1
RASISME DALAM PELAPORAN AKUNTANSI:
(Analisis Atas Annual Report PT. Perusahaan Gas Negara, Tbk dan PT.
Aneka Tambang, Tbk dalam Perspektif Teori Komunikasi Aksi Habermas)
Sukarno Tri Utomo, SE
Anis Chariri, SE., M.Com., Akt., Ph.D
ABSTRACT
This study is intended to understand and analyze racism phenomenon in
financial reporting by answering research questions: how the company convey the
massage through the information presented in the annual report; how the
company deal with their stakeholders in the annual report; and why the company
preferring to prioritize their certain stakeholders in the annual report.
Ontologically, this study is build on a belief that financial reporting is a
communication media between the company and its stakeholders where there are
many interest included. Then, the different interest create a racism behavior
against stakeholders.
This research was carried out within intepretive paradigm using semiotic
approach. By employing semiotic analysis, this research showed that the company
have been practicing racism against their stakeholders in the annual reports. This
study claims that generally PGN and Antam discriminated their stakeholders. In
this case, PGN and Antam prefer to prioritize their concern of shareholders. This
study also states the reasons underlying the racism process can be explained by
the theory of communicative action. By doing so, the company actively seeks
reporting strategies to gain legitimacy from its shareholders.
Keywords: racism, annual report, theory of communicative action, semiotic
analyses
2
PENDAHULUAN
Sistem informasi akuntansi selalu bermuara pada laporan keuangan.
Laporan keuangan merupakan media utama pengkomunikasian segala hal yang
berkaitan dengan perusahaan. Hal ini sangat penting mengingat fungsinya sebagai
sarana untuk mempertanggungjawabkan apa yang dilakukan oleh manajer atas
sumber daya pemilik (Belkaoui, 1993) dan sebagai alat pengambil keputusan bagi
pemakai laporan keuangan (PSAK 1 2009, Hal. 5).
Pada awalnya pelaporan keuangan difokuskan pada komponen laporan
keuangan yang utama yaitu neraca, laporan laba rugi, laporan arus kas, laporan
perubahan ekuitas dan catatan atas laporan keuangan. Akan tetapi, dalam
perkembangannya pelaporan keuangan diwujudkan dalam bentuk annual report
(David, 2002). Dengan pelaporan yang lebih komprehensif melalui sebuah annual
report, muatan informasi yang bersifat kualitatif menjadi terkandung lebih
banyak.
Salah satu dari bentuk dominasi informasi kualitatif tersebut adalah
narrative text. Teks merupakan pengganti ucapan dan pembakuan semua
artikulasi yang sudah diungkapkan secara lisan dalam naskah yang linear
(Ricoeur: 2009). Narrative text merupakan bagian yang memainkan peranan
penting bagi perusahaan dalam mengkomunikasikan dan mewadahi berbagai
kepentingan yang ada. Narrative text antara lain meliputi diskusi dan analisis
manajemen dan sambutan yang disampaikan direktur dan komisaris (David,
2002). Diskusi dan analisis manajemen digunakan sebagai suatu media untuk
menginterpretasikan dan mendiskusikan suatu tujuan perusahaan. Sambutan
tertulis digunakan sebagai surat pengantar yang ditandatangani oleh Dewan
Komisaris dan Dewan Direksi yang berisi informasi tentang ringkasan kinerja
yang lalu dan rencana masa yang akan datang (Yuthas, et al. 2002).
Narrative text dalam annual report dapat digunakan oleh manajemen
perusahaan sebagai media komunikasi dengan para stakeholder-nya. Melalui
narrative text, manajemen perusahaan secara aktif berusaha mengkomunikasikan
bentuk kinerjanya selama ini (Finch, 2005) kepada stakeholders. Oleh karena itu,
sangat wajar jika perusahaan membina hubungan harmonis dengan stakeholder
3
tertentu dengan memberikan gambaran pemenuhan kebutuhan stakeholder
tertentu tersebut. Kendati demikian, masih belum banyak penelitian yang
difokuskan pada isu mengenai narrative text terutama terkait dengan pelaporan
keuangan.
Berbagai penelitian yang berkaitan dengan pelaporan keuangan secara
umum dilakukan dalam paradigma positivisme dengan menggunakan persamaan
matematik dan analisis statistik (Beasley 1996; Beasley, et al. 2000; Goodwin dan
Seow 2002). Hal ini bertolak belakang dengan konsep Hines (1988) bahwa
akuntansi bukanlah praktik yang bersifat statis dan mengabaikan aspek dinamika
sosial. Akuntansi merupakan praktik yang dinamis yang dibentuk berdasarkan
interaksi sosial antara individu dengan lingkungannya (Chariri, 2006). Menurut
Grayson dan Hodges (2004), perusahaan tidak beroperasi di dalam ruang kosong,
melainkan dalam kondisi interaksi yang kompleks dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, situasi politik, pembangunan sosial dan ekonomi, juga
risiko-risiko yang mungkin timbul. Dengan kata lain, akuntansi merupakan media
komunikasi sosial antara perusahaan dengan stakeholder-nya karena sarat akan
kepentingan yang berpengaruh pada dinamika dalam interaksi keduanya.
Namun demikian, tidak semua pihak yang berkepentingan mendapat porsi
informasi yang dibutuhkannya. Dalam SFAC No. 1, pelaporan keuangan
menyediakan informasi yang bermanfaat bagi manajer dan direktur sesuai
kepentingan pemilik (paragraf 52). Ditegaskan oleh Belkaoui (1993) bahwa
laporan keuangan merupakan sarana untuk mempertanggungjawabkan apa yang
dilakukan oleh manajer atas sumber daya pemilik. Artinya, pemilik perusahaan
merupakan pihak yang lebih diutamakan dalam pengungkapan laporan keuangan
dibanding stakeholder lainnya. Hal ini menyebabkan timbulnya diskriminasi yang
menjurus pada rasisme stakeholder.
Penelitian mengenai rasisme sendiri telah dilakukan di berbagai disiplin
ilmu. Verkuyten (2005) mengkaji accounting for discrimination, sebuah
penelitian berbasis social dominance theory dan social identity theory tentang
perilaku diskriminasi antara anggota kelompok etnis mayoritas dan minoritas.
McMurray dkk (2010) menganalisis perspektif perbedaan budaya dan bahasa
4
dalam perekrutan anggota kepolisian. Forstenlechner dan Al-Waqfi (2010)
melakukan riset mengenai fenomena diskriminasi religius atas imigran
pencari kerja di Jerman dan Austria.
Rasisme kemungkinan dapat juga terjadi dalam pelaporan keuangan.
Dalam konteks akuntansi sebagai media komunikasi, fenomena rasisme ini dapat
terjadi dalam pemenuhan kepentingan stakeholder oleh perusahaan. Hal ini
dilatarbelakangi oleh dogma bahwa shareholder adalah stakeholder yang paling
utama (Daniri, 2009). Lebih lanjut, setiap organisasi akan memilih stakeholder
yang dianggap penting, dan mengambil tindakan yang dapat menghasilkan
hubungan harmonis antara perusahaan dengan stakeholder-nya (Ullman, 1985).
Imbasnya, perusahaan menunjukkan hal ini melalui informasi kualitatif dalam
pelaporan keuangan. Oleh karena itu, ada kemungkinan besar bahwa dalam
pelaporan keuangan perusahaan, manajemen akan cenderung berorientasi pada
kepentingan stakeholder tertentu dan mengesampingkan stakeholder lainnya demi
melindungi kepentingan perusahaan. Kenyataan ini mengindikasikan adanya
diskriminasi dan diskriminasi mengarah pada rasisme.
LANDASAN TEORI
Teori Komunikasi Aksi
Dalam buku The Theory of Communicative Action (1983), Jurgen
Habermas mengkaji interaksi sosial dan menyebutnya sebagai lifeworld.
Lifeworld terdiri dari interaksi yang memenuhi kebutuhan alami atau kebutuhan
dasar (social integration) dan interaksi yang dipengaruhi oleh mekanisme sistem
(system integration). Lifeworld seperti didefinisikan oleh Habermas merupakan:
“the transcendental site when the speaker and hearer meet, where they can
reciprocally raise claims that their utterances fit the wordls (objective, social
or subjective), and where they can criticize and confirm those validity claims,
settle their disagreements and arrive at agreement”
(Habermas, 1983:126)
Sawarjuwono (1995:13) dalam Meutia (2010:38) kemudian
mendefinisikannya sebagai “interactions which are based on immaculate interest
5
and needs inherent in human beings and aimed at reaching towards mutual
understanding”. Social integration dan system integration kemudian memacu
struktur lifeworld yang bersifat reproduktif atau pengulangan. Hal ini diutarakan
Habermas (1983) sebagai berikut:
Lifeworld terdiri dari dua struktur yaitu symbolic dan material reproduction.
Symbolic dapat berupa knowledge sedangkan material reproduction
merupakan tindakan bertujuan yang dapat berwujud keputusan, aturan dan
sebagainya. Keduanya merupakan hasil dari social integration dan system
integration. Social integration dapat dipahami sebagai pengetahuan dan
system integration merupakan praktik. Proses reproduksi ini berlangsung
terus dan karenanya lifeworld selalu berubah.
Sistem dalam hal ini merupakan tindakan yang terkoordinasi melalui
keberadaan institusi, struktur normatif terutama melalui steering media yaitu
money dan power. Setiap keputusan akan diambil dengan mempertimbangkan
untung – rugi serta perhitungan ekonomi lainnya, sementara power mempengaruhi
interaksi melalui tekanan institusi ataupun administrasi dan birokrasi. Namun
demikian, menurut Habermas hanya material reproduction yang dapat
dipengaruhi oleh steering media.
Meski bertolak belakang, hal tersebut bisa dibuktikan kaitannya dengan
pelaporan keuangan sebagai suatu knowledge. Pelaporan keuangan dapat dilihat
sebagai suatu interaksi sosial. Mekanisme ini mengikuti proses social integration
yaitu what should be. Akan tetapi dalam kenyataannya, kebijakan pelaporan
keuangan akan mengikuti kepentingan (interest) berbagai pihak. Pihak – pihak
dengan berbagai kepentingan ini kemudian membawa kepentingannya masing –
masing. Akibatnya, money dan power berperan besar dalam menentukan pihak
yang kepentingannya diprioritaskan perusahaan. Artinya, proses tersebut sudah
tidak murni lagi karena adanya suatu kepentingan atau dengan kata lain proses
tersebut mengikuti system integration. Hal ini sesuai dengan pendapat Habermas
bahwa di dalam mekanisme system integration, terdapat pengaruh kuat dari
steering media, yaitu money dan power mechanism.
Teori Legitimasi
6
Teori legitimasi merupakan perspektif teori yang berada dalam kerangka
teori ekonomi politik (Gray, Kouhy dan Lavers; 1994). Meyer dan Scott dalam
Nugroho (2009) menggambarkan legitimasi sebagai akar dari kesesuaian antara
organisasi dengan lingkungan budayanya. Legitimasi dapat dianggap sebagai
menyamakan persepsi atau asumsi bahwa tindakan yang dilakukan oleh suatu
entitas adalah merupakan tindakan yang diinginkan, pantas ataupun sesuai dengan
sistem norma, nilai, kepercayaan dan definisi yang dikembangkan secara sosial
(Suchman,1995).
