edisi 101 th. xliii, 2013

80
Edisi 101 TH. XLIII, 2013

Upload: dangkhanh

Post on 12-Jan-2017

232 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: Edisi 101 TH. XLIII, 2013

Edisi 101 TH. XLIII, 2013

Page 2: Edisi 101 TH. XLIII, 2013

2 EDISI 101 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

PENGAWAS UMUM:Pimpinan DPR-RI

PENANGGUNG JAWAB/KETUA PENGARAH:Dr. Winantuningtyastiti, M. Si(Sekretaris Jenderal DPR-RI)

WAKIL KETUA PENGARAH: Achmad Djuned SH, M.Hum(Wakil Sekretaris Jenderal DPR-RI)

PIMPINAN PELAKSANA: Drs. Djaka Dwi Winarko, M. Si.

PIMPINAN REDAKSI: Dadang Prayitna, S.IP. M.H.(Kabag Pemberitaan)

WK. PIMPINAN REDAKSI: Dra. Tri Hastuti (Kasubag Penerbitan), Mediantoro, SE (Kasubag Pemberitaan)

REDAKTUR: Sugeng Irianto, S.SosM. Ibnur KhalidIwan Armanias

ANGGOTA REDAKSI: Nita Juwita, S.Sos Supriyanto Suciati, S.Sos Agung Sulistiono, SH

PENANGGUNGJAWAB FOTO:Eka Hindra

FOTOGRAFER: Rizka Arinindya

SEKRETARIAT REDAKSI: I Ketut Sumerta, S. IP Jainuri A. Imam S, S. A. P.

SIRKULASI: Abdul Kodir, SH

ALAMAT REDAKSI/TATA USAHA: BAGIAN PEMBERITAAN DPR-RI, Lt.II Gedung Nusantara III DPR RI, Jl. Jend. Gatot Soebroto-Senayan, Jakarta Telp. (021) 5715348,5715586, 5715350 Fax. (021) 5715341, e-mail: [email protected]; www.dpr.go.id/berita

Page 3: Edisi 101 TH. XLIII, 2013

3EDISI 101 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

Tahun 2013 yang sering disebut sebagai tahun politik sudah mulai terasa sejak awal tahun ini. Suhu politik diperkirakan akan semakin panas, seiring dengan makin dekatnya pesta demokrasi pemilu April 2014 disusul pemilu presiden pada tahun yang sama.

Parlementaria edisi 101 kali ini melaporkan perkembangan politik siklus lima tahunan tersebut dalam tema Menatap Suasana Politik 2014. Tema ini diangkat sejalan dengan tahun politik sekaligus mencermati peristiwa politik setelah beberapa UU bidang politik diamandemen.

Hingga kini tercatat baru RUU Pemilu ,RUU Penyelenggaraan pemilu dan RUU Parpol yang berhasil diselesaikan, sementara RUU Pilpres, RUU Pilkada dan RUU MD3 sebagai payung hukum beberapa lembaga negara itu masih dalam proses pembahasan.

Yang menjadi catatan kita antara lain pada pemilu mendatang akan diterapkan sistem proporsional terbuka berdasarkan suara terbanyak. System ini menyisakan berbagai ekses diantaranya kompetisi politik menjadi sangat ketat dan ongkos politik menjadi sangat mahal.Persaingan di internal partai sendiri akan berlangsung ketat, perebutan dukungan suara antara caleg nomor satu dengan nomor sepatu akan seru.

Selain itu pragmatisme politik tumbuh luar biasa, baik di level elit, maupun di level masyarakat pemilih.

Dalam kaitan ini masing-masing memiliki tanggung jawab untuk menciptakan satu kultur demokrasi yang betul-betul relevan, demokrasi yang makin berkualitas yang pada gilirannya akan tercipta system check and balances yang kuat

Sedangkan mengenai profil DPR ke depan tidak akan jauh berbeda dengan periode sekarang, setelah KPU menetapkan 12 parpol nasional berhak ikut bertarung dalam Pemilu 2014. Jika sekarang ada 9 fraksi DPR maka dengan 12 parpol jika perolehan kursi memenuhi ambang batas yang ditentukan, maka komposisi fraksi tidak akan jauh berbeda.

Dalam rubrik pengawasan diturunkan laporan mengenai konflik TNI-Polri dan melambungnya harga kebutuhan pokok, di rubrik anggaran dilaporkan mengenai temuan BAKN dalam kunjungan lapangan dan legislasi diturunkan laporan dua RUU yang masih dalam tahap pembahasan yaitu RUU Tapera dan RUU Pilkada.

Pemilihan Deputi dan Gubernur BI dan masalah meningkatnya kekerasan pada anak disajikan dalam rubrik sorotan sedangkan liputan khusus diturunkan laporan mengenai kegiatan Pimpinan DPR dan BKSAP mengikuti Sidang Umum Inter Parliamentary Union (IPU)-Organisai Parlemen Dunia ke 128 di Quito –Equador.Tak ketinggalan dalam rubrik kiat sehat, disajikan tulisan mengenai bagaimana memilih jenis hidangan sehat kaitannya dengan bahaya kolesterol.(mp)

Pengantar redaksi

Page 4: Edisi 101 TH. XLIII, 2013

4 EDISI 101 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

Dapatkan di:

Loby Gedung Nusantara 1 DPR RILoby Gedung Nusantara 2 DPR RILoby Gedung Nusantara 3 DPR RILoby Gedung Setjen DPR RIRuang Loby KetuaRuang Loby Wakil KetuaRuang Yankes

Terminal 1 dan 2Bandara Soekarno Hatta

Semua Majalah dan Buletin Parlementaria dibagikan secara gratis tanpa dipungut biaya apapun. Keterangan lebih lanjut dapat menghubungi Bagian Sirkulasi Majalah dan Buletin Parlementaria di Bagian Pemberitaan DPR RI, Lt.II Gedung Nusantara III DPR RI, Jl. Jend. Gatot Soebroto-Senayan, Jakarta, Telp. (021) 5715348,5715586, 5715350 Fax. (021) 5715341, e-mail: [email protected].

Page 5: Edisi 101 TH. XLIII, 2013

8

11

14

25

28

31

34

37

40

43

45

51

59

67

72

75

78

Pesan PiMPinan

PrOLOg

LaPOran UtaMa

sUMBang saran

PengaWasan

anggaran

LegisLasi

kiat seHat

PrOFiL

kUnJUngan kerJa dPr

sOrOtan

LiPUtan kHUsUs

seLeBritis

Pernik

POJOk ParLe

Implementasi Hukum Islam dan Kebijakan Lokal Di Aceh

Menatap Suasana Politik 2014

Para Caleg Masih Dipandang Sebagai Penyedekah Politik

Peta Calon Presiden 2014

Pemerintah Harus Jamin Ketersediaan dan Stabilitas Harga Sembako

Perlu Dijaga, Jangan Sampai Jadi Konflik Institusi

Stop Pencurian Uang Negara

Pilkada Serentak Ditargetkan Pada 2019

Menanti Rumah Murah Untuk Rakyat

Memilih Jenis Hidangan Sehat

Mohammad Syahfan Badri Sampurno

Kekerasan Pada Anak Pelanggaran HAM

Ipu Berkontribusi Beri Solusi Permasalahan Global

Arzeti Bilbina Huzaimi Setiawan

Reformasi Birokrasi. Saatnya Setjen DPR RI Berubah

KPPRI Gelar Diskusi Urgensi Pilkada Serentak

LaPOran UtaMa

PrOFiL

PengaWasan

Para CaLeg MasiH diPandang seBagai PenyedekaH POLitik

MOHaMMad syaHFan Badri saMPUrnO

PerLU diJaga, Jangan saMPai Jadi kOnFLik institUsi

Gerak perubahan sistem pemilu begitu cepat. Dari

proporsional tertutup men­jadi proporsional terbuka berdasarkan suara terba­nyak. Belum lagi tentang

besaran parliamentary threshold (PT) satu persen

lebih tinggi daripada pemilu sebelumnya, 2,5% menjadi 3,5%. Realitas ini,

merupakan perkembangan yang cukup penting.

Pangdam II Sriwijaya Mayjen TNI Nugroho Widyotomo akhirnya mengumumkan telah menuntaskan penyelidikan kasus pembakaran Markas Kepolisian Ogan Komering Ulu (OKU). 6 orang anggota Armed (Artileri Medan) Martapura, OKU telah dinyatakan sebagai tersangka.

| 14

| 45

Sosoknya begitu tenang dan bersahaja. Ramah dan visioner juga menjadi citra dirinya. Di tengah kesibukannya sebagai anggota DPR RI, ia masih bisa menerima Parlementaria untuk sesi wawancara. Inilah Mohammad Syahfan Badri Sampurno, Anggota Komisi V dan Wakil Ketua Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR RI. Berbincang soal dakwah dan pemberdayaan masyarakat, maka sangat tepat bertemu dengan Anggota Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera ini.

Page 6: Edisi 101 TH. XLIII, 2013

6 EDISI 101 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

ASPIRASI

Surat dari Nico Indra Sakti, yang ditujukan kepada Ketua DPR RI, Ketua Komisi II,dan Komisi III DPR RI perihal penyampaian pengaduan mengenai tidak dilaksanakannya Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 303/Pdt.G/2001/PN.Jak.Sel tanggal 17 Januari 2002 tentang sengketa tanah SHM No. 350/Kelurahan Rawa Barat oleh Kepala BPN RI.

Dengan tidak dilaksanakannya Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 303/Pdt.G/2001/PN.Jak.Sel, pelapor sebagai salah satu ahli waris atas tanah tersebut mengajukan permohonan kepada BPN untuk melaksanakan dan menindaklanjuti putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, namun tidak mendapat tanggapan.

Pelapor kecewa dengan persyaratan yang mengharuskan adanya surat perintah PTUN Jakarta untuk melaksanakan Putusan PTUN tersebut, yang berarti pelapor harus menunggu selama 3 (tiga) bulan terhitung sejak putusan dikeluarkan atau sesuai Peraturan Kepala BPN No. 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan, menunggu selama 2 (dua) bulan tenggat waktu yang mewajibkan BPN melaksanakan putusan pengadilan.

Pengaduan Masyarakat Perihal BPN RI Tidak Taat Asas Hukum

Surat dari Sri Rahardjo, menyampaikan pemberitahuan dan ucapan terima kasih atas perhatian dari Pimpinan DPR RI yang telah menindaklanjuti surat aspirasi pelapor tanggal 12 Nopember 2011 tentang pengajuan nama alm. H.M Yusuf (mantan Ketua BPK RI) untuk diabadikan menjadi nama sebuah Stadion Utama Sepak Bola di Gedebage, Bandung, Jawa Barat. (Terlampir analisa surat aspirasi Pelapor)

Menurut pelapor, alasan nama HM. Yusuf tesebut diabadikan karena alm. H.M. Yusuf adalah seorang yang sangat amanah dalam mengemban tugas dan kewajibannya sebagai Ketua BPK RI.

Pelapor berharap agar rakyat menghargai jasa para pahlawannya yang telah berjasa membangun NKRI.

Penamaan Stadion Sepak Bola

Page 7: Edisi 101 TH. XLIII, 2013

7EDISI 101 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

Surat dari LSM Ranchunit kepada Ketua DPR RI dan Ketua Komisi III DPR RI perihal laporan dugaan tindak pidana pemanfaatann limbah B3 (oli bekas, minyak kotor, drum bekas, dll) yang dihasilkan PT Krakatau Steel (PT KS) oleh PT Purna Baja Hacket (PT PBH).

PT KS mendirikan sebuah perusahaan non BUMN yaitu PT PBH sebagai pengelola limbah B3 yang dihasilkan PT KS, tanpa melalui tender dengan kontrak tunggal monopolistik, padahal PT PBH tidak memiliki ijin pengelolan limbah B3 dari Kementerian Negara Lingkungan Hidup.

Pelapor memohon kepada Komisi III DPR RI meminta BPK untuk melakukan audit investigasi terkait tata kelola limbah B3 yang dihasilkan oleh PT KS dan dikelola secara ilegal oleh PT PBH sehingga diketahui secara pasti kerugian yang telah dialami oleh negara dan selanjutnya hasil audit tersebut disampaikan kepada KPK serta melakukan verifikasi langsung ke Kementerian Lingkungan Hidup terkait pembiaran kegiatan PT KS dan PT PBH tersebut.

Demikian Permasalahan pelapor terkait dengan lingkungan hidup, kiranya diteruskan kepada Komisi VII DPR RI.

Dugaan Tindak Pidana Pemanfaatan Limbah B3

Surat dari M. Salim Dulay, anggota Koperasi Produsen Sawit Tolu Sakti Bona Bulu, Desa Ampolu, Kecamatan Sosa, Kabupaten Padang Lawas, Sumatera Utara. Pelapor pernah menyampaikan laporan kepada KPK tentang tindakan PT Torus Ganda yang melakukan pengutipan terhadap hasil kebun kelapa sawit yang merupakan aset negara yang pengelolaannya diserahkan kepada Inhutani IV atas lahan seluas 47.000 hektar di Kabupaten Padang Lawas. Menurut KPK tindakan PT Torus ganda tersebut bukan merupakan tindakan yang merugikan negara atau tindakan korupsi.

Menurut pelapor, LSM Komnas Penyelamat Aset Negara DKI dan Forum Peduli Petani Indonesia Medan, kedua surat jawaban dari KPK yang menyatakan bahwa tindakan perusahaan tersebut bukan tindakan korupsi karena tidak merugikan negara adalah keliru dan membingungkan pelapor selaku masyarakat awam.

Pelapor memohon kepada Presiden RI dan Ketua DPR RI untuk menindaklanjuti surat pelapor tersebut demi menyelamatkan perekonomian negara dan rakyat Indonesia.

Pembiaran Tindakan Korupsi yang Dilakukan Pihak PT. Torus Ganda di Kab. Padang Lawas

Page 8: Edisi 101 TH. XLIII, 2013

8 EDISI 101 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

IMPLEMENTASI HUKUM ISLAM DAN KEBIJAKAN LOKAL DI ACEH

Tidak lepas dari pengesahan Qanun, yang pada saat opini ini ditulis masih dievaluasi oleh Pemerintah Pusat, patut kita cermati kembali pemikiran mengenai makna implementasi hukum Islam dan kebijakan lokal di Aceh.

Tidak dapat dipungkiri, masya­ra kat Aceh khususnya, sangat menginginkan kembali hadirnya kejayaan “Tanah Rentjong” seba­gaimana kejayaan Kerajaan Samu­dera Passai di abad ke­14. Kesultanan Passai atau Samudera Passai, adalah kerajaan Islam pertama di Nusantara yang kaya dan makmur, yang amat disegani oleh penjajah Barat maupun negara­negara wilayah Asia Tenggara. Masa kejayaan Samudera Passai, sebagai kerajaan Islam pertama di Nusantara dengan julukan “Serambi Mekkah” inilah, yang kemudian menjadi model bagi masyarakat Aceh untuk diwujudkan kembali di masa sekarang.

Berbagai diskusi, seminar, dan berbagai upaya yang telah dilakukan untuk mewujudkan kejayaan Aceh, termasuk implementasi hukum Islam dan berbagai kebijakan lokal terkait otonomi daerah. Tidak terkecuali Seminar Internasional Samudera

Pase di Kota Lhokseumawe yang saya hadiri beberapa waktu lalu, juga bertujuan untuk menggali kembali peradaban Islam dan peran strategis Aceh sebagai pusat pembaruan menuju tata kehidupan yang lebih Islami.

Politik Islam

B erb ic ar a mengenai upaya i m p l e m e n t a s i h u k u m I s l a m dan kebijakan lokal Aceh, tentu saja tidak lepas dari berbicara mengenai Islam sebagai “Politik Islam” (Siyasah Islamiyah). Jangan ke l i ru dengan is t i lah “ I s lam

Politik” yang menempatkan Islam sebagai “objek politik ”, misalnya menggunakan simbol­simbol Islam untuk kepentingan politik praktis pada partai­partai tertentu. Politik Islam memiliki pengertian lebih luas, mengandung pemikiran yang bermula dari masalah etika politik, falsafah polit ik , kepercayaan, hukum, dan sebagainya, hingga tata­cara hidup bernegara. Para orientalis Barat pun mengakui, Islam lebih dari sekadar agama, namun juga mencerminkan sistem peradaban yang lengkap, yang mencakup agama dan negara secara bersamaan. Islam bukanlah semata agama (a religion), namun juga merupakan sebuah sistem politik (a political system). Bahkan boleh dikatakan bahwa keragaman khazanah pemikiran politik Islam itu bermula pada pemikiran tentang hubungan agama dan negara.

Meskipun pada beberapa puluh tahun belakangan ini ada se­mentara kalangan ummat Islam yang mengklaim dir i sebagai kalangan “modernis”, yang beru­saha memisahkan kedua sisi itu, yaitu Islam dan politik, namun seluruh gagasan pemikiran Islam sesungguh nya dibangun di atas

Beberapa waktu belakangan ini, perhatian masyarakat kembali mengarah ke Aceh. Perhatian tersebut muncul bukan karena bencana gempa bumi, tsunami atau munculnya kelompok separatis di wilayah ini, namun oleh disahkannya Qanun No. 3 tahun 3013 tentang Bendera dan Lambang Aceh, yang mengadopsi lambang dan bendera yang mirip simbol Gerakan Aceh Merdeka, sebagai lambang dan bendera Aceh. Dengan peristiwa ini, masyarakat dan Pemerintah kemudian kembali bertanya, apakah yang diinginkan oleh masyarakat Aceh telah difahami oleh Pemerintah Daerahnya? Sebab kebijakan implementasi hukum Islam dan kebijakan lokal di Aceh, seperti disahkannya Qonun No. 3 tahun 3013, justru mengundang keraguan dari masyarakat Aceh sendiri.

OLeH dr. MarzUki aLie

PESAN PIMPINAN

Page 9: Edisi 101 TH. XLIII, 2013

9EDISI 101 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

fundamen bahwa kedua sisi itu sal ing bergandengan dengan selaras dan tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Pemikiran tentang pemisahan Islam dan politik yang berkembang sebagai pemikiran “Islam politik”, yang ujung­ujungnya tetap saja menggunakan Islam sebagai simbol gerakan politik, sesungguhnya berkembang dari paham “sekularisme” yang muncul sejak era Revolusi Prancis. Sejak Revolusi Perancis, agama Kristen relatif telah selesai membahas hubungan gereja dan negara, yaitu bahwa gereja harus terpisah dari negara. Namun demikian, Islam masih tetap pada “penyatuan Islam dan politik ” sejak zaman Nabi hingga kini, bahkan “pemisahan Islam dan Politik” kemudian menjadi

tantangan besar bagi ummat Islam dalam menjalankan keislamannya secara kaffah.

Menurut para ulama muslim, yang menjadi tumpuan dalam siyasah islamiyah, setidaknya adalah pertama, untuk menjaga agama dan mengatur kehidupan dunia (harasatud din wa siyasatud dunya) dalam satu tarikan nafas. Kedua, pendekatan kebijakan yang ber tumpu pada pr insip yaitu kebijakan pemerintah atas r ak ya t nya d i d asar kan p a d a kemaslahatan rakyat (tashorruful imam ‘alar ra’iyah manuthun bil mashlahah).

Kemas lahat an r ak y at y ang men jadi kewajiban pemerintah berwujud perlindungan atas hak­hak dasar rakyat yang terakumulasi dalam lima hak, yaitu: perlindungan agama (hifdhud-din), perlindungan jiwa (hifdhun-nafs), perlindungan akal (hifdhul-aql), perlindungan kekayaan (hifdhul - mal), dan perlindungan reproduksi (hifdhun-nasl). Perlindungan terhadap lima hak inilah yang menjadi tanggung­jawab terhadap berdirinya sebu ah pemerintahan (khususnya pemerin­tahan Islam) dengan mengelaborasi konsep dan metode implementasi hukum­hukum Islam. Sementara itu, rakyat atau ummat, mempunyai kewajiban patuh dan taat kepada pemerintah, selama pemerintah p e m e g an g ke k u as a an te t ap

menja lankan amanat dan berbuat keadilan, sebagaimana disebutkan pada QS. An­Nisa ayat 58.

D u a k e w a j i b a n inilah, (yaitu ke wa jiban pemer intah terhadap rak yat dan kewajiban r a k y a t t e r h a d a p pemerintah), yang harus d i p e n u h i s e h i n g g a tercipta ruang siyasah islamiyah bagi terciptanya peradaban ummat. Tata­kelola pemerintahan harus bertumpu pada kesetaraan dan harmonisasi antara u l a m a ’ , u m a r a ’ d a n rakyat secara sinergis,

yang masing­masing mempunyai k e w a j i b a n d a n h a k d a l a m menjalankan tugas pokok dan fungsinya, sesuai dengan prinsip menjaga tradisi lama yang baik dan menyempurnakan dengan yang baru yang lebih baik.

Inilah inti dari politik Islam yang bertujuan untuk kemaslahatan kehidupan ummat, baik di dunia maupun di akhirat.

Kebijakan Lokal

Tidak dapat dipungkiri, masyarakat Aceh menginginkan berbagai upaya untuk mengembalikan kejayaan

Aceh sebagai pusat i lmu dan peradaban Islam, menjaga dan menegakkan ajaran Islam yang moderat dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Upaya ini tentu saja tidak mudah, sebab cakupannya sangat luas, antara lain: pertama, mengatur peri­kehidupan politik, ekonomi, sosial dan budaya masyarakat, kedua, menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik, bersih dan berwibawa, dan ketiga, menciptakan sumber daya manusia yang unggul dan berkualitas. Sementara, kita mendapatkan problem­problem utama yang harus diselesaikan, seperti kemiskinan, ke b o d o h a n , p e n g a n g g u r a n , kerawanan sosial, keamanan, aparat birokrasi, dan lain­lain.

Mewujudkan Aceh sebagai pusat ilmu dan peradaban Islam, menjaga dan menegakkan ajaran Islam mo­derat yang tidak mudah, tentu memerlukan strategi yang baik. Strategi tersebut harus mencakup banyak hal, misalnya strategi struktural (regulasi) maupun strategi sosio­kultural.

Keberlakuan hukum Islam di Indonesia secara yuridis formal telah mendapat tempat dalam UUD NRI Tahun 1945, khususnya Pasal 29. Di Aceh, setelah mengalami beberapa pemberlakuan UU, saat ini berlaku UU otonomi khusus bagi Aceh. Pasca Reformasi, Pemerintah Indonesia mengeluarkan UU No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, kemudian UU No. 18 Tahun 2001 yang mengatur penyelenggaraan otonomi khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nangroe Aceh Darussalam. Selanjutnya, UU No. 18 Tahun 2001 dinyatakan tidak berlaku oleh UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Salah satu aspek yang menjadi bagian dari kerangka otonomi khusus di Aceh adalah pemberlakuan syari ’at Islam dalam kehidupan sehari­hari sesuai dengan tradisi dan norma yang hidup masyarakat Aceh. Namun dalam bidang hukum

Page 10: Edisi 101 TH. XLIII, 2013

10 EDISI 101 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

pidana, hukum pidana Islam, baru diterapkan terhadap beberapa tindak pidana tertentu yang terjadi di Provinsi Aceh dan dituangkan dalam Qanun Aceh (peraturan sejenis Peraturan Daerah) yaitu larangan mengkonsumsi minuman khamar dan sejenisnya, larangan melakukan perbuatan maisir (perjudian), dan larangan melakukan khalwat (mesum). Beberapa Qanun lain juga sedang dibahas, termasuk Qanun No. 3 tahun 3013 tentang Bendera dan Lambang Aceh.

Melihat beberapa Qanun yang sudah ada maupun yang sedang d ip er s iapkan, sesungguhny a upaya pelaksanaan syari’at Islam telah banyak diupayakan. Namun, pelaksanaan syariat Islam yang terwujud dalam Qanun tersebut belum benar­benar berhasil dalam membentuk masyarakat yang Islami.

Pada tahun 2012 saja, telah terjadi sebanyak 3086 kasus pelanggaran hukum Islam yang terjadi di Aceh. Kasus tersebut terdiri atas 2.318

kasus pelanggaran akidah ibadah dan syiar islam, 51 kasus khamar, 78 kasus maisir, dan 693 kasus khalwat. Ini artinya, pembentukan berbagai regulasi ini tidak cukup. Perlu strategi sosio­kultural yang seiring dengan pemberlakuan hukum positif tadi. “Dakwah” sosio­kultural inilah yang menjadi kunci dalam membangkitkan kejayaan ummat.

Makna dakwah sangat luas. Dakwah adalah seruan (ajakan) kepada keinsafan atau usaha mengubah situasi yang buruk menjadi lebih baik dan sempurna. Tak sekadar berceramah, bahkan terkadang tidak harus dengan mengajak. Melalui keteladanan, akhlak dan perilaku baik, bisa jadi kita telah berdakwah dan mendapat pahala­Nya.

Dalam konteks Aceh, Dakwah inilah yang harus dilakukan terus menerus, sehingga masyarakat Aceh memiliki pemahaman yang sama terhadap implementasi hukum Islam dan kebijakan lokal yang hendak diterapkan.

Penutup

Melihat kejayaan Aceh di masa lalu dengan ciri khas masya rakatnya yang religius, sesungguhnya t i d a k a d a y a n g meragukan “keislaman Aceh”. Di sinilah muncul K e s u l t a n a n I s l a m pertama di Nusantara, dan Pemerintah telah m e m b e r i k a n s t a t u s otonomi khusus kepada masyarakatnya. Namun, k i t a m e l ih at b ahw a cita­cita mewujudkan A ce h s e b a ga i p us at i lmu dan peradaban Islam, hingga kini masih banyak persoalan, baik dalam elaborasi konsep, implementasi hukum sampai perilaku ummat. Beberapa Qanun yang diber lakukan, adalah upaya yang baik untuk mewujudkan cita­cita

tersebut, meskipun dalam beberapa hal justru menimbulkan keraguan seperti pada Qanun tentang bendera dan lambang.

Sesungguhnya di Aceh, masih banyak persoalan ummat yang harus diselesaikan. Persoalan ummat tidak selalu berupa pelanggaran terhadap hukum positif (Qanun) semata, namun juga permasalahan lain, terutama masalah akhlak dan perilaku ummat. Ar tinya, konsentrasi terhadap masalah­m a s a l a h p e n e r a p a n h u k u m positif, tidaklah cukup mampu membangkitkan kejayaan Aceh, tanpa didukung kegiatan dakwah secara massif. Dak wah yang dilakukan terus menerus, Insya Allah, akan membuka pemahaman m as y ar ak at A ce h , s e h i n g g a keinginan masyarakat Aceh benar­benar dimengerti oleh Pemerintah Daerah tanpa harus memaksakan Qanun yang bersifat simbolik, seperti lambang dan bendera. Wallahu’alam Bishawab.** Foto: Od/Parle.

PESAN PIMPINAN

Page 11: Edisi 101 TH. XLIII, 2013

11EDISI 101 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

PROLOG

Menjelang pelaksanaan pemilu 2014 ditengarai perkembangan politik nasional akan semakin meningkat, sehingga tidak dapat disangkal jika tahun 2013 ini disebut sebagai tahun politik. Tanda-tanda menghangatnya suhu politik sudah mulai terasa sejak awal tahun ini, termasuk konflik pilkada di beberapa daerah. Tahapan-tahapan

pemilu yang telah dimulai termasuk penetapan 10 parpol yang disusul kemenangan gugatan dua parpol di PT TUN-akhirnya menambah jumlah kontestan pemilu 2014 menjadi 12 partai nasional. Keseluruhanya adalah 15 parpol, dimana 3 parpol lainnya adalah partai lokal Aceh.

Page 12: Edisi 101 TH. XLIII, 2013

12 EDISI 101 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

Dari sisi perangkat hukum, tiga RUU telah berhasil diselesaikan yakni RUU Pemilu, RUU Penyelenggaraan Pemilu dan RUU Parpol. Tiga

RUU lain yang mengatur kelembagaan hasil pemilu yaitu RUU Pilkada, RUU Pilpres dan RUU MPR, DPR, DPRD dan DPD (MD3) masih dalam proses pembahasan.

Mencermati perubahan dalam RUU Pemilu, sistem­nya sudah mengalami perubahan, dari proporsional tertutup, kemudian menjadi proporsional terbuka, dengan berdasarkan suara terbanyak. “Ini merupakan per kem bangan yang cukup penting dalam konteks sistem pemilu kita, meskipun ada beberapa celah yang mesti kita perbaiki lagi ke depan. Misalnya, untuk menjadi anggota DPR, ongkos politiknya sangat mahal,” ungkap pengamat politik Alfan Alfian.

Adanya pemikiran untuk menserentakkan penye leng­garaan pemilu, sehingga lebih menghemat bia ya, ini juga gagasan­gagasan baru yang mesti diantisipasi ke depan. Dari segi proses penyederhanaan sistem kepartaian 12 partai nasional merupakan suatu perkembangan yang signi fikan dalam proses penyederhanaan sistem kepartaian.

Semula 48 partai di tahun 1999, kemudian 24 partai, naik lagi jadi 38 partai di 2009, dan sekarang menjadi 12 partai. Ini, kan, sudah merupakan perkembangan.

Secara faktual, ini perkembangan yang cukup bagus, karena tercipta satu desain politik yang memungkinkan penyederhanaan politik itu terjadi tanpa harus melalui rekayasa politik dari atas, seperti yang dilakukan Orde Baru, yang memaksakan dari 10 parpol, menjadi 3 orsospol, yaitu 2 parpol dan 1 Golkar.

Sistem politik sehat

Menanggapi system proporsional terbuka pemilu mendatang, anggota Komisi II DPR Yasonna H. Laoly mengatakan, persaingan antarparpol dan calon anggota legoslatif (caleg) akan semakin ketat. Sistem proporsional terbuka dengan suara terbanyak akan menciptakan kompetisi politik yang ketat, tidak saja di eksternal partai, tapi juga di internal partai.

“Nah, saya kira ini langkah baik untuk mengkonsolidasi partai politik dan agar sistem politik kita tidak dipenuhi partai­partai politik. Kita mengarah pada satu sistem perpolitikan nasional yang semakin sehat,” tutur Yasonna. Penerapan parliamentary threshold menjadi 3,5%, dari sebelumnya 2,5%, semakin mengukuhkan kesesuaian sistem presidensial yang dianut konstitusi kita.

“Kita melihat, seharusnya dalam sistem presidensial, jumlah partai politik tidak terlalu banyak. Jadi, dengan rekayasa UU Pemilu dan Parpol, saya kira demokrasi kita akan lebih sehat ke depan. Itu harapan saya dan kita semua,” ungkap Yasonna. Hanya saja, memang, ada ongkos politik yang harus dibayar dan itu sangat mahal.Hingga saat ini belum ada aturan mainnya. Ongkos yang mahal ini merupakan ekses dari penerapan sistem Pemilu.

Rekannya dar i FPG Azhar Romli mengatakan, dengan disahkannya UU Pemilu yang baru, l e m b a g a p a r l e m e n diharapkan semakin kuat. Keter waki lan par tai ­partai politik di DPR RI semakin mengukuhkan sistem presiden sial.

“ Penguatan kelem­b a g a a n p a r l e m e n sangat diharap kan untuk menopang penguatan s is tem pres idens ia l . Check and balances antara eksekutif dan legislatif harus berjalan. Bahkan, dengan UU N o. 8 / 2012 d i h ar ap ­kan dapat merekrut anggota­anggota yang berkualitas,” jelas Azhar.

Anggota Fraksi Partai Golkar(F­PG) ini, melihat, sis­tem proporsional terbuka dengan suara terbanyak merupakan keputusan politik yang sangat tepat saat ini. Artinya, dengan sistem ini, kita ingin menempatkan kedaulatan rakyat pada tempatnya. Hanya saja menu­

PROLOG

Page 13: Edisi 101 TH. XLIII, 2013

13EDISI 101 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

rut Azhar teknik penghitungan suara untuk penentuan calon anggota legislatif (caleg) terpilih itu harus dihitung habis terlebih dahulu dalam satu daerah pemilihan (dapil) seperti diusulkan F­PG.

Saat ini RUU Pilpres sendiri masih di bahas di Badan Legislasi (Baleg) DPR. Sempat ingin dibawa ke Rapat Paripurna, namun ditunda. Masih dibutuhkan lobi antar faksi untuk memuluskan jalannya pengesahan UU usulan inisiatif DPR ini. Setidaknya ada empat fraksi yang menunda, sehingga masih butuh waktu sedikit lagi untuk merampungkannya.

Ek ses dar i p ener apan sistem Pemilu dengan propor­sional terbuka adalah ongkos atau biaya politik dalam kampanye Pemilu 2014 akan membengkak. Antar caleg dipastikan saling bersaing ketat, tidak saja menyangkut konsep dan program yang ditawarkan, tapi juga dana besar yang harus dikeluarkan. Untuk itu, perlu diatur dalam undang­undang tersendiri.

Menurut Yasonna, sebetulnya ada keinginan dari fraksinya untuk mengatur biaya politik yang terlalu tinggi ini dalam setiap Pemilu. Ongkos politik yang tinggi tidak saja membebani anggaran negara, tapi juga para caleg yang bertarung dalam Pemilu. Cara yang paling efektif mungkin memperkecil luasan daerah pemilihan (dapil). Selama ini, para caleg harus menguasai 2 sampai

3 kabupaten dalam satu dapil. Tentu saja ini menguras ongkos politik yang sangat mahal.

