakan
pH meter ini selesai apabila angka pada layar tidak lagi berubah (DKK-TOA
Corporation, 2004).
3.4.3. Perhitungan Potensi Biogas, Emisi Gas Rumah Kaca dan Energi
Pengolahan air limbah industri tapioka dengan penambahan onggok dapat
menghasilkan gas metana (CH4) dan memiliki potensi cukup besar sebagai gas
rumah kaca. Untuk mengetahui karakteristiknya, dilakukan analisis terhadap nilai
COD karena parameter ini berhubungan langsung dengan pembentukan gas CH4.
Berikut ini merupakan beberapa rumus perhitungan yang akan digunakan dalam
penelitian.
3.4.3.1. Perhitungan Massa COD ton/singkong
Kg COD onggok/ton
Keterangan :Kg COD/ton onggok = Nilai kgCOD/ton onggokBerat Sampel = Berat sampel Onggok (gram/L)CODo = COD onggok (mg/L)
Kg COD/ton onggok = ( 1.000.000 x CODo )/ 1.000.000Berat Sampel
28
Kg COD tapioka/ton
Keterangan :Kg COD/ton tapioka = Nilai kg COD/ton tapiokaLaju Alir = Jumlah air limbah (m3/hari)CODA = Nilai COD air limbah (mg/L)P = Jumlah produksi tapioka/hari
3.4.3.2. Perhitungan Potensi Energi Industri Tapioka
Potensi Gas Metana
Keterangan :VCH4 = Jumlah potensi gas metana (m3/ton singkong)MCOD = Massa COD (kgCOD/ton singkong)90 % = COD removal*) 1 kg COD = 0,35 m3 CH4 (Tchobanoglous et al., 2003)**) 1 mol gas CH4 dalam keadaan STP yaitu setara dengan 22,4 L
Potensi Biogas
Keterangan :Biogas = Jumlah potensi biogas (m3/ton singkong)VCH4 = Jumlah potensi gas metana (m3/ton singkong)% metana = Konsentrasi gas metan dalam biogasSumber : (Tchobanoglous et al., 2003)
Potensi Reduksi Emisi CO2e dari GWPCH4
Biogas = VCH4 / % metana
VCH4 = MCOD x 90% x 0,35 m3
Kg COD/ton tapioka = CODA x Laju Alir / P / 1000
Potensi Reduksi Emisi = VCH4 x 0,25 kg/CODr x 210,35 m3/CODr
29
Keterangan :Potensi Reduksi Emisi = Potensi Reduksi Emisi CO2e dari CH4
(kgCO2e/singkpong)VCH4 = Jumlah potensi dari gas metana (m3/ton singkong)GWPCH4 = Indeks pemanasan global : 21 (EPA,2015)Sumber : (IPCC,2006)
Potensi Energi
Keterangan :1 MJ = 1.000 KJ1 KJ = 1/3600 KwhVCH4 = Jumlah potensi dari gas metana (m3/ton singkong)LHvCH4 = 35,9 MJ/mSumber : (Nakamura, 2006)
Potensi Energi dari Limbah Industri Tapioka di Lampung
Keterangan :Produksi Singkong di Lampung = ton/tahun
Potensi Listrik
Keterangan :
Potensi Energi = Potensi energi dari limbah industri tapioka di LampungEffisiensi Listrik = 35 %
Potensi Energi = VCH4 x LHvCH4
Potensi Listrik = Potensi Energi x Effisiensi Listrik
Potensi Energi = Produksi singkong x potensi energi
30
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Simpulan
Simpulan yang diperoleh pada penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Industri Tapioka di Lampung berpotensi menghasilkan biogas sebesar 43,91
m3/ton Singkong dan mereduksi emisi GRK sebesar 428,10 kgCO2e/ton
singkong.
2. Potensi energi yang dihasilkan dari indsutri tapioka di Lampung mencapai
1.086.031.462 kWh/tahun atau setara dengan energi listrik sebesar
380.111.011 kWh/tahun.
5.2. Saran
Limbah industri tapioka di Lampung memiliki potensi energi dan emisi gas rumah
kaca yang cukup besar sehingga perlu dilakukan penanggulangan untuk mengurangi
dampak pemanasan global
41
DAFTAR PUSTAKA
Adnan, M.G. 2009. Pedoman Pengolahan Limbah Industri Pengolahan Tapioka.Program Agroindustry to Zerowaste. Kementerian Negara LingkunganHidup 2009. Jakarta. Hlm 16-31.
Al Seadi, T., Rutz, D., Prassl, H., Kottner, M., Finsterwalder, T., Volk, S.,danJanssen, R. 2008. Biogas Handbook. University of Southern denmark,Esbjerg. 126 hlm
Arnata, I. W. 2015. Pengembangan Alternatif Teknologi Bioproses PembuatanBioetanol dari Ubikayu Menggunakan Trichoderma viride, Aspergillusniger dan Saccharomyces cerevisae. Jurnal Agritech Vol. 35 No. 4.
