emansipasi wanita menurut perspektif al-qur’an dan … · mana emansipasi wanita menurut...
TRANSCRIPT
Fajri Chairawati: Emansipasi Wanita dalam Perspektif Al-Qur'an dan Hadits 74
EMANSIPASI WANITA
MENURUT PERSPEKTIF AL-QUR’AN DAN HADITS
Fajri Chairawati
Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI)
Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Ar-Raniry Kopelma Darussalam Kota Banda Aceh
ABSTRAK
This article discusses about the emancipation of women from the
perspective of the Qur'an and Hadith. Emancipation of women who always hailed
feminists, will only add to the harm to the women themselves. Because it is all
just freedom without limits is self-inflicted. Though God has created limitations
Personality 'was very complete and perfect. During this time, emancipation is
more likely to be interpreted as the implications of gender equality in the form of
freedom of choice. For example, choose to be a career woman, whereas in fact the
task of making a living is the duty of a man. The woman sued if the believer does
not need to hand over the leadership of the Islamic household in the hands of man,
because Allah has guaranteed the rights of women as well as possible, as long as
the household is run in accordance with the provisions of Allah. The existence of
rights and obligations is also a means of interaction and relationships among
family members in order to create good communication and association
(mu'asyarah bil al-ma'ruf) so as to create a sense of affection in the family. The
prohibition of women become leaders, opinion of the author are not in line with
the main mission of the Islamic presence to promote the dignity of women, not in
line with the principles of equality which Islam is established, and the real facts in
the field in which the individual turns a lot of women who have the ability over
men . Is not the history of the struggle of the Indonesian people listed as female
heroes, such as Cut Nyak Dien (Aceh), Mrs. Wahid Hasyim (NU), Mother A'ishah
Dahlan (Muhammadiyah), Kartini and others.
Kata Kunci: Emansipasi Wanita, Al-Qur’an, Hadits
Pendahuluan
Pandangan yang berkembang dalam masyarakat mengenai status dan
peran perempuan masih “terkotak” kedalam dua kelompok yang berseberangan.
Disatu sisi, umumnya berpendapat bahwa perempuan harus dirumah, mengabdi
kepada suami, dan hanya mempunyai peran domistik. Di sisi lain, berkembang
pula anggapan bahwa perempuan harus bebas sesuai dengan haknya tentang
kebebasan. Perbedaan pandangan tersebut sangat terkait dengan adanya perbedaan
dalam memahami teks-teks al-Qur’an yang berbicara tentang relasi wanita.
Fokus permasalahan yang dimunculkan dalam artikel ini adalah sejauh
mana emansipasi wanita menurut al-Qur’an dan Hadits, kemudian pertanyaan
turunannya, sebagai pengantar diskusi ini akan dideskripsikan pula kedudukan
Al-Mu‘ashirah Vol. 11, No. 1, Januari 2014 75
hukum nafkah rumah tangga dari penghasilan isteri sebagai wanita karier dan
kepemipinan wanita dilingkungan keluarga dan masyarakat.
Untuk menjawab beberapa pokok permasalahan di atas, penulis
menggunakan pendekatan, di antaranya; pendekatan kebahasaan, kitab-kitab
tafsir, hadis dan literatur-literatur yang terkait dengan judul pembahasan.
Pembahasan
1. Teks Ayat Q.S Al-Nisa’:34
االن ساءعلىق وام ونالر جال اب عض علىب عضه مالل فضلب أموالممنأن فق واوبات اللغيبحافظات قانتات فالصال الل حفظب ت فعظ وه نن ش وزه نتاف ونواللواهج ر وه ن عف علياكاناللإنسبيلعليهنت ب غ وافلأطعنك مفإناضرب وه نوالمضاج
(34)كبرياArtinya: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah
melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan
Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu
Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika
suaminya tidak ada, oleh Karena Allah Telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang
kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di
tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, Maka
janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha
Tinggi lagi Maha besar.
Ayat ini diturunkan berkenaan dengan kasus yang dialami oleh Sa‘id bin
Rabi‘ yang telah menampar istrinya, Habibah binti Zaid bin Abi Hurairah, karena
telah melakukan nusyûz (pembangkangan). Habibah sendiri kemudian datang
kepada Rasul saw. dan mengadukan peristiwa tersebut yang oleh Rasul. Rasul
kemudian memutuskan untuk menjatuhkan qishâs kepada Sa‘id. Akan tetapi,
Malaikat Jibril kemudian datang dan menyampaikan wahyu surat an-Nisa‘ ayat 34
ini. Rasulullah saw. pun lalu bersabda (yang artinya), “Aku menghendaki satu
perkara, sementara Allah menghendaki perkara yang lain. Yang dikehendaki
Allah adalah lebih baik.” Setelah itu, dicabutlah qishâs tersebut.1
Dalam riwayat yang lain, sebagaimana secara berturut-turut dituturkan
oleh al-Farabi, ‘Abd bin Hamid, Ibn Jarir, Ibn Mundzir, Ibn Abi Hatim, Ibn
Murdawiyah, dan Jarir bin Jazim dari Hasan. Disebutkan bahwa seorang lelaki
Anshar telah menampar istrinya. Istrinya kemudian datang kepada Rasul
mengadukan permasalahannya. Rasul memutuskan qishâsh di antara keduanya.
Akan tetapi kemudian, turunlah ayat berikut:
لق رآنت عجلول رب وق لوحي ه إليكي قضىأنق بلمنب علمازدن … Janganlah kamu tergesa-gesa membaca al-Quran sebelum pewahyuannya
disempurnakan kepadamu. (QS Thaha [20]: 114). Rasul pun diam. Setelah itu,
_____________ 1 Al-Wâhidi, Asbâb al-Nuzûl al-Qur’ân, (CD.Maktabah al-Syamilah), vol. I, 100, baca pula:
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islamî wa Adillatuh (Beirût: Dâr al-Fikr, 1989), vol. V., 53-54
Fajri Chairawati: Emansipasi Wanita dalam Perspektif Al-Qur'an dan Hadits 76
turunlah surat an-Nisa’ ayat 34 di atas hingga akhir ayat.2 Kisah yang sama juga
dituturkan oleh Ibn Mardawiyah yang bersumber dari ‘Ali.3 Melalui ayat ini Allah Swt. mengingatkan kita bahwa terdapat sebab
kelebihan seorang laki-laki atas seorang wanita, setelah pada ayat sebelumnya
Allah menjelaskan bagian dari masing-masing (pria maupun wanita) dalam waris,
dan melarang keduanya untuk mengangan-angankan kelebihan yang telah Allah
tetapkan bagi sebagian mereka (kaum pria) atas sebagian yang lain (kaum wanita).
Jika kita membuka tafsir-tafsir klasik kalangan ulama terkemuka pada
masa lalu, mereka pada umumnya sepakat manakala membedah pengertian “ar-
rijâlu qawwâmûna ‘ala an-nisâ”, bahwa laki-laki baik dalam konteks keluarga
maupun bermasyarakat, memang ditakdirkan sebagai pemimpin bagi kaum
wanita.
الن ساءعلىق وام ونالر جال Frasa Ar-Rijâl qawwâm ‘alâ an-nisâ’ bermakna bahwa kaum pria adalah
pemimpin kaum wanita, yang lebih dituakan atasnya, yang menjadi pemutus atas
segala perkaranya, dan yang berkewajiban mendidiknya jika melenceng atau
melakukan kesalahan. Seorang pria berkewajiban untuk melakukan perlindungan
dan pemeliharaan atas wanita. Oleh karena itu, jihad menjadi kewajiban atas pria,
dan tidak berlaku bagi wanita. Pria juga mendapatkan bagian waris yang lebih
besar daripada wanita karena prialah yang mendapatkan beban untuk menanggung
nafkah atas wanita.4
Ash-Shabuni menyatakan bahwa kaum pria memiliki wewenang untuk
mengeluarkan perintah maupun larangan yang wajib ditaati oleh para wanita
(istri-istrinya) serta memiliki kewajiban untuk memberikan belanja (nafkah) dan
pengarahan sebagaimana kewajiban seorang wali (penguasa) atas rakyatnya.5
Selanjutnya ayat;
ا ب عض علىب عضه مالل فضلب
Pada frasa bimâ fadhdhala Allâh ba‘dhahum ‘alâ ba‘dhin, huruf ba-nya
adalah ba sababiyah yang berkaitan erat dengan kata qawwâmûn. Dengan begitu
dapat dipahami, bahwa kepemimpinan kaum pria atas wanita adalah karena
kelebihan yang telah Allah berikan kepada mereka (kaum pria) atas kaum wanita.6
Ibn Katsir dalam tafsirnya, menyatakan bahwa laki-laki adalah pemimpin,
penguasa, kepala, dan guru pendidik bagi kaum wanita. Ini disebabkan karena
berbagai kelebihan laki-laki itu sendiri atas wanita, sesuai dengan firman Allah: Li
ar-rijâl ‘alaihinna darajah (bagi laki-laki ada kelebihan satu tingkat dari wanita)
(QS al-Baqarah [2]: 228). Selain itu, karena laki-laki berkewajiban menafkahi istri
dan anak-anaknya.7 _____________
2 Abdur Rahmân ibn al-Kamâl Jalâluddîn as-Suyûthi, Dâr al-Mansyûr fî at-Tafsîr al-
Ma’tsûr, (Beirût: Dâr al-Fikr, t.th), vol. III, 512-513. 3 Jalâluddîn as-Suyûthi, Dâr al-Mansyûr fî at-Tafsîr al-Ma’tsûr.., 513. 4 Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, 54 5 Ali Shâbuni, al-Shafwah al-Tafâsir, (Beirût: Dâr al-Fikr, t.th), vol. II, 273 6 Shihâbuddîn Mahmûd al-Alûsy, Rûh al-Ma‘ânî Fi Tafsîr al-Qur’ân al-Azhîm wa Sab’a al-
Matsâni, (Beirût: Dâr al-Fikr, ), vol. I, 23 7 Abû al-Fidâ’ Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-Azhîm, (Beirût: Dâr al-Fikr, 1401), vol. I,
596
Al-Mu‘ashirah Vol. 11, No. 1, Januari 2014 77
Dalam kurun yang amat panjang, dari mulai Ibn ‘Abbas, at-Thabari,
bahkan hingga Imam ‘Ali ash-Shabuni, tafsir tersebut tidak banyak digugat,
kecuali belakangan manakala pemikiran-pemikiran Islam mulai bersinggungan
dengan wacana pemikiran Barat dan juga fakta yang memang menunjukkan tidak
sejalannya lagi penafsiran tersebut dengan realitas kontemporer.