Legitimasi diberikan oleh pihak-pihak di luar perusahaan, namun
legitimasi mungkin saja dapat dikendalikan oleh perusahaan itu sendiri (Ashforth
dan Gibbs, 1990; Buhr, 1998; Dowling dan Pfeffer, 1975; Elsbach, 1994; Elsbach
dan Sutton, 1992; O‟Donnovan, 2002; Pfeffer dan Salancik, 1978; Woodward et
al., 1996). Hal ini menunjukkan bahwa perubahan yang terjadi di dalam nilai dan
norma sosial menjadi suatu motivasi bagi perubahan organisasi dan juga suatu
sumber tekanan bagi legitimasi organisasi (O‟Donnovan, 2002).
Oleh karena itu, perusahaan harus melakukan identifikasi atas
stakeholders, di mana pihak yang memiliki pengaruh lebih besar dapat
mengganggu kelangsungan hidup perusahaan jika harapannya tidak terpenuhi,
maka pengungkapan akan dilakukan berdasarkan harapan stakeholders tersebut.
Namun, ketika terjadi ketidakselarasan antara aktivitas perusahaan dengan
harapan stakeholder, maka akan terjadi legitimacy gap. Neu et al. (1998)
berpendapat bahwa untuk mengurangi legitimacy gap, perusahaan harus
mengidentifikasi aktivitas yang ada di bawah kendalinya dan mengidentifikasi
publik yang memiliki power sehingga mampu memberikan legitimasi kepada
perusahaan. Hal ini membuat perusahaan harus tahu bagaimana menanggapi
berbagai kelompok kepentingan untuk melegitimasi tindakan perusahaan (Tilt,
1994,dalam Haniffa et al, 2005).
Dengan demikian, legitimasi dapat dikatakan sebagai manfaat atau sumber
potensial bagi perusahaan untuk bertahan hidup O‟Donovan (2002). Lebih lanjut,
legitimasi merupakan proses bagaimana suatu entitas pelapor berusaha
memperoleh, menjaga atau memelihara, dan memperbaiki legitimasi organisasi di
7
mata para stakeholder-nya (Ashforth and Gibbs, 1990; Lindblom, 1994; Suchman,
1995; Brown and Deegan, 1998).
Manajemen legitimasi bergantung pada komunikasi antara entitas
pelaporan dan stakeholder (Samkin dan Schneifer, 2010). Komunikasi ini dapat
melebar dari cara tradisional dengan menyertakan tindakan sarat makna dan
tampilan non-verbal (Suchman, 1995). Ketika melakukan proses legitimasi,
penggunaan strategi pengungkapan membentuk opini atau apa yang dirasakan dan
dipikirkan oleh stakeholder tentang entitas pelapor (Dowling and Pfeffer, 1975;
Ashforth and Gibbs, 1990; Lindblom, 1994; Suchman, 1995; Brown and Deegan,
1998; Ogden and Clarke, 2005).
Dengan kata lain, komunikasi menjadi jalur penting untuk memperoleh
legitimasi dari pihak yang diharapkan perusahaan. Hal ini dipertegas oleh
Lindblom (1994, disebutkan dalam Gray et al., 1996) dalam Moir (2001)
berpendapat bahwa organisasi dapat menggunakan empat strategi legitimasi
ketika organisasi menemui ancaman legitimasi, yaitu dengan :
1. Meyakinkan stakeholder melalui edukasi dan informasi mengenai
kesesuaian tindakan organisasi daripada mengubah tindakan atau kebijakan
yang telah diambilnya atau dapat dilakukan pula dengan menjustifikasi para
stakeholder tentang tujuan atau maksud organisasi untuk meningkatkan
kinerjanya melalui perubahan organisasi
2. Mengubah persepsi organisasi, tanpa mengubah kinerja aktual organisasi
3. Mengalihkan perhatian dari isu-isu penting ke isu-isu lain yang
berhubungan lewat pendekatan emotive symbols untuk memanipulasi
persepsi stakeholder
4. Mengubah ekspektasi eksternal tentang kinerja organisasi
Keempat strategi tersebut dapat dilakukan dengan cara mengungkapkan
informasi perusahaan kepada publik, seperti pengungkapan dalam annual report.
Perusahaan dapat megungkapkan informasi-informasi yang dapat memperkuat
legitimasinya, misalnya dengan menyebutkan penghargaan – penghargaan
lingkungan yang pernah diraih atau program-program keselamatan yang telah
diterapkan perusahaan jika mereka ingin mendapat legitimasi dari stakeholder
8
pemerhati lingkungan ataupun karyawan. Langkah yang sama juga dilakukan jika
perusahaan ingin mendapat legitimasi dari pemegang saham. Hal tersebut
dilakukan dengan mengungkapkan keunggulan saham perusahaan, prospek, laba
dan sebagainya. Melalui pengungkapan, perusahaan juga dapat mengklarifikasi
atau bahkan membantah berita-berita negatif yang mungkin muncul di media.
Meskipun demikian, tujuan akhir dari pemerolehan legitimasi tidak lain
adalah untuk menunjang tujuan utama perusahaan dalam usaha mendapatkan
profit maksimum. Lebih lanjut, legitimasi ini akan meningkatkan reputasi
perusahaan yang pada akhirnya akan berpengaruh pada nilai perusahaan tersebut.
Teori Stakeholder
Individu, kelompok, maupun komunitas dan masyarakat dapat dikatakan
sebagai stakeholder jika memiliki karakteristik seperti yang diungkapkan oleh
(Budimanta dkk, 2008 dalam Rizki, 2010) yaitu mempunyai kekuasaan,
legitimasi, dan kepentingan terhadap perusahaan. Gray, Kouhy, dan Adams (1994,
p. 53) dalam Chariri dan Ghazali (2007:409) mengatakan bahwa:
Kelangsungan hidup perusahaan tergantung pada dukungan stakeholder dan
dukungan tersebut harus dicari sehingga aktivitas perusahaan adalah untuk
mencari dukungan tersebut. Makin powerful stakeholder, makin besar usaha
perusahaan untuk beradaptasi.
Hal inilah yang mendasari perbedaan cara perusahaan dalam bersikap
terhadap satu stakeholder dan stakeholder lainnya. Ullman (1985)
mengungkapkan, “ketika stakeholder mengendalikan sumber ekonomi yang
penting bagi perusahaan, maka perusahaan akan bereaksi dengan cara-cara yang
memuaskan keinginan stakeholder”. Tidak berhenti di situ, perusahaan juga
kemudian lebih memprioritaskan satu stakeholder tertentu dibanding yang lain.
Ditegaskan lebih lanjut oleh Ullman (1985) bahwa organisasi akan memilih
stakeholder yang dianggap penting, dan mengambil tindakan yang dapat
menghasilkan hubungan harmonis antara perusahaan dengan stakeholder-nya.
Atas dasar argumen di atas, stakeholder theory umumnya berkaitan dengan
cara-cara yang digunakan perusahaan untuk me-manage stakeholder-nya (Gray et
al 1997, dalam Chariri 2007:410). Cara-cara yang dilakukan perusahaan untuk
9
me-manage stakeholder-nya tergantung pada strategi yang diadopsi perusahaan
(Ullman, 1985) baik strategi aktif maupun pasif. Strategi aktif, akan berusaha
mempengaruhi hubungan organisasinya dengan stakeholder yang dipandang
berpengaruh atau penting.
Pelaporan Keuangan Perusahaan: Akuntansi sebagai Media Komunikasi
Perusahaan dengan Stakeholder
Lingkup dari pelaporan keuangan tidak hanya meliputi laporan keuangan
yang telah diaudit saja, tetapi juga media pelaporan baik yang berhubungan
langsung maupun tidak langsung dengan informasi yang disajikan oleh sistem
akuntansi (Wolk et al., 2004). Hal ini menunjukkan bahwa informasi kualitatif
memiliki arti yang penting, yang tercakup di dalam laporan keuangan perusahaan.
Informasi tersebut umumnya berupa narrative text.
Narrative text digunakan dalam annual report untuk melengkapi informasi
keuangan yang dimuat dalam laporan keuangan. Narrative text antara lain
meliputi diskusi dan analisis manajemen, serta surat eksekutif ke pemegang
saham yang disampaikan dalam annual report dalam bentuk sambutan Dewan
Direksi dan Dewan Komisaris (David, 2002). Diskusi dan analisis manajemen
merupakan media untuk menginterpretasikan dan mendiskusikan suatu tujuan
perusahaan. Sambutan yang tertulis digunakan sebagai surat yang ditandatangani
oleh Dewan Komisaris dan Dewan Direksi yang berisi informasi tentang
ringkasan kinerja yang lalu dan suatu rencana untuk masa yang akan datang
(Yuthas, et al. 2002). Henderson (2004) berpendapat bahwa teks naratif pada
laporan tahunan lebih penting dari laporan keuangan itu sendiri. Hal ini diperkuat
oleh Bartlett dan Chandler (1997) yang mengatakan bahwa teks naratif dalam
laporan tahunan, khususnya pernyataan Direksi, terlihat lebih menarik pembaca
daripada bagian lain dari laporan tahunan. Hal ini disebabkan audiens lebih
cenderung untuk membaca dan memahami bagian narasi dari angka yang
diberikan (dikutip oleh Wills, 2008).
Melalui narrative text tersebut, perusahaan berkomunikasi secara lebih
10
kualitatif dengan para stakeholder-nya. Segala hal yang bersifat non-angka dan
memiliki tendensi kepentingan baik bagi perusahaan maupun stakeholder bisa
diungkapkan melalui narrative text. Artinya, pelaporan akuntansi dalam hal ini
annual report, menjadi media komunikasi yang digunakan oleh perusahaan untuk
menghasilkan hubungan harmonis antara perusahaan dengan stakeholder tertentu.
Namun demikian, narrative text dalam annual report haruslah dianalisis lebih
mendalam terkait siapa stakeholder tertentu tersebut, sekaligus motif dan
kepentingan apa saja yang menjadi alasan mengapa stakeholder ini yang paling
diprioritaskan.
Pengertian Rasisme dan Rasisme sebagai Proses
Rasisme memiliki dimensi yang luas dan tidak sekedar sesuatu yang
berhubungan dengan aspek SARA. Seperti diungkap oleh Fairchild (1991) bahwa:
A recurrent feature of the social sciences has been efforts to prove that there
are inherited racial and gender differences these efforts, although earlier
debunked, become reincarnated under different guises.
Rasisme telah bermetamorfosa dalam berbagai bentuk berbeda saat ini.
Tidak hanya sebagai sentimen rasial antar suku bangsa, rasisme bahkan terjadi
dalam lingkup internal suatu ras, suatu golongan, bahkan suatu komunitas bisnis.
Today, the word racism is used more broadly to apply to racially unfair and
discriminatory beliefs, actions, desires, projects, persons, groups, social
institutions, and practices” (Garcia, p. 1436) .
Istilah rasisme sendiri pertama kali digunakan sekitar tahun 1930-an,
ketika istilah tersebut diperlukan untuk menggambarkan “teori-teori rasis” yang
dipakai orang – orang Nazi (Fredricksen, 2005). Kendati demikian, bukan berarti
jauh-jauh hari sebelum itu bentuk rasisme tidak ada. Fakta – fakta yang
terangkum di atas menunjukkan adanya pergeseran makna rasisme dari waktu ke
waktu. Walaupun istilah rasisme baru dikenal pada era 1930-an namun rasisme
secara historis telah berusia setua peradaban awal manusia. Hal ini dikarenakan
pada awalnya, sebelum kata rasisme itu sendiri lahir, rasisme tidak merujuk pada
bentuk hegemoni kulit putih terhadap kulit hitam.
