1
Strategi Transformasi Konflik Search for Common Ground pada Konflik di
Republik Demokratik Kongo (Studi Kasus Rehabilitasi Remaja Pasca
Perang di Republik Demokratik Kongo)
Amalia Hasanah Ismail1 Aswin Baharuddin2 Darwis3
Abstract
This research aims to analyze peace building strategy of the Search for Common Ground in Postwar Juvenile’s Rehabilitation in Democratic Republic of Congo are through formal and non formal education, the platform for juvenile to have voice in society, and through action or dialogue so that they can become Agent of Change in their communities. The Implementation of the Search for Common Ground program has a supporting factor such as the condition of juvenile who have creative and innovative minds, can be mobilized and mutually influence each other, as well as a good relationship with the military in the Democratic Republic of Congo. The inhibiting factors are the postwar trauma experienced by the community, the lack of funding, and lack of work management in Search for Common Ground. Spesifically, this research found that SFCG implement strategy as a part to build culture of peace in Kongo
Key Words: Peacebuilding, Culture of Peace, Conflict Transformation, International Non Governmental Organization
PENDAHULUAN
Dalam studi Ilmu Hubungan Internasional, berbagai macam isu
kontemporer telah berkembang di dunia baik itu isu gender, ketahanan pangan,
maupun lingkungan hidup. Di samping banyaknya isu global kontemporer yang
berkembang tersebut, isu mengenai konflik hingga saat ini masih tetap menjadi
salah satu topik yang sering diperbincangkan oleh banyak orang. Konflik
kekerasaan yang terjadi selama ini tidak dipungkiri telah memberikan pengaruh
yang besar bagi kehidupan banyak orang. Kerugian akibat konflik kekerasaan
bukan hanya dari segi materil seperti kerusakan infrastruktur, tapi juga kerugian
karena banyaknya korban jiwa yang meninggal termasuk anak-anak dan remaja.
1 Alumni Hubungan Internasional Universitas Hasanuddin 2 Dosen Hubungan Internasional Universitas Hasanuddin 3 Dosen Hubungan Internasional Universitas Hasanuddin
91 | JURNAL TRANSFORMASI GLOBAL VOL 4 NO 2
91
Salah satu konflik yang menyita perhatian masyarakat Internasional bahkan
hingga saat ini yaitu konflik yang terjadi di Republik Demokratik Kongo (RDK).
Pasca kemerdekaannya, Negara ini selalu berada dalam situasi konflik baik itu
konflik etnis maupun konflik politik. Konflik tersebut tercatat memakan korban
jiwa hingga enam juta jiwa yang diakibatkan oleh pertempuran maupun penyakit
dan kekurangan gizi (bbc.com, 2017). Konflik kekerasaan yang terjadi di RDK
menjadi sangat kompleks karena banyaknya pihak yang terlibat dalam konflik
tersebut mulai dari masyarakat sipil, kelompok pemberontak, dan Negara-negara
tetangga RDK seperti Rwanda dan Burundi. Kondisi ini mengakibatkan kekerasan
yang terjadi semakin besar dan juga penyelesaian konflik menjadi sulit untuk
dilaksanakan.
Para ahli memperkirakan bahwa 1,6 juta orang meninggal tiap tahun
diantaranya kaum remaja akibat kekerasaan seperti pembunuhan maupun perang
(advocatesforyouth.org, 2008). Lebih lanjut, remaja merupakan salah satu pihak
yang mengalami kerugian dari pertempuran yang terjadi. Tercatat lebih dari
300.000 orang anak laki-laki menjadi tentara anak di seluruh dunia. Lain halnya
dengan para gadis dan anak perempuan yang sangat rentan terhadap pemerkosaan
dan budak seks dari para militan yang terlibat konflik. Bukan hanya itu, konflik
kekerasan juga mempengaruhi kaum muda dengan mengganggu aktivitas sekolah,
layanan kesehatan dasar, bahkan menimbulkan trauma psikologis terhadap
masyarakat (advocatesforyouth.org, 2008).
Tahun 2014, UNDP menyebutkan jumlah generasi muda mencapai angka
terbesar dari yang pernah ada. Lebih dari 60 % dari populasi di beberapa Negara
dimana program UNDP dilaksanakan merupakan kaum muda berumur 15-24 tahun
(undp.org, 2014). Populasi kaum muda dan remaja yang besar ini dianggap oleh
banyak pihak sebagai kekuatan positif yang besar dalam meningkatkan ekonomi
maupun sosial sehingga kaum muda tersebut diharapkan menjadi agen perdamaian
(Agent of Peace). Di RDK sendiri, populasi yang berumur di bawah 25 tahun
mencapai 65% sehingga membuat Negara ini disebut sebagai Negara muda (SFCG,
2015). Banyak pihak yang menganggap anak-anak dan remaja di RDK sebagai
korban kekerasan maupun pelaku kekerasan dan bukan sebagai agen perubahan
yang positif.
Amalia Hasanah Ismail -Strategi Transformasi Konflik…| 92
92
Salah satu INGO yang melaksanakan misi perdamaian di RDK yaitu Search
for Common Ground (SFCG). SFCG merupakan sebuah lembaga nirlaba yang
bergerak di bidang transformasi konflik. INGO yang dibentuk pada tahun 1982 dan
berkantor pusat di Washington DC ini telah beroperasi di lebih dari 30 negara
termasuk Negara di Asia, Eropa, Amerika, dan Timur Tengah (sfcg.org, 2016).
SFCG yang telah mengupayakan penyelesaian konflik di berbagai Negara ini
menganggap bahwa berbagai upaya mediasi dan diplomasi seperti penandatangan
perjanjian damai tidak cukup untuk menghentikan pertempuran ataupun perang
yang terjadi.