Lembaga Presiden Diperkuat

Dalam RUU Pemilihan Presiden (Pilpres) yang akan datang, diupayakan kelembagaan presiden menjadi lebih kuat lewat penerapan sistem presidensial yang konsisten. Presidential threshold tampaknya masih tetap dipertahankan pada angka perolehan kursi 20% suara di parlemen. Walau pun ada fraksi yang mengusulkan lebih rendah, yaitu 3,5% sesuai perolehan parliamentary threshold untuk mengusung kandidat presiden, UU Pilpres dipastikan akan segera bisa diselesaikan.

Azhar Romli mengatakan, itu semua dalam rangka komitmen kita membangun kelembagaan presiden yang kuat dengan sistem presidensial.” Bila presiden terpilih nanti dari suatu partai yang suaranya tidak signifikan pada Pemilu, itu sangat rentan mengalami konflik politik. Besar kemungkinan presidennya juga akan sulit mengambil keputusan, karena selalu ditentang oleh partai­partai besar di parlemen. Di sinilah pentingnya angka yang tinggi untuk presidential threshold.

Ia mencontohkan, saat ini Presiden SBY saja masih kerap digoyang di parlemen, padahal partainya pemenang Pemilu dan telah membangun koalisi. Kita tidak bisa bayangkan kalau nanti juga muncul kandidat presiden dari perseorangan, non partisan. Efektifitas kerja lembaga kepresidenan dipastikan akan terus terganggu. “Makanya, MK menolak gugatan seorang presiden dari jalur perseorangan. Kalau tidak ada

dukungan dari parlemen sangat susah bergerak,” kata Azhar.

Terhadap profil dan kinerja DPR ke depan, pengamat politik Alfan Alfian mengaku tidak sepenuhnya optimis, karena melihat system dan p ros esny a dan m e l ihat pragmatisme transaksional kemudian tidak optimalnya partai dalam perekrutan caleg itu juga masih terjadi.

Pasalnya, sambung Alfan, waktunya sudah sangat mepet sedang proses perekrutan caleg, publik tidak sepenuhnya tahu sehingga prosesnya hampir sama dengan DPR sebelumnya. “Kalau itu yang terjadi saya tidak sepenuhnya optimis pemilu 2014 akan menghasilkan DPR yang lebih baik dari pada anggota DPR sekarang,” ungkap Alfan menambahkan. (mh,mp, sf, ray) Foto: Doc/Parle.

Page 14: Edisi 101 TH. XLIII, 2013

14 EDISI 101 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

Ekses dari penerapan sistem proporsional terbuka dengan suara terbanyak adalah ong kos politik yang sangat mahal. Ini perlu pengaturan tersendiri dalam UU. Kita tidak ingin, para caleg yang nanti terpilih malah melakukan penyelewengan ter hadap keuang an negara untuk meng ejar modal politik yang telah dikeluarkan selama kampanye.

Begitulah cuplikan pandangan seorang pengamat politik dari Universitas Nasional (UNAS) Jakarta dan peneliti pada Akbar Tanjung Institute (ATI). Wartawan Parle-

men tar ia Muhammad Husen, Mas tur P r an tono, dan foto ­grafer Rizka Arinindya, ber ha sil mewawancarainya pada akhir Maret lalu di ATI. Berikut penuturannya.

Bagaimana iklim politik yang akan terjadi pada Pemilu 2014 setelah amandeman UU Pemilu diberlakukan?

Dari segi proses dan perbaikan sistemnya, menurut saya sudah lebih baik daripada menjelang pemilu 1999, 2004, dan 2009. Misalnya, pembentukan KPU, kan,

sudah mulai belajar dari masa­masa sebelumnya, sehingga KPU yang ada sekarang itu lebih banyak diisi oleh mereka yang sebelumnya aktif di KPUD sehingga sudah memiliki pengalaman lapangan yang lebih baik. Itu dari sisi penyelenggaraan pemilu.

Dari segi sistem pemilu, sudah terjadi perubahan. Dari proporsional tertutup, kemudian menjadi propor­sional terbuka, dengan berdasarkan suara terbanyak. Ini merupakan perkembangan yang cukup penting dalam konteks sistem pemilu kita.

PARA CALEG MASIH DIPANDANG SEBAGAI PENYEDEKAH POLITIK

LAPORAN UTAMA

aLFan aLFian

Gerak perubahan sistem pemilu begitu cepat. Dari proporsional tertutup menjadi proporsional terbuka berdasarkan suara terbanyak. Belum lagi tentang besaran parliamentary threshold (PT) satu persen lebih tinggi daripada pemilu sebelumnya, 2,5% menjadi 3,5%. Realitas ini, merupakan perkembangan yang cukup penting.

Page 15: Edisi 101 TH. XLIII, 2013

15EDISI 101 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

Nah, dari segi perbaikan sistem ini memang sudah ada perkembangan yang cukup signifikan, meskipun ada beberapa celah yang mesti kita perbaiki lagi ke depan. Misalnya, orang mengeluh saat ini untuk menjadi anggota DPR, ongkos politiknya sangat mahal. Nah, itu keluhan yang lazim. Sehingga itu harus diantisipasi dalam perbaikan UU pemilu setelah ini. Itu salah satu contoh kasus.

Juga ada pemikiran untuk mense­rentakkan penyelanggaraan pemilu, sehingga lebih menghemat biaya. Itu juga gagasan­gagasan baru yang mesti diantisipasi ke depan. Nah, dari segi proses penyederhanaan sistem kepartaian juga terlihat pada saat ini, walaupun kita melihat dari 10 par tai politik yang sudah ditetapkan oleh KPU, dan bertambah 2 parpol lagi karena PBB dan PKPI menang dalam proses pengadilan di PTTUN. Jumlah 12 peserta nasional, dan 3 partai lokal di Aceh.

Kita lihat 12 partai nasional me­ru pa kan suatu perkembangan yang signif i kan dalam proses penyederhanaan sistem kepartaian. Semula 48 partai di tahun 1999, kemudian 24 partai, naik lagi jadi 38 partai di 2009, dan sekarang menjadi 12 partai. Ini, kan, sudah merupakan perkembangan. Secara faktual, ini perkembangan yang cukup bagus, karena tercipta satu desain politik yang memungkinkan penyederhanaan politik itu terjadi tanpa harus melalui rekayasa politik dari atas, seperti yang dilakukan Orde Baru, yang memaksakan dari 10 parpol, menjadi 3 orsospol, yaitu 2 parpol dan 1 Golkar.

Itu merupakan suatu rekayasa politik yang melibatkan rezim yang berkuasa. Tapi, sekarang ini, kan, benar­benar rekayasa politik yang didasari oleh mekanisme demokrasi prosedural. Itu merupakan perkem­bangan yang cukup penting, sehing­ga saya berharap pemilu 2014 ini semakin lebih baik dari pemilu­pemilu yang lalu. Saya kira banyak pelajaran yang mesti diperbaiki dari penyelenggaraan pemilu. Di 2009

misalnya, masalah DPT yang kisruh, itu tidak terjadi lagi di 2014 ini. Oleh karena itu kita berharap KPU dapat memastikan. Jangan ada lagi masalah serius yang terkait dengan hak politik warga negara.

Perubahan sistem pemilu begitu cepat, dari proporsional tertutup ke proporsional terbuka. Pendapat Anda?

Secara teoritis saya kira perkem­bangan dari tertutup ke terbuka itu merupakan suatu kemajuan yang cukup signifikan. Karena yang semula pemilih itu memilih kucing dalam karung, artinya tertutup men­jadi terbuka. Publik bisa memilih, menimbang calon yang ditawarkan oleh parpol. Jadi, ar tinya ada peluang bagi publik untuk menilai apa itu person atau individu yang akan dipilihnya. Jadi, prinsip one vote, one value, one person itu

lebih terpenuhi dengan sistem pemilu terbuka. Nah, tetapi kita harus banyak memberikan catatan terhadap kemajuan teroritis ini. Ternyata, pada prakteknya sistem pro por sional terbuka berdasarkan suara terbanyak menyisakan berbagai ekses. Pertama, kompetisi politik menjadi sangat ketat, ongkos politik menjadi sangat mahal. Kedua, pragmatisme politik tumbuh luar biasa. Baik di level elit, maupun di level masyarakat pemilih.

Jadi, pengalaman kita, pemilu 2004, 2009 yang proporsional ter­buka terbatas, kemudian menjadi propor s ional terbuka berda ­sarkan suara terbanyak, itu pun sudah menunjukkan bagaimana pragmatisme transaksional dalam praktek demokrasi elektoral kita di level masyarakat pada saat pemilu. Kan, sangat memprihatinkan. Dan saya kira nanti pada pemilu 2014,

Page 16: Edisi 101 TH. XLIII, 2013

16 EDISI 101 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

pragmatisme transaksional ini belum akan sirna. Nah, ini yang membuat kita harus mewaspadai betul bagaimana caranya supaya pragmatisme transaksional ini dapat diantisipasi sungguh­sungguh oleh elite maupun masyarakat.

Tapi saya kira ini, persoalan budaya politik kita. Ini sudah persoalan yang sangat serius, sehingga baik elite politik maupun masyarakat itu harus melakukan evaluasi secara mendasar terhadap perilaku politik mereka. Masing­masing memiliki tanggung jawab untuk meningkatkan kualitas demokrasi. Masing­masing memiliki tanggung jawab untuk menciptakan satu kultur demokrasi yang betul­betul relevan, terkait dengan bagaimana demokrasi politik kita semakin berkualitas, tidak dinodai oleh pragmatisme politik.

Saya kira sekarang ini kita juga pr ihat in bandit isme po l i t ik , karena tiba­tiba di suatu penjara di Cebongan, Yogyakarta, Lembaga Pemasyarakatan kelas I IB itu, diserbu kelompok bersenjata. Menghabisi 4 orang yang ada di situ. Ini, kan, merupakan suatu peristiwa yang membuat kita resah. Bagaimana kalau kejadian semacam

itu, kemudian mewarnai dunia politik kita. Itulah yang saya sebut dengan banditisme politik itu. Yaitu fenomena politik yang diwarnai kekerasan bersenjata.

Memang di Indonesia belum sempat terjadi peristiwa seperti di Philipina Selatan. Pembantaian politik oleh kelompok tertentu yang bersenjata. Nah, ini, kan, juga mesti kita antisipasi. Oleh karena itu, peningkatan kualitas demokrasi kita itu tidak hanya terkait dengan bagaimana elite dan masyarakat bersama­sama mewu jud kan kultur demokrasi, stabilitas politik, dan stabilitas keamanan harus betul­betul dipastikan. Ini terkait dengan penegakan dan wibawa hukum. Dan Indonesia sebagai negara hukum jangan sampai kalah melawan banditisme itu.

Perlukah ongkos politik diatur dalam UU?

Ya saya kira perlu, karena salah satu kelemahan UU pemilu kita belum secara detil mengatur mengenai f inansial pol it ik atau ongkos politik. Yang diatur baru bersifat umum, misalnya perusahaan boleh menyum bang 7,5 miliar per tahun.

Kalau individu 1 miliar per tahun. Masih sangat umum. Nah, saya kira berbagai kelompok masyarakat sudah mengajukan gagasan perlu­nya aturan khusus mengenai finan­sial politik ini.

Finansial politik berbeda dengan money politik. Finansial politik itu adalah hal­hal yang terkait dengan pembiayaan seseorang untuk bisa ikut pemilu, pembiayaan partai politik, dan sebagainya. Misalnya, yang diusulkan ICW. Persoalan ini harus diatur secara khusus. Kalau tidak begitu, maka partai politik seperti kita beri cek kosong. Mereka tulis sendiri dan yang mereka tulis itu tidak dilaporkan kepada rakyat.

Saya kira aturan khusus saja tidak cukup. Perlu mengubah budaya politik kita. Dalam masyarakat k i t a b e l u m m u n c u l t r a d i s i button up dalam pembiayaan politik. Masyarakat masih belum memfungsikan sebagai sumber pembiayaan politik. Beda dengan di Amerika. Ketika Barack Obama maju menjadi calon presiden, itu sumbangan dari masyarakat sangat besar. Bisa dicek secara transparan dan akunt ab e l . Sumbangan ­sumbangan masyarakat inilah yang

Suasana pendaftaran Calon legislatif (Caleg).

Page 17: Edisi 101 TH. XLIII, 2013

17EDISI 101 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

membuat Obama memiliki financial politik yang cukup untuk menjadi presiden.

Inilah yang saya sebut pembiayaan politik yang bersifat button up. Sekarang ini yang terjadi adalah para caleg, calon gubernur, calon bupati, dan calon presiden masih dipandang oleh kita secara umum sebagai sinter class atau semacam penyedekah­penyedakah politik. Jika mereka melakukan pendekatan kepada masyarakat, maka sering caleg, calon gubernur, calon bupati, mengeluh bahwa masyarakat maunya praktis­praktis saja.

Tradisi seperti ini mestinya kita ubah. Cara mengubah nya tentu saja memerlukan proses yang tidak mudah. Tapi kita harus menuju ke sana. Masyarakat justru menjadi bagian yang membuat ongkos poli tik kita menjadi mahal. Dalam benaknya mereka berpikir para caleg, calon bupati, calon gubernur, dan calon presiden adalah para penyedekah politik. Kita juga harus pahami, kenapa masyarakat sampai berpikir seperti itu, karena dalam proses politik kita ada missing link. Setidaknya antara elite dan masyarakat.

Idealnya, masyarakat dan elite politik disambungkan oleh ideologi dan cita­cita bersama. Nah, ideologi dan cita­cita bersama ini hilang begitu saja. Karena itu, masyarakat tidak serta merta mau menyumbang para politisi untuk berlaga dalam suatu proses demokrasi elektoral. Mereka merasa tidak punya hubung­an ideologis dengan politisi tertentu. Ada semacam distrus. Sehingga masyarakat tidak tergerak untuk menjadi kekuatan financial bagi para politisi kita.

Parliamentary threshold (PT) sudah ditetapkan menjadi 3,5% dari sebelumnya 2,5%. Bagaimana Anda melihat besaran PT ini yang selalu ditanggapi miring oleh partai-partai kecil, karena hanya melanggengkan partai-partai besar?

Saya kira di semua negara, PT itu diterapkan dan sudah menjadi hal yang lazim. Besaran 3,5% cukup ideal. Bahkan, 3,5­5% masih bisa kita tolerir dan saya anggap wajar. Setiap negara tidak sama PT­nya. Yang paling tinggi adalah Turki. Di sana 10% PT­nya. Sehingga, walaupun dalam Pemilu ada sekian puluh partai politik, yang mendapat kursi di parlemen paling cuma 2 partai. Bahkan, AKP—partai yang sekarang berkuasa—dalam Pemilu terakhir 2011, memenangkan Pemilu dengan 49,7%. Hampir 50%. Partai lain yang tidak mendapat dukungan suara 10% mereka tidak punya perwakilan.

Turki adalah contoh ekstrim meng enai tingginya PT. saya kira partai­partai politik, baik yang besar, menengah, dan kecil, maupun partai baru, berapa pun PT­nya dia harus siap. Itu merupakan konsekuensi dari prosedur demokrasi elektoral yang lazim. Saya dulu menduga angkanya 5%. Ternyata, 3,5%. Itu tidak perlu diprotes sebagai terlalu besar. Dulu dalam proses pembahasan di DPR ada usulan 5%. Angka 3,5% itu sangat kompromistis di antara partai­parati politik di parlemen. Angka PT itu harus disikapi oleh semua partai untuk ber juang mencapai PT tersebut.

Menyangkut kinerja DPR, banyak anggotanya yang ditangkap KPK. Apakah masih akan banyak terjadi pada pemilu 2014?

Saya kira potensi untuk tetap terjadi masih demikian tinggi, karena pemilu 2009 prakteknya hampir sama dengan pemilu 2014. Bahkan, pemilu 2014 ancang­ancangnya lebih jelas. Pada pemilu 2009, ketika daftar caleg sementara disusun dan ditetapkan, itu UU­nya masih sistem proporsional terbuka terbatas. Kemudian setelah proses penghitungan suara pemilu di lakukan, MK mengeluarkan j u d i c i a l r e v i e w m e n j a d i proporsional terbuka dengan basis suara terbanyak.

Ketika itu orang tidak berpikir

sampai MK melakukan judicial re view. 2014 ini orang sudah tahu sejak awal bahwa sistemnya proporsional terbuka dengan basis suara terbanyak. Otomatis ancang­ancangnya jauh lebih siap. Para caleg sudah memahami betul konsekuensi dan risiko dalam pemilu. Saya kira proses ini masih akan menyisakan konsekuensi mahalnya ongkos politik. Bagaimana nanti kalau sudah menjadi anggota DPR, para politisi kita banyak yang berpikir untuk kembali modal. Nah, berpikir kembali modal inilah yang membuat peluang korupsi, penyalahgunaan jabatan, dan sebagainya juga masih akan tinggi.

Apa upaya pencegahannya?

Saya kira beberapa partai politik sudah melakukan upaya, walaupun harus kita cek seberapa jauh efektifitasnya, dilakukan secara sungguh­sungguh atau t idak. Partai politik peserta pemilu sudah menetapkan standar kualifikasi bakal caleg. Misalnya, melakukan psi ko test, tes kesehatan, dan uji kompetensi. Saya belum ta­hu bentuknya seper ti apa uji kompetensi bakal caleg itu. Nah, ini sudah merupakan kemajuan. Partai­partai politik berusaha untuk merespon keluhan masyarakat terhadap kualitas bakal caleg.

Penetapan standar kualifikasi oleh partai politik, ini sudah cukup bagus dan perlu kita apresiasi. Hanya saja, saya masih meragukan kesungguhan dari partai­partai politik untuk bisa mewujudkan standar kualifikasi caleg itu dengan obyektif. Mengapa? Karena partai­partai politik kita sudah lazim didominasi oleh oligarki politik. Oligarki itu adalah elite yang terbatas yang menguasai partai. Nah, ini yang merusak standar kualifikasi yang dibuat oleh mereka sendiri.

Selama oligarki politik masih mendominasi parpol kita , maka saya khawatir, saya kira apa yang digembar­gemborkan partai poli­tik mengenai psikotest dan uji kompetensi itu hanya sekadar

Page 18: Edisi 101 TH. XLIII, 2013

18 EDISI 101 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

formalitas. Kalau hanya sekadar for­ma litas, dan lebih banyak didominasi oleh subyektifitas politik oligarki dalam partai itu, kita tidak akan menemukan caleg­caleg yang lebih bermutu dalam pemilu 2014

Tentang harapan terhadap kinerja DPR hasil pemilu 2014 ?

Anggota DPR baru nanti perlu banyak belajar dari periode­periode sebelumnya. Kalau sekarang masih memiliki pekerjaan rumah (PR) terutama di bidang legislasi sangat menonjol dan sangat keteteran, ini harus menjadi catatan khusus yang harus betul­betul diperhatikan oleh DPR baru nanti.

Jangan sampai hal ini terulang lagi, biasanya kalau keteteran dalam bidang legislasi dapat disimpulkan bahwa anggota DPR kita itu tidak produktif atau “malas”. Jangan sampai DPR baru nanti mengulangi penilaian seperti itu , buktinya DPR tidak menjalankan fungsinya dengan optimal terutama bidang legislasi hanya sedikit UU yang dihasilkan. Ini merupakan contoh kasus jangan sampai terulang kembali oleh DPR baru nanti.

Saya belum melihat seberapa jauh rata­ rata

kualitas dan kualifikasi DPR baru.

DPR sering mamatok target UU cukup tinggi, apa perlu ditinjau lagi?

Sebenarnya kalau berani mema­sang target penyelesaian legislasi yang tinggi itu tentunya sudah dipikirkan. Target itu kan rasional, tetapi menurunkan targetpun bukan suatu hal yang bijak, target yang ditetapkan sebelumnya hendaknya tetap menjadi ukuran bagi DPR baru, jangan sampai kemudian karena PR nya masih banyak lalu tergetnya diturunkan, itu tidak bijak juga. Tetap saja targetnya sama malah kalau mungkin dilebihi. Nah itu justru akan memicu DPR baru untuk bekerja lebih keras lagi, lebih tertib lagi untuk memenuhi target UU.

Tanggapan anda mengenai BK DPR?

Kritik mendasar kepada BK sejak dulu adalah karena isinya orang­orang dalam DPR sendiri. Artinya sesama anggota, anggota DPR yang mengawasi anggota DPRyang lain, itu yang dinilai tidak akan bisa obyektif. Saya kira DPR harus bisa mengakomodasi tokoh­tokoh yang mempunyai integritas dari luar DPR untuk duduk sebagai penasehat Badan Kehormatan. Yang jelas

solusi adanya orang luar DPR itu diharapkan bisa mengangkat kewibawaan dan efektifitas BK dari pada isinya orang dalam semua. Saya kira ini perlu dipikirkan dalam UU MD3, walaupun orang­orang tidak dipilih melalui pemilu tetapi mereka adalah symbol­simbol orang­orang yang memiliki integritas dan bisa diakomodasi menjadi anggota BK.

Optimiskah dengan DPR yang akan datang?

Saya tidak sepenuhnya optimis, k a r e n a m e l i h at s i s t e m d a n prosesnya dan melihat pragmatism transaksional kemudian t idak optimalnya partai dalam perekrutan caleg itu juga masih ter jadi. Pasalnya waktunya sudah sangat mepet sedang proses perekrutan caleg, public tidak sepenuhnya tahu sehingga saya kira prosesnya hampir sama dengan sebelumnya dan kalau itu yang terjadi saya tidak sepenuhnya optimis pemilu 2014 akan menghasilkan DPR yang lebih baik dari pada anggota DPR sekarang. Walaupun kita berharap bahwa ke depan lebih baik , tetapi kalau melihat proses dan kinerja partai­partai politik dalam mengoptimalkan fungsi­fungsinya parpol bisa mempersembahkan caleg­caleg yang lebih bermutu.(mh,mp,ray) Foto: Ry/Parle.

Kampanye Pemilu 2009.

Page 19: Edisi 101 TH. XLIII, 2013

19EDISI 101 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

LAPORAN UTAMA

azHar rOMLi

Parlementaria berhasil menemui Anggota Komisi II DPR RI Azhar Romli untuk diajak berbincang banyak hal

menyangkut Pemilu 2014. Ditemui di ruang kerjanya, Azhar sangat antusias berbagi

p emik i r an meny angkut urusan politik.

K e p a d a

reporter Parlementaria Muhammad Husen, Mastur Prantono, dan fotografer Eka Hindra, ia me nyam but baik dengan penuh keramahan pada akhir Maret lalu.

Menurut Azhar, dengan disahkannya UU Pemilu yang baru, lembaga parlemen diharap­kan semakin kuat. Keterwakilan partai­partai politik di DPR RI semakin mengukuhkan sistem presidensial. “Penguatan kelembagaan parlemen sangat diharapkan untuk menopang penguatan sistem presidensial. Check and balances antara eksekutif dan legislatif harus berjalan. Bahkan, dengan UU No.8/2012 diha­rap kan dapat merekrut anggota­anggota yang berkualitas,” jelas Azhar.

Anggota Fraksi Partai Golkar (F­PG) ini, melihat, sistem proporsional terbuka dengan

suara terbanyak merupakan keputusan politik yang sangat tepat saat ini.

Artinya, dengan sistem ini, kita ingin menempatkan kedaulatan

rakyat pada tempatnya. Hanya saja menurut Azhar. teknik

penghitungan suara untuk pe nen tuan calon anggota

Aturan main Pemilu sudah disahkan DPR RI lewat pengesahan UU No.8/2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Banyak pasal krusial yang diamanatkan UU tersebut. Misalnya, Pemilu 2014 menggunakan sistem proporsional terbuka dengan suara terbanyak. Ekses yang selalu terjadi dengan sistem ini adalah ongkos politik yang mahal. Untuk itu, kita mungkin nanti perlu mengaturnya dalam UU tersendiri, agar ongkos politik tidak membebani anggaran negara.

Page 20: Edisi 101 TH. XLIII, 2013

20 EDISI 101 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

LAPORAN UTAMA

legis latif (caleg) terpilih itu, harus dihitung habis terlebih dahulu dalam satu daerah pemilihan (dapil) seperti diusulkan F­PG.

“Penetapannya harus habis dulu di satu partai. Jangan muter dulu ke partai lain. Itu kelemahan UU Pemilu yang lalu.” Penerapan sistem proporsional terbuka dengan suara terbanyak, mau tidak mau, mengharuskan semua caleg baik di nomor urut satu sampai nomor urut sepatu bekerja penuh meraih dukungan suara terbanyak. Persaingan, memang, tidak saja terjadi antarpartai dalam satu dapil, di dalam satu partai pun akan terjadi persaingan para calegnya.

“Saya pikir itu positif. Walau ada gesekan atau

friksi internal, itu adalah tantangan. Dalam sistem proporsional terbuka akan didapat dua kondisi yang harus dihadapi, posisi internal sesama calon dalam satu partai. Kemudian kompetisi eksternal dalam satu dapil dengan 12 partai yang ikut Pemilu.”

Peran partai sangat penting dalam menyikapi persaingan di internal partai soal penentuan nama­nama caleg dan nomor urutnya dalam satu dapil. Partai harus membagi peran dan fungsi agar persaingan internal semakin sehat. Sementara untuk bersaing dengan partai lain dalam satu dapil, persaingannya harus dengan tawaran konsep. “Persoalan internal ini kadang­kadang seperti jeruk makan jeruk,” katanya.

Page 21: Edisi 101 TH. XLIII, 2013

21EDISI 101 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

Angka PT

Parliamentary threshold (PT) sudah ditetapkan dalam UU NO.8/2012 adalah 3,5%. Sebelumnya, pada Pemilu 2009 angka PT adalah 2,5%. PT merupakan hal lazim yang diterapkan hampir di semua negara demokratis. Contoh paling ekstrem soal penerapan PT adalah Turki. Di sana besaran PT­nya adalah 10%. Jadi, dari puluhan partai yang ada, hanya dua partai yang masuk parlemen. Selebihnya, terdegradasi karena tak cukup kuat mengejar angka PT tersebut.

Soal ini, Azhar berpandangan, untuk penguatan kelembagaan DPR, angka PT 3,5% sebetulnya masih kurang. Angka PT ini juga untuk menguji respon market masyarakat terhadap suatu partai politik. Seleksi alam di era keterbukaan ini sangat ketat. Suara­suara partai yang tak memenuhi PT akan hangus dan terbuang percuma. Ini sudah konsekuensi di negara demokratis. “Jadi, PT sebenarnya alat ukur suatu partai secara nasional untuk bisa masuk parlemen.”

Bila jumlah partai yang masuk parlemen lebih sederhana hasil seleksi Pemilu, itu tidak saja menguatkan parlemen, tapi lebih jauh dari itu, memudahkan setiap pengambilan keputusan politik. Misalnya, lanjut Azhar, tugas pokok menyusun UU di DPR juga akan lebih mudah. Di Amerika, hanya dua partai yang masuk parlemen, yaitu Demokrat dan Republik. Bukan berarti partai lain tidak ada. Setidaknya ada delapan partai politik di Amerika yang setiap penyelenggaraan Pemilu tak pernah lolos PT.

Azhar bersama anggota DPR RI lainnya pernah mela ku kan kunjungan studi ke Amerika soal ini. Saat itu, DPR sedang menggodok UU MD3. Di Jerman pun demikian, terang Azhar. PT selalu diterapkan untuk menyeleksi partai­partai, agar hanya yang berkualitas dan punya dukungan suara cukup saja yang masuk parlemen. Namun, jangan dipahami penerapan PT ini sebagai mereduksi kebebasan berserikat. Itu jadi lain persoalan.

Sejatinya, semua kelompok dan golongan bebas mendirikan partai politik. Hanya tentau saja ada aturan main yang harus ditaati, agar lebih tertib dan terarah. Ini juga demi terjaminnya demokratisasi yang bersih dan sehat. “Penerapan PT bukan berarti kita membatasi. Tetapi, partai betul­betul telah teruji dalam memenuhi

persyaratan Pemilu. Bila tak memenuhi, berarti partai tidak optimal bekerja sesuai tujuan pendirian partai,” tandas Azhar.

Pemilihan Presiden

Setelah partai­partai terseleksi dengan baik untuk bisa masuk parlemen lewat Pemilu, selanjutnya partai akan diseleksi pula untuk bisa mencalonkan jagoannya sebagai calon presiden. Tidak semua partai yang lolos PT otomatis boleh mengajukan calonnya sebagai presiden. Banyak wacana yang sedang berkembang saat ini, karena UU Pemilihan Presiden masih digodok DPR. Sempat mengalami penundaan di Rapat Paripurna DPR, namun dipastikan UU ini segera disahkan sebelum penyelenggaraan Pemilu 2014.

Saat ini, sudah ada 12 partai nasional yang boleh mengikuti Pemilu. Tentu saja harus ada koalisi bila ingin mengajukan calon presiden. Tidak mungkin kedua belas

partai mengajukan sendiri­sendiri calonnya. Lagi­lagi ada aturan main yang akan segera diberlakukan. Menurut Azhar, saat ini president threshold hampir sama dengan pemilu sebelumnya, yaitu 20 kursi parlemen atau 25% suara di parlemen.

Pada Pemilu 2004 saja ada 5 pasang capres dan cawapres. Kita harus melakukan Pilpres h ingga 2 put aran untuk mendapatkan suara mayoritas. B a y a n g k a n , b i l a s y a r a t pengajuan calon presiden sesuai dengan jumlah partai yang ikut Pemilu 2014. Bisa jadi ada 12 pasang. Sulit, melelahkan, dan yang pasti ongkos politik membengkak. Aturan besaran syarat masuk parlemen dan pengajuan calon presiden semuanya berujung

pada penguatan kelembagaan, baik DPR maupun lembaga kepresidenan.

Contoh konkrit, ketika Partai Demkorat menjadi kampiun dalam Pemilu 2009. Presiden SBY masih digoyang terus di parlemen, sehingga tidak mudah mengambil keputusan politik, betapa pun partainya sudah berkoalisi dengan partai­partai lain di DPR. Jadi, efektifitas jalannya pemerintahan harus terjamin. “Makanya MK menolak gugatan seorang presiden dari jalur perseorangan. Kalau tidak ada dukungan parlemen sangat susah bergerak,” ungkap Azhar. (mh, mp) Foto: Hindra/Parle.

Page 22: Edisi 101 TH. XLIII, 2013

22 EDISI 101 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

LAPORAN UTAMA

Anggota Komisi II dari Fraksi PDI Perjuangan, Yasonna H. Laoly, saat ditemui akhir Maret lalu, berbicara banyak soal aturan main menjelang

Pemilu 2014. Kepada Muhammad Husen dan Mastur Prantono dari Parlementaria, Yasonna mengatakan, persaingan antarparpol dan calon anggota legoslatif (caleg) akan semakin ketat. Sistem proporsional terbuka dengan suara terbanyak akan menciptakan kompetisi politik yang ketat, tidak saja di eksternal partai, tapi juga di internal partai.

“Nah, saya kira ini langkah baik untuk mengkonsolidasi partai politik dan agar sistem politik kita tidak dipenuhi partai­partai politik.Kita mengarah pada satu sistem perpolitikan nasional yang semakin sehat,” tutur

Yasonna.Penerapan parliamentary threshold menjadi 3,5%, dari sebelumnya 2,5%, semakin mengukuhkan kesesuaian sistem presidensial yang dianut konstitusi kita.

“Kita melihat, seharusnya dalam sistem presidensial, jumlah partai politik tidak terlalu banyak. Jadi, dengan rekayasa UU Pemilu dan Parpol, saya kira demokrasi kita akan lebih sehat ke depan. Itu harapan saya dan kita semua,” ungkap Yasonna.Hanya saja, memang, ada ongkos politik yang harus dibayar dan itu sangat mahal.Hingga saat ini belum ada aturan mainnya.Ongkos yang mahal ini merupakan ekses dari penerapan sistem Pemilu.

SISTEM PRESIDENSIAL, PARTAI TAK PERLU BANYAK

Kita sudah diambang Pemilu 2014.Persyaratan dan aturan main Pemilu sudah ditetapkan lewat pengesahan UU No.8/2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD.Iklim politik kian panas dan ketat.Namun, di sisi lain pendidikan politik bagi rakyat belum sepenuhnya dilakukan. Demokrasi transaksional masih sangat besar terjadi.Aturan main Pemilu pun bisa ditabrak begitu saja.

yasOnna H. LaOLy

Tanda gambar kontestan Pemilu.

Page 23: Edisi 101 TH. XLIII, 2013

23EDISI 101 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

Yasonna mengaku, dirinya dan fraksinya menginginkan biaya politik dalam kampanye diatur dalam UU tersendiri.Menghadapi persaingan ketat itu membutuhkan biaya yang tidak sedikit.“Mencegah ongkos yang besar sebenarnya ada keinginan kita sebelumnya, walaupun tidak berhasil.Sebetulnya dengan memperkecil daerah pemilihan,sehingga bidang luasan daerah yang mau kita kuasai atau kita konsolidasikan untuk merebut suara menjadi lebih kecil. Dan tentunya biaya juga akan menjadi lebih kecil.”

Secara teknis, misalnya, pembatasan kampanye oleh parpol maupun individu caleg itu perlu diatur atau dibatasi.Dalam pertemuan dengan KPU, sebenarnya sudah pernah disampaikan.“Kita berharap mereka mengatur biaya yang dikeluarkan.”Baliho­baliho harus diatur dan ditertibkan.Satu caleg hanya boleh memasang baliho kecil saja.Brosur­brosur pribadi mungkin lebih efektif menekan biaya kampanye.

