UNIT MANAJEMEN HUTAN TANAMAN RAKYAT BERBASIS KELOMPOK KERJA DALAM KELOMPOK TANI HUTAN
(Studi Kasus Kelompok Tani Hutan Bukit Hijau, di Desa Cenrana,
Kecamatan Camba, Kabupaten Maros)
THE MANAGEMENT UNIT OF COMMUNITY PLANT FOREST BASED ON THE WORKING GROUPS OF BUKIT HIJAU FOREST FARMER GROUP
(A Case Study The Bukit Hijau of Forest Farmer Group,
at Cenrana Village, Camba Subdistrict, Maros District)
Supriady Salle1, Muhammad Dassir2, Mas’ud Junus3
1PEH Muda, BP2HP Wilayah XV Makassar, Kementerian Kehutanan
2Sosial Ekonomi Kehutanan, Fakultas Kehutanan, Universitas Hasanuddin 3Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Universitas Hasanuddin
Alamat Korespondensi:
Supriady Salle, S.Hut
BP2HP Wilayah XV Makassar
Makassar, 90245
HP: 08124205352
Email: [email protected]
Abstrak
Unit manajemen hutan tanaman rakyat (HTR) berbasis kelompok kerja dalam kelompok tani hutan (KTH)
Bukit Hijau sangat diperlukan untuk mewujudkan pengelolaan hutan lestari. Penelitian ini bertujuan untuk
merumuskan pola pengelolaan oleh kelompok kerja pada unit manajemen (HTR) KTH Bukit Hijau. Data
dikumpulkan melalui diskusi kelompok berfokus, wawancara, dan survey lapangan dilakukan untuk memeroleh
data, antara lain berupa sistem tenur yang berlaku di dusun Holiang, pemetaan partisipatif menyangkut luas dan
letak areal HTR yang dimohon, penentuan zona penyangga hutan produksi terbatas yang berbatasan dengan hutan
lindung, sistem kerjasama penyakapan lahan HTR, dan kondisi tutupan lahan yang dimohon oleh KTH Bukit
Hijau. Analisis data menggunakan metode analisis kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif digunakan untuk
menjelaskan model unit manajemen KTH Bukit Hijau dan sistem pengaturan hasil, sedangkan analisis kuantitatif
digunakan untuk mengetahui kelayakan finansial pengelolaan HTR dengan kriteria layak secara finansial jika
NPV > 0, BCR > 1 dan IRR > i. Sistem tenur yang akan dipakai pada kelompok kerja dalam KTH Bukit Hijau
adalah sistem mallolo, ta’tang, pemagaran lahan, persiapan lahan secara gotong royong, serta gotong royong
perondaan dari hama tanaman untuk mengurangi biaya tenaga kerja pengelolaan lahan HTR, serta untuk
mengendalikan manajemen lahan kelola HTR melalui kerjasama kelompok kerja HTR. Hasil analisis GIS,
dilakukan deliniasi terhadap areal yang tidak produktif maka areal yang layak mendapat Izin Usaha Pemanfaatan
Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Rakyat dalam Hutan Tanaman (IUPHHK-HTR) seluas ± 35,70 hektar
dengan tutupan lahan berupa semak belukar dan padang rumput. Jumlah anggota KTH yang akan melakukan
pengelolaan sebanyak sepuluh orang yang nantinya akan mendapatkan IUPHHK-HTR perorangan dari Bupati
Maros. Hasil analisis finansial menunjukkan pembangunan HTR pola polikultur yang memadukan antara tanaman
jenis sengon dengan tanaman semusim jenis kacang tanah memberikan tingkat kelayakan finansial yang lebih
tinggi dibanding pola monokultur jenis sengon meskipun kedua pola tersebut sama-sama layak secara finansial.