SFCG memiliki tujuan yaitu untuk mengubah konflik agar tidak berujung
pada kekerasaan melainkan pada upaya kerjasama atau dengan kata lain mengubah
konflik dari yang destruktifmenjadi konstruktif. INGO ini menganggap bahwa
dalam menyelesaian konflik hingga ke akarnya dibutuhkan waktu dan komitmen
jangka panjang dan tentunya membutuhkan kerjasama dari berbagai pihak
utamanya masyarakat sipil di Negara yang terlibat konflik (sfcg.org, 2016). Dalam
mencapai tujuannya, SFCG menjalankan beberapa program dengan berbagai
sasaran termasuk remaja. Kondisi RDK yang memiliki populasi remaja hingga
mencapai 65% dari total penduduk dan potensi besarnya untuk menjadi agen
perdamaian menjadi latar belakang mengapa SFCG menjalankan berbagai program
terkait remaja dengan berbagai macam metode seperti media, seni, dialog, dan
program pelatihan yang berdasarkan pada dasar peacebuilding di seluruh dunia
(sfcg.org, 2010).
SFCG melihat bahwa untuk mewujudkan perdamaian, generasi muda
memegang peranan yang sangat penting sehingga diperlukan rehabilitasi sejak dini
mengenai konflik. Berdasarkan latar beakang tersebut, maka penelitian ini, penulis
mengangkat dua rumusan masalah, yaitu: 1). Bagaimana strategi SFCG dalam
merehabilitasi remaja pasca perang di Republik Demokratik Kongo? dan 2).
Apakah faktor penghambat dan pendukung Search for Common Ground dalam
merehabilitasi remaja pasca perang di Republik Demokratik Kongo?
93 | JURNAL TRANSFORMASI GLOBAL VOL 4 NO 2
93
Konsep
Penelitian ini menggunakan dua konsep yaitu konsep Peacebuilding dan
International Non Governmental Organization. Istilah peacebuilding dapat
ditelusuri melalui karya Johan Galtung, dimana karya Galtung ini berisi tentang
penciptaan struktur pembangunan perdamaian untuk mempromosikan perdamaian
berkelanjutan dengan mengatasi akar permasalahan dari konflik kekerasaan yang
terjadi serta mendukung masyarakat sipil agar memiliki kemampuan dalam
mengelola perdamian dan meresolusi konflik yang terjadi (UN Peacebuilding: An
Orientation, 2010).
Boutros Ghali menjelaskan bahwa peacebuilding merupakan suatu tindakan
untuk mengindentifikasi dan mendukung struktur agar dapat memperkuat
perdamaian sehingga kemungkinan konflik terulang kembali dapat dihindarkan.
Hal ini didasari oleh pendapat yang dikemukakan Paul Collier dalam studinya yang
menyebutkan bahwa kemungkinan suatu konflik terulang kembali (relapse) yang
sempat dihentikan melalui kesepakatan damai jauh lebih besar dibanding terjadinya
sebuah konflik baru dalam masyarakat yang belum pernah mengalami konflik
bersenjata (Sukma, 2009). Republik Demokratik Kongo sebagai salah satu Negara
yang telah mengalami beberapa kali perang sipil dan konflik berkepanjangan perlu
mendapat perhatian lebih oleh masyarakat Internasional agar konflik di negara
Afrika Tengah tersebut tidak terulang kembali.
Dalam mewujudkan proses peacebuilding, terdapat tiga dimensi utama yang
masing-masing menjelaskan streategi dan teknik yang berbeda. Ketiga dimensi
tersebut adalah sebagai berikut (Schilling, 2012:23): 1) dimensi struktural yang
berfokus pada aspek sosial, ekonomi, politik, dan budaya sebagai aspek yang
menyebabkan adanya konflik kekerasan, 2) dimensi relasional yang berpusat pada
proses rekonsiliasi, pembangunan kepercayaan, dan visi masa depan serta fokusnya
terletak pada usaha untuk mengurangi dampak negatif dari konflik seperti
kekerasan yang berujung pada perang melalui perbaikan dan transformasi
hubungan yang rusak. 3) Dimensi personal yang berfokus pada keinginan untuk
berubah pada tingkatan individu melalui aspek psikologi dan emosional dari
konflik.
Amalia Hasanah Ismail -Strategi Transformasi Konflik…| 94
94
Konsep kedua yaitu International Non Governmental Organization yang
menjelaskan tentang aktor yang terlibat dalam penelitian penulis yaitu Search for
Common Ground. Menurut Bank Dunia (World Bank), INGO didefinisikan sebagai
organisasi swasta yang aktivitasnya berupaya untuk meringankan penderitaan,
mempromosikan kepentingan kaum miskin, melindungi lingkungan, menyediakan
layanan dasar sosial, dan melakukan pemberdayaan masyarakat di negara-negara
berkembang. Menurut Welch, INGO berfungsi sebagai penghubung antara dunia
pemerintahan yang kompleks dan asing dengan ranah kelompok sosial dan ekonomi
yang dekat dan dikenal oleh masyarakat. Selain itu, Lewis menyatakan bahwa
INGO saat ini diakui sebagai pelaku utama sektor ketiga dalam lingkup
pembangunan, hak asasi manusia, lingkungan dan area lainnya dalam aksi publik
(Tamsyah, 2014).
Perkembangan INGO dimulai pada tahun 1846 yaitu ketika salah satu
INGO yang dikenal dengan nama World’s Evangelical Alliance (Perhimpunan
Penginjil Sedunia) dibentuk (Triwah, Non Government Organization, 2016).
Beberapa INGO lainnya kemudian terbentuk pada pertengahan abad ke-19 yaitu
pada sekitar tahun 1860. Perkembangan INGO yang semakin banyak, tepatnya
setelah PD I dan PD II juga seiring dengan perkembangan IGO (Intergovernmental
Organization) yang ditujukan agar kerjasama antar negara dapat terjalin. Pertikaian
antar negara dan juga perdebatan ideologi serta kepentingan hingga saat ini masih
menjadi faktor penghambat dalam pencapaian keberhasilan INGO. Meskipun
perkembangan INGO seringkali dikatakan lambat dan kurang terarah, namun
beberapa INGO juga tidak dapat dipungkiri telah membawa manfaat dalam
menanggulangi berbagai masalah umat manusia dan lingkungan hidup.