Ibn ‘Abbas, misalnya, mengartikan kata qawwâmûn sebagai pihak yang
memiliki kekuasaan atau wewenang untuk mendidik wanita.
Dengan nada yang sama, at-Thabari menegaskan, bahwa kata qawwâmûn
bermakna penanggung jawab, dalam arti, pria bertanggung jawab dalam mendidik
dan membimbing wanita dalam konteks ketaatannya kepada Allah.8
Sementara itu, menurut Imam al-Qurthubi, pria adalah pemimpin wanita
karena kelebihan mereka dalam hal memberikan mahar dan nafkah; karena pria
diberi kelebihan akal dan pengaturan sehingga mereka berhak menjadi pemimpin
atas wanita; juga karena pria memiliki kelebihan dalam hal kekuatan jiwa dan
watak. Surah an-Nisa’ ayat 34 ini juga menunjukkan kewajiban pria untuk
mendidik wanita.9
Sedangkan Imam asy-Syaukani, ketika menafsirkan ayat di atas,
menyatakan bahwa pria adalah pemimpin wanita yang harus ditaati dalam hal-hal
yang memang diperintahkan Allah. Ketaatan seorang istri kepada suaminya
dibuktikan, misalnya, dengan berperilaku baik terhadap keluarga suaminya serta
menjaga dan memelihara harta suaminya. Ini karena Allah telah memberikan
kelebihan atas suami dari sisi keharusannya memberi nafkah dan berusaha.10
Dalam tafsirnya, Fakhr ar-Razi11 menyatakan bahwa kelebihan kaum pria
atas wanita itu terdapat pada banyak aspek. Di antaranya adalah sifat hakiki dan
sebagiannya terkait dengan hukum-hukum syariat. Sifat hakiki dikembalikan pada
dua hal, yakni ilmu dan qudrah (kemampuan). Dua hal inilah yang menghasilkan
kelebihan kaum pria atas wanita dalam hal akal, tekad, dan kekuatan; dalam
kemampuan menulis, berkuda (berkendaraan), melempar. Dari kalangan mereka
pula diutusnya para nabi dan banyaknya para ulama. Imâmah (baik khalifah
maupun jabatan penguasa di bawahnya), jihad, azan, khutbah, itikaf, kesaksian
dalam masalah hudûd dan qishâs, kelebihan dalam pembagian waris, kewajiban
membayar diyat dalam pembunuhan atau kesalahan dan dalam hal sumpah juga
ada pada mereka. Kewenangan dalam pernikahan, talak, rujuk, dan berpoligami,
penisbatan garis nasab juga ada pada merek. Semua itu menunjukkan adanya
kelebihan kaum pria atas kaum wanita.
Kedua, adanya kelebihan dalam hal taklif syariat. Frasa wa bimâ anfaqû min
amwâlihim mengandung pengertian bahwa kaum pria memiliki kewajiban untuk
memberikan nafkah kepada istri dan kerabat dekat yang menjadi tanggungannya;
mereka juga harus membayarkan mahar kepada kaum wanita untuk memuliakan
mereka.12
_____________ 8 Abû Ja’fâr, Muhammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlîd ath-Thabâri, Jâmi’ al-Bayân ‘an
Ta’wîl Ay al-Qur’ân, (Beirût: Dâr al-Fikr, 1405 H), vol. V, 48 9 Abû Abdillah, Muhammad ibn Ahmad ibn Abi Bakr ibn Farah al-Qurthûbi, al-Jâmi’ li
Ahkâm al-Qur’ân, (Kairo: Dâr asy-Sya’b, 1372 H.), vol.V, 168 10 Muhammad ibn ‘Ali ibn Muhammad asy-Syaukâni, Fath al-Qadîr bain Fanni ar-
Riwâyah wa ad-Dirâyah min ‘Ilm at-Tafsîr, (Beirût: Dâr al-Fikr, t.t.), vol. I, 462. 11 Fakhr al-Dîn al-Râzi, al-Tafsîr al-Kabîr, (Beirût: Dâr al-Fikr, t.th), 91. 12 Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh…, 55.
Fajri Chairawati: Emansipasi Wanita dalam Perspektif Al-Qur'an dan Hadits 78
Tafsir al-Azhar memahami QS. al-Nisâ`/4:34 sebagai argumentasi
kepemimpinan laki-laki atas perempuan. Kepemimpinan tersebut erat kaitannya
dengan perbandingan 2:1 bagian warisan laki-laki dan perempuan, kewajiban laki-
laki membayar mahar, dan perintah kepada suami untuk memperlakukan dengan
baik istrinya. Hal ini disebabkan karena lak-laki adalah pemimpin atas
perempuan. Kepemimpinan ini disebabkan karena laki-laki memiliki naluri
kepemimpinan, sedangkan perempuan memiliki naluri dipimpin.13
Tafsir an-Nur menerjemahkan kata qawwâm pada QS. al-Nisâ` sebagai
pengatur14 bukan pemimpin seperti pemahaman tafsir pada umumnya. Tugas
melindungi bagi laki-laki terhadap perempuan menjadi sebab peperangan hanya
diwajibkan bagi laki-laki, tidak untuk perempuan. Hal itu pula yang menyebabkan
sehingga laki-laki mendapatkan bagian warisan 2 kali dibanding perempuan.
Khusus dalam rumah tangga, laki-lakilah yang menjadi pemimpin15. Seperti Tafsir
an-Nur, Tafsir al-Furqân juga menerjemahkan kata qawwâm sebagai pengatur.
Alasan kepemimpinan laki-laki atas perempuan menurut tafsir ini adalah karena
kelebihan laki-laki dan kewajibannya menafkahi istrinya. Kelebihan yang
dimaksud adalah kelebihan kekuatan, keberanian, keteguhan hati, dan ketepatan.16
Di luar dua hal di atas, seorang laki-laki adalah setara dan sama dengan
seorang wanita dalam hal hak dan kewajibannya. Inilah kebaikan Islam. Allah
Swt. berfirman:
جالبالمعروفعليهن ال ذيمثلولهن [ ]درجة عليهن وللر Akan tetapi, para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. Allah
Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. (QS al-Baqarah [2]: 228).