11
Penaklukan besar-besaran pasukan Umat Kristen atas benua-benua yang
sebelumnya tidak pernah mereka singgahi menciptakan pergeseran nilai – nilai
“kesamaan bagi SEMUA umat manusia“. Hal ini yang disebut oleh seorang
sejarawan bernama Robert Bartlett sebagai penjelas atas dominasi Umat Kristen
(yang semuanya saat tu masih „berkulit putih‟) terhadap penduduk asli dari daerah
yang mereka taklukkan, termasuk Asia dan Afrika.
Masih menurut Frederickson (2005), hingga di titik inilah maka rasisme
mulai bermetamorfosa menjadi sesuatu yang meluas kepada konotasi “supremasi
kulit putih terhadap kulit hitam”. Dengan demikian rasisme telah meluas dari
makna awalnya atau dengan kata lain rasisme terus akan berubah bergantung pada
dinamika kehidupan dan interaksi sosial yang ada. Hal ini menurut Pratama
(2011), dikarenakan rasisme telah menginvasi ranah lain dalam realitas hidup
manusia. Rasisme kini telah berada dalam ranah psikologi, sosial, politik, dan
bahasa. Dalam kamus budaya bahasa Inggris dictionary.com (2010) dikatakan
racism secara cultural adalah “The belief that some races are inherently superior
(physically, intellectually, or culturally) to others and therefore have a right to
dominate them”.
Teori Semiotik
Semiotik didefinisikan sebagai ilmu yang mengkaji penggunaan tanda-
tanda dan simbol dalam kehidupan manusia sebagai bagian dari sistem kode yang
dipakai untuk mengkomunikasikan informasi. Artinya, semua yang hadir dalam
kehidupan manusia dapat dilihat sebagai tanda, yakni sesuatu yang harus diberi
makna. Para pragmatis melihat tanda sebagai “sesuatu yang mewakili sesuatu”
(Hoed, 2007). “Sesuatu” itu dapat berupa hal yang konkret (dapat ditangkap
dengan pancaindera manusia), yang kemudian, melalui proses, mewakili
“sesuatu” yang ada di dalam alam pikiran manusia. Jadi, tanda bukanlah suatu
struktur, melainkan suatu proses kognitif yang berasal dari apa yang ditangkap
oleh pancaindera. Dalam teori ini, “sesuatu” yang pertama – yang konkret –
adalah suatu “perwakilan” yang disebut representamen (atau ground), sedangkan
“sesuatu” yang ada di dalam kognisi disebut object. Proses hubungan dari
12
representamen ke object disebut semiosis (semeion, Yun. „tanda‟). Dalam
pemaknaan suatu tanda, proses semiosis ini belum lengkap karena kemudian ada
satu proses lagi yang merupakan lanjutan yang disebut interpretant (proses
penafsiran).
Apabila dikaitkan dengan pelaporan keuangan simbol, gambar, angka, atau
narrative text yang ada dalam annual report bukanlah sekedar simbol melainkan
memiliki makna dan sengaja didesain untuk menyampaikan pesan tertentu kepada
audiensnya (stakeholder). Pemahaman terhadap angka, simbol dan teks tersebut
sangat tergantung pada kemampuan dalam menginterpretasikannya. Dikatakan
oleh Ricoeur (2009), teks merupakan pengganti ucapan dan pembakuan semua
artikulasi yang sudah diungkapkan secara lisan dalam naskah yang linear.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini didasarkan pada ontologi bahwa pelaporan keuangan
merupakan media komunikasi yang digunakan oleh banyak pihak yang
berkepentingan terhadap kinerja perusahaan. Sebagai media komunikasi, sikap
keberpihakan manajemen perusahaan dalam pelaporan keuangan terlihat melalui
aspek semiotik karena aspek semiotik inilah yang membentuk bahasa yang
digunakan dalam komunikasi. Dari sini dapat digali seberapa besar perilaku
rasisme suatu perusahaan terhadap para stakeholder-nya. Berdasarkan ontology
tersebut, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan paradigma
interpretive yaitu berupa studi kasus pada perilaku rasisme perusahaan yang
ditunjukkan dalam penyusunan annual report. Metode kualitatif tersebut
dilakukan melalui analisis semiotik atas Annual report PGN dan Antam tahun
2009
Dalam penelitian ini, pemilihan desain penelitian dimulai dengan
menempatkan bidang penelitian ke dalam pendekatan kualitatif. Selanjutnya
diikuti dengan mengidentifikasi paradigma penelitian yaitu paradigma interpretif
yang memberikan pedoman terhadap pemilihan metodologi penelitian yang tepat.
Langkah yang terakhir adalah pemilihan metode pengumpulan dan analisis data
13
yang tepat yaitu dengan analisis semiotik berdasar teori komunikasi aksi Jurgen
Habermas.
Penelitian ini menggunakan pendekatan paradigma interpretif karena
paradigma interpretif memungkinkan peneliti untuk menganalisis dokumen
dengan analisis semiotik melalui informasi narrative text. Peneliti interpretif
percaya bahwa realita dibentuk lewat interpretasi dan interaksi sosial (Hines,
1988; Miller, 1994; Morgan, 1998; Munro, 1998 dalam Chariri, 2006). Hal ini
sesuai dengan tujuan penelitian ini yaitu menganalisis informasi narrative text
pada annual report perusahaan yang ditujukan bagi para stakeholder-nya. Hal
tersebut selanjutnya memberikan gambaran akan kesesuaian antara teori dan
observasi.
Jenis data yang digunakan adalah data sekunder berupa annual report
perusahaan. Seluruh data diperoleh dari situs resmi perusahaan yang terkait. Data
dikumpulkan dari satu annual report perusahaan yang menyandang predikat
annual report terbaik dalam Annual Report Award (ARA) 2010 yaitu annual
report PT Perusahaan Gas Negara Tbk. dan satu annual report perusahaan yang
bergerak di bidang sejenis dengan perusahaan penyandang gelar juara umum
Annual Report Award 2009 yaitu annual report PT Aneka Tambang Tbk.
RASISME DALAM PELAPORAN KEUANGAN: SISI GELAP PGN DAN
ANTAM
Deskripsi Annual Report PGN dan Antam
Secara umum, annual report PGN dan Antam tidaklah jauh berbeda. Tebal
kedua annual report (termasuk Laporan Keuangan) berkisar di atas 300 halaman,
yaitu PGN dengan 346 halaman dan Antam 320 halaman. Keduanya sama –sama
memuat narrative text, tabel, gambar, bagan, dan foto pada informasi
kualitatifnya. Dari sisi guideline, baik PGN maupun Antam menggunakan
Peraturan Bapepam-LK No. X.K.6 sebagai pedoman utama penyusunan annual
report. Berikut adalah tabel perbandingan kerangka penyusunan annual report
PGN dan Antam.
14
Tabel 4.1
Perbandingan Kerangka Penyusunan Annual Report PGN dan Antam
Annual Report PGN Annual Report ANTAM
1. Highlights 1. Highlights
2. Kilas PGN 2. Sekilas Antam
3. Laporan Kepada Pemegang Saham 3. Kepada Pemegang Saham
4. Pembahasan dan Analisis 4. Deskripsi Tentang Antam
Manajemen 5. Sumber Daya Manusia
5. Informasi Bagi Pemegang Saham 6. Analisis dan Diskusi Manajemen
6. Tata Kelola Perusahaan 7. Eksplorasi, Sumber Daya dan
7. Pengelolaan SDM Cadangan
8. Komitmen Bagi Pelanggan 8. Investasi untuk Masa Depan
9. Laporan Keuangan Konsolidasi 9. Perusahaan Patungan dengan
10. Informasi Perusahaan Kepemilikan Minoritas
11. Referensi Peraturan Bapepam-LK 10. Tata Kelola Antam
No. X.K.6 11. Manajemen Risiko
12. Informasi Bagi Pemegang Saham
13. Tanggung Jawab Sosial Kami
14. Laporan Keuangan Konsolidasian
15. Unit Bisnis, Kantor Perwakilan
dan Lembaga dan Profesi
Penunjang
16. Pejabat Perseroan
17. Referensi Peraturan Bapepam-LK
No. X.K.6
Perbedaan keduanya terletak pada urutan bab, penjabaran per bab, dan
penamaan tiap bab. Dari urutan, terlihat bahwa PGN menempatkan SDM dan
Komitmen bagi Pelanggan di urutan belakang sementara Antam menempatkan
SDM pada awal annual report di urutan kelima. Sebaliknya, PGN menempatkan
Tata Kelola Perusahaan pada urutan ke-6 dari 11 bab dan Antam
menempatkannya pada urutan ke-10 dari 17 bab. Demikian pula halnya dengan
Informasi bagi Pemegang Saham, PGN menempatkannya di urutan ke-5 dari 11
bab sementara Antam menempatkannya pada urutan ke-12 dari 17 bab. Ditinjau
dari penjabaran tiap babnya, Antam nampak lebih banyak menampilkan bab – bab
tertentu yang oleh PGN ditempatkan sebagai subbab dari bab yang ada.
15
Meskipun demikian, pada dasarnya kedua annual report tersebut memiliki
komponen utama yang sama. Komponen utama tersebut adalah Highlights atau
pengantar, Kilas Perusahaan, Laporan Kepada Pemegang Saham, Pembahasan
dan Analisis Manajemen, Informasi bagi Pemegang Saham, Tata Kelola
Perusahaan, dan Sumber Daya Manusia. Jika kemudian muncul perbedaan dalam
penyajian narrative text dalam annual report maka perbedaan ini disebabkan oleh
perbedaan situasi yang dihadapi kedua perusahaan. Antam menulis:
Dalam tahun 2009 perusahaan menghadapi tantangan yang cukup berat
dengan menurunnya harga nikel yang merupakan komoditas andalan bagi perusahaan. Sementara itu kenaikan harga emas yang cukup berarti tidak
dapat diimbangi oleh volume produksi yang masih tetap rendah. Resultante
dari tantangan tersebut mengakibatkan turunnya pendapatan dan laba bersih
perusahaan.
Sementara itu, PGN melanjutkan paragraf pembukanya dengan kalimat
berikut:
Upaya-upaya pemasaran yang sangat intensif di wilayah jaringan distribusi
PGN yang dilakukan oleh Manajemen selama tahun 2009 berhasil
meningkatkan permintaan gas bumi jauh melebihi permintaan di tahun-
tahun sebelumnya. Di luar wilayah usaha PGN, masih banyak pasar
potensial yang belum terjangkau namun pasokan gas PGN yang terkontrak
untuk jangka panjang belum dapat memenuhi permintaan tersebut. Karena itu
tantangan utama PGN kedepan adalah memenuhi ketersediaan pasokan. (hal.
26)
Dengan menggambarkan pencapaian dan masalah yang dihadapi,
diharapkan pemegang saham akan memberikan pengakuan atas kinerja
perusahaan. Hal ini sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh Freeman (1994,
2002) dalam Enquist et al (2006) bahwa perusahaan mengakomodasi kebutuhan
dan keinginan stakeholder primer yang dalam hal ini adalah pemegang saham.
Lebih lanjut, perusahaan berusaha mencapai legitimasi dengan menyamakan
persepsi atau asumsi atas tindakan yang dilakukan (Suchman, 1995) melalui
laporan khusus yang ditujukan bagi pemegang saham ini. Hal tersebut selanjutnya
kembali diulang dalam ulasan pada bagian Analisis Manajemen
Hal ini terkait dengan kondisi yang sedang dihadapi perusahaan dimana
Antam dibelit masalah menurunnya permintaan komoditas utamanya sementara
16
PGN justru sedang menikmati peningkatan penjualan. Fakta tersebut senada
dengan apa yang diungkapkan Lindblom (1994) tentang bagaimana perusahaan
mengubah persepsi, tanpa mengubah kinerja aktualnya untuk mendapatkan posisi
yang legitimate. Oleh sebab itu perusahaan menampilkan data – data yang
bermanfaat bagi pemerolehan legitimasinya. Menurut Chariri (2007), jika data
yang ditampilkan tidak bermanfaat, tujuan dari pengungkapan tersebut tidak akan
tercapai. Dalam hal ini, tujuan pengungkapan tersebut ialah meperoleh legitimasi
dari pemegang saham.