Perkembangan INGO menurut Korten, terbagi ke dalam tiga generasi yang
berhubungan dengan strategi program pembangunan (Korten, 1987:147-149).
Dalam INGO generasi pertama, isu yang menjadi fokus utama yaitu mengenai
bantuan kemanusiaan dan kesejahteraan. Kondisi negara yang terlibat perang pasca
PD I membawa kerugian yang amat besar dengan sulitnya untuk memenuhi
kebutuhan dasar seperti pendistribusian makanan, penyediaan tempat tinggal, dan
penyediaan tim medis bagi korban yang terluka. Namun, upaya yang dilakukan
INGO dalam generasi pertama ini dianggap masih memiliki banyak kekurangan
95 | JURNAL TRANSFORMASI GLOBAL VOL 4 NO 2
95
utamanya karena tidak terumuskannya dampak jangka panjang dari perang yang
terjadi yaitu berupa kemiskinan dan pembangunan.
Selanjutnya INGO generasi kedua yang muncul pada tahun 1970an.
Berbeda dengan generasi pertama yang mengfokuskan kerja organisasi melalui
upaya penyediaan kebutuhan dasar, pada generasi kedua, upaya INGO lebih
difokuskan pada pembangunan masyarakat seperti pembinaan pencegahan
penyakit, praktek dalam bidang pertanian, dan kegiatan pengembangan masyarakat
lainnya. Generasi terakhir INGO yaitu berfokus pada upaya INGO dalam
memfasilitasi pembangunan berkelanjutan melalui disfungsi aspek-aspek
kebijakan. Dalam generasi terakhir ini, upaya INGO meliputi mobilisasi grassroot
dan advokasi kebijakan.
Pembahasan A. Strategi SFCG dalam merehabilitasi remaja pasca perang di Republik
Demokratik Kongo
Dalam mencapai tujuannya untuk transformasi konflik di RDK, SFCG
menyusun beberapa strategi yang kemudian diturunkan ke dalam beberapa program
salah satunya program terkait remaja. Strategi-strategi tersebut antara lain:
melakukan rehabilitasi remaja melalui pendidikan, membuka ruang dialog dan
pemberdayaan remaja, serta membangun jejaring komunikasi antar remaja.
Sebagai salah satu INGO, SFCG memiliki peran penting di dunia utamanya
ketika kita berbicara mengenai konflik dan resolusi konflik. SFGC merupakan
INGO yang bergerak dalam transformasi konflik dimana program yang
dilaksanakannya meliputi strategi-strategi yang mendukung agar suatu konflik
dapat diselesaikan atau bahkan dihindari melalui cara-cara yang konstruktif dan
telah membuat INGO ini menjadi salah satu dari seratus INGO paling berpengaruh
di dunia berdasarkan The Global Journal (The Global Journal, 2012).
Konflik yang terjadi di RDK merupakan salah satu konflik terpanjang di
dunia karena melibatkan berbagai aktor yang bukannya menyelesaikan
permasalahan atau perselisihan yang terjadi disana, tetapi justru menyebabkan
konflik tersebut menjadi semakin kompleks. Banyaknya permasalahan politik
Amalia Hasanah Ismail -Strategi Transformasi Konflik…| 96
96
hingga etnis menyebabkan konflik semakin luas sehingga memicu terjadinya
kekerasan yang pada akhirnya memberikan kerugian bagi banyak pihak, mulai dari
kerusakan berbagai infrastruktur hingga banyaknya korban jiwa yang sebagian
besar wanita dan anak-anak. Kondisi tersebut sangat disayangkan melihat bahwa
sebenarnya kekerasan yang timbul akibat konflik tersebut dapat dihindari. Hal ini
sesuai dengan penjelasan konflik yang disebutkan Wirawan dalam bukunya konflik
dan managemen konflik yang menjelaskan bahwa konflik terbagi menjadi dua jenis
yaitu konflik destruktif yang terjadi karena keinginan untuk mengalahkan satu sama
lain (win lose solution) dan biasanya melibatkan kekerasan serta konflik konstruktif
yang penyelesaiannya melibatkan metode-metode nonviolence dimana contoh yang
paling umum yaitu melalui mediasi dan negosiasi sehingga kekerasan dapat sebisa
mungkin diminimalisir atau bahkan ditiadakan.
Namun, penyelesaian konflik melalui mediasi ataupun negosiasi tidak
memberikan perubahan secara nyata dalam menghilangkan konflik kekerasan di
suatu negara. Dapat dilihat dari konflik kekerasan yang terjadi di RDK dimana telah
dilakukan beberapa kali upaya resolusi konflik melalui penandatanganan perjanjian
damai pada 1999 di Zambia, kemudian KTT yang dilaksanakan di Ibukota Uganda,
pada November 2012 yang dihadiri oleh beberapa pemimpin Negara lain di Afrika
seperti Uganda, Kenya, dan Tanzania (voaindonesia.com, 2012) serta
penandatanganan perjanjian damai dilaksanakan dan dihadiri oleh 11 negara di
Afrika antara lain: Presiden RDK, Afrika Selatan, Rwanda, Tanzania, Kongo, dan
Sudan Selatan serta wakil dari Uganda, Angola, Zambia, Burundi, dan Republik
Afrika Tengah yang dilaksanakan pada Februari 2013. Dari beberapa upaya
diplomatik yang telah dilakukan, terbukti bahwa konflik kekerasan masih terus
terulang di negara Afrika tengah tersebut. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari
Paul Collier yang menyatakan bahwa kemungkinan suatu konflik terulang kembali
(relapse) yang sempat dihentikan melalui kesepakatan damai jauh lebih besar
dibanding terjadinya sebuah konflik baru dalam masyarakat yang belum pernah
mengalami konflik bersenjata (Sukma, 2009). Jadi, berdasarkan pernyataan Paul
tersebut, RDK memiliki peluang untuk terus berkonflik jika dilihat dari sejarah
panjang negara tersebut yang telah mengalami ketidakstabilan pasca kemerdekaan
dari Belgia pada 1960.