Kampanye akbar, menurut Yasonna, per lu dibatas i . Memperkenalkan track record seorang calon lebih penting.Datang dan terjun langsung ke masyarakat menjadi momentum berharga dalam setiap kampanye. Jadi, pembatasan kampanye yang berlebihan itu perlu untuk menekan ongkos politik dalam setiap penyelenggaraan Pemilu.

Sistem Pemilu

Dahulu kita mengenal electoral threshold(ET).Partai­partai yang tidak memenuhi ET waktu itu tidak boleh ikut Pemilu selanjutnya. Ternyata, partai­partai yang tidak lolos ET berganti nama dan mendaftar lagi ke KPU dengan susunan pengurus yang sama. Seperti PK jadi PKS.Partai Bulan Bintang jadi Partai Bintang Bulan.

“Parlementary threshold (PT) adalah satu ambang batas yang harus dicapai satu partai politik tertentu untuk dapat diikutkan pada perhitungan kursi di DPR.Dan ini sekarang sudah berlaku di tingkat provinsi dan kabupaten/kota,” jelas Yasonna.Besaran angka PT ini selalu dinilai miring sebagai melanggengkan kekuasaan partai­partai besar.Menurut Yasonna, tidak ada jaminan, baik bagi partai besar atau partai yang belum besar untuk bisa meraih besaran PT tersebut.

Semuanya kembali kepada partai­partai tersebut dalam menyusun konsep dan strategi kampanye.“Itu semua tergantung rakyat.Bahwa ada parpol yang sudah kuat jaringannya, ya pasti.Tetapi apakah dia dijamin akan selalu dipilih rakyat? Contohnya, kita di PDIP tahun 1999, pemenang besar.Tahun 2004 mundur lagi jadi

nomor 3.Di tahun 2009 tetap jadi nomor 3.Kursi kita menurun terus. Golkar juga begitu, naik turun.”

Demokrat, lanjut Yasonna, sebelumnya partai kecil.Lalu, melejit menjadi partai terbesar. Sekali lagi memang tidak ada jaminan dengan penerapan PT itu partai besar akan lenggeng dan partai kecil akan tersingkir. “Tidak ada jaminan sama sekali,” tandas Yasonna lagi. Sekarang ini bagaimana, rakyat dididik agar mengetahui rekam jejak partai politik ataupara caleg yang segera akan bertarung dalam Pemilu 2014.

“Jadi, biarlah rakyat yang menentukan, menjadi juri, dan yang memberikan vonis kepada parpol.Jika parpol tidak perform, apakah Demokrat, PDIP, Golkar, dan parpol yang ada di parlemen sekarang,maka tidak dipercaya masyarakat secara cukup.Itu terserah rakyat pada pemilu mendatang.Dan itulah tugas dari parpol sekarang untuk menjadi cambuk agar bekerja sesuai dengan kepentingan masyarakat.”

Pilpres

Walaupun UU Pilpres masih dalam pembahasan DPR, tapi keinginan untuk memperketat pencalonan terus mengemuka.Syarat yang diajukan dalam pembahasan UU ini hampir sama dengan Pemilu sebelumnya, yaitu 20%kursi di DPR. Kita masih menunggu perkembangan hingga akhir pengesahan UU ini.Namun, ada pula fraksi yang mengusulkan agar syarat pencalonan presiden dan wakil presiden cukup dengan meraih PT dalam Pemilu.

Page 24: Edisi 101 TH. XLIII, 2013

24 EDISI 101 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

“Ada yang meminta itu diturunkan.Jadi, perdebatan ini saya kira akan berlanjut terus,” kata Yasonna.Dengan demikian calon presiden yang hendak diusulkan mempunyai dukungan basis parpol yang cukup.Kalau nanti terpilih, paling tidak presiden memiliki dukungan parpol yang cukup kuat di parlemen.

Pengalaman menunjukkan, Partai Demokrat yang sudah berhasil mengusung presidennya dalam Pemilu kemarin, masih kelimpungan menghadapi suara di parlemen. Padahal, demokrat sudah membangun koalisi dengan partai­partai di parlemen.Artinya, efektifitas pemerintahan bisa terganggu, bila partai peng usung calon presiden tidak signi fikan suaranya di parlemen.Kecede rungan meningkatkan syarat calon presiden semakin kuat.

Dalam sistem presidensial koalisi menjadi keniscayaan.Jadi, untuk men ca lonkan presiden harus dari ga bungan partai­partai agar calon yang diusung semakin kuat.“Dalam sistem presidensial, karena presiden dipilih langsung dan didukung oleh parpol atau gabungan parpol, maka untuk menyehatkan sistem pemerintahan kita, perlu angka yang reasonable.”

Kalau dulu, lanjut Yasonna, syarat pencalonan 20 persen di parlemen dan 25 persen jumlah suara secara nasional.Kemungkinan angka ini dipertahankan. Partai Gerindra, misalnya, menilai angka tersebut tidak realistis. “Kalau sejak awal kita mempunyai koalisi yang baik, sejak sebelum mencalonkan presiden dan ada platformnya, itu akan lebih baik daripada pada putaran kedua Pilpres baru ramai­ramai.Sebaiknya koalisi di bang un sejak putaran pertama.”

Bahwa syarat pencalonan presiden ini dinilai mengurangi kebebasan warga untuk dicalonkan, tam­pak nya tidak tepat.Kita ingin mendapatkan pilihan orang yang terbaik dari sedikit pilihan.Sekarang parpol tentu sedang mencari orang­orang yang populer di mata rakyat dan juga potensial untuk dipilih rakyat.Bahkan orang non parpol pun bisa asal dicalonkan oleh parpol.“Orang non parpol bisa. Boediono bukan dari parpol, tapi teknokrat.Jadi, tidak selamanya harus orang parpol, siapapun boleh, asalkan harus diajukan oleh parpol atau gabungan parpol.”

Pilkada

Selain Pemilu nasional, pemilihan kepala daerah (pilkada) juga jadi topik menarik di tahun politik ini.Dalam UU Pilkada yang diusulkan pemerintah, memang, ada keinginnan agar pemilihan gubernur dikembalikan ke DPRD.Sementara bupati dan walikota dipilih langsung.

Terakhir, sempat berubah lagi, gubernur dipilih rakyat, bupati dan walikota dipilih DPRD.Ini jadi persoalan.

“Kami dari F­PDI Perjuangan tetap pada prinsip bahwa sebaiknya dipilih oleh rakyat.Gubernur dan Bupati dipilih oleh rakyat.Kedaulatan di tangan rakyat,” ujar Yasonna.Pada UU No.22 Tahun 1999 itu kepala daerah dipilih oleh DPRD.Sementara rezim UU No.32 dipilih langsung oleh rakyat.UU No. 22 itu dikritik keras, karena rakyat tidak berdaulat.Semua dipilih oleh DPRD.“Itu sangat elitis. Jadi, sekarang kita mengembalikan untuk dipilih oleh rakyat.”

Akan ada tafsir ganda terhadap konstitusi, bila seorang gubernur dipilih oleh DPRD, sementara bupati/wali kota dipilih langsung, atau sebaliknya. UUD NRI Tahun 1945 pasal 18 ayat (4) mengatakan, semua kepala daerah dipilih secara demokratis.Di sinilah tafsir ganda itu.Makna demokratis harus diimplementasikan secara berbeda di daerah.Jadi, sebaiknya semua dipilih langsung saja oleh rakyat.Itulah demokratis yang sesungguhnya.

“Tidak boleh ada perbedaan tafsiran dalam satu kata UUD. Dibedakan dengan dua tafsiran

dalam UU yang sama.Prof Jimly Asssidiki juga berpendapat seperti itu.Lebih baik kalau mau dipilih DPRD, ya gubernur dan bupati jangan dibedakan. Kalau mau dipilih secara langsung, juga semuanya dipilih langsung.Jangan dipisahkan tafisirannya,” tegas Yasonna.

Bahwa nanti ada ongkos politik yang mahal dalam pilkada, itu yang harus kita perbaiki ke depan dan menjadi koreksi. Dan kini wacananya kian menguat bahwa untuk menekan biaya politik, semua pilkada akan digelar secara serentak, baik gubernur, bupati, maupun wali kota. Ongkos politik yang mahal saat pilkada, membuat para kepala daerah cenderung melakukan penyelewengan anggaran.Akhirnya, terjebak korupsi.

“Komisi II yang membahas RUU Pilkada.Masih terjadi perdebatan.Belum ada kesepakatan apakah gubernur dipilih DPRD atau bupati/walikota dipilih langsung atau sebaliknya. Mayoritas parpol memilih pemilihan langsung.Namun, pemerintah masih menawarkan berbagai cara untuk dipilih lewat DPRD.Biarlah rakyat yang langsung memegang kedaulatan.Konsolidasi demokrasi makin baik, maka pemilihan langsung itulah yang terbaik. Jadi pilihan rakyat jangan ditarik kembali.” Foto: Iv/Parle.

Page 25: Edisi 101 TH. XLIII, 2013

25EDISI 101 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

SUMBANG SARAN

Bursa Calon Presiden

Banyak nama calon presiden yang menjadi perbincangan publik. Ada yang berasal dari partai politik, ada yang berasal dari luar partai politik. Nama­nama yang bukan berasal dari partai politik ini sering disebut sebagai calon presiden alternatif. Calon presiden alternatif ini yang kerap menjadi perbincangan publik versi lembaga survei antara lain Mahfud MD (mantan Ketua Mahkamah Konstitusi), Dahlan Iskan (Menteri Badan Usaha Milik Negara dan pemilik perusahaan media Jawa Pos Grup). Selain itu ada nama Anis Baswedan (Rektor Universitas P a r a m a d i n a), J o ko S u y a n t o (Menkopolhukam), dan Pramono Edhi Wibowo (KASAD yang juga ipar presiden SBY).

Belakangan muncul nama Gita Wiryawan (Menteri Perdagangan) dan Joko Widodo (Gubernur DKI Jakarta). Sementara calon dari unsur partai politik, ada nama Megawati Soekarno Putri (Ketua Umum PDI Perjuangan), Aburizal Bakrie (Ketua Umum Partai Golkar), Wiranto (Ketua Umum Partai Hanura), Hatta Rajasa (Ketua Umum PAN), Prabowo Subianto (Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra) dan Surya Paloh (Ketua Umum Partai Nasdem), Muhaimin I skandar (Menter i

Tenaga Kerja/Ketua Umum PKB), Suryadarma Ali (Menteri Agama/Ketua Umum PPP), Ani Yudhoyono (Demokrat), Anis Matta (Presiden PKS), Hidayat Nur Wahid (PKS), Jusuf Kalla (Partai Golkar), dan Sri Sultan HB X (Golkar).

Bursa calon presiden dan wakil presiden mulai ramai diper bin­cangkan di ruang seminar, ruang publik dan media. Bahkan ada calon presiden yang sudah memasang iklan di media cetak dan elektronik. Namun ada juga yang masih malu­malu menyatakan diri sebagai calon presiden dengan alasan tertentu. Bagaimana peluang para calon presiden 2014 yang namanya mulai disebut­sebut ? Inilah yang akan dibahas dalam analisis ini.

Perang Lembaga Survei

Survei atau jajak pendapat ten­tang calon presiden memang diperlukan untuk memperoleh informasi yang akurat tentang peluang masing­masing kandidat. Tujuan utama survei tak lain adalah untuk mengetahui preferensi dan perilaku pemilih terhadap calon presiden yang diuji di dalam survei. Melalui survei dapat diukur seberapa besar peluang calon presiden 2014. Jajak pendapat yang dilakukan oleh lembaga survei sangat diperlukan

untuk membantu memberikan informasi tentang peluang calon presiden kepada publik, asalkan data survei tersebut dapat dipercaya, akurat, independen, dan steril dari kepentingan.

Menarik untuk disimak beberapa data hasil survei tentang elektabilitas calon presiden 2014 dalam kurun waktu berbeda yang dipublikasikan oleh beberapa lembaga survei berikut ini. Hasil Sur vei Indo Barometer yang dilakukan pada 9–21 Agustus 2011 dengan jumlah responden 1200, menunjukkan posisi elektabilitas capres 2014 sebagai berikut; Megawati 21.8%, Prabowo 15.5%, Wiranto 8.7%, Aburizal Bakrie 5.6%, Muhaimin Iskandar 3.5% dan Ani Yudhoyono 3.4%.

Hasil Sur vei Jar ingan Suara Indonesia (JSI) yang dilakukan pada 10–15 Oktober 2011 dengan jumlah responden 1200. Posisi Megawati 19.6%, Prabowo 10.8%, Aburizal Bakrie 8.9%, Wiranto 7.3%, Hamengku Buwono X 6.5%, dan Hidayat Nur Wahid 3.8%. Sementara hasi l sur vei Lembaga Sur vei Indonesia (LSI) yang dilaksanakan pada 1–12 Februari 2012 dengan sampel 2050; posisi Megawati 15.2%, Prabowo 10.6%, Jusuf Kalla 7.0%, Aburizal Bakrie 5.6%, Sultan

Oleh: Karyono Wibowo Peneliti senior Indonesia Public Institute. Pernah menjadi peneliti di Lingkaran Survei Indonesia.

Page 26: Edisi 101 TH. XLIII, 2013

26 EDISI 101 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

HB X 4.9% dan Wiranto 3.9%. Sedangkan hasil survei Soegeng Sar jadi Syndicate (SSS) yang dilaksanakan pada 14–24 Mei 2012 dengan jumlah sampel 2192; posisi Prabowo di urutan pertama dengan perolehan suara 25.8%, 22.4%, Jusuf Kalla 14.9%, Aburizal Bakrie 10.6%, Surya Paloh 5.2%, dan Wiranto 4.5% (Kompas, hanya diambil 6 capres tertinggi).

B e r d a s a r k a n a n a l i s i s , a d a perbedaan yang mencolok antara data survei yang satu dengan data survei yang lain, yaitu beberapa lembaga survei menyajikan data elektabilitas calon presiden di posisi yang berbeda­beda. Jika kita simak dengan teliti maka terlihat ada “kejanggalan” soal posisi elektabilitas kandidat presiden. Misalnya, perbandingan hasil survei LSI, JSI, Indo Barometer, dan Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS) soal elektabilitas Megawati.

Di antara empat lembaga survei tersebut, tiga lembaga survei menempatkan Megawati di posisi pertama kecuali lembaga survei SSS

dengan tingkat dukungan masing­masing, JSI (19.6%), Indo Barometer (21.8%), Lembaga Survei Indonesia (15.2%), dan SSS (22.4%) lebih rendah dibanding Prabowo Subianto yang memperoleh 25.8% di posisi pertama. Letak perbedaannya dari empat lembaga survei tersebut adalah di posisi Prabowo. Mari kita lihat posisi Prabowo di tiga lembaga survei; JSI (10. 8%), Indo Barometer (15.5%), dan LSI (10.6%). Waktu periode survei masing­masing lembaga memang berbeda­beda, namun perbedaan wak tunya terhitung tidak terlalu lama.

Sekarang simak lagi hasil survei yang terbaru di awal tahun 2013 ini. Perhatikan hasil survei Pusat Data Bersatu (PDB), Lembaga Survei Jakarta, dan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) yang dilakukan pada Februari 2013. Elektabilitas Prabowo menurut hasil survei PDB sekitar 18.4% hampir mendekati survei LSI, elektabilitas Prabowo (19.2%) tetapi posisi elektabilitas Prabowo menurut hasil survei LSJ hanya 10.9%, selisih angka yang cukup signifikan.

Y a n g l e b i h mencolok lagi adalah posisi elektabilitas Aburizal Bakrie di antara tiga lembaga s u r v e i t e r s e b u t . Posisi elektabilitas Aburizal Bakrie di dua lembaga survei PDB dan LSJ masing­masing 9.3% dan 8.7%. Tetapi di survei LSI (Lingkaran Survei Indonesia), posisi elektabilitas Aburizal Bakrie lebih tinggi, yaitu sebesar 20.3%, selisih sangat jauh dibandingkan survei PDB dan LSJ.

Selisih elektabilitas Megawati di t iga l e m b a g a s u r v e i tersebut juga cukup signifikan. Hasil survei PDB, elektabil itas Megawati 15.4% di

posisi ketiga, sedangkan hasil survei LSI, Megawati di posisi pertama dengan e lek t ab i l i t as 20.7% , sementara menurut hasil survei LSJ, elektabilitas Megawati hanya 7.5% di posisi keenam di bawah Joko Widodo, Prabowo, Wiranto, Jusuf Kalla dan Aburizal Bakrie.

Padahal, rentang waktu survei sel isih waktunya kurang dari satu bulan. Memang nama­nama kandidat yang diuji di dalam survei tidak seragam antara lembaga survei yang satu dengan yang lain, namun nama­nama kandidat yang diuji tidak jauh berbeda. Sesungguhnya masih banyak data­data survei yang banyak menimbulkan pertanyaan.

Bahwa benar waktu periode survei merupakan salah satu faktor yang menyebabkan perubahan data hasil survei jika dibandingkan dengan hasil survei periode sebelumnya. Namun, para peneliti lembaga survei harus bisa menjelaskan variabel apa saja yang mempengaruhi perubahan tersebut. Apakah dalam rentang waktu pada saat masing­masing lembaga melakukan survei

Page 27: Edisi 101 TH. XLIII, 2013

27EDISI 101 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

ada peristiwa politik yang luar biasa? Atau ada faktor lain yang menyebabkan elektabilitas kandidat presiden berubah signifikan. Hal ini jarang dijelaskan secara detail oleh lembaga survei di Indonesia.

Artikel ini hendak meng ingat­kan kepada kita semua bahwa perlu hati­hati dalam menerima, membaca, dan menyimpulkan hasil survei. Pasalnya, dari beberapa survei ditemukan ada indikasi data hasil survei yang tidak konsisten. Pa tut diduga ada pihak yang meng­gu nakan instrumen survei un tuk membentuk opini publik deng­an tujuan agar masyarakat ter­pengaruh. Perlu diingat, hasil survei tidak untuk direkayasa untuk tujuan tertentu. Hasil penelitian itu harus steril dari kepentingan pihak tertentu. Sifat obyektif adalah syarat utama yang wajib dipegang teguh setiap peneliti.

Namun demikian, apapun hasil survei tentang elektabilitas partai po l i t ik maupun e lek t abi l i t as capres­cawapres saat ini masih belum bisa dijadikan pedoman karena politik bukanlah ilmu pasti. Posisi elektabilitas parpol maupun capres­cawapres versi lembaga survei hanyalah menggambarkan kondisi saat ini. Peta politik masih bisa berubah, tetapi perubahan itu tergantung dinamika politik dan instrument apa yang bisa mempengaruhi perubahan peta politik 2014. Kita tunggu saja kemungkinan­kemungkinan dan variabel­variabel apa saja yang da­pat mengubah peta kekuatan politik menuju pemilu 2014.

Hasil pemilu legislatif 2014 diprediksi akan mengubah peta kekuat an capres–cawapres. Peroleh­an suara partai politik peserta pemilu bisa mengubah dalam waktu singkat peta calon presiden dan wakil presi­den saat ini. Misalnya, bisa saja ter jadi ada partai politik tertentu tidak lolos electoral threshold atau parliament threshold. Kalaupun lolos electoral threshold atau parliament threshold mungkin partai tersebut tidak mencukupi president treshold.

Sehingga terpaksa harus koalisi dengan partai lain. Di situlah pasti terjadi negosiasi politik yang salah satunya akan menentukan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Dengan demikian akan terjadi perubahan peta calon presiden dan wakil presiden yang ada saat ini.

Misalnya, nama Megawati dan Joko Widodo juga belum bisa dipastikan sekarang ini apakah bakal maju sebagai calon presiden atau tidak. Meskipun Joko Widodo beberapa kali mengatakan akan fokus mengurusi Jakarta, namun dalam permainan politik tidak ada yang baku. Bisa saja nama Joko Widodo tiba­tiba diusung oleh PDI Perjuangan sebagai calon presiden atau wakil presiden jika dikehendaki oleh partai. Tetapi bisa saja ada skenario Megawati maju sendiri sebagai Calon Presiden berpasangan dengan figur yang lain di luar PDIP. Atau ada kemungkinan lain yang akan terjadi–yang belum bisa dipastikan sekarang.

Begitu juga kandidat lain, seperti Prabowo, Hatta Rajasa, Wiranto, Aburizal Bakrie dan kandidat lain­nya, masih ada kemungkinan­kemungkinan yang bisa mengubah peta calon presiden 2014. Simulasi capres – cawapres saat ini masih sangat mungkin berubah. Pergeseran kepentingan politik diprediksi akan terjadi setelah ada hasil pemilu legislatif. Ibarat permainan bola, ini baru babak penyisihan, babak final belum dimulai. Mari kita tunggu babak penyisihan ini sambil menyimak manuver masing­masing pemain. Nampaknya permainan akan semakin seru, para pemain sedang asyik menerapkan taktik dan strategi. Bahkan sudah mulai memasang perangkap offside dan saling menyandera.

Politik Saling Menyandera

Tahun 2013 merupakan tahun politik karena di tahun inilah pertarungan politik Indonesia menjelang pemilu 2014 dimulai. S e m a k i n d e k at t a h u n 2014 cenderung semakin keras persaingan antar kekuatan politik. Hal itu

bisa dilihat dari tren dan dinamika per tarungan saat ini, dimana masing­masing kekuatan politik sudah mulai melakukan berbagai manuver untuk memenangkan pemilu 2014. Meskipun tak jarang manuver itu dilakukan dengan cara saling serang untuk men­downgrade kredibilitas dan elektabilitas calon presiden dan partai politik yang menjadi kompetitor.

Manuver antar kekuatan politik itu ditunjukkan dalam berbagai publ ikasi di media, misalnya munculnya berbagai isu negatif seperti kasus korupsi yang diduga melibatkan tokoh dar i par tai politik tertentu. Kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan penculikan aktivis menjelang peristiwa gerakan reformasi 1998 juga mencuat kembali di tahun ini. Maksud dan tujuan dari mencuatnya isu pelanggaran HAM nampak jelas ditujukan kepada tokoh tertentu yang berpotensi menjadi calon presiden 2014.

Masalah “lumpur lapindo” dan skandal pajak juga mulai mencuat kembali, tentu isu ini bisa men­downgrade popularitas tokoh yang juga menjadi salah satu calon presiden dari partai politik tertentu. Begitu juga isu­isu yang lain seperti skandal Bank Century yang diduga melibatkan partai dan tokoh tertentu sering menjadi pemberitaan utama di media. Dan masih banyak lagi skandal­skandal lain yang diduga melibatkan tokoh dari partai politik yang terpublikasi di media.

Yang paling sering menjadi isu negatif partai politik dan para elite politik di Indonesia adalah kasus korupsi. Dengan demikian, relasi antara manuver politik, media, dan instrumen hukum nampak saling berhubungan dalam dinamika politik Indonesia menjelang pemilu 2014. Satu demi satu pimpinan partai politik dipenjara dan masih banyak yang akan menyusul rekan­rekannya. Mungkin ini yang disebut dengan manuver politik saling menyandera.***

Page 28: Edisi 101 TH. XLIII, 2013

28 EDISI 101 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

Sembako atau sembilan bahan pokok yang terdiri dari berbagai bahan makanan secara umum sangat dibutuhkan masyarakat Indonesia. Tanpa sembako kehidupan rakyat Indonesia bisa terganggu karena sembako merupakan kebutuhan pokok utama sehari-hari yang wajib tersedia dan dijual bebas di pasar.

Pemerintah Harus Jamin Ketersediaan dan

Stabilitas Harga Sembako

PENGAWASAN

Sembako yang merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia diantaranya, beras, sagu, jagung, kedelai, dan sayur­sayuran.

Sebagai pelengkap, maka komoditas seperti daging, susu, gula pasir, dan garam juga perlu disiapkan oleh pemerintah.

Dari sisi ekonomi, permintaan barang­barang sem­bako bersifat inelastis, yaitu perubahan harga sembako tidak akan banyak mempengaruhi tingkat permintaan produk oleh konsumen selama tidak terlalu signifikan. Jika harga sembilan bahan pokok tersebut naik secara signifikan, maka sebagian konsumen akan beralih ke produk serupa pengganti (substitusi).

Pasar tradisional.

Page 29: Edisi 101 TH. XLIII, 2013

29EDISI 101 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

Sudah menjadi tugas dan tang­gung jawab dari peme rintah untuk menjaga kestabilan dan kesinam­bungan kebutuhan sembako karena berhubungan erat dengan hajat hidup orang banyak. Pemerintah bisa melakukan operasi pasar, impor, pematokan harga tertinggi atau terendah, serta penindakan hukum kepada pelaku kriminal yang terkait dengan kejahatan sembako.

Perlu menjadi catatan bahwa beberapa komoditas belum lama ini mengalami kelangkaan dan gejolak harga yang dampaknya sangat dirasakan masyarakat. Sebut saja meroketnya harga daging sapi di pasaran yang semula berkisar 50 ribu rupiah per kilogram, melonjak mencapai diatas100 ribu rupiah. Belum reda kasus daging sapi, menyusul melambungnya harga bawang putih. Kejadian ini jelas sangat meresahkan masyarakat tidak saja para pedagang tetapi juga

ibu­ibu rumah tangga karena beban hidup yang kian berat.

Menanggapi hal itu, Wakil Ketua Ko m i s i I V D P R R I , H e r m a n K h a e r o n , meminta Pemerintah h e n d a k n y a b i s a menjamin ketersediaan k e b u t u h a n d a n mengatasi kenaikan harga bahan pokok.

“ Ini adalah lampu k u n i n g b a h w a pemerintah harus turun tangan menangani stabilisasi harga­harga, k a r e n a I n d o n e s i a bukan negara liberalis k a p i t a l i s , t e t a p i ekonomi Indonesia d i d a s a r k a n p a d a ekonomi Pancasi la, d i m a n a n e g a r a memil ik i kewaj iban untuk menjamin stabilisasi harga­harga, utamanya harga sembako,” kata Herman.

Kenaikan harga tersebut, tak lepas dari peran Bulog dan perlu juga keputusan politik antara pemerintah dan DPR RI untuk mengembalikan fungsi Bulog.

“Saatnya ada keputusan politik antara pemerintah dan DPR RI untuk mengembalikan fungsi Bulog sebagai institusi negara

yang ditugasi penuh dalam upaya penanganan ketahanan pangan, khususnya cadangan sembako berikut stabilisasi harganya,” tam­bah nya.

Pasca Indonesia dibelenggu IMF, fungsi Bulog hanya ditugasi sebatas mengamankan cadangan beras, namun setelah kita lepas dari IMF, demi kemaslahatan dan kepentingan rakyat, tentunya fungsi Bulog harus dikembalikan pada tujuan awal Bulog didirikan.

“Cadangan pangan yang cukup dan dikuasai oleh negara sudah pasti akan meng erem permainan para spe kulan, dan harapan rakyat akan ketersediaan pangan deng an harga yang stabil bisa diwujudkan. Semua ini sangat terkait UU,” kata politisi Demokrat itu.

Kenaikan harga­harga, kata Herman, merupakan hal yang biasa dan bisa jadi kenaikan tersebut bukan karena prinsip ekonomi pasokan dan permintaan, tetapi mungkin terjadi juga dikarenakan permainan para spekulan.

“Indikasinya mudah saja, silahkan tanya pedagang eceran di pasar­pasar. Kalau mereka mengeluh deng­an kenaikan harga­harga, berarti spekulan bermain, tetapi kalau kenaikan tersebut hanya membuat

Page 30: Edisi 101 TH. XLIII, 2013

30 EDISI 101 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

konsumen yang merasakannya, berarti yang terjadi adalah pesta tahunan para pedagang eceran,” kata Herman.

Herman juga meminta Pemerintah untuk segera menerbitkan Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, mau pun Peraturan Menteri Perta­nian sebagai payung hukum untuk mendukung pelaksanaan UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Selanjutnya Kementerian Pertanian diminta untuk segera melakukan

sosial isasi ter­hadap UU tentang Pangan.

Capai Swasem-bada Pangan

S e m e n t a r a itu, Wakil Ketua Komisi IV Ibnu M u l t a z a m m e n g a t a k a n kepada PARLE­MENTARIA, un­t u k m e n c ap a i s w a s e m b a d a pang an, baik itu s w a s e m b a d a daging, kede ­lai, jagung dan lain sebagainya kuncinya adalah h ar g a , y a i t u h a r g a y a n g menguntungkan

bagi petani dan peternak. “Jika harga menguntungkan bagi mereka, maka semangat untuk melakukan kegiatan bertani, bercocok tanam, dan beternak akan muncul secara mandiri,” katanya.

Lebih lanjut, Ibnu menyampaikan selama ini basis dari swasembada hanya berupa bantuan­bantuan, sehingga dari sisi harga harus distabilkan supaya peternak bisa menghitung kemungkinan keun­tungan dan kemungkinan kerugian.

Pemantauannya, hari ini sudah bagus dengan naiknya harga hewan ternak di pasaran akibat bersama­sama mengurangi impor. Hal ini memicu semangat petani untuk beternak kembali, sehingga populasi beternak kecenderungannya na ik. “Pemerintah supaya tidak menam­bah kuota impor baik daging maupun ternak dalam rangka menjaga semangat masyarakat untuk beternak kembali terjaga,” harapnya.

Selanjutnya, Ibnu menegaskan mengenai pakan yang merupakan komponen sangat penting bagi swasembada daging, suatu yang tidak rasional kalau pakan itu sulit dan mahal. “Pemerintah diharapkan dapat memfasilitasi harga pakan yang murah, pakan yang mudah dan pakan yang berkualitas,” tambah­nya.

Selain itu juga pakan kering, menurut Ibnu, dulu ada roti sapi yang bahan bakunya dari bungkil tebu atau sampah sawit yang diolah menjadi roti sapi. Ketika itu mudah di da patkan peter nak, dengan harga murah dan berkualitas. Jika pakan sudah disediakan mu rah, mudah, dan berkualitas diharapkan po pu lasi ternak akan lebih tumbuh karena memicu kelahiran ternak baru.

A n g g o t a D e w a n i n i j u g a mempertanyakan langkah­langkah Kementerian Per tanian dalam menangani tanaman holtikultura yang terkena virus, sehingga mengakibatkan pertumbuhannya tidak maksimal dan layu, seperti pisang, jeruk, dan lain sebagainya.

“Ini belum dianggap penting oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan penyuluh. Sehingga populasi holtikultura berkurang. Karena i tu, per lu dan harus ada tindakan yang masif dari Kementerian Per tanian untuk meneliti penyebabnya,” ungkapnya. (as) Foto: Hindra/Parle/Hr.

Pedagang beras.

Page 31: Edisi 101 TH. XLIII, 2013

31EDISI 101 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

PENGAWASAN

Sebagai wakil rakyat dari daerah pemilihan Sumsel ia merasa perlu memantau perkembangan pengusutan kasus yang telah memaksa banyak orang menoleh ke OKU. Kamis pagi, pukul 7.30 WIB ketika kesibukan kerja baru saja akan dimulai massa yang kemudian diketahui sebagai oknum prajurit TNI mendatangi Kantor Polres OKU, Sumsel. Niat awal sebenarnya adalah melakukan unjuk rasa, mempertanyakan tindak lanjut kasus rekan mereka Pratu Heru Oktavianus yang ditembak polisi lalu lintas dari Polres OKU, Brigadir Bintara Wijaya. Namun unjuk rasa berubah menjadi unjuk kekuatan, para oknum yang berjumlah 95 orang ini mengamuk, memecahkan kaca, merusak peralatan kantor dan entah siapa yang

memulai, membakar. Kantor polisi yang notabene adalah aset negara dirusak oleh oknum aparat negara yang tugas utamanya menjaga.

“Bagi saya kasus ini adalah salah penyaluran naluri tempur. Jiwa korsa memang harus dijaga tapi harus diarahkan pada satu koridor yang tidak menabrak aturan, hukum,” tandas politisi dari Fraksi Partai Golkar ini.

Suara wakil rakyat ini nampaknya juga senada dengan kesimpulan tim penyelidik TNI. Para pelaku yang salah menerapkan Jiwa Korsa itu ditetapkan menjadi tersangka.

Kabar baik itu sampai juga ke meja Dodi Alex Noerdin di Senayan. Pangdam II Sriwijaya Mayjen TNI Nugroho Widyotomo akhirnya mengumumkan telah menuntaskan penyelidikan kasus pembakaran Markas Kepolisian Ogan Komering Ulu (OKU). 6 orang anggota Armed (Artileri Medan) Martapura, OKU telah dinyatakan sebagai tersangka. “Ini yang paling saya tunggu, sudah ada penegasan bahwa apa yang terjadi di OKU ini adalah perbuatan oknum dan sudah ada tersangkanya. Publik tentu menunggu jawaban bahwa benar ini bukan konflik antar institusi TNI dan Polri, tetapi hanya oknumnya,” kata Dodi kepada Parle di Jakarta beberapa waktu lalu.

PERLU DIJAGA, JANGAN SAMPAI JADI KONFLIK INSTITUSI

Aparat Polri dan TNI.

Page 32: Edisi 101 TH. XLIII, 2013

32 EDISI 101 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

PENGAWASAN

“Dari hasil pengembangan pemeriksaan telah ditetapkan enam orang menjadi tersangka, yaitu Serma HMF, Praka DM, Sertu Ir, Koptu Ey, Mayor IA, dan Pratu TM,” kata Pangdam II Sriwijaya Mayjen TNI Nugroho Widyotomo dalam konperensi pers di Palembang. Persidangan menurutnya akan segera digelar di pengadilan militer. Hal penting yang ditekankanya adalah permasalahan ini bukan bentuk konflik pertikaian antara TNI dengan Polri, bukan konflik institusi melainkan perselisihan prajurit yang saling ejek. Dalam kejadian itu dipastikan tidak ada senjata, bom molotov ataupun granat. Ia juga menyatakan komitmen akan membantu pembangunan kembali kantor Polres OKU.