RASISME DALAM PELAPORAN KEUANGAN: REFLEKSI
MODERNISASI RASISME
Rasisme memiliki dimensi yang luas dan tidak sekedar sesuatu yang
berhubungan dengan aspek SARA. Seperti diungkap oleh Fairchild (1991) bahwa:
A recurrent feature of the social sciences has been efforts to prove that there
are inherited racial and gender differences these efforts, although earlier
debunked, become reincarnated under different guises.
Rasisme telah bermetamorfosa dalam berbagai bentuk berbeda saat ini.
Tidak hanya sebagai sentimen rasial antar suku bangsa, rasisme bahkan terjadi
dalam lingkup internal suatu ras, suatu golongan, bahkan suatu komunitas bisnis.
Today, the word racism is used more broadly to apply to racially unfair and
discriminatory beliefs, actions, desires, projects, persons, groups, social
institutions, and practices” (Garcia, 2001) .
Pendapat Garcia di atas mengindikasikan bahwa rasisme tidak hanya
terdapat di sisi tradisional saja melainkan model – model rasisme baru terus
berkembang. Salah satu diantaranya adalah rasisme dalam pelaporan keuangan
(annual report).
Dalam sebuah annual report selalu digunakan narrative text untuk
melengkapi informasi yang dimuat dalam laporan keuangan. Narrative text dalam
annual report dapat digunakan oleh manajemen perusahaan sebagai media
komunikasi dengan para stakeholder-nya. Melalui narrative text, manajemen
17
perusahaan secara aktif berusaha mengkomunikasikan bentuk kinerjanya selama
ini (Finch: 2005) kepada stakeholders.
Namun demikian, dalam kenyataannya, kebijakan pelaporan keuangan
akan mengikuti kepentingan (interest) berbagai pihak. Akibatnya, money dan
power sebagaimana dikatakan Habermas (1983) berperan besar dalam
menentukan pihak yang kepentingannya diprioritaskan perusahaan. Artinya,
proses tersebut sudah tidak murni lagi karena adanya suatu kepentingan tertentu.
Akibatnya, annual report hanya mengakomodasi kepentingan stakeholder tertentu
saja yang dianggap paling utama, kuat, dan menguntungkan bagi kepentingan
perusahaan diantara stakeholder lainnya.
Perusahaan akan lebih banyak berorientasi pada satu stakeholder tertentu.
Tidak hanya melalui kalimat – kalimat yang lebih memusatkan perhatian pada
stakeholder tertentu, hal ini juga dapat terlihat dari halaman – halaman yang
dikhususkan, dominasi pengungkapan informasi yang dibutuhkan stakeholder
tersebut, urutan dalam penyajian, serta jumlah alokasi halaman untuk satu
stakeholder tertentu yang lebih diutamakan dalam annual report. Tujuannya tidak
lain ialah untuk menghasilkan hubungan harmonis antara perusahaan dengan
stakeholder tertentu tersebut. Hal ini mengindikasikan adanya diskriminasi dan
diskriminasi mengarah pada rasisme (Garcia, 2001). Berikut ini akan dibahas
bagaimana proses rasisme itu terjadi.
Audiens dalam Annual Report Perusahaan
Audiens dalam annual report adalah para stakeholder atau pihak yang
berkepentingan terhadap perusahaan. Dalam annual report-nya PGN menyebut
setidaknya lima stakeholder.
Pemegang saham merupakan stakeholder yang paling sering disebut dalam
annual report PGN. Tidak berhenti disitu, PGN juga membuat halaman khusus
Laporan Kepada Pemegang Saham. Halaman – halaman khusus bagi pemegang
saham tersebut menempati urutan awal dalam annual report PGN 2009.
Berbeda dengan PGN, pada tahun 2009, melalui Komite CSR-LPT, Antam
menyatakan telah melakukan pemetaan dan analisa pemangku kepentingan. Pada
annual report Antam halaman 192, secara umum Antam memiliki tujuh
18
pemangku kepentingan utama yang berpengaruh secara langsung pada keberadaan
bisnis Antam, yaitu: 1) Pemegang saham, 2) Pegawai, 3) Mitra kerja, 4)
Pemerintah, 5) Masyarakat, 6) Konsumen, dan 7) Media.
Dari kedua temuan di atas, secara umum terdapat satu kesamaan antara
PGN dan Antam yaitu terkait stakeholder utama. Seperti dinyatakan oleh Ullman
(1985), organisasi akan memilih stakeholder yang dianggap penting. Dalam hal
ini, PGN dan Antam sependapat untuk menempatkan pemegang saham sebagai
stakeholder utamanya. Hal ini erat kaitannya dengan besarnya power yang
dimiliki stakeholder (Gray et al.., 1994). PGN dan Antam memandang pemegang
saham memiliki pengaruh yang paling besar terhadap keberlangsungan
perusahaan. Dengan demikian perusahaan memiliki kepentingan terhadap
pemegang sahamnya. Hal ini kemudian berkorelasi dengan konsep yang
diutarakan Habermas (1983) mengenai peranan money dan power dalam setiap
kepentingan (interest). PGN dan Antam menggambarkan ini dalam annual report-
nya.
FAKTA TENTANG STAKEHOLDER UTAMA
Titik Rasis PGN
Dalam highlights annual report-nya, PGN sengaja memberi judul “Laba
Bersih Melesat”. Highlights tersebut menampilkan sebuah berita dengan memberi
Label berhuruf besar “Berita Gas – PGN News” dengan judul di bawahnya
bertuliskan “Laba Bersih Melesat”. Tulisan “Laba Bersih Melesat” ini berukuran
huruf lebih besar dan dicetak tebal dengan warna hitam yang tampak menonjol di
antara warna – warna yang lain. Hal ini membuat apa yang pertama kali terlihat
oleh pembaca adalah tulisan “Laba Bersih Melesat”. Highlights di halaman awal
ini juga dilengkapi grafik batang berwarna emas yang menggambarkan
peningkatan laba yang signifikan dari tahun 2008 ke 2009. Hal ini dipertegas
dengan bulatan hijau bertuliskan “883%” di samping judul “Laba Bersih
Melesat” dan tepat di atas grafik.
Dari penyajian yang telah dideskripsikan di atas, highlights annual report
PGN mengacu pada pihak tertentu yang berkepentingan dengan informasi
19
mengenai laba bersih perusahaan yakni pemegang saham dan calon investor.
Dengan menunjukkan output yang meningkat dari kinerja perusahaan, PGN
bermaksud memberikan informasi yang menarik bagi pemegang saham sehingga
hubungan keduanya semakin erat seiring meningkatnya kepercayaan pemegang
saham. Lebih lanjut, highlights annual report PGN hanya memberikan tempat
bagi kepentingan pemegang saham dan tidak menyinggung stakeholder lainnya.
Hal ini dapat dilihat dari ditampilkannya kutipan kalimat dari Investor Daily 5
April 2010 dalam paragraf pembuka highlights annual report PGN yaitu:
PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS) mencatat persentase pertumbuhan
laba bersih tertinggi tahun 2009 di antara 45 emiten yang masuk dalam
Indeks LQ45 di Bursa Efek Indonesia (BEI)
(annual report PGN hal. Highlights)
Seperti dinyatakan oleh Dowling dan Pfeffer (1975), organisasi dapat
berusaha lewat komunikasi untuk dapat dikenali lewat simbol-simbol, nilai-nilai
atau institusi yang memiliki dasar legitimasi yang kuat. Dengan menampilkan
statement dari institusi atau pihak yang dianggap bersifat independen tersebut,
PGN berusaha membangun legitimasi atas klaim peningkatan laba bersihnya di
tahun 2009. Legitimasi ini penting untuk menguatkan muatan informasi dan
membuat lawan komunikasi yang diharapkan, dalam hal ini pemegang saham,
mempercayai informasi yang diberikan.
Dari muatan yang terkandung di dalamnya, kalimat tersebut
menitikberatkan pada pengungkapan prestasi saham PGN yang memiliki
prosentase peningkatan laba bersih tertinggi di antara 45 emiten yang masuk
dalam Indeks LQ45. Penekanan pada sisi laba bersih tersebut semakin
memperjelas orientasi PGN yang mengutamakan kepentingan pemegang saham di
atas stakeholder lainnya. Tidak diutamakannya stakeholder lain terbukti dengan
tidak dicantumkannya tolok ukur kepentingan stakeholder lain dalam highlights
annual report PGN, seperti halnya pengungkapan laba bersih untuk pemegang
saham.
Titik Rasis Antam
20
Antam membuka annual report-nya dengan kalimat pada halaman
pertama Highlights berikut: “Kami akan terus menjalankan dan mengembangkan
usaha pertambangan melalui peningkatan keunggulan kompetitif yang dapat
meningkatkan nilai pemegang saham“. Kalimat pembuka ini mengindikasikan
betapa besarnya hegemoni pemegang saham di tubuh Antam hingga Antam secara
khusus menyebut peningkatan nilai diperuntukkan hanya bagi pemegang saham.
Dalam Laporan Dewan Komisaris pada bagian Komite – Komite di
Tingkat Dewan Komisaris, secara jelas Dewan Komisaris menempatkan
pemegang saham sebagai motivasi utama pembentukan Komite Perusahaan.
Seiring dengan semangat untuk meningkatkan nilai pemegang saham,
serta untuk lebih memantapkan prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang
baik, Dewan Komisaris memiliki lima Komite Perusahaan guna membantu
fungsi pengawasan
(annual report Antam hal. 22)
Dewan komisaris merupakan dewan yang bertanggung jawab penuh pada
Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Meskipun demikian, kalimat tersebut
mengindikasikan bahwa tujuan tujuan perusahaan bagi Dewan Komisaris ialah
untuk meningkatkan nilai pemegang saham tanpa menyinggung stakeholder
lainnya. Dowling dan Pfeffer (1975) memandang organisasi akan mengambil
beberapa cara untuk menghindarkan diri dari ancaman legitimasi salah satunya
melalui simbol yang mencerminkan legitimasi atas aktivitas atau tindakan yang
diambil. Kata “semangat untuk meningkatkan nilai pemegang saham” merupakan
wujud simbol-simbol yang memiliki dasar legitimasi yang kuat.
Sementara itu, dalam Laporan Dewan Direksi pada halaman 28, telihat
pula orientasi strategi dan kinerja perusahaan adalah untuk pemegang saham
Meski demikian, dengan berbagai tantangan yang luar biasa tersebut, strategi
dan upaya kami berhasil mengatasi tantangan tersebut guna terus
memberikan imbal hasil yang baik bagi pemegang saham.