97 | JURNAL TRANSFORMASI GLOBAL VOL 4 NO 2
97
Perdamaian di RDK dengan kondisi negara tersebut yang rawan konflik
kekerasan bukannya menjadi hal yang tidak mungkin terjadi. Melalui resolusi
konflik yang diperkenalkan oleh Johan Galtung, khususnya pada tahapan terakhir
yaitu peacebuilding, perdamaian bukan hal yang mustahil di RDK. Galtung
menawarkan penyelesaian konflik dengan mengatasi akar permasalahan dari suatu
negara yang mengalami konflik kekerasan serta mendukung warga sipil agar
memiliki kemampuan dalam mengelola dan meresolusi konflik yang terjadi.
Dengan kata lain, peacebuilding menjelaskan tentang perlunya suatu negara
utamanya yang terlibat konflik kekerasan yang berkepanjangan untuk melakukan
suatu perubahan sosial yang disebutkan oleh Lederach sebagai transformasi
konflik.
Berdasarkan penjelasan mengenai peacebuilding tersebut, dapat dilihat
bahwa kondisi negara RDK belum sampai pada kondisi yang stabil baik dari segi
ekonomi, politik, sosial, maupun budaya. Dibutuhkan perubahan secara
menyeluruh untuk dapat menciptakan sebuah kondisi yang damai sehingga
banyaknya jumlah remaja di RDK yaitu 65% dari total penduduk menjadi
kesempatan yang besar dan menjanjikan bagi perubahan tersebut.
Sebagai INGO yang berfokus dalam upaya transformasi konflik, SFCG
melihat peluang yang besar dari banyaknya populasi remaja di RDK. Remaja
memegang peranan penting dalam kemajuan suatu negara sebagai generasi penerus
sehingga untuk melakukan transformasi konflik yang dimulai dari pembentukan
dan pengembangan skill dari masyarakat sipil suatu negara, remaja menjadi objek
yang sebaiknya diutamakan. SFCG kemudian menggunakan 3 (tiga) strategi yang
diimplementasikan dalam bentuk program di RDK dengan keterlibatan remaja agar
mereka dapat secara aktif terlibat dalam proses perdamaian di negaranya. Strategi
tersebut antara lain (sfcg.org, 2015):
1. Melakukan rehabilitasi melalui pendidikan formal dan non formal
Program SFCG dibentuk dengan tujuan agar konflik kekerasan dapat
dihindari dengan mengubah konflik destruktif menjadi konstruktif. Dalam rangka
untuk mencapai tujuannya itu, SFCG memulai perubahan dengan mengubah pola
pikir tiap individu yang menjadi objeknya dalam hal ini pemuda dan remaja.
Amalia Hasanah Ismail -Strategi Transformasi Konflik…| 98
98
Diharapkan melalui bantuan berupa implementasi program terkait remaja yang
dibentuk oleh SFCG, remaja tersebut dapat mengelola dampak konflik terhadap
kehidupan mereka.
Strategi SFCG yang pertama yaitu melalui pendidikan baik secara formal
maupun non formal. SFCG menyebutkan strategi melalui pendidikan formal dan
non formal ini sebagai strategi education. Pendidikan formal sebagaimana yang
telah diketahui yaitu pendidikan yang diperoleh dari badan pendidikan dalam hal
ini sekolah, yang telah memiliki standar terstruktur seperti kurikulum yang telah
diakui oleh otoritas pendidikan nasional suatu negara(youngadulllt.eu, 2017).
Sedangkan pendidikan non formal yaitu pendidikan yang diperoleh diluar dari
pendidikan formal dengan tujuan untuk lebih mengembangkan keterampilan,
pengetahuan dan sikap dari objek didik. Pendidikan non formal dapat diikuti oleh
semua kelompok usia melalui metode seperti kursus, workshop, dan seminar.
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, konflik yang terjadi di
RDK membawa dampak negatif bagi berlangsungnya pendidikan formal di sana
seperti rusaknya beberapa sarana pendidikan, sehingga untuk mengatasinya SFCG
mengoptimalkan pendidikan luar sekolah atau dalam hal ini tergolong sebagai
pendidikan non-formal. Melihat kondisi RDK sebagai negara yang rawan konflik,
SFCG melihat bahwa pemahaman remaja sebagai generasi penerus terkait
perdamaian dan mengelolaan konflik merupakan hal yang penting untuk dilakukan.
Remaja yang tumbuh dan berkembang dalam situasi konflik yang
melibatkan kekerasan akan berdampak secara langsung dari sikapnya dalam
mengatasi konflik yang juga akan dihadapinya dengan menggunakan kekerasan.
Sehingga, berdasarkan hal ini, SFCG membentuk suatu program yang disebut
dengan Cultural Space yang dilaksanakan di Baraka. Program ini merupakan salah
satu program yang unik di RDK dimana para pemuda dan remaja dari berbagai etnis
dikumpulkan dalam satu tempat sehingga diharapkan dapat menjalin berbagai
interaksi termasuk bermain dan belajar bersama.
Cultural Space berkontribusi untuk membangun kemampuan remaja,
memberdayakan mereka untuk dapat menyelesaikan masalah dengan kemampuan
sendiri, mengajarkan mereka berbagai keterampilan sosial serta kemampuan dasar
99 | JURNAL TRANSFORMASI GLOBAL VOL 4 NO 2
99
lainnya berupa membaca, menulis, skill komputer, serta kemampuan dalam
berbahasa inggris sebagai bahasa kedua mereka. Kembalinya pengungsi RDK dari
Tanzania yang kemudian mengajarkan remaja membaca dan menulis dalam bahasa
Inggris di Cultural Space menjadi salah satu contoh bahwa program ini dapat
menjadi peluang yang besar untuk saling berinteraksi dan memahami satu sama
lain.