Tanggung jawab suami sebagai kepala rumah tangga, adalah menjaga,
membela, bertindak sebagai wali, memberi nafkah dan sebagainya. lain halnya
dengan wanita, ia justru mendapat jaminan keamanan dan nafkah. Itulah sebabnya
kaum pria memperoleh warisan dua kali lipat dari bagian wanita.17
Demikian juga antara laki-laki dan perempuan, keduanya saling
melengkapi dan tidak bertentangan. Laki-laki bertugas untuk mencari nafkah,
memelihara istri dan anak-anaknya, serta menyediakan kebutuhan hidupnya,
sedangkan perempuan bertugas memelihara rumah tangga, hamil, melahirkan
mengasuh anak dan menjadi tempat berteduhnya suami guna mendapatkan
sakinah dan ketenangan ketika suami datang dari kerja dan kelelahan. Setelah
bersusah payah mencari nafkah disambut oleh sang istri dengan senyuman dan
kasih sayang yang menghapus semua kepenatannya kerjanya, dan masing-masing
mendapatkan apa yang dibutuhkan apa yang dibutuhkan.18
Selanjutnya Allah menjelaskan keadaan kaum wanita (para istri) dalam
kehidupan berumah tangga: adakalanya mereka taat; adakalanya mereka tidak
setia (melakukan nusyûz).19 Dalam Shafwah at-Tafâsîr, dijelaskan bahwa frasa fa
ash-shâlihât qânitât hâfizhâth li al-ghayb bi mâ hafizha Allâh merupakan
_____________ 13 Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas,1982 ), vol. V, 46-47 14 Hasbi Ash-Shiddiqy, Tafsir al-Qur’an al-Majid al-Nur, (Semarang: Putra Rizki, 1995),
vol. I, 815 15 Hasbi Ash-Shiddiqy, Tafsir al-Majid al-Nur…, 816 16 A. Hassan, Tafsir al-Fuqan, (Bangil: Persatuan), 162 17 Huzaimah Tahido Yanggo, Masail Fiqhiyah Kajian Hukum Islam
Kontemporer,(Bandung: Angkasa, 2005), 138 18 Huzaimah Tahido Yanggo, Masail Fiqhiyah Kajian Hukum Islam Kontemporer.., 139. 19 Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh…, 55
Al-Mu‘ashirah Vol. 11, No. 1, Januari 2014 79
perincian dari keadaan para wanita yang berada dalam kepemimpinan pria. Allah
telah menjelaskan bahwa mereka (para wanita) tersebut terbagi dalam dua
keadaan, yakni: (1) kelompok wanita shalihah dan taat; (2) kelompok wanita yang
bermaksiat dan membangkang. Wanita shalihah akan senantiasa menaati Allah
Swt. dan suaminya selama tidak dalam rangka bermaksiat kepada Allah,
senantiasa melaksanakan kewajiban-kewajibannya, menjaga diri mereka dari
melakukan perbuatan keji, menjaga kehormatan mereka, menjaga harta suami
dan anak-anak mereka, dan menjaga rahasia apa yang terjadi antara mereka
berdua (suami-istri) dalam hal apa pun yang layak dijaga kerahasiaannya.20
Frasa wallâti takhâfûna nusyûzahunna adalah menunjuk pada kelompok
wanita yang kedua, yakni para wanita yang bermaksiat dan menentang, yakni
mereka yang menyombongkan diri dan meninggikan diri dari melakukan ketaatan
kepada suami.21
Berdasarkan ayat di atas, ketika telah tampak bagi suami tanda-tanda nusyûz
ini pada istrinya, suami wajib melakukan beberapa langkah untuk melakukan
perbaikan (mengembalikan istri ke jalan yang benar) dengan menempuh tahapan
sebagai berikut:
1. Fa‘izhuhunna: memberikan nasihat, petunjuk, dan peringatan yang
memberi pengaruh pada jiwa istrinya; dengan mengingatkan istrinya akan
ancaman siksa yang diberikan Allah kepadanya karena kemaksiatan yang
dilakukannya.22
2. Wahjurûhunna fî almadhâji‘: memisahkan diri dan berpaling darinya
(istri) di pembaringan (pisah ranjang). Ini adalah kinâyah (kiasan) dari
meninggalkan jimak (persetubuhan), atau tidak melakukan tidur bersama istri
dalam satu tempat tidur yang sama, tidak mengajaknya bicara, dan tidak
mendekatinya. Akan tetapi, suami tidak diperkenankan tidak mengajak bicara istri
lebih dari 3 hari. Ibn ‘Abbas berkata, al-hajru bermakna tidak menjimak istri,
tidak tidur bersamanya di pembaringannya, dan berpaling dari punggungnya.23
Tindakan ini akan sangat menyakitkan istri; dilakukan untuk membuat seorang
istri memikirkan dan merenungkan kembali apa yang telah dilakukannya. Jika
yang demikian telah membuat istri sadar dan menaatinya, suami harus
menerimanya dan tidak boleh melakukan langkah yang ketiga. Sebaliknya, jika
yang demikian tidak membuat istri sadar juga, suami diperkenankan melakukan
langkah yang ketiga.
3. Wadhribûhunna: memberikan pukulan yang tidak menyakitkan dan tidak
berbekas; tidak lain tujuannya sema-mata demi kebaikan.24
Selanjutnya, kalimat fa in atha‘nakum falâ tabghû ‘alayhinna sabîlâ
mengandung pengertian, bahwa jika istri menaati perintah suami, janganlah suami
mencari jalan lain untuk menyakiti istrinya. Artinya, para suami dilarang
menzalimi para istri mereka dengan cara lain yang di dalamnya terdapat aktivitas
menyakiti dan menyiksa mereka.25
_____________ 20 Ali ash-Shâbuni, al-Shafwah al-Tafâsir…, 274. 21 Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-Azhîm…, 608. 22 ‘Ali ash-Shâbuni, al-Shafwah al-Tafâsir…, 274. 23 Ibid. 24 Ibn Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-Azhîm, 609. 25 Ibid.
Fajri Chairawati: Emansipasi Wanita dalam Perspektif Al-Qur'an dan Hadits 80
Terakhir, kalimat Inna Allah kâna ‘Aliyyan Kabîrâ mengandung
pengertian bahwa sesungguhnya Allah lebih tinggi dan lebih besar daripada para
suami; Dia adalah pelindung para istri dari siapa pun yang menzalimi dan
bertindak melampaui batas terhadap mereka.26 Ini adalah peringatan keras bagi
para suami agar tidak menzalimi istrinya. Maksudnya adalah agar para suami
menerima tobat dari istrinya. Sebab, jika Yang Mahatinggi dan Mahabesar saja
senantiasa menerima tobat hamba-Nya yang bermaksiat, maka tentu para suami
lebih layak untuk menerima tobat para istri.27
2. Surah al-Baqarah; 228
Hak dan kewajiban antara suami pada hakekatnya adalah seimbang,
sehingga Wahbah al-Zuhaily menyatakan bahwa prinsip hubungan suami dan
isteri dalam keluarga adalah al-Musawah baina ar-rajul wa al-mar’ah fi huquq
wa al-wajibah (keseteraan dalam hak dan kewajiban) atau al-Tawazun wa al-
Takafu’ (adanya keseimbangan dan kesepadanan) diantara keduanya.28
Di antara ayat-ayat al-qur’an yang membincang tentang keseimbangan
antara hak dan kewajiban ini, sebagaimana dilukiskan oleh Allah dalam surah al-
Baqarah; 228
2. Q.S. al-Baqarah: 228
ثل ول ن.… لمعر وفعليهنالذيم (228)حكيم عزيز والل درجة عليهنوللر جالبDan mereka (para perempuan) mempunyai hak seimbang dengan kewajibannya
menurut cara yang patut. Tetapi para suami mempunyai kelebihan di atas mereka.
Allah maha perkasa, maha bijaksana. (al-Baqarah:228)
Ayat diatas menginformasikan bahwa isteri memiliki hak yang wajib
dipenuhi oleh suami seimbang dengan hak yang dimiliki suami yang wajib
dipenuhi oleh isteri, yang dilakukan secara ma’ruf (baik menurut kondisi internal
masing-masing keluarga). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa bentuk hak
dan kewajiban suami isteri pada hakikatnya berdasarkan pada adat kebiasaan (urf)
dan fitrah manusia serta dilandasi prinsip “setiap hak yang diterima sebanding
dengan kewajiban yang diemban”.29
Menurut Prof.Huzaimah hak dan kewajiban suami dan isteri dapat menjadi
enam bagian, yaitu (1) hak dan kewajiban pria dan wanita sebagai Individu, (2)
hak suami dan istri dalam perkawinan, (3) kewajiban suami isteri dalam
perkawinan, (4) hak ayah/ibu atas anak (kewajiban anak terhadap ayah/ibu), (5)
kewajiban Ayah Ibu terhadap Anak (hak anak dari kedua orang tuanya), (6) Hak
dan kewajiban menantu dan Mertua.30
Dalam artikel ini penulis membatasi uraian hanya pada point 1,2 dan 3.
Adapun uraiannya sebagai berikut:
_____________ 26 Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh…, 57. 27 Ibid.,. 57 28 Ibid., vol. VII, 327 29 Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, vol. VII, 327 30 Huzaimah T.Yanggo, Fiqih Perempuan Kontemporer, (Jakarta: al-Mawardi Prima, 2001),
106
Al-Mu‘ashirah Vol. 11, No. 1, Januari 2014 81
Hak dan kewajiban pria dan wanita sebagai Individu 1. Hak dan Kewajiban pria dan wanita sebagai Individu
Hak individu pria dan wanita menurut Prof. Dr. H. Rahmat Djatmika,
sebagaimana dinukil oleh Prof.Huzaimah, dibagi kepada dua bagian, yaitu;
a. Hak Thabi’i, yaitu hak manusia yang berlaku menurut fitrahnya, menurut
asal kejadiannya, bahwa keadaan itu adalah menjadi hak manusia, seperti
hak hidup dan hak merdeka. Hak hidup adalah hak manusia menurut
fitrahnya yang diberikan Allah kepadanya menurut kadar ketentuan yang
telah ditentukan. Karena itu, kewajiban manusia lainnya untuk memelihara
dan menghormati hidup manusia lainnya. Sejak manusia menjadi manusia
sebagai makhluk baru, mulai dari pembuahan di dalam rahim ibu, dia telah
menjadi manusia dengan pertumbuhannya yang telah mendapat hidup,
yang tidak boleh bagi yang lainnya untuk menganiaya apalagi
membunuhnya. Pengguguran bayi dalam kandungan dengan tidak ada
sebab yang dibolehkan syara’ adalah pembunuhan, yang merupakan
pelanggaran hak hidup si bayi tersebut. Hak merdeka adalah juga hak
manusia merupakan fitrahnya. Tidak boleh bagi yang lain menganggu
kemerdekaan orang lain yang menjadi haknya. Sejak manusia hidup
didunia ini, maka dia telah pula mendapatkan hak merdeka, tidak boleh
bagi yang lain memperbudak dan melanggar kemerdekaannya. Haknya
harus dihormati oleh orang lain. Kemerdekaan seseorang, berarti
kebebasan berfikir, berbicara, berkehendak, dan sebagainya, dalam batas-
batas yang telah ditentukan dalam norma hidup dan kehidupan. Pokok-
pokok norma ini telah digariskan oleh Allah dan Rasulnya, yang berarti
menghormati dan dibatasi oleh kemerdekaan tidak melanggar hak-hak
yang lainnya, sehingga kemerdekaan bukan berarti kebebasan yang
sewenang-wenang. Dalam ajaran islam, manusia adalah merdeka sejak dia
dilahirkan oleh ibunya. Tidak seorang pun yang diperkenankan
memperbudak orang lain.
b. Hak yang diberikan oleh undang-undang/peraturan; yaitu hak yang
dijamin berdasarkan peraturan yang dibuat oleh manusia. Hal ini
ditentukan oleh pembuat undang-undang dan peraturan-peraturan yang
harus dianut oleh orang-orang yang tunduk di bawah kekuasaannya.