Kata Kunci : unit manajemen HTR , kelompok kerja
Abstract
The management unit of community plant forest based on the working groups of Bukit Hijau farmer group
is needed to achieve sustainable forest management. This study aims to formulate the management pattern of
working units in the management unit of the community plant forest of Bukit Hijau Forest Farmer Group. The data
were collected through Focus Group Discussions (FGD), interviews, and field surveys. The collected data were:
(1) the current tenure system at Holiang sub-village; (2) participative mapping related to the area size and location
of the proposed community plant forest, the determination of a limited production forest buffer zones adjacent to
protected areas; (3) cooperation system in the sharecropping of community plant forest area proposed by the Bukit
Hijau Forest Farmer Group. The data were analysed by using qualitative analysis (to explain the model of
management unit and the system of product management) and quantitative analysis (to analyse the financial
feasibility of communit plant forest management). The criteria of financial feasibility is: NPV > 0, BCR > 1, and
IRR > i. The tenure systems that will be used by the working units in the Bukit Hijau Forest Farmer Group are
mallolo, ta’tang, area fencing, cooperation in preparing the area, and cooperation in monitoring plant diseases to
reduce the labor cost and to control the community plant forest area management through the cooperation of
community plant forest working groups. The results of GIS analysis reveal that if unproductive area is delineated,
the size of the area that can get IUPHHK-HTR is ± 35.70 hectare, and the land surface is closed with undergrowth
and grass. There are 10 members of Forest Farmer Group who will conduct the management, and they will receive
IUPHHK-HTR from Bupati (district head) of Maros. The result of financial analysis reveal that in comparison to
monoculture pattern with Sengon tree, the development of community forest with policulture pattern (combination
of Sengon tree and seasonal plant, peanut) results in higher financial feasibility, although both patterns have
financial feasibility.
Keywords: management unit of community forest, working unit.
PENDAHULUAN
Pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan tanaman pada hutan produksi dapat dilakukan
pada: (a) HTI (Hutan Tanaman Industri); (b) HTR (Hutan Tanaman Rakyat); atau (c) HTHR
(Hutan Tanaman Hasil Reboisasi)”salah satunya melalui program pembangunan HTR
(Pemerintah RI, 2007).
Hutan Tanaman Rakyat adalah hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh
kelompok masyarakat untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan
menerapkan silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian sumberdaya hutan. IUPHHK-HTR
adalah izin usaha yang diberikan untuk memanfaatkan hasil hutan berupa kayu dan hasil hutan
ikutannya pada hutan produksi yang diberikan kepada perorangan atau koperasi untuk
meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan sistem silvikultur untuk
menjamin kelestarian sumber daya hutan (Kementerian Kehutanan, 2011).
Kawasan hutan banyak dimanfaatkan sebagai lahan untuk memperoleh hijauan ternak
kambing dan sapi, tempat berladang, tempat memanen lebah madu, tempat mengambil kayu
bakar untuk kebutuhan rumah tangga, mengambil nira aren untuk pembuatan gula merah, dan
tempat mengambil kayu untuk pagar kebun dan sawah (Dassir dkk., 2010)
Salah satu kabupaten yang telah diterbitkan IUPHHK-HTR oleh Bupati adalah
Kabupaten Maros, dimana berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor:
SK.372/Menhut-VI/2008 tanggal 8 Agustus 2008, penetapan pencadangan areal HTR di
Kabupaten Maros seluas ± 8.580 hektar, dan KTH yang telah memohon IUPHHK-HTR
sebanyak 4 KTH dengan luas ± 433 hektar yaitu: (1) KTH Pakkaraengan Indah seluas
± 116 hektar; (2) KTH Bangkit Jaya seluas ± 156 hektar; (3) KTH Tunas Harapan seluas
± 80 hektar, dan (4) KTH Bukit Hijau ± 84 hektar. IUPHHK-HTR yang telah mendapat
diterbitkan oleh Bupati Maros sebanyak 12 IUPHHK-HTR Perorangan dari KTH Pakkaraengan
Indah dengan luas ± 121 hektar, sedangkan 3 KTH lainnya belum diterbitkan IUPHHK-HTR
(BP2HP, 2012).
Tujuan diberikan atau diterbitkan IUPHHK-HTR di Kabupaten Maros kepada KTH
yang telah bermohon adalah agar masyarakat setempat (calon pemegang IUPHHK-HTR)
merasakan dan mendapatkan manfaat secara langsung, melalui pemberian akses legal dan ikut
serta dalam mewujudkan kelestarian hasil hutan, secara bertahap dapat berkembang menjadi
pelaku ekonomi (petani kayu). Untuk dapat mewujudkan hal tersebut, diperlukan pembangunan
dan penguatan lembaga KTH dan bentuk pengelolaan oleh Unit Manajemen IUPHHK-HTR
yang mampu menjamin kelestarian hasil dalam pengelolaannya.