Pemberdayaan remaja melalui Cultural Space di Baraka ini termasuk salah
satu upaya peacebuilding. Dimensi personal dalam peacebuilding menjelaskan
tentang perlunya perubahan dalam tingkat individu dalam kasus ini yaitu remaja di
RDK. Pasca konflik tentunya memberikan efek yang bermacam-macam pada
remaja salah satunya disebutkan dalam dimensi personal peacebuilding yang
menjelaskan bahwa pasca mengalami kekerasan, seorang individu cenderung
rentan, tidak berdaya, dan tidak terkendali sehingga perbaikan dalam tingkat
individu memastikan remaja dalam penanganan yang tepat.
Dalam dimensi personal peacebuilding juga disebutkan bahwa invididu
yang sempat mengalami kekerasan apabila diabaikan dan tidak ditangani dengan
baik maka akan berpotensi melakukan kekerasan di masa depan. Sehingga Cultural
Space sebagai sarana pendidikan non formal yang juga memberikan pemahaman
pada remaja dalam menghadapi konflik secara konstruktif merupakan salah satu
upaya yang tepat dalam menangani hal ini.
2. Membuka ruang dialog dan pemberdayaan remaja
Strategi kedua yang digunakan SFCG yaitu menciptakan kesempatan bagi
pemuda dan remaja agar dapat menyampaikan opininya dan berpartisipasi dalam
dialog nasional mengenai isu yang berpengaruh terhadap kehidupan mereka. Dalam
sebuah studi yang dilakukan oleh ahli S.P.R.L pada tahun 2008 menunjukkan
sekitar 84% populasi di RDK tidak mengetahui dengan baik tindakan pemerintah
dan 57% tidak mengetahui bagaimana cara agar pemerintah dalam hal ini pejabat
elit dapat mendengar aspirasi mereka. Hal ini menunjukkan bahwa di RDK masih
belum terjadi proses demokrasi yang baik.
Amalia Hasanah Ismail -Strategi Transformasi Konflik…| 100
100
Melalui strategi yang oleh SFCG sebut dengan istilah voice ini, remaja
memberikan kesempatan bagi warga sipil di RDK untuk dapat didengar dan
menyuarakan opini mereka. Program SFCG ini diturunkan dalam bentuk program
yang menyebarkan opini serta sikap remaja dan pemuda dalam berbagai isu seperti
hak asasi anak, demobilisasi mantan kombatan, dan konflik antar etnis. Sehingga
dalam strategi ini, pemuda dan remaja dapat menyerukan hak, melakukan advokasi,
dan melakukan dialog nasional. Dalam strategi voice ini, SFCG menggunakan
metode-metode yang inovatif melalui radio, musik dan teater agar dapat dijangkau
oleh banyak orang (Gratton, 2010). Salah satu contoh program SFCG yang
menggunakan strategi ini yaitu Sisi Watoto (We Are the Children). Sisi Watoto
merupakan suatu program SFCG yang berusaha untuk memfasilitasi anak-anak dan
remaja agar dapat mendiskusikan resiko dan dampak terjadinya perang terhadap
kehidupan mereka (sfcg.org, 2016).
Program Sisi Watoto ini merupakan salah satu program SFCG yang cukup
memberikan pengaruh terhadap remaja di RDK karena lebih dari 95% remaja
mendengarkan program radio tersebut(sfcg.org, 2009). Pendengar remaja dengan
jumlah yang banyak tersebut dianggap sebagai suatu keberhasilan dari program Sisi
Watoto dimana konten yang dibawakan oleh program radio ini kebanyakan
ditujukan kepada remaja agar mereka dapat memahami resiko konflik dan
mengetahui metode resolusi konflik secara koperatif.
Selain itu, melalui strategi ini aspirasi remaja juga dapat disebarkan dengan
mudah dan tentunya menjangkau banyak remaja lainnya sehingga sangat mudah
bagi mereka untuk melakukan kampanye terkait isu di lingkungan mereka. Melalui
Sisi Watoto ini, kebebasan remaja dan pemuda untuk dapat menyuarakan opini dan
memberikan pengaruh dalam komunitasnya dapat lebih teraktualisasi secara
demokratis. Keberhasilan program Sisi Watoto dapat dilihat dari pencapaiannya
dalam memenangkan hadiah pertama pada kompetisi UNICEF dan OneWorld
terkait program radio untuk anak pada Mei 2004(globalgiving.org, 2004).
101 | JURNAL TRANSFORMASI GLOBAL VOL 4 NO 2
101
3. Membangun jejaring komunikasi antara remaja untuk bertukar
pikiran
Strategi terakhir yaitu membangun jejaring komunikasi antara remaja untuk
bertukar pikiran dengan tujuan agar tercipta sikap toleransi diantara remaja tersebut.
Salah satu program SFCG yang menggunakan strategi ini yaitu Génération Grands
Lacs (GGL). Program ini merupakan salah satu program radio antara RDK,
Rwanda, dan Burundi dimana dalam programnya, topik yang dibahas meliputi hal-
hal umum tentang ketiga negara seperti bidang politik, pemerintahan, maupun
fenomena sosial. Ketiga wartawan dari negara yang berbeda tersebut melakukan
kolaborasi dan membahas topik yang berbeda tiap minggunya. Pertukaran
informasi tersebut disiarkan secara langsung sehingga memungkinkanwarga dari
ketiga negara dapat menghubungi program radio dan mengajukan pertanyaan serta
memberi komentar.
Remaja yang berasal dari tiga negara yang pernah terlibat konflik ini
diharapkan mampu menjadi mediator dalam proses pemahaman konflik bukan
hanya bagi remaja tapi bagi seluruh warga sipil ketiga negara yang mendengar
program tersebut. Melalui program ini, diharapkan remaja dapat mentransformasi
hubungan yang sempat rusak dengan cara membangun komunikasi efektif melalui
dialog di segala lapisan masyarakat juga meningkatkan kesadaran pada peran tiap
individu utamanya remaja dalam suatu konflik sehingga dapat saling memahami
satu sama lain dengan baik.