Astari,W. 2016. Studi Potensi Reduksi Emisi Gas Rumah Kaca Dari IndustriKelapa Sawit Melalui Pengelolaan Limbah Terintegrasi. Skripsi.Universitas Lampung.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2011. Teknologi Mitigasi GasRumah Kaca (GRK) dari lahan Sawah. Sinar Tani Agroinovasi Edisi 6-12April 2011.http://www.litbang.deptan.go.id/download/one/100/file/Teknologi-Mitigasi-Gas-Rum.pdf. Diakses pada tanggal 10 desember 2018.
Badan Pusat Statistik Provinsi Lampung. 2018. Lampung dalam angka 2017.Badan Pusat Statistik Provinsi Lampung. http://www/bps.go.id.Diakses pada tanggal 24 Febuari 2019.
Cengel, Y. A. 1997. Heat Transfer : A Practical Aproach. New York : Mc. GrawHill. Universitas of Nevada.
Darmanto, A., Sudjito, S dan Denny, W. 2012. Pengaruh Kondisi TemperaturMeshopolic (35o C) dan Thermophilic (55o C) Anaerob Digester KotoranKuda Terhadap Produksi Biogas. Jurnal Rekayasa Mesin 3(2) : 317-326.
42
Djuma’ali. 2011. Suatu Kajian Industri Tepung Tapioka Rakyat (ITTARA). JurnalSains dan Teknologi Indonesia. Badan Pengkajian dan PenerapanTeknologi Bagian Hubungan Masyarakat, Vol. 9 No.1 hal 11.
Gerardi, M. H. 2003. The Microbiology of Anaerobic Digesters. John Welley &Sons, Inc. Canada. 177 hlm
Grady Jr.C.P.L., and Lim, H.C. 1980. Biological Wastewater Treatment Theoryand Applications. Marcel Dekker Inc. New York.
Hambali, E., Mujdalipah, S., Tambunan, A.H., Pattiwiri, A.W dan Hendroko, R.2007. Teknologi Bioenergi. Agromedia Pustaka. Jakarta.
Haryanti, T. 2006. Biogas Limbah Peternakan yang Menjadi Sumber EnergiAlternatif. Wartazoa Vol. 16 No. 3.
Haryanto, A. 2014. Energi Terbarukan. Innosain. Yogyakarta. 468 hlm
Hasanudin, U. 2006. Present status and Possibility of Biomass Effective Used inIndonesia. Proceeding. Seminar on Sustainable Sosiety Achievment byBiomass Effective Used. EBARA Hatakeyana Memorial Fund. Jakarta
Hasanudin, U. 2008. The Biomass Utilization from Agroindustries in IndonesiaBiomass Sustainable Utilization Working Groups Discussion. November28-29 2008. Jakarta.
Hasanudin, U. 2011. Model of Zero Waste System on Small Scale TapiocaFactory. Proceeding of Workshop on Environmental Protection andRegional development. Yokohama National University, Japan.
Hasanudin, U. 2012. Potensi Penyediaan Energi dari Limbah Industri SawitTepung Tapioka, Peternakan, FGD Peluang dan Tantangan PemanfaatanBiogas untuk Pemenuhan Kebutuhan Energi Sendiri di Industri, Oktober8th 2012. Ministry of Energy and Mineral resource Republic of Indonesia,Jakarta.
HACH Company. 2004. DR/4000 Spectrophotometer Models 48000 and usermanual 08/04 3ed. HACH Company World Headquarters. Corolado. 115page.
IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change). 1997. Stabilization ofAtmosphere Greenhouse Gases: Physical, Biological and Socio-EconomicImplication. Japan.
43
IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change). 2006. IPCC Guidelines forNational greenhouse Gas Investories. IPCC National GreenhouseProgramme. IGES. Japan.
Hambali, E. 2007. Teknologi Bioenergi. PT. Agromedia Pustaka. Bogor.
Handayani, S. J. 2008. Analisis Reduksi Emisi Gas Rumah Kaca Melalui ProyekMekanisme Pengembangan Bersih (CDM) pada Pabrik PengolahanKelapa Sawit dalam Rangka Pengelolaan Lingkungan Hidup. TesisProgram studi Pasca Sarjana Pengelolaan Sumber Daya Alam danLingkungan. Universitas Sumatera Utara.
Isdiyanto, R dan Hasanudin, U. 2010. Rekayasa dan Uji kinerja Reaktor BiogasSistem CoLAR pada Pengolahan limbah cair Industri Tapioka. JurnalKetenagalistrikan dan energi Terbarukan Vol. 9 (1) Juni 2010: pp 14-26.
Isdiyanto, R dan Marhento, W. 2011. Prospek Pemanfaatan Biogas DariPegolahan Air Limbah Industri Tapioka. Pusat Penelitian danPengembangan Teknologi Ketenagaanlistrik, Energi baru, Terbarukan danKonversi Energi.