Anggota Komisi I Achmad Daeng Sare meminta hakim pengadilan militer memberikan hukuman tegas kepada oknum prajurit TNI yang telah dengan sengaja merusak aset negara. “TNI­Polri harus tegas memberikan sanksi kepada anggota yang terlibat penyerangan agar kejadian seperti ini ke depan tidak terulang lagi, kemudian harus diikuti dengan pembinaan mental yang intensif agar anggota TNI tetap memegang teguh amanat reformasi,” paparnya. Baginya apa yang dilakukan oknum prajurit Armed telah menohok tatanan reformasi yang telah dibangun setahap demi setahap ditubuh TNI. Ia meminta perlu evaluasi mendalam karena menurutnya pasti ada yang salah dengan pembinaan prajurit dari sisi mental, disiplin dan kepatuhan terhadap visi misi TNI.

“Kita di DPR tentu akan terus memantau jalannya penanganan kasus ini, terus mendorong sinergi antara dua alat negara TNI dan Polri. DPR baik itu Komisi I maupun Komisi III sangat memerlukan untuk memastikan kisruh bukanlah konflik institusi,” tekan polisi dari FPPP ini.

Jiwa Korsa yang Tidak Biasanya

Selang 2 minggu setelah kasus OKU, kejadian yang hampir sama juga terjadi di Lapas Cebongan, Sleman, Jawa Tengah. 11 prajurit Kopassus dengan semangat jiwa korsa menuntut balas kematian mantan komandan mereka Serka Heru Santosa yang dibunuh 4 preman dengan tusukan belati. Darah para prajurit muda yang sebagian besar tamtama ini menggelegak, dengan menenteng senjata serbu legendaris AK47 mereka menguasai lapas yang notabene gedung negara, melumpuhkan sipir yang sedang berjaga dan membayar tuntas kemarahan mereka dengan mengeksekusi ditempat 4 tersangka pembunuh yang banyak disebut sebagai preman Yogya.

“Penyerangan yang berakibat pembunuhan 4 preman tersebut, bermotif tindakan reaktif karena kuatnya rasa jiwa korsa membela kehormatan kesatuan dan mantan komandan mereka yang dibunuh,” kata Ketua Tim Investigasi, Brigjen TNI Unggul T Yudhoyono dalam keterangannya di Jakarta belum lama ini. Ia menyebut salah seorang prajurit yang terlibat penyerangan di lapas mengaku pernah diselamatkan oleh mantan komandannya Heru Santoso.

Bagi Wakil Ketua Komisi I, TB Hasanuddin penerapan jiwa korsa dalam kasus itu jelas salah kaprah. Purnawirawan TNI dengan pangkat Mayor Jenderal ini mengaku prihatin terhadap aksi premanisme yang terjadi namun penyelesaiannya tidak bisa dengan aksi penyerangan di institusi negara seperti lapas. “”Saya tidak yakin ini hanya karena jiwa korsa semata, mungkin ada hal lain, termasuk soal disiplin. Kita sepakat, preman harus diberantas, tapi jangan melanggar hukum. Jangan menyalahkan jiwa korsa,” tandasnya.

Page 33: Edisi 101 TH. XLIII, 2013

33EDISI 101 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

Ia menjelaskan jiwa korsa adalah semangat yang muncul ditengah pertempuran, esprit de corps. Setiap anggota pasukan harus saling membantu, melindungi, mengingatkan dengan kata lain senasib sepenanggungan dalam satu unit untuk memenangkan pertempuran. Jiwa korsa ini adalah semangat positif yang bisa dimiliki setiap orang dan sering tercermin dalam hubungan antar individu atau kelompok ditengah masyarakat. Jadi penyimpangan yang tidak biasa dari jiwa korsa seperti yang terjadi di Lapas Sleman baginya harus mendapat hukuman setimpal. “Pelakunya harus ditindak dengan keras karena ini bukan pelanggaran biasa tapi sangat luar biasa, menyerang rumah negara, menyerang orang­orang yang sedang dalam perlindungan negara.”

Dodi Alex Noerdin menambahkan apa yang terjadi di OKU maupun di Sleman perlu dikaji dan didalami baik oleh TNI, Polri, Pemerintah dan DPR. Dalam kondisi sekarang ini, satu persoalan tidak dapat disimpulkan begitu saja. Ia tidak menafikan ada kecemburuan, ketimpangan kesejahteraan, penataan remunerasi dan profesionalisme yang baru dapat diselesaikan setelah sejumlah pihak duduk bersama. “Segenap pihak harus instropeksi, disitu kemudian per lu ditindaklanjuti dengan rapat gabungan Komisi I dan Komisi III bersama Menkopolhukam, TNI dan Polri,” paparnya.

Wakil Ketua Komisi III Almuzammil Yusuf sepakat dengan usulan ini. Pembicaraan diantara pimpinan komisi terkait dikabarkannya sudah dilakukan. Saat ini lanjut politisi Fraksi

PKS ini sedang dijadwalkan waktu yang pas bagi seluruh pihak yang akan diundang dalam rapat besar itu. “Kita memang perlu melakukan rapat gabungan, disitu bisa kita hadirkan Panglima TNI dan Kapolri. Banyak yang bisa kita bicarakan untuk kebaikan bangsa ini termasuk tentu membahas tragedi OKU dan Lapas Cebongan,” d e m i k i a n Almuzammil. (iky) Foto: Wy/Parle.

Suasana Raker Komisi I dengan Kemenhan.

Page 34: Edisi 101 TH. XLIII, 2013

34 EDISI 101 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

“Proses kasus Hambalang sendiri memang belum selesai, karena sampai saat ini laporan audit dari

BPK soal Hambalang Jilid Dua belum diterima oleh BAKN. Maka dari itu BAKN sampai saat ini belum bisa menelaah,” jelas Sumarjati ketika ditemui Tim Parle baru­baru ini.

Sumarjati menambahkan, penelahaan masalah Hambalang oleh BAKN tergantung pengembangan penyidikan dari KPK, karena

KPK sendiri belum melakukan penyelidikan berikutnya. Tentunya BAKN masih menunggu laporan dari BPK dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai bahan tindaklanjut BAKN untuk melaporkan kepada Pimpinan Dewan maupun kepada Komisi yang terkait dengan masalah Hambalang.

Pada laporan sebelumnya sudah diserah­kan BPK kepada BAKN, BAKN menemukan penyimpangan di proyek pembang un an

Pembahasan kasus Hambalang belum berhenti. Ketua Badan Akuntabilitas Negara (BAKN) DPR Sumarjati Arjoso menyatakan bahwa Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) belum memberikan Laporan Hambalang jilid dua kepada DPR. Sebelumnya, BPK berjanji akan memberikan laporannya kepada DPR, namun hingga saat ini belum ada laporan lanjutan.

“Kasus vaksin flu burung ini bisa jadi

kasusnya lebih be sar jika dibandingkan

deng an kasus Hambalang, karena

kasus Hambalang itu sudah ada

prosesnya dan jalan penyelidikannya

lebih transparan, sementara kasus vaksin flu burung

sejak semula sudah tidak benar dan

banyak ditemukan penyimpangan,” kata Ketua BAKN Sumarjati Arjoso.

Page 35: Edisi 101 TH. XLIII, 2013

35EDISI 101 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

Pusat Pendidikan dan Pelatihan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang, Bogor itu.

BAKN menyimpulkan terjadi penyimpangan dan indikasi penyalahgunaan kewenangan dan mengin­di kasikan kerugian negara setidaknya sebesar Rp 243.663.748.370,00 yang merupakan pelanggaran pasal 34 ayat 1 dan ayat 2 Undang­Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

Negara Dirugikan Rp. 600 Miliar

Masalah lain yang sedang ditelaah oleh BAKN adalah masalah Sarana dan Prasarana Pengadaaan Vaksin Flu Burung Untuk Manusia. Diduga, akibat adanya kasus yang terjadi di lingkungan Kementerian Kesehatan ini merugikan negara hingga Rp. 600 miliar. Bahkan, kasus ini dianggap sebagai kasus tindak pidana korupsi yang luar biasa.

“Kasus vaksin flu burung ini bisa jadi kasusnya lebih b e s ar j i ka d ibandingkan deng an kasus Hambalang, karena kasus Hambalang itu sudah ada prosesnya dan jalan penyelidikannya lebih transparan, sementara kasus vaksin flu burung sejak semula sudah tidak benar dan banyak ditemukan penyimpangan,” jelas Sumarjati.

Sumarjati menambahkan, penyimpangan yang ditemukan adalah proyek itu dipercayakan kepada PT Bio Farma, yang notabene hanya merupakan perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Bio Farma sebagai perusahaan BUMN tidak berhak untuk dapat proyek mengelola keuangan negara. Proyek ini tidak ada dalam perencanan Kemenkes, seolah Kemenkes disandera dan “disetir” oleh Bio Farma.

“Kementerian Kesehatan tidak pernah mengajukan anggaran untuk membangun laboratorium untuk memproduksi vaksin flu burung. Tetapi dari pihak Bio Farma melobi Badan Anggaran DPR untuk dilanjutkan ke Kemenkes. Setelah pengajuan dari Bio Farma disetujui dan dana dari Kementerian Keuangan sudah cair, baru Bio Farma memberitahukan kepada Kemenkes,” jelas Sumarjati.

Mestinya, tambah Sumarjati, Kemenkes yang meng ajukan anggaran dan mendapatkan dana dari Kemenkeu. Namun kenyataannya Kemenkes tidak pernah mengajukan anggaran, malah ada dana “nyelonong” untuk proyek vaksin flu burung.

Sejak tahun 2008­2010 dana APBN untuk sarana dan prasarana vaksin flu burung yang sudah dikucurkan besarnya mencapai Rp 916 miliar. Tahun 2008, dari alokasi sebesar Rp 191 miliar, yang terealisasi hanya Rp143 miliar. Tahun 2009, alokasinya Rp 488 miliar, dan terealirasi Rp 300 miliar. Tahun 2010 alokasinya Rp 478 miliar, dan terealisasi Rp 472 miliar. Tahun 2011 alokasi Rp 479 miliar, tapi tidak bisa dicairkan karena diberi bintang oleh Komisi IX. Dari total dana tahun jamak jumlahnya mencapai Rp 1,6 triliun, dan yang direalisasikan hanya 56%­nya atau Rp 916 miliar.

“Semua prosesnya sudah tidak benar, kenapa hal ini bisa terjadi dan dana yang telah disetujui sebesar Rp. 2,2 triliun. Akibatnya kerugian negara ditaksir mencapai Rp. 600 miliar lebih. Dan yang lebih menyedihkan adalah BAKN sudah melakukan hearing dengan Kemenkes setelah proses tender selesai,

namun perusahaan pemenang tender yang disinyalir bernama Anugrah Nusantara tersebut tidak ditemukan validitasnya, mestinya kan di l ihat dan dinilai kelayakkannya,” sesal Sumarjati.

A k i b a t k e r u g i a n d a r i proyek vaksin flu burung ini, BAKN sudah memberikan rekomendasi kepada Pimpinan DPR maupun ke Pimpinan Komisi terkait, agar penyelidikan kasus ini segera diteruskan ke KPK.

Sumarjati menambahkan, aliran dana yang telah mengalir ke proyek vaksin flu burung mencapai 400 milyar dan dana

yang mengalir ke proyek Hambalang 300 milyar lebih, maka BAKN meminta agar penelusuran tetap dilanjutkan ke KPK. Namun hingga kini BAKN belum mendapat jawaban atas laporan yang telah disampaikan kepada pimpinan Dewan maupun pimpinan Komisi. Adapun jawaban yang sudah diberikan hanya jawaban lisan dari pimpinan Dewan, yaitu ‘sudah ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan yang berlaku’. Mendapati jawaban yang kurang memuaskan, Sumarjati mempertanyakan kembali jawaban yang diberikan pimpinan Dewan.

“Ketentuan yang berlaku itu ketentuan seperti apa? Dan yang mana yang dikatakan berlaku? Kenapa kasus yang merugikan negara ini tidak diteruskan ke pihak penegak hukum seperti KPK,” tegas Sumaryati.

Anggota Komisi VIII ini juga menyesalkan, setelah penegak hukum menetapkan status tersangka kepada salah satu pimpinan proyek vaksin flu burung yaitu pejabat eselon dua dari Kemenkes, ternyata belum

Page 36: Edisi 101 TH. XLIII, 2013

36 EDISI 101 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

ditahan bahkan masih mengikuti rapat dengan Komisi IX.

Dari sisi Kemenkes, instansi ini tetap bersikeras untuk melanjutkan proyek ini. Kemenkes bahkan memin­ta tambahan dana sebesar Rp. 300­500 miliar ketika melakukan rapat dengan BAKN beberapa waktu lalu. Wakil Menteri Kesehatan menilai, jika proyek ini dihentikan, maka akan rugi sebanyak Rp. 1,4 triliun. Menurutnya, proyek pembangunan pabrik ini sangat penting bagi masyarakat, khususnya untuk memerangi virus flu burung.

Bukan Hanya Hambalang dan Vaksin

Disamping masalah Hambalang dan vaksin flu burung, BAKN juga akan menindaklanjuti kasus yang terkait dengan bantuan sosial (bansos). BAKN akan terus melakukan konsultasi dengan BPK, agar ada audit pemeriksaan terhadap dana bansos.

Terkait dengan masalah bansos, BAKN akan meminta kepada BPK agar melakukan audit investigasi dana bansos antar lintas sektoral dan komprehensif. Sumarjati menilai bantuan sosial yang disalurkan pemerintah sampai saat ini sebagian masih salah sasaran, yang seha rusnya diberikan bantuan adalah orang­orang yang memang kekurangan, namun malah dinikmati oleh orang yang lebih mampu.

“Mestinya bantuan sosial yang diberikan kepada masyarakat itu berupa lapangan kerja, bukan berupa materi atau uang. Hendaknya orang yang masih sehat dan kuat bekerja, diberikan lapangan kerja, namun

jika orang sudah tua dan sudah tidak bisa lagi bekerja sebaiknya diberikan bantuan berupa uang,” jelas Sumarjati.

Sumarjati memberi contoh, seorang petani yang sudah menikmati hasil pertaniannya kenapa malah diberi bantuan beras, mestinya petani diberi bantuan modal bibit atau pupuk. Jadi bisa dikatakan bantuan ini salah sasaran.

“Selain itu, setelah petani panen, mereka kesulitan men jual hasil panennya, Bulog pun tidak mau membeli hasil panennya maka mereka kesulitan untuk menjual hasilnya. Mestinya hasil panen petani tersebut dibeli oleh Bulog, bukan malah dibeli oleh tengkulak atau saudagar,” ujarnya.

Sampai saat ini, tambah Sumarjati, petani Indonesia belum mendapat perlindungan dari pemerintah se­cara maksimal, kondisi ini berbeda dengan negara lain seperti di Amerika, Cina, dan Vietnam petaninya dilindungi dan diberi subsidi agar mereka dapat menjual hasil produknya.

Sumarjati mengharapkan, semestinya para petani di Indonesia betul­betul dilindungi seperti di negara asing dan diberi subsidi seperti pupuk, bibit unggul dan lahan yang cukup memadai. Bisa dikatakan, subsidi itu seperti bantuan sosial, dan tidak salah sasaran. Namun kenyataannya, sampai saat ini petani tidak mendapatkan bantuan seperti itu, bahkan subsidi pupuk yang seharusnya diberikan kepada petani, malah diselewengkan. (Sf, Spy). Foto: Wy/Parle.

ANGGARAN

Suasana rapat BAKN dengan jajaran Kementerian Kesehatan.

Page 37: Edisi 101 TH. XLIII, 2013

37EDISI 101 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

LEGISLASI

“Tentang pilkada serentak, se mua fraksi sepakat,” kata Wakil Ke­tua Komisi II DPR Abdul Hakam

Naja usai forum lobi fraksi­fraksi Panja RUU Pilkada dengan pemerintah di Ge dung DPR, Jakarta, Rabu (20/3).

Forum lobi itu sendiri baru membahas empat poin dari total tujuh poin krusial yang ada dalam RUU Pilkada, yakni pilka­da se rentak, pendanaan kampanye, paket kepala daerah dan wakil, serta sengketa pilkada. Sisa poin krusial lainnya, yaitu poli­

Forum lobi fraksi-fraksi Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang-Undang tentang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) dengan pemerintah akhirnya menyepakati pilkada dilaksanakan serentak secara nasional. Pertimbangannya selain karena faktor ongkos penyelenggaraan yang lebih murah dan masyarakat tak melulu dihadapkan pada pelaksanaan pilkada, alasan lainnya agar sistem atau fokus kerja yang terbangun bagi pejabat yang terpilih dapat menjadi lebih fokus dan pembangunan daerah lebih merata.

PILKADA SERENTAK DITARGETKAN PADA 2019

Wakil Ketua Komisi II DPR Hakam Naja dalam dialog Forum Legislasi di Press Room DPR.

Page 38: Edisi 101 TH. XLIII, 2013

38 EDISI 101 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

tik dinasti, pemilihan langsung atau DPRD, dan tugas wewenang kepala daerah.

Politisi dari Partai Amanat Nasional (PAN) itu mengatakan saat ini panja tinggal menyepakati alternatif wak­tu pelaksanaan pilkada serentak. Terdapat dua alternatif usulan, yakni dengan pola pengelompokan dan penyelenggaraan yang bersamaan dengan pemilu presiden. Dalam pola pengelompokan, pilkada akan diba gi menjadi dua kali pelaksana­an, yakni pada 2015 yang diikuti 279 pilkada dan pada 2018 yang melibatkan 244 pilkada.

“Selanjutnya pilkadanya akan di­laksanakan tiap lima tahun sete lah 2015 dan 2018,” kata dia. Semen­tara itu, sambung Hakam, untuk al­ternatif kedua adalah selu ruh pilka­da diserentakkan di 2019. Dengan konsep ini, nantinya pilkada, baik gubernur maupun bupati/ walikota dilaksanakan berbarengan dengan pemilihan presi den atau disebut dengan pemilu eksekutif. Pemilu eksekutif ini akan dilaksanakan pada Juli 2019 setelah pelaksanaan pemi­lu legislatif pada April 2019.

Sementara itu, sikap pemerintah yang disampaikan lewat Dirjen Oto­nomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, Djohermansyah Djohan, mengatakan pemerintah sepakat

dengan pilkada serentak. Sejauh ini, pemerintah, menurutnya, sepakat dengan pola pengelompokan pilka­da di 2015 dan 2018. Kendati be­gitu, dia juga mulai tertarik dengan konsep pemilu eksekutif pada 2019 yang akan membuat lebih efisien.

“Satu tahun orang selesai pemilu. Setelah bupati, gubernur, presiden dilantik semua pada tahun itu, se­sudah itu kita mengurusi rakyat se­muanya. Jadi aman Republik, tidak ribut tiap hari,” tandasnya.

Djohermansyah menambahkan jika konsep itu dipilih maka UU Pilkada juga harus memuat transisi, yakni kepala daerah yang akan dipi­lih pada 2015 dibuatkan aturannya tentang masa jabatannya hanya sampai Juli 2019. “Jadi dinyatakan, masa jabatan yang dipilih 2015 ha­nya 4 tahun, sampai dengan 2019. Jadi tidak memotong masa jabatan, kita atur di situ. Untuk selanjutnya akan tetap lima tahun demi menda­patkan satu pilkada yang serentak se­Indonesia,” kata nya.

Seperti diketahui, sebanyak 152 pilkada akan diselenggarakan ta­hun ini, 43 di antaranya merupakan pilkada yang dimajukan dari 2014. Pilkada serentak 2013 diharapkan akan menjadi titik tolak bagi rencana pemilu serentak 2019 tersebut.

Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi PDIP Arif Wibowo menyata­kan, sejak awal, Fraksi PDIP memang sudah mengusung gagasan pilkada serentak. “Konsep kita, semua bisa serentak 2019. Nyoblos caleg, kada, pilpres pada hari dan jam yang sama. Tinggal kemauan politik,” kata Arif.

Arif berharap, pilkada serentak ta­hun ini menjadi awal untuk melang­kah ke arah pilkada seren tak yang berakhir 2018 dan kemudian bisa berimplikasi pada penyerentakan pada 2019. Bagi kepala daerah yang habis masa jabatannya pada 2018, menurut Arif, bisa diperjabatkan hingga 2019.

“Itu yang mengurus KPU kabu­paten kota, ini bisa dilakukan dan bisa serentak 2019. Saya kira banyak fraksi mendukung. Nanti kita bukti­kan di pembahasan RUU Pilkada. Sampai sekarang RUU Pilkada baru masuk perbaikan naskah akademis,” jelasnya.

Sementara itu pemerintah mene­gaskan keinginan pemerintah agar pilkada digelar secara serentak demi efisiensi biaya. “Kalau opsi itu disetujui maka gugatan pilkada akan disidangkan di pengadilan ad hoc di setiap daerah,” kata Mendagri Gamawan Fauzi di Jakarta, Selasa (19/3).

Ia menjelaskan, lebih banyak ke­untungan yang bisa diperoleh deng­an memindahkan persidangan seng­keta pemilukada ke pengadilan ad hoc di daerah. Misalnya, tidak perlu harus membawa berkas dan saksi ke Jakarta yang membutuhkan biaya dan tenaga tidak sedikit. Konsekuen­si itu dinilai rasional lantaran tidak mungkin MK bisa menggelar sidang apabila ada puluhan pasangan calon kepala dae rah secara berbarengan mengajukan gugatan.

Sehingga, dengan memindahkan wewenang dari MK ke pengadilan daerah maka diharapkan waktu sidang selama 14 hari bisa ter­penuhi. “Kita kembalikan ke model yang dulu, cost­nya lebih murah,” ujar Gamawan.

LEGISLASI

Page 39: Edisi 101 TH. XLIII, 2013

39EDISI 101 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

Terkait integritas pengadilan dae­rah yang diragukan masyarakat, mendagri sudah melakukan antisi­pasi dengan melibatkan perguruan tinggi. Alhasil, nanti bisa direkrut hakim ad hoc dari akademisi yang dipilih lewat seleksi ketat. Dengan begitu, setiap putusan hakim bisa dipertanggungjawabkan.

Hal itu dilakukan untuk menghin­dari kemarahan pendukung pasang­an calon kepala daerah jika tidak puas dengan keputusan hakim. Se­hingga kekhawatiran adanya per­mainan yang dilakukan hakim bisa ditekan semaksimal mungkin.

Sementara itu, meski DPR dan pemerintah sepakat penyeleng­garaan pilkada digelar serentak, namun pembahasan terkait me­kanisme pemilihan kepala daerah masih menjadi perdebatan di ting­kat Panitia Kerja (Panja) RUU Pilkada di Komisi II DPR.

Beberapa fraksi masih berdebat soal mekanisme pemilihan kepala daerah. Misalnya saja, Fraksi Par­tai Demokrat (FPD) yang memilih pilkada tidak langsung atau melalui pemilihan oleh DPRD.

Menurut Anggota Panja RUU Pilkada dari FPD, Abdul Wahab Da­limunthe, pemilihan kepala daerah langsung menimbulkan mudharat, yakni mengajarkan rakyat yang korupsi. Dan partai politik menarik “uang sampan” dari para calon kepala daerah hingga Rp 5 miliar.

“Dalam pemilu di Sumatera Utara lalu, habis Rp 80 miliar, dan untuk pengamanan sampai Rp 60 miliar. Sementara rata­rata calon sampai menghabiskan Rp 30 miliar. Untuk apa demokrasi kalau tidak untuk ke­pentingan rakyat,” katanya dalam ra­pat dengar pendapat umum (RDPU) dengan sejumlah pakar, diantaranya guru besar ilmu politik dari UI, Prof Maswadi Rauf dan pakar politik dari UGM, Cornelis Lay di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (14/3).

Pandangan berbeda datang dari Fraksi Partai Amanat Nasional

(FPAN), Anggota Panja RUU Pilkada dari FPAN Herman Kadir menolak ide pemilihan kepala daerah mela­lui DPRD. “Itu kemunduran. Kalau kita mau ubah sistem ini, kita sudah mundur ke belakang,” tambahnya.

Menurut Herman Kadir, bila me­mang persoalannya para calon, maka mekanismenya yang harus diperbaiki. Dia mengutarakan ada be be rapa pilkada yang tidak meng­habiskan dana besar. “Cara nya, per­ketat aturan mainnya. Kalau perlu pilkada serentak agar rakyat tidak jenuh,” ujarnya.

Menanggapi perdebatan ini, guru besar ilmu politik dari UI, Prof Mas­wadi Rauf mengatakan pemilihan kepala daerah oleh DPRD adalah kemunduran, karena yang bermain hanya elite partai politik. “Ini akan menimbulkan kritik yang sangat tajam. Sebab, dari pemilihan rakyat dikembalikan ke elite parpol,” tukas­nya.

Maswadi menambahkan, kalau ada masalah dengan Pilkada bukan demokrasinya yang diubah, tapi me­kanismenya.

Sementara menurut pakar politik politik dari UGM Cornelis Lay me­nilai dalam demokrasi yang terpen­ting bukan pemilihan langsung atau tidak langsung. “Tapi apa yang mau dicapai,” katanya.

Terkait soal pendanaan pilkada, Hakam Naja memandang perlu ada pembatasan pengeluaran da­na pemilihan kepala daerah da lam aturan perundangan guna mengan­tisipasi ekses negatif dari penyeleng­garaan pilkada. “Selama ini, belum ada pengaturan pembatasan pege­luaran dana pilkada, seperti dana kampanye, iklan di media, atribut, dan seba gainya,” kata dia dalam sebuah diskusi di Gedung DPR, Ja­karta, Selasa (2/4).

Menurut Hakam Naja, belum ada­nya aturan pembatasan penge luaran dana kampanye sering membuat pe­nyelenggaraan pilka da menjadi “jor­joran” dan muncul nya praktik poli­

tik uang. “Jika calon kepala dae rah yang telah mengeluarkan ba nyak dana dan kemudian kalah, tetapi be­lum siap mental untuk kalah, sering bisa memicu munculnya tindakan anarkis dari para pendukungnya,” katanya.

Oleh karena itu, kata Hakam Naja, pada pembahasan RUU Pilka da, DPR dan pemerintah akan merumuskan aturan pembatasan pengeluaran dana pilkada sehingga penyeleng­garaannya menjadi lebih propor­sional. Aturan pembatasan tersebut, menurut dia, bisa melalui beberapa pendekatan, seperti banyaknya jum­lah penduduk di suatu daerah atau luasnya wilayah geografis suatu daerah.

“Persoalannya kondisi setiap dae­rah di Indonesia berbeda­beda, baik luas dan bentuk geografis, jumlah pen duduk, maupun kemam puan mem perolah PAD (pendapatan asli daerah), sehingga diperlukan ka­jian,” katanya.

Ia juga menambahkan, sumber dana penyelenggaraan pilkada juga harus diatur secara jelas apakah sepenuhnya dari APBN, sepenuh­nya dari APBD, atau kombinasi dari APBN dan APBD. Di sisi lain, kata dia, sumbangan dana untuk penyeleng­garaan pilkada, baik dari lembaga maupun perorangan, juga relatif cukup besar.

“Namun, sumbangan dana un tuk pilkada ini sudah diatur batas mak­simalnya meskipun pela por an nya yang kadang­kadang be lum jelas,” katanya.

Hakam mengemukakan bahwa pembatasan pengeluaran dana pilkada tersebut sangat penting ka­rena untuk menjaga keadilan bagi seluruh pasangan kepala daerah yang akan bertarung. Demikian juga, pengaturan frekuensi ber­iklan di televisi. “Selama ini, hanya pasang an calon yang mempunyai banyak uang, yang bisa sering ber­iklan di televisi, koran, media elek­tronik,” katanya. (nt) Foto: Or/Parle.

Page 40: Edisi 101 TH. XLIII, 2013

40 EDISI 101 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

LEGISLASI

Berkaitan dengan penyediaan perumahan yang ter jangkau harganya, maka menjadi sangat

penting bahwa pembayaran atas pembelian rumah murah melalui KPR yang seharusnya menjadi solusi bagi kemudahan kepemilikan perumahan bagi rakyat.

Perumahan murah harus memperhatikan kelayakan huni, juga sangat dibutuhkan bagi para pekerja sektor non formal dan para PNS. Dengan menyusun semacam klasifikasi jenjang jabatan yang layak diberikan perumahan murah dan terjangkau

tersebut dengan menargetkan pada konsumen yang belum memiliki rumah.

Selain itu, besaran kewajiban iuran bagi kepemil ikan perumahan yang terjangkau serta perlunya kepastian akan kesinambungan iuran atau pengembalian iuran bagi peserta tapera yang putus ditengah jalan. Pemerintah juga harus melakukan kerjasama dengan perbankan serta swasta menjadi penting dengan prinsip untuk memberikan perumahan murah terjangkau dan layak huni

Perumahan merupakan kebutuhan utama manusia setelah pangan. karena termasuk kebutuhan utama, maka sudah seharusnya ketersediaan perumahan menjadi hal terpenting dan pokok. dan menjadi kewajiban negara untuk bertanggung jawab kepada rakyatnya

Contoh rumah sederhana

Page 41: Edisi 101 TH. XLIII, 2013

41EDISI 101 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

Kebijakan perumahan seharusnya bergeser dari isu kepemilikan rumah secara permanen kepada bagaimana cara pengelolaan pembiayaan rumah. Hal ini dikarenakan semakin banyaknya jumlah perumahan yang dimiliki dengan sistem sewa atau kontrak. Perumahan yang semakin membesar dalam jumlah kontrak atau sewa terjadi antara lain karena adanya fenomena “mengota” atau pemusatan perkembangan di daerah perkotaan sehingga terjadi pemusatan permintaan perumahan yang sangat besar di kota­kota dan wilayah penyangga di sekitarnya.

Kita akui bahwa, Rancangan U n d a n g ­ U n d a n g Ta b u n g a n Perumahan Rakyat (RUU Tapera) baru saja digulirkan, karena itu kita semua mengharapkan RUU ini dapat menjadi terobosan bagi penyediaan perumahan rakyat dengan biaya murah. Disisi lain, RUU Tapera ini akan memberikan akses bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah untuk memiliki rumah dengan menjadi anggota Tapera, masyarakat yang tidak memiliki rumah bisa mengakses kredit kepemilikan rumah dengan bunga rendah.

“Kami pr ihatin sekarang ini terlihat pemerintah justru semakin tidak mampu memenuhi kebutuhan perumahan rakyat,” kata Ketua Pansus RUU Tapera Yoseph Umar Hadi baru­baru ini.

Dar i data yang didapatkan sekarang ini setidaknya ada 15 juta KK tidak punya rumah. Sementara pertumbuhan kebutuhan rumah per tahun sekitar 750 ribu unit rumah.

“Data dari BPS saat ini di Indonesia ada 41 juta rumah. Kalau yang rusak satu persen, jadi ada 4,1 juta unit rumah yang rusak. Jadi masih kurang banyak,” kata Yoseph.

Lebih lanjut Yoseph menjelaskan bahwa nanti akan dibentuk Badan Pengelola Perumahan Rak yat y an g ak an m e n g e l o l a d an a untuk penyediaan rumah. DPR mengusulkan setiap orang yang

memiliki penghasilan maka akan diwajibkan menabungkan dananya untuk dikumpulkan di badan ini.

“Kalau kita tarik satu persen saja, dalam hitungan kasar akan terkumpul dana Rp 24 triliun,”kata Yoseph.

Dalam RUU Tapera, menurutnya, s e l a i n m a s y a r a k a t y a n g berpenghasilan rendah, Pemerintah diwajibkan menyimpan modal awal minimal sekitar Rp1 triliun. “Jadi ini semacam dana sharing,” katanya.

Yoseph menegaskan Badan Pengelola harus profesional, transparan dan akuntabel. Badan pengelola bertugas untuk mengelola dana yang terkumpul bisa di investasikan dan dimanfaatkan. “Hasil diskusi dengan pemangku kepentingan t e r m a s u k a s o s i a s i pekerja/buruh yang berpenghasilan rendah, semuanya memberikan dukungan,” katanya.

Menurut Yoseph, para peserta nan ti akan bisa mendapatkan rumah dengan bunga murah, dan setiap peser ta berhak mendapatkan rumah satu kali seumur hidup.

Yosep menegaskan Badan Pengelola Perumahan Rakyat akan mengelola sendiri dana yang diterima dari tabungan masyarakat dengan transparan sehingga bisa digunakan untuk pembiayaan rumah murah atau rumah sangat sederhana (RSS).

“Nanti bunganya bisa tiga persen dan jangka waktu kreditnya bisa 40 tahun. Maka harga RSS Rp 88 juta bisa dicicil sekitar Rp 250 ribu per bulan. Ini tak akan memberatkan masyarakat kecil,”kata Yoseph.

Sementara Sekretaris Kemenpera, Agus Sumargiarto mengatakan RUU Tapera merupakan amanat

dari UU Perumahan dan Kawasan Pemukiman. Berdasarkan surat penugasan dari Presiden, menurut Agus, tidak hanya Kemenpera yang terlibat dalam pembahasan RUU Tapera, tetapi kementerian/lembaga lainnya, misalnya Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Kemenkumham. Agus menyatakan optimistis Badan Pengelola Tapera akan menjadi besar asalkan dikelola secara profesional.