Oleh karena itu di dalam pengelolaan hutan seumur, menentukan panjang daur
mempunyai peranan yang sangat penting dan sangat berpengaruh terhadap efisiensi dan
efektifitas tercapainya tujuan pengelolaan (Simon, 2010).
Penelitian tentang HTR yang dilakukan oleh Masyitah (2009) dan Suprihadhi (2012)
mengungkapkan bahwa dalam merumuskan pengembangan HTR berbasis kelompok kerja,
diperlukan kelembagaan yang kuat dalam pengelolaannya dan ditunjang oleh adanya dukungan
dari pihak/instansi terkait. Dengan demikian untuk mewujudkan pengelolaan hutan secara
lestari, setidaknya dibutuhkan dua faktor utama, yaitu kelembagaan yang kuat dan pengelolaan
berlandaskan asas kelestarian hasil.
Hutan rakyat dengan segala produksinya memberikan hasil tambahan bagi ekonomi
keluarga. Kebutuhan keluarga yang bersifat mingguan dan tahunan acapkali dapat terpenuhi
dari hasil penebangan kayu dan hasil hutan non kayu. Potensi hutan rakyat berupa kayu dengan
luasan tertentu yang dimiliki masyarakat melalui wadah kelompok tani hutan dengan kegiatan
inventarisasi dan pemetaan, akan mampu berkembang menjadi kawasan pengelolaan hutan
rakyat kolektif (Awang, 2009).
Berdasarkan uraian di atas, peneliti akan mengkaji pembangunan dan penguatan
lembaga KTH dalam mengembangkan HTR, serta bagaimana bentuk pengelolaan Unit
Manajemen HTR sesuai konsisi sosial budaya lokal setempat dan kebiasaan petani penggarap
atau masyarakat setempat dalam mengelola lahan. Tujuan penelitian ini adalah (1) Mengetahui
kelompok kerja pada KTH HTR Bukit Hijau, dan (2) Mengetahui pola pengelolaan oleh
kelompok kerja pada unit manajemen HTR yang dapat diterapkan di lokasi KTH HTR Bukit
Hijau.
METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan di Desa Cenrana Kecamatan Camba Kabupaten Maros Provinsi
Sulawesi Selatan pada KTH Bukit Hijau pada bulan September 2012 sampai Nopember 2012,
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan data sekunder. Data
primer diperoleh melalui Focus Group Discussion (FGD), Wawancara, dan Survey lapang
untuk memeroleh data (1) Aturan/norma KTH, meliputi: peraturan kelompok tani atau norma-
norma adat yang berlaku di dusun Holiang; (2) Pemetaan partisipatif meliputi letak administrasi
wilayah dan luas areal yang dimohon, lokasi kerja hak kelola setiap anggota KTH; (3)
Kerjasama penyakapan lahan, meliputi kerjasama pengelolaan lahan, dan kerja sama pinjam
pakai hak kelola; (4) Potensi sosial ekonomi, meliputi: mata pencaharian, sistem tenur, dan
teknologi wanatani; (5) Kondisi biofisik, meliputi letak lokasi areal pencadangan HTR, calon
areal IUPHHK-HTR, letak lokasi hak kelola pemohon IUPHHK-HTR dan kondisi tutupan
lahan yang dimohon oleh setiap pemohon dari KTH Bukit Hijau.