Pengakuan hak-hak ini lebih bersifat politis, karena terserah kepada ide
yang dianut oleh yang berkuasa membuat undang-undang tersebut. Hak-
hak manusia yang telah disebutkan di atas, adalah merupakan hak
induvidu, pria dan wanita, dilingkungan keluarga dalam masyarakat.
2. Kewajiban Pria dan Wanita sebagai individu yang dimaksud adalah kewajiban
utama bagi pria dan wanita sebagai induvidu, adalah mempercayai dengan
keyakinan adanya Allah tidak ada Tuhan melainkan Allah, dengan keyakinan
bahwa Allah mempunyai segala kesempurnaan. 31
Hak suami dan istri dalam perkawinan
1. Hak suami atas istri antara lain;
a. Istri hendaklah taat kepada suami dalam melaksanakan urusan
rumah tangga selama suami menjalankan ketentuan-ketentuan
_____________ 31 Huzaimah T.Yanggo, Fiqih Perempuan Kontemporer…, 106-107
Fajri Chairawati: Emansipasi Wanita dalam Perspektif Al-Qur'an dan Hadits 82
Islam yang berhubungan dengan kehidupan suami-istri (an-nisa’;
34)
b. Istri mengurus dan menjaga rumah tangga suami, termasuk
mengasuh dan memelihara anak dan harta rumah tangga (an-nisa’;
34).
2. Hak istri atas suami antara lain;
a. Memperoleh mahar dan nafkah dari suami, (an-nisa’; 4 dan 34)
yang dimaksud dengan nafkah disini adalah meliputi makanan dan
minuman, pakaian, tempat tinggal, pengobatan dan lain-lain. Kalau
suami tidak memberi nafkah, istri boleh mengambil harta suami
tanpa sepengetahuannya yang mencukupi hidupnya dan anaknya
dengan cara yang baik.
b. Mendapat perlakuan yang baik dari suami (an-Nisa; 19)
c. Suami menjaga dan memelihara istrinya, yaitu dengan menjaga
kehormatan istri, tidak menyia-nyiakannya dan menjaga agar selalu
melaksanakan perintah Allah. Suami yang paling baik adalah yang
paling baik kepada istrinya (HR. Turmuzi dari Abu Hurairah).32
Kewajiban suami isteri dalam perkawinan
Sebagaimana dinyatakan secara tekstual dalam al-Qur’an, suami adalah
pelindung (qawwam) bagi istri.33 Dari pernyataan ini kemudian para ulama
menetapkan bahwa suami adalah kepala keluarga. Ali Shabuni menyatakan ayat
tersebut bahwa suami menjadi pelindung bagi perempuan adalah karena dua hal,
yaitu pertama, hal yang bersifat natural karena pemberian (wahbi) dari Allah. Ini
berupa bentuk fisik dan tenaga laki-laki yang secara umum lebih kuat dari
perempuan. Kemudian yang kedua adalah hal yang bersifat sosial karena
merupakan sesuatu yang diusahakan (kasbi). Ini berupa harta benda yang
dinafkahkan bagi anggota keluarga yang lain, yaitu istri dan anak.34
Senada dengan hal tersebut, Prof. Huzaimah menjelaskan kewajiban suami
kepada Istri dan di antaranya;
a. Suami berkewajiban memberi nafkah35 rumah tangga kepada isteri dan
anak-anaknya.
b. Menuntun dan membimbing istri serta anak-anaknya agar taat dan
patuh menjalankan ajaran agama.
_____________ 32 Ibid., 108-109 33 Surah an-Nisa’; 34 34 Muhammad Ali Shâbuni, Rawa’i al-Bayân Tafsîr Ayat al-Ahkâm Min al-Al-Qur’ân
(Damaskus: Maktabah al-Ghazâli, t.th), vol. 1, 466-467 35 Nafkah suami terhadap istrinya meliputi segala keperluan hidup, baik makanan, tempat
tinggal, dan segala pelayanannya, yang tentu saja disesuaikan dengan kemampuan suami dan adat
kebiasaan masyarakat setempat. Lihat al-Qur’an; Surah al-Baqarah ayat; 223 dan al-Thalaq; 7.
sementara dalam hadis riwayah Aisyah antara lain diceritakan bahwa Hindun binti ‘Utbah
mengadu kepada Nabi SAW bahwa Abu Sufyan, suaminya, adalah orang yang kikir sampai-
sampai tidak pernah memberikan harta kepada dia dan anaknya, sehingga dia sering
mengambilnya secara diam-diam dan tidak diketahui Abu Sufyan. Terhadap pengaduan tersebut
Nabi SAW menjawab;
(ومسلم البخارى رواه) بالمعروف وولدك مايكفيك خذى Ambillah sekedar untuk mencukupi kebutuhan kamu dan anakmu dengan cara yang
layak.(HR.Bukahri dan Muslim)
Al-Mu‘ashirah Vol. 11, No. 1, Januari 2014 83
c. Bergaul dengan cara yang baik pada istrinya, yaitu menghormati dan
memperlakukakannya dengan cara yang wajar, memperhatikan
kebutuhannya, menahan diri dari sikap yang tidak menyenangkan dan
tidak berlaku kasar terhadap istrinya.
d. Menciptakan suasana kehidupan rumah tangga yang aman dan tentram,
rukun dan damai yang dijalin dengan kemesraan dan kasih sayang.
Sebagai kepala rumah tangga, suami harus memberikan suri teladan
yang baik kepada istri dan anak-anakya.
e. Membantu tugas-tugas istri terutama dalam hal memelihara dan
mendidik anak dengan penuh rasa tanggung jawab.
f. Memberi kebebasan berfikir dan bertindak kepada istri sesuai dengan
ajaran agama, tidak mempersulit, apalagi membuat istri menderita lahir
dan bathin yang dapat mendorong istri berbuat salah.
g. Dan dapat mengatasi keadaan dan kesulitan, mencari penyelesaian
secara bijaksana dan tidak berbuat sewenang-wenang.
Sebaliknya, kewajiban istri kepada suami meliputi;
a. Saling menghormati orang tua dan keluarga kedua belah pihak.
b. Memupuk rasa cinta dan kasih sayang. Masing-masing harus
menyesuaikan diri, seia sekata, saling mempercayai serta selalu
bermusyawarah, untuk kepentingan bersama.
c. Hormat menghormati, sopan santun, penuh pengertian serta bergaul
dengan baik.
d. Matang dalam berbuat dan berfikir, serta tidak bersikap emosional
dalam memecahkan persoalan yang dihadapi.36
Dalam kedudukan suami sebagai pemimpin/kepala rumah tangga, ia tidak
boleh berbuat semena-mena terhadap istrinya karena dalam pergaulan hidup
berumah tangga, istri boleh menuntut pembatalan akad nikah dengan jalan khulu’,
bila suami tidak mau memberi nafkah, sedang istri itu tidak rela, suami berbuat
serong, pemabuk dan sebagainya.37
Selanjutnya, kita melangkah selangkah kedepan, untuk membicang
bagaimana kedudukan wanita karir dan kepemimpinan wanita dalam islam.
Wanita Karier dalam Konsep Islam
Dalam perkembangan modern dewasa ini, banyak kaum wanita muslimah
yang aktif diberbagai bidang, baik politik, sosial, budaya, ilmu pengetahuan, olah
raga, ketentaraan, maupun bidang-bidang lainnya. Boleh dikata, hampir setiap
sektor kehidupan umat manusia., wanita muslimah sudah terlibat; bukan hanya
dalam pekerjaan-pekerjaan ringan, tetapi juga dalam pekerjaan-pekerjaan yang
berat, seperti sopir, tukang parkir, buruh bangunan, satpam dan lain-lain.