Menanggapi RUU Tapera, Dirut BTN Iqbal Latanro mengatakan, keberhasilan penyelenggaraan Tapera perlu didorong dengan kepesertaan Tapera yang seharusnya bersifat wajib bagi pekerja dengan tingkat penghasilan tertentu. “Dalam

mengelola rekening dana Tapera dan mendorong pemanfaatannya pada bidang perumahan, Badan Pengelola Tapera dapat bersinergi dengan bank yang fokus pada pembiayaan perumahan/KPR,”katanya.

Dia memaparkan, dana Tapera seb aga i has i l iu r an p eser t a semestinya diinvestasikan pada bank yang fokus pada pembiayaan perumahan dan bank tersebut juga dibebaskan dari kewajiban penyediaan giro wajib minimum.

Dukung RUU Tapera

Menteri Perumahan Rakyat Djan

Page 42: Edisi 101 TH. XLIII, 2013

42 EDISI 101 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

Faridz mendukung sepenuhnya proses pembahasan Rancangan U n d a n g ­ U n d a n g Ta b u n g a n Perumahan Rakyat (RUU Tapera) karena dinilai dapat membantu masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).

“ D e n g a n a d a n y a Ta p e r a diharapkan dapat mewujudkan dana murah jangka panjang terkait pembiayaan perumahan untuk MBR yang terjangkau,”Paparnya.

Menurutnya, RUU tersebut akan menghasilkan UU yang sangat strategis terkait instrumen untuk penyediaan dana jangka panjang yang murah dan terjangkau bagi kalangan MBR. “Dengan lahirnya UU Tapera nantinya akan mendorong negara untuk menghimpun dan memupuk dana yang dikumpulkan dari masyarakat umum khususnya mereka yang te lah memil ik i

penghasilan,” katanya.

Selain itu, Djan mengatakan bahwa RUU tersebut akan melengkapi dua UU yang lahir sebelumnya, yakni UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman serta UU No. 20 Tahun 2011 tentang Rusun serta peraturan pendukung lainnya.

Djan menuturkan, berbagai peraturan perundang­undangan i tu juga menjadi sa lah satu bentuk intervensi negara dari sisi penyediaan perumahan di Indonesia khususnya dalam membantu tersedianya pembiayaan jangka panjang perumahan yang murah.

“RUU Tapera ke depan harus dilaksanakan oleh setiap warga negara yang memiliki penghasilan serta menjadi gerakan menabung untuk perumahan. Melalui tabungan

tersebut, setidaknya masyarakat akan didorong untuk memiliki tabungan khusus untuk perumahan sehingga bisa memberi jaminan bagi mereka apabila ingin memiliki rumah,”katanya.

Dia menambahkan, RUU Tapera salah satu solusi atas semakin meningkatnya kebutuhan biaya jangka panjang sektor perumahan. Beberapa negara yang telah berhasil melaksanakan pola Tapera misalnya S ingapur a y ang memb entuk Housing Development Board (HDB) sebagai lembaga penyelenggara pembangunan perumahan.

“Badan tersebut (HBD) bisa menjadi contoh untuk model Tape­ra tapi tetap diperlukan kajian agar p e lak s anaanny a sesuai dengan kondisi masyarakat dan sektor perumahan di Indonesia,” tambahnya. (si/spy) Foto: Wy/Parle

LEGISLASI

Foto: Doc.Rumah susun.

Page 43: Edisi 101 TH. XLIII, 2013

43EDISI 101 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

Dari ungkapan tersebut jelas terlihat untuk bisa menghasilkan jiwa dan

pikiran yang sehat terlebih dahulu harus diawali dengan tubuh atau jasmani yang sehat dan kuat. Sayangnya, kadangkala, k e i n g i n a n t e r s e b u t terhalang karena gaya hidup dan kebiasaan yang kurang baik, termasuk di dalamnya konsumsi makanan yang tidak sehat. Makanan sehat bukan berarti harus mahal dan mewah. Makanan sehat merupakan makanan yang memiliki kandung g iz i y ang se imbang, diantaranya mengandung unsur 4 Sehat 5 sempurna. Jamuan­jamuan makanan ketika tengah bertamu m e m a n g s a n g a t mengundang se le r a , sayangnya tidak semua makanan tersebut mengandung unsur gizi yang seimbang.

Menurut Dr Leane Sumiar, Msc Ahli gizi dari Kementerian Pemuda dan Olahraga mengatakan bahwa khusus untuk pemilik berat badan seimbang dengan riwayat kesehatan yang cukup prima tidak memiliki permasalahan khusus dengan pola makan dan jenis makanan. Namun bagi pemilik berat tubuh cenderung berlebih memang perlu sedikit mengatur pola konsumsi atau asupan makan.

Sayangnya, sering kali pemilik berat badan berlebih, cenderung mengatur konsumsi makanannya d e n g a n h a n y a m e n g u r a n g i makanan yang mengandung lemak seperti daging saja. Padahal perlu

usaha berkesinambungan dari semua makanan yang dikonsumsi agar organ tubuh pun dapat bekerja dengan baik.

“Kalau orang yang memiliki berat badan normal, cukup dengan makanan seimbang yang terdiri dari Nasi, Lauk, Sayur dan pola makan yang teratur. Namun orang yang cenderung memiliki berat badan berlebihlah yang harus lebih mengatur asupan makanannya, tidak hanya dengan membatasi atau mengurangi makanan berlemak saja. Nah, saat ada jamuan makan

inilah kita harus pandai­pandai memilih jenis makanan yang sehat dan sesuai dengan kebutuhan tubuh kita,”jelas Leane.

Ditambahkannya,lemak berku­alitas baik yang ditemukan dalam minyak zaitun, dan kacang­kacangan sebenarnya diperlukan tubuh. Lemak jenis ini membuat kulit sehat dan melindungi organ­organ vital.

Konsumsi lemak yang cukup juga membuat perut terasa kenyang lebih lama dan membantu penyerapan vitamin larut lemak seperti vitamin A dan D.

N a m u n m a k a n a n berlemak tinggi memang bisa menaikkan kadar

kolesterol, t r igl iser ide, ser ta mempersempit pembuluh darah. Akibatnya, aliran darah kurang lancar dan hal ini bisa memicu penyakit jantung. Tetapi tentu tidak hanya makanan berlemak saja yang harus dibatasi, pemilik berat badan berlebih juga harus mengurangi makanan yang menjadi sumber karbohidrat seperti nasi, kentang, kue­kue, gula, tepung, soft drink, gula dan sirup.

Pemilik berat badan berlebih dianjurkan untuk lebih banyak mengkonsumsi sayur dan buah.

Memiliki tubuh langsing seperti Angelina Jolie dan Tom Cruise? Wow, semua pasti ingin memiliki bentuk tubuh seperti kedua aktris dan aktor Holywood ini. Namun, selain bentuk tubuh yang ideal, yang terpenting adalah memiliki tubuh sehat. Presiden pertama RI, Bung Karno pernah mengartikan istilah Latin Mens Sana in Corpore Sano dalam sebuah ungkapan “Di dalam tubuh yang kuat terdapat jiwa yang sehat.” Dengan kata lain jika tubuh kita kuat dan sehat maka jiwa kita pun sehat. Kalau jiwa sehat, pikiran pun akan menjadi jernih. Sebaliknya jika tubuh sakit, jiwa pun akan sakit, dan akhirnya pikiran tidak akan jernih.

KIAT SEHAT

Memilih Jenis Hidangan Sehat

Page 44: Edisi 101 TH. XLIII, 2013

44 EDISI 101 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

Buah dan sayur kaya akan serat sehingga saat penyerapan terjadi minyak dalam tubuh ikut terserap. Selain itu dengan adanya serta, peristaltik dalam usus bergerak baik.

Peristaltik merupakan gerak yang terjadi pada mekanisme sistem pencernaan manusia. Gerakannya berupa kontraksi otot­otot yg meremas dan mendorong makanan supaya bisa turun, sehingga berlan­jut ke tahap selanjutnya. Dimulai dari gerak peristaltik yang ada di kerongkongan, setelah itu makanan terdorong turun ke lambung, di lambung juga terjadi gerak peristaltik yang menyebabkan makanan yang sudah diolah di lambung turun ke usus, dari usus ini juga terjadi gerak peristaltik yang menyebabkan sisa pengolahannya minta dikeluarkan lagi menjadi kotoran.

“Gampangnya, buah dan sayur yang kaya akan serat akan membuat BAB (Bang air besar) kita menjadi lancar dan mudah,” jelas Leane.

Bagi anda yang memiliki riwayat penyakit gula darah, sebaiknya pil ih buah yang t idak ter lalu manis dan kaya akan serat, seperti Belimbing, apel atau jeruk. Buah manis mengandung gula buah yang disebut fruktosa, yang juga bisa meningkatkan gula darah, seperti

Sawo dan Melon. Sementara buah yang kurang manis kandungan fruktosanya lebih rendah. Apalagi jika dikonsumsi bersama kulitnya, sehingga penyerapan gulanya tidak terlalu banyak.

Selain itu pemilik berat badan berlebih memang harus mengkon­trol jumlah atau porsi makanannya. Makan yang banyak akan membuat lambung penuh dan akhirnya maka­nan yang tidak terserap akan terus berdiam diri di lambung dan akhir­nya lambung akan terasa sengap. Kondisi demikian akan rentan terse­rang stroke.

Untuk mengatasi lambung terasa sengap, menurut Leane, pola ma kan normal adalah makan setiap tiga jam. Dengan kata lain, jangan sam­pai perut dibiarkan kosong. Di sela­sela makan besar (sarapan, makan siang dan makan malam) dikatakan Leane, pemilik berat badan berlebih bisa mengkonsumsi makan buah atau makanan ringan lainnya yang berasal dari sayuran.

“Kalau pola makan setiap tiga jam dilakukan, biasanya tidak ada masalah. Termasuk saat mendapat jamuan besar sekalipun,” kata Leane.

Mereka yang sudah teratur makan setiap tiga jam, pasti tidak akan

makan terlalu banyak. Soalnya, perutnya tidak pernah benar­benar kosong. Sementara mereka yang tidak mengikuti pola makan tiga jam sekali ini, biasanya sekali makan langsung dengan porsi atau jumlah yang banyak padahal lambung se­dang dalam kondisi kosong. Hal inilah yang kerap menimbulkan sengap atau kembung di perut.

Selain pola makan dan jenis makan an yang dikonsumsi menurut ahli gizi yang juga berpraktek di kawasan Menteng, Jakarta Pusat ini, yang tidak boleh dilupakan adalah konsumsi air putih yang cukup. Air putih menjadi sumber energi. Air membantu melancarkan sirkulasi darah dalam tubuh.

“Setengah jam sampai satu jam sekali harus ada air putih yang kita minum sebagai sumber tenaga. Sekalipun pagi hari karena kesibukan kita tidak sempat sarapan atau minum susu dan teh, namun dengan air putih sudah cukup membantu tubuh kita untuk beraktivitas selama beberapa jam. Untuk itu selain memperhatikan jenis dan jumlah makanan, minum air putih adalah hal yang wajib dilakukan untuk mendapatkan tubuh yang sehat,” tambah Leane mengakhiri. (Ayu) Foto: Doc/Parle.

Makan Sambil Duduk Ada kecenderungan orang menjadi rakus ketika makan

sambil berdiri. Bagi Anda yang ingin lebih sehat dan menurunkan berat badan, mulailah menikmati apapun hidangan Anda sambil duduk

Gunakan Piring Kecil Makan dengan menggunakan piring yang lebih kecil akan

mendorong orang untuk mengambil porsi yang lebih kecil juga. Sebuah trik yang sederhana bukan?

Gunakan Tangga menggunakan tangga karena akan membuat kaki dan

paru­paru Anda berlatih.

Parkir Kendaraan JauhBerjalan kaki merupakan aktifitas sehat, namun jika kita

sengaja meluangkan waktu untuk jogging mungkin kita

tidak memiliki cukup waktu. Namun dengan memar kirkan kendaraan yang lebih jauh dari biasanya, hal tersebut secara tidak langsung akan melatih otot kaki sekaligus membakar beberapa kalori di tubuh kita.

Ganti Kopi dengan Teh Hijau Teh hijau memiliki banyak manfaat seperti mencegah

kanker, diabetes, kolesterol tinggi, penyakit jantung, stroke, dan demensia (kepikunan).

Selalu berpikir positif Dengan selalu berpikiran positif, harapan dan emosi

Kita pun akan menjadi lebih baik dan lebih optimis dalam menjalani hari­hari. Sebaliknya dengan berpikiran negatif, egois akan membuat kita menjadi cemas, curiga dan cepat marah. Hal ini akan membuat sikulasi darah serta daya kerja organ tubuh kita menjadi terganggu.

TIPS SEDERHANA MENJALANKAN RESOLUSI HIDUP SEHAT SELAIN MENJAGA ASUPAN MAKANAN

Page 45: Edisi 101 TH. XLIII, 2013

45EDISI 101 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

Memberdayakan Masyarakat Lewat Dakwah

MOHaMMad syaHFan Badri saMPUrnO

Sosoknya begitu tenang dan bersahaja. Ramah dan visioner juga menjadi citra dirinya. Di tengah kesibukannya sebagai anggota DPR RI, ia masih bisa menerima Parlementaria untuk sesi

wawancara. Inilah Mohammad Syahfan Badri Sampurno, Anggota Komisi V dan Wakil Ketua Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR RI. Berbincang soal dakwah dan pemberdayaan masyarakat,

maka sangat tepat bertemu dengan Anggota Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera ini.

Page 46: Edisi 101 TH. XLIII, 2013

46 EDISI 101 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

Bersama Parlementaria, ia bercerita tentang masa kecilnya di Jakarta. Kenangan saat bersekolah dan kuliah di F­MIPA Universitas Indonesia

(UI), juga jadi cerita menarik untuk dibagi. Ia aktif bermasyarakat dan berdakwah selepas kuliah. Syahfan adalah sosok yang dekat dengan masyarakat.

Masa Kecil

Jakarta 1964. Seorang tentara bekerja dengan penuh dedikasi di Mabes TNI AD. Sementara isterinya aktif di organisasi Aisyiah dan berdakwah dari masjid ke masjid, memberi pencerahan agama. Kedisplinan hidup dan ketaatan pada agama menjadi warna dalam keluarga ini. Begitulah kehidupan sepasang insan yang sudah dikaruniai 7 anak. Adalah A. Manan Badri dan Khoiriyyah yang sedang berbahagia, karena Tuhan segera mengaruniai kembali anak kedelapan.

Mohammad Syahfan Badri Sampurno begitulah anak yang baru lahir itu diberi nama. Lahir di Jakarta, 19 November 1964. Syahfan kecil lahir dari ayah dan ibu berdarah Jawa, tepatnya dari Surabaya. Ia besar di tengah keluarga religius. Sang ayah yang Pejuang 45 adalah tentara yang kebetulan sedang bertugas di Mabes TNI AD. Terakhir ayahnya bertugas di bagian logis tik AD. Ketika pensiun dari tugas, semua yang dimiliki negara dikembalikan. “Kecuali ada dua yang dia minta ke komandannya. Dia minta lemari dan meja,” kenang Syahfan tentang ayahnya. Sesekali ia pernah pula diajak ayahnya ke Markas Tentara AD.

Sementara ibundanya aktif pada kegiatan keagamaan di Masjid Istiqlal, tak jauh dari rumah. Kediamannya sendiri berada di Pintu Air, sekitar Masjid Istiqlal. Sejak kecil, dia sering diajak ibunya menghadiri pengajian­pengajian. “Jadi, sejak kecil saya sudah sering ikut kajian­kajian agama dari Buya Hamka, Buya Malik, dan lain­lain,” ungkap Syahfan. Ia mewarisi sikap disiplin sang ayah yang teguh pada prinsip. Ayahnya sering bercerita tentang perjuangannya melawan penjajah. Bahkan mengajaknya menemui teman­teman ayahnya sesama pejuang yang dahulu pernah sama­sama bergerilya.

Selain Syahfan, masih ada 4 adiknya lagi yang lahir kemudian. Jadi, ia anak kedelapan dari dua belas bersaudara. Keluarga besar yang bersahaja, penuh disiplin, dan tentu saja religius. Tahun 1970, memasuki usia sekolah, Syahfan memulai pendidikan dasarnya di sebuah SD di bilangan Jl. Saharjo, Manggarai, Jakarta Selatan. Setiap hari Syahfan kecil berjalan kaki menuju sekolah. Pukul enam pagi, ia sudah bergegas ke sekolah. Pelajaran matematika sangat disukainya. Syahfan menjadi salah satu siswa berprestasi di sekolah. Ia selalu masuk ranking tiga besar di sekolahnya.

Selain menuntut ilmu di sekolah, Syahfan juga banyak menggali ilmu agama pada ibundanya yang kebetulan

seorang ustazah. Ia rajin sekali mengaji. Bahkan, syahfan kecil kerap diajak ibunya menghadiri ceramah agama ke berbagai tempat di Jakarta. Lulus SD tahun 1976, langsung melanjutkan ke SMP 57 di Jl. Minangkabau, masih di kawasan Manggarai. Kali ini, ia mengendarai sepeda untuk menuntut ilmu.

Prestasinya terus berlanjut. Ia tumbuh menjadi siswa cerdas. Selalu mendapat ranking di kelasnya. Saat itu rumahnya juga sudah hijrah ke bilangan Tebet, Jakarta Selatan. Bila ditanya nasihat apa yang membekas bagi diri nya, Syahfan selalu ingat nasihat ibundanya untuk men jadi insan yang bermanfaat bagi banyak orang. “O rang paling merugi adalah orang yang keluar pagi dan kembali malam hari hanya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri.” Nasihat itu terus terngiang hingga kini.

Saat menginjak remaja, Syahfan muda bersekolah di SMA 3 Jakarta. Waktu itu, rumahnya kembali pindah. Kali ini ke Kelapa Dua, Depok. Selain berprestasi, ia juga siswa yang rajin berorganisasi. Syahfan juga pandai bergaul dengan banyak teman di sekolah maupun di lingkungan rumahnya. Pelajaran eksakta, memang, jadi kesukaannya sejak SD. Maka, setelah tamat SMA, Syahfan langsung mendaftar di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (F­MIPA), Universitas Indonesia (UI), tahun 1984.

Aktivis Kampus

Bila ditanya, mengapa masuk F­MIPA? Ia menjawab, “Dulu karena senengnya matematika dan fisika, ya masuknya ke situ. Zaman dulu enggak ada bimbingan belajar,” katanya. Selama kuliah di UI, Syahfan lebih banyak bergelut dengan organisasi dakwah di kampus. Ia aktif mengikuti pengajian kampus. Di kampusnya ada masjid Arif Rahman Hakim. Di situlah Syahfan muda kerap menghabiskan waktunya, berdialog tentang tema­tema keagamaan dengan sesama intelektual muda kampus.

Bertukar pikiran dan informasi sudah menjadi kesehariannya sebagai aktivis muslim. Bahkan, nilai­nilai keagamaannya semakin matang dengan sentuhan dari para tokoh pergerakan Islam kala itu, seperti M. Natsir, Prof. Dr. H.M Rasidi, Dr. Imaduddin Abdurrahim yang sengaja diundang ke kampus sebagai narasumber. Bekal agama yang ditanamkan kedua orangtuanya sejak kecil membekas pada diri Syahfan. Ia suka pada aktivitas keagamaan.

Tak hanya itu, Syahfan juga sangat suka berpetualang. Ia menjadi aktivis pencinta alam di kampusnya. Hampir setiap akhir pekan, bersama kawan­kawan ia mendaki gunung­gunung di pulau Jawa. Di atas ketinggian gunung, Syahfan telah menyaksikan keindahan alam karunia Ilahi. Berbagi dan berempati pada masyarakat

PROFIL

Page 47: Edisi 101 TH. XLIII, 2013

47EDISI 101 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

sekitar pegunungan juga dilakukan.

Sebagai aktivis pencinta alam, tak ketinggalan ia berkampanye lingkungan. Merawat alam dari pencemaran lingkungan sudah menjadi misinya setiap kali berpetualang. “Saya sudah ke gunung Gede dan Pangrango. Di sana kemping dan kampanye lingkungan. Jalan­jalan ke gunung itu paling seneng. Hampir setiap akhir pekan selalu pergi ke gunung bersama pencinta alam.”

Karena waktu itu masih di era Orde Baru, di mana kekuasaan masih sangat sentralistik, bahkan otoriter, maka organisasi­organisasi kampus kerap dicurigai sebagai organisasi ilegal. Para aktivis kampus merasa tak bebas berekspresi menyalurkan pendapat dan mengembangkan wawasan. Pengajian­pengajian di kampus akhirnya menjadi alternatif kegiatan dan semarak waktu itu akibat kebijakan NKK­BKK. Ia membangun jaringan dakwah dengan kawan­kawan sesama aktivis dari kampus­kampus lainnya.

Lain halnya dengan aktivitas pencinta alam kampus. Hampir tak pernah mengalami hambatan dan larangan bila sedang beraktivitas. Bergumul dengan alam, memang, sangat menyenangkan. Sementara saat

menekuni perkuliahan di F­MIPA UI, ada satu mata kuliah yang disukai Syahfan, yaitu Filsafat Ilmu Pengetahuan. “Akhirnya pengetahuan itu harus berujung pada sesuatu yang menambahkan manfaat dan membimbing pada jalan kebaikan,” kilahnya.

Memberdayakan Masyarakat

Tahun 1990 Syahfan sudah merampungkan kuliahnya dan meraih gelar S1. Sebagai aktivis kampus, ia selalu berpikir bagaimana mendobrak kejumudan zaman. Pemikiran inilah yang coba ia teruskan saat terjun ke masyarakat. Ia ingin melihat masyarakat berdaya, tidak saja secara materi, tapi juga tercerahkan dengan pengetahuan. Tidak lama setelah tamat kuliah, Syahfan menikah dengan Helda, mahasiswi kedokteran UI. Setelah menikah, mereka tinggal di Bengkulu.

Di Bengkulu inilah, Syahfan dan isteri terjun lebih dekat dengan masyarakatnya. Mengamalkan ilmu dan memberi manfaat terbaik bagi banyak orang. Ia juga mengajak kawan­kawan kuliahnya untuk membantu merintis balai pendidikan di Bengkulu. Menggelar pengajian juga tetap dilakukan. “Di sana membuka pengajian masyarakat khususnya untuk masyarakat transmigrasi. Alumni­alumni UI dan kampus lain yang

Syahfan bersama rombongan Komisi I DPR RI berkunjung ke Pusat Energi Atom Dunia.

Page 48: Edisi 101 TH. XLIII, 2013

48 EDISI 101 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

kita kenal, kita kumpulkan,” terangnya.

Syahfan telah melihat banyak masyarakat yang tertindas oleh lingkungan dan kebijakan pemerintah. Di sinilah ia berperan membangkitkan asa masyarakat, menggairahkan kembali semangat mereka mengejar impiannya. “Kita banyak mendirikan LSM, yayasan di Bengkulu untuk mencerdaskan masyarakat, memberi pencerahan masyarakat, dan menyalurkan bantuan­bantuan dari kantor­kantor Kedubes di Jakarta. Lalu kita salurkan ke daerah­daerah pedalaman.”

Pada 1992, Syahfan konsisten mengembangkan karir dakwahnya di Bengkulu. Ia dirikan Yayasan Al­Fida dengan merekrut, membina, sekaligus memberikan pelatihan pada para calon mubalig atau juru dakwah muda. Dari jerih payahnya, ia juga mendirikan TK Auladuna, tempat membimbing belajar membaca Iqra. Bahkan, Syahfan juga berhasil mensejahterakan masyarakat setempat dengan mendirikan koperasi dan Baitul Mal Wat Tammil.

“Paling fenomenal itu kita membuat yayasan pendidikan dan sekarang sudah sangat besar, namanya Yayasan Al­Fida. Yayasan ini sudah memiliki SD dan SMP. Ya, mudah­mudahan yang terbaiklah di Provinsi Bengkulu,” akunya. Begitulah kiprahnya di tengah masyarakat. Berdakwah dan memberdayakan kaum transmigran jadi aktivitas kesehariannya. Syahfan sudah berhasil mengantarkan masyarakatnya ke gerbang

harapan yang diimpikan. Bahkan, ia juga sudah berhasil melanjutkan tradisi dakwah dari ibundanya.

Menjadi Politisi

Zaman telah berganti. Era kepemimpinan nasional sentralistik berubah menjadi sangat terbuka dan transparan. Itulah masa ketika reformasi 1998 bergulir, menggulingkan kekuasaan Orde Baru yang sangat tidak disuka oleh generasi mahasiswa seperti Syahfan. Demokrasi berkibar di mana­mana. Partai politik bermunculan bak jamur di musim semi. Bagi Syahfan, inilah momentum yang sangat baik untuk terjun langsung berpolitik, setelah dahulu bergerak dan berdakwah di bawah tekanan dan ancaman.

“Karena kita melihat momentum untuk berpolitik, ya kita berpolitik,” ujarnya. Ketika Partai Keadilan (cikal Partai Keadilan Sejahtera) dideklarasikan, Syahfan sudah bergabung sejak awal kemunculannya itu pada 1998. Ia dipercaya sebagai koordinator wilayah untuk Bangkulu, 1998­2004. Lalu, pada 2004­2009, Syahfan dipercaya menjadi Ketua Wilayah Dakwah Sumatera Bagian Selatan DPP PKS.

Saat memasuki masa kampanye, ia seperti berdakwah di tengah masyarakat. Syahfan terjun langsung ke masyarakat dengan bertatap muka. Ia diminta partainya untuk menjadi calon anggota legislatif dari daerah pemilihan (Dapil) Bengkulu. Menurutnya,

Syahfan saat menemui

konstituen di Dapil Bengkulu.

Page 49: Edisi 101 TH. XLIII, 2013

49EDISI 101 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

berdakwah atau berkampanye di tengah masyarakat Sumatera lebih enak ketimbang di Jawa. Di Sumatera tidak terkonsentrasi secara ideologis oleh organisasi­organisasi Islam besar, seperti NU, Muhammadiyah, Persis, dan lain­lain. “Di Sumatera warna organisasi tidak terlalu kuat,” jelas Syahfan.

Realitas masyarakat seperti itu justru memudahkan Syahfan untuk berdakwah atau berkampanye untuk pencalonan dirinya. “Kampanye di dapil lebih banyak tatap muka dengan masyarakat. Enggak ada kampanye pencitraan. Kampanye sekaligus dakwah dengan pengajian­pengajian di masjid.” Saat Syahfan hadir berdakwah dan berkampanye, selalu didatangi kerumunan massa. Ia senang melihat sambutan dan antusiasme warga.

“Selalu banyak masyarakat yang datang saat kampanye dan dakwah. Sampai sekarang begitu. Itu yang membuat kita semangat. Kalau kita datang disambut,” ungkapnya. Pada Pemilu 2009 yang lalu, ia meraih 27.362 suara dari Dapil Bengkulu. Akhirnya, ia melenggang ke Senayan sebagai Wakil Rakyat. Ketua DPP PKS Bidang Pemenangan Pemilu dan Pemilukada 2010­2015 ini, diambil sumpahnya secara resmi menjadi Anggota DPR RI periode 2009­2014.

“Merasa mendapat amanah yang berat. Amanahnya itu, kan, memperjuangankan daerah pemilihan,” tandasnya menjawab pertanyaan apa kesannya saat dilantik menjadi anggota dewan. Kini, ia sudah berada di jantung kebijakan. Ia terlibat langsung dalam

penyusunan berbagai kebijakan menyangkut rakyat. Mengarsiteki lahirnya banyak

produk undang­undang di parlemen.

Syahfan lalu menempati Komisi V DPR RI yang salah satu mitra kerjanya adalah Kementerian Perhubungan. Kritiknya bagi Departemen Perhubungan adalah keamanan dan pelayanan jasa angkutan umum belum mendapat perhatian penuh pemerintah. “Keamanan angkutan masih jauh. Keselamatan penumpang belum mendapat perhatian, terutama kesemalatan angkutan umum disamping juga pelayanannya.”

Sebagai anggota Komisi V, ia juga mendorong ada nya zero accident transportasi, untuk menciptakan trans­portasi massal yang aman, nyaman, dan murah. Mendo­rong pembangunan daerah tertinggal melalui program Kementerian PDT. Ia juga aktif memfasilitasi masyarakat dalam Program Percepatan Infrastruktur Pedesaan (P2IP) di Kementerian PU. Membantu masyarakat melalui pro­gram Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) di Kementerian Perumahan Rakyat. Terakhir, mendorong BMKG untuk memenuhi informasi cuaca dan gempa ke­pada masyarakat secara cepat dan luas.

Selain di Komisi V, Syahfan juga sempat duduk di Komisi I selama 2 tahun, sebelum akhirnya kembali ke Komisi V. Selama di Komisi I, Syahfan ikut serta menjadi perumus UU Intelijen Negara dengan memberi 5 catatan penting, yaitu pertama, BIN tak perlu diberi wewenang penahanan. Wewenang tersebut biarlah ada di kepolisian. Kedua, B I N t ak p er lu p u n y a h a k penyadapan, karena setiap penyadapan h a r u s i z i n pengadilan.

K e t i g a , h a r u s a d a

Page 50: Edisi 101 TH. XLIII, 2013

50 EDISI 101 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

badan pengawas untuk BIN yang posisinya bisa di bawah DPR atau dengan membentuk komisi independen yang anggotanya dipilih DPR. Keempat, perlu ada wadah koordinasi intelijen dari masing­masing lembaga. Dan Kelima, perlu ada keterbukaan informasi intelijen setelah 20 tahun kejadian. Aksi dan data intelijen 20 tahun lalu bisa dibuka ke publik. Catatan­catatan ini tidak

lain untuk mereformasi intelijen sekaligus menghindari penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).

Selain UU Intelijen, Syahfan juga aktif dalam persetujuan RUU ASEAN Convension on Counter Terrorism (ACCT), penguatan RUU Alutsista dan penguatan BUMNIS pertahanan, aktif dalam ratifikasi CTBT traktat pelarangan menyeluruh uji ledak nuklir. Khusus untuk ratifikasi CTBT ini, ia sudah dua kali berkunjung ke pusat CTBTO. Terakhir, selama di Komisi I, ia menggagas tontonan bermoral. Ia dan fraksinya sangat peduli terhadap siaran TV yang mendidik dan bermanfaat, baik untuk saat ini maupun masa depan.

Tidak hanya itu, Syahfan juga dipercaya menjadi Wakil Ketua Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR RI. DPR lewat BURT, jelas Syahfan, sedang menggarap pembentukan semacam badan fungsional keahlian. Badan ini nantinya berisi para ahli yang direkrut dari kaum profesional dan akademisi. Tugasnya membantu DPR di bidang legislasi, pengawasan, dan anggaran.

“Ini kita harapkan menjadi semacam think tank­nya DPR,” terang Anggota Kelompok Komisi V F­PKS itu. Badan keahlian ini dipandang sangat vital, agar DPR bisa merumuskan dan menyusun UU sendiri sebagai pendamping UU yang diusulkan. Atau DPR juga bisa menyusun APBN dengan melakukan audit sendiri sebagai bahan pendampingan atau mungkin juga pembanding dari rancangan APBN yang diusulkan pemerintah. “BURT bertekad di masa jabatan kita ini, badan tersebut sudah terbentuk,” harapnya.

Hobi Jalan-jalan

Kesibukan yang luar biasa sebagai Anggota DPR, kerap membuat kebersamaannya dengan keluarga sangat minim. Ketika ditanya apakah anak­anaknya tidak protes karena waktu bersama keluarga sangat kurang? “Wah bukan diprotes lagi. Didemo,” ungkapnya penuh tawa. Namun, begitu ada kesempatan, ia tak pernah melewatkan waktu untuk mengajak isteri dan para buah hatinya berjalan­jalan ke mana saja. Bahkan, kadang tanpa perencanaan mereka pergi berwisata.

Karena Syahfan orang yang sangat suka traveling, ia mengajak keluarga tercintanya ke luar kota, seperti Yogya, Garut, dan ke mana saja yang di situ ada destinasi alam yang indah. Selain hobi jalan­jalan, Syahfan juga suka olahraga sepeda dan sepakbola. Namun, kedua hobi terakhir ini sudah sangat jarang dilakukan, karena persoalan waktu. Kalau pun sempat bersepeda, ia tak jauh­jauh mengayuh sepedanya, hanya di sekitar rumah saja.

Saat berada di rumah, Syahfan adalah seorang ayah dan suami yang coba ingin menularkan keteladan yang ia ambil dari kedua orangtuanya. Anaknya­anaknya diberi contah teladan yang baik. Tuhan telah mengaruniai kebahagian hidup. Di rumahnya ada Helda, seorang dokter yang dinikahinya pada 1991. Helda adalah wanita yang sering ditemui di acara­acara dakwah kampus. Kesamaan visi perjuangan, membawanya ke jenjang pernikahan.

Helda sendiri berdarang Minang. Saat hijrah ke Bengkulu di awal tahun 1990­an, Helda bertugas di Puskesmas dan RSU Bengkulu. Kini, ia dosen di Fakultas Kesehatan Masyarakat, UI. Di rumahnya ada pula 6 buah hati tercinta hasil pernikahannya dengan Helda. Mereka adalah Nadiyya Zahratul Jannah, Nabila Tsarwatul Jannah, Athiyya Mardiyah, Mohammad Salman Ramadhan, Mohammad Yahya Ayyash, dan Hanna Tsabita.

Anak­anaknya itu, ungkap Syahfan, kadang banyak tau tentang profesi dan aktivitasnya justru dari orang lain, bukan dari dirinya sendiri. Guru­guru dan teman­teman anaknya di sekolah mungkin banyak tau dari tontonan di televisi dan pemberitaan media massa, lalu bercerita kepada putra putrinya.