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian adalah analisis data kualitatif dan
analisis kuantitatif. Analisis kualitatif dilakukan untuk menjelaskan proses perizinan HTR,
pemetaan partisipatif, dan sistem pengaturan hasil. Sedang analisis kuantitatif dlakukan untuk
mengetahui kelayakan pengelolaan HTR dengan menghitung Net Present Value (NPV),
Internal Rate of Return (IRR), dan Net Benefit Cost Ratio (Net B/C). Kriteria pengelolaan HTR
dikatakan layak jika NPV > 0, BCR > 1 dan IRR > i. Serta perhitungan Net Return of End
Rotation (NRER) untuk mengetahui nilai pendapatan di akhir rotasi. Rumus yang digunakan
untuk menghitung kelayakan ekonomi pengelolaan HTR (Gray dkk., 1985), sebagai berikut:
NPV =t
n
lt i
CtBt
)1(
Keterangan : Bt = Penerimaan kotor petani pada tahun t
Ct = Biaya usaha tani pada tahun t
n = Umur ekonomis usaha tani
i = Discount rate
IRR = )'"("'
'ii
NPVNPV
NPVi
Keterangan : i’ = Nilai percobaan pertama untuk discount rate
i” = Nilai percobaan kedua untuk discount rate
NPV’ = Nilai percobaan pertama untuk NPV
NPV” = Nilai percobaan kedua untuk NPV
BCR=
n
ltt
n
ltt
i
BtCt
i
CtBt
)1(
)1(
Keterangan : Bt = Penerimaan kotor petani pada tahun t
Ct = Biaya kotor dalam usaha tani pada tahun t
n = Umur ekonomis usaha tani
i = Discount rate
NRER =
t
j
jtixCjIj0
)1()(
Keterangan: t = Daur atau rotasi
j = Umur tanaman
I = Manfaat/pendapatan
C = Biaya/pengeluaran
i = Suku bunga
Analisis spasial merupakan analisis relasi spasial antara obyek spasial dengan atribut
yang terdiri atas: (a) query; (b) reklasifikasi; (c) membangun coverage baru (topology
rebuilding); (d) tumpang-susun (overlay), dan (e) analisis konektifitas (Atmadilaga, A.S.,
2010). Proses analisis spasial digunakan untuk pengolahan dan analisis data menyangkut
pemetaan partisipatif dan pengaturan hasil hutan.
Aplikasi SIG sangat menarik untuk digunakan dalam berbagai bidang ilmu yaitu SIG
sangat efektif, dapat digunakan sebagai alat bantu, mampu menguraikan unsur-unsur yang
terdapat di permukaan bumi ke dalam bentuk beberapa layer atau coverage data spasial,
memiliki kemampuan yang sangat baik dalam memvisualisasikan data spasial dan bentuk
atribut-atributnya serta dapat menurunkan data-data secara otomatis tanpa keharusan untuk
melakukan interpretasi secara manual (Prahasta, 2002)
HASIL
Sistem Yang Terdapat Dalam Pemanfaatan Kawasan Hutan
Tabel 1 memperlihatkan fungsi dan lokasi penerapan tenur dalam pengelolaan lahan
dalam kawasan hutan di Desa Cenrana Kecamatan Camba Kabupaten Maros. Ada lima tenurial
yang berlaku yaitu: (1) Ma’dumme atau ronda kelompok berfungsi untuk pengendalian hama
babi dan monyet pada kelompok peladang/petani sawah dan lokasi penerapan di ladang dan
sawah; (2) Massaro berfungsi untuk bantuan tenaga kerja pemanenan padi, cengkeh, kemiri,
dan subsistensi pangan antar masyarakat, dan lokasi penerapannya di sawah, hutan kemiri dan
kebun cengkeh; (3) Mallolo berfungsi untuk peremajaan kemiri dan keberlangsungan hak
kepemilikan lahan, lokasi penerapannya di hutan kemiri; (4) Pegaran lahan berfungsi untuk
pembuatan pagar keliling lahan dan batas areal pengelolaan, lokasi penerapannya di ladang,
kebun dan sawah, dan (5) Persiapan lahan berfungsi untuk pembersihan lahan dan pengelohan
tanah, lokasi penerapannya di ladang, kebun dan sawah.
Penerapan Sistem Tenure pada Kelompok Kerja dalam Unit Manajemen Hutan KTH Bukit
Hijau
Table 2 memperlihatkan penerapan sistem tenur per petak pada kelompok kerja unit
manajemen hutan KTH Bukit Hijau di Dusun Holiang, Desa Cenrana, Kecamatan Camba,
Kabupaten Maros, dimana sepuluh calon pemegang IUPHHK-HTR membentuk empat unit
manajemen hutan dan masing-masing unit manajemen hutan dibagi menjadi lima petak
pengelolaan dengan sistem tenur yang diterapkan yaitu mallolo, ta’tang, pemagaran lahan,
persiapan lahan dan perondaan kelolmpok.