(annual report Antam hal. 28)
Hal ini semakin mempertegas keberpihakan Antam pada kepentingan
pemegang saham dalam lingkar usahanya. Pernyataan tersebut mengindikasikan
bahwa organisasi akan memilih stakeholder yang dianggap penting, dan
mengambil tindakan yang dapat menghasilkan hubungan harmonis antara
21
perusahaan dengan stakeholder-nya tersebut (Ulman, 1985). Dalam hal ini
stakeholder tersebut adalah pemegang saham. Tidak berhenti di situ, perusahaan
juga berusaha membungkus kondisi yang dihadapinya dengan kalimat – kalimat
retorik untuk memperoleh legitimasi. Kalimat – kalimat tersebut di antaranya
ditunjukkan dengan strategi dan upaya yang berhasil menghadapi berbagai
tantangan yang luar biasa. Selain itu, Antam juga mengungkapkan penciptaan
nilai pemegang saham yang maksimal didapat dengan terus berfokus pada
komoditas utama nikel meskipun di sisi lain Antam mengungkapkan penurunan
penjualan nikel menyebabkan penurunan kondisi keuangan perusahaan. Hal ini
sesuai dengan apa yang diungkapkan Lindblom (1994) bahwa ketika menghadapi
ancaman legitimasi suatu entitas akan berusaha mengubah persepsi yang melekat
tanpa mengubah kinerja aktual secara signifikan.
Kecondongan Antam pada pemegang saham semakin nampak dengan
dibentuknya bagian Hubungan Investor. Dibentuknya bagian khusus ini adalah
untuk menjaga hubungan dan komunikasi antara perusahaan dengan pemegang
saham. Seperti diutarakan dalam paragraf di halaman 184 berikut:
Antam melalui bagian Hubungan Investor berupaya untuk meningkatkan
prinsip transparansi serta mengedepankan keterbukaan informasi dengan
tujuan akuntabilitas yang lebih baik. Hal ini akan meningkatkan kredibilitas
perusahaan serta menjembatani komunikasi antara Antam dengan
pemegang saham (investor)
(annual report Antam hal. 184)
Dengan hubungan yang kuat dan komunikasi yang berjalan baik,
diharapkan kepentingan – kepentingan yang ada dapat diakomodasi sekaligus
terwujud kepercayaan satu sama lain. Antam kembali menegaskan mengenai
pentingnya komunikasi dua arah yang baik ini dalam halaman 186 berikut:
Hubungan Investor Antam menyadari bahwa komunikasi dua arah dengan
para pemegang saham dan investor sangat penting dalam menempatkan
Antam pada “investment radar” masyarakat keuangan global.
(annual report Antam hal. 186)
Akan tetapi, pembentukan bagian hubungan investor ini tidak diimbangi
dengan pembentukan bagian yang berhubungan dengan stakeholder lainnya.
Dengan kata lain, Antam hanya berusaha menjalin komunikasi secara aktif
22
dengan satu stakeholder saja yakni pemegang saham. Tilt (1994) menyatakan
bahwa perusahaan harus tahu bagaimana menanggapi berbagai kelompok
kepentingan untuk melegitimasi tindakan perusahaan. Sementara, Ullman
menyatakan bahwa perusahaan akan memilih stakeholder yang dianggap paling
penting. Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa membangun komunikasi yang
intensif adalah cara terbaik dalam menanggapi kelompok kepentingan yang
dianggap paling berpengaruh.
Berikut merupakan rangkuman kriteria yang menunjukkan rasisme
terhadap stakeholder dalam annual report PGN dan Antam.
Tabel 4.2
Perbandingan Kriteria Aspek Rasisme Annual Report PGN dan Antam
No. Kriteria PGN ANTAM
1 Total Halaman Annual
Report (tanpa Laporan
Konsolidasian)
147 halaman 210 halaman
2 Alokasi Halaman yang
Berorientasi pada
Kepentingan Pemegang
Saham
75 halaman 92 halaman
3 Penyebutan Langsung
yang berorientasi pada
Pemegang Saham
lebih dari 35 kali lebih dari 88 kali
4 Prosentase Sertifikasi dan
Penghargaan untuk
Kepentingan Pemegang
Saham
8 dari 9 7 dari 11
5 Prosentase Foto dan
Peristiwa dalam galeri
peristiwa tahunan terkait
Pemegang Saham
9 dari 21 peristiwa (3
foto terbesar)
3 dari 14 peristiwa
(mayoritas peristiwa
menyangkut bisnis
perusahaan)
6 Penamaan yang Tidak
Sesuai Peraturan
Bapepam LK No X.K.6
"Laporan Kepada
Pemegang Saham"
"Kepada Pemegang
Saham"
7 Urutan Penempatan Pemegang Saham
didahulukan dari
Pemegang Saham
didahulukan dari
23
Tanggung Jawab
Sosial, Pekerja, dan
Pelanggan
Karyawan dan
Tanggung Jawab Sosial
Ditinjau dari prosentase alokasi halaman yang berorientasi pada
kepentingan pemegang saham terhadap total halaman annual report, didapat hasil
bahwa keduanya berada pada kisaran angka 50%. Namun demikian, jumlah 50%
yang bukan ditujukan kepada pemegang saham pada kenyataannya tidaklah
ditujukan pada stakeholder lainnya melainkan didominasi oleh informasi
mengenai tata kelola perusahaan (Good Corporate Governance) dan informasi
perusahaan. Sementara itu informasi untuk stakeholder lain dialokasikan tidak
lebih dari 8 halaman, misalnya Sumber Daya Manusia PGN hanya 8 halaman,
Komitmen bagi Pelanggan PGN 6 halaman, dan Tanggung Jawab Sosial
Perusahaan PGN juga hanya 8 halaman dan itu pun diselipkan dalam Bagian Tata
Kelola Perusahaan bukan menjadi satu bagian sendiri yang terpisah. Sementara
itu, Antam bahkan hanya mengalokasikan 4 halaman untuk Sumber Daya
Manusia dan 6 halaman untuk Tanggung Jawab Sosial Lingkungan. Hal ini
mengindikasikan bahwa kedua perusahaan lebih mengutamakan pemegang saham
dibanding stakeholder lainnya dalam pelaporannya. Dari segi penyebutan
langsung yang berorientasi pada pemegang saham, PGN melakukan penyebutan
lebih dari 35 kali sementara Antam lebih dari 88 kali. Angka ini jauh melebihi
jumlah penyebutan untuk stakeholder lainnya.
Di sisi lain, sertifikasi dan penghargaan yang ditampilkan oleh PGN dan
Antam menunjukkan betapa dominannya informasi yang ditujukan untuk
kepentingan pemegang saham. Hal ini terkait erat dengan aspek money dan power
dalam rangka pemerolehan legitimasi yang akan dibahas selanjutnya. Dominasi
informasi ini juga terlihat dalam galeri foto dan peristiwa selama tahun berjalan.
PGN menempatkan 9 peristiwa penting terkait pemegang saham dari 21 peristiwa
yang ada dalam tahun tersebut. sementara Antam menempatkan 3 peristiwa terkait
pemegang saham dalam 14 peristiwa penting dalam tahun 2009. Meskipun secara
prosentase angka ini tidak lebih dari setengahnya, namun peristiwa lain yang
24
diabadikan oleh perusahaan tidak terkait seluruhnya dengan stakeholder yang ada.
Peristiwa lain lebih mengenai materi produk, proses produksi dan usaha, kontrak
usaha, kunjungan, dan kerja sama dengan perusahaan lain . Hal tersebut diperkuat
dengan ditampilkannya tiga foto terbesar dalam galeri tersebut yang kesemuanya
merupakan pengungkapan yang berorientasi pada pemegang saham. Dengan
demikian, pemegang saham mutlak menjadi stakeholder yang diutamakan dalam
pelaporan keuangan kedua perusahaan tersebut di atas stakeholder lainnya.
TENDENSI PRAKTIK RASISME DALAM PELAPORAN KEUANGAN
Annual report merupakan sarana komunikasi yang digunakan perusahaan
untuk berhubungan dengan stakeholder-nya. Dalam komunikasi dua pihak harus
menciptakan koordinasi dan mencapai saling pengertian. Bahasa merupakan
sarana atau mekanisme untuk melakukan koordinasi. Akan tetapi, dalam
kenyataannya pandangan rasional menciptakan pertimbangan – pertimbangan
yang berubah. Dalam hal ini, kepentingan menjadi kendala atas mekanisme
bahasa. Habermas dalam The Theory of Communicative Action (1983)
menyatakan:
… they are formed on the basis of media that uncouple action from processes
of reaching understanding and coordinate it via generalized instrumental
values such as money and power. These steering media replace language as
the mechanism for coordinating action. They set social action loose from
integration through value consensus and switch it over to purposive
rationality steered by media.
Pernyataan Habermas di atas menunjukkan bahwa money dan power
sangat mempengaruhi muatan kepentingan dalam steering media. Money dan
power menggantikan bahasa dalam tindakan rasional yang memiliki tujuan
(purposive-rational action) dan setiap tujuan mengandung unsure kepentingan.
Hal ini dapat dibuktikan dari pesan – pesan yang mengandung aspek money dan
power dalam steering media perusahaan yakni annual report.
Peranan Money dalam Interest
Peranan money dalam annual report dapat dilihat dari adanya
pengungkapan informasi yang diberikan perusahaan berkenaan dengan aspek
25
finansial. PGN mengungkapkan keunggulan ini demi memperoleh posisi kuat di
mata pemegang saham.
Tahun 2009 merupakan tahun pencapaian yang sangat baik bagi PGN.
PGN mencatatkan pertumbuhan pendapatan lebih dari 40% dari Rp12,79
triliun menjadi Rp18,02 triliun dan volume pengaliran meningkat 37% dar i
578 MMScfd menjadi 792 MMScfd. Setelah berhasil melampaui pendapatan
Rp10 triliun di tahun 2008, pada akhir tahun 2009 PGN berhasil mencapai
kapitalisasi pasar sebesar US$10 miliar.
(annual report PGN halaman 31)
Kalimat pembuka Laporan Direksi ini mengungkapkan secara menyeluruh
tentang prestasi PGN yang menjadi harapan dari pemegang saham. Pemegang
saham sangat berkepentingan terhadap informasi pertumbuhan pendapatan,
volume distribusi, dan kapitalisasi pasar. Dengan kata lain money, dalam hal ini
berbentuk pendapatan, kapitalisasi pasar, volume distribusi, dan laba sangat
mempengaruhi pertimbangan pemegang saham dalam menentukan keputusannya.
Hal ini sesuai dengan pendapat Habermas (1984) bahwa Money merupakan alasan
yang digunakan dalam membuat keputusan guna menyampaikan informasi pada
pihak lain.
Hal senada juga diungkapkan oleh Antam dalam annual report-nya pada
halaman 43 berikut:
Kami percaya tahun 2010 akan menjadi turning point dan akan menjadi
tahun yang solid bagi kinerja, laba, imbal hasil, dan pencapaian tujuan
perusahaan untuk memaksimalkan nilai pemegang saham
(annual report Antam hal. 33)
Hal ini mengindikasikan bahwa money memiliki dominasi dalam area
kepentingan pemegang saham. Dalam setiap keputusannya, pemegang saham
akan selalu memperhatikan faktor tersebut. Sebaliknya, perusahaan berusaha
menunjukkan kapabilitasnya dalam pengelolaan dan pencapaian terkait money
demi mendapatkan legitimasi sebagai perusahaan yang kompeten di bidangnya.
Dengan kata lain, usaha memperoleh legitimasi tidak didasarkan pada
pertimbangan kesetaraan kepentingan stakeholder tetapi lebih pada aspek money
yang menjadi acuan pemegang saham.
Peranan Power dalam Interest
26
Selain Money, Habermas menyebut power sebagai kekuatan lain yang
tidak dapat dipisahkan dari money dalam mempengaruhi interest. Power berperan
besar dalam perusahaan sehingga perusahaan melakukan pengungkapan bukan
dilatarbelakangi kesetaraan kepentingan stakeholder dan tanggung jawab moral
melainkan karena peraturan, regulasi dan lain – lain yang mengikat perusahaan.