Terakhir, bila diajak bicara soal lagu­lagu yang disukainya, Syahfan suka pada lagu­lagu The Beatles, Ebiet G. Ade, dan Iwan Fals. Ritme dan liriknya enak didengar. Untuk mendendangkannya ia tak bisa. Syahfan lebih suka mendengarkannya. Saat berada di perjalanan, ia suka sekali ditemani dengan lagu­lagu dari ketiga musisi tersebut. (mh) Foto: Wy/Parle.

PROFIL

Page 51: Edisi 101 TH. XLIII, 2013

51EDISI 101 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

KUNJUNGAN KERJA

Tim yang ikut yakni dipimpin oleh Marzuki Daud sebagai Ketua Tim Pemantau, Wakil Ketua Tim Nasir

Djamil dan beberapa anggota Nova Iriansyah, Bobby Adhityo Rizaldi, Sayed Muhammad Muliady dan Rahadi Zakaria serta Sayed Mustafa Usab.

Hadir mewakili pemerintahan Aceh yakni Wakil Bupati Aceh Timur, Syahrul Syamaun, Wakil Bupati Aceh Utara Muhammad Jamil dan pimpinan DPRK Aceh dan jajaran peme­rintahan Aceh.

Sejumlah persoalan yang menjadi fokus dalam pemantauan ini adalah menyangkut perpanjangan kontrak minyak dan gas PT Tri­angle Pase Inc yang merupakan perusahaan Minyak dan Gas asal Australia yang sudah berakhir masa pengelolaannya di Blok Pase pada 23 Februari 2013.

Rencananya, tim akan meninjau langsung lapangan Migas Blok Pase dan juga masyarakat sekitar. Namun, kunjungan ini dibatalkan karena tim memerlukan berbagai masukan terlebih dahulu dari DPRK Aceh

Tim Pemantau pelaksanaan undang-undang No 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan Tim pemantau Pelaksanaan UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua dan Aceh DPR RI melakukan kunjungan kerja di Idi Rayeuk, Aceh Timur, belum lama ini .

Tim Pemantau Pelaksanaan UU No. 11 tahun 2006 dan UU No. 21 Tahun 2001 melakukan diskusi dengan jajaran Pemerintah Daerah Aceh Timur di Idi Rayeuk, Rabu (20/3).

Tim Pemantau DPR Kunjungi Aceh Timur

Page 52: Edisi 101 TH. XLIII, 2013

52 EDISI 101 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

dan juga jajaran pimpinan pemerintahan daerah.

Wakil Bupati Aceh Timur menginginkan agar investor tidak semena­mena melanggar peraturan yang ada di pemerintahan Aceh. Untuk itu, diharapkannya keberdaan investor tersebut harus memberikan dampak positif bagi masyarakat.

“ Kami mengharapkan pada Tim Pemantau Otsus dapat menyelesaikan berbagai permasalahan yang menyangkut kesejahteraan rakyat Aceh,” ungkapnya .

Harapan yang sama disampaikan Pimpin an DPRK Aceh yang juga menginginkan agar ada kesepakatan men­genai pengelolaan Blok Pase. DPRK juga menginginkan agar kasus pengelolaan lapan­gan Migas Arun yang sudah menjadi bukti bahwa pen­gelolaan migas tersebut tidak membe rikan dampak bagi masyakat perlu dicarikan jalan keluarnya.

Pimpinan DPRK Aceh juga mengungkapkan tak hanya pe­rusahaan Migas tetapi perusa­haan perkebunan juga banyak yang merugikan masyarakat. Secara tegas, DPRK Aceh me­minta jika tidak memenuhi tuntut an masyarakat maka didesak untuk angkat kaki dari bumi Aceh.

Marzuki Daud mengatakan bahwa tujuan Tim Pemantau Otsus Aceh dan Papua DPR adalah untuk mendapatkan informasi yang sangat aktual masalah khususnya sumber daya alam Migas di Aceh Timur di Blok Pase.

Marzuki Daud mengatakan bahwa Tim Pemantau DPR mendapatkan masukan bahwa perusahaan Migas ini tidak memberikan manfaat apapun kepada masyarakat maupun pemerintahan Aceh Timur dan Aceh Utara. Yang terjadi di Blok Pase di komplek perusahan listrik menyala, tetapi di pemukiman masyarakat disana tidak bisa menikmati listrik.

Yang menjadi sorotan adalah bahwa hasil migas Aceh di eksplorasi sampai triliunan rupiah, tetapi kenyataan­nya sekarang hak­hak masyarakat terabaikan, se­hingga masih ada puluhan ribu masyarakat Aceh Timur dan Aceh Utara dibawah garis kemiskinan. Harapan Masyarakat adalah bisa memberikan kenyamanan bagi masyarakat di kedua Kabupaten tersebut.

Marzuki mengharapkan diskusi antara pemerintahan Aceh , DPRK dan DPR diharapkan bisa memberikan solu­si. Dia mendorong agar sesuai dengan UU No 33/2004 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah se­bagaimana di pasal 14 huruf f menyatakan bahwa per­tambangan migas yang dari daerah yang bersangkutan setelah di kurangi komponen pajak dan pungutan lain­nya yakni dengan porsi 70 untuk pemerintah pusat 30 untuk pemerintahan daerah.

Pihaknya juga akan memperjuangkan agar segera diselesaikannya peraturan pemerintah (PP) mengelolaan migas yang saat ini masih ‘deadlock ’.

Hal senada juga disampaikan Nasir Djamil dengan

mengatakan, kunjungan ini penting untuk mengecek, siapapun yang mengelola blok ini bisa memberikan kemakmuran dan kesejahteraan bagi masyarakat di Aceh Timur dan Aceh Utara. Ditegaskannya bahwa DPR tidak akan berpihak baik perusahaan asing maupun perusahaan Daerah.

Sekretaris Satuan Kerja Khusus (SKK) Migas Gde Prad­nyana mengatakan bahwa Blok Pase telah di beli oleh perusahaan Australia dari Exxon Mobil dimana kon­trak pengelolaan migas bersifat panjang. Sekarang ini, pengelolaan migas di Blok Pase hanya menghabiskan cadangan yang ada tanpa ada investasi baru. Untuk itu, Kontraktor Kontrak Kerja Sama (K3S) Migas meng­harapkan segera ada keputusan bagi pihak­pihak yang diberikan kewenangan mengelola Blok Migas. (as) Foto: As/Parle.

Page 53: Edisi 101 TH. XLIII, 2013

53EDISI 101 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

De m i k i a n ditegaskan Ketua T im Kunjungan

Kerja Badan Akuntabilitas Keuangan negara (BAKN) Fauzi Achmad, pada saat menggelar per temuan dengan Direktur Utama PDAM Syaiful di Hotel N o v o t e l P a l e m b a n g Sumatera Selatan baru­baru ini.

Walaupun demikian kata Fauzi, PDAM Tirta Musi Palembang beberapa ta­hun terakhir ini telah memi­liki kinerja keuangan yang baik. Hal ini terlihat dari in­vestasi aset yang mening­kat juga telah melakukan pelunasan sebagian besar hutang, selain itu juga te­lah memberikan kontribusi laba terhadap perusahaan dan deviden kepada peme­rintah daerah.

Dia meminta, agar PDAM Tirta Musi Palembang untuk segera mencegah serta menurunkan ting­kat kehilangan air (losses) dalam pe­nyaluran air kepada konsumen sam­pai pada tingkat yang diharuskan.

Sementara itu, Dirut PDAM Syaiful menanggapi tentang temuan dan rekomendasi BPK, diakuinya me­mang ada beberapa kendala yang di­hadapi PDAM Tirta Musi Palembang dalam menindaklanjuti temuan pe­meriksaan BPK. Diantaranya ada be­berapa perbedaan persepsi antara PDAM Tirta Musi dengan Dispenda Sumatera Selatan tentang Pajak Pengambilan Air Bawah Tanah dan

air permukaan. Padahal perhitung­an PDAM Tirta Musi menghitung berdasarkan air tersekening yang dibayar oleh pelanggan, sedangkan Dispenda menghitung pajak air per­mukaan berdasarkan air yang diam­bil dari sungai Musi.

Mengenai pelanggan yang meter airnya rusak, macet serta hilang atau tertimbun, dikatakan bahwa setelah di cek ulang kondisi diatas lapang­an, petugas tidak dapat membaca angka meter yang tertera di meter air, se hingga biaya pemakaian air berdasarkan perhitungan sesuai de­ngan hasil pembacaan dan pencatat­an meter air setiap bulan dikalikan tarif air minum yang berlaku.

Syaiful juga mengata­kan, saat ini PDAM sudah memperbaiki managemen pendataan dan pembacaan meter serta managemen penggantian meter,dimana dari jumlah pelanggan se­banyak 205.025 sambung­an sebanyak 98% meter airnya dalam kondisi baik sehingga penaksiran pe­makaian air pada pelang­gan dapat terus dikurangi.

Secara terpisah, Tim Kun­jungan Kerja Spesifik Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) yang di Pimpin Fauzi Achmad juga telah melakukan pertemuan dengan jajaran Direksi PT Bukit Asam yang dianggap ada pelanggaran temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Pertemuan dilakukan di ruang rapat Hotel Novotel

Palembang hadir dalam pertemuan ini Direktur Utama PT Bukit Asam Maizal Gazali.

Dari 7 rekomendasi atas temuan BPK tahun 2010 baru enam yang ditindaklanjuti rekomendasinya, satu rekomendasi masih belum se­lesai ditindaklanjuti, karena saat ini PT Bukit Asam masih menyusun penyiapan kelengkapannya dan di­harapkan pada tahun ini sudah da­pat diselesaikan.

Ketua Tim BAKN DPR Fauzi Ach­mad meminta PT Bukit Asam semes­tinya segera meminta bantuan BPKP untuk melakukan penghitungan po­tensi kerugian perusahaan karena adanya kasus­kasus hukum yang

Tindak lanjut dua temuan BPK terhadap Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirta Musi Palembang belum terselesaikan, karena itu BAKN DPR meminta perusahaan daerah tersebut segera menyelesaikan secara tuntas temuan dan rekomendasi BPK tersebut.

PDAM Palembang Belum Selesaikan Semua Temuan dan Rekomendasi BPK

KUNJUNGAN KERJA

Page 54: Edisi 101 TH. XLIII, 2013

54 EDISI 101 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

sedang berjalan, sehingga semua rekomendasi BPK juga dapat segera terselesaikan.

Fauzi Achmad meminta, agar PT Bukit Asam lebih fokus dalam meng­hadapi semua persoalan yang ada dalam perusahaan tersebut, untuk mencegah kerugian negara atau perusahaan baik yang sudah terjadi diwaktu yang lalu atau disaat seka­rang, serta mencegah dimasa yang akan datang.

Disamping itu, dia meminta PT Bukit Asam harus dapat menjelas­kan secara tertulis kepada Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) tentang saldo kas akhir ta­hun yang jumlahnya sangat besar yaitu berkisar 6 triliun rupiah lebih, terutama dikaitkan dengan rencana pembangunan bisnis perusahaan dan juga pertanggungjawaban efi­siensi dan efektifitas sehingga dana tersebut tidak menjadi dana tak ter­pakai.

Dia mengemukakan, bahwa Ba­dan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) melakukan penelaahan ter­hadap temuan hasil pemeriksaan BPK yang disampaikan kepada DPR. “BAKN akan menyampaikan hasil penelaahan tersebut kepada Komisi yang bersangkutan, serta hasil kerja BAKN juga akan diserahkan kepada Pimpinan DPR dalam rapat paripurna secara berkala,” ujarnya.

PT Bukit Asam juga diminta segera menindaklanjuti laporan yang telah disampaikan kepada penegak hu­kum termasuk KPK, serta menyikapi dengan serius apabila terjadi hal­hal yang sama atau yang memang me rugikan PT Bukit Asam sebagai Badan Usaha Milik Negara, secara otomatis juga akan merugikan keuangan negara.

Adanya persoalan tanah yang diserahkan atau disewakan kepada PDAM Tirta Musi Sumatera Selatan, yang berkaitan penggunaan tanah yang belum terselesaikan, juga di­harapkan segera diselesaikan agar kedua belah pihak dapat menjalan­

kan aktifitasnya sesua proporsinya masing­masing serta tidak ada gan­jalan apapun.

Dirut PT Bukit Asam Maizal Gazali menanggapi pertanyaan anggota BAKN tentang bagaimana strategi PT Bukit Asam dalam menindaklan­juti temua audit BPK dan Perbaikan SPI dimasa yang akan datang, di­jelaskan bahwa PT Bukit Asam se­lalu berkoordinasi dan berkonsultasi dengan BPK untuk menindaklanjuti rekomendasi atas LHP BPK.

“Sebagian besar rekomendasi te­lah diselesaikan dan dapat ditindak lanjuti dengan baik sebagaimana tanggapan PT Bukit Asam surat PT Bukit Asam tanggal 20 Februari 2012,” ungkap Maizal.

PT Bukit Asam akan segera me­minta asesor independen yang berkompeten untuk melakukan penilaian (assessment) GCG diling­kungan PT Bukit Asam sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan men­teri BUMN no.1 tahun 2011 tentang Penerapan tata kelola Perusahaan Yang Baik (GCG) pada BUMN.

Ditegaskan pula kondisi keuangan PT Bukit Asam pada saat ini dalam keadaan sehat, hal ini tercermin dari likuiditas rationya yaitu current ratio sebesar 579,1% (Aset lancar terhadap kewajiban lancar), dan ra­sio solvabilitas sebesar 26,2% (total kewajiban terhadap total aset) dan jumlah aktiva/aset sebesar 8.722,7 milyar rupiah, laba perseroan pada tahun 2010 sebesar 2.008,9 milyar rupiah dan deviden sebesar 1.235,8 milyar rupiah (payout ratio 60%,).

Kunjungi Bank Sumsel-Babel

Tim Kunjungan Kerja spesifik Ba­dan Akuntabilitas Keuangan negara (BAKN) juga melakukan pertemuan dengan Direktur Bank Sumsel Babel Asfar Fikri Sanaf di Gedung Bank Sumsel Babel Palembang, Sumatera Selatan. Kepada TimDPR, dipaparkan bahwa semua Temuan Hasil Pemer­iksaan Badan Pemeriksa Keuang­an (BPK) telah ditindak lanjuti oleh

Bank Sumsel Babel, termasuk pe­nyebab utama tidak tercapainya Loan to Deposit Ratio (LDR) pada tahun 2010 pun sudah teratasi.

Fauzi Acmad dalam pertemuan ini menjelaskan, Badan Akuntabili­tas Keuangan Negara (BAKN) yang dibentuk oleh DPR merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap, berfungsi untuk menindak­lanjuti laporan hasil pemeriksaan BPK dalam rangka pengawasan penggunaan keuangan negara.

Walaupun Bank Sumsel Babel te­lah menindaklanjuti temuan BPK, termasuk penyaluran Kredit Usaha Kecil (KUK) yang macet. Dia me­negaskan peran Bank Sumsel dalam mendorong kredit usaha kecil harus ditingkatkan kembali dalam men­dorong kesejahteraan para petani.

Terhadap kinerja Bank Sumsel­ Babel secara keseluruhan sejak ta­hun 2006 hingga tahun 2012 selalu mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Disisi lain, isu­isu krisis audit dan audit berbasis teknologi perlu mendapat perhatian dari Bank Sumsel Babel agar tidak menjadi bu­ruk dikemudian hari.

Ketua Tim Kunjungan Kerja spesi­fik BAKN Fauzi Achmad menegas­kan, Bank Sumsel Babel harus me­ningkatkan kerjasama yang selama ini sudah berjalan dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) khusus­nya di Propinsi Sumatera Selatan dan di Propinsi Bangka Belitung antara lain dengan PT Bukit Asam, PT Per­tamina, PT PLN Wilayah Sumatera Selatan, PT Timah, Semen Baturaja dan termasuk dengan Badan Usaha Milik Daerah sendiri.

Dia mengharapkan, unit Syariah Bank Sumsel Babel agar lebih proak­tif lagi untuk menampung dana Ba­dan Perjalanan Ibadah Haji. “Karena itu perlu dibentuk rating konsultan dan para konsultan yang kurang bertanggungjawab disarankan agar di black list saja,” katanya.(spy) Foto: Wy/Parle.

Page 55: Edisi 101 TH. XLIII, 2013

55EDISI 101 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

Pada kesempatan itu, Tim ingin mem­peroleh informasi terkait kemajuan proyek pembangunan PLTU Pacitan

dan diharapkan hasil kegiatan kunjungan ini bisa menjadi rekomendasi untuk ditindaklan­juti dalam rangka Rapat Panja Sektor Listrik Komisi VII DPR RI dengan mitra terkait. Kita akui bahwa penyelesaian pembangunan

PLTU program percepatan 10 ribu MW telah mengalami perlambatan.

Program tersebut semua dijadwalkan se­lesai dan beroperasi paling lambat pada 31 Desember 2009 sebagaimana ditetapkan da­lam Perpres 71 tahun 2006. Sebelumnya me­mang telah dilakukan pemeriksaan oleh BPK

Komisi VII DPR belum lama ini, mengadakan Kunjungan Lapangan Panja Sektor Hulu Listrik Komisi VII DPR RI ke PLTU Pacitan Provinsi Jawa Timur. Kunlap itu dalam rangka inspeksi secara langsung dan menindaklanjuti laporan hasil pemeriksaan (LHP) BPK RI atas pemeriksaan dengan tujuan tertentu sector listrik pada PT PLN, Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi dan Kementerian Energi dan SDM No. 30/auditama VII/PDTT/09/2011 tanggal 16 September 2011, khususnya kemajuan proyek pembangunan PLTU Pacitan Commercial Operation Day (COD) yang tidak sesuai jadwal menurut Peraturan Presiden RI No. 71 tahun 2006 tentang penugasan kepada PLN untuk melakukan pembangunan pembangkit tenaga listrik yang menggunakan batubara.

Proyek PLTU 1 Jawa Timur, Pacitan ini memiliki dua unit pembangkit dengan kapasitas total tenaga listrik yang dihasilkan sebesar 630 MW, dimana kapasitas masing-masing unit pembangkit sebesar 315 megawatt.

Kritisi Pembangunan PLTU PacitanPanJa sektOr HULU Listrik

KUNJUNGAN KERJA

Page 56: Edisi 101 TH. XLIII, 2013

56 EDISI 101 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

terhadap 16 pembangunan PLTU yang terdiri atas 10 PLTU di Jawa dan enam PLTU luar jawa, diketa­hui penyelesaian pem bangunan 15 PLTU terlambat dari Jadwal operasi yang direncanakan dalam kontrak atau amandemen.

Untuk PLTU Pacitan, memang ter­dapat keter lambatan penyerahan lahan siap bangun dari PLN kepada kontraktor, proses pendanaan dari PLN terlambat, serta adanya pe­rubahan disain sarana pembangkit PLTU Pacitan. “Secara khusus dalam kegiatan ini Komisi VII DPR RI memi­lih PLTU Pacitan Jawa Timur sebagai daerah kunjungan lapangan un­tuk dijadikan sampling PLTU yang meng alami keterlambatan,” ujar Ketua Tim Kunjungan Lapangan Ke PLTU Pacitan, Totok Daryanto dari Fraksi PAN.

Berdasarkan hasil pemeriksaan diketahui mundurnya jadwal COD PLTU Pacitan, disebabkan ketidak­mampuan PLN menyediakan lahan sesuai kewajiban kontraktual, kele­mahan PLN dalam mengobservasi kondisi gelombang laut yang dican­tumkan dalam dokumen perenca­naan dan kontrak, serta keterlam­batan kontraktor menyampaikan master list. “Ini mengakibatkan PLN harus mengadakan jasa truck-

ing batu bara senilai Rp. 10.965 juta untuk PLTU Pacitan, selain itu PLN berpotensi menanggung biaya tambahan akibat perubahan disain dan biaya lainnya pada PLTU Paci­tan, serta lemahnya penanganan pasokan batubara dari tongkang ke pembangkit telah mengakibatkan keterlambatan dan mengalihkan energi pembangkit PLTU Pacitan dengan menggunakan bahan bakar diesel (solar),” tambah Totok.

Menurut Totok, jajaran Direksi PLN berjanji pada tahun 2014 akan segera menyelesaikan PLTU Pacitan. “Memang masih ada teknis produksi yang harus diperbaiki seperti cero­bong asap yang masih keluar dari bawah, ruangan masih belum ter­tata, memang ini memang belum operasional,” ujarnya.

Totok menambahkan, memang nantinya Panja akan segera mem­buat rekomendasi terkait sektor hulu listrik ini. “Kita tentunya akan mencari solusi yang terbaik karena memang beban subsidi PLN itu sela­lu besar dan terus bertambah. Arti­nya dengan diselesaikan 15 PLTU di Indonesia diharapkan dapat mene­kan subsidi karena adanya perubah­an energi dari Minyak yang akan di­ganti oleh batubara,” terangnya.

Dia menambahkan, ka­lau semua PLTU sudah selesai nanti subsidi ke­mungkinan akan turun bahkan mencapai sepa­ruhnya dari Rp. 85 Triliun bisa ditekan sampai 50 Triliun. “Keterlambatan COD ini tentunya semua diselesaikan sesuai prose­durnya,” katanya.

Memang untuk energi terbarukan, lanjut Totok, DPR akan terus mendo­rong potensinya sehingga menjadi bagian dari ener-gy mix. “Kita akui hal itu tidak gampang dan pro­sesnya memang masih kecil. Kita harapkan energi terbarukan semakin besar terutama dari panas bumi dalam lima tahun kede­

pan diperkirakan mencapai 10­15 persen masuk didalam energi mix untuk keperluan pembangkit listrik,” ujarnya.

Untuk subsidi listrik, paparnya, DPR meminta seluruh PLTU dapat diselesaikan secepat mungkin, ka­rena dengan cara ini diharapkan da­pat mengurangi penggunaan gen­set yang memakan biaya sehingga dapat mengurangi penggunaan minyak. “Panja ini memang cukup lama dan sudah setahun lebih, PLN memang perusahaan besar, kita mengharapkan mereka dapat mem­berikan layanan vital jadi kita tidak bisa sembrono dengan data yang sumir kita ingin PLN dapat dibedah persoalannya dimana saja, dan kita selesaikan bersama, karena itu ada audit BPK kepentingannya untuk itu, jadi bukan mencari kesalahan PLN,” tuturnya.

Dia menambahkan, kedepan deng an adanya Panja Sektor Hulu Listrik dapat mendorong peningkat­an kinerja PLN. “Saat ini memang ada perbaikan dan akan terus kita dorong agar kinerja PLN terus mem­baik,” tambahnya. (si) Foto: Si/Parle.

Page 57: Edisi 101 TH. XLIII, 2013

57EDISI 101 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

KUNJUNGAN KERJA

Awas Jatuh. Medan yang sulit harus dilewati Asfihani dan Alimin Abdullah

anggota Tim Kunjungan Lapangan Panja Minerba Komisi VII DPR saat mengunjungi kawasan tambang pasir di Kabupaten Lampung Timur. Panja perlu memverifikasi usulan pemberian dispensasi penetapan wilayah Izin Usaha Pertambangan mineral bukan logam dan batuan yang diajukan pemerintah di wilayah ini. Foto: Parlementaria/iky

Page 58: Edisi 101 TH. XLIII, 2013

58 EDISI 101 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

Jinak. Beraneka jenis ikan, kekayaan hayati Raja

Ampat sambut Tim Kunlap RUU Ratifikasi Nagoya Komisi VII, saat singgah di dermaga Pulau Waiwo, Kepulauan Raja Ampat, Papua Barat.

Page 59: Edisi 101 TH. XLIII, 2013

59EDISI 101 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

Awal 2013, kasus kekerasan pada anak terjadi secara beruntun. Mulai dari siswi

SD yang meninggal dunia, bocah 5 tahun disodomi, hingga terakhir siswi SMA yang dilecehkan guru­nya. Kasus­kasus ini tentu membuat kita miris. Keluarga dan masyarakat harus waspada, karena pelaku bisa saja adalah orang­orang terdekat.

Meningkatkannya kasus kejahatan seksual terhadap anak, membuat Komnas Perlindungan Anak (Kom­nas PA) menetapkan tahun 2013 merupakan Tahun Darurat Kejahat­an Seksual terhadap anak.

Anggota Komisi VII I DPR RI, Soe mintarsih Muntoro menilai maraknya kekerasan yang terjadi pada anak­anak belakangan ini se­bagai pelanggaran Hak Asasi Manu­sia (HAM).

“Kekerasan pada anak merupakan suatu pelanggaran Hak Asasi Manu­sia (HAM). Ketika berbicara pelang­garan HAM, berarti hak pribadi kita dibatasi oleh hak asasi orang lain,” katanya.

Soemintarsih menyatakan, bahwa seorang anak yang belum memiliki kekuatan atau ketahanan diri harus dilindungi oleh para orangtuanya. Sesungguhnya yang harus diuta­makan adalah bagaimana antisipasi kita terhadap tindakan preventif yang terdapat didalam keluarga itu sendiri.

Menurutnya, keluarga sebagai unit terkecil didalam masyarakat dan anak itu ada didalamnya. Anak sebagai regenerasi bangsa, maka konsentrasi kita seluruh pemangku kepentingan di negeri ini baik itu elite pengambil keputusan, baik itu juga masyarakat yang berada didalam kehidupan berbangsa dan

bernegara harus tanggap terhadap tujuan cita­cita utama dari anak itu.

Ketika anak teraniaya dalam kek­erasan, berarti ada ekskalasi dari­pada perilaku yang tidak beretika. “Yang menjadi pertanyaan adalah, kenapa perilaku tidak beretika itu semakin marak dan semakin me­ningkat, artinya ada yang salah urus dalam negeri ini,” tegas Anggota Komisi VIII DPR RI.

Artinya bahwa penegakan etika moral bangsa ini terutama ketaula­danan dari para pemimpinnya itu mengalami degradasi. Ketika kita sama­sama memiliki persepsi bah­wa terjadi degradasi moral, intinya bersumber daripada ketauladanan pemimpin negeri ini. “Jadi kita mu­lai introspeksi, bahwa pemimpin itu bisa berangkat dari diri kita sendiri sebagai pemimpin,” imbuhnya.

Kekerasan Pada Anak Pelanggaran HAM

Kekerasan pada anak terutama kejahatan seksual pada anak sejak tahun 2010 terus mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Berdasar data dari Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), pada 2012 lalu, secara nasional tercatat 21 juta anak Indonesia dan sekitar 50 persen atau sekitar 10 juta anak mengalami kekerasan seksual. Jumlah itu belum termasuk anak-anak yang tidak melaporkan kekerasan seksual yang dialaminya.

SOROTAN

Page 60: Edisi 101 TH. XLIII, 2013

60 EDISI 101 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

Sebagai pemimpin itu, kata Soe­mintarsih, harus memiliki dasar­dasar bisa mentauladani di depan, bisa memberikan tauladan di teng­ah, bisa membangkitkan semangat dan memberikan dorongan dari be­lakang atau Tut Wuri Handayani.

Soemintarsih menjelaskan, bahwa sebetulnya ketiga sikap dasar terse­but merupakan penuntun dalam kehidupan yang diawali dari sum­ber keluarga. Dimana sebagai ang­gota keluarga dan sebagai individu­individu insan Indonesia paham menghayati dan mengamalkan apa sesungguhnya yang digariskan oleh pendiri republik ini. Maka pola sikap, pola tingkah laku dan pola tindak se­bagai dari pengamalan lima sila.

“Melihat yang terjadi belakang­an ini, menurut saya telah terjadi penggerusan dan kemerosotan dari nilai­nilai yang digariskan pendiri republik ini,” jelas politisi dari Partai Hati Nurani Rakyat.

Dalam Undang­undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang­undang Nomor 24 Tahun 2007, dinyatakan bahwa anak­anak dikategorikan sebagai kelompok rentan.

Dan kita melihat sebuah ancaman di negeri ini, kata Soemintarsih,

anak harus dipersiapkan sebagai regene­r a s i b a n g s a yang siap men­jawab tantang­an jaman dan m e m b a n g u n kesejahteraan sebagaimana t e r t u a n g d i p e m b u k a a n UUD 1945.

Oleh sebab itu, maka ba­gaimana kita berpikir untuk memobilisasi anak bangsa y an g s ek ian jumlahnya itu

meskipun Undang­undangnya su­dah ada, meskipun parameter an­camannya sudah ada bahwa anak bangsa ini merupakan kelompok yang rentan dan siapa yang harus membela, memayungi dan melin­dungi? pastinya keluarga, terutama keluarga elit bangsa ini.

Jika kita mendekati apa fungsi legis latif, yaitu mem bentuk UU, menetapkan anggaran dan pen­gawasan. Dimana Pengawasan itu memang sangat penting, kata Soe­mintarsih. Artinya bagaimana kita mempunyai representasi konstituen di bawah, ketika persoalan anak itu terjadi kekerasan, pasti disana ada sebuah benturan konflik etika moral yang seharusnya tidak terjadi jadi terjadi.

“Siapa sih sesungguhnya yang berbuat, itu yang seharusnya disele­saikan sampai tuntas. Anatomi ke­terjadiannya itu seperti apa. Apakah betul­betul pemimpin lokal anak itu sebagai anak keluarga, apakah memang ada yang memprovokasi di sekelilingnya, di sekolahnya, pendidikannya, dan lingkungan masyarakatnya,” papar politisi dari Daerah Pemilihan Jawa Timur VIII.

Ia menjelaskan, jika kita berbi­cara tentang pengawasan, laporan­laporan dari bawah itu juga harus

dideng ar. Untuk itu, berapa jumlah anak Indonesia, ada Komisi Perlin­dungan Anak Indonesia, ada Kom­nas Perlindungan Anak, itu semua kalau dijadikan kekuatan sayap daripada kepanjangan tangan dari kementerian dan lembaga yang ada dan dibangun dibawah presiden artinya sesungguhnya ada latar be­lakang, apakah dia sudah berbuat sesuatu yang signifikan.

“Sekarang bagaimana datanya, evaluasinya, semua yang terjadi merupakan hasil­hasil penelitian yang harus dilakukan dan kemudian dilaporkan. Inilah yang saya maksud apakah sebuah sistem itu dapat berjalan?” ungkap Soemintarsih.

Jika kita berbicara sistem, kai­dah penuntun, ada UU yang tidak jalan, maka kita bicara dalam fungsi pembentukan UU, apakah ini perlu diatur lagi. Kita harus melakukan evaluasi, yang kemaren terjadi ini kenapa. Apakah karena ketidak­pedulian bangsa ini terhadap sistem penyelenggaraan negara itu sendiri. kita harus selalu bisa mengevalu­asi perjalanan dinamika masyarakat yang terjadi di negeri ini.

Dirinya mencatat bahwa tindak kekerasan pada anak itu sebetulnya ada sebuah penyebab utamanya, ka­takanlah ada pengabaian dan pem­biaran. Mengapa ada kekerasan, mengapa anak­anak itu dibiarkan mengalami kekerasan.

Saat inipun sebenarnya menurut Soemintarsih, emosi kita dipengar­uhi dan dipermainkan oleh kondisi kompleks di sekeliling kita, dan bisa dikatakan sebagai pelecehan emo­sional. Kadang, misalkan anak akibat kekerasan, rehabilitasi dan rekonsili­asinya apakah sudah sesuai, dan sia­pa yang ekstra mengerjakan hal itu. “Problem dan penyebab utamanya harus ditemukan. Apalagi jika sam­pai terjadi pelecehan seksual pada anak,” tandasnya.

Jadi hal­hal seperti itu menurut­nya, merupakan parameter penting ketika kita memberikan tindakan antisipasi dan merupakan tindakan

SOROTAN

Page 61: Edisi 101 TH. XLIII, 2013

61EDISI 101 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

preventif yang harus dilakukan oleh semua pemangku kepentingan di negeri ini. Jika tahu percis bahwa memang anak itu diancam oleh resiko kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi, ancaman seperti itu menjadi antisipasi kita ke depan.

“Ada diskriminasi mungkin, ada anak yang kaya, ada anak yang miskin, sekarang saja banyak anak yang pandai di sekolah tetapi tidak bisa mengikuti kompetisi­kompetisi sains karena tidak bisa membayar, padahal dia pintar dan memiliki kemampuan lebih. Terjadi diskrimi­nasi karena dia anak orang miskin. Itu termasuk dalam kategori yang mengancam anak dalam kekerasan, diskriminasi dan eksploitasi,” papar Soemintarsih mencontohkan.

Hal­hal seperti ini menjadi para­meter penting ketika orang ber­tanya bagaimana pandangan kita terhadap kekerasan anak. Ketika kita mengetahui persisnya seperti itu maka ada tindakan­tindakan preventif yang harus kita lakukan.

Dan kalau kita kembalikan secara pikiran yang besar yaitu negara, bahwa tugas negara sebagaimana yang tertuang didalam UUD 1945, harus melindungi setiap warga neg­aranya termasuk anak­anak. Cita­cita komponen rakyat itu adalah ketika dia memang memiliki proses regenerasi dia yang harus dipersiap­kan untuk itu.

Dalam hal ini, negara dapat dika­takan kurang, maksud Soemintar­sih, bahwa sikap pemerintah dinilai kurang dalam mengatasi hal­hal seperti ini, terutama tindakan­tin­dakan preventif terhadap keterja­dian yang menimpa kekerasan pada anak. Jadi bukan gagal. “Karena dinamika ancaman itu skala ekska­lasinya semakin besar. Sedangkan aturan­aturan itu mungkin saja pe­nyelenggaraannya, katakanlah mis­alnya Komnas PA, habis bagaimana anggarannya kurang dan seterus­nya.” jelasnya.