Unit Manajemen HTR Berbasis Kelompok Kerja Pada Kelompok Tani Hutan Bukit Hijau
Tabel 3 memperlihatkan pembagian unit manajemen hutan dalam KTH Bukit Hijau
menjadi empat unit manajemen hutan berbasis kelompok keja dimasing-masing unit
manajemen hutan (UMH), yang terdiri atas: (1) UMH I seluas 6,79 ha dengan kelompok kerja
sebanyak 6-7 kepala keluarga; (2) UMH II seluas 7,53 ha dengan kelompok kerja sebanyak 7
kepala keluarga; (3) UMH III seluas 12,82 ha dengan kelompok kerja sebanyak 12-13 kepala
keluarga, dan UMH IV seluas 8,55 ha dengan kelompok kerja sebanyak 8 kepala keluarga.
Preskripsi Silvikultur
Gambar 1 menggambarkan pola tanam yang digunakan pola polikultur tanaman sengon
dengan tumpang sarinya kacang tanah. Jarak tanam yang digunakan adalah 3 m x 3 m, disela-
selanya di tanaman kacang tanah yang bisa dikelola selama tiga tahun, dan disediakan pula
areal untuk tanaman kehidupan untuk mengcukupi kebutuhan sehari-hari.
Kelayakan Finansial Pengelolaan Huatan Tanaman Rakyat
Tabel 4 memperlihatkan perbandingan kelayakan finansial pengelolaan tanaman sengon
polikultur dengan kacang tanah dan tanaman sengon monokultur dengan daur lima tahun
menggunakan analisis NPV dan NRER dengan hasil sebagai berikut: (1) Tanaman sengon
monokultur, nilai NPV sebesar Rp. 96.963.788, dan NRER sebesar Rp. 135.996.728,06, dan
(2) Tanaman sengon polikultur dengan kacang tanah, nilai NPV sebesar Rp. 103.608.332, dan
Rp. 144.900.845,15.
PEMBAHASAN
Sistem tenur yang terdapat dalam pemanfaatan kawasan hutan
Penelitian tentang HTR yang dilakukan oleh Masyithah (2009) mengungkapkan bahwa
dalam merumuskan pengembangan HTR diperlukan kelembagaan yang kuat dalam
pengelolaannya dan ditunjang oleh adanya dukungan dari institusi/lembaga terkait dan hasil
penelitian tentang Unit Manajemen IUPHHK-HTR yang dilakukan oleh Suprihadhi (2012)
mengungkapkan bahwa sebagai organisasi modern yang memiliki Anggaran Dasar (AD) dan
Anggaran Rumah Tangga (ART), tata tertib, dan struktur organisasi, keberadaan IUPHHK-
HTR KUD Bima telah merubah pola pengelolaan yang sebelumnya berbasis keluarga
(individual action) menjadi berbasis unit manajemen (collective action). Dengan demikian
untuk mewujudkan pengelolaan Hutan Tanaman Rakyat secara lestari, setidaknya dibutuhkan
dua faktor utama, yaitu kelembagaan yang kuat berupa unit manajemen HTR dan pengelolaan
yang berlandaskan asas kelestarian hasil hutan.
Penelitian ini memperlihatkan bahwa sistem tenur dalam pemanfaatan kawasan hutan,
penerapan sistem tenure pada kelompok kerja dalam unit manajemen hutan KTH Bukit Hijau,
pengelolaan unit manajemen HTR berbasis kelompok kerja pada KTH Bukit Hijau, dan
kelayakan finansial pengelolaan HTR pola mokultultur dan pola polikultur dapat mewujudkan
kelestarian produksi hasil hutan.
Kawasan hutan dimanfaatkan sebagai lahan untuk memeroleh hijauan ternak kambing
dan sapi, tempat berladang, tempat memanen lebah madu, tempat mengambil kayu bakar untuk
kebutuhan rumah tangga, mengambil nira aren untuk pembuatan gula merah, dan tempat
mengambil kayu untuk pagar kebun dan sawah tadah hujan. Tenur yang terdapat dalam
pemanfaatan kawasan hutan oleh masyarakat lokal diuraikan pada Tabel 1.