Remaja yang berasal dari ketiga negara yang berbeda ini dianggap sebagai
aktor yang dapat membangun hubungan yang harmonis antara negara yang sempat
terlibat konflik tersebut. Keterlibatan mereka dalam program GGL ini merupakan
salah satu bentuk aksi nyata bahwa remaja dapat menjadi perwakilan dari
komunitasnya dalam melaksanakan dialog serta dapat mengembangkan skill
mereka dalam meresolusi konflik dengan menyampaiankan pesan-pesan
perdamaian melalui radio sehingga SFCG menyebut strategi ini dengan istilah
action.
Amalia Hasanah Ismail -Strategi Transformasi Konflik…| 102
102
B. Faktor Pendukung dan Penghambat Transformasi Konflik oleh SFCG
di Republik Demokratik Kongo
Konflik merupakan hal yang tidak dapat dihindari dari kehidupan manusia.
Namun, permasalahan yang muncul kemudian yaitu kekerasan yang diakibatkan
dari konflik tersebut yang muncul karena ketidakmampuan pihak yang terlibat
konflik untuk mengelola konflik tersebut menjadi sesuatu yang bersifat koperatif.
Dengan terwujudnya hal itu, perdamaian di suatu negara dapat terwujudkan. SFCG
sebagai salah satu INGO yang bergerak dalam transformasi konflik menggunakan
berbagai macam strategi untuk mewujudkan keadaan tersebut. Dalam kasus di
RDK, SFCG yang telah melakukan program terkait remaja tersebut memiliki faktor
pendukung dan faktor penghambat dalam pengimplementasian programnya.
1. Faktor Pendukung
Beberapa faktor pendukung dimiliki oleh SFCG selama menjalankan
programnya dalam merehabilitasi remaja pasca perang di RDK seperti kondisi
remaja yang kreatif dan bervisi, kondisi remaja yang mudah digerakkan dan saling
mempengaruhi, serta adanya dukungan dari militer RDK dalam mempromosikan
perdamaian dan anti kekerasan. Penjelasan mengenai masing-masing faktor
pendukung tersebut yaitu sebagai berikut:
a. Remaja memiliki pemikiran yang kreatif dan bervisi serta memiliki
keoptimisan untuk melihat perubahan di masa depan.
Sebagai negara yang sedang mengupayakan sustainable peace (perdamaian
berkelanjutan), RDK memiliki peluang yang besar jika dilihat dari jumlah
remaja yang mencapai 65% dari total penduduk disana. Banyaknya generasi
muda yang dimiliki oleh RDK dapat menjadi kekuatan dalam memajukan
negaranya dalam beberapa tahun ke depan. Terjadinya konflik kekerasan
yang berkepanjangan memberikan keinginan yang kuat bagi remaja tersebut
untuk mewujudkan suatu perubahan. Remaja dipercaya oleh banyak pihak
sebagai agent of peace karena pemikirannya yang kreatif dan memiliki
keoptimisan dalam melakukan perubahan.
103 | JURNAL TRANSFORMASI GLOBAL VOL 4 NO 2
103
Bagi SFCG, kondisi ini merupakan peluang dalam proses implementasi
programnya. Beberapa program SFCG dapat digolongkan sebagai program
yang inovatif seperti pembuatan program radio, acara televisi, pembuatan
komik terkait perdamaian, dan sebagainya. Melalui program inovatif
tersebut, remaja yang dipercaya memiliki pemikiran yang kreatif dan
inovatif tersebut dapat dengan mudah dilibatkan dan diajak dalam
menjalankan program SFCG.
b. Remaja dapat digerakkan dan dapat saling mempengaruhi satu dengan
lainnya sehingga memiliki peranan dalam mempengaruhi komunitasnya.
Dapat dilihat dari kesuksesan dari salah satu program radio SFCG yaitu Sisi
Watoto yang pendengarnya mencapai 95% remaja. Pendengar tersebut
mengikuti program Sisi Watoto karena pengaruh dari remaja lain dalam
komunitasnya. Dengan kata lain, jumlah remaja di RDK sebanyak 65% dari
total penduduk menjadi peluang yang besar bagi SFCG karena remaja
dipercaya dapat dengan mudah saling mempengaruhi satu sama lain
sehingga perubahan struktur sosial maupun transformasi konflik dapat
terjadi.
c. Keterlibatan pihak Militer dalam mempromosikan perdamaian
Sebagai aktor internasional yang menjalankan program di suatu negara,
dukungan dari pihak militer merupakan faktor yang harus diperhatikan oleh
SFCG. Di RDK sendiri, dukungan dari pihak militer tersebut telah menjadi
faktor pendukung dalam kerja-kerja SFCG. INGO tersebut memiliki
hubungan yang baik dengan tentara Kongo yang dikenal dengan FARDC.
Keterlibatan FARDC dengan turut mempromosikan aksi non kekerasan
merupakan suatu pencapaian yang luar biasa bagi SFCG dalam menjalankan
program di RDK.
Berdasarkan dari data yang disebutkan SFCG, sebanyak 77% polisi RDK
memiliki tingkat pemahaman yang tinggi dalam tugasnya untuk melindungi
warga negara setelah diberikan pelatihan dari SFCG. Sebaliknya, sebanyak
25% polisi RDK tidak memiliki pemahaman tersebut. Keterlibatan FARDC
Amalia Hasanah Ismail -Strategi Transformasi Konflik…| 104
104
dalam mempromosikan aksi damai dan anti kekerasan menjadi salah satu
faktor penentu dalam kelancaran rehabilitasi remaja pasca perang di RDK.