Berbicara mengenai bagaimana solusinya, semua saling terkait. Kita

bisa melapaskan bahwa itu tidak ada kaitannya dengan masalah ekonomi, agama atau masalah sosial ataupun masalah lainnya.

Lagi­lagi, ketika kita bicara siapa pengambil keputusan dari seluruh segmentasi kegiatan di kehidupan berbangsa dan bernegara, bagaima­na memfilter semua informasi yang masuk, bagaimana memberikan stabilitas tentang tuntutan emosi yang menyebabkan orang itu tidak terkendali.

“Artinya tidak ada pengendalian diri. Karena ketika kita bicara etika moral, mana yang sesung­guhnya menjadikan hak­ hak k i t a dan menjadikannya di­batasi hak­hak orang lain, etika moral itu­kan sebetulnya harus selalu kita jaga, kita junjung tinggi,” jelas Soemintarsih berapi­api.

Misalnya adanya keter bukaan me ­dia. J ika memang pengambil keputu­san di sini tahu kalau tidak seharusnya seperti itu, pasti sudah difilter hal­hal yang tidak se­suai dengan etika bangsa ini. Ke­mudian, ditampilkannya berbagai pemberitaan tentang kekerasan di media kepada publik, dimana anak­anak belum mampu memfilter, itu juga ikut andil, disini diperlukan tu­gas orangtua.

“Lagi­lagi saya kembalikan kepada keluarga untuk bagaimana mem­perkuat ketahanannya demi meng­urangi kekerasan pada anak,” kata Soemintarsih Muntoro mengakhiri.

Membangun Negara Dari Kelu-arga

Sementara, Anggota Komisi VIII DPR RI, Ali Maschan Moesa menilai istilah Tahun Darurat Kekerasan Pada Anak tersebut tidak terlalu penting,

namun bagaimana Komnas PA bisa melakukan aksi dan proaksi. “Justru kita pertanyakan mengenai darurat tersebut, kalau dikatakan darurat namun aksinya tidak ada kan men­jadi tidak bermakna”, katanya.

UU tentang Perlindungan Anak sendiri sudah ada, menurutnya, tinggal sekarang bagaimana ekse­kutornya yaitu Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). KPAI tidak bisa sendirian harus berjalan deng­an stakeholder yang lain.

Melihat fenomena meningkat­nya kekerasa pada anak sendiri, Ali Maschan menyatakan, bahwa menurutnya KPAI sebenarnya su­dah overload pekerjaannya. KPAI harus menjalin kerjasama dengan lembaga­lembaga terkait seperti Ke­menterian Agama dan Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat. Karena menurut penilaiannya hal itu yang belum dilakukan.

“Saya kira seeing is learning, tidak seperti membaca, reading is read-ing begitu, jadi apa yang dilihat anak sekarang itu yah memang kekerasan seperti melihat TV, jadi contoh­con­toh kekerasan yang dilihat anak, dan anak belum mampu memfilter itu baik atau tidak, anak­anak kan jiwanya masih labil, dan disinilah pentingnya peran keluarga, karena

Page 62: Edisi 101 TH. XLIII, 2013

62 EDISI 101 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

soal keluarga nomer satu,” papar politisi dari Fraksi PKB.

Jadi menurutnya, untuk mem­bentengi anak, tetap nomer satu adalah keluarga. Kemudian menteri agama dan menteri pemberdayaan perempuan, diminta lebih proak­tif. “KPAI sendiri tidak begitu bisa menyelesaikan, kita tahu sendirilah power dari KPAI, melawan Komnas PA saja masih kalah pamor kok, tapi disinilah tantangannya bagaimana mereka menjalin kemitraan, nah ka­lau DPR kan hanya menyetujui ang­garan, kebijakannya harus begini, UU nya harus begini, kan sudah, nah regulatornya ini mereka yang harus proaktif,” jelasnya.

Persoalannya justru memang hari ini memang ada pada anak, presiden saja menurut saya tidak mempunyai sensibililtas yang kuat, katanya.

“Mana presiden bicara itu, lebih bicara kepada operasional, dan tidak banyak komentar, yah seharusnya memang diakui pekerjaan presiden banyak, tapi kan tidak semestinya seperti itu, presiden menurut saya harus punya tingkat empati, harus ada skala prioritas,” terangnya.

Skala prioritasnya menurut Ali Maschan, sekarang itu adalah ter­hadap anak dan keuarga. Politik sekarang ini adalah implikasi ter­hadap kualitas keluarga, yang masih mengalami degradasi kualitas yang sangat luar biasa, orang sekarang tidak memandang keluarga seka­rang penting, orang sekarang tidak memandang bahwa anak itu adalah titipan tuhan.

“Kalau saya lebih agak konservatif memang, tayangan­tayangan TV harus bisa lebih diseleksi lagi, meski pemikiran tersebut agak konser­vatif tapi itu penting menurut saya, seperti halnya di cina yang mem­blok google”, kata Guru Besar Ilmu Sosiologi di salah satu Perguruan Tinggi.

Menurutnya ini karena adanya lompatan budaya, budaya yang bener itu melihat, membaca baru

menonton. Masyarakat yang mengi­kuti pola ini adalah masyarakat yang well inform, orang yang mampu mencerdaskan.

Tapi masyarakat sekarang itu, seperti mendengar lalu langsung melompat ke membaca dan mem­baca tidak tuntas, dan masyarakat kita langsung menonton, jatuhnya seperti yang saya katakan tadi, see-ing is learning, apa yang dilihat itu menjadi sebuah pembelajaran dan mereka belum bisa memfilter dan membedah apakah ini baik dan bu­ruk.

Jikalau dirinya menjadi seorang presiden, dia akan menempatkan keluarga adalah nomor satu. Menu­rutnya politik tidak penting, karena politik itu adalah implikasi terhadap keluarga yang berkualitas.

“Saya sebagai muslim, coba lihat, Tuhan didalam Al­quran, kata poli­tik tidak ada, yang ada adalah kata keluarga, sebagai contoh ada 100 ayat hukum dalam Al­quran, dan 70 persen adalah hukum tentang keluarga”, tegas anggota dewan dari Daerah Pemilihan Jawa Timur V.

Jadi keluarga itu paling penting, politik tidak penting, kata politik di Al­quran tidak ada, bukan berarti di Islam tidak ada politik, itu hanya pikiran­pikiran yang bisa kita ter­jemahkan, analisis saja terhadap ayat­ayat, tapi kalau kita berbicara keluarga, di Al­quran sangat­sangat rinci, itu artinya tuhan mengingat­kan bahwa membangun masyarakat adalah dari keluarga, bukan dari demokrasi.

“Saya sebagai anggota DPR tidak percaya demokrasi, pemimpin yang di pilih orang banyak itu nothing, pemimpin itu yang wise, orang wise itu muncul dari keluarga yang wise,” tegasnya.

Kekerasan Tidak Timbul Dengan Sendirinya

Hampir dua tahun belakangan ini, kekerasan pada anak­anak cende­rung meningkat baik dari segi kuan­

titas maupun kualitasnya. Dan yang cukup menyakitkan adalah keke­rasan itu terkadang dilakukan oleh orang terdekat dengan anak itu.

“ Ibu membunuh anak, bapak membunuh anak, bapak memperko­sa anak. Naujubillah, ini memang luar biasa sangat dahsyat, sung­guh sangat memilukan dan me­nyakitkan. Orang yang seharusnya menjadi pelindung anak tapi justru mereka yang mengoyak­ngoyak ke­bahagiaan dan masa depan anak dengan berbagai macam caranya,” papar Wakil Ketua Komisi VIII Jazuli Juwaini kepada Parlementaria.

Menurut politisi PKS ini, masalah kekerasan pada anak merupakan persoalan yang sangat serius dan harus menjadi perhatian seluruh stake holder di negeri ini. Baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Baik itu eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

“Kita harus urai dan cari pe­nyebabnya secara bersama­sama. Saya tidak suka saling menyalahkan masalah ini. Harus kita lihat dari berbagai aspek, apakah ini karena kemiskinan, kemiskinan yang me­nimbulkan harmonisasi keluarga terganggu. Harmonisasi keluarga yang terganggu mengakibatkan orang mengambil jalan pintas,” terang Jazuli.

Untuk menyelesaikan persoalan ini, kata Jazuli, kita perlu mengurai untuk mencari benang merah per­soalan, kemudian menyimpulkan dan menangani persoalan ini da­lam waktu yang cepat. Dan, hal­hal yang berkaitan dengan hukum, ini harus jelas, tegas dan adil. “Tidak boleh hukumnya milih­milih,” im­buh Jazuli.

Secara undang­undang yaitu UU tentang Perlindungan Anak, sebe­narnya sudah cukup bagus. Dimana semua orang yang melakukan ke­kerasan pada anak akan terjerat de­ngan UU ini.

Dari segi sanksi sendiri, sudah cukup bagus dan memadai. Dan ka­

SOROTAN

Page 63: Edisi 101 TH. XLIII, 2013

63EDISI 101 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

laupun ada kekurangan­kekurangan dapat kita lihat, kata anggota dewan dari Daerah Pemilihan Banten.

“Tapi saya kira untuk melenyap­kan persoalan itu tidak semata­mata dari sanksi, kita harus bangun dari sisi­sisi lainnya. Apakah ini faktor broken dalam rumah tangga, fak­tor ekonomi. Karena biasanya orang yang emosinya memuncak ketika beban berat tapi solusi tidak ada,” katanya.

Jazuli mencontohkan, seorang ibu ngamuk, karena anaknya banyak, suaminya tidak bertanggung jawab, sudah tidak punya penghasilan tapi dia kawin lagi. Namun salahnya ibu tersebut melampiaskannya pada anak. Seharusnya anak tidak boleh menjadi sasa­ran atau menjadi korban.

Jazuli meminta, bu­daya timur yang sudah ditanamkan oleh kakek nenek moyang kita sejak dulu kala harus dibang­kitkan kembali tentang kesetiakawanan sosial, tentang kepedulian sosial. Karena menurutnya, saat ini orang cenderung mu­lai individualis, karena ka­dang­kadang juga terban­gun opininya oleh HAM. “Ngapain sih kita ikut cam­pur urusan orang, inikan hak asasi. Oleh sebab itu kita harus membedakan antara hak asasi dan me­nyelamatkan generasi,” jelasnya ketika ditanya bagaimana seharusnya peran lingkungan seki­tar seperti tetangga kita.

“Ketika orang ada persoalan da­lam rumah tangga, tentu kita tidak ikut­ikut. Tetapi ketika ada kekeras­an, wajib tetangganya melindungi. Tidak perlu minta perlindungan dulu. Inilah pentingnya keakraban dalam bertetangga, warga dan ling­kungan, perlu dibangun,” terang Jazuli.

Ketua RT/RW harus lebih sensitif pada lingkungannya saat ini. Agar hal seperti ini yang terjadi di ling­kungan ke RT­an atau ke RW­annya dapat terdeteksi .

Jazuli menyatakan, kekerasan itu tidak timbul dengan sendirinya, tapi ada mata rantai yang menyebabkan kekerasan. Mata rantai inilah yang harus kita deteksi dengan cepat.

Banyak persoalan yang menyebab­kan kekerasan pada anak, antara lain pendidikan, ekonomi, kepedu­lian sosial, kerendahan pemahanan tentang membangun keluarga, ke­rendahan pemahaman tanggung

jawab terhadap anak, persoalan so­sial kemasyarakatan, ada persoalan hukum dan seterusnya.

Dirinya yakin, pemerintah sudah bekerja keras. Dan itu, menurutnya harus kita apresiasi. Tetapi kalau masih ada persoalan yang muncul dalam masalah ini, berarti masih harus ditingkatkan peran pemerin­tah.

Yang paling penting adalah me­nyelesaikan akar masalahnya, yang merupakan tanggung jawab peme­

rintah. Dan ketika pemerintah meru­muskan tentang usulan persoalan ini, legislatif wajib mendukung se­cara penuh dan mutlak.

“Pemerintah sudah melakukan upa ya, tetapi masih perlu ditingkat­kan upaya­upaya tersebut. Lebih ce­pat, tegas dan jelas terkait persoalan kekerasan pada anak,” jelas anggota dewan dari Dapil Banten III.

Untuk menyelesaikan masalah ini, bukan semata­mata hanya tugas Komisi VIII, namun banyak kaitan­nya, oleh sebab itu dirinya tidak ingin melempar persoalan kepada pihak lain, tapi seluruh yang terkait

harus bekerja sama. Dan memang political will itu adanya di pemerin­tah, karena pemerintah yang mengeksekusi, dan yang menyusun serta melaksanakan program. Dan dilegislatif tugas­nya menyetujui program pemerintah.

Dari jumlah anak di Indonesia saat ini diban­ding dengan anak yang mengalami kekerasan, memang kekerasan itu tidak seberapa. Namun Jazuli menyatakan keke­rasan itu jangankan ratu­san, satu saja jangan ter­jadi di republik ini.

“Saya prihatin adanya kekerasan pada anak yang merupakan gene­rasi kita yang akan da­

tang dan harus dilindungi oleh kita mulai dari lingkungan keluarga, te­tangga, pendidikan, dan seterusnya, lingkungan bermain, malah mereka menjadi korban kekerasan seperti ini,” kata Jazuli.

“Namun saya yakin ketika peme­rintah serius mengatasi persoalan ini dan semua pihak yang terkait se­rius, saya yakin semua itu bisa dise­lesaikan dengan baik. Insyaallah”, tambah Jazuli. (sc) Foto: Sc/Parle.

Page 64: Edisi 101 TH. XLIII, 2013

64 EDISI 101 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

Setelah duduk dikursinya sejenak wakil rakyat yang akrab dipanggil Andi ini melirik ke balkon yang telah dipenuhi wartawan dan sejumlah

tamu lain yang ingin memantau jalannya persidangan. Tidak seperti rapat biasa Sekretariat Komisi XI kali ini menetapkan aturan tegas, seluruh peliput harus berada di balkon. Jadi tidak ada wartawan yang duduk atau sel­onjoran di ruang rapat.

“Pagi itu saya membuka rapat dengan optimisme­lah, proses uji kepatutan dan kelayakan akan berjalan lancar. Ada riak­riak penolakan dari sejumlah anggota fraksi tapi nuansa aklamasi kok sepertinya menguat,” jelas Andi kepada Parle di Gedung DPR RI, beberapa waktu lalu.

Politisi Partai Demokrat ini beralas an optimisme ini beranjak dari semangat kebersamaan komisi yang membidangi masalah keuangan dan perbankan ini. Setidaknya terlihat pada dua fit and proper test sebelumnya yang berakhir dengan aklamasi. Penetapan Deputi Gubernur BI bidang moneter Perry Warjiyo dan sebelumnya lagi, fit and proper test auditor BPK. Andi tidak sendiri, optimisme aklamasi ini juga diutarakan anggota komisi dari FPKB, Anna Muawanah pada saat jeda rapat pleno tertutup yang merumuskan hasil uji dan kepatutan dan kelayakan Agus Martowardoyo.

“Ada 2 pilihan sebenarnya per tama aklamasi, kedua voting. Tapi saya merasa arahnya aklamasi,” katanya sambil tersenyum kepada wartawan yang memenuhi lobby Gedung Nusantara I, didepan ruang rapat Komisi XI. Ia waktu itu sedikit membocorkan hasil rapat tertutup betapa lobi untuk mengupayakan musyawarah mufakat

berlangsung intens, salah satu kesepakatan yang berhasil dibuat adalah apabila pemilihan berlangsung aklamasi maka setiap fraksi diperkenankan memberikan catatan­catatan sesuai dengan hasil fit and proper test yang sudah dilakukan. Namun jika opsi voting yang dipilih maka catatan itu tidak diperlukan.

Lama menanti rapat internal yang berlangsung dari pukul 13.00 sampai 17.00 WIB itu belum juga sampai pada putusan aklamasi. Muncul suara untuk menunda pembahasan sampai esok hari agar anggota poksi dapat mengendapkan persoalan sebelum mengambil keputusan. Bagi Andi wakil rakyat dari dapil Sulsel III ini usulan itu sulit diterima karena penundaan keputusan bisa menjadi bola liar dan memunculkan dugaan­dugaan kontra produktif dari publik. Bersama sejumlah anggota poksi lain ia bertahan malam itu juga keputusan menolak atau menerima Agus Martowardojo harus dibuat.

Sejumlah anggota mulai memperdengarkan keten­tuan pasal 272 Tata Tertib DPR ayat 2 yang berbunyi; Dalam hal cara pengambilan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terpenuhi, keputusan di­ambil berdasarkan suara terbanyak. Berdasarkan keten­tuan tersebut 54 anggota Komisi XI akhirnya melaku­kan pemungutan sua ra dengan hasil 46 suara setuju, 7 menolak dan 1 suara abstain. Fakta angka itu berarti Agus Martowardojo yang diusulkan presiden disepakati untuk menjadi Gubernur Bank Indonesia periode 2013­2018 menggantikan Dr. Darmin Nasution.

“Ini rapat pengambilan keputusan yang berat menurut saya sepanjang 3 tahun terakhir ini,” begitu komentar

MAKSUD HATI AKLAMASI APA DAYA VOTING DIDAPAT

SOROTAN

Wakil Ketua Komisi XI A.P.A. Timo Pangerang terlihat cerah pagi itu. Sambil tersenyum dan menyapa sejumlah kolega, ia melangkah menuju ke kursi pimpinan. Ruang rapat juga sudah dipenuhi anggota yang juga terlihat antusias mengikuti rapat dengan agenda tunggal fit and proper test calon Gubernur Bank Indonesia (BI). Kandidatnya hanya satu orang, Agus D.W. Martowardojo yang saat itu masih menjabat sebagai Menteri Keuangan.

Page 65: Edisi 101 TH. XLIII, 2013

65EDISI 101 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

Ketua Komisi XI Emir Moeis kepada wartawan usai rapat. Namun ia puas, komitmen untuk mengupayakan sebuah keputusan yang aklamasi melalui sebuah musyawarah mufakat telah berhasil dijalankan karena kalau mencari cara mudah bisa saja setelah proses pengujian langsung dilakukan voting.

Dari Resiprokal sampai Hamba lang

Sebenarnya proses uji kepatutan dan kelayakan man­tan dirut Bank Mandiri untuk maju sebagai calon Guber­nur Bank Indonesia bukanlah yang pertama. Ia tercatat pernah mengikuti sebelumnya dengan hasil sebagian besar anggota Komisi XI menolaknya. Maruar Sirait dari

Fraksi PDIP dalam pertemuan itu sempat menyampaikan sebuah pengakuan. “Saya waktu itu termasuk salah satu yang menolak bapak menjadi Gubernur BI. Pertimbang­an utama waktu itu adalah anda lebih cocok meng urus sektor mikro,” kata politisi muda ini sambil menatap lu­rus kedepan ke arah Agus Martowardojo.

Ia lebih jauh mencecar dengan per tanyaan selanjutnya tentang penerapan asas resiprokal (keseta­raan perlakuan) terhadap bank­bank asing yang terus berkembang di dalam negeri. Ketika menjadi dirut Bank Mandiri, Ara (panggilan Maruar) mencatat Agus pernah mengeluh sulitnya melakukan ekspansi di negara lain

seperti, Cina, Malaysia, Singapura. Sementara bank dari negara tersebut begitu leluasanya membuka kantor cabang di Indonesia. “Muliaman (Ketua DK OJK) pernah berpendapat asing maksimal memiliki 40 persen saham disini. Saya mau tahu jawaban anda apakah sama dengan beliau atau tidak.

Sementara itu anggota Komisi XI Dolfie OFP mempertanyakan integritas Agus sebagai kandidat Gubernur BI. Ia meminta dalam proses uji kelayakan dan kepatutan ini ada klarifikasi terkait pemanggilan dirinya oleh KPK sebagai saksi kasus korupsi proyek Hambalang yang telah menjerat mantan menpora Andi Malarangeng sebagai ter sangka. “Saya ingin menanyakan integritas

calon terkait kasus Hambalang ini, apakah masih layak men jadi Gubernur BI,” tandasnya.

Dalam penjelasannya Agus M a r t o w a r d o y o m e n y e b u t kebijakan membuat aturan yang sangat memudahkan bank asing masuk ke Indonesia adalah keputusan pemerintah untuk mengangkat sektor investasi yang sempat terpuruk karena krisis ekonomi. PP no. 29/1999 tentang Pembelian Saham Bank Umum mengatur, asing dapat menguasai saham bank mencapai 99 persen. “Investor perbankan masuk karena kita yang mengundang, Indonesia waktu itu sedang butuh uang,” paparnya.

Ia menekankan ketika kondisi berubah tentu tidak bisa begitu saja mengubah aturan yang su­dah ada. Saran yang mungkin dilakukan menurutnya adalah me netapkan good governance rating. Hasil evaluasi dari penetap­an rating itu akan menentukan berapa persen saham yang boleh dimiliki asing setelah sebuah bank beroperasi. Ia sepakat perlu pe­

nerapan asas resiprokal tetapi baginya ini tidak semata terkait masalah nasionalisme. Untuk mengurainya perlu pembicaraan mendalam antara BI, OJK, dan pemerin­tah. Disamping itu lanjutnya diperlukan negosiasi antar negara apabila akan ada perubahan­perubah an. “Tidak bisa ujug­ujug, harus ada proses, misalnya mereka bisa menerima aturan pengurus bank asing itu harus didudu­ki oleh warga negara Indonesia atau tenaga asing yang bekerja di Indonesia harus ikut sertifikasi bankir Indo­nesia.”

Terkait Hambalang menteri keuang an pengganti Sri Mulyani mengunci pertanyaan dengan pernyataan siap

Page 66: Edisi 101 TH. XLIII, 2013

66 EDISI 101 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

Terkait fungsi dan tugas Bank Indonesia dalam hal pengenda­lian inflasi, Bank Indonesia harus fokus pada pengendalian target inflasi melalui penguatan fungsi TPI dan TPID serta menjaga kes­tabilan nilai tukar.

Gubernur BI terpilih harus dapat menjaga kekompakan dan kehar­monisan kerja di lingkungan BI agar terjalin hubungan kerjasama yang baik dengan keputsan De­wan Gubernur yang bersifat kolektif dan kolegial.

Terkait laporan telaahan BAKN DPR RI mengenai proyek tahun jamak Hambalang. Gubernur Bank Indonesia terpilih sebaiknya memenuhi pernyataannya un­tuk mengundur kan diri bilamana ditetapkan menjadi tersangka.

Dalam rangka mendorong per­kem bangan perbankan syariah di Indo nesia dan mensejajarkan perbankan syariah nasional den­gan negara­negara lain, BI harus terus berupaya mendorong ak­selerasi pertumbuhan perbankan syariah meng ingat besarnya po­tensi pasar perbankan syariah di Indonesia.

Kebi jakan makroprudensial

yang dijalankan BI harus berpi­hak kepada kepentingan petani, nelayan, UMKM, sektor riil dan kepentingan ekonomi nasional.

Dalam mewujudkan ketahanan pangan nasional, BI harus terus mendorong peningkatan dan memprioritaskan alokasi kredit kepada sektor pertanian rakyat serta ber koordinasi dengan OJK.

BI harus mengupayakan asas r e s i p r o k a l P e r b a n k a n N a ­sional dengan langkah­langkah pembuatan Me morandum of Understanding (MoU) dengan Pimpinan Bank Asing yang berop­erasi di Indonesia dan Pimpin an Bank Central dimana bank asing tersebut berasal.

Kebijakan makroprudensial yang dijalankan oleh Bank Indonesia harus mampu mewujudkan ke­bijakan makroprudensial yang mampu menciptakan financial inclusion dan menyeluruh kes­eluruh rakyat Indonesia sampai ke pelosok.

Mengoptimalkan upaya menarik devisa hasil ekspor untuk masuk ke perbankan dalam negeri mela­lui optimalisasi kebijakan Devisa Hasil Ekspor (DHE) maupun

instrumen kebijakan lainnya seh­ingga berdampak positif terhadap perekonomian nasional.

Dalam hal menilai kinerja Dewan Gubernur, terhitung tahun 2014 Bank Indonesia harus memiliki dan menetapkan Indikator Kinerja Utama (IKU) untuk masing­mas­ing Anggota Dewan Gubernur dengan desain struktur Bank In­donesia yang lebih efisien dan efektif.

Kebijakan lalu lintas devisa yang dijalankan oleh Bank Indone­sia harus lebih mengutamakan kepen tingan nasional dan mem­berikan pembatasan kepada arus modal asing yang bersifat jangka pendek, spekulatif dan fluktuatif.

Gubernur BI terpilih harus men­dorong agar sistem pembayaran nasional semakin efisian, nyaman dan aman.

Gubernur BI terpilih harus terus memelihara stability macropru-dential dan terus berkoordinasi dengan pemerintah dalam me­ningkatkan p er tumbuahan ekonomi yang sustainable.

Gubernur BI terpilih untuk meng­optimalkan pelaksanaan Program Sosial Bank Indonesia (PSBI).

mundur apabila KPK menetapkan dirinya sebagai tersangka. “Ka­lau saya jadi tersangka saya akan mundur dari jabatan Gubernur BI,” tegasnya.

Bagi Andi Timo Pangerang per nya taan siap mundur apabila men jadi tersangka Hambalang cukup memuaskan anggota Komisi XI. Ia meminta Agus sekarang berkonsentrasi penuh menjalankan tugas barunya di Bank Indonesia. Keberhasilan pada saat menjabat dirut Bank Mandiri dan Menteri Keuangan diharapkannya dapat menjadi modal utama untuk mewujudkan kestabilan perbankan di tanah air. Wakil Ketua Komisi Perbankan ini menekankan 14 catatan (lihat kotak) yang telah diserahkan DPR usai fit and proper test diharapkan dapat menjadi panduan utama dalam bertugas. “Itu panduan kerja dari wakil rakyat, kalau itu diperhatikan Insya Allah berhasil,” demikian Andi. (iky) Foto: Hr, Wy/Parle.

Page 67: Edisi 101 TH. XLIII, 2013

67EDISI 101 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

Wakil Ketua DPR RI/Korinbang Pramono Anung Wibowo menyampaikan statemen pada General Debate on from unrelenting growth to purposeful development “Buen Vivir”, new approaches, new solutions, di Convention Center, Level 2, Cumbaya-Ekuador.

Dalam sambutannya pada Sidang Or­ganisasi Parlemen Dunia tersebut Pramono menegaskan, kini merupa­

kan saat yang tepat bagi Inter-Parliamentary Union (IPU) untuk menangani dan berkon­tribusi guna memberikan suatu pendekatan­pendekatan dan solusi­solusi baru bagi per­masalahan global yang beragam ini.

Pimpinan Dewan ini menghargai upa­ya­upaya yang dilakukan oleh IPU dalam mema jukan musyawarah global atau kon­

sultasi global untuk agenda­agenda pem­bangunan pasca tahun 2015. Menurutnya, dalam beberapa hari ke depan DPR RI beker­jasama dengan IPU akan melaksanakan satu konsultasi regional mengenai tujuan­tujuan pembangunan milenium dan agenda pem­bangunan pasca tahun 2015 di Bali. Acara ini akan dilaksanakan bersamaan dengan pertemuan konsultatif ke­4 dari high level panel.

Mengingat Presiden Indonesia Susilo

Sidang Umum Inter-Parliamentary Union (IPU) ke-128 di Quito-Ecuador berlangsung dari tanggal 22-27 Maret 2013. DPR mengirim Delegasi sebanyak 11 orang dipimpin Wakil Ketua DPR Pramono Anung Wibowo.

LIPUTAN KHUSUS

Page 68: Edisi 101 TH. XLIII, 2013

68 EDISI 101 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

Bambang Yudhoyono (SBY) telah di­tunjuk sebagai Ketua bersama dari Panel­panel untuk agenda­agenda pembangunan pasca 2015 ini, Indo­nesia menawarkan suatu jalan untuk menuju pembangunan berkelanjut­an dengan kesetaraan.

Karena keberlanjutan hanya dapat dicapai bila terdapat kese­taraan, tidak hanya untuk mengin­tensifkan pertumbuhan ekonomi saja tapi juga untuk menyeimbang­kan pembangunan di dalam semua aspek dan juga membantu untuk melestarikan kehidupan pemba ­ngun an itu sendiri.

Indonesia berpendapat, suatu rencana induk global mengenai apa yang akan dilakukan untuk agenda­agenda pembangunan pasca 2015

harus dibuat secara komprehensif, dan agenda­agenda pembangunan ini harus dicapai atau harus dibuat melalui suatu proses buttom up atau proses dari bawah ke atas.

Oleh karenanya suatu konsultasi global perlu untuk melibatkan lebih banyak lagi para pemangku kepen­tingan global. Seperti masyarakat sipil, media massa, warga negara dan parlemen. Ini merupakan satu nilai yang ingin ditawarkan oleh In­donesia.

Terkait dengan kerja­kerja tiga komite tetap Pimpinan DPR RI me­nyatakan, ingin mengambil kesem­patan ini untuk menyampaikan rasa penghargaan yang tulus atas kerja yang sangat bagus yang telah di­lakukan oleh kuara pertur dan juga

sekretariat dalam mempersiapkan draft akhir. Dalam konteks ini In­donesia ingin menekankan bahwa tanggungjawab untuk melindungi masyarakat sipil dengan cara­cara damai harus selalu menjadi prioritas utama kita, dan bahwa intervensi militer harus selalu menjadi pilihan terakhir dalam skema untuk menca­pai perdamai an.

Terkait dengan perdagangan be­bas dan perdagangan yang adil In­donesia ingin menekankan kebutuh­an untuk mendapatkan manfaat yang setara dari perdagangan dan Indonesia ingin meminta adanya tindakan­tindakan atau aksi­aksi na­sional yang lebih kuat dan dukungan internasional yang lebih kuat untuk membantu membangun daya saing produktif nasional, kapasitas dan

Page 69: Edisi 101 TH. XLIII, 2013

69EDISI 101 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

juga logistik­logistik pendukung perdagangan untuk negara­negara berkembang termasuk Afrika, nega­ra­negara yang paling tertinggal, negara­negara berkembang yang tidak memiliki pantai dan pesisir, negara­negara kepulauan yang sedang berkembang dan juga per­ekonomian­perekonomian negara­negara lain yang secara struktural lemah dan rentan.

Sementara penggunaan media sangat penting untuk memperkuat keter l ibatan mas yarakat dan demokrasi, tetapi agar supaya kita bisa mendapatkan berita yang adil dan berimbang kami berpendapat bahwa pelaksanaan hak untuk ke­bebasan berpendapat oleh pers dan media bukanlah sesuatu yang mut­

lak. Harus selalu ada keseimbangan antara hak dan tanggungjawab.

“Untuk tujuan ini kami ingin men­desak asosiasi pers secara global dapat mengembangkan cara­cara guna memastikan pelaksanaan dan penegakan kode etik dan standar jurnalisme,” ungkap Pramono.

Dalam kesempatan ini Pramono mengucapkan selamat kepada par­lemen Ekuador atas penyelengga­raan Sidang Umum IPU yang ke­128 yang luar biasa ini, dan mengucap­kan rasa terima kasihnya yang tulus atas keramah­tamahan yang telah diberikan kepada delegasi Indonesia selama kunjungan di Quito ibukota dari Ekuador dan juga kota berse­jarah yang dianggap sebagai salah satu dari daftar warisan budaya dunia Unesco yang pertama.

Ucapan selamat juga disampaikan kepada Fernando Cordero Quepa ­Ketua Majelis Nasional Ekuador ka­rena atas terpilihnya Fernando se­bagai Presiden Majelis yang ter­hormat ini. “Saya percaya bahwa dibawah ada pedoman dan panduan dan kepemimpinan beliau yang bi­jaksana maka pembahasan kita akan menghasilkan hal­hal yang berman­faat bagi kedamaian dan juga kese­jahteraan umat manusia,” demikian Pramono.

Kerjasama Indonesia-Maroko

Masih dalam rangkaian Sidang Umum IPU ini, Parlemen Indonesia (DPR RI) mendukung peningkatan kerjasama antar Indonesia­Maroko diberbagai bidang khususnya tu­kar pengalaman dengan Indone­sia terkait isu demokrasi, otonomi daerah, dan Islam.

“Jadi, Maroko sangat bersemangat untuk memperkuat kerjasama antar Indonesia dan Maroko, khususnya antar parlemen dengan parlemen. Kita sudah punya tools, yaitu Group Kerja Sama Bilateral (GKSB), ini akan kita optimalkan,” kata Ketua BKSAP DPR RI Surahman Hidayat usai men­gadakan bilateral meeting dengan

delegasi parlemen Maroko, Ka­rim Ghellab, di Convention Center, Level­2, Cumbaya­Ecuador, Minggu (24/3).

Menurut Surahman, Maroko ingin tukar pengalaman dengan Indonesia khususnya bantuan Yudisial, mau­pun otonomi daerah. Karena mela­lui cara itu mereka ingin adanya for­mula yang tepat dalam mengatasi ancaman separatis melalui konsep dan formula otonomi khusus.

“Maroko mengundang Indonesia, kalau bisa ada bahan­bahan tertulis mengenai masalah otonomi khusus, masalah kontabilitas antara agama khususnya Islam dengan demokrati­sasi. Kemudian masalah budaya, di­mana Indonesia dipandang memiliki modal budaya yang baik, sehingga ini menjadi modal dalam menja­lin kerjasama antar kedua negara,” ujarnya.