Penerapan sistem tenur per petak yang akan diberlakukan pada kelompok kerja dalam
KTH Bukit Hijau adalah sistem mallolo, ta’tang, pemagaran lahan, dan persiapan lahan dimana
orang yang ditunjuk atau dipanggil oleh calon pemegang IUPHHK-HTR (pemilik ta’tang)
untuk berladang dengan membuka lahan yang akan ditanami, melakukan pemagaran lahan
secara bersama-sama sesuai batas-batas areal pengelolaan, membersihkan lahan, pengolahan
tanah sampai siap tanam serta melakukan perondaan dari serangan hama seperti babi, monyet,
kerbau atau sapi yang masuk ke areal pengelolaan/ladang. Terdapat petak yang sama yang
dikuasai oleh dua pemegang IUPHHK-HTR dan dikerjakan oleh satu orang pakkoko. Pakkoko
umum mempunyai kedekatan kekerabatan keluarga namun tidak memiliki lahan/ta’tang yang
dikelola untuk memenuhi kehidupannya sehari-hari. Sistem tenur per petak pada kelompok
kerja dalam unit manajemen hutan KTH Bukit Hijau dapat dilihat pada Tabel 2.
Penataan blok, dan petak, serta batas luar areal IUPHHK-Perorangan pada lokasi KTH
Bukit Hijau didasarkan pada aspek historis, kesepakatan bersama dalam membentuk unit
manajemen HTR berbasis kelompok kerja. Kelompok kerja yang akan mengelola atau bekerja
dalam unit manajemen HTR KTH Bukit Hijau sebanyak 33-37 KK seperti pada Tabel 3.
Pembagian kelompok kerja berdasarkan kedekatan kekerabatan atau ada hubungan keluarga
dari pemegang IUPHHK-HTR. Kelompok kerja ini adalah orang yang dipanggil atau diajak
oleh pemegang IUPHHK-HTR karena tidak memiliki lahan/areal kerja dan bisa juga pemegang
IUPHHK-HTR sebagai kelompok kerja yang ikut bekerja di areal tersebut dengan perjanjian
yang sudah berlaku di Dusun Holiang.
Rancangan silvikultur yang akan dilakukan pada KTH Bukit Hijau, dengan pola
polikultur meliputi jenis Sengon sebagai tanaman tahunan sedang tanaman tumpangsarinya
berupa kacang tanah. Sistem permudaan yang akan diterapkan adalah sistem tebang habis
dengan permudaan buatan (THPB) pada akhir rotasi. Gambaran pola tanam selama rotasi lima
tahun diperlihatkan pada Gambar 1. Dan tingkat kelayakan finansial untuk tanaman hutan jenis
Sengon dengan pola tanam monokultur lebih rendah dibanding dengan pola polikultur dengan
tanaman kacang tanah, demikian pula dengan hasil analisis NRER lebih tinggi pada pola
polikultur dibanding dengan pola monokultur.pada rotasi selama 5 tahun (Tabel 4).
KESIMPULAN DAN SARAN
Kami menyimpulkan bahwa sistem kelompok kerja dalam KTH Bukit Hijau dibentuk
dalam unit manajemen hutan dimana areal yang dikelola oleh setiap kelompok kerja seluas
≥ 1 ha dan jumlah kelompok kerja setiap unit manajemen hutan tergantung sesuai luas unit
manajemen hutan. Bentuk pengelolaan unit manajemen hutan yang dapat diterapkan di calon
areal IUPHHK-HTR perorangan KTH Bukit Hijau, yaitu dibagi menjadi empat unit
manajemen yang memiliki kondisi lapangan yang homogen dan ta’tang berdekatan serta adanya
kedekatan kekerabatan. Pembangunan HTR pola polikultur yang memadukan antara tanaman
sengon dengan tanaman semusim jenis kacang tanah memberikan tingkat kelayakan finansial
yang lebih tinggi dibanding pola monokultur jenis sengon meskipun kedua pola tersebut layak
secara finansial menggunakan kriteria NPV, BCR, IRR, dan NRER.