Wanita-wanita yang menekuni profesi atau pekerjaannya dan melakukan
berbagai aktifitas untuk meningkatkan hasil dari prestasinya disebut wanita
karier.38
Dilihat dari susunan katanya “wanita karier” terdiri dari dua kata “wanita
dan “karier”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kata “wanita” berarti
_____________ 36 Huzaimah T.Yanggo, Fiqih Perempuan Kontemporer…, 108-109 37 Ibid., 140-141 38 Hafiz Hanshary, Ihdad Wanita Karir, dalam Huzaimah T.Yanggo (ed.), Problematika
Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta:Pustaka Firdaus, 2002), 11
Fajri Chairawati: Emansipasi Wanita dalam Perspektif Al-Qur'an dan Hadits 84
“perempuan dewasa”.39 Sedangkan kata “karier” mengacu kepada dua pengertian;
Pertama, karier berarti pengembangan dan kemajuan dalam kehidupan, pekerjaan,
jabatan dan sebagainya. kedua, karier berarti juga pekerjaan yang memberikan
harapan untuk maju. Ketika kata “wanita” dan “karier” disatukan, maka kata itu
berarti “wanita yang berkecimpung dalam kegiatan profesi (usaha, perkantoran,
dan sebagainya).”40 sedangkan yang dilandasi pendidikan keahlian (ketrampilan,
kejujuran, dan sebagainya) tertentu”.41
Menurut Prof.Huzaimah, motivasi yang mendorong wanita terjun ke dunia
karier antara lain;
1. Pendidikan. Pendidikan dapat melahirkan wanita karier dalam berbagai
lapangan berbagai lapangan.
2. Terpaksa oleh keadaan dan kebutuhan yang mendesak, karena keadaan
keuangan tidak menentu atau pendapatan suami tidak
memadai/mencukupi kebutuhan, atau karena suami telah meninggal dan
tidak meninggalkan harta untuk kebutuhan anak-anak dan rumah
tangganya harus ia tanggung sendirian, sementara kebutuhan makin
membutuhkan pemenuhan, sehingga dengan sendirinya ia harus bekerja
di luar rumah.
3. Untuk ekonomis, agar tidak tergantung kepada suami, walaupun suami
mampu memenuhi segala kebutuhan rumah tangga, karena sifat wanita,
adalah selagi ada kemampuan sendiri, tidak ingin selalu meminta kepada
suami.
4. Untuk mencari kekayaan sebanyak-banyaknya. Ini biasanya dilakukan
oleh wanita yang mengangap bahwa uang diatas segala, dimana yang
paling penting dalam hidupnya adalah menumpuk kekayaan.
5. Untuk mengisi waktu yang lowong. Di antara wanita ada yang merasa
bosan diam dirumah karena tidak mempunyai kesibukan dengan urusan
rumah tangganya. Oleh sebab itu untuk menghilangkan rasa bosan
tersebut ia ingin mencari kegiatan di bidang usaha tersebut dsb
6. Untuk mencari ketenangan dan hiburan. Seorang wanita mungkin
mempunyai kemelut yang berkepanjangan dalam keluarganya yang
susah diatasi, oleh sebab itu ia mencari jalan keluar dengan
menyibukkan diri diluar rumah.
7. Untuk mengembangkan bakat. Bakat dapat melahirkan wanita karier.
Seorang yang bukan sarjana namun bakat berbakat dalam bidang
tertentu, akan lebih berhasil dalam kariernya dibanding seorang sarjana
dari fakultas tertentu yang tidak berbakat. Dengan munculnya faktor-
faktor tersebut, maka semakin terbuka kesempatan bagi wanita untuk
terjun ke dunia karier.42
Lebih lanjut, Prof.Huzaimah menjelaskan, dengan terjunnya wanita dalam
dunia karier, banyak membawa pengaruh terhadap segala aspek kehidupan, baik
kehidupan pribadi dan keluarga, maupun kehidupan masyarakat sekitarnya. Hal
_____________ 39 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, (Jakarta,
1989), 107 40 Kamus Besar Bahasa Indonesia, 391 41 Ibid., 702 42 Huzaimah T.Yanggo, Fiqih Perempuan Kontemporer…, 140-141
Al-Mu‘ashirah Vol. 11, No. 1, Januari 2014 85
ini dapat menimbulkan dampak postif dan negatif. Adapun pengaruh positif
dengan adanya wanita karier antara lain;
1. Dengan berkarir, wanita dapat membantu meringankan beban keluarga
yang tadinya hanya dipikul oleh suami yang mungkin kurang memenuhi
kebutuhan, tetapi dengan adanya wanita ikut berkiprah dalam mencari
nafkah, maka krisis ekonomi dapat ditanggulangi.
2. Dengan berkarir, wanita dapat memberikan pengertian dan penjelasan
kepada keluarganya, utamanya kepada putra-putrinya tentang kegiatan-
kegiatan yang diikutinya, sehingga kalau ia sukses dan berhasil dalam
karirnya, putra-putrinya akan gembira dan bangga, bahkan menjadikan
ibunya sebagai panutan dan suri tauladan bagi masa depannya.
3. Dalam memajukan serta mensejahterakan masyarakat dan bangsa
diperlukan partisipasi serta keikutansertaan kaum wanita, karena dengan
segala potensinya wanita mampu dalam hal ini, bahkan ada di antara
pekerjaan yang tidak bisa dilaksanakan oleh pria dapat berhasil ditangani
oleh wanita, baik karena keahliannya maupun karena bakatnya.
4. Dengan berkarir, wanita dalam mendidik anak-anaknya pada umumnya
lebih bijaksana, demokratis dan tidak otoriter, sebab dengan karirnya itu
ia bisa memiliki pola pikir yang moderat. Kalau ada problem dalam
rumah tangga yang harus diselesaikan, maka ia segera mencari jalan
keluar secara tepat dan benar.
5. Dengan berkarir, wanita yang menghadapi kemelut dalam rumah
tangganya atau sedang mendapat gangguan jiwa, akan terhibur dan
jiwanya akan menjadi sehat, sebagaimana disebutkan Prof.Dr.Zakiah
Darajat dalam bukunya “Islam dan Peran Wanita”, sebagai berikut;
“Untuk kepentingan kesehatan jiwanya, wanita itu harus gesit bekerja,
jika seorang tidak bekerja atau diam saja, maka ia akan melamun,
berhayal memikirkan atau mengenangkan hal-hal yang dalam kenyataan
tidak dialami atau tidak dirasakannya. Apabila orang terbiasa berkhayal,
maka berkhayal itu akan lebih mengasyikannya daripada bekerja dan
berpikir secara objektif. Orang-orang yang suka menghabiskan waktunya
untuk berkhayal itu akan mudah diserang oleh gangguan dan
penyakit”.43
Sebaliknya, dampak negatif yang ditimbulkan dengan adanya wanita karir
antara lain;
1. Terhadap anak-anak. Wanita yang hanya mengutamakan karirnya akan
berpengaruh pada pembinan dan pendidikan anak-anak maka tidak aneh
kalau banyak terjadi hal-hal yang tidak diharapkan, seperti perkelahian
antar remaja/antar sekolah, penyalahgunaan obat-obat terlarang,
minuman keras, pencurian, pemerkosaan dsb.
2. Terhadap suami. Dibalik kebanggaan suami yang mempunyai istri
wanita karir yang maju, aktif dan kreatif, pandai dan dibutuhkan
masyarakat tidak mustahil menemui persoalan-persoalan dengan
istrinya. Istri yang bekerja diluar rumah setelah pulang dari kerjanya
tentu ia merasa capek, dengan demikian kemungkinan ia tidak dapat
_____________ 43 Ibid., 96-97
Fajri Chairawati: Emansipasi Wanita dalam Perspektif Al-Qur'an dan Hadits 86
melayani suaminya dengan baik, sehingga suami merasa kurang hak-
haknya sebagai suami.
3. Terhadap rumah tangga. Kadang-kadang rumah tangga berantakan
disebabkan oleh kesibukan ibu rumah tangga sebagai wanita karir yang
waktunya banyak tersita oleh pekerjaannya di luar rumah. Sehingga ia
tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai istri dan ibu rumah tangga.
Hal ini dapat menimbulkan pertengkaran bahkan perceraian kalau tidak
ada pengertian dari suami.
4. Terhadap kaum laki-laki. Laki-laki banyak yang menganggur akibat
adanya wanita karir, kaum laki-laki tidak memperoleh kesempatan untuk
bekerja, karena jatahnya telah direnggut atau dirampas oleh kaum
wanita.
5. Terhadap masyarakat. Wanita karir yang kurang memperdulikan segi-
segi normatif dalam pergaulan dengan lain jenis dalam lingkungan
pekerjaan atau dalam kehidupan sehari-hari akan menimbulkan dampak
negatif terhadap kehidupan suatu masyarakat.
6. Wanita lajang yang mementingkan karirnya kadang-kadang bisa
menimbulkan budaya “nyeleneh” nyaris meninggalkan kodratnya
sebagai kaum hawa, yang pada akhirnya mencuat budaya “lesbi dan
kumpul kebo”.44
Pertanyaan selanjutnya muncul, bagaimana pandangan islam terhadap
wanita karir? Sedangkan wanita mempunyai tugas utama sebagai ibu rumah
tangga.
Dalam kacamata Islam dengan segala konsepnya yang universal selalu
memberikan motivasi-motivasi terhadap laki-laki dan perempuan untuk
mengaktualisasikan diri secara aktif, antara lain disebutkan dalam al-qur’an surah
al-Nahl; 97
اعملمن أجره منجزي ن ه مولطي بةحياةف لن حيي نه م ؤمن وه وأ ن ثىأوذكر منصالحسن (77)ي عمل ونكان واماب
Artinya: Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan
dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya
kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka
dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.