2. Faktor Penghambat
Selain faktor pendukung, SFCG juga mengalami beberapa hambatan dalam
pengimplementasian programnya dalam merehabilitasi remaja pasca perang di
RDK. Faktor penghambat tersebut meliputi: adanya trauma masyarakat terhadap
konflik, kurangnya partisipasi remaja perempuan di RDK, kurangnya pendanaan,
dan kurangnya managemen kerja dalam internal SFCG.
a. Trauma masyarakat terhadap konflik
Konflik kekerasan yang telah lama dialami oleh warga RDK tentu saja
memberikan pengaruh terhadap kondisi psikologis warga negara RDK.
Adanya kekerasan yang memakan banyak korban jiwa tersebut memberikan
ketakutan terhadap warga sipil apabila konflik terulang kembali. Konflik
kekerasan tersebut juga semakin diperparah dengan banyaknya kelompok-
kelompok yang kemudian juga ikut terlibat dalam konflik. Akibatnya,
ancaman konflik yang terjadi tersebut menjadi semakin tidak terprediksi
oleh warga sipil sehingga perang menjadi trauma tersendiri bagi mereka.
b. Kurangnya partisipasi remaja perempuan di RDK
Membangun dan memajukan suatu negara untuk mencapai kedamaian
dimulai dari pembentukan dan pembinaan remaja secara merata. Namun,
hal ini menjadi faktor penghambat bagi SFCG dalam mencapai tujuannya
tersebut karena intensitas keterlibatan remaja perempuan dalam berbagai
kegiatan di negara tersebut kurang. Hal tersebut diakibatkan oleh pola pikir
tradisional yang masih memandang bahwa remaja perempuan memiliki
tanggung jawab yang lebih besar dibandingkan remaja laki-laki salah
satunya seperti mengurus rumah. Sehingga hal ini kemudian berdampak
pada tingkat pendidikan yang diperoleh oleh anak perempuan di RDK.
105 | JURNAL TRANSFORMASI GLOBAL VOL 4 NO 2
105
c. Kurangnya Pendanaan
Hambatan SFCG lainnya yaitu kurangnya pendanaan dalam
pengimplementasian program. Sesuai dengan yang dijelaskan dalam BAB
II, sebagian besar kerja-kerja dari INGO bergantung pada pendanaan dari
donor dan untuk kasus SFCG, beberapa program terkait remaja diantaranya
mendapatkan dana hibah dari UNHCR. Program Culture Space di Baraka
merupakan salah satu contoh program yang mengalami hambatan dalam
pengimplementasiannya karena lambatnya respon dari UNHCR terkait
pendanaan Culture Space tersebut. Beberapa akibat dari kurangnya
pendanaan ini yaitu kurangnya sarana pendidikan berupa ruang belajar serta
kurangnya stok buku Perancis di perpustakaan (satu-satunya perpustakaan
di Baraka).
Beberapa permasalahan teknis tersebut disebabkan oleh kurangnya
pendanaan SFCG dalam menjalankan programnya. Meskipun terdapat dana
hibah dari donor, tapi tidak dapat dipungkiri bahwa donor tersebut juga
memiliki regulasinya masing-masing yang tidak selamanya mendukung
program SFCG. Banyaknya program-program jangka panjang yang
ditawarkan oleh SFCG dalam menjalankan tujuannya untuk
mentransformasi konflik menjadi sulit terlaksana akibat dari kurangnya
pendanaan sehingga seringkali program tersebut tidak berjalan dengan
lancar.
d. Rendahnya kemampuan managemen kerja di internal SCFG
Faktor penghambat terakhir yang dihadapi SFCG yaitu rendahnya
kemampuan managemen kerja SFCG. Hal tersebut dilihat dari tidak
lancarnya salah satu kegiatan program DJD dimana dalam
pengimplementasiannya tidak terkoordinir dengan baik karena hanya
dilakukan oleh satu staf saja. Kegiatan tersebut juga terlaksana tanpa target
bulanan yang jelas. Menurut dari koordinator program DJD tersebut, ia
tidak memiliki waktu yang cukup dalam merencanakan program sehingga
dapat dilihat bahwa kurangnya perencanaan dengan staf terbatas menjadi
Amalia Hasanah Ismail -Strategi Transformasi Konflik…| 106
106
faktor penghambat yang sangat berdampak terhadap kelancaran program
DJD.
KESIMPULAN
Search for Common Ground (SFCG) merupakan salah satu INGO yang
bergerak dalam transformasi konflik. INGO ini berupaya untuk mengubah cara
dunia memandang dan meresolusi konflik melalui metode yang konstruktif.Dalam
mencapai tujuannya untuk mentransformasi konflik di RDK dengan melibatkan
remaja di sana, SFCG menggunakan 3 (tiga) strategi yaitu:
1. Melakukan rehabilitasi melalui pendidikan formal dan non formal
Strategi ini meliputi pendidikan formal dan non formal dimana fokus dari
SFCG yaitu pengembangan melalui pendidikan secara non formal. Salah satu
bentuk implementasi program yang menggunakan strategi ini yaitu Cultural Space
di Baraka dimana program ini berupa pembentukan suatu ruang budaya agar remaja
di sana dengan berbagai etnis berbeda dapat berkumpul dan melakukan interaksi.
Program ini bertujuan agar remaja dapat belajar untuk saling memahami dan
toleransi terhadap orang lain sehingga perdamaian dapat dibangun dari hubungan
yang harmonis tersebut.
2. Membuka ruang dialog dan pemberdayaan remaja
Melalui strategi ini, diharapkan remaja dapat menyuarakan opini dalam
komunitasnya. Adanya ketimpangan dan tidak demokratisnya pemerintah di RDK
membuat strategi ini menjadi kesempatan yang besar. Strategi yang termasuk dalam
kategori ini berupa program radio, musik, dan teater. Salah satu contoh program
SFCG yang menggunakan strategi ini yaitu Sisi Watoto (We Are the Children).
Program ini memfasilitasi remaja agar dapat mendiskusikan resiko dan dampak dari
perang terhadap kehidupan mereka dan bagaimana cara untuk mengolah konflik
kekerasan tersebut. Program Sisi Watoto ini merupakan salah satu program SFCG
yang cukup memberikan pengaruh terhadap remaja di RDK karena lebih dari 95%
remaja mendengarkan program radio tersebut.