Adopsi sistem tenur lokal dalam aturan internal organisasi kelompok tani hutan Bukit
Hijau perlu disosialisasikan untuk dipahami di intern anggota kelompok tani bersangkutan
dalam rangka pelaksanaan pembangunan dan pengelolaan areal KTH Bukit Hijau.
Pengembangan pola-pola agroforestry tentang polikultur antara tanaman semusim dengan
pohon penghasil kayu dan atau jenis tanaman perkebunan seperti kopi atau coklat dengan
tegakan pohon penghasil kayu sangat diperlukan panduan atau pedoman teknis yang dibuat oleh
Kementerian Kehutanan. Pemetaan calon areal IUPHHK-HTR sebelum disahkan oleh Bupati
agar dibebankan kepada pemerintah daerah maupun pemerintah pusat khususnya instansi yang
menangani kehutanan bukan dibebankan kepada masyarakat karena masyarakat desa tidak
memiliki peralatan pengukuran sederhana seperti GPS, kompas dan tidak kemampuan untuk
melakukan pemetaan lokasi.
DAFTAR PUSTAKA
Atmadilaga, A.H. (2010). Kamus Survei dan Pemetaan Berilustrasi. Badan Sertifikasi Asosiasi
ISI.Bandung.
Awang, S.A. (2007). Kontruksi Pengetahuan dan Unit Manajemen Hutan Rakyat. Makalah.
Disampaikan pada lokakarya hutan rakyat di Kabupaten Ciamis.
BP2HP Wilayah XV Makassar. (2012). Laporan Perkembangan Pembangunan Hutan Tanaman
Rakyat Triwulan III. Makassar.
Dassir, M., dan Millang, S. (2010). Reforma Agraria Melalui Lembaga Desa Pada Proses
Pemberian Hak Kelola Kawasan Hutan pada Masyakarat Sekitar Hutan untuk
Mengatasi Kemiskinan Struktural di Sub DAS Minraleng Hulu Kabupaten Maros.
LPPKM Unhas. Makassar.
Gray, C., L. Karlina dan Kadariah. (1985). Pengantar Evaluasi Proyek. Edisi Pertama PT.
Gramedia.Jakarta.
Kementerian Kehutanan. (2011). Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.55/Menhut-II/2011
Tahun 2011 tentang Tata Cara Permohonan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu
pada Hutan Tanaman Rakyat dalam Hutan Tanaman.
Masythah. (2009). Strategi Pengembangan Hutan Tanaman Rakyat di Kabupaten Sarolangun
Provinsi Jambi. Tesis. Tidak dipublikasikan. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Pemerintah RI. (2007). Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan
Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan.
Prahasta, E. (2002). Konsep-konsep Dasar Sistem Informasi Geografis. Bandung: Informatika.
Simon, H. (2010). Perencanaan Pembangunan Sumber Daya Hutan. Timber Manajemen. Jilid
1A. Pustaka Pelajar.Yogyakarta.
Suprihadhi, A. (2012). Unit Manjemen Hutan Tanaman Rakyat di Kabupaten Gunung Kidul
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.Tesis. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.