Apabila dalam al-qur’an pada umumnya kita dapati Khitab ditujukan kepada
kaum pria, maka pada hakikatnya sesungguhnya ia mencakup juga kaum wanita.45
Menurut Prof. Huzaimah, ayat diatas dengan gamblang memberikan
keleluasaan kepada laki-laki dan perempuan untuk aktif dalam berbagai kegiatan.
Bukan hanya laki-laki yang diberi keleluasaan untuk berkarir. Yang membedakan
hanyalah jenis pekerjaan yang disesuai dengan kodratnya. Tidak ada perbedaan
antara laki-laki dan wanita dalam berkarir. Yang membedakan hanyalah jenis
pekerjaan yang disesuaikan dengan kodrat masing-masing. Allah tidak
_____________ 44 Huzaimah T.Yanggo, Fiqih Perempuan Kontemporer…, 98-99 45 Mustafa Abdul Wahid, Wanita Dalam Pandangan Al-Qur’an, Alih Bahasa oleh: Ali
Hasyimi dalam Buku Apa Sebab Al-Qur’an tidak bertentangan dengan Akal, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1989), 109
Al-Mu‘ashirah Vol. 11, No. 1, Januari 2014 87
membedakan ganjaran dan imbalan amal perbuatannya, melainkan sesuai dengan
amal dan karirnya.46 Menurut ajaran Islam, apapun peranannya yang dipegang oleh wanita,
utamanya sebagai ibu rumah tangga tidak boleh dilupakan, agar kemungkinan-
kemungkinan timbulnya ekses negatif dapat terhindar. Jadi perhatian serius dari
wanita untuk membina keluarganya sangat diperlukan, karena tugas tersebut
merupakan terpenting dari usaha pembinaan masyarakat secara luas. Tegak dan
runtuhnya masyarakat suatu negara sangat erat kaitannya dengan keadaan satuan-
satuan keluarga yang secara totalitas membentuk masyarakat suatu negara.47
Islam membolehkan wanita bekerja di luar rumah selagi wanita bisa
menempatkan dirinya sesuai dengan kodrat kewanitaannya.48
Ibnu Qudamah dalam ensiklopedi fiqhnya yang terkenal, al-Mughni,
mengatakan;
“Jika seorang suami, karena kemiskinannya, tidak dapat memberikan nafkah
kepada istrinya, istri boleh memilih di antara dua hal; bersabar menerima
keadaan itu atau mengajukan fasakh (pembatalan perkawinan). Inilah
pendapat Umar bin Khatab, Ali bin Abi Thalib, Abu Hurairah, Ubaid bin al-
Musayyab, al-Hasan, Umar bin Abdul Aziz, Rabi’ah, Hammad, Malik,
Yahya al-Qathtan, Abdurahman bin Mahdi, al-Syafi’I, Ishaq, Abu Ubaid,
dan Abu Tsaur. Berbeda dengan mereka pendapat Atha’, al-Zuhri, ibn
Syubrumah, Abu Hanifah dan dua orang murid utamanya; Abu Yusuf dan
Muhammad bin Hasan al-Syaibani. Mereka mengatakan bahwa istri boleh
mengajukan fasakh. Tetapi suami harus menyatakan dengan terus terang atas
ketidakmampuannya dan membiarkan istrinya untuk bekerja. Karena hal itu
adalah hak induvidual islam”.49
Persoalan berikutnya adalah bagaimana apabila ternyata yang mampu
memberikan nafkah adalah istri karena dia kaya, sedangkan suaminya miskin.
Hemat penulis, dalam kacamata Fiqh dalam hal ini berpendapat bahwa istri boleh
menafkahi suaminya, dengan catatan bahwa biaya yang telah dikeluarkan tetap
dianggap sebagai hutang suami. Dia wajib membayarnya apabila sudah mampu.
Apabila istri dengan rela memberikannya, tanpa dianggap hutang maka hal itu
lebih baik, dan dia akan mendapatkan pahala ganda, pahala karena hubungan per-
sahabatan dan pahala karena dia telah bersedekah.
Kepemimpinan Wanita dalam Islam
Yang menjadi titik awal perdebatan kepemimpinan perempuan di ranah
publik. Secara epistimologis-teologis, kepemimpinan perempuan diperselisihkan
kalangan mufassir: Pertama, mereka menggunakan QS. al-Nisâ`/4:34 sebagai
landasan hukum keharamannya; Kedua, mereka menjadikan QS. al-Taubah/9: 71
sebagai landasan kebolehannya dengan kontekstualisasi penafsiran; Ketiga,
_____________ 46 Huzaimah T.Yanggo, Fiqih Perempuan Kontemporer…, 100 47 Huzaimah T.Yanggo, Fiqih Perempuan Kontemporer…, 100 48 Ibid. 49 Lengkapnya baca; Abdullah Ibn Ahmad Ibn Qudamah al-Muqadasy Abu Muhammad,
Al-Mughni Fi Fiqh al-Imam Ahmad Ibn Hanbal al-Syaibani, dalam Kitab al-Nafaqah masalah
faidha mana’aha Walam Tajid Ma Ta’khudhuhu. (Beirut: Dar al-Fikr, 1405), vol. 9. 448. Compact
Disk (CD) Maktabah al-Syamilah.
Fajri Chairawati: Emansipasi Wanita dalam Perspektif Al-Qur'an dan Hadits 88
mereka menjadikan hadis Rasul sebagai larangan kepemimpinan perempuan
khusus menjadi kepala negara.
- QS.An-Nisa’/4; 34
االن ساءعلىق وام ونالر جال اب عض علىب عضه مالل فضلب ات أموالممنأن فق واوب فالصالاللغيبحافظات قانتات والل حفظب ت واهج ر وه نفعظ وه نن ش وزه نتاف ونالل عف المضاج
غ وافلأطعنك مفإنواضرب وه ن (34)كبرياعلياكاناللإنسبيلعليهنت ب Al-Tabarî dalam tafsirnya menjelaskan ayat al-rijâl qawwûmûna 'alâ al-
nisâ bahwa kepemimpinan laki-laki atas perempuan itu didasarkan atas refleksi
kekuatan fisik pendidikan, dan kewajibannya untuk memenuhi seluruh kewajiban
yang ditentukan oleh Allah. Hal ini pula yang menjadi sebab keutamaan laki-laki
atas perempuan, seperti tercermin dalam kalimat wa bi mâ anfaqû min amwâlihim
yang ditafsirkan sebagai kewajiban untuk membayar mahar, nafkah, dan
kifâyah.50
Keutamaan laki-laki ditinjau dari segi kekuatan akalnya serta kekuatan
fisiknya, sehingga kenabianpun menjadi hak bagi kaum laki-laki. Dengan
kekuatan akal dan fisiknya inilah, kepemimpinan dalam bentuk khalifah (al-
imâmah al-kubrâ) dan al-imâmah al-sugrâ, seperti imam salat, kewajiban jihad,
azan, iktikaf, saksi, hudûd, qisâs, perwalian dalam nikah, talak, rujuk, dan batasan
jumlah istri, semuanya disandarkan kepada laki-laki.51
Dengan metode tahlîlî, al-Tabarî lalu menghubungkan QS. al-Nisâ`/4: 34
dengan ayat selanjutnya sebagai konsekuensi dari kepemiminan laki-laki atas
perempuan bahwa perempuan-perempuan sâleh (sâlihât) adalah mereka yang taat
(qânitât) melaksanakan kewajiban pada suami, dan menjaga kehormatan dirinya,
serta menjaga rumah tangga dan harta benda milik suaminya, tatkala para suami
tidak ada di rumah termasuk menjaga rahasia suami52.
Pendapat lain mengatakan kepemimpinan perempuan dibatasi untuk al-
wilâyah al-kubrâ seperti kepala negara. Sementara kepemimpinan pada aspek lain
perempuan dapat tampil sebagai pemimpin. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Nabi bahwa negara hancur kalau pemimpinnya adalah perempuan sebagai reaksi
atas berita suksesi kerajaan Persia yang digantikan anak perempuannya setelah
bapaknya meninggal dunia. Larangan tersebut dikarenakan pemimpin negara
memiliki tanggung jawab besar dan sulit bagi perempuan untuk memikul
tanggung jawab tersebut meskipun beberapa perempuan mampu melakukannya
tapi sangat jarang. Di samping itu, dalam dunia Islam pemimpin tidak hanya
sebagai pemimpin negara, tapi sebagai pemimpin dalam salat dan khatib
sekaligus. Kedua hal ini dalam fikh klasik tidak dibolehkan.53 Pandangan ini
menitikberatkan pada fungsi kepemimpinan. Menurutnya fungsi kepemimpinan
tidak hanya terbatas sebagai simbol akan tetapi, ia sebagai pemegang kekuasaan
_____________ 50Abû Ja'far Muhammad bin Jarîr bin Yazîd al-Tabarî, Tafsîr al-Tabarî, Jilid IV, (Kairo:
Bûlâq, 1323 H), 40. 51Al-Tabarî, Tafsîr al-Tabarî, Jilid IV, 41 52Ibid. 53Musthafâ al-Sibâ'î, Al-Mar`ah baina al-Fiqh wa al-Qânûn, Cet. III, (Kairo: Dâr al-
Salâm, 2003), 28-30
Al-Mu‘ashirah Vol. 11, No. 1, Januari 2014 89
tertinggi dan pelopor para pemikir dan bertugas menyampaikan pesan perang atau
perdamaian. Fungsi-fungsi ini tidak layak dipegang oleh perempuan.