Janzen, H. H. 2004. Carbon Cycling in Earth System. A soil Science Perpective inAgriculture, ecosystem and environment, 104:399-417.
Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia. 2009. Rencana AksiNasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca. Kementerian LingkunganHidup Republik Indonesia, Jakarta.
Kementerian Perindustrian Republik Indonesia. 2019. Industri Tapioka di ProvinsiLampung. Kementerian Perindustrian. Jakarta.
Kementerian Pertanian. 2016. Outlook Komoditas Pertanian Sub Sektor TanamanPangan. Kementerian Pertanian.
Koswara, S. 2013. Teknologi Pengolahan Umbi-Umbian, Bagian 6 : PengolahanSingkong. USAID: Jakarta.
Kresnawaty, I., Susanti, I., Siswanto dan Panji, T. 2008. Optimasi ProduksiBiogas dari Limbah Lateks Cair Pekat dengan Penambahan Logam. JurnalMenara Perkebunan, 14:18-22
Mahajoeno, E., lay W.B, Sutjahjo, H.S., Siswanto. 2008. Potensi Limbah CairPabrik Minyak Kelapa Sawit untuk Produksi Biogas. Biodiversitas 9:48-52
44
Manurung, R. 2004. Proses Anaerobik sebagai Alternatif untuk Mengolah LimbahSawit. Artikel. Repository Program Studi Kimia Fakultas TeknikUniversitas Sumatra Utara. Medan.
Nugroho, A., E. Effendi., T. Novaria. 2015. Pengolahan Limbah Padat TapiokaMenjadi Etanol Dengan Menggunakan Aspergillus niger, Bacilluslicheniformis Dan Saccharomyces cerevisae. Universitas Trisakti. Jakarta.Jurnal Vol. 7 No. 1 Juni 2015, 17-23 hlm
Nurmalasari, R. 2012. Potensi Emisi Gas Rumah Kaca dari Air Limbah IndustriBioetanol Berbahan Baku Ubikayu (Thinslop) dan Molasses (Vinasse).Skripsi. Universitas Lampung. 52 hlm
Peraturan Mentri Lingkungan Hidup Republik Indonesia. Tentang Baku Mutu AirLimbah, Nomor 5 Tahun 2014.
Porteous, A. 1998. Energy of Waste Incineration is an essential Component ofEnvironmentally Responsible Waste Management. Waste Management 25,451-459. New York.
Prayitno, H.T. 2008. Pemisahan Padatan Tersuspensi Limbah Cair Tapiokadengan Teknologi Membran Sebagai Upaya Pemanfaatan danPengendalian Pencemaran Lingkungan. Tesis. Program Magister IlmuLingkungan Universitas Diponegoro. Semarang.
Priyati, P.U. 2005. Mempelajari Pengolahan Limbah Cair Industri Tapioka PT.Umas Jaya Terbanggi Besar Lampung Tengah. Laporan Praktik Umum.Universitas Lampung. Bandar Lampung.
Rahayu, W.P. 1993. Penanganan Limbah Industri Pangan. Kanisius. Yogyakarta
Rahmatul, R., N. Avief., S. Nonot., N, Siti. 2013. Produksi Biogas dari LimbahCair Industri Tapioka dengan Reaktor Anaerobik 3.000 LiterBerdistributor. Jurnal Teknik Pomits Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: 2337-3539. Surabaya.
Simamora, S., Salundik, Sri.W. dan Surajudin. 2006. Membuat Biogas PenggantiMinyak Dan Gas Dari Kotoran Ternak. Agromedia Pustaka. Jakarta. 53hlm.
Suarsana, M. dan Wahyuni, P. S. 2011. Global Warming : Ancaman Nyata SektorPertanian dan Upaya Mengatasi Kadar CO₂ Atmosfer. Widyatech JurnalSains dan Teknologi Vol. 11 No. 1 Agustus 2011.
45
Sukmana, R. W dan Anny, M. 2011. Biogas dari Limbah Ternak. Nuansa.Bandung. 158 hlm.
Sugiyono, A. 2006. Penanggulangan Pemanasan Global di Sektor PenggunaEnergi. Jurnal Sains dan Teknologi Modifikasi Cuaca, Vol.7 No.2:15-19.
Suyitno. 2010. Teknologi Biogas. Graha Ilmu. Yogyakarta.
Tchobanoglous, G., Burton, F. L dan Stensel, H. D. 2003. Waste WaterEngineering: Treatment and Reuse. Metcalf & Eddy Inc. New York.
Tuti, H. 2006. Biogas Limbah Peternakan yang menjadi Sumber Energi Alternatif.Wartazoa. 3(16) : 160-169 hlm
Venterea, R.T., M. Burger, and K.A. Spokas. 2005. Nitrogen Oxide and FertilizerManagement. Journal Environment. 34:1467-1477.
Wahyuni, S. 2011. Menghasilkan Biogas dari Aneka Limbah. Agromedia. Jakarta.