107 | JURNAL TRANSFORMASI GLOBAL VOL 4 NO 2
107
3. Membangun jejaring komunikasi antara remaja untuk bertukar pikiran
Strategi terakhir yaitu memciptakan kesempatan bagi remaja untuk
melakukan action dalam komunitasnya. Program yang diimplementasikan dengan
menggunakan metode ini yaitu Génération Grands Lacs (GGL). Dimana
melibatkan tiga remaja yang merupakan wartawan dari negara yang berbeda yaitu
RDK, Burundi, dan Rwanda berkolaborasi untuk membuat sebuah program radio
dengan topik umum terkait bidang ekonomi, politik, maupun budaya masing-
masing negara. Adanya dialog antar negara ini diharapkan dapat memberikan efek
positif berupa sikap saling memahami dan toleransi satu sama lain.
4. Dalam pengimplementasian program-programnya, SFCG tentunya memiliki
faktor pendukung dan penghambat, antara lain:
a. Faktor Pendukung
1. Pemuda memiliki pemikiran yang kreatif dan bervisi serta memiliki
keoptimisan untuk melihat perubahan di masa depan.
2. Pemuda dapat digerakkan dan dapat saling mempengaruhi satu
dengan lainnya sehingga memiliki peranan dalam mempengaruhi
komunitasnya
3. Keterlibatan pihak Militer dalam mempromosikan perdamaian
B Faktor Penghambat
1. Konflik kekerasan yang berkepanjangan telah menyebarkan
ketakutan akan adanya ancaman dari grup-grup yang bertikai di
wilayah konflik (adanya ketidaknyamanan)
2. Kurangnya partisipasi remaja perempuan di RDK
3. Kurangnya Pendanaan
4. Kurangnya Managemen kerja di SCFG
Amalia Hasanah Ismail -Strategi Transformasi Konflik…| 108
108
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Alger, C. F. (2007). Peace Studies as Transdiciplinary Project. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Cromwell, M., & Vogele, W. B. (2009). Nonviolenct Action, Trust, and Building a Culture of Peace. Joseph de Rivera.
Galtung, J. (1980). Violent, Peace, and Peace Research. Oslo: International Peace Research Institute.
Galtung, J., & Weber, C. (2007). Handbook of Peace and Conflict Studies. New York: Routledge.
Gratton, M. (2010, 9 30). Children and Youth Program Review Summer 2010. George Mason University: Institute for Conflict Analysisand Resolution.
Hennida, C. (2015). Rezim dan Organisasi Internasional. Malang: Intrans Publishing.
Hermawan, Y. P. (2007). Transformasi dalam Studi Hubungan Internasional. In Transformasi dalam Studi Hubungan Internasional (p. 80). Bandung: Graha Ilmu.
Latief, A., & Jamaan, A. (2013). Konflik di Republik Demokratik Kongo. Efektifitas United Nations Mission Organization in The Democratic of The Congo.
Mansbach, R. W. (2012). Pengantar Politik Global. Nusamedia
Miall, H. (1998). Contemporary Conflict Resolution. UK: Cambridge Politics Press.
Newman, E., Paris, R., & Richmond, O. P. (2009). New Perspectives on Liberal Peacebuilding. New York: United Nation University Press.
Plano, J. C., & Olton, R. (2011). Kamus Hubungan Internasional. Bandung.
Schilling, K. (2012). Peacebuilding and Conflict Transformation: A Source Book. Cameroon: Youth Department of The Presbyterian.
Sukma, R. (2009). Peacebuilding: Arti Penting dan Tujuan. Jakarta: FGD Propatria.
Wirawan. (2009). Konflik dan Managemen Konflik. Jakarta Selatan: Salemba Humanika.
Jurnal
Alger, C. F. (2011). Peace Studies as Transdiciplinary Project. Reading Bricks Foundation in Peace and Conflict Studies.
Bustin, E. (2016). Rememberence of Sins Past: Unraveling the Murder of Patrice Lumumba. ORF Issue Brief.
109 | JURNAL TRANSFORMASI GLOBAL VOL 4 NO 2
109
Conley, M. (2004). UNESCO and Education for Cultureof Peace. A Transdiciplinary Approach Education and Peace, 11-14.
Firlianita, A. (2014). Peacemaking, Peacekeeping, Peacebuilding, dan Peacesettlement.
Morton, B. (2015). An Overview of International NGOs in Development Cooperation. UNDP : Working with Civil Society in Foreign Aid.
Mostashari, A. (2005). An Introduction to Non Governmental Organization.
Rivera, J. D. (2009). Handbook on Building Culture of Peace. 2.
Smith, A., & Ellison, C. S. (2012). Youth, Education, and Peacebuilding. 10.
Tamsyah, I. (2014, 11 11). Aktor Baru dalam Hubungan Internasional: International Non Governmental Organization (INGOs).
Sumber Internet
Adams, D. (2005, 12). Definition of Culture of Peace. Retrieved from http://www.culture-of-peace.info/copoj/definition.html
advocatesforyouth.org. (2008). The Development of The Global Youth Agenda. Retrieved from Advocates For Youth: http://www.advocatesforyouth.org/publications/publications-a-z/455- youth-and-the-state-of-the-world
amnesty.org. (2017). Democratic Republic of The Congo 2016/2017. Retrieved from https://www.amnesty.org/en/countries/africa/democratic-republic-of- the-congo/report-democratic-republic-of-the-congo/
ayakumar, K. (2016). Conflict in The Republic Democratic of Congo. Retrieved from http://www.transconflict.com/gcct/gcct-members/africa/middle- africa/democratic-republic-of-congo/conflict-in-drc/
bbc.com. (2012, 11 20). Q&A DR Congo Conflict. Retrieved from http://www.bbc.com/news/world-africa-11108589
bbc.com. (2017, Juli 13). DR Congo Country Profile. Retrieved from http://www.bbc.com/news/world-africa-13283212