Ulama berbeda pendapat dalam menetapkan hukum tentang boleh atau
tidak kaum perempuan untuk menjadi hakim dan top leader (perdana Menteri atau
Kepala Negara). Jumhur Ulama berpendapat, bahwa tidak boleh perempuan
menjadi hakim atau top leader, berdasarkan QS.;An-Nisa;34.54
- QS. Al-Taubah; 71
ن ون نات والم ؤم لمعر وفيم ر ونب عض أولياء ب عض ه موالم ؤم هونب الصلةوي قيم ونالم نكرعنوي ن (71)حكيم عزيز اللإنالل سي رح ه م أ ولئكورس وله اللوي طيع ونالزكاةوي ؤت ون
Prof. Huzaimah menukil pandangan al-Maraghi, mengatakan dalam ayat
tersebut mempergunakan kata ”aulia” (pemimpin), itu bukan hanya ditujukan
kepada pihak laki-laki saja, tetapi keduanya (laki-laki dan perempuan) secara
bersamaan. Berdasarkan ayat in, perempuan juga bisa menjadi pemimpin, yang
penting dia mampu dan memenuhi kriteria sebagai seorang pemimpin, karena
menurut ”tafsir al-Maraghi dan Tafir al-Manar”, bahwa kata ”aulia” mencakup
”wali” dalam arti penolong, solidaritas, dan kasih sayang.55
Menurut Prof. Quraish Shihab, tidak ditemukan dasar yang kuat bagi
larangan kepemimpinan perempuan. Justru sebaliknya ditemukan sekian banyak
dalil-dalil keagamaan yang dapat dijadikan dasar untuk mendukung hak-hak
perempuan dalam bidang politik. Salah satu ayat yang dapat dikemukakan dalam
kaitan ini adalah QS. al-Taubah/9: 71:
ن ون نات والم ؤم (72-7:71/التوبة...)ب عض أوليآء ب عض ه موالم ؤمArtinya: Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka
(adalah) menjadi penolong sebagian yang lain... (QS. al-Taubah/9:71-72)
Pengertian kata auliyâ di sini, mencakup kerja sama, bantuan dan
penguasaan. Sedang pengertian menyuruh mengerjakan ma’ruf mencakup segala
segi kebaikan/perbaikan kehidupan, termasuk memberi nasihat/kritik kepada
penguasa. Dengan demikian, setiap laki-laki dan perempuan hendaknya mampu
mengikuti perkembangan masyarakatnya, agar masing-masing mampu melihat
dan memberi saran/nasihat dan kritik dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk
kehidupan politik.
Prof. Quraish Shihab membolehkan kepemimpinan perempuan ber-
dasarkan ayat tersebut di atas, juga berdasarkan beberapa riwayat yang me-
nguraikan permintaan perempuan pada zaman Nabi untuk melakukan bai’at (janji
setia kepada Nabi dan ajaran Islam), permintaan ini terlaksana sebagaimana dalam
QS. al-Mumtahanah/60:12. Di samping itu, kenyataan sejarah juga
mengungkapkan sekian banyak perempuan terlibat dalam soal-soal politik praktis.
Quraish Shihab memberikan contoh Ummu Hani’ ra, dibenarkan sikapnya oleh
Nabi ketika memberi jaminan keamanan kepada dua orang musyrik (jaminan
keamanan sebagai salah satu aspek politik), bahkan Aisyah ra, istri Nabi
meninggalkan rumah di Madinah menuju Basrah di Irak untuk memimpin
_____________ 54 Huzaimah T.Yanggo, Fiqih Perempuan Kontemporer, 74 55 Huzaimah T.Yanggo, Fiqih Perempuan Kontemporer, 73
Fajri Chairawati: Emansipasi Wanita dalam Perspektif Al-Qur'an dan Hadits 90
pasukan melawan 'Alî bin Abî Tâlib yang dilatarbelakangi dengan susksesi
kepemimpinan setelah terbunuhnya khalifah Ustman bin Affan.
Dua alasan yang dikemukakan dalam Tafsir al-Mishbâh yang memberikan
citra pembedaan laki-laki dan perempuan: secara fisik dan psikologis, meski kata
rijâl dimaknainya bukan dalam pengertian ‘suami’, jelas masih berkutat pada soal
kepemimpinan dalam konteks domestik, bukan publik. Uniknya, dalam Wawasan
al-Qurân, karya tafsir yang ditulis lebih dulu, Quraish menegaskan bahwa tidak
ada halangan bagi perempuan untuk berkiprah dalam ruang politik. Tidak ada
ketentuan agama yang membatasi bidang tersebut hanya untuk laki-laki. Dengan
mengutip QS. Al-Taubah/9: 71 dia memperkuat pendapatnya. Bahkan hadis yang
menyatakan tidak beruntung satu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada
perempuan56 diklaimnya sebagai hadis khusus yang diarahkan pada masyarakat
Persia.57
Di sini ada dua hal yang rancu. Pertama, dalam struktur rumah tangga, laki-
laki (suami) menjadi pemimpin, karena kelebihan-kelebihannya (fisik dan
psikologi). Meskipun, dalam suatu kasus ada perempuan (istri) yang mempunyai
kelebihan dibanding suaminya, ini menurutnya tidak bisa dijadikan kaidah umum,
karena bersifat kasuistik. Kedua, persepsi bahwa tak ada halangan—dengan
kemampuan—yang dimilikinya—bagi perempuan untuk berperan di ruang publik.
Pertanyaan yang muncul adalah, bila dalam ruang publik saja tidak ada halangan
bagi perempuan untuk berkiprah, mengapa dalam rumah tangga tidak?
Prof. Quraish Shihab berusaha mendamaikan dua perbedaan pendapat
tentang kepemimpinan perempuan. Menurutnya, banyak ulama dan pemikir masa
lalu, tidak membenarkan perempuan menduduki jabatan kepala negara, tetapi hal
ini lebih disebabkan oleh situasi dan kondisi masa itu, antara lain kondisi
perempuan sendiri yang belum siap untuk menduduki jabatan. Perubahan fatwa
dan pandangan pastilah terjadi akibat perubahan kondisi dan situasi, dan karena
itu tidak relevan lagi melarang perempuan terlibat dalam politik praktis atau
pemimpin negara.58
Prof. Huzaimah menegaskan dalam Surah al-Taubah ayat 71 tersebut dapat
disimpulkan, bahwa al-qur’an tidak melarang perempuan memasuki berbagai
profesi sesuai dengan keahliannya, seperti menjadi guru, dosen, dokter,
pengusaha, menteri, hakim, kepala negara dan lain sebagainya, asal dalam
tugasnya tetap memperhatikan hukum-hukum atau aturan-aturan yang telah
ditetapkan oleh al-quran dan al-sunnah, misalnya tidak terbengkalai urusan dan
tugasnya dalam rumah tangga, harus ada izin dan persetujuan dari suaminya, bila
ia seorang yang bersuami, supaya tidak mendatangkan yang negatif terhadap
dirinya.
Hanya saja dalam hal ini, ulama berbeda pendapat dalam menetapkan
hukum boleh atau tidak kaum perempuan untuk menjadi hakim atau top leader
(perdana Menteri atau Kepala Negara). Jumhur Ulama berpendapat, bahwa tidak
boleh perempuan menjadi hakim, berdasarkan Q.S. al-Nisa’:34.59
_____________ 56Sahîh Bukhârî, Jilid XIII, h. 337 (no. 4073) Fath al-Bârî, Jilid XII, h. 281, XX (no.
4113), 107 (no. 6570), Tuhfat al-Ahwadz, Jilid VI, 48 (no. 2188). 57Quraish Shihab, Wawasan al-Qurân,(Mizan: Bandung, 1992), 314 58Quraish Shihab, Perempuan, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), 350 59 Huzaimah T.Yanggo, Fiqih Perempuan Kontemporer…, 73
Al-Mu‘ashirah Vol. 11, No. 1, Januari 2014 91
- Hadis tentang kepemimpinan Perempuan
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Turmuzi, al-Nasa’i dan
Ahmad bin Hanbal dalam musnadnya. Imam Bukhari meriwayatkannya dari Abi
Bakrah, dari al-Hasan, dari ’Auf, dari Usman bin al-Haisam, Teks hadisnya
adalah;
إمرأةول وأمرهمالقوميفلحلن
Artinya: Tidak akan bahagia sesuatu kaum yang mengangkat sebagai pemimpin
mereka seorang perempuan
Dr. Kamal Jaudah, sebagaimana di nukil oleh Prof.Huzaimah mengatakan
bahwa hadis Abi Bakrah di atas melarang perempuan sendirian menentukan
urusan bangsanya, sesuai dengan asbab al-Wurud hadis ini, yaitu telah diangkat
anak perempuan Raja Kisrah untuk menjadi ratu atau pemimpin Persia. Sudah
diketahui, bahwa sebagian besar raja-raja pada masa itu, kekuasaannya hanya di
tangan sendiri dan diktator, hanya ia sendiri yang menetapkan urusan rakyat dan
negerinya, ketetapannya tidak boleh digugat.60
Kalau hadist Abi Bakrah mengatakan bahwa tidak akan bahagia suatu
kaum yang mengangkat perempuan sebagai pemimpin mereka, maka al-quran
mengatakan justru sebaliknya. Al-qur’an memaparkan kisah seorang ratu balqis,
hal ini berdasarkan Q.S. Saba; 15, an-Naml; 23-24, 27-28, 29,30,31, dan 32, 33,
34-35, 36-37, 38-40, 42-44.61
Dari uraian kisah Ratu Balqis yang dilukiskan al-qur’an dalam surah al-
Saba’ dan al-Naml, bahwa kaum perempuan berhak untuk memimpin suatu
negara (Presiden atau Perdana Menteri), sebagaimana halnya kaum laki-laki, bila
mereka memiliki kriteria persyaratan sebagai pemimpin.