Dengan menampilkan keberhasilan memperoleh pengakuan pihak luar
mengenai penerapan GCG, ISO 9001:2008 dan COSO, PGN berusaha
menunjukkan ketaatannya terhadap standar dan peraturan yang berlaku. Hal ini
terbukti dari pernyataan PGN dalam paragraf pembuka pada bagian Tata Kelola
Perusahaan di halaman 92.
Penerapan GCG merupakan wujud kepatuhan Perseroan terhadap
Keputusan Menteri BUMN nomor Kep-117/M-MBU/2002 tentang
Penerapan Praktek GCG pada BUMN, sekaligus merupakan cara terbaik
untuk mewujudkan tujuan Perseroan
(annual report PGN hal. 92)
Dari sisi lain, PGN mengungkapkan perannya yang penting bagi
pemerintah dalam Laporan Kepada Pemegang Saham di halaman 26 berikut:
Untuk memenuhi kebutuhan listrik Indonesia yang semakin meningkat, PLN
secara agresif mengganti energi bahan bakar pembangkitnya dengan gas
bumi. Pengalihan dari energi minyak yang mahal kepada gas bumi telah
membantu PLN menghemat biaya sampai dengan Rp12-15 triliun per
tahun dan pada gilirannya mengurangi subsidi yang harus dikeluarkan
Pemerintah.
(annual report PGN hal. 26)
Hal tersebut menandakan PGN berusaha mendapatkan apresiasi dari
pemegang saham dan pemerintah atas peranannya dalam penghematan biaya dan
pengurangan subsidi pemerintah. Akan tetapi, hal tersebut menjadi wajar karena
pada dasarnya terdapat kaitan erat antara pemegang saham dan pemerintah. Fakta
tersebut ini dapat dilihat dari paragraf pertama dan kedua di halaman 84 tentang
Kepemilikan Saham berikut:
Negara Republik Indonesia memiliki satu lembar saham seri A
Dwiwarna, yang memiliki hak suara istimewa. Saham Dwiwarna memiliki
hak dan batasan yang sama dengan Saham Biasa kecuali bahwa saham
Dwiwarna tidak dapat dipindahtangankan, memiliki hak-hak istimewa dalam
hal perubahan modal, pengangkatan dan pemberhentian anggota Direksi dan
27
Komisaris, Anggaran Dasar, penggabungan, peleburan dan pengembilalihan
serta pembubaran dan likuidasi Perusahaan.
(annual report PGN hal. 84)
Pada tanggal 31 Desember 2009, Negara Republik Indonesia memiliki
56,97% Saham Biasa dan satu Saham Dwiwarna yang memiliki hak suara
khusus.
(annual report PGN hal. 84)
Dengan kata lain, pemegang saham mayoritas dan pemerintah adalah
pihak yang sama. Dengan menampilkan perannya bagi pemerintah dalam Laporan
Kepada Pemegang Saham, PGN berusaha menjembatani kepentingan pihak yang
memiliki power melalui steering media yang digunakan yaitu annual report.
Pada halaman 79 annual report PGN, dimuat sembilan perubahan
peraturan perundang – undangan. Peraturan Menteri ESDM Nomor 19 Tahun
2009 tentang Kegiatan usaha Gas Bumi Melalui Pipa membuat PGN harus
melakukan hal berikut:
Mulai 2011, PGN diwajibkan untuk melakukan pemisahan antara unit yang
melakukan kegiatan niaga gas bumi dan unit yang melakukan kegiatan
transportasi gas bumi. Pemisahan dilakukan melalui pembentukan badan
usaha baru.
(annual report PGN hal. 79)
Pengungkapan sembilan perubahan peraturan beserta dampaknya bagi
perusahaan yang diungkapkan dalam annual report PGN tersebut
mengindikasikan dengan jelas adanya power yang dimiliki oleh suatu entitas,
dalam hal ini aturan Pemerintah Indonesia, Kementerian ESDM, Kementerian
BUMN, dan Bapepam-LK. Aturan – aturan tersebut memaksa entitas lain untuk
melakukan apa yang diinginkan entitas entitas yang memiliki power lebih tinggi.
Sedikit berbeda dengan PGN, Antam dalam halaman Sertifikasi dan
Penghargaan menampilkan 12 sertifikasi dari badan independen dan 11 kegiatan
penghargaan yang diperoleh. Salah satu sertifikasi yang diperoleh (halaman 14)
menyebutkan:
Pra registrasi REACH (Registration, Evaluation, Authorisation, and
Restriction of Chemicals) dilakukan tanggal 23 November 2008 untuk
memenuhi regulasi Pasar Uni Eropa mengenai penggunaan bahan kimia
yang amandalam siklus pengolahan feronikel.
28
(annual report Antam hal. 14)
Terlihat bahwa apa yang dilakukan Antam dalam pencapaian sertifikasi
adalah untuk memenuhi persyaratan regulasi tertentu. Hal senada juga
diungkapkan di halaman 16 seperti tertera di bawah ini:
Sertifikasi dari Dubai Metal and Commodities Centre untuk produk emas
jenis small bar Logam Mulia di pasar Timur Tengah sejak Agustus 2005.
Tujuannya supaya emas balok produksi Unit Bisnis Pengolahan &
Pemurnian Logam Mulia dapat diperjualbelikan secara bebas di pasar
Timur Tengah tanpa mengubah identitas LM
(annual report Antam hal. 16)
Ketaatan akan suatu regulasi tertentu sangat tendensius bagi Antam.
Seperti diungkapkan pada halaman 23, salah satu bentuk tendensi ketaatan
pelaksanaan program tanggung jawab sosial Antam adalah dalam rangka menaati
peraturan tertentu dan demi kelancaran usaha Antam.
Sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas khususnya pasal 74 mengenai Tanggung Jawab Sosial dan
Lingkungan, Dewan Komisaris meminta agar Antam lebih proaktif dalam
melaksanakan program tanggung jawab sosial dan lingkungan sesuai
dengan rambu – rambu yang diatur dalam peraturan perundang –
undangan yang berlaku
(annual report Antam hal. 23)
… dengan lebih terjalinnya hubungan komunikasi dengan pemangku
kepentingan sampai ke daerah kegiatan usaha Antam. Hal ini membawa
dampak lebih lancarnya kegiatan usaha Antam. (annual report Antam hal. 23)
Pernyataan di atas menunjukkan bahwa peraturan dari regulator menjadi
motif utama perusahaan untuk melakukan sesuatu yang diatur, dalam hal ini
adalah pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Namun selain tunduk
pada power tersebut, Antam juga memperhatikan faktor lain dengan mengatakan
“demi kelancaran usaha Antam“. Artinya, Antam memandang pelaksanaan
tanggung jawab sosial adalah demi mencapai tujuan usahanya dan memenuhi
peraturan yang berlaku. Motif ketaatan pada regulasi tersebut kembali ditunjukkan
secara implisit di halaman 194 berikut:
29
Antam menyediakan maksimal 2% bagian dari laba bersih untuk dana
bantuan yang bersifat bergulir (revolving), sesuai dengan Peraturan
Menteri (PERMEN) BUMN No. 05/MBU/2007.
(annual report Antam hal. 194)
Dengan menyebut frasa “menyediakan maksimal“ dan “sesuai dengan
peraturan“ dalam satu kalimat, Antam terlihat dipaksa oleh suatu power dalam
melaksanakan kegiatan pemberian dana bantuannya. Power tersebut dalam hal ini
adalah Kementerian BUMN melalui Peraturan Menteri (PERMEN) BUMN No.
05/MBU/2007. Hal senada sebelumnya telah diungkapkan dalam Laporan Dewan
Komisaris di halaman 18 berikut:
Laporan Dewan Komisaris ini adalah merupakan bagian dari
pertanggungjawaban Dewan Komisaris dalam menjalankan fungsi
pengawasan dan pemberian nasihat kepada Direksi sesuai aturan pada
Undang- Undang nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas,
Undang-undang No. 19 thn. 2003 tentang BUMN serta peraturan
perundangan lainnya seperti yang diatur oleh otoritas pasar modal yakni
Bapepam-LK dan Australian Securities Exchange (ASX). (annual report
(annual report Antam hal. 18)
Fakta – fakta tersebut menunjukkan adanya power yang menyetir Antam
dalam setiap tindakannya. Power tersebut dalam hal ini adalah regulasi yang
dikeluarkan oleh pemerintah. Hal ini sangat terkait dengan fakta bahwa mayoritas
saham Antam dikuasai oleh pemerintah. Seperti diungkapkan pada halaman 178
berikut:
Pemerintah Republik Indonesia memiliki 65% dari modal yang
ditempatkan dan disetor penuh atau sebesar 6.200.000.000 saham sementara
publik memiliki 35% atau 3.338.459.750 saham melalui perdagangan di
bursa.
(annual report Antam hal. 178)
Dengan berorientasi pada kepentingan pemegang saham, maka Antam
harus mengakomodasi kepentingan pemerintah pula sebagai pemegang saham
dominan. Lebih lanjut, dengan posisinya yang juga sebagai regulator, pemegang
saham mayoritas semakin memiliki power yang kuat.
Apa yang dipraktikkan oleh kedua perusahaan pada dasarnya sesuai
dengan pandangan berbagai pihak tentang power. Vail (2004) memberikan
definisi power sebagai: “The ability of one entity to influence the action of another
30
entity” sementara Boulding (1989) dalam Meutia (2010) menyebut power
merupakan “The ability to get what you want”. Berbagai fakta yang diungkap di
atas menunjukkan adanya power yang dimiliki oleh suatu entitas, yakni
pemerintah. Entitas lain, dalam hal ini PGN dan Antam harus mematuhi peraturan
tersebut, atau dengan kata lain peraturan merupakan power yang menjadi alasan
atas tindakan yang diambil perusahaan.
Pemerolehan Legitimasi
Sebagai steering media, annual report disusun untuk memenuhi
kepentingan pihak yang paling diutamakan perusahaan. Melalui annual report,
perusahaan berkomunikasi secara aktif dengan pihak yang diinginkannya.
Tujuannya tak lain ialah untuk memperoleh legitimasi.
Dalam annual report-nya, Dewan Komisaris PGN pada halaman 25
mengungkapkan pencapaian PGN kepada pemegang saham.