Tabel 1. Fungsi dan Lokasi Penerapan Tenur dalam Pengelolaan Lahan
No Nama Tenurial Fungsi Tenurial Lokasi Penerapan
Tenurial
1. Ma’dumme (Ronda
kelompok)
pengendalian hama babi & monyet pada
kelompok peladang/ petani sawah
Ladang, sawah
2. Massaro - kekurangan tenaga kerja pemanen padi,
kemiri, dan cengkeh)
- Individu-komunal untuk subsistensi
pangan antar distrik/masyarakat
Sawah, hutan kemiri dan
kebun cengkeh
5. Mallolo - Peremajaan kemiri
- Keberlangsungan hak kepemilikan
lahan
Hutan Kemiri
6. Pemagaran
lahan
- Pembuatan pagar keliling lahan
- Tanda batas areal pengelolaan
Ladang, kebun, sawah
7. Persiapan lahan - Pembersihan lahan
- Pengolahan tanah
Ladang, kebun, sawah
Tabel 2. Sistem Tenur Per Petak pada Kelompok Kerja Dalam KTH Bukit Hijau
UMH Nama Pemegang
IUPHHK-HTR
Nomor
Petak
Sistem Tenur yang Diterapkan
I. Hamma 1, 2, 3, 4 Mallolo, ta’tang, pemagaran lahan, persiapan
lahan, dan perondaan
I. Sudirman 3, 4, 5 Mallolo, ta’tang, pemagaran lahan, persiapan
lahan, dan perondaan
II. Mende 3, 4, 5 Mallolo, ta’tang, pemagaran lahan, persiapan
lahan, dan perondaan
II. Sappe 1, 2, 3 Mallolo, ta’tang, pemagaran lahan, persiapan
lahan, dan perondaan
III. M. Nur 3, 4, 5 Mallolo, ta’tang, pemagaran lahan, persiapan
lahan, dan perondaan
III. M. Arif 2, 4, 5 Mallolo, ta’tang, pemagaran lahan, persiapan
lahan, dan perondaan
III. Ruppai 1, 2 Mallolo, ta’tang, pemagaran lahan, persiapan
lahan, dan perondaan
IV. Rida 2, 3, 4, 5 Mallolo, ta’tang, pemagaran lahan, persiapan
lahan, dan perondaan
IV. Abd. Rasyid Koda 6, 7 Mallolo, ta’tang, pemagaran lahan, persiapan
lahan, dan perondaan
IV. Mekka Sabang H. Dg.
Materu
1 Mallolo, ta’tang, pemagaran lahan, persiapan
lahan, dan perondaan
Keterengan:
UMH : Unit Manajemen Hutan
IUPHHK-HTR : Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Rakyat dalam Hutan
Tanaman
Tabel 3. Pembagian Unit Manajemen Hutan KTH Bukit Hijau
UMH Nama Anggota Calon areal IUPHHK-
HTR (Ha)
Luas Unit
(Ha)
Kelompok Kerja
dalam UMH
I. Hamma 3,17 6,79 6-7 KK
I. Sudirman 3,62
II. Mende 4,41 7,53 7 KK
II. Sappe 3,12
III. M. Nur 4,53
III. M. Arif 4,23 12,82 12-13 KK
III. Ruppai 4,06
IV. Rida 5,07
IV. Abd. Rasyid Koda 2,15 8,55 8 KK
IV. Mekka Sabang H. Dg.
Materu
1,33
Keterengan:
UMH : Unit Manajemen Hutan
KK : Kepala Keluarga
Tabel 4. Perbandingan Kelayakan Finansial Pola Polikultur dan Pola Monokultur
Menggunakan Analisis NPV dan NRER Rotasi 5 Tahun
Pola Tanam Pembangunan HTR Kriteria Kelayakan Rotasi
NPV (Rp.) BCR IRR
(%)
NRER (Rp.)
Sengon Monokultur, suku
bunga: 7%
96.963.788 10,71 55,7 135.996.728,06 5 Tahun
Sengon Polikultur dengan
kacang tanah, suku bunga: 7%
103.608.332 7,61 58,7 144,900,845.15 5 Tahun
Gambar11. Pola Tanam Sengon Polikultur dengan Kacang Tanah
Keterangan:
S = Pohon Sengon
Ж ж = Kacang Tanah
ѱ ѱ = Tanaman semusim untuk tujuan Subsisten
S Жж S Жж S Жж S Жж S ѱ ѱ
Жж
Жж
Жж
Жж
Жж
Жж
Жж
Жж
Жж
Жж
Жж
Жж
Жж
Жж
Жж
Жж
ѱ ѱ
ѱ ѱ
ѱ ѱ
ѱ ѱ
S Ж ж S Ж ж S Ж ж S Ж ж S ѱ ѱ
Жж
Жж
Жж
Жж
Жж
Жж
Жж
Жж
Жж
Жж
Жж
Жж
Жж
Жж
Жж
Жж
ѱ ѱ
ѱ ѱ
ѱ ѱ
ѱ ѱ
S Ж ж S Ж ж S Ж ж S Ж ж S ѱ ѱ
3 m Pohon Sengon polikultur
Kacang Tanah
Tanaman
Kehidupan
3 m