Pengangkatan tema Ratu Balqis di dalam al-Qur’an mengandung makna
implisit bahwa perempuan boleh menjadi pemimpin sebagaimana halnya laki-laki.
Oleh sebab itu Muhammad Jarir al-Thabary dan Ibn Hazm berpendapat, bahwa
hadist Abi Bakrah tersebut melarang perempuan menjadi top leader seperti
Kepala Negara Islam atau Khalifah. Untuk jabatan lainnya boleh, seperti jumhur
Ulama juga berpendapat demikian. Namun, kalau al-Thabary dan Ibn Hazm masih
membolehkan wanita menjadi Perdana Menteri atay hakim, sedangkan Jumhur
Ulama tidak boleh berdasarkan Abi Bakrah.62
Kesimpulan yang ditawarkan oleh Prof. Huzaimah ialah bahwa perempuan
diperbolehkan menjadi kepala negara atau kepala pemerintahan (Perdana
Menteri). Selama dalam suatu negara, di mana sistem pemerintahan berdasarkan
musyawarah. Seorang kepala negara tidak lagi harus bekerja keras sendirian,
tetapi dibantu oleh tenaga-tenaga ahli sesuai dengan bidang masing-masing
(menteri dan staf ahlinya). Karena itu tidah ada halangan bagi seorang perempuan
yang diangkat untuk menduduki jabatan itu, mampu dan kapabel untuk
menjalankan tugas-tugasnya.63
_____________ 60 Ibid. 61 Huzaimah T.Yanggo, Fiqih Perempuan Kontemporer…, 73 62 Ibid. 63 Ibid.
Fajri Chairawati: Emansipasi Wanita dalam Perspektif Al-Qur'an dan Hadits 92
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat di simpulkan bahwa : pertama, para wanita
Mukmin tidak perlu menggugat bila Islam menyerahkan kepemimpinan rumah
tangga di tangan pria, karena Allah Swt. telah menjamin hak-hak wanita dengan
sebaik-baiknya, selama rumah tangga tersebut diajalankan sesuai dengan
ketentuan Allah.
Kedua, Adanya hak dan kewajiban dalam keluarga pada dasarnya bertujuan
untuk menjaga keharmonisan hubungan antar anggota keluarga. Masing-masing
anggota keluarga memiliki kewajiban yang harus dilaksanakan demi untuk
menghormati dan memberikan kasih sayang (mawaddah wa rahmah) kepada
anggota keluarga yang lain. Adanya hak dan kewajiban ini juga merupakan sarana
interaksi dan relasi antar anggota keluarga supaya tercipta komunikasi dan
pergaulan yang baik (Mu’asyarah bil al-Ma’ruf) sehingga tercipta rasa kasih
sayang dalam keluarga.
Ketiga, wanita karier adalah wanita-wanita yang menekuni profesi atau
pekerjaannya dan melakukan berbagai aktivitas untuk meningkatkan hasil dan
prestasinya. Dalam Islam wanita karier dibolehkan selama wanita bisa
menempatkan dirinya sesuai dengan kodrat kewanitaannya.
Keempat, larangan perempuan menjadi pemimpin, hemat penulis tidak
sejalan dengan misi pokok kehadiran Islam untuk menjunjung tinggi derajat
wanita, tidak sejalan dengan prinsip-prinsip persamaan yang ditegakkan Islam,
dan riil fakta dilapangan dimana ternyata secara individual banyak perempuan
yang mempunyai kemampuan di atas laki-laki. Bukankah dalam sejarah
perjuangan bangsa Indonesia tercatat sebagai pahlawan-pahlawan wanita, seperti
Cut Nyak Dhien (Aceh), Ibu Wahid Hasyim (NU), Ibu A’Isyah Dahlan
(Muhammadiyah), Kartini dan lain-lain. Insya Allah kita dapat meneruskan
perjuangan para pendahulu. Disinilah ditantang untuk berani memulainya?
Al-Mu‘ashirah Vol. 11, No. 1, Januari 2014 93
DAFTAR PUSTAKA
A. Hassan, Tafsir al-Fuqan, Bangil: Persatuan
Abdul Wahid, Mustafa, Wanita Dalam Pandangan Al-Qur’an, Alih Bahasa oleh:
Ali Hasyimi dalam Buku Apa Sebab Al-Qur’an tidak bertentangan dengan
Akal, Jakarta: Bulan Bintang, 1989
al-Alûsy, Mahmûd, Shihâbuddîn, Rûh al-Ma‘ânî Fi Tafsîr al-Qur’ân al-Azhîm wa
Sab’a al-Matsâni, Beirût: Dâr al-Fikr, vol. I
Ali Shâbuni, Muhammad, Rawa’i al-Bayân Tafsîr Ayat al-Ahkâm Min al-Al-
Qur’ân Damaskus: Maktabah al-Ghazâli, t.th, vol. 1
al-Qurthûbi,Abû Abdillah, Muhammad ibn Ahmad ibn Abi Bakr ibn Farah, al-
Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, Kairo: Dâr asy-Sya’b, 1372 H. vol.V
al-Râzi, Fakhr al-Dîn, al-Tafsîr al-Kabîr, Beirût: Dâr al-Fikr, t.th,
al-Sibâ'î, Musthafâ, Al-Mar`ah baina al-Fiqh wa al-Qânûn, Cet. III, Kairo: Dâr
al-Salâm, 2003
al-Tabarî, Abû Ja'far, Muhammad bin Jarîr bin Yazîd, Tafsîr al-Tabarî, Jilid IV,
Kairo: Bûlâq, 1323 H
Al-Wâhidi, Asbâb al-Nuzûl al-Qur’ân, CD.Maktabah al-Syamilah
al-Zuhaili, Wahbah, al-Fiqh al-Islamî wa Adillatuh, Beirût: Dâr al-Fikr, 1989, vol.
V.
Ash-Shiddiqy, Hasbi, Tafsir al-Qur’an al-Majid al-Nur, Semarang: Putra Rizki,
1995, vol. I
ath-Thabâri, Muhammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlîd Abû Ja’fâr, Jâmi’ al-
Bayân ‘an Ta’wîl Ay al-Qur’ân, Beirût: Dâr al-Fikr, 1405 H, vol. V
Hamka, Tafsir al-Azhar, Jakarta: Pustaka Panjimas,1982, vol. V
Hanshary, Hafiz, Ihdad Wanita Karir, dalam Huzaimah T.Yanggo (ed.),
Problematika Hukum Islam Kontemporer, Jakarta:Pustaka Firdaus, 2002
Humadi, As’ad Aysar al-Tafasir, CD. Maktabah al-Syamilah
Ibn Katsîr, Abû al-Fidâ’, Tafsîr al-Qur’ân al-Azhîm, Beirût: Dâr al-Fikr, 1401,
vol. I,
Ibn Qudamah, Al-Mughni Fi Fiqh al-Imam Ahmad Ibn Hanbal al-Syaibani, dalam
Kitab al-Nafaqah masalah faidha mana’aha Walam Tajid Ma Ta’khudhuhu.
Beirut: Dar al-Fikr, 1405, vol. 9.
Jalâluddîn as-Suyûthi, Abdur Rahmân ibn al-Kamâl, Dâr al-Mansyûr fî at-Tafsîr
al-Ma’tsûr, Beirût: Dâr al-Fikr, t.th, vol. III
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI,
Jakarta, 1989
Fajri Chairawati: Emansipasi Wanita dalam Perspektif Al-Qur'an dan Hadits 94
Sahîh Bukhârî, Jilid XIII, (no. 4073) Fath al-Bârî, Jilid XII, XX (no. 4113), h.
107 (no. 6570), Tuhfat al-Ahwadz, Jilid VI, (no. 2188).
Shâbuni, Ali, al-Shafwah al-Tafâsir, Beirût: Dâr al-Fikr, t.th, vol. II
Shihab, Quraish, Perempuan, Jakarta: Lentera Hati, 2005
-------------------, Wawasan al-Qurân,Mizan: Bandung, 1992
T.Yanggo, Huzaimah, Fiqih Perempuan Kontemporer, Jakarta: al-Mawardi
Prima, 2001
-------------------, Huzaimah, Masail Fiqhiyah Kajian Hukum Islam Kontemporer,
Bandung: Angkasa, 2005