Pemegang Saham yang Terhormat, merupakan kehormatan bagi kami
untuk melaporkan bahwa pada tahun 2009, PGN mencatatkan pencapaian
yang sangat baik. PGN berhasil meneruskan momentum tahun 2008 dengan
mencatatkan peningkatan pendapatan …
(annual report PGN hal. 25)
Dengan pengungkapan tersebut, PGN berusaha mendapat pengakuan dari
pemegang saham sebagai persahaan yang berhasil dari sisi finansial. Hal tersebut
kemudian dilanjutkan dengan kalmat dari halaman 75 tentang Prospek Usaha
berikut:
Dengan kondisi keuangan yang sangat baik, PGN siap melaksanakan
rencana–rencana usaha yang telah ditetapkan untuk mendukung
pengembangan usaha dan terus meningkatkan nilai bagi para pemegang
saham, termasuk untuk penyertaan di upstream
(annual report PGN hal. 75)
Lebih lanjut, PGN mengajak audiens dalam hal ini pemegang saham untuk
mengimajinasikan apa yang terjadi pada 10 tahun mendatang. Hal ini juga
merupakan bagian dari cara PGN mengambil hati pemegang saham dengan
memberikan gambaran yang indah akan masa depan perusahaan. Berikut adalah
pernyataan PGN yang dikutip dari halaman 76:
31
Sudah menjadi kebulatan tekad segenap insan PGN untuk mewujudkan visi
perusahaan dalam rentang waktu 10 tahun mendatang. Pada saat itu, nilai
kapitalisasi pasar, pendapatan dan laba usaha PGN telah tumbuh beberapa
kali lipat dibanding kondisi saat ini. Ketika itu, bidang usaha perusahaan
telah mencakup berbagai usaha di sepanjang rantai nilai bisnis gas bumi serta
menjadi value craeator terkemuka bagi para pemegang saham
(annual report PGN hal. 76)
Dalam kaitannya dengan praktik GCG, PGN memberikan statement yang
juga mengarah pada upaya perolehan legitimasi dari pemegang saham. Berikut
merupakan pernyataan PGN pada halaman 91:
PGN berkomitmen untuk menerapkan tata kelola perusahaan (GCG)
sebagai upaya untuk menciptakan keberhasilan usaha guna memberikan
keuntungan yang optimal bagi pemegang saham secara etis, legal,
berkelanjutan
(annual report PGN hal. 91)
Sementara itu, Antam mengawali usaha memperoleh legitimasi dari
Laporan Dewan Komisaris dengan menyinggung pembentukan Komite
Perusahaan. Berikut adalah petikan kalimat dari halaman 22 tersebut:
Seiring dengan semangat untuk meningkatkan nilai pemegang saham,
serta untuk lebih memantapkan prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang
baik, Dewan Komisaris memiliki lima Komite Perusahaan guna membantu
fungsi pengawasan
(annual report Antam hal. 22)
Kalimat tersebut berusaha melegitimasi langkah yang diambil adalah demi
kepentingan pemegang saham. Hal senada juga diungkapkan Antam pada
halaman 36 menyikapi kehati – hatian perusahaan dewasa ini:
Meski demikian, kami tidak akan gegabah dan menetapkan skala prioritas.
Analisa lanjutan masih diperlukan untuk mengkaji proyek-proyek yang kami
miliki, dan kami akan memilih investasi yang terbaik bagi pemegang
saham kami
(annual report Antam hal. 36)
Tidak berhenti di situ Antam berusaha mendapat legitimasi sebagai
perusahaan yang kompeten dan sesuai dengan harapan pemegang saham. Hal
tersebut setidaknya tercermin dari empat cuplikan dari halaman 28, 33, 35, dan
102 berikut:
32
Meski demikian, dengan berbagai tantangan yang luar biasa tersebut, strategi
dan upaya kami berhasil mengatasi tantangan tersebut guna terus
memberikan imbal hasil yang baik bagi pemegang saham.
(annual report Antam hal. 28)
Strategi kami cukup efektif, sederhana dan tepat sasaran. Kami
menciptakan nilai pemegang saham yang maksimal dengan dengan terus
berfokus pada komoditas utama nikel, emas dan bauksit
(annual report Antam hal. 33)
Keputusan untuk tidak berpartisipasi didasarkan pada pertimbangan
komersial serta aspek kepentingan pemegang saham perusahaan.
(annual report Antam hal. 35)
Antam juga melanjutkan untuk melakukan skala prioritas atas seluruh proyek
pertumbuhan. Hal ini dilakukan untuk tetap memastikan penciptaan nilai
tambah bagi pemegang saham.
(annual report Antam hal. 102)
Terkait penerapan Good Corporate Governance, Antam memberikan
statement-nya pada halaman 118 berikut:
Kami memiliki keyakinan yang kuat untuk mempertahankan dan
menyempurnakan penerapan GCG di seluruh jajaran Antam. Komitmen
kami ini telah membawa hasil positif bagi pemangku kepentingan. Komunitas
investor juga mengakui tingkat transparansi dan pengungkapan kami yang
berkualitas, yang tercermin dari diperolehnya berbagai penghargaan
terkait kualitas pengungkapan laporan tahunan serta tata kelola kami
(annual report Antam hal. 118)
Kalimat tersebut merupakan bentuk upaya Antam untuk mendapatkan
pengakuan dari audiens akan kompetensi yang dimiliki terkait GCG. Pengakuan
yang diharapkan oleh Antam adalah pengakuan yang berasal dari pemegang
saham. Hal ini dapat dilihat dari kalimat yang mencoba membawa nama
“kalangan investor“. Antam melanjutkannya dengan pernyataan di halaman 186
berikut:
Hubungan Investor Antam menyadari bahwa komunikasi dua arah dengan
para pemegang saham dan investor sangat penting dalam menempatkan
Antam pada “investment radar” masyarakat keuangan global.
(annual report Antam hal. 186)
Kesemua fakta di atas sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh beberapa
kalangan mengenai legitimasi. Dowling dan Pfeffer (1975) mengungkapkan
33
bahwa organisasi dapat menyesuaikan output, tujuan dan metode-metode
operasinya agar sesuai dengan definisi legitimasi yang berlaku. Sementara
Lindblom (1994) mengatakan bahwa dengan mengubah persepsi organisasi, tanpa
mengubah kinerja aktual organisasi; mengalihkan atau memanipulasi perhatian
dari isu-isu penting ke isu-isu lain; dan mengubah ekspektasi eksternal tentang
kinerja organisasi akan dapat menguatkan kembali posisi perusahaan dari
ancaman legitimasi.
Berbagai contoh narrative text tersebut menunjukkan bahwa praktik usaha
perusahaan selama ini cenderung hanya berorientasi pada satu stakeholder dan
mengabaikan stakeholder lainnya. Hal ini terjadi karena perusahaan
mempertimbangkan aspek money dan power. Money dan power kemudian
digunakan perusahaan untuk melegitimasi kepentingannya atas stakeholder
tertentu dalam hal ini pemegang saham. Dengan demikian, terlihat jelas bahwa
penyampaian informasi yang dilakukan melalui media annual report oleh PGN
dan Antam, merupakan usaha yang dilakukan perusahaan untuk memperoleh
legitimasi dari pemegang saham. Hal ini kemudian mengarah kepada rasisme
mengingat hanya pemegang saham yang menjadi fokus utama dari pengungkapan
dalam annual report kedua perusahaan tersebut.
SIMPULAN DAN SARAN
Penelitian ini bertujuan untuk menjawab tiga rumusan masalah. Rumusan
masalah yang pertama adalah bagaimana perusahaan menyampaikan pesan
melalui informasi yang disajikan dalam annual report. Dalam mengungkapkan
informasi dalam annual report-nya, PGN dan Antam mengacu pada Peraturan
Bapepam-LK No. X.K.6. Meski mengacu pada referensi peraturan yang sama,
keduanya menyajikan pelaporan keuangan dalam cara yang berbeda. Hal tersebut
terlihat dari cara menampilkan item – item tertentu dalam annual report serta
bagaimana kedua perusahaan membangun persepsi audiens melalui tampilan
cover dan penulisan judul beserta highlights annual report ditinjau dari aspek
makna kebahasaan. Proses membangun persepsi audiens yang dilakukan melalui
34
retorika dalam narrative text tersebut pada kenyataannya juga tidak terlepas dari
kondisi aktual yang dihadapi perusahaan dalam dunia usaha.
Rumusan masalah yang kedua yaitu bagaimana perlakuan perusahaan
terhadap para stakeholder-nya dalam pelaporan keuangan. Secara umum, kedua
perusahaan tersebut menggunakan annual report sebagai media komunikasi
kepada pemegang saham. Hal ini terlihat dari alokasi halaman yang dikhususkan
untuk pemegang saham, ditampilkannya foto dan peristiwa yang mayoritas terkait
pemegang saham, sertifikasi dan penghargaan yang mengacu pada kepentingan
pemegang saham, penamaan laporan kepada pemegang saham yang tidak diatur
dalam Peraturan Bapepam-LK No. X.K.6, dan penyebutan langsung melalui
berbagai kalimat yang ditampilkan dalam narrative text. Dari berbagai aspek yang
ditampilkan tersebut, dapat disimpulkan bahwa praktik usaha kedua perusahaan
selama ini cenderung hanya berorientasi pada satu stakeholder dan mengabaikan
stakeholder lainnya.
Rumusan masalah yang ketiga adalah apakah alasan perusahaan lebih
mengutamakan stakeholder tertentu dalam pelaporan keuangan. Dipandang dari
sisi teori Komunikasi Aksi Habermas yang mengungkapkan tentang steering
media, maka annual report Antam dalam hal ini merupakan steering media bagi
kepentingan perusahaan. Dalam steering media, peran money dan power sangat
besar. Money dan power tersebut berperan dalam upaya perusahaan memperoleh
legitimasi dari pemegang saham. Dengan demikian alasan utama perusahaan
mengutamakan pemegang saham dalam annual report-nya ialah demi
melegitimasi kepentingan perusahaan. Hal ini dapat dibuktikan melalui berbagai
kalimat yang bernada pemerolehan legitimasi dari pemegang saham serta tinjauan
kalimat – kalimat tertentu dari aspek money dan power.
Penelitian ini hanya terbatas pada lingkup PGN dan Antam atau dengan
kata lain tidak dapat digeneralisasi pada pengungkapan pelaporan keuangan
perusahaan yang lain. Di sisi lain hasil penelitian juga dapat mengalami bias
karena subjektivitas peneliti dalam mengintepretasi data. Selain itu, penelitian ini
hanya menggunakan data dokumenter yakni annual report tanpa wawancara dan
observasi dengan pihak perusahaan sebagai pembanding. Namun demikian, hal ini
35
seharusnya tidak menjadi masalah mengingat annual report merupakan media
utama yang menjadi sarana penghubung antara perusahaan dengan stakeholder-
nya. Dengan kata lain, annual report merupakan dokumen yang valid dan resmi
yang mencerminkan perusahaan secara keseluruhan. Sementara itu, bias
subjektivitas merupakan hal yang tidak mudah untuk dihindari. Faktanya,
penggunaan pendekatan penelitian atau paradigma penelitian lainnya juga tidak
bebas dari bias kesubjektifan.
Penelitian selanjutnya sebaiknya diterapkan pada annual report
perusahaan asing. Hal ini akan dapat menjadi perbandingan bagi annual report
perusahaan Indonesia. Penelitian dapat mempertimbangkan pencapaian
perusahaan dalam Annual Report Award pada perusahaan Indonesia dan World
Best Annual Report untuk perusahaan internasional, baik membandingkan
keduanya pada tahun yang sama maupun membandingkan dua tahun yang
berbeda pada ajang yang sama. Penelitian berikutnya disarankan pula untuk
dilakukan pada perusahaan dalam industri yang berbeda, untuk melihat apakah
praktik rasisme yang dilakukan perusahaan juga terjadi pada sektor lain. Selain
itu, penelitian sejenis dengan objek sustainability reporting dengan
mempertimbangkan pencapaian pada Indonesia Sustainability Report Award juga
akan menjadi topik yang menarik.
DAFTAR PUSTAKA
Antam, 2009. Annual Reporting. PT Aneka Tambang, Tbk.
Abbas, Lanre. 2010. Racism and Its Presuppositions: Towards A Pragmatic
Ethics of Social Change. Human Affairs Journal, Vol. 20, 364–375,
Balata, P. and G. Breton. 2005. “Narratives vs Numbers in the Annual Report:
Are They Giving the Same Message to the Investors?”. Review of
Accounting & Finance: 5-25.
Banerjee, Damayanti and Michael M. Bell. (Forthcoming). “Environmental
Justice.” In Richard T. Schafer, ed. Encyclopedia of Race, Ethnicity,
and Society. Thousand Oaks, CA and London: Sage Publications.
Preprint.
36
Bartlett, S. & R. Chandler, 1997, “The corporate report and the private
shareholder: Lee and Tweedie twenty years on” British Accounting
Review, 29(3): 245–61.