Intinya, Maroko ingin belajar dari Indonesia yang sudah memiliki peng alaman lebih dulu dalam men­jalani tahapan reformasi demokrati­sasi. Jadi Indonesia merespon dan menyanggupi, apakah nanti Ma­roko berkunjung ke Indonesia atau kita yang berkunjung ke Maroko tentunya dengan membawa ba­han­bahan yang lebih detail terkait masalah otonomi khusus, tandas Ketua BKSAP menambahkan.

Tolak Legalisasi Narkoba

Masih dalam forum yang sama, Parlemen Indonesia (DPR­RI) tidak sependapat dengan Kolombia terkait masalah dilegalisasinya narkoba. Pasalnya, masalah narkoba ini men­jadi musuh semua bangsa, semua negara sehingga ada pemikiran narkoba itu dilegalisasi dengan harapan dapat menghilangkan ma­fia bisnis untuk narkoba.

“Ini yang sedang menjadi perde­batan dari Inter-Parliamentary Union (IPU), dan tentunya ini akan menjadi bahan untuk kita bawa ke tanah air baik oleh anggota DPR RI maupun DPD RI untuk dibicarakan di

Page 70: Edisi 101 TH. XLIII, 2013

70 EDISI 101 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

tanah air,” tutur Wakil Ketua BKSAP DPR RI Hayono Isman kepada Parle­mentaria seusai mengikuti Sidang Panel Discussion on the Legaliza-tion of Drugs di Convention Center, Level-2, Cumbaya­Ekuador, Senin (25/3).

Dia menambahkan, karena di­simak dari bisnis narkoba yang berkembang ternyata ada pro dan kontra. Kolombia negara penghasil dan pedagang internasional yang terbesar di dunia sehingga cende­rung negara itu pro legalisasi, kare­na mereka lelah menghadapi mafia narkoba.

Namun dilain pihak, lanjutnya, Singapura tidak setuju dengan le­galisasi karena dengan hukum yang kuat dan penerapan hukum yang keras Singapura mampu menga­tasi narkoba. Padahal penduduknya sangat kaya sehingga kemampuan untuk membeli narkoba jenis ter­baik sekalipun namun mereka tidak setuju untuk dilegalisir perdagangan narkoba.

Ini yang tentunya menjadi masuk­an yang penting bagi Indonesia, karena sekarang Indonesia sudah menjadi pasar tetapi bukan hanya menjadi pasar bagi narkoba tapi sudah menjadi negara pembuat narkoba. Karena pasarnya sede­mikian baik dengan pertumbuhan ekonomi yang luar biasa, dengan peningkatan daya beli masyarakat. Indonesia sudah tidak lagi menjadi hanya sekadar pasar tetapi juga su­dah menjadi penghasil narkoba.

“Saya pikir ini menjadi hal yang menarik yang perlu kita bawa ke tanah air, dan pasti akan ada perde­batan yang cukup dinamis bahkan mungkin keras, namun harus kita bicarakan,” jelasnya.

Menurutnya, kita tidak boleh pu­tus asa, tetapi kita hadapi karena bagaimanapun juga narkoba dari segi kultur, dari segi budaya yang bersumber dari ajaran agama itu memang jelas dinyatakan haram oleh semua agama. Kita adalah negara yang menganut bahwa se­mua agama di Indonesia itu meng­haramkan narkoba.

“Kita sebagai negara demokratis kita perlu melakukan diskusi di ta­nah air, kita bicarakan secara ter­buka antara pro dan kontra, karena bagaimanapun ini adalah untuk ke­baikan generasi bangsa ke depan,” tuturnya.

Hayono menjelaskan, hasil Pa-nel Discussion Legaliza tion Drugs to Curb Mafia itu akan dibawa ke Komisi yang terkait (Komisi Keseha­tan, Komisi Agama, dan Komisi Pen­didikan). Termasuk dengan Badan Narkotika Nasional (BNN) juga akan dibicarakan dan dengan pemerin­tah (Menteri Kesehatan dan Polri) karena sekarang ini kesannya yang belum mampu mengatasi narkoba adalah polisi.

“Jadi saya pikir polisi juga perlu kita ajak bicara sehingga bagaima­na kita bisa membantu polisi untuk mengatasi narkoba,” jelasnya.

Menurutnya, kita sudah punya UU­

nya tapi kelihatannya tidak mampu menghadapi perdagangan narkoba yang semakin berkembang di tanah air. “Jadi sekali lagi, kita tidak boleh menyerah terhadap narkoba ini. Bagi saya kalau kita menerima legal­isir atau legalisasi narkoba, itu sama dengan menyerah,“ tandas Hayono.

Gagal capai kesepakatan

Sidang Parlemen Sedunia ke­128 belum mencapai kesepakatan terkait persoalan mengenai terorisme. Pasalnya Parlemen Syiria berusaha memasukkan tema menjadi emer-gency item terkait dengan masalah keamanan dan terorisme di negara tersebut.

“Banyak kepentingan dari ba nyak negara dan mereka pasti ingin me­mastikan bahwa kepentingan me­re ka bisa terakomodasi dan tidak dirugikan,” ujar anggota delegasi Parlemen Indonesia M. Hidayat Nur Wahid kepada Parlementaria usai mengikuti Sidang First Stand-ing Committee on Peace and In-ternational Security di Convention Center, Level­2, Cumbaya­Ecuador, Senin (25/3).

Menurutnya, Delegasi Parlemen RI menilai Syiria sangat ngotot un­tuk memasukan point­point, dimana mereka mengusulkan sebagai the­ma terorisme menjadi emergency item yaitu menyangkut masalah keamanan dan terorisme di Syiria.

Dia menambahkan, tema terse­but berulangkali gagal karena ang­gota dari peserta sidang parlemen sedunia mengingatkan termasuk pimpinan sidang bahwa kita tidak lagi membahas tentang terorisme. Saat ini, komite perdamaian dan keamanan internasional, sedang membahas tentang bagaimana menghadirkan keamanan, terutama ketika suatu negara terjadi konflik yang tidak bisa diselesaikan.

Delegasi DPR mengusulkan pen­tingnya kerjasama internasional dalam mengatasi masalah­masalah yang bisa terjadi di suatu negara. “Usulan kita yang tadi diterima ada­

Page 71: Edisi 101 TH. XLIII, 2013

71EDISI 101 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

lah wajib untuk tetap mempertim­bangkan bahwa dengan merujuk kepada Keputusan Dewan Keaman­an PBB maka yang namanya inter­vensi militer itu bukan sesuatu yang merupakan pilihan pertama, tapi merupakan pilihan yang terakhir,” terangnya.

Sebelum pilihan militer, lanjutnya, negara­negara besar dan negara­negara yang berada disekitar daerah konflik harus menjadi bagian dalam membantu menyelesaikan masalah secara damai.

Hidayat menambahkan, DPR menolak usulan tersebut, karena tidak ingin ketika meloloskan para-graph ini maka negara­negara yang merasa besar atau negara­negara yang merasa kuat kemudian kare­na kepentingan politiknya meli­hat negara yang lagi ada masalah masuk dengan mengabaikan faktor keamanan.

Tempatkan Wakilnya di Middle East

Delegasi Parlemen Indonesia ber­hasil menempatkan anggotanya di Komisi Middle East Questions dan First Standing Committee yaitu Surahman Hidayat dan Hayono Is­man.

“Jadi ada dua posisi yang berhasil diraih oleh parle men Indonesia, ini ‘kan lumayan dari lima negara kita mendapatkan satu posisi, semen­tara Middle East dari tiga negara kita mendapatkan satu posisi. Al­hamdulillah, lobby­lobby kita bagus dan berjalan dengan baik walaupun banyak dari negara­negara Timur Tengah ingin menjadi member,”

ujar Wakil Ketua BKSAP Andi Anzhar Cakra Wijaya kepada Parlementaria seusai memimpin Sidang Commit-tee to Promote Respects for Inter-national Humanitarians Laws, di Flores & Jimenez Room, Convention Center, Level­2, Cumbaya­Ekuador, Senin (25/3).

Menurutnya, parlemen Indonesia bersaing dengan Afghanistan dan Iran serta mendapat dukungan dari parlemen China, Kamboja, Jepang dan beberapa negara lainnya.

Dia mengatakan, dirinya seba gai member Committee to Promote Re-spects for International Humanita-rians Laws merasa bangga bahwa di dalam forum­forum seperti ini parle­men Indonesia dapat membuktikan bahwa DPR RI masih dipandang di mata dunia.

Terkait isu pekerja anak, lanjut Andi, kemungkinan Parlemen In­donesia akan lebih tertarik untuk menggolkan masalah pekerjaan anak dibawah umur (statelessness), jadi anak­anak yang tidak berkewar­ganegaraan itu bagaimana pe­nanganannya. “Parlemen Indonesia mungkin akan lebih besar mendu­kung isu itu untuk dibawa ke sidang berikutnya di Assembly,” ujarnya.

Andi mengharapkan, isu­isu ten­tang Timur Tengah, Asia­Pasifik khususnya Asia First Three dapat mendominasi isu­isu tersebut. “Jadi se bagai member tentu agenda­agen­da yang akan kita kerjakan da pat le­bih mudah dan semangat memper­juangkannya,” pungkasnya.(iw)

Anggota BKSAP DPR RI Hidayat Nurwahid.

Page 72: Edisi 101 TH. XLIII, 2013

72 EDISI 101 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

Masyarakat Sudah Muak

dengan Pencitraan

Semu

“Ya…satu…dua…tiga, jalan…,” teriak Arzeti saat melatih murid-muridnya di kantor Zema Modelling Schoolnya di Kawasan Tebet, Jakarta Selatan. Tidak hanya sebatas melatih cara berjalan dan berpose di depan catwalk dan kamera, Zeti juga concern dengan penampilan para siswanya, mulai dari make up hingga ke kostum yang akan dipakai para siswanya saat pemotretan. Tidak berhenti sampai disitu, Zeti, begitu ia biasa disapa, juga tidak canggung mengajarkan kepada siswanya tentang bagaimana cara bersikap dengan baik. Bagi Zeti, pelajaran tentang manner atau etika sangat dibutuhkan bagi para pemula yang baru akan masuk dalam dunia entertainment. “Bagaimanapun juga mereka kan akan menjadi calon public figure yang akan dilihat keseluruhannya, dari penampilan sampai sikapnya,” jelas pemilik nama lengkap Arzeti Bilbina Huzaimi Setiawan ini.

Page 73: Edisi 101 TH. XLIII, 2013

73EDISI 101 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

Melihat para siswanya berlatih modeling, membalikkan ingatan Zeti ketika pertama kali ia mengenal dan akhirnya terjun ke dunia modeling hingga sekarang. Masih diingat Zeti, sekitar

tahun 1988 ketika ia pertama kalinya menginjakan kaki di ibukota tercinta ini. Zeti yang ketika itu masih duduk di bangku kelas 1 SMA memiliki postur tubuh tinggi langsing tiba­tiba diajak oleh salah seorang rekannya untuk masuk ke sekolah modeling yang dibentuk oleh Oki Asokawati. Awalnya Zeti enggan untuk mengikuti ajakan tersebut, maklum ketika itu Zeti terbilang gadis tomboy yang sangat menggemari olahraga Basket.

Suatu hari Zeti tak kuasa menolak rayuan rekannya tersebut, terlebih lagi keluarga juga mendukung rencana tersebut. “Tidak ada salahnya untuk mencoba. Kalau toh tidak enjoy dengan dunia tersebut, ya tinggal berhenti saja,” begitu pikir Zeti ketika itu. Minggu­minggu pertama menjajaki latihan sebagai seorang model diakui Zeti lumayan berat dan melelahkan. Namun ketika itu tanpa disangka dirinya terpilih untuk berlenggok langsung di atas catwalk dalam sebuah peragaan busana disainer ternama, Zeti merasa inilah awal pembuktian dirinya sebagai seorang model profesional.

Tak dinyana, first show Zeti sukses, dan dapat diduga itulah titik awal Zeti bergelut dalam dunia entertaiment secara keseluruhan. Zeti menjadi “ketagihan” untuk terus berlenggok di atas catwalk. Show demi show pun ia lakoninya, hingga kemudian ia masuk dalam deretan peragawati papan atas.

Tidak puas hanya menjadi peragawati papan atas, Zeti pun menjajaki dunia akting. Ia bermain dalam sebuah Film Televisi (FTV) yang berjudul “Ajari aku cinta” disusul dengan sinetron “Romantika” dan sinetron­sinetron lainnya. Bahkan ia pun pernah ikut mendukung film yang diilhami oleh Bom Bali yang bertajuk Angels Cry.

Aktivitas Zeti pun bertambah ketika ia dipercaya membawai beberapa tayangan televisi, seperti tayangan horror Percaya Nggak Percaya hingga kini setiap pagi wajah Zeti terlihat menjadi presenter Coffee Break di TV One. Terakhir, wanita berdarah Minangkabau ini bersama rekannya Jamal Hasan mendirikan Zema Modelling and Artist Management untuk menulari ilmunya di dunia entertainment. Hingga kini Zema Modelling telah ada di tiga kota di Indonesia, Bandung, Cirebon dan Jakarta.

Meski telah mencetak banyak artis baru seperti Kholidi Asadil Alam yang terkenal lewat film layar lebar bertajuk Ketika Cinta Bertasbih, Kiki Farel, Fendy Cho, Greta, Pamella dan beberapa artis muda lainnya, namun Zeti mengaku enggan mengarahkan ketiga putra­putri kandungnya, Bagas Wicaksono Rahadi, Dimas Aryo Baskoro Rahadi Setiawan, dan Gendis Setiawan untuk ikut terjun ke dunia hiburan. Demi anak Arzeti rela untuk

memberikan ASI (Air Susu Ibu). Dari sanalah kemudian ia didaulat menjadi Duta ASI pada tahun 2005.

“Saya gak berusaha mengarahkan anak­anak saya untuk menjadi apa yang saya mau, saya menyerahkan ke mereka semua untuk memilih bidang pekerjaan yang mereka suka, sebagai orangtua kami hanya bisa mengawasinya,” jelas wanita kelahiran Lampung, 4 September 1974 ini.

Bicara Tentang Politik

Cantik, Smart dan Low Profile plus sukses di dunia karir dan keluarga membuat Arzeti menjadi “incaran” beberapa partai politik yang ingin meminangnya menjadi kadernya. Bahkan beberapa waktu yang lalu sempat tersiar kabar salah satu Parpol telah resmi meminang isteri dari Aditya Setiawan Wicaksono. Bahkan Parpol tersebut juga sempat mencalonkan Arzeti untuk maju menjadi calon Wakil Gubernur Lampung.

“Politik merupakan dunia baru bagiku, untuk itu aku belum mau bicara dulu, karena masih harus dipikir ulang dan lebih dalam lagi,” jelas pemilik tinggi badan 175 cm dan berat 57 kg ini.

Namun Zeti tidak memungkiri bahwa sebagai warga Negara yang baik dirinya ingin sekali berbuat lebih banyak lagi untuk bangsa dan Negara. Bahkan dikatakannya saat ini masyarakat dan Negara Indonesia sangat membutuhkan pemimpin­pemimpin yang down to earth. Pemimpin yang tidak hanya bisa bicara dalam rapat­rapat politik, melainkan pemimpin yang mau langsung terjun ke masyarakat, melihat dan mendengar

Page 74: Edisi 101 TH. XLIII, 2013

74 EDISI 101 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

secara langsung aspirasi masyarakat.

Meski demikian, belakangan ini Zeti menilai tidak sedikit para tokoh politik yang mencoba terjun langsung ke masyarakat namun demi sebuah pencitraan. Pencitraan yang pada akhirnya bertujuan untuk mendongkrak popularitas dan perolehan suara di pemilihan umum (pemilu) mendatang.

“Saya yakin masyarakat Indonesia sekarang pandai­pandai kok. Mereka bisa melihat dan mengetahui mana tokoh yang terjun ke masyarakat karena memang dari dalam hatinya, dan mana tokoh yang terjun ke masyarakat demi sebuh pencitraan semu. Masyarakat sudah muak dengan pencitraan dan ujung­ujungnya juga menyengsarakan rakyat,” papar Zeti.

Untuk niatannya menjajaki panggung perpolitikan tanah air, Zeti sudah mendapatkan lampu hijau dari sang suami. Zeti bersyukur memiliki suami yang selalu mendukung setiap aktivitasnya, tak terkecuali untuk

terjun ke dunia perpolitikan.

“Alhamdulillah aku memiliki suami yang selalu mendukung setiap kegiatanku, sepanjang aku bisa membagi waktu antara kegiatanku dan keluargaku, apalagi anak­anak juga masih kecil­kecil dan masih butuh perhatian yang lebih,”paparnya.

Diungkapnya, sang suami selalu mengingatkannya bahwa sebagai seorang wanita, isteri, dan ibu ia harus selalu istiqomah dan takut dengan Allah SWT. Dengan demikian itu akan menghindarinya dari segala sifat­sifat yang tidak terpuji. Dan, saat ditanya tentang beberapa artis yang ketika menjadi anggota dewan malah memilih berpisah atau bercerai dari sang suami, Arzeti menjawab “Seperti yang tadi aku katakan, aku harus bisa membagi waktu antara keluarga dan semua kegiatanku. Untuk teman­teman yang kebetulan ketika menjadi anggota dewan bercerai, menurutku pasti ada alasan lain kenapa mereka memutuskan untuk bercerai. Dan pasti juga sudah mereka pertimbangkan matang­matang hal tersebut,” ungkap Zeti mengakhiri. (Ayu) Foto: Ry/Parle.

UntUk niatannya MenJaJaki PanggUng PerPOLitikan tanaH air, zeti sUdaH MendaPatkan LaMPU HiJaU dari sang sUaMi. zeti BersyUkUr MeMiLiki sUaMi yang seLaLU MendUkUng setiaP aktivitasnya, tak terkeCUaLi UntUk terJUn ke dUnia PerPOLitikan.

Page 75: Edisi 101 TH. XLIII, 2013

75EDISI 101 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

PERNIK

Sekretariat Jenderal DPR RI saat ini sedang gencar­gencarnya melakukan penerapan Reformasi Birokasi, selain itu sosialisasi bagi para Pegawaipun sudah

mulai dilakukan, dari memasang spanduk, maupun pengarahan bagi para Karyawan Setjen DPR RI. Tidak hanya secara kelembagaan, Setjen DPR juga berusaha

mengembangkan paradigma dukungan secara profesional dengan mengubah secara sistematis dan konsisten sistem dan mekanisme kerja organisasi, pola pikir,

dan budaya kerja individu serta unit kerja di Sekretariat Jenderal DPR.

Page 76: Edisi 101 TH. XLIII, 2013

76 EDISI 101 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

Setjen DPR sebagai organisasi pendukung DPR di­tuntut untuk dapat menampilkan karakter yang kuat, mandiri, kompeten, profesional, dan ter­

percaya bahkan yang terpenting mengingat fakta­fakta empirik yang dihadapi DPR seringkali memperlihatkan gambaran yang kurang menggembirakan, diantaranya yaitu apresiasi publik yang rendah terhadap kinerja DPR RI. “Saat ini memang kita ingin menuju ke arah yang lebih baik, mulai dari input, proses, hingga output harus terukur. untuk mencapai hal itu maka ditetapkan delapan area perubahan sesuai dari arahan Kemenpan dan Reformasi Birokrasi,” ujar Sekjen DPR RI Winantu­ningtyastiti kepada Parlementaria di ruang kerjanya baru­baru ini

Yang pertama, lanjut Win, yaitu area perubahan mind-set dan culture set artinya Setjen DPR tengah melakukan sosialisasi kepada seluruh pegawai perkelompok untuk segera mengubah budaya kerja menjadi lebih baik. “Perubahan mindset itu sangat penting, jadi misalnya kalau yang tadinya bekerja itu seperti business as usual maksudnya kalau diperintah yang penting selesai dan hasilnya bagus atau tidak itu tidak menjadi fokus utama,” paparnya.

Menurutnya, apabila karyawan ditugaskan ha rus mampu bekerja semaksimal mungkin jika memung­kinkan tidak ada koreksi sedikitpun. “Kaitannya dengan budaya kerja itu jangan sampai menunda­nunda pekerjaan, tugas yang ditumpukkan diatas meja harus bersih setiap hari mau sampai larutpun yang penting tugas selesai,harusnya seperti itu,” tambahnya.

Kemudian perubahan lainnya, yaitu setiap pegawai harus memiliki target pekerjaan. Jadi Perencanaan

kinerja, target kerja kemudian output pribadinya. “Jadi harus memiliki rincian pekerjaan apa yang tiap harinya akan dikerjakan,” tambahnya. Terkait penataan administrasi juga harus siap mulai dari penjadwalan, penyelenggaraan bahan dan materi, laporan singkat semuanya itu harus satu paket ar tinya semua kegiatan yang berindikasi pada anggaran itu harus sepadan dengan hasil kerja kita sebagai pegawai.

Perubahan yang relatif lebih mudah yaitu perubahan perundang­undangan. Set jen DPR akan melakukan inventarisasi aturan apakah ada yang bertabrakan atau ada yang masih kurang dan harus segera diperbaiki. “Terkait perubahan mindset dan culture set menyangkut seperti kedisiplinan, dengan menerapkan sanksi lebih

tegas misalnya apabila masuk kerja lewat jam delapan maka dianggap datang jam 12,” tegasnya.

Disisi lain, tambahnya, Setjen DPR mulai membangun budaya “malu” apabila karyawan Setjen DPR masuk­pulang siang. Langkah itu dilakukan sebagai salah satu cara dalam menumbuhkan budaya kerja dikalangan pegawai Setjen DPR RI. “Kebijakan ini bukan karena tega terhadap karyawan tetapi semata­mata menerapkan disiplin, sebagai bagian dari budaya kerja karena itu perlu juga sanksi bagi karyawan yang sering telat,” tambahnya.

Win menambahkan, dari delapan area perubahan yang paling lemah di Seketariat Jenderal yaitu mindset dan culture set. Karena itu, kemarin kita berusaha mencanangkan internalisasi nilai dasar kinerja yang religius, akuntabilitas, profesional dan integritas. “Jadi bukan hanya sekedar tulisan, maka setiap rapat kita mulai dengan doa karena harus terefleksikan di dalam sikap kerja kita, apapun pekerjaan harus lengkap dokumen pertanggungjawabannya dimulai dari awal. jadi terus membangun diri untuk menjadi semakin profesional, apalagi kita berhadapan langsung dengan stakeholder kita yaitu DPR RI,” paparnya.

Dia menegaskan, prinsipnya program reformasi birokrasi sangat membantu karyawan Setjen DPR RI. “Untuk memberikan dukungan kepada Dewan, Setjen DPR segera membikin program eksternal­Internal, di bidang internalnya antara lain pembenahan melalui reformasi birokrasi, eksternalnya melakukan identifikasi dan meningkatkan support bagi anggota Dewan,” katanya. (Si). Foto: Iw, Ry/Parle.

Page 77: Edisi 101 TH. XLIII, 2013

77EDISI 101 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

PERNIK

Banyak orang selalu mengaitkan Reformasi Birokrasi dengan peningkatan remunerasi semata sehingga masalah yang kerap timbul yaitu ketakutan para karyawan semakin menurunnya penghasilan yang diterima oleh dirinya, begitu juga dengan Karyawan Setjen DPR RI, Parlementariapun sempat mendengar kekhawatiran tersebut dari beberapa karyawan terhadap implementasi reformasi birokrasi ini.

Sekjen DPR Winantuningtyastiti kemudian menjawab keraguan karyawan tersebut, dia menilai sasaran dari reformasi birokrasi itu bukannya hanya remunerasi semata tetapi berpegang kepada prinsip akuntabilitas keuangan negara. “Kalau kita dibayar delapan jam sehari kita harus bekerja sesuai waktunya, kalau yang takut itu mungkin karena dirinya merasa belum mampu memenuhi dari sisi jam kerja,” terangnya kepada Parlementaria.

Menurut Win, Setjen DPR RI memang dituntut untuk melakukan delapan area perubahan sesuai dengan Peraturan Kemen PAN dan RB. “Memang bisa saja kita mengklaim sudah melakukan semua perubahan tetapi harus ada bukti, dokumen kemudian diverifikasi oleh Kementerian PAN dan RB, kemarin kita baru tahap pertama melakukan verifikasi lapangan dari dokumen tertulis, juga wawancara dari perwakilan pegawai apakah memahami reformasi birokrasi atau tidak, kemudian kita mendapat grade 49 persen dari 100 persen,” ujarnya.

Artinya, lanjut Sekjen DPR, Sekretariat Jenderal baru mendapat tunjangan kinerja sebesar 49 persen untuk tahun 2013 ini, sementara untuk tahun 2014 mencapai sekitar 70 persen. “Namanya tunjangan kinerja nilainya sangat tergantung kepada kinerja kita,” kata Doktor lulusan Universitas Indonesia ini.

Saat ini, lanjutnya, masih ada bagian organisasi di tu­buh kesekretariat Jenderal yang masih overload semen­tara bagian lain terlihat santai. “Karena pemahamannya yang belum sama, dan kita masih ada bagian yang over-load, maka kita akan melakukan penataan diantaranya penataan tata laksana, SDM aparatur, pengawasan, akuntabilitas, dan pelayanan publik,” tambahnya.

Untuk bidang SDM aparatur, Setjen DPR akan melakukan assessment misalnya untuk golongan III yang memiliki background ekonomi nantinya dapat dialihkan ke fungsional serta melakukan training guna meningkatkan kapasitas para karyawan Setjen DPR RI,” terangnya.

Dia menambahkan, Kita akan melakukan evaluasi dan membuat

track record pegawai melalui teknologi informasi dan semuanya terekam di Information Technology (IT). “Kita jadi tahu dimana bisa menem­patkan pegawai, kemudian dievaluasi agar tidak merugikan pegawai, memang waktu sosialisasi kita tekankan kalau tidak mau mengikuti hal ini kita akan tersingkir, bila tidak mempunyai output,” katanya.

Dari delapan area perubahan yang paling lemah di Seketariat Jenderal yaitu area mindset dan culture set, karena itu kemarin kita berusaha mencanangkan nilai dasar kinerja yang religious, akuntabilitas, professional dan integritas. “Bukan hanya sekedar tulisan, maka setiap rapat kita mulai dengan doa karena harus terefleksikan di dalam sikap kerja kita, apapun pekerjaan harus lengkap dokumen pertanggungjawabannya,” ujarnya.

Pada tahun 2013 yang ditonjolkan oleh Sekretariat Jenderal yaitu membuat strategi komunikasi untuk Dewan. “Saya sudah menjajaki kerjasama dengan Fisip UI karena di sana ada publisistik ada komunikasi dan berbagai jurusan terkait, saat ini mereka sedang menyusun TOR dan akan segera didiskusikan minggu depan,” paparnya.

Tantangan saat ini, lanjutnya, yaitu membangun pemahaman yang sama kepada seluruh pegawai bahwa program reformasi birokrasi ini bukan program yang ditakuti tetapi harus dilaksanakan karena itu merupakan kewajiban kita dan melekat di tubuh PNS. “Saya ingin sekali Setjen itu menjadi lembaga supporting yang profesional dan efektif. artinya secara keseluruhan bisa mendukung semua tugas dewan, jadi dewan sebagai institusi. Selain itu saya ingin masyarakat juga bisa melihat bahwa dewan itu secara kelembagaan memang harus kuat kalaupun ada lembaga yang bermasalah itu hanya perorangan bukan kelembagaan DPR,” terangnya.

Dirinya bercita­cita ingin membesarkan lembaga Kesetjenan DPR, sehingga seluruh karyawan DPR bisa merasa bangga menjadi pegawai Setjen DPR. “Jadi kalaupun kita melayani, kita memiliki kapasitas dukungan untuk mereka, artinya kita dapat lebih cerdas namun bukan menggurui tetapi asistensi sifatnya,” ujarnya. (si/spy)

Page 78: Edisi 101 TH. XLIII, 2013

78 EDISI 101 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

POJOK PARLE

Ketua Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia (KPPRI) Usmawarnie Peter saat membuka Diskusi Kolaboratif “Urgensi Pelaksanaan Pilkada Serentak” di ruang BAKN DPR Jumat (5/4) menyatakan, maksud digelarnya diskusi adalah untuk mensosialisasikan gagasan penyelenggaraan pemilu secara serentak dengan pemilu nasional dan pemilu lokal.

“Dengan pilkada serentak pemerintah akan efektif

bekerja. Dilain pihak akan terdapat partai atau koalisi partai oposisi yang akan mengontrol kinerja pemerintah apakah sesuai relnya atau keluar dari rambu­rambu yang ditentukan. Inilah sumbangsih KPPRI,” kata Usmawarnie.

Menurutnya, penyelenggaraan pemilu nasional dan pemilu daerah dalam selang dua atau tiga tahun, akan meningkatkan daya kritis pemilih terhadap parpol,

Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia (KPPRI) ternyata memiliki kepedulian yang tinggi terhadap perkembangan politik di tanah air. Meski namanya kaukus perempuan, kiprahnya tidak melulu memperjuangkan aspirasi kaum perempuan seperti terpenuhinya kuota 30% wanita di parlemen namun justru lebih luas lagi, menyangkut salah satu materi dalam RUU Pilkada yaitu soal pilkada serentak.

Page 79: Edisi 101 TH. XLIII, 2013

79EDISI 101 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

sehingga parpol terdorong untuk meningkatkan kinerjanya, agar tidak dihukum oleh pemilihnya dalam pemilu.

Bagi kader­kader parpol kesempatan untuk berkom­petisi juga bertambah sehingga kemampuan dan wawasannya kian bertambah. “ Saya berharap dengan dis kusi ini akan ditemukan bagaimana solusi urgensi pelak sa naan pilkada serentak ini untuk kepentingan bangsa yang lebih besar,” kata Usmawarnie menam­bahkan.

Diskusi menampilkan pembicara Wakil Ketua Komisi II Hakam Naja dan Prof. Ramlan Surbakti dengan moderator Titi Anggraini. Titi mengatakan, karena diskusi kolaboratif, berarti semua masukan atau pemikiran dalam acara ini harus dikolaborasikan sehingga terekstrat pemikiran yang bisa dimanfaatkan bagi pembahasan RUU Pilkada.

M e n j e l a s k a n p e r k e m b a n g a n pembahasan RUU Pilkada, Hakam Naja menyebutkan bahwa pada tataran sekarang ada tiga lapis pandangan fraksi­fraksi terkait pilkada serentak. Pertama serentak dilakukan secara nasional, dimana kepala daerah yang pilkadanya tahun 2014 akan ditarik menjadi tahun 2013, sehingga tahun 2013 ada sekitar 152 pilkada tetapi sebagian masih acak.

Barulah nanti tahun 2015 akan ada pilkada serentak nasional yang diikuti sekitar 279 daerah provinsi mapun kabupaten/kota lalu tahun 2018 tahap kedua ada pilkada serentak nasional yang diikuti 244 daerah provinsi/kabupaten/kota.

Yang kedua sama tahun 2015 dan 2018 tapi ada tambahannya yaitu tahun 2019, akan diserentakkan ada pemilu legislatif, pemilu presiden dan ada pemilu serentak, Meskipun usulan tahun 2019 ada konsekuensi yang signifikan terkait dengan pengurangan masa jabatan kepala daerah.

Yang ketiga adalah pilkada serentak dengan tahapan 2015, 2018 tanpa 2019 tapi serentaknya di tingkat provinsi. Bedanya, kata politisi PAN ini, opsi pertama 2015 dan 2018 serentak, seluruh 279. Opsi ketiga sama 2015 tapi dicluster provinsi. Misalnya Jabar bersamaan, atau Sulsel dan Sulbar atau gabungan yang terdekat cluster. Kenapa ada formula ini karena mengacu soal keamanan, misalnya Palopo aparat keamanan diimpor dari daerah lain. Bisa dibayangkan kalau nanti ada banyak daerah lalu terjadi konflik, bagaimana penanganannya.

Disebutkan pula, pilkada serentak akan menghemat biaya, sekarang ini sekitar 20T pemilu gubernur, bupati dan walikota. Dengan pilkada serentak bisa dihemat minimal 50% atau 10T bahkan bila serentaknya secara nasional bisa lebih besar penghematannya.

Yang kedua akan munculkan fenomena baru yaitu ada semacam pemilu sela. Di negara lain, pemilu sela diadakan untuk semacam koreksi bila tak puas dengan sebuah pemerintah.

“Jadi rakyat tak perlu menunggu 5 tahun, tapi sinyalnya sudah bisa dikirim dalam dua kali term. Kalau 2014 pemilu, lalu tahun 2015, tiga bulan pertama tidak ada perkembangan maka pada semester akhir bisa diadakan pemilu sela. Rakyat sudah mulai diajari bisa memberi sanksi atau hukuman kepada pemerintah yang tak amanah,” jelas Hakam Naja.

Ketua Umum Kaukus Perempuan Parlemen Usmawarnie Peter menyatakan, penyelenggaran pilkada serentak dapat menjadi suatu alternative untuk mendorong e f e k t i f i t a s p e m e r i n t a h a n . Keserentakan menimbulkan coattail effect, dimana kemenang­an calon presiden atau calon kepala daerah akan diikuti oleh kemenangan partai atau koalisi partai pendukung di DPR atau DPRD.

Coattail effect juga mendorong terjadinya blocking politik, di satu pihak terdapat pemerintah yang

didukung partai atau koalisi partai mayoritas di DPR atau DPRD, sehingga pemerintahan efektif bekerja. Dilain pihak terdapat partai atau koalisi partai oposisi yang terus mengontrol pemerintah sehingga pemerintah tidak bisa berlaku semena­mena. (mp) Foto Od/Parle.

Page 80: Edisi 101 TH. XLIII, 2013