Beasley, M.S. 1996. “An Empirical Analysis of The Relationship Between Board
of Director Composition and Financial Fraud”. The Accounting Review.
Vol. 71, No. 4. Hal 443-465.
Beasley, M.S., J.V. Carcello, D.R. Hermanson, dan P.D. Lapides. 2000.
“Fraudulent Financial Reporting : Consideration of Industry Traits and
Corporate Governance Mechanism”. The Accounting Horizon. Vo. 14,
No.4, Hal. 441-445.
Belkaoui, Ahmed R. 1993. Teori Akuntansi. Cambridge: The University Press.
Bungin, Burhan. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Bungin, Burhan. 2005. Analisis Data Penelitian Kualitatif: Pemahaman
Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Carignan, N., Sanders, M., & Pourdavood, R. G. 2005. « Racism and
ethnocentrism: Social representations of preservice teachers in the
context of multi- and intercultural education”. International Journal of
Qualitative Methods, 4(3),
http://www.ualberta.ca/~iiqm/backissues/4_3/pdf/carignan.pdf
Chariri, A dan F.A. Nugroho. 2009. “Retorika dalam Pelaporan Corporate Social
Responsibility: Analisis Semiotik atas Sustainability Reporting PT Aneka
Tambang Tbk”. Simposium Nasional Akuntansi XII. Palembang 4-6
November 2009.
Chariri, Anis, 2006. The Dynamics of Financial Reporting Practice in An
Indonesian Insurance Company : A Reflection of Javanese Views on
An Ethical Social Relationship. Unpublished thesis PhD in Accounting,
University of Wollongong, Australia.
Chariri, Anis. 2009. “Landasan Filsafat dan Metode Penelitian Kualitatif:
Workshop Metodologi Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif”.
37
Laboratoriaum Pengembangan Akuntansi (LPA) Fakultas Ekonomi
Universitas Diponegoro : Semarang.
Couch, Jim F. Peter M. Williams, Jon Halvorson, and Keith Malone. 2003. “Of
Racism and Rubbish The Geography of Race and Pollution in
Mississippi”. The Independent Review, v. VIII, n. 2, Fall 2003, ISSN
1086-1653, pp. 235–247.
Creswell, J. W, 2003, Research Design Qualitative, Quantitative and Mixed
Methods Approaches 2nd
Edition, Sage Publication, Thousand Oaks,
California
Daniri, A. 2009. “Mensinergikan Kepentingan Shareholder dan Stakeholder”.
Diakses tanggal 6 Desember 2010 melalui www.google.com
David, S. 2002. “Narrative patterns: uses of story in the third age of knowledge
management”, Journal of Information and Knowledge Management,
1 (1), 2002, pp. 1-6
Deegan, C. 2003. Financial Accounting Theory. Sydney : The McGraw-Hill
Companies, Inc.
Enquist, B, Johnsson, M and Skålén, P. 2006. “Adoption of Corporate Social
Responsibility - Incorporating a Stakeholder Perspective”. Qualitative
Research in Accounting & Management, 3 (3), 188 – 207
Fairchild, Halford H. 1991. “Scientific Racism: The Cloak of Objectivity”.
Journal of Social Issues, Vol 47 No. 3, pp. 101-115
FASB. 1978. Statement of Financial Accounting Concept No. 1. “Objectives of
Financial Reporting by Business Enterprises”. Stamford. Connecticut.
Finch, Nigel. 2005. Sustainability Reporting Framework. www.ssrn.com
Fitriany, Kiki. 2009. “Retorika dalam Pelaporan Keuangan : Analisis atas
Narrative Text dalam Annual Report Perusahaan yang Mengalami
Kerugian”. Skripsi Program S1 Fakultas Ekonomi Universitas
Diponegoro Semarang.
Forstenlechner, Ingo dan Mohammed A. Al-Waqfi, 2010. “A job interview for
Mo, but none for Mohammed: Religious discrimination against
38
immigrants in Austria and Germany", Personnel Review, Vol. 39 Iss: 6,
pp.767 - 784
Fredricksen, George M. 2005. Racism: A Short History. Yogyakarta: Bentang
Pustaka
Garcia, J. L. A. 2001. “Racism Concept of.” Journal of Social Philosophy, hal.
1436-1440
Garcia, J. L. A. 2001. Racism. In L. C. Becker, C. B. Becker (Eds.). Encyclopedia
of Ethics. (Second Edition). Vol. III (P-W). London: Routledge, 1436-
1440
Ghozali, I dan A. Chariri, 2007, Teori Akuntansi, Semarang: Badan Penerbit
Undip.
Goodwin, J. dan J.L. Seow. 2002. “The Infulence of Corporate Governance
Mechanism on The Quality of Financial Reporting and Auditing
Perceptions of Auditors and Directors in Singapore”. Accounting and
Finance. Vol. 42, Hal. 195-223.
Grayson, David and Hodges Adrian. 2004. Corporate Social Opportunity: Seven step to
make corporate social responsibility work for your business, Greenleaf
Publishing Limited
Habermas, J. 1983a. The Theory of Communicative Action, Reason and the
Rationalization of Society. Volume 1. Beacon Press. Boston. Diakses
dari gigapedia.com 1 Februari 2011
Habermas, J. 1983b. The Theory of Communicative Action, Lifeworld and
System: A Critique of Functionalist Reason. Volume 2. Beacon Press.
Boston. Diakses dari gigapedia.com 1 Februari 2011
Hines, R. 1988. “Financial Accounting : In Communicating Reality, We Construct
Reality. Accounting, Organization, and Society. Vol. 13, No. 3, Hal.
251-262.
Hoed, Benny. H. 2007. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya (FIB) : UI Depok.
39
Holthausen, R. 1990. “Accounting Method Choice : Opportunistic Behaviour,
Efficient Contracting and Information Perspectives”. Journal of
Accounting and Economic. Fall, Hal. 207-218.
IAI. 2009. Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan No. 1. “Penyajian laporan
Keuangan“.
Lincoln, Y. S dan E. G. Guba, 1985, Naturalistic Inquiry, Sage Publication,
California
Magness, V, 2006, “Strategic Posture, Financial Performance and Environmental
Disclosure. An Empirical Test of Legitimacy Theory”, Accounting,
Auditing and Accountability Journal, Vol. 19, No. 4, Hal. 540-563
McMurray, A. J., Azharul Karim, Greg Fisher. 2010. "Perspectives on the
recruitment and retention of culturally and linguistically diverse police".
Cross Cultural Management: An International Journal, Vol. 17, Iss:
2, pp.193 – 210.
Meek, Nigel. 1998. Racism, Collectivism And Social Psychology. Psychological
Notes, No. 12,
Meutia, Inten. 2010. “Shari‟ah Enterprise Theory sebagai Dasar Pengungkapan
Tanggung Jawab Sosial untuk Bank Syariah”. Disertasi Program
Doktor Ilmu Akuntansi Universitas Brawijaya, Malang.
Moir, L., 2001, “What do we mean by corporate social Responsibility?”, MCB
University Press, 1472-0701
Neu, D., Warsame, H. and Pedwell, K. (1998), “Managing public impressions:
environmental disclosures in annual reports”, Accounting,
Organizations and Society, Vol 23, No. 3 pp. 265-282.
Newell, Peter. 2005. “Citizenship, Accountability and Community: The Limits of
the CSR Agenda”. International Affairs, 81, 3, hal 541-557.
Nugroho, FA. 2009. “Retorika dalam Sustainability Reporting: Analisis atas
Narrative Text Pengungkapan Corporate Social Responsibility dalam
Sustainability Report PT. Aneka Tambang, Tbk”. Skripsi Program S1
Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro Semarang.
40
O‟Donovan, G, 2002, “Environmental Disclosure in the Annual Report,
Extending the Applicability and Predictive Power of Legitimacy
Theory”, Accounting, Auditing and Accountability Journal, Vol. 15,
No. 3, Hal. 344-371
Palmer, Richard E. 2005. Hermeneutika:Teori Baru Mengenai Interpretasi.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Peraturan Bapepam-LK No. X.K.6 tentang Kewajiban Penyampaian Laporan
Tahunan Bagi Emiten Atau Perusahaan Publik
PGN, 2009. Annual Report. PT Perusahaan Gas Negara, Tbk
Pratama, Herdito Sandi. 2011. Mendobrak Superioritas: Melacak Rasisme.
Diunduh dari fahamindonesia.org 13 januari 2011
Ricouer, Paul. 2008. Hermeneutika Ilmu Sosial. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Rizki, Y.M. 2010. “Pemahaman Perusahaan terhadap Global Corporate
Citizenship: Analisis Semiotik Sustainability Reporting PT. Aneka
Tambang, Tbk dan PT Timah, Tbk”. Skripsi Program S1 Fakultas
Ekonomi Universitas Diponegoro Semarang.
Russell, Craig dan Joel Amernic. 2008. “A privatization success story: accounting
and narrative expression over time”. Accounting, Auditing &
Accountability Journal. Vol. 21.8, hal. 1085-1115.
Sidanius, Jim., Felicia Pratto, Lawrence Bobo. 1996. Racism, Conservatism,
Affirmative Action, and Intellectual Sophistication: A Matter of
Principled Conservatismor Group Dominance. Journal of Personality
and Social Psychology, Vol. 70, No. 3, hal. 476-490.
Tauringana, V. and G. Chong. 2004. “Neutrality of Narrative Discussion in
Annual Reports of UK Listed Companies”. Journal of Applied
Accounting Research : 74-107.
Tilt, C. A, 1994, “The Influence of External Pressure Groups on Corporate Social
Disclosure. Some empirical Evidence”, Accounting, Auditing and
Accountability Journal, Vol. 7, No. 4, Hal. 47-72
41
Tjager, I Nyoman, F. Antonius Salijoyo, Humprey R. Djemat, Bambang
Soembodo. 2003. Corporate Governance: Tantangan dan Kesempatan
bagi Komunitas Bisnis Indonesia. Jakarta: PT Prenahllindo
Ullmann, A.A. 1985. “Data in Search of a Theory: A Critical Examination of the
Relationship among Social Performance, Social Disclosure, and
Economic Performance of U.S. Firms”. Academy of Management
Review. Vo. 10, No. 3, pp.540-557.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 40 tahun 2008 tentang Penghapusan
Diskriminasi Ras dan Etnis
Van Dijk, T. A. nd. Discourse and Racism. London: Sage.
Verkuyten, Maykel. 2005. “Accounting for Ethnic Discrimination, A Discursive
Study Among Minority And Majority Group Members”. Journal of
Language and Social Psychology. Vol. 24, No. 1, Maret 2005 : 66 – 92.
Vidyarthi, Lalita Prasad. Racism, Science and Pseudo-Science. Unesco. France:
Vendôme, 1983. p. 54
Watt, R. dan J. Zimmerman. 1986. Positive Accounting Theory. Englewood
Cliffs. New Jersey: Prentice-Hall.
Wolk, H.I., J.L. Dodd, dan M.C. Tearney. 2004. Accounting Theory :
Conceptual Issues In A Political and Economic Environment. 6th
ed.
USA : Thompson – South Western.
Yussof, H. and L. Glen. 2009. “Corporate Environmental Reporting through the
Lens of Semiotics”. Asian Review of Accounting: 226-246
Yuthas, K., R., Rogers dan J. F., Dillard, 2002. “Communicative action and
corporate annual reports”. Journal of Business Ethics, 41(1), 141-157
http://dictionary.com 2010
http://etalasebuku.com/2007
http://harunyahyaindonesia.com
http://pusatbahasa.diknas.go.id 2010